1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Sejarah Singkat Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar Menurut Cerita Turun Temurun, Pada Tahun 1957 Pusat Ka

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Sejarah Singkat Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar Menurut Cerita Turun Temurun, Pada Tahun 1957 Pusat Ka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Sejarah Singkat Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar Menurut cerita turun temurun, pada tahun 1957 pusat Kasepuhan, pindah ke Kampung Cikaret (Sirnaresmi), untuk kemudian ke Kampung Ciganas (Sirna Rasa) pada tahun 1972 sebelum ke Kampung Lebak Gadog (Linggar Jati) tahun 1982. Pada tahun 1983 mereka pindah lagi ke Kampung Datar Putat (Cipta Rasa) dan terakhir pada 2000 ke Kampung Cikarancang (Ciptagelar) sampai sekarang. Sebagaimana diungkapkan Suganda (2013: 35) bahwa perpindahan yang begitu sering dan mencakup wilayah yang luas ini adalah sebagai upaya untuk menghapus jejak mereka dari kejaran pihak Kesultanan Banten. Hal lain dilakukan karena leluhur masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dulunya tetap tidak mau tunduk di bawah struktur kekuasaan Banten. Awal perpindahan dimulai dari leluhur mereka, yaitu Aki Buyut Jasiun memindahkan Kampung Gede dari Tegallumbu ke Bojong Cisono (Sukabumi) yang menggantikan ayahnya yaitu Aki Buyut Arikin. Aki Jasiun mempunyai dua orang anak, yaitu Aku Buyut Las atau Aki Buyut Rusdi dan Nini Buyut Ari. Pengganti Aki Buyut Jasiun adalah Aki Buyut Rusdi. Aki Buyut Rusdi memindahkan kedudukan Kampung Gede ke daerah Cicemet (Sukabumi). Pada tahun 1957 Aki Buyut Rusdi memindahkan pusat Kasepuhan (Kampung Gede) ke Cikaret. Selanjutnya, terjadi perubahan nama Kampung Cikaret menjadi Kampung Sirnaresmi. Aki Buyut Rusdi mempunyai empat orang anak, yaitu Nini Buyut Lasm atau Ma Anom, Ama Sup, Abah Ardjo, dan yang keempat tidak disebutkan namanya. Abah Ardjo atau Ki Ardjo kemudian menggantikan ayahnya, Aki Buyut Rusdi menjadi Sesepuh Girang Kasepuhan. (http://www.disparbud.jabarprov.go.id, diakses pada tanggal 14 Juli 2019, pada pukul 21:05 WIB). Pada saat menjadi sesepuh girang, Abah Ardjo beberapa kali memindahkan lokasi pusat Kasepuhan yang disebut Kampung Gede. Pertama, Abah Ardjo 1 memindahkan Kampung Gede dari Kampung Cidamar ke sebuah kampung di sekitar Kecamatan Cisolok. Kedua, Ki Ardjo lalu memindahkan lagi ke Kampung Ciganas. Kampung Ciganas mengalami perubahan nama menjadi Sirnarasa. Ketiga, setelah bermukim selama 8 tahun di Kampung Ciganas, Ki Ardjo memindahkan Kampung Gede ke Kampung Linggarjati. Keempat, Ki Ardjo memindahkan Kampung Gede ke Kampung Ciptarasa. Ki Ardjo pernah menikah sebanyak tujuh kali dan mempunyai anak tiga belas orang. Dari isteri keenam yang bernama Ma Tarsih mempunyai tiga orang anak, yaitu Encup Sucipta, Lis, dan Lia. Dari isteri ketujuh yang bernama Ma Isah mempunyai enam anak. Setelah Ki Arjo meninggal, anak pertama dari Ma Tarsih yaitu Encup Sucipta, menggantikan kedudukannya sebagai sesepuh girang yang dikenal sebagai Abah Anom. Abah Encup Sucipta yang lebih dikenal dengan nama Abah Anom (Bapak Muda) karena saat dia menerima jabatan sesepuh girang masih berusia muda yaitu 17 tahun. Jabatan sesepuh girang bersifat turun temurun dan selalu diwariskan kepada anak laki-Iaki (tidak harus yang sulung). (http://www.disparbud. jabarprov.go.id, diakses pada tanggal 14 Juli 2019, pada pukul 21:08 WIB). Selain Kasepuhan Ciptagelar, di daerah Banten dan sekitamya terdapat beberapa masyarakat yang menamakan dirinya sebagai kasepuhan, antara lain Kasepuhan Urug (Bogor Selatan), Kasepuhan Citorek, Kasepuhan Cisungsang, Kasepuhan Ciherang, Kasepuhan Cicarucub, dan Kasepuhan Cisitu (semua berada di Banten Selatan) serta Kasepuhan Sirnaresmi (Sukabumi). Semua kasepuhan tersebut diikat oleh sebuah lembaga persatuan yang disebut Kesatuan Adat Banten Kidul. Pusat kepemimpinan Kesatuan Adat Banten Kidul berada di Kasepuhan Ciptagelar dengan ketuanya Abah Anom Encup Sucipta (Abah Anom) yang sekarang dipimpimpin oleh putranya, yakni Abah Ugi. Perpindahan yang terjadi pada masyarakat kasepuhan Ciptagelar, menurut para pemuka Kasepuhan Ciptagelar sebagaimana diungkapkan Suganda (2013: 36) merupakan bentuk upaya napaktilas dan mengurus wilayah adat Kasepuhan, yang terletak dalam tiga kabupaten, yaitu Bogor, Sukabumi dan Lebak dan berada di seputar kawasan Taman Nasional Gunung Halimun. Menurut cerita turun temurun, suatu saat kelak 2 masyarakat Kasepuhan Ciptagelar percaya mereka secara bersama-sama dengan Kasepuhan Citorek dan Cicarucub yang ketiganya memiliki hubungan kekerabatan, akan kembali lagi ke Pusat Kerajaan Pajajaran di Batu Tulis, Bogor, Jawa Barat. Perpindahan masyarakat Kasepuhan dari Ciptaresmi ke daerah lain yang dikenal sebagai Kasepuhan Ciptagelar sekarang ini berasal dari wangsit (petunjuk gaib) yang diterima Abah Anom (Bapak Encup Sucipta). Hingga sepeninggal Abah Anom, kepemimpinan Kasepuhan Ciptagelar kemudian dilanjutkan oleh Abah Ugi yang merupakan putra dari Abah Anom, hingga saat ini. Ciptagelar memiliki makna bahwa Kasepuhan telah saatnya untuk membuka diri pada budaya luar. Arti Ciptagelar kemudian merujuk pada proses menggelarkan (membuka) diri, yang terkait juga makna filosofis bahwa adat Ciptagelar telah ada pada posisi dipertunjukkan pada budaya lain mengenai kearifannya. Ciptagelar juga dapat bermakna kepasrahan dalam menyerahkan dan membuka diri. Oleh karena itulah perpindahan kampung adat bagi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar merupakan bentuk kesetiaan dan kepatuhan kepada leluhurnya. 1.2 Latar Belakang Penelitian Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan, yang dimana bisa dipastikan dengan budayanya yang beragam. Berbagai jenis budaya, seperti rumah adat, seni tari, seni musik, pakaian, nilai adat, bahasa, dan yang lainnya, memiliki ciri khas kebudayaan yang berbeda di setiap daerah. Bukan hanya budaya yang beragam, Indonesia juga memiliki suku yang beragam. Bahkan dalam suku yang sama terdapat perbedaan ritual dan keyakinan yang akhirnya membuat Indonesia menjadi kaya akan budaya. Kebudayaan yang diwariskan oleh leluhur dan diterapkan dari generasi ke generasi, membuat tidak sedikit masyarakat yang sampai saat ini masih menerapkan adat-istiadat kebudayaan leluhur demi menjaga kearifan lokal. Salah satu perbedaan ritual dan keyakinan yang terdapat dalam suku yang sama di Indonesia, yaitu suku Sunda. Suku Sunda adalah salah satu masyarakat 3 etnis yang bertempat tinggal di sebelah Barat pulau Jawa. Dalam pandangan antropologi budaya, Koentjaraningrat (dalam Dewantara, 2013:89) menyebutkan bahwa suku Sunda adalah orang-orang yang secara turun-temurun menggunakan bahasa Sunda beserta dialeknya sebagai bahasa ibu dalam kehidupan sehari-hari dan berasal atau bertempat tinggal di Jawa Barat. Tidak sedikit masyarakat suku Sunda yang masih menggunakan bahasa Sunda beserta dialekenya, baik itu di kota maupun di kampung, seperti yang digunakan oleh masyarakat kampung adat Kasepuhan Ciptagelar. Kampung adat Kasepuhan Ciptagelar merupakan salah satu kelompok masyarakat bersuku Sunda dari banyaknya masyarakat bersuku Sunda lainnya di Provinsi Jawa Barat. Provinsi Jawa Barat memiliki beberapa kampung adat, diantaranya Kampung Naga, Kampung Cirendeu, Kampung Pulo, Kampung Kuta, dan Kasepuhan Ciptagelar. Kampung-kampung adat tersebut memiliki ciri khas masing-masing yang menunjukkan perbedaan tentang penerapan budaya dalam kehidupan sehari-hari, walaupun suku etnisnya sama. Selain penerapan budaya yang berbeda, keterbukaan akan era globalisasi pada masyarakat adatpun berbeda- beda, ada yang menutup diri, ada yang membatasi, ada yang sangat terbuka, dan ada juga yang mempelajari suatu teknologi untuk diciptakan sendiri dan dikembangkan demi menjaga kearifan lokal, seperti kampung adat Kasepuhan Ciptagelar. Karakteristik masing-masing kampung adat akan dijelaskan pada tebel di bawah ini: Tabel 1.1 Kampung Adat Suku Sunda di Jawa Barat No Kampung Adat Lokasi Keunikan Terbuka pada globalisasi Larangan dalam Sangat terbuka dengan era menjual beras globalisasi, seperti ataupun bahan-bahan menciptakan teknologi makanan yang terbuat saluran televisi sendiri dan Kasepuhan 1. Sukabumi dari beras dan menciptakan pembangkit Ciptagelar berpindah tempat listrik kecil dengan (nomaden) setelah memanfaatkan energi kepala adat matahari dan air mendapatkan wangsit Larangan membuat Terbuka dengan 2. Kampung Kuta Ciamis rumah dengan atap globalisasi yang diwakili genting, oleh adanya televisi, 4 mementaskan kulkas, aliran listrik, dan wayang, dan handphone membuat sumur di rumah Jumlah rumah yang Terbuka dengan ada hanya 6 dan satu globalisasi yang diwakili masjid, yang oleh adanya televisi, 3. Kampung Pulo Garut penghuninya tidak kulkas, aliran listrik, dan boleh lebih dari 6 handphone kepala keluarga Makanan pokoknya Terbuka dengan bukan nasi, globalisasi yang mana melainkan dari masyarakatnya memegang Kampung 4. Cimahi singkong yang prinsip "ngindung ka Cirendeu disebut rasi waktu, mibapa ka zaman", yang artinya tak melawan arus perkembangan zaman Jumlah rumah yang Membatasi globalisasi, ada tidak bertambah masih menggunakan 5. Kampung Naga Tasikmalaya ataupun berkurang lampu tempel dan dan tetap bertahan menggunakan setrika pada angka 111 dengan bahan bakar arang Kampung-kampung adat yang telah disebutkan di atas, semuanya masih melakukan upacara ritual, melaksanakan adat istiadat, serta menjaga kearifan lokal di masing-masing kampung adat. Tabel di atas menunjukkan adanya perbedaan antar kampung adat di Jawa Barat dalam keterbukaan terhadap teknologi dan budaya luar, seperti kampung adat di Sukabumi yaitu Kasepuhan Ciptagelar. Kasepuhan Ciptagelar adalah komunitas masyarakat adat yang memiliki konsep keseimbangan dalam kehidupannya yang berfokus pada padi. Mereka menganggap bahwa padi adalah sebuah kehidupan, dimana manusia hidup oleh padi, begitupun padi hidup oleh manusia. Karena konsep kehidupan yang seperti itu, maka ditetapkan peraturan bahwa dilarang keras
Recommended publications
  • Mythology and the Belief System of Sunda Wiwitan: a Theological Review in Cisolok of Sukabumi Regency of West Java, Indonesia
    International Journal of Research and Review Vol.7; Issue: 4; April 2020 Website: www.ijrrjournal.com Research Paper E-ISSN: 2349-9788; P-ISSN: 2454-2237 Mythology and the Belief System of Sunda Wiwitan: A Theological Review in Cisolok of Sukabumi Regency of West Java, Indonesia Tita Rostitawati Department of Philosophy, State Islamic University of Sultan Amai Gorontalo, Indonesia ABSTRACT beliefs that are based on ideas in the teachings of ancestors or spirits. There are This study examined the mythology and belief several villages in West Java, which are systems adopted by the Sunda Wiwitan manifestations of the existence of community that were factually related to the indigenous peoples in Indonesia. credo system that was considered sacred in a The existence of traditional villages belief. Researcher in collecting data using interviews, observation, and literature review is a special attraction for the community methods. The process of data analysis was done because there is a unique culture and is with qualitative data analysis techniques. In the different from the others, such as the process of analyzing research data, the Sundanese people in the Cisolok village of researcher organized data, grouped data, and Sukabumi Regency. Human life requires a analyzed narratively. The results showed that belief in which the belief is in the form of the Sunda Wiwitan belief system worshiped religious teachings or views that, according ancestral spirits as an elevated entity. Aside to the community, are considered good and from worshiping ancestors, Sunda Wiwitan also true. In Cisolok of Sukabumi Regency, there had a God who was often called Sang Hyang are cultural and traditional elements that are Kersa.
    [Show full text]
  • The Sundanese Eco-Religion Kampong of Kasepuhan Ciptagelar Indigenous Local Community: Case Study Kampong Cengkuk, Sukabumi Regency
    KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 29 No. 1, Mei 2020 (39-50) THE SUNDANESE ECO-RELIGION KAMPONG OF KASEPUHAN CIPTAGELAR INDIGENOUS LOCAL COMMUNITY: CASE STUDY KAMPONG CENGKUK, SUKABUMI REGENCY Kampung Eko-Religi Sunda Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar: Studi Kasus Kampung Cengkuk, Kabupaten Sukabumi Ary Sulistyo Tim Ahli Cagar Budaya Kota Depok, Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata Kota Depok Gedung Baleka 2 Depok Lt.9, Jl. Margonda Raya No.54 [email protected] Naskah diterima : 22 Januari 2020 Naskah diperiksa : 30 Maret 2020 Naskah disetujui : 30 Mei 2020 Abstract. This research focused on eco-religion of indigenous Sundanese local community of Kasepuhan Ciptagelar at Southern Halimun Mountain on how to manage sustainable environment. The Kampong Cengkuk is one of several kampongs that still follow the tradition of indigenous local community of Kasepuhan Ciptagelar for hundred years. This descriptive qualitative research aims to reveal the internal and external factors led to deforestation of natural forests with average around 6-8% per year. The research shows that the kampong is still practicing eco-religion tradition by protecting forestland (leuweung tutupan) only for their subsistence. The hypothesis is that the social-culture changes had been occurred in the community not only to restrict outer island agriculture in the forest, but also, in wet rice cultivation activities, to manage sustainable environment. The reduction in process and ceremonial activities also happened, which was originally eight ceremonies of outer island agriculture rituals into five ceremonies of wet rice cultivation. The more profane activities were developing economic crops in home garden. Keywords: Ecoreligion, Kampong, Environment, Forest, Tradition Abstrak.
    [Show full text]
  • Studi Pada Kesatuan Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul)
    Hermanto, Filosofi Hidup Sebagai Basis Kearifan Lokal | 1 JURNAL PENDIDIKAN GEOGRAFI FILOSOFI HIDUP SEBAGAI BASIS KEARIFAN LOKAL (Studi pada Kesatuan Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul) Hermanto1); Gurniwan Kamil Pasya2); Suwarma Al Muchtar3); Nursid Sumaatmadja4) 1) Kandidat Doktor pada prodi IPS SPS UPI, tahun 2012; 2) Pembimbing 1, Prodi IPS SPS- UPI; 3) Pembimbing 2, Prodi IPS SPS-UPI; 4) Pembimbing 3, Prodi IPS SPS-UPI; ABSTRAK Tujuan penelitian untuk memahami sistem sosial-budaya Masyarakat Kasepuhan di Kabupaten Sukabumi. Penelitian bersifat deskriptif menggunakan pendekatan kualitatif dengan metoda etnografi dan metoda fenomenologi, teknik pengumpulan data melalui wawancara secara mendalam, observasi patisipasi dan studi dokumentasi. Informan dipilih secara purposive dengan kriteria informan awal (pokok) dan informan yang ditunjuk (pangkal). Hasil penelitian menunjukan filosofi hidup yang dilandasi doktrin “Pancer pangawinan” yaitu mempersatukan manusa jeung kemanusaanna (manusia dan kemanusiaannya) pembinaan moral “Ngaji diri”(mawas diri) tercermin dalam semboyan “Tilu sapamulu, dua sakarupa nu hiji eta keneh”mempunyai arti; tiga kesesuaian/menyatu, dua serupa dan yang satu itu juga, pilar kehidupan tekad, ucap jeung lampah (kemauan/niat, perkataan dan perilaku), nyanghulu ka hukum nyanghunjar ka nagara mufakat kudu sarerea (taat pada hukum dan berlindung pada negara mufakan harus keseluruhan)yang tercermin dalam sistem kepercayaan, kemasyarakatan dan kelembagaan sebagai tatali paranti karuhun mampu mempertahankan kearifan
    [Show full text]
  • BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kasepuhan Ciptagelar Merupakan Masyarakat Hukum Adat Yang Berada Di Kawasan Pedalama
    BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kasepuhan Ciptagelar merupakan masyarakat hukum adat yang berada di kawasan pedalaman Gunung Halimun, Salak. Istilah kasepuhan berasal dari bahasa Sunda, yang secara umum artinya adalah mereka yang dituakan. Secara spesifik wilayah perkampungan masyarakat Kesapuhan Ciptagelar tersebar di tiga kabupaten yang berada di sekitar wilayah perbatasan Provinsi Banten dan Jawa Barat. Berdasarkan catatan yang ada, Kasepuhan Adat Ciptagelar mulai berdiri pada 1368 dan telah beberapa kali mengalami perubahan kepemimpinan yang dilakukan secara turun temurun. Sampai saat ini Kasepuhan Ciptagelar juga telah mengalami beberapa kali perpindahan desa pusat pemerintahan yang disebut sebagai Kampung Gede, karena masih menjalankan tradisi berpindah yang berdasar pada wangsit yang diterima dari para leluhur (karuhun) (https://ciptagelar.info/tentang/, diakses pada tanggal 15 Agustus 2018). Kasepuhan Ciptagelar mempunyai rangkaian acara yang mana setiap acaranya memiliki keunikan tersendiri seperti Ngaruwat Imah Ki Putri (telah selesainya proses pembuatan bangunan, acara adat Serentaun yang merupakan acara puncak yang dilaksanakan setahun sekali untuk memperingati musin tanam sampai dengan masa panen yang diawali dengan 1 tradisi Turun Nyambut sebagai permulaan musim, Panen Raya : Sawah Rugukan Legok yang merupakan salah satu dari rangkaian aktivitas panen yang melibatkan seluruh warga Kasepuhan Ciptagelar, dan masih banyak rangkaian acara lainnya yang dimiliki oleh Kasepuhan Ciptagelar. Seiring majunya teknologi saat ini, Kasepuhan Ciptagelar tentunya bukan suatu tempat yang mana orang menganggap ini sebagai desa yang tertinggal tetapi sebaliknya, ini sangat menarik untuk diikuti karena masih mengikuti adat istiadat dan tradisi yang sudah ada sebelumnya. Salah satu ritual adat tahunan Kasepuhan yang selalu menarik minat masyarakat adalah upacara Seren Taun, yang sesungguhnya adalah pernyataan syukur warga Kasepuhan atas keberhasilan panen padi.
    [Show full text]
  • Public Space and Ritual in a Sundanese Traditional Hamlet Case: Kampung Kasepuhan Ciptagelar, Sukabumi Regency, West Java By: Sri Rahaju B.U.K
    Public Space and Ritual in a Sundanese Traditional Hamlet Case: Kampung Kasepuhan Ciptagelar, Sukabumi Regency, West Java by: Sri Rahaju B.U.K. Dept. of Architecture, Bandung Institute of Technology (ITB) [email protected] Nuryanto Dept. of Architecture, Indonesia University of Education (UPI) [email protected] History of the Formation of Kampung Kasepuhan Ciptagelar Kampung Kasepuhan Ciptagelar is a small hamlet, the place of the central government of an ancient traditional community of Ciptagelar (Kasepuhan Ciptagelar), which resided in several hamlets in the surrounding areas. The community is a part of the United Ancient Traditional Community of South Banten (Kasepuhan Kesatuan Adat Banten Kidul). Ciptagelar was built after the community leader had have a divine revelation or dream to move (hijrah wangsit) from the old location. According to ancient believe, it carried along an order from their ancestors, to leave their old hamlet, move, and built a new one at a certain location. This dream could happen several times to a leader, regardless of place and time. According to oral history, the events of moving motivated by hijrah wangsit could still be traced back to the time of Abah Ardjo, the late community leader. During his reign he had moved the central hamlet (kampung gede) several times. First, he had a dream to move kampung gede from Cidamar to Sirnaresmi, Cisolok District. Second, he moved from Sirnaresmi to Ciganas which he changed its name to Sirnarasa. Sirna meant lost, rasa meant "taste or trace" from city life. It’s meant that the community of the village isolated themselves from the influence of city life.
    [Show full text]
  • Download Article
    1st UPI International Conference on Sociology Education (UPI ICSE 2015) Local Wisdom of Ciptagelar in Managing Environmental Sustainability S. Komariah Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, INDONESIA [email protected] Abstract-Indonesian society as multicultural precisely in Sukabumi are indigenous peoples namely communities have localized knowledge that is invaluable in Ciptagelar community. Ciptagelar has different fostering harmony with nature. As in Ciptagelar people who characteristics with people outside Ciptagelar, such as have a variety of localized knowledge so that their living setting up facilities and infrastructure, including; granary, environment is maintained. The issue that will be studied in farming systems, livelihood, economic system, culture, this research is how local wisdom Ciptagelar in preserving art, traditional institutions, which hold government and the environment? As well as the efforts being made to others. Ciptagelar community based on the similarity of improve the preservation of the environment to realize the identity and high compliance with customary norms. This harmony of the human environment? In this study, is a major factor of environmental rights of indigenous researchers used a descriptive research method to describe villages with a variety of activities. a situation or event that is associated with the implementation of local wisdom community Ciptagelar. The Ciptagelar community has local wisdom is very subject of research is the custom figures, community valuable in fostering harmony with the natural leaders, and community Ciptagelar. Data collection environment so that sustainability of the environment. techniques in the study gained through observation, in- They stay awake. This was the impetus for the self- depth interviews, the study documentation. Data analysis reliance of the community Ciptagelar in managing its techniques include the reduction of the data, the environment so that their food needs are met in spite of presentation of data, and the withdrawal of the conclusion.
    [Show full text]
  • 267331-None-C82395d9.Pdf
    Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.2, November 2018 : 165-178 p-ISSN 0216-0897 e-ISSN 2502-6267 Terakreditasi No. 755/AU3/P2MI-LIPI/08/2016 UPAYA MEMPERJUANGKAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGAKUAN, PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT HUKUM ADAT KASEPUHAN KABUPATEN LEBAK, BANTEN (Effort for the Enactment of Regional Law on Recognition, Protection and Empowerment of Customary Law Community of Kasepuhan, Lebak Regency, Banten) Desmiwati1 & Surati2 1Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jalan Pakuan Ciheuleut PO.BOX. 105, Bogor, 16001 E-mail: [email protected] 2Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jalan Gunung Batu No.5, Bogor 16118, Indonesia E-mail: [email protected] Diterima 7 Desember 2017, direvisi 20 Agustus 2018, disetujui 24 Agustus 2018. ABSTRACT The Constitutional Court (CC) Decree Number 35/PUU- /2012 had determined that customary forests are no longer classified as state forests. However, the isssue of restoring customary forests in to their right holders is still challenging. This study aims to analyze the text of the regional regulation of Lebak Regency Number. 8 of 2015, the process of passing the regional regulation and sociocultural practiced of this regulation. The research was conducted in customary law community of Kasepuhan, Lebak Regency, Banten Province. Data analysis was carried out using Norman Fairclough’s critical-discourse model and descriptive analysis by data retrieval through documentation, interview and literature study. The result found that Regional Law on the Recognition, Protection and Empowerment of Kasepuhan Customary Law Community has accommodated the needs of this indigenous community to defend their territories.
    [Show full text]
  • Religiosity of the Indigenous Kasepuhan Sunda Community in West Java Deni Miharja1* Idrus Ruslan2
    Advances in Social Science, Education and Humanities Research, volume 492 Proceedings of the 1st Raden Intan International Conference on Muslim Societies and Social Sciences (RIICMuSSS 2019) Religiosity of the Indigenous Kasepuhan Sunda Community in West Java Deni Miharja1* Idrus Ruslan2 1Faculty of Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Bandung, Indonesia 2Faculty of Uhsuluddin and Religious Study, Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, Bandar Lampung, Indonesia *Corresponding author. Email: [email protected] ABSTRACT This research is set out on the basis of a unique diversity that occurs in an indigenous (kasepuhan) Sundanese community in Ciptagelar. In general, Sundanese people are Muslims, but some Sundanese indigenous peoples are practicing a religion that is better known as the Sunda Wiwitan, a religious belief born and developed by the Sundanese Buhun, or early Sundanese people. This research aims to uncover and find out values of religiosity of the indigenous Sundanese community in Ciptagelar, located in Sirnarasa village of Sukabumi district, West Java province. This research uses a qualitative, descriptive method, a technique that reveals the research data in depth in order to know the description of the objects accurately. The results of this research substantiates a religion that thrives among the indigenous Sundanese people, rituals of which are based on the culture of Sunda wiwitan or buhun (indigenous people) and the influences of Islamic teachings. Hence, the religion of the indigenous kasepuhan Sundanese community is an accommodation of how the Sundanese local culture with the teachings of Islam. Keywords: Religiosity, Sundanese culture, indigenous religion, Islam, and Ciptagelar community 1. INTRODUCTION people from local cultures in various parts of the world are "stable, well-fed and comfortable, often more so than Indonesia is a nation of diverse culture, race, ethnicity, many of the non-elite members of European societies until language and tribe.
    [Show full text]
  • Downloaded4.0 License
    Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 175 (2019) 446–473 bki brill.com/bki The Countryside in Indonesian Contemporary Art and Media From Distant Horizons to Traversing Drones Edwin Jurriëns The University of Melbourne [email protected] Abstract This article analyses explorations of social and environmental problems and solutions in artistic representations of the Indonesian countryside and rural society, culture, and wisdom. It focuses on urban–rural creative collaborations that combine tradi- tional culture and knowledge with modern technology and media, such as drones and the Internet, to empower local communities, promote artistic innovation, and enhance environmental sustainability. It seeks to demonstrate that contemporary art and media strengthen the urban–rural network and the accessibility and exchange of creative ideas and information. At the same time, the author argues that some of the causes of cultural conflict and anthropogenic disaster are embedded in forms of audio-visual representation itself. The display of urban–rural encounters in art fest- ivals and social media can even instigate new forms of surveillance, and power and knowledge hierarchies, or reinforce regimes of consumer culture, partially respons- ible for the very problems the audio-visual representations and collaborations seek to address. Keywords contemporary art – rural culture – environmental problems – creative collaboration – Indonesia This article analyses explorations of social and environmental problems and solutions in artistic representations of the Indonesian countryside and rural society, culture, and wisdom. It focuses on urban–rural creative collaborations © edwin jurriëns, 2019 | doi:10.1163/22134379-17502023 This is an open access article distributed under the terms of the CC-BY-NCDownloaded4.0 License.
    [Show full text]
  • The Local Wisdom Values of Kasepuhan Ciptagelar Community As a Source of History Learning
    THE LOCAL WISDOM VALUES OF KASEPUHAN CIPTAGELAR COMMUNITY AS A SOURCE OF HISTORY LEARNING ILHAM ROHMAN RAMADHAN Siliwangi University Tasikmalaya [email protected] Abstract This study aims to 1) analyze the history and local wisdom of the Kasepuhan Ciptagelar community; 2) obtaining values of local wisdom that can be integrated into the subjects of History; 3) Making local wisdom Kasepuhan Ciptagelar community as an alternative source of history learning. The method used in this research is descriptive qualitative. The results showed 1) The local wisdom of the Kasepuhan Ciptagelar community has tangible and intangible forms; (2) the values of local wisdom include social solidarity, pro- environmental approach, democratic, honesty, responsibility and creativity, (3) the values of local wisdom can be integrated into the subjects of Indonesian history in class X (Ten). We can conclude that the value of local wisdom in the Kasepuhan Ciptagelar community can be used as an alternative source of historical learning. Keywords: local wisdom, Kasepuhan Ciptagelar, history learning INTRODUCTION Indonesia is well known for its cultural diversity and tradition. These sublime cultures and traditions come from the hundreds of ethnics that inhabit the archipelago. Each of these communities has a variety of languages, customs, ways of life, values, and different spiritual norm, which are expressed in various forms of artifact (tangible) and tradition (intangible) that are resembled in the life of indigenous/ traditional societies. Local traditions are maintained in the community as a distinctive identity, where local cultural values contained in the tradition are used as a guide and the truth and sacredness of the community are believed.
    [Show full text]
  • Sundanese Manuscripts : Their Existence, Functions, and Contents
    史資料ハブ/アジアにおける在地固有文書解題 Sundanese Manuscripts : Their Existence, Functions, and Contents Edi S. EKADJATI (Visiting Professor at ILCAA, Tokyo University of Foreign Studies) (Professor at Padjadjaran University, INDONESIA) In Indonesia two forms of writing tradition exist, namely inscriptions and manu- scripts. The former were written on stone and metal, while the latter on palm leaf, bam- boo, and paper. The texts of inscriptions are generally brief containing only of a small number of lines stating a royal decree or announcement, or commemorating of a royal or religious event, while the texts of the manuscripts are usually lengthy, even numbering to thousands of pages containing a variety of expressions, thoughts, experiences, and ac- counts. Some regions in Indonesia have produced manuscripts, but others have only oral traditions. Tanah Sunda or West Java (see: maps) has produced both of the traditions. Inscriptions began to be made in mid-5th century (Vogel, 1925; Poerbatjaraka, 1952), while the time of the beginning of written manuscripts is still unknown. The main reason for this is the different materials used. Inscriptions are made on such materials as stone or metal which are more resistant to decay and weather, while manuscripts are made on leaves which are vulnerable. According to written sources of the 16th century (Atja, 1968; Atja & Saleh Danasasmita, 1981, Noorduyn, 1971), the tradition of writing manuscripts in Tanah Sunda had existed long before the 16th century, dating as far back as the times of the Kingdoms of Sunda and Galuh (8th century). Nevertheless, on the basis of the date stated in the texts, the oldest extant Sundanese manuscript dates back to the 14th century (Krom, 1915), and the writing of Sundanese manuscripts continued to be done until the end of the 20th century.
    [Show full text]
  • Lord in Sunda Wiwitan Perception
    SSRG International Journal of Medical Science ( SSRG – IJMS ) – Volume 5 Issue 7 – July 2018 Lord in Sunda Wiwitan Perception Etty Saringendyanti,1 Dade Mahzuni2 Department of Philology and History, Faculty of Cultural Sciences, University of Padjadjaran Office: Bandung-Sumedang Hihgway Km 21, Jatinangor, Sumedang, West Java (Indonesia) Abstract How Sunda Wiwitan seeking Lord is a great influences in the development of that culture, theme in this article. Based on Clifford Geertz’s especially religion or belief that Ralph Linton says theory of religion as a cultural system and historical belongs to the core of culture (covert culture).2 method, it is known that historically Lord exists. In The development of religion3 in Sunda Land, 4 searching of Lord, the Sunda Wiwitan teachings of cannot be separated from the influence of the peoples have reference to the result of a combination of Lord's concepts, experiences, dynamics and creativity in managing the universe in which they live at every turn cultural system, so that the process of internal of the period from prehistoric times, Hinduism, adaptation or the "original" elements becomes the Buddhism and Islamic. The concept of Lord in the driving force and more instrumental in cultural Sunda Wiwitan teachings constituted by the belief of change. The process of diffusion is seen as a process ancestral spirits and teachings on the contents of of change, because of the imitation or adoption of the ancient Sundanese script-century 14-17 AD which cultural element from the outside (Abdullah, ed. continues on the indigenous people Baduy and 20121: 331-332). Cultural development in the Kasepuhan Banten Kidul.
    [Show full text]