Available online at: http://unikastpaulus.ac.id/jurnal/index.php/jpkm JKPM: Jurnal Pendidikan dan KebudayaanMissio, P-ISSN: 1411-1659; E-ISSN: 2502-9576 Volume 12, No 1, Januari 2020 (67-82) DOI: https://doi.org/10.36928/jpkm.v12i1.215

ANALISIS SEMIOTIKA KONFLIK IDEOLOGI (ANALISIS SOSIOLOGI MEDIA PADA FILM “JENDERAL SOEDIRMAN”)

Lasarus Jehamat1 Rudolof Ngalu2, Laurensius D.E.P. Putra3 1Jurusan Sosiologi Fisip Undana 2Prodi PGSD FKIP Universitas Katolik Santu Paulus Ruteng 3Jurusan Sosiologi Fisip Undana Kupang Email: [email protected] [email protected] [email protected]

Abstrak Penelitian ini berjudul Analisis Semiotika Tentang Konflik Ideologi (Analisis Sosiologi Media Pada Film “Jenderal Soedirman”). Penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa semua hal termasuk film tidak luput dari proses dan relasi kekuasaan. Kehadiran film memiliki tujuan dan karena itu memiliki makna tertentu pula. Penelitian ini berfokus pada analisis konflik antarideologi dalam film “Jenderal Soedirman”. Disebutkan, dalam film tersebut, konflik sering terjadi di beberapa segmen. Semua konflik tentu dilandasi oleh akar dan sebab tertentu. Demikian pula, setiap konflik selalu memiliki dinamika tertentu. Apa pun alasannya, dinamika konflik entah secara sosial maupun secara simbolis dalam film memiliki makna tertentu. Oleh karena itu, dinamika konflik yang terjadi dapat dianalisis dan laik diperiksa. Kajian menggunakan teori konflik Ralf Dahrendorf. Analisis penelitian ini menggunakan konsep interpretatif kualitatif. Metode yang dipakai sebagai mesin analisis menggunakan metode semiotika Roland Barthes. Semiotika Roland Barthes memfokuskan analisis tanda dengan melihat pada denotasi, konotasi dan mitos. Hasil penelitian menunjukkan sejumlah konflik ideologi yang terjadi dalam film tersebut. Beberapa di antaranya ialah konflik antara ideologi nasionalisme sempit (chauvinism) vs fasisme, antara nasionalisme vs kolonialisme, antara nasionalisme vs komunisme, dan konflik komunisme vs kolonialisme. Pemahaman akan konflik ideologi urgen dianalisis agar masyarakat tidak dimanipulasi oleh beragam ide dan gagasan yang muncul dari rezim tertentu dapat segera diatasi.

Kata Kunci: film, Semiotika, konflik dan konflik ideologi.

SEMIOTIC ANALYSIS OF IDEOLOGY CONFLICT (MEDIA ANALYSIS OF SOCIOLOGY IN GENERAL SOEDIRMAN'S FILM)

Abstract This research is entitled Semiotic Analysis of Ideology Conflict (Media Analysis of Sociology in General Soedirman's Film). This research is based on the consideration that all things including films are not immune to the process and power relations. The presence of a film has a purpose and therefore has a certain meaning. This research focuses on the analysis of interarideological conflicts in the film General Soedirman. It is said, in the film, conflicts often occur in several segments. All conflicts are certainly based on certain roots and causes. Likewise, every conflict always has a certain dynamic. Whatever the reason, the dynamics of the conflict whether socially or symbolically in the film has a certain meaning. Therefore, the dynamics of the conflict can be analyzed and worth checking. The study uses Ralf Dahrendorf's conflict theory. The analysis of this study uses a qualitative interpretive concept. The method

67 | Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, e-ISSN/p-ISSN: 25029576/14111659

Analisis Semiotika Konflik Ideologi….

used as an analytical machine uses the Roland Barthes semiotics method. Roland Barthes' semiotics focuses the analysis of signs by looking at denotations, connotations and myths. The results showed a number of ideological conflicts that occurred in the film. Some of them are conflicts between narrow ideology of nationalism (chauvinism) vs. fascism, between nationalism vs. colonialism, between nationalism vs. , and communism vs. colonialism conflict. Understanding of ideological conflicts is urgently analyzed so that people are not manipulated by various ideas and ideas that emerge from certain regimes can be immediately overcome.

Keywords: films, semiotics, conflict and ideological conflict.

PENDAHULUAN melanggar perjanjian Renville. Berbagai konflik, baik bersifat Perjanjian Renville berisikan langsung maupun tidak langsung yang pemberhentian gencatan senjata antara mengatasnamakan ideologi tertentu Republik Indonesia dengan Belanda. digambarkan dalam film “Jenderal Agresi ke II Belanda dipimpin oleh Soedirman”. Bahkan, konflik akibat Jenderal Simon Spoor dengan satu gesekan kepentingan dan tujuan mengembalikan kolonialisme. ketidaksamaan pikiran terjadi dan Tanggal 19 Desember 1948, Belanda berujung pada kontak fisik yang melancarkan serangan terhadap mengatasnamakan sebuah ideologi Republik Indonesia melalui tertentu dengan pertimbangan logisnya Ibu Kota Republik Indonesia saat itu. maupun tentang simpatisan penganut Belanda bertujuan menangkap idologi. Akhirnya, mereka juga harus pemimpin-pemimpin pemerintah, terseret dalam arus konflik dan hanya merobohkan pemerintah Republik menjadikan ideologi sebagai tameng Indonesia, serta menggoncang NKRI kepentingan demi keselamatan semata. dan TNI. Film Soedirman tidak hanya Hari itu juga “Jenderal menceritakan perjuangan Soedirman Soedirman” meninggalkan Yogyakarta (Adipati Dolken) belaka. Meskipun Viva dan memulai perjalanan gerilya selama Westi mengagumi “Jenderal kurang lebih tujuh bulan lamanya. Soedirman”, ia masih melihat tokoh “Jenderal Soedirman” menerapkan fiksi, yaitu Karsani (Gogot Suryanto), sistem perang gerilya dari luar ibu kota yang kehadirannya menimbulkan sehingga mampu menghambat dan banyak pertanyaan. Menurut Viva, membuat tentara Belanda Belanda tokoh Karsani mewakili rakyat. Hal ini kewalahan. Bagi seorang yang masih disebabkan karena terdapat rakyat sakit, perjalanan naik turun gunung, yang turut berjuang serta sebagai keluar masuk hutan, berpindah dari penghormatan pada pusara pahlawan satu tempat ke tempat lain, bukanlah tak bernama. perjalanan yang ringan. Obat-obatan Film “Jenderal Soedirman” yang sulit diperoleh membuat dimulai dari Soedirman dipilih sebagai “Jenderal Soedirman” kekurangan panglima tertinggi TNI hingga diajak makanan dan obat-obatan. Selain itu, bergabung oleh Tan Malaka (Mathias Belanda selalu berusaha Muchus). Tan Malaka dianggap sebagai menangkapnya. tokoh komunis. Perjuanganya selalu Film “Jenderal Soedirman” berseberangan dengan semua tokoh menampilkan keadaan militer bangsa masa itu. “Jenderal Soedirman” Indonesia sangat rapuh. Hal ini dilihat pun sempat beradu gagasan melalui keberadaan tokoh Karsani, kebangsaan dengan Tan Malaka, juga militer tidak dibentuk oleh satu namun ia tetap teguh pada pendirian garis komando. Selain itu, ada bekas nasionalismenya. tentara Kolonial Belanda (KNIL), Kisah ini berlanjut ketika Belanda terdapat eks PETA (Pembela Tanah Air), melancarkan Agresi II (1948) dengan dan satuan bentukan Jepang seperti

68 | Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan: Vol 12, No 1 Januari 2020

Analisis Semiotika Konflik Ideologi….

Soedirman. Bahkan, ada pula tentara konotasi terhadap ideologi tertentu. tidak terlatih. Hal ini ditunjukkan saat Konotasi merupakan aspek bentuk Karsani datang bergabung. Pertanyaan bahasa dan mitos adalah muatannya. yang diberikan, “Apakah pernah ikut Barthes mengatakan bahwa latihan militer atau berperang?” penggunaan konotasi dalam teks Jawaban yang diberikan, yakni “tidak”. sebagai pencitran mitos. Film Soedirman juga menampilkan Teori Barthes tentang mitos ini tentara Indonesia beragam. Pergolakan memungkinkan pembaca melakukan telah menciptakan banyak tentara. Hal pengkajian ideologi secara sinkronik ini dibuktikan dengan adanya tentara maupun diakronik. Secara sinkronik, merah (komunis) dan tentara liar. makna terbentuk pada suatu titik Selain itu, di samping TNI sebagai sejarah dan seolah berhenti di titik tentara nasional terdapat juga tentara tersebut. Sementara secara diakronik yang berasal dari aliran berbeda, mulai analisis Barthes memungkinkan untuk dari nasionalis, komunis, sampai melihat kapan, di mana, dan dalam kolonialis. lingkungan apa sebuah sistem mitos digunakan. Tanda denotatif menurut Semiotika Roland Barthes Barthes terdiri dari penanda (signifier) Roland Barthes dikenal sebagai dan petanda. Saat yang bersamaan salah satu pemikir strukturalis yang penanda denotatif juga merupakan rajin mempraktikkan model linguistik penanda konotatif. Jadi menurut Saussurean. Barthes juga merupakan Barthes, tanda konotatif tidak hanya intelektual dan kritikus Perancis sekadar memiliki makan tambahan, ternama; eksponen penerapan namun juga mengandung kedua tanda strukturalisme dan semiotika pada denotatif yang melandasi sastra. Barthes berpendapat bahwa keberadaanya. bahasa adalah sebuah sistem tanda yang menjelaskan asumsi-asumsi dari Teori Konflik Ralf Dahrendorf masyarakat tertentu pada waktu Bagi Dahrendorf (Ritzer dan tertentu. Barthes mengajukan Goodman, 2014), tugas pertama pandangan ini dalam Writing Degree analisis konflik adalah menganalisis Zero (1953) dan Critical Essay (1964) beragam peran otoritas dalam (Sobur, 2009). Tujuan analisis ini masyarakat. Dahrendorf menentang bukan untuk membangun suatu mereka yang bergerak pada level sistem klasifikasi unsur narasi yang individu. Otoritas dalam setiap asosiasi sangat formal, namun untuk bersifat dikotomis. Hanya dua menunjukkan tindakan yang paling kelompok konflik terjadi dalam asosiasi masuk akal. Rincian yang paling manapun. Para pemegang otoritas dan meyakinkan atau teka-teki yang paling mereka yang berada di posisi menarik merupakan produk buatan subordinat memiliki kepentingan yang dan bukan tiruan dari yang nyata. substansi dan arahnya berlawanan. Denotasi lebih diasosikan dengan Konsep teori ini adalah ketertutupan makna sedangkan wewenang dan posisi. Keduanya konotasi identik dengan operasi merupakan fakta sosial. Inti tesisnya, ideologi, yang disebut Barthes sebagai yakni distribusi kekuasaan dan “mitos” berfungsi untuk wewenang secara tidak merata tanpa mengungkapkan dan memberikan kecuali menjadi faktor yang pembenaran bagi nilai-nilai dominan menentukan konflik sosial secara yang berlaku dalam suatu periode sistematis. Perbedaan wewenang tertentu (Sobur, 2009). Menurut adalah suatu tanda dari adanya Barthes, mitos berada di wilayah berbagai posisi dalam masyarakat. pertandaan tingkat kedua atau tingkat Perbedaan posisi serta perbedaan konotasi bahasa. Konotasi itu pun wewenang di antara individu dalam dijadikan olehnya sebagai denotasi masyarakat itulah yang harus menjadi mitos dan mitos ini mempunyai perhatian utama para sosiolog.

69 | Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan: Vol 12, No 1 Januari 2020

Analisis Semiotika Konflik Ideologi….

Struktur yang sebenarnya dari konflik- Tataran lain, film merupakan konflik harus diperhatikan di dalam media penyampaian pesan massa yang susunan peranan sosial yang dibantu dilakukan oleh komunikator kepada oleh harapan-harapan terhadap komunikannya. Komunikator akan kemungkinan mendapatkan dominasi. sangat mudah menjelaskan maksud Tugas utama menganalisis konflik dari pesan yang ingin disampaikan adalah mengidentifikasi berbagai kepada komunikan melalui film. Hal ini peranan kekuasaan dalam masyarakat yang menggambarkan film terdiri dari (Ritzer: 2010). Posisi tertentu dalam suara (audio) dan gambar (visual). masyarakat mendelegasikan Sebagai media komunikasi kekuasaan dan otoritas terhadap posisi massa, film berfungsi sebagai sarana yang lain. Fakta kehidupan sosial ini penanaman atau penyebaran paham mengarahkan Dahrendorf kepada tesis mengenai nilai-nilai yang berlaku di sentralnya bahwa perbedaan masyarakat. Fungsi tersebut sering didistribusikan otoritas “selalu menjadi disebut sebagai sosialisasi. Sosialisasi faktor yang menentukan konflik sosial adalah sebuah kegiatan yang mengacu sistematis”. pada cara individu mengadopsi Film Soedirman menghadirkan perilaku dan nilai dari suatu individu konflik parsial yang dilahirkan oleh maupun suatu kelompok (Ardianto, keinginan menguasai. Artinya, baik dkk: 2009). Republik Indonesia dengan sistemnya Effendy (2000) mengemukakan maupun kerajaan Belanda dengan bahwa teknik perfilman, baik peralatan kolonialismenya memiliki keinginan maupun pengaturannya telah berhasil untuk mendapatkan tempat secara menampilkan gambar–gambar yang mutlak dalam satu area yang sama. semakin mendekati kenyataan. Konflik persial sebab sebagian dari Suasana gelap di bioskop, penonton pribumi ingin menguasai Indonesia menyaksikan suatu cerita yang seolah- dengan sistem yang berbeda. Karena olah benar–benar terjadi itu, terdapat kepentingan yang dihadapannya. Karena itu, film sangat menurut Dahrendorf, menjadi dasar digemari. Dengan kata lain, semakin sebuah konflik. realistis suatu film, semakin banyak penontonnya. Film Film adalah media elektronik METODE PENELITIAN paling tua dari media lainnya. Film Penelitian menggunakan telah berhasil mempertunjukkan pendekatan kualitatif. Metode ini gambar-gambar hidup yang seolah- muncul karena terjadi perubahan olah memindahkan realitas sosial asli paradigma dalam memandang suatu ke atas layar besar. Saat ini, film telah realitas, fenomena, atau gejala. Artinya diciptakan sebagai salah satu media bahwa dalam paradigma ini, realitas komunikasi massa. Fungsinya sosial dipandang sebagai suatu yang demikian menjadikan film benar-benar holistik atau utuh, kompleks, dinamis, disukai banyak orang sampai dan penuh makna. Menurut Sugiyono sekarang. Menurut Liliweri (1991), (2005), jenis penelitian kualitatif sering lebih dari 70 tahun terakhir, film telah disebut penelitian naturalistik karena memasuki kehidupan umat manusia penelitiannya dilakukan pada kondisi yang sangat luas. Itulah alasan yang alamiah (natural setting). Metode mengapa film sering dijadikan media penelitian yang digunakan untuk untuk menjelaskan dan meneliti kondisi objek yang alamiah menggambarkan fakta. Sisi lain, film menempatkan peneliti sebagai merupakan ekspresi hati manusia, instrumen kunci. Teknik pengumpulan termasuk film sejarah. Film sejarah data dilakukan secara triangulasi menampilkan dialog fiksi. Film (gabungan), analisis data induktif, dan berfokus pada dialog utama sehingga hasil penelitian kualitatif lebih biasa disebut improvisasi. menekankan makna daripada

70 | Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan: Vol 12, No 1 Januari 2020

Analisis Semiotika Konflik Ideologi…. generalisasi. Objek yang alamiah, yaitu tidak eksplisit, tidak langsung, dan objek apa adanya, tidak dimanipulasi tidak pasti. oleh peneliti sehingga kondisi saat Sementara itu, Charles Sanders peneliti memasuk, ada, dan keluar dari Pierce mendefinisikan semiotik sebagai objek relatif tidak berubah. suatu hubungan di antara tanda, Metode penelitian ini juga objek, dan makna (Littlejohn, 1996). digunakan untuk mendapatkan suatu Artinya bahwa semiotika adalah suatu data mendalam yang mengandung metode yang melihat bagaimana suatu makna. Artinya, metode ini hubungan antara tanda, objek, dan menghadirkan data yang sebenarnya, sebuah makna. Selain itu, semiotika data yang merupakan suatu nilai di dapat diartikan sebagai penarikan balik data yang tampak. kesimpulan. Namun, tidak akan selalu Penelitian ini terfokus pada yang diartikan sama dengan apa yang konflik ideologi yang melibatkan akan dibahas secara lain karena di massa. Kajian penelitian ini dalam semiotik terdapat makna yang menggunakan semiotika Roland denotatif dan juga konotatif. Barthes. Target penelitian ini adalah film “Jenderal Soedirman”. Peneliti menggunakan teori konflik Ralf HASIL DAN PEMBAHASAN Dahrendorf untuk mempermudah Analisis peneliti adalah dialog analisis dalam riset tersebut. dari tiap sign. Dialog yang dimaksud Semiotika Roland Barthes berisikan tentang konflik antara berfokus pada tiga hal pokok. Di ideologi yang kemudian melibatkan antaranya, denotatif, konotatif, dan massa. mitos. Tanda denotatif, terdiri dari penanda dan petanda. Akan tetapi pada saat yang bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif. Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak hanya sekedar memiliki makna tambahan. Namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya (Sobur, 2009). Dengan kata lain, Barthes memiliki konsep bahwa tanda konotatif tidak sekadar memiliki makna tambahan, tetapi juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure Gambar 1. Adipati Dolken dalam film “Jenderal Soedirman” yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif (Sobur, 2009). Film “Jenderal Soedirman” Barthes mengembangkan semiotika menampilkan konflik yang menjadi tingkatan pertandaan denotasi dipertontonkan secara gamblang. dan konotasi. Denotasi adalah tingkat Pemikiran Dahrendorf bahwa film pertandaan yang menjelaskan berfokus pada struktur sosial yang hubungan penanda dan petanda pada lebih besar. Inti tesis Dahrendorf realitas, menghasilkan makna eksplisit, menyatakan bahwa berbagai posisi di langsung, dan pasti. Konotasi adalah masyarakat memiliki otoritas yang tingkat pertandaan yang menjelaskan berlainan. Otoritas tidak terdapat hubungan penanda dan petanda yang dalam individu, melainkan posisi. di dalamnya beroperasi makna yang

71 | Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan: Vol 12, No 1 Januari 2020

Analisis Semiotika Konflik Ideologi….

Dahrendorf tidak tertarik pada struktur negara tersebut. Apabila dibiarkan, posisi-posisi ini, namun juga pada akan menyebabkan kekacauan dalam konflik antarmereka (Ritzer dan dunia politik dan sosial. Goodman: 2014). Menurut Dahrendorf, otoritas bukanlah sesuatu yang besifat Adegan sebelum Agresi Militer konstan. Karena otorits terletak pada Belanda ke Yogyakarta posisi, bukan pada orang. Jadi, Dahrendorf (Ritzer dan seseorang yang memegang otoritas Goodman: 2014) mengatakan bahwa pada satu setting, tidak berarti konflik tidak akan terjadi apabila menduduki posisi sebagai pemegang konsensus tidak terjadi. Soedirman otoritas pada setting yang lain (Ritzer dan berasal dari latar dan Goodman: 2014). Hal ini terjadi belakang ideologi yang berbeda. pula pada Sutan Sjahrir yang kala itu Meskipun ideologi yang dianut Sutan menjabat sebagai Perdana Menteri. berisi chauvinism, mereka terpaksa Sjahrir mengkritik tegas keputusan bersatu dalam satu ideologi karena pemerintah tentang pengangkatan menghadapi musuh yang sama. Dalam Jenderal Soedirman. Akan tetapi, adegan ini Sutan Sjahrir menolak Sjahrir tidak memiliki andil kuat untuk Soedirman sebagai Panglima Besar. Ia membatalkan keputusan tersebut mengatakan bahwa Soedirman adalah mengingat Soedirman dipilih pada eks-PETA, bentukan Jepang. Ia juga masa darurat. Selain itu, Soedirman mengatakan bahwa semua kolaborator dipilih dengan cara demokrasi. Artinya, Jepang harus disingkirkan. Sjahrir terpilihnya Soedirman dikarenakan takut bahwa Indonesia akan berakhir sebagai bentuk kesepakatan otoritas sebagai negara fasis. suara dominan. Sebagian kasus, nasionalisme disalahartikan dan memicu pertikaian. Pertikaian tersebut berbuntut anarkisme. Entah itu dalam bentuk konflik bersenjata, kerusuhan dengan isu SARA, isu peperangan menyangkut kedaulatan negara, dan sebagainya (Pureklolon: 2017). Hal tersebut menjadi ketakutan Sutan Sjahrir. Jiwa nasionalismenya aktif, dengan tujuan mencekal pengaruh paham asing (fasisme) memiliki tempat. Adegan film Soedirman menampilkan hal tersirat yang menyatakan bahwa Sjahrir menginginkan pemimpin tentara dari Gambar 2. Terpilihnya Soedirman sebagai panglima kaum nasionalis murni. Artinya, tertinggi ABRI,00:00:44-00:01:08 Sjahrir ingin negara ini bersih dari unsur penjajah dan paham penindasan Jepang sangat berpengaruh di manapun. Akan tetapi, otoritas selalu Indonesia dengan paham fasismenya berarti subordinasi dan superordinasi. sehingga dinilai sangat Mereka yang menduduki posisi otoritas mengkhawatirkan. Sjahrir beranggapan diharapkan akan mengendalikan bahwa fasisme dapat saja menggeser subordinat. Jadi, mereka mendominasi pemahaman kebangsaan. Tentu saja karena harapan dari mereka yang bukan hanya karena paham itu mengelilinginya bukan karena berlainan dengan tokoh perjuangan karakteristik psikologisnya (Ritzer dan kemerdekaan. Akan tetapi, mengubah Goodman:2014). cara pandang negara, sama dengan Soedirman mendapatkan posisi mengubah haluan dalam menjalankan otoritas dari prajurit yang memilihnya.

72 | Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan: Vol 12, No 1 Januari 2020

Analisis Semiotika Konflik Ideologi….

Kondisi tersebut diperkuat oleh situasi tersebut akan terjadi karena sifat dasar darurat militer Republik. Tidak manusia yang tidak pernah puas. menutup kemungkinan, sikap Sjahrir akan sama apabila yang menjadi panglima besar adalah . Biar bagaimanapun, Oerip juga merupakan tentara Indonesia eks-KNIL. Hubungan Soedirman dan Sjahrir sempat menegang. Hal ini dikarenakan Sjahrir bercita-cita agar tentara Indonesia bebas dari unsur fasisme Jepang. Dalam risalah politik Sjahrir, Perdjoeangan Kita cetakan pertama (November 1945), Ia menggunakan kata “anjing-anjing yang berlari”. Istilah itu Sjahrir berikan kepada kaum yang bekerjasama Gambar 4. Soedirman ketika jejak pendapat dengan dengan Jepang (Seri Buku Tempo: Tan Malaka 00:02:01-00:02:42 2016). Dahrendorf (Ritzer dan Goodman: 2014), beranggapan bahwa masyarakat terdiri dari sejumlah unit. Ia menyebutnya dengan “asosiasi yang ditata berdasarkan perintah”. Semua itu dapat dilihat sebagai asosiasi orang yang dikendalikan oleh hirarki posisi otoritas. Masyarakat berisi begitu banyak asosiasi. Soedirman berada pada otoritas militer, yaitu di bawah perintah panglima tertinggi. Film “ “Jenderal Soedirman menampilkan posisi Sjahrir sebagai perdana menteri dan bertugas mengurus ketatanegaraan dan pemerintahan. Sementara itu. Soedirman adalah Gambar 3. Pernyataan sikap Sutan Syahrir terhadap panglima besar yang di bawah hasil demokrasi dikalangan militer. 00:01:32- 00:01:46 pengawasan langsung Menteri Pertahanan dan perintah Presiden. Hal Sikap Sjahrir diartikan sebagai ini berarti Sjahrir tidak bisa chauvinisme atau jingoisme. Jingoisme menyentuh secara langsung otoritas adalah sikap semangat mengorbankan “Jenderal Soedirman”. untuk melawan bangsa lain. Sesungguhnya, individu dapat Chauvinisme adalah rasa kebangsaan memegang otoritas pada satu asosiasi yang bertindak agresif terhadap bangsa dan berada pada posisi subordinat lain. Contoh konkritnya adalah asosiasi lain. Sekalipun dalam perkembangan nasionalisme bangsa faktanya, Sjahrir sebagai Perdana Eropa dan Amerika Utara. Dikap Menteri menunjuk Amir Sjarifudin chauvinistis dan jingoistis ini maka sebagai Menteri Pertahanan. lahirlah imperialisme. Suatu bangsa Keputusan Sjahrir tersebut tidak hanya ingin mengalahkan bangsa bertentangan dengan kesepakatan lain, tatapi juga menguasai wilayah rapat Gondokusumo yang dan rakyatnya (Pureklolon: 2017). Hal memutuskan Sultan sebagai Menteri Pertahanan.

73 | Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan: Vol 12, No 1 Januari 2020

Analisis Semiotika Konflik Ideologi….

Cara pandang Sjahrir tentang KTN dan menjadi salah satu antek penjajah sangat tidak realistis. penyumbang konflik. Schurman Mengingat tentara yang siap berperang mengatakan dalam dialognya bahwa adalah eks-didikan penjajah. Indonesia adalah Hindia Belanda. Seharusnya hal ini tidak dilakukan Dengan kata lain, pendudukan yang oleh seorang yang terhormat seperti dilakukan adalah hal yang dianggap Bung Sjahrir. Tidak menjadi masalah sah-sah saja. Hal tersebut kemudian seorang belajar pada orang asing. Hal memunculkan polemik dengan Cocran. terpenting adalah hatinya masih mempunyai jiwa nasionalis. Karena itu, orang tersebut akan tetap menjadi jati dirinya sebagai bangsa Indonesia. Seharusnya sebagai seorang Perdana Menteri, Bung Syahrir harus lebih bersifat adil. Sjahrir seharusnya tidak membeda-bedakan latar belakang para antek penjajah. Hal yang terpenting adalah rasa cinta terhadap tanah air.

Adegan Saat Agresi Militer Belanda Ke-II di Yogyakarta Adegan ini berisi polemik kedudukan Indonesia dan Belanda. Gambar 5. Pengumuman di radio. 00:14:57-00:15:45 Terjadi perdebatan antara Cochran dan

Scurman (kediaman Schurman). Sikap Schurman yang apatis Scurman menyatakan bahwa Indonesia melahirkan konflik laten lainya. adalah Hindia Belanda. Pernyataan itu Akhirnya, timbul pertanyaan dapat diartikan bahwa Indonesai menggantung, bagaimana Belanda adalah bagian dari Kerajaan Belanda, mengatakan Indonesia sebagai Hindia yakni sebagai negara jajahan. Belanda, terutama di atas Dahrendorf mengakui bahwa kemerdekaan Indonesia? Alasannya masyarakat tidak mungkin ada tanpa bahwa Indonesia telah merdeka konflik dan konsensus. Jadi, kita tidak terlebih dahulu. Selain itu, Indonesia mungkin berkonflik tanpa konsensus memiliki pegakuan kemerdekaan dari sebelumnya (Ritzer dan Goodman: berbagai negara di dunia. 2014). Scurman mengatakan bahwa Kemerdekaan dan pengakuan ini, Indonesia adalah Hindia Belanda. membuat Schurman dengan egonya Dengan kata lain, Indonesia adalah mengatakan bahwa Indonesia adalah daerah kolonial Belanda. Berdasarkan Hindia Belanda. Oleh karena itu, pernyataan Schurman, maka perlu menurut peneliti agresi militer Belanda dilakukan pengintegrasian melalui ke II adalah invasi militer suatu negara pendudukan. Salah satu upaya terhadap negara yang lain ditambah pendudukan itu adalah melalui agresi lagi dengan keinginan untuk militer. Agresi militer memungkinkan melakukan kolonialisasi terhadap terjadinya konflik dengan kelompok Republik Indonesia. yang menentang pengintegrasian Menurut Anderson (1983), tersebut. nasionalisme merupakan tindakan Dahrendorf (Ritzer dan masyarakat merujuk pada pengabdian Goodman: 2014) mengatakan bahwa dan loyalitas terhadap negara dan individu disesuaikan atau bangsanya. Nasionalisme sangat diadaptasikan pada peran mereka diperlukan dalam upaya menghentikan ketika menyumbang konflik antara kolonialisme. Oleh karena itu, siaran superordinat dan subordinat. Peneliti radio dengan sematan nama Soedirman beranggapan bahwa Elink Schurman dapat dijadikan patokan mengingat ia yang merupakan delegasi Belanda di

74 | Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan: Vol 12, No 1 Januari 2020

Analisis Semiotika Konflik Ideologi…. adalah seorang nasionalis dan memiliki Terbayang masa kegelapan dan posisi penting yang strategis. Peneliti tersambar api nasionalisme yang beranggapan, Soedirman menyadari membara, diharapkan siaran radio untuk berperang pun rakyat dan tersebut menjadi pemantik perjuangan prajurit butuh alasan. Perang tanpa rakyat semesta. alasan adalah buta. Mengandalkan loyalitas sebagai bukti nasionalisme, tidak membuat suatu negara berhasil Dialog Moh. Hatta mengusir penjajah. Karena itu, dibutuhkan pengabdian untuk membuktikan bahwa loyalitas itu ada. Masyarakat dipersatukan oleh kekangan yang dilakukan dengan paksaan (Rizer dan Goodman: 2014). Peneliti beranggapan bahwa siaran radio dalam adegan tersebut adalah sebuah kekangan dan paksaan. Kekangan dan paksaan tersebut tidak hanya berasal dari legitimasi dan perintah Soedirman. Posisi Soediman sebagai Panglima Besar adalah alasanya. Dahrendorf (Ritzer dan Goodman: 2014) mengatakan bahwa otoritas tidak terdapat dalam individu, Gambar 6. Perjumpaan Soekarno dan Hatta melainkan pada posisi. Hal ini berarti 00:13:19-00:13:30 bahwa Soedirman mengandalkan otoritas dari posisinya untuk Pernyataan Hatta tersirat makna menggalang kekuatan. Selain bahwa Belanda menyerang Indonesia. himbauan melalui radio, juga perintah Penyerangan itu dilakukan dengan perlawanan terhadap kolonialisme. mengabaikan delegasi sidang KTN Peneliti melihat bahwa konflik (Komisi Tiga Negara) dan kesepakatan dalam adegan tersebut, terjadi secara tentang gencatan senjata. manifest dan laten. Secara manifest, Ketika merdeka tahun 1945, konflik terjadi ketika terdapat perjuangan rakyat Indonesia belum himbauan dan perintah gerilya dari selesai. Fakta urgennya ketika agresi radio. Himbauan dan perintah tersebut militer Belanda II pada 1945-1946. menunjukkan bahwa keadaan Nasionalisme Indonesia benar-benar Republik sedang genting. Jiwa diuji di tengah gejolak politik nasionalisme diperlukan apabila (Suhartono: 2001). Adegan ini hendak mencegah kehancuran fisik menampilkan Hatta mengatakan yang mendekat. Secara laten, konflik Belanda tidak tahu malu. Hal ini dapat ideologi terjadi saat ancaman dilihat bahwa nasionalisme Hatta dikabarkan dari siaran radio tersebut. terbakar lantaran pengkhianatan Ancaman berasal dari isi siaran radio Belanda. Selain itu, Belanda melanggar bahwa terjadi agresi militer Belanda ke- sendiri perjanjian gencatan senjata 2. Bahkan siaran tersebut menyiratkan dengan Republik. Upaya Kolonialisasi keharusan yang laten bahwa jiwa kembali dilakukan. Cara paling ampuh nasionalisme Indonesia harus adalah melakukan invasi. Akan tetapi, berkonflik dengan konsep kolonialisme Belanda sepertinya tidak Belanda. Secara sejarah, Belanda menghiraukan semangat nasionalisme dengan kolonialismenya pernah rakyat merdeka. menyengsarahkan rakyat Indonesia. Dahrendorf (Ritzer dan Bahkan, setelah merdeka-pun, Belanda Goodman: 2014) mengatakan bahwa masih ingin menegakan kelompok kepentingan menurut kolonialismenya di Indonesia. pengertian sosiologi adalah agen

75 | Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan: Vol 12, No 1 Januari 2020

Analisis Semiotika Konflik Ideologi…. sesungguhnya dari konflik kelompok. memilih bergerilya bersama anak Belanda merasa perlu menegakkan buahnya di hutan (Seri Buku Tempo: kembali kolonialismenya di bumi 2016). nusantara. Oleh karena itu, Belanda melancarkan serangan masif dalam agresinya yang ke-2. Akan tetapi, dalam adegan ini Hatta sebagai salah satu perwakilan Republik mengatakan Belanda tidak tahu malu mengingat Indonesia telah merdeka serta dibentuknya perjanjian gencatan senjata. Hal tersebut telah dilanggar sendiri oleh Belanda. Dengan demikian konflik tidak bisa dihindari lagi. Menurut peneliti, masing- masing kelompok yang bertikai, berusaha memperebutkan otoritas pada posisi tertentu. Dahrendorf (Ritzer dan Goodman: 2014) mengatakan Gambar 7. Soedirman saat bercakap dengan bahwa otoritas tidak terdapat pada Soekarno 00:17:38-00:18:48 individu melainkan pada posisi. Posisi yang diperebutkan adalah mengenai Menurut sejarawan Rushdy siapa yang dapat menjadi tuan atas Husein, inilah awal keretakan Nusantara. Dengan demikian, otoritas hubungan antara pemimpin sipil dan sebagai penguasa tentu juga akan pemimpin militer. Soalnya, Soekarno didapat. Apabila Belanda berhasil pernah berjanji akan memimpin perang mendapatkan posisinya kembali, maka gerilya bila Belanda menyerbu kolonialisme akan bercokol di Yogyakarta. Wakil Presiden Moh. Hatta Indonesia. Hal tersebut telah diketahui juga pernah mengatakan hal yang oleh Republik Indonesia. Jiwa sama. Hatta mengatakan bahwa akan nasionalisme akan bangkit setelah ikut berperang apabila Belanda mengetahui bahwa Indonesia akan menolak perdamaian. Namun, posisi kembali dijajah. memaksa mereka untuk tetap tinggal menjadi tawanan (Seri Buku Tempo: Percakapan Jenderal Soedirman 2016). dengan Ir. Soekarno Soedirman adalah tokoh Adegan ini sering disalahartikan nasionalis militer. Ia pernah oleh beberapa pengamat sejarah. Hal mengingatkan Soekarno tentang tersebut dikarenakan anggapan bahwa janjinya, yakni Soekarno akan ikut Soekarno seharusnya menepati janji. bergerilya apabila Belanda kembali Janji yang dimaksud adalah bahwa menyerang. Akan tetapi, Soekarno Soekarno akan ikut bergerilya, apabila mengatakan Soedirman adalah tentara, Belanda kembali menyerang. tugasnya adalah tetap bersama Soedirman menilai bahwa pemerintah pasukan. Namun, Soekarno memilih kolonial Belanda dapat saja tinggal. Tujuan Soekarno adalah agar membunuh Soekarno. Hal tersebut ia dapat berunding, sekalipun mungkin diperkuat posisi Soekarno sebagai saja Soekarno akan dieksekusi oleh pemimpin Republik serta revolusi. pemerintahan Kolonial Belanda (Seri Soekarno adalah tokoh politik, oleh Buku Tempo: 2016). Adegan dan fakta karena itu ia memilih untuk tinggal sejarah menandakan bahwa apa yang agar dapat berunding. Soekarno juga dikatakan oleh Dahrendorf bahwa membujuk agar Sang Jenderal istirahat seseorang yang memegang otoritas karena kondisi kesehatan Jenderal pada satu setting, tidak berarti Soedirman sedang buruk. Akan tetapi, menduduki posisi sebagai pemegang Soedirman menolak untuk tinggal dan otoritas pada setting yang lain benar

76 | Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan: Vol 12, No 1 Januari 2020

Analisis Semiotika Konflik Ideologi…. adanya. Posisi Soekarno adalah ahli garis komando dinyatakan lenyap. Oleh Presiden dan politik. Tidak bisa karena itu, pemerintahan Republik disamakan dengan posisi Soedirman diklaim sudah tidak ada lagi. Kelompok yang notabene adalah militer. yang tersisa adalah kaum nasionalis Nasionalisme soekarno dalam yang memilih untuk berjuang dan menghadapi kolonialisme Belanda dicap sebagai kriminal bersenjata. adalah melalui meja perundingan. Spoor memiliki kepentingan dengan Sementara nasionalisme Soedirman pernyataan absurdnya dan menjadi ditunjukkan dalam medan perang. pemegang otoritas dipuncak. Meskipun tidak melalui konfrontasi Mengingat pernyataan Spoor tersebut frontal, Soedirman mampu tidak dapat dibantah oleh Republik mengguncang dunia dengan sikap dan Indonesia. Hal ini dikarenakan posisi strateginya. Indonesia yang serba terdesak. Senada Fakta sejarah atas konflik dengan Dahrendorf (Ritzer dan ideologi dan masa ini sering dinilai Goodman: 2014), kelompok yang miris oleh beberapa ahli sejarah. berada dipuncak dan dibawah Penyebab utamanya adalah sikap ditentukan oleh kepentingan bersama. Soekarno yang terkesan melanggar Posisi Belanda berada dipuncak setelah janjinya. Akan tetapi, peneliti melihat berhasil menancapkan kukunya di dari situasi dan kondisi Republik saat Indonesia. peralatan tempur canggih itu. Pertama, membawa pemimpin sipil dan semangat kolonialisasi mendukung ke medan gerilya terlalu beresiko. kemenangan Belanda tersebut. Selain membutuhkan biaya banyak, Ditambah lagi, Belanda membutuhkan dapat mengganggu diplomasi yang daerah jajahan untuk pemenuhan sedang berjalan. Misalnya, diperlukan kebutuhannya. Hal ini dikarenakan masing-masing satu batalyon untuk perekonomian Belanda hancur mengawal Soekarno dan Hatta, semenjak perang dunia ke-2. sedangkan persenjataan dan pasukan tidak memadai. Konsentrasi pasukan akan terbagi, antara berperang atau melindungi Soekarno-Hatta. Kedua, Indonesia membutuhkan pemimpin sipil untuk berunding. Hal ini terkesan lebih logis daripada konfrontasi frontal. Persenjataan republik serta kualitas pasukan saat itu tidak memungkinkan. Persenjataan Republik Indonesia sangat terbatas. Tentara tidak hanya berasal dari TNI, tetapi juga warga sipil yang terpaksa ikut berperang. Semangat nasionalisme di medan perang tidak dapat membuat Indonesia mempertahankan kemerdekaan. Karena itu, diperlukan diplomasi- Gambar 8. Diskusi Simon Spoor 00:22:45-00:23:03 diplomasi masif. Tujuannya untuk mempertahankan kemerdekaan dengan Bidang persenjataan, cara yang lebih santun dan mencegah perlengkapan militer, kemampuan dan skenario terburuk apabila tentara pengalaman tentara Republik tidak kalah perang. sebanding dengan tentara Belanda. Akan tetapi, ada sumber kekuatan Pernyataan Simon Spoor yang dapat dipakai mengimbangi Pasukan Kolonial Belanda kekurangan tersebut. Sumber dibawah pimpinan Simon Spoor kekuatan yang pokok adalah semangat berhasil menguasai Yogyakarta. kemerdekaan dan semangat Presiden sudah ditangkap, sehingga perjuangan rakyat. Perang tidak hanya

77 | Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan: Vol 12, No 1 Januari 2020

Analisis Semiotika Konflik Ideologi…. senjata melawan senjata atau tentara Pertemuan tersebut dihadiri oleh Bung melawan tentara. Akan tetapi juga Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir dan melibatkan rakyat dalam melawan KH. . Tan Malaka yang musuh (Simatupang: 1968). Karena datang tidak diundang tiba-tiba itu, tidak berlebihan apabila peneliti berkata lantang: “Kepada kalian para beranggapan bahwa nasionalisme sahabat, tahukah kalian kenapa aku rakyat Indonesia masih kuat. Bahkan tak tertarik pada kemerdekaan yang ketika Spoor menyatakan bahwa kalian ciptakan. Aku merasa Republik Indonesia sudah tidak ada. kemerdekaan itu tidak kalian rancang Maka, dapat dikatakan bahwa Spoor untuk kemaslahatan bersama. hanyalah melakukan spekulasi Kemerdekaan kalian diatur oleh pragmatsi atas kepentingan- segelintir manusia, tidak melahirkan kepentingannya. Dibuktikan dengan suatu revolusi besar. Hari ini aku nantinya, Belanda harus menarik datang kepadamu, wahai Soekarno pasukan dari territorial Republik. sahabatku. Harus aku sebutkan bahwa kita belum merdeka, karena merdeka Pidato Tan Malaka harus 100%. Hari ini aku masih melihat, Tan Malaka menginginkan bahwa kemerdekaan hanyalah milik kemerdekaan Indonesia direbut tanpa kaum elit, yang mendadak bahagia kompromi dan diplomasi. Tujuannya menjadi borjuis, suka cita menjadi agar bangsa Indonesia tidak dipandang ambtenaar. Kemerdekaan hanyalah rendah oleh bangsa penjajah. Tan milik kalian, bukanlah milik rakyat. Kita Malaka menjadikan landasan testamen mengalami perjalanan yang salah politik Soekarno, sebagai alasan untuk tentang arti kemerdekaan. Apabila dirinya menjadi pemimpin. Tan Malaka kalian tidak segera memperbaikinya, berasal dari golongan komunis. maka sampai kapanpun bangsa ini Ditandai dengan lambang palu arit tidak akan pernah merdeka! Hanya putih berlatar hitam dibelakangnya pemimpinnya yang mengalami Tan Malaka juga mendapat dukungan kemerdekaan, karena hanya merekalah kaum komunis, ditandai dengan pekik adil makmur dirasakan. Dengarlah kemerdekaan setelah selesai berpidato. perlawananku ini! Karena apabila kalian terus bersikap seperti ini, maka inilah hari terakhir aku datang sebagai sahabat dan saudara. Esok, adalah hari dimana aku menjelma menjdai musuh kalian, karena aku akan tetap berjuang untuk merdeka 100%” (Menuju Merdeka 100%: 2017). Melihat dari pidato Tan Malaka diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kaum Nasionalis dan Komunis tidak sejalan. Menurut peneliti, sikap Tan Malaka tidak bisa dibilang nasionalisme. Menurut Otto Bouer (Waluya: 2009), nasionalisme adalah persamaan sikap dan tingkah laku dalam memperjuangkan nasib yang Gambar 9. Pidato Tan Malaka 00:42:43-00:43:22 sama. Sikap Tan Malaka menurut peneliti, adalah sebuah protes terhadap Selain bercita-cita mewujudkan pemerintahan yang sah. Protes Tan Republik dari revolusi, Tan Malaka Malaka menuju klimaksnya pada menginginkan Indonesia merdeka pemberontakan Komunis di Kediri. 100%. Tan Malaka pernah Dahrendorf (Ritzer dan menegaskan keinginannya itu pada Goodman: 2014), mengatakan bahwa sebuah pertemuan di malam hari. kelompok kepentingan yang memegang

78 | Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan: Vol 12, No 1 Januari 2020

Analisis Semiotika Konflik Ideologi…. otoritas dan berada pada posisi PENUTUP subordinat memiliki kepentingan yang Beberapa konflik terjadi dalam substansi dan arahnya berlawanan. film yang telah dibahas di atas. Kelompok yang berada di puncak dan Pertama, Konflik Nasionalisme sempit berada di bawah ditentukan oleh (Chauvinism) vs Fasisme. Secara kepentingan bersama. Para elit politik denotatif, Sjahrir mengkonflikan kedua masa revolusi dan rakyat memiliki ideologi tersebut. Sjahrir, selaku kepentingan yang sama, yaitu perdana menteri, tidak menyetujui memerdekakan Indonesia. akan tetapi, pengangkatan Soedirman sebagai pengalaman dijajah berabad-abad Panglima Besar. Hal tersebut dilatar menjadikan rakyat “muak” dengan belakangi oleh masalalu karir perundingan-perundingan. Rakyat Soedirman Sendiri. Soedirman kemudian berkumpul dalam asosiasi- dianggap sebagai antek Jepang.karena asosiasi tertentu, demi mewujudkan masa lalunya yang adalah bekas keinginan rakyat saat itu. Asosiasi anggota PETA. Fakta sejarah yang memiliki pendukung luas dan membuktikan bahwa hubungan besar saat itu, salah satunya adakah Soedirman dan Sjahrir pernah PKI (Partai Komunis Indonesia). memburuk karena hal ini. Secara Sehingga kemudian lahirlah tokoh yang konotatif, Sjahrir tidak setuju ketika membawa pendapat atas situasi rakyat ada bekas penganut ideologi lainnya tersebut. Tan Malaka adalah salah satu memikul tanggung jawab bangsa. tokoh tersebut. Konflik Soedirman dan Sjahrir Dalam adegan di film “Jenderal dipengaruhi oleh latar belakang Soedirman” ini, Tan Malaka ideologi. Sutan Sjahrir menganggap memanfaatkan testamen politik Soedirman adalah antek Jepang. Oleh Soekarno. Testamen tersebut karena itu, bagi Sjahrir Soedirman kemudian hari diketahui sebagai dapat menjadi penghalang mandat Soekarno. Testamen diberikan kemerdekaan. Terlepas dari tanggung juga pada beberapa tokoh yang lain jawab yang dipikulnya. Sjahrir sangat selain Tan Malaka. Isi dari testamen ini tidak memberikan kesempatan bagi adalah, apabila Soekarno-Hatta antek penjajah untuk berkuasa. Sjahrir terbunuh, maka salah satu dari takut negara ini menjadi negara fasis merekalah yang melanjutkan persis Jepang. Mengingat Soedirman kepemimpinan Republik Indonesia. adalah didikan PETA. Dari perspektif Akan tetapi, saat agresi militer Belanda mitos, Sjahrir beranggapan bahwa ke II, Soekarno-Hatta hanya ditawan. Indonesia akan menjadi negara fasis Maka testamen tersebut belum apabila kolaborator Jepang diberikan dinyatakan sah untuk berlaku. posisi. Sehingga kolaborator Jepang Cara berpikir Tan Malaka sangat harus disingkirkan. Salah satunya logis, yaitu menginginkan kemerdekaan adalah Soedirman yang terpilih sebagai 100%. Akan tetapi, cara logis mereka panglima besar. Sjahrir sebagai tersebut terlampau naif dan tidak pemimpin kabinet yang nasionalis rasional menurut peneliti. Secara sangat tidak menyukai Jepang yang konotatif dalam adegan ini, karena fasis. Akan tetapi, sekalipun Soedirman tidak mau direndahkan oleh bangsa mendapat didikan Jepang, selama lain, Tan melakukan perlawanan. hatinya loyal pada NKRI latar belakang Fatalnya, perlawanan Tan pendidikannya tidak masalah. Sebagai berseberangan dengan kaum nasionalis seorang Perdana Menteri dan politikus, Republik. Pada akhirnya, Tan Malaka Sjahrir harus bersikap jeli dan cerdik. harus menghadapi dua musuh dari Sjahrir tidak memahami bahwa tentara dua penganut ideologi yang berbeda. yang siap bertempur adalah eks- didikan penjajah. Kedua, Konflik Nasionalisme vs Kolonialisme. Secara denotatif, konflik terjadi antara Republik Indonesia yang

79 | Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan: Vol 12, No 1 Januari 2020

Analisis Semiotika Konflik Ideologi…. baru merdeka dengan Kerajaan nasionalisme yang lebih dominan Belanda. Setelah perang dunia 2 berusaha untuk menjaga status quo- selesai, Belanda mendapatkan dana nya. Oleh karena itu, komunisme yang untuk membangun negerinya yang membahayakan konstitusi dianggap hancur pasca PD (Perang Dunia) II. sebagai pemberontakan. Dengan kata Namun Belanda menggunakan lain, komunisme adalah ideologi yang danaMarshall Plan (Amerika) untuk tidak dominan di Republik Indonesia. melakukan kolonialisasi daerah akan tetapi, bukan berarti komunisme jajahannya. Akan tetapi, kolonialisme memiliki penganut yang kecil. Pada Belanda mendapat pertentangan dari tataran mitos, penganut nasionalisme Sikap Nasionalisme Bangsa Indonesia. dan komunisme memiliki ikatan yang Hal ini dikarenakan, Indonesia telah ambigu. Di satu sisi, apabila ada merdeka dan memiliki ancaman dari luar mereka bersatu. Sisi pemerintahannya sendiri. Secara lain, ketika ancaman tersebut mundur, konotatif, Belanda menyalahgunakan mereka kembali berkonflik. Meskipun dana untuk mewujudkan dalam film “Jenderal Soedirman” kolonialismenya. Akan tetapi, konflik antara kedua ideologi ini Indonesia telah merdeka, sehingga bersifat laten. rencana Belanda mendapat Keempat, konflik komunisme vs perlawanan. Perlawanan ini datang kolonialisme. Di tahap denotatif, dari kaum nasionalis Bangsa konflik penganut kedua ideologi ini Indonesia. oleh karena itu, konsep terlihat pada adegan pidato Tan kolonialisme Belanda mengalami Malaka. Tan mengatakan bahwa hambatan. Sebagai gantinya, dana Indonesia harus merdeka seratus Marshall Plan ditarik kembali oleh persen. Apabila tidak demikian, Amerika. Mengingat dana yang Indonesia akan direndahkan oleh diberikan oleh amerika tersebut penjajah. Konflik komunis dan bukanlah dana kolonialisasi, kolonialis disampaikan secara laten melainkan dana pembangunan. Oleh dalam film Soedirman. Di level karena itu, Belanda bersedia konotatif, merdeka seratus persen melakukan perundingan dengan pihak berarti revolusi total. Revolusi total Indonesia. Dilihat dari mitos yang yang dimaksud adalah tanpa melalui dibangun, dengan semangat perundingan-perundingan. Apabila nasionalisme dan persenjataan melalui perundingan lagi, Indonesia seadanya, sikap nasionalisme akan menjadi negara yang Indonesia mampu mengalahkan upaya direndahkan. Isi perundingan Renville, kolonialisme Belanda. Meskipun, Linggarjati dan Roem-Royen dinilai Belanda mendapatkan suntikan dana merendahkan harga diri Bangsa. Di dari Amerika. Dilihat dari banyaknya tahap mitos, penganut komunisme peralatan yang digunakan, Belanda beranggapan bahwa merdeka 100%, benar-benar berniat kembali menjajah tidak akan direndahkan. Oleh karena Indonesia. itu, revolusi total harus tetap Ketiga, Konflik Nasionalisme vs dilakukan. Tujuan utamanya adalah Komunisme. Secara denotatif, konflik untuk mendapatkan pengakuan dan nasionalisme dan komunisme kebebasan. mempengaruhi kebijakan. Kelompok nasionalisme memilih jalan DAFTAR PUSTAKA perundingan untuk menyelesaikan Alda, B.P. 1985. “Panglima Besar masalah. Sedangkan kelompok Jenderal : Sebuah komunisme lebih menginginkan Kenangan I Perjuangan”. : revolusi total. Revolusi total kaum Almanak RI. komunis dianggap membahayakan Anderson, Benedict. 1983. “Imagined konstitusi. Secara konotatif, kebijakan Communities: Reflection On The dipengaruhi oleh ideologi yang Origin and Spread Of Nationalism”. berkonflik. Sehingga penganut ideologi London: The Thetford Press.

80 | Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan: Vol 12, No 1 Januari 2020

Analisis Semiotika Konflik Ideologi….

Ardianto, Elvinaro dan Lukiati Komala Padjadjaran Poloma, Margaret M. 1994. Erdinaya. 2004. “Komunikasi ”Sosiologi Kontemporer”. Jakarta: Massa Suatu Pengantar”. Rajawali Grafindo Persada. : PT Remaja Poloma, Margaret M. 2000. “Sosiologi Rosdakarya, Kontemporer”. Jakarta: CV. Barthes, Roland. 2010. “Imaji, Musik, Rajawali. Teks”. Yogyakarta : Jalasutra. Prenada Media, Nasril, Nasrullah Effendy, Onong Uchjana.. 2000. “Ilmu, .2009. Teori-teori Sosiologi, Teori dan Filsafat Komunikasi”. Bandung: Widya Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Pureklolon, T. Thomas. 2017. Fansuri, Hamsah. 2015. “Sosiologi “Nasionalisme: Supremasi Indonesia: Diskursus Kekuasaan Perpolitikan Negara” Jakarta: dan Reproduksi Pengetahuan”. Gramedia Pustaka Utama. LP3ES, Jakarta. Raho, Bernard. 2007. “Teori Sosiologi Furnivall , J.S.1956. “Colonial Policy Modern”. Jakarta: Prestasi and Practise” Pustaka. Huru, Alberthine B.Y. 2016. Makna Ritter, Herry. 1986. “Dictionary of Simbolik Makam Megalitik Di Concepts in History. New York: Kelurahan Prailiu Kabupaten Greenwood Press Zamroni. 2008. Sumba Timur (Analisis Semiotika Teaching Social Studies. A Roland Barthes).Kupang. Skripsi. Reader”. Yogyakarta: Graduate Ian Craib. 1992. “Teori-teori Sosial Program The State University of Modern”. Jakarta: CV. Rajawali Yogyakarta. Krampen, Martin. 1996. “Ferdinand de Ritzer George dan Douglas J. Saussure dan Perkembangan Goodman. 2004. Teori Sosiologi Semilogi” dalam Serba-Serbi Modern, Jakarta: Komunikasi. Penyunting: Panuti Ritzer, George dan Douglas J. Sudjiman dan Aart van Zoest. Goodman. 2007. “Teori Sosiologi Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Modern” Jakarta: Prenada Media Utama. Group, Kurniawan. 2001. “Semiologi Roland Ritzer, George, Douglas J. Goodman. Barthes”. Magelang: Indonesiatera 2014. Teori Sosiologi. Bantul: Lexy J. Moleong. 1996. “Metodologi Kreasi Wacana. Penelitian Kualitatif”. Bandung; Ritzer, George. 2010. “Sosiologi Ilmu Remaja Rosdakarya, Pengetahuan Berparadigma Liliweri, Alo. 2004. “Dasar-Dasar Ganda Jakarta: PT. Raja Grafindo Komunikasi Antarbudaya”. Persada. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Samsuri. 2004. Politik Islam Anti McQuail, Dennis. 1997. “Teori Komunis: Pergumulan Masyumi Komunikasi Massa Suatu dan PKI di Arena Demokrasi Pengantar”. Jakarta: Erlangga. Liberal. Yogyakarta: Safira Insani Nawa, Melkianus R. 2014. Analisis Press. Semiotika Foto Jurnalistik Tentang Simatupang, T.B. 1981. Pelopor Dalam Kebakaran Kantor Gubernur Nusa Perang Pelopor Dalam Damai. Tenggara Timur Pada Surat Kabar Jakarta: Yayasan Pustaka Militer Harian Pos Kupang Edisi 10 Snyder, L. L. 1964. The Dynamic of Agustus 2013”.Kupang. Skripsi. Nationalism. Princeton: D. Van Novanda, Gilang. 2014. Representasi Nostrand Co. Inc. Hegemoni Jejaring Sosial Twitter Sobur, Alex. 2004. Semiotika Pada Film Republik Twitter Karya Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Kuntz Agus (Analisis Semiotika Rosda Karya. John Fiske). Jogjakarta. Skripsi. Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Oedijo, et al. 1962. “Doktrin Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Revolusioner Indonesia”. Surabaya: C.V. Narsih.

81 | Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan: Vol 12, No 1 Januari 2020

Analisis Semiotika Konflik Ideologi….

Suhartono. 2001. Sejarah pergerakan Winardi. 2007. Manajemen Konflik, Indonesia. Yogyakarta: Pustaka (Konflik Perubahan Dan Pelajar Offset. Pengembangan). Bandung: Sukmana, Oman. 2016. Konsep Dan Mandar Maju Teori Gerakan Sosial. Malang: Wirawan. 2010. Konflik Dan Intrans Publising, Manajemen Konflik; Teori, Aplikasi Tatang M Amirin. 1991. “Menyusun Dan Penelitian. Jakarta: Salemba Rencana Penelitian”. Jakarta: Raja Humanika. Grafindo Persada...... 1985. Sudirman Prajurit TNI Waluya, Bagja. 2009. Sosiologi 2 Teladan. Jakarta: Dinas Sejarah Menyelami Fenomena Sosial di TNI-AD. Masyarakat. Siuarabaya: …….. 2017. Tan Malaka (Senarai Karya Erlangga. Penting Tan Malaka). Yogyakarta: Wardaya, Baskara. 2002.”Nasionalisme Narasi. Universal: Menjawab Ajakan “PascaNasionalis-nya Romo Mangun”, dalam Jurnal Iman, Ilmu, Budaya. Jakarta: Yayasan Bhumiksara.

82 | Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan: Vol 12, No 1 Januari 2020