INTERAKSI SUKU JAWA DI BERASTAGI (Studi Antara Suku Jawa dengan Suku Karo di Berastagi, Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo)
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana ilmu sosial dan ilmu politik dalam bidang Antropologi Sosial
Oleh :
DENNY SETYO WIGUNA
140905055
PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PERNYATAAN ORIGINALITAS
INTERAKSI SUKU JAWA DI BERASTAGI (Studi Antara Suku Jawa Dengan Suku Karo Di Berastagi, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo)
SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar keserjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan disini saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar keserjanaan saya.
Medan, September 2020 Penulis
Denny Setyo Wiguna
i
Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT Denny Setyo Wiguna, 2020, Social Interaction of Javanese in Berastagi, Berastagi District, Karo District, which consists of 5 Chapters, 100 sheets, 12 pictures, 5 tables.
This thesis, entitled Social Interaction of Javanese in Berastagi, Berastagi District, Karo Regency, aims to find out how Javanese interaction occurs in Berastagi with the Karo tribe community in the city of Berastagi, Berastagi District, Karo District. The method used in this research is descriptive qualitative method. To obtain valid research data, the authors used observation and interview techniques. The parties interviewed by the writer are the head of the Berastagi subdistrict, community leaders, local residents who belong to the Javanese tribe, local residents who belong to the Karo tribe, village heads and the general public who are the actors in this study. All that can not be done easily without building rapport (good relations) to the informants interviewed by the author. The results of this study indicate that Javanese social interaction in Berastagi City where Javanese are migrants can interact with the Karo people despite the many cultural differences in the two tribes. However, the interaction of the two does not mean continuing to produce positive things, sometimes negative ones. This is because not all local communities, the Karo people, can accept migrants, Javanese. Cultural differences are the cause of this, where each individual has a view of ethnocentrism with foreign cultures that are different from the customs of their ancestors. From the results of the study showed social interaction in Berastagi, influenced by several factors. Namely religious factors, economic factors, cultural factors, and artistic factors. Each factor has a different pattern of interaction, so to be able to know this approach is carried out so that the reasons for the Karo ethnic group want to do social interaction with the outside community.
Keywords: Social interactions
ii
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK Denny Setyo Wiguna, 2020, Interaksi Sosial Suku Jawa Di Berastagi, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo yang mana skripsi ini terdiri dari 5 Bab, 100 lembar, 12 gambar, 5 tabel.
Skripsi yang berjudul Interaksi Sosial Suku Jawa di Berastagi, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana terjadinya interaksi suku Jawa di Berastagi dengan masyarakat suku Karo di kota Berastagi, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Untuk memproleh data penelitian yang valid, penulis menggunakan teknik observasi dan wawancara. Adapun pihak yang diwawancarai oleh penulis yakni kepala camat Berastagi, tokoh masyarakat, penduduk setempat yang bersuku Jawa, penduduk setempat yang bersuku Karo, kepala desa dan masyarakat umum yang merupakan actor dalam penelitian ini. Semua itu tidak dapat dilakukan dengan mudah tanpa membangun rapport (hubungan baik) kepada informan yang diwawancarai oleh penulis. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa interaksi social suku Jawa di Kota Berastagi yang mana suku Jawa merupakan suku pendatang bisa berinteraksi dengan masyarakat suku Karo walaupun banyak sekali perbedaan-perbedaan budaya pada kedua suku tersebut. Namun , interaksi keduanya bukan berarti menghasilkan hal yang positif terus, adakalanya menghasilkan yang negative. Ini dikarenakan tidak semua masyarakat local yaitu masyarakat suku Karo bisa menerima masyarakat pendatang yaitu suku Jawa. Perbedaan budaya merupakan penyebab hal ini, yang mana masing-masing individu punya pandangan etnosentrisme dengan budaya luar yang berbeda dengan adat istiadat leluhurnya. Dari hasil penelitian menunjukan interaksi social di Berastagi, dipengaruhi oleh beberapa faktor. Yaitu faktor agama, faktor ekonomi, faktor budaya, dan faktor kesenian. Masing-masing factor berbeda-beda pola interaksinya, sehingga untuk bisa mengetahui hal tersebut dilakukan pendekatan agar dapat diketahui alasan-alasan suku Karo mau melakukan interaksi soial dengan masyarakat luar.
Kata-kata kunci : Interaksi social
iii
Universitas Sumatera Utara
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunianya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Interaksi Sosial Suku Jawa di Kota Berastagi” dengan baik. Saya menyadari dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan saran, bimbingan, bantuan dan dukungan baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu saya ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua yang saya sayangi yang tidak pernah lelah memberikan perhatian dan kasih sayang kepada saya sejak lahir sampai saat ini. Dalam kesempatan ini saya juga sangat berterima kasih kepada Bapak Drs. Yance, M.Si. selaku pembimbing skripsi yang telah banyak bersabar memberikan bimbingan, motivasi, arahan, waktu, serta perhatiannya kepada saya, mulai dari penelitian sampai penyelesaian skripsi ini. Ucapan terimakasih juga saya ucapkan kepada bapak Dr. Fikarwin Zuska, M.Ant selaku ketua program studi Antropologi Sosial sekaligus selaku Dosen Penasehat Akademi saya yang sudah bersabar memberi nasehat, arahan, serta semangat dari awal perkuliahan sampai akhir perkuliahan. Tidak lupa juga kepada Bapak Agustrisno, MSP sebagai Sekretaris program studi Antropologi Sosial yang telah banyak memberikan ilmu kepada saya. Tidak lupa juga saya ucapkan terimakasih kepada seluruh dosen program studi Antropologi Sosial FISIP USU yang telah banyak memberikan saya ilmu, wawasan serta pengetahuan baru bagi saya selama perkuliahan. Saya juga mengucapkan terimakasih kepada staf adminstrasi program studi Antropologi Sosial kak Nurhayati dan kak Sri yang telah banyak memberikan bantuan kepada saya. Pada kesempatan ini secara pribadi saya juga mengucapkan terimakasih untuk bapak, ibu, kakak, abang, adek dan semua masyarakat di Kota Berastagi yang telah memberikan informasi dan juga ilmu untuk membantu saya menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa juga kepada teman-teman seperjuangan saya selama proses perkuliahan di Antropologi Sosial yang telah banyak memberikan kesan dan pesan yang tidak bisa saya lupakan. Saya ucapkan rasa terimakasih saya kepada Eka Febriant Ramadhan, Lutfhi Gutawa Hernanda, Jimmy aprido , Elo Evani Ginting, Damara Ginting, Rivai Priyendi , Yessi Feronika, Tabitha Manalu,. Saya ucapkan juga terimakasih kepada teman-teman saya yang tidak disebutkan yang selalu ada untuk membantu dan meringankan masalah.
Medan, september 2020
Penulis
Denny Setyo Wiguna
iv
Universitas Sumatera Utara
RIWAYAT HIDUP PENULIS Denny Setyo Wiguna, lahir di Kota Stabat pada tanggal 14 Desember 1996 dari pasangan Lasimin dan Masitah, anak ke 2 dari 3 bersaudara. Riwayat pendidikan dimulai dari TK Jamiyatul Muslimat Medan pada tahun 2001-2002, kemudian melanjut ke SD Madrasah Ibtihadiyah pada tahun 2002-2008, setelah itu melanjutkan kejenjang SMPN 2Berastagi di tahun 2008-2011 dan melanjutkan kejenjang SMA di SMA Negeri 1 Berastagi pada tahun 2011-2014. Setelah lulus dari SMA Negeri 1 Berastagi pada tahun 2014 kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Universitas Sumatera Utara dengan mengambi jurusan Antropologi Sosial yang berada di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Alamat email penulis : [email protected] Selama perkuliahan, penulis pernah mengikuti beberapa kegiatan dalam aktivitas kampus maupun aktivitas di luar kampus, adapun kegiatan tersebut adalah: 1. Peserta inisiasi dalam kegiatan penerimaan mahasiswa baru antropologi pada tahun 2014 di Prapat. 2. Panitia bayangan inisiasi dalam kegiatan penerimaan mahasiswa baru antropologi pada tahun 2015 di Sibolangit. 3. Panitia inti inisiasi dalam kegiatan menyambut penerimaan mahasiswa baru antropologi pada tahun 2016. 4. Peserta seminar hasil penelitian disertasi doktor tahun 2016, penelitian: Dra. Mariana Makmur, M.A dan penelitian: Sri Alem Br. Sembiring, M.Si. diselenggarakan oleh program studi Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, bertempat di ruang sidang FISIP USU. 5. Anggota dari Organisasi GGArt yang di pelopori Bapak Dr. Fikarwin Zuska, M.Ant 6. Anggota IMKA (Ikatan Mahasiswa Karo)
v
Universitas Sumatera Utara
Kata Pengantar
Dengan rahmat Allah Yang Maha Esa, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, tidak lupa shalawat beriring salam penulis ucapkan kepada nabi besar junjungan kita Nabi Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Interaksi Sosial Suku Jawa Di Berastagi, yang berada di
Kota Berastagi, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo.
Sebagian besar skripsi ini berisi kajian analisis yang didasarkan pada pengamatan dan wawancara yang dilakukan penulis mengenai interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat dilihat di bab I, Sehingga dapat diketahui tujuan penulis yaitu sejauh mana masyarakat suku Jawa di Kota
Berastagi bisa berinteraksi dengan masyarakat local yang kebudayaannya lebih dominan yaitu masyarakat Suku Karo.
Di Bab II sendiri penulis menjelaskan bagaimana sejarah Kota Berastagi dan gambaran umum lokasi penelitian. Yang mana daerah penelitian tempat penulis meneliti merupakan daerah yang mempunyai suhu sangat dingin. Hal ini dikarenakan kota Berastagi merupakan daerah dataran tinggi dan berada ditengah- tengah gunung.
Di bab III , penulis menjelaskan bagaimana interaksi terjadi ketika suku
Jawa mendatangi dan menetap diberatasgi dan ada beberapa jenis interaksi yang terbagi menjadi 3 yaitu interaksi sosial ekonomi, interaksi sosial kebudayaan, interaksi sosial kesenian.
Pada bab IV, penulis mendeskripsikan bagaimana nilai-nilai yang dibawa orang jawa lewat aktivitas keseharian dan kegiatan yang mereka lakukan. Yang
vi
Universitas Sumatera Utara
mana nilai ini diterima masyarakat lain dikarenakan banyak nilai positif yang bisa diambil.
Kesimpulan yang dapat penulis ambil yaitu awal kedatangan suku jawa akan menimbulkan interaksi dari berbagai aspek yang mana interaksi ini dilakukan agar suku Jawa dapat diterima dan nilai nilai yang dibawa suku Jawa lewat berbagai kegiatan yang mereka lakukan memberi nilai-nilai yang dapat diterima masyarakat lain sehingga keberadaan mereka malah memberi nilai positif.
Akhir kata, penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah membantu saya untuk menyelesaikan skripsi ini, penulis mengharapkan semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, karena keterbatasan kemampuan, pengetahuan, materi, dan pengalaman penulis. Dengan tidak mengurangi rasa hormat, penulis mengharapkan koreksi, kritik dan saran maupun sumbangan pemikiran yang bersifat membangun dari berbagai pihak untuk menyempurnakan skripsi ini.
Medan, September 2020
Penulis
Denny Setyo Wiguna
vii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ...... LEMBAR PERSETUJUAN ...... PERNYATAAN ORIGINALITAS ...... i ABSTRAK ...... iii UCAPAN TERIMA KASIH...... iii RIWAYAT HIDUP ...... iv KATA PENGANTAR ...... vi DAFTAR ISI ...... viii DAFTAR GAMBAR ...... x DAFTAR TABEL...... xi
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ...... 1 1.2. Tinjauan Pustaka ...... 5 1.3. Rumusan Masalah ...... 10 1.4. Tujuan Penelitian...... 11 1.5. Manfaat Penelitian...... 11 1.6. Metode penelitian ...... 12 1.7. Analisis Penelitian ...... 17 1.8. Lokasi Penelitian ...... 18 1.9. Pengalaman Penelitian ...... 18
BAB II. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1 Letak dan Kondisi Geografis Berastagi ...... 27 2.2 Sejarah Kota Berastagi ...... 30 2.3 Mata Pencaharian Penduduk Berastagi ...... 35 2.4 Sarana dan Prasarana Kota Berastagi ...... 37
BAB III. Interaksi Sosial Jawa Dan Karo
3.1 Interaksi Sosial di Berastagi ...... 43 3.2 Interaksi Sosial Ekonomi Jawa Dan Karo ...... 52 3.3 Interaksi Sosial Kebudayaan Jawa Dan Karo ...... 59 3.4 Interaksi Sosial Kesenian Jawa Dan Karo ...... 67
BAB IV. NILAI-NILAI DALAM PROSES INTERAKSI JAWA DAN KARO
4.1 Nilai Budaya ...... 71 4.2 Nilai-nilai sosial...... 79
viii
Universitas Sumatera Utara
BAB V. PENUTUP 5.1. Kesimpulan…………………………………………………….. 93 5.2. Saran…………………………………………………………… 94
DAFTAR PUSTAKA ...... 95
ix
Universitas Sumatera Utara
Daftar Gambar
Gambar 1. Kantor Bupati Tanah Karo ...... 22 Gambar 2. Denah Kecamatan Berastagi ...... 28 Gambar 3. Pukesmas Berastagi ...... 40 Gambar 4. Mesjid Istihrar ...... 41 Gambar 5. Gereja GBKP Runggun Berastagi ...... 42 Gambar 6. Pasar Pusat Berastagi ...... 53 Gambar 7. Pasar Buah Berastagi ...... 54 Gambar 8. Perladangan Milik Warga...... 56 Gambar 9. Pajak Roga...... 67 Gambar 10. Kuda Kepang ...... 68 Gambar 11. Jambur Taras ...... 71 Gambar 12. Tradisi Rewang ...... 88
x
Universitas Sumatera Utara
Daftar Tabel
Tabel 1. Tabel Mata Pencaharian ...... 35 Tabel 2. Jumlah Sarana Sekolah ...... 37 Tabel 3. Jumlah Fasilitas Kesehatan ...... 39 Tabel 4. Jumlah Fasilitas Rumah Ibadah ...... 40 Tabel 5. Temuan Lapangan ...... 85
xi
Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Terjadinya arus migrasi penduduk yang deras dari pulau Jawa untuk menjadi kuli kontrak di Sumatera berlangsung menjelang terjadinya depresi ekonomi dunia pada tahun
1930-an. Para penduduk miskin di Jawa yang terutama berada di desa-desa terpencil, dibawa ke Sumatera untuk dijadikan pekerja di sejumlah perkebunan di wilayah tersebut. Selain itu pemerintah kolonial Belanda mengubah kebijakan kolonisasi, dengan menciptakan koloni penduduk asal Jawa di perkebunan-perkebunan yang telah mereka buat.
Kebijakan kolonisasi penduduk dari pulauJawa keluar Jawa dilatarbelakangi oleh : (1) Melaksanakan salah satu program politiketis, yaitu emigrasi untuk mengurangi jumlah penduduk pulau Jawa dan memperbaiki taraf kehidupan yang masih rendah. (2) Pemilikan tanah yang makin sempit dipulau
Jawa akibat pertambahan penduduk yang cepat telah menyebabkan taraf hidup masyarakat di pulau Jawa semakin menurun. (3) Adanya kebutuhan pemerintah kolonial Belanda dan perusahaan swasta akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan dan pertambangan di luar pulau Jawa. Politik etis yang mulai diterapkan pada tahun 1900 bertujuan mensejahterakan masyarakat petani yang telah dieksploitasi selama dilaksanakannya culture stelsel (sistem tanam paksa).
1
Universitas Sumatera Utara
Perkembangan yang pesat dalam pembangunan perkebunan ini, karena pada masa itu Belanda sudah mulai memasuki era imperialisme modern dengan memberlakukan Undang-Undang Agraria tahun 1870 bagi seluruh wilayah Hindia
Belanda, yang menciptakan iklim kemantapan berusaha bagi para pengusaha
Belanda atau orang lainnya.
Bersamaan dengan pesatnya pembukaan lahan baru untuk perkebunan tembakau, tahun 1890-1920 adalah era dimana masuknya gelombang kuli untuk bekerja di perkebunan tembakau swasta milik Belanda datang secara besar- besaran. Para kuli yang disebut kuli kontrak adalah kebanyakan dari Jawa.
Kebanyakan dari mereka tertipu oleh bujukan para agen pencari kerja yang mengatakan kepada mereka bahwa Deli adalah tempat dimana pohon yang berdaun uang (metaphora dari tembakau). Dijanjikan akan kaya raya namun kenyataannya mereka dijadikan budak. Selama puluhan tahun mereka menjalani kehidupan yang sangat tidak manusiawi, upah yang sangat rendah, perlakuan kasar majikan.
Orang-orang asing berlomba menanamkan modal ke Sumatera Utara. Oleh karena itu sulit mendatangkan buruh Cina dan India ke Sumatera Utara, maka kuli kontrak didatangkan dari Jawa. Masuknya kuli kontrak asal Jawa ke Medan tentu mengubah warna daerah ini. Mereka datang karena tertipu bujuk rayu makelar pencari tenaga kerja. Pada masa Hindi Belanda orang Jawa didatangkan dari kampung miskin di Jawa. Awalnya “Werk” atau agen pencari “kuli” datang ke pelbagai kampung/desa di Jawa yang dilanda paceklik, menggoda mereka untuk bekerja ke Sumatera.
2
Universitas Sumatera Utara
Kedatangan kuli asal Jawa di mulai pada tahun 1880, pemerintah
Tiongkok makin mempersulit buruh nya ke Deli. Sementara itu, pemerintah
Inggris di India juga mengajukan berbagai persyaratan bagi pekerja Tamil yang hendak ke Deli. Namun, calo buruh kebun di Penang dan Singapura tetap memasok tenaga ke Deli, dengan tipuan hendak memperkerjakan mereka ke
Johor. Oleh karena itu, tahun 1880 awal kedatangan buruh Jawa ke Deli, yaitu masuknya 150 orang dari Bagelen. Jumlah ini mengalir terus, sampai akhirnya mengalahkan jumlah buruh kebun asal Cina dan Tamil.
Selain itu, upah para buruh Jawa lebih rendah dari pada buruh Cina yang pada waktu itu juga merupakan kuli kontrak. Mereka (orang Cina) datang lebih dulu ke Sumatera untuk sebagai kuli kontrak ketimbang kuli kontrak asal Jawa.
Sehingga Pemerintah kolonial mendorong kedatangan perempuan dari Jawa dan mengizinkan majikan mengerahkan mereka sebagai tenaga kerja penuh.
Menilik etnis Jawa pada masa kolonial Belanda hingga kemerdekaan, beberapa bagian daripadanya telah mengalami perpindahan, baik dari desa ke kota, dari desa sebuah pulau ke pulau lain, maupun dari desa di Indonesia ke mancanegara, baik dengan cara spontan, bedhol desa, maupun tenaga kontrak. Di daerah-daerah baru tersebut orang-orang Jawa membentuk komunitas baru sebagai orang jawa perantauan dan disanalah berkembang kebudayaan Jawa yang dibawa dan dulu pernah mereka lestarikan, bina, dan kembangkan di desa.
Orang Jawa di Tanah Karo kebanyakan asal usul mereka dari transmigrasi dari pulau Jawa, yang mana ketika beberapa dari mereka tiba di Tanah Karo kebanyakan bekerja sebagai kuli, di bagian bangunan , aron , maupun pembantu
3
Universitas Sumatera Utara
rumah tangga. Hal ini dikarenakan status mereka sebagai pendatang , yang mana mereka sebagai minoritas sangat bergantung pada mayoritas di tempat tersebut.
Untuk bisa diterima di Tanah karo Masyarakat Jawa biasanya menyerap sebagian besar adat istiadat suku mayoritas, dalam hal ini suku mayoritas adalah suku karo. Suku Karo sendiri tolerir dengan suku lain, ini terbukti banyaknyas uku dan etnis yang hidup di Tanah Karo, seperti Etnis Cina, Batak, Nias, Jawa, dan lain-lain. Memang sebagian suku dan etnis yang tinggal di Tanah Karo hidup berkelompok atau bertempat tinggal berdekatan. Suku Jawa sendiri banyak ditemukan di Tanah Karo, khususnya Berastagi mereka dapat ditemui di berbagai tempat, salah satu contohnya di Kampung Kolam.
Suku Jawa di Tanah Karo umumnya bisa berbahasa Karo, hal ini untuk memudahkan mereka berinteraksi dengan suku mayoritas . Suku Jawa sendiri ada yang menabalkan marga Suku Karo kedalam namanya. Hal ini banyak di temukan, dan biasanya hal ini terjadi jika adanya perkawinan antarsuku yang lain dengan Suku Karo, sehingga ia dapat di terima di keluarga besar orang Karo.
Tetapi ada beberapa orang yang menabalkan marganya meskipun tidak melalui perkawinan. Hal ini hanyalah salah satu dari sekian banyak yang akan penulis akan teliti lebih lanjut.
Sudah sangat sering media elektroni kmaupun media cetak memberitakan pelaksanaan sebuah acara pemberian/penabalan merga kepada tokoh penting di
Kabupaten Karo, bahkan tokoh nasional. Kegiatan ini memiliki nilai politis serta
4
Universitas Sumatera Utara
strategi dalam membangun komunikasi politik. Jika ingin tujuan membangun kedekatan dengan “tokoh” tersebut, maka dikenalkanlah budaya Karo kepadanya.
Akan tetapi, pemberian merga oleh organisasi Karo atau Pemkab Karo menurut saya tidak memiliki otoritas serta legalitas berdasarkan sistim adat budaya Suku Karo. Boleh sebuah organisasi turut berperan. Namun, terasa janggal jika yang memberikan merga seharusnya lebih tepat sebagai fasilitator saja.
Penabalan marga untuk Suku diluar Karo sendiri tidak dikenal oleh orang
Karo, yang ada hanya pengangkatan anak, pengangkatan orang tua ataupun pengangkatan Senina. Namun, ada juga dilakukan kepada seseorang yang berjasa terhadap kampung itu. Hal ini banyak terjadi pada saat sekarang, apalagi menjelang pemilu banyak yang dulunya tidak mempunyai marga orang Karo tetapi mendapat pengakuan dari orang Karo itu sendiri.
Dalam penelitian ini ,penulis ingin menyampaikan bagaimana Suku Jawa di Tanah Karo, penabalan Marga, interaksi sosial mereka, perkawinan, serta mata pencaharian Suku Jawa di Tanah Karo, Sehingga peneliti ingin mencari jawaban ini melalui wawancara pada Suku Jawa di kota Berastagi, tepatnya di kota
Berastagi, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo.
1.2 Tinjauan Pustaka
Interaksi Sosial
Manusia adalah makhluk sosial, dia tidak bisa hidup sendiri dan membutuhkan orang lain untuk tetap bertahan hidup. Menjalani kehidupan sehari-
5
Universitas Sumatera Utara
hari manusia selalu melakukan hubungan dengan orang lain baik secara perorangan maupun dengan kelompok, hubungan-hubungan tersebut akan membentuk interaksi sosial. Interaksi sosial dapat diartikansebagai hubungan- hubungan sosial yang dinamis. Interaksi yang terjadi terdapat simbol, di mana simbol diartikan sebagai sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh mereka yang menggunakannya.
Menurut Soekanto (2015: 55) interaksi sosial adalah hubungan-hubungan sosial yang dinamis menyangkut hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antar perorangan dengan kelompok.
Interaksi merupakan titik awal berlangsungnya peristiwa sosial. Menurut
Partowisastro (2003: 109) interaksi sosial ialah relasi sosial yang berfungsi menjalin berbagai jenis relasi sosial yang dinamis, baik relasi itu berbentuk antar individu, kelompok dengan kelompok, atau individu dengan kelompok.
Walgito (2007: 56) mengemukakan interaksi sosial adalah hubungan antara individu satu dengan individu lain, individu satu dapat mempengaruhi individu yang lain atau sebaliknya, sehingga terdapat hubungan yang saling timbal balik.
Hubungan tersebut dapat terjadi antara individu dengan individu, individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok. Menurut Sarwono dan Meinarno
(2009: 203) interaksi sosial adalah hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi antara individu dengan individu lain, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok lain. Basrowi (2014: 35) mengemukakan interaksi sosial adalah hubungan dinamis yang mempertemukan orang dengan orang, kelompok dengan kelompok, maupun orang dengan kelompok manusia.
6
Universitas Sumatera Utara
Bentuknya tidak hanya bersifat kerjasama, tetapi juga berbentuk tindakan, persaingan, pertikaian dan sejenisnya. Gerungan (2006: 53) secara lebih mendalam menyatakan interaksi sosial adalah proses individu satu dapat menyesuaikan diri secara autoplastis kepada individu yang lain, dimana dirinya dipengaruhi oleh diri yang lain. Individu yang satu dapat juga menyesuaikan diri secara aloplastis dengan individu lain, dimana individu yang lain itulah yang dipengaruhi oleh dirinya yang pertama. Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa interaksi sosial adalah hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki perilaku yang berlangsung antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok.
Ciri-ciri interaksi sosial menurut Taneko (1984: 114) adalah sebagai
berikut :
1. Ada pelaku dengan jumlah lebih dari satu orang
2. Ada komunikasi antarpelaku dengan menggunakan simbol-simbol
3. Ada dimensi waktu (masa lampau, masa kini, dan masa mendatang) yang
menentukan sifat aksi yang sedang berlangsung
4. Ada tujuan-tujuan tertentu, terlepas dari sama tidaknya tujuan tersebut
dengan yang diperkirakan oleh pengamat
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya interaksi sosial menurut Soekanto
(2015: 58)
7
Universitas Sumatera Utara
a. Sugesti
Sugesti adalah pemberian pengaruh pandangan seseorang kepada orang lain dengan cara tertentu, sehingga orang tersebut mengikuti pandangan/pengaruh tersebut tanpa berpikir panjang. Sugesti biasanya dilakukan oleh orang yang berwibawa, mempunyai pengaruh besar, atau terkenal dalam masyarakat.
b. Imitasi
Imitasi adalah tindakan atau usaha untuk meniru tindakan orang lain sebagai tokoh idealnya. Imitasi cenderung secara tidak disadari dilakukan oleh seseorang. Imitasi pertama kali akan terjadi dalam sosialisasi keluarga.
c. Identifikasi
Identifikasi adalah kecenderungan atau keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan orang lain. Identifikasi mengakibatkan terjadinya pengaruh yang lebih dalam dari sugesti dan imitasi karena identifikasi dilakukan oleh seseorang secara sadar.
d. Simpati
Simpati adalah suatu proses seseorang yang merasa tertarik pada orang lain. Perasaan simpati itu bisa juga disampaikan kepada seseorang atau sekelompok orang atau suatu lembaga formal pada saat-saat khusus.
e. Empati
Empati adalah kemampuan mengambil atau memainkan peranan secara efektif dan seseorang atau orang lain dalam konsidi yang sebenar-benarnya, seolah-olah ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain tersebut seperti rasa senang, sakit, susah, dan bahagia. Empat hampir mirip dengan sikap simpati.
Perbedaannya, sikap empati lebih menjiwai atau lebih terlihat secara emosional.
8
Universitas Sumatera Utara
Dua syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan interaksi sosial
(Soekanto, 2015: 60) yaitu
1. Kontak Sosial
Kontak sosial berasal dari bahasa latin con atau cum yang berarti bersama- sama dan tango yang berarti menyentuh. Jadi secara harafiah kontak adalah bersama-sama menyentuh. Secara fisik, kontak baru terjadi apabila terjadi hubungan badaniah. Sebagai gejala sosial itu tidak perlu berarti suatu hubungan badaniah, karena orang dapat mengadakan hubungan tanpa harus menyentuhnya, seperti misalnya dengan cara berbicara dengan orang yang bersangkutan. Dengan berkembangnya teknologi dewasa ini, orang-orang dapat berhubungan satu sama lain dengan melalui telepon, telegraf, radio, dan yang lainnya yang tidak perlu memerlukan sentuhan badaniah. Kontak sosial memiliki beberapa sifat, yaitu kontak sosial positif dan kontak sosial negatif. Kontak sosial positif adalah kontak sosial yang mengarah pada suatu kerjasama, sedangkan kontak sosial negatif mengarah kepada suatu pertentangan atau bahkan sama sekali tidak menghasilkan kontak sosial. Selain itu kontak sosial juga memiliki sifat primer atau sekunder.
Kontak primer terjadi apabila yang mengadakan hubungan langsung bertemu dan berhadapan muka, sebaliknya kontak yang sekunder memerlukan suatu perantara.
9
Universitas Sumatera Utara
2. Komunikasi.
Komunikasi adalah bahwa seseorang yang memberi tafsiran kepada orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah atau sikap), perasaan- perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Orang yang bersangkutan kemudian memberi reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan. Dengan adanya komunikasi sikap dan perasaan kelompok dapat diketahui olek kelompok lain atau orang lain. Hal ini kemudian merupakan bahan untuk menentukan reaksi apa yang akan dilakukannya. Komunikasi memungkinkan sekali terjadi berbagai macam penafsiran terhadap tingkah laku orang lain. Seulas senyum misalnya, dapat ditafsirkan sebagai keramah tamahan, sikap bersahabat atau bahkan sebagai sikap sinis dan sikap ingin menunjukan kemenangan. Dengan demikian komunikasi memungkinkan kerjasama antarperorangan dan atau antarkelompok. Tetapi di samping itu juga komunikasi bisa menghasilkan pertikaian yang terjadi karena salah paham yang masing-masing tidak mau mengalah. Komunikasi juga sebagai syarat yang harus dipenuhi, karena tanpa komunikasi tidak akan terjadi interaksi untuk tukar menukar informasi antar orang maupun kelompok.
1.3 Rumusan Masalah
Beradasarakan latar belakang masalah dan tinjauan pustaka diatas, maka
penulis menyusun beberapa rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu
sebagai berikut :
10
Universitas Sumatera Utara
1. Bagaimana Proses interaksi sosial masyarakat pendatang suku Jawa
dengan masyarakat setempat suku Karo ?
2. Apa saja faktor yang mempengaruhi terjadi interaksi sosial disana ?
3. Bagaimana pengaruh interaksi sosial pada masyarakat suku Jawa dan Karo
?
1.4 Tujuan penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah diatas maka dapat dilihat tujuan penelitian ini seperti melihat sejauh mana masyarakat Suku Jawa di Berastagi bisa berinteraksi dengan masyarakat lain terkhusus masyarakat Suku Karo yang ada di
Berastagi dan dapat diketahui juga poin penting terjadinya interaksi antarsuku yang mana berdampak banyak di kemudian hari.
1.5 Manfaat Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengetahui bagaimana Suku jawa bisa beradaptasi dan bisa berinteraksi dengan masyarakat suku Karo di kota Berastagi dan bisa berbaur dengan masyarakat setempat, dan diharapkan menambah pengetahuan untuk kalangan mahasiswa tentang interaksi sosial budaya jawa dengan Suku lain di Tanah Karo, sehingga diharapkan penelitian ini bisa dijadikan pedoman suatu saat jika diperlukan.
Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan, sebagai bahan atau informasi, mengenai hubungan
11
Universitas Sumatera Utara
antaretnis, khususnya interaksi sosial antarbudaya. Diharapkan dapat memberikan kontribusi dan referensi bagi pemerintahan dan pihak lainnya sebagai perumusan.
1.6 Metode Penelitian
Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling, yaitu pemilihan sampel yang ditentukan secara sengaja sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Oleh karena itu besarnya sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 12 orang yang terdiri atas 6 orang transmigran Jawa dan 6 orang masyarakat lokal. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder dengan teknik pengumpulan data observasi, wawancara dan dokumentasi.
Data-data yang diperoleh dari lapangan merupakan bentuk deskriptif yang dijadikan menjadi etnografi. Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan. Tujuannya untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli, sebagaimana dikemukakan oleh Malinowski bahwa tujuan etnografi adalah “memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangannya mengenai pandangan hidup”. Etnografi tersebut mengggunakan metode kualitatif dengan Teknik-teknik pengumpulan data sebagai berikut:
1. Sumber Data
Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh .menurut . Menurut Lofland dan lofland sebagaimana yang dikutip oleh Lexy J. Moleong, menyatakan bahwa sumber data yang utama
12
Universitas Sumatera Utara
dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumentasi dan lain-lain.
Data yang diperoleh adalah data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati dan data yang diperoleh adalah hasil wawancara dan observasi kepada anggota masyarakat suku Jawa di kota Berastagi.
2. Sumber Data Primer
Merupakan data utama yang diperoleh dari teknik observasi dan teknik wawancara yaitu :
Teknik Observasi
Teknik observasi adalah aktivitas terhadap suatu proses objek dengan maksud merasakan dan kemudian memahami pengetahuan dari sebuah fenomena bedasarkan pengetahuan dan gagasan yang sudah diketahui sebelumnya, untuk mendapatkan informasi-informasi yang dibutuhkan untuk melanjutkan penelitian.
Penelitian ini menggunakan teknik observasi serta wawancara yang dilakukan dengan masyarakat suku Jawa maupun masyarakat suku Karo di
Berastagi, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo. Yang mana kedua suku ini saling berinteraksi satu sama lainnya di kehidupan sehari-hari. Sehingga orang- orang yang terlibat dan orang yang mengetahui persisnya dapat memberikan informasi yang dibutuhkan untuk data-data penelitian.
13
Universitas Sumatera Utara
Hasil observasi dan wawancara penelitian ini adalah : di kehidupan sehari- hari beberapa kelompok dari masyarakat Suku Jawa maupun masyarakat suku
Karo saling berkomunikasi baik itu di kehidupan bertetangga juga dalam hal tak terduga sekalipun. Sehingga ada beberapa faktor yang melatar belakangi hal ini terjadi, yang mana pengaruhnya sangat besar dalam membentuk pola interaksi antarsuku di kota Berastagi terkhususnya antarsuku Jawa dan Karo.
Peneliti juga melakukan observasi partisipasi adalah proses pengamatan yang dilakukan peneliti dengan ikut mengambil bagian dalam kehidupan orang orang yang akan diteliti. Mengenai gambaran Kota Berastagi sudah dapat sedikit diketahui peneliti berhubung peneliti besar dan tinggal di Berastagi, setiap minggu peneliti juga sering pulang ke Berastagi atau hari libur. Sehingga peneliti tidak kesulitan dalam melakukan observasi, dikarenakan baik lokasi dan masyarakatnya sudah diketahui sebagian besar oleh peneliti. Sehingga peneliti hanya perlu lebih mendekatkan diri pada narasumber yang akan diteliti.
Wawancara
Teknik wawancara mendalam adalah suatu proses Tanya jawab secara langsung dengan bertatap muka, untuk penggalian informasi secara mendalam terhadap topik atau kajian penelitian. Tujuan wawancara mendalami untuk mengetahui apa yang terkandung dalam pikiran dan hati orang lain. Wawancara juga berfungsi untuk mendapatkan informasi yang tidak dapat ditemukan melalui teknik observasi partisipasi. Informan dibedakan atas tiga kategori yaitu sebagai berikut :
14
Universitas Sumatera Utara
1. Informan pangkal
Informan pangkal adalah orang yang pertama kali peneliti jumpai yang dapat memberikan informan yang lebih paham mengenai topik kajian penelitian ini, dari informan pangkal inilah kita akan mengetahui siapa informan kunci.
Wawancara mendalam ditujukan kepada informan pangkal dilakukan guna untuk mendapatkan informasi :
a. Bagaimana masyarakat Suku Jawa yang berada di Berastagi ?
b. Apa bentuk interaksi mereka dengan suku lain di Berastagi ?
c. Apa saja mata pencaharian Suku Jawa di Berastagi ?
d. Bagaimana merek abisa beradaptasi di Berastagi ?
2. Informan Kunci
Informan kunci adalah orang yang betul-betul paham tentang apa yang peneliti ingin teliti. Mereka banyak memegang peranan kuat memegang informasi, sehingga peneliti akan menggali lebih dalam informasi dari informan kunci ini.
Mereka biasanya ketua adat, ketua suku atau orang yang telah hidup lama dan banyak pengalamannya, sehingga diharapkan dapat member informasi lebih seputar info yang ingin didapatkan peneliti.
15
Universitas Sumatera Utara
Wawancara yang ditujukan kepada informan kunci dilakukan guna untuk mengetahui informasi : a. Apasaja yang anda ketahui tentang masyarakat Suku Jawa di Berastagi ? b. Apa anda mengetahui apa yang mendorong Suku Jawa untuk ke Berastagi ? c. Bagaimana Suku Jawa bisa beradaptasi di Berastagi ? d. ApaperbedaanbudayaSukuJawa pada waktulampaudengansekarang ? e. Apakah Suku Jawa lebih banyak memilih ikut kebudaya Suku Karo ? f. Bagaimana menurut anda tentang Suku Jawa di Berastagi ?
3. Informan Biasa atau Umum
Orang-orang yang bisa dijumpain pada saat melakukan penelitian atau saat penelitian berlangsung, seperti masyarakat biasa yang ditemui dilapangan yang dapat memberikan beberapa informasi yang dibutuhkan peneliti agar penelitian ini berjalan sesuai dengan rencana. Orang-orang ini biasanya seperti tetangga, orang yang mengetahui beberapa informasi, dan lain-lain
Wawancara mendalam ditujukan kepada informan biasa atau umum guna untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan peneliti : a. Apa alasan anda datang ke Berastagi ?
16
Universitas Sumatera Utara
b. Ketika anda berada di Berastagi anda menggunakan indentitas yang mana ? c. Bagaimana anda bisa beradaptasi di Berastagi ? d. Bagaimana tanggapan Suku Karo atau suku lain tentang Suku Jawa ? e. Adakah bentuk diskriminasi atau bentuk konflik yang mengarah ke Suku Jawa ?
Kegiatan wawancara mendalam peneliti dengan informan dibantu dengan fitur Tape recorder dari Handphone, yang mana sebelum ingin melakukan wawancara terlebih dahulu peneliti minta izin kepada informan tersebut untuk direkam pembicaraannya, hal ini dilakukan agar peneliti bisa mengulang pembicaraan antara peneliti dengan informan sehingga lebih gampang untuk menuliskan kembali perkataan dari informan. Seluruh hasil wawancara baik terhadap informan pangkal, informan kunci, dan informan biasa atau umum, dituangkan kembali kedalam catatan wawancara atau transkip wawancara.
Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder merupakan sumber data pendukung yang dapa tdidapat dari kantor Bupati Kecamatan Berastagi juga data kependudukan dari kantor BPS Tanah Karo, sehingga dapat diketahui berapa banyak jumlah penduduk, fasilitas, dan pekerjaan disana.
1.7 Analisis Penelitian
Metode analisis penelitian dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang didasarkan pada upaya membangun pandangan mereka
17
Universitas Sumatera Utara
yang diteliti secaa rinci, dibentuk dengan kata-kata, lalu dideskripsikan. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menghasilkan prosedur analisis, penelitian ini akan mengumpulkan data kualitatif yang bersangkutan dengan interaksi suku
Jawa di kota Berastagi, kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo. Maka dalam pengumpulan data kualitatif diperlukan menjawab persoalan dan permasalahan dari permasalahan peneliti.
1.8 Lokasi Penelitian
Penulis mengambil lokasi penelitian di kota Berastagi, Kecamatan
Berastagi, Kabupaten Karo dengan mempertimbangkan :
1. Di kota Berastagi, penulis lebih mudah dalam memperoleh dan
mengumpulkan data serta keterangan-keterangan yang diperlukan
dalam membahas penelitian ini. Dikarenakan daerah ini merupakan
daerah tempat penulis besar, sehingga beberapa hal dapat dimengerti
penulis.
2. Di kota Berastagi dapat ditemukan bermacam-macam suku, salah
satunya suku Jawa yang banyak menetap sehingga pastinya akan ada
interaksi antarsuku di dalam, terkhususnya interaksi antar masyarakat
suku Jawa dengan masyarakat Suku Karo
1.9 Pengalaman Penelitian
Sebagai etnografer yang bertugas menjadi peneliti di sebuah tempat yang sudah saya ketahui tempatnya yang mana daerah ini banyak suku didalamnya
18
Universitas Sumatera Utara
tetapi masih menjadi mayoritas masyarakat suku Karo disana, sehingga ada banyak hal kenapa perbedaan bisa membuat mereka tetap bisa berkomunikasi sehari-hari. Hal itu yang membuat tantangan tersendiri bagi penulis, apalagi penulis juga besar di daerah ini yang mana penulis yang berasal dari masyarakat suku Jawa mencoba bagaimana mendeskripsikan hubungan antarsuku Jawa dan
Karo terkhusus interaksi didalamnya yang mana perbedaan budaya cukup signifikan berbeda, akan tetapi itu menyenangkan bagi penulis karena penulis bisa mengetahui bagaimana masyarakat suku Jawa yang semuanya pendatang di kota
Berastagi bisa beradaptasi dengan cepat. Selain cepatnya beradaptasi masyarakat suku Jawa sangat cepat bisa berinteraksi dengan masyarakat local yaitu masyarakat suku Karo. Banyak segi faktor yang membuat masyarakat suku Karo tidak menganggap masyarakat suku Jawa merupakan suku yang berbahaya.
Penelitian ini dilakukan selama 1 bulan lebih dikarenakan sekretaris
Kecamatan Berastagi dan Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlidungan
Masyarakat (BAKESBANG) hanya mengijinkan penelitian selama 1 bulan untuk mendapatkan waktu tambahan harus setiap bulan melapor kembali sembari membawa surat izin penelitian dan hasil penelitian kepada mereka. Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi saya karena saya harus melakukan observasi yang bertujuan mengamati kegiatan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari mereka mulai dari pagi hingga malam hari. Saya juga tinggal di Kota Berastagi dari kecil sehingga banyak kegiatan yang saya ikuti seperti gotong royong, kerja tahun, Gendang Guro-guro Aron, kegiatan 17 agustus-an dan sebagainya.
19
Universitas Sumatera Utara
Tempat yang menjadi lokasi penelitian saya untuk menyelesaikan tugas akhir/skripsi ini adalah di kota Berastagi, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo.
Disana penduduk yang mayoritas adalah masyarakat suku Karo tetapi banyak juga suku-suku lain yang tinggal bertetangga dengan mereka walau jumlah perbandingan penduduknya sangat jauh. Perbedaan suku bangsa inilah yang membuat penelitian ini saya rasa menarik karena perbedaan bukan berarti tentang hal negatif melulu, tetapi ada juga yang positif tergantung bagaimana masyarakat disana saling bisa menjaga perasaan suku lain.
Setelah saya mendapatkan surat lapangan yang dikeluarkan oleh pihak departemen, akhirnya saya balik ke kota Berastagi untuk melakukan penelitian saya. Memang saya besar di daerah ini, tetapi saya sudah lama tidak pulang karena urusan perkuliahan. Di kota Berastagi sendiri sangat dingin walaupun saya besar disini bukan berarti saya tidak kedinginan. Jadi tidak heran banyak orang di kota Berastagi suka memakai jaket tebal, walaupun mereka sudah terbiasa dengan dingin tetap saja mereka menggunakan pakaian tebal untuk menghangatkan diri mereka. Untuk cuaca yang biasa saja kota Berastagi bisa sangat dingin bagi orang yang belum terbiasa, belum lagi untuk kondisi cuaca tertentu yang membuat kota
Berastagi sangat-sangat dingin, ini biasanya terjadi jika mulai memasuki musim penghujan, tetapi bukan berarti di musim panas tidak dingin. Justru diapit beberapa gunung lah yang membuat kota Berastagi stabil pada suhu dingin.
Dinginnya kota Berastagi dan sering hujan membuat saya sering kesulitan untuk keluar .Walaupun dingin masyarakat disini sering saya liat masuk ke kedai kopi, disana mereka bercengkrama sambil meminum kopi atau the untuk
20
Universitas Sumatera Utara
menghangatkan tubuh mereka. Saya juga melakukan hal yang sama, duduk sendiri memesan the manis yang panas, sembari mendengar perbincangan mereka yang mana mereka perbicangan mereka terkadang tentang ekonomi, politik, hingga rumah tangga masing-masing. Dibeberapa waktu terdengar perbincangan dalam bahasa karo, terkadang juga terdengar bahasa jawa tetapi sangat jarang.
Lalu minggu berikutnya saya pergi kekantor camat, Kecamatan Berastagi.
Tujuannya adalah untuk mencari data-data penduduk kota Berastagi yang mana data-data ini sangat saya perlukan sekaligus penunjang isi skripsi saya. Jarak rumah ke kantor kecamatan Berastagi cukuplah jauh, saya kesana menggunakan sepeda motor, untuk kesana membutuhkan sekitar 20 menit perjalanan. Itu jika tidak macet pada pajak Roga (tempat petani kota Berastagi menjual hasil panennya), macet tentunya memakan waktu hingga 30 menit. Sesampai di kantor
Kecamatan Berastagi saya pun menghampiri petugas yang berjaga di pintu, dan saya menjelaskan maksud kedatangan saya yaitu mencari data-data kependudukan. Petugas itu pun mengarahkan saya menuju kantor ssekretaris
Kecamatan Berastagi yang masih dalam satu gedung. Disana saya berbincang- bincang dengan pak Ijin Gurusinga, SP . ia menanyakan keperluan saya, dan asal universitas saya. Saya pun menjawabnya ,tetapi sebelum ia memberikan data kependudukan kecamatan Berastagi, ia terlebih dahulu menyuruh saya mengurus surat izin penelitian ke BAKESBANG, karena saya hanya mengurus surat izin penelitian untuk kecamatan, maka saya harus kembali ke Medan untuk mengurus kembali surat izin penelitian ke Kabupaten.
21
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1, Kantor Bupati Tanah Karo
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Minggu selanjutnya setelah saya selesai mengurus surat izin penelitian untuk BAKESBANG Kabupaten Karo, saya pun bergegas kearah Kota Kabanjahe karena letak kantor Bupati sangat jauh dari Kota Berastagi yang memakan waktu hingga 1 jam perjalanan menggunakan kereta. Disana saya harus mencari Kantor
BAKESBANG yang letaknya berada di sudut ujung, disana saya harus gigit jari dikarenakan kepala BAKESBANG tidak ada ditempat, karena untuk dterbitkanya surat penelitian dari BAKESBANG membutuhkan tandatangan kepala
BAKESBANG tersebut yang mana ia sedang ada dinas ke Bali dan 3 hari lagi baru kembali.
Setelah kepala BAKESBANG kembali dari perjalanan dinasnya, saya pun mengurus kembali ke Kota Kabanjahe dan saya pun mendapat surat izin penelitian
22
Universitas Sumatera Utara
dari BAKESBANG selama 1 bulan, untuk memperpanjang durasi izin penelitian harus mengurus kembali 1 bulan kemudian. Setelah dapat surat izin penelitian saya pun bergegas untuk kembali ke kantor Kecamatan Berastagi, disana saya langsung menuju kantor Seketaris Kecamatan Berastagi, disana saya diarahkan ke kantor data-data kependudukan Kecamatan Berastagi. Tapi data dari mereka kurang banyak dikarenakan mereka belum mendapatkan laporan dari kelurahan yang ada di Berastagi. Oleh mereka disarankan untuk menuju ke kelurahan atau ke kantor BPS kabupaten Karo yang letaknya tidak jauh dari kantor Kecamatan
Berastagi, dari kantor kecamatan Berastagi membutuhkan waktu lebih kurang sekitar 20 menit untuk sampai ke kantor BPS. Saya pun mendatangi kantor BPS
Kabupaten Karo ,disana saya mendapatkan buku yang mana isinya berupa data kependudukan lengkap dengan perekonomian kecamatan Berastagi.
Setelah saya mendapatkan data-data kependudukan ,saya pun mulai melakukan observasi daerah mana saja yang akan dijadikan objek penelitian saya.
Hasilnya saya hanya menetapkan 4 kelurahan saja sebagai tempat penelitian saya yaitu Kelurahan Gundalingi I ,Gundaling II, Tanjung Lau Mulgap I dan Tanjung
Lau Mulgap II. Sebenarnya ada 10 kelurahan di Kecamatan Berastagi. Tetapi saya hanya menetap 4 dari 10 itu, dikarenakan ada 6 keluharan yang posisinya sangat jauh dari Kota Berastagi walau ia termasuk dalam daerah kecamatan Berastagi.
Dari 4 kelurahan tersebut yang dekat dengan Kota Berastagi tentunya selain dekat dengan rumah saya , juga tidak memerlukan jarak yang jauh juga. Saya pun mulai melakukan kunjungan ke kelurahan masing-masing. Dari sana saya mendapatkan data bahwa Suku Jawa banyak mendiami di kelurahan Tanjung Lau mulgap I dan
23
Universitas Sumatera Utara
Gundaling I. Saya pun berkeliling di kelurahan tersebut sembari melihat-lihat aktivitas mereka, dari penglihatan saya beragam suku mereka, tetapi seperti tidak ada halangan antarsuku dalam berinteraksi, karena jika ada halangan tentunya mereka tidak berinteraksi satu sama lainya. Tetapi yang saya lihat hanyalah ibu- ibu yang sedang bercengkrama. Saat siang hari yang laki-laki masih sibuk bekerja, jika sudah menjelang sore hari dan malam hari laki-laki dapat kita temukan di kedai kopi. Hal ini saya dapat info dari ibu-ibu yang sedang bercengkrama disana.
Setelah berkeliling di kelurahan saya pun kembali kerumah dan menanyakan kepada Orang tua saya sekaligus informan saya , yang mana saya menanyakan orang-orang yang dikenal orang tua saya yang merupakan pendatang juga dan menetap di Berastagi. Menurut orang tua saya, untuk dapat menemuinya harus mendatangi ketika malam hari. Karena rata-rata orang jawa bekerja di siang hari, dan istirahat di malam hari. Nah di waktu istirahat itulah saya mendatangi satu persatu rumah narasumber saya. Yang masih dikenal orang tua saya, karena masih dalam lingkup pertemanan sesama perantau di kota Berastagi. Ada yang masih dalam ikatan kerabat, ada juga yang berkenalan di pekerjaan. Rata-rata saya mendapat info mereka semua masih lajang di waktu merantau ke kota Berastagi.
Dari wawancara kepada narasumber itu, saya mendapat banyak sekali info yang selama ini saya tidak sadari walau saya tinggal dan merupakan bagian dari masyarakat Kota Berastagi. Yaitu sebagian besar suku Jawa di Berastagi bisa berbahasa Karo, hal ini untuk bisa berkomunikasi dengan mudah kepada masyarakat mayoritas disana, yaitu masyarakat suku Karo. Hanya sebagian kecil
24
Universitas Sumatera Utara
yang tidak mengetahui bahasa Karo, dikarenakan masih pendatang baru dan ada yang memang tidak mempelajarinya dikarenakan ia merasa tidak memerlukannya.
Beberapa hari melakukan penelitian banyak yang saya dapat, terutama interaksi antarsuku di Kota Berastagi, dimana ketika saya mendatangi kedai kopi ketika sore hari Dimana merupakan waktu yang pas untuk mengobservasi laki- laki yang mana mereka suka sekali nongkrong di warung kopi untuk sekedar minum teh, bercengkrama dengan teman-teman yang juga nongkrong di warung kopi, juga menontong tivi dan wifi yang disediakan pemilik warung kopi. Hampir semuanya berjenis kelamin laki-laki dan hampir semua juga barusan pulang dari pekerjaannya yang mana mereka belum membersihkan diri. Disana saya mewawancarai salah satu narasumber yaitu Paimin berumur 45 tahun yang setelah pulang bekerja ia mandi dan langsung menuju warung kopi untuk nongkrong. Di berasalan nongkrong di warung kopi menghilangkan capek setelah bekerja juga untuk menemui teman-temannya. Yang mana jika bertemu mungkin mereka bermain catur, kartu domino, atau hanya berbincang-bincang saja. Dari perkatannya juga saya dapat menyimpulkan, bahwa ketika sesama orang suku
Jawa yang sudah mengenal satu sama lain akan menggunakan bahasa Jawa.
Walau dalam lingkungan kedai kopi itu banyak orang Karo. Dan tentunya mereka akan kembali menggunakan bahasa Indonesia ketika berbincang dengan orang
Karo yang belum dikenal. Jika mereka mengenalnya mereka akan menyapa dengan menggunakan bahasa Karo.
Ketika menjelang hari raya besar seperti Hari Raya Idul Fitri , Natal, dan lain-lain. Kota Berastagi akan sangat banyak di datangi wisatawan dari luar
25
Universitas Sumatera Utara
daerah hingga mancanegara. Tentunya hal ini banyak membawa perubahan, selain sektor ekonomi yang membuat masyarakat di Kota Berastagi bagus juga, membuat Kota Berastagi tentunya mendapat perhatian dari pemerintah untuk perbaikan dari segala sektor. Hal ini tentunya akan menarik wisatawan datang lagi ke Berastagi, dan sebagian dari mereka akan memilih menetap.
Tentunya jika sudah masuk daerah pariwisata tentunya akan banyak perubahan di Kota Berastagi, ketika menjelang hari besar mereka melakukan gotong royong, dan mempercantik gapura daerah mereka. Yang tentunya akan mempercantik Kota Berastagi dimata penduduk luar. Dan ketika 17 agustus juga masyarakat berbondong-bondong ikut berpartisipasi dalam upacara dilapangan, menonton pawai, dan juga ikut dalam perlombaan. Semua suku melebur menjadi satu sehingga batas-batas antara suku satu dengan lainnya akan terlihat memudar.
Sehingga nyaris tidak ada konflik antarsuku di Kota Berastagi.
26
Universitas Sumatera Utara
BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
2.1 Letak dan Kondisi Geografi Berastagi
Kecamatan Berastagi merupakan salah satu dari 17 Kecamatan yang ada di
Kabupaten Karo dengan ibu Kota Kecamatan Berastagi. Jarak tempuh ke
Kabanjahe sebagai ibu kota Kabupaten adalah 11 Km dan 65 km ke Kota Medan sebagai ibu kota Propinsi Sumateran Utara.
Kecamatan Berastagi dengan luas 3.050 Ha, berada pada ketinggian rata- rata 1.375 m diatas permukaan laut. Kota Berastagi terkenal dengan pariwisatanya, salah satunya Pasar Buah Berastagi yang berada di pusat kota,
Gunung Sibayak yang mana setiap akhir pekan muda-mudi sering mendaki, dan pemandian air panas Lau Sidebuk-debuk yang jaraknya dari pusat Kota Berastagi hanya bekisar 3 Km.
Suhu udara di Berastagi bekisar antara 19 C s/d 26 C dengan kelembapan udara rata-rata 78%. Sehingga selain bersuhu dingin Berastagi juga sering hujan,
Berastagi sendiri memiliki dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau.
Tetapi musim hujan lebih panjang dari musim kemarau. Secara administrative kecamatan Berastagi terdiri dari Desa Doulu, Desa Sempa Jaya, Desa Rumah
Berastagi, Desa Guru Singa dan Desa Raya serta 4 daerah kelurahan yakni
Kelurahan Gundaling I , Kelurahan Gundaling II, Kelurahan Tambak Lau Mulgap
I dan Kelurahan Tambak Lau mulgap II. Selain dekat dengan daerah pariwisata
27
Universitas Sumatera Utara
Berastagi juga berbatasan dengan Kecamatan dan kabupaten lain dengan batas- batas sebagai berikut:
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Tigapanah/Dolat Rayat
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kec.Kabanjahe
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Simpang Empat/Kecamatan
Merdeka
Gambar 2, Denah kecamatan Berastagi
Sumber : BPS karo
28
Universitas Sumatera Utara
Topografi Berastagi datar sampai dengan berombak sampai dengan 65 %, berombak sampai dengan berbukit 22 %, berbukit sampai dengan bergunung 13 % dengan tingkat kesuburan tanahnya sedang sampai dengan tinggi didukung lagi dengan curah hujan rata-raata 2.100 sampai dengan 3.200 mm pertahun. Berastagi memiliki dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau.
Penduduk Berastagi dengan jumlah 20.154 , Mayoritas penduduknya adalah suku Karo 75% dan selebihnya suku Batak Toba, Nias, Jawa, Aceh,
Simalungun, Keturunan Cina, Pakpak, Dairi dan lain-lain. Mata pencaharian penduduk adalah bertani, dikarenakan lahan untuk bertani masih luas dan masih subur, meskipun ada klasipikasi Pegawai Negeri, pengusaha, Pedangang, dan
Buruh tani serta karyawan swasta. Hasil pertanian yang menonjol adalah sayur mayor, buah-buahan, bunga-bungaan dan palawija lainnya. Disamping itu penduduk juga mempunyai pekerjaan sambilan yaitu memlihara ternak ayam, lembu, kerbau, kambing, serta kolam ikan untuk penambahan pendapatan.
Penelitian ini focus ke 4 kelurahan yang berada disekitar Kota Berastagi, yaitu Kelurahan Gundaling I , Kelurahan Gundaling II , Kelurahan Tambak Lau
Mulgap I , Kelurahan Tambak Lau Mulgap II. Selain dikenal dengan udara dingin dan sejuk yang sangat cocok untuk daerah pertanian, Kota Berastagi juga terkenal dengan daerah pariwisata yang turisnya bukan hanya dari dalam negeri tetapi juga turis mancanegara. Beberapa objek wisata yang cukup terkenal di Kota
Berastagi ialah Bukit Gundaling, Pasar Buah Berastagi, Taman Mejuah-Juah,
Gunung Sibayak, Museum Sejarah dan Pusaka Karo, Bukit Kubu, Taman Alam
Lumbini, Pemandian Alam Lau Sidebuk-debuk, dan yang terakhir Lokasi Susu
Murni (pemerasan susu sapi) yang cukup popular sekarang ini.
29
Universitas Sumatera Utara
2.2 Sejarah Kota Berastagi
Kota Berastagi menyimpan banyak sejarah , yaitu sejarah secara historis dan folklore. Secara historis, adanya kota Berastagi ini bermula dari rencana pembangunan jalan raya oleh pemerintahan kolonial belanda dari Medan –
Tongkoh (Kabupaten Karo) – Seribu Dolok (Kabupaten Simalungun). Jadi bukan seperti jalur yang ada sekarang ini, yaitu Medan – Berastagi – Kabanjahe – Seribu
Dolok. Pada saat itu Sibayak Rumah Berastagi meminta agar jalur tersebut dirubah menjadi jalur yang seperti ini, karena sangat disayangkan jika jalur tersebut tidak melewati Berastagi, apalagi jarak Tongkoh dengan Berastagi hanyak berjarak sekitar 7 km. memang secaara ekonomi dan perhitungan jarak, rencana Pemerintahan Kolonial Belanda tersebut lebih untung dari pada rencana yang diusulkan oleh Sibayak Rumah Berastagi. Akan tetapi permintaan Sibayak tersebut dikabulkan oleh Pemerintahan Kolonial Belanda, dengan syarat setiap
Penghulu di daerah tersebut sampai daerah Sibayak Lingga harus mempunyai dan mendirikan rumah di Berastagi. Kemudian syarat inilah yang diterima Sibayak
Rumah Berastagi. Sehingga dibangunlah jalan raya seperti route sekarang ini, yaitu Medan – Tongkoh – Berastagi – Kabanjahe – Seribu Dolok. Peristiwa ini berlangsung sekiar abad ke 19. Sejalan dengan pembangunan jalan ini, maka rumah-rumah pun banyak dibangun di Kota Berastagi ini. Kemudian rumah- rumah ini semakin ramai dan banyak, karena yang membangun rumah ini tidak hanya para penghulu seperti yang diminta Pemerintah Kolonial Belanda, melainkan juga oleh penduduk dari Desa Rumah Berastagi ataupun penduduk lain yang berdatangan ke daerah Berastagi. Sehingga daerah Berastagi yang awal mulanya kosong makin lama semakin ramai, bahkan lebih ramai dari Desa Rumah
30
Universitas Sumatera Utara
Berastagi (tempat kediaman Sibayak Rumah Berastagi) yang hanyak berjarak 250 meter dari Berastagi.
Pada tahun 1901, Perwakilan Pemerintah Kolonial Belanda telah ada di
Berastagi, dimana Pa Pelita telah diangkat sebagai Pulu Balai ( Raja Urung).
Kemudian secara administratif, daerah Berastagi ini dimasukan ke wilayah Desa
Rumah Berastagi. Hal ini berlangsung terus, hingga Negara Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Setelah Negara Indonesia Merdeka, daerah Berastagi ini lepas dari wilayah administrative Desa Rumah Berastagi dan dibentuk menjadi 2 (dua) desa, yaitu
Desa Tambak Lau Mulgap dan Desa Gundaling. Kedua desa ini hanya dipisahkan oleh jalan raya yang dibangun semasa Pemerintahan Kolonial Belanda. Bila kita berangkat dari Meda menuju Berastagi, maka dapat diketahui bahwa Desa
Tambak Lau Mulgap terletak di sebelah kiri, sedangkan Desa Gundaling terletak disebelah kiri, sedangkan Desa Gundaling terletak di sebelah kanan jalan raya yang membelah kota Berastagi tersebut.
Pada masa Orde Baru, tepatnya pada tahun 1967 ke dua Desa ini kemudian dibagi lagi menjadi 4 (empat) desa, dimana masing-masing desa dibagi menjadi 2
(dua) desa. Desa Tambak Lau Mulgap dibagi menjadi Desa Tambak Lau Mulgap I dan Desa Tambak Lau Mulgap II, sedangkan Desa Gundaling dibagi menjadi
Desa Gundaling I dan Desa Gundaling II. Kemudian setelah pemilu keempat
1982, nama-nama istilah desa di Berastagi diganti menjadi istilah kelurahan.
Secara Foklore, nama istilah Berastagi berasal dari kata “bekas ertaki”
(bekas tipuan, bekas akal licik). Kisa ini berasal dari desa Rumah Berastagi, jauh sebelum terbentuknya kota Berastagi. Dulu desa ini yang menempatinya adalah
31
Universitas Sumatera Utara
kelompok merga Karo-Karo Sinukaban, dan istilah Rumah Berastagi belum dikenal, bahkan sebagai desa pun belum disebut, karena bentuknya dulu masih berupa Kuta-Kuta (kampung-kampung kecil) yang rumahnya masih berbentuk
Sapo (gubuk) dan barung (rumah yang tempatnya di ladang).
Di desa ini kemudian sering datang kelompok marga Karo-Karo Purba yang berasal dari Kuta (kampung) Gadung, untuk bermain-main, atau jalan-jalan dan main judi. Sebenarnya maksud kelompok marga Karo-Karo Purba ini adalah untuk melakukan ekspansi. Hal ini dapat dilihat bahwa marga Karo-Karo Purba ini berasal dari daerah Kabanjahe yang melakukan ekspansi ke Kuta Gadung.
Maka disebut daerah ini dengan Kuta Gadung, karena kelompok marga Karo-
Karo Purba yang mengadakan ekspansi ke Kuta Gadung kemudia menetap di daerah tersebut dan bertani dengan menanam Gadung (ubi). Kuta Gadung terletak di sisi jalan raya Berastagi – Kabanjahe yang hanya jaraknya sekitar 2-3 km dari
Berastagi.
Lama kelamaan tanah yang diusahai kelompok marga Karo – Karo Purba dengan menananm gadung ini, semakin luas bahkan telah dekat sekali dengan daerah Desa Rumah Berastagi. Demikian juga dengan penduduk marga Karo –
Karo Purba ini, semakin lama semakin banyak.
Pada suatu saat, kelompok Karo-Karo Purba ini memberanikan diri mengatakan kepada kelompok marga Karo-Karo Sinukaban di Desa Rumah
Berastagi, bahwa seluruh tanah di luar Kawasan Desa Rumah Berastagi telah di usahai dan dimiliki oleh kelompok marga Karo-Karo Purba. Memang bila dilihat secara keseluruhan, semua tanah-tanah mulai dari Kabanjahe – Kuta Gadung
32
Universitas Sumatera Utara
sampai ke daerah perbatasan dengan Desa Rumah Berastagi, mayoritas dikuasai oleh kelompok marga Karo-Karo Purba.
Di sini suatu keanehan terjadi, kelompok marga Karo-Karo Sinukaban yang pada mulanya tidak percaya, akhirnya menerima apa yang dikatakan kelompok marga Karo-Karo Purba tanpa sedikitpun terjadi benturan fisik.
Sehingga kelompok Karo-Karo Sinukaban tadi keluar dari daerah Desa Rumah
Berastagi tersebut. Disini tidak ada informasi atau data-data mengapa kelompok
Karo-Karo Sinukaban tersebut menerima saja apa yang dikatakan kelompok
Kota Berastagi menyimpan banyak sekali sejarah pada masa colonial belanda, mulai dari tugu perjuangan yang menjadi iko Kota Berastagi yang menunjukan perjuangan masyarakat karo dalam mempertahankan negaranya dan kota ini, sang Proklamator Kemerdekaan Indonesia Soekarno pernah di asingkan oleh belanda di Berastagi, tepatnya di Bukit Kubu.
Sama hal-nya dengan Kota Bandung yang mana penduduknya membakar rumah dan harta benda mereka, meninggalkan kota bandung, peristiwa ini diketahui juga bahwa ada lagi terjadinya peristiwa ini saat Agresi Militer Belanda terhadap Republik Indonesia dengan melancarkan serangan ke seluruh sector pertempuran Medan Area, Termasuk Tanah Karo saat itu. Tercatat Bupati Tanah
Karo Rakkuta Sembiring memindahkan ibu negeri Kabupaten Karo ke tiga binanga, setelah tantara Belanda menguasai Kabanjahe dan Berastagi.
Namun sehari sebelum tantara Belanda menduduki Kabanjahe dan
Berastagi, oleh pasukan bersenjata kita Bersama-sama dengan rakyat melaksanakan taktik bumi hangus, sehingga kota Berastagi dan Kabanjahe beserta
33
Universitas Sumatera Utara
51 Desa di Tanah Karo menjadi lautan api dan tantara Belanda tidak dapat menguasai Kota Berastagi, aksi ini diketahui oleh wakil presiden Drs, Mohammad
Hatta yang mana sempat singgah dan bertemu dengan para pejuang Tanah Karo beberapa hari sebelum peristiwa bumi hanguskan terjadi, dalam perjalanannya pulang menuju Bukit Tinggi. Ia menuliskan sepucuk surat yang berisi tanda penghormatan atas aksi yang dilakukan itu.
Kecamatan Berastagi yang dulunya merupakan bagian dari Kecamatan
Kabanjahe Kabupaten Daerah Tingkat II Karo, dalam rangka pemekaran
Kecamatan di Kabupaten Karo maka Kecamatan Kabanjahe dibagi menjadi 2
(dua) wilayah yaitu Kecamatan Kabanjahe dan Perwakilan Kecamatan Berastagi.
Perwakilan Kecamatan Berastagi dibentuk berdasarkan surat Keputusan Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara Nomor: 138/217/K/1984 yang tertanggal
21 Mei 1984 yang merupakan pemekaran Kecamatan Kabanjahe.
Dengan dasar SK Gubernur tersebut maka pada tanggal 12 Pebruari 1985
Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Utara meresmikan wilayah perwakilan
Kecamatan Berastagi dengan wilayah kerja 5 (lima) Desa dan 4 (empat)
Kelurahan. Adapun dasar pemikiran ataupun faktor pendukung dari pembentukan dari Kecamatan Berastagi menjadi Kecamatan Defenitif adalah sebagai berikut:
Jumlah penduduk = 21.784 jiwa pada tahun 1984
Kota Berastagi adalah merupakan kota tujuan utama pariwisata
Kantor instansi tingakt kecamatan maupuan tingkat II banyak yang berada
di Kota Berastagi.
34
Universitas Sumatera Utara
Sebagai kota tujuan pariwisata selalu sibuk dengan segala bentuk kegiatan
masyarakat yang perlu pelayanan yang segera.
Berkenaan dengan pertimbangan tersebut diatas, maka perwakilan
Kecamatan Berastagi di tingkatkan statusnya menjadi Kecamatan depenitif dengan tipe C sesuai dengan peraturan Pemerintah RI Nomor 50 tahun 1991 tanggal 07 September 1991.
2.3 Mata Pencaharian Penduduk Kota Berastagi
Mata pencaharian merupakan bagian yang sangat penting dalam sebuah kehidupan manusia, begitu juga bagi masyarakat Kota Berastagi. Mata
Pencaharian di Kota Berastagi ini sangat bermacam-macam, namun pada dasarnya lebih banyak yang bertani, karena Kota Berastagi adalah daerah yang memiliki kesuburan tanah dan intensitas hujan yang cukup tinggi sehingga sangat cocok untuk bertani bisa itu sayur-mayur dan juga buah-buahan. Mata pencaharian sangatlah berpengaruh dalam menentukan kesejahteraan hidup masyarakat terutama bagi masyarakat Suku Jawa yang merantau ke Kota Berastagi ditambah daerah Kota Berastagi mempunyai suhu udara yang sangat dingin di daerah ini..
Banyak mata pencaharian lain juga namun lebih jelas jika melihat table dibawah ini.
Tabel 1, Tabel mata pencaharian
No Industri Desa/Kelurahan Pertanian PNS/ABRI Lainya Jumlah Rumah
35
Universitas Sumatera Utara
Tangga
1 Gundaling I 2.648 190 302 2.340 5480
2 Gundaling II 1868 0 160 2.045 4073
3 Tl. Mulgap I 727 0 20 500 1247
4 Tl. Mulgap II 844 0 53 642 1539
Jumlah 6087 190 533 5527
12339
Sumber : Kantor Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo 2018
Melihat table diatas dapat kita ketahui bahwa masyarakat penduduk Kota
Berastagi itu, memiliki pekerjaan atau bermata pencaharian di bidang pertanian, ini sudah mencakup petani dan buruh tani sebanyak 2.648 orang untuk daerah kelurahan Gundaling I , 1.868 orang untuk daerah kelurahan Gundalin II , 727 orang untuk daerah kelurahan Tanjung Lau Mulgap I, 844 orang untuk daerah kelurahan Tanjung Lau Mulgap II dengan jumlah keseluruhan adalah 6087 orang yang bekerja di bidang pertanian. Dan hanya daerah Kelurahan Gundaling I dengan 190 orang yang bekerja di Industri Rumah tangga.
Untuk orang yang bekerja sebagai PNS/ABRI adalah 302 orang untuk daerah kelurahan Gundaling I , 160 orang untuk daerah kelurahan Gundaling II,
20 orang untuk daerah Kelurahan Tanjung Lau Mulgap, dan 53 orang untuk daerah kelurahan Tanjung Lau Mulgap II dengan jumlah keseluruhan adalah 533 orang. Dan ada tabel Lainnya 2.340 orang untuk daerah Kelurahan Gundaling I ,
36
Universitas Sumatera Utara
2045 orang untuk daerah Kelurahan Gundaling II , 500 orang untuk daerah
Kelurahan Tanjung Lau Mulgap I , dan 642 orang untuk daerah Kelurahan
Tanjung Lau Mulgap II yang mana tabel ini berisi orang yang bekerja sebagai pedagang, bekerja di sektor pariwisata , perhotelan dan lain-lain.
2.4 Sarana dan Prasarana Kota Berastagi
1. Sekolah
Daerah Kota Berastagi mempunyai sangat banyak sekolah mulai dari SD hingga SMA baik itu sekolah negri maupun Swasta, diantara sekolah-sekolah itu ada beberapa yang merupakan sekolah favorit yang diminati termasuk orang Kota
Berastagi hingga orang yang bertempat tinggal jauh di luar Kota Berastagi, untuk lebih jelasnya dapat dilihat di tabel berikut.
Tabel 2, jumlah sarana sekolah
No Sekolah Murid Desa/Kelurahan Negeri Swasta Negeri Swasta
1 Gundaling I 7 8 3.422 2.595
2 Gundaling II 1 4 1.167 1.224
3 Tl. Mulgap I 0 1 0 285
4 Tl. Mulgap II 0 0 0 0
Jumlah 7 8 4.589 4.104
Sumber : Kantor Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo 2018
37
Universitas Sumatera Utara
Dari tabel di atas dapat diketahui jumlah penduduk di Kota Berastagi , jumlah sekolah negeri di daerah Kelurahan Gundaling I berjumlah 7 dan sekolah swasta berjumlah 8. Untuk daerah Kelurahan Gundaling II memiliki sekolah negeri berjumlah 1 dan memiliki sekolah swasta berjumlah 4. Untuk daerah
Kelurahan Tanjung Lau Mulgap I tidak memiliki sekolah negeri tetapi memiliki sekolah swasta berjumlah 1 . Untuk daerah Kelurahan Tanjung Lau Mulgap II tidak memiliki sekolah Negeri juga sekolah swasta.
Murid yang bersekolah di daerah kelurahan Gundaling I berjumlah 3.422 orang di sekolah negeri dan 2.595 orang bersekolah swasta . Untuk daerah
Kelurahan Gundaling II yang bersekolah di negeri tetapi berjumlah 1.167 dan orang yang bersekolah di sekolah swasta berjumlah 1.224 orang. Untuk daerah
Kelurahan Tanjung Lau Mulgap I tidak ada yang bersekolah di sekolah negeri tetapi berjumlah 285 orang yang bersekolah di sekolah Swasta. Dan untuk daerah kelurahan Tanjung Lau Mulgap II tidak ada yang bersekolah di sekolah negeri maupun di sekolah swasta.
2. Fasilitas Kesehatan
Karena Kota Berastagi memiliki jumlah penduduk yang lumayan banyak ditambah lagi daerah pariwista maka banyak didirikan fasilitas kesehatan sebagai penunjang kehidupan dan keselamatan masyarakat sekitar Kota Berastagi maupun massyarakat yang datang dari luar Kota Berastagi. Puskesmas ini juga menyediakan layanan BPJS seperti check kesehatan dan penebusan obat secara gratis, penulis pernah memanfaatkan fasilitas ini ketika penulis jatuh sakit, yang mana sebelum ke rumah sakit harus ada rujukan dahulu dari puskesma. Beruntung
38
Universitas Sumatera Utara
penulis belum sampai kerumah sakit dikarenakan dokter hanya menyarankan banyak beristirahat.
Jumlah Prasarana Kesehatan di Kota Berastagi banyak didirikan, dikarenakan tiap kelurahan banyak masyarakat yang sudah lama tinggal disana juga banyak yang merupakan masyarakat pendatang baru. Sehingga adanya fasilitas kesehatan ini dapat dimanfaatkan warga untuk bisa mengecheck keadaan kesehatanya.
Tabel 3, jumlah fasilitas kesehatan
Rumah Puskes Polin Posyan BKI No Kelurahan Pustu BPU Sakit mas des du A
1 Gundaling I 0 1 5 0 0 6 0
2 Gundaling II 0 0 1 1 0 2 0
3 Tl. Mulgap I 0 0 1 0 2 3 0
4 Tl. Mulgap II 0 0 1 0 0 1 0
Jumlah 0 1 8 0 2 12 0
Sumber : Kantor Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo 2018
39
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3, Puskesmas Berastagi
Sumber : Dokumentasi Pribadi
3. Fasilitas tempat beribadah
Dikarenakan banyaknya penduduk di Kota Berastagi ditambah lagi banyaknya yang berwisata di Kota Berastagi maka di sediakan tempat beribadah yang cukup banyak untuk mendukung masyarakat sekitar berastagi dalam menganut agamanya masing – masing. Untuk lebih jeleasnya dapat di lihat di tabel di bawah ini.
Tabel 4, Tabel Jumlah Fasilitas Rumah Ibadah
Gereja Gereja No Desa/Kelurahan Masjid Musholla Kuil Vihara Protestan Katolik
1 Gundaling I 2 8 8 1 0 1
2 Gundaling II 1 0 5 0 0 0
3 Tl. Mulgap I 2 0 0 0 0 0
40
Universitas Sumatera Utara
4 Tl. Mulgap II 0 0 0 0 0 0
Jumlah 5 8 13 1 0 1
Dapat dilihat dari tabel diatas bahwa banyak fasilitas tempat ibadah yang mana ini dapat mendukung masyarakat dalam mendekatkan diri pada tuhan dan terciptanya toleransi antar umat beragama. Selain berguna bagi masyarakat setempat juga berguna bagi masyarakat yang sedang berwisata kedaerah kota
Berastagi. Yang mana kota Berastagi sangat ramai dan padat ketika salah satu agama sedang mengadakan hari besarnya.
Gambar 4, Masjid Istihrar
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Salah satu masjid besar yang banyak digunakan masyarakat yang beragama muslim untuk menunaikan shalat dan aktivitas lainnya
41
Universitas Sumatera Utara
Gambar 5, Gereja GBKP Runggun Berastagi
Sumber :Dokumentasi Pribadi
42
Universitas Sumatera Utara
BAB III
INTERAKSI SOSIAL JAWA DAN KARO
3.1 Interaksi Sosial Di Berastagi
Selo Sumarjan dalam bukunya Setangkai Bunga Sosiologi mengatakan bahwa: Interaksi sosial adalah suatu hubungan timbal balik antara dua orang atau lebih yang tingkah laku tersebut mempengaruhi pihak lain. Dalam hal ini hubungan tersebut dapat berupa: Individu dengan individu, individu dengan kelompok, serta kelompok dengan kelompok. Interaksi sosial merupakan bentuk umum dari proses-proses sosial. Dalam kehidupan bermasyarakat tersebut interaksi sosial dapat terjadi dalam bentuk kerjasama (cooperation), persaingan
(competition), permusuhan (conflik), serta accomodasi. (Soemarjan,Jakarta,
1984:ll4)
1. Masyarakat Pendatang
Suku bangsa pendatang merupakan suku bangsa yang melakukan migrasi ke dalam daerah kebudayaan suku bangsa lain untuk kepentingan tertentu. Sama hal-nya dengan Suku Jawa yang ada di Kota Berastagi , mereka melakukan perpindahan penduduk dari asalnya ke Kota Berastagi banyak sebab. Salah satu alasan kuat mereka melakukan migrasi ialah untuk mencari lapangan pekerjaan yang mereka nilai tidak bisa didapatkan dari daerah asal mereka. Keinginan
43
Universitas Sumatera Utara
mereka untuk memperbaiki ekonomi keluarganya , mereka melakukan migrasi ke daerah yang mereka rasa cukup potensial.
Demikian pula halnya dengan etnis Jawa yang datang kemudian ke
Berastagi, mereka mempertahankan hidup mereka dengan cara bekerja upahan pada orang-orang Karo pemilik lahan pertanian dengan memperoleh imbalan berupa makan dan tempat tinggal dari orang yang mempekerjakannya tersebut.
Hal ini tentunya tidak terlalu 43
sulit bagi mereka mengingat sebelumnya di daerah perkebunan Sumatera
Timur lainnya mereka pernah bekerja sebagai tenaga upahan atau buruh.
Adapun kebanyakan orang-orang Jawa yang datang ke Berastagi adalah mereka yang sebelumnya telah lama bermukim di daerah bekas perkebunan di
Sumatera Timur dan mencoba mencari peruntungan kehidupan yang lebih baik di
Berastagi yang telah terkenal dengan kemakmurannya tersebut. Akan tetapi periode kedatangan mereka tersebut tidak terjadi pada periode pembukaan onderdeming-onderdeming di Sumatera Timur sedang tumbuh pesat melainkan setelah periode penutupan onderdeming-onderdeming tersebut. Hal ini telah dikemukakan sebelumnya bahwa di Berastagi umumnya Tanah Karo tidak pernah dibuka onderdeming-onderdeming Barat sehingga migrasi etnis pun jarang terjadi.
Berastagi sendiri merupakan desa yang menghargai toleransi , baik itu antar suku atau agama. Sehingga banyak orang lain tertarik untuk hanyak berkunjung atau berwisata ke Kota Berastagi hingga banyak yang menetap.
Berbagai etnis melakukan migrasi ke Kota Berastagi seperti : Etnis Nias, Jawa,
44
Universitas Sumatera Utara
Batak, Cina dan lain-lain. Kebanyakan mereka melakukan migrasi dikarenakan daerah asal mereka tidak cukup untuk memberikan lapangan pekerjaan dan Kota
Berastagi masih banyak lapangan pekerjaan salah satunya ialah sebagai Aron
(buruh tani) , yang bisa kita jumpai tiap pagi di pinggir pasar dekat dengan Pasar
Tradisional Berastagi. Setiap hari mereka berdiri di pinggiran pasar menunggu mobil jemputan yang membawa mereka ke lokasi perkerjaannya.
Banyaknya masyarakat pendatang ke Kota Berastagi, tentunya akan banyak juga terjadinya pertemuan antara kelompok etnis. Pertemuan antara kelompok etnis ini akan dihadapkan dengan kelompok etnis yang berbeda beda dan kebudayaan yang berbeda-beda pula. Sehingga mereka harus melakukan adaptasi dengan masyarakat setempat terkhususnya adaptasi dengan lingkungan mayoritas agar bisa berbaur dengan kelompok etnis lain dan bisa di terima di lingkungannya. Umumnya adaptasi masyarakat Jawa di Berastagi berupa adaptasi lingkungan dan adaptasi budaya. Masyarakat Suku Jawa harus bisa beradaptasi di daerah Berastagi yang sangat dingin, karena kebanyakan mereka berasal dari dataran rendah yang suhu daerahnya panas. Ditambah lagi daerah Berastagi merupakan daerah dataran tinggi, tentu sangat banyak perbedaan tanaman- tanaman dari daerah asal Suku Jawa dengan daerah Berastagi.
Banyaknya pendatang dari luar daerah ke Berastagi membuat lahan-lahan yang dulunya masih berupa lahan kosong dan beberapa masih berupa hutan dan semak , banyak di bersihkan dan dibuat menjadi areal pertanian. Banyak pula lahan-lahan kosong tapi sudah ada yang punya di beli atau di sewa oleh orang luar, masyarakat Suku Jawa yang merupakan pendatang di Berastagi mencoba beradaptasi dengan mencoba belajar dengan masyarakat Suku Karo dengan ikut
45
Universitas Sumatera Utara
sebagai Aron di lahan pertanian orang Karo. Lama-kelamaan mereka pandai dan mencoba untuk membuka lahan pertanian sendiri. Kebanyakan masyarakat Suku
Jawa menyewa lahan kosong kepada masyarakat Karo karena mereka belum mampu untuk membelinya. Kebanyakan laki-laki dari Suku Jawa yang merantau ke Kota Berastagi tidak memiliki skill pekerjaan lain, banyak dari mereka hanya bisa bekerja di bagian kontruksi bangunan. Tapi hal ini sangat menguntungkan bagi masyarakat Suku Karo juga menguntungkan bagi Manyarakat perantauan
Suku Jawa. Karena ada hubungan yang saling menguntungkan dari kedua belah pihak, pihak Suku Karo sebagai penyedia lahan dan dana , pihak Suku Jawa membangun perumahan , Kost , dan kontrakan yang nantinya akan digunakan
Pihak Suku Karo untuk dijual atau di kontrakan kepada Masyarakat pendatang.
Lain dengan pekerjaan laki-laki , perempuan dari Suku Jawa yang merantau ke
Berastagi banyak bekerja di bagian pertanian, pembantu rumah tangga, dan berjualan.
Umumnya mereka yang bekerja di bagian pertanian adalah sebagai Aron yang membantu memberi pupuk, membersihkan tananaman pengganggu, hingga memanen.
Umumnya masyarakat pendatang terkhususnya masyarakat Suku Jawa memilih menetap di Kota Berastagi, dikarenakan lapangan pekerjaan masih banyak dan kebanyakan mereka memilih lepas dari orang tua agar bisa mandiri.
Hal ini tidak dipermasalahkan dari Suku Karo dikarenakan mereka menganggap masyarakat pendatang bukan ancaman melainkan suatu kerja sama yang nantinya menguntungkan kedua belah pihak. Masyarakat Suku Karo sangat membutuhkan tenaga kerja dikarenakan banyak lahan pertanian mereka yang sangat luas, tentu
46
Universitas Sumatera Utara
akan sangat susah bila diurus dan dikerjakan hanya beberapa orang, sehingga kehadiran masyarakat pendatang tentunya menguntungkan mereka dalam mengurus lahan pertanian mereka. Kebanyakan pekerja dari masyarakat Suku
Jawa dimata masyarakat Suku Karo ialah rajin , tekun dan tidak pernah mengeluh tentang pekerjaan yang diberikan oleh yang punya lahan pertanian. Hal ini yang sangat disukai oleh masyarakat Suku Karo dikarenakan di lingkungan tempat tinggal masyarakat Suku Jawa tidak pernah terdengar berbuat onar atau masalah, karena menurut mereka masyarakat pendatang dari Suku Jawa tidak suka berbuat yang tidak baik. Seperti yang dikatakan Buk Rinta Tarigan (43 tahun).
“ Ya orang Jawa ini ga pernah mengeluh soal apa-apa, saya juga punya anggota (aron) dari Suku Jawa, selain rajin dan rapi. Tetapi mereka ada kurangnya juga seperti cepat-cepatan sama yang lain, saya liat mereka ini yang Suku Jawa agak lambat lain dengan lain dengan suku pendatang lain walau di pekerjaannya nggak pernah dia mencuri atau mengambil yang ada di ladang saya, kecuali jika saya suruh ambil baru di ambil selain datang ke ladang tepat waktu, saat jam makan siang pun disuruh makan siang dulu baru makan mereka, lain dengan suku lain kadang belum jam makan siang udah ditinggalkannya aja pekerjaannya, belum lagi pas masa panen diambilin dan ga minta ijin ke saya.”
Melihat perkataan Buk Rinta Tarigan Itu dapat diketahui masyarakat Suku
Karo tidak menaruh curiga kepada masyarakat pendatang dari Suku Jawa. Selain itu Masyarakat Suku Jawa jika berinteraksi atau berkomunikasi dengan suku lain kebanyakan menggunakan Bahasa Indonesia, lain halnya jika mereka bertemu dengan sesama Suku Jawa , mereka akan menggunakan Bahasa Suku Jawa kasar yang khas dari Jawa Sumatra. Begitu juga dengan suku-suku lain seperti
47
Universitas Sumatera Utara
masyarakat Suku Karo , mereka akan menggunakan Bahasa Suku Karo jika bertemu sesamanya. Suku Jawa dan Suku Karo bisa berkomunikasi menggunakan
Bahasa Suku Karo jika kedua belah pihak sepakat dalam artian mau menggunakan
Bahasa Karo. Menurut Suku Jawa di Berastagi terkadang Suku Karo tidak mau menggunakan Bahasa Karo dikarenakan mereka mengetahui lawan bicaranya bukan sesame orang dari Suku Karo. Kebanyakan Suku Jawa di Berastagi bisa berbahasa Karo, dikarenakan penting untuk berkomunikasi dengan Suku Karo dan mayoritas di lingkungan Berastagi menggunakan Bahasa Suku Karo.
Disatu sisi hubungan ini saling menguntungkan, disatu sisi masyarakat
Suku Jawa harus belajar Bahasa Karo agar mempermudah komunikasi mereka, dikarenakan banyak yang menetap di Berastagi sehingga secara tidak langsung mereka berinteraksi dengan Suku Karo setiap hari. Tetapi masalah ini seiring berjalannya waktu mereka akan terbiasa berbahasa Karo. Namun untuk pertemuan pertama kali dengan etnis lain biasanya mereka menggunakan Bahasa Indonesia untuk berkenalan dengan orang lain dan dari perkenalan itu biasanya masyarakat pendatang mengetahui lawan bicaranya berasal dari daerah mana.
Jika masing-masing suku ini kembali berbicara dengan suku nya masing- masing, maka mereka akan menggunakan bahasa daerahnya masing-masing, terutama Suku Jawa yang suka hidup berkelompok di sekitar tempat tinggalnya, ini bertujuan agar mereka bisa saling membantu satu sama lain jika dikemudian hari dibutuhkan pertolongan. Dalam lingkungan tempat tinggal terkadang mereka menggunakan Bahasa Indonesia dikarenakan sebagian besar masyarakat Suku
Jawa yang tinggal di Berastagi tidak mengajari keturunannya berbahasa Jawa tetapi hanya mewarisi adat istiadat yang mereka bawa dari kampung halaman dan
48
Universitas Sumatera Utara
di adopsikan ke dalam lingkungan baru di Berastagi. Walaupun begitu tetap mereka memiliki aksen yang berbeda dengan suku lain, sehingga sangat jelas mengetahui Suku Jawa ketika berbicara dengan orang lain. Dalam hal ini lama kelamaan Suku Jawa akan menyerap sebagian adat istiadat dari masyarakat Suku
Karo yang lama-kelamaan akan terjadinya akulturasi di masyarakat Berastagi.
2. Masyarakat Setempat
Penduduk asli setempat di Kota Berastagi ini adalah mereka masyarakat
Suku Karo. Suku Karo adalah suku bangsa yang mendiami wilayah Sumatera
Utara dan sebagian Aceh.Suku ini meripakan salah satu suku terbesar dalam
Sumatera Utara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi karo) yaitu Tanah Karo yang terletak di Kabupaten Karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo atau Cakap Karo dan memiliki salam khas yaitu Mejuah-juah.
Suku Karo memiliki kebanggaan tersendiri yaitu Marga Silima, salah satu dari marga silima tersebutlah nantian selalu digunakan Orang Karo di belakang nama. Marga Silima itu meliputi lima induk marag dalam Orang Karo, yaitu,
Karo-karo, Ginting, Tarigan, Sembiring, dan Perangin-angin. Dari kelima induk
Marga Silima tersebut juga mempunyai Sub Marga dari masing-masing marga.
Orang Karo disatukan oleh kebudayaan dalam suku mereka yang terdapat tutur siwaluh, rakut sitelu dan, perkaden-kaden 12+1. Ketiga hal tersebutlah yang menyatukan orang karo dan mengutamakan kebudayaan. Orang Karo terbagi menjadi dua kelompok menurut tempat tinggal mereka, yaitu Karo Gugong dan
49
Universitas Sumatera Utara
Karo Jahe. Tetapi yang asli orang karo adalah Karo gugong yang terdapat di
Kabupaten Karo dan karo Jahe yaitu orang karo yang merantau ke Kabupaten langkat dan sekitarnya.
3. Interaksi Masyarakat Setempat dengan Masyarakat Pendatang
Karo dan Jawa memiliki budaya yang berbeda, perbedaan ini antara lain terlihat dari pola kekerabatan. Masyarakat Karo meyakini bahwa marga adalah hal yang paling utama dalam identitasnya (Tarigan, 2009: 24). Marga pada masyarakat Karo dikenal dengan Marga Silima, yaitu Ginting, Karo-Karo,
Perangin-angin, Sembiring, dan Tarigan. Dari marga ini ketika bertemu dengan orang lain yang tidak dikenal yang sama-sama bersuku Karo, penting untuk melakukan ertutur. Dari ertutur inilah didapatkan panggilan untuk orang tersebut.
Dalam pemanggilan atau panggilan terhadap anggota keluarga, marga yang menunjukkan identitas dan penentuan sistem kekerabatan orang Karo sehingga pemanggilan untuk adik atau kakak dari pihak ibu maupun ayah berbeda (Tarigan,
2009: 98).
Misalnya, memanggil adik laki-laki dari pihak ibu dengan mama sedangkan dari pihak ayah dengan „bapak‟. Hal ini berbeda dengan suku Jawa yang tidak memiliki marga dan ertututur. Dalam suku Jawa tidak ada perbedaan dalam pemanggilan pada anggota keluarga dari pihak ayah maupun ibu. Misalnya pada suku Jawa, istilah-istilah kekerabatan untuk menyebut seseorang di dalam kelompok kerabatnya antara lain dalam memanggil adik baik dari ibu ataupun
50
Universitas Sumatera Utara
ayah, yaitu bulek (untuk perempuan) dan paklek (untuk laki-laki) serta bude
(untuk perempuan) dan pakde (untuk laki-laki) untuk kakak dari ayah maupun ibu. Selain pola kekerabatan, terdapat satu perbedaan yang signifikan di antara suku Karo dan Jawa, yaitu agama atau kepercayaan. Komposisi penduduk berdasarkan agama yang dianut memperlihatkan bahwa penganut agama Nasrani merupakan yang terbanyak, disusul oleh pemeluk agama Islam dan agama lainnya di Berastagi Sumatera Utara (Pemerintah Kabupaten Karo).
Penduduk Jawa yang tinggal di desa tersebut menganut agama Muslim sedangkan yang suku Karo mayoritas beragama Nasrani. Perbedaan dalam ritual keagamaan sangat berbeda. Misalnya ketika ada yang menikah atau meninggal.
Pada masyarakat Jawa di desa tersebut, ritual menikah atau meninggal biasanya diadakan di rumah. Ketika resepsi pernikahan biasanya juga diadakan di rumah lengkap dengan iringan musik. Namun untuk masyarakat Karo, mereka biasanya mengadakan pesta, baik pesta pernikahan maupun upacara untuk keluarga yang meninggal di “jambur”. “Jambur” merupakan suatu tempat yang mirip dengan aula yang dijadikan tempat berkumpul ketika acara pernikahan maupun upacara keluarga yang meninggal.
Perbedaan-perbedaan ini lah yang bisa jadi menghambat mereka dalam berkomunikasi atau juga bisa menyatukan mereka. Tergantung keadaan lingkungan mereka yang lebih heterogen dan homogen atau seimbang.
51
Universitas Sumatera Utara
3.2 Interaksi Sosial Ekonomi Jawa dan Karo
1. Berdagang
Berdagang adalah aktivitas jual beli yang ada dimasyarakat yang dimana ada pedagan yang menjual dagangannya dan pembeli yang membeli dagangan penjual dan biasanya lokasi tempat mereka bertemu adalah berada dipasar.
Berdagang juga merupakan salah satu mata pancarian ekonomi yang ada di Kota
Berastagi. Ada yang berdagang di rumah mereka masing-masing, bahkan ada juga yang berdagang dipasar Berastagi . Berdagang bukan hanya dilakukan oleh kalangan Suku Karo saja, bahkan Suku Jawa juga ada yang berdagang dipasar .
Dari kegiatan berdagang khususnya dipasar pusat Berastagi dalam membeli bahan makanan atau alat-alat , baju dan perlengkapan lainnya yang dijual oleh
Suku Karo maupun Suku Jawa. Biasanya pasar ini aktif mulai di pagi hari hingga sore menjelang malam. Selain pusat pasar ini ramai setiap hari juga berada di pusat Kota Berastagi. Lokasinya yang strategis membuat banyak kalangan etnis dan suku mudah berinteraksi di pusat pasar Berastagi ini.
52
Universitas Sumatera Utara
Gambar 6, Pasar Pusat Berastagi
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Selain pasar pusat Berastagi yang menjual aneka barang, alat, dan juga bahan makanan, juga ada Pasar Buah Berastagi yang mana menjual berbagai macam jenis buah-buahan baik itu buah hasil panen petani maupun buah hasil impor.
Letak pasar buah Berastagi ini dekat sekali dengan Taman Mejuah-juah yang man ataman tersebut adalah taman wisata, sehingga kedekatan kedua lokasi ini sangat berpengaruh dan saling bergantung satu sama lain.
53
Universitas Sumatera Utara
Gambar 7, Pasar Buah Berastagi
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Dari pemaparan diatas dapat dijelaskan interaksi sosial ekonomi yang terjadi di Berastagi antara suku Jawa dengan suku Karo, yaitu adanya aktivitas tawar menawar baik itu menggunakan bahasa Indonesia maupun menggunakan bahasa Karo dan dibeberapa kejadian jika penjual dan pembelinya sama-sama bersuku Jawa maka mereka biasanya menggunakan bahasa Jawa. Hal ini sesuai dengan perkataan Buk Amelia sembiring (36 tahun)
“Yah namanya pajak, udah biasalah namanya tawar-menawar ntah itu dia suku Karo, Jawa, Nias, Batak. Jadi kita biasa pake bahasa Indonesia lah kalo yang belik bukan langganan. Kalok langganan kan kita tau dia suku apa bisa pake bahasa Karo ngga. Jadi walau dia satu suku sama ibuk pun ngga ibuk kasi diskon lah, kalok dia langganan baru harganya bisa beda sama harga yang ngga biasa belik sama ibuk”
Selain berinteraksi sosial dengan individu, buk Amelia Sembiring juga berinteraksi dengan suplai barang dagangnya, tentunya ada proses tawar menawar
54
Universitas Sumatera Utara
juga ketika ia ingin mengisi barang dagangannya, dan menurut dia sangat lumrah adanya proses tawar menawar yang mana ini adalah bentuk interaksi sosial ekonomi baik itu penjualnya bersuku Karo maupun bersuku Jawa.
2. Bertani.
Bertani atau bercocok tanaman merupakan salah satu mata pencarian yang ada di Kota Berastagi dan merupakan mata pencaharian yang utama selain berdagang, karena wilayah berastagi sendiri memiliki tanah yang sangat subur dikarenakan posisinya berada di dekat gunung dan perbukitan. Sudah turun temurun suku Karo menggantungkan hidupnya ke pekerjaan bertani dikarenakan nenek moyang mereka juga bertani, banyak Suku Karo yang bertani melibatkan
Suku Jawa dalam pertaniannya dikarenakan selain areal pertanian mereka luas juga perawatannya tidak lah sanggup jika dikerjakan hanya beberapa orang saja, belum lagi jika masa panen yang mana para petani harus cepat-cepat menjual hasil panennya selain takut panennya busuk atau sudah tua juga mereka takut jika mana hasil panen mereka terjual dengan harga murah, hal ini lah yang membuat petani di berastagi banyak membutuhkan aron untuk membantu di bidang pertanian mereka.
55
Universitas Sumatera Utara
Gambar 8, Perladangan Milik Warga
Sumber : Dokumentasi pribadi
Hal ini membuktikan kedua suku memiliki hubungan dan komunikasi yang bagus. Salah satunya Buk Ristiana Beru Barus (44 tahun) yang melibatkan orang Suku Jawa dalam pertaniannya
“ Orang Jawa ini rata-rata baik orangnya, nggak pelit tenaga, kerjanya juga rapi, dan yang terpenting tidak mau mencuri. Karna ada beberapa anggota ibuk yang dari Suku lain lah,yang kalo panen sering ngambil hasil panen ibuk, tidak masalah sama ibuk jika ia minta , beda sama orang jawa mereka tidak mau mengambil hasil panen , pas ditawari hasil panen yang lebih baru mereka mau, jika tidak ditawari mereka ngga pernah minta.”
Dari perkataan Buk Ristianan Beru Barus juga mengatakan ia berkomunikasi dengan aron biasa menggunakan bahasa Indonesia karena aron
56
Universitas Sumatera Utara
nya ada yang bersuku karo, Jawa, Nias, maupun Batak. Menurut Buk Ristiana juga bukan serta merta pekerjanya itu bisa membantunya bertani, ia juga mengatakan harus mengajari beberapa pekerjanya apa yang harus dilakukan. Tiap tanaman mempunyai perawatan yang berbeda baik itu dari pupuk, membersihkan rumput, hingga memanennya. Dari sinilah proses imitasi. Imitasi adalah adalah tindakan seseorang meniru orang lain. Hal yang ditiru beragam bentuknya, misal gaya berpakaian, gaya berbicara, bahasa, dan sebagaimya. Hal ini disampaikan buk Atun (36 tahun)
“kita kan awalnya bukan petani jadi kita belum tau apa-apa jadi petani itu, makanya pas ikut-ikut jadi aron kita pelajari kayak mana nanam bibit, mupuk tanaman, bersihkan rumput, pas panen juga kita liat. Jadinya pas udah pande kita bisa jadi aron kemana-mana”
Dari pemaparan diatas dapat diketahui adanya proses interaksi dalam bertani yang mana adanya komunikasi antara keduanya yang mana membentuk koalisi untuk kepentingan bersama yang mana suku Karo yang mempunyai lahan pertanian membutuhkan pertolongan kepada aron untuk membantunya yang mana nanti akan diupah sesuai kesepakatan mereka.
3. Wiraswasta.
Wiraswasta merupakan salah satu pekerjaan yang ada di Kota Berastagi ini.
Contohnya seperti toke – toke tempat para petani menjual hasil panennya. Para
57
Universitas Sumatera Utara
petani ketika mereka panen hasil bumi yang mereka tanam, maka mereka akan menjual kepada toke-toke yang mereka percayai. Selain harganya bisa di negosiasi juga mereka bisa berinteraksi hasil panen apa saja yang mahal. Sehingga terciptanya komunikasi di antara toke-toke yang beragam suku nya dengan para petani yang beragam juga sukunya.
Gambar 9, Pajak Roga
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Dari foto diatas terlihat aktivitas jual – beli hasil panen sayur-mayur para petani yang mana para petani datang ke pajak Roga lalu menimbang berat hasil panennya lalu akan didatangi toke-toke yang mana akan terjadinya interaksi antara pembeli dengan toke.
58
Universitas Sumatera Utara
3.3 Interaksi Sosial Kebudayaan Jawa dan Karo
1. Perkawinan Campuran atau Amalgamasi
Manusia mempunyai berbagai macam kebutuhan. Salah satunya adalah kebutuhan dasar manusia yang terdiri dari kebutuhan fisik dasar, antara lain ada kebutuhan nafsu seks. Kebutuhan nafsu seks ini tidak semata-mata pelampiasan nafsu belaka, melainkan disalurkan lewat pembentukan keluarga, yang didalamnya di rindukan kasih sayang (Sutaryo, 1977 : 44)
Pembentukan keluarga pada umumnya berlangsung melalui suatu perkawinan. Menurut Kartini Kartono (19977 -I :17): “Perkawinan adalah suatu peristiwa secara formal mempertemukan sepasang mempelai atau sepasang calon suami isteri di hadapan penghulu/kepala agama tertentu, para saksi dan sejumlah hadirin, untuk kemudian disahkan secara resmi sebagai suami isteri, dengan upacara-upacara dan ritus tertentu” . Di kota Berastagi sendiri banyak orang jawa yang menikah, baik ia menikah dengan satu suku untuk meneruskan kembali adat istiadat mereka ataupun dengan perkawinan campur atau amalgamasi. Untuk yang menikah dengan sesama orang jawa sendiri menurut mereka selain masih tergolong satu suku yang satu sama lain sama sama mengenal adat istiadat mereka juga memperluas keluarga yang masih dalam satu keluarga yang bersuku orang
Jawa. Dan tidak adanya pertentangan dengan kebudayaan mereka, dikarenakan budaya mereka masih sama, berbeda jika amalgamasi karena harus memepertemukan kedua budaya yang sangat berbeda dalam berbagai aspek.
Umumnya mereka banyak yang menikah di Kota Berastagi dan memberlangsungkan upacara adat Suku Jawa di Kota Berastagi yang mayoritas
59
Universitas Sumatera Utara
Suku Karo. Tidak adanya akulturasi budaya didalam perkawinan ini walau mereka mengundang keluarga dan tetangga mereka yang ber suku Karo, sehingga adat istiadat yang mereka bawa dari kampung masih bisa di lestarikan dan diteruskan ke anak-anak mereka.
Berbeda jika mereka melakukan perkawinan campur, maka ada 2 budaya yang Bersatu yang mana masing-masing budaya mempunyai ciri khas tersendiri.
Di Kota Berastagi, amalgamasi terjalin sangat baik dimana masing-masing etnis yang berbeda dapat saling menghargai dan memahami perbedaan tersebut.
Sehingga yang tercipta adalah hal yang baik dan positif. Meskipun untuk memahami dan mempelajari perbedaan budaya membutuhkan waktu. Namun, tetap saja hasil akhirnya adalah hal yang baik. Pada dasarnya masyarakat Kota
Berastagi masih memegang prisip-prinsip dasar kebudayaan etnis masing-masing, akan tetapi kedua etnis tersebut telah saling membaur dengan kebudayaan etnis
Jawa dan Karo, terlebih lagi dengan hubungan perkawinan dimana Suku Jawa dan
Suku Karo di Kota Berastagi yang telah menetap cukup lama dan berbaur antar etnis yang satu dengan yang lainya tentunya akan tercipta perkawinan campur diantara kedua etnis tersebut. Tetapi dalam masyarakat Suku Karo yang sangat memegang kuat adat istiadat mereka dan mereka tidak mau melepaskan adat istiadat mereka tentu ini menjadi factor penghambat dikarenakan salah satu pihak harus mengalah, dalam situasi ini Suku Jawa yang banyak mengalah dikarenakan selain posisi mereka yang pendatang di Kota Berastagi ada ikatan kuat dari adat istiadat orang karo yang tidak bisa dilepas pasangannya, dan peneliti memperoleh data bahwa mereka tidak akan direstui oleh orang tua dari yang bersuku Karo jika
60
Universitas Sumatera Utara
tidak di buat pesta adat istiadat orang karo . Untuk kasus seperti ini masyarakat
Suku Jawa yang ingin menikah dengan pasangan mereka yang berasal dari Suku
Karo harus mencari orang tua angkat yang berasal dari Suku Karo dan tentunya berbeda marga dengan pasangannya. Sehingga pihak yang akan menikah akan mempunyai tambahan keluarga yang berasal dari orang tua angkat.
Kedudukan orangtua angkat disini sama posisinya dengan orangtua kandung, tetapi permasalahan ahli waris anak angkat tidak mendapatkan apa-apa.
Melalui orangtua angkat lah nanti pihak yang berasal dari Suku Jawa akan mendapatkan marga Suku Karo. Untuk mendapatkan marga dari orang tua angkat ini tidak gratis, harus membayar utang adat berupa pemotongan daging hewan seperti sapi atau kambing, tetapi banyak yang dapat di temui mereka belum membayar atau lama sekali untuk membayar utang ada ini. Salah satu faktornya ialah status mereka sebagai perantau yang mana ekonomi masih pas-pasan untuk hidup. Ada yang membayar utang adat ini langsung ketika ia diangkat oleh orang tua angkatnya ada juga setelah ia menikah dan mempunyai anak-anak.
Kebanyakan mereka membayar utang ada ketika mereka bersamaan menyelenggarakan pembukaan rumah baru “Mengket Rumah Mbaru” .
Dari penyampaian narasumber kebanyakan dari mereka awalnya mereka merasa ada ruang pemisah dengan keluarga sebelum membayar utang adat, ditambah lagi beberapa dari mereka awalnya tidak disetujui oleh keluarganya seperti dari pengakuan dari Buk Dameria beru sembiring (46 tahun), yang mana kakak dan abangnya tidak menyetujui hubungan dan pernikahan mereka dengan
Pak Karno (37tahun), mereka tidak setuju dikarenakan Pak Karno bukan berasal dari orang masyarakat Suku Karo. Untuk hal ini dia menerima saran dari teman
61
Universitas Sumatera Utara
temannya yang sebelumnya juga mengalami permasalahan ini. Saran dari teman- temannya ialah ia harus mengambil orang tua angkat yang berasal dari Suku Karo.
Contoh Kasus-kasus Perkawinan Campur
Kasus Keluarga A (Suku Jawa dengan Suku Karo)
Profil Keluarga
Nama Suami pada keluarga A adalah Karno (Suku Jawa) dan nama istri dari keluarga A adalah Dameria beru sembiring (Suku Karo). Kedua pasangan ini bertemu di Malaysia yang mana keduanya sama sama merantau mencari pekerjaan di Malaysia, yang mana Pak Karno bekerja menjadi buruh bangunan dan Buk Dameria bekerja di bidang pembantu rumah tangga. Keduanya sepakat waktu kembali dari Malaysia mereka akan bersama. Sesampainya di Berastagi mereka memutuskan untuk melanjutkan hubungan mereka ke pernikahan. Tetapi mereka terbentur masalah dari keluarga pihak laki-laki maupun perempuan, pihak keluarga pak Karno keluarga yang berasal dari keluarga beragama muslim dan bersuku Jawa dan keluarga Buk Dameria berasal dari keluarga beragama Kristen dan bersuku Karo. Keluarga pak Karno merestui hubungan mereka jika pasangan wanita beragama muslim, keluarga buk Dameria merestui hubungan mereka jika pak Karno masuk dan menjadi bagian dari suku Karo. Karena mereka berdua sudah sama-sama yakin dengan pasangannya maka diambil jalan tengah , yaitu pak Karno masuk kedalam adat istiadat suku Karo dan buk Dameria masuk memeluk agama islam. Untuk masuk ke dalam adat istiadat orang bersuku Karo , pak Karno dicarikan orangtua angkat yang bersuku Karo hingga dapatlah orangtua
62
Universitas Sumatera Utara
angkat bernama pak Bernadio Sitepu yang mana pak Bernadio menyetujuinya dan mengangkat pak Karno sebagai anak angkatnya.
Untuk pengangkatan anak ini dilakukan pemotongan hewan seperti sapi atau kambing. Dikarenakan dulu kondisi keuangan pak Karno dan buk Dameria tidak mencukupi untuk melakukan pemotongan hewan tersebut, maka acara tersebut ditunda sampai mereka mampu membayar utang adatnya. Menurut pengakuan pak Karno dan Buk Dameria, ada perbedaan perlakuan dalam keluarga pihak perempuan ketika belum membayar utang adat, yang mana pak Karna jarang sekali mendapat sapaan atau sekedar menanyakan kabar. Lain halnya dengan buk Dameria ketika berkunjung ke rumah orang tua pak Karno, buk
Dameria yang sebelum menikah sudah masuk memeluk agama islam mendapat perlakuan yang hangat.
Sampai ketika pak Karno bisa membayar utang adatnya dengan memotong hewan seperti kambing atau sapi ia mengundang seluruh keluarga inti (dari pihak perempuan saja) dan tetangganya, acara ini sengaja bertepatan dengan pembukaan rumah baru dengan alasan menghemat pengeluaran keluarga mereka. Setelah membayar utang adat ini lah pak Karno baru disambut hangat dari keluarga perempuan. Dan ketika di pesta adat suku Karo pak Karno sudah mengetahui posisinya dalam pesta tersebut itu juga ia diberi tahu keluarga perempuannya . Pak
Karno sendiri bisa berbahasa Karo , ia menggunakan Bahasa ini ketika ia berkunjung ke rumah mertuanya atau rumah kakak-kakak dari isterinya. Jika bahasa sehari-hari di rumahnya ia memakai bahasa Indonesia, ketika ia berada di kedai kopi dan berbincang dengan temannya yang bersuku Jawa ia akan memakai bahasa Jawa, jika berbincang dengan temannya bersuku Karo ia akan
63
Universitas Sumatera Utara
menggunakan bahasa Indonesia, hal ini dikarenakan menurut pengakuan pak
Karno ketika ia menggunakan bahasa Karo kepada temannya yang bersuku Karo , temannya akan balik menjawab dengan bahasa Indonesia.
1. Latar Belakang Perkawinan
Perkawinan merupakan sesuatu hal yang sangat penting. Suatu Titik tatkala hubungan persaudaraan diperluas dan berubah. Di Jawa perkawinan menjadi tanda terbentuknya somah baru yang akan sera meisahkan diri (Hildret 14
Geertz, 1983:57). Disamping itu juga ridho orang tua merupakan suatu hal yang terpenting bagi seoarang anak ketika ingin melakukan suatu hal apapun. Karena ridho orang tua merupakan ridha Tuhan juga.
2. Prosesi Perkawinan
Prosesi perkawinan yang digelar menggunakan adat Karo dengan kesepakatan kedua belah pihak yang bersangkutan maupun kedua belah pihak keluarga besar. Alasannya karena permintaan dari keluarga Buk Dameria yang ingin tetap mengguunakan adat Karo. Sehingga prosesi murni semuanya memakai adat-istiadat dari suku Karo dan pak Karno juga diberikan marga oleh pihak keluarga bapak angkatnya Bernadio sitepu dan pak Karno diberi Merga sitepu.
Profil Keluarga B
Nama suami dari keluarga B ialah Tarsak 35 tahun (suku Jawa) dan
nama dari istri keluarga B ialalah Amelia beru Sembiring 36 tahun (suku
Karo). Pak Tarsak sendiri asalnya dari siantar, memang keluarganya
64
Universitas Sumatera Utara
berasal dari keturunan orang Jawa. Tetapi keluarganya sudah lama meninggalkan adat istiadat suku Jawa. Dan ketika pak Tarsak masih lajang ia pun bermain-main ke Berastagi bersama-sama dengan kawannya. Dari sinilah ia mengetahui kota Berastagi, sambil bermain ke kota Berastagi ia juga mencari pekerjaan. Dikarenakan kota Berastagi lagi pesatnya pembangunan pada waktu pak Tarsak berkungjung ke Berastagi. Ia pun ditawari untuk ikut menjadi kernet bangunan. Tanpa pikir panjang ia pun menerimanya, gajinya dulu cukup untuk menghidupi kebutuhan sehari- harinya. Ketika saat itu lah ia bertemu dengan Buk Amelia yang bekerja di ladangnya. Keduanya jatuh cinta dan berencana melanjutkan ke jenjang pernikahan. Awalnya ada penolakan dari keluarga Buk Amelia dikarenakan perbedaan budaya dan agama. Tetapi keduanya tetep keukeh untuk mencintai, sehingga keduanya mempertemukan keluarganya masing-masing untuk berunding tentang pernikahan anaknya. Dari perundingan itu didapat solusi jalan tengah yaitu Pak Tarsak harus mengambil marga orang Karo agar bisa direstui oleh keluarga Buk
Amelia, sebaliknya keluarga pak Tarsak menyuruh Buk Amelia untuk memeluk agama Islam. Menurut Buk Amelia perpindahan agamanya dari
Kristen Protestan ke agama Islam tidak terlalu mempermasalahkan karena semua agama sama-sama mengajarkan menyembah tuhan. Tetapi soal budaya adat istiadat orang Karo, keluarga besar Buk Amelia tidak mau
Buk Amelia pindah adat budayanya. Buk Amelia sendiri tidak bisa mendeskripsikan kenapa bisa begitu. Tetapi penulis bisa menangkap bahwa di Karo , adat istiadat itu nomor satu.
65
Universitas Sumatera Utara
Perpindahan budaya sendiri bagi Pak Tarsak awalnya cukup sulit dikarenakan ia harus melakukan ritual dan upacara orang karo ya itu memotong lembu dan mencari bapak angkat untuknya agar bisa dijadikan salah satu anggota keluarga. Sehingga penambahan marga bisa dilakukan, ini dia lakukan pun sewaktu bersamaan dengan pesta pembukaan rumah baru. Karena memotong lembu memerlukan biaya yang besar apalagi dia baru saja menjadi tukang bangunan. Untuk Buk Amelia agar bisa memeluk agama Islam hanya mendatangkan ustad , lalu dibimbing membacakan dua kalimat syahadat.
Latar Belakang Perkawinan
Perkawinan merupakan sesuatu hal yang sangat penting. Suatu Titik tatkala hubungan persaudaraan diperluas dan berubah. Di Jawa perkawinan menjadi tanda terbentuknya somah baru yang akan sera meisahkan diri
(Hildret 14 Geertz, 1983:57). Disamping itu juga ridho orang tua merupakan suatu hal yang terpenting bagi seoarang anak ketika ingin melakukan suatu hal apapun. Karena ridho orang tua merupakan ridha Tuhan juga.
Prosesi Perkawinan
Prosesi perkawinan yang digelar menggunakan adat Karo dengan kesepakatan kedua belah pihak yang bersangkutan maupun kedua belah pihak keluarga besar. Alasannya karena permintaan dari keluarga Buk
Amelia Sembiring yang ingin tetap mengguunakan adat Karo. Sehingga prosesi murni semuanya memakai adat-istiadat dari suku Karo dan pak
66
Universitas Sumatera Utara
Tarsak juga diberikan marga oleh pihak keluarga bapak angkatnya
Immanuel Karo karo dan pak Tarsak diberi Karo karo .
3.4 Interaksi Sosial Kesenian Jawa dan Karo
Kota Berastagi ketika dari suku Jawa mengadakan suatu acara seperti pernikahan atau sunatan maka suku Jawa mencampurkan music keyboard dalam acara mereka yang mana sebagian lagunya menggunakan Bahasa karo yang sesuai dengan tema acaranya. Walau lagunya menggunakan bahasa suku Karo para hadirin tamunya sudah tau lirik dan arti lagunya. Hal ini sudah berlangsung lama dikarenakan makin lama para hadirin tamunya semakin heterogen berbagai etnis bercampur didalamnya.
Gambar 10, Kuda Kepang
Sumber : Google
67
Universitas Sumatera Utara
Dan banyak diantaranya mengadakan pesta di Jambur , yang dimana merupakan bangunan serbaguna yang luas yang biasanya digunakan oleh masyarakat suku Karo dalam melakukan aktivitas kebudayaan seperti mengadakan Gendang guro-guro aron , Merdang Merdem (kerja tahun) , pesta pernikahan, acara kematian dan lain-lain. Dan tentunya masyarakat pendatang seperti suku Jawa jika menggunakan Jambur biasanya menghubungi pihak pengelolanya untuk menyewa agar bisa menggunakan Jambur tersebut untuk dipergunakan melaksanakan acara seperti pesta pernikahan.
Gambar 11, Jambur Taras
Sumber : Dokumentasi Pribadi
1. Bahasa
Kota Berastagi yang mayoritas penduduknya adalah masyarakat
suku Karo yang mana bentuk nyata dari pengaruh dominan masyarakat suku
Karo ialah perihal Bahasa/dialek. Kemudian dengan bentuk yang lain
68
Universitas Sumatera Utara
berupa hubungan kekerabatan, dan pola perilaku masyarakat. Pada dasarnya yang minoritas beradaptasi dengan yang mayoritas. Cara yang paling mudah beradaptasi dengan masyarakat mayoritas seperti suku Karo ialah melalui media Bahasa. Untuk bisa berinteraksi dengan lancer para pendatang biasanya mempelajari Bahasa masyarakat setempat yaitu Bahasa Karo minimal mengetahui dialeknya.
Secara umum juga pengaruh kebudayaan etnis lain khususnya dalam bahasa, bukan menghilangkan bahasa asli, namun justru memperkaya perbendaharaan kata dalam bahasa suku Karo tersebut. Selain dari itu juga suku Karo juga mempelajari bahasa, agar komunikasi yang akan terjalin antar mereka berjalan dengan baik. Hal ini di dasari betul oleh para masyarakat pendatang terkhususnya dari suku jawa.
Dengan mengetahui Bahasa setempat maka para masyarakat
pendatang terkhusus suku Jawa bisa berkomunikasi dengan masyarakat
setempat yaitu suku Karo. Komunikasi merupakan alat utama bagi
masyarakat pendatang seperti suku Jawa untuk bisa memanfaatkan
berbagai sumber daya lingkungan yang ada dalam lingkungan tersebut.
Lewat komunikasi mereka dapat menyesuaikan diri dan berhubungan
dengan lingkungan sekitarnya, serta mendapatkan keanggotaan dan rasa
memiliki dalam kelompok sosial yang mempengaruhi.
Untuk memahami interaksi antarbudaya, maka terlebih dahulu kita
harus memahami komunikasi, memahami komunikasi berarti memahami
apa yang terjadi selama berkomunikasi berlangsung, komunikasi adalah
pembawa proses sosial. Ia adalah alat yang manusia miliki untuk
69
Universitas Sumatera Utara
mengatur, menstabilkan, dan memodifikasi kehidupan sosialnya. Proses sosial bergantung pada penghimpunan, pertukaran, dan penyampaian pengetahuan. Pada gilirannya pengetahuan bergantung pada komunikasi
(Peterson, Jensen, dan Rivers, 1965 : 16).
Dengan mengetahui Bahasa setempat maka sangat mudah untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat setempat, awal mulanya memang banyak yang tidak mengetahui Bahasa setempat sehingga mereka berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Indonesia, tetapi lama-kelamaan pendatang terkhususnya masyarakat suku Jawa penasaran apa yang dibicarakan masyarakat suku Karo, karena masyarakat suku Karo selalu menggunakan Bahasa Karo jika lawan bicaranya adalah
Orang Karo.
70
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
NILAI – NILAI DALAM PROSES INTERAKSI JAWA DAN KARO
4.1 Nilai Budaya
Nilai budaya adalah seperangkat nilai-nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi, atau lingkungan masyarakat, yang telah mengakar pada kebiasaan, kepercayaan (believe), dan simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang bisa dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan prilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi. Menurut
Koentjaraningrat (1994:85) nilai budaya terdiri dari konsepsi – konsepsi yang hidup dalam alam fikiran warga masyarakatnya mengenai hal – hal yang mereka anggap amat mulia. Sistem nilai pada suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak.
Nilai-nilai budaya akan terlihat pada simbol-simbol, slogan, moto, visi misi, atau sesuatu yang tampak sebagai acuan pokok moto suatu lingkungan atau organisasi. Ada tiga hal yang berkaiatan dengan nilai-nilai budaya yaitu:
- Simbol-simbol, slogan atau yang lainnya yang kasat mata (jelas)
- Sikap, tingkah laku, gerak gerik yang muncul sebagai akibat adanya
slogan atau moto tersebut
- Kepercayaan yang tertanam (believe system) yang telah mengakar dan
menjadi kerangka acuan dalam bertindak dan berperilaku (tidak terlihat).
71
Universitas Sumatera Utara
Dari penjelasan diatas, dapatlah dikatakan bahwa nilai budaya tidak terlepas daripada norma dan cara berperilaku mengkondisikan sikap dan reaksi terhadap peristiwa dan berbagai contoh fenomena sosial dalam konteks budaya. Berbagai norma dan tren yang muncul terus-menerus dari kelompok yang pada gilirannya menciptakan seperangkat keyakinan dan persepsi pemahaman bersama.
Seperangkat nilai-nilai dan kepercayaan umum yang dipelajari secara individu melalui pendidikan dan sosialisasi dan yang diakui dan dibagikan oleh anggota masyarakat.
1. Keyakinan (Keteguhan)
Dalam pemikiran masyarakat Jawa, penanaman nilai-nilai spritual dalam setiap tindakannya menjadi hal yang utama. Sebab, semua hal yang terjadi dalam kehidupan manusia tak luput dari kehendak Tuhan. Pada intinya dapat dikatakan bahwa masyarakat Jawa memilki pemahaman khusus terhadap aspek keyakinan yang melandasi suatu hubungan yang saling percaya.
Orang Jawa percaya dan berlindung kepada Sang Pencipta, Zat Yang
Maha tinggi, penyebab dari segala kehidupan, adanya dunia dan seluruh
alam semesta dan hanya ada Satu Tuhan, Yang awal dan Yang akhir;
Orang Jawa yakin bahwa manusia adalah bagian dari kodrat alam.
Manusia dan kodrat alam senantiasa saling mempengaruhi namun
sekaligus manusia harus sanggup melawan kodrat untuk mewujudkan
kehendaknya, cita-cita, atupun fantasinya untuk hidup selamat sejahtera
dan bahagia lahir batin. Hasil perjuangannya (melawan kodrat) berarti
72
Universitas Sumatera Utara
kemajuan dan pengetahuan bagi lingkungan atau masyarakatnya. Maka
terjalin kebersamaan dan hidup rukun dengan rasa saling menghormati,
tenggang rasa, budi luhur, rukun damai;
Rukun damai berarti tertib pada lahirnya dan damai pada batinnya,
sekaligus membangkitkan sifat luhur dan perikemanusiaan. Orang Jawa
menjunjung tinggi amanat semboyan memayu hayuning bawana yang
artinya memelihara kesejahteraan dunia.
Keberadaan aspek nilai ini melandasi sikap maupun pandangan hidup manusia. Dengan pemahaman ini, setiap pribadi orang Jawa berusaha menjaga pola kekeluargaan dengan masyarakat, hal ini sering ditunjukan masyarakat suku
Jawa di Berastagi yang tidak pernah mau mengundang masalah dengan penduduk lain apalagi merek statusnya adalah pendatang, sebaliknya nilai budaya yang diturunkan mereka bawa ke Berastagi dan jarang sekali ada permasalahan membuktikan nilai budaya yang mereka bawa dapat di terima orang lain.
1. Pencapaian (Harapan dan Cita-cita)
Untuk mencapai sebuah tujuan dalam hidup, diperlukan suatu usaha yang meliputi kerja keras serta permohonan terhadap Tuhan. Permohonan yang dimaksud terwujud melalui beberapa tindakan , yaitu doa dan laku. Doa sebagai sikap dasar dari memohon merupakan suatu usaha pendekatan diri terhadap Sang
Pencipta agar keinginan seseorang dapat terkabul. Laku merupakan salah satu bentuk aplikasi doa menurut paham Jawa, yang menekankan diri pada proses pendekatan terhadap Tuhan.
73
Universitas Sumatera Utara
Sudah pasti menjadi rumus bahwa untuk mencapai sebuah keberhasilan harus diimbangi dengan kebulatan tekad dan kesungguhan. Hanya saja dalam prosesnya harus sesuai dengan tatanan dan aturan yang berlaku. Ini dapat dikaitkan dalam hubungan yang memperoleh suatu harapan maupun cita-cita pada jalannya suatu kerukunan.
2. Kesabaran
Munculnya suatu kesabaran menurut paham Jawa, yaitu mengenal adanya sikap rila, nrima, dan sabar.
Rila merupakan langkah pertama untuk mengikhlaskan hati
melalui rasa bahagia. Sikap rila ini mengarahkan perhatian kepada
segala sesuatu yang telah tercapai dengan daya upaya sendiri,
Sikap nrima menekankan “apa yang ada” dari faktualitas dalam
hidup. Suatu tindakan dengan rela hati dan menerima segala
sesuatunya dengan senang hati, maka itu sudah dikategorikan bersikap
sabar.
Kesabaran merupakan kelapang dada yang merangkul segala
pertentangan. Kesabaran itu seperti laksana samudera yang tidak
bertumpah, tetap sama, sekalipun banyak sungai (dengan segala
isinya) bermuara padanya.
Hal ini tergantung terhadap individu yang bersangkutan. seperti adanya suatu usaha yang memberikan keadaan pada sisi dalam membina suatu hubungan saling menyatu dalam usaha-usaha melatarbelakangi perkawinan.
74
Universitas Sumatera Utara
Keselarasan
Paham Jawa yang selalu mengedepankan keselarasan hidup senantiasa menganjurkan masyarakatnya untuk mengupayakan segala bentuk kebaikan.
Setiap individu diharapkan memiliki kesadaran untuk menjaga hubungan baik dengan sesamanya. Dengan ini keselarasan yang diinginkan dalam latar perkawinan akan mudah tercapai.
Menurut Magnis-Suseno, dalam bukunya yang berjudul Etika Jawa, 1988, nilai budaya jawa dapat diwakili dalam empat sikap, yaitu ; (1) sikap batin yang tepat, (2) tindakan yang tepat, (3) tempat yang tepat, dan (4) pengertian yang tepat.
Sikap batin yang tepat
Sikap batin yang tepat, dapat diartikan sebagai cara berfikir yang benar, direalisasikan melalui perilaku mawas diri, yaitu sikap batin untuk introspeksi tentang keadaan diri individu itu sendiri. Hasilnya ialah sikap manusia Jawa yang waspada, suatu keadaan yang selalu siap menghadapi segala sesuatu yang mungkin terjadi, dan kondisi eling, ialah keadaan selalu ingat akan keberadaan dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Orang Jawa wajib selalu sadar dari mana asal-usul dirinya, kewajiban apa yang harus dilakukan, dan ke mana arah tujuan hidupnya (sangkan paraning dumadi).
Godaan untuk mempertahankan sikap eling dan waspada adalah bekerjanya dorongan nafsu-nafsu naluriah dan sikap egoisme atau keinginan pribadi ( pamrih). Nafsu-nafsu naluriah atau kebutuhan jasmaniah secara normal dan
75
Universitas Sumatera Utara
menurut etika Jawa wajib dipenuhi, agar manusia tetap hidup dan dapat mengembangkan diri dan jenisnya, agar mampu menjalankan kewajibannya.
Sementara itu, pamrih adalah keinginan-keinginan untuk memenuhi kebutuhan jasmaniah dan kehendak memiliki sarana-sarana penunjang pemenuhan itu.
Sepanjang upaya-upaya pemenuhan keinginan naluriah itu berada dalam batas rambu-rambu keseimbangan, upaya itu tidak menyebabkan gangguan dan kekacauan sosial. Akan tetapi, ketika upaya demikian melampaui batas nilai budaya itu, batin manusia mulai kacau, masyarakat mulai teracam ketertibannya.
Situasi masyarakat Indonesia kini mencerminkan keadaan seperti ini.
Dorongan-dorongan jasmaniah dan pamrih, menurut nilai budaya Jawa, tidak perlu dilenyapkan, tetapi dijaga keseimbangan pemenuhannya. Ungkapan sepi ing pamrih, bukan berarti melenyapkan keinginan-keinginan pribadi individu, melainkan orang jangan sampai memperbesar keinginan melebihi kemampuannya, lebih-lebih menginginkan sesuatu yang bukan haknya.
Pengendalian efektif untuk upaya itu ialah mawas diri dan laku tirakat, yaitu
“sekedar laku tapa sedikit: mengurangi makan dan tidur, menguasai diri di bidang seksual”, serta mengendalikan letupan emosi, dan mengatur tutur kata. Upaya- upaya mawas diri ini akan menjadi lebih sempurna, jika disertai dengan sikap: sabar, nrima, temen, rila, dan budiluhur.
76
Universitas Sumatera Utara
Tindakan yang tepat
Sikap batin yang tepat menentukan tindakan yang tepat. Tindakan yang tepat adalah perwujudan dari ungkapan rame ing gawe atau dharma, yang berarti rajin bekerja menjalani kewajiban untuk kepentingan keseluruhan masyarakat, yaitu: bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat dan kesejahteraan manusia pada umumnya. Manakala banyak orang telah mampu mawas diri, artinya memiliki sikap batin yang tepat, dengan sendirinya orang itu telah bekerja menjalankan kewajibannya. Orang-orang demikian dapat dipandang berada di tempat yang tepat dalam struktur kosmos.
Dalam konteks ini, orang dituntut melakukan tidak-tanduk sesuai dengan kedudukan yang ditempati itu, dan juga setiap orang dituntut mampu menempatkan diri secara tepat dalam struktur hubungan-hubungan masyarakat.
Kondisi yang diharapkan adalah keserasian hidup bermasyarakat dan tatanan kosmos.
Tempat yang tepat
Begitu manusia Jawa mampu bertindak secara benar berarti ia telah memenuhi kewajiban tugas hidupnya. Tindak-tanduk yang dilakukan itu merupakan kewajiban yang ditentukan oleh posisi sosial yang ia tempati.
“Diharapkan setiap orang memenuhi dharmanya dengan setia demi kesejahteraan masyarakat, demi pemeliharaan keselarasan kosmos, dan demi mencapai ketenteraman batin” (Magnis-Suseno, 1988: 152). Menjalankan dharma seperti itu, berarti sekaligus memayu hayuning bawana, yang secara tersirat bermakna
77
Universitas Sumatera Utara
menyelamatkan ketertiban dan ketenteraman masyarakat, serta berarti memelihara tatanan kosmos.
Pengertian yang tepat
Pengertian yang tepat berkenaan dengan kemampuan manusia memahami bagaimana ia harus bersikap batin yang tepat, bagaimana ia harus bertindak yang benar, dan di mana ia harus menempatkan diri secara tepat dalam struktur hubungan-hubungan sosial dan keselarasan lingkungan alam. “Siapa yang mengerti tempatnya dalam masyarakat dan dunia, dia juga mempunyai sikap batin yang tepat dan dengan demikian juga akan betindak dengan tepat. Sebaliknya, siapa yang membiarkan diri dibawa oleh nafsu-nafsu dan pamrihnya, yang melalaikan kewajiban-kewajibannya dan acuh tak acuh terhadap rukun dan hormat, dengan demikian memberi kesaksian bahwa ia belum mengerti tempatnya secara keseluruhan”. Ia belum memiliki pengertian yang tepat.
Persoalan yang timbul kini adalah bahwa gambaran ideal filosofis itu ternyata terusik oleh globalisasi dan situasi krisis multidimensi di Indonesia.
Maka untuk memperkuat daya tahan moral dan akhlak bangsa, perlu ditekankan jika nilai budaya di atas dapat direvitalisasi dan diintegrasikan dalam konstelasi struktur budaya nasional. Konsepsinya dapat dirumuskan melalui cara reinvensi tradisi, dan sosialisasinya dapat dilakukan melalui pendidikan budi pekerti dan lewat pentas seni wayang kulit.
78
Universitas Sumatera Utara
4.2 Nilai-Nilai Sosial
Nilai sosial adalah sebuah konsep abstrak dalam diri manusia tentang apa yang dianggap baik dan dianggap buruk, indah atau tidak indah, dan benar atau tidak benar. Nilai sosial sendiri terbentuk seiringnya interaksi sosial berjalan, penentu apakah sesuatu itu baik atau buruk, pantas atau tidak pantas harus melewati proses menimbang terlebih dahulu. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kebudayaan di masyarakat itu sendiri, maka sudah wajar jika terdapat perbedaan tata nilai antar masyarakat satu dengan yang lainnya.
Seperti di Kota Berastagi yang mayoritas masyarakatnya adalah Suku
Karo, banyak nilai-nilai sosial yang berasal dari kebudayaan suku Karo. Sehingga masyarakat lain yang hidup di tengah besarnya pengaruh kebudayaan suku Karo harus mengadopsi nilai-nilai tersebut. Nilai yang diadopsi sebagian besar merupakan kesamaan dari nilai yang dianut pribadi atau kebudayaan sendiri.
Seperti hormat kepada orang yang lebih tua, antar kebudayaan suku Karo dan kebudayaan suku Jawa sama-sama memiliki nilai sosial yang mana hormat kepada orang yang lebih tua. Nilai-nilai ini yang membuat komunikasi antara kedua budaya ini dapat bertemu karena keduanya memiliki banyak kesamaan nilai dan norma budaya.
Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang menurut tipenya terbagi atas dua yaitu keluarga batih yang merupakan satuan keluarga yang terkecil yang terdiri atas ayah, ibu, serta anak (nuclear family) dan keluarga luas
(extendedfamily). Keluarga biasanya dikenal adanya pembedaan antara keluarga
79
Universitas Sumatera Utara
bersistem konsanguinal yang menekankan pada pentingnya ikatan darah seperti hubungan antara seseorang dengan orang tuanya cenderung dianggap lebih penting daripada ikatannya dengan suami atau istrinya dan keluarga dengan sistem conjugal menekankan pada pentingnya hubungan perkawinan (antara suami dan istri), ikatan dengan suami atau istri cenderung dianggap lebih penting daripada ikatan dengan orang tua.
Ikatan yang mempertalikan suami dan istri dalam perkawinan kadangkala rapuh dan bahkan putus sehingga terjadi perpisahan atau bahkan perceraian.
Dengan terjadinya perceraian maka dengan sendirinya fungsi keluarga akan mengalami gangguan dan pihak yang bercerai maupun anak-anak harus menyesuaikan diri dengan situasi yang baru. Peningkatan angka perceraian dalam masyarakat pun membawa gaya hidup khas keluarga bercerai misalnya hidup sendiri menjada atau menduda, adanya anak yang harus hidup dengan salah satu orang tua saja, dan bahkan mungkin hidup terpisah dengan saudara kandung sendiri.
Penerapan Nilai-nilai Sosial dalam Keluarga 1. Fungsi dan sistem nilai
Konsep nilai dalam kajian sosiologis melihat bahwa nilainilai sosial seseorang atau kelompok secara langsung dapat mempengaruhi segala aktivitas, terutama dalam rangka menyesuaikan diri dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat sekelilingnya. Nilai-nilai sosial dapat menentukan ukuran besar kecil atau tinggi rendahnya status dan peranan seseorang di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
80
Universitas Sumatera Utara
Nilai dapat diartikan sebagai harga (dalam arti taksiran harga), harga sesuatu
(uang) misalnya jika diukur atau ditukarkan dengan yang lain, angka kepandaian, kadar (mutu, banyak sedikitnya isi), dan sifaf-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Soekanto mengemukakan bahwa nilai merupakan pandangan-pandangan mengenai apa yang baik dan apa yang yang buruk, karena itu yang baik harus di taati dan yang buruk harus dihindari. Nilai juga merupakan sesuatu yang abstrak yang dijadikan pedoman serta prisip-prinsip umum dalam bertindak dan bertingkah laku.
Keterikatan orang atau kelompok terhadap nilai sangat relatif dan kuat dan bahkan bersifat emosional. Oleh sebab itu nilai dapat dilihat sebagai pedoman bertindak dan sekaligus tujuan kehidupan manusia itu sendiri. Sehingga dapat dalam ciri dari nilai sosial yang dikenal yakni:
1. Nilai yang dianut merupakan hasil dari proses interaksi sejak
individu lahir.
Contohnya menggunakan tangan kanan untuk makan dan tangan kiri
untuk cebok. Nilai ini juga ada di kedua kebudayaan yang berbeda yaitu
kebudayaan suku Karo dan kebudayaan suku Jawa, yang mana kedua
kebudayaan ini sama-sama memiliki nilai yang dianut sejak anak-anak
mereka lahir dan mengajarkan mereka nilai-nilai tersebut. Sehingga ketika
mereka berhadapan dengan nilai sosial yang dianut orang suku Karo maka
tidak ada perbedaan diantara keduanya sehingga komunikasi antara kedua
81
Universitas Sumatera Utara
budaya tersebut akan tercipta yang mana merupakan salah satu cirri-ciri interaksi sosial.
2. Nilai sosial ditularkan,
Yakni nilai dapat diteruskan dan ditularkan dari satu grup ke grup yang lain dalam suatu masyarakat melalui berbagai macam proses sosial dan dari satu masyarakat serta dari kebudayaan ke yang lainnya melalui akulturasi, difusi, dan sebagainya
3. Nilai ditranformasikan melalui suatu proses belajar
Proses belajar sendiri bisa didapat dari pendidikan atau dari sosialisasi, enkulturasi, dan difusi. Contohnya nilai menghargai persahabatan akan dipelajari anak-anak dari pergaulan teman-temannya di sekolah maupun diluar sekolah. Di kota Berastagi sendiri nilai ini begitu banyak dan dapat mudah ditemukan. Dikarenakan sejak kecil mereka dihadapkan dengan perbedaan budaya, nilai yang mereka anut hasil didikan keluarga juga tidak ada yang mengarah untuk penolakan dari kebudayaan lain. Sehingga pergaulan mereka tidak hanya sebatas satu kelompok saja melainkan bisa bercampur-campur suku Karo dengan suku Jawa maupun suku lain.
82
Universitas Sumatera Utara
4. Merupakan bagian dari usaha pemenuhan kebutuhan dan kepuasan
sosial manusia.
Interaksi yang dilakukan kedua budaya ini disebabkan adanya ketergantungan akan orang lain, contohnya suku Jawa yang berada di kota
Berastagi semuanya merupakan perantauan dari luar daerah, tentunya besar harapan mereka untuk mendapat pekerjaan di kota Berastagi. Nilai yang dianut suku Jawa ialah sifat tunduk kepada setiap orang asal mereka tidak mengganggu. Berbeda dengan nilai yang dianut kebanyakan orang suku
Karo ialah tidak mau dirinya berada dibawah kekuasaan orang lain atau perintah orang lain. Sehingga bertemunya kedua budaya ini di dalam pekerjaan tentunya tidak ada permasalahan besar dikarenakan orang Jawa suka berada di “bawah” asal tidak diganggu dan orang Karo suka berada di
“atas”.
5. Disebarkan diantara warga masyarakat (bukan bawaan lahir).
Nilai-nilai ini disebarkan melalui masyarakat yang berinteraksi satu sama lain, masing-masing individu membawa nilai-nilai yang dianutnya dari keluarga lalu ia sebarkan ketika ia berinteraksi dengan individu lain di lingkungan.
6. Sistem-sistem nilai bervariasi antar kebudayaan satu dengan
kebudayaan yang lain
Sesuai dengan harga relatif yang diperlihatkan oleh setiap kebudayaan terhadap polapola aktivitas dan tujuan serta sasarannya. Dengan kata lain,
83
Universitas Sumatera Utara
keanekaragaman kebudayaan dengan bentuk dan fungsi yang saling berbeda
menghasilkan sistem-sistem nilai yang saling berbeda pula.
Huky melihat bahwa ada beberapa fungsi umum dari nilai-nilai sosial, yaitu sebagai berikut:
1. Nilai-nilai menyumbangkan seperangkat alat yang siap dipakai untuk menetapkan harga sosial dari pribadi dan grup. Nilai-nilai memungkinkan sistem stratifikasi secara menyeluruh yang ada pada setiap masyarakat. Mereka membantu orang perorang untuk mengetahui di mana ia berdiri di depan sesamanya dalam lingkungan tertentu.
2. Cara berfikir dan bertingkah laku secara ideal dalam masyarakat diarahkan atau dibentuk oleh nilai-nilai. Hal ini terjadi karena anggota masyarakat dapat melihat cara bertindak dan bertingkah laku yang terbaik dan ini sangat mempengaruhi dirinya sendiri.
3. Nilai mempunyai penentu terakhir bagi manusia dalam memenuhi peranan-peranan sosialnya. Mereka menciptkan minat dan memberi semangat pada manusia untuk mewujudkan apa yang diminta dan diharapkan oleh peranan- peranannya menuju tercapainya sasaran-sasaran masyarakat
4. Nilai-nilai dapat berfungsi sebagai alat pengawas dengan daya tekan dan daya mengikat tertentu. Mereka mendorong menuntun dan kadang-kadang menekan manusia untuk berbuat yang baik. Nilai-nilai menimbulkan perasaan
84
Universitas Sumatera Utara
bersalah yang cukup menyiksa bagi orang-orang yang melanggarnya, yang dipandang baik dan berguna oleh masyarakat
5. Nilai dapat berfungsi sebagai alat solidaritas dikalangan anggota kelompok masyarakat. Sistem nilai adalah nilai inti (core value) dari masyarakat.
Nilai inti ini diakui dan dijunjung tinggi oleh setiap manusia di dunia untuk berprilaku. Sistem nilai ini menunjukan tata tertib hubungan timbal balik yang ada di dalam masyarakat. Sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem nilai budaya ini telah melekat dengan kuatnya dalam jiwa setiap anggaota masyarakat sehingga sulit diganti atau diubah dalam waktu yang singkat. Sistem budaya ini menyangkut masalah-masalah pokok bagi kehidupan manusia.
Nilai Sosial Yang Ada Suku Jawa
Tabel 5, Tabel temuan lapangan
Komponen Kegiatan Temuan lapangan
Perkawinan - Tetangga yang tidak bisa membantu
biasanya memberikan gula, minyak, the,
kopi, garam dan lain-lain Nilai - Tetangga membantu peralatan untuk masak Sosial - Adanya mengirim sebungkus makanan berisi
nasi, telur, ikan asin, urap, ayam ke tetangga
yang dekat ataupun yang jauh.
85
Universitas Sumatera Utara
Sunatan - Tetangga ikut membantu memasak untuk
makanan acara atau pesta sunatan
- Tetangga biasanya membantu alat yang tidak
dipunyai yang menyelenggarakan pesta
- Tetangga juga memberikan uang untuk yang
sunat sambil mengatakan hal yang baik
- Membantu membawakan bahan makanan
seperti beras, gula, minyak, teh kantung, kopi
dll
Kematian - Adanya upaya masyarakat sekitar untuk
memberi support ke keluarga yang tertimpa
musibah
- Adanya bantuan tenaga seperti menyiapkan
makanan untuk takziah dan minuman seperti
kopi dari masyarakat sekitar
- Adanya sumbangan berupa bahan makanan
untuk takziah atau uang
Kelahiran - Warga sekitar mendatangi rumah yang
sedang mempunyai anggota keluarga baru
- Adanya warga sekitar memberi uang atau
pakaian anak bayi
- Ikut mendoakan anak bayi agar berbakti
86
Universitas Sumatera Utara
kepada orang tuanya, tidak melawan dan lain
Pernikahan
Nikah atau Pernikahan merupakan sebuah kebahagiaan bagi seseorang yang menjalaninya. Pernikahan dianggap oleh sebagian orang sebagai suatu yang sakral, karena diharapkan hanya satu kali dalam seumur hidupnya. Pernikahan merupakan hal yang sakral bagi semua suku di Indonesia, begitu juga bagi suku
Jawa dikarenakan pernikahan menurut orang Jawa sendiri melepas masa lajangnya untuk melanjutkan ke kehidupan rumah tangga. Di Berastagi sendiri pernikahan akan mengundang sanak family baik itu dari jauh juga dekat. Dan untuk tetangganya biasanya membantu mempersiapkan makanan untuk pesta pernikahan dengan cara dimasak, membuatkan minuman juga menyediakan alat- alat masak.
87
Universitas Sumatera Utara
Gambar 12, Tradisi Rewang
Sumber : Google.com
Tradisi ini disebut Rewang yang artinya istilah yang dikenal oleh masyarakat Jawa sebagai sebuah kegiatan yang dilakukan untuk membantu mempersiapkan sebuah acara atau hajatan besar. Seperti genduren, slametan, mantenan, dan hajatan lainnya. Rewang termasuk tradisi yang telah diwariskan secara turun-temurun. Juga digunakan oleh masyarakat suku Jawa di Berastagi, hal ini mempengaruhi masyarakat lain baik itu dia berasal dari suku Jawa juga berasal dari suku lain. Nilai ini lah yang menurut mereka bagus untuk diambil yaitu nilai membantu yang mempunyai hajatan pesta pernikahan akan butuh pertolongan tetangga sekitarnya untuk menyiapkan segala sesuatu untuk kelancaran pesta pernikahan. Hal ini akan kembali lagi jika tetangga yang lain akan melakukan hajatan mereka akan dibantu juga oleh orang yang dibantunya tadi.
88
Universitas Sumatera Utara
Memang beberapa kejadian pesta berlangsung berbentur dengan kegiatan masing-masing tetangga, biasanya mereka mengakali dengan mengirim gula, minyak, beras, alat-alat atau hal yang lain bahkan mereka memberikan uang. Hal ini sesuai dengan perkataan Buk Atun (36 tahun) ketika ia ikut membantu,
“Kita orang Jawa ini punya adat namanya Rewang, kita bantu orang yang punya acara hajatan mulai bantu masak, bantu nyiapkan makanan, minuman, kalo perlu kita sediakan alat-alatnya biar yang punya hajatan itu ngga capek udah ngurusin pesta ngurusin dapur lagi. Nah dalam rewang itu ada ketuanya, contohnya ibuk jadi ketua, ibuk nanya kita mau masak apa aja menunya alat-alatnya ada tidak, bahan-bahan makanan udah siap belum”
Menurut ibuk Atun juga yang ikut dalam anggota Rewang yang sesama orang Jawa dan beragama Islam saja dikarenakan jika agama lain ikut tentunya akan ada perbedaan sajian makanan yang bebenturan dengan agama Islam. Jika ada agama lain yang ikut membantu ialah tetangga yang punya acara tersebut yang tentunya nanti akan dibantu balik. Umumnya mereka yang bukan beragama
Islam biasanya membantu dalam membuat kue dan membungkus makanan. Hal ini secara tidak langsung membuat mereka ikut terlibat dalam aktivitas Rewang ini tetapi dalam lingkaran tetangga, hal ini dibenarkan Buk Ruth (42 tahun) yang merupakan tetangga penulis yang ikut membantu ketika keluarga penulis menggelar acara pesta pernikahan abang kandung penulis
“Ya udah dibilangin juga sama yang punya hajatan kalo sebentar lagi buat pesta, kita tetangga juga ingin membantu. Bantu-bantu tenaga lah buat kue, bungkus, buat teh untuk tamu atau buat kopi. Yang diharapkan setelah kita membantu tentu
89
Universitas Sumatera Utara
kita punya hubungan baik dengan yang punya pesta dan harapan kita juga mereka bantu balik jika kita menggelar pesta. Memang ibuk akui orang Jawa ini punya adat yang mau bantu-bantu sesama orang Jawa yang lagi buat pesta. Beda sama kami orang Batak yang cuma 1-2 orang aja mau bantu, sisanya cuma mau datang pesta makan terus pulang”
Dari perkataan buk Ruth diatas dapat diartikan bahwa adanya nilai
Rewang yang dapat diserap suku atau agama lain yang menurut mereka ini sesuatu yang bagus jika diterapkan dilingkungan tetangga.
Sunatan
Sunat adalah tindakan memotong atau menghilangkan sebagian atau seluruh kulit penutup depan dari penis. Frenulum dari penis dapat juga dipotong secara bersamaan dalam prosedur yang dinamakan frenektomi. Kata sirkumsisi berasal dari bahasa Latin circum berarti "memutar" dan caedere berarti
"memotong" (Wikipedia). Berhubung mayoritas suku Jawa di Berastagi adalah beragama Islam dan sunat sangat dianjurkan untuk laki-laki maka biasanya akan disunat jika waktunya sudah tepat, umumnya berumur kurang lebih 10 tahun.
Masyarakat Jawa di Berastagi sendiri sering mengadakan acara kecil- kecilan untuk menandakan anaknya sudah sunat, itu artinya anaknya sudah beranjak dewasa. Didalam acara tersebut tentunya ada beberapa tata cara, salah satunya adalah mendoakan si anak umumnya mendoakan si anak menjadi anak yang penurut dan berbakti kepada orang tua. Ada nilai sosial terkandung dalam hal ini yaitu memberi contoh pada si anak bahwa berbakti pada orang tua merupakan hal yang baik, harus berbakti dan tidak melawan orang tua juga ada di
90
Universitas Sumatera Utara
suku Karo juga suku lain. Tentunya jika sianak melanggar akan berdampak dijauhi lingkunganya, hal ini memupuk hormat dan sopan kepada orang tua merupakan hal yang wajib. Dalam acara pesta sunatan ini tidak lah jauh berbeda dengan acara pernikahan.
Kematian
Kematian di dalam kebudayaan apapun hampir pasti disertai acara ritual.
Ada berbagai alasan mengapa kematian harus disikapi dengan acara ritual.
Masyarakat Jawa memandang kematian bukan sebagai peralihan status baru bagi orang yang mati. Masyarakat Jawa di Berastagi sendiri agaknya sudah meninggalkan tata cara adat orang Jawa dan sebagai penggantinya mereka menggunakan tata cara agama Islam dalam proses kematian. Tentunya ada hal yang bisa ditarik nilai sosial, tabel diatas menunjukan temuan lapangan dari penulis adanya partisipasi masyarakat dalam membantu tetangga yang terkena musibah.
Adanya support masyarakat sekitar, ketika ada tetangga yang mengalami musibah kematian. Support yang dimaksud adalah ketika penulis melihat siang hari setelah pemakaman atau dimalam hari selesai takziah adanya beberapa tetangga yang berbincang-bincang di depan rumah yang terkena musibah, dari penulis dengar mereka kebanyakan memperbincangkan hal yang mengarah ke almarhum semasa hidupnya. Nilai yang bisa ditarik ialah masih adanya kepedulian masyarakat sekitar ketika ada tetangganya yang mengalami kematian, yang akan berimbas ke masyarakat yang lain baik dari suku Jawa itu sendiri
91
Universitas Sumatera Utara
maupun masyarakat lain seperti masyarakat suku Karo, Batak, dan lain-lain.
Maksud dari imbas disini ialah masyarakat lain akan mencontoh nilai yang dia lihat dari masyarakat suku Jawa.
Kelahiran
Kelahiran merupakan peristiwa sepasang suami istri melahirkan keturunan mereka, dibeberapa tempat biasanya dilakukan ritual untuk menyambut anggota keluarga yang baru tersebut, seperti orang Jawa yang pada hari pertama kelahiran sang bayi sanak keluarga dan tetangga satu per satu mendatangi rumahnya. Disini adanya nilai sosial yang dapat terlihat ketika sang bayi dikunjungi yaitu memperikat tali silaturahmi antar sesama. Dan biasanya tamu akan membawakan pakaian anak bayi, sabun, susu, ataupun uang untuk si bayi.
Dan di hari 35 sang bayi biasanya dilakukan selametan yang biasanya akan ada dilakukan pemotongan rambut dan kuku si bayi, tujuannya agar si bayi bersih. Semua bentuk tradisi selamatan kelahiran bayi dalam adat Jawa ini memiliki manfaat yang sama. Selain mempererat tali silaturahmi antar satu dan lainnya, tradisi ini juga bermanfaat mengenang hari lahir sang bayi, menjadi wadah harapan orang tua dan keluarga agar bayi selalu sehat sentosa, mendidik anak agar tumbuh menjadi anak yang berpribadi baik, agar anak selalu terlindungi, dan mengucap syukur pada Sang Pencipta.
92
Universitas Sumatera Utara
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Bedasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan diatas maka kesimpulan dalam penelitian mengenai interaksi Suku Jawa di Berastagi di Kota
Berastagi, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo adalah sebagai berikut :
Pertama, Masyarakat suku Karo di Kota Berastagi sendiri tidak mempermasalahkan banyaknya masyarakat pendatang datang kekotanya, hal ini terkait juga dengan daerahnya yang merupakan daerah pariwisata. Otomatis daearah pariwisata akan lebih sering didatangi oleh masyarakat luar daearahnya.
Sehinngga secara tidak langsung akan sangat mudah bisa berkomunikasi dengan mereka di lingkungan bertetangga, pekerjaan, hingga kehidupan sehari-hari. Hal ini yang membuat proses interaksi antarsuku Jawa dengan Suku Karo di Berastagi bisa berlangsung sangat cepat.
Kedua, Adat istiadat merupakan hal nomor satu bagi masyaraka tsuku
Karo, dan garis keturunannya berasan dari garis keturunan ayah (patrilinear) hal ini berbeda dengan masyarakat suku Jawa yang mana garis keturunan bisa berasal dari ayah maupun ibu (Bilateral) umumnya masyarakat Jawa di Sumatra perlahan mulai pudarnya adat istiadatnya walau beberapa hal masih menjadi bagian penting. Sehingga masyarakat Jawa di Berastagi lebih condong ke agama. Mulai banyaknya perkawinan campuran antar suku di Kota Berastagi merupakan hal yang bagus, dikarenakan bisa dihindari konflik antar kedua suku ini mengingat
93
Universitas Sumatera Utara
banyaknya perkawinan campur di Kota Berastagi menunjukan bahwa masyarakat
Suku Karo tidak menaruh perasaan negative kepada masyarakat suku Jawa.
Ketiga, tiap interaksi yang dilakukan suku Jawa menghasilkan nilai-nilai yang tentunya bisa diserap ke dalam suku lain. Nilai-nilai seperti nilai budaya yang mana suku Jawa selalu tidak mencari permasalahan, sopan, lemah lembut, santun kepada orang tua, yang tentunya suku lain akan memandang positif terhadap suku Jawa. Dan nilai sosial di lingkungan keluarga yang diterapkan suku
Jawa dalam setiap kegiatan sseperti pernikahan, sunatan, kematian, dan kelahiran yang mana orang Jawa mengajarkan nilai sosial seperti membantu lewat tenaga, waktu atau uang. Tentunya membuat suku lain mengambil dan menyerap nilai yang ada dari suku Jawa sehingga memperkecil peluang yang membuat mereka pecah.
5.2 Saran
Setelah saya meneliti dan mengamati permasalahan sebagaimana tersebut diatas, maka saya mencoba mengemukan saran sebagai berikut :
Perbedaan budaya memanglah rumit, jika tidak ada rasa percaya kepada suku lain. Tentunya kita harus menghindari sikap yang mana memandang suku lain bisa berdampak negative kepada suku kita. Ditambah lagi Kota Berastagi merupakan kota multi etnik yang mana menurut orang luar Kota Berastagi merupakan kota yang ramah pada masyarakat luar tentunya pandangan ini harus kita jaga dari dalam agar tetap terjaga terus menerus
94
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat. 2013. Pengantar Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Koentjaraningrat. 2007. Manusia dan Kebudayaan. Jakarta: Djambatan.
Mulyana, Deddy. 1998. Komunikasi Antarbudaya : Panduan Berkomunikasi Dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Hariyona, P . 1993. Kultur Cina Dan Jawa : Pemahaman menuju Asimilasi Kultural. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
James P. Spradley. 1997 . Metode Etnografi. Yogyakarta : Tiara Wacana.
Tedjakusuma, Ferdika. Madiono , Edy Sutanto. 2015 .Proses Komunikasi Antar Karyawan Etnis Jawa dan Tionghoa. Surabaya : Universitas Kristen Petra
Barth, Fredrik. 1988. “Kelompok Etnik dan Batasanya : Tatanan Sosial dari Perbedaan Kebudayaan” . Press Jakarta.
“Faktor Penghambat dan Faktor Pendorong Interaksi Sosial” 22 agustus 2019. https://www.halopsikolog.com/penghambat-dan-faktor-pendorong-interaksi- sosial/
“6 Faktor Yang Mempengaruhi Interaksi Sosial” 20 agustus 2019. https://www.halopsikolog.com/6-faktor-yang-mempengaruhi-interaksi-sosial/
“Nilai Sosial, Arti, Fungsi dan Macamnya” 25 april 2020. https://www.kompas.com/skola/read/2020/03/16/170000869/nilai-sosial-arti-fungsi- dan-macamnya?page=all
“Pengertian Nilai Sosial: Ciri, Sumber, Fungsi, Dan Contohnya” 27 april 2020.
95
Universitas Sumatera Utara
https://www.mypurohith.com/term/nilai-sosial/
“Pengertian Nilai Budaya, Fungsi, Ciri, dan Contohnya” 12 mei 2020. https://dosensosiologi.com/nilai-budaya/
“Pengertian Nilai Budaya, Fungsi, Ciri, dan Contohnya” 15 mei 2020. https://rumusbilangan.com/pengertian-nilai-budaya/
96
Universitas Sumatera Utara