Entikong: Daerah Tanpa Krisis Ekonomi Di Perbatasan Kalimantan Barat--Sarawak1 Oleh Robert Siburian2

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Entikong: Daerah Tanpa Krisis Ekonomi Di Perbatasan Kalimantan Barat--Sarawak1 Oleh Robert Siburian2 Entikong: Daerah Tanpa Krisis Ekonomi di 1 Perbatasan Kalimantan Barat--Sarawak 2 Oleh Robert Siburian Abstrak Krisis ekonomi yang dialami oleh bangsa Indonesia sejak medio 1997 lalu telah mengakibatkan berbagai dampak terhadap perekonomian Indonesia. Sebagian besar masyarakat Indonesia menanggapi krisis ekonomi secara negatif akibat konsekuensi yang ditimbulkannya. Konsekuensi negatif itu tampak dari indikator-indikator ekonomi, seperti tingkat inflasi yang tinggi, pengangguran yang terus meningkat, angka kemiskinan yang bertambah, tingkat pendapatan per kapita yang anjlok dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat yang terus melemah. Kendati demikian, tidak semua masyarakat dirugikan oleh krisis ekonomi. Sekelompok masyarakat yang berada di Entikong (daerah perbatasan antara Kalimantan Barat <Indonesia> dan Sarawak <Malaysia Timur>) justru diuntungkan dengan adanya krisis. Hal itu memberi penjelasan bahwa krisis ekonomi tidak selalu membawa "bencana" kepada seluruh lapisan masyarakat, karena penerimaan negatif secara makro ada kemungkinan berbeda jika penerimaan krisis ekonomi itu dilihat secara wilayah dan sektoral. Kalau krisis ekonomi seandainya tidak terjadi, masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan justru kurang bergairah untuk melakukan aktivitas ekonominya.Oleh karena itu, tulisan ini mengkaji tentang aktivitas ekonomi masyarakat Entikong yang tidak mengalami dampak negatif dengan adanya krisis ekonomi. 1. Pengantar Krisis ekonomi yang dialami oleh bangsa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 menorehkan berbagai catatan dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Catatan yang tidak mungkin dilupakan oleh seluruh lapisan masyarakat adalah runtuhnya pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan mantan Presiden Soeharto setelah tidak tergoyahkan selama 32 tahun berkuasa. Semasa pemerintahannya, Indonesia berhasil mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi. Misalnya, pada awal Soeharto memerintah (1969) sampai tahun 1994, pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat rata-rata 6,8 persen setahun (Booth; 2001: 192). Bahkan di tahun 1995, angka pendapatan per kapita Indonesia mendekati US$ 1.000 (Borsuk; 2001: 240). Berdasarkan prestasi itu, beliau mendapatkan pujian dari elite pembangunan internasional, dan oleh masyarakat Indonesia, beliau dianugrahi penghargaan sebagai "Bapak Pembangunan". Sayangnya, pertumbuhan ekonomi 1 Makalah ini disampaikan pada Simposium Jurnal Antropologi yang diselenggarakan oleh Jurusan Antropologi FISIP-UI dan Universitas Andalas di Padang, 18 - 21 Juli 2001. 2 Penulis adalah Peneliti pada Puslitbang Kemasyarakatan dan Kebudayaan-LIPI, Jakarta. 1 tersebut ternyata dibangun melalui penimbunan hutang luar negeri yang mengakibatkan rapuhnya pondasi bangunan ekonomi tersebut. Krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia ini telah mengakibatkan berbagai konsekuensi, antara lain; 1) laju inflasi yang tidak terkendali mencapai 77,13 persen pada tahun 1998; 2) banyaknya pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja secara paksa akibat tidak beroperasinya berbagai industri dan terbengkalainya pembangunan gedung- gedung, jalan, dll; 3) meningkatnya jumlah pengangguran3 dan angka kemiskinan; dan 4) merosotnya nilai rupiah yang sangat signifikan terhadap dollar yang diikuti oleh turunnya pendapatan per kapita ke tingkat 436 dollar Amerika Serikat, dan saat itu pertumbuhan ekonomi Indonesia terkontraksi menjadi minus 13,00 persen. Konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh krisis ekonomi tersebut merupakan bencana bagi perekonomian nasional dan juga bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Akan tetapi, penilaian sebagian besar masyarakat Indonesia yang menghendaki agar krisis ekonomi cepat berakhir bertolak belakang dengan keinginan masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan, khususnya mereka yang tinggal di Entikong,4 Kalimantan Barat. Bagi mereka ini, krisis ekonomi justru menjadi "berkah" yang dapat membuat tingkat kesejahteraannya terangkat. Sehubungan dengan itu, tulisan ini mengkaji tentang pengaruh krisis ekonomi terhadap masyarakat di daerah perbatasan yang dibagi dalam empat bagian. Pertama, sebelum masuk pada pokok tulisan, terlebih dahulu diuraikan secara sederhana tentang pengertian krisis ekonomi dan juga akibat-akibat yang ditimbulkannya. Kedua, penjelasan tentang kegiatan-kegiatan ekonomi yang secara nyata memperoleh "berkah" dari krisis ekonomi. Ketiga, penjelasan tentang kegiatan ekonomi yang diuntungkan oleh terjadinya krisis, oleh karena itu, dalam tulisan ini hanya digolongkan atas tiga kegiatan ekonomi saja. Keempat atau terkahir, penjelasan tentang makna krisis bagi masyarakat perbatasan. 3 Menurut perkiraan International Labour Organization (ILO), sekitar 5,4 juta orang karena pemberhentian pekerja secara paksa terjadi hampir di semua sektor ekonomi kecuali sektor pertanian dan pertambangan (Tambunan 1998: 27) 2 2. Pengertian Krisis Ekonomi "… a serious breakdown in the process of economic growth in capitalism. Crisis is a phenomenon solely connected with the capitalist economies and does not occur in other socio-economic system…" Definisi krisis di atas dikutip oleh Hettne (1992: 12) dari Gortan Ash. Fenomena krisis ekonomi itu tampak dari keadaan ekonomi nasional yang mengalami kemunduran dilihat dari perolehan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Untuk kasus Indonesia, minimal ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya kemunduran PDRB. Pertama, faktor- faktor produksi--terutama bahan baku--yang digunakan untuk menggerakkan perekonomian Indonesia lebih banyak didatangkan dari luar (impor), yang pengadaannya membutuhkan dollar AS dalam jumlah tertentu. Akibat persediaan dan permintaan terhadap dollar yang tidak seimbang itu mendorong harga dollar tinggi. Ketika dollar tinggi, banyak perusahaan yang tidak sanggup membelinya. Kenyataan itu memaksa banyak di antara usaha yang dikelola oleh masyarakat mengurangi produksi atau bahkan menutup usahanya. Kedua, ketersediaan cadangan dollar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia relatif sedikit untuk meng-cover seluruh permintaan dollar. Keterbatasan itu mengakibatkan cadangan devisa (dollar) yang ada tidak mampu meng-cover seluruh permintaan, karena dollar di samping dibutuhkan untuk impor, pada saat yang sama hutang luar negeri Indonesia juga jatuh tempo, sehingga harus segera dikembalikan beserta bunga pinjamannya. Ketika cadangan devisa yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia terbatas, sumber-sumber penambahan devisa khususnya yang berasal dari kegiatan ekspor sedang tertutup atau pun tersendat. Hal itu terjadi karena proses produksi dari berbagai industri tidak berjalan optimal akibat produksi yang sudah berkurang atau pun terhenti sama sekali. Krisis ekonomi yang hingga kini melanda bangsa Indonesia merupakan pengaruh krisis yang dialami oleh negara Thailand.5 Pada tahun 1997, nilai mata uang bath Thailand 4 Jarak Entikong ke Kota Pontianak--Ibukota Propinsi Kalimantan Barat lebih kurang 300 kilometer. 5 Pada tanggal 14-15 Mei 1997 terjadi aksi "beli" dollar secara besar-besaran yang dilakukan oleh para spekulan. Mata uang yang digunakan untuk membeli dollar AS itu adalah bath Thailand. Aksi itu terjadi oleh karena lambatnya pertumbuhan ekonomi dan ketidakstabilan politik. Tekanan spekulan melalui aksi beli ini menjebol cadangan bank sentral Thailand telah melakukan beberapa kali intervensi, sehingga sebulan kemudian bank sentral mengumumkan bahwa nilai tukar bath diserahkan kepada mekanisme pasar (Tambunan 1998: 11). 3 terus menunjukkan kemerosotan terhadap mata uang dollar Amerika Serikat. Sebagai salah satu negara yang ikut dalam permainan ekonomi global dan letak negara Thailand yang berdekatan dengan Indonesia, maka krisis ekonomi Thailand sangat berdampak terhadap perekonomian Indonesia. Ternyata, apa yang dialami oleh negara Indonesia tidak berhenti pada krisis ekonomi itu saja. Di antara negara-negara Asia yang mengalami krisis, Indonesia merupakan negara yang terlama mengalami krisis. Sebab, krisis ekonomi itu kemudian menyeret ke krisis-krisis lain menjadi multikrisis; krisis politik, hukum, kepemimpinan dan kepercayaan. Multikrisis yang sedang terjadi itu merupakan penyebab jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto setelah lebih dari tiga dekade berkuasa, dan membawa Indonesia berada di tepi kehancuran. Krisis ekonomi yang dialami oleh Indonesia, yang merupakan rembesan krisis ekonomi dari Thailand, menurut Dornbusch dikutip oleh Adi (1999: 25), melalui dua kemungkinan, yaitu transaksi modal dan transaksi pasar barang ekspor-impor. Hal itu dimungkinkan karena Indonesia termasuk negara yang menganut paham devisa bebas, di mana nilai kurs terhadap mata uang asing sangat ditentukan oleh permintaan pasar. Dengan adanya paham seperti itu, Indonesia sebagai bagian dari ekonomi global ditambah letak geografis yang berdekatan dengan Thailand, maka pengaruhnya secara otomatis mengimbas Indonesia. Sebenarnya, pengaruh krisis ekonomi yang dialami oleh Thailand juga dialami oleh negara-negara Asia lainnya, tetapi tingkat keparahannya berbeda antara satu negara dengan negara lain. Ketika Thailand mengalami krisis, pemerintah Indonesia sangat yakin akan kekuatan fundamental ekonomi yang dimilikinya. Keyakinan itu pun memperoleh dukungan dari para pengamat ekonomi, berpijak pada tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pernah dicapai. Pada akhir dekade sebelum terjadinya krisis, pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu berada di atas 7 persen dan dukungan nilai ekspor yang terus meningkat. Ternyata, analisa pemerintah dan sebagian para pengamat itu adalah keliru. Tekanan demi tekanan yang membuat nilai rupiah
Recommended publications
  • Pemerintah Indonesia Belum Mampu Mewujudkan Implementasi
    EKSISTENSI LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK RADIO REPUBLIK INDONESIA ENTIKONG DALAM UPAYA MENINGKATKAN WAWASAN KEBANGSAAN MASYARAKAT PERBATASAN ENTIKONG KALIMANTAN BARAT DAN WARGA INDONESIA DI TEBEDU MALAYSIA Marti 1, Netty Herawati 2, Elyta 3 Program Studi Ilmu Politik Magister Ilmu Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura Pontianak ABSTRAK Pemerintah Indonesia belum mampu mewujudkan implementasi penguatan penyiaran yang signifikan di wilayah perbatasan Entikong Kabupaten Sanggau, yang merupakan salah satu dari 5 wilayah perbatasan yang ada di Kalimantan Barat. Berbagai alasan dan sebab mengapa wilayah perbatasan ini sangat tertinggal dibandingkan dengan daerah lain, satu diantaranya adalah karena wilayah perbatasan negara hanya dilihat semata- mata sebagai batas wilayah (territory). Dibidang penyiaran Kecamatan Entikong hanya memiliki satu lembaga penyiaran yang beroperasi yakni LPP RRI yang mulai siaran pada tahun 2008, bandingkan dengan Malaysia yang memiliki 13 stasiun penyiaran radio dan 3 stasiun penyiaran televisi. Siaran radio dan televisi Malaysia setiap hari di dengar oleh warga perbatasan Entikong dan warga Indonesia di Tebedu Sarawak dengan jelas selama bertahun-tahun. Sehingga membuat mereka paham dengan nama- nama tokoh pejabat, Perdana Menteri dan perkembangan yang terjadi di negara Malaysia dari pada negara Indonesia disebabkan mereka telah bertahun-tahun hidup dalam dinamika yang penuh “Kemalysiaan”, namun semangat dan wawasan kebangsaan tetap tumbuh dan tidak terkikis zaman. Kata kunci : wawasan kebangsaan, siaran LPP RRI, warga perbatasan. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Kekurang dan keterbelakangan wilayah perbatasan Entikong Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Sarawak Malaysia Timur, lebih terasa karena Negara tetangga telah lebih dulu menyadari pentingnya arti perbatasan. Sehingga mereka membangun infrastruktur dengan sangat baik di wilayah perbatasan termasuk membangun media komunikasi elektronik berupa radio dan televsi.
    [Show full text]
  • National Strength on Construction of International Freight Terminal in Entikong Indonesia
    INTERNATIONAL JOURNAL OF SCIENTIFIC & TECHNOLOGY RESEARCH VOLUME 8, ISSUE 03, MARCH 2019 ISSN 2277-8616 National Strength On Construction Of International Freight Terminal In Entikong Indonesia Elyta, Hasan Almutahar, Zubair Saing Abstract: This study aims to analyze social strength elements in supporting the construction of an international freight terminal in Entikong, Indonesia. Data collection obtained from interviews and literature studies that are relevant to the discussion in this paper. The results of the study are analyzed into two elements of national strength based on Jablonsky‘s theory (2008: 148); (1) the determinants of natural forces include (a) geography that creates opportunities based on proximity to the Malaysian state, (b) natural resources in the border area of Entikong can support potential new development in the industrial sector that supports the construction of international freight terminals; and (2) Determinants of Social Strength among others the economy by opening access to economic sector development along the border area of Entikong and Tebedu Malaysia. Index Terms: National strength, international freight terminal, Entikong. ———————————————————— 1 INTRODUCTION Regions that have national power, both in the land border area Indonesia is the largest archipelagic country in the world and and the sea border area. Besides, the existence of human has direct borders with ten countries, both bordering the land resources that also need to be managed so that border and sea area. The area included as a border area spread to management is fulfilled comprehensively and responsibly. The 12 provinces in Indonesia. There are 38 regencies and cities construction urgency of the border area in Entikong should be located in the land border area that borders other countries a warning to the regional and central government.
    [Show full text]
  • Laporan Akhir
    i LAPORAN AKHIR PEMBANGUNAN PELABUHAN DARATAN (DRY PORT) DI ENTIKONG KALIMANTAN BARAT Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kawasan Asia Pasifik dan Afrika P3K2 ASPASAF Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia ii KATA PENGANTAR Tim Peneliti mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga tim penelitian laporan Penelitian yang berjudul: Rencana Pembangunan Dry Port di Perbatasan Kalimantan Barat-Sarawak. Dalam proses penyelesaian laporan ini tim peneliti banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, Pada kesempatan ini juga, tim peneliti menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat: 1. Dr. Siswo sebagai Kepala BPPK Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. 2. Dr. Arifi Saiman sebagai Kepala P3K2 Aspasaf Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. 3. Pihak-pihak Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia yang turut memberikan partisipasi dalam penelitian ini. 4. Fakultas FISIP Universitas Tanjungpura yang telah memberikan bantuan kepada tim peneliti dalam proses penyusunan laporan Penelitian ini. Tim peneliti menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna dan masih terdapat kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati tim peneliti menghargai setiap kritikan dan saran-saran yang diberikan oleh pembaca demi lebih kesempurnaan hasil penelitian ini. Tim peneliti mengharapkan semoga Allah SWT, dapat membalas budi baik bapak-bapak dan ibu-ibu serta rekan-rekan semua. Pontianak,November 2017 Tim peneliti Dr. Elyta, M.Si Prof. AB. Tangdililing Drs. Sukamto Dr. Herlan Drs. Donatianus BSEP, M.Hum iii EXECUTIVE SUMMARY PEMBANGUNAN PELABUHAN DARATAN (DRY PORT) DI ENTIKONG KALIMANTAN BARAT Pada tahun 2016 telah terjadi perkembangan Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong menjadi Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong.
    [Show full text]
  • Kalimantan Barat, Indonesia - Sarawak, Malaysia “Head to Head”
    Borderlands and Tourism Development in Kalimantan Island: Kalimantan Barat, Indonesia - Sarawak, Malaysia “Head to Head” Syaiful Muazir Department of Architecture, Tanjungpura University, Pontianak, Indonesia [email protected] Horng-Chang Hsieh Department of Urban Planning, National Cheng Kung University, Tainan, Taiwan [email protected] As part of the regions that share lands and boundaries, Sarawak-Malaysia and Kalimantan Barat- Indonesia have respective characteristics in the borderlands treatment. This paper aims to explore and compare the border areas between two nations, ranging from the borderlands profiles, (tourism) development and planning, and their opportunities. Besides, this paper also wants to highlight tourism development as one of the strategies. This paper uses documentary research to seek “text and context” by narratively describing and compiling the documents. From the discussion, it can be seen that both regions have different characteristics of conditions and problems. For tourism development, different approaches are also “colored” with timing, momentum, and priorities; as influenced and supported by the national plans. Tourism in the borderlands is the impetus in which each regions has already been aware of this potential because of the traction of informal flow, accessibility, supply, and demand. Furthermore, we argue that if tourism has exist at the first place, in the future, by its backward linkages, it will encourage more physical and economic development and cooperation between nations. Keywords: borderland, tourism development, Sarawak, Kalimantan Barat 1. INTRODUCTION diplomatic relationship. There is a concept of “blood-brothers” that can be tracked through Indonesia and Malaysia have a long historical ideology, history, commonalities of race, ethnicity, background of bilateral relations, as well as on the and cultural forms.
    [Show full text]
  • Trans Border Cooperation Between Indonesia-Malaysia and Its Implication to the Border Development
    International Journal of Business, Economics and Law, Vol. 1 ISSN 2289-1552 2012 TRANS BORDER COOPERATION BETWEEN INDONESIA-MALAYSIA AND ITS IMPLICATION TO THE BORDER DEVELOPMENT Saru Arifin, SH., LL.M Faculty of Law Semarang State University Kampus Sekaran, Gedung C-4, Sekaran, Gunungpati, Semarang Jawa Tengah-Indonesia 50229 e-mail: [email protected], Tel.+628174119821 ABSTRACT Since 1983 Indonesia-Malaysia has signed a cooperation in the field of social and economic development of the border between the two countries. The form is called socio-economic Malindo (Sosek malindo). This collaborative activities are annually eavaluated by both sides with alternating meeting locations. In every meeting, It is discussed various problems related to the the border development such as cross-border trade, border posts and the other issues related to border infrastructure. This paper aims to describe the positive impact of the cross-border cooperation for the development of border areas from the point of view of Indonesia. In this paper will also discuss an overview of the economic and social co-operation from the point of view of history and the progress that has been achieved. Moreover, it would also discuss about the cooperation on social and economic actors from the perspective of international law. This section will analyze the legal position regarding cooperation actors authority and responsibility from the standpoint of international law. It is intended to get an overview of the implications of the authority and responsibilities of the implementing agencies on the implementation of social and economic cooperation. Keywords: Border, Trans Border Cooperation, Sosek Malindo, West Kalimantan-Sarawak.
    [Show full text]
  • The Concept of Local Wisdom on the House Planning Prototype Specially for the State Border Officers in Sanggau Regency
    The Concept of Local Wisdom on the House Planning Prototype Specially for the State Border Officers in Sanggau Regency Hakim1, Tri Endangsi 2 {[email protected], [email protected]} Lecturer of Architecture Department Faculty of Engineering Universitas Budi Luhur, Jakarta, Indonesia1,2 Abstract. The concept of local wisdom is seen from anthropological, historical, and particularly the field of architecture (built environment). Local wisdom is an element of the cultural traditions of people's society, which appear to be parts that are placed in the physical order of buildings (architecture) and the (urban) region in the geography of the nation. From his explanation, it can be seen that local wisdom is the application of tradition which substituted in physical artifacts. The concept of local wisdom that was very important to the preparation of this prototype is the uniformity of society buildings around the border region which as to not cause social jealousy in the society. In order to realize the Special House for State Border Officers in a healthy environment, safe, harmonious, and well-ordered as well as able to support a good housing, it is necessary to prepare the Prototype of Special House for state Border Officer as a reference in Physical building development that concern to quality, local support, the spatial layout of the region, and local wisdom. Therefore, it is necessary to formulate the Prototype of the Special at Border region as a reference of Design preparation/ Detail Engineering Design (DED) of special house at Border region that is appropriate, healthy, harmonious, and meet the need of the society as well as concern to spatial layout, environmental conditions and wisdom local premises.
    [Show full text]
  • Routledge Handbook of Asian Borderlands
    Routledge Handbook of Asian Borderlands Edited by Alexander Horstmann, Martin Saxer, and Alessandro Rippa First published 2018 ISBN: 978-1-138-91750-7 (hbk) ISBN: 978-1-315-68897-8 (ebk) 12 Genesis of state space Frontier commodification in Malaysian Borneo Noboru Ishikawa (CC BY-NC-ND 4.0) 12 Genesis of state space Frontier commodification in Malaysian Borneo Noboru Ishikawa Introduction How is a border recognized, when spatial demarcation is not obvious, both geographically and geo- morphologically, and the state apparatus for boundary making is functionally weak? What forces, other than border control measures by the state, are at work to demarcate the line in the mental mapping of borderland peoples? To answer these questions, this chapter looks at the historical pro- cess of commodification in the borderland of western Sarawak, Malaysian Borneo as a case in point. The borderland under study has the following three characteristics. First, it has been centrally located in a web of commodity chains linking resource-rich tropics with international markets. Second, the border is inconspicuous: “altitude” and “distance” from any political center are not the crucial factors that make this borderland a distinctively nonstate space (McKinnon and Michaud 2000; Michaud 2008, 2010; Scott 2009). Third, the borderland is a space where the organizational power of the state is nominal, if not nonexistent. In the borderlands, commodification represents a process whereby value is added to products as they move across a territorial boundary. While the state attempts to generate revenue from this process, people do so illicitly. This chapter sees the genesis of the state space and boundary making within the context of long-term processes of frontier commodification, recognizing that non- timber forest produce, timber, rubber, and pepper have functioned as critical linkages connecting local society with regional and global market systems.
    [Show full text]
  • Highway Network Project
    MINISTERIAL UNDERSTANDING DEVELOPMENE ONTH F TO THE ASEAN HIGHWAY NETWORK PROJECT WE the undersigned, attending the Fifth ASEAN Transport Ministers Meeting held in Hanoi, Vietnam on 15-16 September 1999; RECALLING the following policy directives enunciated by the ASEAN Heads of Stat Governmentd ean : 1. Manila Declaratio f 198no 7 Decembesigne5 1 n do r 1987, which provided that the existing transportation system shall be strengthened to ultimately form an overall ASEAN transportation network; 2. ASEAN Vision 2020 adopted in Kuala Lumpur, Malaysia on 15 December 1997, which resolved, inter alia, the development of an integrated and harmonized trans-ASEAN transportation network; 3. Hanoi Plan of Action adopted on 15 December 1998, which provided for intensifying cooperation in the development of the trans-ASEAN transportation network as the trunkline or main corridor for the movement of goods and people in ASEAN, consistin f majoo g r road (interstate highway) networks, among e developmenth others d an , d implementatioan t e ASEAth f o nN Highway Network Project; and 4. Hanoi Declaratio f 199no 8 signeDecembe6 1 n do r 1998, which e calleth r dfo development and strengthening of ASEAN regional infrastructure through the expansion of transport links and the provision of efficient and quality infrastructure. RECALLING FURTHE r resolvRou e unde e Ministeriath r l Understandinn o g ASEAN Cooperatio Transportation ni n signe Balin di , Indonesi Marc8 1 n aho 1996, to establis develod han pharmonizea integrated dan d regional transportation
    [Show full text]
  • Strategic Contribution of Health Services in the Indonesia‑Malaysia Border to the National Resilience: Analysis of Implementation in the West Kalimantan Province
    1060 Indian Journal of Public Health Research & Development, January 2020, Vol.DOI 11, Number: No. 01 10.37506/v11/i1/2020/ijphrd/193978 Strategic Contribution of Health Services in the Indonesia-Malaysia Border to the National Resilience: Analysis of Implementation in the West Kalimantan Province Dwi Rachmatullah1, Dumilah Ayuningtyas2, Raden Roro Mega Utami2 1National Resilience Strategic Study, Strategic and Global Study School, Universitas Indonesia, 2Department of Health Policy and Administration, Faculty of Public Health, Universitas Indonesia Abstract Background: The length of “open access” areas from Indonesia which leads to the vulnerability state is the factor that influence terrorism, disease, and other transnational crimes. This study aims to analyze the contribution strategies made by the Government of Indonesia in efforts to equalize health services in the Indonesia-Malaysia border region in order to strengthen health resilience as an important part that is inseparable from national security. Method: The method used in this study is narrative review of published articles and news related to the policy environment and health service facilities in the border regions of Indonesia and in the other countries that have been published in Scopus-accredited and indexed journals. Results: It was found that there were obstacles faced by the health providers during the implementation process, including the lack of availability of human resources as health workers as well as health facilities in the border area. As such, many Indonesians living on the border choose to seek treatment in Malaysia. The entry and exit routes from neighbor countries are inevitably becoming vulnerable areas which need attention to prevent various threats from entering the border line which will have an impact on National Resilience.
    [Show full text]
  • Selamat Datang
    Selamat Datang Delegates of ADB Economic Corridor Development for Competitive & Inclusive Asia Training 13 July 2018 TEBEDU INLAND PORT: CATALYST FOR BORDER ECONOMIC DEVELOPMENT ICQS TEBEDU INLAND PORT ENTIKONG CIQS LUBOK ANTU CIQS NANGA BADAU CIQS BIAWAK CIQS ARUK CIQS Official Border SEMATAN 8 Checkpoints SERIKIN BORDER PADAWAN CONTROL BUNAN GEGA POST within Kuching Port Authority’s port limits BATU LINTANG 3 Entikong ICQS Dedicated cargo lane 800m to border Tebedu Inland Port Tebedu ICQS Passenger Lane 4 V I S I O 2005 N BORDER AREA INDUSTRY TRANSPORT FACILITATION LIMITED ECONOMIC PROPOSED CROSS BORDER TEBEDU INLAND PORT ACTIVITY: BORDER TRADE ECONOMIC ZONE CHALLENGE OF ECONOMIC ECONOMIC CATALYST ECONOMIC DRIVER GROWTH •No growth •Transport facilitation to •Industry is main economic •Unable to utilise natural enhance international driver leading to spill-over resources for trade in other sectors development: inadequate •Inland Port facility to •Critical are: Infrastructure infrastructure & utilities monitor, regulate and grow & Utilities, Regulations & trade Legislation, Resources 7 D E V E L O -extract- KUCHING, Aug 17 (Bernama) – Tebedu in the Serian District on the border with West Kalimantan P is an entry and exit point for international trade between Sarawak and West Kalimantan. Some residents referred to it as Entikong, a “twin” town on the West Kalimantan side which is separated M by a boundary manned by the Immigration Department, Customs and police of both sides of the border.The Tebedu-Entikong crossing facilitates the flow of people and goods across the border. E Tebedu is now synonymous with the Tebedu Inland Port, which began operation in May and plays a significant role in promoting economic N and commercial development along the common border.
    [Show full text]
  • Sarawakarea 124,450 SQ KM
    ©Lonely Planet Publications Pty Ltd SarawakAREA 124,450 SQ KM Includes ¨ Why Go? Kuching ............122 Sarawak makes access to Borneo’s natural wonders and cul- Bako National tural riches a breeze. From Kuching, the island’s most so- Park ...............139 phisticated and dynamic city, pristine rainforests – where Kubah National you can spot orangutans, proboscis monkeys, crocodiles and Park ...............147 the world’s largest flower, the Rafflesia – can be visited on Sibu ...............156 day trips, with plenty of time in the evening for a delicious Batang Rejang ......160 meal and a drink by Kuching’s waterfront. More adven- turous travellers can take a ‘flying coffin’ riverboat up the Bintulu .............165 ‘Amazon of Borneo’, the Batang Rejang, on their way east to Miri ................171 hike from longhouse to longhouse in the cool environs of Gunung Mulu the Kelabit Highlands, or to the spectacular bat caves and National Park .......178 extraordinary rock formations of Gunung Mulu Nation- Kelabit Highlands ....184 al Park. Everywhere you go, you’ll encounter the warmth, Limbang Division ....191 unforced friendliness and sense of humour that make the people of Malaysia’s most culturally diverse state such de- lightful hosts. Best Places to Eat ¨ Dyak (p133) When to Go ¨ Top Spot Food Court Kuching (p133) °C/°F Te mp Rainfall inches/mm ¨ Summit Café (p175) 40/104 32/800 ¨ Bla Bla Bla (p134) 30/86 24/600 ¨ Choon Hui (p132) 20/68 16/400 10/50 8/200 Best Places to 0/32 0 Stay J FDM A M J J A S O N ¨ Batik Boutique Hotel Jul Local bands Jul–Sep It’s tour- Nov–Jan Rough (p131) and international ist high season, so seas can make ¨ Dillenia Guesthouse (p174) artists jam at book flights and coastal boat travel Kuching’s Rainfor- treks early.
    [Show full text]
  • J:\GRS=Formating Journals\MAN I
    Man In India, 97 (24-II) : 55-67 © Serials Publications LITTLE BROTHER-BIG BROTHER RELATIONSHIP THROUGH MALAYSIA-INDONESIA SOSEK-MALINDO INITIATIVES: A CASE STUDY OF ENTIKONG-TEBEDU BORDER *Abdul Rahim, A., *Mohammad, S. A., *Mohd Kamarulnizam, A. and *Abubakar, E.H. Cross-border trade between two neighbouring countries reflects socioeconomic ties between border communities. As such, this paper examines the socio-economic development of communities at the border of Entikong (Kalimantan Barat, Indonesia) and Tebedu (Sarawak, Malaysia). Development undertaken by the respective governments, through the Sosek-Malindo platform, reflects to a certain extent, the concept of a Little Brother-Big Brother relationship, in which each intends to provide assistance through development projects that benefit both communities through employment creation and income generation. This can improve their socio-economic level that has been trapped in poverty and underdevelopment. Keywords: Cross border development; Tebedu, Entikong; Sosek Malindo; little brother-big brother I. INTRODUCTION Bilateral relations between two countries can take a win-win situation or a zero sum game in their effort to resolve conflicts. Malaysia-Indonesia bilateral relations often lead to win-win solutions because each believes the cost of conflict would be high due to economic interdependence on each other. In the context of this archipelagic relation, it may reflect the little brother-big brother (LB-BB) relationship since both countries derived from the same family lineage and share the same religion, Malay and Islam respectively. Indonesia is considered as the big brother from the Malaysian perspective since Indonesia achieved independence earlier, has extensive experience in overcoming colonialism, has a widely multicultural heritage, and it is a large country, in terms of geography and population (Kunaseelan, 1996).
    [Show full text]