Menyandingkan Ajaran Islam Dan Komunisme: Pemikiran Haji Misbach (1912-1926)

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Menyandingkan Ajaran Islam Dan Komunisme: Pemikiran Haji Misbach (1912-1926) Criksetra: Jurnal Pendidikan Sejarah, Vol. 8, No. 2, 2019 MENYANDINGKAN AJARAN ISLAM DAN KOMUNISME: PEMIKIRAN HAJI MISBACH (1912-1926) Kuswono, Ketut Adi Saputra, dan Ragil Agustono Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Muhammadiyah Metro E-mail: [email protected] PAIRING ISLAMIC TEACHINGS AND COMMUNISM: MISBACH'S HAJJ THOUGHTS (1912-1926) Abstract: The purpose of this study is to describe Haji Misbach's thoughts on Islam and Communism in 1912-1926. Research methods use historical research by analysing sources related to Misbach's thinking. Misbach who juxtaposed between Communism and Islamic teachings had an impact on the emergence of the anti-capitalist movement, various widespread support to fight capitalism, and the independence of the bumiputra people. Haji Misbach made a new thing by raising propaganda through the mass media of Islamic Communism. Islam with Communism has some similarities, one of which is that both are very opposed to oppression and both also fight for freedom. On that basis, Hajj Misbach has the spirit of struggle for the privilege of human rights of workers based on Islam and with the tools of Communism to fight Dutch capitalism. Keywords: Haji Misbach, communism, Islam, capitalism, colonialism Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan pemikiran Haji Misbach mengenai Islam dan Komunis tahun 1912-1926. Metode Penelitian menggunakan penelitian historis dengan menganalisis sumber-sumber yang berkaitan dengan pemikiran Misbach. Misbach yang menyandingkan antara Komunisme dengan ajaran Islam berdampak pada munculnya gerakan anti kapitalisme, berbagai dukungan yang meluas untuk melawan kapitalisme, dan kemandirian rakyat bumiputra. Haji Misbach membuat hal baru dengan memunculkan suatu propaganda melalui media masa yang bersifat Komunisme Islam. Islam dengan Komunisme memiliki beberapa kesamaan salah satunya adalah bahwa keduanya sangat menentang penindasan dan keduanya juga memperjuangkan kebebasan. Atas dasar itulah Haji Misbach memiliki spirit perjuangan untuk kebebasan hak-hak asasi kaum buruh berlandaskan Islam dan dengan alat Komunisme untuk melawan kapitalisme Belanda. Kata Kunci: Haji Misbach, komunisme, Islam, kapitalisme, kolonialisme 58 Criksetra: Jurnal Pendidikan Sejarah, Vol. 8, No. 2, 2019 PENDAHULUAN Aksi protes semakin berkembang Awal abad ke-20 menjadi bagian setelah semakin banyak pemegang lungguh penting dalam sejarah pergerakan di diberikan gaji dan upah dalam bentuk tunai Surakarta. Surakarta merupakan wilayah sebagai ganti atas dihapusnya sistem yang ditetapkan oleh Pemerintah Hindia lungguh, disisi lain perkebunan dan petani Belanda sebagai salah satu Karesidenanan di harus membayar pajak dan sewa tanah Jawa Tengah. Luas Wilayahnya adalah 6,215 kepada bendahara kerajaan (Kosasih, Husin, Km2 dan merupakan daerah Vorstenladen dan Kurnianto, 2012: 2-3). Dihapusnya (Prasetyo, 2018:11). Karesidenan Surakarta sistem lungguh berarti juga menghapus terdiri atas wilayah Kesunanan dan konsep bekel. Para bekel dihapuskan dan Mangkunegaraan. Munculnya aliansi-aliansi kemudian diberikan bumi pituwas yang bergerak dalam bidang politik (seperempat bau tanah) sebagai pendukung menimbulkan gejolak radikalisme yang selama hidupnya, yang kemudian wajib berkembang akibat ketimpangan sosial yang dikembalikan setelah para bekel meninggal dialami masyarakat Surakarta. Sejumlah kepada kelurahan yang dibentuk sebagai kas peraturan pertahanan yang ditetapkan oleh kelurahan. Adanya peraturan tersebut pemerintah kolonial untuk daerah sekaligus memicu adanya aksi protes atas Vorstelanden menjadi semcam politik masukan nilai-nilai kapitalis yang diterapkan kalanisasi masyarakat pribumi sebagai oleh pemerintahan Hindia Belanda. wongcilik dan elit birokrasi. Munculnya Misbach mencoba merespon keadaan gerakan-gerakan radikalisme di Surakarta masyarakat di sekitar wilayah Kasunanan (1850-1920) dilatarbelakangi keinginan Kartasura yang mayoritas memeluk Islam. menentang kebijakan reorganisasi Misbach juga merespon obyek-obyek sosial administrasi dan agraria yang dilakukan lain seperti keberadaan SI Tjokroaminoto dan pemerintah kolonial Belanda di kawasan teman-temannya di SI, keberadaan vorstenlanden yang secara tidak langsung Muhammadiyah, keberadaan golongan- merubah struktur sosial masyarakat, baik golongan radikal sebelum adanya ISDV/PKI berupa perubahan struktur kepemilikan tanah seperti Mas Marco Kartodikromo dengan maupun kelas sosial” Joebagio, H. Indlandsche Journalisten Bond (IJB), dr. 2002:192)“. Tjipto Mangunkusumo dengan Insulinde- nya, hingga berinteraksi dengan kenyataan 59 Criksetra: Jurnal Pendidikan Sejarah, Vol. 8, No. 2, 2019 perpecahan SI menjadi Merah dan SI Putih, Misbach. Ayahnya adalah seorang pejabat lalu akhirnya H. M. Misbach banyak keagamaan selain juga seorang bergumul dengan SI Merah dan PKI pedagang batik yang kaya raya. Hasyim (Hapsari, 2015:17). (2017:18) menyatakan bahwa Misbach Penelitian ini membahahas tentang adalah seorang Jawa yang memiliki nama pemikiran Haji Misbach dikenal tidak hanya kecil Achmad. sebagai seorang Mubaligh, akan tetapi juga Namun, semasa hidupnya ia sempat dikenal sebagai seorang aktifis, politikus beberapa kali berganti nama. Seperti halnya yang sangat disegani pada masanya. Peran kebiasaan orang Jawa, setelah menikah Ia Haji Misbach dalam menyatukan Islam dan pun mengganti namanya menjadi Komunis sangat menarik untuk diteliti. Darmodiprono. Setelah menunaikan ibadah Fokus penelitian ini pada pemikiran Haji haji di Mekkah, Misbach kembali mengubah Misbach dalam menyelaraskan antara ajaran namanya menjadi Haji Mohammad Misbach, Islam dan komunis. Tujuan penelitian ini nama yang ia pakai hingga akhir hidupnya. adalah mendeskripsikan pemikiran Haji Sebutan haji pada masa itu memiliki Misbach mengenai Islam dan Komunis tahun pengaruh sosial keagamaan tertentu bagi 1912-1926. yang menyandangnya. Seseorang yang memiliki gelar haji kerap diidentikkan TINJAUAN PUSTAKA sebagai orang dengan pengetahuan agama Biografi Haji Misbach yang tinggi. Gelar haji yang Ia tambahkan di Haji Mohamad Misbach atau lebih depan namanya membuat Misbach terhomat dikenal dengan Haji Misbach semasa kecil di komunitas santri Kauman. Karena giat bernama Ahmad dan sebagai tradisi Jawa berdakwah dan memiliki pergaulan yang berganti nama setelah menikah menjadi luas, Ia kemudian kerap dipanggil Kyai Haji Darmodiprono (Supariadi, dkk. 2013). Misbach. Misbach bersekolah dipondok Misbach lahir di Kampung Kauman, di pesantren hingga ia dewasa. Namun, depan Keraton Kasunanan tidak jauh Masjid Misbach juga pernah masuk di sekolah Bumi Agung Surakarta. Semasa kecil, dia bernama Putera selama 2 bulan (Suhartono, S., 2011). Ahmad, lalu berganti nama menjadi setelah Haji Misbach memiliki posisi yang menikah. Usai menunaikan ibadah haji, unik dalam sejarah tanah air, namanya sering barulah dia dikenal sebagai Haji Mohamad disandingkan dengan Semaun, Tan Malaka, 60 Criksetra: Jurnal Pendidikan Sejarah, Vol. 8, No. 2, 2019 atau golongan kiri lainnya. Di kalangan menjalankan apa yang telah diwajibkan oleh gerakan Islam, memang namanya nyaris tak agama Islam dan Komunis. Hal ini dapat pernah disebut karena berpaham komunis. dimaknai sebagai wujud keberpihaknnya Menurutnya, Islam dan komunisme tidak terhadap komunis yang sebelumnya selalu harus dipertentangkan, Islam dijauhkan dan disingkirkan oleh seharusnya menjadi agama yang bergerak Tjokroaminoto. untuk melawan penindasan dan Misbach kemudian memilih ketidakadilan. membesarkan PKI dan menjadikan surat Haji Misbach menganggap dari pada kabar yang dia dirikan. Haji bergerak dengan embel-embel Islam, namun Misbach beranggapan agama dan sosialisme pergerakannya sama sekali tidak sama-sama memiliki gerakan revulusioner. “revolusioner” hanya anteng seperti SI Putih Nabi Isa dan Nabi Muhammad merupakan dan Muhammadiyah, lebih baik meniru gerakan Revulusioner dari gerakan lapis komunis yang revulusioner tanpa embel- bawah. Menurut pandangan Misbach orang embel agama. Ketika disiplin parta SI komunis yang ingin melenyapkan Islam diterapkan, Misbach memiliki dua pilihan, bukan komunis sejati. Begitu pula orang bergabung dengan SI atau keluar dan Islam yang tidak setuju dengan adanya membesarkan PKI. Menurut Misbach komunis bukan muslim sejati. Misbach (2016:xxii-xxiii) menyatakan bahwa: berkeyakinan bahwa teori pembebasan dalam Misbach hadir dalam kongres PKI, 4 Maret komunis sama seperti teori pembebasan 1923, di Bandung. Di sana ia memberikan dalam Islam. Islam dan komunis sama-sama uraian dengan menunjukkan ayat-ayat Al- mempropagandakan revolusi menentang Quran. Ia juga menegaskan tentang peranan kapitalisme. Islam dan komunis sama-sama Islam dan Komunisme dalam melawan kaum menolak sistem kelas dalam masyarakat. kapitalis. Sejak saat itulah ia dikenal sebagai Islam dan komunis sama-sama mengajarkan mubaligh (orang yang menyiarkan atau manusia untuk tidak menghamba pada menyampaikan ajaran agama islam) komunis manusia. yang selalu berpropaganda tentang komunisme dan Islam. Menurutnya, bagi orang yang dirinya mengaku islam dan komunis yang sejati, ia akan suka 61 Criksetra: Jurnal Pendidikan Sejarah, Vol. 8, No. 2, 2019 METODE PENELITIAN HASIL DAN PEMBAHASAN Metode penelitian yang digunakan Haji Misbach: Menyandingkan Ajaran dalam penelitian ini adalah metode penelitian Islam dan Komunisme sejarah. Terdapat empat tahapan dalam Haji Misbach merupakan salah satu melakukan penelitian sejarah yakni pertama, orang yang dikenal dengan sang propagandis. mengumpulkan sumber (Heuristik). Pada Pemikirannya untuk menyandingkan Ajaran penelitian kali ini
Recommended publications
  • Perlawanan Ulama Minangkabau Terhadap Kebijakan Kolonial Di Bidang Pendidikan Awal Abad Xx
    PERLAWANAN ULAMA MINANGKABAU TERHADAP KEBIJAKAN KOLONIAL DI BIDANG PENDIDIKAN AWAL ABAD XX Erman (Dosen Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol. Email: [email protected]) Abstract The resistance of Minangkabau’s scholars against colonial policy of education in the early of 20th century started from a scientific study has revealed that the pre-conditions that led to the birth of the movement is the penetration of the colonial government against the people in this area and plan the implementation of policies in the field of education, namely Ordinance 1928 and teachers’ Ordinance in 1932. This historical experience was seen by scholars Minangkabau might impede the freedom and the rights to broadcast the Islamic religion. Various reactions appeared and Islamic ideology seems to be the main driving to oppose colonial rule related teachers’ ordinancy and illegal schools. The spirit of nationalism that was born at the beginning of the 20th century were also encouraged scholars to take the fight against the colonial policy. In line with this goal, the scholars utilizing the network that has been built on Islamic educational institutions in the past to build a resource (strength) and then to form a committee as institutional resistance. Resistance itself they did in the form of protests by the general meeting of Minangkabau’s scholars and then proceed with the delivery of vote of no confidence to the colonial government. The resistance impacted the emerging alliance of young and old scholars, the birth of a radical political party in Minangkabau and the pressure of the colonial government Key Words: Resistance, Minangkabau’s Ulema, Colonial, Education PENDAHULUAN oleh Audrey Kahin sebagai refleksi munculnya pergerakan nasionalisme dan anti-kolonial Pada permulaan abad ke-20, Minangkabau pertama di Minangkabau.
    [Show full text]
  • Download (883Kb)
    72 BAB IV JALAN BERFIKIR H. M. MISBACH DALAM MENERIMA KOMUNISME Bagaimana H. M. Misbach dapat menerima Komunisme sedang ia sendiri adalah seorang yang memegang kuat Islam? Ini merupakan pertanyaan yang penting dalam mengkaji pemikiran H. M. Misbach tentang relevansi Komunisme dan Islam. Secara umum, untuk menjawab pertanyaan tersebut maka kita perlu mengetahui bagaimana pergumulan nilai-nilai Islam dalam diri H. M. Misbach ketika berinteraksi dengan ajaran Komunisme dalam ruang lingkup sosial-politik yang dihadapi. Pergumulan itu akan melahirkan makna-makna tersendiri dalam diri H. M. Misbach sehingga mendorongnya mengatakan bahwa Komunisme itu relevan dengan Islam. Untuk melihat pergumulan tersebut, teori interaksionisme simbolik akan dapat membantu melihat jalan berfikir H. M. Misbach dalam menerima Komunisme. Dalam teori interaksionisme simbolik disebutkan bahwa individu akan merespon lingkungan baik obyek fisik (benda) maupun obyek sosial (perilaku manusia) berdasarkan media-media yang ada. Dengan demikian akan terbentuk makna atas respon tersebut, dan tentu makna yang diinterpretasikan oleh individu itu dapat 100 berubah sejalan perubahan situasi yang terjadi selama interaksi terjadi. Jika ini digunakan untuk melihat H. M. Misbach, maka sebenarnya H. M. Misbach mencoba merespon keadaan umat Islam dan masyarakat tertindas di Hindia Belanda secara umum, dan secara khusus di sekitar wilayah Kasunanan Kartasura saat itu. H. M. 100 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi(Bandung: Rosda Karya, 2004), 199. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 73 Misbach juga merespon obyek-obyek sosial lain seperti keberadaan SI Tjokroaminoto dan teman-temannya di SI, keberadaan Muhammadiyah, keberadaan golongan- golongan radikal sebelum adanya ISDV/PKI seperti Mas Marco Kartodikromo dengan Indlandsche Journalisten Bond (IJB), dr.
    [Show full text]
  • The Discourse of Muslim Intellectuals
    THE DISCOURSE OF MUSLIM INTELLECTUALS AND `ULAMA’> IN INDONESIA A Historical Overview Khoirun Niam IAIN Sunan Ampel, Surabaya - Indonesia Abstract: Muslim intellectuals and `ulama’> are two notions necessary for attempts to get deep understanding of particularly Indonesian Muslim scholars. This paper analyses the discourse of Muslim intellectuals and `ulama’> in Indonesia before the independence period. The focus is on the practices and vectors which paved the way for the Muslim intellectuals and `ulama’> to come to the forefront in socio-political and cultural arena of Indonesia. The paper argues that the emergence of Indonesian intellectuals was not only influenced by Muslim organisations but also by Study Clubs. It further argues that irrespective of the diverse identification of Muslims intellectuals, those with secular educational background dominated the public spehere of Indonesia in the pre-independence period than those trained in pesantren or traditional Islamic education. This codition was a result of the nexus of the colonial contribution through so-called ethical policy, the rise of socio-political and cultural association, and the emergence of study club, which gave rise to Muslim intellectuals with secular educational background. Keywords: Muslim intellectuals, `ulama’> , Study Club, Ethical Policy. Introduction Research on ‘ulamā’ and Muslim intellectuals dates back to colonial times and is still of interest to scholars taking different approaches and extents. At the end of the nineteenth century, Christian Snouck Journal of Indonesian Islam; ISSN1978-6301 Published by the Institute for the Study of Religion and Society (LSAS) and the Postgraduate Program (PPs), the State Institute for Islamic Studies (IAIN) Sunan Ampel Surabaya - Indonesia Khoirun Niam Hurgronje1 did research on Indonesian pilgrims in Mecca, whom he referred to as jawah ‘ulamā’.
    [Show full text]
  • Sumatra Thawalib Padang Panjang Dan Masuknya Paham Komunis Pada Tahun 1923
    ISSN 1411-1764 e-ISSN 2722-3515 Vol. 3 No. 1 Tahun 2021 Sumatra Thawalib Padang Panjang dan Masuknya Paham Komunis Pada Tahun 1923 Syaiful Hanafi1(*), Etmi Hardi2 1,2Pendidikan Sejarah, FIS Universitas Negeri Padang *[email protected] Abstrak Sumatra Thawalib Padang Panjang and the entry of communist ideology in 1923. The purpose of this study was to describe how Sumatra Thawalib Padang Panjang as a modern Islamic school got into communist ideology. This research is a qualitative descriptive study using historical research methods. The initial steps of this research are heuristics, source criticism, analysis, interpretation and historiography. The results of this research are Sumatra Thawalib, which is a modern Islamic school and also a center for reform of Islamic education. It has created alumni and students who are not only studying religion but also other sciences such as social and natural sciences. In 1922, Sumatran student Thawalib Padang Panjang began to show interest in political movements. And in early 1923 Haji Datuk Batuah who was a young teacher there brought a new understanding to Sumatra Thawalib, namely communism. Although it took less than a year to spread the communist ideology, its impact was already felt inside and outside Sumatra Thawalib itself. Keywords: Sumatra Thawalib Padang Panjang, communist Abstrak Sumatra Thawalib Padang Panjang Dan Masuknya Paham Komunis Pada Tahun 1923. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bagaiamana Sumatra Thawalib Padang Panjang sebagai sekolah modern Islam dapat kemasukan paham komunis. Penelitian ini termasuk deskriftif kualitatif dengan menggunakan metode penelitian sejarah. Langkah awal penelitian ini yaitu heuristic, kritik sumber, analisis, interpretasi dan historiografi.
    [Show full text]
  • The Role of Islam in the Construction of the Foreign Economic Relations of the Republic of Indonesia
    Ph.D. Thesis — M.S. Williams McMaster University — Political Science ISLAM AND THE FOREIGN ECONOMIC RELATIONS OF INDONESIA 1 THE ROLE OF ISLAM IN THE CONSTRUCTION OF THE FOREIGN ECONOMIC RELATIONS OF THE REPUBLIC OF INDONESIA By MARK S. WILLIAMS, B.A.H, M.A. A Thesis Submitted to the School of Graduate Studies in Partial Fulfilment of the Requirements for the Degree Doctor of Philosophy McMaster University © Copyright by Mark S. Williams, November 2012 Ph.D. Thesis — M.S. Williams McMaster University — Political Science DOCTORATE OF PHILOSOPHY (2012) McMaster University (Political Science) Hamilton, Ontario TITLE: The Role of Islam in the Construction of the Foreign Economic Relations of the Republic of Indonesia AUTHOR: Mark S. Williams, B.A., M.A. SUPERVISOR: Professor Richard Stubbs NUMBER OF PAGES: viii, 280 ii Ph.D. Thesis — M.S. Williams McMaster University — Political Science Abstract American IPE has traditionally marginalized the role that social forces, and particularly religion, have played in the construction of the international political economy. This dissertation is an examination into the foreign economic relations of the Republic of Indonesia from the perspective of the British school of International Political Economy (IPE). British IPE is used to critically assess what role, if any, the religion of Islam has had in the construction of Indonesia’s foreign economic relations. This research demonstrates that Islamic social forces have influenced the political debates that construct Indonesia’s foreign economic relationships. Mainstream Islamic organizations pushed the state to engage with international institutions of trade and finance throughout the pre‐independence period when Indonesian national identity was being forged, as well as during the parliamentary democracy that followed independence, and into Sukarno’s “Guided Democracy.” The trend from the Suharto era to the early twenty‐first has been the appropriation of Islamic discourse by the state to legitimize its economic policies of engagement with the international political economy.
    [Show full text]
  • THE DISPUTES BETWEEN TJIPTO MANGOENKOESOEMO and SOETATMO SOERIOKOESOEMO: SATRIA VS. PANDITA Takashi Shiraishi in 1918 Major Deba
    THE DISPUTES BETWEEN TJIPTO MANGOENKOESOEMO AND SOETATMO SOERIOKOESOEMO: SATRIA VS. PANDITA Takashi Shiraishi In 1918 major debates took place between Tjipto Mangoenkoesoemo, a leading proponent of Indies nationalism, and Soetatmo Soeriokoesoemo, a leader of the Com­ mittee for Javanese Nationalism (Comite voor het Javaansche Nationalisme), first over the question of Indies versus Javanese nationalism, and then over the prob­ lem of Javanese cultural development. The language of the debates was Dutch, not Javanese or Malay (Indonesian), and 1918, when they occurred, was the year the Volksraad (People's Council) was founded. It was apparently with the Coun­ cil's opening in mind that Tjipto and Soetatmo engaged in these debates and the audience to which both of them were appealing was the group in the Budi Utomo which was most enthusiastic about the opening of the Volksraad.1 In an atmo­ sphere where this event was viewed as marking the dawn of a new epoch, a ques­ tion keenly felt among followers of Budi Utomo was the political and cultural rele­ vance of Javanese tradition to "progress." Tjipto and Soetatmo addressed this question in their disputes and vied for ideological hegemony among those Dutch- educated lower-priyayi who made up the group in Budi Utomo that supported the Volksraad. The first debate was in fact published in March 1918, just after Tjip- to's nomination as a member of the Volksraad and two months before its formal opening. The second debate took place at the Congress for Javanese Cultural Development, which was held in Solo in July 1918, in conjunction with the annual meetings of the Budi Utomo, PHGB (Perserikatan Guru Hindia Belanda), and Oud- 'OSVIA'-nen-bond,2 and just after the end of the Volksraad's first session.
    [Show full text]
  • POTRET UMAT AGAMA KHONGHUCU DI INDONESIA Religiusitas, Rekognisi Dan Pelayanan Keagamaan
    POTRET UMAT AGAMA KHONGHUCU DI INDONESIA Religiusitas, Rekognisi dan Pelayanan Keagamaan Editor Raudatul Ulum Litbangdiklat Press Tahun 2019 POTRET UMAT AGAMA KHONGHUCU DI INDONESIA Religiusitas, Rekognisi dan Pelayanan Keagamaan Hak cipta dilindungi Undang-undang All Rights Reserved Editor: Raudatul Ulum Penulis: AHMAD ROSIDI; ANIK FARIDA; ASNAWATI; EDI JUNAEDI;M. TAUFIK HIDAYATULLAH; R. ADANG NOFANDI; RAUDATUL ULUM;RESLAWATI; WAKHID SUGIYARTO; ZAENAL ABIDIN EKO PUTRO Desain Cover dan Layout: Fajar Anbya Diterbitkan oleh: LITBANGDIKLAT PRESS JL. M.H. Thamrin No. 6 Lantai 17 Jakarta Pusat Telepon: 021-3920688 Fax: 021-3920688 Website: balitbangdiklat.kemenag.go.id Anggota IKAPI No. 545/Anggota Luar Biasa/DKI/2017 Cetakan: Pertama Oktober 2019 ISBN: 978-602-51270-7-6 ii PRAKATA EDITOR Salam kebajikan, kami bersyukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas selesainya proses perbaikan naskah buku Potret Umat Konghucu di Indonesia. Topik yang cukup unik, meskipun juga bukanlah kajian baru di lingkungan studi keagamaan di Indonesia. Satu hal yang melekat pada Konghucu, selalu identik dengan etnis Tionghoa, baik dalam perspektif budaya maupun praktek keagamaan. Lalu, sejak kapan keberadaan agama Konghucu di Indonesia, bisa saja diasumsikan hadir bersama dengan kedatangan etnis Tionghoa sejak ratusan tahun yang lalu. Kenapa agama hadir di sepanjang kehidupan manusia, untuk apa juga dipelajari. Tuhan dikenal dalam berbagai bentuk dan nama seiring perkembangan sejarah. Bermacam ragam manusia mengenali Tuhan dan menjadi penganut agama, dengan caranya sendiri, serta acapkali berbuat baik atas namanya. Pada perkembangannya agama hadir turun melalui wahyu dan perenungan manusia sendiri sehingga menjadi tata nilai, untuk mengasah budi dan sisi baik manusia. Agama bagi pemeluk agama Konghucu adalah serangkaian pembelajaran, tidak hanya ketuhanan, etika dan moralitas, spiritualitas dan jalan hidup untuk mencari kesejatian.
    [Show full text]
  • Print This Article
    Populis : Jurnal Sosial dan Humaniora Volume 5, Nomor 9, Tahun 2020 pISSN : 2460-4208 eISSN : 2549-7685 PEMIKIRAN HAJI OEMAR SAID TJOKROAMINOTO TENTANG NASIONALISME ISLAM Yusuf Wibisono1 1Program Studi Ilmu Politik, Universitas Nasional email : [email protected] Korespondensi : [email protected] Abstract The discourse on secular nationalism versus religious nationalism has colored the history of the Unitary State of the Republic of Indonesia. It is in this difference that ideas of nationalism emerge in the context of Indonesia, one of them is the thinking of H.O.S. Tjokroaminoto about Islamic Nationalism in Indonesian culture. In 1922, H.O.S. Tjokroaminoto revolves around Nationalism based on Islamic teachings, where in Islamic teachings there are three universal values, namely the value of independence, equality and brotherhood. Keywords: political thought and nationalism islamic Abstrak Diskursus tentang nasionalisme-sekuler versus nasionalisme-agama telah mewarnai sejarah perjalanan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal perbedaan itulah muncul pemikiran-pemikiran tentang nasionalisme dalam konteks ke-Indonesia, salah satunya adalah pemikiran H.O.S. Tjokroaminoto tentang Nasionalisme-Islam dalam budaya masyarakat Indonesia. Pada tahun 1922, H.O.S. Tjokroaminoto menggulirkan tentang Nasionalisme yang berlandaskan ajaran agama Islam, di mana dalam ajaran Islam ada tiga nilai universal, yaitu nilai kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan. Kata kunci: pemikiran politik dan nasionalisme islam PENDAHULUAN Dalam kontruksi sejarah Indonesia, perdebatan antara kelompok nasionalis sekuler dengan nasionalis-agama tidak pernah selesai. Keduanya terus bertarung memperebutkan hegemoni dalam kekuasaan. Para sejarawan Indonesia cenderung menelusuri pertarungan tersebut sejak perdebatan piagam Jakarta, tetapi ada juga yang mengambil klaim lebih jauh lagi hingga pertarungan dalam tubuh Sarekat Islam di tahun 1910-an.
    [Show full text]
  • Evolusi Pemikiran Hadji Oemar Said Tjokroaminoto Tahun
    EVOLUSI PEMIKIRAN HADJI OEMAR SAID TJOKROAMINOTO TAHUN 1924-1928: DARI SOSIALISME ISLAM MENUJU ISLAM MAKRIFAT SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1) Pada Jurusan Sejarah Peradaban Islam (SPI) Oleh: Miftakhus Sifa’ Bahrul Ulumiyah NIM: A92216131 JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2019 ii PERNYATAAN KEASLIAN iii PERSETUJUAN PEMBIMBING iv PENGESAHAN TIM PENGUJI PERSETUJUAN PUBLIKASI vi ABSTRAK Skripsi ini berjudul “Evolusi Pemikiran Hadji Oemar Said Tjokroaminoto Tahun 1924 – 1928: dari Sosialisme Islam menuju Islam Makrifat” dengan meneliti tiga permasalahan: (1) bagaimana biografi H.O.S Tjokroaminoto; (2) bagaimana sosialisme Islam dan Islam makrifat menurut H.O.S Tjokroaminoto, dan (3) bagaimana perubahan pemikiran H.O.S Tjokroaminoto tahun 1924-1928. Tiga permasalahan tersebut penulis teliti dengan menggunakan dua pendekatan historis-hermeneutik dan historis-sosiologis-psikologis. Pendekatan ini digunakan karena skripsi ini masuk dalam kategori sejarah pemikiran sub tema evolusi pemikiran yang dalam metodologinya meneliti teks dan juga konteks. Pendekatan historis-hermenutik merujuk pada pembahasan teks, sedangkan historis-sosiologis-psikologis merujuk pada konteks. Teori yang digunakan dalam penilitian ini ada empat yang semuanya digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam tiap pembahasan bab. Empat teori tersebut adalah teori Ibnu Khaldun tentang perkembangan akal budi, teori Herbert Spencer tentang evolusi umum, teori arkeologi pengetahuan Michael Foucault, dan teori hermeneutik Hans-George Gadamer. Metode yang penulis gunakan adalah metode sejarah dengan empat tahapan yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah: pertama, H.O.S Tjokroaminoto lahir di Madiun tanggal 16 Agustus 1882 dan meninggal di Yogyakarta pada 17 Desember 1934.
    [Show full text]
  • Constrained Hegemony: the State and Islamic Politics in Post-Authoritarian Indonesia
    Constrained Hegemony: The State and Islamic Politics in Post-Authoritarian Indonesia Muhammad Ridha1 Abstract This paper aims to elucidate the unevenness of Islamic politics influence within the state: why has the aspiration of post-authoritarian Islamic politics in Indonesia gained influence in the democratic process despite the disappointing performance of the Islamic political parties? It argues that Islamic politics is experiencing what I call “constrained hegemony.” It suggests that the current paradoxical situation of Islamic politics is the result of the failure of Islamic politics to politically dominate the state along with the resurgence of Islamic conservatism in post- authoritarian Indonesia. Both the failure and the resurgence are determined by two intertwined factors: the legacy of the New Order power structure and the adoption of a neoliberal free- market economy. The factors operate in different ways at the political and civil society levels of the state. At the level of political society, the legacy of the New Order power structure and neoliberalism tends to weaken and subordinate Islamic forces that are organized through political parties. At the civil society level, the legacy of the New Order power structure and neoliberalism leads to the reinforcement of Islamic forces that is regimented through conservative Islamic organizations. Introduction This project aims to examine the unevenness of Islamic politics influence within the state: why has the aspiration of Islamic politics been able to gain influence in the democratic process of the state despite the disappointing performance of the Islamic political parties? Hamayotsu (2011) finds that the Islamic political agenda promoted by Islamic parties has failed to gain significant votes in the national electoral arena.
    [Show full text]
  • STUDIA ISLAMIKA Indonesian Journal for Islamic Studies Volume 2, Number 3, 1995
    STUDIA ISLAMIKA Indonesian Journal for Islamic Studies Volume 2, Number 3, 1995 EDITORIAL BOARD, Hanm Nasution Mastuhu M. Quraisb Sbibab A. Aziz Dab/an M. Satria Effendi Nabilab Lubis M. Yunan Yusuf Komarnddin Hidayat M. Din Syamsuddin Muslim Nasution WabibMu'tbi EDITOR-IN-CHIEF, Azyumardi Azra EDITORS, Saiful Muzani Hendro Prasetyo ]oban H. Meuleman Nuru!Fajri Badri Yatim ASSISTANTS TO THE EDITOR, Arief Sub ban HeniNuroni ENGUSH lANGUAGE ADVISOR, judith M. Dent ARAEIC lANGUAGE ADVISOR, Fuad M. Facbruddin COVER DESIGNER S. Prinka STUDIA ISLAMIKA (ISSN 0215-0492) is a journal published quarterly by the Institut Agamalslam Negeri (lAIN, The State Institute for Islaruic Studies) SyarifHidayatullah, jakarta. (SIT DEPPEN No. 129;SK,ll!IJEN/PPG/STT/1976) and sponsored by the Deparnnent of Religious Affairs of the Republic of Indonesia. It specializes in Indonesian Islamic studies, and is intended to communi­ cate original researches and current issues on the subject. This journal warmly welcomes contributions from scholars of related disciplines. All articles published do nm necessarily represent the views of the journal, or other institutions to which it is affiliated. They are solely the views the authors. © Copy Right Reserved Editorial Office STUDIA [SIAMIKA, Gedung Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat, ]I. Kertamukti No.5, PO Box 225, Ciputat 15401,]akarta, Indonesia. Phone (021) 7492648, 7401925, 7401606, Facs; (021) 7401592. Account; 0027793001 Bank Negara Indonesia 1946, Kebayoran Barn/lAIN, jakarta. Subscription rate" Rp 50.000 ($ 25.00), one year; Rp 100.000 ($ 50.00 ), two years. Order for single copies must be accompanied with prepayment of Rp 12.500 ($ 7.00). For orders outside Indonesia, add$ 8.00 per copy for airmail delivery; for special postal delivery or other special handlings, please contact STUD !A ISIAMIKA for correct rate.
    [Show full text]
  • In Search of Hegemony: Islamism and the State in Indonesia
    In Search of Hegemony: Islamism and the State in Indonesia LUQMAN NUL HAKIM This thesis is submitted for the degree of Doctor of Philosophy The University of Melbourne February 2019 Declaration I certify that this thesis is the product of my own research, fewer than the maximum word limit in length, and contains no material which has been accepted as part of the requirements of any other degree at any tertiary education institution, or any material previously published by another person except where due reference is made. Luqman Nul Hakim i Abstract In post-authoritarian Indonesia, but particularly following the 9/11 terrorist attacks, Islamism has become a contentious matter of scholarly debate. The prominent accounts emerging from security and democratisation studies place much analytical weight on ideology and culture by often portraying the relationship between Islam and politics in essentialist fashion, associating the dynamics of Islamism with interpretations of Islamic doctrine or the contest between moderate and radical Muslims. The institutionalist literature, on the contrary, explains the rise of Islamism as the result of the weak capacity of the state following the fall of the centralised New Order authoritarian regime. Another variant draws attention to the moderation of Islamic politics as the result of participation in democratic processes, especially electoral politics. Yet, such linear and teleological explanations obscure the complex circumstances that establish the different trajectories of Islamism. They also fail to comprehend how the prevalence of Islamist discourse on power struggles in the current democracy can produce a more conservative and illiberal form of Islamism. In contrast, this thesis utilises the politics of hegemony approach as developed in the traditions of political discourse theory.
    [Show full text]