Kontribusi Kaum Paderi dalam Modernisasi Pendidikan di Minangkabau Abad XVII – Awal Abad XX

OLEH: NINA WONSELA

NIM: 2113022100003

Diajukan Kepada Program Pascasarjana Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Humaniora (M.Hum) Di Dalam Bidang Sejarah Kebudayaan Islam

Program Magister Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2017

1

Kata Pengantar

Alhamdulillah, segala puja dan puji saya haturkan kepada Allah SWT, Tuhan setiap manusia, yang telah memberikan anugerahnya-Nya untuk menetapkan hati, raga dan pikiran penulis agar fokus dan tidak melalaikan kewajiban agama, kewajiban sosial, serta kewajiban akademik. Shawalat serta salam, saya kumandangkan untuk pemimpin para nabi dan rasul, Muhammad SAW, nabi yang teguh menyebarkan agama Islam, hingga sampai ke tanah Nusantara. Dari keyakinan sampai pada peradaban.

Tidak terasa, setelah melewati saat-saat kerja keras, akhirnya tesis selesai disusun. Berbagai macam pengalaman senang dan sedih, mudah dan susah sudah saya alami dalam menyusun tesis ini. Membaca kembali sejarah para datuk-datuk Minangkabau, adalah suatu kesenangan tersendiri, sampai- sampai hampir lupa bahwa masa studi ada batasnya. Inilah yang kemudian yang membuat saya untuk segera mengasingkan diri sejenak dari pekerjaan yang lain, mengkhususkan waktu untuk menyusun dan melewati fase-fase ujian hingga tahap akhir.

Saran serta kritik selalu saya tunggu untuk perbaikan kerja saya. Tidak bisa dipungkiri, dalam menyusun suatu sajian bacaan sejarah yang bermutu akan selalu diikuti oleh kesalahan ketikan, analisa serta pengambilan sumber yang kurang tepat. Oleh sebab itu, setiap masukan yang membangun, akan menjadi bahan pertimbangan saya, untuk selalu berhati-hati dalam menyajikan tulisan sejarah yang kronologis, analitis dan argumentatif.

Pada kesempatan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih beberapa pihak, antara lain:

1. Ucapan terimakasih saya tujukan kepada Dekan Fakultas Adab dan Humaniora Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag yang telah memberikan nasehat-nasehat serta kiat-kiat bagaimana bisa menyelesaikan studi magister dengan baik dan terukur. Beliau adalah pribadi yang begitu baik dan inspiratif. Sosok yang begitu saya hormati. Beliau bisa

i

menempatkan posisi di mana mesti menjadi penunjuk arah dan kapan saatnya menjadi kawan diskusi yang baik. 2. Ungkapan terima kasih saya sampaikan pula kepada jajaran pengurus Program Magister Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab, terutama kepada Dr. Abdullah, M.Ag, Dr Halid, M.Ag sebagai Direktur Program, serta Dr. M. Adip Misbahul Islam, M.Hum sebagai sekretaris, Prof. Oman Fathurahman, M.Hum, Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA sebagai penguji dan Dr. Ujang Toyib, Dr. Jajad Burhanuddin, M.Hum serta jajaran dosen-dosen Program Magister SKI yang telah banyak membantu, membesarkan hati, serta menyemangati saya untuk segera menyelesaikan tugas akhir. 3. Ucapan terima kasih, saya sampaikan kepada dosen pembimbing saya Prof. Dr. M. Dien Madjid yang tidak jemu menuntun saya dan memberikan arahan-arahan sumber serta analisa serta memberikan dorongan semangat agar tetap istiqomah menyelesaikan tesis ini. 4. Rangkaian kata terima kasih saya alamatkan pula pada sahabat- sahabat seperjuangan di Magister SKI, utamanya angkatan pertama pendahulu saya. Kalian adalah teman berbagi yang terbaik, tempat segala keluh kesah ketika saya susah, dan rekan dialog yang tepat dan menggugah jiwa. 5. Terimakasih kepada suami tercinta, Afrizal yang tidak jemu mendampingi saya menyusun tesis, bahkan ketika malam sudah larut. Juga kepada anak-anak, Yordan yang sulung, Marsela Hingis kedua, Daffa Malderama ketiga, dan bungsu Galas Maharani, kalian adalah sumber kekuatan dan hidup ibu, nak. Semoga kalian mendapatkan apa yang kalian impikan dan cita-citakan. Amin. 6. Terimakasih pula kepada orang tua, ayah Raf Darnys dan almarhumah ibu Syafrida, yang telah mengajarkan saya untuk selalu sabar dan bekerja keras sejak kecil. Semoga kalian diberi kesehatan, kelapangan rezeki serta limpahan anugerah dari Allah SWT. 7. Terakhir, terima kasih saya sampaikan pula bagi sejawat, kawan, serta pihak-pihak lain yang membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

Tidak ada yang bisa membalas kebaikan serta kabajikan kalian semua, selain kehendak dan anugerah dari Allah SWT. Semoga kalian semua

ii

mendapat kesenangan, kemudahan dan kelapangan rezeki dalam setiap hari- hari dalam hidup ini. Amin.

Harapan saya, semoga tesis ini bisa menjadi inspirasi terutama untuk menggugah jiwa dan ingatan kesejarahan, betapa agung dan mulianya hasil karya para generasi pendahulu.

Wasalam

Depok, 13 Oktober 2017

Nina Wonsela

iii

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Nina Wonsela NIM : 2113022100003 Tempat/tanggal lahir : Jakarta, 27 Januari 1970 Jurusan : Magister Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas : Adab dan Humaniora

Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis yang berjudul “ Kontribusi Kaum Paderi dalam Modernisasi Pendidikan Islam di Minangkabau Abad XVII – Awal Abad XX” adalah benar asli karya saya, kecuali kutipan – kutipan yang disebutkan sumbernya. Apabila terdapat temuan, kesalahan dan kekeliruan didalamnya, menjadi tanggung jawab saya sepenuhnya.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar – benarnya.

Depok, 13 Oktober 2017 Yang membuat pernyataan,

Nina Wonsela NIM. 2113022100003

iv

HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Nina Wonsela NIM : 2113022100003 Program Studi : Magister Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas : Adab dan Humaniora Judul Tesis :Kontribusi Kaum Paderi dalam Modernisasi Pendidikan Islam di Minangkabau Abad XVII – Awal Abad XX. Telah berhasil dipertahankan pada sidang munaqosah dan diterima sebagai persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) Program Studi Sejarah Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Panitia Sidang Munaqosah

Ketua Sidang Sekretaris Sidang (Dr. Halid, M.Ag) (DR. M. Adib Misbachul Islam, NIP: M.Hum) NIP: Penguji I Penguji II

(Prof. Dr. Oman Fathurahman, (Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA) M.Hum) NIP: NIP: Tanggal : 13 Oktober 2017 Tanggal :13 Oktober 2017 Pembimbing I

(Prof. Dr. M. Dien Madjid ) NIP: 194907061971091001 Tanggal :.13 Oktober 2017

v

Abstrak

Masyarakat Minangkabau merupakan salah satu tipologi masyarakat yang terlibat dalam proses perubahan sosial yang mempengaruhi perkembangannya ke depan. Muncul dan berkembangnya paham Paderi, ikut merombak tatanan lama masyarakat di sana yang sebelumnya hidup dalam suasana yang dipenuhi dengan unsur kriminalitas seperti merebaknya sabung ayam dan perjudian. Kaum Paderi terlibat persengketaan yang serius dengan kaum yang kemudian dibantu oleh kolonial Belanda hingga memuncak pada pecahnya Perang Paderi (1821-1838). Meskipun pasukan Paderi berhasil dikalahkan tentara Belanda, para mereka masih menempati posisi yang tinggi di tengah masyarakat. Terbukti dari beberapa latar keluarga ulama generasi kemudian, seperti Syekh Ahmad Khatib dan Haji Rasul, adalah para ulama yang berpaham Paderi. Dimulai dari keberangkatan Syekh Ahmad Khatib ke Mekkah maka pembaruan di Minagkabau sudah mulai dilakukan. Murid-murid Syekh Ahmad Khatib-lah yang belakangan banyak berperan dalam pembaruan pendidikan Islam di Minangkabau seperti Haji Rasul, Syekh Muhammad Djamil Djambek, Haji dan lain-lain. Ada tiga pertanyaan yang disampaikan sebagai rumusan masalah yakni; 1) Bagaimana keadaan sosial di Minangkabau pada abad 19 ?; 2) bagaimana model pemikiran Wahabi yang mengilhami lahirnya pembaruan Islam di Minangkabau ?; 3) ulama dan lembaga pendidikan mana saja yang disinyalir mendapat pengaruh dari ajaran Paderi ? Penelitian ini menekankan pada penelitian sejarah sosial. Pada bagian kerangka teori, penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi, dengan melihat pada fenomena perubahan sosial. Hadirnya paham Paderi membawa serta pada perubahan di bidang pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan yang lahir belakangan, dibangun oleh para ulama yang berlatarbelakang keilmuan dan ajaran Paderi, meskipun tidak sepenuhnya mengikuti pola-pola dakwah dan pengajaran kaum Paderi masa awal.

vi

Pedoman Transliterasi

Huruf Arab Huruf Latin tidak ا dilambangkan b ب t ت ث j ج ح kh خ d د ذ r ر z ز s س sy ش ص ض ط ظ ‘ ع g غ f ف q ق k ك l ل m م n ن w و h ه ء y ي

vii

Vokal Pendek

kataba كتب a = _____

su ila سئل i = _____

ya habu يذھب u = _____

Vokal Panjang

qala قال a = ... ا

qila قيل i = اي

u yaqulu = يقول

Diftong كيف kaifa = ا ي حول aula = ا و

Sumber : Keputusan Bersama Mentri Agama dan Mentri P dan K Nomor 158 tahun 1987- Nomor: 0543 b/u/1987.

viii

Daftar Isi

HALAMAN JUDUL ...... KATA PENGANTAR ...... i HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI ...... iv HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING DAN PENGUJI ...... v ABSTRAKSI ...... vi PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ...... vii DAFTAR ISI ...... ix

BAB I: PEDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang ...... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...... 12 C. Penelitian Terdahulu ...... 15 D. Kerangka Teori .,...... 17 E. Metode Penelitian ...... 20 F. Sistematika Penulisan...... 23

BAB II: MINANGKABAU SEKITAR ABAD XVII...... 25 A. Keadaan Sosial Masyarakat ...... 25 B. Masuk dan Berkembangnya Islam di Minangkabau ...... 36 C. : Tempat Ibadah, Pendidikan dan Kegiatan Sosial ...... 45

BAB III: MASA KOLONIALISME DI MINANGKABAU ...... 53 A. Interaksi dengan Dunia Luar ...... 53 B. Aktivitas Belanda dan Inggris ...... 59 C. Kebijakan Kolonial di Bidang Pendidikan ...... 72

BAB IV: KEDATANGAN DAN PENGUATAN POSISI PADERI DI ALAM MINANGKABAU ...... 81 A. Munculnya Golongan Paderi ...... 81 B. Kaum Paderi dan Ajaran Wahabi …………………………………. 92 C. Perubahan Model Pendidikan Masa Paderi ...... 104 D. Ulama Terkenal di Masa Paderi ...... 113

BAB V: KONTRIBUSI PADERI TERHADAP PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI MINANGKABAU ...... 124 A. Kemunculan Kaum Mudo ...... 124 B. Pembaruan Lembaga Pendidikan ...... 134 C. Kaum Paderi sebagai Aktor Perubahan Sosial ...... 146

ix

BAB VI: KESIMPULAN ...... 161 DAFTAR PUSTAKA ...... 164

x

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nusantara menyimpan beragam khazanah masa lalu yang menantang untuk diungkap. Jajaran pulau-pulau yang diikat oleh sabuk akuatik merupakan cangkang dari banyak cerita-cerita masa lampau, yang di satu sisi masih melokal dan belum banyak ditelaah para sejarawan. Di mana ada manusia bermukim, maka di situ pula wawasan sejarah dibina, dikelola dan disimpan sebagai memori kolektif bagi generasi masa depan. Akan selalu ada yang bisa dituai dari timbunan kisah orang lampau. Satu wilayah yang memiliki anyaman cerita yang unik ini adalah Minangkabau.

Minangkabau merupakan satu daerah yag terbentuk dari dinamika zaman yang panjang. Kota wilayah yang menyelimuti kaki Bukit Barisan ini, menjadi persemayaman orang-orang besar yang berkontribusi penting dalam kelahiran bangsa Indonesia. Satu yang unik dari wilayah ini adalah perkembangan corak keberislamannya yang tertempa dengan kuat, sehingga tidak ayal wilayah ini begitu kental dengan nuansa Islam, sampai-sampai muncul istilah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Terkaitnya deretan kata tersebut tentu bukanlan muncul begitu saja, melainkan adalah tampilan dari geliat manusia dalam memaknai perkembangan zamannya.

1

Dalam sejarah, Minangkabau dikenal sebagai wilayah penghasil lada dan emas. Daerah ini juga tersohor sebagai penghasil tenun dan kerajinan tangan lainnya. Perdagangan emas dan lada sudah dilakukan sejaka tahun 1347 sampai 1665, antara pedagang Minangkabau dengan pedagang Aceh. Di kemudian waktu perdagangan ini juga terjalin dengan para pedagang Inggris dan Belanda. Hasil pernigaan dua komoditas itu nantinya mengundang bangsa-bangsa Eropa untuk melakukan upaya monopoli guna menangguk keuntungan yang labih banyak.

Pusat pemerintahan Minangkabau terletak di Pagaruyung, namun Raja Pagaruyung hanya dipandang sebagai simbol pemersatu. Penguasa sesungguhnya atas tanah Mianangkabau adalah para penghulu adat. Balai adat yang diisi oleh para penghulu bertugas memutuskan sesuatu, yang berimplikasi pada kebijakan politik yang dijalankan atas negeri (desa) masing-masing. Para penghulu ini bukanlah wakil raja atas suatu daerah, melainkan adalah pemimpin yang ditunjuk sesuai “sakato alam” atau konsensus masyarakat. Kepemimpinan sombolik Raja Pagaruyung di samping sebagai lambang, juga dianggap sebagai pengikat adat, yang dalam praktiknya dibantu oleh Basa Ampek Balai, yang di dalamnya ada Datuk Bandaro Sungai Tarab (Ketua Adat), Tuan Makhudum di Sumanik (menteri kerajaan atau rantau), Tuan Kadi di Padang Ganding (menteri urusan agama), dan Tuan Gadang di Batipuh (menteri keamanan).

Melihat keadaan di atas, Tuanku Koto Tuo, seorang ulama yang dihormati sekitar awal abad ke 19, mulai mengadakan peletakan dasar-dasar pemurnian ajaran Islam. Ia menyeru untuk kembali mempelajari al-Qur’an dan hadis. Sayangnya, pendekatan persuasif yang dilakukan oleh Tuaku Koto Tuo tidak sepenuhnya diikuti oleh murid-muridnya yang memiliki

2

pandangan radikal, terutama Tuanku Nan Renceh, seorang ulama yang juga berpengaruh dan memiliki banyak murid di wilayah Luhak Agam.1

Sementara itu, sekitar tahun 1803, telah datang dari Mekkah tiga orang haji yeng bernama Haji Miskin dari Pandai Sikat, Haji Sumanik dari VIII Kota dan Haji Piobang dari Tanah Datar. Sebelumnya saat di Mekkah, mereka menjadi saksi atas bagaimana kaum Wahabi melakukan pembaruan Islam dengan membasmi aktivitas maupun pemahaman yang dianggap bid’ah (bidat). Oleh gerakan tersebut, mereka seakan memperoleh ilham dan inspirasi untuk melakukan aktvitas serupa di Minangkabau. Haji Miskin dengan bantuan seorang penghulu bernama Kuncir bergelar Datuk Batuah, melarang sabung ayam di Pandai Sikat. Seruan itu ditanggapi dingin oleh penduduk di sana, keadaan yang membuat Haji Miskin semakin marah. Pada suatu malam, ia membakar balai yang sering dijadikan adu ayam. Kaum Adat pun marah dan mengejar Haji Miskin. Haji Miskin lari dan mendapat perlindungan dari Tuanku Mensiangan. Pertikain pun semakin meluas, antara pengikut Haji Miskin dan kaum Adat terlibat perkelahian di dekat Balai Panjang di Kota Lawas.2

Masuknya Islam ke Minangkabau tercatat sekitar abad ke 16, tepatnya setelah kejatuhan Malaka. Dalam perkembangannya, ajaran Islam mulai bercampur baur (sinkretisme) dengan tradisi setempat dan proses ini berjalan dengan lama. Hal inilah yang kemudian tercermin dalam pepatah adat basandi syara, syara basandi kitabullah. Dapat dijelaskan bahwa Islam di sana menerima penyesuaian terhadap struktur dan landasan kultural masyarakat Minangkabau yang matrilinealistik, di mana sistem hak waris

1 Taufik Abdullah dkk, ed, Sejarah Umat Islam Indonesia (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1991) hlm. 154-155. 2 Sartono Kartodirdjo, ed, Sejarah Perlawanan-Perlawanan Terhadap Kolonialisme (Jakarta: Pusat Sejarah ABRI, Departemen Pertahanan Keamanan, 1973) hlm. 90-91.

3

terdapat dari garis ibu. Di akhir abad ke 18, situasi peradatan di Minangkabau mengalami perluasan makna, bahkan mulai bersentuhan dengan hal-hal yang sebenarnya tidak diperkenankan ajaran agama seperti perjudian, adu ayam, minum-minuman keras dan madat.3 Berbagai penyakit masyarakat itu nyatanya mendapat dukungan dari raja, para bangsawan serta penghulu. Dengan begitu, adat yang diagungkan semakin jauh dari ajaran Islam, dan menjadi sesuatu yeng menggelisahkan kaum ulama.4

Adat dan Islam di Minangkabau adalah dua hal yang telah saling berbicara sejak lama. Dialogisasi ini tentu saja banyak menyebabkan dampak yang signifikan terhadap perkembangan masyarakat, khusunya mengenai pemahaman agama. Sekitar abad 19, terjadi gerakan perubahan besar di jantung keagamaan orang Minang, yakni dengan adanya program pemurnian agama yang dimotori oleh tiga haji sebagaimana yang disebutkan sebelumnya. Mereka melancarkan pembaruan dengan membatasi gerak adat Minang yang meskipun sudah ada unsur Islam di dalamnya, namun dianggap belum menampilkan ajaran Islam sebagaimana yang diajarkan Rasulullah. Dalam keadaan itu, pesona adat Minang dihadapkan pada pilihan yang sulit, antara eksis di bawah dominasi Islam (dengan tidak diketahui pengikut 3 haji tersebut) atau tumpas diberangus.

Perang Paderi yang terjadi pada medio pertama abad 19, merupakan titik kulminasi dari desakan orang Minang manghapuskan kuasa Belanda. Perang ini dimotori oleh orang-orang Paderi. Istilah “Paderi” sendiri berasal dari kata Portugis yang merujuk pada sosok ahli agama yang mengenakan busana putih. Orang-orang yang tergabung dalam perang ini mengenakan

3 William Marsden menyebutkan bahwa perjudian dan sabung ayam merupakan permainan favorit yang bisa ditemukan hampir di seluruh belahan Sumatera. Lebih lanjut lihat William Marsden, Sejarah Sumatera, Terj. A.S. Nasution dan Mahyudin Mendam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999) 4 Taufik Abdullah, Sejarah Umat ..., hlm. 155.

4

pakaian serba putih sebagai simbolisasi bahwa perang tersebut adalah perang di jalan Allah dan untuk membela agama Islam. Kelompok Paderi ini mengambil warna putih sebagai antitesa terhadap kelompok adat yang mengenakan busana hitam.5 Jika dilihat dari seragam saja, sudah terasa ada perbedaan cara pandang yang besar akan penghayatan Islam di tengah orang Minang. Sebagai catatan kelompok adat itupun juga sebagian besar beragama Islam, hanya saja mereka lebih mengedepankan aturan adat dalam menyelesaikan masalah mereka, ketimbang menggunakan ajaran-ajaran muamalat dalam Islam.

Sebenarnya, di dalam adat Minangkabau pun banyak unsur-unsur Islam yang dapat ditemukan, sebelum kedatangan tiga haji dari Mekkah. Sebagai contoh adalah persyaratan pembentukan nagari, yang salah satunya adalah memiliki masjid. Suatu nagari harus memiliki kelengkapan: satu berlabuh (punya jalan), kedua bertapian, ketiga berbalai, keempat bermesjid dan kelima bergelanggang. Nagari hendaknya memiliki jalan yang bisa dilewati untuk keluar masuk nagari tersebut. Kemudian, suatu nagari harus memiliki sumber air untuk minum, mandi dan kebutuhan lain-lain. Balai atau yang disebut juga balai adat adalah sekumpulan orang yang ditunjuk sebagai dewan penghulu yang bertugas mengadakan musyawarah atau memutuskan perkara yang terkait kepentingan sosial. Masjid yang layak digunakna adalah masjid yang bisa menampung jamaah shalat Jumat yang biasanya dipimpin oleh khatib, imam atau bilal. Yang dimaksud dengan gelanggang adalah lapangan luas yang digunakan untuk kepentingan orang banyak.

5 Sartono Kartodirdjo, Sejarah Perlawanan ..., hlm. 89.

5

Lapangan ini biasanya digunakan untuk melepas penat dan tempat bermain- main bagi para muda-mudi.6

Kedatangan ajaran Paderi menimbulkan gempita di tengah masyarakat Minangkabau. Kaum beradat memandang Paderi sebagai salah satu ancaman, mengingat pola dakwahnya yang menghalalkan kekerasan. Serangan-serangan ofensif yang dialamatkan pada masyarakat adat begitu membekas, hingga menyebabkan kebencian mereka terhadap kelompok tersebut. Namun, dalam babakan sejarah nasional, kebencian terhadap mereka direalisasikan dalam cara yang justru bertentangan dengan eksistensi mereka, yakni dengan menjadi rekan Belanda dalam menghadapi tentara Paderi kelak.7 Keadaan yang menyebabakan perubahan posisi dalam percaturan politik Minangkabau, di mana Paderi yang tadinya datang sebagai ancaman, saat itu menjelma menjadi sosok heroistik yang menentang dominasi Belanda yang disokong beberapa kaum adat.

Paham Wahabisme, sebagaimana yang dianut oleh 3 haji di atas, merujuk pada suatu aliran keagamaan yang berkembang di Saudi Arabia sekitar akhir abad ke 18. Ajaran ini pertama kali diperkenalkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab yang menemukan momentum perkembangannya setelah dirinya bersatu dengan Muhammad bin Saud dari Dirayah, Nejed, seorang kepala suku lokal. Keduanya kemudian bersatu melapangkan dakwah Wahabi ke seantero wilayah Arabia bahkan hingga menentang keberadaan pemerintahan Usmani yang saat itu menjadi penguasa atas Haramain dan wilayah-wilayah di sekitarnya. Puncak keemasan aliran keagamaan ini adalah saat menjungkalkan kedudukan Syarif Mekkah, lantas

6 Taufik Abdullah dan S. Budhisantoso, peny, Sejarah Sosial Di Daerah Sumatra Barat (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983-1984) hlm. 32. 7 Sartono, Sejarah Perlawanan ..., hlm. 94.

6

menjadi penguasa atas wilayah-wilayah penting di sekitar Hijaz sekitar medio kedua abad 18.

Ajaran Wahabisme bermula dari semacam romantisme menghadirkan kembali konsep ajaran Islam Nabi Muhammad pada abad ke 7. Mereka menganggap bahwa model keberislaman di waktu itu sudah jauh menyimpang, dan harus segera dimurnikan sesuai dengan asalnya. Penegasan ketuhanan mereka begitu radikal, hingga mengharamkan untuk menyembah dan percaya kepada selain Allah. Mereka begitu mengharamkan perbuatan musyrik (menyekutukan Tuhan) dan penyembahan berhala. Dua dosa yang tidak akan diampuni oleh Tuhan. Ekspresi ritual Islam lokal semacam tarekat-tarekat dan ajaran kesufian mereka tolak. Tidak berhenti sampai situ, pengikut Wahabi bahkan menghancurkan makam-makam tokoh- tokoh Islam yang semula dianggap suci dan ramai dikunjungi peziarah. Pohon-pohon yang dikeramatkan ditumbangkan. Mereka dikenal memaksakan ajaran mereka, dan jika menolak maka akan diseret pada hukuman-hukuman tertentu.8

Adat matrialistik dan pelegalan perbuatan-perbuatan yang melanggar agama, sebagaimana yang telah disebutkan, merupakan sebagian dari yang ingin dirubah oleh ketiga haji tersebut. Oleh sebab terjadi penolakan yang keras dari masyarakat adat, para pengikut Wahabi tersebut akhirnya melancarkan serangan-serangan yang berakibat pada pebunuhan mereka yang tidak sepakat dengan gerakan orang Paderi. Oleh sebab penyebarannya yang begitu masif, kelompok Paderi berhasil menancapkan pengaruhnya di beberapa wilayah termasuk Empat Angkat, IV Kota, Candung dan Kota Tua.

8 John L. Esposito, Islam dan Politik, Terj. Joesoef Sou’yb (Jakarta: Bulan Bintang, 1990) hlm. 140-142.

7

Tuanku Nan Renceh bersama dengan ketujuh ulama kawannya, seperti disebutkan di atas, membentuk persekutuan untuk memperkuat posisinya. Mereka dikenal sebagai Harimau Nan Selapan, julukan ini merujuk pada cara-cara dakwah mereka yang keras. Kelompok ini mendatangi Tuanko Koto Tuo untuk memintanya menjadi pemimpin. Tuanku Koto Tuo sebenarnya amat bersimpati dengan kelompok ulama ini, hanya saja ia keberatan jika cara-cara yang keras dan kasar dilakukan dalam berdakwah. Hal ini juga yang membuatnya menolak ajakan bergabung mereka. Kedudukan pimpinan mereka akhirnya dijabat oleh Tuanku Mensiangan.

Kaum Adat pun mulai bersiap menyongsong pangikut Paderi. Mereka sengaja mengadakan semacam perayaan yang didalamanya diadakan sabung ayam besar-besaran di Kampung Batabuh, dekat Sungai Puar. Tuanku Koto Tuo yang mengetahui aksi itu begitu mengecamnya, namun murid-muridnya bergerak menuju lokasi dan pecahlah pertempuran di Batipuh. Pertempuran ini membuat kaum adat dan kaum Paderi terlibat dalam kebencian yang kian mendalam dan di antaranya telah terjalin kebulatan tekad untuk saling menahan pengaruh dari lawan-lawannya.9

Beberapa buku yang menjelaskan tentang seputar Perang Paderi, banyak menyorot hal ini dalam konteks anti-kolonialisme atau pertentangan adat dan agama serta mengenyampingkan perubahan kultur Minangkabau. Jikapun ada, maka sifatnya hanyalah sebagai pelengkap dan tidak dianalisa secara eksplanatif dan mendalam.10 Maksud penulis adalah ingin menghadirkan dampak kedatangan purifikasi Islam Paderi terhadap kelangsungan budaya

9 Sartono Kartodirdjo, Sejarah Perlawanan ..., hlm. 91-92. 10 Beberapa yang bisa disebutkan seperti Taufik Abdullah dan S. Budhisantoso, peny, Sejarah Sosial Di Daerah Sumatra Barat (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983-1984).

8

Minangkabau, dengan melihat pada beberapa produk budaya yang berubah dan disinyalir mendapat pengaruh dari pemaham Islam Paderi.

Paham Wahabi, sebagaimana yang diprakatekkan di wilayah asalnya, sepertinya memiliki perbedaan corak dengan yang ada di Minangkabau. Belakangan paham ini menjelma menjadi gelora rakyat melawan kedudukan Belanda. Sebagian kelompok adat pun, bergabung dengan Belanda sebagai bagian dari kelanjutan resistensi mereka terhadap meruyaknya golongan Paderi. Jadi, peta yang didapatkan adalah orang Paderi berhadapan dengan Belanda yang disokong pula oleh kaum adat. Pertikaian ini mengerucut pada upaya kaum Paderi mengusir penjajah. Upaya yang tidak berhasil dilaksanakan hingga masa akhir perlawanan Paderi pada 28 Desember 1838 ini, ditandai dengan mundurnya pasukan Paderi pimpinan Haji Muhammad Saleh dan .11

Kontak dagang rakyat Minangkabau dengan VOC terjadi sekitar awal abad ke 17. Saat itu, para pedagang Belanda, bersama dengan pedagang asing lainnya, banyak yang berlalu-lalang di pesisir pantai Sumatera Barat, seperti di Tiku, untuk mendapatkan emas dan dari pedalaman Minangkabau. Posisi mereka belumlah bisa dikatakan sebagai penguasa atau penjajah, karena kehadiran mereka adalah murni berdagang.12

Penulis melihat gerakan purifikasi agama di Minangkabau membawa dampak baru bagi perkembangan pendidikan Islam di sana. Persentuhan ketiga haji Paderi di atas dengan pusat-pusat perkumpulan umat Muslim di dunia, membawa wacana baru bagi cita keberagamaan di sana. Sebagian masyarakat, termasuk ulama yang berafiliasi kepada mereka, paling tidak

11 Sartono Kartodirdjo, Sejarah Perlawanan ..., hlm. 119. 12 Mardjani Martamin dkk, Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme di Sumatera Barat (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983) hlm. 23 dan 26 – 27.

9

mendapatkan suatu bahan berpikir baru yang menjadi landasan mereka untuk melakukan suatu perbuatan. Ketika membicarakan Wahabi di Minangkabau, memang tidak seharusnya melulu dibawa pada kasus pertentangan adat dengan agama, namun bisa pula ditinjau dari sudut persentuhannya dengan sendi-sendi masyarakat yang vital, umpamanya saja pendidikan.

Beberapa tokoh ulama pembaharu Minangkabau, sebagian ada yang terinspirasi dari gerakan Paderi. Mereka memang tidak lagi melakukan perlawanan terhadap Belanda dan kaum adat, namun lebih mencurahkan perhatiannya terhadap perkembangan agama Islam, salah satunya adalah Syekh Ahmad Khatib. Menurut , Syaikh Ahmad Khatib, yang lahir sekitar tahun 1855, adalah seorang anak hakim Paderi, yang memiliki latar belakang keluarga yang taat beragama juga beradat Minangkabau. Ia berkesempatan menimba ilmu di Mekkah dan memutuskan untuk tidak kembali lagi ke kampungnya. Meskipun demikian, ia tetap membina hubungan yang baik dengan jemaah haji dari Nusantara, termasuk dari Minangkabau. Bahkan, beberapa muridnya asal Minangkabau, banyak yang menjadi tokoh-tokoh agama yang berpengaruh di kemudian waktu. Beberapa yang bisa disebutkan adalah Syaikh Muhammad Djamil Djambek, Syaikh , Haji Abdullah Ahmad, Syaikh Sulaiman ar-Rasuli, dan dari Jawa ialah K.H. dan K.H. Hashim Asyari.13

Hamka menegaskan bahwa meskipun gerakan Paderi tidak sampai membuat suatu negara Islam, namun pengaruhnya masih terasa hingga masa berikutnya. Hal ini dibuktikan dengan polarisasi Islam yang kian menguat di sanubari rakyat Minangkabau. Mereka tidak lantas bersedia berganti agama

13 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1980) hlm. 38-39.

10

menjadi Kristen sebagaimana yang terjadi di Tanah setelah kalahnya Si Simangaradja XII.

Suatu keyakinan yang mempercayai bahwa perang Paderi merupakan puncak dari pertikaian kaum agama dan kaum adat tidak seluruhnya tepat. Pendapat itu sebenarnya adalah propaganda yang dilancarkan kolonial agar persatuan di kalangan orang Minangkabau terpecah belah. Yang menjadi sasaran Paderi hanya perbaikan akhlak masyarakat, yang sebelum tahun kedatangan Haji Miskin tahun 1803, sudah sangat jauh dari ajaran Islam.

Kekalahan kaum Paderi pada 1838 dari Kompeni tidak lantas diratapi oleh para simpatisan Paderi. Sebaliknya, muncul gelora baru di kalangan para pelajar agama untuk menuntut ilmu agama, bahkan sampai ke kiblat dunia Islam, yakni Mekkah. Jika kemudian sekolah Raja didirikan Belanda adalah untuk keturunan bangsawan Minangkabau, maka keturunan ulama dan pejuang Paderi, atau orang yang tidak langsung terlibat dalam gerakan Paderi, memilih untuk menyekolahkan anaknya ke Mekkah. 14

Penulis tertarik untuk mendudukkan dampak dari munculnya gerakan pemurnian Islam di Minangkabau dalam masalah pendidikan. Alasan utama yang dikedepankan adalah ketertarikan peneliti untuk mengungkap sejauh mana jejak-jejak pengaruh purfikasi Islam ini mewarnai geliat pendidikan Minangkabau, khususnya di masa-masa modern awal. Melalui studi terhadap ulama, lembaga pendidikan serta kurikulum pendidikan dalam kurun waktu tersebut, harapannya akan didapat suatu telaah baru mengenai sejarah pendidikan Di Minangkabau, yang disinyalir memiliki koneksi dengan ajaran-ajaran Paderi.

14 , di Minangkabau (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, tanpa tahun) hlm. 7 – 8.

11

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pembaruan di Minangkabau ditinjau dari segi pendidikan, memang merupakan tema yang masih sangat luas. Oleh sebab itu, hal itu membutuhkan beberapa pembatasan yang nantinya bisa menjadi suatu tampilan yang mewakili perbincangan mengenai tema itu. Peneliti mengartikan pembaruan pendidikan ke dalam beberapa kata, yakni ulama dan jaringannya serta lembaga pendidikan, yang disinyalir mempunyai corak ajaran-ajaran kaum Paderi. Ulama merupakan suatu jenis profesi dalam masyarakat yang mempunyai otoritas dalam bidang agama. Ismuha mengungkapkan bahwa terjadi penyempitan makna ulama jika ditinjau dari bahasa asalnya. Ulama merupakan jamak dari kata alim, yang berarti orang berilmu. Di masa kini, ulama hanya diperuntukkan bagi orang yang mempunyai pengetahuan tentang agama Islam.15

Dalam tesis ini, penulis menyebut kelompok ulama di Minangkabau yang mengadakan pembaruan dengan istilah kaum Paderi. Paderi sendiri adalah penyebutan bagi orang yang baik dan teguh memegang ajaran agama. Adapaun pengertian gerakan Paderi di Minangkabau adalah gerakan yang dimotori orang-orang saleh untuk membenahi lunturnya akhlak terpuji di sekitar mereka serta menghapuskan sistem matriarkat (sistem keluarga yang condong ke garis ibu).16

Dalam Encyclopaedie van Nederlansch-Indie, dijelaskan bahwa Padri adalah sebuah sekte Muslim kuat yang ada di dataran tinggi Padang. Penganut Paderi dikenal sebagai umat Mohammadanisme (Islam) yang taat dan lurus. Mereka melakukan pemantauan yang ketat terhadap lembaga-

15 Ismuha, Ulama Aceh dalam Perspektip Sejarah (Jakarta: LIPI, 1976) hlm. 1. 16 B. J. O. Schrieke, Pergolakan Agama di Sumatra Barat: Sebuah Sumbangan Bibliografi, Terj. Soegarda Poerbakawatja (Jakarta: Bhratara, 1973) hlm. 4.

12

lembaga adat Minangkabau dan berusaha dengan kekuatannya untuk menertibkan orang-orang yang jauh dari hukum Islam untuk kembali menaati ajaran agamanya itu.17

Hamka meyakini bahwa terbitnya gerakan Paderi di Minangkabau adalah membawa ajaran Syekh Muhammad bin Abdul Wahab atau yang dikenal dengan Wahabi yang berasal dari Saudi Arabia. Di Minangkabau, Haji Miskin, salah satu penyebarnya yang datang pada 1803, terinspirasi dari ajaran Wahabi untuk memberantas praktek-praktek menyimpang masyarakat seperti sabung ayam, minum tuak dicampur dengan darah kerbau, perang batu di antara satu suku atau kampung dengan suku atau kampung lainnya, serta berbagai kebiasaan lain yang dianggap merugikan dan menyalahi ajaran Islam.18

B. J. O. Schrieke berkeyakinan berbeda dengan Hamka. Ia berketetapan bahwa kaum Paderi Minangkabau tidaklah terpengaruh ajaran Paderi. Tidak semua orang Muslim yang melakukan ajaran agama Islam dengan ketat dan tekun dianggap Wahabi. Kepercayaan Schrieke bersumber dari pembacaannya akan ceritera Djalaloeddin dan memori dari Tuanku Laras yang didapatkannya dari Bataviaasch Genootschap di bagian Naskah Melayu. Dalam dua naskah itu tidak ditemukan keterangan bahwa terbitnya gerakan Paderi adalah sejak diperkenalkan oleh Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang datang dari Mekkah yang memang saat itu di Mekkah sendiri sudah kental dengan nuansa ajaran Wahabi.

Kemudian, sejauh pembacaan Schrieke, tidak ditemukan praktek- praktek ekstrem Wahabi dalam beberapa pandangan orang Paderi. Dalam

17 Entri “Padri’s” dalam P. A. Van der Lith dkk, Encyclopaedie van Nederlandsch- Indie, Jilid 3 (Leiden: Martinus Nijhoff – E. J. Brill, 1896) hlm. 168. 18 Hamka, Muhammadiyah …, hlm. 7.

13

kasus penghormatan akan Nabi Muhammad SAW misalnya, kaum Paderi tidak melakukan pelarangan sebagaimana yang dilakukan penganut Wahabi. Begitu pula dalam ritual pemujaan (pengkeramatan) para orang suci yang sudah mengakar di Minangkabau, tidak lantas dilarang oleh kaum Paderi. Jika dibandingkan dengan yang terjadi di Mekkah adalah sebaliknya, yakni ritual semacam itu mengalami pelarangan dan dianggap keliru. Jadi, tidak tepat jika dikatakan kaum Paderi adalah juga kaum Wahabi.19

Adapaun lembaga pendidikan yang dimaksud, adalah lembaga pendidikan yang dimaknai sebagai tempat memperoleh pengajaran agama. Dalam konteks Minangkabau, lembaga pendidikan yang dibahas bukan hanya yang dikatakan sebagai sekolah modern semata, namun juga lembaga pendidikan tradisional lainnya, seperti surau yang didalamnya tempat orang mengaji, yang guru-gurunya ditengarai mendapat pengaruh pemikiran dari gerakan Paderi. Termasuk dalam hal ini, akan dibahas tentang sistem pendidikannya, kurikulum, aktivitas belajar serta kitab atau buku apa yang dikaji di dalamnya.

Kemudian, pembatasan selanjutnya adalah mengenai waktu dari tema yang diangkat. Peneliti mempersempit cakupan waktu hanya berkisar pada abad ke XIX hingga awal XX. Di abad tersebut banyak terjadi peristiwa- peristiwa yang menjadi momen penting dalam pembaruan pendidikan Minangkabau. Wacana mengenai persinggungan adat dengan agama, dikotomi pendidikan Belanda dengan pribumi serta aktivitas intelektual yang dilakukan beberapa cerdik pandai di sana menjadi beberapa pembahasan yang bisa ditemui pada kurun waktu ini.

19 Schrieke, Pergolakan Agama …, hlm. 17 – 18.

14

Untuk mempermudah pembahasan nantinya, maka masalah-masalah tersebut akan dirumuskan menjadi beberapa pertanyaan, yakni:

1. Bagaimana keadaan setting sosial Minangkabau pada abad XIX? 2. Bagaiamana model pemikiran Wahabi yang mengilhami lahirnya pembaruan Islam di Minangkabau? 3. Ulama dan lembaga pendidikan mana saja yang disinyalir mendapat pengaruh dari ajaran Paderi?

C. Penelitian Terdahulu

Beberapa buku serta tulisan yang ditemukan mengenai modernisasi Islam sudah cukup banyak. Namun, jika sampai pada tema mengenai modernisasi Islam dalam konteks Minangkabau, agaknya belum begitu banyak dijumpai. Mengenai modernisasi Islam, salah satu buku yang mengupas tema tersebut adalah buku yang ditulis oleh dengan judul Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya.20 Buku ini menitikberatkan pembahasan mengenai konsep modernisasi serta pengaruh modernisasi Islam secara global. Dalam pembahasan lainnya, buku ini melihat bahwa munculnya Timur Tengah sebagai salah satu kekuatan intelektual di dunia modern, adalah respon dari pengaruh agama Katolik yang beberapa dasawarsa belakangan sedang mengalami perkembangan yang pesat. Buku ini membantu penulis dalam memahami perkembangan Islam modern, utamnya ketika mnyinggung tradisi pribumi. Disebutkan pula, meskipun gejolak modernisasi dimulai di dunia Barat, namun auranya terbawa sampai ke belahan dunia Muslim. Buku ini tentu saja berbeda dengan pembahasan peneliti, yang meneropong modernisasi Islam dalam skup geografis, hanya di wilayah Minangkabau saja.

20 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 1986).

15

Masuk dan perkembangan kaum Paderi dalam babakan sejarah Nusantara, merupakan salah satu fase penting terbitnya modernisme Islam di Minangkabau. Mengangkat Perang Paderi sebagai suatu even masa lalu yang menabalkan peran kaum puritan Islam sebagai aktor-aktor pembebas dari belenggu adat dan kolonialisme Belanda, menjadi suatu keharusan untuk dimunculkan. Terdapat buku yang dieditori oleh Sartono Kartodirdjo, yang isinya antara lain mengupas Perang Paderi. Buku ini berjudul “Sejarah Perlawanan-Perlawanan Terhadap Kolonialisme” terbit pada 1973. Buku ini berisikan tentang beberapa perang heroik yang mempunyai pengaruh signifikan dalam perkembangan sejarah bangsa. Perang-perang seperti Perang Jawa, Perang Aceh, Perang Jagaraga di Bali, Perang Paderi dan lain- lain, adalah beberapa momen heroik yang kedudukannya vital sebagai wahana memupuk patriotisme dan kecintaan terhadap negeri.21 Sayangnya, Perang Paderi dalam buku ini lebih banyak ditekankan pada aspek militer dan perang sebagai solusi, sedikit menempatkan perbincangan mengenai persinggungan adat dan agama, serta dampak-dampak perang Paderi dalam bidang pendidikan.

Literatur lain yang membahas tentang persinggungan kaum Paderi dengan kolonial Belanda adalah ditulis oleh Elizabeth E. Graves, berjudul The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule in The Nineteenth Century. Di dalam buku ini dipaparkan mengenai keadaan kaum Paderi setelah melewati fase perang terbuka dengan pasukan kolonial serta reaksi mereka terhadap semakin mengakarnya kedudukan Belanda di Minangkabau bahkan di sebagian besar wilayah Sumatera, terhitung sejak tahun 1837. Disampaikan pula mengenai rekruitmen tenaga pribumi untuk mengisi

21 Sartono Kartodirdjo, ed, Sejarah Perlawanan-Perlawanan Terhadap Kolonialisme (Jakarta: Pusat Sejarah ABRI, Departemen Pertahanan Keamanan, 1973)

16

struktur birokrasi kolonial.22 Mengenai pengaruh ajaran Paderi terhadap perkembangan pendidikan di Minangkabau, agaknya belum banyak disentuh di buku ini.

Christine Dobbin, sarjana asing lainnya, juga menyorot aspek perang Paderi dalam karyanya yang berjudul “Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah: Sumatera Tengah 1781-1847.” Dobbin melihat terjadinya perang Paderi melalui aspek ekonomi, bahkan ia berkeyakinan bahwa aspek enonomilah yang mendasari berlangsungnya pertikaian tersebut. Baik kaum Paderi maupun pemerintah, terlibat dalam perlombaan akan penguasaan komoditas-komoditas dagang unggulan seperti yang bisa ditemukan di lembah subur Mandailing atau tambang emas di Rao. Perang yang berlangsung antara keduanya, tidak lebih hanyalah “perang perdagangan”, bukan semata-mata reaksi atas kedatangan Belanda atau dilandasi perang keagamaan.23 Kajian ini turut memperkaya khazanah kesejarahan Perang Paderi, mengingat di masa – masa sebelumnya, tulisan mengenai perang Paderi banyak yang menerbitkan anti-kolonialisme an sich sebagai latar belakang terjadinya perang ini.

D. Kerangka Teori

Pengaruh dari kemunculan gerakan Paderi menimbulkan dampak yang signifikan bagi kelangsungan masyarakat Minangkabau setelahnya. Hampir setiap sendi kehidupan masyarakat, mengalami perubahan atau setidaknya terdapat percampuran pengaruh Paderi. Islam kemudian menjelma menjadi

22 Elizabeth E. Graves, The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule in The Nineteenth Century (Singapore: Equinox Publishing, 2010) hlm. 11. 23 Christine Dobbin, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah: Sumatera Tengah 1781-1847 (Jakarta: INIS, 1992).

17

faktor elemental pembentuk adat, bahkan mampu bersinergi dengannya. Di pihak lain, Islam ditampilkan pada ranah pendidikan sebagai salah satu alat yang memperkenalkan orang Minangkabau pada ajaran Islam berbasiskan pada komodernan.

Memang terdapat kesulitan ketika mendudukkan paham Paderi sebagai pemicu lahirnya modernitas. Di satu sisi, Paderi mengajak pada puritanisme yang sebagian besar menginduk pada ajaran murni Islam, namun di satu sisi ajaran Paderi tampil sebagai pembebas adat Minangkabau dari belenggu kegiatan-kegiatan negatif masyarakat, yang sebelumnya sudah diakui sebagai bagian dari adat. Namun, terlepas dari kebingungan itu, Paderi melakukan perubahan dalam keseharian Minangkabau, khususnya mengenai dunia pendidikan di sana. Beberapa tokoh pembaharu Paderi, mendapatkan pengaruh dari pemikiran ulama-ulama Paderi. Satu yang telah disebutkan adalah Syekh Ahmad Khatib.

Tesis ini agaknya cocok jika ditinjau dari segi sejarah intelektual. Jika mendudukkan antara pengaruh ajaran Paderi terhadap modernitas pendidikan di Minangkabau, maka salah satu jalan yang bisa dilakukan adalah dengan menelisik geneologi keilmuan, termasuk juga ideologi dan penghayatan para pelakunya. Sartono Kartodirdjo mengatakan bahwa ketika membicarakan sejarah intelektual, maka akan bersinggungan dengan seberapa jauh formasi ide atau ideologi menentukan atau mempengaruhi keadaan lokasi sosial.24 Gagasan, apakah nyatanya mampu merubah, memberi pengaruh atau bahkan sekedar hidup dalam jangka waktu tertentu dalam suatu sistem sosial.

Peneliti tertarik untuk membicarakan masalah tema yang dipilih dalam konteks hubungan sosial. Perubahan format pemikiran, lembaga pendidikan

24 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia, 1990) hlm. 180.

18

bahkan kurikulum di Minangkabau pada abad ke 19, ada kaitannya dengan beredarnya ajaran Paderi di masyarakat. Paham mereka seperti mendapat momentum untuk tampil sebagai senyawa yang merubah kegelisahan sosial akibat maraknya kegiatan penyakit masyarakat (perjudian dan sabung ayam) yang disponsori oleh kaum adat. Ajaran Paderi berfungsi membenahi keadaan masyarakat itu, di antaranya dengan pendidikan. Setelah masa perang fisik berakhir, ide-ide Paderi disemai bahkan dilembagakan menjadi sekolah-sekolah agama yang mempunyai reputasi baik di mata masyarakat.

Fenomena tersebut adalah satu fragmen dari perubahan sosial di Minangkabau. Perubahan sosial sendiri memiliki tiga pemaknaan: 1) perubahan sosial adalah berubahnya sistem sosial, yakni perubahan pada struktur, kultur dan interaksi sosial; 2) merujuk pada penjelasan Charles R. Harper, perubahan sosial berarti menyoroti perubahan struktur sosial; 3) perubahan sosial berhubungan dengan transformasi dalam pengorganisasian masyarakat.25 Meskipun ketiganya mengutarakan maksud yang berbeda, namun ada suatu benang merah yang menyatukan ketiganya, yakni kedudukan perubahan dari satu fase ke fase yang lain.

Perubahan sosial yang nantinya digunakan sebagai pisau analisa, adalah disesuaikan dengan masalah pendidikan. Sebagai sampel atas uji tersebut, maka akan dipaparkan beberapa kasus perubahan sosial yang tercermin dalam diri ulama, lembaga pendidikan serta kurikulum pembelajaran. Ulama, meskipun pengkajiannya terkesan individual, namun yang dikemukakan adalah kedudukan mereka sebagai sentrum di tengah masyarakatnya. Ulama adalah termasuk elit yang memiliki kapasitas sebagai salah satu elemen pengatur umat, khususnya dalam hal sosio-keagamaan. Media yang

25 Yusron Razak, ed, Sosiologi Sebuah Pengantar (Jakarta: Laboratorium Sosiologi Agama, 2008) hlm. 180-183.

19

digunakannya pun melalui metode pembelajaran, baik itu ceramah, seruan, anjuran atau temu-temu ilmiah secara berkala.

E. Metode Penelitian

Penelitian mengenai dampak gerakan Paderi terhadap modernisasi pendidikan di Minangkabau ini, adalah suatu model penelitian sejarah. Dengan demikian, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian sejarah. Metode ini terdiri dari empat langkah kerja, yakni pengumpulan sumber (heuristik), kritik sumber, interpretasi dan penulisan sejarah atau historiografi.

Pengumpulan sumber merupakan aktivitas pertama yang dilakukan dalam penelitian ini. penulis mendatangi beberapa perpustakaan, termasuk perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora dan Perpustakaan Utama, keduanya di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, untuk mendapatkan referensi terkait. Termasuk pula tempat yang penulis datangi adalah ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) yang terletak di kawasan Kemang dan Perpustakaan Nasional RI di Salemba, keduanya di Jakarta. Di kedua tempat terakhir, terdapat beberapa sumber primer yang bisa diakses.

Sumber primer yang sudah didapat antara lain adalah Tambo Minang. Belum jelas betul, kapan Tambo Minang ditulis. Sumber ini berisikan tentang penjelasan sejarah, masyarakat serta hukum yang ada di Minangkabau, yang tercipta sudah sejak masa yang lama. Bahkan disebutkan, Iskandar Zulkarnain adalah leluhur masyarakat Minangkabau. Tambo ini penting untuk memberi informasi seputar sejarah sosial kehidupan

20

masyarakat Minangkabau, termasuk di dalamnya asal-usul hukum yang berlaku.26

Dalam penelitian sejarah, terdapat dua macam sumber, yakni sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer diartikan sebagai sumber- sumber tertulis ataupun lisan, yang diproduksi pada kurun waktu objek penelitian. Oleh karena penelitian yang dipilih berkisar pada abad 19, maka sumber-sumbernya adalah diproduksi pada waktu tersebut. Kelihatannya sumber lisan tidak diutamakan dalam laporan ini mengingat informan pada abad tersebut, sangat sulit untuk dijumpai. Sumber tertulis adalah yang paling mungkin didapatkan, materinya berbentuk dokumen-dokumen, arsip, majalah, buku, brosur, catatan harian, serta materi-materi tertulis lainnya yang sezaman. Sedangkan sumber sekunder merujuk pada materi-materi tertulis, dari pelbagai media penulisan, yang diproduksi bukan pada kurun objek penelitian, termasuk di dalamnya adalah laporan penelitian atau buku- buku relevan yang diterbitkan pada masa kini.27

Langkah selanjutnya adalah dengan melakukan kritik sumber terhadap sumber-sumber tersebut. Dalam metode sejarah, terdapat dua macam kritik sumber, kritik eksternal dan kritik internal. Kritik eksternal dilakukan untuk mengidentifikasi keaslian sumber, yakni dengan melihat jenis kertas, model tulisan, cap stempel, dan hal-hal lain yang menyangkut kondisi fisik sumber. Jika telah dibuktikan bahwa sumber tersebut telah memenuhi syarat bahwa itu diproduksi ketika masa objek penelitian berlangsung, maka bisa ditetapkan sebagai sumber yang otentik. Kemudian, kritik internal ditujukan pada informasi yang tertulis dalam sumber tersebut, apakan yang disebutkan

26 Sri Guritno, peny, Tambo Minang (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen P dan K, 1994) hlm. 96 – 97 dan 120 – 121. 27 M.Dien Madjid dan Johan Wahyudhi, Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar (Jakarta: Prenada, 2013) hlm. 219.

21

di dalamnya adalah informasi yang bernas atau bersumberkan pada suatu rujukan yang bisa dipercaya, ataukah tidak.28

Selanjutnya, berdasarkan sumber-sumber yang sudah terkumpul, maka akan dilakukan pembacaan kembali (interpertrasi) atasnya. Interpretasi dalam kajian sejarah bertopang pada hasil analisa-analisa yang dilakukan atas sumber, kemudian sampai pada penetapan uraian kritis atasnya, baik berupa sanggahan, pemberian keterangan, atau memberi keketapan kembali (pengakuan) atas sumber itu. Termasuk ke dalam interpretasi, adalah dengan memberikan analisa-analisa mutakhir, yang bisa saja mematahkan atau memberikan catatan kritis atau mengakui hasil-hasil penelitian yang lebih dahulu dilakukan. Yang jelas, interpretasi ini merupakan corong untuk menyuarakan suatu temuan baru dalam penelitian sejarah, meskipun temanya bisa saja sudah terlebih dahulu diteliti para sarjana lain.

Historiografi menjadi destinasi terakhir dari proses penelitian sejarah. Hasil-hasil penelaahan akan sumber-sumber dan hasil interpertasi tersebut kemudian dituangkan ke dalam penulisan yang terstruktur dan diupayakan kronologis, meskipun dalam prakteknya, bisa saja galur waktu yang diambil bisa ke mencakup waktu yang lebih ke depan, atau ke belakang. Paling tidak uraian yang ditampilkan memiliki narasi dan eksplanasi yang disesuaikan batang utama kronologinya. Langkah historiografi dalam penelitian ini adalah penulisan tesis ini sendiri.29

28 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 1995) hlm. 99-100; lihat juga Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI Press, 2006) hlm. 98-99 dan 112. 29 Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Tangerang: Logos Wacana Ilmu, 1999) hlm. 91-93.

22

F. Sistematika Penulisan

Tesis ini terdiri dari lima bab. Bab pertama tesis ini adalah pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang penelitian, pembatasan dan perumusan masalah, kajian terdahulu, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua dari tesis ini adalah memerikan tentang keadaan sosial di Minangkabau sekitar abad ke 19. Termasuk dalam pembahasan ini adalah penjelasan tentang kehidupan dan adat istiadat masyarakat Minangkabau, masuk dan berkembangnya Islam di Minangkabau serta bagaimana cara keberislaman orang Minangkabau. Dipaparkan pula mengenai keberadaan institusi pendidikan dan ulama yang mempunyai pengaruh pada masa itu.

Selanjutnya, bab ketiga menerangkan tentang keberadaan pasukan kolonial di Minangkabau. Diketahui, perpecahan antara kalangan Adat dan Paderi, semakin menemukan bilah tajamnya, manakala bersinggungan dengan kepentingan kolonial. Sebagai kelompok yang memiliki persediaan senjata yang memadai, maka amat cocok jika kelompok Adat menjadikan mereka sebagai sekutu untuk menghadapi kelompok Paderi. Di samping Belanda, Inggris juga pernah bersinggungan dengan kaum Adat meskipun tidak selama Belanda

Pada bab keempat membahas tentang aktivitas orang Paderi di Minangkabau. Ikut dipaparkan pula mengenai kedatangan 3 orang haji dan aktivitas mereka dalam menyemikan ideologi Paderi. Perang Paderi ikut ditampilkan pula sebagai kontinuitas eksistensi gerakan ini. Dijelaskan juga mengenai konsep pemikiran Wahabi, paham yang melahirkan gerakan Paderi, serta integrasinya dengan pola keislaman orang Minangkabau.

23

Kemudian, seputar persinggungan kelompok Paderi dengan kolonial Belanda juga turut ditampilkan.

Bab kelima, lebih mengerucut, menjelaskan tentang konstribusi paham Paderi dalam modernisasi pendidikan di Minangkabau. Di dalamnya akan dijelaskan mengenai ulama, lembaga pendidikan dan kurikulum serta pola pengajaran di Minangkabau yang disinyalir mendapat pengaruh dari gerakan Paderi. Perubahan sosial yang tampil di ranah pendidikan, akan menjadi suatu kupasan yang bisa dijumpai dalam bab ini. Dijelaksan pula mengenai kedudukan pendidikan Islam Minangkabau berhadapan dengan pendidikan modern kolonial.

Bab terakhir berisikan tentang kesimpulan, yang merupakan jawaban atas permasalahan yang dirumuskan di bab pertama, serta saran yang perlu untuk disampaikan.

24

BAB II

MINANGKABAU SEKITAR ABAD XVII

A. Keadaan Sosial Masyarakat

Minangkabau merupakan suatu jajaran wilayah yang terletak di Pulau Sumatera, tepatnya di Sumatera bagian Barat. Dewasa ini, sebagian besar wilayah Minangkabau masuk dalam provinsi Sumatera Barat. Di masa kolonial Belanda, yakni sekitar abad 19, wilayah Minangkabau beribukota di Bukittinggi, yang sekaligus tercatat sebagai kota terbesar di pedalaman Sumatera Barat. Kota ini terletak di Kabupaten Agam. Dalam tradisi Minangkabau, Bukittinggi adalah bagian dari Luhak Agam, yang merupakan salah satu dari “Luhak nan Tigo”. Bukittingi dalam pelafalan administrasi kolonial, Bukittinggi disebut Fort de Kock, merujuk pada keberadaan benteng (fort) di sana yang dibangun oleh Kapten Bauer pada 1825 di atas Bukit Jirek. Nama de Kock sendiri berasal dari nama perwira Belanda bernama Baron Hendrik Markus de Kock, yang pernah menjadi komandan militer dan Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Benteng tersebut menempati posisi penting sebagai simbol kuasa kolonial di sana. Dari benteng inilah serangan dilancarkan untuk membendung pergerakan tentara Paderi yang datang dari sekitar Luhak Agam. Setelah pasukan Paderi berhasil ditundukkan dan keadaan sosial telah

25

dipulihkan, pemerintah Belanda memberlakukan Tanam Paksa kopi, seperti yang telah dilakukan Belanda di Priangan Jawa Barat.30 Bukittinggi belakangan menjadi kota pengumpul kopi terbesar di pedalaman Sumatera Barat. Untuk menyokong eksploitasi ekonominya, Belanda pun membentuk pemerintahan sipil setempat, dengan berpedoman pada sistem kenegerian di Minangkabau sebelumnya. Tuanku Laras, kepala kalarasan Kurai dan Banuahampu adalah mitra Belanda dalam menguasai wilayah-wilayah sekitarnya. Sampai abad 20, Bukittinggi masih menjadi ibukota Keresidenan Padang Barat.31

Christine Dobbin menjelaskan bahwa pusat pemukiman orang Minangkabau terdiri atas empat lembah di dataran tinggi. Keempatnya berada dalam lingkup Bukit Barisan, di satu titiknya mempunyai lebar 50 mil, berbentuk dua deretan pegunungan yang terpisah. Mereka membentuk wilayah yang lebih kecil yang lebarnya sekitar 18.000 mil persegi atau sekitar 11 % dari tanah pulau itu. Lembah yang berada di ujung barat memiliki ketinggian 3000 mdpl. Sedangkan lembah di ujung timur terhampar hingga bertemu Selat Malaka, tingginya sekitar 1500 kaki. Semunya memiliki kontur dasar yang lembab, berawa, sebagian terdiri dari telaga. Sepertinya seluruh daerah itu dulunya pernah dilingkupi oleh telaga, atau juga diisi air yang setiap periodenya mengalami penurunan.

Keempat lembah itu masing-masing dipisahkan oleh bukit-bukit berbatu dan semuanya berdiri di dekat gunung berapi. Pada ketinggian 3000 mdpl, terdapat Lembah Agam yang terletak di kaki Gunung Singgalang. Gunung Singgalang sendiri memiliki tinggi 9400 kaki. Di sebelah tenggara

30 Mengenai Tanam Paksa kopi di Priangan lebih lanjut lihat Jan Breman, Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870, Terj. Jugiarie Soegirto, dkk (Jakarta: YOI, 2014) 31 Taufik Abdullah dan S. Budhisantoso, peny, Sejarah Sosial Di Daerah Sumatra Barat (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983-1984) hlm. 1.

26

Lembah Agam terdapat Lembah Tanah Datar. Keduanya ditengahi oleh kerucut puncak Gunung Merapi yang tingginya 9500 mdpl, dan menjadi titik paling elok dari alam Minangkabau. Menurut sejarah, gunung tersebut adalah pemukiman asal orang Minangkabau. Baru kemudian, orang Minangkabau turun gunung mencari daerah yang memiliki kandungan air. Turun perlahan-lahan dari Gunung Merapi, terhampar Lembah Singkarak- Solok. Lembah ini sejajar dengan posisi Tanah Datar yang dipisahkan oleh pegunungan rendah. Di dasar lembah, terdapat Danau Singkarak yang berbentuk oval (bulat telur). Panjang danau ini sekitar 12,5 mil dengan lebar maksinal 5 mil. Dari Danau ini mengalir suatu aliran air ke arah timur yang nantinya akan bertemu dengan salah satu sungai terbesar di pantai Timur Sumatera. Di lembah ini juga terdapat gunung berapi. Di sebelah Barat Laut Lembah Singkarak-Solok berbatasan dengan Gunung Talang yang tingginya kira-kira 4500 mdpl.32

Lembah keempat yang merupakan lembah terendah dari keempatnya adalah Lima Puluh Kota. Lembah ini terdapat jauh di sebelah Timur sejajar dengan Agam dan memiliki ketinggian 1500 mdpl. Lembah ini condong pelan-pelan ke pantai timur. Di ujung tenggara, lembah ini bertetangga dengan gunung berapi Sago yang memiliki tinggi 5000 kaki. Barisan-barisan pegunungan inilah yang mempengaruhi terciptanya identitas sosial yang saling berebeda. Meskipun terdapat faktor-faktor pembeda dari keempat lembah itu, secara historis semuanya dianggap sebagai satu kesatuan oleh orang Minangkabau. Lembah-lembah inilah yang merupakan tanah dan air mereka. Cakupan keempat lembah inilah yang dinamakan alam Minangkabau.

32 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Paderi, Terj. Liliad D. Tedjasudhana (Depok: Komunitas Bambu, 2008) hlm. 3-4.

27

Semua yang berada di luar keempat lembah tersebut adalah daerah luar. Di keempat lembah itu memang terdapat perbukitan kecil, yang diisi dengan danau, sungai, gunung-gunung, yang terelatak di sebelah barat laut dan tenggara, disebut rantau. Daerah rantau adalah wilayah terdepan pemukiman orang Minangkabau. Rantau ditinggali pula oleh orang Minangkabau, namun wilayahnya tidak semua yang termasuk dalam alam Minangkabau.33

Anthony Reid membenarkan pendapat Dobbin dengan menyatakan bahwa wilayah yang termasuk dalam pusat berkumpulnya manusia di Minangkabau adalah di Tanah Datar, Lima Puluh Kota, Agam dan lembah Solok di Selatan Danau Singkarak. Belakangan terjadi perpindahan penduduk massif, tepatnya sejak berkecamuknya Perang Paderi, di mana aktivitas kaum Paderi banyak berlalu-lalang di wilayah dataran tinggi. Kala itu, masyarakat berbondong-bondong menuruni bukit dan berdiam di dataran yang lebih rendah. Dampaknya, saat pemerintah kolonial melakukan suatu sensus antara tahun 1852 dan 1890, didapati penduduk dataran tinggi naik sebanyak empat kali, sedangkan dataran rendah membengkak menjadi 14 kali lipat.34

Orang Minangkabau merupakan entitas masyarakat yang terbentuk dari budaya campuran. Mereka begitu dekat dengan tradisi hidup pegunungan pedalaman seperti mencari gambir, rotan, kamper lantas mengantarkannya ke hilir. Tapi mereka juga mempunyai tradisi maritim, khususnya mereka yang berdiam di pesisir barat Sumatera. Tradisi lisan di sana banyak mengkisahkan tentang kisah pengelana-pengelana, pelaut-pelaut dan orang- orang jauh dari rumah secara puitis. Tidak seperti masyarakat kepulauan, masyarakat model ini justru sulit dipastikan. Walaupun secara administratif

33 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 4-6. 34 Anthoni Reid, Menuju Sejarah Sumatera; Antara Indonesia dan Dunia, Terj. Masri Maris (Jakarta: YOI, 2011)hlm. 51.

28

Minangkabau masuk dalam wilayah Sumatera Barat, namun ini sifatnya arbitrer, karena ada bayang-bayang kolonial di balik pembentukannya.35

Kota Bukittinggi sebagai tempat berkumpulnya orang Minang, terletak di simpang tiga yang menghubungkan Padang, Solok dan Padang Panjang di sebelah Barat Daya; Payakumbuh di Timur Laut; dan Jurusan ke Bonjol, Lubuk Sikaping dan Padang Sidempuan di Utara. Di kota ini juga terdapat pula jalan kereta api yang menghubungkan Payakumbuh dengan Padang Panjang. Di Padang Panjang terdapat dua cabang rela, menuju Solok di Selatan dan Padang ke arah Baratnya. Kedua kota ini terletak tinggi di atas permukaan laut. Oleh karena itulah rel menuju ke Padang Panjang dan Payakumbuh menggunakan rel gigi. Karena permukaan tanah Bukittinggi tidak datar, menyebabkan pasar di sana terbagi dua, yakni Pasar Atas dan Pasar Bawah. Kedua pasar tersebut dihubungkan dengan suatu jembatan gantung yang dinamakan Jenjang 40, diperuntukan bagi pejalan kaki.

Kota Bukittinggi berbatasan dengan: Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Tilatang Kamang/Kamang; Sebelah Selatan dengan Kecamatan Banuhampu/Sungai Puar; Sebelah Barat dengan Kecamatan IV Koto; Sebelah Timur dengan Kecamatan IV Angkat/Candung. Kota ini adalah kota yang luas dibuktikan dengan adanya lima jorong, yakni Jorong Mandiangin, Jorong Aur Birogo, Jorong Koto Selayan, Jorong Tigo Baleh dan Jorong Guguk Panjang.

Ketika Belanda berkuasa di Minangkabau, masing-masing jorong itu diperintah oleh seorang penghulu, dan kelimanya berada dalam kepemimpinan seorang bergelar Tuanku Laras (Tuanku Lareh, bahasa

35 Jeffrey Hadler, Sengketa Tiada Putus; Matriarkat, Reformisme Agama dan Kolonialisme di Minangkabau, Terj. Symasuddin Berlian (Jakarta: Freedom Institute, 2010) hlm. 6

29

Minangkabau). Selanjutnya, kelima jorong itu dibagi dua: 1) Tiga Baleh, Aur Birugo dan Koto Selayan di bawah kepemimpinan seorang penghulu kepala; 2) Mandiangin dan Guguk Panjang diperintah pula seorang panghulu kepala. Penghulu-penghulu tersebut tidak memperoleh gaji. Baru ketika jorong- jorong itu mengalami pemekaran, dan ditetapkan bahwa masing-masing dipimpin oleh seorang penghulu kepala, mereka mendapat gaji yang tetap.36

Mata pencaharian penduduk Minangkabau yang tinggal di pegunungan, seperti Koto Gadang, adalah bertani sawah dan berladang, beternak, tukang kayu dan tukang emas. Bertukang kayu bukanlah mata pencaharian pokok di Koto Gadang, dan biasanya hanya digunakan di dalam nagari saja. Di masa lampau, ketika orang ingin membangun rumah gadang, maka harus didahului persetujuan keluarga se-paruik dan se-kaum. Kebulatan mufakat dari pertemuan itu kemudian disampaikan kepada ninik mamak dan penghulu- penghulu di kenegerian itu untuk meminta arahan menurut adat yang berlaku. Penghulu-penghulu nagari nantinya akan menentukan banyak hal menyangkut persiapan itu seperti kapan waktu yang tepat pergi ke rimba, menebang dan mengolah kayu, membuat tonggak, mendirikan rumah, dan lain-lain. nagari bertanggung jawab atas pembangunan rumah sampai pada tahap diukir dan ditempati. Pemilik rumah hanya bertugas menyiapkan makanan dan minuman saja.37

Dari uraian di atas, diketahui bahwa masyarakat Minangkabau terbentuk dari adat yang bertumpu pada gotong-royong. Budaya saling beramai-ramai membantu sanak saudara ini, tercermin dalam kalimat sarayo-manyarayo38, atau tolong menolong. Kemudian, kedudukan orang sekampung dan para memuka adat begitu dijunjung tinggi, sehingga masalah

36 Taufik Abdullah, Sejarah Sosial ..., hlm. 5-6. 37 Azizah Etek dkk, Koto Gadang Masa Kolonial (Yogyakarta: LKiS, 2007) hlm. 23. 38 Azizah Etek, Koto Gadang ..., hlm. 24.

30

pendirian rumah saja hingga melibatkan orang banyak. Hal ini tidak bisa dipungkiri mengingat dalam rumah gadang yang besar, bisa ditinggali orang banyak, dan mungkin saja ada saudara yang ikut tinggal di dalamnya. Prosesi pembangunan rumah menjadi pantulan kebudayaan kolektif masyarakat di sana.

Rumah Gadang, kampung atau suku merupakan cerminan dari tradisi kekerabatan matriarkat orang Minangkabau. Matriarkat atau garis keturunan ibu begitu kental dalam budaya Minang, sehingga membentuk jalinan kuat dalam masalah institusi-institusi adat, pewarisan juga residensi matrilokal yang menjadi komponen penting dalam bangunan budaya mereka. Seorang laki-laki yang menikah dengan anggota suku besar, akan tetap terikat dengan rumah ibu mereka. Sebagian waktu dalam seharinya, akan dihabiskan untuk mengunjungi keluarga ibu, mengolah ladang, bahkan memulihkan diri ketika sakit, sampai pada dimakamkan di kuburan keluarga

Di mata orang Minang kedudukan suami tidak ubahnya seperti orang yang datang dan pergi. Dalam salah satu ungkapan orang Minang disebutkan “Urang sumando itu seperti langau di ekor kerbau, atau abu di atas tunggul (angin berembus kencang, abu melayang).” Seorang pejabat kolonial menggambarkan kehidupan lelaki yang melenggang di waktu pagi ke rumah ibu mereka dan bermalam di tempat sang istri, tidak lebib seperti chassez- croisez di lingkungan kampung. Chassez-croisez sendiri merujuk pada istilah dalam tarian balet, ketika penari perempuan berganti tempat melewati pasangannya.39

Adat di Minangkabau memang memiliki keragaman. Antara satu nagari dengan nagari lainnya mungkin saja ada yang berbeda. Misalnya saja

39 Jeffrey Hadler, Sengketa Tiada ..., hlm. 8-9.

31

yang ditemukan di Koto Gadang, tidak sama dengan di tempat lainnya. Di Koto Gadang perempuan yang berkampung di Koto Gadang diwajibkan untuk tidak boleh meninggalkan tanah asalnya. Sejak lahir perempuan Koto Gadang tidak diperkenankan menetap di tempat lain. kaum laki-laki Koto Gadang yang sudah menikah dan kebetulan bekerja sebagai tukang emas yang merantau ke Padang, Pariaman, Bandar Sepuluh, Bengkulu dan lain sebagainya, tidak diperkenankan membawa istrinya ke tempatnya bermukim. Biasanya mereka hanya pulang dua kali dalam setahun, yakni waktu hari raya dan maulid Nabis SAW. Oleh sebab itulah banyak orang Koto Gadang yang menikah lagi di perantauannya. Di Bengkulu misalnya, ditemukan ada orang Koto Gadang yang menikah lagi di sana. Di suatu kampung yang bernama Malboro (mungkin dekat benteng Malboro), terdapat orang-orang yang mengaku adalah keturunan laki-laki asal Koto Gadang, kasus yang sama juga ditemukan di Padang.

Adat di Koto Gadang tersebut, ternyata juga mengalami fase perubahan, khususnya mengenai perempuan yang semula tidak diizinkan meninggalkan kampungnya. Sekitar tahun 1860-1870, perempuan Koto Gadang mulai yang ikut suami berdiam di rantau. Walaupun demikian, jika mereka hamil, maka akan pulang ke Koto Gadang sampai ia melahirkan. Belakangan tradisi hamil pulang ke kampung ini pun berubah.

Tidak salah kiranya jika mengalamatkan suku Minangkabau sebagai salah satu suku bangsa yang menjunjung tinggi adat istiadatnya. Bahkan, dalam setiap kampung atau nagari bisa dimungkinkan perubahan dalam istiadat dilatarbelakangi oleh suatu momen yang mempertemukan dua orang suku beda kampung yang terlibat dalam suatu masalah. Dahulu, pernah ada perempuan Koto Gadang yang menikah dengan laki-laki dari nagari lain, yakni dari Guguk dan Sianok dan kejadian serupa ditemukan lagi pada 1820.

32

Umumnya ketika itu, Orang Koto Gadang jarang yang mengambil menantu dari Orang Sianok dan Guguk, dikarenakan perbedaan karakter penduduknya.

Kaum lelaki Koto Gadang saat itu dikenal sebagai orang yang gemar merantau dan menjalin perkawanan dengan orang dari tempat lain termasuk orang Belanda. Perempuan Koto Gadang juga biasa bergaul dengan nyonya- nyonya Belanda. Hal itu menyebabkan terjadinya perubahan dalam karakter adat mereka. Orang Koto Gadang dikenal sebagai pribadi yang royal dalam banyak hal. Mereka rela mengeluarkan biaya mahal untuk membeli barang- barang rumah tangga dan pakaian yang mahal. Begitu juga dalam menjamu tamunya, Orang Koto Gadang menyediakan makan dan minuman suguhan bisa dikatakan berlebihan (lebih dari patut).

Di sisi lain, penghidupan Orang Sianok dan Guguk, selain bersawah dan berkebun, adalah berdagang. Sifat seorang berdagang adalah penuh perhitungan dan berhemat. Sifat ini dianggap berseberangan dengan kebiasaan Orang Koto Gadang. Oleh sebab itu, dalam membina kehidupan dianggap tidaklah cocok. Terlebih Orang Koto Gadang saat itu rata-rata dikenal sebagai orang-orang berpendidikan sedangkan orang Sianok dan Guguk tertinggal jauh dalam hal itu. Bukan hanya orang Koto Gadang saja yang merasa tidak cocok dengan mengambil urang sumando dari kedua nagari itu, begitu pula sebaliknya.40

Negeri Minangabau memang banyak petatah-petitih yang digunakan sebagai ajaran hidup. Namun, menurut Snouck Hurgronje, bukan itu yang menjadi sumber adat Minangkabau, melainkan adalah perkataan para kaum adat. Hukum adat lebih cepat berubah ketimbang pepatah yang terjalin dari

40 Azizah Etek, Koto Gadang ..., hlm. 27-28.

33

mulut ke mulut. Yang dimaksud kaum adat adalah orang-orang tua, orang- orang terkemuka dalam suatu keluarga suku atau wilayah. Mereka akan memberikan keterangan atas peristiwa tertentu dan ucapannya itulah yang diartikan sebagai hukum adat. Tidak mungkin mereka akan memutarbalikkan apa yang sudah diutarakan sebelumnya.41

Mengenai hukum pewarisan matrilineal, menurut Snouck Hurgronje, keberadaan sudah ada jauh sebelum agama Islam datang ke Minangkabau. Ketika hukum Islam sudah mulai diberlakukan, beberapa hukum pernikahan pra Islam masih pula ditemukan. Susunan adat matrilineal sudah dianggap orang Minangkabau sebagai faktor yang sangat berguna bagi kepentingan umum, sehingga peraturan adat dalam banyak segi masih dipilih sebagai peraturan bermasyarakat. Dalam setiap periodenya, sistem adat matrilineal di Minangkabau mengalami perkembangan, sebagai konsekuensi dari perubahan sosial di dalamnya.42

Hukum adat Minangkabau merupakan gabungan dari hukum lokal dan hukum Islam. Dalam Tambo Minang dijelaskan bahwa syara (hukum Islam) merupakan instrumen penting pembentuk hukum di Minangkabau. Disebutkan pula bahwa undang-undang dalam masyarakat Minangkabau tercipta sejak masa yang lama dan tetap adanya. Artinya diturunkan secara generasi ke generasi agar masyarakat Minangkabau senantiasa berada dalam keadaan bijaksana.43

Bagi sebagian pengamat Barat, sistem kekeluargaan Minangkabau menjadi masalah unik untuk diriset. George Wilken, seorang peneliti,

41 C. Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje VIII (Jakarta: INIS, 1993) hlm. 13. 42 Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan ..., hlm. 16-17. 43 Sri Guritno, peny, Tambo Minang (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen P dan K, 1994) hlm. 120 – 121.

34

menyerukan pada 1880 agar para periset menjadikan sistem keluarga di Minangkabau dan Malaysia sebagai objek penelitian. Evelyn Blackwood menyebutkan bahwa kasus Minangkabau menganggung asumsi-asumsi universal mengenai kedudukan perempuan di dunia.44 Usaha-usaha kolonial untuk menciptakan suatu “gambaran besar” mengenai budaya Minangkabau masih terus digunakan dalam riset etnografi selama abad 20. Pelbagai bentuk klise-klise kebudayaan, tabel-tabel keluarga yang rumit, hingga diagram pola-pola pewarisan yang malang melintang masih menjadi rujukan hingga sekarang. Dalam etnografi Minangkabau, matriarkat bisa dipandang sebagai egalitarianisme gender yang tinggi derajatnya, ketimbang sekedar dianggap sebagai pantulan cermin budaya maskulin yang menindas.45

Anggapan miring mengenai matriarkat di Minangkabau sebenarnya diperhalus oleh keberadaan agama Islam. adat waris yang menyatakan bahwa anak perempuan menerima semua harta tak bergerak dan pandangan mengenai satu keluarga yang hidup bersama di mana seorang istri bisa bersendiri dengan suami sepupunya, sama sekali tidak ditolerir oleh ajaran Islam. sejak abad 18, pengamat asing dan reformis Islam telah memperkirakan bahwa al-Qur’an tentu akan merombak sendi-sendi adat yang bersifat matriarkat. Pada kenyataannya, itu sama sekali tidak terjadi. Para pakar kerap melihat pada keberadaan keluarga inti dan harato pencarian yang diperoleh dari hasil keringat laki-laki atau suami, dan menganggapnya sebagai bukti rapuh dan mundurnya hukum adat. Dalam ketentuan adat Minangkabau, harta tersebut sejatinya termasuk dalam harta keluarga besar

44 Evelyn Blackwood, Webs of Power; Women, Kin and Community in Sumatran Village (Lanham: Rowman & Littlefield, 2000) hlm. 9-10. 45 Jeffrey Hadler, Sengketa Tiada ..., hlm. 9-10.

35

matrilineal. Banyak penelitian tentang adat Minangkabau yang melihat pertarungan antara adat dan agama, khususnya dalam urusan warisan.46

Dikatakan dalam Tambo Minang, bahwa dalam masyarakat Minangkabau terdapat dua macam hakim, hakim adat dan hakim syara (ulama). Antara hakim adat dan hakim syara hendaknya ada keselarasan dalam bertindak. Keduanya tidak bisa saling memutuskan dengan tanpa disertai musyawarah. Kedua hakim itu harus mempunyai pengetahuan tentang adat dan hukum Islam. Hukum syara bersumber dari hadis dan dalil- dalil agama (al-Quran). Darinya, hakim dapat mencari sandaran dalam memutuskan sebuah perkara.47

Adat lokal sejatinya tidaklah mudah untuk tercerabut dan biasanya mempunyai sisi kebal dan tahan banting terhadap perubahan. Perubahan tentu saja ada, namun tidak sampai merubah sifat dasar atau ketentuan- ketentuan yang dianggap wajib adanya. Adat Minangkabau mengalami perjalanan sejarah yang dinamis. Masuknya kaum Wahabi yang diinisiai oleh 3 haji dari Mekkah agaknya menjadi tonggak yang penting adanya. Kemudian, fase yang juga menyejarah, adalah tatkala adat Minang harus bersinggungan dengan tata kelola masyarakat kolonial.48 Keduanya menjadi pengaruh luar yang cukup menimbulkan pergulatan di jantung tradisi Minang.

B. Masuk dan Berkembangnya Islam di Minangkabau

Islam merupakan salah satu agama besar yang memiliki akar sejarah panjang di Minangkabau. Jika dirunut ke belakang, kemunculan agama ini, jauh sebelum datangnya ketiga haji sebagaimana yang disinggung di atas.

46 Jeffrey Hadler, Sengketa Tiada ..., hlm. 11. 47 Sri Guritno, peny, Tambo Minang …, hlm. 142 – 144. 48 Jeffrey Hadler, Sengketa Tiada ..., hlm. 12.

36

Proses konversi keyakinan yang terjadi di Minangkabau, tidak bisa dilepaskan dari keberadaan sebagian wilayah Minangkabau sendiri, terutama pesisir, yang sejak masa yang lama menjadi persinggahan para saudagar yang berniaga dengan penduduk lokal. Dari persentuhan ekonomi, pembicaraan merambah ke pembahasan mengenai agama.

Mafri Amir menjelaskan bahwa pada abad ke 7 sudah ada pedagang Arab asal Hadramaut yang berlabuh di bandar Minangkabau. Informasi ini bisa diterima mengingat banyak dari pedagang Minangkabau yang saat itu telah lalu lalang mengarungi Samudera Hindia sampai Cina jauh sebelum kedatangan Islam. Namun, pegangan sejarah lain yang diyakini adalah kedatangan Islam di Minangkabau terjadi pada abad 13, dengan menyisir alur sungai di timur Sumatera hingga jauh ke pedalaman Minangkabau. Hal ini bisa ditelusuri dari masa yang lebih awal. Datangnya Islam, sebagaimana yang diyakini sejarawan, adalah di Pasai dan Perlak baru menuju Malaka. Sampai di Malaka terbagi dua, sebagian melanjutkan ke pedalaman Malaya hingga sampai ke Thailand dan Filipina, sebagian yang lain meneruskan ke arah laut. Di laut Malaka, para pengamal Islam terbagi dua, yang satu menuju timur Sumatera dan yang lain ke arah Indonesia bagian timur, termasuk ke Maluku dan Sulawesi.

Berpijaknya Islam di Aceh membawa gelora baru bagi penduduk Sumatera. Dari sini dakwah-dakwah Islam mulai dikumandangkan turun hingga sampai ke pantai barat Sumatera, hingga sampai puncaknya, dari abad 15 hingga 17, wilayah tersebut berada dalam kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Di sisi lain, pendapat yang mengatakan datangnya Islam dari pantai barat Sumatera atau Pariaman masih merupakan suatu keraguan. Syekh (1646-1699), tokoh yang dinisbatkan dalam pendapat ini, sejatinya bukanlah pembawa Islam pertama ke Minangkabau.

37

Dia hanyalah seorang yang mengembangkan dakwah Islam dengan bertumpu pada penyebaran Tarekat Syattariyah. Hal ini bisa dibuktikan dengan Maharaja Pagaruyung Islam pertama, Sultan Maharaja Alif, sudah menjadi Muslim sejak tahun 1581, sedangkan Syekh Burhanuddin baru datang dari Aceh pada 1677. Syekh Burhanuddin sendiri pernah belajar Islam kepada Taunku Madinah Sanur atau Syekh Abdul Arif. Atas nasehat gurunya ini, Pono (nama remaja Burhanuddin) berguru kepada Syekh Abdurrauf Singkel di Aceh, baru sepulang dari sana ia mengenakan gelar Syekh Burhanuddin, nama yang diberikan Syekh Abdurrauf Singkel.49

Menurut Mangaradja Onggang Parlindungan, salah satu even yang bisa dijadikan pijakan kapan Islam datang ke Minangkabau adalah ketika Minangkabau berada dalam kekuasaan Aceh Darussalam pada abad ke 16. Sejak tahun 1513, yakni ketika Laksamana Tuanku Burhanuddin Syah berkuasa di pariaman, yang bertindak sebagai syahbandar Kerajaan Aceh di sana di alam Minangkabau sudah banyak orang yang menganut Islam mazhab Syiah sekte Karmatiyah. Salah satu pusat dakwah dan pengajaran Islam saat itu adalah terletak di Ulakan yang sudah berdiri sejak tahun 1513. Sekitar tahun 1700-an, Para juru dakwah tamatan Ulakan ini telah selesai mengislamkan alam Minangkabau. Ajaran-ajaran Syiah di Minangkabau perlahan sudah mengakar dalam tradisi Minangkabau yang terlihat pada perayaan Tabut dan Upacara Basapah yang hingga tahun 1804, masih dilakukan di makam Sultan Alif di Sumpur Kudus. Perkembangan tarekat

49 Mafri Amir, “Islam, Minangkabau dan Hamka” dalam http://grepublishing.com/islam-minangkabau-dan-hamka/ diunduh pada 2 Maret 2016, Pukul 8.00 WIB.

38

Syattariyah juga dimotori oleh para pendakwah beraliran Syiah, termasuk Tarekat Syattariyah.50

Nama Syekh Burhanuddin, jika dikatakan sebagai penyebar Islam pertama di Minangkabau, memang masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan. Mangaradja Onggang Parlindungan menyebutkan bahwa dalam sejarah Minangkabau paling tidak dikenal empat orang yang bernama Syekh Burhanuddin. Yakni:

1. Panglima Burhanuddin al-Kamil, wafat di daerah Kuntu/Kampar di Minangkabau Timur pada tahun 610 H/ (=1214 M) 2. Laksamana Tuanku Burhanuddin Syah, saudara dari Sultan Aceh pertama, Sultan Ali Mughayyat Syah. Ia menjadi Sultan Muda Aceh Darussalam yang membawahi daerah Pariaman pada rentang tahun 1513-1530. Ia wafat di Aceh. 3. Iskandar Panah, cucu dari Laksamana Tuanku Burhanuddin Syaho. Pada tahun 1580, ia mengislamkan Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung yang berganti gelar menjadi Sultan Alif. Ia berpulang di Sungai Kampar pada tahun 1585. 4. Syekh Burhanuddin II, cucu dari cucu Laksamana Tuanku Burhanuddin Syah yang mangkat di Ulakan pada tahun 1111 H atau sekitar 1697 M. Keempat nama Burhanuddin itu berjasa menyebarkan Islam di wilayah Minangkabau. Menurut penuturan Onggang Parlindungan mereka membawa paham Syiah masuk ke Minangkabau. Selain berdakwah mereka juga berperan dalam perdagangan rempah-rempah Minangkabau yang dikirim ke Aceh lantas kemudian ke Gujarat. Onggang Parlindungan percaya bahwa

50 Mangaradja Onggang Parlindungan, Tuanku Rao (Yogyakarta: LKiS, 2007) hlm. 125.

39

penyebaran Islam di Minangkabau tidak bisa dilepaskan dari apek perdagangan rempah. Bahkan, ia beranggapan bahwa terbentuknya kekuasaan Malaka yang kemudian diikuti oleh penanaman Islam mazhab Syafii di sekitar Sungai Kampar di timur Minangkabau, juga untuk mempermudah perdagangan rempah yang digalang Malaka.51

Untuk ketiga nama Burhanuddin sebelumnya memang belum banyak diangkat dalam suatu kajian sejarah yang serius, sedangkan nama terakhir merujuk pada nama Burhanuddin Ulakan sebagaimana yang diterangkan sebelumnya. Untuk pelabelan Syiah sebagai mazhab yang disebarkan di Minangkabau olehnya, tentu perlu dikaji lebih lanjut. Namun, jika melihat adanya kesamaan tradisi Tabut yang hingga hari ini masih dilakukan di Pariaman dengan pendapat yang mengatakan pernah eksisnya paham Syiah Minangkabau tentu merupakan hipotesis yang bisa diyakini, sebelum kemudian diadakan penelitian lebih mendalam. Terlebih dengan melihat Ulakan yang juga terletak di wilayah Pariaman.

Penyebaran Islam yang dilakukan oleh Syekh Burhanuddin banyak bersendi pada ajaran tasawuf dan tarekat. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari latar belakang keilmuannya yang dipengaruhi oleh Syekh Abdurrauf Singkel, yang juga pakar dalam bidang tasawuf. Terdapat suatu suntingan naskah berjudul Sejarah Ringkas Auliyaullahusshalihin Syekh Burhanuddin Ulakan yang Mengembangkan Agama Islam di Daerah Minangkabau Versi Imam Maulana Abdul Manaf Amin Al-Khatib yang didapatkan dari Pakeh Sainun yang mendapatkannya dari Nagari Ulakan, Pariaman, Padang. Naskah ini ditulis dalam huruf Arab-Melayu. Naskah ini ditulis pada tahun 1993, jadi merupakan naskah yang berumur sangat muda.

51 Mangaradja, Tuanku Rao ..., hlm. 679-680.

40

Dalam naskah ini diceritakan beberapa pengajaran sufi yang diterima Syekh Burhanuddin dari Syekh Abdurrauf Singkel. Selama hampir 30 tahun, diceritakan Burhanuddin menggembalakan ternak gurunya dan membuat kolam ikan di sekitar masjid. Pada suatu hari, Syekh Abdurrauf Singkel meminta seluruh muridnya untuk mengambil suatu kapuran di dalam tebat (kolam) yang dipenuhi dengan kotoran manusia. Murid-murid Syekh Abdurrauf ragu dan menimbang-nimbang perintah itu, namun tiba-tiba, Burhanuddin segera masuk ke kolam dan menemukan kapuran itu lantas membersihakannya dan memberikannya kepada gurunya.

Dalam cerita lain, Syekh Burhanuddin diarahkan gurunya untuk bertafakur atau mengasingkan diri ke suatu gua batu di hulu Sungai Aceh selama setahun. Selama di perjalanan, ia banyak menjumpai berbagai rintangan seperti bertemu kawanan babi, ular besar, harimau dan hutan yang dipenuhi duri-duri. Oleh karena kebulatan tekad dan berserah diri kepada Tuhan, ia berhasil melewati halangan tersebut dan sampai ke tempat tujuan.

Dalam naskah itu diceritakan ujian akhir gurunya kepada Burhanuddin adalah ia dititahkan untuk menemani kedua anak gurunya. Syekh Burhanuddin sudah mafhum bahwa ujian kali ini adalah menahan syahwat dan hawa nafsu. Anak Syekh burhanuddin memiliki wajah yang manis, rupawan dan penurut. Di suatu kesempatan Syekh Burhanuddin tidak kuasa menahan syahwatnya, lantas untuk menahan itu ia memukul kemaluannya sendiri. Karena kejadian itulah Syekh Burhanuddin tidak mempunyai istri dan anak di kemudian hari. Setelah melalui ujian itu ia diperintahkan gurunya untuk menyebarkan Islam di kampung halamannya.52

52 Nova Sri Dewi dkk, “Alih Aksara dan Alih Bahasa Teks Sejarah Ringkas Aliaullahusshalihin Syekh Burhanuddin Ulakan Yang Mengembangkan Agama Islam DI Daerah Minangkabau Versi Imam Maulana Abdul Manaf Amin Al-Khatib” dalam Jurnal

41

Sidi Ibrahim Boechari berpandangan bahwa penyebar Islam awal berprofesi ganda, yakni muballigh (pendakwah) merangkap saudagar. Mulanya, mereka memperkenalkan Islam kepada orang yang dekat dengannya atau orang yang sudah menjadi sasarannya sejak awal. Tentu saja, pergaulan mereka bertumpu pada kedekatan baik dilatarbelakangi motif perdagangan maupun yang lainnya. Sistem semacam ini sudah berjalan sejak masa yang lama. Metode ini tidak mengenal tempat dan waktu, dengan kata lain terjadi ketika kesempatan itu ada.53

Para penyebar Islam generasi awal biasanya memiliki totalitas dalam berdakwah. Cara dakwah yang dipilih mengedepankan metode yang mudah diterima masyarakat luas. Tidak ada jadwal tertentu dalam melaksanakan dakwah, mereka akan memaksimalkan kesempatan dan waktu yang dimiliki apabila dianggap tepat untuk memperkenalkan Islam ke tengah penduduk non-Muslim.

Rencana para muballigh (pendakwah atau penyebar) Islam bukan hanya sebatas mengkonversi penduduk suatu wilayah, melainkan juga membangun tempat ibadah (masjid). Setelah mendapat tempat untuk berbicara, perhatian mereka akan tertuju pada bagaimana membangun masjid sebagai sarana mendirikan shalat lima waktu sekaligus memperkuat persatuan umat. Masjid juga digunakan sebagai tempat mengaji al-Qur’an dan belajar agama Islam.54

Ajaran Syekh Burhanuddin tentang keislaman sedikit banyak dipengaruhi oleh Syekh Abdurrauf Singkel. Merujuk pada penjelasan

Bahasan dan Sastra, Vol. 2, No. 2. Maret 2014, Seri A; lihat http://ejournal.fip.unp.ac.id. Pada 2 Maret 2016 pukul 09.57 WIB. 53 Sidi Ibrahim Boechari, Pengaruh Timbal Balik antara Pendidikan Islam dan Pergerakan Nasional di Minangkabau (Jakarta: Gunung Tiga, tanpa tahun) hlm. 69. 54 Muhammad Sabaruddin, “Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam Masa Awal dan Sebelum Kemerdekaan”, dalam Jurnal Tarbiya, Vol. I, No. 1, 2013, hlm. 14.

42

Azyumardi Azra, meskipun Abdurrauf Singkel adalah sosok ulama yang berkiprah dalam bidang tasawuf, namun model tasawufnya masihlah bersintesa dengan hukum Islam. artinya, tasawuf yang diajarkan tidaklah berseberangan dengan ketentuan dan ajaran Islam dari aspek syariatnya. Ia adalah tipe ulama evolusioner dan bukan radikal. Hanya dengan melaksanakan seluruh syariatnya (berupa ibadah ritual keseharian), para penempuh jalan sufi dapat menyibak rahasia ilahi. Syekh Abdurrauf Singkel juga dikenal karena tarekatnya, terutama tarekat Syattariyah.55

Sebelum masa menguatnya kedudukan Islam, biasanya dalam suatu kampung atau nagari, orang yang paling dihormati dan termasuk dalam jajaran pemimpin masyarakat adalah penghulu. Penghulu di sini memiliki makna yang khusus, dan bertindak sebagai pemimpin tradisional. Kemudian, sejak perkembangan Islam, terutama setelah pecahnya Perang Paderi, kedudukan ulama semakin penting dan mengalami perluasan aktivitas. Beberapa ulama mulai banyak yang ditunjuk sebagai pemimpin rakyat dan suaranya amat menentukan dalam perjalanan kepemerintahan dalam suatu nagari. Ulama adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam struktur pemerintahan nagari.

Dikatakan dalam Tambo Minang bahwa terdapat pusaka yang menjadi pedoman bagi orang yang tinggal di alam (nagari). Pusaka ini berupa peraturan-peraturan para raja saat mereka memerintah, para penghulu pembuat hukum serta para ulama yang dengan nasehatnya memberi penerangan terhadap masalah-masalah umat.56

55 , Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII (Jakarta: Kencana, 2007) hlm. 254 – 255. 56 Sri Guritno, peny, Tambo Minang …, hlm. 146.

43

Sebelum keberadaan tempat belajar agama yang layak (surau dan sebagainya), agama Islam diajarkan dari keluarga ke keluarga. Sebuah keluarga yang telah memeluk Islam, dari hari ke hari mempelajari Islam dengan tekun. Mereka akan mencari satu di antara anggota keluarganya yang dianggap lebih paham mengenai seluk beluk Islam dan memintanya untuk mengajarkan kepada anggota keluarga lain yang belum mengerti. Tentu tidak semua keluarga memiliki anggota keluarga yang paham tentang Islam. Jika ditemukan keluarga yang di antara anggotanya tidak ada yang pengetahuan Islamnya menonjol, maka mereka akan menggabungkan dengan rumah tangga lain yang di dalamnya ada seseorang yang mengerti tentang Islam.

Dalam perkembangannya, terjadi perubahan mengenai siapa yang diwajibkan mengkaji Islam. Jika sebelumnya pendidikan agama tidak mengenal umur, maka di kemudian hari hanya kalangan muda, baik anak- anak maupun pemuda pemudi tanggung, yang didorong untuk mengkaji Islam secara rutin. Guru menyampaikan ajaran Islam dengan model narasi, sedangkan para murid menyimak dengan seksama.

Tema-tema pengajaran Islam di abad-abad awal perkembangan Islam di Minangkabau biasanya berisi ajaran praktis. Beberapa tema yang diajarkan adalah mengenai ketuhanan, keimanan serta masalah-masalah yang berhubungan dengan ibadah. Saat itu, belum ditemukan pengkhususan dalam ilmu agama. Besar kemungkinan sistem pendidikan halaqah sudah dimulai di masa itu. Halaqah merupakan metode belajar di mana guru menyampaikan materi di surau, masjid atau di rumahnya sendiri. Para murid duduk mengelilingi sang guru dan menyimak ilmu yang disampaikan.57

57 Sidi Ibrahim Boechari, Pengaruh Timbal …, hlm. 70.

44

Dengan semakin kompleksnya peran ulama, maka membawa ulama pada gelanggang perpolitikan di Minangkabau. Khatib, imam, qadi bahkan banyak yang menduduki jabatan penting dalam balai nagari. Di samping itu, tentunya masih ada kelompok ulama lain yang menyibukkan dirinya dalam tugas aslinya, yakni sebagai pendidik dan pengajar agama. Surau-surau menjadi sentra aktivitas ulama dan masyarakat setempat. Jika suatu surau mempunyai ulama yang muridnya banyak dan terkenal karena kedalaman ilmunya, maka dengan sendirinya prestis nagari tempat surau itu ada terangkat derajatnya. Dengan kata lain popularitas ulama menyumbang ketinggian martabat nagari satu atas nagari lainnya.58

Surau menjadi salah satu bahasan yang ideal untuk mengupas bagaimana perkembangan Islam di Minangkabau terbentuk. Ketika membicarakan sejarah pendidikan tradisional di Minangkabau, memang tidak hanya surau yang turut andil, namun alasan utama yang mendorong penulis menyinggung surau sebagai lokus bangkitnya gairah intelektual Islam di Minangkabau, adalah merunut pada jalur geneologisnya, yang merupakan hasil dialektika dari islamisasi yang panjang.

C. Surau: Tempat Ibadah, Pendidikan dan Kegiatan Sosial

Perkembangan surau sebagai salah satu lembaga pendidikan dan penyebaran agama Islam tidak bisa lepas dari sosok Syekh Burhanuddin Ulakan. Sepulangnya dari Aceh, ia mendirikan surau di kampungnya, Ulakan, Pariaman.59 Di surau inilah Syekh Burhanuddin mendidik murid-

58 Taufik Abdullah, Sejarah Sosial ..., hlm. 36-37. 59 Menurut penjelasan Muhammad Yunus, sebelum ke Ulakan, Syekh Burhanuddin mengajar di tempat kelahirannya di Sintuk, baru kemudian ke Ulakan. Lihat Muhammad

45

muridnya yang kelak banyak yang menjadi ulama terkenal di Minangkabau.60 Surau, seperti di Jawa, mempunyai peran vital dalam perkembangan dan pengajaran Islam di Minangkabau. Oleh sebab itu, membincang Islam di Minangkabau pada masa awal, amat berhubungan dengan surau sebagai wahana belajar rakyat.

Surau merupakan istilah yang lazim dijumpai di kawasan Asia Tenggara. Daerah yang paling banyak menggunakan istilah itu adalah Minangkabau, Sumatera Selatan, Semenanjung Malaysia dan Pattani (Thailand Selatan). Di Aceh, surau lebih dikenal dengan sebutan rangkang atau meunasah, dan di Jawa lazim dinamakan langgar atau pesantren. Surau merupakan lembaga pendidikan asli Indonesia sebelum kemudian menerima pembaruan di bidang metode dan teori pembelajaran dari luar negeri, yang merupakan ekses dari perubahan zaman yang menuntut sistem tradisional dan agraris berubah menjadi sistem modern dan industri yang salah satu visinya adalah merubah negara berkembang lepas landas menjadi negara maju.61

M.H.D. Nasir menyatakan bahwa Surau sejatinya merupakan bangunan asli Minangkabau yang sudah ada sejak masa Hindu-Budha. Biasanya surau didirikan di atas tanah yang paling tinggi, atau paling tidak lebih tinggi dari bangunan lain. salah satu surau yang paling tua diketahui, adalah pada tahun 1356, Raja Adityawarman mendirikan komplek surau Budha di sekitar Bukit Gombak. Pada saat itu surau digunakan sebagai bangunan yang di dalamnya diselenggarakan kepentingan kebudayaan dan adat. Tempat ini juga

Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Nusantara (Jakarta: Mahmud Yunus Wadzuriyyah, 2008) hlm. 13. 60 Azyumardi Azra, “Surau di Tengah Krisis: Pesantren dalam Perspektif Masyarakat” dalam Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah (Jakarta: P2M, 1985) hlm. 156-167. 61 Maimunah, “Sistem Pendidikan Surau: Karakteristik, Isi dan Literatur Keagamaan”, dalam Ta’dib, Vol. XVII, No. 02, Edisi Desember 2012, hlm. 256.

46

digunakan sebagai tempat upacara ritual Hindu-Budha. Tempat ini juga dikenal sebagai tempat bermusyawarah mufakat dalam membahas masalah adat dan sosial, serta mempelajari adat dan tradisi. Dengan demikian, dapat diketahui, sebelum kedatangan Islam, surau sudah menduduki tempat yang tinggi dalam pergaulan masyarakat Minangkabau pra-Islam.

Ketika Islam datang ke Minangkabau, para penyebar Islam menemukan surau sebagai sentrum penting di lingkungan masyarakat. Oleh sebab itu, para pendakwah tidak menerapkan cara-cara radikal dalam berdakwah, melainkan menggunakan produk budaya yang ada sebagai media mendekatkan diri dan mengenalkan Islam kepada penduduk. Bangunan surau tidak lantas ditukar dengan masjid. Mereka memanfaatkan surau sebagai panggung untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Di beberapa daerah ditemukan pula masjid yang dibangun dekat surau, atau sebaliknya. Hal tersebut dapat dijumpai di wilayah Pariaman, di mana jarak antara masjid dan surau tidaklah jauh, hanya terpisah dua meter saja.62

Dilihat dari bentuk bangunannya, surau terbagi dalam dua bagian yakni surau gadang (surau besar) dan surau ketek (surau kecil).63 Surau gadang adalah surau yang menjadi pusat atau titik temu dari surau-surau kecil di sekitarnya. Di salam surau ini secara berkala diselenggarakan pengajian yang dipandu oleh seorang syekh yang murid-muridnya adalah para guru yang berasal dari surau-surau kecil sekitar. Pemberian nama surau gadang biasanya dinisbatkan oleh nama sang syekh yang beraktivitas di surau itu, atau sering juga disamakan dengan daerah tempat surau gadang berdiri. Beberapa contohnya adalah surau gadang Tanjung Medan di Ulakan, Surau

62 M.H.D. Nasir, “Peranan Surau Sebagai Lambaga Pendidikan Islam Tradisional di Padang Pariaman Sumatera Barat” dalam Pedagogi, Vol. XII, No. 2, November 2012, hlm. 39. 63 Duski Samad, Surau Syekh Burhanuddin Ulakan dan Islamisasi di Minangkabau (Laporan Penelitain) (Padang: Pusat Penelitian IAIN Imam Bonjol, 2001) hlm. 102.

47

Koto Tuo Ampek Angkek, Surau Inyiak Candung di Bukittinggi, Surau Inyiak Jaho di Padang Panjang, Surau Inyiak Parabek dan banyak yang lainnya. Pada akhirnya, beberapa surau gadang ini banyak berubah menjadi masjid, madrasah/pesantren atau tempat pengajian.64 Daya tampungnya yang luas membuat masyarakat tidak ragu untuk memfungsikannya menjadi lokus belajarnya warga dari berbagai surau sekitar.

Surau ketek mempunyai beberapa model. Model pertama adalah surau kecil ini didirikan oleh kelompok suku, idu, jorong kampung dan pedagang. Surau jenis ini banyak tersebar di Sumatera Barat dan mempunyai posisi yang penting dalam ritual keseharian masyarakat setempat. Surau ini diramaikan oleh banyak kegiatan baik yang bersifat keagamaan seperti mengaji al-Qur’an, wirid bersama dan zikir tarekat, maupun juga yang bernuansa kemasyarakatan seperti tempat latihan pidato adat (penatihan) dan tempat berlatih kesenian. Di area surau ini juga kerap dijadikan tempat berlatih pencak silat. Model yang kedua adalah surau ketek yang didirikan di sekitar (berdekatan) dengan surau gadang. Surau ini dihuni oleh para murid- murid yang mengaji kepada syekh di surau gadang. Surau semacam itu bisa dijumpai di Komplek Surau Syekh Burhanuddin Tanjung Medan Ulakan Pariaman dan Surau Syekh Abdurrahman Batuhampar Payakumbuh, Komplek Surau Tarbiyah Islamiyah Candung Bukittinggi, Komplek Surau Tuanku Koto Tuo Agam, Komplek Surau Jaho di Padang Panjang dan lain sebagainya.65

Pada perkembangannya, hampir di setiap nagari di Minangkabau terdapat masjid sebagai lokasi diselenggarakannya shalat Jumat, dan pada tiap-tiap kampung dibangun langgar atau surau sebagai tempat mengaji dan

64 Maimunah, “Sistem Pendidikan ...”, hlm. 259. 65 Duski Samad, “ Surau Syekh Burhanuddin ...”, hlm. 103.

48

mendirikan shalat lima waktu. Menurut kebiasaan saat itu, anak yang telah berumur tujuh tahun harus dipisahkan dengan ibunya. Anak-anak itu menginap di surau sambil belajar al-Qur’an kepada guru agama setempat. Tingkat pendidikan terendah pada saat itu adalah mempelajari al-Qur’an atau dinamakan pula pengajian al-Qur’an.

Pada tingkat permulaan, sang guru akan mengulang-ulang menyebut huruf Hijaiyah, yang setelah diikuti oleh murid-muridnya. Pembelajaran saat itu dilakukan dengan duduk bersila dan belum menggunakan kelas-kelas. Setelah mengerti dan pandai huruf Hijaiyah barulah naik ke belajar membaca al-Qur’an. Di sela-sela mempelajari al-Qur’an, diajarkan pula pengetahuan fiqih dasar, seperti tata cara berwudhu, salat dan sebagainya. Di lain waktu, mereka juga diajarkan aqidah serta keimanan yang materinya berkisar pada sifat dua puluh dan hukum akan yang tiga, yakni wajib, mustahil dan jaiz.

Pengetahuan akhlak, diberikan kepada murid melalui metode cerita, seperti mengkisahkan para nabi, orang-orang soleh serta teladan yang diberikan oleh guru pengajian sehari-hari, baik melalui perkataan, perbuatan dan sikap. Dengan beberapa keterangan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa Pengajian al-Qur’an di surau mempunyai mata pelajaran antar lain: 1) Membaca al-Qur’an (termasuk huruf hijaiyah); 2) ibadah, seperti: berwudhu, shalat dan sebagainya; 3) keimanan (sifat dua puluh), dan; 4) akhlak dengan cerita-cerita.66

Sistem pengajaran Minangkabau lama adalah bersendi pada pengulang- ulangan disertai dengan lagu pada mata pelajaran tertentu. Lagu inilah yang menjadi penarik perhatian anak-anak untuk semangat belajar, meskipun awalnya mereka tidak mengerti apa maksud dan makna dibalik lagu-lagu

66 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan ..., hlm. 30-31.

49

tersebut. Bahkan, dalam beberapa hal, materi pelajaran ada yang digubah menjadi sajak, sebagai salah satu kesenian yang lazim ditemukan di surau. Dalam sistem pendidikan ini, sang guru kerapkali keras mengajar dan tidak segan memukul muridnya dengan rotan. Hal inilah yang membuat anak-anak takut dan kecewa dalam belajar. Sesudah tahun 1900-an, tidak banyak lagi dijumpai guru-guru yang membawa rotan.67

Setelah para murid menamatkan mengaji al-Qur’an, sebagian dari mereka ada yang terjun ke masyarakat dan sebagian yang lain melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Tingkatan ini disebut juga pengajian kitab. Kitab yang digunakan untuk mengkaji ilmu gramatika Arab (Sharaf) disebut Kitab Dhammun, kitab yang disusun menggunakan tulisan tangan namun tidak diketahui siapa pengarangnya (anonim). Setelah menamatkan kitab tersebut, para murid mengkaji kitab nahwu yang berjudul Al-Awamil. Setelah menyelsaikan kitab itu, murid diperkenalkan Kitab al- Kalamu, yang mempunyai judul asli Kitab al-Jurumiyah. Kitab tersebut banyak dikaji pula di pesantren, bahkan hingga hari ini. Dahulu kitab ini masih ditulis tangan, namun sekarang sudah dicetak.68 Setelah murid menyelesaikan Kitab al-Awamil, mereka akan mengkaji kitab tata bahasa lainnya yang berjudul Kitab Syarh al-Awamil al-Mi’ah atau yang di Sumatera lebih dikenal dengan nama Kitab Inna Awla.69

Untuk pelajaran fiqih, hampir di seluruh Minangkabau menggunakan literatur yang sama, yakni kitab Minhaju al-Thalibin (pedoman bagi murid- murid yang percaya). Kitab yang digunakan dalam pelajaran tafsir adalah kitab Tafsir Jalalain, dan untuk pelajaran tauhid, para murid menelaah Kitab Ushul Barahin karya al-Sanusi, yang di lingkungan pesantren Jawa lebih

67 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan ..., hlm. 35. 68 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan ... , hlm. 43. 69 Maimunah, “Sistem Pendidikan ...”, hlm. 262-263.

50

dikenal dengan nama Durrat (mutiara), sedangkan di surau disebut juga dengan Sifat-Sifat Dua Puluh. Dalam pengajaran tasawuf mengkaji kitab Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi.70

Selain tempat belajar, surau juga digunakan sebagai sarana mempelajari dan mengamalkan ajaran tasawuf. Beberapa tarekat yang berkembang di Minangkabau seperti Syattariyah, Naqsyabandiyah dan Qadiriyah banyak yang memusatkan kegiatannya di surau. Tarekat sendiri bisa diartikan sebagai persaudaraan sesama Muslim yang terbentuk sebagai tanggapan atas kebutuhan masyarakat yang ingin mendekatkan diri kepada Tuhan sedekat-dekatnya. Di dalam tarekat mereka diharuskan menjalankan metode-metode zikir tertentu yang antara satu tarekat dengan tarekat lainnya terdapat perbedaan. Biasanya, dalam kesempatan berkumpul, sang guru tarekat (mursyid) juga memberikan ceramah seputar hukum-hukum Islam. para pengamal tarekat sudah melebur dalam masyarakat Minangkabau pada umumnya, sehingga hampir tidak ada perbedaan yang mencolok antara anggota tarekat dan yang bukan.71

Sebagai salah satu tempat berkumpul masyarakat, surau juga beperan dalam membina hubungan bersama. Kedudukan surau lebih multifungsi ketimbang masjid. Beberapa kegiatan yang mensyaratkan berkumpulnya orang banyak, umumnya seperti kegiatan-kegiatan sosial juga dilakukan di surau. Rapat atau musyawarah kerap diadakan di surau. Hari-hari besar keagamaan juga kerap diadakan di surau. Surau juga banyak digunakan sebagai tempat tidur para murid dan tempat bermalam bagi musafir.72 Pada

70 Christine Dobbin, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah, Sumatera Tengah (1784-1847), Terj. Lilian D. Tedjasudhana (Jakarta: INIS, 1992) hlm. 145-147. 71 Maimunah, “Sistem Pendidikan ...”, hlm. 257. 72 M.H.D. Nasir, “Peranan Surau ...”, hlm. 39-40.

51

titik tersebut, surau berperan sebagai sarana yang ramah digunakan bagi kepentingan yang lebih kompleks ketimbang masjid.

52

BAB III

MASA KOLONIALISME DI MINANGKABAU

A. Interaksi Dengan Dunia Luar

Perdagangan menjadi jalur yang menghubungkan tradisionalisme Minangkabau dengan dunia luar. Di dalam perdagangan kontak antara pembeli dan penjual terjadi, bahkan bisa mengarah pada hubungan yang lebih intens. Konversi agama misalnya, merupakan salah satu perubahan sosial yang terjadi berkat terbukanya kanal perniagaan. Alam Minangkabau mempunyai modalitas untuk sekedar mengembangkan ekonomi, tetapi juga menciptakan pergaulan yang kosmopolit, ramai dan beragam. Ini tercipta berkat kesinambungan yang terjadi antara penduduk pedalaman dan pesisir, sebelum kemudian merambah ke dunia yang lebih luas.

Masyarakat Minangkabau terbagi dalam dua bagian geografis yang dalam beberapa hal bermata pencaharian berbeda. Mereka yang tinggal di dataran tinggi, sejak lama mengandalkan pengelolaan sawah sebagai mata pencahariannya. Beberapa profesi lain juga banyak dilakukan oleh mereka, seperti menambang besi dan emas. Emas dan beras menjadi salah satu komoditas pedalaman yang bernilai tinggi di pasaran, utamanya ketika sudah mencapai pasar pantai. Di beberapa tempat di Minangkabau juga dikenal

53

sebagai pengrajin alat-alat yang berbahasan dasar besi dan emas. Dari segi pemasaran, mereka memperluasnya hingga ke tataran pesisir.73

Anthoni Reid berpendapat bahwa yang melatarbelakangi banyaknya penduduk yang menanam padi, dan tanaman lainnya, di wilayah dataran tinggi di Asia Tenggara pada umumnya, adalah temuan bahwa dataran rendah merupakan tempat yang tidak ramah dan mudah untuk bercocok tanam. Banjir merupakan bahaya laten yang menghancurkan tanaman, mengancam kehidupan ternak, kehidupan rumah tangga dan ketersediaan air bersihnya. Hanya dengan memanfaatkan sistem irigasi dan drainase yang terpadu untuk mengelola debit air yang besar, yang kemudian digunakan untuk mengairi sawah dan langsung diturunkan ke dataran rendah. Hal ini lebih efisien dilakukan ketimbang mencari sumber air lainnya.

Dibukanya pertanian menuntut perombakan ekologi yang total dan membutuhkan tenaga kerja yang tidak sedikit. Berbekal teknologi yang sederhana dan tenaga kerja yang tersusun dari satuan keluarga kecil, lembah- lembah di dataran tinggi dengan aliran sungai kecil namun permanen yang mengalir dari anak-anak sungai terasa mudah digarap. Sementara itu, sudah menjadi kebiasan bahwa pembukaan lahan pertanian yang berpindah-pindah dengan sawah yang permanen dilakukan secara bersama-sama digunakan oleh penduduk sejak lama.74 Menimbang Minangkabau abad 19, rasanya kebiasan ini sudah perlahan ditinggalkan oleh sebab sawah sudah menjadi kekayaan yang diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya.75

73 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Padri; Minangkabau 1784-1847, Terj. Lilian D. Tedjasudhana (Depok: Komunitas Bambu, 2008) hlm. 34-36. 74 Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatera; Antara Indonesia dan Dunia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011) hlm. 56. 75 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 24.

54

Pembukaan lahan nomaden, sepertinya sudah sedikit demi sedikit ditinggalkan.

Pengolahan besi adalah salah satu industri kecil yang berkembang di Minangkabau. Pada era sebelum kedatangan kolonial, orang Minangkabau sudah terbiasa menggunakan senapan produk sendiri. Pandai-pandai besi Minangkabau biasanya berkumpul dalam suatu kampung yang bernama Salimpaung. Kampung ini memang sudah mempunyai reputasi sebagai pembuat senapan. Di kampung lain, yakni di Lima Kaum, Sungai Puar, dan Tanjung Alam juga memproduksi berbagai jenis senjata seperti senapan, keris, pisau, anak panah dan tombak. Munculnya industri-industri skala kecil ini tidak bisa dilepaskan dari ketersediaan bijih besi yang melimpah, terutama yang lokasi produksinya berdekatan dengan Gunung Besi yang terletak di sebelah barat Tanah Datar.76

Para penduduk dataran tinggi sudah mafhum bahwa orang di dataran rendah, termasuk di pantai, membutuhkan pasokan bahan makanan. Hampir setiap pagi, berduyun-duyun para pedagang pedalaman turun ke pasar-pasar dataran rendah dengan membawa aneka sayuran seperti kol, cabai, tomat, kopi dan pelbagai perabotan hasil kerajinan tangan seperti keranjang anyaman, pot, periuk, hasil tenunan, sampai barang-barang perhiasan mereka dagangkan di pasar-pasar daerah bawah. Kelangsungan daur hidup semacam ini adalah bagian dari kebudayaan klasik Minangkabau, yang terbentuk sejak lama.77

Masyarakat yang hidup di pesisir, pada umumnya tergabung dalam kampung-kampung yang kecil. Satu kampung biasanya diisi oleh tidak lebih

76 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 49 dan 35. 77 Elizabeth E. Graves, Asal-Usul Elite Minangkabau Modern; Respons terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX, Terj. Novi Andri dkk (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007) hlm. 8.

55

dari 50 rumah. Banyak dari mereka yang menggantungkan hidup sebagai nelayan dengan mencari ikan di laut lepas dan muara sungai besar. Beberapa hasil tangkapan diolah menjadi ikan asin, yang dipasarkan hingga ke wilayah pedalaman. Kebun kelapa merupakan modal yang penting pula. Banyak manfaat yang bisa dituai dari tanaman ini. Salah satu kekhasan lain dari penduduk pesisir Minangkabau adalah menanam kapuk.78

J. Kathirithamby-Wells menyatakan bahwa hubungan hulu-hilir di Sumatera, termasuk di Minangkabau, amat bergantung pada ketersediaan jalur sungai sebagai alat penyambungnya. Orang di Sumatera sudah terbiasa menggunakan sungai sebagai alat angkutan barang-barang dan manusia, yang menuntut pengetahuan yang memadai tentang bagaimana sistem aliran sungai bekerja. Aneka barang dagangan seperti hasil ukiran dan hasil pertanian dialirkan ke pantai barat dan timur Sumatera. Hubungan yang terjalin antara hulu-hilir sekaligus menjadi ajang pengenalan budaya serta pelbagai bentuk kompromi yang merekatkan hubungan keduanya.79

Yang dikatakan sebagai penggerakan ekonomi di Minangkabau, terutama saat memasuki abad XIX, adalah termasuk pula pada perpindahan penduduk. Interaksi yang terbangun antara penduduk nagari pedalaman dengan dunia luar, bisa dilihat dari tradisi merantau. Merantau mempunyai makna “pergi ke rantau” atau pergi ke dunia di luar kampungnya, bisa juga diartikan pergi ke luar nagari. Rantau (lokasi merantau) bisa dipilih di mana saja, asalkan keluar dari nagari-nya, atau paling tidak ke tempat terdekat seperti pasar, kota atau sekolah-sekolah agama di nagari-nya. Pada masa itu, rantau yang jauh bisa mencapai pelabuhan-pelabuhan Riau dan Batavia.

78 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 73. 79 J. Kathirithamby-Wells, “Hulu-Hilir Unity and Conflict: Malay Statecraft in East Sumatra before The Mid-Nineteenth Century”, dalam Archipel, Vol. 45, 1993 hlm. 78.

56

Bagi sebagian orang yang merantau, merantau sendiri diartikan sebagai petualangan atau pengalaman mengunjungi daerah geografis di luar pengetahuannya selama ini. Orang nagari yang gemar mengunjungi rantau, secara sadar ia sudah perlahan melepaskan diri dari ikatan kehidupan kampungnya, meninggalkan sanak saudara dan rumahnya untuk mencoba keberuntungan. Sebagian besar konsep merantau ini adalah buah komunikasi yang terjalin antara mamak (paman) dan kemenakan. Pada umumnya ikatan di rantau dilatarbelakangi oleh kesamaan darah, nagari, suku yang menjelma dalam mobilitas geografis tertentu. Keluarga-keluarga yang mempunyai tradisi merantau banyak yang mempunyai saudara di luar nagari-nya, baik di sekitar Sumatera Barat maupun di tempat lainnya yang lebih jauh, bahkan menginjak abad XIX, banyak kota besar di Indonesia yang dijejaki orang Minangkabau.80

J. Thomas Linblad mengatakan bahwa terbukanya gerbang ekonomi Indonesia pada masa awal modern, tidak saja bergantung pada ketersediaan komoditas, melainkan juga elemen lain seperti sumber daya manusia. Bahkan lebih jauh, ketersediaan pasar-pasar luar negeri adalah suatu kemungkinan baru, tergeraknya manusia melakukan perindahan wilayah, utamanya dalam kasus kehidupan di luar Jawa, seperti Minangkabau. Dorongan eksogen (keluar) menjadi mungkin terjadi manakala kawasan tersebut sudah memahami arti melakukan tindakan ekonomi di luar wilayahnya sendiri.81

Menimbang pada tradisi bujang (anak lelaki menjelang dewasa) yang terbiasa tidur di surau bersama kawan-kawannya, sepertinya paham merantau tidak sulit untuk dicarikan akar terjadinya. Sebagaimana telah

80 E.E, Graves, Elite Minangkabau ..., hlm. 39. 81 J. Thomas Lindblad, Sejarah Ekonomi Modern Indonesia; Berbagai Tantangan Baru, Terj. M. Arif Rohman dkk (Jakarta: LP3ES, 2000) hlm. 334-335.

57

dipaparkan di bab sebelumnya, anak laki-laki yang beranjak besar sudah terbiasa melepaskan diri dari perhatian orang tuanya, utamanya ketika waktu malam. Mereka memilih tidur di surau, karena memang keadaan dan adat sudah terbentuk demikian. Merantau diibaratkan adalah fase selanjutnya dari upaya melepaskan diri pada rumah dan orang tua, bedanya kini dimaknai secara lebih radikal, yakni meninggalkan kampung halamannya untuk mencari peruntungan baru.

Ramainya perdagangan di pesisir pelabuhan-pelabuhan Pantai Barat, mengundang para saudagar asing untuk mencoba keberuntungannya di sana. Beberapa pedagang yang berasal dari Eropa mulai berbelanja di pasar-pasar dekat pelabuhan. Pedagang Belanda merasa wilayah tempatnya berniaga ini adalah salah satu destinasi yang menjanjikan untung melimpah, terlebih saat mengetahui koneksi para pedagang hulu dengan hilir telah terbangun sejak lama. Tentu akan sangat berharga, jika hubungan yang baik bukan hanya dijalin dengan kelompok pedagang, melainkan dengan para penguasa lokal yang mempunyai wewenang atas transaksi perniagaan di pasar tersebut.

Selain melakukan perniagaan sebagaimana biasa, Belanda mulai melirik untuk berkongsi dengan orang Cina guna menghancurkan kedudukan orang- orang Aceh yang sejak lama menjadi pialang di pelabuhan-pelabuhan di Pantai Barat. Untuk diketahui, profesi pialang adalah profesi yang menghubungkan para pedagang daerah (pemasok) dengan para pembeli di pesisir. Orang Aceh mempunyai kedudukan kuat di bandar-bandar Minangkabau mengingat mereka banyak yang telah menjalin hubungan keluarga dengan para pialang asal Minangkabau, melalui jalur pernikahan. Orang-orang Aceh ini tidak seidkit yang merupakan mantan para pejabat atau seorang yang bekerja untuk Kesultanan Aceh. Di antara mereka ada pula yang berprofesi sebagai pedagang.

58

Persaingan menjadi kenisacayaan yang tidak bisa diabaikan di kalangan para pialang. Sudah sering terjadi persaingan antara sesama pedagang pantai, pedagang antarpulau hingga pedagang pedalaman. Beberapa keluarga pialang banyak yang menaruh kepercayaan ketika berbisinis dengan orang Aceh, namun tidak sedikit di antara mereka yang tergiur dengan ajakan Belanda, semata-mata untuk melancarkan bisnisnya sendiri dengan janji akan dibantu oleh Belanda. Bagi sebagian keluarga, menjalin bisnis dengan orang Aceh dirasa banyak mendatangkan keuntungan, namun seorang pialang kaya asal Tiku pada saat itu mendukung diusirnya orang-orang Aceh dengan alasan mengembalikan kendali perdagangan lada dan penetapan harga-harganya kepada orang Minangkabau sendiri.82

Keberadaan jalur perdagangan yang menghubungkan Pantai Barat Sumatera dengan Aceh ikut membuka peluang baru bagi penduduk Minangkabau yang ingin berhaji. Pedir, salah satu bandar yang berada di bawah kekuasaan Aceh Darussalam, adalah bandar yang kerap memberangkatkan jamaah haji, termasuk yang berasal dai Minangkabau.83 Dari sini mereka berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji sekaligus membuka kesempatan lain bagi para pelajar yang ingin melanjutan pendidikannya ke Haramain.84

B. Aktivitas Belanda dan Inggris

Menginjak tanggal 20 Juli 1818, Thomas S. Raffles bersama dengan 13 perwakilan dari desa-desa yang berada di Lembah Solok dan perbukitan di

82 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 125. 83 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 204. 84 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Terj. Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta; Gadjah Mada University Press, 1995) hlm. 214.

59

sekitarnya menandatangani suatu perjanjian. Para wakil desa menyerahkan pengelolaan daerah pesisir kepada perusahaan Inggris. Mereka khawatir jika hal ini tidak dilakukan, maka akan terjadi suatu keadaan yang tidak mereka inginkan sebelumnya, yakni suatu perlakuan yang tidak adil dari perusahaan Belanda kepada para pemimpin Melayu. Tidak lama lagi, Belanda akan kembali mengambil alih tanah pesisir dari Inggris. Pelabuhan-pelabuhan di sana sudah berada dibawah kuasa Inggris selama 23 tahun, dan sebelumnya sudah 100 tahun di bawah kontrol Belanda.

Ketidakadilan yang dimaksud dalam perjanjian itu adalah menyangkut perniagaan. Para ketua desa banyak yang tidak diuntungkan dengan langkah politik Belanda, yang membuat keuntungan mereka semakin menipis. Banyak dari mereka yang menyandarkan penghidupan dari pelabuhan pesisir. Ketika Inggris berkuasa, mereka baru tersadar betapa banyak permintaan luar negeri atas komoditas-komoditas alam Minangkabau, sesuatu yang tidak mereka mengerti saat Belanda mengelola wilayah pesisir. Melihat pada model berniaga orang Belanda sebelumnya, maka bukan tidak mungkin kerugian sebelumnya bisa mereka alami kembali.

Ketika orang Inggris berada di Padang, perdagangan menjadi lebih inklusif (terbuka). Arus keluar masuk barang meningkat 20 kali lipat ketimbang masa Belanda terakhir. Orang Minangkabau mengatakan bahwa Belanda semena-mena dalam menentukan harga. Kopi yang mereka tanam secara sukarela, dihargai sesuai dengan keinginan Belanda. Konsekuensinya, apabila para kepala rakyat berkeberatan dengan ketentuan itu, maka pelabuhan-pelabuhan akan ditutup. Atas kejadian ini, mereka merasa ditipu dan dipermainkan Belanda.85

85 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 17.

60

Kebijakan yang dilakukan Raffles ternyata tidak didukung oleh atasannya. Bagaimanapun, Inggris harus menghormati kesepakatannya dengan Belanda untuk menyerahkan pelimpahan kuasa pada waktunya atas beberapa wilayah di Minangkabau. Orang-orang Belanda yang kini adalah kepanjangtanganan dari Kerajaan Belanda pun mengambil alih pengelolaan Pesisir Barat Minangkabau. Lima belas ketua adat dari daerah Tanah Datar dan Singkarak-Solok amat gusar dengan kenyataan tersebut, dan berusaha melakukan perjanjian lagi dengan Belanda, sesuatu yang sebenarnya tidak mereka inginkan. Dengan perjanjian, mereka berpikir bahwa kepentingan ekonomi mereka terjaga di mana kedua belah pihak saling menghormati hak dan kewajibannya.

Langkah mereka menemui hasil, para wakil Tanah Datar dan Singkarak- Solok, termasuk perwakilan kraton Pagarruyung dan Suruaso menandatangani perjanjian dengan Belanda tertanggal 10 Februari 1821. Kini, yang dijanjian kepada para pedagang jumlahnya lebih besar ketimbang yang mereka tandatangani tahun 1818. Perjanjian ini juga melibatkan bantuan militer Belanda atas seluruh wilayah Tanah Datar yang termasuk wilayah inti Minangkabau. Sebagai konsinyasinya, Belanda mendapatkan apa yang terekam dalam kata-kata berikut: “Kepada pemerintah Hindia Belanda, penyerahan resmi dan tidak bersyarat, tanah-tanah Pagar Roeyong, Soengi Tarap dan Soeroeassoe. Begitu pula sisa-sisa tanah Negara Maninkabo.” Lahirnya perjanjian ini adalah dampak dari merosotnya perekonomian internasional yang terjadi secara terus-menerus.86

Pada prakteknya, antara kerajaan Pagarruyung dengan nagari-nagari di Alam Minangkabau tidak selalu mempunyai hubungan struktural- administratif yang kuat. Pagarruyung tidak sepenuhnya mampu mengatur

86 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 18.

61

nagari-nagari, oleh karena para kepala nagari beserta dewan adatnya merasa memiliki independensi dalam menjalankan pemerintahannya. Mereka tetap menghormati Raja Pagarruyung, hanya saja mereka tidak lantas menjalankan semua yang diperintahkan sang Raja. Antara satu nagari dengan nagari lainnya bisa saja mempunyai hukum dan peraturan yang berbeda-beda.87 Oleh sebab itulah mereka para kepala nagari bisa dengan bebas menjalin kesepakatan dengan bangsa Eropa tanpa harus mengabarkan ke Pagaruyung.

Ketika merasa kedudukannya telah menguat, pemerintahan Kolonial di Minangkabau mendirikan administrasi yang pucuk pimpinannya dijabat oleh seorang gubernur yang berkedudukan di Markas Besar di Padang. Di bawah gubernur terdapat residen “Padang Darat” (Padang Bovenlanden) yang beribukota di Bukittinggi dan “Padang Dataran Rendah” (Padangsche Benedenlanden) dengan ibukota di Padang. Yang pertama, sebagaimana terdengar dari namanya, karesidenan ini membawahi wilayah yang terbentang di daerah-daerah timur dari punggung perbukitan yang menengahi kawasan pantai dan jantung Minangkabau (pedalaman). Pada tahun 1891, wilayah karesidenan ini bertambah, membawahi negeri perbukitan di sebelah utara yakni daerah yang terdapat di bagian utara Agam dan Tapanuli, yang dalam pengertian orang Belanda disebut Ophir.

Setiap karesidenan terbagi ke dalam satuan administrasi yang disebut Asisten Karesidenan. Di Padang Darat biasanya terdapat lima sampai delapan, sedangkan di Padang Dataran Rendah mempunyai tiga sampai lima asisten residen. Tingkat terbawah dari administrasi Belanda disebut controleur atau kontrolir. Kontrolir bersinggungan langsung dengan kepala laras dan kepala nagari, selain juga menjadi penghubung antara

87 Tsuyoshi Kato, Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah, Terj. Gusti Asnan dan Akiko Iwata (Jakarta: Balai Pustaka, 2005) hlm. 28.

62

pemerintahan lokal dengan pemerintahan Hindia Belanda. Wilayah seorang kontrolir sama luasnya dengan wilayah seorang kepala laras yang membawahi suatu distrik, jika distrik itu dianggap berkedudukan Penting. Namun pada umumnya, seorang kontrolir membawahi beberapa kepala laras. Kontrolir dibagi ke dalam tiga tingkatan, tergantung pada urgensi daerah yang diperintahnya. Tugas dan perhatian utama seorang kontrolir ketika masa perdana menjabat, adalah menjaga dan memajukan tanaman ekspor. Oleh sebab kian kemari tugas administrasi Belanda semakin kompleks, beberapa elit atau orang Minangkabau kebanyakan dipekerjakan sebagai pembantu mereka.88

Untuk memperbesar keuntungan yang didapat, pemerintah kolonial menerapkan kebijakan kerja paksa di Minangkabau. Mereka kerap memerintahkan kepala rakyat untuk membawa kopi ke pesisir. Untuk mempersingkat waktu pengiriman kopi dan kemudahan akses dari Padang Darat ke Padang, menginjak tahun 1841, pemerintah membuat jalan raya yang menghubungkan daerah-daerah pedalaman di Minangkabau, terutama daerah-daerah penghasil kopi dengan Padang. Pembangunan jalan yang menghubungkan Padang ke Pariaman hingga menyentuh Mudik Pandang, dengan menyisiri sepanjang Lembah Anai dan melewati beberapa tempat seperti Gunung dan Batipuh (keduanya di Padang Panjang), juga melewati Fort Van de Capellen dan Fort de Kock.

Memasuki akhir abad 19, sudah dibangun jalan dari Fort de Kock menuju Pangkalan yang berada di Payakumbuh bagian timur. Dengan berlayar menyisir Sungai Kampar kini orang bisa sampai di Bangkinang. Selanjutnya, jalan bisa diteruskan melalui jalur darat hingga sampai ke Pekan Baru. Jalan yang semakin baik semakin mempermudah mobilitas penduduk

88 Elizabeth E. Graves, Elite Minangkabau ..., hlm. 94-95.

63

pedalaman ke Pantai Barat maupun Pantai Sumatera Timur, maupun sebaliknya. Mereka yang melewati jalan ini kebanyakan adalah para pedagang, baik pedagang yang menetap di suatu tempat maupun yang keliling. Di pihak lain, akses jalan membuat semakin banyak pedagang Cina dan pedagang Timur Asing yang menuju ke pedalaman Minangkabau.

Seiring dengan pembuatan jalan-jalan lainnya, kota-kota di Sumatera Barat semakin berkembang. Dua di antara yang paling terkenal adalah Padang dan Bukittinggi. Jalan raya yang semula hanya diperuntukkan bagi jalur pengangkutan kopi dan militer, perlahan semakin bermanfaat untuk rakyat pada umumnya. Perpindahan penduduk pedalaman, terutaman yang nagari-nya terbelakang, semakin tinggi. Mereka banyak yang memilih destinasi Padang dan Bukittinggi sebagai tempat menyambung hidup. Akibatnya, penduduk lokal setempat terdesak dan larut dalam arena kompetisi mencari peruntungan.

Terdapat satu nuansa positif dari urbanisasi ini, yakni terlepasnya suatu kungkungan “dendam kemiskinan” yang diidap para pendatang ketika masih di kampung. Dampaknya, di tempat barunya ini mereka terbiasa dengan pola hidup yang keras dan ulet dan di kemudian waktu banyak di antara mereka yang mendapatkan prestasi tinggi di kota tinggalnya. Kala itu, dikenal istilah loods (ruangan besar untuk berjualan) orang Sianok, loods orang Balingka, loods orang Sungai Puar dan loods-loods lainnya. Pasar di Bukittinggi justru digerakkan oleh orang-orang yang berasal dari sekitar Bukittinggi, dan yang aneh justru tidak ada istilah loods Bukittinggi, padahal mereka adalah penduduk asli.89

89 Taufik Abdullah dkk, Sejarah Sosial di Daerah Sumatera Barat (Jakarta: Direktorat Sejatah dan Nilai-Nilai Tradisional, Departemen P dan K, 1983/1984) hlm. 13-14.

64

Perbaikan ekonomi, dalam beberapa segi tertentu, dan kemudahan akses dari daerah urban ke kota besar ikut mempengaruhi terbukanya pemikiran orang Minangkabau. Termasuk dari perubahan ini adalah inovasi untuk menyekolahkan anaknya sampai pendidikan tertinggi. Dalam suatu laporan dikatakan bahwa ketika seorang ayah orang Minangkabau mengetahui anaknya tidak mengikuti perkembangan di sekitarnya, maka si anak akan dimarahi ayahnya dengan perkataan: “bak orang Kurai jolong ke Gadung (Bukittinggi), diam di laut tidak asin, diam di bandar tidak meniru.” Maksud dari ungkapan tersebut adalah padahal di nagari Kurai (Bukittinggi) sudah dibangun Sekolah Melayu Rendah, Sekolah Raja, Sekolah Belanda, Sekolah Pegawai Negeri dan lain sebagainya, namun masih saja orang yang memandang rendah bersekolah, dikarenakan untuk apa pendidikan, padahal sawah ninik mamak masih luas untuk bekal hidup.90

Untuk mengamankan posisinya dan kepentingan ekonominya, pemerintah Belanda membangun garnisun dan benteng-benteng di beberapa titik yang dianggap strategis. Walaupun Perang Paderi berhasil mereka tumpas, namun serangan-serangan kecil masih saja mengganggu urusan pemerintahan Belanda. Di samping Benteng Fort de Kock yang dibangun pada 1827 di Bukittinggi, bangunan yang sama juga didirikan di Padangpanjang. Seiring berjalannya waktu, Bukittinggi dan Padangpanjang menjadi destinasi berkumpulnya manusia yang datang ke pasar-pasar di sana. Di antara mereka ada yang memutuskan menetap. Fenomena tersebut adalah hal lumrah yang ditemui di kota-kota baru bentukan pemerintah kolonial.

Tempat-tempat di mana garnisun dan benteng berdiri tersebut, menjadi pusat perekonomian mikro warga sekitar yang mengkhususkan diri memasok kebutuhan penghuni dua benteng itu. Beberapa barang pangan seperti beras,

90 Taufik Abdullah, Sejarah Sosial ..., hlm. 14-15.

65

daging dan sayuran dipasarkan ke dalam benteng untuk memenuhi kebutuhan militer. Para tukang kayu dan pengrajin-pengrajin arsitektural juga didatangkan untuk membangun pemukiman-pemukiman baru. Pasar, belakangan menjadi tempat yang kian ramai, karena menjadi salah satu indikator kemajuan perekonomian kecil di era kolonial. Sepuluh tahun berselang setelah pendirian Benteng Fort de Kock, yakni tahun 1837 merubah daerah benteng Fort de Kock dari semula pasar menjadi pusat administrasi pemerintahan. Adapun Padangpanjang menjadi sentra pengumpulan kopi sebelum diangkut ke Padangpanjang.91

Azizah Etek dkk mempunyai catatan tersendiri mengenai profesi orang Minangkabau, khususnya yang berdiam di Kotogadang. Keahlian pandai kayu sebenarnya tidak seluruhnya merupakan mata pencaharian pokok. Awalnya bertukang kayu adalah keahlian digunakan di dalam nagari saja. Dahulu, jika ada seorang yang ingin membangun rumah gadang, maka harus didahului kesepakatan keluarga se-paruik dan se-kaum. Mufakat ini kemudian dilaporkan kepada ninik-mamak dan penghulu-penghulu dalam nagari supaya bisa diteruskan untuk meminta pertolongan warga untuk mendirikannya sesuai ketetapan adat. Para penghululah yang kemudian membagi tugas siapa saja yang pergi ke rimba, menebang dan mengolah kayu, membuat pancang (tonggak), membangun rumah dan lain-lain. Nagari bertanggung jawab selama pengerjaan rumah, mulai dari penyiapan bahan material sampai pada siap dihuni. Pemilik rumah hanya menyediakan makanan dan minuman.92

91 Yudhi Andoni, “Sekularisme vs Modernisme Islam: Konflik Pemikiran Kaum Cendikiawan Sekular Barat dengan Cendikiawan Muslim di Sumatera Barat 1930-1942”, dalam Analisis Sejarah, Vol. 5, No. I, 2014, hlm. 82. 92 Azizah Etek dkk, Koto Gadang Masa Kolonial (Yogyakarta: LKiS, 2007) hlm. 23.

66

Dalam membangun pelbagai bangunan-bangunan penting, Belanda sudah tentu membutuhkan bantuan penduduk setempat. Para pandai kayu yang dipekerjakan tentu saja telah terbiasa mengerjakan rumah-rumah gadang serta bangunan lainnya di kampungnya. Menggunakan tenaga mereka bisa saja dilakukan untuk membangun komunikasi yang lebih intensif dengan masyarakat lokal, sehingga keharmonisan dan keakraban dengan sendirinya tumbuh. Sebagaimana diketahui, tidak seluruh orang di Minangkabau memerangi kedudukan Belanda, beberapa dari mereka justru ada yang bersikap layaknya sahabat, tentunya dengan pelbagai motif yang melatarbelakanginya. Koto Gadang misalnya, adalah suatu daerah yang dikenal ketua-ketua adatnya dekat dengan Belanda.93

Kedudukan Belanda di Minangkabau sempat mengalami ancaman ketika gerakan Paderi mulai melancarkan aksinya. M. C. Ricklefs menyebutkan bahwa gerakan Paderi Minangkabau adalah gerakan awal umat Islam terbesar di Indonesia. ketika Kompeni sibuk menguatkan kembali skrup-skrup kekuasaannya, di waktu yang hampir bersamaan, di akar rumput sedang terjadi perubahan sosial, agama dan politik yang sifatnya massif sejak akhir abad ke 18 hingga awal abad 19. Bahkan, perubahan sosial di Minangkabau ini, pada masa itu memiliki dampak yang lebih besar ketimbang perubahan serupa yang terjadi di wilayah-wilayah Nusantara lainnya.94

Hampir sama dengan kedatangan Belanda, kemunculan kaum Paderi juga dalam beberapa hal adalah berkaitan dengan aspek perdagangan, tepatnya sekitar tahun 1780-an di Agam.95 Salah satu tokoh penyebar paham Paderi masa awal, Haji Miskin, memiliki kedekatan bisnis dengan Datuk

93 Azizah Etek, Koto Gadang ..., hlm. 24. 94 Ricklefs, Sejarah Indonesia ..., hlm. 213. 95 Rickelfs, Sejarah Indonesia ..., hlm. 213.

67

Batuah, penghulu di desa Pandai Sikat. Hal utama yang melatarbelakangi akrabnya hubungan mereka adalah Haji Miskin kerap berbelanja kopi kepada Datuk Batuah. Hubungan yang intens membuat Datuk Batuah sadar, ada yang mesti dirubah dari perilaku menyimpang penduduknya. Oleh sebab itu ia mengangkat Haji Miskin untuk merombak tatanan sosial Pandai Sikat menjadi lebih agamis sesuai dengan anjuran Haji Miskin.96

Namun pada perkembangannya, gerakan Paderi menerbitkan dampak lain yakni pertikaian antara kelompok adat dengan Paderi. Kelompok adat dianggap para ulama Paderi sebagai sosok yang membiarkan perilaku menyimpang masyarakat terjadi. Merekalah yang harus dimintai pertanggungjawaban atas realitas sosial yang jauh dari apa yang dianjurkan oleh agama. Sebaliknya, kelompok adat menganggap kelompok Paderi sebagai sosok yang mengancam kedudukan mereka. Usaha pembaruan yang dilakukan kaum Paderi selalu mendapat halangan dari kelompok adat.97

Akibat serangan kelompok Paderi yang sedemikian gencar dilakukan, membuat beberapa penghulu mulai melirik bantuan Belanda. Pada bulan Februari 1821, anggota kerajaan Pagarruyung yang berseberangan dengan Paderi, menandatangani suatu perjanjian dengan Belanda untuk menumpas musuh mereka itu. Imbalannya, mereka harus menyerahkan daerah bawahan mereka (Minangkabau) kepada Belanda. Anggota kerajaan nantinya sama sekali tidak berhak atas penguasaan riil bawahannya lagi, dan sudah berpindah ke tangan Belanda. Setelahnya, pasukan Belanda pun bersiap dan

96 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 203. 97 Sartono Kartodirdjo, ed, Sejarah Perlawanan-Perlawanan Terhadap Kolonialisme (Jakarta: Departemen Pertahanan dan Keamanan, Pusat Sejarah ABRI, 1973) hlm. 90-91

68

meletuskan perang yang dikenal dalam sejarah Indonesia sebagai Perang Paderi (1821-1838).98

Selain menggunakan taktik militer, Belanda juga dibantu oleh seorang keturunan Arab bernama Said Sulaiman al-Jufri untuk melakukan diplomasi perdamaian kepada Paderi. Dikatakan bahwa ia adalah keturunan Arab yang akrab dengan para pejabat kolonial yang bertugas di Sumatera Barat. Sejak muda, Said Sulaiman sudah tinggal di Padang. Ia memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai agama Islam dan keadaan negeri-negeri di Alam Minangkabau.

Said Sulaiman berkesimpulan bahwa perang yang terjadi antara Belanda dan Paderi adalah karena masalah agama. Ia berpikir bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk menyelesaikan perang ini, terlebih menimbang statusnya sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW, golongan yang amat dihormati di dunia Islam. Ia mendiskusikan peran barunya ini dengan residen Belanda di Padang. Sang residen menyetujui usulnya itu.

Ia memulai misi diplomasinya itu dengan mengunjungi benteng Bonjol. Di sana ia disambut layaknya tamu kehormatan. Ia menghadap kemudian mengutarakan maksudnya agar pemimpin Paderi itu mau berdamai dengan Belanda. Said Sulaiman juga mengatakan bahwa sesungguhnya Belanda sama sekali tidak bermaksud melarang aktivitas umat Muslim. Dengan santun, Tuanku Imam Bonjol menjawab:

Habib, Kami tahu cita-cita mulia Habib! Memang tidaklah perlu darah ini tertumpah banyak. Tetapi ucapan Belanda yang seperti itu, dahulu pun saudah kami dengar pula, ketika perjanjian damai di Masang! Padahal, jika saja niat baik itu memang ada, mengapa Kota Lawas yang jelas-jelas di bawah lindungan kami, mereka duduki dan tidak ada niat bagi mereka untuk menyerahkannya kembali?

98 Ricklefs, Sejarah Indonesia ..., hlm. 215.

69

Mengapa di tempat-tempat yang sudah jelas masuk dalam wilayah kami, selalu diganggu dan dikepung? Dan lagi, jika benar Belanda hendak berdamai dengan kami, silahkan meninggalkan Luhak Agam! Karena itu masih termasuk wilayah kami. Katakanlah kepada Belanda, supaya mereka menghormati perjanjian yang telah sama- sama disepakati! Habib tentu paham bagaimana arti janji bagi orang Muslim! Kami merasa janji tersebut tidak pernah kami langgar! Perkataan di atas membuat Said Sulaiman terkesima. Rupanya seorang Imam Bonjol tidak begitu saja silau dengan kedudukannya sebagai keluarga Rasulullah. Dengan malu ia tinggalkan Bonjol. Imam Bonjol dan para pengikutnya melepas Said Sulaiman dengan kebesaran, seperti tamu agung yang baru meninggalkan pertemuan. Keadaan yang tentu saja membuat Said Sulaiman semakin tidak enak.

Said Sulaiman selanjutnya menuju Lintau untuk bertemu Tuanku Pasaman. Ajakan berdamai Belanda disepakati oleh pemimpin Paderi di sana. Singkat cerita, pada 29 Oktober 1825, dari Lintau dikirim satu delegasi yang beranggotakan Tuanku Keramat di Buo sebagai kepala delegasi sekaligus mewakili Tuanku Pasaman, Tuanku Bawah Tabing (Talawi), Tuanku di Guguk di Limapuluh Koto dan Tuanku di Ujung yang mewakili Tuanku Nan Renceh. Mereka diiringi pulaoleh 8 pemuda Paderi.

15 hari ke depan, selesailah pertemuan antara perwakilan Lintau dan Belanda itu. Masing-masing pihak menyepakati beberapa poin yang dianggap sama-sama memberi manfaat. Pertemuan itu memang tidak dihadiri oleh seluruh pemimpin Paderi, namun Belanda menganggap dengan begitu perlawanan Paderi berangsur-angsur bisa dilumpuhkan, karena dari peristiwa ini akan terbit ketidaksamaan pendapat terkait posisi Belanda. Dengan begitu, terbuka jalan bagi Belanda untuk melakukan politik pecah belah. Kaum Paderi juga sudah mengakui kekuasaan Belanda atas Padang serta benteng-bentengnya.

70

Di pihak lain, bagi Paderi, Belanda bersepakat untuk tidak mengganggu wilayah di bawah pengaruh Paderi di beberapa wilayah seperti di Lintau, Lima puluh Koto, Talawi dan Kamang. Belanda juga berjanji tidak akan mengganggu aktivitas Muslim di sana.

Melihat keberhasilan perjanjian di atas, Said Sulaiman al-Jufri merasa senang sekali. Langkahnya berbuah manis. Dalam beberapa kesempatan selanjutnya, ia melakukan cara-cara serupa untuk mengajak Paderi berdamai dengan Belanda. Lama kelamaan ia sampai mendapat gelar “Raja Perdamaian.” Aktivitasnya ini tidak berjalan lama. Pada bulan April 1829, dikabarkan bahwa ia tewas dibunuh di suatu surau di Lintau.99

Setelah perang tersebut berakhir, Belanda pun mulai mengakarkan kekuasaannya atas Minangkabau. Mereka semakin memperbesar perbedaan antara kaum adat dan kaum agama. Pemisahan ini dimasudkan untuk mencegah agar fanatisme Islam tidak berkembang secara massif lagi. Di sisi lain, perbedaan ini menyebabnya semakin meredupnya wibawa kaum penghulu. Pihak kolonial sama sekali tidak tergerak untuk melibatkan pihak kerajaan Pagarruyung untuk mengelola Minangkabau. Mereka hanya menempatkan jabatan para kepala-kepala pemerintahan layaknya para bupati di Jawa.100

Pemerintah kolonial ternyata juga tidak senang dengan potensi kemakmuran yang dikumpulkan para keluarga di Minangkabau. Pada tahun 1853 Mereka pun menerbitkan suatu kebijakan untuk mendaftarkan seluruh harto pusako yang sudah dikumpulkan oleh setiap keluarga di Minangkabau. Dalam kitab undang-undang kolonial, hak kepemilikan disebut juga

99 Hamka, Dari Perbendaharaan Lama (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982) hlm. 127 – 129. 100 Ricklefs, Sejarah Indonesia ..., hlm. 215.

71

eigendom, dan keberadaannya wajib diketahui oleh pemerintah kolonial. Pendataan tersebut dilakukan oleh suatu kelompok kerja yang berkantor di kantor gubernur. Mereka yang sudah mendaftarkan hartanya, kemudian diberi bukti kepemilikan properti yang dinamakan eigendome-akte.101

C. Kebijakan Kolonial di Bidang Pendidikan

Di sisi lain, Orang Minangkabau ternyata tidak seluruhnya melakukan perlawanan layaknya kelompok Paderi. Di antara mereka justru ada yang menganggap kehadiran kolonial membawa berkah tersendiri bagi kehidupannya. Eizabeth E. Graves menyatakan bahwa salah satu tonggak awal kesuksesan orang Minangkabau menjalani kehidupan, adalah ketika mereka memberikan reaksi terhadap keberadaan kuasa kolonial pada abad 19.102 Setelah gerakan Paderi ditundukkan pada 1837, Belanda memberlakukan kebijakan pendidikan dasar bagi penduduk Minangkabau seperti membaca, menulis dan pengetahuan berhitung yang cukup. Kemudian, mereka ditempatkan mengisi jawatan-jawatan birokrasi kolonial yang semakin luas.

Sayangnya, kebijakan positif ini tidak dijalankan secara penuh. Masih ada keraguan pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan sekolah-sekolah dalam jumlah besar. Jikapun ada sekolah untuk rakyat, hanya diprakarsai oleh orang per-orang pejabat Belanda, dan sekolahnyapun termasuk kategori sekolah swasta. Sikap ini ditengarai karena masih adanya perlawanan parsial dari kelompok-kelompok fanatik Islam (Paderi) yang menginginkan agar

101 Franz von Benda-Beckmann, Property in Social Continuity; Continuity and Change in The Maintenance of Property Relationships Through Time in Minangkabau (‘S-Gravenhage: Martinus Nijhoff Publishers, 1979) hlm. 209-210. 102 Elizabeth E. Graves, Elite Minangkabau ..., hlm. xi.

72

kekuasaan Kristen Belanda harus pergi dari tanah Minangkabau. Beberapa kelompok masyarakat juga belum banyak yang percaya terhadap sektor pendidikan yang digarap pemerintah kolonial.

Beberapa sekolah yang didirikan pemerintah Belanda bertujuan untuk menciptakan kelas elit bumiputera yang terdidik yang berasal dari kelas penguasa tradisional, seperti yang ditemukan di Jawa. Tidak semua keluarga bangsawan Minangkabau setuju memasukkan anaknya ke sekolah ini. Hal ini menciptakan kekosongan yang kemudian diisi oleh keluarga-keluarga biasa yang berharap anaknya bisa masuk ke sekolah Belanda yang bukan berasal dari kelompok pemnguasa lokal. Dengan demikian eksistensi sekolah kolonial selama abad 19, lebih mengandalkan sokongan dari bawah ketimbang bergantung pada pemerintah Belanda itu sendiri.103

Modernitas pendidikan a la kolonial membawa serta pada modernitas gaya hidup. Pembangunan kota yang massif di Bukittinggi dan Padangpanjang merubah wajah sebagian penduduknya menjadi bergaya barat atau ke-eropa-eropa-an. Simbol-simbol modernitas yang terlihat dari gaya hidup, gaya berpakaian, arsitektur rumah, menjadi kelaziman yang mudah ditemui di kehidupan orang Minangkabau yang tinggal di dua kota tersebut. Pakaian misalnya, saat itu begitu dekat dengan model busana orang Eropa. Pemakaian celana panjang, kemeja dan jas merupakan gejala yang ditemui dalam kehidupan masyarakat kota di masa Hindia Belanda.104 Untuk wanita, tidak semudah kaum lelaki, melainkan membutuhkan proses dialektika yang agak lama. Lambat laun, perempuan-perempuan Minangkabau mulai ada yang mengenakan busana wanita Eropa, seperti memakai rok, gaun dan blus.

103 Elizabeth E. Graves, Elite Minangkabau ..., hlm. xi. 104 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Batas-Batas Pembaratan (Jakarta: Gramedia, 2008) hlm. 156.

73

Salah satu agen yang menghembuskan gaya hidup model Eropa adalah para murid Sekolah Raja di Bukittinggi. Para murid sekolah ini mengenakan busana seragam berupa pakaian rapi (dengan kemeja, celana panjang dan dasi) dengan sepatu kulit. Dalam bergaul, mereka juga bersikap menjauhi masyarakat luar dan menganggap diri paling mulia, karena terpelajar. Mereka membentuk kelompok tersendiri dalam masyarakat. Dalam sehari- hari, dikelompoknya mereka berbicara menggunakan bahasa Belanda. Ketika mereka lulus sekolah, banyak di antara mereka yang bekerja di instansi- instansi pemerintah Hindia Belanda, seperti menjadi jaksa.105

Budaya merantau, sebagaimana yang ditemukan dalam tradisi Minangkabau, seperti menemukan pasangannya ketika disandingkan dengan pendidikan. Merantau adalah pintu gerbang untuk meningkatkan pengetahuan dan karir. Pada masa itu, dengan pendidikan, kehidupan bisa berubah secara radikal dalam pergaulan masyarakat. Dengan berpendidikan, jenjang karir akan bisa dikejar dan kedekatan dengan dunia orang-orang Eropa bisa digapai.106 Ini merupakan keniscayaan yang dihadapi para elit pribumi jika tidak ingin selalu berada di bawah strata orang Eropa. Stratifikasi sosial yang selama ini menjadikan mereka sebagai warga negara kelas tiga, perlahan-lahan bisa dipangkas, sehingga anak-anak mereka bisa mencicipi bagaimana hidup “hampir setara” dengan orang-orang Eropa.

Peradaban Eropa dan Islam merupakan dua hal yang bersinggungan dengan Minangkabau. Dari keduanyalah, kultur Minangkabau bisa mempersiapkan diri untuk bersentuhan dengan unsur-unsur di luar garis batas geografisnya. Tentu tidak sepenuhnya benar, jika disebutkan bahwa

105 Yudhi Andoni, “Sekularisme vs Modernisme ...”, hlm. 83. 106 Ulbe Bosma and Remco Raben, Being “Dutch” in The Indies; A History of Creolisation and Empire 1500 – 1920, Terj. Wendie Shaffer (Athens, USA: Ohio University Press, 2008) hlm. 215.

74

peradaban Eropa menjadi perusak dari adat istiadat dan tradisi di Minangkabau. Kenyataannya, melalui penerimaan akan realitas demikian, orang-orang Minangkabau bisa menemukan jalan keluar untuk berjumpa dengan pergaulan lain di luar wilayahnya, di kemudian hari. Hal yang sama juga pernah dialami Minangkabau dalam sejarah107, misalnya saja saat orang Minangkabau berjumpa dengan orang Arab.

H. Agus Salim, salah satu cendikiawan Minangkabau yang sempat bersekolah di sekolah-sekolah kolonial, menyatakan bahwa tidak seluruhnya unsur pendidikan Eropa baik untuk kalangan bumiputra. Meskipun ia mendapatkan sertifikat dari sekolah Europese Lagere School (sekolah untuk anak-anak Belanda) dan melanjutkan pendidikannya di Hogere Burgerschool (HBS) di Surabaya, lantas bekerja di instansi kolonial, tidak dianggapnya sebagai kenikmatan hidup, melainkan adalah suatu fase hidup yang dikatakannya “berlumpur”, atau penuh dengan kesusahan. Agus Salim, sebagai sosok yang tidak sepakat dengan kehadiran kolonialisme di Indonesia, tentu saja tidak sepaham dengan langkah kolonial yang hanya menjadikan pendidikan sebagai alat mencetak orang-orang yang kemudian bekerja bagi mereka lantas meninggalkan kewajiban memerdekakan bangsanya.108

Sistem pendidikan kolonial yang berlaku di Indonesia mempunyai karakteristik umum yang spesifik, yakni menerapkan jurang pemisah yang lebar antara bangsa penjajah dan orang terjajah. Keduanya adalah dua golongan masyarakat yang mempunyai strata sosial yang berbeda. Penduduk Belanda dan Eropa akan lebih tinggi ketimbang orang Timur Asing (vreemde

107 P.E. de Josselin de Jong, Minangkabau and Negri Sembilan Sosio-Political Structure in Indonesia (‘S-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1980) hlm. 117. 108 Mohamad Roem, “Memimpin Adalah Menderita: Kesaksian Haji Agus Salim”, dalam Taufik Abdullah dkk, ed, Manusia dalam Kemelut Sejarah (Jakarta: LP3ES, 1981) hlm. 118-119.

75

oosterlingen) dan pribumi (inlander).109 Jika ditelusuri lebih lanjut, pemikiran semacam itu tercipta dari pelaksanaan kebijakan Islam Politiek yang digagas oleh C. Snouck Hurgronje. Ia menasehatkan pemerintah untuk membuka sekolah-sekolah secara luas, agar kelompok menengah pribumi mendapatkan pengajaran Barat yang modern.110

Frances Gouda menerangkan bahwa dalam sudut pandang orang Eropa, termasuk Belanda, menjadi seperti mereka harus siap dengan perubahan struktur berpikir dan berbudaya dan mengikuti layaknya gaya hidup mereka. Orang Eropa terbiasa dengan sesuatu yang liberal (bebas) dan netral. Mereka tidak akan mencampurkan kepentingan politik dan agama. “Ke-Belanda-an” atau “menjadi Belanda” (Dutchness) berhubungan dengan aturan politik yang dikendalikan oleh segi-segi akomodasi, kompromi dan kebijaksanaan menerima pengaruh luar. Di satu sisi, orang Belanda erat terikat dengan tanah asalnya, dengan pergaulan model Eropa. Namun, dalam konteks kolonial, visi moral dan norma behavioral (perilaku) bertransformasi dalam kontes lokal, tempat di mana kolonisasi itu berlangsung, kecuali pandangan mereka akan kemulyaan Orang Kulit Putih dan superioritas berbudaya.111

Jika menghubungkan pendapat Gouda di atas dengan aspek pendidikan, maka ditemukan suatu benang merah yang jelas dan tegas, yakni pendidikan kolonial bertujuan membentuk pribadi Eropa yang berbeda dengan kultur aslinya. Minangkabau adalah wilayah yang rapat dengan peraturan adat dan

109 Stratifikasi sosial ini berujung pada pembatasan hak-hak bernegara, sebagaimana yang dialami oleh kelompok-kelompok Arab dan Timur Jauh. Hal yang sama juga dialami oleh penduduk pribumi, lihat Nurhasan dkk, Orang Arab Betawi di Jaman Kolonial Belanda Abad Ke-19 (Laporan Penelitian) (Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Kemenag RI, 2016) hlm. 188. 110 Nor Huda, ; Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia (Yogyakarta: Arruz Media, 2007) hlm. 101. 111 Frances Gouda, Dutch Culture Overseas; Colonial Practice in The Netherlands Indies 1900-1942 (Singapore: Equinox Publishing, 2008) hlm. 18.

76

agama. khususnya agama, pihak Belanda tentu mempunyai alasan yang kuat untuk melepaskan anak-anak didiknya dari pengaruh kehidupan religius di sana, terlebih dalam kontestasi pengamalan ajaran Islam, kelompok Paderi yang berseberangan dengan Belanda, memegang dominasi di Minangkabau. Pemisahan dengan agama, memang menjadi proyek besar Belanda untuk membaratkan orang-orang Minangkabau agar mereka tidak mudah bergabung dan terperdaya untuk berontak terhadap supremasi kolonial.

Dalam konteks yang lebih luas, pendidikan bagi kaum pribumi adalah upaya Belanda memajukan intelektualitas yang bermuara pada pembentukan negara kolonial yang kuat. Andrew Goss menyebutkan bahwa sejak akhir 1830-an, sebagian pemikir Belanda beralasan bahwa melalui riset tentang aspek-aspek geografi, masyarakat dan lingkungan, orang-orang Belanda dapat membentuk tata kelola politik yang sesuai dengan maket wilayah koloni.112 Dengan kata lain majunya pendidikan di kolonial, termasuk pada digalakkannya riset-riset berbagai ilmu alam dan ilmu sosial lainnya, adalah untuk memperkuat kedudukan kolonial atas wilayah jajahan.

Muhammad Sabaruddin menerangkan hal yang berbeda terkait penyelenggaraan pendidikan kolonial. Menginjak tahun 1831, tepatnya ketika Van den Boss dilantik menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, ditetapkan suatu keputusan bahwa sekolah gereja dipandang perlu sebagai pion dari sekolah pemerintah Hindia Belanda di seluruh penjuru tanah jajahan Hindia Belanda. Departemen yang mengurusi masalah agama dan pendidikan dilebur menjadi satu. Diputuskan pula bahwa di setiap karesidenan wajib memiliki satu sekolah Kristen.

112 Andrew Goss, Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan: Dari Hindia Belanda Sampai Orde Baru, Terj. Agung Sedayu dan Tasha Agrippina (Depok: Komunitas Bambu, 2014).

77

Apa yang ditetapkan Van den Boss di atas sesungguhnya terinspirasi dari tindakan yang sudah dilakukan Van der Cappelen, pendahulunya, pada tahun 1819. Saat itu, Gubernur Jenderal Hindia Belanda berinisiatif mendirikan sekolah dasar bagi penduduk pribumi agar kelak dapat diperbantukan di kantor-kantor pemerintah. Dalam suatu surat edaran kepada para bupati, Gubernur Jenderal menyatakan: “Dianggap penting utuk segera mungkin menetapkan keputusan pemerintah yang menjamin semakin luasnya kemampuan membaca dan menulis di kalangan penduduk pribumi, agar mereka lebih mudah menaati undang-undang dan hukum negara”.113

Para ilmuwan Belanda melihat kebudayaan sastra Minangkabau adalah suatu bahan telaah yang menarik untuk diungkap. Sejak abad 19, penelitian dan penulisan dengan tema sastra Minangkabau sempat melahirkan beberapa buku yang menandai perhatian pemerintah terhadap eksistensi kebudayaan Minangkabau. Jenis karya sastra yang menjadi perhatian utamanya adalah jenis kaba. Kaba bisa diartikan sebagai cerita. Kaba berbeda dengan cerita Melayu pada umumnya. Jika cerita Melayu ditampilkan menggunakan bahasa prosa biasa, kaba disitulis dengan gaya bahasa prosa berima.

Beberapa karya kajian ilmuwan Belanda mengenai karya sastra Minangkabau ini antara lain; 1) Chabar Mama’ si Hetong 1892, Leiden: PWM Trap, kemudian C. Snouck Hurgronje menerbitkan De Chabar Mama’ si Hetong (Minangkabausche Vertallingen) dalam TBG 38; 2) Kaba si Ali Amat, Een Minangkabausche Vertelling oleh C.A. van Ophuysen, Leiden: PWM Trap, 1895; 3) Kaba si Umbuik Mudo, Een Minangkabausche Vertellingen, Oleh C.A. van Ophuysen, Leiden, 1896; 4) “Mandjau Ari, Minangkabausche Vertelling”, oleh J.L. van der Toorn dalam VBG 45, 1891;

113 Muhammad Sabaruddin, “Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam Masa Awal dan Sebelum Kemerdekaan”, dalam Jurnal Tarbiya, Vol. I, No. 1, 2013, hlm. 148.

78

dan 5) Tjindoer Mata, Minangkabausche Legenda oleh J.L. van der Toorn, dalam VBG 45.114

Perhatian para ilmuwan Belanda terhadap perkembangan ilmu pengetahuan mengenai aspek Minangkabau di atas, bukan tidak mungkin ikut mendorong munculnya para sastrawan Minangkabau yang tersohor di masa-masa berikutnya. Beberapa cendikiawan dan sastrawan asal Minangkabau mempunyai perhatian yang besar terhadap ilmu pengetahuan, bukan hanya pengetahuan Islam melainkan juga pengetahuan umum. Beberapa dampak yang bisa disebutkan dari majunya pendidikan di Minangkabau adalah munculnya sastrawan yang karya-karya masih dibaca hingga saat ini. di antara mereka ada menempuh pendidikan kolonial, atau jika tidak, mereka bisa berbahasa Belanda dan bahasa Eropa lainnya. Marah Rusli bin Abu Bakar misalnya, penulis roman Siti Nurbaya dan Memang Jodoh, adalah seorang cendikiawan yang pernah bersekolah di Kweekschool atau Sekolah Raja.115

Marah Rusli merupaka potret dari pelajar Minangkabau berhaluan barat yang mempunyai perhatian yang besar terhadap budaya sastra Minangkabau. Sastra Minangkabau merupakan satu dari beberapa budaya lama Minangkabau yang masih bertahan menghadapi gempuran perubahan sosial yang didengungkan kaum Paderi. Hampir di setiap keluarga tradisional di Minangkabau, sejak sebelum masa Paderi, membudidayakan pengetahuan sastra secara turun temurun atau dalam bahasa Minangkabau disebut kato- kato (diwariskan secara oral). Bamisa atau bermisal, merupakan model sastra

114 Edwar Djamaris, Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001) hlm. 4 dan 8. 115 Marah Rusli bin Abu Bakar termasuk sastrawan angkatan Balai Pustaka, yang lahir di Padang pada 7 Agustus 1889. Ia menceritakan kisah hidupnya yang tertuang dalam Novel Memang Jodoh, namun mengambil nama lain dalam karyanya itu, yakni Marah Hamli. Novel ini bisa dikatakan sebagai semiotobiografi Marah Rusli. Lihat Marah Rusli, Memang Jodoh (Bandung: Mizan, 2014) hlm. 22.

79

lain yang juga diungkapkan oleh orang tua kepada anak dan cucunya dari generasi ke generasi.

Sastra bukan hanya dipandang sebagai keindahan bertutur atau sebatas seni merangkai kata-kata, sebagaimana terekam dalam kaba. Bagi masyarakat Minangkabau, sastra adalah instrumen pendidikan dini. Mendendangkan kaba atau pantun yang dilakukan orang tua kepada anaknya merupakan satu bagian dari proses pendidikan terhadap anak usia dini. Sebelum si anak memasuki masa sekolah formal, biasanya anak-anak di Minangkabau sudah mempunyai pengetahuan sastra Minangkabau yang cukup, sehingga kelak nilai-nilainya dapat ia aplikasikan dalam kehidupannya setelah dewasa.116

116 Wahyudi Rahmat, “Penerapan Kaba Minangkabau Sebagai Media Pelestarian Bahasa Amai (Ibu) dan Kesusastraan dalam Pendidikan Literasi di Minangkabau” dalam Jurnal Ipteks Terapan, Vol. 10, No. 4, 2016, hlm. 238-239.

80

BAB IV KEDATANGAN DAN PENGUATAN POSISI PADERI DI ALAM MINANGKABAU

A. Munculnya Golongan Paderi

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, kemunculan gerakan Paderi yang terinspirasi dari gerakan Wahabi di Tanah Hijaz, adalah akibat dari terbukanya jalur perdagangan antara Pantai Barat Sumatera ke pelabuhan- pelabuhan di Nusantara maupun dunia. Sejak lama, bandar-bandar di pesisir didatangi para saudagar regional Asia Tenggara dan dari mancanegara seperti India, Cina, Arab dan Eropa. Dari sini orang Minangkabau menginisiasi perjalanan ibadah haji ke Mekkah. Pertama, mereka menuju pelabuhan Pedir, lantas kemudian berangkat ke Mekkah.117

Mereka yang menunaikan ibadah haji, sebagian ada yang ingin berlama- lama di sana. Salah satu alasan utama mereka berdiam lebih lama di sana adalah untuk belajar agama. Mekkah dan beberapa tempat lain di Timur Tengah merupakan surga bagi para pelajar dari Nusantara. Di sana mereka bisa berjumpa dengan para ulama yang tersohor dan memiliki keluasan ilmu. Kedekatan dengan situs-situs peribadatan yang diagungkan umat Muslim dunia, seperti Ka’bah dan Masjid Nabawi di Madinah, menambah kekhusyuan mereka menambah ilmu sekaligus melapangkan jalan beribadah.

117 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Paderi (Depok: Komunitas Bambu, 2008) hlm. 204.

81

Pada medio abad 18, Timur Tengah, khususnya Semenanjung Arab, digegerkan dengan munculnya gerakan yang memperjuangkan pemurnian agama Islam. kelompok ini berpandangan bahwa kian kemari banyak umat Muslim yang semakin melenceng dari pola kehidupan yang diajarkan al- Quran dan hadis Nabi Muhammad. Peribadatan sudah tidak lagi murni dan sesuai aturan, karena dianggap sudah membuat pembaruan-pembaruan yang tidak ditemukan di masa Nabi SAW hidup. Oleh sebab itu, maka dianggap perlu untuk mengadakan koreksi radikal untuk meluruskan pelbagai kesalahan dalam beribadah dan berkehidupan yang disebutkan dalam korpus agama (sumber hukum Islam utama, yakni al-Quran dan hadis).

Gerakan ini dinamakan Wahabi, dinamai demikian karena merujuk pada pendirinya, yakni Syekh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787).118 Awalnya, gerakan ini hanya berkisar pada penyadaran suku-suku badui pedalaman yang hidup saling terpisah di padang-padang pasir luas. Namun oleh karena gerakannya yang disokong oleh kekerasan dan pemaksaan, maka pengikutnya semakin banyak dan loyal. Gerakan ini semakin kuat manakala pada tahun 1741, Syekh Muhammad bin Abdul Wahab menjalin kerjasama dengan Muhammad bin Saud, seorang pemuka keluarga Saud yang terpandang di Nejd. Gerakan ini semakin membesar dan merubah haluannya dari semata-mata gerakan agama, kini diikuti pula dengan ambisi politik penguasaan wilayah seluas-luasnya.

Gerakan ini sampai di Haramain, dan setelah beberapa kali terlibat kontak senjata dengan pemimpin lokal yang berada di bawah kekuasaan Turki Usmani, mereka pun berhasil mengambil alih pemerintahan di sana. Para ulama Wahabi segera mengadakan perubahan peraturan peribadatan

118 Badri Yatim, Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci; Hijaz (Mekah dan Madinah) 1800-1925 (Ciputat: Logos, 1999) hlm. 104.

82

maupun muamalat (hubungan sosial) yang dianggap menyalahi ajaran Islam. makam-makam tokoh-tokoh besar Islam banyak yang dibongkar dan dibuat sebagaimana makam pada umumnya. Praktek-praktek peribadatan diseragamkan, dan yang berbeda dengan mereka dilarang karena dianggap bidat (melenceng dari ajaran Allah dan Rasul-Nya). Tanpa menghitung waktu lama, keadaan di wilayah-wilayah bawahan Wahabi mengalami perubahan cara peribadatan yang sistemik dan monolitik (sejenis).119

Di tengah perubahan sosial yang berlangsung dengan pesat itulah, seorang Minang bernama Haji Miskin menyaksikan hampir penggal demi penggal gerakan Wahabi. Ia begitu terkesima dan takjub dengan gerakan yang digalang kelompok Wahabi dan bercita-cita untuk menerapkannya nanti, tatkala akan kembali ke Minangkabau. Tiba waktu yang dinantikan. Pada 1803, ia bersama dua haji lainnya bernama Haji Sumanik dan Haji Piobang pun pulang ke tanah kelahirannya. Sebelum menuju Mekkah, ia sempat terlibat dalam penyiaran dakwah Islam yang dimotori oleh . Ingatan ini begitu membekas, sehingga berbekal ajaran Wahabi yang dipelajarinya di Tanah Haram, ia merasa terpanggil kembali untuk melakukan peruntungan kedua untuk menyadarkan masyarakatnya.120

Hamka menambahkan bahwa kejadian-kejadian yang terlihat di Mekkah, membuat Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang itu begitu terkesan dan bersemangat. Hal ini dikarenakan mereka segera mengingat daerah asal mereka, Minangkabau, sebagai lahan yang tepat untuk dikembangkannya ajaran Wahabi. Menurut mereka orang Minangkabau hanya mengaku beragama Islam saja, tanpa tergerak untuk mengamalkan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Mereka menganggap ajaran Wahabi

119 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 204-205 120 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 206.

83

adalah ajaran Islam sejati yang sudah waktunya ditanamkan di kampungnya.121

Tamar Djaja mengisahkan bahwa Haji Miskin berasal dari keluarga yang hidupnya jauh dari kecukupan. Orang tuanya adalah petani sederhana. Sejak kecil, ia sudah rajin mengkaji kitab-kitab berisikan hukum Islam sembari bekerja. Disebutkan bahwa sebelum atau selepas belajar, Miskin kecil membantu pengerjaan mengolah sawah di Kampung Kota Lawas. Waktu senggangnya juga digunakan untuk membantu pengelolaan sawah gurunya. Ia juga kerap membantu keluarga gurunya Sejak belia, ia lebih suka hidup dan tinggal di surau.

Karena seringnya belajar, Miskin menjadi murid terpandai di surau. Ketajaman pikirannya menyita perhatian guru-gurunya. Selapas shalat subuh, Miskin kerap diperintahkan memijat kaki gurunya. Dari kedekatan kecil semacam ini membuat gurunya iba pada Miskin yang hidupnya tidak sejahtera itu. Sang guru pun bertekad akan menyeponsori pendidikan Miskin. Sejak belia Miskin memang bercita-cita menjadi ulama yang akan menciptakan pembaruan di kampungnya yang saat itu sudah disesaki dengan tindak kriminalitas yang dilarang agama.122

Haji Miskin menyadari bahwa menggerakkan suatu perubahan tentu didahului dengan memperkuat sendi-sendi perjuangan terlebih dahulu. Ia pun memutuskan berniaga sebagai pintu gerbang mendekati para tokoh setempat. Salah seorang tokoh masyarakat awal yang didekatinya adalah Datuk Batuah, seorang penghulu dari Pandai Sikat. Pandai Sikat pada masa itu terkenal karena tanaman akasia dan kopinya. Haji Miskin menjadi pelanggan Datuk Batuah. Ketika keakraban sudah tumbuh, mulailah Haji Miskin

121 Hamka, Ayahku (Jakarta: Penerbit Umminda, 1982) hlm. 15 122 Tamar Djaja, Pusaka Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1965) hlm. 364.

84

memperkenalkan konsepnya tentang pembaruan bermasyarakat dan beragama sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Datuk Batuah menaruh simpati pada Haji Miskin, dan ikut tergerak melakukan proyek kemanusiaan itu.

Pandai Sikat menjadi lahan pertama persemian ajaran Paderi di tanah Minangkabau. Oleh sebab ajaran ini disokong oleh penguasa lokal, maka Haji Miskin merasa bahwa tugasnya ini sedikit ringan. Di Pandai Sikat, boleh dikatan Haji Miskin “menggunakan seluruh tenaganya untuk berkhotbah dan memperbaiki keadaan di distrik itu.” Sasaran utama dakwahnya adalah di pasar, yang saat itu amat lekat dengan praktek-praktek kriminalitas, seperti perjudian dan sabung ayam. Di sela-sela berkumpulnya orang, juga didapati di antara mereka ada yang minum-minuman keras dan menghisap candu. Sungguh pemandangan yang perlu diperbaiki segera, mungkin demikian pikir Haji Miskin.

Awalnya, Haji Miskin menerapkan cara yang baik-baik untuk mengingatkan agar masyarakat menjauhi perbuatan-perbuatan yang dilarang agama tersebut. Ia sering terlihat bekhutbah di titik-titik keramaian pasar, tempat berkumpulnya para pengadu ayam, pemabuk dan pemadat. Lama- kelamaan, ia pun berpindah haluan, dari sekedar dakwah lisan ke perbuatan. Pada suatu ketika, ia pun membakar ajang adu ayam jago, yang selama ini menjadi kebanggaan orang Pandai Sikat. Perbuatannya ini membuat marah para orang-orang disekitarnya dan seketika keadaan berubah menjadi perkelahian. Haji Miskin berhasil keluar dari kemelut itu lantas melarikan diri ke Kota Lawas.123 Kawannya, Haji Sumanik bernasib sama, mendapat perlawanan hebat dari masyarakatnya, sehingga ia memutuskan pindah ke

123 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 207.

85

Lintau. Hal berbeda dialami Haji Piobang yang tidak menemui halangan yang berarti dalam dakwahnya.124

Mengenai sabung ayam yang menjadi sasaran orang Paderi, sebenarnya ini memang termasuk ke dalam golongan penyakit masyarakat dilihat dari hukum adat. Dalam Tambo Minang disebutkan bahwa: “pasal yang pertamo halnyo menyambung ayam atau maadu burung atau kaliri, maadu lain-lain binatang sijantu diluar dusun sudaronyo yang sarumah, maka ayam dan burung atau kaliri ditangkap dan dibunuh.” Artinya: pasal pertama berisi tentang mengadu ayam atau binatang lainnya, jika kelak diketahui, maka binatang aduan itu akan disita (dibunuh).125

Haji Miskin melanjutkan pelariannya sampai di Kamang. Di sana ia berjumpa dengan Tuanku nan Renceh (bergelar Macan dari Bukit Kemun126) yang melindungi aktivitas dakwahnya. Dengan segera ajaran-ajaran Paderi banyak diikuti oleh para warga di Empat Angkat, IV Kota, Candung dan Kota Tua. Tuanku Nan Renceh juga tak tinggal diam, ia mengajak para tuanku yang ada di Luhak Agam untuk membentuk suatu persekutuan menghadapi kaum Adat. Ajakannya berhasil, sekumpulan ulama yang terdiri dari Tuanku Nan Renceh, Tuanku Lubuk Aur, Tuanku Berapi, Tuanku Ladang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuanku Galung, Tuanku Biaro dan Tuanku Kapau. Oleh sebab tindakan dan ajakan dakwah mereka yang keras, perkumpulan ulama itu kemudian dinamakan Harimau nan Salapan.127

Tuanku Nan Renceh terus memperluas pengaruh Paderi hingga ke Tilatang, Matur dan Candung, namun tiga daerah ini melakukan perlawanan.

124 Hamka, Ayahku ..., hlm. 15. 125 Sri Guritno, peny, Tambo Minang …, hlm. 87 dan 163. 126 De Redactie, “Oorsprong der Padaries; Eene Secte op de Weskust van Sumatra”, dalam Tijdschrift voor Neerland’s Indie, 1e jaargang, 1e deel, hlm. 15. 127 Sartono Kartodirdjo, ed, Sejarah Perlawanan-Perlawanan terhadap Kolonialisme (Jakarta: Pusat Sejarah ABRI, Departemen Pertahanan Keamanan, 1973) hlm. 91.

86

Penduduk Luhak Limapuluh Kota secara umum telah berpindah menganut paham Paderi. Di tempat lainnya, pasukan Paderi terlibat pertempuran yang sengit dengan kaum Adat. Tuanku Koto Tuo, salah satu ulama yang berpengaruh di Minangkabau saat itu, sampai-sampai turun melerai pertempuran ini, namun usahanya sia-sia, kedua belah pihak masih saja saling berebut kemenangan. Keduanya seperti telah mempunyai niat yang bulat untuk saling mengalahkan.128

Pada dasarnya, kaum Wahabi bermazahab Hambali dan tetap mengakui tiga mazahab utama lainnya. Oleh sebab itu, kaum Paderi di Minangkabau tidak mempunyai agenda untuk mengganti mazhab Syafi’i yang telah lebih dahulu diikuti penduduk dengan mazhab Hambali. Kaum Wahabi juga tidak mempunyai tujuan untuk meminggirkan aliran sufisme, selama tidak berpotensi merusak atau mengarahkan orang untuk menyimpang dari ajaran agama. Untuk yang satu itu, terdapat perbedaan pemahaman dengan yang dianut kaum Paderi. Kaum Paderi menunjukkan perangai ingin memberangus ordo tarekat Syattariyah, suatu kelompok sufi yang banyak dianut di Minangkabau.

Kebencian terhadap kelompok Syattariyah ditunjukannya dengan membakar Kampung Paninjauan, suatu kampung yang terletak di desa Kapas Kapas yang merupakan pusat Syattariyah tertua di dataran tinggi Minangkabau dan didalamnya banyak bermukim para pelajar agama. Setelah itu, rombongan pasukan Paderi berangkat ke Empat Angkat, dan segera mengacungkan senjata kepada penduduk Koto Tuo, dan kampung-kampung di sekitarnya. Peperangan dengan mereka berlangsung sekitar enam tahun. Pada suatu hari, disetujuilah gencatan senjata oleh kedua belah pihak. Upaya ini sebenarnya dilakukan sebagai media untuk membujuk Tuanku nan Tuo

128 Sartono Kartodirdjo, Sejarah Perlawanan ..., hlm. 91.

87

agar mendukung gerakan Paderi. Namun sang ulama menyatakan tidak menyetujui sepenuhnya apa yang dilakukan oleh mereka. Peperangan pun kembali pecah hingga kampung Koto Tuo dan daerah-daerah sekitarnya hancur, lalu kemudian dikuasai kelompok Paderi.129

Di Luhak Agam dan IV Kota, paham Paderi sudah mulai bersemi dan banyak mendapat simpatisan. Hal ini terjadi berkat upaya gigih Tuanku nan Renceh dan Tuanku Mensiangan. Wilayah-wilayah seperti Peninjauan, Kapas-kapas, Batipuh, Gunung Raja, Ladang Lawas, melakukan perlawanan tatkala pasukan Paderi datang. Keadaan yang berbeda terjadi di Lembah Alahan Panjang. Di sini paham Paderi telah banyak dianut penduduknya. Lembah ini terdiri atas banyak kampung seperti Padang Lawas, Jambak, Koto, Lubuk Ambacang, Alai, Bonjol, Pasir, Mandari, Padang Sikaduduk, Marapak, Caniago, Talang, Tanjung Bungo dan Padang Bubus. Di sebelah timur lembah ini terdapat Bukit Terjadi, dan di kaki bukit sebelah barat bukit ini terdapat kampung Bonjol, kampung yang dikemudian waktu menjadi pusat komando Paderi di Minangkabau.

Kampung Bonjol dipimpin oleh seorang pemimpin adat tertinggi di Alahan Panjang yang bernama Datuk Bandaro. Kampung ini kemudian dibangun menjadi sebuah benteng pertahanan. Kepemimpinan Datuk Bandaro tidak bertahan lama, ia berpulang akibat keracunan makanan. Kedudukannya digantikan oleh Peto Syarif yang kemudian mendapat gelar Tuanku Imam Bonjol. Penunjukkannya sebagai pemimpin Bonjol tidak terlepas dari wasiat Datuk Bandaro.

Tuanku Bonjol dilahirkan dengan nama Muhammad Syahab pada tahun 1774. Ia merupakan putra dari Chatib Bajanuddin, seorang yang berasal dari

129 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 214.

88

suku Melayu yang tinggal di Kampung Bubus di Tanjung Bungo. Chatib Bajanuddin menikah dengan Hamatun dari suku Koto. Muhammad Syahab adalah anak pertama, ketiga adiknya adalah perempuan. Chatib Bajanuddin dikenal sebagai pribadi yang alim dan guru agama yang rajin dan pandai. Oleh sebab pembawaannya itu ia mendapat gelar Peto (Pendito). Muhammad Syahab seperti melanjutkan kiprah sang ayah. Ia juga termashur karena kedalaman ilmu agamanya. Dia pun memperoleh gelar Peto Syarif, baru kemudian ia menyandang gelar Tuanku Mudo dan pada akhirnya Tuanku Imam Bonjol.130

Ketika tentara Paderi sedang gencar melakukan persebaran dakwahnya, di pesisir barat pantai Sumatera, Inggris juga sedang giat melebarkan pengaruhnya. Mereka sudah membuka kantor dagang di Air Bangis, Padang dan Pulau Cinkuk. Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles melawat ke Padang pada tahun 1818. Keberadaan Inggris menerbitkan kegembiraan di kalangan kaum Adat. Dua orang Tuanku dari Suruaso yang mewakili Raja Minangkabau datang menghadap Raffles. Mereka bernama Tuanku Tangsir Alam dan Sultan Kerajaan Alam. Maksud kedatangan mereka adalah meminta Inggris untuk membantu mengalahkan kaum Paderi.

Raffles tidak segera mengiyakan permintaan utusan Raja Minangkabau. Ia membutuhkan waktu untuk melihat segala macam kemungkinan terkait untung dan ruginya. Ia menyempatkan diri datang ke Padang Darat pada 18 Juli 1818. Dalam kunjungannya itu ia sempat bertemu dengan perwakilan Paderi untuk bekerjasama. Maksud itu ditolak oleh kelompok Paderi. Raffles memang sangat tertarik pada alam pedalaman Minangkabau yang subur itu. Kesempatan yang tersedia kini hanyalah dengan menjalin kerjasama dan mengadakan perjanjian dengan Kerajaan Minangkabau.

130 Sartono Kartodirdjo, Sejarah Perlawanan ..., hlm. 91-93.

89

Upaya itu nyatanya tidak langsung tercapai, karena sesuai dengan kesepakatan Traktat London, Inggris harus menyerahkan kembali wilayah bawahan Belanda ke tangan Belanda. Kedudukan mereka di beberapa wilayah di Pantai Barat Sumatera, semula adalah daerah yang dikuasai Belanda. Pemerintah Belanda menunjuk James Du Puy sebagai Residen. Setelah perpindahan kekuasaan itu, kaum adat pun datang kepadanya untuk meminta bantuan mengalahkan kelompok Paderi.

Kota Padang yang dijadikan sebagai tempat pemerintahan residen, sekaligus ditetapkan sebagai markas militer. Dari sini seluruh aliran serangan ke kantong-kantong orang Paderi ditetapkan dan diberangkatkan. Sampai dengan menyentuh abad 20, Padang juga ditetapkan sebagai pusat perdagangan Belanda. Saat itu Padang sudah menjelma menjadi kota yang dihuni oleh warga campuran, yakni sebagain warga asing dan yang lain adalah pribumi. Sudah sejak lama kota ini dikunjungi oleh orang Eropa lainnya, seperti Inggris, Prancis dan Portugis, baru belakangan orang Cina mulai berdatangan.131

Pada tanggal 10 Februari 1821, Residen du Puy bersama dengan Tuanku Suruaso diikuti oleh 14 Penghulu yang mewakili Raja Minangkabau mengadakan perjanjian. Seminggu berselang, yakni pada 18 Februari 1821, pasukan Belanda sudah menguasai Simawang dengan kekuatan seratus orang serdadu di bawah komando seorang Letnan dan diperkuat dengan dua meriam. Sejak saat itu, kaum Adat mulai mundur dari medan perang. Kaum Paderi menghadapi musuh baru, yakni pasukan Belanda. Kaum adat kembali ke posisinya sebagai kepala adat, namun kini sudah menjadi boneka Belanda.

131 Mardanas Safwan, Sejarah Kota Padang (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Direktorat Jenderal Kebudayaan , Departemen P dan K, 1987) hlm. 2.

90

Sejak saat itu peristiwa yang dikatakan perang Paderi telah benar-benar berlangsung.

Raja Pagaruyung sebagai penguasa yang berpengaruh di Minangkabau nyatanya tidak mampu berbuat banyak memotong gerak pasukan Paderi. Hal ini dikarenakan kedudukannya yang dianggap sebagai simbol belaka oleh sebagian nagari (negeri). Pada umumnya nagari bebas untuk menentukan adat istiadatnya sendiri di bawah pimpinan pengulu dari setiap suku.132 Hal ini pula yang menyebabkan mudahnya pasukan Paderi memperluas wilayah dominasinya, karena setiap nagari bisa saja memiliki pandangan politik yang saling beragam. Raja Pagaruyung, pada kenyataannya, hanya bisa menyaksikan dari jauh tanpa bisa melindungi mereka.

Masa kaum Paderi melawan Belanda bisa dibagi menjadi tiga masa. Masa pertama berlangsung sejak tahun 1821 hingga 1825 yang ditandai dengan semakin melebarnya perlawanan rakyat hampir di seluruh alam Minangkabau. Masa kedua terjadi pada 1825 sampai 1830, yang poin pentingnya adalah perang yang berhenti secara berangsur-angsur, oleh karena pihak Paderi setuju untuk membuat perjanjian dengan Belanda. Ada dua faktor utama yang melatarbelakangi surutnya perang yakni pasukan Paderi yang semakin melemah dan keengganan Belanda untuk mengirim kekuatan militer yang lebih besar ke Minangkabau. Di belahan Nusantara lainnya, saat itu Belanda juga disibukkan dengan Perang Jawa yang digalang oleh Pangeran Diponegoro. Masa ketiga berlangsung dari tahun 1830 sampai dengan 1838. Pada rentang waktu ini ditandai dengan perlawanan yang kembali ditingkatkan oleh kaum Paderi dan penyerbuan dalam jumlah yang besar dari pihak Belanda. Perang ini diakhiri dengan tertangkapnya beberapa

132 Mhd. Nor, “Raja Pagaruyung di Minangkabau dalam Perspektif Sejarah” dalam Analisis Sejarah, Vol. 5, No. I, 2014, hlm. 63.

91

pemimpin Paderi133 yang berimbas pada semakin lemahnya daya tempur pasukannya.

B. Kaum Paderi dan Ajaran Wahabi

Pemahaman Islam kaum Paderi dekat dengan ajaran Wahabi. Hal ini dikarenakan persinggungan antara para tokoh awal Paderi Minangkabau yang sempat mencari ilmu dan menyaksikan gerakan Wahabi di sekitar Haramain. Mereka merasa inilah ajaran Islam yang sesungguhnya dan perlu untuk disebarluaskan di kampung halamannya.

Merebaknya ajaran Wahabi bertalian dengan gejolak dunia Islam abad 19 yang dimeriahkan oleh kemunculan cara pandang baru mengenai pemaknaan Islam. Berbagai tradisi dan budaya yang menambah ajaran- ajaran Islam sebagaimana yang diperkenalkan oleh Nabi Muhammad dikatakan sebagai sumber kemunduran umat Islam. Ajaran tambahan itu dipandang sebagai takhayul, bid’ah dan khurafat. Tiga istilah ini bersumbu pada pandangan mengakomodir ekspresi budaya lokal, baik yang bersifat transendental (ketuhanan) maupun syariat (hukum Islam) dalam hukum Islam utama (bersumber dari al-Qur’an dan hadis).

Oleh sebab itu, munculnya agen-agen pembaharu Islam, seperti Haji Miskin dan dua kawannya, dibutuhkan untuk memberantas praktek-praktek ibadah yang tidak ditemukan landasan hukumnya dalam kanon umat Islam (al-Qur’an dan hadis). Jika ini tidak dilakukan, kaum pembaharu Islam

133 Sartono Kartodirdjo, Sejarah Perlawanan ..., hlm. 93-94.

92

percaya bahwa umat Islam akan selamanya berada dalam keterbelakangan ditambah pula akan semakin menderita oleh pendudukan kolonial Eropa.134

Bentuk ajaran Wahabi yang ditemukan dalam aktivitas Paderi memang mempunyai perbedaan dengan yang ada di Tanah Arab. Terdapat penyesuaian-penyesuaian tertentu, terutama dalam hal memperkenalkan paham ini ke tengah masyarakat. Keadaan sosial antara yang terjadi di Tanah Arab dengan Minangkabau juga melatarbelakangi perbedaan itu. Haji Miskin harus menjadi pedagang dahulu untuk dekat dengan Datuk Bandaro misalnya, merupakan salah satu kasus yang belum ditemukan kaum Wahabi yang ada di Arabia.

Ajaran Wahabi semula adalah bagian dari aliran teologis Ahl al- wal jama’ah. Pondasi-pondasi utama dari ajaran ini juga tidak jauh berbeda dengan Islam sunni. Penolakan mereka pada tradisi Islam yang menurut mereka tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan hadis menjadi salah satu ciri utama ajaran ini yang kemudian menjadi pembeda dari ajaran Ahl al-sunnah dan jama’ah.

Di Arab, kaum Wahabi tidak menamakan dirinya sebagai Wahabi melainkan menyebut diri mereka al-Muwahhidun atau ahl al-Tauhid. Nama tersebut sekaligus menjadi identitas eksklusif mereka sebagai penganut ajaran Tauhid yang benar menurut kelompok mereka. Inti ajaran Islam adalah tauhid. Adapun tambahan-tambahan ritual ibadah lain di luar sumber hukum Islam (al-Qur’an dan hadis) adalah syirik dan tertolak.135

134 Muhammad Dahlan M, “Motivasi Kebangkitan Dunia Islam Abad XIX-XX”, Jurnal Adabiyah, Vol. XV, No. 1, 2015, hlm. 2-3. 135 Hamid Algar, Wahhabisme Sebuah Tinjauan Kritis (Jakarta: Democracy Project, 2011) hlm. 19-21.

93

Penyebutan Wahabi juga erat kaitannya dengan salafi. Kedua istilah ini berbeda secara redaksi namun mempunyai kesamaan pemaknaan, yakni segolongan Muslim yang menjalankan ketentuan al-Quran dan Sunnah Nabi SAW dengan pemahaman dan keimanan yang murni. Mereka menolak inovasi beragama sebagaimana yang terdapat dalam komunitas Muslim lainnya yang telah berlangsung sejak lama.

Sebenarnya, di dalam tubuh salafi terdapat dua kelompok, yakni yang setuju penggunaan kekerasan dan tidak setuju kekerasan. Kekerasan dan pemaksaan kepada kelompok Muslim lain dilakukan oleh mereka yang meyakini fisik adalah suatu upaya untuk merubah keadaan masyarakat yang salah menurut mereka. Namun, sebagian yang lain menolak langkah tersebut dan lebih memilih upaya penyadaran lainnya, seperti merangkul para pemimpin Muslim dunia.136

Menurut Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787), pendiri ajaran Wahabi terdapat tiga pondasi tauhid dalam ajarannya. Pertama, adalah tauhid al-rububiyah yang bermakna pengakuan bahwa hanya Allah yang mempunyai sifat ketuhanan (sifat rabb), penguasa serta pencipta dunia, yang menghidupkan sekaligus yang mematikan. Kedua, tauhid al-asma’ wa al- sifat yang menerangkan tentang pembenaran nama-nama dan sifat-sifat yang tersebut dalam al-Qur’an. Manusia tidak diperbolehkan menafsirkannya serta menyematkan nama dan sifat tersebut kepada siapapun selain Allah. Dan bentuk tauhid yang terakhir adalah tauhid al-ibadah, yakni seluruh bentuk ibadah manusia dialamatkan kepada Allah.

136 Quintan Wiktorowicz, “A Geneology of Radical Islam” dalam Journal of Studies in Conflict & Terrorism, Vol. 28, no. 2, 2005, hlm. 75. Didunduh dari http://www.tandfonline.com//. Pada Pukul 07.49 WIB, Kamis 11 Agustus 2016.

94

Prinsip tauhid al-ibadah melandasi cara ekspresi keislaman kelompok Wahabi. Pada titik ini akan ditemukan pemahaman mengenai kekufuran bagi mereka yang berseberangan dengan ajaran Wahabi. Penganut Wahabi hanya ingin melaksanakan perintah agama yang jelas termaktub dalam al-Qur’an dan melepaskan diri dari tradisi-tradisi keislaman meskipun itu sudah dilakukan selama berabad-abad seperti ziarah kubur, pembacaan maulid Nabi, atau menyertakan nama orang-orang suci Islam dalam berdoa (tawassul) dan lain sebagainya. Mereka tidak segan menyalahkan dan mengkafirkan Muslim yang masih menjalankan tradisi seperti itu.137

Kaum Wahabi cenderung tertuju pada sebagian literatur yang diyakininya benar. Biasanya mereka banyak bersandar pada kitab-kitab yang ditulis oleh Ibnu Taimiyah (w. 1328), seorang sarjana Islam terkenal, atau kepada kitab-kitab yang ditulis Muhammad bin Abdul Wahab sendiri. Selain dari dua ulama serta ulama Wahabi lainnya mereka tidak ingin menjadikan pendapatnya sebagai rujukan. Hal ini pula yang mengindikasikan mereka termasuk dalam golongan yang fanatik memegang ajarannya.

Kemudian, mereka berkeyakinan bahwa yang melakukan ritual keislaman yang tidak ditemukan dalilnya dalam al-Qur’an adalah musyrik. Mereka berpandangan bahwa kaum musyrik ini bukan hanya wajib diingatkan, melainkan juga boleh diperangi. Membunuh mereka, mengambil harta mereka serta menjadikan perempuan dan anak-anak mereka sebagai budak adalah sesuatu yang dibenarkan. Kejadian itu pernah dialami oleh umat Muslim di Karbala dan Thaif pada 1803 yang mendapat sebuan dari

137 Hamid Algar, Wahhabisme …, hlm. 46-47.

95

kaum Wahabi. Di tahun yang sama, Mekkah berhasil mereka kuasai lewat perang, menyusul Madinah setahun berikutnya.138

Kaum Wahabi meyakini bahwa umat Muslim sudah diperdaya oleh hal- hal yang menyesatkan. Sebab itu, mereka menyerukan kepada mereka untuk memurnikan lagi ajaran mereka. Sudah saatnya mereka meninggalkan aktivitas keagamaan yang dianggap kaum Wahabi sebagai bid’ah (praktek baru dalam beragama) seperti membaca Barzanji (kitab maulid Nabi SAW), zikir-zikir tarekat dan lain sebagainya. Kaum Wahabi bukan hanya memerangi penyimpangan yang baru di temukan dalam masanya, tetapi juga yang sudah ditradisikan sejak masa dahulu.139

Sebelum tersiarnya ajaran Wahabi ke seantero Semenanjung Arab, masyarakat Hijaz hidup dalam pengamalan tradisi sebagaimana yang disebutkan di atas. Bukan hanya pada hari besar Islam saja orang-orang melakukan ziarah kubur, setiap minggu sekali, banyak kalangan yang mengnjungi pemakaman Baqi’, tempat para sahabat Nabi SAW dikuburkan. Para peziarah makam Nabi juga banyak yang melemparkan bunga-bunga basah atau kering ke makam Nabi sebagai bentuk penghormatan.

Para penjaga makam Nabi SAW sesekali mengambil kembali bunga- bunga peziarah dan lilin penerangan makam. Kemudian, mereka keluar dan membagi-bagikan barang itu untuk para peziarah lainnya, terutama bagi mereka yang datang dari tempat yang jauh. Muhammad Alwi al-Maliki, seorang ulama Mekkah mazhab Syafi’i menyebutkan bahwa tindakan itu

138 Carl Brockelmann, History of The Islamic Peoples (London: Routledge & Kegan Paul Limited, 1949) hlm. 354. 139 Hamid Algar, Wahhabisme …, hlm. 48-51.

96

adalah mengambil kebaikan (tabarruk) dari pennggalan Nabi Muhammad. Tabarruk adalah bentuk lain dari tawassul.140

Kondisi geografis dunia Arab yang terasing dari pantauan orang-orang Eropa terutama Inggris, membuat penyemaian paham Wahhabi semakin tidak terbendung. Inggris sebagai salah satu negara Eropa yang mempunyai pengaruh kuat dalam perpolitikan Timur Tengah pada akhir abad 18 hingga awal abad 19, tidak banyak melakukan korespondensi maupun kontak politik dengan para penguasa dan ulama Wahhabi di Saudi Arabia. Para pejabat Inggris di Timur Tengah dan India lebih banyak menuangkan perhatiannya pada upaya penghentian aktivitas bajak laut di teluk Persia. Iklim politik yang kondusif menjadi salah satu faktor kunci gencarnya persebaran ajaran Wahhabi ke mancanegara.141

Muhammad bin Abdul Wahhab mempunyai pandangan yang sama dengan Muhammad Abduh, seorang pembaharu Islam lain asal Mesir, mengenai urgensi kebangkitan umat Islam. Mereka beranggapan bahwa penting bagi umat Muslim untuk segera tersadar dan melibatkan diri dalam kerja besar mematahkan dekadensi dan keterpurukan yang menimpa masyarakat mereka. Usaha itu diperlukan agar umat Islam dapat mencicipi kegemilangan masyarakat Islam di masa lalu. Upaya ini juga dibutuhkan untuk mengimbangi bahkan mengalahkan kekuatan Barat yang di abad 18 dan 19 sudah mulai melingkupi dunia Islam.142

140 Badri Yatim, Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci; Hijaz (Mekah dan Madinah) 1800-1925 (Ciputat: Logos, 1999) hlm. 99-100. 141 Julia Stephens, “The Phantom Wahhabi: Liberalism and the Mulslimfanatic in mid- Victorian India”, dalam Modern Asian Studies, Vol. 47, No. 1, Januari 2013, hlm. 27. 142 David Commins, “From Wahhabi to Salafi” dalam Bernard Heykel dkk, Saudi Arabia in Transition; Insight on Political, Econimic and Religious Change (New York: Cambridge University Press, 2015) hlm. 152.

97

Keyakinan Tiga Haji Minang akan ajaran Wahabi, memang tidak tumbuh begitu saja, melainkan adalah dampak dari keinginan mereka berhaji. Sudah bukan rahasia lagi, banyak kaum Muslim Nusantara yang mendambakan pergi ke Mekkah. Di samping itu, status haji di mata msyarakat menempati posisi yang mulia. Mereka yang baru pulang berhaji, kerap disebut sebagai pendeta Islam (ulama) yang bisa menjadi sandaran masyarakatnya.143

Mereka seperti sudah sadar diri, sebagai pendatang baru, mereka tidak mempunyai modal sosial apa-apa. Pengetahuan keislaman baru yang dimilikinya tentu saja tidak lantas akan bisa didakwahkan dengan mulus dan lancar di tengah masyarakat. Oleh sebab itu, status haji yang disandangnya menjadi modal penting untuk mereka terjun ke masyarakat. Gelar haji membuat mereka lebih nyaman dan dipercaya membicarakan masalah agama.

Orang Paderi berkeyakinan bahwa al-Qur’an adalah satu-satunya sumber hukum utama. Mereka mengkaji secara teliti rujukan utama Islam itu dan mengamalkan segala perintah di dalam kitab itu. Mereka tidak memberikan pemaknaan (tafsir) yang jauh dari apa yang tertulis dalam al- Qur’an. Artinya, mereka benar-benar menjalankan perintah al-Qur’an dengan tidak lagi menimbang apa maksudnya, karena berpotensi menyalahi apa yang tertulis di dalamnya. Orang Paderi juga dikenal karena tekadnya yang kuat.144

Gerakan pemurnian agama yang akan dilakukan, mendapatkan perlawanan yang kuat dari kelompok tradisional. Untuk itu, mereka tentu

143 Jacob Vredenbregt, “Ibadah Haji Beberapa Ciri dan Fungsinya di Indonesia” dalam Murni Jamal dkk, ed, Indonesia dan Haji; Empat Karangan di Bawah Redaksi Dick Douwes dan Nico Kaptein (Jakarta: INIS, 1997) hlm. 6. 144 De Redactie, “Oorsprong der …”, hlm. 114-115 dan 124.

98

sudah menimbang dengan cermat bagaimana merumuskan langkah awal yang efektif. Dengan mendekati beberapa tokoh agama, seperti Datuk Batuah dan Tuanku nan Renceh145, tugas dakwah mereka bisa terlaksana dengan lebih baik. Pengaruh dari tokoh-tokoh Islam lokal agaknya menjadi gerbang pembuka tersiarnya paham yang mereka bawa ke seantero tanah Minangkabau.

Di sebagian besar Sumatra, termasuk di Minangkabau, banyak guru Islam tradisional yang dikenal karena kekeramatannya. Keramat di sini dihubungkan pada kejadian-kejadian di luar nalar manusia biasa, dan erat kaitannya dalam dunia mistik. Oleh Gottfried Simon mereka disebut The Old Sorcerer (Penyihir Tua). Dengan keistimewaannya ini banyak orang yang datang dan berguru padanya.146 Kelebihannya ini bukanlah dibuat-buat semata, melainkan adalah pemberian (gift) dari Tuhan karena ketaatannya dalam beribadah.147

Saat pertama datang ke Minangkabau, Tiga Guru Paderi dihadapkan pada kebesaran nama para guru tua yang dikenal karena kekeramatannya. Mereka membutuhkan pengaruh yang besar untuk mengimbangi popularitas para guru tua, seperti halnya Tuanku Koto Tua. Oleh sebab itu, mereka perlu menggalang kekuatan dengan mendekati ulama-ulama lainnya yang sepaham dengan gagasan mereka agar pengaruh mereka kian mengakar.

Tentu tidak mudah untuk mengajak pengikut yang loyal kepada ajaran Wahabi. Untuk itu, satu hal yang perlu ada di dalam pengikut Paderi adalah fanatisme. Fanatisme orang Paderi, adalah suatu tekad yang kuat untuk

145 Sartono Kartodirdjo, ed, Sejarah Perlawanan …, hlm. 90-91. 146 Gottfried Simon, The Progress and Arrest in Sumatra (London: Marshall Brothers Ltd., tanpa tahun) hlm. 82-83. 147Raymound L.R. Archer, “Muhammadan Mysticism in Sumatra”, dalam Journal of Malayan Branch Royal Asiatic Society (JMBRAS), Vo. XV, Part II, 1938, hlm. 91.

99

mencapai suatu tujuan. Tiga Haji Minangkabau memperoleh kesungguhan tekad menyebarkan Wahabi sejak berada di Hijaz.148 Keyakinan ini pula yang kemudian mereka tularkan kepada sesama ulama dan para pengikutnya.

Selanjutnya, kelompok Paderi memperlebar pengaruhnya. Mereka berhasil mengajak beberapa wilayah di Minangkabau, seperti Alahan Panjang, Lubuk Sikaping, Alahan Mati dan Kumpulan menjadi kampung Paderi. Hukum Melayu (tradisional) yang telah dijalankan selama bertahun- tahun diganti dengan hukum Paderi yang bersumber dari al-Qur’an, dengan tanpa disertai penjelasan lebih lanjut, atau dengan kata lain sumber al-Qur’an secara utuh dan tetap adanya.149

Pemukiman orang Paderi amatlah berbeda dengan kampung Minangkabau pada umumnya. Di pemukiman mereka syariat Islam dijalankan sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan Sunnah. Di Bonjol misalnya, hukum Islam dianggap sebagai kemenangan yang dibanggakan oleh orang Paderi. Di sana Imam Paderi beserta para dewannya berada, dan dikelilingi oleh para pengikutnya. Banyak para simpatisan serta pengikut yang memutuskan untuk membangun rumah di Bonjol agar dekat dengan pemimpinnya. Akibatnya Bonjol yang semula kampung kecil perlahan berubah menjadi wilayah dengan jumlah penduduk yang terus membesar. Bahkan, Belanda yang memang tidak setuju dengan kedudukan kaum Paderi menyebut kampung ini sebagai kampung yang penuh dengan keburukan, karena posisinya sebagai pusat kaum Paderi di Minangkabau.150

Sumber lain menyebutkan bahwa tidak seluruhnya gerakan Paderi di Minangkabau melakukan kekerasan untuk mencapai cita-citanya. Datuak

148 De Redactie, “Oorsprong der …”, hlm. 113. 149 De Redactie, “Oorsprong der …”, hlm. 123. 150 De Redactie, “Oorsprong der …”, hlm. 125.

100

Bandaro seorang kepala adat di Alahan Panjang misalnya, tidak langsung membawa ajaran Paderi ke tengah masyarakatnya. Datuak Bandaro adalah pengagum Haji Miskin dan teman dekat Tuanku Nan Renceh. Ia sepakat kepada dua ulama itu untuk membangun tatanan masyarakat yang sesuai dengan hukum Islam.

Suatu hari, sepulangnya dari suatu acara khotbah Haji Miskin di Agam, Datuak Bandaro ingin sekali menerapkan hukum Islam secara penuh di kampungnya. Namun begitu, ia sempat ragu karena salah satu tokoh terpandang di sana, Raja Ampek Sila, membuat arena sabung ayam di dekat masjid, bahkan pelaksanaannya kerap dilakukan saat orang melaksanakan shalat Jumat. Keraguannya timbul setelah berpikir bahwa seruannya untuk kembali mengamalkan Islam tentu saja tidak langsung mendapat tanggapan positif masyarakatnya. Saat itu, ia belum siap untuk beradu fisik dengan para pendukung Raja Ampek Sila atau orang-orang yang masih menjalankan praktek sabung ayam lainnya.

Setelah menimbang-nimbang, ia memutuskan untuk membangun kampung sendiri. Kampung ini dikemudian hari dikenal dengan nama Bonjol. Dari sini, Datuak Bandaro menjadi pelopor kaum adat yang mendukung gerakan Paderi memerangi pelaku sabung ayam, peminum arak dan penjudi. Kedudukannya masihlah dianggap sebagai pemangku adat. Berbeda dengan pemangku adat lainnya di luhak Agam, Tanah Datar dan di luhak nan bungsu Lima Puluh Kota yang justru menjadi lawan gerakan Paderi, ia adalah segelintir kaum adat yang justru menginginkan agar hukum Islam diterapkan secara penuh di Minangkabau.151

151 Safwan Razi, “Negoisasi Islam Kultur dalam Gerakan Paderi Rao di Sumatera Tengah (1820-1833) dalam Kalam, Vol. 6, No. 1, Juni 2012, hlm. 92-93.

101

Pada prakteknya, terdapat kesamaan gerakan Paderi Minangkabau dengan yang ada di Semenanjung Arab. Keduanya berjuang menggulingkan tatanan masyarakat yang dianggapnya telah jauh melenceng dari ajaran Islam yang sesungguhnya. Keduanya sama-sama menggunakan jalur kekerasan sebagai upaya utama menanamkan gagasan dan pengaruhnya. Di Semenanjung Arab, kaum Wahabi berusaha melepaskan Hijaz dari kuasa Turki Usmani lewat perwakilan syarif Mekkah sekitar tahun 1924-1925,152 sedangkan di Minangkabau, kaum Paderi melawan ketimpangan sosial akibat kontrol agama dan pemerintahan yang lemah yang mengakibatkan maraknya praktek kemaksiatan, seperti sabung ayam dan berjudi. Gerakan Paderi tampil untuk memberantas penyakit masyarakat itu dengan kekuatan fisik.153

Meskipun begitu, terdapat perbedaan yang signifikan dari kedua kelompok di atas, terutama mengenai kontinuitas (kelanjutan) perjuangannya. Kaum Wahabi mendapatkan kemenangannya tatkala berhasil merebut Hijaz dari tangan syarif Mekkah dan menghilangkan pengaruh Turki Usmani secara berngasur-angsur. Dengan perlahan mereka membangun kekuatan politiknya sehingga menjadi penguasa atas Semenanjung Arab.154 Di sisi lain, kaum Paderi segera mendapatkan lawan lain, yakni kolonial Belanda yang juga mengupayakan dominasi politik atas Minangkabau.

152 Syarif adalah semacam pimpinan di Mekkah yang juga membawahi sebagian wilayah Semenanjung Arab dan bertanggung jawab di bawah pemerintahan Turki Usmani. Ketika syarif mmegang tampuk kepemimpinan di Hijaz, masa ini dikenal sebagai periode Nizam al-Asyraf, dan pada masa gerakan Paderi berlangsung di Semenanjung Arab memasuki periode kedua Nizam al-Asyraf yang berlangsung dari 1800 – 1925. lebih lanjut lihat Badri Yatim, Sejarah Sosial …, hlm. 142 dan 156. 153 Taufik Abdullah, Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra 1927-1933 (New York: Cornell University, 1971) hlm. 5. 154 Badri Yatim, Sejarah Sosial …, hlm. 156.

102

Menanggapi hal di atas, terjadi perubahan cara berpikir di kalangan Paderi. Semula, gerakan mereka ditujukan untuk merubah tatanan masyarakat yang menurutnya telah hancur akibat lemahnya kontrol pemimpin dan agama ke arah masyarakat Islam di mana hukum Islam dijalankan oleh masyarakatnya. Begitu datang pasukan kolonial, gerakan mereka dengan cepat berubah menjadi perlawanan rakyat atas penjajah yang terang-terang ingin memantapkan pengaruh politik di Minangkabau. Terlebih mereka juga didukung oleh kaum adat yang menjadi lawan orang Paderi sebelumnya.

Gerakan Wahhabi pada abad 19, sudah menjadi momok bagi suatu kuasa kolonial di Asia. Bukan hanya di Sumatera Barat, di belahan dunia lain, tokoh serta penggiat Wahhabi terlibat dalam aksi-aksi makar terhadap kuasa kolonial di wilayahnya. Salah satu yang bisa diketahui adalah laporan tentang ditangkapnya dua orang pebisnis India bernama Ahmad dan Hashmadad Khan pada Juli 1869 oleh pemerintah kolonial Inggris di India. Mereka adalah anggota dari Masyarakat Pebisnis Calcutta (Calcutta’s Business Community). Keduanya dikirim dan dipenjara di Bihar dengan tanpa prosedur hukum formal. Ahmad dan Hashmadad Khan dituduh telah membiayai pemberontakan Wahhabi di pos pertahanan Inggris di barat laut India.

Sekitar tahun 1860-an, di India, istilah “Wahhabi” merujuk pada aneka ragam gerakan Muslim yang menyuarakan reformasi dan mengambil jalur poitik sebagai corong partisipasi mereka dalam pergaulan antarelit India. Belakangan, kaum Wahhabi di India dilabeli sebagai gerakan politik yang mengancam kepentingan pemerintah Inggris di sana. Mereka dianggap sebagai lini militer yang akan menggulingkan kuasa kerajaan Inggris di negeri jajahannya itu. Hampir sama dengan yang ditemukan di

103

Minangkabau, Wahhabi di India dekat dengan paham fanatisme agama dan anti-kolonialisme Eropa.155

C. Perubahan Model Pendidikan Masa Paderi

Kedatangan kaum paderi ternyata berdampak pula pada pengajaran agama dan ilmu pengetahuan lainnya di Minangkabau. Para sarjana yang berasal dari Mekkah tidak hanya menyibukkan diri pada dakwah untuk merubah moral dan perilaku buruk orang-orang di kampungnya, melainkan juga menyempatkan diri membuka kelas guna mencetak generasi baru yang terpelajar. Generasi inilah yang mereka jadikan manusia tercerahkan sesuai dengan ajaran-ajaran yang didapat sang guru tatkala di Mekkah. Boleh dikatakan masa ketika kaum Paderi berkuasa, harkat dan martabat ilmu-ilmu agama semakin naik, bahkan mutunya tidak kalah dengan yang ditemukan di Mekkah.

Masuknya pengaruh Paderi ke dalam jantung Minangkabau, lebih luas bahkan dikatakan sebagai awal mula munculnya ortodoksi dalam Islam Melayu.156 Wajah Islam Minangkabau adalah mewakili wajah Islam Melayu yang mengalami pergesekan dengan pengaruh Wahabi. Tidak bisa dipungkiri merebaknya paham Wahabi ikut merubah beberapa struktur keislaman di tataran masyarakat. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan nuansa romantisme yang kuat, yakni menjadikan Minangkabau mendekati bentuk masyarakat ideal sebagaimana yang ditemukan di Makkah ketika dipimpin oleh kelompok Wahabi.

155 Julia Stephens, “The Phantom Wahhabi …”, hlm. 23-24. 156 Mohd Faizal bin Musa, “Sayyidina Husain dalam Teks Klasik Melayu” dalam Jurnal al-Qurba, 1 (1), 1 – 23, 2010, hlm. 13.

104

Taufik Abdullah menerangkan bahwa kelompok Paderi menolak keseimbangan antara adat dan agama. Kaum Paderi tidak hanya sekedar “memurnikan ajaran agama” namun bertindak lebih jauh, menerapkan konsep Wahabi ke dalam perangai dan perilaku kesehariannya. Mereka melakukan pembaharuan hukum Islam yang semula berseberangan dengan paham mereka, dan itulah yang mereka maksud sebagai harmoni yang sebenarnya. Para milisi mereka tidak segan melawan hukum-hukum Islam tradisional yang sejak lama dianut penduduk.157 Untuk menciptakan generasi semacam itu, sudah barang tentu mereka membutuhkan tempat dan kurikulum belajar yang memadai.

Bahasa Arab mulai diperkenalkan sebagai bahasa pengantar pendidikan pada masa ini. Penguasaan terhadap bahasa membawa dampak pada perubahan kurikulum model pengajaran lama. Jika dahulu pelajaran sharaf, nahwu, fiqih dan tafsir dalam setiap tingkatan menggunakan satu macam kitab, kini yang dikaji adalah berbagai macam kitab. Ilmu nahwu misalnya, para murid akan mengkaji kitab-kitab seperti al-Jurumiyah, ‘Asymawi, Syekh Khalid Azhari. Qathrun-Nada, Alfiyah (Ibnu Aqil), ‘Asymuni dan lain-lain. Dalam kajian ilmu sharaf, kitab yang digunakan antara lain al-Kailani, Taftazani dan yang lainnya. Pelajaran fiqih menggunakan kitah Fathul Qarib, Fathul Mu’in, Iqna’, Fathul Wahab, al-Mahalli, bahkan terkadang hingga mencapai kitab Tuhfah dan Nihayah. Sedangkan untuk ilmu tafsir, menggunakan kitab Tafsir Jalalain, Baidlawi, Khazin dan sebagainya.

Oleh karena semakin populernya bahasa Arab sebagai bahasa pengetahuan, membawa serta pada kenyataan semakin berkembang dan beragamnya ilmu-ilmu agama yang dikaji di Minangkabau pada masa itu, bahkan hingga mencapai dua belas jenis ilmu, antara lain:

157 Taufik Abdullah, Schools adn Politics …, hlm. 5.

105

1. Ilmu Nahwu 2. Ilmu Sharaf 3. Ilmu Fiqih 4. Ilmu Tafsir 5. Ilmu Tauhid 6. Ilmu Hadis 7. Ilmu Musthalah Hadis 8. Ilmu Mantiq (logika) 9. Ilmu Ma’ani 10. Ilmu Bayan 11. Ilmu Badi’ 12. Ilmu Ushul Fiqih.158 Kemudian, perkembangan ilmu pengetahuan juga berdampak pada kurikulum pengajaran keilmuan. Mahmud Yunus menyebutkan bahwa pada masa transisi ini, setidaknya terdapat dua tingkat pendidikan yang ditempuh oleh para murid yakni:

1. Pengajian al-Qur’an, yakni sebagaimana yang biasa dilakukan sebelum tahun 1900 2. Pengajian Kitab, pengajian ini tersusun dari beberapa jenjang, yakni: a. Mengaji ilmu nahwu, sharaf dan fiqih dengan mengacu pada kitab; Al-Jurumiyah, Matan Bina’, Fathul Qarib dan sebagainya b. Mengkaji ilmu tauhid, nahwu, sharaf, fiqih, dengan menelaah kitab-kitab seperti Sanusi, Syakh Khalid (Azhari, ‘Asymawi), Kailani, Fathul Mu’in dan yang lainnya

158 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT Mahmud Yunus Wadzurriyyah, 2008) hlm. 51-52.

106

c. Mengkaji ilmu tauhid, nahwu, sharaf, fiqih, tafsir dan lain-lain menggunakan kitab kitab berikut: Kifayatul ‘Awam (Ummul Barahin), Ibnu ‘Aqil, Al-Mahalli, Tafsir Jalalain/Baidlawi dan sebagainya. Di jenjang ini, para murid juga diajarkan ilmu Mantiq atau logika, ilmu Balaghah, ilmu Tasawuf dan yang lainnya dengan menggunakan kitab Sulam, Idlahul Mubham, Jauhar Maknun/Talkhis, Ihya’ Ulumuddin dan lain sebagainya Di masa ini, kitab Dhammun dan al-Awamil yang ditulis dengan tangan tidak digunakan lagi. Secara umum bahkan kitab-kitab yang di masa sebelumnya banyak ditulis tangan, banyak yang sudah ditinggalkan, mengingat pada masa itu mulai dikenal kitab-kitab hasil percetakan. Ini merupakan perubahan yang signifikan dalam pendidikan di Minangkabau. Pada awalnya, kitab-kitab yang dicetak itu dibawa dari Mekkah dan dari Singapura. Selanjutnya, Toko Kitab Syekh Khalidi di Bukittinggi mulai menjadi pemasok kitab-kitab percetakan yang didatangkan dari Mesir. Toko kitab ini merupakan importir kitab dari Mesir yang pertama. Baru kemudian diikuti oleh toko-toko kitab lainnya.

Masa ini ditandai dengan membajirnya kitab-kitab dari Mesir. Bahkan, beberapa majalah Islam yang aktual dan membawa pengaruh baru bagi geliat perkembangan umat Islam modern seperti Al-Manar, didatangkan pula dari sana. Majalah itu dan yang lainnya banyak berkontribusi dalam memodernisir pemikiran Islam di Nusantara. Aliran pemikiran baru di dunia Islam itu dipelopori oleh pemikiran-pemikiran Syekh Jamaluddin al-Afghani, Syekh Muhammad Abduh, Sayyid M. Rashid Ridha dan yang lainnya.159

159 Muhammad Yunus, Sejarah pendidikan ..., hlm. 53-54.

107

Adapun cara mengajarkan al-Qur’an pada masa Paderi ini adalah tidak mengalamin perubahan dari yang ditemukan di masa sebelumnya. Masa ini ditandai dengan semakin banyaknya qari-qari yang telah memahami ilmu langgam yang khas sebagaimana yang ditemukan di dunia Arab. Di antara para qari ada yang berguru hingga ke Mekkah selama beberapa tahun lamanya. Pengajian-pengajian al-Qur’an tingkat lanjut, yang mencamtumkan materi qira’ah, menjadi semakin banyak jumlahnya. Di antara para qari di Minangkabau yang termashur adalah; H.M. Jamil, dari Padang Tarab, Bukittingi; H.M. Rasyad dari Batuhampar, Payakumbuh; H. M. Arif dari Padang; H. Rasyid Biaro dari Bukittinggi, dan lain sebagainya.160

Metode pengajaran kitab pada masa itu, terdiri dari dua macam yakni:

1. Untuk para murid yang termasuk kategori pemula (tingkat rendah), maka pengajarannya bertumpu pada murid belajar seorang demi seorang. Murid-murid yang rajin dan cerdas akan segera menamatkan pengajiannya, sedangkan bagi murid yang malas dan kurang pintar maka akan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menyelesaikan tahapan ini, bahkan banyak di antara mereka yang tidak tamat. Akibatnya banyak di antara mereka yang pulang dengan tangan hampa. Sedangkan untuk cara mengajarnya adalah dengan membacakan matan kitab, seperti kitab al-Jurumiyah dalam bahasa Arab, lantas menerjemahkannya ke dalam bahasa Melayu atau bahasa daerah setempat. Setelah itu barulah dipaparkan maksudnya. Pada prakteknya, walaupun sang guru menerangkan penjelasannya dengan panjang lebar, masih ada di antara murid yang tidak segera mengerti

160 Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan ..., hlm. 54-55.

108

maksudnya. Untuk itu, forum tanya jawab dibutuhkan untuk mengurangi ketidakpahaman mereka.

Metode menghafal masih digunakan pada era ini. Bahkan yang dihafal bukan hanya matan dan syara’ kitab melainkan sampai pada penjelasan sang guru juga ikut dihapalkan. Oleh sebab itu ketajaman otak serta kecepatan menangkap penjelasan merupakan alat yang harus ada di diri para murid. Mereka yang serius dan rajin tentu tidak akan kesulitan menghadapi pola itu, bahkan banyak di antara mereka yang di kemudian hari menjadi ulama besar. biasanya, setelah menjelaskan maksud dari kitab, langsung dilanjutkan pada pembahasan kaidah-kaidah kata dan kalimat huruf Arabnya. Hal ini dilakukan agar para murid terbiasa dalam mengaplikasikan gramatika huruf Arab, mana saja yang termasuk isim, fi’il dan huruf.

Cara ini dianggap tepat untuk menumbuhkan perlombaan di kalangan para murid. Dengan sendirinya akan tercipta persaingan sehat untuk sedapat mungkin memperoleh banyak ilmu dari satu kali majlis diselenggarakan. Mereka yang kurang rajin akan merasa malu dengan kemajuan kawan-kawannya yang lain. Selepas jam belajar, lazim dijumpai murid-murid yang kurang pandai berdiskusi dengan murid yang dikenal pintar. Murid-murid pada jenjang ini hanya belajar kepada guru bantu (guru tua) dan belum sampai berguru kepada seorang Syekh atau guru besar. 2. Memasuki tingkat yang lebih tinggi, para murid diperkenalkan dengan sistem pengajaran halaqah. Komposisi murid pada tingkat ini adalah mereka yang telah menjadi guru-guru bantu dan murid yang merasa sudah cukup persiapan mengikuti pelajaran yang lebih tinggi. Kemudian, mereka menggabungkan diri membentuk lingkaran dan

109

menghadap guru besar atau syekh. Sang guru juga berada dalam posisi duduk. Guru dan para murid memegang kitab yang sama, misalnya saja kitab al-Mahalli. Awalnya, sang guru membaca matan kitab dalam bahasa Melayu atau bahasa daerah tertentu, sedangkan para murid menyimak dengan penuh perhatian. Setelah itu, sang guru menjelaskan kandungan matan, sesekali sang guru mengulang bacaan matan hanya pada kalimat yang ia rasa perlu disampaikan kembali, kemudian ia menjelaskan maksudnya. Setelah pembahasan satu pasal dari kitab itu selesai, kemudian diteruskan dengan mengkaji kitab yang lain, misalnya saja kitab Alfiyah Ibnu ‘Aqil yang merupakan kitab Nahwu, menggunakan sistem pembelajaran yang ditemukan di masa sebelumnya. Selanjutnya berjalan seterusnya, dan para murid hanya menyimak atau mendengarkan saja. Esoknya, kajian dengan pola seperti di atas diteruskan kembali dengan materi selanjutnya. Dalam pertemuan ini tidak diperkenankan lagi murid bertanya pelajaran yang telah lalu. Biasanya pengajian semacam ini dimulai pagi hari, yakni pukul 08.00 sampai dengan pukul 10.30 untuk tiga pelajaran. Kemudian pelajaran kitab dimulai kembali pada malam hari setelah shalat Maghrib, yakni pukul 19.00 sampai dengan 21.30, dan membahas tiga pelajaran pula. Dengan begitu, jumlah pelajaran dalam sehari adalah enam pelajaran. Sejatinya sistem halaqah yang bertumpu pada guru yang menjelaskan dan murid hanya menyimak, adalah sama dengan sistem perkuliahan zaman sekarang. Hanya saja perbedaannya, jika pada halaqah para murid hanya melihat kitab, sedangkan para mahasiswa kerap mencatat penjelasan guru besar. Salah satu manfaat dari pengajaran sistem halaqah adalah para pelajar diberi kesempatan lebih awal

110

untuk muthala’ah atau mempelajari pelajaran yang akan dipelajari secara mandiri. Dengan begitu ketika sang Syekh menjabarkan penjelasannya, sang murid diberi kesempatan mengakurkan pemahamannya dengan penjelasan sang guru. Secara tidak langsung sang murid diberikan kebebasan untuk menciptakan pemahamannya sendiri, baru kemudian mencocokkan apakah yang dipahaminya itu benar atau tidak. Sistem pengajaran seperti ini membuat para murid harus memiliki daya tangkap yang tajam mengenai penelaahan ilmu-ilmu agama. Baik ketika memahami kitab secara pribadi dan ketika sang syekh menuturkan penjelasannya. Mereka yang rajin mendawamkan pola ini perlahan akan mencapai kepintarannya. Sistem ini memang tidak lekas membuat seseorang pintar secara instan, melainkan memacu mereka untuk setia dalam proses. Terlebih bagi mereka yang bertugas sebagai guru bantu, maka akan semakin mengasah daya ingatnya.

Dalam jenjang-jenjang pendidikan di masa Paderi tidak dikenal semacam ujian berkala. Untuk mengukur penguasaan murid senior bukan dilihat dari ketika sudah menamatkan pengajian beberapa kitab kepada Syekh, melainkan dengan melihat bagaimana kepandaiannya mengajar sebagai guru bantu. Mereka bisa menyederhanakan pemahaman yang berasal dari kitab-kitab yang sulit kepada para murid. Para murid pun akan dengan sendirinya mengakui derajat kealiman guru bantunya, jika mereka merasa mendapat pengetahuan baru yang berasal dari materi-materi yang belum dipelajari, namun sudah mendapat gambaran dari lisan guru bantunya.161

161 Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan ..., hlm. 54-55.

111

Masa menjadi guru bantu tidaklah selamanya ditempuh para murid senior. Jika merasa sudah cukup, di antara mereka ada yang pulang ke kampung halamannya masing-masing kemudian mendirikan pengajiannya sendiri. Sedikit banyak pola-pola pengajaran sebagaimana yang diketahuinya dahulu, dipraktekkan kembali di majlis ilmu binaannya. Fenomena ini semakin terasa penting tatkala mendiskusikannya sebagai lanjutan dari suatu jejaring keilmuan di tanah Minangkabau.

Ijazah atau diploma tidaklah dijumpai di zaman itu. Seorang murid dikatakan sudah mencapai ambang batas pencarian ilmu formalnya, adalah ketika ia sudah mendapat pengakuan dari masyarakat. Oleh sebab itu, mereka baru bisa dikatakan alim atau orang berilmu yang telah pantas membagi ilmunya, ketika mereka sudah mulai mengabdikan diri sebagai guru masyarakat. Ketika mereka melakoni profesi sebagai guru bantu, secara tidak langsung mereka sudah berkecimpung dalam profesi itu. Namun, pengakuan itu menjadi lebih nyata, manakala mereka sudah membuka pengajian tersendiri, sehingga semakin memperkuat klaim keilmuannya.

Muhammad Yunus memperoleh informasi dari gurunya Syekh M. Thaib Umar, sistem halaqah seperti itu berpotensi melahirkan setidaknya satu ulama besar dari seratus orang. jika seratus orang menjadi satu ulama besar, maka yang 99 lainnya menolong membeli minyak goreng. Di masa itu belum dikenal semacam iuran bulanan atau semacamnya, melainkan sekedar biaya membeli minyak sekitar 2 ½ sen per minggunya. Bisa dibayangkan pada masa itu para murid sudah dibiasakan untuk mengerti keadaan satu sama lain, suatu bagian kecil dari pelajaran mengasah empati mereka.

Para guru yang mengajar masa itu sama sekali tidak memungut upah dari para muridnya, melainkan mengajar secara ikhlas, semata-mata karena Allah. Mereka juga tidak mendapatkan gaji dari guru-guru yang lebih senior.

112

Guru-guru tersebut hanya mendapat jatah dari zakat padi atau zakat fitrah setahun sekali dari murid-muridnya serta dari orang-orang kampung yang tinggal di sekitar pengajian. Di waktu-waktu tertentu mereka juga mendapat sedekah dari orang-orang dermawan. Rezeki para guru umumnya hanya berasal dari zakat, sedekah dan hasil sawahnya, serta dari ikan-ikan yang dipelihara di tebat (kolam) di sekitar suraunya.162

Tempat pendidikan Paderi mengikuti lokasi pemukiman Paderi itu sendiri. Biasanya kampung yang dihuni orang Paderi terpisah dengan mereka yang bukan penganut ajaran Paderi. Para guru Paderi akan mengajarkan muridnya tanpa biaya apapun. Kebiasaan dan sikap orang Paderi berangsur- angsur berubah dari ketika mereka sebelum masuk kelompok Paderi. Perilaku mereka tidaklah sebebas seperti sebelumnya. Para ulama Paderi mengajarkan kefanatikan (kesungguhan) dalam menjalankan ajaran Islam.163

D. Ulama Terkenal di Masa Paderi

Tidak bisa dipungkiri, terselenggaranya agenda-agenda kaum Paderi, adalah berkat sosok ulama-ulamanya. Beberapa dari mereka menjadi amat penting posisinya dalam wacana perkembangan wacana intelektual Islam di Minangkabau. Ulama dengan surau atau pengajiannya menjadi tempat tujuan yang paling tepat untuk mendalami ilmu agama. Kebesaran mereka menjadi magnet yang menarik banyak murid dari seantero Minangkabau dan sekitarnya untuk datang dan ikut larut dalam perbincangan tentang ilmu.

162 Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan ..., hlm. 58-59. 163 A.V. Michiels, Neerlands Souvereiniteit over de Schoonste en Rijkste Gewesten van Sumatra (Amsterdam: G.J.A. Beijerinck, 1846) hlm. 17- 18.

113

Pada bagian yang lalu diterangkan bahwa salah satu karakteristik orang Minangkabau adalah kesukaan akan merantau. Alasan merantau memanglah beragam mulai dari untuk mencari pengalaman termasuk pula mencari ilmu. Semakin meluasnya pengikut Paderi, tidak menutup kemungkinan, adalah disokong oleh keinginan diri untuk keluar dari kampungnya dan menggabungkan diri dalam barisan perang Paderi. Penundukan-penundukan wilayah kaum Adat, tentu membutuhkan jumlah manusia yang tidak sedikit. Bergabungnya beberapa orang ke dalam milisi Paderi menjadi wahana yang tepat untuk menyalurkan keinginan merantau sebagian orang.

Jika membincangkan jalannya perang Paderi maka kita akan menjumpai beberapa tokoh kunci yang menggagas perang ini. Jauh sebelum perang terjadi, kelompok Paderi memperkuat basis gerakannya dengan mempertalikan sejumlah ulama-ulama yang memiliki visi yang sama, lantas diterjemahkan ke dalam gerakan dakwah nyata. Namun sayang sekali, nama- nama mereka belum dilengkapi dengan biografi yang utuh, atau setidaknya memadai, sehingga tokoh Paderi yang “seolah-olah paling penting” adalah Tuanku Imam Bonjol. Selain dia sebenarnya banyak tokoh lain yang berperan, salah satunya adalah Tuanku nan Renceh.

Suryadi, filolog Minangkabau, mencoba mengumpulkan kembali informasi mengenai jati diri Tuanku nan Renceh yang terserak. Ia mendapatkan salah satu sumber berharga mengenai siapa Tuanku nan Renceh dari sumber lokal bernama Surat Keterangan Syekh Jalaluddin (SKSJ) yang ditulis oleh Fakih Shagir, seorang ulama Paderi moderat. Teks SKSJ sendiri kini tersimpan di Malaysia dan sudah ditelaah oleh E. Ulrich Kratz dan Adriyetti Amir.164

164 Lengkapnya Ulrich Kratz dan Adriyetti Amir, Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Shagir (Kuala Lumpur: DBP, 2002).

114

Menurut keterangan SKSJ yang ditulis sebelum tahun 1829, ketika Tuanku nan Renceh masih muda, di darek (pedalaman Minangkabau) terdapat ulama yang tersohor bernama Tuanku nan Tuo dari Koto Tuo, Empat Angkat. Banyak orang yang berguru agama kepadanya. Mereka berdatangan dari seluruh penjuru alam Minangkabau, satu di antara mereka adalah Tuanku nan Renceh sendiri. Terdapat murid yang berumur sama dengan Tuanku nan Renceh lainnya yang bernama Fakih Shagir. Amat dimungkinkan kedua orang ini sempat berjumpa.

Beberapa tahun terakhir pada abad 18, Tuanku nan Renceh bersama sahabatnya Fakih Shagir sudah menyibukkan diri dalam berdakwah. Merujuk pada keterangan SKSJ, mereka “berhimpun ... dalam masjid Kota Hambalau di nagari Canduang Kota Lawas”.165 Secara berkala mereka terus memperluas wilayah dakwah mereka, hingga empat tahun lamanya sebelum kemudian Haji Miskin, seorang penganjur paham Wahabi datang dari Mekkah pada tahun 1803.166 Suryadi menyebutkan bahwa ketika itu umur Tuanku nan Ranceh masih muda namun sudah giat berdakwah. Kira-kira sejak tahun 1799, ia sudah memulai pekerjaannya itu, jauh sebelum Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang melancarkan gerakan Paderi.

Tuanku nan Ranceh dikenal memiliki sifat yang radikal dan militan. Modal inilah yang membuat namanya kian diperhitungkan dalam tubuh kaum Paderi. Menjadi bagian dari Paderi sudah menjadi tujuan hidupnya. Ia memutuskan berjuang dengan sepenuh hati dalam kelompok itu. Sepertinya ia begitu terinspirasi dengan cerita-cerita tiga haji dari Mekkah. Sudah merupakan kelaziman dalam soal Islam, jika seseorang mendengar cerita tentang Mekkah, ia menjadi cepat tergugah seakan memendam kerinduan

165 Ulrich Kratz, Surat Keterangan ..., hlm 23. 166 Ulrich Kratz, Surat Keterangan ..., hlm. 25.

115

mendalam untuk kesana. Perasaan itu justru lebih hebat menggelora ketimbang tiga haji yang pernah mengunjungi Mekkah. Namun begitu, tidak ada catatan-catatan yang menyebutkan Tuanku nan Renceh pernah ke Mekkah. Kefanatikan Tuanku nan Renceh terbetik saat dia mendengar cerita tentang Mekkah.

Menginjak awal tahun 1820, dirinya sudah menempati posisi sebagai komandan perang Paderi yang membawahi lima nagari, yakni Kamang, Bukik, Salo, Magek dan Kota Baru. Pasukan pimpinannya amat ditakuti, hampir ketika ia menyerang suatu kampung, dengan segera ia memperoleh kemenangan. Nagari yang diserang menjadi wilayah yang penuh penderitaan. Tarup atau lumbung padi dan rumah dibakarnya, penduduk yang menentang akan ditawan atau dibunuh.

Fakih Shagir menerangkan akan aksi brutal Tuanku nan Renceh dalam suatu penyerbuan ke nagari Tilatang, dengan perkataan: “maka sampailah habis nagari Tilatang dan banyaklah (orang) berpindah dalam nagari; dan sukar menghinggakan ribu laksa rampasan, dan orang terbunuh dan tertawan lalu kepada terjual, dan wanita dijadikannya gundi’nya (gundiknya).” Mereka yang banyak melakukan tindakan sadis adalah para pengikut Tuanku nan Renceh dari Salo, Magek dan Kota Baru. Oleh sebab itulah para lawan kerap menghina mereka dengan sebutan “kerbau yang tiga kandang”.167 Sebutan itu muncul dari perilaku mereka yang menyerang seperti binatang.

Fakih Shagir juga menerangkan bahwa Tuanku nan Renceh memiliki postur “kecil tubuhnya”.168 Kata renceh sendiri dalam bahasa Minangkabau bermakna kecil, lincah dan bersemangat. Suryadi mengutip H. A. Steijn Parve dalam “De secte der Padaries in de Padangsche Bovenlanden” dalam

167 Ulrich Kratz, Surat Keterangan ..., hlm. 37. 168 Ulrich Kratz, Surat Keterangan ..., hlm. 24.

116

Indisch Magajizn169, dikatakan bahwa Tuanku nan Renceh mempunyai tubuh kecil, kurus, bertabiat berangasan serta mempunyai pancaran mata yang berapi-api terpancar dari sikapnya yang keras hati dan radikal.170

Tuanku nan Renceh memfokuskan dakwahnya pada pembenahan perangai dan perilaku masyarakat, yang dinilainya telah jauh menyimpang. Ia juga merasa berkewajiban untuk membuat keluarga kerajaan Pagarruyung sadar, bahwa kerja ini merupakan bagian dari kewajiban mereka. Hidup anggota kerajaan juga dinilai telah jauh melenceng dari ajaran-ajaran Islam. mengetahui sepak terjang Tuanku nan Renceh, sang raja, Raja Muning Syah, bukannya merasa terancam, justru mendukung aktivitas Tuanku nan Renceh. Ia memberi kesempatan baginya untuk menerapkan pemahamannya di tengah masyarakat.171

Saat berhadapan dengan Belanda Tuanku nan Renceh termasuk dalam komandan perang yang disegani lawan. Dalam beberapa kesempatan ia mampu menciptakan peluang bahkan menyudutkan pasukan kolonial. Namun dalam beberapa waktu terakhir, khususnya sekitar 1825, ia mulai

169 H. A. Steijn Parve, “De secte der Padariesin de Padangsche Bovenlanden” dalam Indisch Magajizn, 1e Twaalftal, No. 4, hlm. 21-40. 170 Adapun mengenai pakaian Tuanku nan Renceh, Suryadi menerangkan bahwa ia mengenakan pakaian seperti kaum Paderi lain. Bagaimana tatanan bentuk pakaian Paderi bisa dilihat dari deskripsi dalam: P. J. Veth, “De Geschiedenis van Sumatra” dalam De Gids, 10e Jrg, Januarij, 1850, hlm. 21; Thomas Stamford Raffles, Memoir of The Life and The Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles, Lady Sofia Raffles (ed) (Singapore: Oxford University Press: 1991 (cetak ulang)), hlm. 349-350. Bisa pula melihat sketsa vidual di; E. Francis, “Korte Beschrijving van het Nederlandsch Grondgebied ter Westkust Sumatra 1837” dalam Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie (TNI) 2 -1, 1839, hlm. 28-45, 90-111, 131-154, dan 141. Dalam ilustrasi tersebut digambarkan seorang Paderi tampil dengan rambut yang dicukur, jenggot dipanjangkan, tasbih dan pedang selalu dikenakan sebagai “pakaian”, sorban dengan jubah panjang sampai bawah lutut berwarna putih. Mereka digambarkan pula membawa al-Qur’an yang disimpan di dalam tas merah yang digantungkan ke leher, namun tas ini biasanya disandang oleh ulama atau Panglima Paderi. Lihat Suryadi, “Kontroversi Kaum Paderi: Jika Bukan Karena Tuanku nan Renceh” dalam http://oman.uinjkt.ac.id/2007/11/kontroversi-kaum-paderi-jika-bukan.html?m=11, diunduh pada Rabu, 31 Maret 2016, pukul 17.14 WIB. 171 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 218.

117

merasa perlu mengadakan pembaruan dalam perjuangan. Di saat yang bersamaan Kolonel H.J.J.L. de Stuers, Residen Padang yang baru, menjajaki kemungkinan perjanjian gencatan senjata dengan kaum Paderi. Sang Residen menganggap sebenarnya penyerangan yang dilakukan Belanda terhadap Paderi dilakukan secara tergesa-gesa dan alasan dasar melakukan hal itu masih lemah. Berbeda dengan pendahulunya mantan residen Raff, ia justru ingin mengadakan suatu kesepakatan pemeliharaan wilayah masing-masing.

Perjanjian tersebut dilakukan pada tanggal 15 November 1825 dilakukan di Padang. Dalam kesepakatan itu, utusan Tuanku nan Renceh meminta agar Belanda segera meninggalkan pedalaman Minangkabau. Permintaan itu tentu saja tidak bisa dipenuhi. Masa-masa setelah perjanjian ini ditandai dengan penarikan sejumlah pasukan kolonial dari Minangkabau dan di tempatkan ke Jawa untuk memperkuat pasukan yang bertugas dalam perang Jawa. Pada September 1826, terdapat sekitar 682 pasukan Belanda di seluruh Sumatera Tengah, dari jumlah tersebut kurang dari 300 personel yang bertugas di pedalaman.172

Tuanku nan Renceh merupakan sosok yang penting dalam jajaran ulama dan penghulu Paderi. Sifatnya yang loyal dan perangainya yang keras merupakan modalnya menjadi salah satu pemimpin Paderi yang disegani. Boleh dikatakan dirinyalah yang menjadi petunjuk jalan tersebarnya ajaran Paderi di Minangkabau. Tiga orang Haji Paderi dari Mekkah tentu tidak bisa berbuat banyak jika tidak menjalin kerjasama dengan para ulama dan penghulu lokal Minang, seperti Tuanku nan Renceh ini.

Jika Tuanku nan Renceh adalah ulama yang banyak melibatkan diri pada penguatan skrup-skrup kekuasaan Paderi di Minangkabau, maka Syekh

172 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 233-234.

118

Ahmad Khatib merupakan ulama generasi berikutnya yang lahir dari keluarga Paderi, namun mengkhususkan diri pada pengembangan keilmuan Islam bagi para ulama Minangkabau berikutnya. Syekh Ahmad Khatib, meskipun tidak langsung terlibat dalam gerakan Paderi masa awal, namun ayahnya dikenal sebagai seorang hakim yang beraliran Paderi. Ia juga dikenal sebagai sosok yang berseberangan dengan kolonial.

Syekh Ahmad Khatib dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1855. Keluarganya dikenal sebagai keluarga yang mempunyai latar belakang agama dan adat yang kuat. Syekh Ahmad Khatib menuntut ilmu di sekolah rendah dan sekolah guru di kota kelahirannya. Untuk diketahui, sekolah rendah dan sekolah guru adalah sekolah yang didirikan oleh Belanda. Meskipun pernah mengenyam pendidikan Belanda, tidak lantas membuatnya surut untuk memperbanyak ilmu-ilmu keislaman. Pada tahun 1876, ia melanjutkan studi agamanya ke Mekkah, sampai ia memperoleh kedudukan yang tinggi di sana, yakni sebagai imam mazhab Syafi’i di Masjidil Haram.

Syekh Ahmad Khatib memutuskan untuk berdiam di Mekkah dan tidak berencana kembali ke kampung halamannya. Meskipun begitu, ia tetap menjalin relasi dengan para jamaah haji dan pelajar dari Nusantara yang berada di Mekkah. Murid-muridnya di kemudian hari menjadi ulama-ulama besar sekembalinya dari Mekkah. Di antara muridnya yang terkenal adalah banyak yang menjadi ulama pembaharu di Minangkabau seperti Syekh Muhammad Djamil Djambek, Haji Abdul Karim Amrullah dan Haji Abdullah Ahmad. Muridnya yang berasal dari Jawa adalah K.H. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah. Muridnya yang lain dikemudian hari dikenal karena berhasil mendirikan organisasi massa ulama yang berhaluan tradisionalis, yakni Syeikh Sulaiman ar-Rasuli asal Candung, Bukittinggi

119

dan K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri pesantren Tebuireng dan Nahdhlatul Ulama.173

Rini Rahman menyebutkan bahwa Syekh Ahmad Khatib merupakan ulama pelopor utama dalam reformasi pendidikan di Minangkabau. Ia memang tidak pernah kembali ke Nusantara, tetapi melalui para muridnya, ide-ide tentang pembaruan Islam darinya diterjemahkan dengan signifikan, terarah dan masif. Di antara muridnya yang berasal dari Minangkabau seperti Muhammad Thaib Umar, Abdul Latif Syakur, Abbad Abdullah, Ibrahim Musa Parabek, Agus Salim, Abdul Karim Amrullah, Daud Rasyidin dan Sutan Darap Sulaiman mempunyai perhatian yang besar terhadap reformasi peran surau dan modernisasi di bidang pendidikan. Khusus bagi surau, mereka merubah kedudukan surau menjadi lembaga pendidikan yang dapat bersaing dengan lembaga pendidikan Hindia Belanda.174

Ulama lainnya yang sezaman dengan Syekh Ahmad Khatib adalah Syekh Tahir Jalaluddin. Syekh Muhammad Tahir bin Syekh Muhammad atau Syekh Muhammad Tahir Jalaluddin al-Falaki (1869-1956) lahir pada 7 November 1869, di Kota Tua Empat Angkat, Bukittinggi. Ia berasal dari keluarga yang memiliki landasan tradisi keagamaan dan kepemimpinan yang kuat. Kakeknya adalah Tuanku nan Tuo, ulama terkenal yang merupakan guru besar dari para pejuang Paderi. Semasa kecil ia sudah yatim. Ia dirawat oleh bibi dari pihak ibunya sampai menjelang ia berangkat ke Mekkah pada 1881.

173 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1980) hlm. 38-39. 174 Rini Rahman, “Modernisasi Pendidikan Islam Awal Abad 20 (Studi Kasus di Sumatera Barat)” dalam Humanus, Vol. XIV, No. 2, 2015, hlm. 175; Lihat juga Kafrawi Ridwan, Ensiklopedi Islam, jilid I (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1993) hlm. 87.

120

Di Mekkah ia tinggal bersama sepupu tuanya, Syekh Ahmad Khatib, selama 12 tahun. Di tahun 1894, ia memutuskan untuk belajar di Universitas Al-Azhar di Kairo Mesir. Di sini, Tahir banyak terpengaruh dengan paham reformisme Muhammad Abduh dan berkawan akrab dengan Muhammad Rashid Ridha, yang saat itu sudah menjadi editor al-Manar. Setelah lulus dari Al-Azhar pada 1897, ia kembali ke Mekkah dan membantu Syekh Ahmad Khatib membantu mengajar para murid dari Nusantara. Ia sempat pula mengajar calon ulama besar seperti Jamil Jambek, Karim Amrullah dan Abdullah Ahmad.175

Hampir sama dengan Syekh Ahmad Khatib, Syekh Tahir lebih berposisi sebagai pemantik lahirnya generasi baru ulama Minangkabau. Persinggungannya dengan intelektualitas Mesir, yakni ketika paham reformasi Islam sedang digaungkan, ikut pula mempengaruhi cara pandang Syekh Tahir, utamanya mengenai gerakan Islam modern. Jika melihat pada genealogi keilmuannya ini, kemungkinan besar dari merekalah para murid Nusantara di Mekkah mendapatkan wacana pembaruan Islam.

Meskipun Mekkah saat itu masih menyandang status sebagai salah satu kiblat keulamaan di Timur Tengah, namun sepertinya bukan tempat yang cocok untuk menularkan semangat reformisme Islam seperti yang disuarakan Abduh dan para pengikutnya. Hal ini mengingat saat itu Mekkah sedang dikuasai oleh Dinasti Saud yang mempunyai pandangan tradisionalisme Islam yang lebih condong ke budaya Arab.

Hamka dalam pidato penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar pada tanggal 21 Januari 1958, mempunyai catatan tersendiri mengenai kehadiran ulama Nusantara di Mekkah. Tujuan utama

175 Hafiz Zakariya, “Islamic Reform in Malaya: The Contribution of Syaikh Tahir Jalaluddin” dalam Intellectual Discourse, Vol. 13, No. 1, 2005, hlm. 51-52.

121

para ulama datang ke Mekkah adalah untuk menambah ilmu agama. Selain Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, terdapat nama besar lain seperti Syekh Nawawi Bantam (Banten) dan lain-lain. Di sana mereka menelaah kitab-kitab tafsir, hadis, fiqih dan lain-lain. Di antara mereka ada yang pulang ke Indonesia, namun sejatinya mereka tidaklah membawa pembaruan gagasan untuk kebangkitan, karena sejatinya di Mekkah sendiri masih diliputi oleh suasana taqlid.176

Pemikiran tersebut tentu tidak seluruhnya benar. Meskipun beberapa dari mereka tidak kembali ke Minangkabau, namun jangan lupa, sebagian murid mereka banyak menjadi ulama berpengaruh di wilayahnya masing- masing, termasuk di Minangkabau. Memang kekuasaan kolonial yang menguat menyebabkan sistem-sistem sosio-masyarakat Minangkabau mengalami perubahan, namun perubahan yang ada mampu didialogkan menjadi sesuatu yang membangun diri dari para ulama generasi Paderi maupun generasi setelahnya. Misalnya saja dalam kisah Syekh Ahmad Khatib yang bersekolah di sekolah bentukan kolonial, tentu tidak terbersit suatu perasaan memusuhi segala macam hal yang berkaitan dengan kolonial secara membabi buta, akan ada hal lain yang disyukurinya. Mudahnya, yang perlu dimusuhi adalah sistem kolonialnya, bukan ilmu pengetahuan yang diperkenalkan oleh mereka.

Ketiga ulama tersebut di atas, adalah sebagian ulama yang membuka era baru bagi wacana modern Islam di Minangkabau, termasuk di bidang pendidikan. Murid mereka selanjutnya ada yang mendirikan lembaga pendidikan yang meskipun tidak lagi sepenuhnya bernuansa paderi, namun

176 Taqlid diterjemahkan Hamka sebagai keadaan setelah kekalahan Kerajaan Saud oleh seranagn komandas Pasha Mesir yang merupakan bawahan Kesultanan Turki Usmani, lihat Hamka, “Sejarah Perkembangan Pemurnian Ajaran Islam di Indonesia”, teks pidato dalam Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar di Mesir tanggal 21 Januari 1958 (Djakarta: Tintamas Djakarta, Tanpa Tahun) hlm. 5.

122

tetap mempertahankan beberapa tradisi yang terdapat pada zaman itu. Di bab selanjutnya akan dibahas secara lebih spesifik mengenai hal tersebut.

123

BAB V

KONTRIBUSI PADERI TERHADAP PERKEMBANGAN PENDIDIKAN MINANGKABAU

A. Kemunculan Kaum Mudo

Keberadaan gerakan Paderi menimbulkan perubahan sosial yang signifikan di Minangkabau. Distribusi pasukan-pasukan Paderi sempat menerbitkan ketegangan antara kaum Paderi dengan kaum adat, serta kaum Paderi dengan kelompok Islam lainnya, seperti para pengamal tarekat. Namun, pertentangan itu kian surut, seiring dengan melemahnya kekuatan Paderi yang terdesar oleh Belanda. Meskipun begitu, ulama-ulama Minangkabau sebagian tetap mewarisi kedudukan yang penting di mata masyarakat. Bahkan telah tersambung suatu jejaring ulama Minangkabau, yang di antaranya diisi oleh ulama Paderi.

Sepeninggal Perang Paderi, suasana keberislaman tetap masih melekat di hati orang Minangkabau, terutama yang bersimpati kepada ajaran Paderi. Aktivitas berperang boleh surut, namun tidak mudah untuk menghapuskan keyakinan orang Paderi untuk mencintai agamanya. H.A. Steijn Perve menulis tentang suatu gambaran masyarakat Minangkabau tatkala masa Paderi dengan judul “Kaum Padari (Padri) di Padang Darat Pulau Sumatra”, meyakini bahwa takdir bahwa perang adalah jalan menuju surga amat kuat dipegang oleh orang Paderi. Karena keyakinan itulah membuat peluru dan

124

senjata lawan tidaklah menjadi sesuatu untuk ditakutkan. Jika mereka mati pun maka akan disambut di surga. Motivasi perang yang berlandaskan pada keyakinan agama ini tentu saja tidak dijumpai di kalangan pasukan kolonial Belanda, khususnya yang bukan Muslim.177

Keberadaan Syekh Ahmad Khatib dan Syekh Tahir Jalaluddin di Mekkah membawa citra baru bagi perkembangan keilmuan di Minangkabau. Kedudukan mereka yang begitu dimulyakan, serta menjadi tujuan belajar beberapa tokoh Islam Nusantara yang berpengaruh belakangan, tidak bisa dipungkiri, adalah dilatarbelakangi oleh keinginan yang kuat menuju Mekkah. Kala itu, Mekkah memang sudah dikenal sebagai pusat pendidikan dan peribadatan Muslim sedunia. Sekembalinya dari Mekkah, banyak alumninya yang berperan besar menata umat, seperti Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang menanamkan pengaruh Paderi.

Tidak bisa dipungkiri, keinginan ulama Minang generasi pasca-Paderi untuk belajar ke Mekkah, tentu didorong oleh ingatan historis mengenai ketiga haji itu. Memang diakui, model dakwah yang keras sebagaimana yang dilakukan oleh mereka, sempat membuat panik kehidupan beragama di Minangkabau. Namun terlepas dari itu, pengalaman belajar ke Mekkah itulah yang justru menerbitkan keinginan di benak para pelajar Minangkabau untuk datang dan belajar ke sana. Tersohornya Haji Miskin dan rekan-rekannya adalah karena keilmuannya. Pengakuan itu semakin mengkristal karena mereka telah belajar ke Mekkah, ke jantung berkumpulnya umat Islam dari seluruh dunia. Ini yang menjadi prestis tersendiri.

177 H.A. Steijn Perve, “Kaum Padari (Padri) di Padang Darat Pulau Sumatra” dalam Taufik Abdullah, ed, Sejarah Lokal di Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996) hlm. 159-160.

125

Merujuk pada keterangan Snouck Hurgronje yang menyebut ibadah haji sebagai “Perayaan Mekkah”, dikatakan bahwa prosesi ritual haji memiliki rangkaian yang tertib sejak masa Nabi Muhammad SAW. Haji bisa dikatakan sebagai kompromi antara ajaran Nabi Muhammad dengan budaya- budaya Arab pra-Islam. upacara-upacara (ibadah) yang dilakukan di Mekkah, berkisar pada kegiatan berdoa yang mengandung penebusan dosa. Snouck bahkan masih tidak mengerti, mengapa haji mesti ada dan apa kaitannya dengan peribadatan dengan Tuhan. Hal ini diyakininya adalah berada pada tataran alam gaib dan tidak bisa diselami oleh pikiran manusia.178 Hubungan transendental antara hamba dan Tuhannya seperti berada pada kedekatan yang sangat tatkala berada di Mekkah.

Beberapa murid dari Syekh Ahmad Khatib dan Syekh Taher Jalaluddin, yang kemudian berperan dalam perkembangan pendidikan dan intelektualitas di Minangkabau adalah Syekh Muhammad Djmamil Djambek, Syekh Muhammad Thaib bin Haji Umar Batu Sangkar, Haji Abdul Karim bin Syekh Muhammad Amrullah Danau (Ayah Buya Hamka) dan Haji Abdullah bin Haji Ahmad di Padang Panjang. Di antara mereka yang mempunyai bakat cemerlang dalam dunia kepengarangan adalah Haji Abdullah bin Ahmad. Dia menerbitkan majalah Islam bernama “Al-Munir”, yang merupakan kelanjutan dari “Al-Imam.”179

178 C. Snouck Hurgronje, Perayaan Mekkah (Jakarta: INIS, 1989) hlm. 114. 179 Al-Imam adalah majalah Islam yang menjadi media tukar pemikiran para ulama- ulama Nusantara. Majalah ini terbit berkat persahabatan seorang hartawan Arab Singapura bernama Syekh Muhammad bin Salim Alkalali dan Syekh Muhammad Taher bin Muhammad Jalaluddin al-Azhari asal Minangkabau. Syekh Taher ini adalah yang di bab sebelumnya dikatakan menuntut ilmu di Al-Azhar, Kairo dan bersahabat dengan Muhammad Rashid Rida. Majalah ini pertama terbit tahun 1906 dan tidak terbit lagi tahun 1909. Dikatakan bahwa majalah ini tidak bisa bersaing dengan majalah-majalah serupa yang banyak terbit belakangan. Lihat. Hamka, Ayahku (Jakarta: Penerbit UMMINDA, 1982) hlm. 96.98.

126

Salah satu produk perubahan yang lahir dari para ulama dari Mekkah itu adalah ditularkannya ide-ide pembaruan Islam. pemikiran-pemikiran ulama Muslim modern saat itu, seperti Seykh Jamaluddin al-Afghani, Syekh Muhammad Abduh dan Syekh Muhammad Rashid Ridha, telah ikut menyadarkan para ulama Minangkabau tentang arti penting perubahan mindset keberIslaman di tanah asalnya. Penerbitan majalah Islam dianggap sebagai wahana efektif untuk mensosialisasikan pembaruan pemikiran agama ke tengah masyarakat luas, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Syekh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh yang menerbitkan al- Urwatul Wutsqa yang edisi pertamanya terbit pada 1884 di Paris.180

Setelah berpikir dan menimbang, Haji Abdullah Ahmad memutuskan untuk pindah dari Padang Panjang ke Padang untuk memulai gagasannya itu. Pada tanggal 1 April 1911, terbitlah nomor pertama majalah Al-Munir. Disertakan bahwa susunan pengurus majalah ini adalah Haji Abdullah Ahmad sebagai Pengarang, Haji Marah Muhammad bin Abdulhamid sebagai Pengurus, Haji Sutan Jamaluddin Abubakar sebagai Ketua (Direksi), pembantu-pembantunya antara lain: Haji Abdul Karim Amrullah Danau, Muhammad Dahlan Sutan Lembak Tuah, Haji Muhammad Thaib Umar Batu Sangkar, Sutan Muhammad Salim Hoofdjaksa pensiun (Ayah Haji Agus Salim).

Dalam kata pengantar edisi pertama Al-Munir dituliskan: “Al-Munir berarti pelita, atau yang membawa cahaya. Al-Munir bermaksud memimpin dan memajukan anak-anak Melayu dan anak-anak Islam kita kepada agama yang lurus dan i’tiqad yang betul. Al-Munir membawa damai dan sentausa antara sesama manusia pada kehidupan dan supaya meneguhkan kehidupan dan kesetiaan kepada pemerintah. Al-Munir sebagai penerangan dari gelap

180 Hamka, Ayahku ..., hlm. 94.

127

kesamaran, daripada kabut kejahilan kepada pengetahuan ilmu yakin yang sebenarnya dan daripada sangka-sangka yang waham (meragukan) kepada hakikat yang benar. Oleh karena itu Al-Munir ini, Insya Allah, akan menolak beberapa tuduhan yang dituduhkan si penuduh pada agama kita yang bersih ini, dan insyaallah akan memberi penerangan atas salah sangka setengah si penyangka yang bahwa agama ini menghambat kemajuan atau menerbitkan kemunduran ...” (dan seterusnya).”181

Hamka memberikan keterangan tersendiri terkait kata pengantar tersebut. Menurutnya terlihat sudah jelas bahwa Al-Munir bertujuan memberikan penjelasan terhadap hakikat agama, membersihkan keragu- raguan (waham), melawan serangan yang tidak jelas, menyingkirkan kebodohan tentang agama dan yang paling penting adalah menumbuhkan persatuan dan kepercayaan. Termasuk pula adalah penegasan bahwa majalah ini akan setia kepada pemerintah. Dalam masa itu, memperjelas kalimat “kesetiaan pada pemerintah” adalah perlu, mengingat tingginya kecurigaan pemerintah kolonial terhadap aktivitas dan gerak-gerik para orang pandai pribumi. Jika tidak demikian, maka izin penerbitan majalah ini bisa saja dicabut, apalagi terbitnya setelah tiga tahun kerusuhan di Kamang.182

Pindahnya Haji Abdullah Ahmad ke Padang, tidak bisa dipungkiri, adalah karena saat itu Padang sudah menjadi kota besar yang ramai. A. Pruys van Der Hoeven mengatakan Padang merupakan kota yang pantas dicintai. Kota ini terletak tidak jauh dari pantai dan sungai. Banyak orang menggunakan perahu untuk sampai ke padang, yang lain banyak pula yang menyusuri Padang. Perahu besar dan kecil banyak ditambatkan di pinggir kota. Kawasan pinggir ini disambungkan dengan jalan setapak berbatu

181 Hamka, Ayahku ..., hlm. 99-100. 182 Hamka, Ayahku ..., hlm. 100.

128

menuju kota. Di dalam kota tertata rapi kantor, kantor dagang, warung- warung dan pecinan (chinesche wijk). Rumah-rumah di sana banyak dibangun dari batu. Di sana terdapat lapangan yang dinamakan Lapangan Michiels (Michielsplein). Sekali seminggu satu korps batalion memainkan musik untuk menghibur orang Eropa di sana. Di Padang terdapat rumah- rumah orang Melayu dan orang Nias.183

Mahmud Yunus menyebutkan bahwa sebelum Haji Abdullah Ahmad bergerak di bidang jurnalistik, ia memulai karirnya sebagai guru di Surau jembatan Besi Padang Panjang. Surau itu masih menggunakan sistem pengajaran cara lama. Beberapa waktu berselang, ia memulai terobosannya, yakni dengan mendirikan sekolah agama dengan menggunakan meja, bangku dan papan tulis sebagai media belajar di sana. Langkahnya ini menuai banyak kritik dan cacian, oleh karena dianggap menyimpang dari kewajaran. Biasanya, kegiatan mengaji adalah dengan bersila mengelilingi sang guru, dan bukan dengan berjajar rata, duduk di bangku serta menggunakan meja. Itu sama saja dengan yang digunakan di sekolah Belanda.184

Pada masa itu, segala hal tentang Islam, amat lekat dengan identitas kebangsaan. Orang yang beragama Islam, hampir selalu disebut sebagai pribumi, baik ia orang Melayu, Jawa atau suku bangsa Nusantara lainnya. Bahkan, orang Batak yang sebelumnya memiliki keyakinan Pelbegu, yang memutuskan masuk Islam, ia sudah dianggap sebagai “orang yang punya jiwa kebangsaan” dan telah menjadi “Orang Melayu”. Hal sama berlaku

183 A. Pruys van Der Hoeven, Een woord over Sumatra; In Brieven Verzameld en Uitgegeven: Deel II; Sumatra’s Westkust en Palembang (Rotterdam: H. Nijgh, 1864) hlm. 2- 3. 184 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mahmud Yunus Wadzurriyyah, 2008) hlm. 170.

129

tatkala banyak orang Cina yang masuk Islam di Sumatra, dengan sendirinya mereka menyandang identitas sebagai Orang Melayu.185

Apa yang dilakukan Haji Abdullah Ahmad sejatinya berseberangan dengan yang dipahami secara umum sebagai identitas orang Islam dan orang Melayu. Meniru orang Belanda, dianggap sebagai kesalahan yang tidak bisa ditolerir. Merubah kebiasaan pribumi masih dianggap tabu dan dipersalahkan. Oleh sebab itu, perubahan hal yang sederhana seperti tata ruang belajar dianggap sebagai melanggar adat dan kebiasaan baik yang sudah ditetapkan oleh para generasi pendahulu. Dari kisah Haji Abdullah Ahmad di atas, didapat suatu pemahaman bahwa dirinya adalah orang yang visioner sejauh yang dia anggap baik maka ia akan melakukannya, termasuk tatkala menerbitkan majalah Al-Manar.

Tidak bisa dipungkiri, meletupnya semangat jurnalisme awal adalah geliat dari pencarian identitas kebangsaan. Dalam pada itu, Islam sudah dianggap sebagai formula yang ampuh untuk menyokong gejolak pencarian jati diri di kalangan para elit Minangkabau. Suasana semacam ini sebagian tercipta dari ingatan historis mengenai gerakan Paderi yang telah menorehkan pengaruh besar dalam cara pandang masyarakat mengenai Islam. Identitas berbaju putih dan berserban di waktu kemudian menjelma dalam semangat menyuarakan gagasan keIslaman, dan cara yang bisa dilakukan adalah dengan menulis dalam majalah.

Para kaum pembaharu di Minang tersebut kerap disebut juga dengan kaum muda. Kaum muda mendapatkan inspirasi pemikiran serta aktivitasnya dengan para pendahulu yang sempat mengunjungi Mekkah. Mereka mulai menyeponsori penghapusan bid’ah (sesuatu yang baru dalam pengalaman

185 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1980) hlm. 8.

130

agama, yang tidak ditemukan di zaman Rasulullah SAW), dan mulai mengenalkan peran akal, di samping iman, sebagai landasan ideologis melakukan revolusi penghayatan agama. Dalam melancarkan dakwahnya, mereka kerap menggunakan bahasa Melayu atau bahasa Minangkabau.

Kaum muda menolak sikap taqlid (sekedar mengikuti begitu saja) dalam beragama. Mereka sering memikirkan kembali bahkan jika perlu mengoreksi ajaran-ajaran Islam yang telah berurat akar di masyarakat. Mereka mulai mendengungkan pembukaan pintu ijtihad (menghasilkan hukum berdasarkan akal dan ilmu pengetahuan) dalam menciptakan perubahan. Oleh sebab itu menjadi ciri selanjutnya dari gerakan mereka adalah kesibukan mereka dalam bidang penerbitan brosur buku-buku agama serta majalah-majalah di berbagai kota, termasuk Padang dan Bukittinggi. Kemudian, di antara mereka mulai mendirikan lembaga pendidikan dan organisasi sosial yang berkecimpung dalam bidang terkait.186

Sidi Ibrahim Boechari menyampaikan pendapat yang berbeda. Menurutnya, kaum muda sudah dimulai sejak masa kedatangan tiga haji dari Mekkah pada 1803. Mereka adalah kaum muda yang berseberangan dengan paham Islam yang sebelumnya sudah dianut orang Minangkabau. Mereka mengajak masyarakat Minangkabau untuk menjalankan ajaran al-Quran seperti yang dilakukan oleh penduduk Mekkah yang saat itu sudah ditertibkan untuk mengkaji ajaran Wahhabi. Paham mereka adalam simbol gerak kaum muda menentang ajaran kaum tuo (ulama tradisional).187

Pembaruan yang ada di Minangkabau bersumber dari gerakan revivalisme Islam dan bukan modernisme Islam. John L. Esposito

186 Taufik Abdullah, ed, Sejarah Sosial di Daerah Sumatera Barat (Jakarta: Departemen P dan K, 1983-1984) hlm. 95. 187 Sidi Ibrahim Boechari, Pengaruh Timbal Balik antara Pendidikan Islam dan Pergerakan Nasional di Minangkabau (Jakarta: Gunung Tiga, tanpa tahun) hlm. 61.

131

menyebutkan bahwa revivalisme Islam yang terjadi pada abad 18 dan 19, sebagaimana yang dimotori oleh Wahabi, memberikan warisan penting bagi terjadinya gerakan Islam abad 20. Berbeda dengan modernisme Islam, revivalisme Islam muncul sebagai kritik atas kelemahan orang Islam internal dibanding tanggapan atas hadirnya kolonialisme. Perpecahan dan kemunduran umat Islam, oleh kalangan revivalis, bersumber dari keengganan mereka untuk mengamalkan ajaran agama sebagaimana yang diajarkan ulama terdahulu. Masyarakat banyak melakukan perilaku menyimpang yang jauh dari ketentuan Tuhan.

Keberhasilan dan anugerah Tuhan, hanya diturunkan bagi umat yang benar-benar beriman kepada-Nya, demikian keyakinan revivalis. Termasuk dianggap sebagai faktor penghambat kemajuan umat Islam adalah merebaknya ajaran sufi yang mengajak para pengikutnya untuk membelakangi dan meninggalkan urusan duniawi. Hal itu sama saja mengembalikan umat ke masa-masa awal ketika Islam diperjuangkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para Khulafaurrasyidin (para khalifah yang cerdas).188 Meskipun pada tahap itu, kelompok revivalisme memiliki kesamaan, namun mereka meminggirkan unsur kesufian dari gerakan mereka. Hal ini bisa dilihat dari usaha pengurangan pengaruh tarekat di Minangkabau oleh kelompok Paderi.

Dari uraian di atas diketahui bahwa meskipun gerakan revivalis semacam Paderi di Minangkabau bertujuan untuk menyadarkan Muslim untuk meninggalkan praktek-praktek bid’ah dan kembali pada ajaran Islam, namun memiliki keterkaitan dengan perkembangan Islam di masa setelahnya. Jika diperhatikan banyak dari kalangan ulama-ulama berikutnya

188 John L. Esposito, Islam dan Politik, Terj. Joesoef Sou’yb (Jakarta: Bulan Bintang, 1990) hlm. 55.

132

yang merupakan keturunan kelompok Paderi. Akar-akar pendidikan Paderi tentu sempat mereka rasakan, khususnya dalam bidang agama. Generasi kedua inilah yang merawat akar-akar tradisi Paderi untuk menumbuhkan geliat pembaruan dalam wujud yang berbeda, dan mengalirkannya dalam berbagai macam media, seperti penerbitan majalah, sekolah, maupun mengenai bagaimana cara hidup yang sesuai dengan ajaran agama.

Meskipun ajaran-ajaran Paderi bersifat ortodoks dan cenderung pada pemurnian Islam yang bertumpu pada penghayatan Islam di Mekkah, namun pada prakteknya, di Minangkabau mengalami pergeseran perkembangan ke arah yang lebih mutakhir. Penghayatan keIslaman di Minangkabau pada masa setelah perang Paderi ikut merubah, seiring dengan perkembangan zaman. Datangnya para pelajar dari Mekkah ikut meramaikan agenda-agenda pendidikan masyarakat di sana. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut belakangan berkembang menjadi sekolah Islam modern di Minangkabau.

Sidi Ibrahim Boechari mengatakan bahwa jika Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang merupakan kaum mudo pertama, maka beberapa waktu kemudian, setelah perang Paderi muncul kaum mudo kedua. Mereka adalah anak dan cucu dari Jalaluddin Fakih Sangir, generasi terakhir dari keluarga Paderi di Minangkabau. Jalaluddin sendiri adalah anak dari Tuanku nan Renceh dan murid dari Tuanku nan Tuo. Di hari berikutnya ia bergelar Tuanku Sami’. Dari Tuanku Sami’ inilah muncul apa yang dinamakan tiga serangkai kedua yang juga bisa diartikan sebagai pelopor gerakan kaum mudo kedua, yakni Syekh Ahmad Khatib, Syekh Taher Jalaluddin dan Inyik Agus Salim.189

189 Sidi Ibrahim Boechari, Pengaruh Timbal …, hlm. 61 – 62.

133

Pandangan Islam Modern atau Islam Modernis dipahamai sebagai suatu gagasan keislaman yang berupaya memahami kembali nilai-nilai dasar yang terkandung dalam al-Qur’an dengan mempertimbangkan kondisi, tantangan sosio-historis dan kultural yang dihadapi masyarakat Muslim di era kontemporer (kekinian atau mondial). Kurun waktu kontemporer merujuk pada masa dimana iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) sudah berkembang dengan pesat.

Biasanya pandangan Islam Modenis tidak lagi mengindahkan konten- konten khazanah intelektual Islam era klasik yang berkaitan dengan masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Islam modern mengedepankan upaya jalan pintas (shortcut) yang cepat dalam mendudukkan hukum Islam dengan realita kontekstual. Sifat dasar dari Islam Modernis adalah progresif dan dinamis dalam merespon tuntutan dan kebutuhan di masa kontemporer.190

B. Pembaruan Lembaga Pendidikan Islam

Sekolah menjadi ajang tukar pengetahuan yang efektif. Pendidikan menjadi tolok ukur kemajuan umat manusia. Namun, saat itu masyarakat pribumi berada dalam posisi yang sulit. Hal ini dikarenakan tidak sembarang orang bisa bersekolah di sekolah-sekolah negeri yang berada di bawah naungan pemerintah kolonial. Padahal sekolah model Eropa adalah salah satu simbol modernitas di masa itu. Mereka yang bersekolah di sana, bukan hanya mendapatkan ilmu pengetahuan, melainkan prestis karena berkesempatan untuk sejajar dengan derajat orang Eropa.

190 Muhammad Munawwir, “Corak Pemikiran Modern Pendidikan Islam (Studi tentang Ideologi Pendidikan Islam Muhammad Natsir”, Journal of Islamic Education, Vol. I, No. 1, Mei 2016, hlm. 112.

134

Taufik Abdullah melihat ketika perang Paderi sudah surut terjadi beberapa perubahan sosial di tengah masyarakat. Pemerintah kolonial mereorganisasi kepemimpinan nagari dan mengangkat tuanku laras, sebagai kepala adat dan kepala pemerintahan yang membawahi suatu wilayah federasi nagari. Para penduduk mulai digerakkan untuk kerja paksa atau kerja wajib (heerendiensten). Mereka juga dibebani membayar pajak kepada pemerintah. Hanya kaum penghulu saja yang tidak dianjurkan membayar pajak. Sejak saat itu orang Minangkabau disibukkan dengan upaya-upaya keluar dari tekanan tersebut. Mereka tidak ingin mengikuti perintah tuan- tuan Belanda. Di sisi lain mereka tidak ingin pula sampai harus meninggalkan ajaran-ajaran kaum adat dan Islam. Mulai saat itu masyarakat Minangkabau seperti dibayangi oleh belenggu adat, Islam dan Barat.191

Apa yang dikatakan Taufik Abdullah memang harus ditanggapi dengan kritis. Adat dan agama memang pernah terlibat dalam pertentangan serius yang termanifestasi dalam pertentangan kaum Paderi dengan kaum Adat. Namun pertentangan itu tidak sampai menyebabkan berkurangnya populasi penganut Islam. bahkan mereka yang bertentang, baik antara orang Paderi, orang Adat hingga para penganut tarekat adalah beragama Islam semuanya, dan hanya berbeda cara pandang satu dengan yang lain. Oleh sebab itu, menyebut Islam sebagai belenggu masyarakat Minangkabau paska Paderi merupakan sesuatu yang bisa diperdebatkan.

Sebagian kaum mudo banyak yang melebarkan sayap pembaruannya di bidang pendidikan. Mereka merasa perlu untuk ikut membenahi pendidikan umat Islam, yang sempat terganggu akibat adanya masa perang, sekaligus untuk melanjutkan tradisi intelektualitas yang sempat terhenti.

191 Taufik Abdullah dalam “Pengantar” buku Jeffrey Hadler, Sengketa Tiada Putus; Matriarkat, Reformisme Islam dan Kolonialisme di Minangkabau (Jakarta: Freedom Institute, 2010) hlm. xxxvi.

135

Ketersambungan jaringan dengan Syekh Ahmad Khatib menyebabkan para murid dari Mekkah ini merasa perlu untuk kembali dan mendirikan perguruan kajian Islam yang bersifat tradisional maupun yang modern. Cita- cita mereka adalah menghadirkan wahana belajar yang bisa diakses masyarakat untuk memperteguh identitas pendidikan Islam yang bisa menjawab tantangan zaman.

Salah satu ciri dari pendidikan Nusantara tradisional adalah tempat belajar agama yang dilangsungkan di masjid.192 Dalam kasus Minangkabau, tidak hanya masjid yang digunakan sebagai tempat pendidikan agama, tetapi juga surau. Surau dianggap juga sebagai masjid kecil. Pemikiran untuk menggantikan tempat belajar dari semula di masjid atau di surau ke kelas, merupakan gagasan yang baru yang sebelumnya belum pernah ada. Ini adalah salah satu fenomena yang memperteguh kaum mudo sebagai pembaharu dalam pendidikan agama di Minangkabau.

Deliar Noer mengisahkan bahwa menginjak awal abad 20, sudah ada upaya untuk meningkatkan martabat pendidikan Islam. Para sarjana Islam Minangkabau mulai memasukkan unsur-unsur belajar modern, sebagaimana yang dilakukan oleh Haji Latif Syakur. Haji Latif Syakur lahir di Air Mancur dekat Padang pada 16 Agustus 1881. Ia sempat menuntut ilmu di Mekkah sejak tahun 1888 hingga 1902. Sekembalinya dari Mekkah, ia sempat menjadi parewa (preman) selama tiga tahun. Menginjak tahun 1906, ia mengajar di Biaro (Kamang, Bukittinggi) dan telah menggunakan papan tulis dan meja-meja untuk para muridnya.

Tahun 1912, ia mendirikan sekolah bernama at-Tarbiyah al-Hasanah di Tengah Sawah, Bukittinggi. Di sekolah itu sudah menggunakan

192 KM. Akhiruddin, “Lembaga Pendidikan Islam di Nusantara” dalam Junal Tarbiya, Vol. I, No. 1, 2015, hlm. 195-196.

136

pembelajaran dalam kelas dan penggunaan meja. Meja yang digunakan adalah meja rendah, dan para murid masih duduk di lantai. Baru pada tahun 1915, sekolah ini menggunakan meja tinggi dan bangku untuk duduk para murid, sebagaimana yang ditemukan dalam sekolah-sekolah pemerintah Belanda.193

Meskipun Haji Latif sudah memperkenalkan papan tulis dan meja sebagai media belajar siswa, namun salah satu pioner lembaga pendidikan berpengaruh yang menggunakan sistem modern dalam belajar adalah Sekolah Adabiyah (Adabiyah School).194 Lembaga pendidikan ini didirikan pada tahun 1909 di Padang oleh Haji Abdullah Ahmad, pendiri majalah Islam Al-Munir. Bisa dikatakan ini merupakan madrasah (sekolah agama) pertama di Minangkabau, bahkan Muhammad Yunus meyakini madrasah ini adalah yang pertama di Indonesia.

Pada tahun 1915, nama Adabiyah School diganti menjadi H.I.S. (Hollands Inlandse School) Adabiyah. Adabiyah merupakan HIS pertama yang memasukan kurikulum agama dalam rencana pelajarannya. Di kemudian hari HIS Adabiyah berubah menjadi Sekolah Rakyat lantas di waktu berikutnya menjadi SMP (Sekolah Menengah Pertama).195

Sejak tahun 1915, sekolah Adabiyah diambil alih pengelolaannya oleh pemerintah kolonial. Oleh pemerintah namanya dirubah menjadi Hollandsch Maleische School Adabiyah. Kepala sekolahnya pada saat itu dijabat oleh orang Belanda. Mulai saat itu citra Adabiyah sebagai lembaga pendidikan pembaruan Islam sedikit demi sedikit mulai berkurang. Palajaran agama

193 Deliar Noer, Gerakan Moderen ..., hlm. 52. 194 Deliar Noer juga menyebut Adabiyah sebagai sekolah pertama yang didirikan oleh masyarakat dan berada di lingkungan Islam sebagai pembaruan atas sistem pendidikan model tradisional. Lihat Deliar Noer, Gerakan Moderen ..., hlm. 52. 195 Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan ..., hlm. 63.

137

mulai kurang diperhatikan. Sekolah ini pun dimasukkan ke dalam kategori Sekolah rendah, dan alumni-alumninya pun belum mampu menjawab tantangan zaman saat itu.196

Lembaga pendidikan yang sempat mengalami transformasi dari pendidikan tradisional ke pendidikan modern lainnya adalah Surau Jembatan Besi. Dalam pengajarannya, materi fiqih dan tafsir al-Quran menjadi pelajaran yang diutamakan. Keberadaan Haji Abdullah Ahmad dan Haji Rasul yang mengajar di surau ini sekembalinya mereka dari Mekkah pada tahun 1904, ikut merubah kurikulum di sini. Saat itu penekanan pelajaran dilakukan pada mata pelajaran bahasa Arab dan ilmu alat, yang dikatakan menjadi alat-alat perbekalan untuk menguasai ilmu-ilmu yang lainnya. Tujuan penting lainnya adalah supaya murid bisa langsung mengkaji dari sumber aslinya, yakni al-quran dan hadis.

Menginjak tahun 1916, lembaga pendidikan ini menggunakan sistem murid belajar di kelas. Meskipun begitu para murid masih duduk di lantai. Kelas yang tersedia baru berjumlah tiga ruangan, yakni untuk murid kelas rendah, menengah dan tinggi. Di kemudian waktu, kelas rendah dipecah menjadi empat kelas dan masing-masing dari mereka menamatkan waktu standar penyelesaian studi selama setahun. Sedangkan untuk kelas menengah dan tinggi dipecah menjadi kelas 5, 6, dan 7. Perubahan status dari surau menjadi sekolah dengan kelas ikut pula merubah nama lembaga pendidikan ini menjadi Sekolah Thawalib.197

H. M. Thaib Umar juga mendirikan madrasah yang sama dengan Adabiyah di Batusangkar pada tahun 1909. Sayangnya sekolah yang ia bina tidak berlangsung lama. Pada 1910, ia juga mendirikan madrasah di

196 Deliar Noer, Gerakan Moderen ..., hlm. 52. 197 Deliar Noer, Gerakan Moderen ..., hlm. 52-54.

138

Sungaiyang (suatu daerah di Bukittinggi) yang diberi nama Madras School. Madras School hanya mempunyai satu ruangan kelas yang digunakan oleh para murid senior untuk mengkaji kitab-kitab besar (kitab lanjutan) dan masih menggunakan sistem halaqah (murid duduk bersila di hadapan guru dan menyimak pembacaan dan keterangan guru mengenai kitab terkait). Menginjak tahun 1913, Madras School sempat ditutup karena kekurangan tempat. Pada tahun 1918, Mahmud Yunus membuka kembali Madras School. Pada tahun 1923, Madras School berganti nama menjadi Diniyah School dan kembali berganti nama menjadi Al-Jami’ah Islamiyah pada 1931 dan statusnya menjadi SMPI (Sekolah Menengah Pertama Islam) atau PGAP (Pendidikan Guru Agama Pertama).

Pada tahun 1915, sekolah Diniyah School atau Madrasah Diniyah didirikan pula oleh Zainuddin Labai Al-Yunusi di Padang Panjang. Madrasah ini sempat mendapatkan reaksi positif dari masyarakat Minangkabau. Di masa-masa setelahnya madrasah-madrasah dengan konsep pembelajaran serupa semakin banyak didirikan di wilayah Minangkabau lainnya dan di seantero Indonesia dalam cakupan yang lebih luas.198

Deliar Noer menyebut bahwa sosok Zainuddin Labai Al-Yunusi merupakan sosok yang belajar menggunakan sistem otodidak. Ia tidak hanya membatasi bacaannya pada teks atau buku yang berbahasa Arab dan Melayu, melainkan juga bahasa Inggris dan Belanda. Berbagai macam disiplin ilmu ia kaji mulai dari aljabar, ilmu bumi, kimia dan agama. Sebelum mendirikan sekolah, Labai sempat membantu Syekh Haji Abbas dalam pengajaran di suatu lembaga pendidikan tradisional di Padang Jepang selama enam tahun. Di Padang Panjang, ia juga sempat mengajar di Surau Jembatan Besi.

198 Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan ..., hlm. 63-65.

139

Di sekolah Diniyah yang didirikannya, Zainuddin Labai menggunakan sistem belajar dalam kelas dan menggunakan kurikulum yang lebih teratur. Ia juga memadukan antara kurikulum agama dan kurikulum pelajaran umum seperti bahasa, matematika, sejarah, ilmu bumi selain pelajaran agama. Ia juga mendirikan suatu klub musik yang beranggotakan para murid-muridnya. Sepeninggal Zainuddin Labai, sekolah ini dipimpin oleh saudara perempuan sekaligus muridnya Rahma Al-Yunusiyah. Di Minangkabau Rahma dikenal sebagai “Kartini-nya Orang Islam Yang Taat”.199

Sekolah Diniyah menjadikan Mesir sebagai kiblat penyelenggaraan pendidikan agama. Untuk pendidikan umum, sekolah ini terpengaruh dengan model pendidikan yang diterapkan oleh Mustafa Kemal Pasha, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Nuansa Mesir semakin kentara dengan pengkajian kitab-kitab berbahasa Arab terbitan Mesir (Kairo) bagi pelajar tingkat atas. Terdapat pendapat lain mengenai akhir dari sekolah ini. pada tahun 1924, Zainuddin Labai meninggal dunia dan sejak itu sekolah Diniyah mengalami kemunduran hingga pada tahun 1935 akhirnya ditutup.200

Madrasah-madrasah Minangkabau, di Nusantara muncul, selain sebagai kelanjutan wacana intelektual, dianggap pula sebagai respon atas pendidikan pemerintah Hindia Belanda. Dari lambaga-lembaga pendidikan ini kemudian bersemi wacana gerakan pembaruan Islam yang mempunyai latar belakang dan tujuan yang berbeda-beda. Merujuk pada pendapat Karel Steenbrink, setidaknya ada empat hal yang melatarbelakangi lahirnya wacana perubahan Islam di Indonesia, yaitu: 1) kesungguhan kembali pada al-quran dan hadis; 2) semangat nasionalisme melawan kolonial Belanda; 3) usaha yang kuat dari internal umat Islam untuk memperkuat posisi di organisasi sosial,

199 Deliar Noer, Gerakan Moderen ..., hlm. 47-48. 200 Rini Rahman, “Modernisasi Pendidikan Islam Awal Abad 20 (Studi Kasus di Sumatera Barat)” dalam Humanus, Vol. XIV, No. 2, 2015, hlm. 178-179.

140

politik, ekonomi dan budaya; 4) usaha serius meningkatkan pendidikan Islam.201

Tidak benar jika dikatakan pendidikan Islam, khususnya di Minangkabau, selama masa penjajahan Belanda mempunyai kualitas yang rendah di banding masa ketika kerajaan-kerajaan Nusantara masih eksis (misal seperti Demak, Siak Sri Indrapura atau Banten).202 Antara masa kerajaan Nusantara dan masa penjajahan Belanda mempunyai perbedaan yang mencolok, dilatarbelakangi oleh kondisi politik, pendidikan dan budaya di dua masa tersebut.

Memang, pada abad 19, Belanda sudah mulai menetapkan sekolah Kristen sebagai salah satu agen perubahan sosial di wilayah yang diduduki Belanda, namun hal ini tidak sampai mengganggu atau menghambat perkembangan pendidikan Islam modern di Minangkabau. Gesekan-gesekan dengan pemerintah Belanda mungkin saja pernah dialami oleh sekolah- sekolah Islam modern, namun ini sama sekali tidak membuat kualitas pendidikan Islam menjadi jatuh dan kurang diminati oleh masyarakat Minangkabau. Justru lembaga pendidikan Islam modern menjadi saingan terkuat bagi pendidikan model Barat sebagaimana yang dikelola oleh pemerintah Hindia Belanda.

Murni Djamal menyatakan bahwa menurut tradisi madrasah di Minangkabau, kurikulum agama yang dikaji bertautan dengan fiqih (hukum), tauhid (teologi) dan mistik (tasawwuf). Seorang siswa dikatakan mencapai tingkat paham agama jika dari sekolah dasar, ia melanjutkan ke sekolah- sekolah tingkatan lanjut dengan kurikulum yang menyediakan kajian yang

201 Nor Huda, Islam Nusantara (Yogyakarta: Arruz Media, 2007) hlm. 392. 202 Muhammad Sabaruddin, “Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam Masa Awal dan Sebelum Kemerdekaan”, dalam Jurnal Tarbiya, Vol. I, No. 1, 2013, hlm. 149.

141

mendalam tentang ilmu agama. Sampai pada pertengahan abad 19, sudah ada 15 madrasah besar, dengan jumlah murid masing-masing antara seratus sampai seribu orang.203

Munculnya pendidikan model Barat di Minangkabau adalah buah dari menguatnya kolonialisme di sana. Sekolah pertama yang menggunakan pendidikan Barat dibangun di Padang tahun 1825, dan hanya diperuntukkan bagi anak-anak Belanda. Baru sekitar tahun 1843, sekolah untuk bumiputera dibangun di Bukittinggi. Sekolah ini masuk dalam kategori Sekolah Rendah. Di masa berikutnya, sekolah-sekolah serupa banyak didirikan di pusat-pusat administrasi yang berdekatan dengan kebun kopi. Sekolah ini dibiayai dan dikontrol oleh masing-masing nagari. Menginjak tahun 1870, pemerintah kolonial mengadakan pembaruan pendidikan.

Tujuan utama didirikan sekolah-sekolah tersebut adalah melatih orang pribumi menjadi pegawai sekaligus memberantas buta huruf. Sekolah model Belanda ini berhasil menarik perhatian beberapa keluarga Minangkabau untuk menyekolahkan anaknya di sana. Di akhir abad 19, semakin banyak orang Minangkabau yang ingin menjadikan anaknya sebagai pegawai. Hal ini mendorong pemerintah Belanda untuk semakin banyak mendirikan sekolah. Bahkan, banyak orang Minangkabau yang tidak mendapat tempat di kota-kota Sumatera Barat, mendaftarkan diri untuk sekolah di Aceh.204

Ada perbedaan yang tegas antara pendidikan Islam modern dengan pendidikan kolonial. Lulusan sekolah Islam Modern banyak yang berperan di tengah masyarakat seperti aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan, pendidikan agama, serta kerja-kerja lain umumnya bersifat sosial. Sedangkan

203 Murni Djamal, DR. H. Abdullah Karim Amrullah; Pengaruhnya dalam Gerakan Pembaruan Islam di Minangkabau pada Awal Abad ke – 20 (Jakarta: INIS, 2002) hlm. 53 204 Taufik Abdullah, Sejarah Sosial ..., hlm. 66-67.

142

sekolah kolonial, ditujukan untuk menjadi pegawai-pegawai Belanda. Terlihat, manfaat sekolah kolonial hanyalah mendapatkan status sosial yang tinggi, karena menjadi pegawai, dan secara tidak langsung berpotensi mengasingkan dirinya dari realitas sosial, meskipun tidak seluruhnya dikatakan lulusan sekolah kolonial adalah akan mengabdi pada kepentingan Belanda.

Sekolah Islam modern sejatinya lahir sebagai jawaban atas eksistensi sekolah kolonial. Masuknya unsur-unsur pendidikan modern seperti penggunaan bangku dan meja serta belajar di dalam kelas, dimaksudkan untuk meningkatkan mutu pendidikan sekolah Islam modern supaya tidak sampai jauh tertinggal dari sekolah Belanda. Setidaknya kualitas lulusan sekolah Islam Modern bisa menyamai lulusan sekolah model Belanda.

Lembaga pendidikan Islam menjadi lokus yang mengakomodir kebutuhan ilmu agama orang Minangkabau. Majunya pendidikan Barat, tidak selalu ditanggapi secara berlebihan sebagai indikator pertumbuhan kemajuan di kalangan masyarakat Minangkabau. Dalam beberapa kasus, masyarakat di Minangkabau masih ada yang memandang penting arti kajian agama Islam bagi anaknya.

Elizabeth E. Graves menceritakan bahwa pernah terdengar kasus guru Belanda yang bernama Evans berselisih paham dengan seorang penghulu adat tentang pembacaan al-Qura’n. Sang guru yang juga berprofesi sebagai misionaris itu menunjukkan keteguhannya dalam berpendapat, sehingga membuat penghulu adat itu tersinggung. Setelah pertikaian itu, pada tahun 1828, sang penghulu adat kemudian mengajak anaknya yang kebetulah bersekolah di sekolah tempat Evans mengajar.

143

Selanjutnya, Graves juga menyebutkan bahwa masyarakat yang menginginkan anaknya besekolah di sekolah sekuler yang didirikan Belanda, tidak selalu didorong oleh harapan bahwa sekolah sekuler menjanjikan pendidikan yang lebih baik ketimbang sekolah lainnya. Pendidikan yang ditawarkan sekolah Belanda juga tidak selalu dianggap penting dan berguna. Beberapa dari mereka ada yang menyekolahkan anaknya di sekolah Belanda hanya karena segan dengan kedudukan Belanda.205

Munculnya pendidikan model Barat di Minangkabau sejatinya merupakan refleksi dari kolonisasi Belanda. Gert Oostindie menegaskan bahwa apa yang dikenal sebagai kolonialisasi Belanda melingkupi administrasi, militer, pemahaman geografis, arsitektur, sosial dan kehidupan berbudaya.206 Pendidikan merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan manusia dalam memahami dunia di mana ia hidup. Oleh sebab itu pendidikan Belanda bagi masyarakat pribumi merupakan usaha untuk menciptakan generasi pribumi yang mengerti struktur sosial, administrasi, budaya serta hal-hal lain sesuai dengan cara pandang orang Belanda atau orang Eropa.

Lembaga pendidikan Islam modern di Minangkabau juga merupakan persemian gagasan Islam rasional. Dalam sejarahnya, wawasan Islam yang berkembang di Minangkabau awalnya dekat dengan nuansa adat istiadat yang bercampur dengan pemahaman yang berbeda, bahkan dikategorikan menyalahi ajaran Islam yang sesungguhnya, dengan yang diperkenalkan Haji Miskin dan kawan-kawan. Setelah didahului dengan konversi (penggantian)

205 Elizabeth E. Graves, Asal-Usul Elite Minangkabau Modern; Respons terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX, Terj. Novi Andri dkk (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007) hlm. 152. 206 Gert Oostindie, “Migration and Its Legacies in the Dutch Coloial World” dalam Gert Oostindie, ed, Dutch Colonialism, Migration and Cultural Heritage; Past and Present (Leiden: KITLV Press, 2008) hlm. 4.

144

pemahaman yang cukup tajam, yakni melalui jalan peperangan, perlahan paham Islam paderi yang disemai di surau, kemudian mengalami perkembangan di lembaga pendidikan Islam modern dan mulai terlihat menjadi salah satu corak Islam modern yang berkembang di Minangkabau ketika menyentuh awal abad 20.

Permurnian Islam yang ditanamkan Haji Miskin dan generasi-generasi penerusnya memberatkan pada pengambilan al-Qur’an dan hadis sebagai dua sumber utama yang terpercaya kebenarannya sebagai hukum Islam. Adapun muatan hukum Adat istiadat Minangkabau yang diyakini sudah lama eksis bukan merupakan sumber pengambilan hukum Islam. Jikapun ada beberapa hukum Adat yang masih dipandang relevan sebagai pegangan dalam menyelesaikan suatu permasalahan, kedudukannya pun harus berada di bawah syara’ (hukum Islam). Hal tersebut terangkum dalam adagium adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah.

Masyarakat Minangkabau pra-Paderi sudah mengenal satuan hukum yang menggabungkan hukum lokal dengan hukum Islam. Hukum adat sendiri terbentuk dari pemahaman suatu masyarakat akan karakter, nilai, alam serta kepercayaan akan ketuhanan dalam perspektif lokal.207 Pergumulan keduanya melahirkan suatu cara pandang baru yang kental dengan muatan keminangkabauan sehingga bukan lagi disebut hukum Islam, melainkan hukum adat Minangkabau, di mana hukum Islam termasuk di dalamnya. Hal ini mendapat peneguhan mengingat sebagian besar rakyat Minangkabau adalah Muslim. Dengan demikian hukum Minangkabau dianggap sudah merefleksikan pandangan hidup dan pandangan agama orang Minangkabau.

207 Agung Setiyawan, “Budaya Lokal dalam Perpektif Agama: Legitimasi Hukum Adat (‘urf) dalam Islam” dalam ESENSIA, Vol. XVIII, No. 2, 2012, hlm. 204.

145

Ketetapan di atas mengalami perubahan total ketika paham Paderi masuk dan mengakar di Minangkabau. Wawasan hukum lokal yang dianggap bertentangan dengan agama mulai dikikis dan digantikan dengan hukum Islam yang diadopsi dari ajaran Wahhabi. Yang unik, pada perkembangannya, nuansa hukum Wahhabi, sebagaimana yang ditemukan di Arab Saudi, tidak serta merta mendominasi dan menjadi hukum baku masyarakat Minangkabau berikutnya, sebagai pengganti hukum adat Minangabau. Ajaran Wahhabi bercampur dengan sedikit hukum adat Minangkabau, ditambah dengan penerimaan akan modernitas menjadi Islam Modern Minangkabau yang menadi salah satu ekspresi Islam rasional.

C. Kaum Paderi sebagai Aktor Perubahan Sosial

Salah satu ciri dari masyarakat dinamis adalah pengalaman berjumpa dengan perubahan. Perubahan ini selalu memiliki dua sisi mata uang, yakni membawa kebaikan atau keburukan. Namun masalah baik dan buruk tentu masih bisa diperdebatkan. Artinya hal itu hanyalah perbedaan sudut pandang. Perubahan bisa datang dari dalam atau berasal dari luar. Yang menjadi fokus dalam tesis ini adalah perubahan yang menyebabkan bergesernya sendi-sendi sosial yang sebelumnya telah berdiri dengan tegap, namun kemudian mengalami perubahan posisi. Perubahan sosial adalah salah satu fenomena yang hampir pasti dijumpai dalam setiap masyarakat untuk mendapatkan pencapaian-pencapain tertentu.

Perubahan sosial merupakan salah satu cabang pembahasan dari sosiologi. Sejarah manusia hampir pasti bersinggungan dengan berbagai bentuk perubahan yang tidak jarang bisa merubah jalur nasib serta kebiasaan masyarakat tersebut. Hal demikian bisa dilihat di Minangkabau. Datangnya

146

pengaruh Wahabi menjelma menjadi suatu cara beragama yang baru dan tidak ditemukan di masa sebelumnya. Bahkan kelompok penganutnya, yang dinamakan kaum Paderi, menjadi aktor dalam berbagai macam bentuk pembaruan di kehidupan masyarakat Minangkabau khususnya dalam bidang agama dan sosial.

Fenomena perubahan sosial yang terjadi di Minangkabau sekitar abad 18 sejatinya merupakan dampak dari merebaknya paham anti-kolonialisme di wilayah-wilayah Islam yang dijajah bangsa Eropa. Kabar mengenai pendudukan serta ancaman penaklukkan Eropa merebak begitu pesat di Minangkabau sehingga sebagian masyarakatnya rela menyisihkan waktu menghalau penjajah Barat. Besar kemungkinan, melalui cerita turun temurun dari generasi Haji Miskin sampai dengan generasi Tuanku Imam Bonjol, keburukan dari paham anti-kolonialisme sudah dimengerti oleh kaum Paderi.

Di bawah penjajahan bangsa-bangsa Eropa, umumnya, masyarakat Muslim mengalami penderitaan yang mendalam. Mereka merasakan kemerosotan dan kemunduran hampir di semua bidang kehidupan manusia, terutama di bidang politik, ekonomi, pendidikan serta ilmu pengetahuan. Kondisi ini menyebabkan umat Islam semakin terkucil dari pergaulan dunia karena dianggap sebagai kaum marginal (pinggiran) yang jauh dari kesejahteraan. Pemahaman ini yang membakar semangat kaum Paderi untuk mempersiapkan diri, menata penduduk Minangkabau untuk satu tujuan, yakni hijrah dari penyakit sosial lantas begitu datang ancaman dari musuh yang sudah mengintai dari wilayah pesisir atau wilayah tetangga Minangkabau, mereka sudah siap untuk mempertahankan tanah dan airnya.208

208 Muhammad Dahlan M., “Motivasi Kebangkitan Dunia Islam Abad XIX-XX”, Jurnal Adabiyah, Vol. XV, No. 1, 2015, hlm. 1-2.

147

Keberadaan kaum Paderi bisa dikatakan merupakan jawaban atas merebaknya sikap abai terhadap tertatanya kehidupan sosio-keagamaan yang baik. Menjamurnya penyakit-penyakit sosial seperti sabung ayam, perjudian dan berbagai tindak kriminal lainnya, seakan menjadi bahan bakar meledaknya gerakan Paderi. Di tambah lagi dengan absennya para pejabat terkait yang ternyata tidak mampu mengatasi masalah-masalah tersebut, semakin membawa kehidupan masyarakat kepada kemunduran. Tidak bisa dipungkiri awal kedatangan Haji Miskin dan dua kawannya adalah untuk membenahi masalah sosial ini.209

Namun, dalam perkembangannya kaum Paderi telah melakukan perubahan lain yang tidak kalah radikal. Peminggiran kaum tarekat atau kelompok-kelompok sufi seperti persaudaraan Syatariyyah dan Naqsyabandiyah merupakan salah satu tindakan yang menyebabkan perpecahan dalam tubuh umat Islam Minangkabau sendiri. Kebencian kaum tasawuf terhadap sebenarnya berawal dari perbedaan cara pandang mengenai konsep berdakwah, namun pada titik ini belum terbersit adanya api permusuhan di antara mereka, sebagaimana terlihat dari perbedaan cara pandang berdakwah Tuanku Koto Tuo dan Tuanku nan Renceh.210 Pertikaian ini seperti bara dalam sekam yang belakangan ikut menyebabkan surutnya gerakan Paderi.

Kehadiran kolonialisme Belanda di pedalaman Minangkabau ikut memutar roda perubahan sosial di Minangkabau. Secara sistematis mereka berhasil menundukkan gerakan Paderi pada sekitar tahun 1840-an.211 Setelah

209 Steijn Parve, “Kaum Padari ...”, hlm. 174. 210 Sartono Kartodirdjo,ed, Sejarah Perlawanan ..., hlm. 91. 211 Sejak ditetapkannya Plakat Panjang dianggap sebagai masa-masa akhir surutnya gerakan Paderi. Plakat Panjang adalah semacam deklarasi panjang antara penduduk Minangkabau dengan pemerintah kolonial yang berkaitan dengan penenanam kopi,

148

itu, mereka mulai membangun kota-kota di Minangkabau menjadi pusat- pusat perkumpulan manusia yang modern dengan mengacu pada model kota Eropa. Hal ini bisa disaksikan di Padang dan Bukittinggi. Arus migrasi manusia yang semakin lancar mengalir, perlahan menimbulkan gaya hidup baru, yakni model masyarakat kota dan model masyarakat desa. Keduanya menjadi indikator adanya Modernitas a la Barat dan penjagaan akan kehidupan tradisional khas Minangkabau.

Salah satu dampak perubahan sosial keberadaan Paderi adalah bergesernya peran surau. Semula, surau menjadi pusat aktivitas keagamaan penduduk, namun kemudian mengalami perluasan fungsi. Rizqi Handayani menyebutkan bahwa tatkala Paderi menguasai suatu wilayah di Minangkabau, mereka menjadikan surau, mereka menjadikan surau sebagai tempat menyusun konsep, strategi perang, tempat beristirahat serta tempat tinggal bagi para tuanku dan ulama. Gerakan Paderi inilah yang menyebabkan peran surau semakin surut, khususnya di bidang pengajaran, selain karena hambatan yang berasal dari merebaknya pendidikan kolonial. Sebagian surau dewasa ini sudah ada yang roboh dan hilang. Sebagian yang lain hanya dihidupkan oleh kalangan tradisionalis, seperti para pengamal tarekat, ziarah bersama atau membaca al-Quran secara bersama-sama dan lain sebagainya. Surau yang kemudian dikelola oleh kaum mudo bertumpu pada pengembangan masyarakat yang berorientasi pada kegiatan sosial, seperti memperingati hari-hari besar atau juga pengadaan panti asuhan.212

pemerintah desa yang tidak dapat dinggangu kepentingan kolonial dan pihak kolonial berjanji menghormati adat. Lihat Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 364. 212 Rizqi Handayani, “Syair Fi Kaifiyat Al-Hajj: Perjalanan Haji Sebagai Bentuk Migrasi Orang Minangkabau”, dalam Jumantara Vol. 4, No. I, Tahun 2013, hlm. 90; lihat juga Azyumardi Azra, Surau; Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003) hlm. 143-149.

149

Dalam kehidupan masyarakat tradisional, surau dianggap sebagai salah satu tempat belajar ilmu agama. Fungsinya yang kian meluas di kemudian hari merupakan dampak dari berubahnya latar dan sistem sosial di sekitarnya. Bisa dikatakan imbas dari masuknya ajaran Paderi ikut pula membawa perubahan di beberapa instrumen penting masyarakat, termasuk surau. Di kemudian hari, keberadaan model belajar di kelas, merupakan wajah baru dalam sistem pendidikan orang Minangkabau yang ditemui ketika pengaruh sistem pendidikan modern dianggap sebagai suatu pembaruan yang perlu diadakan.

Rini Rahman membenarkan bahwa pada pembaruan atau modernisasi di Minangkabau pada abad 20, khususnya di bidang pendidikan, lebih banyak terkonsentrasi di surau yang di masa sebelumnya sudah berkembang dengan baik. Dari rumah ibadah yang merangkap lembaga pendidikan ini, para pemuda yang mempunyai bekal pengetahuan agama yang cukup melanjutkan studinya hingga ke Mekkah, lalu kembali lagi ke surau asalnya untuk menyebarkan ilmu yang didapatnya di tanah rantau. Fenomena ini berkembang dikarenakan surau mempunyai relasi yang terbuka dengan masyarakat luas.213

Sudah menjadi pemandangan umum dijumpai perang selalu menghadapkan dua atau banyak kelompok yang saling bertarung. Di antara pertarungan mereka, terdapat sekumpulan masyarakat yang tergerak untuk memilih satu dari kubu-kubu yang ada. Jika tidak maka keamanannya akan terancam oleh pihak-pihak yang berperang itu. Terbelahnya masyarakat Minangkabau ke dalam kubu-kubu yang ada, yakni Paderi dan Adat, atau

213 Rini Rahman, “Modernisasi Pendidikan Islam Awal Abad 20 (Studi Kasus di Sumatera Barat)” dalam Humanus, Vol. XIV, No. 2, 2015, hlm. 74; lebih lanjut lihat Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam (Kasus Sumatran Thawalib) (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1995) hlm. 64.

150

belakangan Paderi dan kolonial, ikut menyebabkan arus perpindahan penduduk yang juga massif.

Perang berintikan pada pergerakan pasukan yang terus menerus. Pasukan akan selalu melakukan mode bertahan dan menyerang. Secara tidak langsung, orang-orang yang terlibat di dalamnya akan berpindah dari satu wilayah ke wilayah lainnya, untuk kepentingan strategi perang. Banyaknya perpindahan-perindahan yang terjadi menyebabkan perpindahan penduduk yang juga berhubungan dengan tradisi merantau masyarakat Minangkabau.

Orang Minangkabau dikenal sebagai suku bangsa yang suka merantau. Meskipun dalam prakteknya merantau dipahami sebagai perpindahan seseorang dari suatu tempat ke tempat lain, namun maksud dan tujuan merantau bisa saja berbeda. Tsuyoshi Kato menyebutkan bahwa setidaknya ada tiga jenis merantau, yakni merantau untuk pemekaran nagari, merantau keliling dan merantau Cino. Merantau pemekaran nagari merujuk pada perpindahan geografis untuk mendirikan suatu perkampungan baru.

Merantau keliling dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan baik yang sudah menikah maupun yang belum. Biasanya motif merantau mereka beragam, adat amat berkaitan dengan dorongan pribadi, seperti mendapatkan penghasilan yang lebih baik, mencari pengalaman atau sekedar memenuhi hasrat saja. Mereka yang melakukan perantauan jenis ini biasanya berprofesi sebagai pedagang, guru, pegawai kantor dan pengrajin. Mereka tetap menjaga hubungan baik dengan kampung asal, bahkan secara berkala masih sempat pulang. Perpindahan mereka membentuk pola melingkar antara daerah merantau dengan kampung asal. Merantau seperti ini tidak bersifat permanen.

151

Adapun merantau Cino adalah pola merantau dari satu atau sebagian anggota keluarga inti ke luar daerahnya. Misalnya saja sang suami merantau terlebih dahulu, baru disusul oleh istri dan anak-anaknya. Bisa pula mereka berpindah seluruhnya sekaligus. Termasuk pula dalam jenis ini adalah seorang bujangan yang merantau ia pulang untuk menikah di kampungnya, lalu membawa serta istrinya ke tempat perantauan semula. Secara psikologis perantau jenis ini merasa amat dekat dengan kampung halaman, namun kesempatan untuk pulang tidaklah selebar orang yang merantau keliling. Mobilitas mereka bersifat semi permanen.214

Mochtar Naim mempunyai pandangan yang berbeda dengan Tsuyoshi Kato tentang konsep merantau. Menurutnya, orang Minangkabau memahami kata “rantau” bukan sebagi tempat bermukim, namun sebagai alat (bukan sebagai tujuan) untuk menjamin, memperbaiki dan memperkokoh keududukannya di kampung halamannya. Rantau dianggap sebagai seuatu yang menjanjikan harapan akan perubahan hidup ke arah yang lebih baik. Harapan ini selalu tertuju dalam konteks sosial dan bukan politik. Merantau dilakukan untuk mengembangkan diri dan mendapatkan kehidupan sosial ekonomi yang semakin sesuai harapan. Dengan begitu, tujuan orang merantau berkaitan dengan tiga hal yakni mencari harta atau penghidupan (menjadi pedagang), mencari ilmu (belajar) dan mencari pengalaman.215

Merantau menjadi indikator kesuksesan orang Minangkabau. Banyak orang Minangkabau meyakini, dengan merantau, mereka bisa mendapatkan hasil pendapatan yang melimpah sehingga dapat memenuhi kebutuhan sekunder bahkan tersiernya. Namun hal itu tetap tidak bisa tanpa melalui

214 Tsuyoshi Kato, Adat Mianangkabau dalam Perspektif Sejarah (Jakarta: Balai Pustaka, 2005) hlm. 13-14. 215 Mochtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1984) hlm. 3 dan 295.

152

proses yang waktunya relatif, tergantung pada keuletan dan kepandaian berdagang atau berbisnis si orang Minang. Proses tetap tidak bisa diabaikan dalam mencapai suatu cita-cita.

Oleh sebab itu, bagi seorang perantau baru, biasanya ia membutuhkan mentor yang mengajarinya bagaimana hidup dan bertahan hidup di lingkungan baru di luar kampungnya. Kebanyakan mentornya ini berasal dari keluarganya sendiri yang lebih dahulu merantau dan berhasil mencicipi hasil kerjanya. Si mentor akan dengan sabar membimbing anak didiknya supaya kelak dapat mandiri dalam memilih dan mengembangkan karirnya.

Dalam filosofi orang Minangkabau diyakini bahwa seorang Minangkabau tidak bisa dikatakan sukses dalam kehidupan apabila ia belum berhasil memberi jalan bagi kesuksesan tiga orang Minangkabau lainnya. Ajaran ini merupakan pantulan dari sikap kekeluargaan di tanah asal yang kemudian tetap di pegang teguh di perantauan. Filosofi ini pula yang menjadi semangat kesadaran kolektif bagi suku bangsa Minangkabau untuk bersama- sama menjemput perbaikan nasib di negeri orang lain.216

Tradisi merantau seakan memperoleh momentumnya ketika peristiwa Paderi berlangsung. Orang-orang yang tergerak untuk bergabung dengan tentara Paderi maka ia harus siap meninggalkan kampung halamannya, baik untuk memperdalam agama atau untuk ikut berperang. Alasan menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman, sebagaimana yang diungkapkan Mochtar Naim di atas, kelihatannya tepat untuk melatarbelakangi anggapan bahwa peripndahan penduduk di masa Paderi juga berhubungan dengan kepentingan tersebut.

216 Hafiz Rahman, “’Merantau, An Informal Entrepreneurial Learning Pattern in The Culture of The Minangkabau Tribe in Indonesia” dalam DeReMa Jurnal Manajemen, Vol. 11, No. 1, Mei 2016, hlm. 16.

153

Semakin semaraknya sekolah di Minangkabau, tidak bisa dipungkiri adalah buah dari gesekan kepentingan kaum Paderi dengan kolonial Belanda. Paderi ingin memperkuat posisinya di tengah masyarakat Minangkabau melalui jalur pendidikan dan kegiatan yang bernuansa sosial. Peran dari para ulama menjadi kian penting, karena sejak masa sebelum Paderi sosok ulama adalah orang yang dimulyakan di tengah masyarakat. Beberapa ulama modern masa awal juga berasal dari keluarga Paderi, seperti Syekh Ahmad Khatib dan Haji Rasul.

Bisa dikatakan, perubahan sosial terutama di bidang pendidikan di Minangkabau adalah dampak dari keberadaan kaum Paderi. Sewaktu awal mereka datang-pun sudah serius mengalami berbagai macam masalah sosial, dan ketika kedudukan mereka mulai mapan, dan para ulama Paderi semakin dianggap sebagai sosok yang berpengaruh, maka dengan sendirinya model- model perubahan di bidang pendidikan berlangsung.217

Setelah berguru di beberapa madrasah, para sarjana Islam Minangkabau ada yang kembali ke kampungnya, sebagian yang lain memilih pergi menjadi guru agama di kampung lain. Guru agama seperti yang belakangan disebut dinamai juga orang urang sekak. Dia merasa terpanggil untuk datang ke beberapa tempat yang dahulu pernah memberinya sesuatu, sehingga tercipta hubungan timbal balik dengan masyarakat di sana. Urang sekak ini biasa diminta msyarakat menjadi pemimpin dalam ritual-ritual agama.

Oleh karena ia tidak hanya terikat dalam satu nagari saja, ia juga kerap dijadikan sebagai simpul komunikasi antarnagari. Biasanya, masyarakat yang dibinanya akan menyisihkan sebagian hartanya untuk keperluan hidup urang sekak, seperti makanan atau keperluan-keperluan lain. Di lihat dari

217 Mengenai masalah perubahan pendidikan di masa Paderi lihat di bab sebelumnya, atau lihat di Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan ..., hlm. 51-58.

154

sudut agama, keberadaan urang sekak adalah penting demi tersalurnya ajaran agama kepada masyarakat kaitannya dengan hubungan antarsesama dan untuk kepentingan adat.218

Tradisi merantau masyarakat Minangkabau juga diartikan sebagai upaya untuk bepergian ke luar daerah. Para ulama paska perang Paderi yang memutuskan untuk belajar di Mekkah, adalah bisa dianggap sebagai tokoh- tokoh perubahan di bidang pendidikan. Memang, mereka tidak secara langsung turun berperan di masyarakat Minangkabau. Murid-murid mereka yang justru turut andil dalam perubahan di bidang pendidikan. Jika saja mereka tidak belajar sampai Mekkah lantas bertemu dengan wacana Modernisme Islam sebagaimana yang dikampanyekan Muhammad Abduh dan lain-lain, maka perjalanan sejarah bisa saja berubah.

Perang Paderi mempunyai dampak yang luas tidak hanya di dataran tinggi Minangkabau namun juga menyentuh wilayah Asahan. Perang Paderi menyebabkan munculnya gelombang perpindahan etnis Mandailing ke Kisaran, wilayah yang masih masuk wilayah Asahan. Kekisruhan perang menyebabkan sebagian etnis Mandailing mencari pemukiman yang aman ke Asahan dengan menempuh rute Mandailing-Angkola-Padang Lawas-Kota Pinang. Jalur ini kemudian dikenal sebagai jalur perantauan Sumatera Timur. Awal munculnya migrasi ini terjadi pada 1835.

Migrasi Mandailing merupakan salah satu wajah lain dari perubahan sosial yang didorong oleh aktivitas kaum Paderi. Berbeda dengan motivasi orang Minangkabau yang melakukan perantauan, selain karena didorong oleh keinginan memperbaiki nasib dan keinginan untuk mendalami ajaran agama, perpindahan orang Mandailing pada masa awal, terhitung sejak 1835,

218 Murni Djamal, Abdul Karim …, hlm. 53.

155

didorong oleh ketakutan terhadap serangan orang Paderi. Pada gelombang- gelombang berikutnya, barulah diketahui bahwa perpindahan orang Mandailing didorong oleh keinginan mendapatkan penghidupan yang lebih layak di Asahan.219

Perubahan sosial yang ditorehkan kaum Paderi lebih tampak di bidang pemikiran ketimbang aplikasinya di penyelenggaraan pendidikan dalam artian fisik. Berseminya pendidikan Islam modern di Minangkabau berakar dari munculnya perubahan sosial yang terjadi berkat aktivitas kaum Paderi dan semakin menemukan momentumnya ketika Perang Paderi berlangsung. Saat itu, terlihat, orang Minangkabau yang berada di sisi Tuanku Imam Bonjol dan para panglimanya adalah golongan yang berusaha mempertahankan bumi Minangkabau dari ancaman kolonial Belanda. Barisan ini adalah benteng kokoh yang menyuarakan pembebesan dari ancaman penjajahan.

Paska surutnya perang Paderi, para penyemai ajaran Paderi merubah pola dakwah mereka yang semula banyak bertumpu pada gerakan massa, bahkan beberapa terlibat dalam perilaku kekerasan dengan kaum Adat atau kolonial Belanda, menjadi lebih defensif, yakni melalui lembaga-lembaga pendidikan. Di sisi lain, munculnya nuansa baru dari kaum Paderi tersebut berbarengan dengan maraknya fenomena perubahan sosial lainnya yang ditunjukkan lewat gejolak merantau penduduk pendalaman ke wilayah pesisir Minangkabau atau ke wilayah-wilayah lainnya.

Perkembangan Islam modern di Minangkabau tidak berlangsung secara cepat dan masif. Di beberapa segi pemikiran, pandangan ini kerap

219 Norma Yanni Hasibuan, “Sejarah Migrasi Etnik Mandailing ke Kisaran Kabupaten Asahan” , tesis belum diterbitkan (Medan: Universitas Negeri Medan, 2014) Tanpa halaman.

156

menimbulkan kersahan tersendiri di kalangan para ulama Minangkabau, khususnya mereka yang berasal dari kelompok tradisional. Salah satu episode pertentangan pemikiran kaum pembaharu dengan golongan tradisional terjadi pada kasus ketidaksepahaman Haji Abdul Karim Amrullah terhadap paham dan pengamalan tarekat Naqshabandiyah.

Haji Abdul Karim Amrullah menilai terdapat beberapa ekspresi peribadatan yang salah dalam ritual tarekat Naqshabandiyah. Kritiknya ini begitu keras disuarakan. Suara keras ini menjadi salah satu wujud pemberontakan Haji Abdul Karim Amrullah terhadap kesalahan-kesalahan yang sudah mengendap di ruang publik Minangkabau selama berabad-abad. Ia tidak lagi menimbang kedudukan ayahnya yang termasuk dalam kelompok pengamal tarekat ini. Perbedaan cara pandang antara ayah dan anak tersebut tidak sampai membawa pertentangan dalam skala luas. Sebaliknya, sang ayah merasa bangga terhadap anaknya karena berhasil merumuskan kritik yang disertai dengan alasan yang logis dan dapat dipertanggungjawabkan. Wujud pertanggungjawaban Haji Abdul Karim Amrullah disuarakannya melalui dua kitab yang ditulisnya mengenai pembantahan terhadap tarekat Naqshabandiyah yakni: Izhaar Asaathir al- Mulhidin fi Tasyabbuhihim bi al-Muhtadin (terbit 1908), dan Qathi’u Riqab al-Mulhidin fi Aqaid al-Mufsidin (terbit 1914).220

Islam modernis yang embrionya berasal dari pemahaman kaum Paderi begitu mengakar di Minangkabau. Paham ini pada perkembangannya tidak hanya menyentuh aspek pendidikan, melainkan aspek kebudayaan Minangkabau. Salah satu yang dapat diperhatikan adalah adanya variasi pandangan tentang harato pusako (harta pusaka). Sebelum berseminya

220 Zulmuqim, “Transformation of the Minangkabau Isamic Education: The Study of Educational thought of Abdul Karim Amrullah, Abdullah Ahmad and Rahmah El- Yunusiyah”, dalam Al-Ta’lim Journal, Vol. 22, No. 2, Juli 2015, hlm. 157.

157

paham Paderi, jamak dimengerti bahwa kepemilikan harato pusako ada di tangan keluarga garis ibu (matrilineal), namun seiring dengan terbukanya wawasan masyarakat oleh ajaran paderi, memunculkan persepsi lain bahwa keluarga ayah (patrilineal) juga berkesempatan memiliki harato pusako, karena hal tersebut sesuai dengan yang digariskan oleh aturan agama Islam yakni keluarga laki-laki baik ayah, anak maupun kakek juga berhak mendapat bagian dari suatu warisan.221

Safwan Rozi mengatakan bahwa dampak dari akhir perang Paderi terlihat dari adanya negoisasi antara doktrin agama dengan adat Minangkabau yang sudah dianggap sebagai pola perilaku ideal. Adat mengalami kodifikasi, di sisi lain, agama sebagai suatu sistem keyakinan dan kepercayaan diperkuat. Meskipun gerakan Paderi tidak berhasil merubah struktur sosial, kultural dan politik di Minangkabau, bahkan tidak mampu menciptakan solusi atas terjadinya konflik antara agama dan adat, namun perkembangan lain dapat diikuti, yakni mengenai semakin lebarnya ruang penetrasi ajaran agama dalam sistem kemasyarakatan orang Minangkabau.222

Kedudukan harato pusako yang condong di tangan keluarga ibu sebenarnya tidak tepat jika disederhanakan bahwa “perempuan lebih kuat di banding laki-laki”. Seorang anak yang lahir dari rahim seorang ibu Minangkabau maka dirinya sudah mendapatkan bekal penghidupan dari keluarga si ibu. Sedangkan dari ayah orang Minangkabau, ia mendapatkan perlindungan selain juga penghidupan dari penghasilan ayah dan ibunya. Perlindungan yang lebih besar juga ditunjukkan oleh keluarga dari garis ibu, seperti dari pamannya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa anak

221 Silvia Rosa, “Struktur, Makna dan Fungsi Pidato Adat dalam Tradisi Malewakan Gala di Minangkabau”, disertasi belum diterbitkan (Universitas Gadjah Mada, 2014) hlm. 500. 222 Safwan Rozi, “Negoisasi Islam Kultur dalam Gerakan Paderi Rao di Sumatera Tengah (1820-1833)”, dalam Kalam, Vol. 6, No. 1, Juni 2012, hlm. 87-88.

158

seorang Minangkabau telah lahir dalam kondisi tercukupi penghidupannya, sehingga kelak jika ia menginginkan sesuatu, orang tuanya tidak perlu bersusah payah lagi dalam mewujudkannya.223

Harato pusako mencakup harta yang berbentuk tanah dan bukan tanah. Tanah yang dimaksud adalah mencakup sebidang tanah, apa yang tumbuh di atasnya, apa yang terkandung di dalamnya dan apa yang terdapat di atasnya. Sedangkan yang dimaksud dengan harta bukan tanah adalah harta yang tidak bergerak seperti rumah, bangunan tempat usaha keluarga dan harta yang bergerak seperti pakaian, keris, penghulu serta adat gelar kebesaran.

Tanah menduduki tempat yang tinggi dalam harato pusako. Bagi masyarakat Minangkabau tanah merupakan salah satu simbol unsur institusi adat matrilineal, penentu martabat serta kedudukan seseorang dalam suku, petunjuk status bahwa seseorang adalah penduduk asli atau tidak asli yang merupakan latar belakang menentukan pewarisan hak-hak kebesaran negeri.224

Adat di Minangkabau tidak begitu saja lekang atau musnah paska perang Paderi. Pemikiran-pemikiran para ulama Paderi belakangan ikut mewarnai gempita keagamaan di tanah Minangkabau. Dari merekalah bibit- bibit modernisme Islam dikembangkan melalui sekolah-sekolah agama yang bentuknya baru dan mempunyai perbedaan dengan tradisi pengajaran Islam di masa sebelumnya, seperti tercermin dalam perubahan fungsi surau sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

223 Kustiniyati Mochtar, “Cuplikan Riwayat Hidup Agus Salim Si Manusia Bebas”, dalam Panitia Buku Peringatan Seratus Tahun Haji Agus Salim, Seratus Tahun Haji Agus Salim (Jakarta: Sinar Harapan, 1996) hlm. 33. 224 Iza Hanifuddin, “Muhammadiyah dan Adat Tanah Ulayat Minangkabau” dalam Juris, Vol. 14, No. 1, Juni 2016, hlm. 13; lihat juga A. M. Datuk Maruhum dkk, Hukum Adat dan Adat Minangkabau Luhak Nan Tiga Laras Nan Dua (Djakarta: Poesaka Aseli, 1954) hlm. 41.

159

Pemikiran Paderi mempunyai arti dalam perkembangan pendidikan Islam Minangkabau berikutnya. Jika saja tidak terjadi revolusi sosial yang dicetuskan oleh kaum Paderi, maka besar kemungkinan tradisi pengajaran Islam akan langsung berhadapan dengan model pendidikan kolonial Belanda. Masyarakat Minangkabau seperti berada di persimpangan jalan, untuk memilih pendidikan Islam yang tradisional atau pendidikan Barat yang diperkenalkan Belanda.

Dengan adanya ulama Paderi berikut pengajian yang dipimpinnya, maka masyarakat Minangkabau mempunyai alternatif untuk menjembatani kekhawatiran mereka dalam menyekolahkan anak-anaknya. Masuk ke pengajian kaum Paderi atau yang gurunya pernah belajar dan terinspirasi dengan ulama Paderi menjadi suatu kebanggaan tersendiri, karena dengan melibatkan anaknya dalam sekolah tersebut, membuktikan bahwa orang tuanya mempunyai harapan besar agar si anak menjadi seorang ulama besar yang mempunyai pengaruh luas di masyarakat, layaknya ditunjukkan oleh para ulama Paderi terdahulu. Perasaan ini tentu tidak ditemukan dalam sekolah-sekolah yang didirikan Belanda seperti Sekolah Raja di Bukittinggi.

160

BAB VI KESIMPULAN

Memasuki abad 19, masyarakat Minangkabau dikejutkan oleh pelbagai peristiwa penting yang mengubah jalur sejarahnya. Kedatangan pengaruh Paderi membawa pembaruan terhadap kehidupan sosio-keagamaan di sana. Kaum Paderi hadir untuk memberantas penyakit-penyakit masyarakat seperti sabung ayam, perjudian dan lain-lain dan mengajak kepada masyarakat untuk bersama membina kehidupan Islam yang lebih baik.

Cara-cara dakwah kaum Paderi bahkan sempat mendapat restu dari Raja Pagaruyung, selaku pemegang otoritas tertinggi di dataran tinggi Minangkabau. Meskipun begitu, metode dakwah yang dilakukan tidak sepenuhnya disetujui oleh kelompok ulama lainnya. Tuanku Koto Tuo merupakan ulama termashur Minangkabau yang sebenarnya mendukung gerakan pembaruan kaum Paderi, namun ia tidak setuju dengan cara-caranya yang keras.

Kaum Paderi menganut model pemikiran agama yang terinspirasi dari paham Wahabi yang ada di Saudi Arabia. Dakwah yang mereka lakukan adalah untuk memurnikan ajaran Islam (purifikasi) dari hal-hal yang tidak diajarkan oleh Al-Quran maupun hadis. Mereka juga melakukan penertiban bagi masyarakat yang masih gemar melakukan perbuatan kriminal seperti

161

menyabung ayam dan perjudian. Untuk membuat jera mereka sampai melakukan tindakan yang keras, yakni dengan memerangi mereka. Mereka juga memusuhi kelompok-kelompok sufi dan tarekat yang sebelumnya telah eksis di Minangkabau, seperti tarekat Syattariyah dan Naqsyabandiyah, yang dianggap tidak sepaham dengan agenda yang mereka lakukan.

Paska perang Paderi, masyarakat Minangkabau dihadapkan pada penataan kehidupan yang baru dan berlainan dengan masa sebelumnya. Menguatnya pengaruh kolonial membawa serta pada pembangunan- pembangunan kota serta perkebunan kopi yang dikelola oleh masyarakat, sedangkan pemasarannya menjadi urusan Belanda. Perkembangan kota-kota juga merangsang para penduduk untuk merantau, guna mendapatkan penghidupan serta pengalaman yang lebih baik.

Merantau sendiri, merupakan tradisi yang sebelumnya sudah hidup di Minangkabau. Namun, sejak berlangsungnya perang Paderi serta menguatnya posisi kolonial, merantau menjadi semakin populer dan seakan menemukan momentumnya. Ketika perang Paderi misalnya, banyak orang yang bergabung ke dalam barisan Paderi. Mereka bukan hanya menuntut ilmu pada ulama Paderi, melainkan juga ikut berperang melawan kolonial.

Minangkabau awal abad ke 20, ditandai dengan munculnya lembaga- lembaga pendidikan Islam modern yang didirikan oleh para ulama yang sebelumnya berasal dari kalangan Paderi. Yang dikatakan sebagai lembaga pendidikan modern adalah model pendidikan yang telah memasukkan unsur- unsur modern di dalam sistem belajar mengajarnya, seperti penggunaan bangku dan meja, papan tulis serta para murid belajar di dalam kelas dan bukan lagi di surau. Beberapa lembaga pendidikan yang menjadi pioner pembaruan adalah Adabiyah yang didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad,

162

Sumatera Thawalib yang dipimpin oleh Haji Rasul, Madras School yang didirikan H. M. Thaib Umar dan lain-lain.

163

Daftar Pustaka

A. Buku

Abdullah, Taufik dkk. ed, Sejarah Umat Islam Indonesia, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1991. ______. peny, Sejarah Sosial Di Daerah Sumatra Barat, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983-1984. ______. dalam “Pengantar” buku Jeffrey Hadler, Sengketa Tiada Putus; Matriarkat, Reformisme Islam dan Kolonialisme di Minangkabau, Jakarta: Freedom Institute, 2010. ______. Hools adn Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927-1933), New York: Cornell University, 1971. Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah, Tangerang: Logos Wacana Ilmu, 1999. Algar, Hamid, Wahhabisme Sebuah Tinjauan Kritis, Jakarta: Democracy Project, 2011. Andoni, Yudhi. “Sekularisme vs Modernisme Islam: Konflik Pemikiran Kaum Cendikiawan Sekular Barat dengan Cendikiawan Muslim di Sumatera Barat 1930-1942”, dalam Analisis Sejarah, Vol. 5, No. I, 2014. Azra, Azyumardi. “Surau di Tengah Krisis: Pesantren dalam Perspektif Masyarakat” dalam Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah, Jakarta: P2M, 1985. ______. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, Jakarta: Kencana, 2007. ______. Surau; Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003. Benda-Beckmann, Franz von. Property in Social Continuity; Continuity and Change in The Maintenance of Property Relationships Through Time in Minangkabau West Sumatra, ‘S-Gravenhage: Martinus Nijhoff Publishers, 1979. Blackwood, Evelyn. Webs of Power; Women, Kin and Community in Sumatran Village, Lanham: Rowman & Littlefield, 2000.

164

Boechari, Sidi Ibrahim. Pengaruh Timbal Balik antara Pendidikan Islam dan Pergerakan Nasional di Minangkabau, Jakarta: Gunung Tiga, tanpa tahun. Bosma, Ulbe dkk. Being “Dutch” in The Indies; A History of Creolisation and Empire 1500 – 1920, Terj. Wendie Shaffer, Athens, USA: Ohio University Press, 2008. Breman, Jan. Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870, Terj. Jugiarie Soegirto, dkk, Jakarta: YOI, 2014. Brockelmann, Carl. History of The Islamic Peoples, London: Routledge & Kegan Paul Limited, 1949. Daya, Burhanuddin. Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam (Kasus Sumatran Thawalib), Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1995. De Jong, P.E. de Josselin. Minangkabau and Negri Sembilan Sosio-Political Structure in Indonesia, ‘S-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1980. Djaja, Tamar, Pusaka Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1965. Djamal, Murni. DR. H. Abdullah Karim Amrullah; Pengaruhnya dalam Gerakan Pembaruan Islam di Minangkabau pada Awal Abad ke – 20, Jakarta: INIS, 2002. Djamaris, Edwar. Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001. Dobbin, Christine. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Padri; Minangkabau 1784-1847, Terj. Lilian D. Tedjasudhana, Depok: Komunitas Bambu, 2008. ______. Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah, Sumatera Tengah (1784-1847), Terj. Lilian D. Tedjasudhana, Jakarta: INIS, 1992. Esposito, John L. Islam dan Politik, Terj. Joesoef Sou’yb, Jakarta: Bulan Bintang, 1990. Etek, Azizah dkk. Koto Gadang Masa Kolonial, Yogyakarta: LKiS, 2007. Goss, Andrew. Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan: Dari Hindia Belanda Sampai Orde Baru, Terj. Agung Sedayu dan Tasha Agrippina, Depok: Komunitas Bambu, 2014. Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press, 2006.

165

Gouda, Frances. Dutch Culture Overseas; Colonial Practice in The Netherlands Indies 1900-1942, Singapore: Equinox Publishing, 2008. Graves, Elizabeth E. Asal-Usul Elite Minangkabau Modern; Respons terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX, Terj. Novi Andri dkk, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007. ______. The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule in The Nineteenth Century, Singapore: Equinox Publishing, 2010. Guritno, Sri, peny. Tambo Minang, Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen P dan K, 1994. Hadler, Jeffrey. Sengketa Tiada Putus; Matriarkat, Reformisme Agama dan Kolonialisme di Minangkabau, Terj. Symasuddin Berlian, Jakarta: Freedom Institute, 2010. Hamka. “Sejarah Perkembangan Pemurnian Ajaran Islam di Indonesia”, teks pidato dalam Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar di Mesir tanggal 21 Januari 1958, Djakarta: Tintamas Djakarta, Tanpa Tahun. ______. Muhammadiyah di Minangkabau, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, tanpa tahun. ______. Dari Perbendaharaan Lama, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982. ______. Ayahku, Jakarta: Penerbit UMMINDA, 1982. Heykel, Bernard dkk. Saudi Arabia in Transition; Insight on Political, Econimic and Religious Change, New York: Cambridge University Press, 2015. Hoeven, A. Pruys van Der. Een woord over Sumatra; In Brieven Verzameld en Uitgegeven: Deel II; Sumatra’s Westkust en Palembang, Rotterdam: H. Nijgh, 1864. Huda, Nor. Islam Nusantara; Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, Yogyakarta: Arruz Media, 2007. Hurgronje, C. Snouck. Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje VIII, Jakarta: INIS, 1993. ______. Perayaan Mekkah, Jakarta: INIS, 1989. Ismuha. Ulama Aceh dalam Perspektip Sejarah, Jakarta: LIPI, 1976. Jamal, Murni dkk, ed. Indonesia dan Haji; Empat Karangan di Bawah Redaksi Dick Douwes dan Nico Kaptein, Jakarta: INIS, 1997.

166

Kartodirdjo, Sartono. ed, Sejarah Perlawanan-Perlawanan Terhadap Kolonialisme, Jakarta: Departemen Pertahanan dan Keamanan, Pusat Sejarah ABRI, 1973. Kato, Tsuyoshi. Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah, Terj. Gusti Asnan dan Akiko Iwata, Jakarta: Balai Pustaka, 2005. Kratz, Ulrich dkk. Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Shagir, Kuala Lumpur: DBP, 2002. Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Bentang, 1995. Lindblad, J. Thomas. Sejarah Ekonomi Modern Indonesia; Berbagai Tantangan Baru, Terj. M. Arif Rohman dkk, Jakarta: LP3ES, 2000. Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya Batas-Batas Pembaratan, Jakarta: Gramedia, 2008. Madjid, M. Dien dkk. Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar, Jakarta: Prenada, 2013. Marsden, William. Sejarah Sumatera, Terj. A.S. Nasution dan Mahyudin Mendam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999. Martamin, Mardjani dkk. Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme di Sumatera Barat, Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983. Maruhum, A. M. Datuk dkk. Hukum Adat dan Adat Minangkabau Luhak Nan Tiga Laras Nan Dua, Djakarta: Poesaka Aseli, 1954. Michiels, A.V. Neerlands Souvereiniteit over de Schoonste en Rijkste Gewesten van Sumatra, Amsterdam: G.J.A. Beijerinck, 1846. Naim, Mochtar. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1984. Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1986. Noer, Deliar. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1980. Nurhasan dkk, Orang Arab Betawi di Jaman Kolonial Belanda Abad Ke-19 (Laporan Penelitian), Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Kemenag RI, 2016. Oostindie, Gert, ed. Dutch Colonialism, Migration and Cultural Heritage; Past and Present, Leiden: KITLV Press, 2008.

167

Panitia Buku Peringatan Seratus Tahun Haji Agus Salim. Seratus Tahun Haji Agus Salim, Jakarta: Sinar Harapan, 1996. Parlindungan, Mangaradja Onggang. Tuanku Rao, Yogyakarta: LKiS, 2007. Parve, H.A. Steijn. “Kaum Padari (Padri) di Padang Darat Pulau Sumatra” dalam Taufik Abdullah, ed, Sejarah Lokal di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996. Raffles, Thomas Stamford. Memoir of The Life and The Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles, Lady Sofia Raffles (ed), Singapore: Oxford University Press: 1991. Razak, Yusron. ed, Sosiologi Sebuah Pengantar, Jakarta: Laboratorium Sosiologi Agama, 2008. Reid, Anthoni. Menuju Sejarah Sumatera; Antara Indonesia dan Dunia, Terj. Masri Maris, Jakarta: YOI, 2011. Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern, Terj. Dharmono Hardjowidjono, Yogyakarta; Gadjah Mada University Press, 1995. Ridwan, Kafrawi. Ensiklopedi Islam, jilid I, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1993. Roem, Mohamad. “Memimpin Adalah Menderita: Kesaksian Haji Agus Salim”, dalam Taufik Abdullah dkk, ed, Manusia dalam Kemelut Sejarah, Jakarta: LP3ES, 1981. Rusli, Marah. Memang Jodoh, Bandung: Mizan, 2014. Safwan, Mardanas. Sejarah Kota Padang, Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen P dan K, 1987. Samad, Duski. Surau Syekh Burhanuddin Ulakan dan Islamisasi di Minangkabau (Laporan Penelitain), Padang: Pusat Penelitian IAIN Imam Bonjol, 2001. Simon, Gottfried. The Progress and Arrest in Sumatra, London: Marshall Brothers Ltd., tanpa tahun. Schrieke, B. J. O. Pergolakan Agama di Sumatra Barat: Sebuah Sumbangan Bibliografi, Terj. Soegarda Poerbakawatja, Jakarta: Bhratara, 1973. Van der Lith, P. A. dkk. Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, Jilid 3, Leiden: Martinus Nijhoff – E. J. Brill, 1896. Yatim, Badri. Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci; Hijaz (Mekah dan Madinah) 1800-1925, Ciputat: Logos, 1999.

168

Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Mahmud Yunus Wadzurriyyah, 2008.

B. Jurnal, Tesis dan Disertasi

Akhiruddin, KM. “Lembaga Pendidikan Islam di Nusantara” dalam Junal Tarbiya, Vol. I, No. 1, 2015. Archer, Raymound L.R. “Muhammadan Mysticism in Sumatra”, dalam Journal of Malayan Branch Royal Asiatic Society (JMBRAS), Vol. XV, Part II, 1938. Francis, E. “Korte Beschrijving van het Nederlandsch Grondgebied ter Westkust Sumatra 1837” dalam Tijdschrift voor Nederlandsch- Indie (TNI) 2 -1, 1839, Handayani, Rizqi. “Syair Fi Kaifiyat Al-Hajj: Perjalanan Haji Sebagai Bentuk Migrasi Orang Minangkabau”, dalam Jumantara Vol. 4, No. I, Tahun 2013. Hanifuddin, Iza. “Muhammadiyah dan Adat Tanah Ulayat Minangkabau” dalam Juris, Vol. 14, No. 1, Juni 2016. Hasibuan, Norma Yanni. “Sejarah Migrasi Etnik Mandailing ke Kisaran Kabupaten Asahan”, tesis belum diterbitkan, Medan: Universitas Negeri Medan, 2014. M, Muhammad Dahlan. “Motivasi Kebangkitan Dunia Islam Abad XIX- XX”, dalam Jurnal Adabiyah, Vol. XV, No. 1, 2015. Maimunah, “Sistem Pendidikan Surau: Karakteristik, Isi dan Literatur Keagamaan”, dalam Ta’dib, Vol. XVII, No. 02, Edisi Desember 2012. Munawwir, Muhammad. “Corak Pemikiran Modern Pendidikan Islam (Studi tentang Ideologi Pendidikan Islam Muhammad Natsir”, dalam Journal of Islamic Education, Vol. I, No. 1, Mei 2016. Musa, Mohd Faizal bin. “Sayyidina Husain dalam Teks Klasik Melayu” dalam Jurnal al-Qurba, 1 (1), 1 – 23, 2010. Nasir, M.H.D. “Peranan Surau Sebagai Lambaga Pendidikan Islam Tradisional di Padang Pariaman Sumatera Barat” dalam Pedagogi, Vol. XII, No. 2, November 2012.

169

Nor, Mhd. “Raja Pagaruyung di Minangkabau dalam Perspektif Sejarah” dalam Analisis Sejarah, Vol. 5, No. I, 2014. Parve, H.A. Steijn. “De Secte der Padariesin de Padangsche Bovenlanden” dalam Indisch Magajizn, 1e Twaalftal, No. 4. Rahman, Hafiz. “’Merantau, An Informal Entrepreneurial Learning Pattern in The Culture of The Minangkabau Tribe in Indonesia” dalam DeReMa Jurnal Manajemen, Vol. 11, No. 1, Mei 2016. Rahman, Rini. “Modernisasi Pendidikan Islam Awal Abad 20 (Studi Kasus di Sumatera Barat)” dalam Humanus, Vol. XIV, No. 2, 2015. Rahmat, Wahyudi. “Penerapan Kaba Minangkabau Sebagai Media Pelestarian Bahasa Amai (Ibu) dan Kesusastraan dalam Pendidikan Literasi di Minangkabau” dalam Jurnal Ipteks Terapan, Vol. 10, No. 4, 2016. Razi, Safwan. “Negoisasi Islam Kultur dalam Gerakan Paderi Rao di Sumatera Tengah (1820-1833) dalam Kalam, Vol. 6, No. 1, Juni 2012. Rosa, Silvia. “Struktur, Makna dan Fungsi Pidato Adat dalam Tradisi Malewakan Gala di Minangkabau”, disertasi belum diterbitkan, Universitas Gadjah Mada, 2014. Sabaruddin, Muhammad. “Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam Masa Awal dan Sebelum Kemerdekaan”, dalam Jurnal Tarbiya, Vol. I, No. 1, 2013. Setiyawan, Agung. “Budaya Lokal dalam Perpektif Agama: Legitimasi Hukum Adat (‘urf) dalam Islam” dalam ESENSIA, Vol. XVIII, No. 2, 2012, Stephens, Julia. “The Phantom Wahhabi: Liberalism and the Mulslimfanatic in mid-Victorian India”, dalam Modern Asian Studies, Vol. 47, No. 1, Januari 2013. Veth, P. J. “De Geschiedenis van Sumatra” dalam De Gids, 10e Jrg, Januarij, 1850. Wells, J. Kathirithamby. “Hulu-Hilir Unity and Conflict: Malay Statecraft in East Sumatra before The Mid-Nineteenth Century”, dalam Archipel, Vol. 45, 1993. Wiktorowicz, Quintan. “A Geneology of Radical Islam” dalam Journal of Studies in Conflict & Terrorism, Vol. 28, no. 2, 2005, hlm. 75.

170

Didunduh dari http://www.tandfonline.com//. Pada Pukul 07.49 WIB, Kamis 11 Agustus 2016. Zakariya, Hafiz. “Islamic Reform in Malaya: The Contribution of Syaikh Tahir Jalaluddin” dalam Intellectual Discourse, Vol. 13, No. 1, 2005. Zulmuqim. “Transformation of the Minangkabau Isamic Education: The Study of Educational thought of Abdul Karim Amrullah, Abdullah Ahmad and Rahmah El-Yunusiyah”, dalam Al-Ta’lim Journal, Vol. 22, No. 2, Juli 2015.

C. Internet http://oman.uinjkt.ac.id/2007/11/kontroversi-kaum-paderi-jika- bukan.html?m=11, http://ejournal.fip.unp.ac.id. http://grepublishing.com/islam-minangkabau-dan-hamka/

171