KUALITAS SILASE JERAMI PADI UNTUK PAKAN TERNAK RUMINANSIA DENGAN PENAMBAHAN circulans

SANTIKA INDRIYANI

PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019 M/1441 H KUALITAS SILASE JERAMI PADI UNTUK PAKAN TERNAK RUMINANSIA DENGAN PENAMBAHAN Bacillus circulans

SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

SANTIKA INDRIYANI 11150950000046

PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019 M / 1441 H

ii

ABSTRAK

Santika Indriyani. Kualitas Silase Jerami Padi untuk Pakan Ternak Ruminansia dengan Penambahan Bacillus circulans. SKRIPSI. Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2019. Dibimbing Oleh Wahidin Teguh Sasongko, M.Sc dan Etyn Yunita M.Si

Ketersediaan pakan hijauan terbatas tergantung dengan musim. Jerami padi belum dimanfaatkan secara maksimal untuk pakan ternak ruminansia karena kandungan nutrisinya rendah. Teknologi pakan ternak dengan pembuatan silase dapat mengawetkan sekaligus mempertahankan bahkan dapat meningkatkan kualitas nutrisi bahan pakan. Bacillus circulans berpotensi untuk ditambahkan pada pembuatan silase. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penambahan B.circulans pada pembuatan silase mampu meningkatkan kualitas fermentatif dan kualitas nutrisi silase jerami padi dan untuk mengetahui pada konsentrasi berapa B.circulans mampu meningkatkan kualitas fermentatif dan kualitas nutrisi silase jerami padi. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan penambahan B.circulans (0%, 0,075%, 0,1%, dan 0,125%) dan empat pengulangan. Analisis kualitas fermentatif dan nutrisi dilakukan pada hari ke 21. Hasil silase jerami padi dengan penambahan B.circulans 0,125% memiliki pH lebih rendah dari 0%, namun masih pada kisaran pH basa. Penambahan B.circulans 0,1% memiliki ammonia lebih rendah dari 0% dan kadar glukosa lebih tinggi dari 0%. Silase dengan 0,075%, 0,1%, dan 0,125% B.circulans memiliki nilai bahan kering lebih rendah dari 0%. Penambahan B.circulans konsentrasi 0%, 0,075%, 0,1%, dan 0,125% tidak mempengaruhi nilai total volatile fatty acid, aktivitas enzim selulase, bahan organik, lemak kasar, neutral detergent fiber dan acid detergent fiber. Penambahan B.circulans yang berbeda konsentrasi belum maksimal untuk meningkatkan kualitas fermentatif dan kualitas nutrisi silase jerami padi.

Kata kunci: Bacillus circulans, Jerami Padi, Silase

vi

ABSTRACT

Santika Indriyani. Quality of Rice Straw Silage for Ruminant Animal Feed With The Addition of Bacillus circulans. Undergraduated Thesis. Department Of Biology. Faculty of Science and Technology. State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta. 2019. Supervised by Wahidin Teguh Sasongko, M.Sc and Etyn Yunita M.Sc

The availability of forage food is limited depending on the season. Rice straw has not been used maximally for ruminant animal feed because of its low nutrient content. Animal feed technology by making silage can preserve and also maintaining and can even improve the nutritional quality of feed ingredients. Bacillus circulans has the potential to be added to making silage. This study aims to determine whether the addition of B.circulans to silage production can improve the fermentative quality and nutritional quality of rice straw silage and to find out at what concentration B.circulans can improve the fermentative quality and nutritional quality of rice straw silage. This study used a Completely Randomized Design with four treatments adding B.circulans (0%, 0,075%, 0,1%, and 0,125%) and four repetitions. Fermentative and nutritional quality analysis was carried out on Day 21. The results of rice straw silage with the addition of B.circulans 0,125% had a pH lower than 0%, but still in the alkaline pH range. The addition of 0.1% B.circulans has ammonia lower than 0% and glucose levels higher than 0%. Silage with 0,075%, 0,1%, and 0,125% B.circulans has a dry matter value lower than 0%. The addition of B.circulans concentrations 0%, 0,075%, 0,1%, and 0,125% did not affect the total volatile fatty acid value, cellulase enzyme activity, organic matter, ether extract, neutral detergent fiber and acid detergent fiber. The addition of different B.circulans concentrations has not been maximized to improve the fermentative quality and nutritional quality of rice straw silage.

Keywords: Bacillus circulans, Rice Straw, Silage

vii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpaham rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis diberikan kemudahan dalam menyusun skripsi ini. Skripsi merupakan tugas akhir yang harus ditempuh sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sains pada Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi berjudul “Kualitas Silase Jerami Padi untuk Pakan Ternak Ruminansia dengan Penambahan Bacillus circulans”. Penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada semua pihak yang telah membimbing dan membantu dalam meyusun skripsi ini, ucapan terimakasih ditujukan kepada: 1. Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env. Stud selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan izin pelaksanaan penelitian. 2. Dr. Priyanti, M.Si selaku Ketua Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta jajarannya yang telah memberikan izin pelaksanaan penelitian. 3. Wahidin Teguh Sasongko M.Sc selaku pembimbing 1 yang telah membimbing serta membantu dalam melaksakan penelitian dan penyusunan skripsi. 4. Etyn Yunita M.Si selaku pembimbing 2 yang telah membantu dalam memberikan nasihat, saran dan bimbingan dalam menyusun skripsi. 5. Dr. Megga Ratnasari Pikoli, M.Si dan Dr. Fahma Wijayanti, M.Si selaku dosen penguji seminar proposal dan seminar hasil yang telah memberikan kritik dan saran dalam penulisan skripsi. 6. Dr. Agus Salim, S.Ag., M.Si dan Dr. Dasumiati, M.Si selaku dosen penguji sidang munaqosyah yang telah memberikan kritik dan saran dalam penulisan skripsi. 7. Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi Badan Tenaga Nuklir Nasional (PAIR- BATAN) Laboratorium Biologi, bidang nutrisi ternak yang telah menyediakan tempat, alat, bahan, dan arahan dalam pelaksanaan penelitian.

viii

8. Teguh Wahyono, S.Pt, M.Si, Shintia Nugrahini Wahyu Hardani, A.md, Nana Mulyana,S.ST, Yunida Maharani yang telah membimbing kerja di Laboratorium. 9. Seluruh Dosen Program Studi Biologi yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan nasihat kepada penulis. 10. Ayah, Ibu, kakak dan keluarga yang selalu mendoakan, memberi motivasi serta dukungan moril dan materil dalam melaksanakan perkuliahan jenjang S1 hingga menyusun skripsi. 11. Nariswari Fidara, Austina Luthfiyanti dan Nurdia Ekani yang telah membantu dalam melaksanakan penelitian dan memberikan dukungan sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi ini. 12. Kirana Sukma Padmadya yang telah memberikan dukungan semangat, doa, serta motivasi sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi ini. 13. Teman-teman Program Studi Biologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2015 yang telah memberikan banyak dukungan moril.

Demikianlah skripsi ini disusun. Penulis berharap agar penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna dan masih banyak kekurangan.

Tangerang Selatan, November 2019

Penulis

ix

DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ...... vi KATA PENGANTAR ...... viii DAFTAR ISI ...... x DAFTAR GAMBAR ...... xi DAFTAR TABEL ...... xii DAFTAR LAMPIRAN ...... xiii

BAB I. PENDAHULUAN ...... 1 1.1 Latar Belakang ...... 1 1.2 Rumusan Masalah ...... 3 1.3 Hipotesis Penelitian ...... 3 1.4 Tujuan Penelitian ...... 3 1.5 Manfaat ...... 3 1.6 Kerangka Berfikir ...... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ...... 5 2.1 Silase ...... 5 2.2 Jerami Padi...... 8 2.3 Bacillus circulans ...... 10 2.4 Zat Aditif Silase ...... 12

BAB III. METODE PENELITIAN...... 15 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ...... 15 3.2 Alat dan Bahan ...... 15 3.3 Rancangan Penelitian...... 15 3.4 Cara Kerja ...... 16 3.5 Parameter Pengamatan...... 24 3.6 Analisis Data ...... 24

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 25 4.1 Kualitas Fermentatif Silase Jerami Padi ...... 25 4.2 Kandungan Nutrisi Silase Jerami Padi ...... 31 4.3 Konsentrasi Mikroorganisme...... 35

BAB V. PENUTUP ...... 38 5.1 Kesimpulan ...... 38 5.2 Saran ...... 38

DAFTAR PUSTAKA ...... 39

LAMPIRAN ...... 46

x

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Kerangka berpikir...... 4 Gambar 2. Bacillus circulans dengan scanning TEM...... 11 Gambar 3. Nilai pH pada silase jerami padi...... 25 Gambar 4. Nilai NH3 pada silase jerami padi...... 27 Gambar 5. Nilai aktivitas enzim selulase pada silase jerami padi...... 28 Gambar 6. Nilai kadar glukosa pada silase jerami padi...... 29 Gambar 7. Nilai TVFA pada silase jerami padi...... 30

xi

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Nilai kualitas silase jerami padi...... 8 Tabel 2. Kandungan nutrisi jerami padi...... 9 Tabel 3. Hasil analisis proksimat jerami padi dan silase jerami padi...... 32 Tabel 4. Hasil analisis fraksi serat jerami padi dan silase jerami padi...... 34 Tabel 5. Hasil perhitungan konsentrasi mikroorganisme...... 36

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada pengukuran nilai pH silase jerami padi...... 46 Lampiran 2. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada pengukuran nilai NH3 silase jerami padi...... 47 Lampiran 3. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada pengukuran aktivitas enzim selulase silase jerami padi...... 48 Lampiran 4. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada pengukuran kadar glukosa silase jerami padi...... 49 Lampiran 5. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada pengukuran nilai TVFA silase jerami padi...... 50 Lampiran 6. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada pengukuran bahan kering (BK) silase jerami padi...... 51 Lampiran 7. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada pengukuran bahan organik (BO) silase jerami padi...... 52 Lampiran 8. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada pengukuran lemak kasar (LK) silase jerami padi...... 53 Lampiran 9. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada pengukuran neutral detergent fiber (NDF) silase jerami padi...... 54 Lampiran 10.Hasil uji ANOVA dan Duncan pada pengukuran acid detergent fiber (ADF) silase jerami padi...... 55 Lampiran 11. Kurva standard kadar glukosa...... 56

xiii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Hewan ternak ruminansia membutuhkan pakan hijauan untuk pertumbuhan, reproduksi, dan produksi. Prinsip pakan hijauan untuk ternak adalah mengandung nutrisi yang baik dan tersedia sepanjang tahun (Sabri, Kasmiran, & Fadli, 2017). Ketersediaan pakan hijauan umumnya melimpah di musim hujan dan terbatas di musim kemarau atau paceklik (Zailzar, Sujono, Suyatno, & Yani, 2011). Bahan pakan hijauan yang sedang melimpah harus segera diawetkan untuk menghindari kerusakan nutrisinya sehingga dapat memenuhi kebutuhan pakan hijauan sepanjang tahun. Salah satu teknologi pengawetan pakan hijauan adalah dengan pembuatan silase. Pembuatan silase selain untuk mengawetkan dan meminimalisir hilangnya nutrisi juga dapat memperbaiki nutrisi pakan (Jaelani, Gunawan, & Asriani, 2014). Silase adalah pakan dari hijauan makanan ternak (HMT) yang diawetkan secara fermentasi anaerob dalam kondisi kadar air tinggi (60-70%) dengan adanya pembentukan asam. Jerami padi merupakan bahan pakan hijauan ternak dari limbah pertanian yang ketersediannya melimpah, namun belum dimanfaatkan secara maksimal. Hal tersebut karena rendahnya kandungan nutrisi seperti protein, mineral, dan vitamin serta tingginya kandungan serat kasar yang berupa selulosa, hemiselulosa, lignin dan silika sehingga sulit dicerna oleh hewan ternak (Yanuartono, Purnamaningsih, Indarjulianto, & Nurrurozi, 2017). Rendahnya kandungan nutrisi dan tingginya serat kasar pada jerami padi dapat diperbaiki dengan pembuatan silase. Naibaho, Despal, & Permana (2017) menyatakan bahwa jerami padi yang dijadikan silase memiliki serat kasar lebih rendah serta bahan organik, protein kasar dan lemak kasar lebih tinggi dari jerami padi tanpa dijadikan silase. Pembuatan silase biasanya ditambahkan dengan bahan aditif berupa molases, urea, dan dedak. Selain bahan aditif juga menggunakan tambahan mikroorganisme untuk mempercepat proses fermentasi dan mendegradasi substrat. Mikroorganisme secara alami sudah terdapat pada hijauan, namun tidak dapat

1

2

dipastikan dapat memaksimalkan proses fermentasi atau tidak. Mikroorganisme yang biasa ditambahkan pada pembuatan silase adalah Lactobacillus plantarum, Enterococcus faecium dan Pediococcus sp. (Widyastuti, 2008). Penambahan bakteri asam laktat (BAL) pada pembuatan silase jerami padi dapat meningkatkan kualitas fermentatif berupa peningkatan asam laktat, penurunan pH, dan ammonia serta meningkatkan nutrisi silase berupa peningkatan protein kasar (Kim et al., 2017). Penambahan inokulum Lactobacillus plantarum 1A-2 dan 1BL-2 dengan konsentrasi berbeda pada pembuatan silase rumput gajah dapat menurunkan pH, bahan kering dan meminimalisir kerusakan nutrisi. Penelitian tersebut dengan penambahan konsentrasi mikroorganisme berbeda memiliki kualitas fermentatif yang tidak berbeda nyata, sehingga konsentrasi paling kecil dianjurkan untuk ditambahkan pada pembuatan silase yaitu 0,1% (Ratnakomala, Ridwan, Kartina, & Widyastuti, 2006). Penambahan mikroorganisme lokal (0, 0,1, 0,3, 0,5, dan 0,7%) pada pembuatan silase rumput gajah dapat menurunkan nilai fraksi serat seiring dengan tingginya konsentrasi mikroorganisme yang ditambahkan (Setiawan, Dhalika, & Mansyur, 2014). Bacillus circulans memiliki potensi untuk ditambahkan pada pembuatan silase. Hal tersebut karena dapat membentuk asam-asam organik (Pettersson, De Silva, Uhlén, & Priest, 2000) sehingga dapat membantu menurunkan pH dan memiliki kemampuan memproduksi enzim selulase sehingga fraksi serat pada pakan hijauan dapat terurai (Baharuddin, Ahmad, Nafie, & Zenta, 2016). Bacillus circulans juga dapat membentuk antifungi (Aamod et al., 2017). Pembuatan silase jerami padi dengan penambahan B.circulans yang berbeda konsentrasi (0%, 0,075%, 0,1%, dan 0,125%) pada pembuatan silase jerami padi diharapkan dapat meningkatkan kualitas fermentatif serta meningkatkan ataupun mempertahankan kualitas nutrisi pakan. Kualitas fermentatif silase dilihat dari nilai pH, NH3, total volatile fatty acid (TVFA), aktivitas enzim selulase dan kadar glukosa. Kualitas nutrisi dapat dilihat dari analisis proksimat yang berupa bahan kering (BK), bahan organik (BO), protein kasar (PK) dan lemak kasar (LK) serta fraksi serat yang berupa neutral detergent fiber (NDF) dan acid detergent fiber (ADF).

3

1.2. Rumusan Masalah Penelitian ini memiliki rumusan masalah sebagai berikut: 1) Apakah penambahan Bacillus circulans mampu meningkatkan kualitas fermentatif dan kualitas nutrisi silase jerami padi? 2) Berapakah konsentrasi Bacillus circulans yang mampu meningkatkan kualitas fermentatif dan kualitas nutrisi silase jerami padi?

1.3. Hipotesis Penelitian Penambahan Bacillus circulans mampu meningkatkan kualitas fermentatif dan kualitas nutrisi silase jerami padi.

1.4. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut: 1) Bertujuan untuk mengetahui apakah penambahan Bacillus circulans pada pembuatan silase mampu meningkatkan kualitas fermentatif dan kualitas nutrisi silase jerami padi. 2) Bertujuan untuk mengetahui pada konsentrasi berapa Bacillus circulans mampu meningkatkan kualitas fermentatif dan kualitas nutrisi silase jerami padi.

1.5. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kualitas fermentatif dan kandungan nutrisi silase jerami padi dengan penambahan Bacillus circulans dengan konsentrasi berbeda pada pembuatannya. Teknologi pakan tepat guna yang mudah untuk diaplikasikan dengan biaya yang rendah sehingga dapat meminimalisir kerusakan atau memperbaiki nutrisi bahan pakan hijauan, dan meningkatkan kualitas silase sehingga dapat menyediakan bahan pakan sepanjang tahun.

4

1.6. Kerangka Berfikir

Ketersediaan pakan hijauan yang terbatas dengan musim

Mengawetkan pakan hijauan pada saat ketersediaannya

melimpah

Pemanfaatan jerami padi sebagai pakan hijauan ternak

Kualitas jerami padi rendah

Perbaikan kualitas jerami padi dan penyediaan bahan pakan hijauan

secara berkala

Teknologi pakan silase jerami padi hasil fermentasi dengan penambahan Bacillus circulans dengan konsentrasi berbeda

Mengawetkan dan meminimalisir kerusakan nutrisi jerami padi atau meningkatkan nutrisi jerami padi serta dapat menyediakan pakan ternak sepanjang tahun

Gambar 1. Kerangka berpikir

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Silase Limbah pertanian yang melimpah dan hasil samping agroindustri dapat digunakan sebagai pakan ternak apabila diolah dengan baik dan benar, seperti pembuatan silase. Silase adalah hijauan makanan ternak yang diawetkan dengan kandungan air tinggi (60-70%) atau keadaan lembab melalui proses fermentasi dalam silo yang sangat rapat (Hanafi, 2008). Hijauan yang awalnya memiliki kadar air terlalu tinggi harus dilayukan terlebih dahulu hingga mencapai kadar air 60-70% sedangkan hijauan yang memiliki kadar air rendah atau hijauan yang sudah cukup kering perlu ditambahkan air hingga kadar air 60-70% (Rukmana, 2005). Menurut Ridwan, Ratnakomala, Kartina, & Widiyastuti (2005) silase merupakan pengawetan hijauan makanan ternak (HMT) dengan teknologi fermentasi dalam kondisi anaerob dengan pembentukan asam. Asam yang terbentuk adalah asam- asam organik seperti asam laktat, asam asetat, dan asam butirat sebagai hasil fermentasi karbohidrat terlarut oleh mikroorganisme sehingga terjadi penurunan pH menjadi kondisi asam maka pertumbuhan mikroorganisme pembusuk seperti Clostridia dan fungi akan terhambat (Elferink, Driehuis, Gottschal, & Spoelstra, 2010). Prinsip dasar pembuatan silase adalah tingginya kadar asam laktat yang dihasilkan dari fermentasi hijauan oleh bantuan mikroorganisme. Asam laktat dari fermentasi pembuatan silase sebagian besar dihasilkan oleh golongan bakteri asam laktat (BAL) homofermentatif. Bakteri asam laktat yang ditambahkan untuk pembuatan silase biasanya adalah Enterococcus, Pediococcus, dan Lactobacillus. Kandungan asam laktat yang tinggi menyebabkan silase terhindar dari mikroorganisme pembusuk seperti jamur atau bakteri Clostridia sehingga nutrisi dalam hijauan tidak cepat rusak (Widyastuti, 2008). Pengawetan bahan pakan dengan pembuatan silase mampu meningkatkan daya simpan, meminimalisir kerusakan bahkan dapat meningkatkan atau memperbaiki kualitas nutrisi bahan pakan hijauan.

5

6

Pembuatan silase dipengaruhi tiga faktor. Pertama, hijauan yang ideal dijadikan sebagai silase adalah hijauan yang banyak mengandung karbohidrat terlarut seperti rumput, sorghum, jagung, biji-bijian kecil, tanaman tebu, tongkol gandum, tongkol jagung, pucuk tebu, batang nanas dan jerami padi. Kedua, penambahan zat aditif untuk meningkatkan kualitas silase. Beberapa zat aditif adalah limbah ternak, urea, air, dan molases. Zat aditif dapat ditambahkan untuk meningkatkan nilai nutrisi seperti protein dan karbohidrat dari bahan pakan. Ketiga, adalah kadar air. Kadar air yang terlalu tinggi akan menyebabkan tumbuhnya jamur dan menghasilkan asam yang tidak diinginkan, yaitu asam butirat. Namun kadar air yang terlalu rendah akan menyebabkan suhu menjadi lebih tinggi sehingga terdapat resiko kebakaran pada bahan pakan (Argadyasto, 2012).

2.1.1. Proses Silase Proses pada silase terdapat 4 tahapan, yaitu fase aerob, fase fermentasi, fase stabilisasi dan fase feed-out atau aerobic spoilage atau pemanenan (Elferink et al., 2010). Pertama adalah fase aerob merupakan fase yang normal, tahap ini berlangsung beberapa jam saja. Proses yang terjadi O2 berkurang karena respirasi dari bahan pakan hijauan sehingga menghasilkan air dan panas. Selain itu, O2 yang ada pada silo digunakan untuk mikroorganisme aerob dan aerob fakultatif untuk mengurangi kadar O2. Fase ini harus semaksimal mungkin melakukan pencegahan masuknya O2 dengan memperhatikan kerapatan pada silo dan kecepatan memasukkan bahan ke dalam silo. Pencegahan juga dapat dilakukan dengan memperhatikan tingkat kematangan bahan, kelembaban pada bahan dan besarnya potongan hijauan. Apabila terlalu banyak O2 di dalam silo maka mikroorganisme aerob akan menggunakan karbohidrat yang diperlukan oleh bakteri asam laktat. Akan terjadi persaingan antara BAL dengan mikroorganisme aerob yang menggunakan karbohidrat terlarut untuk proses fermentasi anaerob selanjutnya. Kedua adalah fase fermentasi. Fase fermentasi ini merupakan reaksi anaerob. Mulanya bakteri asam asetat akan mulai tumbuh menggunakan karbohidrat terlarut untuk menghasilkan asam asetat yang dapat menekan pertumbuhan kapang dan khamir diawal fermentasi. Bakteri asam asetat akan menurunkan pH dan bertahan sampai pH 5 kemudian jumlahnya berkurang.

7

Biasanya terjadi antara satu sampai tiga hari. Kemudian penurunan pH menjadi 5 hasil dari bakteri asam asetat menyebabkan BAL tumbuh sehingga jumlahnya menjadi predominan. Karbohidrat mudah larut digunakan oleh BAL untuk menghasilkan asam laktat yang akan menurunkan pH menjadi 3,5 – 4,8. pH yang asam akan menghambat pertumbuhan semua bakteri, termasuk BAL itu sendiri. Biasanya terjadi selama empat sampai empat belas hari. Ketiga adalah fase stabilisasi. Fase ini menyebabkan aktivitas fase fermentasi berhenti secara perlahan yang memiliki pH antara 3,2 – 4,2. Selanjutnya tidak terjadi peningkatan atau penurunan nyata pada pH, bakteri asam laktat, dan total asam. Fermentasi berakhir saat gula telah habis terfermentasi atau pertumbuhan BAL terhambat oleh rendahnya pH. Fase ini terjadi kira – kira pada hari ke empat belas hingga pemanenan. Keempat adalah Fase feed-out atau aerobic spoilage atau fase pemanenan. Fase ini sangat penting untuk mempertahankan kualitas silase yang dihasilkan. Hal tersebut karena silo yang sudah terbuka dan kontak langsung dengan lingkungan maka terjadi proses aerob atau kontak dengan udara sehingga memungkinkan pertumbuhan kapang dan khamir. Hal yang sama dapat terjadi jika terjadi kebocoran pada silo maka akan terjadi penurunan kualitas silase atau kerusakan silase. Sangat diperlukan strategi untuk mempertahankan kondisi anaerob dan menggurangi kerugian akibat kerusakan silase.

2.1.2. Kualitas Silase Nilai kualitas silase dapat ditinjau dari beberapa parameter seperti pH, tekstur, warna dan kandungan asam laktat (Ratnakomala et al., 2006). Silase dapat dikatakan berkualitas ideal apabila memiliki pH maksimum 3,8 – 4,2, berwarna hijau kekuningan, memiliki aroma yang wangi, dan tekstur lembut, apabila dikepal tidak mengeluarkan air dan tidak berbau busuk (Direktorat Pakan Ternak, 2012). Kebocoran silo dan proses pembuatan yang salah dapat menyebabkan kegagalan pada hasil silase. Kebocoran silo akan menyebabkan keadaan anaerob dalam silo tidak sempurna. Tidak tersedianya karbohidrat terlarut berupa gula, berat kering awal yang rendah sehingga silase menjadi terlalu basah, dan pemicu pertumbuhan mikroorganisme pembusuk yang tidak diharapkan juga dapat meyebabkan

8

kegagalan pada hasil silase. Hasil silase yang gagal atau kurang baik dapat dilihat dari tekstur silase yang rapuh, berwarna coklat kehitaman, dan berbau busuk serta banyak ditumbuhi jamur (Ratnakomala et al., 2006).

Tabel 1. Nilai kualitas silase Parameter Ideal Baik Cukup Baik Kurang baik pH 3,2 – 4,2 4,2 – 4,5 4,5 – 5,0 >5,0 Jamur Tidak ada Sedikit Banyak Lebih banyak Aroma Asam Asam Kurang asam Aroma busuk Coklat Warna Hijau alami Hijau kekuningan Coklat kehitaman Agak lembek, Padat, kering, sedikit Lembek, Tekstur terasa lembut kandungan air Sedikit basah basah sedikit & lunak namun tidak becek basah Sumber: Septian, Kardaya, & Astuti (2011)

2.2. Jerami Padi Jerami padi merupakan bagian dari tanaman padi yang telah diambil bijinya, yang tersisa hanya batang dan daunnya yang merupakan limbah pertanian terbesar dan belum sepenuhnya dimanfaatkan secara optimal. Produksi padi di Indonesia mencapai 56,54 juta ton gabah kering giling yang diperkirakan akan meningkat setiap tahunnya. Jerami yang dihasilkan sekitar 50% dari produksi gabah kering giling panen (Badan Pusat Statistik, 2018). Jerami padi dimanfaatkan untuk industri sebesar 20%, selebihnya hanya dibiarkan menjadi kompos atau dibakar. Pembakaran limbah jerami padi menimbulkan polusi udara. Pembakaran jerami padi dapat melepaskan Volatile organik compound (VOC), karbonmonoksida, dan partikel halus yang dapat terhirup. Penggunaan jerami padi sebagai pakan ternak merupakan cara yang efektif untuk mengurangi dampak polusi udara dari pembakaran lingkungan dan mungkin penggunaan jerami padi akan mencapai sumber energi terbaik (Oladosu et al., 2016). Pemanfaatan jerami padi untuk pakan ternak ruminansia berkaitan dengan ayat Al-Quran surat Az-Zumar ayat 21, yaitu:

أَلَ ْم تَ َر أَ َّ ن ََّّللاَ أَ ْن َز َل ِم َ ن َالسَّم ِاء َم ًاء فَ َسلَ َكهُ يَنَابِ َيع فِي ْاْلَ ْر ِض ثُ َّم يُ ْخ ِر ُج بِ ِه َز ْر ًعا ُم ْختَلِفًا َٰ أَ ْل َوانُهُ ثُ َّم يَ ِه ُيج فَتَ َراهُ ُم ْصفَ ً را ث ُ َّم يَ ْج َعلُهُ ُح َط ًاما ۚ إِ َّن فِي َذلِ َك لَ ِذ ْك َر َٰ ى ِْلُولِي ْاْلَ ْلبَ ِاب

9

Artinya: “Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (Q.S. Az-Zumar : 21)

Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah telah menurunkan hujan yang masuk ke dalam permukaan tanah kemudian tersimpan di dalam tanah yang menjadi sumber air. Kemudian dari sumber air tersebut dapat menumbuhkan berbagai jenis tumbuhan salah satunya adalah tanaman padi. Tamanan tersebut akan tumbuh segar berwarna hijau kemudian mengering dan menguning. Allah telah memberikan petunjuk kepada manusia bahwa semua tumbuhan yang diciptakan Allah memiliki manfaat. Manusia bertugas untuk mencari tahu manfaat tumbuhan tersebut menggunakan akalnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat manfaat jerami padi untuk dimanfaatkan menjadi pakan ternak ruminansia. Alternatif pakan hijauan dapat memanfaatkan limbah jerami padi untuk memenuhi kekurangan pakan hijauan ternak ruminansia. Namun, rendahnya kandungan nutrisi dan rendahnya nilai kecernaan pakan sehingga kurang diminati oleh peternak ruminansia. Jerami padi memiliki kandungan lignoselulosa yang terdiri dari fraksi serat 5,5% lignin, 40% selulosa, dan 18% hemiselulosa. Selain itu memiliki silika yang sangat tinggi sekitar 15% dari bahan keringnya sehingga sulit dicerna oleh ternak ruminansia. Material tersebut lama difermentasi dalam rumen jika dibandingkan dengan tanaman hijauan lainnya (Oladosu et al., 2016).

Tabel 2. Kandungan nutrisi jerami padi Zat-zat Makanan Jumlah (%BK) Lemak kasar (LK) 1,19 Protein kasar (PK) 2,07 Acid detergent fiber (ADF) 67,50 Neutral detergent fiber (NDF) 89,27 Bahan organik (BO) 80,91 Lignin 16,69 Sumber: Kusumaningrum, Nugrahini, Poetri, Mulyana, & Suharyono (2017)

10

Fraksi serat Neutral Detergent Fiber (NDF) merupakan fraksi dinding sel yang terdiri dari hemiselulosa, selulosa, dan lignin, dan Acid Detergent Fiber (ADF) hanya mencangkup selulosa dan lignin (Möller, 2014). Lignoselulosa dan lignohemiselulosa yang berasal dari tanaman memiliki komponen utama lignin, selulosa, dan hemiselulosa. Lignin menyebabkan jerami padi menjadi liat dan keras. Kandungan yang kompleks pada lignin merupakan gabungan dari beberapa senyawa yaitu karbon, hidrogen dan oksigen. Tingginya kandungan karbon pada lignin menyebabkan sifat resistensi terhadap degradasi secara biologi, enzimatis ataupun kimia (Nuraini, Djulardi, & Mahata, 2016). Selulosa merupakan komponen utama yang menyusun dinding sel tanaman. Selulosa merupakan polisakarida yang tersusun atas satuan glukosa yang terikat dengan ikatan β 1,4- glukosida (Nuraini et al., 2016). Selulosa terbentuk dari karbohidrat. Memiliki serat berwarna putih, tidak dapat larut dalam air maupun pelarut organik. Sulit untuk didegradasi secara kimia ataupun mekanis karena bersifat kristalin dan tidak mudah larut alkali dan mudah larut dalam asam (Putera, 2012). Hemiselulosa memiliki kemiripan dengan selulosa, namun memiliki rantai yang lebih pendek dan tidak terbentuk kristal pada strukturnya. Hemiselulosa tersusun atas bermacam jenis gula yang berupa gula berkarbon lima (pentosa / C- 5) dan enam (heksosa / C-6). Hemiselulosa larut dalam larutan alkali encer dan lebih mudah terhidrolisis oleh asam namun tidak larut dalam air (Putera, 2012).

2.3. Bacillus circulans Nilai nutrisi jerami dapat ditingkatkan dengan perlakuan biologis menggunakan probiotik. Probiotik merupakan bahan tambahan yang berasal dari mikroorganisme hidup. Bacillus merupakan kelompok bakteri probiotik yang dapat menghasilkan asam laktat dan enzim selulase sehingga membantu proses penguraian komponen serat. Jerami padi yang difermentasi dengan probiotik Bacillus sp. selama 21 hari dapat meningkatkan PK. Mikroorganisme selulolitik dapat menghidrolisis selulosa karena adanya aktivitas enzim selulase (Amin, Hasan, Yanuarianto, & Iqbal, 2015).

11

Bacillus circulans merupakan bakteri Gram-positif dan atau Gram-variabel berbentuk batang melengkung seperti roda. Memiliki ukuran 2,0 – 4,2 x 0,5 – 0,8 µm. Bersifat motil yang bergerak dengan flagela peritrichous. Memiliki spora ellipsoidal yang terletak pada subterminal atau terminal, sporangia membengkak atau membesar. Berbentuk seperti ginjal atau silindris dan terdapat spora yang terletak di pusat. Klasifikasi taksonomi Bacillus circulans adalah kingdom: , filum: , kelas: , ordo: , famili: , genus: Bacillus, spesies: Bacillus circulans (National Center for Biotechnology Information, 2016).

Gambar 2. Bacillus circulans (Abada, El-Hendawy, Osman, & Hafez, 2014)

Bacillus circulans dapat hidup secara anaerob fakultatif. Bakteri tersebut dapat membentuk asam organik dari glukosa, fruktosa, galaktosa, sukrosa, glukonat, gliserol, glikogen, laktosa, dan maltosa. Bakteri tersebut dapat menghidrolisis pati. Bacillus circulans berwarna buram, sedikit cembung yang dapat tumbuh dari suhu 5 - 20ºC sampai 35 - 50ºC (Jordan, 1890). Bacillus circulans memiliki aktivitas protease, dapat membentuk asam-asam organik dari penguraian karbohidrat sehingga dapat menurunkan pH (Sumarlin, 2008). Bacillus circulans memiliki aktivitas antimikroba yang ditunjukkan dengan tahan terhadap bakteri gram positif dan negatif serta patogen jamur pada tanaman. Bacillus circulans menunjukkan aktivitas kitinase terhadap berbagai patogen jamur tanaman. Aktivitas antimikroba dan kitinase dapat digunakan untuk produksi senyawa antibakteri kontrol biologis terhadap patogen tanaman (Abada et al., 2014). Bacillus circulans juga dapat membentuk antifungi (Aamod et al., 2017). Bakteri tersebut juga memiliki kemampuan memproduksi enzim selulase

12

(Baharuddin et al., 2016), mampu menguraikan substrat berlignoselulosa seperti ampas tebu, bonggol jagung dan sekam padi (Susanti, 2011), dan dapat menurunkan fraksi serat (Safitri, 2014).

2.4. Zat Aditif Silase Zat aditif silase meliputi bahan pakan, urea, dan molases. Zat aditif berfungsi untuk meningkatkan nilai gizi pada silase. Selain itu penambahan zat aditif biasanya untuk membantu proses fermentasi pembuatan silase agar berjalan dengan baik. Zat aditif yang biasa digunakan adalah jagung halus, dedak, dan molases (Qitri, 2011). Dedak merupakan hasil samping dari pemecahan gabah. Dedak dapat dijadikan sebagai tambahan pada pakan ternak sebagai sumber karbohidrat dan vitamin B. Dedak juga dapat menyerap kelebihan air pada hijauan. Penambahan dedak pada pembuatan silase berfungsi untuk sumber energi dan perkembangan mikroorganisme selama proses fermentasi pembuatan silase, sehingga mikroorganisme cepat tumbuh. Dedak memiliki kandungan nutrisi berupa protein 11,01%, minyak 16,23%, karbohidrat 52,29%, kadar air 10,83%, dan kadar abu 8,64% (Hadipernata, Supartono, & Falah, 2012). Ciri fisik dedak yang berkualitas baik memiliki bau yang khas, tidak tengik, teksturnya halus, dan mudah digenggam. Penambahan dedak pada pembuatan silase dapat meningkatkan nilai LK pada silase karena dedak memiliki kandungan minyak yang cukup tinggi sehingga nilai LK tinggi (Anas & Syahrir, 2017). Hasil penelitian Handayani, Saleh, & Harahap (2018) bahwa penambahan 10% dedak dapat menurunkan nilai NDF, ADF, dan selulosa dari silase kulit pisang kepok. Penambahan dedak 5% pada pembuatan silase rumput mulato dapat meningkatkan nilai BO, PK, dan LK serta menurunkan serat kasar (Anas & Syahrir, 2017). Penambahan 10% dedak pada silase rumput gajah dapat menurunkan nilai pH sehingga dapat memaksimalkan proses fermentasi pada pembuatan silase (Syafi’i & Riszqina, 2016). Urea adalah senyawa organik yang terdiri dari unsur karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen dengan rumus molekul CH4N2O yang mengandung 46,7% nitrogen. Urea yang ditambahkan pada bahan pakan dapat dijadikan sumber

13

nitrogen yang dapat terfermentasi. Selain itu juga penambahan urea pada pembuatan silase untuk meningkatkan PK. Secara fisik urea berbentuk kristal padat berwarna putih, mudah larut dalam air dan bersifat higroskopis. Urea memiliki sifat + mudah larut dan terurai menjadi NH4 dan NH3 apabila tercampur dengan air (Nururrozi, Indarjulianto, & Purnamaningsih, 2018). Faharuddin (2014) mengemukakan bahwa pembuatan silase pucuk tebu dengan menggunakan 5% urea memiliki nilai BK yang lebih rendah dan PK yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Penggunaan 5% urea dapat meregangkan ikatan lignoselulosa. Penambahan urea menyebabkan struktur dinding sel berubah. Hal tersebut karena terjadi proses hidrolisis pada urea yang mampu memecah ikatan lignoselulosa dan lignohemiseulosa serta melarutkan silika dan lignin yang ada di dinding sel pada bahan pakan berserat. Oladosu et al. (2016) juga melaporkan bahwa penggunaan urea 5% pada silase jerami padi dapat membantu mendegradasi selulosa dan hemiselulosa. Molases merupakan hasil samping industri pengolahan gula yang masih memiliki kandungan glukosa cukup tinggi sehingga mengandung energi yang cukup tinggi. Molases yang ditambahkan pada pembuatan silase dapat meningkatkan fermentasi pada silase. Molases berbentuk cairan kental berwarna coklat gelap. Bersifat asam memiliki pH 5,5 – 6,5. Molases yang ditambahkan pada silase dapat terfermentasi memiliki kadar karbohidrat tinggi, mineral, dan vitamin. Kandungan nutrisi molases yaitu kadar air 23%, bahan kering 77%, protein kasar 4,2%, lemak kasar 0,2%, dan serat kasar 7,7% (Arlen, 2017). Harahap (2017) menyatakan bahwa penambahan molases 9% pada pembuatan silase jerami padi dapat memiliki pH paling rendah, jumlah koloni BAL diamater zona bening yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan lain. Molases pada media fermentasi digunakan sebagai sumber nutrisi untuk mikroorganisme selama berlangsungnya proses fermentasi. Mikroorganisme akan menggunakan sumber karbohidrat dari molases. Penambahan karbohidrat seperti molases dapat mempercepat terbentuknya asam laktat dan menyediakan sumber energi yang dapat dengan mudah digunakan untuk mikroorganisme (Faharuddin, 2014). Oladosu et al. (2016) juga menyatakan bahwa penambahan molases efektif untuk pembuatan silase pada bahan hijauan yang memiliki karbohidrat mudah larut

14

rendah. Molases digunakan untuk meningkatkan karbohidrat mudah larut pada substrat sehingga dapat digunakan untuk pertumbuhan BAL. Penambahan molases dapat mempercepat pembentukan asam laktat sehingga dapat menurunkan NH3 dan mencegah Clostridia.

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada Maret – September 2019 di Laboratorium Kelompok Produksi Ternak, Bidang Pertanian, Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR) – Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Jakarta Selatan.

3.2. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan adalah jar kaca, gunting, plastik tahan panas, karet gelang, perekat (isolasi), kantung saring, desikator, cawan porselen, cawan petri, microtube, mikropipet, tip, cuvet, tabung reaksi, gelas piala, buret, statif, erlenmeyer, magnetic stirrer, cawan conway, pH meter (hanna instrument), neraca analitik (fujitsu), hot plate (ika®rh basic), inkubator, vortex, sentrifuse (iec clinical), autoklaf, oven 105oC (fisher), tanur listrik (pyrolabo), mesin penggiling 1 mesh (fritsch), destilator (steam destillation glass col), Fiber Analyzer (ankom200), Soxhlet (labconco), spektrofotometer UV-Vis, Protein Analyzer (opsis liquidline), dan Analytic titroline5000. Bahan – bahan yang digunakan adalah jerami padi koleksi PAIR – BATAN, dedak, urea, molases, inokulan B.circulans koleksi PAIR – BATAN, potato dextrose broth (PDB), potato dextrose agar (PDA) Trypticase soy agar (TSA), bahan penambah solied carrier, akuades, kloroform, metanol, aseton, larutan Neutral Detergent Solution (NDS), NDS konsentrat, sodium sulfite, glikol, enzim alfa amylase, larutan Acid Detergent Soluble (ADS), ADS powder, reagen Nelson A, reagen Nelson B, HCl 0,5 N, HCl 0,01N, HCl 0,155 N, buffer sitrat, carboxymethylcellulose (CMC) 1%, Dinitrosalycilic Acid (DNS), reagen conway,

K2CO3, H2SO4 96%, H3BO3, NaOH 40%, NaOH 0,1 N dan selenium.

3.3. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan empat ulangan. Perlakuan silase jerami padi pada penelitian ini sebagai berikut:

15

16

a) P0 = Jerami padi 220 g + dedak 10% + urea 5% + molases 9% b) P1 = P0 + 0,075% Bacillus circulans c) P2 = P0 + 0,1% Bacillus circulans d) P3 = P0 + 0,125% Bacillus circulans

3.4. Cara Kerja 3.4.1. Persiapan Bacillus circulans Kultur Bacillus circulans koleksi PAIR – BATAN diinokulasikan pada media PDB kemudian dihomogenkan menggunakan shaker selama 7 hari. Selanjutnya, 2 ml inokulum dibiakkan dalam 10 g solid carrier yang telah diradiasi gamma 25 Kgy kemudian disimpan di dalam inkubator. Saat inokulum sudah siap digunakan, diambil sebanyak konsentrasi yang dibutuhkan yaitu 0,075% (0,17 g), 0,1% (0,22 g), dan 0,125% (0,27 g) lalu dilarutkan dalam molases. Konsentrasi B.circulans 0,1% dijadikan acuan hasil yang maksimal yang mengacu pada penelitian Ratnakomala et al. (2006) yang menganjurkan penambahan inokulan dengan konsentrasi 0,1% pada pembuatan silase. Penelitian ini dilakukan dengan mengurangi dan menambahkan 0,025% dari titik maksimal untuk perlakuan lainnya.

3.4.2. Persiapan Sampel Silase Jerami Padi Jerami padi dilayukan lalu dicacah ± 5 cm. Jerami padi yang telah dicacah dicampurkan dengan dedak, urea, molases, dan inokulum yang sesuai dengan perlakuan kemudian dicampurkan secara merata. Bahan-bahan sampel yang telah dicampurkan dimasukkan pada masing-masing jar kaca 500 ml sesuai dengan perlakuan. Sampel dipadatkan sehingga mencapai kondisi anaerob, kemudian ditutup dengan menggunakan plastik dan dikencangkan dengan karet gelang kemudian dililit dengan isolasi sehingga tidak ada udara yang dapat masuk. Sampel disimpan pada ruang yang tidak terpapar sinar matahari secara langsung selama 21 hari.

17

3.4.3 Pengamatan Sampel Silase Jerami Padi

Silase jerami padi dilakukan analisis kualitas fermentatif (pH, NH3, aktivitas enzim selulase, kadar glukosa, dan total volatile fatty acid) serta kualitas nutrisi yang berupa analisis proksimat (bahan kering, bahan organik, protein kasar, dan lemak kasar) dan fraksi serat (neutral detergent fiber dan acid detergent fiber) setelah inkubasi selama 21 hari. Dari setiap jar diambil beberapa gram untuk dilakukan analisis kemudian disimpan di dalam lemari pendingin untuk analisis yang lainnya.

3.4.4. Analisis Kualitas Fermentatif Silase Jerami Padi 3.4.4.1. Pengukuran pH Pengukuran pH pada silase jerami padi dilakukan menggunakan metode Association of Official Analytical Chemist (2012). Sampel silase diambil sebanyak 2 g dan ditambahkan 20 ml akuades. Kemudian dihomogenkan selama 10 menit kemudian ukur nilai pH menggunakan pH meter. Sebelum dilakukan pengukuran, pH meter terlebih dahulu dikalibrasi dengan larutan pH 4 dan 7. Setelah itu, dilakukan pengujian nilai pH pada masing-masing sampel perlakuan.

3.4.4.2. Analisis Kandungan Ammonia (NH3)

Analisis kandungan NH3 pada hasil silase jerami padi dilakukan dengan menggunkan metode Conway (1957). Sampel silase ditimbang sebanyak 2 g lalu ditambahkan dengan 20 ml akuades. Sampel dan akuades dihomogenkan selama 10 menit menggunakan shaker. Cawan Conway disiapkan dengan posisi sedikit dimiringkan. Larutan K2CO3 sebanyak 1 ml dituangkan pada bagian kiri cawan Conway. Bagian kanan cawan conway dimasukkan 1 ml sampel silase. Bagian tengah cawan Conway dimasukkan 1 ml pereaksi Conway. Bagian tepi cawan Conway dioleskan dengan vaselin dan ditutup dengan penutup cawan Conway. Kemudian ditunggu selama 2 jam hingga pereaksi Conway berwarna biru. Setelah 2 jam, peraksi Conway yang telah berwarna biru dititrasi dengan menggunakan HCl 0,01 N hingga pereaksi berubah warna kecoklatan kembali. Volume HCl yang digunakan dicatat. Hasil analisis kandungan NH3 didapatkan dengan perhitungan menggunakan rumus:

18

Vol. HCl x N HCl x 100 NH3 (mM) = BM NH3 3.4.4.3. Pengukuran Aktivitas Enzim Selulase Pengukuran aktivitas enzim selulase pada silase jerami padi menggunakan metode Miller (1972). Proses analisis enzim selulase dengan mencampurkan 1 g sampel silase jerami padi dengan 10 ml larutan buffer sitrat pH 5,5, kemudian dihomogenkan selama 1 jam pada shaker 100 rpm. Larutan sampel diambil sebanyak 1 ml yang dihasilkan sebagai ekstrak enzim kasar ke dalam microtube dan dilakukan sentrifuse 12000 rpm selama 10 menit. Ekstrak enzim hasil sentrifuse diambil sebanyak 500 µl lalu ditambahkan dengan 5 µl carboxymethylcellulose (CMC) 1% dalam larutan buffer sitrat pH 5,5. Kemudian diinkubasi pada suhu 50°C selama 30 menit. Campuran substrat dan enzim yang telah diinkubasi diambil sebanyak 500 µl ditambahkan dengan 500 µl Dinitrosalycilic Acid (DNS). Kemudian dipanaskan selama 5 menit sehingga terjadi perubahan warna menjadi kecoklatan. Kemudian larutan ditambahkan dengan 2,5 ml akuades dan pengukuran aktivitas enzim selulase dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan panjang gelombang λ540 nm. Aktivitas enzim selulase dapat dihitung dengan menggunakan rumus: Aktivitas Enzim Selulase (U/ml) = V.buffer sitrat x fp x abs x a x 0,37

U aktivitas enzim selulase ( ) x b.sampel Aktivitas Enzim Selulase (U/g BK) = ml BK Keterangan: Fp : faktor pengenceran Abs : absorbansi a : slope kurva standar glukosa 0,37 : standar internasional (1 unit enzim mampu menghasilkan 0,37 g glukosa) BK : bahan kering sampel (g)

3.4.4.4. Pengukuran Kadar Glukosa Pengukuran kadar glukosa pada hasil silase jerami padi menggunakan metode Nelson (1944). Pengukuran kadar glukosa mula-mula membuat larutan Nelson A, Nelson B dan reagen Arsenomolibdat. Pembuatan larutan Nelson A dengan 12,5 g, Na2CO3, 12,5 gr KNa tartrat/Rochelle, 10 g natrium bikarbonat, 100 g Na2SO4, dilarutkan dengan 350 ml akuades. Pembuatan Larutan Nelson B dengan

7,5 g CuSO4.5H2O dilarutkan dengan 50 ml akuades dan diteteskan 1 tetes H2SO4

19

pekat. Kemudian reagen Nelson A dan Nelson B dicampurkan sebanyak 25:1. Pembuatan reagen Arsenomolibdat dengan 25 g amonium molibdat dilarutkan dalam 450 ml akuades, ditambahkan dengan 2 1 ml H2SO4 pekat. Ditambahkna dengan 3 gr Na2HSO4.7H2O lalu dilarutkan dengan 25 ml akuades. Bahan-bahan penyusun reagen Arsenomolibdat yag telah tercampur disimpan dalam inkubator selama 24 – 28 jam pada suhu 30ºC. Pengukuran kadar glukosa dengan cara 2 gr sampel dilarutkan dalam 20 ml akuades. Sebanyak 0,5 ml larutan sampel diambil kemudian ditambahkan dengan 4 ml akuades kemudian dilakukan sentrifugasi 3000 rpm selama 10 menit. Supernatan hasil sentrifugasi diambil sebanyak 0,5 ml lalu ditambahkan dengan 0,5 ml campuran reagen Nelson A dan B (25:1). Sampel dipanaskan selama 20 menit dalam air mendidih kemudian didinginkan hingga suhu 25ºC. Sampel yang telah didinginkan ditambahkan 0,5 ml reagen Arsenomolibdat kemudian dihomogenkan dan ditambahkan akuades sebanyak 3,5 ml lalu dihomogenkan kembali menggunakan vortex. Larutan sampel diukur absorbansinya mengunakan spektrofotometer UV-Vis dengan panjang gelombang 540 nm. Perlakuan yang sama untuk membuat larutan standard glukosa namun sampel diganti dengan glukosaanhidrat. Larutan standard dibuat dengan konsentrasi 0,00, 0,01, 0,05, 0,1, 0,25, 0,50, dan 1 mg/ml untuk mendapatkan slope kurva (Lampiran 11). Penentuan kadar glukosa pada sampel silase padi dengan rumus: Kadar Glukosa (mg/ml) = abs x a x fp mg Kadar Glukosa ( ) x b.sampel Kadar Glukosa (mg/g BK) = ml BK Keterangan: Fp : faktor pengenceran Abs : absorbansi a : slope kurva standart dengan ketetapan nilai 1,25 BK : bahan kering sampel (gr)

3.4.4.5. Pengukuran Total Volatile Fatty Acid (TVFA) Pengukuran TVFA pada silase jerami padi menggunakan metode General Laboratory Procedures (1966). Sampel silase diambil 2 g dan ditambahkan 20 ml akuades. Sampel dihomogenkan selama 10 menit menggunakan shaker. Larutan sampel diambil sebanyak 5 ml lalu dicampurkan dengan 1 ml H2SO4 15%. Sampel

20

disentrifugasi 3000 rpm selama 10 menit. Supernatan sampel hasil sentrifugasi diambil sebanyak 5 ml lalu dimasukkan ke dalam tabung destilator. Tabung destilator disambungkan dengan rangkaian destilator lainnya. Proses destilasi dilakukan dengan cara mengalirkan air yang diuapkan hingga destilat yang ditampung mencapai volume 300 ml pada erlenmeyer yang telah diberikan 5 ml NaOH 0,4765 N. Kemudian ditetesi dengan 2 tetes indikator fenoftalein hingga berwarna keunguan. Sampel dititrasi menggunakan HCl 0,5112 N sampai berubah warna menjadi bening. Penentuan kadar TVFA dihitung dengan menggunakan rumus: TVFA (mM) = (a-b) x N HCl x (1000/5) Keterangan: a : volume HCl saat titrasi blanko (ml) b : volume titrasi sampel N HCl : Normalitas HCl

3.4.5. Analisis Proksimat 3.4.5.1. Pengukuran Bahan Kering (BK) dan Bahan Organik (BO) Pengukuran kualitas nutrisi dengan analisis proksimat pada nilai bahan kering dan bahan organik silase jerami padi menggunakan metode Association of Official Analytical Chemist (2012). Cawan porselen kosong dimasukkan dalam oven 105ºC selama 24 jam kemudian dipindahkan ke dalam desikator selama 30 menit. Cawan porselen kosong ditimbang menggunakan timbangan analitik kemudian 1 gr sampel silase dimasukkan dalam cawan porselen. Cawan porselen yang berisi sampel dimasukkan ke dalam oven selama 24 jam pada suhu 105ºC kemudian dipindahkan ke dalam desikator selama 30 menit. Cawan porselen berisi sampel yang telah dilakukan pengeringan ditimbang menggunakan timbangan analitik. Prosedur tersebut untuk mendapatkan nilai bahan kering (BK) sampel. Cawan yang berisi sampel bahan kering dimasukkan ke dalam tanur selama 6 jam pada suhu 600ºC. Cawan porselen yang telah dilakukan pengabuan dipindahkan ke dalam desikator selama 30 menit lalu beratnya ditimbang. Prosedur tersebut untuk mendapatkan nilai bahan organik (BO) dari sampel silase. Hasil BK dan BO didapatkan dengan rumus perhitungan: Bt105°C−B0 % BK = x 100% Bt−Bo

21

BO (%BK) = 100% - % abu 퐵푡600°퐶−퐵0 % abu = [ 푥 100 %] 퐵푡105°퐶−퐵0 Keterangan: B0 : berat cawan kosong (g) Bt : berat cawan isi sampel (g) Bt105°C : berat cawan setelah oven 105°C (g) Bt600°C : berat cawan setelah tanur 600ºC (g)

3.4.5.2. Pengukuran Protein Kasar Pengukuran nilai protein kasar pada silase jerami padi menggunakan metode Kjeldahl (1883). Sampel silase dikeringkan terlebih dahulu, kemudian dicacah dengan menggunakan mesin pencacah. Sampel tersebut ditimbang sebanyak 1 gr kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan dengan 1 g selenium dan 12,5 ml H2SO4 96%. Sampel didestruksi selama 2 jam pada suhu 400ºC jam hingga larutan berubah warna menjadi jernih. Tabung reaksi yang berisi hasil destruksi dipasang pada rangkaian alat Protein Analyzer OpsisLine dan ditambahkan 50 ml NaOH 40% dan 70 ml akuades. Proses destilasi dilakukan selama 5 menit. Destilat ditampung didalam erlenmeyer yang telah berisi 30 ml

H3BO3 5% yang telah diteteskan indikator metil merah, hasil destilasi berwarna biru kehijauan. Hasil destilat dititrasi menggunakan HCl 0,15 N hingga terjadi perubahan warna dari biru kehijauan menjadi warna merah muda. Kadar protein kasar dihitung dengan rumus: 푉.퐻퐶푙 N % = x N HCl x BM N x 100% B.sampel (g) 푥 1000 PK (%BK) = N % x 6,25 Keterangan: V HCl : Volume HCl saat destilasi (ml) N HCl : Normalitas HCl BM N : Berat Molekul Nitrogen 6,25 : Faktor konversi protein

3.4.5.3. Pengukuran Lemak Kasar Pengukuran nilai lemak kasar silase jerami padi dilakukan dengan menggunakan metode Association of Official Analytical Chemist (2012). Pengukuran lemak kasar menggunakan sampel silase yang telah dikeringkan dan

22

dicacah. Kantung saring ditimbang menggunakan neraca analitik kemudian diisi sampel sebanyak 0,45 g. Kantung saring berisi sampel direkatkan kemudian dimasukkan ke dalam oven 105ºC selama 24 jam. Kantung saring berisi sampel yang telah dikeringkan ditimbang. Kemudian dimasukkan ke dalam soxhlet. Sampel diekstraksikan dengan pelarut kloroform dan ethanol 2:1. Soxhlet dihubungkan dengan kondensor. Pemanas dinyalakan selama 6 jam. Kantung saring yang berisi sampel dalam soxhlet diambil dan dipanaskan didalam oven 105oC selama 24 jam. Lalu ditimbang berat sampel tersebut. Kadar lemak kasar didapatkan dengan cara perhitungan sebagai berikut: (푊2−푊0) − (푊3−푊0) LK (%BK) = x 100% 푊1

Keterangan: W0 : berat kantung saring (g) W1 : berat sampel (g) W2 : berat kantung saring + sampel setelah oven 105°C (g) W3 : berat sampel setelah ekstraksi dan oven 105°C (g)

3.4.6. Pengukuran Fraksi Serat (Neutral Detergent Fiber (NDF) dan Acid Detergent Fiber (ADF)) Pengukuran nilai fraksi serat yang berupa NDF dan ADF pada silase jerami dianalisis menggunakan metode Van Soest, Robertson, & Lewis (1991). Analisis NDF dilakukan dengan membuat larutan Neutral Detergent Soluble (NDS). Larutan NDS dibuat dengan menggunakan NDS konsentrat 119,96 g, sodium sulfite 40 g, glikol 20 ml, akuades 2 l. Pengukuran NDF menggunakan sampel silase yang telah dikeringkan dan dicacah halus. Kantung saring ksosong ditimbang kemudian diisi dengan 0,45 g sampel. Bagian atas kantung saring direkatkan dengan mesin perekat. Sampel diletakkan di atas baki Fiber Analyzer ANKOM200, 1 baki berisi 6 kantung saring. Kemudian dimasukkan kedalam Fiber Analyzer ANKOM200 dan diisi dengan 2 l larutan NDS dan 4 ml α-amilase. Mesin dibiarkan bekerja (inkubasi) selama 75 menit. Setelah selesai, kantung berisis sampel dibilas dua kali menggunakan 2 l akuades dengan suhu 70ºC dan 4 ml enzim α-amilase masing – masing selama 5 menit. Pembilasan terakhir hanya menggunakan 2 l akuades selama 5 menit. Kantung saring dikeluarkan dari inkubator kemudian direndam menggunakan

23

aseton selama 5 menit lalu dikering anginkan. Kantung saring yang telah kering, dikeringkan kembali menggunakan oven selama 2 jam. Setelah itu kantung berisis sampel dipindahkan ke dalam desikator selama 30 menit. Kemudian kantung berisi sampel ditimbang menggunakan neraca analitik dan dicatat beratnya. Hasil yang didapatkan dihitung menggunakan rumus: 푊3−(푊1 푥 퐶1)) NDF (%BK) = x 100% 푊2 Keterangan: W1 : berat kantung saring W2 : berat sampel W3 : berat kering serat setelah ekstraksi dan oven C1 : Blanko

Proses analisis ADF sama seperti NDF. Analisis ADF dengan menggunakan larutan ADS yang terdiri dari ADS powder 40 g, H2SO4 55,6 ml, dan 2 l akuades. Pengukuran ADF menggunakan sampel silase yang telah dikeringkan dan dicacah halus. Kantung saring kosong ditimbang menggunakan timbangan analitik kemudian diisi dengan 0,45 g sampel. Bagian atas kantung saring yang telah berisi sampel direkatkan menggunakan mesin perekat. Sampel diletakkan di atas baki Fiber Analyzer ANKOM200, 1 baki berisi 6 kantung saring. Kemudian dimasukkan kedalam Fiber Analyzer ANKOM200 dan diisi dengan larutan ADS 2 l. Fiber Analyzer ANKOM200 dibiarkan bekerja selama 60 menit. Setelah selesai, kantung saring saring berisi sampel dibilas menggunakan 2 l akuades suhu 70oC. Proses pembilasan dilakukan sebanyak 3 kali masing-masing selama 5 menit lalu sampel diambil. Sampel direndam dalam aseton selama 5 menit dan dikering anginkan diatas baki. Setelah itu dipanaskan dalam oven 105oC selama 2 jam dan dimasukkan kedalam desikator selama 30 menit. Setelah itu sampel dapat diukur beratnya menggunakan neraca analitik dan nilai ADF dihitung menggunakan rumus: 푊3−(푊1 푥 퐶1)) ADF (%BK) = x 100% 푊2 Keterangan: W1 : berat kantung saring (g) W2 : berat sampel (g) W3 : berat kering serat setelah ekstraksi (g) C1 : Blanko

24

3.4.7. Perhitungan Konsentrasi Mikroorganisme Perhitungan konsentrasi mikroorganisme menggunakan metode total plate count (TPC). Perhitungan jumlah koloni fungi dan bakteri dilakukan pada hari ke 0 dan 21 dengan metode Total Plate Count (TPC). Sampel silase ditimbang sebanyak 1 gr lalu ditambahkan dengan 10 ml NaCL fisiologis 0.85%. Sampel dihomogenkan dengan NaCL menggunakan shaker selama 60 menit. Larutan sampel diambil sebanyak 100 µl lalu dimasukkan dalam mikrotube yang telah berisi 900 µl NaCL fisiologis. Larutan sampel dilakukan pengenceran bertingkat sampai 9 kali pengenceran. Sebanyak 100 µl dari pengenceran 7 sampai 9 kali dituang pada cawan petri berisi media TSA dan pengenceran 5 sampai 7 kali dituang pada media PDA. Media PDA dan TSA yang telah dituangkan sampel diinkubasi pada suhu 30°C selama 2 sampau 3 hari. Koloni yang tumbuh pada media PDA dan TSA dihitung.

3.5. Parameter Pengamatan Parameter penelitian yang diamati adalah kualitas nutrisi yang berupa analisis proksimat (BK, BO, PK, dan LK) dan fraksi serat (NDF dan ADF), serta kualitas fermentatif silase jerami padi (pH, NH3, TVFA, kadar glukosa, dan aktivitas enzim selulase), dan konsentrasi mikroorganisme.

3.6. Analisis Data Hasil data analisis nilai PK dan konsentrasi mikroorganisme dianalisis secara deskriptif. Data analisis pH, NH3, TVFA, kandungan glukosa, aktivitas enzim selulase, nilai BK, BO, LK, NDF dan ADF dianalisis secara statistik menggunakan software SPSS 16.0. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji One Way ANOVA (Analysis of Variance). Bila hasil uji ANOVA tersebut terdapat perbedaan nyata maka dilakukan pengujian lanjut dengan uji jarak Duncan.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kualitas Fermentatif Silase Jerami Padi 4.1.1. Nilai pH Silase Jerami Padi Nilai pH pada perlakuan silase dapat dilihat pada Gambar 3. Penambahan Bacillus circulans yang berbeda konsentrasi (0%, 0,075%, 0,1%, dan 0,125%) terdapat perbedaan nyata (P<0,05). Perlakuan P3 memiliki nilai yang lebih rendah dan berbeda nyata dengan P0 (P<0,05), namun tidak berbeda nyata dengan P1 dan P2 (P>0,05) (Lampiran 1).

8,6 8,5 8,4 8,34b 8,3 8,19ab 8,21ab 8,2 8,1 a pH 8 8 7,9 7,8 7,7 7,6 P0 P1 P2 P3 Perlakuan

Gambar 3. Nilai pH pada silase jerami padi

Perlakuan silase P3 dapat mempengaruhi nilai pH dan memiliki hasil yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan P0 (P<0,05). Hal tersebut membuktikan bahwa B.circulans pada perlakuan P3 memiliki kemampuan membentuk asam laktat lebih tinggi pada saat proses fermentasi dibandingkan perlakuan P0. Pettersson, De Silva, Uhlén, & Priest (2000) mengemukakan bahwa B.circulans mampu membentuk asam-asam organik dari glukosa, fruktosa, galaktosa, dan sukrosa. Pernyataan tersebut mendukung bahwa penambahan B.circulans pada perlakuan P3 dapat menghasilkan asam laktat sehingga memiliki nilai pH yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan P0. Perlakuan P3 yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan P1 dan P2 (P>0,05) diduga karena B.circulans pada perlakuan tersebut menghasilkan asam laktat dalam jumlah yang sama.

25

26

Nilai pH merupakan suatu indikator untuk mengetahui pengaruh proses fermentasi terhadap hasil silase. Rendahnya nilai pH dapat disebabkan karena mikroorganisme dapat menghasilkan asam laktat yang tinggi (Septian et al., 2011). Selain asam laktat, selama proses fermentasi pembuatan silase terdapat asam lain yang dihasilkan yaitu asetat, propionat, butirat, suksinat, dan formiat (Lamid, Koesnoto, Chusniati, Hidayatik, & Vina, 2012). Hasil silase jerami padi pada penelitian ini tidak mencapai pH asam (3,2 – 4,2), namun masih berkisar pada pH basa (8 – 8,34). Hal ini diduga karena B.circulans tidak mampu menghasilkan asam laktat yang tinggi sehingga pH kritis (4,5) tidak tercapai. Hal tersebut menyebabkan terjadinya fermentasi sekunder yang menghasilkan asam butirat, asetat, dan propionat. Silase yang berkualitas baik memiliki proporsi asam laktat yang tinggi sedangkan asam butirat, asetat, dan propionat yang rendah. Kadar asam laktat yang dihasilkan sedikit sehingga sulit untuk menurunkan pH karena asam laktat merupakan bentuk asam yang paling kuat diantara asam butirat, asetat, dan propionat sehingga lebih efektif dalam menurunkan pH (Santoso, Hariadi, Manik, & Abubakar, 2009). Selain itu dapat disebabkan karena adanya penambahan urea yang tinggi, yaitu 5%. Urea bersifat basa dan dapat terfermentasi menjadi NH3 yang akan bereaksi dengan air sehingga menghasilkan NH4OH yang bersifat basa sehingga menyebabkan pH asam sulit tercapai (Qitri, 2011). Penelitian ini berbeda dengan Bai, Yan, & Li (2017) melaporkan bahwa fermentasi jerami padi dengan menggunakan B.megaterium dapat mencapai pH asam 5,61.

4.1.2. Nilai Ammonia (NH3) Silase Jerami Padi

Nilai NH3 pada silase dapat dilihat pada Gambar 4. Penambahan Bacillus circulans yang berbeda konsentrasi (0%, 0,075%, 0,1%, dan 0,125%) terdapat perbedaan nyata (P<0,05). Perlakuan P2 dapat menurunkan nilai NH3 dan terdapat perbedaan nyata dengan P0 (P<0,05) (Lampiran 2).

Rendahnya nilai NH3 pada perlakuan P2 dibanding P0 dapat disebabkan karena penambahan B.circulans pada konsentrasi 0,1% terjadi perombakan protein yang lebih rendah terbukti dengan nilai PK pada P2 lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan P0 (Tabel 3). Perlakuan P1, P2 dan P3 memiliki nilai NH3 tidak

27

berbeda nyata (P>0,05). Hal tersebut diduga karena Bacillus circulans pada perlakuan tersebut merombak protein menjadi NH3 dalam jumlah yang sama. Rismawati (2017) menyatakan bahwa tingginya perombakan protein pada substrat dibandingkan dengan pembentukan protein oleh mikroorganisme akan menyebabkan nilai NH3 tinggi. Widaningsih, Dharmawati, & Puspitasari (2018) melaporkan bahwa pembuatan silase tongkol jagung dengan penambahan cairan rumen kerbau dengan konsentrasi 20% memiliki nilai NH3 yang tinggi seiring dengan rendahnya nilai PK serta nilai NH3 yang rendah pada konsentrasi 40, 60, dan 80% seiring dengan tingginya nilai PK.

0,8 0,69b 0,7 0,64ab ab 0,6a 0,62 0,6 0,5

(mM) 0,4 3 0,3 NH 0,2 0,1 0 P0 P1 P2 P3 Perlakuan

Gambar 4. Nilai NH3 pada silase jerami padi

Hasil penelitian ini memiliki NH3 yang lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Hanafi (2004) yang memiliki nilai NH3 sebesar 0,45 mM. Tingginya NH3 diduga karena dipengaruhi oleh pH yang tidak mencapai asam. Santoso et al. (2009) mengatakan bahwa pH yang tinggi dapat menyebabkan tingginya nilai NH3 dan pH asam akan menekan perombakan asam amino menjadi NH3. Hal tersebut karena pH yang asam akan menurunkan aktivitas mikroorganisme untuk merombak asam amino menjadi NH3. Sumarlin (2008) menyatakan bahwa B.circulans memiliki aktivitas enzim protease. Aktivitas enzim protease akan meningkatkan nilai NH3. Proteolisis yang disebabkan dari aktivitas enzim protease pada mikroorganisme dalam kondisi anaerob menyebabkan terjadinya perombakan asam amino menjadi

NH3, sehingga nilai NH3 tinggi (Herawati & Royani, 2017).

28

4.1.3. Aktivitas Enzim Selulase Silase Jerami Padi Hasil pengukuran aktivitas enzim selulase dapat dilihat pada Gambar 5. Perlakuan P0, P1, P2 dan P3 tidak terdapat perbedaan nyata (P>0,05) (Lampiran 3). Hal tersebut diduga karena tidak maksimalnya aktivitas enzim selulase dari B.circulans pada perlakuan tersebut. Aktivitas enzim selulase yang tidak maksimal dapat disebabkan karena pH optimal untuk meningkatkan aktivitas enzim selulase pada B.circulans perlakuan P1, P2 dan P3 belum tercapai. Terlihat dari hasil penelitian ini pH yang dihasilkan pada kisaran 8 – 8,34. Bacillus circulans memiliki aktivitas enzim selulase pada pH 5-9 dan optimal pada pH 7,5 (Ray, Bairagi, Ghosh, & Sen, 2007).

10 9 8 7,5 7 6,38 5,76 5,97 6 5 4 (U/g (U/g BK) 3 2

Aktivitas Aktivitas Enzim Selulase 1 0 P0 P1 P2 P3 Perlakuan

Gambar 5. Nilai aktivitas enzim selulase pada silase jerami padi

Aktivitas enzim akan berjalan dengan baik apabila berada pada pH yang optimal (Safaria, Idiawati, & Zaharah, 2013). Enzim membutuhkan pH optimal untuk meningkatkan aktivitas enzim tersebut (Sholihati, Baharuddin, & Santi, 2015). Apabila pH optimal tidak tercapai maka aktivitas enzim selulase akan rendah. Hasil penelitian ini memiliki aktivitas enzim selulase yang rendah dibandingkan dengan penelitian Kusumaningrum et al. (2017) yang memiliki aktivitas enzim selulase sebesar 9,23 U/g BK pada fermentasi jerami padi dengan penambahan Aspergillus niger.

4.1.4. Kadar Glukosa Silase Jerami Padi Hasil pengukuran kadar glukosa dapat dilihat pada Gambar 6. Perlakuan P0, P1, P2 dan P3 terdapat perbedaan nyata (P<0,05). Perlakuan P2 dapat

29

meningkatkan kadar glukosa dari perlakuan P0 dan terdapat perbedaan nyata (P<0,05). Perlakuan P2 tidak berbeda nyata dengan P1 dan P3 (P>0,05) (Lampiran 4).

0,8 0,7 0,58b 0,6 0,54ab 0,5 0,44ab 0,4 0,33a 0,3 0,2 Glukosa (mg/g Glukosa BK)(mg/g 0,1 0 P0 P1 P2 P3 Perlakuan

Gambar 6. Nilai kadar glukosa pada silase jerami padi

Perlakuan P1, P2 dan P3 yang tidak berbeda nyata (P>0,05) menunjukkan kadar glukosa yang dihasilkan jumlahnya sama. Hal tersebut dapat terjadi karena dipengaruhi aktivitas enzim selulase yang tidak berbeda nyata pada konsentrasi tersebut (Gambar 6). Glukosa dapat dihasilkan dari degradasi selulosa oleh enzim selulase selama proses fermentasi yang akan digunakan kembali oleh mikroorganisme untuk hidup dan berkembang. Perlakuan P2 dapat menghasilkan glukosa lebih tinggi dibandingkan P0 (P<0,05). Hal tersebut dapat disebabkan karena perlakuan P2 memiliki keseimbangan dalam pembentukan glukosa dan penggunaan glukosa untuk metabolisme hidupnya. Kusumaningrum et al. (2017) menyatakan bahwa apabila mikroorganisme lebih banyak menggunakan glukosa untuk metabolisme hidupnya dibandingkan dengan kemampuan mikroorganisme tersebut untuk menghasilkan glukosa, maka akan menyebabkan kadar glukosa rendah. Mikroorganisme yang tidak mampu menghasilkan banyak glukosa dan sedikitnya glukosa pada substrat maka untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya langsung menggunakan sumber karbon dari glukosa hasil fermentasi (Fifendy, Irdawati, & Eldini, 2013). Glukosa merupakan susbtrat yang dibutuhkan dalam proses fermentasi pembuatan silase untuk membentuk asam organik yang dapat menyebabkan pH menjadi asam. Hasil penelitian ini memiliki kadar glukosa yang relatif rendah

30

dibandingkan dengan penelitian Wahyono, Utomo, Mulyana, & Shintia (2018) yang memiliki hasil kadar glukosa 1,48 mg/g BK pada fermentasi jerami padi tanpa penambahan mikroorganisme yang berupa Aspergillus niger pada pembuatannya. Kadar glukosa yang rendah dapat menyebabkan pH asam sulit tercapai. Hal ini sesuai dengan pendapat Yana (2011) bahwa apabila kadar glukosa rendah maka proses fermentasi pada pembuatan silase tidak akan berjalan dengan baik. Hal tersebut disebabkan karena terganggunya pembentukan asam-asam organik sehingga pH akan tinggi.

4.1.5. Nilai Total Volatile Fatty Acid (TVFA) Silase Jerami Padi Nilai TVFA pada perlakuan silase dapat dilihat pada Gambar 7. Perlakuan P0, P1, P2, dan P3 tidak berbeda nyata (P>0,05) (Lampiran 5).

120

100

80 75,21 65,18 60 46,8 46,8

TVFA (mM) 40

20

0 P0 P1 P2 P3 Perlakuan

Gambar 7. Nilai TVFA pada silase jerami padi Hasil yang tidak berbeda nyata membuktikan penambahan B.circulans dengan konsentrasi yang berbeda memberikan nilai TVFA yang sama. Hal tersebut diduga karena dipengaruhi oleh aktivitas enzim selulase pada silase jerami padi yang tidak berbeda nyata perlakuan tersebut (P>0,05) (Gambar 5). Wahyono, Astuti, Wiryawan, & Sugoro (2014) meningkatnya nilai TVFA dipengaruhi oleh aktivitas enzim selulase yang memotong ikatan selulosa pada hijauan selama proses fermentasi pembuatan silase. Enzim selulase mendegradasi selulosa yang akan menghasilkan selobiosa yang nantinya akan dipecah menjadi gula-gula sederhana. Gula-gula sederhana akan mengalami proses glikolisis secara anaerob menjadi

31

asam piruvat. Kemudian asam piruvat akan diubah menjadi TVFA yang berupa asam asetat, propionat, dan butirat (Imanda, Effendi, Sihono, & Sugoro, 2017). Nilai TVFA juga dipegaruhi oleh hidrolisis enzim hemiselulase oleh asam- asam organik selama proses fermentasi berlangsung. Enzim hemiselulase akan mendegradasi hemiselulosa yang terdapat pada fraksi serat dalam substrat, keadaan tersebut akan memudahkan proses fermentasi karbohidrat yang menghasilkan produk akhir berupa TVFA yang akan digunakan untuk pembentukan energi bagi mikroorganisme (Wahyono et al., 2014). Hasil penelitian ini sama dengan yang dilakukan oleh Telleng, Wiryawan, Karti, Permana, & Abdullah (2017) bahwa pembuatan silase sorghum dengan penambahan L.plantarum, L.casei, dan tidak menggunakan mikroorganisme menghasilkan TVFA yang tidak berbeda nyata. Akan tetapi penambahan mikroorganisme memiliki TVFA cenderung lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan yang tidak ditambahkan dengan mikroorganisme.

4.2. Kandungan Nutrisi Silase Jerami Padi 4.2.1. Nilai Proksimat Silase Jerami Padi Analisis proksimat silase jerami padi dapat dilihat pada Tabel 3. Perlakuan P0, P1, P2, dan P3 pada nilai bahan kering (BK) terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05). Perlakuan P1, P2, dan P3 tidak menunjukkan perbedaan nyata (P>0,05), namun semua perlakuan tersebut memiliki perbedaan nyata dengan P0 (P<0,05) (Lampiran 6). Hasil analisis bahan organik (BO) pada semua perlakuan tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0,05) (Lampiran 7) dan nilai lemak kasar (LK) (Lampiran 8) pada semua perlakuan juga tidak berbeda nyata (P>0,05). Perlakuan P2 memiliki nilai protein kasar (PK) tertinggi. Berdasarkan hasil yang didapatkan penambahan B.circulans pada perlakuan P1, P2, dan P3 dapat menurunkan nilai BK dari perlakuan P0. Rendahnya nilai BK pada perlakuan tersebut dibandingkan dengan P0 (P<0,05) membuktikan bahwa penambahan B.circulans pada kosentrasi berbeda dapat membantu proses fermentasi pembuatan silase. Suadnyana, Cakra, & Wirawan (2017) menyatakan bahwa rendahnya nilai BK pada silase jerami padi karena adanya penambahan mikroorganisme yang dapat membantu proses fermentasi sehingga dapat menurunkan nilai BK. Hasil penelitian ini sesuai dengan Lara et al., (2016) yang

32

melaporkan hasil silase jerami jagung dengan perlakuan penambahan B.subtilis dan konsorsium B.subtilis dengan L.plantarum memiliki nilai BK lebih rendah dibandingkan dengan hasil silase tanpa penambahan mikroorganisme.

Tabel 3. Hasil analisis proksimat jerami padi dan silase jerami padi Parameter Perlakuan BK (%) BO (%BK) PK (%BK)* LK (%BK) P0 33,39b 84,26 13,07 9,69 P1 30,02a 83,71 13,90 11,00 P2 30,16a 84,41 15,10 11,31 P3 30,16a 84,13 14,57 12,19 SEM 0,444 0,351 0,438 0,696 Keterangan: BK=bahan kering; BO=bahan organik; PK=protein kasar; LK=lemak kasar. Rata-rata dengan superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05). SEM: Standard Error of The Treatment Mean. (*) = tanpa adanya ulangan pada pengukuran.

Perlakuan P1, P2, dan P3 yang tidak berbeda nyata (P>0,05) diduga karena B.circulans dengan konsentrasi 0,075%, 0,1%, dan 0,125% memiliki kemampuan yang sama untuk melakukan fermentasi glukosa, sehingga kadar air yang dihasilkan untuk menurunkan nilai BK sama. Pratiwi, Fathul, & Muhtarudin (2015) menyatakan selama proses fermentasi pembuatan silase terdapat aktivitas mikroorganisme yang mengubah glukosa menjadi alkohol, asam-asam organik,

H2O dan CO2. Apabila aktivitas fermentasi glukosa oleh mikroorganisme tinggi maka akan menghasilkan kadar air yang tinggi sehingga nilai BK menurun lebih tinggi pada hasil silase. Nilai BO yang tidak berbeda nyata (P>0,05) pada penelitian ini diduga karena B.circulans pada perlakuan P0, P1, P2, dan P3 tidak banyak mengubah bahan organik yang terdapat pada substrat silase. Kuncoro, Muhtarudin, & Fathul (2015) menyatakan bahwa mikroorganisme menggunakan karbohidrat mudah larut yang merupakan bagian dari bahan organik sehingga dapat mempengaruhi nilai BO silase. Mikroorganisme menggunakan karbohidrat mudah larut untuk diubah menjadi asam organik seperti asam laktat, asetat, propionat, dan butirat (Anas & Syahrir, 2017). Hasil penelitian ini berbeda Sandi, Ali, & Arianto (2014) yang melaporkan bahwa hasil silase pucuk tebu dengan penambahan konsentrasi EM-4

33

0, 4, 6, 8, dan 10% memiliki nilai BO yang berbeda nyata. Nilai BO semakin tinggi seiring dengan tingginya konsentrasi EM-4. Nilai PK tertinggi terdapat pada perlakuan P2, diduga B.circulans pada perlakuan tersebut memiliki aktivitas enzim protease yang lebih rendah dibandingkan perlakuan P0, P1, dan P3. Rendahnya aktivitas enzim protease akan menyebabkan penguraian protein sedikit sehingga nilai protein akan tinggi (Kuncoro et al., 2015). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Lie, Najoan, & Wolayan (2015) bahwa nilai PK meningkat seiring dengan tingginya konsentrasi Trichoderma reesei pada fermentasi limbah kelapa sawit. Perlakuan P1, P2, dan P3 cenderung memiliki nilai PK yang lebih tinggi dibandingkan P0. Hal tersebut diduga penambahan B.circulans dengan konsentrasi berbeda dapat meningkatkan protein melalui sintesis protein ditubuhnya. Sintesis protein akan meningkatkan kandungan PK pada silase (Suadnyana et al., 2017). Penambahan mikroorganisme dapat meningkatkan nilai PK karena sebagian besar pembentuk tubuhnya adalah protein sehingga terakumulasi pada nilai PK. Trisnadewi, Cakra, & Suarna (2017) menyatakan bahwa tingginya PK pada silase karena terdapat mikroorganisme dan substrat tambahan silase jerami padi yang mengandung protein. Selain itu selama proses fermentasi pada pembuatan silase ikatan lignoselulosa dan lignohemiselulosa akan meregang sehingga protein yang terikat pada lignin terlepas (Widaningsih et al., 2018). Kusumaningrum et al. (2017) juga menyatakan bahwa penguraian lignoselulosa selama proses fermentasi akan membebaskan senyawa nitrogen, mineral, dan selulosa sehingga nilai PK dapat meningkat. Nilai LK perlakuan P0, P1, P2, dan P3 yang tidak berbeda nyata (P>0,05) diduga dipengaruhi oleh nilai TVFA (Gambar 7) dan bahan organik pada penelitian ini tidak berbeda nyata (P>0,05) (Tabel 3). Heryani, Kardaya, & Sudrajat (2016) menyatakan bahwa fermentasi karbohidrat akan menghasilkan volatile fatty acid yang merupakan suatu bentuk lemak. Bahan organik yang tinggi akan didegradasi mikroorganisme menjadi asam lemak sehingga nilai LK dapat meningkat (Imanda et al., 2017). Meningkatnya LK juga dapat disebabkan karena selama proses fermentasi pada pembuatan silase jerami padi terjadi peningkatan nilai PK dan penurunan fraksi serat, sehingga banyaknya ketersediaan substrat bagi

34

mikroorganisme untuk membentuk asam lemak (Suningsih, Ibrahim, Liandris, & Yulianti, 2019). Nilai LK yang tidak berbeda nyata juga dapat disebabkan karena B.circulans pada perlakuan P1, P2, dan P3 tidak banyak menggunakan asam lemak yang dihasilkan untuk metabolisme hidupnya. Sutowo, Adelina, & Febrina (2016) menyatakan bahwa selama proses fermentasi mikroorganisme mengubah substrat menjadi asam lemak kemudian menggunakannya untuk pembentukan energi dan pertumbuhannya. Hasil penelitian ini sama dengan Suadnyana et al. (2017) bahwa penambahan mikroorganisme dari cairan rumen pada pembuatan silase jerami padi memiliki hasil yang tidak berbeda nyata dengan kontrol dan cenderung meningkatkan nilai LK.

4.2.2. Kandungan Fraksi Serat Silase Jerami Padi Kandungan fraksi serat yang berupa NDF dan ADF pada hasil penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4. Perlakuan P0, P1, P2, dan P3 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada nilai NDF (P>0,05) (lampiran 9) dan ADF (P>0,05) (Lampiran 10).

Tabel 4. Hasil analisis fraksi serat jerami padi dan silase jerami padi Parameter (% BK) Perlakuan NDF ADF P0 53,79 36,67 P1 53,07 35,69 P2 52,37 35,20 P3 51,97 35,37 SEM 0,497 0,414 Keterangan: NDF=neutral detergent fiber; ADF=acid detergent fiber. Rata-rata dengan superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05). SEM: Standard Error of The Treatment Mean.

Hasil NDF yang tidak berbeda nyata diduga karena Bacillus circulans dengan konsentrasi 0%, 0,075%, 0,1%, dan 0,125% selama proses fermentasi memiliki kemampuan yang setara untuk mencerna dinding sel yang merupakan fraksi serat NDF. Bunti, Mukhtar, Laya, & Bahri (2018) menyatakan bahwa selama proses fermentasi pembuatan silase tingginya kemampuan mikroorganisme yang mencerna komponen dinding sel berupa selulosa dan hemiselulosa dapat

35

menurunkan nilai fraksi serat NDF (Senjaya, Dhalika, Budiman, Mansyur, & Hernaman, 2010). Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Yanti (2018) bahwa penambahan mikroorganisme lokal dengan konsentrasi berbeda pada pembuatan silase jerami jagung menghasilkan nilai NDF yang tidak berbeda nyata namun cenderung lebih tinggi dibandingkan kontrol. Nilai ADF pada semua perlakuan yang tidak berbeda nyata (P>0,05) dapat disebabkan karena kemampuan penguraian ikatan lignoselulosa oleh B.circulans yang berbeda konsentrasi tersebut setara. Senjaya et al. (2010) menyatakan bahwa proses fermentasi pada pembuatan silase terjadi penguraian ikatan lignoselulosa oleh mikroorganisme sehingga lepasnya ikatan lignoselulosa menjadi lignin dan selulosa. Mikroorganisme yang memiliki kemampuan tinggi untuk mengubah selulosa yang sudah terlepas dari ikatan lignoselulosa menjadi lebih sederhana akan lebih banyak menurunkan nilai ADF. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Yanti (2018) menghasilkan ADF yang berbeda nyata dan nilai ADF paling rendah terdapat pada perlakuan dengan tambahan mikroorganisme lokal dengan konsentrasi tinggi. Nilai NDF dan ADF yang tidak berbeda nyata (P>0,05) ini juga dapat disebabkan karena aktivitas enzim selulase pada penelitian ini juga tidak berbeda nyata (P>0,05). Hal tersebut menyebabkan degradasi fraksi serat oleh enzim selulase dari Bacillus circulans yang berbeda konsentrasi juga sama. Hasil NDF dan ADF pada penelitian ini sama dengan Suryadi, Syarif, Darlis, & Afdal (2018) yang mengemukakan bahwa nilai NDF dan ADF pada fermentasi pucuk tebu dengan menggunakan Trichoderma harzianum dengan konsentrasi yang berbeda memiliki hasil yang bervariasi dan tidak terdapat perbedaan nyata (P>0,05). Nilai ADF yang tidak berbeda nyata berhubungan dengan nilai NDF yang juga tidak berbeda nyata. Hal tersebut karena prinsip degradasi ADF memiliki karakteristik yang sama dengan degradasi NDF.

4.3. Konsentrasi Mikroorganisme Hasil perhitungan konsentrasi mikroorganisme terdapat pada Tabel 5. berdasarkan hasil yang didapatkan bahwa selama proses fermentasi pembuatan silase selama 21 hari menunjukkan bahwa adanya penurunan konsentrasi bakteri

36

dan fungi pada semua perlakuan. Pengukuran konsentrasi mikroorganisme bertujuan untuk mengetahui apakah masih adanya bakteri dan fungi yang hidup setelah dilakukan inkubasi selama 21 hari. Berkurangnya konsentrasi bakteri dapat disebabkan beberapa faktor seperti sedikitnya nutrisi pada substrat, energi cadangan dalam sel habis, dan adanya penumpukan asam dan metabolit lainnya sehingga bakteri mengalami kematian (Safitri, Sunarti, & Meryandini, 2016). Perlakuan P2 mengalami penurunan konsentrasi bakteri paling rendah dibandingkan dengan perlakuan P0, P1, dan P3. Hal tersebut diduga karena ketersediaan nutrisi seperti glukosa (Gambar 6) dan nilai PK (Tabel 3) yang lebih cenderung lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Hal tersebut menyebabkan ketersediaan nutrisi masih dapat memenuhi nutrisi untuk bakteri yang masih dapat bertahan hidup sehingga penurunan konsentrasi bakteri lebih sedikit.

Tabel 5. Hasil perhitungan konsentrasi mikroorganisme Bakteri (Log CFU/ml) Fungi (Log CFU/ml) Perlakuan Awal Akhir Awal Akhir P0 11,39 7,00 8,29 6,48 P1 11,62 7,60 6,34 5,30 P2 11,72 8,60 7,63 5,00 P3 11,85 7,78 6,81 0,00 SEM 0,097 0,331 0,357 1,434 Keterangan: SEM: Standard Error of The Treatment Mean.

Masih terdapatnya glukosa menyebabkan ketersediaan karbon untuk pertumbuhan dan pemeliharaan sel bakteri masih dapat terpenuhi (Safitri, et al., 2016). Selain itu masih tersedianya protein akan diubah menjadi peptida dan asam- asam amino, kemudian asam amino digunakan bakteri untuk pembentukan dan pemeliharaan sel tubuhnya (Purbowati, Rianto, Dilaga, Lestari, & Adiwinarti, 2014). Hasil penelitian ini berbeda dengan yang dilakukan oleh Ratnakomala et al. (2006) yang menjelaskan bahwa silase rumput raja dengan menggunakan L.plantarum dan BAL dengan konsentrasi 0,1% mampu meningkatkan populasi mikroorganisme. Perlakuan P3 terjadi penurunan konsentrasi fungi yang paling tinggi dibandingkan semua perlakuan. Hal tersebut dapat disebabkan karena selama proses fermentasi B.circulans pada perlakuan tersebut mampu menghasilkan asam

37

organik cukup tinggi terlihat dari nilai pH (Gambar 4) yang rendah dibanding P0. Janarum, Ryanto, & Sanda (2014) berpendapat bahwa berkurangnya konsentrasi fungi dapat disebabkan karena selama proses fermentasi terdapat mikroorganisme yang membentuk asam-asam organik sehingga akan mengurangi atau menghambat pertumbuhan fungi. Selain itu juga dapat disebabkan karena adanya anti-fungi dari B.circulans pada perlakuan P3 mampu menghambat pertumbuhan fungi dengan maksimal. Aamod et al. (2017) mengatakan bahwa B.circulans memiliki aktivitas anti-fungi, sehingga dapat menghambat atau mengurangi pertumbuhan fungi pada hasil silase. Berkurangnya konsentrasi fungi juga dapat disebabkan karena berkurangnya jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk pertumbuhannya karena proses fermentasi pembuatan silase dalam keadaan anaerob. Umumnya fungi tumbuh pada kondisi aerob (Koesoemawardani, Rizal, & Tauhid, 2013).

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Penambahan Bacillus circulans dengan konsentrasi yang berbeda belum mencapai pH asam kriteria silase yang berkualitas baik. Penambahan B.circulans dengan konsentrasi berbeda juga tidak mempengaruhi aktivitas enzim selulase, total volatile fatty acid, bahan organik, lemak kasar, neutral detergent fiber dan acid detergent fiber. Maka dapat disimpulkan bahwa penambahan B.circulans yang berbeda konsentrasi belum mampu meningkatkan kualitas fermentatif dan kualitas nutrisi silase jerami padi, sehingga tidak dapat ditentukan pada konsentrasi berapa B.circulans yang mampu meningkatkan kualitas fermentatif dan nutrisi silase jerami padi.

5.2. Saran Penelitian ini perlu adanya penelitian lanjutan dengan mengurangi konsentrasi urea serta meningkatkan konsentrasi Bacillus circulans dan molases sehingga mendapatkan kualitas fermentatif dan kualitas nutrisi silase jerami padi yang lebih baik.

38

DAFTAR PUSTAKA

Aamod, A. N., Sharad, L., Shilpa, P., & Aarohi, K. (2017). Evaluation of Bacillus circulans in imparting aerobic stability to silage. International Journal of Modern Science and Technology, 2(18), 391–396. ISSN: 2456-0235

Abada, E. A., El-Hendawy, H. H., Osman, M. E., & Hafez, M. A. (2014). Antimicrobial activity of Bacillus circulans isolated from rhizosphere of Medicago sativa. Life Science Journal, 11(8), 641–652. ISSN:1097-8135

Amin, M., Hasan, S. D., Yanuarianto, O., & Iqbal, M. (2015). Pengaruh lama fermentasi terhadap kualitas jerami padi amoniasi yang ditambah probiotik Bacillus sp. Ilmu Dan Teknologi Peternakan Indonesia, 1(1), 8–13. ISSN: 2460-6669

Anas, M. R., & Syahrir. (2017). Pengaruh penggunaan jenis aditif sebagai sumber karbohidrat terhadap komposisi kimia silase rumput mulato. Jurnal Agrisains, 18(April), 13–22. ISSN: 1412-3657

Association of Official Analytical Chemist. (2012). Official methods of analysis. (G. W. Latimer, Ed.) (19th editi). Maryland, USA: AOAC International

Argadyasto, D. (2012). Pengaruh jenis silo terhadap kualitas silase daun rami (Boehmeria nivea, L. Gaud) beraditif. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Arlen, L. (2017). Pengaruh Penambahan Molases Terhadap Kualitas Fisik dan Kimia Silase Kulit Pisang Sepatu (Mussa paradisiaca formatypica). Jurnal Zootek, 37(1), 156–166. ISSN 0852 - 2626

Badan Pusat Statistik. (2018). Berita resmi statistik: luas panen dan produksi padi di Indonesia 2018. No. 83/10/Th. XXI.

Baharuddin, M., Ahmad, A., Nafie, N. La, & Zenta, F. (2016). Cellulase enzyme activity of Bacillus circulans from larvae Cossus cossus in lignocellulosic substrat. American Journal of Biomedical and Life Sciences, 4(2), 21. https://doi.org/10.11648/j.ajbls.20160402.13

Bai, B., Yan, C. G., & Li, G. C. (2017). Study on the characteristics of straw fermentation by Bacillus megaterium MYB3. In Earth and Environmental Science (Vol. 81, pp. 1–7). https://doi.org/10.1088/1755-1315/81/1/012010

Bunti, N. J., Mukhtar, M., Laya, N. K., & Bahri, S. (2018). Analisis serat silase jerami jagung yang disubstitusi jerami kacang tanah dan konsentrat sebagai pakan ternak. In Pembangunan Pertanian-Pertenakan-Perikanan Berkelanjutan Menuju ketahanan Pangan Nasional (pp. 176–180). Gorontalo. ISBN: 978:602-6204-85-1

39

40

Conway, E. J. 1957. Microdiffusion of Analysis of Association Official Analitycal Chemist. Goergia (US): Georgia Press.

Direktorat Pakan Ternak. 2012. Silase. Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Elferink, S. J. W. H. O., Driehuis, F., Gottschal, J. C., & Spoelstra, S. F. (2010). Silage fermentation processes and their manipulation. In FAO Electronic Conference on Tropical Silage (pp. 2–4). Retrieved from https://www.researchgate.net/publication/228558577%0APaper

Faharuddin. (2014). Analisis kandungan bahan kering, bahan organik, dan protein kasar silase pucuk tebu (Saccharum officinarum L.) yang difermentasi dengan urea, molases, dan kalsium karbonat. (Skripsi). Universitas Hasanuddin, Makassar.

Fifendy, M., Irdawati, & Eldini. (2013). Pengaruh pemanfaatan molase terhadap jumlah mikroba dan ketebalan nata pada teh kombucha. In Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung (pp. 67–72).

General Laboratory Procedure. (1966). Department of dairy sciences. University of Wisconsin. Madison.

Hadipernata, M., Supartono, W., & Falah, M. A. F. (2012). Proses stabilisasi dedak padi (Oryza sativa L) menggunakan radiasi far infra red (FIR) sebagai bahan baku minyak mangan. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan, 1(4), 103–107.

Hanafi, N. D. (2004). Perlakuan silase dan amoniasi daun kelapa sawit sebagai bahan baku pakan domba. Digital Library USU. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara, Medan. Hanafi, N. D. (2008). Teknologi pengawetan pakan ternak. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara, Medan.

Handayani, S., Saleh, E., & Harahap, A. E. (2018). Kandungan fraksi serat silase kulit pisang kepok (Musa paradisiaca) dengan penambahan level dedak dan lama pemeraman yang berbeda. Jurnal Peternakan, 15(1), 1–8. ISSN 1829– 8729

Harahap, A. E. (2017). Kualitas bakteri asam laktat isolasi jerami padi dengan penambahan berbagai level molases. Jurnal Peternakan, 14(1), 25.

Herawati, E., & Royani, M. (2017). Kualitas silase daun gamal dengan penambahan molases sebagai zat aditif. J A S, 7(2), 29–32.

Heryani, E., Kardaya, D., & Sudrajat, D. (2016). Pengaruh penggunaan fermentasi isi rumen sapi sebagai pakan terhadap pertumbuhan bobot badan domba ekor tipis. Jurnal Peternakan Nusantara, 1(1), 49–56. ISSN: 2442-2541

41

Imanda, S., Effendi, Y., Sihono, S., & Sugoro, I. (2017). Evaluasi in vitro silase sinambung sorgum varietas samurai 2 yang mengandung probiotic BIOS K2 dalam cairan rumen kerbau. Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop Dan Radiasi, 12(1), 1. https://doi.org/10.17146/jair.2016.12.1.3193

Jaelani, A., Gunawan, A., & Asriani, I. (2014). Pengaruh lama penyimpanan silase daun kelapa sawit terhadap kadar protein dan serat kasar. Jurnal Ziraa’ah, 39(1), 8–16.

Janarum, N., Ryanto, I., & Sanda, L. (2014). Pengaruh penggunaan berbagai sumber karbohidrat terhadap kualitas silase pucuk tebu. Jurnal Pertenakan Indonesia, 16(2), 114–118. ISSN: 1907-1760

Kjeldahl, J. (1883). New method for the determination of nitrogen in organic substances. Zeitschrift für analytische Chemie, 366–383.

Kim, J. G., Ham, J. S., Li, Y. W., Park, H. S., Huh, C. S., & Park, B. C. (2017). Development of a new lactic acid bacterial inoculant for fresh rice straw silage. Asian-Australasian Journal of Animal Sciences, 30(7), 950–956. https://doi.org/https://doi.org/10.5713/ajas.17.0287

Koesoemawardani, D., Rizal, S., & Tauhid, M. (2013). Perubahan sifat mikrobiologi dan kimiawi rusip selama fermentasi. Jurnal Agritech, 33(3), 1– 6.

Kuncoro, D. C., Muhtarudin, & Fathul, F. (2015). Pengaruh penambahan berbagai starter pada silase ransum berbasis limbah pertanian terhadap protein kasar, bahan kering, bahan organik, dan kadar abu. Jurnal Ilmiah Pertenakan Terpadu, 3(4), 235–240.

Kusumaningrum, C. E., Nugrahini, S., Poetri, A., Mulyana, N., & Suharyono. (2017). Pengaruh penambahan Aspergillus niger iradiasi sinar gamma dosis rendah pada jerami padi fermentasi dan evaluasi kualitasnya sebagai pakan ternak ruminansia secara in vitro. Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop Dan Radiasi, 13(2), 23–30. e-ISSN: 1907-0322

Lamid, M., Koesnoto, S., Chusniati, S., Hidayatik, N., & Vina, E. V. F. (2012). Karakteristik silase pucuk tebu (Saccharum officinarum, Linn) dengan penambahan Lactobacillus plantarum. Jurnal Agroveteriner, 1(1), 5–10.

Lara, E. C., Basso, F. C., De Assis, F. B., Souza, F. A., Berchielli, T. T., & Reis, R. A. (2016). Changes in the nutritive value and aerobic stability of corn silages inoculated with Bacillus subtilis alone or combined with Lactobacillus plantarum. Animal Production Science, 56(11), 1867–1874. https://doi.org/10.1071/AN14686Changes

Lie, M., Najoan, M., & Wolayan, F. R. (2015). Peningkatan nilai nutrien (protein kasar dan serat kasar) limbah solid kelapa sawit terfermentasi dengan

42

Trichoderma reesei. Jurnal LPPM Bidang Sains Dan Teknologi, 2(1), 34–43.

Miller, J. H. (1972). Experiments in molecular genetics. New York: Cold Spring.

Möller, J. (2014). Comparing methods for fibre determination in food and feed. In Dedicated Analitycal Solutions (pp. 1–6). Denmark: Foss.

Naibaho, T., Despal, & Permana, I. G. (2017). Perbandingan silase ransum komplit berbasis jabon dan jerami untuk meningkatkan ketersediaan pakan sapi perah berkualitas secara berkesinambungan. Buletin Makanan Ternak, 104(2), 12– 20.

National Center for Biotechnology Information. (2016). Bacillus circulans. Diakses pada 22 Oktober 2019, dari https://bacdive.dsmz.de/strain/642

Nuraini, Djulardi, A., & Mahata, M. E. (2016). Pakan non konvesional fermentasi untuk unggas. Sumatra Barat: Lembaga Pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (LPTIK) Universitas Andalas.

Nururrozi, A., Indarjulianto, S., & Purnamaningsih, H. (2018). Urea : manfaat pada ruminansia. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertenakan, 28(1), 10–34. ISSN: 0852-3681

Oladosu, Y., Rafii, M. Y., Abdullah, N., Magaji, U., Hussin, G., Ramli, A., & Miah, G. (2016). Fermentation quality and additives: a case of rice straw silage. BioMed Research International, 1–14. https://doi.org/10.1155/2016/7985167 Review

Pettersson, B., De Silva, S. K., Uhlén, M., & Priest, F. G. (2000). Bacillus siralis sp. nov., a novel species from silage with a higher order structural attribute in the 16S rRNA genes. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 50(6), 2181–2187.

Pratiwi, I., Fathul, F., & Muhtarudin. (2015). Pengaruh penambahan berbagai starter pada pembuatan silase ransum terhadap kadar serat kasar, lemak kasar, kadar air, dan bahan ekstrak tanpa nitrogen silase. Jurnal Ilmiah Pertenakan Terpadu, 3(3), 116–120.

Purbowati, E., Rianto, E., Dilaga, W. S., Lestari, C. M. S., & Adiwinarti, R. (2014). Karakteristik cairan rumen, jenis, dan jumlah mikrobia dalam rumen sapi Jawa dan peranakan ongole. Buletin Peternakan, 38(1), 21. https://doi.org/10.21059/buletinpeternak.v38i1.4609

Putera, R. D. H. (2012). Ekstraksi serat selulosa dari tanaman eceng gondok (Eichornia crassipes) dengan variasi pelarut. (Skripsi). Universitas Indonesia, Depok.

Qitri, N. A. (2011). Evaluasi kualitas silase ransum komplit berbahan dasar hijauan rumput gajah (Pennisetum purpureum) dan daun rami (Boehmeria

43

nivea, L. Gaud) pada silo yang berbeda. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Ratnakomala, S., Ridwan, R., Kartina, G., & Widyastuti, Y. (2006). Pengaruh inokulum Lactobacillus plantarum 1A-2 dan 1BL-2 terhadap kualitas silase rumput gajah (Pennisetum purpureum). Journal of Biological Diversity, 7(2), 131–134. https://doi.org/10.13057/biodiv/d070208

Ray, A. K., Bairagi, A., Ghosh, K. S., & Sen, S. K. (2007). Optimization of fermentation conditions for cellulase production by Bacillus subtilis CY5 and Bacillus circulans TP3 isolated from fish gut. Acta Ichthyologica et Piscatoria, 37(1), 47–53.

Ridwan, R., Ratnakomala, S., Kartina, G., & Widiyastuti, Y. (2005). Pengaruh penambahan dedak padi dan Lactobacillus plantarum 1BL-2 dalam pembuatan silase rumput gajah (Pennisetum purpureum). Media Peternakan, 28(3), 117–123. ISSN: 0126-0427

Rismawati, R. (2017). Kualitas silase ransum komplit sapi perah berbahan dasar rumput gajah menggunakan silo dan teknik pemadatan. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Rukmana, R. (2005). Rumput unggul hijauan makanan ternak. Yogyakarta: Kanisius.

Sabri, R., Kasmiran, A., & Fadli, C. (2017). Daya simpan wafer dari bahan baku lokal sebagai bahan pakan ternak ruminansia. Jesbio, VI(1), 35–40. ISSN: 2302-1705

Safaria, S., Idiawati, N., & Zaharah, T. A. (2013). Efektivitas campuran enzim selulase dari Aspergillus niger dan Trichoderma reseei dalam menghidrolisis substrat sabut kelapa. JKK, 2(1), 46–51. ISSN: 2303-1077

Safitri, N., Sunarti, T. C., & Meryandini, A. (2016). Formula media pertumbuhan bakteri asam laktat Pediococcus pentosaceus menggunakan substrat whey tahu. Jurnal Sumberdaya Hayati, 2(2), 31–38. Retrieved from http://biologi.ipb.ac.id/jurnal/index.php/jsdhayati

Safitri, R. (2014). The Influenze Of Fermentation By Bacillus Circulans, Micrococcus sp., and B.coagulans Towards Fat, Crude Fiber, and Protein Content Of Palm Oil Empty Fruit Bunches Waste ( Elaeis guineensis Jacq.). Lucrări Ştiinţifice, 62, 96–100

Sandi, S., Ali, A. I. M., & Arianto, N. (2014). Kualitas nutrisi silase pucuk tebu (Saccaharum officinarum) dengan penambahan inokulan Effective Microorganisme 4 (EM-4). Jurnal Peternakan Sriwijaya, 1(1), 1–9.

Santoso, B., Hariadi, B. T., Manik, H., & Abubakar, H. (2009). Kualitas rumput

44

unggul tropika hasil ensilase dengan bakteri asam laktat dari ekstrak rumput terfermentasi. Media Peternakan, 32(2), 137–144. ISSN 0126-0472

Senjaya, O. T., Dhalika, T., Budiman, A., Mansyur, & Hernaman, I. (2010). Pengaruh lama penyimpanan dan aditif dalam pembuatan silase terhadap kandungan ndf dan adf silase rumput gajah. Jurnal Ilmu Ternak, 10(2), 85–89.

Septian, F., Kardaya, D., & Astuti, W. D. (2011). Evaluasi kualitas silase limbah sayuran pasar yang diperkaya dengan berbagai aditif dan bakteri asam laktat. Jurnal Pertanian, 2(2), 117–124.

Setiawan, G., Dhalika, T., & Mansyur. (2014). Penambahan mikroba mokal (MOL) terhadap kadar neutral detergent fiber dan acid detergent fiber pada ransum lengkap terfermentasi. Universitas Padjajaran. Bandung.

Sholihati, A. M., Baharuddin, M., & Santi. (2015). Produksi dan uji aktivitas enzim selulase dari bakteri Bacillus subtilis. Al Kimia. Makassar.

Suadnyana, I. M., Cakra, I. G. L. O., & Wirawan, I. W. (2017). Kualitas fisik dan kimia silase jerami padi yang dibuat dengan penambahan cairan rumen sapi Bali. E-Jurnal FAPET UNUD, 5(1), 181–188.

Sumarlin, L. (2008). Aktivitas protease dari Bacillus circulans pada media pertumbuhan dengan pH tidak terkontrol. Jurnal Kimia Valensi, 1(1), 58–62.

Suningsih, N., Ibrahim, W., Liandris, O., & Yulianti, R. (2019). Kualitas fisik dan nutrisi jerami padi fermentasi pada berbagai penambahan starter. Jurnal Sain Pertenakan Indonesia, 14(2), 191–200. https://doi.org/10.31186/jspi.id.14.2.191-20

Suryadi, Syarif, S., Darlis, D., & Afdal, M. (2018). Fermentasi pucuk tebu (Saccharum officinarum L) menggunakan Trichoderma harzianum : degradasi in sacco komponen serat. Jurnal Agripet, 18(1), 30–35. https://doi.org/10.17969/agripet.v18i1.10975

Susanti, E. (2011). Optimasi produksi dan karakterisasi sistem selulase dari Bacillus circulans strain lokal dengan induser avicel. Jurnal Ilmu Dasar, 12(1), 40–49.

Sutowo, I., Adelina, T., & Febrina, D. (2016). Kualitas nutrisi silase limbah pisang (batang dan bonggol) dan level molases yang berbeda sebagai pakan alternatif ternak ruminansia. Jurnal Peternakan, 13(2), 41–47.

Syafi’i, & Riszqina. (2016). Kualitas silase rumput gajah dengan bahan pengawet dedak padi dan tepung gaplek. Jurnal Maduranch, 2(2), 49–57.

Telleng, M., Wiryawan, K. G., Karti, P. D. M. H., Permana, I. G., & Abdullah, L. (2017). Silage quality of rations based on in situ sorghum-indigofera. Pakistan Journal of Nutrition, 16(3), 168–174.

45

https://doi.org/10.3923/pjn.2017.168.174

Trisnadewi, Cakra, I. G. L. O., & Suarna, I. W. (2017, June). Kandungan nutrisi silase jerami jagung melalui fermentasi pollard dan molases. Majalah Ilmiah Peternakan, 20(2), 55–59. ISSN: 0853-8999

Van Soest, P. J., Robertson, J. B., & Lewis, B. A. (1991). Methods for dietary fiber, neutral detergent fiber, and nonstrach polysaccharides in relation to animal nutrition. Journal of Dairy Science, 74(10), 3583–3597. https://doi.org/743583-3597

Wahyono, T., Astuti, D. A., Wiryawan, K. G., & Sugoro, I. (2014). Pengujian ransum kerbau berbahan baku sorgum sebagai sumber serat secara in vitro dan in sacco. Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop Dan Radiasi, 1(2), 113–126.

Wahyono, T., Utomo, D. P., Mulyana, N., & Shintia, N. W. (2018). AKtivitas enzim dan profil serat pada jerami padi yang difermentasi menggunakan Aspergillus niger yang diiradisasi gamma. In Seminar Aplikasi Isotop dan Radiasi (pp. 1– 9).

Widaningsih, N., Dharmawati, S., & Puspitasari, N. (2018). Kandungan protein kasar dan serta kasar tongkol jagung yang difermentasi dengan menggunakan tingkat cairan rumen kerbau yang berbeda. Jurnal Ziraa’ah, 43(3), 255–265. e-ISSN: 2355-3545

Widyastuti, Y. (2008, December). Fermentasi silase dan manfaat probiotik silase bagi ruminansia. Media Peternakan, 31(3), 225–232. ISSN: 0126-0472

Yana, R. (2011). Kualitas fermentasi dan kandungan nutrien silase beberapa jenis rumput yang dipanen pada waktu berbeda. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Yanti, E. S. (2018). Kandungan fraksi serat silase pakan komplit berbasis limbah jagung (Zea mays) yang di fermentasi dengan mikroorganisme lokal probiotik moiyl. (Skripsi). Universitas Sumatera Utara, Medan. Retrieved from http://repositori.usu.ac.id

Yanuartono, Purnamaningsih, H., Indarjulianto, S., & Nurrurozi, A. (2017). Potensi jerami sebagai pakan ternak ruminansia. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan, 27(1), 40–62. ISSN: 0852-3681

Zailzar, L., Sujono, Suyatno, & Yani, A. (2011). Peningkatan kualitas dan ketersediaan pakan untuk mengatasi kesulitan di musim kemarau pada kelompok peternak sapi perah. Jurnal Dedikasi, 8, 15–28

46

LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Uji ANOVA dan Duncan pada pengukuran nilai pH silase jerami padi

47

Lampiran 2. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada pengukuran nilai NH3 silase jerami padi

48

Lampiran 3. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada pengukuran aktivitas enzim selulase silase jerami padi

49

Lampiran 4. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada pengukuran kadar glukosa silase jerami padi

50

Lampiran 5. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada pengukuran nilai TVFA silase jerami padi

51

Lampiran 6. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada pengukuran bahan kering (BK) silase jerami padi

52

Lampiran 7. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada pengukuran bahan organik (BO) silase jerami padi

53

Lampiran 8. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada pengukuran lemak kasar (LK) silase jerami padi

54

Lampiran 9. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada pengukuran neutral detergent fiber (NDF) silase jerami padi

55

Lampiran 10. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada pengukuran acid detergent fiber (ADF) silase jerami padi

56

Lampiran 11. Kurva standard kadar glukosa

0,3 0,25 y = 0,2463x + 0,0071 R² = 0,9932 0,2 0,15 abs 0,1 Absorbansi Linear (abs) 0,05 0 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 Konsentrasi glukosa (mg/ml)