ISSN 2337­9480

WAWASAN KEBANGSAAN SEBAGAI PENCERMINAN NILAI – NILAI DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA

Luh Suryatni Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma E­mail: [email protected]

ABSTRAK: Wawasan kebangsaan yang berdasarkan kepada Pancasila dan UUD 1945 merujuk pada diri dan lingkungannya untuk kelangsungan hidup dan mencerminkan jati dirinya. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk membahas wawasan kebangsaan Indonesia dalam mencerminkan nilai­nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam penelitian ini digunakan metode deskriptif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah telaah pustaka. Dapat disimpulkan bahwa pengamalan nilai­nilai Pancasila berdasarkan wawasan kebangsaan tidak sekedar pada kewajiban hukum saja, melainkan didasarkan pula pada kewajiban moral. Hal ini bermakna bahwa hati nurani masyarakat Indonesia sendiri yang berkewajiban untuk selalu berorientasi kepada nilai Pancasila yaitu: (1) bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (2) memandang setiap manusia sebagai mahkluk yang sama harkat dan derajatnya, (3) mendahulukan persatuan dan kesatuan bangsa, dan (4) segala sesuatu dimusyawarahkan demi tercapainya keadilan dimana masing­masing dapat memiliki apa yang memang menjadi haknya.

Kata kunci: wawasan kebangsaan, nilai­nilai pancasila, kehidupan berbangsa dan bernegara ABSTRACT: National insight of Indonesia which based on Pancasila and the 1945 Constitution refer on self and its environment for the nation’s survival and the national identity. The purpose of this paper is to discuss the national insight of Indonesia in reflecting the values of Pancasila in the life of nation and state. Descriptive method used within this research. Technique for data collection is literature review. The result of the discussion shows that the implementation of Pancasila values based on national insight is not only on legal obligation but also based on moral obligation. This means that Indonesians own conscience is obliged to always be oriented towards the value of Pancasila that is: (1) cautious to God Almighty, (2) looking at every human being as a creature of equal dignity and degree, (3) prioritizing the unity of the nation, and (4) deliberating everything for the sake of justice where everyone can get what they are entitled to. Keyword: national insight, pancasila values, the life of nation and state

PENDAHULUAN perlakuan penjajah Belanda. Benih semangat senasib Latar belakang penulisan ini adalah bahwa suatu dan sepenanggungan yang telah timbul, menjadi bangsa yang besar untuk mampu mencapai kejayaan tekad untuk memerdekakan diri merupakan awal dari dalam pergaulan antara bangsa di dunia, pertama­ semangat kebangsaan. Semangat inilah yang tama harus dapat mewujudkan persatuan dan merupakan modal dari konsepsi atau cara pandang kesatuan bangsanya dengan kokoh dalam wadah satu kebangsaan atau Wawasan Kebangsaan Indonesia. negara dan bangsa tersebut. Persatuan dan kesatuan Wawasan Kebangsaan ini belum sempurna, karena bangsa bukan sesuatu yang take it for granted, tetapi penduduk Nusantara yang menamakan dirinya bangsa harus diperjuangkan dan dibina secara terus menerus. Indonesia belum bernegara dan belum menganut Proses tersebut di Indonesia diawali dengan falsafah tertentu. Baru ketika Undang–Undang Dasar terbentuknya Kesatuan Sriwijaya pada abad VII, Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) kemudian Kerajaan pada abad XIV. yang melandasi NKRI mempertegas bahwa falsafah Surutnya kekuasaan Sriwijaya dan Majapahit, Pancasila merupakan dasar negara dan UUD NRI mengakibatkan tidak terbinanya konsepsi untuk 1945 merupakan hukum dasar (konstitusi). menyatukan seluruh wilayah Nusantara secara Sejak disahkan secara konstitusional pada 18 berlanjut, sehingga berbagai upaya yang dirintis Agustus 1945, Pancasila dapat dikatakan sebagai sebelumnya mengalami kemunduran, terlebih pada dasar (falsafah) negara, pandangan hidup, ideologi masa penjajahan Belanda. nasional, dan pemersatu dalam perikehidupan Kepahitan penjajahan telah menimbulkan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Masalah hikmah bagi penduduk Nusantara, yaitu timbulnya wawasan kebangsaan yang dapat mencerminkan semangat senasib dan sepenanggungan menghadapi nilai–nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan

Jurnal Ilmiah WIDYA Non­Eksakta 46 Volume 1 Nomor 1 September 2018 Wawasan Kebangsaan Sebagai Pencerminan Luh Suryatni, Nilai­NIlai Pancasila dalam Kehidupan 46 ­ 55 Berbangsa dan Bernegara bernegara, sampai saat ini sangat diperlukan untuk dalam kurun waktu yang sangat panjang. Proses menangkal arus globalisasi dengan kemajuan tersebut diawali terbentuknya dengan Kesatuan teknologi dan informasi yang dapat mengancam Sriwijaya pada abad ke VII kemudian Kerajaan kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Tujuan Majapahit pada abad ke XIV, melalui perkembangan penulisan ini adalah untuk membahas wawasan armada niaga dan perluasan perdagangan, pertukaran kebangsaan Indonesia yang mencerminkan nilai–nilai kebudayaan dan hubungan keagamaan. Kesatuan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sriwijaya telah mampu memperluas pengaruhnya, yang meliputi wilayah perairan dan daratan Nusantara yang luas, ke arah persatuan dan kesatuan dalam METODOLOGI PENELITIAN aspek ekonomi dan sosial budaya. Upaya menyatukan Dalam penelitian ini digunakan metode wilayah Nusantara ke arah persatuan dan kesatuan deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan dalam aspek Politik, diungkapkan dalam tekad dengan telaah pustaka. Majapahit yang dinyatakan sebagai Sumpah Palapa Bagi penduduk Nusantara bernama bangsa Indonesia, PEMBAHASAN falsafah bangsa yang merupakan landasan bagi cara pandangnya, terwujud melalui proses sejarah Wawasan Nusantara perjuangan bangsa dan perkembangan budaya dalam Persatuan dan kesatuan bangsa sesuatu harus kurun waktu yang sangat panjang. Proses tersebut diperjuangkan dan dibina secara terus menerus. diawali terbentuknya dengan Kesatuan Sriwijaya Beberapa contoh seperti: bangsa Amerika Serikat pada abad ke VII kemudian Kerajaan Majapahit pada masih mengalami perang saudara yang dahsyat abad ke XIV, melalui perkembangan armada niaga setelah kurang lebih 100 tahun merdeka. Demikian dan perluasan perdagangan, pertukaran kebudayaan pula dengan bangsa Jepang dipersatukan melalui dan hubungan keagamaan. Kesatuan Sriwijaya telah peperangan antar kerajaan­kerajaan kecil yang mampu memperluas pengaruhnya, yang meliputi berlangsung puluhan tahun. wilayah perairan dan daratan Nusantara yang luas, ke Bertolak dari persatuan dan kesatuan bangsa arah persatuan dan kesatuan dalam aspek ekonomi kokoh tersebut, dan dengan memanfaatkan segenap dan sosial budaya. Upaya menyatukan wilayah potensi dan peluang yang ada, bangsa yang telah Nusantara ke arah persatuan dan kesatuan dalam bernegara berupaya dengan gigih, secara terpadu aspek Politik, diungkapkan dalam tekad Majapahit mencapai tujuan nasionalnya. Bangsa yang memiliki yang dinyatakan sebagai Sumpah Palapa yang persatuan dan kesatuan dengan kokoh dan berjuang dikemukakan oleh Mahapatih Gajah Mada. secara kompak, terpadu, serta pandai memanfaatkan Kemudian setelah Majapahit berhasil menyatukan segenap potensi dan peluang, mampu mengatasi daerah­daerah di luar Jawa Dwipa menjadi Patih kendala, dapat menjadi bangsa yang maju dan Dwipantara atau Nusantara. Pada zamannya berwibawa dalam pergaulan antar bangsa. Sebaliknya merupakan visi globalisasi Majapahit, yaitu meskipun bangsa yang tidak dapat mempertahankan persatuan pusat Kerajaan berada di Pulau Jawa (Jawa Dwipa), dan kesatuannya, kehidupan nasionalnya akan namun Gajah Mada bertekad menyatukan seluruh diwarnai dengan berbagai konflik, dan bentrokan wilayah Nusantara (pulau­pulau yang berada di luar fisik yang berkepanjangan serta dapat mengakibatkan pulau Jawa) dalam satu kesatuan, satu kehendak dan penderitaan dan kesengsaraan rakyat, seperti yang satu jiwa sebagaimana dalam kutipan berikut: terjadi di beberapa negara di Afrika dan Timur Tengah. “Sumpah Palapa adalah pernyataan sumpah yang diucapkan Gajah Mada pada upacara pengangkatannya menjadi Patih Amangkubhumi Majapahit, tahun 1258 Saka Proses Pembentukan Wawasan Kebangsaan (1336 M). Sumpah Palapa ini ditemukan pada teks Jawa Indonesia Pertengahan Pararaton yang berbunyi: Sira Gajah Mada Bagi penduduk Nusantara bernama bangsa Patih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Indonesia, falsafah bangsa yang merupakan landasan Mada: “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, bagi cara pandangnya, terwujud melalui proses lamun kalah ring Gurun, ring Serang, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang Dompo, ring , Sunda, sejarah perjuangan bangsa dan perkembangan budaya Tumasik, samana isun amukti palapa”. Gajah Mada Patih

Jurnal Ilmiah WIDYA Non­Eksakta 47 Volume 1 Nomor 1 September 2018 Wawasan Kebangsaan Sebagai Pencerminan Luh Suryatni, Nilai­NIlai Pancasila dalam Kehidupan 46 ­ 55 Berbangsa dan Bernegara

Amangkubumi Kerajaan Majapahit tidak akan melepaskan cengkeraman kedua kaki Burung Garuda. Burung puasa. Gajah Mada berucap: “Jika telah mengalahkan Garuda dalam mitologi Hindu adalah kendaraan Nusantara, [baru] saya akan melepaskan puasa (tidak lagi Dewa Wisnu yang sekarang telah diangkat oleh berpuasa). Jika telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, bangsa Indonesia sebagai sesanti dalam Tumasik, [baru] saya akan melepaskan puasa). Dari naskah penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, ini dapat diketahui bahwa ketika Gajah Mada diangkat berbangsa dan bernegara. sebagai Mahapatih Majapahit, sebagian wilayah Nusantara yang disebutkan di dalam sumpahnya belum dikuasai Surutnya kekuasaan Sriwijaya dan Majapahit, Majapahit. Wilayah tersebut yaitu: Gurun (Nusa Penida), mengakibatkan tidak terbinanya konsepsi untuk Seran (Seram), Tanjung Pura (Kerajaan Tanjungpura, menyatukan seluruh wilayah Nusantara secara Ketapang, Barat), Haru (Sumatera Utara, berlanjut, sehingga berbagai upaya yang dirintis kemungkinan merujuk kepada Kerajaan Karo), Pahang (Pahang di Semenanjung Melayu), Dompo (sebuah daerah sebelumnya mengalami kemunduran. Rapuhnya di pulau Sumbawa), Bali (Kerajaan Bali), Sunda (Kerajaan pusat­pusat budaya tersebut, diikuti oleh munculnya Sunda), Palembang (Kerajaan Sriwijaya), dan Tumasik pusat­pusat budaya barat yang telah menyerap ilmu (Singapura).” (Sekretariat Jendral MPR RI, 2012 : 151) pengetahuan dan teknologi, serta falsafah Timur Pada saat itu belum timbul rasa kebangsaan, melalui proses sejarah disebut Renaissance. yang ada adalah semangat bernegara, pada Meningkatnya kekuatan Barat dan kemunduran kenyataannya terdiri dari beberapa kerajaan kecil. budaya Timur, telah menyebabkan timbulnya Rumusan falsafah negara belum jelas, konsepsi cara keinginan kolonialis dan imperalis Barat. Kejayaan pandang belum ada, yang ada berupa slogan­slogan Kolonialis Belanda telah mempercepat proses seperti yang ditulis oleh Mpu Tantular Bhineka kemerosotan budaya Nusantara, menyebabkan Tunggal Ika. Bunyi lengkap dari ungkapan Bhinneka kerajaan­kerajaan Nusantara berada di bawah Tunggal Ika dapat ditemukan dalam Kitab Sutasoma belenggu penjajahan Belanda selama tiga setengah ditulis oleh Mpu Tantular pada abad XIV di masa abad. Pada sisi lain kepahitan penjajahan telah Kerajaan Majapahit. Dalam kitab tersebut Mpu menimbulkan hikmah bagi penduduk Nusantara, Tantular menulis: yaitu timbulnya semangat senasib dan sepenanggungan menghadapi perlakuan penjajah “Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa, Belanda. Benih semangat senasib dan Bhinniki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka sepenanggungan itu telah timbul dan menjadi tekad ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka untuk memerdekakan diri merupakan awal dari tunggal ika tan hana dharma mangrwa” (Bahwa semangat kebangsaan, benih semangat ini telah agama Buddha dan Siwa (Hindu) merupakan zat yang dipupuk dalam persemaian sistem pendidikan berbeda, tetapi nilai­nilai kebenaran Jina (Buddha) Belanda, melalui pelajar dan mahasiswa/cendikiawan dan Siwa adalah tunggal. Terpecah belah, tetapi satu pribumi pada saat itu Semangat Kebangsaan jua, artinya tak ada dharma yang mendua (Sekretariat penduduk Nusantara telah mencuat menjadi semangat Jendral MPR RI,2012: 181). kemerdekaan pada tanggal 20 Mei tahun 1908 dalam Sumpah Palapa kemudian mengilhami para wadah Organisasi Boedi Oetomo, yang sekarang founding fathers kita untuk menggali kembali, disebut Kebangkitan Nasional. menggunakan dan memelihara visi Nusantara, Semangat inilah yang merupakan modal dari bersatu dalam Wawasan Nusantara dengan sesanti konsepsi atau cara pandang kebangsaan atau Bhinneka Tunggal Ika yang mengandung arti Wawasan Kebangsaan Indonesia yang dicetuskan beragam, tetapi sejatinya satu, seharusnya berada dalam Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober dalam satu wadah. Kemudian tulisan Mpu Tantular tahun 1928, “Satu nusa, satu bangsa, dan menjunjung tersebut oleh para pendiri bangsa diberikan tinggi bahasa nasional Indonesia,” di mana penafsiran baru karena dinilai relevan dengan dikumandangkan lagu kebangsaan Indonesia Raya, keperluan strategis bangunan Indonesia merdeka serta dikibarkan bendera nasional Sang Saka Merah yang terdiri dari beragam agama, kepercayaan, Putih. Wawasan Kebangsaan belum sempurna, karena ideologi politik, etnis, bahasa, dan budaya. Dasar penduduk Nusantara yang menamakan dirinya bangsa pemikiran tersebut yang menjadikan semboyan Indonesia belum bernegara dan belum menganut keramat ini terpampang melengkung dalam

Jurnal Ilmiah WIDYA Non­Eksakta 48 Volume 1 Nomor 1 September 2018 Wawasan Kebangsaan Sebagai Pencerminan Luh Suryatni, Nilai­NIlai Pancasila dalam Kehidupan 46 ­ 55 Berbangsa dan Bernegara falsafah tertentu. Namun demikian Wawasan bertanah air satu, berbangsa satu, dan menjunjung Kebangsaan ini yang tidak mendasarkan pada bahasa persatuan, yaitu Indonesia. Tekad bersatu ini kesamaan, etnis (suku bangsa), tetapi mendasarkan kemudian dinyatakan secara politik sebagai bangsa pada satu tekad untuk menjadi bangsa yang merdeka yang merdeka dan berdaulat dalam Proklamasi 17 dan berdaulat dalam rangka mencapai cita­cita Agustus 1945. Kemudian keesokan harinya tepatnya bersama telah terwujud melalui proses sejarah dan pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan budaya, merupakan modal dasar bagi terwujudnya Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidang, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui antara lain mengesahkan Pancasila sebagai dasar Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. negara dan UUD NRI 1945 sebagai landasan dasar Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia (konstitusi). (UUD NRI) 1945 yang dirumuskan dan disyahkan melandasi NKRI pada tanggal 18 Agustus tahun 1945 “Dalam sejarah perjalanan negara Indonesia telah terjadi pergolakan dan pemberontakan sebagai akibat dari telah mempertegas bahwa falsafah Pancasila ketidaksiapan masyarakat dalam menghormati perbedaan merupakan dasar negara dan UUD NRI 1945 pendapat dan menerima kemajemukan, penyalahgunaan merupakan hukum dasar (Konstitusi). kekuasaan serta tidak terselesaikannya perbedaan pendapat di antara pemimpin bangsa. Hal tersebut telah melahirkan Sejak disahkan secara konstitusional pada 18 ketidakadilan, konflik vertikal antara pusat dan daerah Agustus 1945, Pancasila dapat dikatakan sebagai maupun konflik horizontal antar berbagai unsur dasar (falsafah) negara, pandangan hidup, ideologi masyarakat, pertentangan ideologi dan agama, kemiskinan nasional, dan pemersatu dalam perikehidupan struktural, kesenjangan sosial­ dan lain­lain.” (Sekretariat Jendral MPR RI, 2012:126 ­ 127) kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Secara ringkas, Pancasila adalah dasar statis yang NKRI dalam proses berikutnya telah mengalami mempersatukan sekaligus Bintang Penuntun pasang surut, bahkan mengalami saat­saat yang kritis (Leitstar) yang dinamis, mengarahkan bangsa dalam seperti perang kemerdekaan I dan II (1945­1949) mencapai tujuannya. Dalam posisinya seperti itu, menghadapi agresi militer Belanda, pemberontakan Pancasila merupakan sumber jati diri, kepribadian, Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun tahun moralitas, dan haluan keselamatan bangsa. Dengan 1948, Pemberontakan DI/TII tahun 1949­1965 pem­ demikian, Negara Indonesia memiliki landasan berontakan separatis/kedaerahan seperti Republik moralitas dan haluan kebangsaan yang jelas dan Selatan (RMS) tahun 1950, Pemerintahan visioner sebagai suatu pangkaltolak dan tujuan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Per­ pengharapan yang penting bagi keberlangsungan dan juangan Rakyat Semesta (PERMESTA) tahun 1958­ kejayaan bangsa. Soekarno dalam pidatonya di 1960 dan terakhir adalah pemberontakan G.30 S/PKI Perserikatan Bangsa–Bangsa (PBB), pada 30 pada tahun 1965. Dalam aspek politikpun bangsa September 1960, yang memperkenalkan Pancasila Indonesia telah mengalami saat kritis, terutama dalam kepada dunia, dan mengingatkan pentingnya periode liberal antara tahun 1950­1959 yang telah konsepsi serta cita­cita bagi keberlangsungan bangsa: menyebabkan terkotak­kotaknya bangsa Indonesia dalam sistem multi partai (36 Parpol) yang saling “Arus sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa semua cakar­mencakar satu sama lain. Kemudian dalam bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita­cita. Jika mereka tidak memilikinya atau jika konsepsi dan cita­cita periode Demokrasi Terpimpin antara tahun 1956­ itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu adalah 1959 telah terjadi proses disintegrasi bangsa yang dalam bahaya”, (Soekarno, 1989: 64) yang dikutip oleh sangat membahayakan eksistensi bangsa dan NKRI. Yudi Latif (2015:42). Pembangunan nasional hampir sama sekali tidak berjalan sebagaimana mestinya, sehingga dapat Wawasan Kebangsaan Sebagai Pencerminan mengancam stabilitas negara. Nilai–Nilai Pancasila Kesadaran kebangsaan yang mengkristal yang Keadaan tersebut merupakan suatu bukti bahwa lahir dari rasa senasib dan sepenanggungan, akibat rambu­rambu kehidupan bangsa Indonesia dalam penjajahan, telah berhasil membentuk wawasan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berupa kebangsaan Indonesia seperti yang tertuang dalam Pancasila, UUD NRI 1945 dan “Wawasan Sumpah Pemuda pada tahun 1928, yaitu tekad Kebangsaan” yang bersifat sederhana itu belumlah

Jurnal Ilmiah WIDYA Non­Eksakta 49 Volume 1 Nomor 1 September 2018 Wawasan Kebangsaan Sebagai Pencerminan Luh Suryatni, Nilai­NIlai Pancasila dalam Kehidupan 46 ­ 55 Berbangsa dan Bernegara cukup. Belajar dari pengalaman sejarah bangsa Wawasan Kebangsaan berakar pada rasa Indonesia maupun sejarah perjuangan bangsa lain, kebangsaan yang tumbuh karena kebersamaan dalam dalam rangka memperkokoh persatuan dan kesatuan proses sejarah, cita­cita dan perjuangan. Rasa bangsa, serta perlunya kesatuan pola pikir, pola sikap kebangsaan yang emosional itu kemudian dan pola tindak bangsa dalam rangka mencapai dikembangkan secara rasional sebagai satu paham tujuan nasionalnya, maka diperlukan adanya kebangsaan tertentu, disesuaikan dengan ruang Wawasan Nasional Indonesia yang tidak hanya wilayah tempatnya bermukim dan lingkungan menyangkut aspek kesadaran berbangsa saja. Tetapi hidupnya, sehingga mempunyai arti geopolitis dan juga kesadaran bernegara yang meliputi seluruh antropologis kultural. Rasa kebangsaan dan paham aspek kehidupan nasional, yang terdiri dari: Ideologi, kebangsaan akan melahirkan semangat kebangsaan, Politik, Ekonomi, Sosial­Budaya, Pertahanan, dan yaitu motivasi dan dorongan jiwa untuk berjuang Keamanan (IPOLEKSOSBUD HANKAM) baik itu mencapai cita­cita dan menghadapi tantangan dengan wawasan kebangsaan, Wawasan Pemerintahan kekuatan bangsa sendiri. maupun Wawasan Kewilayahan. Ketiga wawasan ini yang menjiwai Wawasan Nusantara. “Paham kebangsaan saja tidak cukup untuk mewujudkan semangat kebangsaan, maka perlu dilandasi oleh rasa Wawasan Nusantara sebagai Wawasan Nasional kebangsaan, pada abad XIII mengembangkan wawasan Republik Indonesia atau konsepsi cara pandang untuk mempersatukan seluruh pulau­pulau Indonesia di bangsa dan negara Indonesia tentang diri dan bawah satu kekuasaan pemerintah. Dalam sejarah wawasan itu dikenal sebagai Cakrawala Mandala Dwipantara” lingkungannya yang dijadikan doktrin dasar (Marwati Djoened Poesponegoro,1990:50). nasional, berdasarkan falsafah Pancasila dan UUD NRI 1945 (berisi cita­cita dan tujuan nasional Satu abad kemudian gagasan itu secara fisik Indonesia) yaitu ideologi bangsa Indonesia, dengan diwujudkan oleh Kerajaan Majapahit di bawah latar belakang sejarah, budaya, geografis dan. pemerintahan Hayam Wuruk, yang menjadikan harapan masa depan, melahirkan kepentingan­ Majapahit satu Negara Nusantara. Namun demikian, kepentingan nasional dengan eksistensinya, karena konsepsi kebangsaannnya belum jelas, maka pemekaran dan ekspresi di tengah­tengah lingkungan­ akhirnya runtuh karena tidak mampu menghadapi nya berdasarkan asas kesatuan dibidang kewilayahan tantangan dari luar. dan asas kesatuan dibidang kehidupan berbangsa dan Pada tanggal 28 Oktober 1928 para pemuda bernegara. Dalam pengimplementasian Wawasan Indonesia dapat menyepakati konsepsi Nusantara sangat ditentukan oleh kepribadian bangsa, kebangsaannya, yaitu kebangsaan yang didukung di mana sekelompok manusia yang bermukim dalam oleh satu bahasa dan satu tanah air. Konsepsi suatu wlayah tertentu membentuk peradaban tertentu. kebangsaan tahun 1928 itu setelah melalui Proses kehidupan dalam peradaban itu mengembang­ perjuangan kemerdekaan dan pahit getirnya kan kelompok manusia tersebut menjadi satu bangsa, mempertahankan kemerdekaan, persatuan dan terus tumbuh dan berjaya. Kekuatan dan ke­ kesatuan bangsa, melahirkan Wawasan Kebangsaan langsungan hidup bangsa itu sangat ditentukan oleh lebih konkrit, yang tertuang dalam Garis­Garis Besar kekokohan tali pengikatnya, yaitu nilai­nilai luhur Haluan Negara (GBHN) tahun 1973 dikenal sebagai yang menjadikan kelompok itu satu bangsa atau Wawasan Nusantara, yaitu satu bangsa, satu bahasa Wawasan Kebangsaan yang dihayati oleh rakyat dan satu tanah air, dalam satu kesatuan politik, bangsa tersebut. Wawasan Kebangsaan membentuk ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan. orientasi, persepsi, sikap dan perilaku yang dihayati Sejarah bangsa Indonesia adalah sebuah bersama oleh seluruh rakyat bangsa itu. “Wawasan perjuangan panjang. Dalam perjalanan sejarah Kebangsaan memiliki tiga dimensi harus dihayati panjang itu bangsa Indonesia telah menampilkan seluruhnya agar tumbuh kesadaran berbangsa yang banyak perjuangan yang secara bertahap menuntun bulat. Ketiga dimensi kebangsaan itu adalah rasa bangsa Indonesia mencapai cita­citanya. Dari kebangsaan, paham kebangsaan dan semangat mewujudkan kenegaraan Nusantara, melahirkan kebangsaan.” (LB Moerdani, 1998:10) kebangsaan Indonesia merdeka, bersatu dan berdaulat atas seluruh Kepulauan Indonesia berdasarkan

Jurnal Ilmiah WIDYA Non­Eksakta 50 Volume 1 Nomor 1 September 2018 Wawasan Kebangsaan Sebagai Pencerminan Luh Suryatni, Nilai­NIlai Pancasila dalam Kehidupan 46 ­ 55 Berbangsa dan Bernegara pancasila dan UUD NRI 1945. Untuk mewujudkan Pada hakikatnya aktualisasi sikap dasar budaya masyarakat yang adil dan makmur dari kondisi bangsa Indonesia itu dalam kehidupan sehari­hari negara yang porak­poranda karena penjajahan yang adalah sikap yang menjunjung tinggi persatuan, panjang dan perang kemerdekaan yang bersifat keterpaduan, keseimbangan dan keserasian dalam semesta, memerlukan waktu dua sampai tiga generasi kehidupan insani, masyarakat, bangsa dan negara, untuk meletakkan landasan kuat. Satu generasi untuk dan dalam hubungannya dengan Sang Pencipta serta tumbuh atas kekuatan sendiri, dan satu generasi untuk alam lingkungannya. Dalam hubungan dengan nilai­ berkembang sebagai kekuatan berdaya tahan tinggi. nilai yang terkandung di dalam Pancasila, pembukaan Perjalanan panjang itu memerlukan UUD NRI 1945 dan dalam pribadi bangsa Indonesia, kesinambungan tekad dan cita­cita perjuangan, agar yang perlu diperhatikan ialah nilai­nilai yang telah tidak berhenti di tengah jalan atau dibelokkan ke arah disepakati oleh bangsa Indonesia sehingga lain yang menyebabkan cita­cita perjuangan itu tidak mempunyai kekuatan mengikat lebih tinggi dan nilai­ dapat diwujudkan. Untuk itu diperlukan perjuangan­ nilai yang sedang hidup berkembang dalam ma­ perjuangan yang setia kepada cita­cita perjuangan syarakat yang masih memerlukan kristalisasi. bangsa. Dalam hal ini diperlukan penghayatan Meskipun di lihat dari kekuatan mengikatnya, norma­ Wawasan Kejuangan sebagaimana diteladankan oleh norma hukum mempunyai kekuatan lebih tinggi dan Panglima Besar Sudirman selama Perang sanksi yang lebih kuat (dapat memaksakan Kemerdekaan. Agar dapat ditumbuhkan kader­kader pelaksanaannya) dan jika dilihat dari segi bangsa yang setia kepada Pancasila dan cita­cita kemanfaatan, norma hukum dan bukan norma hukum perjuangan bangsa, akan membelanya tanpa kenal mempunyai pengaruh timbal­balik yang saling menyerah. Kesetiaan terhadap Pancasila dan cita­cita mengisi. Oleh sebab itu pengamalan Pancasila perjuangan bangsa akan dapat dijamin dan terus sebagai pandangan hidup bangsa berarti digelorakan apabila kader­kader bangsa itu melaksanakan Pancasila dalam hidup sehari­hari. Hal menghayati budaya bangsa sampai ke akar­akarnya. yang tidak boleh bertentangan dengan pengamalan “Kelangsungan hidup suatu bangsa sangat ditentukan kehidupan kenegaraan dan hidup kemasyarakatan oleh kelestarian sikap dasar budaya atau kepribadian dalam negara. Jadi harus serasi dan harmonis, karena budaya bangsa itu, juga sering disebut sebagai corak dan ragam dalam kehidupan sehari­hari yang cultural identity. Local genius dan substratum bersifat jamak (pluralistis), bermacam ragam maka kultural orginal” (A.M.W Pranarka,1985: 40). sukar dibuat peraturan­peraturan secara terperinci dan menyeluruh sebagaimana peraturan perundangan Sikap dasar budaya adalah sikap asli yang negara. Oleh sebab itu pengamalannya diserahkan berkembang dalam kebudayan dari peradaban suatu kepada kesadaran dari masyarakat itu sendiri terhadap bangsa menjadi ciri hakiki bangsa tersebut. Bagi Pancasila, asal tidak bertentangan dengan norma­ bangsa Indonesia, sikap dasar budaya yang dapat norma yang berlaku (norma hukum, norma agama, ditelusuri dalam sejarah bangsa Indonesia sejak norma kesusilaan, norma kesopanan dan adat jaman kuno adalah sikap kritis didukung oleh daya kebiasaan yang ada). sintesa dan daya akulturasi yang kuat. Dengan kekuatan sikap dasar budaya itu, bangsa Indonesia Pengamalan Pancasila sebagai dasar negara yang wilayahnya berada di jalan silang lalu lintas disebut pengamalan Pancasila secara objektif. dunia paling ramai, sejak berabad­abad lalu dapat Pengamalan Pancasila sebagai pandangan hidup tetap tegar mempertahankan jatidirinya meskipun bangsa disebut pengamalan secara subyektif yang pengaruh­pengaruh asing datang silih berganti. meliputi bidang yang luas (ekonomi, politik, sosial Dengan demikian bangsa Indonesia selalu dapat budaya, hankam, agama dan kepercayaan terhadap memanfaatkan yang baik dan membuang yang tidak Tuhan Yang Maha Esa) dan meliputi juga lingkungan sesuai, sehingga dapat menjadi lebih kuat dan maju hidup pribadi, hidup keluarga dan hidup karena nilai–nilai pancasila sebagai filterisasi kemasyarakatan. Kesemuanya harus di pertanggung (penyaring) terhadap globalisasi. jawabkan secara objektif, filosofis, sosiologis dan secara moral dan etis sesuai dengan keadaan dan Pencerminan Nilai–Nilai Pancasila kapan dilaksanakan, ditentukan waktu dan tempat,

Jurnal Ilmiah WIDYA Non­Eksakta 51 Volume 1 Nomor 1 September 2018 Wawasan Kebangsaan Sebagai Pencerminan Luh Suryatni, Nilai­NIlai Pancasila dalam Kehidupan 46 ­ 55 Berbangsa dan Bernegara baik sendiri maupun bersama­sama. Pengamalan bersatu sebagai satu keluarga bangsa karena adanya secara subyektif inilah yang pertama (primer), bahkan persamaan nasib, cita­cita, dan karena berasal dalam yang menentukan. artinya pengamalan obyektif ikatan wilayah atau wilayah yang sama. Kesadaran hanya dapat berlangsung dengan baik apabila terlebih demikian melahirkan paham nasionalisme, paham dahulu pengamalan subyektif Pancasila sudah dapat kebangsaan. terlaksana dengan baik. Untuk terwujudnya pengamalan subyektif yang baik, maka secara “Paham kebangsaan melahirkan semangat untuk keluar melepaskan diri dari belenggu penjajahan yang telah bertahap sebaiknya ditempuh melalui pendidikan. menciptakan nasib sebagai bangsa yang terjajah, teraniaya Sebab melalui pendidikan ini, kepada para subyek dan hidup dalam kemiskinan. Selanjutnya nasionalisme (manusia­manusianya) akan dapat diberikan memunculkan semangat untuk mendirikan negara bangsa pengertian dan pengetahuan yang tepat mengenai arti dalam merealisasikan cita­cita, yaitu merdeka dan dan makna nilai­nilai Pancasila. Sehingga dengan tercapainya masyarakat yang adil dan makmur (Dwi Winarno, 2006, 41). Selanjutnya Wawasan Kebangsaan pengetahuannya yang tepat atau yang baik, dapat adalah cara pandang atau tanggapan indrawi suatu bangsa diharapkan tumbuh kesadaran. Kemudian dari rasa yang merasa kehidupan senasib dan seperjuangan dalam kesadaran diharapkan adanya rasa ketaatan dan suatu wilayah atau negara tertentu yang berlandaskan kemampuan untuk mengamalkan nilai­nilai Pancasila kepada sejarah perkembangan kelahiran dan pertumbuhannya, dengan meyakini bersama bahwa mereka dalam kenyataan hidup sehari­hari. melandaskan kehidupannya kepada dasar­dasar fundamental yang secara bersama dijadikan sebagai dasar­ “Sebagai dasar negara dan sebagai pandangan hidup, dasar utama dalam menjalani kehidupan yang merdeka, pancasila mengandung nilai–nilai luhur yang harus di berdaulat dan bermartabat dalam kehidupan serta hayati dan di pahami oleh seluruh warga negara Indonesia pergaulan dengan bangsa­bangsa lain.” (Wirman Burhan, dalam hidup dan kehidupan berbangsa, bernegara.” 2016:44). (Purwito Adi, 2016 : 39) Jadi wawasan kebangsaan adalah cara bangsa Pandangan tentang perlunya penghayatan sikap Indonesia terhadap diri dan lingkungannya untuk dasar budaya bangsa sendiri, serta mendekati seluruh kelangsungan hidup bangsa, yang mencerminkan jati masalah kebangsaan dan kenegaraan dari pandangan diri bangsa berdasarkan pada Pancasila dan UUD kebudayaan disebut Wawasan Kebudayaan. Dengan NRI 1945. Dengan demikian Wawasan Nusantara dan Wawasan Kebudayaan cakrawala pandang menjadi Wawasan Kebangsaan pada hakekatnya mengandung luas dan menyeluruh, jangkauan pandang menjadi cita­cita yang sama yaitu tujuan untuk mewujudkan jauh menembus masa depan dan berakar jauh dalam kelangsungan hidup bangsa dalam rangka menjaga sejarah, serta sasaran pandang menjadi terarah pada keutuhan NKRI. Wawasan kebangsaan Indonesia hakikatnya dan konteks masalah yang sesungguhnya. tidak boleh menurun, karena negara negara Indonesia Sikap hidup yang ber­Wawasan Kebudayaan ini hidup di tengah­tengah masyarakat dunia yakni adalah ajaran Ki Hajar Dewantara, pendiri Taman masyarakat bangsa­bangsa. Pembukaan UUD NRI Siswa, yang mempunyai sumbangan besar bagi 1945 memberi amanat untuk ikut melaksanakan penyiapan kader­kader bangsa dalam pengerakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perjuangan kebangsaan dan kemerdekaan bangsa perdamaian abadi dan Keadilan Sosial. Di lain pihak Indonesia. Para pendiri negara (the founding fathers) Wawasan Kebangsaan tidak terpengaruh dalam menyadari bahwa negara Indonesia yang hendak perubahan dunia, karena tanpa Wawasan Kebangsaan didirikan haruslah mampu berada di atas semua Indonesia akan kehilangan jati diri. Akibat kemajuan­ kelompok dan golongan yang beragam. Hal ini kemajuan yang dicapai umat manusia dalam Ilmu disebabkan Indonesia sebagai negara bekas jajahan Pengetahuan, Teknologi, dan Seni (IPTEKSEN) Belanda merupakan negara yang terdiri dari berbagai khususnya di bidang komunikasi dan informasi, dunia suku bangsa, berbagai ras dengan wilayah yang terasa makin kecil dan sempit, semua bangsa saling tersebar di nusantara. Negara Indonesia merdeka membutuhkan dan masalah­masalah apapun makin yang akan didirikan hendaknya negara yang dapat erat jalinannya yang satu dengan yang lain. Sehingga mengayomi seluruh rakyat tanpa memandang suku, apa pun yang dilakukan dan diusahakan sebagai agama, ras, bahasa, daerah, dan golongan­golongan bangsa, semua itu hendaknya selalu dalam kerangka tertentu. Hal yang diharapkan adalah keinginan hidup Wawasan Kebangsaan Indonesia.

Jurnal Ilmiah WIDYA Non­Eksakta 52 Volume 1 Nomor 1 September 2018 Wawasan Kebangsaan Sebagai Pencerminan Luh Suryatni, Nilai­NIlai Pancasila dalam Kehidupan 46 ­ 55 Berbangsa dan Bernegara

Situasi ideal dalam pengamalan Pancasila yang yang berlaku dan bermanfaat bagi masyarakat, serta dapat dicapai adalah bagaimana tidak hanya sekedar nilai yuridis yang bertumpu pada ketentuan didasarkan pada kewajiban hukum saja, melainkan perundang­undangan yang menjamin ketertiban dan juga didasarkan pada kewajiban moral atau etis yang kepastian hukum. Hal itu disertai dengan adanya mengandung makna bahwa hati nuranilah yang kemauan dan kemampuan untuk mengungkapkan mewajibkan diri kita masing­masing untuk selalu kebenaran tentang kejadian masa lampau, sesuai berorientasi kepada nilai­nilai Pancasila, yaitu dengan ketentuan hukum dan perundang­undangan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa menurut yang berlaku, dan pengakuan terhadap sikap dan agama/kepercayaan masing­masing, memandang perilaku saling memaafkan dalam rangka rekonsiliasi sesama manusia sebagai makhluk yang sama harkat nasional. dan derajatnya, mendahulukan persatuan dan 5. Membaiknya perekonomian nasional, terutama kesatuan masyarakat/bangsa, segala sesuatu perekonomian rakyat, sehingga beban ekonomi dimusyawarahkan demi tercapainya keadilan di mana rakyat dan pengangguran dapat dikurangi, yang masing­masing dapat memiliki apa yang memang kemudian mendorong rasa optimis dan kegairahan menjadi haknya. dalam perekonomian. 6. Terwujudnya sistem politik yang demokratis yang "Sebagai indentitas dan kepribadian bangsa Indonesia, dapat melahirkan penyelesaian pemimpin yang Pancasila adalah sumber metodologi, inspirasi, pedoman berperilaku sekaligus standar pembangunan.” (Ambiro Puji dipercaya oleh masyarakat. Asmaroini, 2016:447). 7. Terwujudnya proses peralihan kekuasaan secara demokrasi, tertib, dan damai. Pada realita kehidupan ketatanegaraan yang 8. Terwujudnya demokrasi yang menjamin hak dan selalu menjadi masalah adalah pengamalan nilai–nilai kewajiban masyarakat untuk terlibat dalam proses Pancasila secara subjektif, oleh karena berbagai pengambilan keputusan politik secara bebas dan permasalahan bangsa yang dihadapi saat ini harus bertanggung jawab sehingga menumbuhkan diselesaikan dengan tuntas melalui proses rekonsiliasi kesadaran untuk memantapkan persatuan bangsa. agar tercipta persatuan dan kesatuan nasional yang 9. Terselenggaranya otonomi daerah secara adil, yang mantap. memberikan kewenangan kepada daerah untuk Dalam hal ini, diperlukan kondisi sebagai mergelola daerahnya sendiri, dengan tetap berikut: berwawasan pada persatuan dan kesatuan nasional. 1. Terwujudnya nilai­nilai agama dan nilai­nilai 10. Pulihnya kepercayaan masyarakat kepada budaya bangsa sebagai sumber etika dan moral untuk penyelengara negara dan antara sesama masyarakat berbuat baik dan menghindari perbuatan tercela, serta sehingga dapat menjadi landasan untuk kerukunan perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan hak dalam hidup bernegara. asasi manusia. Nilai­nilai agama dan nilai­nilai 11. Peningkatan profesionalisme dan pulihnya budaya bangsa selalu berpihak kepada kebenaran dan kembali: Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian menganjurkan untuk memberi maaf kepada orang Negara Republik Indonesia demi terciptanya rasa yang telah bertobat dari kesalahannya. aman dan tertib di masyarakat. 2. Terwujudnya sila Persatuan Indonesia yang 12. Terbentuknya sumber daya manusia Indonesia merupakan sila ketiga dari Pancasila sebagai landasan yang berkualitas dan mampu bekerja sama serta untuk mem­persatukan bangsa. berdaya saing untuk memperoleh manfaat positif dari 3. Terwujudnya penyelenggaraan negara yang mampu globalisasi (Subandi Al Marsudi, 2006:241­242). memahami dan mengelola kemajemukan bangsa Pernyataan ini dipertegas lagi dalam empat pilar secara baik dan adil sehingga dapat terwujud kehidupan berbangsa, dan bernegara (Sekretariat toleransi, kerukunan sosial, kebersamaan, dan Jendral MPR RI, 2012 :104­106) kesetaraan berbangsa. Sebagai upaya untuk menangkal ideologi 4. Tegaknya sistem hukum yang didasarkan pada nilai kelompok radikal dan reaksioner maka yang harus filosofis yang berorientasi pada kebenaran dan dilakukan adalah tidak memberikan kesempatan keadilan, nilai sosial yang berorientasi pada tata nilai (window of opportunity) terhadap munculnya tindakan radikal. Keinginan ini akan tercapai jika

Jurnal Ilmiah WIDYA Non­Eksakta 53 Volume 1 Nomor 1 September 2018 Wawasan Kebangsaan Sebagai Pencerminan Luh Suryatni, Nilai­NIlai Pancasila dalam Kehidupan 46 ­ 55 Berbangsa dan Bernegara faktor­faktor yang menjadi pemicu radikalisme dapat budaya politik jika kewargaan demokratis diminimalkan seperti ketidakadilan sosial, ekonomi, (democratic citizenship) dapat menjamin bukan saja hukum, politik, dan kepentingan elit. hak­hak sipil dan politik setiap individu (individual rights), tetapi juga hak­hak sosial­budaya kelompok “Dalam kaitan ini penanganan kasus korupsi, terutama masyarakat (communitarian rights). “Warga harus yang menjadi perhatian publik, harus segera diselesaikan oleh aparat penegak hukum dengan tetap menjunjung dapat mengalami nilai keadilan dari hak­haknya juga tinggi asas keadilan. Sebab, jika ini tidak dilakukan maka dalam bentuk keamanan sosial dan pengakuan secara persoalan ketidakadilan dalam penanganan korupsi juga timbal balik di antara berbagai bentuk budaya yang sangat berpotensi untuk memicu aksi kelompok radikal.” berbeda dari kehidupan” (Habermas, 1999:119). (Biyanto,2013:152) Jika dipahami dengan baik, multikulturalisme Hal ini penting dijadikan acuan pemerintah dan dapat menjadi solusi dari gejala radikalisme berlatar elit politik agar bahaya laten radikalisme dan belakang perbedaan etnis, budaya, dan agama. Oleh terorisme dapat dicegah, di sisi lain mahasiswa karena itu wawasan kebangsaan yang mencerminkan sebagai bagian dari kekuatan civil society yang telah nilai–nilai Pancasila menjadi sangat penting dalam terbukti kiprahnya dalam sejarah perjalanan bangsa kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, jelas memiliki posisi yang sangat penting. Mahasiswa sebagai perwujudan rasa keadilan bagi seluruh rakyat dapat menjadi kekuatan moral untuk mendesak Indonesia. pemerintah agar bersungguh­sungguh untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance). Kegagalan pemerintah dan elit politik PENUTUP dalam mewujudkan cita­cita luhur bangsa ini sangat Kesimpulan berpotensi melahirkan militansi di kalangan pelaku Dapat disimpulkan bahwa pengamalan nilai­nilai radikalisme. Di samping itu, mahasiswa juga dapat Pancasila berdasarkan wawasan kebangsaan tidak mengambil peran dengan terus mewacanakan tema­ sekedar pada kewajiban hukum saja, melainkan tema yang berkaitan dengan nilai­nilai didasarkan pula pada kewajiban moral. Hal ini berarti kewarganegaraan seputar demokrasi, pluralisme, dan bahwa hati nurani masyarakat Indonesia sendiri yang multikulturalisme. Demokrasi tidak sebatas dipahami berkewajiban untuk selalu berorientasi kepada nilai secara prosedural. Sebab, yang jauh lebih penting Pancasila yaitu: (1) bertakwa kepada Tuhan Yang adalah nilai­nilai substantif yang terkandung dalam Maha Esa, (2) memandang setiap manusia sebagai ajaran demokrasi itu sendiri. mahkluk yang sama harkat dan derajatnya, (3) mendahulukan persatuan dan kesatuan bangsa, dan “Jika hati nurani itu kuat, maka unsur–unsur pengontrol dalam diri mereka penuh dengan sifat–sifat puji baik (4) segala sesuatu dimusyawarahkan demi secara vertikal maupun secara horizontal. Dengan tercapainya keadilan dimana masing­masing dapat demikian akibat yang lebih jauh, mereka tidak akan mudah memiliki apa yang memang menjadi haknya. terperosok kepada perbuatan yang melanggar hukum, sosial, susila dan agama.” (Dwi Yanto, 2016:39) Saran­Saran Multikulturalisme harus diartikan sebagai bentuk Wawasan kebangsaan Indonesia adalah dasar pengakuan terhadap pluralitas budaya yang dalam mencerminkan nilai­nilai Pancasila melalui menumbuhkan kepedulian untuk mengupayakan agar proses pendidikan baik pendidikan informal, formal, kelompok minoritas terintegrasi dalam masyarakat dan nonformal. Melalui proses pendidikan tersebut, dan kelompok mayoritas mau mengakomodasi diharapkan semua masyarakat Indonesia dapat perbedaan kelompok minoritas agar kekhasan memberikan teladan sebagai bangsa yang beradab. identitas mereka tetap diakui. Arah multikulturalisme adalah untuk menciptakan, menjamin, dan DAFTAR PUSTAKA mendorong ruang publik sehingga memungkinkan Ambrio Puji Asmaroini. Implementasi Nilai – Nilai Pancasila beragam komunitas dapat tumbuh dan berkembang bagi Siswa di Era Globalisasi. Citizenship: Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan. Vol.4 No.2, Jakarta. April 2016 sesuai dengan kekhasan masing­masing. Kebangsaan Biyanto. Menumbuhkan Civic Value di Kalangan Mahasiswa multikultural hanya dapat dipertahankan oleh suatu Ikhtiar Menangkal Radikalisme. Jurnal Pertahanan, Volume 3, No. (1). 2013.

Jurnal Ilmiah WIDYA Non­Eksakta 54 Volume 1 Nomor 1 September 2018 Wawasan Kebangsaan Sebagai Pencerminan Luh Suryatni, Nilai­NIlai Pancasila dalam Kehidupan 46 ­ 55 Berbangsa dan Bernegara

Dwi Winarno. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan. Subandi Al Marsudi. Pancasila dan UUD 1945 dalam Paradigma Bumi Aksara. Jakarta. 2006. Reformasi. Raja Grafindo Persero. Jakarta. 2006. Dwi Yanto. Pengamalan Nilai – Nilai Pancasila sebagai TAP MPR RI No. V/MPR/ 2000, Pemantapan Persatuan dan Pandangan Hidup dalam Kehidupan Sehari–Hari. Jurnal Kesatuan Nasional. 2012. Kopertis Wilayah XI. Volume 14 No.25. Kalimantan. April Pranaka,A,M,W. Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila Center 2016. For Strategic and Internasional Studies. Jakarta. 1985. Habermas, J. The Inclusion of The order : Studies in Political Purwito Adi. Pembudayaan Nilai – Nilai Pancasila bagi Theory. The MIT Press. Cabridge. 1999. Masyarakat sebagai Modal Dasar Pertahanan Negara. Marwati Djoeret Poesponegoro. Sejarah Nasional Indonesia. Jurnal Moral Kemasyarakatan. Vol.1. No. 1, Juni 2016. Balai Pustaka. 1990. Wirman Burhan. Pendidikan Kewarganegaraan Pancasila dan Moerdani,L,B. Wawasan Kebangsaan Indonesia Menjawab UUD 1945. STMT Triksakti. Jakarta. 2016. Tantangan Masa Depan. Amanat pada peringatan Hari Yudi Latif. Negara Paripurna : Historisitas, Rasionalitas, dan Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei di Yogyakarta. 1998. Aktualitas Pancasila. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Sekjen MPR RI. Undang Undang Dasar Negara Republik 2015. Indonesia Tahun 1945. Jakarta. 2012. ______. Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Benegara. Jakarta. 2012.

Jurnal Ilmiah WIDYA Non­Eksakta 55 Volume 1 Nomor 1 September 2018