<<

Vol. 15 No. 2, Desember 2014: 107-125

Kosmologis Tetabuhan dalam Upacara Ngaben

I Nyoman Cau Arsana 1 Jurusan Etnomusikologi, Institut Seni Yogyakarta

G.R. Lono L. Simatupang, R.M. Soedarsono, dan I Wayan Dibia Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

ABSTRAK Penelitian ini difokuskan pada dua hal, yaitu: (1) mendeskripsikan hubungan musik dan ritual melalui penggunaan tetabuhan dalam upacara ngaben dan (2) menemukan aspek-aspek kosmologis tetabuhan dalam upacara ngaben. Penelitian ini menggunakan perspektif etnomusikologis dipadukan dengan konsep agama dan "lsafat bunyi yang tertuang dalam lontar Prakempa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang sangat erat antara tetabuhan dan upacara ngaben yang teraplikasi lewat penggunaan tetabuhan dalam prosesi upacara ngaben. Penggunaan tetabuhan dalam upacara ngaben berkaitan erat dengan aspek-aspek kosmologis. Suara yang dijadikan dasar dari nada-nada adalah suara (bunyi) yang keluar dari alam. Suara tersebut digabungkan menjadi sepuluh suara yaitu panca suara patut dan panca suara patut yang menyebar ke seluruh penjuru alam. Tetabuhan dalam upacara ngaben, melalui jalinan nada-nada merupakan manifestasi dari pemujaan kepada ista dewata sebagai cermin konsep keseimbangan mikrokosmos, makrokosmos, dan metakosmos. Kata kunci: tetabuhan, ngaben, musik Bali

ABSTRACT "e Cosmology of Tetabuhan in Ngaben Ritual Ceremony. "is study focuses on two objectives: (1) to describe the relation of music and ritual through the use of tetabuhan in Ngaben ritual ceremony, and (2) to reveal the aspects of cosmology of tetabuhan in Ngaben ritual ceremony. "is study is conducted by employing the perspective of ethnomusicology which is combined with the concept of religion and the philosophy of sound of Lontar Prakempa. "e result of the study shows that there is a signi#cant relation of tetabuhan and Ngaben ritual ceremony that is revealed through the application of tetabuhan in the procession of Ngaben ritual ceremony. "e use of tetabuhan in Ngaben ritual ceremony is closely related with the aspects of cosmology. "rough the perspective of cosmology, the sounds or tones of Balinese gamelan are the re$ection of the sounds of nature/universe. "ose sounds are composed in ten sounds known as panca suara patut pelog and panca suara patut slendro. "e composition of tones of tetabuhan in Ngaben ritual ceremony, thus, is indeed a manifestation of devotion to Ista Dewata that re$ects the balance of the microcosmic, macrocosmic, and meta-cosmic spheres. Keywords: tetabuhan, ngaben, Balinese music

Pendahuluan orang yang telah meninggal. Proses peleburannya menggunakan api sebagai sarana utamanya, baik api Ngaben merupakan upacara penyucian roh konkret sebagai sarana untuk membakar jenazah, fase pertama dan peleburan jenazah dari unsur- maupun api abstrak yang berasal dari weda sang unsur panca mahabhuta pembentuk tubuh manusia sulinggih lewat sarana air suci tirtha pamralina dan dengan cara ngeseng sawa atau membakar jenazah tirtha pangentas. Oleh karena itu, ngaben sering

1 Alamat korespondensi: Jurusan Etnomusikologi Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta, Jln. Parangtritis km. 6,5 Yogyakarta. Hp: 08122709841. Email: [email protected] 107 I Nyoman Cau Arsana, dkk. Tetabuhan dalam Upacara Ngaben diartikan menuju api Brahma, dengan harapan upacara yang berlangsung seperti nista, madya, atau arwah dari orang yang diupacarai dapat menuju utama. Brahma-loka, tempat bersemayamnya dewa Kehadiran tetabuhan dalam ritual kematian Brahma sebagai dewa pencipta setelah terlebih ngaben dirasa sangat penting, mengingat dahulu mengalami proses penyucian (Purwita, keberadaannya masih dapat ditemukan dalam 1989/1990: 4). pelaksanaan ritual kematian di Bali sampai saat Bagi masyarakat Bali yang mayoritas beragama ini. Jika ada prosesi upacara ngaben, bunyi-bunyian Hindu, melaksanakan upacara ngaben adalah suatu tetabuhan terdengar menghiasi, menyemarakkan, kewajiban. Ritual ini dilakukan dengan penuh dan ikut berperan menyukseskan prosesi yang ketulusan sebagai penghormatan kepada leluhur. sedang berlangsung. Berdasarkan pengamatan Memperlakukan jasad orang yang telah meninggal di lapangan, belum pernah ditemui pelaksanaan dan mempersiapkan arwahnya untuk perjalanan upacara ngaben tanpa adanya bunyi-bunyian menuju surga, dan kemudian untuk menitis tetabuhan dalam prosesinya. Bahkan, jika tidak kembali ke dunia, adalah bagian paling penting dari ada gamelan secara langsung ( live), bunyi-bunyian hubungan manusia dengan leluhur (Dibia, 2012a: tetabuhan diputar melalui CD ( Compact Disk) atau 11-12). Secara nyata ( sekala), ngaben adalah upacara laptop. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa umat yang esensinya bertujuan untuk mengembalikan Hindu Bali memandang tetabuhan dalam konteks lima unsur mikrokosmos dari tubuh manusia(panca ritual ngaben bukan sekedar sebagai bunyi-bunyian mahabhuta) ke makrokosmos, alam semesta pelengkap prosesi, tetapi mengemban peran yang (Dibia, 2012a: 13). Secara niskala, upacara ngaben sangat penting dalam rangkaian prosesi ritual. bertujuan untuk mengembalikan atman pada Tetabuhan dalam ritual ngaben menjadi sumbernya yaitu Sang Hyang Wisesa , Tuhan Yang penting diungkap agar dapat diketahui konsep Maha Esa, yang merupakan asal dari semua ciptaan hidup umat Hindu Bali yang tercermin dalam (Wikarman, 1998:10). Secara sosial, pelaksanaan penggunaan bunyi-bunyian dalam ritual ngaben. prosesi upacara ngaben selalu melibatkan sanak Penelitian terdahulu memberikan gambaran bahwa keluarga dan masyarakat sekitar. Selain itu, unsur- orang Bali, dimana pun ia berada dan apa pun unsur yang terkait di dalamnya mengandung nilai yang ia perbuat, konsep keseimbangan hidup artistik yang tinggi. Dengan demikian, ngaben dapat dalam dimensi tunggal sampai dimensi sepuluh dipandang sebagai peristiwa multidimensional yang menjadi dasar perbuatannya (Bandem, 1986: 11). di dalamnya terkandung aspek ritual, sosial, dan Konsep tri hita karana , yaitu melakukan hubungan artistik. Hal yang menarik dalam pelaksanaan yang harmonis dengan Tuhan, dengan sesama upacara ngaben adalah dilibatkannya tetabuhan manusia, dan dengan lingkungan alam sekitar juga dalam rangkaian prosesi upacara. Istilah tetabuhan menjadi landasan hidup orang Bali (Wiana, 2007: yang digunakan dalam tulisan ini menunjuk pada 3). Konsep keseimbangan hidup lainnya adalah bunyi-bunyian yang dihasilkan dari alat-alat musik/ keseimbangan dalam dimensi lima yang tercermin gamelan. Secara bentuk, bunyi-bunyian yang dalam pelaksanaan ngaben sebagai ritual peleburan dihasilkan dapat digolongkan ke dalam bentuk jenazah lewat kremasi untuk mengembalikan musik instrumental. Oleh karena itu, dalam tulisan unsur-unsur panca mahabhuta pembentuk tubuh ini istilah tetabuhan dipakai untuk menyebutkan manusia (mikrokosmos) ke asalnya yaitu alam musik-musik instrumental yang digunakan dalam semesta (makrokosmos). Proses ini menunjukkan upacara ngaben. adanya kesadaran bahwa tubuh manusia ( bhuwana Ada beberapa ansambel gamelan yang biasa alit) yang bersumber dari alam ketika meninggal dipakai untuk memainkan tetabuhan dalam harus dikembalikan kepada sumbernya yaitu alam rangkaian upacara ngaben antara lain: balaganjur, semesta (bhuwana ). Hal ini menunjukkan gender wayang, , , selonding, adanya konsep kosmologis yang sangat kental kebyar, dan gong gede. Penggunaannya dalam ritual teraplikasi lewat ritual ngaben. ngaben disesuaikan dengan pelaksanaan tingkatan Penggunaan tetabuhan dalam upacara ngaben

108 Vol. 15 No. 2, Desember 2014 khususnya ditinjau dari aspek-aspek kosmologis instrumen-instrumen penggarap ritme/ belum pernah diungkap dalam penelitian-peneli- terdiri dari sepasang ageng ( lanang- tian terdahulu, padahal tetabuhan selalu menyertai wadon), sepasang gong ageng ( lanang-wadon), pelaksanaan prosesi ritual ngaben. Hal ini diduga sebuah kempur, sebuah kempli, sebuah babende , terkait dengan aspek-aspek kosmologis sebagai cer- dan beberapa pasang cengceng kopyak (Sukerta, min dari konsep hidup orang Bali. Oleh karena itu, 1998: 72). penelitian ini dipandang penting untuk dilakukan. Balaganjur peponggangan adalah ansambel Berdasarkan paparan di atas, ada dua perma- balaganjur yang tidak memakai instrumen salahan yang diajukan dalam tulisan ini yaitu: (1) . Keseluruhan ansambel ini terdiri atas Bagaimana penggunaan tetabuhan dalam upacara sepasang kendang cedugan ( lanang-wadon), ngaben dan (2) Bagaimana aspek-aspek kosmologis dua buah ponggang nada ndung (5) dan ndang tetabuhan dalam upacara ngaben. (6), satu buah tawa-tawa, satu buah kempli, beberapa cakep cengceng kopyak, sepasang Tetabuhan dalam Upacara Ngaben gong (lanang-wadon), satu buah kempur, dan satu buah babende. Balaganjur babonangan Ada beberapa tetabuhan yang biasa dimainkan terdiri atas sepasang kendang cedugan (lanang- dalam upacara ngaben yaitu: balaganjur, gender wadon), dua buah ponggang nada ndung (5) wayang, angklung, gambang, selonding, gong kebyar , dan ndang (6), empat pencon reyong nada dan gong gede. Gambaran ketujuh ansambel gamelan ndong (2), ndeng (3), ndung (5), dan ndang tersebut dapat dilihat dalam uraian berikut. (6), sepasang gong ageng lanang-wadon, sebuah 1. Balaganjur kempur, sebuah babende, sebuah kajar, sebuah Balaganjur adalah seperangkat gamelan kempli, dan beberapa pasang cengceng kopyak yang terdiri atas instrumen-instrumen perkusi (Sukerta, 1998: 72; Bakan, 1999: 44). Gending berlaras pelog. Barungan (ansambel) yang sangat yang dimainkan adalah bentuk gending gilak. dinamis dan bersemangat ini tergolong ke dalam Ansambel ini sering digunakan sebagai musik barungan madya (Dibia, 2012b: 125). Ansambel prosesi dalam kegiatan ritual, di samping secara ini biasa digunakan sebagai musik prosesi baik musikal dikemas khusus untuk kegiatan non dalam kegiatan upacara maupun dalam kegiatan ritual seperti lomba balaganjur. festival-festival di Bali. Sebagian masyarakat di Selain ketiga ansambel balaganjur di atas, Bali menyebut balaganjur dengan istilah kala- pada tahun 1997 berkembang satu jenis an- ganjur atau bleganjur/blaganjur. Istilah tersebut sambel balaganjur yaitu balaganjur semaradana, sama-sama digunakan untuk menyebutkan ben- merupakan inovasi gamelan balaganjur dengan tuk musik prosesi berkarakter dinamis, keras, cara memadukan gamelan semaradana dengan semangat, dan sejenisnya yang sering digunakan gamelan balaganjur yang diprakarsai oleh I dalam prosesi ritual di Bali seperti: dewa yadnya Ketut Suandita. Ansambel ini mampu me- (mapeed atau melasti), bhuta yadnya (mecaru atau nyajikan gending-gending balaganjur dengan ngerupuk sebelum perayaan Nyepi) , dan pitra karakter musikal seperti enerjik, lincah, lembut, yadnya (ngaben). maskulin, feminin, muda, halus, penuh sema- Ada beberapa macam gamelan balaganjur ngat, keras, dan bagaikan api asmara (Ardana, yang disesuaikan dengan jumlah instrumen 2013: 146-147). Secara instrumentasi ansambel dalam ansambel tersebut, antara lain: bala- ini mirip dengan balaganjur babonangan . Perbe- ganjur bebatelan, balaganjur peponggangan, daannya terletak pada penggunaan instrumen dan balaganjur babonangan (Sukerta, 1998:72; reyong berjumlah sembilan pencon dan tujuh Bakan, 1999: 42-44). Balaganjur bebatelan sampai sepuluh buah menengah. adalah ansambel balaganjur yang di dalamnya Gamelan balaganjur yang digunakan dalam tidak menggunakan instrumen reyong dan pong- prosesi upacara ngaben yang penulis amati gang. Keseluruhan instrumennya merupakan adalah balaganjur peponggangan dan balaganjur

109 I Nyoman Cau Arsana, dkk. Tetabuhan dalam Upacara Ngaben

babonangan. Jumlah pemain yang dibutuhkan jukan wayang kulit. Di samping itu, gamelan untuk memainkan ansambel balaganjur ini sering disajikan secara instrumental dalam peponggangan atau balaganjur babonangan pelaksanaan ritual agama seperti mesangih (po- adalah sesuai dengan jumlah instrumen yang tong gigi) dan dalam upacara ngaben. Berkaitan ada. Masing-masing penabuh memainkan satu dengan prosesi upacara ngaben terutama pada instrumen. Dengan demikian dibutuhkan upacara pemberangkatan jenazah, gender wayang kurang lebih 25 sampai 30 orang pemain. diletakkan dengan cara diikatkan pada sisi kanan Gending yang dimainkan adalah bentuk gending dan kiri pamereman baik berupa padma, wadah, gilak, satu bentuk gending berukuran pendek atau bade. Dengan posisi seperti itu, pemain yang terdiri atas delapan ketukan (paneliti ) gender wayang akan ikut digotong, sehingga dalam satu putaran gong. Dalam balaganjur penabuh gender bisa menabuh saat prosesi ber- peponggangan, penekanan sajiannya terletak langsung. pada pengolahan variasi ritme yang dihasilkan Gending yang dimainkan pada prosesi oleh jalinan pukulan beberapa instrumen ritmis ngaben adalah angkat-angkatan. Dalam pertun- cengceng kopyak serta pengolahan dinamika dan jukan wayang kulit, gending ini dipakai un- tempo lagunya. Sementara dalam balaganjur tuk mengiringi adegan berjalan dari tokoh babonangan, di samping aspek tersebut juga wayang, misalnya selesai adegan paruman, ditambah dengan penggarapan aspek melodis tokoh wayang pergi ke hutan, ke gunung, yang ditampilkan melalui jalinan melodi reyong . ke medan perang atau tempat lainnya. Pola Kedua jenis balaganjur tersebut dalam sajiannya melodi yang dimainkan adalah pola melodi dipimpin oleh dua orang pemain kendang ( juru pendek (oscinato) yang dimainkan secara ber- kendang atau tukang kendang) sebagai pamurba ulang-ulang. Pengembangannya dilakukan de- irama. ngan cara sekwens, dengan memainkan pola 2. Gender Wayang yang sama dalam wilayah nada yang berbeda. Gender wayang merupakan instrumen de- Walau dalam satu pola, kerumitan permainan ngan sepuluh bilah berlaras slendro lima nada gender sangat tampak. Selain angkat-angkatan, dimainkan oleh seorang penabuh dengan meng- beberapa gending yang sering dimainkan dalam gunakan sepasang panggul gender. Tangan kiri prosesi pemberangkatan jenazah adalah Katak memegang satu buah panggul (Jawa: tabuh) yang Ngongkek, Gadebeg, Glagah Puwun, gending memainkan nada-nada rendah di bagian kiri tetangisan seperti Mesem atau Bendu Semara sebagai melodi pokok atau nada-nada ruas lagu (Wawancara dengan Ida Bagus Putu Catem). (seperti pola permainan jublag). Tangan kanan 3. Angklung memegang satu buah panggul memainkan nada- Angklung adalah ansambel gamelan Bali nada di bagian kanan gender, membuat variasi berlaras slendro empat nada, yang terdiri dari atau pola melodi sebagai pengembangan dari kelompok instrumen idiophone, , pola jublag dengan cara memainkan kakemban- dan . Kelompok instrumen idiophone gan dan ubit-ubitan (Dibia, 2012b: 122). Bi- dalam ansambel angklung antara lain: satu asanya gender wayang dimainkan minimal oleh tungguh reyong yang terdiri atas delapan pencon, dua orang yang masing-masing memainkan satu sepasang jegogan, masing-masing memakai tungguh gender. Satu orang penabuh memain- empat bilah, tiga pasang pamade, tiga kan pukulan polos, sementara penabuh lainnya pasang gangsa kantil, sebuah instrumen kempur membawakan pukulan sangsih. Gabungan dari (berfungsi sebagai gong), sebuah tawa-tawa, permainan kedua gender ini menghasilkan jalin- sebuah klenang, dan satu pangkon cengceng an melodi yang saling mengisi (ubit-ubitan atau ricik. Instrumen lainnya yaitu sepasang kendang interlocking #guration). angklung lanang-wadon (membranophone), dan Selaras dengan namanya, instrumen gender beberapa buah instrumen aerophone berupa wayang biasa dipakai untuk mengiringi pertun- suling cenik (suling berukuran kecil).

110 Vol. 15 No. 2, Desember 2014

Ketika upacara ngaben, angklung bisa atau tali pada sebuah pelawah yang terbuat memainkan gending-gending pategak untuk dari kayu. Setiap instrumen dimainkan oleh menambah kekhidmatan upacara atau seorang penabuh dengan menggunakan dua memainkan gending gilak untuk mengiringi buah panggul yang bentuknya bercabang dan prosesi pemberangkatan jenazah dari rumah menyudut yang diatur sedemikian rupa sehingga duka menuju ke kuburan. Jika dalam prosesi masing-masing panggul akan memainkan nada pemberangkatan jenazah melibatkan ansambel ngumbang-ngisep. Dalam ansambel gambang angklung, biasanya posisi ansambel berada di terdapat empat tungguh gambang yaitu gambang belakang pamereman bersama-sama dengan pengenter, pemero, penyelat, dan pemetit, ber- kelompok juru kakawin . Penempatan ini sangat fungsi untuk mengisi melodi pokok yang cocok dengan karakter lagu yang dihasilkan oleh dimainkan oleh instrumen gangsa dengan pola ansambel tersebut. Karakternya yang tenang, pukulan malpal, oncang-oncangan, nyading, dan pasrah, dengan tempo lagunya lambat, seakan- ngikal (Sinti, 2011: 12) . Nama-nama gending akan menggambarkan ketenangan perjalanan yang biasa dimainkan antara lain: Labda, Wasi, yang panjang. Hal ini juga berpengaruh pada Panji Marga, Demung, Manukaba, Alis-alis Ijo, pengusung pamereman sehingga dapat dengan Palugon, Malat, Bangkung Arig, Kebo Dungkul, tenang mengusung pamereman yang berisi dan lain-lain (Rai, 1992: 9-10). jenazah. 5. Selonding 4. Gambang Selonding merupakan gamelan berbentuk Gambang adalah gamelan berlaras pelog bilah yang terbuat dari besi berlaras pelog tujuh tujuh nada yang tergolong tua, langka, dan nada. Barungan alit yang tergolong tua dan sakral, termasuk kelompok barungan alit yang langka ini, sangat disakralkan oleh masyarakat biasanya melibatkan empat sampai enam pe- pemiliknya. Dua desa di Kabupaten Karangasem main (Dibia, 2012b: 114). Gamelan gambang yang memiliki tradisi gamelan selonding yang terdiri atas dua jenis instrumen yaitu gangsa dan kuat adalah Tenganan dan Bongaya. Bahkan, gambang. Gangsa adalah instrumen berbilah di Tenganan Pagringsingan, gamelan selonding yang bahannya terbuat dari perunggu. Tiap- diperlakukan sebagai benda keramat dan diberi tiap tungguh (instrumen) terdiri atas tujuh bilah/ nama Bhatara Bagus Selonding (Dibia, 2012b: nada, dipasang dengan cara dipatok pada sebuah 117). pelawah yang terbuat dari kayu, dimainkan Ada delapan buah instrumen yang terdapat dengan cara dipukul dengan menggunakan dalam gamelan selonding, antara lain: dua sebuah panggul (alat pemukul gamelan) yang tungguh gong (gong ageng dan gong alit), dua terbuat dari kayu atau tanduk kerbau. Dilihat tungguh (kempul ageng dan kempul alit), dari bentuknya, instrumen ini mirip dengan satu tungguh peenem, dan satu tungguh petuduh. gangsa jongkok dalam gamelan gong gede. Dalam Keenam tungguh instrumen tersebut, masing- gamelan gambang terdapat dua tungguh gangsa masing tungguh nya terdiri atas empat bilah. Dua yaitu penyorog dan pengumbang (Sinti, 2011: 16) tungguh instrumen lainnya adalah satu tungguh yang biasanya dimainkan oleh seorang penabuh nyongnyong ageng dan satu tungguh nyongnyong dengan pola pukulan kakenyongan memainkan alit yang masing-masing tungguh- nya terdiri atas melodi pokok gending gambang. delapan bilah. Instrumen lainnya, yaitu gambang, meru- Gamelan selonding yang masih dikeramat- pakan instrumen berbilah yang bahan bilahnya kan di desa Tenganan Pagringsingan hanya di- terbuat dari bambu (tiying petung atau tiying mainkan pada saat upacara tertentu seperti Aci tali). Tiap tungguh instrumen terdiri atas Kasa dan Aci Sambah. Namun, seiring dengan empat belas bilah yang disusun dengan urutan perkembangan jaman, gamelan ini mulai di- nada yang sangat khas. Bilah-bilah tersebut buat imitasinya. Perkembangannya tidak saja dipasang dengan cara digantung dengan benang meliputi daerah di Kabupaten Karangasem,

111 I Nyoman Cau Arsana, dkk. Tetabuhan dalam Upacara Ngaben

melainkan juga menyebar di kabupaten lainnya tungguh jublag, empat tungguh penyacah, satu di Bali, bahkan masuk ke institusi seni seperti tungguh reong, dua buah gong (lanang-wadon), ISI Yogyakarta menjadi salah satu ansambel satu buah kempur, satu buah bebende, satu yang diperkenalkan kepada mahasiswa Jurusan buah kempli, beberapa pasang ceng-ceng kopyak, Etnomusikologi FSP ISI Yogyakarta. beberapa buah suling, dan satu tungguh gentorag . Sejalan dengan perkembangannya, ansam- Gamelan gong gede memiliki suara yang bel ini tidak saja dimainkan dalam konteks besar dan keras sehingga mampu membangun upacara ritual, melainkan juga dipakai sebagai kesan agung dan berwibawa. Ansambel ini biasa media kreativitas dalam membuat komposisi. digunakan untuk memainkan tabuh-tabuh Tidak jarang ditemukan gamelan selonding yang lelambatan klasik, disajikan dalam upacara- disajikan dalam event-event festival baik bertaraf upacara dewa yadnya, termasuk mengiringi tari lokal, nasional, maupun internasional. Oleh upacara seperti Baris, Topeng, Rejang, Pendet, karena itu, di Bali bermunculan karya-karya dan lain-lain. Di samping untuk dewa yadnya, baru dengan menggunakan gamelan selonding. gong gede juga dimainkan dalam upacara ngaben Selonding juga pernah digunakan sebagai seperti yang terlihat dalam upacara ngaben di media oleh I Wayan Senen dalam membuat Puri Agung Abiansemal untuk mengiringi Tari komposisi berjudul Atmanastuti dan Haryanto Baris Katekok Jago dan memainkan tabuh- dalam membuat komposisi Sekar Jagad yang tabuh pategak atau lelambatan ketika proses dipentaskan di Gedung Concert Hall ISI pembakaran jenazah di setra. Yogyakarta. Dalam konteks ritual, selonding tidak 7. Gong Kebyar saja digunakan dalam upacara-upacara ritual Gong kebyar merupakan suatu barungan di Tenganan, tetapi sudah berkembang sampai gamelan Bali yang menggunakan berbagai jenis ke kabupaten lainnya seperti yang dimainkan tungguhan berlaras pelog lima nada yang biasa dalam upacara ngaben di Puri Agung Abiansemal dipakai untuk menyajikan gending kekebyaran Badung. Gending-gending yang dimainkan atau mengiringi tari kebyar (Sukerta, 2009: 7; antara lain: Sekar Gadung, Dauh Tukad, Rejang Senen, 1998: 10). Sesuai dengan namanya, gong Ucek, Lagu Kuna, dan Nyangjangan. kebyar yang berarti gamelan dengan suara keras 6. Gong Gede dan menggelegar yang datang secara tiba-tiba, Sesuai dengan namanya, gong gede gamelan ini menghasilkan musik-musik yang termasuk barungan ageng yang instrumen- sangat dinamis (Dibia, 2012b: 141). Ansambel instrumennya seperti gangsa, kendang, gong, yang muncul di Bali Utara pada tahun 1915 dan ceng-ceng kopyak berukuran relatif lebih (McPhee, 1966: 16) mempunyai karakter besar dibanding dengan yang terdapat dalam musikal yang enerjik, semangat, lincah, dinamis, gong kebyar. Gamelan golongan madya yang juga dan sejenisnya yang diwujudkan dalam bentuk termasuk gamelan langka karena hanya ada di tetabuhan dengan bunyi yang keras yang datang beberapa desa di kabupaten dan kota di Bali secara tiba-tiba, menggelegar, dan meledak- seperti: Badung, Denpasar, Gianyar, Bangli, ledak (Dibia, 2008: 2). dan Buleleng, dimainkan oleh sekitar 40 – 50 Barungan terdiri atas penabuh (Dibia, 2012b: 130). Ansambel berlaras beberapa tungguhan (instrumen) yang dapat pelog lima nada ini terdiri atas dua buah kendang diklasi"kasikan menjadi enam yaitu kelompok cedugan (lanang-wadon), satu tungguh terompong tungguhan bantang gending, penandan, pe- ageng, satu tungguh terompong alit/barangan, payasan, pesu-mulih, pemanis, dan pengramen satu pangkon kempyung, empat sampai delapan (Sukerta, 2009: 151). Kelompok tungguhan tungguh gangsa jongkok penunggal (demung), bantang gending meliputi tungguhan jublag empat tungguh gangsa jongkok pengangkep dan penyacah; kelompok tungguhan penandan (pemade), empat tungguh gangsa jongkok curing adalah terompong, kendang, , ketuk/kajar, (kantilan), empat tungguh jegogan, empat dan bebende; kelompok tungguhan pepayasan

112 Vol. 15 No. 2, Desember 2014

meliputi reyong, pemade, dan kantil; kelompok ngaben ageng. tungguhan pesu-mulih yaitu jegogan, kempur, Perbedaan masing-masing tingkatan kemong, kempli, dan gong; kelompok tungguhan upacara ngaben bisa dilihat dari sarana sesajen pemanis adalah suling dan ; serta kelompok (banten bebangkit) yang dipersembahkan, sang tungguhan pengramen meliputi ceng-ceng ricik pemuput karya (orang suci yang memimpin dan ceng-ceng kopyak. atau menyelesaikan upacara), dan batas waktu Di Bali, gamelan gong kebyar mengalami pelaksanaannya(“Awig-awig Desa Adat Sedang”, perkembangan yang sangat pesat. Hampir 1992: 20). Di samping itu, tingkatan upacara semua desa di Bali memiliki ansambel ini, ngaben bisa juga dilihat dari jenis uparengga bahkan ada satu desa memiliki lebih dari satu (alat-alat upacara) yang digunakan (wawancara barungan gong kebyar. Rai (Dibia, 2008: 7) dengan Ida Bagus Januraga). Ngaben nista/alit menyampaikan bahwa hingga kini di Bali telah adalah upacara ngaben yang banten-nya tidak tercatat tidak kurang dari 1.600 barung gamelan menggunakan bebangkit, pemimpin upacaranya gong kebyar yang menjadi milik banjar, desa, (pemuput karya ) adalah pemangku/siwa yang lembaga formal, maupun perseorangan. Jumlah belum di-dwijati, batas waktu pelaksanaannya itu belum termasuk gamelan gong kebyar yang maksimal dua minggu dihitung sejak kematian, tersebar di berbagai kota di Indonesia dan manca dan uparengga (alat upacaranya) cukup dengan negara. penegenan, lelangen, atau joli. Ngaben madya adalah Perkembangan gong kebyar yang begitu upacara ngaben yang banten-nya menggunakan pesat didukung oleh sifatnya yang #eksibel maksimal tiga bebangkit, pemimpin upacaranya dalam artian di samping memainkan gending- (pemuput) adalah sang sulinggih atau peranda, gending kekebyaran, ansambel ini dapat batas waktu pelaksanaannya maksimal tiga memainkan gending-gending lelambatan yang minggu dihitung sejak kematian, dan uparengga biasa dimainkan dalam ansambel gong gede, menggunakan pamereman berupa wadah atau gending-gending semar pagulingan, gending- padma. Ngaben utama/ageng adalah upacara ngaben gending palegongan, dang gending-gending yang menggunakan banten bebangkit lebih dari tiga babarongan. Hal ini menyebabkan gong kebyar soroh, pemimpin upacaranya ( pemuput) adalah sang menjadi multifungsi, bisa dimainkan dalam sulinggih atau peranda, batas waktu pelaksanaannya konteks ritual maupun untuk hiburan. Dalam maksimal satu tahun dihitung sejak kematian, konteks ritual, gong kebyar sering dimainkan dan uparengga (alat upacaranya) menggunakan dalam upacara dewa yadnya, bhuta yadnya, pamereman berupa wadah, padma, atau bade, manusa yadnya, dan pitra yadnya (ngaben). menggunakan patulangan seperti lembu, dilengkapi ogoh-ogoh (Kaki Patuk – Dadong Sompret), dan Penggunaan Tetabuhan dalam Upacara lain-lain. Tingkatan upacara ngaben dapat dilihat Ngaben pada tabel 1. Tingkatan upacara ngaben tersebut berkaitan Untuk memberikan gambaran penggunaan pula dengan penggunaan tetabuhan dalam prosesi tetabuhan dalam upacara ngaben, terlebih dahulu upacaranya. Dari ketujuh barungan gamelan yang akan dipaparkan tentang tingkatan upacara telah disebutkan, penggunaannya dalam masing- ngaben yaitu nista, madya, dan utama . Tingkatan masing tingkatan upacaranya dapat dilihat pada ini mengacu pada tingkatan pelaksanaan upacara tabel 2. Penggunaan tetabuhan yang disampaikan agama secara umum yang dilihat dari segi berdasarkan pada pengamatan upacara ngaben alit penampilan upacaranya yaitu nista/alit (kecil), yang berlangsung di Banjar Lambing Sibang Kaja madya (menengah), dan utama/ageng (besar) tanggal 5 Agustus 2014, ngaben madya di Banjar (Wiana, 1993: 114; Kaler, 1993: 37). Oleh karena Kedampal Abiansemal tanggal 8 Agustus 2014, itu, dalam upacara ngaben dikenal upacara ngaben dan upacara ngaben ageng (palebon) di Puri Agung nista/ngaben alit, ngaben madya, dan ngaben utama/ Abiansemal tanggal 11 Agustus 2014.

113 I Nyoman Cau Arsana, dkk. Tetabuhan dalam Upacara Ngaben

No Tingkatan Upacara Ciri-ciri 1. Ngaben Nista/Alit Banten : kecil/sederhana, tidak menggunakan bebangkit Pemuput karya : pemangku atau siwa ( brahmana yang belum di-dwijati) Lama pelaksanaan: maksimal dua minggu sejak kematian Uparengga : lelangen , joli, atau penegenan sawa 2. Ngaben Madya Banten : menengah, menggunakan maksimal tiga bebangkit Pemuput karya : peranda Lama pelaksanaan: maksimal tiga minggu sejak kematian Uparengga : pamereman berupa wadah atau padma, dan sejenisnya 3. Ngaben Utama/Ageng Banten : besar, menggunakan bebangkit lebih dari tiga soroh Pemuput karya : peranda Lama pelaksanaan: maksimal satu tahun sejak kematian Uparengga : - pamereman berupa wadah, padma, atau bade dan sejenisnya - menggunakan lembu, ogoh-ogoh, dan sejenisnya

Tabel 1. Tingkatan upacara ngaben dan ciri-cirinya

Tingkatan Upacara Prosesi Upacara Tetabuhan yang Digunakan 1. Memandikan jenazah (nyiramang layon ) - 2. Jenazah dinaikkan ke bale untuk disemayam- - kan/diupacarai 3. Pebaktian - Ngaben Nista/Alit 4. Pemerasan - (di Banjar Lambing Sibang 5. Mepegat - Kaja) 6. Memargi ke setra Balaganjur (1 barung) 7. Ngeseng sawa (membakar jenazah) Angklung (diputar dengan laptop) 8. Ngareka - 9. Nganyut - 1. Memandikan jenazah (nyiramang layon ) - 2. Jenazah dinaikkan ke bale untuk disemayam- - kan/diupacarai 3. Pebaktian - Ngaben Madya 4. Pemerasan - (di Banjar Kedampal 5. Mepegat - Abiansemal) 6. Memargi ke setra Balaganjur (1 barung) Gender Wayang (sepasang) 7. Ngeseng sawa (membakar jenazah) Balaganjur ( ngelambat) 8. Ngareka - 9. Nganyut - 1. Memandikan jenazah (nyiramang layon ) Gambang (1 barung) Gong Kebyar memainkan lelambatan 2. Jenazah dinaikkan ke bale untuk disemayam- Gambang (1 barung) kan/diupacarai Gong Kebyar memainkan lelambatan Ngaben Utama/Ageng 3. Pebaktian - (di Puri Agung Abiansemal) 4. Pemerasan Selonding (1 barung) 5. Mepegat Gong Kebyar memainkan lelambatan 6. Memargi ke setra Balaganjur (2 barung) Gender Wayang (sepasang) 7. Ngeseng sawa (membakar jenazah) Gong Gede 8. Ngareka Gong Gede 9. Nganyut Balaganjur (1 barung) Tabel 2. Tingkatan upacara ngaben , prosesi upacara dan tetabuhan yang digunakan

114 Vol. 15 No. 2, Desember 2014

Tabel 2 menunjukkan bahwa penggunaan prosesi memandikan jenazah ( nyiramang layon ) tetabuhan pada upacara ngaben nista/ngaben alit yang diadakan pada hari Jumat 8 Agustus 2014 dan ngaben madya terdapat pada prosesi memargi jam 15.00. Gambang di jeroan puri (halaman ke setra. Pada ngaben alit yang berlangsung di Ban- dalam puri) dimainkan secara bergantian (atau jar Lambing Sibang Kaja tanggal 5 Agustus 2014, kadang-kadang bersamaan) dengan gong kebyar prosesi memargi ke setra diiringi gemuruh tetabuh- yang memainkan gending-gending lelambatan di an ansambel balaganjur, mengantarkan jenazah jaba puri (halaman luar puri). Hari berikutnya dari rumah duka menuju kuburan ( setra). Sesam- yakni tanggal 9 Agustus 2014 jam 13.30, gong pai di setra, balaganjur dimainkan beberapa saat kebyar dimainkan oleh Sekaa Gong Apsari Budaya dan berhenti seiring dengan prosesi pembakaran Banjar Kedampal ( sekaa gong ibu-ibu) menyajikan jenazah siap dilaksanakan. Ketika jenazah diba- gending-gending lelambatan untuk ngerentebin karya kar, terdengar bunyi tetabuhan ansambel angklung (membangun dan menambah khidmat suasana yang bersumber dari mobil petugas pembakar je- upacara). Pada puncak acara, Senin 11 Agustus nazah yang diputar lewat laptop. Jadi, ada dua jenis 2014, ketika persiapan prosesi memargi ke setra, tetabuhan yang dimainkan dalam prosesi upacara gamelan selonding di jeroan puri dimainkan secara ngaben alit tersebut yaitu balaganjur dan angklung bergantian dan kadang-kadang bersamaan dengan (tidak live), sementara prosesi lainnya seperti me- gong kebyar yang menyajikan gending-gending mandikan jenazah, pemerasan, mepegat, ngareka, lelambatan di jaba puri. Saat prosesi memargi ke dan nganyut diiringi tetembangan (seni suara vokal). setra, ada tiga ansambel gamelan yang dimainkan Sama halnya dengan ngaben alit di Sibang yaitu dua barung balaganjur dan sepasang gender Kaja, penggunaan tetabuhan pada upacara ngaben wayang. Satu barung balaganjur dimainkan di madya di Kedampal Abiansemal tanggal 8 Agustus belakang pengusung lembu dan satu barung lainnya 2014 juga terlihat pada prosesi memargi ke setra, dimainkan di belakang pengusung pamereman hanya saja berbeda jumlah/jenis barungan gamelan (bade). Sementara sepasang gender wayang yang dimainkan. Pada ngaben alit di Sibang dimainkan di sisi kiri dan kanan dengan cara Kaja prosesi memargi ke setra diiringi ansambel diikatkan pada sanan pamereman (bade). Sesampai balaganjur saja, namun di Kedampal, prosesi di setra, gong gede dimainkan untuk mengiringi Tari tersebut diiringi dua ansambel yaitu balaganjur Baris Ketekok Jago yang dilanjutkan memainkan dan gender wayang. Sepasang gender wayang yang gending-gendig pategak (lelambatan) seperti Tabuh berkarakter tenang, mitis, dan damai dimainkan Telu Buaya Mangap, Tabuh Telu Gajah Nongklang, di sisi kiri dan kanan wadah dengan cara diikatkan Tabuh Pat Semarandana, Tabuh Pat Jagul, dan pada sanan wadah, sementara balaganjur yang riuh, lain-lainnya untuk mengiringi prosesi pembakaran gemuruh, dan menghentak-hentak dimainkan di jenazah. Selesai pembakaran jenazah, prosesi ngaben belakangnya. Sesampai di setra, gamelan gender pada hari itu diakhiri dengan nganyut (melarung wayang berhenti dimainkan, sementara balaganjur sekah) ke laut yang diiringi dengan tetabuhan memainkan gending-gending bertempo lambat balaganjur bertempo sedang atau lambat ( sedeng (alon) mengiringi prosesi pembakaran jenazah. atau alon). Berbeda dengan kedua pelaksanaan upacara Selain ketiga contoh ngaben di atas, pada ngaben di atas, penggunaan tetabuhan dalam prosesi tanggal 21 Januari 2006 penulis mengamati prosesi upacara ngaben ageng (palebon) di Puri Agung pemberangkatan jenazah ke kuburan (memargi ke Abiansemal tanggal 11 Agustus 2014 terlihat lebih setra) dalam upacara ngaben/ palebon Jero Mangku kompleks. Dalam upacara palebon alm. AA. Gde Gede Desa, di desa Sedang, Abiansemal, Badung, Anom Bajera (81 th) yang wafat pada 8 Juni 2014, Bali. Pada prosesi itu, rombongan paling depan ada enam barungan gamelan yang digunakan yaitu: adalah pembawa karangan bunga dan sesajen serta gambang, selonding, balaganjur, gender wayang, gong perlengkapan upacara lainnya. Berikutnya adalah gede, dan gong kebyar. lembu yang digotong oleh sekitar lima puluh orang Tetabuhan gamelan gambang mengiringi pelayat. Gemuruh gamelan balaganjur mengiringi

115 I Nyoman Cau Arsana, dkk. Tetabuhan dalam Upacara Ngaben rombongan ini. Selanjutnya, diikuti oleh kerabat bayu (udara), kham atau akasa (ether); dan tiga keluarga yang nuntun sawa dengan memegang kain unsur halus yaitu manas (pikiran), budhi (intelek), putih yang menghubungkan jenazah yang berada dan ahamkara (ego) ( Bhagavadgita VII.4 ). Lima di atas padma dengan keluarga yang menuntun unsur kasar dalam tubuh manusia (mikrokosmos, di depannya. Padma yang diusung oleh beberapa bhuwana alit) juga terdapat dalam alam semesta pelayat diiringi oleh gamelan angklung memainkan (makrokosmos, bhuwana agung), demikian juga gending gilak bertempo lambat. Dua instrumen sebaliknya. lainnya yaitu gender wayang ditata pada sisi kanan Menurut konsepsi Hindu, alam semesta dan kiri padma dengan cara diikatkan di atas ini adalah wujud kasar atau maya (sekala) dari sanan padma (susunan bambu yang dipakai untuk Brahman “Tuhan Yang Maha Kuasa” ( niskala ) yang menggotong padma). Di perempatan jalan desa, digambarkan sebagai ‘Manusia Kosmik’. Karena lembu dan padma diputar dengan cara prasawya alam semesta beserta isinya dipandang berasal dari yaitu diusung dengan berputar tiga kali mengarah Tuhan, maka manusia dan alam semesta adalah kekiri/berlawanan dengan arah jarum jam. Setelah sesuatu yang sama, hanya berbeda dalam kuantitas. sampai di kuburan, kembali dilakukan prasawya Oleh karena itu, alam semesta disebut dengan sebanyak tiga kali, kemudian jenazah diturunkan makrokosmos (alam besar, bhuwana agung), dari padma dibawa ke bale pabasmian sawa, sedangkan manusia disebut mikrokosmos (alam diletakkan di dalam lembu. Setelah diupacarai dan kecil, bhuwana alit). Semua unsur yang ada dalam dipercikkan beberapa tirtha (air suci) kemudian mikrokosmos ada di dalam makrokosmos atau jenazah dibakar. Berdasarkan paparan di atas, pada sebaliknya (Donder, 2007: 12). Dalam konteks ngaben ageng Jero Mangku Gede Desa tanggal 21 inilah dapat dipahami adanya hubungan antara Januari 2006 ada tiga ansambel gamelan yang mikrokosmos, makrokosmos, dan metakosmos digunakan dalam prosesi upacara ngaben (memargi (Sumardjo, 2010: 16). ke setra) yaitu balaganjur, angklung, dan sepasang Konsep kosmologis diterapkan dalam kehidu- gender wayang. pan sehari-hari masyarakat Hindu Bali, termasuk dalam pelaksanaan upacara ngaben yang di dalam- Aspek-aspek Kosmologis Tetabuhan dalam nya disertai dengan penggunaan tetabuhan. Seperti Upacara Ngaben yang telah dipaparkan, bahwa penggunaan tetabu- han dalam upacara ngaben sangatlah signi"kan. Kosmologi menyangkut sesuatu yang Seperti pada pelaksanaan upacara ngaben alit (nista) sangat luas yaitu menyangkut alam semesta di Banjar Lambing, Sibang Kaja, Abiansemal tang- yang di dalamnya terdapat seluruh ciptaan gal 5 Agustus 2014, ngaben madya di Kedampal Tuhan, termasuk manusia itu sendiri. Walaupun Abiansemal tanggal 8 Agustus 2014, dan ngaben demikian, dalam pengertian yang lazim dipahami ageng (utama) di Puri Agung Abiansemal tanggal 11 secara umum, kosmologi banyak dikaitkan pada Agustus 2014. Pelaksanaan upacara ngaben tersebut beberapa hal yaitu manusia hubungannya dengan tidak terlepas dari bunyi-bunyian tetabuhan yang alam semesta terutama dalam konteks tata surya, dimainkan saat prosesi upacara berlangsung. Ke- benda-benda langit, dan yang lebih sempit lagi hadiran tetabuhan dalam upacara ngaben tentunya terkadang dihubungkan dengan riwayat awal mula juga didasarkan atas konsep "loso"s yang ada. Oleh keberadaan dan kemusnahan bumi sebagai salah sebab itu, musik dalam hal ini bunyi gamelan dan satu anggota tata surya (Donder, 2007: 3). pelaksanaan upacara keberadaannya saling terkait. Di depan telah disebutkan bahwa hubungan Untuk mengetahui konsep "loso"s bunyi gamelan manusia (mikrokosmos) dan alam (makrokosmos) dalam upacara, di bawah ini dijelaskan tentang adalah hubungan persamaan. Tubuh manusia falsafah bunyi/suara menurut lontar Prakempa. terdiri atas elemen asta prakrti (delapan unsur) 1. Bunyi atau Suara Menurut Lontar Prakempa yang terdiri atas panca mahabhuta –lima unsur Sejak zaman dulu, bunyi dan musik telah kasar- yaitu: pertiwi (tanah), apah (air), teja (api), dikaitkan dengan penciptaan pertama alam

116 Vol. 15 No. 2, Desember 2014 semesta. Dalam "lsafat Hindu dinyatakan Arnawa Sruti tempatnya ada di atas lidah, masuk bahwa alam semesta ini tidak lain adalah pada instrumen cengceng; Suara Agosa tempatnya “tarian dan musik kosmik” yang disimbolkan di pangkal lidah, masuk pada instrumen jegogan; dengan tarian Siwa Nataraja yaitu Siwa dalam Suara Anugosa tempatnya di ujung lidah, masuk postur sedang menari (Maswinara, 1999: 183). pada instrumen trompong; Suara Anudantya Tarian ini menyimbolkan ritme dan pergerakan tempatnya di rongga mulut, dalam barungan dunia spirit. Tujuan Siwa menari adalah untuk gamelan ada pada instrumen jublag dan giying; kesejahteraan dan kerahayuan alam semesta dan serta suara Anusika tempatnya pada rahang atas, membebaskan roh-roh dari belenggu ( mala ) tiga dalam barungan gamelan ada pada instrumen ikatan, yaitu anawa, karma, dan maya (Suamba riyong (Bandem, 1986: 71) . Dengan demikian, dalam Triguna, 2003: 14). Secara konseptual bunyi gamelan yang dikonstruksi dari bunyi Siwa Nataraja adalah wujud nyata dari "lsafat alam (makrokosmos) menempati organ-organ Siwa Siddhanta. Dalam aktivitas keagamaan tertentu dalam tubuh manusia (mikrokosmos). Hindu, konsep ini tercermin pada mudra yaitu Dari delapan suara yang masuk dalam gerakan tangan pendeta ketika memimpin instrumen gamelan, instrumen kendang, ceng- upacara, yang selanjutnya berkembang ceng, dan gong diyakini berhubungan dengan menjadi gerakan-gerakan tubuh penari dalam Dewa Tri Murti (Brahma, Wisnu, dan Siwa). membawakan suatu tarian. Menurut I Gusti Putu Gria (Senen, 2013: 221) Tarian kosmik bergerak harmonis dengan cengceng dalam gamelan adalah lambang dewa alunan musik kosmik yang disebut Nada Brahma, kendang lambang Wisnu, dan gong Brahman yaitu suara alam semesta. Nada lambang Siwa). Oleh karena itu, adalah wajar Brahman menggetarkan jiwa dan memenuhi apabila dalam ansambel balaganjur misalnya, alam semesta (Suamba dalam Triguna, 2003: ketiga instrumen tersebut memegang peranan 20). Konsep bahwa bunyi (suara) adalah keluar yang signi"kan. dari bumi dan menyebar ke seluruh penjuru Bunyi dengan warnanya masing-masing alam semesta dijelaskan dalam lontar Prakempa, menyebar ke seluruh penjuru bumi dan akhirnya sebuah lontar mitologi gamelan Bali, yang di membentuk sebuah lingkaran yang disebut dalamnya dijelaskan tentang tattwa ("lsafat lingkaran pengider bhuwana . Pencipta dari bunyi atau logika), susila (etika), lango (estetika), dan itu bernama Bhagawan Wiswakarma dan ciptaan gagebug (teknik) yang bertalian dengan gamelan beliau mengambil ide dari bunyi (suara) delapan Bali (Bandem, 1986: 1). penjuru dunia yang sumbernya berada pada Menurut falsafah Prakempa , bunyi (suara) dasar bumi. Suara-suara itu dibentuk menjadi mempunyai kaitan yang erat dengan konsepsi sepuluh nada yaitu lima nada disebut laras pelog lima dimensi yang dinamakan panca mahabhuta dan lima nada disebut laras slendro. Nada-nada (pertiwi, bayu, apah, teja, dan akasa). Ada tersebut mempunyai kaitan dengan panca tirta delapan macam suara yaitu: suara Byomantara, dan panca geni, dua sumber keseimbangan hidup suara yang besar keluar dari angkasa; Arnawa manusia. Laras pelog mempunyai hubungan Sruti adalah suara yang keluar dari air; Buhloka dengan panca tirta yang merupakan manifestasi Sruti adalah suara yang keluar dari tanah; dan dari Bhatara Semara dan laras slendro berkaitan suara Agosa, Andugosa, Udantia, Andudantia, dengan panca geni merupakan manifestasi dari serta Andunasika adalah suara yang berasal dari Bhatari Ratih (Bandem, 1986: 13). Nada-nada bumi (Bandem, 1986: 33). Letak suara-suara tersebut apabila dijabarkan dapat dilihat dalam tersebut pada manusia (mikrokosmos) dan tabel 3. instrumen gamelan adalah: suara Byomantara 2. Patutan Pelog dan Slendro dalam Pangider Gora bertempat di leher, masuk pada instrumen Bhuwana kendang; Suara Bhuhloka Sruti, tempatnya ada Sepuluh macam bunyi yang menjadi dasar di atas leher, masuk pada instrumen gong; Suara nada gamelan Bali dikelompokkan ke dalam dua

117 I Nyoman Cau Arsana, dkk. Tetabuhan dalam Upacara Ngaben

Arah Aksara Warna Nada Dewa Timur Sang Putih Dang Iswara Tenggara Nang Dadu Ndang Mahesora Selatan Bang Merah Ding Brahma Barat Daya Mang Jingga Nding Ludra Barat Tang Kuning Deng Mahadewa Barat Laut Sing Hijau Ndeng Sangkara Utara Ang Hitam Dung Wisnu Timur Laut Wang Biru Ndung Sambu Tengah atas: Ing Manca atas: Dong Siwa bawah: Yang warna bawah: Ndong (Budha) Tabel 3. Pangider bhuwana , penempatan aksara, warna, nada, dan dewa dalam sembilan arah mata angin

patutan/laras yaitu patutan pelog dan patutan Patutan pelog yang terdiri atas nada- slendro sesuai dengan "lsafat rwa bhineda nada dang, ding, dong, deng, dan dung seperti (oposisi biner). Secara "loso"s, kedua patutan yang dijelaskan pada Lontar Prakempa bait 28 itu melambangkan Bhatara Semara dan Bhatari (Bandem, 1986: 54) menempati empat arah Ratih, simbol laki-laki dan perempuan. Oleh penjuru mata angin dan satu di tengah yaitu karena itu, gamelan adalah simbol keserasian timur, selatan, tengah atas, barat, dan utara. antara sifat maskulin dan feminin secara alami. Panca swara patut pelog tersebut berhubungan Hal ini menegaskan bahwa gamelan disusun dengan manifestasi Tuhan ( ista dewata) yaitu berdasarkan hukum rwa bhineda sebagai hukum Iswara, Brahma, Siwa, Mahadewa, dan Wisnu, yang membangun alam semesta ini (Donder, serta berhubungan dengan aksara (huruf atau 2005: 53). bunyi) Sa, Bha, Ta, A, dan I. Nada-nada patutan Utara

Dung Wisnu A

Barat Tengah Atas Timur Deng Dong Dang Mahadewa Siwa Iswara Ta I Sa

Ding Brahma Bha

Selatan Gambar 1. Patutan Pelog dalam Pangider Bhuwana

118 Vol. 15 No. 2, Desember 2014 pelog berkaitan dengan tempat/arah mata angin, (barat). Nada ding dan dung, serta nada dang dan Ista Dewata, dan aksaranya dapat dilihat pada deng walaupun berbeda nadanya tetapi nada- gambar 1. nada tersebut mempunyai hubungan harmoni Berdasarkan gambar 1 dapat diketahui yang disebut kempyung, sehingga bila dibunyi- bahwa ada garis yang membentang dari timur ke kan secara bersamaan akan menghasilkan nada barat. Di timur ( purwa ) Dewa Iswara, di tengah harmonis yang enak didengar. Hal ini meng- (madhya) Dewa Siwa, dan di barat ( pascima) isyaratkan kesadaran hukum rwa bhineda dalam Dewa Mahadewa. Iswara dan Mahadewa adalah keseimbangan penciptaan/uttpati (Brahma), nama lain dari Siwa. Oleh karena itu, garis pemeliharaan/sthiti (Wisnu), dan peleburan/ mistis-imajiner tersebut sering disebut dengan pra-lina. Manusia tidak bisa lepas dari hukum/ garis Siwa. Garis inilah yang memisahkan antara rta tersebut. utara dan selatan. Siwa yang berada di tengah- Selain nada-nada tersebut, di arah tenggara, tengah adalah sebagai penyeimbang unsur api barat daya, tengah bawah, barat laut, dan timur dari selatan (Brahma) dan unsur air dari utara laut terdapat nada-nada ndang, nding, ndong, (Wisnu). Pertemuan energi api dan air terjadi di ndeng, dan ndung, dalam Prakempa bait 29 tengah-tengah. Konsep ini menawarkan keseim- (Bandem, 1986: 57) disebut panca swara patut bangan, hidup dan mati (Palguna, 2008: 75). slendro. Panca swara patut slendro tersebut Bila dilihat dari nadanya, nada dong berada berhubungan dengan manifestasi Tuhan ( ista di tengah-tengah. Dalam konteks tangga nada, dewata) yaitu Maheswara, Sangkara, Budha, dong adalah nada tonika. Dengan demikian, Ludra, dan Sambu, serta berhubungan dengan nada dong memisahkan secara oposisi biner aksara (huruf atau bunyi) Na, Ma, Si, Wa, (rwa bhineda ) penempatan empat nada lain- dan Ya. Nada-nada patutan slendro berkaitan nya yaitu nada ding (selatan) dengan nada dung dengan tempat/arah mata angin, ista dewata, (utara) dan nada dang (timur) dengan nada deng dan aksaranya dapat dilihat pada gambar 2.

Barat Laut Timur Laut Ndeng Ndung Sarkara Sambu Si Wa

Tengah Bawah

Ndong Budha Ya

Barat Daya Tenggara

Nding Ndang Ludra Mahesora Ma Na

Gambar 2. Patutan Slendro dalam Pangider Bhuwana

119 I Nyoman Cau Arsana, dkk. Tetabuhan dalam Upacara Ngaben

Di samping panca swara patutan pelog dan yang ramai dan penuh semangat. Ansambel panca swara patutan slendro , ada satu lagi patutan ini sangat cocok dipakai untuk mengiringi yang disebut swara patut pitu. Swara patut pitu rombongan pengusung lembu yang berada di berasal dari Bhatara Pinara Pitu yang telah posisi depan dalam prosesi upacara ngaben ageng dikonstruksi oleh Bhagawan Wiswakarma dan (utama) . Apalagi saat pelaksanaan prasawya yaitu digunakan sampai sekarang. Suara ini dikuasai ketika memutar lembu dan padma (pamereman) oleh Sang Hyang Rarasati yang dibawa oleh di perempatan maupun di setra, kehadiran Sang Hyang Iswara (Bandem, 1986: 45). Swara balaganjur sangat dibutuhkan. patut pitu terdiri atas nada-nada ding, dong, deng, Sesuai dengan karakter musikalnya, ndung, dung, dang, dan ndang (Bandem, 1986: balaganjur dapat membangkitkan semangat 53). Patutan ini terdapat dalam ansambel laras para pengusung lembu dan padma (pamereman) pelog sapta nada seperti gambang dan selonding. sehingga beban berat yang dipikul menjadi terasa Penggunaan nada-nada tersebut dalam ringan. Sangat terlihat pada pengalaman tanggal prosesi upacara ngaben teraplikasi lewat ansambel 21 Januari 2006 ketika mengadakan prasawya balaganjur, gong gede, gong kebyar, gambang, dan di setra, saat itu gamelan balaganjur dihentikan. selonding (menggunakan laras pelog catur nada, Para pengusung kelihatan kurang bersemangat, panca nada, dan sapta nada), serta angklung seketika itu juga pengusung berteriak minta dan gender wayang (menggunakan laras slendro kepada penabuh balaganjur agar memainkan catur nada dan panca nada). Jalinan nada- musiknya kembali. Ketika balaganjur kembali nada baik yang berlaras pelog maupun slendro terdengar menghentak, prasawya pun menjadi menyatu menjadi satu kesatuan harmoni dalam semakin lancar dan semangat. Hal serupa juga pelaksanaan upacara yaitu sebagai persembahan terjadi pada upacara pangrupukan sebelum hari sekaligus doa agar arwah jenazah yang di- aben raya Nyepi bagi pengusung ogoh-ogoh. Kehadiran mendapatkan kedamaian dan ketenangan dalam balaganjur sangatlah mutlak dibutuhkan sebagai perjalanannya menuju alam niskala. sarana pembangkit semangat para pengusung. 3. Tetabuhan sebagai Metafora Perjalanan Roh Bunyi gamelan balaganjur pada prosesi ngaben Tetabuhan dalam upacara ngaben dapat seakan-akan menggambarkan perjuangan hidup dipandang sebagai metafora perjalanan roh. manusia di dunia ini ( sekala). Dengan karakter Hal ini sangat terlihat pada penggunaan musikalnya yang menghentak-hentak, semangat, tetabuhan saat prosesi memargi ke setra yaitu dan riuh, balaganjur menggambarkan tentang pemberangkatan jenazah dari rumah duka kehidupan manusia di alam material yang penuh menuju kuburan tempat kremasi berlangsung. dengan perjuangan, kerja keras, dan semangat Jika diamati urutan prosesi musik dalam dalam mencapai tujuan. prosesi memargi ke setra yaitu balaganjur, gender Instrumen berikutnya adalah sepasang wayang, dan angklung, dapat dikatakan sebagai gender wayang yang ditata di samping kanan gambaran perjalanan sang roh ( atman) dari dan kiri padma. Secara visual, hal ini menunjuk- alam sekala menuju niskala. Hal ini terlihat dari kan penerapan konsep keseimbangan dalam bangunan aspek-aspek musikal yang dimainkan penataan instrumen yang berefek pula terha- oleh masing-masing ansambel tersebut. dap keseimbangan auditif yang dihasilkan. Ansambel balaganjur peponggangan dan Gamelan tidak dapat dipisahkan dari konsep balaganjur babonangan yang didominasi oleh keseimbangan hidup orang Bali yang disebut permainan ritme dan melodi yang sederhana tri hita karana, meliputi konsep keseimbangan yaitu dengan dua nada ponggang ndung (5) hidup manusia dengan Tuhan, manusia dengan dan ndang (6) atau ditambah dengan melodi alam sekitarnya, dan manusia dengan sesamanya riyong (ndong, ndeng, ndung, dan ndang) yang (Bandem, 1986: 11). disusun membentuk pola melodi oscinato/ Bila dilihat dari karakter musikalnya, berulang-ulang, sehingga menghasilkan suara bunyi yang dihasilkan oleh permainan gender

120 Vol. 15 No. 2, Desember 2014 wayang ini sangat tenang dan damai. Gending melaksanakan aktivitas kehidupannya selalu angkat-angkatan yang dimainkan merupakan berpegang pada konsep sekala dan niskala. Hal komposisi pendek dengan pola melodi yang ini terlihat pada pelaksanaan upacara yadnya diulang-ulang dan tempo yang konstan. Bagi yang sangat berkaitan dengan konteks sekala- yang masih hidup, baik keluarga maupun niskala dan prinsip tri bhuwana (Dibia, 2012: pelayat, mendengar alunan gender wayang yang 14). Konsep sekala yang berkaitan dengan tenang dan damai, secara psikologis mereka kehidupan duniawi (dunia nyata) dan niskala pun akan menjadi lebih kuat dan tenang berkaitan dengan kehidupan spiritual (dunia tak sehingga akan mengurangi kadar kedukaan nyata), dalam pelaksanaan upacara panca yadnya yang sedang dialami. Irama gender wayang yang berkaitan pula dengan konsep tri bhuwana tenang, damai, dengan temponya yang konstan (swarga, bhumi, dan patala). Surga ( swarga) adalah metafora perjalanan sang atman mulai adalah konsepsi tentang dunia atas, tempat meninggalkan gemerlapnya dunia sekala dan kediaman para Dewa; bumi ( bhumi) adalah memasuki alam niskala yang lebih sakral, suci, dunia tempat kediaman manusia; dan patala dan religius. adalah konsepsi tentang dunia bawah, tempat Suara gender wayang yang tenang dan kediaman para Bhuta-Naga (Palguna, 2008: damai, diselingi oleh alunan ansambel angklung 46). Hubungan upacara panca yadnya dalam memainkan gending gilak. Jikalau sebelumnya konteks sekala-niskala dan konsep tri bhuwana suasana yang ditimbulkan adalah tenang dan dapat dilihat pada tabel 4. damai, dari ansambel angklung yang muncul Tabel 4 menunjukkan bahwa upacara pitra adalah suasana pasrah dan kesunyian. Karakter yadnya (ngaben) adalah upacara keagamaan musikal yang dihasilkan oleh ansambel angklung untuk arwah para leluhur. Upacara itu ditujukan yaitu tenang, damai, pasrah, dan sunyi, sangat kepada manusia yang ada di bhumi atau alam cocok digunakan sebagai pengiring padma. sekala (dalam konteks ini adalah manusia yang Alunan nada-nada tersebut mengantarkan telah meninggal). Salah satu tujuan upacara pitra perjalanan sang atman meninggalkan alam yadnya khususnya upacara atma wedana adalah keduniawian (sekala) menuju alam keabadian mengantarkan sang hyang atma menuju alam yang tenang, damai dan sunyi (niskala). sorga/swarga/swah loka/niskala (Wiana, 2004: Penggunaan tetabuhan dalam prosesi 84). pemberangkatan jenazah seperti yang Sejalan dengan prinsip di atas, tetabuhan digambarkan di atas dapat dipandang sebagai dalam upacara ngaben juga berkaitan dengan metafora perjalanan atman dari alam sekala konsep sekala-niskala. Balaganjur dengan menuju niskala. Masyarakat Hindu Bali dalam karakter musikalnya yang dinamis, physical,

Prinsip Prinsip Upacara Panca Yadnya Sekala Niskala Tri Bhuwana Hindu Bali Niskala Swarga (Dunia tak nyata) (Tuhan, para dewa, dan roh-roh Dewa Yadnya suci lainnya) Sekala Bhumi Resi Yadnya (Dunia nyata) (Manusia, binatang, tumbuh- Pitra Yadnya tumbuhan, dan lain-lain) Manusa Yadnya Niskala Patala (Dunia tak nyata) (Bhuta kala dan roh-roh jahat Bhuta Yadnya lainnya) Tabel 4. Upacara panca yadnya dalam konteks sekala-niskala dan konsep tri bhuwana ;ĚŝŬƵƟƉĚĂƌŝŝďŝĂ͕μκλμͿ

121 I Nyoman Cau Arsana, dkk. Tetabuhan dalam Upacara Ngaben

menghentak-hentak, semangat, dan riuh, dapat sangat mendekati padma capah dan tidak dipandang sebagai perwujudan konsep sekala memakai atap. Sarana ini umumnya digunakan dalam prosesi tersebut. Sebaliknya, konsep untuk mengusung jenazah orang yang sudah niskala teraplikasi melalui penggunaan gender suci seperti pandita atau sulinggih. Berbeda wayang, angklung , gambang, dan selonding yang dengan padma yang tidak memakai atap, bade menimbulkan suasana spiritual, meditatif, ritual, menggunakan atap bertumpang (berjumlah tenang, dan damai. Demikian juga penggunaan lima, tujuh, sembilan, atau sebelas), dan gong kebyar dan gong gede yang memainkan menggunakan palih dan kekarangan yang le- gending-gending pategak lelambatan yang bih lengkap. Sementara wadah menggunakan berkarakter tenang, agung, berwibawa, damai, atap tetapi tidak bertumpang. Joli merupakan dan ritual sebagai perwujudan konsep sekala- sarana untuk mengusung jenazah yang sangat niskala. Penggunaan tetabuhan dalam prosesi sederhana, dapat digunakan oleh semua umat upacara ngaben berkaitan dengan konsep sekala- dengan tidak memandang tingkatan wangsa. niskala dan prinsip tri loka dapat diilustrasikan Bentuk terakhir adalah papaga yang diduga pada tabel 5. sebagai bentuk tertua sebagai sarana pengusung Tetabuhan secara tekstual sarat dengan jenazah di Bali, kemudian berkembang menjadi aspek kosmologis berkaitan erat dengan aspek bentuk wadah atau bade dengan berbagai kreasi kontekstualnya yaitu upacara ngaben itu sendiri. dan "loso"nya (Wiana, 2004: 78-79). Ngaben sebagai bentuk ritual penyucian roh fase Penggunaan pamereman dalam upacara pertama juga berhubungan dengan aspek-aspek ngaben mengandung maksud-maksud tertentu. kosmologis, terlihat pada penggunaan beberapa Dilihat dari bentuknya, wadah atau bade adalah sarana upacara dan pelaksanaan prosesi upacara simbol dari gunung. Dalam Kakawin Dharma ngaben seperti pamereman berupa padma, wadah, Sunia dinyatakan bahwa wujud nyata dari Tuhan bade, joli atau papaga , patulangan berupa lembu , adalah ‘alam semesta’/ bhuwana agung. Simbol dan pelaksanaan prosesi prasawya. ringkas dari alam semesta adalah gunung. Oleh Pamereman adalah tempat untuk meng- karena meru adalah simbol dari gunung, maka usung jenazah ketika dibawa ke setra/ kuburan. wadah/bade adalah simbol dari bhuwana agung Ada beberapa sarana pengusung jenazah (Wiana, 2004: 75). yang biasa digunakan dalam upacara ngaben Ada beberapa hiasan yang terdapat dalam di antaranya: padma, bade, wadah, joli atau bangunan wadah/bade, salah satunya adalah papaga. Padma adalah sarana pengusung hiasan berupa garuda yang diletakkan di atas jenazah dalam upacara ngaben yang bentuknya bhoma. Garuda dalam kitab Adi Parwa (cerita

Tetabuhan dalam Karakter Musikal Prinsip Tri Loka Prinsip Sekala Niskala upacara ngaben Gender Wayang Spiritual, mediatif, Swah Loka Niskala Angklung ritual, tenang, dan Gambang damai Selonding Gong Gede Tenang, agung, Bwah Loka Sekala-niskala Gong Kebyar berwibawa, damai, dan (lelambatan) ritual Balaganjur Dinamis, physical, Bhur Loka Sekala menghentak-hentak, semangat dan riuh Tabel 5. Tetabuhan dalam upacara ngaben berkaitan dengan prinsip sekala-niskala dan tri loka

122 Vol. 15 No. 2, Desember 2014 pemutaran Mandara Giri) adalah sebagai waktu upacara piodalan misalnya, ada prosesi putra Dewi Winata istri Resi Kasyapa. Dewi berjalan mengitari palinggih sebanyak tiga kali Winata diperbudak oleh madunya Dewi Kadru searah dengan arah jarum jam (pradaksina ). karena salah menebak kuda Uchaiswara yang Berbeda dengan upacara dewa yadnya, dalam keluar ketika pemutaran Mandara Giri. Atas prosesi upacara ngaben ada gerakan prasawya, perjuangan Garuda, ibunya dapat terbebaskan yaitu gerakan memutar tiga kali berlawanan arah dari perbudakan menggembala ribuan Naga. dengan arah jarum jam. Sarana yang diputar Menyimak cerita ini, dapat ditangkap bahwa adalah pamereman dan patulangan. Prasawaya wadah/bade sebagai lambang dari bhuwana biasanya dilakukan di beberapa tempat seperti agung adalah sebagai sarana berjuang untuk di perempatan atau persimpangan jalan dan di membebaskan diri dari ikatan kehidupan dunia- pintu masuk atau di setra itu sendiri. wi. Hiasan garuda dimaksudkan untuk mem- Prasawya dengan pemutaran tiga kali bangkitkan semangat keluarga yang masih hidup adalah lambang mengantarkan pendakian agar selalu berjuang keras seperti perjuangan Sang Hyang Atma menuju tri loka, dari bhur Garuda melepaskan diri dari perbudakan loka menuju bhuwah loka dan swah loka. para Naga. Cerita pelepasan seperti ini juga Dalam Lontar Gaya Tri dinyatakan bahwa saat dapat disimak pada relief candi Kidal, tempat upacara ngaben Sang Hyang Atma diantarkan pendarmaan Raja Anusapati. Relief Garudeya dari bhur loka menuju bhuwah loka, sedangkan yang terpahat pada sisi kaki candi yaitu sisi saat upacara atma wedana mengantarkan Sang selatan, timur, dan utara sesuai dengan fungsinya Hyang Atma menuju swah loka. Tujuan akhir sebagai pendarmaan Raja Anusapati yang dari prasawya dalam upacara ngaben adalah berintikan pelepasan (Siagian, 2002: 167). mengantarkan Sang Hyang Atma mendapatkan Sarana lainnya ada patulangan yaitu sarana tirtha amertha atau kehidupan yang kekal abadi upacara dalam upacara ngaben yang bentuknya di alam niskala seperti di bhuwah loka dan swah dapat berupa lembu, singa, nagakaang, atau loka (Wiana, 2004: 84). Dengan demikian, gajahmina, dipakai sebagai tempat untuk penggunaan sarana upacara (pamereman atau membakar jenazah setibanya di setra atau patulangan) dan prosesi prasawya mencerminkan kuburan. Pada saat pengamatan upacara ngaben konsep kosmologis dalam upacara, berkaitan tanggal 21 Januari 2006 dan tanggal 11 Agustus erat dengan aspek-aspek kosmologis tetabuhan 2014, patulangan yang dipakai adalah berupa dalam upacara ngaben. lembu. Lembu adalah wahana Dewa Siwa yang disebut Nandini. Penggunaan lembu Penutup untuk patulangan secara "loso"s mengandung maksud mengantarkan roh seseorang yang Musik dan upacara bagi umat Hindu tidak wafat menghadap kepada Dewa Siwa (Purwita, dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. 1989/1990: 78). Pelaksanaan upacara ritual yang didasarkan atas Selain sarana upacara yang telah disebutkan, tattwa/"lsafat yang benar (satyam), dilaksanakan salah satu prosesi upacara ngaben yang penting dengan manah suci nirmala ( siwam), dan dalam dan menarik untuk diungkapkan di sini adalah bentuk/wujud sarana atau persembahan yang prasawya. Seperti telah disinggung di atas, bahwa indah (sundaram ), diharapkan dapat mencapai dalam kitab Adi Parwa diceritakan usaha para tujuan upacara yang sebenarnya. Demikian pula dewa dan raksasa untuk mendapatkan tirtha tetabuhan yang disajikan dengan berlandaskan amertha adalah dengan cara pemutaran Gunung konsep satyam, siwam, dan sundaram dalam setiap Mandara. Dalam pelaksanaan prosesi upacara upacara menjadikan pelaksanaan upacara tidak saja agama Hindu, gerakan memutar memang sering benar secara konseptual, tetapi juga suci/khidmat dilakukan, hanya saja arahnya berbeda-beda. dalam prosesinya, serta penuh dengan sentuhan Sebagai contoh, dalam upacara dewa yadnya pada kreativitas seni.

123 I Nyoman Cau Arsana, dkk. Tetabuhan dalam Upacara Ngaben

Keterlibatan tetabuhan dalam upacara ngaben Kepustakaan dapat berfungsi sebagai sarana ritual, sarana pembangkit semangat, dan untuk menambah Ardana, I Ketut. 2013. ”Pengaruh Gamelan kekhidmatan suasana upacara. Penggunaannya terhadap Baleganjur Semaradana” dalam disesuaikan dengan tingkatan upacara ngaben Resital Jurnal Seni Pertunjukan, Volume 14. yaitu ngaben nista (alit), ngaben madya, atau No. 2 – Desember 2013: 141-152. ngaben utama (ageng). Semakin tinggi tingkatan “Awig-awig Desa Adat Sedang Kecamatan pelaksanaan upacara ngaben, maka semakin Abiansemal Daerah Tingkat II Badung Tahun kompleks juga tetabuhan yang digunakan dalam 1992” prosesinya. Secara "loso"s, kehadiran tetabuhan Bandem, I Made, terj. 1986. Prakempa: Sebuah dalam upacara ngaben dipandang sebagai bagian Lontar Gambelan Bali. Denpasar: Akademi dari doa. Diyakini bahwa vibrasi gelombang bunyi Seni Tari Indonesia. yang dihasilkan oleh suara gamelan adalah sebuah Bakan, Michael B. 1999. Music of Death and New ‘mantram’ atau suara puja kepada salah satu ista Creation: Experiences in World of Balinese dewata. Suara tersebut diyakini bersumber dari alam Gamelan Beleganjur. Chicago: $e University (panca mahabhuta) menyebar ke seluruh penjuru of Chicago Press. mata angin (pangider bhuwana), dikelompokkan Bagus, Lorens. 2005. Kamus Filsafat. : PT menjadi laras pelog dan slendro yang merupakan Gramedia Pustaka Utama. manifestasi Semara – Ratih, mempertegas bahwa di Dibia, I Wayan. 2008. ”Seni Kekebyaran” dalam dalamnya terkandung aspek kosmologis. Lantunan I Wayan Dibia (ed.). Seni Kakebyaran. tetabuhan berlaras pelog dan slendro yang Denpasar: Balimangsi Foundation. dihasilkan oleh barungan gamelan dalam upacara ______. 2012a. Taksu: dalam Seni dan ngaben, menjadi salah satu sarana ritual, bagian dari Kehidupan Bali. Denpasar: Bali Mangsi. doa keluarga atau masyarakat yang melaksanakan ______. 2012b. Ilen-ilen Seni Seni Pertunjukan upacara, untuk mengantarkan perjalanan sang atma Bali. Denpasar: Bali Mangsi. dari alam bhur loka (sekala) menuju alam bhuwah Donder, I Ketut. 2005. Esensi Bunyi Gamelan loka dan swah loka (niskala). dalam Prosesi Ritual Hindu Perspektif Filoso#s- Secara keseluruhan, simbol-simbol yang Teologis, Psikologis, Sosiologis, dan Sains. terdapat dalam upacara ngaben, baik yang Surabaya: Paramita. tercermin pada sarana upacara, pelaksanaan prosesi ______. 2007. Kosmologi Hindu: Penciptaan, upacara ngaben, dan alunan bunyi tetabuhan yang Pemeliharaan, dan Peleburan Serta Penciptaan mengiringi, menunjukkan konsep masyarakat Kembali Alam Semesta. Surabaya: Paramita. Bali tentang kosmologi. Dalam upacara ngaben, Kaler, I Gusti Ketut. 1993. Ngaben: Mengapa unsur-unsur panca mahabhuta tubuh manusia Mayat Dibakar? Denpasar: Yayasan Dharma (mikrokosmos/bhuwana alit) dikembalikan kepada Narada. panca mahabhuta bhuwana agung (makrokosmos) Maswinara, I Wayan. 1999. Sistem Filsafat Hindu lewat proses kremasi dengan kelengkapan sarana Sarva Darsana Samgraha. Surabaya: Paramita. upacaranya, jiwatman dikembalikan kepada McPhee, Colin. 1966. Music in Bali A Study sumbernya (Hyang Widhi), dan diiringi tetabuhan in Form and Instrumental Organization in yang juga diyakini sebagai doa atau ‘mantram’ Balinese Orchestral Music. New Haven: Yale di samping mantram yang dilantunkan oleh University Press. pinandita yang memimpin upacara tersebut. Palguna, IBM Dharma. 2008. Leksikon Hindu. Semua ini mencerminkan hubungan mikrokosmos, Lombok: Sadampaty Aksara. makrokosmos, dan metakosmos, sebagai pengeja- Prabhupada, A.C. Bhaktivedanta Swami, Sri wantahan konsep keseimbangan hidup orang Bali Srimad. 2000. Bhagavad-Gita Menurut yaitu tri hita karana. Aslinya. Jakarta: Hanuman Sakti.

124 Vol. 15 No. 2, Desember 2014

Purwita, Ida Bagus Putu. 1989/1990. Upacara Hindu dan Pembangunan Bali. Denpasar: Ngaben. Denpasar: Pemda Tingkat I Bali Widya Dharma. Proyek Penerbitan Buku-buku Agama. Sukerta, Pande Made. 1998. Ensiklopedi Karawitan Rai S., I Wayan. 1992. ”Gamelan Gambang di Bali. Bandung: Sastrataya – Masyarakat Seni Sempidi: Deskripsi, Fungsi, dan Struktur Pertunjukan Indonesia. Gendingnya”. Makalah disampaikan pada ______. 2009. Gong Kebyar Buleleng: Sarasehan Kesenian Gambang di Taman Perubahan dan Keberlanjutan Tradisi Gong Budaya Denpasar. Kebyar. Surakarta: ISI Press. ______. 2008. ”Seni Kekebyaran Dewasa Ini” Sumardjo, Jakob. 2010. Estetika Paradoks . Bandung: dalam I Wayan Dibia (ed.). Seni Kakebyaran. Sunan Ambu STSI Press. Denpasar: Balimangsi Foundation. Wiana, I Ketut. 1993. Bagaimana Umat Hindu Senen, I Wayan. 1998. ”Gong Kebyar: Instrumen, Menghayati Tuhan. Jakarta: Pustaka Pola Tabuhan, dan Jenis Gendingnya”. Manikgeni. Yogyakarta: Fakultas Seni Pertunjukan Institut ______. 2004. Makna Upacara Yajna Dalam Seni Indonesia Yogyakarta. Agama Hindu II. Surabaya: Paramita. ______. 2013. ”Bunyi-bunyian Pancagita ______. 2007. Tri Hita Karana Menurut dalam Upacara Odalan di Kabupaten Konsep Hindu. Surabaya: Paramita. Karangasem Bali. [Disertasi] Program Studi Wikarman, I Nyoman Singgin. 1998. Ngaben Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sederhana (Mitra Yajña, Pranawa, dan Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Swastha). Surabaya: Paramita. Mada Yogyakarta. Siagian, Renville. 2002. Candi: Sebagai Warisan Informan Seni dan Budaya Indonesia. Yogyakarta: Cempaka Kencana. Ida Bagus Gede Januraga (50 tahun). Tokoh Sinti, I Wayan. 2011. Gambang: Cikal Bakal masyarakat/tokoh agama, tinggal di Br. Karawitan Bali. Denpasar: TSPBOOKS. Sigaran, Sedang, Abiansemal, Badung, Bali. Suamba, I.B. 2003. “Siwa Nataraja: Simbol, Filsafat, Ida Bagus Putu Catem (50 tahun). Seniman ( juru dan Signi"kansinya dalam Kesenian Bali, gender), tinggal di Br. Banjaran, Abiansemal, dalam I.B.G. Yudha Triguna (ed.). Estetika Badung, Bali.

125