<<

STUDI PEMIKIRAN ABU AL-A’LA AL-MAUDUDI TENTANG HAK-HAK POLITIK NON MUSLIM DALAM ISLAM

SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Jurusan Jinayah Siyasah

Oleh : INTI WULAN DARY 1402026044

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2018

Drs. H. Eman Sulaeman, M.H. Tugurejo, A. 3 RT 02 RW 01, Tugu, Semarang. Ismail Marzuki, M.A, H.K. Jl. Toba No. 18 RT 002 RW 003 Mujur Lor, Kroya, Cilacap

NOTA PERSETUJUAN PEMBIMBING

Lamp : 4 (empat) eksemplar Hal : Naskah Skripsi An. Sdr. Inti Wulan Dary

KepadaYth. Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo Semarang

Assalamu’alaikum Wr. Wb. Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini kami kirimkan naskah skripsi saudara: Nama : Inti Wulan Dary NIM : 1402026044 Jurusan : Jinayah Siyasah (Hukum Pidana dan Politik Islam) Judul : Studi pemikiran Abu Al-A’la Al-Maududi tentang Hak- hak Politik Non Muslim dalam Islam

Dengan ini kami mohon kiranya skripsi mahasiswa tersebut dapat segera dimunaqosahkan. Demikian harap menjadi maklum adanya dan kami ucapkan terimakasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Semarang, 01 Maret 2018

Pembimbing I, Pembimbing II

Drs. H. Eman Sulaeman, M.H. Ismail Marzuki, M.A, H.K. NIP. 196506051992031003 NIP.198308092015031002

.ii KEMENTERIAN AGAMA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM Jl. Prof.Dr. Hamka Kampus III Ngaliyan Telp./ Fax. (024) 7601292 Semarang 50185

PENGESAHAN

Nama : Inti Wulan Dary NIM : 1402026044 Fakultas/Jurusan : Syari’ah dan Hukum/ Jinayah Siyasah Judul : Studi Pemikiran Abu Al-A’la Al-Maududi tentang Hak- hak Politik Non Muslim dalam Islam

Telah dimunaqosyahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, dinyatakan Lulus pada tanggal:

08 Maret 2018

Dan dapat diterima sebagai pelengkap ujian akhir memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) dalam Ilmu Syari’ah dan Hukum.

Semarang, 12 Maret 2018 Mengetahui,

Ketua Sidang / Penguji Sekretaris Sidang / Penguji

Yunita Dewi Septiana, M.A. Drs. H. Eman Sulaeman, M.H. NIP.197606272005012003 NIP. 196506051992031003

Penguji Utama I Penguji Utama II

Dr. Achmad Arif Budiman, M. Ag. Maria Anna Muryani, S.H., M.H. NIP. 196910311995031002 NIP. 197412122003121004

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. H. Eman Sulaeman, M.H. Ismail Marzuki, M.A, H.K. NIP.197701202005011001 NIP.198308092015031002

iii. MOTTO

          

            

   Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin- pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. QS. Al-Maidah(5): 51

. iv PERSEMBAHAN

Dengan segala kerendahan hati dan rasa syukur kepada sang pencipta, maka dengan ketulusan hati ku persembahkan skripsi ini kepada mereka yang selalu memberikan kasih sayang dan motivasi untukku. 1. Bapak dan Ibu tercinta. Bapak Rohmat Suwarno dan Ibu Soesefi Mama Doa, Mereka adalah orangtua terhebat yang telah mendidikku dengan penuh cinta kasih sayang. Terimakasih atas doa, nasehat dan pengorbanan yang sangat luar biasa. 2. Kedua adikku tersayang. Annisa Rahmawati dan Ma’ruf Islamuddin yang selalu memberikan support. 3. Sahabat-sahabatku Kurotul Ainiah, Satria Adhie Nugraha, Heti Permatasari, Nur Hanifah, Hanif Farida, Renada Putri Permatasari yang selalu menemani berjuang dari awal sampai akhir dalam penyelesaian skripsi ini, selalu menjadi pendengar keluh kesahku. Terimakasih atas doa dan selalu memberikan wejangan-wejangan. Kalian terbaik. 4. Teman-teman kelasku SJB, serta tidak lupa juga teman-teman Siyasah Jinayah Angkatan 2014 semua yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Semangat buat kalian.

v. HALAMAN DEKLARASI

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dari referensi yang dijadikan bahan rujukan.

Semarang, 01 Maret 2018 Deklarator

INTI WULAN DARY NIM. 1402026044

vi. PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN

Penyusunan transliterasi Arab-Latin dalam skripsi ini menggunakan pedoman transliterasi berdasarkan keputusan bersama Menteri Agama RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. no. 158 tahun 1987 dan no. 0543 b/U/1987 yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Konsonan Tunggal

Huruf Nama Huruf Keterangan Arab Latin Alif , Tidak dilambangkan ا - Ba' B ب - Ta' T ت Sa' Ś S dengan titik di atas ث - Jim J ج Ha' H H dengan titik dibawah ح - Kha’ Kh خ - Dal D د Zal Ż Z dengan titik di atas ذ - Ra’ R ر - Za’ Z ز - Sin S س - Syin Sy ش Sad S S dengan titik di bawah ص Dad D D dengan titik di bawah ض Ta’ T T dengan titik di bawah ط Za’ Z Z dengan titik di bawah ظ Ain ' Koma terbalik‘ ع - Gain G غ - Fa’ F ف - Qaf Q ق

. vii - Kaf K ك - Lam L ل - Mim M م - Nun N ن - Waw W و - Ha H ه Hamzah , Apostrof lurus miring ء (tidak utk awal kata) - ya Y ي Ta’ marbutah H Dibaca ah ketika ة mauquf Ta’ H / t Dibaca ah/at ketika …ة Marbutah.. mauquf (terbaca mati)

2. Vokal Pendek

Arab Latin Keterangan Contoh كان a Bunyi fathah panjang اا فيك i Bunyi kasrah panjang ي كونو u Bunyi dlammah panjang و

3. Vokal Panjang

Arab Latin Keterangan Contoh افل A Bunyi fathah panjang - سئل I Bunyi kasrah panjang - احد U Bunyi dlammah panjang -

4. Diftong

Arab Latin Keterangan Contoh موز Aw Bunyi fathah diikuti waw ... و كيد ’ai Bunyi fathah diikuti ya ... ي

. viii 5. Pembauran Kata Sandang Tertentu

Arab Latin Keterangan Contoh القمريه Al Bunyi al Qamariyah ال... الذربيه as-sy… Bunyi al Syamsiyah ش dengan/huruf ال berikutnya SSوالقمريه wal/wasy- Bunyi al Qamariyah وال... والشمسيه/ sy / al Syamsiyah diawali huruf hidup adalah tidak terbaca

. ix ABSTRAK

Hak-hak politik yang telah ditetapkan dalam Islam untuk non Muslim di negara Islam merupakan salah satu tema terpenting dalam ruang lingkup yang diistilahkan oleh para fuqaha dengan politik keagamaan. Penetapan hak-hak non Muslim dalam Islam, baik yang bersifat politik dan nonpolitik, merupakan satu bagian yang tidak terpisahkan dari penetapan Islam bagi prinsip-prinsip keadilan, kebebasan, dan persamaan hak setiap individu daulah Islamiyyah di hadapan undang- undang. Dalam hal ini dibutuhkan pemikiran Maududi merupakan pejuang yang berupaya menjadikan Islam sebagai pandangan hidup dan dasar konstitusi negara. sebagaimana pendapatnya mengenai hak politik non Muslim yaitu “...It is thus obvious that those who do not accept the ideology of Islam as their guiding light cannot become the Head of the Islamic State or the members of the Shura (Council)”. “...Dengan demikian, jelaslah bahwa siapapun yang tidak mengakui ideologi Islam sebagai pedomannya, tidak akan dapat menjadi Kepala Negara Islam maupun anggota Majelis Permusyawaratan. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Perpustakaan, data dan informasi dikumpulkan dengan bantuan-bantuan bermacam-macam material yang terdapat diruangan perpustakaan. Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Sumber data pokok dalam penelitian skripsi ini adalah buku The Islamic Law and Constitution karangan Abu al-A’la al-Maududi. Adapun hasil penelitiannya yaitu Pemikiran Abu al-A’la al- Maududi tentang hak-hak politik non Muslim merujuk kepada al- Quran dan historis. Menurut al-Maududi, siapapun yang tidak mengakui Islam sebagai pedomannya, tidak akan dapat menjadi kepala negara Islam maupun anggota Majelis Permusyawaratan. Tetapi untuk parlemen maupun lembaga legislatif dengan konsepsi modern, yang sangat berbeda dari syura dalam pengertian tradisionalnya, aturan ini dapat diperlonggar untuk memperkenankan seorang non Muslim menjadi anggotanya sepanjang di dalam konstitusi sepenuhnya ada jaminan dan sesuai dengan syarat yang telah ditentukan. Pemikiran Maududi tentang

. x non Muslim tidak dapat menjadi kepala negara memiliki keterkaitan dengan realita di Indonesia yaitu kondisi mayoritas penduduknya Indonesia yang beragama Islam tidak bisa menerima pemimpin non Muslim dapat dilihat dari peristiwa pengalaman tahun 1988 dan pengalaman tahun 2016 yang dikenal dengan Aksi Bela Islam walaupun UUD RI tidak melarang non Muslim menjadi kepala negara.

Kata kunci: Abu al-A’la al-Maududi, Hak Politik, Non Muslim.

. xi KATA PENGANTAR

بسم هللا الرحمه الرحيم Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan bimbingan dan petunjuk kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Studi pemikiran Abu Al- A’la Al-Maududi tentang Hak-hak Politik Non Muslim dalam Islam” dapat terselesaikan dengan lancar. Shalawat serta salam tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Semoga kita termasuk golongan umat yang mendapatkan syafaatnya di Yaumul kiyamah. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan. Dalam penulisan skripsi ini, penulis sangat berterima kasih kepada pihak yang telah memberikan dukungan, bimbingan, saran serta kritik yang sangat membantu penulis. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat: 1. Bapak Drs. H. Eman Sulaeman, M.H. selaku pembimbing I dan Bapak Ismail Marzuki, M.A.Hk selaku pembimbing II, dalam penulisan skripsi ini, yang telah meluangkan waktu, tenaga, serta ilmu guna membimbing dan mengarahkan dalam penulisan skripsi ini. 2. Bapak Prof. Dr. H. Muhibin, M.Ag., selaku Rektor UIN

Walisongo Semarang.

. xii 3. Bapak Dr. Arif Junaidi. M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Walisongo Semarang. 4. Bapak Dr. Rokhmadi, M.Ag., selaku Kajur Jinayah Siyasah. 5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo yang telah membekali berbagai ilmu pengetahuan serta seluruh staf yang telah membantu dalam akademik. Semoga apa yang tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan para pembaca pada umumnya. Aamiin.

Semarang, 01 Maret 2018 Penulis,

INTI WULAN DARY NIM. 1402026044

. xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...... ii HALAMAN PENGESAHAN ...... iii HALAMAN MOTTO...... iv HALAMAN PERSEMBAHAN ...... v HALAMAN DEKLARASI ...... vi PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ...... vii ABSTRAK ...... x KATA PENGANTAR ...... xii DAFTAR ISI ...... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...... 1 B. Rumusan Masalah ...... 15 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 15 D. Telaah Pustaka ...... 16 E. Metode Penulisan ...... 19 F. Sistematika Penulisan ...... 24

BAB II HAK-HAK POLITIK NON MUSLIM A. Pengertian Hak Politik Non Muslim ...... 26 1. Pengertian Hak ...... 26 2. Pengertian Politik ...... 30 3. Pengertian Non Muslim ...... 35 B. Macam-macam Hak Politik Non Muslim ...... 43 C. Pendapat Para Ulama tentang Hak Politik Non Muslim ...... 57 1. Ulama Ulama Klasik ...... 57 2. Ulama Kontemporer ...... 66 BAB III BIOGRAFI POLITIK ABU AL-A’LA AL- MAUDUDI A. Riwayat Hidup Abu Al-A’la Al-Maududi .. 70 B. Karya-Karya Abu Al-A’la Al-Maududi ...... 80 C. Pemikiran Politik Abu Al-A’la Al-Maududi 83 1. Konsep Pemerintahan ...... 83 2. Khilafah ...... 90

. xiv 3. Batas-batas Ketaatan Kepada Negara ..... 96 4. Permusyawaratan ...... 96 5. Sifat-Sifat Ulil Amri ...... 97 6. Konsep Dasar Perundang-Undangan ...... 100 7. Sasaran Negara dan Tujuannya ...... 105 8. Hak Asasi ...... 107 9. Hak Pemerintah Atas Rakyatnya ...... 108 10. Pokok-pokok Politik Pemerintahan Luar Negeri ...... 109 11. Ciri-Ciri Khas Negara Islam ...... 110 12. Hak Politik Non Muslim...... 119

BAB IV PEMIKIRAN ABU AL-A’LA AL-MAUDUDI TENTANG HAK-HAK POLITIK NON MUSLIM A. Analisis tentang Hak Politik Non Muslim Menurut Abu Al-A’la Al-Maududi ...... 123 B. Analisis Mengenai Kaitan antara Pemikiran Abu Al-A’la Al-Maududi tentang Hak Politik non Muslim dengan Realita Politik di Indonesia...... 138

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...... 154 B. Saran-Saran ...... 155 C. Penutup ...... 156

DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP

. xv BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tema tentang hak-hak politik yang telah ditetapkan

dalam Islam untuk non Muslim di negara Islam merupakan

salah satu tema terpenting dalam ruang lingkup yang

diistilahkan oleh para fuqaha dengan politik keagamaan.

Penetapan hak-hak non Muslim dalam Islam, baik yang

bersifat politik dan nonpolitik, merupakan satu bagian yang

tidak terpisahkan dari penetapan Islam bagi prinsip-prinsip

keadilan, kebebasan, dan persamaan hak setiap individu

daulah Islamiyah di hadapan undang-undang.1

Teks piagam juga menjelaskan bahwa “unsur

regional (Madinah) dan domisili saat berdirinya kedaulatan,

itulah yang memberikan hak warga negara untuk non Muslim

dan menjamin mereka mendapatkan persamaan dalam hak

dan kewajiban”. Sangat jelas tersirat petunjuk konstitusional

1 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam (Jakarta: Amzah, 2005), hlm. 160. 1 2

atas persamaan non Muslim dengan kaum muslimin serta

tidak adanya rasialisme atau menganggap mereka warga

negara tingkat kedua dalam sebutan Rasulullah SAW untuk

warga negara daulah Islamiyah dalam Undang-Undang

Madinah bahwa mereka semua adalah “umat yang sama

dengan kaum mukminin”.

Apa yang tersebut dalam piagam nabawi dari

penetapan kewarganegaraan non Muslim dalam daulah

Islamiyyah merupakan satu dasar yang baku dalam sistem

daulah Islamiyyah. Ijtihad fuqaha’ yang bertentangan dengan

hal itu tidak boleh diterima. Nash-nash Al-Qur’an dan

sunnah jelas-jelas telah mengukuhkan prinsip ini, juga

menerangkan hukum-hukum Islam yang berkenaan dengan

interaksi dengan non Muslim di negara-negara Islam atas

dasar berbuat baik dan bersikap adil.2

Dalam syari’ah, non Muslim yang hidup di negara

Muslim disebut sebagai dzimmiy (yang dilindungi), jika

memenuhi dua persyaratan, yang pertama, Mau mematuhi

2 Ibid, hlm. 161-162. 3 hukum islam secara keseluruhan. Yang kedua, Mau menyerahkan jizyah (semacam pajak) sesuai bunyi QS. At-

Taubah (9): 29 berikut:

          

       .  

        

  “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk.”

Namun berkaitan dengan syarat pertama itu, bukan berarti mereka tidak diberikan hak-hak kebebasan menjalankan agamanya sama sekali. Mereka dalam syari’ah diberikan kebebasan meyakini kepercayaannya, menjalankan ibadah yang diharuskan agamanya, dan menjalankan hukum keluarga seperti pernikahan dan talak. Selain tiga hal ini, yaitu dalam persoalan menyangkut ekonomi, pidana, dan 4

politik, mereka dikenakan hukum Islam, sebagaimana kaum

muslimin.3

Meski dalam syari’ah non Muslim dikenakan hukum

ekonomi, politik dan pidana Islam, namun itu bukanlah harga

mati yang tak ada celah selain perspektif itu. Berdasarkan

praktek politik Nabi di Madinah, Nabi telah memberikan

kebebasan kepada non Muslim untuk menjalankan hukum

pidananya. Saat kaum Yahudi Qainuka dan Nadhir

mengkhianati Nabi dengan berkomplot bersama musuh dari

luar sewaktu Nabi terjepit dalam berbagai peperangan,

mereka dihukum usir dari Madinah tidak secara autokrat oleh

Nabi berdasarkan hukum Islam. Namun, diputuskan oleh

pemimpin mereka berdasarkan konvensi hukum mereka

sendiri.

Meski begitu, dalam syari’ah terutama yang literal,

hak-hak publik non Muslim (dzimmiy), secara umum

dibedakan dengan kaum muslimin. Hal ini terjadi karena

3 Sukron Kamil, Pemikiran Politik Islam Tematik (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hlm. 224. 5 pemahaman yang parsial terhadap ayat-ayat atau hadist yang cenderung membedakannya, tanpa diimbangi dengan ayat atau hadist yang menyamakan keduanya. Pemahaman terhadap QS. Al-Maidah (5): 51 dan Al-Baqarah (2): 120 yang melarang non-muslim dijadikan pemimpin publik misalnya tidak diimbangi dengan pemahaman terhadap QS al-Mumtahanah (60): 8 yang membolehkannya.4

Beberapa contoh dari pendapat-pendapat para ulama

kontemporer seputar hak-hak non-muslim dalam masyarakat

Islam dalam memilih dan dipilih sebagai anggota dewan dari

sudut pandang Islam, Dr. Fathi Utsman berkata tentang

masalah ini: “Jika dzimmiy dapat menduduki jabatan

kementerian pelaksanaan, maka al-Mawardi telah

membahasnya secara luas, apalagi hal ini telah terjadi dalam

realita sejarah Islam. Maka kiranya itu cukup mendorong

4 Ibid, hlm. 225 – 226. 6

kita untuk menetapkan hak orang kafir dzimmiy dalam

pemilihan dan pencalonan diri, tanpa harus ragu lagi.”5

Menurut Imam al-Ghazali, tentang pengawasan dan

syarat-syarat pengawas, non Muslim tidak berhak melakukan

pengawasan terhadap muslim dengan menyandarkan

pendapatnya pada QS. An-Nisa (4): 141.

          

        

         

          “(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah Kami (turut berperang) beserta kamu ?" dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan)mereka berkata: "Bukankah Kami turut memenangkanmu[363], dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” QS. An-Nisa (4): 141.

5 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam (Jakarta: Amzah, 2005), hlm. 180. 7

[363] Yaitu dengan jalan membukakan rahasia-rahasia orang mukmin dan menyampaikan hal ihwal mereka kepada orang- orang kafir atau kalau mereka berperang di pihak orang mukmin mereka berperang dengan tidak sepenuh hati.

Dari ayat diatas menurut Imam al-Ghazali non

Muslim tidak berhak memperhitungkan tindakan mungkar seorang muslim apalagi yang diperhitungkan itu adalah ulil amri, sebab hal itu sama saja meminta hukum kepada non

Muslim terhadap muslim, dan itu mengandung penghinaan bagi yang dihukumkan. Hal ini dilarang menurut agama.6

Menurut Ibnu Qayyim, saat dia memaparkan pembahasan kesaksian non Muslim atas non Muslim dan atas kaum muslimin. QS. An-Nisa (4): 141.

          

        

         

          “(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin).

6 Ibid, hlm. 170-171. 8

Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah Kami (turut berperang) beserta kamu ?" dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah Kami turut memenangkanmu[363], dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” QS. An-Nisa (4): 141.

[363] Yaitu dengan jalan membukakan rahasia-rahasia orang mukmin dan menyampaikan hal ihwal mereka kepada orang-orang kafir atau kalau mereka berperang di pihak orang mukmin mereka berperang dengan tidak sepenuh hati.

Ayat diatas tidak dapat dijadikan petunjuk atas larangan

menerima kesaksian non Muslim atas kaum muslim. Karena

menurut Ibnu Qayyim, orang yang memperhatikan sumber

perundang-undangan untuk masalah ini pasti menyimpulkan

bahwa syariat Islam menerima kesaksian non Muslim atas

non Muslim, juga menerima kesaksiannya atas orang muslim

dalam masalah-masalah muamalah (Interaksi). Sedangkan

dalam masalah seperti rujuk, pernikahan, kesucian air dan

najisnya, serta kehalalan sembelihan dan keharamannya, itu

semua termasuk urusan-urusan yang khusus ditangani oleh 9 kaum muslimin. Setiap masalah yang disisi agamanya lebih dominan maka kesaksian non Muslim tidak bisa diterima.

Adapun ayat dalam QS.An-Nisa ayat 141, menunjukkan bahwa di dalam kata al-Sabil tidak termasuk kesaksian dan masalah putusan peradilan. Namun, kata al-Sabil adalah jalan untuk menghinakan dan menekan dari orang-orang kafir terhadap orang-orang yang beriman.

Dalam realita, kesaksian dan putusan pengadilan ditegakkan untuk menetapkan kebenaran yang pasti akan jelas bagi hakim lewat cara apa saja, bukan untuk kepentingan penuduh dalam menghukum tertuduh juga dalam mengelabuhi hakim.7

Menurut Mohammed Arkoun, konsep dzimmiy (yang terlindungi) dalam fikih atau syari’ah tradisional adalah model toleransi tanpa peduli jika dilihat dari kacamata HAM.

Alasannya, karena konsep ini dalam praktek disertai oleh rekayasa untuk mengurangi peran kelompok lain dan menegaskan keunggulan Islam atas yang lain, meskipun

7 Ibid, hlm. 173-174. 10

konsep ini masih lebih baik ketimbang kondisi kaum

Muslimin dalam masyarakat agama lain. Baginya problem

hak-hak non Muslim di negara muslim lebih sebagai problem

lingkungan. kendati begitu, Islam sebagai sebuah keyakinan

masih tetap mengandung problem, yaitu problem penafsiran

warisan lama yang tidak dibaca dalam pengertian modern.

Karenanya, ia menyarankan adanya revolusi epitemologis

dengan melakukan penafsiran Al-Qur’an yang menjadi

rujukan syari’ah, termasuk teks-teks yang berkaitan dengan

non Muslim, berdasarkan postulat-postulat ilmu humaniora

dan ilmu sosial modern yang telah diterapkan di Barat.8

Menurut Cak Nur (Nurcholish Madjid), hak-hak non

Muslim dalam Islam, juga bisa dilihat dari konsep pluralisme

Islam. Baginya, penganut agama lain harus dihormati hak-

hak kebebasan beragama dan politiknya dengan meyakini

adanya unsur kebenaran dan kemungkinan keselamatan

dalam agama mereka.9

8 Ibid, hlm. 225-228. 9 Ibid. 11

Muhammad Ali Jinnah dalam pidatonya, yang terkenal di

depan majelis perwakilan pada malam kemerdekaan (1948),

mendukung pemisahan agama dari kewarganegaraan. Ia

berkata, “Anda bebas pergi ketempat ibadah anda di negara

Pakistan ini. Anda boleh menjadi pengikut agama apa pun.

Pilihan itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan urusan

negara. kita akan memulai negara ini dengan prinsip yang

mendasar ini: kita semua adalah warga negara yang setara.

“Dia percaya bahwa “Seiring berjalannya waktu, anda akan

melihat orang Hindu yang tidak lagi menjadi Hindu dan

orang islam yang tidak lagi menjadi muslim, bukan dalam

pengertian agama, karena itu merupakan keyakinan pribadi

masing-masing, melainkan dalam pengertian politik sebagai

warga negara yang sama dan setara”.10

Menurut Amien Rais, sebagaimana kebebasan berbicara,

beragama, bebas berkehendak, bebas dari ketakutan dan

seterusnya yang dijamin sepenuhnya dalam Islam, hak non

Muslim dalam Islam untuk menjadi menteri dan menduduki

10 Antony Black, Pemikiran Politik Islam dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, terj. Abdullah Ali dan Mariana Ariestyawati (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006), hlm. 619. 12

jabatan-jabatan pemerintahan lainnya juga diakui. Namun

Islam tidak memberikan hak kepada non Muslim untuk

menjadi kepala negara. perbedaan ini menurutnya, hanya

menunjukkan bahwa Islam tidak munafik, sebagaimana

negara-negara demokrasi Barat yang mempersamakannya

secara konstitusi, tetapi tidak dalam kenyataan. Karenanya,

Islam memberlakukan syarat secara de jure dan de facto

bahwa kepala negara harus merupakan anggota dari

mayoritas.11

Sedangkan menurut Maududi, “...It is thus obvious that

those who do not accept the ideology of Islam as their

guiding light cannot become the Head of the Islamic State or

the members of the Shura (Council)”.12 “...Dengan demikian,

jelaslah bahwa siapapun yang tidak mengakui ideologi Islam

11 Sukron Kamil, Chaider S. Bamualim, Syariah Islam dan HAM (Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2013), hlm. 82. 12 Abul A’la Maududi, The Islamic Law and Constitution (Pakistan: Islamic Publications Limited, 1977), hlm.282. 13

sebagai pedomannya, tidak akan dapat menjadi Kepala

Negara Islam maupun anggota Majelis Permusyawaratan.”13

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa ada

tokoh yang memperbolehkan dan melarang hak-hak non

Muslim dalam berpolitik. Ungkapan-ungkapan politik bisa

berubah, situasi-situasi juga bisa berkembang, dan karena

fikih bukan termasuk agama maka yang harus dilakukan

dalam masalah ini atau masalah-maslah lainnya adalah

kembali kepada nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah yang

shahih. Hubungan antara kaum muslimim dan non Muslim

dengan janji Allah dan Rasul-Nya sebagai dasar Islam, dapat

menjamin persatuan nasional dan mendukung terciptanya

persatuan di dalam daulah Islamiyyah.14

Perubahan dan perkembangan akan terjadi dalam realita

setiap masyarakat dan setiap negara Islam yang menerapkan

sistem hukum parlementer. Mereka menetapkan perundang-

undangannya atas atas dasar persamaan antara seluruh warga

13 Abul A’la Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, terj. Asep Hikmat (Bandung: Mizan, 1990), hlm. 318-319. 14 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam (Jakarta: Amzah, 2005), hlm. 162. 14

negara. maka tersebutlah di dalamnya bahwa tidak ada

perbedaan diantara mereka. Baik dengan sebab ras, asal

keturunan, bahasa atau agama. Seperti juga tercantum dalam

undang-undang Islam bahwa Islam adalah agama negara, dan

asas-asas syariat Islam adalah sumber utama perundang-

undangan.

Sehingga perlu dikaji kembali lebih dalam tentang hak-

hak politik non Muslim dalam Islam agar dapat diketahui

yang pasti hak-hak politik non Muslim yang bagaimana yang

diperbolehkan dalam Islam dan bagaimana kaitannya dengan

realita di Indonesia. Dari latar belakang masalah tersebut

yang sudah penulis uraikan di atas, penulis tertarik untuk

mengadakan penelitian tersebut dalam bentuk skripsi dengan

judul “Studi Pemikiran Abu al A’la al-Maududi tentang Hak-

hak Politik Non Muslim dalam Islam”. Karena Maududi

merupakan pejuang yang berupaya menjadikan Islam sebagai

pandangan hidup dan dasar konstitusi negara.15

15 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 173. 15

B. Rumusan Masalah

Dari apa yang apa yang menjadi latar belakang masalah

di atas, dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah di

antaranya:

1. Bagaimana Pemikiran Abu al A’la al-Maududi tentang

Hak Politik Non-Muslim?

2. Bagaimana Kaitan antara Pemikiran Abu al A’la al-

Maududi tentang Hak Politik Non-Muslim dengan

Realita Politik di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang diangkat, penulisan ini

memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pemikiran Abul al-A’la al-Maududi

tentang hak-hak politik non Muslim dalam Islam.

2. Untuk mengetahui kaitannya pemikiran Abul al-A’la al-

Maududi tentang hak politik non Muslim dalam Islam

dengan realita politik aktual di Indonesia.

16

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Memberikan manfaat secara teori dan aplikasi terhadap

perkembangan ilmu politik.

2. Sebagai bahan informasi untuk penelitian lebih lanjut.

D. Telaah Pustaka

Setelah melakukan penelusuran, penulis menemukan

beberapa literatur yang berkaitan dengan Hak politik non

Muslim menurut al-Maududi di antaranya:

Skripsi saudara Reki Hepana, yang berjudul “Konstitusi

Negara Ideal Menurut Abul A’la Al-Maududi”. Skripsi

tersebut membahas tentang kontitusi yang merupakan aspek

terpenting dalam sebuah negara yang sifatnya baku dan

universal. Menurut Abu al-A’la al-Maududi Islam harus

menjadi konstitusi sebuah Negara. karena Negara yang Ideal

adalah Negara yang menjadikan Tuhan sebagai pemegang

kekuasaan tertinggi yang kemudian memberikan mandat

(berupa syari’at) kepada manusia sebagai khalifah (wakil)

untuk menjalani kehidupan di dunia dalam segala aspeknya.16

16 Reki Hepana, “Konstitusi Negara Ideal Menurut Abul A’la Al-Maududi”, Skripsi UIN Sultan Syarif Kasim Riau (Riau, 2011). 17

Skripsi saudara Heriwanto, yang berjudul “ Kritik Abul

A’la Al-Maududi terhadap Demokrasi Barat”. Skripsi

tersebut membahas tentang sistem demokrasi Barat yang

diterapkan di negara muslim saat ini menjadi negara yang

tidak relevan dan pemerintah kehilangan otoritas

memerintah.17

Skripsi saudara Bakrin, “Konsep Negara dan Politik

Islam : Studi Pemikiran Menurut Abu A’la Al-Maududi”,

Skripsi ini membahas tentang pemikiran Abu al-A’la al-

Maududi dalam konteks negara dan politik islam serta

signifikansi pemikirannya. Negara yang di maksud Abu al-

A’la al-Maududi adalah negara yang bersumber pada Al-

Qur’an dan Sunnah. Yang mana dalam konsep negara ini Abu

al-A’la al-Maududi menyebutkan dalam istilah Teo

Demokrasi.18

17 Heriwanto, “Kritik Abul A’la Al-Maududi terhadap Demokrasi Barat”, Skripsi Universitas Muhammadiyah Surakarta (Surakarta: 2014). 18 Bakrin, “Konsep Negara dan Politik Islam : Studi Pemikiran Menurut Abu A’la Al-Maududi”, Skripsi UIN Sunan Ampel Surabaya (Surabaya: 2010). 18

Skripsi saudara Hafidz Cahya Adiputra, “Analisis

Pemikiran Abu A’la Maududi tentang Politik Pemerintahan”,

Skripsi ini membahas tentang pemikiran Abu al-A’la al-

Maududi tentang politik pemerintahan merujuk kepada Al-

Qur’an dan sunnah. Al-Maududi menginginkan sebuah

negara menggunakan sistem khilafah. Yang dimaksud dengan

Khilafah adalah sebuah negara yang menggunakan Al-Qur’an

dan sunnah sebagai dasar hukumnya serta mengumumkan

bahwa negara tersebut tunduk terhadap kedaulatan Allah, dan

hanya memiliki kedaulatan yang terbatas.19

Dari beberapa karya skripsi tersebut di atas, berbeda dari

judul skripsi yang akan penulis lakukan, karena penulis akan

menganalis pendapat Abu al-A’la al-Maududi tentang hak-

hak politik non-muslim dalam Islam. Sedangkan karya skripsi

sebelumnya membahas tentang pendapat Abu al-A’la al-

Maududi tentang konstitusi negara ideal, demokrasi Barat,

19 Hafidz Cahya Adiputra, “Analisis Pemikiran Abu A’la Maududi tentang Politik Pemerintahan”, Skripsi UIN Walisongo Semarang (Semarang: 2016). 19

dan konsep negara dan politik Islam. Walaupun tokohnya

sama akan tetapi permasalahan yang di bahas berbeda.

E. Metode Penulisan

Metode diartikan sebagai suatu cara untuk teknis yang

dilakukan dalam proses penelitian. Sedangkan penelitian

diartikan sebagai upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang

dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip

dengan sabar, hati-hati, dan sistematis untuk mewujudkan

kebenaran.20

Metode penelitian adalah ilmu tentang mtode-metode

yang akan digunakan dalam melakukan suatu penelitian.21

Metode penelitian yang akan digunakan penulis adalah studi

tokoh. Studi tokoh adalah pengkajian secara sistematis

terhadap pemikiran atau gagasan seorang pemikir muslim,

keseluruhannya atau sebagiannya. Pengkajian meliputi latar

belakang internal, eksternal, perkembangan pemikiran, hal-

hal yang diperhatikan dan kurang diperhatikan, kekuatan dan

20 Mardalis , Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal (Jakarta: Bumi Aksara, 2014), hlm. 24. 21 Abdurrahmat Fathoni, Metode Penelitian & Teknik Penyusunan Skrips, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), hlm. 98. 20

kelemahan pemikiran tokoh, serta kontribusinya bagi

zamannya dan masa sesudahnya.22

Dalam penelitian ini metode penelitian dapat digolongkan

sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian

ini adalah Penelitian Perpustakaan, data dan informasi

dikumpulkan dengan bantuan-bantuan bermacam-macam

material yang terdapat diruangan perpustakaan, seperti:

Buku-buku, jurnal-jurnal, dan lain-lainya yang diperoleh

untuk dijadikan landasan dasar dan alat utama atau data

primer bagi pelaksanaan penelitian dan penelitian ini juga

membahas data pelengkap atau data sekunder.23

2. Sumber Data

a. Data Primer

Karena persoalan yang diangkat oleh penulis

berawal dari konsep Abu al-A’la al-Maududi

22 Syahrin Harahap, Metodologi Studi Tokoh & Penulisan Biografi (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), hlm. 6. 23 Mardalis , Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal (Jakarta: Bumi Aksara, 2014), hlm. 28. 21

mengenai hak-hak politik non-muslim dalam Islam.

Maka untuk melakukan studi pendapat Abu al-A’la al-

Maududi, sumber yang akan dijadikan pijakan awal

oleh penulis adalah buku The Islamic Law and

Constitution karangan Abu al-A’la al-Maududi, dan

hasil dari data ini hanya sampai pada dataran data

deskriptif (berupa gambaran).

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari

sumber kedua yang memiliki informasi atau data

tersebut.24 Data sekunder ini merupakan bahan data

yang berupa semua publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, publikasi

tentang hukum meliputi : buku-buku, kamus hukum,

jurnal hukum yang sifatnya dari pembahasan judul.25

Data sekunder ini berfungsi untuk menjadi pelengkap

dari data primer untuk penulisan skripsi. Adapun

24 Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial (Yogyakarta, 2009), hlm. 86. 25 Tim Penyusun Fakultas Syariah, Pedoman Penulisan Skripsi (Semarang: IAIN Press, 2010), hlm. 12. 22

sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah

buku-buku umum, karya atau literatur lain yang

berkaitan dengan judul yang penulis kaji.

3. Teknik pengumpulan Data

Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

yaitu kualitatif. Menurut Lodico, Spaulding, dan Voegtle

penelitian kualitatif, yang juga disebut penelitian interpretif

atau penelitian lapangan adalah suatu metodologi yang

dipinjam dari disiplin ilmu seperti sosiologi dan antropologi

dan diadaptasi kedalam setting pendidikan.26 Sedangkan

menurut Bogdan dan Taylor mendefinisikan metodologi

kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang

dan perilaku yang dapat diamati.27 Yaitu dengan mengambil

dokumen tertulis melalui kitab dan buku-buku referensi dari

sumber primer dan sekunder.

26 Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 2. 27 Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 4. 23

Dokumen dari sumber sekunder terdiri dari buku-buku

fiqh siyasah atau buku-buku yang membahas tentang politik

Islam, kamus, dan buku-buku lainnya yang berkaitan dengan

penelitian ini sebagai tambahan atau pelengkap. Dalam

penelitian ini penulis merujuk buku-buku yang membahas

tentang dasar hukum hak politik dalam Islam, khusus nya

yang membahas tentang non-muslim.

4. Analisis Data

Karena penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif

yang menghasilkan data-data deskriptif berupa kata-kata

tertulis dari orang yang diamati, maka penulis menggunakan

metode deskriptif analisis yaitu penelitian yang dimaksudkan

untuk membuat pencandraan (deskripsi) mengenai situasi

atau kejadian.28 Penelitian ini memaparkan pemikiran Abu al-

A’la al-Maududi yang terdapat pada buku The Islamic Law

and Constitution secara umum yang penulis gunakan sebagai

data primer, yang kemudian dideskripsikan, selanjutnya

28 Dedi Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 156. 24

dianalisis secara umum, kemudian dianalisis dengan

interpretasi tentang substansi pemikiran Abu al-A’la al-

Maududi.

F. Sistematika Penulisan

Untuk dapat memberikan gambaran dalam pembahasan

secara global dan memudahkan pembaca dalam memahami

gambaran menyeluruh dari penelitian ini, maka penulis

memberikan gambaran atau penjelasan secara garis besar

dalam skripsi ini terdiri atas lima bab yang masing-masing

menampakkan titik berat yang berbeda, namun dalam satu

kesatuan yang saling mendukung dan melengkapi. Adapun

gambaran sistematikanya adalah sebagai berikut:

Bab I adalah pendahuluan. Bab ini memuat tentang latar

belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, telaah

pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II adalah hak-hak politik non Muslim. Pada bab ini

penulis menguraikan tentang pengertian hak politik non

Muslim, macam-macam hak politik non Muslim, dan

pendapat para ulama’ tentang hak-hak politik non Muslim. 25

Bab III, adalah biografi politik Abu al-A’la al-Maududi.

Pada bab ini penulis membahas biografi, karya-karya, dan pemikiran politik Abu al-A’la al-Maududi.

Bab IV adalah Analisis pemikiran Abu al-A’la al-

Maududi tentang hak-hak politik non Muslim. Pada bab ini akan dibahas mengenai analisis hak-hak politik non Muslim menurut Abu al-A’la al-Maududi dan analisis kaitan antara pemikiran Abu al-A’la al-Maududi tentang hak-hak politik non Muslim dengan realita politik di Indonesia.

Bab V adalah penutup yang memuat kesimpulan, saran. Dan yang terakhir yaitu daftar pustaka. BAB II HAK-HAK POLITIK NON MUSLIM

A. Pengertian Hak Politik

Kata “hak” atau “hāq” berasal dari bahasa Arab, dan

memiliki makna: benar, tepat, dan sesuai tuntutan. Lawan dari

“hāq” adalah “baṭil”. Hak secara semantik berarti milik,

harta, dan sesuatu yang ada secara pasti. Contoh penggunaan

kata hak dapat dibaca dalam Surah Yasin, ayat ke-7:

“Sesungguhnya telah pasti berlaku (hāq) perkataan (ketentuan

Allah) terhadap kebanyakan mereka, tetapi mereka tidak

beriman”.

Dalam Islam, khususnya para fuqahā’ (ahli fiqh)

berbeda pendapat tentang pengertian hak. Ada ulama yang

mengartikan hak mencakup hal-hal yang bersifat materi,

sedangkan ulama lainnya mengaitkan pengertian hak hanya

untuk hal-hal yang bersifat nonmateri. Sebagai contoh

kalimat: hak Allah dan hak hamba. Ulama yang lain

memahami hak sebagai hak atas harta benda dan segala

26 27

sesuatu yang lahir dari suatu akad (perjanjian), seperti akad

jual-beli.1

Hak bermakna suatu kekhususan yang terlindung, dalam

pengertian, hubungan khusus antara seseorang dan sesuatu

atau kaitan seseorang dengan orang lain, yang tidak dapat

diganggu gugat. Pengertian seperti itu muncul dari

pandangan Ibnu Nujaim, seorang ahli fiqh. Sedang Fathi al-

Duraini mengemukakan bahwa hak ialah suatu kekhususan

kekuasaan terhadap sesuatu atau keharusan penunaian

terhadap yang lain untuk memenuhi kemaslahatan tertentu.

Yang dimaksud dengan kekhususan di sini ialah kekhususan

hubungan seseorang dengan sesuatu.

Dalam fiqh, perbincangan masalah hak berkaitan

dengan perbuatan para mukallaf (orang yang terbebani)

tuntunan agama. Mereka membagi masalah hak dalam agama

menjadi dua, yaitu hak Allah (hāq Allah) dan hak hamba (hāq

al-‘Ibad). Disebut hak Allah segala sesuatu yang berkaitan

1 Mohammad Monib dan Islah Bahrawi, Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Pandangan Nurcholis Madjid (Jakarta: PT Gramedis Pustaka Utama, 2011), hlm. 35-36. 28 dengan kepentingan umum, tanpa adanya kekhususan bagi seseorang. Hak ini disebut hak Allah, karena mengandung manfaat dan risiko yang besar. Sedang hak hamba disebut hak pribadi karena hak itu berkaitan dengan kemaslahatan seseorang. 2

Menururt Ebrahim Mossa sebagaimana dikutip oleh

Mohammad Monib dan Islah Bahrawi, Ebrahim Mossa seorang intelektual kelahiran Amerika Selatan yang aktif menjunjung hak asasi manusia mengartikan hāq dengan

“sesuatu yang sudah baku dan tidak dapat diingkari”.

Menurutnya, pengertian hāq memiliki kesamaan dengan

“realitas” dan “kebenaran”. Bagi Ebrahim hāq merupakan lawan kata dari “kesalahan” (baṭil). Baginya makna hāq dapat berganti sesuai dengan konteks kata itu digunakan.

Mengutip pendapat Ibnu Jaym, Ebrahim mengulas hal- hal yang berkaitan dengan kebendaan, bahwa manusia memiliki hak-hak tanpa dikaitkan dengan kewajiban yang harus dilaksanakan. Argumen ini didasarkan pada pendapat

2Ibid, hlm. 36. 29

bahwa “hak” merupakan “kemampuan” atau “kapasitas” yang

dianugerahkan kepada perseorangan atau kelompok. Karena

itu perseorangan atau kelompok akan menjadi subjek dari

suatu hak. Menurut Ebrahim sejak periode awal Islam,

periode pertengahan, kaum intelektual Muslim telah

melakukan tipologi hak dan tuntutan. Pertama, “hak Tuhan

atau hāq Allah”, kedua, “hak manusia” (hāq al-‘Ibad), dan

“hak bersama” antara Tuhan dan manusia.

Menurut para ahli, hak memiliki unsur-unsur dalam

penegakannya, yaitu: 1) pemilik hak; 2) ruang lingkup

penerapannya; 3) pihak yang bersedia dalam penerapannya.

Ketida unsur tersebut menyatu dalam pengertian dasar

tentang hak. Hak merupakan nilai-nilai normatif yang

dimiliki dan melekat pada setiap pribadi, setiap manusia yang

ditegakkan untuk melindungi hak persamaan dan hak

kebebasan dalam proses interaksi antara individu atau

hubungannya dengan lembaga.3

3Ibid, hlm. 36-37. 30

B. Pengertian Politik

Istilah politik bersumber dari kata politiek (bahasa

Belanda), politics (bahasa Inggris), dan politikos (bahasa

Yunani). Terdapat pendapat lain yang menyatakan bahwa

istilah politik berasal dari kata polis yang berarti negara kota,

polities yang berarti orang kota atau warga negara, dan

politikos yang berarti kewarganegaraan. Dari istilah ini,

muncul istilah baru yakni politike techne yang berarti

kemahiran politik, ars politica yang berarti kemahiran dalam

persoalan negara, dan politike episteme yang berarti ilmu

politik.

Berdasarkan uraian diatas, politik dapat dimaknai

sebagai proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam

masyarakat yang diantaranya berwujud proses pembuatan

keputusan. Selain itu, terdapat suatu pendapat bahwa politik

merupakan seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan baik secara

konstitusional maupun nonkonstitusional.4

4 Sri Wintala Achmad, Politik dalam Sejarah Kerajaan Jawa (Yogyakarta: Araska, 2016), hlm.15. 31

Politik berasal dari bahasa Yunani, polis yang artinya

negara-kota. Pada masa Yunani, dalam negara kota, setiap

orang saling berinteraksi satu sama lain untuk mencapai

kesejahteraan hidupnya. Saat manusia mencoba untuk

menentukan posisinya dalam masyarakat, ia berusaha untuk

meraih kesejahteraan pribadi melalui sumberdaya yang ada,

atau berupaya memengaruhi orang lain agar menerima

pandangannya. Mereka sibuk dengan kegiatan yang disebut

sebagai politik.5

Definisi politik dari Gabriel A. Almond, et.al., adalah:

“... the activities associated with the control of public

decisions among a given people and in a given territory,

where this control may be backed up by authoritative and

coercive means-who gets to employ them and for what

purposes.” “... kegiatan yang berhubungan dengan kendali

pembuatan keputusan publik dalam masyarakat tertentu di

wilayah tertentu, dan kendali ini didukung oleh instrumen

5 Muslim Mufti, Teori-Teori Politik (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), hlm. 17. 32 yang sifatnya otoritatif (berwenang secara sah) dan koersif

(bersifat memaksa). Politik yang mengacu pada penggunaan instrumen otoritatif dan koersif ini, yaitu yang berhak menggunakannya beserta tujuan.”

Definisi lain tentang politik pada masa modern juga dicatat oleh Hamid bahwa: “... modern definition of politics, however, covers the government of the state and that of other human organizations, where ‘government’ means organized authority and implies the institutions of leadership and authoritative allocation of values.” “... definisi politik masa modern mencakup pemerintah suatu negara dan organisasi yang didirikan manusia lain, bahwa „pemerintah‟ adalah otoritas yang terorganisasi dan menekankan pelembagaan kepemimpinan serta pengalokasian nilai secara otoritatif”

Kata “otoritatif” merupakan konsep yang ditekankan dalam masalah politik. Otoritatif adalah kewenangan yang absah, diakui oleh seluruh masyarakat yang ada disuatu wilayah untuk menyelenggarakan kekuasaan. Otoritas tersebut ada suatu lembaga bernama “pemerintahan”. Bukan 33

suatu kekuasaan politik jika lembaga yang melaksanakannya

tidak memiliki otoritas. Pemerintahan juga dapat kehilangan

otoritasnya ketika mereka tidak memiliki kekuasaan atas

masyarakatnya. Pemerintah juga yang mengalokasikan nilai-

nilai, seperti kesejahteraan, keadilan, keamanan, kebudayaan,

dan sejenisnya ketengah masyarakat. Dengan kekuasaan

politik, pemerintah dapat memaksakan tindakannya atas

setiap individu.

Dalam politik, kita berbicara mengenai upaya

masyarakat disuatu wilayah untuk menegosiasikan

kepentingan masing-masing, kemudian melahirkan

kesepakatan sehingga kepentingan masing-masing

terselenggara tanpa merugikan pihak lain. Pada awalnya,

politik selalu bertujuan mencapai kebahagiaan bersama. Pada

awalnya, tujuan politik ini tidak “kejam” seperti yang sering

didengungkan orang.

A New Handbook of Political Science menyebutkan

bahwa politik adalah the constrained use of social power

(penggunaan kekuasaan sosial yang dipaksakan). Disini 34

disebutkan “kekuasaan” sosial bukan “kekuasaan pribadi.”

Pada zaman kaisar Romawi, raja-raja di Pulau Jawa, seorang

kaisar atau raja dapat menimpakan hukuman mati kepada

seorang abdi atau rakyat melalui “kemauannya”. Rakyat tentu

tidak sepakat dengan cara tersebut, tetapi tidak dapat berbuat

apa-apa. Mereka menurut bukan karena setuju, tetapi karena

takut.

Kekuasaan raja atau kaisar tersebut bukan kekuasaan

sosial, tetapi kekuasaan pribadi. Sebab, hanya satu orang

yang menyepakati cara penghukuman. Sebaliknya, politik

adalah kekuasaan sosial. Sebagai kekuasaan sosial, politik

harus disepakati banyak orang sebelum diterapkan. Politik

menghendaki negosiasi. Dari negosiasi, dicapai kesepakatan.

Dengan demikian, kekuasaan politik adalah kekuasaan yang

disepakati banyak orang, bukan hanya kemauan satu orang.6

6 Muslim Mufti, Teori-Teori Politik (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), hlm. 18-19. 35

Jadi hak-hak politik adalah kewenangan warga negara

untuk memberikan kontribusi atau andil dalam perjalanan

kenegaraan. Kontribusi ini bisa perorangan atau kelompok.7

C. Pengertian Non Muslim

Pengertian non Muslim, yaitu orang yang tidak

menganut agama Islam. Tentu saja maksudnya tidak

mengarah pada suatu kelompok agama saja, tapi mencakup

sejumlah agama dengan segala bentuk kepercayaan dan

variasi ritualnya.8 Al-Qur‟an menyebutkan kelompok non

Muslim ini secara umum seperti terdapat dalam QS. al-hajj

(22) ayat 17, sebagai berikut:

      

       

        

7 Mohammad Monib dan Islah Bahrawi, Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Pandangan Nurcholis Madjid (Jakarta: PT Gramedis Pustaka Utama, 2011), hlm. 50. 8 Abdul Manan, Politik Hukum: Studi Perbandingan dalam Praktik Ketatanegaraan Islam dan Sistem Hukum Barat (Jakarta: Prenada Media Group, 2016), hlm. 91. 36

“sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang shaabi-iin, orang-orang Nasrani orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan diantara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.” (QS. Al-Hajj [22]: 17)

Dan QS. al-Jātsiyah (45) ayat 24, sebagai berikut:

          

             “Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa,” dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS. Al-Jātsiyah [45]: 24).

Dalam ayat al-Qur‟an tadi terdapat lima kelompok yang dikategorikan sebagai non Muslim, yaitu ash-shabi’ah atau ash-shabiin, al-, al-musyrikun, al-dahriyah atau al- dahriyun, dan ahli kitab. Masing-masing kelompok secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Ash-shabi’ah, adalah kelompok yang mempercayai

pengaruh planet terhadap alam semesta. 37

2. Al-majus, adalah para penyembah api yang mempercayai

bahwa jagat raya dikontrol oleh dua sosok Tuhan, yaitu

Tuhan Cahaya dan Tuhan Gelap yang masing-

masingnyabergerak kepada yang baik dan yang jahat,

yang bahagia dan yang celaka dan seterusnya.

3. Al-musyrikun, adalah kelompok yang mengakui

ketuhanan Allah SWT, tapi dalam ritual

mempersekutukannya dengan yang lain seperti

penyembahan berhala, matahari, dan malaikat.

4. Al-dahriyah, adalah kelompok ini selain tidak mengakui

bahwa dalam alam semesta ini ada yang mengaturnya,

juga menolak adanya Tuhan pencipta. Menurut mereka

alam ini eksis dengan sendirinya. Kelompok ini agak

dentik dengan kaum ateis masa kini.

5. Ahli kitab. Dalam hal ini ada dua pendapat ulama.

Menurut madzab , bahwa yang termasuk ahli kitab

adalah orang yang menganut salah satu agama Samawi

yang mempunyai kitab suci seperti Taurat, Injil, Suhuf,

Zabur dan lainnya. Tetapi menurut Imam Syafi‟i dan 38

Hambali, pengertian ahli kitab terbatas pada kaum

Yahudi dan Nasrani. Kelompok non Muslim ini disebut

juga dengan ahli dzimmah, yaitu komunitas Yahudi dan

Nasrani yang berdomisili di wilayah umat Islam dan

mendapat perlindungan pemerintah Muslim.9

D. Macam-Macam Hak Politik

Jika yang berhubungan dengan tema pembahasan kita

sekarang dari hak-hak politik adalah hak partisipasi politik

non muslim di dalam daulah Islamiyah, yang tersimbol pada

dua hak yaitu: Hak memilih presiden atau anggota parlemen

dan hak dipilih menjadi anggota dewan parlementer juga

menjadi Ahlul Khalli wal ‘Aqdi.

Yang mempunyai peran yang amat signifikan dalam

sistem hukum Islam sejak masa kenabian dan masa-masa

selanjutnya, apalagi masa para khalifah Ar-Rasyidin, dimana

para khalifah saat itu juga meminta pendapat mereka dalam

perkara-perkara umum dan kemaslahatan umat, serta

9 Abdul Manan, Politik Hukum: Studi Perbandingan dalam Praktik Ketatanegaraan Islam dan Sistem Hukum Barat (Jakarta: Prenada Media Group, 2016), hlm. 91-93. 39

melaksanakan usulan mereka.10 Berikut penjelasan terkait

macam-macam hak politik:

1. Hak-hak Politik berupa :

a. Hak kebebasan untuk berkumpul dan berserikat.

b. Hak untuk membentuk partai politik.

c. Hak untuk ikut serta dalam pemilu.

d. Hak untuk dipilih menduduki jabatan publik.11

2. Hak Memilih dan Hak Menjadi Anggota Dewan

Perwakilan

Adapun hak non Muslim dalam pemilu, baik memilih

presiden atau anggota dewan parlemen dan dalam

mencalonkan diri untuk menjadi dewan anggota perwakilan,

juga dalam hak keanggotaan mereka yang berhasil

mendapatkan suara terbanyak, mereka dapatkan karena

mereka dan kaum muslimin sama di dalam Negara.

10 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam (Jakarta: Amzah, 2005), hlm. 160-161. 11 Mohammad Monib dan Islah Bahrawi, Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Pandangan Nurcholis Madjid (Jakarta: PT Gramedis Pustaka Utama, 2011), hlm. 50 40

Hadist-hadist muttawatir ada yang menyebutkan tentang

larangan menyakiti non Muslim dan mengukuhkan hak-hak

mereka atas kaum muslimin. Dalam hadist-hadist muttawatir

juga dinyatakan bahwa mereka berhak mendapatkan apa yang

kita dapat dan mereka juga berkewajiban melakukan apa yang

diwajibkan atas kita. Dalam hadist-hadist tersebut juga

dinyatakan bahwa siapa saja yang mengganggu seorang kafir

dzimmȋ maka dia tidak termasuk golongan kita.

Pada naskh-naskh inilah dapat dijadikan pegangan

dalam menetapkan dua hak memilih dan dipilih menjadi

anggota dewan, yang kedua hak itu termasuk dalam hak-hak

politik prioritas yang berhubungan dengan hukum dan

adminstrasi, dan dengan terwujudnya keikutsertaan para

warga negara lainnya dalam hak-hak politik prioritas dengan

jalan langsung atau tidak langsung.12

Menetapkan dua hak ini untuk non Muslim atas dasar

mereka juga warga negara seperti warga negara lainnya dari

12 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam (Jakarta: Amzah, 2005), hlm. 165. 41

kaum muslimin, termasuk dalam konsepsi apa yang telah

Islam tetapkan dalam syariatnya dari dua prinsip: keadilan

dan persamaan hak, sebab tidak termasuk sikap adil dan juga

tidak termasuk persamaan hak bila tidak membolehkan

mereka untuk ikut serta bersama penduduk lainnya yang

terdiri dari kaum Muslimin dalam mengkaji perkara-perkara

umum duniawi, dalam menjalankan apa yang baik untuk

rakyat dari undang-undang, dalam memilih penguasa dan

wakil rakyat, dan dalam melakukan pengawasan atas para

penguasa untuk mencegah tindakan sewenang-wenang yang

mungkin terjadi, atau tindakan pelanggaran terhadap

kemaslahatan masyarakat yang kemaslahatan masyarakat itu

adalah salah satu dari hak-hak Allah.

Manakala seluruh masalah ini termasuk masalah-

masalah yang masuk dalam ruang lingkup politik keagamaan

dan pengaturan kemaslahatan-kemaslahatan umum untuk

rakyat dengan segenap individunya, maka masalah ini

termasuk apa yang disebut oleh para ulama ushul dengan

“bagian adat bukan bagian ibadat”, artinya apa yang karena 42 perbedaan situasi dan kondisi yang meliputi daulah

Islamiyah, berpengaruh terhadap hukum syar’i didalamnya.13

Tidak diragukan lagi bahwa beragam situasi dan kondisi yang meliputi daulah Islamiyah di fase pertama timbulnya dan dimasa awal-awal Islam banyak berbeda dengan situasi dan kondisi yang meliputi daulah Islamiyah dimasa sekarang.

Oleh karena itu, perlunya kaum muslimin ber-ịjtihad dibidang fikih politik dan konstisional merupakan masalah yang sangat vital. Untuk mewujudkan unsur yang sesuai dan mempertimbangkan apa yang datang dari peubahan- perubahan di negara-negara muslim atau di negara luar.

Agar kaum muslimin dapat jaya kembali dan agar dapat memperbaiki kondisi mereka, atas dasar petunjuk syariat

Islam, tanpa terikat dengan apa pun dalam hal apa saja yang mereka pilih kecuali dengan satu hal, yaitu tidak bertentangan dengan satu dasar dari dasar-dasar Islam yang pasti, sambil memperhatikan kemaslahatan dan keadilan. Itulah fondasi

13 Ibid, hlm. 166. 43

untuk keberlangsungan syariat Islam dan keabsahannya

disetiap zaman dan tempat.14

E. Hak Politik Non Muslim

Tema tentang hak-hak politik yang telah ditetapkan

dalam Islam untuk muslim di negara Islam merupakan salah

satu tema terpenting dalam ruang lingkup yang diistilahkan

oleh para fuqaha dengan politik keagamaan. Tema ini

menjadi sorotan sejak timbulnya kedaulatan Islam di

Madinah, yang didirikan oleh Rasulallah SAW. Setelah

beliau berhijrah ke sana. Maka disamping beliau sebagai

utusan Allah SWT, beliau juga sebagai pemimpin tertingi

kedaulatan ini, yang setelah beliau wafat digantikan oleh para

khalifah Al-Rasyidin, kemudian diteruskan oleh orang yang

hidup seelah mereka sepanjang sejarah kaum Muslimin.

Penetapan hak-hak non Muslim dalam Islam, baik yang

bersifat politik dan non politik, merupakan satu bagian yang

tidak terpisahkan dari penetapan Islam bagi prinsip-prinsip

14 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam (Jakarta: Amzah, 2005), hlm. 166. 44 keadilan, kebebasan, dan persamaan hak setiap individu daulah Islamiyah di hadapan undang-undang. Penetapan prinsip-prinsip itu ada dalam kitab Allah dan penjelasan dari sunah nabawi yang menyatakan prinsip-prinsip itu merupakan dasar-dasar yang baku dalam Islam dan pilar-pilar yang kokoh dalam struktur sistem politik negara Islam.15

Pembahasan selanjutnya, yang dimaksud politik dalam kajian ini adalah hal-hal yang menyangkut kepemimpinan dan jabatan dalam pemerintahan. Kepemimpinan dalam Islam adalah sesuatu yang niscaya karena ia diperlukan untuk memastikan berlakunya hukum dan peraturan-peraturan al-

Qur‟an sebagai salah satu aspek penting dalam syari‟at Islam.

Para ulama berpendapat bahwa keimanan tidak cukup ditanamkan di dalam hati dan diikrarkan dengan lisan, tetapi harus diimplementasikan dengan amal perbuatan yang disesuaikan dengan hukum dan peraturan al-Qur‟an serta

15 Ibid, 160. 45

Sunnah Nabi. Pengingkaran terhadap keduanya dianggap

sebagai kekafiran.16

Selama Nabi masih hidup, dialah yang memegang

kepemimpinan atas umat Islam. Dia memimpin jama‟ah

shalat, menunjuk orang-orang untuk memungut zakat dari

kaum Muslimin, menjadi komandan pasukan perang,

mengatur pembagian rampasan, menjadi hakim yang

mengadili perkara, menjatuhkan sanksi bagi pelanggar

hukum, dan sebagainya. Ketika dia meninggal para seseorang

yang menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin yang

bertugas menjamin dan mengawasi pelaksanaan ketentuan-

ketentuan agama. Kesadaran itu sedemikian tingginya

sehingga menurut riwayat sejarah, mereka sudah melakukan

pemilihan pemimpin ketika jenazah Nabi belum dimakamkan

masih terbujur dirumah salah seorang istrinya, Â‟isyah.

Karena itulah Edward Mortimer menyimpulkan bahwa sejak

semula masyarakat muslim yang dibangun oleh Nabi

16 Nanang Tahqiq (ed), Politik Islam (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm. 123. 46

Muhammad sudah membentuk apa yang sekarang disebut negara, dengan tugas utamanya memastikan ketaatan pada hukum Allah yang tertera dalam al-Qur‟an.

Keharusan untuk taat kepada hukum Allah dan Rasul-

Nya serta para pemimpin penggantinya dinyatakan dalam sebuah ayat:

 .      

         

          .

   “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An- Nisaa‟(4): 59).

Terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa yang disebut sebagai ȗlȗ al-amr yang terdapat pada ayat diatas.

Mujȃhid, „Athȃ‟, Hasan al-Bashrȋ, dan Abȗ al-Âliyah 47

menafsirkannya sebagai ahli fiqih dan agama. Orang-orang

syiah menganggap ȗlȗ al-amr adalah imam-imam mereka,

dan Zamakhsyari menafsirkan ȗlȗ al-amr itu adalah umarȃ

al-hāq, yaitu para pemimpin negara yang memerintahkan

kepada kebenaran. Sedangkan Rasyȋd Ridlȃ berpendapat

bahwa mereka adalah orang-orang yang menjadi panutan

masyarakat dalam berbagai kepentingan umum, seperti

pejabat pemerintah, hakim, ulama, komandan tentara, dan

sebagainya. Mereka itu harus diikuti dengan syarat mereka

berasal dari golongan kita (kaum muslimin) dan tidak

menyalahi perintah Allah dan Rasul-Nya. Perbedaan pendapat

tentang siapa yang dimaksud ȗlȗ al-amr itu timbul, karena

sejak zaman kekuasaan Bani Umayyah telah terjadi dualisme

kepemimpinan. Khalifah sebagai pemimpin politik tidak lagi

merupakan otoritas dalam agama. Kepemimpinn dalam

agama ditangani oleh para ulama.17

Karena tugas dari pemimpin adalah menjamin dan

menjaga terlaksana hukum Allah, maka terlepas dari

17 Ibid, hlm. 123-125. 48 perbedaan pendapat mengenai siapa yang dimaksud ulu al- amr itu, pemimpin kaum muslimin haruslah seorang Muslim yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya sebagaimana dikatakan Rasyid Ridla diatas. Karena itu kaum Muslimin tidak dibenarkan mengangkat seorang non-Muslim menjadi pemimpin mereka. Meskipun demikian, sejarah Islam mencatat bahwa orang-orang non-Muslim memperoleh jabatan di beberapa pos pemerintahan. Mu‟awiyah memiliki seorang dokter dan sekretaris pribadi yang beragama Nasrani.

Pada masa Umayyah dan Abbasiyyah dokter-dokter Nasrani juga menjabat sebagai direktur-direktur di sekolah-sekolah kedokteran di Baghdad dan Damaskus. Seorang kepala kantor pemerintahan Khalifah Marwan juga seorang Nasrani.

Ibrahim b.Hilal, seorang Shabi‟un, juga menjadi pegawai tinggi di Kerajaan Umayyah. Tidak dibolehkan kaum Muslim menjadikan non-Muslim sebagai pemimpin didasarkan pada 2 ayat berikut: 49

        

          “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu jadikan orang-orang yang kafir sebagai pemimpin, dengan meninggalkan orang-orang mukmin”. (Q.s. al- Nisa‟/4:144).

Dan QS. Al-Maidah ayat 51:

         

          

      “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu jadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin- pemimpinmu” (Q.s. al-Maidah/5: 51).

Beberapa mufassir yang dikutip Cawidu, seperti

Thabathaba‟i lebih mengartikan kata awliyȃ’ pada kedua ayat

diatas sebagai sekutu-sekutu atau sahabat-sahabat rohaniah

yang menyebabkan orang-orang mukmin menaati dan

mengikuti adat istiadat mereka. Demikian juga Muhammad

Asad menganggap bahwa Walȋ yang dilarang dalam ayat

diatas lebih berkonotasi aliansi moral daripada aliansi politik. 50

Karena itu Cawidu berkesimpulan bahwa membina hubungan kerjasama dengan orang-orang non-Muslim dalam bidang politik tidak dilarang dalam Islam, bahkan dianjurkan dan dipraktikkan oleh Rasul dan kaum Muslimin sesudah beliau.

Menurut Nanang Tahqiq, kesimpulan Cawidu itu benar sepanjang tidak menjadikan mereka sebagai pemimpin tertinggi bagi kaum Muslimin, sebagaimana sudah disebutkan pada pengalaman di masa Umayyah diatas. Namun, tidak benar kalau dikatakan bahwa Islam membolehkan umatnya melakukan kerjasama dengan kaum musyrikin, karena hal itu berarti menolerir kepercayaan mereka.

Betapa pun baik perlakuan politik Islam terhadap para pemeluk agama lain, dengan memberikan jabatan-jabatan tertentu dalam pemerintan Islam, tetapi sikap politik Islam itu tidak juga luput dari kritikan sebagian intelektual sendiri, seperti Arkoun. Dalam menanggapi beberapa ayat dalam surah al-Taubah ia mengatakan bahwa walaupun mengakui kebebasan beragama, tetapi al-Qur‟an juga menekankan inferioritas sosial dan politik non-Muslim. Kritik serupa juga 51

dilontarkan oleh William E. Shepard ketika mengomentari

Q.s al-Taubah/9: 29 yang berbunyi:18

          

       .  

        

  “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar, yaitu orang-orang yang diberi al-Kitab kepada mereka sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”

Ayat ini dianggapnya antitoleransi karena adanya

keharusan membayar jizyah atas non-Muslim, dan

memosisikan mereka dalam status lebih rendah dari orang-

orang Muslim. Menurutnya, jizyah itu pada umumnya

diambil sebagai penghinaan. Kemudian dia menuturkan

bahwa ayat ini secara tradisional ditafsirkan oleh para

mufassir untuk menunjukkan bahwa orang-orang Yahudi dan

18 Ibid, hlm.125-127. 52

Kristen harus memperoleh status sosial dan politik lebih rendah dibandingkan orang-orang Muslim didalam masyarakat Islam.

Dan kaum neo-fundamentalis Muslim menafsirkan ayat ini bahwa tidak ada paksaan agama itu berarti keimanan setiap individu itu ditolerir, tetapi dia harus mau hidup didalam struktur sosial dan politik yang didasarkan atas ajaran Islam yang dijalankan oleh orang-orang Muslim.

Barangkali yang ditudingnya sebagai neo-fundamentalis adalah orang-orang seperti Sayyid Quthb, yang memang menafsirkan ayat ini dengan mengatakan bahwa para pemeluk agama non-Islam tidak dipaksa masuk Islam, tetapi mereka tidak dibiarkan berada dalam agama mereka kecuali jika membayar jizyah.

Menurut Boisard, beberapa peneliti Barat menganggap bahwa keharusan membayar jizyah sebagai imbalan atas perlindungan yang diperoleh orang-orang non-Muslim itu merupakan akibat dari permusuhan yang permanen antara

Islam dan dunia luar, atau merupakan suatu bentuk halus dari 53

imperialisme, dengan mengatakan bahwa orang-orang non-

Muslim yang hidup di Dunia Islam sebagai warga negara

kelas dua. Tetapi Boisard sendiri menyadari bahwa pada

hakekatnya sistem itu didasarkan atas tiga pertimbangan yang

Islami, yaitu keadilan, rasa hormat terhadap tamu orang asing,

dan personalisasi yuridiksi. 19

Untuk menanggapi kritik Arkoun dan Shepard itu secara

lebih baik, dapat dikemukakan penjelasan al-Maududi tentang

pengelompokan orang-orang dzimmȋ yang hidup didalam

negara Islam. Menurut al-Maududi, syari‟at Islam membagi

warga negara non-Muslim menjadi tiga golongan, yaitu:

1. Orang-orang non-Muslim yang menjadi rakyat suatu

negara Islam berdasarkan suatu perdamainan atau

perjanjian.

2. Non-Muslim yang menjadi rakyat suatu negara Islam

setelah dikalahkan oleh kaum Muslimin dalam suatu

peperangan.

19 Ibid, hlm. 127-128. 54

3. Non-Muslim yang berada didalam suatu wilayah negara

Islam dengan cara lainnya.

Golongan pertama adalah golongan yang secara sukarela mengakui hegemoni suatu Negara Islam. Mereka disebut juga warga negara “kontrak”. Maka Negara Islam hanya boleh bertindak dalam soal apa pun berdasarkan perjanjian yang disepakati antara mereka dengan Negara

Islam. Sedang golongan kedua adalah warga negara

“taklukan”. Mereka inilah yang diwajibkan membayar jizyah sebagai jaminan atas perlindungan atas tanah, harta kekayaan, nyawa, serta kehormatan mereka. Besar jizyah pun harus disesuaikan dengan kemampuan masing-masing individu.

Dan jizyah tidak pula dipungut dari orang-orang yang bukan pejuang, seperti wanita, anak-anak, orang cacat, orang-orang jompo, rahib, pendeta, paderi, dan para pelayan peribadatan.

Adapun golongan ketiga tidak dijelaskan oleh al-

Maududi apakah mereka membayar jizyah atau tidak. Namun dalam praktik, semua golongan dzimmiy dikenai kewajiban membayar jizyah sebagai ganti dari ketiadaan kewajiban atas 55

mereka untuk mengabdi dalam kemiliteran. Hanya saja, sebab

awal diwajibkannya jizyah atas mereka berbeda-beda sesuai

dengan perbedaan masing-masing golongan tersebut. Dari

penjelasan al-Maududi itu dapat dipahami bahwa jizyah

bukan merupakan penghinaan sebagaimana dituduhkan oleh

Shepard, melainkan sebagai kompensasi dari dispensasi yang

diberikan kepada mereka karena tidak bertugas dalam

kemiliteran.20

Q.s. al-Taubah/9: 29 itu dan juga ayat sebelumnya (Q.s.

al-Taubah/9: 5) dipahami oleh sebagian ulama sebagai

syari‟at jihad (perang) yang merupakan nasakh atau

penghapusan atas prinsip tidak boleh ada paksaan dalam

dakwah, dan merupakan perintah untuk memerangi orang-

orang non-Muslim. Sehingga Q.s. al-Taubah/9: 6 yang

menunjukkan bahwa Nabi diperintah untuk memberi

perlindungan kepada seorang musyrik apabila ia meminta

perlindungan kepadanya pun dianggap mansȗkh, dihapus,

oleh ayat sebelumnya. Tetapi mayoritas ulama berpendapat

20 Ibid, hlm. 128-129. 56 bahwa prinsip dakwah tanpa paksaan itu tetap berlaku dan tidak di-nasakh.

Karena itu seharusnya ayat-ayat yang memerintahkan perang itu dihubungkan dengan keseluruhan konteks ayat- ayat perang lainnya yang hanya membolehkan kaum

Muslimin berperang sebagai tindakan balasan setelah mereka diserang lebih dulu (Q.s. al-Taubah/9: 113 dan al-Hajj/22: 39-

40). Dalam kajian ulum al-Qur‟an, sebuah ayat yang dinyatakan secara mutlaq (tanpa disertai batasan atau syarat) harus dipahami menurut ayat serupa yang muqayyad

(bersyarat atau dibatasi). Dalam hal perintah perang, terdapat ayat perang yang mutlaq, adapula yang muqayyad (yakni kalau kaum Muslimin diperangi), maka yang muqayyad itulah yang dipakai.

Penjelasan arti kata qatala oleh al-Buthi ketika ia menjelaskan sebuah hadist berbunyi: “umirtu an uqȃtil al-nȃs hattȃ yakȗnȗ mu’minan” yang biasa diterjemahkan “Aku

(Nabi) diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka beriman”, juga dapat dipakai untuk menjelaskan kata 57

serupa yang terdapat dalam Q.s. al-Taubah/9: 29 itu. Menurut

al-Buthi, kata qatala menunjukkan arti musyarȃkah, yakni

saling memerangi. Maka kata itu hanya bisa diartikan sebagai

perlawanan dari kedua belah pihak, bahkan hanya

menunjukkan perlawanan terhadap orang yang memulai

menyerang yang berniat membunuh. Orang yang melakukan

perlawanan terhadap penyerang itulah yang disebut muqȃtil,

sedang yang memulai peperangan pada hakikat dia adalah

qȃtil.21

F. Pendapat Ulama tentang Hak Politik Non Muslim

1. Ulama Klasik

Sebagian pakar dan peneliti kontemporer mengingkari

atau tidak membenarkan hak warga negara sempurna pada

non Muslim di dalam daulah Islamiyah, sekalipun mereka

tidak meletakkan ketentuan atas hak-hak mereka kecuali

dalam batas-batas hak-hak politik saja.22

21 Ibid, hlm. 130-131. 22 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam (Jakarta: Amzah, 2005), hlm. 167. 58

Hak-hak kewarganegaraan mereka terjamin sebagaimana kaum Muslimin, begitu juga dengan kebebasan pribadi, kebebasan menyampaikan pendapat, dan jaminan kebutuhan-kebutuhan kemanusiaan yang lazim bagi setiap individu warga negara, serta hak pada baytulmal dan jaminan baytulmal bagi para manula.

“Demikianlah, Islam telah menjamin seluruh hak-hak politik bagi semua rakyat daulah Islamiyah tanpa ada perbedaan.” Mereka berbeda pendapat dalam dua masalah yaitu:

Pertama, Berhubungan dengan kewenangan umum dan tugas-tugas pemerintahan. Seorang pemerhati akan menemukan bahwa di sana ada suatu kesepakatan dan ada beberapa tugas-tugas tinggi yang tidak bisa dipegang oleh non Muslim sebab harus adanya syarat Islam pada orang yang melakukan tugas itu, seperti tugas pimpinan negara dan tugas pimpinan kementerian atau tugas perdana menteri, juga tugas komandan militer serta tugas pemimpin wilayah atau gubernur. Sedangkan tugas-tugas lainnya, 59

boleh saja non Muslim memegangnya. Hal itu dapat

diterima karena dua alasan. Pertama, karena jabatan-

jabatan ini terikat dengan tujuan kewenangan yang

memerlukan ilmu agama dan hukum-hukum syariat.

Kedua, karena mengamalkan dasar yang telah lama dikenal

manusia dan dipraktikkan di negara bukan negara Islam,

dahulu dan sekarang, yaitu bahwa persamaan dalam hak-

hak tidak menafikan bahwa hak administratif tinggi hanya

untuk kelompok mayoritas dan hak-hak minoritas tetap

terjaga dan terpelihara.23

Kedua, Berhubungan dengan hak-hak politik Tentang

hak memilih dan dipilih menjadi dewan parlemen:

Abu al-A‟la al-Maududi berkata: “Sesungguhnya

pemimpin pemerintahan dalam Islam dan tugasnya adalah

mengatur perkara-perkara negara sesuai asas-asas Islam,

dan tidak ada tugas lain untuk dewan permusyawaratan

atau dewan parlementer kecuali membantu pemimpin

23 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam (Jakarta: Amzah, 2005), hlm. 167. 60 pemerintahan melaksanakan sistem fundamental ini. Oleh karena itu orang-orang yang tidak percaya tau mengimani asas-asas Islam tidak ada hak bagi mereka untuk menduduki jabatan kepemimpinan pemerintahan atau anggota parlemen. Sebagaimana mereka juga tidak sah ikut serta dalam memilih orang-orang yang akan menduduki jabatan-jabatan itu seperti para pemilih lainnya.

Boleh memberikan pada non Muslim hak menjadi anggota dan hak memberikan suara kepada dewan parlemen daerah, sebab dewan ini tidak membahas masalah-maslah yang berhubungan dengan sistem kehidupan, namun tugas dewan ini adalah mengatur perkara-perkara untuk mewujudkan keperluan-keperluan primer daerah.24

Al-Maududi menyandarkan pendapatnya ini pada dalil

Q.s. Al-Anfal/8: 72. Dalil al-Qur‟an:

24 Ibid, hlm. 168. 61

       

       

          

        

          

  “Sesungguhnya orang-orang yang beriman yang berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang- orang muhajirin), mereka itu satu sama lain saling melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman tetapi belum berhijrah maka tidak ada kewajiban sedikit pun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah.”25

Menurut Imam al-Ghazali, tentang pengawasan dan

syarat-syarat pengawas, non-muslim tidak berhak

melakukan pengawasan terhadap muslim dengan

menyandarkan pendapatnya pada QS. An-Nisa (4): 141.

25 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam (Jakarta: Amzah, 2005), hlm. 168. 62

          

        

         

          “ (Yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu. Apabila kamu mendapat kemenangan dari Allah mereka berkata, “Bukankah kami (turut berperang) berrsama kamu?” dan jika orang kafir mendapat bagian (kemenangan), mereka berkata, “Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?”. Maka Allah akan memberi keputusan diantara kamu pada hari kiamat. Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang- orang yang beriman.”26

Dari ayat diatas menurut Imam al-Ghazali non-muslim tidak berhak memperhitungkan tindakan mungkar seorang muslim apalagi yang diperhitungkan itu adalah ulil amri, sebab hal itu sama saja meminta hukum kepada non-muslim terhadap muslim, dan itu mengandung penghinaan bagi yang dihukumkan. Hal ini dilarang menurut Agama.27

26 Ibid, hlm. 170 27 Ibid, hlm. 170-171. 63

Menurut Ibnu Qayyim, saat dia memaparkan pembahasan

kesaksian non-muslim atas non-muslim dan atas kaum

muslimin.28 QS. An-Nisa (4) : 141.“(Yaitu) orang-orang

yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada

dirimu. Apabila kamu mendapat kemenangan dari Allah

mereka berkata, “Bukankah kami (turut berperang) berrsama

kamu?” dan jika orang kafir mendapat bagian (kemenangan),

mereka berkata, “Bukankah kami turut memenangkanmu, dan

membela kamu dari orang-orang mukmin?”. Maka Allah akan

memberi keputusan diantara kamu pada hari kiamat. Dan

Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-

orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.”29

Ayat diatas tidak dapat dijadikan petunjuk atas larangan

menerima kesaksian non-muslim atas kaum muslim.30 Karena

menurut Ibnu Qayyim yang telah disimpulkan oleh Syaikh

Syaltut dalam kesimpulannya: “orang yang memperhatikan

sumber perundang-undangan untuk masalah ini pasti

28 Ibid, hlm. 173. 29 Ibid, hlm. 170. 30 Ibid, hlm. 173. 64 menyimpulkan bahwa syariat Islam menerima kesaksian non- muslim atas non-muslim, juga menerima kesaksiannya atas orang muslim dalam masalah-masalah muamalah (Interaksi).

Sedangkan dalam masalah seperti rujuk, pernikahan, kesucian air dan najisnya, serta kehalalan sembelihan dan keharamannya, itu semua termasuk urusan-urusan yang khusus ditangani oleh kaum muslimin. Setiap masalah yang disisi agamanya lebih dominan maka kesaksian non-muslim tidak bisa diterima.

Adapun ayat dalam QS.An-Nisa ayat 141, menunjukkan bahwa didalam kata Al-Sabil tidak termasuk kesaksian dan masalah putusan peradilan. Namun, kata Al-Sabil adalah jalan untuk menghinakan dan menekan dari orang-orang kafir terhadap orang-orang yang beriman. Dalam realita, kesaksian dan putusan pengadilan ditegakkan untuk menetapkan kebenaran yang pasti akan jelas bagi hakim lewat cara apa 65

saja, bukan untuk kepentingan penuduh dalam menghukum

tertuduh juga dalam mengelabuhi hakim.”31

Muhammad Ali Jinnah dalam pidatonya, yang terkenal di

depan majelis perwakilan pada malam kemerdekaan (1948),

mendukung pemisahan agama dari kewarganegaraan. Ia

berkata, “Anda bebas pergi ketempat ibadah anda di Negara

Pakistan ini. Anda boleh menjadi pengikut agama apa pun.

Pilihan itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan urusan

Negara. kita akan memulai negara ini dengan prinsip yang

mendasar ini. kita semua adalah warga negara yang setara.“

Dia percaya bahwa: “Seiring berjalannya waktu, anda akan

melihat orang Hindu yang tidak lagi menjadi Hindu dan orang

islam yang tidak lagi menjadi muslim, bukan dalam pengertian

agama, karena itu merupakan keyakinan pribadi masing-

masing, melainkan dalam pengertian politik sebagai warga

negara yang sama dan setara”.32

31 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam (Jakarta: Amzah, 2005), hlm. 173-174. 32 Antony Black, Pemikiran Politik Islam dari Masa Nabi Hingga Masa Kini (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006), hlm. 619. 66

2. Ulama Kontemporer

Pendapat-pendapat para ulama kontemporer seputar hak-

hak non Muslim dalam masyarakat Islam dalam memilih dan

dipilih sebagai anggota dewan dari sudut pandang Islam, Dr.

Abdul Karim Zidan berkata dalam masalah yang berhubungan

dengan hak memilih dan dipilih, serta hak partisipasi dalam

memilih presiden di negara Islam: “Menurut kami, hukum

yang paling jelas adalah boleh, sebab jabatan presiden di masa

sekarang tidak mempunyai bentuk kata keagamaan sebagai

mana dulu. Oleh karena itu, ia bukanlah kekhalifahan yang

banyak dibicarakan oleh para fukaha sekalipun masih ada

sedikit makna yang sama.” Jabatan presiden adalah jabatan

kepemimpinan didunia dan bukan kekhalifahan yang diberikan

oleh Rasulullah saw dalam memelihara agama dan politik

dunia. Ini adalah definisi kekhalifahan Al-Mawardi.

Jika demikian maka kami tidak berpendapat dengan

melarang orang-orang kafir dzimmȋ untuk ikut memilih

presiden, sebagai kiasan atas dilarangnya mereka untuk

memilih khalifah dimasa-masa yang telah lalu. 67

Berdasarkan hal ini orang-orang kafir dzimmȋ boleh

berpartisipasi dalam pemilihan umum sebab mereka tidak

dilarang untuk ikut serta dalam urusan-urusan duniawi.

Sedangkan untuk memilih wakil-wakil mereka dalam majelis

permusyawaratan rakyat dan pencalonan dirinya sebagai

anggota dewan, kami juga berpendapat boleh, sebab

keanggotaan dalam majelis permusyawaratan rakyat artinya

memberikan usulan juga memberikan nasehat kepada

pemerintah dan seumpamanya, dan ini adalah perkara-perkara

yang tidak ada larangan bagi orang-orang kafir dzimmi untuk

melakukannya dan ikut serta didalamnya.33

Menurut Mohammed Arkoun, konsep dzimmi (yang

terlindungi) dalam fikih atau syari‟ah tradisional adalah model

toleransi tanpa peduli jika dilihat dari kacamata HAM.

Alasannya, karena konsep ini dalam praktek disertai oleh

rekayasa untuk mengurangi peran kelompok lain dan

menegaskan keunggulan Islam atas yang lain, meskipun

33 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam (Jakarta: Amzah, 2005), hlm. 178-179. 68

konsep ini masih lebih baik ketimbang kondisi kaum

Muslimin dalam masyarakat agama lain. Baginya problem

hak-hak non-muslim di negara muslim lebih sebagai problem

lingkungan. kendati begitu, Islam sebagai sebuah keyakinan

masih tetap mengandung problem, yaitu problem penafsiran

warisan lama yang tidak dibaca dalam pengertian modern.

Karenanya, ia menyarankan adanya revolusi epitemologis

dengan melakukan penafsiran Al-Qur‟an yang menjadi

rujukan syari‟ah, termasuk teks-teks yang berkaitan dengan

non-muslim, berdasarkan postulat-postulat ilmu humaniora

dan ilmu sosial modern yang telah diterapkan di Barat.

Menurut Cak Nur (Nurcholish Madjid), hak-hak non-

muslim dalam Islam, juga bisa dilihat dari konsep pluralisme

Islam. Baginya, penganut agama lain harus dihormati hak-hak

kebebasan beragama dan politiknya dengan meyakini adanya

unsur kebenaran dan kemungkinan keselamatan dalam agama

mereka.34

34 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam (Jakarta: Amzah, 2005), hlm. 225-228. 69

Menurut Amien Rais, sebagaimana kebebasan berbicara,

beragama, bebas berkehendak, bebas dari ketakutan dan

seterusnya yang dijamin sepenuhnya dalam Islam, hak non-

muslim dalam Islam untuk menjadi Menteri dan menduduki

jabatan-jabatan pemerintahan lainnya juga diakui. Namun

Islam tidak memberikan hak kepada non-muslim untuk

menjadi kepala negara. perbedaan ini menurutnya, hanya

menunjukkan bahwa Islam tidak munafik, sebagaimana

negara-negara demokrasi Barat yang mempersamakannya

secara konstitusi, tetapi tidak dalam kenyataan. Karenanya,

Islam memberlakukan syarat secara de jure dan de facto

bahwa kepala negara harus merupakan anggota dari

mayoritas.35

35 Sukron Kamil, Chaider S. Bamualim, Syariah Islam dan HAM (Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2013), hlm. 82. BAB III

BIOGRAFI ABU AL-A’LA AL-MAUDUDI

A. Riwayat Hidup Abu Al-A’la Al-Maududi

Nama lengkap pemikir besar Islam kontemporer dari

anak benua India itu adalah Abu Al-A‟la Al-Maududi.1 Dia

dilahirkan di Aurangabad (sekarang termasuk daerah India),

pada tanggal 25 September 1903 M.2 Wafat pada tanggal 23

September 1979 di salah satu rumah sakit di New York,

Amerika Serikat. Nama Abu al-A‟la pernah menimbulkan

masalah, karena “Abu al A‟la” itu artinya ayah (dari) Yang

Maha Tinggi, sedangkan “Yang Maha Tinggi” itu salah satu

atribut Tuhan, dan memang demikianlah yang kita dapatkan

dalam sejumlah ayat al-Quran.

Dalam pembelaannya, Maududi mengutip dua ayat al-

Quran dimana atribut al-A‟la dan al-A‟launa, kata jamak dari

al-A‟la diberikan kepada manusia, yakni kepada Nabi Musa

1 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: Universitas Indonesia, 1990), hlm. 157. 2 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 173. 70 71

A.S. dan kepada orang-orang yang beriman. Menurut cerita

ayah Maududi, antara tiga tahun sebelum Maududi lahir. Ia

berkunjung kesalah seorang tokoh sufi yang memberitahukan

bahwa Allah akan menganugerahinya dengan seorang anak

laki-laki yang akan dihormati rakyat dan menduduki jabatan

dan kedudukan tinggi. Tokoh sufi itu berpesan agar anak itu

nanti diberi nama Abu al-A‟la. Ayahnya sangat gembira

dengan kabar itu dan berjanji, kalau hal itu menjadi

kenyataan maka anak yang lahir nanti akan diberi nama

sebagaimana yang dipesankan itu. Lain daripada itu, kepala

atau pemimpin pertama keluarga besar Maududi yang

menetap di India dahulu, atau salah seorang pendahulu

Maududi, juga bernama Abu al-A‟la.3 Ayahnya yang lahir

pada tahun 1844, adalah seorang ahli hukum yang sangat taat

kepada ajaran-ajaran Islam.4 bernama Ahmad Hasan, seorang

pengacara yang pernah belajar di Universitas Aligarh.

3 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: Universitas Indonesia, 1990), hlm. 157 4 Abul A‟la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 7. 72

Maududi adalah anak ketiga dari tiga bersaudara. Pada

awalnya ia memperoleh pendidikan dasar di lingkungan

keluarga.5 Dia diajar dan dididik oleh ayahnya sendiri,

seorang pengikut sufi yang meninggalkan profesinya sebagai

pengacara, oleh karena dalam menjalankan praktek-

prakteknya dia acapkali harus melakukan hal-hal yang

bertentangan dengan hati nuraninya sebagai seorang Muslim

yang hendak memegang teguh kemurnian moral dan akhlak

Islami, dan juga disebabkan dia muak terhadap pola hidup

rekan seprofesinya yang menurutnya ke barat-baratan dan

tidak Islami.

Pernah pada satu waktu, berkat bujukan salah seorang

pamannnya, ayah Maududi pernah kembali mencoba

membuka kantor pengacara, tetapi karena dia terlampau

selektif dan menolak memutihkan yang hitam dan

menghitamkan yang putih, maka ia ditinggalkan oleh

langganan, dengan demikian dia memiliki waktu yang cukup

5 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 172. 73

untuk mengajar dan mendidik anak-anaknya termasuk

Maududi.6 Kemudian dia memasuki madrasah Faqiniyat,

suatu sekolah menengah agama yang menganut sistem

memadukan antara sistem pendidikan modern dan

tradisional. Setelah tamat dari madrasah ini. Ia melanjutkan

studinya ke jenjang pendidikan tinggi di Dar al-Ulum di

Hyderabad.

Pada 1919 ayahnya meninggal dunia, dan oleh karenanya

ia terpaksa meninggalkan bangku kuliahnya. Keadaan ini

mendorong Maududi menempuh jalan autodidak. Ditopang

oleh kemampuannya berbahasa Arab, Inggris, Persia, ia

mampu memperdalam pengetahuannya.7 Sebagian besar

ilmu yang diperoleh Al-Maududi dapat dikatakan didapat

lewat jerih payahnya sendiri dengan bimbingan sarjana-

sarjana yang tangguh pada waktu itu dalam lingkungannya.8

6 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: Universitas Indonesia, 1990), hlm. 158. 7 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 172. 8 Abul A‟la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 7. 74

Karier Al-Maududi diawali dari bidang kewartawanan,

yakni sejak ia berusia 15 tahun. Pada 1920, ia diangkat

sebagai editor surat kabar berbahasa Urdu, Taj, yang terbit di

Jabalpore. Karena prestasinya, setahun berikutnya dia

diangkat menjadi pemimpin editor di dua surat kabar, yaitu

surat kabar Muslim (1921-1923) dan al-Jam ‘iyat-i Ulum-i

Hind (1921-1928). Al-Maududi berhasil menjadikan surat

kabar al-Jam’iyat-i sebagai surat kabar Islam yang cukup

terkenal dan berpengaruh di India pada dekade 1920-an.

Selanjutnya, pada 1932, ia memimpin penerbitan majalah

yang berorientasi pada kebangkitan Islam, yaitu majalah

Tarjuman Al-Quran di Hyderabad.9

Tarjuman Al-Quran menjadi sarana penyalur gagasan-

gagasannya. Perhatiannya juga tercurah pada masalah

pertentangan antara pandangan hidup Islam dan pandangan

Barat modern yang sangat sekularistis. Ia mencoba

mendalami berbagai persoalan zaman modern dan sekaligus

9 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 172. 75

menyodorkan pemecahan-pemecahan Islami terhadap

persoalan-persoalan modern tersebut. Salah satu sebab

mengapa gagasan-gagasan Maududi menarik perhatian

begitu besar masyarakat adalah karena metodologi yang

digunakannya cukup baru dan segar, yaitu dengan melihat

permasalahan yang dibahas dari perspektif pengalaman dunia

Barat dan dunia Islam dan menyorotinya dari kacamata

Quran dan Sunnah. Apalagi jika diingat penguasanya atas

ajaran-ajaran Quran dan Sunnah barangkali tidak ada taranya

di subkontinen Indo-Pakistan.

Pada dasawarsa 1930-an tulisan-tulisan Maududi

“membanjir” dan sebagian besar tulisannya mencoba

memecahkan masalah-masalah politik dan budaya yang

dihadapi oleh kaum muslimin India, dan sudah tentu

semuanya itu ditinjau dari sudut pandangan Islam. Berbagai

Ideologi modern yang mulai menguasai cara berpikir

sementara kaum muslimin diserang habis-habisan oleh

Maududi sambil ditunjukkannya kekosongan dan kesesatan

ideologi-ideologi man-made tersebut. Nasionalisme yang 76

mengarah pada jingo-isme dan xenophobisme tidak saja

ditelanjangi oleh Maududi, tetapi juga dibongkar seluruh

bahaya yang terkandung didalamnya serta ditunjukkannya

ketidakserasian nasionalisme semacam itu dengan

pandangan Islam.

Membaca gagasan-gagasan segar Maududi itu,

Muhammad Iqbal kemudian membujuknya agar pindah dari

Hyderabad dan tinggal di distrik Pathankot, suatu daerah di

bagian timur Punjab. Disana Maududi bekerjasama dengan

Iqbal mendirikan suatu pusat riset yang dinamakan Dar al-

Islam dengan maksud untuk mendidik sarjana-sarjana Islam

agar mereka dapat berkarya secara positif dalam berkhidmat

pada Islam, terutama sekali untuk melakukan rekonstruksi

syariat Islam.10

Maududi pernah aktif (1920) dalam gerakan politik yang

dipimpin oleh Abul Azad. Ide-ide gerakan Abul

Kalam banyak dituangkan melalui majalah al-Hilal, terutama

dalam hal serangan dan kritikan terhadap pemerintah Inggris.

10 Abul A‟la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 8-9. 77

Terpanggil oleh keprihatinan politiknya sebagai masyarakat

yang menghendaki negara Islam yang terpisah dari anak

Benua India, maka Maududi mulai mengkonsentrasikan

pemikiran dalam bidang politik. Untuk menopang

perjuangannya, 1941 ia membentuk sebuah organisasi sosial-

politik yang ketat disiplinnya, yaitu Jama’at-e Islami.

Kriteria penerimaan anggotanya hanya mereka yang

sepenuhnya menerima ideologi Islam sebagai pandangan

hidupnya dan berakhlak mulia.11 Gerakan Jama’ati Islami

pimpinan Maududi hakikatnya merupakan gerakan kader-

kader Islam dan tidak pernah menjadi gerakan massa.

Gerakan Jama‟ati Islami ini disegani terutama karena para

pimpinannya dan anggota-anggotanya yang penuh integritas

dan dedikasi terhadap Islam serta kenyataan bahwa sebagian

besar mereka menjadi muhsinin dalam kaliber masing-

masing.12

11 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 172-173. 12 Abul A‟la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 9. 78

Sejak pakistan terpisah dari anak Benua India pada 1947,

Maududi tampil sebagai pejuang yang berupaya menjadikan

Islam sebagai pandangan hidup dan dasar konstitusi negara

tersebut. Maududi melihat fenomena bahwa para pendiri

negara Pakistan cenderung tidak konsisten melaksanakan

Islam dalam kehidupan bernegara.13

Maududi segera pindah ke Pakistan dan mulai

memusatkan seluruh tenaga dan pikirannya untuk ikut

menidirikan suatu negara Islam yang benar-benar sesuai

dengan ajaran-ajaran Islam. Untuk mencapai tujuan ini,

untuk kesekian kalinya karangan-karangan Maududi

“membanjir” menyoroti berbagai dimensi ajaran Islam,

terutama sekali yang berhubungan dengan masalah-masalah

sosial dan politik. Risiko seorang pemikir dan pejuang

seperti Maududi kiranya sudah jelas. Gagasan-gagasannya

berkali-kali bertabrakan dengan beberapa kebijaksanaan

13 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 173. 79

pemerintahan Pakistan yang oleh Maududi dipandang

sebagai meninggalkan cita-cita didirikannya Pakistan.

Oleh karena itu penjara bagi Maududi bukanlah tempat

tinggal yang asing lagi. Tekad yang teguh membaja untuk

mempertahankan pendiriannya benar-benar dikagumi, baik

oleh teman maupun lawan perjuangannya.14 Perjuangan

politik Maududi ini sering dianggap sebagai ancaman oleh

penguasa. Oleh karena itu, tidak kurang dari empat kali

Maududi ditahan dan dipenjarakan oleh penguasa setempat.15

Pada tahun 1953 Maududi dijatuhi hukuman mati karena

tuduhan “subversif” yang berkaitan dengan masalah sekte

Ahmadiyah Qadiani. Namun Maududi bukannya minta naik

banding atau memohon pengampunan penguasa waktu itu.

Dengan sangat gembira ia memilih kematian daripada

meminta pengampunan kepada mereka yang memang ingin

menggantungnya. Ia mengatakan kepada anaknya dan

14 Abul A‟la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 9. 15 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 173. 80

sahabat-sahabatnya: “Jika ajal bagi saya telah datang, tidak

ada seorangpun yang dapat mengelakkannya, akan tetapi bila

ajal itu memang belum datang, mereka tidak akan dapat

menggantung saya.” Keteguhan Maududi ini justru

menggoncangkan pemerintahan dan di bawah tekanan-

tekanan dari dalam dan luar negeri, pemerintah Pakistan

mengubah hukuman mati itu menjadi hukuman seumur

hidup.

B. Karya-karya Abu al-A’la al-Maududi

Abu Al-A‟la Al-Maududi sepanjang hayatnya telah

mengabadikan hidupnya untuk agama dan umat Islam dunia.

Selama kehidupan perjuangannya yang berkisar 60 tahun,

Maududi tidak pernah “pensiun” dari kegiatan-kegiatannya

untuk menawarkan Islam sebagai alternatif bagi umat

manusia modern yang dirundung kebingungan ideologis,

falsafi, dan sosial-politik. Ratusan buku, pamflet dan ribuan

ceramah, semuanya didedikasikan untuk menggali ajaran-

ajaran Islam yang sudah terlalu lama tertindih oleh berbagai

paham kehidupan dan ideologi asing yang telah lama 81

bercokol di dunia Islam selama masa penjajahan Barat yang

panjang.16

Selain dibidang jurnalistik, politik, dan akademik,

Maududi juga bergerak di bidang dakwah. Setiap aktivitas

dalam karier kepemimpinannya diorientasikan untuk

kepentingan dakwah dalam mewujudkan cita-cita Islam

sebagai pandangan hidup. Disamping itu, Maududi terkenal

sebagai penulis bidang tafsir, hadist, hukum, dan sejarah.

Diantara karyanya yang terkenal adalah al-Jihad fi al-Islam

(1930),17 Minatnya pada politik tumbuh pada usia sekitar dua

puluhan itu. Pada usia muda inilah Maududi

menerbitkan bukunya yang terkenal berjudul al-Jihad fi al-

Islam, suatu buku yang sangat cermat dan tajam mengenai

hukum Islam dalam perang dan damai. Buku ini memperoleh

perhatian besar dan penilaian tinggi dari dunia akademik

pada waktu itu. Tidak kurang dari Sir Muhammad Iqbal dan

16 Abul A‟la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 10 17 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 173. 82

Maulana Muhammad Ali Jauhar, tokoh terkenal gerakan

Khilafah dan Kemerdekaan, memberikan pujian sangat

tinggi pada buku tersebut.

Buku yang ditulis pada usia dua puluhan tahun itu sampai

sekarang tetap dinilai sebagai karya Maududi yang sangat

berharga.18 Karya al-Maududi yang lain diantaranya adalah

Risalah al-Diniyah (1932), dan The Islamic Law and

Constitution (1955).19 Karya terbesarnya, Tafhim al-Quran,

yang memerlukan 30 tahun untuk menyelesaikannya kiranya

sampai puluhan, mungkin ratusan tahun mendatang, akan

tetap merupakan karya monumental dan klasik yang menjadi

salah satu sumber referensi kaum muslimin dunia.20

18 Abul A‟la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 7-8. 19 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 173. 20 Abul A‟la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 11. 83

C. Pemikiran Politik Abu al-A’la al-Maududi

1. Konsep Pemerintahan

Konsep pemerintahan menurut Maududi

bertumpu atas Konsepnya yang mendasar tentang alam

semesta, al-Hakimiyah al-Illahiyah, dan kekuasaan dalam

bidang perundang-undangan. Ketiganya ini dirujuk Al-

Maududi dari Al-Qur‟an.

2. Konsep Alam Semesta

Pertama, Allah SWT adalah pencipta alam

semesta dan pencipta manusia di alam ini sebagaimana

firman Allah, “Dan Dialah yang menciptakan langit dan

bumi dengan benar.” Kedua, Allah adalah pemilik

makhluk ini, penguasanya, dan yang mengurusi segala

urusannya. Firman Allah, “Kepunyaan-Nyalah semua

yang ada di bumi, semua yang ada diantara keduanya dan

semua yang ada di bawah tanah.” Ketiga, Kekuasaan

yurisdiksi dan kedaulatan hukum yang tertingi di alam

semesta ini hanya bagi Allah, tidak mungkin akan

menjadi hak siapa pun selain Dia dan tidak ada seorang 84

pun yang memiliki satu bagian daripada-Nya. Allah

menjelaskan dalam Al-Qur‟an, “Tidaklah kamu

mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah

kepunyaan Allah.”

3. Konsep Al-Hakimiyah al-Ilahiyah

Pertama, Tuhan pemelihara alam semesta ini pada

hakikatnya adalah Tuhan pemelihara manusia, dan tidak ada

jalan lain bagi manusia kecuali patuh dan tunduk kepada sifat-

Nya Yang Maha Esa. Ayat yang mendukung permasalahan ini

ialah, “Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku

dan matikuhanya untuk Allah, semesta alam. Katakanlah:

Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal dia

adalah Tuhan bagi segala sesuatu.”

Kedua, Hak untuk menghakimi dan mengadili tidak

dimiliki oleh siapapun kecuali Allah. Karenanya manusia

wajib taat kepada-Nya, dan inilah jalan yang benar dan

perilaku yang lurus. Firman Allah SWT yang menjelaskan hal

ini ialah, “Tentang sesuatu apa pun kamu berselisih, maka

putusannya terserah kepada Allah.” 85

Ketiga, Hanya Allah sendiri yang memiliki hak

mengeluarkan hukum, sebab Dialah satu-satunya pencipta,

sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi, “Ingatlah,

menciptakan dan memerintah hanya hak Allah, Mahasuci

Allah, Tuhan semesta alam.” Keempat, Hanya Allah sendiri

yang memiliki hak mengeluarkan peratuan-peraturan, sebab

Dialah satu-satunya pemilik. Firman Allah, “Laki-laki yang

mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan

keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan

... Tidakkah kamu tahu sesungguhnya Allah-lah yang

mempunyai kerajaan langit dan bumi?”

Kelima, Hukum Allah adalah sesuatu yang hak, sebab

hanya Dia sendiri yang mengetahui hakikat segala sesuatu,

ditangan-Nyalah penentuan hidayah yang benar dan penentuan

jalan yang sesat dan lurus. Ayat-ayat yang menjelaskan hal ini

ialah, “Adakalanya kamu membenci sesuatu, padahal ia amat

baik padamu, dan adakalanya pula kamu menyukai sesuatu,

padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang

kamu tidak mengetahui.” 86

4. Konsep Kekuasaan Allah di Bidang Perundang-undangan

Konsep kekuasaan Allah di bidang perundang-undangan

menurut Maududi adalah bahwa ketentuan membuat undang-

undang harus hanya kepada Allah semata-mata dan umat

Islam wajib mengikuti undang-undang Nya serta haram atas

seseorang meninggalkan peraturan ini dan mengikuti undang-

undang buatan manusia lainnya, perundang-undangan yang

dibuatnya sendiri, atau kecenderungan hawa nafsu. Maududi

mendasari pandangannya pada firman Allah, yaitu

“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu kitab Al-Quran

dengan membawa kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan

memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan

Allah-lah agama yang bersih.”

Tiga konsep dasar politik al-Quran inilah yang menjadi

landasan ideal Maududi dalam menjelaskan pemikiran

politiknya.21

21 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 175. 87

5. Kedudukan Rasul

Perundang-undangan ini, yang di dalam ayat-ayat

terdahulu telah diperintahkan oleh Allah agar kita

mengikutinya dan berjalan di atasnya, tidak seorangpun dapat

menyampaikannya kepada manusia kecuali seorang Rasul

(utusan) Allah. Dia sendirilah yang menyampaikan hukum-

hukum Allah dan syari‟at-syari‟at-Nya kepada manusia, dan

sendirilah yang menafsirkan dan menguraikannya dengan

ucapan dan perbuatannya. Maka Rasul adalah yang mewakili

kekuasaan tertinggi Allah di bidang perundang-undangan

dalam kehidupan manusia. Berdasarkan ini, maka ketaatan

kepadanya adalah sama dengan ketaatan kepada Allah.

Dan Allah sendiri telah memerintahkan agar manusia

menerima perintah-perintah Rasul dan larangan-larangannya,

tunduk kepadanya tanpa perdebatan dan Dia berfirman bahwa

manusia tidak beriman kecuali mereka menjadikan Rasul

sebagai hakim dalamsegala perselisihan yang terjadi di antara

mereka, dan setelah itu mereka tidak merasakan suatu 88

keberatan atas apa yang ditetapkannya dan kemudian

menerimanya dengan penerimaan sepenuhnya.

     .    “Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.” [QS. An-Nisaa (4): 64].

    .   “Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah.” [QS. An-Nisaa (4): 80].22

6. Undang-undang Tertinggi

Hukum Allah dan Rasul-Nya, menurut Al-Quran adalah

undang-undang tertinggi yang bagi orang-orang mukmin tidak

ada pilihan lain kecuali patuh dan taat kepadanya. Tidak

seorang Muslim pun yang berhak mengeluarkan suatu hukum

dalam suatu perkara yang hukumnya telah dikeluarkan oleh

Allah dan Rasul-Nya. Menyimpang dari hukum Allah dan

Rasul-Nya adalah kebalikan dari iman dan lawan baginya.

22 Abul A‟la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 61-62. 89

          

          

    “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.” [QS. Al-Ahzab (33): 36].

    .     

          

         

  “Dan mereka berkata: "Kami telah beriman kepada Allah dan rasul, dan Kami mentaati (keduanya)." kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang.”[QS. An-Nisaa (24): 47-48.].

90

        

     

     

“Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan Kami patuh". dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung.” [QS. An-Nisaa (24): 51.]23

7. Khilafah

Bentuk pemerintahan manusia yang benar, menurut

pandangan Al-Quran, ialah adanya pengakuan negara akan

kepemimpinan dan kekuasaan legislatif dan kedaulatan hukum

tertinggi kepada keduanya dan meyakini bahwa khilafahnya

itu mewakili Sang Hakim yang sebernarnya, yaitu Allah SWT.

Kekuasaan-kekuasaannya dalam kedudukan ini haruslah

terbatas pada batasan-batasan yang telah disebutkan sebelum

23 Abul A‟la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 62-63. 91

ini (dalam pasal III, IV, dan V), baik kekuasaan-kekuasaan

yang bersifat legislatif, yudikatif maupun eksekutif.

        

         

          “Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.“ [QS. Al-Maaidah (5): 48].

        

          “Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” [QS. Shaad (38): 26].24

24 Abul A‟la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 63-64. 92 a. Hakikat Khilafah Doktrin tentang khilafah yang disebutkan di dalam Al-

Quran al-Karim ialah segala sesuatu diatas bumi ini, berupa

daya dan kemampuan yang diperoleh seorang manusia,

hanyalah karunia dari Allah SWT. Dan Allah telah menjadikan

manusia dalam kedudukan sedemikian sehingga ia dapat

menggunakan pemberian-pemberian dan karunia-karunia yang

dilimpahkan kepadanya di dunia ini sesuai dengan keridhaan-

Nya.

Berdasarkan hal ini, maka manusia bukanlah penguasa

atau pemilik dirinya sendiri tetapi ia hanyalah khalifah atau

wakil sang pemilik yang sebenarnya.

          “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." (Q.S. [Al-Baqarah] (2): 30).

         “Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan”. (Q.S. [Al-A‟Raaf] (7): 10).

93

         “Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi...” (Q.S. [Al- Hajj] (22): 65).

Setiap umat yang dikaruniai bagian kekuasaan di suatu

tempat diatas bumi ini, pada hakikatnya adalah khalifah Allah

di dalamnya.

        “Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh”. (Q.S. [Al- A‟Raaf] (7): 69).

Namun khalifah ini tidak menjadi khalifah yang benar

selama tidak mengikuti hukum Sang Pemilik yang

sebernarnya. Adapun sistem pemerintahan yang memalingkan

diri dari Allah, lalu menjadi sistem yang terlepas bebas

memerintah dengan dirinya sendiri, untuk dirinya sendiri,

maka itu bukanlah khalifah, tapi itu adalah pemberontakan

atau kudeta melawan Sang Penguasa yang hakiki. 94

         

           

      “Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang kafir, Maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka.” (Q.S. [Faathir] (35): 39).25 b. Khilafah Kolektif

Adapun yang diserahi khilafah yang sah dan benar ini

bukanlah perorangan , keluarga atau kelas tertentu, tapi

komunitas secara keseluruhan yang meyakini dan menerima

prinsip-prinsip dan gagasan-gagasan yang telah disebutkan

tadi dan bersedia menegakkan kekuasaanya atas dasar ini.

Kata-kata dalam ayat 55 surat an-Nur yang berbunyi: “ ...

Allah akan menjadikan mereka sebagai khalifah-khalifah di

bumi ...” Jelas dan tegas menyatakan hal ini.

25 Abul A‟la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 64-66. 95

Setiap individu di dalam kelompok kaum mukminin,

ditinjau dari pandangan ayat ini, adalah sekutu di dalam

khilafah dan tidak seorang manusia atau kelas pun berhak

mencabut kekuasaan kaum mukminin di dalam khilafah ini,

lalu memusatkannya di tangannya sendiri. Begitu pula, tidak

seseorang atau kelaspun dapat mengklaim bahwa khilafah

Allah hanya dikhususkan baginya dan bukan bagi kaum

mukminin lainnya. Inilah yang membedakan khilafah

Islamiyah ke arah demokrasi, meskipun terdapat perbedaan

asasi antara demokrasi Islami dengan demokrasi Barat

bertumpu atas prinsip kekuasaan tertinggi berada di tangan

rakyat. Adapun demokrasi dalam khilafah Islamiyah, rakyat

mengakui bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan Allah dan

dengan sukarela dan atas keinginannya sendiri, menjadikan

kekuasaannya dibatasi oleh batasan-batasan perundang-

undangan Allah SWT. 26

26 Abul A‟la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 67. 96

8. Batas-batas Ketaatan kepada Negara

Negara yang ditegakkan untuk melaksanakan sistem

khilafah ini wajib ditaati oleh rakyat dalam hal-hal yang

ma’ruf atau yang baik-baik saja, dan tidak ada kewajiban taat

kepadanya atau membantunya di dalam soal-soal maksiat

(segala sesuatu yang berlawanan dengan syari‟at Allah dan

perundang-undangan-Nya).

        

      ...   “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan- perempuan yang beriman untuk Mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah ... dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik ...” (Q.S. [Al-Mumtahanah] (60): 12).27

9. Permusyawaratan

Tugas negara harus dilaksanakan secara sempurna,

bermula dengan mendirikan dan menyusun bata yang pertama

di dalamnya, kemudian memiih kepala negara dan pejabat-

pejabat yang bertanggung jawab, dan berakhir dengan hal-hal

27Ibid, hlm. 67-68. 97

yang bersangkutan dengan perundang-undangan dan perkara-

perkara eksekutif berdasarkan permusyawaratan kaum

mukminin, baik yang diwujudkan secara langsung atau dngan

cara memilih wakil rakyat di dalam suatu sistem pemilihan

yang benar.

   “ ... dan urusan mereka diputuskan dengan musyawarat antara mereka ...” (Q.S. [Asy-Syuura] (42): 38)28

10. Sifat-sifat Ulil Amri

Di dalam memilih ulil-amri, harus diperhatikan

beberapa hal untuk dapat melaksanakan tatanan negara:

a. Mereka itu haruslah orang-orang yang benar-benar percaya

dan menerima baik prinsip-prinsip tanggung jawab

pelaksanaan tatanan khilafah sesuai dengan itu yang

diserahkan kepada mereka, sebab tanggung jawab

pelaksanaan khilafah sesuai dengan itu yang diserahkan

kepada mereka, sebab tanggung jawab pelaksanaan tatanan

yang bagaimanapun, tidak boleh dipikulkan atas pundak

28 Abul A‟la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 68. 98

orang-orang yang menentang prinsip-prinsip serta dasar-

dasar itu sendiri.

  .      

  “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (Q.S. [An-Nisaa‟](4): 59). b. Mereka itu tidak boleh terdiri dari orang-orang zalim, fasik,

fajir (orang yang melakukan dosa keji seperti zina dan

sebagainya), lalai akan Allah dan melanggar batasan-

batasan-Nya, tetapi mereka haruslah terdiri atas orang-orang

mukmin yang bertakwa dan beramal saleh. Dan apabila

seorang zalim atau fasik berkuasa atau merebut kekuasaan

kepemimpinan atau keimanan maka, menurut pandangan

Islam, kepemimpinannya itu batal.

          

          

  99

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim". (Q.S. [Al-Baqarah] (2): 124)

c. Mereka itu tidak boleh terdiri dari orang-orang bodoh dan

dungu, tapi haruslah orang-orang berilmu, berakal sehat,

memiliki kecerdasan, kearifan, kemampuan intelektual, dan

fisik untuk memutar roda khilafah dan memikul tanggung

jawabnya

           

           

         

     “Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu." mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah Kami, Padahal Kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?" Nabi (mereka) berkata: "Sesungguhnya 100

Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang Luas dan tubuh yang perkasa."

d. Mereka itu haruslah orang-orang yang amanat, sehingga

dapat dipikulkan tanggung jawab kepada mereka dengan

aman dan tanpa keraguan.

         “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya”. (Q.S. [An-Nisaa‟] (4): 58).29

11. Konsep Dasar Perundang-undangan

Prinsip-prinsip yang merupakan tumpuan undang-

undang dasar negara ini adalah:

  .      

  .         

           “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman

29 Abul A‟la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 69-72. 101

kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. [An- Nisaa‟] (4): 59).

Ayat ini menjelaskan tentang enam hal yang

bersangkutan dengan konstitusi dasar, yaitu:

a. Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya didahulukan dari

segala ketaatan kepada yang lain.

b. Ketaatan kepada ulil-amri datang setelah ketaatan kepada

Allah dan Rasul-Nya.

c. Ulil-amri haruslah terdiri atas orang-orang mukmin.

d. Rakyat mempunyai hak menggugat para penguasa dan

pemerintahan.

e. Kekuatan penentu dalam setiap perselisihan adalah

undang-undang Allah dan Rasul-Nya.

f. Diperlukan adanya suatu badan yang bebas dan merdeka

dari tekanan rakyat maupun pengaruh para penguasa, agar

dapat memberi keputusan dalam perselisihan-perselisihan 102

sesuai dengan undang-undang yang tertinggi, yaitu

undang-undang Allah dan Rasul-Nya.30

Al-Maududi mengaharuskan adanya lembaga yang akan

berfungsi sebagai pengukur dan pemutus perkara yang harus

selalu tetap berpedoman kepada kitab Allah dan Sunah Rasul

secara ketat. Selanjutnya, Al-Maududi mengemukakan tiga

lembaga penting yang rakyat harus memberikan ketaatan

terhadap negara melalui peraturan-peraturan yang dikeluarkan

oleh ketiga lembaga tersebut, yaitu lembaga legislatif,

eksekutif, dan yudikatif.

a. Lembaga Legislatif

Menurut Al-Maududi, lembaga legislatif adalah

lembaga yang berdasarkan terminologi fiqh disebut dengan

lembaga penengah dan pemberi fatwa atau sama dengan Ahl

al-Halli wa al-‘Aqd. Dalam memformulasikan hukum,

lembaga ini harus dibatasi dengan batasan-batasan Allah

dan Rasul-Nya dan tidak boleh bertolak belakang dengan

30 Abul A‟la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 72-73. 103

legislasi yang ditetapkan Allah dan Rasul walaupun

konsensus rakyat menghendakinya. Begitu juga tidak

seorang muslim pun memberi dan memutuskan persoalan

sesuai dengan pendapatnya sendiri yang tidak sejalan

dengan ketentuan Allah dan Rasul. Lebih tegas lagi ia

menyatakan bahwa orang-orang yang membuat keputusan

bukan berdasarkan Al-Quran termasuk orang-orang kafir.

Dengan kata lain, semua bentuk legislasi harus

mencerminkan semangat atau jiwa dari undang-undang

dasar dari Al-Quran dan Hadist.31

b. Lembaga Eksekutif

Tujuan lembaga ini adalah untuk menegakkan

pedoman-pedoman serta menyiapkan masyarakat agar

meyakini dan menganut pedoman-pedoman ini untuk

diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Al-Quran,

terminologi uli al-amr pada dasarnya menunjukkan lembaga

ini dan kaum muslimin diperintahkan untuk patuh

31 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 184. 104

kepadanya, dengan syarat bahwa lembaga eksekutif ini

menaati Allah dan Rasul-Nya dan menghindari dosa serta

tidak melakukan hal-hal yang dilarang syariat. Lembaga ini

dipimpin oleh kepala negara sebagai pemegang tertinggi

kekuasaan eksekutif.

c. Lembaga Yudikatif

Dalam terminologi Islam, lembaga yudikatif sama

dengan lembaga peradilan atau qadha’. Lembaga peradilan

berfungsi sebagai penegak hukum Ilahi, menyelesaikan, dan

memutuskan dengan adil perkara yang terjadi diantara

warganya. Lembaga ini bersifat bebas dan terlepas dari

segala campur tangan, tekanan atau pengaruh, sehingga

lembaga ini dapat membuat keputusan yang sesuai dengan

konstitusi tanpa dihalangi oleh rasa takut.32

          “Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (Q.S. [Al-Maaidah] (5): 48).

32 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 185. 105

        “Dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil”. (Q.S. [An-Nisaa‟] (4): 58).33

12. Sasaran Negara dan Tujuannya

Negara harus bekerja untuk dua tujuan yang utama.

Pertama, menegakkan keadilan dalam kehidupan manusia dan

menghentikan kezaliman serta menghancurkan kesewenang-

wenangan.

        

          

 “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia”. (Q.S. [Al-Hadiid] (57): 25).

33 Abul A‟la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 75. 106

Kedua, menegakkan sistem berkenaan dengan

mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat melalui segala daya

dan cara yang dimiliki oleh pemerintah, yakni sistem yang

membentuk sudut terpenting dalam kehidupan Islam, agar

negara menyebarkan kebaikan dan kebajikan dan

memerintahkan yang ma’ruf, sebagai tujuan utama kedatangan

Islam ke dunia, dan agar negara memotong akar-akar

kejahatan, mencegah kemungkaran yang merupakan sesuatu

yang paling dibenci oleh Allah SWT.

       

        “Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar.” (Q.S. [Al-Hajj] (22): 41).34

34 Abul A‟la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 75-76. 107

13. Hak Asasi

Seorang Muslim ataupun non Muslim dari rakyat di

bawah tatanan ini memiliki hak-hak yang harus ditanggung

oleh negara dan dipelihara dari segala pelanggaran ataupun

penindasan, yaitu:

a. Keselamatan jiwa

b. Pengamanan hak-hak pemilikan

c. Penjagaan kehormatan seseorang

d. Penjagaan kehidupan pribadi

e. Hak untuk menolak kezaliman

f. Hak al-amru bil-ma’ruf wan-nahyu ‘anil-munkar yang

mencakup hak kebebasan mengkritik.

g. Kebebasan berkumpul, dengan syarat hak atau kebebasan

ini digunakan untuk kebaikan dan kebenaran, serta tidak

menjadi sebab pecahnya pertengkaran di antara rakyat

atau timbulnya perselisihan-perselisihan.

h. Hak kebebasan beragama

i. Hak keamanan dari penindasan keagamaan 108

j. Hak setiap orang untuk ditanya hanya tentang perbuatannya

sendiri dan tidak ditanya tentang perbuatan-perbuatan

orang lain atau ditahan.

k. Hak setiap orang untuk tidak dilakukan suatu tindakan apa

pun terhadapnya tanpa ada kejahatan yang dilakukannya,

atau dihukum tanpa keadilan.

l. Hak orang-orang yang membutuhkan bantuan dan yang

tidak memiliki apa-apa, untuk dipenuhi kebutuhan dan

keperluan hidup mereka.

m. Hak rakyat untuk memperoleh perlakuan yang sama oleh

negara, tidak ada pengutamaan ataupun keistimewaan atau

perbedaan antara mereka semuanya.35

14. Hak-hak Pemerintah atas Rakyatnya

Pemerintah memiliki hak atas rakyatnya, dalam sistem ini

yaitu:

a. Agar mereka taat kepadanya.

35 Abul A‟la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 76-81. 109

b. Agar mereka menaati undang-undang, berpegang

dengannya dan tidak menimbulkan kerusakan dalam sistem

atau aturan-aturannya.

c. Agar mereka membantunya dalam semua usaha kebaikan.

d. Agar mereka bersedia mengorbankan jiwa dan darah

mereka dalam mempertahankan dan membelanya.36

15. Pokok-pokok Politik Pemerintahan Luar Negeri

Dasar-dasar yang dibawa oleh Al-Quran al-Karim

berkenaan dengan politik pemerintahan luar negeri bagi negara

Islam ialah:

a. Menghormati perjanjian-perjanjian dan pakta-pakta serta

keharusan mengumumkan penghapusan dan

penghentiannya, dan menyampaikannya kepada pihak lain

apabila tidak dapat dihindari lagi.

b. Menjaga amanat ketulusan dan kebenaran dalam setiap

perkara dan hubungan antar bangsa.

c. Keadilan internasional.

d. Menghormati batas-batas negara netral pada waktu perang.

36Ibid, hlm. 81-82. 110

e. Cinta damai.

f. Menghindari rasa tinggi hati, takabur serta penyebaran

kerusakan di muka bumi.

g. Memperlakukan kekuatan-kekuatanyang tidak menentang

dengan perlakuan yang baik.

h. Membalas kebaikan dengan kebaikan.

i. Memperlakukan kaum penyerang dalam perlakuan yang

sama dengan perlakuan mereka sendiri.37

16. Ciri-ciri Khas Negara Islam

Konsep yang digambarkan oleh Al-Quran bagi negara

dan tatanannya, melalui enambelas pokok yang telah

disebutkan sebelum ini, memiliki ciri-ciri yang jelas, yaitu:

Pertama, negara ini didirikan atas dasar kesadaran

suatu bangsa yang merdeka dan bersedia menundukkan

kepalanya secara sukarela kepada Tuhan semesta alam,

meskipun adanya kenyataan bahwa ia adalah bangsa yang

merdeka dengan kemerdekaan yang sempurna. Dan ia rela

37 Abul A‟la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 82-86. 111

menempati kedudukan sebagai khalifah (pengganti, wakil),

bukan kedudukan penguasa tertinggi di bawah kekuasaan

Allah yang tertinggi dan bekerja sesuai dengan perundang-

undangan dan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah

dan kitab-Nya dan melalui Rasul-Nya saw.

Kedua, bahwasanya kekuasaan dan kedaulatan hukum

tertinggi di dalamnya adalah sepenuhnya bagi Allah sendiri

sampai suatu batas yang bersesuaian dengan teori teokrasi,

hanya saja cara negara melaksanakan teori ini berbeda dengan

sistem teokrasi yang dikenal. Sebagai ganti keistimewaan

suatu kelas tertentu dari kaum pendeta atau kaum sesepuh dan

lain-lainnya berkenaan dengan perwakilan dari Allah dan

pemusatan segenap kekuasaan al-hal wal-aqd (melepas dan

mengikat) di tangannya,seperti yang dikenal dalam kekuasaan-

kekuasaan teokratis, kita mendapati bahwa khilafah atau

perwakilan dari Allah dalam negara Islam adalah bagian kaum

mukminin semuanya (yaitu mereka yang telah membuat

perjanjian dengan Allah dengan kesadaran yang timbul dari

keinginan mereka untuk patuh dan taat kepada hukum-Nya) 112

dalam batas-batas negara semuanya, dan bahwa kekuasaan-

kekuasaan al-hal wal-aqd yang terakhir di tangan mereka

secara kolektif. 38

Ketiga, sistem ini bersesuaian dengan pokok-pokok

demokrasi tentang ketentuan bahwa terbentuknya

pemerintahan, pergantiannya serta pelaksanaannya haruslah

sesuai dengan pendapat rakyat. Tetapi rakyat dalam sistem ini

tidak terlepaskan kendalinya sama sekali. Sehingga

menjadikan undang-undang negara, pokok-pokok

kehidupannya, garis-garis politik dalam dan luar negerinya

serta seluruh daya dan sumber kekuatannya mengikuti hawa

nafsu atau kecenderungan mereka. Ikut bersama ke mana

mereka pergi, akan tetapi kecenderungan rakyat diatur dan

diluruskan dengan undang-undang Allah dan Rasul-Nya, yaitu

undang-undang dasar yang tertinggi, dan dengan prinsip-

prinsip, batasan-batasan, hukum-hukum dan ikatan-ikatan

akhlaknya.

38 Abul A‟la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 86-87. 113

Maka negara menempuh jalan tertentu yang telah

ditetapkan dan ditak diperbolehkan bagi badan legislatif,

yudikatif, eksekutif atau bahkan rakyat seluruhnya untuk

mengubahnya. Dalam hal ini tentunya dengan pengecualian

apabila rakyat memutuskan untuk melanggar perjanjian

(dengan Allah) dan keluar dari lingkungan iman.

Keempat, negara ini adalah negara yang berdasarkan

konsep-konsep tertentu dan sudah barang tentu dikelola oleh

orang-orang yang benar-benar percaya dan menerima gagasan-

gagasannya, prinsip-prinsip dan teori-teori asasinya. Adapun

orang-orang yang tidka meyakini kebenarannya dan tidak

menerimanya dengan baik, tapi mereka ingin tinggal di dalam

perbatasannya, maka mereka pun memiliki hak-hak yang sama

dengan orang-orang yang meyakini dan menerima prinsip-

prinsip serta gagasan-gagasan negara ini.39

Kelima, negara ini terdiri atas dasar ideologi semata-

mata dan tidak ada dasar ikatan-ikatan warna, ras, bahasa, atau

39 Abul A‟la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 87-88. 114 batas-batas geografis.setiap manusia, di manapun mereka berada di muka bumi ini, dapat menerima prinsip-prinsipnya apabila ia ingin dan menggabungkan diri ke dalam sistemnya, dan memperoleh hak-hak nya sama persis tanpa perbedaan, kefanatikan, atau kekhususan. Dan setiap negara, diseluruh dunia, yang ditegakkan atas dasar prinsip-prinsip ini adalah

“negara Islam”, baik ia berdiri di Afrika, di Amerika, di Eropa, atau di Asia, dijalankan dan dilaksanakan urusan-urusannya oleh orang-orang yang berkulit merah, hitam ataupun kuning.

Tidak ada suatu hambatan apa pun yang menghalanginya untuk menjadi sebuah negara dengan kekhususan ideologis ini, sebagai sebuah negara sesuai dengan hukum-hukum internasional.

Dan apabila di berbagai tempat di atas bumi ini terdapat beberapa negara seperti ini, maka semuanya adalah

“negara Islam” yang dapat saling tolong-menolong dan bantu- membantu di antara mereka, sebagaimana layaknya antara sanak-saudara yang saling mengasihi, tidak bertarung atas dasar nasionalisme ataupun ikatan-ikatan kebangsaan yang 115

beraneka ragam. Dan apabila mereka sama-sama mencapai

persetujuan, mereka pun dapat membentuk perdamaian

internasional dan kesatuan pendapat umum yang bersifat

internasional. 40

Keenam, semangat hakiki yang menjiwai negara ini

ialah mengikuti akhlak, bukannya mengikuti poltik serta

tujuan-tujuannya, serta menjalankan urusan-urusannya

berdasarkan takwa kepada Allah dan takut kepada-Nya. Dasar

keutaman seseorang dalam negara ini adalah keutamaan di

bidang akhlak semata-mata. Urusan-urusan yang paling patut

dipelihara dan paling layak diperhatikan dan diayomi ketika

pemilihan para pemimpin dan orang-orang ahlul-halli wal-

„aqd (yang berhak “melepas dan mengikat”) dalam negara ini

ialah kebersihan akhlak dan kesuciannya disamping

kemampuan intelegensia dan fisik.

Setiap bagian dalam urusan dalam negeri sistem

negara ini haruslah ditegakkan atas dasar amanat, keadilan,

40 Abul A‟la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 88-89. 116 ketulusan dan persamaan, sebagaimanapolitik luar negerinya juga harus ditegakkan atas dasar ketulusan sempurna dan berpegang teguh dengan ucapan-ucapan atau keputusan keputusan yang telah dibuat, dan mengusahakan adanya perdamaian dan keadilan internasional serta perilaku yang sebaik-baiknya.

Ketujuh, negara ini tugasnya bukanlah melaksankan kewajiban-kewajiban kepolisian semata-mata sehingga menjadikan fungsinya hanya menangkap, menahan, menetapkan peraturan-peraturan serta menjaga batas-batas negara semata-mata, tapi ia adalah negara yang memiliki sasaran dan tujuan di mana kewajibannya yang terpenting ialah menyerukan perbuatan kebaikan, melaksankan keadilan sosial, menyuburkan kebajikan, mencegah kemungkaran dan memberantas kejahatanserta segala bentuk pengrusakan.

Kedelapan, nilai-nilai asasi negara ini ialah persamaan hak, kedudukan kesempatan serta pelaksanaan undang- undang, saling tolong menolong, dalam kebaikan dan ketakwaan dan tidak saling tolong menolong dalam dosa dan 117

pelanggaran, kesadaran dalam tanggung jawab di hadapan

Allah, kesesuaian antara individu dan masyarakat serta negara

dalam sasaran yang satu, dan tidak mebiarkan salah seorang

anggota rakyat negara ini tidak terpenuhi kebutuhan-

kebutuhan asasinya atau keperluan-keperluan hidupnya yang

esensial.41

Kesembilan, telah ditetapkan adanya hubungan

keseimbangan antara individu dan negara dalam sistem ini,

sehingga tidak menjadikan negara sebagai penguasa mutlak

yang dapat berbuat apa saja, atau menjadikan dirinya sebagai

majikan yang memiliki kekuasaan tanpa batas dan

kewenangan yang meliputi segalanya, sehingga menjadikan

rakyat sebagai hamba yang dimilikinya, tanpa daya da

kekuatan, tetapi ia juga tidak memberikan kemerdekaan

mutlak tanpa batas kepada individu dan membiarkannya

berbuat apa saja, sehingga mnjadikan nya sebagai musuh bagi

dirinya sendiri dan bagi kepentingan masyarakat.

41 Abul A‟la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 89-90. 118

Tapi ia memberikan kepada setiap individu, hak-hak

mereka yang asasi dan kewajiban kepada pemerintah untuk

mengikuti undang-undang tertinggi dan berpegang teguh

kepada permusyawaratan, serta menyiapkan kesempatan-

kesempatan yang sempurna untuk mendidik dan membina

kepribadian individu dan menjaganya dari campur tangan

kekuasaan tanpa alasan, dalam satu segi, dan dalam segi yang

lain, ia mengikat orang perorang dengan ikatan-ikatan akhlak

dan mewajibkan atas dirinya ketaatan kepada pemerintah yang

berjalan sesuai dengan undang-undang Allah dan syari‟at-Nya,

dan bekerjasama dengannya dalam kebaikan dan kebajikan

dan melarangnya menyebabkan kerusakan dalam tatanannya

atau menyebarkan kekacauan di seluruh negeri, atau enggan

berkorban dengan jiwa dan harta demi menjaga dan

mempertahankannya.42

42 Abul A‟la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 90-91. 119

17. Hak Politik Non Muslim

Masalah hak-hak non Muslim di suatu negara Islam

menjadi salah satu masalah yang panas sejak Pakistan

terbentuk. Pada tahun 1948, Dewan Konstituante

mengeluarkan suatu daftar pertanyaan untuk meyakini

pandangan para ahli maupun masyarakat luas mengenai

kedudukan minoritas di Pakistan. Maududi membahas masalah

ini ditinjau dari sudut pandang Islam dalam artikel yang

dimuat di Tarjuman al-Qur‟an terbitan Agustus 1948.43

Sepanjang kita membahas hak-hak yang harus

diberikan kepada kaum dzimmiy oleh suatu negara Islam, hak-

hak ini telah digariskan oleh syari’ah Islam, kaum muslim

tidak berhak untuk merampas hak-hak tersebut sama sekali.

Tetapi mereka diperkenankan untuk memberi kaum dzimmiy

hak-hak lain dan hak-hak istimewa sepanjang hak-hak ini

tidak bertentangan dengan perintah syari’ah. 44

43 Khursid Ahmad (ed.), Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam (Bandung: Mizan, 1990), hlm. 297 44 Abul A‟la Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, terj. Asep Hikmat (Bandung: Mizan, 1990), hlm. 318. 120

Pertama, mengenai pemilihan. Pemerintahan Islam tidak diperkenankan menggunakan cara-cara yang tidak sesuai dengan ajaran Islam sebagaimana yang kini banyak digunakan oleh negara-negara kebangsaan sekuler dalam kaitannya dengan hak-hak minoritas bangsa. Kepala negara Islam terikat hukum untuk melaksanakan pemerintahan negara selaras dengan prinsip-prinsip Islam, dan fungsi utama Syura (Dewan

Legislatif) adalah untuk membantu Kepala Negara dalam melaksanakan tugas ini. Dengan demikian, jelaslah bahwa siapapun yang tidak mengakui ideologi Islam sebagai pedomannya, tidak akan dapat menjadi Kepala Negara Islam maupun anggota Majelis Permusyawaratan.45

Tetapi untuk parlemen maupun lembaga legislatif dengan konsepsi modern, yang sangat berbeda dari syura dalam pengertian tradisionalnya, aturan ini dapat diperlonggar untuk memperkenankan seorang non Muslim menjadi anggotanya sepanjang di dalam konstitusi sepenuhnya ada jaminan bahwa:

45Ibid, hlm. 318-319. 121

1. Parlemen atau lembaga legislatif tidak berwenang untuk

memberlakukan undang-undang manapun yang berten-

tangan dengan Al-Quran dan Al- Sunnah.

2. Al-Quran dan Al-Sunnah akan menjadi sumber dari segala

sumber hukum.

3. Kepala Negara atau pejabat-pejabat dibawahnya haruslah

seorang Muslim.

Kalau pasal-pasal ini terjamin pencantumannya, ruang

lingkup pengaruh minoritas non Muslim akan dibatasi hanya

kepada masalah-masalah umum negara atau demi

kepentingan-kepentingan minoritasnya sendiri dan para

partisipannya tidak akan merusak syarat-syarat fundamental

Islam.46

Ada kemungkinan memberi peluang untuk

membentuk Dewan Perwakilan tersendiri bagi semua

kelompok minoritas yang kedudukannya setara dengan Agen

Pusat yang akan menampung serta menyalurkan semua

tuntutan kelompok itu kepada parlemen. Keanggotaan serta

hak-hak suara Dewan semacam ini akan terbatas pada kaum

46 Ibid, hlm. 319. 122 non Muslim dan mereka akan diberi kemerdekaan sepenuhnya dalam batas-batas tersebut. Yaitu: 47 a. Non Muslim boleh menggunakan hak untuk mengajukan

usul sehubungan dengan Hukum Pribadi (Personal Law)

mereka dan berbagai amandemen terhadapnya. Semua usul

dan amandemen ini dapat ditempatkan dalam Kitab

Undang-Undang Dasar setelah disetujui Kepala Negara. b. Non Muslim boleh menyelenggarakan perwakilan,

mengajukan keberatan, sarandan sebagainya sehubungan

dengan pemerintahan umum dari pihak pemerintah dan

keputusan dari parlemen. Pemerintah Islam wajib

mempertimbangkannya dengan simpatik dan adil. c. Non Muslim akan diperkenankan untuk mengajukan

pertanyaan-pertanyaan baik mengenai masalah-masalah

yang menyangkut kelompok mereka sendiri maupun

masalah-masalah yang menyangkut negara secara

keseluruhan. Wakil pemerintah harus selalu hadir untuk

memberikan jawaban-jawaban atas pertanyaan tersebut.48

47 Ibid. 48 Ibid, hlm. 319-320. BAB IV

PEMIKIRAN ABU AL-A’LA AL-MAUDUDI TENTANG

HAK-HAK POLITIK NON MUSLIM

A. Hak Politik Non Muslim Menurut Abu Al-A’la Al-Maududi

Masalah hak-hak non Muslim di suatu negara Islam

menjadi salah satu masalah yang panas sejak Pakistan terbentuk.

Pada tahun 1948, Dewan Konstituante mengeluarkan suatu

daftar pertanyaan untuk meyakini pandangan para ahli maupun

masyarakat luas mengenai kedudukan minoritas di Pakistan.

Maududi membahas masalah ini ditinjau dari sudut pandang

Islam dalam artikel yang dimuat di Tarjuman al-Qur‟an terbitan

Agustus 1948.1

Sepanjang kita membahas hak-hak yang harus diberikan

kepada kaum dzimmiy oleh suatu negara Islam, hak-hak ini telah

digariskan oleh syari’ah Islam, kaum muslim tidak berhak untuk

merampas hak-hak tersebut sama sekali. Tetapi mereka

diperkenankan untuk memberi kaum dzimmiy hak-hak lain dan

1 Khursid Ahmad (ed.), Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam (Bandung: Mizan, 1990), hlm. 297 123 124 hak-hak istimewa sepanjang hak-hak ini tidak bertentangan dengan perintah syari’ah. 2

Hak tambahan yang diberikan kepada rakyat non Muslim:

1. Perwakilan Politik

Pertama, mengenai pemilihan. Pemerintahan Islam tidak

diperkenankan menggunakan cara-cara yang tidak sesuai

dengan ajaran Islam sebagaimana yang kini banyak

digunakan oleh negara-negara kebangsaan sekuler dalam

kaitannya dengan hak-hak minoritas bangsa. Kepala negara

Islam terikat hukum untuk melaksanakan pemerintahan

negara selaras dengan prinsip-prinsip Islam, dan fungsi utama

Syura (Dewan Legislatif) adalah untuk membantu Kepala

Negara dalam melaksanakan tugas ini.

Maududi menyimpulkan, “...It is thus obvious that those

who do not accept the ideology of Islam as their guiding light

cannot become the Head of the Islamic State or the members

2 Abul A‟la Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, terj. Asep Hikmat (Bandung: Mizan, 1990), hlm. 318. 125

of the Shura (Council)”.3 “...Dengan demikian, jelaslah

bahwa siapapun yang tidak mengakui ideologi Islam sebagai

pedomannya, tidak akan dapat menjadi Kepala Negara Islam

maupun anggota Majelis Permusyawaratan.”4

Tetapi untuk parlemen maupun lembaga legislatif dengan

konsepsi modern, yang sangat berbeda dari syura dalam

pengertian tradisionalnya, aturan ini dapat diperlonggar untuk

memperkenankan seorang non Muslim menjadi anggotanya

sepanjang di dalam konstitusi sepenuhnya ada jaminan

bahwa:

1. Parlemen atau lembaga legislatif tidak berwenang untuk

memberlakukan undang-undang manapun yang

bertentangan dengan Al-Quran dan Al- Sunnah.

2. Al-Quran dan Al-Sunnah akan menjadi sumber dari

segala sumber hukum.

3. Kepala Negara atau pejabat-pejabat dibawahnya haruslah

seorang Muslim.

3 Abul A‟la Maududi, The Islamic Law and Constitution (Pakistan: Islamic Publications Limited, 1977), hlm.282. 4Op Cit, hlm. 318-319. 126

Kalau pasal-pasal ini terjamin pencantumannya, ruang

lingkup pengaruh minoritas non Muslim akan dibatasi hanya

kepada masalah-masalah umum negara atau demi

kepentingan-kepentingan minoritasnya sendiri dan para

partisipannya tidak akan merusak syarat-syarat fundamental

Islam.5

Ada kemungkinan memberi peluang untuk membentuk

Dewan Perwakilan tersendiri bagi semua kelompok

minoritas yang kedudukannya setara dengan Agen Pusat

yang akan menampung serta menyalurkan semua tuntutan

kelompok itu kepada parlemen. Keanggotaan serta hak-hak

suara Dewan semacam ini akan terbatas pada kaum non

Muslim dan mereka akan diberi kemerdekaan sepenuhnya

dalam batas-batas tersebut, yaitu: 6

a. Non Muslim boleh menggunakan hak untuk mengajukan

usul sehubungan dengan Hukum Pribadi ( Personal Law)

mereka dan berbagai amandemen terhadapnya. Semua

5 Abul A‟la Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, terj. Asep Hikmat (Bandung: Mizan, 1990), hlm. 319. 6 Ibid. 127

usul dan amandemen ini dapat ditempatkan dalam Kitab

Undang-Undang Dasar setelah disetujui Kepala Negara. b. Non Muslim boleh menyelenggarakan perwakilan,

mengajukan keberatan, saran dan sebagainya sehubungan

dengan pemerintahan umum dari pihak pemerintah dan

keputusan dari parlemen. Pemerintah Islam wajib

mempertimbangkannya dengan simpatik dan adil. c. Non Muslim akan diperkenankan untuk mengajukan

pertanyaan-pertanyaan baik mengenai masalah-masalah

yang menyangkut kelompok mereka sendiri maupun

masalah-masalah yang menyangkut negara secara

keseluruhan. Wakil pemerintah harus selalu hadir untuk

memberikan jawaban-jawaban atas pertanyaan tersebut.7

Tentang hak memilih dan hak dipilih menjadi anggota dewan parlemen, Abu al-Ala al-Maududi berkata bahwa sesungguhnya pemimpin pemerintahan dalam Islam tugasnya adalah mengatur perkara-perkara negara sesuai asas-asas Islam, dan tidak ada tugas lain untuk dewan

7 Ibid, hlm. 319-320. 128

permusyawaratan atau dewan parlementer kecuali membantu

pemimpin pemerintahan melaksanakan sistem fundamental

ini.8

Oleh karena itu, orang-orang yang tidak percaya atau

tidak mengimani asas-asas Islam tidak ada hak bagi mereka

untuk menduduki jabatan kepemimpinan pemerintahan atau

anggota parlemen. Sebagaimana mereka juga tidak sah ikut

serta dalam memilih orang-orang yang menduduki jabatan-

jabatan itu seperti para pemilih lainnya.9

Boleh memberikan kepada non Muslim hak menjadi

anggota dan hak memberikan suara pada dewan parlemen

daerah, sebab dewan ini tidak membahas masalah-masalah

yang berhubungan dengan sistem kehidupan, namun tugas

dewan ini adalah mengatur perkara-perkara untuk

mewujudkan keperluan-keperluan primer daerah.10

8 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam (Jakarta: Amzah, 2005),hlm. 168. 9 Ibid. 10 Ibid. 129

Al-Maududi menyandarkan pendapatnya ini pada dua dalil, salah satunya dari Al-Quran dan satunya lagi dari kejadian-kejadian historis.

       

         

          

         

          “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi]. dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, Maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, Maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada Perjanjian antara kamu dengan mereka. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al- Anfȃl (8): 72).

[624] Yang dimaksud lindung melindungi Ialah: di antara muhajirin dan anshar terjalin persaudaraan yang Amat 130

teguh, untuk membentuk masyarakat yang baik. demikian

keteguhan dan keakraban persaudaraan mereka itu, sehingga

pada pemulaan Islam mereka waris-mewarisi seakan-akan

mereka bersaudara kandung.11

Dengan merujuk pada makna ayat ini dan konteks

yang ada, Farid Abdul Khaliq menemukan bahwa hak-hak

itu diberikan kepada empat golongan sesuai kelebihan, yang

diantara empat golongan itu adalah kaum mukminin di masa

Rasulullah saw. Kata Al-Wilayȃh dalam ayat ini adalah

kewajiban menolong dan kewajiban moral antara kaum

mukminin.

Namun, Farid Abdul Khaliq tidak melihat dalam

makna ayat ini, sesuatu yang dapat dijadikan sebagai dalil

atas pendapat yang dipegangi oleh Abu al-A‟la al-Maududi,

bahwa orang kafir dzimmȋ tidak dapat menikmati hak

memilih dan dipilih.

Kejadian-kejadian historis, dan khususnya apa yang

sudah dilakukan di masa awal-awal Islam. Sesungguhnya

11 Ibid, hlm. 168. 131

Farid Abdul Khaliq tidak menemukan di masa kenabian juga tidak menemukan dimasa khalifah yang empat, satu contoh yang menunjukkan bahwa seseorang ahli dzimmah diangkat sebagai anggota dewan permusyawaratan atau memegang satu jabatan hukum di daerah-daerah negara Islam, ataupun menjadi hakim dan menjadi wakil rakyat dari salah satu daerahnya, atau menjadi pengawas dan komandan militer.

Atau memberinya hak untuk memilih khalifah, padahal tidak mungkin satu massa hingga pada massa Rasulullah sekalipun, sepi dari ahli dzimmah.12

Jika partisipasi mereka dalam perkara-perkara ini adalah hak mereka, pasti Rasulullah saw. Tidak akan menghalangi hak-hak ini sedikitpun, dan pasti para pengikut- pengikut beliau dan sahabat-sahabatnya yang terdidik dalam pengawasan mata beliau tidak akan tinggal diam untuk menunaikannya, hingga waktu berlalu tiga puluh tahun.

Farid Abdul Khaliq melihat bahwa beralih dengan kejadian-kejadian historis yang disebutkannya, tertolak

12 Ibid, hlm. 168-169. 132

karena beberapa sebab. Pertama, karena kejadian-kejadian

historis itu mengandung percampuran antara apa yang

disepakati jumhur seperti yang berhubungan dengan jabatan

pemimpin tinggi negara Islam, jabatan perdana menteri dan

jabatan gubernur, sebab jabatan-jabatan ini mengharuskan

orang yang mendudukinya menguasai hukum-hukum Islam

dan tujuan-tujuan syariat dan antara apa yang diperdebatkan

dan menjadi bahan kajian seperti hak memilih dan dipilih

menjadi anggota dewan.13

Kedua, kejadian-kejadian historis itu tidak termasuk

dalam bab agama, namun itu semua termasuk dalam bab

mu’amalat, adat kebiasaan, dan politik bukan akidah dan

ibadah. Dasar pada pertama (mu’amalat, adat istiadat, dan

politik) adalah justifikasi, qiyas dan mempertimbangkan

makna, bukan terpaku pada naskh. Lain halnya dengan

ibadah, sebab dasarnya adalah penyembahan dan komitmen

dengan naskh, bukan mempertimbangkan makna.

13 Ibid, hlm. 169. 133

Ketiga, referensi dalam kejadian-kejadian historis ini dan seumpamanya adalah kitabullah dan sunah Rasul-Nya, bukan pendapat para fukaha. Keempat, masa historis yang dijadikan hujjah dengan kejadian-kejadian yang terjadi dimasa historis tersebut mempunyai situasi dan kondisi khusus di satu sisi, dan di sisi lain mempertimbangkan kemaslahatan, di mana dalam tema yang disebutkan dari kejadian-kejadian itu tidak ada naskh yang pasti dari Al-

Quran atau sunah.

Kelima, kejadian historis itu adalah kejadian yang terjadi di suatu masa tertentu dan terbatas dari sejarah panjang kaum muslimin, lebih dari 14 abad silam.

Keenam,tidak benarnya pengiyasan masa sekarang dengan masa lalu, dari pemikiran perwakilan dan majelis permusyawaratan, sebab pemikiran ini merupakan hal-hal baru dalam sejarah pemikiran politik Islam yang perlu dikaji lagi dalam fikih baru dan ijtihad yang benar.14

14Ibid, hlm. 169-170. 134

2. Kebebasan Mengemukakan Pendapat

Dalam Negara Islam semua non Muslim akan memiliki

kebebasan yang sama untuk menganut keyakinan, pandangan,

mencurahkan pendapat (melalui kata-kata tertulis maupun tidak

tertulis), serta berserikat dan berkumpul sebagaimana yang

dimiliki oleh kaum Muslim sendiri, yang tunduk pada batasan-

batasan yang diterapkan oleh hukum terhadap kaum Muslim.

Diantara pembatasan-pembatasan tersebut, mereka akan diberi

hak untuk mengkritik pemerintah dan para pejabatnya, termasuk

Kepala Negara.15

Mereka juga akan menikmati hak yang sama untuk

mengkritik Islam sebagaimana kaum Muslim berhak untuk

mengkritik agama mereka. dengan demikian, mereka kan diberi

hak sepenuhnya untuk mempropogandakan kebaikan-kebaikan

agama mereka, dan jika seorang non Muslim menang atas

keyakinan non Muslim lainnya, maka tidak akan ada keberatan

mengenai hal itu. Mengenai kaum Muslim, tidak ada tidak ada

15 Abul A‟la Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, terj. Asep Hikmat (Bandung: Mizan, 1990), hlm. 320.

135

seorang pun diantara mereka yang diperkenankan untuk

mengubah iman. Jika ada seorang Muslim yang cenderung akan

melakukannya, maka hanya dialah yang akan dimintai

pertanggungjawabannya atas tindakannnya itu dan bukan

individu atau organisasi non Muslim yang kemungkinan

mempengaruhi orang ini untuk mengubah keimanannya.16

Kaum dzimmiy tidak akan pernah dipaksa untuk

menganut suatu keyakinan yang bertentangan dengan kesadaran

mereka, dan adalah hak merekalah untuk menolak bertindak

bertentangan dengan kesadaran atau keimanan mereka,

sepanjang mereka tidak melanggar konstitusi.17

3. Pendidikan

Sewajarnya jika mereka melaksanakan sistem pendidikan

yang sama dengan sistem pendidikan yang diselenggarakan oleh

pemerintah di seluruh negeri. Tetapi mengenai pendidikan

agama, mereka tidak akan dipaksa untuk mempelajari Islam,

justru sebaliknya mereka akan diberi hak penuh untuk

16 Ibid, hlm. 320. 17 Ibid, hlm. 320-321. 136

menyebarkan ilmu pengetahuan berlandaskan agama mereka

sendiri kepadaanak-anak mereka di sekolah-sekolah mereka

sendiri atau bahkan di Universitas atau Akademi Nasional.18

4. Jabatan pemerintah

Kecuali sedikit jabatan-jabatan kunci, semua jabatan

lainnya akan terbuka bagi mereka tanpa prasangka apa pun.

Kriteria kecakapan, baik untuk kaum Muslim maupun non

Muslim akan sama, dan orang yang paling cakaplah yang akan

dipilih tanpa diskriminasi apa pun.19

Lembaga ahli akan dapat dengan mudah membuat daftar

posisi-posisi yang penting di atas. Sebagai prinsip umum, kita

hanya dapat menyarankan agar semua jabatan yang berkaitan

dengan perumusan kebijaksanaan-kebijaksanaan negara dan

pengendalian atas semua departemen yang penting harus

diperlakukan sebagai posisi-posisi penting. Di setiap negara

ideologis, pos-pos semacam ini pastilah akan diberikan hanya

kepada orang-orang yang memiliki kepercayaan sepenuhnya

18 Ibid. 19 Ibid, hlm. 321. 137

kepada ideologinya dan yang mampu menyelenggarakannya

sesuai dengan isi dan jiwa ideologi itu sendiri. Kecuali posisi-

posisi kunci tersebut, semua pos lainnya terbuka bagi kaum

dzimmy. Umpamanya, tidak akan ada yang keberatan jika dari

mereka ada yang terpilih sebagai Direktur Jenderal Akuntansi,

Insinyur Kepala atau Kepala BPK dari suatu Negara Islam.20

Demikian pula halnya dengan angkatan bersenjata. Hanya

jabatan-jabatan yang berkaitan dengan peperangan yang dapat

diperlakukan sebagai posisi-posisi kunci, sementara penunjukan-

penunjukan lainnya yang tidak langsung berkaitan dengan tindak

peperangan dapat ditawarkan kepada kaum dzimmiy.21

5. Perdagangan dan profesi

Dalam suatu negara Islam, pintu-pintu industri, pertanian, perdagangan dan semua profesi lainnya terbuka bagi setiap warga negara, dan kaum Muslim tidak memiliki hak istimewa tertentu atas kaum non Muslim dalam kaitan ini, dan juga tidak akan ada seorang non Muslim pun yang dapat dihambat untuk itu karena

20 Ibid. 21 Ibid. 138 harus memberi prioritas kepada Muslim. Setiap warga negara

Muslim atau non Muslim, menikmati hak yang sama di sektor perekonomian.22

B. Keterkaitan Pemikiran Abu Al-A’la Al-Maududi dengan

Realita Politik di Indonesia.

Dalam menganalisa keterkaitan pemikiran Abu Al-A‟la Al-

Maududi dengan Realita Politik di Indonesia akan penulis mulai dari pendapat KH. Salahuddin Wahid bahwa UUD RI tidak melarang non Muslim menjadi kepala negara. Pada penyusunan

UUD menjelang kemerdekaan, sudah terjadi perbedaan pandangan yang tajam antara golongan (nasionalis) Islam dengan golongan nasionalis (sekuler). Para wakil golongan Islam menghendaki Islam sebagai dasar negara dan golongan nasionalis sekuler menghendaki Pancasila sebagai dasar negara. komprominya adalah Piagam Jakarta yang dilahirkan pada 22

Juni 1945 karena Bung Hatta menyatakan ada penolakan keras yang bersifat harga mati dari sejumlah pemuda Indonesia Timur, parawakil golongan Islam menyetujui pencoretan tujuh kata

22 Ibid, hlm. 321-322. 139

Piagam Jakarta: “dengan kewajiban menjalankan syari‟at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.23

Sejalan dengan keinginan memakai Islam sebagai dasar negara, para wakil golongan Islam juga menghendaki adanya ketentuan bahwa Presiden Republik Indonesia haruslah seorang yang beragama Islam. Setelah melalui perdebatan panjang, maka disepakati bahwa setiap warga negara yang memenuhi teknis, apapun agamanya dan apapun sukunya dapat menjadi presiden.24

Pada naskah asli UUD 1945 ada ketentuan bahwa hanya orang Indonesia asli yang bisa menjadi Presiden RI. Cukup lama menjadi perdebatan apakah pengertian Indonesia asli itu. Apakah keturunan Tionghoa atau keturunan Arab tiak bisa menjadi

Presiden RI. Pernah ada penjelasan bahwa pengertian Indonesia asli adalah warga “inlander”. Syukur amandemen UUD 1945 tidak mencantumkan lagi “Indonesia asli”, karena sulit dibantah bahwa sedikit banyak istilah itu bersifat diskriminatif.

23 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim: Tinjauan dari Perspektif Politik Islam dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia (Jakarta: PT Pustaka Sinar Harapan, 2006), hlm. vii-viii. 24 Ibid, hlm. viii 140

Dalam pasal 6 ayat (1) UUD kita dicantumkan tiga syarat

calon Presiden RI yaitu:

1. Harus warga negara RI sejak kelahirannya dan tidak pernah

menerima kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri.

2. Tiak pernah mengkhianati negara.

3. Mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas

sebagai presiden.

Jadi menurut UUD kita, tidak ada larangan apapun bagi

seorang warga negara Republik Indonesia, apapun agamanya,

apapun sukunya, apapun etnisnya, untuk menjadi Presiden RI.25

Akan tetapi realita yang terjadi di Indonesia rakyat

Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam belum

bisa menerima kepala negara atau pemimpin non Muslim. Hal ini

dapat dilihat pada peristiwa:

1. Pengalaman 1988

Berdasar UUD yang sudah jelas tidak ada larangan

apapun bagi seorang non Muslim untuk menjadi presiden RI.

Tetapi apakah secara realitas politik seorang non Muslim betul-

25 Ibid. 141 betul bisa menjadi pengalaman kita di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.26

Pengalaman pertama ialah tahun 1988 saat ada isyu munculnya nama Jenderal LB Moerdani akan menjadi calon wakil presiden mendampingi pak Harto. Gus Dur membuat isyu itu menjadi panas saat menjawab pertanyaan pada suatu seminar yang diadakan di Australia. Pertanyaannya ialah “Apakah seorang non Muslim bisa menjadi presiden di Indonesia dan siapa kira- kira calon pemimpin masa depan yang paling pas untuk memimpin Indonesia?” Gus Dur menyatakan bahwa menurut konstitusi Indonesia, ya bisa-bisa saja non Muslim menjadi presiden di Indonesia dan salah satu yang paling pas menjadi pemimpin masa depan Indonesia ialah Benny Moerdani.27

Langsung muncul reaksi keras terhadap pernyataan Gus

Dur itu dari para tokoh Islam. Tetapi sebagian pihak menganggap jawaban itu normatif karena memang UUD tidak melarang Benny

Moerdani menjadi presiden. Gus Dur menjawab bahwa Benny

26 Ibid, hlm. Ix. 27 Ibid. 142 salah satu potensi. Itu adalah jawaban khas Gus Dur. Kalau dia menjawab ada nama lain di sampin Benny Moerdani mungkin reaksinya tidak terlalu keras. Tetapi kita tahu bahwa pernyataan

Gus Dur sering mempunyai tujuan lain. Dalam kaitan masalah ini, menurut sebagian orang tujuannyaadalah meretakkan hubungan

Pak Harto dengan Benny Moerdani.28

Menjelang pemilihan Presiden RI tahun 1993 dikisahkan bahwa dalam diskusi khusus dengan seorang diplomat Amerika

Serikat, Nurcholish Madjid ditanya “Bagaimana jika Benny

Moerdani menjadi presiden RI yang akan datang?” Cak Nur menjawab: “Umat Islam tidak akan menerima”. Diplomat AS itu bertanya lagi, “Apakah Abdurrahman Wahid dapat menerimanya?”. Jawab Cak Nur: “Kalaupun Abdurrahman

Wahid dapat menerimanya, kiai-kiai NU tidak dapat menerimanya.”29

Secara implisit jawaban Cak Nur itu menunjukkan bahwa

Cak Nur tidak setuju Benny Moerdani menjadi wakil presiden.

28 Ibid. 29 Ibid, hlm. Ix-x. 143

Tidak jelas apakah Cak Nur tidak setuju Benny Moerdani menjadi wakil presiden atau juga tidak setuju non Muslim, atau siapapun orangnya, menjadi wakil presiden.30

Sejarah menunjukkan bahwa peluang kecil pada tahun

1988 untuk bisa memunculkan seorang non Muslim menjadi wapres tidak dapat dimanfaatkan. Saat itu boleh dibilang penolakan terhadap Benny Moerdani atau non Muslim siapapun untuk menjadi wakil presiden amat kuat. Hal itu tidak lepas dari persepsi umat Islam bahwa sebagai mayoritas dalam jumlah, umat

Islam mengalami diskriminatif dan marginalisasi oleh pemerintah sejak pemilu1971.31

2. Pengalaman 2016

Aksi yang dikenal dengan Bela Islam 212 menjadi

polemik bahwa aksi tersebut berkaitan dengan momentum

Pilkada di DKI Jakarta, dan karenanya tuntutan untuk

memenjarakan Ahok dengan pasal penistaan agama

meurupakan agenda politik yang sejak awal sudah dirancang

30 Ibid. 31 Ibid. 144

dalam aksi tersebut oleh inisiator dan penggeraknya (GNPF-

MUI). 32

Polemik tersebut bukan hanya menjadi perhatian nasional

bahkan juga internasional, khususnya dalam mencermati

polarisasi yang terjadi sebagai dampak aksi tersebut dimana

kampanye-kampanye media sosial yang muncul telah

mempolarisasi bukan hanya „voters‟ atau pemilih di Jakarta,

melainkan juga mobilisasi dukungan yang berbasis pada

politisasi identitas. Apa yang ditunjukkan oleh Aksi Bela

Islam khususnya dalam Aksi 212 adalah suatu kemampuan

untuk memobilisasi sentimen „agama secara efektif tetapi

dapat berdampak pada munculnya benih-benih kebencian yang

mengatasnamakan agama dan rentan untuk di fabrikasi sebagai

kepentingan politik. 33

Bergabungnya beberapa komunitas Muslim di dalam

Aksi Bela Islam khususnya pada saat aksi 212 menunjukkan

32 Arie Setyaningrum Pamungkas dan Gita Oktaviani, “Aksi Bela Islam dan Ruang Publik Muslim: dari Representasi Daring ke Komunitas Luring”, Jurnal Pemikiran Sosiologi, vol.4, no.2, Agustus 2017, hlm. 79. 33 Ibid, hlm. 80. 145 keragaman ideologi keislaman beberapa komunitas dan organisasi-organisasi Islam yang bergabung di dalamnya.

Meskipun secara resmi organisasi Islam terbesar di Indonesia seperti NU dan Muhammadiyah tidak memberikan pernyataan resmi yang mendukung aksi tersebut, tetapi beberapa dukungan juga ditunjukkan oleh beberapa komunitas di dalam

NU maupun Muhammadiyah khususnya pada Aksi 212.

Secara Ideologis, wacana „Aksi Bela Islam‟ sepertinya sulit untuk mendapatkan kondolidasi secara tetap dan kontinu sebagai suatu alasan untuk membangun gerakan sosial yang berdampak pada revolusi politik.34

Meski demikian, wacana „Aksi Bela Islam‟ sebagai bagian dari strategi dakwah melalui politik keshalehan (politik of piety) tetap berlanjut di dalam komunitas-komunitas yang bahkan beberapa anggotanya mendapatkan pengetahuan hanya di dalam komunitas saja, dengan kata lain memiliki akses terbatas pada internet dan juga media sosial. 35

34 Ibid, hlm. 86. 35 Ibid. 146

Peranan media sosial di dalam memobilisasi dukungan

untuk Aksi Bela Islam telah memunculkan suatu potensi

ancaman bagi tradisi demokrasi di Indonesia yakni

kemunculan nasionalisme yang berbasis pada tribalisme (tribal

nationalism), dimana nasionalisme diterjemahkan secara

„sempit‟ menjadi nasionalisme yang didasari oleh pemusatan

identitas etnis dan keagamaan khususnya oleh kelompok

mayoritas yang mengabaikan aspek-aspek keragaman dan

multikulturalisme di dalam entitas sosial masyarakat di

Indonesia sendiri. 36

Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat luas

di Indonesia, khususnya jika kita menilik bahwa „keragaman‟

juga terdapat di kalangan kaum Muslim di Indonesia dan

potensi politik identitas dengan menggunakan sentimen

keagamaan menjadi sangat rapuh dan dapat menimbulkan

kerentanan dan perpecahan bukan hanya di kalangan umat

36 Ibid. 147

Muslim sendiri,melainkan juga bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan.37

Selain dari pengalaman-pengalaman diatas, banyak tokoh-tokoh intelektual Indonesia yang melarang non Muslim menjadi Kepala Negara, diantaranya:

Said Aqiel Siradj dan Didin Hafidhuddin. Kedua tokoh ini berargumentasi non Muslim tidak bisa menjadi presiden di negara RI yang berpenduduk mayoritas Muslim karena bila merujuk kepada konvensi ketatanegaraan selama 50 tahun lebih, presiden Indonesia itu adalah pemeluk agama Islam.

Menurut kedua tokoh ini, terlepas dari bagaimana ketakwaannya, tidak dapat dibantah selama ini jabatan presiden RI selalu dipangku seseorang yang beragama Islam.

Berdasarkan realitas historis ini, kata kedua tokoh tersebut bisa dianggap sebagai sebuah konvensi, jabatan presiden RI hanya boleh dipangku seseorang yang beragama Islam. Persoalan apakah konvensi ini diterima atau tidak oleh seluruh rakyat

37 Ibid. 148

Indonesia, menurut Yusril Ihza Mahendra, kita serahkan saja

kepada sejarah.38

Menurut Yusril Ihza Mahendra, saat ini secara tidak ada

kemestian bahwa presiden Indonesia harus beragama Islam.

Secara historis, kata Yusril, syarat tersebut memang pernah

ada dalam Piagam Jakarta. Akan tetapi, saat ini dalam UUD

1945 tidak ada ketentuan presiden RI harus beragama Islam.

Kendatipun demikian bila orang Islam bila orang Islam punya

aspirasi bahwa yang menjadi presiden harus orang Islam,

maka hal itu merupakan sesuatu yang wajar saja.39

Menurut Didin Hafidhuddin ada argumentasi teologis,

sosiologis, dan psikologis yang mendasari megapa non

Muslim tidak dapat menjadi presiden RI. Secara teologis, umat

Islam Indonesia terikat dengan ajaran agamanya yang

mewajibkan mereka memilih pemimpin yang seagama dengan

38 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim: Tinjauan dari Perspektif Politik Islam dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia (Jakarta: PT Pustaka Sinar Harapan, 2006), hlm. 204-205. 39 Ibid, hlm.206. 149 mereka. untuk mendukung pendapat ini, Didin memajukan dua ayat Al-Qur‟an sebagai berikut:40

 .      

.          

          

  “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. Al-Nisa(4): 59).

Kata “ulil amri” yang termaktub pada ayat diatas , menurut Didin berarti “para pemimpin”. Sedangkan kata

“minkum” yang disebut pada akhir ayat di atas berarti

“minalladzina amanu”, yang berarti dari kalangan orang-orang yang beriman, yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Berdasarkan interpretasi ayat 59 surat al-Nisa tersebut,

40 Ibid, hlm. 213. 150

menurut didin yang wajib dipilih sebagai pemimpin kaum

Mu‟min itu haruslah orang-orang yang Mu‟min juga, bukan

orang-orang non Mu‟min yang berbeda keyakinan dan

akidahnya.41

Kedua, firman Allah SWT:

.        

     “Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan(250: 74).

Pada bagian akhir ayat 74 surat al-Furqan tersebut,

menurut Didin terdapat perohonan orang-orang beriman agar

mereka dijadikan Allah sebagai pemimpin-pemimpin yang

bertakwa. Ini jelas menunjukkan bahwa tidak boleh menjadi

pemimpin orang-orang yang bertakwa, kecuali orang-orang

yang bertakwa juga, dan tidak boleh menjadi pemimpin umat

Muslim kecuali orang Muslim juga.42

41 Ibid. 42 Ibid, hlm. 214. 151

Secara sosiologis, menurut Didin seorang non Muslim sulit menjadi presiden RI karena sudah pasti umat Islam

Indonesia yang merupakan warga mayoritas akan lebih menginginkan dipimpin oleh seseorang yang juga beragama

Islam yang diduga kuat lebih dapat merespon secara positif aspirasi yang datang dari kalangan umat Islam. Secara psikologis atau kejiwaan, umat Islam Indonesia juga sudah dapat dipastikan akan lebih mendukung presiden yang beragama Islam, sebab antara keduanya terdapat ikatan emosional yang sangat kuat. Selain itu, sulit juga dihindari munculnya sikap subyektivitas dari umat Islam Indonesia bahwa non Muslim bila dipilih menjadi presiden RI, akan dapat mempengaruhi mereka untuk meninggalkan akidah

Islamiyyah yang selama ini mereka anut. 43

Karena itu, secara logika pun tegas Didin sulit diterima bila negara RI yang mayoritas Muslim ini dipimpin seprang presiden non Muslim. Selama umat Islam di Indonesia berpegang teguh kepada argumentasi teologis tersebut,

43 Ibid. 152

menurut Didin sudah pasti non Muslim tidak akan dipilih

sebagai presiden RI.44

Menurut KH. Salahuddin Wahid, ada dua faktor yang

penyebab non Muslim masih sulit secara nyata bisa menjadi

presiden atau wakil presiden di negara RI. Pertama, mayoritas

Muslim Indonesia belum bisa menerima seorang presiden

bahkan wakil presiden non Muslim. Hal itu disebabkan

penafsiran terhadap hukum agama Islam menyimpulkan

bahwa menurut hukum Islam tidak boleh seorang Muslim

memilih presiden non Muslim. Hak seorang Muslim untuk

tidak memilih capres/cawapres non Muslim berdasar

keyakinan agama. Kedua, belum ada tokoh-tokoh non Muslim

yang dapat menjadi pilihan alternatif bagi calon presiden

Muslim.45

Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa

pemikiran Maududi tentang non Muslim tidak dapat menjadi

kepala negara memiliki keterkaitan dengan realita di Indonesia

44 Ibid. 45 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim: Tinjauan dari Perspektif Politik Islam dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia (Jakarta: PT Pustaka Sinar Harapan, 2006), hlm. xiii.

153 yaitu kondisi mayoritas penduduknya Indonesia yang beragama Islam tidak bisa menerima pemimpin non Muslim dapat dilihat dari peristiwa pengalaman tahun 1988 dan pengalaman tahun 2016 yang dikenal dengan Aksi Bela Islam walaupun UUD RI tidak melarang non Muslim menjadi kepala negara.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah penulis paparkan, banyak

hal yang dapat ditarik kesimpulan. Namun, penulis mencatat dua

poin penting yang menjadi inti dari pembahasan pemikiran Abu

al-A’la al-Maududi tentang hak-hak politik non Muslim serta

menjawab dari rumusan masalah diawal.

1. Pemikiran Abu al-A’la al-Maududi tentang hak-hak politik

non Muslim merujuk kepada al-Quran dan historis. Menurut

al-Maududi, siapapun yang tidak mengakui Islam sebagai

pedomannya, tidak akan dapat menjadi kepala negara Islam

maupun anggota Majelis Permusyawaratan. Tetapi untuk

parlemen maupun lembaga legislatif dengan konsepsi modern,

yang sangat berbeda dari syura dalam pengertian

tradisionalnya, aturan ini dapat diperlonggar untuk

memperkenankan seorang non Muslim menjadi anggotanya

sepanjang di dalam konstitusi sepenuhnya ada jaminan dan

sesuai dengan syarat yang telah ditentukan.

154 155

2. Pemikiran Maududi bahwa non Muslim tidak dapat menjadi

kepala negara memiliki keterkaitan dengan realita di Indonesia

yaitu kondisi mayoritas penduduknya Indonesia yang

beragama Islam tidak bisa menerima pemimpin non Muslim

dapat dilihat dari peristiwa pengalaman tahun 1988 dan

pengalaman tahun 2016 yang dikenal dengan Aksi Bela Islam

walaupun UUD RI tidak melarang non Muslim menjadi kepala

negara.

B. Saran

Pemikiran Abu al-A’la Al-Maududi banyak yang belum

dikaji secara mendalam, selain itu banyak gerakan-gerakan di

kalangan mahasiswa Islam di dunia menjadikan Maududi sebagai

salah seorang tokoh yang sangat dihormati karena wawasan-

wawasan segarnya mengenai Islam dan mengenai tugas-tugas

kaum muslimin di zaman modern. Tampaknya juga di Indonesia,

para pelajar dan mahasiswa serta cerdik-cendekia yang ingin

mendalami Islam pada umumnya mempelajari karya-karya

Maududi yang dapat di baca dalam berbagai bahasa. Dengan

demikian, ada beberapa saran yang ingin penulis berikan terkait

dengan persoalan ini. 156

1. Terkait dengan penulisan karya ini, penulis merasa masih

banyak hal yang perlu dibenahi dan dikaji lebih dalam.

Karena, pemikiran Abu al-A’la al- Maududi yang sangat

komplit dan perlu pembahasan lebih dalam.

2. Dalil yang digunakan sebagai dasar pendapat al-Maududi tidak

sesuai dengan makna atas pendapatnya mengenai hak politik

non Muslim, seperti yang dikatakan oleh Farid Abdul Khaliq

tidak melihat dalam makna ayat tersebut, sesuatu yang

dapat dijadikan sebagai dalil atas pendapat yang dipegangi

oleh Abu al-A’la al-Maududi, bahwa orang kafir dzimmiy

tidak dapat menikmati hak memilih dan dipilih.

3. Pemikiran ini merupakan hal-hal baru dalam sejarah pemikiran

politik Islam yang perlu dikaji lagi dalam fikih baru dan

ijtihad yang benar.

C. Penutup

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang

memberikan rahmat, taufiq, serta hidayahnya sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini. Bagi sebagian teman, penulisan

karya skripsi seakan menjadi hal yang sulit dan menemui

hambatan dalam penyelesaiannya. Dalam beberapa sisi, penulis 157 menyadari ada benarnya bahwa kemalasan lah yang menjadi penghambat sebenarnya.

Ungkapan terimakasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini. Penulis berharap, semoga karya ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan bagi penulis sendiri. Serta dapat menjadi acuan untuk adik tingkat agar menyempurnakan karya ini dengan kajian yang lebih dalam lagi.

Tidak lupa penulis mohon maaf, apabila dalam penyusunan kalimat maupun bahasanya masih dijumpai banyak kekeliruan. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna perbaikan di masa mendatang.

Mudah-mudahan apa yang penulis buat ini mendapat ridha dari Allah Yang Maha Pemurah. Semoga kita semua termasuk dalam golongan orang-orang yang beruntung di akhirat nanti. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bermanfaat bagi pembaca pada umumnya. Aamiin yaa rabbal

‘alamin.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Khaliq, Farid. Fikih Politik Islam. Jakarta: Amzah, 2005.

Al-Maududi, Abul A’la. Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam. Bandung: Mizan, 1996.

______, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam. Bandung: Mizan, 1990.

Black, Antony. Pemikiran Politik Islam dari Masa Nabi Hingga Masa Kini. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006.

Emzir. Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.

Fathoni, Abdurrahmat. Metode Penelitian & Teknik Penyusunan Skrips. Jakarta: Rineka Cipta, 2011.

Harahap, Syahrin. Metodologi Studi Tokoh & Penulisan Biografi. Jakarta: Prenada Media Group, 2011.

Ibnu Syarif, Mujar. Presiden Non Muslim di Negara Muslim: Tinjauan dari Perspektif Politik Islam dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Sinar Harapan, 2006.

Idrus, Muhammad. Metode Penelitian Ilmu Sosial. Yogyakarta, 2009.

Iqbal, Muhammad dan Husein Nasution, Amin. Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta: Kencana, 2010.

J Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014. a: Prenada Media Group, 2011. Kamil, Sukron. Pemikiran Politik Islam Tematik. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013.

Manan, Abdul. Politik Hukum: Studi Perbandingan dalam Praktik Ketatanegaraan Islam dan Sistem Hukum Barat. Jakarta: Prenada Media Group, 2016.

Mardalis. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi Aksara, 2014

Monib, Mohammad dan Bahrawi, Islah. Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Pandangan Nurcholis Madjid. Jakarta: PT Gramedis Pustaka Utama, 2011.

Mufti, Muslim. Teori-Teori Politik. Bandung: CV Pustaka Setia, 2013.

Mulyana, Dedi. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001.

Setyaningrum Pamungkas, Arie dan Oktaviani, Gita “Aksi Bela Islam dan Ruang Publik Muslim: dari Representasi Daring ke Komunitas Luring”, Jurnal Pemikiran Sosiologi, vol.4, 2017.

Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta: Universitas Indonesia, 1990

Tahqiq, Nanang (ed). Politik Islam. Jakarta: Prenada Media, 2004.

Tim Penyusun Fakultas Syariah. Pedoman Penulisan Skripsi. Semarang: IAIN Press, 2010.

Wintala Achmad, Sri. Politik dalam Sejarah Kerajaan Jawa. Yogyakarta: Araska, 2016. DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap penulis, yaitu Inti Wulan Dary lahir di Garut, Pada tanggal 05 Juli 1995, merupakan anak ke-1 dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Rohmat Suwarno dan Ibu Sosefi Mama Doa. Alamat penulis di Desa Kebonromo, Kecamatan Ngrampal Kabupaten Sragen.

Adapun riwayat pendidikan penulis, yaitu penulis menempuh pendidikan mulai dari SD Negeri Kebonromo 5 (lulus tahun 2008), kemudian melanjutkan ke MTs Negeri 1 Sragen (lulus tahun 2011), dan MA Negeri 1 Sragen (lulus tahun 2014), selanjutnya di Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang sampai sekarang.

Dengan ketekunan, motivasi yang tinggi untuk terus belajar dan berusaha, penulis telah berhasil menyelesaikan pengerjaan tugas akhir skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapkan rasa syukur yang sebesar-besarnya atas terselesaikannya skripsi yang berjudul: “Studi Pemikiran Abu Al-A’la Al-Maududi tentang Hak-Hak Politik Non Muslim dalam Islam”.