View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk brought to you by CORE

provided by Institut Seni Indonesia Yogyakarta: Jurnal Online ISI Yogyakarta / Indonesia Institute of...

Vol. 14 No. 1, Juni 2013: 41-55 Vol. 14 No. 1, Juni 2013

Jaipongan: Genre Tari Generasi Ketiga dalam Perkembangan Seni Pertunjukan Tari Sunda

Lalan Ramlan1 Jurusan Tari, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung

ABSTRAK Seni pertunjukan tari Sunda hingga saat ini telah diisi dengan tiga genre tari yang diciptakan oleh tiga tokoh pembaharu tari Sunda, yaitu Rd. Sambas Wirakusumah yang menciptakan genre tari Keurseus sekitar tahun 1920- an, Rd. Tjetje Somantri yang menciptakan genre tari Kreasi Baru sekitar tahun 1950-an, dan Gugum Gumbira Tirasondjaya yang menciptakan genre tari pada awal tahun 1980-an. Ketiga genre tari tersebut memiliki citra estetiknya sendiri-sendiri sesuai latar budaya generasinya masing-masing. Genre tari Jaipongan yang kini sudah lebih dari 30 tahun belum tergantikan di dalamnya menunjukkan nilai-nilai yang mengakar dalam kehidupan masyarakat Sunda. Untuk mengekplanasi berbagai aspek penting yang melengkapi pembentukan sebuah genre tari ini digunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Berdasarkan penelitian disimpulkan bahwa genre tari Jaipongan dibentuk oleh konsep dasar etika dan estetik egaliter dengan menghasilkan struktur koreografi yang simpel dan fl eksibel yang terdiri dari empat ragam gerak, yaitu bukaan, pencugan, nibakeun, dan mincid. Kata kunci: Gugum Gunbira, genre tari, dan Jaipongan

ABSTRACT Jaipongan: The Genre of Third Dancing Generation in the Development of Sundanese Dance Performing Arts. Sundanese dancing performance art recently has been fi lled with three dancing genres created by three prominent reformers of Sundanese dances, namely Rd. Sambas Wirakusumah who created the dance genre of Keurseus around 1920, Rd. Tjetje Somantri who created the dance genre of Kreasi Baru (New Creation) 1950s, and Gugum Gumbira Tirasondjaya who created the dance genre of Jaipongan in the early 1980s. The three genres of the dances have their own aesthetic image based on their cultural background respectively. The Jaipongan dance genre which now has been more than 30 years and not yet been changed shows the values rooted in Sundanese community life. To explain various important aspects which complete the creation of a dance genre it applies qualitative method employing a phenomenological approach. Based on the research, it is concluded that Jaipongan dance genre is shaped by ethical and aesthetic concepts of egalitarian policies to produce a simple structure and fl exible choreography of four modes of motion, i.e. aperture, pencugan, nibakeun, and mincid. Keywords: Gugum Gunbira, dance genres, and jaipongan

Pendahuluan Sejak itu, dinamika perkembangan seni Tari tradisional Sunda dalam perjalanannya pertunjukan tari Sunda hingga saat ini tercatat mengalami perkembangan yang dinamis. Hal sudah melahirkan tiga generasi, yang sekaligus ini dapat diamati dari perubahan atau pergeseran memunculkan tiga tokoh pembaharunya. nilai yang terjadi, yaitu dari media hiburan Mereka adalah Rd. Sambas Wirakusumah yang (kalangenan) menjadi media ekspresi estetik melahirkan genre tari Keurseus pada kisaran masa pertunjukan. Fenomena pergeseran nilai tersebut akhir aristokrat feodalisme (± tahun 1920-an). Ia menjadi bahan diskursus tersendiri, terutama melakukan pembakuan terhadap berbagai motif di kalangan akademisi seni tari. Lebih jauh, dan ragam gerak yang selalu disajikan oleh para pembacaan terhadap tari tradisional Sunda sebagai pengibing dari kalangan priyayi/menak Sunda seni pertunjukan mengacu pada momentum dalam arena Tayuban. Pembakuan ini sekaligus perubahan yang terjadi ketika media kalangenan menghilangkan peran dan kehadiran para priyayi/menak Sunda yaitu Tayuban berubah yang semakin bercitra negatif. Proses pembakuan menjadi sebuah genre tari yang disebut Keurseus. tersebut pada akhirnya menghasilkan bentuk-

1 Alamat Korespondensi: Jurusan Tari - STSI Bandung, Jln. Buahbatu No. 212, Bandung, 40263. Tlp. (022) 7314982. Hp. 0815 721 36 195 email: [email protected]

41 NurLalanMariaChristianYohanes RochmatSahid RamlanOktavia Don Budiman,, Konvensi-Konvensi, , Bosko PewarisanRosianaJaipongan: dkk. Bakok Dewi Tari RetorikGenre, , MusikTopeng dalamMinimax, Tari dan Inkulturasif DramaGenerasigayaMakna Uwek-Uwek, Dermayon dandalam Ketinga GerejaTeater Film dan RendraGanjuran Opera 100 ABGJawa BaBu bentuk penyajian tari tunggal putra dengan pada tari Merak, tetapi olahan geraknya tetap struktur koreografi yang terdiri atas ragam gerak mengacu pada pandangan estetika aristokrat. pokok (sembahan, adeg-adeg, raras konda, jangkung Struktur koreografi yang disusun dalam ilo, gedut, pakbang, mincid, tindak tilu, engke gigir, setiap karya tari Tjetje Somantri, merupakan santanaan, baksarai, mamandapan), ragam gerak pengembangan dari ragam gerak pokok yang ada penghubung (selut, galeong, lontang, cindek, dan pada genre tari Keurseus. Pada genre tari kreasi tumpang tali), ragam gerak khusus (ungkleuk tujuh), baru ini diberlakukan ketetapan dasar pada setiap dan ragam gerak peralihan (gedig, mincid, keupat, repertoar tarinya yang berjenis putri, misalnya trisi, raras, dan sirig). Segala atribut yang sudah olahan ruang gerak pada setiap motif dan ragam biasa dikenakan oleh para pejabat bupati (priyayi/ geraknya tidak boleh mengangkat tangan melebihi menak) Sunda masa itu menjadi kelengkapan bahu karena akan memperlihatkan ketiak; gerak busana tarinya, seperti pakaian takwa dan sinjang bahu dan pinggul tidak boleh terlalu kuat dan lereng atau motif lainnya dengan lipatan kain olahan ruang yang lebar, karena dianggap vulgar di ujung kanan (lamban) diletakkan di sebelah dan erotis; jarak kedua kaki pada sikap adeg-adeg kanan, epek/stagen, sabuk, keris, tali bandang, tidak boleh terlalu lebar, apa lagi mengangkat kaki dan bendo, kecuali soder/sampur. Digunakannya terlalu tinggi. Itu semua dianggap melanggar kodrat sampur/soder dalam menari karena properti ini perempuan dan mengurangi keindahannya. Oleh sudah digunakan dalam menari sejak Tayuban karenanya, tari-tarian karya Rd.Tetje Somantri masih populer di kalangan priyayi/menak Sunda ini oleh para pemerhati dan akademisi seni tari masa lalu. Soder ini diberikan kepada penari oleh disebut dengan nama kreasi baru dan ditempatkan panitia juru baksa sebagai tanda giliran menari, sebagai sebuah genre tari tersendiri, yaitu genre tari terutama karena para penari/pengibing yang kreasi baru sebagai genre tari generasi kedua dalam waktu itu adalah para pejabat (bupati) yang tentu perkembangan seni pertunjukan Sunda. saja tidak biasa membawa soder ke arena Tayuban. Lalu bagaiman dengan Jaipongan hasil karya Beberapa repertoar tari yang tercatat pada masa Gugum Gumbira Tirasondjaya pada sekitar awal itu adalah Lenyepan, Gawil, Kawitan, Gunungsari, tahun 1980-an?. Tari ini memiliki cerita dan dan Kastawa. Keseluruhan repertoar tari ini keunikannya tersendiri yang berbeda dengan dikategorikan dalam genre tari Keurseus. para pendahulunya. Karya tari dan penciptanya Setelah keberhasilan Rd. Sambas Wira- merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat kusumah dalam memulai babak modernisasi dipisahkan dari pengamatan, apalagi kiprahnya terhadap kesenian tradisional tari Sunda berjalan dalam mengisi perkembangan seni pertunjukan ± 30 tahunan, lalu tercatat nama baru yang tari Sunda sudah lebih dari 30 tahunan belum ada juga berlatar budaya priyayi/menak Sunda yaitu tanda-tanda akan lahirnya genre tari baru. Rd. Tjetje Somantri pada kisaran masa awal Fenomena kelahiran sebuah karya seni yang kemerdekaan Negara R.I (± tahun 1950-an). Ia sangat bercirikan latar budaya penciptanya dan berhasil menciptakan karya-karya tari baru dengan masyarakat penyangganya, telah dijelaskan oleh menitikberatkan pada jenis tari putri, yang pada Adolph S. Thomars dalam teorinya yang tersirat masa Rd. Sambas Wirakusumah sama sekali tidak dalam bukunya berjudul Class Systems and The mendapat tempat. Keberadaan perempuan pada Arts sebagaimana dikutif oleh R.M. Soedarsono masa aristokrat feodalisme di lingkungan priyayi (1999: 46) bahwa: ‘kehadiran sebuah kelas atau sangat dilarang bersentuhan dengan kesenian tari golongan masyarakat akan menghadirkan pula yang saat itu memiliki citra negatif. gaya dan bentuk seni yang khas, sesuai dengan Walaupun Rd. Tjetje Somantri menciptakan selera estetis golongan terentu”. tarian-tarian berjenis putri, tetapi tetap Dengan mengacu pada teori di atas sekaligus mempertahankan citra estetika aristokrat memahami substansi penelitian kebudayaan sebagaimana lingkungan budaya tempat ia hidup yang menitikberatkan pada persoalan teks dan dan dibesarkan. Hal ini bisa dicermati dari tari- konteksnya, maka dalam upaya mengeksplanasi tarian yang diciptakannya, seperti; tari Anjasmara, keberadaan tari Jaipongan yang fenomenal karena tari Sulintang, tari Kandagan, tari Ratu Graeni, dan melebihi kurun waktu yang dilampaui para sebagainya. Kalaupun ada yang di luar itu seperti pendahulunya, penulis menetapkan menggunakan

42 Vol. 14 No. 1, Juni 2013 metode kualitatif dengan pendekatan fenomeno- tidak tahu diri, tidak tahu adat, dan banyak lagi logi. Dengan demikian, diharapkan nilai-nilai umpatan sejenis lainnya. Dominasi etika dalam estetika dan artistik tari lainnya, serta nilai- berperilaku tersebut menjadi sebuah tatanan nilai nilai budaya yang melatarbelakangi terciptanya etika adat tradisi yang harus atau wajib dipatuhi, Jaipongan dapat diungkap. Untuk hal itu ada dipelihara dan diwariskan kepada setiap generasi dua persoalan pokok yang berpengaruh pada urang Sunda berikutnya. Pada akhirnya, etika pembentukan citra estetik dan artistik dalam tari tradisi ini menjadi standar ukuran karakteristik Jaipongan, yaitu konsep dan struktur. Kedua sisi masyarakat Sunda, bahkan masih tetap berlaku tersebut, akan didekati dalam perspektif yang hingga saat ini walaupun sudah mulai longgar berdimensi etik, estetik, dan akademik. Tulisan sejalan dengan proses mordenisasi zaman yang ini bertujuan untuk memberikan informasi terus bergulir. akademis mengenai genre tari Jaipongan sebagai Tatanan etika aristokrat feodalisme itu, jenis tari generasi ketiga dalam perkembangan di sisi lain juga sangat berpengaruh terhadap seni pertunjukan Sunda. pembentukan kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang di lingkungan kehidupan Konsep dan Struktur Tari Jaipongan masyarakat Sunda masa itu. Hal itu terlihat dari Penelitian seni, termasuk tari, substansinya kelahiran genre tari Keurseus dan Kreasi Baru yang mengungkap dua sisi yang saling melengkapi, yaitu diciptakan oleh masyarakat aristokrat seperti yang bentuk dan isi. Menurut Jakob Sumardjo (2000: sudah diuraikan di atas. 169) bentuk merupakan representasi dari faktor Pemberlakuan berbagai aturan (patokan) instrinsik seni yang dibentuk oleh medium atau tersebut bagi Gugum Gumbira dipandang sangat materialnya. Sejalan dengan itu, Tjetjep Rohendi membatasi ruang gerak penari, sehingga terasa Rohidi (2011: 53) menyebut faktor intrinsik ini membelenggu, lamban, dan monoton. Sementara sebagai faktor intraestetik yang dibangun oleh ketika mengamati dan merasakan langsung sebuah struktur yang tersistematis, sehingga berbagai bentuk tari produk budaya barat yang memiliki pola sususan yang dalam seni tari disebut tumbuh subur di lingkungan pergaulannya-Kota koreografi . Isi yang merupakan representasi dari Bandung (tahun 70-an)-begitu lincah, gesit, nilai gagasan, pikiran, dan perasaan senimannya enerjik, dan dinamis penuh kebebasan dalam oleh Sumardjo (2000: 169) disebut sebagai mengolah ruang gerak tubuh penari. Beberapa faktor ekstrinsik sedangkan oleh Rohidi (2011: bentuk kesenian yang sangat digandrungi kaum 53) disebut sebagai faktor esktraestetik yang muda Kota Bandung saat itu, antara lain; Chacha, terkandung dalam latar budaya dari kehidupan Salsa, Boll Room, Rock’n Roll, dan sebagainya, seniman penciptanya yang sudah merupakan menjadi bagian integral dari pergaulan kaum kristalisasi nilai kehidupan sosio-budaya dalam muda Kota Bandung. bentuk nilai-nilai, pengetahuan, kepercayaan, Keadaan itulah yang mempengaruhi pemikiran dan lingkungan. Dengan demikian, mengungkap kritis Gugum Gumbira dengan pertanyaan dasar keberadaan Jaipongan sebagai sebuah karya tari yang terlontar, sebagai berikut: “mengapa kesenian tidak akan lepas dari konsep penciptaan Gugum Sunda yang begitu kaya dan beragam tidak Gumbira sebagai penciptanya yang memiliki latar tersentuh, apalagi menjadi ajang pergaulan kaum budaya tradisi yang kuat, di sisi lain ia hidup di muda Bandung”. Bertitiktolak dari pemikiran lingkungan masyarakat kota. kritis inilah, Gugum memulai penjelajahannya dalam menemukan apa yang diinginkannya, yaitu Konsep Penciptaan Gugum Gumbira bentuk tari tradisional yang bisa menjadi media Sejarah perkembangan tari Sunda telah pergaulan kaum muda kota/modern. mencatat bahwa etika dalam budaya aristokrat Pemikiran kritisnya yang kuat terhadap feodalisme kehidupan kaum priyayi/menak Sunda keberadaan kesenian tradisional Sunda, jelas sangat berpengaruh atau mendominasi tata bukan hal yang tiba-tiba saja muncul dalam diri kehidupan masyarakat Sunda. Siapapun yang seorang Gugum tetapi mengalir dari ayahnya yang tidak menggunakannya dalam kehidupan sehari- pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat hari pasti akan dianggap manusia tidak sopan, Daerah (DPRD) Kotamadya Bandung. Menurut

43 NurLalanMariaChristianYohanes RochmatSahid RamlanOktavia Don Budiman,, Konvensi-Konvensi, , Bosko PewarisanRosianaJaipongan: dkk. Bakok Dewi Tari RetorikGenre, , MusikTopeng dalamMinimax, Tari dan Inkulturasif DramaGenerasigayaMakna Uwek-Uwek, Dermayon dandalam Ketinga GerejaTeater Film dan RendraGanjuran Opera 100 ABGJawa BaBu

Gugum, semasa ayahnya menjadi anggota DPRD 1969), Ine Dinar (Bandung 24 Pebruari 1970), tersebut, ia salah seorang yang paling kritis dan Asye Ratna Mantili (Bandung 4 Agustus 1973), vokal dalam menyuarakan aspirasi masyarakatnya, dan Sonda Utami Dewi (Bandung 26 Pebruari sehingga banyak dikenal dan disegani oleh kawan- 1978). kawannya di DPRD tersebut (Edi Mulyana dan Gugum mempelajari berbagai jenis kesenian Lalan Ramlan, 2012: 15). Kebiasaan yang kritis seperti Ketuk Tilu dari Ki Sanhudi, Bu Jubaedah, dan vokal ayahnya itu tertanam dalam kehidupan dan Bah Akil. Secara koreografi s, tarian pada Gugum yang selalu kritis dalam menyikapi situasi kesenian Ketuk Tilu masih menggunakan struktur sosial dan vokal dalam menyuarakan keinginan koreografi yang terdiri dari ragam gerak bukaan, untuk mengangkat serta menghidupkan kembali pencugan, nibakeun, dan beberapa gerak mincid. keberadaan kesenian yang termarginalkan, karena Keberadaannya seperti itu memberikan inspirasi dianggap seronok, vulgar, dan kurang bernilai. terhadapnya dalam persoalan struktur tarian. Gugum memiliki perhatian yang besar Oleh karena itu kesenian tradisional Ketuk Tilu terhadap perkembangan kehidupan kesenian pada gilirannya menjadi dasar struktur koreografi tradisional Sunda. Ia ditempa sejak kecil dengan penciptaan tari Jaipongan. pengalaman dan pengetahuan seni dan budaya Setelah belajar Ketuk Tilu, Gugum berguru Sunda oleh ayahnya melalui latihan Pencak kesenian Topeng Banjet pada Bah Epeng, Ali Silat (maenpo/Penca: Sunda). Setelah jurus-jurus Saban, dan Bah Pendul. Dalam penampilan dasar tersebut dikuasai dengan baik, selanjutnya penari perempuan umumnya menggunakan diajarkan Penca kembang yang sederhana seperti ragam hias yang cukup menarik mulai dari tepak tilu. Adapun pemikirannya yang moderat, bagian rambut menggunakan hiasan kembang, karena pendidikannya yang cukup tinggi yaitu busananya menggunakan kebaya yang dihiasi sarjana dan pergaulannya yang luas dengan dengan toka-toka atau tola, kewer, dan bagian berbagai strata sosial yang berbeda. bawahnya menggunakan sinjang. Kesenian ini Dalam meniti karir berkeseniannya, Gugum umumnya diiringi oleh seperangkat waditra memulainya dengan belajar berbagai jurus Penca Ketuk Tilu, namun ada pula yang menggunakan dari berbagai aliran, seperti; Cikalong, Cimande, lengkap berlaras salendro. Gerak tarinya dan Sabandar. Ia belajar aliran Cikalong dan cenderung erotis (terkenal dengan istilah eplok Cimande dari Bah Saleh, Ki Bacih, dan Ki cendol atau goyang Karawang yang disajikan oleh Sanhudi. Proses pembelajaran yang diterimanya kembang topeng atau penari primadona). Hal ini tidak saja sebatas fi sik, tetapi sampai pada unsur- memberikan penebalan terhadap munculnya unsur di luar fi sik, yang dalam dunia persilatan nuansa erotis dalam Jaipongan. Gugum (2008) sering disebut kebatinan. Selain ayahnya sendiri, menegaskan bahwa dalam mempelajari gerak- Ki Bacih dan Ki Sanhudi inilah yang banyak gerak Penca, Ketuk Tilu, dan Topeng Banjet mewarnai prinsip berkeseniannya. Pendalamannya dilakukan sampai hatam”. terhadap Penca/maenpo, menggiring Gugum Pada proses hataman itulah Gugum menjalani pada penemuan bagian padungdung kendor yang sebuah prosesi akhir yang disebut upacara menjadi landasan inspiratif munculnya kebebasan tawajuh. Ia dimandikan dengan air kembang atau fl eksibilitas irama dalam Jaipongan, sehingga yang diwadahi dengan goong keramat. Menurut membuka ruang atau peluang bagi penari untuk Askin, seniman Karawang, tidak semua murid bebas bergerak menampilkan jurus-jurus dengan Bah Pendul ditawajuh, hanya murid-murid irama tidak terikat. yang dianggap istimewa saja yang diperlakukan Petualangannya dalam proses berkesenian demikian. Harapannya adalah agar orang yang terjadi terutama pada masa setelah berkeluarga, dimandikan air kembang dari goong tersebut kelak Ia melangsungkan pernikahan pada tanggal 18 namanya akan bergema seperti suara goong. April 1968 dengan perempuan yang dicintainya Setelah berguru kepada beberapa tokoh Topeng bernama Euis Komariah yang pada saat itu sudah Banjet, giliran berikutnya yang dipelajarinya menjadi penembang Cianjuran yang handal. Dari adalah seni Kliningan Bajidoran. Daerah Pantai pernikahannya tersebut, Ia dikaruniai empat orang Utara Jawa Barat, khususnya Karawang dan anak, yaitu: Mira Tejaningrum (Bandung 4 Maret Subang, memiliki banyak grup kesenian Kliningan

44 Vol. 14 No. 1, Juni 2013

Bajidoran yang dalam pertunjukannya selalu mempunyai keberanian walaupun berpotensi melibatkan kelompok bajidor (menunjuk kepada akan menjadi mandul. Ia menambahkan para pelaku yang berperan secara aktif dalam bahwa keberanian tersebut diimbangi pula oleh peristiwa Bajidoran), yakni meminta lagu, menari, pengetahuan dan pengalaman serta berpegang dan memberi uang jaban (saweran; memberikan teguh pada prinsip-prinsip kekaryaan seperti uang kepada sinden atau pangrawit). adanya kesatuan, harmoni, transisi serta berpegang Ketertarikan Gugum pada kesenian ini karena teguh pada norma-norma masyarakat seperti adat, terdapatnya kesamaan bentuk sajian dengan cara, dan kebiasaan-kebiasaan. Prinsip selanjutnya beberapa jenis kesenian yang telah dipelajari menurut Gugum Gumbira adalah ”terbuka sebelumnya yaitu Ketuk Tilu, Penca, dan Topeng terhadap segala saran dan kritik dari orang lain, Banjet. Tarian ini kaya akan variasi gerak yang tidak boleh alergi terhadap saran dan kritikan ditarikan secara spontan, improvisasi, dan unik, yang disampaikan orang lain. Hal ini dibuktikan baik yang ditarikan oleh para pesinden maupun ketika ia mendatangkan para seniman seperti para bajidor. Untuk mengetahui lebih dekat Nandang Barmaya, Samin, Tosin, Tati Saleh, kesenian tersebut ia memutuskan ikut ngabajidor. Omik Hidayat, Suwanda, dan Dali untuk diajak Gugum mulai berkenalan dengan beberapa tokoh bekerjasama dan berdiskusi untuk menghasilkan bajidor dari Karawang seperti Atut, Askin, dan karya-karya yang diinginkannya. Karya-karyanya Dimyati, serta Lurah Hilman, Upas Omo, dan diciptakan se-orisinal mungkin, tidak menjiplak Lurah Joni dari Subang. Secara khusus dalam atau meniru hasil orang lain. peristiwa Bajidoran tersebut ia selalu memberikan Gugum Gumbira memiliki pandangan yang beberapa krat (kotak) minuman bir untuk para sederhana tentang dunia tari atau menari, Ia bajidor dan mengeluarkan banyak uang untuk mengatakan: “ngigel mah moal jauh ti leungeun jaban. jeung dua suku, paeh hiji-hirup hiji” (menari itu Sejak itulah Gugum menemukan beberapa hanya menggerakkan dua tangan dan dua kaki, seniman potensial yang memiliki keahlian khusus, satu statis karena menjadi tumpuan berat tubuh seperti Suwanda dan Dali sebagai penabuh dan yang satu lainnya dalam posisi bebas). Kalimat kendang, Idjah Hadidjah, Umay Mutiara dengan ini sangat menekankan pada ketidakstabilan posisi suara emasnya sebagai sinden, serta Atut, Askin, tubuh, dalam arti posisi tubuh harus selalu dalam dan Upas Omo dengan ibing khas Bajidoran-nya. keadaan ‘hidup’ (plastis; tidak statis). Untuk Mereka itulah yang pada gilirannya diikut-sertakan kepentingan itu, terutama bagian kaki harus dalam proses berkesenian selanjutnya. Selain itu, dalam keadaan asimetris. Maksud dari asimetris Ia juga menemukan pola-pola tepak kendang serta atau “paeh hiji hirup hiji” adalah difokuskan pada berbagai ragam gerak, seperti bukaan, pencugan, posisi kaki dalam keadaan pasang/kuda-kuda atau nibakeun, dan motif-motif tepak dan gerak mincid. adeg-adeg. Kaki yang satu bersifat menahan atau Lebih lanjut pola-pola tersebut menjadi kerangka menjadi tumpuan berat tubuh (paeh) dan yang dasar Jaipongan yang selanjutnya menjadi lainnya bersifat hidup atau siap bergerak bebas kerangka garap Jaipongan. Euis Komariah, istri dengan berbagai kemungkinan; motif gerak, arah Gugum Gumbira, menegaskan bahwa Jaipongan gerak, dan/atau tempo dengan intensitas gerak yang dikenal dewasa ini merupakan hasil jerih yang berbeda. payahnya, bukan saja secara moral tetapi material Ada dua faktor yang membentuk daya pun ia korbankan untuk menciptakan Jaipongan. dinamika irama dalam tarian Jaipongan, yaitu Sebagai seorang seniman, Gugum mempunyai di satu sisi karena Gugum sangat mengidolakan prinsip bahwa dalam berkarya itu pertama adalah gaya menari dari seorang ronggeng yang pada masa keberanian, dalam arti keberanian kreatif. Selain aristokrat dipandang rendah, tetapi bagi Gugum itu tidak boleh takut disalahkan atau dikritisi justru sebaliknya. Ia menangkap daya pesona oleh orang lain. Hal yang diutamakan adalah menari yang luar biasa. Oleh sebab itu, pada mampu membuat lepas dari permasalahan apakah bagian pencugan (isi) dalam koreografi Jaipongan karya itu berkualitas atau tidak. Menurutnya, adalah merupakan kunci-kunci jurus untuk tanpa keberanian seseorang tidak akan mampu menghindar, menyerang, menangkis, mendorong, menghasilkan sesuatu. Seorang seniman yang tidak bahkan menantang pasangannya (para penari

45 NurLalanMariaChristianYohanes RochmatSahid RamlanOktavia Don Budiman,, Konvensi-Konvensi, , Bosko PewarisanRosianaJaipongan: dkk. Bakok Dewi Tari RetorikGenre, , MusikTopeng dalamMinimax, Tari dan Inkulturasif DramaGenerasigayaMakna Uwek-Uwek, Dermayon dandalam Ketinga GerejaTeater Film dan RendraGanjuran Opera 100 ABGJawa BaBu pria). Daya pesona ronggeng itu diungkapkan oleh kain dan kebayanya, senum dan lirikan matanya, Atang Warsita, seorang seniman karawitan Sunda dengan langkahnya yang tenang berwibawa, dalam beberapa bait syairnya berikut. menambah aura daya tariknya. kewes pantes Mencermati konsep di atas, Gugum Gumbira singset dangdosanana menghendaki gambaran ideal perempuan Sunda adu manis jeung gerak ibingna itu secara realistis yang terekspresikan dalam rindat soca nyarengan tariannya, tidak seperti yang dilakukan oleh Rd. sumanding imut pangirut Tjetje Somantri yang mengangkat daya pesona matak bengong anu melong perempuan Sunda melalui analog dalam dunia gereget keur nu neuteup sok matak ngahudang kasmaran para jajaka imajinasi, misalnya pada tari Anjasmara, Sulintang, Kandagan, dan Ratu Graeni. Ronggeng adalah lali kana temah wadi fi gur perempuan Sunda yang nyata; kegesitan, kurengkakna nyi ronggeng lamun keur mi- kelincahan, daya erotis, yang disajikan dalam dang beberapa bentuk kesenian tradisional kerakyatan, sok asa ngarasa enya dilayanan seperti pada Ketuk Tilu, Tayuban, Topeng geuning padahal ukur pulasan Banjet, Bajidoran, dan sebagainya. Begitu pula dengan kecantikan, kegemulaian, keramahan, Syair lagu di atas merupakan gambaran seorang keanggunan, kegesitan, kelincahan, dan kekuatan ronggeng yang cantik, menarik, berpakaian ketat, mojang Priangan. Idealisasi fi gur perempuan serasi dengan gerak tarinya. Lirikan mata dan Sunda ini dilukiskan dalam beberapa ungkapan, senyumnya yang menawan, membuat siapa pun seperti berikut. Berkaitan dengan kesempurnaan yang melihat akan terpana, bahkan jatuh cinta. tubuh: ditilik ti gigir lenggik; diteuteup ti hareup Para lelaki akan menjadi lupa diri, seolah-olah sieup; disawang ti tukang lenjang; kulitna koneng mendapat belaian. umyang. Berkaitan dengan kecantikan wajah: Di sisi lain, penekanan pada kekuatan nilai tarangna jamentrang herang; halisna ngajeler paeh; estetika tari yang dinamis dengan intensitas socana seukeut moncorong; pipina ngadaun seureuh; pergerakan yang tinggi sangat mencerminkan gadona endog sapotong; pangambung kuwung- karakteristik kaum perempuan Sunda (mojang kuwungan; lambeyna kucup kastuba. Berkaitan Priangan) yang cantik, menarik, ramah, anggun, dengan cara berjalan: angkatna lir macan gemulai, gesit, lincah, dan memiliki daya tarik yang teunangan. menawan. Gambaran pesona mojang Priangan itu Bila ditarik lebih dalam, perempuan Sunda juga diungkapkan oleh Hj. Iyar Wiyarsih, seorang pada kisah-kisah mitologi pantun, wawacan, dan pesinden handal dalam lagu ciptaannya “Mojang sejarah ketokohan perempuan Sunda, seperti Priangan” berikut. Sunan Ambu, Dayang Sumbi, Dewi Asri, Dewi angkat ngagandeuang Sri, Kawung Anten, Nyi Mas Gandasari, dan bangun taya karingrang banyak lagi yang lainnya merupakan fi gur-fi gur nganggo sinjang dilamban perempuan Sunda yang diposisikan pada derajat Mojang Priangan yang tinggi. Gugum sangat terpesona oleh sosok perempuan Sunda, maka eksploitasi karakteristik umat-imut lucu perempuan Sunda sangat tercermin dalam karya sura-seuri nyari tari Jaipongan yang diciptakannya. larak-lirik keupat Mojang Priangan Beranjak dari itu, Gugum berupaya menggali lebih dalam tentang potensi seni, termasuk ruh Reff: diraksukan kabaya kasundaan-nya. Berkaitan dengan itu, dalam nambihan cahayana proses kerja kreatif ia melakukan penghayatan dangdosan seudeurhana terhadap tatanan kearifan tradisi, bergaul secara Mojang Priangan erat, berdialog, dan saling memberi dengan para seniman di lingkungan kehidupannya yang Lirik lagu di atas menggambarkan sosok menjadi pelaku dan pemilik kebudayaan. Penting perempuan Sunda yang bersahaja dengan busana untuk dipahami, karena ada penegasan bahwa

46 Vol. 14 No. 1, Juni 2013 nilai-nilai lama dalam suatu masyarakat sebenarnya Struktur Tari Jaipongan terus hidup di tengah-tengah perubahan nilai- Struktur garap yang disusun oleh Gugum nilai lainnya. Sebagaimana keberadaan fi gur diawali dengan bubuka, yakni awal tarian atau perempuan dalam pandangan semesta masyarakat introduksi tarian berdasar pada pola tepak kendang Sunda lama yang menduduki posisi bermartabat dan gending atau sebaliknya pola gerak yang diisi dan dimuliakan. oleh tepak kendang dan gending (berdasarkan Semua itu disempurnakan oleh aura sensuali- lagu dan gending atau sebaliknya). Kedua, tas keperempuanan yang menjadi sarinya (mama- bagian tengah diisi dengan pencugan yaitu berupa nis/pasieup; Sunda) yang orang kebanyakan jurus-jurus dari ibingan Penca (Penca kembang). menyebutnya dengan istilah 3 G (gitek, géol, Bagian tengah ini merupakan inti atau gerak dan goyang). Tiga G dalam konteks ini sangat pokok Jaipongan, dan sebagai sisipan atau gerak ditentukan oleh faktor kepribadian dari seorang peralihannya digunakan gerak mincid. Ketiga penari, karena yang akan terlihat dengan kasat adalah penutup, yakni dari pola-pola gerak sorong mata adalah apakah muncul dari sebuah kewajaran atau nyéréd, yang berpijak pada pola gerak Ketuk berdasarkan faktor penguasaan teknik menari atau Tilu pada bagian akhir (arang-arang dan nyorong muncul dari upaya eksploitasi yang bersifat verbal atau nyéréd) atau nibakeun. Pola-pola tersebut dan seronok. menjadi pijakan atau acuan dalam setiap tarian Penting dipahami mengenai hal ini, karena yang diciptakannya. Namun demikian pola- ada persoalan nilai yang berlaku dalam tatanan pola tersebut begitu lentur/atau elastis, sehingga budaya Sunda bahwa gerakan gitek, geol, dan memberikan peluang bagi kreator lainnya untuk goyang bukan semata-mata untuk mengumbar mengembangkan motif-motif dari pola tersebut. erotisme, sensualitas, dan seksualitas, tetapi Pada rentang waktu yang sudah lebih dari terkait dengan makna ”kesuburan”. Mengenai 30 tahun, Gugum Gumbira tercatat telah hal ini Sumardjo (2003: 99) menjelaskan, bahwa menciptakan repertoar tari sebanyak 13 buah pergerakan dari pusar adalah simbol kecerdasan, yaitu Rendeng Bojong, Keser Bojong, Setra Sari, sedangkan pinggul atau genital merupakan simbol Sonteng, Toka-Toka, Senggot, Bulan Sapasi, Iring- kreativitas.

Proses Kreatif Gugum Gumbira dalam Penciptaan Tari Jaipongan

Empat Sumber Utama, yaitu; 1. Penca/Maenpo (Pencak Silat); 2. Ketuk Tilu; 3. Topeng Banjet; 4. Bajidoran

Struktur Tari Jaipong: Bukaan, Pencugan, Nibakeun,dan

Pola Penyajian Pasangan Putra- Unsur integral lainnya, yaitu: 1. Iringan tari; 2. Rias- busana tari Karya Pra-Jaipongan “Ketuk Tilu Perkembangan”

Repertoar tari pertama dalam jenis pasangan putra-putri; “Rendeng Bojong” Repertoar Tari Bertema; 1. Kawung Anten; Repertoar Tari Tunggal Putra; 1. Pencug Bojong Repertoar Tari Pasangan; 1. Toka-Toka; 2. Ringkang Gumiwang

Repertoar Tari Tunggal Putri; 1. Keser Bojong; 2. Setra Sari; 3. Sonteng; Gambar 1. Bagan alur 4. Senggot; Pola penyajian repertoar tari Jaipongan yang berkembang penciptaan dan perkembangan 5. Bulan Sapasi; hingga saat ini dari karya-karya baru yang diciptakan oleh 6. Iring-Iring daun Puring; para kreator muda Pasca Gugum Gumbira Jaipongan 7. Rawayan; 8 Tawadu

47 NurLalanMariaChristianYohanes RochmatSahid RamlanOktavia Don Budiman,, Konvensi-Konvensi, , Bosko PewarisanRosianaJaipongan: dkk. Bakok Dewi Tari RetorikGenre, , MusikTopeng dalamMinimax, Tari dan Inkulturasif DramaGenerasigayaMakna Uwek-Uwek, Dermayon dandalam Ketinga GerejaTeater Film dan RendraGanjuran Opera 100 ABGJawa BaBu

Iring Daun Puring, Pencug Bojong, Ringkang Art in Indonesia: Continuities and Change Gumiwang, Rawayan, Kawung Anten, dan (Claire Holt, 1967), Old Javanese English Tawadu. Keseluruhan karya repertoar tari tersebut Dictionary (P.J. Zoetmulder, 1982), menunjukkan konsistensi penggunaan struktur Children of The Colonial State: Population koreografi yang sama, tetapi dalam bentuk Growth and Economic Develepment In penyajian yang bervariasi bersesuaian dengan lagu Java 1795-1880, 1989), Erotic Triangles: Sundanese Men’s Improvisational Dance in dalam karawitan tari yang mengiringinya, begitu West Java Indonesia (Henry James, 2001). pula dengan ditunjang oleh pengembangan Tulisan-tulisan tersebut pada umumnya penataan desain busana yang berbeda pada setiap memaparkan ronggeng sebagai perempuan repertoar tarinya (Gambar 1). penari kalangenan. Budaya ronggeng Apabila menelusuri perjalanan pembentukan dikelilingi banyak pria, dipuja, disanjung, genre tari Jaipongan diketahui bahwa: Pertama, atau juga dijadikan patner tidak saja di arena repertoar tari pertama yang diciptakan oleh pertunjukan, tetapi juga di atas ranjang. Gugum Gumbira merupakan tari pasangan (pa/ Penulis menemukan sebuah manuskrip pi) yang dinamai Ketuk Tilu Perkembangan. tentang peristiwa pendirian Sekolah Ronggeng di Penggunaan nama tersebut mengundang reaksi lingkungan Kraton Cirebon yang ditulis oleh J.A. keras dari para seniman tari tradisional masa van Middelkoop dengan judul “Reglement Van de itu. Walaupun pada akhirnya pihak yang tidak Tandak of Ronggeng Inholen te Cheribon (1809)”. setuju itu mengusulkan untuk menggantinya Manuskrip ini memuat sejumlah 22 pasal yang dengan nama lain yang lebih sesuai. Argumentasi dituangkan dalam 15 halaman, isinya meliputi; dari pihak yang tidak setuju mengatakan bahwa pemberian ijin pendirian tiga sekolah ronggeng nama Ketuk Tilu biarkanlah melekat sebagai di tiga Kraton Cirebon, penetapan lokasi, nama yang sudah mengidentitas dari sebuah penetapan kurikulum pembelajaran, penetapan bentuk kesenian yang sudah ada dan masih hidup persyaratan bagi siswa/murid, penetapan jadwal sebagai warisan tradisi masyarakat Sunda, yaitu pertunjukan, dan penetapan larangan membawa kesenian tradisional Ketuk Tilu. Kedua, Ketuk pergi ronggeng (Lalan Ramlan, 2008: 70-76). Tilu merupakan salah satu dari empat sumber Terutama yang paling menarik adalah pada Art 18 pembentukan struktur tari Jaipongan, dan tiga yang berbunyi: sumber lainnya adalah Penca/Maenpo (Pencak “Des morgens ten zeeven uuren zal het silat), Topeng Banjet, dan Bajidoran. Oleh karena oderwijs der kelass moedeen en leebees in het itu, mereka menyarankan agar karya Gugum leezeen schrij ven en den Koran etc een aan aanvangneemen en eerst, des middagsten Gumbira ini memiliki namanya sendiri yang baru elf uuren mogen eindigen terwijl des na de dan khas. middag van tween tot sessen, en in het zingen Kesenian Ketuk Tilu tersebut merupakan jenis en rongeng speel len gegeven zal moeten warden kesenian pergaulan/hiburan di kalangan rakyat, en zulks dagelijks except op feest of andere het sehingga memiliki bentuk penyajian dengan lingen dagen”. pola berpasangan, yaitu antara penari profesional perempuan (ronggeng) dengan penari partisipan Pasal ini berisi antara lain penetapan kurikulum (laki-laki/pria) dari kalangan penonton yang hadir seperti; pagi hari pelajaran menulis dan membaca pada acara tersebut. Profesi ronggeng telah banyak Qur’an dan adat istiadat Cirebon, sore hari nyanyi ditulis oleh para ahli sebagaimana disampaikan dan Tari Ronggeng”. Berdasarkan keterangan Endang Caturwati (2006: 2-3) berikut. di atas ada beberapa catatan penting yang perlu Ronggeng merupakan fenomena budaya dicermati, antara lain isi kurikulum pada sekolah yang banyak disinggung dalam berbagai ronggeng jelas mencerminkan citra profesi tulisan, antara lain; Kidung Sunda (Karya ronggeng yang bermartabat, karena dibekali sastra Jawa Tengahan, 1500-an); Serat dengan pendidikan, keagamaan (Islam), keahlian Centhini (1814), Ronggeng Dukuh Paruk menyanyi dan menari, serta wawasan budaya adat- (Novel, Ahmad Tohari, 2004), The History istiadat Cirebon. Hal ini sangat berbeda dengan of Java (Thomas Stamford Raffl es, 1817), yang dilukiskan oleh para penulis sebelumnya

48 Vol. 14 No. 1, Juni 2013 yang menggambarkan keadaan ronggeng pasca tahun 1809. Disebutkan oleh Raffl es (1965: 381), bahwa …Their conduct is generally so incorrect, as to render the title of ronggeng and prostitute synonym- ous … Dengan demikian, persoalan dunia ronggeng yang selama ini lebih banyak diekspose citra negatifnya perlu dikaji ulang. Hal ini penting segera dilakukan, agar pemahaman masyarakat terhadap profesi Ronggeng menjadi utuh. Citra positif ronggeng yang selama ini belum tergali oleh para pengamat atau peneliti tari ternyata telah ditangkap sejak lama oleh Gugum Gumbira. Gambar 2. Gugum Gumbira dan Ta Saleh dalam Potensi daya pukau/pesona ronggeng ia temukan repertoar tari Rendeng Bojong (Foto: Koleksi Jugala, 1980). dalam Ketuk Tilu, Topeng Banjet, dan Bajidoran, sedangkan dari Penca/Maenpo (Pencak Silat) ia temukan jurus-jurus kunci yang melengkapi gambaran kegesitan seorang ronggeng ketika menari dalam menghindar, menekan, mendorong, dan membuka peluang para lelaki untuk masuk, tetapi akan dikunci apabila melakukan gerakan- gerakan yang membahayakan dirinya. Dalam hal ini Gugum melihat seorang ronggeng bagai seorang pesilat (jawara) perempuan. Terkait dengan hal itu Sumardjo (2006: 92) menjelaskan, bahwa: Seni adalah cahaya atas realitas. Realitas yang selama ini kita nilai biasa dan rutin, tiba-tiba diberi cahaya baru sehingga Gambar 3. Gugum Gumbira dkk., dalam Ketuk Tilu nampak sesuatu yang tak kita lihat selama Perkembangan (Foto: Koleksi Jugala, 1978). ini. Realitas nampak baru, nampak jelas, nampak punya kedalaman, nampak lebih Ketegangan akibat pro dan kontra dari masya- benar. Seni pada awalnya pertemuan rakat Sunda, terutama para seniman konservatif sebuah kebenaran atas realitas. Kebenaran dalam menyikapi kehadiran tari olahannya itu itu selama itu tersembunyi di balik realitas. pada akhirnya disikapi dengan arif dan bijak oleh Setiap orang barangkali dapat mengalami Gugum Gumbira. Ia bahkan memosisikan sebagai peristiwa semacam itu, tetapi tetap tersimpan sebuah tantangan untuk segera menemukan bagi dirinya. Seorang seniman, ilmuan, nama yang lebih tepat. Selang beberapa tahun fi lsuf, agamawan, dapat mewujudkan dalam simbol-simbol. Untuk itu diperlukan beredarlah sebuah nama yang langsung populer keterampilan teknik dan kecerdasan cara di tengah-tengah kehidupan masyarakat Sunda mewujudkannya. Dan kalau orang itu yaitu Jaipong. Repertoar tari pertama yang cukup terampil, terlatih dan cerdas, maka diluncurkan diberi nama Rendeng Bojong dina ia akan bisa cepat mewujudkannya dalam lagu Banda Urang. Nama tarian ini dalam waktu bentuk benda. singkat dikenal di seluruh Jawa Barat, bahkan melampaui popularitas dua genre tari yang sudah Pola penyajian berpasangan terutama dalam ada sebelumnya, yaitu; genre tari Keurseus dan Ketuk Tilu itulah, yang masih kental diadopsi ke genre tari Kreasi Baru (Gambar 3) dalam tari Ketuk Tilu Perkembangan, nama yang dipakai saat itu.

49 NurLalanMariaChristianYohanes RochmatSahid RamlanOktavia Don Budiman,, Konvensi-Konvensi, , Bosko PewarisanRosianaJaipongan: dkk. Bakok Dewi Tari RetorikGenre, , MusikTopeng dalamMinimax, Tari dan Inkulturasif DramaGenerasigayaMakna Uwek-Uwek, Dermayon dandalam Ketinga GerejaTeater Film dan RendraGanjuran Opera 100 ABGJawa BaBu

Perkembangan penciptaan tari Jaipongan ini, tidak saja menunjukkan perubahan pada koreografi nya saja tetapi juga pada desain busana.

Struktur Koreografi Tari Struktur Koreografi tari dibangun oleh empat fase ragam gerak, yaitu; bukaan, pencugan, nibakeun, dan mincid. Bukaan yaitu fase ragam gerak awal, biasanya dimulai setelah goong dan diadopsi dari ragam gerak awal dalam tarian Ketuk Tilu dan Bajidoran. Fase bukaan ini Gambar 4. Penari Jugala dalam Repertoar tari Rawayan di dalamnya terdiri dari gerak-gerak, seperti repertoar (Foto: Koleksi Jugala, 2006) misalnya; kuda-kuda pasang, luncat, depok, dan sebagainya. Kemudian pencugan yaitu fase ragam gerak yang lebih merupakan permainan jurus yang sudah distilasi untuk kebutuhan tari (gerak ini bisa dilakukan di tempat maupun berpindah tempat), lazimnya disebut gerak pokok atau ibing pola, misalnya, besot, siku, bandul, tajong, jérété, peupeuh, dan sebagainya. Nibakeun yaitu ragam gerak yang merupakan rangkaian gerak akhir atau sering disebut ngagoongkeun (gerak penutup), misalnya galieur, godeg, jeblag, jedag, dan sebagainya. Untuk menggabungkan berbagai fase ragam gerak tersebut dipakai fase ragam gerak mincid, seperti: kuntul longok, girimis, adu manis, ban karét, kulawit, bongbang, dan sebagainya. Semua ragam gerak itu menjadi kerangka dasar dalam konstruksi bangunan Jaipongan, sehingga secara struktural memiliki awalan, tengah, dan penutup. Ketiganya dipertautkan dengan gerak penghubung. Bentuk garapan Jaipongan pada umumnya disajikan secara tunggal dan berpasangan, serta memiliki warna mandiri yang khas baik dari sisi koreografi , iringan, dan rias busananya. Jaipongan yang diciptakan oleh Gugum Gumbira Gambar 5. Mira Tejaningrum dalam repertoar Tari dikembangkan dan disebarluaskan melalui Kawung Anten (Foto: Koleksi Jugala, 2006) Padepokan Seni Jugala, serta Jugala Record. Secara konseptual Gugum telah mampu berbuat sesuatu Beberapa karya selanjutnya yang diciptakan untuk kepentingan orang banyak. Kesemuanya Gugum ada yang masih mempertahankan jenis itu digali dari fenomena-fenomena yang tengah penyajian tari berpasangan, seperti; Toka-Toka terjadi. Kemunculan karya Jaipongan ini adalah dan Ringkang Gumiwang. Akan tetapi mayoritas sebuah jawaban atas kefakuman kreatifi tas yang repertoar tari yang diciptakannya berjenis tari terjadi pada dekade tahun 70-an di Jawa Barat. tunggal, baik putra yang hanya ada satu yaitu Hal ini Ia jadikan peluang untuk mengisi dan Penjug Bojong, maupun putri seperti; Keser menawarkan suatu karya baru yang berorientasi Bojong, Setra Sari, Iring-Iring Daun Puring, pada seni tradisi yang pernah digemari oleh rakyat Sonteng, Senggot, Rawayan, dan Tawadu. Satu- Jawa Barat. satu karya yang bertema, yaitu Kawung Anten.

50 Vol. 14 No. 1, Juni 2013

Fleksibilitas struktur tari Jaipongan bisa dilihat Barmaya, Samin, dan Tosin, lalu disuruh setiap repertoar tarinya, misalnya: Rendeng Bojong, menampilkan kebolehannya dalam menabuh Toka-Toka, Iring-Iring daun Puring, Senggot, dan kendang yang diiringi dengan gamelan oleh ketiga Ringkang Gumiwang dimulai dengan mincid; orang tersebut. Rupanya apa yang dilakukan oleh Keser Bojong dimulai dengan bukaan; Sonteng, Setra Suwanda sangat terbiasa dalam pertunjukan Sari, dan Pencug Bojong dimulai dengan pencugan, Kiliningan, Tanjidor dan Topeng Banjet yang kaya sedangkan nibakeun, karena posisinya sebagai akan motif tepak kendang dalam irama tradisi, ragam gerak penutup menuju goong, posisinya namun ternyata tetap tidak merubah struktur lagu pada setiap repertoar tari akan ditentukan oleh atau gending. posisi goongan. Melihat hal demikian terbukalah pandangan Nandang Barmaya, Tosin, dan Samin untuk mulai Karawitan Tari memahami keinginan Gugum. Dalam pikiran Proses pembuatan atau penyusunan gending mereka sudah saatnya mengadakan pembaharuan, tari berjalan agak rumit dan memakan waktu yang sebab pada hakekatnya apa yang dilakukan lama, karena adanya perbedaan visi dan persepsi bukan suatu perusakan tetapi merupakan yang mendasar antara Gugum Gumbira dengan pengembangan. Akhirnya timbul gagasan baru para penata gending yaitu Nandang Barmaya dari keempat orang tersebut, Suwanda dan Tosin yang dibantu oleh Tosin dan Samin. Pada awalnya berupaya untuk menghadirkan motif-motif baru mereka tidak mengerti keinginan Gugum, hal pada tepak kendang, sementara Nandang Barmaya ini didasari oleh beberapa kaidah gending yang dan Samin berupaya untuk mengembangkan mereka anggap sudah baku dan tidak mungkin dan menciptakan gending-gending yang baru untuk diubah. Pola irama yang dipaksakan pula, yang selanjutnya diselaraskan dengan untuk mengikuti ritme gerak dipandang akan konsep tarinya. Sejak saat itulah terjadi jalinan merusak pakem-pakem tradisi, sehingga terjadi komunikasi yang konvergen antara Gugum dengan tarik menarik antara konsepsi Gugum dengan para penggarap gendingnya. penata gendingnya. Pada satu pihak Gugum Ternyata para penggarap gending yang menghendaki bahwa gending sebagai pengiring dipercaya Gugum Gumbira tersebut merupakan mampu mengiringi konsep geraknya, di sisi lain seniman-seniman yang handal. Ini tampak pada ia menekankan bahwa sudah saatnya berani ke garap awal gending Jaipongan tersebut yang luar dari pakem-pakem yang sudah ada. Pada mencuatkan warna baru dalam kancah kreativitas awalnya nampak terjadi kebuntuan dalam karawitan Sunda. Pola gendingnya terdiri atas penuangan idenya tersebut karena para penata intro, bagian tengah, dan gending penutup. karawitan belum mampu menterjemahkan Bagian intro merupakan terobosan baru sebagai apa yang dikehendakinya. Akhirnya gending pengganti karawitan arang-arang dalam Ketuk belum mewadahi konsep garapnya. Walaupun Tilu. Bagian ini memberikan peluang bagi terbentuk, masih terlihat unsur pemaksaan. Gugum untuk menampilkan teknik muncul atau Gugum memberikan nama dengan sebutan Ketuk gebrakan awal dalam tariannya. Pada sisi lain Tilu Perkembangan. Dikatakan demikian, karena ini memberikan peluang bagi penabuh kendang secara koreografi telah terjadi pembaharuan, untuk menampilkan kebolehannya. Gugum pun sementara gending untuk mengiringi tariannya begitu kompromis dengan para penata gendingnya belum beranjak dari bentuk tradisi. termasuk mendiskusikan judul lagu. Pada saat itu Rupanya Gugum perlu mencari alternatif lain lagu yang ditetapkan adalah Daun Pulus Keser dalam pembaharuan gendingnya ini. Dia mencari Bojong, tetapi tariannya diberi nama Keser Bojong. seniman lain sebagai pendukung tambahan. Ketika Ini merupakan momentum yang paling penting sedang melihat suatu pertunjukan Kiliningan, dalam penciptaan Jaipongan setelah melalui proses dia melihat seorang penabuh kendang yang panjang, yang sebelumnya belum menemukan dari sisi usia masih muda dan memiliki potensi bentuk yang diinginkan hingga terpaksa diberi dalam keterampilan memainkan kendang, yaitu nama Ketuk Tilu Perkembangan. Dengan kata Suwanda dari Karawang. Suwanda dipertemukan lain, Keser Bojong merupakan bentuk paling awal kepada para penata gending seperti: Nandang dari genre tari Jaipongan.

51 NurLalanMariaChristianYohanes RochmatSahid RamlanOktavia Don Budiman,, Konvensi-Konvensi, , Bosko PewarisanRosianaJaipongan: dkk. Bakok Dewi Tari RetorikGenre, , MusikTopeng dalamMinimax, Tari dan Inkulturasif DramaGenerasigayaMakna Uwek-Uwek, Dermayon dandalam Ketinga GerejaTeater Film dan RendraGanjuran Opera 100 ABGJawa BaBu

Perkembangan selanjutnya justru menempat- Karakternya tampak terasa muncul, bahkan tidak kan kekuatan karya Gugum Gumbira dalam menganggu watak dan sifat tariannya. Gending Jaipongan adalah terletak pada gendingnya. Jaipongan sangat elastis dan terbuka untuk diterima Gending bukan hanya sekedar penunjang tarian oleh jenis kesenian tradisi apapun, seperti; tetapi merupakan salah satu aspek yang dapat kulit, campur sari, atau pun musik Bali, termasuk menandakan identitas Jaipongan itu sendiri. dalam jenis yang bernuansa pop, jazz, dan seni Bahkan gending dapat dikatakan lebih dominan modern lainnya. sebagai penanda atau ciri jaipongan, karena ketika Gamelan Jaipongan menggunakan gamelan suatu penampilan Jaipongan hanya menampilkan lengkap, seperti Bonang, Saron, Demung, Peking, tariannya saja maka identitas Jaipongan tersebut Rincik, Gong, Kempul, Kendang, dan Rebab, menjadi tidak jelas. Sebaliknya, ketika Jaipongan ditambah dengan kecrek. Pada awalnya laras disajikan gending saja, secara auditif Jaipongan yang digunakan adalah salendro, namun pada akan tetap nampak. perkembangan lebih lanjut, terutama para kreator Kelebihan lain dalam Jaipongan adalah warna Jaipong setelah era Gugum Gumbira, ada yang tepak kendang yang bagitu variatif dan dinamis, menggunakan gamelan berlaras pelog. sehingga merangsang orang yang mendengarkan Kalau dicermati secara seksama ada beberapa untuk mengikuti irama kendang. Gugum mampu ciri yang membedakan antara menabuh pada memadukan pola tepak kendang gaya Kaleran dan gamelan Jaipongan dengan menabuh pada gamelan gaya Priangan (Bandung), yakni menggabungkan untuk tari lainnya, yaitu terletak pada tabuhan tiga pola tepak teknik melem g-nya Priangan dan teknik waditra yang terdapat pada perangkat gamelannya, pencug gaya Karawang dan Subang. Pengaruhnya seperti: Kendang, Bonang, dan Kempul. Menurut pada pembawaan lagu yang dibawakan oleh Suwanda dan Dali (2008) motif-motif tepak pesinden sangat terasa pada cengkok lagu di akhir kendang Jaipongan terinspirasi oleh idiom-idiom sebuah goongan, dalam hal ini Nano S 2007: 128) kesenian yang telah ada, seperti Kiliningan, Ketuk menjelaskan berikut. Tilu, Topeng Banjet, maupun Pencak Silat”. ”Bandung punya buntut dan Karawang Kendang secara umum termasuk kepada menjadi buntet. Mengapa demikian, dengan waditra yang memainkan ritmis, berfungsi teknik menabuh pelem, kendang lebih untuk mengatur irama dan tempo, serta sebagai banyak mengatur tempo agar tetap ajeg aksentuasi atau penegas ritme gerak apabila gending melalui pukulan yang halus sehingga rasanya menjadi pelem (enak, gurih, nikmat). Ini yang disajikannya sebagai iringan tari. Dengan akan mengantar sinden dalam membawakan demikian permainan atau tabuhan Kendang sama lagu yang mengalun panjang, dan pada sekali tidak berpengaruh kepada aspek nada dan bagian akhir lagu walau sudah dibatasi melodi dari lagu yang disajikan. Artinya, tabuhan dengan aksen tabuh gong besar suaranya Kendang tidak berkaitan dengan lagu apa yang masih berbuntut panjang, akan tetapi dalam disajikannya, tetapi hanya berkaitan dengan irama Jaipongan dari hentakan kendang yang dalam lagu yang disajikan. Bunyi Kendang Sunda kadang lebih menggumuli lagu, pesinden memiliki beberapa ketentuan yang berkaitan menjadi agak terkekang temponya terutama dengan pengaturan nada. Frekuensi bunyi kendang pada bagian lagu yang mendekati jatuhnya disesuaikan dengan frekuensi nada-nada tertentu gong, yang akhirnya menjadi buntet. Itulah yang terdapat pada waditra gamelan pengiringnya sebabnya, yang menyebabkan Gugum walaupun tidak disusun menjadi sebuah laras. dalam tari Jaipongnya cenderung memilih lagu-lagu yang berirama hiji setengah, dua Berangkat dari pernyataan di atas, waditra wilet dan lalamba”. (instrumen) kendang yang akan dimainkan harus disesuaikan terlebih dahulu dengan waditra atau Pola irama itu embat-nya cenderung lambat, nada-nada tertentu agar suara kendang yang muncul namun tepak kendangnya cenderung menghentak- selaras dengan gamelan yang mengiringinya. Lili hentak, penuh energi. Volume dan aksen bunyi Suparli (2008) menjelaskan bahwa ada lima berlawanan dengan karakter tarian yang halus, ketentuan atau lima cara steman kendang yang apalagi dibungkus dengan tepak kendang yang biasa digunakan oleh para pengendang Sunda bertenaga dan cenderung menghentak-hentak. yaitu, steman kendang pola 1, 2, 3, 4, 5. Kendang

52 Vol. 14 No. 1, Juni 2013

Jaipongan termasuk pada larasan pola 5 yaitu: Muka kendang kutiplak (muka kendang kecil atau Katipung Kulante Kutiplak anak bagian atas) di-stem pada nada Singgul (5/la) oktav tinggi (sama dengan nada singgul Alit (5/la) Congo pada waditra saron) laras salendro. Muka kendang kemprang/congo (muka kendang besar atau indung bagian atas), di-stem pada nada panelu (3/na) atau Gedug loloran (2/mi) oktav standar (sama dengan nada loloran (2/mi) atau panelu (3/na) pada waditra Kendan g saron) laras salendro. Muka kendang katipung/ Gambar 6. Perangkat kendang Sunda kentrung (muka kendang kecil atau anak), distem (Foto: Koleksi Lili Suparli, 2009) pada nada galimer (4/ti) oktav standar (sama dengan nada galimer (4/ti) pada waditra saron) laras salendro. Muka kendang gedug (muka ti) oktav tinggi (sama dengan nada Galimer (4/ti) kendang besar atau indung bagian bawah) oleh pada waditra peking). para pengendang biasanya distem atau disesuaikan Frekuensi di atas didasari oleh kebutuhan dengan nada galimer (4/ti) laras salendro. estetika tabuhan kendang Jaipongan yang Selain digunakan untuk mengiringi gending disesuaikan dengan fungsi utama tabuhan Jaipongan, larasan kendang pola 5 juga digunakan kendang, yaitu mengatur tempo, dinamika dan untuk mengiringi Wayang Golek. Untuk memun- mempertegas aksentuasi gerak tari. Oleh karena cul kan bunyi yang ideal pada steman kendang pola itu bunyi kendang yang telah diatur seperti di 5 ditentukan oleh ukuran kendang yang khusus, atas dipadukan pula dengan pola-pola ritme yaitu ukuran kendang besar dengan panjang antara yang dibutuhkan untuk mengisi ritme gerak tari. 65 cm sampai 70 cm dengan diameter muka gedug Menurut Lili Suparli (2008) perpaduan itulah (muka kendang bagian bawah) 35 cm sampai 40 yang kemudian menjadi sebuah estetika garap cm, dan muka kemprang/congo (muka kendang kendang jaipongan, yang selanjutnya disebut bagian atas) berdiameter antara 20 cm sampai dengan Tepak Kendang Jaipongan, sebagai 25 cm, sedangkan ukuran kulanter (kendang kreativitas baru dalam garap kendang Sunda”. kecil atau anak) yang biasa dipergunakan untuk Munculnya motif tepak kendang Jaipongan kutiplak (muka bagian atas), dan katipung (muka tersebut terinspirasi dan digali dari kesenian- bagian bawah) panjangnya antara 35 cm sampai kesenian yang telah ada, untuk hal ini Suwanda 40 cm, dengan diameter muka kutiplak (muka dan Dali (seperti yang dituturkan kepada Gugum bagian atas) antara 12 cm sampai 15 cm, dan Gumbira) mengatakan, bahwa motif-motif tepak muka katipung (muka bagian bawah) berdiameter kendang Jaipongan terinspirasi oleh idiom-idiom antara 18 cm sampai 20 cm. kesenian yang telah ada, seperti Kiliningan, Ketuk Steman bunyi kendang dan ukuran kendang Tilu, Topeng Banjet, maupun Pencak Silat. Jaipongan memiliki ketentuan khusus yang Bonang adalah salah satu waditra yang terdapat berbeda dengan steman dan ukuran kendang pada seperangkat gamelan, baik yang berlaras lainnya. Perbedaan tersebut memunculkan bunyi salendro maupun laras pelog. Cara memainkan atau kendang yang berbeda dan khas. Dilihat dari motif tabuhan yang biasa dimainkannya adalah ukuran frekuensi bunyi dalam kendang Jaipongan, dikemprang, digumek, dan lain-lain. Meskipun terutama kemprang/congo (muka kendang besar cara memainkannya berbeda atau tidak sama atau indung bagian atas), memiliki frekuensi bunyi seperti alat lainnya. Kehadiran bonang menjadi yang sama dengan frekuensi bunyi kemprang/ satu komposisi yang padu dalam pertunjukannya congo (muka kendang besar atau indung bagian seperti dikemukakan Nano. S (2006: 96) berikut. atas) kendang Penca, yaitu memunculkan bunyi Lagam gending (style) antar waditra yang berfrekuensi tinggi. Pada perkembangan gamelan menjadi satu komposisi yang padu selanjutnya frekuensi bunyi kemprang (muka dalam pagelarannya. Lagam-lagam itu bagian atas) kendang Jaipongan oleh para mempunyai motif tabuh secara tersendiri pengendang disesuaikan dengan nada Galimer (4/ yang berlainan dengan waditra lain, seperti

53 NurLalanMariaChristianYohanes RochmatSahid RamlanOktavia Don Budiman,, Konvensi-Konvensi, , Bosko PewarisanRosianaJaipongan: dkk. Bakok Dewi Tari RetorikGenre, , MusikTopeng dalamMinimax, Tari dan Inkulturasif DramaGenerasigayaMakna Uwek-Uwek, Dermayon dandalam Ketinga GerejaTeater Film dan RendraGanjuran Opera 100 ABGJawa BaBu

yang terjadi di wilayah Pasundan bahwa Tata Busana Tari dalam teknik menabuh bonang dan rincik Busana tari Jaipongan tampak memancarkan pada gamelan Sunda bermacam-macam warna baru, yang bahan dasarnya diangkat dari tabuh, di antaranya dicaruk, dikempyang, busana masyarakat pahumaan, yakni kabaya dipancer, digumek, dicacag, dan lainnya. dan sinjang bagi wanita. Biasanya apabila kaum wanita memakai sinjang dan kabaya bergerak Namun demikian dalam gending Jaipongan, pelan dan penuh ke hati-hatian, ini disebabkan tabuhan bonang memunculkan tabuhan khusus oleh terbatasnya ruang gerak karena bagian bawah yang mengadopsi dari tabuhan ketuk pada mengekang keleluasan bergerak. Busana kabaya pertunjukan Ketuk Tilu dan pertunjukan Topeng dan sinjang dalam tari Jaipongan memberikan Banjet, sedangkan alat yang dipergunakannya keleluasaan untuk bergerak, karena pola busananya hanya tiga buah, yaitu nada 5 (la alit), 3 (na) 2 (mi). didesain dengan tidak menutup ruang gerak. Walaupun terdapat motif tabuhan dikemprang Terlebih pada busana penari wanita, merupa- tetapi tabuhan tersebut hanya dipergunakan kan pengembangan dari busana pesinden Klining- pada bagian gelenyu atau pangjadi (bagian lagu an Bajidoran baik dari sisi bentuk maupun warna- awal sebelum masuk pada lagu pokok). Untuk nya yang oleh Gugum Gumbira diberi warna mengiringi lagu pokok biasanya tabuhan bonang lain serta aksen melalui pengayaan ornamen. dicacag, sehingga tabuhan bonang tersebut bisa Hasilnya adalah munculnya busana berkarakter dikatakan ciri dari gending Jaipongan. yang sesuai dengan jiwa tarian, dan sekaligus Kehadiran (bunyi atau tabuhan) kempul atau memberikan kesan jati diri kasundaan. Menurut goong kecil dalam pertunjukan Jaipongan menjadi Soejanto Poespo Wardojo (1986: 30), pola salah satu yang dominan, bahkan hampir sama pengembangan busana seperti yang dilakukan dominannya dengan tabuhan bonang maupun oleh Gugum Gumbira pada tari Jaipongan masih tabuhan kendang. Menurut Suparli (2008) memperlihatkan lokal genius, yaitu adanya unsur- permainan kempul dalam Jaipongan selain sebagai unsur atau ciri-ciri tradisional yang mampu penanda irama yang dimainkan, juga berfungsi bertahan, bahkan memiliki kemampuan untuk sebagai aksen dari ritme tabuhan kendang. Artinya, mengakomodasi unsur-unsur budaya dari luar bunyi atau tabuhan kempul dalam Jaipongan serta mengintegrasikannya dalam kebudayaan sangat berbeda dengan tabuhan-tabuhan dalam asli. Namun demikian, dalam perkembangannya pertunjukan lainnya. Pada tarian Keurseus, busana Jaipongan mengalami perubahan sesuai Topeng, Wayang, Kreasi Baru, misalnya, fungsi kebutuhan repertoar tari yang diciptakan Gugum bunyi kempul hanya penanda irama, tetapi dalam Gumbira. Hal ini terlihat, terutama repertoar tari Jaipongan bunyi atau tabuhan kempul selain sebagai Sonteng, Rawayan, dan Kawung Anten. penanda irama juga berfungsi sebagai aksen dari ritme bunyi kendang. Bahkan Gugum Gumbira (2008) menambahkan bahwa motif atau tabuhan Penutup kempul dalam Jaipongan terilhami oleh permainan Jaipongan yang diciptakan Gugum Gumbira bass gitar dalam pertunjukan musik’. Hal ini merupakan hasil upaya kreatif yang dilandasi mengakibatkan irama dalam Jaipongan menjadi oleh pemahamannya terhadap berbagai tatanan dinamis (selain tabuhan kendang dan bonang) nilai kearifan lokal tradisi masyarakat Sunda, dan dengan motif tabuhan kempulnya, di samping meramunya dalam cita rasa masyarakat kota/ itu dipertegas pula oleh bunyi kecrek. Dengan urban. Sikap kritis Gugum terhadap karya-karya demikian para penata gending yang dipercaya tari Sunda sebelumnya menghasilkan kinestetika oleh Gugum telah mampu menghasilkan karya tari baru dalam perkembangan seni pertunjukan baru dengan warna yang begitu spesifi k, dalam arti tari Sunda karena lebih merupakan sebuah sangat berbeda dengan pola gending tari rakyat proses pencarian makna keindahan baru atau sebelumnya yang pada gilirannya mewarnai pola dekonstruksi kinestetika tari Sunda yang selama irama gending atau karawitan Sunda lainnya. ini berlatar budaya priyayi/menak.

54 Vol. 14 No. 1, Juni 2013

Latar budaya yang menekankan pada tatanan (Eds.) Gugum Gumbira: Dari ChaCha ke nilai etika dan estetika tari egaliter yang khas, Jaipongan. Bandung: Sunan Ambu Press: yaitu menghasilkan sebuah konstruksi tari pada 123-132. Jaipongan dengan struktur tari yang simpel, Poespo Wardojo, Soejanto. 1986. Pengertian Local dinamis, enerjik, dan maskulin. Begitu pula Genius dan Relevansinya dalam Modernisasi. dengan kehadiran unsur lain yang menjadi bagian Jakarta: Pustaka Jaya. integral dalam Jaipongan, seperti iringan tari, tata Ramlan, Lalan. 2008. Tayub Cirebonan: Artefak busana, dan artistik lainnya. Konstrukti tari seperti Budaya Masyarakat Priyayi. Bandung: Sunan itu telah menjadi identitas baru tari Sunda bagi Ambu Press. masyarakat Jawa Barat hingga saat ini. Itu berarti bahwa melalui Jaipongan, Gugum Gumbira telah Rohidi, Tjetjep Rohendi. 2011. Metodologi mampu membangun dinamika kehidupan seni Penelitian Seni. Semarang: Cipta Prima pertunjukan tari Sunda. Oleh karena itu, dalam Nusantara. perkembangan seni pertunjukan tari Sunda, Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung: Jaipongan dan Gugum Gumbira Tirasondjaya ITB. sebagai penciptanya selayaknya diposisikan ______. 2003. Simbol-Simbol Artefak Budaya sebagai sebuah genre tari dan seniman pembaharu Sunda. Bandung: Kelir. generasi ketiga. ______. 2006. Estetika Paradok. Bandung: Sunan Ambu Press. Kepustakaan R.M. Soedarsono. 1999. Metodologi Penelitian Caturwati, Endang. 2006. Perempuan & Ronggeng Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Bandung: Di Tatar Sunda: Telaahan Sejarah Budaya. MSPI. Bandung: Pusat Kajian LBPB. Mulyana, Edi, dan Lalan Ramlan. 2012. Tari Informan Jaipongan. Bandung: Jurusan Tari STSI Askin (78 th.) Seniman Gokgik. Tinggal di Bandung. Karawang. ______. 2012. “Keser Bojong: Idealisasi Euis Komariah (65 th). Istri Gugum Gumbira. Pencitraan Jaipongan Karya Gugum Gumbira” Tinggal di Jalan Kopo, 17 Bandung dalam Jurnal Seni dan Budaya PANGGUNG. Gugum Gumbira (68 th.). Seniman. Tinggal di Vol. 22 No. 1. Januari-Maret 2012, 37-51. Jalan Kopo, 17 Bandung. Nano, S., 2007, “Nang Neng Nong … Jaipongan” Lili Suparli (46 th.). Seniman dan akademisi dalam Endang Caturwati dan Lalan Ramlan Karawitan.

55