Dinamika Manusia Dan Kebudayaan Indonesia Dari Masa Ke Masa

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Dinamika Manusia Dan Kebudayaan Indonesia Dari Masa Ke Masa DINAMIKA MANUSIA DAN KEBUDAYAAN INDONESIA DARI MASA KE MASA EDITOR Ida Bagus Putra Yadnya I Wayan Ardika Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Pustaka Larasan 2017 Ida Bagus Putra Yadnya & I Wayan Ardika, Editor DINAMIKA MANUSIA DAN KEBUDAYAAN INDONESIA DARI MASA KE MASA viii + 350 halaman, 23 x 15,5 cm ISBN 978-602-5401-15-2 © Ida Bagus Putra Yadnya & I Wayan Ardika, 2017 Desain Sampul: Epistula Communications Bali Ilustrasi Sampul: Made Widnyana Tataletak: Ema Sukarelawanto Penerbit: Pustaka Larasan Jalan Tunggul Ametung IIIA No. 11B Denpasar, Bali Email: [email protected] Bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, baik secara elektronik maupun mekanik, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, merekam, atau dengan sistem penyimpanan lainnya, tanpa izin dari penulis. 4 v Kata Pengantar vii Sambutan Rektor Universitas Udayana ix 1 Pendahuluan 1 2 Keberadaan Manusia Nusantara Pertama (Homo Erectus) hingga Manusia Modern (Homo Sapiens) di Indonesia Oleh I Wayan Ardika 15 3 Rekonstruksi Budaya Austronesia Oleh Ni Luh Sutjiati Beratha & I Wayan Ardika 39 4 Relasi Historis Bahasa-Bahasa Austronesia Oleh Aron Meko Mbete 65 5 Sejarah Politik Hindu Buddha Oleh I Ketut Setiawan 81 6 Seni Pahat dan Arsitektur Hindu Buddha di Indonesia Oleh I Wayan Redig 111 7 Kakawin Sutasoma: Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan Sumber Pengetahuan Multikulturalisme Oleh I Nyoman Suarka 145 8 Proses Islamisasi di Indonesia Selama Abad XV-XVI Oleh Ida Ayu Wirasmini Sidemen 165 9 Budaya Indonesia Masa Kolonial Oleh I Ketut Ardhana 185 10 Kontak Budaya Nusantara dengan Budaya Eropa dan Munculnya Agama Katolik dan Protestan di Indonesia Oleh I Ketut Ardhana 203 5 v 11 Politik dan Peran Bahasa Indonesia di Era Sumpah Pemuda dan Kemerdekaan Oleh I Wayan Pastika 223 12 Debat Intelektual tentang Kebudayaan Menjelang Kemerdekaan Indonesia Oleh I Wayan Resen 243 13 Manusia dan Kebudayaan Indonesia Pada Era Global dan Postmodern Oleh I Nyoman Dhana 281 14 Pariwisata sebagai Representasi Globalisasi dan Budaya Posmodern Oleh Ida Bagus Gde Pujaastawa 297 15 Peran Media Massa dalam Revitalisasi Budaya Daerah di Indonesia di Era Global Oleh I Nyoman Darma Putra 317 Indeks 341 Tentang Penulis 348 6 v anusia mempunyai salah satu sifat mendasar yaitu berubah atau melakukan perubahan. Perubahan tersebut tentu Mmem peng ar uhi c ara-c ara hi dup man usia bese r ta masyarakat sekitarnya sehingga terjadilah perubahan kebudayaan atau yang disebut dengan dinamika kebudayaan. Secara universal tidak ada kebudayaan yang tidak berubah, tidak ada kebudayaan yang tidak adaptif terhadap bentuk perubahan. Hal ini yang menyebabkan kebudayaan bersifat dinamis dan adaptif. Kata dinamika mengandung nosi tenaga kekuatan, selalu bergerak, berkembang dan dapat menyesuaikan diri secara memadai terhadap keadaan, mengikuti pengaruh dan kondisi lingkungan di sekitarnya. Dapat dikatakan bahwa dinamika kebudayaan adalah cara kehidupan masyarakat yang selalu bergerak, berkembang dan menyesuaikan diri dengan setiap keadaan. Dinamika dan adaptasi budaya berlangsung karena adanya perubahan-perubahan yang melingkupi kehidupan manusia secara antropologis melalui proses belajar kebudayaan sendiri (yakni internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi), proses pengenalan kebudayaan asing (seperti akulturasi dan asimilasi), evolusi dan difusi kebudayaan, dan proses inovasi atau penemuan kebudayaan baru. Indonesia adalah negara multietnik, multikultur dan multilingual dan manusia Indonesia secara kultural dapat dikatakan berada pada 1 1 tiga ruang budaya, yakni pertama, kampung lokal, misalnya etnik Jawa berkampung di Pulau Jawa, etnik Bali berkampung di Pulau Bali, dan seterusnya. Kedua, etnik-etnik di Indonesia adalah bagian dari NKRI sehingga mereka bisa disebut berada pada kampung nasional. Ketiga, NKRI berada pada kampung lebih besar, yakni kampung global – sekaligus berarti pula ikut pada kampung global karena etnik-etnik di Indonesia adalah bagian dari NKRI. Eksistensi manusia dan kebudayaan Indonesia saat ini telah mengalami evolusi panjang yang dibentuk melalui proses migrasi dan kontak dengan bangsa luar. Buku ini membentangkan lanskap dinamika manusia dan kebudayaan Indonesia dari masa prasejarah sampai era global dewasa ini yang mencakup keberadaan manusia Nusantara pertama (Homo Erectus) hingga manusia modern (Homo Sapiens) di Indonesia, kajian bahasa dan budaya Austronesia, kontak bangsa dan etnik Nusantara dengan bangsa luar, kehadiran dan dinamika agama-agama di Indonesia, falsafah Bhineka Tunggal Ika, kolonialisme, nasionalisme, polemik dan politik kebudayaan, pariwisata, hingga peran media massa dalam proses formasi lanskap budaya Indonesia. Evolusi kebudayaan merupakan proses perkembangan kebudayaan umat manusia pada umumnya dari bentuk-bentuk kebudayaan yang sederhana, hingga bentuk-bentuk yang makin lama makin kompleks. Kecepatan perkembangannya atau proses evolusinya berbeda-beda setiap wilayah yang ada di muka bumi ini namun secara universal, masyarakat manusia berkembang secara lambat dari tingkat-tingkat rendah dan sederhana menuju ke tingkat yang lebih tinggi dan kompleks. Buku ini mencoba menggambarkan dinamika manusia dan kebudayaan Indonesia mulai dari tulisan I Wayan Ardika yang berjudul “Keberadaan Manusia Nusantara Pertama (Homo Erectus) hingga Manusia Modern (Homo Sapiens) di Indonesia”. Penghuni Kepulauan Indonesia menunjukkan keragaman genetik yang berawal dari 1,5 juta tahun silam hingga sekarang. Homo erectus telah menghuni Indonesia khususnya Pulau Jawa dan mungkin pula Flores selama kurang lebih satu juta tahun dengan evolusinya. Tulisan ini 2 2 mendeskripsikan temuan manusia Nusantara pertama (Homo erectus) dan perkembangannya selama kurun waktu satu juta tahun hingga ditemukan manusia modern (Homo sapiens). Teori migrasi baik Homo erectus maupun Homo sapiens yang diduga berasal dari Afrika (out of Africa) dibahas pada bagian tulisan ini. Kepulauan Indonesia tampaknya merupakan tempat perlintasan migrasi manusia dari Homo erectus, Homo sapiens dan Ras Mongoloid. Untaian kepulauan Indonesia digunakan sebagai jembatan oleh migran dari benua Asia hingga Australia, bahkan sampai ke Pasifik. Budaya dan bahasa merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Bahasa adalah bagian dari budaya dan budaya dimaknai melalui bahasa. Ni Luh Sutjiati Beratha dan I Wayan Ardika berusaha merekonstruksi budaya Austronesia yang dicirikan oleh kesamaan bahasa. Meskipun telah terjadi interaksi dan perubahan secara budaya dan biologi berabad-abad lamanya, ciri-ciri umum yang dimiliki oleh penutur Austronesia adalah 1) Sebagian besar penutur Austronesia di luar Melanesia dan Filipina memiliki ciri biologi yang dapat digolongkan sebagai ras Mongoloid Selatan; 2) Secara budaya, penutur Austronesia di masa lampau memiliki tradisi mentato tubuh; 3) Menggunakan layar pada sampan/perahu; 4) Secara etnografi maupun di masa prasejarah penutur Austronesia mempunyai stile/ gaya seni, dan ciri sosial yang terkait dengan urutan kelahiran untuk saudara kandung; serta 5) pemujaan terhadap leluhur/nenek moyang yang dianggap cikal-bakal/pendiri keturunan. Rekonstruksi budaya Austronesia juga didukung oleh kata-kata yang berkognat sebagai bukti bahwa nama-nama yang ada pada budaya Austronesia ditunjukkan oleh bukti kebahasaan yang ada pada bahasa yang tergolong ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Kesamaan unsur budaya tersebut mengindikasikan eksistensi dan kontak di kalangan komunitas penutur Austronesia yang tersebar di wilayah Nusantara. Tradisi seni dan upacara pemujaan leluhur masih tetap berlanjut, meskipun telah mengalami dinamika dan perubahan karena pengaruh dari luar dan perkembangan lokal. 3 3 Bahasa tidak dapat dipisahkan dari manusia, khususnya evolusi manusia dan evolusi bahasa manusia. Lebih jauh Aron Meko Mbete dalam buku ini mengungkap rumpun bahasa Austronesia dengan meyakini bahwa bantuan ilmu pengetahuan khususnya biologi dengan memanfaatkan metode Biologi Molekuler mutakhir sangat bermakna untuk menyingkap perjalanan sejarah manusia termasuk evolusi, perjalanan, dan perkembangan bahasa manusia. Evolusi tersebut tersingkap melalui temuan Homo sapiens hasil galian yang anatomis dan arkeologis, yang secara kronologi evolusi manusia bermula dari Afrika 1,5 juta tahun silam, kemudian menyebar ke pelbagai wilayah bumi, termasuk di Papua dan Australia. Namun demikian segi ragawi maupun keberagaman bahasa dan budaya di Papua, bahasa- bahasa asli Australia, dan di kawasan Asia Tenggara khususnya, tetap menjadi misteri. Ditilik dari segi jumlah penutur dan tradisi tulisnya, bahasa-bahasa daerah di Indonesia dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama, bahasa-bahasa besar dengan jumlah penuturnya puluhan juta dan masih memiliki tradisi tulis seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan bahasa Bali. Yang kedua, bahasa-bahasa kelompok ‘menengah’ dengan dukungan penuturnya jutaan jiwa seperti bahasa Bugis, bahasa Batak, bahasa Aceh, bahasa Mandar, bahasa Lampung, dan sebagainya. Kelompok ketiga adalah bahasa-bahasa ‘kecil’ dengan jumlah penuturnya hanya beberapa ratus ribu, bahkan ada bahasa- bahasa kecil yang hanya dituturkan oleh sekitar seratus atau beberapa puluh penutur saja. Akan tetapi meskipun berbeda-beda bahasa, karena memang tidak saling memahami, sesungguhnya bahasa-bahasa daerah itu memiliki hubungan genetis. Secara historis bahasa-bahasa itu bersumber dari asal-muasal yang sama. Jika perjalanan masa lalu bahasa-bahasa itu dijejaki kembali, bahasa-bahasa yang ada di
Recommended publications
  • Bibliography
    Bibliography Many books were read and researched in the compilation of Binford, L. R, 1983, Working at Archaeology. Academic Press, The Encyclopedic Dictionary of Archaeology: New York. Binford, L. R, and Binford, S. R (eds.), 1968, New Perspectives in American Museum of Natural History, 1993, The First Humans. Archaeology. Aldine, Chicago. HarperSanFrancisco, San Francisco. Braidwood, R 1.,1960, Archaeologists and What They Do. Franklin American Museum of Natural History, 1993, People of the Stone Watts, New York. Age. HarperSanFrancisco, San Francisco. Branigan, Keith (ed.), 1982, The Atlas ofArchaeology. St. Martin's, American Museum of Natural History, 1994, New World and Pacific New York. Civilizations. HarperSanFrancisco, San Francisco. Bray, w., and Tump, D., 1972, Penguin Dictionary ofArchaeology. American Museum of Natural History, 1994, Old World Civiliza­ Penguin, New York. tions. HarperSanFrancisco, San Francisco. Brennan, L., 1973, Beginner's Guide to Archaeology. Stackpole Ashmore, w., and Sharer, R. J., 1988, Discovering Our Past: A Brief Books, Harrisburg, PA. Introduction to Archaeology. Mayfield, Mountain View, CA. Broderick, M., and Morton, A. A., 1924, A Concise Dictionary of Atkinson, R J. C., 1985, Field Archaeology, 2d ed. Hyperion, New Egyptian Archaeology. Ares Publishers, Chicago. York. Brothwell, D., 1963, Digging Up Bones: The Excavation, Treatment Bacon, E. (ed.), 1976, The Great Archaeologists. Bobbs-Merrill, and Study ofHuman Skeletal Remains. British Museum, London. New York. Brothwell, D., and Higgs, E. (eds.), 1969, Science in Archaeology, Bahn, P., 1993, Collins Dictionary of Archaeology. ABC-CLIO, 2d ed. Thames and Hudson, London. Santa Barbara, CA. Budge, E. A. Wallis, 1929, The Rosetta Stone. Dover, New York. Bahn, P.
    [Show full text]
  • From Left to Right, R. P. Soejono, H. R. Van Heekeren, and W. G. Solheim II Hendrik Robert Van Heekeren 1902-1974
    From left to right, R. P. Soejono, H. R. van Heekeren, and W. G. Solheim II Hendrik Robert van Heekeren 1902-1974 Received 29 September 1975 R. P. SOEJONO The friendly spirit and cooperation I found from scientists as well as from the simple peoples in small villages all over Indonesia will stay with me forever. (van Heekeren's Ceremonial Lecture Dr. H. C., University of Indonesia, 1970) R. H. R. van Heekeren passed away in Heemstede on 10 September 1974 after a four month's illness. His attendance at the "Symposium on Modern D Quaternary Research in Southeast Asia," which was held on 16 May 1974 in Groningen, was the last activity of his lifetime in the field of science. The paper he gave during this symposium dealt with problems ofthe chronology of Indonesian prehistory, which he always considered as being in its formative stage, with research on this subject continuously intensifying. His work of writing the second edition of his book The Bronze-Iron Age of Indonesia (first published in 1958), being done in cooperation with R. P. Soejono at the N.LA.S. (The Netherlands Institute for Advanced Study in the Humanities and Social Sciences, Wassenaar), has not yet been accomplished, in spite of his earnest desire to have the new edition published as quickly as possible. He fell ill upon his return from Groningen, making it impossible for him to continue his writing at the N.LA.S., and this illness ended with his death. It was not expected that he would pass away so soon and so suddenly, as a few days before his death he seemed to be improving and was looking forward to his next visit, the following year, to Indonesia, which he had always considered as his second homeland.
    [Show full text]
  • The Origin of Homo Floresiensis and Its Relation to Evolutionary Processes Under Isolation G.A
    ANTHROPOLOGICAL SCIENCE Vol. advpub No. 0, 000–000, 2008 The origin of Homo floresiensis and its relation to evolutionary processes under isolation G.A. LYRAS1, M.D. DERMITZAKIS1, A.A.E. Van der GEER1, S.B. Van der GEER2, J. De VOS3* 1Museum of Paleontology and Geology, Faculty of Geology, National and Kapodistrian University of Athens, Athens 15784, Greece 2Pulsar Physics, Eindhoven 5614 BD, the Netherlands 3National Museum of Natural History Naturalis, Leiden 2300 RA, the Netherlands Received 11 April 2008; accepted 20 May 2008 Abstract Since its first description in 2004, Homo floresiensis has been attributed to a species of its own, a descendant of H. erectus or another early hominid, a pathological form of H. sapiens, or a dwarfed H. sapiens related to the Neolithic inhabitants of Flores. In this contribution, we apply a geo- metric morphometric analysis to the skull of H. floresiensis (LB1) and compare it with skulls of normal H. sapiens, insular H. sapiens (Minatogawa Man and Neolithic skulls from Flores), pathological H. sa- piens (microcephalics), Asian H. erectus (Sangiran 17), H. habilis (KNM ER 1813), and Australop- ithecus africanus (Sts 5). Our analysis includes specimens that were highlighted by other authors to prove their conclusions. The geometric morphometric analysis separates H. floresiensis from all H. sa- piens, including the pathological and insular forms. It is not possible to separate H. floresiensis from H. erectus. Australopithecus falls separately from all other skulls. The Neolithic skulls from Flores fall within the range of modern humans and are not related to LB1. The microcephalic skulls fall within the range of modern humans, as well as the skulls of the Neolithic small people of Flores.
    [Show full text]
  • The Encyclopedia of Global Human Migration
    guo namuuiy B/121188 The Encyclopedia of Global Human Migration General Editor Immanuel Ness Volume V Rem-Z )WILEY~BLACKWELL A John Wiley & Sons, Ltd., Publication Contents Volume I Contents to Volume I: Prehistory IX Lexicon xiii Notes on Contributors xlvii Introduction cxxvi Acknowledgments cxxxii Abbreviations cxxxv Maps cxxxvii Prehistory Part I: The Peopling of the World during the Pleistocene 7 Part II: Holocene migrations 11 Volume II Global Human Migration A—Cro 417-1122 Volume III Global Human Migration Cru-Ind 1123-1810 Volume IV Global Human Migration Ind-Rem 1811-2550 Volume V Global Human Migration Rem-Z 2551-3180 Index to Volume I: Prehistory 3181 Index to Volumes II-V 3197 3182 INDEX TO VOLUME I: PREHISTORY Anatolia (confd) Arawak culture, 379-80, 394, 397 Ice Age land bridge, 327 Mesolithic, 143^4 language, 87, 89, 93, 384, 385, language families, 87, 328 migrations into Europe, 141—4 386-7, 392, 396-7 linguistic history, 327-32 see also Anatolia Hypothesis origin, 379 lithic technologies, 44-5, 58 Neolithic culture, 139-40, 141, society, 397 megafauna, 56—7 142, 143-4 speakers, 376, 378, 379-80 migrations within, 57 pottery, 143 spread, 380, 386-7, 398 modern populations, 254 see also Turkey archaeological evidence, 32, 293 Northern Territories, 330 Anatolia Hypothesis, 92, 161, 163, cultural changes, 40-6, 108-9 Pleistocene, 327 169,170-1 paucity, 14, 104, 112 Western Desert, 330 Ancient Egypt and radiocarbon dating see see also Tasmania archaeological sites, 135—6, under radiocarbon dating Australo-Melanesians, 220
    [Show full text]
  • The History of Prehistoric Research in Indonesia to 1950
    The History of Prehistoric Research in Indonesia to 1950 Received 16 January 1968 R. P. SOE]ONO INTRODUCTION HE oldest description of material valuable for prehistoric recording in future times was given by G. E. Rumphius at the beginning of the eighteenth century. Rum­ T phius mentioned the veneration of historical objects by local peoples, and even now survivals of the very remote past retain their respect. On several islands we also notice a continuation of prehistoric traditions and art. Specific prehistoric relics, like many other archaeological remains, are holy to most of the inhabitants because of their quaint, uncommon shapes. As a result, myths are frequently created around these objects. An investigator is not permitted to inspect the bronze kettle­ drum kept in a temple at Pedjeng (Bali) and he must respect the people's devout feelings when he attempts to observe megalithic relics in the Pasemah Plateau (South Sumatra); these facts accentuate the persistence oflocal veneration even today. In spite of the veneration of particular objects, which in turn favors their preservation, many other relics have been lost or destroyed through digging or looting by treasure hunters or other exploiters seeking economic gain. Moreover, unqualified excavators have com­ pounded the problem. P. V. van Stein Callenfels, originally a specialist in Hindu-Indonesian archaeology, be­ came strongly aware of neglect in the field of prehistoric archaeology, and he took steps to begin systematic research. During his visit to kitchen middens in East Sumatra during a tour of inspection in 1920 for the Archaeological Service, he met with the digging of shell heaps for shell for limekilns.
    [Show full text]
  • Human Origin Sites and the World Heritage Convention in Eurasia
    World Heritage papers41 HEADWORLD HERITAGES 4 Human Origin Sites and the World Heritage Convention in Eurasia VOLUME I In support of UNESCO’s 70th Anniversary Celebrations United Nations [ Cultural Organization Human Origin Sites and the World Heritage Convention in Eurasia Nuria Sanz, Editor General Coordinator of HEADS Programme on Human Evolution HEADS 4 VOLUME I Published in 2015 by the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, 7, place de Fontenoy, 75352 Paris 07 SP, France and the UNESCO Office in Mexico, Presidente Masaryk 526, Polanco, Miguel Hidalgo, 11550 Ciudad de Mexico, D.F., Mexico. © UNESCO 2015 ISBN 978-92-3-100107-9 This publication is available in Open Access under the Attribution-ShareAlike 3.0 IGO (CC-BY-SA 3.0 IGO) license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/3.0/igo/). By using the content of this publication, the users accept to be bound by the terms of use of the UNESCO Open Access Repository (http://www.unesco.org/open-access/terms-use-ccbysa-en). The designations employed and the presentation of material throughout this publication do not imply the expression of any opinion whatsoever on the part of UNESCO concerning the legal status of any country, territory, city or area or of its authorities, or concerning the delimitation of its frontiers or boundaries. The ideas and opinions expressed in this publication are those of the authors; they are not necessarily those of UNESCO and do not commit the Organization. Cover Photos: Top: Hohle Fels excavation. © Harry Vetter bottom (from left to right): Petroglyphs from Sikachi-Alyan rock art site.
    [Show full text]
  • Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010
    PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH NASIONAL TAHUN 2010 - 2014 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 19 ayat (1) Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dipandang perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010 - 2014; Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); 3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421); 4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 – 2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH NASIONAL TAHUN 2010 - 2014. Pasal 1 Dalam Peraturan Presiden ini, yang dimaksud dengan: 1. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010 -2014, yang selanjutnya disebut RPJM Nasional, adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk periode 5 (lima) tahun terhitung sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2014. - 2 - 2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kementerian/ Lembaga Tahun 2010 - 2014, yang selanjutnya disebut Rencana Strategis Kementerian/Lembaga, adalah dokumen perencanaan Kementerian/Lembaga untuk periode 5 (lima) tahun terhitung sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2014. 3. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, yang selanjutnya disebut RPJM Daerah, adalah dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk periode 5 (lima) tahun sesuai periode masing-masing pemerintah daerah.
    [Show full text]
  • Untuk Pembangunan
    Badan Geologi - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ISSN: 2088-7906 VOL.5 | NO.3 | September 2015 Restu Geologi untuk Pembangunan Ketahanan Air Menelusuri Menahan Napas Untung Tanah Wilayah Kelurusan Pulau- di Keindahan Sudarsono, Gunung Api pulau Menuju Rinjani Menggarisbawahi Anakkrakatau Peran Geologi 1 iberbumi Menata Ruang, Menata Benturan Kepentingan Proses penataan ruang dan pengembangan wilayah adalah memadukan berbagai informasi agar didapat pola yang ideal dan berkelanjutan, dengan parameter di antaranya seperti di bawah ini. Seluruh informasi dianalisis, diberi bobot dan nilai, kemudian ditumpangtindihkan melalui kompilasi berbagai peta tematik. Dengan menggunakan perangkat lunak berbasis Sistem Informasi Geografi (SIG), proses penumpangtindihan informasi dapat berjalan dengan cepat. Namun, di lapangan, dengan munculnya berbagai kepentingan, proses penataan ruang nyatanya tidak semudah proses menggerakkan tetikus di monitor komputer. Batas adiministrasi Pembagian wilayah berdasarkan batas-batas administrasi dan politis. Infrastruktur Sebaran jalan dan infrastruktur lain. Sosial, Budaya, Ekonomi Sebaran potensi dan kendala yang berkaitan dengan kondisi sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat. Penggunaan lahan Tata Guna Lahan (TGL) yang telah ada dan TGL yang direncanakan/akan dibuat. Topografi dan morfologi Ketinggian, lereng, dan proses-proses geomorfik. Geologi Sebaran batuan, tanah dan mineral; struktur (sesar, lipatan), sumber daya air, dan ancaman bahaya geologi Tata ruang dan pengembangan wilayah yang ideal Konsep:
    [Show full text]
  • Life Without the Movius Line: the Structure of the East and Southeast Asian Early Palaeolithic
    This is a repository copy of Life without the Movius Line: The structure of the East and Southeast Asian Early Palaeolithic. White Rose Research Online URL for this paper: http://eprints.whiterose.ac.uk/100881/ Version: Accepted Version Article: Dennell, R. (2015) Life without the Movius Line: The structure of the East and Southeast Asian Early Palaeolithic. Quaternary International, 400. pp. 14-22. ISSN 1040-6182 https://doi.org/10.1016/j.quaint.2015.09.001 Reuse Unless indicated otherwise, fulltext items are protected by copyright with all rights reserved. The copyright exception in section 29 of the Copyright, Designs and Patents Act 1988 allows the making of a single copy solely for the purpose of non-commercial research or private study within the limits of fair dealing. The publisher or other rights-holder may allow further reproduction and re-use of this version - refer to the White Rose Research Online record for this item. Where records identify the publisher as the copyright holder, users can verify any specific terms of use on the publisher’s website. Takedown If you consider content in White Rose Research Online to be in breach of UK law, please notify us by emailing [email protected] including the URL of the record and the reason for the withdrawal request. [email protected] https://eprints.whiterose.ac.uk/ Elsevier Editorial System(tm) for Quaternary International Manuscript Draft Manuscript Number: Title: Life without the Movius Line: the structure of the East and Southeast Asian Early Palaeolithic Article Type: Peking Man Keywords: Movius Line; Acheulean; Zhoukoudian; China; SE Asia Corresponding Author: Prof.
    [Show full text]
  • Community Structure Through Time: `Ubeidiya, a Lower Pleistocene Site As a Case Study
    Community Structure through Time: `Ubeidiya, a Lower Pleistocene Site as a Case Study Thesis submitted for the degree of “Doctor of Philosophy” by Miriam Belmaker Submitted to the Senate of the Hebrew University March 2006 This work was carried out under the supervision of Prof. Eitan Tchernov Prof. Ofer Bar Yosef Prof. Uzi Motro this thesis is dedicated to Eitan Tchernov, my mentor, without whom this thesis would have never happened Contents Acknowledgments xii Abstract xiv I Framework 1 1 Introduction 2 2 The Site of `Ubeidiya 9 2.1 Geology and stratigraphy of the `Ubeidiya Formation . 9 2.2 Dating of the `Ubeidiya Formation . 10 2.3 Excavation history . 15 2.4 Previous paleoecological research . 17 2.5 The presence of early hominins at `Ubeidiya . 19 II Methodology 22 3 Paleontological Methodology 23 3.1 Stratigraphy . 23 3.1.1 Assignment of specimens to stratigraphic units . 23 3.1.2 Choice of strata for analysis . 25 3.2 Taxonomy . 26 3.2.1 Identification of specimens . 26 3.2.2 Choice of taxa for analysis . 28 3.3 Quantification . 30 3.3.1 Quantification of individuals per species . 30 3.3.2 Quantification of body elements . 31 i 4 Identification of Pattern of Persistence or Change in the Large Mammalian Commu- nity throughout the `Ubeidiya Sequence 34 4.1 The statistical model . 34 4.2 Independent variables of the null hypotheses: The taphonomy of the `Ubeidiya large mammal assemblages . 37 4.2.1 Weathering . 37 4.2.2 Fluvial transport . 39 4.2.3 Agents of accumulation . 41 4.2.4 Post depositional carnivore ravaging .
    [Show full text]
  • Part C: Present Condition and Detailed Analysis
    Part C: Present Condition and Detailed Analysis Special Economic Zone (SEZ) Development Master Plan Survey in the Republic of Indonesia Final Report CHAPTER I: NATIONAL ECONOMIC AND INDUSTRIAL SECTOR I.1 National Economic and Industrial Development Trend (1) Indonesia’s Recent Economic Trend Indonesia is a country with vast lands and abundant natural resources. It has the third largest population in Asia with 230 million. Thus, the potential market is big and domestic demand is expected to increase. However, in accordance with global economic changes, the domestic markets in Indonesia are now facing pressure from international competition. The global economies have been changed by the growth of international production networks through the improvement of transportation and logistics, the advancement of technologies, as well as the rise of China and India. The recently implemented ASEAN Free Trade Area (AFTA) and ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) agreements may have adverse impacts on domestic industries. (2) General Economic Condition Indonesia’s nominal gross domestic product (GDP) in 2009 is Rp 5,613 billion or US$ 2,376 per capita. As shown in Figure I.1.1, Indonesia’s GDP has constantly grown after 2001 even during the global financial crisis from around 2007 when those of Malaysia and the Philippines decreased dramatically. IDN MYS PHL THA VNM IDN MYS PHL THA VNM 14000 8 12000 6 10000 4 8000 6000 2 4000 0 2000 0 -22000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Year Year -4 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Source: World Bank Index Figure I.1.1: GDP per Capita (left) and the Growth Rate (right) from 2000 to 2009 of Indonesia and Its Neighboring Countries The consumer price index (CPI) of Indonesia has been rapidly rising, causing the inflation rate to be more than that of their neighboring countries.
    [Show full text]
  • Cranial Shape in Asian Homo Erectus: Geographic, Anagenetic, and Size-Related Variation
    Chapter 6 Cranial Shape in Asian Homo erectus: Geographic, Anagenetic, and Size-Related Variation Karen L. Baab Abstract A strong focus on the morphological differences Introduction between African and Asian H. erectus has generally overshadowed variation among populations of Asian Despite the implicit assumption of broad homogeneity H. erectus. This study explored variation in Asian H. erectus within Asian H. erectus, there is variation in the cranial using 3D geometric morphometric methods, examining morphology of the Javanese and Chinese H. erectus sam- the shape of the neurocranium, frontal bone, occipital ples. This diversity has implications for the interpretation of bone and temporal base. Analyses focused on the elucida- tion of geographic, temporal and size-related patterns of the taxonomy and evolutionary history of H. erectus. cranial shape variation in a representative sample from Although H. erectus s.l. is now known from sites across the Zhoukoudian, Sangiran, Ngandong, Sambungmacan and Old World, the initial H. erectus discoveries were from sites Ngawi. In regards to the neurocranium, geographic dif- on the Indonesian island of Java (Trinil; Dubois 1894), and ferences explained the greatest proportion of variation, from mainland China (Zhoukoudian; Black 1929). A pre- followed by geochronological age (these two factors occupation with the distinctions between African and Asian explained similar shape differences within the neurocra- H. erectus has generally overshadowed potential variation nium) and size. The temporal base, frontal and occipital within Asian H. erectus (e.g., Wood 1984, 1994; Andrews bones were strongly influenced by geography and size. 1984; Stringer 1984; Villmoare 2005). Yet, those studies Although the later Javanese and Zhoukoudian specimens that have explored differences within and among Asian were generally distinct, there was some overlap between H.
    [Show full text]