BAB II. LANDASAN TEORI II.1 Pengertian Folklor Folklore Atau

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

BAB II. LANDASAN TEORI II.1 Pengertian Folklor Folklore Atau BAB II. LANDASAN TEORI II.1 Pengertian Folklor Folklore atau dalam bahasa Indonesia biasa disebut dengan istilah folklor, merupakan cabang ilmu pengetahuan yang mengulas serta membahas mengenai kebudayaan. Folklor terdiri dari dua suku kata yaitu folk dan lore. Dundes menjelaskan (dalam Danandjaja, 1997) folk adalah sekumpulan manusia dengan ciri-ciri fisik, budaya serta sosial yang sama sehingga dapat kenali dari kelompok yang lain. Ciri-ciri pengenalan fisik yang disebutkan dapat berupa bahasa, mata pencaharian, warna kulit, bahasa atau logat, dan kepercayaan. Menurut Wulandari (2017) Pengertian suku adalah suatu kelompok manusia yang dapat mengenali dirinya dengan seksama berdasarkan garis keturunan dari para nenek moyangnya yang dianggap sama dan memiliki ciri khas seperti bangsa, bahasa, perilaku dan agama. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa folk dapat diartikan sebagai sebuah suku atau ras. Sedangkan pengertian dari lore adalah adat ataupun pengetahuan dari nenek moyang yang diwariskan secara turun temurun baik itu secara lisan (verbal), tingkah laku (non verbal) atau melalui bukti- bukti fisik yang ada seperti barang-barang peninggalan dari zaman dulu. Dari penjelasan diatas, folklor dapat diartikan sebagai sekelompok orang (suku) yang mempunyai tradisi yang diakui oleh bersama serta diwariskan ke setiap generasinya. Sehingga suatu folklor akan tetap ada walaupun perkembangan zaman terus berkembang. Menurut Brunvard (Danandjaja, 1997, h.21) folklor dikategorikan menjadi tiga jenis, yakni : • Folklor lisan (verbal folklore) Misal: dongeng, mite, anekdot, legenda, pantun, syair • Folklor sebagian lisan (partly verbal folklore) Misal: Biasanya dalam bentuk permainan • Folklor bukan lisan (non verbal folklore) Misal: pakaian, makanan dan minuman 6 II.1.1 Folklor Lisan Folklor lisan adalah sebuah tradisi yang disampaikan seutuhnya melalui lisan dari generasi ke generasi selanjutnya. Folklor lisan sering disebut juga dengan istilah tradisi lisan. Ciri yang sering ditemukan dalam folklor ini adalah, biasanya seorang pencerita (sumber) akan mengadakan suatu pertemuan langsung dengan pendengarnya, sehingga terjadilah sebuah bentuk pewarisan budaya yang bahkan terkadang diadakan juga pertukaran cerita dalam pertemuan tersebut. Menurut Danandjaja, (1991, h.17-20), foklor lisan atau tradisi lisan memliki beberapa fungsi dalam kehidupan masyarakat, yakni: 1. Mengungkapkan norma-norma yang hidup di masyarakat. Misalnya, dalam masyarakat Sunda terdapat sebuah peribahasa “Aku aku angga” yang berarti seseorang yang mengakui barang milik orang lain sebagai milik pribadi dengan maksud ingin memiliknya sendiri. 2. Sebagai suatu ungkapan kritik atau dapat berupa protes sosial terhadap suatu kondisi kehidupan 3. Ungkapan pendapat masyarakat terhadap pemerintah 4. Mendidik dan mewarisi nilai-nilai, gagasan, ide dari sebuah generasi ke generasi lainnya. Jenis-jenis yang termasuk kedalam foklor lisan yakni: (1) bahasa rakyat (2) ungkapan tradisional (3) peranyaan tradisonal (4) sajak (5) cerita rakyat (6) nyanyian II.1.2 Folklor Sebagian Lisan Foklor sebagian lisan adalah sebuah tradisi yang memiliki perpaduan antara lisan dan unsur isyarat gerak. Isyarat gerak ini memiliki makna hubungan terhadap sesuatu yang bersifat gaib. Misalnya saja, sebuah batu yang dianggap memilki kekuatan kekebalan terhadap mereka yang memakainya. Sehingga foklor sebagian lisan dapat pula dikatakan sebagai adat kebiasaan. Bentuk-bentuk dari Foklor sebagian lisan ini diantaranya: • Kepercayaan rakyat • Permainan rakyat 7 • Adat istiadat • Upacara • Pesta rakyat • Dll II.1.3 Folklor Bukan Lisan Menurut Zaidan (2015) foklor bukan lisan adalah suatu tradisi turun temurun yang menggunakan material ataupun non material sebagai cara dalam pewarisannya. Bentuk-bentuk foklor yang termasuk ke dalam kategori material, yakni: 1. Arsitektur rakyat (bentuk asli rumah daerah ataupun bentuk lumbung padi) 2. Kerajinan tangan rakyat 3. Pakaian dan perhiasan tubuh adat 4. Makanan dan minuman adat 5. Obat-obatan tradisional Sedangkan yang termasuk ke dalam non-material, yakni: 1. Gerak isyarat tradisional 2. Bunyi isyarat sebagai komunikasi II.2 Cerita Rakyat Cerita rakyat termasuk ke dalam foklor lisan. Cerita rakyat merupakan cerita yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, Cerita rakyat termasuk kedalam kategori folklor lisan. Folklor lisan di wariskan melalui mulut ke mulut. Menurut William R. Bascom (dalam Danandjaya, 1984, h.50), cerita rakyat dibagi menjadi tiga yakni mite, legenda dan dongeng. Ciri-ciri cerita rakyat antara lain : • Cerita bersifat anonim, tidak diketahui siapa pembuatnya. • Sering mengalami perubahan, cerita rakyat termasuk ke dalam foklor lisan, dimana cara penyampainnya dilakukan dengan bercerita. Sehingga tak jarang seorang pencerita menambahkan atu mengurangi cerita yang ada di dalamnya. 8 • Dimiliki oleh sekelompok individu (tidak diakui oleh perseorangan). • Disampaikan secara turun temurun • Mengandung nilai-nilai dan norma dalam masyarakat II.3 Mite Mite atau mitos secara etimologi merupakan istilah dari bahasa Yunani mythos yang diartikan secara garis besar berarti sebuah cerita atau suatu hal yang diceritakan oleh seseorang namun makna yang lebih lebar mitos bisa dikatakan sebagai sebuah penyataan, selain itu mitos juga sering dikaitkan dengan mythology dalam bahasa inggris berarti ilmu yang mempelajari tentang mitos ataupun hal yang berkaitan dengan mitos itu sendiri. Mitos biasanya berupa kumpulan ceritayang dikisahkan secara turun temurun pada setiap generasi di suatu kebudayaan ataupun bangsa. (Wadiji, 2011, h. 10-11) Menurut Haviland (1997) Pada dasarnya mitos memiliki kepercayaan tentang ketuhanan dikarenakan dapat memberikan rasa kepercayaan padan praktek keagamaan. Biasanya masalah yang terkandung pada mitos merupakan masalah yang penting yang ada pada kehidupan manusia seperti, dari manakah manusia berasal dan semua yang ada pada dunia ini, mengapa manusia harus ada disini dan kemanakah akhir tujuan manusia. Fungsi mitos adalah untuk memberikan penerangan. Mitos memberikan penjelasan dan pemahaman tentang jagat raya, selain itu mitos pun memiliki beberapa fungsi tertentu, diantaranya : 1. Memberikan penyadaran tentang kekuatan alam ghaib Mitos bukanlah tempat untuk menginformasikan kekuatan ghaib namun tentang bagaimana cara kita untuk mempelajari dan berdampingan dengannya. 2. Memberikan jaminan tentang masa kini Mitos memberikan gambaran tentang berbagai peristiwa apa saja yang pernah terjadi dimasa lampau dan memberikan pengetahuan bagi masa kini. 3. Mitos memberikan pengetahuan tentang realita Mitos memberikan penjelasan tentang apa yang terjadi di dunia, asal muasalnya, tetapi tidak seperti ilmu sejarah pada biasanya karena ruang dan 9 waktu pada cerita mitos biasanya sebuah cerita yang dikisahkan untuk memberikan gambaran tentang awalan dan akhiran atau tentang asal muasal serta tujuan sebuah kehidupan. (Fransiskus, 2006, h.45) Fungsi utama mitos bagi sebuah kebudayaan adalah untuk mengangkat, mengungkap, melindungi dan memberikan moralitas serta menuntun manusia menuju ke jalan yang lebih baik . (Roibin, 2007, h.193) Menurut Putra (2012) Mitos bukanlah cerita yang sepele karena mitos dapat mengandung banyak sekali pesan tersirat yang ada didalamnya. Pesan-pesan ini tidak hanya ada dalam sebuah mitos saja melainkan berada pada semua mitos karena semua yang ada didalamnya sangatlah bersinggungan. Dalam hal ini biasanya si pencerita pada dahulu kala lalu nenek moyang kita menerima mitos tersebut hingga akhirnya sampailah pada generasi sekarang. II.3.1 Mitos Dalam Kebudayaan Sunda Budaya adalah hasil dari pola pikir umat manusia. Budaya datang dari cipta rasa dan karsa manusia yang dibuat menjadi sebuah kebiasaan dihidupnya. Karena manusia adalah makhluk sosial maka budaya sangatlah berpengaruh dalam kehidupan bersosialisasi pada manusia. Menurut Haviland (Sundajaya 2008, h.4) menjelaskan bahwa masyarakat merupakan sekumpulan atau sekelompok manusia yang tinggal dan mendiami suatu tempat atau daerah dan memiliki sebuah atau lebih kebudayaan yang sama. Maka dapat disimpulkan bahwa sebuah masyarakat bisa dikatakan masyarakat jika secara utuh memiliki kebudayaan dan pola hidup yang sama. Setelah berbagai macam kebudayaan yang ada dan melekat pada masyarakat pada kurun waktu yang cukup lama maka terbentuklah pola-pola yang menjadi unsur bagi kebudayaan itu sendiri, salah satu bentuk dari hasil pemikiran budaya tersebut adalah folklore atau sering disebut juga folklor. Folklor merupakan salah satu hasil dari pemikiran budaya yang disampaikan menggunakan lisan. Folklor sendiri terbagi menjadi tiga jenis yaitu folklor non-lisan, setengah lisan dan folklor lisan. Folklor lisan sangatlah erat keberadaanya dengan budaya Sunda, hal ini karena 10 tradisi lisan ada terlebih dahulu dibandingkan tradisi tulis pada budaya di tanah Sunda. Budaya masyarakat Sunda terhadap tradisi lisan terbukti dengan berbagai macam karya yang ada pada sejarah Sunda seperti carita pantun, pupuh, pamali, dongeng dan sebagainya. (Widiastuti, 2015) selain beberapa karya peninggalan sejarah tersebut adapun folklor yang menceritakan tentang mitos yang sering diperbincangkan oleh masyarakat Sunda yaitu jurig. II.4 Jurig Berbicara mengenai mitos, bagi masyarakat Indonesia khususnya di daerah Sunda, sangat tidak mungkin untuk menghapuskan keberadaan dari mitos itu sendiri karena di Sunda pun banyak sekali mitos-mitos yang berkembang, salah satunya adalah mitos mengenai hantu atau sering disebut jurig. Hantu atau makhluk halus secara umum merujuk pada kehidupan setelah kematian,
Recommended publications
  • Game Review PAMALI: INDONESIAN FOLKLORE HORROR Storytale Studios, Point-And-Click Horror, ID 2018
    Kathrin Trattner Game Review PAMALI: INDONESIAN FOLKLORE HORROR StoryTale Studios, Point-and-Click Horror, ID 2018 In indie and mainstream popular culture alike, Asian horror has been gaining world- wide recognition for quite some time. The most widely known digital cultural goods are produced in Japan and South Korea. However, as a Google search demon- strates, the global popularity of Indonesian horror narratives has also seen a sharp increase despite their being less broadly disseminated. For example, the number of Indonesian horror titles on Netflix is striking. Interestingly, the majority of those sto- ries draw on and incorporate the country’s rich folk traditions. Thus, tradition in its plural meaning is absolutely key here: with its diverse ethnic groups, languages, and religious traditions, Indonesia is anything but culturally homogenous. This cultural plurality is often depicted in Indonesian horror tales just as they are deeply embed- ded in Indonesian everyday life and its practices. In fact, the remarkable proximity of horror and the seemingly mundane is the basic premise of Pamali, an Indonesian folklore horror game. The first-person point-and-click horror game was (and is still being) developed by StoryTale Studios, a small indie studio based in Bandung, Indo- nesia.1 As Mira Wardhaningsih, co-creator of Pamali, explains in an interview, one of the intentions in creating the game was to introduce international audiences to a distinctively Indonesian approach to horror. As she elaborates: We believe that every culture has a different perception towards horror. […] In Indonesia, it’s not a big, catastrophic, one-time phenomenon that is terrifying; it is something else, something closer.
    [Show full text]
  • Memahami Indonesia Melalui Sastra Buku 7: Indonesia Daiam Centa Rakyat Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia
    e REPUBL ESA Sen Bahan D p ama Kebahasaan Pendu ng Pem _ laJaran Bahasa Indonesia bagl Penutur Asmg BIPA) Memahami Indonesia Melalui Sastra Buku 7: Indonesia daiam Centa Rakyat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Seri Bahan Diplomasi Kebahasaan Pendukung Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) SAHABATKU INDONESIA Memahami Indonesia Melalui Sastra Buku 7: Indonesia dalam Cerita Rakyat Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa 2018 Seri Bahan Diplomasi Kebahasaan Pendukung Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) Sahabatku Indonesia Memahami Indonesia Melalui Sastra Buku 7; Indonesia dalam Cerita Rakyat Pengarah Penyuntmg Dadang Sunendar Eri Setyowati Emma L.M. Nababan Penanggung Jav/ab Emi Emilia Redaksi Andi Maytendri Matutu Penyelia Larasati Deny Setiawan Apip R. Sudradjat Penyusun Naskah Desain dan Ilustrasi Sampul Maman S. Mahayana Evelyn Ghozalli Dewi Mindasari Penelaah Suminto A. Sayuti Ilustrasi Isi Dendy Sugono Noviyanti Wijaya Hak Cipta © 2018 Dilindungi Undang-Undang Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Katalog dalam Terbitan PB 899.218 4 Mahayana, Maman 8. MAH Sahabatku Indonesia: Memahami Indonesia melalui Sastra. Buku 7: s Indonesia dalam Cerita Rakyat/ Maman S. Mahayana; Eri Setyowati,Emma L.M. Nababan (penyunting). Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,2018.7 jil.; 21 cm. ISBN 978-602-437-572-0 (jil.7) KESUSASTRAAN INDONESIA - KEMAMPUAN SASTRA KESUSASTRAAN INDONESIA
    [Show full text]
  • Reappropiation and Contestation of Post-Colonial Space in Rizal
    Proceeding of the 6th International Conference on Arts and Humanities, Vol. 6, 2019, pp. 1-7 Copyright © 2019 TIIKM ISSN 2357 – 2744 online DOI: https://doi.org/10.17501/23572744.2019.6101 Reappropriation and Contestation of Post-Colonial Space in Rizal Mantovani’s Kuntilanak Anton Sutandio Maranatha Christian University, Indonesia Abstract: This paper examines a contemporary Indonesian horror film titled Kuntilanak (2006) in the light of how the film attempts to reappropriate and contest the post-colonial space as an arena of decolonization. The post-colonial space here refers to historical buildings of the Dutch colonial legacy that can be found all over Indonesia, especially Java island. Those unfixed and fluid spaces have been re-appropriated, reconstructed, reproduced, negotiated, neglected, and destroyed during the post-colonial period as ongoing attempts to (re)define national identity. The analysis will focus on a single building that serves as the film set which possesses the characteristic of colonial architecture that represents the former Dutch colonial power. Horror genre is chosen as it is considered the most appropriate genre to talk about the past in the present and how they are related to each other, as allegorized by the old building and the monster in the film. The analysis focuses on several aspects of film studies that include mise-en-scene, the narrative, and the film stars which are later related to the politics of space and post-colonial theory. The findings show that there are intertwined modern and local values that the film offers which lead to hybrid identity. Keywords: post-colonial space, reappropriation, contestation, decolonization Introduction "The past is never dead.
    [Show full text]
  • Bahasa Dalam Ritual Pengobatan Tradisional Kebudayaan Suku Talang Mamak Kecamatan Rengat Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau Kajian : Antropolinguistik
    BAHASA DALAM RITUAL PENGOBATAN TRADISIONAL KEBUDAYAAN SUKU TALANG MAMAK KECAMATAN RENGAT KABUPATEN INDRAGIRI HULU PROVINSI RIAU KAJIAN : ANTROPOLINGUISTIK SKRIPSI RATU ENDAH FITRAH NIM : 150701070 PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019 i UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ii UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ABSTRAK Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau yang dikenal masih sangat melekaty dengan kebudayaan khusus Suku Talang Mamak. Hal itu ditunjukkan dengan masih adanya mantra-mantra yang digunakan dalam kehidupan untuyk tujuan tertentu yang menunjukan bahwa kehidupan meraka masih perpegang pada Tuhan dan alam atas kepercayaan terhadap makhluk gaib. Sesuai dengan judul penelitian ini, masalah yang dikaji dalam penelitian ini meliputi (1) nilai budaya yang terdapat pada mantra pengobatan gtradisonal dalam kebudayaan Suku Talang Mamak (2) makna yang terdapat dalam bahasa mantra pengobatan tradisional pada kebudayaan Suku Talang Mamak. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif kualitatif yang dimaksudkan untuk memperoleh data dengan mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu observasi partisipan, dan wawancara mendalam. Teknik analisis data dimulai dengan mengumpulkan data, melakukan traskripsi diikuti dengan terjemahan bebas, melakukan analisis berdasarkan
    [Show full text]
  • A Hyperreality Study on the Game Pamali: the White Lady (2018) Dessy Dwi Annisa Setyawati*,Trie Hartiti Retnowati, Warid Moga Nugraha
    Advances in Social Science, Education and Humanities Research, volume 552 Proceedings of the 4th International Conference on Arts and Arts Education (ICAAE 2020) A Hyperreality Study on the Game Pamali: The White Lady (2018) Dessy Dwi Annisa Setyawati*,Trie Hartiti Retnowati, Warid Moga Nugraha Faculty of Languages and Arts, Yogyakarta State University, Yogyakarta, Indonesia *Corresponding Author. Email: [email protected] ABSTRACT Due to the current development of technology, video game can actively construct imaginative ideas beyond reality through impressions of signs and images. The media digitalization process supports the simulation process directed toward forms of hyperreality for game aficionados, including the game Pamali: The White Lady (2018), which is a horror simulation game which combines myths and taboos (pamali) in Indonesia. The game is centered around the main character Jaka who experiences various mythical experiences and meets supernatural creatures, including his dead sister who has turned into the ghost kuntilanak when he visits his childhood home to sell it. The combination between myths, taboos, and video game becomes very interesting to study. The current research employs the cultural study method using Jean Bauldrillard’s hyperreality theory. The sign analysis in the game Pamali: The White Lady (2018) challenges the boundaries between reality and nonreality through the Unreal Engine 4 advanced technology, which allows the user to manipulate space, time, and character in the game. The game presents reality in the form of supernatural experience by allowing the user to see and feel the presence of the spirits, which most people may not have access to in reality. Through this game, anyone can experience the horror as real as possible in the hyperreality world.
    [Show full text]
  • Visualisasi Karakter Pocong, Kuntilanak, Dan Tuyul Pada Film Animasi Keluarga Hantu Indonesia
    Vol.7, No.1, September-Desember 2019, pp. 1-11 p-ISSN: 2339-0107, e-ISSN: 2339-0115 http://dx.doi.org/10.30998/jurnaldesain.v7i1.5468 VISUALISASI KARAKTER POCONG, KUNTILANAK, DAN TUYUL PADA FILM ANIMASI KELUARGA HANTU INDONESIA Aji Dwi Saputra1), Edo Galasro Limbong2) Program Studi Desain Komunikasi Visual Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Indraprasta PGRI Jl. Nangka No. 58. Tanjung Barat, Jakarta Selatan. 12530 Abstrak. Hantu merupakan bagian dari sebuah legenda menurut sebagian masyarakat. Dikatakan sebagai legenda karena berbentuk kisah yang dianggap benar-benar terjadi dan pernah dialami seseorang. Fungsi legenda semacam ini adalah untuk meneguhkan kebenaran ”takhayul” atau kepercayaan masyarakat. Contoh legenda ini yaitu adanya kepercayan terhadap hantu, seperti pocong, kuntilanak, dan tuyul. Bagi orang-orang tertentu, hantu justru dianggap sebagai tantangan hidup (memedi) dan bagi sebagian lain hantu justru akan dapat mendatangkan sebuah keuntungan. Bagi yang takut, jangankan meneliti mendengar saja membuat. Walau begitu, cerita dan wujud hantu bisa menjadi daya tarik dalam dunia hiburan, baik dibuat menjadi film bergenre horor, animasi atau bahkan dibuatkan wahana rumah hantu. Hal ini merupakan kelebihan dari objek hantu jika diangkat menjadi sebuah hasil karya. Dalam penelitian ini, metode yang dilakukan untuk melakukan riset ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa studi literatur dari jurnal dan beberapa website resmi. Adapun tujuan dari penulisan ini, peneliti ingin merancang visual karakter pocong, kuntilanak, dan tuyul pada cerita “Keluarga Hantu Indonesia” yang diambil dari penggambaran mitos hantu yang berkembang di masyarakat. Kata Kunci: Hantu, Animasi, Karakter Abstract. Ghosts are part of a legend according to some people. It is said as a legend because it is in the form of a story that is considered truly happened and has been experienced by someone.
    [Show full text]
  • We Choose What to Fear in Indonesian Horror Cinema
    Communicare : Journal of Communication Studies Volume 8 No. 1, June 2019, p 62 - 75 P-ISSN: 2089-5739, E-ISSN: 2502-2091 DOI : https://doi.org/10.37535/101008120215 http://journal.lspr.edu/index.php/communicare We Choose What to Fear in Indonesian Horror Cinema Achmad Ridwan Noer Universitas Indonesia, Jakarta Timur, DKI Jakarta, Indonesia ABSTRACT Horror movies in Indonesian cinemas have seen a recent surge of viewers despite KEYWORDS being associated with exploiting sensualism under the blanket of horror. Meanwhile, horror; the top ten viewed Indonesian horror movies in recent years managed to somewhat movie; acquire the trust of Indonesians to come back to watch more horror movies in their trailer; favourite cinemas. This paper employs the qualitative content analysis method to Indonesia; better grasp what movie trailer elements are employed by the top 10 viewed marketing Indonesian horror movies and see what are the similarities and differences in the elements of horror they present. Ultimately, as the market demands it, a natural selection for the kinds of horrors Indonesians watch is currently on going. Keywords: horror; movie; trailer; indonesia; marketing INTRODUCTION The Indonesian horror movie trailers have been a remarkable tool to seduce the eyes and minds of the population to return to the cinemas. Despite having a rather negative view in the eyes of the usual moviegoers (Downes, 2014), there are ten Indonesian horror movies in 2017 and 2018 which are expected to restore the nation’s thrust in the genre. As a marketing an effective marketing tool, the trailers of these movies played a role to terror millions of people in the theatre.
    [Show full text]
  • Amityville Horror, the 23
    A the shape of an awe-inspiring agency of guilt, Abjection the repressed fi gure of maternal authority ELISABETH BRONFEN returns either as an embodiment of the Holy Mary’s sublime femininity or as a monstrous As an adjective, “abject” qualifi es contemptible body of procreation, out to devour us and actions (such as cowardice), wretched emo- transform us into the site for further grotesque tional states (such as grief or poverty), and self- breeding. By drawing attention to the manner abasing attitudes (such as apologies). Derived in which a cultural fear regarding the uncon- from the Latin past participle of abicere, the trollability of feminine reproduction has con- word has come into use within Gothic studies sistently served as a source of horror, abjection primarily to discuss processes by which some- has proven a particularly resonant term for a thing or someone belonging to the domain of study of Gothic culture. the degrading, miserable, or extremely submis- The abject is not to be thought of as a static sive is cast off. Julia Kristeva’s Powers of Horror concept, pertaining to something monstrous (1982) fi rst introduced abjection as a critical or unclean per se. Instead, it speaks to a thresh- term. Picking up on the anthropological study old situation, both horrifying and fascinating. of initiation rites discussed by Mary Douglas in It involves a tripartite process in the course of her book Purity and Danger (1966), Kristeva which forces that threaten stable identities addresses the acts of separation necessary for come again to be contained. For one, abjection setting up and preserving social identity.
    [Show full text]
  • Cerita Rakyat Malin Kundang Sebagai Sumber Ide
    perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id CERITA RAKYAT MALIN KUNDANG SEBAGAI SUMBER IDE PERANCANGAN TEKSTIL UNTUK HIASAN DINDING PENGANTAR KARYA TUGAS AKHIR Disusun Guna Melengkapi Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana Seni Jurusan Kriya Seni / Tekstil Fakultas Sastra Dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Oleh: RM. Kusuma Bayu Aji C0904032 Kriya seni/tekstil FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011 commit to user i perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id CERITA RAKYAT MALIN KUNDANG SEBAGAI SUMBER IDE PERANCANGAN TEKSTIL UNTUK HIASAN DINDING Disusun oleh RM. KUSUMA BAYU AJI C0904032 Telah disetujui oleh pembimbing Pembimbing Drs. F. Ari Dartono, M.Sn. NIP. 195811201987031002 Mengetahui Ketua Jurusan Kriya Tekstil Dra. Tiwi Bina affanti, M.Sn. NIP. 197610112003122001 commit to user ii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id CERITA RAKYAT MALIN KUNDANG SEBAGAI SUMBER IDE PERANCANGAN TEKSTIL UNTUK HIASAN DINDING Disusun oleh RM. KUSUMA BAYU AJI C0904032 Telah disetujui oleh Tim Penguji Tugas Akhir Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Pada Tanggal …………………......... Jabatan Nama Tanda Tangan Ketua ……………… NIP. Sekretaris ……………… NIP. Penguji I ……………… NIP. Penguji II ……………… NIP. Mengetahui Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Drs. Riyadi Santosa, M.Ed. NIP. 196003281986011001 commit to user iii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PERNYATAAN Nama : RM. Kusuma Bayu Aji NIM : C 0904032 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Tugas Akhir berjudul CERITA RAKYAT MALIN KUNDANG SEBAGAI SUMBER IDE PERANCANGAN TEKSTIL UNTUK HIASAN DINDING adalah benar-benar karya sendiri, bukan plagiat, dan Tugas Akhir ini tidak berisi materi yang ditulis oleh orang lain, kecuali bagian-bagian tertentu yang penulis ambil sebagai acuan dengan mengikuti tata cara dan etika penulisan ilmiah yang lazim.
    [Show full text]
  • 0..* 18+ 3 Doa 3 Cinta (2009) 3 Hari Untuk Selamanya 30 Hari Mencari Cinta 40 Hari Bangkitnya Pocong
    0..* 18+ 3 Doa 3 Cinta (2009) 3 Hari untuk Selamanya 30 Hari Mencari Cinta 40 Hari Bangkitnya Pocong A Ada Apa dengan Bunga Ada Apa dengan Cinta? Ada Cinta Di Hati | 2010 | FTV Ada Hantu di Sekolah Ada Kamu, Aku Ada Affair (2010) Ai Lop Yu Pul Air Terjun Pengantin Akibat Pergaulan Bebas Alangkah Lucunya (negeri ini) Alexandria Anak Setan (2009) Anda Puas Saya Loyo Angker Batu Arisan Arisan Brondong (2010) ASAL TAHU SAJA [Benyamin S Movie] Asmara Dua Diana Asoy Geboy Ayat-ayat Cinta B Babad Tanah Leluhur Badai Pasti Berlalu Bahwa Cinta Itu Ada 2010 Bangkitnya si Mata Malaikat (1988) Bangku Kosong Bangsal 13 Banyu Biru Barbi3 Basah Bebek Belur Belahan Jiwa Belum Cukup Umur (2010) Benci Disko Berbagi Suami Best Friend Betty Bencong Selebor (1978) Bidadari Jakarta (2010) Bintang Kejora (1986) Bukan Cinta Biasa (2009) Bukan Malin Kundang Buruan Cium Gue Butterfly C Ca Bau Kan (2002) Capres (Calo Presiden)(2009) Catatan Akhir Sekolah Catatan Si Boy Chika Cinlok Cin(T)a Cinta 24 Karat Cinta dan Julia Cinta Pertama Cinta Setaman (2008) Cinta Silver Cinta untuk Cinta (2008) Cintaku Forever Cintaku Selamanya Cintapuccino Claudia/Jasmine Coblos Cinta Coklat Stroberi D D'Bijis D'Love 2010 Darah Janda Kolong Wewe Darah Perawan Bulan Madu (2009) Date with Danella (2009) Denias, Seandung di Atas Awan (2006) Detik Terakhir (2005) Dia Bukan Bayiku Doa yang Mengancam Drop Out Dukun Lintah 1981 E Ekspedisi Madewa El Meler Emak Ingin Naik Haji (2010) F Fiksi Film Horor (2007) From Bandung With Love G G30S PKI Gara Gara Bola Gara-Gara High Heels Garasi [2006]
    [Show full text]
  • Trio Hantu Cs: a Comic and Animation Series Adaptations of Indonesian Ghost Stories Upik Sarjiati*1, Ayu Nova Lissandhi2
    Advances in Social Science, Education and Humanities Research, volume 512 Proceedings of the 1st International Conference on Folklore, Language, Education and Exhibition (ICOFLEX 2019) Trio Hantu Cs: A Comic and Animation Series Adaptations of Indonesian Ghost Stories Upik Sarjiati*1, Ayu Nova Lissandhi2 1Research Center for Area Studies, Indonesian Institute of Sciences (P2W-LIPI), Jakarta, Indonesia 2Research Center for Area Studies, Indonesian Institute of Sciences (P2W-LIPI), Jakarta, Indonesia *Corresponding author. Email: [email protected] ABSTRACT Since 2015, the Government of Indonesia through Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) has developed creative economy seriously. Animation is one of the sectors of the creative industries which have developed significantly in Indonesia. Unique characters and interesting narrative are essential element which made animation succeed. Legends, myths, and folklore existed in various ethnic groups in many regions are inspiring creators to produce comics and animation movies. This article aims to analyze how the ghost stories as urban legends are adapted into the comics and animation series “Trio Hantu Cs”, and how the creator reinterpreted the stories. The method used in this research is qualitative research approach. data were collected by interviewing the creator of “Trio Hantu Cs” and, observing the animation series and also the comics. The ghosts are described as the creature who living in the different world to the human world, but they do not interrupt the human life. The animation series which are distributed through YouTube channel and social media successfully attracted many viewers as well as its comics. The research result indicates that the scary ghost stories are adapted into comic and animation movie by reinterpreting the story and the characters and to suit the current modern society.
    [Show full text]
  • 'Sundelbolong' As a Mode of Femininity
    chapter 4 ‘Sundelbolong’ as a Mode of Femininity Analysis of Popular Ghost Movies in Indonesia Maren Wilger Introduction: Hantu Sundelbolong Indonesian folklore is populated by various kind of ghosts or hantu.1 While they used to haunt the living through ghost stories (cerita hantu), in contempo- rary culture they are presented in multifaceted ways on the silver screen to tell modern ghost stories, and part of the discourse of modernization.2 In this chapter, I start with a short description of the nature of ‘Sundel- bolong’, one of the many vengeful female spirits in Indonesian lore, before providing a brief introduction to the political and cinematic background of 1 Hantu: ‘Spirit’, ‘specter’ (Heuken, 2009: 181). In general terms, ‘hantu’ contains more than the European/Western understanding of ‘spirit’ or the German ‘Geist’. The term hantu is also used to describe possession by demons and presents good and evil supernatural beings. It appears to be insufficient to use Western classifications, such as ‘undead’, ‘spirit’ or ‘vam- pire’ for Southeast Asian beings, since the categories of hantu are much more fluid than the Western ones. While an undead entity in the Western hemisphere is statically characterized as being completely apart from the living—as being dead—, cerita hantu contain the idea that those beings can be tamed and transformed back into a living and human form again. Indeed, hantu Sundelbolong can be transformed back into a human when a knife is driven through her neck. It seems like hantu have greater physical potency and effect the living more than Western spirits, the undead or vampires do.
    [Show full text]