BIOEKOLOGI Myopopone castanea Smith (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) SEBAGAI PEMANGSA LARVA KUMBANG TANDUK Oryctes rhinoceros Linn. (COLEOPTERA: SCARABAEIDAE)

DISERTASI

OLEH: WIDIHASTUTY NIM : 148104004

PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2020

Universitas Sumatera Utara BIOEKOLOGI Myopopone castanea Smith (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) SEBAGAI PEMANGSA LARVA KUMBANG TANDUK Oryctes rhinoceros Linn. (COLEOPTERA: SCARABAEIDAE)

DISERTASI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Program Doktor Ilmu Pertanian pada Program Pascasarjana Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

OLEH: WIDIHASTUTY NIM : 148104004 Program Doktor (S3) Ilmu Pertanian

PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2020

Universitas Sumatera Utara LEMBAR PENGESAHAN DISERTASI

Judul Disertasi Bioekologi Myopopone castanea Smith (Hymenoptera: Formicidae) Sebagai Pemangsa Larva Kumbang Tanduk Orycles rhinoceros Linn. (Coleoptera: Scarabaeidae)

Nama Mahasiswa Widihastuty

NIM 148104m4

Program Studi Doktor (S3) Ilmu Pertanian

Menyetujui Komisi Pembimbing

Co.Promotor Co-Promotor

Tanggal Lulus; 13 Januari2020

Universitas Sumatera Utara Diuji pada Ujian Disertasi Terbuka (Promosi Doktor)

Tanggal: 03 September 2020

PANITIA PENGUJI DISERTASI

Pemimpin Sidang: Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum (Rektor USU)

Ketua : Prof. Dr. Dra. Maryani Cyccu Tobing, M.S. Universitas Sumatera Utara Anggota : Dr. Ir. Marheni, M.P. Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Ir. Retna Astuti Kuswardani, M.S. Universitas Medan Area Dr. Suputa Universitas Gadjah Mada Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, M.S. Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara PER}IYATAAN

BIOEKOL OGI Myapapone castcnea Smith (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) SEBAGAI PE.MANGSA TARVA KUMBANG TANDUK Ory ctes r hinaaetos Linn. (COLEOPTERA: SCARABAEIDAE)

Dengan ini penulis menyatakan bahwa diseftasi ini sebagai syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Prograrn Studi Doktor (S3) Ilmu Pertanian pada program Pascasarjana Fakultas Fertanian Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri, Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan disertasi ini, telah penulis canrtumkan surnbernya secara jelas sezuai dengan nomna, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian disertasi ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, penulis bersdia menerima sanlffi pencabutan gelar akadennik yang penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, September 2020

Universitas Sumatera Utara i

SUMMARY

WIDIHASTUTY. BIOECOLOGY Myopopone castanea Smith (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) AS A PREDATOR FOR LARVAE OF COCONUT RHINOCEROS BEETLE Oryctes rhinoceros Linn (COLEOPTERA: SCARABAEIDAE) under the supervision of M. CYCCU TOBING, as promotor, MARHENI and RETNA ASTUTI KUSWARDANI, as co-promotor

Oil palm is a superior plantation crop in Indonesia. Oryctes rhinoceros Linnaeus (Coleoptera: Scarabaeidae) is one of the pests that attack oil palm plants, especially young plants. The policy of the plantation management that entered empty fruit bunches from processing into productive plant and laying the waste with more than one layer, made the place a breeding site for the O. rhinoceros beetle in the of productive plant. Myopopone castanea Smith (Hymenoptera: Formicidae) is one of the natural enemies (predators) of the pre-adult stage of the O. rhinoceros beetle. In oil palm plantations, these ants live in oil palm trunks that have fallen and decay. Pre-adult of O. rhinoceros lives in oil palm trunks that have decayed too, there are similarity of a niche between the M. castanea and O. rhinoceros ants opens the opportunity to utilize and optimize the role of M. castanea ants as biological agents for the immature stage of O. rhinoceros. But the information about M. castanea ants is still very less, therefore this study aims to explore information about some aspects of the biology and ecology of M. castanea ants so that this information can be used to control pests that are more environmentally friendly The study was conducted from December 2016 to July 2018. Research in the laboratory was conducted in the plant pest laboratory of the Faculty Agriculture, Universitas Sumatera Utara Medan, and field research was conducted in the Adolina PTPN 4 plantation Perbaungan, Serdang Bedagai Regency and smallholder oil palm plantations in Tanah Merah Village, South Binjai District, Binjai City. The results showed that colonies of M. castanea ants found in the smallholder oil palm plantations and PTPN's varied in the size and number of stages of their development. The mean abiotic factors in the microhabitat of M. castanea ant in the PTPN plantation (t = 29.7 0C, Rh = 70%, pH = 6.03 and C / N ratio = 66,18%), while the mean for smallholder plantation (t = 29.1 0C, Rh = 70.9, pH = 6.39 and C / N ratio = 69,01%) and the volatile compounds from the GC-MS analysis for M. castanea wood nest are mostly hydrocarbons. Hydrocarbon compounds play an important role in ant communication systems. The results about the some aspects of biology M. castanea ant found that the eggs were white and oval shaped, the length of the egg stage was 13.8 days. M. castanea ant larvae consist of 5 instars with varying lengths of each stage. Stadia pupae was passed for 17.2 days for pupae workers and 17.9 days for female ant pupae. Average of survival of M. castanea ants completing their life cycle from egg stage to adult was 56.4%. The prey ability of M. castanea in the laboratory showed that 100% mortality of 1st and 2nd instar of O. rhinoceros larvae

Universitas Sumatera Utara ii

achieved on the fifth days after exposure, whereas the third larvae prey reached mortality 100% on the seven day after application. The predation on the field for the young plants (immature plants) in PTPN 4 Adolina showed that M. castanea can prey average of 2.8 individuals larvae (46.87%) in a five day exposure and for productive plants at smallholders plantation can prey 3.0 individuals larvae (50.3%). Preference tests on prey instar larvae showed that M. castanea ants preferred to prey on 1st and 2nd instar larvae of O. rhinoceros than third instar if all stages of instar prey were present as feed. The results of functional response studies showed that the ability prey of M. castanea ants changes according to prey density. The ability to prey on low density (5 individuals) was statistically different with high prey density (14 individuals). The results of the functional response type research, M. castanea ants are classified as type II, where predators belonging to this type are usually effective in controlling prey at low densities.

Universitas Sumatera Utara iii

RINGKASAN

WIDIHASTUTY. BIOEKOLOGI Myopopone castanea Smith (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) SEBAGAI PEMANGSA LARVA KUMBANG TANDUK Oryctes rhinoceros Linn (COLEOPTERA: SCARABAEIDAE) (dibawah bimbingan M. CYCCU TOBING, sebagai Promotor, MARHENI dan RETNA ASTUTI KUSWARDANI, sebagai Co- promotor).

Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan unggulan di Indonesia. Kumbang tanduk Oryctes rhinoceros Linnaeus (Coleoptera: Scarabaeidae) adalah salah hama yang menyerang tanaman kelapa sawit, khususnya tanaman yang masih muda. Adanya kebijakan pihak perkebunan yang memasukkan tandan kosong hasil pengolahan kelapa sawit ke kebun-kebun TM dan peletakan limbah tersebut yang lebih dari 1 lapis, membuat tempat tersebut menjadi tempat perkembangbiakan (breeding site) kumbang O. rhinoceros di kebun-kebun TM. Semut Myopopone castanea Smith (Hymenoptera: Formicidae) adalah salah satu musuh alami (predator) untuk stadium pradewasa kumbang O. rhinoceros. Di perkebunan kelapa sawit, semut ini hidup di batang-batang kelapa sawit yang telah tumbang dan melapuk. Stadia pradewasa O. rhinoceros hidup di batang-batang kelapa sawit yang telah melapuk juga. Adanya kesamaan relung (niche) antara semut M. castanea dan O. rhinoceros membuka peluang untuk memanfaatkan dan mengoptimalkan peran semut M. castanea sebagai agens hayati untuk stadium predewasa O. rhinoceros. Tetapi informasi tentang semut M. castanea ini masih sangat sedikit, oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menggali informasi tentang beberapa aspek-aspek biologi dan ekologi semut M. castanea sehingga informasi yang didapatkan nanti dapat memperkaya keilmuan dan menjadi landasan dalam pengendalian hama O. rhinoceros yang lebih ramah lingkungan. Penelitian dilakukan mulai bulan Desember 2016 sampai dengan Juli 2018. Penelitian di laboratorium dilakukan di laboratorium Hama Tanaman Fakuktas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan, dan penelitian lapangan dilakukan di kebun Adolina PTPN 4 Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai dan kebun kelapa sawit rakyat di Kelurahan Tanah Merah, Kecamatan Binjai Selatan Kota Binjai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semut M. castanea yang ditemukan di perkebunan kelapa sawit rakyat dan kebun PTPN bervariasi dalam ukuran jumlah anggota koloninya dan tahapan stadium perkembangannya. Rerata faktor- faktor abiotik yang ada di mikro habitat semut M. castanea di kebun PTPN (t = 29,7 0C, Rh = 70%, pH = 6,03 dan rasio C/N = 66,18% ), sedangkan rerata untuk kebun rakyat (t = 29,1 0C, Rh = 70,9%, pH = 6,39 dan rasio C/N = 69,01% ), dan senyawa volatile hasil analisis GC-MS dari batang kelapa sawit yang melapuk yang merupakan sarang semut M. castanea didominasi oleh senyawa-senyawa hidrokarbon. Senyawa-senyawa hidrokarbon memegang peranan yang penting dalam sistem komunikasi semut. Penelitian tentang biologi semut M. castanea didapatkan bahwa telur berwarna putih dan berbentuk lonjong, lama stadium telur

Universitas Sumatera Utara iv

adalah 13,8 hari. Larva semut M. castanea terdiri dari 5 instar dengan lama masing-masing stadium yang bervariasi. Stadium pupa dilalui selama 17,2 hari untuk pupa semut pekerja dan 17,9 hari untuk pupa semut betina. Tingkat keberhasilan semut M. castanea menyelesaikan daur hidupnya dari stadium telur hingga menjadi imago sebesar 56,4%. Kemampuan memangsa semut M. castanea di laboratorium mampu memangsa 6 ekor larva instar 1 dan 6 ekor larva instar 2 O. rhinoceros (100%) 5 hari setelah pemaparan, sedangkan untuk memangsa 6 ekor mangsa larva instar 3 (100%), membutuhkan waktu 7 hari setelah pemaparan mangsa. Kemampuan memangsa semut M. castanea di lapangan selama 5 hari pemaparan mangsa rata-rata adalah sebesar 2,8 ekor (46,87%) dari 6 ekor larva instar 2 yang diumpankan untuk kebun TBM, dan 3,0 ekor (50,3%) dari 6 ekor mangsa yang diumpankan untuk kebun TM. Uji preferensi terhadap larva instar mangsa yang dilakukan menunjukkan hasil bahwa semut M. castanea lebih memilih memangsa larva instar 1 dan 2 O. rhinoceros daripada mangsa larva instar 3 bila semua tahapan instar mangsa hadir sebagai pakan. Hasil penelitian tanggap fungsional menunjukkan bahwa kemampuan memangsa semut M. castanea berubah menurut kepadatan mangsa. Kemampuan memangsa pada kepadatan rendah (5 ekor) berbeda secara statistik dengan kepadatan mangsa tinggi (14 ekor). Dari hasil penelitian tipe tanggap fungsional, semut M. castanea tergolong tipe II, dimana predator yang tergolong pada tipe ini biasanya efektif mengendalikan mangsa pada kepadatan rendah.

Universitas Sumatera Utara v

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 21 Mei 1970. Ayah bernama Drs. H. Suardi Taswi SE, MM dan ibu bernama Hj. Zuraidar. Penulis merupakan anak kedua dari tujuh bersaudara, menikah tahun 2002 dengan Ir. Mohammad Iqbal, M.Si dan dikaruniakan dua orang putra: Mohammad Farhan Alraziq (2005) dan Arief Haikal Hidayatullah (2007). Penulis lulus Sekolah Dasar pada SD Negeri 010083 Kisaran, Kabupaten Asahan tahun 1983, lulus Sekolah Menengah Pertama pada SMP Negeri 2 Kisaran pada tahun 1986, lulus Sekolah Menengah Atas pada SMA Negeri 1 Kisaran tahun 1989, lulus Sarjana Pertanian tahun 1994 pada jurusan Hama Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan, dan lulus Magister Sains Entomologi tahun 2001 dari Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2008-2018, menjadi dosen Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Dian Nusantara Medan. Tahun 2019 sampai dengan saat ini menjadi dosen di Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Medan. Penulis mengikuti Pendidikan Doktor (S3) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara sejak tahun 2014 atas biaya Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN) Ristek Dikti.

Universitas Sumatera Utara vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan karya ilmiah disertasi ini dengan judul “Bioekologi Myopopone castanea (Hymenoptera: Formicidae) sebagai pemangsa larva kumbang tanduk Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae)”. Selama melakukan studi, penelitian dan penulisan disertasi, penulis banyak mendapatkan bimbingan, arahan dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H. M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Dr. Ir. Hasanuddin M.S., selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Prof. Ir. Edison Purba, Ph.D dan Dr. Lisnawita S.P., M.Si., selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Pertanian Pascasarjana USU. 4. Ibu Prof. Dr. Dra. M. Cyccu Tobing, M.S., selaku Promotor dan Dr. Ir. Marheni, M.P. serta Prof. Ir. Dr. Retna Astuti Kuswardhani M.S., selaku co- promotor. 5. Bapak Dr. Suputa dan Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, M.S., selaku dosen penguji luar komisi. 6. Kemenristek Dikti yang telah memfasilitasi studi ini melalui pembiayaan BPPDN. 7. Bapak Dr. Agussani, M.A.P., selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan. 8. Ir. Asritanarni Munar, M.P., selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan. 9. Suami tercinta Ir. Mohammad Iqbal, M.Si dan anak-anakku tersayang Mohammad Farhan Alraziq dan Arief Haikal Hidayatullah, yang telah banyak mendukung penulis untuk menyelesaikan pendidikan ini. 10. Jajaran civitas akademik Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan supportnya. 11. Kepala Laboratorium Hama Tanaman Fakultas Pertanian USU, Ir. Suzanna Sitepu, MS yang telah memfasilitasi penelitian di laboratorium. 12. Manajer kebun Adolina PTPN 4, Bapak Anto dan Joko yang banyak membantu penulis selama melakukan penelitian di lapangan. 13. Teman-teman sesama mahasiswa Program studi Ilmu Pertanian Pasca sarjana USU yang selalu memberikan semangat dan dukungan selama sudi dan penyelesaian disertasi ini. 14. Semua pihak yang telah membantu penulis baik selama masa kuliah, penelitian dan penyelesaian disertasi yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, penulis ucapkan terima kasih banyak, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah diberikan.

Universitas Sumatera Utara vii

Akhirnya penulis berharap, semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Medan, September 2020

Widihastuty

Universitas Sumatera Utara viii

DAFTAR ISI

SUMMARY i

RINGKASAN iii

RIWAYAT HIDUP v

KATA PENGANTAR vi

DAFTAR ISI viii

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Rumusan Masalah 4 1.3 Tujuan Penelitian 7 1.4 Manfaat Penelitian 7

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi O. rhinoceros 12 2.2 Bioekologi M. castanea 16 2.3 Perilaku semut mencari makan 19 2.4 Peranan semut dalam pengendalian hayati 23

III EKSPLORASI KEBERADAAN SEMUT Myopopone castanea (Hymenoptera: Formicidae) DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT Abstrak 32 Pendahuluan 33 Bahan dan metode 35 Hasil dan pembahasan 36 Kesimpulan 46

IV BIOLOGI SEMUT Myopopone castanea (Hymenoptera: Formicidae) SEBAGAI PEMANGSA LARVA KUMBANG TANDUK Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) Abstrak 52 Pendahuluan 53 Bahan dan metode 55 Hasil dan pembahasan 57 Kesimpulan 65

Universitas Sumatera Utara ix

V PEMANGSAAN SEMUT Myopopone castanea (Hymenoptera: Formicidae) TERHADAP LARVA Oryctes rhinoceros Linn (Coleoptera: Scarabaeidae) Abstrak 69 Pendahuluan 70 Bahan dan metode 72 Hasil dan pembahasan 75 Kesimpulan 81

VI PREFERENSI INSTAR MANGSA SEMUT Myopopone castaneae (Hymenoptera: Formicidae) TERHADAP LARVA Oryctes rhinoceros Linn (Coleoptera: Scarabidae) Abstrak 85 Pendahuluan 86 Bahan dan metode 89 Hasil dan pembahasan 91 Kesimpulan 98

VII TANGGAP FUNGSIONAL SEMUT Myopopone castanea (Hymenoptera: Formicidae) TERHADAP Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) Abstrak 101 Pendahuluan 102 Bahan dan metode 105 Hasil dan pembahasan 107 Kesimpulan 114

VIII PEMBAHASAN UMUM 118

IX KESIMPULAN DAN SARAN 124

DAFTAR PUSTAKA 127

LAMPIRAN 145

Universitas Sumatera Utara x

DAFTAR GAMBAR

No Judul Hal

1.1 Kerangka Konseptual Penelitian 8

2.1 Siklus Hidup Oryctes rhinoceros 13

2.2 Kepala semut M. castanea 17

3.1 Sarang semut M. castanea di perkebunan kelapa sawit 36

3.2. Koloni semut M. castanea 43

3.3 Senyawa volatile hasil analisa GC-MS dari serbuk kayu Sarang semut M. castanea 46

4.1 Siklus hidup semut M. castanea 57

4.2 Kelompok telur semut Myopopone castanea 58

4.3 Stadium larva semut M. castanea 59

4.4 Pupa semut M. castanea 61

4.5 Perbedaan ukuran pupa semut pekerja dan semut betina 62

4.6 Imago semut M. castanea 63

5.1 Perlakuan pemangsaan semut M. castanea di laboratorium 73

5.2 Perlakuan pemangsaan semut M. castanea di lapangan 74

5.3 Gejala pemangsaan semut M. castanea terhadap larva mangsa 75

5.4 Perilaku memangsa semut M. castanea terhadap larva O. rhinoceros 76

5.5 Persentase mortalitas masing-masing instar mangsa O. rhinoceros akibat pemangsaan oleh semut M. castanea 77

5.6 Persentase pemangsaan semut M. castanea di kebun TM dan TBM 79

Universitas Sumatera Utara xi

6.1 Preferensi instar mangsa semut M. castanea pada uji tanpa Pilihan (no choice test) 92

6.2 Preferensi instar mangsa semut M. castanea pada uji Pilihan (choice test) 92

6.3 Nilai indeks preferensi M. castanea pada uji tanpa pilihan 96

6.4 Nilai indeks preferensi M. castanea pada uji pilihan 96

7.1 Kemampuan memangsa M. castanea pada berbagai kerapatan Mangsa selama 6 jam pemaparan 108

7.2 Kemampuan memangsa semut M. castanea selama jam Pengamatan 108

Universitas Sumatera Utara xii

DAFTAR TABEL

No Judul Hal

3.1 Koloni semut M. castanea yang ditemukan di kedua lokasi perkebunan kelapa sawit 37

3.2 Nilai rerata faktor lingkungan abiotik sarang semut M. castanea 41

4.1 Deskripsi kelompok telur semut M. castanea 58

4.2 Lama stadium larva dan ukuran larva semut M. castanea 60

4.3 Tingkat survival semut M. castanea dari telur hingga menjadi imago 64

7.1 Laju pemangsaan semut M. castanea pada berbagai kerapatan mangsa larva instar 2 O. rhinoceros 112

7.2 Tipe tanggap fungsional semut M. castanea pada berbagai Kerapatan mangsa berdasarkan analisis regresi dan nilai R2 114

Universitas Sumatera Utara xiii

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Hal

1 Bukti hasil identifikasi semut dari LIPI Bogor 146

2 Hasil analisis rasio C/N 147

3 Data suhu dan kelembaban dari BMKG 149

4 Data curah hujan kebun Adolina PTPN 4 tahun 2018 150

5. Izin penggunaan foto siklus hidup Oryctes rhinoceros 151

6. Hasil Pengukuran lingkungan abiotik sarang semut M. castanea 152

7. Data pemangsaan M. castanea di lapangan 153

8. Data pemangsaan M. castanea di laboratorium 154

Universitas Sumatera Utara 1

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kelapa sawit termasuk tanaman daerah tropis, umumnya dapat tumbuh di daerah antara 120 lintang utara sampai dengan 120 lintang selatan pada ketinggian 0-500 m dpl, dengan curah hujan optimal antara 2000-2500 mm/tahun yang merata sepanjang tahunnya. Lama penyinaran matahari yang optimum antara 5-7 jam/hari dan suhu optimum berkisar 24-380 C (BBPPTP, 2008).

Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada akhir tahun 2018 menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 12,76 juta ha dan menghasilkan 36,59 juta ton CPO. Luas areal menurut status pengusahaannya milik rakyat

(perkebunan rakyat) seluas 5,70 juta ha dengan produksi 14 juta ton, perkebunan negara seluas 0,64 juta ha dengan produksi 2,10 juta ton, sedangkan perkebunan swasta dengan luas 6,05 juta ha dan produksi 20,49 juta ton. Pada tahun 2013 total volume ekspor produksi CPO (Crude Palm Oil) Indonesia mencapai 22,22 juta ton dengan total nilai sebesar US$ 17,14 milyar, meningkat menjadi 29,07 juta ton pada tahun 2017 dengan total nilai sebesar US$ 20,72 milyar. Pertumbuhan produksi CPO Indonesia yang begitu cepat membuat Indonesia menjadi produsen

CPO terbesar dunia sejak tahun 2006 menggeser posisi (Ditjen

Perkebunan, 2018).

Berbagai kendala muncul dalam pengelolaan tanaman kelapa sawit antara lain adalah adanya serangan serangga hama. Hama-hama yang sering ditemukan menyerang tanaman kelapa sawit antara lain ulat pemakan daun kelapa sawit

(UPDKS) yang terdiri dari ulat kantung (Clania sp., Metisa plana, Mahasena

Universitas Sumatera Utara 2

corbetti dan Crematosphisa pendula) dan ulat api (Setora nitens, Darna trima,

Ploneta diducta) (BBPPTP, 2008). Selain hama-hama ulat pemakan daun tersebut, kumbang Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) juga menyerang tanaman kelapa sawit. Serangga ini merupakan hama penting pada tanaman kelapa sawit dan umumnya menyerang tanaman kelapa sawit yang masih muda. Hama ini biasanya menyerang pucuk tanaman kelapa sawit hingga ke titik tumbuh. Serangan hama ini dapat menurunkan produksi tandan buah segar (TBS) pada tahun pertama hingga 60% dan menimbulkan kematian pada tanaman muda hingga 25% (Buana et al. 2006). Areal tanaman yang banyak terserang mengakibatkan pengurangan produksi sekitar 0,2–0,3 ton/ha selama 18 bulan panen tahun pertama (Sudharto et al. 2006).

Kumbang dewasa memakan tajuk tanaman dengan menggerek melalui pangkal batang sampai pada titik tumbuh. Daun yang telah membuka memperlihatkan bentuk seperti huruf V terbalik atau karakteristik potongan serrate, gejala ini khas merupakan gejala serangan kumbang tanduk. Tanaman yang sama dapat diserang oleh satu atau lebih kumbang sedangkan tanaman yang didekatnya mungkin tidak diserang. Serangan yang berkali-kali pada tanaman dapat menyebabkan kematian dan menjadi rentan masuknya kumbang

Rhyncoporus bilineatus (Coleoptera: Curculionidae), dan mikroorganisme lain yang dapat menyebabkan penyakit pada tanaman (Manjeri et al. 2014).

Kerusakan tanaman yang ditimbulkan oleh kumbang O. rhinoceros ini khususnya di areal peremajaan kelapa sawit menjadi meningkat karena banyaknya tumpukan bahan organik yang sedang mengalami proses pembusukan dan

Universitas Sumatera Utara 3

menjadi tempat perkembangbiakan hama ini. Imago O. rhinoceros meletakkan telurnya di tumpukan bahan-bahan organik, larva hidup dan berkembang hingga menjadi imago di tumpukan bahan organik tersebut (Bedford 2013; Indriyanti et al. 2017; Nuriyanti et al. 2016). Mulsa tandan kosong kelapa sawit yang diberikan lebih dari satu lapis pada sistem lubang tanam besar pada perkebunan kelapa sawit, membuat hama ini juga menjadi persoalan pada tanaman yang sudah menghasilkan (TM). Tandan kosong kelapa sawit dan onggokan batang kelapa sawit ini menjadi media perkembangbiakan O. rhinoceros (Susanto et al. 2005).

Pengendalian hama O. rhinoceros yang paling diandalkan adalah dengan menggunakan insektisida kimia. Pemakaian insektisida kimia sudah mulai dikurangi penggunaannya karena tuntutan program RSPO (Rountable Sustainable

Palm Oil). Program ini bertujuan agar minyak kelapa sawit bebas dari bahan kimia yang merugikan termasuk insektisida kimia. Pengendalian menggunakan insektisida membutuhkan biaya yang cukup mahal, oleh karena itu pengendalian hayati dengan menggunakan entomopatogenik (Gopal et al. 2006; Moslim et al. 1999), Baculovirus oryctes ((Huger 2005; Ramle et al.

2005), dan serangga predator (Marheni 2012) merupakan alternatif pengendalian yang tepat untuk mengendalikan hama O. rhinoceros.

Marheni (2012) mendapatkan bahwa semut Myopopone castanea

(Hymenoptera: Formicidae) sebagai predator bagi larva O. rhinoceros. Semut ini memakan larva bahkan pupa O. rhinoceros. Semut predator ini dikenal sebagai predator obligat terhadap arthropoda, dan mencari makan di tanah, sampah daun atau kayu yang membusuk. Semut M. castanea menyerang mangsanya dengan

Universitas Sumatera Utara 4

cara menyengat dan menggigitnya hingga mati, lalu menghisap cairan hemolimf mangsanya sampai tinggal bagian kutikulanyanya saja bahkan dapat memakan tubuh larva (Marheni 2012; Junaedi et al. 2014; Rini susanti 2016; Widihastuty et al. 2018). Informasi yang tersedia mengenai semut predator ini masih sangat sedikit sekali. Oleh karena itu, perlu digali informasi-informasi terkait keberadaan semut ini di perkebunan kelapa sawit dan aspek-aspek bioekologinya, perilaku pemangsaan dan kemampuan memangsa semut M. castanea terhadap O. rhinoceros pada tanaman kelapa sawit agar dapat memberikan kontribusi sebagai agens hayati dalam upaya pengendalian hama O. rhinoceros yang lebih ramah lingkungan dan mendukung keberlanjutan pertanaman kelapa sawit.

1.2 Rumusan Masalah

Hama O. rhinoceros pada awalnya hanya memakan dan merusak tanaman kelapa sawit yang masih muda dan berumur sekitar 1-2 tahun, atau hanya menyerang pada kebun-kebun yang tanamannya belum menghasilkan (TBM).

Pada saat sekarang ini hama O. rhinoceros juga mulai menimbulkan permasalahan pada kebun-kebun yang menghasilkan (TM). Peningkatan serangan O. rhinoceros pada kebun-kebun yang menghasilkan (TM) disebabkan karena tindakan manajemen perkebunan yang memasukkan dan meletakkan tandan kosong kelapa sawit (TKS) ke dalam kebun lebih dari satu lapis sehingga menyebabkan tempat ini menjadi tempat perkembangbiakan (breeding site) bagi O. rhinoceros. Pada kebun-kebun yang sudah tua, serangan akibat O. rhinoceros membuat pihak perkebunan melakukan tindakan peremajaan kebun menjadi lebih cepat (Susanto dan Brahmana 2008).

Universitas Sumatera Utara 5

Serangan hama ini pada tanaman memperlihatkan ciri yang khas, yaitu daun yang telah membuka berbentuk seperti huruf V terbalik. Serangan pada tanaman yang masih muda dapat menurunkan hasil hingga 60% pada tahun pertama dan bahkan dapat menimbulkan kematian pada tanaman muda (Buana et al. 2006). Berbagai teknik pengendalian dilakukan oleh perusahaan perkebunan dalam mengendalikan serangan O. rhinoceros seperti penggunaan feromon

(Kamarudin et al. 2007; Ragoussis et al. 2007), pengutipan larva (handpicking) dan penggunaan insektisida. Penggunaan feromon sangat baik untuk mengurangi dan menurunkan populasi hama walaupun berbiaya mahal (Lukmana dan Alamudi

2017) sedangkan penggunaan insektisida carbofuran dan cypermetrin berdampak terhadap lingkungan (Bedford 2014). Silaban (2016) melaporkan bahwa biaya yang dikeluarkan oleh perkebunan PTPN IV afdeling III Kebun Laras Kabupaten

Simalungun, Provinsi Sumatera Utara dengan luasan kebun sekitar 94 ha untuk mengendalikan hama O. rhinoceros dengan insektisida kimiawi dalam kurun waktu 2015-2016 mencapai Rp 240.498.596. Oleh karena itu pengendalian O. rhinoceros difokuskan pada tindakan preventif yaitu dengan melakukan pengendalian pada tingkat pradewasa dari hama tersebut dengan berbagai cara yaitu dengan menghilangkan dan meminimalkan tempat perkembangbiakan

(breeding site), mengumpulkan larva dan pupa, pemanfaatan musuh-musuh alami

O. rhinoceros serta mengeluarkan kumbang dari lubang gerekan ( Cahyasiwi et al.

2010; Susanto et al. 2010).

Produk olahan kelapa sawit harus terbebas dari kandungan zat kimia yang berbahaya seperti tuntutan program RSPO, oleh karena itu pengendalian hama

Universitas Sumatera Utara 6

yang menggunakan insektisida kimia harus dikurangi. Mahalnya biaya pengendalian kimiawi dan dampak negatif yang ditimbulkannya dalam pengendalian hama O. rhinoceros, membuka peluang pengendalian hayati sebagai alternatif pengendalian yang lebih ramah lingkungan untuk mengendalikan populasi O. rhinoceros. Pemanfaatan pengendalian hayati untuk O. rhinoceros saat ini kebanyakan adalah dengan memanfaatkan entomopatogen seperti virus

Baculovirus oryctes dan jamur Metarhizium anisoplia, walaupun daya patogenitasnya di lapangan belum optimal dalam mengendalikan O. rhinoceros

(Gopal et al. 2006). Marheni (2012) mendapatkan semut M. castanea sebagai predator bagi O. rhinoceros. Semut ini memangsa hama pada stadia larva maupun pupa. Di perkebunan kelapa sawit, semut ini hidup di batang-batang kelapa sawit yang tumbang dan melapuk. Stadia pradewasa O. rhinoceros juga hidup dan berkembang di batang-batang kelapa sawit yang melapuk. Adanya kesamaan relung tempat hidup antara semut M. castanea dan stadia pradewasa O. rhinoceros membuka peluang bagi semut M. castanea menjadi agens hayati yang berpotensi untuk dapat menekan perkembangan hama O. rhinoceros, tetapi informasi mengenai semut predator ini masih sedikit sekali. Oleh karena itu berbagai kajian yang terkait keberadaan semut M. castanea seperti bioekologi, kemampuan memangsa, preferensi pemangsaan, tanggap fungsional semut predator ini perlu dilakukan untuk mendukung program RSPO (Rountable Sustainable Palm Oil) dan memberikan landasan pengelolaan hama O. rhinoceros pada perkebunan kelapa sawit.

Universitas Sumatera Utara 7

1.3 Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan informasi dan pengetahuan dasar tentang semut predator M. castanea.

1. Mengeksplorasi keberadaan semut M. castanea di perkebunan kelapa

sawit dan memahami karakteristik mikro habitatnya.

2. Mengetahui biologi semut M. castanea pada mangsa O. rhinoceros.

3. Mengetahui dan mendapatkan kemampuan memangsa M. castanea pada

larva O. rhinoceros di laboratorium dan di lapangan.

4. Mengetahui preferensi mangsa dan tanggap fungsional semut M. castanea

pada mangsa O. rhinoceros.

1.4 Manfaat Penelitian

Informasi dan pengetahuan yang terkumpul tentang bioekologi dan potensi semut predator diharapkan dapat memperkaya informasi yang telah ada tentang semut predator M. castanea dan memberikan landasan penyusunan strategi pengelolaan hama O. rhinoceros pada tanaman kelapa sawit.

Universitas Sumatera Utara 8

KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN

PERUMUSAN MASALAH

 Kumbang tanduk O. rhinoceros merupakan hama utama pada tanaman kelapa sawit.  Sebelumnya hanya bermasalah pada kebun TBM, sekarang juga menjadi masalah pada kebun TM  Timbulnya kekhawatiran terhadap dampak buruk penggunaan pestisida  Mencoba melakukan pengendalian dengan memanfaatkan musuh alami serangga predator M. castanea  Perlunya mempelajari bioekologi dan kapasitas pemangsaan serangga predator terhadap hama kumbang O.rhinoceros

KHASANAH PENGETAHUAN PENYUSUNAN KERANGKA ILMIAH BERPIKIR

 Pengetahuan tentang bioekologi  Mengeksplorasi keberadaan semut semut M. castanea dapat M. castanea dan memahami mengoptimalkan peran semut ini karakteristik mikro habitatnya. sebagai agens hayati.  Mendapatkan bioekologi predator  Serangga predator M. castanea M. castanea dengan mangsa utama O. berpotensi mengendalikan hama rhinoceros kumbang tanduk pada kelapa sawit  Upaya pemanfaatan dan peningkatan dan mengurangi dampak negatif peran serangga predator M. castanea penggunaan pestisida. untuk mengendalikan hama O.  Ada perbedaan daya pemangsaan rhinoceros dan mengurangi dampak serangga predator dan preferensi negatif penggunaan insektisida. predator terhadap stadia instar  Mengetahui tanggap fungsional dan mangsa. preferensi mangsa predator terhadap  Serangga predator mempunyai berbagai stadia instar mangsa. karakteristik lingkungan tertentu  Mengetahui kemampuan pemangsaan yang dapat mendukung perkembang M. castanea di laboratorium dan biakannya di lapangan. lapangan.  Kehadiran serangga predator dapat mengendalikan hama dan meningkatkan hasil tanaman.

Bioekologi semut predator M. castanea sebagai pemangsa hama kumbang tanduk O.rhinoceros pada tanaman kelapa sawit

Gambar 1.1 Kerangka Konseptual Penelitian.

Universitas Sumatera Utara 9

DAFTAR PUSTAKA

[BBPPTP] Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2008. Teknologi Budidaya Kelapa Sawit. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2018. Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2017. Jakarta: BPS 100pp

Bedford, G.O. 2013. Biology and management of palm dynastid beetles: recent advances. Ann. Rev. Entomol. 58:353-372.

______2014. Advances in the control of rhinoceros beetle, Oryctes rhinoceros in oil palm. J. Oil Palm Res. 26(3):183-194.

Buana, L., Siahaan, D. & Adipura S. 2006. Pedoman Pemeliharaan Tanaman Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS). Medan.

Cahyasiwi, L., Wood, B.J., Lubis, F.I. & Caudwell, R. 2010. The economic of Oryctes attack in palm replants, International Oil Palm Conference, Indonesian Oil Palm research Institute (IOPRI). Yogyakarta. Indonesia 1- 3 June 2010.

Ditjen Perkebunan. 2018. Statistik Perkebunan Indonesia. 2016-2017 Kelapa sawit. Sekretariat Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian. Jakarta.

Gopal, M., Gupta, A. & Thomas, G. V. 2006. Prospects of using Metarhizium anisopliae to check the breeding of pest, Oryctes rhinoceros L. in coconut leaf vermicomposting sites. Biores. Technol. 97(15):1801-1806.

Huger, A.M. 2005. The Oryctes virus: its detection, identification, and implementation in biological control of the coconut palm rhinoceros beetle, Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae). J. Invertebrate Pathol. 89(1):78-84.

Indriyanti, D. R., Widiyaningrum, P., Slamet, M. & Maretta, Y. A. 2017. Effectiveness of Metarhizium anisopliae and Entomopathogenic Nematodes to Control Oryctes rhinoceros Larvae in the Rainy Season. Pakistan J. Biol. Sci. 20(7):320-327.

Ito F. 2010. Notes on the Biologyof the Oriental Amblyoponinae ant Myopopone castanae: Queen-worker dimorphism, worker polymorphism an larval hemolymph feeding y workers (Hymenoptera: Formicidae). Entomol. Sci. 13:199-204.

Universitas Sumatera Utara 10

Junaedi, D., Bakti, D. & Zahara, F. 2014. Daya Predasi Myopopone castaneae (Hymenoptera: Formicidae) Terhadap Larva Oryctes rhinoceros L (Coleoptera: Scarabaeidae) di Laboratorium. J. Online Agroekoteknologi. 3(1):112-117.

Kamarudin, N.H., Wahid, M.B., Moslim, R. & Ali, S.R.A. 2007. The effects of mortality and influence of pheromone trapping on the infestation of Oryctes rhinoceros in an oil palm plantation. J. Asia-Pacific Entomol. 10(3):239-250.

Lukmana, M. & Alamudi, F. 2017. Monitoring Hama Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros L.) Pada Tanaman Kelapa Sawit Belum Menghasilkan Di PT Barito Putera Plantation. Agrisains. 3(02):59-63.

Manjeri, G., Muhamad, R. & Tan, S. G. 2014. Oryctes rhinoceros beetles, an oil palm pest in Malaysia. Ann. Res. Rev. Biol. 4(22):3429.

Marheni. 2012. Karakteristik Bioekologi Orytes rhinoceros (L.) pada Pertanaman Kelapa Sawit. [Disertasi]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Moslim, R., Wahid., M. B, Kamarudin, N., Mukesh, S. & Ali, S. R. A. 1999. Impact of Metarhizium anisopliae (Deuteromycotina: Hyphomycetes) applied by wet and dry inoculum on oil palm rhinoceros beetles, Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae). J. Oil Palm Res. 11(2):25-40.

Nuriyanti, D.D., Widhiono, I. & Suyanto, A. 2016. Faktor-Faktor Ekologis yang Berpengaruh terhadap Struktur Populasi Kumbang Badak (Oryctes rhinoceros L.). Biosfera. 33(1):13-21.

Ragoussis, V., Giannikopoulos, A., Skoka, E. & Grivas, P. 2007. Efficient synthesis of (±)-4-methyloctanoic acid, aggregation pheromone of rhinoceros beetles of the genus Oryctes (Coleoptera: Dynastidae, Scarabaeidae). J. Agri. Food Chem. 55(13):5050-5052.

Ramle, M., Wahid, M.B., Norman, K., Glare, T.R. & Jackson, T.A. 2005. The incidence and use of Oryctes virus for control of rhinoceros beetle in oil palm plantations in Malaysia. J. Invertebrate Pathol. 89(1):85-90.

Silaban, M.E. 2016. Kajian Biaya Pengendalian Hama Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros) Pada Tanaman Belum Menghasilkan Kelapa Sawit Secara Kimia Di Afdeling III Kebun Laras PT. Perkebunan Nusantara IV. Laporan Tugas Akhir. Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Agrobisnis Perkebunan (STIPAP) Medan.

Universitas Sumatera Utara 11

Sudharto, P.S., Susanto, A., Purba, R.B. & Drajat, Y.B. 2006. Teknologi pengendalian hama dan penyakit kelapa sawit, siap pakai dan ramah lingkungan. Pusat penelitian Kelapa Sawit (PPKS). Medan.

Susanto, A. & Brahmana, J. 2008. Serangan Oryctes rhinoceros pada tanaman kelapa sawit menghasilkan (TM). Warta PPKS 16(1):1-7.

Susanto, A., Dongoran, A.P., Fahridayanti., Lubis, A.F. & Prasetyo A. 2005. Pengurangan Populasi Larva Oryctes rhinoceros Pada Sistem Lubang Tanam Besar. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit. 13(1): 1-9

Susanto, A., Purba, R.Y. & Prasetyo, A.E. 2010. Hama dan Penyakit Kelapa Sawit Vol. 1. PPKS Press. Medan

Susanti, R., 2016. Bionomi Semut Myopopone castanea Smith (Hymenoptera: Formicidae) sebagai Predator Oryctes rhinoceros L (Coleoptera: Scarabaeidae) pada Onggokan Batang Sawit di Laboratorium. [Tesis]. Universitas Sumatera Utara.

Widihastuty, Tobing M.C., Marheni. & Kuswardani, R.A. 2018. Prey preference Myopopone castanea (Hymenoptera: Formicidae) toward larvae Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae). IOP Publishing: IOP Conference Series: Earth and Environmental Science 122(1):7pp.

Universitas Sumatera Utara 12

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bioekologi Oryctes rhinoceros

Menurut Kalshoven (1981), kumbang tanduk O. rhinoceros (Coleoptera:

Scarabaeidae) merupakan salah satu serangga hama yang banyak menyerang tanaman kelapa dan kelapa sawit di Indonesia. Serangga ini bermetamorfosis sempurna dan memerlukan waktu yang lama untuk berkembang biak. Total waktu yang diperlukan untuk melengkapi siklus hidupnya lebih dari satu tahun. Siklus hidup kumbang ini bervariasi tergantung pada habitat dan kondisi lingkungannya.

Musim kemarau yang panjang dan jumlah makanan yang sedikit akan memperlambat perkembangan larva serta ukuran imago yang lebih kecil dari ukuran normal. Suhu yang sesuai untuk perkembangan larva adalah 27-29 0C dengan kelembapan relatif 85-95% (Bedford 1980; Bedford 2013).

Telur kumbang berwarna putih kekuningan dengan diameter 3 mm. Telur diletakkan di dalam material organik di sekitar tanaman sebagai sumber pakan.

Bentuk telur biasanya oval kemudian menjadi bulat satu minggu kemudian. Lama stadia telur berkisar 8-12 hari. Kemampuan kumbang betina untuk meletakkan telur bisa mencapai 100 butir (Darwis 2003). Stadia larva terdiri atas 3 instar.

Larva berwarna putih kekuningan, berbentuk silinder, gemuk dan berkerut-kerut, melengkung membentuk setengah lingkaran dengan panjang sekitar 60-100 mm atau lebih. Lama stadia larva sekitar 82-207 hari. Prapupa bentuknya mirip dengan larva, hanya saja ukurannya lebih kecil dari larva instar terakhir, bentuknya menjadi berkerut dan kurang aktif bergerak ketika diganggu. Lama stadia prapupa sekitar 8-13 hari. Pupa berwarna coklat kekuningan dengan

Universitas Sumatera Utara 13

panjang berkisar 5-8 cm. Waktu perkembangan pupa berlangsung antara 18-23 hari (Gambar 2.1). Kumbang yang baru muncul dari pupa akan tetap tinggal ditempatnya antara 15-20 hari, kemudian baru terbang keluar (Borror 1992;

Kalshoven 1981).

Imago berwarna cokelat gelap sampai hitam, mengkilap, panjang 35-50 mm dan lebar 20-23 mm dengan satu tanduk yang menonjol pada bagian kepala.

Imago jantan memiliki tanduk yang lebih panjang dari betina, sedangkan betina memiliki banyak rambut pada ujung ruas terakhir abdomen sedangkan pada jantan tidak ada. Umur betina lebih panjang dari umur yang jantan. Lama hidup imago adalah sekitar 6-9 bulan (Kalshoven 1981; Norman et al. 2004).

Gambar 2.1 Siklus Hidup Oryctes rhinoceros (Pemakaian gambar telah medapat izin tertulis dari Agus Susanto: Lampiran 5).

Iklim dan faktor kualitas pakan berpengaruh pada ukuran larva dan waktu yang diperlukan untuk mematangkan larva (Marheni 2012; Indriyanti et al.

2017). Imago O. rhinoceros meletakkan telur pada tumpukan bahan-bahan organik di sekitar tanaman inangnya. Pada perkebunan kelapa sawit, kelompok

Universitas Sumatera Utara 14

telur O. rhinoceros biasanya ditemukan di batang-batang kelapa sawit yang telah tumbang dan melapuk atau batang kelapa sawit yang membusuk karena penyakit busuk pangkal batang Ganoderma. Limbah tandan kosong kelapa sawit yang dikembalikan ke kebun-kebun, saat ini juga menjadi tempat perkembangbiakan O. rhinoceros (Marheni 2012). Ketersediaan limbah bahan-bahan organik ini menjadi faktor yang dapat meningkatkan populasi O. rhinoceros di lingkungan pertanaman. Selain faktor ketersediaan bahan-bahan organik sebagai tempat reproduksi, faktor-faktor fisik yang mempengaruhi perkembangan larva kumbang

O. rhinoceros adalah suhu, kelembapan, serta intensitas cahaya. Kombinasi ketersediaan limbah bahan-bahan organik serta ditunjang oleh faktor-faktor abiotik yang sesuai akan mempercepat perkembangbiakan dan meningkatkan kelimpahan populasi O. rhinoceros (Nuriyanti et al. 2016). Liew dan Sulaiman

(1993) mendapatkan bahwa tanaman penutup tanah setinggi 0,6–0,8 m dapat mengurangi perkembangbiakan kumbang O. rhinoceros.

Southwood (1962) mengelompokkan habitat O. rhinoceros menjadi dua yaitu: habitat permanen dan habitat sementara. Habitat permanen adalah habitat yang mempunyai daya dukung yang tinggi bagi keberlangsungan hidup O. rhinoceros sedangkan habitat sementara adalah habitat yang ephemeral yang berubah-ubah dan mempunyai daya dukung yang rendah. Kebun-kebun yang menghasilkan dikelompokkan sebagai habitat yang permanen karena di kebun- kebun yang produktif, besar kemungkinan banyak terdapat pohon-pohon yang tumbang dan melapuk karena penyakit Ganoderma dan juga tumpukan tandan kosong yang dikembalikan ke kebun sebagai bahan organik. Tempat-tempat ini

Universitas Sumatera Utara 15

menjadi tempat perkembangbiakan O. rhinoceros, sedangkan kebun-kebun TBM merupakan habitat sementara bagi O. rhinoceros.

Bedford (1980) menjelaskan bahwa larva O. rhinoceros tertarik pada suhu

27-29 °C dan menghindari suhu yang lebih rendah. Tingkah laku larva dipengaruhi oleh faktor cahaya. Di lingkungan alami, jika larva ditempatkan pada permukaan medium perkembangbiakan larva akan cepat bergerak turun menjauhi cahaya. Larva bergerak mengikuti fototaktis negatif, hal ini merupakan adaptasi untuk menghindar dari pemangsa. Larva tertarik pada kelembapan yang tinggi

(85-95%). Mekanisme ini dapat berjalan tunggal atau kombinasi untuk menuntun larva keluar dari kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan untuk pertumbuhan atau perkembangan (Bedford 1980; Bedford 2013).

Imago aktif dan terbang dari tempat persembunyiannya menjelang senja, sekitar pukul 18.00-21.00 WIB, dan jarang dijumpai pada waktu larut malam.

Kemampuan terbang imago dalam keadaan normal dan kelimpahannya tinggi hanya berkisar 50 m (short flights), dan bila pada kondisi lingkungan tidak menguntungkan, kumbang ini mampu melakukan penerbangan jauh (longer flights) yang bisa mencapai 750 yard atau sekitar 685,8 m (Catley 2009).

Kamaruddin dan Wahid (2004) menyatakan bahwa kemampuan terbang imago O. rhinoceros bisa mencapai rata-rata 19 m/hari. Curah hujan yang tinggi dapat menurunkan aktifitas terbang imago. Kumbang dewasa terbang ke pucuk pada malam hari, dan mulai bergerak ke bagian dalam melalui salah satu ketiak pelepah bagian atas pucuk. Biasanya ketiak pelepah ketiga, keempat, kelima dari pucuk merupakan tempat masuk yang paling disukai. Setelah kumbang menggerek ke

Universitas Sumatera Utara 16

dalam batang tanaman, kumbang akan memakan pelepah daun muda yang sedang berkembang. Kumbang memakan daun yang masih terlipat, sehingga bila daun nanti membuka akan terlihat daun seperti tergunting. Bentuk guntingan ini merupakan ciri khas serangan kumbang kelapa Oryctes (Bedford 2014; Manjeri et al. 2014).

2.2 Bioekologi Myopopone castanea

Semut M. castanea merupakan semut predator dari sub famili

Amblyoponinae, biasanya banyak hidup pada kayu-kayu yang melapuk di hutan- hutan tropis. Keberadaan semut ini tersebar di wilayah Oriental dan Indo-

Australia (Zheng hui dan Qiu-ju 2011). Banyaknya alih fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, membuat semut ini juga banyak ditemukan di perkebunan kelapa sawit. Secara umum, perkembangan semut termasuk metamorfosis sempurna, dimulai dari telur, larva, pupa, dan imago.

Secara taksonomi semut predator M. castanea dapat diklasifikasikan ke dalam ordo Hymenoptera, famili Formicidae, sub famili Amblyoponinae. Semut ini merupakan satu-satunya spesies dalam genus Myopopone (Brown 1960).

Imago semut terdiri dari kasta reproduktif (jantan dan betina) serta kasta pekerja.

Semut kasta pekerja adalah semut betina yang steril. Semut jantan dan betina mempunyai sayap sedangkan semut pekerja tidak. Semut betina yang bersayap apabila sudah melakukan kopulasi dan mulai meletakkan telurnya akan menanggalkan sayapnya.

Universitas Sumatera Utara 17

Zheng hui dan Qiu-ju (2011) mendeskripsikan morfologi semut pekerja M. castanea sebagai berikut: kepala berbentuk hampir persegi panjang, margin oksipitalnya cekung, mandibula sempit dan linier, clypeus sempit dan melintang.

Antena pendek dan kokoh, terdiri dari 12 ruas. Dasar antena (antennal sockets) sepenuhnya tertutup oleh lobus frontal. Mata kecil dengan mata facet sekitar 15 buah yang terletak jauh di belakang garis tengah kepala. Ocelli tidak ada. Dorsum alitrunk relatif lurus, sisi lateral hampir vertikal. Mesonotum sangat pendek dan melintang, pronotum panjang, permukaan luar tarsi dan tibia tengah mempunyai duri yang kuat. Warna merah kecokelatan, clypeus, propodeum, petiole, dan gaster dengan rambut yang melimpah yang berwarna kuning keemasan. Penyengat terdapat di ujung abdomen. Semut kasta pekerja hidup dalam tanah dan sampah daun. Semut kasta pekerja berwarna cokelat kemerah-merahan sampai cokelat gelap.

(a) (b) Kepala semut ratu kepala semut pekerja Sumber: digambar ulang dari www.antwiki.org/wiki/Myopopone_castanea

Gambar 2.2 Kepala semut M. Castanea

Ukuran tubuh semut pekerja bervariasi dengan panjang ukuran tubuh dapat mencapai 5 mm. Lebar kepalanya berkisar 1,48–2,18 mm dan jumlah ovariol

Universitas Sumatera Utara 18

antara 6–22. Ukuran tubuh ratu semut M. castanea tergolong besar dengan lebar kepala 3,0 mm dan ovariol berjumlah 24-32. Perbedaan ratu dan semut pekerja selain ukuran tubuh adalah ratu mempunyai ocelli sedangkan semut pekerja tidak

(Gambar 2.2) (Ito 2010).

Jumlah anggota semut M. castanea dalam satu koloni terbatas, dapat mencapai ukuran puluhan atau ratusan (Masuko 2003; Ito 2010). Semut M. castanea perkembangannya adalah metamorfosa sempurna. Telurnya berbentuk lonjong memanjang dan berwarna putih. Larva terdiri dari lima instar, berwarna putih dan berbentuk vermiform. Pupa semut M. castanea berwarna orange

(Susanti 2016).

Semut M. castanea merupakan spesies semut yang menyukai kelembapan, dan banyak terdapat di hutan, daerah beriklim sedang, atau di daerah tropis

(Wilson 1971). Pada daerah panas, semut ini tinggal di dalam tanah. Kebanyakan semut dari keluarga Amblyopone dikenal sebagai predator obligat terhadap arthropoda (Masuko 2008; Ito 2010). Semut Amblyopone dan kerabatnya berbeda dari semut primitif lainnya dalam perilaku pencarian mangsa. Mereka menyukai arthopods besar sebagai mangsa, dan memiliki kecenderungan yang kuat untuk memindahkan keturunannya ke mangsa yang baru ditemukan dan dibunuh. Dalam pengamatannya pada semut M. castanea di Papua Nugini, Wilson (1971) menemukan bahwa perilaku memangsa semut ini berbeda dari kelompok semut lainnya. Bila semut lain membawa makanan atau mangsanya ke sarangnya, maka semut M. castanea membawa larvanya atau keturunannya ke tempat mangsanya ditemukan dan dibunuh.

Universitas Sumatera Utara 19

Hasyim et al. (2009) melaporkan bahwa semut ini juga merupakan predator untuk larva Cosmopolites sordidus yang merupakan hama pada pertanaman pisang di daerah Sitiung, Bukit tinggi dan Batusangkar Provinsi

Sumatera Barat. Semut menggunakan rahangnya (mandibula) untuk mengangkat mangsa. Mandibula yang kuat ini juga digunakan untuk memproses pakan dan memotong-motong mangsanya. Kekuatan mandibula ini penting bagi semut untuk berburu mangsa (Silva et al. 2010; Larabee dan Suarez 2014).

Semut M. castanea menyerang mangsanya dalam keadaan masih hidup dengan cara menggigit dan menyengatnya hingga mati lalu memakan cairan hemolimfnya. Gejala awal yang ditunjukkan pada larva O. rhinoceros adalah pada kutikula larva yang berubah menjadi warna kecokelatan dan menghitam secara bertahap. Tubuh larva akan menghitam dan rusak tercabik-cabik akibat dari gigitan dan sengatan semut M. castanea sehingga hanya tersisa bagian kutikulanya saja. Semut ini juga bisa memakan tubuh larva instar satu O. rhinoceros sampai habis (Marheni 2012; Junaedi et al. 2014; Widihastuty et al.

2018). Waktu yang diperlukan semut predator ini dalam menangani mangsanya juga tergolong singkat. Berdasarkan hasil penelitian Junaedi (2014) di laboratorium diperoleh bahwa, semut ini mampu membunuh 4-5 ekor larva instar satu O. rhinoceros dalam waktu 1 hari setelah aplikasi.

2.3 Perilaku semut mencari makan

Semut merupakan serangga sosial yang mempunyai banyak peranan penting dalam suatu ekosistem, bisa sebagai dekomposer, penyerbuk, pembuat aerasi tanah, predator dan indikator lingkungan (King et al. 1998; Sanford et al.

Universitas Sumatera Utara 20

2009; Shik dan Kaspari 2010). Sebagai serangga sosial semut memiliki sistem komunikasi untuk berhubungan dengan sesama anggota koloninya. Sistem komunikasi pada semut dapat berupa sentuhan, suara, visual dan kimiawi (Lenoir et a., 2001; Leonhardt et al. 2016). Sistem komunikasi visual dan kimiawi

(berupa feromon) merupakan hal yang umum dalam menentukan lokasi makanan pada serangga.

Perilaku semut mencari makan dapat digambarkan sebagai perilaku kompleks yang dapat diurutkan kronologisnya sebagai berikut yaitu (a) eksplorasi wilayah untuk menemukan sumber pakan, (b) lokalisasi sumber daya, (c) identifikasi dan serangan atau (d) pengumpulan sumber daya (Dejean dan

Lachaud 1992). Mangsa yang didapat atau ditemukan dibawa ke sarang, atau semut penjelajah (scout) dapat kembali ke sarang untuk mengajak semut pekerja lainnya (Brady 2003). Semut beraktivitas mencari makan berhubungan dengan daerah teritori yang dapat bersifat absolut dan spatiotemporal. Teritori absolut yaitu daerah yang dipertahankan dari musuh-musuhnya sepanjang waktu, sedangkan teritori spatiotemporal yaitu daerah tertentu yang hanya dipertahankan dari musuh-musuhnya pada waktu tertentu. Aktivitas pencarian pakan dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu: a) kebutuhan internal, b) sumber pakan, dan c) lingkungan fisik. Kebutuhan internal dipengaruhi oleh faktor lapar dan produksi larva sedangkan lingkungan fisik dipengaruhi oleh perubahan kelembapan, suhu dan panjang hari (Porter dan Tschingkle 1987).

Universitas Sumatera Utara 21

Traniello (1989), Brady (2003), Dornhaus dan Powell (2010), Lanan

(2014), menjelaskan bahwa strategi perilaku mencari pakan pada semut ada 4 yaitu:

1. Mencari makan sendiri (solitary foraging): dalam strategi ini, semut pekerja

akan menemukan, menangkap dan mengangkut pakan tanpa kerja sama atau

komunikasi yang sistematis dengan semut pekerja lain yang ada di sarang.

Dalam subfamili Amblyoponinae, strategi mencari pakan seperti ini ditemukan

pada semut Amblyopone pallipes, A. pluto, A. silvestrii (Ito 1993).

2. Tandem berjalan (tandem running); dalam strategi ini dua semut pekerja saling

bekerja sama untuk mengangkut pakan yang ditemukan. Semut penjelajah akan

menarik semut pekerja yang lain dengan menggunakan kontak antenna dan

mengarahkannya bersama-sama ke sumber pakannya.

3. Mencari pakan berkelompok (group-foraging); dalam strategi ini, semut

penjelajah memandu sekelompok semut dalam koloninya (dua atau lebih

individu) dengan meletakkan jejak feromon ke sarangnya. Selain sinyal

kimiawi, sinyal lain seperti kontak antenna juga digunakan. Ukuran kelompok

yang diajak bervariasi antar spesies. Strategi mencari pakan seperti ini dalam

subfamili Amblyoponinae ditemukan pada semut Amblyopone australis

(Hölldobler dan Palmer 1989), Mystrium rogeri (Hölldobler et al. 1998).

4. Mencari pakan secara kolektif (mass-foraging); Strategi ini dianggap sebagai

strategi rekrutmen yang paling kompleks. Semut penjelajah (scout) memandu

ratusan atau ribuan semut pekerja sekoloninya ke sumber pakan hanya dengan

cara kimiawi. Mencari pakan bersama secara kolektif adalah strategi yang

Universitas Sumatera Utara 22

dijelaskan dalam semut tentara, di mana sumber daya pakan tidak pernah

ditemukan oleh semut penjelajah tunggal, tetapi oleh kelompok yang akan

menemukan, menangkap dan mengambil mangsa. Kelompok ini benar-benar

tanpa pemimpin dan hanya jejak feromon yang digunakan untuk orientasi

antara area berburu dan sarang. Semut dari famili Amblyoponinae yang

menggunakan strategi ini adalah Onychomyrmex doddi, O. hedleyi dan O.

mjobergi.

Semut mencium bau dengan antenanya yang panjang, tipis, dan bergerak.

Sepasang antena tersebut mendeteksi tentang arah dan intensitas bau. Semut yang hidup di tanah akan menggunakan permukaan tanah untuk meninggalkan jejak feromon yang bisa diikuti oleh semut lain. Spesies-spesies semut yang mencari pakan berkelompok, semut penjelajah yang menemukan pakan akan menandai jejak dalam perjalanan kembali ke koloninya. Jejak ini diikuti oleh semut lain, sehingga akan memperkuat jejak ketika mereka kembali dengan pakan untuk koloninya. Ketika sumber pakan habis, dan tidak ada jalan baru yang ditandai, maka semut secara perlahan akan menghilangkan bau jejak. Perilaku ini membantu semut menghadapi perubahan di lingkungan mereka. Misalnya, ketika jalur yang didirikan ke sumber pakan diblokir oleh penghambat, maka semut penjelajah akan meninggalkan jalur tersebut dan mengeksplorasi rute baru. Jika semut berhasil, ia akan meninggalkan jejak baru dan menandai rute terpendek untuk kembali ke sarang. Kesuksesan jejak ini akan diikuti oleh lebih semut- semut yang lain, sehingga akan memperkuat rute yang ada dan secara bertahap mengidentifikasi jalan yang terbaik (Jackson dan Ratnieks 2006).

Universitas Sumatera Utara 23

2.4 Peranan semut dalam pengendalian hayati

de Bach (1974) mendefinisikan pengendalian hayati sebagai pengaturan populasi organisme dengan musuh-musuh alami sehingga kepadatan populasi organisme tersebut berada di bawah populai rata-ratanya dibandingkan bila tanpa pengendalian. Pengendalian hayati sebagai komponen utama Pengendalian Hama

Terpadu (PHT) pada dasarnya adalah pemanfaatan dan penggunaan musuh alami untuk mengendalikan populasi hama. Pengendalian hayati sangat dilatarbelakangi oleh berbagai pengetahuan dasar ekologi terutama teori tentang pengaturan populasi oleh pengendali alami dan keseimbangan ekosistem. Hubungan fungsional antara hama dan musuh alaminya akan berlangsung dengan baik apabila memenuhi beberapa persyaratan yaitu: a) musuh alami dapat menemukan inang atau mangsa, b) jumlah minimal populasi musuh alami mampu membunuh inang atau mangsa, c) sinkronisasi dan fenologi antara musuh alami dengan inang atau mangsa, d) selalu tersedia pakan bagi agens hayati untuk dapat bertahan hidup (de Bach 1974).

Semut sebagai salah satu serangga yang menghuni suatu ekosistem mempunyai banyak peranan penting, yaitu dapat berperan sebagai polinator dan penyebaran biji, dan juga sebagai predator pada serangga herbivor (Rizal et al.

2011; Konopik et al. 2014). Semut merupakan hewan yang sangat peka terhadap perubahan dan gangguan yang ada pada suatu habitat. Perubahan serta gangguan habitat mampu mengubah komposisi spesies semut yang ada sehingga berpengaruh terhadap perubahan interaksi tropik dan jaring makanan yang ada pada ekosistem tersebut (Philpot et al. 2010). Semut-semut invasif seperti semut

Universitas Sumatera Utara 24

A. gracilipes penyebarannya sering mendominasi komunitas semut lain dan mengungguli spesies semut asli dalam perolehan sumber daya. Invasi oleh semut ini secara ekologis dapat merusak dan mempengaruhi berbagai taksa, terutama semut asli yang ada di ekosistem tersebut (Drescher et al., 2011). Hasil penelitian

Rubiana (2014) menyatakan bahwa modifikasi dan transformasi habitat dari hutan menjadi perkebunan sawit menyebabkan perubahan terhadap struktur komunitas semut. Fayle et al. (2010) menyatakan bahwa konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, menurunkan keanekaragaman spesies hingga 74%. Keanekaragaman semut pada perkebunan kelapa sawit dinilai lebih tinggi dibanding perkebunan karet, hutan sekunder dan hutan primer serta didominasi oleh semut predator dan omnivor (Rubiana et al., 2015).

Pemanfaatan semut sebagai salah satu agens hayati telah dilakukan sejak tahun 300-an M. Bangsa Cina menggunakan semut rangrang (Oecophylla smaragdina) untuk melindungi tanaman jeruk Mandarin mereka dari serangan hama. Semut Oecophylla mampu mengurangi populasi hama pada mangga di

Australia, jeruk di Vietnam, dan kakao serta kelapa di Asia dan Afrika (Peng dan

Christian 2010). Way dan Khoo (1992) menyebutkan bahwa semut rangrang (O. smaragdina) menjadi musuh alami pada sekitar 16 spesies hama yang menyerang tanaman kakao, kelapa, kelapa sawit, mangga, eukaliptus dan jeruk. Perilaku agresif semut rangrang dalam mempertahankan daerah teritorialnya membuat semut ini berpotensi besar sebagai agens hayati.

Semut hitam Dolichoderus thoracicus, juga merupakan predator yang potensial menekan serangan hama Helopeltis sp. di perkebunan kakao di Sulawesi

Universitas Sumatera Utara 25

(Anshary dan Pasaru 2008). Herlinda et al. (2014) mendapatkan semut Solenopsis germinata dan Polyrhachis sp. sebagai predator yang melimpah pada pertanaman padi di sawah pasang surut di Sumatera Selatan. Semut Solenopsis germinata ini juga merupakan predator yang potensial untuk hama keong mas di Philipina.

Dalam waktu dua hari semut ini mampu memakan 50% telur-telur keong mas yang menempel di daun padi. Subagiya (2013) mendapatkan semut S. germinata mampu mematikan larva-larva dari penggerek batang padi sebanyak 34%.

Di perkebunan kelapa sawit, semut rangrang juga merupakan predator yang potensial dalam mengendalikan UPDKS (Ulat Pemakan Daun Kelapa

Sawit). Falahudin (2013) dan Nurdiansyah (2016) mendapatkan bahwa semut rangrang (Oecophylla smaragdina) mampu memangsa ulat api (Setora nitens) dengan tingkat pemangsaan yang cukup baik. Semut yang paling dominan berada di perkebunan kelapa sawit adalah semut gila (Anoplolepis gracilipes). Semut ini membentuk koloni besar pada perkebunan kelapa sawit dan dapat mempengaruhi sebagian besar arthropoda dan vertebrata yang ada di perkebunan kelapa sawit

(Asyifa et al. 2015; Wang dan Foster 2015). Diperkirakan semut yang ada di perkebunan kelapa sawit berjumlah sekitar 110 spesies (Brühl dan Eltz 2010;

Fayle et al. 2010). Kelimpahan semut pada tanaman kelapa sawit yang pohonnya tinggi (4 m) lebih berlimpah daripada pohon yang lebih rendah (2 m). Hal ini terkait dengan penggunaan herbisida dalam teknik pengendalian gulma yang dilakukan dan tanaman penutup tanah yang ada di perkebunan kelapa sawit tersebut (Ganser et al, 2016). Keberadaan semut predator dan omnivor pada suatu

Universitas Sumatera Utara 26

ekosistem berpotensi untuk menekan populasi serangga hama, karena semut termasuk predator yang mempunyai kisaran mangsa yang cukup luas.

DAFTAR PUSTAKA

Anshary, A. & Pasaru, F. 2008. Teknik perbanyakan dan aplikasi predator Dolichoderus thoracicus Smith (Hymenoptera: Formicidae) untuk pengendalian penggerek buah kakao Conomorpha cramerella (Snellen) di perkebunan rakyat. J. Agroland. 15(4): 278-287.

Asfiya, W.A.R.A., Lach, L., Majer, J.D., Heterick, B.R.I.A.N. & Didham, R.K. 2015. Intensive agroforestry practices negatively affect ant (Hymenoptera: Formicidae) diversity and composition in southeast Sulawesi, Indonesia. Asian Myrmecol. 7:87-104.

Bedford, G.O. 1980. Biology, ecology and control palm of palm Rhinoceros beetle. Ann. Rev. Entomol. 25: 309-339.

______. 2013. Biology and management of palm dynastid beetles: recent advances. Ann. Rev. Entomol. 58:353-372.

______. 2014. Advances in the control of rhinoceros beetle, Oryctes rhinoceros in oil palm. J. Oil Palm Res. 26(3):183-194.

Borror, D.J., Triplehorn, C.A. & Johnson, N.J. 1992. Pengenalan pelajaran serangga. Yogyakarta: Gadjah Mada University.

Brady, S.G. 2003. Evolution of the army ant syndrome: the origin and long-term evolutionary stasis of a complex of behavioral and reproductive adaptations. Proceedings of the National Academy of Sciences. 100(11):6575-6579.

Brühl, C.A. & Eltz, T. 2010. Fuelling the biodiversity crisis: species loss of ground-dwelling forest ants in oil palm plantations in Sabah, Malaysia (Borneo). Biodiversity and Conservation. 19(2):519-529.

Brown, W.L Jr. 1960. Contributions toward a reclassification of the Formicidae. 3. Tribe Amblyoponini [J]. Bulletin of the Museum of Comparative Zoology at Harvard College. 122:145-230

Catley, A. 2009. The Coconut Rhinoceros Beetle Oryctes rhinoceros (L) (Coleoptera: Scarabaeidae: Dynastidae). PANS Pest Articles & New Summaries. 15(1):18-30.

Universitas Sumatera Utara 27

Darwis, M. 2003. Oryctes rhinoceros L. dan usaha pengendaliannya dengan Metarrhizium anisopliae. Perapektif. 2(2):31-44. de Bach. 1974. Biogical Control by Natural Enemies. London: Cambridge University Press. 323 p

Dejean, A. & Lachaud, J.P. 1992. Growth-related changes in predation behavior in incipient colonies of the ponerine ant Ectatomma tuberculatum (Olivier). Insectes Sociaux. 39:129-143.

Dornhaus, A. & Powell, S. 2010. Foraging and defense strategies. Ant Ecology. pp 210-230.

Drescher, J., Feldhaar, H., & Blüthgen, N. 2011. Interspecific aggression and resource monopolization of the invasive ant Anoplolepis gracilipes in Malaysian Borneo. Biotropica. 43(1):93-99.

Falahudin, I. 2013. Peranan Semut Rangrang (Oecophylla smaradigna) dalam Pengendalian Biologis pada Perkebunan Kelapa Sawit. Prosiding Konferensi AICIS XII.2604-2618.

Fayle, T.M., Turner, E.C., Snaddon, J.L., Chey, V.K., Chung, A.Y., Eggleton, P. & Foster, W.A. 2010. Oil palm expansion into rain forest greatly reduces ant biodiversity in canopy, epiphytes and leaf-litter. Basic Appl. Ecol. 11(4):337-345.

Ganser, D., Denmead, L. H., Clough, Y., Buchori, D. & Tscharntke, T. 2017. Local and landscape drivers of diversity and decomposition processes in oil palm leaf axils. Agric. and Forest Entomol. 19(1):60-69.

Hasyim, A., Azwana. & Syafril. 2009. Evaluation of natural enemies in controlling of the banana weevil borer Cosmopolites sordidus Germar in West Sumatera. Indonesian. J. Agric. Sci.10(2):43-53.

Herlinda, S., Manalu, H.C.N., Aldina, R.F., Wijaya, A. & Meidalima, D. 2014. Kelimpahan dan keanekaragaman spesies laba-laba predator hama padi ratun di sawah pasang surut. J. Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika. 14(1):1-7.

Hölldobler, B. & Palmer, J.M. 1989. Footprint glands in Amblyopone australis (Formicidae, Ponerinae). Psyche. 96:11-121.

Hölldobler, B., Obermayer, M. & Alpert, G.D. 1998. Chemical trail communication in the amblyoponine species Mystrium rogeri Forel (Hymenoptera, Formicidae, Ponerinae). Chemoecology. 8:119-123.

Universitas Sumatera Utara 28

Indriyanti, D.R., Widiyaningrum, P., Slamet, M. & Maretta, Y. A. 2017. Effectiveness of Metarhizium anisopliae and Entomopathogenic Nematodes to Control Oryctes rhinoceros Larvae in the Rainy Season. Pakistan J. Biol. Sci. 20(7):320-327.

Ito, F. 1993. Observation of group recruitment to prey in a primitive ponerine ant, Amblyopone sp.(reclinata group) (Hymenoptera: Formicidae). Insectes Sociaux. 40(2):163-167.

____ . 2010. Notes on the Biologyof the Oriental Amblyoponinae ant Myopopone castanae: Queen-worker dimorphism, worker polymorphism an larval hemolymph feeding by workers (Hymenoptera: Formicidae). Entomol. Sci. 13:199-204.

Jackson, D.E. & Ratnieks, F.L. 2006. Communication in ants. Current Biol. 16(15):570-574.

Junaedi, D., Bakti, D. & Zahara, F. 2014. Daya Predasi Myopopone castaneae (Hymenoptera: Formicidae) Terhadap Larva Oryctes rhinoceros L (Coleoptera: Scarabidae)di Laboratorium. J. Agroekoteknologi. 3(1): 112-117.

Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pest Crop In Indonesia. P.A Van der Laan. Jakarta: PT Ichtiar Baru-Van Hoeve.

Kamarudin, N. & Wahid, M. B. 2004. Immigration and activity of Oryctes rhinoceros within a small oil palm replanting area. J. Oil Palm Res. 16(2):64-77.

King, J.R., Andersen, A.N. & Cutter, A.D. 1998. Ants as bioindicators of habitat disturbance: validation of the functional group model for Australia's humid tropics. Biodiversity and Conservation. 7(12):1627-1638.

Konopik, O., Gray, C.L., Grafe, T.U., Steffan-Dewenter, I. & Fayle, T.M. 2014. From rainforest to oil palm plantations: Shifts in predator population and prey communities, but resistant interactions. Global Ecol. Conservation. 2:385-394.

Lanan, M. 2014. Spatiotemporal resource distribution and foraging strategies of ants (Hymenoptera: Formicidae). Myrmecological news/Osterreichische Gesellschaft fur Entomofaunistik. 20:53.

Larabee, F.J. & Suarez, A.V. 2014. The evolution and functional morphology of trap-jaw ants (Hymenoptera: Formicidae). Myrmecol. News. 20:25-36.

Universitas Sumatera Utara 29

Lenoir, A., d'Ettorre, P., Errard, C. & Hefetz, A. 2001. Chemical ecology and social parasitism in ants. Ann. Rev. Entomol. 46(1):573-599.

Leonhardt, S.D., Menzel, F., Nehring, V. & Schmitt, T. 2016. Ecology and evolution of communication in social . Cell. 164(6):1277-1287.

Liew, V.K. & Sulaiman, A. 1995. Penggunaan Tanaman Penutup Bumi Dalam Kawalan Pembiakan Kumbang Badak (Oryctes rhinoceros) di Kawasan Penanaman Semula- Penemuan Masa kini. Kemajuan Penyelidikan, Bil. 22. FELDA. Kuala Lumpur.

Manjeri, G., Muhamad, R. & Tan, S. G. 2014. Oryctes rhinoceros beetles, an oil palm pest in Malaysia. Ann. Res. Rev. Biol. 4(22):3429.

Marheni. 2012. Karakteristik Bioekologi Orytes rhinoceros (L.) pada Pertanaman Kelapa Sawit. [Disertasi]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Masuko, K. 2003. Larval oophagy in the ant Amblyopone silvestrii (Hymenoptera, Formicidae). Insectes sociaux. 50(4):317-322.

______2008. Larval stenocephaly related to specialized feeding in the ant genera Amblyopone, Leptanilla and Myrmecina (Hymenoptera: Formicidae). Arthropod Structure and Development. 37(2):109-117.

Norman, Hj K., Basri, B.W., Ramle,. M, Siti Ramlah, A.A. & Zulkepli, M. 2004. Bagworms, nettle caterpillars and rhinoceros beetle – Biology, life cycle and control on oil palms in Malaysia. International Conference on Pests and Diseases of Importance to the Oil Palm Industry. (MPOB). Kuala Lumpur, Malaysia 18-19 May 2004.

Nurdiansyah, F., Denmead, L. H., Clough, Y., Wiegand, K. & Tscharntke, T. 2016. Biological control in Indonesian oil palm potentially enhanced by landscape context. Agric. Ecosystems. Environ. 232:141-149.

Nuriyanti, D.D., Widhiono, I. & Suyanto, A. 2016. Faktor-Faktor Ekologis yang Berpengaruh terhadap Struktur Populasi Kumbang Badak (Oryctes rhinoceros L.). Biosfera. 33(1):13-21.

Peng, R. & Christian, K. 2010. Ants as biological-control agents in the horticultural industry. Di dalam: Lach L, Parr CL, Abbott KL, editor. Ant Ecology. New York (US): Oxford University Press Inc. pp:123-124

Philpott, S.M., Perfecto, I., Ambrecht, I. & Parr, C.L. 2010. Ant diversity and function in disturbed and changing habitats. Di dalam: Lach L, Parr C.L, Abbott K.L, editor. Ant Ecology. New York (US): Oxford University Press Inc. pp:137-156

Universitas Sumatera Utara 30

Porter, S.D. & Tschinkel, W.R. 1987. Foraging in Solenopsis invicta (Hymenoptera: Formicidae): effects of weather and season. Environ. Entomol. 16(3):802-808.

Rizal, S., Falahudin, I. & Endarsih, T. 2011. Keanekaragaman semut predator permukaan tanah (Hymenoptera: Formicidae) di perkebunan kelapa sawit SPPN Sembawa Banyuasin. Sainmatika 8(1):37-42.

Rubiana, R. 2014. Pengaruh transformasi habitat terhadap keanekaragaman dan struktur komunitas semut di Jambi [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Rubiana, R., Rizali, A., Denmead, L. H., Alamsari, W., Hidayat, P., Pudjianto, Hindayana, D., Clough, Y., Tscharntke, T. & Buchori, D. 2015. Agricultural land use alters species composition but not species richness of ant communities. Asian Myrmecol. 7: 73-85.

Sanford, M.P., Manley, P.N. & Murphy, D.D. 2009. Effects of urban development on ant communities: implications for ecosystem services and management. Conservation Biol. 23(1):131-141.

Shik, J.Z. & Kaspari, M. 2010. More food, less habitat: how necromass and leaf litter decomposition combine to regulate a litter ant community. Ecol. Entomol. 35(2):158-165.

Silva, R.R. & Brandao, C.R.F. 2010. Morphological patterns and community organization in leaf‐litter ant assemblages. Ecol. Monographs. 80(1):107- 124.

Southwood, T.R.E. 1962. Migration of terrestrial in relation to habitat. Biol. Rev. 37(2):171-211.

Subagiya. 2013. Kajian efektifitas pengendalian hama padi secara alami dengan semut predator yang bersarang di tanah (Solenopsis germinata F). J. Ilmu Tanah dan Agroklimatologi. 10(1).

Susanti, R. 2016. Bionomi Semut Myopopone castanea Smith (Hymenoptera: Formicidae) sebagai Predator Oryctes rhinoceros L (Coleoptera: Scarabaeidae) pada Onggokan Batang Sawit di Laboratorium. [Tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Susanto, A., Prasetyo, A.E., Sudharto. dan Priwiratama, H. & Rozziansha T.A.P. 2012. Pengendalian Terpadu Oryctes rhinoceros di perkebunan kelapa sawit. Medan: Pusat Penelitian Kelapa Sawit.

Universitas Sumatera Utara 31

Traniello, J.F. 1989. Foraging strategies of ants. Ann. Rev. Entomol. 34(1):191- 210.

Way, M.J. & Khoo, K.C. 1992. Role of Ants in Pest management. Ann. Rev. Entomol. 37:479-503

Wang, W.Y. & Foster, W.A., 2015. The effects of forest conversion to oil palm on ground‐foraging ant communities depend on beta diversity and sampling grain. Ecol. Evol. 5(15):3159-3170.

Wilson, E.O. 1971. The Insect Societies. The Belknap Press of Harvard University Press. Cambridge, Massachusetts. London.

Widihastuty, Tobing M.C., Marheni. & Kuswardani, R.A. 2018. Prey preference Myopopone castanea (Hymenoptera: Formicidae) toward larvae Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae). IOP Publishing: IOP Conference Series: Earth and Environmental Science 122(1):7pp. www.antwiki.org/wiki/Myopopone_castanea. Myopopone castanea. Diakses pada tanggal 20 Maret 2019.

Zheng-hui, X.U. & Qiu-ju, H. E. 2011. Description of Myopopone castanea (Smith)(Hymenoptera: Formicidae) from Himalaya Region. 昆虫分类学 报, 33(3).

Universitas Sumatera Utara 32

BAB III

EKSPLORASI KEBERADAAN SEMUT Myopopone castanea (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

Abstrak

Semut merupakan serangga sosial yang penyebarannya sangat luas dan mempunyai banyak peranan penting dalan suatu ekosistem. Semut Myopopone castanea merupakan predator untuk stadia pradewasa Oryctes rhinoceros yang merupakan satu hama penting pada pertanaman kelapa sawit. Di perkebunan kelapa sawit semut M. castanea dan stadia pradewasa O. rhinoceros hidup di batang-batang sawit yang melapuk. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi keberadaan dan karakteristik lingkungan abiotik semut M. castanea. Eksplorasi sarang semut dilakukan di dua lokasi kebun yaitu kebun kelapa sawit rakyat di kelurahan Tanah Merah Kecamatan Binjai Selatan, Kota Binjai dan kebun PTPN 2 dan PTPN 4 di Kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa koloni semut M. castanea yang ada di perkebunan kelapa sawit sangat bervariasi dalam ukuran jumlah anggota koloninya dan tahapan stadium perkembangannya. Rerata faktor-faktor abiotik yang ada di mikro habitat semut M. castanea di kebun PTPN (t = 29,7 0C, Rh = 70%, pH = 6,03 dan rasio C/N = 66,18%), sedangkan rerata untuk kebun rakyat (t = 29,1 0C, Rh = 70,9%, pH = 6,39 dan rasio C/N = 69,01%).

Kata kunci: lingkungan abiotik, Myopopone castanea, Oryctes rhinoceros, kelapa sawit. Abstract

Ants are social insect which widespread and play many important roles in an ecosystem. Myopopone castanea are predator for the pre-adult stage of pest Oryctes rhinoceros which is one of the important pests in oil palm plantations. At the oil palm plantations, M. castanea and pre-mature stadia from pests O. rhinoceros live on decaying palm oil stems. This study aimed to explore the presence and the microhabitat characteristics of M. castanea in oil palm plantation. The exploration of ant nests was carried out in two plantation locations: smallholder oil palm plantations in Tanah Merah sub-district, Binjai Selatan Subdistrict, Binjai and PTPN 2 and PTPN 4 in Deli Serdang and Serdang Bedagai districts, North Sumatra Province. The results showed that the colonies of M. castanea in both of plantations vary greatly in the size of the number and stage of the ant development stage. Average of abiotic factors in the microhabitat of M. castanea ants in PTPN plantation (t = 29.7 0C, Rh = 70%, pH = 6.03 and C/N ratio = 66.18%), while for smallholder plantation (t = 29.1 0C, Rh = 70.9%, pH = 6.39 and C/N ratio = 69.01%).

Keywords: abiotic environment, Myopopone castanea, Oryctes rhinoceros, oil palm.

Universitas Sumatera Utara 33

3.1 Pendahuluan

Semut merupakan serangga sosial yang penyebarannya sangat luas, memiliki keanekaragaman dan daya adaptasi yang tinggi sehingga keberadaannya dapat ditemukan di semua habitat. Kehadiran semut dalam suatu ekosistem dapat mengindikasikan tentang baik atau tidaknya suatu ekosistem dan dapat memberikan gambaran tentang keberadaan organisme lain dalam ekosistem tersebut (El Bokl et al. 2015; Tiede et al. 2017). Dalam suatu ekosistem semut menempati berbagai relung ekologi dan memainkan peranan yang penting seperti berperan sebagai penyerbuk, predator bagi serangga herbivor maupun pemakan bangkai (scavengers). Peranan semut sebagai predator dalam suatu ekosistem telah banyak dilaporkan (Yamazaki 2010; de Oliveira et al., 2012; Dassou et al.

2015). Berbagai spesies dari kelompok semut banyak digunakan sebagai agens hayati untuk pengendalian hama tanaman perkebunan, diantaranya semut rangrang (Oecophylla smaragdina) mampu memangsa ulat api (Setora nitens) dengan tingkat pemangsaan cukup tinggi 83% (Falahudin 2013; Nurdiansyah

2016). Dolichoderus thoracicus, mampu menekan serangan Helopeltis sp. di perkebunan kakao di Sulawesi (Anshary dan Pasaru 2008). Habitat dan mikro habitat serta faktor-faktor lingkungan mempengaruhi keberadaan semut predator.

Semut termasuk organisme yang sangat peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dilingkungannya (Latumahina 2015).

Semut Myopopone castanea (Hymenoptera: Formicidae) merupakan semut dari subfamili Amblyoponinae yang sebagian besar spesiesnya merupakan semut predator (Ito 2010). Di Indonesia semut ini merupakan predator terhadap Oryctes

Universitas Sumatera Utara 34

rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) yang merupakan salah satu hama penting pada pertanaman kelapa sawit (Marheni 2012). Semut ini menyerang stadium pradewasa O. rhinoceros (larva dan pupa). Semut M. castanea banyak terdapat di hutan, daerah beriklim sedang, atau di daerah tropis. Pada daerah panas, semut ini tinggal di dalam tanah (Wilson 1971). Di perkebunan kelapa sawit, semut M. castanea bisa ditemukan di dalam batang-batang kelapa sawit yang tumbang dan sudah melapuk karena sudah tua ataupun karena penyakit busuk pangkal batang.

Larva O. rhinoceros di perkebunan kelapa sawit biasanya juga hidup di batang- batang kelapa sawit yang melapuk dan di tumpukan bahan organik. Adanya kesamaan relung (niche) antara semut M. castanea dan larva O. rhinoceros membuka peluang yang besar untuk memanfaatkan semut predator ini sebagai agens hayati untuk hama O. rhinoceros melalui program augmentasi musuh alami.

Augmentasi musuh alami adalah usaha untuk memperbanyak, menaikkan dan memperbesar populasi musuh alami yang awalnya dilakukan di laboratorium melalui kegiatan perbanyakan massal musuh alami (mass rearing). Untuk dapat melakukan perbanyakan massal suatu agens hayati perlu dipahami aspek-aspek ekologi musuh alami tersebut. Informasi tentang aspek-aspek ekologi semut M. castanea ini terutama yang melingkupi mikro habitatnya di kebun-kebun kelapa sawit belum ada. Untuk itu perlu digali informasi mengenai aspek ekologi semut

M. castanea di lapangan terutama tentang mikro habitat semut tersebut di kebun- kebun kelapa sawit, sehingga dapat diterapkan untuk perbanyakan massal semut ini di laboratorium.

Universitas Sumatera Utara 35

3.2 Bahan dan Metode

Penelitian dilaksanakan dari bulan Februari sampai Juli 2018 dengan metode eksplorasi di kebun kelapa sawit milik PTPN 2 dan PTPN 4 di daerah

Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang Bedagai serta di kebun kelapa sawit milik rakyat di daerah Kelurahan Tanah Merah, Kecamatan Binjai Selatan

Kota Binjai Provinsi Sumatera Utara.

3.2.1 Eksplorasi Sarang Semut

Pencarian koloni semut M. castanea dilakukan sebanyak 20 kali, 10 kali ke kebun kelapa sawit milik rakyat dan 10 kali ke kebun milik PTPN. Umur tanaman kelapa sawit yang dieksplorasi di kebun-kebun PTPN dan di kebun rakyat berkisar 15-20 tahun. Semut M. castanea di perkebunan kelapa sawit biasa hidup di batang-batang dan tunggul-tunggul batang kelapa sawit yang telah tumbang dan melapuk karena sudah tua atau mati karena penyakit busuk pangkal batang (Gambar 3.1). Batang sawit atau tunggul batang yang telah melapuk tersebut dipotong-potong dan dicacah untuk mencari koloni semut, bila ada koloni semut ditemukan maka alat pengukur suhu (thermometer), kelembapan

(higrometer) dan pH (pH meter) ditancapkan ke sarang semut untuk mengukur lingkungan abiotik di sarang semut tersebut. Setelah pengukuran faktor abiotik dicatat dan selesai dilakukan, maka semut-semut yang didapat, dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam kotak plastik berikut potongan-potongan batang kelapa sawit sarang semut tersebut dan dibawa ke Laboratorium Hama Tanaman Fakultas

Pertanian USU untuk perbanyakan massal. Di laboratorium, dilakukan penghitungan jumlah anggota tiap-tiap koloni semut yang didapatkan. Potongan

Universitas Sumatera Utara 36

batang kelapa sawit tempat sarang semut tersebut kemudian dianalisis rasio C/N nya di laboratorium Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Medan dan laboratorium PT Nusa Pusaka Kencana Asian Agri, Medan. Untuk mengetahui senyawa volatil yang ada pada batang kelapa sawit sarang semut M. castanea tersebut, maka potongan dan serpihan batang kelapa sawit tersebut dibawa ke laboratorium Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) untuk dianalisis menggunakan spektrum GC-MS.

A B

Gambar 3.1 Sarang semut M. castanea pada perkebunan kelapa sawit A= sarang semut di tunggul batang kelapa sawit; B= sarang semut di batang kelapa sawit yang tumbang.

3.3 Hasil dan Pembahasan

3.3.1 Koloni semut M. castanea

Dari hasil eksplorasi pencarian koloni semut M. castanea yang dilakukan di kedua lokasi kebun kelapa sawit, jumlah anggota koloni semut yang ditemukan sangat bervariasi. Tahapan stadium perkembangan semut (telur, larva, pupa dan imago) tidak selalu ditemukan pada setiap lokasi yang telah ditentukan. Beberapa koloni hanya memiliki stadium pupa dan semut pekerjanya saja, atau larva dan semut pekerjanya saja. Sangat jarang sekali dalam satu koloni tersebut diperoleh semua kelompok tahapan perkembangbiakan semut (Tabel 3.1). Di kebun kelapa

Universitas Sumatera Utara 37

Universitas Sumatera Utara 38

sawit milik rakyat, ada ditemukan koloni semut dimana semua tahapan perkembangan semut ada dalam koloni tersebut, sedangkan yang di perkebunan milik PTPN tidak ada ditemukan kelompok koloni yang lengkap. Cardoso dan

Schoereder (2014) menyatakan bahwa kelimpahan populasi semut sangat dipengaruhi oleh cakupan vegetasi termasuk serasah yang ada di lingkungan tersebut. Kebersihan kebun-kebun milik rakyat dan perawatan tanaman tidak sebaik kebun di PTPN. Tunggul-tunggul batang, pohon-pohon yang tumbang dan serasah-serasah banyak terdapat di dalam kebun. Pelepah-pelepah daun kelapa sawit terlihat banyak berserakan. Selain itu, penggunaan herbisida yang biasa dilakukan di kebun-kebun PTPN juga akan mempengaruhi keberadaan semut.

Ganser et al. (2016) menyatakan bahwa keberadaan semut pada kebun-kebun kelapa sawit dapat dipengaruhi oleh penggunaan herbisida dalam teknik pengendalian gulma yang dilakukan dan tanaman penutup tanah yang ada di perkebunan kelapa sawit tersebut. Kehadiran semut dan kelimpahannya biasanya lebih banyak di tempat-tempat yang kurang gangguan aktivitas manusia, karena semut termasuk serangga yang peka terhadap gangguan aktivitas manusia

(Latumahina 2015). Di kebun-kebun PTPN, sanitasi kebun lebih terjaga, pohon- pohon yang tumbang dan tunggul-tunggul batang kelapa sawit yang lapuk lebih sedikit. Sanitasi kebun dilakukan untuk menghilangkan tempat perkembangbiakan

O. rhinoceros.

Berdasarkan hasil pengamatan di laboratorium diduga koloni semut M. castanea termasuk kelompok semut yang mempunyai ratu yang sebenarnya

(queen dealate), yaitu semut betina yang berkopulasi dan meletakkan telur, dan

Universitas Sumatera Utara 39

semut pekerja yang bisa bereproduksi (gamergate). Dalam perbanyakan massal di laboratorium, beberapa koloni semut yang tidak mempunyai semut betina calon ratu dan hanya mempunyai semut pekerja saja, ditemukan mempunyai kelompok telur. Jumlah telur yang diletakkan oleh semut gamergate ini berkisar 97-139 butir. Fenomena gamergate pada koloni M. castanea ini diperkuat dengan hasil eksplorasi pencarian semut M. castanea yang dilakukan di berbagai lokasi sarang semut, dimana kebanyakan koloni semut yang ditemukan tidak mempunyai semut ratu (Tabel 3.1). Menurut penjelasan Peeters and Ito (2001), Peeters and Fisher

(2016), lebih dari 100 spesies poneroid (sub famili Amblyoponinae, Ponerinae dan semut ektatommine) menunjukkan peristiwa gamergate. Ito (2010) menjelaskan bahwa semut M. castanea termasuk semut yang polymorphism.

Semut pekerja M. castanea mempunyai jumlah ovariol yang beragam mulai dari

6-22, sedangkan semut betina (ratu) mempunyai jumlah ovariol 24-32. Diduga semut pekerja yang memiliki jumlah ovariol yang mendekati kepada jumlah ovariol semut ratu inilah yang menjadi kandidat semut gamergate. Meskipun demikian, bagaimana mekanisme terjadinya fenomena gamergate ini pada semut- semut keluarga Amblyoponinae belum ada penelitian yang menjelaskannya.

Monnin dan Peteers (2008) menyatakan bahwa koloni semut yang gamergate umumnya jumlah anggota koloninya lebih sedikit daripada koloni semut yang mempunyai ratu yang sebenarnya.

Berdasarkan hasil pengamatan di laboratorium, semut M. castanea ini termasuk serangga nokturnal. Semut pekerja mulai aktif keluar dari log kayu tempat sarang mereka sekitar sore hari menjelang senja, demikian juga dengan

Universitas Sumatera Utara 40

semut betina dan semut jantan aktif melakukan penerbangan menjelang senja hari.

Semut betina yang telah melakukan perkawinan dan menjadi ratu akan menanggalkan sayapnya. Beberapa spesies semut seperti Camponotus irritans, C. ligniperda (Menzi 1987), Myrmecia pyriformis (Reid et al. 2013; Raderschall et al. 2016) juga bersifat nokturnal.

3.3.2 Karakteristik mikrohabitat semut M. castanea

Hasil pengukuran faktor-faktor lingkungan abiotik yang ada di sarang semut M. castanea yang dieksplorasi di kedua kebun yang berbeda dapat dilihat dalam Tabel 3.2. Rata-rata nilai suhu yang didapatkan selama eksplorasi sarang semut M. castanea pada kebun PTPN adalah 29,7 0C dan pada kebun rakyat adalah 29,1 0C (Lampiran 6). Nilai eksplorasi suhu ini tidak berbeda nyata untuk kedua kebun tersebut. Hal ini disebabkan karena kisaran umur tanaman yang ada di kebun PTPN dan di kebun kelapa sawit rakyat hampir sama yaitu berkisar antara 15–20 tahun. Kebun-kebun kelapa sawit yang berumur diantara 15–20 tahun ini kanopi tanaman sudah saling menutupi sehingga suasana di lingkungan perkebunan menjadi lebih teduh. Kisaran suhu lingkungan selama eksplorasi di lingkungan kebun adalah berkisar antara 28-31 0C (lampiran 3). Interval suhu ini termasuk dalam lingkup optimal suhu yang diinginkan serangga untuk kehidupannya.

Dalam suatu ekosistem suhu dapat mengatur pertumbuhan dan penyebaran hewan yang hidup didalamnya (Wang et al. 2001; Aneni et al. 2012; Cardoso dan

Schoereder 2014). Interaksi-interaksi yang terjadi antara berbagai organisme

Universitas Sumatera Utara 41

dalam suatu ekosistem dapat dipengaruhi oleh pengaturan faktor-faktor abiotik ekosistem tersebut (Kersch dan Fonseca 2005).

Tabel 3.2 Nilai rerata faktor lingkungan abiotik sarang semut M. castanea Indikator Kebun Rakyat Kebun PTPN Suhu (oC) 29,1±0,994 29,7±0,949 Kelembapan (%) 70,9±2,079 70,0±1,247 pH 6,39±0,368 6,03±0,177 C/N Rasio 69,01±22,860 66,18±12,165

Suhu lingkungan dapat mempengaruhi keberadaan semut. Tiede et al.

(2017) menjelaskan bahwa kelimpahan semut semakin menurun pada lingkungan yang suhunya semakin rendah. Fitzpatrick et al. (2014) menjelaskan bahwa temperatur sangat menentukan dalam aktivitas semut Forelius pruinosus,

Crematogaster opuntiae, Solenopsis aurea, dan Solenopsis xyloni, dimana semut- semut ini sangat tertarik pada nektar dari tanaman kaktus Ferocactus wislizeni.

Kehadiran semut-semut ini pada tanaman kaktus tersebut dapat melindungi tanaman dari serangan herbivor. Suhu juga dapat mempengaruhi aktivitas semut dalam mencari makan. Hasil penelitian Clemencet et al. (2010) menjelaskan bahwa ukuran semut pekerja Cataglyphis cursor (Hymenoptera: Formicidae), menentukan tingkat ketahanannya mencari makan di lingkungan yang panas.

Semut pekerja yang ukuran tubuhnya lebih besar lebih tahan terhadap suhu yang lebih tinggi daripada semut pekerja yang ukuran tubuhnya lebih kecil.

Kelembapan merupakan faktor penting yang mempengaruhi penyebaran, aktivitas, dan perkembangan serangga. Pada umumnya serangga memiliki kandungan air dalam tubuhnya sekitar 50-90%, kondisi ini dapat dipertahankan jika kelembapan lingkungan berkisar diantara nilai tersebut (Chong dan Lee

Universitas Sumatera Utara 42

2009). Kondisi lembap pada habitat dapat dipengaruhi oleh kondisi curah hujan, material sarang dan naungan di sekitar habitat (William dan Banks 1989). Semut

M. castanea termasuk semut yang menyukai tempat yang lembap untuk membuat sarangnya (Wilson 1971). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kelembapan mikro habitat semut M. castanea yang didapatkan di kebun kelapa sawit milik PTPN adalah 70,0% dan 70,9% untuk kebun kelapa sawit rakyat.

Hasil ini tidak berbeda nyata untuk kedua kebun tersebut. Sarang-sarang semut yang ditemukan selama proses eksplorasi di kedua kebun kelapa sawit tersebut, sebagian besar ditemukan pada batang-batang kelapa sawit yang batangnya terlihat sedikit basah (lembap), dan semut biasanya ditemukan di bagian bawah batang kelapa sawit yang tumbang dan melapuk tersebut (Gambar 3.2).

Ratnasari (2017) menjelaskan bahwa aktivitas semut Paratrechina longicornis yang menjadi hama pada pemukiman lebih aktif mencari makan pada saat udara lembap (cuaca mendung) daripada udara panas (cuaca cerah). Ronque et al. (2018) yang mengamati aktivitas pada semut Camponotus renggeri dan C. rufipes yang hidup di daerah savana Brasil menyatakan bahwa aktivitas semut ini sangat dipengaruhi oleh kelembapan yang ada di sekitar sarangnya. Semut-semut ini juga ditemukan hidup dan membuat sarang pada batang-batang kayu yang melapuk.

Hasil pengukuran pH yang didapatkan pada eksplorasi sarang semut di kebun PTPN rata-ratanya adalah 6,03 dan untuk kebun rakyat pH rata-ratanya adalah 6,39. Hasil pengukuran untuk kedua kebun tersebut menunjukkan pengaruh yang tidak nyata. Secara umum, nilai pH yang ada di sarang semut

Universitas Sumatera Utara 43

berada pada kisaran pH netral. Hal ini dinyatakan oleh Elahi (2005) yang mendapatkan nilai pH yang ada di sarang semut Paraponera clavata lebih tinggi

Gambar 3.2 Koloni semut M. castanea.

(6,1) daripada nilai pH tanah yang ada di sekitar sarang (5,8). Hal yang sama juga dijelaskan oleh Frouz dan Jilkova (2008) yang mendapatkan nilai pH beberapa sarang semut seperti Formica rufibarbis, F. pratensis, F. obscuripes, Lasius niger,

L. flavus berada pada kisaran nilai pH netral yaitu 6,0-8,0.

Kecepatan dekomposisi bahan organik ditunjukkan oleh perubahan imbangan C/N. Hasil rata-rata perimbangan C/N yang didapatkan di kebun kelapa sawit rakyat adalah 69,01 dan untuk kebun PTPN adalah 66,18 (lampiran

2). Hasil ini menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata diantara kedua kebun tersebut. Umur tanaman kelapa sawit yang ada di kebun rakyat dan di kebun

PTPN yang dieksplorasi dalam penelitian ini relatif sama yaitu berkisar antara 15-

20 tahun. Nilai perimbangan C/N yang didapatkan ini menunjukkan bahwa proses dekomposisi batang kelapa sawit belum sempurna, masih banyak menyisakan bagian-bagian yang berkayu. Batang sawit merupakan bahan berlignoselulosa seperti kayu. Kandungan kimia batang sawit adalah selulosa, hemisellulosa dan lignin. Unsur sellulosa berkisar 20-40%, lignin 23-52%; dan unsur-unsur lainnya

(Ridwansyah et al. 2007; Shibata et al. 2008; Hermawan et al. 2014).

Universitas Sumatera Utara 44

Laju dekompososisi (C/N) dipengaruhi oleh air, suhu dan faktor lingkungan lainnya. Dalam proses pelapukan batang sawit, mikroorganisme seperti jamur berperan penting dalam penghancuran lignin dan selulosa.

Penguraian selulosa menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana melibatkan banyak peran enzim dan mikroorganisme (Fadzilah et al. 2017, Fadillah et al.

2008). Hasil penelitian Fadzilah et al. (2017) yang menggunakan jamur-jamur seperti Trametes versicolor dan Schizophyllum commune dapat mempercepat proses dekomposisi batang kelapa sawit. Jamur Phanerochete chrysosporium merupakan jamur yang berperan penting dalam proses pelapukan kayu (Fadillah et al. 2008).

Proses penguraian selulosa menjadi senyawa-senyawa gula yang lebih sederhana inilah diduga yang mengundang semut untuk membuat sarang di batang-batang kayu yang melapuk. Zat gula ini sangat dibutuhkan dalam kehidupan semut. Untuk semut-semut yang mikrohabitatnya di pohon (arboreal), sering ditemukan koloni semut tersebut bersimbiosis dengan kutudaun, dimana kutu-kutu ini bisa menyediakan embun madu yang dibutuhkan semut untuk kehidupannya. Rasio C/N yang terlalu rendah menunjukkan proses pelapukan yang sudah lanjut, yang berimplikasi pada penurunan degradasi selulosa dan penurunan senyawa gula yang dibutuhkan semut.

3.3.3 Senyawa volatil mikro habitat M. castanea hasil analisis GC-MS

Senyawa-senyawa volatil yang didapatkan dari hasil analisis GC-MS untuk batang sawit yang melapuk didominasi oleh senyawa-senyawa hidrokarbon

Universitas Sumatera Utara 45

(Gambar 3.3). Ada 10 senyawa kimia yang dominan yang terdeteksi dari analisis GC-MS. Senyawa kimiawi yang tertinggi yang didapatkan dari hasil analisis GC-MS tersebut adalah senyawa decane dan senyawa naphthalene.

Senyawa decane ini adalah senyawa hidrokarbon yang memiliki 10 karbon dan 22 atom hidrogen yang terikat satu sama lain secara kovalen. Senyawa decane 2, 3, 5,

8-Tetramethyl termasuk dalam kelas senyawa organik yang dikenal sebagai alkana asiklik. Menurut Mujiono et al. (2015), senyawa-senyawa seperti decane

2,3,5,8 tetramethyl dan senyawa-senyawa turunan decane lainnya seperti 5-

Butylnonane; Tetradecane; 1 Hexanol, 2-ethyl-2-propyl-; 1-Undecene, dodecane

4,6-dimethyl adalah termasuk senyawa-senyawa kelompok feromon. Pada serangga ordo , senyawa-senyawa ini banyak yang bersifat sebagai atraktan, seperti pada serangga Spodoptera exigua. Senyawa-senyawa naphthalene dan senyawa turunannya menurut El-Sayed (2018) banyak yang bersifat sebagai kairomon. Yusuf et al. (2014) menemukan senyawa-senyawa naphthalene dan turunannya pada rayap Odontotermes sp. bertindak sebagai kairomone sehingga semut predator Pachycondyla analis menjadi lebih mudah mendeteksi kehadiran rayap sebagai mangsanya.

Senyawa-senyawa dari kelompok hidrokarbon merupakan senyawa- senyawa yang sangat erat berkaitan dengan kehidupan semut. Semut mengenali koloni dan sarangnya dari aroma senyawa hidrokarbon yang terdapat pada kutikula semut itu sendiri (Nowbahari 2007; Sharma et al. 2015; Abril et al.

2018). Hasil penelitian Sharma et al. (2015) menjelaskan bahwa semut menangkap senyawa hidrokarbon melalui sensor yang ada pada antenanya. Sensor

Universitas Sumatera Utara 46

yang ada pada antena semut ini dapat mendeteksi jumlah senyawa hidrokarbon yang ada pada kutikula semut, sehingga semut itu mampu membedakan kasta yang ada pada koloni semut itu sendiri atau dari koloni yang berbeda, bahkan semut mampu membedakan perbedaan yang kecil dari jumlah senyawa hidrokarbon yang hadir diantara koloninya.

Gambar 3.3 Senyawa volatil hasil analisis GC-MS dari serbuk kayu sarang semut M. castanea

Universitas Sumatera Utara 47

Kesimpulan

Koloni semut M. castanea yang ada di perkebunan kelapa sawit sangat bervariasi dalam ukuran jumlah anggota koloninya dan tahapan stadium perkembangan semut. Faktor-faktor abiotik yang ada di mikro habitat semut M. castanea di kebun PTPN suhunya berada pada rentang 28,75-30,65 0C, kelembapannya berada pada kisaran 68,75-71,25%, pH berkisar 5,85-6,21 dan rasio C/N berkisar 54,02- 78,35. Faktor-faktor abiotik untuk kebun rakyat suhu =

28,11-30,09 0C, kelembapan = 68,82-72,98%, pH = 6,02-6,76 dan rasio C/N =

46,15-91,87. Senyawa-senyawa volatil yang didapatkan dari batang kelapa sawit yang melapuk tempat sarang semut M. castanea didominasi oleh senyawa- senyawa hidrokarbon. Lingkungan abiotik yang sesuai akan mendukung kehidupan dan perkembangbiakan koloni semut M. castanea.

DAFTAR PUSTAKA

Abri,l S., Diaz, M., Lenoir, A., Paris, C.I., Boulay, R. & Gómez, C., 2018. Cuticular hydrocarbons correlate with queen reproductive status in native and invasive Argentine ants (Linepithema humile, Mayr). PloS one. 13(2):e0193115.

Aneni, T. I., Aisagbonhi, C. I., Iloba, B. N. & Adakibe, V. C. 2012. Influence of microhabitat temperature on Coelaenomenodera elaeidis and its natural enemies in Nigeria. J. African Crop Sci. 20(2):517-522.

Anshary, A. & Pasaru, F. 2008. Teknik perbanyakan dan aplikasi predator Dolichoderus thoracicus Smith (Hymenoptera: Formicidae) untuk pengendalian penggerek buah kakao Conomorpha cramerella (Snellen) di perkebunan rakyat. J. Agroland. 15(4):278-287.

Cardoso, D. C. & Schoereder, J. H. 2014. Biotic and abiotic factors shaping ant (Hymenoptera: Formicidae) assemblages in Brazilian coastal sand dunes: the case of restinga in Santa Catarina. Florida Entomol. 97(4):1443-1450.

Universitas Sumatera Utara 48

Chong, K.F. & Lee, C.Y. 2009. Influences of temperature, relative humidity and light intensity on the foraging activity of field populations of the longlegged ant, Anoplolepis gracilipes (Hymenoptera: Formicidae). Sociobiology. 54(2):531-539.

Clémencet, J., Cournault, L., Odent, A., & Doums, C. 2010. Worker thermal tolerance in the thermophilic ant Cataglyphis cursor (Hymenoptera, Formicidae). Insectes Sociaux. 57(1), 11-15.

Dassou, A. G., Carval, D., Dépigny, S., Fansi, G. & Tixier, P. 2015. Ant abundance and Cosmopolites sordidus damage in plantain fields as affected by intercropping. Biol. Cont. 81:51-57. de Oliveira, R.D.F., De Almeida, L.C., De Souza, D.R., Munhae, C.B., Bueno, O.C. & de Castro Morini, M.S. 2012. Ant diversity (Hymenoptera: Formicidae) and predation by ants on the different stages of the sugarcane borer life cycle Diatraea saccharalis (Lepidoptera: Crambidae). European J. Entomol. 109(3):381.

Elahi, R. 2005. The effect of water on the ground nesting habits of the giant tropical ant, Paraponera clavata. J. Insect Sci. 5:34.

El Bokl, M.M., Semida, F.M., Abdel-Dayem, M.S. & El Surtasi, E.I. 2015. Ant (Hymenoptera: Formicidae) Diversity And Bioindicators In The Lands With Different Anthropogenic Activities In New Damietta, Egypt. Int. J. Entomol. Res. 3(2):35-46.

El-Sayed, A.M. 2018. The Pherobase: Database of Pheromones and Semiochemicals. http://www.pherobase.com. Diakses pada tanggal 17 Maret 2019.

Fadillah, S.D., Artati, E.K. & Jumari, A. 2008. Biodelignifikasi batang jagung dengan jamur pelapuk putih Phanerochaete chrysosporium. Ekuilibrium 1(7):7-11.

Fadzilah, K., Saini, H.S. & Atong, M. 2017. Phsycochemical characteristics of Oil Palm Frond (OPF) composting with fungal inoculants. Pertanika J. Trop. Agric. Sci. 40(1): 143-160.

Falahudin, I. 2013. Peranan Semut Rangrang (Oecophylla smaradigna) dalam Pengendalian Biologis pada Perkebunan Kelapa Sawit. Prosiding Konferensi AICIS XII.2604-2618.

Fitzpatrick, G., Lanan, M.C., & Bronstein, J.L. 2014. Thermal tolerance affects mutualist attendance in an ant-plant protection mutualism. Oecologia. 176(1):129-138.

Universitas Sumatera Utara 49

Frouz, J. & Jilkova, V. 2008. The effect of ants on soil properties and processes (Hymenoptera: Formicidae). Myrmecol. News. 11:191-199.

Ganser, D., Denmead, L. H., Clough, Y., Buchori, D. & Tscharntke, T. 2017. Local and landscape drivers of arthropod diversity and decomposition processes in oil palm leaf axils. Agric. and Forest Entomol. 19(1):60-69.

Hermawan, A., Diba, F., Mariani, Y., Setyawati, D. & Nurhaida. 2014. Sifat kimia batang kelapa sawit ( guineensis Jacq) berdasarkan letak ketinggian dan kedalaman batang. J. Hutan lestari. 2(3):472-481.

Ito, F. 2010 . Notes on the biology of the Oriental amblyoponine ant Myopopone castanea: Queen‐worker dimorphism, worker polymorphism and larval hemolymph feeding by workers (Hymenoptera: Formicidae). Entomol. Sci. 13(2):199-204.

Junaedi, D., Bakti, D. & Zahara, F. 2014. Daya Predasi Myopopone castaneae (Hymenoptera: Formicidae) Terhadap Larva Oryctes rhinoceros L (Coleoptera: Scarabidae) di Laboratorium. J. Online Agroekoteknologi. 3(1):112-117.

Kersch, M.F. & Fonseca, C.R. 2005. Abiotic factors and the conditional outcome of an ant–plant mutualism. Ecology. 86(8):2117-2126.

Latumahina, F., Musyafa, M., Sumardi, S. & Putra, N. S. 2015. Respon Semut Terhadap Kerusakan Antropogenik Dalam Hutan Lindung Sirimau Ambon (Ants Response to Damage Anthropogenic in Sirimau Forest Ambon). J. Manusia dan Lingkungan, 22(2):169-178.

Marheni. 2012. Karakteristik Bioekologi Orytes rhinoceros (L.) pada Pertanaman Kelapa Sawit. [Disertasi]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Menzi, U. 1987. Visual adaptation in nocturnal and diurnal ants. J. Comp. Physiol. A. 160(1):11-21.

Monnin, T. & Peeters, C. 2008. How many gamergates is an ant queen worth?. Naturwissenschaften. 95(2):109-116.

Mujiono, K., Witjaksono, W. & Putra, N.S. 2015. The sex pheromone content of the Spodoptera Exigua (Hubner) under artificial and natural diets. Int. J. Science and Engineering. 8(2):146-150.

Nurdiansyah, F., Denmead, L. H., Clough, Y., Wiegand, K. & Tscharntke, T. 2016. Biological control in Indonesian oil palm potentially enhanced by landscape context. Agric. Ecosystems & Environ. 232:141-149.

Universitas Sumatera Utara 50

Nowbahari, E. 2007. Learning of colonial odor in the ant Cataglyphis niger (Hymenoptera; Formicidae). Learning & Behavior. 35(2):87-94.

Peeters, C. & Fisher, B. L. 2016. Gamergates (mated egg-laying workers) and queens both reproduce in Euponera sikorae ants from Madagascar. African Entomol. 24(1):180-187.

Peeters, C. & Ito, F. 2001. Colony dispersal and evolution of queen morphology in social Hymenoptera. Ann. Rev. Entomol. 46:601-630.

Raderschall, C. A., Narendra, A. & Zeil, J. 2016. Head roll stabilisation in the nocturnal bull ant Myrmecia pyriformis: implications for visual navigation. J. Experimental Biol. 219:1449-1457

Ratnasari, D. 2017. Karakterisasi habitat dan perilaku mencari makan semut Paratrechina longicornis (Hymenoptera: Formicidae) di area kampus Institut Pertanian Bogor. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Reid, S.F., Narendra, A., Taylor, R.W. & Zeil, J. 2013. Foraging ecology of the night-active bull ant Myrmecia pyriformis. Australian J. Zool. 61(2):170-177.

Ridwansyah, Nasution, M.Z., Sunarti, T.C. & Fauzi, A.M. 2007. Karakteristik sifat fisiko-kimia pati kelapa sawit. J.Tek.Ind.Pert.17(1):1-6

Ronque, M.U., Fourcassié, V. & Oliveira, P.S. 2018. Ecology and field biology of two dominant Camponotus ants (Hymenoptera: Formicidae) in the Brazilian savannah. J. Nat. History. 52(3-4):237-252.

Sharma, K.R., Enzmann, B.L., Schmidt, Y., Moore, D., Jones, G.R., Parker, J., Berger, S.L., Reinberg, D., Zwiebel, L.J., Breit, B. & Liebig, J. 2015. Cuticular hydrocarbon pheromones for social behavior and their coding in the ant antenna. Cell reports. 12(8):1261-1271.

Shibata, M., Varman, M., Tono, Y., Miyafuji, H. & Shaka, S. 2008. Characterization in chemical composition of the oil palm (). J.Jpn Inst Energy 87:383-388.

Tiede, Y., Schlautmann, J., Donoso, D.A., Wallis, C.I., Bendix, J., Brandl, R. & Farwig, N. 2017. Ants as indicators of environmental change and ecosystem processes. Ecol. Indicators. 83:527-537.

Wang, C., Strazanac, J.S. & Butler, L. 2001. Association between ants (Hymenoptera: Formicidae) and habitat characteristics in oak-dominated mixed forests. Environ. Entomol. 30(5): 842-848.

Universitas Sumatera Utara 51

Widihastuty, Tobing M.C., Marheni. & Kuswardani, R.A. 2018. Prey preference Myopopone castanea (Hymenoptera: Formicidae) toward larvae Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae). IOP Publishing: IOP Conference Series: Earth and Environmental Science 122(1):7pp.

William, D.F. & Banks, W.A. 1989. Competitive displacement of Paratrechina longicornis (Latereille) (Hymenoptera: Formicidae) from baits by fire ants in Mato Grosso, Brazil. J. Entomol Scie. 24: 381-391.

Wilson, E.O. 1971. The Insect Societies. The Belknap Press of Harvard University Press. Cambridge, Massachusetts. London.

Yamazaki, K. 2010. Parachuting behavior and predation by ants in the nettle caterpillar, Scopelodes contracta. J. Insect Sci. 10(1):39.

Yusuf, A.A., Crewe, R.M. & Pirk, C.W. 2014. Olfactory detection of prey by the termite-raiding ant Pachycondyla analis. J. Insect Sci. 14(1).

Universitas Sumatera Utara 52

BAB IV

BIOLOGI SEMUT Myopopone castanea (Hymenoptera: Formicidae) SEBAGAI PEMANGSA LARVA KUMBANG TANDUK Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae)

Abstrak

Semut adalah serangga sosial yang mempunyai banyak peran di ekosistem, antara lain berperan sebagai predator untuk berbagai serangga hama. Semut Myopopone castanea merupakan predator untuk hama Oryctes rhinoceros. Adanya kesamaan relung antara semut M. castanea dan larva O. rhinoceros membuka peluang yang besar untuk memanfaatkan semut ini sebagai agens hayati. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari biologi semut M. castanea sehingga nantinya dapat diaplikasikan untuk perbanyakan massal di laboratorium. Penelitian dilakukan dengan memelihara 50 butir telur semut M. castanea. Telur-telur tersebut diletakkan dalam setangkup potongan batang kelapa sawit bersama dengan 20 ekor semut pekerja dan 10 larva instar akhir. Percobaan dilakukan dengan lima ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama stadium telur adalah 13,8 hari. Larva semut M. castanea terdiri dari 5 instar dengan lama masing-masing stadium yang bervariasi. Stadium pupa dilalui selama 17,2 hari untuk pupa semut pekerja dan 17,9 hari untuk pupa semut betina. Tingkat keberhasilan semut M. castanea menyelesaikan daur hidupnya dari stadium telur menjadi imago sebesar 56,4%, yang berarti dari sejumlah kelompok telur yang diletakkan oleh semut ratu hanya sekitar separuhnya yang berhasil menjadi imago semut.

Kata kunci: Siklus hidup, M. castanea, predator, perbanyakan massal

Abstract Ants are social insects that have many roles in the ecosystem, including acting as predators for various insect pests. Myopopone castanea ants is a predatory ant for the pest of Oryctes rhinoceros. The existence of a similar niche of life between M. castanea ants and O. rhinoceros larvae opens a great opportunity to utilize these ants as biological agents. The research was conducted to study M. castanea ant biology so that later it can be applied to mass rearing of natural enemies in the laboratory . The study was conducted by maintaining 50 eggs of M. castanea ant. The eggs are placed on two pieces of decayed palm oil stem together with 20 individual worker ants and 10 individual end instar larvae. The experiment was conducted with five replications. The results showed that egg stadia length was 13.8 days. M. castanea ant larvae consist of 5 instars with varying lengths of each stage. Stadia pupa was passed for 17.2 days for pupa workers and 17.9 days for female ant pupae. The survival rate of M. castanea ant life from eggs until imago is 56.4%, which means that from a number of groups of eggs laid by queen ants, only about half have succeeded in becoming ant imago.

Keywords: Life cycle, M. castanea, predator, mass rearing

Universitas Sumatera Utara 53

4.1 Pendahuluan

Semut merupakan serangga sosial yang mempunyai peranan penting di ekosistem, salah satunya adalah sebagai predator bagi serangga-serangga herbivor

(Falahuddin 2013, Anshary dan Pasaru 2008, Choate dan Drummond 2011).

Peran semut sebagai musuh alami telah lama dicatat dunia sejak beberapa abad yang lalu. Jauh sebelum introduksi dan pemanfaatan kumbang Vedalia Rodolia cardinalis Mulsant sebagai pengendali kutu Icerya purchasi Maskell dari

Australia ke California yang menjadi tonggak sejarah pelaksanaan pengendalian hayati di dunia. Selain itu, petani-petani di China telah lama menggunakan semut rangrang (Oecophylla smaradigna) untuk mengendalikan hama Tessaratoma papillosa (Hemiptera) pada tanaman jeruk mereka (Herlinda dan Irsan 2015).

Sampai saat ini, pemanfaatan semut sebagai musuh alami pada berbagai komoditas tanaman telah banyak diteliti dan dilaporkan. Pada pertanaman pangan padi dan kedelai, semut menjadi predator permukaan tanah yang banyak ditemukan (Lytton 2000; Herlinda et al. 2008 ; Abtar et al. 2013), sedangkan pada tanaman perkebunan semut rangrang (Oecophylla smaradigna) dan semut

Dolichoderus sp. telah banyak dilaporkan sebagai musuh alami pada berbagai tanaman seperti kelapa sawit, kelapa, kakao, kopi dan jambu mete (Karmawati et al. 2004; Anshary dan Pasaru 2008; Falahuddin 2013; Ikbal et al. 2014; Lumentut dan Palma 2018).

Semut M. castanea yang telah dilaporkan oleh Marheni (2012) merupakan predator terhadap serangga O. rhinoceros yang menjadi salah satu hama penting pada pertanaman kelapa sawit. Semut ini menyerang stadium larva dan pupa O.

Universitas Sumatera Utara 54

rhinoceros. Di perkebunan kelapa sawit semut M. castanea ditemukan hidup dan bersarang pada batang-batang kelapa sawit yang tumbang dan melapuk, baik itu tumbang karena sudah tua ataupun tumbang karena penyakit busuk pangkal batang Ganoderma. Stadium pradewasa O. rhinoceros yang merupakan mangsa dari semut M. castanea juga hidup di batang-batang kelapa sawit yang sudah melapuk tersebut, sehingga kesamaan relung antara pemangsa dan mangsa membuka peluang yang besar untuk memanfaatkan semut M. castanea sebagai agens hayati untuk O. rhinoceros.

Semut M. castanea ini merupakan predator obligat yang banyak menyerang larva-larva Coleoptera (Wilson 1971). Semut ini melumpuhkan mangsanya dengan cara menyengat dan menggigitnya. Setelah mangsa mati, maka semut dan koloninya akan memakan cairan hemolimf dari mangsa tersebut.

Kemampuan memangsa semut M. castanea di laboratorium cukup baik yaitu dapat mencapai 5-6 mangsa larva instar 1 dan 2 perhari (Marheni 2012; Junaedi et al. 2014; Widihastuy et al. 2018a), sedangkan kemampuan memangsa semut M. castanea di lapangan dapat mencapai 46,87% pada kebun TBM dan 50,3% pada kebun TM selama 5 hari pemaparan (Widihastuty et al. 2018b).

Untuk dapat mengoptimalkan peran semut M. castanea sebagai agens hayati terhadap hama O. rhinoceros, maka perlu digali berbagai informasi yang diperlukan untuk mengembangkannya melalui kegiatan perbanyakan massal di laboratorium. Informasi tentang biologi semut M. castanea masih sangat sedikit dan terbatas. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menggali informasi tentang biologi semut M. castanea, sehingga nantinya dapat

Universitas Sumatera Utara 55

dikembangkan sebagai agens hayati yang potensial terhadap hama O. rhinoceros di pertanaman kelapa sawit.

4.2 Bahan dan Metode

Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai dengan bulan Agustus

2017 di Laboratorium Hama Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Sumatera

Utara Medan.

4.2.1 Pengumpulan Serangga Uji

Semut M. castanea dikumpulkan dari batang-batang kelapa sawit yang telah membusuk dari perkebunan kelapa sawit rakyat yang ada di Kelurahan Tanah

Merah, Kecamatan Binjai Selatan Kota Binjai. Semut M. castanea yang di dapat dari lapangan dipelihara di laboratorium Hama Tanaman Fakultas Pertanian

Unversitas Sumatera Utara. Koloni semut dipelihara dalam kotak kaca dengan ukuran 70 x 30 x 30 cm. Di dalam kotak kaca tersebut diletakkan dua potongan batang sawit yang melapuk (log) dengan ukuran 20 x 20 x 3 cm dan dibuat setangkup sebagai tempat semut membuat sarangnya. Pada bagian tengah batang sawit tersebut dibuat sedikit lubang untuk tempat meletakkan mangsa larva O. rhinoceros. Setiap hari log tersebut disemprot dengan air secukupnya untuk menjaga kelembapan sarang semut. Pemberian mangsa larva O. rhinoceros diberikan sesuai dengan kebutuhan pemangsaan semut. Apabila mangsa sudah mati dan mulai mengering maka akan segera diberikan mangsa larva O. rhinoceros yang baru. Koloni semut yang mempunyai ratu dan semut jantan setiap hari diamati untuk melihat apakah sudah ada kelompok telur yang diletakkan, bila

Universitas Sumatera Utara 56

sudah ada kelompok telur yang diletakkkan maka telur-telur tersebut diambil untuk meneliti daur hidup semut M. castanea.

4.2.2 Daur hidup semut M. castanea

Penelitian tentang daur hidup semut M. castanea dilakukan dengan mengambil 50 butir telur yang baru diletakkan dan dipindahkan ke kotak kaca yang lebih kecil yang berukuran 40x20x20cm bersama dengan 20 ekor semut pekerja dan 10 ekor larva instar akhir (instar 4 atau instar 5). Semut-semut ini diletakkan pada setangkup batang sawit yang telah melapuk berukuran 15 cm x15 cm x 4cm yang dibuat setangkup dan telah dikeruk sedikit dibagian tengahnya untuk tempat meletakkan larva O. rhinoceros. Batang kelapa sawit yang menjadi sarang semut tersebut disemprot dengan air setiap hari menggunakan handsprayer untuk menjaga kelembapannya. Mangsa O. rhinoceros yang diberikan adalah larva instar 2 sebanyak 3 ekor. Pemberian mangsa dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Bila mangsa sudah mati dan tinggal 1 ekor, maka segera diberikan 2 ekor mangsa pengganti. Jumlah semut pekerja di tiap-tiap ulangan dipertahankan tetap sebanyak 20 ekor. Bila ada semut pekerja yang mati karena pemangsaan, maka segera digantikan oleh semut pekerja yang lain yang berasal dari koloni yang sama. Demikian seterusnya dilakukan hingga semut M. castanea menjadi imago, dan masing-masing dengan lima ulangan. Peubah amatan yang diamati adalah lama setiap fase perkembangan hidup semut mulai dari telur hingga menjadi imago dan ukuran tubuh masing-masing tahapan perkembangan semut M. castanea. Ukuran tubuh tiap instar larva semut M. castanea diukur dengan menggunakan jangka sorong mikrometer.

Universitas Sumatera Utara 57

4.3 Hasil dan Pembahasan 4.3.1 Daur hidup semut M. castanea a. Telur Semut M. castanea termasuk serangga dengan metamorfosis sempurna yaitu mengalami fase perkembangan dari telur, larva, pupa, dan imago (Gambar

4.1).

Telur

Semut Betina Kopulasi

Larva

Semut Jantan

Pupa Semut Pekerja

Gambar 4.1 Siklus hidup semut M. castanea. Jumlah telur-telur yang diletakkan oleh ratu yang sebenarnya (semut yang berkopulasi) dapat mencapai kisaran 350 butir telur, berwarna putih dan berbentuk

Universitas Sumatera Utara 58

lonjong (Gambar 4.2). Hasil pencarian koloni semut di lapangan, kelompok telur semut ini biasanya diletakkan di dalam sarang di tempat yang agak dalam dan tersembunyi, sedangkan dalam perbanyakan massal di laboratorium kelompok telur ini ditemukan dalam lubang-lubang kecil yang dibuat semut pada log yang digunakan sebagai tempat untuk membuat sarang.

telur

(a) (b) Gambar 4.2 Kelompok telur semut M. castanea (a) telur M. castanea perbesaran 20x (b) kelompok butiran telur M. castanea.

Telur berwarna putih, dan sejak diletakkan hingga akan menetas tidak mengalami perubahan warna. Warna telur menjelang menetas hanya menjadi sedikit lebih kusam. Ukuran panjang telur rata-rata 0,98 mm dan lebarnya 0,46 mm. Lama stadium telur rata-rata berkisar 13,8 hari dengan persentase telur yang menetas menjadi larva instar 1 sebesar 79.6%. (Tabel 4.1).

Tabel 4.1 Deskripsi kelompok telur semut M. castanea Deskripsi Keterangan Bentuk Lonjong memanjang Warna Putih Rerata panjang telur 0,98 mm ± 0,063 Rerata lebar telur 0,46 mm ± 0,052 Rerata lama stadium 13,8 hari ± 0,447 Rerata persentase penetasan 79,6%

b. Larva

Perkembangan larva semut M. castanea terdiri dari lima instar. Sebagian besar larva semut melalui empat atau lima tahapan sebelum berkembang menjadi

Universitas Sumatera Utara 59

pupa (Masuko 2003, 2016). Larva berbentuk vermiform dan berwarna putih.

Bentuk tubuh silindris memanjang (elongate), tanpa embelan (apendages), tidak mempunyai mata, dan tidak berkaki (apodous), sehingga larva bergerak menggunakan gerakan peristaltik hidroskeleton tubuh. (Gambar 4.3). Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Wheeler dan Wheeler (1952) bahwa larva semut dari subfamili Ponerinae umumnya berbentuk vermiform, elongate dan apodous. Stadium larva merupakan stadium yang paling rentan dalam daur hidup perkembangan semut. Larva semut diasuh oleh semut pekerja. Pemberian makan pada larva semut biasanya dilakukan dengan cara trophallaxis yaitu semut pekerja memberi pakan pada larva melalui pertukaran pakan dari mulut ke mulut (Penick et al. 2012; Penick dan Liebig 2017).

Instar 1 Instar 2 Instar 3 Instar 4 Instar 5 Gambar 4.3 Stadium larva semut M. castanea (perbesaran 20 kali).

Abdomen larva semut M. castanea ditumbuhi oleh bulu-bulu halus. Larva biasanya terletak dalam ruangan yang agak tertutup dan terhindar dari cahaya di dalam sarang dan diletakkan berkelompok. Di laboratorium, semut pekerja akan langsung bergerak memindahkan larva-larva ke tempat yang lebih tersembunyi bila sarang dibuka. Lama stadium larva tiap-tiap instar berbeda-beda.

Perkembangan larva instar 1 ke instar 2 sangat cepat yaitu rata-rata sekitar 2,3 hari

(Tabel 4.2). Susanti (2016) juga mendapatkan bahwa lama perkembangan stadium instar 1 ke instar 2 semut M. castanea sangat cepat yaitu sekitar 2-3 hari. Masuko

Universitas Sumatera Utara 60

(2016) menemukan bahwa semut Strumigenys solifontis Brown (Hymenoptera:

Formicidae), juga mengalami perkembangan yang cepat dari larva instar 1 ke instar 2, hanya berkisar 1-2 hari saja. Lama perkembangan stadium instar 2 ke instar 3 berkisar 4-6 hari, instar 3 ke instar 4 sekitar 6-9 hari, instar 4 ke instar 5 sekitar 10-12 hari dan lama stadium instar 5 sekitar 15-19 hari. Total lama stadium larva berkisar 36-48 hari.

Perkembangan larva ke instar berikutnya sangat terkait dengan nutrisi yang diperoleh larva dari semut pekerja. Larva yang mendapat nutrisi yang cukup akan lebih cepat memasuki stadium instar berikutnya daripada larva yang kurang mendapat nutrisi. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Dussutour dan

Simpson (2008), Dussutour dan Simpson (2009), Straka dan Feldhaar (2007) yang menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan larva semut sangat tergantung dari asupan nutrisi yang diterima larva dari semut pekerja.

Tabel 4.2 Lama stadium larva dan ukuran larva semut M. castanea Stadia larva Lama stadium Ukuran tubuh (mm) (hari) panjang lebar Instar 1 2.3 ± 0.274 1.26 ± 0.052 0.45 ± 0.053 Instar 2 4.9 ± 0.458 2.04 ± 0.052 0.72 ± 0.042 Instar 3 7.3 ± 0.570 5.07 ± 0.082 1.05 ± 0.071 Instar 4 11.0 ± 0.500 7.01 ± 0.074 2.06 ± 0.084 Instar 5 16.4 ± 0.418 10.15 ± 0.118 2.27 ± 0.063

Ukuran tubuh larva semut M. castanea antara instar 1 dan instar 2 tidak terlalu berbeda, hal ini disebabkan karena waktu perkembangan yang singkat untuk ke stadium berikutnya. Waktu perkembangan yang singkat tidak cukup untuk menambah perubahan ukuran tubuh yang nyata (Davidowitz et al. 2003), sedangkan dari larva instar 3, 4 dan 5, perbedaan ukuran dan lebar tubuh cukup

Universitas Sumatera Utara 61

berbeda. Dalam pengamatan di laboratorium, larva yang sering dipindahkan oleh semut pekerja ke mangsa yang telah dilumpuhkannya adalah larva-larva instar 3,

4, dan 5. Hal ini karena larva pada stadium ini lebih membutuhkan nutrisi yang lebih besar dari pada larva instar awal. c. Pupa Pupa semut M. castanea berwarna oranye. Pada awal pembentukan pupa, warnanya kuning muda dan sedikit transparan (Gambar 4.4), dan 1 hari kemudian akan berubah menjadi oranye terang dan selanjutnya akan berubah menjadi oranye yang lebih gelap. Pupa semut M. castanea biasanya disimpan dalam tempat yang tersembunyi dan kering di dalam sarang. Hasil pengamatan di laboratorium, ditemukan pupa yang berukuran lebih besar dari kebanyakan pupa yang ada. Pupa yang berukuran besar tersebut adalah pupa semut betina (calon ratu). Perbedaan ukuran pupa tersebut cukup berbeda. Panjang pupa semut pekerja sekitar 9,98 mm dan lebarnya 3,06 mm, sedangkan panjang pupa semut betina berkisar 14,61 mm dengan lebar 4,31 mm (Gambar 4.5). Lama stadium pupa untuk semut pekerja berkisar 15-19 hari dan lama stadium pupa untuk semut betina sekitar 16-19 hari.

a

b

Gambar 4.4 Pupa semut M. castanea (a) pupa yang baru, (b) pupa yang lama

Universitas Sumatera Utara 62

a = pupa semut betina b = pupa semut pekerja

a b

Gambar 4.5 Perbedaan ukuran pupa semut pekerja dan semut betina M. castanea.

d. Imago

Imago semut M. castanea terdiri dari 2 kasta, yaitu kasta pekerja dan kasta reproduktif. Kasta reproduktif, semut betina dan semut jantan biasanya mempunyai sayap, sedangkan kasta pekerja tidak bersayap. Kasta pekerja adalah semut betina yang steril (Ito 2010). Warna imago semut M. castanea berwarna cokelat kemerah-merahan. Semut yang baru keluar dari pupa warnanya merah kecokelat-cokelatan, setelah beberapa hari kemudian berubah menjadi cokelat kemerah-merahan.

Berdasarkan pengamatan selama perbanyakan massal, semut M. castanea sangat peka terhadap cahaya. Apabila sarang dibuka dan semut terpapar cahaya, semut-semut akan berusaha menghindari cahaya dan masuk ke dalam sarang atau mencari tempat perlindungan. Semut pekerja juga akan langsung mengangkat koloninya (telur, larva dan pupa) untuk segera dipindahkan ke tempat yang terlindung dari cahaya. Semut termasuk serangga yang aktif di malam hari

(nocturnal). Semut jantan dan semut betina aktif melakukan penerbangan menjelang senja sekitar jam 18.00-20.00 WIB, sedangkan semut pekerja juga aktif meninggalkan sarang pada jam-jam tersebut.

Universitas Sumatera Utara 63

Pengamatan morfologi semut pekerja M. castanea di bawah mikroskop adalah, mempunyai mandibula yang panjang, ramping dan, linier. Antena pendek dan kokoh. Mandibula, clypeus, lobus frontal, dan antenna flagella cokelat kemerahan. Mata kecil dan jauh di belakang garis tengah kepala. Ocelli tidak ada.

Dorsum alitrunk relatif lurus, sisi lateral hampir vertikal. Mesonotum sangat pendek dan melintang. Pronotum panjang, permukaan luar tarsi dan tibia tengah mempunyai duri yang kuat. Warna merah kecokelat-cokelatan, clypeus, propodeum, petiole, dan gaster dengan rambut yang melimpah. Rambutnya berwarna kuning keemasan. Penyengat terdapat di ujung abdomen (Gambar 4.6).

Deskripsi ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Zheng-hui dan Qiu-ju (2011) tentang semut M. castanea yang ditemukannya di daerah Himalaya.

a b c

Gambar 4.6 Imago semut M. castanea (a) semut betina (calon ratu), (b) semut jantan, (c) semut pekerja.

4.3.2 Tingkat survival semut M. castanea

Kemampuan suatu serangga untuk berkembang biak dan bertahan hidup dipengaruhi oleh faktor potential reproduksi dan faktor lingkungan (Netherer dan

Schopf 2010). Potensial reproduksi adalah kemampuan serangga untuk berkembang biak dalam kondisi yang optimum, sedangkan faktor lingkungan

Universitas Sumatera Utara 64

adalah semua faktor-faktor lingkungan yang dapat menghambat perkembangan populasi serangga. Faktor-faktor potential reproduksi tersebut meliputi faktor fekunditas, lama waktu hidup dan nisbah kelamin, sedangkan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan populasi serangga adalah faktor biotik (kompetisi, predator dan parasit), abiotik (suhu, kelembapan, sinar matahari, dan curah hujan) dan pakan (kuantitas dan kualitas).

Semut M. castanea yang dipelihara di laboratorium dari telur hingga menjadi imago menunjukkan tingkat kebertahanan hidup (survival) yang beragam.

Stadium awal perkembangan semut M. castanea memiliki nilai tingkat bertahan yang lebih rendah daripada stadium perkembangan selanjutnya. Nonacs dan Dill

(1990) dan Peterson et al. (2009) menjelaskan bahwa fase-fase awal perkembangan suatu serangga merupakan fase yang sangat rentan terhadap berbagai resiko kematian. Larva instar awal mempunyai ukuran tubuh yang masih kecil. Renault et al. (2009) menyatakan bahwa ukuran tubuh Alphitobius diaperinus (Coleoptera: Tenebrionidae) sangat menentukan tingkat bertahannya pada beragam suhu lingkungan.

Tabel 4.3 Tingkat survival semut M. castanea dari telur hingga menjadi imago Ulangan Jumlah Menjadi Kasta semut (ekor) % Bertahan telur imago (ekor) hidup (butir) 1 50 30 ♀ = 2 ♂= 1, pekerja 60 = 27 2 50 29 Semua pekerja 58 3 50 28 Semua pekerja 56 4 50 28 ♀ = 2, pekerja = 26 56 5 50 26 Semua pekerja 52 Rerata 28,2 56,4

Universitas Sumatera Utara 65

Hasil pengamatan 50 butir telur yang dipelihara dari masing-masing ulangan diperoleh bahwa, yang bisa melalui semua tahapan perkembangan hidup dan berhasil menjadi imago rata-rata ada 28,2 individu semut (Tabel 4.3), sehingga secara keseluruhan tingkat bertahan hidup semut M. castanea berkisar 56,4%.

Total imago semut betina dan jantan yang keluar dari tiap-tiap ulangan hanya 5 individu (3,55%), sedangkan selebihnya adalah semut pekerja 136 individu

(96,45%). Selama eksplorasi semut M. castanea di lapangan, jumlah semut yang ditemukan pada tiap-tiap koloni itu berkisar antara puluhan sampai dengan seratusan ekor. Traniello (1982) menyatakan bahwa kebanyakan semut dari sub famili Amblyoponinae memiliki jumlah individu yang tidak besar dari tiap-tiap koloninya.

Kesimpulan

Semut M. castanea merupakan serangga yang bermetamorfosis sempurna.

Telur yang diletakkan oleh ratu semut berwarna putih, berbentuk lonjong dan lama stadium telur reratanya 13,8 hari. Larva berwarna putih, berkembang dalam lima tahapan instar. Lama stadium instar 1 reratanya adalah 2,3 hari, instar 2 reratanya 4,9 hari, instar 3 reratanya 7,3 hari, instar 4 selama 11 hari dan instar 5 selama 16,4 hari. Pupa semut M. castanea berwarna oranye. Panjang pupa semut betina (± 14,61 mm) lebih panjang dari pupa semut pekerja (± 9,98 mm). Lama stadium pupa semut pekerja reratanya 17,2 hari dan lama stadium semut betina reratanya 17,9 hari. Kemampuan larva semut M. castanea untuk bisa bertahan dan mampu melewati semua tahapan siklus hidupnya pada larva instar awal (instar 1

Universitas Sumatera Utara 66

dan 2) lebih rendah daripada larva instar 3, 4 dan 5. Tingkat bertahan hidup semut

M. castanea dari telur hingga menjadi imago adalah sebesar 56,4%, yang berarti dari sejumlah kelompok telur yang diletakkan oleh ratu semut, hanya sekitar separuhnya yang akan berhasil menjadi imago.

DAFTAR PUSTAKA

Abtar, A., Hasriyanti. & Nasir, B. 2013. Komunitas Semut (Hymenoptera: Formicidae) pada Tanaman Padi, Jagung dan Bawang Merah. Agrotekbis. 1(2).

Anshary, A. & Pasaru, F. 2008. Teknik perbanyakan dan aplikasi predator Dolichoderus thoracicus Smith (Hymenoptera: Formicidae) untuk pengendalian penggerek buah kakao Conomorpha cramerella (Snellen) di perkebunan rakyat. J. Agroland. 15(4):278-287.

Choate, B. & Drummond, F. 2011. Ants as biological control agents in agricultural cropping systems. Terrest. Arthro. Rev. 4(2):157-180.

Davidowitz, G., D'Amico, L.J. & Nijhout, H.F. 2003. Critical weight in the development of insect body size. Evol. Development. 5(2):188-197.

Dussutour, A. & Simpson, S.J. 2008. Description of a simple synthetic diet for studying nutritional responses in ants. Insectes Sociaux. 55(3):.329-333.

______. 2009. Communal nutrition in ants. Current Biology. 19(9):740-744.

Falahudin, I 2013. Peranan Semut Rangrang (Oecophylla smaradigna) dalam Pengendalian Biologis pada Perkebunan Kelapa Sawit Prosiding Konferensi AICIS XII.2604-2618.

Herlinda, S. & Irsan, C. 2015. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan. Unsri Press. 200pp

Herlinda, S., Waluyo, W., Estuningsi, S.P. & Irsan, C. 2008. Perbandingan keanekaragaman spesies dan kelimpahan arthropoda predator penghuni tanah di sawah lebak yang diaplikasi dan tanpa aplikasi insektisida. J. Entomologi Indonesia. 5(2):96-107

Universitas Sumatera Utara 67

Ikbal, M., Putra, N.S. & Martono, E. 2014. Keragaman Semut pada Ekosistem Tanaman Kakao di Desa Banjaroya Kecamatan Kalibawang Yogyakarta. J. Perlindungan Tanaman Indonesia. 18(2):79-88.

Junaedi, D., Bakti, D. & Zahara, F. 2014. Daya Predasi Myopopone castaneae (Hymenoptera: Formicidae) Terhadap Larva Oryctes rhinoceros L (Coleoptera: Scarabidae) di Laboratorium. J. Online Agroekoteknologi. 3(1):112-117.

Karmawati, E., Siswanto. & Wikardi, E.A. 2004. Peranan semut (Oecophylla smaragdina dan Dolichoderus sp.) dalam pengendalian Helopeltis spp. dan Sanurus indecora pada jambu mete. J. Littri. 10(1):1-40.

Lumentut, N. & Palma, B. 2018. Keanekaragaman Hayati dan Komposisi Musuh Alami Hama Kelapa Brontispa longissima di Kecamatan Parigi, Provinsi Sulawesi Tengah. Buletin Palma 129.

Lytton-Hitchins, J. 2000. Small Pheidole ants can be important early season egg predators. Australian Cottongrower. 21(2):29-32.

Masuko, K. 2003. Larval oophagy in the ant Amblyopone silvestrii (Hymenoptera, Formicidae). Insectes Sociaux. 50(4):317-322.

______. 2016. Larval instars of the ant Strumigenys solifontis Brown (Hymenoptera: Formicidae): the fallacy of size distribution. J. Nat. History. 51(3-4):115-126.

Netherer, S. & Schopf, A. 2010. Potential effects of climate change on insect herbivores in European forests—general aspects and the pine processionary as specific example. Forest Ecol. Management. 259(4):831-838.

Nonacs, P. & Dill, L.M. 1990. Mortality risk vs. food quality trade‐offs in a common currency: ant patch preferences. Ecology. 71(5):1886-1892.

Penick, C.A., Prager, S.S. & Liebig, J. 2012. Juvenile hormone induces queen development in late-stage larvae of the ant Harpegnathos saltator. J. Insect Physiol. 58(12):1643-1649.

Penick, C.A. & Liebig, J. 2017. A larval ‘princess pheromone’identifies future ant queens based on their juvenile hormone content. Behaviour. 128:33-40.

Peterson, R.K., Davis, R.S., Higley, L.G. & Fernandes, O.A. 2009. Mortality risk in insects. Environ. Entomol. 38(1):2-10.

Universitas Sumatera Utara 68

Renault, D., Hance, T., Vannier, G. & Vernon, P. 2003. Is body size an influential parameter in determining the duration of survival at low temperatures in Alphitobius diaperinus Panzer (Coleoptera: Tenebrionidae)?. J. Zool. 259(4):381-388.

Straka, J. & Feldhaar, H. 2007. Development of a chemically defined diet for ants. Insectes Sociaux. 54(1):100-104.

Susanti, R. 2016. Bionomi Semut Myopopone castanea Smith (Hymenoptera: Formicidae) sebagai Predator Oryctes rhinoceros L (Coleoptera: Scarabaeidae) pada Onggokan Batang Sawit di Laboratorium. [Tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Traniello, J.F. 1982. Population structure and social organization in the primitive ant Amblyopone pallipes (Hymenoptera: Formicidae). Psyche: A J. Entomol. 89(1-2):65-80.

Wheeler, G.C. & Wheeler, J. 1952. The Ant Larvae of the Subfamily Ponerinae. Part I. The American Midland Naturalist. 48(1):111-144.

Widihastuty, Tobing M.C., Marheni. & Kuswardani, R.A. 2018. Prey preference Myopopone castanea (Hymenoptera: Formicidae) toward larvae Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae). IOP Publishing: IOP Conference Series: Earth and Environmental Science 122(1):7pp.

______. 2018. The potential of Myopopone castanea (Hymenoptera: Formicidae) as a predator for Oryctes rhinoceros Linn. larvae (Coleoptera: Scarabaeidae). IOP Publishing: IOP Conf. Series: J. of Physisc: Conf. Series. 1116(052074): 8pp.

Wilson, E.O. 1971. The Insect Societies. The Belknap Press of Harvard University Press. Cambridge, Massachusetts. London.

Zheng-hui, X.U. & Qiu-ju, H. E. 2011. Description of Myopopone castanea (Smith)(Hymenoptera: Formicidae) from Himalaya Region. 昆虫分类学 报, 33(3).

Universitas Sumatera Utara 69

BAB V

PEMANGSAAN SEMUT Myopopone castanea (Hymenoptera: Formicidae) TERHADAP LARVA Oryctes rhinoceros Linn (Coleoptera: Scarabaeidae)

Abstrak

Semut Myopopone castanea (Hymenoptera: Formicidae) merupakan predator untuk larva kumbang tanduk Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabidae) di perkebunan kelapa sawit. Semut ini mampu memangsa semua stadia larva O. rhinoceros. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui potensi semut M. castanea dalam memangsa larva O. rhinocereos. Penelitian dilakukan mulai bulan April 2017 sampai dengan Januari 2018 di laboratorium Hama Tanaman Fakultas Pertanian USU Medan, kebun kelapa sawit Adolina PTPN 4 Perbaungan dan di kebun kelapa sawit rakyat di daerah Binjai. Penelitian di laboratorium menggunakan Rancangan Acak Lengkap Non Faktorial dengan lima ulangan sedangkan penelitian lapangan dilakukan dengan melakukan uji pemangsaan pada 10 titik yang tersebar di lokasi penelitian. Hasil penelitian uji pemangsaan di laboratorium menunjukkan bahwa mortalitas 100% larva O. rhinoceros instar 1 dan 2 oleh M. castanea terjadi 5 hari setelah aplikasi, sedangkan untuk mangsa larva instar 3, mortalitas 100% tercapai 7 hari setelah aplikasi. Hasil penelitian pemangsaan di lapangan untuk kebun TBM (Tanaman Belum Menghasilkan) di kebun Adolina PTPN 4, persentase pemangsaan M. castanea rata-rata 46,87% (2,8 ekor) selama 5 hari pemaparan, sedangkan untuk kebun TM (Tanaman Menghasilkan) yang umur tanaman berkisar 15-20 tahun di daerah Binjai, persentase pemangsaan semut M. castanea adalah 50,3% (3,0 ekor).

Kata kunci :Myopopone castanea, Oryctes rhinoceros, kemampuan memangsa

Abstract

Myopopone castanea (Hymenoptera: Formicidae) is predator for larvae horn beetle Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) which is pest on oil palm plantations. These ants are able to prey on all stadia of larvae O. rhinoceros. This study was conducted to determine the potential of M.castanea ants in prey on O. rhinoceros larvae. This research was done from April 2017 to January 2018 in Plant Pests Laboratory of Agriculture Faculty Universitas Sumatera Utara Medan, PTPN IV Adolina Oil Palm Plantation-Perbaungan and smallholdings plantation in Binjai Area. The research done in the laboratory was using a completely randomized non-factorial design with five replications whereas the application on the field, predation test had been done at ten points that were distributed in the location. The result test predation in the laboratory showed that 100% mortality of 1st and 2nd instar larvae of O. rhinoceros by M. castanea achieved on the fifth day while the 3rd instar larvae prey reached mortality on the seventh day after application. The predation on the field for the young plants (immature plant) in PTPN IV Adolina showed that M. castanea can prey X =2.8 individuals larvae

Universitas Sumatera Utara 70

(46.87%) in a five day exposure and for productive plants (plants aged between 15-20 years) at Binjai area, M. castanea can prey X = 3.0 individuals larvae (50.3%).

Keywords: Myopopone castanea, Oryctes rhinoceros, preying ability

5.1 Pendahuluan

Kumbang tanduk Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) merupakan salah satu hama penting kelapa sawit. Hama ini umumnya menyerang tanaman kelapa sawit yang masih muda. Areal tanaman yang banyak terserang dapat mengurangi produksi sekitar 0,2–0,3 ton/ha selama 18 bulan panen tahun pertama (Sudharto et al. 2006). Serangan hama ini dapat menurunkan produksi tandan buah segar (TBS) pada tahun pertama hingga 60% dan menimbulkan kematian pada tanaman muda hingga 25% (Buana et al. 2006).

Berbagai teknik pengendalian telah dilakukan oleh perusahaan perkebunan seperti penggunaan feromon (Ragoussis et a., 2007), pengutipan larva

(handpicking), penggunaan musuh-musuh alami seperti virus (Huger 2005), jamur

(Moslim et al. 1999, Gopal et al. 2006) dan insektisida. Penggunaan feromon sangat baik untuk mengurangi populasi dan memperkirakan jumlah populasi yang ada. Penggunaan insektisida karbofuran dan cypermetrin sangat sulit dilakukan pada tanaman sawit yang umurnya sudah di atas satu tahun dan juga berdampak terhadap lingkungan. Oleh karena itu pengendalian O. rhinoceros difokuskan pada tindakan preventif yaitu dengan melakukan pengendalian pada tingkat pradewasa dari hama tersebut dengan berbagai cara yaitu dengan menghilangkan dan meminimalkan tempat perkembangbiakan (breeding site), mengumpulkan larva

Universitas Sumatera Utara 71

dan pupa, pemanfaatan musuh-musuh alami O. rhinoceros serta mengeluarkan kumbang dari lubang gerekan (Cahyasiwi et al. 2010; Susanto et al. 2010).

Semut sudah lama dikenal sebagai salah satu agens hayati. Di perkebunan kelapa sawit semut rangrang Oecophylla smaragdina mampu memangsa ulat api

Setora nitens dengan tingkat pemangsaan yang cukup tinggi (Falahuddin 2013;

Pierre dan Idris 2013). Semut dan jangkrik merupakan predator yang umum dan banyak ditemukan menyerang hama-hama ulat di perkebunan kelapa sawit di

Indonesia (Nurdiansyah et al. 2016; Widihastuty dan Marheni 2016). Marheni

(2012) mendapatkan bahwa semut Myopopone castanea (Hymenoptera:

Formicidae) sebagai predator terhadap larva O. rhinoceros. Semut ini memangsa larva bahkan pupa O. rhinoceros. Semut predator ini dikenal sebagai predator obligat terhadap arthropoda, dan mencari makan di tanah, sampah daun atau kayu yang membusuk. Predator ini menyerang mangsanya dalam keadaan yang masih hidup dengan cara menyengat dan menggigitnya hingga mati, lalu menghisap cairan hemolimfnya sampai tinggal bagian kutikulanya saja bahkan dapat memakan tubuh larva (Junaedi et al. 2014). Hasyim et al. (2009) melaporkan bahwa semut ini juga merupakan predator untuk larva Cosmopolites sordidus yang merupakan hama pada pertanaman pisang di daerah Sitiung, Bukit tinggi dan

Batusangkar Provinsi Sumatera Barat. Dalam memangsa, semut menggunakan rahangnya (mandibel) untuk mengangkat mangsa. Mandibel yang kuat ini juga digunakan untuk memproses pakan dan memotong-motong mangsanya (Zheng hui dan Qiu-ju 2011). Kekuatan rahang (mandibel) ini penting bagi semut untuk berburu mangsanya (Schmidt 2004).

Universitas Sumatera Utara 72

Informasi mengenai semut predator ini masih sangat sedikit sekali. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari potensi pemangsaan semut predator ini sebagai agens hayati untuk O. rhinoceros pada tanaman kelapa sawit.

5.2 Bahan dan Metode

Penelitian dilaksanakan dari bulan April 2017 sampai dengan Januari 2018 di Laboratorium Hama Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

Medan. Penelitian uji pemangsaan lapangan dilakukan di kebun kelapa sawit

Adolina PTPN 4 Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera

Utara dan di kebun kelapa sawit rakyat di Kelurahan Tanah Merah, Kecamatan

Binjai Selatan Kota Binjai, Provinsi Sumatera Utara.

5.2.1 Pengumpulan Serangga Uji

Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan mengumpulkan semua stadia semut predator M. castanea dari batang-batang kelapa sawit yang telah membusuk di perkebunan kelapa sawit rakyat yang ada di Kelurahan Tanah Merah, Kecamatan

Binjai Selatan Kota Binjai. Semut M. castanea yang diperoleh dari lapangan dipelihara di laboratorium Hama Tanaman Fakultas Pertanian Unversitas

Sumatera Utara. Koloni semut dipelihara dalam kotak kaca dengan ukuran 70 x 30 x 30 cm. Di dalam kotak kaca tersebut diletakkan dua potongan batang sawit yang melapuk dengan ukuran 20 x 20 x 3 cm dan dibuat setangkup sebagai tempat semut membuat sarangnya. Pada bagian tengah batang sawit tersebut dibuat sedikit lubang dengan ukuran 5 x 5 cm untuk tempat meletakkan mangsa larva O. rhinoceros. Setiap hari log tersebut disemprot dengan air secukupnya untuk

Universitas Sumatera Utara 73

menjaga kelembapan sarang semut. Pemberian mangsa larva O. rhinoceros diberikan sesuai dengan kebutuhan pemangsaan semut. Apabila mangsa sudah mati dan mulai mengering maka segera diberikan larva O. rhinoceros yang baru.

5.2.2 Uji pemangsaan di laboratorium

Uji pemangsaan semut M. castanea di laboratorium dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan lima ulangan. Pengujian ini dilakukan di dalam kotak kaca yang berukuran 40x20x20 cm. Pada masing- masing kotak kaca dimasukkan 2 potongan log dari batang sawit yang telah melapuk dengan ukuran 15x15x4 cm yang dibuat setangkup dan telah dikeruk sedikit dibagian tengahnya untuk tempat meletakkan larva O. rhinoceros. Setiap kotak kaca perlakuan dimasukkan 50 ekor semut pekerja M. castanea dan 20 ekor larvanya yang sebelumnya sudah dilaparkan (starvasi) selama 24 jam. Lima kotak kaca pertama diberi mangsa larva O. rhinoceros instar 1 sebanyak 6 ekor, lima kotak kaca berikutnya diberi 6 ekor mangsa larva O. rhinoceros instar 2, dan lima kotak kaca terakhir diberi 6 ekor mangsa larva instar 3 (Gambar 5.1). Pengamatan dilakukan setiap hari dengan menghitung jumlah larva mangsa yang mati.

Gambar 5.1 Perlakuan pemangsaan semut M. castanea di laboratorium.

Universitas Sumatera Utara 74

Uji pemangsaan di lapangan

Uji pemangsaan di lapangan dilakukan di kebun kelapa sawit Adolina PTPN

4 di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera

Utara. Umur tanaman kelapa sawit di kebun TBM tersebut berkisar 1 tahun (TBM

1 ), sedangkan uji pemangsaan lapangan di daerah Binjai dilakukan pada kebun kelapa sawit rakyat (kebun TM) yang berumur antara 15-20 tahun. Uji pemangsaan di lapangan dilakukan dengan cara meletakkan log batang sawit yang telah melapuk yang berukuran 85cm x 30cm x 5cm yang dibuat setangkup yang telah dikeruk bagian tengahnya sebagai tempat peletakan larva O. rhinoceros. Log batang sawit tersebut diletakkan secara sistematis dan merata di 10 titik pengamatan di lokasi kebun dengan jarak antar titik berkisar 70m. Sebanyak 50 ekor semut pekerja M. castanea dan 20 ekor larva semut dimasukkan ke dalam log tersebut berikut 6 ekor larva O. rhinoceros instar 2. Kemudian log tersebut dibungkus dengan menggunakan kain kassa untuk mencegah semut keluar dari log (Gambar 5.2). Pengamatan dilakukan 5 hari kemudian setelah aplikasi dengan menghitung jumlah larva O. rhinoceros yang mati karena dimangsa oleh semut M. castanea.

Gambar 5.2 Perlakuan pemangsaan semut M. castanea di lapangan

Universitas Sumatera Utara 75

5.3 Hasil dan Pembahasan

5.3.1 Gejala Pemangsaan dan perilaku memangsa

Berdasarkan hasil pengamatan di laboratorium, larva O. rhinoceros yang dimangsa oleh semut M. castanea menunjukkan perubahan warna pada kutikula larva O. rhinoceros. Warna kutikula larva mangsa berubah menjadi kecokelat- cokelatan dan menjadi hitam secara bertahap. Semut menyerang mangsanya dengan cara menyengat dan menggigitnya hingga mati, baru kemudian memakan dan menghisap cairan hemolimf larva mangsa hingga tinggal kutikulanya saja.

(a) (b) Gambar 5.3 Gejala pemangsaan semut M. castanea terhadap larva (a) mangsa instar 3 dan (b) mangsa instar 2 O. rhinoceros

Tubuh larva mangsa terlihat tercabik-cabik karena gigitan semut. Semut bahkan dapat menghabiskan seluruh tubuh larva instar 1 dan instar 2 dan hanya menyisakan mandibel larva mangsa saja, sedangkan untuk larva instar 3 yang berukuran lebih besar, kutikulanya terlihat menghitam dan mengkerut dikarenakan cairan hemolimfnya sudah dihisap oleh semut M. castanea (Gambar 5.3).

Semut-semut dari subfamili Amblyopone umumnya adalah semut predator yang memakan dan menghisap cairan hemolimf mangsanya (Ito dan Gobin 2008;

Masuko 2003; Peeters dan Molet 2010). Secara umum, perilaku semut-semut selalu membawa potongan mangsanya ke sarang untuk diberikan kepada

Universitas Sumatera Utara 76

keturunan atau koloninya (Masuko 2008; Ito 2010), tetapi hal ini berbeda untuk semut M. castanea dengan mangsa O. rhinoceros. Setelah mangsanya mati, semut

M. castanea akan membawa larva-larvanya ke mangsa yang sudah mati tersebut untuk bersama-sama memakan cairan hemolimfnya (Gambar 5.4).

Gambar 5.4 Perilaku memangsa semut M. castanea pada larva O. rhinoceros

Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Wilson (1971) bahwa semut M. castanea memindahkan keturunannya ke mangsa yang telah dibunuhnya untuk memakan cairan hemolimf mangsa. Semut M. castanea merupakan predator yang memangsa larva ordo Coleoptera yang berukuran besar, sehingga pemindahan koloni ke mangsa diduga agar memudahkan bagi semut pekerja untuk memberi pakan ke koloninya daripada memberi pakan ke koloni dengan cara tropolaxis.

Tetapi hal ini berbeda dengan yang ditemukan oleh Ito (2010), yang menjelaskan bahwa semut M. castanea dalam memangsa larva Tenebrio mollitor di laboratorium, setelah mangsanya mati, semut pekerja akan membawa potongan tubuh mangsa untuk dibawa ke sarang dan diberikan kepada larva-larvanya atau koloninya.

Universitas Sumatera Utara 77

5.3.2 Kemampuan memangsa a. Kemampuan memangsa M. castanea pada mangsa O. rhinoceros di laboratorium

Hasil penelitian uji pemangsaan di laboratorium (lampiran 8) menunjukkan bahwa M. castanea mampu memangsa larva O. rhinoceros instar 1 dan instar 2 sebanyak 100% pada 5 hari setelah aplikasi (hsa), sedangkan untuk larva instar 3, mortalitas 100% dicapai 7 has (Gambar 5.5). Hal ini sesuai dengan yang didapatkan oleh Marheni (2012) dan Junaedi et al. (2014) bahwa larva instar

1 dan 2 O. rhinoceros, tingkat mortalitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan larva instar 3. Hal ini disebabkan karena ukuran tubuh mangsa lebih kecil dan kutikula mangsa masih tipis sehingga lebih mudah untuk dimangsa.

100,00

50,00

0,00 1 HSA 2 HSA 3 HSA 4 HSA 5 HSA 6 HSA 7 HSA

MORTALITAS MANGSA (%) HARI PENGAMATAN Instar 1 Instar 2 Instar 3

Gambar 5.5 Persentase mortalitas masing-masing instar mangsa O. rhinoceros akibat pemangsaan oleh semut M. castanea

Morfologi instar mangsa dapat mempengaruhi interaksi antara pemangsa dan mangsa. Jaworski et al. (2013) menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat mempengaruhi interaksi pemangsa dengan mangsa adalah ukuran tubuh mangsa. Secara umum predator mempertimbangkan efisiensi pemangsaan pada saat memangsa dengan melakukan pemilihan terhadap mangsa yang akan

Universitas Sumatera Utara 78

dimangsa. Bila mangsa berukuran besar, maka predator akan banyak menghabiskan waktu dan tenaga untuk menaklukkan mangsa, sedangkan bila mangsa berukuran lebih kecil, maka energi predator dalam melumpuhkan mangsa lebih sedikit. Hal ini akan terkait dengan rasio energi yang dikeluarkan dan energi yang akan didapatkan predator dari mangsanya. Bennett dan Gratton (2012) menyatakan bahwa dalam memangsa predator akan menggunakan energi untuk mencari dan kemudian mengonsumsi mangsa. Untuk melumpuhkan mangsa yang berukuran besar, predator akan mengeluarkan banyak energi, dan energi ini akan terganti dengan banyaknya nutrisi yang didapatkan dari mangsa yang besar tersebut, sedangkan untuk mangsa yang berukuran kecil, energi yang dikeluarkan sedikit dan nutrisi yang didapatkan dari mangsa juga sedikit. Hal ini akan menyebabkan predator harus memilih mangsa untuk dikonsumsi agar dapat memaksimalkan rasio penerimaan energi dan nutrisi dari proses pemangsaan yang dilakukannya (Roger 1999). b. Kemampuan memangsa M. castanea pada mangsa O. rhinoceros di lapangan

Hasil uji pemangsaan di lapangan antara kebun TBM dan kebun TM menunjukkan pemangsaan di kebun TM lebih tinggi daripada di kebun TBM

(Gambar 5.6). Pada kebun TBM, semut M. castanea mampu memangsa larva instar 2 O. rhinoceros sebesar 46,87% selama 5 hari pemaparan, sedangkan pada kebun TM sebesar 50,3% (Lampiran 7). Perbedaan ini secara umum diduga karena adanya perbedaan lingkungan abiotik (mikro habitat) yang ada pada kedua lokasi tersebut. Perbedaan lingkungan mikro habitat dapat mempengaruhi kinerja musuh alami (Aneni et al. 2012).

Universitas Sumatera Utara 79

52

50 48

% Pemangsaan % 46 44 Kebun TM Kebun TBM

Gambar 5.6 Persentase pemangsaan semut M. castanea di kebun TM dan TBM.

Pada kebun TM, tanaman kelapa sawit yang ada rata-rata sudah berumur

15-20 tahun, sehingga kanopi tanaman sudah menutup dan membuat lingkungan di bawah atau di permukaan tanah menjadi lebih teduh sehingga suhu menjadi lebih rendah dan kelembapan menjadi lebih tinggi, sedangkan pada kebun TBM, tanaman yang ada masih termasuk tanaman TBM 1 atau yang berumur sekitar 1 tahun, dimana lingkungan abiotik di kebun TBM lebih terbuka sehingga suhu lebih panas dan kelembapan menjadi rendah. Luskin dan Potts (2011) menjelaskan bahwa suhu di kebun-kebun kelapa sawit yang muda dan yang tua itu berbeda. Suhu pada kebun-kebun yang masih muda rata-rata diatas 32 0C, sedangkan suhu pada kebun-kebun yang sudah tua rata-rata dibawah 30 0C. Lebih rendahnya suhu lingkungan di kebun-kebun yang sudah tua ini disebabkan oleh kanopi tanaman yang sudah saling menutup. Lingkungan abiotik sangat mempengaruhi kelimpahan dan performa semut sebagai predator (de Oliveira et al. 2012; El Bokl et al. 2015). Semut termasuk organisme yang peka terhadap perubahan lingkungan abiotik. Arnan et al. (2014) menyatakan bahwa faktor-

Universitas Sumatera Utara 80

faktor seperti iklim, suhu, hujan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi semut dalam merespon lingkungannya.

Suhu merupakan faktor lingkungan yang menentukan dan mengatur aktivitas hidup serangga. Pada suhu tertentu aktivitas hidup serangga tinggi

(sangat aktif), sedangkan pada suhu yang lain aktivitas serangga rendah (kurang aktif). Ada zona-zona daerah suhu yang membatasi aktivitas serangga, yaitu: (a)

Zona batas fatal atas (> 48 0C): pada zona ini, serangga akan mengalami kematian,

(b) Zona dorman atas (38-45 0C): pada zona ini, aktivitas serangga (organ tubuh eksternal) tidak efektif, (c) Zona efektif atas (29-38 0C): pada zona ini, aktivitas serangga efektif, (d) Zona optimum (± 28 0C): pada zona ini, aktivitas serangga paling tinggi, (e) Zona efektif bawah (15-27 0C): pada zona ini, aktivitas organ internal dan eksternal serangga cukup efektif, (f) Zona dorman bawah (4-15 0C): pada zona ini, tidak ada aktivitas eksternal, (g) Zona fatal bawah ((± 4 0C): pada zona ini, serangga mengalami kematian (Price et a., 2011). Dalam mengeksplorasi keberadaan semut M. castanea di lapangan selama penelitian, diperoleh rata-rata suhu di sarang semut tersebut sekitar 28-31 0C yang berarti berada pada zona optium dan efektif.

Semut M. castanea termasuk semut yang menyukai kelembapan yang tinggi (Wilson 1971), sehingga lingkungan pertanaman kebun TM yang memiliki tanaman-tanaman yang sudah tinggi dan mempunyai kanopi yang saling menutupi membuat lingkungan mikro di atas permukaan tanah menjadi lebih lembap dan disukai semut. Kebun-kebun TM milik rakyat yang ada di daerah Binjai, lingkungan abiotiknya mendukung untuk kehadiran semut M. castanea (lampiran

Universitas Sumatera Utara 81

3). Johnson et al. (2014) menyatakan bahwa kanopi vegetasi yang ada di lingkungan hidup tempat semut berada sangat mempengaruhi kelimpahan dan keragaman semut yang hidup di lingkungan tersebut.

Kesimpulan

Semut M. castanea mampu memangsa 100% larva instar 1 dan 2 O. rhinoceros di laboratorium 5 hari setelah aplikasi dan 7 hari setelah aplikasi untuk mangsa larva instar 3. Kemampuan memangsa semut M. castanea di kebun TBM rata-rata 2,8 ekor mangsa instar 2 (46,87%) selama 5 hari pemaparan, dan memangsa rata-rata 3,0 ekor mangsa (50,3%) di kebun TM. Kemampuan memangsa yang mencapai 50% ini membuat semut M. castanea berpotensi untuk dikembangkan menjadi agens hayati dalam pengendalian larva O. rhinoceros.

DAFTAR PUSTAKA

Aneni, T.I., Aisagbonhi, C.I., Iloba, B.N. & Adaigbe, V.C. 2012. Influence of microhabitat temperature on Coelaenomenodera elaeidis and its natural enemies in Nigeria. African Crop Sci. J. 20: 517-522

Arnan, X., Cerd, X. & Retana, J. 2014. Ant functional responses along environmental gradients. J. Animal Ecol. 83: 1398-1408.

Bennett, A B. & Gratton, C. 2012. Measuring Natural Pest Suppression at Different Spatial Scales Affects the Importance of Local Variables. Environ. Entomol. 41(5):1077-1085.

Buana, L., Siahaan, D. & Adipura, S. 2006. Pedoman Pemeliharaan Tanaman Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS). Medan.

Cahyasiwi, L., Wood, B.J., Lubis, F.I. & Caudwell, R. 2010. The economic of Oryctes attack in palm replants, International Oil Palm Conference, Indonesian Oil Palm research Institute (IOPRI). Yogyakarta. Indonesia 1- 3 June 2010.

Universitas Sumatera Utara 82

de Olivieira, R.F., Almeida, L.C., Souza, D.R., Munhae, C.B., Bueno, O.C. & Morini, M.S.C. 2012. Ant diversity (Hymenoptera: Formicidae) and predation by ants on the different stages of the sugarcane borer life cycle Diatrea saccharalis (Lepidoptera: Crambidae). European J. Entomol. 109: 381-387.

El Bokl, M.M., Semida, F.M., Abdel-Dayem, M.S. & El Surtasi, E.I. 2015. Ant (Hymenoptera: Formicidae) diversity and bioindicators in the lands with different anthropogenic activities in new Damietta, Egypt. Int. J. Entomol. Res. 03 (02) 35-46

Falahudin, I. 2013. Peranan Semut Rangrang (Oecophylla smaradigna) dalam Pengendalian Biologis pada Perkebunan Kelapa Sawit. Prosiding Konferensi AICIS XII.2604-2618.

Gopal, M., Gupta, A. & Thomas, G. V. 2006. Prospects of using Metarhizium anisopliae to check the breeding of insect pest, Oryctes rhinoceros L. in coconut leaf vermicomposting sites. Bioresource Technol. 97(15):1801- 1806.

Hasyim, A., Azwana. & Syafril. 2009. Evaluation of natural enemies in controlling of the banana weevil borer Cosmopolites sordidus Germar in West Sumatera. Indonesian. J. Agric. Sci. 10(2). 43-53

Huger, A.M. 2005. The Oryctes virus: its detection, identification, and implementation in biological control of the coconut palm rhinoceros beetle, Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae). J. Invertebrate Pathol. 89(1), 78-84.

Ito, F. & Gobin, B. 2008. Colony composition and behavior of a queen and workers in the Oriental ectatommine ant Gnamptogenys cribrata (Emery) 1990 in West Java, Indonesia. Asian Myrmecol. 2:103-107.

Ito, F. 2010. Notes on the Biologyof the Oriental Amblyoponinae ant Myopopone castanae: Queen-worker dimorphism, worker polymorphism an larval hemolymph feeding y workers (Hymenoptera: Formicidae). Entomol. Sci. 13: 199-204.

Jaworski, C.C., Bompard, A., Genies, L., Desneux, E.A. & Desneux, N. 2013. Preference and Prey Switching in a Generalist Predator Attacking Local and Invasive Alien Pests. Plos one J. 8(12):e82231

Johnson, J.T., Adkins, J.K. & Rieske, L.K. 2014. Canopy vegetation influences ant (Hymenoptera: Formicidae) communities in headwater stream Riparian zones of Central Applachia. J. Insect Sci. 14 (237).

Universitas Sumatera Utara 83

Junaedi, D., Bakti, D. & Zahara, F. 2014. Daya Predasi Myopopone castaneae (Hymenoptera: Formicidae) Terhadap Larva Oryctes rhinoceros L (Coleoptera: Scarabidae) di Laboratorium. J.Online Agroekoteknologi. 3(1): 112-117.

Luskin, M.S. & Potts, M.D. 2011. Microclimate and habitat heterogeneity through the oil palm lifecycle. Basic and Appl. Ecol. 12(6):540-551.

Marheni. 2012. Karakteristik Bioekologi Orytes rhinoceros (L.) pada Pertanaman Kelapa Sawit. [Disertasi]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Masuko, K., 2003. Analysis of brood development in the ant Amblyopone silvestrii, with special reference to colony bionomics. Entomol. Sci. 6(4):237-245.

______. 2008. Larval stenocephaly related to specialized feeding in the ant genera Amblyopone, Leptanilla and Myrmecina (Hymenoptera: Formicidae). Arthropod structure & development, 37(2):109-117.

Moslim, R., Wahid, M.B., Kamarudin, N., Mukesh, S. & Ali, S. R. A. (1999). Impact of Metarhizium anisopliae (Deuteromycotina: Hyphomycetes) applied by wet and dry inoculum on oil palm rhinoceros beetles, Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae). J. Oil Palm Res. 11(2):25-40.

Nurdiansyah, F., Denmead, L.H., Clough, Y., Wiegand, K. & Tscharnke, T. 2016. Biological control in Indonesia oil palm potentially enhanced by landscape context. J. Agri. Eco. Environ. 232:141-149

Peeters, C. & Molet, M. 2010. Evolution of advanced social traits in phylogenetically basal ants: striking worker polymorphism and large queens in Amblyopone australis. Insectes Sociaux. 57(2):177-183.

Pierre, E.M. & Idris, A.H. 2013. Studies on the predatory activities of Oecophylla smaragdina (Hymenoptera: Formicidae) on Pteroma pendula (Lepidoptera: Psychidae) in oil palm plantations in Teluk Intan, Perak (Malaysia). Asian Myrmecol. 5:163-176.

Price, P.W., Denno, R.F., Eubanks, M.D., Finke, D.L. & Kaplan, I. 2011. Insect Ecology: Behavior, Populations and Communities. London: Cambridge University Press. 784pp.

Ragoussis, V., Giannikopoulos, A., Skoka, E. & Grivas, P. 2007. Efficient synthesis of (±)-4-methyloctanoic acid, aggregation pheromone of rhinoceros beetles of the genus Oryctes (Coleoptera: Dynastidae, Scarabaeidae). J. Agri. Food Chemis. 55(13):5050-5052.

Universitas Sumatera Utara 84

Roger, C. 1999. Mechanisms of Prey Selection in the Ladybeetle Coleomegilla maculata lengi Timb. (Coleoptera: Coccinellidae) [Tesis]. Canada (US): McGill University.

Schmidt, C.A. 2004. Morphological and Functional Diversity of Ant Mandible. http://tolweb.org/treehouses/?treehouse_id=2482. Diakses tanggal 20 Maret 2016

Sudharto, P.S., Susanto, A., Purba, R.B. & Drajat, Y.B. 2006. Teknologi pengendalian hama dan penyakit kelapa sawit, siap pakai dan ramah lingkungan. Pusat penelitian Kelapa Sawit (PPKS). Medan

Susanto, A., Purba, R.Y. & Prasetyo, A.E. 2010. Hama dan Penyakit Kelapa Sawit Volume 1. PPKS Press. Medan

Widihastuty & Marheni. 2016. Kelimpahan populasi serangga predator permukaan tanah di pertanaman kedelai tumpang sari dengan tanaman kelapa sawit. J. Al Ulum. 4(2):203-208.

Wilson, E.O. 1971. The Insect Societies. The Belknap Press of Harvard University Press. Cambridge, Massachusetts. London.

Zheng-hui, X.U. & Qiu-ju, H.E. 2011. Description of Myopopone castanea (Smith)(Hymenoptera: Formicidae) from Himalaya Region. 昆虫分类学 报, 33(3).

Universitas Sumatera Utara 85

BAB VI

PREFERENSI MANGSA SEMUT Myopopone castanea (Hymenoptera: Formicidae) TERHADAP MANGSA LARVA Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae)

Abstrak

Semut Myopopone castanea (Hymenoptera: Formicidae) merupakan predator untuk larva kumbang tanduk Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) yang merupakan hama pada tanaman kelapa sawit. Semut ini mampu memangsa semua stadia larva O. rhinoceros. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui preferensi semut M. castanea terhadap instar mangsa O. rhinocereos. Penelitian dilakukan mulai bulan Desember 2016 - Maret 2017 di laboratorium Hama Tanaman Fakultas Pertanian USU Medan. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan dua perlakuan (menggunakan log dan tanpa log) dan lima ulangan. Uji preferensi dilakukan dengan uji pilihan dan tanpa pilihan. Hasil penelitian uji preferensi tanpa pilihan menunjukkan bahwa dari 3 instar yang diuji pada perlakuan menggunakan log, semut M. castanea lebih menyukai memangsa larva instar 1 O. rhinoceros ( X = 2,6 ekor) dengan indeks preferensi 0,194, dan pada perlakuan tanpa log menyukai larva instar 1 dan larva instar 2 dengan kemampuan memangsa masing-masing = 4,6 ekor dengan nilai indeks preferensi 0,197. Hasil penelitian uji preferensi pilihan pada perlakuan menggunakan log menunjukkan bahwa semut M. castanea lebih menyukai memangsa larva instar 1 ( = 1,2 ekor) dengan indeks preferensi 0,35, dan pada perlakuan tanpa log, semut M. castanea lebih menyukai memangsa larva instar 2 yaitu ( X = 1,4 ekor) dengan indeks preferensi 0,189.

Kata kunci : Myopopone castanea, Oryctes rhinoceros, preferensi mangsa, indeks preferensi

Abstract.

Myopopone castanea (Hymenoptera: Formicidae) ant is a predator for larvae Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) which is a pest on oil palm. These ants are able to prey on all stadia of O. rhinoceros larvae. This study was conducted to determine prey preference of M. castanea toward its prey O. rhinoceros larvae. The research was conducted from December 2016 to March 2017 in the laboratory of Hama Tanaman Fakultas Pertanian USU Medan. The study was conducted using a Complete Random Design with two treatment (using log and no log) and five replications. Preferences test was done by choice test and no choice test. The results of no choice preference test on the log treatment, M. castanea prefer preyed on first instar larvae of O. rhinoceros ( = 2.6 individual) with a preference index was 0.194 and on no log treatment, M. castanea prefer for both first instar larvae and second instar larvae ( = 4,6

Universitas Sumatera Utara 86

individual) with a preference index 0,197. The results of the choice preference test using logs, showed that M. castanea prefer the first instar larvae of O. rhinoceros ( X = 1,2 individual), with a preference index (0.35), and on no log treatment, M. castanea prefer the second instar larvae ( =1.4 individual) with a preference index 0.189.

Key words: Myopopone castanea, Oryctes rhinoceros, prey preference, preference index

6.1 Pendahuluan

Semut mempunyai peranan penting dalam ekosistem, yaitu dapat berperan sebagai penyerbuk, penyebar biji, dan juga sebagai predator pada serangga herbivor (Choate dan Drummond 2011; Rizal et al. 2011). Berbagai spesies dari kelompok semut telah banyak digunakan sebagai agens hayati untuk pengendalian hama tanaman perkebunan, diantaranya adalah semut rangrang (Oecophylla smaragdina) mampu memangsa ulat api (Setora nitens) dengan tingkat pemangsaan yang cukup tinggi 83% (Falahudin 2013), Dolichoderus thoracicus, mampu menekan serangan Helopeltis sp. di perkebunan kakao di Sulawesi

(Anshary dan Pasaru 2008). Kehadiran semut Azteca instabilis F. Smith,

Camponotus textor Forel dan Crematogaster spp. pada agroekosistem tanaman kopi mampu mengurangi kehadiran hama-hama yang biasa menyerang tanaman kopi dibandingkan tanpa kehadiran semut (Philpott 2008).

Marheni (2012) menemukan bahwa semut M. castanea (Hymenoptera:

Formicidae) merupakan predator untuk O. rhinoceros (Coleptera: Scarabaeidae) yang merupakan salah satu hama pada tanaman kelapa sawit. Semut ini biasa hidup di tanah dan di batang-batang kayu yang sudah melapuk. Di perkebunan kelapa sawit, semut ini bisa ditemukan di batang-batang sawit yang tumbang dan

Universitas Sumatera Utara 87

sudah melapuk karena sudah tua ataupun karena penyakit busuk pangkal batang.

Larva O. rhinoceros di perkebunan kelapa sawit biasanya juga hidup di batang- batang kelapa sawit yang melapuk dan di tumpukan bahan organik. Adanya kesamaan relung tempat hidup antara semut M. castanea dan larva O. rhinoceros membuka peluang yang besar untuk memanfaatkan semut predator ini sebagai agens hayati yang potensial untuk hama O. rhinoceros. Berdasarkan pengamatan

Marheni (2012) kemampuan memangsa semut M. castanea terhadap larva instar 2

O. rhinoceros di laboratorium dengan menggunakan 20 ekor semut pekerja dapat mencapai 4-5 ekor mangsa/hari. Semut M. castanea menyerang mangsanya dalam keadaan masih hidup dengan cara menggigit dan menyengatnya hingga mati lalu memakan cairan hemolimfnya. Gejala awal yang ditunjukkan pada larva O. rhinoceros adalah kutikula larva yang berubah menjadi warna kecokelatan dan menghitam secara bertahap. Tubuh larva akan menghitam dan rusak tercabik- cabik akibat gigitan dan sengatan semut M. castanea sehingga hanya tersisa bagian kutikulanya saja. Semut ini juga bisa memakan tubuh larva instar satu O. rhinoceros sampai habis (Marheni 2012; Junaedi 2014; Widihastuty et al. 2018).

Menurut Holling (1959) ada lima faktor utama yang dapat memepengaruhi proses pemangsaan oleh predator, yaitu (1) kerapatan populasi mangsa, (2) kerapatan populasi predator, (3) perilaku mangsa seperti reaksi terhadap predator,

(4) jumlah dan kualitas pakan pengganti yang tersedia untuk predator, dan (5) sifat predator seperti jenis pakan yang disukai dan efsiensi dalam menyerang.

Predator umumnya bersifat generalis (mempunyai banyak mangsa).

Meskipun bersifat generalis, predator akan melakukan seleksi terhadap

Universitas Sumatera Utara 88

mangsanya dan seleksi ini berlangsung secara alami (Jaworski et al. 2013). Rasool et al. (2015) menyatakan bahwa preferensi merupakan seleksi terhadap proporsi mangsa yang tersedia dalam satu lingkungan tertentu. Beberapa karakteristik mangsa dapat mempengaruhi preferensi predator seperti kualitas gizi mangsa dan kemudahan menyerang mangsa. Pemangsaan pada mangsa yang mempunyai kualitas gizi yang baik dapat meningkatkan kebugaran predator, keperidian dan kelangsungan hidup yang lebih baik (Chaneton dan Bonsall 2000; Eubanks dan

Denno 2000).

Preferensi pemangsaan terhadap suatu mangsa dapat disebabkan oleh dua faktor. Faktor pertama adalah berdasarkan pada ketersediaan mangsa menurut kuantitas atau yang paling banyak tersedia (urutan preferensi/dapat tersubtitusi).

Faktor kedua adalah berdasarkan paduan campuran dan keseimbangan diet

(keseimbangan preferensi/pelengkap). Akan tetapi, alaminya, ketersediaan sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan, sehingga pemangsa menunjukkan preferensi kombinasi antara urutan dan keseimbangan. Terlebih lagi, preferensi campuran lebih disukai karena dua alasan: (1) kecenderungan pemangsa untuk memakan mangsa yang ada dengan mengabaikan dan kemudian melanjutkan pencarian; (2) keuntungan bagi pemangsa karena kandungan senyawa racun akan berbeda-beda pada tipe mangsa yang berbeda. Pemangsa juga dapat saja mengalihkan preferensinya (switching) jika:

1. Meningkatnya peluang orientasi kepada tipe mangsa yang ada, search image

pemangsa terhadap mangsa yang berlimpah.

2. Meningkatnya peluang mengejar tipe mangsa yang ada.

Universitas Sumatera Utara 89

3. Meningkatnya peluang menangkap tipe mangsa yang ada.

4. Meningkatnya efisiensi dalam penanganan tipe mangsa yang ada (van Baalen

2001)

Preferensi dapat diduga dengan menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Strauss (1979). Indeks linier pemilihan mangsa atau indeks preferensi (Li) merupakan selisih antara proporsi mangsa yang dimangsa oleh predator (ri) dan proporsi mangsa yang tersedia (pi). Komponen yang dapat mempengaruhi preferensi terhadap mangsa adalah ketertarikan dan kesesuaian terhadap mangsa, pengenalan terhadap mangsa, keputusan menyerang atau tidak, dan kemampuan menangkap serta mengkonsumsi mangsa.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui preferensi semut M. castanea terhadap instar mangsa larva O. rhinoceros.

6.2 Bahan dan Metode

Penelitian dilaksanakan dari bulan Desember 2016 sampai dengan Maret

2017 di Laboratorium Hama Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Sumatera

Utara Medan.

6.2.1 Pengumpulan Serangga Uji

Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan mengumpulkan semua stadia semut predator M. castanea dari batang-batang kelapa sawit yang telah membusuk di perkebunan kelapa sawit rakyat yang ada di Kelurahan Tanah Merah, Kecamatan

Binjai Selatan Kota Binjai. Semut M. castanea yang didapat dari lapangan dipelihara di laboratorium Hama Tanaman Fakultas Pertanian Unversitas

Sumatera Utara. Koloni semut dipelihara dalam kotak kaca dengan ukuran 70 x 30

Universitas Sumatera Utara 90

x 30 cm. Rata-rata jumlah semut yang dipelihara berikut larva dan pupanya berkisar 85-138 individu. Di dalam kotak kaca tersebut diletakkan dua potongan batang sawit yang melapuk dengan ukuran 20 x 20 x 3 cm dan dibuat setangkup sebagai tempat semut membuat sarangnya. Pada bagian tengah batang sawit tersebut dibuat sedikit lubang dengan ukuran 5 x 5 cm untuk tempat meletakkan mangsa larva O. rhinoceros. Setiap hari log tersebut disemprot dengan air untuk menjaga kelembaban sarang semut. Pemberian mangsa larva O. rhinoceros diberikan sesuai dengan kebutuhan pemangsaan semut. Apabila dilihat mangsa sudah mati dan mulai mengering maka segera diberikan mangsa larva O. rhinoceros yang baru.

6.2.2 Uji preferensi

Uji preferensi mangsa semut M. castanea dilakukan dengan dua cara yaitu uji preferensi pilihan (choice) dan uji preferensi tanpa pilihan (no choice). Rancangan yang digunakan dalam uji ini adalah Rancangan Acak Lengkap dua perlakuan

(menggunakan log dan tanpa log) dan lima ulangan. Pengujian ini dilakukan di dalam kotak kaca yang berukuran 40x20x20cm. Pada perlakuan menggunakan log, dibuat 2 potongan log dari batang sawit yang telah melapuk dengan ukuran

15 cm x15 cm x 4cm yang dibuat setangkup dan telah dikeruk sedikit dibagian tengahnya untuk tempat meletakkan larva O. rhinoceros, sedangkan pada perlakuan tanpa log, di dalam kotak kaca tersebut diberi lapisan tanah dan serpihan batang sawit yang telah lapuk setebal ± 1,5 cm.

Pada uji preferensi pilihan, dimasukkan 40 ekor semut pekerja M. castanea dan 20 ekor larva ke dalam masing-masing kotak kaca kaca. Semut M. castanea

Universitas Sumatera Utara 91

terlebih dahulu tidak diberi makan (starvasi) selama 24 jam. Keesokan harinya diinvestasikan 6 ekor larva O. rhinoceros yang terdiri dari 2 ekor larva instar 1, 2 ekor larva instar 2 dan 2 ekor larva instar 3. Pengamatan dilakukan sehari kemudian dengan menghitung jumlah larva yang mati.

Pada uji preferensi tanpa pilihan (no choice), masing-masing kotak kaca diberi 40 ekor semut pekerja M. castanea dan 20 ekor larva semut yg telah dipuasakan terlebih dahulu (starvasi) selama 24 jam. Lima kotak kaca diberi 6 ekor mangsa larva instar 1 O. rhinoceros, lima kotak kaca berikutnya diberi mangsa 6 ekor larva instar 2, dan lima kotak kaca yang terakhir diberi mangsa larva instar 3 sebanyak 6 ekor. Pengamatan dilakukan sehari kemudian dengan menghitung jumlah larva yang mati. Data yang didapat dianalisis secara statistik dan dilanjutkan ANOVA, dan diuji pada taraf 5%. Pendugaan derajat kesukaan

(indeks preferensi) dari predator menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Strauss (1979) sebagai berikut:

Li = ri – pi

Keterangan: L = indeks linier pemilihan mangsa I = stadia mangsa yang dimakan ri = proporsi mangsa yang dimangsa oleh predator (jumlah mangsa stadia i yang dimakan/total pemangsaan) pi = proporsi mangsa tersedia (jumlah mangsa stadia i yang tersedia/total mangsa tersedia)

6.3 Hasil dan Pembahasan

6.3.1 Preferensi mangsa

Hasil penelitian uji preferensi tanpa pilihan menunjukkan bahwa dari 3 instar mangsa yang diuji pada perlakuan menggunakan log, semut M. castanea lebih

Universitas Sumatera Utara

L0 = No

5,00 4,60 4,60 4,00

3,00 2,40 2,60 2,40 1,60

(ekor) 2,00 1,00 0,00

Rerata mortalitas mangsa L0 L1 instar mangsa

I1 I2 I3 92

menyukai memangsa larva O. rhinoceros instar 1 yaitu X = 2,6 ekor, dan pada perlakuan tanpa log menyukai larva instar 1 dan larva instar 2, dengan kemampuan memangsa masing-masing rata-rata = 4,6 ekor (Gambar 6.1).

Hasil penelitian uji preferensi pilihan pada perlakuan menggunakan log menunjukkan bahwa semut M. castanea lebih menyukai memangsa larva instar 1

( = 1,2 ekor), sedangkan pada perlakuan tanpa log semut M. castanea lebih menyukai memangsa larva instar 2 yaitu = 1,4 ekor (GambarL0 = No 6.2). 5,00 4,60 4,60 4,00

3,00 2,40 2,60 2,40 2,00 1,60 (ekor) 1,00 0,00 L0 L1 Rerata mortalitas mangsa instar mangsa

I1 I2 I3

Gambar 6.1 Preferensi instar mangsa semut M. castanea pada uji tanpa pilihan (no choice test).

1,60 1,40 1,40 1,20 1,20 1,20 1,00 1,00 0,80 0,80 0,60

0,40 0,20 0,20 0,00 L0 L1

Rerata mortalitas mangsa (ekor) instar mangsa

I1 I2 I3

Universitas Sumatera Utara 93

Gambar 6.2 Preferensi instar mangsa semut M. castanea pada uji pilihan (choice test)

Pada uji preferensi tanpa pilihan, baik pada perlakuan menggunakan log maupun tanpa log, semut M. castanea lebih menyukai mangsa instar 1 dan instar

2, demikian juga pada uji preferensi pilihan, semut M. castanea lebih menyukai mangsa instar 1 dan instar 2 sebagai mangsanya. Hal ini disebabkan karena ukuran tubuh mangsa instar 1 dan mangsa instar 2 lebih kecil dari ukuran tubuh mangsa instar 3. Ukuran tubuh dan morfologi tubuh mangsa menentukan dalam kecepatan predator untuk memangsanya (Jaworski et al. 2013). Ukuran tubuh yang masih kecil dan kutikula yang masih lunak memudahkan bagi predator dalam memangsa mangsanya. Larva instar 1 O. rhinoceros mempunyai ukuran tubuh yang masih kecil dan mempunyai kutikula yang masih tipis sehingga lebih mudah untuk dirobek dan dihisap cairan hemolimfnya oleh semut. Hal ini sesuai dengan yang didapatkan oleh Marheni (2012) dan Junaedi et al. (2014) bahwa larva instar 1 dan instar 2, tingkat mortalitasnya akibat pemangsaan oleh semut M. castanea, lebih tinggi dibandingkan dengan larva instar 3. Mangsa larva instar 3 karena ukuran tubuhnya sudah jauh lebih besar dibandingkan dengan larva instar

1 dan 2 dan kutikula tubuhnya sudah lebih liat sehingga lebih menyulitkan bagi semut M. castanea untuk memangsanya. Selain itu, karena ukuran tubuhnya yang sudah lebih besar maka mangsa larva instar 3 lebih mampu memberi perlawanan terhadap predator dalam proses pemangsaan. Dalam pengamatan selama penelitian, pada saat proses pemangsaan, ada sekitar 5-7 ekor semut yang bekerja sama untuk melumpuhkan seekor mangsa. Larva instar 3 O. rhinoceros mampu

Universitas Sumatera Utara 94

menggigit semut M. castanea dengan mandibulanya, sehingga dalam setiap proses pemangsaan, ada juga semut predator yang mati.

Preferensi mangsa adalah atribut kognitif yang dimiliki oleh predator yang membuatnya untuk memilih jenis mangsa tertentu. Dalam kehidupannya, predator harus menemukan mangsa secara berulang-ulang selama hidupnya sehingga mendorong terjadinya pemilihan mangsa. Pemilihan mangsa ini dipengaruhi oleh banyak faktor dan kondisi (Jackson dan Cross 2011). Legaspi et al. (2006) menyatakan bahwa walaupun tingkat penerimaan terhadap dua jenis mangsa sama, tetapi karena kemampuan menghindar dari kedua jenis mangsa tersebut berbeda, maka frekuensi pertemuan predator dan mangsa dapat berbeda.

Akibatnya preferensi terhadap kedua mangsa tersebut berbeda. Preferensi oleh predator juga dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor fisik seperti cahaya, warna, bentuk, dan ukuran mangsa, juga faktor kimia berupa bau yang dihasilkan oleh mangsa (Tarumingkeng 1994; Xu dan Enkegaard 2010). Hasil penelitian Fantinou et al. (2009) menyatakan bahwa predator Macrolophus pygmaeus (Hemiptera:

Miridae) akan lebih selektif memilih mangsanya seiring dengan meningkatnya ukuran tubuh mangsa dan kepadatan mangsa. Legaspi et al. (2006) menyatakan bahwa dua pembeda penting dari kisaran inang atau mangsa ialah taksonomi dan ekologi inang. Di samping itu pemilihan inang atau mangsa oleh musuh alami dapat dipengaruhi oleh faktor fisik dan kimiawi inang atau mangsa, secara umum kedua faktor ini memang dapat menentukan keberhasilan musuh alami dalam menemukan inang atau mangsa.

Universitas Sumatera Utara 95

Pakan merupakan salah satu komponen yang mempengaruhi suatu makhluk hidup dalam kehidupan seperti bertahan dan berkembang. Kualitas dan kuantitas pakan adalah aspek penting untuk diperhatikan dalam pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup. Kualitas pakan akan berkaitan langsung dengan fisiologi makhluk hidup. Keberadaan jumlah pakan akan mempengaruhi kelimpahan populasi suatu makhluk hidup. Mangsa merupakan sumber daya nutrisi penting bagi predator. Mangsa yang berbeda dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan predator (Rana et al. 2002; Lundgren 2009

Nguyen et al. 2013).

6.3.2 Indeks preferensi

Indeks pemilihan mangsa atau indeks preferensi (Li) merupakan selisih antara proporsi mangsa yang dimangsa oleh predator (ri) dan proporsi mangsa yang tersedia (pi). Secara simetris nilai indeks preferensi adalah linier. Nilai pemilihan terhadap mangsa bervariasi antara -1 sampai dengan +1. Nilai indeks preferensi (Li) yang bernilai negatif (-) menunjukkan bahwa mangsa tersebut cenderung tidak dipilih atau tidak disukai oleh predator. Sebaliknya, nilai indeks preferensi (Li) bernilai yang positif (+) menunjukkan bahwa predator cenderung lebih memilih mangsa tersebut untuk dikonsumsi.

Nilai indeks preferensi pada uji tanpa pilihan (no choice test) pada perlakuan tanpa log untuk mangsa intar 1 adalah 0,197, untuk mangsa instar 2 =

0,197 dan mangsa instar 3 = 0,07, sedangkan untuk perlakuan menggunakan log indeks preferensinya terhadap mangsa instar 1 adalah 0,194, untuk mangsa instar

2 = 0,164 dan untuk instar 3 = 0,042 (Gambar 6.3).

Universitas Sumatera Utara 96

Nilai indeks preferensi pada uji pilihan (choice test) pada perlakuan tanpa log untuk mangsa instar 1 adalah 0,133, untuk mangsa instar 2 = 0,189 dan untuk mangsa instar 3 = 0,078, sedangkan untuk perlakuan menggunakan log, indeks preferensi instar 1 adalah 0,345, untuk mangsa instar 2 = 0,164 dan untuk mangsa instar 3 = -0,109 (Gambar 6.4). Nilai negatif untuk mangsa instar 3 menunjukkan bahwa mangsa instar 3 ini cenderung tidak dipilih oleh semut M. castanea untuk dimangsa bila ketiga jenis instar mangsa ada tersedia sebagai mangsanya.

0,250

(Li) 0,200

0,150 0,100 0,050 0,000 0 1 2 3

Nilai index preferensi Instar mangsa O. rhinoceros

No log Log (L1)

Gambar 6.3. Nilai indeks preferensi M. castanea pada uji tanpa pilihan

0,400 (Li) 0,300

0,200 0,100 0,000 0 1 2 3 -0,100

Nilai index preferensi -0,200 Instar mangsa O. rhinoceros

No Log Log (L1)

Gambar 6.4 Nilai indeks preferensi M. castanea pada uji pilihan

Nilai indeks preferensi pada uji tanpa pilihan pada perlakuan log dan tanpa log, untuk setiap instar mangsa O. rhinoceros semuanya bernilai positif,

Universitas Sumatera Utara 97

sedangkan pada uji pilihan, indeks preferensi untuk mangsa instar 3 pada perlakuan menggunakan log menunjukkan angka negatif. Hal ini menunjukkan bahwa mangsa instar 3 O. rhinoceros pada perlakuan menggunakan log tidak disukai oleh semut M. castanea bila semua instar mangsa ada tersedia untuk dimangsa. Larva O. rhinoceros instar 3 merupakan larva instar akhir, mempunyai ukuran tubuh yang cukup besar dan mempunyai kemampuan menghindar dengan cara menggerek masuk ke dalam log sehingga terhindar dari pertemuan mangsa dan predator. Jaworski et al. (2013) menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat memengaruhi interaksi pemangsa dengan mangsa adalah ukuran tubuh mangsa. Semut Pachycondyla analis lebih suka memangsa rayap Microtermes daripada rayap Odontotermes karena ukuran tubuh rayap Microtermes lebih kecil daripada rayap Odontotermes (Yusuf et al. 2014). Menurut de Bach (1991) musuh alami dapat menyeleksi kesesuaian inang atau mangsa dan seleksi tersebut berlangsung melalui proses alamiah.

Secara umum predator mempertimbangkan efisiensi pemangsaan pada saat memangsa dengan melakukan pemilihan terhadap mangsa. Waktu yang dibutuhkan oleh predator untuk menangkap dan mengkonsumsi mangsa adalah proporsional terhadap ukuran tubuh hama sebab predator membutuhkan waktu lebih lama untuk memakan mangsa yang lebih besar. Setelah memakan mangsa yang berukuran besar predator membutuhkan waktu lebih lama untuk istirahat sebelum memangsa mangsa lain akibat kekenyangan (Carrillo dan Peña 2012).

Bennett dan Gratton (2012) menyatakan bahwa dalam memangsa predator akan menggunakan energi untuk mencari dan kemudian mengonsumsi mangsa. Hal ini

Universitas Sumatera Utara 98

akan menyebabkan predator harus memilih mangsa untuk dikonsumsi agar dapat memaksimalkan rasio penerimaan energi dan nutrisi dari proses pemangsaan yang dilakukannya (Roger 1999; Yusuf et al. 2014).

Kesimpulan

Uji preferensi tanpa pilihan semut M. castanea lebih menyukai memangsa larva instar 1 O. rhinoceros ( X = 2,6 ekor) dengan indeks preferensi 0,194, dan pada perlakuan tanpa log menyukai larva instar 1 dan 2 dengan kemampuan memangsa masing-masing = 4,6 ekor dengan nilai indeks preferensi 0,197.

Pada uji preferensi pilihan pada perlakuan menggunakan log, semut M. castanea lebih menyukai memangsa larva instar 1 ( = 1,2 ekor) dengan indeks preferensi

0,35, dan pada perlakuan tanpa log, semut M. castanea lebih menyukai memangsa larva instar 2 yaitu ( X = 1,4 ekor) dengan indeks preferensi 0,189. Semut M. castanea mampu memangsa semua jenis instar mangsa larva O. rhinoceros, tetapi lebih menyukai mangsa instar 1 dan instar 2 larva O. rhinoceros bila ketiga jenis instar mangsa hadir sebagai mangsa.

DAFTAR PUSTAKA

Anshary, A. & Pasaru, F. 2008. Teknik perbanyakan dan aplikasi predator Dolichoderus thoracicus Smith (Hymenoptera: Formicidae) untuk pengendalian penggerek buah kakao Conomorpha cramerella (Snellen) di perkebunan rakyat. J. Agroland. 15(4):278-287

Bennett, A.B. & Gratton, C. 2012. Measuring Natural Pest Suppression at Different Spatial Scales Affects the Importance of Local Variables. Environ. Entomol. 41(5):1077-1085.

Carrillo, D. & Peña, J.E. 2012. Prey-stage preferences and functional and numerical responses of Amblyseius largoensis (Acari: Phytoseiidae) to

Universitas Sumatera Utara 99

Raoiella indica (Acari: Tenuipalpidae). Exp. Appl. Acarol. 57(3-4):361- 372.

Chaneton, E.J. & Bonsall, M.B. 2000. Enemy‐mediated apparent competition: empirical patterns and the evidence. Oikos. 88(2):380-394.

Choate, B. & Drummond, F. 2011. Ants as biological control agents in agricultural cropping systems. Terrest. Arthr. Rev. 4(2):157-180. de Bach P. 1991. Biologi Control by Natural Enemies, Cambridge University Press, London.

Eubanks, M.D. & Denno, R.F. 2000. Health food versus fast food: the effects of prey quality and mobility on prey selection by a generalist predator and indirect interactions among prey species. Ecol. Entomol. 25(2):140-146.

Falahudin, I. 2013. Peranan Semut Rangrang (Oecophylla smaradigna) dalam Pengendalian Biologis pada Perkebunan Kelapa Sawit Prosiding Konferensi AICIS XII.2604-2618

Fantinou, A.A., Perdikis, D.C, Labropoulos, P.D. & Maselou, D.A. 2009. Preference and consumption of Macrolophus pygmaeus preying on mixed instar assemblages of Myzus persicae. Biol. Cont. 51(1):76-80.

Holling, C.S. 1959. Some characteristics of simple types of predations and parasitism. Canadian Entomol. 91:385 – 398.

Jackson, R.R. & Cross, F.R. 2011. Spider cognition. In Advances in insect physiology 41:115-174. Academic Press.

Jaworski, C.C., Bompard, A., Genies, L., Desneux, E.A. & Desneux, N. 2013. Preference and Prey Switching in a Generalist Predator Attacking Local and Invasive Alien Pests. Plos one J 8(12):e82231.

Junaedi, D., Bakti, D. & Zahara, F. 2014. Daya Predasi Myopopone castaneae (Hymenoptera: Formicidae) Terhadap Larva Oryctes rhinoceros L (Coleoptera: Scarabidae) di Laboratorium J. Online Agroekotek. 3(1):112-117.

Legaspi, J.C., Simmons, A.M. & Legaspi, Jr B.C. 2006. Prey preference by Delphastus catalinae (Coleoptera: Coccinellidae) on Bemisia argentifolii (Homoptera:Aleyrodidae): effects of plant species and prey stages. Bioone Online J. 89:218-222.

Lundgren, J.G. 2009. Nutritional aspects of non-prey foods in the life histories of predaceous Coccinellidae. Biol. Cont. 51(2):294-305.

Universitas Sumatera Utara 100

Marheni. 2012. Karakteristik Bioekologi Orytes rhinoceros (L.) pada Pertanaman Kelapa Sawit. [Disertasi]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Nguyen, D.T., Vangansbeke D., Lü X. & De Clercq, P. 2013. Development and reproduction of the predatory mite Amblyseius swirskii on artificial diets. BioControl. 58(3):369-377.

Philpott, S.M., Perfecto, I. & Vandermeer, J. 2008. Behavioral diversity of predatory arboreal ants in coffee agroecosystems. Environ. Entomol. 37(1):181-191.

Rana, J.S., Dixon, A.F.G. & Jarošík, V. 2002. Costs and benefits of prey specialization in a generalist insect predator. J. Animal Ecol. 71(1):15-22.

Rasool, S., Gulzar, S., Javed, S. & Shahid, M.S. 2015. Tritrophic response of Coccinella septempunctata towards Aphis gossypii in cotton. Acad J. Entomol. 8(1):01-04.

Rizal, S., Falahudin, I. & Endarsih, T. 2011. Keanekaragaman semut predator permukaan tanah (Hymenoptera: Formicidae) di perkebunan kelapa sawit SPPN Sembawa Banyuasin. Sainmatika 8(1):37-42.

Roger, C. 1999. Mechanisms of Prey Selection in the Ladybeetle Coleomegilla maculata lengi Timb. (Coleoptera: Coccinellidae) [Tesis]. Canada (US): McGill University.

Strauss, R.E. 1979. Reliability estimates for Ivlev’s electivity index, the forage ratio, and proposed linear index of food selection. Trans American Fisheries Soc. 108:544-552.

Tarumingkeng, R.C. 1994. Dinamika Pertumbuhan Populasi Serangga. IPB Press, Bogor. van Baalen, M., Křivan, V., van Rijn, P.C. & Sabelis, M.W. 2001. Alternative food, switching predators, and the persistence of predator-prey systems. The American Naturalist. 157(5): 512-524.

Xu, X. & Enkegaard, A. 2010. Prey preference of the predatory mite, Amblyseius swirskii between first instar western flower thrips Frankliniella occidentalis and nymphs of the twospotted spider mite Tetranychus urticae. J. Insect Sci. 10(149):11pp

Yusuf, A.A., Gordon, I., Crewe, R.M. & Pirk, C.W.W. 2014. Prey choice and raiding behaviour of the Ponerine ant Pachycondyla analis (Hymenoptera: Formicidae). J. Nat. History. 48(5-6):345-358.

Universitas Sumatera Utara 101

BAB VII

TANGGAP FUNGSIONAL SEMUT Myopopone castanea (Hymenoptera: Formicidae) TERHADAP Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae)

Abstrak

Penggunaan semut sebagai agens hayati sudah dikenal sejak lama. Semut Myopopone castanea merupakan predator untuk stadia pradewasa Oryctes rhinoceros yang merupakan salah satu hama penting pada tanaman kelapa sawit. Memahami hubungan antara predator dan mangsa adalah hal yang penting dalam ekologi. Tanggap fungsional merupakan salah satu komponen dalam menilai interaksi antara predator dan mangsanya. Tanggap fungsional memberikan deskripsi kuantitatif perilaku predator ketika bertemu mangsanya dengan kepadatan mangsa yang berbeda, oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tanggap fungsional semut M. castanea terhadap mangsa O. rhinoceros dengan berbagai kepadatan mangsa. Penelitian dilakukan dengan menggunakan 50 ekor semut pekerja M. castanea dan 50 ekor larva semut yang dimasukkan ke dalam kotak kaca yang telah diisi dengan tanah dan serpihan batang sawit yang telah melapuk setebal kira-kira 1 cm. Kepadatan mangsa yang digunakan adalah 5, 8, 11 dan 14 ekor larva instar 2 O. rhinoceros. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemangsaan oleh semut M. castanea meningkat dengan meningkatnya kepadatan mangsa. Pada jam pertama pengamatan merupakan pemangsaan yang tertinggi dan kemudian menurun pada jam pengamatan berikutnya. Tipe tanggap fungsional semut M. castanea terhadap mangsa O. rhinoceros termasuk tanggap fungsional tipe II.

Kata kunci: M. castanea, predator, mangsa, O. rhinoceros, tanggap fungsional.

Abstracts

The use of ants as biological agents has been known for a long time. Ants Myopopone castanea is a predator for pre-adult pests of Oryctes rhinoceros which is one of the important pests in oil palm plants. Understanding the relationship between predators and prey is important in ecology. Functional response is one component in assessing interactions between predators and prey. Functional response provides a quantitative description of predatory behavior when meeting prey with different prey densities, therefore this study was conducted to determine the functional response of M. castanea ants to O. rhinoceros prey with various prey densities. The study was conducted by using 50 ants of M. castanea worker and 50 ant larvae which were inserted into a glass box that had been filled with soil and pieces of palm oil which had decayed about 1 cm thick. The density of prey used was 5, 8, 11 and 14 individuals 2nd instar larvae of O. rhinoceros. The results showed that predation by M. castanea ants increased with increasing prey density. Predation in the first hour of observation is the highest predation and then

Universitas Sumatera Utara 102

decreases in line with the length of the observation. Response functional of M. castanea ant to prey O. rhinoceros is type II of functional response.

Key words: M. castanea, predator, prey, O. rhinoceros, functional response.

7.1 Pendahuluan

Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) merupakan salah satu hama penting pada tanaman kelapa sawit yang sering menimbulkan masalah pada tanaman yang masih muda. Tumpukan bahan-bahan organik seperti batang-batang kelapa sawit yang tumbang akibat penyakit busuk pangkal batang atau karena sudah tua serta tumpukan tandan kosong yang dikembalikan ke kebun sebagai suplai bahan organik menjadi tempat perkembangbiakan stadia pradewasa dari O. rhinoceros (Bedford 1980; Manjeri et al. 2014; Hawkeswood dan Sommung

2016). Pengendalian yang dilakukan selama ini bertumpu pada penggunaan pestisida, perangkap feromon, pengutipan larva (hand picking), dan pengendalian menggunakan pathogen seperti jamur dan virus (Indriyanti et al. 2017; Jackson,

2009; Andrews et al. 2012), tetapi semua upaya ini belum tersintegrasi secara utuh sehingga belum bisa memberikan hasil yang optimal.

Semut sudah lama dikenal sebagai salah satu agens hayati yang efektif dalam mengendalikan berbagai serangga hama (Falahuddin 2013; Anshary dan

Pasaru 2008; Choate dan Drummond 2011). Semut M. castanea merupakan predator terhadap stadia pradewasa O. rhinoceros (Marheni 2012). Di perkebunan kelapa sawit, semut M. castanea hidup di batang-batang kelapa sawit yang tumbang dan membusuk karena sudah tua atau karena penyakit busuk pangkal

Universitas Sumatera Utara 103

batang. Stadia pradewasa O. rhinoceros (telur, larva dan pupa) juga hidup dan berkembang di batang-batang kelapa sawit yang membusuk tersebut.

Adanya persamaan relung (niche) antara predator dan mangsa membuka peluang pemanfaatan semut M. castanea sebagai musuh alami yang potensial untuk hama O. rhinoceros. Hasil penelitian Junaedi et al. (2014) dan Widihastuty et al. (2018), menjelaskan bahwa semut M. castanea cukup efektif untuk mengendalikan hama O. rhinoceros. Efektif atau tidaknya suatu predator dalam memangsa sangat bergantung kepada kemampuan mencari dan menangani mangsanya pada keadaan lingkungan tertentu. Faktor suhu, kelembapan, luas areal pencarian, kerapatan mangsa sangat mempengaruhi kinerja predator dalam melakukan penekanan terhadap populasi mangsa.

Interaksi antara predator dan mangsa berperan penting dalam membentuk distribusi spasial organisme di komunitas biologi. Strategi pemilihan habitat menjadi hal yang optimal bagi predator dan mangsa untuk berinteraksi secara nyata. Hal ini bisa menjadi bentuk adaptasi yang baik bagi predator untuk menilai dan menanggapi kualitas sumber daya yang dikonsumsi oleh mangsanya

(Williams dan Flaxman 2012; Yusuf et al. 2014). Agregasi predator dalam menanggapi kepadatan mangsa berkembang dari tindakan kolektif individu predator, dimana perilaku mencari makan (foraging behavior) biasanya sangat dipengaruhi oleh sifat dan tingkat bertemu mangsa (Evans dan Toler 2007,

Philpott et al. 2008).

Memahami hubungan antara predator dan mangsa adalah hal yang penting dalam ekologi. Salah satu komponen hubungan predator-mangsa adalah tingkat

Universitas Sumatera Utara 104

makan dari predator pada mangsa. Tingkat makan menggambarkan transfer biomassa antara tingkat trofik dalam model sederhana dan benar-benar menggambarkan hubungan dinamis antara kelimpahan predator dan kelimpahan mangsa (Skalski dan Gilliam 2001). Tanggap fungsional memberikan deskripsi kuantitatif perilaku predator ketika bertemu mangsanya dengan kepadatan mangsa yang berbeda. Tanggap fungsional merupakan komponen yang sangat penting dalam menilai interaksi antara predator dan mangsanya. Tanggap fungsional dapat dibedakan atas tiga tipe. Tipe I atau tipe tanggap fungsional linier menjelaskan bahwa laju pemangsaan meningkat atau menurun sehubungan dengan peningkatan atau penurunan populasi mangsa. Tipe II atau tanggap fungsional hiperbolik, laju pemangsaan menurun dengan meningkatnya kerapatan mangsa, mortalitas mangsa maksimal terjadi pada kerapatan mangsa yang rendah, sedangkan tipe tanggap fungsional III adalah tanggap fungsional sigmoid, pada awalnya peningkatan pemangsaan berlangsung lambat, diikuti dengan peningkatan yang lebih cepat kemudian konstan.

Kerapatan mangsa yang berbeda akan mempengaruhi kinerja predator sebagai agens hayati. Beberapa hasil penelitian menunjukkan tipe tanggap fungsional bisa berbeda pada kerapatan mangsa yang berbeda (Nazari dan

Tafaghodinia 2010; Nelly et al. 2012). Informasi tentang respon fungsional semut

M. castanea terhadap mangsa O. rhinoceros belum pernah diteliti, oleh karena itu, studi ini bertujuan untuk melihat respon fungsional semut M. castanea terhadap

O. rhinoceros, sehingga informasi ini nantinya dapat digunakan sebagai landasan

Universitas Sumatera Utara 105

informasi dalam menyusun teknik-teknik pengendalian hama O. rhinoceros yang lebih ramah lingkungan.

7.2 Bahan dan Metode

Penelitian dilaksanakan dari bulan Juli sampai Oktober 2017 di Laboratorium

Hama Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan.

7.2.1 Pengumpulan Serangga Uji

Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan mengumpulkan semut predator M. castanea dari batang-batang kelapa sawit yang telah melapuk dari perkebunan kelapa sawit rakyat yang ada di daerah kecamatan Binjai Selatan Kota Binjai.

Semut M. castanea yang di dapat dari lapangan dipelihara di laboratorium Hama

Tanaman Fakultas Pertanian Unversitas Sumatera Utara. Koloni semut dipelihara dalam kotak kaca dengan ukuran 70 x 30 x 30 cm. Di dalam kotak kaca tersebut diletakkan dua potongan batang sawit yang melapuk dengan ukuran 20 x 20 x 3 cm dan dibuat setangkup sebagai tempat semut membuat sarangnya. Pada bagian tengah batang sawit tersebut dibuat sedikit lubang dengan ukuran 5 x 5 cm untuk tempat meletakkan mangsa larva O. rhinoceros. Setiap hari log tersebut disemprot dengan air untuk menjaga kelembaban sarang semut. Pemberian mangsa larva O. rhinoceros diberikan sesuai dengan kebutuhan pemangsaan semut. Apabila dilihat mangsa sudah mati dan mulai mengering maka akan segera diberikan mangsa larva O. rhinoceros yang baru.

Universitas Sumatera Utara 106

7.2.2 Kemampuan pemangsaan dengan kerapatan mangsa yang berbeda

Uji tanggap fungsional dilakukan dengan menggunakan kerapatan mangsa yang berbeda-beda. Kerapatan mangsa yang digunakan adalah 5, 8, 11 dan 14 ekor larva instar 2 O. rhinoceros. Jumlah semut pekerja yang digunakan adalah 50 ekor dan 50 ekor larvanya. Penggunaan semut sebanyak 50 ekor dan larvanya 50 ekor ini dianggap merupakan 1 koloni semut. Masing-masing percobaan dengan masing-masing kerapatan diulang sebanyak 5 kali. Pengujian dilakukan di dalam kotak kaca yang berukuran 40x20x20cm. Sebelum digunakan sebagai perlakuan, semut-semut tersebut tidak diberi mangsa (starvasi) selama 24 jam. Pada kotak kaca tersebut diberi lapisan tanah dan serpihan batang sawit yang telah lapuk setebal ± 1 cm. Semut dan larva instar 2 O. rhinoceros dipaparkan di dalam kotak kaca tersebut selama 6 jam. Selama proses pemaparan tersebut, diamati perilaku penanganan mangsa dan lama penanganan satu mangsa oleh predator.

7.2.3 Analisis Data

Pengamatan dilakukan dengan menghitung waktu yang dibutuhkan semut M. castanea untuk menemukan, menangani mangsa dan memangsa larva O. rhinoceros. Data yang diperoleh dihitung berdasarkan rumus yang dikembangkan oleh Holling (1959) yaitu:

Na = aTN/(1+aThN)

Dimana :

Na = jumlah larva O. rhinoceros yang dimangsa, a = laju pemangsaan, T = lama pemangsaan (6 jam), N = kerapatan mangsa, Th = waktu yang digunakan predator untuk menagani satu mangsa.

Universitas Sumatera Utara 107

Penentuan tipe tanggap fungsional adalah dengan menggunakan analisis regresi, yaitu menghitung jumlah larva O. rhinoceros yang dimangsa (Ne) dan dibandingkan dengan yang dipaparkan (No). Data pemangsaan dianalisis menggunakan regresi linier, eksponensial dan logaritmik. Nilai R2 digunakan untuk menetukan tipe tanggap fungsional, dari setiap persamaan regresi yang digunakan. Nilai R2 yang paling mendekati 1 dinyatakan sebagai tipe respon fungsional dari predator (Jones et al. 2003).

7.3 Hasil dan Pembahasan

7.3.1 Kemampuan memangsa M. castanea pada beberapa kerapatan mangsa

larva O. rhinoceros.

Kemampuan memangsa semut M. castanea pada beberapa kerapatan mangsa

O. rhinoceros selama 6 jam pemaparan menunjukkan adanya peningkatan pemangsaan. Kemampuan memangsa pada kerapatan mangsa rendah (5 ekor) dan kerapatan mangsa tinggi (14 ekor) berbeda nyata. Kerapatan mangsa 5 ekor tidak berbeda dengan yang 8 ekor, tapi berbeda nyata dengan 11 ekor dan 14 ekor, sedangkan untuk kerapatan mangsa 8 ekor tidak berbeda dengan yang kerapatan mangsa 5 ekor. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan memangsa semut M. castanea meningkat seiring dengan meningkatnya kerapatan mangsa (Gambar

7.1). Kemampuan memangsa tertinggi terjadi pada pengamatan 1 jam pertama setelah perlakuan, dan semakin menurun pada jam pengamatan berikutnya

(Gambar 7.2). Semut yang sebelumnya sudah dilaparkan selama 24 jam, begitu diberi mangsa akan cepat memberikan reaksi pemangsaannya. Tujuan

Universitas Sumatera Utara 108

dilakukannya proses starvasi (mempuasakan) predator adalah untuk melihat reaksi predator dalam pemangsaan. Predator yang efektif, biasanya akan segera bereaksi bila bertemu dengan mangsanya.

15 O. O. 10,2 8,2 yang 10

4,8 5,6 5

rhinoceros

dimangsa dimangsa (individu) 0

Rataan jumlah larva 5 8 11 14 Kerapatan mangsa O. rhinoceros (individu)

Gambar 7.1 Kemampuan memangsa M. castanea pada berbagai kerapatan mangsa selama 6 jam pemaparan.

3

2,5

2

1,5 1 (individu) 0,5 0 Jumlah mangsa yang mati 1 2 3 4 5 6 Pengamatan setelah perlakuan (jam)

5 8 11 14

Gambar 7.2 Kemampuan memangsa semut M. castanea selama jam pengamatan

Hubungan interaksi antara predator dan mangsa dapat berubah dengan berubahnya kepadatan mangsa. Menurut Holling (1961), terdapat lima komponen hubungan antara predator dan mangsanya, yaitu (a) kepadatan mangsa, (b) kepadatan predator, (c) keadaan lingkungan seperti adanya pakan alternatif, (d) sifat mangsa, seperti adanya mekanisme pertahanan diri dari serangan pemangsa dan (e) sifat predator, seperti cara menyerang mangsanya

Universitas Sumatera Utara 109

Keefektifan predator sangat tergantung pada kemampuannya mencari dan menangani mangsa pada kerapatan dan jenis mangsa yang berbeda. Kerapatan mangsa merupakan aspek penting yang mempengaruhi kemampuan predator, karena laju predasi dari predator dapat berubah tergantung pada kerapatan mangsa. Atlihan et al. (2004) menjelaskan bahwa peningkatan kepadatan mangsa, meningkatkan kemampuan pemangsaan dari predator Chrysoperla carnea

(Stephens) (Neuroptera : Chrysopidae). Nelly dan Syuhadah (2012) mendapatkan bahwa kerapatan mangsa dan umur tanaman yang berbeda juga mempengaruhi kemampuan memangsa dari predator Menochilus sexmaculatus Fabricius

(Coleoptera: Coccinellidae) terhadap Aphis gossypii (Glover)(Homoptera:

Aphididae). Hasil penelitian Nazari dan Tafaghodinia (2010) juga menunjukkan bahwa kerapatan mangsa yang berbeda akan mempengaruhi laju pemangsaan predator. Pengaruh kumpulan predator juga dapat mengubah pengaruh predator pada mangsanya. Mekanisme perbedaan perilaku dan penggunaan sumberdaya dalam tingkat trofik predator dapat meningkatkan pengaruh predator pada mangsa terutama jika pengaruh dari setiap jenis predator berbeda dengan kondisi lingkungan (Philpott et al. 2008).

7.3.2 Perilaku memangsa semut M. castanea terhadap mangsa larva O.

rhinoceros

Pengaruh kumpulan predator dapat mengubah pengaruh predator pada mangsanya. Mekanisme perbedaan perilaku dan penggunaan sumberdaya dalam tingkat trofik predator dapat meningkatkan pengaruh predator pada mangsa

Universitas Sumatera Utara 110

terutama jika pengaruh dari setiap jenis predator berbeda dengan kondisi-kondisi tempat hidup dan lingkungan di sekitar predator dan mangsa (Philpott et al. 2008).

Proses orientasi mangsa oleh semut M. castanea pada mangsa larva O. rhinoceros diawali dengan perilaku semut yang menyentuh dan mengitari mangsanya, lalu kemudian menggigit sedikit kemudian menghindar, sehingga membuat mangsa bereaksi dengan menggeliat. Biasanya semut akan menggigit bagian tengan abdomen mangsanya sedikit-sedikit terlebih dahulu sebelum menyengatnya. Dalam proses ini biasanya mangsa memberikan perlawanan dengan menggeliat dan berusaha menangkap semut dengan mandibelnya. Bila ada semut yang tertangkap, semut juga akan digigit oleh mangsa, dan semut juga ada yang mati dalam proses perlawanan ini. Semut akan menggoyang-goyangkan badan dan antenanya untuk memanggil semut pekerja yang lain untuk membantunya. Hal senada juga diungkapkan oleh Ito (2010) yang mengamati perilaku memangsa semut M. castanea terhadap mangsa T. mollitor yang juga menggoyang-goyangkan badan dan antenanya untuk memanggil bantuan pada semut pekerja lainnya. Dalam pengamatan selama penelitian, ada sekitar 4-7 ekor semut yang bekerja sama dalam melumpuhkan satu mangsa. Setelah mangsa terlihat lemah tak berdaya, mangsa dibiarkan dan ditinggalkan untuk sementara oleh si semut. Setelah mangsa benar-benar mati barulah semut memakan cairan hemolimf mangsa.

Perilaku pencarian mangsa biasanya dibentuk oleh parameter perilaku, fisikal, fisiologi dan ekologi yang saling berhubungan untuk mendeteksi mangsa, mengkonsumsi dan mengolahnya. Hal ini meliputi a) ketersediaan dan

Universitas Sumatera Utara 111

kelimpahan tipe mangsa; b) perilaku predator dalam mencari mangsa; c) kesesuaian nutrisi mangsa, dan d) risiko pemangsaan yang berasosiasi dengan upaya dalam memperoleh mangsa (Schoener 1971; Li et al. 2014). Perilaku pencarian mangsa oleh semut Azteca instabilis F. Smith, Camponotus textor Forel dan Crematogaster spp. pada agroekosistem tanaman kopi berbeda-beda tergantung kondisi lingkungan, jenis mangsa yang diberikan, kepadatan mangsa dan ukuran tubuh mangsanya. Ada tiga asumsi utama dalam optimalisasi pencarian mangsa yaitu: a) Peningkatan kelimpahan mangsa tertentu, cenderung akan mengarah kepada

spesialisasi mangsa. b) Bila kelimpahan mangsa tetap, maka mangsa tersebut dapat dimangsa atau

tidak. c) Mangsa yang bukan bagian dari jenis mangsanya, tidak dapat ditambahkan

ke dalam kelompok mangsanya walaupun jenis mangsa itu berlimpah

(Philpott et al. 2008)

7.3.3 Laju pemangsaan dan tanggap fungsional semut M. castanea

Laju pemangsaan semut M. castanea terhadap berbagai kerapatan mangsa larva instar 2 O. rhinoceros yang berbeda menunjukkan perbedaan secara statistik pada kerapatan mangsa yang rendah dan yang tinggi. Pada kerapatan mangsa 5 dan 8 ekor tidak berbeda secara statistik, tetapi berbeda nyata dengan kerapatan mangsa 11 dan 14 ekor. Demikian juga dengan kerapatan mangsa 8 ekor, tidak berbeda dengan kerapatan mangsa yang 11 ekor, tapi berbeda dengan kerapatan mangsa yang 14 ekor (Tabel 7.1).

Universitas Sumatera Utara 112

Parameter a sering disebut sebagai laju pemangsaan yang menunjukkan proporsi arena yang berhasil dijelajahi oleh seekor predator per satuan waktu.

Nilai a dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah laju pergerakan predator dalam mencari mangsa, laju pergerakan mangsa dalam menghindari predator, laju keberhasilan penangkapan mangsa dan jarak antara predator dan mangsa (Houck dan Strauss 1985). Semakin tinggi laju pemangsaan, maka akan semakin banyak mangsa yang dapat dimangsa. Pada kepadatan mangsa rendah, pemangsa akan menghabiskan banyak waktunya dalam pencarian mangsa, tetapi dalam kepadatan mangsa tinggi, maka pemangsa akan banyak menghabiskan waktunya dalam penanganan mangsa. Hasil penelitian Yusuf et al. (2014) menunjukkan bahwa semut Pachycondyla analis yang memangsa rayap

Microtermes mampu mencari mangsa secara optimal, dengan menyeimbangkan energi yang dikeluarkannya dan mangsa yang didapatnya

Tabel 7.1 Laju pemangsaan semut M. castanea pada berbagai kerapatan mangsa larva instar 2 O. rhinoceros. Kerapatan mangsa Jumlah larva Rerata lama Laju pemangsaan Oryctes Oryctes rhinoceros penanganan (x 10-3 ) rhinoceros yang dimangsa/jam mangsa (menit) (individu) (individu) 5 0,8 27,6 4,28 b 8 0,93 29,6 3,71 b 11 1,37 31,4 9,13 ab 14 1,7 30,0 17,01 a Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan secara statistik menurut uji DMRT pada taraf 5%.

Parameter Th disebut sebagai masa penanganan mangsa (handling time), yaitu waktu yang dicurahkan oleh seekor predator untuk mencari, mengejar, mematikan, memakan mangsa, dan aktivitas lainnya yang berkaitan dengan

Universitas Sumatera Utara 113

pemangsaan (Holling 1961). Semut M. castanea menyerang mangsanya dengan cara menyengatnya dan melumpuhkannya secara berkelompok. Dalam pengamatan selama penelitian, ada 4-7 ekor semut yang terlibat dalam menangani satu mangsa, dan waktu yang dibutuhkan oleh semut dalam melumpuhkan mangsanya berkisar 27–31 menit. Perbedaan nilai parameter tanggap fungsional seperti koefisien laju pemangsaan dan waktu pemangsaan dapat disebabkan oleh adanya perbedaan ukuran mangsa, kerakusan pemangsa, faktor kekenyangan, tingkat kelaparan pemangsa, kemampuan pemangsa untuk mencerna mangsa, dan kecepatan bergerak (Pervez dan Omkar 2005; Radiyanto et al. 2011).

Penentuan tipe tanggap fungsional berdasarkan analisis regresi, menunjukkan ada perbedaan. Dari tiga bentuk persamaan regresi yang diuji terdapat perbedaan nilai r. Nilai r menentukan tingkat keeratan dari masing masing persamaan. Nilai r yang mendekati 1 digunakan sebagai dasar penentuan persamaan yang dipilih, dan penentu dari tipe fungsional respon (Jones et al. 2000). Dari berbagai kerapatan mangsa yang diberikan tersebut, tanggap fungsional semut M. castanea tergolong kepada tipe II (Tabel 7.2).

Tanggap fungsional tipe II adalah tipe tanggap fungsional yang menggambarkan bahwa konsumsi mangsa meningkat pada peningkatan kepadatan mangsa tertentu dan kemudian konstan dan menurun. Predator yang tergolong tipe tanggap fungsional tipe II ini biasanya efektif pada kepadatan mangsa rendah.

Pada kepadatan mangsa tinggi, untuk mengoptimalkan peran predator ini tentu diperlukan campur tangan manusia melalui tindakan-tindakan peningkatan peran musuh alami.

Universitas Sumatera Utara 114

Tabel 7.2 Tipe tanggap fungsional semut M. castanea pada berbagai kerapatan mangsa berdasarkan analisis regresi dan nilai R2 Persamaan regresi Nilai R2 Tipe tanggap fungsional Regresi Linier 0.9646 Y = 0,6267x + 1,2467

Regresi eksponensial 0,9758 Tipe II Y = 2,9281e0,0881x

Regresi logaritmik 0,8978 Y = 5,2627ln(x) – 4,2804

Penentuan tipe tanggap fungsional dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor- faktor seperti kepadatan mangsa, jenis mangsa dan jenis tanaman inang dapat mempengaruhi penentuan tipe tanggap fungsional suatu predator. Hasil penelitian

Nazari dan Tafaghodinia (2010) menunjukkan bahwa larva instar IV dari

Exochomus nigromaculatus (Goeze) (Coleoptera: Coccinellidae) tergolong tanggap fungsional tipe II pada kerapatan mangsa 4, 8, 16, 32, 64, 96, dan 128 ekor pada mangsa Aphis nerii dan Aphis craccivora, sedangkan ketika dipaparkan mangsa dengan kerapatan 50, 100, dan 150 ekor tergolong tanggap fungsional tipe

III. Pengaruh jenis mangsa terhadap tanggap fungsional terlihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sarmento et al. (2007) dimana tanggap fungsional

Eriopis connexa Mulsant (Coleoptera: Coccinellidae) tergolong tipe II ketika memangsa Macrosiphum euphorbiae Thomas (Hemiptera: Aphididae) dan tipe III ketika memangsa Tetranychus evansi Baker (Acari: Tetranychidae).

Kesimpulan

Kemampuan memangsa semut M. castanea pada mangsa larva instar 2 O. rhinoceros meningkat dengan bertambahnya kepadatan mangsa. Laju pemangsaan

Universitas Sumatera Utara 115

pada kepadatan mangsa rendah (5 ekor) dan kepadatan tinggi (14 ekor) berbeda secara statistik dan rata-rata waktu yang dibutuhkan semut untuk menangani satu mangsanya adalah berkisar 27-30 menit. Penentuan tipe tanggap fungsional predator yang dilakukan dengan analisis regresi R2 didapatkan bahwa tipe tanggap fungsional semut M. castanea terhadap mangsa larva instar 2 O. rhinoceros adalah tipe II.

DAFTAR PUSTAKA

Andrews, M., Cripps, M.G. & Edwards, G.R. 2012. The potential of beneficial microorganisms in agricultural systems. Annu. Appl. Biol. 160(1):1-5.

Anshary, A. & Pasaru, F. 2008. Teknik perbanyakan dan aplikasi predator Dolichoderus thoracicus Smith (Hymenoptera: Formicidae) untuk pengendalian penggerek buah kakao Conomorpha cramerella (Snellen) di perkebunan rakyat. J. Agroland. 15(4):278-287.

Atlihan, R., Kaydan, B. & Özgökçe, M.S. 2004. Feeding activity and life history characteristics of the generalist predator, Chrysoperla carnea (Neuroptera: Chrysopidae) at different prey densities. J.Pest Sci.77(1):17-21.

Bedford, G.O. 1980. Biology, ecology and control palm of palm Rhinoceros beetle. Ann. Rev. Entomol. 25: 309-339.

Choate, B. & Drummond, F. 2011. Ants as biological control agents in agricultural cropping systems. Terrest. Arthro. Rev. 4(2):157-180.

Evans, E.W. & Toler, T.R. 2007. Aggregation of polyphagous predators in response to multiple prey: ladybirds (Coleoptera: Coccinellidae) foraging in alfalfa. Pop. Ecol. 49(1):29-36.

Falahudin, I. 2013 Peranan Semut Rangrang (Oecophylla smaradigna) dalam Pengendalian Biologis pada Perkebunan Kelapa Sawit Prosiding Konferensi AICIS XII.2604-2618.

Universitas Sumatera Utara 116

Hawkeswood, T.J. & Sommung, B. 2016. The Coconut Rhinoceros Beetle, Oryctes rhinoceros L., (Coleoptera: Scarabaeidae: Dynastinae) in Lat Krabang Park, Bangkok, Thailand with notes on its biology and a new larval host plant.

Holling, C.S. 1961. Principles of insect predation. Canadia Entomol. 91:385-398.

Houck, M.A. & Strauss, R.E. 1985. The comparative study of functional responses: experimental design and statistical interpretation. The Canadian Entomol. 117(5): 617-629.

Indriyanti, D.R., Widiyaningrum, P., Slamet, M. & Maretta, Y. A. 2017. Effectiveness of Metarhizium anisopliae and Entomopathogenic Nematodes to Control Oryctes rhinoceros Larvae in the Rainy Season. Pakistan J. Biol. Sci. 20(7):320-327.

Ito, F. 2010. Notes on the biology of the Oriental amblyoponine ant Myopopone castanea: Queen‐worker dimorphism, worker polymorphism and larval hemolymph feeding by workers (Hymenoptera: Formicidae). Entomol. Sci. 13(2):199-204.

Jackson, T.A. 2009. The use of Oryctes virus for control of rhinoceros beetle in the Pacific Islands. In: Hajek A.E., Glare T.R., O’Callaghan M. (eds) Use of Microbes for Control and Eradication of Invasive Arthropods. Progress in Biological Control, vol 6. Springer, Dordrecht. pp 133-140.

Jones, D.B., Giles, K.L., Berberet, R.C., Royer, T.A., Elliott, N.C. & Payton, M.E. 2003. Functional responses of an introduced parasitoid and an indigenous parasitoid on greenbug at four temperatures. Environ. Entomol. 32(3):425-432.

Junaedi, D., Bakti, D. & Zahara, F. 2014. Daya Predasi Myopopone castaneae (Hymenoptera: Formicidae) Terhadap Larva Oryctes rhinoceros L (Coleoptera: Scarabidae) di Laboratorium J. Online Agroekoteknologi. 3(1):112-117.

Li, L., Peng, H., Kurths, J., Yang, Y. & Schellnhuber, H.J. 2014. Chaos–order transition in foraging behavior of ants. Proceedings of the National Academy of Sciences. 111(23): 8392-8397.

Manjeri, G., Muhamad, R. & Tan, S.G. 2014. Oryctes rhinoceros beetles, an oil palm pest in Malaysia. Ann. Res. Rev. Biol. 4(22):3429.

Marheni. 2012. Karakteristik Bioekologi Orytes rhinoceros (L.) pada Pertanaman Kelapa Sawit. [Disertasi]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Universitas Sumatera Utara 117

Nazari, A. & Tafaghodinia, B. 2010. Functional response of Exochomus nigromaculatus (Col.: Coccinellidae) to different densities of Aphis nerii and Aphis craccivora [Doctoral dissertation, Thesis]. Arak Islamic Azad University, Arak.

Nelly, N., Trizelia. & Syuhadah, Q. 2012. Tanggap fungsional Menochilus sexmaculatus Fabricius (Coleoptera: Coccinellidae) terhadap Aphis gossypii (Glover)(Homoptera: Aphididae) pada umur tanaman cabai berbeda. J. Entomol. Indonesia. 9(1): 23.

Pervez, A. & Omkar. 2005. Functional responses of coccinellid predators: an illustration of a logistic approach. J. Insect Sci. 5(1):5.

Philpott, S.M., Perfecto, I. & Vandermeer, J. 2008. Behavioral diversity of predatory arboreal ants in coffee agroecosystems. Environ. Entomol. 37(1):181-191.

Radiyanto, I., Rahayuningtias, S. & Widhianingtyas, E. 2011. Kemampuan Pemangsaan Menochilus sexmaculatus F.(Coleoptera: Coccinellidae) terhadap Rhopalosiphum maidis Fitch (Homoptera: Aphididae). J. Entomologi Indonesia. 8(1):1.

Sarmento, R.A., Pallini, A., Venzon, M., Souza, O.F.F.D., Molina-Rugama, A.J. & Oliveira, C.L.D. 2007. Functional response of the predator Eriopis connexa (Coleoptera: Coccinellidae) to different prey types. Brazilian Archives of Bio. and Techno. 50(1):121-126.

Schoener, T.W. 1971. Theory of feeding strategies. Ann. Rev. Ecol. and systematics. 2(1):369-404.

Skalski, G.T. & Gilliam, J.F. 2001. Functional responses with predator interference: viable alternatives to the Holling type II model. Ecology. 82(11):3083-3092.

Widihastuty, Tobing M.C., Marheni. & Kuswardani, R.A. 2018. Prey preference Myopopone castanea (Hymenoptera: Formicidae) toward larvae Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae). IOP Publishing: IOP Conference Series: Earth and Environmental Science 122(1):7pp.

Williams, A.C. & Flaxman, S.M. 2012. Can predators assess the quality of their prey’s resource?. Animal Behavior. 83(4):883-890.

Yusuf, A.A., Gordon, I., Crewe, R.M. & Pirk, C.W.W. 2014. Prey choice and raiding behaviour of the Ponerine ant Pachycondyla analis (Hymenoptera: Formicidae). J. Nat. History. 48(5-6):345-358.

Universitas Sumatera Utara 118

BAB VIII

PEMBAHASAN UMUM

O. rhinoceros merupakan salah satu hama utama pada tanaman kelapa sawit. Hama ini biasa menyerang tanaman yang masih muda dengan memakan tajuk tanaman dengan menggerek melalui pangkal batang sampai pada titik tumbuh. Kehadiran hama ini akan menjadi masalah untuk kebun-kebun kelapa sawit di provinsi Sumatera Utara yang banyak melakukan proses penanaman kembali (replanting). Tumpukan-tumpukan bahan organik seperti banyaknya batang-batang kelapa sawit yang ditumbangkan atau tunggul-tunggul batang kelapa sawit yang tersisa di kebun menjadi tempat perkembangbiakan hama O. rhinoceros. Pengendalian-pengendalian yang dilakukan saat ini masih bertumpu pada penggunaan insektisida, yang efek samping dari penggunaannya banyak berdampak buruk untuk lingkungan.

Semut sudah lama digunakan sebagai agens hayati untuk mengendalikan berbagai jenis hama tanaman. Bangsa Cina telah menggunakan semut rangrang

Oceophylla smaradigna untuk mengendalikan hama tanaman jeruk mereka sejak tahun 900 M. Spesies-spesies semut yang berperan sebagai predator untuk berbagai hama tanaman telah banyak dilaporkan. Semut-semut dari famili

Amblyoponinae sebagian besar adalah merupakan predator untuk banyak serangga herbivor (Gomes et al. 2009; Abera-Kalibata et al. 2006 ). Semut M. castanea merupakan salah satu semut predator dari famili Amblyoponinae. Semut ini hidup di batang-batang kayu yang melapuk dan juga di tumpukan bahan organik (leaf litter). Di perkebunan kelapa sawit, semut ini banyak ditemukan di

Universitas Sumatera Utara 119

batang-batang kelapa sawit yang telah melapuk karena sudah tua atau mati karena penyakit busuk pangkal batang Ganoderma.

Untuk mendapatkan peran yang optimal dari agens hayati sebagai pengendali populasi hama, maka agens hayati tersebut harus mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (a) memiliki kemampuan mencari yang baik, (b) memiliki kekhususan mangsa atau inang, (c) memiliki laju reproduksi yang tinggi, (d) memiliki kemampuan adaptasi yang baik di habitat mangsa atau inang, (e) memiliki daur hidup yang sinkron dengan mangsa atau inang, (f) memiliki kemudahan untuk diperbanyak (Jervis 2005). Hasil penelitian eksplorasi keberadaan semut M. castanea di lapangan menunjukkan relung habitat (niche) antara semut M. castanea dan larva O. rhinoceros sebagai mangsanya sudah sama, sehingga terbuka peluang yang besar untuk memanfaatkan semut M. castanea sebagai agens hayati untuk stadia pradewasa O. rhinoceros. Selain kesamaan relung antara pemangsa dan mangsa, semut M. castanea termasuk predator yang memiliki kekhususan mangsa, semut ini khusus memangsa larva- larva dari ordo Coleoptera (Ito 2010).

Hasil penelitian analisis GC-MS untuk batang kelapa sawit yang telah melapuk dan membusuk sebagai sarang semut M. castanea didapatkan senyawa decane, napthalen dan tetracosanoic acid sebagai senyawa yang paling dominan.

Senyawa-senyawa yang dominan ini termasuk dalam golongan senyawa hidrokarbon. Kelompok senyawa hidrokarbon kebanyakan merupakan senyawa feromon yang digunakan semut dalam berkomunikasi. Semut dapat mengenali anggota sesama koloninya, mengetahui dan mengenali sarangnya dari aroma

Universitas Sumatera Utara 120

senyawa hidrokarbon yang terpancar dari kutikula semut tersebut (Nowbahari

2007; Sharma et al. 2015; Abril et al. 2018).

Koloni semut M. castanea yang ditemukan di lapangan tidak semuanya mempunyai kasta yang lengkap. Banyak koloni semut yang ditemukan tidak mempunyai ratu yang sebenarnya. Fenomena seperti ini disebut dengan gamergate. Gamergate adalah semut pekerja yang mampu bereproduksi. Biasanya ini terjadi bila ratu yang sebenarnya sudah mati dan tidak ada ratu pengganti di koloni tersebut. Semut pekerja ini bisa saja dikawini oleh semut jantan yang ada di koloni tersebut atau semut jantan dari koloni yang lain. Para peneliti belum bisa mengungkapkan bagaimana mekanisme tentang gamergate ini terjadi pada serangga sosial terutama semut (Monnin dan Peteers 2008; Peteers dan Fisher

2016).

Untuk mengembangkan suatu agens hayati, perlu diketahui aspek-aspek biologis dan ekologis dari agens hayati tersebut. Secara biologi, semut M. castanea termasuk serangga yang bermetamorfosis sempurna. Hasil penelitian biologi semut M. castanea di laboratorium didapatkan bahwa fase telur dilalui sekitar 13-14 hari, fase larva rata-rata sekitar 41,9 hari dan fase pupa rata-rata sekitar 17-19 hari. Secara keseluruhan total satu siklus hidup semut M. castanea sekitar 75 hari. Jumlah telur yang diletakkan dalam satu kelompok dapat mencapai 300-350 butir telur, tapi kemampuan survival dari telur hingga menjadi imago hanya berkisar 56,4%. Fase yang paling rentan dalam siklus hidup semut

M. castanea adalah pada fase telur dan larva instar awal. Pada fase ini tingkat survivalnya lebih rendah dari pada larva instar akhir. Rendahnya nilai kemampuan

Universitas Sumatera Utara 121

survival ini kemungkinan disebabkan oleh karena mobilitas larva yang bersifat pasif. Hagstrum dan Subramanyam (2010); Schowalter (2011), menjelaskan bahwa faktor mobilitas individu, apakah pasif atau aktif akan berkontribusi untuk menentukan kemampuan bertahan hidupnya. Individu yang mobilitasnya aktif akan lebih mampu untuk menghindarkan dirinya dari berbagai serangan musuhnya ataupun faktor lain yang dapat menghambat perkembangannya.

Efektif atau tidaknya suatu predator dalam mengendalikan populasi mangsa dapat dilihat dari berbagai faktor seperti kemampuan memangsa, preferensi mangsa dan tanggap fungsional predator. Kemampuan memangsa semut M. castanea terhadap larva O. rhinoceros di laboratorium dapat mencapai 4 ekor per hari untuk larva instar 1 dan 2, sedangkan untuk larva instar 3 hanya 1 ekor, sedangkan kemampuan memangsa semut M. castanea terhadap larva instar

2 O. rhinoceros di lapangan rata-rata sekitar 2,8-3,0 ekor dari 6 ekor larva yang diumpankan selama 5 hari pemaparan.

Di laboratorium, mortalitas mangsa larva instar 1 dan 2 dapat mencapai

100% selama 5 hari pemaparan, sedangkan di lapangan hanya mencapai separuhnya (46,87-50,3%). Lebih rendahnya kemampuan memangsa semut predator M. castanea di lapangan disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adalah kemampuan adaptasi serangga predator, luas areal pencarian, dan faktor lingkungan (Oliveira et al. 2012; El Bokl et al. 2015). Latumahina (2015) menyatakan bahwa semut adalah individu yang sangat responsif terhadap perubahan yang terjadi di lingkungannya.

Universitas Sumatera Utara 122

Selain faktor kemampuan memangsa, faktor preferensi mangsa juga ikut menentukan tingkat keberhasilan predator dalam mengendalikan populasi mangsa.

Pada saat instar mangsa yang tersedia sebagai pakan tersedia dalam berbagai pilihan, predator pasti akan lebih memilih instar mangsa yang paling disukainya sebagai pakan, tetapi bila tidak tersedia, maka predator tetap akan memangsa instar mangsa lain yang tersedia. Semut M. castanea lebih menyukai instar mangsa larva instar 1 dan 2 sebagai mangsanya daripada larva instar 3. Hal ini disebabkan oleh karena ukuran mangsa yang lebih kecil dan kutikula mangsa yang lebih tipis (Marheni, 2012). Preferensi oleh predator dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor fisik seperti cahaya, warna, bentuk dan ukuran mangsa

(Tarumingkeng 1994; Xu dan Enkegaard 2010). Selain itu juga dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor kimia seperti bau yang dihasilkan oleh mangsa (Yusuf et al.

2014)

Hasil penelitian tanggap fungsional predator semut M. castanea adalah tipe II. Tanggap fungsional tipe II bermakna bahwa laju pemangsaan akan meningkat atau menurun sehubungan dengan penurunan atau peningkatan kepadatan mangsa. Mortalitas mangsa maksimal biasanya terjadi pada saat kepadatan mangsa rendah (Holling 1961). Predator-predator yang memiliki tanggap fungsional tipe II, biasanya efektif digunakan pada saat populasi mangsa rendah, pada saat populasi mangsa tinggi, maka diperlukan tindakan-tindakan lain yang dapat membantu menurunkan populasi hama. Untuk tetap memanfaatkan semut M. castanea sebagai predator larva O. rhinoceros pada saat kepadatan larva

O. rhinoceros tinggi, maka perlu dilakukan tindakan introduksi semut M.

Universitas Sumatera Utara 123

castanea. Oleh karena itu, tindakan-tindakan yang dapat mendukung keberadaan semut M. castanea di lapangan harus dilakukan antara lain dengan menyisakan dan mengatur potongan-potongan batang kelapa sawit yang telah ditumbangkan tersebut sebagai sarang untuk semut M. castanea berkembangbiak.

Universitas Sumatera Utara 124

BAB IX

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Semut M. castanea merupakan predator obligat yang menyerang stadia

pradewasa dari hama O. rhinoceros. Predator ini memakan cairan hemolimf

dari mangsanya. Koloni semut M. castanea yang ada di perkebunan kelapa

sawit sangat bervariasi dalam ukuran jumlah dan tahapan stadium

perkembangannya. Faktor-faktor abiotik yang ada di mikro habitat semut M.

castanea di kebun PTPN suhunya berada pada rentang 28,75-30,65 0C,

kelembapannya berada pada kisaran 68,75-71,25%, pH berkisar 5,85-6,21

dan rasio C/N berkisar 54,02- 78,35. Faktor-faktor abiotik untuk kebun rakyat

suhu = 28,11-30,09 0C, kelembapan = 68,82-72,98%, pH = 6,02-6,76 dan

rasio C/N = 46,15-91,87. Senyawa volatil yang didapatkan dari batang kelapa

sawit lapuk tempat sarang semut didominasi oleh senyawa-senyawa

hidrokarbon.

2. Telur semut M. castanea berwarna putih dan berbentuk lonjong dengan lama

stadia telur berkisar 13,8 hari. Larva berkembang dalam lima tahapan instar,

berwarna putih dengan lama stadium masing-masing instar yang bervariasi.

Pupa semut M. castanea berwarna oranye. Ukuran pupa semut pekerja dan

pupa semut betina terlihat sangat berbeda. Lama stadium pupa semut pekerja

berkisar 17,2 hari dan lama stadium semut betina berkisar 17,9 hari.

Kemampuan bertahan semut M. castanea dari telur hingga menjadi imago

adalah sebesar 56,4%, yang berarti dari sejumlah kelompok telur yang

Universitas Sumatera Utara 125

diletakkan oleh ratu semut, hanya sekitar separuhnya yang akan berhasil

menjadi imago.

3. Semut M. castanea mampu memangsa 6 ekor larva O. rhinoceros (100%) di

laboratorium 5 hari setelah aplikasi untuk larva instar 1 dan instar 2, dan 7

hari setelah aplikasi untuk mangsa larva instar 3, sedangkan untuk

pemangsaan di lapangan semut M. castanea mampu memangsa rata-rata 2,8

ekor mangsa (46,87%) selama 5 hari pemaparan pada kebun TBM dan

mampu memangsa rata-rata 3,0 ekor mangsa (50,3%) di kebun TM.

4. Preferensi mangsa semut M. castanea pada uji tanpa pilihan pada perlakuan

menggunakan log adalah larva instar 1 O. rhinoceros ( X = 2,6 ekor) dengan

indeks preferensi 0,194, dan pada perlakuan tanpa log menyukai larva instar

1 dan larva instar 2 ( = 4,6 ekor) dengan nilai indeks preferensi 0,197.

Pada uji preferensi pilihan pada perlakuan menggunakan log, semut M.

castanea lebih menyukai memangsa larva instar 1 ( = 1,2 ekor) dengan

indeks preferensi 0,35, dan pada perlakuan tanpa log, semut M. castanea

lebih menyukai memangsa larva instar 2 yaitu ( X = 1,4 ekor) dengan indeks

preferensi 0,189. Semut M. castanea mampu memangsa semua jenis instar

mangsa larva O. rhinoceros, tetapi lebih menyukai mangsa instar 1 dan instar

2 larva O. rhinoceros bila ketiga jenis instar mangsa hadir sebagai mangsa.

5. Kemampuan memangsa semut M. castanea pada mangsa larva instar 2 O.

rhinoceros meningkat dengan bertambahnya kepadatan mangsa. Dalam

penentuan tipe tanggap fungsional predator yang dilakukan dengan analisis

regresi R2 didapatkan bahwa tipe tanggap fungsional semut M. castanea

Universitas Sumatera Utara 126

terhadap mangsa larva instar 2 O. rhinoceros adalah tipe II. Tipe tanggap

fungsional ini mengindikasikan bahwa musuh alami efektif digunakan pada

kepadatan mangsa rendah.

Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui dan memahami

fenomena gamergate pada semut M. castanea, sehingga lebih

memudahkan dalam proses perbanyakan massal semut M. castanea.

2. Perlu dilakukan sosialisasi ke perkebunan kelapa sawit untuk mengenalkan

semut M. castanea ini sebagai agens hayati untuk hama O. rhinoceros.

3. Batang-batang kelapa sawit yang tumbang dan melapuk di perkebunan

kelapa sawit hendaknya dikelola dengan pengaturan tata letak yang dapat

memberi ruang perkembangbiakan bagi semut M. castanea.

Universitas Sumatera Utara 127

DAFTAR PUSTAKA

Abera-Kalibata, A.M., Hasyim, A., Gold C.S. & Van Driesche R. 2006. Field surveys in Indonesia for natural enemies of the banana weevil, Cosmopolites sordidus (Germar). Biol. Cont. 37(1):16-24.

Abril, S., Diaz, M., Lenoir, A., Paris, C.I., Boulay, R. & Gómez C., 2018. Cuticular hydrocarbons correlate with queen reproductive status in native and invasive Argentine ants (Linepithema humile, Mayr). PloS one. 13(2):e0193115.

Abtar, A., Hasriyanti. & Nasir B. 2013. Komunitas Semut (Hymenoptera: Formicidae) pada Tanaman Padi, Jagung dan Bawang Merah. Agrotekbis. 1(2).

Akalin, M.K. & Karagöz S., 2011. Pyrolysis of tobacco residue: Part 1. Thermal. BioResources. 6(2):1520-1531.

Andrews M, Cripps M.G. and Edwards G.R. 2012. The potential of beneficial microorganisms in agricultural systems. Annu. Appl. Biol. 160(1):1-5.

Aneni, T.I., Aisagbonhi, C.I., Iloba, B. N. & Adakibe V. C. 2012. Influence of microhabitat temperature on Coelaenomenodera elaeidis and its natural enemies in Nigeria. J. African Crop Sci. 20(2):517-522.

Anshary, A. & Pasaru, F. 2008. Teknik perbanyakan dan aplikasi predator Dolichoderus thoracicus Smith (Hymenoptera: Formicidae) untuk pengendalian penggerek buah kakao Conomorpha cramerella (Snellen) di perkebunan rakyat. J. Agroland. 15(4): 278-287.

Ara, I., Bukhari, N.A., Solaiman, D., & Bakir, M.A. 2012. Antimicrobial effect of local medicinal plant extracts in the Kingdom of Saudi Arabia and search for their metabolites by gas chromatography-mass spectrometric (GC-MS) analysis. J. Medicinal Plants Res. 6(45):5688-5694.

Arnan, X., Cerd, X. & Retana J. 2014. Ant functional responses along environmental gradients. J. Animal Ecol. 83: 1398-1408.

Asfiya, W.A.R.A., Lach, L., Majer, J.D., Heterick, B.R.I.A.N. & Didham R.K. 2015. Intensive agroforestry practices negatively affect ant (Hymenoptera: Formicidae) diversity and composition in southeast Sulawesi, Indonesia. Asian Myrmecol. 7:87-104.

Universitas Sumatera Utara 128

Atlihan, R., Kaydan, B. & Özgökçe M.S. 2004. Feeding activity and life history characteristics of the generalist predator, Chrysoperla carnea (Neuroptera: Chrysopidae) at different prey densities. J.Pest Sci.77(1):17-21.

[BBPPTP] Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2008. Teknologi Budidaya Kelapa Sawit. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2018. Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2017. Jakarta: BPS 100pp

Bedford, G.O. 1980. Biology, ecology and control palm of palm Rhinoceros beetle. Ann. Rev. Entomol. 25: 309-339.

______2013. Biology and management of palm dynastid beetles: recent advances. Ann. Rev. Entomol. 58:353-372.

______2014. Advances in the control of rhinoceros beetle, Oryctes rhinoceros in oil palm. J. Oil Palm Res. 26(3):183-194.

Bennett, A.B. & Gratton C. 2012. Measuring Natural Pest Suppression at Different Spatial Scales Affects the Importance of Local Variables. Environ. Entomol. 41(5):1077-1085.

Bertsch, A. & Schweer, H. 2012. Male labial gland secretions as species recognition signals in species of Bombus. Biochem. Systematics Ecol. 40:103-111.

Blum, M.S. & Brand, J.M. 1972. Social insect pheromones: their chemistry and function. American Zoologist. 12(3):553-576.

Borror, D.J., Triplehorn, C.A. & Johnson N.J. 1992. Pengenalan pelajaran serangga. Yogyakarta: Gadjah Mada University.

Brady, S.G. 2003. Evolution of the army ant syndrome: the origin and long-term evolutionary stasis of a complex of behavioral and reproductive adaptations. Proceedings of the National Academy of Sciences. 100(11):6575-6579.

Brühl, C.A. & Eltz, T. 2010. Fuelling the biodiversity crisis: species loss of ground-dwelling forest ants in oil palm plantations in Sabah, Malaysia (Borneo). Biodiversity and Conservation. 19(2):519-529.

Universitas Sumatera Utara 129

Brown, W.L Jr. 1960. Contributions toward a reclassification of the Formicidae. 3. Tribe Amblyoponini [J]. Bulletin of the Museum of Comparative Zoology at Harvard College. 122:145-230

Buana, L., Siahaan, D. & Adipura, S. 2006. Pedoman Pemeliharaan Tanaman Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS). Medan.

Cahyasiwi, L., Wood, B.J., Lubis, F.I. & Caudwell R. 2010. The economic of Oryctes attack in palm replants, International Oil Palm Conference, Indonesian Oil Palm research Institute (IOPRI). Yogyakarta. Indonesia 1- 3 June 2010.

Cardoso, D. C. & Schoereder, J. H. 2014. Biotic and abiotic factors shaping ant (Hymenoptera: Formicidae) assemblages in Brazilian coastal sand dunes: the case of restinga in Santa Catarina. Florida Entomol. 97(4):1443-1450.

Carrillo, D. & Peña, J.E. 2012. Prey-stage preferences and functional and numerical responses of Amblyseius largoensis (Acari: Phytoseiidae) to Raoiella indica (Acari: Tenuipalpidae). Exp. Appl. Acarol. 57(3-4):361- 372.

Catley, A. 2009. The Coconut Rhinoceros Beetle Oryctes rhinoceros (L) (Coleoptera: Scarabaeidae: Dynastidae). PANS Pest Articles & New Summaries. 15(1):18-30.

Chaneton, E.J. & Bonsall, M.B. 2000. Enemy‐mediated apparent competition: empirical patterns and the evidence. Oikos. 88(2):380-394.

Choate, B. & Drummond, F. 2011. Ants as biological control agents in agricultural cropping systems. Terrest. Arthro. Rev. 4(2):157-180.

Chong, K.F. & Lee, C.Y. 2009. Influences of temperature, relative humidity and light intensity on the foraging activity of field populations of the longlegged ant, Anoplolepis gracilipes (Hymenoptera: Formicidae). Sociobiology. 54(2):531-539.

Clémencet, J., Cournault, L., Odent, A., & Doums, C. 2010. Worker thermal tolerance in the thermophilic ant Cataglyphis cursor (Hymenoptera, Formicidae). Insectes sociaux. 57(1), 11-15.

Darwis, M. 2003. Oryctes rhinoceros L. dan usaha pengendaliannya dengan Metarrhizium anisopliae. Perapektif. 2(2):31-44.

Universitas Sumatera Utara 130

Dassou, A.G., Carval, D., Dépigny, S., Fansi, G. & Tixier P. 2015. Ant abundance and Cosmopolites sordidus damage in plantain fields as affected by intercropping. Biol. Cont. 81:51-57.

Davidowitz, G., D'Amico, L.J. & Nijhout, H.F. 2003. Critical weight in the development of insect body size. Evol. Development. 5(2):188-197. de Bach. 1974. Biogical Control by Natural Enemies. London: Cambridge University Press. 323 p

Dejean, A. & Lachaud, J.P. 1992. Growth-related changes in predation behavior in incipient colonies of the ponerine ant Ectatomma tuberculatum (Olivier). Insectes Sociaux. 39:129-143. de Oliveira, R. D. F, De Almeida, L. C., De Souza, D. R. Munhae, C. B., Bueno, O. C. & de Castro Morini M. S. 2012. Ant diversity (Hymenoptera: Formicidae) and predation by ants on the different stages of the sugarcane borer life cycle Diatraea saccharalis (Lepidoptera: Crambidae). European J. Entomol. 109(3):381.

Ditjen Perkebunan. 2017. Statistik Perkebunan Indonesia. 2016-2017 Kelapa sawit. Sekretariat Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian. Jakarta.

Dornhaus, A. & Powell, S. 2010. Foraging and defense strategies. Ant Ecology. pp 210-230.

Drescher, J., Feldhaar, H., & Blüthgen, N. 2011. Interspecific aggression and resource monopolization of the invasive ant Anoplolepis gracilipes in Malaysian Borneo. Biotropica. 43(1):93-99.

Dussutour, A. & Simpson, S.J. 2008. Description of a simple synthetic diet for studying nutritional responses in ants. Insectes Sociaux. 55(3):.329-333.

______. 2009. Communal nutrition in ants. Current Biol. 19(9):740-744

Elahi, R. 2005. The effect of water on the ground nesting habits of the giant tropical ant, Paraponera clavata. J. Insect Sci. 5:34.

El Bokl, M.M., Semida, F.M., Abdel-Dayem, M.S. & El Surtasi E. I. 2015. Ant (Hymenoptera: Formicidae) Diversity And Bioindicators In The Lands With Different Anthropogenic Activities In New Damietta, Egypt. Int. J. Entomol. Res. 3(2):35-46.

Universitas Sumatera Utara 131

El-Sayed, A.M. 2018. The Pherobase: Database of Pheromones and Semiochemicals. http://www.pherobase.com. Diakses pada tanggal 17 Maret 2019.

Eubanks, M.D. & Denno, R.F. 2000. Health food versus fast food: the effects of prey quality and mobility on prey selection by a generalist predator and indirect interactions among prey species. Ecol. Entomol. 25(2):140-146.

Evans, E.W. & Toler, T.R. 2007. Aggregation of polyphagous predators in response to multiple prey: ladybirds (Coleoptera: Coccinellidae) foraging in alfalfa. Pop. Ecol. 49(1):29-36.

Fadillah, S.D., Artati E.K. & Jumari A. 2008. Biodelignifikasi batang jagung dengan jamur pelapuk putih Phanerochaete chrysosporium. Ekuilibrium 1(7):7-11.

Fadzilah K, Saini, H.S. & Atong, M. 2017. Phsycochemical characteristics of Oil Palm Frond (OPF) composting with fungal inoculants. Pertanika J. Trop. Agric. Sci. 40(1): 143-160.

Falahudin, I. 2013. Peranan Semut Rangrang (Oecophylla smaradigna) dalam Pengendalian Biologis pada Perkebunan Kelapa Sawit. Prosiding Konferensi AICIS XII.2604-2618.

Fantinou, A.A., Perdikis, D.C., Labropoulos, P.D. & Maselou, D.A. 2009. Preference and consumption of Macrolophus pygmaeus preying on mixed instar assemblages of Myzus persicae. Biol. Cont. 51(1):76-80.

Fayle, T.M., Turner, E.C., Snaddon, J.L., Chey, V.K., Chung, A.Y., Eggleton, P. & Foster, W.A. 2010. Oil palm expansion into rain forest greatly reduces ant biodiversity in canopy, epiphytes and leaf-litter. Basic Appl. Ecol. 11(4):337-345.

Fitzpatrick, G., Lanan, M.C., & Bronstein, J.L. 2014. Thermal tolerance affects mutualist attendance in an ant-plant protection mutualism. Oecologia. 176(1):129-138.

Frouz, J. & Jilkova, V. 2008. The effect of ants on soil properties and processes (Hymenoptera: Formicidae). Myrmecol. News. 11:191-199.

Ganser, D., Denmead, L. H., Clough, Y., Buchori, D. & Tscharntke, T. 2017. Local and landscape drivers of arthropod diversity and decomposition processes in oil palm leaf axils. Agric. and Forest Entomol. 19(1):60-69.

Universitas Sumatera Utara 132

Gomes, L., Desuó, I.C., Gomes, G. & Giannotti, E. 2009. Behavior of Ectatomma brunneum (Formicidae: Ectatomminae) preying on dipterans in field conditions. Sociobiology. 53(3):913-926.

Gopal, M., Gupta, A. & Thomas, G.V. 2006. Prospects of using Metarhizium anisopliae to check the breeding of insect pest, Oryctes rhinoceros L. in coconut leaf vermicomposting sites. Biores. Technol. 97(15):1801-1806.

Hagstrum, D.W. & Subramanyam B. 2010. Immature insects: ecological roles of mobility. American Entomol. 56(4):230-241.

Haryati, Y. & Nurawan, A. 2017. Peluang pengembangan feromon seks dalam pengendalian hama ulat bawang (Spodoptera exigua) pada bawang merah. J. Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 28(2):72-77.

Hasyim, A., Azwana. & Syafril. 2009. Evaluation of natural enemies in controlling of the banana weevil borer Cosmopolites sordidus Germar in West Sumatera. Indonesian. J. Agric. Sci.10(2):43-53.

Hawkeswood, T.J. & Sommung, B. 2016. The Coconut Rhinoceros Beetle, Oryctes rhinoceros L., (Coleoptera: Scarabaeidae: Dynastinae) in Lat Krabang Park, Bangkok, Thailand with notes on its biology and a new larval host plant.

Herlinda, S., Waluyo W., Estuningsi, S.P. & Irsan, C. 2008. Perbandingan keanekaragaman spesies dan kelimpahan arthropoda predator penghuni tanah di sawah lebak yang diaplikasi dan tanpa aplikasi insektisida. Jurnal Entomologi Indonesia. 5(2):96.

Herlinda, S., Manalu, H.C.N., Aldina, R.F., Wijaya, A. & Meidalima, D. 2014. Kelimpahan dan keanekaragaman spesies laba-laba predator hama padi ratun di sawah pasang surut. J. Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika. 14(1):1-7.

Herlinda, S. & Irsan, C. 2015. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan. Unsri Press. 200pp

Hermawan, A., Diba, F., Mariani, Y., Setyawati, D. & Nurhaida. 2014. Sifat kimia batang kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) berdasarkan letak ketinggian dan kedalaman batang. J. Hutan lestari. 2(3):472-481.

Hiscox, J., Savoury, M., Vaughan, I.P., Müller, C.T. & Boddy, L. 2015. Antagonistic fungal interactions influence carbon dioxide evolution from decomposing wood. Fungal Ecol. 14:24-32.

Universitas Sumatera Utara 133

Hölldobler, B. & Palmer, J.M. 1989. Footprint glands in Amblyopone australis (Formicidae, Ponerinae). Psyche. 96:11-121.

Hölldobler, B., Obermayer, M. & Alpert, G.D. 1998. Chemical trail communication in the amblyoponine species Mystrium rogeri Forel (Hymenoptera, Formicidae, Ponerinae). Chemoecology. 8:119-123.

Holling, C.S. 1959. Some characteristics of simple types of predations and parasitism. Canadian Entomol. 91:385 – 398.

Houck, M.A. & Strauss, R.E. 1985. The comparative study of functional responses: experimental design and statistical interpretation. The Canadian Entomol. 117(5): 617-629.

Huger, A.M. 2005. The Oryctes virus: its detection, identification, and implementation in biological control of the coconut palm rhinoceros beetle, Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae). J. Invertebrate Pathol. 89(1):78-84.

Ikbal, M., Putra, N.S. & Martono, E. 2014. Keragaman Semut pada Ekosistem Tanaman Kakao di Desa Banjaroya Kecamatan Kalibawang Yogyakarta. J. Perlindungan Tanaman Indonesia. 18(2):79-88.

Indriyanti, D.R., Widiyaningrum, P., Slamet, M. & Maretta, Y. A. 2017. Effectiveness of Metarhizium anisopliae and Entomopathogenic Nematodes to Control Oryctes rhinoceros Larvae in the Rainy Season. Pakistan J. Biol. Sci. 20(7):320-327.

Ito, F. 1993. Observation of group recruitment to prey in a primitive ponerine ant, Amblyopone sp.(reclinata group) (Hymenoptera: Formicidae). Insectes Sociaux. 40(2):163-167.

____ . 2010. Notes on the Biologyof the Oriental Amblyoponinae ant Myopopone castanae: Queen-worker dimorphism, worker polymorphism an larval hemolymph feeding by workers (Hymenoptera: Formicidae). Entomol. Sci. 13:199-204.

Ito, F. & Gobin, B. 2008. Colony composition and behavior of a queen and workers in the Oriental ectatommine ant Gnamptogenys cribrata (Emery) 1990 in West Java, Indonesia. Asian Myrmecol. 2:103-107.

Jackson, D.E. & Ratnieks, F.L. 2006. Communication in ants. Current Biol. 16(15):570-574.

Jackson, R.R. & Cross, F.R. 2011. Spider cognition. In Advances in insect physiology 41:115-174. Academic Press.

Universitas Sumatera Utara 134

Jackson, T.A. 2009. The use of Oryctes virus for control of rhinoceros beetle in the Pacific Islands. In: Hajek A.E., Glare T.R., O’Callaghan M. (eds) Use of Microbes for Control and Eradication of Invasive Arthropods. Progress in Biological Control, vol 6. Springer, Dordrecht. pp 133-140.

Jaworski, C.C., Bompard, A., Genies, L., Desneux, E.A. & Desneux, N. 2013. Preference and Prey Switching in a Generalist Predator Attacking Local and Invasive Alien Pests. Plos one J. 8(12):e82231.

Jervis, M.A. 2005. Insect natural enemies: A practical perspective. Springer Science & Business Media.

Johnson, J.T., Adkins, J.K. & Rieske, L.K. 2014. Canopy vegetation influences ant (Hymenoptera: Formicidae) communities in headwater stream Riparian zones of Central Applachia. J. Insect Sci. 14 (237).

Jones, D.B., Giles, K.L., Berberet, R.C., Royer, T.A., Elliott, N.C. & Payton, M.E. 2003. Functional responses of an introduced parasitoid and an indigenous parasitoid on greenbug at four temperatures. Environ. Entomol. 32(3):425-432.

Junaedi, D., Bakti, D. & Zahara, F. 2014. Daya Predasi Myopopone castaneae (Hymenoptera: Formicidae) Terhadap Larva Oryctes rhinoceros L (Coleoptera: Scarabidae)di Laboratorium. J. Agroekoteknologi. 3(1): 112-117.

Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pest Crop In Indonesia. P.A Van der Laan. Jakarta: PT Ichtiar Baru-Van Hoeve.

Kamarudin, N. & Wahid, M. B. 2004. Immigration and activity of Oryctes rhinoceros within a small oil palm replanting area. J. Oil Palm Res. 16(2):64-77.

Kamarudin, N.H., Wahid, M.B, Moslim, R. & Ali, S.R.A. 2007. The effects of mortality and influence of pheromone trapping on the infestation of Oryctes rhinoceros in an oil palm plantation. J. Asia-Pacific Entomol. 10(3):239-250.

Karmawati E, Siswanto. & Wikardi E.A. 2004. Peranan semut (Oecophylla smaragdina dan Dolichoderus sp.) dalam pengendalian Helopeltis spp. dan Sanurus indecora pada jambu mete. J. Littri. 10(1):1-40.

Kersch, M.F. & Fonseca, C.R. 2005. Abiotic factors and the conditional outcome of an ant–plant mutualism. Ecology. 86(8):2117-2126.

Universitas Sumatera Utara 135

Khan, Z.R., James. D.G., Midega. C.A. & Pickett, J.A. 2008. Chemical ecology and conservation biological control. Biol. Cont. 45(2):210-224.

Kim, J.H., Roh, M.S., Dickens, J.C., Lee, A.K. & Suh, J.K. 2014. Volatiles emitted from single flower buds of a Lilium longiflorum× L. callosum interspecific hybrid and its parents. Hort. Environ. Biotechnol. 55(5):410- 414.

King, J.R., Andersen, A.N. & Cutter, A.D. 1998. Ants as bioindicators of habitat disturbance: validation of the functional group model for Australia's humid tropics. Biodiversity and Conservation. 7(12):1627-1638.

Konopik, O., Gray ,C.L., Grafe, T.U., Steffan-Dewenter, I. & Fayle, T.M. 2014. From rainforest to oil palm plantations: Shifts in predator population and prey communities, but resistant interactions. Global Ecol. Conservation. 2:385-394.

Lanan, M. 2014. Spatiotemporal resource distribution and foraging strategies of ants (Hymenoptera: Formicidae). Myrmecological news/Osterreichische Gesellschaft fur Entomofaunistik. 20:53.

Larabee,F.J. & Suarez, A.V. 2014. The evolution and functional morphology of trap-jaw ants (Hymenoptera: Formicidae). Myrmecol. News. 20:25-36.

Latumahina, F., Musyafa, M., Sumardi, S. & Putra, N. S. 2015. Respon Semut Terhadap Kerusakan Antropogenik Dalam Hutan Lindung Sirimau Ambon (Ants Response to Damage Anthropogenic in Sirimau Forest Ambon). J. Manusia dan Lingkungan, 22(2):169-178.

Legaspi, J.C., Simmons, A.M. & Legaspi, Jr B.C. 2006. Prey preference by Delphastus catalinae (Coleoptera: Coccinellidae) on Bemisia argentifolii (Homoptera:Aleyrodidae): effects of plant species and prey stages. Bioone Online J. 89:218-222.

Lenoir, A., d'Ettorre ,P., Errard, C. & Hefetz, A. 2001. Chemical ecology and social parasitism in ants. Ann. Rev. Entomol. 46(1):573-599.

Leonhardt, S.D., Menzel, F., Nehring, V. & Schmitt, T. 2016. Ecology and evolution of communication in social insects. Cell. 164(6):1277-1287.

Li, L., Peng, H., Kurths, J., Yang ,Y. & Schellnhuber, H.J. 2014. Chaos–order transition in foraging behavior of ants. Proceedings of the National Academy of Sciences. 111(23): 8392-8397.

Universitas Sumatera Utara 136

Liew, V.K. & Sulaiman, A. 1995. Penggunaan Tanaman Penutup Bumi Dalam Kawalan Pembiakan Kumbang Badak (Oryctes rhinoceros) di Kawasan Penanaman Semula- Penemuan Masa kini. Kemajuan Penyelidikan, Bil. 22. FELDA. Kuala Lumpur.

Lukmana, M. & Alamudi, F. 2017. Monitoring Hama Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros L.) Pada Tanaman Kelapa Sawit Belum Menghasilkan Di PT Barito Putera Plantation. Agrisains. 3(02):59-63.

Lumentut, N. & Palma, B. 2018. Keanekaragaman Hayati dan Komposisi Musuh Alami Hama Kelapa Brontispa longissima di Kecamatan Parigi, Provinsi Sulawesi Tengah. Buletin Palma 129.

Lundgren, J.G. 2009. Nutritional aspects of non-prey foods in the life histories of predaceous Coccinellidae. Biol. Cont. 51(2):294-305.

Luskin, M. S. & Potts, M. D. 2011. Microclimate and habitat heterogeneity through the oil palm lifecycle. Basic and Appl. Ecol. 12(6):540-551.

Lytton-Hitchins, J. 2000. Small Pheidole ants can be important early season egg predators. Australian Cottongrower. 21(2):29-32.

Manjeri, G., Muhamad, R. & Tan, S. G. 2014. Oryctes rhinoceros beetles, an oil palm pest in Malaysia. Ann. Res. Rev. Biol. 4(22):3429.

Marheni. 2012. Karakteristik Bioekologi Orytes rhinoceros (L.) pada Pertanaman Kelapa Sawit. [Disertasi]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Martin, S. & Drijfhout, F. 2009. A review of ant cuticular hydrocarbons. J. Chem. Ecol. 35(10), p.1151.

Masuko, K. 2003. Larval oophagy in the ant Amblyopone silvestrii (Hymenoptera, Formicidae). Insectes Sociaux. 50(4):317-322.

______2008. Larval stenocephaly related to specialized feeding in the ant genera Amblyopone, Leptanilla and Myrmecina (Hymenoptera: Formicidae). Arthropod Structure and Development. 37(2):109-117.

______.2016. Larval instars of the ant Strumigenys solifontis Brown (Hymenoptera: Formicidae): the fallacy of size distribution. J. Nat. History. 51(3-4):115-126.

Menzi, U. 1987. Visual adaptation in nocturnal and diurnal ants. J. Comp. Physiol. A. 160(1):11-21.

Universitas Sumatera Utara 137

Monnin, T. & Peeters, C. 2008. How many gamergates is an ant queen worth?. Naturwissenschaften. 95(2):109-116.

Morgan, E.D. 2009. Trail pheromones of ants. Physiol. Entomol. 34(1):1-17.

Moslim, R., Wahid, M. B., Kamarudin, N., Mukesh, S. & Ali, S. R. A. 1999. Impact of Metarhizium anisopliae (Deuteromycotina: Hyphomycetes) applied by wet and dry inoculum on oil palm rhinoceros beetles, Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae). J. Oil Palm Res. 11(2):25-40.

Mujiono, K., Witjaksono, W. & Putra, N.S. 2015. The sex pheromone content of the Spodoptera Exigua (Hubner) under artificial and natural diets. Int. J. Science and Engineering. 8(2):146-150.

Nazari, A. & Tafaghodinia, B. 2010. Functional response of Exochomus nigromaculatus (Col.: Coccinellidae) to different densities of Aphis nerii and Aphis craccivora [Doctoral dissertation, Thesis]. Arak Islamic Azad University, Arak.

Nelly, N., Trizelia. & Syuhadah, Q. 2012. Tanggap fungsional Menochilus sexmaculatus Fabricius (Coleoptera: Coccinellidae) terhadap Aphis gossypii (Glover)(Homoptera: Aphididae) pada umur tanaman cabai berbeda. J. Entomol. Indonesia. 9(1): 23.

Netherer, S. & Schopf, A. 2010. Potential effects of climate change on insect herbivores in European forests—general aspects and the pine processionary moth as specific example. Forest Ecol. Management. 259(4):831-838.

Nguyen, D.T., Vangansbeke, D., Lü, X. & De Clercq, P. 2013. Development and reproduction of the predatory mite Amblyseius swirskii on artificial diets. BioControl. 58(3):369-377.

Nonacs, P. & Dill, L.M. 1990. Mortality risk vs. food quality trade‐offs in a common currency: ant patch preferences. Ecology. 71(5):1886-1892.

Norin, T. 2007. Semiochemicals for insect pest management. Pure App. Chem. 79(12):2129-2136.

Norman, Hj K., Basri B.W., Ramle, M., Siti Ramlah, A.A. &Zulkepli, M. 2004. Bagworms, nettle caterpillars and rhinoceros beetle – Biology, life cycle and control on oil palms in Malaysia. International Conference on Pests and Diseases of Importance to the Oil Palm Industry. Malaysian Palm Oil Board (MPOB). Kuala Lumpur, Malaysia 18-19 May 2004.

Universitas Sumatera Utara 138

Nowbahari, E. 2007. Learning of colonial odor in the ant Cataglyphis niger (Hymenoptera; Formicidae). Learning & Behavior. 35(2):87-94.

Nurdiansyah, F., Denmead, L.H., Clough, Y., Wiegand, K. & Tscharntke, T. 2016. Biological control in Indonesian oil palm potentially enhanced by landscape context. Agric. Ecosystems. Environ. 232:141-149.

Nuriyanti, D.D., Widhiono, I. & Suyanto, A. 2016. Faktor-Faktor Ekologis yang Berpengaruh terhadap Struktur Populasi Kumbang Badak (Oryctes rhinoceros L.). Biosfera. 33(1):13-21.

O’Donnell, S. & Bulova, S.J. 2007. Worker connectivity: a review of the design of worker communication systems and their effects on task performance in insect societies. Insectes Sociaux. 54(3):203-210.

Peeters, C. & Fisher, B. L. 2016. Gamergates (mated egg-laying workers) and queens both reproduce in Euponera sikorae ants from Madagascar. African Entomol. 24(1):180-187.

Peeters, C. & Molet, M. 2010. Evolution of advanced social traits in phylogenetically basal ants: striking worker polymorphism and large queens in Amblyopone australis. Insectes sociaux. 57(2):177-183.

Peeters, C. & Ito, F. 2001. Colony dispersal and evolution of queen morphology in social Hymenoptera. Ann. Rev. Entomol. 46:601-630.

Peng, R. & Christian, K. 2010. Ants as biological-control agents in the horticultural industry. Di dalam: Lach L, Parr CL, Abbott KL, editor. Ant Ecology. New York (US): Oxford University Press Inc. pp:123-124

Penick, C.A., Prager, S.S. & Liebig, J. 2012. Juvenile hormone induces queen development in late-stage larvae of the ant Harpegnathos saltator. J. Insect Physiol. 58(12):1643-1649.

Penick, C.A. & Liebig, J. 2017. A larval ‘princess pheromone’identifies future ant queens based on their juvenile hormone content. Animal Behaviour. 128:33-40.

Pervez, A. & Omkar. 2005. Functional responses of coccinellid predators: an illustration of a logistic approach. J. Insect Sci. 5(1):5.

Peterson R.K, Davis R.S, Higley L.G. & Fernandes O.A. 2009. Mortality risk in insects. Environ. Entomol. 38(1):2-10.

Universitas Sumatera Utara 139

Pierre, E.M. & Idris, A.H. 2013. Studies on the predatory activities of Oecophylla smaragdina (Hymenoptera: Formicidae) on Pteroma pendula (Lepidoptera: Psychidae) in oil palm plantations in Teluk Intan, Perak (Malaysia). Asian Myrmecol. 5:163-176.

Philpott, S.M., Perfecto, I. & Vandermeer, J. 2008. Behavioral diversity of predatory arboreal ants in coffee agroecosystems. Environ. Entomol. 37(1):181-191.

Philpott, S.M., Perfecto, I., Ambrecht, I. & Parr, C.L. 2010. Ant diversity and function in disturbed and changing habitats. Di dalam: Lach L, Parr C.L, Abbott K.L, editor. Ant Ecology. New York (US): Oxford University Press Inc. pp:137-156

Porter, S.D. & Tschinkel, W.R. 1987. Foraging in Solenopsis invicta (Hymenoptera: Formicidae): effects of weather and season. Environ. Entomol. 16(3):802-808.

Price, P.W., Denno, R.F., Eubanks, M.D, Finke D.L. & Kaplan, I. 2011. Insect Ecology: Behavior, Populations and Communities. London: Cambridge University Press. 784pp.

Raderschall, C.A., Narendra, A. & Zeil, J. 2016. Head roll stabilisation in the nocturnal bull ant Myrmecia pyriformis: implications for visual navigation. J. Experimental Biol. 219:1449-1457.

Radiyanto, I., Rahayuningtias, S. & Widhianingtyas, E. 2011. Kemampuan Pemangsaan Menochilus sexmaculatus F.(Coleoptera: Coccinellidae) terhadap Rhopalosiphum maidis Fitch (Homoptera: Aphididae). J. Entomologi Indonesia. 8(1):1.

Ragoussis, V., Giannikopoulos, A., Skoka, E. & Grivas, P. 2007. Efficient synthesis of (±)-4-methyloctanoic acid, aggregation pheromone of rhinoceros beetles of the genus Oryctes (Coleoptera: Dynastidae, Scarabaeidae). J. Agri. Food Chemis. 55(13):5050-5052.

Ragubeer, C. 2015. The emission of volatile organic compounds (VOCs) from rotting fruits and wilting flowers (Doctoral dissertation).

Ramle,M., Wahid, M.B., Norman, K., Glare, T.R. & Jackson, T.A. 2005. The incidence and use of Oryctes virus for control of rhinoceros beetle in oil palm plantations in Malaysia. J. Invertebrate Pathol. 89(1):85-90.

Rana, J.S., Dixon, A.F.G. & Jarošík, V. 2002. Costs and benefits of prey specialization in a generalist insect predator. J. Animal Ecol. 71(1):15-22.

Universitas Sumatera Utara 140

Rasool, S., Gulzar, S., Javed, S. & Shahid, M.S. 2015. Tritrophic response of Coccinella septempunctata towards Aphis gossypii in cotton. Acad J. Entomol. 8(1):01-04.

Ratnasari, D. 2017. Karakterisasi habitat dan perilaku mencari makan semut Paratrechina longicornis (Hymenoptera: Formicidae) di area kampus Institut Pertanian Bogor. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Reid, S. F., Narendra A., Taylor, R. W. & Zeil, J. 2013. Foraging ecology of the night-active bull ant Myrmecia pyriformis. Australian J. Zool. 61(2):170- 177.

Renault, D., Hance, T., Vannier, G. & Vernon, P. 2003. Is body size an influential parameter in determining the duration of survival at low temperatures in Alphitobius diaperinus Panzer (Coleoptera: Tenebrionidae)?. J. Zool. 259(4):381-388.

Ridwansyah, Nasution, M.Z., Sunarti, T.C. & Fauzi, A.M. 2007. Karakteristik sifat fisiko-kimia pati kelapa sawit. J.Tek.Ind.Pert.17(1):1-6

Rizal, S., Falahudin, I. & Endarsih, T. 2011. Keanekaragaman semut predator permukaan tanah (Hymenoptera: Formicidae) di perkebunan kelapa sawit SPPN Sembawa Banyuasin. Sainmatika 8(1):37-42.

Roger, C. 1999. Mechanisms of Prey Selection in the Ladybeetle Coleomegilla maculata lengi Timb. (Coleoptera: Coccinellidae) [Tesis]. Canada (US): McGill University.

Ronque, M.U., Fourcassié, V. & Oliveira, P. S. 2018. Ecology and field biology of two dominant Camponotus ants (Hymenoptera: Formicidae) in the Brazilian savannah. J. Nat. History. 52(3-4):237-252.

Rubiana, R. 2014. Pengaruh transfoarmasi habitat terhadap keanekaragaman dan struktur komunitas semut di Jambi [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Rubiana, R., Rizali, A., Denmead, L. H., Alamsari, W., Hidayat, P., Pudjianto, Hindayana, D., Clough, Y., Tscharntke, T. & Buchori, D. 2015. Agricultural land use alters species composition but not species richness of ant communities. Asian Myrmecol. 7: 73-85.

Sanford, M.P., Manley, P.N. & Murphy, D.D. 2009. Effects of urban development on ant communities: implications for ecosystem services and management. Conserv. Biol. 23(1):131-141.

Universitas Sumatera Utara 141

Sarmento, R.A., Pallini, A., Venzon, M., Souza, O.F.F.D,, Molina-Rugama, A.J. & Oliveira, C.L.D. 2007. Functional response of the predator Eriopis connexa (Coleoptera: Coccinellidae) to different prey types. Brazilian Archives of Biology and Technology. 50(1):121-126.

Schatz, B., Anstett, M.C., Out, W. & Hossaert-McKey, M. 2003. Olfactive detection of fig wasps as prey by the ant Crematogaster scutellaris (Formicidae; Myrmicinae). Naturwissenschaften. 90(10):456-459.

Schmidt, C.A. 2004. Morphological and Functional Diversity of Ant Mandible. http://tolweb.org/treehouses/?treehouse_id=2482. Diakses tanggal 20 Maret 2016

Schoener, T.W. 1971. Theory of feeding strategies. Ann. Rev. Ecol. and systematics. 2(1):369-404.

Schowalter, T.D. 2011. Insect ecology: an ecosystem approach. 3rd edition. London: Academic Press. 651pp.

Shafawati, S.N. & Siddiquee, S. 2013. Composting of oil palm fibres and Trichoderma spp. as the biological control agent: A review. Int. Biodeterioration & Biodegradation. 85:243-253.

Sharma, K.R., Enzmann, B.L., Schmidt, Y., Moore, D., Jones, G.R., Parker, J., Berger, S.L., Reinberg, D., Zwiebel, L.J., Breit, B. & Liebig, J. 2015. Cuticular hydrocarbon pheromones for social behavior and their coding in the ant antenna. Cell reports. 12(8):1261-1271.

Sharma, V. & Kumar, V. 2014. Indolizine: a biologically active moiety. Medicinal Chemistry Res. 23(8):3593-3606.

Shibata M, Varman M, Tono Y, Miyafuji H. & Shaka S. 2008. Characterization in chemical composition of the oil palm (Elaeis guineensis). J.Jpn Inst Energy 87:383-388.

Shik, J.Z. & Kaspari, M. 2010. More food, less habitat: how necromass and leaf litter decomposition combine to regulate a litter ant community. Ecol. Entomol. 35(2):158-165.

Silaban, M.E. 2016. Kajian Biaya Pengendalian Hama Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros) Pada Tanaman Belum Menghasilkan Kelapa Sawit Secara Kimia Di Afdeling III Kebun Laras PT. Perkebunan Nusantara IV. Laporan Tugas Akhir. Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Agrobisnis Perkebunan (STIPAP) Medan.

Universitas Sumatera Utara 142

Silva, R.R. & Brandao, C.R.F. 2010. Morphological patterns and community organization in leaf‐litter ant assemblages. Ecol. Monographs. 80(1):107- 124.

Skalski, G.T. & Gilliam, J.F. 2001. Functional responses with predator interference: viable alternatives to the Holling type II model. Ecology. 82(11):3083-3092.

Southwood, T.R.E. 1962. Migration of terrestrial arthropods in relation to habitat. Biol. Rev. 37(2):171-211.

Straka, J. & Feldhaar, H. 2007. Development of a chemically defined diet for ants. Insectes Sociaux. 54(1):100-104.

Strauss, R.E. 1979. Reliability estimates for Ivlev’s electivity index, the forage ratio, and proposed linear index of food selection. Trans American Fisheries Soc. 108:544-552.

Subagiya. 2013. Kajian efektifitas pengendalian hama padi secara alami dengan semut predator yang bersarang di tanah (Solenopsis germinata F). J. Ilmu Tanah dan Agroklimatologi. 10(1).

Sudharto, P.S., Susanto, A., Purba, R.B. & Drajat, Y.B. 2006. Teknologi pengendalian hama dan penyakit kelapa sawit, siap pakai dan ramah lingkungan. Pusat penelitian Kelapa Sawit (PPKS). Medan

Susanto, A. & Brahmana, J. 2008. Serangan Oryctes rhinoceros pada tanaman kelapa sawit menghasilkan (TM). Warta PPKS 16(1):1-7.

Susanto, A., Prasetyo, A.E., Sudharto., Priwiratama, H. & Rozziansha, T.A.P. 2012. Pengendalian Terpadu Oryctes rhinoceros di perkebunan kelapa sawit. Medan: Pusat Penelitian Kelapa Sawit.

Susanto, A., Dongoran, A.P., Fahridayanti., Lubi,s A.F. & Prasetyo, A. 2005. Pengurangan Populasi Larva Oryctes rhinoceros Pada Sistem Lubang Tanam Besar. J. Penelitian Kelapa Sawit. 13(1): 1-9

Susanto, A., Purba, R.Y. & Prasetyo, A.E. 2010. Hama dan Penyakit Kelapa Sawit Vol. 1. PPKS Press. Medan

Susanti R. 2016. Bionomi Semut Myopopone castanea Smith (Hymenoptera: Formicidae) sebagai Predator Oryctes rhinoceros L (Coleoptera: Scarabaeidae) pada Onggokan Batang Sawit di Laboratorium. [Tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara 143

Tarumingkeng, R.C. 1994. Dinamika Pertumbuhan Populasi Serangga. IPB Press, Bogor.

Tiede, Y., Schlautmann, J., Donoso, D. A., Wallis, C. I., Bendix, J., Brandl, R. & Farwig, N. 2017. Ants as indicators of environmental change and ecosystem processes. Ecol. Indicators. 83:527-537.

Traniello, J.F. 1989. Foraging strategies of ants. Ann. Rev. Entomol. 34(1):191- 210.

Ulfa, A., Khotimah, S. & Yanti, A.H. 2014. Kemampuan Degradasi Selulosa oleh Bakteri Selulotik yang Diisolasi dari Tanah Gambut. Protobiont. 3(2):259-267. van Baalen, M., Křivan ,V., van Rijn, P.C. & Sabelis, M.W. 2001. Alternative food, switching predators, and the persistence of predator-prey systems. The American Naturalist. 157(5): 512-524.

Vander Meer, R.K., Breed, M.D., Espelie, K.E. & Winston, M.L. 1998. Pheromone communication in social insects. Ants, wasps, bees and termites. Westview, Boulder, CO. 162.

Van Wilgenburg, E., Symonds, M.R.E. & Elgar, M.A. 2011. Evolution of cuticular hydrocarbon diversity in ants. J. Evol. Biol. 24(6):1188-1198.

Virant-Doberlet, M. & Cokl, A. 2004. Vibrational communication in insects. Neotrop. Entomol. 33(2):121-134.

Vuts, J., Imrei, Z., Birkett, M.A., Pickett, J.A., Woodcock, C.M. & Tóth, M. 2014. Semiochemistry of the Scarabaeoidea. J. Chem. Ecol. 40(2):190-210.

Wang, C., Strazanac, J.S. & Butler, L. 2001. Association between ants (Hymenoptera: Formicidae) and habitat characteristics in oak-dominated mixed forests. Environ. Entomol. 30(5): 842-848.

Wang, W.Y. & Foster, W.A., 2015. The effects of forest conversion to oil palm on ground‐foraging ant communities depend on beta diversity and sampling grain. Ecol. Evol. 5(15):3159-3170.

Way, M.J. & Khoo, K.C. 1992. Role of Ants in Pest management. Ann. Rev. Entomol. 37:479-503.

Wheeler, G.C. & Wheeler, J. 1952. The Ant Larvae of the Subfamily Ponerinae. Part I. The American Midland Naturalist. 48(1):111-144.

Universitas Sumatera Utara 144

Widihastuty & Marheni. 2016. Kelimpahan populasi serangga predator permukaan tanah di pertanaman kedelai tumpang sari dengan tanaman kelapa sawit. J. Al Ulum. 4(2):203-208.

Widihastuty, Tobing, M.C., Marheni. & Kuswardani, R.A. 2018. Prey preference Myopopone castanea (Hymenoptera: Formicidae) toward larvae Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae). IOP Publishing: IOP Conference Series: Earth and Environmental Science 122(1):7pp.

______. 2018. The potential of Myopopone castanea (Hymenoptera: Formicidae) as a predator for Oryctes rhinoceros Linn. larvae (Coleoptera: Scarabaeidae). IOP Publishing: IOP Conf. Series: J. of Physisc: Conf. Series. 1116(052074): 8pp.

Williams, A.C. & Flaxman, S.M. 2012. Can predators assess the quality of their prey’s resource?. Animal Behavior. 83(4):883-890.

William, D.F. & Banks, W.A. 1989. Competitive displacement of Paratrechina longicornis (Latereille) (Hymenoptera: Formicidae) from baits by fire ants in Mato Grosso, Brazil. J. Entomol Sci. 24: 381-391.

Wilson, E.O. 1971. The Insect Societies. The Belknap Press of Harvard University Press. Cambridge, Massachusetts. London.

Witzgall, P., Kirsch, P. & Cork, A. 2010. Sex pheromones and their impact on pest management. J. Chem. Ecol. 36(1):80-100. www.antwiki.org/wiki/Myopopone_castanea. Myopopone castanea. Diakses pada tanggal 20 Maret 2019.

Xu, X. & Enkegaard, A. 2010. Prey preference of the predatory mite, Amblyseius swirskii between first instar western flower thrips Frankliniella occidentalis and nymphs of the twospotted spider mite Tetranychus urticae. J. Insect Sci. 10(149):11pp

Yamazaki, K. 2010. Parachuting behavior and predation by ants in the nettle caterpillar, Scopelodes contracta. J. Insect Sci. 10(1):39.

Yusuf, A.A., Crewe, R.M. & Pirk, C.W. 2014. Olfactory detection of prey by the termite-raiding ant Pachycondyla analis. J. Insect Sci. 14(1).

Zheng-hui, X.U. & Qiu-ju, H. E. 2011. Description of Myopopone castanea (Smith)(Hymenoptera: Formicidae) from Himalaya Region. 昆虫分类学 报, 33(3).

Universitas Sumatera Utara 145

LAMPIRAN

Universitas Sumatera Utara 146

Lampiran 1. Bukti hasil identifikasi semut dari LIPI Bogor.

Universitas Sumatera Utara 147

Lampiran 2. Hasil analisis ratio C/N

Universitas Sumatera Utara 148

Universitas Sumatera Utara 149

Lampiran 3. Data suhu dan kelembaban dari BMKG

Universitas Sumatera Utara 150

Lampiran 4. Data Curah Hujan kebun Adolina PTPN 4 tahun 2018

Universitas Sumatera Utara 151

Lampiran 5. Izin penggunaan foto siklus hidup Oryctes rhinoceros

Universitas Sumatera Utara 152

Lampiran 6. Hasil Pengukuran lingkungan abiotik sarang semut M. castanea.

No Kebun Rakyat (Binjai) Kebun PTPN Suhu (0C) Kelembapan pH Suhu Kelembapan pH (%) (%) 1 28 72 6,3 30 69 5,9 2 29 70 7,0 31 69 6,2 3 31 68 6,2 30 70 6,0 4 29 70 6,1 29 70 6,1 5 30 69 6,2 29 70 6,4 6 28 70 5,9 31 68 5,8 7 28 75 6,5 30 70 5,9 8 29 72 6,4 29 72 6,0 9 29 70 6,8 28 72 6,1 10 30 73 6,5 30 70 5,9

Rataan 29,1 70,9 6,39 29,7 70,0 6,03

Universitas Sumatera Utara 153

Lampiran 7. Data pemangsaan M. castanea di lapangan.

Jumlah semut yang diintroduksikan : 50 ekor Jumlah larva semut : 20 ekor Jumlah larva o. rhinoceros yang diaplikasikan : 6 ekor

Kebun TBM

NO TANGGAL TANGGAL JUMLAH % JUMLAH SAMPEL APLIKASI PENGAMATAN LARVA YG PEMANGSAAN SEMUT DIMANGSA YANG (ekor) TERSISA 1 22/1/18 27/1/18 4 67,7% 2 2 22/1/18 27/1/18 1 16,7% 1 3 22/1/18 27/1/18 2 33,3% 8 4 22/1/18 27/1/18 3 50% 10 5 22/1/18 27/1/18 3 50% 18 6 22/1/18 27/1/18 4 67,7% 10 7 30/1/18 3/2/18 3 50% 6 8 30/1/18 3/2/18 2 33,3% 12 9 30/1/18 3/2/18 3 50% 7 10 30/1/18 3/2/18 3 50% 5

Jumlah 28 Rataan 2,8 46,8

Kebun TM

NO TANGGAL TANGGAL JUMLAH % JUMLAH SAMPEL APLIKASI PENGAMATAN LARVA YG PEMANGSAAN SEMUT DIMANGSA YANG TERSISA 1 5/12/17 9/12/17 3 50% 14 2 5/12/17 9/12/17 3 50% 20 3 5/12/17 9/12/17 2 33,3% 11 4 5/12/17 9/12/17 4 67,7% 8 5 5/12/17 9/12/17 4 67,7% 15 6 9/12/17 13/12/17 2 33,3% 10 7 9/12/17 13/12/17 3 50% 7 8 9/12/17 13/12/17 2 33,3% 9 9 9/12/17 13/12/17 3 50% 15 10 9/12/17 13/12/17 4 67,7% 18

Jumlah 30 Rataan 3,0 50,3

Universitas Sumatera Utara 154

Lampiran 8. Data pemangsaan M. castanea di laboratorium

Jumlah semut yang diintroduksikan : 50 ekor Jumlah larva semut : 20 ekor Jumlah larva o. rhinoceros yang diaplikasikan : 6 ekor untuk tiap-tiap instar

Hari Instar % Pemangsaan Rerata pengamatan Ulangan ke 1 2 3 4 5 1 1 50 33,3 50 50 33,3 43,32 2 33,3 50 50 33,3 33,3 39,98 3 33,3 16,7 16,7 33,3 33,3 26,66

2 1 83,3 50 50 66,7 50 60,00 2 50 50 83,3 50 66,7 60,00 3 50 50 33,3 33,3 50 43,32

3 1 100 66,7 66,7 83,3 66,7 76,68 2 83,3 66,7 100 66,7 100 83,34 3 50 66,7 50 50 66,7 56,68

4 1 100 100 66,7 83,3 100 90,00 2 100 83,3 100 66,7 100 90,00 3 66,7 66,7 66,7 66,7 66,7 66,70

5 1 100 100 100 100 100 100,00 2 100 100 100 100 100 100,00 3 83,3 83,3 66,7 100 83,3 83,32

6 1 100 100 100 100 100 100,00 2 100 100 100 100 100 100,00 3 100 83,3 66,7 100 100 90,00

7 1 100 100 100 100 100 100,00 2 100 100 100 100 100 100,00 3 100 100 100 100 100 100,00

Universitas Sumatera Utara