Ada Yang Tiada Rahvayana 2: Ada Yang Tiada Sujiwo Tejo Cetakan Pertama, Januari 2015 Penyunting: Ika Yuliana Kurniasih Perancang Sampul: Agung Budi S
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit. Ada yang Tiada Rahvayana 2: Ada yang Tiada Sujiwo Tejo Cetakan Pertama, Januari 2015 Penyunting: Ika Yuliana Kurniasih Perancang sampul: Agung Budi S. Pemeriksa aksara: Pritameani & Nurani Penata aksara: Arya Zendi Digitalisasi: Rahmat Tsani H. Diterbitkan oleh Penerbit Bentang (PT Bentang Pustaka) Anggota Ikapi Jln. Plemburan No. 1, RT 11 RW 48 SIA XV, Sleman, Yogyakarta 55284 Telp.: (0274) 889248, Faks: (0274) 883753 Surel: [email protected] Surel redaksi: [email protected] http://bentang.mizan.com http://www.bentangpustaka.com Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Sujiwo Tejo Rahvayana 2: Ada yang Tiada/Sujiwo Tejo; penyunting, Ika Yuliana Kurniasih.—Yogyakarta: Bentang, 2015 viii + 296 hlm; 20,5 cm ISBN 978-602-291-084-8 1. Fiksi Indonesia. I. Judul. II. Ika Yuliana Kurniasih. 899.221 3 E-book ini didistribusikan oleh: Mizan Digital Publishing Gedung Ratu Prabu I Lantai 6 Jln. T.B. Simatupang Kav. 20 Jakarta 12560 - Indonesia Phone.: +62-21-78842005 Fax.: +62-21-78842009 email: [email protected] website: www.mizan.com Sekar Melati Arie Dagienkz Prof. Dr. Iwan Pranoto Terima Kasih Daftar Isi Daftar Isi ~ vii Lelaki Buih ~ 3 Kamajaya-Kamaratih ~ 22 Sang Penabur ~ 36 Om, Shanti ~ 53 Indrajit ~ 71 Tembok China ~ 83 La la la ... ~ 94 Bali ~ 114 Anna Karenina ~ 127 Embrio ~ 145 Le Penseur ~ 155 Nikah ~ 167 Rahvayana ~ 179 Telaga Tinta ~ 200 Ada yang Tiada ~ 215 Lawa-Kusa ~ 219 Pra Pita Maha ~ 231 Pita Maha ~ 241 Rahvayana: Semesta Nada dan Kata ~ 261 Vokal ~ 289 Credits ~ 291 Bukugrafi Sujiwo Tejo ~ 293 Sinta berubah. Namanya jadi Janaki. Janaki pun berubah. Namanya jadi Waidehi. Tapi, Rahwana tetap mencintainya. Rahwana tetap menjunjungnya, menyembahnya. Terhadap titisan Dewi Widowati itu ia tak menyembah nama. Rahwana menyembah Zat melalui caranya sendiri. Persembahannya secara agama cinta .... Hmmm .... Sebuah nama yang ada bukan karena dinamai. Sebuah nama yang ada juga bukan karena menamai dirinya sendiri. Adakah itu? Ada. Rahwana yakin itu ada. Dan ia sangat mencintainya. Karena itu novel ber-CD ini aku tulis. Aku menulisnya dengan epilog nyanyian “Ada yang Tiada”. Tembang ini sekaligus menjadi akhir seluruh 23 gita yang aku sertakan bersama Sekar Melati sejak dwilogi pertama Rahvayana: Aku Lala Padamu. Kini, akhirul kalam, ingin sekali kuucapkan selamat membaca novel ber-CD ini. Ucapan itu hanya tercekat di pangkal lidah. Tak pantas rasanya aku mengucapkan selamat kepada diri sendiri. Karena, bila kau membaca novel ini hingga tega untuk sampai khatam, sesungguhnya batinmu adalah batinku juga, rasamu rasaku juga, rasa batin orang-orang yang menyembah Zat di samudra agama cinta. Ini menyedihkan. Tapi itulah nasibmu. New Delhi, 24 November 2014 Lelaki Buih inta, Teratai-ku .... Kabar itu sekarang sudah ada. Kabar yang sudah lama ku- Snanti-nanti, kabar yang tak pernah berani aku tanyakan langsung kepadamu. Sahabatku, Tan Napas, benar saat mencibirku malam itu, saat pungguk dan bulan semakin jauh dan angin seperti disusun dari puing-puing tangisan. Ia bilang, seberani apa pun aku terhadap apa dan siapa pun (dan sesungguhnya untuk semua tetek bengek ini aku telah teruji) tetap saja aku selalu takut menanyakan status apakah kamu sudah bersuami, apakah single but not avail- able, apakah available ...? Kamu sudah tahu dari suratku sebelumnya, Sinta, siang bolong itu Surpanaka tergopoh-gopoh menyampaikan kabar bahwa ia memergokimu bersama lelaki tampan yang dadanya bidang, ber- pedang, dan berperisai. Belah dagunya rupawan dan rambutnya menyentuh bahu. Kalimat Surpanaka terbata-bata. Kembang kempis dada adikku yang kusayang itu. Napasnya memburu. Siang bolong itu, Sinta, sebetulnya, kalau mau jujur, harus ku- akui, darahku terkesiap. Gambaran Surpanaka tentang perempuan 4 • Sujiwo Tejo berambut legam kemilau dekat teratai di alam Hutan Dandaka tak jauh beda dari perempuan yang sudah lama sekali kuberi nama Sin- ta di alam khayalku. Khayalan. Khayalan. Walau masih selalu samar-samar, apakah di dalam khayalan itu sudah ada napas, hati, dan air matamu, Sin- ta? Sampai kapan khayalan itu masih selalu tinggal bersamaku? Apakah sampai langit menjadi tua bersamaku, yang untuk meraya- kan ulang tahunku perlu kupadamkan ribuan lilin? Biarlah angin dan burung pungguk yang akan membahasnya, betapa setiap saat aku dan khayalanku tentang dirimu tinggal dalam keberdua an yang tak usai-usai. O, Surpanaka .... O, Sinta .... Bila lelaki yang melindungi Sinta dengan pedang-perisai itu masih didampingi oleh lelaki lain yang tak kalah samapta jasmani- nya, tak kalah kinclong pula pedang dan perisainya, akan semakin benarlah penuturan Resi Agastya kepadaku suatu saat. Ya, lelaki berkemilau pedang dan perisai itu tentulah Rama. Pendampingnya bernama Lesmana. Putra Dewa Laut Baruna, Resi Agastya, yang baru saja bercokol di depanku dengan cahaya tanpa umpama tiba-tiba melenyap saat itu. Aku cuma masih mengingat wajahnya, campuran antara wajah Pak Plato si tukang sayur dari dusun kami Akar Chakra, dan Pak Aristo- teles si tukang sayur dari Dusun Chakra Hati, di Kabupaten Prana. Pada wajah Resi Agastya yang berjubah kuning kecokelatan aku pun cuma ingat ada campuran wajah-wajah Ronggowarsito, Ki Ageng Suryomentaram dan Sosrokartono, para ilsuf Nusanta- ra yang oleh saudaraku Mutmainah dijadikan nama-nama bunga bakung di barat sangkar prenjak di rumah kami. Aku mengingat semua wajah itu muncul bersama cahaya dan mengingat kata-kata Rahvayana • 5 Resi Agastya tentang Rama. Namun, secepat kilat ia meniada, menjadi ada yang tiada. Sementara Surpanaka alias Sarpakenaka terus-menerus meyakinkan aku bahwa .... O, maaf, Sinta ... maaf. Yang kuceritakan sejak tadi maksudku Supiah, bukan Sarpakenaka. Kamu sudah tahu, adik kesayanganku ini Supiah namanya. Ya, Supiah. Semoga kamu masih mengingatnya, sebagaimana kamu akan mengingat saudaraku lainnya: Amarah, Lawwamah, dan Mut- mainah. Raksasa perempuan berkuku panjang Sarpakenaka hanya- lah tokoh Ramayana idolanya, sebagaimana Amarah mengidolakan Rahwana dan, aduh, menyangka aku sendirilah Rahwana itu. Aku yakin kamu masih mengingat Supiah, Sinta. Nama itu be- gitu menarik perhatianmu ketimbang nama-nama saudaraku lain- nya. Sebelum kunjungan pertamamu ke rumah kami, kamu berta- nya, “Apakah ada hal yang spesiik tentang Supiah? Misalnya, lebih baik aku bawakan dia oleh-oleh wine atau roti?” Kamu ingat itu, kan, Sinta? Supiah tak suka wine. Ia pun tak suka roti. Ia lebih suka per- senggamaan. Kepada Supiah dahulu aku sering mendongeng bah- wa kota-kota dan rimba raya tipis bedanya, lebih tipis daripada roti komuni suci. Mereka hampir sama dan sebangun. Di kota, pohon- pohonnya hanya berupa beton. Tajuk dan sulur-sulurnya hanya berupa ragam arsitektur puncak-puncak pencakar langit dan jalan- jalan rayanya yang menjulur kian kemari bagai tentakel-tentakel gurita. Liananya lelampuan yang meliuk-liuk. Benalu dan cenda- wannya payung-payung perempuan saat gerimis menunggu bus kota. Demikianlah Bangkok. Demikianlah New York, Tokyo, Paris, New Delhi, Macau ... dan kota-kota dunia lainnya. Bisa jadi, Sinta, Supiah pecandu warna kuning ini memergoki perempuan ayu itu di Singapura, tetapi dibayangkannya sebagai 6 • Sujiwo Tejo Rimba Dandaka dan di alam khayalku perempuan itu tak lain ada- lah dirimu. Bila bukan dirimu, itu malah mustahil. Tak ada alasan itu bu- kan dirimu bila kurunut satu per satu detail-detail wajah yang di- gambarkan oleh Supiah: seseorang dengan ceruk mata perempuan India ras Arya dan perempuan-perempuan Italia Utara, sedikit ce- ruk mata perempuan Jawa di sana sini, perempuan yang kadang Inggris-nya beraksen hailand, tapi juga fasih berbahasa Arab .... Ah, Sinta, sudahlah .... Hmmm ... pikiranku, kok, jadi terlampau ke mana-mana, ya? Mungkin karena aku belum sarapan .... Heuheu- heu .... Baiklah, kamu apa kabar, Sinta? Kalau soal kabarku sendiri, hmmm .... Ini aku sedang di taksi. Ada musik radio di sana. Lagu Jepang tahun ‘60-an. Judulnya .... Hmmm .... “Ue o Muite Arukou”. Kepanjangan, ya, judulnya? Susah juga diucapkan, ya? Mungkin karena itu bule-bule menggantinya dengan judul “Su- kiyaki”. Hmmm .... Ya, ini aku sedang di taksi. Irama dan melodi lagu kami sangat riang. Tumit sesiapa yang mendengarnya akan mudah berjingkat-jingkat walau konon syair aslinya tentang kese- dihan yang berlarat-larat. Di Eropa dan Amerika, rekaman bahasa Inggris lagu yang aslinya dibawakan oleh Kyu Sakamoto ini juga berversi-versi. Banyak juga yang .... Hoi, Sinta!!! Kamu sedang apa, Teratai-ku? Jangan dahulu me- ngerjakan apa pun. Baca dahulu suratku ini. Cobalah kini turut mendengar, Sinta, sopirku lelaki setengah baya bertopi koboi mulai menimpali lagu itu. Kamu turut mende- ngar, kan? Lirik bahasa Jepang dari radio ia timpali dengan lirik bahasa Inggris yang entah versi siapa: Rahvayana • 7 I’ll take my Sukiyaki And made my Sukiyaki he only Queen to be seen in old Nagasaki And from our home We will never roam When I make Sukiyaki mine .... Hmmm ... terdengar aneh. Aku sendiri menimpali suara bahasa Jepang radio SW di ibu kota Mahkota Chakra ini dengan lirik Ing- gris yang entah versi siapa juga, tapi dahulu kudengar kali pertama dari Pak Rianam, guru Fisika SMP-ku: It’s all because of you I’m feeling sad and blue You went away Now my life is just a rainy day I love you so How much you’ll never know You’ve gone away and left me lonely .... Demikianlah di jalanan hidup kami berbeda syair, Sinta. Di ja- lanan itu aku dan sopir taksi