ISSN 2527-9734 Pariwisata Budaya: Jurnal Ilmiah Pariwisata Agama dan Budaya EISSN 2614-5340

EKSISTENSI ADAT, TANAH ULAYAT DAN PARIWISATA DI KASEPUHAN , JAWA BARAT

Tri Suyud Nusanto1 dan Nur Widiyanto2 1Prodi S1 Pariwisata, Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo, Yogyakarta, 2Prodi S2 Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo, Yogyakarta, Indonesia Email: [email protected]

ABSTRAK Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi berbagai dinamika dari pertemuan antara Islam dengan tatali paranti karuhun sebagai dasar spiritualitas dan praktek kehidupan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar yang menempati kawasan Taman Nasional Halimun Salak, Jawa Barat. Fokus dari studi ini adalah terkait bagaimana aspek legal dari hak menjalankan kepercayaan adat dan akses atas tanah ulayat bisa secara bertahap didapatkan melalui keterlibatan dalam pengembangan pariwisata. Spiritualitas dan kehidupan sehari-hari warga kasepuhan bersumber dari kepercayaan Sunda Pra-Islam, dan dikenal sebagai bagian dari kepercayaan . Seperti halnya berbagai kepercayaan adat lain di Indonesia, Sunda Wiwitan tidak dikategorikan sebagai agama resmi oleh negara. Pada sisi lain, meskipun telah menempati wilayah adat secara turun temurun, namun setelah ditetapkan sebagai bagian dari taman nasional, penduduk Ciptagelar sempat dianggap sebagai penghuni ilegal di kawasan hutan konservasi. Hal ini menjadikan adanya dua tekanan sekaligus bagi warga kasepuhan, yaitu keleluasan untuk menjalankan spiritualitas yang berakar dari ajaran nenek moyang dan terpinggirnya atas hak tanah adat dari sisi legal. Pada saat yang sama, Ciptagelar juga memiliki berbagai sumberdaya wisata budaya yang bersumber dari keaslian tradisi Sunda, serta wisata alam di kawasan pegunungan. Untuk itu, studi ini memberikan sudut pandang baru tentang bagaimana hadirnya pariwisata dapat menjadi jalan tengah bagi upaya memperkuat identitas budaya Kasepuhan Ciptagelar serta mendapatkan pengakuan bagi hak atas tanah ulayat. Riset etnografi dengan participant observation untuk pengumpulan data ini memperlihatkan bahwa pariwisata ternyata dapat memediasi berbagai kebuntuan dari dinamika antara Islam, adat dan upaya memperkuat akses untuk menempati tanah ulayat yang telah ditetapkan sebagai bagian dari hutan negara. Keywords: Kasepuhan Ciptagelar, Islam, adat, pariwisata, identitas

ADAT, CUSTOMARY LAND AND TOURISM IN KASEPUHAN CIPTAGELAR, .

ABSTRACT The article aimed at understanding the dynamics within the encounter between Islam and tatali paranti karuhun, the local religion as the central source of spirituality and cultural practices of Kasepuhan Ciptagelar living on the Halimun Salak National park, West Java. The tradition is rooted in Pre-Islamic Sundanese culture that is often placed as the part of Sunda Wiwitan belief, which is, as the other local beliefs in Indonesia, not being recognized as the official religion. On the other hand, although have been inhabiting the area for

http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/PB/index ISSN 2527-9734 Pariwisata Budaya: Jurnal Ilmiah Pariwisata Agama dan Budaya EISSN 2614-5340 hundred years the establishment of national park have placed the people as the illegal settler within the state’s forest. Thus, there are two pressures for the people; the freedom to practice their local tradition rooted in a local belief which is different from the majority group and the limited legal access toward their customary land. Fortunately, Kasepuhan Ciptagelar is blessed by various tourism resources, both in the term of eco-tourism and cultural tourism rooted in the authenticity of Sundanese culture. In this case, the study offers new insight that the arrival of tourism has given the opportunity for the people to strengthen their cultural identity and the legal access toward the customary land. The ethnographic research through participant observation to gather the primary data reveals that tourism has effectively mediated the encounter between Islam, local belief and the struggle to re-claim the customary land. Keywords : Kasepuhan, Islam, adat, tourism, identity

Copyright ©2021. UHN IGB Sugriwa Denpasar. All Right Reserved

I. PENDAHULUAN adat sebagai kelompok animisme atau bahkan Masyarakat adat sering disebut sebagai “sesat”. salah satu kelompok yang paling Di Jawa Barat, Kasepuhan Ciptagelar, termarginalkan di Indonesia, baik dari sisi adalah salah satu kelompok masyarakat adat politik, ekonomi, hak menjalankan agama Sunda yang masih menjalankan cara hidup dan hingga pelayanan atas berbagai hak sebagai praktek budaya sesuai dengan masyarakat warga negara. Meski demikian, dalam beberapa Sunda pra-Islam. Berbagai kegiatan sehari-hari dekade terakhir masyarakat adat juga dianggap yang dilakukan oleh penduduk Ciptagelar mulai menemukan jalan untuk memperkuat mengikuti aturan adat yang bersumber dari identitas budayanya. Kebangkitan adat di tatali paranti karuhun atau ajaran dari nenek Indonesia tersebut tidak lepas dari empat hal moyang (Adimiharja, 1992). Hal ini sering yang mendukung; pengaruh gerakan menjadi dasar dari beberapa pihak untuk internasional atas hak masyarakat adat, menyebut bahwa praktek budaya Kasepuhan demokratisasi politik di Indonesia pasca Orde Ciptagelar sebagai Sunda Wiwitan. Disinilah Baru, dan sejarah panjang eksistensi titik awal munculnya berbagai perbedaan dan masyarakat adat serta berbagai strategi bertahan ketegangan dengan masyarakat Sunda yang dibangun (Henley and Davidson, 2008). disekitarnya yang sudah menganut kepercayaan Selama masa penjajahan Belanda, dan praktek Islam (Widiyanto, 2019). berbagai pandangan negatif terhadap Kasepuhan Ciptagelar secara masyarakat adat disematkan dengan tujuan adminisratif terletak di Desa Sirnaresmi, untuk memperkuat kontrol terhadap mereka Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. (Peluso and Vandergeest, 2001). Hal yang sama Area pemukiman dan tanah adat kelompok ini juga dilanjutkan oleh pemerintahan Indonesia bersinggungan dengan kawasan konservasi setelah kemerdekaan dengan motif untuk Taman Nasional Halimun Salak. Masyarakat memperkuat ambisi pertumbuhan ekonomi, setempat meyakini bahwa sejarah kasepuhan dimana kelompok masyarakat tradisional sering berakar sejak tahun 1368, dimana , ditempatkan sebagai penghambat kemajuan salah satu upacara adat paling penting di (Dove, 1985; Li, 2000). Lebih jauh, kehidupan Ciptagelar dimulai. Penduduk Kasepuhan budaya dan spiritualitas masyarakat adat yang Ciptagelar berjumlah sekitar 150 KK, dan berbeda dengan ajaran agama resmi, terutama tinggal di Ciptagelar sebagai “lembur jero”, Islam atau Kristiani sering menjadi dasar untuk atau “kampung dalam” sekaligus sebagai pusat menempatkan berbagai kelompok masyarakat kebudayaan dari Kesatuan Adat Kidul yang lebih luas dan dipimpin oleh seorang kepala adat yang disebu Abah. Ciri khas secara

38 http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/PB/index

ISSN 2527-9734 Pariwisata Budaya: Jurnal Ilmiah Pariwisata Agama dan Budaya EISSN 2614-5340 fisik dari kampung inti ini terletak pada “menyimpang”, termasuk di Kasepuhan pemukiman yang tersusun dari bangunan Ciptagelar. tradisional dari kayu yang beratap ijuk, berbeda Pada sisi lain, paper ini menggunakan dengan “kampung luar” yang menggunakan ide utama bahwa kelompok minoritas tidak bahan beton dengan atap dari bahan lebih pasif dalam menghadapi berbagai tekanan dari modern. Lebih jauh, anggota keseluruhan dari luar. Sebaliknya, mereka secara aktif masyarakat kasepuhan diukur dari pengakuan membangun strategi untuk bertahan dengan terhadap Abah sebagai pemimpin adat berbagai taktik untuk menjawab permasalahan mencapai sekitar 30.000 orang dari 569 desa di penting yang diajukan; bagaimana pariwisata Kabupaten Sukabumi, dan Lebak di berperan dalam upaya penduduk Kasepuhan Provinsi Banten. Ciptagelar mempertahankan identitas budaya Dalam beberapa dekade terakhir, yang berakar pada ajaran leluhur serta Kasepuhan Ciptagelar telah terkoneksi dengan menguatkan pengakuan atas tanah ulayat ?. kegiatan wisata dengan tujuan untuk Dalam paper ini teori dramaturgi dari Goffman memperkuat identitas budaya kasepuhan, (1990) digunakan untuk mempelajari resistensi sekaligus sebagai salah satu alternatif masyarakat kasepuhan, baik terhadap tekanan memperkuat akses dibidang ekonomi. Upaya dari sisi keagamaan maupun berkurangnya ini tidak lepas dari berbagai tekanan terhadap akses serta pengakuan terhadap tanah ulayat. kasepuhan, terutama terkait dengan hat atas Disinilah, teori “frontstage” dan “backstage” tanah adat serta keleluasan untuk menjalankan dari Goffman akan menjadi kunci untuk spiritualitas yang bersumber dari ajaran menjawab tujuan penulisan artikel ini yaitu karuhun atau leluhur. Dari sisi tanah adat, menemukan keterkaitan antara pengembangan penetapan kawasan Gunung Halimun sebagai pariwisata di Kasepuhan Ciptagelar dengan taman nasional pada 26 Februari 1992 menjadi upaya memperkuat identitas budaya kasepuhan titik balik dari ketidakjelasan hak atas tanah serta akses legal terhadap tanah ulayat yang adat bagi kasepuhan dari sisi legal aspek, telah menjadi bagian dari kawasan taman dilanjutkan dengan perluasan kawasan taman nasional. nasional pada tahun 2003 yang memasukkan seluruh area pemukiman, persawahan dan hutan KAJIAN PUSTAKA adat kasepuhan ke dalam kawasan konservasi tersebut. Kasepuhan Ciptagelar sering Selain tanah adat sebagai sumber ditempatkan sebagai bagian dari kelompok spiritualitas masyarakat kasepuhan, keleluasan masyarakat Sunda di Jawa Barat yang masih untuk menjalankan praktek beragama sesuai mempraktekkan cara hidup tradisional pra- dengan tradisi leluhur juga mendapatkan Islam dan beberapa pihak menyebutnya sebagai tekanan. Meskipun secara administratif bagian dari kelompok Sunda Wiwitan. Studi beragama Islam, namun beberapa praktek Islam Mutaqqin (2014) menunjukkan bahwa yang mendasar diartikan secara berbeda di kelompok Sunda Wiwitan lain di Kuningan, kasepuhan. Hal ini memunculkan anggapan Jawa Barat yang dikenal sebagai Agama Djawa kuat dari masyarakat di sekitar Ciptagelar yang Sunda (ADS) juga mengambil strategi non- mayoritas beragama Islam bahwa praktek konflik dengan memeluk Islam, namun di “Islam” di Kasepuhan Ciptagelar dianggap belakang praktek adat tetap menjadi dasar tidak sama, Islam yang tidak shalat atau masih spiritualitas dalam kehidupan sehari-hari. bercampur dengan animism (Widiyanto, 2019; Sementara, dalam setting social masyarakat 93). Pada saat yang sama, dari sisi legal aspek, Jawa, relasi antara praktek adat Jawa dengan UU No.1/PNPS/1969 yang menegaskan bahwa kedatangan ajaran Islam memunculkan hanya 5 agama resmi yang diakui oleh negara segmentasi dari masyarakat Islam-Jawa yang menjadikan praktek spiritualitas kelompok adat merujuk kepada penerimaan terhadap rentan disebut sebagai ajaran yang sinkretisme sebagai salah satu dasar dari spiritualitas masyarakat Jawa (Susilo, 2016).

http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/PB/index 39

ISSN 2527-9734 Pariwisata Budaya: Jurnal Ilmiah Pariwisata Agama dan Budaya EISSN 2614-5340 Pada sisi lain, studi Picard (1996) dan dengan masyarakat Badui di Provinsi Banten. Nordholt (2007) di Bali menunjukkan bahwa dan alat analisis utama adalah interpretasi pada satu sisi pariwisata bisa menjadi jalan bagi terhadap berbagai simbol dan makna yang penguatan identitas adat dan budaya muncul dalam keseluruhan interaksi selama masyarakat Bali, dengan konsekuensi pada fieldwork (Spradley, 1997). akhirnya antara budaya, agama dan pariwisata Data primer dikumpulkan dengan menyatu dan dikenal dengan istilah “budaya participant observation, termasuk wawancara pariwisata”. Demikian juga studi Widiyanto mendalam selama melakukan field work berseri dan Agra (2019) di Sabah, Malaysia yang dari tahun 2016 hingga 2019, dilengkapi menunjukkan bahwa berkembangnya dengan data arsip dari berbagai sumber. pariwisata di Gunung Kinabalu menjadi jalan Informan dipilih dengan teknik snowball, terhadap “half-hearted revivalism” dari dimana infoman kunci dipilih berdasarkan Momolianism, agama lokal masyarakat Dusun representasi serta kedekatan terhadap isu yang beserta berbagai konsekuensi yang muncul, diteliti. Sementara, observasi difokuskan pada termasuk memudarnya budaya agraris karena aktifitas sehari-hari, baik individu maupun berpindah ke berbagai aktifitas yang terkait kelompok serta berbagai kegiatan komunal dengan kegiatan pariwisata. Disini, keterlibatan yang terkait dengan adat, agama maupun masyarakat adat dan kelompok minoritas ke pariwisata. Hasil observasi tersebut dalam kegiatan pariwisata tidak hanya terkait ditindaklanjuti dengan wawancara mendalam dengan kepentingan untuk mendapatkan akses untuk mengklarifikasi beberapa aspek yang terhadap benefit ekonomi dari pasar pariwisata, dianggap memiliki relevansi kuat dengan isu melainkan juga sebagai sarana untuk penelitian yang dipilih. memperkuat identitas budaya tertentu yang terpinggirkan oleh kelompok dominan. II. HASIL DAN PEMBAHASAN Sementara, studi tentang masyarakat Kedatangan Islam di Tanah Sunda Kasepuhan Ciptagelar dalam beberapa dekade Kedatangan ajaran Islam di nusantara terakhir didominasi oleh isu tentang disebut terjadi setelah sekian lama Hindu dan keberhasilan pola pertanian tradisional, Buddha hadir dan bercampur dengan berbagai ketahanan pangan dan upaya memperkuat tradisi lokal sehingga proses perpindahan ini pengakuan terhadap hak ulayat (Kusdiwanggo, disebut tidak lengkap (Ricklefs, 2012). 2016; Darjanto, 2015). Disinilah paper ini ingin Sementara, Islam sendiri hadir ke nusantara melengkapi studi tentang bagaimana dinamika bersamaan dengan merebaknya berbagai jalur antara agama resmi, praktek adat yang perdagangan dimana Kepulauan Indonesia bersumber dari tradisi leluhur serta kegiatan adalah salah satu perlintasan dagang penting pariwisata di Ciptagelar telah menjadi jalan dimasa lalu (Pringle, 2010: 29). Sementara itu, bagi transformasi masyarakat adat untuk di Jawa Barat yang dikenal dengan landscape terkoneksi dengan modernitas. budaya Sunda-nya, kehadiran ajaran Islam tidak lepas dari pergeseran kekuasaan politik METODE dari Majapahit ke Demak Islam di pesisir utara Studi ini menggunakan metode etnografi Jawa Tengah di era 1400 an (Reid, 1993). Hal untuk mendalami bagaimana perpektif dari ini disebut sebagai menjadi titik awal dari masyarakat di Kasepuhan Ciptagelar dalam proses Islamisasi secara keseluruhan di Pulau merespon berbagai tekanan terkait aspek Jawa dimana peran “wali sanga”, kelompok keagamaan maupun hak atas tanah adat. Lokasi perintis penyebaran Islam melalui jalur politik penelitian adalah di Kasepuhan Ciptagelar, menjadi salah satu kuncinya. yang masuk wilayah Desa Sirnaresmi, Kehadiran Islam di Jawa Barat terjadi Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, pada saat Pakuan-Pajajaran, kerajaan dengan Jawa Barat. Wilayah ini adalah pusat dari corak adat Sunda masih eksis di era 1500-an. kelompok masyarakat adat Kasepuhan Banten Periode kejatuhan Pajajaran tidak lepas dari Selatan yang masih terhubung secara kultural menguatnya Islamisasi di pesisir Jawa Barat

40 http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/PB/index

ISSN 2527-9734 Pariwisata Budaya: Jurnal Ilmiah Pariwisata Agama dan Budaya EISSN 2614-5340 yang ditandai dengan munculnya Kesultanan berbeda dengan Islam mayoritas di luar wilayah Banten serta Cirebon yang terhubung dengan kasepuhan. Ki Amil, salah satu tetua adat yang Demak (Achmad, 2017). Aliansi Banten dan lahir sekitar 1940-an menyatakan bahwa secara Demak berkontribusi penting dalam kejatuhan administratif sejak kecil sudah memeluk Islam. Pajajaran yang ditandai dengan direbutnya Meski demikian, berbagai ritual mendasar Sunda Kelapa oleh kekuatan Islam dari pantai seperti shalat dan puasa tidak dilakukan secara utara. Kejatuhan Sunda Kelapa di tahun 1527- rutin seperti dengan penganut Islam yang lain. an menjadikan pusat kekuatan Pajajaran Pada sisi lain, ajaran leluhur serta berbagai terpecah. Sebagian pengikut Pajajaran bergerak ritual berdasarkan adat justru menjadi praktek ke Priangan dan mendirikan Sumedang Larang, yang secara individual maupun komunal rutin sementara sebagian lain Pajajaran bergerak ke dijalankan. Berbagai ritual tersebut terutama pedalaman Gunung Halimun. Sumedang yang terkait dengan siklus pertanian padi secara Larang sendiri pada akhirnya “jatuh” dan tradisional yang setiap tahapan akan ditandai menjadi vassal dari Mataram Islam di era dengan upacara adat tertentu. Hal inilah yang Sultan Agung. Kelompok terakhir inilah yang kemudian memicu berbagai stigma terhadap kemudian menjadi cikal bakal masyarakat spiritualitas masyarakat di Kasepuhan Badui dan kelompok Kasepuhan Banten Ciptagelar, sekaligus memunculkan berbagai Selatan, termasuk di Ciptagelar yang sering upaya “pemurnian” praktek beragama oleh disebut sebagai penjaga adat dan tradisi berbagai kelompok Islam dari luar. masyarakat Sunda dari masa Pajajaran. Dinamika Islam dan Adat Jatuhnya Pajajaran, diikuti Sumedang Meskipun secara administratif warga Larang memberikan jalan bagi proses kasepuhan memeluk Islam, namun dalam Islamisasi secara bertahap di wilayah Jawa praktek sehari-hari mereka lebih untuk Barat saat ini secara keseluruhan. Setelah menjalankan ajaran nenek moyang yaitu tatali kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, wilayah paranti karuhun. Oleh beberapa pihak dari luar, Jawa Barat kemudian dikenal sebagai wilayah ajaran spiritualitas ini sering ditempatkan masyarakat Sunda dengan budaya Islam yang sebagai bagian dari Sunda Wiwitan, yang kental sebagai hasil proses Islamisasi yang secara harfiah diterjemahkan sebagai sudah dimulai sejak jatuhnya Pajajaran. Di era kepercayaan Sunda awal sebelum bercampur Indonesia pasca kemerdekaan, gelombang atau digantikan dengan agama dari luar. kedua proses “agamanisasi” berbagai Kepercayaan leluhur ini juga sering disebut kepercayaan berbasis adat muncul dengan sebagai “agama karuhun” dan bertumpu kepada diterbitkannya UU.No 1/PNPS/1969 dimana keyakinan bahwa dunia terbagi menjadi macro- hanya ada lima agama resmi yang diakui oleh cosmos (dunia besar) dan micro-cosmos (dunia negara. Berbagai agama lokal dan kepercayaan kecil) serta dunia sakral serta fana. Dunia sakral adat yang menjadi kunci berbagai kehidupan yang tidak terlihat dan dunia fana saling terkait spiritual dan budaya kelompok adat hanya satu sama lain sehingga prinsip hidup yang ditempatkan sebagai “kepercayaan”. Hal ini dipraktekkan adalah dengan menjaga harmoni mendorong migrasi besar-besaran penganut serta keseimbangan antara manusia, arwah agama adat untuk memeluk salah satu agama leluhur (karuhun), berbagai makhluk hidup resmi karena tanpa memiliki “agama resmi” baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat pemenuhan berbagai hak sebagai warga negara serta dengan lingkungan tempat hidup mereka juga akan menemui hambatan. Di Jawa Barat, (1992: 36). Pandangan inilah yang menjadi sebagian besar penganut adat kemudian dasar dari praktek kehidupan sehari-hari yang memeluk Islam meskipun sebagian kecil ada terus dijaga di Kasepuhan Ciptagelar, sehingga yang menjadi Katholik seperti para penganut hampir seluruh awal untuk kegiatan pertanian, Madraism di Kuningan (Steenbrink, 2005). membangun rumah, melakuka upacara adat Sementara, di Kasepuhan Ciptagelar, hingga bermain bola ke luar kampung harus Islam telah dipilih sebagai agama administratif dimulai dengan ijin dari sesepuh adat serta meskipun praktek beragama yang dilakukan ritual untuk meminta “ijin” dari karuhun.

http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/PB/index 41

ISSN 2527-9734 Pariwisata Budaya: Jurnal Ilmiah Pariwisata Agama dan Budaya EISSN 2614-5340 Disini, praktek agama leluhur ini Ciptagelar yang memiliki prinsip hidup kemudian termanifestasi ke dalam kehidupan “menjaga keseimbangan” tidak pernah secara sehari-hari dalam berbagai bidang kehidupan, terbuka dan dengan kekerasan menolak sehingga tidak memerlukan ritual tertentu kedatangan kelompok pendakwah tersebut, seperti yang biasa dilakukan dalam Islam. melainkan tetap diterima meskipun juga tetap Secara singkat, tatali paranti karuhun dapat konsisten untuk mempraktekkan Islam dengan ditempatkan sebagai bagian dari kepercayaan cara sendiri. Sunda Wiwitan, sekaligus sebagai penanda bagi Disinilah, teori panggung atau masyarakat Sunda yang masih mempraktekkan dramaturgi dari Goffman `digunakan untuk ajaran leluhur atau belum sepenuhnya menjelaskan bagaimana relasi praktek adat dan berpindah ke agama dunia yang datang dari Islam dijalankan secara bersamaan di luar seperti Islam atau Kristiani. Sementara, Kasepuhan Ciptagelar. Selain secara istilah Sunda Wiwitan sendiri muncul dari administratif memeluk Islam, berbagai simbol Pangeran Djatikusuma, pemimpin ketiga dari Islam juga hadir di Ciptagelar; mushola, anak- kelompok Sunda Wiwitan di Kuningan Jawa anak mengaji juga beberapa ritual adat Barat yang awalnya ditujukan untuk keluar dari termasuk Tutup Nyambut untuk merayakan dominasi budaya Jawa yang ada di dekat akhir masa tanam yang menggunakan doa daerah tersebut (Mutaqin, 2014: 2). dalam dua bahasa sekaligus; Sunda dan Arab. Mengikuti cara hidup leluhur yang Hal ini mirip dengan yang dilakukan oleh dekat dengan lingkungan sekitar, menjaga penduduk Kendahe di Kepulauan Sangihe, tradisi tertentu agar tidak berubah seperti rumah Sulawesi Utara yang menggunakan doa beratapkan ijuk, bertanam padi secara menurut Islam sebagai pembukan acara tradisional dengan masa panen setahun sekali komunal, dan menutup acara dengan doa sesuai adalah aplikasi dari ajaran tatali paranti ajaran Kristiani (Widiyanto, 2012). Dalam karuhun. Hal ini oleh Bird David (1999) struktur adat kasepuhan selain ada Ki Karma disebut sebagai relational epistemology yang selaku dukun adat, terdapat Ki Amil, salah satu berarti memberlakukan lingkungan hidup pembantu Abah, pemimpin adat yang bertugas seisinya baik benda mati maupun benda hidup mengurusi masalah yang terkait dengan agama. sebagai mahluk yang setara, dan menjadi dasar Beberapa bukti ini menunjukkan hubungan harmonis antara masyarakat adat kecenderungan untuk menjaga harmoni atau dengan lingkungan hidup. Di Ciptagelar, keseimbangan, tidak hanya dengan alam praktek ini termanifestasi ke dalam berbagai sekitar, namun juga dengan masyarakat di luar ritual untuk menghormati leluhur, adat serta negara. berterimakasih kepada Dewi Pohaci (Dewi Pada sisi lain, meski Islam dan berbagai Padi) sebagai sumber penghidupan serta simbolnya hadir dalam kehidupan sehari-hari di meminta keselamatan dalam hidup bagi Kasepuhan Ciptagelar, namun upaya untuk masyarakat lebih luas (Suganda, 2013; 55). memastikan bahwa hal tersebut tidak Kedekatan dengan lingkungan sekitar mengganggu eksistensi adat juga terasa kuat. berupa hutan, sungai, makam dan situs leluhur, Mang X, salah satu pemuda Ciptagelar dengan pemukiman serta praktek pertanian tradisional tegas menyatakan bahwa perbedaan antara melalui berbagai ritual ini kemudian menjadi Ciptagelar dengan beberapa kampung luar dasar bagi sebagian penganut Islam di luar adalah bahwa warga Ciptagelar sebagai lembur Kasepuhan Ciptagelar untuk menganggap jero adalah pemeluk adat, sedangkan yang bahwa praktek Islam mereka bercampur dengan diluar lebih dominan agama (Islam). Sebagai animism, atau lebih jauh hanya sebagai kedok. Muslim, anak-anak di Ciptagelar biasanya tetap Lebih lanjut, hal ini diikuti oleh berbagai akan belajar shalat dan mengaji di mushola, tindakan tertentu dengan mengirimkan namun saat akil baligh biasanya hal tersebut sekelompok pendakwah ke Ciptagelar untuk sudah tidak dilakukan lagi. Tidak ada shalat “meluruskan” praktek Islam yang dianggap berjamaah yang secara rutin dilakukan oleh menyimpang. Pada sisi lain, masyarakat orang dewasa, termasuk shalat Jumat sehingga

42 http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/PB/index

ISSN 2527-9734 Pariwisata Budaya: Jurnal Ilmiah Pariwisata Agama dan Budaya EISSN 2614-5340 mereka yang ingin melaksanakan Shalat Jumat pemukiman, pertanian dan hutan adat masuk harus berjalan ke kampung lain. dalam klaim hutan negara (Widiyanto 2019; Demikian juga apabila secara 101). Pada sisi lain, tanah adat berperan penting bersamaan ada ritual atau acara adat yang dalam tumbuhnya berbagai praktek budaya bersamaan dengan waktu shalat makan yang pada masyarakat agraris seperti Kasepuhan diikuti adalah ritual adat. Tradisi upacara Ciptagelar, sehingga pada saat akses terhadap perkawinan juga menjelaskan bagaimana adat tanah ulayat berkurang, praktek hidup dan berperan cukup dominan, dimana setelah spiritualitas berlandaskan tatali paranti menjalani serangkaian ritual menurut tata cara karuhun juga akan terancam. Bisa dikatakan, Islam dan negara, pengantin yang disahkan adat tumbuh diatas tanah ulayat, tanpa tanah oleh penghulu dari Kantor Urusan Agama adat pelan-pelan adat juga akan lenyap. (KUA) harus mendapatkan restu dan Sejak tahun 2004, berbagai upaya telah “pengesahan” dari abah selaku pemimpin adat dilakukan oleh warga kasepuhan untuk untuk benar-benar dianggap sah sebagai suami- menegaskan eksistensi ada maupun istri. Perkawinan merupakan salah satu fase memperkuat akses terhadap tanah adatnya. penting dalam kehidupan adat di Kasepuhan Bergabung ke dalam kelompok sipil Ciptagelar karena syarat untuk dapat masyarakat adat, Aliansi Masyarakat Adat mengerjakan sawah sendiri dan melakukan Nusantara (AMAN) pernah dipilih oleh praktek pertanian mandiri adalah pada saat pemimpin adat sebelumnya, Abah Anom, seseorang telah menikah (Asep, 2018). Hal ini sebagai sarana untuk memperjuangkan secara jelas menunjukkan bagaimana pengakuan atas tanah ulayat Kasepuhan kecenderungan untuk menempatkan ajaran adat Ciptagelar secara legal sampai beliau sebagai prioritas daripada praktek agama Islam meninggal dunia pada tahun 2007. Strategi ini yang secara administrative dipeluk oleh warga dianggap tidak terlalu efektif serta tidak Ciptagelar. Penerimaan Islam di Ciptagelar mencerminkan sikap “menjaga harmoni” diyakini telah berlangsung ratusan tahun dan dengan berbagai pihak, termasuk negara yang merupakan “identity construction” dari hasil selama ini menjadi prinsip hidup warga interaksi dengan kelompok Islam yang kasepuhan. Hal ini dibuktikan dengan belum dominan sejak runtuhnya Pajajaran karena adanya kemajuan hingga tahun 2015-an, dan menguatnya Kesultanan Banten dan Demak, warga kasepuhan tetap ditempatkan sebagai hingga proses “menjaga keseimbangan” serta penduduk illegal di kawasan konservasi. hubungan baikan dengan kelompok Islam Pada sisi lain, berbagai praktek adat mayoritas yang tinggal di sekitar Ciptagelar yang tetap terjaga ternyata menarik banyak (Widiyanto, 2019;138). Lebih jauh, mengacu orang untuk datang ke Ciptagelar, selain untuk Goffman, menampilkan simbol Islam di menikmati alam pegunungan yang tersembunyi panggung depan, dan tetap menjaga adat di dari hirup pikuk kota. Awalnya kedatangan belakang merupakan strategi non-kekerasan orang luar ke Ciptagelar adalah karena alasan untuk tetap menjaga eksistensi tatali paranti spiritual dimana Abah Anom, pemimpin adat karuhun itu sendiri. sebelumnya juga dikenal sebagai guru spiritual Pariwisata Sebagai Jalan Tengah serta memiliki kedekatan dengan beberapa Tekanan yang datang terhadap public figure dari Jakarta maupun Bandung. masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar tidak Berawal dari kedatangan para tamu “generasi hanya terkait dengan spiritualitas yang pertama” ini kemudian kabar tentang adanya bertumpu pada ajaran leluhur saja, namun juga “surga tersembunyi” dibalik pegunungan pada hak atas tanah ulayat yang bersinggungan Halimun juga mulai tersebar dari mulut ke dengan wilayah konservasi Taman Nasional mulut. Tidak hanya alam yang masih asri, Gunung Halimun-Salak sejak pertama kali budaya Sunda yang masih terjaga melengkapi ditetapkan pada 1992. Terlebih, saat perluasan cultural landscape Ciptagelar sebagai sumber kawasan taman nasional dari 40.000 ha menjadi daya pariwisata. 113.000 ha pada 2003, hampir seluruh wilayah

http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/PB/index 43

ISSN 2527-9734 Pariwisata Budaya: Jurnal Ilmiah Pariwisata Agama dan Budaya EISSN 2614-5340 Sumberdaya wisata budaya yang dengan micro-hydro bisa diterima selama tidak menjadi dayatarik pengunjung dari luar selain merusak adat serta memberi manfaat kepada image tentang adanya kelompok masyarakat masyarakat kasepuhan. Menjaga adat agar tetap Sunda yang tinggal di pegunungan Halimun sesuai tatanan selain menjadi kunci bagi serta mengenakan pakaian dan tinggal rumah eksistensi masyarakat adat, juga bisa menjadi tradisional juga karena menyimpan padi di kapital bagi berbagai pengembangan kegiatan leuit (lumbung padi) dari kayu dan beratapkan wisata budaya di Kasepuhan Ciptagelar. ijuk menjadi ciri khas dari Kasepuhan Merujuk MacCannel (1973), keaslian atau Ciptagelar. Hal ini melengkapi berbagai otentisitas budaya adalah tulang punggung upacara adat yang terhubung dengan siklus wisata budaya sehingga hilangnya keaslian bisa pertanian padi huma kemudian ditempatkan akan diikuti oleh lenyapnya modal terpenting sebagai sarana bagi masyarakat Jawa Barat di dari daya tarik atau kegiatan wisata budaya. perkotaan untuk mempertautkan diri dengan Salah satu upacara adat yang kemudian akar budaya Sunda yang sudah mulai saat ini berkembang menjadi kegiatan wisata menghilang di kawasan urban. Inilah yang penting tidak hanya bagi warga kasepuhan, menjadikan Kasepuhan Ciptagelar tiba-tiba namun juga pemerintah daerah adalah Seren menjadi magnet baru bagi pengunjung baik dari Taun. Upacara ini adalah salah satu ritual dalam maupun luar negeri untuk datang karena terpenting untuk menutup siklus menanam padi dipicu oleh berbagai alasan budaya, fotografi, huma secara tradisional bagi masyarakat wisata alam hingga untuk keperluan penelitian. kasepuhan sekaligus untuk mengucapkan rasa Berdasarkan hasil pengamatan, rata-rata setiap terimakasih syukur dan persembahan kepada minggu ada sekitar 50 pengunjung yang datang Dewi Pohaci, sang dewi padi. Diselenggarakan dan menginap di Kasepuhan Ciptagelar, dan satu tahun sekali, ritual ini tidak hanya dihadiri terdistribusi ke beberapa rumah warga selain di warga kasepuhan di lembur jero Ciptagelar, Imah Gedhe, rumah besar tempat tinggal namun juga perwakilan dari warga kasepuhan pemimpin adat. dari lembur luar yang tinggal beberapa wilayah Pada sisi lain, prinsip hidup yang cukup kabupaten sekitarnya, termasuk di Provinsi “akomodatif” terhadap masuknya hal baru dari Banten. Pesta panen ini biasanya berlangsung luar, termasuk menerima Islam secara selama beberapa hari dengan menampilkan administratif juga ditunjukkan oleh Kasepuhan beberapa atraksi kesenian tradisional seperti Ciptagelar terhadap datangnya kegiatan wayang, jaipong hingga pentas musik modern pariwisata. Meskipun beberapa warga, yang kemudian ditutup dengan ritual sakral termasuk pemimpin adat, Abah Ugi secara untuk memasukkan padi hasil panen ke tegas menyatakan bahwa Ciptagelar bukanlah lumbung komunal yang dikeramatkan; Leuit Si destinasi wisata ataupun sebuah desa wisata, Jimat. namun berbagai kegiatan yang dapat dikatakan Ribuan pengunjung baik warga adat, sebagai wisata tidak dapat dihindari, sampai pedagang berbagai komoditas, wisatawan, saat pandemik Covids19 membuat kedatangan perwakilan pemerintah, media massa hingga pihak luar ke Ciptagelar dibatasi. Meski peneliti hadir ke Ciptagelar dan menginap di demikian, seperti halnya strategi menerima rumah tradisional penduduk yang ditunjukan Islam secara administratif di panggung depan serta menjadi semacam “homestay” dadakan. dan mempraktekkan adat dalam kehidupan Di sini, meskipun tidak ada “tarif” resmi yang sehari-hari sebagai prioritas, kedatangan ditetapkan, namun seperti halnya fungsi pariwisata serta wisatawan ke Ciptagelar tetap industri akomodasi pendukung pariwisata, para dalam koridor dibawah kontrol otoritas adat pengunjung yang menginap akan memberikan sehingga eksistensi aturan adat tetap terjaga. Ini pengganti uang makan dan menginap bagi tuan tercermin dalam pernyataan Abah Ugi sebagai rumah. Secara ekonomi, aktifitas “wisata” pemimpin adat bahwa hal baru, termasuk selama Seren Taun maupun kedatangan kegiatan wisata, teknologi informasi, pengunjung secara regular di hari biasa mampu komunikasi hingga listrik ramah lingkungan memberikan alternatif pendapatan bagi warga

44 http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/PB/index

ISSN 2527-9734 Pariwisata Budaya: Jurnal Ilmiah Pariwisata Agama dan Budaya EISSN 2614-5340 lokal sebagai penyedia jasa akomodasi, khusus” untuk kegiatan wisata budaya dan pemandu serta terkadang transportasi untuk pendidikan, sehingga tidak lagi dianggap antar jemput pengunjung di kota terdekat, sebagai penghuni illegal. Pelabuhan Ratu atau Cisolok. Pada Beberapa bukti di atas menunjukkan perkembangnya, kehadiran berbagai souvenir bahwa masyarakat adat, termasuk Kasepuhan lokal seperti t-shirt dengan motif Ciptagelar, Ciptagelar hanya pasif dalam merespon kopi maupun berbagai kerajinan lokal berbagai tekanan yang datang dari luar. Di melengkapi nuansa pariwisata di kampung adat Ciptagelar, pariwisata tiba-tiba hadir sejak Kasepuhan Ciptagelar. sekitar tahun 2008-an sebagai jalan tengah Perkembangan aktifitas wisata, baik untuk bernegosiasi dengan tekanan terkait wisata budaya maupun wisata alam di tradisi berdasarkan adat maupun upaya Ciptagelar pada titik puncaknya mampu memperkuat klaim atas tanah ulayat yang sudah memediasi berbagai kebekuan komunikasi ditinggali leluhur kasepuhan sejak ratusan antara warga kasepuhan dengan pihak luar, tahun silam dan tiba-tiba dinyatakan sebagai termasuk masyarakat yang selama ini bagian dari hutan negara. Meskipun saat menganggap bahwa penduduk kasepuhan dikonfirmasi langsung ke kantor balai taman penganut animisme serta dengan pihak Taman nasional pihak TNGHS menyatakan belum ada Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). dokumen resmi apapun yang telah terbit untuk Meningkatnya mobilitas orang luar yang datang mendukung pernyataan pihak TNGHS di tahun untuk sekedar “melihat” Ciptagelar, mengantar 2016, namun hal tersebut tetap saja merupakan pengunjung hingga berdagang sedikit mampu kemajuan penting bagi upaya penduduk membongkar stereotipe kurang baik terhadap Kasepuhan Ciptagelar untuk mendapatkan warga kasepuhan tersebut. Orang luar akhirnya pengakuan atas tanah ulayatnya serta rasa melihat bahwa di Ciptagelar juga ada mushola nyaman tinggal di area hutan taman nasional. bagi siapapun yang ingin bersembahyang atau Disini, meskipun keterlibatan yang semakin anak-anak mengaji setiap selepas magrib intensif dengan kegiatan pariwisata tentu saja bersamaan dengan praktek adat yang terjaga. memiliki beberapa konsekuensi yang tidak Hal ini sedikit banyak mampu diinginkan, namun dengan menunjukkan bahwa menghadirkan penerimaan tentang apa yang pariwisata berperan menjadi jalan tengah untuk dipilih dan dijalankan oleh warga kasepuhan. menegosiasikan kepentingan untuk Peningkatan jumlah pengunjung ke area mempertahankan identitas budaya yang Ciptagelar, baik di hari biasa dan terutama saat bersumber dari tatali paranti karuhun serta Seren Taun juga menjadikan Kasepuhan memperkuat klaim untuk tinggal di tanah ulayat Ciptagelar serta berbagai kegiatan adatnya yang diwariskan oleh leluhur kasepuhan. salah satu destinasi penting bagi pemerintah daerah Kabupaten Sukabumi. Seren Taun juga III. SIMPULAN kemudian dimasukkan ke dalam kalender resmi Eksistensi adat yang bertumpu pada tatali kegiatan wisata budaya, termasuk berbagai paranti karuhun dan hak atas tanah ulayat yang upaya untuk mempromosikan kepada pihak telah ditinggali secara turun temurun oleh luar. Demikian pula pihak Taman Nasional masyarakat Kasepuhan Ciptagelar telah Gunung Halimun-Salak yang sebelumnya terancam oleh berbagai upaya pemurnian sempat menyebut penduduk Kasepuhan agama dari kelompok mayoritas serta Ciptagelar sebagai warga illegal di kawasan penetapan wilayah adat sebagai bagian dari konservasi, justru menjadikan Kasepuhan kawasan konservasi. Selain dianggap sebagai Ciptagelar sebagai aset wisata budaya bagi penghuni illegal di tanah adatnya sendiri, pihak taman nasional. Lebih jauh, pada saat penduduk Ciptagelar kerap dianggap sebagai upacara Seren Tahun 2016, perwakilan pihak muslim yang tidak utuh sehingga menjadi taman nasional yang datang secara langsung target rutin upaya pemurnian Islam oleh menyatakaan bahwa kawasan Ciptagelar telah kelompok Islam mayoritas. dimasukkan sebagai “kawasan pengembangan

http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/PB/index 45

ISSN 2527-9734 Pariwisata Budaya: Jurnal Ilmiah Pariwisata Agama dan Budaya EISSN 2614-5340 Bersamaan dengan kebijakan pemerintah Indonesia. Modern Asian Studies, pp.815- yang menempatkan pariwisata sebagai sektor 852. ekonomi strategis, pengembangan wisata di Kusdiwanggo, S. (2016). Konsep Pola Permukiman Ciptagelar mampu menjadi jembatan sekaligus Spasial di Kasepuhan Ciptagelar. Jurnal alat negosiasi terhadap tekanan dari luar Permukiman, 11(1), 29-42. tersebut. Berbagai kegiatan budaya, khususnya Li, T.M. (2000). Articulating indigenous identity in ritual Seren Taun justru diterima oleh Indonesia: Resource politics and the tribal masyarakat luar sebagai atraksi tarik wisata dan slot. Comparative studies in society and menetralisir segregasi antara Islam dan adat. history, 42(1), pp.149-179. Lebih lanjut, dianggap memiliki potensi wisata MacCannell, D. (1973). Staged authenticity: penting, Ciptagelar telah ditetapkan sebagai Arrangements of social space in tourist area khusus pengembangan wisata dalam settings. American journal of kawasan taman nasional. Meski demikian, Sociology, 79(3), 589-603. dibutuhkan political will dan policy will dari Mutaqin, Z. Z. (2014). Penghayat, orthodoxy and negara untuk mengakomodir secara legal the legal politics of the state: The survival of keberadaan masyarakat adat di kawasan agama djawa sunda (madraisism) in indonesia. Indonesia and the Malay konservasi, termasuk Kasepuhan Ciptagelar World, 42(122), 1-23. selama selaras dengan tujuan dari taman Peluso, N.L. and Vandergeest, P. (2001). nasional yaitu konservasi, edukasi serta Genealogies of the political forest and pengembangan wisata. customary rights in Indonesia, Malaysia, and Thailand. The Journal of Asian Studies, 60(3), pp.761-812. REFERENSI Picard, M, 1996; Bali. Cultural tourism and Achmad, S. W, 2017; Sejarah Islam di Tanah touristic culture. Jawa: mulai dari masuk hingga Pringle, R, 2010; Understanding Islam in perkembangannya. Araska Publisher. Indonesia: politics and diversity. University Adimihardja, K, (992; Kasepuhan yang tumbuh di of Hawaiʻi Press. atas yang luruh: pengelolaan lingkungan Reid, A, 1993; Southeast Asia in the age of secara tradisional di kawasan Gunung commerce 1450–1680: Volume 2: Expansion Halimun, Jawa Barat. Tarsito. and crisis. New. Bird-David, N. (1999). “Animism” revisited: Ricklefs, M. C, 2012; Islamisation and its personhood, environment, and relational opponents in Java: A politic al, social, epistemology. Current cultural and religious history, c. 1930 to the anthropology, 40(S1), S67-S91. present. Singapore: NUS Press. Darjanto, B, 2015; Pola Tanam Padi dan Saepudin, A, 2018; Agama dan Kedaulatan dampaknya terhadap Ketahanan Pangan Pangan: Memaknai Ulang Praktik Pertanian Pokok (Studi pada Masyarakat Adat Banten serta Hubungan antara Manusia dan Kidul Kasepuhan Ciptagelar di Desa Lingkungan (Studi Kasus Masyarakat Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok Kabupaten Ciptagelar, Sukabumi, Jawa Barat), Doctoral Sukabumi), Doctoral dissertation, dissertation, Universitas Gadjah Mada. Universitas Gadjah Mada. Schulte Nordholt, H. G. C, 2007; Bali an Open Dove, M., 1985; Peranan kebudayaan tradisional Fortress 1995-2005. Regional autonomy, Indonesia dalam modernisasi. Yayasan Obor electoral democracy and entrenched Indonesia. identities. Goffman, E.,1990; The presentation of self in Spradley, J. P., Elizabeth, M. Z., & Amirudin. everydaylife. London:Harmondsworth.(Repr ,1997; Metode etnografi. Tiara Wacana inted, London: Penguin Books 1990). Yogya. Henley, D. and Davidson, J.S. (2008). In the name Steenbrink, K. A. (2005). A Catholic sadrach: the of adat: regional perspectives on reform, contested conversion of Madrais adherents tradition, and democracy in in West Java between 1960-2000. Een vakkracht in het koninkrijk, 286-307.

46 http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/PB/index

ISSN 2527-9734 Pariwisata Budaya: Jurnal Ilmiah Pariwisata Agama dan Budaya EISSN 2614-5340

Suganda, Ugis, Komunitas Adat Ciptagelar: Membangun Posisi Tawar Hak Atas Hutan Adat in Emilianus Kleden, Liz Chidley, and Yuyun Indradi (eds), 2013; Hutan Untuk Masa Depan; Pengelolaan Hutan Adat di Tengah Arus Perubahan. Jakarta: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) and Down to Earth. Susilo, J, 2016; Spiritualitas dalam Khazanah Budaya Jawa: mencari jalan suci dalam Serat Centhini. Research Report, 671-677. Widiyanto, N., & MA, P. 2012; Berlindung di Balik Mitos: Mitos Maslihe dan Adaptasi Kultural Penduduk Kendahe, Kepulauan Sangihe Terhadap Bahaya Letusan Gunung Awu (Master thesis, Universitas Gadjah Mada). Widiyanto, N., 2019; Indigenous Religion and Tourism Development in Indonesia and Malaysia, Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada. Widiyanto, N., & Agra, E. (2019). Tourism Development and the New Path of Migration in Sabah, Malaysia. Borneo Research Journal, 13, 81-97.

http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/PB/index 47