1 / 3

Table of Contents

No. Title Page 1 Alasan , , & Singapura Menjalin Kerjasama Trilateral Patroli 435 - 460 Terkoordinasi Malsindo di Tahun 2004 2 Kebijakan Luar Negeri Cina dalam Mengamankan Pasokan Energinya terkait 461 - 474 Penolakan Warga Arakan terhadap Kerangka Kerjasama Pembangunan Proyek Pipa Minyak dan Gas Trans-Cina-Myanmar 3 Strategi Represif Cina dalam Menghadapi Pengaruh Gelombang Arab Spring 475 - 489 Tahun 2011 terhadap Perkembangan Isu Demokratisasi di Cina 4 Analisis Implementasi Strategi Diplomasi Budaya Populer Jepang di 491 - 510 Indonesia Tahun 2008-2013 5 Branding Nonprofit dalam Kerjasama UNICEF dengan FC Barcelona Tahun 2006 511 - 525 – 2011 6 Dukungan India terhadap Junta Militer Myanmar (2004-2009): Kerjasama Ekonomi 527 - 552 dan Rivalitas dengan Cina 7 Peran UCAV dalam Penerapan Strategi Clausewitz dan War On Terror: Kasus 553 - 573 Operasi AS di Wilayah FATA Tahun 2004-2012 8 Analisis Mengglobalnya Kegiatan Earth Hour Tahun 2007-2012 575 - 595 9 Implementasi Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement terhadap 597 - 613 Defisitnya Neraca Perdagangan Sektor Non-Migas Indonesia-Jepang 2008-2012 10 Pengaruh Karakter Personal Perdana Menteri Jose Zapatero Terhadap Kebijakan 615 - 638 Luar Negeri Spanyol pada Kasus Gibraltar tahun 2004-2008 11 Faktor Domestik Ethiopia Meratifikasi Nile Basin Cooperative Framework 639 - 657 Agreement (CFA) tentang Manajemen Redistribusi Aliran Sungai Nil Tahun 2013 12 Pengaruh Perusahaan Berlian Internasional De Beers terhadap Kegagalan Proses 659 - 678 Demiliterisasi, Demobilisasi, dan Reintegrasi UNITA dan MPLA Tahun 1992-2002 13 Faktor Sosial dan Ekonomi sebagai Penyebab Peningkatan Respon Anti-Imigran 707 - 720 di Norwegia Tahun 2008-2011 14 Strategi Skateistan dalam Mengatasi Kelemahan Program Sport for Development 721 - 737 and Peace (SDP) di Afghanistan 15 Dampak Pasokan Senjata pada SAF dan SPLA terhadap Perpanjangan Durasi 739 - 757 Konflik Sudan-Sudan Selatan 2011-2012 16 Analisa Faktor Suriah Di Balik Pemutusan Hubungan Diplomatik Kanada Terhadap 759 - 776 Iran Tahun 2012 17 Signifikansi Identitas Nasional dalam Globalisasi: Studi Kasus Olahraga Otomotif 777 - 794 Global 18 Faktor Pembeda Kemampuan Brazil dan Indonesia dalam Menanggulangi 795 - 816 Deforestasi pada Tahun 2001-2012 19 Kesepakatan Penyelesaian Sengketa Delimitasi Laut Barents Antara Norwegia 817 - 839 dan Rusia 2010 20 Analisa Kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid untuk Membuka Hubungan 841 - 856 Diplomatik dengan Israel dalam Upaya Peduli Perdamaian Palestina-Israel

2 / 3

Vol. 3 - No. 2 / 2014-07 TOC : 4, and page : 491 - 510

Analisis Implementasi Strategi Diplomasi Budaya Populer Jepang di Indonesia Tahun 2008-2013

Analisis Implementasi Strategi Diplomasi Budaya Populer Jepang di Indonesia Tahun 2008-2013

Author : Okky Gilang Matahari | Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Abstract

Although the economy sector is weakening, Japanese government still implements the pop culture diplomacy strategy towards Indonesia. That policy raises many questions, why should Japan do the pop culture diplomacy strategy in Indonesia since 2008? Does the policy indicate that Japan’s diplomatic strategy shifted recently, from economic-based to cultural-based strategy? Those questions tried to be answered through this research by doinganalysis from system theory and rational choice theory framework. Based from those frameworks, the hypothesis that could be a temporary answer is Japan’s policy towards pop culture diplomacy strategy indicates that something happenned and affected the Japanese political system. Thus the policy is a manifestation of rational choice choosen by Japanese government.

Keyword : Japan, Indonesia, Public, , Diplomacy, Pop, Culture, ,

Daftar Pustaka : 1. Haryanto, (1982). Sistem Politik: Suatu Pengantar. Yogyakarta : Liberty Yogyakarta 2. Sugimoto, Yoshio, (2002). An Introduction to Japanese Society. New York : Cambridge University Press 3. Thornton, Sarah, (1996). Club Culture: Music, Media, and Subcultural Capital. Middletown : Wesleyan University Press 4. Williams, Raymond, (1983). Keyword. London : Fontana 5. Hardt, M. dan A. Negri, (2009). Multitude: War and Democracy in the Age of Empire. Harmondsworth: Penguin, dalam Allison, Anne. “The Cool Brand, Affective Activism and Japanese Youth―. UK : Sage Publication

Powered by TCPDF (www.tcpdf.org) 3 / 3 Analisis Implementasi Strategi Diplomasi Budaya Populer Jepang di Indonesia Tahun 2008-2013

Okky Gilang Matahari – 070912008

Program Studi S1 Hubungan Internasional, Universitas Airlangga

ABSTRACT

Although the economy sector is weakening, Japanese government still implements the pop culture diplomacy strategy towards Indonesia. That policy raises many questions, why should Japan do the pop culture diplomacy strategy in Indonesia since 2008? Does the policy indicate that Japan’s diplomatic strategy shifted recently, from economic-based to cultural-based strategy? Those questions tried to be answered through this research by doinganalysis from system theory and rational choice theory framework. Based from those frameworks, the hypothesis that could be a temporary answer is Japan’s policy towards pop culture diplomacy strategy indicates that something happenned and affected the Japanese political system. Thus the policy is a manifestation of rational choice choosen by Japanese government. Keywords: Japan, Indonesia, Public Diplomacy, Pop Culture, Strategy, Political System Theory, Rational Choice Theory.

Dengan kondisi ekonomi yang lemah, ternyata Jepang memilih untuk menerapkan diplomasi publik melalui budaya populernya terhadap Indonesia. Kebijakan tersebut kemudian memunculkan pertanyaan, mengapa Jepang menerapkan peningkatan strategi diplomasi budaya populer terhadap Indonesia sejak 2008? Apakah hal ini kemudian mengindikasi bahwa pola diplomasi Jepang berubah dari strategi klasik berbasis ekonomi menjadi strategi modern berbasis budaya? Pertanyaan tersebut kemudian dicari jawabannya melalui kerangka pemikiran ilmiah yang menggabungkan teori sistem politik Easton dan Teori Pilihan Rasional. Dengan berlandaskan teori tersebut, hipotesis yang bisa diajukan adalah bahwa Jepang sedang mengalami kondisi tertentu berkaitan dengan prosesi sistem politik di dalamnya, serta kebijakan untuk menerapkan strategi budaya populer di Indonesia menjadi salah satu pilihan rasional yang bisa dilakukan oleh pemerintah Jepang pada saat itu sebagai upaya untuk mencapai kepentingan nasional negaranya. Kata-Kata Kunci: Jepang, Indonesia, Diplomasi Publik, Budaya Populer, Strategi, Teori Sistem Politik, Teori Pilihan Rasional.

491 Okky Gilang Matahari

Publik Indonesia sekarang ini menikmati banyak produk Jepang dalam kehidupan sehari-harinya. Minuman isotonik, kosmetik, makanan ringan, hingga produk untuk bayi di Indonesia sebagian besar merupakan merk-merk dari Jepang. Tidak hanya berupa produk fisik, produk Jepang lain yang juga dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia misalnya film kartun atau anime, variety show, hingga artis Jepang yang akhir-akhir ini cukup sering muncul di televisi swasta nasional. Semua hal tersebut merupakan hasil dari penerapan strategi Cool japan yang diterapkan oleh pemerintah Jepang di Indonesia.

Sebenarnya, istilah Cool japan sudah muncul sejak lama. Istilah Cool japan sendiri pada mulanya dikemukakan oleh seorang akademisi bernama Douglas McGray di tahun 2002. McGray mengatakan bahwa Jepang memiliki budaya sebagai instrumen yang sangat potensial. Popularitas budaya Jepang telah menapaki jalan untuk menjadikan negaranya superpower dalam bidang kebudayaan. Kepopuleran budaya Jepang di seluruh dunia menjadi salah satu pertimbangan McGray dalam mengembangkan konsep Japan’s Gross National Cool.1 Konsep tersebut menjelaskan bahwa popularitas kebudayaan Jepang yang begitu tinggi memberikan kontribusi yang besar dalam membangun citra negaranya menjadi lebih positif. Pada masa itu, sebenarnya segala hal yang berkaitan dengan produksi, distribusi, serta promosi dari produk kebudayaan Jepang tidak mendapatkan campur tangan dari pemerintah. Pemerintah Jepang sendiri masih berfokus pada permasalahan ekonomi yang diakibatkan oleh krisis bubble economy dan masa resesi ekonomi yang panjang.

Popularitas tinggi yang dicapai oleh budaya populer Jepang ini sebenarnya hampir tidak mungkin untuk dijabarkan secara khusus dalam mengukur Gross National Cool Jepang, tetapi dengan melihat fakta bahwa dengan kepopuleran budaya tersebut ternyata memberikan keuntungan baik secara politik maupun ekonomi kepada Jepang, maka hal itu dapat dijadikan sebuah indikator bahwa Jepang memang berpotensi sebagai salah satu sumber soft power yang signifikan di samping ekonomi. Terinspirasi dari ide tersebut, pemerintah Jepang kemudian berupaya membangun sebuah citra yang unik dan dikenal dengan sebutan Cool japan.2

Jepang sebelumnya memang merupakan negara yang secara dominan mengedepankan isu-isu low politics pasca era Perang Dunia Kedua. Namun, kebijakan luar negeri Jepang didominasi oleh kebijakan-

1 Douglas McGray, Japan’s Gross National Cool. http://www.foreignpolicy.com/articles/2002/05/01/japans_gross_national_cool?page=0,3 (diakses tanggal 2 Maret 2012) 2 Kementerian Luar Negeri Jepang, Pop Culture Diplomacy, http://www.mofa.go.jp/policy/culture/exchange/pop/index.html (diakses tanggal 9 Maret 2012)

492 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 1 Analisis Strategi Diplomasi Budaya Populer Jepang di Indonesia 2008-2013 kebijakan yang berkaitan dengan isu ekonomi. Sementara itu, Jepang belum memiliki kebijakan secara spesifik terkait dengan budaya populernya. Dengan meningkatnya popularitas budaya populernya serta banyaknya wacana yang muncul terkait kekuatan Jepang melalui budaya populer tersebut, pemerintah Jepang kemudian berupaya untuk mengedepankan budaya populer sebagai instrumen diplomasi baru dalam mencapai kepentingannya. Strategi ini pertalam kali tercantum dalam situs resmi Kementerian Luar Negeri Jepang3 yang menjelaskan bahwa diplomasi dengan memanfaatkan budaya populer merupakan salah satu cara pemerintah Jepang untuk mendekatkan diri dengan publik, terutama para pemuda. Kebijakan pemerintah Jepang mengenai penggunaan budaya populer sebagai sebuah instrumen diplomasi publik sudah ditetapkan sejak tahun 2004 melalui Diplomatic Bluebook yang dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri Jepang. Salah satu isinya yakni mengedepankan dukungan terhadap perkembangan budaya populer serta menjadikannya instrumen bagi strategi diplomasi Jepang.4 Walaupun sudah mulai melakukan inisiasi melalui kebijakan terhadap budaya populernya, namun usaha pemerintah Jepang dalam melakukan promosi budaya populernya ke luar negeri terkesan hanya setengah hati.5 Selain itu, kerjasama pemerintah dengan perusahaan terkait industri kreatif dan hiburan yang memiliki peran penting dalam budaya populer Jepang juga tidak signifikan. Akibatnya, industri kreatif dan hiburan yang ada tidak menunjukkan kemauan untuk berpartisipasi dalam program pemerintah tersebut. Pemerintah menjalankan programnya sendiri, industri juga menjalankan bisnis sendiri. Tidak ada koordinasi yang baik dan intensif dari kedua pihak tersebut.

Baru kemudian pada tahun 2008, krisis finansial global secara cepat mengakibatkan kondisi kacau. Krisis yang diawali di Amerika Serikat tersebut menjadi pemicu menurunnya aktifitas ekonomi di sebagian besar negara di dunia, termasuk Jepang. Kondisi Jepang yang pada saat itu masih dalam masa resesi ekonomi semakin parah. Sementara itu, di tahun yang sama, Jepang juga memperingati hubungan diplomatik yang sudah berusia 50 tahun dengan Indonesia. Dalam peringatan tersebut, Perdana Menteri Yasuo Fukuda menamakan tahun tersebut sebagai ‘Tahun Persahabatan Indonesia dan Jepang’ serta berinisiatif untuk menyelenggarakan pameran budaya Jepang di selama satu tahun penuh.6

3 Kementerian Luar Negeri Jepang,. Pop Culture Diplomacy. http://www.mofa.go.jp/policy/culture/exchange/pop/index.html (diakses tanggal 9 Maret 2012) 4 MOFA, Diplomatic Bluebook 2004, http://www.mofa.go.jp/policy/other/bluebook/ (diakses tanggal 2 Maret 2012) 5 New Cool japan Strategy Focuses on Business Opportunities, Asahi Shimbun, 1 Mei 2013 6 Yasuo Fukuda, Surat kepada Presiden Indonesia, 2007

Jurnal Analisis HI, Maret 2014 493 Okky Gilang Matahari

Sejak 2008 itu kemudian Jepang mulai menggiatkan kembali kampanye terhadap budaya populernya secara bertahap dengan menarget pasar Indonesia. Dengan memanfaatkan institusi yang ada di bawah pemerintahan, seperti Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, serta The Japan Foundation, pemerintah Jepang mengadakan berbagai promosi budaya populernya di Indonesia. Selain dibantu oleh institusi pemerintahan yang ada, pemerintah Jepang juga mulai meningkatkan intensitas hubungan dengan komunitas Jepang yang ada di Indonesia.

Setiap tahun, pagelaran budaya Jepang di Indonesia semakin meningkat dan lingkupnya semakin luas. Beberapa contoh promosi budaya populer Jepang di Indonesia misalnya, di tahun 2011 pemerintah Jepang mempromosikan budaya populernya melalui jalur musik. Pertengahan tahun 2011 diadakan konser Hangry&Angry di Jakarta, yang juga merupakan konser artis Jepang pertama di Indonesia. Tren ini kemudian berlanjut di tahun 2012 dengan kedatangan AKB48 di bulan Februari dan L’arc en ciel di bulan Mei. Di tahun 2013, grup band Scandal juga telah menggelar konser di Jakarta pada bulan Maret. Aktivitas-aktivitas tersebut juga dimuat dalam surat kabar nasional,7 sehingga banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia. Bentuk lain diplomasi dengan budaya populer juga dilakukan melalui pemberian fasilitas bagi para penggemar manga, anime, film kartun, dan komik dari Jepang seperti mengadakan pameran dan pentas kebudayaan populer Jepang. Dan tentu saja salah satu yang cukup lama dikenal oleh para penggemar kebudayaan Jepang yakni cosplay atau costume play.

Tidak hanya berupa konser musik, The Japan Foundation sebagai institusi pelaku diplomasi publik Jepang di Indonesia juga mengadakan berbagai macam bentuk pagelaran budaya. Beberapa yang menarik perhatian adalah kompetisi sumo internasional pertama yang diadakan di luar Jepang pada awal tahun 2013 yang diselenggarakan di Jakarta. Selain itu ada Anime Festival Asia Indonesia (AFA ID) di tahun 2012 dan 2013 yang mampu menarik banyak pengunjung berusia muda di Indonesia.

Poin menarik di sini adalah bahwa intensitas masuknya budaya populer Jepang di Indonesia mulai marak setelah tahun 2008. Seperti yang telah disebutkan bahwa tahun 2008 merupakan peringatan 50 tahun hubungan diplomatik antara Jepang dan Indonesia. Namun di sisi lain, tahun 2008 juga merupakan tahun krisis finansial global yang membuat sebagian besar negara di dunia mengalami depresi ekonomi termasuk Jepang dan Indonesia.

7 Bersama AKB48 Serasa di Jepang. Jawa Pos, 26 Februari 2012, 1.

494 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 1 Analisis Strategi Diplomasi Budaya Populer Jepang di Indonesia 2008-2013

Dengan melihat intensitas penerapan diplomasi budaya populer Jepang di Indonesia yang meningkat sejak 2008 serta melihat kondisi ekonomi dalam negeri Jepang yang sedang mengalami krisis dan resesi, maka fenomena ini menimbulkan pertanyaan. Mengapa Jepang menerapkan strategi diplomasi budaya populernya di Indonesia secara intensif sejak tahun 2008? Apakah aksi tersebut merupakan indikasi bahwa pola diplomasi Jepang yang dulu berbasis ekonomi mulai bergeser menjadi pola diplomasi berbasis budaya?

Latar Ekonomi Jepang dan Pola Diplomasi Sebelumnya

Jepang dan kemampuan ekonomi yang tinggi seakan menjadi sebuah mata koin yang tidak bisa dilepaskan. Sejak kekalahan yang dialami Jepang pada Perang Dunia Kedua, kondisi perekonomian Jepang memang mengalami depresi. Hal ini menjadi suatu kewajaran sebagai bentuk konsekuensi logis dari apa yang dialami Jepang pada Perang Dunia Kedua. Namun adanya kesepakatan ekonomi dengan Amerika Serikat mengijinkan Jepang membenahi diri dalam berbagai hal, terutama ekonomi. Kesepakatan ekonomi antara Jepang dan Amerika berimplikasi pada perkembangan infrastruktur dan industri serta perekonomian secara langsung. Jepang menikmati pertumbuhan ekonomi yang sangat signifikan hanya beberapa tahun setelah krisis pasca perang.

Kondisi Jepang pasca Perang Dunia Kedua mengalami perubahan drastis. Kesepakatan dengan Amerika dalam Artikel 9 yang ada dalam konsttitusi pasca perang membuat Jepang tidak diperbolehkan membangun kekuatan militer8 Namun dengan kekuatan ekonomi yang cukup besar pada masa itu, Jepang mampu menjadikan diri sebagai satu aktor penting dengan peran yang unik pada kancah politik internasional. Alasan ini menjadi awal kebijakan Jepang untuk menerapkan diplomasi ekonomi. Tujuan awal dari diplomasi ekonomi adalah Jepang akan mengurus dirinya sendiri dan membantu penyelesaian masalah internasional dengan tanpa menggunakan kekuatan militer yang berlebih.9

Jepang membentuk citra positif sebagai negara berkekuatan ekonomi besar yang bisa memberikan bantuan kepada negara-negara lain. Konsentrasi penerapan kebijakan ini dimulai di kawasan Asia. Dengan kekuatan ekonomi yang begitu kuat dan stabil, pada tahun 1980-an

8 William H. Overholt, “Japan’s Economy: At War with Itself”, Foreign Affairs, 2002 http://www.foreignaffairs.com/articles/57627/william-h-overholt/japans-economy-at-war-with- itself (diakses 20 November 2013) 9 Overholt, Japan’s Economy: At War with Itself

Jurnal Analisis HI, Maret 2014 495 Okky Gilang Matahari

Jepang menjadi negara yang sangat berpengaruh di Asia. Investasi yang sangat besar ditempatkan di Singapura, , Indonesia, serta negara Asia lainnya. Bank milik Jepang memiliki sebagian kontrol dari kegiatan perbankan dan aliran dana di Asia pada saat itu. Pasar modal Jepang merupakan yang terbesar dan terbaik. Yen menjadi satu mata uang yang menjanjikan dalam berinvestasi.10

Menurut Overholt, Jepang memiliki beberapa pilar yang menunjang posisinya untuk menerapkan diplomasi ekonomi saat itu. Jepang merupakan negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi paling besar jika dibandingkan dengan kekuatan ekonomi dunia lainnya, seperti Inggris maupun Amerika Serikat. Banyak orang kemudian belajar dari Jepang mengenai kemaampuan manajemen ekonomi, mengagumi konsep hubungan buruh dan manajemen yang stabil, serta mencoba meniru dan menerapkan kebijakan-kebijakan Jepang terkait dengan perbankan dan industri.11

Perusahaan milik Jepang yang beroperasi di wilayah Asia Tenggara juga memiliki peran signifikan yang menghubungkan antara ide-ide dan kebijakan pemerintah Jepang dengan negara tempat mereka berinvestasi. Relasi ini ditunjang pula dengan adanya program bantuan pembangunan yang dirancang oleh pemerintah Jepang untuk membantu negara-negara berkembang yang ada di Asia.12 Tentu saja aksi-aksi tersebut juga memperkuat pengaruh Jepang di Asia secara umum.

Penerapan diplomasi ekonomi oleh Jepang ini tidak selamanya berjalan dengan lancar. Pada beberapa momen yang penting, penerapan diplomasi ekonomi mengalami rintangan yang cukup signifikan. Tahun 1973, krisis minyak memaksa Jepang mengubah konsep ekonomi menjadi lebih ketat. Bank Jepang mulai menurunkan batas pinjaman yang diberikan kepada negara lain. Pada tahun 1997-1998, krisis memaksa Jepang mengurangi jumlah pinjaman yang diberikan lebih jauh lagi. Bahkan, Jepang menarik uang dalam jumlah besar dari Singapura dan Hong Kong yang pada saat itu merupakan titik penting kegiatan perekonomian Asia. Aksi ini kemudian menimbulkan konsekuensi krisis yang berdampak secara regional di kawasan Asia.13

Penurunan kekuatan Jepang di kawasan Asia terancam pula dengan masuknya perusahaan-perusahaan dari Amerika dan Eropa ke pasar Asia. Di sisi lain, China, Hong Kong, Taiwan dan Korea Selatan yang

10 Overholt, Japan’s Economy: At War with Itself 11 Overholt, Japan’s Economy: At War with Itself 12 Bantuan ini dikenal dengan sebutan Official Development Assistance 13 Overholt, Japan’s Economy: At War with Itself

496 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 1 Analisis Strategi Diplomasi Budaya Populer Jepang di Indonesia 2008-2013 juga memiliki kekuatan ekonomi yang cukup besar dan mampu menjadi pesaing Jepang di regional Asia. Terlebih lagi China yang memiliki tingkat produksi tinggi dan menjelma menjadi sebuah kekuatan ekonomi yang mendominasi.

The Bubble Economy Crisis

Krisis bubble economy terjadi pada tahun 1991. Banyak sekali faktor yang menyebabkan krisis ini, salah satu yang utama adalah karena hubungan asimetris dengan Amerika Serikat14 yang berimplikasi pada apresiasi nilai yen yang berlebih. Pada tahun 1949, nilai tukar 1 USD setara dengan 360 yen, sedangkan pada tahun 1989 nilai tukarnya adalah 1 USD setara dengan 100 yen. Tingginya apresiasi ini juga ditunjang oleh runtuhnya sistem Brettonwood.15

Pasca perang dingin, muncul tuntutan dari Amerika Serikat terhadap Jepang agar membuka pintu perdagangan yang selama ini ditutup. Konsekuensi dari tuntutan ini, Jepang kemudian mengurangi tingkat bunga pinjaman serta subsidi kepada perusahaan-perusahaan miliknya. Perusahaan yang tidak menerima lagi subsidi kemudian berupaya mencari pemasukan melalui pasar modal. Implikasi dari aksi tersebut adalah meningkatnya jumlah perusahaan Jepang yang masuk dalam bursa saham dengan disertai peningkatan nilai tukar yen yang kemudian berdampak pada terbentuknya krisis bubble economy.16

Pada permulaan, peningkatan nilai yen dan pendapatan baru dari bursa saham menjadi hal yang memotivasi perusahaan-perusahaan Jepang untuk melakukan ekspansi produksi. Namun masalah yang timbul adalah jumlah produksi mereka tidak sebanding dengan daya beli masyarakat di negara lain. Nilai yen yang kuat membuat produk-produk dari Jepang menjadi mahal. Konsumen lebih memilih untuk mencari produk yang lebih murah dari negara lain. Hal ini berimplikasi pada jatuhnya harga saham perusahaan Jepang di bursa saham dunia. Indeks saham Nikkei mengalami penurunan signifikan dan semua perusahaan Jepang yang masuk di dalamnya terpengaruh dampak yang sama.

14 Hubungan asimetris antara Amerika dan Jepang dimulai pada pasca PD2 terkait dengan kesepakatan bahwa Jepang diperbolehkan untuk mengekspor secara bebas ke Amerika, sedangan Jepang mengisolasi diri dengan tidak menerima ekspor Amerika ke Jepang. 15 Sistem moneter Brettonwood merupakan sistem moneter yang diberlakukan IMF pasca PD2. Salah satu isi utama sistem tersebut adalah menghubungkan antara dollar AS dengan harga standar emas dan menghubungkan semua mata uang negara lain kepada dollar AS. Sistem ini berakhir pada 1971 dengan lepasnya keterikatan dollar AS dengan harga standar emas. 16 Richard Katz, "Japan's Phoenix Economy." Foreign Affairs, Jan/Feb. 2003, 114-128, http://www.foreignaffairs.com/articles/58624/richard-katz/japans-phoenix-economy (diakses 20 November 2013)

Jurnal Analisis HI, Maret 2014 497 Okky Gilang Matahari

Penurunan nilai saham ini berdampak fatal bagi perusahaan Jepang, karena nilai saham yang stabil dan kuat merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan pinjaman dari bank. Akibatnya, nilai saham yang turun berarti pemasukan yang menurun bagi perusahaan, ditambah lagi pinjaman dari bank yang semakin sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali.17 Tentu saja perusahaan akan mengalami kesulitan keuangan yang cukup signifikan dari peristiwa tersebut. Pilihan yang ada hanya mengurangi pengeluaran seminim mungkin dengan mengurangi jumlah pekerja, mengurangi produksi, menutup beberapa cabang perusahaan,hingga menandatangani surat bankrut.

Sebenarnya krisis tersebut dipengaruhi oleh pola diplomasi ekonomi yang dilakukan oleh Jepang selama menikmati pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dengan memiliki dana besar serta tren pertumbuhan ekonomi yang sangat baik, pemerintah Jepang menganggap bahwa mengalokasikan pengeluaran dengan memberikan investasi bukan merupakan tindakan yang salah. Memang benar bahwa investasi bukan hal yang salah, namun yang dilakukan oleh Jepang adalah berinvestasi pada pihak-pihak yang memiliki resiko tinggi. Bank dengan mudah memberikan pinjaman kepada perusahaan tanpa melakukan analisis mendalam mengenai penggunaan kredit serta proses pengembaliannya. Pada masa krisis bubble economy, faktanya Jepang memberikan begitu banyak pada perusahaan yang tidak prospektif sehingga pengembalian pinjaman menjadi permasalahan yang sulit. Inti dari permasalahan krisis ini adalah ketidakjelian pemerintah dan bank untuk melakukan proses ekonomi yang mengacu pada hasil jangka pendek maupun panjang. Hasilnya, pinjaman dan investasi yang diberikan sebagian besar tidak digunakan secara efektif dan justru menimbulkan kerugian bagi Jepang sendiri.

Jepang kemudian memasuki keadaan kritis dan mengawali masa resesi ekonomi pada tahun 1996. Pemerintah berupaya untuk menyelamatkan perusahaan-perusahaan besar dengan memberikan bantuan dana sehingga tidak menyebabkan kebankrutan massal dan membuat tingginya tingkat pengangguran. Kebijakan ini diharapkan mampu untuk mencegah ketidakstabilan sosial yang timbul jika sampai terjadi pemecatan massal terhadap para pekerja.18 Dengan upaya tersebut, pemerintah Jepang menanggung hutang yang begitu besar Meskipun begitu, upaya pemberian dana tersebut tidak bertahan lama dan justru memberikan masalah yang lebih besar. Perekonomian Jepang tidak menjadi semakin baik, perusahaan pada akhirnya tetap melakukan pemecatan kepada para pekerjanya dan pemerintah Jepang tetap menanggung hutang dari semua dana yang sudah dikeluarkan

17 Richard Katz. Japan’s Phoenix Economy 18 Richard Katz, Japan’s Phoenix Economy

498 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 1 Analisis Strategi Diplomasi Budaya Populer Jepang di Indonesia 2008-2013 sebelumnya.19 Memasuki tahun 2001, tingkat pengangguran di Jepang pada kelompok usia 18 hingga 24 tahun mencapai lebih dari 10%.20

Masa resesi ekonomi Jepang berlanjut hingga tahun 2008, krisis di Amerika Serikat meluas dan berakibat pada menurunnya nilai kegiatan ekonomi secara drastis. Amerika Serikat sendiri merupakan pihak paling berpengaruh dalam pasar modal dan mata uang, sehingga krisis yang dialami Amerika Serikat tentu saja akan berdampak pada sebagian besar negara yang terlibat di dalamnya. Krisis ini berakibat fatal bagi pemerintah Jepang. Hutang negara menjadi berlipat dan beban sosial warganya semakin meningkat. Walaupun pemerintah Jepang masih terus mengupayakan penyelamatan perusahaan besar dan para pekerja, tetap saja ada beberapa yang harus dikorbankan.

Tingkat pertumbuhan ekonomi Jepang pada tahun 2008 mencapai angka -1,04% dan di tahun 2009 mencapai -5,5%.21 Keadaan ini sedikit mengalami peningkatan pada tahun 2010 dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,6%, namun kembali turun pada tahun 2011 dengan angka pertumbuhan ekonomi -0,57%.22 Pertumbuhan yang tidak stabil dan cenderung menunjukkan tren yang kurang baik ini berimplikasi pada jumlah total hutang Jepang. Pada 2013, hutang Jepang mencapai 500% dari total GDP. Angka ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan hutang Amerika Serikat yang mencapai 370% dari total GDP. Data statistik hutang ini membuat Jepang termasuk dalam negara maju dengan hutang yang paling besar.23

Dengan kondisi ekonomi yang tidak menunjukkan perkembangan signifikan, muncul berbagai tekanan terutama dari dalam masyarakat Jepang sendiri. Mereka menginginkan agar pemerintah mampu membuat kebijakan yang bisa mengangkat Jepang dari resesi ekonomi berkepanjangan. Di sisi lain, tekanan politik dari berbagai pihak juga menginginkan agar segera terjadi perubahan menuju kondisi yang lebih baik. Dengan kekuatan ekonomi yang sangat terbatas, cukup sulit bagi Jepang untuk melakukan alokasi dana ke berbagai program kerja yang dicanangkan pemerintah. Terlebih lagi, China dan Korea Selatan sudah menunjukkan bahwa Jepang tidak lagi mendominasi perekonomian Asia. Persaingan di bidang ekonomi menjadi satu hal yang cukup menyulitkan bagi Jepang dalam keadaan resesi yang belum berakhir.

19 Richard Katz, Japan’s Phoenix Economy 20 Japan’s Statistic Bureau, Unemployed Person (by age) statistics, http://www.stat.go.jp/english/data/roudou/lngindex.htm (diakses 22 November 2013) 21 World Bank, Japan’s Growth Data, http://data.worldbank.org/country/japan (diakses 25 November 2013) 22 World Bank, Japan’s Growth Data 23 Abenomics isnt doing enough to fix japan, Market Watch, 2013 http://www.marketwatch.com/story/abenomics-isnt-doing-enough-to-fix-japan-2013-07-15 (diakses 18 November 2013)

Jurnal Analisis HI, Maret 2014 499 Okky Gilang Matahari

Jepang perlu memikirkan alternatif yang bisa dilakukan untuk menjaga eksistensi negara dan mampu menghindar dari bencana ekonomi, sosial serta politik.

Kebangkitan Industri Kreatif Jepang Pada Masa Resesi

Dalam masa krisis akibat dari bubble economy dan resesi ekonomi yang semakin buruk, industri kreatif Jepang merupakan salah satu dari sedikit sektor yang mampu bertahan dan terus menunjukkan perkembangan yang signifikan. Kemajuan dalam sektor ini tidak terlepas dari kebudayaan masyarakat Jepang yang sudah dibentuk sejak lama sebagai masyarakat yang mampu bekerja keras serta memiliki dedikasi dan loyalitas yang tinggi.24 Konsep masyarakat ini dikenal dengan istilah enterprise society. Kondisi tersebut dibangun dengan tiga pilar utama yang menopang, yakni sekolah, keluarga, serta korporasi. Integrasi dari ketiga pilar tersebut memberikan kesempatan bagi masyarakat Jepang untuk meningkatkan kesejahteraan masing-masing. Masyarakat Jepang merupakan masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan tinggi dan memiliki kesadaran politik, sosial dan budaya yang baik pula.25 Dengan bekal tersebut, banyak industri kreatif dan hiburan dibangun dari karya-karya individual serta menggunakan sarana teknologi informasi dan komunikasi sebagai jembatan untuk melakukan pemasaran.

Keadaan masyarakat Jepang pasca krisis bubble economy memang tidak terlalu baik. Harga barang meningkat dan lapangan pekerjaan semakin sulit dicari. Namun pada faktanya, kelompok masyarakat menengah di Jepang masih menikmati pekerjaan tetap dan gaji stabil yang merupakan dampak kebijakan pemerintah untuk menyelamatkan para pekerja dan mencegah pengangguran.26 Kondisi ini berimplikasi pada gaya hidup kelompok masyarakat menengah yang cenderung melakukan konsumsi secara berlebih. Salah satu pilihan yang sering dilakukan adalah pemenuhan kesenangan dari industri hiburan dan kreatif demi menekan tingkat stress yang dialami dari pekerjaan maupun kondisi krisis nasional yang sedang terjadi.

Permintaan yang meningkat atas produk kreatif dan hiburan berbanding lurus dengan perkembangan industrinya. Yoshio Sugimoto menjelaskan bahwa pada masa resesi tersebut, terdapat empat fenomena besar terkait dengan budaya massa di Jepang. Fenomena-fenomena tersebut

24 Anne Allison, The Cool Brand, Affective Activism and Japanese Youth, Sage Pub, 2009 http://tcs.sagepub.com/content/26/2-3/89 (diakses 10 Desember 2013) 25 Overholt, Japan’s Economy: At War with Itself 26 Richard Katz, Japan’s Phoenix Economy

500 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 1 Analisis Strategi Diplomasi Budaya Populer Jepang di Indonesia 2008-2013 antara lain manga, karaoke, pachinko, dan industri cinta.27 Masyarakat Jepang mengonsumsi produk-produk budaya massa tersebut secara berkelanjutan dan berkontribusi pada pengembangan proses industrialisasi budaya yang terus menghadirkan inovasi terbaru demi pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat Jepang sendiri. Walaupun pada perkembangan yang terjadi, tidak hanya berdampak secara lokal pada masyarakat Jepang saja melainkan juga kepada masyarakat internasional secara umum.

Fenomena kebangkitan industri kreatif dan hiburan ini terus berlanjut seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Manga yang dulu berupa gambar diam telah diangkat menjadi karya- karya baru berbentuk animasi dengan jalan cerita yang dibuat lebih kompleks dan menyenangkan. Karya baru ini kemudian dikenal dengan istilah anime. Perkembangan industri musik di Jepang juga mengalami peningkatan yang signifikan. Dengan adanya media kaset, CD, VCD, DVD, hingga Blu-ray, produk musik populer Jepang bisa dipasarkan hingga ke luar negeri. Tidak hanya berupa audio saja, dengan semakin berkembangnya teknologi rekaman membuat penikmat musik juga bisa dimanjakan dengan visualisasi yang mutakhir. Popularitas musik Jepang juga ditunjang dengan industri karaoke yang juga mengalami perkembangan pesat. Istilah J-pop kemudian dikenal sebagai identitas musik populer Jepang.

Fenomena kebangkitan industri kreatif dan hiburan Jepang dijelaskan oleh Hardt dan Negri28 sebagai suatu bentuk transisi yang sebenarnya terjadi dalam lingkungan global. Terdapat pergeseran yang signifikan dari upaya produksi barang atau material menjadi proses pertukaran informasi, komunikasi dan pengaruh yang tidak bersifat materi.29 Proses transisi ini tidak hanya terjadi di Jepang, namun dalam kerangka yang lebih luas yakni lingkungan internasional. Proses globalisasi membuat tingkat keterhubungan antar-negara menjadi semakin erat. Ketika sebuah negara mengalami krisis, maka krisis tersebut sangat berpotensial untuk merambat ke negara-negara lainnya.

Transisi yang terjadi menunjukkan bahwa tren produksi material sedang mengalami penurunan terkait dengan krisis global yang sedang terjadi. Walaupun begitu, pekerjaan di sektor material seperti di bidang agrikultur dan pertambangan masih memiliki peran yang cukup signifikan. Di sisi lain, pekerja di sektor jasa seperti di media massa, periklanan, industri kreatif dan hiburan serta pekerjaan berbasis

27 Yoshio Sugimoto, An Introduction to Japanese Society, (New York:Cambridge University Press), 2002, 249 28 Hardt dan Negri, Multitude: War and Democracy in the Age of Empire, dalam Allison, The Cool Brand 29 Hardt dan Negri, Multitude: War and Democracy, dalam Allison, The Cool Brand

Jurnal Analisis HI, Maret 2014 501 Okky Gilang Matahari internet bertransformasi menjadi sebuah kekuatan hegemon yang membentuk logika berpikir dan opini dari masyarakat.30 Pekerja di bidang jasa menggunakan komunikasi sebagai sebuah instrumen yang menunjang hampir seluruh kegiatannya, tidak hanya dalam proses produksi melainkan juga sebagai hasil dari produksi itu sendiri. Dengan melihat pada fakta ini, kebutuhan akan proses komunikasi yang tepat dan efisien menjadi salah satu kunci utama untuk pengembangan dalam jangka panjang.

Penjelasan dari Hardt dan Negri menguatkan fakta bahwa pada masa krisis finansial global, industri jasa (termasuk di dalamnya adalah industri kreatif dan hiburan) memiliki kesempatan untuk bertahan dan terus berkembang karena faktor-faktor produksi yang ada tidak terlalu dipengaruhi oleh kondisi krisis. Berbeda dengan industri berbasis material yang sangat bergantung pada nilai tukar dan proses perdagangan yang justru rawan terkena dampak krisis ekonomi.

Arti Penting Indonesia

Indonesia telah menjalin kerjasama bilateral secara intensif dengan Jepang melalui Economic Partnership Agreement (EPA). Perjanjian EPA antara Indonesia dan Jepang diratifikasi pada awal tahun 2008 dan mulai aktif diimplementasikan pada tanggal 1 Juli 2008.Kerjasama strategis di bidang ekonomi ini memberikan kemudahan bagi proses perdagangan antara kedua negara.

Dengan berlakunya kerjasama EPA antara Indonesia dan Jepang, maka 80 persen dari seluruh pos tarif Jepang menjadi nol persen bagi produk ekspor Indonesia. Sekitar 10 persen dari pos tarif lainnya akan menjadi nol persen secara bertahap dalam jangka waktu 3 hingga 10 tahun. Jepang mengecualikan sekitar 10 persen dari pos tarifnya pada pembukaan akses pasar melalui EPA. Di sisi Indonesia, 58 persen pos tarif Indonesia turun menjadi nol persen bagi produk ekspor Jepang pada saat berlakunya EPA. Sekitar 35 persen dari tarif bea masuk lainnya diturunkan secara bertahap dalam jangka waktu 3 hingga 10 tahun.Indonesia memberikan pengecualian 7 persen dari 11.163 pos tarifnya dari pembukaan akses pasar.31 Dengan penurunan tarif yang cukup tinggi, biaya perdagangan serta prosedur yang harus dilewati menjadi semakin kecil. Pada tahapan tersebut diharapkan nilai transaksi antara kedua negara terus meningkat.

30 Allison, The Cool Brand 31 Nur Hidayati, Indonesia-Jepang EPA hanya peluang, bukan jaminan, Kompas, 20 Agustus 2007

502 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 1 Analisis Strategi Diplomasi Budaya Populer Jepang di Indonesia 2008-2013

Kebijakan penurunan tarif yang dilakukan kedua negara dengan berdasarkan pada kerjasama EPA terbukti memberikan dampak yang signifikan bagi peningkatan hubungan dagang serta investasi. Nilai Impor Indonesia terhadap Jepang terus mengalami peningkatan. Walaupun sempat menurun pada tahun krisis 2008-2009, namun pasca tahun krisis mulai mengalami peningkatan kembali. Tren peningkatan nilai impor Indonesia terhadap Jepang mengindikasikan bahwa Indonesia masih membutuhkan Jepang sebagai rekan dagang dengan nilai yang cukup besar.

Di tahun 2007, nilai impor Indonesia terhadap Jepang mencapai angka USD 9,3 milyar. Meningkat pesat di tahun 2008 dengan angka USD 15,2 milyar. Karena krisis global pada akhir tahun 2008, di tahun 2009 nilai impor Indonesia turun menjadi USD 9,7 milyar. Namun di tahun berikutnya mengalami tren peningkatan dengan angka USD 16,7 milyar di tahun 2010, USD 19,3 milyar di tahun 2011, dan USD 22,6 milyar di tahun 2012.

Grafik nilai impor Indonesia terhadap Jepang tersebut menunjukkan bahwa walaupun Jepang sedang mengalami dampak krisis global tahun 2008 dan sudah lebih dari 10 tahun memasuki masa resesi ekonomi, Indonesia masih memiliki kepercayaan pada Jepang dengan membeli produk-produk buatan Jepang dalam angka yang cukup besar.

Jepang juga membutuhkan barang-barang yang dijual oleh Indonesia, terlebih lagi di sektor energi dan produk agrikultur. Nilai impor Jepang terhadap Indonesia di tahun 2007 sebesar USD 26,4 milyar, meningkat di tahun 2008 dengan angka USD 32,2 milyar. Dampak dari krisis global tahun 2008 mengakibatkan penurunan nilai impor Jepang terhadap Indonesia di tahun 2009 pada angka USD 21,8 milyar. Baru pada tahun 2010 nilai impor Jepang kembali meningkat sebesar USD 28,1 milyar. Selanjutnya di tahun 2011 masih mengalami peningkatan pada angka USD 33,9 milyar dan kembali menurun di tahun 2012 dengan USD 32,3 milyar. Grafik berikut ini menunjukkan dinamika nilai impor Jepang terhadap Indonesia dari tahun 2007 hingga 2012.

Beberapa keistimewaan Indonesia di bidang ekonomi terkait dengan krisis global pada tahun 2008, Indonesia merupakan satu-satunya negara G20 yang mampu mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi positif pada masa krisis global.32 Fakta tersebut membuat Jepang berpikir bahwa Indonesia memiliki kekuatan ekonomi yang stabil dan mampu bertahan menghadapi krisis finansial. Dengan begitu,

32 “Indonesia Trade, Exports, and Imports”, Economy Watch, 15 Maret 2010, http://www.economywatch.com/world_economy/indonesia/export-import.html (diakses 12 November 2013)

Jurnal Analisis HI, Maret 2014 503 Okky Gilang Matahari melakukan kerjasama dan mempertahankan hubungan baik dengan Indonesia merupakan suatu hal yang diperlukan. Kondisi ekonomi Jepang yang masih belum pulih akan sangat rawan bila dalam waktu dekat terjadi lagi krisis yang tidak diharapkan, namun dengan adanya kerjasama dengan Indonesia yang kapabilitas ekonominya sudah teruji di tahun 2008-2009, maka setidaknya Jepang akan mampu bertahan dan terhindar dari kerugian yang lebih besar.

Di sisi lain, lebih dari 50% jumlah penduduk Indonesia adalah kelompok produktif dalam rentang usia 15 hingga 54 tahun. Sementara, penduduk di bawah usia produktif sebesar 26,6 persen dari total populasi Indonesia dalam rentang usia 0 hingga 14 tahun. Jumlah terkecil pada rentang umur 55 ke atas dengan proporsi sekitar 14 persen dari total populasi Indonesia.

Fakta tersebut tentu saja menjadi daya tarik tersendiri bagi Jepang. Dengan jumlah penduduk muda yang besar, Indonesia berpotensi sebagai sasaran yang ideal bagi pemasaran berbagai produk budaya Jepang. Seperti yang diketahui bahwa target pasar dari kampanye budaya populer Jepang adalah segmen usia muda. Dengan ditunjang besarnya arus globalisasi yang memengaruhi gaya hidup, penduduk muda di Indonesia juga terdampak oleh tren gaya hidup yang lebih modern. Sebagian besar penduduk usia muda di Indonesia turut aktif dalam komunitas global melalui jejaring sosial seperti facebook, twitter serta media berbagi seperti youtube dan soundcloud. Tingkat pemahaman mereka terhadap perkembangan teknologi juga cukup baik. Faktor ini juga memudahkan Jepang dalam melakukan transfer informasi serta melakukan komunikasi kepada penduduk usia muda Indonesia melalui media yang sering dan mudah diakses.

Bagi Jepang, Indonesia memiliki kriteria yang sangat ideal sebagai target penerapan strategi budaya populer. Kedekatan historis membuat Jepang mendapatkan kemudahan dalam berinteraksi dengan masyarakat Indonesia. Keunikan budaya Jepang juga memperoleh penerimaan yang baik dari masyarakat, sehingga Jepang tidak perlu memikirkan resiko adanya penolakan dari masyarakat Indonesia.

Jumlah penduduk yang menempati posisi lima besar di dunia membuat Indonesia menjadi sangat baik sebagai tempat untuk mendapatkan respon masyarakat terkait dengan kebijakan-kebijakan Jepang yang diterapkan di dalamnya. Dengan merujuk pada respon masyarakat Indonesia, Jepang bisa melakukan evaluasi terhadap kebijakan dan strategi yang diterapkannya. Hasil evaluasi tersebut kemudian dijadikan sebagai acuan pembuatan strategi Jepang dalam menembus pasar yang lebih besar seperti China.

504 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 1 Analisis Strategi Diplomasi Budaya Populer Jepang di Indonesia 2008-2013

China memang salah satu target pasar yang diincar oleh Jepang, tetapi dengan adanya isu-isu perbatasan yang mulai panas maka akan sulit bagi Jepang untuk menembus pasar Jepang dengan mudah. Sengketa perbatasan akan membuat citra Jepang menjadi buruk bagi publik China dan tentu saja akan mempersulit masuknya produk Jepang. Berbeda dengan China, Indonesia tidak memiliki isu perbatasan yang dapat mengganggu hubungan diplomatik dengan Jepang. Di sisi lain, Indonesia memiliki karakteristik yang mendekati China, seperti populasi yang besar, tingkat perekonomian yang cukup stabil, bahkan diaspora orang China di Indonesia juga cukup besar. Karakteristik tersebut memenuhi kriteria yang dibutuhkan Jepang dalam menerapkan strateginya.

Analisis Konversi Input Menjadi Output dalam Sistem Politik Jepang

Perekonomian Jepang mengalami dinamika dan benturan krisis yang membuat tingkat pertumbuhan ekonomi menjadi stagnan. Terlebih lagi pada tahun 2008 Jepang terkena dampak dari krisis finansial global dan mengalami pertumbuhan ekonomi negatif di tahun 2008 dan 2009. Kondisi tersebut pasti membuat pemerintah Jepang berpikir untuk melakukan kebijakan-kebijakan taktis terkait dengan perekonomian negara. Beberapa hal yang masuk akal untuk dilakukan oleh pemerintah Jepang adalah mengurangi jumlah pengeluaran negara di berbagai sektor, meningkatkan pemasukan negara dengan memperbesar pasar, serta memanfaatkan sektor-sektor yang berpotensi menghasilkan pemasukan secara maksimal.

Dengan mengurangi jumlah pengeluaran negara, berarti Jepang tidak bisa secara leluasa melakukan belanja negara atau melakukan investasi langsung ke luar negeri. Begitu pula dengan metode diplomasi klasik Jepang yang berbasis ekonomi, tidak bisa dilakukan dengan sembarangan lagi. Jika tidak, bisa jadi bukan keuntungan yang diperoleh tetapi hutang negara yang makin menumpuk. Pada titik ini, kekuatan ekonomi Jepang memiliki batas yang sangat ketat untuk dipergunakan.

Meningkatkan pemasukan negara dengan memperbesar pasar berarti Jepang harus melakukan kerjasama dengan negara-negara yang memiliki prospek pasar besar sepeti Indonesia. Di sisi lain, perlu dipertimbangkan pula bagaimana posisi dan citra Jepang pada negara yang dituju agar penetrasi pasar yang dilakukan bisa berjalan secara efektif dengan resiko yang kecil.

Jurnal Analisis HI, Maret 2014 505 Okky Gilang Matahari

Jepang perlu memanfaatkan secara optimal sektor-sektor lain yang memiliki potensi menghasilkan pemasukan dalam jumlah yang signifikan. Jepang memiliki sektor industri kreatif dan hiburan yang terbukti mampu bertahan dan berkembang dalam kondisi krisis. Sektor ini merupakan salah satu kekuatan Jepang yang bisa dimaksimalkan demi mencapai keuntungan.

Di sisi lain, Indonesia sebagai mitra Jepang memiliki kriteria yang sesuai dengan apa yang diharapkan Jepang. Dengan pasar yang besar serta kemudahan akses di bidang ekonomi serta sosial budaya, menjadikannya sebuah kesempatan baik bagi Jepang untuk memanfaatkan hubungan tersebut. Terlebih lagi Jepang memperoleh sebagian produk energi dari Indonesia. Hal yang sangat diperlukan demi memperbaiki kondisi perekonomian melalui industri.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan ancaman terhadap penerapan strategi Jepang. Misalnya saja kompetitor dari negara lain yang juga memiliki target pasar sama dengan Jepang, seperti China dan Korea Selatan. Dalam hal kekuatan ekonomi, baik China, Korea Selatan, dan Jepang masuk dalam kategori negara maju dengan peran ekonomi yang besar. Namun posisi Jepang tidak diuntungkan dengan adanya krisis finansial global yang melanda pada saat resesi ekonomi masih belum bisa teratasi. Sedangkan daam hal budaya, Korea Selatan merupakan pesaing yang berat karena peningkatan popularitas budaya populernya yang terus meningkat akan mengancam popularitas budaya populer Jepang jika menyasar pada target pasar yang sama di Indonesia.

Ada dua opsi yang bisa dilakukan terkait dengan strategi diplomasi Jepang, pertama, pemerintah Jepang tetap melakukan diplomasi klasik dengan berbasis ekonomi terhadap Indonesia. Pilihan ini masih bisa dilakukan karena walaupun kondisi ekonomi pada saat itu tidak menguntungkan, namun fakta bahwa Jepang adalah negara maju dengan aktifitas ekonomi yang besar membuatnya tetap mampu bertahan. Namun dengan kondisi ekonomi yang sedang dalam krisis,penerapan diplomasi ekonomi yang dipaksakan konsekuensinya adalah hasil yang tidak maksimal jika tetap diteruskan. Terlebih lagi, kondisi ekonomi Indonesia yang cukup stabil tidak akan membutuhkan banyak bantuan dari Jepang. Selain itu, munculnya China dan Korea Selatan yang juga memiliki kekuatan ekonomi lebih stabil daripada Jepang akan memberikan ancaman tersendiri bagi penerapan diplomasi ekonomi Jepang. Dalam hal ini, posisi tawar Jepang terhadap Indonesia dalam hal ekonomi tidak akan terlalu tinggi jika China dan Korea Selatan juga melakukan hal yang sama. Penerapan diplomasi ekonomi terhadap Indonesia tidak akan banyak memberikan dampak positif bagi Jepang jika tetap dilakukan.

506 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 1 Analisis Strategi Diplomasi Budaya Populer Jepang di Indonesia 2008-2013

Opsi berikutnya, Jepang menerapkan diplomasi berbasis budaya terhadap Indonesia. Banyak faktor yang menguntungkan Jepang pada opsi ini. Melihat pada tabel sebelumnya, Indonesia memberikan kemudahan bagi Jepang dalam transaksi perdagangan, masyarakat Indonesia juga memberikan respon yang baik terhadap produk Jepang, juga kondisi ekonomi Indonesia yang stabil tidak akan membutuhkan investasi berlebih sebagai umpan yang harus dikeluarkan oleh Jepang. Artinya, Jepang cukup memanfaatkan keuntungan-keuntungan yang sudah ada dan melakukan peningkatan kinerja pada sektor-sektor tersebut sehingga keuntungan yang didapat menjadi berlipat. Keuntungan lainnya, produksi industri kreatif dan hiburan akan meningkat dan mendapatkan jaringan serta pasar baru yang cukup besar di Indonesia. Walaupun begitu, faktor ancaman juga masih tetap ada. Korea Selatan melalui budaya musik dan film juga mulai melakukan ekspansi ke Indonesia. Namun Jepang memiliki keunggulan lebih karena produk budaya Jepang sudah dikenal lebih lama oleh masyarakat Indonesia melalui media yang sama.

Kepentingan Jepang yang ingin dicapai pada masa itu adalah untuk bisa bertahan melalui krisis ekonomi serta meningkatkan perekonomian demi mengurangi beban hutang negara. Selain itu, pembentukan citra Jepang secara positif juga perlu dilakukan demi menjaga kepercayaan mitra Jepang dalam berbagai bentuk kerjasama. Dengan berkaca pada kepentingan tersebut, maka opsi yang paling rasional untuk dipilih Jepang adalah opsi kedua, yakni menerapkan strategi budaya populer terhadap Indonesia dengan konsekuensi yang sudah dijelaskan sebelunya.

Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan peneliti, maka hipotesis yang diajukan pada awal penelitian terbukti sesuai dengan hasil yang terjadi. Dengan menggunakan skema teori sistem milik Easton, dapat dipetakan bagaimana proses dari masuknya input dari lingkungan, proses konversi input yang menghasilkan pilihan-pilihan, sampai output yang dipilih secara rasional dibentuk.

Pada fase input, keadaan internal Jepang sedang mengalami goncangan dengan adanya krisis finansial global tahun 2008. Krisis tersebut menimbulkan banyak tuntutan kepada pemerintah Jepang untuk segera mengambil tindakan sebelum resesi ekonomi yang telah terjadi semakin parah. Kekuatan ekonomi yang melemah membuat Jepang harus sangat ketat dalam mengontrol setiap pengeluaran yang ada. Dengan begitu, diplomasi ekonomi yang biasanya dilakukan oleh Jepang porsinya tidak bisa besar jika dilakukan. Masalah yang muncul kemudian, jika tetap

Jurnal Analisis HI, Maret 2014 507 Okky Gilang Matahari melakukan diplomasi ekonomi maka hasilnya tidak bisa maksimal. Hal ini dikarenakan terbatasnya kekuatan ekonomi yang bisa dikerahkan. Di sisi lain, meningkatnya industri kreatif dan hiburan Jepang memberikan harapan bagi pemulihan kondisi ekonomi. Selain itu, kerjasama dengan Indonesia yang terjalin cukup lama serta kesepakatan-kesepakatan yang disetujui oleh kedua negara memberikan kesempatan pada Jepang untuk mendapatkan pasar bagi industri kreatif dan hiburannya yang sedang berkembang.

Input yang masuk kepada pemerintah Jepang kemudian dipetakan untuk mengetahui kondisi Jepang pada masa itu. Dari input tersebut dapat diketahui kekuatan, kelemahan, kesempatan serta ancaman yang mungkin terjadi pada masa itu. Jepang sedang mengalami krisis, kekuatan ekonominya terbatas, industri kreatifnya mengalami peningkatan, munculnya kesempatan untuk pemulihan ekonomi melalui Indonesia, hingga ancaman yang muncul dari China dan Korea Selatan. Dengan mengetahui kondisi yang ada, maka dapat ditentukan pilihan paling rasional yang bisa memenuhi kepentingan Jepang pada saat itu yakni untuk bisa melewati krisis ekonomi serta membangun citra Jepang sebagai negara yang memiliki nilai budaya populer tinggi. Dari pertimbangan tersebut,preferensi yang paling masuk akal adalah untuk menerapkan strategi diplomasi budaya populer ke Indonesia.

Dengan menetapkan pilihan secara rasional pada saat itu, output yang dihasilkan Jepang kemudian berupa keaktifan melakukan promosi dan menyelenggarakan acara demi memperkenalkan budaya populernya kepada masyarakat Indonesia. Beberapa acara yang sudah disebutkan misalnya Jak-Japan Matsuri, Little Tokyo Ennichisai, serta konser musik artis Jepang. Semua acara tersebut didukung secara penuh oleh pemerintah Jepang melalui institusi The Japan Foundation, Kedutaan Besar Jepang di Indonesia, serta lembaga-lembaga yang berkonsentrasi pada isu-isu terkait hubungan Indonesia dan Jepang.

Pembahasan tersebut membuktikan bahwa melalui teori sistem dan teori pilihan rasional, keputusan Jepang untuk menerapkan strategi diplomasi budaya populer di Indonesia dapat dijelaskan secara komprehensif.

508 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 1 Analisis Strategi Diplomasi Budaya Populer Jepang di Indonesia 2008-2013

Daftar Pustaka

Buku

Haryanto, Sistem Politik: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta,1982. Sugimoto, Yoshio. An Introduction to Japanese Society. New York: Cambridge University Press. 2002. Thornton, Sarah. Club Culture: Music, Media, and Subcultural Capital. Wesleyan University Press. 1996. Williams, Raymond. Keyword, London: Fontana. 1983. Digital Content Association of Japan. The Content Industry in Japan. 4- 5. 2004.

Jurnal Artikel

Allison, Anne. “The Cool Brand, Affective Activism and Japanese Youth”, Sage Publication, 2009, http://tcs.sagepub.com/content/26/2-3/89 (diakses 10 Desember 2013). Chitekizaisan Suishin Keikaku (Intellectual Property Strategic Program). (2004&2005), http://www.ipr.go.jp/ , dalam Daliot-Bul, “Japan Brand Strategy: The Taming of ‘Cool Japan’ and The Challenges of Cultural Planning in a Postmodern Age”, Social Science Japan Journal, 247–266, 2009. Hardt, M. dan A. Negri. Multitude: War and Democracy in the Age of Empire. Harmondsworth: Penguin, dalam Allison, Anne. “The Cool Brand, Affective Activism and Japanese Youth”, Sage Publication, 2009, http://tcs.sagepub.com/content/26/2-3/89 (diakses 10 Desember 2013). Lam, Peng Er. “Japan’s Quest for Soft Power”, East Asia. 349-363. 2007.

Media Massa

New Cool Japan Strategy Focuses on Business Opportunities, Asahi Shimbun, 1 Mei 2013. Nur Hidayati, “Indonesia-Jepang hanya peluang, bukan jaminan.” Kompas, 20 Agustus 2007.

Artikel Online

Katz, Richard, “Japan’s Phoenix Economy”. Foreign Affairs, Jan/Feb, 114-128, 2003, http://www.foreignaffairs.com/articles/58624/richard-katz/japans- phoenix-economy (diakses 20 November 2013) McGray, Douglas. Japan’s Gross National Cool. Foreign Policy, (Mei/Juni), 44-64, 2002,

Jurnal Analisis HI, Maret 2014 509 Okky Gilang Matahari

http://www.foreignpolicy.com/articles/2002/05/01/japans_gross_ national_cool?page=0,3 (diakses tanggal 2 Maret 2012). MOFA . Diplomatic Bluebook .(2004) tersedia dalam http://www.mofa.go.jp/policy/other/bluebook/ (diakses tanggal 2 Maret 2012). Overholt, William H., “Japan’s Economy: At War with Itself”. Foreign Affairs, 2002, http://www.foreignaffairs.com/articles/57627/william-h- overholt/japans-economy-at-war-with-itself (diakses 20 November 2013).

Website

“Abenomics isn’t doing enough to fix Japan”. Market Watch, (2013), http://www.marketwatch.com/story/abenomics-isnt-doing-enough- to-fix-japan-2013-07-15 (diakses 18 November 2013) “Indonesia Trade, Exports, and Imports”, Economy Watch, 15 Maret 2010, dalam http://www.economywatch.com/world_economy/indonesia/export- import.html (diakses 12 November 2013). Japan’s Statistic Bureau, Unemployed Person (by age) statistics, dalam http://www.stat.go.jp/english/data/roudou/lngindex.htm (diakses 22 November 2013). Japan’s Strategic Council on Intellectual Property. “Intellectual Policy Outline (English Version).”, 2002, http://www.kantei.go.jp/foreign/policy/titeki/kettei/020703taikou _e.html (diakses 19 October 2013). Kementerian Luar Negeri Indonesia, Hubungan Bilateral Indonesia- Jepang, http://www.deplu.go.id/Pages/IFPDisplay.aspx?Name=BilateralCoo peration&IDP=63&P=Bilateral&l=id (diakses 11 November 2013). Kementerian Luar Negeri Jepang. Pop Culture Diplomacy. (2004), dalam http://www.mofa.go.jp/policy/culture/exchange/pop/index.html (diakses tanggal 9 Maret 2012). Publicdiplomacy.org. Origins of the term public diplomacy (n.d) dalam http://publicdiplomacy.org/pages/index.php?page=about-public- diplomacy (diakses 15 Maret 2012). Surat PM Jepang Yasuo Fukuda Kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 2008, http://www.presidenri.go.id/index.php/fokus/2008/01/04/2631.ht ml (diakses 12 Mei 2013). World Bank. Japan’s Growth Data. , http://data.worldbank.org/country/japan (diakses 25 November 2013)

510 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 1