KAJIAN UTAMA ISLAM NUSANTARA: DARI PERSPEKTIF ISLAM AHLUSSUNNAH WALJAMAAH DI INDONESIA Ada Banyak Pertanyaan Tentang Islam Nusan
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
MIMIKRI : Volume 4 Nomor 1 Tahun 2018 KAJIAN UTAMA ISLAM NUSANTARA: DARI PERSPEKTIF ISLAM AHLUSSUNNAH WALJAMAAH DI INDONESIA Ahmad Baso Intelektual Muda NU Email: [email protected] Ada banyak pertanyaan tentang berpakaian (fashion). Wacana Islam Islam Nusantara belakangan ini. Namun Nusantara lebih mendalam dari yang sedikit sekali yang bisa memberi jawaban dibayangkan itu: ia adalah kerja-kerja memuaskan. Artikel sederhana ini intelektual pada hakekatnya, punya visi berupaya memperjelas beberapa keraguan epistemologis yang tajam, juga fungsi dan kesalah-pahaman terkait wacana kesejarahan aktual dalam kenyataan intelektual ini. Misalnya ada yang kehidupan umat manusia kontemporer. mengatakan bahwa Islam Nusantara itu Warisan impresif dan mengesankan anti Ara atau hanya berupa Islam ― b‖ ― dari agama Islam sejak beberapa abad di loka pada hakikatnya, dan bukan Islam l‖ Asia Tenggara, terutama di Indonesia universal. Ada malah yang menyebut akibat khususnya, sangat berguna dalam gagal-paham itu bahwa Islam Nusantara memetakan ranah teoritis dan ideologis hanya proyek lain Nahdlatul Ulama (NU) kajian Islam Nusantara ini. Dalam ranah ini dan para kiai yang ingin mengambil Islam Nusantara muncul, diolah pertama keuntungan politik di era kepresidenan Joko kali dan diartikulasikan sebagai ―Din Arab Widodo kini! Jawi‖, dalam sebutan Sunan Giri dari Dengan memperhatikan beberapa Gresik abad 15, sebagaimana disebut kenyataan, termasuk arti penting wacana dalam teks Serat Surya Raja tahun Jawa intelektual Islam Nusantara, tulisan ini 1700 atau 1774 dari Kraton Jogjakarta. Sejak berupaya melacak kembali tradisi Wali itu kajian Islam Nusantara berfungsi sebagai Songo di abad-abad 15 hingga 16 hingga ke wacana kritis, didefinisikan sebagai jaringan ulama Jawi di negeri Arabia abad ―epistemologi Jawi‖. Yakni sebagai satu 19 dan awal abad 20, yang mengangkat tema metode untuk meneliti, menginvestigasi Islam rahmatan lil alamin. Sebagai proyek serta menonjolkan pengalaman-pengalaman intelektual, yang punya concerns terdalam komunitas-komunitas Nusantara (perhatian) langsung yang kontemporer dan sebagai ―satu badan, satu jiwa‖, satu ke- kekinian, tapi punya juga kepekaan Nusantara-an atau al-Jawi. kesejarahan dengan masa lalu, Islam Benar, Nusantara hingga kini Nusantara sebetulnya bukanlah satu latihan menjadi korban kajian-kajian Islam intelektual yang ikut mode atau gaya- (Islamic studies) maupun kajian-kajian gayaan, yang bisa timbul tenggelam dalam ilmu-ilmu sosial, sebagaimana yang waktu cepat, seperti musim mode berkembang di Eropa dan Amerika pasca 1 Ahmad Baso perang. Kajian-kajian ini mengangkangi Pada poin ini, kita perlu memahami sejarah Nusantara, mendegradasi dan bahwa untuk bisa mengenal Islam menurunkan derajatnya pada level Nusantara dengan baik kita perlu kebudayaan eksotik bak benda museum. mempertimbangkan segenap gambaran Peradabannya dianggap lokal, parokial, tentang Islam sebagaimana yang diracik mistis, tradisionalis, atau chauvinistic. secara epistemologis maupun yang Kajian-kajian itu juga menempatkan tema ke- diamalkan secara ideologis kultural oleh Nusantara-an sebagai sesuatu yang bukan kaum Muslim Indonesia dalam beberapa ―universal ―, malah hanya sebatas pemuasan generasi. Karena itu dalam konteks ini, eksotisasi budaya untuk pariwisata atau— tidaklah bermanfaat berbagai diskusi dalam bahasa eufemisme kini —― kearifan tentang Islam Nusantara, tanpa lokal‖! mengintegrasikan totalitas kenusantaraan dalam segenap aspek budaya, ekonomi, Untuk itu Islam Nusantara atau epistemologi Jawi menampilkan dirinya sosial dan politik itu. dalam konteks kekinian sebagai keterputusan epistemologis dengan nalar hegemonik Eurosentrisme, semisal klaim universalisme itu. Pada saat yang sama ia juga membawa satu perspektif kritis ke- Nusantara-an untuk membaca seluas mungkin teks-teks budaya historis, secara efektif memperluas batas-batas intelektual melihat totalitas peradaban tersebut, lalu menyaksikan ada sesuatu yang bolong dalam satu ranah keilmuan baru ke dalam disiplin bangunan peradaban itu, hingga mengancam ―Islamic Studies” atau pun studi-studi ilmu ambruknya peradaban tersebut. Maka spirit Islam seperti itulah yang dibutuhkan masyarakat Eropa, sosial kontemporer. Cara ini diharapkan bisa bukan Islam yang menghakimi, bukan pula Islam menjadi satu lompatan lebih maju dalam yang teriak tiap hari ―syariat adalah solusi‖ atau mengangkat Islam sebagai rahmatan ―khilafah adalah jalan keluar‖. Mohamed El Bachiri dalam bukunya itu lilalamin. Ini agar studi-studi Islam mampu menerjemahkan krisis peradaban Barat nyambung dengan persoalan-persoalan itu dan kebutuhan untuk mengatasinya kemanusiaan, terutama di negeri-negeri berdasarkan pengalaman dialog keislamannya yang berkarakter rahmatan lil-alamin dengan kultur Arab dan di Eropa yang kini dilanda krisis keagamaan Eropa. Beberapa aspek pemikiran keagamaan dan konflik-konflik berdasar keagamaan kultural Eropa dihadirkan kembali agama dan ideologi-ideologi sektarian.1 dalam konteks kemunculan Islam di benua Eropa, hingga terasa Islam itu hadir bukan sebagai tamu, tapi sebagai kawan sendiri yang muncul dari dalam diri untuk memperbaiki persoalan-persoalan 1 Larisnya buku penulis Maroko, Mohamed El kemanusiaan bersama. Bachiri, Een Jihad van Liefde (Amsterdam, 2017), Islam Nusantara sebetulnya bisa juga tampil hingga di warung-warung kopi, terminal, stasiun dalam cara yang sama. Kultur guyub, kompolan, dan bandara di negeri Belanda dan sekitarnya suka berkumpul sambil makan-makan, atau halal belakangan ini, menunjukkan pentingnya Islam bihalal bagi masyarakat yang didera kultur nafsi- kembali hadir di dunia Barat. Tapi Islam hadir nafsi atau individualisme akut hingga lupa bukan sebagai benda mati seperti obyek museum dunia sosial yang kemudian direbut oleh yang mengundang decak kagum para peneliti. kelompok kanan ekstrim yang menggunakan Bukan pula Islam yang disimbolkan ―imigran‖ logika kemurnian ras dan kebanggaan warna kulit. atau ―teroris‖. Tapi Islam yang terkait rapat Tinggal bagaimana itu dikampanyekan dalam dengan realitas masyarakat Barat, yang berdialog bentuk buku dalam bahasa-bahasa Eropa, seperti dengan puncak-puncak peradaban Barat, yang buku populer Mohamed El Bachiri itu. 2 MIMIKRI : Volume 4 Nomor 1 Tahun 2018 Islam Nusantara: Memahami Baso; 2015; jilid 1, bab 1.) Di sini saya mau Pertemuan ISLAM dan NUSANTARA angkat argumennya dari kitab Alfiyah lagi, dalam Perspektif Kitab Alfiyah Ibnu Malik seperti disebar kini oleh para kiai untuk Dalam diskusi tentang kaidah mengangkat wacana keislaman kita kini yang bahasa Arab, kitab Alfiyah sering dijadikan berkarakter. Relasi itu perlu dibaca dari bab rujukan. Tapi sering pula kitab ini dirujuk idlafah atau hubungan relasional. Islam oleh para kiai kita untuk membahas Nusantara adalah hubungan mudlaf masalah- masalah yang dialami orang- (subyek relasional) dan mudlaf ilaihi orang Indonesia. Salah satunya adalah (obyek relasional), seperti dalam ungkapan perkara pentingnya suara dan subyektifitas ―mobil kantor‖, ―coto Makassar‖. ―kekitaan‖ kita diperdengarkan sebelum Dalam bab idlafah, Ibnu Malik mengutip suara orang lain. Nah, menyatakan: ―Watstsani jrur wanwi min pentingnya subyektifitas kenusantaraan ini aw fi ... wallam‖ (Ibn Malik al-Andalusi; diperoleh dari basis argumen kitab Alfiyah hal. 26.) (pada bagian kedua, yakni pada berikut dalam pembahasan tentang dlamir mudlaf ilaihi, di-jar atau dikasrahkan, dan atau kata ganti orang: ―Wa fikhtiyarin la niatkan di antara mudlaf dan mudlaf ilaihi yajiu‟l munfashilu, idza taatta an yajial itu ada makna min [dari], fi [di, di dalam] muttashilu‖ (al-Andalusi. TT:6), (dalam atau lam, li [untuk, ke]‖. Dari kerangka situasi normal, bukan darurat, dlamir yang makna-makna idlafah ini, Islam Nusantara muttashil [connected] lebih diutamakan bisa menghimpun berbagai makna relasi daripada dlamir munfashil [disconnected]). dalam mudhaf-mudlaf ilaihi. Jadinya, relasi Artinya, dalam menjawab tantangan pengertian ―Islam Nusantara‖ itu bisa dirinci persoalan-persoalan kita sehari-hari, kalau sebagai berikut: dimungkinkan suara subyektifitas kita yang Pertama, li [untuk, ke]: Islam li connected dengan kedirian kita itu tampil, Nusantara, Islam untuk dan ke Nusantara. maka hal itu dulu yang kita utamakan Yakni kehadiran ajaran agama Islam daripada yang disconnected dengan kita. Ahlussunnah Waljemaah (Aswaja) yang Salah satu faktor yang membuat kita dianut mayoritas umat Islam Indonesia. connected atau tersambung dengan Islam itu Dengan berbagai instrumen sanad dan silsilah adalah faktor kenusantaraan, karena kita yang menghubungkan para ulama dan kitab- lahir, hidup dan mati pun di sana. Itulah kitab Nusantara ke para ulama di negeri Arab yang dilakukan ulama-ulama kita, yang hingga ke para tabiin dan sahabat Rasulullah memperlihatkan identitas kenusantaraan SAW., umat Islam Nusantara menganut salah mereka hadir dalam wacana keilmuan Islam satu dari 4 mazhab fiqih, 2 mazhab kalam global, seperti sebutan al-Jawi: Syekh teologis dan 2 mazhab ilmu tasawuf. Abdurrauf as-Singkili al-Jawi, Syekh Yusuf Kedua, fi [di, di dalam]: Islam fi al-Makassari al-Jawi, Syekh Nawawi al- Nusantara, Islam di Nusantara. Yakni Bantani, dan seterusnya. Lalu, dari wacana pengalaman historis umat Islam di muttashil atau koneksi Islam dan Indonesia, termasuk refleksi tekstual kenusantaraan kita itulah muncullah istilah normatif dan historis umat Islam dunia Islam Nusantara. Ini adalah sebuah relasi tentang Islam yang diamalkan dan yang baru. Ini sudah saya bahas panjang lebar diajarkan ulama kita di Tanah Air. dalam