Dukungan Iptek Bahan Pangan Pada Pengembangan Tepung Lokal
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
ARTIKEL Dukungan Iptek Bahan Pangan pada Pengembangan Tepung Lokal Oleh: Slamet Budijanto RINGKASAN Jumlah dan pertumbuhan penduduk Indonesia saat ini cukup besar, sehingga tidak bisa mengandalkan pemenuhan kebutuhan sumber karbohidrat hanya pada beras. Kesadaran untuk memanfaatkan komoditas pangan lokal sebagai bahan pangan utama sumber karbohidrat pernah ada, seperti jagung di Madura dan sagu di Maluku. Oleh karena itu, peluang untuk mengeksplorisasi sumber karbohidrat non beras untuk pangan pokok bukan suatu hal yang baru. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dengan mendorong tumbuhnya industri tepung berbahan baku lokal. Beragamnya sumber karbohidrat yang berpeluang untuk dijadikan tepung memerlukan dukungan teknologi yang dapat menghasilkan tepung dengan karakteristik yang ungggul dan dapat diterima oleh masyarakat. I. PENDAHULUAN diharapkan adanya terobosan teknologi yang Keberhasilan swasembada beras pada manjur, seperti Revolusi Hijau dan lainnya, tahun 2008, patut dihargai. Tetapi apakah yang dapat mendongkrak produktifitas padi di cukup realistis jika kita berkeyakinan bahwa Indonesia secara signifikan. hal itu akan terwujud pada tahun ini dan tahun- Dengan pertumbuhan penduduk tahun berikutnya? Asumsi bahwa Indonesia mencapai 2,7 juta jiwa per tahun, jika akan selalu kekurangan beras lebih realistis diasumsikan konsumsi beras per kapita dibandingkan dengan asumsi sebaliknya. penduduk Indonesia di masa akan datang Banyak hal yang melatarbelakangi alasan ini. sama dengan konsumsi per kapita tahun 2004 Pertama, impor sudah menjadi 'kebiasaan' sebesar 136 kg, Indonesia akan membutuhkan bagi Indonesia. Dalam sejarah empat tambahan pasokan beras 360.000 ton setiap dasawarsa terakhir, kita hanya mampu tahunnya. Dengan demikian, sebagai contoh, swasembada beras pada th 1984, 2004 dan pada tahun 2010 Indonesia akan 2008. Impor beras sesungguhnya bukan membutuhkan suplai beras 1,4 juta ton lebih pekerjaan baru bagi Indonesia. Sejak empat banyak dari kebutuhan saat ini. Dengan asumsi dasawarsa yang lalu Indonesia melakukannya pertumbuhan produktivitas padi 2 persen per hampir setiap tahun. Namun. hanya dua kali tahun dan faktor lainnya tetap, pada tahun itu (tahun 1984 dan 2004) swasembada bisa hanya dihasilkan tambahan produksi 800.000 diraih. Kedua, dalam sepuluh tahun terakhir ton lebih besar dari saat ini, sehingga kita akan tidak terdapat peningkatan luas panen padi kekurangan beras sekitar 600.000 ton. yang signifikan. Produktifitas terbesar di P. Akankah kita selalu memecahkan masalah Jawa dan Bali, ekspansi lahan harus bersaing dengan mengimpor beras? Tidak adakah ketat dengan kepentingan industri dan solusi yang lebih bijak dari sekedar menjadi perumahan. Ketiga. pertumbuhan produktivitas negara pengimpor terus menerus? Berbagai padi cukup rendah, kurang dari 2 persen per dalih apapun, kebijakan impor beras adalah tahun dalam 15 tahun terakhir (International pilihan yang tak layak. Mengimpor beras terus Rice Research Institute, 2005). Keempat, sulit menerus adalah ancaman bagi ketahanan Edisi No. 54/XVIIl/April-Juni/2009 PANGAN 55 pangan nasional. Selain memerlukan devisa beras sebagai konsumsi sehari-hari. dalam jumlah besar dan membebani anggaran Ketika beras menjadi anak emas, citra negara, impor beras juga tidak memberikan komoditas pangan lokal lain sebagai komoditas pengaruh positif bagi perekonomian. Selain kelas dua semakin menguat. Sekarang kesan itu, impor beras juga membuat petani khawatir ini semakin diperparah oleh kenyataan bahwa akan menanggung penurunan harga beras masyarakat yang sedang mengalami kesulitan produksi dalam negeri. ekonomi dan tidak mampu membeli beras, Jika impor merupakan pilihan yang tak dengan alasan harga yang lebih murah beralih layak, dan ketika peningkatan produksi beras ke komoditas pangan lain seperti ubi kayu. tak bisa diharapkan lagi, satu-satunya cara Fenomena demikian menyebabkan banyak untuk keluar dari krisis ini adalah menciptakan orang mengambil kesimpulan keliru bahwa aiternatif untuk pemenuhan kebutuhan pangan karena harga komoditas itu lebih murah, pokok nasional. Adakah komoditas yang dapat kualitas (nutrisi)-nya pun lebih rendah mendampingi beras, menuju ketahanan dibandingkan dengan beras. pangan nasional? Kita dapat belajar dari pengalaman Jepang untuk menjawab II. TEPUNG TERIGU BUKAN PILIHAN pertanyaan ini. Tahun 1960-an, konsumsi beras BIJAK per kapita rakyat Jepang dan Indonesia hampir Memilih terigu menjadi aiternatif pangan sama besamya, yaitu sekitar 130 kg. Namun, pokok, ternyata bukan pilihan yang dapat saat ini konsumsi Jepang menurun hingga menyelesaikan masalah, tetapi terbukti setengahnya, sedangkan Indonesia masih menimbulkan masalah baru yang tidak kalah tetap. Sebagai pengganti sebagian konsumsi pelik. Saat ini industri yang berbahan baku beras itu, rakyat Jepang memanfaatkan potensi terigu, baik industri besar maupun industri tanaman pangan lain, terutama umbi-umbian, kecil, serta konsumen rumah tangga yang seperti ubi jalar dan talas. Komoditas yang sudah tergantung terigu makin menjerit, karena dipilih untuk menggantikan beras disesuaikan harga terigu yang terus melambung. Untuk dengan daerah masing-masing. Misalnya di menekan kenaikan tepung terigu, tentu bukan Kagoshima yang cocok untuk budidaya ubi pekerjaan yang mudah, karena tepung terigu jalar, pemerintah mendorong pemanfaatan ubi adalah produk impor, yang ketergantungan jalar melalui banyak cara. Karena dukungan dengan negara pengekspornya cukup besar. penuh pemerintah, Kagoshima sekarang Tetapi mengganti secara serentak tepung dikenai dengan julukan Kerajaan Ubi Jalar terigu tentu juga sangat tidak mungkin, karena karena penelitian, pengembangan, dan berhubungan dengan daya terima pengguna pemanfaatan ubi jalar telah sedemikian meluas tepung terigu selama ini, serta kesiapan produk di sana. Berkembang pula banyak industri penggantinya. Perlu dibuat kebijakan yang pengolahan ubi jalar, seperti industri tepung, mendasar, dengan perencanaan yang matang pasta, dan makanan ringan. dan bertahap, untuk bisa menggantikan tepung Di negeri kita, kesadaran untuk terigu sebagai produk impor dengan tepung memanfaatkan komoditas pangan lokal lokal. Pemerintah harus membuat kebijakan sebagai bahan pangan utama sumber jangka pendek, menengah dan jangka panjang. karbohidrat sesungguhnya pernah Jangka pendek, pemerintah harus bisa membudaya. Dahulu kita mengenai Madura menekan kenaikan harga tepung terigu. dengan jagungnya, atau Maluku dan Papua Pemerintah harus mengeluarkan kebijakan dengan sagunya. Namun, kekhasan ini mulai yang cepat dan harus berpihak kepada memudar terutama sejak beras dijadikan kepentingan masyarakat banyak melalui komoditas politik, sejak beras dicitrakan peningkatan efisiensi distribusi dan pemasaran. sebagai satu-satunya makanan terlayak bagi Pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan rakyat Indonesia, dan sejak bangsa Indonesia yaitu pembebasan bea masuk dan pencabutan dari Sabang sampai Merauke telah menjadikan Standar Nasional Indonesia (SNI) Tepung PANGAN 56 Edisi No. 54/XVIIL'April-Juni/2009 terigu (kebijakan yang kedua akan direvisi lagi, perlu sosialisasi yang gencar di semua aspek. SNI akan diberlakukan lagi mulai April 2008 Kebijakan serupa sebenarnya sudah dimulai dengan beberapa revisi). Hanya sangat sejak pemerintah Orde Lama, yaitu ada istilah disayangkan, keputusan ini terkesan terburu- 'beras tekad', yaitu beras yang dicampur ubi buru, dan kurang melibatkan banyak pihak, jalar, kedelai, dan jagung. Kemudiaan saat sehingga menimbulkan pro-kontra yang cukup pemerintah Orde Baru juga sudah hebat. mengampanyekan program konsumsi pangan Pembebasan bea masuk tepung terigu lokal nonberas. Namun, karena tidak fokus, hingga nol persen hanya akan dinikmati para berbenturan dengan agenda kampanye terigu importir dan industri besar, bukan UKM atau nasional, jadi program ini tidak berkembang konsumen langsung. Selain itu dengan dengan baik. penghapusan bea masuk impor, maka para investor tidak akan tertarik untuk membangun II. POTENSI PANGAN LOKAL industri tepung di Indonesia, lebih baik menjadi Hambatan-hambatan pengembangan importir saja. tepung lokal di atas tergambar nyata, tetapi Pemerintah juga harus bisa mengontrol bukan sesuatu yang tidak mungkin untuk dan menentukan harga tepung terigu, dengan mengembalikan 'kejayaan pangan lokal' menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) tersebut, bahkan harus lebih baik dari kejayaan tepung terigu, sehingga importir tidak masa lalu. Hanya diperlukan perhatian dan seenaknya menetapkan harga tepung terigu. dukungan, serta kerjasama dari semua pihak, Tapi tentunya setelah dilakukan pengkajian, terutama kebijakan pemerintah. Contohlah dimana dengan HET tersebut importir juga Pemerintah Jepang, yang memberikan tidak dirugikan. dukungan dengan berbagai cara, mulai dari Jangka menengah, subtitusi dan bantuan teknologi pascapanen, penyediaan komplementasi tepung terigu dengan tepung bibit berkualitas, pengembangan teknologi lokal. Penggunaan tepung lokal untuk produk- pengolahan pangan, penyediaan infrastruktur produk yang berbahan baku tepung terigu, gudang, penjaminan pasar, sampai promosi dengan persentase penggunaan bertahap, besar-besaran. dari mulai 5% sampai 25%, tergantung Potensi ketersediaan pangan lokal sangat karakteristik produk yang dibuat. Hal ini melimpah. Misalnya umbi-umbian, yang dapat diharapkan dapat mengurangi impor dan harga tumbuh dengan baik di hampir seluruh wilayah terigu. di Indonesia, bahkan dapat ditanam di lantai Jangka panjang, penggunaan tepung hutan sebagai tanaman sela. Biaya investasi lokal, pembatasan