Sistem Penyiaran Indonesia
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
EDISI KEDUA SISTEM PENYIARAN INDONESIA Kajian Strukturalisme Fungsional Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, sebagaimana yang telah diatur dan diubah dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002, bahwa: Kutipan Pasal 113 (1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi seba gai mana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah). (2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud da lam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). (3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). (4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilaku kan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,- (empat miliar rupiah). EDISI KEDUA SISTEM PENYIARAN INDONESIA Kajian Strukturalisme Fungsional DR. REDI PANUJU, M.SI. SISTEM PENYIARAN INDONESIA: Kajian Strukturalisme Fungsional Edisi Kedua Copyright © 2015 Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) ISBN 978-602-422-153-9 15 x 23 cm xiv, 228 hlm Cetakan ke-2, Juli 2017 Kencana. 2015.0573 Penulis Dr. Redi Panuju, M.Si. Desain Sampul Irfan Fahmi Penata Letak Endang Wahyudin Percetakan PT Kharisma Putra Utama Penerbit K E N C A N A Jl. Tambra Raya No. 23 Rawamangun - Jakarta 13220 Telp: (021) 478-64657 Faks: (021) 475-4134 Divisi dari PRENADAMEDIA GROUP e-mail: [email protected] www.prenadamedia.com INDONESIA Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit. Kata Pengantar Edisi Kedua Alhamdulillah, segala puji bagi Tuhan seru sekalian alam. Tidak disangka buku Sistem Penyiaran Indonesia: Kajian Strukturalisme Fungsional yang saya tulis ketika studi S-3 Ilmu Sosial di Universitas Merdeka Malang dicetak ulang oleh penerbit PrenadaMedia Group. Hal ini menunjukkan bahwa buku ini terserap di pasar pemba- ca buku Indonesia maupun luar negeri. Persoalan penyiaran kiranya masih sangat penting untuk dikaji karena di dalamnya mengandung banyak problematik dari berbagai segi. Di antaranya persoalan kon- testasi penyiaran yang hingga kini tidak menunjukkan jalan keluarnya. Kontestasi mestinya bermakna suatu persaingan yang menuju pada persaingan sehat, sebagaimana yang idealkan oleh para penyusun Un- dang-Undang Penyiaran (UU No. 32/2002), yakni adanya pembagian fungsi dan demokratisasi. Pada level pembagian fungsi undang-undang sudah mem beri ka- nal pada masing-masing tujuan penyiaran, sehingga dikenal pembe- da lembaga penyiaran; Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK), Lem- baga Penyiaran Swasta (LPS), Lembaga Penyiaran Publik (LPP), dan Lembaga penyiaran Berlangganan (LPB). Namun dalam praktiknya, masing-masing “jenis kelamin” lembaga penyiaran tersebut dari segi siarannya dan perilakunya saling overlap. Akhirnya persaingan terjadi bukan di antara sejenis kelamin, tapi sudah saling silang. Implikasi- nya tentu masyarakat yang dirugikan, sebab masyarakat diamputasi kebutuhannya untuk memperoleh siaran yang beragam (diversity of content). Kekacauan ini disebabkan tidak jelasnya regulator yang berwewenang menata lembaga penyiaran di tingkat pusat maupun daera h, pemerintah dan Komisi Penyiaran Indonesia tidak bersinergi SISTEM PENYIARAN INDONESIA Kajian Strukturalisme Fungsional atau bahkan tidak ada pembagian kewenangan yang jelas. Akibatnya, masing-masing pihak saling gamang dalam melangkah dan bila ada masalah saling lempar batu sembunyi tangan, saling menyalahkan. Dari segi demokratisasi penyiaran, tidak terjadi apa yang dicita citakan UU No. 32/2002 adanya pemerataan dalam penyelenggara- an penyiaran. Alasan pembagian kanal berdasarkan wilayah layanan sebetulnya untuk memberi kesempatan yang luas bagi masyarakat un tuk ikut menyelenggarakan penyiaran. Itu sebabnya dalam un- dang-undang dilarang adanya pemilikan silang dan dilarang menjual belikan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP). Dan, yang terjadi seba- liknya, praktik kartelisasi dalam penyiaran semakin mengemuka. Ada ke cenderungan lembaga penyiaran dikuasai oleh beberapa gelincir pemilik modal saja. Dan, jadi masalah tersendiri ketika para pemilik modal penyiaran ini masih tergiur oleh syahwat politik melalui partai politik. Akibatnya, lembaga penyiaran sangat sulit melaksanakan fat- sun independensinya untuk melayani kepentingan masyarakat. Dan yang terjadi kemudian, lembaga penyiaran dipakai oleh pemiliknya untuk membangun opini publik sesuai kepentingannya. Itulah beberapa hal pelik yang terurai dalam buku ini, semoga bisa menjadi renungan kita bersama. Surabaya, 4 Januari 2017 Dr. Redi Panuju, M.Si. vi Kata Pengantar Pusat perhatian saya (passion) selama saya studi lanjut S-3 Ilmu Sosial di Universitas Merdeka Malang hingga semester 4 adalah penyi- aran. Saya terjebak pada fenomena penyiaran karena beberapa alasan. Pertama, ada narasi seorang teman yang selalu me ngiang dalam benak saya. Dia menyatakan demikian, “Bila ingin melihat bagaimana carut-marutnya Indonesia cobalah dalami sistem penyiaran di Indone- sia, kamu akan mendapatkan cermin retak yang sangat sempurna.” Kedua, sebagai komisioner di Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur periode (2007-2010, 2013-2016), pengabdian so- sial penulis selalu berhubungan dengan lembaga penyiaran. Interaksi sosiologis di lapangan dengan lembaga penyiaran akhirnya menemu- kan fakta bahwa terjadi konflik antara lembaga penyiaran, lembaga penyiaran dan negara, lembaga penyiaran dan KPI, maupun KPI dan negara. Inilah fakta sosiologis yang hendak penulis konstruk sikan se- hingga menjadi fakta teks. Ketiga, kebetulan status saya adalah seorang pengajar ilmu komu- nikasi di Universitas dr. Soetomo, yang jemu mem bimbing skripsi de- ngan judul strategi komunikasi, pe ran humas, manajemen jurnalistik (media), analisis teks me dia, dan sejenisnya. Saya merasakan adanya reduplikasi tema yang luar biasa di kampus-kampus perguruan ting- gi, terutama yang memiliki prodi Ilmu Komunikasi. Janganlah tradisi yang cenderung duplikatif ini ditimpakan kesalahannya kepada ma- hasiswa saja, sebab mahasiswa melakukan itu karena memang kurang diberi wawasan dunia komunikasi secara empirik. Dosen-dosen yang mengajar pun cenderung mengulang teori-teori teks yang (mohon maaf) acap kali di luar realitas yang tengah berkembang di sekitarnya. Kurangnya keberanian mahasiswa melihat gejala komunikasi dari perspektif sosial juga berkaitan dengan kurangnya pengayaan keilmu- SISTEM PENYIARAN INDONESIA Kajian Strukturalisme Fungsional an dari perspektif sosial (baca: sosio logis). Hal tersebut juga adanya anggapan yang keliru dari negara yang memandang teori sosial tidak ada hubungannya dengan komunikasi. Para penguasa legitimasi keil- muan di Kemen te rian Pendidikan Nasional kurang cukup ilmu untuk melihat bahwa ada kaitan antara objek ilmu dan teori keilmuan. Pada- hal, dalam realitasnya, gejala komunikasi muncul didominasi karena proses sosial. Fenomena komunikasi mun cul berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai dalam kaitannya dengan interaksi sosial masing- masing. Komunikasi adalah sebuah representasi dari tujuan sosial tersebut. Sungguh aneh bila para penguasa keilmuan di Kementerian Pendidikan Nasional menganggap penguasaan teori-teori sosial tidak linier dengan perkembangan ilmu komunikasi. Pernyataan ini bukan saja bertentangan dengan gejala empirisnya dari object matter apa yang disebut “komunikasi”, juga bertentangan dengan sejarah lahirnya ilmu komunikasi. Saya kira hanya ilmuwan birokrat yang durhakalah yang mengingkari transformasi teori komunikasi di dunia ini se bagai gejala yang inklusif. Sebagaimana buku-buku yang masuk ke Indo- nesia, menunjukkan bahwa ilmu komunikasi merupakan ilmu yang cende rung multidisipliner. Perkembangan justru banyak di-support ilmuwan luar se perti sosiologi (sehingga melahirkan sosiologi komu- nikasi), psikologi (sehingga melahirkan psikologi komunikasi), politik (sehingga melahirkan komunikasi politik), antropologi (sehingga me- lahirkan komunikasi budaya), bahkan dari kalang an linguistik banyak menyumbang metodologinya untuk kajian isi pesan (seperti, analisis teks media). Lalu mengapa mereka yang mempelajari teori sosial dan kajian sosial dianggap tidak linier dengan komunikasi? Saya kira itu hanya akal-akalan politik pendidikan saja dari kalangan Universitas Indonesia dan Universitas Padjadjaran yang sudah telanjur dominan mencetak gelar yang disebut Doktor Ilmu Komunikasi. Sehingga se- lain produk keduanya dianggap tidak linier. Padahal, begawan Guru Besar Komunikasi Unpad, Prof. Deddy Mulyana, Ph.D., adalah seo- rang pakar kebudayaan (antropolog), di Unair ada Prof. Dr. Hotman Siahaan yang banyak mempromosikan Doktor Sosiologi yang banyak menelaah gejala komunikasi. Apakah lulusan S-3 Ilmu Sosial