Dinamika Perkembangan Sejarah Masjid Agung Baiturrahman Di Kota Banyuwangi Tahun 1773 – 2007

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Dinamika Perkembangan Sejarah Masjid Agung Baiturrahman Di Kota Banyuwangi Tahun 1773 – 2007 Jurnal Santhet, Volume 2 Nomor 1, (April) 2018 e-ISSN: 2541-6130, P-ISSN 2541-2523, PP 33-48 Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas PGRI Banyuwangi Dinamika Perkembangan Sejarah Masjid Agung Baiturrahman di Kota Banyuwangi Tahun 1773 – 2007 Dea Denta Tajwidi1, I. Wayan Pardi2 Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi Email: [email protected] ABSTRAK Masjid Agung Baiturrahman adalah ikon Kabupaten Banyuwangi. Sejarah berdirinya Masjid Agung Baiturrahman tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya Banyuwangi, karena keduanya memiliki ikatan yang sangat kuat, sama-sama didirikan oleh Bupati Blambangan terakhir sekaligus Bupati Banyuwangi pertama Mas Alit. Nama Mas Alit yakni Bupati pertama adalah Wiraguna I yang berkuasa pada tahun 1773-1783. Penelitian sejarah ini bertujuan: 1) untuk mengetahui sejarah awal pembangunan Masjid Agung Baiturahman. 2) Untuk mengetahui dinamika perkembangan pembangunan Masjid Agung Baiturahman Tahun 1773 - 2007. Jenis penelitian ini adalah historis atau metode sejarah. Penelitian ini dilakukan pada bulan 25 Juli sampai 21 Agustus 2018 di Masjid Agung Baiturahman Kabupaten Banyuwangi. Metode pengumpulan data yang digunakan Observasi, Wawancara, Studi Dokumen. Hasil dari penelitian ini adalah Masjid Agung Baiturrahman Masjid yang sebelumnya bernama Masjid Jami‟ yang didirikan oleh Mas Alit, Tergolong masjid tertua di Kabupaten Banyuwangi. Latar belakang berdiri dan berkembangnya Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi dimulai sejak 7 Desember 1773, hal ini berdasarkan data pada surat wakaf yang berupa denah gambar arsitektur masjid dari keluarga besar Mas Alit atau Raden Tumenggung Wiraguna I, bupati pertama Banyuwangi untuk umat Islam Banyuwangi. sampai kini telah mengalami beberapa kali renovasi (pembangunan); pertama: 1844, kedua: 1971, ketiga: 1990, dan keempat: 2005. Kata Kunci : Masjid Agung Baiturrahman, Mas Alit, Banyuwangi ABSTRACT Baiturrahman Great Mosque is an icon of Banyuwangi Regency. The history of the establishment of the Great Mosque of Baiturrahman is inseparable from the history of the founding of Banyuwangi, because both have very strong ties, both founded by the last Blambangan Regent and the first Regent of Banyuwangi, Mas Alit. The name Mas Alit, the first regent, was Wiraguna I who was in power in 1773-1783. This historical study aims: 1) to find out the early history of the construction of the Great Mosque of Baiturahman. 2) To find out the dynamics of the development of the Grand Mosque of Baiturahman in 1773 - 2007. This type of research is historical or historical methods. This research was conducted on July 25 to August 21, 2018 at the Baiturahman Grand Mosque in Banyuwangi Regency. Data collection methods used Observation, Interviews, Study Documents. The results of this study are the Great Mosque of Baiturrahman Mosque which was previously called the Jami Mosque 'which was founded by 33 Jurnal Santhet, Volume 2 Nomor 1, (April) 2018 e-ISSN: 2541-6130, P-ISSN 2541-2523, PP 33-48 Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas PGRI Banyuwangi Mas Alit, classified as the oldest mosque in Banyuwangi Regency. The background and development of the Baiturrahman Banyuwangi Great Mosque began on December 7, 1773, based on data on waqf letters in the form of mosque architectural drawings from the Mas Alit family or Raden Tumenggung Wiraguna I, Banyuwangi's first regent for Banyuwangi Muslims. until now has undergone several renovations (development); first: 1844, second: 1971, third: 1990, and fourth: 2005. Keywords : Baiturrahman Grand Mosque, Mas Alit, Banyuwangi. PENDAHULUAN Penyebaran agama Islam di Jawa yakni Islam merupakan salah satu agama yang pada masa kekuasaan Mataram Islam, masuk dan berkembang di Indonesia. Agama Panembahan Senopati tahun 1588 berupaya Islam masuk di Indonesia dimulai dari daerah agar kekuasaannya diakui oleh raja-raja di Jawa pesisir pantai. Suatu kenyataan bahwa Timur, namun upaya tersebut hanya dapat kedatangan Islam di Indonesia dilakukan secara menundukkan di daerah Madiun. Kemudian damai tanpa ada kekerasan. Islam awal-mula pada tahun 1590, Raja Pasuruan yang namanya dibawa oleh para pedagang, dan kemudian tidak dikenal, setelah diIslamkan oleh Demak, dilanjutkan oleh para Ulama dan pengembara raja Pasuruan tersebut menaklukkan Sufi. Orang-orang yang terlibat dalam Blambangan pada tahun 1600 M. Dan Sultan penyebaran agama Islam kurang begitu Agung, pada tahun 1639 M telah berhasil menunjukkan sosok dirinya, mereka hanya menaklukkan Blambangan dengan sepenuhnya melakukan kegiatan dakwah dalam penyebaran Pigeaut, TH. G.TH (1985:240). agama Islam tanpa rasa pamrih. Islam sudah Kemudian pasca Kerajaan Blambangan datang di Indonesia sejak abad pertama hijriyah pada masa Raja Menak Dedali Putih ini atau abad ke -7 M, tetapi baru dianut oleh berkedudukan di Muncar atau dikenal dengan pedagang Timur Tengah di wilayah pelabuhan- masa pemerintahan Blambangan II. Saat pelabuhan Nusantara. Barulah Islam masuk Kerajaan Blambangan diserang penyakit yang secara besar-besaran dan mempunyai kekuatan cukup mewabah atau pageblug, hingga putri politik abad ke -13 M dengan ditandai raja nan cantik-jelita yaitu Sekar Dadu juga berdirinya kerajaan Islam yakni Samudra Pasai terjangkit oleh penyakit itu. Melihat kondisi ini, Sunanto, M (2010:9). sang raja memanggil semua tabib terkenal di Babat Tanah Jawi dalam Soekmono daerah kekuasaan Blambangan untuk mengusir (1981:75) Ketika Islam mulai masuk ke tanah wabah penyakit di kerajaannya. Namun tak Jawa kerajaan Majapahit sudah mulai melemah, satupun tabib yang mampu mengusir wabah kemudian runtuh pada 1478 M. Islam mulai penyakit tersebut. Pageblug ini baru bisa tersebar dan masuk ke tanah Jawa yang dibawa disingkirkan oleh seorang ulama dari Samudra oleh para wali (wali songo). Penyebaran Islam Pasai (Sumatera), yang bernama Syech di penjuru tanah Jawa oleh para Wali seperti di Maulana Ishak. Pada umumnya pribumi wilayah Gresik, Cirebon, Lamongan, Jepara, Blambangan Menyebut Syech Maulana Ishak Tuban, dan Banyuwangi. Perkembangan Islam dengan sebutan Syech Wali Lanang. Karena di tanah Jawa tidak terlepas dari jasa para Wali jasa-jasa beliau, Raja Menak Dedali Putih songo. Mereka (wali songo) memiliki kelebihan menjadikannya sebagai menantu dengan dari masyarakat yang waktu itu masih memperistri putri Sekar Dalu. Perkawinan menganut agama lama. Mereka dipandang ulama besar dan putri Raja Blambangan ini sebagai orang-orang yang terdekat bahkan menurunkan seorang wali terkenal di tanah kekasih Allah, mereka diyakini memperoleh Jawa, yaitu Sunan Giri. karunia tenaga-tenaga gaib. Para wali itu Kehadiran Syech Maulana Ishak di mempunyai kekuatan batin yang sangat Blambangan merupakan awal penyebaran berlebih, berilmu sangat tinggi, sakti agama Islam yang waktu itu penduduk Widjisaksono (1995:17-18). Blambangan sebagian besar (mayoritas) 34 Jurnal Santhet, Volume 2 Nomor 1, (April) 2018 e-ISSN: 2541-6130, P-ISSN 2541-2523, PP 33-48 Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas PGRI Banyuwangi beragama Hindu. Syech Wali Lanang adalah dipindahkan termasuk perpindahan ibuKota ke seorang perintis penyebaran agama Islam di Banyuwangi. tanah Blambangan, yang kemudian menjadi Pada zaman pemerintahan Banyuwangi Banyuwangi ini. Terdapat bukti – bukti dipegang Bupati Mas Alit, perkembangan peninggalan penyebaran agama Islam di agama Islam tidak dapat dibendung lagi, Banyuwangi antara lain : Makam-Makam apalagi waktu itu Mas Alit sendiri sebagai Bupati Banyuwangi, Masjid Agung Bupati Blambangan terakhir atau Banyuwangi Baiturrahman, Makam Datuk Malik Ibrahim, pertama yang berkedudukan di Benculuk sudah Makam Wali Hasan, Petilasan Syeh Siti Jenar, memeluk agama Islam. Dengan dan Makam Syech Maula Ishak. Dari sekian dipindahkannya Kota Kabupaten dari peninggalan Sejarah sebagai bukti masuk dan Ulupampang ke Banyuwangi. Dapat berkembangnya Islam Di Banyuwangi. Yang disimpulkan bahwa agama Islam sudah menjadi paling menarik untuk di kaji ialah peninggalan agama rakyat Blambangan sekaligus mewarnai Masjid Agung Baiturrahman di pusat Kota juga kehidupan pemerintahan masa itu. Kabupaten Banyuwangi. Sehingga masjid Agung Baiturrahman menjadi Masjid Agung Baiturrahman adalah ikon bukti awal mula Kota Banyuwangi dan Kabupaten Banyuwangi. Masjid yang berkembangnya agama Islam di Banyuwangi. sebelumnya bernama Masjid Jami‟ Masjid kebanggaan masyarakat Banyuwangi ini Banyuwangi ini berdiri di saat Kota mulai berdiri sejak (7 Desember 1773) sampai Banyuwangi pertama kali dibangun. Sejarah kini telah mengalami beberapa kali renovasi berdirinya Masjid Agung Baiturrahman tidak (pembangunan); pertama: 1844, kedua: 1971, bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya ketiga: 1990 & keempat: 2005 Katerina Banyuwangi, karena keduanya memiliki ikatan (2016:4). yang sangat kuat, sama-sama didirikan oleh Masjid tertua di Kabupaten Banyuwangi Bupati Blambangan terakhir sekaligus Bupati ini memiliki nilai-nilai sejarah dan keunikan- Banyuwangi pertama Mas Alit. Nama Mas Alit keunikan tersendiri dibandingkan dengan yakni Bupati pertama adalah Wiraguna I yang Masjid-Masjid yang ada di wilayah Indonesia. berkuasa pada tahun 1773-1783 Utomo, H. Perbedaannya Antara lain: Masjid Agung Slamet (Tanpa Tahun: 20). Sedangkan Nama Baiturrahman Adalah saksi sejarah berdirinya Wiraguna I juga terdapat di kerajaan Mataram Kabupaten banyuwangi, Masjid Agung Islam, yaitu salah seorang putra Raja Mataram Baiturrahman Memiliki Arsitektur yang bebeda yang merupakan saudara kandung Sultan dengan masjid
Recommended publications
  • SKRIPSI AGAM IKHSAN.Pdf
    TUGAS AKHIR ANALISIS KEBUTUHAN DAN KAPASITAS RUANG PARKIR PADA BASEMENT MASJID RAYA BAITURRAHMAN BANDA ACEH (Studi Kasus Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh) Diajukan Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Sipil Pada Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Disusun Oleh : AGAM IKHSAN 1507210102 PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA MEDAN 2019 ABSTRAK ANALISIS KEBUTUHAN DAN KAPASITAS RUANG PARKIR PADA BASEMENT MASJID RAYA BAITURRAHMAN BANDA ACEH (Studi Kasus Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh) Agam Ikhsan 1507210102 Ir. Zurkiyah, M.T Sri Prafanti, S.T., M.T Penelitian ini berjudul Analisis Kebutuhan dan Kapasitas Ruang Parkir pada Basement Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan dalam jangka waktu tertentu yang lama maupun sebentar tergantung pada kepentingan pengemudinya. Parkiran merupakan masalah yang ditemukan di kota besar maupun kota yang sedang berkembang seperti kota Banda Aceh yang saat ini sedang berkembang pesat dan maju. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya perkembangan dan pembangunan infastruktur yang sedang berjalan. Masalah parkir kendaraan pada umumnya mempunyai hubungan erat dengan kebutuhan ruang. Dampak dari adanya pembangunan fasilitas-fasilitas tersebut adalah perlunya sarana parkir dan jalan yang memadai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kapasitas statis dan kapasitas dinamis ruang parkir mobil dan sepeda motor di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh dengan mengidentifikasi
    [Show full text]
  • Tanjung Pura” As the Tourism Asset in Langkat District
    Journal of Engineering Research and Education Volume 10, 2018 [101-110] The Conservation of the Old City “Tanjung Pura” as the Tourism Asset in Langkat District Meyga Fitri Handayani Nasution1* and Arjuna Pangeran2 1,2Jurusan Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Medan. Tanjung Pura, formerly was the capital of Malay Sultanate of Langkat, had various cultural heritages of Malay Sultanate and Dutch colonial. The diversity of cultural heritage objects in Tanjung Pura such as the historical buildings possess great potential as tourism assets in Tanjung Pura. Therefore, the conservation efforts are very much needed to avoid the old town Tanjung Pura from becoming only as a history. The special target of this research is the conservation of the region in Tanjung Pura as an architectural and cultural tourism asset. The results of the research are the design concept, conservation concept, design of the area, and documentation (such as photos and pictures of the historical buildings) using a design program. The result of the measurements and sketches in the area obtained using the design program, analysis and design concepts for the area will be used as a tourist object attraction. Keywords: City of Tanjung Pura, Conservation, Tourism Architecture. 1. INTRODUCTION Issues about the conservation of historical areas, especially in the old town have been done by many countries in this world such as Japan, Netherland, Singapore, and others. For example, in the beginning, Singapore had replaced buildings and historical areas with new appearance of modernization. However, the small number of tourists that come to Singapore made the government return back the historical city’s look such as Kampung Melayu, Little India, and China Town.
    [Show full text]
  • Islamic Education and Da'wah Liberalization
    ISLAMIC EDUCATION AND DA’WAH LIBERALIZATION: Investigating Kiai Achmad Dachlan’s Ideas Abdul Munir Mulkhan State Islamic University (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Indonesia Abstract This article discusses two opposing views in regard to Islamic teaching; whether it should be seen as a static entity or as a dynamic one and each option has its own implication. Being seen as a static entity, Islamic teachings cannot be put on the table of criticism, because it is supposed to be perfect, correct, and its validity goes beyond time and space. In this position, Islamic teaching that is taught in Islamic education institutions is delivered in non- dialogical way, assuming that it is doctrine, not knowledge. The author argues that such view would possibly make Islamic teachings become “normal science” that loose their relevances to contemporary human life. In fact, what is considered as Islamic teachings cannot be separated from human intervention since parts of them are formulated by classical Muslim scholars. For this reason, it is necessary to liberate Islamic teachings from narrow-minded perspective and interpretation, as suggested by the proponents of Liberal Islam. Islam should be interpreted in open-mind perspective so that it is possible to bear many different interpretations based on interpreters’ social and academic backgrounds. Achmad Dachlan is one of Muslim scholars who tried to take the essence of Islamic teachings. He argued that one of the main purposes and substantial point of Islamic teachings are the ethical kindness and human happiness. Dachlan’s concern with the marginalized and disfranchised people is based on his view on human ethics and it serves as the foundation of a movement to empower marginalized people.
    [Show full text]
  • The Elements of Local and Non-Local Mosque Architecture for Analysis of Mosque Architecture Changes in Indonesia
    The International Journal of Engineering and Science (IJES) || Volume || 7 || Issue || 12 Ver.I || Pages || PP 08-16 || 2018 || ISSN (e): 2319 – 1813 ISSN (p): 23-19 – 1805 The Elements of Local and Non-Local Mosque Architecture for Analysis of Mosque Architecture Changes in Indonesia Budiono Sutarjo1, Endang Titi Sunarti Darjosanjoto2, Muhammad Faqih2 1Student of Doctoral Program, Department of Architecture, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Indonesia 2Senior Lecturer, Department of Architecture, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Indonesia Corresponding Author : Budiono Sutarjo --------------------------------------------------------ABSTRACT---------------------------------------------------------- The mosque architecture that deserves to use as a starting point in the analysis of architectural changes in Indonesian mosques is the Wali mosque as an early generation mosque in Indonesia. As a reference, the architectural element characteristic of Wali mosque (local mosque) needs to be known, so that this paper aims to find a description of a local mosque (Wali mosque), and also description of architectural elements of non- local mosques (mosques with foreign cultural context) because one of the causes of changes in mosque architecture is cultural factors. The findings of this paper are expected to be input for further studies on the details of physical changes in the architectural elements of mosques in Indonesia. The study subjects taken were 6 Wali mosques that were widely known by the Indonesian Muslim community as Wali mosques and 6 non-local mosques that were very well known and frequently visited by Indonesian Muslim communities. Data obtained from literature studies, interviews and observations. The analysis is done by sketching from visual data, critiquing data, making interpretations, making comparisons and compiling the chronology of the findings.
    [Show full text]
  • Paper Title (Use Style: Paper Title)
    Masjid Ainul Yaqin Sunan Giri: Tinjauan Seni Bangunan, Ragam Hias, dan Makna Simbolik MASJID AINUL YAQIN SUNAN GIRI: Tinjauan Seni Bangunan, Ragam Hias, dan Makna Simbolik Rizal Wahyu Bagas Pradana S1 Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya Email: [email protected] Dra. Siti Mutmainah, M.Pd. Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya Email: [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan seni bangunan, ragam hias, dan makna simbolik yang terdapat di Masjid Ainul Yaqin Sunan Giri. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan diuraikan secara deskriptif. Data penelitian diperoleh melalui observasi, wawancara, dokumentasi, dan studi pustaka. Untuk mendapatkan data yang valid dilakukan triangulasi data dan informan review. Hasil penelitian menunjukkan seni bangunan di Masjid Ainul Yaqin Sunan Giri terdiri dari gapura, serambi, ruang utama, pawestren, ruang sholat peziarah, tempat wudhu, tempat istirahat, kamar mandi, Taman Pendidikan Al- Qur’an (TPA), kantor sekretariat, museum mini, dan perpustakaan. Sedangkan ragam hias yang terdapat di masjid ini antara lain: motif geometris, lung-lungan, sulur, patran, padma, tlacapan, saton, kebenan, wajikan, garuda, kala, sorotan, praba, banyu tetes, tepi awan, hiranyagarba, surya majapahit, dan mustaka. Secara umum fungsi utama seni bangunan di masjid ini yaitu sebagai kelengkapan sebuah masjid. Sedangkan ragam hias di masjid ini berfungsi untuk memperindah bangunan masjid. Akan tetapi, beberapa seni bangunan dan ragam hias di Masjid Ainul Yaqin Sunan Giri memiliki makna simbolik di dalamnya. Makna simbolik tersebut diambil dari unsur-unsur seni bangunan dan ragam hias Hindu-Budha. Kemudian unsur-unsur tersebut diolah kembali dengan cara mengubah atau mengembangkan bentuknya, disesuaikan dengan pedoman dalam Agama Islam yang tidak diperbolehkan menampilkan penggambaran makhluk hidup.
    [Show full text]
  • KAJIAN UTAMA ISLAM NUSANTARA: DARI PERSPEKTIF ISLAM AHLUSSUNNAH WALJAMAAH DI INDONESIA Ada Banyak Pertanyaan Tentang Islam Nusan
    MIMIKRI : Volume 4 Nomor 1 Tahun 2018 KAJIAN UTAMA ISLAM NUSANTARA: DARI PERSPEKTIF ISLAM AHLUSSUNNAH WALJAMAAH DI INDONESIA Ahmad Baso Intelektual Muda NU Email: [email protected] Ada banyak pertanyaan tentang berpakaian (fashion). Wacana Islam Islam Nusantara belakangan ini. Namun Nusantara lebih mendalam dari yang sedikit sekali yang bisa memberi jawaban dibayangkan itu: ia adalah kerja-kerja memuaskan. Artikel sederhana ini intelektual pada hakekatnya, punya visi berupaya memperjelas beberapa keraguan epistemologis yang tajam, juga fungsi dan kesalah-pahaman terkait wacana kesejarahan aktual dalam kenyataan intelektual ini. Misalnya ada yang kehidupan umat manusia kontemporer. mengatakan bahwa Islam Nusantara itu Warisan impresif dan mengesankan anti Ara atau hanya berupa Islam ― b‖ ― dari agama Islam sejak beberapa abad di loka pada hakikatnya, dan bukan Islam l‖ Asia Tenggara, terutama di Indonesia universal. Ada malah yang menyebut akibat khususnya, sangat berguna dalam gagal-paham itu bahwa Islam Nusantara memetakan ranah teoritis dan ideologis hanya proyek lain Nahdlatul Ulama (NU) kajian Islam Nusantara ini. Dalam ranah ini dan para kiai yang ingin mengambil Islam Nusantara muncul, diolah pertama keuntungan politik di era kepresidenan Joko kali dan diartikulasikan sebagai ―Din Arab Widodo kini! Jawi‖, dalam sebutan Sunan Giri dari Dengan memperhatikan beberapa Gresik abad 15, sebagaimana disebut kenyataan, termasuk arti penting wacana dalam teks Serat Surya Raja tahun Jawa intelektual Islam Nusantara, tulisan ini 1700 atau 1774 dari Kraton Jogjakarta. Sejak berupaya melacak kembali tradisi Wali itu kajian Islam Nusantara berfungsi sebagai Songo di abad-abad 15 hingga 16 hingga ke wacana kritis, didefinisikan sebagai jaringan ulama Jawi di negeri Arabia abad ―epistemologi Jawi‖. Yakni sebagai satu 19 dan awal abad 20, yang mengangkat tema metode untuk meneliti, menginvestigasi Islam rahmatan lil alamin.
    [Show full text]
  • 46 Mohammad Imam Farisi Bhinneka Tunggal Ika [Unity in Diversity]
    Journal of Social Science Education ©JSSE 2014 DOI 10.2390/jsse.v14.i1.1261 Volume 13, Number 1, Spring 2014 ISSN 1618–5293 Mohammad Imam Farisi Bhinneka Tunggal Ika [Unity in Diversity]: From Dynastic Policy to Classroom Practice The purpose of this article is to discuss the concept of Bhinneka Tunggal Ika, in its narrowest sense, a policy on religious tolerance, as it is operationalized in social studies textbooks and in classroom practice in Indonesia. The focus of the research is on six electronic textbooks used by students aged 7‐12 years, in Indonesian elementary schools which are further considered in the context of Indonesian teachers’ actual experience of the operationalization of Bhinneka Tunggal Ika in a classroom setting. The study shows that the textbooks and classroom practice are able to describe and transform a concept such as Bhinneka Tunggal Ika into a real and meaningful concept or practice for students as practiced in the family, the school, the wider community and at a national level as well as in religious ceremonies, architecture, and gotong‐royong (or reciprocal) activities. However, the state also has a political goal and this concept should also be viewed as underlying cultural policy designed to build a character and civilization appropriate to a pluralistic Indonesian nation. Keywords: Bhinneka tunggal ika, dynastic policy, textbook, social Bhinneka Tunggal Ika is a concept dating back to the studies, elementary school third century which was central to the religious politics of 1 the ruling dynasty . It was later adopted by the Indonesian government as a motto of national unity.
    [Show full text]
  • ABSTRAK UU No. 43 Tahun 2009 Tentang Kearsipan, Arsip Adalah
    IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA ABSTRAK UU No. 43 tahun 2009 tentang kearsipan, arsip adalah rekaman atau peristiwa dalam berbagai bentuk dan media sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dibuat dan diterima oleh lembaga negara, pemerintah daerah, lembaga pendidikan, perusahaan, organisasi politik, organisasi masyarakat, dan perseorangan dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Masjid Sunan Sendang Duwur mempunya rangkaian yang sangat panjang, harus membicarakan tokoh yang mendirikan. Masjid Sunan Sendang Duwur berdiri pada tahun 1561 Masehi yang didirikan oleh Raden Nur Rahmad atau biasa disebut Sunan Sendang. Masjid Sendang Duwur ini tidak kemudian dibangun langsung di Sendang duwur, tetapi ada legenda yang menceritakan bahwa masjid Sendang duwur ini berasal dari Mantingan Jawa Tengah. Ada momen-momen tertentu dimana Masjid Sunan Sendang duwur sangat ramai didatangi pengunjung yaitu pada saat acara Haul Akbar. Haul Akbar dilaksanakan tiap tanggal 15 sa’ban atau juga 5 hari sebelum hari raya idul fitri, yang kedua yaitu pada saat 10 hari setelah hari raya idul fitri akan diakan acara ketupat. Pada malam 1 suro banyak pengunjung yang datang untuk mencari ilmu kanuragan dan ada juga wiridan 10 suro. Masjid ini juga kerap disebut dengan masjid Tiban, karena dari cerita tersebut masjid ini seperti benar-benar muncul begitu saja dalam satu malam. Masjid Sendang Duwur juga menjadi salah satu masjid Wali yang masih terawat dengan baik dan difungsikan sampai saat ini selain Masjid
    [Show full text]
  • The Royal Mosques in Indonesia from 16Th to Early 20Th Centuries As a Power Representation
    I.P. Nasution, Int. J. of Herit. Archit., Vol. 1, No. 3 (2017) 494–502 THE ROYAL MOSQUES IN INDONESIA FROM 16TH TO EARLY 20TH CENTURIES AS A POWER REPRESENTATION ISMAN Pratama NASUTION Department of Archaeology, Faculty of Humanities, Universitas Indonesia, Indonesia. ABstract This study describes the characteristics of the royal mosques in Indonesia from the 16th century to the early 20th century through the architectural and archaeological study of the building’s components. Royal mosques are meaningful in the concept of building because they are the places for sultans and their people to pray, and these mosques are located in the capital cities of the Islamic empires that rep- resent the sultans and became the identity of the characters of the Islamic empires in the past. Through architectural and archaeological studies of several kingdom’s mosques in Java, Sumatra, Borneo, Sulawesi and North Maluku, this research observes the data with the context of space (spatial) with the central government (the palace), squares, markets, tombs and other buildings of a king. In addition, this paper studied the aspects of power relations with the palace mosque as the centre of power, to reveal the power of representation in the mosque, with attention to the style of the building and ritual. The results obtained show that the royal mosques in Indonesia have special characteristics displayed in the building form and the local ritual practices that are different from non-royal mosques and the mosques outside of Indonesia as a strategy and resistance against global Islamic power relations in the past. Keywords: identity and resistance, royal mosque, the representation of power.
    [Show full text]
  • Komparasi Tata Massa Dan Ruang Pada Masjid Agung Sang Cipta Rasa Di Cirebon Dan Masjid Gede Kauman Di Yogyakarta
    SKRIPSI 45 KOMPARASI TATA MASSA DAN RUANG PADA MASJID AGUNG SANG CIPTA RASA DI CIREBON DAN MASJID GEDE KAUMAN DI YOGYAKARTA NAMA : MUHAMMAD RIFKI MEIDIANTO NPM : 2014420035 PEMBIMBING: INDRI ASTRINA, S.T., MA UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI ARSITEKTUR Akreditasi Institusi Berdasarkan BAN Perguruan Tinggi No: 4339/SK/BAN- PT/Akred/PT/XI/2017 dan Akreditasi Program Studi Berdasarkan BAN Perguruan Tinggi No: 429/SK/BAN-PT/Akred/S/XI/2014 BANDUNG 2018 SKRIPSI 45 KOMPARASI TATA MASSA DAN RUANG PADA MASJID AGUNG SANG CIPTA RASA DI CIREBON DAN MASJID GEDE KAUMAN DI YOGYAKARTA NAMA : MUHAMMAD RIFKI MEIDIANTO NPM : 2014420035 PEMBIMBING: INDRI ASTRINA S.T., MA PENGUJI : DR. IR. YUSWADI SALIYA, M.Arch DR. RAHADHIAN PRAJUDI HERWINDO, S.T., M.T UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI ARSITEKTUR Akreditasi Institusi Berdasarkan BAN Perguruan Tinggi No: 4339/SK/BAN- PT/Akred/PT/XI/2017 dan Akreditasi Program Studi Berdasarkan BAN Perguruan Tinggi No: 429/SK/BAN-PT/Akred/S/XI/2014 BANDUNG 2018 Abstrak KOMPARASI TATA MASSA DAN RUANG PADA MASJID AGUNG SANG CIPTA RASA CIREBON DAN MASJID GEDHE KAUMAN YOGYAKARTA Oleh Muhammad Rifki Meidianto NPM: 2014420035 Penyebaran Islam di Indonesia meninggalkan keberagaman budaya akibat adanya akulturasi khususnya di Pulau Jawa. Diantaranya adalah ritual-ritual atau aktivitas asli Jawa kuno yang disesuaikan dan dipadukan dengan budaya Islam. Aktivitas ritual budaya ataupun ritual religius Islam tersebut tentunya memerlukan ruang. Masjid pun menjadi wadah untuk aktivitas tersebut dengan ruang-ruang di dalamnya yang menunjang aktivitas-aktivitasnya. Aktivitas-aktivitas tersebut tentunya mempengaruhi tata ruang dan massa pada masjid sebagai sarana penyebaran agama Islam saat itu.
    [Show full text]
  • Download Download
    Research, Society and Development, v. 9, n. 11, e41491110058, 2020 (CC BY 4.0) | ISSN 2525-3409 | DOI: http://dx.doi.org/10.33448/rsd-v9i11.10058 Symbolism in the aesthetics architectural of Plosokuning mosque Yogyakarta Simbolismo na arquitetura estética da mesquita de Plosokuning em Yogyakarta Simbolismo en la arquitectura estética de la mezquita Plosokuning Yogyakarta Received: 11/09/2020 | Reviewed: 11/10/2020 | Accept: 11/16/2020 | Published: 11/19/2020 Fahrur Fauzi ORCID: https://orcid.org/0000-0002-6556-0098 Faculty of Tarbiyah, IAI Qamarul Huda, Bagu, Lombok Tengah, NTB, Indonesia E-mail: [email protected] Misnal Munir ORCID: https://orcid.org/0000-0001-5453-9317 Faculty of Philosophy, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia E-mail: [email protected] Rizal Mustansyir ORCID: https://orcid.org/0000-0002-7780-319X Faculty of Philosophy, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia E-mail: [email protected] Abstract Plosokuning Mosque is the mosque with the most authenticity preserved compared to the other four Pathok Negoro mosques. Therefore, the disclosure of the symbolic value of the architectural aesthetic of the Plosokuning Mosque is a representation of environmental conservation efforts and historical buildings in Indonesia. The research method used was hermeneutics-philosophical with methodical elements: induction-deduction, internal coherence, holistic, historical balance, and heuristics. The methodical elements examined the architecture aesthetical meaning and the symbols attached to Plosokuning Mosque; in line with it, internal relations was searched and discovered, not isolated from the environment and its historical continuity, and then compiled findings about symbolism in the aesthetics of the mosque's architecture. The results showed that symbolism in the architectural aesthetics of the Plosokuning Mosque is an expression of the concept of Javanese cosmology and Javanese Islamic mysticism (Kejawen).
    [Show full text]
  • BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masjid Jika Dilihat Dari Perkataanya Berasal Dari Bahasa Arab, Diambil Dari Kata “Sajada
    BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masjid jika dilihat dari perkataanya berasal dari bahasa Arab, diambil dari kata “Sajada, yasjudu, sajadan”. Kata sajada artinya besujud, patuh, taat, serta tunduk dengan hormat dan ta’dzim. Untuk menunjukkan suatu tempat.1 Kata sajada kemudian dirubah menjadi “masjidun” artinya tempat sujud. Tempat sujud di sini berarti tempat orang bersembahyang menurut peraturan Islam. Sesuai dengan pendirian, bahwa Allah itu ada di mana saja, tidak terikat kepada suatu tempat, maka untuk menyembahNya manusia dapat melakukan sholat di mana- mana. Memang menurut hadis masjid itu adalah setiap jengkal tanah di atas permukaan bumi ini.2 Masjid merupakan salah satu institusi keagamaan terbesar dalam komunitas muslim Indonesia. Keberadaan masjid sudah hampir tersebar di seluruh pelosok tanah air. Yang dibawah oleh para wali sembilan ketika berdakwah menyebarkan agama Islam mulai dari pelosok tanah Jawa, Madura serta kawasan Indonesia bagian Timur dan tengah.3 Ketika Islam mulai masuk ke tanah Jawa, kerajaan Hindu terbesar di Jawa Timur, yakni kerajaan Majapahit sudah mulai melemah, kemudian runtuh pada abad XV. Setelah Islam mulai tersebar dan masuk ke tanah Jawa yang di bawa oleh para wali diantaranya Maulana Malik Ibrahim seorang ulama’ besar yang 1 Zein Muhammad Wiryoprawiro, Perkembangan Arsitektur Masjid di Jawa Timur ( Surabaya: PT Bina Ilmu, 1986), 155. 2 Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3 (yogyakarta: Kansius, 1981), 75. 3 Wiryoprawiro, Perkembangan Arsitektur Masjid di Jawa Timur, 4. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 2 menetap di Gresik, kemudian ulama’-ulama’ besar lainnya yang juga mendapat julukan sunan, yaitu sunan Bonang di Tuban, Sunan Drajat, di Lamongan, Sunan Kudus di Jepara, Sunan Kalijaga dan Sunan Muria di Jawa Tengah dan Sunan Gunung Jati di Cirebon juga di Jawa Tengah.
    [Show full text]