View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk brought to you by CORE

provided by Crossref

AROK DEDES DAN : TRANSFORMASI DAN DINAMIKA SASTRA DALAM WACANA GLOBALISASI SASTRA Arok Dedes and Pararaton: Transformation and Literary Dynamism in Literary Globalization Issues

Trisna Kumala Satya Dewi

Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Jalan Dharmawangsa Dalam Selatan 2A Surabaya, pos-el: [email protected]

(Makalah diterima tanggal 22 Oktober 2012—Disetujui tanggal 24 April 2013)

Abstrak: Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer (1999) merupakan sebuah potret dinamika sastra sebagai akibat transformasinya dari karya terdahulu, yaitu Pararaton karya sastra Jawa Kuna yang termashur. Novel Arok Dedes, dalam hal relevansinya dengan konteks sejarah pun, merupakan suatu gejala sastra yang dinamis sebab dinamika sastra tidak terlepas dari sejarah. Dalam novel Arok Dedes, lewat kepiawaian dan proses kreatifnya, Pramoedya Ananta Toer ber- usaha mengungkapkan kembali peristiwa pada abad ke-13 sebagai sebuah sindiran untuk pe- ristiwa masa kini, khususnya pada abad 20-an. Arok Dedes mengisahkan perebutan kekuasaan pertama dalam sejarah bangsa Indonesia, yang konon merupakan pengulangan peristiwa masa lalu. Pramoedya Ananta Toer sebagai pengarang Arok Dedes cukup berhasil dalam mengangkat ’mitos’ Dedes dan mengungkapkannya dalam wacana globalisasi. Peran Dedes cukup menonjol da- lam percaturan politik, kekuasaan, dan negara sebab Dedeslah penyusun strategi pemindahan ke- kuasaan dari suaminya (Tunggul Ametung) ke tangan Arok. Mitos tentang yang me- miliki kharisma ’kebesaran’ atau ’prabawa’ (kewibawaan) yang digali oleh Pramoedya Ananta Toer dari Pararaton ini menjadikan Arok Dedes sebagai karya sastra modern yang patut disimak, khususnya dalam wacana globalisasi sekarang ini. Dedes, sebagai sosok perempuan, berkaitan dengan kekuasaan, politik, dan kenegaraan.

Kata-Kata Kunci: transformasi, wacana, globalisasi

Abstract: Pramoedya Ananta Toer’s Arok Dedes (1999) is a potrait of literary dynamics as the re- sult of its transformation from the previous work, namely Pararaton – an outstanding literary work of old . The novel of Arok Dedes, in its relevance with historical context, means a dynamic litera- ry phenomenon because the literary dynamics cannot be separated from history. In the novel Arok Dedes, through his creative sophistication and process, Pramoedya Ananta Tour attempted to retell the 13th century of event as a satire on present events, especially in the 20th century. Arok Dedes narrated the struggle for the first power in Indonesian history, which is a repetition of preceding events. Pramoedya Ananta Tour, as the author of Arok Dedes, was successful enough in presenting Dedes’ myth and expressing it in globalization discourses. The role of Dedes was noteworthy in poli- tical domain, power, and state because Dedes was the mastermind of power transfer from her hus- band (Tunggul Ametung) to Arok. The myth of Ken Dedes having prestige or wisdom dug by Pramoedya Ananta Tour from Pararaton makes Arok Dedes a significant modern literary work, particularly in the current globalization discourses. Dedes, as woman figure, was related to power, politics, and state.

Key Words: transformation, discourse, globalization

119 ATAVISME, Vol. 16, No. 1, Edisi Juni 2013: 119—128

PENDAHULUAN keistimewaan (prabhawa) yang dapat Pramoedya Ananta Toer (1999) melalui mengangkat setiap laki-laki yang men- proses kreatifnya (kepengarangannya) dampinginya sebagai suami. Dalam ke- berusaha mengungkapkan kembali pe- rangka globalisasi sastra, mitos Ken ristiwa sekitar abad ke-13 sebagai sebu- Dedes dalam Pararaton cukup menarik ah sindiran (satire) sejarah masa kini untuk diangkat sebagai sebuah wacana (abad 20-an) yang konon menurut sang dalam Arok Dedes. pengarang berulang lagi; yaitu sebuah kudeta kekuasaan.1 ‘Kisah Arok Dedes’ TEORI ini merawikan peristiwa kudeta pertama Transformasi dan Dinamika Sastra dalam sejarah Nusantara. Dalam rangka memahami sebuah teks Pararaton atau Katuturanira Ken sastra, penting dipertimbangkan karya- Arok merupakan karya anonim. Parara- karya terdahulu yang memungkinkan ton diperkirakan berasal dari peristiwa berbagai efek signifikasi (Culler, saat Ken Dedes bercengkerama dengan 1981:103). Dalam menghadapi sebuah suaminya, Tunggul Ametung, di sebuah teks, pembaca dibatasi oleh berbagai taman bernama Boboji. Pada saat itu, ti- ikatan sebagaimana dikatakan oleh ba-tiba datang angin kencang yang me- Culler, “Reading is not innocent activity”. nyingkapkan kain Ken Dedes hingga ke- Keterikatan dan keterbatasan ini dise- lihatan betis dan pahanya, bahkan jauh babkan oleh sarana untuk mewujudkan ke ujung yang disebut Pararaton atau teks itu sendiri, yakni bahasa yang sebe- ‘rahasianya’. Pada saat itu, be- lum dipakai oleh penulis sudah merupa- kerja sebagai tukang kebun istana dan kan sistem tanda (Sardjono, 1987:38). menyaksikan peristiwa tersebut hingga Sehubungan dengan hal tersebut, melihat pararaton ‘rahasianya’ Ken Julia Kristeva mengatakan bahwa “setiap Dedes. Hal ini tentu dimaklumi bahwa teks terwujud sebagai mozaik, sitiran, se- pengarang naskah Pararaton amat rapan, dan transformasi dari teks-teks menghargai Ken Dedes, sehingga dengan lain (Kristeva dalam Culler, 1975:130). bahasa yang eufemistis ia menyebut kata Sebuah karya sastra dapat dibaca dalam ‘rahasianya’ dengan pararaton.2 kaitannya ataupun pertentangan dengan Naskah Pararaton merupakan wari- teks-teks lain, yang merupakan kisi. Me- san nenek moyang yang terekam dalam lalui kisi itu, teks dibaca dan diberi struk- sastra Jawa. Pararaton merupakan kro- tur dengan harapan agar pembaca me- nik berupa bunga rampai yang memitos- metik ciri-ciri yang menonjol dan mem- kan Ken Arok. Pada zamannya, Parara- berikan sebuah makna. Pada hakikatnya ton dipandang sebagai sejarah atau kisah pembaca dibawa untuk mengacu kepada sejarah. Pararaton pada pengertian se- teks-teks pendahulu sebagai sumbangan karang dapat digolongkan sebagai karya pada suatu kode yang memungkinkan sastra sejarah atau dianggap sebagai his- efek signifikasi atau pemaknaan yang toriografi tradisional (local tradition). bermacam-macam. Aspek intertekstuali- Dalam tulisan ini dibicarakan Arok tas semacam ini oleh Riffaterre disebut Dedes dan Pararaton berkaitan dengan hipogram. Teks lain yang menjadi hipo- transformasi dan dinamika sastranya. gram tidak hadir begitu saja dalam sebu- Sebagai sebuah karya sastra Jawa Kuna ah karya; ia muncul dalam proses pema- yang amat terkenal, Pararaton telah haman dan harus disimpulkan sendiri mengilhami Arok Dedes, khususnya da- oleh penikmat (Riffaterre, 1978:94). lam hal ‘mitos’ Ken Dedes sebagai seo- Dalam kaitannya dengan studi per- rang perempuan yang mempunyai naskahan (filologi) dan ilmu sastra,

120 Arok Dedes dan Pararaton … (Trisna Kumala Satya Dewi)

Wiryamartana (1990) mengatakan bah- mampu menjadikan dirinya secara aktif wa kritik teks dapat diarahkan pada pe- sebagai agen perubahan zaman (agent of warisan teks yang mempunyai peranan change). Sebagai sebuah ”agen penting dalam rangkaian sambutan perubahan”, kebudayaan dan kesenian pembaca. Variasi teks dihargai secara le- pertama-tama harus ”mengubah” diri- bih positif dan ditimbang relevansinya nya sendiri, memperbarui dirinya, mem- dalam rangka sambutan sastra. Pada perluas cakrawalanya, melebarkan su- suatu tahap pewarisan teks mungkin se- dut dan pandangan dunianya (world kali suatu variasi teks menjadi sumber view) (Piliang, 2000:112). Dalam kaitan- kreasi, seperti pemberian komentar, pe- nya dengan globalisasi sastra, pada Arok nerjemahan, dan penyaduran. Dalam ka- Dedes dapat dilihat Pramoedya selaku sus ini, penyalin dapat dipandang seba- pengarang mampu memperluas cakra- gai pembaca yang kreatif, yang berkat wala sudut pandang dan pandangan du- tanggapannya sekaligus menjadi pencip- nianya terhadap peristiwa ratusan tahun ta sastra. Dengan demikian, terjadilah yang lalu dan mengaitkannya dengan pe- transformasi teks, suatu teks dibaca, di- ristiwa abad ini. pahami, dan ditafsirkan. Hasil pembaca- Terkait dengan tulisan ini, hal yang an, pemahaman, dan penafsiran itu di- menarik ialah pada saat peristiwa di Ta- wujudkan menjadi teks baru, sama atau man Boboji, saat kain Ken Dedes ter- berlainan bahasa, jenis dan fungsinya singkap hingga jauh ke pararaton. Ken (Wiryamartana, 1990:10; Teeuw, Arok melihat cahaya memancar dari 1998:266—267; 322—323). rahasia Ken Dedes. Ken Arok sangat ter- Novel Arok Dedes karya Pramoedya pesona pada kecantikan Ken Dedes dan Ananta Toer (1999) merupakan salah ia jatuh cinta. Ken Arok akhirnya mene- satu contoh dinamika sastra sebagai aki- mui seorang brahmana bernama Dhang bat transformasinya dari teks terdahulu, Hyang Lohgawe dan meceritakan perihal yaitu Pararaton. Mengapa Pramoedya peristiwa di taman Boboji. Lohgawe me- dengan bekal kepengarangannya me- ngatakan kepada Ken Arok bahwa wani- ngacu pada Pararaton, karya sastra Jawa ta yang memiliki prabhawa seperti Ken Kuna yang amat terkenal itu? Sastra mo- Dedes apabila diperistri akan menjadi- dern itu bersifat dinamik tidak statis. Hal kan suaminya seorang raja besar kenda- itu disebabkan pandangan bahwa karya ti sang pria berasal dari golongan papa sastra selalu berada dalam ketegangan dan miskin. antara konvensi dan kreasi; karya sastra Mitos tentang Pararaton Ken Dedes tidak hanya melaksanakan konvensi je- yang bersinar, bercahaya (mubyar amu- nis sastra, tetapi sering sekaligus melam- rub) membawa dampak sejarah besar paui bahkan merombaknya (Teeuw, khususnya berkaitan dengan berdirinya 1988:321). Dalam hal ini relevansi dan kerajaan Singasari, tepatnya setelah Ken peranannya dalam konteks sejarah sas- Arok berhasil menyingkirkan Tunggul tra pun merupakan suatu gejala sastra Ametung. Di sisi lain, kehidupan Ken yang dinamik. Dinamika sastra dalam hal Arok dalam Pararaton juga dimitoskan ini tidak terlepas dari sejarah. sebagai putra Dewa . Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa Bhatara Sang Wacana Globalisasi Sastra Amurwabumi tahun C, 1144—1449 Proses globalisasi tidak saja menuntut (1222—1227 M.), konon amat penting kebudayaan untuk selalu menempatkan peranannya pada zaman itu, sebagai dirinya secara arif di tengah berbagai pembebas dan pembaharu dalam bidang perubahannya, tetapi lebih jauh lagi politik. Dalam sejarah, Ken Arok juga

121 ATAVISME, Vol. 16, No. 1, Edisi Juni 2013: 119—128 dikenal sebagai nenek moyang yang me- yang mendapat tentangan hebat ini ter- nurunkan raja-raja , sebuah nyata mencapai sebagian tujuannya ber- kerajaan yang pernah berjaya di Nusan- kat timbulnya perang dunia pertama. Se- tara ini. masa perang itu, banyak pekerjaan yang Novita Dewi (2000:85—91) menyo- awalnya dianggap pekerjaan khas lelaki roti karya Pramoedya ini dalam konteks dapat dilakukan dengan baik oleh wani- sastra pascakolonial. Dalam hal ini yang ta. Tiba-tiba saja berbagai segi kehidup- perlu dicermati tentang Pramoedya an yang sebelumnya tertutup bagi wani- Ananta Toer dalam kerangka pembaca- ta, kini terbuka lebar. Namun, hasil po- an sastra poskolonial antara lain, dalam litik yang penting ini belum berarti bah- The Empire Writes Back, Indonesia tidak wa wanita terbebas sepenuhnya dari pernah disebut sebagai negara poskolo- prasangka-prasangka yang membeleng- nial meskipun negara ini terkena imbas gunya (Ikram, 1997:198). kolonialisme. Tulisan-tulisan Pramoedya Julia Kristeva melihat kewanitaan hampir selalu menampilkan hubungan (feminity) sebagai suatu kedudukan (po- kekuasaan antara penjajah dan terjajah sition), jadi bukan sifat. Ia menerangkan yang kemungkinan tidak berbeda warna bahwa kewanitaan adalah suatu bentuk- kulit. Pramoedya menjelaskan ini dalam an (construct) yang diciptakan oleh pat- esainya yang terkenal “Maaf, atas nama riarkat. Dalam suatu dunia patriakat pengalaman”, yang diterbitkan oleh ber- yang dikuasai oleh lelaki, kedudukan wa- bagai jurnal internasional. Dalam esai ini nita selalu dipinggir, hanya disebut da- diuraikan secara gamblang sejarah bang- lam hubungan dengan lelaki. Dalam tata- sa Indonesia yang dikubur dalam-dalam nan simbolik yang patriarkal dan lelaki oleh Orde Baru. Intrik, pengkhianatan, sentris, wanita ada di batas antara lelaki dan perebutan kekuasaan merupakan (tatanan) dan khaos (Ikram, 1997:198). hal yang jamak bagi bangsa Indonesia ja- Ikram (1997:197) juga mengatakan uh sebelum penjajahan Belanda hingga bahwa se-dikit demi sedikit telah timbul zaman Orde Baru. Hanya yang disayang- kesadaran bahwa kebudayaan dengan kan, kata Pram, apa yang disebut “suara segala pra-sangka serta tradisinya hati” tidak pernah muncul. adalah pengatur-an lelaki. Mulailah Ashcroft (dalam Dewi, 2000:89) semua itu dilihat de-ngan mata menyarankan kemungkinan terjadinya perempuan. Banyak peranan dan sifat penyerbukan antara teori poskolonialis- wanita yang dikatakan sudah ditentukan me dan feminisme mengingat keduanya oleh alam (nature) sebenar-nya menapaki jalan yang sama, yaitu menuju ditentukan oleh pendidikan (nurtu-re), pembebasan bagi mereka yang tersisih yang diatur dalam suatu masyarakat (the other). Jika dibaca lewat kacamata yang patriarkal. Stereotip yang kita kenal berlensa ganda ini, kemungkinan besar dari gambaran wanita sebagai sesuatu Arok Dedes akan dikenal sebagai sastra yang halus, perasa, tunduk, merupakan sejarah. Namun, anggapan bahwa novel sesuatu yang di dalam kehidupan sehari- ini berbau feminis bukanlah hal yang hari terbantah, dan wanita ideal yang di- mengada-ada. Arok Dedes berarti Arok isyaratkan oleh tradisi memaksakan ke- milik Dedes; Arok si pembangun yang di- munafikan di pihak wanita demi konfor- lahirkan atau dibidani oleh Dedes. mitas. Gerakan emansipasi wanita diawali Dalam kaitannya dengan karya sas- di Eropa sebagai suatu usaha untuk tra, kritik feminis timbul dengan kuatnya memperoleh persamaan hak wanita de- setelah aliran strukturalis. Strukturalis- ngan pria di hadapan hukum. Gerakan me ini sejalan dengan yang

122 Arok Dedes dan Pararaton … (Trisna Kumala Satya Dewi) dikemukakan oleh de Saussure. Konsep Intertekstualitas membimbing dalam Saussure tentang bahasa ialah sebagai rangka mempertimbangkan lahirnya suatu tanda, masing-masing tanda terdi- berbagai efek signifikasi (Culler, ri atas penanda dan petanda. Dalam ba- 1981:100—118). Metode intertekstuali- hasa yang berbeda, untuk petanda yang tas tersebut merupakan opersional kerja sama tersedia penanda yang berbeda yang dilakukan terhadap kedua karya pula. Hubungan antara penanda dan pe- sastra, Arok Dedes dan Pararaton. tanda tidak dapat disebut alami atau ko- drati. Wanita dapat juga kita jelaskan HASIL DAN PEMBAHASAN demikian. Kata wanita atau perempuan Dalam novel Arok Dedes dikisahkan bah- adalah suatu penanda. Hubungannya de- wa Dedes adalah anak seorang brahma- ngan petanda tidak alami, melainkan di- na, Mpu Parwa dari golongan ksatria, pe- berikan kepadanya oleh masyarakat. nganut Shiwa ningrat dan cendekiawan. Masyarakatlah yang menentukan apa Ketika dipaksa oleh Tunggul Ametung, maknanya. (Ikram, 1997:199). Sang Akuwu Tumapel, Dedes amat ter- tekan ibarat tawanan walaupun hidup di METODE sangkar emas (istana). Namun, Dedes Pandangan yang umum dalam dunia il- yang cendekiawan itu akhirnya dapat mu adalah bahwa metode ilmiah harus memerangi perasaannya sehingga men- memenuhi persyaratan tertentu jadi wanita yang tegar dan dapat me- (Koentjaraningrat, 1977; Nazir, 1985; ngendalikan Sang Akuwu. Dalam novel Siti Chamamah Soeratno, 2011). Dalam Arok Dedes dikisahkan juga bahwa hal ini peneliti harus memilih metode Dedes akhirnya jatuh cinta pada Arok.3 dan langkah-langkah yang tepat, yang Peran wanita dalam percaturan po- sesuai dengan karakteristik objek kajian- litik sering diabaikan dan kadang-ka- nya. Satu hal yang menarik dalam meng- dang dipandang sebelah mata. Namun, gunakan metode bagi penelitian sastra di sisi lain para tokoh politik dan negara- adalah adanya distansi, kerja yang objek- wan banyak mengakui bahwa peran wa- tif, dan terhindarnya unsur prasangka. nita cukup penting, baik di bidang politik Gejala dengan situasi kesastraan inilah maupun negara. Lenin mengatakan ‘Jika- yang sering menuntut perhatian tersen- lau tidak dengan mereka (wanita) keme- diri (Soeratno, 2011:64). nangan tak mungkin tercapai’4. Kemal Dalam penelitian ini perlu dijelas- Ataturk mengatakan ‘Di antara soal-soal kan operasional kerja yang berkaitan de- perjuangan yang harus diperhatikan, so- ngan transformasi teks kedua karya sas- al wanita hampir selalu dilupakan’5 tra tersebut, yaitu Arok Dedes dan Para- Ken Dedes dalam Pararaton dimi- raton. Prinsip intertekstualitas dan hipo- toskan sebagai wanita yang mempunyai gram (Riffaterre, 1978:111); Kristeva peran besar terhadap kekuasaan yang (Culler, 1975:139) konvensi dan gagasan akhirnya menyangkut kerajaan besar se- yang diserap dapat dikenali jika mem- perti Singasari. Dalam sastra lama (nas- bandingkan teks yang menjadi hipogram kah) seperti Pararaton salah satu fungsi dengan teks baru. Teks baru yang me- mitos ialah sebagai legitimasi kekuasaan. nyerap dan mentransformasi hipogram Dalam novel Arok Dedes, Pramoedya me- disebut teks transformasi. ngemas dengan cara persekutuan antara Metode intertekstualitas dilakukan Dedes dan Arok untuk menumbangkan dengan cara membandingkan, menjajar- Tunggul Ametung, Akuwu Tumapel yang kan, dan mengkontraskan antara teks senang merampas harta kekayaan rak- transformasi dan hipogramnya. yat lewat pajak bahkan sampai

123 ATAVISME, Vol. 16, No. 1, Edisi Juni 2013: 119—128 wanitanya. Benarkah Ken Dedes mem- Nama pendeta di Bulatak ialah Mpu punyai peran besar terhadap kekuasaan Tapawangkeng, sedang membangun dalam rangka kehidupan kenegaraan? gerbang asramanya, dimintai syarat Uraian tersebut mengisyaratkan bahwa kambing merah sejodoh oleh dewa pada hakikatnya wanita mempunyai pe- penjaga pintu. Berkatalah Tapawangkeng, tidak dapatnya meng- ran penting dalam masalah politik dan usahakan menjadikan dosa kejahatan kenegaraan. pada diri, jika membunuh manusia tak Dalam kaitannya dengan wacana, apalah yang dapat membatalkan peme- Foucault, salah seorang pemikir post nuhan syarat korban kambing merah struktural melontarkan gagasan-gagasan itu. Menyebabkan sang penyamun ber- penting bagi pengembangan kritik waca- kata, sanggup menjadi korban (pendiri- na. “Wacana” dalam hal ini bukan seka- an) pintu asrama Mpu Tapawangkeng, dar kelompok-kelompok tanda (unsur- bersumpahlah ia sanggup dijadikan unsur pemaknaan yang mengacu pada korban sebagai jalan agar ia dapat pu- isi atau representasi) melainkan praktik- lang ke surga Dewa Wisnu, agar dapat praktik yang secara sistematis memben- menjelma ke kediaman manusia, ke du- nia kembali, demikian permohonannya. tuk objek yang dibicarakannya. Jika Waktu itulah, sewaktu Mpu Saussure membangun konsep difference- Tapawangkeng meluluskan permoho- nya dengan bertumpu dan sekaligus me- nannya menjelma sesuai kehendak lakukan dekonstruksi atas teori yang meninggal, bertapalah ia tujuh Saussure, maka Foucault menjelaskan mandala. Sesudahnya meninggal pada teorinya tentang wacana juga sambil me- waktu itulah dijadikan korban oleh ngacu pada konsep Saussure. Foucault Mpu Tapawangkeng. Sesudah itu le- melakukan dua hal sekaligus, yaitu me- nyaplah ia ke surga Dewa Wisnu, tak nunjukkan keterbatasan konsep langue bertentangan dengan janji sang korban dan parole sekaligus memperkenalkan yang disampaikan (dengan) permohon- suatu konsep baru yang melampaui ke- an hendaknya ia dapat dijelmakan di sebelah timur Kawi (Pararaton, episode terbatasan tersebut. Melalui pengertian ”Ken Angrok”). “wacana” yang baru, Foucault mengait- kan sistem pemaknaan dengan dua wila- Melalui jalan korban (pengganti yah yang selama ini dianggap telah dilu- kambing merah sejodoh) kelak diharap- pakan oleh strukturalisme, yakni wila- kan reinkarnasi Ken Angrok mengalami yah sejarah dan politik (Young dalam kehidupan yang lebih baik. Dengan de- Budianta, 2002:47). mikian, dapat dikatakan bahwa Parara- Sebelum kelahiran Ken Arok yang ton selain mengisahkan tokoh legenda- merupakan benih Bhatara Bhrahma, se- ris Ken Angrok sebagai pendiri wangsa benarnya sang pengarang Pararaton pun Rajasa, juga menceritakan tentang pra- sudah memasukkan pelegitimasian se- kehidupannya (sebelum reinkarnasi). suai dengan ajaran pada masa itu, yakni Pelegitimasian tokoh Ken Angrok secara mengenai reinkarnasi. Menurut ajaran intuitif diungkapkan oleh pengarang pada zaman itu, upacara korban meru- bahwa selain berasal dari benih seorang pakan kewajiban manusia. Mpu dewa (anak Bhatara Brahma) ia juga Tapawangkeng memohonkan kepada berasal dari seseorang yang telah ber- Dewa Wisnu agar kelak Ken Arok meng- reinkarnasi melalui korban upacara ke- alami reinkarnasi. Perhatikan kutipan agamaan. Dengan demikian, kematian dari Pararaton berikut ini yang tergo- dengan jalan seperti itu dianggap suci long pula sebagai unsur legenda. dan mulia.

124 Arok Dedes dan Pararaton … (Trisna Kumala Satya Dewi)

Dalam Pararaton yang dapat dike- Dalam karya sastra lama, khususnya se- mukakan berkaitan dengan pelegitimasi- jarah seperti babad (sastra Jawa), hika- an Ken Angrok sebagai raja besar bahwa yat (sastra Melayu), atau sejarah (sastra ia lahir dalam keadaan ajaib, yaitu lahir Sunda), memang tidaklah mengheran- dengan menampakkan cahaya (Jawa: kan apabila seorang pemimpin (raja) prabha), bahkan sampai besarpun tetap mengalami proses kelahiran yang luar menampakkan cahaya. Hal ini dapat di- biasa. tafsirkan bahwa Ken Angrok sejak lahir Dalam karya sastra sejarah hal ter- telah memiliki karisma dan kekuatan ba- sebut mempunyai fungsi sebagai pelegi- tin. Berkaitan dengan peran tokoh Ken timasian terhadap seorang tokoh. Dalam Angrok sebagai raja besar (raja Singasa- Pararaton unsur legenda yang berkaitan ri) unsur legenda dalam kisah Pararaton dengan pelegetimasian tokoh Ken Arok berfungsi sebagai alat pengesahan pra- sebagai raja besar diawali sebelum kela- nata-pranata, yaitu kehidupan sosial dan hirannya, bahkan ketika Ken Endok me- politik pada zamannya. nyatakan dirinya telah mengandung be- Poerbatjaraka (1957:66—67) me- nih Bhatara (Dewa) Brahma. Dengan de- nyebutkan bahwa Pararaton berisi kisah mikian, Ken Arok teleh dilegitimasikan Ken Arok (Ken Angrok) mulai lahir hing- sebagai anak dewa yang berbeda dengan ga matinya. Kisah Ken Arok yang aneh keturunan orang biasa. sejak sebelum lahir hingga menjadi anak, Pramoedya Ananta Toer lewat Arok kejahatan-kejahatan yang dilakukannya Dedes berhasil memanfaatkan tokoh hingga menjadi raja di Tumapel dan Dedes, sehingga tokoh Dedeslah yang cu- akhirnya bernama Singasari. Ken Arok kup dominan dalam novel tersebut. bergelar Ranggah Rajasa (Sri Dalam Arok Dedes6 digambarkan bahwa Girindratana Jaya). Ken Arok merupakan sosok Dedes cukup berperan dalam per- cikal bakal raja-raja Majapahit. Parara- caturan kekuasaan Tunggul Ametung ton dibagi menjadi dua bagian, yaitu ten- hingga jatuhnya ke tangan Ken Arok. Pe- tang kisah Ken Arok hingga berdirinya ran Dedes amat menentukan termasuk dan masa berakhirnya Majapahit. pengaturan strateginya. Dedes merupa- Melalui teorinya tentang pengeta- kan sosok wanita yang cerdas dan terpe- huan/kekuasaan dan tentang wacana, lajar, ia anak seorang Mpu Parwa. Sejak Faucault membuka suatu dimensi baru kecil ia dididik sebagai seorang brahma- yang belum tersentuh oleh teori dekon- ni, penganut Dewa Shiwa penyembah struksi, yaitu dimensi sejarah dan politik. Bathari Durga yang mahir dalam ilmu Pemikiran-pemikiran Faucault dimanfa- keagamaan dan ahli kitab-kitab. Berbeda atkan oleh sejumlah pemikir yang meng- dengan Tunggul Ametung, suaminya gagas teori postkolonial. Pendekatan yang merampas dengan paksa dari sisi postkolonial adalah pendekatan post- ayahandanya, seorang yang tidak melek struktural yang diterapkan secara khu- huruf dan berasal dari golongan sudra. sus, tetapi pendekatan postkolonial se- Tidak mengherankan jika Tunggul kaligus juga merupakan respon dan “ke- Ametung amat cinta dan takluk pada kecewaan” kritikus di dunia ketiga terha- Dedes. Tunggul Ametung amat menga- dap teori-teori poststruktural terutama sihi Dedes, walaupun Dedes amat sangat yang diformulasikan oleh Derrida dan membencinya, apalagi jika ia mengingat Barthes (Budianta, 2002:49). ramalan para resi tentang Dedes.7 Pengarang Pararaton mengkultus- Dalam Pararaton, Ken Dedes me- kan Ken Arok dengan perbedaan yang mang sudah dimitoskan sebagai wanita metafisik dengan tokoh-tokoh lainnya. yang luar biasa. Menurut ramalan

125 ATAVISME, Vol. 16, No. 1, Edisi Juni 2013: 119—128 seorang Brahmana Dhang Hyang sebagaimana dalam karya sebelumnya Lohgawe, apabila ada seorang wanita yaitu Pararaton. Kendatipun karya yang bercahaya ‘rahasianya’ pararaton Pramoedya ini akhirnya ditutup dengan maka apabila diperistri, suaminya akan sebuah keragu-raguan yang menggam- menjadi orang terkenal walaupun ber- barkan kemelut batin Dedes sebagai asal dari golongan sudra (lihat Hardjana, seorang perempuan akhirnya harus ber- 1979:214). Sejak saat itu Ken Arok mem- bagi ‘hati’ dengan perempuan lain, yaitu punyai niat merebut Ken Dedes dari Umang istri Arok. Kegundahan hati ka- tangan Tunggul Ametung. 8 rena cintanya terhadap seorang lelaki, Pada awal novel ini Pramoedya se- Arok. Sebagai seorang 'Paramesywari’ bagai pengarang cukup berhasil dalam Ken Arok, Ken Dedes Sang Paramesy- menonjolkan peran Dedes selaku Pra- wari Tumapel memandang masa depan- meswari Tumapel dalam percaturan po- nya dengan gamang. Bayi yang sedang litik dan kekuasaan. Dedes yang juga da- dikandungnya adalah benih musuh sua- lam Arok Dedes dimitoskan sebagai se- minya (Tunggul Ametung), sedangkan di orang brahmani, perempuan yang terpe- sisi lain Paramesywari Umang mengan- lajar, ahli dalam hal kitab dan pengeta- dung benih Ken Arok (dalam Arok De- huan keagamaan telah berhasil memin- des), Ken Dedes yang semula digambar- dahkan ‘kekuasaan’ milik suaminya, kan sebagai sosok ‘perempuan’ yang te- Tunggul Ametung ke tangan Arok, se- gar, pada akhir cerita dilukiskan oleh orang pemuda yang amat dicintainya. Pramoedya menatap masa depannya Tunggul Ametung digambarkan sebagai dengan keragu-raguan.9 seorang yang tidak bisa baca-tulis ber- asal dari kaum sudra (lihat Toer, SIMPULAN 1999:1—45). Hal ini tentu saja sangat Berdasarkan uraian tersebut dapat di- berlawanan dengan Dedes. Sebagai se- simpulkan hal-hal sebagai berikut. orang pengarang, Pramoedya memang Pertama, Arok Dedes karya Pramoedya tampak berhasil dalam menonjolkan mi- Ananta Toer merupakan sebuah alterna- tos Dedes ini. tif dinamika sastra sebagai transformasi Agaknya ‘mitos’ Dedes dalam Para- dari karya terdahulu yaitu Pararaton raton ini yang hendak diangkat yang merupakan sebuah karya sastra Pramoedya dalam novelnya Arok Dedes Jawa Kuna yang amat terkenal. Kedua, sebagai wacana global sekarang ini. Dari sebagai seorang pengarang Arok Dedes, sisi ‘perempuan’ berkaitan dengan pe- Pramoedya Ananta Toer telah berhasil rannya dalam politik, kenegaraan, dan mengangkat sebuah ‘mitos’ tentang se- kekuasaan. Dalam wacana global, peran orang tokoh perempuan Dedes yang juga perempuan dan laki-laki dalam perca- terdapat dalam Pararaton. Dedes (dalam turan politik, kekuasaan, dan negara me- Arok Dedes) merupakan sosok perempu- mang tidak dibeda-bedakan. Keduanya an yang sangat berperan dalam perca- mempunyai hak yang sama, demikian turan politik, kekuasaan dan negara. Ba- pula dari sisi ‘gender’. rangkali dalam wacana global hal ini Sebagai karya sastra modern novel yang diikrarkan sebagai ‘gender’. Berbe- Arok Dedes cukup berhasil menonjolkan da dengan karya sastra pendahulunya tokoh Dedes yang tidak terlepas dari mi- yaitu Pararaton, tokoh Ken Dedes sangat tos kebesarannya atau keistimewaanya tersembunyi di balik mitosnya. Potensi sebagai seorang perempuan yang ber- mitos inilah yang sangat ditonjolkan oleh beda dengan perempuan lainnya. Mitos Pramoedya Ananta Toer berkaitan de- kebesaran ini juga telah ditonjolkan ngan tokoh Dedes. Dengan demikian,

126 Arok Dedes dan Pararaton … (Trisna Kumala Satya Dewi) dapat dikatakan bahwa baik dalam merampasnya sekali ia pernah melibatkanya Pararaton maupun Arok Dedes potensi sebagai Prameswari Tumapel. Semua telah dipertaruhkan untuk perempuan yang se- mitos itu amat dimanfaatkan oleh sang orang ini. Ia merasa terlalu dungu apabila pengarang. Mitos Dedes (dalam Parara- merusaknya sendiri. Lihat Toer (1999: 181). ton dan Arok Dedes) sama-sama me- 8. Kyai ngong nyuwun tatanya, tiyang estri ing- ngandung konsekuensi politik, kekuasa- kang katon murup wawadinya, ngalad-alad an dan negara. Kedua karya tersebut me- anelahi, punapa kang wigati, menggah talepi- yanipun, sae punapa ala, tanjege tiyang pa- rupakan karya sastra sejarah yang patut westri, kang mekaten ngong nyuwun wine- kita hargai. dharena. Sumaur sira bhrahmana, sapa baya iku kaki, Ken Angrok alon turiro: wonten sa- webehing estri, katon ingkang wawadi, mu- 1. Kudeta (coup d’etat) adalah pengertian mo- rup kadulu dening sun, Dhang Hyang dern tentang perebutan kekuasaan negara, Lohgawe mojar, yen ana wong pawestri, namun dalam sejarah kerajaan-kerajaan di kang kadyeku nariswari aranira, tutungguli- Nusantara perebutan kekuasaan negara se- reng wanodya, nadyan priya papa miskin, perti ini sudah pernah terjadi pada awal abad yen entuk estri kayeka, dadi ratu nyakrawati, ke-13. Ken Angrok berhasil menjadi Akuwu Angrok kendel matawis, tan adangu nulya Tumapel menyingkirkan Tunggul Ametung matur, kyai waleh punapa, mring paduka dengan dukungan kelompok agama di Jawa, mawi wadi, de esatrine wau kang ingsung yaitu tokoh pendeta Shiwa (lihat Toer, 1999: aturna. Kyai itu garwane, akuwu Tumapel viii) nagri, Tunggul Ametung kalanya, cangkrama 2. Lihat Dewi, Trisna Kumala Satya. 1995. marang boboji, yen mekaten iku kyai, sang “Fungsi Legenda dalam Naskah Pararaton Akuwu sayogyane ulun cidra. (lihat Episode Ken Arok”. Masyarakat Kebudayaan Hardjana, 1979:215). dan Politik. Surabaya: Fisip Unair. 9. Memasuki Bilik Paramesywari Ken Dedes 3. Dalam novel Arok Dedes, Toer (1999: 256) berhenti di depan peraduan, yang ditidur- dikisahkan Dedes sebagai berikut. “Dialah kannya pada bulan pertama ia memasuki pe- yang patut jadi suamiku, pemegang kekuasa- kuwuan. Kini ia harus berbagi dengan se- an atas Tumapel. Seorang brahmana yang orang lelaki yang jadi suaminya, Arok se- akan dapat memuliakan kekuasaan Hyang orang lelaki yang dicintainya dengan tulus. Shiwa. Ia pejamkan mata, menikmati musik Tapi ia tidak rela berbagi kekuasaan dengan- yang terdengar dalam Sansekerta Arok. Dan nya. Dan kini ia pun harus berbagi tempat ia membiarkan dirinya dipandangi sepuas- dengan Paramesywari lain Ken Umang se- nya oleh seorang lelaki yang bukan suami- orang wanita yang baru dikenalnya. Ia tidak nya. rela berbagi peraduan dan berbagi kekuasa- 4. lihat Soekarno, 1963. Sarinah Kewajiban an dengannya. Ia sadar akan dirinya waktu Wanita dalam Perdjoangan Republik Indone- lengan Ken Arok memeluk lehernya dengan sia. Panitia Penerbit Buku-Buku Karangan tangan kanan, dan ia lihat tangan kirinya me- Presiden Soekarno. meluk Ken Umang. Ken Dedes kehilangan ke- 5. lihat Soekarno, 1963. Sarinah Kewajiban damaiannya memasuki pura bersama de- Wanita dalam Perdjoangan Republik Indo- ngan orang Wisynu, juga Paramesywari Tu- nesia. Panitia Penerbit Buku-Buku Karangan mapel. Dilihatnya Ken Arok dan Ken Umang Presiden Soekarno. telah tenggelam dan puji syukur. Lelaki di se- 6. lihat (Toer, 1999: 76—229) belah kirinya memang sangat berharga un- 7. Perawatan Dedes yang berkasih sayang itu tuknya, sangat berharga untuk cinta dan hi- menyejukkan hatinya. Mau rasanya ia mem- dupnya. Dia telah persembahkan kemenang- bayar kembali dengan apa saja: gelar, harta an untuk kawula Tumapel dengan muslihat benda, dan jiwa orang lain. Tetapi setelah bermuka ganda dan tanpa bilangan. Dan ia sembuh tingkahnya yang ogah menyerahkan tahu, kemenangan itu tidak dipersembahkan hati dan badan kepadanya sebagai istri yang kepada dirinya. (Toer, 1999: 412—413). syah membangkitkan berang. Rasa-rasanya tega ia hendak meremasnya sampai lumat ja- DAFTAR PUSTAKA di bubur. Mengingat akan ramalan resi candi Erlangga dan tuntutan Ratu Anggabaya itu, kembali ia tidak berani melakukan kekasar- Budianta, Melani. 2002. “Teori Sastra Se- an. Sri Baginda Kretajaya pun akan sudah Strukturalisme: Dari Studi

127 ATAVISME, Vol. 16, No. 1, Edisi Juni 2013: 119—128

Teks ke Studi Wacana Budaya” Th. X. Bandung: Masyarakat Seni Bahan Pelatihan Teori dan Kritik Pertunjukan Indonesia. Sastra. Jakarta: Pusat Penelitian Ke- Poerbatjaraka, R.M.Ng. 1957. Kapusta- masyarakatan dan Budaya Lembaga kan Djawi. Jakarta: Djambatan. Penelitian Universitas Indonesia. Pradotokusumo, Partini Sarjono. 1987. Culler, Jonathan.1975. Structuralis Poetic. Kakawin Gajah Mada (Sebuah Karya London: Routledge & Kegan Paul. Sastra Kakawin Abad ke-20 Sunting------. 1981. The Pursuit of Signs. Lon- an Naskah Serta Telaah Struktur, To- don: Roudledge & Kegan Paul. koh dan Hubungan Antarteks). Ban- Dewi, Trisna Kumala Satya. 1995. “Fung- dung: Binacipta. si Legenda dalam Naskah Pararaton Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Episode Ken Angrok”. Masyarakat Poetry. Bloomington & London: Kebudayaan dan Politik. Surabaya: Indiana University Press Fisip Unair. Soekarno. 1963. Sarinah Kewajiban Wa- Dewi, Novita. 2000. “Poskolonial, nita dalam Perdjoangan Republik In- Pramoedya, Pembangun Pramesy- donesia. Jakarta: Panitya Penerbit wari” Gatra. Jurnal Ilmiah Kebuda- Buku-buku Karangan Presiden yaan. Yogyakarta: Pusat Kajian Ba- Sukarno. hasa, Sastra dan Kebudayaan Indo- Soeratno, Siti Chamamah. 1992. Hikayat nesia Jurusan Sastra Indonesia. Iskandar Zulkarnain: Sebuah Tinjau- Hardjana, HP. 1979. Serat Pararaton Ken an Resepsi. Jakarta: Balai Pustaka. Arok. Jakarta: Proyek Penerbitan ------. 2011. Sastra Teori dan Metode. Buku Sastra Indonesia dan Daerah. Yogyakarta: Jurusan Sastra Indone- Ikram, Achadiati. 1979. “Galuh Berpera- sia dan Program S2 Fakultas Ilmu saan Perempuan. Suatu Usaha Budaya UGM. Membaca Perempuan”. Filologia Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra Nusantara. Jakarta : Hasta Mitra. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Koentjaraningrat, 1977. Metode-Metode Pustaka Jaya. Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gra- Toer, Pramoedya Ananta. 1999. Arok media. Dedes. Jakarta: Hasta Mitra. Nazir, Moh. 1983. Metode Penelitian. Wiryamartana, Kuntara I. 1990. Yogyakarta: Ghalia Indonesia. Arjunawiwaha: Transformasi Teks Piliang, Yusuf Amir. 2000. “Global/Lokal: Jawa Kuna Lewat Tanggapan dan Mempertimbangkan Masa Depan”. Penciptaan di Lingkungan Sastra Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia. Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

128