SKRIPSI

EKSISTENSI SILSILAH TAREKAT SYATTARIYAH ABU PEULEUKUNG (Studi Kasus Kecamatan Seunagan, Kabupaten Nagan Raya)

Disusun Oleh:

HENDRIA IRAWAN

NIM. 140301001

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) AR-RANIRY BANDA ACEH 2019 M/1440 H

EKSISTENSI TAREKAT SYATTARIYAH ABU PEULEUKUNG (STUDI KASUS KECAMATAN SEUNAGAN, KABUPATEN NAGAN RAYA) Nama : Hendria Irawan NIM : 140301001 Fakultas : Ushuluddin dan Filsafat Jurusan : Aqidah dan Filsafat Islam Pembimbing I : Dr. Damanhuri, M.Ag Pembimbing II : Raina Wildan, S.Fil.I, MA Kata Kunci : Tarekat Syattariyah Abu Habib Muda Seunagan, Jamaah Tarekat Syattariyah, Aktivitas Jamaah

ABSTRAK Syekh Abdullah asy-Syattari ialah pendiri tarekat Syattariyah yang merupakan seorang tasawuf terkenal di India yang wafat pada 1415 M. Ibrahim al-Kurani termasuk salah satu mursyid yang diberikan ijazah oleh Syekh Abdullah Syattari. Ibrahim al-Kurani memapankan karirnya di Madinah setelah menutut ilmu di berbagai tempat di Timur Tengah. Ia adalah ulama yang mempunyai hubungan amat luas, bukan hanya dari segi muridnya, tetapi juga kerena karyanya yang amat dikenal luas. Di Nagan Raya berkembang tarekat Syattariyah yang dikembangkan oleh Habib Muda Seunagan. Habib Muda Seunagan belajar dari Habib Syaikhuna Muhammad Yasin seorang guru dan ayah kandung sendiri untuk menyebarkan sebuah tarekat Syyattariyah. Hingga kini tarekat Syattariyah dikembangkan oleh Abu Habib Qudrat. Masalah yang diangkat dan diteliti oleh penulis adalah bagaimana aktivitas dan eksistensi dayah tarekat Syattariyah hingga saat ini berkembang di Nagan Raya, dan Pante Cermen Aceh Barat. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui eksistensi dan aktivitas dari dayah-dayah tarekat Syattariyah yang berkembang hingga saat ini. Untuk mendapatkan bahan dan hasil dalam penelitian, digunakan metode kualitatif dengan menggunakan jenis penelitian lapangan (field research), dengan meneliti lapangan yaitu mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan sekarang, dari interaksi suatu social, individu, kelompok, lembaga, dan masyarakat. Hasil penelitian menujukkan bahwa ditemukan beberapa Dayah tarekat mulai berkembang pesat, dengan didukung oleh kalangan anak muda terutama di kecamatan Kuala ialah dayah tarekat pertama di kecamatan Kuala Kabupaten Nagan Raya, dan di Pante Cermen tepatnya di dayah terekat yang dipimpin oleh Tgk Saminna Daud, di Ule jalan Dayah tarekat khusus perempuan dipimpin oleh Aja Mutia binti Teungku Haji Muhammad Daud.

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Eksistensi Dan Silsilah Tarekat Syattariyah Abu Peuleukung (Studi Kecamatan Seunagan, Kabupaten Nagan Raya)”. Yang merupakan salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana. Shalawat beriring salam untuk Rasul-Nya Muhammad SAW. Yang di utus ke dunia untuk menjadi tauladan dan membawa suatu perubahan, seorang revolusioner yang bertitle “Agen of Change”. Semoga keberkahan selalu bersama beliau. Dalam pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu untuk penulisan skripsi ini. Teristimewa kepada ibunda tercinta Yusmanidar dan ayahanda Syarifuddin tercinta dengan doa, dorongan, semangat dan pengorbanan yang telah memberikan semangat kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi. Begitu juga kepada Bapak Dr. Damanhuri Basyir, M.Ag selaku pembimbing pertama dan terima kasih juga tidak lupa penulis sampaikan kepada ibu Raina Widan S.Fil.I., MA selaku pembimbing dua yang telah membimbing dengan baik dalam penyelesaian penulisan skripsi ini. Kemudian terima kasih juga kepada bapak Dr. Firdaus. M. Hum.Msi selaku ketua prodi Ilmu Aqidah Dan Filsafat beserta Stafnya dan jajarannya yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu di dalam srkripsi ini. Yang secara langsung atau tidak

langsung telah membantu proses pelaksanaan skripsi ini. Selanjutnya penulis mengucapkan ribuan terima kasih kepada Bapak dekan Fakultas Ushuludin dan Filsafat UIN Ar-Raniry beserta jajarannya yang selam ini telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk menimba ilmu di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Kepada adik saya Cici Helviza, Putri Yenni, dan Nenek saya Samsyiah, Kakek saya M Dan Afan, Bunda Nurjanah, Makbit Ruwaida Fitriani, Paman Aidi Sufyan, dan seluruh keluarga yang terus mendorong saya agar saya semangat dan harus bisa sampai saat ini, dan terima kasih juga kepada sahabat-sahabat seperjuangan saya Yuyun Rahmadi, S.Sos, Salman Farisi, Mukhlisin, M. Nuzul Iman, Maulina, Yoerifa Aqla, Amrul Halim, Dika, Teuku Murdani, Muhammad Nazar dan teman-teman lainnya yang juga tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang selama ini telah berkontribusi dalam memberikan motivasi dan membantu penulis pada saat penelitian. Penulis juga menyadari bahwa karya tulis ini masih banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk penyempurnaan karya tulis ini. Harapan penulis, karya tulis ini dapat bermanfaat bagi pengembangan kearah yang lebih baik. Amin ya Rabbal‘alamin.

Banda Aceh, 19 Juli 2019 Penulis,

HENDRIA IRAWAN NIM. 1403001001

DAFTAR ISI LEMBARAN JUDUL...... i KEASLIAN KARYA ILMIAH...... ii HALAMAN PENGESAHAN...... iii PERSETUJUAN PUBLIKASI...... iv KATA PENGANTAR...... v DAFTAR ISI...... vi ABSTRAK...... vii

BAB I : PENDAHULUAN...... 1 1.1 Latar Belakang Masalah...... 1 1.2 Fokus Penelitian...... 11 1.3 Rumusan Masalah...... 11 1.4 Tujuan Dan Manfaat Penelitian...... 12 BAB II : TINJAUAN KEPUSTAKAAN...... 1 2.1 Kajian Pustaka...... 13 2.2 Kerangka Teori...... 19 2.3 Definisi Oprasional...... 25 BAB III METODE PENELITIAN...... 12 3.1 Pendekatan Penelitian...... 26 3.2 Populasi Dan Sampel...... 28 3.2.1 Gambar...... 28 3.2.2 Tabel...... 29 3.3 Instrumen Penelitian...... 30 3.4 Teknik Pengumpulan Data...... 32 3.5 Teknik Analisis Data...... 33 BAB IV HASIL PENELITIAN...... 37 4.1 Pengertian Tarekat...... 37 4.1.1 Tarekat Syattariyah...... 39 4.1.2 Sejarah Tarekat Syattariyah...... 39 4.2 Tarekat Syattariyah di Nusantara...... 41 4.2.1 Tarekat Syattariyah di Aceh...... 44 4.2.2 Syekh Habib Khatib Langgien...... 46

4.3 Perkembangan Tasawuf di Aceh...... 52 4.3.1 Tasawuf masa kerajaan Aceh...... 53 4.3.1 Perkembangan Tasawuf Abad ke 16 dan 17.. 54 4.4 Tarekat Syattariyah di Nagan Raya...... 56 4.4.1 Biografi Habib Muda Seunagan...... 57 4.5 Silsilah Tarekat Syattariyah Habib Muda Seunagan 58 5.5.1 Dayah Syaikhuna Darul Istiqamah...... 69 5.5.2 Dayah Aja Nih Peunawa...... 71 5.5.3 Dayah Syaikhuna Habib Puteh Kila...... 72 5.5.4 Dayah Terekat Tengku Saminna Daud...... 73 BAB V PENUTUP...... 77 5.1 Kesimpulan...... 77 5.2 Saran...... 86 Daftar Pustaka...... 87 Lampiran Dokumentasi...... 90

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Istilah tarekat berasal dari bahasa Arab “thariqah” berati jalan atau lebih lengkap “jalan menuju surga” dimana waktu melakukan amalan amalan tarekat tersebut si pelaku berusaha mengangkat dirinya melampaui batas-batas kediriannya sebagai manusia dan mendekatkan dirinya ke sisi Allah SWT (Zamakhsyari Dhofier, 1982: 135). Snouck Hurgronje (1906), untuk pertama kalinya mencatat tentang Syaikh Abdurrauf bin Ali Al Jawi sebagai kunci tarekat Syattariyah di Aceh Khususnya, dan di dunia Melayu- Indonesia pada umumnya.1 Tarekat itu pada dasarnya tak terbatas jumlahnya, karena setiap manusia semestinya harus mencari dan menerima jalan sendiri, sesuai dengan bakat dan kemampuan ataupun kebersihan hati mereka masing-masing. Dalam tasawuf jalan menuju Tuhan ini mereka menamakan thariqat kata Inggris nya the pash. Dalam hal ini R.A Nicholson dalam bukunya The Mystics of Islam menerangkan sebagai beikut: Para mistikus dalam setiap suku bangsa ataupun agama umumnya menyimbolkan pengembaraan spiritual mereka sebagai suatu perjalanan. Walaupun ada pula simbol simbol lain, namun perjalanan merupakan simbok yang lebih umum. Para sufi yang rindu mengembara mencari tuhan menyebut dirinya sebagai pengembara (salik-musaffir), mereka melangahkan maju dari satu

1Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau, (Jakarta: Prenada Media Group, 2018), hlm 19. 1

tingkat ke tingkat atas. Tarekat atau jalan tasawuf ini lebih begitu penting sehingga ilmu tasawuf itu sering dinamakan ilmu Suluk.2 Tasawuf (Sufisme) adalah bentuk masdar berasal dari kata suf yang berati wol, yaitu bahan pakaian kasar yang di pakai oleh orang orang sufi sebagai tanda keterpaan dan penolakan dunia. Etimologi lain dikemukakan oleh penulis penulis Islam yang kemudian, kata sufi berasal dari kata safa yang artinya “menjadi murni” atau dari kata “suffah”, yakni bagian yang ditinggikan pada mesjid Nabi di Madinah, dimana orang orang miskin bisa duduk- duduk dan melakukan kepribadian, atau juga dikemukakan oleh beberapa penulis modern, bahwa sufi berasal dari kata sophos, tetapi yang terakhir ini tidak punya dasar yang kuat. (Rahman, 1984:190; Nicholos, 1963:3; Burckhart, 1984:15). Para sufi sendiri memandang tasawuf sebagai ajaran tentang moral atau akhlak.3 Dalam kehidupan masyarakat Peulukung juga diwarnai dengan ketasawufan dengan mengamalkan Tarekat Syattariyyah. Sammina Daud menjelaskan bahwa dalam ilmu tasawuf, tarekat ialah jalan atau petunjuk dalam melakukan suatu ibadah sesuai ajaran yang di contohkan Nabi Muhammad SAW dan dikerjakan oleh sahabat-sahabat beliau tabi’in, dan tabi’it- tabi’in turun temurun pada masa kita saat ini. Pada tatanan teoritis maupun praktis, ajaran Islam memuat segala sesuatu yang baik diperlukan manusia untuk mengatur tujuan-tujuan hidupnya yang hakiki. Agama Islam menyediakan cita-cita kebahagian dan kesejahteraan, moralitas, etos kerja, keadilan yang dibutuhkan manusia dalam pergaulan hidup sesama manusia. Islam adalah jalan hidup yang mengatur seluruh aspek kehidupan. 4 Islam melarang bersifat fanatik atau berputus asa,

2Sihum “Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam”(Jakarta:Raja Grafindo Persada,1997), hlm 39-40. 3Ahmad Syafi’i Mufid, Tangklukan, , dan Tarekat: Kebangkitan Agama di Jawa (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia), hlm 21-22. 4Gita Danupratana, Ekonomi Islam (Yogyakarta: 2006), cet.I.3

2

ikhtiar adalah usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam hidupnya, baik material, spiritual, kesehatan dan masa depannya agar tujuan hidupnya selamat dan sejahtera di dunia dan di akhirat. Al-Quran menjadi tuntutan, dan pegangan umat Islam sepanjang masa. Tasawuf terus berkembang dan meluas serta mulai berpengaruh luar, salah satunya ialah filsafat, baik itu filsafat Yunani, India, maupun Persia. Munculnya sesudah abad ke-2 Hijriyah golongan sufi yang mengamalkan amalan-amalan dengan tujuan kesucian jiwa untuk taqarrub kepada Allah. Para Sufi kemudian membedakan pengertian-pengertian Syariah, thariqat, haqiqat, dan makrifat. Menurut mereka syariah itu untuk memperbaiki amalan- amalan batin (hati), haqiqah untuk mengamalkan segala rahasia yang gaib, sedangkan makrifat adalah tujuan akhir yaitu mengenal hakikat Allah baik zat, sifat maupun perbuatan-Nya. 5 Orang yang telah sampai ketingkat makrifat dinamakan wali. Kemampuan luar biasa yang dimilikinya disebut karamat atau supranatural, sehingga dapat terjadi pada dirinya hal-hal luar biasa yang tidak bisa di jangkau oleh akal, baik dimasa hidup maupun sesudah meninggal. Syakh Abdul Qadir Jaelani (471- 561/1078-1168) menurut pandangan sufi adalah wali tertinggi disebut quthub al auliya (wali quthub), tarekat terdapat program untuk mengadakan latihan-latihan dalam jangka waktu tertentu, biasa disebut suluk. Dalam suluk ini ada murid yang memilih jalan ibadah riyadhah, latihan menderita, latihan memperbanyak memberi pertolongan, latihan membuang kemegahan dan kemewahan dan sebagainya. Pemilihan jenis suluk bagi seorang murid lebih banyak ditentukan oleh guru tarekat, sesuai dengan kondisi murid itu sendiri. 6

5Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat: Uraian Tentang Mistik (Jakarta: Fa H.M Tawi dan Soon, 1966), hlm 5. 6Amsal Bakhtiar,Tasawuf dan Gerakan Tarekat (Bandung: Angkasa, 2013), hlm. 25. 3

Tarekat Syattariyyah sangat dikenal di Aceh dan dikemukakan oleh Abdurrauf Bin Ali al-Jawi al-Fansuri As- Singkili, serta pernah menjadi Mufti dan Qadhi Malik al-Adil di Kerajaan Aceh. Pendidikan yang dijalani oleh Abdurrauf pada masa kecil, belum ada keterangan yang jelas, namun kemungkinan ia mendapat pendidikan di awal desa kelahirannya, terutama dari orang tuanya. Menurut Ali Hasyimi, ayahnya seorang alim yang mendirikan Madrasah yang mempunyai murid dari berbagai pelosok dalam Kesultanan Aceh. Kemudian ia melakukan perjalanan ke Banda Aceh Darussalam, Ibukota Kesultanan untuk belajar berbagai disiplin ilmu dan selanjutnya melanjutkan perjalanan ilmiahnya ke Saudi Arabia selama 19 Tahun. Sebagaimana yang dituturkan sendiri oleh Abdurrauf dalam Umdah. Di kitab ini ia memberi keterangan tentang masa, lokasi belajar, dan guru yang mengajarnya. Abdurrauf juga pernah belajar disejumlah tempat yang tersebar di rute Haji dari Dhoha, wilayah Persia, Yaman, Jeddah, dan akhirnya ke Mekkah dan Madinah. Dalam bidang tasawuf Abdurrauf dianggap sebagai pembawa Tarekat Syattariyah di Nusantara. 7 Seperti yang telah disebutkan Abdurrauf telah mendapatkan dua ijazah dalam dua tarekat Syattariyah dan Naqsybandiyah. Abdurrauf tidak sama dengan teman sepeguruanya, gurunya pun lebih dikenal tarekat Naqsybandiyah. Sedangkan Abdurrauf memilih tarekat Syattariyah. Abdurrauf menyebut tarekat Syattariyah lebih mudah dan lebih tinggi dasar amalannya dari Al-Qur’an dan Hadis yang dikerjakan oleh sekalian sahabat. Dibeberapa wilayah tertentu, tarekat menjadi fenomena istana, ketika para pengikut dan sebagian guru tarekatnya menjadi bagian dari keluarga, atau penjabat istana. Di Aceh misalnya, Nuruddin Ar-Raniry (w.1068/1658), pernah menjabat sebagai Syaikh Al-Islam atau mufti kerajaan Aceh di salah satu kedudukan tertinggi di kesultanan dibawah sultan

7.Damanhuri,Umdah Al-Muhtajin:Rujukan Tarekat Syattariyah Nusantara, dalam Jurnal Ulumuna Jurnal Studi Keislaman Nomor 2 (2013),hlm. 310. 4

sendiri, pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani (1637- 1641) dan awal pemerintahan Sultanah Safiatuddin (1641-1675). Demikian halnya dengan Abdulrauf al-Singkily (1024-1105/1615- 1690), yang merupakan khilafah utama Tarekat Syattariyah di dunia Melayu Indonesia, sepanjang karirnya dipercayakan oleh Sulthanah Safiatuddin sebagai Qadi Malik Al-Adil atau Mufti kerajaan, yang bertanggung jawab atas berbagai masalah sosial- keagamaan. Di satu sisi sikap akomondatif para penganut tarekat Syattariyah lebih mudah dan menarik perhatian Non-muslim untuk memeluk ajaran Islam, bahkan hal ini dianggap sebagai kunci sukses berkembangnya ajaran tarekat, akan tetapi disisi lain hal ini juga mengakibatkan banyak konsep-konsep tasawuf dan ritual tarekat yang sinkretis serta dimiliki persamaan dengan konsep- konsep dan ritual Hindu. Di Sumatera Barat melalui upaya Dakwah Syekh (w.1111 H/1691 M), yang merupakan seorang murid dari Abdurrauf Al-Singkly.8 Melalui Tarekat Syattariyyah Syekh Burhanuddin Ulakan memperoleh banyak pengikut, dan pengamalnya di kawasan Pariaman Sumatera Barat. Sesudah Syekh Burhanuddin berkembang pada empat kelompok, yaitu; Pertama silsilah yang diterima dari Imam Maulana, kedua silsilah yang dibuat oleh Tuan Kuning Syahril Lutan Tanjung Medan Ulakan. 9 Ketiga, Silsilah yang diterima oleh Tuanku Ali Bakri di Sikabu Ulakan. Keempat, Silsilah oleh Tuanku Kuning Zubir yang ditulis dalam Kitabnya yang berjudul Syifa’ aI-Qulub. Berdasarkan silsilah tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tarekat Syatariyah di Minangkabau masih kuat dan kokoh, didukung dengan ke1embagaan tarekat dan lembaga formal berupa sosial keagamaan Jamaah Syyattariyah Sumatera Barat beserta di seluruh Minangkabau, bahkan di propinsi tetangga Riau dan jambi.

8Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), hal 33. 9Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau,hlm. 32 5

Sama halnya dengan di Nagan Raya, tepatnya di Kecamatan Seunagan Timur yang merupakan salah satu ulama yang memiliki peran ini ialah Habib Muda Seunagan atau dikenal dengan nama Abu Peulukung. Tarekat Syattariyah yang terdapat di Desa Peulukung, Kecamatan Seunagan Timur ini di bawa oleh seorang tokoh yang bernama Abu Habib Muda Seunagan. Setelah Habib meninggal maka dipercayakan kepada anak kandungnya yang tertua yaitu Habib Quraisy di Desa Lhok Mesjid, kemudian mengantikan oleh Habib Qudrat yang merupakan anak bungsu dari Abu Habib Muda Seunagan, hingga sampai sekarang jumlah mengikut tarekat Syattariyah mencapai 50.000 orang dan ajaran tarekat Syattariyah yang berkembang di Desa Peuleukung, Kecamatan Seunagan Timur, Kabupaten Nagan Raya. Setelah ayahnya wafat dan saudara sepupunya Habib Putik ditangkap dan dibuang oleh pihak belanda, ia pun kemudian tampil menjadi tokoh yang disegani dan mempunyai banyak pengikut, meskipun Habib Muda Seunagan bukan merupakan keturunan asli masyarakat Seunagan, namun masyarakat setempat sangat menghormatinya, karena ia dikenal sebagai sangat alim dan memiliki kepribadian yang mulia. Sekarang ini keturunan Habib Muda Seunagan telah banyak melakukan kawin campur dengan penduduk asli setempat. Pembaharuan ini semakin memperkuat pengaruhnya di tengah- tengah masyarakat. Sampai sekarang ini masih banyak masyarakat yang mengagung-angungkannya dengan berbagai kelebihan yang dimilikinya. Diantara kebijakan yang pernah dilakukan oleh Habib Muda Seunagan adalah dalam upaya membebaskan empat belas orang pengikutnya yang sempat ditangkap secara sepihak oleh Tentara Republik Indonesia. Penangkapan ini terjadi bersamaan dengan meletusnya Perang Cumbok pada tahun 1946. Pada waktu itu,beberapa orang pengikut Habib Muda Seunagan pergi menangkap ikan ke daerah Seumanyam, kecamatan Darul Makmur

6

(masih dalam wilayah Aceh Barat). Ketika mereka sedang menangkap ikan, tiba-tiba datang aparat yang mencurigai dan langsung menangkap mereka lalu membawanya ke Meulaboh untuk ditahan karena dianggap sebagai pemberontak. Peristiwa penangkapan pengikutnya itu diketahui oleh Habib Muda Seunagan dn ia segera menghadap kepala Militer Republik Indonesia Wilayah. Selain itu, Habib Muda Seunagan juga memiliki kepribadian yang sangat luas dan terbuka. Ia dapat bersahabat dengan siapa sajam maupun menjalin hubungan baik dengan pemerintah serta bersedia membantu menyukseskan berbagai program pemerintah, terutama ikut serta dalam mencerdaskan dan memperbaiki moral umat. Salah satu bukti adanya dukungan terhadap pemerintah adalah ketika tahun 1947, Habib Muda Seunagan membentuk sebuah organisasi jihad yang bertujuan membantu pemerintah mengamankan wilayah Seunagan dan sekitarnya dari berbagai gangguan keamanan. Ketika terjadi pergolakan DI/TII, Habib Muda Seunagan juga ikut membendung agar tidak terjadi pemberontakan di Seunagan dengan memilih dan mengangkat T. Azman (menantunya) sebagai seorang wedana di Seunagan dan Habib Cut di Beutong. Untuk diketahui, antara Habib Muda Seunagan dengan ulama lainnya terjadi beberapa kontroversi mengenai ajaran agama yang dikembangkan oleh Habib Muda Seunagan, sebagian ulama memandang bahwa ajaran tarekat yang Habib Muda Seunagan kembangkan sudah keluar dari Syariat Islam yang sebenarnya.10 Sebelumnya, Habib Muda Seunagan juga merupakan mursyid dalam tarekat Syattariyyah, Habib Muda Seunagan hidup masa penjajahan Belanda hingga masa kemerdekaan Indonesia, dan memiliki peran keagamaan sebagai Ulama bagi masyarakat di Aceh Barat, Gayo Lues, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Pidie, dan bagian Aceh lain. Ia merupakan Mursyid utama Tarekat

10 Hasbi Amiruddin, Biografi Ulama Ulama Aceh Abad XX, (Banda Aceh: BKANT Banda Aceh, 2004), hlm 99-101. 7

Syathariyyah di Seunagan yang paling berkembang pesat diberbagai daerah di Aceh hingga saat ini, bahkan murid- muridnya masih memainkan peran sosial keagamaan yang penting dalam masyarakat. Hal lain yang menjadikan sebagai panutan orang bahkan hingga sekarang orang masih berziarah ke makamnya. Ini jelas menjadi bukti bagaimana pengaruh Habib Muda Seunagan dalam keagamaan disana. Habib Muda Seunagan juga memiliki peran sentral dalam kehidupan sosial politik di Aceh Barat sejak masa kemerdekaan hingga ia wafat. Pada masa penjajahan Belanda ia menjadi pemimpin kaum muslimin mengangkat senjata melawan musuh dengan berbagai peran menujukkan Habib Muda Seunagan memiliki pengaruh besar dalam perkembangan agama, sosial, dan politik Aceh. Pengaruh itu diakui baik oleh masyarakat setempat maupun pemerintah. Pengakuan itu diekspresikan dalam banyak bentuk, seperti berziarah makam, mewarisi cerita Habib Muda Seunagan kepada generasi Muda, pemberian penghargaan kepada Habib Muda Seunagan dan lain sebagainya. Namun sayangnya, peran dan pengaruh Habib Muda Seunagan tidak terakomondasi dengan baik. Ia berada dalam arus utama ingatan masyarakat Islam di Nusantara. Alih-alih menjadi bagian sejarah, banyak di antara masyarakat Aceh justru memperoleh informasi keliru mengenai Habib Muda Seungan. Hal ini membuat Habib Muda Seunagan dan pengikutnya dianggap sebagai kelompok sosial yang mempraktikkan aliran keagamaan yang berbeda dengan masyarakat Aceh kebanyakan, dan dituduh menganut aliran sesat serta ada yang menganggap Salik Buta. Habib Muda Seunagan adalah seorang mursyid dalam Tarekat Syattariyah, akan tetapi dalam catatan silsilah sejarah yang dimiliki keluarganya, tidak ada nama Syekh Abdurrauf disana. Hal ini mengindentifikasikan bahwa beliau mendapatkan tarekat dari jalur yang berbeda dengan yang dikembangkan Abdurrauf.

8

Hal ini mungkin saja terjadi sebab pada abad-abad setelah Abdurrauf, konflik bergejolak di Aceh, baik internal maupun perebutan kekuasaan di kerajaan atau perlawanan bangsa asing yang mencoba melakukan penjajahan.11 Beberapa referansi dan pembicaraan masyarakat menempatkan ajaran Habib Muda Seunagan dan pengikutnya sebagai kelompok salik buta. Anggapan ini terbentuk karena Habib Muda Seunagan diyakini tidak memiliki guru dalam tarekat. Sementara ia mengakui tarekat syattariyah dan mengembangkannya kepada masyarakat Nagan Raya dan sekitarnya. Sehingga saat ini banyak mengikuti tarekat tersebut. Snouck Hurgronje mengatakan bahwa tarekat abad ke-18 ajaran tasawuf (Tasawuf yang Bid’ah) dipraktikan di daerah Aceh. Ia menambahkan bahwa ajaran tasawuf yang dipraktikan merupakan Eleumee Salek (ilmu Salik) warisan Al-fansuri, seperti yang dikutip pada umumnya dapat dikatakan bahwa unsur-unsur heterodoks (Bid’ah) dalam kepercayaan rakyat kecil berdasakan iktikad baik karena ketidaktahuan dan cepat mengalah karena ajaran ortodoks. Sebelum Habib Muda Seunagan wafat sekitar pada tahun 1970-an, ia sempat memberikan wasiat kepada salah seorang putera nya yang bernama Habib Quraisy untuk meneruskan ajaran Tarekat Syattariyah dalam membimbing umat.12 Sementara itu, Noyruzzaman Shiddiqi menyebutkan aliran salik buta di Aceh yang muncul setelah meninggalnya Abdurrauf al-Singkily sampai pada dipimpin oleh Ibrahim Juluk, di Teupin Raya (Pidie) yang dipimpin oleh Tgk. Teureubeu’Id, dan di Peulukung Jeuram di pimpin Tgk. Mahyuddin (Abu Peulukung atau Habib Muda Seunagan).13 Ajaran tasawuf yang dibentuk oleh Habib Muda Seunagan (Abu Peulukung) merupakan ajaran tasawuf

11Sehat Ihsan Shadiqin, Abu Habib Muda Seunagan Republiken Sejati Dari Aceh,(Banda Aceh: Bandar Publishing, 2015), hlm 92. 12Hasbi Amiruddin, Biografi Ulama Ulama Aceh Abad XX, hlm 102. 13Misri A. Muchsin, Dinamika Tasawuf Di Aceh Pada Abad ke 20, hlm 54- 55 9

yang mendapat dukungan dan pengikut paling sedikit di daerah Nagan Raya, dan keberadaannya ditemukan hingga Abudullah Ujong Rimba meninggal. Ajarannya memiliki beberapa konsep, antara lain: Pertama, berziarah terhadap makam Habib Abdul Rahim (Ayah pemimpin aliran tersebut), peziarah diharuskan mempercayai Habib Abdul Rahim sebagai guru mereka dan melaksanakan upacara pengkeramatan untuk berhubungan dengan Allah. Habib muda Seunagan mengatakan bahwa menziarahi makam yang dianggap suci disamakan dengan melakukan ibadah haji (disebut dengan istilah haji kecil).14 Sehingga banyak pengikut menziarahi makam tersebut pada tanggal 10 (zulhijjah). Hal ini karena setelah menziarahi makam tersebut tidak wajib lagi melakukan ibadah haji (yang memerlukan banyak biaya) dan masyarakat meyakini bahwa Habib Muda Seunagan adalah seorang ulama yang berpengaruh dan diakui pada masa Presiden Soekarno. Alasan penulis memilih judul tersebut adalah karena adanya kesenjangan antara teori yang melandasi eksitensi tarekat Syattariyah dengan realita dilapangan khususnya bagi masyarakat di Kabupaten Nagan Raya. Ketidaksesuaian antara idealitas dan realitas membuat penulis tertarik untuk meneliti apa yang sebenarnya yang jadi masalah bagi masyarakat dan eksitensi tarekat tersebut ditengah masyarakat.

14Misri A. Muchsin, Dinamika Tasawuf, hlm. 174. 10

B. Fokus Penelitian Fokus penelitian adalah aspek-aspek dari subjek penelitian yang menjadi tujuan penelitian, hal ini meliputi: 1. Melakukan penelitian terhadap silsilah tarekat Syattariyyah Abu Habib Muda Seunagan di Nagan Raya. 2. Meneliti terhadap pandangan dan kritik masyarakat terhadap tarekat Syathariyyah Abu Habib Muda Seunagan 3. Membahas apa yang menjadi fenomena terhadap Tarekat Syattariyah Abu Peulukung hingga ke Abu Qudrat Secara Filosifis. 4. Meneliti terhadap aktivitas-aktivitas di dayah dayah tarekat 5. Meneliti Jumlah jamaah di dayah-dayah tarekat Syattariyah C. Rumusan Masalah Berdasarkan dan latar belakang di atas, muncul permasalahan yang akan di teliti dan di amati dalam skripsi ini yaitu bagaimana : 1. Bagaimana silsilah tarekat Syattariyah Abu Qudrat hingga masih tetap eksis sampai saat ini ? 2. Bagaimana pengikut Abu Qudrat merespon tuduhan- tuduhan yang diberikan kepada mereka ? 3. Apa saja aktivitas di Dayah Tarekat dan berapa jumlah jamaah di Dayah tarekat ? D. Tujuan dan Manfaat Penelitian a) Tujuan Penelitian Adapun tujuan penulisan skripsi ini antara lain sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui bagaimana Tarekat Syattariyah Abu Qudrat Abu Qudrat hingga tetap eksis sampai saat ini. 2. Untuk mengetahui apa yang menjadi tuduhan yang diberikan kepada Tarekat Syattariyah Abu Peulukung.

11

b) Manfaat Penelitian 1. Untuk menambah pemahaman baru mengenai bagaimana perkembangan dan eksitensi Tarekat Syattariyyah Abu peuleukung dalam kehidupan Masyarakat di Seunagan, Nagan Raya. 2. Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan didalam mengkaji ilmu keberagamaan Islam lokal terutama bagi mahasiswa Fakultas Ushuluddin khususnya dan mahasiswa UIN Ar-Raniry pada umumnya .

12

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN A. Kajian Pustaka Sepanjang pengetahuan penulis belum ada penelitian yang memiliki kesamaan dengan judul penelitian dan permasalahan yang penulis teliti. Meskipun ada beberapa literature yang membahas tentang Tarekat Syattariyah Habib Muda Seunagan. Berkaitan dengan permasalahan yang diangkat, tentang eksistensi dan silsilah tarekat Syattariyah Abu Habib Muda Seunagan telah di kemukakan beberapa karya yang berkaitan dengan tema diatas yang diantaranya ialah tasawuf yang memiliki peran besar dalam menentukan arah dan dinamika masyarakat. Dari beberapa rujukan buku yang telah dibaca diantaranya karangan

Sehat Ihsan Sadiqin, Habib Muda Seunagan Republiken sejati dari Aceh menjelaskan Habib Muda Seunagan (Abu Peulukung) dan pengikutnya menempatkan semua ajaran tarekatnya pada keyakinan bahwa semua berasal dari cara beramal Rasulullah yang diajarkan kepada Sahabat-sahabatnya yang kemudian sampai pada generasi saat ini. Mereka yakin yang apa yang dilakukan adalah berdasarkan ajaran tarekat Rasulullah. Dalam bahasa lain disebutkan: ”Tarekat Syathariyah” dalam keyakinan para penganutnya, keyakinan yang seyakin-yakinnya yang Alimul Al Yaqin, Ainul al-Yaqin, Haqqul al-Yaqin, dan kamalul Yaqin, ialah yang sebener-benarnya Tharikat Rasulullah Saw. Habib Muda Seunagan juga memiliki pengaruh besar dalam perkembangan agama, sosial, dan politik di Aceh, bahkan pengaruh Habib Muda Seunagan diakui oleh masyarakat setempat, maupun pemerintah. Bahkan Habib Muda Seunagan juga sosok ulama yang sangat

13

berpengaruh di Nagan Raya, dan juga Mursyid dalam tarekat Syathariyyah.16 Misri A.Muchsin, Dinamika Tasawuf di Aceh pada abad ke-20 dalam disertasinya menjelaskan bahwa, Tarekat Syathariyyah yang ada di Nagan Raya termasuk ke dalam kelompok salik buta jika merujuk pada apa yang ditemukan oleh Abdullah Ujong Rimba. Hal ini didasari pada beberapa keyakinan dan ritual yang dilaksanakan oleh pengikut tarekat Syathariyyah yang dianggap tidak sesuai dengan praktik beragama pada umumnya. Misalnya: naik Haji ke Pulo Ie, puasa tumpang, dan beberapa anggapan lainnya. Berdasarkan fakta yang disampaikan oleh Misri dalam disertasinya, juga kurang tepat. Kalau kita melihat lebih dekat, tinggal di Peuleukung, berdiskusi dengan keluarga dan pengikutnya Habib Muda Seunagan, disini menemukan fakta yang berbeda, anggapan bahwa Habib Muda Seunagan melarang Jemaahnya menunaikan ibadah Haji seperti yang ditulis oleh Misri, misalnya, sama sekali tidak tepat. Karena kenyataannya anak cucu, keturunan dan demikian juga dengan pengikutnya melaksanakan ibadah Haji ke Mekkah.17 Saminna Daud, Abu Habib Muda Seunagan Thariqat Syattariyah menjelaskan, Abu Habib Muda Seunagan, seorang ulama mazhab Syafi’i pengikut paham Ahlussunah wal jama’ah, penyebaran Thariqat Syattariyah, sebagai mursyid/guru di Aceh Barat dan Aceh Selatan, bahkan seluruh Aceh yang memiliki murid pada tahun 1971 puluhan ribu orang, beliau telah mencurahkan seluruh hidupnyauntuk Thariqat Syattariyah pada abad ke-20 hingga beliau wafat. Usaha-usahanya dibelakang hari akan diikuti oleh Ulama-ulama tempatan secara berantai tiada putus-putusnya hingga sekarang ini.

16Sehat Ihsan Shadiqin, Abu Habib Muda Seunagan Republiken Sejati Dari Aceh,(Banda Aceh: Bandar Publishing, 2015), hlm 95-96 17Sehat Ihsan Shadiqin, Abu Habib Muda Seunagan Republiken Sejati Dari Aceh, hlm 112. 14

Beliau hidup zuhud, wara dan istigamah, juga disertai dengan pandangan sufi yang teguh dalam menghadapi dan memecahkan masalah, juga berbagai macam persoalan yang telah dihadapinya, Habib Muda Seunagan juga hidup dengan cara disiplin setelah mendapat bimbingan dan intruksi dari seorang Ulama Habib Syaikhuna Muhammad Yasin sebagai guru dan ayah kandungnya sendiri untuk menyebarkan sebuah Thariqat yang terbentuk berkat ispirasi seorang alim dari India Syekh Abdullah as-Syattari.18

Cut Rahma Rizki, Patronase Masyarakat Peulukung (Nagan Raya) Pengikut Habib Muda Seunagan Dalam Menentukan 1 Ramadhan”, dalam Skripsinya membahas Habib Muda Seunagan (Abu Peulukung) sudah sangat terkenal, masyarakat mengenalnya sebagai Ulama yang ikut memimpin perlawanan terhadap penduduk belanda dan jepang pada masa penjajahan.19 namun dalam hal ini, banyak yang beranggapan bahwa tarekat yang dibawa oleh Habib Muda Seunagan merupakan ajaran ulama tertentu, yang diikuti oleh umat secara salah, bahkan disebutkan ulama itu telah menciptakan sendiri tata cara ibadah dan mengajarkan kesesatan. Anggapan ini lahir karena berbeda pandangan dalam memahami agama, namun anggapan itu perlu diluruskan agar pemahaman terhadap pengikut tarekat tidak terdistorsi. Habib Muda Seunagan menjelaskan tarekat merupakan jalan menuju Allah yang diajarkan Rasulullah, ulama, hingga sampai kepada pengikutnya.

18Saminna Daud, Abu Habib Muda Seunagan Thariqat Syattariyah Jakarta: Karya Sukses Sentosa, 2009), hlm 147. 19Cut Rahma Rizki, Patronase Masyarakat Peuleukung (Nagan Raya) Pengikut Abu Habib Muda Seunagan Dalam Menentukan 1 Ramadhan,(Semarang:Skripsi Patronase Masyarakat Peuleukung 2017). hlm 39.

15

Abu Habib Muda Seunagan setelah mempelajari ilmu Syar’i dari ayahnya kemudian beliau mempelajari ilmu tarekat yakni jalan atau petunjuk di dalam melaksanakan suatu ibadah sebagaimana telah dicontohkan Rasulullah dalam melaksanakan suatu ibadah sebagaimana telah dicontohkan Rasulullah SAW. Hasan Basri, Perkembangan Thariqat Syattariyyah Desa Peuleukung Kecamatan Seunagan Timur, Kabupaten Nagan Raya, 1972-2014, dalam Skripsinya menjelaskan tarekat Syattariyah yang terdapat di Desa Peuleukung kecamatan Seunagan timur pada awalnya diperkenalkan oleh Habib Muda Seunagan, perkembangan jumlah pengikut Tarekat Syattariyah di Aceh tidak terlepas dari ajaran tarekat Syattariyah di Desa Peuleukung, ajaran yang pertama dibawa oleh Habib Muda Seunagan ini telah tersebar ke seluruh penjuru Aceh. Pada awalnya pengikut ajaran Tarekat Syattariyah ini hanya berkembang disekitaran kampung kediaman Habib Muda Seunagan saja, yaitu di Peuleukung. Namun, karena banyak menarik perhatian masyarakat, mereka berdatangan ke Desa Peuleukung dan memasuki atau di baiat masuk tarekat ini. Pengikut yang berdatangan ini terutama di dominasi kaum dewasa dan para pelajar yang telah mahir di bidang agama Islam, karena kebanyakan diantara mereka merupakan alumni dayah. Pendalaman terhadap ini ajaran tarekat Syattariyah pada awalnya mereka memperoleh langsung dari mursyid yaitu Habib Muda Seunagan, setelah mereka mahir tentang ajaran dalam tarekat Syattariyah ini, maka pengikut yang kembali ke negeri asalnya banyak mendirikan dan mengajak masyarakat untuk mengikuti ajaran tersebut.20

Sri Mulyani, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonensia. Buku ini menjelaskan awal dan

20Hasan Basri, “Perkembangan Thariqat Syattariyah Di Desa Peulekung Kecamatan Seunagan Timur Kabupaten Nagan Raya, 1972-2014” (dalam Skripsi Unsyiah, 2015), hlm 30-39. 16

berkembangnya tarekat Syattariyah di wilayah Melayu-Indonesia tidak dapat dipisahkan dari masa kembalinya Abdurrauf al-Singkili dari Haramyn pada awal paruh kedua abad ke 17 tepatnya pada tahun 1661 M setelah guru utamanya yang bernama al- Qursyasyi wafat. Sedangkan di Aceh misalnya, Nuruddin Ar-Raniry (w.1068/1658) yang merupakan salah seorang guru utama dalam tarekat Rifa’iyah pernah menjabat sebagai sultan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani (1637-1641) dan awal pemerintahan Sultanah Safiatuddin (1641-1690), demikian hal nya dengan Abdurrauf al-Singkili (1024-1105/1615-1690), yang merupakan khalifah utama tarekat Syattariyah di dunia Melayu- Indonesia, sepanjang karirnya dipercayakan oleh Sultanah Safiatuddin sebagai Qadi Malik al-Adil atau Mufti Kerajaan, yang bertanggung jawab atas segala macam sosial keagamaan. Syeikh Abdurrauf al-Singkili telah mendapatkan thariqah yaitu sebagai pertanda telah lulus dalam pengujian secara suluk. Beliau telah diberikan selendang putih oleh gurunya bahwa beliau telah dilantik sebagai Mursyid tarekat Syattariyyah. Yang berarti beliau boleh pula membai’at orang lain, dan telah di akui bahwa beliau mempunyai silsilah yang bersambung dari gurunya hingga Rasulullah SAW.21 Penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, penulis lebih meneliti terhadap eksistesi dan silsilah tarekat Syattariyah Abu Peuleung atau Habib Muda Seunagan yang berkembang di Nagan Raya, sehingga penulis lebih tertarik meneliti perkembangan tarekat Habib Muda Seunagan hingga eksis sampai pada saat ini. Adapun dari penelitian sebelumnya, dalam penelitian ini penulis juga melihat respon pengikut Habib Muda Seunagan terhadap tuduhan Salik buta. Selain itu peneliti juga melihat berapa jumlah

21Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan tokoh tokoh nya di Nusatara, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1980), hlm 50 17

jamaah tarekat Syattariah, hingga ativitas dayah tarekat Syattariyah.

B. Kerangka Teori Dalam penelitian skripsi ini penulis lebih menggunakan jenis penelitian lapangan (field research), penelitian lapangan yaitu mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan sekarang, dari interaksi suatu sosial, individu, kelompok, lembaga, dan masyarakat.22 Menurut Kenneth D. Bailey pengertian lapangan (field research) merupakan istilah yang sering digunakan bersamaan dengan istilah studi (ethnographic study atau etnography). Disisi lain, penelitian lapangan (field research) yaitu penelitian data dan informasi yang diperoleh dari kegiatan di lapangan, serta yang diamati penulis mengenai eksistensi tarekat syattariyah dengan berhadapan langsung pada masyarakat Desa Peuleukung, dan jamaah tarekat Syattariyah Abu Habib Muda Seunagan. Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi tindakan, dan lain-lain, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Dalam penelitian kualitatif beberapa deskripsi digunakan untuk menemukan prinsip-prinsip dan penjelasan yang mengarah pada penyimpulan. Tujuan utama dalam penelitian kualitatif yaitu, pertama,

22 Husaini Usman dkk, Metodologi Penelitian Sosial.(Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006), hlm.5 18

menggambarkan dan mengungkapkan (to describe and explore) dan kedua, menggambarkan dan menjelaskan (to describe and explain).

Dalam penelitian tersebut, Habib Muda Seunagan juga merupakan mursyid tarekat Syattariyah dan juga sosok ulama yang memiliki pengaruh besar dalam perkembangan agama, sosial, dan politik Aceh. Pengaruh ini diakui oleh masyarakat setempat maupun pemerintah, pengakuan itu diekspresikan dalam banyak bentuk seperti menziarahi makam, mawarisi cerita Habib Muda Seunagan kepada generasi muda, pemberian penghargaan dan penabalan nama jalan. Habib Muda Seunagan atau yang sering disebut dengan Abu Peuleukung ini hidup pada abad ke-19 dan 20, oleh sebab itu banyak yang menjadi saksi tentang kehidupan beliau, banyak orang yang masih ingat bagaimana penampilan Habib Muda Seunagan, cara berjalan, duduk, dan menjalani kehidupannya sehari-hari, dan beberapa diantaranya pernah berinteraksi langsung dengan sang Habib, namun banyak pula yang hanya melihat dari jauh, banyak yang menyebutkan Habib Muda Seunagan adalah sosok pemberani, dan tegas, dibelik keberanian dan ketegasan, Habib Muda Seunagan tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah. Habib Muda Seunagan selalu memberi kenyamanan kepada semua rakyat bersamanya. Pada usia dewasa Habib Muda Seunagan menikah. Sepanjang hidupnya, ia menikah dengan tiga orang istri, mereka dikenal dengan sebutan Mak Bulkis, Mak Balee, dan Mak Blang Ara. Tidak ada yang tahu menganai nama asli mereka. Mak bulkis yang merupakan istri pertamanya melahirkan anak pertama yang bernama Aja Bulkis dan meninggal saat ia masih belia. Dari Mak Balee, Habib Muda Seunagan memiliki beberapa pewaris keturunanya, yaitu Sayed Tuha dan meninggal diusia belia, anak kedua bernama Habib Bustaman. Ia tumbuh sebagai anak cerdas 19

dan alim dalam ilmu agama. Masyarakat dan keluarga lebih mengenalnya dengan nama Abu Quraisy. Abu Habib Quraisy mengantikan Habib Muda Seunagan sebagai mursyid tarekat Syattariyah setelah Habib wafat pada 1972. Habib Quraisy meneruskan kepemimpinan orangtuanya hingga beliau wafat pada 1995 di Desa Lhok Mesjid, kecamatan Seunagan Timur. Setelah lama berkeluarga, beliau tidak memiliki keturunan. Anak ketiga adalah Aja Nih Kalimah. Ia menikah dengan Habib Tjut Banta. Dari pernikahan ini mereka dikaruniai dua orang anak, yaitu Teungku Syahminan Basny, beliau merupakan seorang Ulama lulusan Dayah Darussalam Labuhan Haji yang didirikan oleh Abuya Muda Wali. Anaknya kedua bernama Teungku Mustafa Kamal. Aja Nih Kalimah wafat beberapa tahun setelah kemerdekaan. Pada masa meletusnya DI/TII Habib Tjut Banta menikah lagi dan bergabung dengan . Ia diangkat sebagai komandan Batalyon DI/TII untuk wilayah Aceh Barat. Sementara anak-anaknya dari pernikahan Aja Nih Kalimah diasuh oleh kakek mereka, Habib Muda Seunagan. Keturunan Habib Muda Seunagan semakin berkembang. Banyak diantara mereka tetap tinggal di Nagan Raya, namun banyak pula yang hijrah ke berbgai Provinsi.23 Setalah Abu Habib Muda Seunagan meninggal 14 juli 1972, maka sesuai dengan wasiat almarhum guru mursyid Tarekat Syattariyah dipercayakan kepada anak kandungnya yang tertua yaitu Habib Quraisy di Desa Lhok Mesjid setelah Habib Quraisy meninggal maka digantikan pula oleh Habib Qudrat yang merupakan anak bungsu dari Habib Muda Seunagan. Hingga sampai sekarang tempat-tempat murid Habib Muda Seunagan masih aktif dalam mengembangkan ajaran tarekat Syattariyah ialah kecematan Seunagan Timur, Seunagan, kecamatan Kaway

23Sehat Ihsan Shadiqin, Abu Habib Muda Seunagan Republiken Dari Aceh (Banda Aceh: BandarPublishing, 2015), hlm 25-28. 20

XVI, Kecamatan Darul Makmur dan beberapa kecamatan di Nagan Raya dan Aceh Barat. Adapun cara Baiat dan masuk tarekat Syattariyah di Desa Peuleukung, Kecamatan Seunagan Timur ialah melaui Baiat, kata Baiat dipakai dalam istilah tarekat Syattariyah ialah Barokah. Barokah karena telah berjanji mengikuti jejak guru washiah. Baiat di tarekat tersebut memiliki dua macam, yaitu baiat masuk Tarekat Syattariyah dan Baiat Tojadud artinya memperbaharui baiat. Dalam mengerjakan baiat ada beberapa syarat ialah, niat, suci dari hadas, menutup aurat, orang Islam dan Kifarat ( jenis denda yang wajib dibayar oleh seseorang yang telah melakukan perbuatan tertentu yang telah dilarang Allah SWT). Kifarat tanda seseorang bertaubat kepada Allah SWT. Tujuan seseorang dalam berbaiat tersebut adalah untuk masuk Tarekat Syattariyah dan kemudian bisa memperoleh ilmu Tauhid yaitu Ilmu Syattariyah. Pada pelaksanaan baiat mengambil tempat di mushala, mesjid, ataupun rumah Tanjung sebagai tempat berdomisili mursyid yang membaiat. Ataupun di mushala/ mesjid/ rumah dengan cara mendatangkan mursyid. Habib Muda Seunagan memiliki peran sentral dalam kehidupan sosial politik di Aceh Barat sejak masa kemerdekaan hingga beliau wafat. Pada masa penjajahan Belanda ia menjadi pemimpin kaum muslimin mengangkat senjata melawan musuh. Namun sayangnya, peran dan pengaruh Habib Muda Seunagan tak terdokumentasikan dengan baik. Ia belum berada dalam arus utama ingatan masyarakat Islam di nusantara, alih-alih menjadi bagian sejarah, banyak di antara masyarakat Aceh justru memperoleh informasi keliru mengenai Habib Muda Seunagan. Informasi yang salah ini membuat Habib Muda Seunagan dan pengikutnya dianggap sebagai kelompok sosial yang mempraktikkan aliran keagamaan yang berbeda dengan masyarakat Aceh kebanyakan. Mereka dituduh penganut aliran sesat. Kondisi ini terjadi karena ritual tarekat Syattariyah Habib 21

Muda Seunagan dinilai dari pendekatan fiqh yang sempit. , tradisi, dan budaya yang di amalkan Habib Muda Seunagan dianggap keliru dan bahkan sesat-menyesatkan dan anggapan keliru itu tersebar dari mulut ke mulut radio meu-igoe. Snouck Hurgronje untuk pertama kalinya mencatat tentang Syekh Abdurrauf bin Ali al-Jawi sebagais tokoh kunci tarekat Syattariyah di Aceh khususnya, dan di dunia Melayu- Indonesia pada umumnya. Akan tetapi, kajian mendalam tentang tarekat Syattariyah dikemukakan pertama kali oleh D.A Rinkes (1878- 1954), seorang pegawai pemerintah Belanda yang menulis disertasinya yang berjudul Abdoerraoef van Singkel: Bijdrage to de kennis van de mysiek op Sumatra en Java. Dalam disertasinya ini, Rinkes, antara lain, mengemukakan tentang riwayat hidup Abdurrauf, tentang ajaran martabat tujuh Abdulrrauf, khususnya yang berkembang di Jawa.24 Habib Muda Seunagan yang kerab ditulis dalam narasi sejarah perang Belanda dan Aceh dikenal sebagai Teungku Puteh, yang menjadi aktor intelektual dibelakang layar atas apa yang terjadi dan dialami oleh Kolonel G.F.V. Gosenson saat itu, namun dalam hal ini Prof. Misri A. Muchsin yang memposisikan tarekat Syathariyyah Habib Muda sebagai Salik Buta, dan Selanjutnya Abdullah Ujong Rimba juga mengatakan bahwa ajaran Salik Buta bukan berasal dari ajaran Islam yang sesungguhnya, melainkan berasal dari ajaran agama lain, misalnya ajaran mengenai pengekangan dan kehilangan nafsu. Menurut ajaran Islam (dalam pandangan Abdullah Ujong Rimba), manusia menjadi makhluk istimewa karena memiliki tiga unsur, yaitu unsur nafsu, unsur ruhm dan unsur akal. Nafsu merupakan unsur yang berkeinginan terhadap sesuatu, seperti harta, anak, dan lain-lain. Ruh merupakan unsur yang berhubungan dengan hal-hal ghaib, seperti

24Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau, (Jakarta: Prenada media Group, 2008). hlm 20. 22

Malaikat dan Jin, sedangkan akal merupakan unsur yang berfikir dan menimbang segala sesuatu, baik faedah dan mudharatnya. Dalam hal ini Abu Muda Seunagan juga sebagai kelanjutan dari praktik dan pengembangan ajaran wahdat al-wujud yang di kembangkan oleh al- Fansuri dan al-Sumatrani sebelumnya tarekat ini pada awalnya dibawa masuk ke Aceh oleh ulama Abdurrauf al-Sinkili atau Syiah Kuala. Habib Muda Seunagan dalam buku juga dikisahkan keterlibatan dan kepeloporan beliau dalam mempertahankan keutuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di Aceh. Pada masa pemerintahan yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mr. Ali Sastromidjojo, tepatnya tanggal 21 September 1953, terjadi perlawanan (kecewa) terhadap pemerintah pusat Soekarno yang dipimpin oleh Tengku Muhammad Daud Beureueh muncul karena penyatuan daerah Aceh dengan Tapanuli dan Sumatera Timur menjadi provinsi Sumatera Utara. Tengku Muhammad Daud Beureueh memproklamirkan bahwa Aceh adalah Negara Islam di Aceh yang disebut dengan DI/TII, dan mengangkat senjata melawan pemerintah pusat. Akan tetapi Abdullah Ujong Rimba keluar dari gerakan DI/TII, terlihat kelihatannya terispirasi dan terpengaruh dengan pendapat beberapa ulama kenamaan ketika itu, yaitu Tgk. Muda Wali al- Khalidy, Tgk. Hasan Krueng Kalee, Habib Muda Seunagan, dan lainya menyebutkan DI/TII sebagai buqhah mazmun (pemberontakan tercela). Menurut mereka, pengikut tersebut menyalahi hukum Allah dan Rasul-Nya, sebab mereka dianggap pemberontak pada pemerintah yang sah, dan memberontak pada pemimpin muslim. Meskipun Habib Muda Seunagan dan beberapa ulama lain tidak setuju, namun gerakan DI terus berkembang dan menyusup kedalam masyarakat. Pada awalnya mereka hanya menyerang dan berperang melawan tentara Indonesia, namun lama-kelamaan mereka mulai menganggap masyarakat biasa. Pertama-tama 23

hanya meminta uang untuk “makan minum” namun kemudian meningkat menjadi “Pajak Nanggroe” yang berupa punggutan liar untuk memperkaya diri dan keluarga anggotanya. Kondisi ini sangat memprihatinkan dan mendorong Habib Muda Seunagan menentukan sikap melawan pasukan DI tersebut. Dan Habib Muda Seunagan secara lantang menyatakan Ketidaksetujuannya dengan gerakan Darul Islam (DI) pimpinan Daud Beureu’eh, dan dengan tegas Habib Muda Seunagan mengatakan bahwa pemberontakan kepada pemerintah yang sah hukumnya haram. Sikap Daud Beureueh ini banyak mendapat tentangan dari ulama Aceh sendiri, termasuk diantaranya Abu Habib Muda Seunagan yang pada akhirnya terjadilah perang sesama atau peristiwa berdarah. Habib Muda Seunagan merespon gerakan yang dilakukan Darul Islam (DI) dengan cepat. Menurut Habib Muda Seunagan (Abu Peulukung), Darul Islam telah melakukan kezaliman kepada masyarakat dan kepada negara, banyak masyarakat yang tidak bersalah menjadi korban atas kekerasan yang dilakukan tentara DI. Abu Habib Muda Seunagan dalam rapat umum di desa Peulukung yang dihadiri oleh ribuan pengunjung secara tegas menyatakan menentang terhadap tindakan tersebut. Tidak hanya itu, Abu Habib Muda Seunagan juga memutuskan untuk membentuk sebuah organisasi rakyat yang disebut dengan Organisasi Pagar Desa (OPD) di daerah- daerah yang menjadi basis para pendukungnya dan bersama dengan para pengikutnya, Abu Habib Muda Seunagan akan tetap setia berdiri dibelakang pemerintah Republik Indonesia, sebagai bentuk komitmen terhadap NKRI, Habib Muda Seunagan juga membentuk pasukan tempur yang terdiri dari para pendekar pedang yang selalu siap siaga menjalankan perintah. Sehingga, suatu ketika terjadi perlawanan antara pasukan pro-NKRI pimpinnan Abu Habib Muda Seunagan dengan kelompok yang menentang NKRI. Atas jerih payah dan ketulusan 24

beliau pula akhirnya Abu Habib Muda Seunagan dipanggil ke istana negara oleh Bung Karno. Pertemuan yang akrab dan hangat tersebut laksanakan antara bapak dan anak yang sudah lama tidak berjumpa. Bung Karno sebagai sosok yang lebih muda dan sebagai representasi figur umara meminta nasehat dan masukan kepada Habib Muda Seunagan dalam merumuskan dan mengambil kebijakan,25 terutama yang berkaitan dengan konflik di Aceh. Abu Habib Muda Seunagan menyarankan agar dalam menyelesaikan masalah di Aceh pemerintah pusat lebih menggunakan pendekatan kemanusiawan dan bukan menggunakan cara-cara kekerasan.

C. Definisi Oprasional Definisi Oprasional dimaksudkan untuk menghindari kesalahan pemahaman dan perbedaan penafsiran yang berkaitan dengan Istilah-istilah dalam judul Skripsi. Sesuai dengan judul penelitian yaitu “Eksistensi Dan Silsilah Tarekat Syattariyah Abu Peulukung” Studi Kasus Kecamatan Seunagan Kab Nagan Raya”, maka definisi Opresional yang perlu dijelaskan, yaitu : a). Perbandingan Perbandingan yaitu membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain sehingga dapat melihat kesamaan dan perbedaannya, dalam penelitian skripsi ini dapat diartikan dan membandingkan Rata-rata tingkat pemahaman masyarakat terhadap tarekat Syattariyyah Habib Muda Seunagan di Nagan Raya (awal mucul), dan eksistensi Tarekat Syattariyah Abu Qudrat di Nagan Raya dalam kehidupan masyarakat saat ini.

25Sehat Ihsan Shadiqin, Abu Habib Muda Seunagan Republiken Sejati Dari Asceh, hlm 309. 25

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian Metode penelitian adalah cara atau jalan yang ditempuh sehubungan dengan penelitian yang dilakukan, yang memiliki langkah-langkah yang sistematis. Sugiyono (2014, hlm.6) menyatakan bahwa: “Metode penelitian dapat diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid dengan tujuan dapat ditemukan, dikembangkan, dibuktikan, suatu pengetahuan tertentu sehingga dapat digunakan untuk memahami, memecahkan, dan mengantisipasi masalah”. Dalam penelitian Skripsi menggunakan jenis penelitian lapangan (field research), dengan meneliti lapangan yaitu mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan sekarang, dari interaksi suatu social, individu, kelompok, lembaga, dan masyarakat.28 Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif dan fenomenologis (yang berusaha mengerti dan memahami kejadian/peristiwa dalam situasi tertentu yang nampak),29 guna mengumpulkan data mengenai eksistensi dan Silsilah Tarekat Syatariyyah yang dilakukan oleh Jamaah Abu Peuleukung hingga ke Abu Qudrat. Penelitian ini memiliki langkah-langkah sebagai berikut; a) Melakukan pengumpulan data pada kasus pertama, yaitu Jama’ah tarekat Syattariyah Abu Peleukung dan pengikut Abu Qudrat.

28 Husaini Usman dkk, Metodologi Penelitian Sosial.(Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006), hlm.5 29 Lexi.J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remadja Karya,1989). 26

b) Melakukan pengumpulan data pada kasus kedua, yaitu informasi yang didapatkan melalui profil dan silsilah dari pengikut tarekat Syattariyah Abu peuleukung beserta Abu Qudrat dan kritikan dari masyarakat c) Melakukan Pengumpulan data pada kasus ketiga, yaitu sejauh mana eksistensi tarekat Syattariyah Abu Qudrat dalam lingkungan masyarakat Seunagan. d) Menggabungkan temuan pada langkah pertama, langkah kedua, dan langkah ketiga. e) Melakukan analisis dan mengambil kesimpulan dari analisis tersebut.

1) Lokasi Penelitian Lokasi penelitian tepatnya di kecamatan Seunagan. Adapun pemilihan lokasi ini berdasarkan banyak pengikut Habib Muda Seunagan di lokasi yang telah di tentukan, sehingga penulis meneliti beberapa pengikutnya dengan berhadapan langsung dan mewawancarai pengikutnya secara langsung. Alasan peneliti mengambil lokasi tersebut karena menurut peneliti tempat tersebut sangat cocok untuk ditemukan beberapa pengikutnya yakni di Peulukung, dan di kecamatan Seunagan tepatnya di desa Latong, Desa Blang Baro, dan Alue Thoe sehingga lebih bisa mendapat informasi yang akurat dan falid mengenai hasil penelitian yang di maksud. 2) Subjek Penelitian Subjek penelitian adalah subjek yang oleh peneliti dijadikan sebagai sumber informasi. Dalam hal ini subjek penelitian adalah pengikut Habib Muda Seunagan atau Abu Peulukung hingga pada pengikut Abu Qudrat yang Insya Allah akan penulis temui di beberapa tempat tertentu yakni di Desa Peulukung, ataupun di Kecamatan Seunagan guna untuk mendapatkan data yang valid sebagai pegangan yang kuat, untuk lebih lengkapnya akan peneliti

27

paparkan secara lengkap Dalam Bab ke–IV yang berisi mengenai hasil penelitian dan pembahasan B. Populasi dan Sampel a) Populasi Populasi adalah sekumpulan objek yang menjadi pusat perhatian, yang padanya terkandung informasi yang ingin diketahui. Objek ini disebut dengan satuan analisis, satuan analisis memiliki kesamaan prilaku atau karakteristik yang ingin diteliti. Populasi dalam penelitian Skripsi ini ialah di Kecamatan Seunagan tepat nya di Desa Blang Baro, Desa Latong, Desa Alue Thoe dan Desa Peuleukung. Adapun jumlah kependudukan di kecamatan Seunagan antara lain. 1.1 Gambar Jumlah penduduk kecamatan Seunagan.30

30 Dokumentasi Badan Pusat Statistik Kabupaten Nagan Raya, 2019. 28

b) Sampel Sampel merupakan contoh atau himpunan bagian (Subjek) dari suatu populasi yang dianggap mewakili populasi tersebut sehingga informasi apa pun yang dihasilkan oleh sampel ini bisa dianggap mewakili keseluruhan populasi. Dari sampel tersebut peneliti ingin mewawancarai untuk memperoleh sampel dari penelitian yang sedang penulis teliti diantaranya : 1.1 Table Pimpinan Dayah Tarekat

Jumlah Jamaah Alamat Pimpinan Nama Dayah No Tarekat Laki-Laki Perempuan Nama Desa Pimpinan Dayah

1 Dayah Syaikhuna 150 Orang 150 Orang Cot Danti Tengku Darul Istiqamah Muda Ansari Dayah Aja Nih 2 - 490 Orang Ule Jalan Peunawa Aja Mutia 3 Diperumahan 300 200 Orang Canggai Tgk Jalin

4 Dayah Syaikhuna 20 Orang 10 Orang Blang Mesjid Tgk Zainal Habib Puteh Kila Abidin

5 Langsung Ke 50 Orang 50 Orang Parom Tgk Sakdan Peuleukung

Instrumen penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa angket atau kusioner yang dibuat sendiri oleh peneliti. Sugiyono (2014,hlm.96) menyatakan bahwa “Instrumen penelitian

29

adalah suatu alat pengumpulan data yang digunakan untuk mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati”. Dengan demikian instrumen penelitian yaitu mencari informasi yang lengkap menganai suatu masalah, fenomena alam, maupun sosial. C. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian ialah alat bantu yang digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data penelitian. Pengumpulan data dalam peneitian ini mengunakan metode Wawancara, dokumentasi, dan observasi. a) Kuesioner atau angket Angket atau kuesioner pada umumnya digunakan sebagai instrumen penelitian dengan menggunakan metode kualitatif. Kuisioner bisa terdiri atas dua pertanyaan; pertanyaan yang bersifat terutup dan terbuka. Kuesioner dengan pertanyaan tertutup memberi opsi responden untuk memilih jawaban yang sudah tertulis dalam kuesioner. Pertanyaan terbuka memberi kesempatan pembaca untuk memberi kesempatan pembaca untuk menuliskan jawabannya sendiri. Tidak ada standar baku tentang struktur kuesioner. Namun demikian, kuisioner sedikitnya harus melibatkan pertanyaan tentang identitas dan pertanyaan penelitian.Indentitas responden pada umumnya dicatat adalah, nama, umur, dan variabel lain yang berguna untuk analisis. b) Paduan wawancara Wawancara adalah interaksi bahasa yang berlangsung antara dua orang dalam situasi saling berhadapan dengan tujuan salah seorang di antaranya dapat memperoleh informasi atau ungkapan dari orang yang di wawancarai. Dalam bentuknya yang paling sederhana, wawancara terdiri atas sejumlah pertanyaan yang di persiapkan oleh peneliti dan di ajukan kepada seseorang mengenai topik peneliti secara tatap muka dan peneliti merekam jawabanya sendiri.

30

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan wawancara secara terbuka dan informal. Artinya peneliti tidak membatasi jawaban yang disampaikan oleh informan dan berjalan dalam suasana biasa. Sehingga pertanyaan dan jawaban juga disampaikan seperti pembicaraan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam melakukan wawancara, sebelumnya peneliti telah menyiapkan kerangka garis- garis besar pertanyaan. Garis- garis besar pertanyaan tersebut bertujuan agar segala yang di butuhkan dapat tercakup keseluruhan dan tidak harus di tanyakan secara berurutan. Isi dari garis garis besar pertanyaan yang telah peneliti sipkan sebagaimana ada di dalam rumusan masalah.31 c) Buku catatan dan buku harian Peneliti juga memiliki catatan penelitian atau buku harian untuk menuliskan apa yang menarik dan berhubungan dengan fokus penelitian. Proses penelitian berlangsung dalam kurung waktu tertentu. Pada kurun waktu itu, sering sekali ide atau peristiwa terjadi diluar dugaan atau diluar kendali peneliti. Peneliti mengunakan buku catatan guna untuk mendokumentasikan momentum penting yang kita tidak tahu atau seperti mencatat silsilah sejarah, biografi dan kronologi proses penelitian dari kacamata subjektif. Menentukan kualitas data tidaklah mudah, karena peneliti kadang lupa bagaimana konteks sosial yang terjadi ketika data itu muncul. Pada saat itulah catatan dalam buku bisa membantu peneliti mengingat kembali kontes sosial yang mendasari, dan penulis juga menulis dalam bentuk catatan kaki. d) Dokumentasi Dokumentasi berasal dari asal kata dokumen yang artinya barang-barang tertulis seperti buku, majalah, catatan dan lain- lain yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini. Data yang di

31 Emzir, Metodelogi Penelitian Kualitatif Analisis Data,. hlm. 49-50 31

peroleh dari dokumentasi ini merupakan data sekunder sebagai pelengkap data primer, yang berkaitan dengan tarekat Syattariyah Habib Muda Seunagan. Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal–hal atau variable yang berupa catatan, tramskrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen, agenda, foto dan lain sebagainya.32 Metode dokumentasi di gunakan untuk mengumpulkan data- data tertulis yang mengandung keterangan dan penjelasan serta pemikiran tentang fenomena yang masih actual dan sesuai dengan kajian penelitian. D. Teknik Pengumpulan Data Sumber data dalam penelitian ialah Subjek dari mana data tersebut di peroleh. Adapun data yang di peroleh Meliputi : 1) Data primer Data primer yaitu data yang di peroleh langsung dari sumber yang pertama.33Dan sumber utama adalah pengikut Abu Peulukung yang akan penulis teliti yaitu di Kecamatan Seunagan untuk lebih lengkapnya akan peneliti paparkan secara lengkap Di Bab ke-IV yang berisi mengenai hasil penelitian dan pembahasan. 2) Data Sekunder Data sekunder yaitu data yang di peroleh tidak dari sumber aslinya.Artinya, Data tersebut merupakan data yang di kumpulkan, di olah, disajikan oleh pihak lain.34

32 Lexi.J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remadja Karya, Bandung, 1989), hlm.114. 33 Burhan Ashofa, Metodologi Penelitian Hukum. (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm.9. 34 Amiriddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2004), hlm. 45 32

Adapun data skunder dalam penelitian ini adalah, dalam buku karangan Sehat Ihsan Shadiqin “Abu Habib Muda Seunagan Republiken Sejati Dari Aceh”. Buku karangan Misri A.Muchsin “ Dinamika Aceh Pada Abad ke-20”. Cut Rahma Rizki, dalam skripsinya “Patronase Masyarakat Peulukung (Nagan Raya) Pengikut Habib Muda Seunagan Dalam Menentukan 1 Ramadhan”. Hasan Basri, dalam skripsinya “Perkembangan Tarekat Syattariyah di desa Peulekung Kecamatan Seunagan Timur Kabupaten Nagan Raya”. Buku Karangan Sehat Ihsan Shadiqin “Tasawuf Aceh”. Dalam buku karangan, Oman Fathurahman ”Tarekat Syattariyah Di Minangkabau”. Dalam buku karangan, Saminna Daud, Abu Habib Muda Seunagan Thariqat Syattariyah Pada dasarnya data sekunder merupakan data yang menjelaskan data primer. Data sekunder meliputi dokumen resmi miliki instasi terkait, surat kabar, dan jurnal yang berkaitan dengan pembahasan dalam penelitian ini. E. Teknik Analisis Data Analisis adalah proses yang membawa bagaimana data yang di atur, mengorganisasikan apa yang ada dalam sebuah pola, kategori, dan unit deskripsi dasar. Bogdan dan Biklen mengatakan bahwa analisis data kualitatif adalah upaya yang di lakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah- memilahnya menjadi satuan yang dapat di kelola, mesintesiskanya, mecari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang di pelajari, serta memutuskan apa yang dapat di ceritakan kepada orang lain.disisi lain, menganalisis data yang di dapatkan di berbagai sumber sudah menjadi kewajiban dalam sebuah

33

penelitian. Dengan demikian, hal pertama yang akan peneliti lakukan setelah memperoleh data- data yang di butuhkan adalah melukan pengeditan terhadap data. Pengeditan merupakan proses peneliti kembali terhadap catatan, berkas-berkas, atau informasi yang di kumpulkan oleh peneliti.35Dalam hal ini peneliti melakukan penelitian kembali atas data data yang di peroleh dari lapangan, baik data primer maupun sekunder yang bertujuan untuk mengetahui kelengkapan data dan kejelasan makna serta kesesuainya dengan data yang di perlukan. Sehingga dalam di harapkan kekurangan atau kesalahan data akan di temukan. Setelah melakukan pengeditan, peneliti akan menyusun data- data tersebut untuk kemudian di jadikan dasar utama dalam menganalisis, sehingga pada akhirnya akan di dapat keselarasan data dengan analisis yang di berikan. Setelah data tersusun dengan sistematis, selanjutnya peneliti melakukan analisis terhadap data- data tersebut. Dalam hal ini teknik yang peneliti gunakan adalah analisis deskripsikan. Analisis deskriptif merupakan metode untuk menganalisis data dengan cara memberi gambaran atau mendeskripsikan data yang sudah terkumpul, sehingga peneliti tidak akan memandang bahwa sesuatu itu memang demikian adanya.36 Dengan teknik inilah penulis akan mendeskripsikan bagaimana Eksitensi Dan Silsilah Tarekat Syattariyah Abu Peuleukung (Studi Kasus Kecamatan Seunagan, Kab Nagan Raya). Data yang telah dikumpulkan dengan lengkap di lapangan, selanjutnya diolah dan dianalisis untuk menjawab masalah penelitian. Adapun untuk menjawab masalah penelitian tentu saja data yang di dapat perlu di organisasikan dengan mengunakan analisis deskripsikan kualitatif, dimana deskripsikan merupakan

35 Lexi.J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remadja Karya, Bandung, 1989), hlm.248. 36 Lexi.J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif..hlm.11 34

laporan penelitian yang berisi kutipan- kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut.37 Dan dalam pengolahan data perlu melalui beberapa tahapan untuk menyimpulkan suatu realitas dan fakta dalam menjawab sebuah persoalan. Tahap- tahap pengolahan data di antaranya : 1) Proses Editing Pada proses atau cara ini harus pertama kali di lakukan dengan meneliti kembali catatan informasi yang di peroleh dari data di lapangan untuk mengetahui apakah catatan atau informasi tersebut sudah cukup baik atau belum, dan dapat segera di persiapkan untuk keperluan proses berikutnya. Peneliti mengamati kembali data data yang di peroleh di lapangan melalui wawancara dan catatan di lapangan. Pada saat penelitian kemudian memilah apakah data yang telah ada sudah cukup untuk keperluan analisis atau cukup yang berkaitan dengan penelitian. 2) Classifying Setelah di pilah-pilah antara data dengan yang bukan data maka peneliti memasuki tahap selanjutnya yaitu : classifying dalam metode ini peneliti membaca kembali dan menelaah secara mendalam seluruh data yang di peroleh baik pengamatan, wawancara maupun dokumentasi. Kemudian peneliti membentuk sebuah hipotesa untuk mempermudah dalam mengolah data dan di samping itu, peneliti juga mengelompokkan data-data yang ada sesuai dengan rumusan masalah yang ada. 3) Verifikasi Verifikasi adalah langkah dan kegiatan yang di lakukan peneliti untuk memperoleh data dan informasi dari lapangan dan

37 Lexi.J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif..hlm.6. 35

harus di croscek kembali agar validitasnya dapat di akui oleh pembaca.38 4) Analysing Analisis data adalah proses penyerdehanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah di baca dan di interpestasikan. Analisis data merupan proses yang tidak pernah selesai proses analisis data itu sebenarnya merupakan pekerjaan untuk menemukan tema-tema dan merumuskan suatu jawaban permasalahan dalam penelitian. Dalam metode ini peneliti membuat kesimpulan dari data-data yang di peroleh untuk mempermudah membaca dan memahami data yang sudah di kumpulkan. 5) Concluding Concluding adalah merupakan hasil suatu proses. Pengambilan kesimpulan dari proses penelitian yang menghasilkan suatu jawaban yang menjadi generalisasi yang telah di paparkan di bagian latar belakang. Di dalam metode ini peneliti membuat kesimpulan dari semua data- data yang telah di peroleh dari seua kegiatan penelitian yang sudah di lakukan baik melalui wawancara maupun dokumen.

38Nana Sujana Ahwal Kusuma, Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi. (Bandung: PT. Sinar Baru Alga Sindo, 2000), hlm.85. 36

BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Pengertian Tarekat Dalam ilmu tasawuf dijelaskan bahwa arti Thariqat itu ialah jalan atau petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadah sesuai ajaran yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Dan dikerjakan oleh sahabat-sahabat beliau tabi’in dan tabi’it tabi’in turun temurun sampai masa kini.39 Menurut Dr Abuddin Nata, dari segi bahasa Thariqat berasal dari bahasa Arab, Thariqat artinya jalan, keadaan, aliran dalam sufiah berarti sistem dalam rangka mengadakan latihan jiwa, membersihkan diri dengan sifat-sifat terpuji (tahalli) serta akhirnya memperoleh kenyataan Tuhan (tajalli) semua itu beramal secara continue dengan memperbanyak zikir dengan penuh ikhlas semata- mata untuk mengharap bertemu dan bersatu secara ruhaniah dengan Tuhan. mengatakan: diantara makluk dan Khaliq itu ada perjalanan hidup yang harus ditempuh, inilah yang kita katakan tentang Thariqat.40 Dalam tasawuf disebutkan bahwasanya syariat itu merupakan peraturan, Thariqat merupakan pelaksanaan, hakikat merupakan keadaan, dan makrifat merupakan puncak segalanya. Menurut terminologi, tasawuf merupakan upaya mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan, dengan menggunakan intuisi dan daya emosional spiritual yang dimiliki manusia sehingga benar-benar merasa berada di hadirat Nya. Upaya pencapaian ini dilakukan melalui tahapan-tahapan yang panjang disebut Maqamat dan ahwal.41 Islam datang ke Indonesia melalui transportasi laut

39Saminna Daud, Abu Habib Muda Seunagan Thariqat Syattariyah Jakarta: Karya Sukses Sentosa, 2009), hlm 147. 40Saminna Daud, Abu Habib Muda Seunagan Thariqat Syattariyah, hlm 147 41Lindung Hidayat Siregar, Sejarah Tarekat Dan Dinamika Sosial, (Medan: Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatra Utara, 2019), hlm 171. 37

harus menyusuri pantai Laut merah, negeri Yaman, Hadramaut, Gujarat, Pulau Seylon, mungkin sampai ke Perlak. Dari Perlak menyelusuri Banten, Gersik terus ke timur melalui Mataram (Lombok) ke Maluku, tempat tersebut masing-masing mempunyai peranan dalam perkambangan Islam. Ajaran Islam dibawa oleh Nabi Muhammad yang masa awal dilaksanakan murni, ketika Rasulullah wafat, cara beramal dan beribadah para sahabat dan tabi’in masih tetap memelihara dan membina ajaran Rasul, disebut amalan salaf al-shalih. Pada abad pertama Hijrah mulai ada perbicangan tentang teologi dilanjutkan mulai ada formulasi Syariah. Abad kedua Hijriyah mulai muncul tasawuf. Tasawuf terus berkembang dan meluas dan mulai terkena pengaruh luar, salah satu pengaruh luar adalah Filsafat, baik filsafat Yunani, India, maupun Persia. Muncullah sesudah abad ke-2 Hijriyah golongan sufi yang mengamalkan amalan-amalan dengan tujuan kesucian jiwa untuk tabarrub kepada Allah. Para sufi kemudian membedakan pengertian-pengertian syariat, thariqat, haqiqat, dan makrifat. Menurut syariah amalan-amalan itu untuk memperbaiki amalan- amalan lahir, thariqat untuk membersihkan amalan-amalan batin (hati), haqiqat untuk mengamalkan segala rahasia yang gaib, sedangkan makrifat adalah tujuan akhir yaitu mengenal hakikat Allah baik zat, sifat, maupun perbuatan_Nya. Orang orang yang telah sampai ke tingkat makrifat dinamakan wali. Kemampuan luar biasa yang dimiliknya disebut karamat atau supranatural, sehingga dapat terjadi pada dirinya hal-hal luar biasa yang tidak bisa dijangkau oleh akal, baik dimasa hidup maupun sesudah meninggal. Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani (471-561/1078-1168) menurut pandangan sufi adalah wali tertinggi disebut quthub al auliy (wali qurthub).42 Pada abad ke-5 Hijriyah atau pada abad ke-13 Masehi barulah muncul terekat sebagai kelanjutan kegiatan kaum sufi sebelumnya.

42Sri Mulyati Mengenal Dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia, (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2011), hlm 6. 38

Hal ini ditandai dengan silsilah tarekat selalu dihubungkan dengan nama pendiri atau tokoh-tokoh sufi yang lahir pada abad itu. Setiap tarekat mempunyai Syaikh, kaifiyah Dzikir dan upacara-upacara ritual masing-masing. Biasanya syeikh atau mursyid mengajar murid-muridnya di asrama latihan rohani yang dinamakan rumah suluk atau ribath. Muncul tarekat Qadariyah yang dikembangkan oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani di Asia Tengah tempat kelahiran dan oprasionalnya, kemudian berkembang di Baghdad, Irak, Turki, Arab Saudi sampai ke Indonesia, Malasyia, Singapura, Thailand, India, Thiongkok, tarekat terus berkembang pesat sampai ke berbagai wilayah.43

1) Tarekat Syattariyyah a) Sejarah Tarekat Syattariyyah Syekh Abdullah asy-Syattari pendiri tarekat Syattariyah seorang tasawuf terkenal di India yang wafat 1415 M. Beliau adalah seorang wara’ dan saleh, banyak berijtihad dalam urusan ibadah dan tarekat terkenal di India, sebagai yang sangat alim dan arif, berkelakuan baik, mempunyai sifat-sifat yang mulia. Beliau sebagai seorang sufi yang ajaran-ajarannya atau dasar pemikiranya mendapat respon positif dari masyarakat setempat, sehingga keberhasilannya demikian cepat dan mengagumkan. Disiplin dan ritus yang diajarkan terkristalkan dalam sebuah Thariqat yang dinamakan dengan namanya sendiri yaitu “Thariqat Syattariyah” Syekh Abdulllah as-Syattari menetap di Mandu, sebuah desa di India bagian Tengah, tempat ia mendirikan khalaqah pertama bagi penganut tarekat Syattariyah. Ibrahim al-Kurani termaksuk salah satu Mursyid yang diberi ijazah oleh Syekh Abdullah Syattari. Sejarah hidup Ibrahim al-Kurani dipenuhi dengan pengabdian, karya, dan pencerahan Rohani untuk sesama. Ia juga seorang sufi yang rendah hati dan sangat konsisten dalam beramal, hampir lima

43Sri Mulyati Mengenai Dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah, hlm 7 39

puluh buku hasil karya nya merupakan rujukan utama dalam dunia Tasawuf. Ibrahim al-Kurani hidup pada tahun 1614 M, sampai dengan 1690 M ia merupakan murid al-Qusyasyi. Meski al-Qusyasyi sebagai syekh tarekat Syattariyah, ia berintima’ (afilias) dengan hampir sebahagian tarekat yang ada. Ibrahim al-Kurani memapankan karirnya di Madinah setelah mengembara menuntut ilmu di berbegai daerah di Timur tengah, ia adalah ulama yang mempunyai hubungan yang sangat luas, bukan hanya dari segi jumlah muridnya, tapi juga karena karyanya yang sudah sangat dikenal luas. Ibrahim al-Kurani juga dikenal sebagai reformis (mujaddid) abad ke-17. Nama beliau paling berpengaruh dalam penyebaran tarekat Syattariyah diwilayah melayu-Indonesia melalui perantara muridnya Syekh Abdurrauf bin Ali Fansuri al- Singkili. Tarekat ini kemudian menyebar luas keseluruh wilayah di melayu dan Indonesia.Sebagai sebuah gerakan ekspansi keagamaan Tarekat Syattariyah pada periode ini lebih diarahkan kepada perjuangan untuk meningkatkan nilai moral dan spiritual melalui penyebaran berbagai ajaran Islam. Dan dalam upayanya ini, Syaikh Abd Allah al-Syattar berserta para pengikutnya mengembangkan kecenderungan untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan tradisi dan ritual masyarakat setempat yang masih banyak dipengaruhi ajaran atau ritual hindu.44 Memang, satu sisi sikap akomonatif para jamaah tarekat Syattariyah ini seperti lebih mudah menarik perhatian nonmuslim untuk memeluk ajaran Islam, dan bahkan dianggap sebagai kunci sukses perkembangan ajaran tarekat. Akan tetapi, disisi lain, hal ini juga mengakibatkan banyaknya konsep-konsep tasawuf dan ritual tarekat yang bersifa sinkretis serta memiliki persamaan dengan konsep ritual Hindu. Syaikh Abd Allah al-Syattar sebagai pendiri tarekat Syattariyyah menetap di Mandu, sebuah Desa di India bagian tengah, dimana ia mendirikan khanaqah pertama bagi

44 Saminna Daud, Abu Habib Muda Seunagan Thariqat Syattariyah, hlm 187. 40

pengikut terekat Syattariyyah. Ia diketahui menulis kitab berjudul Lata’il al-Ghaibiyyah, tentang prinsip-prinsip dasar ajaran tarekat Syattariyyah, yang disebutkan sebagai cara tercepat untuk mencapai tingkat makrifat. Karya ini kemudian disempurnakan oleh dua murid utamanya, Syaikh Muhammad A’la, yang dikenal sebagai Syaikh Qadi Bengal (Qazam Syattariyah), dan murid Syah Hafid Jawnpur. Yang terakhir disebut tercatat sebagai murid Syah Abd Allah yang berjasa mengembangkan Tarekat Syattariyyah di India bagian Utara melalui muridnya, Syaikh Budhdhan. Belakangan, murid spritual dari Syaikh Budhdha ini, yakni Syaikh Baha al-Din, dan pernah menulis kitab dengan judul Risalah Syattariyyah, yang juga berisi tentang prinsip-prinsip ajaran tarekat Syattariyyah.45 b) Tarekat Syattariyah di Nusantara Jaringan Arab dengan wilayah Melayu-Nusantara telah terjalin sejak lama dalam berbagai situasi dan aspek, baik agama, budaya, dan kultural. Tokoh utama Ahmad al-Qursyasyi dan Ibrahim al- kurani (1670-1733) merupakan jaringan terpenting antara ulama Haramain dengan Ulama Aceh dan Melayu- Nusantara. Ibrahim al kuani menulis sendiri resoin atas pertanyaan kitab al- Tuhfat al- Marsalah ila Ruh al-Nabi. Kitab ini ditulis sebagai respon atas pertanyaan sahabat al-Jawiyah (ashhab al-Jawi) merupakan penjelasan terhadap kitab al-Tuhfat al-Mursalah ila Ruh-Nabi, karangan Muhammad ibn Fadhullah al-Burhanpuri, yang menadi pembahasan hangat periode tersebut tidak hanya di Hijaz, Syiria, India, tetapi juga Nusantara. Keterlibatan Ulama asal India dalam jaringan jelas membantu perluasan jaringan ulama Melayu Nusantara, termaksuk Aceh dan Fathani. Lebih penting lagi keberadaan mereka memperluas ranah pengaruh tarekat, khususnya tarekat besar seperti Syattariyah, Qadariyah, dan Naqsyabandiyah,

45Sri Mulyati, Mengenai Dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah, hlm 154-155. 41

yang sebelumnya terutama diasosiasikan sebagai tasawuf anak Benua di India. Penting dicatat bahwa dalam silsilah tarekat Syattariyyah yang berkembang, khususnya di dunia Melayu-Indonesia, nama dua murid Syekh Abd Allah al-Syattar yang disebutkan diatas, yakni Syaikh Bengal dan Syaikh Hafi Jamnpur, tidak dijumpai. Nama yang menempati posisi sebagai khalifah Tarekat Syattariyyah setelah Syakh Abd Allah adalah Imam Qadhi al-Syaththari, Syaikh Hidayat Allah al-Sarmasti, Syaikh Haji Hudhuri, dan Syaikh Muhammad Guts. Diantara nama-nama tersebut, Syaikh Muhammad Guts (w970 H/1563 M) merupakan khalifah tarekat Syattariyyah yang peling berhasil memapankan doktrin dan ajaran tarekat Syattariyyah melalui berbagai karangannya. Ia menulis sejumlah kitab yang berisi pokok ajaran tarekat Syattariyyah, antara lain ialah: Jawahir al-Khamsah, kilid Makhzan, Dama’ir Basayir, dan Kanz al-Tauhid. Akan tetapi, penting dicatat bahwa diantara kitab-kitab tentang Syattariyyah yang muncul di India ini, hanya Jawahir al- Khamsah yang tersosialisasi kepada para Ulama tarekat Syattariyah generasi berikutnya, dan dapat dipastikan bahwa kitab ini memuat sejumlah doktrin dan rumusan penting berkitan dengan tarekat Syattariyyah pada periode awal pertumbuhannya di India. Sayangnya, sejauh ini kitab tersebut tidak diketahui keberadaannya, hingga pengetahuan atas berbagai kandungan isinya hanya dapat diketahui melalui sumber-sumber lain yang mengutip kitab bersebut. Diantara kitab yang memberikan informasi beharga yang berkaitan dengan doktrin dan ajaran tarekat Syattariyyah dalam kitab Jawahir al-khamsah adalah Tanbih al-Masyi karangan Syekh Abdurrauf al-Sinkili. Dalam kitab ditulis dalam bahasa Arab ini, Abdurrauf al-Singkili setidaknya empat kali menyebut dan merujuk secara eksplisit kitab Jawahir al-Khamsah. Selain untuk mengemukakan rumusan ajaran tarekat Syattariyyah yang tidak dijumpainya dalam kitab-kitab karangan dua guru utamanya, al-

42

Qusyasyi dan al-Kurani, biasanya al-singkili menguktip Jawahir al-khamsah untuk melengkapi menjelaskan yang ia kemukakan, dan berasal dari dua gurunya. Salah satu ajaran tarekat syattariyah yang dikutip Abdurrauf al- Singkili dari Jawahir al-khamsah, dan tidak pernah dijumpai dalam kitab-kitab karangan al-Qusyasyi dan al-kurani adalah berkaitan dengan apa yang disebut sebagai al-Asyqhal al-Syaththari (amalan- amalan kaum Syattariyyah, yakni berbagai amalan yang secara khusus harus dilakukan oleh para pengikut tarekat Syattariyyah. Dalam Tanbih al-Masy, amalan- amalan tersebut dikemukakan dalam bentuk rumusan-rumusan atau kode-kode rahasia yang hanya dapat diketahui oleh para guru (Syaikh). menyebutkan, paling tidak ada empat muridnya yang sangat berpengaruh di Nusantara, terutama dengan aktivitas keilmuan yang telah diabadikan kepada masyarakat dengan penuh kesadaran. Keempat murid Abdurrauf al-Singkili tersebut adalah Burhanudin al-Din yang dikenal dengan Tuanku Ulakan (1056- 1104/1646-1692), Abdu al-Muhyi (asal Jawa Barat), Abdu al- Malik bin’ Abdu Allah (1089-1149/1678-1736), dan Dawud al- Jawi al-Fansuri bin Isma’il bin Agha mustafa bin Agha’ Ali al- Rumi (dikenal Teungku Chik di Leupeu) dan keseluruh wilayah Melayu-Nusantara, dianntaranya Burhanuddin Ulakan (w.1699 M). Dari Pariaman, Sumatera Barat, Abdul Muhyi (W.1738 M) dari Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat, Yusuf al-Makassari (w.1999 M) dari Sulawesi, dan Syekh Abdul Malik Abdullah atau Tok Pulau Manis (1678-1736. Di Aceh, jalur Abdurrauf bukanlah satu-satunya penghubungan tarekat Syattariyah dari dunia Islam (Mekah dan Madinah) ke dunia Melayu-Nusantara. Beberapa kolekasi Tanoh Abee menyebutkan murid-murid tarekat Syattariyah disana tanpa melalui jalur Abdurrauf al-Fansuri. Sebagaimana yang disebutkan oleh Oman Fathurahman dan Fakhriati dalam penelitian yang berbeda, bahwa silsilah Syattariyyah Tanoh Abee melalui jalur berbeda dengan Abdurrauf al-Fansuri, “Dari Abu Dahlan diterima daripada

43

Teungku Abdul Wahab (Abu Seulimum Tanoh Abee), ia mengambil daripada Muhammad As’ad, ia mengambil daripada Muhammad Sa’id bin Tahir...” dan seterusnya hingga ke Ali bin Abi Thalib.

c) Tarekat Syattariyyah di Aceh Tarekat Syattariyah merupakan tarekat yang paling populer di Aceh tarutama pada masa kerajaan Islam Aceh Darussalam di bawah pimpinan Ratu/Sultanah. Dibeberapa wilayah tertentu, tarekat menjadi fenomena istana ketika para pengikut dan sebagian guru tarekatnya menjadi bagian dari keluarga atau menjadi penjabat istana. Salah satunya tarekat Syattariyah memiliki nilai sejarah tersendiri di Aceh dan Melayu. Sejak kehadiranya dari Jazirah Arab, tokoh utama penyebaran ini sombol jaringan intelektual di seluruh tanah Melayu dan Nusantara (Indonesia). Di Aceh tarekat Syattariyah masuk dan berkembang hampir bersamaan dengan atau setelah tarekat Qadariyah. Sejauh ini, Abdurrauf al-Fansuri memiliki jaringan luas di Nusantara, dan dapat dipastikam untuk pertama penyebar tarekat ini. Dengan pengalamannya selama 19 tahun di Jazirah Arab dan “berguru Syattariyah” kepada Syekh Ahmad al-Qushashi dan Syekh Ibrahim al-Kurani hingga dipercayakan untuk mengembangkan ajaran tarekar di Melayu-Nusantara. Ia mampu mengorbitkan ulama- ulama dalam tarekat Syattariyah di Aceh seperti Baba Dawuf al- Jawi-al-Rumi bin Ismail bin Agha Mustafa bin Agha Ali al-Rumi (dikenal Teungku Chik di Leupeu), dan keseluruh wilayah Melayu- Nusantara diantaranya Burhanuddin Ulakan (w1699 M). Abdurrauf bukanlah salah-satunya penghubung tarekat Syattariyah dari dunia Islam (Mekah dan Madinah) ke dunia Melayu-Nusantara.Beberapa naskah koleksi Tanoh Abe menyebutkan murid-murid tarekat Syattariyah disana tanpa jalur Abdurrauf al-Fansuri. Sebagaimana disebutkan Oman Fathurahman dan Fakhriati dalam penelitian yang berbeda, bahwa silsilah Syattariyah Tanoh Abee melalui jalur berbeda dengan Abdurrauf al-Fansuri, “dari Abu Dahlan diterima daripada Teungku Abdul Wahab (Abu Seulimum Tanoh Abee), ia 44

mengambil daripada Muhammad As’ad, ia mengambil daripada Muhammad Sa’ad bin Tahir...,” dan seterusnya hingga Ali bin Abi Thalib. Nuruddin Ar-Raniry (w.1068/1658) yang merupakan salah seorang guru utama dalam tarekat Rifa’iyah pernah menjabat sebagai sultan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani (1637-1641) dan awal pemerintahan Sultanah Safiatuddin (1641- 1690), demikian hal nya dengan Abdurrauf al-Singkili (1024- 1105/1615-1690), yang merupakan khalifah utama tarekat Syattariyah di dunia Melayu-Indonesia, disepanjang karirnya Abdurrauf al-Singkili dipercayakan oleh Sultanah Safiatuddin sebagai Qadi Malik al-Adil atau Mufti Kerajaan, yang bertanggung jawab atas segala macam sosial keagamaan. Adapun Syeikh Abdurrauf al-Singkili, ia telah mendapatkan thariqah yaitu sebagai pertanda telah lulus dalam pengujian secara suluk. Abdurrauf al-Singkili telah diberikan selendang putih oleh gurunya bahwa Abdurauf al-Singkili telah dilantik sebagai Mursyid tarekat Syattariyyah. Yang berarti al-Singkili boleh pula membai’at orang lain, dan telah diakui bahwa Abdurauf al-Singkili mempunyai silsilah yang bersambung dari gurunya hingga Rasulullah SAW.46 Syaikh Abdurrauf banyak mendapatkan muridnya yang diantaranya yang aktif memperkenalkan tarekat syattariyah ialah Syaikh Burhanudin Ulakan. Sebagai bukti tarekat Syattariyah pernah mendapat tempat yang utama, Prof. Dr. Hamka menulis dalam buku diantaranya Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao bahwa zaman perjuangan fisik (1945-1948). Tarekat Syattariyah yang merupakan salah satu jenis tarekat terpenting dalam proses Islamisasi di dunia melayu indonesia, sejauh ini di ketahui bahwa penyebarannya berpusat pada satu tokoh utama yakni Abdurrauf al- Singkili di Aceh, Abdurrrauf al-Singkili sempat menerima ba’iat Tarekat Syattariyah disamping ilmu-ilmu sufi yang lain, termaksud

46Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan tokoh tokoh nya di Nusatara, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1980), hlm 50 45

sekte dan bidang ruang lingkup ilmu pengetahuan yang menghubungkan dengannya. Abdurrauf al-Singkili ialah Ulama Aceh yang berupaya “mendamaikan” ajaran martabat alam tujuh yang dikenal di Aceh sebagai paham Wahdatul Wujud atau Wujudiyyah (pantheisme) dengan paham Sunnah. Meskipun begitu Abdurrauf al-Singkili tetap menolak paham Wujudiyyah yang menganggap adanya penyatuan antara Tuhan dengan hamba. Ajaran seperti inilah yang kemudian di bawa oleh muridnya, Syaikh Abd Muhyi Pamijahan ke Jawa. Menurut Hasyimi, sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, ayah al-Singkili berasal dari Persia yang datang ke Samudra Pasai pada akhir abad ke-13 dan kemudian menetap di Fansur, Barus, sebuah kota pelabuhan tua dipantai Barat Sumater.47 Pendidikannya dimulai ayahnya di Simpang Kanan (Singkil). Melalui ayahnya, ia belajar ilmu-ilmu agama, sejarah, bahasa Arab, mantiq, filsfat, sastra Arab/Melayu dan persia.48 Pendidikannya kemudian dilanjutkan ke Samudra Pasai dan belajar di Dayah Tinggi syaikh Samsudin al-Din al-Sumatrani, dan selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Arabia. Ketika di Arabia, Syaikh Abdurrauf memperoleh pendidikan kesufian dari dua guru terkemuka, yaitu seorang ulama besar sufi Mekah Syaikh Shafiuddin Ahmad al-Dajjani al-Qusyasyi (1583-1660) dan seorang Ulama asal Madinah Syaikh Ibrahim al-Kurani (1616-1689). Dua tokoh ini menempati posisi penting dalam jaringan-jaringan Ulama di Dunia Islam. Tokoh utama terekat Syattariyah periode selanjutnya adalah Muhammad Khatib Langien. 1) Syekh Muhammad Khatib Langgien Syekh Muhammad Khatib Langien, atau Teungku Khatib Langgien adalah cendekiawan terkemuka di Aceh pada Abad ke- 19, ia lahir dan berasal dari gampong Langien, suatu daerah yang

47Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur tengah dan kepulauan Nusantara Abad ke XVII Dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1995), hlm 190. 48Azumardi Azra, Jaringan Ulama Timur tengah dan kepulauan Nusantara Abad ke XVII Dan XVIII,hlm 190. 46

terletak di wilayah Bandar Baru Kecamatan Lueng Putu, Pidie. Orang tuanya juga seorang Ulama besar di Pidie bernama Ahmad Khatib, atau juga dikenal Teungku Malem Pahlawan, yang masih memiliki keturunan dengan Teungku Faqih Jalaluddin. Karya- karya Syekh Khatib Langgien menunjukkan perkembangan keilmuan yang beragam dalam tradisi tarekat itu sendiri, dari mulai proses hingga aktiftas didalamnya. Teungku Khatib Langgien memiliki garis leluhur dijalur Ulama tarekat Syattariyah, yaitu Faqih Jalaluddin yang hidup pada Abad ke-18 M pada masa kerajaan Alauddin Syah Johan (1742-1767). Teungku Khatib Langgien memiliki dua istri yang ditempatkan di Tiro (Kabupaten Pidie) dan di Panteraja (Kabupaten Pidie Jaya). Teungku Khatib Langgien mengembangkan karirnya sebagai seorang ulama di Simpang, kabupaten Pidie. Adanya sifat iri dari Ulama lain, Teungku Khatib Langgien kemudia diusir oleh mereka hingga ia berpindah ke Meunasah Kruet Teumpeun. Disana ia kembali mengajarkan umatnya dan menulis berbagai karya sampai ia wafat dan dikuburkan disana. Kuburannya dan rumah aslinya masih dipelihara oleh keturunannya, Teungku Amiruddin Hasan, sampai saat ini. Menurut Wan Shaghir, Muhammad Khatib Langgien adalah generasi penyebar tarekat setelah Syekh Daud bin’ Abdullah al- Fathani, karena guru Muhammad Khatib Langien bernama Syekh Muhammad Ali adalah sahabat Syekh Muhammad As’ad. Apabila disesuaikan dengan tahun meninggalnya Daud bin Abdullah at- Fathani di Taif sekitar tahun 162 H (1848 M). Maka, Muhammad Khatib Langgien dapat dipastikan berkiprah di Aceh pada pertengahan abad ke-19 M, dan aktif di Dawa’al al- Qulub min al-Qhusyub.49 Silsilah keturunan beliau dalam tatanan Syattariyyah dapat ditelusuri kembali melalui Muhammad Ali Atau Tengku Muhammad Ali Pulo (kira-kira setelah 1870), ia

49Oman Fathurahman, Shattariyah Silsilah, in Aceh, Java, and the Lanao Area of Mindanao, (Tokyo: Research Institute for Laguanges and Cultural of Asia and Africa (ILCAA), 2016), hlm 30. 47

merupakan cendekiawan Aceh terkemuka dari Pulo Sueb, Lueng Putu, Pidie. Periode tersebut dapat diperkirakan berkisar pada masa Sultan Muhammad Syah (1824-1838), dan Sultan Alauddin Sulaiman Syah (1836-1857 M). Apabila merujuk kepada peninggalan naskah-naskah karyanya Muhammad Khatib Lagien, seperti yang disebutkan oleh Syekh Isma’il Abd al-Mutallib al-Asyi dalam kitab Jam’u al-Jawami al-Mushanafat pada bab teks Dawa’ al-Qulub min-Uyub, yang didapatkan tahun penyusunan bukan penulisan sebagaimana disebutkan oleh Shaghir pada Sabtu, Rabi’ul al-Akhir 1237 H (Desember 1821- Januari 1822 M) periode tersebut merupakan jaringan antara ulama Aceh dengan Ulama Melayu-Nusantara. Hal ini menujukkan bahwa Muhammad Khatib Langien telah mengarang kitab ini sebelum tahun tersebut, yang karya kemudian disadur delam kumpulan karangan Ulama Aceh.50 Syaikh Isma’il Abd al-Mutallib al-Asyi yang berada di Haramain telah menghubungkan jaringan Ulama Langien dengan Koetaradja (Aceh) dan Haramain dalam kontruksi pemikiran intelektual keagamaan. Silsilah keturunan beliau dalam tarekat Syattariyyah di Aceh dapat ditelusuri kembali melalui Muhammad Ali atau Tengku Muhammad Ali Pulo (pada tahun 1870), yang merupakan cendikiawan Aceh terkemuka dari Puloe Sueb, Lueng Putu, Pidie, dengan dua karangan karya sufi, Siraj al -Din dan Ra’as al-Din. Teungku muhammad Ali Puloe menerima ijazah tarekat Syattariyyah nya dari Muhammad As’ad, dimulai dari muhammad Said. Tokoh utama tarekat Syattariyah di Nusantara ini sangat produktif menulis di hampir selruruh aspek ilmu, yang sebagiannya masih menjadi rujuan bagi muslim di wilayah Melayu- Nusantara. Salah satunya kitab Mir’at at-Thullab fi Tahsil Ma’rifat Ahkam as- Syara’iyah lil Maliki-al Wahhab (Mir’at at-Thullab) dan Mawa’id

50 Oman Fathurahman, Shattariyah Silsilah, in Aceh, Java, and the Lanao Area of Mindanao, hlm 30-31 48

al-Badi’ah. Berikut ini adalah teks lengkap dari silsilah Tarekat Syattariyah Muhammad Khatib Langien : Telah mengambil talqin dan baiat daripada sekalian syekh yang besar-besar yang mempunyai kitab ini daripada fakir dan hina dunya dan yang menyusunkan kitab ini’ yaitu yang terlebih sempurna dalam segala aib-aib, dan yang senantiasa karam dalam lautan sebut namanya Muhammad Khatib Langgien Ia mengambil daripada Shaykh Muhammad Ali Ia mengambil daripada Shaykh Muhammad As’ad Ia mengambil daripada Shaykh Muhammad Sa’id Ia mengambil daripada Shaykh Ibrahim Ia mengambil daripada Shaykh Muhammad Tahir Ia mengambil daripada Shaykh Mula Ibrahim Ia mengambil daripada Ahmad al-Qushashi Ia mengambil daripada Shaykh Ahmad Shanawi Ia mengambil daripada Shaykh Sibghatullah Ia mengambil daripada Shaykh Wajih al-Din Ia mengambil daripada Muhammad al-Gawath Ia mengambil daripada Shaykh Huduri Ia mengambil daripada Shaykh Hidayatullah Ia mengambil daripada Shaykh Qadin Ia mengambil daripada Shaykh Abdullah Shattari Ia mengambil daripada Muhammad ‘Arif Ia mengambil daripada Shaykh Muhammad ‘Ashiq Ia mengambil daripada Shaykh Khudaqili Ia mengambil daripada Shaykh Abi al-Hasan Ia mengambil daripada Shaykh Abi al-Muzaffar Ia mengambil daripada Shaykh Abi Yazid Ia mengambil daripada Shaykh Muhammad Magribi Ia mengambil daripada Shaykh Abi Yazid Ia mengambil daripada Imam Muhammad Baqir Ia mengambil daripada Shaykh Imam Zayn al-Abidin Ia mengambil daripada Husayn Ia mengambil daripada Sayyidina rayadiyallahu ‘anhu

49

Ia mengambil daripada Nabi Muhammad sallallahu ‘alayh wa-sallama wa- al-salat wa-al-salam segala rahmat atas Nabi akhir zaman. 51 Hermansyah yang menulis mengenai manuskrip ini menjekasakan bahwa dalam menerapkan ajarannya, Muhammad Khatib Langgien memiliki perbedaan tata cara praktik terekat dengan tata cara Abd al-Rauf al-Fansuri yang hadir sebelum di Aceh. Selain ajaran yang bersifat amaliyah, Muhammad Khatib Langgien juga menerapkan pengunaan simbol-simbol kedaerahan, seperti memakai kopiah dan serban, dalam proses baiat. Sikap tersebut berfungsi untuk menjawab budaya asing lahir, dan sekaligus menujukkan indentitas tarekat Syattariyah dalam simbol- simbol tertentu pada setiap murid. Melalui ajaran-ajarannya, Muhammad Khatib Langgien membuktikan bahwa ajarannya dapat diterima oleh semua kalangan dan golongan tanpa harus mengadaptakan dukungan dari penguasa pada saat itu.52 Relasi antara Habib Muda Seunagan dengan jelas nampak dilihat dalam silsilah tarekat Syattariyah yang dikembangkannya. Dalam beberapa literatur yang mereka publikasi silsilah tarekat Syattariyah di Nagan Raya bisa kita baca bahwa tarekat ini dimulai dari Rasulullah Muhammad SAW yang diberikan kepada Sayyidina Ali, diberikan kepada Imam Zainal Abidin, diberikan kepada Imam Muhammad Baqir, diberikan kepada Syekh Imam Jakfar, diberikan kepada Syaikh Muhammad Maqribi, dan diberikan kepada Syaikh Abi Yazid al-Bustami, diberikan kepada Syaikh Abi Muzafar diberikan kepada Syaikh Abi Hasan diberikan kepada Syaikh Khadafi diberikan kepada Syaikh Muhammad Asyiq diberikan kepada Syaikh Muhammad Arif diberikan kepada Syaikh Abdullah Syatari diberikan kepada Syaikh Qadhi, diberikan kepada Syaikh Hidayatullah, diberikan kepada Syaikh Hadhuwar,

51Oman Fathurahman, Shattariyyah Silsilah, in Aceh, Java, and the Lanao Area of Mindanao, hlm 32-33 52Hermansyah, “Mi’raj al-Salikin ila Martabat al-Wasilin bi Jah Sayyid al- Arifin: Baqa al-tariqah al-Shatariyah fi Aceh fatrat al-isti’mar dalam Studi Islamika, Vol 20. No 3, 2013 50

diberikan kepada Syaikh Muhammad Qusya, diberikan kepada Syaikh Wajidin, diberikan kepada Syaikh Shifatullah, diberikan kepada Syaikh Ahmad Tsanawi, diberikan kepada Syaikh Ahmad Qusyasyi, diberikan kepada Syaikh Muhammad Thamiri, diberikan kepada Syaikh Ibrahim, diberikan kepada Syaikh Muhammad Sa’ir, diberikan kepada Syaikh Muhammad Suud, diberikan kepada Syaikh Muhammad Ali, diberikan kepada Syaikh Muhammad Langien, diberikan kepada Habib Abdulrahim Qutubul Wujud, diberikan kepada anaknya Habib Syaikhuna Muhammad Yasin, diberikan kepada Abu Habib Muda Seunagan, diberikan kepada anaknya Habib Quraish, diberikan kepada adiknya Habib Qudrat. Syaikhuna Muhammad Yasin merupakan sebagai guru dan juga merupakan ayah kandung dari Habib Muda Seunagan, ia mengembangkan dan menyebarkan sebuah Thariqah yang berbentuk inspirasi seorang alim dari India Syekh Abdullah as- Syattari.53

53 Saminna Daud, Abu Habib Muda Seunagan Thariqat Syattariyah,hlm 187. 51

B. Perkembangan Tasawuf di Aceh Pada Abad ke-20 muncul beberapa tarekat dan aliran tasawuf di Aceh seperti tarekat Syattariyyah, Naqsyabandiyah, al- Hadadiyah, aliran suluk, tarekat Tgk Bantaqiyah, tarekat Haji Ibrahim Bonjol, Ahmadiyah Qadian, Syiah dan lain-lainnya. Menurut Abdullah Ujong Rimba, aliran tasawuf tersebut berhubungan dengan ajaran Tasawuf pada Abad ke 16-17 yang diajarkan dan dikembangkan Abdurrauf al-Singkili, al-Fansuri, dan al-Sumatrani dan Sayf al-Rijal. Kemudian Abdullah Ujong Rimba menambahkan bahwa Abdurrauf al-Singkili merupakan ulama yang memberikan kebebasan kepada murid-muridnya mengembangkan ajaran tarekat (dengan berbagai jenis atau aliran tarekat) di Aceh.54 Dalam perspektif Al-Ghazali, Tasawuf adalah totalitas hati menuju Allah dan menganggap hina suatu selain-Nya. Itu mengacu kepada gerak hati dan perbuatan tubuh. Dalam Ihya Ulum al-Din ia menggunakan tema “Ilmu Akhirat” untuk menyebut Tasawuf dimana ia membagi menjadi dua; petama muamalah, yaitu kondisi hati atau penyakit hati dan pengobatannya. Kedua Mukashafah yaitu tersikapnya tabir sehingga Allah menjadi jelas sebagaimana mata melihat sesuatu yang tidak diragukan lagi. Kalau dicermati karakteristik, tasawuf yang dikembangkan al-Ghazali adalah tasawuf sunni yang bertumpu pada kesucian rohani pada keluhuran budi yang merupakan perwujudan paling otentik dan valid dari relegiusitas seseorang. Sedangakan Ibnu Taimiyah menjelaskan tasawuf terbagi menjadi dua: Pertama, tasawuf sunni tau sering disebutnya tasawuf masyru yaitu yang diperbolehkan mengikutinya sudah muncul embrionya sejak awal mula Islam yaitu generasi para muhammad al-bagdadi (w.297 H) di Bagdad, Abu Sulayman al-Darani (w.210) di Syam, Dhu al-Nun al-Misri (w.245) di Mesir, al-Harits al- Muhasibi (w 243 H) di Bagdad dimana dalam Sunnah berbagai sumber. Mereka ini disebut Syuyukh al-Shufiyah oleh Ibnu

54Misri A. Muchsin, Dinamika Tasawuf Di Aceh pada Abad ke-20, (Banda Aceh: ArRaninryPress dan Lembaga Naskah Aceh, 2012),hlm 52. 52

Taimiyah. Kedua tasawuf bid’ah yaitu tasawuf yang sudah memasukkan unsur-unsur asing dalam tiori dan prakteknya. Islam datang pertama kali di Nusantara melalui jalur perdagangan yang dilakukan oleh saudagar-saudagar Arab, dan tidak bisa dipungkiri bahwa jaringan Islam di Nusantara yang berpusat di Haramamyn terbangun sejak lama. Islam datang ke Nusantara melalui jalur perdagangan saudagar-saudagar Islam, ada yang lewat jalan laut dari Aden menyusuri pesisiran pantai India Barat dan Selatan, juga ada yang jalan darat dari Khurasan kemudian melalui Khutan, padang pasir Gobi, Sungtu, Nansyau, Kanton, kemudian menyebrangi laut Cina Selatan masuk ke gugusan pulau-pulau Melayu melalui pesisir pantai Timur Semenanjung Melayu. Perjalanan kapal-kapal itu tergantung pada angin, begitu juga sebaliknya dari gugusan pulau-pulau Melayu kembali ke semanjung tanah Arab. Keadaan ini menyebabkan saudagar- saudagar Arab Muslim harus tinggal lama di gugusan pulau melayu. Kesempatan itu digunakan untuk mendakwahkan Islam di tempat-tempat yang disinggahi, dan banyak diantara mereka yang menikah dengan peduduk setempat. Hasil perkawinan ini melahirkan generasi baru Muslimin di gugusan pulau Melayu Abad ke-7 M. a) Tasawuf Masa Kerajaan Aceh Dengan demikian, Islam datang ke gugusan pulau-pulau Melayu melalui lautan India dan juga laut China Selatan secara langsung dari negeri Arab. Ketika awal-awal kedatangan itu, Islam hanya sebagai kegiatan dakwah dan belum muncul sebagai sebuah kekuatan politik. Lama kemudian baru muncul sebagai sebuah kekuatan politik, yakni dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam Aceh Darusalam. Sebelum nama “Aceh Darussalam” lahir sebagai sebuah kerajaan Islam, terdapat 6 daerah terpenting di ujung Utara Sumatra Aceh, yaitu: 1.) Kerajaan Peureulak 2.) Kerajaan Samudra Pasai

53

3.) Kerajaan Teumiang 4.) Kerajaan Pidie 5.) Kerajaan Indera Purba 6.) Kerajaan Indera Jaya Dalam perkembangan selanjutnya, keenam daerah tersebut tersatukan menjadi daerah Aceh Darussalam oleh Sultan Husein Syah yang memerintah Aceh Darussalam pada (870-885 H./165- 1480 M). Di masa inilah baru terbentuk kesatuan Aceh, yaitu satu agama, satu bangsa, dan satu negara.55 Terlebih kedudukan yang sangat istimewa yang merupakan salah satu alasan mengapa karya- karya Ulama seperti , Syamsuddin al-Sumatrani, Al-Raniry dan Abdurrauf al-Singkili dapat beredar luas di Nusantara. Dan tokoh tokoh ini mempunyai sejarah spektakuler bagi pemikiran tasawuf di Nusantara. b) Perkembangan Tasawuf di Aceh Abad ke 16 dan 17 Dalam Hubungan antara Timur Tengah dengan Melayu- Nusantara sejak kebangkitan Islam sampai paruh abad ke-17 menempuh beberapa fase dan juga mengambil beberapa bentuk. Dalam fase sejak akhir abad ke-8 sampai abad ke-12, hubungan- hubungan yang ada umumnya berkenaan dengan perdagangan. Inisiatif dalam hubungan-hubungan semacam ini kebanyakan diprakasai Muslim Timur Tengah khususnya Arab dan Persia. Dalam fase berikutnyya abad ke-15, hubungan-hubungan antara kedua kawasan mulai mengambil aspek-aspek lebih luas, sebagai pedagang atau mengembara sufi mulai mengindentifikasikan penyebaran Islam berbagai wilayah di Nusantara. Pada tahap ini hubungan-hubungan keagamaan dan kultural terjalin lebih erat. Tahap ketiga adalah sejak abad ke-15 sampai paruh abad ke 17. Dalam masa ini hubungan-hubungan yang terjalin lebih bersifat politis disamping keagamaan sebagaimana disebutkan diatas. Periode ini, muslim Nusantara semakin banyak ke tanah suci (Mekkah), yang pada gilirannya mendorong terciptanya jalinan

55M.Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara,(PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005), hlm 22. 54

keilmuan antara timur tengah dengan Nusantara melalui ulama timur Tengah dan murid-murid Jawi. Pada abad ke-16 dan 17 M, Aceh mencapai puncak keselarasan di era Kesultanan Aceh yang sebelumnya juga pernah digapai oleh Kesultanan Pasai. Pada periode tersebut Aceh menjadi pusat ilmu pengetahuan, pengembangan keilmuan, dan perdagangan internasional. Bukti ini dapat terlihat pada warisan khazanah manuskrip yang ditulis oleh para ulama Aceh Melayu dengan berbagai disiplin ilmu. Lebih dari itu, hubungan antar wilayah Melayu-Nusantara, antara Aceh dan Fathani dan Semenanjung Melayu telah terjalin jauh sebelumnya, dan terekam sejak periode Kesultanan Aceh dan hingga periode kolonialisme, yang menyatukan patriotisme kebangsaan dan semangat kesusasteraan Jawi. Antara Aceh dan Fathani memiliki kesamaan visi untuk memajukan intelektual masyarakat Melayu, tanpa menghiraukan identitas dirinya. Dan juga memperjuangkan agama dalam bidan keilmuan dan intelektual. Kesamaan visi ini terhubung oleh jaringan ulama antar keduanya saat berada diperantauan, khususnya di Haramain, kesamaan visi dan misi itulah terwujud pada abad ke-18 dan 19 Masehi, sehingga antara ulama Aceh dan Fathani memiliki tiga karakteristik yang sama pada era tersebut; pertama membentuk keilmuan dan kredibel dengan tashih dan tahqiq kitab, kedua menjalin hubungan tarekat antar Melayu- Nusantara, dan terakhir memajukan bahasa sastra Aceh dan Melayu

55

C. Tarekat Syattariyah di Nagan Raya Tarekat Syattariyah yang berkembang di Nagan Raya saat ini tidak lain adalah salah satu mazhab tarekat Syattariyah yang berkembang di dunia Islam yang lain. Hanya saja modifikasi lokal sepertinya telah dilakukan dalam tarekat ini sehingga telah memunculkan sebuah model bertarekat yang sangat khas daerah tersebut dengan tetap mempertahankan mazhab dasar tarekat Syattariyah itu sendiri. Kekhasan lokal ini sekilas nampak berbeda dengan pengamalan ajaran Islam dalam pandangan mayoritas umat Islam di Aceh. Perbedaan ini sesungguhnya dapat dimaklumi karena dalam komunitas tarekat memang terdapat banyak model cara zikir yang tidak dikenal dengan pengamalan ajaran Islam non tarekat. Demikian pula halnya tarekat Syattariyah yang dikembangkan oleh Habib Muda Seunagan. Secara kelembagaan, tarekat Syattariyah tidak dikenal dalam Islam pada abad ke-8 H atau abad ke-14 M, artinya tarekat hanya sebagai organisasi dalam dunia tasawuf dan dianggap sebagai hal yang baru yang tidak pernah dijumpai dalam Islam pada periode awal. Termasuk pada masa Nabi. Maka tidak heran jika semua jenis tarekat yang dikenal saat ini selalu dinisbahkan kepada nama nama para wali atau Ulama belakangan hidup berabad-abad setelah masa Nabi. Dengan demikian tarekat Syattariyah, nama Syattariyah dinisbahkan kepada Syaikh Abd Allah al-Syaththari (w 890 H/1485). Dengan demikian Tarekat ialah salah satu bagian inti dari tasawuf yang tidak bisa terlepaskan, tarekat berasal dari kata Thariq atau Thariqah yang berati jalan, tempat lalu lintas, aliran, mazhab, metode, atau sistem. Menurut para ahli lain menyebutkan Tarekat merupakan upaya untuk mengenal Tuhan dengan sebaik-baiknya serta dalam beribadah sampai membekas dihatinya.56 Dan jalan yang di tempuh untuk mencapai kepada Tuhannya ini dinamakan

56Noer Iskandar al Barsani, Tasawuf Tarekat Dan Para Sufi, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001), Hlm. 52 56

dengan Tarekat.sedangkan dalam bahasa Indonesia makna “jalan” yakni menuju kebenaran57. 1) Biografi Tarekat Habib Muda Seunagan Habib Muhammad Yeddin Bin Habib Muhammad Yasin atau dikenal dengan sebutan Habib Muda Seunagan lahir di Desa Krueng Kulu, kecamatan Seunagan, Kabupaten Nagan Raya, tidak diketahui kapan persisnya beliau lahir, beberapa menulis mengatakan ia lahir pada tahun 1860 mengingat dalam catatan perjalanan sejarah hidupnya ia pernah berhadapan dengan penjajahan belanda sejak kecil, namun hal ini sulit dipercaya mengingat ia wafat pada tahun 1972 sehingga jika benar demikian maka ia akan berusia 112 tahun, usia yang tidak lumrah untuk orang Aceh saat ini, beberapa penulis juga mengatakan kalau ia lahir sudah menjelang pergantian abad, sekitar 1981 sehingga ia berusia 91 tahun saat wafat. Memang sulit memastikan tahun beraoa ia lahir mengingat dalam beberapa dokumen dan naskah yang ditandatanganinya nampak ia menyebutkan usia yang berbeda beda. Habib Muda Seunagan adalah salah seorang masyarakat yang ikut serta dalam gerakan perjuangan melawan penjajahan belanda, dalam buku karangan Sehat Ihsan Sadiqin dkk “Abu Habib Muda Seunagan Republiken Sejati dari Aceh” menjelaskan bahwa masa itu habib muda Seunagan tinggal berpindah-pindah dari satu kempung ke kampung lain hingga akhirnya menetap di Tadu Raya, sebuah hutan yang agak jauh dari jangkauan Belanda. Disana ia tumbuh dan berkembang sebagai seorang pemuda, pada saat itu pula ia belajar berbagai ilmu politik dan peperangan kepada orang tuanya, pelajaran itu bukan hanya melalui lisan saja, namun juga

57Tim Penyusun Kamus Bahasa Indonesia Depdikbut, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. 5 (Jakarta:Balai Pusat, 1995), hlm 1012

57

berpartisipasi langsung dalam peperangan gelirya melawan belanda58 2) Silsilah Tarekat Syattariyah Habib Muda Seunagan Habib Muda Seunagan sendiri memperoleh ilmu agama melalui orang tuanya sendiri, yaitu melalui Teungku Muhammad Yasin atau dikenal dengan panggilan Teungku Padang Siali dan kepada kakeknya Habib Muda Seunagan sendiri dikenal sebagai ulama kawasan seunagan yang mengembangkan tarekat Syattariyah, Habib Seunagan dikenal dengan panggilan Teungku Peunadok. Ia melakukan perjalanan dari Nagan Raya ke Pidie menjumpai seorang guru yang sangat terkenal disana pada masa itu yakni Teungku Muhammad Khatib Langgien. Faktiati melalui catatanya menjelaskan bahwa Teungku Khatib Langgien memiliki garis leluhur dari jalur ulama Tarekat Syattariyah, yaitu Faqih Jalaludin yang hidup pada abad ke-18 M Pada masa kerajaan Alauddin Syah Johan (1742-1767).59 Dengan demikian, sebuah tarekat atau ajaran berdasarkan perintah Ulama berhak diikuti sejauh ia sesuai dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah. Jika tidak, maka umat Islam tidak perlu mengikutinya karena jelas-jelas tidak mengikuti Rasulullah. Dalam hal ini Habib Muda Seunagan mengatakan: “Sejauh umat yang mengaku dirinya ummat Rasulullah Saw, wajib di dalam setiap amalannya mengikuti amalan Rasulullah Saw. Jika tidak demikian adalah salah. Mengikuti seseorang Syaikh atau ulama yaitu dengan pengertian mengikuti seorang syaikh atau seorang Ulama itu dalam rangka kita mengikuti Rasulullah Saw. Maka oleh karena itu, seorang Syaikh atau seorang Ulama baru boleh diikuti jika Syeikh atau Ulama tersebut benar-benar beramal

58 Sehat Ihsan Sadiqin, Abu Habib Muda Seunagan, Republiken Sejati dari Aceh. 59Fakriati “Naskah Tasawuf Teungku Khatib Langgien: sebuah kajian kondikologis”,JurnalWirdyariset13(1)163-172,2010. doi:http://dx.doi.org/ 10.14203/widyariset.13.1.2010.163-172 58

Maka oleh karena itu, seorang Syaikh atau seorang Ulama baru boleh diikuti jika Syeikh atau Ulama tersebut benar-benar beramal , tepat, dan tidak berubah sedikitpun, atau sebesar zarrah sekalipun sebagaimana amalan Rasulullah Saw; yaitu, mengamalkan syariat sebagaimana sabda Rasulullah Saw mengamalkan tarekat sesuai dengan tarekat Rasulullah Saw, mengamalkan hakikat sesuai dengan hakekat Rasulullah Saw dan mengamalkan makrifat sesuai makrifat Rasulullah.60 Maka apabila seorang Syeikh atau ulama sudah beramal sesuai amalannya Rasulullah Saw, barulah Syaikh atau ulama tersebut boleh diikuti dalam rangka kita mengikuti Rasulullah Saw. Karena yang wajib diikuti bukanlah seorang Syaikh atau seorang Ulama, akan tetapi yang wajib diikuti hanyalah Rasulullah Saw. Oleh sebab itu perlu pula diingat, yang baik para syaikh atau ulama itu ada yang benar ada yang salah. Kehadirannya meski sering menimbulkan kontroversi, akan tetap kenyataan menujukkan bahwa tasawuf memiliki pengaruh tersendiri dan layak diperhitungkan dalam upaya menentukan problem-problem kehidupan sosial yang senantiasa berkembang mengikuti gerak dinamikanya. Sebagaimana tarekat pada umumnya, memiliki sanad atau silsilah para guru atau wasithah-nya yang bersambung sampai kepada masa Rasulullah SAW. Dalam tarekat ini Wasihah dianggap berhak dan berhak apabila terangkum dalam mata rantai disisilah tarekat ini yang tidak putus dari Nabi Muhammad SAW lewat Ali bin Abi Thalib ra, hingga kini dan seterusnya sampai kiamat nanti. Tarekat Syattariyah yang terdapat di Desa Peulukung Seunagan Timur, Kabupaten Nagan Raya pada awalnya diperkenalkan oleh Abu Habib Muda Seunagan. Ia dilahirkan pada 1860 M, di Desa Krueng Kulu, Blang Ara, Kecamatan Seunagan Timur, Kabupaten Nagan Raya.

60Sehat Ihsan Sadiqin, Abu Habib Muda Seunagan, Republiken Sejati dari Aceh. (Banda Aceh: Bandar Publishing, 2015), hlm.99. 59

Beliau merupakan anak ke 4 dari 14 orang bersaudara, 10 orang laki-laki, dan 4 orang perempuan dan tidak ada yang tau persis tentang hari, tanggal, dan bulan kapan beliau dilahirkan, hal sedemikian sudah umum terjadi pada orang orang tua zaman kita dahulu. Abu Habib Muda Seunagan dengan nama aslinya Habib Muhammad Yeddin bin Habib Muhammad Yasin bin Habib Abdurrahim Quthubul ujud bin Habib Qadir Rama’any bin Said Athaf, silsilah beliau sampai kepada Rasulullah SAW. Habib Muda Seunagan memiliki sejumlah nama lain seperti Abu Peulukung, Abu Nagan, Abu Balee, Abu Tuha, dan Teungku Puteh. a) Ringkasan Silsilah Tarekat Syattariyah Habib Muda Seunagan. Adapun silsilah Tarekat Syathariyyah Habib Muda Seunagan ialah: 1. Nabi Muhammad SAW, 2. Sayyidina Ali 3. Imam Husain, 4. Imam Zainal Abidin, 5. Imam Muhammad Baqir, 6. Syekh Imam Ja’far, 7. Syekh Syekh Muhammad Maghribi, 8. Syekh Abu Yazid Al-Bustami, 9. Syekh Abi Muzafar, 10. Syekh Muhammad Abi Hasan, 11. Syekh Khadafi, 12. Syekh Muhammad Asyiq, 13. Syekh Muhammad Arif, 14. Syekh Abdullah Syattari, 15. Syekh Qadhi, 16. Syekh Hidayatullah, 17. Syekh Haduwar, 18. Syekh Muhammad Qusya, 19. Syekh Wajidin, 20. Syekh Sifatullah, 21. Syekh Ahmad Tsanawi, 60

22. Syekh Ahmad Tsanawi, 23. Syekh Muhammad Thamiri, 24. Syekh Ibrahim, 25. Syekh Muhammad Sa‟ir, 26. Syekh Muhammad Su‟ud, 27. Syekh Muhammad Ali, 28. Syekh Muhammad Langien, 29. Habib Abdulrahim Qutubul Wujud, 30. Habib Syekhuna Muhammad Yasin, 31. Abu Habib Muda Seunagan, 32. Habib Quraish, 33. Habib Qudrat (mursyid hingga saat ini, 2017).61 Habib Muda Seunagan sendiri belajar pendidikan agama dari ayah kandungnya yang bernama Habib Syekhuna Muhammad Yasin atau dipanggil juga dengan (Tengku Padang Sali). Ia merupakan seorang ulama besar yang sangat berpengaruh pada masanya dan seseorang yang ahli dalam hukum Islam yang berwawasan salafi. Atas bimbingan ayahnya inilah Habib Muda terus melakukan Riadhah (latihan rohani), beruzlah (mengasingkan diri dari orang banyak) dan melakukan tirakat berkhalwat dalam waktu yang cukup lama. Sebagai seorang guru dalam tarekat ini, Abdurrauf menulis kitab yang diberi judul ‘Umdah al-Muhtajin ila Suluk Malsak al- Murfadin. Apa yang dikemukakan Abdurrauf dalam kitab Umdah adalah paham tasawuf aliran tarekat Syattariyah. Syekh Abdurrauf, menyempaikan faham tasawufnya dalam kitab Umdah, ditujukan untuk muridnya sebagai usahat mendekatkan diri kepada Allah. Habib Muda Seunagan juga memiliki peran keagamaan sebagai ulama bagi masyarakat Aceh Barat, Gayo Lues, Nagan Raya dan Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Pidie, Dan sebagian Aceh lain. Abu Peulukung ialah mursyid utama tarekat

61Saminna Daud, Abu Habib Muda Seunagan dan Thariqat Syattariyah,(Jakarta: Karya Sukses Sentosa, 2009), hlm 107. 61

Syathariyyah di Seunagan, yang kemudian berkembang pesat diberbagai daerah di Aceh hingga saat ini. Murid-muridnya masih memainkan peran sosial keagamaan yang penting dalam masyarakat. Hal inilah yang menjadikannya sebagai panutan banyak orang. Bahkan, hingga sekarang orang masih berziarah ke Makamnya. Habib Muda Seunagan juga memiliki peran sentral dalam kehidupan sosial politik di Aceh Barat sejak masa kemerdekaan hingga beliau wafat. Pada masa penjajahan Belanda ia menjadi pemimpin kaum muslimin mengangkat senjata melawan musuh. Namun sayangnya, peran dan pengaruh Habib Muda Seunagan tak terdokumentasikan dengan baik. Ia belum berada dalam arus utama ingatan masyarakat Islam di nusantara, alih-alih menjadi bagian sejarah, banyak di antara masyarakat Aceh justru memperoleh informasi keliru mengenai Habib Muda Seunagan. Informasi yang salah ini membuat Habib Muda Seunagan dan pengikutnya dianggap sebagai kelompok sosial yang mempraktikkan aliran keagamaan yang berbeda dengan masyarakat Aceh kebanyakan. Mereka dituduh penganut aliran sesat. Kondisi ini terjadi karena ritual Tarekat Syattariyah Habib Muda Seunagan dinilai dari pendekatan fiqh yang sempit. Adat, tradisi, dan budaya yang di amalkan Habib Muda Seunagan dianggap keliru dan bahkan sesat-menyesatkan dan anggapan keliru itu tersebar dari mulut ke mulut radio meu-igoe. Padahal, aktivitas tarekat di Peulukung tidak dilakukan secara tertutup atau sembunyi-sembunyi, pengikut tarekat Syattariyah di peulukung dan beberapa daerah lainnya di Aceh, melaksanakan ritualnya secara terbuka dan dapat diakses oleh masyarakat luas, bahkan saat peneliti turun kelapangan masyarakat di Desa Peulukung sangat ramah pada saat ingin di wawancarai dan juga pada berdialog. Apalagi, Tarekat Syattariyah tidak menjadikan diri sebagai kelompok eksklusif. Abdullah Ujong Rimba ia menulis artikel yang dipublikasikan dan dipresentasikan dalam seminar-seminar.

62

Pedoman Penolak Salik Buta, merupakan karyanya yang pertama yang diterbitkan dan dianggap sebagai karya monumentalnya. Karya ini berisikan pemikiran Abdullah Ujong Rimba yang berhubungan dengan syari’at, tasawuf, tarekat, hakikat, dan ma’rifat. Selain itu, ia juga mengungkapkan tarekat Sufi; aliran tasawuf, dan berbagai jenis tarekat Islam, serta sejarah perkembangan tasawuf di Nusantara (terutama di Aceh yang merupakan asal berkembangnya ajaran tasawuf di Nusantara). Kemudian dalam buku tersebut, abdullah ujong rimba juga mengungkapkan ragam tasawuf Salik Buta beserta ajaran, praktik dan metode dakwahnya (dalam bentuk syair). Karya Abdullah Ujong Rimba yang lain yaitu Ilmu Tarekat dan Hakikat. Tarekat menurut Abdullah Ujong Rimba adalah cara dalam mengerakan suatu amalan untuk mencapai satu tujuan, cara yang dimaksud adalah jalan. Kemudian Abdullah Ujong Rimba mengklarifikasikan tarekat ke dalam tiga kategori, yaitu tarekat Nabawiyah, tarekat Salafiyah,dan tarekat Sufiyah (tarekat suluk).62 Mengenai judul Skripsi yang penulis bahas disini, sepanjang penulis diketahui bahwa tinjauan pustaka bertujuan untuk memperoleh gambaran yang memiliki hubungan dan topik yang akan diteliti, dengan penulisan ini penulis ingin mengkaji terhadap ekitensi dan silsilah tarekat syathariyyah Habib Muda Seunagan (Abu Peulukung), dan penelitian ini belum pernah diteliti oleh penulis lain. Kegiatan penelitian bertitik tolak dari penelitian, dari cara menggali apa yang sudah dikemukakan atau ditemukan oleh ahli- ahli sebelumnya, dan menambahkan hal yang baru dari penelitian penulis, dan mengkaji terhadap tulisan-tulisan yang membahas berkenaan dengan Habib Muda Seunagan. Dan berkaitan dengan aktivitas sosial keagamaan di Peuleukung, pada saat kami jumpai warga untuk melakukan berdialog sekaligus wawancara bersama masyarakat di Desa Peulukung, masyarakat disana sangat ramah,

62Abdullah Ujong Rimba, Ilmu Tarekat dan Hakikat, (Banda Aceh:MUI Daerah Istimewa Aceh, 1975),hlm 69. 63

dan terbuka, begitu juga saat kami mengujungi penjaga Balee yang lokasinya berdekatan dengan Mesjid Rayeuk (Mesjid Raya Peulukung), dan tidak jauh dari rumah Abu Qudrat, Abu Qudrat merupakan keturunan dari Habib Muda Seunagan (Abu Peulukung). Dalam ajaran keagamaan di Peuleukung juga berlaku hal yang sama sebagaimana kita yakini, mereka meyakini apa yang dilaksanakan adalah ajaran Allah yang diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW, dan sama sekali tidak bertentangan dengan Islam yang benar. Namun disisi lain banyak ungkapan dari tokoh masyarakat, dan kalangan muda seiring dengan informasi yang berkembang mengatakan bahwa ajaran yang diajarkan oleh pengikut Abu Peulukung di anggap bertentangan dengan kaidah Islam dan ajaran Islam. Anggapan terhadap ajaran Habib Muda Seunagan sebagai penganut salik buta juga keliru, dengan apa yang dipersepsikan sebagai ajaran yang menyimpang dan sesat dengan sebutan salik buta, dan persepsi ini masih berkembang pada sebahagian kalangan masyarakat, dan generasi muda saat ini, ada masyarakat pada saat dijumpai mengatakan bahwa tarekat yang di ajarkan oleh Habib muda seunagan tidak sesuai dengan ajaran Islam, meskipun tarekat ini sudah berkembang sampai kebeberapa kecamatan yang ada di Nagan Raya. Habib Muda Seunagan dan pengikutnya menjadikan Al- Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman utama dalam melaksanakan ajaran agam dan dalam mengamalkan ajaran tarekat. Seperti halnya umat Islam yang lain di seluruh dunia, Al-Qur’an menjadi pedoman utama dalam melaksanakan segala sesuatu yang berkaitan dengan ritual ibadah, dan sikap dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini ditekankan Habib Muda Seungan semasa hidupnya. Ia mengingatkan semua pengikutnya untuk tidak pernah menjauhi Al-Qur’an apalagi menolak dalil-dalilnya. Hal ini dituliskan dengan sangat jelas oleh Raja Azman.

64

“Kitab pegangan dari Tarekat Syattariah ialah Kitabullah dan Sunnah Rasul. Oleh karena itu yang mutlak atau yang qadim. Sementara kitabkitab lainnya yang dikarang oleh para syaikh atau para ulama itu belum tentu sudah benar. Jika kitab-kitab tersebut yang dikarang para Syekh atau para Ulama benar atau sesuai atau bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Rasul maka wajib dipergunakan; akan tetapi jika tidak maka harus ditinggalkan atau ditolak.63

Jadi tidak diragukan lagi kalau semua dakwah yang disampaikan Habib Muda Seunagan memiliki dasar yang jelas yakni bersumber pada Al-Qur’an dan Hadist/Sunnah. Adapun Perkembangan Tarekat Syattariyah di Aceh tidak bisa dilepaskan dari pengaruh tarekat yang berkembang di desa Peuleukung. Ajaran yang dibawa oleh Abu Habib Muda Seunagan ini telah tersebar keseluruh penjuru di Aceh. Pada awalnya pengikut tarekat Syattariyyah ini hanya berkembang disekitaran kampung kediaman Habib Muda Seunagan saja, yaitu di Peulukung. Namun, karena banyak yang menarik perhatian masyarakat, maka mereka datang ke Desa Peuleukung dan memasuki atau di baiat masuk tarekat ini. Pengikut yang berdatangan ini terutama di dominasi oleh kaum dewasa dan para pelajar yang telah mahir dalam bidang agama Islam, karena kebanyakan mereka merupakan alumni dayah. Pendalaman terhadap isi ajaran tarekat Syattariyah pada awalnya mereka memperoleh langsung dari Mursyidnya yaitu Habib muda Seunagan. Setelah mereka mahir tentang ajaran dalam tarekat syattariyah ini, maka pengikutnya kembali ke negeri asalnya banyak yang mendirikan dan mengajak masyarakat mengikuti ajaran tersebut. Dalam hal ini membuat tarekat Syattariyah memiliki pengikut mencapai 50.000 Jiwa dari seluruh Aceh. Perkembangan Tarekat Syattariyah 1972 hingga 2014 jumlah pengikutnya terus mengalami

63Sehat Ihsan Sadiqin, Abu Habib Muda Seunagan, Republiken Sejati dari Aceh.hlm 87. 65

perkembangan, tarutama di kalangan kaum hawa (perempuan). Pada periode awal tahun awal berkembangnya 1972-1977 ajaran ini hanya berkembang dikalangan keluarga Habib Muda Seunagan dan para tetangganya sejak 1972-1977 sudah terdapat pengikut 37 orang terdiri dari 12 laki-laki dan 25 pengikut perempuan. Generasi awal inilah yang diangkat sebagai pelaksana dalam mengebangkan tarekat Syattariyah di Aceh, diantaranya ialah: 1) Abu Habib Qudrat (Mursyid tarekat Syattariyah) 2) Sayed Ibrahim (Imam desa Peuleukung) 3) Sayed Ramlana (pengikut tarekat Syattariyah) 4) Fitri Jauhari (pengikut tarekat Syattariyah) 5) Rusli (pengikut tarekat Syattariyah) 6) Sayed Akhir Zaman (Khilafah tarekat Syattariyah) 7) Said Hamzali (pimpinan dayah tarekat) 8) Said Jauhari (tokoh masyarakat gampong) 9) Tgk Marsyul Alam (ketua Mesjid Peuleukung) 10) Angkasah (pengikut tarekat Syattariyah) 11) Sayed Abdul Raif (pengikut tarekat Syattariyah) 12) Sayed Muhammad Yasin (pengikut tarekat Syattariyah) 13) Cut Abang Mursalam (pengikut tarekat Syattariyah) 14) Kamaruddin (Pengikut Tarekat Syattariyah) 15) Tgk Muhammad Shaleh Jakfar (pimpinan zikir Kecamatan Seunagan) 16) Said Alwi (saudara kandung Mak Nih pimpinan dayah tarekat di Ule Jalan) 17) Tgk Din (pimpinan Dayah Tarekat di Blang Mesjid) 18) Tgk Muda (Pimpinan Dayah Tarekat di Kecamatan Kuala) 19) Tgk Jalin (Pimpinan Dayah Tarekat di Canggai ) 20) Tgk Saminna Daud (Pimpinan Dayah Tarekat di Kecamatan Pante Cermen, Aceh Barat)

66

D. Eksistensi tarekat Syattariyah Abu Habib Qudrat Di setiap Desa- desa di Kabupaten Nagan Raya jamaah tarekat ini sangat aktif dalam setiap berbagai aktivitas tarekat dan ini di fokuskan disetiap dayah-dayah yang tersebar di Kabupaten Nagan Raya dan luar Kabupaten Nagan Raya, sedangkan puncaknya ialah di Desa Peleukung. Sedangkan di dayah terdapat tempat untuk melaksanakan khaluet atau bersuluk dengan mendekatkan diri kepada Allah. Eksistensi Tarekat Syattariyah Abu Habib Muda Seunagan karena pengikutnya sering mengikuti zikrullah (mengingat Allah), dan kegiatan keagamaan lainnya yang dipusatkan di Dayah-dayat tarekat dan di Desa Peuleukung. Adapun zikir bagi penganut tarekat Syattariyah ialah zikrullah (meninggat Allah), umat Islam diperintahkan oleh Allah dan Rasul supaya banyak-banyak berzikir yakni menyebut nama Allah dengan lisan dan hati, baik ketika siang maupun malam. Zikrullah (menyebut asma Allah) dikalangan Abu Habib Muda Seunagan bersama dengan muridnya merupakan amalan paling pokok dan mendasar yang sudah mendarah daging bagaikan nafas dalam kehidupan, sehingga perintah berzikir setelah shalat suatu keharusan yang selalu diwanti-wanti kepada muridnya yang telah melakukan Bai’at kepada al Mursyid Abu Habib Muda Seunagan Selain berzikir, pengikut dan jamaah tarekat Syattariyah Abu Muda Seunagan juga mengamalkan tarekat melalui khalwat atau suluk dengan mengasingkan diri ke sebuah tempat di bawah kepemimpinan seseorang mursyid, kadang-kadang masa khalwat itu dari 10 hari, 20 hari, 40 hari. Adapun hakikat suluk ialah mengosongkan diri dari sifat-sifat mazmumah/buruk (dari maksiat lahir dan maksiat bathin) dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji/mahmudah dengan taat lahir dan batin. Bahkan di dayah yang dibangun hampir disemua Desa ada khalifah tarekat Syattariyah, ada berapa ratusan dayah tersebar diberbagai daerah di Aceh, dan sampai saat ini tempat- tempat murid Habib Muda Seunagan masih aktif dalam

67

mengembangkan ajaran tarekat Syattariyah, salah satunya ialah di Nagan Raya yang terletak di Kecamatan Kuala, disana terdapat sebuah dayah yang dipimpin oleh Tgk Muda, dayah ini bernama dayah Syaikhuna Darul Istiqamah yang terletak di Desa Simpang Peut, Kecamatan kuala, dayah ini salah satu dayah yang tertua di wilayah kecamatan kuala, saat ini dayah tersebut dijadikan sebagai tempat pusat pelaksanaan Ibadah dan Dzikrullah bagi jamaah Tarekat Syattariyah. Penyebaran ajaran tarekat Syattariyah Abu Peuleukung melalui berbagai hal dilakukan, diantaranya melalui zikir, suluk, dan melalui berbagai aktivitas di dayah-dayah tarekat yang ada di Aceh, hingga tersebar dan eksis sampai sekarang. Dayah dayah tarekat Syattariyah tersebut terdapat juga di Kecamatan Seunagan Timur, Seunagan, kecamatan Kaway XVI, Kecamatan Darul Makmur. Namun peneliti hanya meneliti terhadap tiga Kecamatan yang terdapat di Nagan Raya dan satu kecamatan di Kabupaten Aceh Barat. Dayah tersebut dibangun khusus dan dayah ini sangat terbuka bagi siapapun, serta tersebar di berbagai daerah diantaranya di Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, dan dibeberapa Kabupaten lain di Aceh. Sehingga tarekat Syattariyah Abu Habib Muda Seunagan ini berkembang sangat cepat di berbagai daerah, hingga tarekat Syattariyah diteruskan kembali oleh Abu Qudrat tepatnya di Peleukung, dan dikembangkan oleh murid murid Habib Muda Seunagan di berbagai Daerah. Murid dari Abu Peleukung hingga kini telah mendirikan banyak dayah hingga berkembang dan penyebaran disetiap daerah yang ada diseluruh Aceh saat ini. Dari informan penelitian, penulis mengambil 10 orang sampel pengikut tarekat syattariyah Abu Qudrat hingga saat ini, dan pimpinan dayah tarekat yang terdapat di Kecamatan Kuala, Beutong, beserta Kecamatan Kaway XVI, untuk memberikan sedikit banyak keberadaan tarekat Syattariyah serta aktifitas sehari- hari Jamaah di dayah tarekat, hingga penelitian tersebut mendapat hasil yang sedang penulis teliti terkait tentang eksistensi dan

68

silsilah tarekat Syattariyah Abu Peulekung di Kecamatan Seunagan, Kabupaten Nagan Raya. Menurut kepala Dinas Syariat Islam Kabupaten Nagan Raya, yang juga pimpinan dayah tarekat mengatakan, didalam Kitab Mirajul Salikin, pada halaman kitab ke 109 disana sudah dijelaskan terhadap silsilah- silsilah tarekat Syattariyah Habib Muda Seunagan hingga sampai saat ini,Mirajul Salikin sendiri ialah merupakan jalur naik salik, kitab tersebut terulis dengan tulisan tangan, disana sudah dijelaskan bagaimana silsilah Habib Muda Seunagan dalam mendapat ilmu terekat yang diajarkan oleh Syekh Muhammad Yasin dan melalui Khabib Khatib Langgien.64 Setelah Abu Habib Muda Seunagan meninggal dunia pada 14 juli 1972, maka sesuai dengan wasiat almarhum guru mursyid Tarekat Syattariyah dipercayakan kepada anak kandungnya yang tertua yaitu Habib Quraisy di desa Lhok Mesjid setelah Habib Quraisy meninggal maka digantikan pula oleh Habib Qudrat yang merupakan anak bungsu dari Habib Muda Seunagan. Silsilah tarekat Syattariyah hingga saat ini masih berada dibawah khilafah nya Abu Habib Qudrat, karena beliau penerus tarekat hingga saat ini, segala sesuatu harus melalui Habib Qudrat, baik itu menetukan apa dan bagaimana tarekat ini harus dilaksanakan oleh seluruh jamaahnya. Segala kebijakan berpusat pada satu orang yaitu melalui Abu Habib Qudrat. Bahkan jumlah jamaah tarekat Syattariyah saat ini pada tahun 2019 lebih kurang sekitar sepuluh ribu Jamaah yang tersebar diberbagai daerah, sedangkan untuk dikecamatan Seunagan juga terdapat banyak jamaah tarekat Syattariyah baik pun itu kaum tua, muda, remaja bahkan Ibu-ibu, dan setiap daerah memiliki kelompok dan terletak di berbagai Kecamatan seperti kecamatan kuala, Beutong, disana untuk mengembangkan suatu tarekat atau ilmu agama, dalam satu tempat ada pengikut dan setiap ada pengikut ada dibuat dayah tarekat, dan dayah itu bukan seperti dayah yang sering pernah kita lihat, dayah tarekat tersebut dibangun untuk setiap aktivitas jamaah

64 Hasil Wawancara terhadap Said Ramzali, pada sabtu 11 Juni 2017 69

tarekat untuk melakukan berbagai kegiatan seperti Dzikir, dan Suluk. Dalam mendalami ilmu tentang tarekat, seorang harus melalui suluk dan disana juga memiliki pimpinan disetiap dayah berbagai daerah di kecamatan, puncaknya itu tetap di peleukung.65 Berbagai masyarakat dari berbagai daerah berdatangan ke Peulekung untuk mengikuti ilmu tarekat, mulai dari Dzikir yang dilaksanakan setiap malam Jum’at yang dilaksanakan di lokasi mesjid Peleukung dan berbagai hal lainya. Jamaah tarekat Syattariyah Abu Habib Muda Seunagan kini dipimpin oleh Abu Habib Qudrat, dan jamaah tarekat saat ini terdapat dibeberapa daerah, yang terbanyak pengikutnya ialah di Kabupaten Nagan Raya dan tersebar diberbagai kecamatan salah satunya di Kecamatan Kuala, Kabupaten Nagan Raya salah satunya ialah: a) Dayah Syaikhuna Darul Istiqamah Dayah tersebut kini ini di pimpin oleh Teungku Muda Ansari atau akrab dipanggil dengan sebutan Tgk Muda, dayah Syaikhuna Darul Istiqamah ini didirikan sejak tahun 1964, dayah tersebut merupakan dayah yang tertua di kecamatan kuala, sebelumnya dayah tersebut dipimpin oleh Teungku Abdul Wahab Wali dan kini dipimpin oleh anaknya Teungku Muda Ansari, dayah tersebut memiliki jumlah jamaah sebanyak 300 orang, jamaah tersebut dominasi oleh kalangan anak muda beserta bapak-bapak. Dayah Syaikhuna Darul Istiqamah memiliki jumlah Jamaah tarekat dari kalangan Ibu-ibu berjumlah 180 orang, pada malam harinya aktivitas dayah tersebut ialah melaksanakan kegiatan seperti Zikir setiap malam senin dan malam jum’at, sedangkan pada malam Jum’at lebih didominasi oleh kalangan jamaah ibu-ibu seperti menghadiri tausyiah, setiap malam nya apabila dibutuhkan oleh jamaah ibu-ibu.

65Hasil Wawancara dengan Tgk Masyur Alam, pada rabu 15 juni 2019 70

Di dayah Syaikhuna Darul Istiqamah juga berkembang tarekat Syattariyah, tarekat yang berkembang di dayah tersebut didapatkan dari Habib Muda Seunagan, disetiap tahunnya banyak jamaah yang bergabung untuk mendalami ilmu tarekat ini, kebanyakan yang ingin bergabung dalam tarekat didominasi oleh anak muda, jamaah yang baru bergabung dalam tarekat akan dibawa ke Peulekung karena puncaknya ialah di Peleukung.Berbagai masyarakat menyambut positif terhadap tarekat yang berkembang saat ini, serta dalam kalangan dayah darul Istiqamah ini ramai di dominasi oleh kalangan anak muda. Dalam komplek perkarangan dayah Syaikhuna Darul Istiqamah juga terdapat tempat Dzikir untuk jamaah Dzikir yang hadir untuk mengikuti dzikir, dayah Darul Istiqomah juga difasilitasi dengan Tujuh kamar yang disediakan khusus untuk jamaah Suluk laki-laki dan perempuan, diperkarangan dayah Darul Istiqamah juga terdapat Qubah dan didalamnya terdapat kuburan Almarhum Teungku Abdul Wahab Wali yang merupakan pimpinan pertama di Dayah Syaikhuna Darul Istiqamah, dan terdapat juga balai tempat istirahat bagi para jamaah tarekat. Pada setahun sekali dayah Syaikhuna Darul Istiqamah penuh dengan jamaah yang datang dari berbagai tempat, kegiatan rutinitas di dayah Syaikhuna Darul Istiqamah ialah pada malam senin dan malam jum’at, sedangkan dibulan puasa diperingati haul Abu. Tarekat Syattariyah ialah untuk mengenal diri, siapa diri kita yang sebenarnya, kalau mendengar kritikan kepada tarekat dari berbagai pihak kita tidak mempermasalahkan, karena abu Habib Qudrat pernah berpesan: Tanyoe bek peuken atah gop, dan bila gop peuken atah tanyoe, tanyoe bek beungeh (Kita jangan salahkan punya orang, dan disaat orang menyalahkan (tarekat) kita, kita jangan marah)66.

66Hasil wawancara dengan Teungku Muda Ansari (Teungku Muda), pada Rabu 26 juni 2019 71

b) Dayah Aja Nih Peunawa Sedangakan jamaah tarekat Syattariyah juga tersebar di Kecamatan Beutong, kabupaten Nagan Raya, tepatnya ule jalan, disana dayah tarekat dipimpin langsung oleh Aja Nih Peunawa binti Habib Muda Seunagan (Mak Nih), Mak nih merupakan keturunan Muhammad Ali atau sering disebut dengan Syekh abdul Qaha. Dayah tarekat yang berkembang di Ule Jalan tepatnya di Keude Ule Jalan dipimpin langsung oleh Aja Nih Peunawa, mak nih memimpin langsung dayah tarekat khusus untuk jamaah perempuan di Kecamatan Beutong, adapun dayah-dayah tarekat di kecamatan Beutong ialah: a.) Desa Rambong b.) Desa Padang Sali c.) Desa Blang Seumot d.) Desa Meunasah dayah e.) Desa Meunasah Teungoh f.) Desa Kulam Jerneh g.) Desa Cot sala h.) Desa Krueng Isep i.) Desa Dayah j.) Desa Ujoeng Blang k.) Desa Lhok Seumot67 Dari daftar nama dayah tarekat diatas didominasi oleh jamaah perempuan karena pimpinan dayah perempuan, jamaah tarekat dari 11 dayah tersebut akan berkumpul di dayah Mak nih tepatnya di Ule Jalan, karena dayah mak nih merupakan dayah induk di Kecamatan Beutong. Adapun dayah induk di kecamatan beutong terdapat 3 tempat yaitu di Ule Jalan, Kuta Bate, dan Gunong Nagan. Aktivitas dayah tarekat yang berkembang di Beutong ialah dari jamaah tarekat Syattariyah, kegiatan yang dilaksanakan ialah pada malam senin usai shalat Isya Jama’ah melaksanakan zikir,

67Hasil wawancara dengan Aja Mutia binti Teungku Haji Muhammad Daud, pada Sabtu 29 Juni 2019. 72

Puasa Mujahadah khusus untuk jamaah perempuan, pada malam jum’at dayah mak nih mengelar samadiyah didalam perkarangan dayah mak nih. Jumlah Jama’ah dayah tarekat di Ule Jalan khusus untuk Jamaah perempuan sebanyak 50 orang perdayah. Dayah mak nih hingga saat ini diteruskan oleh Aja Mutia binti Teungku Haji Muhammad Daud.

c) Dayah Syaikhuna Habib Puteh Kila Dayah tarekat ini terletak di Kecamatan Beutong tepatnya di desa Blang Mesjid, dayah tarekat terekat tersebut dipimpin oleh Teungku Zainal Abidin, tau yang sering di panggil dengan sebutan Tgk Din, Teungku Zainal Abidin merupakan cucu dari pada Syakhuna Habib Puteh Kila. Aktivitas dayah Syaikhuna Habib Puteh kila ialah Zikir, dan Seulawat kepada Nabi. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada malam jum’at, dan malam rabu dipenuhi dengan jamaah Zikirullah, zikir dimulai setelah shalat Isya. Dayah terekat Syaikhuna Habib Puteh Kila di blang mesjid juga memiliki khalifah di desa desa dianataranya di desa : 1. Desa Blang Neuam 2. Desa Pante Ara Jumlah jamaah dayah tarekat Syattariyah di desa Blang Mesjid, Kecamatan Beutong ialah sekitar 30 orang. Jamaah tersebut berpusat di Desa Blang Mesjid tepatnya di dayah Syaikhuna Habib Puteh Kila.68 Sementara di Kecamatan Pante Cermen, Kabupaten Aceh Barat disana juga terdapat jamaah tarekat dan pimpinan dayah tarekat diantaranya ialah: 1. Teungku Saminna Daud Teungku Samina Daud merupakan pimpinan dayah tarekat di Menuang Kinco Kecamatan pante cermen, ia baru mendirikan dayah, yang sebelumnya aktivitas jamaah dilakukan di Mesjid.

68 Hasil wawancara dengan Teungku Zainal Abidin, pada 28 juni 2019. 73

Jumlah jamaah di dayah tarekat Teungku Samminna Daud sekitar 300 orang. Adapun khalifah tarekat di bawah pimpinan Tengku Saminna Daud di Kecamatan Pante Cermen Kabupaten Aceh Barat adalah : 1) Mukim Gunong Meuh a. Dayah tarekat di Desa Sawang Rambot Dayah tersebut terdapat di Kecamatan Pante Cermen, kabupaten Aceh Barat, dayah tarekat tersebut dipimpin pertama oleh teungku Salem, Teungku Salem wafat dan saat ini diteruskan oleh anaknya Teungku Usman atau yang sering disebut dengan Teungku Salem hingga saat ini. 2) Mukim Meunuang Kinco a. Dayah Tarekat Meunuang Kinco Dayah tarekat yang terletak desa Meunuang Kinco dipimpin langsung oleh Teungku Saminna Daud. Teungku Saminna Daud telah mendirikan dayah tarekat dengan nama dayah Syaikhuna, yang sebelumnya aktivitas jamaah dilakukan di mesjid. Dayah tersebut merangkap dengan desa Alue Keumang, dan desa Babah lueng. b. Dayah tarekat di Desa Seumara Dayah tarekat yang terletak di Desa Seumara dipimpin langsung oleh Teungku Abdul Rani dan saat ini dayah tersebut sedang dalam tahap pembangunan, dan dayah tersebut dibangun oleh Abu Sayid Mahdi. 3) Mukim Manjeng a. Jamaah tarekat di Desa Manjeng Jamaah tarekat yang terletak di Desa Manjeng dipimpin langsung oleh Teungku Cut Ali. b. Jamaah tarekat di Desa Pulo Teungoh Manyang dan Desa Keutambang Jamaah tarekat yang terletak di Desa Pulo Teungoh Manyang dan Desa Keutambang masih merangkap, sedangkan di Keutambang dipimpin langsung oleh Teungku 74

Amri, aktivitas jamaah dilakukan disuatu rumah dikarenakan memiliki tempat atau belum memiliki Dayah tarekat. c. Jamaah tarekat di Desa Jambak Jamaah tarekat yang terletak di Desa Jambak di pimpin oleh teungku Muhammad Amin dan aktivitasnya belum memiliki dayah masih dilaksanakan di perumahan. 4) Mukim Lango a. Jamaah tarekat di Desa Lawet Jamaah tarekat yang terletak di Desa lawet dipimpin langsung oleh teungku Muslem dan akivitas jamaah tarekat masih dilakukan di perumahan. b. Jamaah tarekat di Desa Canggai Jamaah tarekat di desa Canggai dipimpin langsung oleh Teungku Abdul Jalin c. Jamaah tarekat di Desa Sikundo masih merangkap dengan Desa Lawet. Dari berbagai dayah tarekat dan jamaah mukim di Kecamatan Pante Cermin lebih berpusat ke dayah Teungku Saminna Daud di Menuang Kinco. Teungku Imum Abdul Rahman ia merupakan ayah dari teungku Jalin yang merupakan khalifah tarekat di desa Canggai Kecamatan Pante Cermen. Tengku Imum Muhammad Daud merupakan abu dari Teungku Jalin, Teungku Imum Muhammad Daud sebelumnya menikah di Kila, kabupaten Nagan Raya dan beliau langsung berguru dari Abu Habib Muda Seunagan. Teungku Jalin yang merupakan khalifah tarekat di desa Canggai juga pengikut dari tarekat Syattariyah yang dikembangkan oleh Abu Habib Qudrat sampai saat ini. Aktivitas jamaah tarekat di Kecamatan Pante cermen Kabupaten Aceh Barat juga mengikuti himbauan dari Peuleukung, biasanya aktivitas di desa Canggai dilaksanakan ialah, untuk pertama yang masih masuk tarekat melaksanakan puasa tarekat, puasa 7, puasa 14, dan puasa 40 dan puasa ini di luar bulan Ramadhan. di Desa Canggai kecamatan 75

Pante Cermen dulunya memiliki Dayah tarekat, namun pada tahun 2017 akibat meluapnya air sungai hingga dayah tersebut dibawa oleh arus air yang deras. Dayah tersebut mulai berdiri sejak pada tahun 1979.69 Jamaah tarekat di Kecamatan Pante Cermen pada sore jum’at di dominasi oleh kalangan Ibu-ibu pada malam jum’at dengan dilaksanakan pengajian dan Zikir. Namun di mukim Manjeng lebih ramai pengikut jamaah tarekat dayah tarekat teungku Amri di desa keutambang. Untuk memulai aktivitas di dayah tarekat, khalifah biasanya melihat keadaan alam atau mengikuti keadaan gampong apa yang dibutuhkan oleh jamaah. Pengikut di desa Canggai hampir semua mengikuti tarekat Syattariyah. Aktivitas di kecamatan Pante cermen lebih aktif pada senin dan malam jum’at. Sementara di Kecamatan Kaway XVI kabupaten Aceh Barat disana juga memiliki dayah dayah tarekat Syattariyah diantaranya : 1) Mukim Tanjong Meulaboh a. Dayah Tarekat Teuping Panah Dayah tersebut berada di kecamatan Kaway 16 yang dipimpin oleh tengku Saiful.

Teungku Saminna Daud juga menerbitkan buku tentang tarekat Abu Habib Muda Seunagan, sosok Saminna daud juga merupakan pengikut Habib Muda Seunagan dan juga merupakan pimpinan dayah tarekat di Meunuang Kinco, sedangkan Abu lek ia merupakan pimpinan zikir di pante Cermen tepanya di Aceh Barat.70

69 Hasil wawancara dengan Teungku Abdul Jalin,pada 27 juni 2019 70 Hasil wawancara dengan Ardiansyah, pada senin 24 juni 2019 76

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Tarekat Syattariyah Abu Habib Muda Seunagan eksis karena pengikutnya sering mengikuti zikrullah (mengingat Allah), dan kegiatan keagamaan lainnya yang dipusatkan di dayah-dayat tarekat dan di Desa Peuleukung. Adapun zikir bagi penganut tarekat Syattariyah ialah zikrullah (meninggat Allah), umat Islam diperintahkan oleh Allah dan Rasul supaya banyak-banyak berzikir yakni menyebut nama Allah dengan lisan dan hati, baik ketika siang maupun malam. Zikrullah (menyebut asma Allah) dikalangan Abu Habib Muda Seunagan bersama dengan muridnya merupakan amalan paling pokok dan mendasar yang sudah mendarah daging bagaikan nafas dalam kehidupan, sehingga perintah berzikir setelah shalat suatu keharusan yang selalu diwanti-wanti kepada muridnya yang telah melakukan Bai’at kepada al Mursyid Abu Habib Muda Seunagan Selain berzikir, pengikut dan jamaah tarekat Syattariyah Abu Muda Seunagan juga mengamalkan tarekat melalui khalwat atau suluk dengan mengasingkan diri ke sebuah tempat di bawah kepemimpinan seseorang mursyid, kadang-kadang masa khalwat itu dari 10 hari, 20 hari, 40 hari. Adapun hakikat suluk ialah mengosongkan diri dari sifat-sifat mazmumah/buruk (dari maksiat lahir dan maksiat bathin) dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji/mahmudah dengan taat lahir dan batin. Bahkan di dayah yang dibangun hampir disemua Desa ada khalifah tarekat Syattariyah, ada berapa ratusan dayah tersebar diberbagai daerah di Aceh, dan sampai saat ini tempat- tempat murid Habib Muda Seunagan masih aktif dalam mengembangkan ajaran tarekat Syattariyah, salah satunya ialah di Nagan Raya yang terletak di Kecamatan Kuala, disana terdapat sebuah dayah yang dipimpin oleh Tgk Muda, dayah ini bernama dayah Syaikhuna Darul Istiqamah yang terletak di Desa Simpang 77

Peut, Kecamatan kuala, dayah ini salah satu dayah yang tertua di wilayah kecamatan kuala, saat ini dayah tersebut dijadikan sebagai tempat pusat pelaksanaan Ibadah dan Dzikrullah bagi jamaah Tarekat Syattariyah. Penyebaran ajaran tarekat Syattariyah Abu Peuleukung melalui berbagai hal dilakukan, diantaranya melalui zikir, suluk, dan melalui berbagai aktivitas di dayah-dayah tarekat yang ada di Aceh, hingga tersebar dan eksis sampai sekarang, tempat-tempat murid Habib Muda Seunagan masih aktif dalam mengembangkan ajaran tarekat Syattariyah. Kegiatan tersebut dilaksanakan didalam dayah dan dayah tersebut bukan dayah yang sering kita lihat, namun dayah ini ialah dayah tarekat yang didalamnya terdapat pimpinan dan murid. Adapun dayah tarekat Syattariyah yang berkembang saat ini yang diantaranya ialah kecematan Seunagan Kuala, Seunagan, kecamatan Kaway XVI, Kecamatan Beutong dan beberapa kecamatan di Nagan Raya dan Aceh Barat.

Adapun dayah tarekat syattariyah dan pimpinan dayah diantaranya ialah: A. Kabupaten Aceh Barat, Kecamatan Pante Cermen : 1. Tengku Saminna Daud Tengku samina daud merupakan pimpinan dayah tarekat di Menuang Kinco Kecamatan pante cermen, ia baru mendirikan dayah, yang sebelumnya aktivitas jamaah dilakukan di Mesjid. Adapun dayah tarekat di bawah pimpinan Tengku Saminna Daud di Kecamatan Pante Cermen Kabupaten Aceh Barat ialah : 1) Mukim Gunong Meuh a. Dayah tarekat di Desa Sawang Rambot Dayah tersebut terdapat di Kecamatan Pante Cermen, Kabupaten Aceh Barat, dayah tarekat tersebut dipimpin pertama oleh teungku Salem, Teungku Salem wafat dan saat

78

ini diteruskan oleh anaknya Teungku Usman atau yang sering disebut dengan Teungku Salem hingga saat ini. 2) Mukim Meunuang Kinco a. Dayah Tarekat Meunuang Kinco Dayah tarekat yang terletak Desa Meunuang Kinco dipimpin langsung oleh Teungku Saminna Daud. Teungku Saminna Daud telah mendirikan dayah tarekat dengan nama dayah Syaikhuna, yang sebelumnya aktivitas jamaah dilakukan di mesjid. Dayah tersebut merangkap dengan desa Alue Keumang, dan desa Babah lueng. b. Dayah tarekat di Desa Seumara Dayah tarekat yang terletak di Desa Seumara dipimpin langsung oleh Teungku Abdul Rani dan saat ini dayah tersebut sedang dalam tahap pembangunan, dan dayah tersebut dibangun oleh Abu Sayid Mahdi. 3) Mukim Manjeng a. Jamaah tarekat di Desa Manjeng Jamaah tarekat yang terletak di Desa Manjeng dipimpin langsung oleh Teungku Cut Ali. b. Jamaah tarekat di Desa Pulo Teungoh Manyang dan Desa Keutambang Jamaah tarekat yang terletak di Desa Pulo Teungoh Manyang dan Desa Keutambang masih merangkap, sedangkan di Keutambang dipimpin langsung oleh Teungku Amri, aktivitas jamaah dilakukan disuatu rumah dikarenakan memiliki tempat atau belum memiliki Dayah tarekat. c. Jamaah tarekat di Desa Jambak Jamaah tarekat yang terletak di Desa Jambak di pimpin oleh teungku Muhammad Amin dan aktivitasnya belum memiliki dayah masih dilaksanakan di perumahan.

79

4) Mukim Lango a. Jamaah tarekat di Desa Lawet Jamaah tarekat yang terletak di Desa lawet dipimpin langsung oleh teungku Muslem dan akivitas jamaah tarekat masih dilakukan di perumahan. b. Jamaah tarekat di Desa Canggai Jamaah tarekat di desa Canggai dipimpin langsung oleh Teungku Abdul Jalin c. Jamaah tarekat di Desa Sikundo masih merangkap dengan desa Lawet. Dari berbagai dayah tarekat dan jamaah mukim di Kecamatan Pante cermin lebih berpusat ke Dayah teungku Saminna Daud di Menuang Kinco.Teungku Imum Abdul Rahman ia merupakan ayah dari teungku Jalin yang merupakan khalifah tarekat di desa Canggai kecamatan Pante Cermen. Tengku imum Muhammad Daud merupakan abu dari Teungku Jalin, Teungku Imum Muhammad daud sebelumnya menikah di Kila, kabupaten Nagan Raya dan beliau langsung berguru dari Abu Habib Muda Seunagan. Dan saat ini Tungku Jalin yang merupakan khalifah tarekat di desa Canggai juga pengikut dari tarekat Syattariyah yang dikembangkan oleh Abu Habib Qudrat sampai saat ini. Aktivitas jamaah tarekat di Kecamatan Pante cermen Kabupaten Aceh Barat juga mengikuti himbauan dari Peuleukung, biasanya aktivitas di desa Canggai dilaksanakan ialah, untuk pertama yang masih masuk tarekat melaksanakan puasa tarekat, puasa 7, puasa 14, dan puasa 40 dan puasa ini di luar bulan Ramadhan. Bahkan di Desa Canggai, Kecamatan Pante Cermen dulunya memiliki Dayah tarekat, namun pada tahun 2017 akibat meluapnya air sungai hingga dayah tersebut dibawa oleh arus air yang deras. Dayah tersebut mulai berdiri sejak pada tahun 1979. Jamaah tarekat di Kecamatan Pante Cermen pada sore jum’at di dominasi oleh kalangan Ibu-ibu, dan pada malam jum’at dilaksanakan pengajian dan Zikir. Namun di mukim Manjeng lebih ramai pengikut jamaah tarekat dayah tarekat teungku Amri di Desa 80

Keutambang, untuk memulai aktivitas di dayah tarekat khalifah biasanya melihat keadaan alam atau mengikuti keadaan gampong apa yang dibutuhkan oleh jamaah. Pengikut di Desa Canggai hampir semua mengikuti tarekat Syattariyah, aktivitas di Kecamatan Pante cermen lebih aktif pada senin dan malam jum’at Sementara di Kecamatan Kaway XVI Kabupaten Aceh Barat disana juga memiliki dayah dayah tarekat Syattariyah diantaranya ialah 1) Mukim Tanjong Meulaboh a. Dayah Tarekat Teuping Panah Dayah tersebut berada di Kecamatan Kaway 16 yang dipimpin oleh tengku Saiful

B. Kebupaten Nagan Raya, Kecamatan Kuala Disana terdapat sebuah dayah tarekat tertua di Kecamatan Kuala yang dipimpin oleh 1. Dayah tarekat Tgk Muda Dayah tersebut kini ini di pimpin oleh Teungku Muda Ansari atau akrab dipanggil dengan sebutan Tgk Muda, dayah Syaikhuna Darul Istiqamah ini didirikan sejak tahun 1964, dayah tersebut merupakan dayah yang tertua di kecamatan kuala, sebelumnya dayah tersebut dipimpin oleh Teungku Abdul Wahab Wali dan kini dipimpin oleh anaknya Teungku Muda Ansari, dayah tersebut memiliki jumlah jamaah sebanyak 300 orang, jamaah tersebut dominasi oleh kalangan anak muda beserta bapak-bapak. Dayah Syaikhuna Darul Istiqamah memiliki jumlah Jamaah tarekat dari kalangan Ibu-ibu berjumlah 180 orang, pada malam harinya aktivitas dayah tersebut ialah melaksanakan kegiatan seperti Zikir setiap malam senin dan malam jum’at, sedangkan pada malam Jum’at lebih didominasi oleh kalangan jamaah ibu-ibu seperti menghadiri tausyiah, setiap malam nya apabila dibutuhkan oleh jamaah ibu-ibu.

81

Di dayah Syaikhuna Darul Istiqamah juga berkembang tarekat Syattariyah, tarekat yang berkembang di dayah tersebut didapatkan dari Habib Muda Seunagan, disetiap tahunnya banyak jamaah yang bergabung untuk mendalami ilmu tarekat ini, kebanyakan yang ingin bergabung dalam tarekat didominasi oleh anak muda, jamaah yang baru bergabung dalam tarekat akan dibawa ke Peulekung karena puncaknya ialah di Peleukung, berbagai masyarakat menyambut positif terhadap tarekat yang berkembang saat ini, serta dalam kalangan dayah darul Istiqamah ini ramai di dominasi oleh kalangan anak muda. Dalam komplek perkarangan dayah Syaikhuna Darul Istiqamah juga terdapat tempat Dzikir untuk jamaah Dzikir yang hadir untuk mengikuti dzikir, dayah Darul Istiqomah juga difasilitasi dengan Tujuh kamar yang disediakan khusus untuk jamaah Suluk laki-laki dan perempuan, diperkarangan dayah Darul Istiqamah juga terdapat Qubah dan didalamnya terdapat kuburan Almarhum Teungku Abdul Wahab Wali yang merupakan pimpinan pertama di Dayah Syaikhuna Darul Istiqamah, dan terdapat juga balai tempat istirahat bagi para jamaah tarekat. Pada setahun sekali dayah Syaikhuna Darul Istiqamah penuh dengan jamaah yang datang dari berbagai tempat, kegiatan rutinitas di dayah Syaikhuna Darul Istiqamah ialah pada malam senin dan malam jum’at, sedangkan dibulan puasa diperingati haul Abu. Ajaran tarekat ini ialah untuk mengenal diri, siapa diri kita yang sebenarnya, kalau mendengar kritikan kepada tarekat dari berbagai pihak kita tidak mempermasalahkan, karena abu Habib Qudrat pernah berpesan: Tanyoe bek peuken atah gop, dan bila gop peuken atah tanyoe, tanyoe bek beungeh (Kita jangan salahkan

82

punya orang, dan disaat orang menyalahkan (tarekat) kita, kita jangan marah)1

2. Kecamatan Beutong, Nagan Raya a. Dayah Aja Nih Peunawa Jamaah tarekat Syattariyah juga tersebar di Kecamatan Beutong, kabupaten Nagan Raya, tepatnya ule jalan, disana dayah tarekat dipimpin langsung oleh Aja Nih Peunawa binti Habib Muda Seunagan (Mak Nih), Mak nih merupakan keturunan Muhammad Ali atau sering disebut dengan Syekh abdul Qaha. Dayah tarekat yang berkembang di Ule Jalan tepatnya di Keude Ule Jalan dipimpin langsung oleh Aja Nih Peunawa, mak nih memimpin langsung dayah tarekat khusus untuk jamaah perempuan di Kecamatan Beutong, adapun dayah-dayah tarekat di kecamatan Beutong ialah: a.) Desa Rambong b.) Desa Padang Sali c.) Desa Blang Seumot d.) Desa Meunasah dayah e.) Desa Meunasah Teungoh f.) Desa Kulam Jerneh g.) Desa Cot sala h.) Desa Krueng Isep i.) Desa Dayah j.) Desa Ujoeng Blang k.) Desa Lhok Seumot Dari daftar nama dayah tarekat diatas didominasi oleh jamaah perempuan karena pimpinan dayah perempuan, jamaah tarekat dari 11 dayah tersebut akan berkumpul di dayah Mak nih tepatnya di Ule Jalan, karena dayah mak nih merupakan dayah induk di Kecamatan Beutong. Adapun

1Hasil wawancara dengan Teungku Muda Ansari (Teungku Muda), pada Rabu 26 juni 2019 83

dayah induk di kecamatan beutong terdapat 3 tempat yaitu di Ule Jalan, Kuta Bate, dan Gunong Nagan. Aktivitas dayah tarekat yang berkembang di Beutong ialah dari jamaah tarekat Syattariyah, kegiatan yang dilaksanakan ialah pada malam senin usai shalat Isya Jama’ah melaksanakan zikir, Puasa Mujahadah khusus untuk jamaah perempuan, pada malam jum’at dayah mak nih mengelar samadiyah didalam perkarangan dayah mak nih. Jumlah Jama’ah dayah tarekat di Ule Jalan khusus untuk Jamaah perempuan sebanyak 50 orang perdayah. Dayah mak nih hingga saat ini diteruskan oleh Aja Mutia binti Teungku Haji Muhammad Daud.

b. Dayah Syaikhuna Habib Puteh Kila Dayah tarekat ini terletak di Kecamatan Beutong tepatnya di desa Blang Mesjid, dayah tarekat terekat tersebut dipimpin oleh Teungku Zainal Abidin, tau yang sering di panggil dengan sebutan Tgk Din, Teungku Zainal Abidin merupakan cucu dari pada Syakhuna Habib Puteh Kila. Aktivitas dayah Syaikhuna Habib Puteh kila ialah Zikir, dan Seulawat kepada Nabi. kegiatan tersebut dilaksanakan pada malam jum’at, dan malam rabu dipenuhi dengan jamaah Zikirullah, zikir dimulai setelah shalat Isya. Dayah terekat Syaikhuna Habib Puteh Kila di blang mesjid juga memiliki khalifah di Desa- desa diantaranya Desa : 1. Desa Blang Neuam 2. Desa Pante Ara Jumlah jamaah dayah tarekat Syattariyah di desa Blang Mesjid, Kecamatan Beutong ialah sekitar 30 orang. Jamaah tersebut berpusat di Desa Blang Mesjid tepatnya di dayah Syaikhuna Habib Puteh Kila.

84

Pada malam senin jamaah tarekat Syattariyah mengelar Haul kepada Habib Muda Seunagan, seluruh pengikutnya yang datang dari berbagai daerah antara lain Lampasi Eungking Aceh Besar, Aceh Tamiang, Terangon Gayo Luwes, Labuhan Haji, dan Tangan-tangan Abdiya, Aceh Selatan, Kaway XVI dan pante Ceureumen Aceh Barat dan Nagan Raya sebagian basis pengikutnya yang paling banyak, menggelar Haul Habib Muda Seunagan yang ke 34. Ribuan jama’ah yang telah hadir dari berbagai daerah memadati lokasi peringatan haul yang berada di kompleks kediamannya (Rumoh Rayeuk), di Desa Peuleukung. Semua semata-mata untuk mengingat perjuangan beliau pernah mengenal lelah dalam mensyiarkan ajaran Rasulullah SAW. Haul Habib Muda Seunagan tepatnya pada pukul 21:00 Wib malam hari berlangsung khidmat, masing-masing jama’ah yang dipimpin oleh seorang khalifah memulai berdoa dengan mengharap limpahan rahmat dan barakah dari Allah SWT. Ada jama’ah yang berzikir, tahlil zikir (bil jahr) ada yang mengunakan tasbih dan tahmid, adapula jama’ah yang membacakan Suratul ikhlas (Qulhu Allahu Ahad) dan ada pula kelompok zikir yang khusus datang dari Desa Seumot, Ule Jalan (Beutong Bawah). Jama’ah ini dalam berdoa tampil beda dengan kelompok lain, jama’ah lain membacakan lantunan maulud Barzanji karya Seykh Ja’far al-Barjanzi dan Siratun Nabawi karya sejarawan Abu Ishaq.

85

B. Saran- Saran Berdasarkan uraian kesimpulan yang telah dikemukakan diatas ada baiknya penulis memberikan beberapa saran agar dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh semua pihak dalam meningkatkan segala aktivitas keagamaan. Adapun saran dapat disampaikan sebagai berikut : 1) Untuk menjaga keletarian dan kemurnian tarekat syattariyah, maka diharapkan kepada seluruh umat Islam agar dapat mengamalkan dengan sebaik-baiknya, serta meneruskannya kepada generasi selanjutnya secara berkesenambungan. 2) Kepada umat islam khususnya yang ada di Aceh, tarekat syattariyah jangan dipahami dan dianggap sebagai ajaran- ajaran bid’ah, sesat, dan salah, karena tarekat itu merupakan cara mendekatkan diri dan bertafakkur kepada Allah SWT melalui dzikirullah dan doa-doa. 3) Diharapkan kepada masyarakat Aceh agar dapat meningkatkan ketakwaan dengan memperbanyak dzikir kepada Allah SWT. 4) Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan demi kelengkapan dan kesempurnaan tulisan ini, karena penulis menyadari bahwa karya ilmiah atau Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. 5) Khususnya untuk mahasiswa program Studi Aqidah dan Filsafat, semoga dapat menjadi bahan masukan dan dapat pula dijadikan sebagai rujukan dalam penelitian selanjutnya.

86

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Syafi’i Mufid, Tangklukan, Abangan, Dan Tarekat: Kebangkitan Agama Di Jawa, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2016.

Aceh Abu Bakar, Pengantar Ilmu Tarekat: Uraian Tentang Mistik, Jakarta: Fa H.M Tawi Dan Soon, 1966.

Amsal Bakhtiar, Tasawuf Dan Gerakan Tarekat (Bandung: Angkasa, 2013.

Azra Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad Ke XVII Dan XVIII, Bandung: Mizan, 1995.

Ashofa Burhan, Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 2001.

Abdullah Hawash, Perkembangan Ilmu Tasawuf Dan Tokoh Tokoh Nya Di Nusatara, Surabaya: Al-Ikhlas, 1980.

Amiriddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2004.

Abdullah Ujong Rimba, Ilmu Tarekat dan Hakikat, Banda Aceh: MUI Daerah Istimewa Aceh, 1975.

Basri Hasan, “Perkembangan Thariqat Syattariyah Di Desa Peulekung Kecamatan Seunagan Timur Kabupaten Nagan Raya, 1972-2014”, dalam Skripsi Unsyiah, 2015.

Cut Rahma Rizki, Patronase Masyarakat Peuleukung (Nagan Raya) Pengikut Abu Habib Muda Seunagan Dalam Menentukan 1

87

Ramadhan, Semarang: Skripsi Patronase Masyarakat Peuleukung 2017. Daud Saminna, Abu Habib Muda Seunagan Thariqat Syattariyah Jakarta: Karya Sukses Sentosa, 2009.

Emzir, Metodelogi Penelitian Kualitatif Analisis Data,.

Fakriati “Naskah Tasawuf Teungku Khatib Langgien: sebuah kajian kondikologis”,JurnalWirdyariset13(1)163-172,2010.doi: http://dx.doi.org/10.14203/widyariset.13.1.2010.163-172

Hasil wawancara dengan Teungku Muda Ansari (Teungku Muda), pada Rabu 26 juni 2019

Husaini Usman dkk, Metodologi Penelitian Sosial.Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006.

Lexi.J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remadja Karya,1989.

Lindung Hidayat Siregar, Sejarah Tarekat Dan Dinamika Sosial, Medan: Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatra Utara, 2019.

Misri A. Muchsin, Dinamika Tasawuf Di Aceh Pada Abad Ke-20, Banda Aceh: ArraniryPress 2012.

Mulyati Sry, Mengenal Dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia, Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2011.

Nana Sujana Ahwal Kusuma, Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi. Bandung: PT. Sinar Baru Alga Sindo, 2000.

Noer Iskandar al Barsani, Tasawuf Tarekat Dan Para Sufi, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001.

88

Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau, Jakarta: Prenada media Group, 2008.

Fathurahman Oman, Shattariyah Silsilah, in Aceh, Java, and the Lanao Area of Mindanao, Tokyo: Research Institute for Laguanges and Cultural of Asia and Africa (ILCAA), 2016.

Sehat Ihsan Shadiqin, Abu Habib Muda Seunagan Republiken Sejati Dari Aceh,(Banda Aceh: Bandar Publishing, 2015).

Solihin, Muhammad, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara,PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005.

Tim Penyusun Kamus Bahasa Indonesia Depdikbut, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. 5 Jakarta: Balai Pusat, 1995.

Wawancara dengan Aja Mutia binti Teungku Haji Muhammad Daud, pada Sabtu 29 Juni 2019

Wawancara dengan Teungku Zainal Abidin, pada 28 juni 2019.

Wawancara dengan Teungku Abdul Jalin, pada 27 juni 2019.

Wawancara dengan Ardiansyah, pada senin 24 juni 2019.

Wawancara dengan Said Ramzali, pada sabtu 11 Juni 2019.

89

90

LAMPIRAN DOKUMENTASI

1.1 Dayah Nih Aja Peunawa Lokasi Dayah Tarekat tersebut terdapat di Ulee Jalan tepatnya di Keude Ule Jalan, dayah tersebut dipimpin oleh Aja Mutia Binti Tgk Haji Muhammad Daud. Dayah tersebut didominasi oleh kalangan perempuan dengan jumlah jama’ah 50 orang perdesa di Kecamatan Beutong.

Dayah tarekat Syattariyah di Desa Ule Jalan, Kecamatan Beutong, yang dipimpin Aja Mutia Binti Tgk Haji

91

1.2 Dayah Syaikhuna Habib Puteh Kila Dayah Tarekat tersebut terdapat di Kecamatan Beutong, tepatnya di Desa Blang Mesjid. Saat ini Dayah tarekat tersebut kini dipimpin oleh Teungku Zainal Abidin atau yang sering dipanggil dengan Tgk Din.

Tgk Zainal Abidin pimpinan Dayah Syaikhuna Habib Puteh Kila

92

1.3 Dayah Syaikhuna Darul Istiqamah Dayah Tarekat ini dipimpin langsung oleh Teungku Muda Ansari atau yang akrap disapa dengan Tgk Muda. Dayah tersebut dayah terlama di Kuala, dengan jumlah Jama’ah di dayah tarekat tersebut sekitar 300 orang.

Teungku Muda Ansari Pimpinan Dayah Syaikhuna Darul Istiqamah

93

1.4 Abu Habib Qudrat Wawancara dengan Abu Habib Qudrat, Mursyid tarekat Syattariyah di Kabupaten Nagan Raya.

1.5 Tgk Marsyul Alam

Wawancara dengan Tgk. Marsyul Alam ketua di mesjid Peuleung, mesjid peleukung merupakan lokasi tempat berkumpul jamaah tarekat Syattariyah Abu Habib Muda Seunagan.