Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.2, November 2018 : 165-178 p-ISSN 0216-0897 e-ISSN 2502-6267 Terakreditasi No. 755/AU3/P2MI-LIPI/08/2016

UPAYA MEMPERJUANGKAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGAKUAN, PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT HUKUM ADAT KASEPUHAN KABUPATEN LEBAK, (Effort for the Enactment of Regional Law on Recognition, Protection and Empowerment of Customary Law Community of Kasepuhan, Lebak Regency, Banten)

Desmiwati1 & Surati2 1Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jalan Pakuan Ciheuleut PO.BOX. 105, , 16001 E-mail: [email protected] 2Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jalan Gunung Batu No.5, Bogor 16118, E-mail: [email protected]

Diterima 7 Desember 2017, direvisi 20 Agustus 2018, disetujui 24 Agustus 2018.

ABSTRACT

The Constitutional Court (CC) Decree Number 35/PUU- /2012 had determined that customary forests are no longer classified as state forests. However, the isssue of restoring customary forests in to their right holders is still challenging. This study aims to analyze the text of the regional regulation of Lebak Regency Number. 8 of 2015, the process of passing the regional regulation and sociocultural practiced of this regulation. The research was conducted in customary law community of Kasepuhan, Lebak Regency, Banten Province. Data analysis was carried out using Norman Fairclough’s critical-discourse model and descriptive analysis by data retrieval through documentation, interview and literature study. The result found that Regional Law on the Recognition, Protection and Empowerment of Kasepuhan Customary Law Community has accommodated the needs of this indigenous community to defend their territories. Nevertheless, in its implementaion there is still problem related to the central government, the Ministry of Environment and Forestry, as some of the customary areas are overlapping with the area of Gunung Halimun Salak National Park. Hence, the potential conflict still occurs. Conflict resolution can be anticipated through synergetic collaborative management among related stakeholders to realise forest sustainability.

Keywords: Kasepuhan indigenous people; forest resources; customary community regulations.

ABSTRAK

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 telah menetapkan bahwa hutan adat bukan lagi diklasifikasikan sebagai hutan negara. Namun dalam perjalanannya masih banyak permasalahan untuk mengembalikan hutan adat kepada pemiliknya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis teks Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Lebak Nomor 8 Tahun 2015, menganalisis proses lahirnya peraturan daerah tersebut dan menganalisis praktek sosio-kulturalnya. Penelitian dilakukan pada masyarakat adat Kasepuhan, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Analisis data menggunakan wacana kritis model Norman Fairclough, dan analisis deskriptif dengan pengambilan data melalui dokumentasi, wawancara dan studi literatur. Hasil penelitian menemukan bahwa Perda Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan telah mengakomodir kebutuhan masyarakat adat Kasepuhan dalam rangka mempertahankan wilayahnya. Akan tetapi implementasi Perda ini masih menyisakan persoalan dengan pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan karena ada beberapa wilayah yang masih tumpang tindih kawasannya antara masyarakat adat Kasepuhan dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak sehingga potensi konflik tetap ada dan masih terjadi gesekan di beberapa tempat. Penyelesaian konflik dapat dilakukan melalui bentuk kolaborasi pengelolaan kawasan konservasi yang sinergis antar stakeholders untuk merealisasikan kelestarian kawasan hutan. Kata kunci: Masyarakat adat Kasepuhan; sumber daya hutan; perda masyarakat adat.

©2018 JAKK All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jakk.2018.15.2. 165-178 165 Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.2, November 2018 : 165-178

I. PENDAHULUAN dampak signifikan dalam pengelolaan hutan Masyarakat hukum adat merupakan subjek dengan dikeluarkannya hutan adat dari hukum yang diakui hak-hak tradisonal dan kawasan negara. Disinilah kemudian berbagai hak-hak lainnya oleh Undang-Undang Dasar kelompok masyarakat adat mulai mendorong (UUD) 1945 (Salam, 2016: Gayo & Ariani, pentingnya menekankan penggunaan 2016) dan peraturan perundang-undangan berbagai instrumen hukum yang tersedia lainnya. Dalam Peraturan Daerah (Perda) termasuk instrumen hukum daerah yang akan Kabupaten Lebak Provinsi Banten Nomor 8 melahirkan kebijakan di level daerah, seperti Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan peraturan daerah, surat keputusan bupati, dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat untuk mengakui dan melindungi masyarakat Kasepuhan, disebutkan bahwa Kasepuhan adat dan hak tradisionalnya. Akan tetapi adalah salah satu masyarakat hukum adat yang pengakuan tersebut tidak serta merta terjadi terdapat di Kabupaten Lebak. Masyarakat tanpa syarat dan proses yang sederhana, Kasepuhan sudah mendiami wilayah karena segala sesuatunya harus berdasarkan Kabupaten Lebak dan tempat-tempat lain di prosedur negara sebagai pelaksana undang- Provinsi Banten dan Jawa Barat sejak lama, undang, baik pada tingkat nasional maupun dari waktu yang tidak dapat diidentifikasi daerah. dengan jelas. Penelitian terkait dengan masyarakat hutan Tokoh adat menyatakan bahwa sejak masa adat di Kasepuhan Banten Kidul telah banyak kolonial, masyarakat Kasepuhan mengalami dilakukan, tetapi yang mengkaji tentang diskriminasi dalam hal pengakuan, peraturan daerah masih belum dilakukan. perlindungan dan pemenuhan hak-hak Disahkannya peraturan daerah tersebut mereka termasuk terhadap wilayah adat. menjadi titik awal bagi masyarakat adat untuk Akibatnya, konsep masyarakat Kasepuhan diakui dan disahkan keberadaannya. mengenai wewengkon dan leuweung tidak Dalam tulisan ini disajikan hasil penelitian dapat mereka terapkan sepenuhnya baik untuk yang telah dilakukan dengan cara menganalisis memenuhi kebutuhan hidup atau menjalankan teks Perda Kabupaten Lebak Nomor 8 kebudayaan termasuk ritual adat. Wewengkon Tahun 2015, menganalisis proses lahirnya adalah wilayah adat yang terdiri dari tanah, peraturan daerah tersebut dan menganalisis air dan sumber daya alam yang terdapat di praktek wacana dan sosio-kulturalnya. atasnya yang penguasaan, pengelolaan dan Diharapkan dari penelitian ini adalah adanya pemanfaatannya dilakukan menurut hukum pembelajaran dari proses lahirnya peraturan adat. Sedangkan leuweung adalah hutan atau daerah pengakuan dan perlindungan keadaan penutupan lahan dengan aneka ragam masyarakat hukum adat di Kabupaten tumbuhan yang ada di wilayah hukum adat Lebak, agar dapat direplikasi dan diterapkan (Peraturan Daerah Kabupaten Lebak, Provinsi pada kawasan hutan yang memiliki potensi Banten Nomor 8 Tahun 2015; Purwasasmita konflik dengan masyarakat melalui sebuah & Sutaryat, 2014). bentuk kolaborasi pengelolaan kawasan yang Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi sinergis. Diharapkan juga agar kebijakan Perkara Nomor 35/PUU-X/2012 berdampak yang diambil oleh pemerintah pusat dan pada semakin menguatnya tanggung jawab daerah mampu mengakomodir kepentingan pemerintah pusat dan pemerintah daerah masyarakat adat, sehingga konflik sumber untuk mengakui masyarakat adat. Hasil kajian daya hutan menurun dan kawasan hutan akan Tobroni (2013), Subarudi (2014) dan Putri, tetap terjaga kelestariannya. Sukirno, & Sudaryatmi (2017) bahwa Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 mempunyai

166 Upaya Memperjuangkan Peraturan Daerah Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan ...... (Desmiwati & Surati)

II. METODE PENELITIAN C. Analisis Data Analisis data yang digunakan adalah model A. Lokasi dan Waktu Penelitian analisis Norman Fairclough, yakni dengan Penelitian dilakukan di Kabupaten Lebak, melakukan analisis teks, praktik wacana dan Provinsi Banten pada bulan November 2016 praktik sosiokultural yang dilakukan secara sampai dengan bulan Mei 2017. Kasus yang bersamaan (Ismail, 2008; Ayatullah, 2013), diangkat dalam kajian kebijakan ini adalah Analisis teks dilakukan dengan membedah proses lahirnya Peraturan Daerah (Perda) dan menganalisis masing-masing pasal dalam Nomor 8 Tahun 2015 Kabupaten Lebak. Perda Kabupaten Lebak Nomor 8 Tahun Pertimbangan pemilihan Perda Kabupaten 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan Lebak karena ini sebagai momentum dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum lahirnya pengakuan terhadap kesatuan Adat Kasepuhan. Analisis praktik wacana hukum masyarakat adat setelah sekian lama memusatkan perhatian pada bagaimana diperjuangkan yang diharapkan dapat menjadi produksi dan konsumsi teks. Teks Perda penyemangat bagi masyarakat adat di daerah Kabupaten Lebak Nomor 8 Tahun 2015 lainnya untuk mendapatkan pengakuan tentang Pengakuan, Perlindungan dan serupa. Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat B. Pengumpulan Data Kasepuhan dibentuk lewat suatu praktek Pengumpulan data dilakukan dengan tiga diskursus, yang akan menentukan bagaimana tahapan sebagai berikut : teks tersebut dibentuk. Semua praktik yang 1. Dokumentasi yaitu dengan menggunakan dilakukan selama proses produksi dan data Peraturan Daerah Kabupaten Lebak konsumsi teks adalah praktik diskursus yang Provinsi Banten Nomor 8 Tahun 2015 membentuk wacana (Eriyatno, 2012). tentang Pengakuan, Perlindungan dan Analisis praktik sosio-kultural didasarkan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat pada asumsi bahwa konteks sosial yang ada Kasepuhan di luar teks memengaruhi bagaimana wacana 2. Wawancara mendalam dengan beberapa yang muncul dalam teks. Praktek ini memang informan baik dari pemerintah pusat tidak berhubungan langsung dengan produksi Kementerian Lingkungan Hidup dan teks tetapi menentukan bagaimana teks Kehutanan (KLHK), pemerintah daerah diproduksi dan dipahami (Mahendra, 2016). (Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ada tiga level analisis pada tahap ini, Provinsi Banten, Badan Perencanaan yaitu: Pertama, aspek situasional ketika teks Pembangunan Daerah (Bappeda) akademisi tersebut diproduksi. Kedua, level institusional (Universitas Tirtayasa), tokoh masyarakat melihat bagaimana pengaruh institusi adat (Jaro Kasepuhan Karang, wakil dari organisasi dalam praktik produksi wacana. kesatuan adat Banten Kidul/Sabaki) dan Institusi ini bisa berasal dari dalam pembuat lembaga swadaya masyarakat (LSM) yaitu teks sendiri, bisa juga kekuatan-kekuatan Perkumpulan HuMa Indonesia, Rimbawan eksternal di luar teks yang menentukan proses Muda Indonesia (RMI), Jaringan Kerja produksi teks. Ketiga, faktor sosial sangat Pemetaan Partisipatif (JKPP), dan berpengaruh terhadap wacana yang muncul Epistema Institute. dalam teks. Aspek sosial lebih melihat pada 3. Data sekunder, observasi dan studi literatur aspek makro seperti sistem politik, sistem terkait dengan lahirnya Peraturan Daerah ekonomi, atau sistem budaya masyarakat Kabupaten Lebak Provinsi Banten Nomor secara keseluruhan (Eriyanto, 2012). Unit 8 Tahun 2015. analisis dapat digambarkan pada Tabel 1.

167 Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.2, November 2018 : 165-178

Tabel 1. Dimensi analisis model Norman Fairclough (pengembangan) Table 1. Dimension of Norman Fairclough analyses model (modification)

No. Tingkatan (Level) Metode (Method) Obyek (Object) 1. Teks (Text) Menganalisis bahasa secara kritis Teks Perda Kabupaten Lebak Nomor 8 Tahun 2015 2. Praktik wacana Melakukan wawancara mendalam RMI, Epistema Institute, (Discourse practice) dengan pihak-pihak yang mendorong HuMa dan Satuan Adat lahirnya Perda Kabupaten Lebak Nomor Masyarakat Banten Kidul 8 Tahun 2015 (Sabaki). 3. Praktik sosiokultural Studi literature Jurnal nasional, policy brief, (Sociocultural practice) buku, media massa Sumber (Source): Data primer (Primary data).

Analisis data dibagi dalam tiga tahapan dalam wilayah kawasan ekosistem Halimun/ yaitu : berada di wilayah kawasan konservasi 1. Deskripsi, yakni menguraikan isi teks dan Gunung Halimun (Ramdhaniaty, 2018). dianalisis secara deskriptif Secara geografis wilayah adatnya tersebar 2. Interpretasi, yaitu menafsirkan teks di tiga kabupaten yakni Kabupaten Lebak, dihubungkan dengan praktik wacana yang Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor dilakukan, kemudian menghubungkannya (Hanafi, Ramdhaniaty, & Nurzaman, 2004). dengan bagaimana proses perda tersebut Kasepuhan berkata dasar “sepuh” atau “tua” dibuat menunjuk pada adat istiadat lama yang masih 3. Eksplanasi, yaitu bertujuan untuk mencari dipertahankan dalam kehidupan sehari- penjelasan atas hasil penafsiran atas hari. Hal ini juga dapat menggambarkan tahap kedua, dapat dilakukan dengan adanya suatu kelompok sosial yang memiliki menghubungkan produksi teks dengan keseragaman pola perilaku kehidupan sosio- praktik sosio-kultural dimana teks tersebut budaya (Vitasari & Ramdhaniaty, 2015). berada. Masyarakat Kasepuhan telah bermukim Untuk pengambilan kesimpulan (sintesis) di kawasan Gunung Halimun selama penelitian ini, digunakan teknik triangulasi berabad-abad lalu. Pada awalnya masyarakat sumber data dan informasi yang berasal Kasepuhan menyebut wilayah kawasan dari berbagai sumber (teks dan praksis). ekosistem Halimun sebagai Tutugan Triangulasi, menurut Denzim dalam Moleong Sanggabuana atau Leuweung Pangauban (2008) digunakan sebagai gabungan atau Sangga Buana, yang bermakna “gunung kombinasi berbagai metode yang dipakai penyangga bumi”, yakni salah satu gunung untuk mengkaji fenomena yang saling terkait tertinggi di dalamnya yakni Gunung Halimun. dari sudut pandang dan perspektif yang Kesatuan Adat Banten Kidul (SABAKI) berbeda. mengidentifikasi terdapat 67 Kasepuhan (Kakolotan) yang ada di kawasan ekosistem Gunung Halimun. Terdapat 58 Kasepuhan III. HASIL DAN PEMBAHASAN berada di Kabupaten Lebak, 3 Kasepuhan di A. Gambaran Umum Wilayah Kasepuhan Sukabumi dan 6 Kasepuhan di Kabupaten Masyarakat Kasepuhan yang tergabung Bogor. Di Kabupaten Lebak 58 Kasepuhan menjadi Kasepuhan Banten Kidul adalah tersebut terdiri dari pupuhan kasepuhan, salah satu kelompok masyarakat adat yang sesepuh kampung dan sesepuh rendangan secara kesejarahan telah hidup dan tinggal (Vitasari & Ramdhaniaty, 2015).

168 Upaya Memperjuangkan Peraturan Daerah Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan ...... (Desmiwati & Surati)

Sumber (Source): Rimbawan Muda Indonesia (RMI) Gambar 1. Peta sebaran wilayah adat Kasepuhan/Wewengkon Adat Banten Kidul Figure 1. Map of distribution of customary territory of Kasepuhan/Weengkon, Banten Kidul

Saat ini luas wilayah Kasepuhan berladang makin sulit diterapkan sehingga yang sudah terpetakan melalui pemetaan terjadi perubahan dengan mata pencaharian partisipatif adalah 21.059,204 hektar (Vitasari utama menjadi menggarap pertanian sawah. & Ramdhaniaty, 2015). Dari luas wilayah Semua bentuk upacara adat bertumpu pada tersebut, sebagian beririsan dengan hutan upacara menanam padi di sawah yakni konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Upacara sebagai ucapan rasa Salak (TNGHS), sebagian lain beririsan syukur atas hasil bumi dan pertanian selama dengan hutan produksi dan fungsi-fungsi satu tahun. Kegiatan berladangpun tidak lagi lainnya. menjadi yang utama. Dari hasil pemetaan partisipatif yang Tata cara kehidupan warga Kasepuhan dilakukan masyarakat dan Jaringan Kerja masih sangat menjunjung tradisi dan adat Pemetaan Partisipastif (JKPP) menunjukkan istiadat yang berlaku (tatali paranti karuhun). bahwa 18.152,259 hektar, atau 86% dari 8 Hal tersebut tercermin dalam institusi sosial, (delapan) kasepuhan di Kabupaten Lebak sistem kepemimpinan hingga tata cara yang telah dipetakan beririsan dengan berinteraksi dengan alam (Hendarti, 2008). fungsi konservasi kawasan Taman Nasional Kearifan tradisional dan pengetahuan lokal Gunung Halimun Salak (TNGHS) (Vitasari & masyarakat Kasepuhan dalam mengelola Ramdhaniaty, 2015). sumber daya alam telah terbukti berhasil Dari hasil wawancara didapatkan bahwa dengan tidak pernah terjadi paceklik sampai mata pencaharian utama masyarakat sekarang (Wardah, 2005; Kelana, Hidayat, & Kasepuhan adalah berladang atau “ngahuma”, Widodo, 2016). dengan menanam jenis padi lokal setiap satu Dalam kegiatan pertanian, air adalah tahun sekali. Akan tetapi kondisi saat ini tradisi hal yang utama, oleh karena itu masyarakat

169 Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.2, November 2018 : 165-178

Tabel 2. Wilayah adat Kasepuhan Table 2. Territory of Kasepuhan customary community

No Nama Kasepuhan Luas Wilayah Adat-hektar Luas yang dinyatakan masuk TNGHS (Name of Kasepuhan) (The coverage of customary Luas Wilayah Adat-hektar territory-hectare) (The area that included into TNGHS- hectare) 1 Karang 1.081,286 585,577 2 Cirompang 638,950 352,276 3 Citorek 7.422,376 7.422,376 4 Cibedug 2.137,187 2.137,187 5 Cisitu 7.266,536 6.878,221 6 Pasir Eurih 1.145,644 652,090 7 Sindang Agung 160,269 124,532 8 Cibarani 1.206,955 0 TOTAL 21.059,204 18.152,259 Sumber (Source): Vitasari & Ramdhaniaty, 2015.

Kasepuhan sangat menjaga kelestarian menemukan jalan pulang dari hutan titipan hutannya, karena merupakan sumber air tersebut. Hutan ini fungsinya sangat besar bagi dan sumber penghidupan bagi mereka masyarakat Kasepuhan yaitu menyimpan air, (Rahmawati, 2008). Ngajaga leuweung adalah yang mengairi persawahan, juga digunakan merupakan salah satu bentuk kearifan lokal untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat masyarakat Kasepuhan dalam menjaga dan Kasepuhan. melestarikan hutan (Saputro, 2006). Penjaga 2. Hutan tutupan leuweung (hutan) dipimpin oleh satu orang Hutan tutupan (leuweung kolot/geledegan), pimpinan, dan dibantu oleh masyarakat adat yaitu hutan yang boleh dimanfaatkan tapi harus yang lain. Mereka bertugas memastikan agar ada izin dari pemangku adat. Hutan ini hanya hutan tetap terjaga dan juga memastikan tidak dimanfaatkan untuk keperluan membangun ada penebang liar yang masuk. Masyarakat rumah. Hutan ini berlokasi tidak terlalu jauh Kasepuhan sangat peduli dalam menjaga dari pemukiman masyarakat (Nuryanto & hutan, ini terbukti dengan adanya pembagian Machpudin, 2008), tidak boleh dibuka apabila ruang kelola hutan, dengan membagi hutan ke di hutan garapan masih tersedia bahan-bahan dalam tiga bagian yaitu: untuk keperluan membuat rumah. 1. Hutan titipan 3. Hutan garapan Hutan titipan (cawisan), yaitu hutan yang tidak boleh dimasuki atau hutan larangan. Hutan garapan (leuweng sampalan), Hutan ini tidak boleh disentuh atau tidak yaitu hutan yang menjadi sumber mata boleh dimasuki oleh masyarakat Kasepuhan. pencaharian masyarakat sehari-hari berupa Apabila hutan tersebut dimasuki oleh pesawahan, ladang dan kebun. Hutan garapan masyarakat maka sesuatu akan terjadi kepada ini siapa saja boleh menggarapnya asalkan si pelanggar itu, baik berupa penyakit atau ada kemauan. Baik itu masyarakat adat atau yang lainnya (Manuaba, Satya Dewi, & bukan, mereka tetap dibolehkan menggarap Kinasih, 2012). Ada juga yang melanggar lahan tersebut. Namun, ada satu hal yang yaitu memasuki hutan larangan dan mereka tidak boleh yaitu mereka tidak boleh memiliki tidak bisa pulang kerumah lagi, karena tidak tanah tersebut secara individu dan mereka

170 Upaya Memperjuangkan Peraturan Daerah Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan ...... (Desmiwati & Surati)

hanya diperbolehkan menggarapnya. Tidak dan 26 (dua puluh enam) Pasal, dan akan ada batasan tertentu seberapa luas mereka dianalisis sebagai teks secara detail pasal per harus menggarap. Dalam hal menggarap hutan pasal sehingga dapat ditangkap wacana dan garapan itu sesuai kemampuan masyarakat, makna yang ada dalam teks perda tersebut. sementara untuk pesawahan sudah merupakan Disebutkan dalam kepala teks bahwa tanah milik atau surat pemberian hak perda ini merupakan bentuk pengakuan, menggarap. Sawah-sawah tersebut sifatnya perlindungan dan pengukuhan terhadap sudah tanah milik dan orang lain tidak keberadaan dan hak tradisional Masyarakat boleh menggarapnya. Ada juga aturan yang Kasepuhan yang menurut Putusan MK membolehkan orang lain menggarapnya yaitu Perkara Nomor 35/PUU-X/2012 mengenai sistem bagi hasil. Pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, untuk B. Analisis Teks Perda Kabupaten Lebak menjamin adanya kepastian hukum terhadap Nomor 8 Tahun 2015 keberadaan masyarakat hukum adatnya maka Perda Kabupaten Lebak Nomor 8 Tahun dibuatlah perda (Sukirno, 2016). 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Dari penafsiran bab per bab dengan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat membaca seluruh pasal Perda Kabupaten Kasepuhan terdiri dari 11 (sebelas) Bab Lebak Nomor 8 Tahun 2015 ini dapat

Tabel 3. Analisis teks Perda Kabupaten Lebak Nomor 8 Tahun 2015 Table 3. Text analysis of Regional Law of Lebak Regency Number 8 Year 2015

No. Uraian Ringkasan isi Perda Analisis teks (Description) (Summary of contens of the regional law) (Text analyses) 1. Bab I Ketentuan Pengertian umum - Ketentuan per definitif dalam Bab I Umum, pasal 1 menguatkan keberadaan genealogis (Chapter I, General suatu kesatuan masyarakat beserta Provision, article 1) seperangkat norma dan sumber dayanya, keberadaan lembaga formal dan batas-batas geografis. - Pemerintah daerah (Pemda) dan perpanjangan tangannya telah mengakui, melindungi, memenuhi dan memberdayakan masyarakat Kasepuhan yang terikat oleh adatnya atau disebut Incu Putu. 2. Bab II Asas, - Hal yang menjadi asas atau landasan pada - Keberadaan hukum adat dijadikan Tujuan dan Ruang Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan rujukan utama dalam pemanfaatan Lingkup, pasal 2 – yakni pengakuan, keberagaman, keadilan sumber daya, pelestarian budaya pasal 4 (Chapter sosial, kepastian hukum, kesetaraan maupun penanganan konflik sosial. II, Principles, dan non-diskriminasi, keberlanjutan - Pihak luar wajib menghormati Objectives and lingkungan, partisipasi dan transparansi. hukum ini sebagai hukum tertinggi Scopes, article 2 – - Memberikan kepastian hukum dan di wilayah hukum adat tersebut. article 4 perlindungan mengenai keberadaan, wilayah adat dan hak masyarakat Kasepuhan tentang tanah, air dan sumber daya alam, mewujudkan penyelesaian sengketa berbasis adat, pengelolaan wilayah adat secara lestari dan pengambilan kebijakannya. - Peningkatan partisipasi dan kesejahteraan seluruh masyarakat adat, serta melindungi sistem nilai dan kelembagaannya.

171 Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.2, November 2018 : 165-178

No. Uraian Ringkasan isi Perda Analisis teks (Description) (Summary of contens of the regional law) (Text analyses) 3. Bab III Keberadaan Kriteria masyarakat hukum adat: Elemen-elemen ini adalah tipikal dan Kedudukan - Memiliki perasaan sama sebagai satu unsur kelembagaan adat tradisional Hukum kelompok karena adanya nilai-nilai yang di dalamnya berisi serangkaian Kasepuhan, pasal 5 yang dirawat secara bersama-sama aturan perilaku yang mengikat – pasal 8 (Chapter - Adanya lembaga adat yang tumbuh warganya. III Existance of secara tradisional, punya harta Customary Law of kekayaan atau benda-benda adat Kasepuhan, article - Norma hukum adat yang masih berlaku, 5 – article 8) dan punya wilayah adat tertentu - Sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. 4. Bab IV Wilayah Wilayah adat secara spasial memiliki Pengakuan terhadap kuasa agraria Adat, pasal 9 – batas, baik batas alam maupun batas menjadi penting sebagai suatu pasal 15 (Chaper dengan komunitas lainnya yang masyarakat adat yang relatif IV Customary ditentukan masyarakat Kasepuhan menempati ruang yang tetap Territory, article berdasarkan sejarah asal usul dan sepanjang waktu. 9 – article 15) disepakati masyarakat yang berbatasan Dengan rujukan pada hak asal-usul, tersebut. sementara ketentuan legal atas tanah dijalankan dalam konteks difasilitasi oleh pemerintah daerah tanpa mengingkari hak asal-usul Kehendak baik pemerintah daerah untuk memberikan kuasa secara devolutif. 5. Bab V Hak Hak Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Artinya warga masyarakat adat tidak Masyarakat Hukum yakni: dilepaskan haknya sebagai warga Adat Kasepuhan, - Hak ulayat; negara, meskipun diatur oleh hukum pasal 16 (Chaper - Tanah dan sumber daya alam; adat namun hak sebagai warga negara V the Rights of - Memperoleh pembagian manfaat dari tidak hilang. Customary Law Od sumber daya genetik dan pengetahuan Kasepuhan, article tradisional oleh pihak luar; 16) - Pembangunan; - Spiritualitas dan kebudayaan; - Lingkungan hidup; - Layanan pendidikan; - Kesehatan; - Administrasi kependudukan; - Mengurus diri sendiri; - Menjalankan hukum dan peradilan adat; - Didengar aspirasinya dalam penyelenggaraan pemerintah desa dan pemilihan kepala desa; - Hak-hak lain dalam peraturan perundangan. 6. Bab VI Lembaga Pemerintah secara tegas mengakui Indikasi lembaga adat memiliki Adat, pasal keberadaan lembaga adat Kasepuhan otonomi dalam mengatur kehidupan 17 (Chapter yang menjadi pelaksana kewenangan sosial-ekonomi dan budayanya. VI Customary dari Kasepuhan yakni untuk mengatur, Institution, article mengelola pemanfaatan wilayah adat, 17) melaksanakan hukum dan peradilan adat, dan mewakili Kasepuhan dalam hubungan hukum dengan pihak luar

172 Upaya Memperjuangkan Peraturan Daerah Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan ...... (Desmiwati & Surati)

No. Uraian Ringkasan isi Perda Analisis teks (Description) (Summary of contens of the regional law) (Text analyses) 7. Bab VII Hukum Menjelaskan mengenai hukum adat yang Prioritas penggunaan hukum adat Adat, pasal 18 berlaku yang harus memperhatikan prinsip dalam mekanisme penyelesaian (Chapter VII keadilan sosial, keadilan gender, hak asasi masalah merupakan bukti Customary Law, manusia dan kelestarian lingkungan hidup kewenangan mandiri yang dimiliki article 18) masyarakat adat. 8. Bab VIII - Pemberdayaan masyarakat adat Adanya peluang untuk dibentuk Pemberdayaan didukung oleh Pemda melalui fasilitas, lembaga adat lain dalam masyarakat Masyarakat Hukum sarana dan prasarana serta pendanaan. yang paralel tanpa didasarkan Adat Kasepuhan, - Masyarakat Adat Kasepuhan juga kebutuhan dan persetujuan pasal 19 – pasal dapat bekerja sama dengan pihak lain, masyarakat akan menciderai otonomi 21 (Chapter - Masyarakat Adat Kasepuhan juga dapat masyarakat adat VIII Community membentuk Majelis Permusyawaratan Develoment of Masyarakat Kasepuhan dengan Customary Law beranggotakan seluruh unsur Community of masyarakat. Kasepuhan, article 19 – article 21) 9. Bab IX Dijelaskan mengenai penyelesaian Ini menunjukkan supremasi adat Penyelesaian sengketa yang akan diselesaikan antar lebih dikedepankan daripada aturan Sengketa, pasal incu putu, jika diminta pemda dapat legal di peradilan umum 22 (Chapter IX menjadi mediator dan jika tidak berhasil Dispute resolution, juga maka akan dilanjutkan dengan article 22) penyelesaian melalui sistem peradilan. 10. Bab X Ketentuan Ketentuan peralihan menjelaskan Ketentuan–ketentuan tradisional Peralihan, pasal 23 mengenai hak milik atas tanah yang ada dalam penyelenggaraan pengakuan – pasal 25 (Chapter sebelum perda ini berlaku adalah sah, dan perlindungan hak–hak X Transitional begitu juga untuk izin atau hak atas tanah masyarakat Kasepuhan terkait Provisions, article dan air yang berjangka waktu, sampai keberadaan hak atau izin pemanfaatan 23-article 25) berakhir masa izinnya. Demikian juga sumber daya alam. dengan pemukiman, fasilitas umum/ fasilitas sosial maka wilayah adat tersebut dikeluarkan dari kawasan hutan. 11. Bab XI Ketentuan Mengenai ketentuan penutup, yang Bab ini memberikan penetapan bahwa Penutup, pasal menyebutkan bahwa perda ini mulai perda ini secara hukum memiliki 26 (Chapter XII berlaku sejak tanggal diundangkan. kekuatan untuk dilaksanakan sejak Closing Provisions, ditetapkan tanggal 15 Desember article 26) 2015.

Sumber (Source): Data primer (Primary data). disebutkan bahwa negara, dalam hal ini Halimun Salak maka baik masyarakat adat Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak telah dan pihak taman nasional akan duduk bersama mengakomodasi kebutuhan masyarakat adat untuk membahas penyelesaian konfliknya Kasepuhan dalam rangka mempertahankan secara institusional, tidak lagi menjadi wilayah adatnya. Perda ini juga harus masalah individu masyarakat adat (Putri et digunakan untuk menyelesaikan apabila al., 2017). terjadi konflik di wilayah adat. Jika konflik ini melibatkan pihak Taman Nasional Gunung

173 Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.2, November 2018 : 165-178

C. Proses Lahirnya Perda Kabupaten LHK Nomor P.32/Menlhk-Setjen/2015 di Lebak Nomor 8 Tahun 2015 pasal 12 juga menyebutkan bahwa Menteri Dari hasil wawancara bahwa masyarakat Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) adat Kasepuhan adalah salah satu pemohon dapat memfasilitasi pemerintah daerah untuk dalam perkara pengujian UU Nomor 41 menyusun produk hukum yang mengakui Tahun 1999 di Mahkamah Konstitusi, keberadaan masyarakat hukum adat, seperti yang menghasilkan Putusan MK Nomor peraturan daerah dan keputusan kepala 35/PUU-X/2012. Perjuangan masyarakat daerah. Di Pasal 15 Ketentuan Peralihan Kasepuhan untuk mendapatkan pengakuan menyebutkan hutan adat yang sudah legal telah memakan waktu lama. Advokasi ditetapkan dengan peraturan daerah atau kebijakan yang dilakukan membutuhkan arah keputusan kepala daerah dinyatakan tetap yang strategis dan matang, antara lain dengan berlaku dan ditetapkan sebagai hutan hak. menjadikan pendidikan kritis sebagai amunisi Dukungan lain berupa Peraturan Menteri perjuangannya. Kehutanan (Permenhut) Nomor P.19/Menhut- Pada 2005-2006, masyarakat Kasepuhan II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Cibedug dan Citorek memutuskan untuk Kawasan Suaka Alam dan Kawasan mengambil pilihan hukum berupa perda Pelestarian Alam, juga Permenhut Nomor untuk memperjuangkan haknya (Vitasari P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi & Ramdhaniaty, 2015). Dengan terus Taman Taman Nasional, yang menerangkan mengupayakan lahirnya perda tersebut, zona khusus yaitu sebagai wilayah kompromis masyarakat Kasepuhan juga mendorong pemerintah dengan masyarakat yang berada di lahirnya pengakuan keberadaan masyarakat dalam taman nasional. Juga adanya pengakuan adat dari pemerintah daerah (Sari & Fu’adah, dan perlindungan masyarakat hukum adat 2014). Pengakuan tersebut akhirnya didapatkan oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor melalui Surat Keputusan (SK) Bupati Lebak 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan No.430/Kep.298/Disdikbud/2013 tentang dan Perlindungan Masyarakat Hukum Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat Adat, dibuat dalam bentuk peraturan daerah di Wilayah Kesatuan Adat Banten Kidul ataupun keputusan kepala daerah (Salam, di Kabupaten Lebak yang meliputi 17 2016). Dukungan berupa kebijakan yang Kasepuhan. seperti inilah yang menjadikan semangat dan SK Bupati Lebak tersebut terbit peluang itu ada untuk terus memperjuangkan pasca keluarnya Putusan MK Nomor perda tersebut. 35/PUU-X/2012 sehingga memiliki Semangat yang terpelihara dan adanya momentum yang tepat untuk menjadi wakil masyarakat Kasepuhan yang menempati titik balik memperjuangkan perda yang posisi strategis di pemerintahan daerah mengatur tentang masyarakat hukum adat. menjadi kekuatan yang menguntungkan Untuk keperluan pelaksanaan Putusan MK masyarakat Kasepuhan. Berbagai rangkaian Nomor 35/PUU-X/2012 tersebut juga telah kegiatan terus berlanjut, di antaranya: dikeluarkan Peraturan Menteri Lingkung 1. Dengar Kesaksian Umum (DKU) oleh Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia P.32/Menlhk-Setjen/2015 tanggal 7 Juli 2015 (Komnas HAM) yang kemudian juga tentang Hutan Hak. Dalam Permen LHK menyepakati Pernyataan Bersama Nomor P.32/Menlhk-Setjen/2015 dijelaskan Penyusunan Perda Masyarakat Kasepuhan bahwa hutan adat bukan lagi menjadi bagian di Kabupaten Lebak dari hutan negara, melainkan menjadi bagian 2. Melakukan audensi, rangkaian workshop, dari hutan hak (Pasal 3 ayat 2). Pada Permen penguatan kapasitas bagi birokrat 3. Penyusunan naskah akademik dan

174 Upaya Memperjuangkan Peraturan Daerah Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan ...... (Desmiwati & Surati)

Rancangan Perda (Ranperda) Kasepuhan D. Analisis Praktik Sosiokultural bagi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Faktor kontekstual secara situasional, (DPRD) Lebak, konsultasi publik, institusional dan sistem sosial juga ditemukan 4. Pembentukan panitia khusus (pansus) pada proses pembuatan Peraturan Daerah Ranperda Kasepuhan, uji publik, studi Kabupaten Lebak Nomor 8 Tahun 2015. banding, Dengan adanya UU Nomor 32 Tahun 2004 5. Pembahasan ranperda antara legislatif dan tentang Pemerintah Daerah yang membawa eksekutif yang mengubah judul ranperda semangat desentralisasi telah memberikan menjadi Perda Pengakuan, Perlindungan peluang bagi setiap daerah untuk menerapkan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum kembali sistem pemerintah tradisional Adat Kasepuhan di Kabupaten Lebak. sehingga diakui dalam tata hukum Indonesia. (Vitasari & Ramdhaniaty, 2015). Aspek situasional ketika perda ini lahir Akhirnya perjuangan panjang memang baru dilakukan pada 2014, hal ini (lalampahan) masyarakat Kasepuhan terkait dengan momentum politik lokal di selama lebih kurang sembilan tahun untuk Lebak. mendapatkan pengakuan melalui perda Pada 2014 itu muncul good will dan terwujud dengan keluarnya Peraturan Daerah political will dari pemda dan DPRD, terutama Kabupaten Lebak Provinsi Banten Nomor 8 yang berasal dari masyarakat Kasepuhan. Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan Perda Perlindungan Masyarakat Kasepuhan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat masuk dalam Program Legislasi Daerah Kasepuhan, pada tanggal 15 Desember 2015. (Prolegda) 2015 dan pada 2015 itu secara Dengan lahirnya perda ini maka terdapat maraton dilakukan berbagai rangkaian tahapan pengakuan dan perlindungan bagi Masyarakat untuk menggolkannya menjadi perda. Pada Hukum Adat (MHA) Kasepuhan dan juga tahap ini percepatan proses memang terjadi pengakuan terhadap wilayah adat sebagai karena adanya peran strategis masyarakat ruang kehidupan masyarakat Kasepuhan. Kasepuhan di eksekutif dan legislatif, wakil Hal ini juga membuat masyarakat Kasepuhan bupati dan ketua DPRD nya juga adalah tokoh memiliki jaminan hak atas hidup, ruang, dan masyarakat adat Kasepuhan. Dari 50 anggota wilayah adat mereka. Selain itu mereka juga DPRD kabupaten Lebak, ada enam anggota mempunyai posisi dan dukungan strategis dari perwakilan masyarakat adat. ketika berhadapan dengan pihak lain untuk Organisasi massa masyarakat Kasepuhan menyelesaikan konflik tenurial kehutanan yakni Kesatuan Adat Banten Kidul (SABAKI) yang terjadi di wilayahnya. yang mendapatkan mandat dari para pupuhu Pemda Kabupaten Lebak menetapkan adat Kasepuhan adalah motor penggerak perda ini dengan tujuan untuk mewujudkan yang dinamis. Dengan dukungan dari kesejahteraan masyarakat Kabupaten Lebak lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai yang lebih inklusif, khususnya bagi MHA, pendamping yang berbagi peran, maka proses ini adalah bentuk nyata tanggung jawab advokasi kebijakan ini dapat dilakukan secara Pemda Kabupaten Lebak untuk mengakui dan efektif. RMI-The Indonesian Institute for melindungi masyarakat Kasepuhan. Perda ini Forest and Environment mengambil peran nantinya akan ditindaklanjuti oleh Peraturan dalam proses pendampingan masyarakat Bupati. Dengan lahirnya perda ini, Pemda Kasepuhan melalui pendidikan kritis. Hal Kabupaten Lebak juga akan menganggarkan tersebut dilakukan melalui kerja sama berbagai dukungan untuk pemberdayaan dengan LSM lainnya seperti Jaringan masyarakat adat dan tindakan nyata untuk Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) untuk melindungi kawasan adat. melakukan pemetaan partisipatif, HuMa

175 Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.2, November 2018 : 165-178

untuk pendidikan hukum kritis dan riset Secara analisis praktik wacana dan sosio- aksi, Epistema Institute untuk masukan kultural bahwa proses lahirnya perda yang legal seperti penyusunan naskah akademik, sangat cepat juga tidak terlepas dari adanya ranperda dan policy brief, serta dengan Badan peran strategis masyarakat Kasepuhan di Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Selain eksekutif dan legislatif, adanya hubungan itu SABAKI juga merupakan anggota dari yang sinergi antara eksekutif dan legislatif. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Upaya–upaya kreatif yang dilakukan oleh yang menjadi wadah perjuangan masyarakat LSM dalam mendukung proses pembuatan adat untuk mendapatkan hak-haknya. perda pengakuan masyarakat adat juga sangat Pada aspek sosial-budaya masyarakat adat dirasakan oleh masyarakat adat Kasepuhan Kasepuhan memang masih ditemui beberapa Banten Kidul. permasalahan, antara lain kejenuhan dalam Implementasi perda masyarakat adat berproses memperjuangkan pengakuan ini masih menyisakan persoalan dengan masyarakat adat karena perubahan pola pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian pikir masyarakat memang tidak kasat mata, Lingkungan Hidup dan Kehutanan karena sehingga harus dilakukan upaya-upaya terdapat 18.152,259 hektar wilayah adat kreatif seperti yang dilakukan jaringan Kasepuhan masih tumpangtindih dengan LSM yang mendampingi masyarakat adat kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Kasepuhan agar tetap terjaga semangat Salak yang belum diselesaikan. dan kesolidan, yakni dengan melakukan B. Saran rangkaian pendidikan kritis di bidang hukum, isu gender, kesehatan, penguatan Kementerian Lingkungan Hidup dan ekonomi, bahkan hingga pengetahuan tentang Kehutanan, pemerintah daerah, masyarakat perencanaan wilayah, tata ruang dan lainnya. adat lokal, lembaga pemerhati kehutanan Peran perempuan adat dalam proses advokasi dan pemerhati masyarakat adat sebaiknya dan negosiasi di ranah politik masih minim, menyusun gugus tugas bersama (join sehingga perlu untuk melibatkan perempuan taskforce) untuk melakukan pengecekan dan lebih dalam. Peran perempuan tidak hanya pemetaan di lapangan terhadap keberadaan sebagai penyedia konsumsi ketika pertemuan masyarakat adat serta hutan kelolanya. dilakukan. Minimnya peran perempuan juga Termasuk di sini juga adalah menginisiasi karena adanya persepsi pemerintah daerah peraturan di tingkat daerah menindaklanjuti yang masih menganggap masyarakat adat Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012. sebatas simbol-simbol kultural, sehingga Untuk menyelesaikan masalah masih perlu diberikan persamaan persepsi tumpangtindih dengan kawasan taman pada pihak perempuan mengenai masyarakat nasional, dalam verifikasi dan validasi hutan adat. adat sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan III. KESIMPULAN DAN SARAN Nomor P.1/PSKL/Set/KUM.1/2/2016, maka perlu adanya pelibatan dari Direktorat Jenderal A. Kesimpulan Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Secara analisis teks Perda tentang serta Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Daya Alam dan Ekosistem. Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan telah mengakomodasi kebutuhan masyarakat adat Kasepuhan dalam rangka mempertahankan wilayah kelolanya.

176 Upaya Memperjuangkan Peraturan Daerah Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan ...... (Desmiwati & Surati)

UCAPAN TERIMA KASIH Nuryanto, & Machpudin, I. (2008). Kajian pola (ACKNOWLEDGEMENT) kampung dan rumah tinggal warga Kasepuhan Kesatuan Adat Banten Kidul di Penulis mengucapkan terima kasih Sukabumi Selatan-Jawa Barat. (Artikel Hasil kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Penelitian Universitas Pendidikan Indonesia). Lebak, masyarakat adat Kasepuhan, Teh Nia Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Ramdhaniaty, dan semua pihak yang telah Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Provinsi Banten membantu penelitian ini. Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Provinsi Banten DAFTAR PUSTAKA Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pengakuan, Perlindungan Dan Pemberdayaan Masyarakat Ayatullah, A. L. (2013). Korupsi dalam wacana pers Hukum Adat Kasepuhan (2015). lokal. Retrieved from https://doi.org/10.1017/ Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 Tahun 2014 CBO9781107415324.004 tentang Pedoman pengakuan dan perlindungan Eriyatno. (2012). Analisis wacana : Pengantar analisa masyarakat hukum adat. teks media. Yogyakarta: LkiS. Peraturan Menteri Kehutanan No P.19/Menhut-II/2004 Gayo, A. A., & Ariani, N. V. (2016). Penegakan hukum tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan konflik agraria yang terkait dengan hak-hak Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. masyarakat adar pasca Putusan MK Nomor Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 56 /Menhut- 35/PUU-X/2012. Jurnal Penelitian Hukum II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman De Jure, 16(2), 157–171. Taman Nasional. Hanafi, I., Ramdhaniaty, N., & Nurzaman, B. (2004). Purwasasmita, M., & Sutaryat, A. (2014). Padi sri Nyoreang alam ka tukang nyawang anu bakal organik Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta: datang penelusuran pergulatan di kawasan Penebar Swadaya. Halimun Jawa Barat-Banten. Bogor: RMI. Putri, S. N. M. M., Sukirno, & Sudaryatmi, S. (2017). Hendarti, L. (2008). Menepis kabut halimun: Rangkaian Implikasi Putusan MK No.35/PUU-X/2012 bunga rampai pengelolaan sumber daya alam Terhadap Eksistensi Hutan Adat Masyarakat di Halimun. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Kasepuhan yang Tumpang Tindih Ismail, S. (2008). Wacana, analisis wacana kritis: dengan Hutan Konservasi Taman Nasional Alternatif menganalisis. Jurnal Universitas Gunung Halimun Salak. Diponegoro Law Negeri Medan, 69. Journal, 6(2), 1–22. Kelana, H. W., Hidayat, T., & Widodo, A. (2016). Rahmawati, R., Subair, Idris, Gentini, Ekowati, Pewarisan pengetahuan dan keterampilan D., & Setiawan, U. (2008). Pengetahuan identifikasi keanekaragaman tanaman padi lokal masyarakat adat Kasepuhan. Jurnal lokal pada generasi muda Kasepuhan Adat Trandisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Banten Kidul (pp. 255–262) Proceeding Ekologi Manusia, 2(2), 151–190. Biology Education Conference, 13(1), Ramdhaniaty, N. (2018). Perempuan Adat Non Elit, Surakarta October 2016. Surakarta: Eksklusi Berlapis, dan Perjuangan Hak Universitas Sebelas Maret. Kewarganegaraan atas Hutan Adat (Thesis). Mahendra, Y. (2016). Tekstual, praktik wacana, di Kajian Gender, Sekolah Kajian Stratejik dan praktek sosiokultural pada teks berita dan Global, Universitas Indonesia, Jakarta. kriminal dalam Surat Kabar Harian Radar Salam, S. (2016). Perlindungan Hukum Masyarakat Lampung dan pengembangannya sebagai Hukum Adat Atas Hutan Adat. Jurnal Hukum media pembelajaran menulis teks di SMA. Novelty, 7(2), 209–224. Bandar Lampung: Universitas Lampung. Saputro, G. E. (2006). Modal Sosial dalam Pengelolaan Manuaba, I. B. P., Satya Dewi, T. K., & Kinasih, Sumberdaya Hutan pada Masyarakat Adat S. E. (2012). Mitos, masyarakat adat, dan Kasepuhan Banten Kidul. Institut Pertanian pelestarian hutan. Atavisme, 15(2), 235. https:// Bogor. doi.org/10.24257/atavisme.v15i2.63.235-246 Sari, D. M., & Fu’adah, A. (2014). Peran pemerintah Moleong, L. J. (2008). Metodologi penelitian kualitatif. daerah terhadap perlindungan hutan adat Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. pasca putusan mahkamah konstitusi nomor

177 Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.2, November 2018 : 165-178

35/puu-x/2012. Jurnal Penelitian Hukum, 1(1), 53–61. Subarudi. (2014). Kebijakan Pengelolaan Hutan Adat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/ PUU-X/2012: Suatu Tinjauan Kritis. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 11(3), 207– 224. Sukirno. (2016). Tindak lanjut pengakuan hutan adat setelah putusan mahkamah konstitusi no.35/ puu-x/2012 1. Jurnal Masalah - Masalah Hukum, 45(4), 259–267. Surat Keputusan Bupati Lebak No.430/Kep.298/ Disdikbud/2013 tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat di Wilayah Kesatuan Adat Banten Kidul di Kabupaten Lebak. Tobroni, F. (2013). Menguatkan Hak Masyarakat Adat Atas Hutan Adat ( Studi Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012). Jurnal Konstitusi, 10(3), 461–482. Vitasari, D. M., & Ramdhaniaty, N. (2015). Jalan Panjang Pengakuan Hukum : Lima Belas Tahun Pendampingan Masyarakat Kasepuhan. Jakarta: RMI dan Epistema Institute. Wardah. (2005). Pemanfaatan Tumbuhan Pada Masyarakat Kasepuhan Desa Cisungsang di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Kabupaten Lebak Banten. Berita Biologi, 7(6), 323–332.

178