Entikong: Daerah Tanpa Krisis Ekonomi Di Perbatasan Kalimantan Barat--Sarawak1 Oleh Robert Siburian2
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Entikong: Daerah Tanpa Krisis Ekonomi di 1 Perbatasan Kalimantan Barat--Sarawak 2 Oleh Robert Siburian Abstrak Krisis ekonomi yang dialami oleh bangsa Indonesia sejak medio 1997 lalu telah mengakibatkan berbagai dampak terhadap perekonomian Indonesia. Sebagian besar masyarakat Indonesia menanggapi krisis ekonomi secara negatif akibat konsekuensi yang ditimbulkannya. Konsekuensi negatif itu tampak dari indikator-indikator ekonomi, seperti tingkat inflasi yang tinggi, pengangguran yang terus meningkat, angka kemiskinan yang bertambah, tingkat pendapatan per kapita yang anjlok dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat yang terus melemah. Kendati demikian, tidak semua masyarakat dirugikan oleh krisis ekonomi. Sekelompok masyarakat yang berada di Entikong (daerah perbatasan antara Kalimantan Barat <Indonesia> dan Sarawak <Malaysia Timur>) justru diuntungkan dengan adanya krisis. Hal itu memberi penjelasan bahwa krisis ekonomi tidak selalu membawa "bencana" kepada seluruh lapisan masyarakat, karena penerimaan negatif secara makro ada kemungkinan berbeda jika penerimaan krisis ekonomi itu dilihat secara wilayah dan sektoral. Kalau krisis ekonomi seandainya tidak terjadi, masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan justru kurang bergairah untuk melakukan aktivitas ekonominya.Oleh karena itu, tulisan ini mengkaji tentang aktivitas ekonomi masyarakat Entikong yang tidak mengalami dampak negatif dengan adanya krisis ekonomi. 1. Pengantar Krisis ekonomi yang dialami oleh bangsa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 menorehkan berbagai catatan dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Catatan yang tidak mungkin dilupakan oleh seluruh lapisan masyarakat adalah runtuhnya pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan mantan Presiden Soeharto setelah tidak tergoyahkan selama 32 tahun berkuasa. Semasa pemerintahannya, Indonesia berhasil mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi. Misalnya, pada awal Soeharto memerintah (1969) sampai tahun 1994, pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat rata-rata 6,8 persen setahun (Booth; 2001: 192). Bahkan di tahun 1995, angka pendapatan per kapita Indonesia mendekati US$ 1.000 (Borsuk; 2001: 240). Berdasarkan prestasi itu, beliau mendapatkan pujian dari elite pembangunan internasional, dan oleh masyarakat Indonesia, beliau dianugrahi penghargaan sebagai "Bapak Pembangunan". Sayangnya, pertumbuhan ekonomi 1 Makalah ini disampaikan pada Simposium Jurnal Antropologi yang diselenggarakan oleh Jurusan Antropologi FISIP-UI dan Universitas Andalas di Padang, 18 - 21 Juli 2001. 2 Penulis adalah Peneliti pada Puslitbang Kemasyarakatan dan Kebudayaan-LIPI, Jakarta. 1 tersebut ternyata dibangun melalui penimbunan hutang luar negeri yang mengakibatkan rapuhnya pondasi bangunan ekonomi tersebut. Krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia ini telah mengakibatkan berbagai konsekuensi, antara lain; 1) laju inflasi yang tidak terkendali mencapai 77,13 persen pada tahun 1998; 2) banyaknya pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja secara paksa akibat tidak beroperasinya berbagai industri dan terbengkalainya pembangunan gedung- gedung, jalan, dll; 3) meningkatnya jumlah pengangguran3 dan angka kemiskinan; dan 4) merosotnya nilai rupiah yang sangat signifikan terhadap dollar yang diikuti oleh turunnya pendapatan per kapita ke tingkat 436 dollar Amerika Serikat, dan saat itu pertumbuhan ekonomi Indonesia terkontraksi menjadi minus 13,00 persen. Konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh krisis ekonomi tersebut merupakan bencana bagi perekonomian nasional dan juga bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Akan tetapi, penilaian sebagian besar masyarakat Indonesia yang menghendaki agar krisis ekonomi cepat berakhir bertolak belakang dengan keinginan masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan, khususnya mereka yang tinggal di Entikong,4 Kalimantan Barat. Bagi mereka ini, krisis ekonomi justru menjadi "berkah" yang dapat membuat tingkat kesejahteraannya terangkat. Sehubungan dengan itu, tulisan ini mengkaji tentang pengaruh krisis ekonomi terhadap masyarakat di daerah perbatasan yang dibagi dalam empat bagian. Pertama, sebelum masuk pada pokok tulisan, terlebih dahulu diuraikan secara sederhana tentang pengertian krisis ekonomi dan juga akibat-akibat yang ditimbulkannya. Kedua, penjelasan tentang kegiatan-kegiatan ekonomi yang secara nyata memperoleh "berkah" dari krisis ekonomi. Ketiga, penjelasan tentang kegiatan ekonomi yang diuntungkan oleh terjadinya krisis, oleh karena itu, dalam tulisan ini hanya digolongkan atas tiga kegiatan ekonomi saja. Keempat atau terkahir, penjelasan tentang makna krisis bagi masyarakat perbatasan. 3 Menurut perkiraan International Labour Organization (ILO), sekitar 5,4 juta orang karena pemberhentian pekerja secara paksa terjadi hampir di semua sektor ekonomi kecuali sektor pertanian dan pertambangan (Tambunan 1998: 27) 2 2. Pengertian Krisis Ekonomi "… a serious breakdown in the process of economic growth in capitalism. Crisis is a phenomenon solely connected with the capitalist economies and does not occur in other socio-economic system…" Definisi krisis di atas dikutip oleh Hettne (1992: 12) dari Gortan Ash. Fenomena krisis ekonomi itu tampak dari keadaan ekonomi nasional yang mengalami kemunduran dilihat dari perolehan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Untuk kasus Indonesia, minimal ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya kemunduran PDRB. Pertama, faktor- faktor produksi--terutama bahan baku--yang digunakan untuk menggerakkan perekonomian Indonesia lebih banyak didatangkan dari luar (impor), yang pengadaannya membutuhkan dollar AS dalam jumlah tertentu. Akibat persediaan dan permintaan terhadap dollar yang tidak seimbang itu mendorong harga dollar tinggi. Ketika dollar tinggi, banyak perusahaan yang tidak sanggup membelinya. Kenyataan itu memaksa banyak di antara usaha yang dikelola oleh masyarakat mengurangi produksi atau bahkan menutup usahanya. Kedua, ketersediaan cadangan dollar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia relatif sedikit untuk meng-cover seluruh permintaan dollar. Keterbatasan itu mengakibatkan cadangan devisa (dollar) yang ada tidak mampu meng-cover seluruh permintaan, karena dollar di samping dibutuhkan untuk impor, pada saat yang sama hutang luar negeri Indonesia juga jatuh tempo, sehingga harus segera dikembalikan beserta bunga pinjamannya. Ketika cadangan devisa yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia terbatas, sumber-sumber penambahan devisa khususnya yang berasal dari kegiatan ekspor sedang tertutup atau pun tersendat. Hal itu terjadi karena proses produksi dari berbagai industri tidak berjalan optimal akibat produksi yang sudah berkurang atau pun terhenti sama sekali. Krisis ekonomi yang hingga kini melanda bangsa Indonesia merupakan pengaruh krisis yang dialami oleh negara Thailand.5 Pada tahun 1997, nilai mata uang bath Thailand 4 Jarak Entikong ke Kota Pontianak--Ibukota Propinsi Kalimantan Barat lebih kurang 300 kilometer. 5 Pada tanggal 14-15 Mei 1997 terjadi aksi "beli" dollar secara besar-besaran yang dilakukan oleh para spekulan. Mata uang yang digunakan untuk membeli dollar AS itu adalah bath Thailand. Aksi itu terjadi oleh karena lambatnya pertumbuhan ekonomi dan ketidakstabilan politik. Tekanan spekulan melalui aksi beli ini menjebol cadangan bank sentral Thailand telah melakukan beberapa kali intervensi, sehingga sebulan kemudian bank sentral mengumumkan bahwa nilai tukar bath diserahkan kepada mekanisme pasar (Tambunan 1998: 11). 3 terus menunjukkan kemerosotan terhadap mata uang dollar Amerika Serikat. Sebagai salah satu negara yang ikut dalam permainan ekonomi global dan letak negara Thailand yang berdekatan dengan Indonesia, maka krisis ekonomi Thailand sangat berdampak terhadap perekonomian Indonesia. Ternyata, apa yang dialami oleh negara Indonesia tidak berhenti pada krisis ekonomi itu saja. Di antara negara-negara Asia yang mengalami krisis, Indonesia merupakan negara yang terlama mengalami krisis. Sebab, krisis ekonomi itu kemudian menyeret ke krisis-krisis lain menjadi multikrisis; krisis politik, hukum, kepemimpinan dan kepercayaan. Multikrisis yang sedang terjadi itu merupakan penyebab jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto setelah lebih dari tiga dekade berkuasa, dan membawa Indonesia berada di tepi kehancuran. Krisis ekonomi yang dialami oleh Indonesia, yang merupakan rembesan krisis ekonomi dari Thailand, menurut Dornbusch dikutip oleh Adi (1999: 25), melalui dua kemungkinan, yaitu transaksi modal dan transaksi pasar barang ekspor-impor. Hal itu dimungkinkan karena Indonesia termasuk negara yang menganut paham devisa bebas, di mana nilai kurs terhadap mata uang asing sangat ditentukan oleh permintaan pasar. Dengan adanya paham seperti itu, Indonesia sebagai bagian dari ekonomi global ditambah letak geografis yang berdekatan dengan Thailand, maka pengaruhnya secara otomatis mengimbas Indonesia. Sebenarnya, pengaruh krisis ekonomi yang dialami oleh Thailand juga dialami oleh negara-negara Asia lainnya, tetapi tingkat keparahannya berbeda antara satu negara dengan negara lain. Ketika Thailand mengalami krisis, pemerintah Indonesia sangat yakin akan kekuatan fundamental ekonomi yang dimilikinya. Keyakinan itu pun memperoleh dukungan dari para pengamat ekonomi, berpijak pada tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pernah dicapai. Pada akhir dekade sebelum terjadinya krisis, pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu berada di atas 7 persen dan dukungan nilai ekspor yang terus meningkat. Ternyata, analisa pemerintah dan sebagian para pengamat itu adalah keliru. Tekanan demi tekanan yang membuat nilai rupiah