KEBIJAKAN KEPALA DESA DALAM PEMBANGUNAN DESA SADA PERARIH KECAMATAN MERDEKA KABUPATEN KARO

SKRIPSI

Oleh :

Monas Subrianto Karo Karo 140906013

Dosen Pembimbing : Prof. Subhilhar, MA, Ph.D

DEPARTEMEN ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2021

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

MONAS SUBRIANTO KARO KARO (140906013) KEBIJAKAN KEPALA DESA DALAM PEMBANGUNAN DESA SADA PERARIH KECAMATAN MERDEKA KABUPATEN KARO Rincian isi skripsi: 55 Halaman, 15 buku, 4 jurnal, 3 sumber internet

ABSTRAK Penulisan tugas akhir (skripsi) ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan Kepala Desa Sada Perarih Kecamatan Merdeka Kabupaten Karo dapat dalam upaya pengawalan yang intensif dari pihak aparat pemerintahan desa. Kepala desa beserta jajarannya yang bekerjasama dengan tokoh-tokoh masyarakat, kepala desa berkewajiban mendampingi semua pembangunan secara fisik yang ditetapkan oleh hasil Musrembang di tingkat desa. Karena anggaran yang diperlukan untuk pembangunan desa, sebagian besar merupakan pemberian dari pemerintah kabupaten, peran kepala desa dalam pembangunan di desa Sada Perarih ditentukan oleh hal-hal yang menyangkut partisipasi masyarakat, kerjasama antar sesama perangkat, ketersediaan sarana dan prasarana desa, dan kualitas sumber daya aparat desa.

Kata kunci : Desa, Kepala Desa, Kebijakan, Pembangunan

iii

Universitas Sumatera Utara UNIVERSITY OF FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE

MONAS SUBRIANTO KARO KARO (140906013) VILLAGE HEAD POLICY IN DEVELOPING VILLAGE SADA PERARIH KECAMATAN MERDEKA KABUPATEN KARO Details of thesis content: 55 pages, 15 books, 4 journals, 3 internet sources

ABSTRACT

Writing this thesis (thesis) aims to find out the policies of the Village Head of Sada Perarih, Merdeka District, , in an intensive effort to guard the village government apparatus. The village head and his staff who work together with community leaders, and the village head are obliged to physically assist all developments determined by the results of the Musrembang at the village level. Since the budget needed for village development is largely a gift from the district government, the role of the village head in development in the village of Sada Perarih is determined by matters relating to community participation, cooperation among apparatuses, availability of village facilities and infrastructure, and quality of resources. village officials.

KeywordsVillage, Head Village, Policy,Development

iv

Universitas Sumatera Utara KATA PENGANTAR

Segala Puji bagi Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik dan benar, guna untuk menyelesaikan studi penulis pada Strata-1 di Program Studi Ilmu Politik, Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Walau penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, namun penulis berharap, dengan adanya skripsi ini mampu membawa manfaat bagi para pembacanya dikemudian hari. Tak lupa ucapan terima kasih kepada pihak-pihak terkait yang turut serta secara langsung dan tidak langsung dalam pengerjaan skripsi ini, diantaranya :

1. Terima kasih kepada kedua orang tua penulis, karena tanpa doa dari

mereka penulis mungkin tak akan mampu menyelesaikan skripsi ini.

Semoga Tuhan selalu memberkati kedua orang tua penulis.

2. Terima kasih kepada Dekan FISIP USU, Bapak Dr. Muryanto Amin, M.Si,

terima kasih pula kepada bapak Prof. Subhilhar, MA, Ph.D , selaku dosen

pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis

sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa juga terima

kasih kepada Ketua Prodi Ilmu Politik, Bapak Warjio, Ph.D, serta dosen-

dosen dan seluruh staf yang turut membantu selama masa perkuliahan

penulis.

3. Terima kasih pula kepada teman-teman Ilmu Politik stambuk 2014 serta

teman-teman lain yang tidak bisa dituliskan satu per satu yang juga turut

mewarnai hari-hari penulis dibangku perkuliahan ini.

v

Universitas Sumatera Utara Demikian ucapan terima kasih dari penulis, mohon maaf apabila ada pihak- pihak yang tidak disebutkan. Sekian kiranya, semoga skripsi yang jauh dari kata sempurna ini bisa membawa manfaat bagi yang membutuhkan.

Hormat Saya,

Monas Subrianto Karo Karo

vi

Universitas Sumatera Utara DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ...... i

HALAMAN PENGESAHAN ...... ii

ABSTRAK ...... iii

ABSTRACT ...... iv

KATA PENGANTAR ...... vii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ...... 1

1.2 Rumusan Masalah ...... 3

1.3 Tujuan Penelitian ...... 4

1.4 Manfaat Penelitian ...... 4

1.5 Kajian Teori ...... 4

1.6 Metodologi Penelitian ...... 5

1.6.1 Teori Kebijakan Publik ...... 5

1.6.2 Implementasi Kebijakan Publik ...... 7

1.6.3 Teori dan Konsepsi Desa ...... 11

1.7 Sistematika Penulisan ...... 15

1.7.1 Teknik Pengumpulan Data ...... 16

1.7.2 Teknik Analisis Data ...... 16

1.8 Sistematika Penulisan ...... 17

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Profil Desa ...... 19

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Pembahasan...... 25

vii

Universitas Sumatera Utara 3.1.1 Kebijakan Kepala Desa ...... 25

3.1.2 Pembangunan Desa Sada Perarih Kecamatan Perarih

Kabupaten Karo ...... 43

BAB IV PENUTUP ...... 56

4.1 Kesimpulan ...... 56

4.2 Saran ...... 56

DAFTAR PUSTAKA ......

LAMPIRAN

viii

Universitas Sumatera Utara BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pelaksanaan pembangunan desa, sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam

Negeri Nomor 114 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pembangunan Desa, sangat jelas disebutkan dalam pasal 1 ayat 9 bahwa: Pembangunan Desa adalah upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa. Selajutnya dalam asas pengeleloaan keuangan desa pasal 2 ayat

1 dan 2 disebutkan bahwa: pemerintah desa menyusun perencanaan Pembangunan

Desa sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota, pembangunan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dengan melibatkan seluruh masyarakat desa dengan semangat gotong royong.

Desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki wewenang untuk mengurus pemerintahannya sendiri berdasarkan hak asal usul dan adat istiadatnya yang diakui oleh pemerintah nasional. Desa dapat dimaknai menjadi tiga yaitu secara sosiologi, administrasi negara, secara histori dan politik. Secara sosiologi desa merupakan sebagai daerah pedesaan yang jauh dari perkotaan.

Secara administrasi negara desa merupakan satuan Pemerintahan Desa, secara historis dan politik desa merupakan sumber kekuatan dan ketahanan bangsa di masa perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan.1

Desa diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2014, dalam UU No. 6 Tahun 2014

1 Sigit Pamungkas. Partai Politik, Teori dan Praktik di Indonesia.Yogyakarta: Institute for Democracy and welfarism, 2011, hal. 17

1

Universitas Sumatera Utara dijelaskan mengenai desa, yakni pada Pasal 1 dikatakan: “Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Kepala desa merupakan aktor dalam pembangunan desa, memiliki wewenang untuk mengurus dan mengatur masyarakatnya. Dalam melaksanakan wewenang tersebut pemerintah desa memiliki sumber-sumber penerimaan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan. Dalam pembangunan desa, sangat perlu adanya pelibatan masyarakat dalam proses penyusunan, penetapan, pelaksanaan, karena strategi yang paling jitu dalam mengakomodasi berbagai kebutuhan yang berkembang dimasyarakat desa adalah keterlibatan masyarakat dalam setiap tahapan.2

Selama ini, kebijakan pembangunan di Indonesia terutama pembangunan

Desa selalu bersipat top down dan sektoral dalam perencanaan serta implementasinya tidak terintegrasi, hal ini dapat dilihat dari program pemerintah pusat yaitu melalui setiap kementerian yang sifatnya sektoral. Perencanaan disusun tanpa melibatkan sektor yang lain serta pemerintah daerah, hal lain yang menjadi permaslahan adalah tidak dicermatinya persoalan mendasar yang terjadi di daerah, sehingga formulasi strategi dan program menjadi tidak tepat.3 Berkaitan dengan

2 Ibid, hal.19-22 3 Adisasmita, Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan. Graha Ilmu. Yogyakarta. 2006, hal.44

2

Universitas Sumatera Utara kemiskinan, sebagaimana terinformasikan dalam data statistik, ternyata sebagian besar masyarakat miskin berada di desa, oleh karena itu, pembangunan sudah sewajarnya difokuskan di didesa sebagai upaya mengatasi kemiskinan,

Pembangunan selama ini, lebih banyak di arahkan di kota, hal ini menyebabkan aktivitas perekonomian, berpusat di kota, hal inilah yang menyebabkan terjadinya migrasi dari desa ke kota. Masyarakat desa dengan segala keterbatasan pindah ke kota mengadu nasib dan sebagian besar dari mereka menjadi persoalan besar di kota. Disisi lain, kondisi di desa tidak tersentuh pembangunan secara utuh, infrastruktur dasar tidak terpenuhi, aktivitas ekonomi sangat rendah, peluang usaha juga rendah, sarana pendidikan terbatas, sebagian besar baru terpenuhi untuk sekolah dasar saja, Kondisi ini menyebabkan tidak ada pilihan lain bagi masyarakat desa untuk merubah nasibnya, yaitu dengan merantau ke kota.4

Berdasarkan latar belakang diatas, penelitian ini nantinya akan melihat bagaimana kebijakan kepala Desa Sada Perarih Kecamatan Merdeka Kabupaten

Karo dalam pembangunan Desa. Sehingga dengan permasalahan tersebut, peneliti ingin melihat bagaimana proses pelaksanaan kebijakan kepala Desa dalam pembangunan Desa di Desa Sada Perarih Kecamatan Merdeka Kabupaten Karo.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana proses pelaksanaan kebijakan kepala Desa dalam melakukan

pembangunan Desa di Desa Sada Perarih Kecamatan Merdeka Kabupaten

4 Ibid, hal.47-50

3

Universitas Sumatera Utara Karo?

2. Bagaimana kebijakan kepala Desa Sada Perarih Kecamatan Merdeka

Kabupaten Karo dalam pembangunan Desa?

1.3 Batasan Masalah

Batasan dalam penelitian ini adalah proses penetapan kebijakan kepala Desa dalam melakukan pembangunan Desa di Desa Sada Perarih Kecamatan Merdeka

Kabupaten Karo.

1.4 Tujuan Penelitian

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pelaksanaan

kebijakan kepala Desa Sada Perarih Kecamatan Merdeka Kabupaten

Karo, dalam melakukan pembangunan Desa.

2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan kepala Desa

Sada Perarih Kecamatan Merdeka Kabupaten Karo dalam

melakukan pembangunan Desa.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Secara akademis, peneliti ini dapat memperkaya ilmu pengetahuan

dibidang ilmu politik khususnya dalam kajian mengenai pemerintahan

Desa.

2. Secara praktis, dapat menjadi bahan kajian dan literatur daftar pustaka

sebagai bahan kajian mengenai pemerintahan desa atau sekedar

menjadikan bahan bacaan dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan

4

Universitas Sumatera Utara desa.

3. Bagi penulis, sarana pengalaman dalam pelaksanaan kegiatan penelitian dan

melatih untuk menulis sebuah karya ilmiah yang penting bagi akademisi

terkhusus dalam bidang ilmu politik.

1.6 Kajian Teori

1.6.1 Teori Kebijakan Publik

Menurut James Anderson kebijakan publik merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Konsep kebijakan ini kita anggap tepat karena memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan.4 Keterlibatan aktor-aktor dalam perumusan kebijakan kemudian menjadi ciri khusus dari kebijakan publik.

Ini disebabkan oleh kenyataan bahwa kebijakan itu diformulasikan oleh apa yang dikatakan David Easton sebagai “penguasa” dalam suatu sistem politik, yaitu para sesepuh tertinggi suku, anggota-anggota eksekutif, legislatif, yudikatif, administrator, penasihat, raja, dan semacamnya. Menurut Easton, mereka ini merupakan orang-orang yang terlibat dalam masalah sehari-hari dalam suatu sistem politik, diakui oleh sebagian terbesar anggota sistem politik, mempunyai tanggung jawab untuk masalah-masalah ini, dan mengambil tindakan-tindakan yang diterima secara mengikat dalam waktu yang panjang oleh sebagian terbesar anggota sistem politik selama mereka bertindak dalam batas-batas peran yang diharapkan.

Menurut James Anderson, implikasi dari kebijakan publik yaitu:

1. Selalu mempunyai tujuan tertentu/tindakan yang berorientasi pada tujuan.

5

Universitas Sumatera Utara 2. Berisi tindakan atau pola-pola tindakan pemerintah atau pejabat

3. Merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah bahkan

merupakan apa yang pemerintah maksud atau melakukan sesuatu atau

menyatakan melakukan sesuatu.

4. Bersifat positif, yang berarti merupakan beberapa bentuk tindakan

pemerintah mengenai masalah tertentu, dan bersifat negatif sebagai

keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu.

Kebijakan publik setidak-tidaknya dalam arti positif didasarkan atau selalu dilandaskan pada peraturan/undang-undang yang bersifat memaksa (otoritatif).

Sifat otoritatif dari kebijakan tersebut: Easton (1953) menyatakan dalam kebijakan publik, hanya pemerintahlah yang secara sah dapat berbuat sesuatu pada masyarakatnya, atau sering disebut pengalokasian nilai-nilai secara paksa kepada seluruh anggota masyarakat. Berarti bukan tindakan golongan yang sengaja merebut posisi pemerintah dalam urusan negara. Dari beberapa pengertian tersebut pada gilirannya di tingkatan praktik banyak kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sepenuhnya tidak terimplementasikan. Justru kebijakan hanya sebatas simbol dan formalitas dari suatu tatanan pemerintahan. Dalam tataran idealnya tindakan yang dilakukan oleh pemerintah seharusnya memberi makna yang berarti atau setidaknya akan berdampak positif bagi masyarakat. Dengan rasionalisasi bahwa kebijakan publik adalah yang berasal dari masyarakat dan mampu menjawab persoalan masyarakat. Sifat kebijakan publik sebagai arah tindakan dapat dipahami secara lebih baik bila konsep ini dirinci menjadi beberapa kategori, antara lain:

1. Tuntutan-tuntutan kebijakan (policy decisions) adalah tuntutan-tuntutan

6

Universitas Sumatera Utara yang dibuat oleh aktor-aktor swasta atau pemerintah, ditujukan kepada

pejabat pejabat pemerintah dalam suatu sistem politik. Tuntutan-tuntutan

tersebut berupa desakan agar pejabat-pejabat pemerintah mengambil

tindakan atau tidak mengambil tindakan mengenai suatu masalah tertentu.

Biasanya tuntutan-tuntutan ini diajukan oleh berbagai kelompok dalam

masyarakat dan mungkin berkisar antara desakan secara umum bahwa

pemerintah harus “berbuat sesuatu” sampai usulan agar pemerintah

mengambil tindakan tertentu mengenai suatu persoalan.

2. Keputusan-keputusan kebijakan (policy demands) didefenisikan sebagai

keputusan-keputusan yang dibuat oleh pejabat-pejabat pemerintah yang

mengesahkan atau memberi arah dan substansi kepada tindakan-tindakan

Kecamatan Merdeka Kabupaten Karo. Oleh Karena itu, Teori kebijakan

publik sangat berkaitan dan selaras untuk digunakan dalam penelitian ini.

1.6.2 Implementasi Kebijakan Publik

George C. Edwards (2002) menyatakan implementasi kebijakan adalah salah satu tahap kebijakan publik, antara pembentukan kebijakan dan konsekuensikonsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu, suatu kebijakan yang telah direncanakan dengan sangat baik, mungkin juga akan mengalami kegagalan, jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh para pelaksana kebijakan. Dalam mengkaji implementasi kebijakan,

Edwards mulai dengan mengajukan dua pertanyaan yakni: prakondisi-prakondisi

7

Universitas Sumatera Utara apa yang diperlukan sehingga suatu implementasi kebijakan berhasil dan hambatan hambatan utama apa yang mengakibatkan suatu implementasi gagal.

Edwards berusaha menjawab dua pertanyaan penting ini dengan membicarakan empat faktor atau variable krusial dalam implementasi kebijakan publik.

Oleh karena empat faktor yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan bekerja secara simultan dan berinteraksi satu sama lain untuk membantu dan menghambat implementasi kebijakan, maka pendekatan yang ideal adalah dengan cara merefleksikan kompleksitas ini dengan membahas semua faktor tersebut sekaligus untuk memahami suatu implementasi kebijakan perlu menyederhanakan, dan untuk menyederhanakan perlu merinci penjelasanpenjelasan tentang implementasi dalam komponen-komponen utama.

Patut diperhatikan disini bahwa implementasi dari setiap kebijakan merupakan suatu proses yang dinamis yang mencakup banyak interaksi dari banyak variabel. Oleh karenanya, tidak ada variabel tunggal dalam proses implementasi, sehingga perlu dijelaskan keterkaitan antara satu variabel dengan variabel lain, dan bagaimana variabel-variabel ini memengaruhi proses implementasi kebijakan.5

Berdasarkan pandangan yang diutarakan tersebut dapat disimpulkan bahwa proses implementasi kebijakan itu sesungguhnya tidak hanya menyangkut prilaku badan administratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran, melainkan pula menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi san sosial yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat dan yang

5 Beratha, Desa Masyarakat dan Pembangunan Desa. Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal.77

8

Universitas Sumatera Utara pada akhirnya berpengaruh terhadap tujuan kebijakan, baik yang negatif maupun yang positif.

Dalam mengkaji implementasi kebijakan, empat faktor atau variabel krusial dalam implementasi kebijakan publik yang dimaksud oleh George C. Edwards diantaranya:

1. Komunikasi

Agar implementasi menjadi efektif, maka mereka yang tanggungjawabnya adalah untuk mengimplementasikan sebuah keputusan mesti tahu apa yang seharusnya mereka kerjakan. Komando untuk mengimplementasikan kebijakan mesti ditransmisikan kepada personalia yang tepat dan kebijakan ini mesti akurat, jelas dan konsisten. Jika para pembuat keputusan ini berkehendak untuk melihat yang diimplementasikan tidak jelas dan bagaimana rinciannya maka kemungkinan akan timbul kesalahpahaman diantara pembuat kebijakan dan implementornya.

Komunikasi yang tidak cukup juga memberikan implementor dengan kewenangan ketika mereka mencoba untuk membalik kebijakan umum menjadi tindakan- tindakan khusus. Kewenangan ini tidak akan perlu dilakukan untuk memajukan tujuan para pembuat keputusan aslinya. Dengan demikian, perintah-perintah implementasi yang tidak ditransmisikan, yang terdistorsi dalam transmisi, atau yang tidak pasti atau tidak konsisten mendatangkan rintanganrintangan serius bagi implementasi kebijakan. Sebaliknya, ukuran-ukuran yang terlalu akurat mungkin merintangi implementasi dengan perubahan kreativitas dan daya adaptasinya.

2. Sumberdaya

Sumberdaya yang penting meliputi staf ukuran yang tepat dengan keahlian yang diperlukan, informasi yang relevan dan cukup tentang cara untuk

9

Universitas Sumatera Utara mengimplementasikan kebijakan dan dalam penyesuaian lainnya yang terlibat dalam implementasi. Kewenangan untuk meyakinkan bahwa kebijakan ini dilakukan semuanya sebagaimana dimaksudkan dan berbagai fasilitas (termasuk bangunan, peralatan, tanah, dan persediaan) di dalamnya atau dengannya harus memberikan pelayanan. Sumberdaya yang tidak cukup akan berarti bahwa undang- undang tidak akan diberlakukan, pelayanan tidak akan diberikan dan peraturan- peraturan yang layak tidak akan dikembangkan.

3. Disposisi

Disposisi atau sikap dari implementor adalah faktor kritis ketiga di dalam pendekatan terhadap studi implementasi kebijakan publik. Jika implementasi adalah untuk melanjutkan secara efektif, bukan saja mesti para implementor tahu apa yang harus dikerjakan dan memiliki kapasitas untuk melakukan hal ini, melainkan juga mereka mesti berkehendak untuk melakukan suatu kebijakan.

Para implementor kebanyakan bisa melakukan seleksi yang layak di dalam implementasi kebijakan. Salah satu dari berbagai alasan untuk ini adalah indenpendensinya dari atasan (superior) nominal yang merumuskan kebijakan.

Alasan lain adalah kompleksitas dari kebijakan mereka sendiri. Cara dimana para implementor ini melakukan seleksinya, bagaimanapun juga, bergantung sebagian besar pada disposisinya terhadap kebijakan. Sikap-sikapnya pada gilirannya, akan dipengaruhi oleh berbagai pandangannya terhadap kebijakan masing-masing dan dengan cara apa mereka melihat kebijakan yang mempengaruhi kepentingan organisasional dan pribadinya.

Para implementor tidak selalu siap untuk mengimplementasikan kebijakan sebagaimana mereka para pembuat kebijakan. Konsekuensinya, para pembuat

10

Universitas Sumatera Utara keputusan sering dihadapkan dengan tugas untuk mencoba untuk memanipulasi atau mengerjakan semua disposisi implementor atau untuk mengurangi opsiopsinya.

4. Struktur Birokrasi

Bahkan jika sumberdaya yang cukup untuk mengimplementasikan sebuah kebijakan ini ada dan para implementor tahu apa yang harus dikerjakan ini ada dan para implementor tahu apa yang harus dikerjakan dan ingin mengerjakannya, implementasi mungkin masih dicegah karena kekurangan dalam struktur birokrasi. Fragmentasi organisasi mungkin merintangi koordinasi yang perlu untuk mengimplementasikan dengan sukses sebuah kebijakan kompleks yang mensyaratkan kerjasama banyak orang, dan mungkin juga memboroskan sumberdaya langka, merintangi perubahan, menciptakan kekacauan, mengarah kepada kebijakan bekerja dalam lintas tujuan, dan menghasilkan fungsi-fungsi penting yang terabaikan.

Sebagaimana unit-unit organisasional menyelenggarakan kebijakan mereka mengembangkan prosedur pengoperasian standard (standart operating procedure

(SOP)) untuk menangani situasi rutin alam pola hubungan yang beraturan.

Malangnya, SOP yang dirancang untuk kebijakan-kebijakan masa depan sering tidak tepat bagi kebijakan-kebijakan baru dan mungkin menyebabkan perintangan terhadap perubahan, penundaan, pemborosan, atau tindakan-tindakan yang diinginkan. SOP kadang merintangi bukan membantu implementasi kebijakan.

1.6.3 Teori dan Konsepsi Desa

Menurut Wijaya (1999), desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat

11

Universitas Sumatera Utara berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah Kabupaten.

Desa dalam pengertian umum adalah sebagai suatu gejala yang bersifat universal, terdapat dimana pun di dunia ini, sebagai suatu komunitas kecil, yang terikat pada lokalitas tertentu baik sebagai tempat tinggal (secara menetap) maupun bagi pemenuhan kebutuhannya, dan yang terutama yang tergantung pada sektor pertanian.

Ciri utama yang terlekat pada setiap desa adalah fungsinya sebagai tempat tinggal (menetap) dari suatu kelompok masyarakat yang relatif kecil. Sementara itu Koentjaraningrat memberikan pengertian tentang desa melalui pemilahan pengertian komunitas dalam dua jenis, yaitu komunitas besar (seperti: kota, negara bagian, negara) dan komunitas kecil (seperti: band, desa, rukun tetangga dan sebagainya).

Dalam hal ini Koentjaraningrat mendefinisikan desa sebagai “komunitas kecil yang menetap tetap di suatu tempat”. Koentjaraningrat tidak memberikan penegasan bahwa komunitas desa secara khusus tergantung pada sektor pertanian.

Dengan kata lain artinya bahwa masyarakat desa sebagai sebuah komunitas kecil itu dapat saja memiliki ciri-ciri aktivitas ekonomi yang beragam, tidak di sektor pertanian saja.

Desa pada mulanya terbentuk karena adanya kearifan lokal dan adat lokal dalam suatu kelompok masyarakat untuk mengatur serta mengurus pengelolaan sumberdaya lokal seperti kebun, sungai, tanah, hutan, dan sebagainya yang diperuntukkan untuk kesejahteraan masyarakat komunal. Atas dasar inilah

12

Universitas Sumatera Utara kemudian konstitusi dan regulasi negara memberikan pengakuan atas keberadaan masyarakat adat atau desa.

Pada dasarnya, desa merupakan awal bagi terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia. Jauh sebelum negara modern ini terbentuk, kesatuan sosial sejenis desa atau masyarakat adat telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi sangat penting. Mereka ini merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri yang mengakar kuat serta relatif mandiri dari campur tangan kekuasaan dari luar.

Fiolosofi otonomi desa dianggap sebagai kewenangan yang telah ada, tumbuh mengakar dalam adat istiadat desa bukan juga berarti pemberian atau desentralisasi. Otonomi desa berarti juga kemampuan masyarakat dalam mengatur urusan rumah tangganya sendiri dan secara legal formal diatur oleh pemerintah pusat.

Prambudi (2004) menyatakan dari sudut pandang politik dan hukum, desa sering diidentikkan sebagai organisasi kekuasaan. Desa dipahami sebagai organisasi pemerintahan atau organisasi kekuasaan yang secara politis mempunyai wewenang tertentu dalam struktur pemerintahan negara. Dengan sudut pandang ini desa dipilah dalam beberapa unsur penting:

1. Adanya orang-orang atau kelompok orang.

2. Adanya pihak-pihak yang menjadi “penguasa” atau pemimpin.

3. Adanya organisasi ( badan ) penyelenggara kekuasaan.

4. Adanya tempat atau wilayah yang menjadi teritori penyelenggara

kekuasaan.

13

Universitas Sumatera Utara 5. Adanya mekanisme, tata aturan dan nilai, yang menjadi landasan dalam

proses pengambilan keputusan.

Selain itu dengan mengacu pada teori strukturasi pemerintahan desa yang diturunkan dari pemikiran (Giddens, 1984), dapat ditunjukkan betapa hubungan timbal balik antara “agensi dan struktur” sangat mempengaruhi derajat kinerja tata-pemerintahan desa yang ditampilkan ke hadapan masyarakat.Teori strukturasi ini membagi dua entitas yang saling berhubungan dan mempengaruhi.

Pemerintahan desa sebagai agen sangat dipengaruhi struktur pemerintahan khususnya pada tataran yang lebih tinggi. Kinerjanya sangat bergantung bagaimana anggaran dibentuk. Pengaruh masyarakat desa sebagaisuatu struktur juga dapat memengaruhi pemerintahan desa dapat berjalan.

Sebagai ruang (space), tersedianya arena perencanaan pembangunan, social capital, penyelenggaraan pelayanan publik, gerakan sosial, pemberdayaan, partisipasi, dan lain-lain. Kondisi demikian tentu harus terus dipelihara agar tatanan kehidupan masyarakat desa dapat tetap bertahan sesuai dengan semangat hadirnya sebuah desa dalam kehidupan masyarakat lokal.

Selain desa juga ada kelurahan yang juga digunakan dalam konteks tata pemerintahan Indonesia. Sehingga perlu kiranya dipahami konseptualisasi antara kedua lembaga tersebut yang dapat kita lihat melalui konsep self-governing community dan local state government. Sementara itu ada pula upaya untuk menjelaskan pengertian tentang desa melalui cara membandingkan karakteristik desa yang kontras dengan karakteristik kota sebagaimana dikemukakan (Roucek dan Warren, 1962) dalam tabel berikut ini.

14

Universitas Sumatera Utara Tabel 1.1. Perbandingan Desa dan Kota

Karakteristik Desa Karakteristik Kota

1. besarnya peranan kelompok 1. besarnya peranan kelompok sekunder.

primer. 2. anonimitas merupakan ciri kehidupan

2. faktor geografik yang masyarakatnya.

menentukan sebagai dasar untuk 3. heterogen.

pembentukan kelompok/asosiasi. 4. mobilitas sosial tinggi.

3. hubungan lebih bersifat intim dan 5. tergantung pada spesialisasi.

awet. 6. hubungan antara orang satu dengan yang

4. homogen. lebih di dasarkan atas kepentingan dari

5. mobilitas sosial rendah. pada kedaerahan.

6. keluarga lebih ditekankan 7. lebih banyak tersedia lembaga atau

fungsinya sebagai unit ekonomi. fasilitas untuk mendapatkan barang dan

7. populasi anak dalam proporsi pelayanan.

yang lebih besar. 8. lebih banyak mengubah lingkungan.

Sumber: (Roucek dan Warren, 1962)

1.7 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam mengkaji bahan dan data dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna dari sejumlah kelompok maupun individu yang dianggap berasal dari masalah sosial dan kemanusiaan. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskriptifkan, menggambarkan atau melukiskan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fenomena yang terjadi. Jenis penelitian ini bersifat

15

Universitas Sumatera Utara deskriptif dengan metode kualitatif analisis. Penelitian deskriptif dilakukan untuk menjawab sebuah atau beberapa pertanyaan mengenai keadaan objek atau subjek amatan secara rinci.

Metode ini digunakan untuk menganalisis data serta digunakan untuk mengungkapkan dan memahami sesuatu di balik fenomena yang sedikit pun belum diketahui atau dapat juga digunakan untuk mendapatkan wawasan tentang sesuatu yang baru sedikit diketahui. Sehingga penelitian kualitatif ini memberi rincian yang kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan dengan metode kualitatif.

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pemerintah Desa Sada Perarih Kecamatan

Merdeka Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara.

1.7.1 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan data sekunder dimana dalam data sekunder merupakan data yang diperoleh baik yang belum di olah maupun yang telah diolah baik dalam bentuk angka maupun uraian. Data diperoleh dari literatur yang relevan dengan judul penelitian seperti buku- buku, jurnal, artikel, makalah, undang-undang, arsip dan sebagainya yang berupa dokumen.

1.7.2 Teknik Analisis Data

Sesuai dengan metode penelitian yang digunakan, maka analisis data dalam penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap antara lain:

Penyajian data, yaitu setelah data di reduksi, maka langkah selanjutnya adalah menyajikan data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat. Dengan menyajikan data maka akan memudahkan

16

Universitas Sumatera Utara untuk memahami apa yang terjadi dan merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan data yang di fahami tersebut.

Penarikan kesimpulan, yaitu suatu tahap lanjutan dimana pada tahap ini peneliti menarik kesimpulan dari temuan data. Penyajian data yang fokus dan sesuai dengan objek penelitian, kemudian akan mempermudah penulis untuk menarik kesimpulan dengan demikian substansi penelitian dapat diketahui dan berdampak bagi pembaca maupun masyarakat.

1. 8 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan suatu penjabaran rencana penulisan dengan tujuan untuk menjadikan penyusunan skripsi ini lebih terarah, maka penulis membagi sistematika penulisan skripsi ini sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang menguraikan latar

belakang pemilihan judul dan masalah, perumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi

penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : KAJIAN PUSTAKA

Pada bab ini akan menguraikan gambaran lokasi penelitian sebagai

sumber penelitian studi analisis yaitu Desa Sada Perarih

Kecamatan Merdeka Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara.

BAB III : PEMBAHASAN

Pada bab ini akan memuat data dan analisa data yang di dapat

17

Universitas Sumatera Utara dari hasil penelitian yang dilakukan terkait permasalahan yang

menjadi masalah penelitian.

BAB IV : PENUTUP

Bab ini akan berisikan kesimpulan dari hasil pembahasan pada

bab-bab sebelumnya. Pada bab ini akan menyimpulkan hasil

jaawaban dan pertanyaan yang dilihat dalam paenelitian ini serta

berisi saran baik yang bermanfaat bagi penulis.

18

Universitas Sumatera Utara BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Profil Desa

Kabupaten Karo adalah salah satu Kabupaten di provinsi Sumatra

Utara, Indonesia. ibu kota kabupaten ini terletak di . Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.127,25 km² dan berpenduduk sebanyak 415.878 jiwa

(2019). Kabupaten Karo berlokasi di dataran tinggi Karo, Bukit Barisan Sumatra

Utara. Terletak sejauh 77 km dari kota Medan, ibu kota Provinsi Sumatra Utara.

Wilayah Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi dengan ketinggian antara 600 sampai 1.400 meter di atas permukaan laut. Karena berada di ketinggian tersebut,

Tanah Karo Simalem, nama lain dari kabupaten ini mempunyai iklim yang sejuk dengan suhu berkisar antara 16 sampai 17° C.

Kabupaten Karo terdiri dari 17 kecamatan, 10 kelurahan, dan

259 desa dengan luas wilayah mencapai 2.127,00 km² dan jumlah penduduk sekitar 399.494 jiwa (2017) dengan kepadatan penduduk 187 jiwa/km². Sesuai dengan yang tertuang dalam surat keputusan Menteri Dalam Negeri No.118 tahun

1991 dan Surat Keputusan Gubernur KDH Tkt I Provinsi Sumatra Utara No.

138/21/1994 tanggal 21 Mei 1994 tentang data wilayah administrasi pemerintahan di Indonesia dan Sumatra Utara serta Peraturan Daerah Kabupaten Karo No.04 tentang Pembentukan Kecamatan Dolat Rayat, Kecamatan Merdeka, Kecamatan

Naman Teran dan Kecamatan Tiganderket serta pemindahan Ibu kota Kecamatan

Payung, maka di Kabupaten Karo terdapat 17 kecamatan, 248 desa serta 10 kelurahan.

19

Universitas Sumatera Utara Penduduk di Kabupaten Karo umumnya adalah suku Karo dan mayoritas menganut agama Kristen. Data BPS Kabupaten Karo 2020, penduduk yang beragama Kristen sebanyak 75,04% KristenProtestan 57,59% dan Katolik 17,46% dari 415.878 jiwa penduduk (tahun 2019). Selain itu agama Islam juga banyak dianut penduduk Kabupaten Karo, yakni mencapai 24.15% dan selebihnya agama Buddha 0,56%, Konghucu 0,23% dan Hindu 0,02%.

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan penelitian di Desa Sada Perarih

Kecamatan Merdeka. Di mana di Desa Sada Perarih Kecamatan Merdeka ini luas wilayahnya adalah 453ha, dan terletak di ketinggian 1380 MdPL. Desa Sada

Perarih juga memiliki 4 Dusun dengan jumlah kepala keluarga adalah 436 jiwa, dan jumlah penduduknya adalah 1747 jiwa.

Masyarakat Karo terkenal dengan semangat keperkasaannya dalam pergerakan merebut Kemerdekaan Indonesia, misalnya pertempuran melawan

Belanda, Jepang, politik bumi hangus. Semangat patriotisme ini dapat kita lihat sekarang dengan banyaknya makam para pahlawan di Taman Makam Pahlawan di

Kota Kabanjahe yang didirikan pada tahun 1950.

Penduduk di Desa Sada Perarih, Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo adalah masyarakat yang dinamis dan patriotis serta taqwa kepada Tuhan Yang

Esa. Masyarakatnya juga kuat berpegang kepada adat istiadat yang luhur, merupakan modal yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembangunan. Dalam kehidupan masyarakat di sini, idaman dan harapan (sura-sura pusuh peraten) yang ingin diwujudkan adalah pencapaian 3 (tiga) hal pokok yang disebut Tuah,

Sangap, dan Mejuah-juah, yakni :

1. Tuah, berarti menerima berkah dari Tuhan Yang Maha Esa, mendapat

20

Universitas Sumatera Utara keturunan, banyak kawan dan sahabat, cerdas, gigih, disiplin dan menjaga

kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk generasi yang akan

datang.

2. Sangap, berarti mendapat rejeki, kemakmuran bagi pribadi, bagi anggota

keluarga, bagi masyarakat serta bagi generasi yang akan datang.

3. Mejuah-juah, berarti sehat sejahtera lahir batin, aman, damai, bersemangat

serta keseimbangan dan keselarasan antara manusia dengan manusia, antara

manusia dan lingkungan, dan antara manusia dengan Tuhannya.

Ketiga hal tersebut adalah merupakan satu kesatuan yang bulat yang tak dapat dipisah-pisahkan satu sama lain. Ketiga hal tersebut adalah merupakan satu kesatuan yang bulat yang tak dapat dipisahpisahkan satu sama lain. Selain suku bangsa asli Karo masih terdapat suku bangsa lainnya, seperti: Suku Batak, Suku

Jawa, Suku Simalungun dan lain-lain. Jika dilihat dari kondisi sosial masyarakat di Kabupaten Karo pada umumnya penduduk di Kabupaten Karo mayoritas beragama Kristen Protestan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah tempat ibadah umat

Kristen lebih banyak bila dibandingkan dengan sarana ibadah agama lainnya walalupun pada dasarnya masyarakat di Kabupaten Karo terdiri dari beragam suku dan agama. Jumlah sarana ibadah yang ada saat ini di Kabupaten terdapat sebanyak 911 Unit, yang terdiri dari 164 Unit Mesjid, 51 Unit Langgar/Musholla,

538 Unit Gereja Protestan, 148 Unit Gereja Katolik, 8 Unit Pura, dan 2 Vihara.

Jumlah sarana ibadah yang terbanyak terdapat di Kecamatan Percut Sei Tuan yaitu sebanyak 354 Unit.Sedangkan jumlah sarana ibadah yang terkecil terdapat di

Kecamatan Gunung Meriah yaitu hanya sebanyak 23 Unit.

Pemahaman tentang jumlah, struktur, dan pertumbuhan serta distribusi

21

Universitas Sumatera Utara penduduk sangat menentukan arah pembangunan di suatu daerah. Kondisi kependudukan akan mempengaruhi berbagai kebijaksanaan pembangunan dari berbagai sektor-sektor pelayanan dan pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintah.

Jumlah penduduk Kabupaten Karo terus tumbuh secara relatif cepat dan hal ini akan membawa perubahan pada sistem pelayanan pemerintah secara keseluruhan.

Hasil Sensus tahun 2010 Penduduk Kabupaten Karo berjumlah 350.960 jiwa.

Pada pertengahan tahun 2014, menurut proyeksi penduduk sebesar 382.622 yang mendiami wilayah seluas 2.127,25 Km². Kepadatan penduduk diperkirakan sebesar 180 jiwa/ Km² Laju Pertumbuhan Penduduk Karo Tahun 2010 – 2014 adalah sebesar 2,18 persen per tahun Tahun 2014 di Kabupaten Karo Penduduk laki-laki lebih sedikit dari Perempuan. Laki-laki berjumlah 189.815 jiwa dan

Perempuan berjumlah 192.807 jiwa. Sex rasionya sebesar 98,45. Selanjutnya dengan melihat jumlah penduduk yang berusia dibawah 15 tahun dan 65 tahun keatas maka diperoleh rasio ketergantungan sebesar 58,78 yang berarti setiap seratus orang usia produktif menanggung 59 orang dari usia dibawah 15 tahun dan

65 tahun ke atas. Beban tanggungan anak bagi usia produktif sebesar 51 dan beban tanggungan lanjut usia bagi penduduk usia produktif sebesar 8.

Kawasan permukiman terdiri dari permukiman perkotaan dan permukiman pedesaan. Pengembangan Permukiman pada hakekatnya bertujuan untuk mewujudkan kondisi permukiman perkotaan dan perdesaan yang sehat dan layak huni (liveable), aman, nyaman, damai dan berkelanjutan sehingga tercipta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam rangka mempercepat pertumbuhan dan pengembangan permukiman, Pemerintah Kabupaten Karo merencanakan penetapan Desa Pusat Pertumbuhan (DPP) di beberapa lokasi. Dalam proses

22

Universitas Sumatera Utara penetapannya dengan memperhatikan berbagai faktor, seperti potensi ekonomi kawasan, jumlah penduduk, prasarana dan sarana dasar serta potensi-potensi lain yang belum tergali yang diperkirakan mampu meningkatkan kawasan menjadi lebih mandiri dan berkembang. Di sisi lain, terdapat lingkungan permukiman yang telah berkembang relatif sangat cepat dengan jumlah penduduk yang cukup tinggi sehingga cenderung mengakibatkan lingkungan permukiman menjadi kumuh

(slum area) karena keterbatasan ketersediaan prasarana dan sarana dasar. Kawasan permukiman perkotaan dikembangkan pada daerah pusat-pusat pelayanan, yaitu pada setiap ibukota kecamatan.

Pengembangan kawasan permukiman perkotaan utama akan direncanakan pada Kota Kabanjahe. Pengembangan kawasan permukiman perkotaan tersebut dilakukan dengan meningkatkan fasilitas-fasilitas pelayanan yang seharusnya ditempatkan sesuai dengan fungsi kotanya, seperti fasilitas pendidikan, kesehatan perdagangan, perekonomian, pemerintahan, jasa, dan lain sebagainya.

Pengembangan kawasan permukiman perkotaan di Kabupaten Karo diarahkan pada penyediaan prasarana dan sarana dasar (PSD) bagi kawasan rumah sehat sederhana (RSH), penataan dan peremajaan kawasan, serta peningkatan kualitas permukiman. Tingginya kebutuhan perumahan dan permukiman di perkotaan membawa dampak tumbuhnya kantong-kantong permukiman kumuh yang baru.

Hal ini menggambarkan bahwa kebutuhan akan lahan dan ruang untuk tempat tinggal dan kegiatan usaha semakin meningkat sedangkan ketersediaan lahan dan ruang di perkotaan semakin terbatas, disisi lainnya tingginya kecenderungan masyarakat yang ingin berdomisili dekat dengan pusat kota. Konsekuensi logisnya pusat kota tidak mampu lagi mengakomodasi aktivitas masyarakat sehingga

23

Universitas Sumatera Utara berdampak pada sistem pelayanan perkotaan, kualitas lingkungan, dan masalah sosial semakin kompleks. Untuk mengantisipasi fenomena ini, Pemerintah

Kabupaten Karo berupaya membuka akses ke pinggiran kota dengan membuka prasarana jalan baru, menata lingkungan kumuh berbasis komunitas dengan menciptakan kemandirian masyarakat dalam memelihara lingkungan permukimannya menjadi tertata, bersih, dan layak huni.

Pembangunan Kawasan Terpilih Pusat Pertumbuhan Desa (KTP2D) merupakan pendekatan pembangunan kawasan perdesaan dengan cara mengembangkan potensi unggulannya, yaitu suatu sumber daya dominan baik yang belum diolah (eksplorasi) maupun sumber daya yang tersembunyi berupa sumber daya alam, sumber daya buatan ataupun sumber daya manusia yang difokuskan pada kemandirian masyarakat, yaitu pemberdayaan masyarakat, ekonomi dan pendayagunaan prasarana dan sarana permukiman. Pembangunan dan pengembangan pusat pertumbuhan permukiman perdesaan dan kawasan agropolitan perlu dilakukan secara bertahap sehingga nantinya antar kawasan memiliki potensi dan karakteristik khas yang saling mendukung dan melengkapi.

Keterpaduan antar kawasan akan lebih efisien dan efektif dalam penyediaan prasarana dan sarana dasar perdesaannya.

24

Universitas Sumatera Utara BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Pembahasan

3.1.1 Kebijakan Kepala Desa

Kepala Desa merupakan pemegang kendali dalam pembangunan di wilayah desa. Oleh karena itu kepala desa beserta jajarannya merupakan penanggung jawab atas jalannya roda pemerintahan dan roda pembangunan sehingga maju mundurnya pembangunan di desa tergantung dari kinerja Kepala

Desa dalam mempengaruhi masyarakatnya untuk turut serta di dalam pembangunan. Sebagaimana pembangunan di desa, yang diatur dalam pasal 3

Permendagri Nomor 114 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pembangunan Desa ditegaskan bahwa Pembangunan desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 mencakup bidang penyelenggaraan pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa.

Kepala Desa merupakan pemegang kendali dalam pembangunan di wilayah desa. Oleh karena itu kepala desa beserta jajarannya merupakan penanggung jawab atas jalannya roda pemerintahan dan roda pembangunan sehingga maju mundurnya pembangunan di desa tergantung dari kinerja Kepala

Desa dalam mempengaruhi masyarakatnya untuk turut serta di dalam pembangunan. Sebagaimana pembangunan di desa, yang diatur dalam pasal 3

Permendagri Nomor 114 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pembangunan Desa ditegaskan bahwa Pembangunan desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 mencakup bidang penyelenggaraan pemerintahan Desa, pelaksanaan

25

Universitas Sumatera Utara pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang petunjuk pelaksanaan undang-undang desa, dalam struktur organisasi pemeritahan tertinggi yang dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh perangkat desa. Kepala

Desa diangkat dan dilantik oleh bupati melalui pemilihan langsung oleh penduduk desa warga negara Republik Indonesia dengan masa jabatan 6 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali . Kepala desa berkedudukan sebagai sebagai alat Pemerintah Desa yang memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa.

Kepala Desa bukan saja menjalankan pemerintahan, membina ketertiban dan ketentraman, menjaga supaya hukum yang dilanggar dapat dipulihkan seperti sediakala, tetapi juga agar orangorang yang melanggar hukum itu tidak mengulangi lagi perbuatannya dan orangorang yang telah didamaikan benar-benar damai seperti semula.

Kepala desa berkedudukan sebagai sebagai alat Pemerintah Desa yang memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa. Kepala Desa bukan saja menjalankan pemerintahan, membina ketertiban dan ketentraman, menjaga supaya hukum yang dilanggar dapat dipulihkan seperti sediakala, tetapi juga agar orangorang yang melanggar hukum itu tidak mengulangi lagi perbuatannya dan orangorang yang telah didamaikan benar-benar damai seperti semula. Kepala

Desa adalah kepala organisasi pemerintahan desa yang berkedudukan strategis dan mempunyai tanggung jawab yang luas. Tanggung jawab meliputi urusan tugas pekerjaan yang terpisah dan terbagi kepada pejabat instansi pemerintah berdasarkan asas dekonsentrasi dan desentraliasi, sedangkan di desa tanggung

26

Universitas Sumatera Utara jawab urusan tugas pelayanan itu terpusat pada Kepala Desa. Tanggung jawab urusan tugas pekerjaan itu dapat dilaksanakan sendiri oleh Kepala Desa atau melalui orang lain.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, Kepala Desa mempunyai tugas dan kewajiban: memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa dan pelaksanaan pendataan penduduk untuk kepentingan nasional dan melaporkannya kepada pemerintah melalui bupati dan tembusan camat, membina kehidupan masyarakat desa, membina perekonomian desa, memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat desa, mendamaikan perselisihan masyarakat di desa, di bantu oleh lembaga adapt desa, mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukumnya, mengajukan rancangan peraturan desa dan bersama BPD menetapkannya sebagai peraturan desa, menjaga kelestarian adat istiadat yang hidup dan berkembang didesa bersangkutan.

Kepala desa merupakan pimpinan penyelenggara desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama BPD ( Badan Permusyawaratan Desa ), perangkat desa tersebut bertugas untuk membangun desa dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan juga untuk mengembangkan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada di desa tersebut. Kepala desa juga bertugas untuk mengembangkan potensi masyarakat dalam desa tersebut, masyarakat diberikan pelayanan yang baik sehingga masyarakat ikut serta dalam pengembangan desa tersebut, salah satu contohnya masyarakat diberikan pelatihan dalam bidang pengembangan usaha untuk meningkatkan taraf hidup. Kepala desa juga berfungsi untuk mengajak masyarakat dalam partisipasi gotong- royong dalam desa tersebut

27

Universitas Sumatera Utara bertujuan untuk mengarahkan masyarakat semakin aktif dalam menata dan menjaga kebersihan desa tersebut.

Dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 pasal 15 ayat (1) disebutkan bahwa kewajiban Kepala Desa adalah :

a. Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan

UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta

mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik

Indonesia;

b. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat;

c. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat;

d. Melaksanakan kehidupan demokrasi;

e. Melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang bersih dan bebas dari

Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme;

f. Menjalin hubungan kerja dengan seluruh mitra kerja pemerintahan desa;

g. Menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundangundangan;

h. Menyelenggarakan administrasi pemerintahan desa yang baik;

i. Melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan desa;

j. Melaksanakan urusan yang menjadi keuangan desa;

k. Mendamaikan perselisihan masyarakat di desa;

l. Mengembangkan pendapatan masyarakat dan desa;

m. Membina, mengayomi, dan melestarikan nilai-nilai sosial budaya dan adat

istiadat;

n. Memberdayakan masyarakat dan kelembagaan di desa;

28

Universitas Sumatera Utara o. Mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan

hidup.

Dalam meningkatkan kesejahteraan desa sebenarnya harus tetap dikerjakan oleh pengurus desa dan sekaligus partisipasi masyarakat sudah selayaknya untuk diberdayakan ditengah –tengah masyarakat luas.baik melalui pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kepala desa juga harus peka dalam melihat apa saja yang menjadi kebutuhan masyarakat itu sendiri, karena yang sering terjadi tidak sesuai seperti apa yang pernah mereka janjikan ketika mereka mencalonkan diri untuk petugas dalam desa tersebut. Peningkatan partisipasi politik masyarakat di

Desa harus terus dibina dan dikembangkan.

Kepala Desa adalah kepala organisasi pemerintahan desa yang berkedudukan strategis dan mempunyai tanggung jawab yang luas. Tanggung jawab meliputi urusan tugas pekerjaan yang terpisah dan terbagi kepada pejabat instansi pemerintah berdasarkan asas dekonsentrasi dan desentraliasi, sedangkan di desa tanggung jawab urusan tugas pelayanan itu terpusat pada Kepala Desa.

Tanggung jawab urusan tugas pekerjaan itu dapat dilaksanakan sendiri oleh

Kepala Desa atau melalui orang lain. dan sebagai pemimpin formal maupun informal, pemimpin yang setiap waktu berada di tengah-tengah rakyat yang dipimpinnya. Kepala desa mempunyai kewajiban memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada bupati/walikota, memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada Bamusdes, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada masyarakat. Pada bidang pemerintahan, terdapat perubahan yang timbul akibat kooptasi negara terhadap desa, di mana kelembagaan birokrasi negara sudah mulai masuk dan berkembang

29

Universitas Sumatera Utara pesat di dalamnya (desa). Secara keseluruhan di Indonesia juga sudah diterapkan pendekatan dengan struktur top-down yang merata sehingga mampu menghilangkan jati diri desa atau nagari atau sebutan-sebutan desa lainnya.6

Salah satu karakteristik pemimpin pemerintahan, khususnya pemerintahan desa adalah tanggap terhadap kondisi politik, baik dalam organisasi pemerintahan maupun dalam masyarakat, serta memberikan jawaban atau tanggapan atas kritik, saran dan mungkin juga pengawasan yang datangnya dari masyarakat, serta tanggap terhadap kondisi kelembagaan dalam desa tersebut, dalam artian memberikan perhatian serta tanggapan terhadap berbagai kebutuhan operasional dalam organisasi pemerintahan demi kelangsungan kehidupan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa.

Sebagaimana halnya pemimpin organisasi dalam desa, kepala desa juga dihadapkan pada berbagai keadaan dan tantangan dalam memimpin organisasi administrasi dalam desa, keadaan dan tantangan yang dihadapi para pemimpin desa adalah bagaimana mewujudkan dan meningkatkan partisipasi politik masyarakat, maka kepala desa dan masyarakat dituntut untuk bersikap proaktif dengan mengandalkan kepemimpinan yang berkualitas untuk membangkitkan semangat kerja dari pada masyarakat, disamping itu juga mampu untuk menggerakkan masyarakat berperan aktif dan berpartisipasi dalam pembangunan serta mampu menjadi Kreator, Inovator, dan Fasilitor dalam rangka efektifitas penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan, dan pelayanan kepada masayarakat.

6 Beratha, Desa Masyarakat dan Pembangunan Desa. Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal.90

30

Universitas Sumatera Utara Hal ini berakibat pada masyarakat desa yang menjadi ketergantungan daripada masyarakat yang independen, di mana peran negara terlihat begitu memusat apa lagi pada saat proses pengambilan keputusan di desa. Lebih jauh dalam perspektif ini, UU No. 5 Tahun 1979 menyebabkan hilangnya corak desa yang lama. UU No. 5 Tahun 1979 ini juga menghilangkan berbagai hak yang dimiliki oleh desa terkait hal pengaturan dan penguasaan atas aset utama masyarakat desa. Aset masyarakat desa tersebut berupa lingkungan (alam) yang sangat bernilai dan tidak bisa dipisahkan. Tanah dan air yang juga berasal dari sungai, serta hutan yang menjadi daerah resapan air maupun asel alam lain, menjadikan desa sebagai dasar penghidupan bagi masyarakat yang hidup berdampingan dengan alam secara damai sentosa.

Menurut Susmanto, melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, terjadi perlakukan yang tidak adil terhadap desa (Susmanto : 2001). Undang-undang ini dianggap mengabaikan hak-hak politik komunitas adat, serta penyeragaman yang mengakibatkan masyarakat adat di desa harus menyesuaikan diri dengan aturan yang ada dengan konsekuensi kehilangan kedaulatan ekonomi, politik, hukum maupun sosial budaya yang melekat pada sistem kehidupan komunitas mereka.

Setelah bergantinya Orde Baru ke Era Reformasi tahun 1998, menyebabkan kembalinya muncul kekuatak-kekuatan politik desa. Proses partisipasi politik masyarakat desa ini juga termobilisasi oleh faktor birokrasi pemerintah desa. Adanya kebijakan otonomi daerah pada awal reformasi melalui

UU No. 22 Tahun 1999, yang menegaskan bahwa pentingnya penguatan masyarakat ditingkat pedesaan.

31

Universitas Sumatera Utara Pada masa awal reformasi sampai dengan saat ini, pengembangan terhadap otonomi daerah, khususnya aturan terkait dengan desa terus mengalami perbaikan.

Pasca diubahnya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang desa menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, eksistensi desa semakin ditonjolkan dalam rangka pembangunan desa. Keluarnya Undang-Undang ini merupakan titik balik kembalinya fungsi dan makna desa yang sejak 1979 cenderung dikerdilkan oleh pemerintahan Orde Baru.

Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 setidaknya ingin menjawab dua persoalan, yaitu mengembalikan otonomi asli desa sebagaimana pernah hilang di masa orde baru akibat penyeragaman nomenklatur, dan disaat yang bersamaan ingin mengembangkan otonomi desa demi membatasi adanya intervensi otonomi daerah setelah reformasi, hal ini bertujuan agar pembangunan desa yang berasal dari komunitas desa itu sendiri (kearifan lokal). Terkait dengan penyeragaman nomenklatur desa yang dijalankan sebelumnya, di dalam Undang-Undang Nomor

6 Tahun 2014 disampaikan bahwa desa dan atau nama lain berhak mengatur dan mengurus urusannya masing-masing berdasarkan hak asal-usul yang diakui dan dihormati oleh negara berdasarkan amanah konstitusi pasal 18 b ayat (2) Undang-

Undang Dasar Tahun 1945.

Hak melaksanakan urusan desa masing-masing tersebut merupakan salah satu bentuk dari otonomi yang diberikan kepada desa. Terdapat kewenangan desa yang diatur dalam undang-undang tersebut sebagai bentuk pengakuan negara terhadap hak desa untuk mengatur urusannya sendiri. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 18 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, Kewenangan Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan

32

Universitas Sumatera Utara Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat

Desa. Pasal tersebut menunjukkan adanya keinginan dari pemerintah pusat untuk memberikan desa kewenangan mengatur urusannya berdasarkan nilai-nilai yang ada dan hidup pada masyarakat desa tersebut, atau berdasarkan kearifan lokal.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, Kepala Desa mempunyai tugas dan kewajiban: memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa dan pelaksanaan pendataan penduduk untuk kepentingan nasional dan melaporkannya kepada pemerintah melalui bupati dan tembusan camat, membina kehidupan masyarakat desa, membina perekonomian desa, memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat desa, mendamaikan perselisihan masyarakat di desa, di bantu oleh lembaga adapt desa, mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukumnya, mengajukan rancangan peraturan desa dan bersama BPD menetapkannya sebagai peraturan desa, menjaga kelestarian adat istiadat yang hidup dan berkembang didesa bersangkutan. Berdasarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014, kepala desa mempunyai wewenang menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.

Pelaksanakan tugasnya kepala desa mempunyai wewenang memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama BPD, mengajukan rancangan peraturan desa, menetapkan peraturan desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD, menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai APBDes untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD, membina kehidupan masyarakat desa, membina perekonomian desa, mengoordinasikan pembangunan desa secara partisipatif, mewakili desanya

33

Universitas Sumatera Utara di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Menurut Widjaja (2003:28) Pertanggungjawaban Kepala Desa dilakukan

Kepala Desa agar sendi tanggung jawab pelaksanaan pemerintahan yang dilakukan Kepala Desa kepada rakyat melalui BPD dapat dilihat sebagai perwujudan dari kedaulatan rakyat (demokrasi) dan perwujudannya ditingkat desa.

Usaha dalam mewujudkan pembangunan yang merata dan dapat dirasakan tidak hanya oleh masyarakat yang bermukim di inti kota tapi juga masyarakat yang berada pada demografi pinggiran semakin menjadi perhatian serius pemerintah. Melalui demokrasi lokal yang terus dikonsolidasikan, pemerintah semakin memperbesar ruang kewenangan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan yang berorientasi pada kepentingan lokal. Pada UU No. 23

Tahun 2014 mengenai Pemerintahan Daerah, terdapat makna jelas bahwa pembangunan yang berorientasi kepada kebutuhan dan kemampuan daerah menjadi hak sekaligus kewajiban pada tingkat pemerintahan daerah.

Angka kemiskinan di pedesaan semakin melonjak tinggi hingga melewati angka kemiskinan di kota. Persebaran angka kemiskinan di tiap-tiap daerah di

Indonesia per Maret 2018 menunjukkan keterpurukan masyarakat pedesaan. Jika dirata-rata, angka kemiskinan di perkotaan 6,64%, sedangkan di pedesaan

15,45%. Kenyataan itu menimbulkan ironi tersendiri. Pertama, desa adalah tempat produksi bahan-bahan pangan masyarakat. Persawahan dan kebun-kebun pada umumnya terletak di desa. Desa yang notabene menyediakan sumberdaya alam

34

Universitas Sumatera Utara untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Kedua, dalam kurun waktu empat tahun belakangan, pemerintahan desa berdasarkan Undang-undang Nomor 6

Tahun 2014 tentang Desa diberikan kewenangan lokal berskala desa. Di samping itu, desa juga mendapat dana transfer dari pusat berupa Dana Desa, di samping

Alokasi Dana Desa. Jumlah akumulatifnya berkisar Rp 1,2 miliar sampai dengan

Rp 2 miliar masing-masing desa sesuai dengan kondisi kemiskinan, luas, infrastruktur, dan tingkat kesulitan wilayah desa. Ketiga, pengalokasian Dana

Desa secara nasional selalu meningkat secara pesat disetiap tahunnya. Pada tahun

2015, telah dialokasikan sebesar Rp 20,77 triliun, lalu meningkat menjadi Rp

46,98 triliun pada tahun 2016, dan pada tahun 2017 dan 2018 alokasinya kembali meningkat menjadi Rp 60 triliun, dan pada 2019 direncanakan naik hingga Rp 80 triliun. Keempat, sesuai dengan Nawacita nomor tiga pemerintahan Jokowi –

Jusuf Kalla, yaitu membangun dari pinggiran, banyak program yang menyasar ke pedesaan, mulai dari program infrastruktur, pendidikan, kesehatan, pengembangan ekonomi, dan sebagainya. Kelima, pemerintah desa telah mendapatkan fasilitas tenaga pendamping desa, yang merupakan hasil implementasi melekat dengan UU

No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Pendamping desa ini dipilih, dilatih, dan ditugaskan untuk membantu pemerintah desa dalam menjalankan program-program pemerintah desa agar strategis dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan beserta turunannya yang berlaku. Perkembangan yang juga dimaksudkan dengan suatu proses perubahan dari suatu keadaan yang tidak baik menjadi keadaan yang lebih baik dalam kurun waktu yang tidak sama. Perkembangan setiap wilayah ini dikatakan tidaklah sama, jika tergantung pada potensi kemampuan dan kendala.

35

Universitas Sumatera Utara Potensi kemampuan dan kendala tersebut dapat mencakup faktor fisik maupun faktor sosial yang ada pada wilayah tersebut yang akhirnya akan mempengaruhi fungsi dan bentuk fisiknya (Syarif, A, 2014).

Dalam sejarah pemerintahan Indonesia, desa sudah ada sejak masa sebelum kolonial datang dan terbentuknya negara Indonesia. Sebagai suatu bentuk organisasi pemerintahan, desa memiliki otonomi asli. Otonomi asli yaitu hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus atau menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, yang diperoleh dari dalam masyarakat desa itu sendiri berdasarkan hukum adat.

Pada hakekatnya, otonomi daerah yang berdasarkan hukum adat sudah bertumbuh di dalam masyarakat desa tersebut. Penyelenggaraan pemerintahan desa yang mulanya diatur atas dasar hukum adat demi kepentingan masyarakat desa itu sendiri, kemudian mulai mengalami perubahan dengan munculnya campur tangan penguasa atau pemerintah yang derajatnya lebih tinggi.

Pembangunan dijalankan melalui penerapan otonomi daerah, yang saat ini tengah terjadi. Melalui otonomi daerah, masyarakat dapat memperoleh kemudahan dalam segala hal di bidang pelayanan masyarakat (Parjoko : 2002).

Pada hakekatnya otonomi di tingkat lokal adalah untuk memperkecil intervensi pemerintah pusat kepada daerah. Dalam konteks ini, Indonesia sebagai negara yang bersifat kesatuan (unitarisme), pemerintah daerah hanya menerima penyerahan dari pemerintah pusat (Sarundajang : 1999). Kewenangan yang dimiliki daerah bukan merupakan sesuatu yang lahir dari daerah tersebut, melainkan diberikan oleh pemerintah pusat sebagai bagian dari pemerataan pembangunan di tingkat lokal.

36

Universitas Sumatera Utara Menurut UU No. 6 Tahun 2014 pasal 1 ayat 1, bahwasanya desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, atau hak tradisional yang diakui dan dihormati selaku sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hak asal-usul dan hak tradisional desa dalam mengatur serta mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan dalam mewujudkan anggota masyarakat agar mencapai kesejahteraan. Dalam sejarah perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar dapat menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Sebagai struktur pemerintahan yang juga merupakan lapisan terbawah, kegiatan masyarakat di desa sudah seharusnya mendapatkan kesempatan agar masyarakat di desa mampu berdiri di atas kakinya sendiri dengan tiap-tiap potensi yang dimiliki.

Saat ini, otonomi pada lingkup terendah berada pada level desa. Otonomi desa merupakan gagasan yang merujuk pada kenyataan bahwasanya desa adalah sebuah etnisitas masyarakat otonom. Otonom di sini berartikan suatu kondisi atau keadaan yang di mana, kemerdekaan dan kebebasan tercipta sebagai sebuah identitas. Unsur kemerdekaan dan kebebasan ini jugalah yang dibawa oleh masyarakat desa itu sendiri. Kebebasan dan kemerdekaan untuk berperaturan sendiri dan mengatur dirinya sendiri. Secara substansial, terdapat perbedaan antara otonomi desa dengan otonomi daerah. Otonomi desa diberikan karena desa diakui

37

Universitas Sumatera Utara sebagai sebuah entitas yang mandiri dan memiliki akar sejarah sendiri.

Masyarakat desa merupakan awal dari terbentuknya entitas yang lebih luas, baik daerah maupun negara. Sehingga sejatinya, otonomi desa tersebut merupakan hal yang melekat pada masyarakat desa.

Pada umumnya, tiada satupun sumber yang memberikan informasi yang jelas terkait dengan awal mula tumbuhnya desa atau sejenisnya. Pada awalnya entitas mikro desa hanyalah kumpulan individu yang terikat berdasarkan kekerabatan keluarga. Hubungan keterkaitan atau kekerabatan keluarga ini terjadi melalui proses biologis, adanya tuntutan perekonomian serta insting politik ynag kemudian membuat terbentuknya marga yang menjadikannya semakin ekslusif dengan berbagai ciri tertentu, seperti keluarga besar Chaniago dari Sumatera Barat atau keluarga Latunrung dari Sulawesi Selatan. Dalam sosiologi pemerintahan yang menurut perspektifnya, entitas pemerintahan terendah seperti desa, telah diakui dan merupakan basis pertumbuhan pemerintahan yang lebih meluas dan kompleks seperti pemerintahan moderen saat ini (Mac Iver :1999).

Sebagai salah satu entitas penting di Negara Kesatuan Republik Indonesia, desa sebenarnya sudah ada sebelum proklamasi tahun 1945. Namun pada masa itu desa memiliki sistemnya sendiri dalam mengatur komunitas-komunitasnya, dan hal ini berlandaskan atas kearifan lokalnya masing-masing. Masyarakat yang secara langsung terlibat dalam kegiatan-kegiatan desa atau disebut juga gotong- royong ini juga menjadi sebuah prinsip utama dari pembangunan desa.

Desa yang pada dasarnya juga merupakan awal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia. Hal ini sudah terbukti dari jauh sebelum terbentuknya negara moderen, kesatuan sosial desa atau masyarakat adat telah

38

Universitas Sumatera Utara menjadi institusi sosial yang posisinya sangat penting. Hal ini membuatnya menjadi institusi yang otonom dengan mengandalkan adat istiadat, tradisi, dan hukum yang pada dasarnya sudah mengakar kuat dan relatif mandiri, tanpa melibatkan kekuasaan-kekuasaan dari luar (Santoso : 2003).

Di masa Orde Baru, pemerintahan desa diatur melalui UU No. 5 Tahun

1979. Pada masa ini, nilai-nilai kearifan pada masyarakat desa perlahan memudar diakibatkan kuatnya kewenangan pusat dalam mengatur desa. UU No. 5 Tahun

1979 mengenai Pemerintahan Desa yang secara substansial bersifat menyeragamkan desa baik nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahannya. Penyeragaman ini mengesampingkan beragamnya kultur masyarakat desa serta hak asal-usul daerah yang bersifat istimewa di Indonesia.

Dinamika pembangunan pada saat Orde Baru yang berorientasi mengejar ketertinggalan dalam sektor ekonomi yang mengakibatkan dinamika masyarakat yang tergeser dari politik ke ekonomi. Institusi politik desa yang sebelumnya telah kuat akan konfigurasi politik desanya, kini berganti menjadi lembaga-lembaga seperti Koperasi Unit Desa (KUD). Institusi ini juga bukan hanya berfungsi untuk memonopoli hasil pertanian desa, namun juga mengenyampingkan tradisi barter menjadi sistem ekonomi pertanian moderen. Sehingga mengakibatkan munculnya sejenis kapitalisme dalam masyarakat desa. Susunan tuan tanah (elite desa) ini juga berganti nama menjadi birokrat desa (elite baru) yang loyalitasnya tinggi terhadap pemerintahan orde baru.

Pada bidang pemerintahan, terdapat perubahan yang timbul akibat kooptasi negara terhadap desa, di mana kelembagaan birokrasi negara sudah mulai masuk dan berkembang pesat di dalamnya (desa). Secara keseluruhan di Indonesia

39

Universitas Sumatera Utara juga sudah diterapkan pendekatan dengan struktur top-down yang merata sehingga mampu menghilangkan jati diri desa atau nagari atau sebutan-sebutan desa lainnya.

Menurut Donal K Emmerson, UU No. 5 Tahun 1979 sebagai basis pemerintahan Orde Baru dalam mengatur pemerintahan desa juga dinilai sebagai intervensi negara terhadap masyarakat desa. Undang-undang ini dilihat sebagai awal politisasi negara terhadap desa. Bahkan dalam konsep desa juga diasumsikan sebagai model penyamarataan politik (political uniform) pemerintah terhadap pluralistiknya masyarakat Indonesia. Ciri-ciri desa pada masa pemerintahan Orde

Baru dapat dilihat dalam beberapa hal penting, yakni:

1. Adanya pemisahan antara kelurahan dengan desa yang otonom. Secara

nasional pemerintah terendah di desa dipegang oleh pegawai negeri.

2. Penghapusan lembaga perwakilan masyarakat desa.

3. Pengukuhan kepala desa sebagai pusat kekuasaan di desa.

4. Penyeragaman struktur organisasi pemerintah desa.

Hal ini berakibat pada masyarakat desa yang menjadi ketergantungan daripada masyarakat yang independen, di mana peran negara terlihat begitu memusat apa lagi pada saat proses pengambilan keputusan di desa. Lebih jauh dalam perspektif ini, UU No. 5 Tahun 1979 menyebabkan hilangnya corak desa yang lama. UU No. 5 Tahun 1979 ini juga menghilangkan berbagai hak yang dimiliki oleh desa terkait hal pengaturan dan penguasaan atas aset utama masyarakat desa. Aset masyarakat desa tersebut berupa lingkungan (alam) yang sangat bernilai dan tidak bisa dipisahkan. Tanah dan air yang juga berasal dari

40

Universitas Sumatera Utara sungai, serta hutan yang menjadi daerah resapan air maupun asel alam lain, menjadikan desa sebagai dasar penghidupan bagi masyarakat yang hidup berdampingan dengan alam secara damai sentosa.

Menurut Susmanto, melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, terjadi perlakukan yang tidak adil terhadap desa (Susmanto : 2001). Undang-undang ini dianggap mengabaikan hak-hak politik komunitas adat, serta penyeragaman yang mengakibatkan masyarakat adat di desa harus menyesuaikan diri dengan aturan yang ada dengan konsekuensi kehilangan kedaulatan ekonomi, politik, hukum maupun sosial budaya yang melekat pada sistem kehidupan komunitas mereka.

Setelah bergantinya Orde Baru ke Era Reformasi tahun 1998, menyebabkan kembalinya muncul kekuatak-kekuatan politik desa. Proses partisipasi politik masyarakat desa ini juga termobilisasi oleh faktor birokrasi pemerintah desa. Adanya kebijakan otonomi daerah pada awal reformasi melalui

UU No. 22 Tahun 1999, yang menegaskan bahwa pentingnya penguatan masyarakat ditingkat pedesaan.

Pada masa awal reformasi sampai dengan saat ini, pengembangan terhadap otonomi daerah, khususnya aturan terkait dengan desa terus mengalami perbaikan.

Pasca diubahnya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang desa menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, eksistensi desa semakin ditonjolkan dalam rangka pembangunan desa. Keluarnya Undang-Undang ini merupakan titik balik kembalinya fungsi dan makna desa yang sejak 1979 cenderung dikerdilkan oleh pemerintahan Orde Baru.

Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 setidaknya ingin menjawab dua persoalan, yaitu mengembalikan otonomi asli desa sebagaimana pernah hilang di

41

Universitas Sumatera Utara masa orde baru akibat penyeragaman nomenklatur, dan disaat yang bersamaan ingin mengembangkan otonomi desa demi membatasi adanya intervensi otonomi daerah setelah reformasi, hal ini bertujuan agar pembangunan desa yang berasal dari komunitas desa itu sendiri (kearifan lokal). Terkait dengan penyeragaman nomenklatur desa yang dijalankan sebelumnya, di dalam Undang-Undang Nomor

6 Tahun 2014 disampaikan bahwa desa dan atau nama lain berhak mengatur dan mengurus urusannya masing-masing berdasarkan hak asal-usul yang diakui dan dihormati oleh negara berdasarkan amanah konstitusi pasal 18 b ayat (2) Undang-

Undang Dasar Tahun 1945.

Hak melaksanakan urusan desa masing-masing tersebut merupakan salah satu bentuk dari otonomi yang diberikan kepada desa. Terdapat kewenangan desa yang diatur dalam undang-undang tersebut sebagai bentuk pengakuan negara terhadap hak desa untuk mengatur urusannya sendiri. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 18 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, Kewenangan Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan

Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat

Desa. Pasal tersebut menunjukkan adanya keinginan dari pemerintah pusat untuk memberikan desa kewenangan mengatur urusannya berdasarkan nilai-nilai yang ada dan hidup pada masyarakat desa tersebut, atau berdasarkan kearifan lokal.

Terkait dengan kearifan lokal, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 juga memasukkannya sebagai salah satu asas dalam penyelenggaraan pemerintahan desa yang diselenggarakan oleh pemerintah desa. Hal tersebut memungkinkan pemerintah desa melakukan pembangunan dengan pendekatan kearifan lokal yang

42

Universitas Sumatera Utara diterima oleh seluruh masyarakat desa hingga dapat mempercepat pembangunan yang direncanakan.

Pembangunan desa dalam kerangka kearifan lokal desa merupakan suatu bentuk warisan budaya Indonesia. Kearifan lokal dalam pembangunan desa terbentuk sebagai proses interaksi antara manusia dengan lingkungannya dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhannya. Proses-proses terbentuknya pembangunan desa yang bersifat kearifan lokal sangat bergantung kepada potensi sumberdaya alam dan lingkungan serta dipengaruhi oleh pandangan, sikap, dan perilaku masyarakat setempat terhadap alam dan lingkungannya. Secara substantif, kearifan lokal berorientasi pada keseimbangan dan harmoni manusia, alam, dan budaya kelestarian dan keragaman alam dan kultur, konservasi sumberdaya alam dan warisan budaya penghematan sumberdaya yang bernilai ekonomi moralitas dan spiritualitas.

3.1.2 Pembangunan Desa Sada Perarih Kecamatan Perarih Kabupaten Karo

Pembangunan Desa merupakan kegiatan yang mencakup seluruh aspek kehidupan dalam masyarakat Desa. Tujuan pembangunan Desa adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa, serta untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dan untuk penanggulangan kemiskinan. Hal ini sesuai dengan pasal 78 ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Oleh karena itu, salah satu usaha untuk meningkatkan pembangunan Desa sesuai yang diamanatkan Undang-Undang Desa dapat dilakukan dengan memberikan kewenangan kepada pemerintah Desa untuk mengelola daerahnya sendiri secara mandiri.

43

Universitas Sumatera Utara Hal ini sesuai dengan yang diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 6

Tahun 2014 Tentang Desa yang menyebutkan bahwa Desa memiliki wewenang untuk mengatur urusan pemerintahannya sendiri sesuai prakarsa masyarakat setempat. Berdasarkan hal tersebut dalam menyelenggarakan pemerintahannya,

Desa sebagai daerah otonom memiliki kewenangan dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa sendiri yang sesuai dengan aspirasi masyarakat. Kewenangan tersebut sudah dimandatkan oleh

Undang-undang yakni salah satunya dengan membentuk dan menjalankan Badan

Usaha Milik Desa (BUM Desa).

Pembangunan Desa muncul pada pelita I (19559-1974) yang melahirkan

Jendral Pembangunan Desa di Departemen Dalam Negeri sebagai suatu kreasi dan ikon Orde Baru. (Eko et al, 2014: 36). Pembangunan Desa sebagai suatu proses yang diarahkan untuk kepentingan masyarakat, diharapkan pelaksanannya bisa berjalan atas inisiatif masyarakat setempat. Dalam hal ini, partisipasi masyarakat

Desa sangat diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan yang ada di Desa.

Pembangunan pedesaan diarahkan secara optimal untuk memanfaatkan potensi sumber daya alam beserta sumber daya manusianya. Pembangunan perdesaan dikatakan telah berhasil apabila segala potensi yang tersedia di perdesaan digunakan secara maksimal dan mendapatkan hasil yang memuaskan.

(Mahardhani, 2014: 63). Hasil dari pembangunan diharapkan harus bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat Desa. Sebisa mungkin pembangunan Desa dilakukan dengan memanfaatkan segala potensi yang ada di Desa demi kualitas hidup masyarakat Desa. Karakteristik masyarakat Desa berbeda dengan karakteristik masyarakat yang tinggal di kota. Masyarakat yang tinggal di pedesaan cenderung

44

Universitas Sumatera Utara memegang erat adat istiadat. Perkembangan pada masyarakat Desa juga berjalan lambat.

Pembangunan bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan rakyat yang hasilnya dapat dinikmati oleh rakyat sebagai wujud peningkatan kesejahteraan adil dan merata di setiap aspek kehidupan. Pembangunan dilaksanakan secara terpadu, berkelanjutan dan terarah agar pembangunan yang berlangsung merupakan kesatuan pembangunan nasional. Pelaksanaan pembangunan desa, sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2014 Tentang

Pedoman Pembangunan Desa, sangat jelas disebutkan dalam pasal 1 ayat 9 bahwa: Pembangunan Desa adalah upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa. Selajutnya dalam asas pengeleloaan keuangan desa pasal 2 ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa: pemerintah desa menyusun perencanaan Pembangunan Desa sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan

Kabupaten/Kota, pembangunan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dengan melibatkan seluruh masyarakat desa dengan semangat gotong royong. Selama ini, kebijakan pembangunan di

Indonesia terutama pembangunan Desa selalu bersipat top down dan sektoral dalam perencanaan serta implementasinya tidak terintegrasi, hal ini dapat dilihat dari program pemerintah pusat yaitu melalui setiap kementerian yang sifatnya sektoral.

Pada hakekatnya, pengertian pembangunan secara umum pada hakekatnya adalah proses perubahan yang terus menerus untuk menuju keadaan yang lebih baik berdasarkan norma-norma tertentu. Mengenai pengertian pembangunan, para

45

Universitas Sumatera Utara ahli memberikan definisi yang bermacam-macam seperti halnya perencanaan.

Istilah pembangunan bisa saja diartikan berbeda oleh satu orang dengan orang lain, daerah yang satu dengan daerah lainnya, Negara satu dengan Negara lain.

Namun secara umum ada suatu kesepakatan bahwa pembangunan merupakan proses untuk melakukan perubahan (Tjokrowinoto, Moejiarto. 2007:15). Siagian

(2008:21) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building), sedangkan Beratha (1991:36) memberikan pengertian yang lebih sederhana, proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana.

Pembangunan (development) adalah proses perubahan yang mencakup seluruh system sosial, seperti politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan, pendidikan dan teknologi, kelembagaan, dan budaya (Affandi, 1996:49). Portes

(dalam Affandi, 1996:50) mendefinisiskan pembangunan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya. Sama halnya dengan Portes, menurut Deddy T.

Tikson (dalam Affandi 1996:50) bahwa pembangunan nasional dapat pula diartikan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya secara sengaja melalui kebijakan dan strategi menuju arah yang diinginkan. Sedangkan dalam pengertian ekonomi murni, pembangunan adalah suatu usaha proses yang menyebabkan pendapatan perkapita masyarakat meningkat dalam jangka panjang (Bintoro,

1978:13), dengan demikian, proses pembangunan terjadi di semua aspek kehidupan masyarakat, ekonomi, sosial, budaya, politik, yang berlangsung pada level makro (nasional) dan mikro. Makna penting dari pembangunan adalah

46

Universitas Sumatera Utara adanya kemajuan/perbaikan (progress), pertumbuhan dan diversifikasi.

Sebagaimana dikemukakan oleh para para ahli di atas, pembangunan adalah semua proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya secara sadar dan terencana (Trijono Lambang, 2007:73).

Pembangunan desa sebagai bagian integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional yang memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja kepala desa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan daerah secara menyeluruh (Basuki & Gayatri, 2009).

Dalam upaya mencapai tujuan pembangunan ekonomi daerah, kebijakan utama yang perlu dilakukan adalah mengusahakan semaksimal mungkin agar prioritas pembangunan daerah sesuai dengan potensi pembangunan yang dimiliki oleh daerah. Hal ini terkait dengan potensi pembangunan yang dimiliki setiap daerah sangat bervariasi, maka setiap daerah harus menentukan kegiatan sektor ekonomi yang dominan (Basuki & Gayatri, 2009).

Menurut Rizani (2017) ada dua faktor utama yang perlu diperhatikan dalam mengidentifikasi potensi kegiatan pembangunan daerah yaitu faktor sektor ekonomi yang unggul yang mempunyai daya saing beberapa tahun terkahir dan sektor ekonomi yang potensial untuk dikembangkan di masa mendatang. Dengan teridentifikasinya potensi kegiatan ekonomi daerah maka dapat disusun kebijakan pembangunan yang berlandaskan pada upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

47

Universitas Sumatera Utara Pembangunan Desa terdiri atas dua hal. Secara umum, menurut Kuncoro

(di dalam Ahmad, 2013: 80) pembangunan Desa terbagi atas : a. Pembangunan Fisik

Pembangunan fisik merupakan pembangunan yang hasilnya tampak secara mata, atau hasilnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Pembangunan ini merupakan salah satu penunjang dan sarana masyarakat yang bisa digunakan untuk melaksanakan aktivitas sehari-hari. Contoh dari pembangunan fisik atau infrastruktur antara lain yaitu berupa bangunan, fasilitas umum, pembangunan jalan raya, jembatan, pasar, listrik, air bersih, transportasi, dan sebagainya. b. Pembangunan Non Fisik

Pembangunan non fisik adalah jenis pembangunan yang muncul dari adanya dorongan masyarakat setempat, dan memiliki jangka waktu yang tidak sebentar. Pelaksanaan antara pembangunan fisik dan non fisik harus dilakukan dengan seimbang. Pembangunan yang bersifat non fisik kemudian dijadikan dasar dalam pembangunan fisik. Contoh dari pembangunan non fisik antara lain dalam pemenuhan kebutuhan di bidang ekonomi, pendidikan, dan sebagainya.

Seluruh potensi sumber daya alam, sebagai aktivitas penunjang perekonomian bisa dilaksanakan tanpa ada support bahan baku yang diproduksi di desa. Kondisi ini yang harus segera diselesaikan melalui strategi pembangunan desa yang tepat dan teritegrasi. Fakta lain memperlihatkan ekploitasi sumber daya alam di desa Sada Perarih secara besar-besaran, dengan tidak mencermati daya dukung lingkungan serta tidak melibatkan masyarakat setempat, dengan alasan kemampuan rendah dari masyarakat setempat, menyebabkan kerusakan lingkungan, baik fisik maupun sosial. Kondisi lingkungan menjadi rusak,

48

Universitas Sumatera Utara demikian juga terjadi trasformasi kultur secara negatif, sebagai akibat masuknya para pendatang baru yang menyebabkan strategi pembangunan dalam mengatasi kemiskinan tidak akan berhasil apabila tidak diintegrasikan dalam kebijakan pembangunan berkelanjutan yang secara sadar merubah pola konsumsi masyarakat dan cara-cara produksi yang tidak menunjang keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Pada dekade tujuh puluhan timbul perubahan pendekatan terhadap pembangunan. Siagian (2008:127), mendefiniskan pembangunan sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan manusia dalam mempengaruhi masa depannya.

Ada lima implikasi dari definisi tersebut, yaitu:

a. Pembangunan berarti membangkitkan kemampuan optimal manusia, baik

individu maupun kelompok.

b. Pembangunan berarti mendorong timbulnya kebersamaan, kemerataan

dan kesejahteraan.

c. Pembangunan berarti mendorong dan menaruh kepercayaan untuk

membimbing dirinya sendiri sesuai dengan kemampuan yang ada

padanya kepercayaan ini dinyatakan dalam bentuk kesempatan yang

sama, kebebasan memilih dan kekuasaan memutuskan.

d. Pembangunan berarti mengurangi ketergantungan Negara yang satu

dengan Negara lain dan menciptakan hubungan saling menguntungkan

dan dihormati.

Dalam kaitannya dengan Desa Sada Perarih Kecamatan Merdeka, berdasarkan pengamatan yang dilakukan dan sumber dari karokab.go.id, menemukan fenomena-fenomena bahwa: pertama, sampai saat ini belum ada

49

Universitas Sumatera Utara konsep/model pembangunan desa yang dapat menjadi solusi secara optimal dalam upaya pengentasan kemiskinan di desa. Kedua, pembangunan desa Sada Perarih yang dilaksanakan bersifat sektoral, yang hanya akan memberikan solusi secara parsial juga dan dengan waktu yang bersifat temporer, sehingga tidak ada jaminan kelangsungan program pembangunan tersebut. Ketiga, sumber daya manusia di desa Sada Perarih, baik aparat maupun masyarakatnya memberikan kontribusi besar terhadap melambatnya berbagai upaya pelaksanaan pembangunan desa Sada

Perarih, keterbatasan sumber pendanaan, baik dari desa maupun dari Kabupaten,

Provinsi dan Nasional, merupakan faktor utama lain yang menyebabkan lambatnya proses pembangunan desa Sada Perarih.

Menurut Undang Undang No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem

Perencanaan Pembangunan Nasional Pasal 1 ayat 3, Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional adalah kesatuan tata cara perencanaan pembanunan untuk menghasilkan rencana±rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah. Perencanaan Pembangunan dapat dilihat perbedanya dari segi jangka waktu rencana (Tjokrowinoto, 2007:75), yaitu:

1. Rencana Jangka Panjang. Perencanaan ini meliputi jangka waktu 10 tahun

keatas.

2. Rencana Jangka Menengah. Perencanaan ini meliputi jangka waktu antara 3

sampai dengan 8 tahun.

3. Rencana Jangka Pendek. Perencanaan dengan jangka waktu setengah sampai

dengan 2 tahun

50

Universitas Sumatera Utara Istilah perencanaan perspektif atau perencanaan jangka panjang biasanya mempunyai rentang waktu antara 10 sampai 25 tahun. Pada hakikatnya, rencana perspektif adalah cetak biru pembangunan yang harus dilaksanakan dalam jangka waktu yang panjang. Namun pada kenyataanya, tujuan dan sasaran luas tersebut harus dicapai dalam jangka waktu tertentu dengan membagi rencana perspektif itu kedalam beberapa rencana jangka pendek atau tahunan. (Trijono, 2007:50).

Pemecahan rencana perspektif menjadi rencana tahunan dimaksudkan agar perencanaan yang dibuat lebih mudah untuk dievaluasi dan dapat diukur kinerjanya.

Tujuan pokok rencana perspektif dan tahunan ini adalah untuk meletakan landasan bagi rencana jangka pendek, sehingga masalah±masalah yang harus diselesaikan dalam jangka waktu yang sangat panjang dapat dipertimbangkan dalam jangka pendek.

Disisi lain Anggaran yang disediakan/dialokasikan ke desa, baik dari

Kabupaten, Provinsi maupun dari Nasional, cenderung bersifat proyek yaitu hanya bersifat sesaat dan berdampak pada golongan tertentu saja di desa. Keempat, perencanaan yang disusun, walaupun telah melalui suatu proses yang panjang, yaitu dari Musrenbangdes, Musrenbangda, tetap tidak menujukan suatu streamline yang jelas serta tidak menujukan keterpaduan program, bahkan pada kebanyakan kasus perencanaan, usulan dari desa sejak di awal diskusi pada Musrenbangcam telah terelementasi.

Mengenai kebijakan kepala desa Sada Perarih yang terkait dengan pembangunan yang ada sudah meningkat, meningkat di sini bisa dikatakan semi perkotaan, karena secara geografis tidak jauh dengan kota Kabanjahe. Kondisinya

51

Universitas Sumatera Utara sangat kompleks dan profesi warga cukup beragam, walaupun demikian peran kepala desa tetap sangat penting. Kepala Desa sangat berperan, tetap melakukan pengawalan yang bijak demi terselenggaranya pembangunan yang intensif. Juga terus tingkatkan pelayanan yang baik kepada warga dan buka ruang yang sebebasbebasnya kepada aspirasi masyarakat demi perkembangan desa Sada

Perarih.

Kemudian desa Sada Perarih adalah desa yang penduduknya heterogen dimana memberikan tantangan tersendiri dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, untuk sektor pembangunan sebagai komponen pemerintah desa, hanya bisa mengusulkan berbagai pembangunan fisik, sementara pelaksanaannya tidak bisa dipastikan karena semua tergantung dari dana atau anggaran yang diberikan untuk desa oleh pemerintah kabupaten.

Hal di atas menunjukkan peranan Kepala Desa dalam hal pembangunan fisik hanya bisa menjalankan perintah pengaturan keuangan/anggaran dari pemerintah tingkat atas. Kedudukan Kepala desa sebagai kepala pemerintahan dan pembangunan serta pemimpin formal masyarakat sangatlah penting di dalam kelancaran pembangunan sehingga mengharuskan Kepala Desa mempunyai aparatur yang ahli di bidangnya, sehingga program dan tugas pemerintah desa dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Untuk pembangunan non fisik, khususnya meningkatkan swadaya masyarakat dalam bidang pertanian, mengingat wilayah di Desa Sada Perarih adalah berpotensi di bidang tersebut. Di Desa Sada Perarih juga terlihat adanya kunjungan yang sifatnya tidak resmi oleh Kepala Jaga yang didampingi oleh seorang aparat desa. Ini merupakan adanya keserasian akan makna pembangunan

52

Universitas Sumatera Utara yaitu usaha meningkatkan harkat martabat masyarakat yang dalam kondisinya tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan.

Membangun masyarakat berarti memampukan atau memandirikan mereka.

Dimulainya proses pembangunan dengan berpijak pada pembangunan masyarakat, diharapkan akan dapat memacu partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan itu sendiri. Kepala desa beserta aparatnya dalam menyikapi hal ini bisa terbantu dengan bantuan dana dari pemerintah.

Kepala Desa selalu bersikap transparan baik masalah pambangunan maupun masalah bantuan yang didapatkan, hal ini sesuai dengan prinsip pengelolaan pembangunan desa dan desa. Hampir semua bantuan yang masuk itu dikelola secara demokratis. Karena hampir setiap hari kepala lingkungan dan ketua lembaga pemasyarakatan selalu hadir di kantor Desa Sada Perarih, kemudian informasi disosialisasikan kesemua warga. Kalau ada hal yang perlu disosialisasikan kepada warga, itu akan akan cepat diserap oleh warga baik itu berita dari telinga yang satu ke telinga yang lain ataupun melalui informasi dan pemberitahuan yang diupayakan oleh kepala lingkungan.

Berdasarkan dari berbagai uraian di atas, penelitian ini tidak terlepas dari berbagai hambatan ataupun tantangan. Hambatan itu meliputi rendahnya kualitas sumber daya manusia aparat desa, serta kurangnya sarana dan prasarana berupa teknologi komputer yang dipakai untuk memperlancar pelayanan administrasi demi perkembangan pembangunan, dengan beberapa hambatan tersebut, jelas akan mempengaruhi kenerja aparat desa dalam pembangunan. Walaupun demikian, terdapat pula beberapa hal yang mendukung peran Kepala Desa dalam pembangunan. Hal pendukung tersebut antara lain partisipasi masyarakat berupa

53

Universitas Sumatera Utara kesediaan masyarakat untuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan birokrasi pemerintahan dan mendukung terselenggaranya pembangunan, dan juga kerjasama antar aparat desa dalam mendukung pembangunan.

Jadi dapat diuraikan ada faktor yang berpengaruh dalam kebijakan Kepala

Desa dalam pembangunan di Desa Sada Perarih Satu yaitu faktor pendukung dan faktor penghambat, yaitu :

Faktor Pendukung, sebagai pemerintah yang melaksanakan fungsi pemerintahan sebagai pengatur (regulasi) masyarakat, maka sudah selayaknya apabila seseorang Kepala desa mengetahui kondisi atau keadaan penduduknya yang sebenarnya. Sebab dengan mengetahui kondisi mastarakat yang sebenarnya maka dapat diambil langkah-langkah yang tepat dalam mengambil keputusan dan tindakan. Sebab jika pemimpin tidak mengetahui kondisi masyarakat maka akan menjadi suatu kesalahpahaman yang tidak dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini senada dengan hasil wawancara pada bagian sebelumnya yaitu: kondisi penduduk

Desa Sada Perarih yang cukup beragam ini harus diperhatikan oleh Kepala Desa dalam menjalankan tugasnya.

Faktor Penghambat, untuk melaksanakan tugasnya, Kepala Desa membutuhkan fasilitas atau peralatan dalam menjalankan fungsinya, tersedianya fasilitas atau perlengkapan yang tersedia menunjang lancarnya suatu kegiatan yang akan dilaksanakan, di mana salah satu faktor itu adalah tersedianya kantor desa dalam menunjang terselenggaranya pemerintahan desa dan sebagai tempat dalam menjalankan tugas dalam pengelolaan, pelaporan, pencatatan, dan berbagai kegiatan lainnya. Kegiatan masyarakat berdemokrasi dalam pembangunan dipengaruhi oleh ketersedianya fasilitas atau peralatan, misalnya dalam pertemuan

54

Universitas Sumatera Utara atau rapat akan berjalan lancar jika tersedianya tempat beserta peralatannya.

Kurangnya fasilitas sarana dan prasarana sangat menghambat kinerja pemerintah demi terselenggaranya pembangunan.

Diperlukan optimalisasi peran kepala desa dengan upaya maksimal untuk merangsang masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan, hal ini guna mewujudkan cita-cita pembangunan tercapainya hidup sejahtera kepada semua warga masyarakat Desa Sada Perarih, diharapkan Kepala desa tetap membuka ruang kepada masyarakat agar tidak segan memberi aspirasinya, dan untuk aparat

Kepala Desa tingkatkan kerjasama yang baik dan hubungan yang harmonis demi terciptanya pelayanan yang optimal kepada masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan, dan perlunya peningkatan kualitas sumber daya manusia aparat pemerintah.

55

Universitas Sumatera Utara BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat penulis berikan adalah terkait dengan kebijakan

Kepala Desa dalam pembangunan di Desa Sada Perarih Kecamatan Merdeka

Kabupaten Karo dapat kita lihat dari adanya upaya pengawalan yang intensif dari pihak aparat pemerintahan desa termasuk Kepala desa beserta jajarannya yang bekerjasama dengan tokoh-tokoh masyarakat, kepala desa berkewajiban mendampingi semua pembangunan secara fisik yang ditetapkan oleh hasil

Musrembang di tingkat desa. Karena anggaran yang diperlukan untuk pembangunan desa, sebagian besar merupakan pemberian dari pemerintah kabupaten, peran kepala desa dalam pembangunan di desa Sada Perarih ditentukan oleh hal-hal yang menyangkut partisipasi masyarakat, kerjasama antar sesama perangkat, ketersediaan sarana dan prasarana desa, dan kualitas sumber daya aparat desa.

4.2 Saran

Diperlukan optimalisasi peran kepala desa dengan upaya maksimal untuk merangsang masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan, hal ini guna mewujudkan cita-cita pembangunan tercapainya hidup sejahtera kepada semua warga masyarakat, diharapkan Kepala desa tetap membuka ruang kepada masyarakat agar tidak segan memberi aspirasinya, dan untuk aparat Kepala Desa tingkatkan kerjasama dan hubungan yang baik pula.

56

Universitas Sumatera Utara DAFTAR PUSTAKA

Adisasmita, Rahardjo. 2006. Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan. Graha Ilmu. Yogyakarta Arif,Saiful. 2006. Reformasi Birokrasi dan Demokratisasi Kebijakan Publik. Malang: PLaCID’s dan KID. Affandi, Anwar dan Setia Hadi. 1996. Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan. Prisma, Jakarta Agus, Dwiyanto. 1995. Pelayanan Organisasi Pelayanan Publik. Yogyakarta University Press, Yogyakarta Amirin, Tatang, M. Drs. 1995. Menyusun Rencana Penelitian. Raja Grafindo Persada, Jakarta Bayu Suryaningrat. 1976. Pemerintahan dan Administrasi Desa. Yayasan Beringin Korpri Unit Depdagri, Jakarta Beratha, I Nyoman, Drs. 1991. Pembangunan Desa Berwawasan Lingkungan. Bumi Aksara, Jakarta Beratha, I Nyoman 1982. Desa, Masyarakat dan Pembangunan Desa. Ghalia Indonesia, Jakarta Bintoron, Tjokroamidjojo. 1978 Pengantar Administrasi Pembangunan. LP3ES, Jakarta Daldjoeni, N dan A. Suyitno. 2004. Pedesaan, Lingkungan dan Pembangunan. Bandung : PT. Alumni Biro Pemerintahan Desa Sekretariat Daerah Provinsi SUMUT. 2001. Selayang Pandang Pemerintahan Desa Di Sumatera Utara. Creswel , John W. 2012. Research design. Yogyakarta. Pustaka Pelajar Strauss, Aselm dan juliet corbin. 2010. Dasar-dasar penelitian kualitatif. Yogyakarta: pustaka pelajar Tangkilisan, Hesel Nogi S. 2003. Kebijakan Publik Yang Membumi. Yogyakarta: Lukman Offset Tangkilisan, Hessel Nogi. S. 2003. Implementasi Kebijakan Publik Transformasi Pikiran George Edwards. Yogyakarta: Lukman Offset. Winamo, Budi. 2012. Kebijakan Publik Teori, Proses, dan Studi Kasus. Yogyakarta: CAPS.

Universitas Sumatera Utara LAMPIRAN

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara