Perubahan Pola Pendidikan Islam Di Sumatera Barat (Minangkabau) Dari Surau Ke Lembaga Pondok Pesantren Semenjak Awal Abad 20
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Perubahan Pola Pendidikan Islam Di Sumatera Barat (Minangkabau) Dari Surau Ke Lembaga Pondok Pesantren Semenjak Awal Abad 20 Kharles1 & Ranti Nazmi2 1,2)Staf Dosen Prodi Pendidikan Sejarah STKIP PGRI Sumatera Barat [email protected], [email protected] ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan proses perubahan pola pendidikan Islam; Dari Lembaga Surau ke Lembaga Pondok Pesantren di Sumatera Barat. Penekanan penelitian ini merupakan tinjauan peristiwa sejarah terhadap aspek perubahan dalam pendidikan Islam di Sumatera Barat, oleh sebab itu metode yang digunakan adalah metode sejarah. Adapun metode sejarah memiliki empat tahapan penelitian, pertama heuristic yaitu pengumpulan data-data sebagai sumber peristiwa yang diteliti. Sumbernya terdiri dari dua jenis sumber yaitu, primer dan sekunder. Sumber primer diperoleh dari sumber tangan pertama kalau itu ada, tetapi paling tidak dapat menggunakan sumber sekunder atau sumber tangan kedua yang dasarnya tetap dari sumber tangan pertama. Artinya penelitian ini lebih banyak mengunakan penelitian perpustakaan guna memperoleh data yang menjadi sumber peristiwa. Selanjutnya melakukan kritik sumber dalam rangka seleksi dari kebenaran sumber, mennganalisisnya dan berikutnya merangkainya menjadi tulisan tentang berlangsungnya peristiwa (historiografi). Perkembangan Pola pendidikan Islam di Sumatera Barat mengarah pada bentuk lembaga Pondok Pesantren sudah terlihat kecendrungannya semenjak awal abad 20. Kondisi ini sudah menjadi fenomena baru di lingkungan pendidikan Islam di Sumatera Barat, terbukti dengan pertumbuhan pondok pesantren yang saat ini berjumlah 233 pondok di seluruh Propinsi Sumatera Barat. Gejala ini cukup menarik untuk disimak, terkait dengan latarbelakang Sumatera Barat yang memiliki kultur Minangkabau selama ini tidak mengenal sistem pendidikan dengan pola yang diterapkan dilingkungan Pondok Pesantren. Surau merupakan lembaga pendidikan Islam yang erat kaitannya dengan kultur masyarakat Sumatera Barat. Kalau pun ada perubahan, karena pengaruh modernisasi pendidikan pada masa Kolonial di awal abad 20, itu hanya sekedar merubah sistem halaqah pada sistem klasikal. Baru sekitar tahun 1970-an kecendrungan untuk mengadopsi model pendidikan yang dikembangkan oleh lembaga Pondok Pesantren mulai bermunculan. Adanya perubahan terhadap pola pendidikan Islam di Sumatera Barat disebabkan oleh tidak berfungsingnya lembaga surau sebagai tempat pendidikan Islam, semenjak pengaruh modernisasi melanda daerah ini. Kata kunci: Pendidikan Islam, Surau dan Pondok Pesantren Pendidikan Berkualiti ke arah Pembentukan Nilai dan 2350 Peningkatan Ekonomi untuk Kesejahteraan Masyarakat LATAR BELAKANG Sebelum modernisasi pendidikan diperkenalkan oleh Pemerintahan Kolonial Belanda di Indonesia, Surau adalah sebagai institusi pendidikan Islam yang sangat penting di Sumatera Barat (Minangkabau). Dari suraulah cikal bakal keutuhan dan keutamaan masyarakat Minang (Sumatera Barat) beradat dan beragama secara bersamaan dijalankan. Ukuran keberhasilannya dilihat dari kemampuan si anak menguasai pengetahuan seperti pandai mengaji, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, serta menguasai tatakrama adat, seperti petatah petitih, dan seni bela diri (pencak silat). Peranan penting surau ini terlihat sangat dominan sebelum terjadinya pembaharuan gelombang pertama Islam di Sumatera Barat (Minangkabau), terutama semenjak akhir abad 18, karena dari sinilah lahirnya putra putri terbaik dari Sumatera Barat (Minangkabau) pada awal abad 19 nantinya.Mereka dididik dari surau menjadi ulama besar seperti, Tuanku ImamBonjol yang memperoleh pendidikan agama pertama kali di Pasir Lawas Palupuah dan Suliki.1Selain Imam Bonjol masih banyak anak-anak yang berhasil menjadi ulama besar berkat lembaga surau ini, diantaranya Syeikh Bayang, Prof Dr. H. Mahmud Yunus, Syeikh Muhammad Jamil Jaho dan lain-lain yang namanya terlalu banyak untuk disebutkan satu persatu pada tulisan ini. Lembaga pendidikan surau sebagai sebuah sistem pendidikan Islam yang mengutamakan pendidikan Alquran, akidah, ahklak, fikih, adat dan fisik (kemampuan bela diri), tetap bertahan sampai berlangsungnya perang paderi. Setelah berakhirnya perang paderi, surau sebagai lembagai pendidikan Islam mulai mengalami masa-masa surut. Situasi itu seiring dengan terjadinya perubahan yang cukup besar terhadap seluruh aspek kehidupan dalam masyarakat Sumatera Barat (Minangkabau), termasuk dibidang pendidikan. 2 Perubahan itu terutama dipengaruhi oleh kebijakan pemerintahan Kolonial Belanda yang memberikan kesempatan kepada masyarakat pribumi untuk memperoleh pendidikan. Itu terbukti dengan didirikannya sebuah sekolah yang mendapat dukungan pemerintah pada tahun 1824 di Sumatera Barat, tepatnya di Padang.3Sekolah ini memang tidak bertahan lama, karena setelah 4 tahun sekolah ini kemudian ditutup. Hal itu disebabkan adanya rasa curiga dari masyarakat terhadap misi kritenisasi terhadap anak-anak mereka yang bersekolah disana. Baru tahun 1848 dengan dukungan Raja Belanda dengan kebijakan Nomor 95, memberikan wewenang kepada Gubernur Jendral untuk menyedia biaya pendidikan bagi golongan bumi putra. Realisasi dari kebijakan itu pemerintah 1Yulizar Yunus, Beberapa Ulama di Sumatera Barat, (Padang: Pemerintahan Propinsi Sumatera Barat. 2008), hal. 3. 2Tsuyoshi Kato, Adat Minangkabau dan Merantau ; Dalam Perspektif Sejarah. (Jakarta: Balai Pustaka. 2005), hal. 96. 3Gusti Asnan, et.,al, Adabiah: Perintis Pendidikan Modern di Sumatera Barat. (Yogyakarta: Ombak. 2013), hal. 35. 2351 ASEAN Comparative Education Research Network Conference 2015 7-8 Oktober 2015, MALAYSIA menyediakan dana untuk operasional sekolah sebesar f.25.000 setahun khusus untuk daerah Pulau Jawa. 4 Sementara di Sumatera Barat tidak diberlakukan kebijakan yang sama, oleh sebab itu pendirian sekolah-sekolah umum banyak diprakarsai oleh nagari-nagari. 5 Jadi walaupun tidak didukung oleh dana pemerintah, sekolah-sekolah bercorak sekuler tumbuh subur di daerah dataran tinggi Sumatera Barat seperti, di Bukittinggi, Batusangkar, Payakumbuh dan Solok. Daerah-daerah tersebut menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan di dataran tinggi Sumatera Barat. Sekolah-sekolah sekuler yang di dirikan oleh nagari-nagari mengalami kemajuan yang cukup besar, itu tergambar dari laporan Gubernur Van Swieten yang menyebutkan bahwa kebutuhan birokrasi untuk tenaga administrasi sejak tahu 1847 telah dapat di isi oleh orang Sumatera Barat (Minangkabau) yang pandai membaca dan menulis. Meskipun pengelolaan pendidikan dari tahun 1840-1860 pemerintah mempercayakan pengelolaannya pada nagari-nagari yang diinisiasi oleh Tuanku Laras dan penghulu nagari.6 Apalagi semenjak tahun 1870, pemerintahan Kolonial Belanda melakukan perubahan-perubahan terhadap sekolah-sekolah sekuler dengan memasukan sistem administrasi modern. Oleh sebab itu dilakukan perbaikan kualitas sekolah oleh pemerintahan Kolonial Belanda dalam rangka meningkatkan mutu lulusan yang dibutuhkan untuk kepentingan tenaga pegawai pemerintahan Kolonial Belanda itu sendiri. Atas pertimbangan itulah akhirnya pemerintahan Kolonial Belanda memperbanyak sekolah dan meningkatkan jumlah penerimaan murid.7 Semenjak itu terjadi peningkatan jumlah sekolah yang cukup besar di Hindia Belanda, tercatat dari 186 unit pada tahun 1864, menjadi 512 unit pada tahun 1882.8 Perkembangan pendidikan sekuler yang dikelola oleh pemerntahan Kolonial Belanda dan nagari tumbuh dengan cepat. Realita seperti itu mendorong kebutuhan akan tenaga guru juga semakin besar, sehingga pemerintahan Kolonial Belanda di Sumatera Barat memutuskan untuk mendirikan sekolah guru yang dikenal sebagai sekolah normal di Bukittinggi (Fort de Kock).9 Sekolah normal ini oleh pemerintahan Kolonial Belanda disebut sebagai Kweekschool, di Bukittingi lebih dikenal dengan istilah “Sekolah Raja”. Semenjak sekolah sekuler ini diperkenalkan oleh pemerintahan Kolonial Belanda dalam rangka memperoleh tenaga administrasi untuk kepentingan pemerintahan, maka variasi peluang kerja juga semakin berkembang dan ini 4Elizabeth E Graves, Asal Usul Elite Minangkabau Modern Respons Terhadap Kolonial Belanda abad XIX/XX, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2007), hal. 176. 5 Gusti Asnan, et,.al. Adab……..……, hal. 37 6Sumarsono Mestoko, et, al., Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan-Balai Pustaka. 1986), hal 111. 7Gusti Asnan, et, al., Adabiah ……….., hal 41. 8Imron, Modernisasi Pendidikan Islam: Pesantren dan Surau, (Makalah. 2010), hal. 13. 9Elizabeth E Graves, Asal Usul Elite Minangkabau Modern ……, hal 41. Pendidikan Berkualiti ke arah Pembentukan Nilai dan 2352 Peningkatan Ekonomi untuk Kesejahteraan Masyarakat semakin membuka mata orang Sumatera Barat atas harapan baru akan dunia kerja. Buktinya tamatan Kweekschool (Sekolah Raja) tidak hanya menjadi guru, tetapi mereka juga dipekerjakan sebagai pegawai sipil dan tenaga jaksa di Landraad (Badan Peradilan), pengawas gudang, dan sebagainya. Inilah yang mendorong orang Sumatera Barat (Minang), terutama generasi muda untuk mengikuti trend sekolah sekuler tersebut. Sehingga surau yang selama ini sebagai lembaga pendidikan Islam yang mengajarkan anak tentang Alquran, Akidah, Akhlak, Fiqh, adat dan bela diri (pencak silat), mulai merubah pola mengajarnya yang selama ini dengan sistem halaqah pada sistem klasikal yang diperkenalkan oleh pemerintahan Kolonial Belanda. Perubahan itu diikuti pula dengan perubahan kurikulum dan kelembagaan, dari surau menjadi “Madrasyah”. Perubahan yang dilakukan kaum intelektual muda mengancam keberadaan surau sebagai