KAJIAN MORFOLOGI KECAMATAN KABANJAHE DITINJAU DARI ASPEK FISIK EKOLOGI (TAHUN 2010-2019)
TESIS
OLEH
RIZKY RAMADHAN BATUBARA 167020008/AR
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2020
Universitas Sumatera Utara KAJIAN MORFOLOGI KECAMATAN KABANJAHE DITINJAU DARI ASPEK FISIK EKOLOGI (TAHUN 2010-2019)
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Teknik Dalam Program Studi Teknik Arsitektur Pada Fakultas Teknis Universitas Sumaterta Utara
Oleh
RIZKY RAMADHAN BATUBARA 167020008/AR
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2020
Universitas Sumatera Utara PERNYATAAN
KAJIAN MORFOLOGI KECAMATAN KABANJAHE DITINJAU DARI ASPEK FISIK EKOLOGI (TAHUN 2010-2019)
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, 14 November 2019
( Rizky Ramadhan Batubara ) NIM. 167020008
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Telah diuji pada Tanggal: 14 November 2019
Panitia Penguji Tesis
Ketua Komisi Penguji : Beny O. Y. Marpaung, ST, MT, PhD, IPM
Anggota Komisi Penguji : 1. Dr. Wahyu Utami, ST, MT
2. Ir. Nurlisa Ginting, M. Sc, PhD, IPM
3. Dr. Ir. Dwira Nirfalini Aulia, M.Sc, IPM
4. Hilma Tamiami Fachruddin, ST, M.Sc, PhD
Universitas Sumatera Utara ABSTRAK
Erupsi Gunung Sinabung sejak tahun 2010 berdampak memesatnya perkembangan fisik kota pada Kecamatan Kabanjahe (dataran tinggi), sebagai daerah evakuasi pengungsi korban bencana. Pesat perkembangan fisik kota belum ditangani secara maksimal ditandai dengan infrastruktur jaringan jalan yang belum terpadu dan perkembangan fisik kota (massa bangunan) menyebar secara organik tanpa panduan yang jelas. Diprediksi akan terjadi masalah dalam pemanfaatan ruang kota, sehingga dibutuhkan penanganan optimal dalam upaya pemenuhan kebutuhan perluasan sarana pelayanan untuk menjawab kebutuhan dimasa depan. Oleh Sebab itu, penting untuk menemukan morfologi Kecamatan Kabanjahe ditinjau dari aspek ekologi untuk dijadikan sebagai teori dasar untuk membuat konsep penanganan perkembangan. Metodologi penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan asosiatif. Metode tersebut digunakan untuk menggambarkan peristiwa dan fenomena pengaruh ekologi terhadap fisik kota yang terjadi pada Kecamatan Kabanjahe. Dengan mengamati pengaruh fisik ekologi (topografi dan bentuk alam) terhadap elemen Morfologi Kota (sistem jaringan jalan, penggunaan lahan, dan perletakan massa bangunan). Metode analisis yang dilakukan adalah mengkaji pengaruh topografi terhadap sistem jaringan jalan, mengkaji pengaruh bentuk alam terhadap penggunaan lahan, mengkaji pengaruh topografi terhadap perletakan massa bangunan, dan melakukan kajian pengaruh topografi terhadap bentuk (dinamika) Morfologi Kecamatan Kabanjahe. Penemuan dari morfologi Kecamatan Kabanjahe berupa perkembangan fisik dengan bentuk kipas akibat dari bentuk alam kipas aluvial. Pengaruh topografi terhadap sistem jaringan jalan berupa, jaringan jalan utama (jalan nasional, jalan provinsi, dan jalan kabupaten) berada pada daerah dengan kondisi topografi hampir datar s.d. topografi agak miring. Pengaruh topografi terhadap perletakan massa bangunan berupa, perletakan massa bangunan terpusat pada bagian dataran aluvial Gunung Api Sibayak yang berkarakteristik topografi hampir datar s.d. topografi agak miring. Pengaruh bentuk alam terhadap penggunaan lahan berupa, perkotaan berada pada bentuk alam dataran aluvial dengan bentuk alam datar s.d. lereng landai dimanfaatkan sebagai fungsi pusat perdagangan, perkantoran, sarana pelayanan umum tingkat kabupaten, dan pemukiman. Sedangkan, pada perdesaan yang berada pada bentuk alam dataran kaki penggunaan lahan didominasi fungsi lahan pertanian, sabuk hijau, dan perumahan.
Kata Kunci: Topografi, Bentuk Alam, Sistem Jaringan Jalan, Penggunaan Lahan, Perletakan Massa Bangunan
i Universitas Sumatera Utara ABSTRACT
The volcanic eruption at Mount Sinabung since 2010 has influenced the physical development of the city in Kabanjahe Sub-district (plateau), as evacuation areas for disaster victims. The rapid physical development of the city has not been maximally handled yet as indicated by unintegrated street network infrastructure and its physical development (building mass) is organically distributed without clear guidelines. Problems are estimated to emerge concerning use of urban space, so that it is necessary to take optimal to effort to handle it in order to meet the needs for expansion of service facilities in the future. Therefore, it is important to discover the morphology of Kabanjahe Sub-district viewed from ecological aspect to be made the grounded theory to create the concept of development handling. Descriptive qualitative method with associative approach was employed. It was employed to describe the event and phenomenon of ecological effects on municipal physique in Kabanjahe Sub-district. This research observed the effects of ecological physique (topography and forms of nature) on the elements of Municipal Morphology (street network, land use, and mass placement of buildings). The analysis method used was studying effects of topography on street network, effects of forms of nature on land use, effects of topography on mass placement of buildings, and effects topography on forms (dynamics) of Morphology of Kabanjahe Sub-district. The research discovered that the morphology of Kabanjahe Sub-district was that the municipal physique developed into the form of a fan resulted from the natural form of alluvial fan. The effect of topography on street network was that the protocol street network (national streets, provincial streets, and district streets) were located in an area which topography was from almost plain to rather tilt. The effect of topography on mass placement of buildings was that the mass had to be centered on alluvial plain of Mount Sibayak which character of its topography ranged from almost plain to rather tilt. The effect of forms of nature on land use was that the city was located in alluvial plain with forms of nature ranging from plain to gentle slope that functioned as the centers of trades, offices, service facilities at district level, and residence. Meanwhile, the land use of villages in the plains at the foot of mountains was dominated with agricultural land, greenbelt, and housing.
Keyword: Topography, Forms of Nature, Street Network System, Land Use, Mass Placement of Building
ii Universitas Sumatera Utara KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah menjadi sumber kekuatan, inspirasi, dan ridha-Nya selama berlangsung pengerjaan Tesis ini. Tesis ini mengambil judul “Kajian Morfologi Kecamatan
Kabanjahe Ditinjau dari Aspek Fisik Ekologi (Tahun 2010-2019)” yang disusun sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Teknik dalam Program Teknik
Arsitektur pada Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini, dengan tulus dan kerendahan hati, Penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih Penulis tujukan kepada Komisi
Pembimbing Ibu Beny O. Y. Marpaung, ST, MT, PhD, IPM dan Ibu Dr. Wahyu
Utami, ST, MT, sebagai pembimbing Tesis, atas kesediaannya membimbing, memotivasi, pengarahan, dan merelakan waktu beliau sehingga Penulis dapat menyelesaikan Tesis ini.
Dengan ini pula, perkenankan penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Ir. Nurlisa Ginting, M.Sc, PhD, IPM selaku Ketua
Program Studi Magister Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara dan kepada
Ibu Hilma Tamiami Fachruddin, M.Sc, PhD, IPM selaku Sekretaris Program Studi
Magister Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara, serta para dosen pengajar
Magister Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan
iii Universitas Sumatera Utara materi pengajaran yang bermanfaat selama proses perkuliahan dan staf pegawai yang telah banyak membantu dalam hal administrasi yang diperlukan.
Ucapan terima kasih yang tulus kepada Ayah (Alm. Syamsul Bahri Batubara) dan Ibu tercinta (Normaini Br. Sembiring) yang sudah memberikan dukungan dan doa yang selalu dipanjatkan demi kelancaran setiap proses perkuliahan dan penyelesaian tesis ini. Serta, kepada saudara-saudara saya tercinta, terutama Mhd.
Adam Batubara dan Sofian Ansory Batubara yang juga sudah memberikan dukungan dan semangat dalam setiap prosesnya.
Akhir kata, Penulis mengharapkan kiranya laporan hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi Penulis sendiri, Pembaca, untuk Kita semua, dan terkhusus untuk Pemerintah Kecamatan Kabanjahe sebagai bahan pertimbangan saat mengambil keputusan yang terkait dengan hasil dan analisis dari kajian penelitian ini.
Medan, 14 November 2019
Penulis,
Rizky Ramadhan Batubara NIM : 167020008
iv Universitas Sumatera Utara RIYAWAT HIDUP
DATA PRIBADI Nama : Rizky Ramadhan Batubara Tempat / Tanggal Lahir : Kabanjahe / 02 April 1991 Jenis Kelamin : Laki-laki Status : Belum Menikah Agama : Islam Alamat : Jl. Bunga Mawar XIV No. 1 Medan Golongan Darah : A
PEKERJAAN Staf Arsitek pada PT. Tafira Sejahtera periode 2 Juni 2014 s.d. 31 Oktober 2016
PENDIDIKAN TK Swasta Aisyiyah Bustanul Athfal Kabanjahe periode (1996 s.d. 1997) SDN 040448 Kabanjahe periode (1997 s.d. 1998) SDN 064019 Medan periode (1998 s.d. 1999) SDN 060792 Medan periode (1999 s.d. 2000) SDN 064962 Medan periode (2000 s.d. 2003) SMPN 10 Medan periode (2003 s.d. 2006) SMAN 1 Medan periode (2006 s.d. 2009) S-1 Teknik Arsitektur USU periode (2009 s.d. 2013)
v Universitas Sumatera Utara DAFTAR ISI
ABSTRAK …………………………………………………………….……………..i
ABSTRACT …………………………………………………………….………..…..ii
KATA PENGANTAR ………………………………………………………………iii
RIWAYAT HIDUP …………………………………………………………………..v
DAFTAR ISI ……………………………………………………………….………..vi
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………………..xii
DAFTAR TABEL…………………………………………………………….….. xxiv
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………….…….. xxv
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………….1
1.1 Latar Belakang……………………………………………………..1
1.2 Rumusan Permasalahan …….…………………………………….. 6
1.3 Tujuan Penelitian…………..……………………………………… 6
1.4 Manfaat Penelitian……………..……………….……………..……7
1.5 Batasan Penelitian………………………………….………………7
1.6 Kerangka Berfikir……………..………………………….……….. 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………….……….10
2.1 Morfologi Kota……………………………………….………….. 10
2.1.1 Unsur-unsur yang mempengaruhi morfologi kota………. .. 11
2.2 Ekologi Kota…………..………………………..……………….. 20
vi Universitas Sumatera Utara 2.2.1 Indikator-indikator ekologi kota ………………………… 21 2.2.2 Identifikasi ekologi kota ……………………..….…….. .. 26
2.3 Pertumbuhan Kota ………….……..…………………..…..…….. 27
2.3.1 Bentuk kota geometri dan organik…………………….…. 28 2.3.2 Pertumbuhan kota ditinjau dari aspek ekologi…………….31
2.4 Kebijakan Pembangunan Perkotaan…………………………..…..34
2.5 Pertumbuhan Kota Ditinjau dari Sistem Non-fisik Ekologi…….. 36
2.6 Rangkuman Teori……………………………………………….. 38
BAB III METODE PENELITIAN ……………………………………………. 43
3.1 Metode Penentuan Lokasi Penelitian ………………………….. 43
3.2 Metode Penentuan Variabel …………………………………….. 45
3.3 Metode Pengumpulan Data …………………………………….. 49
3.4 Metode Analisis …………………………………………………. 53
BAB IV GAMBARAN KAWASAN PENELITIAN ………………………….. 57
4.1 Orientasi Lokasi Kecamatan Kabanjahe .……………………… 57
4.2 Gambaran Umum Kecamatan Kabanjahe……………………….. 59
4.2.1 Pembagian wilayah administrasi ………………..……… 59 4.2.2 Adat dan Budaya Karo ………………………………. 62 4.2.3 Kependudukan ……………………………………….…. 64
4.3 Gambaraan Umum Fisik Kecamatan Kabanjahe……………….. 69
4.3.1 Gambaran sistem jaringan jalan Kecamatan Kabanjahe … 69
vii Universitas Sumatera Utara 4.3.1.1 Sejarah jaringan jalan Kecamatan Kabanjahe …69 4.3.1.2 Jaringan jalan Kecamatan Kabanjahe (Tahun 2000-2019)……………………………………..74
4.3.2 Gambaran perletakan massa bangunan Kecamatan Kabanjahe…………………………………………….….. 80 4.3.3 Gambaran penggunaan lahan Kecamatan Kabanjahe ….. 86
4.3.3.1 Sejarah pemanfaatan lahan Kecamatan Kabanjahe…………………………………..… 86 4.3.3.2 Penggunaan lahan Kecamatan Kabanjahe pada Tahun 2019…………………………………… 87
4.4 Gambaran Umum Fisik Ekologi Kecamatan Kabanjahe……….. 90
4.4.1 Gambaran topografi Kecamatan Kabanjahe …………… 93 4.4.2 Gambaran bentuk alam Kecamatan Kabanjahe ………… 95
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………… 99
5.1 Kajian Pengaruh Topografi terhadap Sistem Jaringan Jalan pada Kecamatan Kabanjahe ………………………………………….. 99
5.2 Kajian Pengaruh Topografi terhadap Perletakan Massa Bangunan pada Kecamatan Kabanjahe……………………………………. 120
5.3 Kajian Pengaruh Bentuk Alam terhadap Penggunaan Lahan pada Kecamatan Kabanjahe …………………………………………. 135
5.4. Kajian Morfologi Fisik Kota dan Desa pada Kecamatan Kabanjahe ditinjau dari Bentuk Alam …………………………. 152
5.4.1 Kajian morfologi fisik Desa Kaban ditinjau dari bentuk alam………………………………………………………153 5.4.2 Kajian morfologi fisik Desa Sumber Mufakat ditinjau dari bentuk alam …………………………………………155
viii Universitas Sumatera Utara 5.4.3 Kajian morfologi fisik Kelurahan Rumah Kabanjahe ditinjau dari bentuk alam ……………………………….. 157 5.4.4 Kajian morfologi fisik Kelurahan Ketaren ditinjau dari bentuk alam……………………………………………. 159 5.4.5 Kajian morfologi fisi Desa Samura ditinjau dari bentuk alam………………………………………………………161 5.4.6 Kajian morfologi fisik Kelurahan Gung Negeri ditinjau dari bentuk alam …………………………………………163 5.4.7 Kajian morfologi Kelurahan Kampung Dalam ditinjau dari bentuk alam……………………………………….. 165 5.4.8 Kajian morfologi Kelurahan Gung Leto ditinjau dari bentuk alam …………………………………………….. 166 5.4.9 Kajian morfologi fisik Kelurahan Padang Mas ditinjau dari bentuk alam ………………………………………. 168 5.4.10 Kajian morfologi fisik Kelurahan Lau Cimba ditinjau dari bentuk alam …………………………………………170 5.4.11 Kajian morfologi fisik Desa Kacaribu ditinjau dari bentuk alam …………………………………………… 172 5.4.12 Kajian morfologi fisik Desa Kandibata ditinjau dari bentuk alam …………………………………………….. 174 5.4.13 Kajian morfologi fisik Desa Lau Simomo ditinjau dari bentuk alam …………………………………………….. 176 5.4.14 Kajian morfologi fisik Kecamatan Kabanjahe ditinjau dari bentuk alam ………………………………………. 178
5.5 Kajian Kecenderungan Perkembangan Fisik Kecamatan Kabanjahe Berdasarkan Pola Morfologi ………………………………….. 190
5.5.1 Proyeksi jumlah penduduk dan estimasi perluasan ruang Kecamatan Kabanjahe…………………………………. 191
5.5.1.1 Proyeksi jumlah penduduk …………………. 191 5.5.1.2 Estimasi perluasan ruang ………………….. 195
5.5.2 Prediksi kecenderungan perkembangan fisik (intensitas bangunan) Kecamatan Kabanjahe……………………… 197
ix Universitas Sumatera Utara 5.5.2.1 Prediksi kecenderungan perkembangan fisik Desa Kaban sampai dengan Tahun 2039…….197 5.5.2.2 Prediksi kecenderungan perkembangan fisik Desa Sumber Mufakat sampai dengan Tahun 2039 ..199 5.5.2.3 Prediksi kecenderungan perkembangan fisik Kelurahan Rumah Kabanjahe sampai dengan Tahun 2039 ………………………………….. 202 5.5.2.4 Prediksi kecenderungan perkembangan fisik Kelurahan Ketaren sampai dengan Tahun 2039 ……………………………………….. ………204 5.5.2.4 Prediksi kecenderungan perkembangan fisik Desa Samura sampai dengan Tahun 2039….…206 5.5.2.6 Prediksi kecenderungan perkembangan fisik Kelurahan Gung Negeri sampai dengan Tahun 2039………………………………………….. 208 5.5.2.7 Prediksi kecenderungan perkembangan fisik Kelurahan Kampung Dalam sampai dengan Tahun 2039………………………………… 211 5.5.2.8 Prediksi kecenderungan perkembangan fisik Kelurahan Gung Leto sampai dengan Tahun 2039…………………………………………. 213 5.5.2.9 Prediksi kecenderungan perkembangan fisik Kelurahan Padang Mas sampai dengan Tahun 2039………………………………………….. 216 5.5.2.10 Prediksi kecenderungan perkembangan fisik Kelurahan Lau Cimba sampai dengan Tahun 2039………………………………………… 218 5.5.2.11 Prediksi kecenderungan perkembangan fisik Desa Kacaribu sampai dengan Tahun 2039 … 220 5.5.2.12 Prediksi kecenderungan perkembangan fisik Desa Kandibata sampai dengan Tahun 2039 ..222 5.5.2.13 Prediksi kecenderungan perkembangan fisik Desa Lau Simomo sampai dengan Tahun 2039…… 224
BAB VI PENEMUAN ……………………………………………………….. 227
BAB VII KESIMPULAN …………………………………………………….. 234
x Universitas Sumatera Utara 7.1 Kesimpulan ……………………………………………………. 235
7.2 Rekomendasi ……………………………………………………240
7.2.1 Rekomendasi penangan permasalahan struktur pelayanan…………………..………………………….. 241 7.2.2 Rekomendasi penangan permaslahan struktur ruang…… 243
7.2.2.1 Rekomendasi pengembangan sistem jaringan jalan pada Kecamatan Kabanjahe…………… 244 7.2.2.1 Rekomendasi perparkiran pada Pusat Kota Kecamatan Kabanjahe……………………….. 247 7.2.2.3 Rekomendasi pengembangan prasarana angkutan umum………………………………………... 248
7.2.3 Rekomendasi penanganan permasalahan pola ruang….. 251
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………. 255
LAMPIRAN …………………………………………………………………….. 260
xi Universitas Sumatera Utara DAFTAR GAMBAR
No. Judul Gambar Hal. 1.1 Kerangka Berfikir …………………………………………………. 9 2.1 Jenis Jaringan Jalan ……………………………………………….. 12 2.2 Sistem Jaringan Jalan pada Kota Malang (Dataran Tinggi) ……….. 14 2.3 Penggunaan Lahan pada Kota Malang (Dataran Tinggi) ………….. 16 2.4 Ilustrasi Pengaruh Topografi terhadap Jaringan Jalan dan Pola Massa Bangunan ………………………………………………….. 22 2.5 Perkembangan Luas Lahan di Kota Malang ……………………… 25 2.6 Kerangka Teori Penelitian ………………………………………… 42 3.1 Skema Metode Analisis Permasalahan I ………………………….. 54 3.2 Skema Metode Analisis Permasalahan II …………………………. 55 3.3 Skema Metode Analisis Permasalahan III ………………………… 56 4.1 Lokasi Geografis Wialyah Kecamatan Kabanjahe ………………… 58 4.2 Lokasi Wilayah Administrasi Kecamatan Kabanjahe …………….. 58 4.3 Pembagian Wilayah Administrasi Desa/Kelurahan pada Kecamatan Kabanjahe ………………………………………………………….. 60 4.4 Persentase Luas Wilayah Desa/Kelurahan pada Kecamatan Kabanjahe …………………………………………………………. 61 4.5 a. Taman Makam Pahlawan Kabanjahe, b. Bundaran Tugu Bambu Runcing ……………………………………………………………. 63 4.6 a. Diagram Batang dan, b. Diagram Lingkaran Jumlah Penduduk Desa dan Kelurahan pada Kecamatan Kabanjahe (2017) …………. 64
xii Universitas Sumatera Utara No. Judul Gambar Hal. 4.7 Kepadatan Penduduk Tiap-tiap Desa/Kelurahan pada Kecamatan Kabanjahe (2017) ………………………………………………….. 66 4.8 Sebaran Kepadatan Penduduk Desa/Kelurahan di Kecamtan Kabanjahe (2017) …………………………………………………. 67 4.9 Pertumbuhan Penduduk pada Kecamatan Kabanjahe …………….. 68 4.10 Laju Pertumbuhan Penduduk Total pada Kecamatan Kabanjahe …. 68 4.11 Perlanja Sira dari Dataran Tinggi Karo …………………………… 70 4.12 Pekerjaan Pembangunan Jalan Medan - Kabanjahe ………………. 70 4.13 a. Bis Deli Spoor di Sibolangit dan, b. di Berastagi - Kabanjahe (1910 - 1940) ………………………………………………………. 71 4.14 Perjalanan Berastagi ke Kabanjahe a. Tahun 1920 dan, b. Tahun 1930 ……………………………………………………………….. 72 4.15 a. Kondisi Jalan dari Kabanjahe menuju Berastagi, b. Kondisi Jalan di Kampung Lau Simomo, dan c. Kondisi Jalan Hotel Frisia Kabanjahe (1920-1925) ……………………………………………. 72 4.16 Map Jaringan Transportasi Deli Spoorweg ……………………….. 73 4.17 Denah Terminal Kecamatan Kabanjahe …………………………… 76 4.18 Lin Trayek Merga Silima, Angkutan Perkotaan Kecamatan Kabanjahe …………………………………………………………. 77 4.19 Jalur Lintas Angkutan Perdesaan antara Kecamatan Kabanjahe- Berastagi …………………………………………………………… 78 4.20 Kondisi Eksisting Sistem Jaringan Jalan pada Kecamatan Kabanjahe (2019) ………………………………………………….. 79 4.21 a. Permukiman Tradisional Karo, b. Rumah Tradisional Karo ……. 80
xiii Universitas Sumatera Utara No. Judul Gambar Hal. 4.22 Foto Perkampungan Tradisional Karo di Kecamatan Kabanjahe (1937) ……………………………………………………………… 81 4.23 Pasar (Pekan) Kabanjahe (1926) ………………………………….. 82 4.24 a. Penampungan (Perkampungan), b. Massa Bangunan Penderita Kusta di Desa Lau Simomo (1919), dan c. Perbedaan Hunian Mantan Penderita Kusta (2018) …………………………………… 83 4.25 Bumi Hangus Berastagi (Agustus 1947) ………………………….. 84 4.26 Kondisi Eksisting Perletakan Massa Bangunan pada Kecamatan Kabanjahe (2019) ………………………………………………….. 85 4.27 Pemanfaatan Lahan di Kabanjahe (1910 - 1935) ………………….. 86 4.28 Pemanfaatan Lahan di Kabanjahe (1902 - 1935) ………………….. 87 4.29 Rencana Pengembangan Pemanfaatan Lahan Kecamatan Kabanjahe ………………………………………………………….. 88 4.30 Kondisi Eksisting Penggunaan Lahan pada Kecamatan Kabanajahe (2019) ……………………………………………………………… 89 4.31 Lokasi Kecamatan Kabanjahe Ditinjau dari Kedudukan Gunung Sinabung, Gunung Sibayak, dan Kompleks Kaldera Toba ……….. 90 4.32 Geomorfologi Fisik Ekologi Kecamatan Kabanjahe ……………… 91 4.33 Fisik Ekologi Kecamatan Kabanjahe ……………………………… 92 4.34 Topografi Kecamatan Kabanjahe ………………………………….. 93 4.35 Visualisasi Topografi Kecamatan Kabanjahe ……………………… 94 4.36 Ketinggian Tiap-tiap Desa/Kelurahan pada Kecamatan Kabanjahe.. 95 4.37 Bentuk Alam Kecamatan Kabanjahe ……………………………… 96 4.38 Potongan Bentuk Alam Kecamatan Kabanjahe …………………… 97
xiv Universitas Sumatera Utara No. Judul Gambar Hal. 5.1 Pengaruh Topografi terhadap Sistem Jaringan Jalan pada Kecamatan Kabanjahe …………………………………………….. 101 5.2 Pengaruh Topografi terhadap Jaringan Jalan pada a. Desa Kaban 2019, b. Desa Sumber Mufakat ……………………………………. 103 5.3 Pengaruh Topografi terhadap Jaringan Jalan pada a. Kelurahan Rumah Kabanjahe 2019, b. Kelurahan Ketaren 2019 …………….. 105 5.4 Pengaruh Topografi terhadap Jaringan Jalan pada a. Desa Samura 2019, b. Kerlurahan Gung Negeri ………………………………… 107 5.5 Pengaruh Topografi terhadap Jaringan Jalan pada a. Kelurahan Kampung Dalam 2019, b. Kelurahan Gung Leto 2019 …………… 109 5.6 Pengaruh Topografi terhadap Jaringan Jalan pada a. Kelurahan Padang Mas 2019, b. Kelurahan Lau Cimba 2019 ……………….. 111 5.7 Pengaruh Topografi terhadap Jaringan Jalan pada a. Desa Kacaribu 2019, b. Desa Lau Simomo 2019 ………………………………….. 113 5.8 Pengaruh Topografi terhadap Jaringan Jalan pada Desa Kandibata 2019 ……………………………………………………………….. 115 5.9 Kajian Pengaruh Topografi terhadap Bentuk Jalan Nasional 2019 .. 116 5.10 Kajian Pengaruh Topografi terhadap Bentuk Jalan Provinsi 2019 .. 118 5.11 Pengaruh Topografi terhadap Perletakan Massa Bangunan pada Kecamatan Kabanjahe …………………………………………….. 121 5.12 Pengaruh Topografi terhadap Perletakan Massa Bangunan pada a. Desa Kaban 2019, b. Desa Sumber Mufaka 2019 ………………… 123 5.13 Pengaruh Topografi Terhadap Perletakan Massa Bangunan pada a. Kelurahan Rumah Kabanjahe 2019, b. Kelurahan Ketaren 2019….. 125
xv Universitas Sumatera Utara No. Judul Gambar Hal. 5.14 Pengaruh Topografi terhadap Perletakan Massa Bangunan pada a. Desa Samura 2019, b. Kelurahan Gung Negeri 2019 …………….. 127 5.15 Pengaruh Topografi terhadap Perletakan Massa Bangunan pada a. Kelurahan Kampung Dalam 2019, b. Kelurahan Gung Leto 2019… 129 5.16 Pengaruh Topografi terhadap Perletakan Massa Bangunan pada a. Kelurahan Padang Mas 2019, b. Kelurahan Lau Cimba 2019…….. 130 5.17 Pengaruh Topografi terhadap Perletakan Massa Bangunan pada a. Desa Kacaribu dan, b. Desa Lau Simomo pada Tahun 2019………. 132 5.18 Pengaruh Topografi terhadap Perletakan Massa Bangunan pada Desa Kandibata 2019………………………………………………. 134 5.19 Pengaruh Bentuk Alam terhadap Penggunaan Lahan pada Kecamatan Kabanjahe pada Tahun 2019………………………….. 137 5.20 Pengaruh Bentuk Alam terhadap Penggunaan Lahan pada a. Desa Kaban 2019, b. Desa Sumber Mufakat 2019………………………. 140 5.21 Pengaruh Bentuk Alam terhadap Penggunaan Lahan pada a. Kelurahan Rumah Kabanjahe 2019, b. Kelurahan Ketaren 2019….. 142 5.22 Pengaruh Bentuk Alam terhadap Penggunaan Lahan pada a. Desa Samura 2019, b. Kelurahan Gung Negeri 2019……………………. 144 5.23 Pengaruh Bentuk Alam terhadap Penggunaan Lahan pada a. Kelurahan Kampung Dalam 2019, b. Kelurahan Gung Leto 2019… 145 5.24 Pengaruh Bentuk Alam terhadap Penggunaan Lahan pada a. Kelurahan Padang Mas 2019, b. Kelurahan Lau Cimba 2019 ……. 147 5.25 Pengaruh Bentuk Alam terhadap Penggunaan Lahan pada a. Desa Kacaribu 2019, b. Desa Lau Simomo 2019 ……………………….. 149
xvi Universitas Sumatera Utara No. Judul Gambar Hal. 5.26 Pengaruh Bentuk Alam terhadap Penggunaan Lahan pada Desa Kandibata 2019 ……………………………………………………. 151 5.27 Morfologi Fisik (Pertumbuhan Massa Bangunan) Desa Kaban antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019………………………… 153 5.28 Skematik Pengaruh Bentuk Alam terhadap Pertumbuhan Massa Bangunan pada Desa Kaban rentang Waktu 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019…………………………………………………………. 154 5.29 Morfologi Fisik (Pertumbuhan Massa Bangunan) Desa Sumber Mufakat antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019………………. 155 5.30 Skematik Pengaruh Bentuk Alam terhadap Pertumbuhan Massa Bangunan pada Desa Sumber Mufakat rentang Waktu 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 ………………………………….. 156 5.31 Morfologi Fisik (Pertumbuhan Massa Bangunan) Kelurahan Rumah Kabanjahe antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019……. 157 5.32 Skematik Pengaruh Bentuk Alam terhadap Pertumbuhan Massa Bangunan pada Kelurahan Rumah Kabanjahe rentang Waktu 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019………………………………….. 158 5.33 Morfologi Fisik (Pertumbuhan Massa Bangunan) Kelurahan Ketaren antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019……………… 159 5.34 Skematik Pengaruh Bentuk Alam terhadap Pertumbuhan Massa Bangunan pada Kelurahan Ketaren rentang Waktu 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 ……………………………………………… 160 5.35 Morfologi Fisik (Pertumbuhan Massa Bangunan) Desa Samura antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 ……………………….. 161
xvii Universitas Sumatera Utara No. Judul Gambar Hal. 5.36 Skematik Pengaruh Bentuk Alam terhadap Pertumbuhan Massa Bangunan pada Desa Samura rentang Waktu 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 ……………………………………………………. 162 5.37 Morfologi Fisik (Pertumbuhan Massa Bangunan) Kelurahan Gung Negeri antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 ……………….. 163 5.38 Skematik Pengaruh Bentuk Alam terhadap Pertumbuhan Massa Bangunan pada Kelurahan Gung Negeri rentang Waktu 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 ………………………………….. 164 5.39 Morfologi Fisik (Pertumbuhan Massa Bangunan) Kelurahan Kampung Dalam antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 ……. 165 5.40 Skematik Pengaruh Bentuk Alam terhadap Pertumbuhan Massa Bangunan pada Kelurahan Kampung Dalam rentang Waktu 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 ………………………………….. 166 5.41 Morfologi Fisik (Pertumbuhan Massa Bangunan) Kelurahan Gung Leto antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 …………………. 167 5.42 Skematik Pengaruh Bentuk Alam terhadap Pertumbuhan Massa Bangunan pada Kelurahan Gung Leto rentang Waktu 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 ……………………………………………… 168 5.43 Morfologi Fisik (Pertumbuhan Massa Bangunan) Kelurahan Padang Mas antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 …………. 169 5.44 Skematik Pengaruh Bentuk Alam terhadap Pertumbuhan Massa Bangunan pada Kelurahan Padang Mas rentang Waktu 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 ………………………………….. 170
xviii Universitas Sumatera Utara No. Judul Gambar Hal. 5.45 Morfologi Fisik (Pertumbuhan Massa Bangunan) Kelurahan Lau Cimba antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 ……………….. 171 5.46 Skematik Pengaruh Bentuk Alam terhadap Pertumbuhan Massa Bangunan pada Kelurahan Lau Cimba rentang Waktu 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 ………………………………….. 172 5.47 Morfologi Fisik (Pertumbuhan Massa Bangunan) Desa Kacaribu antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 ……………………….. 173 5.48 Skematik Pengaruh Bentuk Alam terhadap Pertumbuhan Massa Bangunan pada Desa Kacaribu rentang Waktu 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 ……………………………………………………. 174 5.49 Morfologi Fisik (Pertumbuhan Massa Bangunan) Desa Kandibata antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 ………………………. 175 5.50 Skematik Pengaruh Bentuk Alam terhadap Pertumbuhan Massa Bangunan pada Desa Kandibata rentang Waktu 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 ……………………………………………………. 176 5.51 Morfologi Fisik (Pertumbuhan Massa Bangunan) Desa Lau Simomo antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 ……………… 177 5.52 Skematik Pengaruh Bentuk Alam terhadap Pertumbuhan Massa Bangunan pada Desa Lau Simomo rentang Waktu 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 ……………………………………………… 178 5.53 Morfologi Fisik (Pertumbuhan Massa Bangunan) Perkotaan Kecamatan Kabanjahe antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 .. 179
xix Universitas Sumatera Utara No. Judul Gambar Hal. 5.54 Skematik Pengaruh Bentuk Alam terhadap Pertumbuhan Massa Bangunan pada Perkotaan Kecamatan Kabanjahe rentang Waktu 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 ………………………………….. 180 5.55 Morfologi Fisik (Pertumbuhan Massa Bangunan) Perdesaan Utara Kecamatan Kabanjahe antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 .. 181 5.56 Skematik Pengaruh Bentuk Alam terhadap Pertumbuhan Massa Bangunan pada Perdesaan Utara Kecamatan Kabanjahe rentang Waktu 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 ……………………….. 182 5.57 Morfologi Fisik (Pertumbuhan Massa Bangunan) Perdesaan Barat Kecamatan Kabanjahe antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 .. 183 5.58 Skematik Pengaruh Bentuk Alam terhadap Pertumbuhan Massa Bangunan pada Perdesaan Barat Kecamatan Kabanjahe rentang Waktu 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 ……………………….. 184 5.59 Morfologi Fisik (Pertumbuhan Massa Bangunan) Kecamatan Kabanjahe antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 …………… 186 5.60 Skematik Pengaruh Bentuk Alam terhadap Pertumbuhan Massa Bangunan pada Kecamatan Kabanjahe rentang Waktu 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 ………………………………….. 188 5.61 Bentuk Morfologi Fisik (Pertumbuhan Massa Bangunan) Kecamatan Kabanjahe rentang Waktu 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 ………………………………………………………….. 189 5.62 Prediksi Kecenderungan Perkembangan Fisik Desa Kaban pada Kecamatan Kabanjahe s.d. Tahun 2039 …………………………… 198 5.63 Prediksi Kecenderungan Perkembangan Fisik Desa Sumber Mufakat pada Kecamatan Kabanjahe s.d. Tahun 2039 ……………. 200
xx Universitas Sumatera Utara No. Judul Gambar Hal. 5.64 Prediksi Kecenderungan Perkembangan Fisik Kelurahan Rumah Kabanjahe pada Kecamatan Kabanjahe s.d. Tahun 2039 ………….. 202 5.65 Prediksi Kecenderungan Perkembangan Fisik Kelurahan Ketaren pada Kecamatan Kabanjahe s.d. Tahun 2039 ……………………… 204 5.66 Prediksi Kecenderungan Perkembangan Fisik Desa Samura pada Kecamatan Kabanjahe s.d. Tahun 2039 …………………………… 206 5.67 Prediksi Kecenderungan Perkembangan Fisik Kelurahan Gung Negeri pada Kecamatan Kabanjahe s.d. Tahun 2039 ……………… 209 5.68 Prediksi Kecenderungan Perkembangan Fisik Kelurahan Kampung Dalam pada Kecamatan Kabanjahe s.d. Tahun 2039 ……………… 211 5.69 Prediksi Kecenderungan Perkembangan Fisik Kelurahan Gung Leto pada Kecamatan Kabanjahe s.d. Tahun 2039 ……………….. 214 5.70 Prediksi Kecenderungan Perkembangan Fisik Kelurahan Padang Mas pada Kecamatan Kabanjahe s.d. Tahun 2039 ………………… 216 5.71 Prediksi Kecenderungan Perkembangan Fisik Kelurahan Lau Cimba pada Kecamatan Kabanjahe s.d. Tahun 2039 ……………… 219 5.72 Prediksi Kecenderungan Perkembangan Fisik Desa Kacaribu pada Kecamatan Kabanjahe s.d. Tahun 2039 …………………………… 221 5.73 Prediksi Kecenderungan Perkembangan Fisik Desa Kandibata pada Kecamatan Kabanjahe s.d. Tahun 2039 …………………………… 223 5.74 Prediksi Kecenderungan Perkembangan Fisik Desa Lau Simomo pada Kecamatan Kabanjahe s.d. Tahun 2039 ……………………… 225 6.1 Pengaruh Topografi terhadap Bentuk Ruas Jalan Strategis Nasional (2019) ……………………………………………………………… 228 6.2 Pengaruh Topografi terhadap Bentuk Ruas Jalan Provinsi (2019) .. 228 6.3 Pengaruh Topografi terhadap Sistem Jaringan Jalan pada Kecamatan Kabanjahe (2019) …………………………………….. 228
xxi Universitas Sumatera Utara No. Judul Gambar Hal. 6.4 Pengaruh Topografi terhadap Perletakan Massa Bangunan pada Perkotaan Kecamatan Kabanjahe (2019) ………………………….. 229 6.5 Pengaruh Topografi terhadap Perletakan Massa Bangunan pada Perdesaan Utara Kecamatan Kabanjahe (2019) …………………… 229 6.6 Pengaruh Topografi terhadap Perletakan Massa pada Perdesaan Barat Kecamatan Kabanjahe (2019) ………………………………. 229 6.7 Pengaruh Bentuk Alam terhadap Penggunaan Lahan pada Perkotaan Kecamatan Kabanjahe (2019) ………………………….. 230 6.8 Pengaruh Bentuk Alam terhadap Penggunaan Lahan pada Perdesaan Utara Kecamatan Kabanjahe (2019) …………………… 230 6.9 Pengaruh Bentuk Alam terhadap Penggunaan Lahan pada Perdesaan Barat Kecamatan Kabanjahe (2019) …………………… 231 6.10 Pengaruh Bentuk Alam terhadap Morfologi Fisik Kecamatan Kabanjahe (11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019) …………………. 231 6.11 Prediksi Kecenderungan Perkembangan Fisik Kawasan Perkotaan Kecamatan Kabanjahe sampai Tahun 2039 ……………………….. 232 6.12 Prediksi Kecenderungan Perkembangan Fisik Kawasan Perdesaan Utara Kecamatan Kabanjahe sampai Tahun 2039 ………………… 232 6.13 Prediksi Kecenderungan Perkembangan Fisik Kawasan Perdesaan Barat Kecamatan Kabanjahe sampai Tahun 2039 …………………. 233 7.1 Rekomendasi Pengembangan Struktur Pelayanan pada Kecamatan Kabanjahe …………………………………………………………. 242 7.2 Rekomendasi Pengembangan Struktur Ruang Kota (Sistem Jaringan Jalan) Kecamatan Kabanjahe ……………………………. 245 7.3 Rekomendasi Perparkiran Perkotaan (Pusat Kota) pada Kecamatan Kabanjahe …………………………………………………………. 248
xxii Universitas Sumatera Utara No. Judul Gambar Hal. 7.4 Rekomendasi Pengembangan Prasarana Angkutan Umum pada Kecamatan Kabanjahe …………………………………………….. 250 7.5 Rekomendasi Pengendalian Perletakan Massa Bangunan pada Kecamatan Kabanjahe …………………………………………….. 253
xxiii Universitas Sumatera Utara DAFTAR TABEL
No. Judul Tabel Hal. 2.1 Rangkuman Teori ……………………………………………………… 39 3.1 Metode Penentuan Variabel ……………………………………………. 46 3.2 Metode Pengumpulan Data ……………………………………………. 50 5.1 Proyeksi Jumlah Penduduk Desa/Kelurahan pada Kecamatan Kabanjahe sampai Tahun 2039 ……………………………………….. 192 5.2 Proyeksi Kepadatan Penduduk Desa/Kelurahan pada Kecamatan Kabanjahe sampai Tahun 2039 ……………………………………….. 193 5.3 Estimasi Perluasan Ruang Tiap-tiap Desa/Kelurahan pada Kecamatan Kabanjahe sampai Tahun 2039 ……………………………………….. 196 6.1 Rangkuman Kajian Morfologi Kecamatan Kabanjahe Ditinjau dari Aspek Fisik Ekologi (2010-2019) …………………………………….. 228 6.2 Rangkuman Prediksi Kecenderungan Perkembangan Fisik Kecamatan Kabanjahe sampai Tahun 2039 ……………………………………….. 232
xxiv Universitas Sumatera Utara DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Lampiran Hal. 1 Peta Kecamatan Kabanjahe ………………………………………… 260 2 Kedudukan Kabupaten Karo ……………………………………….. 261 3 Sejarah Kabupaten Karo dan Kecamatan Kabanjahe ………………. 266 4 Struktur Penduduk ………………………………………………….. 274 5 Estimasi Perluasan Ruang pada Kecamatan Kabanjahe s.d. 2039 …. 277
xxv Universitas Sumatera Utara BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Burges (2008) mengemukakan bahwa aspek fisik ekologi merupakan salah satu faktor internal yang paling mempengaruhi pembentukan sebuah kota. Bila dikaitkan dengan morfologi Kecamatan Kabanjahe, diindikasikan aspek fisik ekologi sangat mempengaruhi perkembangan morfologi Kecamatan Kabanjahe. Bentuk
Kecamatan Kabanjahe saat ini erat kaitannya dengan faktor ekologi (hubungan manusia dengan lingkungan). Kecamatan Kabanjahe terbentuk dari sejarah panjang yang secara bertahap berkembang semakin pesat dengan menyesuaikan dengan keadaan ekologinya. Oleh karena itu, sangat krusial untuk mengkaji Morfologi
Kecamatan Kabanjahe ditinjau dari aspek fisik ekologi untuk menemukan pola perkembangan yang dapat dijadikan sebagai dasar teori dalam penyusunan konsep penanganan perkembangan fisik kota/desa pada Kecamatan Kabanjahe ke depannya.
Sima (2009) mengemukakan bahwa sistem analisis morfologi kota, meliputi: sistem jaringan jalan, pola bangunan (perletakan massa bangunan), dan pola plot
(penggunaan lahan) yang merupakan integral bagian kota. Bentuk dan perubahan
(evolusi perkotaan) yang dikaji dalam morfologi kota merupakan fokus pada penjelasan elemen-elemen perkotaan yang merupakan bagian dari struktur perkotaan. Kaitannya dengan morfologi Kecamatan Kabanjahe, Penulis
1 Universitas Sumatera Utara 2
memperkirakan aspek fisik ekologi yaitu: indikator topografi (kontur dan karakteristik tanah) dan indikator bentuk alam sangat berpengaruh terhadap perkembangan morfologi Kecamatan Kabanjahe. Kajian yang dapat dilakukan diantaranya menyelidiki pengaruh indikator topografi terhadap perkembangan sistem jaringan jalan (pola-pola jalan) sebagai struktur kota dan menyelidiki pengaruh perletakaan massa bangunan (karakteristik bangunan) sebagai pola ruang kota Kecamatan
Kabanjahe. Serta, mengkaji pengaruh indikator bentuk alam terhadap penggunan lahan (land use) dan morfologi fisik Kecamatan Kabanjahe.
Ali Madanipour (1996) hubungan/pertalian timbal balik antar sistem pengaturan bentukan fisik kota dengan adanya pola kebudayaan sebagai pengaruh perubahan sosio-spatial dan sebagai hubungan lingkungan fisik dan sosial. Kaitannya dengan kajian morfologi Kecamatan Kabanjahe, sejarah perkembangan fisik
Kecamatan Kabanjahe selayaknya dikaji lebih mendalam karena perlunya pengaturan bentuk fisik kota dengan penyesuain yang sedemikian rupa dengan kebudayaan setempat, dengan harapan mencipkatan masyarakat kota yang baik secara sosial.
Melalui pengaturan bentukan fisik kota tersebut, diharapkan tercipta kualitas lingkungan fisik, fungsional, dan visual kota yang baik serta berkesinambungan guna membentuk lingkungan yang berkarakter. Sesuai dengan teori tersebut, lingkungan yang berkarakter berkaitan erat dengan pola kebudayaan yang membentuk masyarakat berkarakter karena terjadi hubungan timbal balik diantara keduanya. Hal tersebut disebabkan terjadi interaksi antara keduanya di dalam kota. Uraian tersebut
Universitas Sumatera Utara 3
juga melandasi penulis untuk mengkaji Morfologi Kecamatan Kabanjahe ditinjau dari aspek fisik ekologi.
Erupsi Gunung Sinabung sejak Tahun 2010 berdampak meningkatnya laju perkembangan fisik Kecamatan Kabanjahe sebagai daerah evakuasi pengungsi korban bencana. Kecamatan Kabanjahe adalah bagian terpenting dari Dataran Tinggi Tanah
Karo, dataran tersebut merupakan dataran tinggi terluas di Indonesia dan secara administrasi termasuk pada wilayah Kabupaten Karo. Letak Kecamatan Kabanjahe yang berada pada dataran tinggi tersebut, diperkirakan sebagai sebab yang mengakibatkan terbentuk pola kota yang khas yang menjadi karakter tersendiri.
Karakter tersebut berupa berkembangnya daerah kota di daerah yang relatif tinggi sekitar ± 1.000 mdpl s.d. ± 1.300 mdpl dengan kepadatan tinggi berada pada aksesbilitas utama dan kemiringan tanah yang hampir datar (landai) dan berangsur kepadatan rendah ke pinggiran kota dengan ketinggian sekitar ± 1.150 mdpl s.d. ±
1.180 mdpl. Fisik Kecamatan Kabanjahe diduga membentuk kota yang relatif kompak yang dikelilingi daerah hijau berupa pepohonan dan lahan pertanian bisa dilihat pada Lampiran 1.
Pada Lampiran 1 bisa dilihat kedudukan Kecamatan Kabanjahe yang berada pada bagian wilayah Dataran Tinggi Karo. Dari bentuk alam Kecamatan Kabanjahe memiliki lokasi yang cukup khas, Kecamatan Kabanjahe berada pada bagian lereng dari puncak sendimentasi (pluto/ dataran tinggi) dengan ketinggian rata-rata sekitar ±
1.300 mdpl. Pada bagian terluar berada pada ketinggian yang relatif rendah, dengan
Universitas Sumatera Utara 4
ketinggian keliling rata-rata sekitar ± 1.170 mdpl. Pada bagian tengah kota terdiri atas bangunan dengan fungsi beragam, sedangkan pada bagian terluar dikelilingi lahan pertanian dan hutan lindung.
Karakter kota tersebut mengakibatkan semakin kompleks kehidupan kota, menimbulkan masalah bentukan fisik Kecamatan Kabanjahe. Kekompleksan kota tersebut akibat dari perlunya perluasan sarana untuk memenuhi kebutuhan pelayanan masyarakat kota dimasa depan, ditambah lagi meningkatnya laju pertumbuhan fisik
(massa bangunan) pasca erupsi Gunung Sinabung akibat tingginya kebutuhan tempat tinggal, hal ini diakibatkan tingginya urbanisasi menuju ke Kecamatan Ibukota
Kabupaten Karo (Kecamatan Kabanjahe) oleh penduduk korban erupsi (pengungsi)
Gunung Sinabung, maupun penduduk yang berasal dari daerah sekitar Kecamatan
Kabanjahe.
Kecamatan Kabanjahe sebagai ibukota Kabupaten Karo memiliki sejarah perkembangan dan karakter kota yang belum digali dan termanfaatkan secara maksimal dalam proses penataan kotanya, sehingga usaha penanganan perkembangan
fisik kota kedepannya akan menghadapi tantangan terutama berhubungan dengan aspek fisik ekologinya. Oleh karena itu, sangat penting untuk menemukan proses perkembangan Kecamatan Kabanjahe, dikarenakan setiap perubahan bentuk kawasannya bisa berarti dan bermanfaat sangat berharga untuk penanganan guna mengantisipasi dan memenuhi tuntutan masa depan, untuk perluasaan sarana pelayanan pada Kecamatan Kabanjahe.
Universitas Sumatera Utara 5
Pertumbuhan dan perkembangan fisik Kecamatan Kabanjahe diperkirakan terinspirasi oleh aspek fisik ekologi berupa topografi dan bentuk alam. Secara geografis, pusat kota Kecamatan Kabanjahe terletak pada ketinggian ± 1.200 mdpl.
Kecamatan Kabanjahe berada pada lereng Gunung Sibayak, serta juga berada diantara gunung-gunung api aktif dan perbukitan. Terdapat dua gunung besar yang masih aktif mengapit Kecamatan Kabanjahe, diantaranya Gunung Sinabung dan
Gunung Sibayak. Daerah dataran tinggi pada wilayah Kecamatan Kabanjahe terbentuk akibat adanya proses erosi dan sedimentasi dari gunung-gunung dan bukit- bukit disekitarnya, sehingga terbentuk kondisi fisik ekologi (topografi dan bentuk alam) yang relatif datar pada Kecamatan Kabanjahe.
Kondisi fisik Kecamatan Kabanjahe sekarang ini belum ditangani secara maksimal dalam penataan kotanya dan belum ada kajian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan perkembangan kotanya. Hal tersebut juga ditandai dengan infrastruktur jaringan jalan yang belum terpadu, sehingga perkembangan fisik kota (bangunan) menyebar secara organik tanpa panduan yang jelas. Diprediksi akan terjadinya masalah dalam pemanfaatan ruang kecamatan secara optimal dan pemenuhan perluasan sarana pelayanan untuk menjawab kebutuhan di masa depan.
Untuk mengantisipasi dan mengatasi masalah tersebut, penting menemukan morfologi Kecamatan Kabanjahe yang ditinjau dengan aspek fisik ekologi dengan variabel topografi dan bentuk alam. Hal tersebut dilakukan karena aspek fisik ekologi tersebut diprediksi sangat berpengaruh dalam dinamika perkembangan fisik kota pada
Universitas Sumatera Utara 6
Kecamatan Kabanjahe. Sehingga, Penulis dalam laporan ini mencoba melakukan kajian ilmiah dengan mengangkat judul penelitian “Kajian Morfologi Kecamatan
Kabanjahe Ditinjau Dari Aspek Fisik Ekologi (Tahun 2010-2019)”. Hasil dan analisis dalam kajian ilmiah ini dapat digunakan oleh Pemerintahan Kecamatan
Kabanjahe sebagai teori dasar dalam upaya melakukan penanganan perkembangan
fisik Kecamatan Kabanjahe di waktu mendatang.
1.2 Rumusan Permasalahan
Perkembangan fisik kota yang pesat perlu ditemukan guna memaksimalkan penggunaan dalam penataan lahannya dan perluasan sarana pelayanan. Sehingga dari hal tesebut didapat permasalahan penelitian di Kecamatan Kabanjahe sebagai berikut:
1. Bagaimana morfologi Kecamatan Kabanjahe ditinjau dari aspek fisik
ekologi antara Tahun 2010 sampai dengan Tahun 2019?
2. Seperti apa kecenderungan perkembangan fisik Kecamatan Kabanjahe
ditinjau dari aspek fisik ekologi sampai dengan Tahun 2039?
1.3 Tujuan Penelitian
Mengacu dari rumusan masalah, sehingga yang dituju dari Kajian Morfologi
Kecamatan Kabanjahe Ditinjau dari Aspek Ekologi adalah sebagai berikut :
1. Menemukan morfologi Kecamatan Kabanjahe ditinjau dari aspek fisik
ekologi antara Tahun 2010 sampai dengan Tahun 2019.
Universitas Sumatera Utara 7
2. Memprediksi kecenderungan perkembangan fisik Kecamatan Kabanjahe
ditinjau dari aspek fisik ekologi sampai dengan Tahun 2039.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil dari Kajian Morfologi Kecamatan Kabanjahe Ditinjau dari Aspek Fisik
Ekologi (Tahun 2010-2019) diharapkan dapat bermanfaat untuk bidang akademis dan untuk pemerintahan, terutama pengelola Kecamatan Kabanjahe. Penelitian ini menjadi bagian dari proses panjang dalam upaya penataan ruang secara keseluruhan dan juga sebagai masukan bagi pengelola kota, serta pengambil keputusan untuk menentukan pola kebijakan untuk penanganan penataan perkembangan fisik kota.
Sebagai manfaat akademis/ilmu pengetahuan penelitian ini dapat dijadikan bahan bacaan dan acuan untuk melakukan kajian morfologi fisik kota, khususnya pada kota yang berkedudukan di dataran tinggi ditinjau dari aspek fisik ekologi.
1.5 Batasan Penelitian
Dalam penulisan tesis ini kajian morfologi hanya meneliti pada Kecamatan
Kabanjahe dengan batas administrasinya sebagai acuan. Morfologi fisik kota
Kecamatan Kabanjahe yang diteliti dalam rentang waktu 2010-2019, hal tersebut disebabkan daerah kawasan penelitian yang relatif luas yakni 44,65 km2 dan data valid yang dapat diperoleh hanya pada rentang waktu tersebut. Kecamatan Kabanjahe ini tepat dipilih selain karena berfungsi sebagai Ibukota Kabupaten Karo juga memiliki morfologi yang berkarakter dan khas (lereng dataran tinggi) yang menjadi identitas Kecamatan Kabanjahe, sehingga menjadi objek yang menarik untuk diteliti.
Universitas Sumatera Utara 8
Dalam proses penelitian, Penulis hanya meninjau morfologi Kecamatan Kabanjahe dari aspek fisik ekologi berupa indikator tofografi dan bentuk alam. Prediksi kecenderungan perkembangan fisik Kecamatan Kabanjahe dibatasi sampai dengan 20 tahun ke depan (Tahun 2039), dengan pertimbangan utama mengacu pada pola perkembangan fisik kecamatan antara Tahun 2010 - 2019 dan estimasi peningkatan penggunaan lahan berdasarkan jumlah proyeksi penduduk sampai dengan Tahun
2039.
Universitas Sumatera Utara
9 1.6 Kerangka Berfikir
Berdasarkan latar belakang yaitu semakin pesatnya perkembangan fisik kota Kecamatan Kabanjahe, perlunya penanganan perkembangan fisik kota, kebutuhan peningkatan sistem sarana-prasarana, dan pola ruang yang belum optimal dari segi penataan ruang kotanya. Sehingga permasalahan yang ada menjadi begitu kompleks, untuk memudahkan penulisan penelitian ini dirancang suatu kerangka berpikir yang dapat dilihat lebih jelasnya pada Gambar 1.1.
Isu Permasalahan Landasan Teori • P e s a t n y a p e r k e m b a n g a n f i s i k Kecamatan Kabanjahe. • Aspek fisik ekologi merupakan salah satu faktor internal yang paling mempengaruhi pembentukan dan pertumbuhan sebuah kota • Pentingnya menemukan morfologi (Burges, 2008). Kecamatan Kabanjahe. • Perlunya solusi untuk penanganan • Fenomena pembangunan perkotaan mampu dijelaskan secara baik melalui konsep-konsep ekologi. Dengan memandang perkotaan perkembangan fisik kota Kecamatan Kabanjahe. sebagai suatu sistem yang terdiri dari sub-sistem ekologi dan sosial. Konsep ekologi telah membuka perspektif yang baru tentang mekanisme adaptasi manusia terhadap lingkungannya berdasarkan aliran energi, materi, dan informasi (Iwan, 2000). Perumusan Masalah • Dalam sistem analisis morfologi kota terdapat 3 (tiga) intergral kota yang menjadi fokus analisis, yaitu: sistem jaringan jalan (pola- • Bagaimana morfologi Kecamatan Kabanjahe ditinjau dari aspek ekologi pola jalan), penggunaan lahan (pola plot), dan pola bangunan (tipe/karakteristik bangunan) (Sima, 2009). antara tahun 2010 sampai dengan Tahun 2019? • Pembahasan ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan berbagai komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan • Seperti apa kecenderungan biotik. Faktor abiotik (fisik ekologi) antara lain: suhu, air, kelembapan, cahaya, topografi, dan bentuk alam. Sedangkan, faktor perkembangan fisik Kecamatan Kabanjahe ditinjau dari aspek fisik biotik adalah makhluk hidup terdiri dari: manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroorganisme (Hutagalung, 2010). ekologi sampai dengan Tahun 2039?
Data yang Diperlukan • Peta sistem jaringan jalan.
• Peta penggunaan lahan. Analisis Penemuan I Kesimpulan dan • Peta pola letak massa bangunan. 1. Analisis pengaruh topografi terhadap sistem jaringan jalan. 1. Pengaruh topografi terhadap sistem jaringan jalan. Rekomendasi • Peta topografi. 2. Analisis pengaruh topografi terhadap perletakan massa 2. Pengaruh topografi terhadap perletakan massa • Peta bentuk alam. bangunan. Penemuan II • Peta dinamika morfologi kota. 3. Analisis pengaruh bentuk alam terhadap penggunaan bangunan. lahan. 3. Pengaruh bentuk alam terhadap penggunaan lahan. Kecenderungan 4. Analisis pengaruh bentuk alam terhadap dinamika 4. Pengaruh bentuk alam terhadap dinamika morfologi perkembangan fisik morfologi Kecamatan Kabanjahe. Kecamatan Kabanjahe Kecamatan Kabanjahe Metode s.d. tahun 2039 Gambar 1.1 Kerangka Berpikir
Universitas Sumatera Utara BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada Bab Tinjauan Pustaka akan dijelaskan interpretasi Penulis terhadap pengetahuan dasar (teori ahli) yang digunakan sebagai landasan untuk mencapai tujuan dari penelitian Kajian Morfologi Kecamatan Kabanjahe Ditinjau dari Aspek
Fisik Ekologi. Adapun interpretasi terhadap pengetahuan dasar tersebut, meliputi teori-teori berkenaan dengan: morfologi kota, ekologi kota, pertumbuhan kota, kebijakan pembangunan perkotaan, pertumbuhan kota ditinjau dari sistem non-fisik ekologi, dan rangkuman teori.
2.1 Morfologi Kota
Secara sederhana morfologi merupakan studi untuk menganalisis formasi/ struktur bentuk kota pada skala yang relatif luas. Secara harfiah morfologi terangkai atas 2 (dua) suku kata, yakni morf yang memiliki arti ‘bentuk’ serta logos yang memiliki arti ‘ilmu’, sehingga morfologi ialah ilmu yang mempelajari produk bentuk- bentuk fisik. Gallion dan Eisner (1992) mengartikan kota selaku satu laboratorium tempat pencarian kebebasan untuk melakukan percobaan uji bentukan-bentukan fisik.
Zahnd (1999) mendefinisikan morfologi kota sebagai formasi sebuah objek bentuk kota dalam skala yang lebih luas. Bentukan fisik kota terjalin dalam aturan yang
10 Universitas Sumatera Utara 11
mengemukakan lambang/pola: ekonomi, sosial, politik, dan spiritual peradaban masyarakat.
Yunus (1982) mengemukakan bentuk morfologi suatu kawasan terlukis dari sistem/pola tata ruang, bentuk arsitektur bangunan, dan berbagai elemen fisik kota di seluruh aspek terkait dengan perkembangan kota. Selanjutnya, terjadi aktivitas sosial, ekonomi, dan budaya dalam masyarakatnya sehinggga membawa implikasi perubahan pada karakter dan bentuk morfologi kawasan pusat kota. Sebuah kota selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Perkembangan ini menyangkut aspek-aspek politik, sosial, budaya, teknologi, ekonomi, dan fisik.
Khusus aspek yang berkaitan langsung dengan penggunaan lahan perkotaan dan juga penggunaan lahan pedesaan ialah perkembangan fisik, terkhusus perubahan/peralihan pada kawasan tertentu. Sehingga, eksistensi kota dapat ditinjau dari berbagai aspek/ bagian. Zahnd (1999) mengemukakan morfologi perkotaan ialah proses menata atau menyusun struktur keadaan kota yang berperan sebagai objek serta sistem/pola yang bisa dicermati menurut struktur, fungsional, dan visual.
2.1.1 Unsur-unsur yang mempengaruhi morfologi kota
Smiles (1995) dalam Yunus (2002) mengemukakan 3 (tiga) unsur untuk mengetahui morfologi kota yakni: pola-pola jalan (street plan/lay out), tipe-tipe bangunan (architectural style of buldings & design), dan unsur-unsur penggunaan lahan (land use). Selaras dengan Smile (1995), Sima (2009) mengemukakan dalam
Universitas Sumatera Utara 12
sistem analisis morfologi kota sistem jalan, penggunaan lahan, dan pola bangunan sebagai integral dari kota. Bentuk dan perubahan (evolusi perkotaan) yang dikaji dalam morfologi kota merupakan fokus pada penjelasan elemen-elemen perkotaan yang merupakan bagian dari struktur perkotaan. Berdasarkan teori tersebut, untuk mengetahui morfologi suatu kota unsur-unsur yang harus dianalisis adalah sistem jalan (pola-pola jalan), penggunaan lahan (pola plot) dan pola bangunan (tipe atau karakteristik bangunan) di kota tersebut.
Berdasarkan sistem analisis morfologi kota Sima (2009), berikut ini penjelasan mengenai unsur-unsur yang mempengaruhi morfologi kota:
1. Sistem jalan (pola-pola jalan)
Morlok (1978) dalam Arif (2009) mengemukakan terdapat 6 (enam) jenis
ideal jaringan jalan yakni jalan kisi-kisi (grid), jari-jari (radial), cicin-
radial (ring-radial), tulang belakang (spinal), hexagonal, dan delta
(Gambar 2.1).
Gambar 2.1. Jenis Jaringan Jalan Sumber: Morlok, 1978
Universitas Sumatera Utara 13
Jaringan jalan jari-jari (radial) yakni jaringan jalan yang berpusat/ berpangkal pada pusat kota yang dihubungkan/disambungkan dengan jalan-jalan radial. Biasanya cocok/sesuai untuk kota-kota berukuran kecil dan tidak sesuai untuk dikembangkan pada kota tergolong besar. Jaringan jalan cincin-radial merupakan pengembangan/peningkatan jaringan jalan radial dengan cara menambahkan cincin (ring) yang disebut juga sebagai
‘jalan lingkar’. Makin besar sebuah kota semakin dibutukan jalan lingkar yang lebih banyak lagi.
Jaringan jalan kisi-kisi (grid) adalah jaringan jalan berbentuk kisi-kisi yang merupakan jaringan jalan yang banyak dikembangkan pada kawasan
Amerika Utara yang mempunyai keunggulan aksesbilitas tinggi, oleh karena itu alternatif pilihan jalan yang dilewati/dilalui relatif banyak. Pola jaringan jalan tersebut diterapkan pada Kota New York (USA) dan Kota
Toronto (Kanada). Jaringan jalan spinal yang pada umumnya diterapkan pada jaringan transportasi antar kota pada banyak koridor perkotaan yang sudah tergolong berkembang sangat pesat, seperti pada kota-kota besar bagian timur laut Amerika Serikat. Kelebihan penerapan jaringan jalan tersebut ialah terdapatnya persimpangan jalan yang berpencar dan mengumpul namun tanpa melintang satu sama lain secara langsung.
Universitas Sumatera Utara 14
Tinjauan terhadap analisis sistem jaringan jalan pada dataran tinggi yang sesuai dengan objek penelitian bisa dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Sistem Jaringan Jalan pada Kota Malang (Dataran Tinggi) Sumber: Ahadunnisa, 2012
Pada Gambar 2.2. bisa dilihat sistem jaringan jalan pada Kota Malang yang berada pada dataran tinggi. Ahadunnisa (2012) mengemukakan ditemukan kelemahan dari sistem jaringan jalan pada Kota Malang yang dipengaruhi oleh kendala berupa ekologi (topografi dan bentuk alam) khas dataran tinggi, mengakibatkan menempuh pusat kota membutuhkan waktu yang cukup lama. Walaupun Kota Malang merupakan jalan tipe grid yang kemacetannya dapat disebar, namun jalan di Kota Malang kecil dan sempit, serta kemungkinan kemacetan pada daerah tertentu tetap ada.
Universitas Sumatera Utara 15
Inovasi yang dapat memaksimalkan potensi dan menanggulangi kendala
sistem jaringan jalan pada dataran tinggi Kota Malang, berupa
memperlebar jalan arteri untuk memperlancar arus. Serta membuat jalan
arteri baru mengelilingi Kota Malang (ring road).
2. Penggunaan lahan (pola plot)
Pemanfaatan/pengguanaan tanah oleh manusia disebut juga sebagai
penggunaan lahan. Pada umumnya penggunaan lahan menyangkut
pengelolaan serta pengubahan lingkungan alam maupun padang
gurun menjadi lingkungan dibangun sebagai medan, padang rumput, dan
permukiman. Secara global penggunaan lahan dimaknai sebagai
"pengaturan, kegiatan, dan masukan orang mengambil tindakan dalam
tipe penutupan lahan tertentu untuk memproduksi, mengubah, atau
mempertahankannya" (FAO, 1997a; FAO/ UNEP, 1999). Perbandingan
dan perbedaan jenis tata guna lahan suatu perkotaan dalam studi-studi
perkotaan menyatakan penggunaan lahan diartikan selaku resultan atas
seluruh kegiatan/usaha manusia di atas muka bumi yang dipengaruhi oleh
fisik lingkungan (bentuk alam) dan aktivitas sosial-ekonomi serta sosial-
budaya pada masyarakat satu wilayah (Sandy, 1995).
Albert Guttenberg (1959) mengemukakan bahwa penggunaan
lahan ialah istilah kunci dalam kaidah perencanaan kota. Biasanya,
Universitas Sumatera Utara 16
pemerintah/pengelola kota akan merencanakan penggunaan lahan serta mengatur penggunaan lahan sebagai upaya demi mengantisipasi terjadinya perselisihan terhadap penggunaan lahan. Penggunaan lahan yang direncanakan dan diimplementasikan oleh divisi tata ruang dan tata bangunan dengan cara menerapkan regulasi/pengaturan, seperti peraturan zonasi. Manajemen diskusi antara dinas berwenang dengan organisasi non-pemerintah terjadi cukup sering dalam upaya demi mempengaruhi regulasi ini sebelum dirubah.
Gambar 2.3. Penggunaan Lahan pada Kota Malang (Dataran Tinggi) Sumber: Ahadunnisa, 2012
Pada Gambar 2.3 bisa dilihat penggunaan lahan pada dataran tinggi Kota
Malang. Dapat dilihat pada Gambar 2.2. kondisi letak geografis Kota
Universitas Sumatera Utara 17
Malang memiliki dampak terhadap sistem jaringan jalan. Di mana ada
potensi berupa kawasan selatan merupakan dataran tinggi yang agak luas,
sesuai untuk zonasi industri. Kawasan utara merupakan dataran tinggi
subur, sesuai untuk zonasi pengembangan lahan pertanian. Kawasan barat
berupa dataran tinggi yang sangat luas sesuai untuk pengembangan zonasi
sarana pelayanan umum pendidikan. Kesesuaian pengembangan
penggunaan lahan tersebut, terintegrasi dengan konsep jaringan jalan
Kota Malang merupakan tipe grid (tetapi tidak teratur), sehingga tingkat
kejenuhan bisa disebar di seluruh bagian kota (Ahadunnisa, 2012).
3. Pola bangunan (tipe atau karakteristik bangunan)
De Chiara (1997) mengemukakan perletakan massa bangunan (pola
bangunan) erat kaitannya dengan sistem jaringan jalan. Di mana diketahui
bahwa topografi (kontur) memiliki kaitan yang sangat berpengaruh
terhadap jaringan jalan. Pola bangunan sendiri merupakan proses
persatuan bangunan-bangunan yang bermassa majemuk berdasarkan
potensi dan kendala tapak. Pola bangunan pada lahan/tapak memiliki
faktor-faktor sebagai batasan-batasan untuk menentukan pola-pola yang
mengikat dan mengatur letak massa bangunan diantara faktor-faktor
tersebut antara lain: bentuk lahan, letak jalan, orientasi matahari,
topografi (kontur), dan lingkungan sekitar.
Universitas Sumatera Utara 18
Kustianingrum, dkk. (2012) mengatakan usaha melawan/menentang topografi bukan kebiasaan yang umum dilakukan, tetapi tidak sedikit perencanaan yang memperlihatkan bukti kecenderungan tersebut.
Mengubah karakter istimewa yang mendasar/fundamental dari lahan, akan tetapi ide dasar penyelesaiaannya ialah menyelaraskan perencanaan dengan keadaaan kontur. Namun, hal tersebut merupakan pedoman konvensional dan tidak langkah yang mesti ditiru secara sepenuhnya.
Massa bangunan bisa diletakkan di lereng yang curam tidak dengan banyak mengubah kelandaian lereng, namun massa banguan berjajar panjang tidak lebih dengan berpedoman selaras dengan pola umum topografi (kontur) permukaan tanah. Jikalau topografi sangat curam sehingga alternatifnya adalah menempatkan massa bangunan pada bagian lahan yang hampir datar atau dapat pula diperoleh dengan proses menggali lereng dan alternatif lainnya letakkan massa bangunan pada rangkaian bertujuan demi mengikat jalan yang berlawanan/kontra terhadap pola kontur.
Lebih lanjut Kustianingrum, dkk. (2012) mengemukakan penyesuain bangunan hunian pada kontur (topografi) adalah pedoman utama.
Penyesuaian terhadap kemiringan lereng tapak (perbukitan) bisa
Universitas Sumatera Utara 19
digunakan massa bangunan dengan konsep bangunan split-level (rumah sengkedan) seperti:
a. Massa bangunan split-level yang tunggal, berderet, dan lainnya
pada lereng kurang dari 10% ( < 6°) .
Massa bangunan yang karena kontur tepat berupa lereng landai,
sehingga mempunyai 2 (dua) lantai yakni pada lantai bawah dan
lanai atas lereng, pada umumnya dengan perbedaan tinggi
setengah tingkat massa bangunan.
b. Massa bangunan sengkedan yang tunggal, berderet, dan lainnya
pada lereng lebih besar dari 10% ( > 6°).
Massa bangunan yang disebabkan kontur tapaknya berada pada
lereng agak terjal, sehingga disusun tingkat massa bangunan
yang selaras dengan pola garis kontur, dengan perbedaan
ketinggian pada umumnya 1 (satu) tingkat massa bangunan.
c. Massa bangunan sengkedan tersusun (terraced houses) pada
lerengan ±20% (± 11°).
Kustianingrum, dkk. (2012) mengatakan merancang massa
bangunan dengan sengkedan maupun split-level yang baik adalah
buah perkiraan serta perhitungan alternatif atas aspek konstruksi-
Universitas Sumatera Utara 20
struktur massa bangunan, dan dari aspek penggunaan (keamanan,
kenyamanan, kesehatan, ekonomi, dll.).
Beberapa konsep perletakan massa di atas dapat menanggulangi kendala
pengadaan bangunan pada bagian tapak yang berkontur erat kaitannya
dengan daerah yang akan diteliti berupa dataran tinggi dengan kontur
yang beragam dari kemiringan relatif datar, landai, dan curam. Selaras
makin kompleksnya aktivitas masyrakat perkotaan, timbul permasalahan
bentuk fisik yang memerlukan penanganan yang tepat sesuai dengan
masalahnya tersebut. Dengan demikian pentingnya untuk mengetahui
perkembangan suatu kota dari kurun waktu tertentu hingga saat ini. Ada
beberapa teori mengenai kajian morfologi kota. Tetapi, melalui
pengamatan awal Penulis mengindentifikasi morfologi Kecamatan
Kabanjahe dengan bentuk Octopus/Star Shape Citier (gurita/bintang)
pada bentukan tersebut didapati beberapa jalur transportasi yang
dominan, didapati juga daerah hinterland (penyuplai kebutuhan). Pada
pinggiran kota terdapat hambatan dalam perkembangan fisik kota berupa
kontur yang ekstrim.
2.2 Ekologi Kota
Earns Haekel (1834-1914) dalam Hutagalung (2010) mengemukakan ekologi merupakan ilmu yang membahas korelasi antara segala jenis makhluk hidup
Universitas Sumatera Utara 21
(organisme) dengan habitatnya (lingkungannya). Secara harfiah ekologi berusul dari kata oikos (Bahasa Yunani) yang berarti habitat/kediaaman serta logos yang berarti ilmu. Sehingga, ekologi dimaknai menjadi ilmu yang mempelajari/menyelidiki interaksi antar makhluk hidup dan juga interaksi antar makhluk hidup dengan habitatnya (lingkungannya). Makhluk hidup (organisme) dan habitatnya merupakan kesatuan yang diselidiki/dipelajari dalam ekologi.
Shadily (1977) mengemukakan ekologi (ecology) ialah ilmu yang menganalisis organisme atas kaitannya terhadap lingkungan fisiknya semacam hubngan dengan iklim, tanah, sinar matahari, angin, serta kelembaban yang analisis dengan cara apa organisme tersebut beradaptasi terhadap habitatnya dan dengan jalan apa hal itu berakhir dengan terciptanya bentuk/rupa akhir dari suatu daerah/kawasan terpilih.
2.2.1 Indikator-indikator fisik ekologi kota
Hutagalung (2010) mengemukakan ada 2 (dua) faktor yang penting untuk dibahas dalam penyelidikan mengenai ekologi yakni abiotik dan biotik. Faktor abiotik (lingkungan) meliputi: suhu, air, kelembaban, cahaya, dan topografi.
Sedangkan, faktor biotik ialah organisme yang meliputi manusia, hewan (mikroba), dan tumbuhan. Analisis dalam ekologi menyelidiki hubungan dan tingkatan antar organisme maupun organisme dengan lingkungannya. Aspek fisik ekologi kota yang
Universitas Sumatera Utara 22
mempengaruhi perkembangan kota yakni topografi dan bentuk alam, penjelasannya sebagai berikut:
1. Topografi
Hamdan (2013) dalam Fahri (2017) mengatakan kondisi topografi sebagai
komponen ekologi abiotik merupakan salah satu kondisi fisik yang dapat
mengurai informasi mengenai potensi dan kendala perkembangan fisik
suatu kawasan/wilayah. Topografi sebagai ilmu studi tentang bentuk
permukaan bumi, memiliki objek penelitian perihal kedudukan satu
bagian serta umumnya menunjukkan pada koordinat menurut mendatar
(horizontal) sebagai garis: lintang dan bujur, secara tegak lurus (vertikal)
sebagai: ketinggian dan kemiringan lereng.
Gambar 2.4. Ilustrasi Pengaruh Topografi terhadap Jaringan Jalan dan Pola Massa Bangunan Sumber: Kustianingrum, 2012
Universitas Sumatera Utara 23
Pada Gambar 2.4. bisa dilihat topografi berupa kontur memiliki pengaruh yang signifikan. Jika diperoleh beda ketinggian permukaan tapak tidak terlalu ketara, hingga usaha adaptasi perencanaan tapak kepada topografi menyebabkan pembiayaan pengembangan pada tahap permulaan serta perawatan yang hemat, pertama bagi pembuatan pipa aliran air kota menuju drainse. Pemanfaatan potensi keadaaan topografi yang bervariasi secara tepat dan cermat mampu memberikan karakter mandiri yang solusional pada suatu perencanaan tapak. Ciri khusus yang ditimbulkan dari topografi yang beragam menghasilkan beragam penyeseuaian perencanaan dan peracangan bentuk fisik bangunan menyesuaikan dengan sistem jaringan jalan yang ada. Pengadaan massa bangunan pada lahan dengan tapak yang berkontur curam atau tidak teratur mengakibatkan tingginya pembiayaan. Biaya lebih ekonomis pada kontruksi, pelandaian, dan urugan yang tinggi, bila bangunan diletakkan pada tapak yang landai.
Tapak yang curam atau tak teratur dapat menyebabkan biaya pembangunan yang tinggi. Pada tapak yang landai pun kebiasaan meletakkan bangunan sejajar dengan kontur akan banyak mengurangi biaya konstruksi, pelandaian, dan urugan yang tinggi. Anjuran ini terbukti benar apabila terdapat batuan di dalam pekerjaan galian.
Universitas Sumatera Utara 24
Aspek topografi merupakan faktor dominan yang mempengaruhi
perkembangan fisik kota berupa massa bangunan, perbedaaan pola massa
bangunan dengan beragam fungsi pemanfaatan lahan di daerah yang
berkontur. Pola massa bangunan pada kawasan pantai pada umumnya
berkembangan dengan model line (garis). Pola/model garispun terbentuk
di sepanjang jalan, jalan kereta, maupun sepanjang aliran sungai. Pola
massa bangunan pada topografi hampir datar pada umumnya mengarah
pada pola/model berkumpul membentuk kelompok. Sedangkan, di sekitar
kawasan yang berada pada topografi bergelombang mengakibatkan pola
massa bangunan tersebar, karena kemudahan dalam proses membangun
pada kawasan yang agak datar. Antar desa pada kawasan ini kerap kali
sangat berjauhan dan hanya dihubungkan dengan jalan setapak.
2. Bentuk alam
Pertami (2013:38) mengemukakan bahwa landfrom (bentuk alam)
merupakan satuan geomorfologis yang dapat digolongkan menurut
karakteritik sebagai elevasi, kemiringan, stratifikasi, paparan batuan, serta
jenis tanah. Beberapa rupa bentuk alam meliputi gunung, bukit, lembah,
sungai, danau, dsb. Bentuk alam tingkat tertinggi dan terluas diantaranya
samudara dan benua. Lempeng tektonik, erosi, dan deposisi merupakan
beberapa faktor yang memberi pengaruhi serta membentuk bentuk alam.
Universitas Sumatera Utara 25
Selain faktor tersebut, faktor organisme juga mampu memberi pengaruh terhadap bentuk alam, sebagai contoh terbentuknya rawa dan terumbu karang akibat peranan tumbuhan dan ganggang.
Handinoto (1996) mengemukakan berkaitan dengan objek yang diteliti
(Kota Malang) yang berada pada dataran tinggi, bila dilihat hubunganya dengan bentuk alam plato/plateau (dataran tinggi) merupakan dataran yang berkedudukan pada ketinggian di atas 700 mdpl. Bentuk alam plato merupakan hasil erosi serta sedimentasi dalam maktu kurun tertentu.
Sejumlah bentuk alam plato (dataran tinggi) di Indonesia diantaranya:
Dataran Tinggi Dekkan, Dataran Tinggi Gayo, Dataran Tinggi Dieng,
Dataran Tinggi Malang, serta yang menjadi objek penelitian tulisan ini yang juga merupakan dataran tinggi paling luas di Indonesia yakni
Dataran Tinggi Karo.
Gambar 2.5. Perkembangan Luas Lahan di Kota Malang Sumber: Handinoto, 1996
Universitas Sumatera Utara 26
Pada Gambar 2.5 bisa dilihat bahwa morfologi (perkembangan luas fisik)
Kota Malang membentuk karakter yang khas, di mana Kota Malang
mempunyai bentuk kota yang tegolong kompak tidak berpola (unpattern
cities). Bentuk unpattern cities tersebut disebabkan terbentuknya pola
ruang yang relatif memadat dan bersatu padu (kompak). Serta, struktur
kota (jaringan jalan) tidak membentuk pola sehingga dapat
diklasifikasikan tiada memiliki pola. Aspek utama yang memberi
pengaruh bentuk kota pada Kota Malang ialah aspek geografis yakni
bentuk alam yang karena berada pada dataran tinggi, selain itu faktor
transportasi, sosial, ekonomi, dan regulasi juga berperan penting dalam
proses perkembangan fisik kota pada Kota Malang.
2.2.2 Identifikasi ekologi kota
Prayitno (1989:6) mengemukakan city ecology (ekologi kota) merupakan hubungan timbal-balik antara makhluk hidup (organisme) dengan lingkungan fisik pada kawasan kota. Kawasan perkotaan mengalami perkembangan fisik yang pesat dan dinamis. Beberapa permasalahan pada ekologi kota diantaranya perpindahan penduduk dari desa ke kota (urbanisasi), perumahan/permukiman, gedung yang tinggi, keadaan tersedianya makanan, ketersediaan air bersih, dsb.
Ada tiga prinsip utama yang harus diperhatikan dalam kaitannya ekologi kota yaitu: kesesuain dengan iklim, efisiensi sumber daya, dan efisiensi energi.
Universitas Sumatera Utara 27
Prinsip-prinsip tersebut memedomani dan saling terintegrasi pada seluruh elemen perencanaan dan perancangan ekologi kota. Beberapa elemen perencanaan/ perancangan kota dengan konsep ekologi, meliputi: tata guna tanah, intensitas bangunan, transportasi, infrastruktur, serta lanskap kota. Beberapa upaya perancangan elemen tata guna tanah berdasarkan konsep kota ekologi diantaranya: penggunaan lahan campuran, penggunaan lahan secara kompak, integrasi penggunaan lahan dengan infrastruktur, penyediaan ruang terbuka yang banyak, dan penggunaan lahan untuk aktivitas skala kecil.
Upaya pengaturan kota ekologi menurut prinsip-prinsip tertentu berfungsi untuk mempengaruhi kota memberikan dampak yang positif. Prinsip tersebut melingkupi: perhatian terhadap lingkungan yang memenuhi syarat dan detail dengan skala, akses terhadap fungsi tertentu diatur berdasarkan kedekatan, sentraliasasi kembali dengan skala kecil, dan perihal yang berbeda pada lingkungan merupakan suatu hal yang baik berkenaan karakter dan identitas kawasan.
2.3 Pertumbuhan Kota
Spiro Kostof (1991) mengemukakan perkotaan merupakan leburan/ perpaduan dari bangunan/gedung dengan penduduk. Pada awalnya bentuk dari kota ialah netral, namun, pada perkembangannya berubah yang dipengaruhi oleh kebudayaan setempat. Terdapat 2 (dua) klasifikasi bentuk kota yakni bentuk geometri serta bentuk organik. Dikotomi dari kedua klasifikasi bentuk kota tersebut didasari
Universitas Sumatera Utara 28
pada bentuk kota geometri kota yakni terencana (planned) serta tidak terencana
(unplanned).
2.3.1 Bentuk kota geometri dan organik
Spiro Kostof (1991) mengemukakan terdapat perbedaan dua jenis kelompok yang saling bertentangan pada perkotaan bentuk geometri yakni terencana (planned) dan bentuk organik yakni tidak terencana (unplanned).
1. Bentukan terencana (planned) pada umumnya ditemukan pada kota di
Benua Eropa. Di mana kota di atur secara reguler dengan bentuk geometri
dimulai pada abad pertengahan.2,5
2. Bentuk tidak terencana (unplanned) kerap terjadi pada kota metropolitan
di mana kota tumbuh dan berkembang secara spontan dan tidak terencana
membentuk pola organik (organic pattern).
Elemen–elemen pembentuk kota pada kota organik, oleh Kostof (1991) dianalogikan secara biologis seperti organ tubuh manusia, meliputi: ruang terbuka
(open space) seperti paru-paru, pusat kota (center) seperti jantung, struktur kota
(jaringan jalan) seperti saluran arteri darah, aktivitas ekonomi seperti sel yang berfikir, elemen kapital (capital) seperti energi yang mengalir ke setiap penjuru kota, serta bank, pelabuhan, kawasan industri seperti jaringan khusus dalam tubuh.
Kevin Lynch (1981) mengemukakan memaknai bentuk organik (kota biologi) sebagai kota yang tampak seperti tempat tinggal yang hidup, memiliki ciri-
Universitas Sumatera Utara 29
ciri kehidupan yang membedakannya dari sekedar mesin, mengatur diri sendiri, dibatasi oleh ukuran dan batas yang optimal, struktur internal, serta perilaku yang khas. Perubahannya tidak dapat dihindari untuk mempertahankan keseimbangan yang ada, menurutnya bentuk fisik organik: Membentuk pola radial dengan unit terbatas, memiliki focused center, memiliki lay-out non-geometri atau cenderung selaras dengan pola yang membentuk lengkung tak beraturan, material alami, kepadatan sedang sampai rendah, dan selaras dengan bentuk alam.
Pada bentuk kota organik penggolongan ruang terbentuk menjadi kesatuan yang tercipta atas kumpulan unit yang mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Perkotaan bentuk organik kerap mengalami degredasi mutu fisik kota disebabkan perkembangan yang tiba-tiba (spontan), tidak direncanakan, dan sepenggal-sepenggal. Heterogennya penduduk yang bercampur menimbulkan terjadinya keseimbangan tertentu. Akibat dari aktivitas dan fungsi yang berlainan namun saling bertentangan namun juga saling mendukung diantaranya. Ciri khas kota organik ialah ditemukannya kerjasama pemeliharaan lingkungan sosial secara sukarela oleh masyarakat (gotong royong).
Perkotaan adalah wadah pemusatan kegiatan sosial, politik, ekonomi, budaya, dan administrasi yang melatarbelakangi terjadi pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan perkotaan berlangsung diakibatkan stimulasi dari industri pada suatu kota yang mengakibatkan penduduk dari luar kota berpindah dan menetap di kota. Sehingga, peningkatan sarana dan prasaran berikut fasilitas
Universitas Sumatera Utara 30
pendukung penduduk untuk beraktivitas kesehariannya membutuhkan pembenahan dari waktu ke waktu.
Terdapat 3 (tiga) teori dari ahli perkotaan tentang pertumbuhan kota, meliputi:
1. Tempat sentral (central place)
Cristaller (1933) mengemukakan tempat sentral (central place) adalah
kota istimewa yang berperan sebagai sentral pelayanan barang-jasa
terhadap kawasan disekitarnya. Kota istimewa tumbuh dan berkembang
disebabkan tingginya permintaan akan barang-jasa.
2. Tempat ekonomi perkotaan (urban economic place)
Nijkamp (1986) mengemukakan tempat ekonomi perkotaan (urban
economic place) merupakan kota yang berkembang akibat adanya
kegiatan ekonomi namun bukan saja terkait pelayanan pada daerah
sekitarnya saja, tetapi untuk daerah yang lebih luas lagi hingga luar batas
wilayahnya tingkat nasional bahkan internasional.
3. Basis ekspor (export base)
Soepono (2001) mengemukakan kota yang tumbuh dan berkembang
akibat berperan sebagai basis ekspor (export base) akibat terjadinya
aktivitas ekonomi yang tingkat pelayanannya tidak sekedar pada daerah
Universitas Sumatera Utara 31
sekitarnya dan internasional , dalam rangka menawarkan barang dan jasa.
Basis ekspor juga sering disebut sebagai kota kreatif (creative city).
Sukirno (1997) mengemukakan aspek pertumbuhan kota dapat dibagi menjadi 2 (dua) yakni jasa dan barang. Kota yang tumbuh akibat industri dengan memproduksi barang milik mereka sendiri merupakan kota berkembang akibat barang. Kota yang pertumbuhannya diakibatkan menawarkan jasa selaku kota kreatif, kota kreatif menawarkan jasa berbentuk sebagai ilmu dan seni yang dimiliki. Pada masa kini ada paradigma yang mengungkapkan masyarakat dapat lebih maju akibat meningkatkan kemampuan menghasilkan jasa (kreatifitas) tidak terbatas dengan menghasilkan barang saja.
2.3.2 Pertumbuhan kota ditinjau dari aspek ekologi
Nugroho (2000) mengemukakan pertumbuhan kota juga tersusun atas sub- sitem sosial serta ekologi kaitan erat diantara keduanya merupakan perhatian khusus dari pengaturan mikro sampai dengan perspektif agregat ekonomi makro. Kota di negara berkembang berperan sebagai pendorong utama pembangunan ekonomi.
Kebijakan pendapatan keuangan (fiscal) menjadi bagian yang berperan sebagai cara kerja untuk tetap mempertahankan kondusifitas iklim dalam rangka usaha pengembangan kota. Lebih lanjut, kondisi yang ingin dicapai ialah stabilnya pengembangan modal sosial (social capital) yang berupa hubungan baik antara pemerintah, sektor swasta, serta masyarakat. Diharapkan pemerintahan secara
Universitas Sumatera Utara 32
mandiri dapat menghasilkan kebijakan yang efektif (governance mechanisms) demi terwujudnya keluaran (output) serta kestabilan (steady state) yang maksimal serta berkelanjutan dan berkesinambungan.
Soeriaatmadja (1981) dalam Dusuqy (2008) mengemukakan pada dasarnya ekologi merupakan ilmu murni yang mempertanyakan, menyelidiki, dan memahami prinsip dasar bagaimana alam bekerja, bagaimana keberadaan makhluk hidup dalam sistem kehidupan. Hasil jawab berbagai doktrin ekologi yang lazim disebut asas dasar ekologi. Dusuqy (2008) dalam teori Eko-teologi Integralistiknya mengemukakan untuk penyelidikan dan memahami ekologi terdapat 3 (tiga) hubungan yang dapat digunakan untuk kajian denganp pendekatan ekologi yakni hubungan struktural, hubungan fungsional, dan hubungan integral. Kaitannya dengan kajian morfologi fisik kota ataupun desa pada penelitian ini, 2 (dua) hubungan yang terkait untuk ditinjau adalah hubungan struktural dan hubungan fungsional. Tahapan-tahapan dalam hubungan struktural maupun hubungan fungsional pada perkembangan fisik kota ditinjau dari aspek ekologi akan dijelaskan lebih lanjut.
Salim (1986) dalam Dusuqy (2008) mengemukakan terdapat 4 (empat) evolusi dalam kajian dengan pendekatan struktural ekologis yakni, tahap ekosentris, tahap transisional, tahap antroposentris, hingga tahap holistis. Tahap pertama, tahap ekosentris sebagai tahap awal dalam hubungan manusia dan lingkungan masih bersifat alami, karena manusia masih merasa bahwa lingkungan merupakan pusat
Universitas Sumatera Utara 33
segalanya, manusia merupakan bagian dari lingkungan (Danusaputra (1983) dalam
Dusuqy (2008)). Tahap kedua, pada tahap transisional manusia sudah merasa bukan lagi sebagai bagian integral dari lingkungan secara penuh. Akan tetapi di sisi lain, mnusia juga tidak merasa sebagai bagian di luar lingkungannya. Pada teologi transisionalisme dapat berimplikasi pada terbentuknya perilaku masyarakat yang ambigu. Tahap ketiga, tahap antroposentris merupakan tahap di mana manusia merasa dirinya bukan lagi sebagai bagian dari lingkungan, melainkan bagian di luar lingkungan (exclusivisme). Dengan ungkapan lain, manusia merasa dirinya sebagai makkluk yang istimewa, super being, dan sebagai penguasa yang absolut terhadap lingkungan. Tahap keempat, tahap holistis merupakan tahapan di mana manusia merasa bahwa di satu sisi dirinya memang merupakan bagian integral dari lingkungan, tetapi di sisi lain manusia juga menyadari dirinya memiliki kelebihan berupa akal sehingga cenderung bersifat bertanggung jawab (Hadi, 1995).
Dusuqy (2008) mengemukakan dalam kajian dengan pendekatan fungsional ekologis dapat digolongkan dalam 2 (dua) teori besar, yakni teori bio-ekosistem dan teori geo-sosial-sistem. Teori pertama, Keraf (1997) dalam Dusuqy (2008) mengemukakan teori bio-ekosistem dimaknai di mana kedudukan dan fungsi manusia dalam ekosistem, sama dengan mahluk lainnya. Manusia sebagai makhluk yang berakal, rational being misalnya, di persamakan dengan dengan benda lain yang tidak berakal. Teori kedua, Kaslan (1991) dalam Dusuqy (2008) memaknai teori geo-sosial-
Universitas Sumatera Utara 34
sistem di mana manusia bukanlah objek alam, namun menjadi subjek alam. Sebab manusia memiliki kemampuan untuk mengelola, merencanakan, dan mengatur pendayagunaan sumber daya alam dan lingkungannya demi kepentingan manusia secara rasional ekologis. Pada perumusan teori geo-sosial-sistem didasarkan pada fakta objektif bahwa manusia bukan saja spesies biotik saja, melainkan juga sebagai spesies sosial yang berakal.
2.4 Kebijakan Pembangunan Perkotaan
Iwan Nugroho dan Budi Triyono (1999:57) mengemukakan garis besar rumusan perencanaan yang matang guna menghasilkan kebijaksanan pengembangan kota terkhusus pada negara-negara yang sedang berkembang paling tidak mesti melingkupi 4 (empat) aspek, meliputi:
1. Usaha untuk mengoptimalkan prosedur aktivitas ekonomi kota, dengan
menguatkan pemahaman dan dan kesadaran akan tanggung jawab
menjaga ekologi kota secara merada serta meransang pembangunan
perdesaan, sekaligus memberikan solusi atas permasalahan-permasalahan
yang diprediksi akan menjadi hambatan terhadap usaha meningkatkan
produktivitas, antara lain:
a. Mengembangkan sarana dan prasarana kota demi meningkatkan
efisiensi aktivitas ekonomi, sehingga ekonomi bertumbuh dan
tersedianya lapangan pekerjaan.
Universitas Sumatera Utara 35
b. Mengoptimalkan tata guna tanah (zoning penggunaan lahan) demi
memberikan kepastian saat aktivitas produksi serta berkelanjutan.
c. Mengoptimalkan efektivitas pengaturan rencana pengembangan sarana
dan prasarana kota, untuk meminimalisir timbulnya permasalahan
pembiayaan.
d. Mengoptimalkan sokongan dari sektor swasta untuk berinvestasi guna
pembiayaan pengembangan sarana dan prasarana, perumahan, serta
aktivitas ekonomi kota.
2. Meningkatkan produktivitas penduduk miskin kota dengan cara aktif
menciptakan keamanan sosial (social safety) demi memulihkan
kehidupan mereka dengan cara mengoptimalkan akses mereka terhadap
memperoleh sarana dan prasarana, memudahkan dalam pemanfaatan jasa
keuangan (fiscal), serta menjamin tersedianya lapangan pekerjaan. Usaha
yang dapat dilaksanakan pengelola kota, yakni:
a. Menyediakan program pendidikan/pelatihan guna mengoptimalkan
keahlian (skill) serta menambah konsepsi cara pandang pencari kerja.
b. Memberikan jaminan dan kemudahan pada golongan masyarakat
miskin untuk mengakses sarana dan prasarana perkotaan.
c. Secepatnya menyediakan pekerjaan atau proyek guna keamanan
perekonomian mereka.
Universitas Sumatera Utara 36
3. Pengupayaan mencegah penurunan kualitas lingkungan hidup perkotaan
terkhusus pada lingkungan hunian masyarakat miskin, serta secara umum
terhadap kerusakan/pencemaran lain dengan mengadakan rehabilitasi
sosial (social rehabilitation). Tentunya upaya tersebut dilaksanakan
dengan satu metode komprehensif dan sinkron dengan kaidah ilmiah,
guna mengetahui permasalahan/persoalan yang terjadi di lingkungan kota
agar mampu merumuskan kebijakan yang efektif dan efisien.
4. Menyelaraskan pemikiran antara berbagai elemen sosial pada kota yang
mencakup seluruh pihak di antaranya pemerintah, swasta, industri, dan
konsumen. Dengan mengadakan diskusi untuk mengidentifikasi masalah-
masalah yang terjadi di kota dan membicarakannya secara objektif. Guna
menemukan solusi yang tepat, untuk menghindari keraguan-keraguan
yang berdampak gagalnya upaya pembangunan kota.
2.5 Pertumbuhan Kota Ditinjau dari Sistem Non-fisik Ekologi
Nugroho (2000) mengemukakan gejala usaha pengembangan kota dapat diterangkan dengan jelas memakai konsep ekologi. Kota dipandang sebagai sistem yang dapat dibagi dari sub-sistem sosial serta ekologi, sehingga dapat membuka pandangan terbaru mengenai cara kerja manusia untuk beradaptasi dengan fisik ekologi (lingkungan hidup) berlandaskan aliran energi, materi, serta informasi.
Dengan menyelidiki proses aktivitas ekonomi serta hasil (output), dapat memberikan
Universitas Sumatera Utara 37
gambaran untuk menghasilkan kebijakan yang baik untuk kepentingan umum dan pihak swasta serta dengan konsep keruangan dengan informasi terkini. Diharapkan konsep dan sudut pandang terhadap ekologi baik untuk dipahami oleh semua pihak yang terkait baik pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat kota. Hal tersebut bertujuan untuk menghasilkan mekanisme pemerintahan (governance mechanism) yang efektik dan efisien. Pertumbuhan kota yang diharapkan tersebut, dapat menampung segala kebutuhan dan keinginan semua pihak dapat dicapai dengan mempertimbangkan optimalisasi sosial capital (modal sosial).
Nugroho (2000) mengemukakan pemahaman konsep ekologi menunjukkan peran penting suatu cara kerja untuk mempertahankan lingkungan hidup
(homoestatis) pada perkotaan. Tidak tersediannya ruang aktivitas yang cukup dan kejelasan tata guna lahan untuk segala kebutuhan masyarakat dapat menjadi faktor penyebab terjadinya perselisihan karena tidak dapat menampung seluruh keinginan masyarakat. Salah satu solusi untuk masalah tersebut dengan mengoptimalkan mekanisme homeostatis yang tepat dan dapat dilaksanakan oleh semua pihak untuk menciptakan operasional kota yang menghasilkan hasil (output) berupa kebijakan yang tepat untuk menciptakan kestabilan (steady state) yang maksimal. Kita dapat mengilhami pengalaman negara-negara maju yang memanfaaatkan modal sosial
(sosial capital) untuk mengoptimalkan usaha dalam mekanisme homoestatis, karena sudah terlihat berfungsi dengan optimal.
Universitas Sumatera Utara 38
2.6 Rangkuman Teori
Berdasarakan kajian teori yang telah di jelaskan dari Sub-bab 2.1-2.5,
Peneliti merangkum referensi yang dijadikan sebagai landasan teori untuk melakukan
Kajian Morfologi Kecamatan Kabanjahe Ditinjau dari Aspek Fisik Ekologi (Tahun
2010-2019). Teori-teori ahli perkotaan dan peneliti yang berkenaan fisik kota dan ekologi kota yang telah dipaparkan sebelumnya merupakan beberapa pedoman, analisis, dan hasil penelitian terkait dengan kajian morfologi kota ditinjau dari aspek fisik ekologi kota (khususnya pada dataran tinggi). Dari tinjauan teori dan penelitian yang sejenis diharapkan dapat mempermudah memecahkan masalah-masalah yang telah dirumuskan sebelumnya (Sub-bab 2.2), sehingga tujuan dari penelitian terkait kajian morfologi Kecamatan Kabanjahe ditinjau dari aspek fisik ekologi dapat tercapai dengan maksimal. Tujuan dari rangkuman ini adalah menyampaikan beberapa penelitian sejenis agar lebih mudah dipahami. Rangkuman hubungan antara morfologi fisik kota dengan fisik ekologi kota pada dataran tinggi dan proses/hasil analisis penelitian yang terkait dengan korelasi antara morfologi kota (dataran tinggi) dengan fisik ekologi kota lebih jelasnya bisa dilihat pada Tabel 2.1.
Universitas Sumatera Utara 39
Tabel 2.1 Rangkuman Teori
No. Masalah Penelitian Landasan Teori Studi Banding Literatur
1. Pengaruh topografi F a k t o r y a n g Kota Malang (dataran tinggi) terhadap sistem mempengaruhi memiliki keterbatasan dengan jaringan jalan pada fungsi rendahnya pengadaan sistem jaringan jalan kota yang berada aksesbilitas karena kontur yang kasar. Akibat pada dataran tinggi. adalah topografi, dari perkembangan fisik kota yang s e b a b d a p a t pesat, waktu untuk menempuh menjadi pusat kota cukup lama. Walaupun penghalang bagi Kota malang memiliki sistem kelancaran untuk jaringan jalan grid (tetapi tidak m e n g a d a k a n teratur) sehingga kemacetannya interaksi di suatu dapat disebar, namun jalan di Kota daerah. Malang kecil dan sempit. Inovasi (Sumaatmadja, yang dapat memaksimalkan 1988) potensi dan menanggulangi kendala pada jaringan jalan pada dataran tinggi Kota Malang, berupa memperlebar sistem jaringan jalan arteri untuk melancarkan arus. Serta, membuat jalan arteri baru mengelilingi Kota Malang (ring road) (Ahadunnisa, 2012).
Universitas Sumatera Utara 40
Tabel 2.1 (Lanjutan)
No. Masalah Penelitian Landasan Teori Studi Banding Literatur 2. Pengaruh topografi Perletakan massa Secara mikro, penyesuaian terhadap perletakan bangunan (pola bangunan pada topografi merupakan tuntutan penting, massa bangunan bangunan) pada penyesesuaian kemiringan lerengan (pola bangunan) l a h a n / t a p a k t a p a k d a p a t d i m a n f a a t k a n pada kota yang d e n g a n f a k t o r bangunan split-level atau bangunan berada pada dataran topografi (kontur) sengkedan, dengan uraian: tinggi. tertentu menjadi 1. Banguan split-level yang berdiri sendiri, berderet, dan sebagainya batasan-batasan pada lerengan < 10% (< 6º). u n t u k 2. Bangunan sengkedan yang menentukan pola- berdiri sendiri berderet, dan p o l a y a n g sebagainya pada lerengan > 10% (> 6º). m e n g i k a t d a n 3. Bangunan sengkedan yang mengatur letak tersusun (terraced hauses) pada massa bangunan. lerengan ± 20% (± 11º). (De Chiara, 1997) Secara makro, fisik kota pada d a t a r a n t i n g g i m e m b e n t u k bentukan morfologi kota yang kompak tidak berpola. Dikatakan kompak-tidak berpola karena pola ruang yang padat dan kompak namun memiliki pola yang abstrak akibat pengaruh bentuk alamnya seperti Morfologi Kota Malang (Tallo, 2014).
Universitas Sumatera Utara 41
Tabel 2.1 (Lanjutan)
No. Masalah Penelitian Landasan Teori Studi Banding Literatur 3. Pengaruh bentuk Perbandingan dan Bentuk alam mempengaruhi a l a m t e r h a d a p perbedaan jenis pengadaan sistem jaringan jalan, penggunaan lahan tata guna lahan serta menciptakan perbandingan pada kota yang suatu perkotaan dan perbedaan dari penggunaan berada pada dataran dalam studi-studi lahan pada Kota Malang (dataran tinggi. p e r k o t a a n tinggi). Di mana ada potensi m e n y a t a k a n berupa bagian selatan merupakan penggunaan lahan dataran tinggi yang cukup luas dimaknai sebagai cocok untuk kawasan industri. d a m p a k d a r i Bagian utara merupakan dataran segala kegiatan tinggi yang subur sehingga cocok manusia diatas untuk pertanian. Bagian Barat muka bumi yang merupakan dataran tinggi yang dipengaruhi sangat luas cocok dikembangkan k e a d a a n d a n sebagai daerah pedidikan. Rencana bentuk alam (fisik pengembangan penggunaan lahan lingkungan) serta tersebut, dapat mengembangkan kegiatan sosial- potensi jaringan jalan yang e k o n o m i d a n merupakan tipe grid (tetapi tidak budaya teratur), sehingga tingkat masyarakat suatu kejenuhan dapat disebar pada wilayah. seluruh bagian Kota Malang (Sandy, 1995) (Ahadunnisa, 2012).
Universitas Sumatera Utara 42
Pada Tabel 2.1 bisa dilihat, rangkuman teori yang berisi masalah penelitian, landasan teori, dan studi banding literatur (penelitian sejenis) yang digunakan untuk mencapai tujuan dari penelitan kajian morfologi Kecamatan Kabanjahe ditinjau dari aspek ekologi. Untuk lebih jelas rangkuman teori dan kajian penelitian sejenis terkait korelasi/pengaruh aspek fisik ekologi terhadap morfologi fisik kota (Tabel 2.1) yang berada pada bentuk alam dataran tinggi, dapat diperjelas dengan melihat Gambar
Kerangka Teori Penelitian (Gambar 2.6).
Kajian morfologi kota yang berada pada dataran tinggi ditinjau dari aspek fisik ekologi
Pengaruh topografi Pengaruh topografi Pengaruh bentuk terhadap sistem terhadap perletakan alam terhadap jaringan jalan. massa bangunan. penggunaan lahan. (Sumaatmadja, 1988) (De Chiara, 1997) (Sandy, 1995)
Topografi Sistem Topografi Perletakan Bentuk Penggunan jaringan jalan massa alam lahan bangunan
Analisis pengaruh Analisis pengaruh Analisis pengaruh topografi terhadap topografi terhadap bentuk alam terhadap sistem jaringan jalan perletakan massa penggunaan lahan pada pada kota dataran bangunan pada kota kota dataran tinggi. tinggi. dataran tinggi. (Ahadunnisa, 2012) (Ahadunnisa, 2012) (Tallo, 2014) Gambar 2.6 Kerangka Teori Penelitian
Universitas Sumatera Utara BAB III
METODE PENELITIAN
Pada Bab Metode Penelitian ini akan dijelaskan metode penentuan lokasi penelitian, metode penentuan variabel, metode pengumpulan data, metode analisis, dan pembahasan. Penggunaan metode-metode berikut diharapkan agar kajian penelitian ini lebih fokus dan konsisten dalam mencapai tujuan penelitian ini.
3.1 Metode Penentuan Lokasi Penelitian
Lokasi dalam penelitian ini adalah Kecamatan Kabanjahe, Kabupaten Karo,
Provinsi Sumatera Utara. Pemilihan lokasi penelitian ditentukan dengan metode pusposive. Menurut Antara (2009) pusposive adalah suatu teknik penentuan lokasi penelitian secara sengaja berdasarkan atas pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Adapun pertimbangan-pertimbangan dalam menentukan lokasi penelitian adalah:
1. Lokasi tersebut berada pada wilayah perdagangan, dan pusat
pemerintahan Kabupaten Karo. Lokasi ini juga memiliki batas wilayah
yang jelas secara administrasi dan berada pada dataran tinggi terluas di
Indonesia yakni Dataran Tinggi Karo.
2. Lokasi tersebut memiliki kondisi fisik kota yang tumbuh atau terbentuk
secara organik (unplanned/tidak terencana ) berdasarkan pemikiran
masyarakatnya. Hal ini berdasarkan teori Kostof (1991) yang menyatakan
43 Universitas Sumatera Utara 44
bahwa kota-kota yang berkembang secara organik (unplanned) cenderung
berkembang secara segmen-segmen dengan tiba-tiba serta beragam
kebutuhan/kepentingan yang mengisinya. Oleh karena itu, terbentuk kota
dengan bentuk tertentu yang kemudian disebut organic pattern. Bentuk
kota organic itu tumbuh dan berkembang dengan tiba-tiba, tanpa
perencanaaan, berpola tidak beraturan, dan non-geometri.
3. Masyarakat yang tinggal pada kota ini memiliki etnik yang beragam,
namun mayoritas didominasi Suku Karo.
4. Pemerintah/arsitek kota tidak campur tangan dalam proses terbentuknya
kota tersebut.
5. Kondisi lingkungan fisik pada kota ini memiliki topografi dan bentuk
alam yang beragam karena berada pada dataran tinggi. Hal ini
berdasarkan teori Sumaatmadja (1988) yang menyatakan bahwa topografi
dan bentuk alam mempengaruhi fungsi rendahnya aksesbilitas (sistem
jaringan jalan), karena bisa menjadi hambatan untuk kemudahan bagi
mengadakan interaksi pada satu kawasan. Tinggi rendahnya
perkembangan fisik suatu wilayah sangat bergantung pada topografi,
bentuk alam, dan sistem jaringan jalan.
6. Kota ini tumbuh/berkembang di daerah dataran tinggi yang pada mulanya
berperan sebagai jalur transportasi utama (jalan primer/aksesbilitas tinggi)
Universitas Sumatera Utara 45
pada wilayah utara Pulau Sumatera. Jalur transportasi tersebut
menghubungkan Kota Medan (Ibukota Provinsi Sumatera Utara) dengan
Kecamatan Kutacane (Ibukota Kabupaten Aceh Tenggara). Bintarto
(1989) yang mengemukakan wilayah yang terletak pada fokus lalu lintas
yang ramai akan mengalami perkembangan yang cepat. Kabanjahe yang
berada pada jalur transportasi jalur dari Kota Medan menuju Kecamatan
Kutacane (Ibukota Kabupaten Aceh Tenggara) dan Kecamatan Sidikalang
(Ibukota Dairi) perkembangan fisiknya sangat pesat, namun
pengembangan infrastrukturnya sangat minim.
7. Terjadi beberapa permasalahan fisik di Wilayah Kecamatan Kabanjahe di
antaranya: kemacetan (perkotaan), banjir (jalan utama), tanah longsor
(daerah sungai), semrawutnya wajah (tidak adanya RDTR), dsb.
3.2 Metode Penentuan Variabel
Penentuan variable penelitian, didasarkan pada landasan teori yang telah diinterpretasi sebelumnya. Pemilihan teori mengacu kepada menjawab permasalahan penelitian. Setelah landasan teori tersebut dikaji, diperoleh beberapa indikator berdasarkan pada permasalahan. Indikator yang telah diinterpretasi menjadi basis untuk meneliti dalam menentukan variabel penelitian, lebih jelas dapat dilihat pada
Tabel 3.1.
Universitas Sumatera Utara 46
Tabel 3.1 Metode Penentuan Variabel
Masalah Interpretasi No. Landasan Teori Variabel Penelitian Penelitian Teori 1. P e n g a r u h F a k t o r y a n g Pengembanga 1. Topografi topografi mempengaruhi fungsi n/penggadaan (kontur) bentuk rendahnya aksesbilitas t e r h a d a p jaringan jalan t a n a h adalah topografi, sebab sistem dapat menjadi penghalang mempunyai K e c a m a t a n j a r i n g a n bagi kelancaran untuk k e t e r k a i t a n Kabanjahe jalan pada mengadakan interaksi di erat dengan dengan elevasi suatu daerah. Kecamatan kondisi 7,5 m. (Nursid Sumaatmadja, Kabanjahe. 1988) topografi 2. K a r a k t e r i s t i k Topografi merupakan lahan/tanah. jaringan jalan faktor pembatas bagi meliputi: jenis perkembangan jaringan j a r i n g a n , jalan dan perletakan klasifikasi, dan massa bangunan pada kualitas jalan. suatu kawasan karena sifatnya yang tidak mudah d i r u b a h , m e s k i p u n demikian terdapat usaha- usaha yang dilakukan manusia untuk merubah topografi seperti galian bukit atau mengurug tanah untuk mengatasi masalah ketinggian topografi. Oktora (2011)
Universitas Sumatera Utara 47
Tabel 3.1 (Lanjutan) Masalah Interpretasi No. Landasan Teori Variabel Penelitian Penelitian Teori 2. P e n g a r u h P e r l e t a k a n m a s s a P e r l e t a k a n 1. Topografi topografi bangunan (pola bangunan) massa (kontur) bentuk pada lahan/tapak dengan t e r h a d a p b a n g u n a n tanah Kecamatan faktor topografi (kontur) perletakaan tertentu menjadi batasan- mempunyai Kabanjahe massa batasan untuk menentukan k e t e r k a i t a n dengan elevasi b a n g u n a n pola-pola yang mengikat erat dengan 7,5 m. dan mengatur letak massa (pola kondisi 2. K e p a d a t a n bangunan. bangunan) (De Chiara, 1997) topografi b a n g u n a n , pada Topografi merupakan lahan/tanah. bentuk lahan, Kecamatan faktor pembatas bagi l e t a k j a l a n , Kabanjahe. perkembangan jaringan orientasi jalan dan perletakan matahari, dan massa bangunan pada fungsi bangunan. suatu kawasan karena sifatnya yang tidak mudah d i r u b a h , m e s k i p u n demikian terdapat usaha- usaha yang dilakukan manusia untuk merubah topografi seperti galian bukit atau mengurug tanah untuk mengatasi masalah ketinggian topografi. Oktora (2011)
Universitas Sumatera Utara 48
Tabel 3.1 (Lanjutan) Masalah Interpretasi No. Landasan Teori Variabel Penelitian Penelitian Teori 3. P e n g a r u h P e r b a n d i n g a n d a n Optimalisasi 1. R e l i e f b e n t u k perbedaan jenis tata guna tata guna permukaan bumi lahan suatu perkotaan disekitar dataran alam t a n a h dalam studi-studi tinggi, meliputi: t e r h a d a p perkotaan menyatakan mempunyai p e g u n u n g a n , penggunaan p e n g g u n a a n l a h a n k e t e r k a i t a n lembah, dataran lahan pada dimaknai sebagai dampak erat dengan tinggi, bukit, dari segala kegiatan sungai, dsb. Kecamatan bentuk alam manusia diatas muka bumi 2. Jenis Kabanjahe. yang dipengaruhi keadaan secara fisik. p e n g g u n a a n dan bentuk alam (fisik l a h a n : L a h a n lingkungan) serta kegiatan t e r b a n g u n s o s i a l - e k o n o m i d a n ( p e r u m a h a n , budaya masyarakan suatu i n d u s t r i , wilayah. p e r d a g a n g a n , (Sandy, 1995) j a s a , Perubahan pemanfaatan p e r k a n t o r a n ) . lahan dipengaruhi nilai L a h a n t i d a k sosial, nilai pasar, dan terbangun: nilai ekologis (bentuk kuburan, taman alam). rekreasi, jalur (Suartika, 2010: 42) t r a n s p o r t a s i , ruang terbuka, d a n l a h a n pertanian.
Pada Tabel 3.1 bisa dilihat melalui sebuah teori morfologi kota dapat diketahui elemen-elemen kota yang harus diidentifikasi dan harus didapatkan untuk menganalisis morfologi sebuah kota, yakni: sistem jaringan jalan (pola-pola jalan,
Universitas Sumatera Utara 49
penggunaan lahan (pola plot), dan pola bangunan (perletakan massa). Elemen-elemen morfologi kota tersebut akan dilihat keadaannya akibat dari pengaruh aspek-aspek ekologi kota, berupa: topografi dan bentuk alam.
Variabel penelitian dari morfologi kota: sistem jaringan jalan (Karakteristik jaringan jalan meliputi: jenis jaringan, klasifikasi, dan kualitas jalan), perletakan massa bangunan (kepadatan bangunan, bentuk lahan, letak jalan, orientasi matahari, dan fungsi bangunan), dan penggunaan lahan (jenis penggunaan lahan: lahan terbangun (perumahan, industri, perdagangan, jasa, perkantoran). Lahan tidak terbangun (kuburan, rekreasi, transportasi, ruang terbuka, dan lahan pertanian.)
Variabel penelitian dari aspek fisik ekologi: topografi (topografi (kontur) bentuk tanah Kecamatan Kabanjahe dengan elevasi 7,5 m) dan bentuk alam ( Relief permukaan bumi disekitar dataran tinggi, meliputi: pegunungan, lembah, dataran tinggi, bukit, sungai, dsb.) Aspek fisik ekologi tersebut menjadi aset yang mempengaruhi elemen-elemen morfologi kota. Sehingga, bila digunakann dapat diketahui pengaruh aspek fisik ekologi terhadap morfologi Kecamatan Kabanjahe.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Dalam metode pengumpulan data, Penulis mengacu pada variabel yang telah ditentukan pada Sub-bab 3.3 dalam Tabel 3.1 yang didasarkan pada landasan teori.
Adapun metode dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut pada Tabel 3.2.
Universitas Sumatera Utara 50
Tabel 3.2 Metode Pengumpulan Data Permasalahan Variabel Data Yang No. Metode Penelitian Penelitian Diperlukan
1. P e n g a r u h 1) Topografi Peta • Membuat model kontur Kecamatan Kabanjahe topografi ( k o n t u r ) topografi t e r h a d a p ( k o n t u r ) dengan media Google bentuk tanah sistem Kecamatan S k e t c h - U p d e n g a n jaringan jalan d e n g a n Kabanjahe memasukkan koordinat pada elevasi 7,5 m. peta dari Google Earth K e c a m a t a n dan membuat interval Kabanjahe. ketinggian (7,5m). • Mengesport file Sketch- Up (.skp) ke bentuk (.dwg) agar dapat di sesuaikan dengan peta dengan media AutoCAD. • Menyesuaikan gambar A u t o C A D t e r h a d a p keadaan di lapangan (existing). 2) Karakteristik Peta sistem • Memplot peta Kecamatan jaringan jalan j a r i n g a n Kabanjahe diakses meliputi: jenis jalan pada melalui Google Earth. j a r i n g a n , Kecamatan • Menggambar ulang sistem k l a s i f i k a s i , Kabanjahe jaringan jalan pada peta d a n b e n t u k Kecamatan Kabanjahe jalan. y a n g s u d a h d i b u a t sebelumnya. • Menyesuaikan gambar CAD terhadap keadaan dilapangan (existing).
Universitas Sumatera Utara 51
Tabel 3.2 (Lanjutan)
Permasalahan Variabel Data Yang No. Metode Penelitian Penelitian Diperlukan 2. P e n g a r u h 1) Topografi Peta • Membuat model kontur Kecamatan Kabanjahe topografi ( k o n t u r ) Topografi t e r h a d a p ( k o n t u r ) dengan media Google bentuk tanah perletakaan Kecamatan Sketch-Up dengan meng- massa d e n g a n Kabanjahe import koordinat peta dari b a n g u n a n elevasi 7,5 m. G o o g l e E a r t h d a n (pola membuat interval b a n g u n a n ) ketinggian (7,5 pada • Meng-esport file Sketch- K e c a m a t a n Up (.skp) ke bentuk Kabanjahe. ( . d w g ) a g a r b i s a d i sesuaikan dengan peta dengan media AutoCAD. • Menyesuaikan gambar dari AutoCAD terhadap keadaan di lapangan.
2) K e p a d a t a n Peta pola • Memplot peta Kecamatan Kabanjahe diakses melalui b a n g u n a n , letak massa Google Earth. bentuk lahan, b a n g u n a n • Menggambar ulang peta letak jalan, Kecamatan massa bangunan pada orientasi Kabanjahe. Kecamatan Kabanjahe dengan menggunakan matahari, dan media AutoCAD. fungsi • Menyesuaikan gambar bangunan. A u t o C A D t e r h a d a p keadaan di lapangan (existing).
Universitas Sumatera Utara 52
Tabel 3.2 (Lanjutan)
Permasalahan Variabel Data Yang No. Metode Penelitian Penelitian Diperlukan 3. P e n g a r u h 1) R e l i e f Peta Bentuk • Memplot peta Kecamatan alam bentuk alam p e r m u k a a n Kabanjahe diakses melalui Kecamatan Google Earth. t e r h a d a p bumi Kabanjahe penggunaan d i s e k i t a r • Menggambar ulang peta lahan pada d a t a r a n Kecamatan Kabanjahe K e c a m a t a n t i n g g i , dengan menggunaakan Kabanjahe. meliputi: media AutoCAD. pegunungan, • Menyesuaikan gambar l e m b a h , A u t o C A D t e r h a d a p d a t a r a n keadaan di lapangan tinggi, bukit, (existing). sungai, dsb. 2) Jenis Peta tata • Memplot peta Kecamatan penggunaan guna lahan Kabanjahe diakses melalui lahan: Lahan Kecamatan Google Earth. t e r b a n g u n Kabanjahe (perumahan, • Mengamati fungsi lahan i n d u s t r i , melalui Google Earth dan perdagangan, pengamatan langsung di j a s a , perkantoran). lapangan. Lahan tidak • Menggambar ulang peta t e r b a n g u n Kecamatan Kabanjahe ( k u b u r a n , r e k r e a s i , dengan menggunaakan transportasi, media AutoCAD. r u a n g • Menyesuaikan gambar terbuka, dan CAD terhadap keadaan di l a h a n pertanian. lapangan.
Universitas Sumatera Utara 53
3.4 Metode Analisis
Dalam proses menganalisis permasalahan penelitian berupa morfologi kota ditinjau dari aspek fisi ekologi, Penulis menggunanakan metode asosiatif dengan pendekatan kualitatif. Sugiyono (2013) mengatakan bahwa metode penelitian asosiatif merupakan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh ataupun juga hubungan antara dua variabel atau lebih. Pada penelitian ini, metode asosiatif digunakan untuk mengetahui pengaruh fisik ekologi (topografi dan bentuk alam) terhadap morfologi fisik (sistem jaringan jalan, perletakan massa bangunan, dan penggunaan lahan) pada Kecamatan Kabanjahe.
Penulis melakukan interpretasi atas data yang diperoleh melalui pengumpulan data primer dengan teori berdasarkan kajian pustaka (Tabael 3.1). Data primer selanjutnya diinterpretasi dan metode penentuan pengumpulan datanya berdasarkan landasan teori (Tabel 3.2). Setelah proses dan cara pengumpulan selesai dan data ditemukan dibutuhkan metode untuk menganalisis data tersebut untuk mencapai dari sasaran tujuan dari penelitian ini. Adapun metode analisis untuk menjawab permasalahan terkait “Bagaimana morfologi Kecamatan Kabanjahe ditinjau dari aspek fisik ekologi antara Tahun 2010 sampai dengan Tahun 2019?” dan
“Seperti apa kecenderungan perkembangan fisik Kecamatan Kabanjahe ditinjau dari aspek fisik ekologi sampai dengan Tahun 2039”, dapat dilihat dengan jelas pada
Gambar 3.1 - 3.3.
Universitas Sumatera Utara 54
Masalah Penelitian Data Bagaimana pengaruh topografi 1. Identifikasi topografi Kecamatan terhadap sistem jaringan jalan pada Kabanjahe. Kecamatan Kabanjahe? 2. Identifikasi sistem jaringan jalan pada Kecamatan Kabanjahe.
Teori Kajian 1. Faktor yang mempengaruhi fungsi 1. Analisis topografi Kecamatan rendahnya aksesbilitas adalah Kabanjahe. topografi, sebab dapat menjadi 2. Analisis sistem jaringan jalan penghalang bagi kelancaran untuk Kecamatan Kabanjahe. mengadakan interaksi di suatu 3. Analisis pengaruh topografi daerah (Sumaatmadja, 1998). terhadap sistem jaringan jalan 2. Kondisi topografi merupakan salah pada Kecamatan Kabanjahe. satu kondisi fisik lingkungan yang dapat menguraikan informasi mengenai potensi dan kendala perkembangan fisik suatu kawasan/ wilayah berupa sistem jaringan jalan dan perletakan massa bangunan (Hamdan, 2013). 3. Jaringan jalan sebagai representasi dari ruang publik dianggap sebagai generator inti dari vitalitas kawasan sebagaimana dijelaskan dalam teori Space Syntax (Hillier dan Hansong, 1984).
Penemuan Pengaruh topografi terhadap sistem jaringan jalan pada Kecamatan Kabanjahe.
Gambar 3.1 Skema Metode Analisis Permasalahan I
Universitas Sumatera Utara 55
Data Masalah Penelitian 1. Identifikasi topografi Bagaimana pengaruh topografi terhadap Kecamatan Kabanjahe. perletakan massa bangunan (pola 2. Identifikasi perletakan massa bangunan) pada Kecamatan Kabanjahe? bangunan pada Kecamatan Kabanjahe.
Teori Kajian 1. Topografi menjadi dasar 1. Analisis topografi Kecamatan pertimbangan perletakan massa Kabanjahe. bangunan pada daerah yang memiliki 2. Analisis perletakan massa kondisi berkontur. Tatanan bangunan bangunan pada Kecamatan dibuat dengan mengikuti arah kontur Kabanjahe. agar dapat meminimalisir cut dan fill, 3. Analisis pengaruh topografi sehingga dapat menjaga keadaan terhadap perletakan massa topografi alaminya (De Chiara, bangunan pada Kecamatan 1997). Kabanjahe. 2. Kondisi topografi merupakan salah satu kondisi fisik lingkungan yang dapat menguraikan informasi mengenai potensi dan kendala perkembangan fisik suatu kawasan/ wilayah berupa sistem jaringan jalan dan perletakan massa bangunan (Hamdan, 2013). 3. Perletakan massa bangunan pada lahan yang memiliki faktor-faktor sebagai batasan-batasan untuk menentukan pola-pola yang mengikat dan mengatur letak massa bangunan di antaranya adalah faktor topografi (De Chiara, 1997).
Penemuan Pengaruh topografi terhadap perletakan massa bangunan pada Kecamatan Kabanjahe. Gambar 3.2 Skema Metode Analisis Permasalahan II
Universitas Sumatera Utara 56
Masalah Penelitian Data Bagaimana pengaruh bentuk alam 1. Identifikasi bentuk alam terhadap penggunaan lahan pada Kecamatan Kabanjahe. Kecamatan Kabanjahe? 2. Identifikasi penggunaan lahan pada Kecamatan Kabanjahe.
Teori Kajian 1. Perbedaan jenis penggunaan lahan 1. Analisis bentuk alam suatu perkotaan dalam studi-studi Kecamatan Kabanjahe. perkotaan menyatakan penggunaan 2. Analisis penggunaan lahan lahan dimaknai sebagai dampak dari pada Kecamatan Kabanjahe. segala kegiatan manusia di atas muka 3. Analisis pengaruh bentuk alam bumi yang dipengaruhi oleh bentuk terhadap penggunaan lahan alam (fisik lingkungan) (Sandy, 1995). pada Kecamatan Kabanjahe. 2. Bentuk alam yang merupakan unit geomorfologi yang dikategorikan berdasarkan karakteristik fisik seperti elevasi, kelandaian, orientasi, stratifikasi, paparan batuan, dan jenis tanah merupakan hal yang penting untuk dipakai guna menjawab pengaruh fisik ekologi terhadap bentuk fisik kota (Pertami, 2013). 3. Setiap lahan yang terbentang di permukaan bumi memiliki peruntukan masing-masing seperti lahan pertanian, lahan bukan pertanian, lahan permukiman, kawasan hutan lindung, dan sebagai intervensi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual (Arsyad dalam Setya Nugraha, 2007).
Penemuan Pengaruh bentuk alam terhadap penggunaan lahan pada Kecamatan Kabanjahe.
Gambar 3.3 Skema Metode Analisis Permasalahan III
Universitas Sumatera Utara BAB IV
GAMBARAN KAWASAN PENELITIAN
Pada Bab Gambaran Kawasan Penelitian ini akan diterangkan mengenai gambaran umum pada kawasan penelitian. Sub-bab melingkupi gambaran: orientasi lokasi, gambaran umum, struktur dan pola ruang, serta aspek fisik ekologi (topografi dan bentuk alam) Kecamatan Kabanjahe.
4.1 Orientasi Lokasi Kecamatan Kabanjahe
Kecamatan Kabanjahe terletak pada bagian barat laut Provinsi Sumatera
Utara. Kecamatan ini berlokasi pada daerah strategis/pusat wilayah Kabupaten Karo dan berperan sebagai ibukota kabupaten (kedudukan Kabaputen Karo dapat dilihat pada Lampiran 2). Kecamatan Kabanjahe terletak pada ketinggian ± 1.000 s.d. ±
1.300 mdpl. Letak astronimis Kecamatan Kabanjahe berkedudukan di antara 3º4’ -
3º9’ LU serta 98º22’ - 98º32 BT. Jarak tempuh dari Pusat Kota Kecamatan Kabanjahe menuju pusat pelayanan utama wilayah sekitar Kabupaten Karo, melingkupi: ± 76,3 km dari Pusat Kota Medan (Ibukota Sumatera Utara), ± 76 km dari Pusat Kecamatan
Sidakalang (Ibukota Kabupaten Dairi), ± 134,7 km dari Pusat Kelurahan Kutacane
(Ibukota Kabupaten Aceh Tenggara), dan ± 10,5 km Pusat Kota Kecamatan
Berastagi. Kecamatan Kabanjahe berada disekitar 2 (dua) gunung aktif yakni
Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak sehingga rawan gempa vulkanik. Untuk
57 Universitas Sumatera Utara 58
lebih jelas mengenai letak lokasi dan Letak geografis Kecamatan Kabanjahe bisa dilihat pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1 Lokasi Geografis Wilayah Kecamatan Kabanjahe Letak administrasi Kecamatan Kabanjahe berbatasan dengan sebelah utara dengan Kecamatan Berastagi dan Kecamatan Simpang Empat. Sebelah timur dengan
Kecamatan Tiga Panah. Sebelah selatan dengan Kecamatan Tiga Panah dan
Kecamatan Munte. Serta, sebelah barat dengan Kecamatan Simpang Empat,
Kecamatan Payung, dan Kecamatan Munte. Untuk lebih jelasnya letak lokasi administrasi Kecamatan Kabanjahe bisa dilihat pada Gambar 4.2.
Gambar 4.2 Lokasi Wilayah Admistrasi Kecamatan Kabanjahe
Universitas Sumatera Utara 59
Pada Gambar 4.2 bisa dilihat lokasi wilayah administrasi Kecamatan
Kabanjahe berada di antara 5 (lima) Kecamatan, meliputi: Kecamatan; Berastagi,
Tiga Panah, Munte, Payung, dan Simpang Empat. Hal tersebutlah yang menjadikan posisi wilayah administrasi Kecamatan Kabanjahe menjadi letak strategis untuk pengembangan pusat kegiatan pelayanan administrasi Kabupaten Karo berupa perkantoran pemerintahan (Kantor Bupati Karo, Kantor DPRD Kabupaten Karo,
Pengadilan Negeri Kabupaten Karo, dsb.). Serta, jarak pusat kegiatan pelayanan administrasi Kabupaten Karo yang berkedudukan di Kecamatan Kabanjahe tersebut relatif dekat dengan pusat kegiatan pelayanan administrasi Provinsi Sumatera Utara yang berkedudukan di Kota Medan, dengan jarak termpuh ± 76 km dengan waktu tempuh ± 2 jam.
4.2 Gambaran Umum Kecamatan Kabanjahe
Pada Sub-bab 4.2 berikut, Peneliti akan menjelaskan mengenai pembagian wilayah administrasi, adat-budaya karo, dan kependudukan Kecamatan Karo.
Sedangkan, deskripsi mengenai sejarah Kecamatan Kabanjahe bisa dilihat pada
Lampiran 3.
4.2.1 Pembagian wilayah adminstrasi
Kecamatan Kabanjahe memiliki luas wilayah sekitar 44,65 km2 terdiri atas 6 desa dan 7 kelurahan. Desa atau kelurahan yang menjadi bagian wilayah administrasi dari Kecamatan Kabanjahe terdiri dari: Desa Kaban, Desa Sumber Mufakat, Desa
Universitas Sumatera Utara 60
Samura, Desa Kacaribu, Desa Lau Simomo, Desa Kandibata, Kel. Rumah
Kabanjahe, Kel. Ketaren, Kel. Kampung Dalam, Kel. Gung Leto, Kel. Gung Negeri,
Kel. Padang Mas (Posisi Kantor Camat), dan Kel. Lau Cimba (BPS, 2010).
Pembagian wilayah administrasi pada Kecamatan Kabanjahe bisa dilihat pada
Gambar 4.3.
Gambar 4.3 Pembagian Wilayah Admistrasi Desa/Kelurahan pada Kecamatan Kabanjahe Pada Gambar 4.3. bisa dilihat, desa dan kelurahan yang berada pada wilayah administrasi Kecamatan Kabanjahe serta batasannya dengan kecamatan lain disekitarnya. Wilayah administrasi desa dan kelurahan yang berbatasan tersebut, melingkupi dengan: Kecamatan Simpang Empat terdiri dari Desa Kaban, Kel.
Rumah Kabanjahe, Desa Kacaribu, dan Desa Kandibata. Dengan Kecamatan
Berastagi terdiri dari Desa Kaban dan Desa Sumber Mufakat. Dengan Kecamatan
Universitas Sumatera Utara 61
Tiga Panah terdiri atas Desa Sumber Mufakat, Desa Samura, Kel. Gung Negeri, Kel.
Padang Mas, Kel. Lau Cimba, Kel. Rumah Kabanjahe, dan Desa Lau Simomo.
Dengan Kecamatan Munte terdiri dari Desa Lau Simomo dan Desa Kandibata. Serta, dengan Kecamatan Payung berbatasan dengan Desa Kandibata. Gambaran dari luas wilayah administrasi tiap-tiap desa dan kelurahan pada Kecamatan Kabanjahe bisa dilihat pada Gambar 4.4.
Gambar 4.4 Persentase Luas Wilayah Desa/Kelurahan pada Kecamatan Kabanjahe Sumber: Data Primer Diolah, 2019 Pada Gambar 4.4 bisa dilihat persentase luas wilayah tiap-tiap desa dan kelurahan Kecamatan Kabanjahe (44,65 km2), melingkupi: Kaban 4,90 km2(10,97
%), Sumber Mufakat 5,50 km2 (12,31 %), Samura 3,00 km2 (6,72 %) Kacaribu 3,25 km2 (7,28 %), Lau Simomo 2,00 km2 (4,48 %) dan Kandibata 3,25 km2(11,20 %).
Luas wilayah tiap-tiap Kelurahan dan rasio terhadap total luas wilayah Kecamatan
Kabanjahe, melingkupi: Rumah Kabanjahe 5,00 km2 (11,20 %), Ketaren 2,50 km2
(5,60 %), Kampung Dalam 2,00 km2 (4,48 %), Gung Leto 2,00 km2 (4,48 %), Gung
Universitas Sumatera Utara 62
Negeri 4,5 km2 (10,08 %), Padang Mas 3,00 km2 (6,72 %), dan Lau Cimba 2,00 km2
(4,48 %).
4.2.2 Adat dan Budaya Karo
Adat dan budaya karo masih terpelihara sampai saat ini. Penduk asli yang mendiami Wilayah Kecamatan Kabanjahe (Kabupaten Karo) disebut Suku Bangsa
Karo. Suku Bangsa Karo (mayoritas) ini mempunyai adat istiadat yang sampai saat ini terpelihara dengan baik dan sangat mengikat bagi Suku Bangsa Karo Sendiri.
Suku ini terdiri dari 5 marga yang disebut Merga Silima, meliputi: Karo-karo,
Ginting, Sembiring, Tarigan, dan Perangin-angin. Dari kelima marga tersebut, masih terdapat sub-sub marga (Tarigan, 2014).
Tarigan (2010) mengemukakan Masyarakat Karo terkenal dengan semangat keperkasaannya dalam pergerakan merebut dan mempertahankan kemerdekaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, misalnya pertempuran melawan penjajah
Belanda, Jepang, dan taktik perlawanan bumi hangus. Semangat patriotisme dapat dilihat dari peninggalan makam para pahlawan di Taman Makam Pahlawan (sejak
Tahun 1950) dan Bundaran Tugu Bambu Runcing di Kabanjahe (Gambar 4.5).
Universitas Sumatera Utara 63
Gambar 4.5.a. Taman Makam Pahlawan Kabanjahe; b. Bundaran Tugu Bambu Runcing Sumber: a. Sadrah Perangin-angin, 2014; b. Ehdirman, 2015 Penduduk Kecamatan Karo (Kabupaten Karo) juga bersifat dan patriotis serta taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berpegang kuat kepada adat istiadat yang luhur, merupakan modal yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembangunan.
Pada Masyarakat Karo idaman dan harapan (sura-sura pusuh peraten) yang ingin diwujudkan adalah pencapaian 3 (tiga) hal pokok, terdiri dari tuah, sangap, dan mejuah-juah. Tuah berarti menerima berkah dari Tuhan Yang Maha Esa, mendapatkan keturunan, banyak kawan dan sahabat, cerdas, gigih, disiplin, dan menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungan untuk generasi yang akan datang. Sangap berarti mendapat rejeki kemakmuran bagi pribadi, anggota keluarga, masyarakat, serta generasi akan datang. Mejuah-juah berarti sejahtera lahir batin, aman, damai, bersemangat serta keseimbangan dan keselarasan antara manusia dengan manusia, antara manusia dan lingkungan, dan antara manusia dengan
Tuhannya. Ketiga hal tersebut merupakan kesatuan yang bulat yang tidak dapat dipisahkan (BPS Kabupaten Karo, 2018).
Universitas Sumatera Utara 64
4.2.3 Kependudukan
Pada Sub-subbab 4.2.3 berikut, Peneliti akan menjelaskan mengenai jumlah penduduk, kepadatan penduduk, pertumbuhan penduduk, dan struktur pendudukan pada Kecamatan Kabanjahe. Adapun penjelasannya sebagai berikut:
1. Jumlah Penduduk
Jumlah pendudukan pada Kecamatan Kabanjahe pada Tahun 2017
sebesar 74.704 jiwa (BPS Kabupaten Karo, 2018). Jumlah penduduk dan
persentasenya (perbandingan terhadap total jumlah penduduk Kecamatan
Kabanjahe) tiap-tiap desa dan kelurahan yang merupakan bagian
Kecamatan Kabanjahe pada Tahun 2017. Untuk lebih jelasnya bisa
dilihat pada Gambar 4.11.
Gambar 4.6.a. Diagram Batang dan, b. Diagram Lingkaran Jumlah Penduduk Desa dan Kelurahan pada Kecamatan Kabanjahe (2017) Sumber: Data Primer Diolah, 2019
Universitas Sumatera Utara 65
Pada Gambar 4.6.a bisa dilihat desa pada Kecamatan Kabanjahe dapat
diklasifikasikan berdasarkan jumlah penduduknya, antara lain: desa
terkecil yakni Desa Lau Simomo (729 jiwa), desa kecil yakni Desa
Kaban (1.167 jiwa), desa sedang yang terdiri dari Desa Kacaribu (1.838
jiwa) dan Desa Kandibata (2.272 jiwa), serta desa terbesar yang terdiri
dari Desa Samura (4,289 jiwa) dan Desa Sumber Mufakat (4.959 jiwa).
Untuk lebih jelasnya persentase jumlah penduduk tiap-tiap desa dan
kelurahan dari jumlah penduduk total penduduk Kecamatan Kabanjahe
bisa dilihat pada Gambar 4.6.b. Urutan jumlah penduduk tiap-tiap
kelurahan pada Kecamatan Kabanjahe, meliputi: Kel. Rumah Kabanjahe
dengan 1.937jiwa (2,60%), Kel. Gung Leto dengan 5.943 jiwa (7,97%),
Kel. Ketaren dengan 7.722 jiwa (10,35%), Kel. Kampung Dalam dengan
8.241 jiwa (11,05%), Kel. Padang Mas dengan 10.004 jiwa (13,41%),
Kel. Lau Cimba dengan 12.495 jiwa (16,75%), dan Kel. Gung Negeri
dengan 13.008 jiwa (17,44%).
2. Kepadatan penduduk
Kecamatan Kabanjahe dengan luas wilayah sekitar 44,65 km2 dengan
penduduk sejumlah 74.704 jiwa, sehingga kepadatan penduduk 1.673
jiwa/km2 termasuk dalam klasifikasi kepadatan penduduk sangat padat
(BPS Kabupaten Karo, 2018). Gambaran kepadatan penduduk tiap-tiap
Universitas Sumatera Utara 66
desa dan kelurahan pada Kecamatan Kabanjahe dapat dilihat pada
Gambar 4.7.
Gambar 4.7 Kepadatan Penduduk Tiap-tiap Desa/Kelurahan pada Kecamatan Kabanjahe (2017) Sumber: Data Primer Diolah, 2019 Pada Gambar 4.7 bisa dilihat gambaran kepadatan penduduk pada
Kecamatan Kabanjahe pada Tahun 2017 (sumber data: BPS Kabupaten
Karo). Klasifikasi kepadatan penduduk tiap-tiap desa/kelurahan pada
Kecamatan Kabanjahe, melingkupi: kurang padat yakni Desa Kaban
238,2 jiwa/km2, cukup padat terdiri dari Desa Lau Simomo 354,5 jiwa/ km2 dan Kel. Rumah Kabanjahe 387,4 jiwa/km2. Klasifikasi kepadatan penduduk sangat padat dengan berurutan: Desa Kandibata 454,4 jiwa/ km2, Desa Kacaribu 565,5 jiwa/km2, Desa Sumber Mufakat 901,6 jiwa/ km2, Desa Samura 1.429,7 jiwa/km2 km2, Kel. Gung Negeri 2.890,7 jiwa/ km2, Kel. Gung Leto 2.971,5 jiwa/km2, Kel. Ketaren 3.088,8 jiwa/km2,
Kel. Padang Mas 3.334,7 jiwa/km2, Kel. Kampung Dalam 4.170,5 jiwa/
Universitas Sumatera Utara 67
km2, dan Kel. Lau Cimba 6,248 jiwa/km2. Gambaran sebaran kepadatan
penduduk pada tiap-tiap desa dan kelurahan pada Kecamatan Kabanjahe
bisa dilihat pada Gambar 4.8.
Gambar 4.8 Sebaran Kepadatan Penduduk Desa/Kelurahan di Kecamatan Kabanjahe (2017)
Pada Gambar 4.8 bisa dilihat, sebaran kepadatan penduduk (jiwa/km2 )
pada Kecamatan Kabanjahe, melingkupi: 0-1.000 jiwa/km2 pada Desa
Sumber Mufakat, Desa Kaban, Kel. Rumah Kabanjahe, Desa Kacaribu,
Desa Lau Simomo, dan Desa Kandibata; 1.001-2000 jiwa/km2 pada Desa
Samura; 2.001-3000 jiwa/km2 pada Kel. Gung Leto dan Kel. Gung
Negeri; 3.001- .000 jiwa/km2 pada Kel. Kampung Dalam; serta,
kepadatan lebih dari 6.000 jiwa/km2 pada Kecamatan Lau Cimba.
3. Pertumbuhan Penduduk
Dalam rentang Tahun 2007-2017, jumlah penduduk di Kecamatan
Kabanjahe mengalami pertumbuhan yang labil. Terjadi penurun jumlah
Universitas Sumatera Utara 68
penduduk pada antara Tahun 2009-2010 (63.577-63.577 jiwa) dan pertambahan penduduk yang drastis antara Tahun 2013-2014 ( 65.635 –
71.345 jiwa) (BPS Kabupaten Karo, 2018). Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada Gambar 4.9.
Gambar 4.9 Pertumbuhan Penduduk pada Kecamatan Kabanjahe Sumber: Data Primer Diolah, 2019 Pertambahan dan penurunan jumlah penduduk di Kecamatan Kabanjahe lebih jelas bisa dilihat dari Laju Pertumbuhan Total Penduduk pada
Gambar 4.15.
Gambar 4.10 Laju pertumbuhan penduduk total pada Kecamatan Kabanjahe Sumber: Data Primer Diolah, 2019
Universitas Sumatera Utara 69
Pada Gambar 4.15 bisa dilihat, laju pertumbuhan penduduk total rentang
Tahun 2007–2007 sangat labil. Terjadi penuruan drastis laju pertumbuhan
penduduk total sebesar -2,65% antara Tahun 2009 s.d. 2010 dan terjadi
kenaikan drastis sebesar 6,65% antara Tahun 2013 s.d. 2014. Untuk lebih
jelas mengenai struktur penduduk pada Kecamatan Kabanjahe, bisa
dilihat pada Lampiran 4.
4.3 Gambaran Umum Fisik Kota dan Desa Kecamatan Kabanjahe
Pada Sub-bab 4.3. berikut, Peneliti akan menjelaskan mengenai gambaran sejarah dan kondisi: sistem jaringan jalan, perletakan massa bangunan, dan penggunaan lahan pada Kecamatan Kabanjahe.
4.3.1 Gambaran sistem jaringan jalan pada Kecamatan Kabanjahe
4.3.1.1 Sejarah jaringan jalan Kecamatan Kabanjahe
Veth dalam Sinar (1986) mengatakan sampai Tahun 1909, dibutuhkan waktu paling tidak 3 (tiga) hari untuk pergi dari Medan menuju Dataran Tinggi Karo (di utara Danau Toba). Perjalan itu diawali berangkat menggunakan kereta api hingga
Deli Tua, hingga diteruskan sampai batas akhir perkebunan milik Belanda, dilanjutkan dengan jalan kaki hingga Buluh Hawar, balai aktivis misionaris Belanda, dan diakhiri pada perbatasan dataran tinggi pada daerah Cingkem. Masyarakat
Dataran Tinggi Karo saat itu untuk memenuhi kebutuhan garam (kebutuhan penting), pedagang garam (perlanja sira) harus melakukan perjalanan dengan jalan
Universitas Sumatera Utara 70
kaki/berkuda memikul melawti perkampungan di daerah pesisir timur sumatera
(daerah seputar Hamparan Perak dan Deli Tua) dan melakukan perjalanan melalui hutan lebat di bukit barisan (Gambar 4.11).
Gambar 4.11 Perlanja Sira dari Dataran Tinggi Karo Sumber: Tropenmuseum, 2019
Gambar 4.12 Pekerjaan Pembangunan Jalan Medan-Kabanjahe Sumber: Tropenmuseum, 2019
Universitas Sumatera Utara 71
Pada Gambar 4.12 bisa dilihat, pemerintah Kolonial Belanda melakukan proses pengadaan jalan yang menghubungkan Medan dan Berastagi melewati
Arnhemia, Sibolangit, Bandar Baru, dan Berastagi. Dengan lama pengerjaan selama
3 (tiga) tahun jalan tersebut selesai, sehingga jarak dan waktu tempuh dari Medan ke
Kabanjahe dapat ditempuh hanya beberapa jam. Quast (1993) mengatakan jalan poros Medan-Kabajahe yang diberi nama Jalan Baru (Pasar Baru) langsung dimanfaatkan oleh masyarakat menggunakan transportasi gerobak sapi untuk mengangkut barang dan manusia menuju dan dari dataran rendah, di mana transportasi tersebut mampu membawa barang yang 16 (enam belas) kali lipat dibandingkan barang yang diangkut oleh pengangkut.
Gambar 4.13.a Bis Deli Spoor di Sibolangit dan, b. di Brastagi-Kabanjahe (1910-1940) Sumber: Tropenmuseum, 2019 Broersma (1919) mengatakan 4 (empat) perkebunan menyediakan pelayanan bus dua kali seminggu dari Arnhemia menuju Berastagi. Dua tahun sesudahnya Deli Spoor mengembangkan jalur jalan dari Berastagi sampai Kabanjahe
(Gambar 4.13). Total penumpang pada tahun awal sesudah jalan diresmikan
Universitas Sumatera Utara 72
mencapai 3.600 jiwa, serta pada Tahun 1918 jumlah penumpang telah lebih dari
6.300 jiwa. Dibukanya jaringan jalan baru penghubungan ini memberikan impak berupa besarnya jumlah pergerakan dari dataran rendah menuju dataran tinggi begitu juga sebaliknya. Bahkan tidak sedikit anak perempuan dari dataran tinggi melaksanakan perjalanan ke dataran rendah (Joustra, 1915). Kondisi jalur Berastagi–
Kabanjahe bisa dilihat pada Gambar 4.14 dan kondisi jaringan jalan pada Kecamatan
Kabanjahe sekitar Tahun 1920-1925 bisa dilihat pada Gambar 4.15.
Gambar 4.14 Perjalanan Berastagi ke Kabanjahe a. Tahun 1920 dan, b. Tahun 1930 Sumber: Tropenmuseum, 2019
Gambar 4.15.a. Kondisi Jalan dari Kabanjahe menuju Berastagi, b. Kondisi Jalan di Kampung Lau Simomo, dan c. Kondisi Jalan Hotel Frisia Kabanjahe (1920-1925) Sumber: Tropenmuseum, 2019
Universitas Sumatera Utara 73
Broersma (1922) mengatakan bahwa sejak Tahun 1909 mulai dibangun jalan raya menuju dataran tinggi sebelah barat, antara Kabanjahe dan Kuta Bangun melewati Sarinembah, serta menuju dataran tinggi bagian selatan, dari kabanjahe juga kearah Saribu Dolok kemudian ke Pematangsiantar.
Joustra (1918) mengatakan, dengan beralih sistem angkutan orang menjadi gerobak sapi atau bis muncul kawasan pertanian mengacu budi daya sayur-mayur
Eropa yang dimaksudkan untuk memasok kebutuhan di Medan dan ekspor.
Sebelumnya, Bataksch Institut didirikan pada Tahun 1908 di Leiden, yang bertujuan untuk mengembangkan “Tanah Batak” dengan mengirimkan ahli pertanian menuju dataran tinggi pada Tahun 1911 demi memberikan pengajaran dan pemahaman akan prosedur yang nyata untuk budi daya sayur-mayur guna memenuhi kebutuhan di
Medan. Rencana tersebut tentu berhubungan dengan tersedianya “Pasar Baru” yang mengubungkan Kabanjahe dan Medan sejak 1909 (Gambar 4.16).
Gambar 4.16. Map Jaringan Tranportasi Deli Spoorweg (Hindia Belanda Bagian Sumatera Timur) Sumber: Tropenmuseum, 2019
Universitas Sumatera Utara 74
4.3.1.2 Jaringan jalan Kecamatan Kabanjahe (2000-2019)
Jaringan jalan pada Kecamatan Kabanjahe dalam rentang Tahun 2002-2019 bila diklasifikasikan berdasarkan fungsi jalan, terdiri dari: jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, dan jalan lingkungan. Jaringan jalan nasioal terdiri dari jalur jalan Jl. Letjend. Jamin Ginting-Jl. Mariam Gingitng. Jalan provinsi terdiri dari jalur jalan Jl. Veteran-Jl. Bangsi Sembiring-Jl. Rangkoeti-Jl. Kotacane (Bapeda
Kabupaten Karo, 2018). Pada poin 2 (dua) berikut, Peneliti akan menjelaskan mengenai sistem transportasi, meliputi: sarana, prasarana, dan manajemen transportasi umum dan pada Kecamatan Kabanjahe.
1. Sarana transportasi umum
Sebayang (2005) mengatakan angkutan yang berada di Kota kabanjahe
pada Tahun 2005 menunjukkan peningkatan, terutama angkutan kota,
pedesaan maupun angkutan antar kota dalam provinsi. Berdasarkan
kebijaksanaan Pemerintah Kabupaten Karo, bahwa setiap angkutan yang
memasuki Kecamatan Kabanjahe wajib masuk ke dalam terminal untuk
meningkatkan pendapatan daerah dari sektor pelanyan jasa angkutan
jalan. Angkutan antar provinsi yakni Pinem dan Sebayang (Kabanjahe–
Kotacane). Angkutan umum antar kota dalam provinsi terdiri dari:
Sinabung Jaya (Kabanjahe-Medan), Permosi (Kabanjahe-P.Siantar),
Sebayang (Kabanjahe-Tigabinanga), dll. Angkutan umum Kota dan Desa
Universitas Sumatera Utara 75
terdiri atas: Arih Ersada (Kabanjahe-Sinaman/Dokan), Gaya Baru
(Kabanjahe–Barus Jahe/Pertumbuken), Selamat Jalan (Kabanjahe-Kuta
Buluh), Suka Sari (Kabanjahe–Desa Suka/Desa Merek), dll.
2. Prasarana transportasi umum
Sebayang (2008) mengemukakan, berdasarkan perhitungan jumlah
pertumbuhan transportasi yang dilakukan di Kabupaten Karo, maka
kapasitas Terminal Kabanjahe harus dikembangkan atau ditingkatkan tipe
terminalnya dari non-tipe menjadi tipe-B, hal tersebut didasarkan atas
perbandingan Terminal Kabanjahe yang tidak sesuai dengan standar
dengan ketentuan persyaratan terminal. Pada Rencanata Tata ruang
Kabupaten Karo (2005) telah ditetapkan perencanaan terminal baru pada
ruas jalan antara Kabanjahe-Berastagi, namun Pemerintah Kabupaten
Karo belum menetapkan ke dalam suatu peraturan pemerintah daerah
tentang pemindahan terminal ke lokasi baru. Terminal Kabanjahe
(terminal lama) dapat dipertahankan dengan perbaikan jangka pendek
untuk mengantisipasi dampak terminal lama tersebut terhadap lalu lintas
hingga terminal baru dibangun. Untuk lebih jelasnya prasarana
transortasi berupa terminal angkutan umum, bisa dilihat pada Gambar
4.17.
Universitas Sumatera Utara 76
Gambar 4.17 Denah Terminal Kecamatan Kabanjahe Sumber: Pandi Sebayang, 2005 Pada Gambar 4.17 bisa dilihat, Terminal Atas pada Kecamatan
Kabanjahe didesain sebagai prasarana angkutan umum antar kota.
Sedangkan, Terminal Tiga Baru didesain sebagai prasarana angkutan
umum antar desa pada Kabupaten Karo.
3. Manajemen lalu lintas transportasi umum
Sebayang (2005) mengatakan manajemen lalu lintas pada Kecamatan
Kabanjahe pada Tahun 2005 sudah diatur oleh Dinas Perhubungan
Kabupaten Karo dengan lin trayek (jalur trayek) tertentu. Untuk lebih
jelas bisa dilihat pada Gambar 4.18-4.19.
Universitas Sumatera Utara 77
Gambar 4.18 Lin Trayek Merga Silima, Angkutan Perkotaan Kecamatan Kabanjahe Sumber: Pandi Sebayang, 2005 Pada Gambar 4.18 bisa dilihat pengaturan jalur trayek Merga Silima
(Angkutan Kota), dengan jalur sekitar Jl. Selamat Ketaren-Jl. Mariam
Ginting-Jl. Letjend. Jamin Ginting-Jl. Veteran-Jl. Mesjid-Jl. Munte
Kabanjahe–Jl. Bom Ginting-Jl. Nabung Surbakti, dan jalan lain antar kelurahan di Kecamatan Kabanjahe. Jalur lintas angkutan pedesaan antar
Kecamatan Kabanjahe-Berastagi yang melalui perkotaan (kelurahan)
Kecamatan Kabanjahe, bisa dilihat pada Gambar 4.19.
Universitas Sumatera Utara 78
Gambar 4.19 Jalur Lintas Angkutan Pedesaan antara Kecamatan Kabanjahe-Berastagi Sumber: Pandi Sebayang, 2005 Pada Gambar 4.19 bisa dilihat, jalur lintas angkutan pedesaan antara
Kecamatan Kabanjahe- Berastagi yang melalui perkotaan (kelurahan) pada Kecamatan Kabanjahe. Jalur lintas angkutan pedesaan tersebut melalui Jl. Jalur lintas angkutan pedesaan tersebut melalui Jl. Kota Cane-
Jl. Bom Ginting-Jl. Nabung Surbakti-Jl. Kapt. Pala Bangun-Jl. Mariam
Ginting-Jl. Letjend Jamin Ginting, dan sebaliknya. Angkutan pedesaan tersebut di antaranya Kama Transport, Sigantang Sira, Bayu, Karya
Transport, dll.
Universitas Sumatera Utara 79
Untuk lebih jelasnya kondisi eksisting jaringan jalan pada beberapa
lokasi di Kecamatan Kabanjahe pada Tahun 2019 bisa dilihat pada
Gambar 4.20.
a b c
d e f Gambar 4.20 Kondisi Eksisting Sistem Jaringan Jalan pada Kecamatan Kabanjahe (2019) a. Jl. Kota Cane (Desa Kacaribu); b. Jl. Kiras Bangun (Kel. Rumah Kabanjahe); c. Jl. Letjend. Jamin Ginting (Desa Sumber Mufakat); d. Jl. Kapten Bangsi Sembiring (Kel. Lau Cimba); e. Jl. Mariam Ginting (Kel. Gung Leto); dan f. Jl. Veteran (Kel. Kampung Dalam) Sumber: Observasi, 2019
Universitas Sumatera Utara 80
4.3.2 Gambaran perletakan massa bangunan Kecamatan Kabanjahe
Dowson dan Giloww (1994) mengemukakan, Masyarakat Karo membangun rumah tradisional dan perkampungan mereka dengan berorientasi terhadap arah angin. Rumah tradisional Suku Karo merupakan model rumah tradisional yang didirikan guna mengoptimalkan kehangatan di dalamnya. Rumah tidak didirikan menghadap jalan, namun dengan berorentasi ke arah mata angin mana rumah tersebut menghadap. Pintu muka rumah juga dibuat menghadap ke hulu sungai serta pintu belakang menghadap ke arah hilir sungai. Antar rumah dibangun tunggal serta jarang, sama seperti konsep rumah tradisional Suku Nias. Rumah tradisional letaknya tunggal disebabkan rumah diperuntukkan bagi sejumlah keluarga dengan istilah siwaluh jabu (8 keluraga), sedangkan rumah tradisional bagi Masyarakat Suku Nias diperuntukkan hanya bagi 1 (satu) keluarga saja. Kedudukan rumah tradisional karo juga dinaikkan sampai ketinggian tertentu. Pola perkampungan dan rumah tradisional
Suku Karo tersebut bisa dilihat lebih jelas pada Gambar 4.21.
Gambar 4.21.a. Permukimana Tradisional Karo, b. Rumah Tradisinal Karo Sumber: Downson dan Gillow ,1994
Universitas Sumatera Utara 81
Pada Gambar 4.21.a bisa dilihat pola Permukiman tradional Karo di mana semakin curam topografi kepadatan bangunan semakin berdekatan (begitu juga sebaliknya), serta terdapat masa bangunan bersama/publik yang disebut jambur pada pusat kampung sebagai tempat bersosialisasi (berkumpul). Di mana massa bangunan terbesar berada juga pada pusat kampung dan merupakan rumah keluarga pemimpin kampung (Sibayak Urung atau Raja Kampung) (Gambar 4.21.b). Gambaran keadaan pola perkampungan tradional Karo pada Kecamatan Kabanjahe tersebut, lebih jelasnya bisa dilihat pada Gambar 4.22.
Gambar 4.22 Foto Perkampungan Tradisional Karo di Kecamatan Kabanjahe (1937) Sumber: Het Sceepvaartmuseum, 2019 Berg (1934) dalam Bemmelen (2018) mengatakan dibukanya poros jalan
Medan-Kabanjahe, menimbulkan ketertarikan orang-orang Eropa terhadap keindahan
Universitas Sumatera Utara 82
alam serta kesejukan iklimnya. Sejak awal Abad ke-20, Kabanjahe dan Berastagi dijadikan sebagai tempat peristirahatan dan pariwisata. Perkembangan pesat tersebut diikuti dengan datangnya elit baru yang bertempat tinggal dan menjadi pemilik tanah di daerah Berastagi dan Kabanjahe. Pemlik tanah tersebut menyewakan lahan pada orang Tionghoa. Suku Tionghoa yang pada awalnya bekerja sebagai petani dan pedagang, namun kemudian bertumpu pada perdangangan saja, dengan berjualan di ruko (rumah toko) di sekitar Pasar Kabanjahe dan Berastagi, bisa dilihat pada
Gambar 4.23.
Gambar 4.23 Pasar (Pekan) Kabanjahe (1926) Sumber: ETH-BibliothekZürich, Bildarchiv, 2019 Winckel (1924) mengatakan, Minddendorp mengelola pembukuan sejumlah bank yang ditujukan untuk menyediakan bantuan berupa pinjaman yang digunakan untuk kepentingan bersawah, budi daya sayur-mayur, dan berternak. Dalam maktu 10
(sepuluh tahun) tahun setelahnya bank serupa menjadi 26 buah, sehingga modal keuangan dari 4.510 golden menjadi 35.485 golden (Brouwer, 1927).
Universitas Sumatera Utara 83
Gambar 4.24.a. Penampungan (Perkampungan); b. Masssa Bangunan Penderita Kusta di Desa Lau Simomo (1919); dan c. Perbedaan Hunian Mantan Penderita Kusta (2018) Sumber: a. dan b. , 2019; c. Rehjayana Tarigan, 2018 Desa Lau Simomo yang dahulu merupakan salah satu daerah Sibayak
Lingga yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Kabanjahe (Urung XII) merupakan desa khusus dibentuk untuk penampungan dan pengobatan penderita kusta dari seluruh wilayah Dataran Tinggi Karo (www.silimamerga.web.id, 2019). Pada perkampungan ini Kolonial Belanda memperkenalkan pola perletakan deret dengan massa tunggal dan dengan oritentasi terhadap jalan sebagaimana yang telah berkembang di Eropa (Gambar 4.24).
Tarigan (2014) mengatakan Ibu negeri Kresidenan Sumatera Timur yang sebelum Agresi Militer Belanda I (21 Juli 1947) berkedudukan di Medan dipindahkan ke Tebing Tinggi-Deli 90 km dari Medan. Setelah agresi Militer
Belanda menduduki Tebing tinggi, maka Residen Sumatera Timur dan Staffnya berkantor di Kabanjae melalui Pematang Siantar Beberapa Waktu berkantor di
Universitas Sumatera Utara 84
Kabanajahe akhirnya memutuskan pindah lagi berkantor di kota kecil Tiga Binanga
35 km dari Kabanjahe.
Sebelum pindah perkampungan yang berada pada jalur utama Medan-
Kutacane termasuk Luhak (Kecamatan) Berastagi-Kabanjahe dibumi hanguskan oleh
Masyarakat Karo untuk menghindari digunakan/dimanfaatakan oleh Militer Belanda untuk dijadikan barak prajurit militer Belanda dan Inggris. Gambaran Bumi hangus pada Berastagi sendiri bisa dilihat Gambar 4.25.
Gambar 4.25. Bumi Hangus Berastagi (Agustus 1947) Sumber: Fotograaf Onbekend / DLC, 2019 Dengan taktik perlawanan bumi hangus, perkampungan strategis yang berada pada jalur utama Jalan Medan-Kutacane termasuk Kecamatan Kabanjahe
(Luhak XII) yang sebagian besar masih menggunakan material alami, habis terbakar termasuk pada Seluruh Bangunan tradisional pada Kecamatan Kabanjahe, terkecuali bangunan pada perkampungan penampungan dan pengobatan penderita kusta di
Desa Lau Simomo. Untuk lebih jelasnya kondisi eksisting perletakan massa bangunan pada beberapa lokasi di Kecamatan Kabanjahe pada Tahun 2019 bisa dilihat pada Gambar 4.26.
Universitas Sumatera Utara 85
a b c
d e F
Gambar 4.26 Kondisi Eksisting Perletakan Massa Bangunan pada Kecamatan Kabanjahe (2019): a. Bangunan Deret (Kel. Rumah Kabanjahe); b. Bangunan Tunggal (Kel. Kampung Dalam); c. Bangunan Tunggal (Desa Sumber Mufakat); d. Bangunan Massa Majemuk (Kel. Padang Mas); e. Massa Tunggal (Kel. Gung Leto); dan f. Massa Majemuk (Desa Samura) Sumber: Observasi, 2019
Universitas Sumatera Utara 86
4.3.3 Gambaran penggunaan lahan Kecamatan Kabanjahe
4.3.3.1 Sejarah pemanfaatan lahan Kecamatan Kabanjahe
Berg (1934) dalam Bemmeelen (2018) mengatakan pembukaan poros jalan
Medan-Kabanjahe , membuat pemilik-pemlik lahan yang menyewakan tanah kepada orang Tionghoa, orang Tionghoa itu sendiri yang pada mulanya bertani dan berdagang, kemudian bertumpu pada perdagangan. Pada Gambar 4.38 dapat dilihat pemanfaata lahan di Kecamatan Kabanjahe sekitar Tahun 1910-1935. Pada Gambar
3.27: a. Luhak (urang) Kabanjahe (Rumah Mpa Mbelgah), b. Kantor perwakilan
Belanda di Kabanjahe, c. Pasar (pekan) Kabanjahe, dan d. Rumah Sakit di Desa Lau
Simomo.
Gambar 4.27 Pemanfaatan Lahan di Kabanjahe (1910-1935) Sumber: Tropenmuseum, 2019
Universitas Sumatera Utara 87
Pada Gambar 4.28 bisa dilihat pemanfaatan lahan di Kecamatan Kabanjahe pada Tahun 1902-1935: a. Hutan pinus pada Kabanjahe Tahun 1920, b. Menara air
Kabanjahe Tahun 1930, c. Mesjid Lama Kabanjahe pendirian Tahun 1902-1904, d.
Lapangan Samura Kabanjahe Tahun 1914-1919, dan Gereja GBKP Kabanjahe pendirian Tahun 1925-1935.
Gambar 4.28 Pemanfaatan Lahan di Kabanjahe (1902-1935) Sumber: Tropenmuseum, 2019 4.3.3.2 Penggunaan lahan Kecamatan Kabanjahe 2019
Pada RAPERDA RTRW Kabupaten Karo. (2010-2030) perencanaan pengembangan pemanfaatan lahan pada Kecamatan Kabanjahe tidak direncanakan secara rinci. sehingga implementasi dari rencana umum tersebut sulit untuk diaplikasikan, khususnya rencana pengembangan pada Kecamatan Kabanjahe. Pada
Universitas Sumatera Utara 88
raperda tersebut Kecamatan Kabanjahe direncanakan Sebagai kawasan pemukiman, kawasan hutan lindung (greenbelt) sepanjang aliran sungai, dan rencana pemanfaatan potensi tambang sepanjang aliran Sungai Lau Biang. Untuk lebih jelas rencana pengembangan Kecamatan Kabanjahe pada RAPERDA RTRW Kabupaten Karo tersebut, bisa dilihat pada Gambar 4.29.
Gambar 4.29 Rencana Pengembangan Pemanfaatan Lahan Kecamatan Kabanjahe Sumber: RAPERDA RTRW Kabupaten Karo (2010-2030) Untuk lebih jelasnya kondisi eksisting penggunaan lahan dengan fungsi vital ataupun bersejarah pada beberapa lokasi di Kecamatan Kabanjahe pada Tahun 2019 bisa dilihat pada Gambar 4.30.
Universitas Sumatera Utara 89
Gereja GBKP Kabanjahe Menara Air Tirta Malem Kantor Bupati Kabupaten Karo (1925-1935) (1930)
Pusat Pasar Kabanjahe Rumah Sakit Umum Daerah Masjid Agung Kabanjahe Kabanjahe
Gambar 4.30 Kondisi Eksisting Penggunaan Lahan pada Kecamatan Kabanjahe (2019) Sumber: Observasi, 2019
Universitas Sumatera Utara 90
4.4 Gambaran Umum Fisik Ekologi Kecamatan Kabanjahe
Secara Garis besar, Wilayah Kecamatan Kabanjahe merupakan dataran tinggi yang berada di antara 3 (tiga) gunung aktif yakni Gunung Toba, Gunung
Sinabung, dan Gunung Sibayak, serta berada timur laut jajaraan Patahan Sumatera.
Menurut model yang dibuat oleh Van Bamellen, Gunung Sibayak merupakan bagian dari volkanis kompleks “Tobanian”. Untuk lebih jelasnya posisi Kecamatan
Kabanjahe terhadap 3 (tiga) gunung tersebut, lebih jelasnya bisa dilihat pada Gambar
4.31.
Gambar 4.31 Lokasi Kecamatan Kabanjahe Ditinjau dari Kedudukan Gunung Sinabung, Gungung Sibayak, dan Kompleks Kaldera Toba Sudibyo (2014) mengatakan letusan Gunung Api Toba yang terakhir tercatat 700.000 tahun yang lalu sungguh sangat luar biasa. Gunung Toba melepaskan energi 1.000 megaton TNT atau 50 ribu kali lipat bom Hiroshima dan menyemburkan tephra 2.800 km kubik berupa ignibrit, yakni batuan beku sangat asam yang memang menjadi ciri khas letusan-letusan besar. Diperkirakan ini menjadi
Universitas Sumatera Utara 91
bentuk dasar (base) fisik ekologi Kecamatan Kabanjahe membentuk lereng
Kecamatan Kabanjahe puncaknya berada pada wilayah tenggara dan melandai ke arah barat laut.
Bentukan selanjutnya dari fisik ekologi Kecamatan Kabanjahe, diperkirakan merupakan akibat letusan Gunung Sibayak yang terakhir tercatat pada Tahun 1881
(wikipedia, 2019). Sehingga, diprediksi hal tersebut menyebabkan puncak lereng wilayah Kecamatan Kabanjahe berada pada bagian Utara dan menlandai ke arah selatan, serta melandai ke arah barat. Gunung Sinabung sendiri yang terletak pada barat laut Kecamatan Kabanjahe tidak pernah meletus sejak Tahun 1600. Tetapi mendadak aktif kembali dengan meletus pada Tahun 2010. Letusan terakhir gunung ini terjadi sejak 19 Februari 2018 dan berlangsung hingga kini (Tahun 2019). Hal tersebut diperkuat dengan keadaan geomorfologi tanah pada Kecamatan Kabanjahe pada Gambar 4.32.
Gambar 4.32 Geomorfologi Fisik Ekologi Kecamatan Kabanjahe
Universitas Sumatera Utara 92
Pada Gambar 4.32 bisa dilihat, geomorfologi Wilayah Kecamatan
Kabanjahe bagian utara tersusun atas batuan dari aktivitas (letusan) Gunung Sibayak yang disebut juga Pusat Sibayak, sehingga permukaan tanahnya terdiri dari Batuan
Satuan Singkut, meliputi: andesit, dasit, mikrodiorit, dan tufa. Sedangkan, wilayah
Kecamatan Kabanjahe bagian selatan tersusun atas batuan dari aktivitas (letusan)
Gunung Toba yang disebut juga Pusat Toba, sehingga permukaan tanahnya terdiri dari Batuan Tufa Toba, meliputi: tufa riodasi, sebagian terlaskan.
Secara lebih dekat, fisik ekologi Kecamatan Kabanjahe merupakan lereng yang berada pada 2 (dua) gunung aktif, yakni Gunung Sinabung (tinggi puncak 2.460 mdpl) dan Gunung Sibayak (tinggi puncak 2.212 mdpl). Kantor Camat Kabanjahe berjarak ±13.53 Km dari Puncak Gunung Sinabung dan berjarak ±15,17 km dari
Puncak Gunung Sibayak. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada Gambar 4.33.
Gambar 4.33 Fisik Ekologi Kecamatan Kabanjahe
Universitas Sumatera Utara 93
Pada Gambar 4.33 bisa dilihat, fisik ekologi Kecacamatan Kabanjahe dominan dibentuk oleh pengaruh letusan dari Gunung Sibayak. Hal tersebut dapat dilihat sisiran sungai pada Kecamatan Kabanjahe tanjakannya berasal dari arah
Gunung Sibanyak dan mengarah ke selatan sampai ke arah barat daya melandai
(menurun). Ini dimungkinkan karena dampak dasar dataran Kecamatan Kabanjahe masih dipengaruhi lereng yang tanjakan dari bagian timur dan melandai kebagian barat, akibat letusan Gunung Toba yang terakhir tercatat 700.000 tahun yang lalu.
4.4.1 Gambaran topografi pada Kecamatan Kabanjahe
Kecamatan Kabanjahe dengan luas wilayah 44,65 km2, secara umum letak ketinggian Kecamatan Kabanjahe berada antara ±1.000 - ±1.300 mdpl dengan temperatur berkisar 16º–27º C (BPS Kabupaten Karo, 2018). Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada Gambar 4.34.
Gambar 4.34 Topografi Kecamatan Kabanjahe
Universitas Sumatera Utara 94
Pada Gambar 4.34 bisa dilihat, fisik ekologi Kecamatan Kabanjahe di antara ±1.080 s.d. ±1.3000 mdpl. Wilayah Kecamatan Kabanjahe bila ditinjau dari topografi, bagian sebelah utara dari Kantor Camat Kabanjahe menanjak antara ±1200
- ±1300 mdpl. Bagian sebelah timur menanjak antara ±1200 - ±1220 mdpl dari
Kantor Camat Kabanjahe. Bagian selatan melandai antara ±1.200 - ±1.110 mdpl dari
Kantor Camat Kabanjahe dan Tugu Bambu Runcing. Bagian barat dari Kantor Camat
Kabanjahe melandai antara ±1200 - ±1.080 mdpl. Untuk lebih jelasnya topografi pada Wilayah Kecamatan Kabanjahe tersebut bisa dilihat pada Gambar 4.35.
Gambar 4.35 Visualisasi Topografi Kecamatan Kabanjahe Dari Gambar 4.35 bisa dilihat topografi (elevasi) dari pusat kota (Tugu
Bambu Runcing dan Kantor Camat) Kecamatan Kabanjahe yakni ±1.200 mdpl.
Untuk mengetahui topografi pusat-pusat pelayanan pemerintahan tiap-tiap desa/kota bisa dilihat pada Gambar 4.36.
Universitas Sumatera Utara 95
Gambar 4.36 Ketinggian Tiap-tiap Desa/Kelurahan pada Kecamatan Kabanjahe Pada Gambar 4.36 bisa dilihat gambaran ketinggian tiap-tiap pusat administrasi desa/kelurahan (kantor kepala desa/kantor lurhan) pada Kecamatan
Kabanjahe adalah sebagai berikut: Desa Kaban pada ketinggian 1.262 mdpl, Kel.
Sumber Mufakat pada ketinggian 1.258 mdpl, Kel. Ketaren di ketinggian 1.226 mdpl, Kel. Kampung Dalam di ketinggian 1.226 mdpl, Desa Samura di ketinggian
1.208 mdpl, Kel. Gung Leto di ketinggian 1.195 mdpl, Kel. Rumah Kabanjahe di ketinggian 1.185 mdpl, Kel. Gung Negeri di Ketinggian 1.179 mdpl, Kel. Lau Cimba di ketinggian 1.148 mdpl, Kel. Padang Mas di ketinggian 1.138 mdpl, Desa Kacaribu di ketinggian 1.135 mdpl, Desa lau Simomo di ketinggian 1.114 mdpl, dan Desa
Kandibata di ketinggian 1.048 mdpl (BPS Kabupaten Karo, 2018).
4.4.2 Gambaran bentuk alam pada Kecamatan Kabanjahe
Secara garis besar keseluruhan Wilayah Kecamatan Kabanjahe berada pada bentang alam Dataran Tinggi Karo. Hal tersebut akibat wilayah Kecamatan
Kabanjahe yang berada pada jajaran Bukit Barisan dan berada pada bagian timur
Universitas Sumatera Utara 96
laut Patahan Sumatera, yang diperkirakan semulanya merupakan lembah menjadi lereng yang luas dan landai (dataran tinggi) di timbun batuan vulkanik yang berasal dari letusan dan erupsi gunung berapi (gunung api) yang berada di sekitarnya.
Bentuk alam Kecamatan Kabanjahe lebih dominan akibat letusan Gunung
Sibayak (terakhir Tahun 1881) ketimbang Letusan Gunung Toba (terakhir 700.000 tahun lalu). Hal tersebut dapat dilihat dari topografi Kecamatan Kabanjahe yang melandai dari bagian utara (dekat Gunung Sibayak) ke bagian tenggara (bagian
Kecamatan Kabanjahe yang dekat dengan Gunung Toba). Hal tersebut diperkuat dengan arah aliran air sungai pada Kecamatan Kabanjahe yang hulu sungai berada pada bagian utara mengalir ke bagian selatan dan selanjutnya menyatu serta mengalir ke bagian barat wilayah Kecamatan Kabanjahe. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada Gambar 4.37.
Gambar 4.37 Bentuk Alam Kecamatan Kabanjahe
Universitas Sumatera Utara 97
Pada Gambar 4.37 bisa dilihat, diperkirakan bentukan dataran (alam) pada
Kecamatan Kabanjahe dibentuk oleh aliran sungai yang berasal dari arah Gunung
Sibayak, atau lebih tepatnya aliran sungai dari Kecamatan Simpang Empat,
Kecamatan Berastagi, dan Kecamatan Tiga Panah. Sehingga, bentuk alam pada
Wilayah Kecamatan Kabanjahe diperkirakan merupakan bagian dari bentang alam fluvial. Bentang alam fluvial dihasilkan oleh proses aktivitas air mengalir atau disebut juga proses fluviatile. Akibat proses fluviatile tersebut pembentuk alam
Wilayah Kecamatan Kabanjahe yang terdiri dari dataran relatif landai, curam, miring, jurang, dan sungai. Bentuk alam pada umumnya wilayah Kecamatan Kabanjahe, bisa dilihat pada Gambar 4.38.
Gambar 4.38 Potongan Bentuk Alam Kecamatan Kabanjahe
Universitas Sumatera Utara 98
Pada Gambar 4.38 bisa dilihat gambaran umum bentukan alam Kecamatan
Kabanjahe dari potongan kawasan untuk melihat gambaran dataran, bukit, jurang, dan sungai di sekitar pada Kecamatan Kabanjahe. Dari Titik A ke titik B terlihat bentuk permukaan tanah relatif menanjak ke bagian tengah dan dari bagian tengah ke titik B terdapat jurang (tebing) dengan kedalaman ±39 m dan terdapat sungai di bawah antara 2 kaki jurang. Dari titik B ke titik C bentuk permukaan tanah relatif menanjak dari tiitk awal dan pada bagian tengah permukaan tanah relatif datar, namun terdapat 4 jurang dan 4 sungai dibawah kakinya, dengan jurang terdalam dengan kedalaman ± 55m titik (y).
Dari titik C ke titik D permukaan tanah melandai relatif ekstrim ke bagian tengah (z) dan terdapat jurang dengan kedalam ± 52m dan kaki jurang terdapat aliran jurang. Serta, dari titik D ke titik A bentuk permukaan tanah melandai dari titik D ke titik A, dan pada bagian tengah garis antara titik D ke A terdapat jurang dengan kedalaman ± 20 m. Dengan demikian secara umum bentuk alam wilayah Kecamatan
Kabanjahe dari titik A-B-C-D-A terdiri dari permukaan tanah yang relatif datar, menanjak, curam, jurang, terjal, datar, terjal, datar, miring, melandai, dan di antara bentuk seluruh permukaan tanah tersebut terdapat aliran sungai sebagai agen pembentuk permukaan tanah (bentuk alam) tersebut.
Universitas Sumatera Utara BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada Bab 4 Penulis telah menjelaskan tentang gambaran umum mengenai gambaran umum kawasan penelitian melingkupi gambaran: orientasi lokasi, gambaran umum objek penelitian, struktur dan pola ruang serta fisik ekologi dari
Kecamatan Kabanjahe. Kemudian pada Bab 5 (Bab Hasil dan Pembahasan) berikut,
Penulis menjelaskan tentang hasil dan pembahasan terhadap kajian morfologi
Kecamatan Kabanjahe ditinjau dari aspek ekologi. Adapun pembagian sub-bab dari hasil dan pembahaan kajian tersebut secara beruntun meliputi: kajian pengaruh topografi terhadap sistem jaringan jalan, kajian pengaruh topografi terhadap perletakan massa bangunan, kajian pengaruh bentuk alam terhadap penggunaan lahan, kajian pengaruh bentuk alam terhadap dinamika perkembangan kota, dan kajian prediksi kecenderungan perkembangan fisik Kecamatan Kabanjahe.
5.1 Kajian Pengaruh Topografi terhadap Sistem Jaringan Jalan pada Kecamatan Kabanjahe
Sumaatmadja (1998) mengemukakan faktor yang mempengaruhi fungsi rendahnya aksesbilitas (jaringan jalan) ialah topografi, sebab dapat menjadi penghalang bagi kelancaran untuk mengadakan interaksi di suatu daerah.
Berlandaskan teori tersebut, Penulis akan menjelaskan hasil dan pembahasan dari kajian pengaruh topografi terhadap sistem jaringan jalan pada Kecamatan Kabanjahe.
99 Universitas Sumatera Utara 100
Faktor/alasan mengakibatkan rendahnya fungsi aksesbilitas ialah topografi, karena bisa menjadi hambatan untuk usaha pengembangan kelancaran dengan mengadakan interaksi antar daerah. Faktor lain yang menghabat pengembangan aksesbilitas di antaranya adalah hidrologi (sungai, danau, rawa, dan laut) yang juga amat mempengaruhi upaya pengadaan dan pengembangan perhubungan, perindustrian, pariwisata. Sehingga, tinggi rendahnya perkembangan fisik suatu daerah amat bergantung pada morfologi, topografi, sungai, sistem jaringan jalan, serta tersedianya sarana dan prasaran pendukung dalam rangka menunjang kelancaran menghubungkan suatu daerah dengan daerah di sekitarnya (Sumaatmadja, 1988).
Berdasarkan teori tersebut, diprediksi topografi yang variatif (khas dataran tinggi) mengakibatkan rendahnya pengembangan sistem jaringan jalan (aksesbilitas) pada
Kecamatan Kabanjahe. Untuk lebih jelasnya pengaruh topografi terhadap sistem jaringan jalan pada Kecamatan Kabanjahe bisa dilihat pada Gambar 5.1.
Universitas Sumatera Utara 101
Gambar 5.1 Pengaruh Topografi terhadap Sistem Jaringan Jalan pada Kecamatan Kabanjahe
Universitas Sumatera Utara 102
Pada Gambar 5.1 bisa dilihat hubungan antara bentuk alam dataran kaki dan dataran aluvial yang menciptakan elemen-elemen topografi yang variatif (topografi hampir datar, agak miring, miring, curam, sangat curam, dsb.) dengan sistem jaringan jalan dengan klasifikasi jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, dan jalan lingkungan. Secara umum, sistem jaringan jalan sebagai struktur ruang kota pada
Kecamatan Kabanjahe menyesuaikan dengan topografi. Di mana jalan utama (jalan nasional, jalan provinsi, dan jalan kabupaten) terletak pada topografi hampir datar dan topografi agak miring, sedangkan jalan feeder berada lateral terhadap jalan utama dan berada pada topografi agak miring sampai dengan topografi agak curam.
Setelah meninjau pengaruh topografi terhadap perkembangan sistem jaringan jalan yang pada Kecamatan Kabanjahe 2019, selanjutnya Penulis akan menilai jaringan jalan yang terbentuk dengan kesesuaiannya terhadap teori Carpenter
(1975) tentang pengaturan jaringan jalan dengan konsep ekologis. Carpenter (1975) mengemukakan perencanaan lanskap jalan memerlukan pemikiran yang seksama, tidak hanya mempertimbangkan nilai fungsi seperti keamanan, kesenangan, dan ekonomis, tetapi juga harus mempertimbangkan nilai estetika terutama keindahan alam dan kelestarian lingkungan di sekitarnya.
Untuk lebih jelasnya tentang kecenderungan pengaruh topografi terhadap jaringan jalan pada tiap-tiap desa dan kelurahan bisa dilihat pada Gambar 5.2 s.d.
Gambar 5.8.
Universitas Sumatera Utara 103
Gambar 5.2 Pengaruh Topografi terhadap Jaringan Jalan pada a. Desa Kaban 2019, b. Desa Sumber Mufakat 2019 Pada Gambar 5.2.a bisa dilihat, pada Desa Kaban terdapat Jalan Kapten
Bom Ginting sebagai jalan utama (jalan kabupaten) melintasi topografi hampir datar dan selanjutnya topografi agak miring di antara topografi curam (bukit) dan topografi curam (sungai). Selanjutnya, melintasi topografi agak miring ke arah selatan dan terdapat feeder berupa jalan lokal menuju permukiman Desa
Kaban pada bagian tenggara Desa Kaban. Jalan lokal pada permukiman Desa
Kaban berada pada topografi agak miring s.d. topografi miring membentuk pola jaringan jalan tributari. Ditinjau dari konsep jaringan jalan ekologis sesuai teori Carpenter (1975), jaringan jalan pada Desa Kaban sudah memenuhi Nilai estetika dengan jaringan jalan utama view bukit dan Gunung Sinabung, serta sudah memenuhi menjaga kelestarian lingkungan dengan jaringan jalan utama
Universitas Sumatera Utara 104
relatif paralel terhadap sungai dengan jarak yang sesuai standar garis sempadan sungai.
Pada Gambar 5.2.b bisa dilihat, pada Desa Sumber Mufakat terdapat
Jalan Letjend. Jamin Ginting sebagai jalan utama (jalan provinsi) yang melintasi dari bagian utara sampai dengan bagian selatan Desa Sumber
Mufakat. Jalan utama tersebut melintas pada topografi hampir datar (bagian utara) dan topografi agak miring (bagian selatan). Sedangkan, jalan lokal yang berperan sebagai feeder yang berasal dari jalan provinsi melintasi dataran dengan topografi agak miring s.d. topografi miring ke arah timur atau barat, dan lateral terhadap jalan provinsi membentuk jaringan jalan tributari. Begitu juga, Jalan Aji Jahe (jalan kabupaten) yang berada pada bagian timur Desa
Sumber Mufakat melintas pada dataran dengan topografi hampir datar. Dengan feeder jalan lokal menuju permukiman Desa Sumber Mufakat bagian timur yang berada pada topografi agak miring s.d. topografi miring membentuk pola jaringan jalan spinal. Ditinjau dari konsep jaringan jalan ekologis sesuai teori
Carpenter (1975), jaringan jalan pada Desa Sumber Mufakat sudah memenuhi nilai estetika dengan jaringan jalan utama view Gunung Sibayak, serta sudah memenuhi menjaga kelestarian lingkungan dengan jaringan jalan utama di antara dan 2 (dua) sungai dan paralel sehingga kelestarian sungai terjaga.
Universitas Sumatera Utara 105
Gambar 5.3 Pengaruh Topografi terhadap Jaringan Jalan pada a. Kelurahan Rumah Kabanjahe 2019, b. Kelurahan Ketaren 2019 Pada Gambar 5.3.a bisa dilihat, pada Kelurahan Rumah Kabanjahe terdapat
Jalan Kapten Bom Ginting dan Jalan Kiras Bangun (jalan kabupaten) melintasi dataran dengan topografi hampir datar dan topografi agak miring paralel dengan topografi curam (sungai). Sedangkan, jalan lokal yang merupakan feeder dari jalan utama membentuk jaringan jalan tibutari pada topografi hampir datar dan topografi agak miring. Begitu juga pada jalan utama yang berada pada bagian barat daya
Kelurahan Rumah Kabanjahe yakni Jalan Kota Cane (jalan provinsi) dan Jalan
Lingkar (Jalan Kabupaten) melintasi dataran dengan topografi hampir datar dan agak miring paralel dengan topografi curam (sungai) dan jalan lokal yang merupakan jalan utama tersebut berada pada topografi agak miring s.d. topografi miring membentuk pola jaringan jalan spinal. Ditinjau dari konsep jaringan jalan ekologis sesuai
Universitas Sumatera Utara 106
teori Carpenter (1975), jaringan jalan pada Desa Sumber Mufakat sudah memenuhi nilai estetika dengan jaringan jalan utama view Gunung Sibayak, serta sudah memenuhi menjaga kelestarian lingkungan dengan jaringan jalan utama di antara dan 2 (dua) sungai dan paralel sehingga kelestarian sungai terjaga.
Pada Gambar 5.3.b bisa dilihat, pada Kelurahan Ketaren terdapat jalan utama yakni Jalan Letjend. Jamin Ginting (jalan nasional) yang melintasi dataran dengan topografi hampir datar dari arah utara menuju barat daya paralel terhadap topografi curam (sungai). Sedangkan, jalan lokal yang merupakan feeder dari jalan utama melintas pada dataran dengan topografi agak miring s.d. topografi miring menuju topografi curam (sungai) ke arah timur atau barat Kelurahan Ketaren, serta lateral terhadap jalan utama membentuk pola jaringan jalan tributari. Ditinjau dari konsep jaringan jalan ekologis sesuai teori Carpenter (1975), jaringan jalan pada
Kelurahan Ketarern cukup memenuhi nilai estetika dengan jaringan jalan utama view Gunung Sibayak, serta sudah memenuhi menjaga kelestarian lingkungan dengan jaringan jalan utama di antara dan 2 (dua) sungai dan paralel sehingga kelestarian sungai terjaga. Namun pada jalan lingkungan perlu pengendalian khusus agar tidak sampai memanfaatkan garis sempadan sungai.
Universitas Sumatera Utara 107
Gambar 5.4 Pengaruh Topografi terhadap Jaringan Jalan pada a. Kelurahan Gung Negeri 2019, b. Desa Samura 2019 Pada Gambar 5.4.a bisa dilihat, pada bagian barat Desa Samura terdapat
Jalan Letjend. Jamin Ginting (jalan nasional) yang melintas pada dataran dengan topografi hampir datar yang paralel terhadap topografi curam (sungai). Terdapat juga
Jalan Samura (jalan kabupaten) yang merupakan feeder dari Jalan Letjend. Jamin
Ginting yang melintas pada dataran dengan topografi hampir datar menuju ke arah timur (topografi curam (sungai)). Jaringan lokal yang merupakan feeder dari Jalan
Samura melintas pada topografi hampir datar s.d. topografi miring ke arah utara atau selatan dan paralel terhadap topografi curam (sungai) membentuk pola jaringan grid organik. Ditinjau dari konsep jaringan jalan ekologis sesuai teori Carpenter
(1975), jaringan jalan pada Desa Samura belum memenuhi nilai estetika dengan jaringan jalan utama tidak memiliki view, serta perlu pengaturan
Universitas Sumatera Utara 108
khusus terhadap jaringan jalan yang melewati sungai agar kelestarian sungai tetap terjaga.
Pada Gambar 5.4.b bisa dilihat, pada bagian barat Kelurahan Gung Negeri terdapat Jalan Letjend. Jamin Ginting dan Jalan Mariam Ginting yang merupakan jalan nasional yang melintas pada dataran dengan topografi hampir datar dan topografi agak miring. Terhadap jalan nasional tersebut terdapat 3 (tiga) jalan kabupaten yang lateral yakni Jl. Samura, Jl. Katepul, dan Jl. Kapt. Selamat Ketaren.
Ketiga jalan kabupaten tersebut berawal dari jalan nasional menuju ke arah timur melintas pada dataran dengan topografi agak miring s.d. topografi agak curam. Dari ketiga jalan kabupaten tersebut terdapat jalan lokal sebagai feeder yang menuju ke arah utara atau selatan berada pada topografi agak miring s.d. miring, membentuk pola jaringan relatif grid organik, menyesuaikan terdahap topografinya. Ditinjau dari konsep jaringan jalan ekologis sesuai teori Carpenter (1975), jaringan jalan pada Kelurahan Gung Negeri belum memenuhi nilai estetika dengan jaringan jalan utama tidak memiliki view, dan pada Jalan Mariam Ginting bagian selatan yang melewati sungai perlu perhatian khusus pengembangannya agar kelestarian Sungai Biang tetap terjaga.
Universitas Sumatera Utara 109
Gambar 5.5 Pengaruh Topografi terhadap Jaringan Jalan pada a. Kelurahan Kampung Dalam 2019, b. Desa Gung Leto 2019 Pada Gambar 5.5.a bisa dilihat, pada Keluruhan Kampung Dalam terdapat 2
(dua) jalan utama yakni Jalan Letjend. Jamin Ginting (jalan nasional) dan Jalan
Veteran (jalan provinsi). Jalan Letjend. Jamin Ginting yang berada pada bagian timur melintas pada dataran dengan topografi hampir datar dan paralel terhadap topografi curam (sungai) bagian Kelurahan Kampung dalam. Jalan Veteren yang merupakan feeder dari jalan nasional (Jl. Letjend. Jamin Ginting) juga berada pada dataran dengan topografi hampir datar, dari Jl. Letjend. Jamin Ginting menuju Jl. Kiras
Bangun (jalan kabupaten) yang berada pada topografi miring s.d. topografi curam.
Sedangkan, jalan lokal pada Kelurahan Kampung Dalam yang merupakan feeder dari jalan nasional dan jalan provinsi berada pada topografi hampir datar s.d. topografi miring dan berpola relatif grid organik. Ditinjau dari konsep jaringan jalan ekologis sesuai teori Carpenter (1975), jaringan jalan pada Kelurahan
Kampung Dalam sudah memenuhi nilai estetika dengan jaringan jalan utama
Universitas Sumatera Utara 110
memiliki view Gunung Sibayak dan Gunung Sinabung, namun pada jaringan jalan pada bagian utara kelurahan perlu pengaturan lebih lanjut dengan memperhatikan garis sempadan sungai, agar kelestarian Sungai Lau Berneh tetap terjaga.
Pada Gambar 5.5.b bisa dilihat, pada Kelurahan Gung Leto terdapat 3 (tiga) jalan utama yakni Jalan Mariam Ginting (jalan nasional), Jalan Veteran (jalan provinsi), dan Jalan Kapten Pala Bangun (jalan kabupaten). Seperti yang sudah di jelaskan sebelumnya, Jalan Mariam Ginting dan Jalan Veteran berada pada dataran dengan topografi hampir datar s.d. topografi agak miring begitu juga dengan Jalan
Kapten Pala Bangun, serta relatif mengarah dan menuju topografi curam (sungai).
Sedangkan, jalan kabupaten lainnya dan jalan lokal yang berada pada Kelurahan
Gung Leto berada pada topografi hampir datar s.d. topografi miring, dengan pola jaringan jalan grid. Ditinjau dari konsep jaringan jalan ekologis sesuai teori
Carpenter (1975), jaringan jalan pada Kelurahan Gung Leto belum memenuhi nilai estetika dengan jaringan jalan utama tidak memiliki view, serta tidak ada lingkungan alami yang perlu dijaga kelestarian pada Kelurahan Gung Leto karena selurah wilayahnya berada pada dataran.
Universitas Sumatera Utara 111
Gambar 5.6 Pengaruh Topografi terhadap Jaringan Jalan pada a. Kelurahan padang Mas 2019. b. Kelurahan Lau Cimba 2019 Pada Gambar 5.6.a bisa dilihat, pada Kelurahan Padang Mas bagian tenggara terdapat Jalan Mariam Ginting (jalan nasional) yang berada pada topografi miring s.d. topografi agak curam melintas diatas topografi curam (sungai Lau Biang). Terdapat beberapa jalan kabupaten di antaranya Jalan Lingkar, Jalan Nabung Surbakti, dan
Jalan Irian. Jalan Lingkar melintas di sisi sungai Lau Biang berada pada topografi hampir datar s.d. topografi agak miring serta paralel terhadap topografi curam
(Sungai Lau Biang). Jalan Nabung Surbakti dan Jalan Irian yang berada pada bagian tengah Kelurahan Padang Mas berada pada topogrfi hampir datar s.d. topografi miring serta relatif paralel terhadap topografi curam (Sungai Lau Biang dan Sungai
Lau Cimba). Sedangkan jalan lokal yang berada pada pusat kelurahan merupakan jalan lokal privat pada kawasan militer dengan topogrofi hampir datar dan jalan lokal yang berada pada bagian barat laut keluruhan berada pada topografi hampir datar
Universitas Sumatera Utara 112
serta membentuk pola grid organik. Ditinjau dari konsep jaringan jalan ekologis sesuai teori Carpenter (1975), jaringan jalan pada Kelurahan Padang Mas sudah memenuhi nilai estetika dengan jaringan jalan utama memiliki view ke
Gunung Sinabung, serta pengembangan jaringan jalan lingkar pada Kelurahan
Padang Mas sudah mempertimbangkan kelestarian Sungai Biang karena sesuai tidak melewati garis sempadan sungai.
Pada Gambar 5.6.b bisa dilihat, pada Kelurahan Lau Cimba terdapat Jalan
Rakoetta Brahmana (jalan provinsi) yang melintas dari arah timur laut menuju barat daya berada pada dataran dengan topografi hampir datar s.d. topografi miring, serta paralel terhadap topografi curam (Sungai Lau Cimba dan Lau Biang). Terdapat beberapa jalan kabupaten pada Kelurahan Lau Cimba di antaranya Jalan Masjid,
Jalan Riahna, dan Jalan Lingkar. Jalan Masjid merupakan feeder dari jalan provinsi yang melintas pada topografi agak miring s.d. topografi miring dan paralel terhadap topografi curam (Sungai Lau Cimba). Jalan Riahna melintas pada topografi hampir datar s.d. topografi agak miring relatif paralel terhadap topografi curam (Sungai Lau
Biang). Sedangkan, Jalan Lingkar berada pada sisi sungai dan melintas pada dataran dengan topografi hampir datar s.d. topografi agak miring serta paralel terhadap topografi curam (Sungai Lau Biang). Jalan lokal sendiri pada kelurahan ini berpola grid organik dan terpusat pada topografi hampir datar. Ditinjau dari konsep jaringan jalan ekologis sesuai teori Carpenter (1975), jaringan jalan pada
Universitas Sumatera Utara 113
Kelurahan Lau Cimba sudah memenuhi nilai estetika dengan jaringan jalan utama memiliki view ke Gunung Sinabung, serta pengembangan jaringan jalan lingkar pada Kelurahan Lau Cimba sudah mempertimbangkan kelestarian
Sungai Biang karena sesuai dengan garis sempadan sungai.
Gambar 5.7 Pengaruh Topografi terhadap Jaringan Jalan pada a. Desa Kacaribu 2019, b. Desa Lau Simomo 2019 Pada Gambar 5.7.a bisa dilihat, pada Desa Kacaribu terdapat Jalan Kota
Cane (jalan provinsi) yang melintasi dataran dengan topografi hampir datar s.d. topografi agak miring dan paralel di antara topografi curam (Sungai Lau Cimba sebelah utara dan Sungai Lau Biang sebelah selatan). Terdapat juga Jalan Lingkar
(jalan kabupaten) yang melintas di sisi utara topografi curam (Sungai Lau Biang) yang berada pada topografi hampir datar s.d. topografi agak miring dan lateral terhadap topografi curam (Sungai Lau Biang). Serta, terdapat sejumlah jalan lokal pada Desa Kacaribu yang melintas pada topografi hampir datar s.d. topografi agak miring membetuk pola jaringan jalan spinal. Ditinjau dari konsep jaringan jalan
Universitas Sumatera Utara 114
ekologis sesuai teori Carpenter (1975), jaringan jalan pada Desa Kacaribu sudah memenuhi nilai estetika dengan jaringan jalan utama memiliki view ke
Gunung Sinabung, serta jaringan jalan utama yang paralel terhadap 2 (dua) sungai sudah memenuhi pertimbangan kelestarian lingkungan sungai.
Pada Gambar 5.7.a bisa dilihat, pada Desa Lau Simomo bagian barat daya terdapat Jalan Kota Cane (jalan provinsi) yang melintas pada topografi agak miring s.d. topografi miring bersilangan dengan topografi curam (Sungai Lau Biang). Jalan lokal yang menuju permukiman pada Desa Lau Simomo melintas pada topografi hampir datar s.d. topografia agak miring yang awalnya berasal dari jalan provinsi membentuk pola jaringan jalan tributari. Serta, jalan lokal yang berada perkampungan terdapat jaringan jalan dengan pola grid organik yang berada pada topografi hampir datar. Ditinjau dari konsep jaringan jalan ekologis sesuai teori Carpenter
(1975), jaringan jalan pada Desa Lau Simomo belum memenuhi nilai estetika dengan jaringan jalan utama tidak memiliki view, serta jaringan jalan utama dan jaringan jalan lingkunan perlu pengaturan lebih lanjut karena beberapa melewati garis sempadan sungai. Bila tidak ditangani dengan serius, kelestarian lingkungan sungai akan terganggu dan diprediksi akan timbul masalah serius berupa longsor dan masalah lainnya.
Universitas Sumatera Utara 115
Gambar 5.8 Pengaruh Topografi terhadap Jaringan Jalan pada Desa Kandibata 2019 Pada Gambar 5.8 bisa dilihat, pada Desa Lau Kandibata terdapat Jalan Kota
Cane (jalan provinsi) yang melintas pada topografi miring s.d. topografi curam dan melintas topografi curam (Sungai Lau Biang) pada bagian utara jalan provinsi tersebut. Dan pada jalan provinsi tersebut bagian selatan melintas pada topografi agak miring s.d. topografi agak curam lateral terhadap topografi curam (Sungai Lau
Biang). Sedangkan, jalan lokal yang berada pada Desa Kandibata melintas pada topografi hampir datar s.d. topografi agak miring membentuk pola jaringan jalan spinal. Ditinjau dari konsep jaringan jalan ekologis sesuai teori Carpenter
(1975), jaringan jalan pada Desa Kandibata belum memenuhi nilai estetika dengan jaringan jalan utama tidak memiliki view, serta jaringan jalan utama dan jaringan jalan lingkungan perlu pengaturan lebih lanjut karena melewati garis sempadan Sungai Biang, untuk menjaga kelestarian sungai.
Universitas Sumatera Utara 116
Dari pembahasahan mengenai hasil kajian pengaruh topografi terhadap sistem jaringan jalan tiap-tiap desa dan kelurahan pada Kecamatan Kabanjahe tersebut, ditemukan gambaran yang jelas tentang kecenderungan jaringan jalan yang dibentuk oleh jalan utama dari jalan kabupaten dan jalan lokal pada topografi hampir datar s.d topografi agak miring. Untuk lebih jelas mengenai pembahasan dari hasil kajian pengaruh topografi terhadap kecenderungan bentuk jaringan jalan pada jalan utama pada jalan nasional dan jalan provinsi bisa dilihat pada pada Gambar 5.9
(bentuk jalan nasional) dan Gambar 5.10 (bentuk jalan provinsi).
Gambar 5.9 Kajian Pengaruh Topografi terhadap Bentuk Jalan Nasional 2019
Universitas Sumatera Utara 117
Pada Gambar 5.9 bisa dilihat, pengaruh topografi terhadap bentuk jalan nasional pada Kecamatan Kabanjahe. Jalan nasional tersebut gabungan dari Jalan
Letjend. Jamin Ginting dan Jalan Mariam Ginting. Jalan Letjend. Jamin Ginting pada
Kecamatan Kabanjahe dengan panjang ruas jalan ± 8,76 km melintas dari Desa
Sumber Mufakat (ketinggian ± 1.325 mdpl) - Kelurahan Ketaren - Desa Samura -
Kelurahan Kampung Dalam - Kelurahan Gung Negeri - Kelurahan Gung Leto
(ketinggian ± 1.208,75 mdpl). Jalan Letjend. Jamin Ginting tersebut berada pada dataran di antara 2 aliran sungai Lau Berneh dan Lau Biang (topografi curam) melintas pada dataran yang relatif lebih rendah dibandingkan dataran pada sisi- sisinya yang lebih tinggi. Dikarenakan topografi pada daerah di antara kedua sungai itu yang dilintasi jalan nasional memiliki topografi hampir datar s.d. topografi agak miring sehingga membentuk Jalan Letjend. Jamin Ginting paralel terhadap Sungai
Lau Berneh. Bentuk jalan tersebut pada Desa Sumber Mufakat ruas jalan dari arah utara ke arah selatan, pada Kelurahan Ketaren ruas jalan dari arah utara ke arah selatan barat daya, serta pada Kelurahan Kampung dalam dan Kelurahan Gung
Negeri ke arah Kelurahan Gung Leto jalan bentuk ruas jalannya dari arah selatan barat daya berakhir di arah barat daya.
Pada Jalan Mariam Ginting (jalan nasional) dengan panjang jalan ±2,07 km melintas dan sebagai pembatas antara Kelurahan Gung Negeri dengan Kelurahan
Gung Leto serta pembatas Gung Negeri dengan Kelurahan Padang Mas. Karakter
Universitas Sumatera Utara 118
topografi sebagai pembatas Kelurahan Gung Negeri - Kelurahan Gung Leto adalah menurun dengan topografi hampir datar s.d. topografi agak miring membentuk ruas jalan dari arah timur laut ke arah barat daya. Sedangkan, pada jalan yang berfungsi pada sebagai pembatas Kelurahan Gung Negeri - Kelurahan Padang Mas membentuk ruas jalan dari arah timur laut ke arah selatan barat daya (topografi agak miring) dan berujung ke arah selatan tenggara berakhir pada kelok Sungai Lau Biang (topografi miring). Sehingga, dapat diambil kesimpulan bahwa jalan nasional pada Kecamatan
Kabanjahe yang berfungsi sebagai aksesbilitas utama berada pada dataran yang relatif rendah dan melintas pada topografi hampir datar s.d. topografi agak miring, namun saat melintas pada topografi curam (jembatan) berada pada topografi miring.
Gambar 5.10 Kajian Pengaruh Topografi terhadap Bentuk Jalan Provinsi 2019
Universitas Sumatera Utara 119
Pada Gambar 5.10 bisa dilihat pengaruh topografi terhadap bentuk jalan provinsi pada Kecamatan Kabanjahe, jalan provinsi merupakan gabungan antara Jl.
Veteran - Jl. Kapten Bangsi Sembiring - Jl. Rakoetta Brahmana - Jl. Kota Cane.
Pembahsan dari hasil kajian pengaruh topografi terhadap setiap ruas jalan provinsi akan Penulis uraikan masing-masing sebagai berikut: Jl. Veteran yang berawal dari persimpangan dengan jalan nasional melintas pada topografi hampir datar menuju ke arah Junction Sungai Lau Berner dan Sungai Lau Cimba. Jl. Kapten Bangsi
Sembiring melintas pada topografi hampir datar s.d. topografi agak miring dengan bentuk paralel terhadap topografi curam (Sungai Lau Cimba). Jl. Rakoetta Brahmana melintas pada topografi hampir datar s.d. topografi agak miring, berada pada dataran di antara Sungai Lau Cimba dengan Lau Biang dengan bentuk paralel lateral terhadap topografi curam tersebut. Sedangkan, Jl. Kota Cane pada awalnya melintas pada topografi agak miring, dan pada saat menyebrang topografi curam (Sungai Lau
Biang) melintas pada topografi agak miring s.d. topografi agak curam.
Dari kajian pengaruh topografi terhadap jaringan jalan pada setiap desa dan kelurahan serta bentuk jalan nasional dan jalan provinsi pada Kecamatan Kabanjahe dapat ditarik kesimpulan bahwa sesuai dengan teori dari Sumaatmadja (1998) yang menyatakan faktor yang mempengaruhi fungsi rendahnya aksesbilitas adalah topografi, sebab dapat menjadi penghalang bagi kelancaran untuk mengadakan interaksi di suatu daerah. Ditemukan jalan utama (jalan nasional, jalan provinsi dan
Universitas Sumatera Utara 120
jalan kabupaten) cenderung melintas dan berada pada topografi hampir datar s.d. topografi agak miring, kecuali pada jalan utama yang direntangkan (jembatan) di atas topografi curam s.d. topografi sangat curam (sungai) cenderung berada pada topografi miring s.d. topografi agak curam. Jalan lokal yang berada pada dataran dengan topografi hampir datar cenderung membentuk pola grid. Jalan lokal yang berada pada dataran dengan topografi agak miring membentuk pola jaringan grid organik. Jaringan jalan lokal yang berada pada dataran dengan topografi agak miring membentuk pola jaringan tributari. Sedangkan, jaringan jalan yang berada pada dataran dengan topografi miring membentuk pola jaringan spinal.
5.2. Kajian Pengaruh Topografi terhadap Perletakan Massa Bangunan pada Kecamatan Kabanjahe
Berangkat dari permasalahan penelitian berupa bagaimana pengaruh topografi terhadap perletakan massa bangunan (pola bangunan) pada Kecamatan
Kabanjahe Penulis menjadikan teori dari De Chiara (1997) sebagai rujukan. De
Chiara (1997) mengemukakan bahwa topografi menjadi dasar pertimbangan perletakan massa bangunan pada daerah yang memikili kondisi berkontur, tatanan bangunan pada umumnya dibuat dengan mengikuti arah kontur agar dapat meminimalisir cut dan fill sehingga dapat menjaga keadaaan topografi alaminya.
Untuk lebih jelas mengenai gambaran pengaruh topografi terhadap perletakan massa bangunan pada Kecamatan Kabanjahe bisa dilihat pada Gambar 5.11.
Universitas Sumatera Utara 121
Gambar 5.11 Pengaruh Topografi terhadap Perletakan Massa Bangunan pada Kecamatan Kabanjahe
Universitas Sumatera Utara 122
Pada Gambar 5.11 bisa dilihat pengaruh topografi terhadap perletakan massa bangunan pada Kecamatan Kabanjahe, di mana secara keselurahan perletakan massa bangunan berbentuk radial dengan konfigurasi massa bangunan/lingkungan tidak jelas. Bentuk perletakan massa bangunan radial tersebut merupakan kombinasi dari bentuk terpusat (inti radial) dan bentuk lengan-lengan radial. Perletakan massa bangunan dengan bentuk terpusat (padat) berada pada dataran dengan karakter topografi hampir datar s.d. topografi agak miring pada kawasan perkotaan Kecamatan
Kabanjahe. Sedangkan, perletakan massa bangunan dengan bentuk lengan-lengan yang berasal dari inti radial (perkotaan) berada pada dataran dengan karakter topografi hampir datar s.d. topografi miring ke arah perdesaan Kecamatan Kabanjahe.
Secara umum bila ditinjau dari kajian dari tingkat kecamatan, perletakan massa bangunan sangat dipengaruhi dan menyesuaikan dengan kondisi topografi. Di mana pada topografi hampir datar perletakan massa bangunan berbentuk terpusat dan padat. Pada topografi agak miring perletakan massa bangunan kepadatan bangunan tergolong sedang. Sedangkan pada topografi miring perletakaan massa bangunan linear terhadap jalan dengan kepadatan bangunan renggang.
Setelah meninjau pengaruh topografi terhadap perletakan massa bangunan pada Kecamatan Kabanjahe 2019, selanjutnya Penulis akan menilai konfigurasi perletakan massa bangunan dengan kesesuaiannya terhadap teori Kustianingrum.
(2012) tentang perletakan massa bangunan dengan konsep ekologi. Kustianingrum
Universitas Sumatera Utara 123
(2012) mengemukakan penyesuaian bangunan hunian pada kontur (topografi) adalah pedoman utama. Untuk lebih jelasnya mengenai pembahasan dari hasil kajian pengaruh topografi terhadap perletakan massa bangunan pada tingkat kecamatan,
Penulis akan menjelaskan pembahasan dari hasil kajian tiap-tiap desa dan kelurahan pada Kecamatan Kabanjahe pada Gambar 5.12 s.d. Gambar 5.18.
Gambar 5.12 Pengaruh Topografi terhadap Perletakan Massa Bangunan pada a. Desa Kaban 2019, b. Desa Sumber Mufakat 2019 Pada Gambar 5.12.a bisa dilihat, perletakan massa bangunan pada Desa
Kaban sangat dipengaruhi oleh topografi. Di mana perletakan massa bangunan memadat dan terpusat pada topografi hampir datar s.d topografi agak miring. Serta, perletakan massa bangunan tersebut cenderung berdekatan dengan sumber air (Sungai
Lau Berneh) dengan karakter tepian sungai topografi agak miring. Secara keseluruhan perletakan massa bangunan pada Desa Kaban membentuk pola konfigurasi bangunan organis dengan tipologi elemen ruang (urban void) sistem terbuka linear. Ditinjau
Universitas Sumatera Utara 124
dari konsep perletakan massa bangunan berdasarkan teori Kustianingrum (2012), konfigurasi bangunan organis dengan tipologi elemen ruang terbuka linear yang terbentuk pada Desa Kaban sudah sesuai dengan konsep ekologis, karena perletakan massa-massa bangunan menyesuaikan terhadap kondisi topografi. Sebab, massa bangunan diletakkan pada topografi hampir datar s.d. topografi landai menghindari proses cut dan fill dapat dihindari, sehingga bentuk topografi tanah tetap terjaga.
Namun, perlu perhatian khusus terhadap perletakan massa bangunan yang cenderung mengarah ke sungai untuk menghindari longsor akibat berkurangnya kekuatan tanah akibat kurangnya sabuk hijau.
Pada Gambar 5.12.b bisa dilihat, perletakan massa bangunan pada Desa
Sumber Mufakat berkembang linear terhadap jalan nasional. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, jalan nasional sangat dipengaruhi dan cenderung melintas pada topografi hampir datar s.d topografi agak miring. Sehingga, perletakaan massa bangunan cenderung membentuk lengan radial dengan kepadatan bangunan sedang pada jalan utama. Sedangkan, pada topografi hampir datar pada Desa Sumber
Mufakat perletakan massa bangunan cenderung memadat. Secara kesuluruhan perletakan massa bangunan pada Desa Sumber Mufakat membentuk pola konfigurasi bangunan organis dengan tipologi elemen ruang (urban void) sistem terbuka linear.
Ditinjau dari konsep perletakan massa bangunan berdasarkan teori Kustianingrum
(2012), konfigurasi bangunan organis dengan tipologi elemen ruang terbuka linear
Universitas Sumatera Utara 125
yang terbentuk pada Desa Sumber Mufakat sudah sesuai dengan konsep ekologis, karena perletakan massa-massa bangunan menyesuaikan terhadap kondisi topografi.
Sebab, massa bangunan diletakkan pada topografi datar s.d. topografi landai menghindari proses cut dan fill dapat dihindari, sehingga bentuk topografi tanah tetap terjaga. Namun, perlu perhatian khusus terhadap perletakan massa bangunan yang cenderung mengarah ke sungai untuk menghindari longsor akibat berkurangnya kekuatan tanah dan tidak adanya sabuk hijau.
Gambar 5.13 Pengaruh Topografi terhadap Perletakan Massa Bangunan pada a.Kelurahan Rumah Kabanjahe 2019, b. Kelurahan Ketaren 2019 Pada Gambar 5.13.a bisa dilihat, pada bagian tengah Kelurahan Rumah
Kabanjahe perletakan massa bangunan memadat dan terpusat pada topografi hampir datar dan relatif berdekatan dengan kelokan sungai Sungai Lau Berneh dengan tepian sungai berkarakter topografi curam. Sedangkan, pada bagian barat daya kelurahan perletakan massa bangunan linear terhadap jalan provinsi dan berada pada topografi
Universitas Sumatera Utara 126
agak miring s.d. topografi miring. Secara kesuluruhan perletakan massa bangunan pada Kelurahan Rumah Kabanjahe membentuk pola konfigurasi bangunan organis dengan tipologi elemen ruang (urban void) sistem terbuka linear. Ditinjau dari konsep perletakan massa bangunan berdasarkan teori Kustianingrum (2012), konfigurasi bangunan organis dengan tipologi elemen ruang terbuka linear yang terbentuk pada
Desa Rumah Kabanjahe sudah sesuai dengan konsep ekologis, karena perletakan massa-massa bangunan menyesuaikan terhadap kondisi topografi. Sebab, massa bangunan diletakkan pada topografi datar s.d. topografi landai menghindari proses cut dan fill dapat dihindari, sehingga bentuk topografi tanah tetap terjaga. Namun, perlu perhatian khusus terhadap perletakan massa bangunan yang cenderung mengarah ke sungai untuk menghindari longsor akibat berkurangnya kekuatan tanah dan tidak adanya sabuk hijau.
Pada Gambar 5.13.b bisa dilihat, perletakan massa pada Kelurahan Ketaren perkembangannya linear terhadap jalan nasional dengan karakter topografi hampir datar s.d. topografi agak miring. Perletakan massa bangunan pada bagian selatan kelurahan berkembang ke arah timur dan barat pada karakter topografi agak miring s.d. topografi miring. Secara keseluruhan perletakan massa bangunan pada Kelurahan
Kampung Dalam membentuk pola konfigurasi bangunan organis dengan tipologi elemen ruang (urban void) sistem terbuka linear. Ditinjau dari konsep perletakan massa bangunan berdasarkan teori Kustianingrum (2012), konfigurasi bangunan
Universitas Sumatera Utara 127
organis dengan tipologi elemen ruang terbuka linear yang terbentuk pada Kelurahan
Ketaren sudah sesuai dengan konsep ekologis, karena perletakan massa-massa bangunan menyesuaikan terhadap kondisi topografi. Sebab, massa bangunan diletakkan pada topografi datar s.d. topografi landai menghindari proses cut dan fill dapat dihindari, sehingga bentuk topografi tanah tetap terjaga. Namun, perlu perhatian khusus terhadap perletakan massa bangunan yang cenderung mengarah ke sungai khususnya pada wilayah barat untuk mencegah longsor akibat berkurangnya kekuatan tanah dan tidak adanya sabuk hijau.
Gambar 5.14 Pengaruh Topografi terhadap Perletakan Massa Bangunan pada a. Desa Samura 2019, b. Kelurahan Gung Negeri 2019 Pada Gambar 5.14.a bisa dilihat, pada Desa Samura perletakan massa bangunan pada bagian barat kelurahan menyebar terpusat pada topografi hampir datar. Perletakan massa bangunan pada dibatasi oleh topografi curam s.d. topografi sangat curam (Sungai Lau Biang). Secara keseluruhan perletakan massa bangunan
Universitas Sumatera Utara 128
pada Desa Samura membentuk pola konfigurasi bangunan organis dengan tipologi elemen ruang (urban void) sistem terbuka linear. Ditinjau dari konsep perletakan massa bangunan berdasarkan teori Kustianingrum (2012), konfigurasi bangunan organis dengan tipologi elemen ruang terbuka linear yang terbentuk pada Desa
Samura pada beberapa titik tidak sesuai dengan konsep ekologis, karena perletakan massa-massa bangunan yang diupayakan (skala besar) dengan mengubah bentuk permukaan tanah dan melewati garis sempadan sungai. Sehingga, butuh penanganan lebih lanjut untuk mencegah bencana pergerakan tanah (longsor) akibat berkurangnya kekutan tanah akibat proses cut dan fill dan berkurangnya sabuk hijau di tepian sungai.
Pada Gambar 5.14.b bisa dilihat, pada Kelurahan Gung Negeri perletakan massa bangunan relatif kepadatan sedang pada topografi hampir datar. Sedangkan, perletakan massa bangunan pada bagian selatan kelurahan terkendala disebabkan karakter kontur tanah yang berada pada topografi miring s.d. topografi agak curam ke arah Sungai Lau Biang. Secara kesuluruhan perletakan massa bangunan pada
Keluruhan Gung Negeri membentuk pola konfigurasi bangunan organis dengan tipologi elemen ruang (urban void) sistem terbuka linear. Ditinjau dari konsep perletakan massa bangunan berdasarkan teori Kustianingrum (2012), konfigurasi bangunan organis dengan tipologi elemen ruang terbuka linear yang terbentuk pada
Kelurahan Gung Negeri pada beberapa titik tidak sesuai dengan konsep ekologis,
Universitas Sumatera Utara 129
karena perletakan massa-massa bangunan yang diupayakan dengan mengubah bentuk permukaan tanah dan melewati garis sempadan sungai, terutama pada daerah yang berada pada topografi agak curam (bagian selatan kelurahan). Sehingga, butuh penanganan lebih lanjut untuk mencegah bencana pergerakan tanah (longsor) akibat berkurangnya kekutan tanah akibat proses cut dan fill dan berkurangnya sabuk hijau di tepian sungai.
Gambar 5.15 Pengaruh Topografi terhadap Perletakan Massa Bangunan pada a. Kelurahan Kampung Dalam 2019, b. Kelurahan Gung Leto 2019 Pada Gambar 5.15.a bisa dilihat, pada Kelurahan Kampung Dalam perletakan massa bangunan pada bagian selatan cukup padat pada topografi hampir datar. Sedangkan, pada bagian utara Kelurahan Kampung dalam perletakan massa bangunan relatif renggang pada topografi agak miring. Secara keseluruhan perletakan massa bangunan pada Kelurahan Kampung Dalam membentuk pola konfigurasi bangunan organis dengan tipologi elemen ruang (urban void) sistem terbuka linear.
Ditinjau dari konsep perletakan massa bangunan berdasarkan teori Kustianingrum
(2012), konfigurasi bangunan organis dengan tipologi elemen ruang terbuka linear
Universitas Sumatera Utara 130
yang terbentuk pada Kelurahan Kampung Dalam pada bagian utara kelurahan tidak sesuai dengan konsep ekologis, karena perletakan massa bangunan sudah menjurus melewati garis sempadan sungai (sungai tanpa tanggul) sehingga bila tidak ditangani lebih lanjut diprediksi terjadi pergeseran tanah (longsor) pada daerah tersebut.
Pada Gambar 5.16.a bisa dilihat, pada Kelurahan Gung Leto perletakan massa bangunan tersebar padat merata pada topografi hampir datar. Perletakan massa bangunan pada Kelurahan Gung Leto membentuk pola konfigurasi bangunan grid dengan tipologi elemen ruang (urban void) sistem tertutup. Ditinjau dari konsep perletakan massa bangunan berdasarkan teori Kustianingrum (2012), konfigurasi bangunan grid dengan tipologi elemen ruang sistem tertutup yang terbentuk pada
Kelurahan Gung Leto sudah memenuhi konsep ekologis tidak ditemukan cut dan fill.
Gambar 5.16. Pengaruh Topografi terhadap Perletakan Massa Bangunan pada a. Kelurahan Padang Mas 2019, b. Kelurahan Lau Cimba 2019 Pada Gambar 5.16.a bisa dilihat, pada Kelurahan Padang Mas perletakan massa bangunan terdiri dari dua karakter. Pertama, pada bagian utara kelurahan
Universitas Sumatera Utara 131
perletakan massa bangunan memadat (sangat padat) dan terpusat pada topografi hampir datar s.d. topografi agak miring. Perletakan massa bangunan pada Kelurahan
Padang Mas bagian utara membentuk pola konfigurasi bangunan grid dengan tipologi elemen ruang (urban void) sistem tertutup. Kedua, pada bagian selatan kelurahan perletakan massa bangunan tergolong kepadatan bangunan jarang pada topografi hampir datar s.d topografi miring. Perletakan massa bangunan pada Kelurahan
Padang Mas bagian selatan membentuk pola konfigurasi bangunan organis dengan tipologi elemen ruang (urban void) sistem terbuka linier. Ditinjau dari konsep perletakan massa bangunan berdasarkan teori Kustianingrum (2012), konfigurasi bangunan organis dengan tipologi elemen ruang terbuka linear yang terbentuk pada
Kelurahan Padang Mas pada bagian selatan kelurahan tidak sesuai dengan konsep ekologis, karena perletakan massa bangunan sudah menjurus melewati garis sempadan sungai (sungai tanpa tanggul) sehingga bila tidak ditangani lebih lanjut diprediksi terjadi pergeseran tanah (longsor) pada daerah tersebut.
Pada Gambar 5.16.b bisa dilihat, pada Kelurahan Lau Cimba perletakan massa bangunan juga terdiri dari dua karakter. Pertama, pada bagian timur laut kelurahan perletakan massa bangunan memadat (sangat padat) dan terpusat pada topografi hampir datar. Perletakan massa bangunan pada Kelurahan Lau Cimba bagian timur laut membentuk pola konfigurasi bangunan grid dengan tipologi elemen ruang (urban void) sistem terbuka linier. Kedua, pada bagian kelurahan lainnya
Universitas Sumatera Utara 132
perletakan massa bangunan menyebar dengan kepadatan bangunan sedang.
Perletakan massa bangunan pada bagian tersebut membentuk pola konfigurasi bangunan organis dengan tipologi elemen ruang (urban void) sistem terbuka linier.
Ditinjau dari konsep perletakan massa bangunan berdasarkan teori Kustianingrum
(2012), konfigurasi bangunan organis dengan tipologi elemen ruang terbuka linear yang terbentuk pada Kelurahan Lau Cimba pada bagian selatan dan utara kelurahan tidak sesuai dengan konsep ekologis, karena perletakan massa bangunan sudah menjurus melewati garis sempadan sungai (sungai tanpa tanggul) sehingga bila tidak ditangani lebih lanjut diprediksi terjadi pergeseran tanah (longsor) pada daerah tersebut.
Gambar 5.17 Pengaruh Topografi terhadap Perletakan Massa Bangunan pada a. Desa Kacaribu 2019, b. Desa Lau Simomo 2019 Pada Gambar 5.17.a bisa dilihat, pada Desa Kacaribu perletakan massa bangunan menyebar dengan kepadatan jarang pada topografi hampir datar s.d. topografi agak miring linier terhadap jaringan jalan provinsi. Perletakan massa
Universitas Sumatera Utara 133
bangunan pada Desa Kacaribu membentuk pola konfigurasi bangunan kurvilinear dengan tipologi elemen ruang (urban void) sistem terbuka terbuka linear. Ditinjau dari konsep perletakan massa bangunan berdasarkan teori Kustianingrum (2012), konfigurasi bangunan organis dengan tipologi elemen ruang terbuka linear yang terbentuk pada Desa Kacaribu pada bagian selatan desa tidak sesuai dengan konsep ekologis, karena perletakan massa bangunan sudah menjurus melewati garis sempadan sungai (sungai tanpa tanggul) dan dalam prosesnya melakukan cut dan fill sehingga bila tidak ditangani lebih lanjut diprediksi terjadi pergeseran tanah (longsor) pada daerah tepian Sungai Biang.
Pada Gambar 5.18.a bisa dilihat, pada Desa Lau Simomo perletakan massa bangunan tersebar terpusat dengan kepadatan sedang pada topografi hampir datar.
Perletakan massa bangunan pada Desa Lau Simomo secara keseluruhan membentuk pola konfigurasi bangunan organis dengan tipologi elemen ruang (urban void) sistem terbuka linier. Ditinjau dari konsep perletakan massa bangunan berdasarkan teori
Kustianingrum (2012), konfigurasi bangunan organis dengan tipologi elemen ruang terbuka linear yang terbentuk pada Desa Lau Simomo pada beberapa perkampungan sesuai dengan konsep ekologis, karena perletakan massa bangunan sudah menjurus melewati garis sempadan sungai (sungai tanpa tanggul) dan dalam prosesnya melakukan cut dan fill sehingga bila tidak ditangani lebih lanjut diprediksi terjadi pergeseran tanah (longsor).
Universitas Sumatera Utara 134
Gambar 5.18 Pengaruh Topografi terhadap Perletakan Massa Bangunan pada Desa Kandibata 2019 Pada Gambar 5.18 bisa dilihat, pada Desa Kandibata perletakan massa bangunan tersebar terpusat dengan kepadatan tinggi pada topografi hampir datar s.d. topografi agak miring. Bagian ditunjuk dengan huruf “A”, merupakan permukiman pada Desa Kandibata yang cukup padat dengan kepadatan tinggi didukung oleh topografi hampir datar, serta terdapat jalur jalan utama (jalan provinsi) dan berdekatan dengan Sungai Lau Biang. Secara keseluruhan, perletakan massa bangunan pada Desa Kandibata membentuk pola konfigurasi bangunan organis dengan tipologi elemen ruang (urban void) sistem terbuka linier. Ditinjau dari konsep perletakan massa bangunan berdasarkan teori Kustianingrum (2012), konfigurasi bangunan organis dengan tipologi elemen ruang terbuka linear yang terbentuk pada
Desa Kandibata pada beberapa daerah tidak sesuai dengan konsep ekologis, karena
Universitas Sumatera Utara 135
perletakan massa bangunan sudah menjurus melewati garis sempadan sungai (sungai tanpa tanggul) dan dalam prosesnya melakukan cut dan fill sehingga bila tidak ditangani lebih lanjut diprediksi terjadi pergeseran tanah (longsor).
Berdasarkan kajian pengaruh topografi terhadap perletakan massa bangunan pada tiap-tiap desa dan kelurahan pada Kecamatan Kabanjahe ditemukan bahwa perletakan massa bangunan sangat dipengaruhi faktor topografi (bagian dari bentuk alam), serta juga dipengaruhi letak jalan, letak sungai (sumber air), dan lingkungan sekitarnya. Penemuan tersebut menjawab analisis mengenai pengaruh topografi terhadap perletakan massa bangunan pada Kecamatan Kabanjahe sekaligus memperkuat teori dari De Chiara (1997) yang mengemukakan, topografi menjadi dasar pertimbangan perletakan massa bangunan pada daerah yang memikili kondisi berkontur.
5.3 Kajian Pengaruh Bentuk Alam terhadap Penggunaan Lahan pada Kecamatan Kabanjahe
Berangkat dari permasalahan penelitian berupa bagaimana pengaruh bentuk alam terhadap penggunaan lahan pada Kecamatan Kabanjahe Penulis menjadikan teori dari Sandy (1995) sebagai rujukan. Sandy (1995) mengemukakan, perbedaan jenis penggunaan lahan suatu perkotaan merupakan dampak dari segala kegiatan manusia di atas muka bumi yang dipengaruhi oleh bentuk alam (fisik lingkungan).
Oleh karena itu, Penulis akan menjelaskan hasil dan pembahasan kajian pengaruh
Universitas Sumatera Utara 136
bentuk alam terhadap penggunaan lahan pada Kecamatan Kabanjahe. Untuk lebih jelas mengenai penjelasan hasil dan pembahasannya terlebih dahulu bisa melihat
Gambar 5.19.
Universitas Sumatera Utara 137
Gambar 5.19 Pengaruh Bentuk Alam terhadap Penggunaan Lahan pada Kecamatan Kabanjahe pada Tahun 2019
Universitas Sumatera Utara 138
Pada Gambar 5.19 bisa dilihat pengaruh bentuk alam terhadap penggunaan lahan pada Kecamatan Kabanjahe, di mana secara umum penggunaan lahan bila ditinjau dari wilayah kecamatan terdiri dari 3 (tiga) karakteristik yang sangat dipengaruhi bentuk alam (bentang alam). Pertama, pada bentang alam Dataran Kaki
(Volcanic Foot Plain) Gunung Api Sibayak penggunaan lahan didominasi lahan pertanian, perumahan, komersial (perdagangan/jasa), dan sabuk hijau pada bentuk alam variatif di antaranya datar s.d. lereng sangat terjal serta bentuk alam sungai dan bukit. Kedua, pada bentang alam Dataran Aluvial (Fluvio-volcanic Plain) Gunung
Api Sibayak penggunaan lahan lebih variatif didominasi perumahan, komersial
(perdagangan/jasa), perkantoran, kawasan militer, lahan pertanian, sabuk hijau, dsb. pada bentuk alam dominan lereng datar s.d. lereng landai, namun dikelilingi lereng terjal dan sungai. Ketiga, pada bentang alam Dataran Kaki (Volcanic Foot Plain)
Gunung Api Raksasa Toba penggunaan lahan didominasi penggunaan lahan pertanian, sabuk hijau, perumahan, komersial (perdagangan/jasa), dan aneka industri pada bentuk alam variatif di antaranya datar s.d. lereng sangat terjal serta bentuk alam sungai.
Secara umum bila ditinjau dari kajian dari tingkat kecamatan, penggunaan lahan sangat dipengaruhi oleh kondisi bentuk alam. Di mana pada bentang alam dataran aluvial (Fluvio-volcanic Plain) yang dominan dengan bentuk alam datar s.d. lereng landai penggunaan lahan didominasi komersial (perdagangan/jasa),
Universitas Sumatera Utara 139
perkantoran, dan permukiman. Sedangkan, pada bentang alam yang lebih ekstrim pada dataran kaki (Volcanic Foot Plain) dengan bentuk alam datar s.d. lereng sangat terjal, sungai, dan bukit penggunaan lahan didominasi lahan pertanian, sabuk hijau, dan perumahan.
Setelah meninjau pengaruh bentuk alam terhadap penggunaan lahan pada
Kecamatan Kabanjahe 2019, selanjutnya Penulis akan menilai dari konsep ekologis kondisi desa dan kelurahan berada pada tahapan perkembangan jenis apa. Dengan pendekatan hubungan struktural ekologis dan hubungan fungsional ekologis menurut teori yang di kemukakan Dusuqy (2008). Dusuqy (2008) dalam teori Eko-teologi
Integralistiknya mengemukakan untuk penyelidikan dan memahami ekologi terdapat beberapa hubungan yang dapat digunakan untuk kajian dengan pendekatan ekologi beberapa di antaranya adalah hubungan struktural dan hubungan fungsional.
Untuk lebih jelasnya mengenai pembahasan dari hasil kajian pengaruh bentuk alam terhadap penggunaan lahan pada tingkat kecamatan, Penulis akan menjelaskan pembahasan dari hasil kajian tiap-tiap desa dan keluhan pada Kecamatan
Kabanjahe pada Gambar 5.20 s.d. Gambar 5.26.
Universitas Sumatera Utara 140
Gambar 5.20 Pengaruh Bentuk Alam terhadap Penggunaan Lahan pada a. Desa Kaban 2019, b. Desa Sumber Mufakat 2019 Pada Gambar 5.20.a bisa dilihat, pada Desa Kaban penggunaan lahan sangat dipengaruhi oleh bentuk alam. Penggunaan lahan didominasi oleh pemanfaatan sebagai lahan pertanian pada bentuk alam lereng landai s.d. lereng senang. Pada bentuk alam bukit (lereng terjal s.d. lereng sangat terjal) penggunaan lahan sebagai perlindungan terhadap kawasan bawahnya. Pada bentuk alam sungai dan tepi sungai yang berupa lereng terjal penggunaan lahan sebagai sabuk hijau (perlindungan rawan bencana alam). Serta, pada bentuk alam datar penggunaan lahan dimanfaatkan sebagai perumahan kepadatan sedang. Ditinjau dari konsep eko-teologi integralistik berdasarkan teori Dusuqy (2008), hasil analisis pengaruh bentuk alam terhadap penggunaan lahan pada Desa Kaban dikategorikan sebagai berikut: secara struktural penggunaan lahan pada tahap ekosentris menuju tahap tradisional dan secara fungsional berada pada tahap peralihan bio-ekosistem menuju geosional sistem.
Universitas Sumatera Utara 141
Pada Gambar 5.20.b bisa dilihat, pada Desa Kaban penggunaan lahan juga dipengaruhi oleh bentuk alam dan letak jalan utama. Penggunaan lahan juga didominasi oleh pemanfaatan sebagai lahan pertanian pada bentuk alam lereng landai s.d. lereng miring. Pada bentuk alam datar dan lereng landai terdapat jalan nasional penggunaan lahan didominasi pemanfaatan sebagai komersial perdagangan/jasa. Pada bentuk alam datar dan lereng landai terdapat jalan lokal penggunan lahan dimanfaatkan sebagai perumahan kepadatan sedang. Serta, pada bentuk alam sungai dan lereng miring s.d. lereng sangat terjal penggunaan lahan sebagai sabuk hijau
(perlindungan rawan bencana alam). Ditinjau dari konsep eko-teologi integralistik berdasarkan teori Dusuqy (2008), hasil analisis pengaruh bentuk alam terhadap penggunaan lahan pada Desa Sumber Mufakat dikategorikan sebagai berikut: secara struktural penggunaan lahan pada tahap ekosentris menuju tahap tradisional dan secara fungsional berada pada tahap peralihan bio-ekosistem menuju geosional sistem.
Universitas Sumatera Utara 142
Gambar 5.21 Pengaruh Bentuk Alam terhadap Penggunaan Lahan pada a. Kelurahan Rumah Kabanjahe 2019, b. Kelurahan Ketaren 2019 Pada Gambar 5.21.a bisa dilihat, pada Kelurahan Rumah Kabanjahe penggunaan lahan sangat dipengaruhi bentuk alam, letak jalan utama, dan kedekatan dengan sumber air dan perkotaan. Penggunaan lahan pada Kelurahan Rumah
Kabanjahe didominasi sebagai pemanfaatan lahan pertanian pada bentuk alam lereng landai s.d. lereng miring. Pada bentuk alam lereng miring s.d lereng curam pada tepian bentuk alam sungai (Sungai Lau Berneh, Sungai Lau Cimba, dan Sungai Lau
Biang) penggunaan lahan sebagai sabuk hijau. Serta, pada bentuk alam datar yang berdekatan dengan perkotaan, jalan utama, dan sungai dimanfaatakan sebagai fungsi penggunaan lahan perumahan kepadatan tinggi, pertambangan (galian C), dan komersial (perdagangan/jasa). Ditinjau dari konsep eko-teologi integralistik berdasarkan teori Dusuqy (2008), hasil analisis pengaruh bentuk alam terhadap penggunaan lahan pada Kelurahan Rumah Kabanjahe dikategorikan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara 143
secara struktural penggunaan lahan pada tahap tradisional menuju tahap antroposentris dan secara fungsional berada pada tahap peralihan bio-ekosistem menuju geosional sistem.
Pada Gambar 5.21.b bisa dilihat, pada Kelurahan Ketaren penggunaan lahan sangat dipengaruhi bentuk alam dan letak jalan utama (jalan nasional). Penggunaan lahan pada Kelurahan Keraren didominasi sebagai pemanfaatan sebagai lahan pertanian pada bentuk alam datar s.d. lereng miring. Pada bentuk alam datar s.d. lereng landai yang dilintasi jalan utama sebagai jalan nasional (Jl. Letjend. Jamin
Ginting) penggunaan lahan didominasi fungsi komersial (perdagangan/jasa), perumahan kepadatan rendah, dan perkantoran pemerintahan. Pada bentuk alam datar s.d. lereng sedang dengan dukungan jalan lokal penggunaan lahan sebagai perumahan dengan kepadatan sedang. Serta, pada bentuk alam lereng miring s.d. lereng terjal pada tepian Sungai Lau Biang dan Sungai Lau Berner sebagai penggunaan lahan sabuk hijau (perlindungan rawan bencana). Ditinjau dari konsep eko-teologi integralistik berdasarkan teori Dusuqy (2008), hasil analisis pengaruh bentuk alam terhadap penggunaan lahan pada Kelurahan Ketaren dikategorikan sebagai berikut: secara struktural penggunaan lahan pada tahap tradisional menuju tahap antroposentris dan secara fungsional berada pada tahap peralihan bio-ekosistem menuju geosional sistem.
Universitas Sumatera Utara 144
Gambar 5.22 Pengaruh Bentuk Alam terhadap Penggunaan Lahan pada a. Desa Samura 2019, b. Kelurahan Gung Negeri 2019 Pada Gambar 5.22.a bisa dilihat, pada Desa Samura penggunaan lahan dipengaruhi bentuk alam dan letak jalan utama. Penggunaan lahan pada Desa Samura didominasi pemanfaatan lahan pertanian pada bentuk alam datar s.d. lereng miring.
Pada bentuk alam datar s.d. lereng landai bagian barat desa dimanfaatkan sebagai penggunaan lahan perumahan kepadatan sedang dan sarana pelayanan umum olahraga (Lapangan Samura). Pada bentuk alam lereng miring s.d. lereng sangat terjal sekitar sungai penggunaan lahan sabagai sabuk hijau (perlindungan rawan bencana) dan kolam ikan. Ditinjau dari konsep eko-teologi integralistik berdasarkan teori
Dusuqy (2008), hasil analisis pengaruh bentuk alam terhadap penggunaan lahan pada
Desa Samura dikategorikan sebagai berikut: secara struktural penggunaan lahan pada tahap antroposentris dan secara fungsional berada pada tahap geosional sistem.
Universitas Sumatera Utara 145
Pada Gambar 5.22.b bisa dilihat, pada Kelurahan Gung Negeri penggunaan lahan juga dipengaruhi bentuk alam dan letak jalan utama. Penggunaan lahan pada
Kelurahan Gung Negeri didominasi pemanfaatan lahan perumahan kepadatan sedang bentuk alam datar s.d. lereng landai, serta pemanfaatan lahan pertanian pada bentuk alam lereng landai s.d. lereng miring. Pada bagian barat kelurahan, pada bentuk alam datar s.d. lereng landai penggunaan lahan sebagai komersial
(peradagangan/jasa), perumahan kepadatan rendah, dan perkantoran pemerintahan.
Serta, pada bagian barat daya kelurahan dengan bentuk alam datar yang cukup luas penggunaan lahan dimanfaatkan sebagai pusat pendidikan dan perkantoran pemerintahan. Ditinjau dari konsep eko-teologi integralistik berdasarkan teori Dusuqy
(2008), hasil analisis pengaruh bentuk alam terhadap penggunaan lahan pada
Kelurahan Gung Negeri dikategorikan sebagai berikut: secara struktural penggunaan lahan pada tahap antroposentris dan secara fungsional berada pada tahap geosional sistem.
Gambar 5.23 Pengaruh Bentuk Alam terhadap Penggunaan Lahan pada a. Kelurahan Kampung Dalam 2019, b. Kelurahan Gung Leto 2019
Universitas Sumatera Utara 146
Pada Gambar 5.23.a bisa dilihat, pada Kelurahan Kampung Dalam penggunaan lahan dipengaruhi bentuk alam dan letak jalan utama. Pada Kelurahan
Kampung Dalam penggunaan lahan didominasi pemanfaatan perumahan kepadatan tinggi pada bentuk alam datar s.d. lereng sedang. Pada bentuk alam datar pada sisi jalan utama penggunaan lahan dimanfaatkan sebagai komersial (perdagangan/jasa), perkantoran pemerintahan, ruang terbuka hijau (Taman Makam Pahlawan
Kabanjahe), dan sarana pelayanan umum transportasi (Terminal Atas Kabanjahe).
Serta, pada bagian utara dengan bentuk alam lereng landai s.d. lereng miring penggunaan lahan dimanfaatkan sebagai lahan pertanian dan sabuk hijau. Ditinjau dari konsep eko-teologi integralistik berdasarkan teori Dusuqy (2008), hasil analisis pengaruh bentuk alam terhadap penggunaan lahan pada Kelurahan Kampung Dalam dikategorikan sebagai berikut: secara struktural penggunaan lahan pada tahap antroposentris dan secara fungsional berada pada tahap geosional sistem.
Pada Gambar 5.23.b. bisa dilihat, pada Kelurahan Gung Leto penggunaan lahan didominasi penggunaan lahan perkantoran pemerintahan dan sarana pelayanan umum kesehatan pada bentuk alam datar. Pada bentuk alam datar s.d. lereng landai penggunaan lahan dimanfaatkan sebagai komersial (perdagangan/jasa), perumahan kepadatan rendah, sarana pelayanan umum transportasi (Terminal Bawah Kabanjahe), ruang terbuka publik, dsb. Ditinjau dari konsep eko-teologi integralistik berdasarkan teori Dusuqy (2008), hasil analisis pengaruh bentuk alam terhadap penggunaan lahan
Universitas Sumatera Utara 147
pada Kelurahan Gung Leto dikategorikan sebagai berikut: secara struktural penggunaan lahan pada tahap antroposentris dan secara fungsional berada pada tahap geosional sistem.
Gambar 5.24 Pengaruh Bentuk Alam terhadap Penggunaan Lahan pada a. Kelurahan Padang Mas 2019, b. Kelurahan Lau Cimba 2019 Pada Gambar 5.24.a bisa dilihat, pada Kelurahan Padang Mas penggunaan lahan sangat dipengaruhi bentuk alam dan letak jalan utama. Penggunaan lahan pada
Kelurahan Padang Mas didominasi pusat pasar dan fungí campuran perumahan- komersial (peradangan/jasa) pada bentuk alam datar s.d. lereng landai pada bagian utara kelurahan. Pada bagian barat laut kelurahan dengan bentuk alam datar penggunaan lahan dimanfaatkan sebagai perumahan kepadatan sedang. Pada bagian pusat kelurahan dengan bentuk alam datar penggunaan lahan dimanfaatkan sebagai kawasan militer. Pada bagian selatan dengan bentuk alam lereng sedang s.d. lereng miring pada sisi jalan utama (jalan provinsi) penggunaan lahan sebagai komersial
(perdagangan/jasa) dan perumahan kepadatan sedang. Serta, pada bagian selatan
Universitas Sumatera Utara 148
kelurahan dengan bentuk alam lereng miring s.d. lereng terjal penggunaan lahan dimanfaatkan sebagai sabuk hijau (perlindungan kawasan rawan bencana) Sungai Lau
Biang. Ditinjau dari konsep eko-teologi integralistik berdasarkan teori Dusuqy
(2008), hasil analisis pengaruh bentuk alam terhadap penggunaan lahan pada
Kelurahan Padang Mas dikategorikan sebagai berikut: secara struktural penggunaan lahan pada tahap peralihan antroposentris menuju tahap holistik dan secara fungsional berada pada tahap peralihan dari geosional sistem menuju meta-sosial sistem.
Pada Gambar 5.24.b bisa dilihat, pada Kelurahan Lau Cimba penggunaan lahan juga dipengaruhi bentuk alam dan letak jalan utama (jalan provinsi).
Penggunaan lahan pada Kelurahan Lau Cimba didominasi sebagai pemanfaatan lahan pertanian, perumahan kepadatan sedang, dan komersial (peradangan/jasa). Pada bagian timur laut dan utara kelurahan dengan bentuk alam datar s.d. lereng landai dan berada pada sisi jalan provinsi penggunaan lahan dimanfaatkan sebagai fungsi fungsi campuran perumahan-komersial (perdagangan/jasa). Pada bagian pusat kelurahan dengan bentuk alam datar s.d. lereng landai penggunaan lahan dimanfaatkan sebagai perumahan kepadatan sedang. Pada bagian selatan kelurahan dengan bentuk alam lereng landai s.d. lereng miring penggunaan lahan dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Serta, pada bagian utara dan selatan kelurahan dengan bentuk alam lereng sedang s.d. lereng terjal penggunaan lahan dimanfaatkan sebagai sabuk hijau pada tepin Sungai Lau Berneh-Lau Cimba dan Sungai Lau Biang. Ditinjau dari konsep
Universitas Sumatera Utara 149
eko-teologi integralistik berdasarkan teori Dusuqy (2008), hasil analisis pengaruh bentuk alam terhadap penggunaan lahan pada Kelurahan Lau Cimba dikategorikan sebagai berikut: secara struktural penggunaan lahan pada tahap peralihan antroposentris menuju tahap holistik dan secara fungsional berada pada tahap peralihan dari geosional sistem menuju meta-sosial sistem.
Gambar 5.25 Pengaruh Bentuk Alam terhadap Penggunaan Lahan pada a. Desa Kacaribu 2019, b. Desa Lau Simomo 2019 Pada Gambar 5.25.a bisa dilihat, pada Desa Kacaribu penggunaan lahan dipengaruhi bentuk alam dan letak jalan (jalan provinsi). Pada Desa Kacaribu penggunaan lahan sangat didominasi pemanfaatan lahan pertanian pada bentuk alam datar s.d. lereng miring. Pada bentuk alam datar s.d. lereng sedang pada sisi jalan utama (jalan provinsi) penggunaan lahan dimanfaatkan sebagai aneka industri, perumahan, dan komersial (perdagangan/jasa). Serta, pada bentuk alam lereng miring s.d. lereng terjal pada sisi Sungai Lau Biang dan Sungai Lau Cimba penggunaan lahan dimanfaatkan sebagai sabuk hijau (perlindungan kawasan rawan bencana).
Ditinjau dari konsep eko-teologi integralistik berdasarkan teori Dusuqy (2008), hasil
Universitas Sumatera Utara 150
analisis pengaruh bentuk alam terhadap penggunaan lahan pada Desa Kacaribu dikategorikan sebagai berikut: secara struktural penggunaan lahan pada tahap tradisional dan secara fungsional berada pada tahap peralihan dari geosional sistem menuju meta-sosial sistem.
Pada Gambar 5.25.b bisa dilihat, pada Desa Lau Simomo penggunaan lahan dipengaruhi bentuk alam dan letak sungai. Pada Desa Lau Simomo yang identik sebagai desa rehabilitasi penderita penyakit kusta penggunaan lahan didominasi lahan pertanian pada bentuk alam datar s.d. lereng miring. Pada bentuk alam datar berdekatan dengan sungai (Lau Simomo) penggunaan lahan dimanfaatkan sebagai perumahan kepadatan sedang. Serta, pada bentuk alam lereng miring s.d. lereng terjal pada tepian Sungai Lau Simomo dan Sungai Lau Biang penggunan lahan dimanfaatkan sebagai sabuk hijau (perlindungan rawan bencana). Ditinjau dari konsep eko-teologi integralistik berdasarkan teori Dusuqy (2008), hasil analisis pengaruh bentuk alam terhadap penggunaan lahan pada Desa Lau Simomo dikategorikan sebagai berikut: secara struktural penggunaan lahan pada tahap peralihan ekosentris menuju tahap tradisional dan secara fungsional berada pada tahap peralihan dari bio-ekosistem menuju geososial sistem.
Universitas Sumatera Utara 151
Gambar 5.26 Pengaruh bentuk alam terhadap penggunaan lahan pada Desa Kandibata 2019 Pada Gambar 5.26 bisa dilihat, pada Desa Kandibata penggunaan lahan dipengaruhi bentuk alam dan letak jalan utama. Pada Desa Kandibata penggunaan lahan didominasi pemanfaatan lahan pertanian pada bentuk alam datar s.d. lereng miring. Pada bentuk alam datar s.d. lereng sedang berdekatan dengan jalan provinsi
(Jl. Kota Cane) penggunaan lahan dimanfaatkan sebagai perumahan dan komersial
(peradangan/jasa). Pada bentuk alam datar dan berdekatan dengan jalan lokal dan sungai terdapat penggunaan lahan perumahan. Serta, pada bentuk alam lereng miring s.d. lereng sangat terjal pada tepian Sungai Lau Biang penggunaan lahan dimanfaatkan sebagai sabuk hijau (perlindungan kawasan rawan bencana). Ditinjau dari konsep eko-teologi integralistik berdasarkan teori Dusuqy (2008), hasil analisis pengaruh bentuk alam terhadap penggunaan lahan pada Desa Kandibata dikategorikan sebagai berikut: secara struktural penggunaan lahan pada tahap
Universitas Sumatera Utara 152
peralihan ekosentris menuju tahap tradisional dan secara fungsional berada pada peralihan dari tahap bio-ekosistem menuju tahap geososial sistem.
Berdasarkan kajian pengaruh bentuk alam terhadap penggunaan lahan pada tiap-tiap desa dan kelurahan pada Kecamatan Kabanjahe ditemukan bahwa penggunaan lahan sangat dipengaruhi bentuk alam, serta juga dipengaruhi letak jalan, letak sungai (sumber air), dan lingkungan disekitarnya. Penemuan tersebut menjawab analisis mengenai pengaruh bentuk alam terhadap penggunaan lahan pada Kecamatan
Kabanjahe sekaligus memperkuat teori dari Sandy (1995) yang mengemukakan perbedaan jenis penggunaan lahan perkotaan merupakan dampak segala kegiatan manusia yang dipengaruhi bentuk alam (fisik lingkungan).
5.4 Kajian Morfologi Fisik Kota dan Desa pada Kecamatan Kabanjahe Ditinjau dari Bentuk Alam
Berangkat dari permasalahan utama yakni; bagaimana morfologi Kecamatan
Kabanjahe ditinjau dari aspek ekologi?, Penulis menjadikan teori Burges (2008) sebagai landasan teori. Burges (2008) mengemukakan bahwa fisik ekologi (bentuk alam) merupakan salah satu faktor internal yang paling mempengaruhi pembentukan dan pertumbuhan sebuah kota. Oleh karena itu, Penulis akan menjelaskan hasil dan pembahasan kajian pengaruh bentuk alam terhadap morfologi (pertumbuhan massa bangunan) fisik kota dan desa pada Kecamatan Kabanjahe. Morfologi kota pada eksistensi keruangan dari bentuk-bentuk wujud karakteristik kota yaitu analisis
Universitas Sumatera Utara 153
bentuk kota dan faktor-faktor yang mempengaruhinya (Yunus, 2000). Untuk lebih jelas mengenai penjelasan hasil dan pembahasan perkembangan bentuk fisik desa/ kelurahan dan faktor yang mempengaruhinya, bisa dilihat dengan jelas pada sub-sub bab 5.4.1 s.d. 5.4.13.
5.4.1 Kajian morfologi fisik Desa Kaban ditinjau dari bentuk alam
Desa Kaban dengan luas wilayah 2,00 km2 dan ketinggian 1.262 mdpl berkedudukan pada bagian utara Kecamatan Kabanjahe. Dengan estimasi pertumbuhan 1 (satu) bangunan sama dengan pertumbuhan 5 jiwa penduduk, pada rentang waktu 2010-2017 diperkirakan pertumbuhan massa bangunan 40 unit (198 jiwa). Berdasarkan observasi Penulis pertumbuhan massa bangunan tersebut memadat, sehingga perkembangan fisik Desa Kaban berbentuk kompak tidak berpola
(unpatterned cities). Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada Gambar 5.27.
Gambar 5.27 Morfologi Fisik (Pertumbuhan Massa Bangunan) Desa Kaban antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019
Universitas Sumatera Utara 154
Pada Gambar 5.27 bisa dilihat, dinamika perkembangan fisik Desa Kaban berkembang memadat pada bagian selatan desa. Berdasarkan kajian Penulis, disimpulkan bahwa pertumbuhan massa bangunan yang berbentuk kompak tidak berpola (unpatterned cities) antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 sangat dipengaruhi bentuk alam. Hal tersebut disebabkan pertumbuhan massa bangunan berada pada kawasan permukiman desa yang berada pada bentuk alam datar, serta berdekatan/di antara Sungai Lau Berneh dan Jalan Kapten Bom Ginting (jalan kabupaten). Untuk lebih jelasnya, bisa dilihat pada Gambar 5.28.
Gambar 5.28. Skematik Pengaruh Bentuk Alam terhadap Pertumbuhan Massa Bangunan pada Desa Kaban rentang Waktu 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019
Universitas Sumatera Utara 155
5.4.2 Kajian morfologi fisik Desa Sumber Mufakat ditinjau dari bentuk alam
Desa Sumber Mufakat dengan luas wilayah 5.50 km2 dan ketinggian 1.258 mdpl berkedudukan pada bagian utara Kecamatan Kabanjahe. Dengan estimasi pertumbuhan 1 (satu) bangunan sama dengan pertumbuhan 5 jiwa penduduk, pada rentang waktu 2010-2017 diperkirakan pertumbuhan massa bangunan 151 unit (755 jiwa). Berdasarkan kajian Penulis pertumbuhan massa bangunan tersebut memadat dan tersebar, sehingga Morfologi fisik Desa Sumber berbentuk kompak pita (ribbon shaped cities). Untuk lebih jelasnya mengenai pertumbuhan massa bangunan Desa
Sumber Mufakat antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019, bisa dilihat pada
Gambar 5.29.
Gambar 5.29 Morfologi Fisik (Pertumbuhan Massa Bangunan) Desa Sumber Mufakat antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 Pada Gambar 5.29 bisa dilihat, dinamika perkembangan fisik Desa Sumber
Mufakat berkembang tersebar pada bagian barat desa dan berkembang memadat pada
Universitas Sumatera Utara 156
bagian timur desa. Berdasarkan kajian Penulis, disimpulkan bahwa pertumbuhan massa bangunan yang berbentuk kompak pita (ribbon shaped cities) antara 11
September s.d. 2 Juni 2019 sangat dipengaruhi bentuk alam, letak jalan, dan kelengkapan utilitas. Hal tersebut dapat dilihat dari pertumbuhan massa bangunan berada pada bentuk alam datar s.d lereng landai, serta berdekatan dengan Jalan Jamin
Ginting (jalan nasional). Untuk lebih jelasnya hal tersebut, bisa dilihat pada Gambar
5.30.
Gambar 5.30 Skematik Pengaruh Bentuk Alam terhadap Pertumbuhan Massa Bangunan pada Desa Sumber Mufakat rentang Waktu 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019
Universitas Sumatera Utara 157
5.4.3 Kajian morfologi fisik Kelurahan Rumah Kabanjahe ditinjau dari bentuk alam
Kelurahan Rumah Kabanjahe dengan luas wilayah 5.00 km2 dan ketinggian
1.185 mdpl berkedudukan pada bagian utara Kecamatan Kabanjahe. Dengan estimasi pertumbuhan 1 (satu) bangunan sama dengan pertumbuhan 5 jiwa penduduk, pada rentang waktu 2010-2017 diperkirakan pertumbuhan massa bangunan 59 unit (294 jiwa). Berdasarkan observasi Penulis pertumbuhan massa bangunan tersebut memadat dan tersebar, sehingga Morfologi fisik Kelurahan Rumah Kabanjahe berbentuk kompak tidak berpola (unpatterned cities) pada bagian tengah dan berbentuk kompak gurita (octopus shaped cities) pada bagian selatan kelurahan. Untuk lebih jelas pertumbuhan massa bangunan Kelurahan Rumah Kabanjahe antara 11 September
2010 s.d. 2 Juni 2019, bisa dilihat pada Gambar 5.31.
Gambar 5.31 Morfologi Fisik (Pertumbuhan Massa Bangunan) Kelurahan Rumah Kabanjahe antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019
Universitas Sumatera Utara 158
Pada Gambar 5.31 bisa dilihat, dinamika perkembangan fisik Kelurahan
Rumah Kabanjahe berkembang memadat pada bagian tengah dan berkembang tersebar pada bagian selatan kelurahan. Disimpulkan bahwa pertumbuhan massa bangunan yang berbentuk kompak tidak berpola dan gurita, antara 11 September s.d.
2 Juni 2019 sangat dipengaruhi bentuk alam, letak jalan, dan letak sungai. Hal tersebut dapat dilihat dari pertumbuhan massa bangunan berada pada bentuk alam datar s.d lereng landai, serta berdekatan dengan persimpangan Jl. Kapten Bom
Ginting dan Jl. Kiras Bangun (jalan kabupaten) dan pada sisi Jl. Kota Cane (jalan provinsi). Untuk lebih jelasnya hal tersebut, bisa dilihat pada Gambar 5.32.
Gambar 5.32 Skematik Pengaruh Bentuk Alam terhadap Pertumbuhan Massa Bangunan pada Kelurahan Rumah Kabanjahe rentang Waktu 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019
Universitas Sumatera Utara 159
5.4.4 Kajian morfologi fisik Kelurahan Ketaren ditinjau dari bentuk alam
Kelurahan Ketaren dengan luas wilayah 2,50 km2 dan ketinggian 1.226 mdpl berkedudukan pada bagian timur laut Kecamatan Kabanjahe. Dengan estimasi pertumbuhan 1 (satu) bangunan sama dengan pertumbuhan 5 jiwa penduduk, pada rentang waktu 2010-2017 diperkirakan pertumbuhan massa bangunan 235 unit (1.175 jiwa). Berdasarkan observasi Penulis pertumbuhan massa bangunan tersebut perletakannya tersebar, sehingga Morfologi fisik Kelurahan Ketaren berbentuk kompak pita (ribbon shaped cities) pada seluruh bagian kelurahan. Untuk lebih jelas pertumbuhan massa bangunan Kelurahan Ketaren antara 11 September 2010 s.d. 2
Juni 2019, bisa dilihat pada Gambar 5.33.
Gambar 5.33 Morfologi Fisik (Pertumbuhan Massa Bangunan) Kelurahan Ketaren antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 Pada Gambar 5.33 bisa dilihat, dinamika perkembangan fisik Kelurahan
Ketaren berkembang tersebar pada selurah bagian kelurahan, namun condong
Universitas Sumatera Utara 160
memadat pada bagian tengah. Disimpulkan bahwa pertumbuhan massa bangunan yang berbentuk kompak pita, antara 11 September s.d. 2 Juni 2019 sangat dipengaruhi bentuk alam, letak jalan, dan dibatasi bentuk alam lereng terjal pada sisi sungai. Hal tersebut dapat dilihat dari pertumbuhan massa bangunan berada pada bentuk alam datar s.d lereng landai, serta berdekatan dengan Jl. Letjend. Jamin
Ginting (jalan nasional). Untuk lebih jelasnya, bisa dilihat pada Gambar 5.34.
Gambar 5.34 Skematik Pengaruh Bentuk Alam terhadap Pertumbuhan Massa Bangunan pada Kelurahan Ketaren rentang Waktu 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019
Universitas Sumatera Utara 161
5.4.5 Kajian morfologi fisik Desa Samura ditinjau dari bentuk alam
Desa Samura dengan luas wilayah 3,00 km2 dan ketinggian 1.208 mdpl berkedudukan pada bagian timur Kecamatan Kabanjahe. Dengan estimasi pertumbuhan 1 (satu) bangunan sama dengan pertumbuhan 5 jiwa penduduk, pada rentang waktu 2010-2017 diperkirakan pertumbuhan massa bangunan 131 unit (653 jiwa). Berdasarkan observasi Penulis, pertumbuhan massa bangunan tersebut perletakannya tersebar, sehingga morfologi fisik Desa Samura berbentuk kompak tidak berpola (unpatterned cities) terutama pada bagian barat desa. Untuk lebih jelas pertumbuhan massa bangunan Desa Samura antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni
2019, bisa dilihat pada Gambar 5.35.
Gambar 5.35 Morfologi Fisik (Pertumbuhan Massa Bangunan) Desa Samura antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 Pada Gambar 5.35 bisa dilihat, dinamika perkembangan fisik Desa Samura berkembang tersebar pada bagian barat desa dan memadat pada bagian timur desa.
Universitas Sumatera Utara 162
Disimpulkan bahwa pertumbuhan massa bangunan yang berbentuk tidak berpola, antara 11 September s.d. 2 Juni 2019 sangat dipengaruhi bentuk alam, letak jalan, dan dibatasi bentuk alam lereng terjal s.d lereng sangat terjal pada sisi sungai. Hal tersebut dapat dilihat dari pertumbuhan massa bangunan berada pada bentuk alam datar s.d lereng landai, serta berdekatan dengan Jl. Letjend. Jamin Ginting (jalan nasional) dan Jl. Samura (jalan kabupaten), bisa dilihat pada Gambar 5.36.
Gambar 5.36 Skematik Pengaruh Bentuk Alam terhadap Pertumbuhan Massa Bangunan pada Desa Samura rentang Waktu 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019
Universitas Sumatera Utara 163
5.4.6 Kajian morfologi fisik Kelurahan Gung Negeri ditinjau dari bentuk alam
Kelurahan Gung Negeri dengan luas wilayah 4,50 km2 dan ketinggian 1.179 mdpl berkedudukan pada bagian timur Kecamatan Kabanjahe. Dengan estimasi pertumbuhan 1 (satu) bangunan sama dengan pertumbuhan 5 jiwa penduduk, pada rentang waktu 2010-2017 diperkirakan pertumbuhan massa bangunan 396 unit (1.982 jiwa). Berdasarkan observasi Penulis, pertumbuhan massa bangunan tersebut perletakannya tersebar, sehingga morfologi fisik Kelurahan Gung Negeri berbentuk kompak tidak berpola (unpatterned cities) pada seluruh bagian kelurahan. Untuk lebih jelas pertumbuhan massa bangunan Kelurahan Gung Negeri antara 11
September 2010 s.d. 2 Juni 2019, bisa dilihat pada Gambar 5.37.
Gambar 5.37 Morfologi Fisik (Pertumbuhan Massa Bangunan) Kelurahan Gung Negeri antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 Pada Gambar 5.37 bisa dilihat, dinamika perkembangan fisik Kelurahan
Gung Negeri berkembang tersebar pada hampir seluruh bagian kelurahan.
Universitas Sumatera Utara 164
Disimpulkan bahwa pertumbuhan massa bangunan yang berbentuk tidak berpola, antara 11 September s.d. 2 Juni 2019 sangat dipengaruhi bentuk alam, letak jalan, dan dibatasi bentuk alam lereng terjal s.d lereng sangat terhal pada sisi sungai. Hal tersebut dapat dilihat dari pertumbuhan massa bangunan berada pada bentuk alam datar s.d lereng landai tumbuh memadat. serta berdekatan dengan Jl. Letjend. Jamin
Ginting dan Jl. Mariam Ginting (jalan nasional), bisa dilihat pada Gambar 5.38.
Gambar 5.38 Skematik Pengaruh Bentuk Alam terhadap Pertumbuhan Massa Bangunan pada Kelurahan Gung Negeri rentang Waktu 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019
Universitas Sumatera Utara 165
5.4.7 Kajian morfologi fisik Kelurahan Kampung Dalam Ditinjau dari bentuk alam
Kelurahan Kampung Dalam dengan luas wilayah 2,00 km2 dan ketinggian
1.220 mdpl berkedudukan pada bagian timur Kecamatan Kabanjahe. Dengan estimasi pertumbuhan 1 (satu) bangunan sama dengan pertumbuhan 5 jiwa penduduk, pada rentang waktu 2010-2017 diperkirakan pertumbuhan massa bangunan 254 unit (1.269 jiwa). Berdasarkan kajian Penulis, pertumbuhan massa bangunan tersebut perletakannya tersebar, sehingga morfologi fisik Kelurahan Gung Negeri berbentuk kompak tidak berpola (unpatterned cities) pada seluruh bagian kelurahan. Untuk lebih jelas pertumbuhan massa bangunan Kelurahan Kampung Dalam antara 11
September 2010 s.d. 2 Juni 2019, bisa dilihat pada Gambar 5.39.
Gambar 5.39 Morfologi Fisik (Pertumbuhan Massa Bangunan) Kelurahan Kampung Dalam antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 Pada Gambar 5.39 bisa dilihat, dinamika perkembangan fisik Kelurahan
Kampung Dalam berkembang tersebar pada hampir seluruh bagian kelurahan.
Disimpulkan bahwa pertumbuhan massa bangunan yang berbentuk tidak berpola,
Universitas Sumatera Utara 166
antara 11 September s.d. 2 Juni 2019 sangat dipengaruhi bentuk alam, letak jalan, dan dibatasi bentuk alam lereng miring s.d. lereng terjal pada sisi Sungai Lau Berneh. Hal tersebut dapat dilihat dari pertumbuhan massa bangunan berada pada bentuk alam datar s.d lereng landai tumbuh memadat. serta berdekatan dengan Jl. Letjend. Jamin
Ginting (jalan nasional) dan Jl. Veteran (jalan provinsi), bisa dilihat pada Gambar
5.40.
Gambar 5.40 Skematik Pengaruh Bentuk Alam terhadap Pertumbuhan Massa Bangunan pada Kelurahan Kampung Dalam rentang Waktu 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019
5.4.8 Kajian morfologi fisik Kelurahan Gung Leto ditinjau dari bentuk alam
Kelurahan Gung Leto dengan luas wilayah 2,00 km2 dan ketinggian 1.195 mdpl berkedudukan pada bagian pusat Kecamatan Kabanjahe. Dengan estimasi
Universitas Sumatera Utara 167
pertumbuhan 1 (satu) bangunan sama dengan pertumbuhan 5 jiwa penduduk, pada rentang waktu 2010-2017 diperkirakan pertumbuhan massa bangunan 181 unit (906 jiwa). Berdasarkan kajian Penulis, pertumbuhan massa bangunan tersebut perletakannya memadat, sehingga morfologi fisik Kelurahan Gung Negeri berbentuk kompak segitiga (triangle shaped cities) pada seluruh bagian kelurahan. Untuk lebih jelas pertumbuhan massa bangunan Kelurahan Gung Leto antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019, bisa dilihat pada Gambar 5.41.
Gambar 5.41 Morfologi Fisik (Pertumbuhan Massa Bangunan) Kelurahan Gung Leto antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 Pada Gambar 5.41 bisa dilihat, dinamika perkembangan fisik Kelurahan
Gung Leto berkembang tersebar pada hampir seluruh bagian kelurahan. Disimpulkan bahwa pertumbuhan massa bangunan yang berbentuk kompak segitiga, antara 11
September s.d. 2 Juni 2019 sangat dipengaruhi bentuk alam dan letak jalan. Dibatasi jalan dengan kelurahan Kampung Dalam pada arah utara, Kelurahan Gung Negeri pada arah timur dan Kelurahan Padang Mas pada arah barat. Hal tersebut dapat dilihat dari pertumbuhan massa bangunan berada pada bentuk alam datar tumbuh
Universitas Sumatera Utara 168
memadat, di antara Jl. Meriam Ginting (jalan nasional), Jl. Veteran (jalan provinsi), dan Jl. Kapten Pala Bangun (jalan kabupaten). Untuk lebih jelasnya hal tersebut, bisa dilihat pada Gambar 5.42.
Gambar 5.42 Skematik Pengaruh Bentuk Alam terhadap Pertumbuhan Massa Bangunan pada Kelurahan Gung Leto rentang Waktu September 2010 s.d. Juni 2019
5.4.9 Kajian morfologi fisik Kelurahan Padang Mas ditinjau dari bentuk alam
Kelurahan Padang Mas dengan luas wilayah 3,00 km2 dan ketinggian 1.138 mdpl berkedudukan pada arah barat daya pusat kota Kecamatan Kabanjahe. Dengan estimasi pertumbuhan 1 (satu) bangunan sama dengan pertumbuhan 5 jiwa penduduk, pada rentang waktu 2010-2017 diperkirakan pertumbuhan massa bangunan 305 unit
(1.524 jiwa). Berdasarkan kajian Penulis, pertumbuhan massa bangunan tersebut
Universitas Sumatera Utara 169
perletakannya menyebar serta memadat, sehingga morfologi fisik Kelurahan Padang
Mas berbentuk kompak tidak berpola (unpatterned cities) pada seluruh bagian kelurahan. Untuk lebih jelas pertumbuhan massa bangunan Kelurahan Padang Masa antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019, bisa dilihat pada Gambar 5.43.
Gambar 5.43 Morfologi Fisik (Pertumbuhan Massa Bangunan) Kelurahan Padang Mas antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 Pada Gambar 5.43 bisa dilihat, dinamika perkembangan fisik Kelurahan
Padang Mas berkembang tersebar pada hampir seluruh bagian kelurahan.
Disimpulkan bahwa pertumbuhan massa bangunan yang berbentuk kompak tidak berpola antara 11 September s.d. 2 Juni 2019 sangat dipengaruhi bentuk alam dan letak jalan. Hal tersebut dapat dilihat dari pertumbuhan massa bangunan berada pada bentuk alam datar dan lereng landai tumbuh memadat dan dibatasi lereng terjal
(Sungai Lau Biang) pada bagian selatan kelurahan. Untuk lebih jelasnya hal tersebut, bisa dilihat pada Gambar 5.44.
Universitas Sumatera Utara 170
Gambar 5.44 Skematik Pengaruh Bentuk Alam terhadap Pertumbuhan Massa Bangunan pada Kelurahan Padang Mas rentang Waktu September 2010 s.d. Juni 2019
5.4.10 Kajian morfologi fisik Kelurahan Lau Cimba ditinjau dari bentuk alam
Kelurahan Lau Cimba dengan luas wilayah 2,00 km2 dan ketinggian 1.148 mdpl berkedudukan pada arah barat pusat kota Kecamatan Kabanjahe. Dengan estimasi pertumbuhan 1 (satu) bangunan sama dengan pertumbuhan 5 jiwa penduduk, pada rentang waktu 2010-2017 diperkirakan pertumbuhan massa bangunan 381 unit
(1.904 jiwa). Berdasarkan kajian Penulis, pertumbuhan massa bangunan tersebut perletakannya menyebar serta memadat, sehingga morfologi fisik Kelurahan Lau
Universitas Sumatera Utara 171
Cimba berbentuk kompak gurita (Octopus shaped cities). Pertumbuhan massa bangunan pada bagian timur laut memadat pada pusat pasar dan berangsur merenggang ke arah barat serta barat daya. Untuk lebih jelas pertumbuhan massa bangunan Kelurahan Lau Cimba antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 tersebut, bisa dilihat dengan jelas pada Gambar 5.45.
Gambar 5.45 Morfologi Fisik (Pertumbuhan Massa Bangunan) Kelurahan Lau Cimba antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 Pada Gambar 5.45 bisa dilihat, dinamika perkembangan fisik Kelurahan Lau
Cimba berkembang tersebar pada hampir seluruh bagian kelurahan. Disimpulkan bahwa pertumbuhan massa bangunan yang berbentuk kompak gurita antara 11
September s.d. 2 Juni 2019 sangat dipengaruhi bentuk alam, letak jalan, dan lingkungan. Hal tersebut dapat dilihat dari pertumbuhan massa bangunan berada pada bentuk alam datar s.d lereng sedang tumbuh memadat dan tersebar, serta dibatasi lereng terjal miring s.d lereng terjal pada tepi sungai pada bagian utara dan selatan kelurahan. Untuk lebih jelasnya hal tersebut, bisa dilihat pada Gambar 5.46.
Universitas Sumatera Utara 172
Gambar 5.46 Skematik Pengaruh Bentuk Alam terhadap Pertumbuhan Massa Bangunan pada Kelurahan Lau Cimba rentang Waktu September 2010 s.d. Juni 2019
5.4.11 Kajian morfologi fisik Desa Kacaribu ditinjau dari bentuk alam
Desa Kacaribu dengan luas wilayah 3,25 km2 dan ketinggian 1.135 mdpl berkedudukan pada arah barat pusat kota Kecamatan Kabanjahe. Dengan estimasi pertumbuhan 1 (satu) bangunan sama dengan pertumbuhan 5 jiwa penduduk, pada rentang waktu 2010-2017 diperkirakan pertumbuhan massa bangunan 56 unit (280 jiwa). Berdasarkan kajian Penulis, pertumbuhan massa bangunan tersebut perletakannya menyebar pada sisi jalan utama, sehingga morfologi fisik Desa
Universitas Sumatera Utara 173
Kacaribu berbentuk kompak pita (ribbon shaped cities). Pertumbuhan massa bangunan pada bagian tengah relatif tumbuh massa bangunan massal dan massa bangunan besar (gudang/pabrik), jelasnya pertumbuhan massa bangunan Desa
Kacaribu antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 bisa dilihat pada Gambar 5.47.
Gambar 5.47 Morfologi Fisik (Pertumbuhan Massa Bangunan) Desa Kacaribu antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 Pada Gambar 5.47 bisa dilihat, dinamika perkembangan fisik Desa Kacaribu berkembang tersebar pada bagian tengah dari arah tenggara sampai ke arah barat wilayah desa. Disimpulkan bahwa pertumbuhan massa bangunan yang berbentuk kompak pita antara 11 September s.d. 2 Juni 2019 sangat dipengaruhi bentuk alam, dan letak jalan . Hal tersebut dapat dilihat dari pertumbuhan massa bangunan berada pada bentuk alam datar s.d lereng sedang lateral (pada sisi) jalan. Serta, pertumbuhan massa bangunan dibatasi (terkendala) lereng terjal miring s.d lereng terjal pada tepi
Universitas Sumatera Utara 174
sungai pada arah utara (Sungai Lau Cimba) dan arah selatan (Sungai Lau Biang) Desa
Kacaribu. Untuk lebih jelasnya hal tersebut, bisa dilihat pada Gambar 5.48.
Gambar 5.48 Skematik Pengaruh Bentuk Alam terhadap Pertumbuhan Massa Bangunan pada Desa Kacaribu rentang Waktu 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019
5.4.12 Kajian morfologi fisik Desa Kandibata ditinjau dari bentuk alam
Desa Kandibata dengan luas wilayah 5,00 km2 dan ketinggian 1.048 mdpl berkedudukan pada arah barat pusat kota Kecamatan Kabanjahe. Dengan estimasi pertumbuhan 1 (satu) bangunan sama dengan pertumbuhan 5 jiwa penduduk, pada
Universitas Sumatera Utara 175
rentang waktu 2010-2017 diperkirakan pertumbuhan massa bangunan 69 unit (347 jiwa). Berdasarkan kajian Penulis, pertumbuhan massa bangunan tersebut perletakannya memadat dan terbesar, sehingga morfologi fisik Desa Kandibata berbentuk tidak kompak terpecah (fragment cities). Pertumbuhannya memadat pada beberapa permukiman yang tersebar, bisa dilihat pada Gambar 5.49.
Gambar 5.49 Morfologi Fisik (Pertumbuhan Massa Bangunan) Desa Kandibata antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 Pada Gambar 5.49 bisa dilihat, dinamika perkembangan fisik Desa
Kandibata berkembang memadat pada 3 (tiga) permukiman yang tersebar.
Disimpulkan bahwa pertumbuhan massa bangunan yang berbentuk tidak kompak terpecah tersebut antara 11 September s.d. 2 Juni 2019 sangat dipengaruhi bentuk alam, letak jalan, dan letak sungai. Hal tersebut dapat dilihat dari pertumbuhan massa
Universitas Sumatera Utara 176
bangunan berada pada bentuk alam datar s.d lereng sedang lateral (pada sisi) jalan.
Sehingga, terbentuk pola konfigurasi bangunan organis dengan tipologi elemen ruang
(urban void) sistem terbuka linier. Serta, pertumbuhan massa bangunan dibatasi
(terkendala) lereng terjal miring s.d lereng terjal pada tepi sungai pada arah utara
(Sungai Lau Cimba) dan arah selatan (Sungai Lau Biang) Desa Kacaribu. Untuk lebih jelasnya hal tersebut, bisa dilihat pada Gambar 5.50.
Gambar 5.50. Skematik Pengaruh Bentuk Alam terhadap Pertumbuhan Massa Bangunan pada Desa Kandibata rentang Waktu 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019
5.4.13 Kajian morfologi fisik Desa Lau Simomo ditinjau dari bentuk alam
Desa Lau Simomo dengan luas wilayah 2,00 km2 dan ketinggian 1.114 mdpl berkedudukan pada arah barat daya pusat kota Kecamatan Kabanjahe. Dengan estimasi pertumbuhan 1 (satu) bangunan sama dengan pertumbuhan 5 jiwa penduduk, pada rentang waktu 2010-2017 diperkirakan pertumbuhan massa bangunan 22 unit
(110 jiwa). Berdasarkan kajian Penulis, pertumbuhan massa bangunan tersebut
Universitas Sumatera Utara 177
perletakannya memadat dan terbesar, sehingga morfologi fisik Desa Lau Simomo berbentuk tidak kompak terpecah (fragment cities). Pertumbuhannya memadat pada beberapa permukiman yang tersebar, bisa dilihat pada Gambar 5.51.
Gambar 5.51 Morfologi Fisik (Pertumbuhan Massa Bangunan) Desa Lau Simomo antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 Pada Gambar 5.51 bisa dilihat, dinamika perkembangan fisik Desa Lau
Simomo berkembang memadat pada 4 (empat) permukiman yang tersebar.
Disimpulkan bahwa pertumbuhan massa bangunan yang berbentuk tidak kompak terpecah tersebut antara 11 September s.d. 2 Juni 2019 sangat dipengaruhi bentuk alam, letak jalan, letak sungai, dan lingkungan. Hal tersebut dapat dilihat dari
Universitas Sumatera Utara 178
pertumbuhan massa bangunan berada pada bentuk alam datar s.d lereng sedang lateral (pada sisi) jalan dan tepin Sungai Lau Simomo. Sehingga, terbentuk pola konfigurasi bangunan organis dengan tipologi elemen ruang (urban void) sistem terbuka linier. Serta, pertumbuhan massa bangunan dibatasi (terkendala) lereng terjal sedang s.d lereng terjal pada tepi sungai (Sungai Lau Simomo). Untuk lebih jelasnya hal tersebut, bisa dilihat pada Gambar 5.52.
Gambar 5.52 Skematik Pengaruh Bentuk Alam terhadap Pertumbuhan Massa Bangunan pada Desa Kacaribu rentang Waktu 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019
5.4.14 Kajian morfologi fisik Kecamatan Kabanjahe ditinjau dari bentuk alam
Setelah membahas hasil dari kajian proses perubahan fisik tiap-tiap desa dan kelurahan, selanjutnya Penulis akan menjelaskan proses dinamika perkembangan
Kecamatan Kabanjahe yang dibagi dalam 3 (tiga) segmen. Segmen pertama
(perkotaan) terdiri dari Kelurahan: Kampung Dalam, Gung Negeri, Gung Leto,
Universitas Sumatera Utara 179
Padang Mas, dan Lau Cimbat. Perkotaan tersebut pertumbuhan massa bangunan dalam kurun maktu 2010 s.d 2017 melebihi 1.517 unit, belum termasuk pertumbuhan massa bangunan dari Tahun 2017 s.d. 2019. Pertumbuhan massa bangunan pada perkotaan ini merupakan perubahan lahan pertanian skala kecil ataupun lahan kosong di antara massa bangunan yang sudah ada. Pola pertumbuhan massa bangunan pada perkotaan Kecamatan Kabanjahe ini memadat terpusat pada area yang cukup luas (±
13,5 km2) dengan bentuk morfologi kompak. Bisa dilihat pada Gambar 5.53.
Gambar 5.53 Morfologi Fisik (Pertumbuhan Massa Bangunan) Perkotaan Kecamatan Kabanjahe antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 Pada Gambar 5.53 bisa dilihat, bentuk dinamika perkembangan fisik perkotaan Kecamatan Kabanjahe berbentuk kompak memiliki konfigurasi bangunan organis dengan tipologi elemen ruang (urban void) sistem terbuka, serta pola tekstur kawasan bersifat heterogen. Sifat heterogen tersebut merupakan bentuk khas kota yang berkembang organik (unplanned), di mana figure (urban solid) lebih dominan dibandingkan dengan ground (urban void). Pertumbuhan massa bangunan pada
Universitas Sumatera Utara 180
perkotaan ini sangat dipengaruhi oleh bentuk alam, dikarenakan pengadaan massa bangunan baru relatif mudah pada bentuk alam datar s.d lereng landai. Kendala pertumbuhan massa bangunan baru pada bentuk alam lereng miring s.d lereng sangat terjal (tepian sungai). Untuk lebih jelas, bisa dilihat pada Gambar 5.54.
Gambar 5.54 Skematik Pengaruh Bentuk Alam terhadap Pertumbuhan Massa Bangunan pada Perkotaan Kecamatan Kabanjahe rentang Waktu antara11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 Segmen kedua (perdesaan utara) terdiri dari Desa: Kaban, Sumber Mufakat,
Ketaren, Rumah Kabanjahe, dan Samura. Perdesaan tersebut pertumbuhan massa bangunan dalan kurun waktu 2010 s.d. 2017 melebihi 616 unit rumah, belum termasuk pertumbuhan massa bangunan dari Tahun 2017 s.d. 2019. Pertumbuhan massa bangunan pada perdesaan ini merupakan perubahan lahan pertanian skala kecil
Universitas Sumatera Utara 181
s.d. besar atau lahan kosong di antara massa bangunan yang sudah ada. Pola pertumbuhan massa bangunan pada perdesaan bagian utara Kecamatan Kabanjahe ini menyebar dan memadat pada beberapa permukiman pada area perdesaan yang luas (±
20,9 km2) dengan bentuk morfologi tidak kompak bentuk terpecah (fragmented cities). Untuk lebih jelasnya pola pertumbuhan massa bangunan (dinamika perkembangan) fisik perdesaan tersebut, bisa dilihat pada Gambar 5.55..
Gambar 5.55 Morfologi Fisik (Pertumbuhan Massa Bangunan) Perdesaan Utara Kecamatan Kabanjahe antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 Pada Gambar 5.55 bisa dilihat, bentuk dinamika perkembangan fisik perkotaan Kecamatan Kabanjahe berbentuk tidak kompak (terpecah) memiliki konfigurasi bangunan organis dengan tipologi elemen ruang (urban void) sistem terbuka, serta pola tekstur kawasan bersifat heterogen. Sifat heterogen tersebut merupakan bentuk khas desa yang berkembang organik (unplanned), di mana ground
(urban void) lebih dominan dibandingkan dengan figure (urban solid). Pertumbuhan
Universitas Sumatera Utara 182
massa bangunan baru memadat pada permukiman dengan bentuk alam datar s.d. landai (sangat dipengaruhi bentuk alam), bisa dilihat pada Gambar 5.56.
Gambar 5.56 Skematik Pengaruh Bentuk Alam terhadap Pertumbuhan Massa Bangunan pada Perdesaan Utara Kecamatan Kabanjahe rentang Waktu antara11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 Segmen ketiga (perdesaan barat) terdiri dari Desa: Kacaribu, Kandibata, dan
Lau Simomo. Perdesaan tersebut pertumbuhan massa bangunan dalan kurun waktu
2010 s.d. 2017 melebihi 147 unit rumah. Pertumbuhan massa bangunan pada
Universitas Sumatera Utara 183
perdesaan ini merupakan perubahan lahan pertanian skala kecil. Pola pertumbuhan massa bangunan pada perdesaan bagian barat Kecamatan Kabanjahe ini menyebar dan memadat pada beberapa permukiman pada area perdesaan yang luas (± 10,25 km2) dengan bentuk morfologi tidak kompak bentuk terpecah (fragmented cities).
Untuk lebih jelasnya pola pertumbuhan massa bangunan (dinamika perkembangan) fisik perdesaan tersebut, bisa dilihat pada Gambar 5.57.
Gambar 5.57 Morfologi (Pertumbuhan Massa Bangunan) Fisik Perdesaan Barat Kecamatan Kabanjahe antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 Pada Gambar 5.57 bisa dilihat, bentuk dinamika perkembangan fisik perdesaan bagian barat Kecamatan Kabanjahe berbentuk tidak kompak (terpecah) memiliki konfigurasi bangunan organis dengan tipologi elemen ruang (urban void) sistem terbuka, serta pola tekstur kawasan bersifat heterogen. Sifat heterogen tersebut
Universitas Sumatera Utara 184
merupakan bentuk khas desa yang berkembang organik (unplanned), di mana ground
(urban void) lebih dominan dibandingkan dengan figure (urban solid). Pertumbuhan massa bangunan baru sangat dipengaruhi bentuk alam, di mana massa baru memadat pada permukiman dengan bentuk alam datar s.d. landai (sangat dipengaruhi bentuk alam). Dengan kendala perkembangan/pertumbuhan massa bangunan pada bentuk alam lereng miring s.d lereng sangat terjal, bisa dilihat pada Gambar 5.58.
Gambar 5.58 Skematik Pengaruh Bentuk Alam terhadap Pertumbuhan Massa Bangunan pada Perdesaan Barat Kecamatan Kabanjahe rentang Waktu antara11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 Sebelumnya Penulis telah menjelaskan hasil kajian yang membuktikan bahwa bentuk alam sangat mempengaruhi morfologi (pertumbuhan fisik) tiap-tiap desa dan kelurahan, beserta pada 3 (tiga) segmen kawasan Kecamatan Kabanjahe.
Berikutnya, Penulis akan menjelaskan pola perkembangan fisik Kecamatan
Kabanjahe secara keseluruhan. Kecamatan kabanjahe yang terdiri dari: Desa Kaban,
Universitas Sumatera Utara 185
Desa Sumber Mufakat, Kelurahan Rumah Kabanjahe, Kelurahan Ketaren, Desa
Samura, Kelurahan Kampung Dalam, Kelurahan Gung Negeri, Kelurahan Gung
Leto, Kelurahan Padang Mas, Kelurahan Lau Cimba, Desa Kacaribu, Desa
Kandibata, dan Desa Lau Simomo dalam rentang waktu 2010 s.d. 2019 pertumbuhan massanya melebihi 2.280 unit bangunan.
Gabungan dari massa yang sudah ada sebelumnya dengan massa bangunan baru (antar 2010 s.d. 2019) membentuk pola pertumbuhan bentuk kompak pada perkotaan dan bentuk tidak kompak (terpecah) pada perdesaan. Secara keseluruhan pola tekstur kawasan bersifat heterogen yang merupakan pola konfigurasi bangunan organis dengan tipologi elemen ruang (urban void) sistem terbuka linier. Dengan perbandingan ground (urban void) lebih dominan dibandingkan dengan figure (urban solid). Untuk lebih jelasnya morfologi (dinamika perkembangan) fisik Kecamatan
Kabanjahe antara 11 September s.d. 2 Juni 2019 bisa dilihat pada Gambar 5.59.
Universitas Sumatera Utara 186
Gambar 5.59 Morfologi Fisik (Pertumbuhan Massa Bangunan) Kecamatan Kabanjahe antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019
Universitas Sumatera Utara 187
Pada Gambar 5.59 bisa dilihat, dinamika perkembangan fisik Kecamatan
Kabanjahe berbentuk kompak pada bagian perkotaan dan berbentuk tidak kompak
(terpecah) pada perdesaan. Secara keseluruhan fisik Kecamatan Kabanjahe memiliki pola tekstur kawasan bersifat heterogen dengan konfigurasi bangunan organis dan tipologi elemen ruang (urban void) sistem terbuka. Kecamatan Kabanjahe yang berada pada Dataran Tinggi Karo terdiri dari bentang alam Dataran Kaki Gunung Api
Sibayak (Volcanic Foot Plain - Volcano Sibayak) pada perdesaan bagian utara,
Dataran Fluvial Gunung Api Sibayak (Fluvio-volcanic Plain - Volcano Sibayak) pada bagian perkotaan, dan Dataran Fluvial Gunung Api Toba (Fluvio-volcanic Plain -
Volcano Toba) pada perdesaan bagian barat Kecamatan Kabanjahe.
Pada bagian dataran kaki Gunung Sibayak (perdesaan utara) pertumbuhan massa bangunan terpisah dan berkelompok, di mana permukiman dipisahkan bentuk alam sungai (lereng miring s.d. lereng sangat terjal). Pada bagian Dataran Aluvial
Gunung Sibayak (perkotaan) permukiman menyatu dan memadat di kelilingi bentuk alam sungai (lereng miring s.d. lereng sangat terjal). Serta, pada bagian Dataran
Aluvial Gunung Toba (perdesaan barat) permukiman terpisah dan berkelompok, terpisah oleh sungai (lereng miring s.d. lereng terjal) dan memusat pada bentuk alam datar s.d. lereng landai. Untuk lebih jelasnya mengenai pengaruh bentuk alam
(bentang alam) terhadap perkembangan fisik (pertumbuhan massa bangunan)
Kecamatan Kabanjahe Tahun 2010 - 2019 bisa dilihat pada Gambar 5.60.
Universitas Sumatera Utara 188
Gambar 5.60 Skematik Pengaruh Bentuk Alam terhadap Pertumbuhan Massa Bangunan pada Kecamatan Kabanjahe rentang Waktu 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019
Universitas Sumatera Utara 189
Hasil kajian Morfologi Kecamatan Kabanjahe ditinjau dari aspek ekologi, adalah: sesuai dengan teori Burges (2008), Morfologi (perkembangan fisik kota)
Kecamatan Kabanjahe sangat dipengaruhi oleh faktor internal kota yakni bentukan fisik ekologi (topografi dan bentuk alam) sehingga membentuk fisik kota dengan bentuk kipas (fan shape). Untuk lebih jelasnya bentuk morfologi Kecamatan
Kabanjahe tersebut (s.d. 2 Juni 2019) bisa dilihat pada Gambar 5.61.
Gambar 5.61 Bentuk Morfologi Fisik (Pertumbuhan Massa Bangunan) Kecamatan Kabanjahe rentang Waktu 11 September 2010 s.d 2 Juni 2019 Bentuk kipas (Fan Shape) tersebut terbentuk dari proses panjang sejak
Tahun 1948 (setalah peristiwa bumi hangus Kecamatan Kabanjahe Tahun 1947 akibat agresi militer belanda ke II), pada bentuk alam Kecamatan Kabanjahe berbentuk alluvial fans (Volcano Sibayak dan Volcano Toba). Fisik kota mulai tumbuh pada delta pada dataran aluvial (fluvio-volcanic plain) dari aktivitas vulkanis (erupsi)
Gunung Api Sibayak yang terakhir tercatat Tahun 1880. Perkembangan kota yang
Universitas Sumatera Utara 190
memadat dan terbatas pada fluvio-volcanic plan (Gunung Sibayak) menyebabkan perkembangan fisik kota beralih ke area kaki gunung datar (volcanic foot plain
Gunung Sibayak) dengan batasan bentuk alam yang terdiri dari lereng landai dan miring.
Kajian morfologi Kecamatan Kabanjahe ditinjau dari aspek ekologi, antara lain: Kendala berupa fisik ekologi yang terbentuk dari proses letusan dan erupsi
Gunung Sibayak membentuk alam yang relatif ekstrim namun menjadi identitas / karakter khas, menjadi pondasi pertumbuhan dan perkembangan fisik kota
Kecamatan Kabanjahe. Potensi berupa Kecamatan Kabanjahe yang berada pada
Dataran Tinggi Karo memiliki potensi fisik alam yang baik untuk dikembangkan
(destinasi wisata), didukung potensi kebudayan (Kebudayaan Suku Karo) yang tetap dijalankan dapat menjadi bekal untuk mengembalikan roh dan citra kota yang dulunya baik. Solusinnya berupa perkembangan fisik kota yang selaras dengan peningkatan kebutuhan pelayanan penduduknya harus memperhatikan, menjaga, dan memperindah bentuk alamnya agar bentuk alam tetap bersahabat dan rela menjadi tiang penyokong perkembangan fisik kotanya.
5.5 Kajian Kecenderungan Perkembangan Fisik Kecamatan Kabanjahe Berdasarkan Pola Morfologi (2010-2019)
Pada sub-bab ini, akan dibahas mengenai hasil kajian mengenai permasalahan: seperti apa kecenderungan perkembangan fisik Kecamatan Kabanjahe
Universitas Sumatera Utara 191
ditinjau dari aspek fisik ekologi sampai dengan Tahun 2039?. Sub-bab ini terdiri atas
2 (dua) sub sub-bab: pertama, proyeksi jumlah penduduk dan estimasi perluasan ruang, serta kedua, prediksi kecenderungan perkembangan fisik Kecamatan
Kabanjahe, untuk lebih jelasnya akan dideksripsikan sebagai berikut:
5.5.1 Proyeksi jumlah penduduk dan estimasi perluasan ruang Kecamatan
Kabanjahe
Penulis sebelumnya telah menjelaskan pada sub-bab 5.1 s.d. 5.4 mengenai pembahasan berkaitan dengan hasil kajian morfologi Kecamatan Kabanjahe ditinjau dari aspek fisik ekologi, dalam proses kajian tersebut telah ditemukan pola perkembangan fisik Kecamatan Kabanjahe. Data pendukung yang berperan penting untuk memprediksi perkembangan fisik Kecamatan Kabanjahe sampai dengan Tahun
2039 adalah proyeksi jumlah penduduk dan estimasi perluasan ruang s.d. 2039.
Pembahasan tentang data pendukung tersebut adalah sebagai berikut:
5.5.1.1 Proyeksi jumlah penduduk
Berdasarkan analisis laju pertumbuhan penduduk dari Tahun 2015 – 2017 ditemukan laju pertumbuhan penduduk. Menggunakan tahun awal 2017 diperoleh proyeksi penduduk Kecamatan Kabanjahe pada Tahun 2029 ±89.827 jiwa dan pada
Tahun 2039 diperkirakan berjumlah ± 102.429 jiwa. Untuk lebih jelasnya gambaran pertumbuhan penduduk setiap kelurahan/desa pada Kecamatan Kabanjahe bisa dilihat pada Tabel 5.1.
Universitas Sumatera Utara 192
Tabel 5.1 Proyeksi Jumlah Penduduk Desa/Kelurahan pada Kecamatan Kabanjahe sampai Tahun 2039
Proyeksi Kepadatan No. Desa/Kelurahan Penduduk (jiwa/km2) 2017 2029 2.039
01. Kaban 238,2 282,0 318,5 02. Sumber Mufakat 901,6 1.081,7 1.231,7 03. Rumah 387,4 462,4 524,9 Kabanjahe 04. Ketaren 3.088,8 3.721,4 4.248,6 05. Samura 1.429,7 1.716,7 1.955,9 06. Gung Negeri 2.890,7 3.484,2 3.978,9 07. Kampung Dalam 4.170,5 5.022,8 5.733,0 08. Gung Leto 2.971,5 3.571,3 4.071,1 09. Padang Mas 3.334,7 4.017,8 4.587,0 10. Lau Cimba 6.247,5 7.527,6 8.594,3 11. Kacaribu 565,5 673,3 763,1 12. Lau Simomo 364,5 422,6 471,1 13. Kandibata 454,4 544,2 619,0 Kabanjahe 1.673,1 2.011,8 2.294,0
Dari Tabel 5.1 bisa dilihat, laju pertumbuhan setiap kelurahan/desa pada
Kecamatan Kabanjahe akan mengalami permasalahan berupa lahan pengembangan perumahan yang terbatas. untuk mengetahui daya tampung ruang berdasarkan proyeksi jumlah penduduk sampai Tahun 2039 pada Kecamatan Kabanjahe Penulis menganalisis permasalahan yang akan muncul dengan memproyeksikan kepadatan
Universitas Sumatera Utara 193
penduduk sejak Tahun 2017 sampai Tahun 2039. Untuk lebih jelasnya proyeksi kepadatan penduduk setiap kelurahan/desa pada Kecamatan Kabanjahe bisa dilihat pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2 Proyeksi Kepadatan Penduduk Desa/Kelurahan pada KecamatanKabanjahe sampai Tahun 2039
Jumlah Penduduk Proyeksi Jumlah No. Desa/Kelurahan (jiwa) Penduduk (jiwa) 2015 2016 2017 2029 2039
01. Kaban 1.132 1.148 1.167 1.382 1.561 02. Sumber 4.798 4.878 4.959 5.949 6.774 Mufakat 03. Rumah 1.876 1.905 1.937 2.312 2.624 Kabanjahe 04. Ketaren 7.465 7.595 7.722 9.304 10.622 05. Samura 4.149 4.219 4.289 5.150 5.868 06. Gung Negeri 12.574 12.795 13.008 15.679 17.905 07. Kampung 8.064 8.204 8.341 10.046 11.466 Dalam 08. Gung Leto 5.748 5.846 5.943 7.143 8.142 09. Padang Mas 9.671 9.840 10.004 12.053 13.761 10. Lau Cimba 12.079 12.290 12.495 15.055 17.189 11. Kacaribu 1.781 1.808 1.838 2.188 2.480 12. Lau Simomo 710 717 729 845 942 13. Kandibata 2.199 2.234 2.272 2.721 3.095 Kabanjahe 72.246 73.479 74.704 89.827 102.429
Universitas Sumatera Utara 194
Pada Tabel 5.2 bisa dilihat permasalahan yang diprediksi akan timbul kepadatan penduduk yang sangat tinggi pada Kelurahan Lau Cimba pada Tahun 2039
(8.594 jiwa/km2) dan pada Kelurahan Kampung Dalam pada Tahun 2039 mencapai
5.733 jiwa/km2 diikuti peningkatan kepadatan penduduk yang cukup drastis pada
Kelurahan Padang Mas, Kelurahan Ketaren, Kelurahan Gung Leto, Kelurahan Gung
Negeri, dll. Masalah yang akan timbul akibat kepadatan penduduk adalah berkurangnya ruang terbuka dengan standar minimal ruang terbuka 30% dari luas wilayah desa/kelurahan berdasarkan Undang-undang No. 26 Tahun 2007.
Potensi dari pemecahan permasalahan tersebut adalah terdapat lahan yang cukup luas dengan keadaan topografi hampir datar sampai agak miring pada desa yang kepadatan penduduknya relatif lebih rendah dibandingkan dengan perkotaan
(kelurahan) dan terdapat beberapa area lahan kosong dengan pemanfaatan lahan pertanian pada kelurahan dapat dioptimalkan dengan fungsi perumahan kepadatan sangat tinggi.
Terdapat 3 (tiga) solusi dari masalahan kepadatan penduduk yang tidak tersebar merata yang Penulis usulkan, meliputi: Pertama, transmigrasi penduduk dari perkotaan menuju perdesaan Kecamatan Kabanjahe. Kedua, optimalisasi sistem jaringan jalan (struktur ruang) pada perdesaan dan memperpendek jarak tempuh dari perdesaan menuju perkotaan dengan pengadaan/pengembangan jembatan melalui sungai agar merangsang ketertarikan penduduk tinggal di perdesaan. Ketiga,
Universitas Sumatera Utara 195
pengembangan penggunaan lahan fungsi perumahan kepadatan sangat tinggi (rumah susun) pada lahan pertanian/lahan kosong perkotaan. Rusun tersebut dipredeksi memenuhi kebutuhan perumahan perkotaan dengan tetap mengindahkan pengadaan ruang terbuka minimal 30% luas wilayah perkotaan agar tetap dan menciptakan kenyaman penduduk Kecamatan Kabanjahe untuk beraktivitas sehari-hari.
5.5.1.2 Estimasi perluasan ruang
Perluasan ruang pengembangan di Kecamatan Kabanjahe sampai dengan
Tahun 2039, berdasarkan perhitungan normatif kebutuhan ruang menurut prediksi jumlah penduduk Tahun 2016 yaitu bisa dilihat pada Tabel 5.3. Dari tabel tersebut dapat di kemukakan indikasi perluasan ruang ideal dalam rangka memenuhi kebutuhan pelayanan jumlah penduduk di Kecamatan Kabanjahe sampai Tahun 2039
(Tabel 1).
Estimasi perluasan ruang ini berisi rekapitulasi prediksi perluasan ruang berdasarkan penggunaan lahan tiap-tiap desa dan kelurahan pada Kecamatan
Kabanjahe, meliputi komponen fasilitas yang dibutuhkan, yaitu: fasilitas jaringan jalan, fasilitas perumahan, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas perdagangan jasa, fasilitas taman tempat main, fasilitas jalur hijau dan pemakaman
(kuburan), serta fasilitas pelayanan umum Kelurahan/Desa (Lampiran 5).
Komponen fasilitas-fasilitas pelayanan tersebut adalah sepenuhnya difungsikan untuk Pelayanan Internal Kawasan Kecamatan Kabanjahe, dengan kata
Universitas Sumatera Utara 196
lain belum termasuk bentuk-bentuk fasilitas dengan skala pelayanan yang lebih besar
(skala kabupaten maupun skala provinsi). Untuk lebih jelasnya mengenai estimasi perluasan ruang tiap-tiap kelurahan dan desa pada Kecamatan Kabanajahe sampai
Tahun 2039 bisa dilihat pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3 Estimasi Perluasan Ruang Tiap-tiap Desa/Kelurahan pada Kecamatan Kabanjahe sampai Tahun 2039
No. Desa/ Fasilitas Total Kelurahan Luas 1 2 3 4 5 6 7 8 (Ha) 01. Kaban 49,00 10,0 0,60 0,03 0,18 0,175 2,45 0,06 62,49 02. Sumber Mufakat 55,00 43,4 3,28 0,26 0,63 0,175 10,64 0,12 113,45 03. Rumah 50,00 16,8 2,08 0,03 0,22 0,175 4,12 0,06 73,48 Kabanjahe 04. Ketaren 25,00 68,0 5,84 0,29 0,90 0,175 16,68 0,15 117,00 05. Samura 30,00 37,6 3,16 0,26 0,47 0,175 9,21 0,09 80,92 06. Gung Negeri 45,00 114,6 10,12 0,57 2,91 1,075 28,11 0,24 202,62 07. Kampung Dalam 20,00 73,4 5,84 0,32 1,06 0,175 18,00 0,18 118,95 08. Gung Leto 20,00 52,1 4,76 0,29 0,69 0,175 12,78 0,12 90,92 09. Padang Mas 30,00 88,1 7,92 0,35 2,62 1,075 21,60 0,21 151,85 10. Lau Cimba 20,00 110,0 10,00 0,57 2,88 1,075 26,99 0,24 171,76 11. Kacaribu 32,50 15,9 1,96 0,07 0,22 0,175 3,89 0,06 54,75 12. Lau Simomo 20,00 6,0 0,48 0,02 0,04 0,175 1,48 0,03 28,25 13. Kandibata 50,00 19,8 2,09 0,08 0,24 0,175 4,86 0,06 77,31 Kecamatan 446,50 655,5 56,33 2,97 13,63 4,975 160,81 1,56 1.342,33 Kabanjahe
Keterangan: 1 = Jaringan Jalan 5 = Perdagangan Jasa 2 = Perumahan 6 = Taman Tempat Main 3 = Pendidikan 7 = Jalur Hijau dan Pemakaman
Universitas Sumatera Utara 197
4 = Kesehatan 8 = Pelayanan Umum Kelurahan/Desa
5.5.2 Prediksi kecenderungan perkembangan fisik (intensitas bangunan) Kecamatan Kabanjahe
Pada sub sub-bab ini, Penulis akan menjelaskan pembahasan tentang hasil kajian mengenai kecederungan perkembangan fisik Kecamatan Kabanjahe sampai
Tahun 2039 dalam bentuk elemen fisik perkotaan yakni intensitas bangunan. Hasil dari prediksi kecederungan perkembangan fisik ini berdasarkan pada pengembangan penemuan pola morfologi fisik Kecamatan Kabanjahe ditinjau dari aspek fisik ekologi yang didukung oleh proyeksi jumlah penduduk dan estimasi perluasan ruang sampai dengan Tahun 2039. Untuk lebih jelasnya mengenai kecenderungan perkembangan fisik tiap-tiap kelurahan dan desa pada Kecamatan Kabanjahe sampai dengan Tahun 2039, akan dijelaskan sebagai berikut:
5.5.2.1 Prediksi kecenderungan perkembangan fisik Desa Kaban sampai dengan Tahun 2039
Profil Desa Kaban berada pada utara pusat kota Kecamatan Kabanjahe dengan luas wilyah 4,90 km2 (10,97% wilayah kecamatan). Tercatat jumlah penduduk
2017 berjumlah 1.167 jiwa dengan kepadatan 238,2 jiwa/km2. Berdasarkan perhitungan proyeksi jumlah penduduk Tahun 2039 berkisar ± 1.561 jiwa dengan kepadatan penduduk sekitar ± 318,5 km/km2. Prediksi kecenderungan perkembangan
Universitas Sumatera Utara 198
fisik Desa Kaban sampai Tahun 2039 berdasarkan estimasi perluasan ruang (Tabel
5.3) bisa dilihat pada Gambar 5.62.
Gambar 5.62 Prediksi Kecenderungan Perkembangan Fisik Desa Kaban pada Kecamatan Kabanjahe sampai dengan Tahun 2039 Bisa dilihat pada Gambar 5.62, prediksi kecenderungan perkembangan fisik
Desa Kaban sampai Tahun 2039 berdasarkan pertimbangan penggunaan lahan Tahun
2019 sebagai fungsi lahan pertanian dan perumahan. Kecenderungan perkembangan fisik berdasarkan fungsi penggunaan lahan serta prediksi intensitas bangunan sebagai berikut: Fungsi perlindungan kawasan dibawahnya (PB), fungsi perlindungan area
Universitas Sumatera Utara 199
rawan bencana longsor (RB), dan lahan pertanian/perkebunan (PL-1) dengan ketentuan; jumlah lantai bangunan 0 lantai, KDB 0%, dan KLB 0.
Penggunaan perumahan kepadatan sedang (R-3) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai bangunan maksimal 3 lantai, KDB maksimal 60%, dan KLB maksimal
1,5. Dengan prediksi pada lahan persimpangan masuk permukiman Desa Kaban akan dimanfaatkan sebagai fungsi sarana pelayanan umum yang dibutuhkan sampai Tahun
2039 sebesar ± 3,49 ha untuk fasilitas pendidikan, kesehatan, taman tempat main, perdagangan/jasa, pemakaman, dsb. Serta, prediksi pengembangan pariwisata (PL-3) apabila pemerintah memberikan insentif pengembangan pada lahan seluas ± 10,20 Ha dengan intensitas bangunan: jumlah lantai bangunan maksimal 4 lantai, KDB maksimal 50%, dan KLB maksimal 2,0. Untuk lebih jelasnya prediksi kecenderungan perkembangan fisik berupa fungsi penggunaan lahan, lokasi, dan besaran perluasan ruang perkembangan penggunaan lahan pada Desa Kaban bisa dilihat pada Gambar
5.62.
5.5.2.2 Prediksi kecenderungan perkembangan fisik Desa Sumber Mufakat sampai dengan Tahun 2039
Profil Desa Sumber Mufakat berada pada arah timur laut Pusat Kota
Kecamatan Kabanjahe dengan luas wilyah 5,50 km2 (12,31 % wilayah kecamatan).
Tercatat jumlah penduduk Tahun 2017 berjumlah 4.959 jiwa dengan kepadatan 901,6 jiwa/km2. Berdasarkan perhitungan proyeksi jumlah penduduk Tahun 2039 berkisar
Universitas Sumatera Utara 200
± 4.774 jiwa dengan kepadatan penduduk sekitar ± 1.231,7 km/km2. Prediksi kecenderungan perkembangan fisik Desa Sumber Mufakat sampai Tahun 2039 berdasarkan estimasi perluasan ruang (Tabel 5.3) bisa dilihat pada Gambar 5.63.
Gambar 5.63 Prediksi Kecenderungan Perkembangan Fisik Desa Sumber Mufakat pada Kecamata Kabanjahe sampai dengan Tahun 2039 Bisa dilihat pada Gambar 5.63, prediksi kecenderungan perkembangan fisik
Desa Sumber Mufakat sampai Tahun 2039 berdasarkan pertimbangan penggunaan lahan Tahun 2019 sebagai fungsi penggunan lahan utama fungsi lahan pertanian, perumahan, komersial (perdagangan-jasa), kantor pemerintahan, pendidikan, dsb.
Prediksi perkembangan fisik berdasarkan fungsi penggunaan lahan serta kecenderungan intensitas bangunan sebagai berikut: fungsi perlindungan area rawan bencana longsor (RB) dan lahan pertanian/perkebunan (PL-1) dengan intensitas
Universitas Sumatera Utara 201
bangunan; jumlah lantai bangunan 0 lantai, KDB 0%, dan KLB 0. Perumahan kepadatan sedang dengan intensitas bangunan: jumlah lantai bangunan maksimal 3 lantai, KDB maksimal 60%, dan KLB pada bagian barat (jalur utama) 1,8 serta KLB pada bagian timur 1,5. Pada jalur utama jalan arteri dengan penggunaan bangunan fungsi campuran komersial-perumahan (C-1) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai bangunan maksimal 4 lantai, KDB Maksimal 75%, dan KLB maksimal 3,0.
Serta, kecenderungan perkembangan fungsi Perkantoran Pemerintah (pusat kegitaan Kecamatan Kabanjahe promosi (KT-1) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai bangunan maksimal 3 lantai, KDB maksimal 50%, dan KLB maksimal 1,5.
Pengembangan berbagai fungsi sarana pelayanan umum (SPU) dengan intensitas bangunan: maksimal 3 lantai, KDB maksimal 50%, dan KLB maksimal 1,5. Dan prediksi utama pengembangan penggunaan lahan fungsi sarana pelayanan umum transportasi (SPU-2) pada lahan topografi hampir datar luas lebih dari 3,00 Ha dan berada dekat dengan jalur jalan arteri primer (jl. Jamin Ginting) dengan intensitas bangunan : jumlah lantai maksimal 3 lantai, KDB maksimal 30%, dan KLB maksimal
0,9. Untuk lebih jelasnya prediksi kecenderungan perkembangan fisik berupa fungsi penggunaan lahan, lokasi, dan besaran perluasan ruang pada Desa Sumber Mufakat bisa dilihat pada Gambar 5.63.
Universitas Sumatera Utara 202
5.5.2.3 Prediksi kecenderungan perkembangan fisik Kelurahan Rumah Kabanjahe sampai dengan Tahun 2039
Profil Kelurahan Rumah Kabanjahe berada pada arah timur laut Pusat Kota
Kecamatan Kabanjahe dengan luas wilyah 5,00 km2 (11,20% wilayah kecamatan).
Tercatat jumlah penduduk Tahun 2017 berjumlah 1.937 jiwa dengan kepadatan 387,4 jiwa/km2. Berdasarkan perhitungan proyeksi penduduk Tahun 2039 berkisar ± 2.624 jiwa dengan kepadatan penduduk sekitar ± 524,9 km/km2. Prediksi kecenderungan perkembangan fisik Kelurahan Rumah Kabanjahe sampai Tahun 2039 berdasarkan estimasi perluasan ruang (Tabel 5.3) bisa dilihat pada Gambar 5.64.
Gambar 5.64 Prediksi Kecenderungan Perkembangan Fisik Kelurahan Rumah Kabanjahe pada Kecamatan Kabanjahe sampai Tahun 2039
Universitas Sumatera Utara 203
Bisa dilihat pada Gambar 5.64, prediksi perkembangan fisik Kelurahan
Rumah Kabanjahe sampai Tahun 2039 berdasarkan pertimbangan penggunaan lahan
Tahun 2019 sebagai fungsi penggunaan lahan utama fungsi lahan pertanian, perumahan, komersial perdagangan-jasa, pertambangan, dsb. Kecenderungan perkembangan fisik berdasarkan fungsi penggunaan lahan serta prediksi intensitas bangunan sebagai berikut: fungsi perlidungan area rawan bencana longsor (RB) dan lahan pertanian/perkebunan (PL-1) dengan intensitas bangunan; jumlah lantai bangunan 0 lantai, KDB 0%, dan KLB 0. Perumahan kepadatan sedang (R-3) dengan intensitas bangunan; jumlah lantai bangunan maksimal 3 lantai, KDB maksimal 60%, dan KLB 1,5 s/d 1,8. Penggunaan lahan bangunan fungsi campuran komersial- perumahan (C-1) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 4 lantai, KDB maksimal 75%, dan KLB maksimal 3,0. Fungsi penggunaan lahan pertambangan
(PL-2) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 2 lantai, KDB maksimal
15%, dan KLB maksimal 0,3.
Predisik perkembangn fisik dengan fungsi penggunaan lahan sarana pelayanan umum (SPU) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 3 lantai,
KDB maksimal 60%, dan KLB maksimal 1,8. Pengadaan dan pengembangan penggunaan lahan dengan fungsi sarana pelayanan umum kesehatan (SPU-3) tingkat pelayanan kabupaten, dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 4 lantai,
Universitas Sumatera Utara 204
KDB maksimal 60%, dan KLB maksimal 2,4, untuk lebih jelas dapat dilihat pada
Gambar 5.64.
5.5.2.4 Prediksi kecenderungan perkembangan fisik Kelurahan Ketaren sampai dengan Tahun 2039
Profil Kelurahan Ketaren berada pada arah barat laut Pusat Kota Kecamatan
Kabanjahe dengan luas wilyah 2,50 km2 (5,60% wilayah kecamatan). Tercatat jumlah penduduk Tahun 2017 berjumlah 7.722 jiwa dengan kepadatan 3.088,8 jiwa/km2.
Berdasarkan perhitungan proyeksi jumlah penduduk Tahun 2039 berkisar ± 10.622 jiwa dengan kepadatan pendudukan sekitar ± 4.248,6 jiwa/km2. Prediksi kecenderungan perkembangan fisik Kelurahan Ketaren sampai Tahun 2039 berdasarkan estimasi perluasan ruang (Tabel 5.3) bisa dilihat pada Gambar 5.65.
Gambar 5.65 Prediksi Kecenderungan Perkembangan Fisik Kelurahan Ketaren pada Kecamatan Kabanjahe sampai dengan Tahun 2039
Universitas Sumatera Utara 205
Bisa dilihat pada Gambar 5.65, prediksi kecenderungan perkembangan fisik
Kelurahan Ketaren sampai Tahun 2039 berdasarkan pertimbangan penggunaan lahan
Tahun 2019 sebagai fungsi penggunaan lahan utama lahan pertanian, perumahan, komersial perdagangan-jasa, kantor pemerintahan, pendidikan, dsb. Kecenderungan perkembangan fisik berdasarkan fungsi penggunaan lahan serta prediksi intensitas bangunan sebagai berikut: fungsi perlidungan area rawan bencana longsor (RB) dan lahan pertanian/perkebunan (PL-1) dengan intensitas bangunan; jumlah lantai bangunan 0 lantai, KDB 0%, dan KLB 0. Penggunaan lahan fungsi perumahan kepadatan sedang (R-3) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 3 lantai,
KDB maksimal 60%, dan KLB maksimal 1,8. Penggunaan lahan bangunan fungsi campuran komersial-kantor (C-3) dengan intesitas bangunan: jumlah lantai maksimal
4 lantai, KDB maksimal 75%, dan KLB maksimal 3,0. Penggunaan lahan fungsi perkantoran pemerintah (KT-1) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal
4 lantai, KDB maksimal 60%, dan KLB maksimal 2,4. Serta, kecenderungan perkembangan fisik berupa fungsi lahan dan bangunan sarana pelayanan umum
(SPU) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 3 lantai, KDB maksimal
60%, dan KLB maksimal 1,8. Untuk lebih jelasnya prediksi kecenderungan perkembangan fisik berupa fungsi penggunaan lahan, lokasi, dan besaran perluasan ruang pada Kelurahan Ketaren bisa dilihat pada Gambar 5.65.
Universitas Sumatera Utara 206
5.5.2.4 Prediksi kecenderungan perkembangan fisik Desa Samura sampai dengan Tahun 2039
Profil Desa Samura berada pada arah timur Pusat Kota Kecamatan
Kabanjahe dengan luas wilyah 3,00 km2 (6,72% wilayah kecamatan). Tercatat jumlah penduduk Tahun 2017 berjumlah 4.289 jiwa dengan kepadatan 1.429,7 jiwa/km2.
Berdasarkan perhitungan proyeksi jumlah penduduk Tahun 2039 berkisar ± 5.868 jiwa dengan kepadatan penduduk ± 1.955,9 jiwa/km2. Prediksi kecenderungan perkembangan fisik Desa Samura sampai Tahun 2039 berdasarkan estimasi perluasan ruang (Tabel 5.3) bisa dilihat pada Gambar 5.66.
Gambar 5.66 Prediksi Kecenderungan Perkembangan Fisik Desa Samura pada Kecamatan Kabanjahe sampai dengan Tahun 2039
Universitas Sumatera Utara 207
Bisa dilihat pada Gambar 5.66, prediksi kecenderungan perkembangan fisik
Desa Samura sampai Tahun 2039 berdasarkan pertimbangan penggunaan lahan Tahun
2019 sebagai fungsi penggunaan lahan utama pertanian, perumahan, komersial perdagangan-jasa, sarana pelayanan umum olahraga (Stadion Samura), dsb.
Kecenderungan perkembangan fisik berdasarkan fungsi penggunaan lahan serta prediksi intensitas bangunan sebagai berikut: fungsi perlidungan area rawan bencana longsor (RB) dan lahan pertanian/perkebunan (PL-1) dengan intensitas bangunan; jumlah lantai bangunan 0 lantai, KDB 0%, dan KLB 0. Penggunaan lahan fungsi perumahan kepadatan sedang (R-3) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 3 lantai, KDB maksimal 60%, dan KLB maksimal 1,5 s/d 1,8.
Kecenderungan perkembangan fisik dengan fungsi sarana pelayanan umum olahraga (Stadion Samura (SPU-4)) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 4 lantai, KDB maksimal 50%, dan KLB maksimal 2,0. Penggunaan lahan fungsi bangunan campuran perumahan-perdagangan/jasa dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 4 lantai, KDB Maksimal 70%, dan KLB maksimal 2,8.
Penggunaan lahan fungsi bangunan campuran perkantoran-perdagangan/jasa dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 4 lantai, KDB Maksimal 70%, dan KLB maksimal 2,8. Pengembangan penggunaan lahan dengan fungsi sarana pelayanan umum pendidikan (SPU-1) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 4 lantai, KDB maksimal 60%, dan KLB maksimal 2,4. Serta, serta prediksi
Universitas Sumatera Utara 208
kecenderungan perkembagan fisik sebagai fungsi lahan dan bangunan sebagai aneka sarana pelayanan umum (SPU) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 3 lantai, KDB maksimal 50%, dan KLB maksimal 1,5. Untuk lebih jelasnya prediksi kecenderungan perkembangan fisik berupa fungsi penggunaan lahan, lokasi, dan besaran perluasan ruang pengembangan penggunaan pada Desa Samura bisa dilihat pada Gambar 5.66.
5.5.2.6 Prediksi kecenderungan perkembangan fisik Kelurahan Gung Negeri sampai dengan Tahun 2039 Profil umum Kelurahan Gung Negeri berada pada arah timur Pusat Kota
Kecamatan Kabanjahe dengan luas wilyah 4,50 km2 (10,08 % wilayah kecamatan).
Berbatasan dengan Desa Samura sebelah timur, dengan Kelurahan Padang Mas sebelah barat daya, dan sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Kampung Dalam dan Kelurahan Gung Leto Tercatat jumlah penduduk Tahun 2017 berjumlah 13.008 jiwa dengan kepadatan 2.890,7 jiwa/km2. Berdasarkan perhitungan proyeksi penduduk Tahun 2039 berkisar ±18.905 jiwa dengan kepadatan penduduk ± 3.978,9 jiwa/km2. Prediksi kecenderungan perkembangan fisik Kelurahan Gung Negeri sampai Tahun 2039 berdasarkan estimasi perluasan ruang (Tabel 5.3) bisa dilihat pada
Gambar 5.67.
Universitas Sumatera Utara 209
Gambar 5.67 Prediksi Kecenderungan Perkembangan Fisik Kelurahan Gung Negeri pada Kecamatan Kabanjahe sampai dengan Tahun 2039 Bisa dilihat pada Gambar 5.67, prediksi kecenderungan perkembangan fisik
Kelurahan Gung Negeri sampai Tahun 2039 berdasarkan pertimbangan penggunaan lahan Tahun 2019 sebagai fungsi penggunaan lahan utama perumahan, perumahan- perdagangan/jasa, perkantoran-perdagangan/jasa, pendidikan, perkantoran pemerintahan, dsb. Kecenderungan perkembangan fisik berdasarkan fungsi penggunaan lahan serta prediksi intensitas bangunan sebagai berikut: fungsi perlidungan area rawan bencana longsor (RB) dan lahan pertanian/perkebunan (PL-1) dengan intensitas bangunan; jumlah lantai bangunan 0 lantai, KDB 0%, dan KLB 0.
Universitas Sumatera Utara 210
Kecenderungan perkembangan fisik sebagai fungsi perumahan kepadatan sedang
(R-3) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 3 lantai, KDB maksimal
60%, dan KLB maksimal 1,8. Pengembangan bangunan fungsi campuran perumahan- perdagangan/jasa (C-1) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 4 lantai,
KDB maksimal 70%, dan KLB maksimal 2,8. Kecenderungan perkembangan fisik sebagai bangunan fungsi campuran perkantoran-perdagangan/jasa (C-3) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 4 lantai, KDB maksimal 75%, dan KLB maksimal 3.
Prediksi kecenderungan perkembangan fisik sebagai fungsi penggunaan lahan fungsi sarana pelayanan umum pendidikan (SPU-1) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 4 lantai, KDB maksimal 60%, dan KLB maksimal 2,4.
Kencederungan perkembangan fisik sebagai penggunaan lahan fungsi perkantoran pemerintahan (KT-1) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 3 lantai,
KDB maksimal 60%, dan KLB maksimal 1,8. Serta, prediksi perkembangan penggunaan lahan/bangunan aneka sarana pelayanan umum (SPU) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 3 lantai, KDB maksimal 50%, dan KLB maksimal
1,5. Untuk lebih jelasnya kecenderungan perkembangan fisik berupa fungsi penggunaan lahan, lokasi, dan besaran perluasan ruang pada Kelurahan Gung Negeri bisa dilihat pada Gambar 5.67.
Universitas Sumatera Utara 211
5.5.2.7 Prediksi kecenderungan perkembangan fisik Kelurahan Kampung Dalam sampai dengan Tahun 2039
Profil umum Kelurahan Kampung Dalam berada pada timur laut Pusat Kota
Kecamatan Kabanjahe dengan luas wilyah 2,00 km2 (4,48% wilayah kecamatan).
Tercatat jumlah penduduk Tahun 2017 berjumlah 8.341 jiwa dengan kepadatan
4.179,5 jiwa/km2. Berdasarkan perhitungan proyeksi jumlah penduduk Tahun 2039 berkisar ± 11.466 jiwa dengan kepadatan penduduk sekitar ± 5.733 jiwa/km2. Prediksi kecenderungan perkembangan fisik Kelurahan Kampung Dalam sampai Tahun 2039 berdasarkan estimasi perluasan ruang (Tabel 5.3) bisa dilihat pada Gambar 5.68.
Gambar 5.68 Prediksi Kecenderungan Perkembangan Fisik Kelurahan Kampung Dalam pada Kecamatan Kabanjahe sampai dengan Tahun 2039 Bisa dilihat pada Gambar 5.68, prediksi kecenderungan perkembangan fisik Kelurahan Kampung Dalam sampai Tahun 2039 berdasarkan pertimbangan
Universitas Sumatera Utara 212
penggunaan lahan Tahun 2019 sebagai fungsi penggunaan lahan utama perumahan, perkantoran pemerintahan, perkantoran-perdagangan/jasa, perumahan-perdagangan/ jasa, ruang terbuka (taman makam pahlawan), sarana pelayanan umum transportasi, peribadatan, sarana pelayanan umum pendidikan, dsb. Kecenderungan perkembangan fisik berdasarkan fungsi penggunaan lahan serta prediksi intensitas bangunan sebagai berikut: fungsi perlidungan area rawan bencana longsor (RB) dan ruang terbuka
(taman makam pahlawan (RT)) dengan intensitas bangunan; jumlah lantai bangunan
0 lantai, KDB 0%, dan KLB 0. Penggunaan lahan fungsi perumahan kepadatan sedang (R-3) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 3 lantai, KDB maksimal 60%, dan KLB maksimal 1,8. Kecenderungan perkembangan fisik sebagai pengunaan lahan perkantoran pemerintahan (KT-1) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 4 lantai, KDB maksimal 60%, dan KLB maksimal 2,4.
Kecenderungan perkembangan fisik sebagai penggunaan lahan bangunan fungsi campuran perkantoran-perdagangan/jasa (C-3) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 4 lantai, KDB maksimal 75%, dan KLB maksimal 3,0.
Prediksi kecenderungan perkembangan fisik sebagai fungsi penggunaan lahan sarana pelayanan umum pendidikan (SPU-1) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 4 lantai, KDB maksimal 60%, dan KLB maksimal 2,4. Prediksi perkembangan penggunaan lahan sarana pelayanan umum transportasi (SPU-3) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 3 lantai, KDB maksimal 30%,
Universitas Sumatera Utara 213
dan KLB maksimal 0,9. Prediksi kecenderungan perkembangan fisik sebagai penggunaan lahan fungsi sarana pelayanan umum peribadatan (SPU-6) dengan intensitas bangunan:jumlah lantai maksimal 4 lantai, KDB 60%, dan KLB 2,4.
Serta, prediksi kecenderungan perkembangan fisik berupa pengadaan dan pengembangan penggunaan lahan/bangunan sarana pelayanan umum (SPU) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 3 lantai, KDB maksimal 50%, dan KLB maksimal 1,5. Prediksi pengadaan dan pengembangan penggunaan lahan fungsi perumahan kepadatan sangat tinggi (rumah susun (R-1)) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 6 lantai, KDB maksimal 60%, dan KLB 3,6. Untuk lebih jelasnya prediksi kecenderungan perkembangan fisik berupa fungsi penggunaan lahan, lokasi, dan besaran perluasan ruang pada Kelurahan Kampung Dalam bisa dilihat pada Gambar 5.68.
5.5.2.8 Prediksi kecenderungan perkembangan fisik Kelurahan Gung Leto sampai dengan Tahun 2039
Profil umum Kelurahan Gung Leto berada pada timur Pusat Kota Kecamatan
Kabanjahe dengan luas wilyah 2,00 km2 (4,48% wilayah kecamatan). Tercatat jumlah penduduk Tahun 2017 berjumlah 5.943 jiwa dengan kepadatan 2.971,5 jiwa/km2.
Berdasarkan perhitungan proyeksi jumlah penduduk Tahun 2039 berkisar ± 8.142 jiwa dengan kepadatan penduduk sekitar ± 4.071,1 jiwa/km2. Prediksi kecenderungan
Universitas Sumatera Utara 214
perkembangan fisik Kelurahan Gung Leto sampai Tahun 2039 berdasarkan estimasi perluasan ruang (Tabel 5.3) bisa dilihat pada Gambar 5.69.
Gambar 5.69 Prediksi Kecenderungan Perkembangan Fisik Kelurahan Gung Leto pada Kecamatan Kabanjahe sampai dengan Tahun 2039 Bisa dilihat pada Gambar 5.69, prediksi kecenderungan perkembangan fisik
Kelurahan Gung Leto sampai Tahun 2039 berdasarkan pertimbangan penggunaan lahan Tahun 2019 sebagai fungsi penggunaan lahan utama perkantoran pemerintahan, sarana pelanyanan umum kesehatan, fungsi campuran perkantoran-perdagangan/jasa, sarana pelayanan umum pendidikan, sarana pelayanan umum peribadatan, dsb.
Kecenderungan perkembangan fisik berdasarkan fungsi penggunaan lahan serta prediksi intensitas bangunan sebagai berikut: fungsi perkantoran pemerintahan (KT-1) dengan intensitas bangunan; jumlah lantai maksimal 4 lantai, KDB maksimal 70%, dan KLB maksimal 2,8. Fungsi bangunan campuran perkantoran-perdagangan/jasa
Universitas Sumatera Utara 215
(C-3) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 4 lantai, KDB maksimal
75%, dan KLB maksimal 3,0.
Kecenderungan perkembangan penggunaan lahan fungsi sarana pelayanan umum pendidikan (SPU-1) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 4 lantai, KDB maksimal 60%, dan KLB maksimal 2,4. Fungsi sarana pelayanan umum tranportasi (SPU-2) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 3 lantai,
KDB maksimal 30%, dan KLB maksimal 0,9. Fungsi sarana pelayanan umum
Kesehatan (SPU-3) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 4 lantai,
KDB maksimal 60%, dan KLB maksimal 2,4.
Kecenderungan perkembangan fisik sebagai fungsi sarana penggunaan pelayanan umum peribadatan (SPU-6) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 4 lantai, KDB maksimal 60%, dan KLB maksimal 2,4. Serta, prediksi kecenderungan perkembangan fisik berupa pengadaan dan pengembangan penggunaan lahan/bangunan sarana pelayanan umum (SPU) atau ruang terbuka (RT) dengan intensitas bangunan (SPU) : jumlah lantai maksimal 3 lantai, KDB maksimal
60%, dan KLB maksimal 1,8. Untuk lebih jelasnya prediksi kecenderungan perkembangan fisik berupa fungsi penggunaan lahan, lokasi, dan besaran perluasan ruang pada Kelurahan Gung Leto bisa dilihat pada Gambar 5.69.
Universitas Sumatera Utara 216
5.5.2.9 Prediksi kecenderungan perkembangan fisik Kelurahan Padang Mas sampai dengan Tahun 2039
Profil umum Kelurahan Padang Mas berada pada selatan Pusat Kota
Kecamatan Kabanjahe dengan luas wilyah 3,00 km2 (6,72% wilayah kecamatan).
Tercatat jumlah penduduk Tahun 2017 berjumlah 10.004 jiwa dengan kepadatan
3.334,7 jiwa/km2. Berdasarkan perhitungan proyeksi jumlah penduduk Tahun 2039 berkisar ± 13.761 jiwa dengan kepadatan penduduk ± 4.587,0 jiwa/km2. Prediksi kecenderungan perkembangan fisik Kelurahan Padang Mas sampai Tahun 2039 berdasarkan estimasi perluasan ruang (Tabel 5.3) bisa dilihat pada Gambar 5.70.
Gambar 5.70 Prediksi Kecenderungan Perkembangan Fisik Kelurahan Padang Mas pada Kecamatan Kabanjahe sampai dengan Tahun 2039
Universitas Sumatera Utara 217
Bisa dilihat pada Gambar 5.70, prediksi kecenderungan perkembangan fisik Kelurahan Padang Mas sampai Tahun 2039 berdasarkan pertimbangan penggunaan lahan Tahun 2019 sebagai fungsi penggunaan lahan utama pusat pasar
(K-1), militer, perkantoran-perdagangan/jasa, perumahan-perdagangan/jasa, ruang terbuka (tempat pemakaman umum), perumahan, pendidikan, dsb. Kecenderungan perkembangan fisik berdasarkan fungsi penggunaan lahan serta prediksi intensitas bangunan sebagai berikut: fungsi perlidungan area rawan bencana longsor (RB) dan fungsi ruang terbuka hijau (tempat pemakaman umum (RTH)) dengan intensitas bangunan; jumlah lantai bangunan 0 lantai, KDB 0%, dan KLB 0. Prediksi kecenderungan pengembangan fungsi komersil tunggal (Pusat Pasar Kabanjahe
(K-1)) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 3 lantai, KDB maksimal
75%, dan KLB maksimal 2,2. Kecenderungan perkembangan fisik sebagai fungsi perkantoran-perdagangna/jasa (C-3) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 4 lantai, KDB maksimal 90%, dan KLB maksimal 3,6. Kecenderungan perkembangan fisik seabgai fungsi perumahan-perdagangan/jasa (C-1) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 4 lantai, KLB maksimal 80%, dan KLB maksimal 3,2.
Kecenderungan perkembangan fisik sebagai fungsi perumahan-perdagangan/ jasa (C-1) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 3 lantai, KLB maksimal 60%, dan KLB maksimal 1,8. Kecenderungan perkembangan fungsi
Universitas Sumatera Utara 218
pertahanan keamanan (KH-1) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 4 lantai, KDB maksimal 50%, dan KDB maksimal 2,0. Kecenderungan perkembangan fisik seabagai fungsi perumahan kepadatan tinggi (R-2) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 3 lantai, KDB maksimal 70%, dan KLB maksimal 1,8 s/d 2,1.
Serta, prediksi perkembangan fisik sebagai fungsi sarana pelayanan umum pendidikan (SPU-1) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 4 lantai,
KDB maksimal 60%, dan KLB maksimal 2,4. Untuk lebih jelasnya prediksi kecenderungan perkembangan fisik berupa fungsi penggunaan lahan, lokasi, dan besaran perluasan ruang pada Kelurahan Padang Mas bisa dilihat pada Gambar 5.70.
5.5.2.10 Prediksi kecenderungan perkembangan fisik Kelurahan Lau Cimba sampai dengan Tahun 2039
Profil umum Kelurahan Lau Cimba berada pada barat daya Pusat Kota
Kecamatan Kabanjahe dengan luas wilyah 2,20 km2 (4,48% wilayah kecamatan).
Tercatat jumlah penduduk Tahun 2017 berjumlah 12.495 jiwa dengan kepadatan
6.247,5 jiwa/km2. Berdasarkan perhitungan proyeksi jumlah penduduk Tahun 2039 berkisar ± 17.189 jiwa dengan kepadatan penduduk ± 8.594,3 jiwa/km2. Prediksi kecenderungan perkembangan fisik Kelurahan Lau Cimba sampai Tahun 2039 berdasarkan esimasi perluasan ruang (Tabel 5.3) bisa dilihat pada Gambar 5.71.
Universitas Sumatera Utara 219
Gambar 5.71 Prediksi Kecenderungan Perkembagan Fisik Kelurahan Lau Cimba pada Kecamatan Kabanjahe sampai dengan Tahun 2039 Bisa dilihat pada Gambar 5.71, prediksi kecenderungan perkembangan fisik Kelurahan Lau Cimba sampai Tahun 2039 berdasarkan pertimbangan penggunaan lahan Tahun 2019 sebagai fungsi penggunaan lahan utama Pasar Senin
(K-1), perkantoran-perdagangan/jasa, perumahan-perdagangan/jasa, ruang terbuka
(tempat pemakaman umum), perumahan, pendidikan, dsb. Kecenderungan perkembangn fisik berdasarkan fungsi penggunaan lahan serta prediksi intensitas bangunan sebagai berikut: fungsi lahan pertanian (Pl-1, fungsi perlidungan area rawan bencana longsor (RB) dan fungsi ruang terbuka hijau (tempat pemakaman umum (RTH)) dengan intensitas bangunan; jumlah lantai bangunan 0 lantai, KDB
0%, dan KLB 0. Kecenderungan perkemabangan fisik sebagai fungsi perumahan kedapatan tinggi (R-2) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 3 lantai,
KDB maksimal 65%, dan KLB maksimal 2,0.
Universitas Sumatera Utara 220
Kecenderungan perkembangn fisik sebagai fungsi campuran perumahan- perdagangan/jasa (C-1) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 4 lantai,
KDB maksimal 75% s/d 80%, dan KLB maksimal 3,0 s/d 3,2. Kecenderungan perkembangan fisik sebagai fungsi campuran perkantoran-perdagangan/jasa (C-3) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 4 lantai, KDB maksimal 90%, dan KLB maksimal 3,6. Kecenderungan perkembangan fungsi pasar senin (Pasar
Senin Singa) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 3 lantai, KDB maksimal 60%, dan KLB maksimal 1,8. Serta, prediksi kecenderungan perkembangan fisik sebagai fungsi lahan ruang terbuka hijau (RTH) dan aneka fungsi sarana pelayanan umum (SPU) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 3 lantai, KDB maksimal 50%, dan KLB maksimal 1,5. Untuk lebih jelasnya prediksi kecenderungan perkembangan fisik berupa fungsi penggunaan lahan, lokasi, dan besaran perluasan ruang pada Kelurahan Lau Cimba bisa dilihat pada Gambar 5.71.
5.5.2.11 Prediksi kecenderungan perkembangan fisik Desa Kacaribu sampai dengan Tahun 2039
Profil umum Desa Kacaribu berada pada arah barat Pusat Kota Kecamatan
Kabanjahe dengan luas wilyah 3,25 km2 (7,28% wilayah kecamatan). Tercatat jumlah penduduk Tahun 2017 berjumlah 1.838 jiwa dengan kepadatan 565,5 jiwa/km2.
Berdasarkan perhitungan proyeksi jumlah penduduk Tahun 2039 berkisar ± 2.480 jiwa dengan kepadatan penduduk sekitar ± 763,1 jiwa/km2. Prediksi kecenderungan
Universitas Sumatera Utara 221
perkembangan fisik Desa Kacaribu sampai Tahun 2039 berdasarkan estimasi perluasan ruang (Tabel 5.3) bisa dilihat pada Gambar 5.72.
Gambar 5.72 Prediksi Kecenderungan Perkembangan Fisik Desa Kacaribu pada Kecamatan Kabanjahe sampai dengan Tahun 2039 Bisa dilihat pada Gambar 5.72, prediksi kecenderungan perkembangan fisik
Desa Kacaribu sampai Tahun 2039 berdasarkan pertimbangan penggunaan lahan
Tahun 2019 sebagai fungsi penggunaan lahan utama fungsi lahan pertanian, perumahan kepadatan sedang, perdagangan/jasa kopel, dan aneka industri.
Kecenderungan perkembangan fisik berdasarkan fungsi penggunaan lahan serta arahan intensitas bangunan sebagai berikut: fungsi lahan pertanian (PL-1) dan fungsi perlidungan area rawan bencana longsor (RB) dengan intensitas bangunan; jumlah lantai bangunan 0 lantai, KDB 0%, dan KLB 0.
Universitas Sumatera Utara 222
Kecenderungan perkembangan fisik sebagai fungsi perumahan kepadatan sedang (R-3) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 3 lantai, KDB maksimal 60%, dan KLB maksimal 1,5. Kecenderungan perkembangan fisik sebagai fungsi perdagangan/jasa kopel (K-2) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 3 lantai, KDB maksimal 60%, dan KDB maksimal 3,0. Prediksi kecenederungan perkembangan fisik sebagai fungsi penggunaan lahan aneka industri
(I-4) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 4 lantai, KDB maksimal
70%, dan KLB maksimal 2,8. Serta, prediksi kecenderungan perkembangan fisik sebagai fungsi penggunaan lahan aneka fungsi ruang terbuka hijau (RTH) dan aneka sarana pelayanan umum (SPU) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 3 lantai, KDB maksimal 50%, dn KLB maksimal 1,5. Untuk lebih jelasnya prediksi perkembangan fisik berupa fungsi penggunaan lahan, lokasi, dan besaran perluasan ruang pada Desa Kacaribu bisa dilihat pada Gambar 5.72.
5.5.2.12 Prediksi kecenderungan perkembangan fisik Desa Kandibata sampai dengan Tahun 2039
Profil umum Desa Kandibata berada pada arah barat Pusat Kota Kecamatan
Kabanjahe dengan luas wilyah 5,00 km2 (11,20% wilayah kecamatan). Tercatat jumlah penduduk Tahun 2017 berjumlah 2.272 jiwa dengan kepadatan 454,4 jiwa/ km2. Berdasarkan perhitungan proyeksi jumlah penduduk Tahun 2039 berkisar
±3.095 jiwa dengan kepadatan penduduk sekitar ± 619,0 jiwa/km2. Prediksi
Universitas Sumatera Utara 223
Kecenderungan perkembangn fisik Desa Kandibata sampai Tahun 2039 berdasarkan estimasi perluasan ruang (Tabel 5.3) bisa dilihat pada Gambar 5.73.
Gambar 5.73 Prediksi Kecenderungan Perkembangan Fisik Desa Kandibata pada Kecamatan Kabanjahe sampai dengan Tahun 2039 Bisa dilihat pada Gambar 5.73, prediksi kecenderungan perkembangan fisik
Desa Kandibata sampai Tahun 2039 berdasarkan pertimbangan penggunaan lahan
Tahun 2019 sebagai fungsi penggunaan lahan utama fungsi lahan pertanian, perumahan kepadatan sedang, pendidikan, dsb. Kecenderungan perkembangan fisik sebagai fungsi penggunaan lahan serta prediksi intensitas bangunan sebagai berikut: fungsi lahan pertanian (PL-1) dan fungsi perlidungan area rawan bencana longsor
(RB) dengan intensitas bangunan; jumlah lantai bangunan 0 lantai, KDB 0%, dan
KLB 0. Kecenderungan perkembangan fisik sebagai pengunaan lahan fungsi perumahan kepadatan sedang (R-3) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 3 lantai, KDB maksimal 60%, dan KLB maksimal 1,5.
Universitas Sumatera Utara 224
Prediksi kecenderungan perkembangan fisik sebagai fungsi sarana pelayanan umum pendidikan (SPU-1) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 3 lantai, KDB maksimal 60%, dan KLB maksimal 1,8. Serta, Prediksi kecenderungan perkembangan fisik sebagai sarana pelayanan umum (SPU) termasuk di dalamnya fungsi sarana pelayanan pusat kegiatan Kecamatan Kabanajahe promosi dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 3 lantai, KDB maksimal 50%, dan KLB maksimal 1,5. Untuk lebih jelasnya prediksi kecenderungan perkembangan fisik berupa fungsi penggunaan lahan, lokasi, dan besaran perluasan ruang pada Desa
Kandibata bisa dilihat pada Gambar 5.73.
5.5.2.13 Prediksi kecenderungan perkembangan fisik Desa Lau Simomo sampai dengan Tahun 2039
Profil umum Desa Lau Simomo berada pada arah barat daya Pusat Kota
Kecamatan Kabanjahe dengan luas wilyah 2,00 km2 (4,48% wilayah kecamatan).
Tercatat jumlah penduduk Tahun 2017 berjumlah 729 jiwa dengan kepadatan 364.5 jiwa/km2. Berdasarkan perhitungan proyeksi jumlah penduduk Tahun 2039 berkisar
±942 jiwa dengan kepadatan penduduk ± 471,1 jiwa/km2. Prediksi kecenderungan perkembangn fisik Desa Lau Simomo sampai Tahun 2039 berdasarkan estimasi perluasan ruang (Tabel 5.3) bisa dilihat pada Gambar 5.84.
Universitas Sumatera Utara 225
Gambar 5.74 Prediksi Kecenderungan Perkembangan Fisik Desa Lau Simomo pada Kecamatan Kabanjahe sampai dengan Tahun 2039 Bisa dilihat pada Gambar 5.75, prediksi kecenderungan perkembangan fisik Desa Lau Simomo sampai Tahun 2039 berdasarkan pertimbangan penggunaan lahan Tahun 2019 sebagai fungsi penggunaan lahan utama fungsi lahan pertanian, perumahan kepadatan sedang, pendidikan, dsb. Kecenderungan perkembangan fisik sebagai fungsi penggunaan lahan serta prediksi intensitas bangunan sebagai berikut: fungsi lahan pertanian (PL-1) dan fungsi perlidungan area rawan bencana longsor
(RB) dengan intensitas bangunan; jumlah lantai bangunan 0 lantai, KDB 0%, dan
KLB 0. Kecenderungan perkembangan fisik sebagai pengunaan lahan fungsi perumahan kepadatan sedang (R-3) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 3 lantai, KDB maksimal 60%, dan KLB maksimal 1,5. Serta, prediksi kecenderungan perkembangan fisik sebagai fungsi aneka sarana pelayanan umum
Universitas Sumatera Utara 226
(SPU) dengan intensitas bangunan: jumlah lantai maksimal 3 lantai, KDB maksimal
50%, dan KLB maksimal 1,5. Untuk lebih jelasnya prediksi kecenderungan perkembangan fisik berupa fungsi penggunaan lahan, lokasi, dan besaran perluasan ruang pada Desa Lau Simomo bisa dilihat pada Gambar 5.74.
Universitas Sumatera Utara BAB VI
PENEMUAN
Rangkuman penemuan berdasarkan permasalahan penelitian tentang morfologi Kecamatan Kabanjahe ditinjau dari aspek fisik ekologi dapat dilihat pada
Tabel 6.1. Hasil penemuan dari kajian morfologi Kecamatan Kabanjahe ditinjau dari aspek fisik ekologi yang Penulis jelaskan pada Bab 5 sebelumnya dan telah dirangkum pada Tabel 6.1 dijadikan dasar teori dan analisis untuk memprediksi kecenderungan perkembangan fisik Kecamatan Kabanjahe sampai dengan Tahun
2039 yang rangkumannya bisa dilihat pada Tabel 6.2.
Tabel 6.1 berisi rangkungan kajian morfologi Kecamatan Kabanjahe ditinjau dari aspek fisik ekologi berisi landasan teori, kajian, dan penemuan terkait isu permasalahan menyangkut pengaruh aspek ekologi terhadap morfologi Kecamatan
Kabanjahe. Isu-isu permasalahan yang telah ditemukan hasil dan pembahasannya pada Bab 5 dan dirangkum pada Tabel 6.1 meliputi: bagaimana pengaruh topografi terhadap sistem jaringan jalan?, bagaimana pengaruh topografi terhadap perletakan massa bangunan?, bagaimana pengaruh bentuk alam terhadap penggunaan lahan?, dan bagaimana pengaruh bentuk alam terhadap morfologi fisik Kecamatan
Kabanjahe?. Sedangkan, Tabel 6.2 berisi rangkuman prediksi Kecenderungan perkembangan fisik Kecamatan Kabanjahe sampai Tahun 2039 (Sub-bab 5.5) yang dikelompok atas 3 segmen, yakni: perkotaan, perdesaan utara, dan perdesaan barat.
227 Universitas Sumatera Utara 228
Tabel 6.1 Rangkuman Kajian Morfologi Kecamatan Kabanjahe Ditinjau dari Aspek Fisik Ekologi (2010-2019)
Isu Permasalahan Morfologi - Aspek Landasan teori Kajian Penemuan Fisik Ekologi
Bagaimana pengaruh Faktor yang mempengaruhi 1. Jalan strategis nasional (Jl. Letjend. Jamin Ginting-Jl. Mariam Ginting) dengan panjang ± 8,28 km berada pada topografi 1. Ditemukan bahwa sistem topografi terhadap rendahnya aksesbilitas hampir datar s.d. agak miring, serta relatif paralel dengan arah aliran sungai (Gambar 6.1). jaringan jalan sangat sistem jaringan jalan adalah topografi, sebab dapat d i p e n g a r u h i d a n menyesuaikan terhadap p a d a K e c a m a t a n menjadi penghalang bagi kondisi topografi. Proses Kabanjahe? k e l a n c a r a n u n t u k p e n g a d a a n d a n mengadakan interaksi di pengembangan jalan utama suatu daerah (Sumaatmadja, (jalan nasional, jalan 1998). p r o v i n s i , d a n j a l a n kabupaten) cenderung berada dan melintas pada Gambar 6.1 Pengaruh Topografi terhadap Bentuk Ruas Jalan Strategis Nasional (2019) topografi hampir datar s.d. 2. Jalan provinsi (Jl. Veteran-Jl. Kapten Bangsi Sembiring-Jl. Rakoetta Brahmana-Jl. Kota Cane) dengan panjang ± 16,5 km topografi agak miring. berada pada topografi hampir datar s.d. curam, serta pada awalnya paralel terhadap arah aliran sungai namun pada kelokannya tegak lurus dan menyebrangi Sungai Biang (Gambar 6.2). 2. Bentuk jalan utama (jalan n a s i o n a l d a n j a l a n provinsi) cenderung paralel terhadap aliran sungai dan berada diantara topografi agak miring s.d. topografi miring.
3. Karakter topografi agak curam, topografi curam, Gambar 6.2 Pengaruh Topografi terhadap Bentuk Ruas Jalan Provinsi (2019) dan topografi sangat curam menjadi faktor utama 3. Terdapat 4 (empat) jalan kabupaten utama pada Kecamatan Kabanjahe, meliputi: Jl. Kiras Bangun (± 1,77 km) menuju pembatas dan pengendali Kec. Simpang Empat, Jl. Kapten Pala Bangunan (± 1,16 km) menuju Jl Mariam Ginting- Kec. Tiga Panah, Jl. Kapten Bom p e n g a d a a n d a n Ginting (± 6,30 km) menuju Kec. Berastagi, dan Jl. Samura (± 8,76 km) menuju Kec. Tiga Panah bagian utara. Keempat pengembangan sistem jalan kabupaten tersebut berada pada topografi hampir datar s.d. topografi agak curam (Gambar 6.3). j a r i n g a n j a l a n y a n g 4. Jalan lingkungan pada perkotaan berpola criss-cross (radial dan linear) pada topografi hampir datar s.d. topografi agak menghubungkan wilayah miring, sedangkan pada perdesaan jalan lingkungan berada pada topografi hampir datar s.d. agak curam (Gambar 6.3). perkotaan dengan wilayah perdesaan pada Kecamatan Kabanjahe.
4. D i t e m u k a n u p a y a pengembangan jaringan jalan (ring radial arteri) pada garis sempadan sungai yang memiliki topografi hampir datar s.d. topografi agak miring dengan konsep waterfront pada (Jl. Lingkar) yang berada di tepian Sungai Lau Biang.
Gambar 6.3 Pengaruh Topografi terhadap Sistem Jaringan Jalan pada Kecamatan Kabanjahe (2019)
Universitas Sumatera Utara 229
Isu Permasalahan Morfologi - Aspek Landasan teori Kajian Penemuan Fisik Ekologi Bagaimana pengaruh Topografi menjadi dasar 1. Perletakan massa bangunan pada perkotaan (± 13,50 km2) intensitas kepadatan bangunan padat s.d. sangat padat pada 1. D i t e m u k a n b a h w a topografi terhadap pertimbangan perletakan topografi hampir datar s.d. topografi agak miring sehingga figure (urban solid) lebih dominan dibandingkan ground perletakan massa bangunan p e r l e t a k a n m a s s a massa bangunan pada daerah (urban void). Namun, perletakan massa bangunan dibatasi dengan topografi curam s.d. sangat curam pada arah utara dan sangat berkaitan erat b a n g u n a n p a d a yang memiliki kondisi selatan (Gambar 6.4). dengan topografi. Di mana Kecamatan Kabanjahe? berkontur. Tatanan bangunan proses perkembangan dibuat dengan mengikuti perletakan massa-massa k o n t u r a g a r d a p a t bangunan yang majemuk meminimalisir cut dan fill bergantung terhadap sistem sehingga dapat menjaga jaringan jalan. Didukung keadaan topografi alaminya o l e h p e n e m u a n (De Chiara, 199). s e b e l u m n y a y a n g mengungkapkan bahwa sistem jaringan jalan memiliki korelasi yang sangat kuat terhadap topografi Kecamatan Kabanjahe.
Gambar 6.4 Pengaruh Topografi terhadap Perletakan Massa Bangunan pada Perkotaan Kecamatan Kabanjahe (2019) 2. P e r l e t a k a n m a s s a 2. Perletakan massa bangunan pada perdesaan bagian utara (± 20,90 km2) menyebar dan terpusat pada topografi hampir bangunan pada wilayah datar s.d. agak miring dengan intensitas bangunan cukup padat s.d. sangat padat, sehingga ground (urban void) lebih Kecamatan Kabanjahe dominan dibandingkan dengan figure (urban solid). Perletakan massa bangunan dibatasi dengan topografi curam s.d. yang memiliki topografi sangat terjal pada bagian tengah perdesaan utara ini dari arah utara s.d. arah selatan (Gambar 6.5). hampir datar s.d. agak miring yang berdekatan dengan jalan utama serta a l i r a n s u n g a i m a s s a bangunannya memadat terpusat. Sedangkan, perletakan massa bangunan pada topografi miring s.d. topografi agak curam relatif merenggang.
Gambar 6.5 Pengaruh Topografi terhadap Perletakan Massa Bangunan pada Perdesaan Utara Kecamatan Kabanjahe (2019) 3. Karakter topografi agak curam, topografi curam, 3. Perletakan massa bangunan pada perdesaan bagian barat (± 10,25 km2) menyebar dan terpusat pada topografi hampir dan topografi sangat curam datar s.d. agak miring berdekatan dengan sungai dengan intensitas bangunan relatif cukup padat, di mana ground (urban menjadi faktor utama void) jauh lebih dominan dibandingkan dengan figure (urban solid) (Gambar 6.6). pembatas dan pengendali pengadaan perletakan massa bangunan pada w i l a y a h K e c a m a t a n K a b a n j a h e . N a m u n , d i t e m u k a n u p a y a memanfaat lahan pada topografi tersebut dengan mengubah permukaan lahan menjadi lebih datar Gambar 6.6 Pengaruh Topografi terhadapa Perletakan Massa Bangunan pada Perdesaan Barat Kecamatan Kabanjahe (2019) pada perumahan baru.
Universitas Sumatera Utara 230
Tabel 6.1 (Lanjutan)
Isu Permasalahan Morfologi - Aspek Landasan teori Kajian Penemuan Fisik Ekologi Bagaimana pengaruh Perbedaan jenis penggunaan 1. Perkotaan Kecamatan Kabanjahe yang berada pada bentang alam dataran aluvial (fluvial-volcanic plain) Gunung Api 1. Adanya hubungan yang bentuk alam terhadap lahan suatu perkotaan Sibayak dengan bentuk alam secara umum datar s.d. lereng landai yang dikelilingi bentuk alam sungai pada arah utara kuat antara bentuk alam penggunaan lahan pada menyatakan penggunaan dan selatan penggunaan lahan dimanfaatkan dengan fungsi bangunan yang sangat variatif, diantaranya: pusat pasar, dengan penggunaan lahan. Kecamatan Kabanjahe? lahan dimaknai sebagai komersial (perdagangan/jasa), instansi pemerintahan, perumahan, militer, pendidikan pemakan, sabuk hijau (sisi terluar) d i t e m u k a n b a h w a dampak dari segala kegiatan (Gambar 6.7). penggunaan lahan pada manusia di atas muka bumi Kecamatan Kabanjahe yang dipengaruhi oleh d i s e s u a i a k a n d e n g a n bentuk alam (Sandy, 1995) keadaan bentuk alam (bentang alam) Kecamatan Kabanjahe.
2. Pada bentuk alam Dataran Aluvial Gunung Sibayak (bentuk datar s.d. lereng landai pada area yang sangat luas) penggunaan l a h a n d i m a n f a a t k a n sebagai sarana pelayanan t i n g k a t k a b u p a t e n diantaranya: pusat pasar, mixed-use perumahan- k o m e r s i a l , i n s t a n s i pemerintahan, perumahan, Gambar 6.7 Pengaruh Bentuk Alam terhadap Penggunaan Lahan pada Perkotaan Kecamatan Kabanjahe (2019) militer, sarana pelayanan u m u m ( k e s e h a t a n , 2. Perdesaan bagian utara Kecamatan Kabanjahe yang berada pada bentang alam dataran kaki (volcanic foot plain) Gunung transportasi, pendidikan, Api Sibayak dengan bentuk alam secara umum lereng landai yang disertai dengan bentuk alam sungai dan bukit. Kawasan dll.). berada pada jalur utama jalan nasional penggunaan lahannya diantaranya: komersial (perdagangan/jasa), instansi pemerintahan, perumahan kepadatan rendah, dan tempat ibadah. Sedangakan, pada bentuk alam datar s.d. lereng landai 3. Pada bentuk alam Dataran pada jalan lokal yang lateral terhadap jalan utama penggunaan lahan sebagai lahan pertanian, perumahan, dan sabuk hijau Kaki Gunung Sibayak (Gambar 6.8). yang berada pada bentuk alam datar s.d. lereng sedang yang berada pada jalur utama penggunaan lahan sebagai: komersial ( p e r d a g a n g a n / j a s a ) , instansi pemerintahan, perumahan, dan tempat ibadah. Sedangkan pada jalur jalan kabupaten dan jalan lokal penggunaan lahan sebagai perumahan dan lahan pertanian.
4. Pada bentuk alam Dataran Aluvial Gunung Toba d e n g a n b e n t u k a l a m Gambar 6.8 Pengaruh Bentuk Alam terhadap Penggunaan Lahan pada Perdesaan Bagian Utara Kecamatan Kabanjahe (2019) dominan datar s.d. lereng sedang penggunaan lahan
Universitas Sumatera Utara 231
Tabel 6.1 (Lanjutan)
Isu Permasalahan Morfologi - Aspek Landasan teori Kajian Penemuan Fisik Ekologi dominan datar s.d. lereng sedang penggunaan lahan 3. Perdesaan bagian barat Kecamatan Kabanjahe yang berada pada bentang alam dataran aluvial (fluvial-volcanic plain) didominasi fungsi lahan Gunung Api Raksasa Toba dengan bentukan alam secara umum datar s.d. lereng sedang yang disekitarnya terdapat sejumlah pertanian. Pada bentuk bentuk alam sungai, penggunaan lahannya didominasi fungsi lahan pertaniaan, disertai dengan fungsi perumahan, industri, alam datar yang cukup luas komersial perdagangan/jasa, pendidikan, tempat ibadah, sabuk hijau, dsb. (Gambar 6.9). p a d a j a l a n u t a m a dimanfaatkan sebagai fungsi aneka industri serta komersial. Sedangkan pada bentuk alam datar s.d. lereng landai pada pada jalan lokal dimanfaatkan sebagai fungsi perumahan.
Gambar 6.9 Pengaruh Bentuk Alam terhadap Penggunaan Lahan pada Perdesaan Bagian Barat Kecamatan Kabanjahe (2019) Bagaimana pengaruh Aspek fisik ekologi (bentuk 1. Pada perkotaan Kecamatan Kabanjahe pertumbuhan massa bangunan memadat terpusat pada lahan kosong di antara 1. Gabungan antara massa bentuk alam terhadap alam) merupakan salah satu massa bangunan yang sudah ada pada bentuk alam datar s.d. agak miring. bangunan sejak tahun 2010 m o r f o l o g i f i s i k faktor internal yang paling 2. Pada perdesaan relatif dekat dengan perkotaan dan berada pada jalur jalan utama pertumbuhan massa bangunan memadat, dengan massa bangunan sedangkan pada jalur jalan lingkungan pertumbuhan massa bangunan menyebar pada bentuk alam lereng landai s.d. lereng yang tumbuh antara 2011 Kecamatan kabanjahe mempengaruhi pembentukan miring. s . d . 2 J u n i 2 0 1 9 dan pertumbuhan sebuah 3. Pada perdesaan relatif jauh dari perkotaan pertumbuhan massa bangunan terpusat dan memadat pada bentuk alam datar membentuk pola morfologi kota (Burges, 2008). s.d. lereng landai dan berdekatan dengan bentuk alam sungai. Perkotaan Bentuk Kipas 4. Kecamatan Kabanjahe yang berada pada bentuk alam Dataran Aluvial dan Dataran Kaki Gunung Api Sibayak serta (Fan Shaped Cities). Dataran Aluvial Gunung Api Raksasa Toba mengakibatkan morfologi fisik (pertumbuhan massa bangunan) perkotaan dan perdesaan kecamatan membentuk Kota Berbentuk Kipas (Fan Shaped Cities). 2. Bentuk kipas (fan shape) t e r s e b u t t e r b e n t u k dipengaruhi oleh bentuk alam (aspek fisik ekologi) y a n g t e r s u s u n d a r i perpaduan proses erupsi Gunung Api Sibayak dan Gunung Api Raksasa Toba y a n g p a d a a k h i r n y a menciptakan bentuk alam yang disebut alluvial fan p a d a K e c a m a t a n Gambar 6.10 Pengaruh Bentuk Alam terhadap Morfologi Fisik Kecamatan Kabanjahe (11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019) Kabanjahe.
Universitas Sumatera Utara 232
Tabel 6.2. Rangkuman Prediksi Kecenderungan Perkembangan Fisik Kecamatan Kabanjahe sampai Tahun 2039
Isu Permasalahan Aspek Penemuan Prediksi Kecenderungan Perkembangan Fisik Fisik Ekologi Peralihan penggunaan lahan Peralihan penggunaan lahan 1. Prediksi kecenderungan perkembangan fisik pada Perkotaan Kecamtan Kabanjahe selaras dengan rekomendasi pengembangan sistem jaringan jalan p a d a p e r k o t a a n d a n pada perkotaan dan perdesaan dan pengendalian perletakan massa bangunan pada sabuk hijau. Sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya pada Bab V, kecenderungan p e r d e s a a n K e c a m a t a n K e c a m a t a n K a b a n j a h e perkembangan fisik sebagai penggunaan lahan pada perkotan ini dititikberatkan terhadap optimalisasi pemanfaatan lahan dengan pertimbangan utama ketersediaan RTH minimal 30% dari seluruh luas kawasan. Rekomendasi penggunaan lahan yang lebih spesifik di antaranya adalah penganjuran Kabanjahe yang spontan dan dipengaruhi beberapa faktor, bangunan dimanfaatkan sebagai fungsi campuran meliput komersial-perumahan dan komersial-perkantoran pada daerah strategis terutama pada jalur tidak terekomendasi (tidak faktor yang sangat dominan jalan utama pada bentuk alam datar s.d. lereng landai. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 6.11. t e r a r a h ) m e n i m b u l k a n adalah bentuk alam, kedekatan permasalahan diantaranya dengan sungai (sumber air), adalah penyesuaian bentuk klasifikasi jalan, dan aktivitas alam terhadap penggunaan lingkungan di sekitarnya. l a h a n y a n g d a p a t menimbulkan permasalahan perubahan bentuk alam (bencana alam seperti longsor dan banjir).
Gambar 6.11 Prediksi Kecenderungan Perkembangan Fisik Kawasan Perkotaan Kecamatan Kabanjahe sampai Tahun 2039 2. Prediksi kecenderungan perkembangan fisik pada Perdesaan Utara Kecamatan Kabanjahe sama halya dengan perkotaan, juga rekomendasi pengembangan jaringan (ring radial arteri dan kolektor) dan pengendalian peralihan sabuk hijau menjadi lahan pertanian dan perumahan/komersil. Rekomendasi penggunaan lahan yang lebih spesifik di antaranya optimalisasi lahan pertanian sebagai agrobisnis dan agrowisata, pengaturan kepadatan perumahan, penyediaan RTH minimal 30 %, pengembangan terminal Tipe-B Kabanjahe, pengembangan Pusat Kegiatan Kecamatan Kabanjahe Promosi, pengadaan/pengembangan Rumah Sakit Umum Kabanjahe (Kelurahan Rumah Kabanjahe), dan penggunaan lahan sebagai fungsi bangunan campuran (mixed-use building), pengembangan sarana pelayanan umum, dsb. Untuk lebih jelas gambarannya dapat dilihat pada Gambar 6.12.
Gambar 6.12 Prediksi Kecenderungan Perkembangan Fisik Kawasan Perdesaan Utara Kecamatan Kabanjahe sampai Tahun 2039
Universitas Sumatera Utara 233
Tabel 6.2 (Lanjutan)
Isu Permasalahan Aspek Penemuan Prediksi Kecenderungan Perkembangan Fisik Fisik Ekologi 3. Prediksi kecenderungan perkembangan fisik pada Perdesaan Barat Kecamatan Kabanjahe menitikberatkan pada perlindungan penggunaan lahan sabuk hijau terhadap alih fungsi lahan menjadi lahan pertanian ataupun perumahan. Hal tersebut, karena perdesaan barat merupakan destinasi arus air sungai yang berasal dari Kecamatan Kabanjahe dan Kecamatan Berastagi. Arahan usulan rekomendasi penggunaan lahan yang utama pada kawasan ini adalah pengembangan kawasan dengan penggunan lahan aneka industri pada Desa Kacaribu pada bentuk alam datar pada sisi Jalan Kota Cane pada area yang cukup luas. Usulan rekomendasi penggunaan lahan lainnya adalah pengadaan dan pengembangan Pusat Kegiatan Kecamatan Kabanjahe Promosi pada desa Kacaribu dan sarana pelayanan umum lainnya pada tiap-tiap desa, dan RTH minimal 30% (Gambar 6.13).
Gambar 6.13 Prediksi Kecenderungan Perkembangan Fisik Kawasan Perdesaan Barat Kecamatan Kabanjahe sampai Tahun 2039
Universitas Sumatera Utara BAB VII
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Dari hasil pembahasan kajian morfologi Kecamatan Kabanjahe ditinjau dari aspek ekologi mengungkap beberapa penemuan yang menjadi tujuan dari penelitian ini, mencakup: pengaruh topografi terhadap sistem jaringan jalan, pengaruh topografi terhadap perletakan massa bangunan, pengaruh bentuk alam terhadap penggunaan lahan, dan pengaruh bentuk alam terhadap dinamika morfologi Kecamatan Kabanjahe periode 2010 s.d. 2019. Berdasarkan penemuan tersebut akan dijelaskan kesimpulan dan rekomendasi yang bisa dijadikan pengelola sebagai acuan ataupun teori dasar dalam rangka penanganan perkembangan fisik Kecamatan Kabanjahe ke depannya.
7.1 Kesimpulan
Morfologi fisik (sistem jaringan jalan, perletakan massa bangunan, dan penggunaan lahan) Kecamatan Kabanjahe yang tumbuh dan berkembang sangat dipengaruhi aspek ekologi meliputi topografi serta bentuk alam, uraian kesimpulan tersebut secara umum sebagai berikut:
1. Sistem jaringan jalan pada Kecamatan Kabanjahe tumbuh dan
berkembang berkecenderungan berasal dari proses penyesuaian dengan
kondisi topografi. Di mana jalan utama yang terdiri dari klasifikasi status
jalan: jalan nasional, jalan provinsi, dan kabupaten cenderung pada
234 Universitas Sumatera Utara 235
kondisi topografi hampir datar s.d. topografi agak miring. Sedangkan,
pada jalan dengan status jalan kota dan jalan desa cenderung pada
topografi hampir datar s.d. topografi miring. Hasil penemuaan tersebut,
sesuai dan memperkuat dari teori yang dijadikan sebagai landasan analisis
pengaruh topografi terhadap sistem jaringan jalan yang dikemukakan
Sumaatmadja (1998). Di mana, Sumaatmadja (1998) mengemukakan
faktor utama yang mempengaruhi fungsi rendahnya aksesbilitas adalah
topografi, sebab dapat menjadi penghalang bagi kelancaran untuk
mengadakan interaksi di suatu daerah.
2. Perletakan massa bangunan pada Kecamatan Kabanjahe pada awalnya
tumbuh menyesuaikan dan mengikuti kondisi topografi (garis kontur),
namun pada perkembangan berikutnya perletakan massa bangunan
berkembang cenderung kontra terhadap kondisi topografi (garis kontur).
Secara umum, perletakan massa bangunan pada Kecamatan Kabanjahe
sangat dipengaruhi kondisi topografi, dimana secara keseluruhan
perletakan massa bangunan berbentuk radial dengan konfigurasi massa
bangunan/lingkungan tidak jelas. Bentuk perletakan massa bangunan
radial tersebut merupakan kombinasi dari bentuk terpusat (inti radial) dan
bentuk lengan-lengan radial. Perletakan massa bangunan dengan bentuk
terpusat (padat) berada pada dataran dengan karakter topografi hampir
Universitas Sumatera Utara 236
datar s.d. topografi agak miring pada kawasan perkotaan Kecamatan
Kabanjahe. Sedangkan, perletakan massa bangunan dengan bentuk
lengan-lengan yang berasal dari inti radial (perkotaan) berada pada
dataran dengan karakter topografi hampir datar s.d. topografi miring ke
arah perdesaan Kecamatan Kabanjahe. Hasil penemuaan tersebut,
membuktikan dan memukhtahirkan dari teori yang dijadikan sebagai
landasan analisis pengaruh topografi terhadap perletakan massa bangunan
yang dikemukakan De Chiara (1997). Di mana, De Chiara (1997)
mengemukakan topografi menjadi dasar pertimbangan perletakan massa
bangunan pada daerah yang memiliki kondisi berkontur, sebab tatanan
bangunan dibuat dengan mengikuti arah kontur agar dapat meminimalisir
cut and fill sehingga dapat menjaga keadaaan topografi alaminya.
3. Penggunaan lahan pada Kecamatan Kabanjahe sangat dipengaruhi oleh
kondisi bentuk alamnya terutama kedekatan dengan sumber air (sungai)
dan bentuk permukaan tanah yang datar pada sisi sungai. Pada kawasan
perkotaan dengan bentuk alam dataran aluvial (Fluvio-volcani Plain)
yang dominan dengan bentuk alam datar s.d. lereng landai penggunaan
lahan sangat vatiatif dan dengan fungsi vital, didominasi fungsi campuran
(komersial-perumahan atau perkantoran-komersial), pusat pasar,
perkantoran pemerintahan, sarana pelayanan umum (kesehatan,
Universitas Sumatera Utara 237
transportasi, pendidikan, dsb) tingkat kabupaten, militer, perumahan, dll.
Sedangkan, pada kawasan perdesaan yang berada pada bentuk alam lebih
berkontur pada dataran kaki (Volcanic Foot Plain) dengan bentuk alam
datar s.d. lereng sangat terjal, sungai, dan bukit penggunaan lahan lebih
homogen didominasi fungí lahan pertanian, sabuk hijau, dan perumahan.
Hasil penemuaan tersebut, sesuai dan memperkuat dari teori yang
dijadikan sebagai landasan analisis pengaruh bentuk alam terhadap
penggunaan lahan yang dikemukakan Sandy (1995). Di mana, Sandy
(1995) mengemukakan perbedaan jenis penggunaan lahan suatu
perkotaan dalam studi-studi perkotaan menyatakan penggunaan lahan
dimaknai sebagai dampak dari segala kegiatan manusia di atas muka
bumi yang dipengaruhi oleh bentuk alam (fisik lingkungan).
4. Morfologi fisik (pertumbuhan massa bangunan) perkotan dan perdesaan
pada Kecamatan Kabanjahe sangat dipengaruhi oleh bentuk alam. Pada
kawasan perkotaan Kecamatan Kabanjahe dinamika perkembangan
fisiknya berbentuk kompak memilik konfigurasi bangunan organis
dengan tipologi elemen ruang (urban void) sistem terbuka serta pola
tekstur kawasan bersifat heterogen pada bentuk alam dataran aluvial
dengan bentuk alam datar s.d. lereng landai dikelilingi bentuk alam
sungai. Sedangkan, pada kawasan perdesaan Kecamatan Kabanjahe
Universitas Sumatera Utara 238
dinamika perkembangan fisiknya berbentuk tidak kompak (terpecah)
dengan konfigurasi bangunan organis dengan tipologi elemen ruang
(urban void) sistem terbuka, serta pola tekstur kawasan bersifat heterogen
pada bentuk alam yang sangat variatif dari bentuk alam datar s.d. lereng
sangat terjal, sungai, bukit, dsb. Namun, pertumbuhan massa bangunan
pada perdesaan memadat pada area dengan karakteristik bentuk alam
datar s.d. lereng landai dan berdekatan dengan sungai dengan bentuk alam
sisinya lereng sedang. Hasil penemuaan tersebut, membuktikan dan
memperkuat dari teori yang dijadikan sebagai landasan kajian morfologi
Kecamatan Kabanjahe ditinjau dari aspek ekologi yang dikemukakan oleh
Burges (2008). Di mana, Burges (2008) mengemukakan aspek fisik
ekologi (topografi dan bentuk alam) merupakan salah satu faktor internal
yang paling mempengaruhi pembentukan dan pertumbuhan sebuah kota.
5. Bentuk morfologi Kecamatan Kabanjahe tumbuh dan berkembang dari
proses panjang sejak tahun 1948 (setelah peristiwa bumi hangus
Kecamatan Kabanjahe tahun 1947 akibat agresi militer belanda ke II),
pertumbuhan dimulai pada area Pusat Pasar Kabanjahe pada bentuk alam
dataran aluvial Gunung Api Sibayak. Namun, akibat dari sulitnya
memperoleh data variabel morfologi fisik Kecamatan Kabanjahe yang
valid sebelum tahun 2010, penelitian ini dibatasi dengan data yang valid
Universitas Sumatera Utara 239
antara 11 September 2010 s.d. 2 Juni 2019 bersumber dari citra satelit.
Dengan kesimpulan primer bahwa akibat dari fisik ekologi (topografi dan
bentuk alam) yang berbentuk kipas aluvial (alluvial fan) yang merupakan
gabungan dari kipas aluvial Gunung Api Raksasa Toba dan kipas aluvial
Gunung Api Sibayak menyebabkan morfologi fisik Kecamatan
Kabanjahe condong pada bentuk kipas (fan shape).
6. Mengacu dari hasil dan proses analisis dari kajian morfologi Kecamatan
Kabanjahe ditinjau dari aspek fisik ekologi pada uraian No. 1 s.d. No. 5,
Penulis menemukan kecenderungan perkembangan fisik sampai dengan
tahun 2039 (Sub-bab 5.5) ,serta permasalahan (kendala), potensi, dan
selanjutnya digunakan untuk membuat rekomendasi solusi (penyelesaian
masalah) penanganan perkembangan fisik Kecamatan Kabanjahe ditinjau
dari aspek fisik ekologi (Sub-bab 7.2). Dengan sebelumnya melakukan
kajian pertimbangan penyusunan penanganan perkembangan fisik,
meliputi: kajian permasalahan sarana dan prasarana, kajian kesesuaian
dan kemampuan lahan untuk pengembangan, daya tampung ruang dan
proyeksi penduduk, kebutuhan ruang untuk pengembangan sampai tahun
2039. Dari hasil kajian pertimbangan penyusunan penanganan
perkembangan fisik tersebut Penulis menghasilkan: konsep penanganan
pengembangan fisik kota dengan konsep kota ekologi yang disebut
Universitas Sumatera Utara 240
sebagai konsep agropolitan Kecamatan Kabanjahe, dengan menyertakan
hasil dari perhitungan kebutuhan ruang untuk pengembangan s.d. tahun
2039. Sehingga, tercipta produk akhir berupa prediksi kecenderungan
perkembangan fisik Kecamatan Kabanjahe dengan pertimbangan ekologi,
diantarnaya tujuan penataan ruang dan rencana struktur - pola
pemanfaatan ruang Kecamatan Kabanjahe.
7. Prediksi kecenderungan perkembangan fisik sampai dengan tahun 2039
dan rekomendasi pengembangan struktur pelayanan, struktur ruang, dan
pola ruang rencana penggunaan lahan Kecamatan Kabanjahe ditujukan
untuk Pemerintahan Daerah Kabupaten Karo.
8. Penulis mengharapkan riset ini sebagai kajian awal dalam menghasilkan
teori untuk perkembangan ilmu pengetahuan khususnya berkenaan
dengan ilmu tata ruang pada perkotaan dan perdesaan di dataran tinggi
dan rekomendasi penanganan perkembangan fisik untuk Pemerintahan
Daerah Kabupaten Karo dalam membuat Rencana Detail Tata Ruang
Kota pada Ibukotanya yakni Kecamatan Kabanjahe.
7.2 Rekomendasi
Berdasarkan dari hasil kajian morfologi ditinjau dari aspek ekologi
(2010-2019) dan hasil kajian prediksi kecenderungan perkembang fisik (sampai
Tahun 2039) Kecamatan Kabanjahe dapat menjadi teori dasar pengembangan untuk
Universitas Sumatera Utara 241
membuat rekomendasi konsep penanganan penanggulan permasalahan berkenaan dengan struktur ruang dan pola ruang. Oleh karena itu, Penulis memberikan beberapa rekomendasi berupa konsep dasar penanganan perkembangan fisik Kecamatan
Kabanjahe secara umum dalam bentuk rekomendasi penanganan permasalahan struktur pelayanan, struktur ruang, dan pola ruang pada Kecamatan Kabanjahe.
7.2.1 Rekomendasi penanganan permasalahan struktur pelayanan
Berdasarkan prediksi kecenderungan perkembangan fisik Kecamatan
Kabanjahe sampai tahun 2019, diprediksi terjadi peningkatan kebutuhan pelayanan administrasi. Pada Kecamatan Kabanjahe terdapat Pusat Kegiatan Administrasi
Kabupaten Karo yakni Kantor Bupati Karo (Kel. Kampung Dalam). Serta, terdapat pusat kegiatan Kabupaten Karo Promosi yang tersebar pada beberapa kelurahan dan desa, namun terutama dan terbesar pada Kel. Gung Leto. Pada Kel. Gung Leto juga terdapat Pusat Kegiatan Kecamatan Kabanjahe yang berada pada komplek perkantoran adminstrasi pemerintahan Kabupaten Karo. Pusat pelayanan kelurahan dan desa pada wilayah Kecamatan Kabanjahe tersebar pada beberapa titik pada wilayah, jarak antara pusat kegiatan kecamatan dengan pusat kegiatan kelurahan/ desa terdekat berjarak 0,50 km (Kel. Gung Leto dan Kel. Kampung Dalam), serta jarak terjauh 15,00 km (Desa Lau Simomo).Berdasarkan analisis kebutuhan akibat meningkatnya kebutuhan pelayanan masyarakat, direkomendasikan pengembangan struktur pelayanan tingkat kabupaten dan tingkat kecamatan (Gambar 7.1).
Universitas Sumatera Utara 242
REKOMENDASI PENGEMBANGAN STRUKTUR PELAYANAN INTERVAL KONTUR 7,5 m
Gambar 7.1 Rekomendasi Pengembangan Struktur Pelayanan pada Kecamatan Kabanjahe
Universitas Sumatera Utara 243
Pada Gambar 7.1 dapat dilihat konsep rekomendasi pengembangan struktur pelayanan Kecamatan Kabanjahe sampai tahun 2039 berdasarkan analisis keadaan struktur pelayanaan saat ini (2019). Kendala yang ditemukan berupa Pusat Kegiatan
Kecamatan Kabanjahe jaraknya cukup jauh dari pusat pelayanan administrasi kelurahan/desa terjauh 15,00 km. Potensi untuk mengatasi kendala tersebut, terdapat beberapa lahan kosong yang berlokasi strategis untuk dikembangkan sebagai Pusat
Kegiatan Kecamatan Kabanjahe Promosi.
Solusi dari kebutuhan peningkatan struktur pelayanan (administrasi) sampai tahun 2039 adalah menetapkan 2 (dua) titik lokasi pengembangan Pusat Kegiatan
Kecamatan Kabanjahe Promosi. Satu titik pada arah bagian utara Pusat Kegiatan
Kecamatan Kabanjahe berjarak 4,00 km, yakni pada Desa Sumber Mufakat untuk mengakomodasi pelayanan administrasi untuk Desa Kaban, Desa Sumber Mufakat, dan Kel. Ketaren. Satu titik lagi berada pada bagian arah barat Kantor Camat
Kabanjahe berjarak 7,00 km, yakni pada Desa Kandibata untuk mengakomodasi pelayanan administrasi untuk Desa Kacaribu, Desa Kandibata, dan Desa Lau Simomo
(Gambar 5.63).
7.2.2 Rekomendasi penanganan permasalahan struktur ruang
Berlandaskan dari hasil kajian pengaruh topografi terhadap sistem jaringan jalan, dimana ditemukan topografi sangat mempengaruhi terhadap pengembangan sistem jaringan jalan pada Kecamatan Kabanjahe. Penulis merekomendasikan konsep
Universitas Sumatera Utara 244
dasar untuk menangani permasalahan sistem transportasi pada Kecamatan Kabanjahe yang terdiri dari : rekomendasi pengembangan jaringan jalan, rekomendasi pengembangan perparkiran pada pusat kota, dan rekomendasi pengembangan prasarana angkutan umum.
7.2.2.1 Rekomendasi pengembangan sistem jaringan jalan pada Kecamatan Kabanjahe
Sistem jaringan jalan pada Kecamatan Kabanjahe saat ini (2019) berkembang secara spontan (tidak terekomendasi) dimana penanganannya lebih bersifat adaptif terhadap permasalahan yang muncul saat ini tanpa mempertimbangkan peningkatan kebutuhan prasarana (jaringan jalan) dimasa depan.
Penanganan yang sudah dilakukan dan sedang dilakukan adalah pengembangan jalan arteri primer pada Jalan Jamin Ginting menjadi 2 jalur dengan 4 ruas jalan, antar jalur dipisahkan dengan median (1,20 m) dengan fasilitas drainase dan pedestrian.
Kendala yang ditemukan pada jam tertentu, terutama pada jam sibuk terjadi kemacetan pada beberapa titik yang aktifitasnya sangat sibuk terutama pada Jalan
Jamin Ginting (depan Kantor Bupati Karo dan Masjid Agung Kabanjahe). Potensi yang ditemukan pada perkotaan dan perdesaan Kecamatan Kabanjahe dikelilingi sungai. Solusi yang Penulis rekomendasikan adalah pemanfaatan lahan sekitar garis sempadan sungai sebagai pengembangan jaringan jalan ring radial arteri dan kolekor dengan konsep waterfront (Gambar 7.2).
Universitas Sumatera Utara 245
Gambar 7.2 Rekomendasi Pengembangan Struktur Kota (Sistem Jaringan Jalan) pada Kecamatan Kabanjahe
Universitas Sumatera Utara 246
Pada Gambar 7.2 dapat dilihat, rekomendasi jaringan jalan ring radial arteri pada Kecamatan Kabanjahe direkomendasikan memanfaatkan dan mengembangkan jalan kabupaten dan jalan lingkungan yang sudah ada untuk dihubungkan dan dikembangkan untuk mengurangi beban jalan nasional yang sudah ada (Jalan Jamin
Ginting). Rekomendasi konsep dasar jaringan jalan ring radial arteri tersebut dimulai pada Desa Sumber Mufakat s/d Desa Kacaribu dengan 2 jalur dan 4 ruas beserta fasilitasnya (bahu jalan, drainase, trotoar, dll) pada garis sempadan sungai.
Diharapkan pengembangan jaringan jalan ring radial arteri (ring road) tersebut dapat menjadi alternatif untuk meminimalisir kemaceten pada perkotaan, sekaligus sebagai pengendalian pengalihan pemanfaatan garis sempadan sungai dari fungsi sabuk hijau
(green belt) menjadi fungsi lahan pertanian dan perumahan yang berpotensi rawan bencana longsor.
Pada Gambar 7.2 juga dapat dilihat, garis sempadan sungai pada perkotaan dan perdesaan juga direkomendasikan dan dirancang sebagai jaringan jalan ring radial kolektor. Rekomendasi jaringan jalan ring radial kolektor tersebut menghubungkan jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, dan jalan lingkungan yang sudah ada. Selain, menciptakan hubungan yang baik jaringan jalan (mengurai kemacetan) dan pengendalian pemanfaatan pemanfaatan sabuk hijau sempadan pada seluruh perkotaan dan perdesaan, juga diharapkan menstimulasi berkembangnya daerah penyokong Kecamatan Kabanjahe.
Universitas Sumatera Utara 247
7.2.2.2 Rekomendasi perparkiran pada Pusat Kota Kecamatan Kabanjahe
Berdasarkan kajian korelasi topografi dengan sistem jaringan jalan pada
Kecamatan Kabanjahe, ditemukan kawasan perkotaan yang padat jaringan jalan dan aktifitas masyarakat yang sibuk sehingga kebutuhan parkir kendaraan bermotor cukup tinggi. Masalah perparkiran yang utama terjadi sekitar Pasar Kabanjahe, dimana sistem parkir saat ini menggunakan sistem on street. Sehingga, laju kendaraan pada
Jalan Kapten Bangsal Sembiring dan Jalan Kapten Pala Bangun sangat lambat pada jam tertentu. Potensi dari pengembangan perparkiran pada Pusat Pasar Kabanjahe adalah lahan relatif datar sangat luas dan bangunan pasar yang sudah tidak layak lagi sudah semestinya direnovasi untuk memenuhi pelayanan kebutuhan primer dan sekunder masyarakat Kecamatan Kabanjahe dan masyarakat Kabupaten Karo. Untuk lebih jelas kedudukan dan keadaaan Pusat Pasar Kabanjahe (Gambar 7.3).
Gambar 7.3 Rekomendasi Perparkiran Perkotaan (Pusat Kota) pada Kecamatan Kabanjahe
Universitas Sumatera Utara 248
Pada Gambar 7.3 dapat dilihat Pusat Pasar Kabanjahe berkedudukan pada lokasi yang paling strategis pada perkotaan Kecamatan Kabanjahe dan menurut kajian Penulis pasar yang berfungsi pemenuhan pelayanan sampai tingkat regional ini berupakan titik awal perkembangan fisik kota Kecamatan Kabanjahe. Solusi dari permasalahan perparkiran pada kawasan sekitar Pusat Pasar Kabanjahe setelah menimbang potensi yang ada adalah merekomendasikan, merancang, dan mengembangkan (merenovasi) Pusat Pasar Kabanjahe menjadi 2 lantai, dengan konsep rancangan mengutamakan pengadaan basement atau semi basement sebagai kantong parkir bersama.
Selain rekomendasi parkir pada Pusat Pasar Kabanjahe tersebut, pada seluruh jaringan jalan perkotaan Kecamatan Kabanjahe diharapkan setiap pemanfaatan lahan dengan fungsi perumahan, komersial (perdagangan dan jasa), dan perkantoran menyediakan lahan parkir sesuai dengan kebutuhannya, sehingga diharapkan dapat meminimalisir parkir pada bahu jalan (on street). Walaupun parkir on street tidak dapat dihindari, pemerintah dapat memanfaatkan penarikan biaya parkir untuk menambah pendapatan daerah dengan ketentuan kebijakan yang perlu dikaji lagi.
7.2.2.3 Rekomendasi pengembangan prasarana angkutan umum
Kecamatan Kabanjahe yang berada pada jalur tranportasi utama yang menghubungkan Kota Medan (Ibukota Provinsi Sumatera Utara) dengan Kecamatan
Kutacane (Ibukota Kabupaten Aceh Tenggara) dan Kecamatan Sidikalang (Ibukota
Universitas Sumatera Utara 249
Kabupaten Dairi). Aksebilitas Kecamatan Kabanjahe tersebut yang relatif padat baik distribusi barang dan terutama manusia membutuhkan peningkatan pengembangan sarana pelayanan umum transportasi yang sudah ada.
Permasalahan yang dihadapi berkaitan sarana dan prasarana sistem angkutan umum pada Kecamatan Kabanjahe adalah terminal yang ada tidak dapat memenuhi kebutuhan angkutan umum yang diantaranya angkutan umum antar provinsi, antar kota, antar kelurahan, dan antar desa. Sehingga, perlu pengembangan terminal yang ada dan perekomendasian dan perancangan terminal baru yang sesuai hasil analisis dibutuhkan terminal tipe-B. Potensi yang dapat mengatasi permasalahan tersebut adalah terdapat lahan kosong yang luas pada jalur utama berada pada topografi relatif datar yang dapat dikembangkan sebagai lokasi terminal tipe-B. Untuk lebih jelas mengenai kedudukan dan besaran ruang terminal yang ada dapat dilihat pada Gambar
7.4.
Universitas Sumatera Utara 250
Gambar 7.4 Rekomendasi Pengembangan Prasarana Angkutan Umum pada Kecamatan Kabanjahe
Universitas Sumatera Utara 251
Pada Gambar 7.4 dapat dilihat berdasarkan potensi yang ada, Penulis mengusulkan lahan pada Desa Sumber Mufakat sangat strategis dimanfaatkan sebagai pengadaan dan pengembangan terminal tipe-B pada Kecamatan Kabanjahe. Lahan tersebut dipilih berdasarkan pertimbangan berada dekat dengan jalur jalan arteri primer (jalan nasional), pintu masuk terminal dapat dirancang 50 m dari jalan arteri, memiliki lahan yang luas lebih dari 3 Ha dengan topografi hampir datar, selaras dengan usulan rekomendasi pengembagan jalan ring radial arteri (pada pangkal ring radial arteri), serta berdekatan dengan SPBU.
Usulan rekomendasi pengembangan sarana dan prasarana tersebut, diharapkan dapat mengakomodasi kebutuhan pelayanan angkutan umum antar provinsi dan antar kota. Sehingga, terminal yang ada saat ini pada dapat dikembangkan untuk pelayanan angkutan antar kelurahan (perkotaan) pada
Kecamatan Kabanjahe (Terminal Atas) dan antar perdesaan pada Kabupaten Karo
(Terminal Bawah).
7.2.3 Rekomendasi penanganan permasalahan pola ruang
Berlandaskan hasil kajian pengaruh topografi terhadap perletakan massa bangunan, serta hasil kajian pengaruh bentuk alam terhadap penggunaan lahan pada
Kecamatan Kabanjahe, Penulis menemukan bahwa pada awalnya pertumbuhan massa bangunan berada pada topografi hampir datar dan topografi agak miring pada jalur jalan utama (dekat persimpangan sungai atau kelokan sungai). Akibat lahan pada
Universitas Sumatera Utara 252
daerah tersebut, sudah terbatas dan relatif mahal mendesak pertumbuhan massa bangunan pada lahan dengan topografi miring sampai dengan topografi agak curam pada jalur jalan lingkungan bahkan berbatasan langsung dengan tepian jurang sungai di perkotaan maupun pada perdesaaan pada Kecamatan Kabanjahe. Dan hal tersebut diperparah setiap sungai pada Kecamatan Kabanjahe tidak memiliki tanggul.
Berdasarkan isu permasalahan tersebut, dapat disimpulkan permasalahan perletakan massa bangunan yang tidak terkendali dan tidak terarah dapat menyebabkan bencana longsor akibat pemanfaatan lahan pada tepian sungai terutama sebagai fungsi massa bangunan dan pertanian yang tidak mempertimbangkan dampak menurunnya struktur kekuatan permukaan tanah. Potensi dari permasalahan tersebut, pada umumnya tepian sungai memiliki tanggul alami berupa pepohonan bambu
(sabuk hijau). Untuk lebih jelasnya perkembangan perletakan massa bangunan pada
Kecamatan Kabanjahe pada tahun 2019 dan rekomendasi pengendalian perletakaan massa bangunan pada Kecamatan Kabanjahe sampai tahun 2039 dapat dilihat pada
Gambar 7.5.
Universitas Sumatera Utara 253
Gambar 7.5 Rekomendasi Pengendalian Perletakan Massa Bangunan pada Kecamatan Kabanjahe
Universitas Sumatera Utara 254
Pada Gambar 7.5 dapat dilihat berdasarkan pertimbangan perletakan massa bangunan pada tahun 2019 pada Kecamatan Kabanjahe, solusi penanganan yang
Penulis usulkan adalah rekomendasi pengendalian (pembatasan) pemanfaatan lahan sabuk hijau sebagai perletakan massa bangunan dan pertanian untuk mengantisipasi bencana longsor (pergerakan permukaan tanah). Berdasarkan ketentuan pemerintah sempadan sungai pada perdesaan yang tidak bertanggul sejauh 50 m dengan kedalam lebih dari 20 m dan pada perdesaan tidak bertanggul dengan kedalam kurang dari 20 m sempadan sungai berjarak 30 m dari tepian sungai. Sedangkan pada perkotaan sempadan sungai tidak bertanggul dengan kedalam lebih dari 20 m berjarak 30 m dan kedalam kurang dari 20 berjarak 11 m - 20 m dari tepian sungai.
Selain difungsikan sebagai sebagai pengendalian perletakan massa bangunan, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya sempadan sungai juga diusulkan untuk optimalisasi sabuk hijau dengan pengendalian, pengontrolan, dan pemanfaatan dari pengadaan massa bangunan, daerah antara garis sempadan sungai dengan tepian dapat dimanfaatkan sebagai pengembangan jaringan jalan ring radial arteri dan jaringan jalan ring radial kolektor untuk mengurai kemacetan dan penyediaan ruang terbuka publik.
Universitas Sumatera Utara DAFTAR PUSTAKA
Ahadunnisa, Radita (2012) Rencana Induk Jaringan Jalan Kota Malang, BAPPEDA Kota Malang, Malang.
Arif, Firgani (2009) Kajian Pelayanan Rute Angkutan Umum Di Kota Palembang, Magister Teknik Pembangunan Wilaah dan Kota, Universitas Dipenegoro, Semarang.
Antara, Made (2009) Pertanian, Bangkok atau Bangkrut?, Arti foundation, Denpasar.
Bemmelen, Sita T. van (2018) Christianity, Colonization, and Gender Relations in North Sumatra, Brill, Leiden.
Bintarto, R, Prof, Drs (1983) Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Brahmana, P.S. 2003. Daliken Si Telu dan Solusi Masalah Sosial pada Masyarakat Karo: Kajian Sistem Pengendalian Sosial. Lectures Papers Indonesian Lang & Literature. Repository USU Medan: tidak diterbitkan. Tersedia di : http:// repository.usu.ac.id/handle/123456789/1704
Broersma, R (1991) Ooskust van Sumatra; Eerste deel, Javasche Boekhandel & Drukkerij, Jakarta.
Broersma, R (1922) De ontwikkeling van den handel in Oostkust van Sumatra, Javasche Boekhandel & Drukkerij, Jakarta.
Brouwer, Meeteren. P.M. van. De geschiedenis der Chineesche Districten der Wester- Afdeeling van Borneo van 1740 – 1926, De Indische Gids, II, 1927
Burgess, E W (2008) The growth of the city: an introduction to a research project, In Urban ecology, Springer,US.
Carpenter, P.L., T.D. Walker, dan F.O Lanphear. (1975) Plants in the Landscape. San: W.H.Freeman & Co, Fransisco
255 Universitas Sumatera Utara 256
Christaller, Walter (1933) Central Places in Southern Germany, Germany.
Dawson, Barry, dan Gillow, John (1994) The Traditional Architecture Of Indonesia, Thames dan Hudson, London.
De Chiara, Joseph & Koppelman (1997) Standar Perencanaan Tapak, Erlangga, Jakarta.
Dusuqy, Fajar el (2008) Ekologi Al-qur’an (Menggagas Ekoteologi-integralistik), Jurnal Kauni, vol. IV no. 2, Oktoer 2008: 173-189
Doxiadis (1971) Ecology and Ekistics, Elex, California.
Fajri, M. & Ngatiman (2017) Studi Iklim Mikro dan Topografi pada Habitat Parashorea Malanaanonan Merr, Jurnal Penelitian Ekosistem Dipterokarpa vol. 3 no. 2, Juli 2017:1-12
Gallion dan Eisner (1992) Pengantar Perancangan Kota, Volume ke-5, Erlangga, Jakarta.
Hadi, S.P. (1995) Lingkungan Hidup dalam Persfektif Sosiologis, dalam Makalah Seminar Nasional: Islam dan Lingkungan Hidup, Fak. Tarbiyyah IAIN; Salatiga
Handinoto (1996) Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang 1870-1940. Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Kristen Petra Surabaya, ANDI, Yogyakarta.
Hadinoto, Kus (1970) Struktur Tata Ruang Kota, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Harris, Chaunchy and Ullman, Edward (1945) The Nature of Cities, Bellwether publishing, Chicago.
Hassan, Shadily (1983) Ensiklopedi Indonesia, Ikhtiar Baru-Vanhoeve, Jakarta.
Hutagalung, R.A (2010) Ekologi Dasar, Erlangga, Jakarta.
Joustra, M (1918) Van Medan naar Padang en terug, S.C. van Doesburgh,Leiden University.
Universitas Sumatera Utara 257
Kustianingrum, dwi dkk (2012) Kajian Tatanan Massa dan Bentuk bangunan terhadap konsep ekologi di griyo tawang, solo.
Kostof, Spiro (1991) The City Shaped: Urban Patterns and Meanings Through History, Litte Brown and Company, London.
Kostof, Spiro (1992) The City Assembled : The Story of City Structure, Thames and Hudso, London.
Lynch, Kevin (1981) The Image Of The City, The MIT Press, Cambridge.
Madanipour, Ali (1996) Design of urban space: An Inquiry into a Socio-Spatial Process, University of Newcastle, Chichester.
Markus, Zahnd (1999) Perancangan Kota Secara Terpadu, Kanisius, Yogyakarta.
Nia K. Pontoh & Iwan Setiawan (2008) Pengantar Perencanaan Kota, Penerbit ITB, Bandung.
Nikamp, Peter (1986) Handbook of regional and Urban Economics, vol. 1 Regional Econocs, North-Holland
Nugroho, I. dan Budi, T. (1999) Perubahan Struktural Dalam Pembangunan Perkotaan, FAE. vol. 17, no. 2 Desember 1999, hlm. 51-59
Nugroho, Iwan (2000) Pertumbuhan Perkotaan Dalam Perspektif Sistem Ekologi, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol.11, No.2/Juni 2000, 11:63-75, PPK-ITB.
Pertami, R. R. D. (2013) Karakterisasi Lanskap Berbasis Landform Di Kawasan Jabodetabekpunjur Untuk Perencanaan Lanskap Berkelanjutan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Prayitno, Budi (1989) Pengelolaan Sistem Ekologi Dalam Tata Ruang Perkotaan, MEDIA TEKNIk Edisi No.2 Tahun XI April 1989 - Juli 1989 No. ISSN 0216.3012, hlm. 2-6
Putra, Brahma (1995) Sejarah Karo Dari Zaman Ke Zaman, Ulih Saber, Medan.
Universitas Sumatera Utara 258
Quast, Mvo (1913) Simalungun en Karolanden, hlm. 68
Rossi, Aldo (1982) The Architecture of The City. The Institute For Architecture and Urban Studies, The MIT Press, Massachusetts.
Santoso, Jo (2002) Kota Tanpa Warga, Centropolis, Jakarta.
Sandy, I Made (1995) Tanah : UUPA 1960-1995, PT. Indograph Bakti, Jakarta.
Sebayang, Rendi (2005) Kajian Kelayakan Lokasi Terminal Kabanjahe terhadap Rencana Umum Tata Ruang Kota. Tesis Program Pascarasarjana Universitas Sumatera Utara Program Studio Magister Teknik Arkitektur, Medan
Shadily, H. (1977) Ensiklopedi Umum, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 298
Sima, Zhang (2009) Comparative Precedents on the Study of Urban Morphology. Melborne University and AMIT University, Australia.
Sinar, Tuanku Lukman (1986) Sari Sedjarah Serdang Jilid I, Balai Pustaka, Jakarta.
Sinulingga, B D (2005) Pembangunan Kota. Tinjauan Regional dan Lokal, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Soepono, Prasetuo (2001) Teori Pertumbuhan Berbasis Ekonomi (Ekspor) : Posisi dan Sumbangan Bagi Perbendaharaan Alat-alat Analisis Regional, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, vol. 16, no. 1, 2001, hlm. 41-53
Sudibyo, M.M. 2019. 13 April 2014. KompaAlhamdulillah, Gunug Sinabung Turun Status. kompasiana.com, (Online), (https://www.kompasiana.com/ marufinsudibyo/54f79d33a333112c6f8b48f5/alhamdulillah-gunung-sinabung- turun-status, 20 Juli 2019)
Sugiyono (2013) Metodelogi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, ALFABET, Bandung
Sukirno, Sadono (1997) Pengantar Teori Mikro Ekonomi. Edisi 2. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Universitas Sumatera Utara 259
Sumaatmadja, Nursid (1988) Studi Geografi Suatu Pendekatan dan Analisa Keruangan, Alumni, Bandung.
Tallo, A. J., Pratiwi, Y., dan Astutik, I. (2014) Identifikasi Pola Morfologi Kota (Studi Kasus : Sebagai Kecamatan Klojen, Di Kota Malang), Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Desember 2014, vol. 25, no.3, hlm. 213-227
Tarigan, Sarjani (2014) Sekilas Sejarah Pemerintahn Tanah Karo Simalem, SinBNB Press, Medan.
Tarigan, Sarjani (2010) Dinamika Peradaban Karo, Balai Adat Budaya Karo Indonesia (BABKI), Kabanjahe.
Yunus, Hadi Sabari (1982) Klasifikasi Pemukiman Kota (Tinjauan Makro), Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Yunus, Hadi Sabari (2000) Struktur Tata Ruang Kota, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta.
Zahnd, Markus (1999) Perancangan Kota Secara Terpadu, Kanisius, Yogyakarta.
Universitas Sumatera Utara LAMPIRAN
Lampiran 1 – Peta Kecamatan Kabanjahe
260
Universitas Sumatera Utara 261
Lampiran 2 – Kedudukan Kabupaten Karo
Kabupaten Karo terletak di bagian barat laut Provinsi Sumatera Utara, arah barat daya Kota Medan, dan berbatasan dengan Provinsi Aceh bagian tenggara, dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Letak astronomis Kabupaten Karo berada di antara 2º50’ - 3º19’ Lintang Utara dan 97º55’- 98º38’ Bujur Timur dengan luas
2.127,25 km2 atau 2,97% dari luas Provinsi Sumatera Utara.
Kedudukan Wilayah Administrasi Kabupaten Karo Kabupaten Karo terletak pada jajaran Bukit Barisan (bagian barat lautnya) dan sebagian besar wilayahnya merupakan dataran tinggi dan pada bagian selatannya relatif melandai menuju Danau Toba. Dua gunung berapi aktif terletak di wilayah ini sehingga rawan gempa vulkanik. Wilayah Kabupaten Karo berada pada ketinggian
200-1.500 m di atas permukaan laut. Letak geografis Kabupaten Karo tersebut berperan penting sebagai jalur penghubung antara Kota Medan (Ibu Kota Provinsi
Sumatera Utara) menuju Kelurahan Kutacane (Ibu Kota Kabupaten Aceh Tengara)
Universitas Sumatera Utara 262
dan menuju Kecamatan Sidikalang (Ibu Kota Kabupaten Dairi). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Kedudukan Geografis Wilayah Kabupaten Karo Kedudukan administrasi Kabupaten Karo sebelah utara berbatasan dengan
Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang. Sebelah timur berbatasan dengan
Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Simalungun. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Dairi dan Toba Samosir. Serta, sebelah barat dengan Kabupaten
Aceh Tenggara. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar berikut:
Universitas Sumatera Utara 263
Kedudukan Administrasi Wilayah Kabupaten Karo Secara administrasi Kabupaten Karo dibagi menjadi 17 kecamatan, 256 desa, dan 16 kelurahan. Wilayah Kabupaten Karo dibagi menjadi 17 kecamtan, terdiri atas kecamatan: Barusjahe (19 desa), Berastagi (5 desa dan 8 kelurahan),
Dolat Rayat (7 desa), Juhar (25 desa), Kabanjahe (Ibukota Kabupaten karo terdiri atas 6 desa dan 7 kelurahan), Kuta Buluh (16 desa), Laubaleng (15 desa),
Mardinding (12 desa), Merdeka (9 desa) , Merek (19 desa), Munthe (22 desa),
Naman Teran (14 desa), Payung (8 desa), Simpang Empat (17 desa), Tiga binanga
(19 desa dan 1 kelurahan), Tigaderket (17 desa), serta Tigapanah (26 desa).
Persentase luas wilayah tiap-tiap kecamatan yang menjadi bagian dari Kabupaten
Karo dapat dilihat pada gambar berikut:
Universitas Sumatera Utara 264
Persentase Luas Wilayah Tiap-tiap Kecamatan pada Kabupaten Karo
Pada gambar di atas dapat dilihat, dari total keseluruhan Luas Wilayah
Kabupaten Karo 2.127,25 km2 dibagi atas 17 Kecamatan dengan luas tiap-tiap
Kecamatan dan rasio terhadap total, melingkupi: Mardinding 26,11 km (12,56 %),
Laubaleng 252,6 km2 (11,87 %), Tigabinanga 160,38 km2 (7,54 %), Juhar 218,56 km2 (10,27 %), Munte 125,64 km2 (5,91 %), Kutabuluh 195,70 km2 (9,20 %),
Payung 47,24 km2 (2,20 %), Tigaderket 47,24 km2 (4,08 %), Simpang Empat 93,48 km2 (4,39 %), Naman Teran 87,82 km2 (4,13 %), Merdeka 44,17 km2 (2,08 %),
Kabanjahe 44,65 km2 (2,10 %), Berastagi 30,50 km2 (1,43 %), Tigapanah 186,84 km2 (8,78 %), Dolat Rakyat 32,25 km2 (1,52 %), Merek 125,51 km2 (5,90 %), dab
Barusjahe 128,04 km2 (6,02 %). Untuk lebih jelasnya letak tiap-tiap wilayah administrasi pada Kabupaten Karo dapat dilihat pada gambar berikut:
Universitas Sumatera Utara 265
Pembagian Administrasi Kecamatan pada Wilayah Kabupaten Karo
Pada gambar di atas dapat dilihat, kecamatan yang berada pada Kabupaten
Karo yang berbatasan langsung dengan kabupaten disekitarnya, antara lain dengan
Kabupaten Langkat: Kecamatan Mardinding, Kecamatan Laubaleng. Kecamatan
Kutabuluh, Kecamatan Tiganderket, dan Kecamatan Naman Teran. Dengan
Kabupaten Deli Serdang: Kecamatan Naman Teran, Kecamatan Merdeka,
Kecamatan Berastagi, Kecamatan Dolat Raya, dan Kecamatan Barusjahe. Dengan
Kabupaten Simalungun: Kecamatan Barusjahe dan Kecamatan Merek. Dengan
Kabupaten Samosir yakni Kecamatan Merek. Dengan Kabupaten Dairi: Kecamatan
Merek, Kecamatan Juhar, Kecamatan Tigabinanga, dan Kecamatan Laubaleng. Serta dengan Kabupaten Aceh Tenggara yakni Kecamatan Lau baleng dan Kecamatan
Mardinding.
Universitas Sumatera Utara 266
Lampiran 3 - Sejarah Kabupaten Karo dan Kecamatan Kabanjahe
Peneliti akan menjelaskan mengenai sejarah Kabupaten Karo dan
Kecamatan Kabanjahe akan dijelaskan berdasarkan runutan masa sejarah, meliputi: zaman kerajaan Tanah Karo, zaman penjajahan Belanda, dan zaman penjajahan
Jepang.
1. Zaman kerajaan Tanah Karo
Putra (1995) mengemukakan bahwa pada abad 1 masehi sudah ada
kerajaan di Sumatera Utara yang bernama Kerajaan Pa Lagan. Menilik
dari nama itu merupakan bahasa yang berasal dari Suku Karo, mungkin
Kerajaan Haru (Suku Karo) sudah ada sejak itu. Tarigan (2014)
mengemukakan, Kata Karo berasal dari suku kata Ka = Ko, ro = reh yang
berarti orang yang mendatang. Orang yang mendatang berasal dari Asia
Utara dari perbatasan India, Burma, dan Indo Cina memasuki Pulau
Samudra (Sumatera). Pendatang tersebut menuju daerah kekuasan
Kerjaan Haru, menetap, berbaur, dan menyebar dengan penduduk asli
Suku Karo (Negrito) . Mereka membawa pengetahuan pertanian, ilmu
pengetahuan, dan budaya yang beraliran Hindu yang lebih maju sehingga
mereka diterima dengan baik.
Pada masa keemasannya Kerajaan Karo, menjalin kerjasama
perdagangan dan persaudaraan dengan bangsa negara lain. Kerajaan Karo
Universitas Sumatera Utara 267
menjalin hubungan dengan Bangsa Portugal, Persia, Tiongkok, dan India.
Bukti kerjasama tersebut, antara lain: dengan Portugal Kerajaan Karo
mendapatkan meriam (di Deli Tua dan Kampung Sukanalu. Dengan
Persia mendapatkan salvar (seluar (pakaian), catur, dan mata uang
dirham (sebutan suku karo diraham). Dengan Tiongkok Suku Karo
memperoleh kepandaian dalam seni bangunan berupa bentuk atap rumah
adat Karo dengan sebutan rumah gong. Serta, hubungan dengan India,
Kerajaan Karo mendapat sastra tabas mangmang umpama dibata kaci-
kaci, batara guru, Banua Koling, dsb (Tarigan, 2014).
Meriam Puntung di Desa Sukanalu dan Rumah Adat Suku Karo (Gong) di Kaki Gunung Sinabung Sumber: Karonewsupdate.wordpress.com Eksistensi Kerajaan Haru (Suku Karo) pada wilayah nusantara la adalah
menguasai daerah Aceh Besar (Kuta Raja/ sekarang Banda Aceh)
hingga ke Sungai Siak di Riau. Sejarah Kerajaan Haru pulalah yang
memadukan masyarakat Karo, Melayu, dan Aceh pada sebuah pertalian.
Naskah Sumpah Palapa oleh Patih Gajah Mada Tahun 1258 yang berisi “
Universitas Sumatera Utara 268
Jika telah mengalahkan Nusantara, saya baru akan melepaskan puasa.
Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo,
Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik demikanlah saya (baru akan) melepaskan puasa”. Dari isi naskah dapat diketahui bahwa pada masa diangkatnya Gajah Mada, sebagian Wilayah Nusantara termasuk
Kerajann Haru belum dikuasai Kerajaan Majapahit.”
Saat kerajaan islam telah berkembang di Pulau Jawa, Kerajaan Mataram
(Kerajaan Islam) setelah melakukan penyebaran Islam dari Malaya dan memasuki daerah Karo dari pantai Timur. Kedatangan tersebut mendapat penolakan dari Kerajaan Karo dan Kerajaan Karo mengalami kekalahan di bagian pesisir (Kampung Jawi). Penduuduk yang tertinggal ditawan dan di-Islamkan (Bahasa Karo = ijawiken). Kemudian berdiri kesultanan di pesisir timur, sehingga terjadi akulturasi Suku Karo dengan suku lainnya. Sedangkan, penduduk yang berhasil menyelamatkan diri berhasil bergerak menuju pegunungan (Dataran Tinggi Karo) dengan tetap menganut kepercayaan dari nenek moyangnya (Tarigan, 2014).
Masyarakat Haru yang menetap di Dataran Tinggi Karo akibat ditaklukkan oleh Mataram di pesisir timur (Deli), kembali mendapat ekspedisi dari Kerjaan Aceh (Kutaraja) pada Tahun 1613, sehingga
Kerajaan Haru diperkirakan hancur dan masyarakatnya menyebar dan
Universitas Sumatera Utara 269
membentuk perkampungan (urung) dengan menjalankan pemerintahan berdasarkan norma-norma adat dengan pemerintahan otonomi namun, sering terjadi perselisihan antar urung (kampung). Sekitar Tahun
1607-1636 Kerajaan Aceh dibawah pimpinan Sultan Iskandar Muda mengadakan penyebaran Agama Islam ke tanah Karo. M e l i h a t adanya perselisihan antara urung yang terdapat di Tanah Karo, maka utusan Raja Aceh yang disebut Tuang Kita meresmikan 4 (empat) kerajaan adat yang disebut Sibayak yang diperintah oleh empat raja yang mempunyai dan memimpin luas daerah yang berbeda. Kemudian, jumlah kerajaan adat bertambah 1 (satu) menjadi 5 (lima) Kerajaan Sibayak, meliputi Kerajaan Sibayak: Lingga, Sarinembah, Suka, Barusjahe, dan
Kutabuluh. Untuk lebih jelasnya pembagian wilayah Kerajan Sibayak dapat dilihat pada gambar berikut:
Ilustrasi Peta Pembagian Wilayah Kerajaan Sibayak Tanah Karo
Universitas Sumatera Utara 270
Kerajaan Sibayak Lingga merupakan asal mula Marga Karo-Karo
Sinulingga sekarang merupakan desa bagian dari Kecamatan Simpang
Empat. Kerajaan Sibayak Sarinembah merupakan asal mula Marga
Sembiring Meliala, sekarang merupakan desa bagian dari Kecamatan
Munte. Kerajaan Sibayak Suka asal mula Marga Ginting Suka, sekarang
merupakan desa yang berada di kaki Gunung Sinabung bagian dari
Kecamatan Naman Teran yang kena dampak terparah akibat aktivitas
Gunung Sinabung sehingga seluruh warganya telah di evakuasi ke daerah
lain. Kerajaan Sibayak Barusjahe asal mula Mara Karo-karo (barus),
sekarang merupakan kecamatan. Kerajaan Sibayak Kutabuluh asal mula
Marga Perangin-angin sekarang merupakan kecamatan.
2. Zaman penjajahan Belanda
Setelah menduduki Sumatera Timur (Langkat dan Binjai) pada Tahun
1870 dan membuka perkebunan tembakau dan karet. Belanda ingin
memperluas usaha perkebunan ke Tanah Karo dengan alasan tanah di
sekitar Binjai telah habis ditanami. Usaha tersebut dilancarkan dengan
taktik pendekatan untuk menjalin persahabatan kepada Kiras Bangun
(Garamata) seorang Tokoh Adat Karo juga Ulama, agar diijinkan
memasuki Tanah Karo untuk selanjutnya membuka lahan pertanian.
Persetujuan Kiras Bangun atas kedatangan Belanda akan diberi imbalan
Universitas Sumatera Utara 271
uang, pangkat, dan senjata. Namun, setelah musyawarah raja-raja dan
Tokoh Karo dan menimbang kebijakan tanam paksa Belanda sejak Tahun
1830 terhadap komoditi pertanian ekspor, Kiras Bangun sebagai Tokoh
Karo mewakili raja-raja Karo untuk menolak keinginan Belanda
Memasuk Tanah Karo.
Kiras Bangun Ulama dan Tokoh Pemersatu Bangsa Karo (Pahlawan Nasional) Sumber: Tobapos, 2019
Dengan tidak mengindahkan penolakan dari Kiras Bangun, Tahun 1901
Belanda berhasil membuka markasnya di Kabanjahe dengan persetujuan salah satu raja urung (kampung). Setelah 3 bulan di Kabanjahe, Kiras
Bangun Beserta pasukannya berhasil mengusir paksa. Tahun 1902
Belanda datang kembali ke Kabanjahe, dengan pasukan lebih banyak.
Kiras bangun sembari menyusun strategi peperangan terhadap Belanda, mengultimatum 2 (dua) kali terhadap Belanda untuk meninggalkan
Kabanjahe, namun tidak ditanggapi bahkan mendatangkan pasukan
Belanda yang lebih banyak lagi. Terjadi peperangan di beberapa benteng
Universitas Sumatera Utara 272
pertahanan pasukan Simbisa (urung) diantaranya Lingga Julu, Kandibata,
Mbesuka, Tembusuh dan Batukarang Berhasil di kuasai Belanda. Usaha
Belanda memperkuat kedudukannya direncanakan dengan membangun
jalan Medan-Kabanjahe-Kutacane berhasil dihambat oleh Pasukan
Sembisa (kumpulan masyrakat urung/kampung) dengan perang gerilya
dan perang terbuka (tobapos.com, 2019).
3. Zaman penjajahan Jepang
Tarigan (2014) mengemukakan Balai Tentara Jepang sampai di Tanah
Karo bulan Maret 1942. Ketika itu kekuasaan Pemerintah Belanda di Kab
Karo diserahkan oleh Mr. J. H Van Rhoo kepada Letnan Gonda yang
memimpin Tentara Dai Nippon. Beberapa bulan kemudian digantikan
oleh K. Fahuci sebagai Gunseibu di Tanah Karo. Dizaman pendudukan
Jepang pada Tahun 1942-1945 Ibukota Kabupaten Karo dipindahkan dari
Kabanjahe menuju Berastagi untuk alasan pertahanan. Jaman penjajahn
Jepang pembagian wilayah tetap terdiri dari 5 wilayah kerajaan, yakni:
Landschaap Lingga, Sarinembah, Suka, Barusjahe, dan Kutabuluh.
Wilayah Kecamatan Kabanjahe termasuk Urung Sepuluh Dua (XII) Kuta
yang merupakan bagian dari Lanschaap Lingga. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada gambar berikut:
Universitas Sumatera Utara 273
Gambar Wilayah Kecamatan Kabanjahe pada Peta Kerajaan SUMUT Abad-19
Universitas Sumatera Utara 274
Lampiran 4 - Struktur Penduduk
Pada poin 4 (empat) berikut, Peneliti akan menjelaskan mengenai struktur penduduk: menurut jenis kelamin dan umum, menurut agama, serta menurut pekerjaan pada Kecamatan Kabanjahe.
1. Struktur Penduduk Menurut Jenis kelamin dan Umur
Berdasarkan data kependudukan Kecamatan Kabanjahe Tahun 2017, sex
ratio (perbandingan jumlah penduduk laki-laki terhadap penduduk
perempuan) adalah sebesar 0,96 % dengan jumlah total penduduk
74.704 jiwa. Gambaran perbandingan antara jenis kelamin dan umur
dapat dilihat pada gambar berikut:
Piramida Struktur Penduduk Menurut Jenis Kelamin dam Umur pada Kecamatan Kabanjahe (2017) Pada gambar di atas dapat dilihat, komposisi penduduk berdasarkan umur
dan jenis kelamin pada Kecamatan Kabanjahe sehingga dapat menjadi
panduan untuk menjelaskan karakteristik aktivitas penduduk. Usia
dibawah 5 tahun beraktivitas di rumah, usia 5-19 tahun pelajar dari SD s/
Universitas Sumatera Utara 275
d SMA, usia 20-29 bekerja tidak tetap, usia 30-59 tahun bekerja tetap, dan > 60 tahun istirahat di rumah. Struktur Penduduk Menurut Agama
Sebagian besar penduduk Kecamatan Kabanjahe (74.704 jiwa) yakni ±
55,20% atau 40.558 jiwa adalah menganut agama Protestan sehingga sarana peribadatan bagi pemeluk Protestan lebih besar dibandingkan sarana peribadatan bagi pemeluk agama lainnya. Selanjutnya, penganut
Agama Islam 20.486 jiwa (27,88%), penganut Agama Khatolik 11.210 jiwa (15,26%), penganut Agama Budha (1,67%), dan penganut Agama
Hindu 0 jiwa (0%). Untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar berikut:
Persentase Struktur Penduduk Menurut Agama (2017)
Universitas Sumatera Utara 276
2. Struktur Penduduk Menurut Pekerjaan
Berdasarkan Data Kependudukan Kecamatan Kabanjahe Tahun 2017
dapat diketahui bahwa sebagian besar penduduk angkatan kerja (48.634
jiwa) di Kecamatan Kabanjahe bekerja di sektor pertanian sebanyak
30.528 jiwa (62,86%). Selanjutnya, bekerja sebagai PNS/ABRI sebanyak
4.860 jiwa (10,07%), industri rumah tangga sebanyak 2.839 jiwa
(5,85%), dan lainnya 10.307 jiwa (21,22%). Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada gambar berikut.
Persentase Struktur Penduduk Menurut Pekerjaan (2017)
Universitas Sumatera Utara 277
Lampiran 5 - Estimasi Perluasan Ruang pada Kecamatan Kabanjahe s.d. 2039
1. Jaringan Jalan Estimasi Perluasan Lahan untuk Jaringan Jalan pada Kecamatan Kabanjahe
No. Desa/Kelurahan Luas Jaringan Jalan Wilayah (Ha) (Ha) 01. Kaban 490,00 49,00 02. Sumber Mufakat 550,00 55,00 03. Rumah Kabanjahe 500,00 50,00 04. Ketaren 250,00 25,00 05. Samura 300,00 30,00 06. Gung Negeri 450,00 45,00 07. Kampung Dalam 200,00 20,00 08. Gung Leto 200,00 20,00 09. Padang Mas 300,00 30,00 10. Lau Cimba 200,00 20,00 11. Kacaribu 325,00 32,50 12. Lau Simomo 200,00 20,00 13. Kandibata 500,00 50,00 Kabanjahe 4465,00 446,50
Keterangan: Standar kebutuhan lahan Jalan = 10% dari darat masing-masing kelurahan/desa.
Universitas Sumatera Utara 278
2. Fasilitas Perumahan
Estimasi Perluasan Ruang untuk Fasilitas Perumahan pada Kecamatan Kabanjahe sampai Tahun 2039
Keterangan:
1KK = 5 Jiwa = 1 Unit Rumah Kapling Sedang = 400 m2 Kapling Besar = 800 m2 Kapling Kecil = 200 m2
Universitas Sumatera Utara 279
3. Fasilitas Pendidikan
Tabel Estimasai Perluasan Ruang untuk Fasilitas Pendikan pada Kecamatan Kabanjahe sampai Tahun 2039
Keterangan: TK minimal penduduk pendukung 1.000 jiwa. Luas = 1.200 m2 SD minimal penduduk pendukung 1.600 jiwa. Luas = 3.600 m2 SMP minimal penduduk pendukung 4.800 jiwa. Luas = 5.000 m2 SMA minimal penduduk pendukung 4.800 jiwa. Luas = 5.000 m2
Universitas Sumatera Utara 280
4. Fasilitas Kesehatan
Tabel Estimasi Perluasan Ruang untuk Fasilitas Kesehatan pada Kecamatan Kabanjahe sampai Tahun 2039
Keterangan: Balai Pengobatan (BP) min. penduduk pendukung 3.000 jiwa. Luas = 300 m2 BKIA + R. Bersalin min.penduduk pendukung 10.000 jiwa. Luas = 1.600 m2 Puskesmas + BP minimal pendukung 30.000 jiwa. Luas = 1.200 m2 Praktek Dokter minimal penduduk pendukung 5.000 jiwa (lokasi bersatu dengan rumah tinggal) Apotek minimal pendukung 10.000 jiwa. Luas = 350 m2
Universitas Sumatera Utara 281
5. Fasilitas perdagangan dan jasa
Tabel Estimasi Perluasan Ruang untuk Fasilitas Perdagangan dan Jasa pada Kecamatan Kabanjahe sampai Tahun 2039
Keterangan: Warung minimal penduduk pendukung 250 jiwa. Luas = 100 m2 Pertokoan minimal penduduk pendukung 2.500 jiwa. Luas = 1.200 m2 Pusat Perbelanjaan penduduk pendukung 30.000 jiwa. Luas = 13.500 m2
Universitas Sumatera Utara 282
6. Fasilitas Taman Tempat Main
Tabel Estimasi Perluasan Ruang untuk Fasilitas Taman Tempat Main pada Kecamatan Kabanjahe sampai Tahun 2039
No. Desa/Kelurahan Jumlah Fasilitas Taman Tempat Main Jumlah Penduduk 2039 Taman 1 Taman 2 Taman 3 Luas Penduduk Unit Ha Unit Ha Unit Ha (Ha) 203 01. Kaban 1.561 1 0,05 1 0,125 0 0,00 0,175 02. Sumber Mufakat 6.774 1 0,05 1 0,125 0 0,00 0,175 03. Rumah 2.624 1 0,05 1 0,125 0 0,00 0,175 Kabanjahe 04. Ketaren 10.622 1 0,05 1 0,125 0 0,00 0,175 05. Samura 5.868 1 0,05 1 0,125 0 0,00 0,175 06. Gung Negeri 17.905 1 0,05 1 0,125 1 0,90 1,075 07. Kampung Dalam 11.466 1 0,05 1 0,125 0 0,00 0,175 08. Gung Leto 8.142 1 0,05 1 0,125 0 0,00 0,175 09. Padang Mas 13.761 1 0,05 1 0,125 1 0,90 1,075 10. Lau Cimba 17.189 1 0,05 1 0,125 1 0,90 1,075 11. Kacaribu 2.480 1 0,05 1 0,125 0 0,00 0,175 12. Lau Simomo 942 1 0,05 1 0,125 0 0,00 0,175 13. Kandibata 3.095 1 0,05 1 0,125 0 0,00 0,175 Kabanjahe 102.429 13 0,65 13 1,625 3 2,70 4,975 Keterangan: Taman 1 (tempat bermain anan) minimal 1 setiap Kel./Desa. Luas = 500 m2 Taman 2 (Lapangan voly) minimal 1 setiap Kel./Desa. Luas = 1.250 m2 Taman 3 (taman, tempat main, dan lapangan olahraga) skala kecamatan atau penduduk 30.000 jiwa. Luas = 9.000 m2
Universitas Sumatera Utara 283
7. Fasilitas Jalur Hijau dan Pemakaman
Tabel Estimasi PerluasanRuang untuk Fasilitas Jalur Hijau dan Pemakaman pada Kecamatan Kabanjahe sampai Tahun 2039
No. Desa/Kelurahan Jumlah Luas RTH Luas Pemakaman Penduduk Jalur Hijau Umum (Ha) 2039 (Ha) 01. Kaban 1.561 2,341 0,109 02. Sumber Mufakat 6.774 10,161 0,474 03. Rumah 2.624 3,936 0,184 Kabanjahe 04. Ketaren 10.622 15,932 0,744 05. Samura 5.868 8,802 0,411 06. Gung Negeri 17.905 26,857 1,253 07. Kampung Dalam 11.466 17,199 0,803 08. Gung Leto 8.142 12,213 0,570 09. Padang Mas 13.761 20,642 0,963 10. Lau Cimba 17.189 25,783 1,203 11. Kacaribu 2.480 3,720 0,174 12. Lau Simomo 942 1,413 0,066 13. Kandibata 3.095 4,642 0,217 Kabanjahe 102.429 153,643 7,170 Keterangan:
Standar Kebutuhan lahan hijau 1 jiwa = 15 m2 Standar Kebutuhan lahan pemakam umum diasumsikan 1 jiwa = 0,7 m2
Universitas Sumatera Utara 284
8. Fasilitas Pelayanan Umum Kelurahan/Desa
Tabel Estimasi Perluasan Ruang untuk Fasilitas Pelayanan Umum pada Kecamatan Kabanjahe sampai Tahun 2039
Keterangan: Kantor Lurah / Ka. Desa masing-masing Kel./Desa. Luas = 200 m2 Pos Hansip + Balai Pertemuan + MCK minimum penduduk pendukung 2.500 jiwa. Luas = 300 m2 Gedung PKK di masing-masing Kel./Desa. Luas = 100 m2
Universitas Sumatera Utara