1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Sejarah Singkat Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar Menurut Cerita Turun Temurun, Pada Tahun 1957 Pusat Ka
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Sejarah Singkat Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar Menurut cerita turun temurun, pada tahun 1957 pusat Kasepuhan, pindah ke Kampung Cikaret (Sirnaresmi), untuk kemudian ke Kampung Ciganas (Sirna Rasa) pada tahun 1972 sebelum ke Kampung Lebak Gadog (Linggar Jati) tahun 1982. Pada tahun 1983 mereka pindah lagi ke Kampung Datar Putat (Cipta Rasa) dan terakhir pada 2000 ke Kampung Cikarancang (Ciptagelar) sampai sekarang. Sebagaimana diungkapkan Suganda (2013: 35) bahwa perpindahan yang begitu sering dan mencakup wilayah yang luas ini adalah sebagai upaya untuk menghapus jejak mereka dari kejaran pihak Kesultanan Banten. Hal lain dilakukan karena leluhur masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dulunya tetap tidak mau tunduk di bawah struktur kekuasaan Banten. Awal perpindahan dimulai dari leluhur mereka, yaitu Aki Buyut Jasiun memindahkan Kampung Gede dari Tegallumbu ke Bojong Cisono (Sukabumi) yang menggantikan ayahnya yaitu Aki Buyut Arikin. Aki Jasiun mempunyai dua orang anak, yaitu Aku Buyut Las atau Aki Buyut Rusdi dan Nini Buyut Ari. Pengganti Aki Buyut Jasiun adalah Aki Buyut Rusdi. Aki Buyut Rusdi memindahkan kedudukan Kampung Gede ke daerah Cicemet (Sukabumi). Pada tahun 1957 Aki Buyut Rusdi memindahkan pusat Kasepuhan (Kampung Gede) ke Cikaret. Selanjutnya, terjadi perubahan nama Kampung Cikaret menjadi Kampung Sirnaresmi. Aki Buyut Rusdi mempunyai empat orang anak, yaitu Nini Buyut Lasm atau Ma Anom, Ama Sup, Abah Ardjo, dan yang keempat tidak disebutkan namanya. Abah Ardjo atau Ki Ardjo kemudian menggantikan ayahnya, Aki Buyut Rusdi menjadi Sesepuh Girang Kasepuhan. (http://www.disparbud.jabarprov.go.id, diakses pada tanggal 14 Juli 2019, pada pukul 21:05 WIB). Pada saat menjadi sesepuh girang, Abah Ardjo beberapa kali memindahkan lokasi pusat Kasepuhan yang disebut Kampung Gede. Pertama, Abah Ardjo 1 memindahkan Kampung Gede dari Kampung Cidamar ke sebuah kampung di sekitar Kecamatan Cisolok. Kedua, Ki Ardjo lalu memindahkan lagi ke Kampung Ciganas. Kampung Ciganas mengalami perubahan nama menjadi Sirnarasa. Ketiga, setelah bermukim selama 8 tahun di Kampung Ciganas, Ki Ardjo memindahkan Kampung Gede ke Kampung Linggarjati. Keempat, Ki Ardjo memindahkan Kampung Gede ke Kampung Ciptarasa. Ki Ardjo pernah menikah sebanyak tujuh kali dan mempunyai anak tiga belas orang. Dari isteri keenam yang bernama Ma Tarsih mempunyai tiga orang anak, yaitu Encup Sucipta, Lis, dan Lia. Dari isteri ketujuh yang bernama Ma Isah mempunyai enam anak. Setelah Ki Arjo meninggal, anak pertama dari Ma Tarsih yaitu Encup Sucipta, menggantikan kedudukannya sebagai sesepuh girang yang dikenal sebagai Abah Anom. Abah Encup Sucipta yang lebih dikenal dengan nama Abah Anom (Bapak Muda) karena saat dia menerima jabatan sesepuh girang masih berusia muda yaitu 17 tahun. Jabatan sesepuh girang bersifat turun temurun dan selalu diwariskan kepada anak laki-Iaki (tidak harus yang sulung). (http://www.disparbud. jabarprov.go.id, diakses pada tanggal 14 Juli 2019, pada pukul 21:08 WIB). Selain Kasepuhan Ciptagelar, di daerah Banten dan sekitamya terdapat beberapa masyarakat yang menamakan dirinya sebagai kasepuhan, antara lain Kasepuhan Urug (Bogor Selatan), Kasepuhan Citorek, Kasepuhan Cisungsang, Kasepuhan Ciherang, Kasepuhan Cicarucub, dan Kasepuhan Cisitu (semua berada di Banten Selatan) serta Kasepuhan Sirnaresmi (Sukabumi). Semua kasepuhan tersebut diikat oleh sebuah lembaga persatuan yang disebut Kesatuan Adat Banten Kidul. Pusat kepemimpinan Kesatuan Adat Banten Kidul berada di Kasepuhan Ciptagelar dengan ketuanya Abah Anom Encup Sucipta (Abah Anom) yang sekarang dipimpimpin oleh putranya, yakni Abah Ugi. Perpindahan yang terjadi pada masyarakat kasepuhan Ciptagelar, menurut para pemuka Kasepuhan Ciptagelar sebagaimana diungkapkan Suganda (2013: 36) merupakan bentuk upaya napaktilas dan mengurus wilayah adat Kasepuhan, yang terletak dalam tiga kabupaten, yaitu Bogor, Sukabumi dan Lebak dan berada di seputar kawasan Taman Nasional Gunung Halimun. Menurut cerita turun temurun, suatu saat kelak 2 masyarakat Kasepuhan Ciptagelar percaya mereka secara bersama-sama dengan Kasepuhan Citorek dan Cicarucub yang ketiganya memiliki hubungan kekerabatan, akan kembali lagi ke Pusat Kerajaan Pajajaran di Batu Tulis, Bogor, Jawa Barat. Perpindahan masyarakat Kasepuhan dari Ciptaresmi ke daerah lain yang dikenal sebagai Kasepuhan Ciptagelar sekarang ini berasal dari wangsit (petunjuk gaib) yang diterima Abah Anom (Bapak Encup Sucipta). Hingga sepeninggal Abah Anom, kepemimpinan Kasepuhan Ciptagelar kemudian dilanjutkan oleh Abah Ugi yang merupakan putra dari Abah Anom, hingga saat ini. Ciptagelar memiliki makna bahwa Kasepuhan telah saatnya untuk membuka diri pada budaya luar. Arti Ciptagelar kemudian merujuk pada proses menggelarkan (membuka) diri, yang terkait juga makna filosofis bahwa adat Ciptagelar telah ada pada posisi dipertunjukkan pada budaya lain mengenai kearifannya. Ciptagelar juga dapat bermakna kepasrahan dalam menyerahkan dan membuka diri. Oleh karena itulah perpindahan kampung adat bagi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar merupakan bentuk kesetiaan dan kepatuhan kepada leluhurnya. 1.2 Latar Belakang Penelitian Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan, yang dimana bisa dipastikan dengan budayanya yang beragam. Berbagai jenis budaya, seperti rumah adat, seni tari, seni musik, pakaian, nilai adat, bahasa, dan yang lainnya, memiliki ciri khas kebudayaan yang berbeda di setiap daerah. Bukan hanya budaya yang beragam, Indonesia juga memiliki suku yang beragam. Bahkan dalam suku yang sama terdapat perbedaan ritual dan keyakinan yang akhirnya membuat Indonesia menjadi kaya akan budaya. Kebudayaan yang diwariskan oleh leluhur dan diterapkan dari generasi ke generasi, membuat tidak sedikit masyarakat yang sampai saat ini masih menerapkan adat-istiadat kebudayaan leluhur demi menjaga kearifan lokal. Salah satu perbedaan ritual dan keyakinan yang terdapat dalam suku yang sama di Indonesia, yaitu suku Sunda. Suku Sunda adalah salah satu masyarakat 3 etnis yang bertempat tinggal di sebelah Barat pulau Jawa. Dalam pandangan antropologi budaya, Koentjaraningrat (dalam Dewantara, 2013:89) menyebutkan bahwa suku Sunda adalah orang-orang yang secara turun-temurun menggunakan bahasa Sunda beserta dialeknya sebagai bahasa ibu dalam kehidupan sehari-hari dan berasal atau bertempat tinggal di Jawa Barat. Tidak sedikit masyarakat suku Sunda yang masih menggunakan bahasa Sunda beserta dialekenya, baik itu di kota maupun di kampung, seperti yang digunakan oleh masyarakat kampung adat Kasepuhan Ciptagelar. Kampung adat Kasepuhan Ciptagelar merupakan salah satu kelompok masyarakat bersuku Sunda dari banyaknya masyarakat bersuku Sunda lainnya di Provinsi Jawa Barat. Provinsi Jawa Barat memiliki beberapa kampung adat, diantaranya Kampung Naga, Kampung Cirendeu, Kampung Pulo, Kampung Kuta, dan Kasepuhan Ciptagelar. Kampung-kampung adat tersebut memiliki ciri khas masing-masing yang menunjukkan perbedaan tentang penerapan budaya dalam kehidupan sehari-hari, walaupun suku etnisnya sama. Selain penerapan budaya yang berbeda, keterbukaan akan era globalisasi pada masyarakat adatpun berbeda- beda, ada yang menutup diri, ada yang membatasi, ada yang sangat terbuka, dan ada juga yang mempelajari suatu teknologi untuk diciptakan sendiri dan dikembangkan demi menjaga kearifan lokal, seperti kampung adat Kasepuhan Ciptagelar. Karakteristik masing-masing kampung adat akan dijelaskan pada tebel di bawah ini: Tabel 1.1 Kampung Adat Suku Sunda di Jawa Barat No Kampung Adat Lokasi Keunikan Terbuka pada globalisasi Larangan dalam Sangat terbuka dengan era menjual beras globalisasi, seperti ataupun bahan-bahan menciptakan teknologi makanan yang terbuat saluran televisi sendiri dan Kasepuhan 1. Sukabumi dari beras dan menciptakan pembangkit Ciptagelar berpindah tempat listrik kecil dengan (nomaden) setelah memanfaatkan energi kepala adat matahari dan air mendapatkan wangsit Larangan membuat Terbuka dengan 2. Kampung Kuta Ciamis rumah dengan atap globalisasi yang diwakili genting, oleh adanya televisi, 4 mementaskan kulkas, aliran listrik, dan wayang, dan handphone membuat sumur di rumah Jumlah rumah yang Terbuka dengan ada hanya 6 dan satu globalisasi yang diwakili masjid, yang oleh adanya televisi, 3. Kampung Pulo Garut penghuninya tidak kulkas, aliran listrik, dan boleh lebih dari 6 handphone kepala keluarga Makanan pokoknya Terbuka dengan bukan nasi, globalisasi yang mana melainkan dari masyarakatnya memegang Kampung 4. Cimahi singkong yang prinsip "ngindung ka Cirendeu disebut rasi waktu, mibapa ka zaman", yang artinya tak melawan arus perkembangan zaman Jumlah rumah yang Membatasi globalisasi, ada tidak bertambah masih menggunakan 5. Kampung Naga Tasikmalaya ataupun berkurang lampu tempel dan dan tetap bertahan menggunakan setrika pada angka 111 dengan bahan bakar arang Kampung-kampung adat yang telah disebutkan di atas, semuanya masih melakukan upacara ritual, melaksanakan adat istiadat, serta menjaga kearifan lokal di masing-masing kampung adat. Tabel di atas menunjukkan adanya perbedaan antar kampung adat di Jawa Barat dalam keterbukaan terhadap teknologi dan budaya luar, seperti kampung adat di Sukabumi yaitu Kasepuhan Ciptagelar. Kasepuhan Ciptagelar adalah komunitas masyarakat adat yang memiliki konsep keseimbangan dalam kehidupannya yang berfokus pada padi. Mereka menganggap bahwa padi adalah sebuah kehidupan, dimana manusia hidup oleh padi, begitupun padi hidup oleh manusia. Karena konsep kehidupan yang seperti itu, maka ditetapkan peraturan bahwa dilarang keras