KETAHANAN AIR IRIGASI PADA WILAYAH SUNGAI DI IRRIGATION WATER SECURITY AT RIVER BASIN AREAS IN INDONESIA

Oleh: Waluyo Hatmoko1), Radhika1), Rendy Firmansyah1), Anthon Fathoni1) 1)Puslitbang Sumber Daya Air, Balitbang, Kementerian PUPR Jl. Ir. H. Juanda 193, Bandung, Indonesia Komunikasi Penulis, Telp: +08122103205; email: [email protected] Naskah ini diterima pada 27 Desember 2017; revisi pada 3 Februari 2018; disetujui untuk dipublikasikan pada 19 Februari 2018

ABSTRACT Water security is the community's ability to maintain sustainability in meeting water demands for various purposes and managing water-related disasters. The score of Asian countries water security indicator has been formulated and calculated by the Asian Development Bank (ADB). However water security at the river basin level, including irrigation water security, has not been assessed. Like other Asian countries, irrigation in Indonesia is the largest water user, therefore irrigation water security plays important role in water resources management. This paper formulates and calculates the water security for irrigation in all river basins in Indonesia. The computation method is adopted from ADB, and developed according to the conditions of data availability and characteristics of river basins in Indonesia, under the assumption of homogeneity within river basin. It is concluded that the irrigation water security in the river basin in Indonesia is generally in "medium" condition. The "very bad" condition occurs only in -Cisadane and Progo- Opak-Serang river basins. The "bad" conditions include the Bangka, Belitung, Cidanau-Ciujung-Cidurian, Ciliman- Cibungur, Bali-Penida and Lombok river basins. Measures to improve irrigation water security are developing and improving performance of irrigation networks, improve reliability of water supplies by constructing reservoirs and ponds, and reducing water stress with water savings. Keywords: indicators, irrigation, irrigation water security, water demand, water security, water supply

ABSTRAK Ketahanan air merupakan kemampuan masyarakat untuk menjaga keberlanjutan dalam pemenuhan kebutuhan air untuk berbagai keperluan dan mengelola bencana terkait air. Nilai indikator ketahanan air pada negara-negara di Asia telah dirumuskan dan dihitung oleh Asian Development Bank (ADB), namun ketahanan air pada tingkat wilayah sungai, termasuk juga ketahanan air irigasi masih belum dikaji. Irigasi di Indonesia merupakan pengguna air terbesar, dan oleh karena itu ketahanan air irigasi berperan penting dalam pengelolaan sumber daya air. Makalah ini merumuskan, menghitung dan memetakan ketahanan air untuk irigasi pada seluruh wilayah sungai di Indonesia. Metode yang digunakan untuk menghitung ketahanan air irigasi diadopsi dari ADB, kemudian dikembangkan sesuai dengan kondisi ketersediaan data dan karakteristik wilayah sungai di Indonesia, dengan asumsi bahwa masing- masing wilayah sungai kondisinya homogen. Disimpulkan bahwa ketahanan air irigasi pada wilayah sungai di Indonesia pada umumnya berada dalam kondisi “sedang”. Kondisi “sangat buruk” hanya terjadi pada wilayah sungai Ciliwung-Cisadane dan Progo-Opak-Serang. Kondisi “buruk” meliputi wilayah sungai Bangka, Belitung, Cidanau- Ciujung-Cidurian, Ciliman-Cibungur, Bali-Penida, dan Lombok. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan ketahanan air irigasi adalah dengan mengembangkan dan meningkatkan kinerja jaringan irigasi, meningkatkan keandalan pasok air dengan pembangunan waduk dan embung, serta mengurangi tekanan penggunaan air dengan penghematan air. Kata kunci: indikator, irigasi, kebutuhan air, ketahanan air, ketahanan air irigasi, penyediaan air

Ketahanan Air Irigasi-Hatmoko, et al. 65

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan air sangat vital dalam kehidupan 2.1. Ketahanan Air manusia, dan terkait erat dengan ketahanan Terdapat berbagai definisi mengenai ketahanan pangan dan energi, sebagai nexus ketahanan air, air, antara lain sebagai berikut. pangan, dan energi (Head & Cammerman, 2010), serta memiliki peranan penting dalam adaptasi Ketahanan air adalah ketersediaan air secara perubahan iklim (Rasul & Sharma, 2016). kuantitas dan kualitas untuk kesehatan, Ketahanan air terkait erat dengan kondisi kehidupan, ekosistem dan produksi, serta tingkat keseimbangan antara pendayagunaan sumber risiko terkait air yang dapat diterima oleh daya air untuk mendukung berbagai sektor manusia, lingkungan, dan ekonomi (Grey & Sadoff, kehidupan, dengan konservasi sumber daya air 2007). (Asdak, 2015). Menurut Khan (2014) ketahanan air adalah Istilah ketahanan air akhir-akhir ini semakin kemampuan masyarakat, dan penduduk untuk sering terdengar, dan berbagai kalangan menjaga akses pada jumlah air yang mencukupi masyarakat menafsirkannya secara berbeda. dan kualitas air yang dapat diterima untuk Ketahanan air berkaitan dengan berbagai ilmu, keberlanjutan kesehatan manusia dan ekosistem antara lain: pertanian, rekayasa, lingkungan, pada suatu daerah tangkapan, dan menjamin hidrologi, geologi, kesehatan masyarakat, perlindungan kehidupan dan harta benda kebijakan, dan sumber daya air (Cook & Bakker, terhadap bencana terkait air yaitu banjir, tanah 2012). Masyarakat dunia telah sependapat bahwa longsor, penurunan tanah, dan kekeringan. ketahanan air perlu diperhatikan untuk Definisi yang banyak digunakan saat ini adalah pengelolaan sumber daya air secara dari UN-Water (2013), yang merumuskan berkelanjutan, namun belum ada kesepakatan pengertian tentang ketahanan air sebagai berikut: mengenai bagaimana mendefinisikan ketahanan ”Water security is defined as the capacity of a air. Sampai dengan saat ini belum disepakati population to safeguard sustainable access to berapa nilai ketahanan air minimum agar rumah- adequate quantities of acceptable quality water for tangga, perkotaan, Daerah Aliran Sungai, dan sustaining livelihoods, human well-being, and socio- negara dapat berkembang secara berkelanjutan economic development, for ensuring protection tanpa mengkhawatirkan kekeringan dan banjir against water-borne pollution and water-related yang mungkin akan terjadi; bagaimana disasters, and for preserving ecosystems in a mendefinisikan dan mengukur ketahanan air; climate of peace and political stability.” serta bagaimana pendekatan yang harus digunakan untuk mencapai ketahanan air yang Definisi tersebut memberikan pengertian yang maksimal (Beek & Arriens, 2014). sangat komprehensif tentang ketahanan air (water security). Terjemahan bebas atas definisi Irigasi merupakan pengguna air terbesar di ketahanan air tersebut adalah (1) Kemampuan Indonesia, dan sangat berperan dalam ketahanan masyarakat untuk menjaga keberlanjutan dalam pangan. Ketahanan air irigasi perlu dirumuskan, pemenuhan kebutuhan air, baik dalam jumlah dihitung, dan dipetakan untuk seluruh wilayah yang mencukupi serta mutu yang dapat diterima; sungai di Indonesia. (2) Pemenuhan kebutuhan air tersebut Artikel ini merumuskan konsep dan indikator dimaksudkan untuk: (a) menjaga keberlanjutan ketahanan air irigasi, dan menghitung ketahanan kehidupan, kesejahteraan umat manusia, dan air irigasi pada seluruh wilayah sungai di perkembangan sosial-ekonomi; (b) menjamin Indonesia, berdasarkan pada data yang relatif perlindungan atas pencemaran air dan bencana mudah diperoleh. terkait air; serta (c) melestarikan ekosistem dalam suasana damai dan kondisi politik yang Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk stabil. memperoleh informasi mengenai kondisi ketahanan air irigasi pada wilayah sungai di Wiberg (2015) mengungkapkan bahwa konsep Indonesia, sebagai masukan terhadap ketahanan air (water security) pada awalnya pengembangan sumber daya air, dan khususnya merupakan kebalikan dari kelangkaan air (water pengembangan irigasi pada wilayah sungai di scarcity), yang merupakan permasalahan pasok Indonesia. dan kebutuhan akan air. Indikator yang umum digunakan antara lain adalah jumlah air tersedia

per-orang yang dinamakan sebagai “Falkenmark Water Stress Indicator” (Falkenmark, Lundqvist, & Widstrand, 1989) dan (Falkenmark, 2013).

66 Jurnal Irigasi – Vol. 12, No. 2, Oktober 2017, Hal. 65-76

Penggunaan air yang tersedia ini antara lain untuk infrastrukturnya sehingga menjadi debit siap kehidupan manusia, termasuk irigasi sebagai pakai; pengguna air terbesar di Indonesia. Sebagian dari 4) Indeks Ketersediaan Air per Kapita, yang air yang tersedia ini harus digunakan sebagai menunjukkan berapa besar ketersediaan air aliran pemeliharaan sungai dan lingkungan potensi andalan 80% untuk tiap jiwa; (Smakhtin & Schipper, 2008; Pastor, Ludwig, 5) Produksi sawah irigasi per-kapita, yang Biemans, Hoff, & Kabat, 2014). menunjukkan seberapa besar swasembada beras untuk masing-masing jiwa di WS 2.2. Indikator Ketahanan Air bersangkutan Pada prinsipnya indikator ketahanan air meliputi 6) Produktivitas sawah irigasi dari debit potensi aspek-aspek: 1) Ketersediaan air; 2) Aksesibilitas; wilayah sungai, yang menunjukkan seberapa 3) Kualitas dan keamanan; dan 4) Pengelolaan besar produksi irigasi per meter kubik air (Gain, Giupponi, & Wada, 2016). Secara lebih rinci, potensi andalan 80%; dan indikator ketahanan air antara lain: 1) Jumlah air 7) Produktivitas sawah irigasi dari debit tersedia; 2) Rasio antara kapasitas tampungan terpasang pada bangunan air, yang dengan potensi tampungan yang ada; 3) Alokasi menunjukkan seberapa besar produksi irigasi anggaran sumber daya air; 4) Penggunaan air; 5) per meter kubik air kapasitas terpasang. Penggunaan konsumtif; 6) Persentase penduduk Kajian ketahanan air irigasi pada wilayah sungai dengan sanitasi baik; produktivitas sektor di Jawa Barat bagian Utara (Radhika et al., 2017) industri; 7) Produktivitas listrik tenaga air; 8) menunjukkan bahwa ketahanan air irigasi terbaik Produktivitas irigasi; dan sampel kualitas air yang dicapai oleh Wilayah Sungai Citarum dan Wilayah memenuhi standar (Mason & Calow, 2012). Sungai Cimanuk-Cisanggarung, dengan predikat Lebih lanjut (Fischer et al., 2015) “sedang”, sedangkan Wilayah Sungai Ciliwung- memformulasikan bahwa ketahanan air pada Cisadane berada dalam kondisi “buruk”. Wilayah dasarnya dapat dikaji dari 4 indikator, yaitu: 1) Sungai Citarum serta Wilayah Sungai Cimanuk- Jumlah air per-kapita; 2) Rasio antara penggunaan Cisanggarung memiliki kelebihan dalam hal air terhadap air yang tersedia; 3) Variabilitas kapasitas tampungan air. Sedangkan Wilayah debit bulanan; dan 4) Bagian ketersediaan air Sungai Ciliwung-Cisadane memiliki nilai “buruk” yang berasal dari dalam negeri. terutama disebabkan karena rendahnya nilai indikator Ketersediaan Air per Kapita, serta di Dalam menghitung ketahanan air negara-negara samping buruknya Indeks Penggunaan Air. Asia, Asian Development Bank (ADB, 2016) menggunakan indikator dalam 5 dimensi utama, 2.3. Ketahanan Air Irigasi yaitu: 1) Indikator Ketahanan Air Rumah Tangga, Ketahanan air, terutama ketahanan air irigasi 2) Indikator Ketahanan Air Ekonomi, 3) Indikator berperan penting dalam ketahanan pangan, dan Ketahanan Air Perkotaan, 4) Indikator Ketahanan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan air, Air Lingkungan, dan 5) Indikator Ketahanan Air infrastruktur tampungan air, dan aturan terhadap Bencana Air. Lebih lanjut Ketahanan Air penggunaan air (Gohar, Amer, & Ward, 2015). Ekonomi dibagi atas 3 sub-indikator, yaitu: a) Ketahanan Air Pertanian; b) Ketahanan Air Menurut (ADB, 2016), dimensi utama ketahanan Industri; dan c) Ketahanan Air Energi. air perekonomian terdiri atas: 1) Ketahanan air perekonomian secara umum; 2) Ketahanan air Radhika, Firmansyah, & Hatmoko (2017) dalam pertanian, 3) Ketahanan air industri; dan 4) menghitung ketahanan air irigasi di Jawa Barat Ketahanan air energi. Ketahanan air bagian Utara, merumuskan 7 indikator ketahanan perekonomian secara umum terdiri atas sub- air irigasi sebagai berikut: indikator: (a) keandalan pasok air; (b) tekanan 1) Indeks Pemakaian Air (IPA) irigasi dari potensi penggunaan air; (c) kapasitas tampungan air; dan air andalan 80% yang menunjukkan (d) kondisi ketersediaan data. Sedangkan perbandingan kebutuhan air irigasi ketahanan air untuk pertanian terdiri atas: (a) dibandingkan dengan debit andalan 80% yang produktivitas sawah beririgasi, yang bentuk tersedia; asalnya adalah produktivitas dalam bentuk ton 2) IPA irigasi dari debit kapasitas terpasang yang gabah/liter air; dan (b) swasembada (self- menunjukkan berapa besar kebutuhan irigasi sufficiency) pangan, yang merupakan kebalikan dibandingkan dengan debit terpasang yang dari ketergantungan pangan, yang dinyatakan tersedia pada bangunan air; sebagai rasio antara kebutuhan pangan dalam 3) Rasio antara debit kapasitas terpasang dengan bentuk air maya dan produksi pangan dalam debit andalan 80% yang menunjukkan berapa bentuk air maya. besar debit potensi yang sudah dikembangkan

Ketahanan Air Irigasi-Hatmoko, et al. 67

Produktivitas air sangat penting dalam ketahanan Keterangan: air, bahkan konsep awal mengenai ketahanan air dimulai dari produktivitas air (Clement, 2013).

Sementara peran pentingnya tampungan air berupa waduk dan danau dalam ketahanan air ditegaskan oleh Cook & Bakker (2012) dan Gohar Data limpasan bulanan diperoleh dari et al. (2015). Puslitbang Sumber Daya Air, Badan Litbang PUPR. Dari kajian pustaka dapat disimpulkan bahwa indikator ketahanan air irigasi dibagi atas tiga b) Indikator Tampungan Air, berupa rasio antara komponen, yaitu; 1) Kondisi pasok air, yang jumlah kapasitas tampungan air pada wilayah berupa variabilitas pasok air dan kapasitas sungai dengan jumlah ketersediaan air pada tampungan air yang menampung kelebihan air wilayah sungai yang bersangkutan. pada musim hujan untuk digunakan pada musim kemarau; 2) Kondisi penggunaan air untuk berbagai keperluan, yang merupakan tekanan Keterangan: penggunaan air, dinyatakan dengan Indeks Penggunaan Air; dan 3) Kondisi sawah irigasi, RT = indikator Tampungan Air berupa Indikator Produktivitas, dan Indikator T = jumlah tampungan air Swasembada Beras, yang merupakan S = jumlah ketersediaan air perbandingan antara produksi beras terhadap Data tampungan bendungan diperoleh dari jumlah penduduk pada suatu wilayah sungai. Pusat Bendungan, dan diolah menjadi per III. METODOLOGI wilayah sungai oleh Puslitbang Sumber Daya Air, Badan Litbang PUPR. 3.1. Lokasi Penelitian 2. Kondisi penggunaan air untuk berbagai Penelitian dilakukan pada seluruh wilayah sungai keperluan, yang merupakan Indikator Tekanan di Indonesia. Nilai ketahanan air irigasi Penggunaan Air, dinyatakan dengan Indeks diidentifikasi pada setiap wilayah sungai Penggunaan Air (IPA), yaitu rasio antara berdasarkan indikator-indikator yang telah jumlah kebutuhan air terhadap ketersediaan dirumuskan dan data pendukungnya. Dalam hal air pada wilayah sungai. ini, kondisi dalam satu wilayah sungai diasumsikan homogen.

3.2. Analisis Data Keterangan: Penelitian ini menggunakan indikator ketahanan IPA = Indeks Penggunaan Air air yang diadopsi dari ADB (2016), namun D = jumlah kebutuhan air dikembangkan dan disesuaikan dengan S = jumlah ketersediaan air ketersediaan data dan karakteristik wilayah sungai di Indonesia. Bobot masing-masing Data kebutuhan air dan ketersediaan air setiap indikator yang nilainya sama pada ADB (2016), wilayah sungai diperoleh dari Puslitbang juga tidak dibuat sama nilainya, melainkan Sumber Daya Air, Badan Litbang PUPR. dipertimbangkan kembali menurut relevansi dan 3. Kondisi sawah irigasi, berupa Indikator kepentingan pengembangan sumber daya air di Swasembada Beras, dan Indikator Indonesia. Produktivitas. Indikator ketahanan air irigasi dibagi atas a) Indikator Swasembada Beras, merupakan komponen, yaitu: kondisi pasok air, kondisi kebalikan dari ketergantungan beras, yang penggunaan air, dan kondisi irigasi, sebagai merupakan rasio antara jumlah kebutuhan berikut: beras terhadap jumlah produksi beras. 1. Kondisi pasok air, yang terdiri atas: a) Indikator Variabilitas Pasok Air, dalam bentuk koefisien variasi dalam setahun. Keterangan:

NonSwa = Indikator Ketergantungan Beras

K = Jumlah kebutuhan beras P = Jumlah produksi beras

68 Jurnal Irigasi – Vol. 12, No. 2, Oktober 2017, Hal. 65-76

Data jumlah produksi beras per provinsi Tabel 1 Kriteria Variabilitas Pasok Air diperoleh dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Cv Limpasan Nilai Status mengenai produksi tahunan Gabah Kering < 0,20 5 Sangat Baik Giling (GKG) tiap provinsi. Sedangkan jumlah 0,20 – 0,40 4 Baik kebutuhan beras diperoleh dari perkalian 0,40 – 0,60 3 Sedang jumlah penduduk tiap provinsi dengan 0,60 – 0,75 2 Buruk kebutuhan beras per orang per tahun dari BPS. > 0,75 1 Sangat Buruk Sumber: Adaptasi dari ADB (2016) Selanjutnya data provinsi dikonversi ke wilayah sungai dengan asumsi homogenitas, Peta variabilitas limpasan pada Gambar 2 menggunakan sistem informasi geografis. menunjukkan bahwa semakin berkembang suatu Dengan asumsi bahwa sistem pertanian di wilayah menjadi perkotaan dan permukiman, seluruh wilayah sungai di Indonesia adalah maka semakin buruk nilai indikator variabilitas sama, maka swasembada pangan dalam limpasan, seperti yang terjadi pada seluruh Jawa produksi beras akan sebanding dengan kecuali Jawa Barat bagian Selatan. Juga terlihat swasembada pangan dalam bentuk air maya bahwa wilayah sungai yang masih belum sebagaimana digunakan oleh ADB (2016). berkembang, misalnya di Papua dan Kalimantan, memiliki nilai variabilitas yang “sangat baik”. b) Indikator Produktivitas Sawah, merupakan indeks produksi GKG per hektar/tahun, yang 4.2. Indikator Tampungan data setiap provinsi diperoleh dari BPS. Indikator tampungan merupakan rasio antara Dengan mengasumsikan bahwa faktor jumlah kapasitas tampungan terhadap jumlah produksi padi selain air adalah sama di seluruh rerata air yang tersedia pada wilayah sungai. wilayah sungai di Indonesia, maka Semakin banyak air yang dapat ditampung pada produktivitas sawah akan mencerminkan musim hujan, akan semakin banyak pula yang produktivitas air, yang merupakan salah satu dapat digunakan pada musim kemarau, komponen penting dari Ketahanan Air Irigasi menstabilkan pasok, dan meningkatkan nilai namun datanya sulit diperoleh. ketahanan air. Indikator dan kriteria ini mengikuti Metode Analytical Hierarvhy Process (AHP) yang ADB (2016) sebagaimana disajikan pada Tabel 2. merupakan suatu Decision Support System (DSS) Tabel 2 Kriteria Penilaian Tampungan untuk mendukung pengambilan keputusan Perbandingan dengan memberi bobot kriteria dan menyusun tampungan dan Nilai Status urutan prioritas, dalam penelitian ini digunakan jumlah air di WS untuk menentukan bobot masing-masing > 50% 5 Sangat Baik indikator, yang juga merupakan kriteria 20% - 50% 4 Baik Ketahanan Air Irigasi. Sedangkan proses 5% - 20% 3 Sedang pengolahan peta untuk konversi dari data 3% – 5% 2 Buruk provinsi ke wilayah sungai serta penyajian hasil < 3% 1 Sangat Buruk peta dilakukan dengan Sistem Informasi Geografis Sumber: ADB (2016) (GIS). Gambar 3 menunjukkan kondisi Indikator IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Tampungan pada wilayah sungai. Kondisi “baik” pada Indikator Tampungan dicapai oleh Wilayah 4.1. Indikator Variabilitas Pasok Air Sungai Citarum, dengan tiga waduk kaskade Indikator variabilitas ketersediaan air yang Saguling, Cirata dan Jatiluhur. Wilayah Sungai dinyatakan dengan besaran statistik koefisien Cimanuk-Cisanggarung, Serayu-Bogowonto, dan variasi limpasan Cv di wilayah sungai. Semakin Pemali-Juana dalam kondisi “sedang”, dan disusul tinggi nilai koefisien variasi maka semakin dengan Wilayah Sungai Bengawan Solo, Brantas, bervariasi pasok air atau debit limpasan (runoff), Lombok, Seputih Sekampung dengan Waduk pada musim hujan limpasan tinggi dan kering Batutegi, Toba-Asahan, dan Indragiri dengan pada musim kemarau, yang berarti pasok air tidak kondisi “buruk”. Sisanya adalah wilayah sungai dapat diandalkan, dan nilai indikator semakin yang nyaris tanpa bendungan memperoleh nilai buruk. Dengan adaptasi kriteria serupa untuk “sangat buruk”. hujan dari ADB (2016) maka kriteria ini disajikan pada Tabel 1.

Ketahanan Air Irigasi-Hatmoko, et al. 69

4.3. Indikator Tekanan Penggunaan Air Tabel 4 Kriteria Penilaian Ketergantungan Beras Indeks Nilai Status Besarnya ketersediaan air relatif terhadap ketergantungan penggunaan atau kebutuhan air yang dinyatakan < 0,5 5 Sangat Baik sebagai rasio antara kebutuhan air terhadap 0,5 – 1,0 4 Baik ketersediaan air dinamakan Indeks Penggunaan 1,0 – 1,5 3 Sedang Air (IPA), dan menyatakan Tekanan Penggunaan 1,5 – 3,0 2 Buruk Air. Semakin tinggi nilai IPA, semakin sulit > 3 1 Sangat Buruk mendapatkan air karena ketersediaan air yang Sumber: Adaptasi dari ADB (2016) relatif kecil dibandingkan dengan kebutuhan air Dengan data produksi gabah kering giling setiap (Tabel 3). provinsi dari BPS, dan data jumlah penduduk Tabel 3 Kriteria Indeks Penggunaan Air serta konsumsi beras rata-rata tiap provinsi, Indeks Nilai Status diperoleh nilai indeks swasembada beras. Penggunaan Air Konversi dari data provinsi ke wilayah sungai < 10% 5 Sangat Baik dilakukan dengan dukungan Sistem Informasi 10% - 20% 4 Baik Geografis seperti halnya pada data produktivitas 20% - 40% 3 Sedang sawah. 40% - 80% 2 Buruk > 80% 1 Sangat Buruk Hasil pemetaan swasembada beras pada Gambar Sumber: Adaptasi dari ADB (2016) 5 menunjukkan bahwa hampir seluruh wilayah sungai di Indonesia, kecuali di Papua, Maluku, Hasil Indikator Tekanan Penggunaan Air Kepulauan Riau, dan Bangka Belitung pada dipetakan dan disajikan pada Gambar 4. Indeks umumnya memiliki nilai swasembada beras yang Penggunaan Air “sangat buruk” terjadi di Wilayah “cukup” sampai dengan “baik sekali”, artinya Sungai Ciliwung-Cisadane, Bali-Penida dan beras yang dihasilkan mencukupi untuk konsumsi Lombok. Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane penduduk di wilayah sungai, bahkan dapat mendapat tekanan penggunaan air terutama mendukung pemenuhan kebutuhan beras pada untuk air minum DKI dan sekitarnya wilayah sungai lainnya. sebesar 41 m3/s. Wilayah Sungai Bali-Penida dan Lombok juga dalam kondisi air yang terbatas Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane dan Progo- disebabkan oleh pemanfaatan air untuk irigasi di Opak-Serang mendapat predikat swasembada kedua pulau tersebut yang sudah sampai taraf beras yang “sangat buruk”, disebabkan karena optimal dan tidak dapat dikembangkan lebih padatnya penduduk pada kedua wilayah sungai lanjut. tersebut dan relatif minimnya lahan sawah yang ada. Sedangkan wilayah sungai di Bangka- Wilayah sungai dengan daerah irigasi yang luas, Belitung, Kepulauan Riau dan sebagian Papua seperti sebagian besar wilayah sungai di Jawa, (Kamundan Sebyar, Omba dan Wapoga-Mimika) Sumbawa, dan Sulawesi Selatan pada umumnya juga berpredikat “sangat buruk” disebabkan mendapat predikat “buruk”, artinya sulit untuk minimnya luas lahan sawah pada wilayah sungai dikembangkan lebih lanjut, sebab terkendala yang bersangkutan. dengan jumlah ketersediaan air yang terbatas. Tekanan Penggunaan Air yang “cukup” terjadi 4.5. Indikator Produktivitas Sawah pada sebagian Jawa, Madura, Aceh, Lampung, Data produktivitas sawah diperoleh dari BPS, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, dan Flores, untuk provinsi di Indonesia. Untuk memperoleh mengindikasikan bahwa wilayah sungai tersebut nilai produktivitas sawah pada wilayah sungai, masih dapat dikembangkan pemanfaatan sumber maka dilakukan analisis informasi geografis daya airnya. dengan cara tumpang tindih dengan asumsi 4.4. Indikator Swasembada Beras homogenitas dalam provinsi, sehingga dapat dilakukan perhitungan produktivitas di wilayah Indikator swasembada beras merupakan sungai, dengan cara perbandingan luas provinsi kebalikan dari ketergantungan beras. Kriteria yang masuk dalam wilayah sungai yang dikaji. ketergantungan beras menyatakan ketergantungan suatu wilayah sungai terhadap Kriteria status nilai produktivitas sawah beras. Indikator ketergantungan beras merupakan didasarkan pada sebaran data dalam bentuk rasio antara kebutuhan beras dan produksi beras histogram pada Gambar 1, dan berdasarkan pada wilayah sungai, dengan mengadopsi kriteria sebaran histogram ini, dibagi atas 5 status dengan yang digunakan ADB (2016) yang aslinya adalah menggunakan interval yang sama, maka ketergantungan pangan dalam bentuk air maya, dihasilkan kriteria status penilaian yang disajikan pada Tabel 4 berikut. pada Tabel 5.

70 Jurnal Irigasi – Vol. 12, No. 2, Oktober 2017, Hal. 65-76

25 Hasil sebaran produktivitas pertanian pada wilayah sungai di Indonesia pada Gambar 6 20 menunjukkan bahwa angka produktivitas “sangat

baik” dicapai pada wilayah sungai di Jawa dan 15 Bali. Nilai “baik” diperoleh pada wilayah sungai di

10 Nusa Tenggara Barat dan Maluku, sebagian

Frekuensi Sumatera, Sulawesi, dan Papua. 5 4.6. Indikator Ketahanan Air Irigasi 0 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100 1. Penentuan bobot indikator Produktivitas (kuintal/ha) Dari lima buah indikator yang dikaji, yaitu produktivitas sawah, swasembada beras, Gambar 1 Histogram Produktivitas Tahunan GKG dari tampungan, variabilitas hujan, dan tekanan 1 hektar sawah (kuintal/ha) penggunaan air, tidaklah memiliki bobot atau Tabel 5 Kriteria Penilaian Produktivitas GKG pengaruh yang sama terhadap ketahanan air Produktivitas Nilai Status irigasi. Untuk menentukan bobot masing-masing (kuintal/ha) indikator, dilakukan penilaian dengan metode > 55 5 Sangat Baik Analytical Hierarchy Process (AHP), berdasarkan 45 - 55 4 Baik pengelompokan tiga kriteria: a) variabilitas pasok, 35 - 45 3 Sedang b) tekanan penggunaan air dalam bentuk Indeks 25 – 35 2 Buruk Penggunaan Air (IPA), dan c) kondisi irigasi, yang < 25 1 Sangat Buruk Sumber: Hasil Analisis hasilnya disajikan pada Gambar 7.

Koefisien Variasi Runoff Sangat baik (15) Baik (75) Cukup (19) Buruk (15) Sangat buruk (4)

Gambar 2 Koefisien Variasi Limpasan pada Wilayah Sungai

Indikator Tampungan Air Baik (1) Sedang (3) Buruk (6) Amat buruk (118)

Gambar 3 Tampungan pada Wilayah Sungai

Ketahanan Air Irigasi-Hatmoko, et al. 71

Tekanan Penggunaan Air Sangat baik (72) Baik (15) Sedang (22) Buruk (16) Sangat buruk (3)

Gambar 4 Indeks Penggunaan Air pada Wilayah Sungai

Swa Sembada Beras Sangat baik (49) Baik (43) Sedang (5) Buruk (23) Sangat buruk (8)

Gambar 5 Swasembada Beras pada Wilayah Sungai

Produktivitas Sangat baik (25) Baik (54) Sedang (33) Buruk (14) Sangat buruk (2)

Gambar 6 Produktivitas Sawah Irigasi Ada Wilayah Sungai

72 Jurnal Irigasi – Vol. 12, No. 2, Oktober 2017, Hal. 65-76

Ketahanan Air Irigasi

Tekanan Keandalan Pasok Kondisi Irigasi Penggunaan Air (25%) (50%) (25%)

Indeks Penggunaan Koefisien Variasi Cv Swasembada Air (IPA) (8,3%) (40%) (25%)

Tampungan Waduk Produktivitas (16,7%) (10%)

Gambar 7 Struktur AHP dan Bobot Indikator

2. Peta Ketahanan Air Irigasi Cidurian, Ciliman-Cibungur, Bali-Penida, dan Lombok. Hasil Peta Ketahanan Air Irigasi pada wilayah sungai di Indonesia disajikan pada Gambar 8, Wilayah Sungai Cidanau-Ciujung-Cidurian dan sedangkan detail nilai indikator pada beberapa Wilayah Sungai Ciliman-Cibungur memiliki pola wilayah sungai dinyatakan dalam Diagram Radar indikator yang serupa, yaitu nilai indikator pada Gambar 9. Pada umumnya ketahanan air swasembada beras dan Indeks Penggunaan Air irigasi di Indonesia selain Jawa adalah dalam yang sangat rendah disebabkan karena padatnya kondisi “sedang” dan “baik”. penduduk pada kedua wilayah sungai tersebut. Kondisi ini diperparah dengan minimnya Nilai ketahanan air irigasi “sangat buruk” terjadi tampungan air yang membuat indikator pada dua wilayah sungai di Jawa, yaitu Wilayah tampungan menjadi “sangat buruk”. Sungai Ciliwung-Cisadane, dan Wilayah Sungai Progo-Opak-Serang. Kedua wilayah sungai ini Wilayah Sungai Bangka, Belitung, dan Kepulauan memiliki pola indikator yang serupa pada diagram Seribu merupakan kepulauan dengan luas lahan radar di Gambar 9 yaitu indikator Tekanan irigasi yang sangat minim, sehingga nilai indikator Penggunaan Air yang sangat buruk karena swasembada beras dan produktivitas sawah tingginya kebutuhan air. Kebutuhan air baku yang sangat buruk, demikian pula indikator tampungan tinggi dan irigasi Cisadane terjadi di Wilayah waduk. Sungai Ciliwung-Cisadane yang meliputi wilayah Wilayah Sungai Bali-Penida dan Lombok memiliki administratif DKI Jakarta, sedangkan untuk pola indikator ketahanan air yang serupa, yaitu Wilayah Sungai Progo-Opak-Serang yang meliputi sebagai lumbung padi nasional memiliki irigasi wilayah administratif Daerah Istimewa yang sangat intensif dan telah mencapai kondisi Yogyakarta, juga tingginya kebutuhan air baku optimal, dengan demikian nilai indikator Indeks dan irigasi yang sangat intensif. Indikator lain Penggunaan Air menjadi “sangat buruk”, yang membuat terpuruknya ketahanan air irigasi sementara variabilitas pasok yang “buruk”, dan pada kedua wilayah sungai ini adalah nilai jumlah tampungan air dalam bentuk waduk relatif swasembada beras yang sangat buruk, disebabkan terhadap jumlah air pada wilayah sungai yang karena relatif minimnya luas lahan sawah “sangat buruk” di WS Bali-Penida dan “buruk” di dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada. WS Lombok. Walaupun swasembada beras dan Indikator ketiga yang juga sangat rendah adalah produktivitas berada antara “baik” dan “sangat indikator jumlah tampungan waduk yang sangat baik” namun ketiga indikator lainnya membuat buruk. kedua wilayah sungai yang telah dikelola secara Wilayah sungai dengan katagori ketahanan air optimal ini masuk ke dalam kategori ketahanan irigasi “buruk” adalah Wilayah Sungai Bangka, air yang “buruk”. Belitung, Kepulauan Seribu, Cidanau-Ciujung-

Ketahanan Air Irigasi-Hatmoko, et al. 73

Ketahanan Air Irigasi Baik (59) Sedang (60) Buruk (7) Sangat buruk (2)

Gambar 8 Ketahanan Air Irigasi pada Wilayah Sungai 3. Validasi hasil memungkinkan; (iii) penghematan air irigasi, antara lain dengan meningkatkan efisiensi irigasi; Untuk validasi hasil perhitungan nilai ketahanan dan (iv) penghematan air untuk pengguna air air pada wilayah sungai, berikut ini adalah lainnya. cuplikan berita-berita terkait dengan masalah kekurangan air irigasi. Untuk meningkatkan ketahanan air irigasi pada Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane dan Progo- Provinsi yang rawan terkena kekeringan sejak Opak-Serang, upaya yang dapat dilakukan adalah tahun 1995 adalah Jawa, Sumatera Selatan, dengan menambah tampungan air berupa waduk Sulawesi Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat dan dan embung, selain upaya non-fisik berupa Nusa Tenggara Timur1. Pada tahun 2015 yang penghematan air. sangat kering. Hingga akhir Juli 2015 kekeringan telah melanda 16 provinsi di Indonesia, meliputi Wilayah Sungai Cidanau-Ciujung-Cidurian dan 102 kabupaten atau kota dan 721 kecamatan di Ciliman-Cibungur, keduanya memiliki indeks Indonesia. 111 ribu hektar lahan pertanian juga produktivitas yang tinggi, namun dengan mengalami kekeringan. Provinsi yang mengalami padatnya penduduk menyebabkan buruknya nilai kekeringan adalah , Jabar, Jateng, DIY, indeks swasembada beras dan indeks penggunaan Jatim, Bengkulu, Papua, NTB, NTT, Sumsel, Sulsel, air. Pembangunan bendungan dan prasarana Lampung, Riau, Kalsel, Kalteng dan Bali. penyediaan air akan dapat meningkatkan Kekeringan paling banyak terjadi di Jateng, ketahanan air irigasi pada wilayah sungai ini. Lampung, Jabar, Jatim, Sumsel, dan NTB2. Pada Wilayah Sungai Bangka dan Belitung, Tahun 2017 bukan merupakan tahun yang kering, indikator Tekanan Pengguna Air yang “sangat namun demikian terdapat provinsi yang tetap baik” menunjukkan bahwa pada wilayah sungai mengalami kekeringan, yaitu Jawa Barat, Jawa ini jumlah air yang tersedia masih sangat Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa mencukupi untuk pengembangan irigasi. Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur3. Pengembangan irigasi dan pembangunan bendungan dan pemanfaatan danau yang telah Semua provinsi yang dalam pemberitaan surat ada akan memungkinkan peningkatan ketahanan kabar tersebut mengalami rawan kekeringan, air irigasi pada wilayah sungai ini. pada analisis penelitian ini juga termasuk dalam ketahanan irigasi yang “buruk”. Pada lumbung padi nasional Wilayah Sungai Bali- Penida dan Lombok, walaupun memiliki nilai 4. Upaya peningkatan ketahanan air irigasi produktivitas dan swasembada beras yang sangat Peningkatan ketahanan air irigasi dilakukan tinggi, namun mengalami Tekanan Penggunaan berdasarkan indikator ketahanan air irigasi, yaitu: Air dari irigasi dan pengguna air lainnya, atau (i) menambah tampungan air berupa waduk, dengan lain perkataan bahwa penggunaan air embung dan sebagainya; (ii) menambah luas telah mencapai titik optimal. Peningkatan irigasi jika kondisi ketersediaan pasok air ketahanan air irigasi dapat dilakukan dengan menambah tampungan air melalui pembangunan

bendungan dan embung. 1 Harian Republika, 8 September, 2014 2 Tribun Yogya, 1 Agustus 2015 3 Mongabay, 15 September 2017

74 Jurnal Irigasi – Vol. 12, No. 2, Oktober 2017, Hal. 65-76

Gambar 9 Diagram Radar Ketahanan Air Irigasi

V. KESIMPULAN Indeks Ketahanan Air pada wilayah sungai di Indonesia yang diperoleh dari penelitian ini Ketahanan air irigasi pada wilayah sungai di merupakan potret kondisi ketahanan air pada Indonesia pada umumnya dalam kondisi “sedang” saat ini. Prakiraan perubahan indeks ketahanan dan “baik”. Kondisi “sangat buruk” hanya terjadi air irigasi pada masa mendatang akibat pada wilayah sungai Ciliwung-Cisadane dan perubahan iklim, pertambahan penduduk, Wilayah Sungai Progo-Opak-Serang. Upaya yang pengelolaan irigasi dan skenario lainnya dapat dilakukan adalah pembangunan tampungan merupakan topik yang perlu diteliti lebih lanjut. air berupa waduk dan embung, serta penghematan air untuk semua pengguna air. UCAPAN TERIMA KASIH Kondisi “buruk” terjadi pada Wilayah Sungai Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Bangka, Belitung, Cidanau-Ciujung-Cidurian, Puslitbang Sumber Daya Air, Badan Litbang Ciliman-Cibungur, Progo-Opak-Serang, Bali- Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat; Penida, dan Lombok. Peningkatan ketahanan air khususnya juga kepada Kepala Balai Litbang irigasi pada Wilayah Sungai Bangka dan Belitung Hidrologi dan Tata Air, yang telah disarankan dengan pengembangan irigasi, mempercayakan kami dalam melaksanakan sedangkan untuk Wilayah Sungai Bali-Penida, kegiatan penelitian Ketahanan Air pada Wilayah Cidanau-Ciujung-Cidurian, dan Ciliman-Cibungur, Sungai di Indonesia, yang didanai APBN Tahun perlu pembangunan bendungan dan embung, Anggaran 2017. Terima kasih juga kami serta peningkatan kinerja jaringan irigasi dan sampaikan pada Bapak Prof. R. Wahyudi Triweko penghematan air bagi pengguna air lainnya. Ph.D, dan tim narasumber lainnya yang telah memberi arahan dan masukan yang mencerahkan.

Ketahanan Air Irigasi-Hatmoko, et al. 75

DAFTAR PUSTAKA Grey, D., & Sadoff, C. W. (2007). Sink or Swim? Water security for growth and development, Water ADB. (2016). Asian Water Development Outlook 2016, Policy, 9(6), 545–571. https://doi.org/10.2166/ Description of Methodology and Data. Diperoleh wp.2007.021 dari https://www.adb.org/sites/default/files/ publication/222676/awdo-2016-methodology- Head, B., & Cammerman, N. (2010). The Water-Energy data.pdf Nexus: A Challenge for Knowledge and Policy (Urban Water Security Research Alliance Asdak, C. (2015). Manajemen Konservasi Sumber Daya Technical Report No. 39). Diperoleh dari Air Terpadu: Prasyarat Ketahanan Pangan. http://www.urbanwateralliance.org.au/publicat Dalam Proceeding “Seminar Nasional ions/UWSRA-tr39.pdf Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup”. (pp. 1–7). Semarang: Program Khan, S. (2014). Water Security: Responses to Lokal, Pascasarjana Universitas Diponegoro. Regional, and Global Challenges with Special Reference to Asia-Pacific Region. Dalam APAN Beek, E. Van, & Arriens, W. L. (2014). Water Security: 37, Masterclass on Network-enabled Putting the Concept into Practice. Stockholm, Collaboration on Flood Mitigation and Water Sweden: Global Water Partnership. Security. Bandung: UNESCO. Clement, F. (2013). From Water Productivity to Water Mason, N., & Calow, R. (2012). Water security: from Security: A Paradigm Shift? Dalam B. Lankford, abstract concept to meaningful metrics; An initial K. Bakker, M. Zeitoun, & D. Conway (Ed.), Water overview of options (Working Paper 357). Security: Principles, Perspectives and Practices London, UK. Diperoleh dari (pp. 148–165). London, UK: Routledge. https://www.odi.org/sites/odi.org.uk/files/odi- https://doi.org/10.4324/9780203113202 assets/publications-opinion-files/7865.pdf Cook, C., & Bakker, K. (2012). Water security: Debating Pastor, A. V., Ludwig, F., Biemans, H., Hoff, H., & Kabat, P. an emerging paradigm. Global Environmental (2014). Accounting for environmental flow Change, 22(1), 94–102. https://doi.org/ requirements in global water assessments. 10.1016/j.gloenvcha.2011.10.011 Hydrology and Earth System Sciences, 18(12), Falkenmark, M. (2013). Adapting to climate change: 5041–5059. https://doi.org/10.5194/hess-18- towards societal water security in dry-climate 5041-2014 countries. International Journal of Water Radhika, Firmansyah, R., & Hatmoko, W. (2017). Konsep Resources Development, 29(2), 123–136. Indikator Ketahanan Air Irigasi. Dalam Prosiding https://doi.org/10.1080/07900627.2012.7217 Seminar Nasional INACID Jambi-Indonesia, 10-11 14 Maret 2017 (pp. 10–11). Jambi: INACID. Falkenmark, M., Lundqvist, J., & Widstrand, C. (1989). Rasul, G., & Sharma, B. (2016). The nexus approach to Macro-Scale Water Scarcity Requires Micro- water–energy–food security: an option for Scale Approaches - Aspects of Vulnerability in adaptation to climate change. Climate Policy, Semi-Arid Development. Natural Resources 16(6), 682–702. https://doi.org/10.1080/ Forum, 13(4), 258–267. 14693062.2015.1029865 Fischer, G., Hizsnyik, E., Tramberend, S., & Wiberg, D. Smakhtin, V. U., & Schipper, E. L. F. 008 . Droughts : (2015). Towards indicators for water security - A The impact of semantics and perceptions. Water global hydro-economic classification of water Policy, 10(2), 131–143. https://doi.org/10. challenges (IR-15-013). IIASA Interim Report. 2166/wp.2008.036 Laxenburg, Austria. Diperoleh dari http://pure.iiasa.ac.at/11676/1/IR-15-013.pdf UN-Water. (2013). Water Security & the Global Water Agenda (A UN-Water Analytical Brief). Diperoleh Gain, A. K., Giupponi, C., & Wada, Y. (2016). Measuring dari http://www.unwater.org/app/uploads/ global water security towards sustainable 2017/05/analytical_brief_oct2013_web.pdf development goals. Environmental Research Letters, 11(124015). https://doi.org/ 10.1088/1748-9326/11/12/124015 Gohar, A. A., Amer, S. A., & Ward, F. A. (2015). Irrigation infrastructure and water appropriation rules for food security. Journal of Hydrology, 520, 85–100. https://doi.org/10.1016/j.jhydrol.2014.11.036

76 Jurnal Irigasi – Vol. 12, No. 2, Oktober 2017, Hal. 65-76