Merajut Senja Di Panti Jompo

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Merajut Senja Di Panti Jompo Menguak Tabir Peristiwa 1 Oktober 1965 – Mencari Keadilan Merajut Senja di Panti Jompo http://www.media-indonesia.com/ ''ANGGAPLAH Ibu mati, kapan pulang jangan dipikir,'' ucap Lestari, 74, dengan ikhlas kepada anak-anaknya sekitar 13 tahun silam. Tidak ada keraguan dalam kalimat yang disampaikannya itu. Nada bicaranya tegas sama seperti keputusannya untuk menyimpan rapat-rapat kenangan bersama lima buah hatinya di Surabaya. Sekarang, wanita bertubuh kurus dan berambut putih itu tinggal bersama rekan- rekannya berusia lanjut di sebuah rumah mungil di Jalan Kramat V Nomor 1 C Jakarta Pusat. Di tempat yang bernama Panti Jompo Yayasan Waluya Sejati Abadi tersebut terdapat delapan wanita dan tiga pria lanjut usia (lansia). Mereka ini 'korban politik' -- mantan tahanan politik (tapol) kasus G-30-S/PKI (Partai Komunis Indonesia)-- masa lalu. Lestari, memilih tinggal di panti jompo itu lantaran tak ingin menyusahkan anaknya, sebab cap tapol PKI masih melekat. Pada 1968 Dia dicokok aparat di Malang, Jawa Timur (Jatim) karena dituduh terkait dengan aktivitas Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani)--underbow PKI--Jatim. Begitu pula dengan Soedjinah, 78. Wanita ini malahan salah seorang pengurus Gerwani Pusat. Mantan wartawati Harian Rakjat dan Bintang Timoer itu, memilih hidup sendiri setelah suaminya meninggal dunia saat bergerilya melawan pendudukan Jepang. Lestari dan Soedjinah merupakan sahabat lama saat mengha- diri kongres Gerwani di Surabaya, pada 1951. Penghuni lainnya, Siti Komariah, 79, merasa betah tinggal di panti meski baru satu tahun. Sebelumnya nenek ini serumah dengan keponakannya di Kendal, Semarang, Jawa Tengah (Jateng) tetapi merasa tertekan lantaran di tempat itu ia harus terkung- kung dalam aturan sang keponakan yang melarangnya pergi ke mana-mana. ''Enakkan di sini, bebas ngomong apa saja,'' ujar Siti. Setiap hari, mulai matahari terbit para penghuni panti ini mulai beraktivitas layaknya ibu rumah tangga. Urusan masak-memasak dikerjakan Lestari, sedangkan mencuci pakaian dilakukan mereka secara bergantian, begitu pula dengan membersihkan rumah dikerjakan secara gotong-royong. Aktivitas lainnya, secara rutin mereka membaca koran pagi serta nongkrong di muka televisi menyaksikan sinetron, tidak lupa program berita sebagai acara favorit. Selebihnya para mantan aktivis politik ini melakukan diskusi dengan beragam tema, mulai sosial, budaya sampai politik. Bahkan ada pula di antara mereka yang rajin mengikuti seminar, maupun turun ke jalan mengkritisi kebijakan pemerintah. Untuk melakukan semua kegiatan di rumah jompo ini, Yayasan Waluya Sejati Abadi harus merogoh kocek Rp2 juta per bulan. Selain yayasan, tidak sedikit pula donatur yang menggelontorkan rupiah ke rumah itu. 551 Lifting the Curtain on the Coup of October 1st 1965 – Suing for the Justice Bagi warga sekitar, apa yang dilakukan di rumah bercat putih kusam itu lazimnya rumah tangga biasa. ''Kami merasa tidak terganggu walau mereka mantan tapol,'' kata Saiful, 21, warga Kramat V. (*/M-3). *********************** Pemberangusan Lagu Kemerdekaan Manusia Tingkap : Sekitar Tembok Berlin (23) Oleh : A. Kohar Ibrahim Taktik-trik «kill of hope », « rotten apple » dan « teori domino » dalam rangka global strategi dengan pengobaran Perang Dingin yang panas oleh kaum nekolim dengan kolaborator di negeri-negara bersangkutan memang kebiadabannya luar biasa. Seperti di bagian-bagian kawasan Dunia Ketiga lainnya, di negeri kita pun terjadilah apa yang disebut Noam Chomsky sebagai « gulag archipelago » yang bersimbah darah, keringat dan air mata. Tindakan penghancur-binasaan yang mereka lakukan terhadap yang dianggap musuh dan dijadikan sasaran itu bukan hanya secara politis, juga psikis dan bahkan fisik. Termasuk diantaranya tindakan pembungkaman dan pemberangusan terhadap beragam bentuk ekspresi kreativitas dan penggelapan ingatan sejarah. Sebagai kebalikannya, sang penguasa secara sewenang-wenang menyebarkan ketakutan, dusta, fitnah dan pembodohan. Semuanya dilakukan secara intensif dengan memanfaatkan sarana media massa yang dihegemoninya dan jaringan pengajaran dari berbagai tingkat serta berbagai forum apa saja yang bisa menguntungkan atau mengamankan kekuasaannya. Demikianlah yang dilakukan sang penguasa Orba dan kaum orbais – baik semasa jaya-jayanya maupun setelah sang Kepala lengser. Seperti contoh tipikalnya berupa kasus Pramoedya yang masyhur secara nasional maupun internasional. Seperti juga macam kasus Ribka Tjiptaning Proletariati dengan bukunya yang menggemparkan berjudul « Aku Bangga Jadi Anak PKI ». Yang penerbitannya ditentang oleh elit politik yang tak kurang sedang berkedudukan sebagai RI-2. Yakni Wakil Presiden Hamzah Haz. meminta Kejaksaan Agung menyita dan menyelidiki karya Ribka sang Anak Tapol itu. Kasus Ribka terjadi tahun 2002, sedangkan kasus Pramoedya yang berkaitan dengan pengungkap-hidupan ingatan sejarah terjadi pada tahun 1995. Seperti diberitakan oleh Kompas Minggu 14 Mei tahun itu, berjudul : « Jaksa Agung Larang Buku ‘Nyanyi Sunyi ‘ Karya Pramoedya ». Dalam Kreasi nomor 24 1995 saya turunkan catatan budaya berkenaan dengan penerbitan buku terbaru Pram sampai tahun itu. Sebagai suatu evenement yang berkaitan pula dengan hari ulang tahunnya yang ke-70 sekaligus sebagai kado ultah perkawinannya yang ke-40 dengan Maemunah Thamrin. Buku yang berupa catatan-catatan dari Pulau Buru itu telah diterbitkan di Belanda dengan judul « Lied van een Stomme » (hasil penerjemah A. van der Helm dan 552 Menguak Tabir Peristiwa 1 Oktober 1965 – Mencari Keadilan Angela Rookmaker) oleh penerbit Manus Amici--Het Wereldvenster pada tahun 1988-1989. Pada hari ultah ke-70 dan peluncuran buku yang berlangsung di rumahnya sendiri itu, di antara para seniman, aktivis dan tamu-tamu asing yang hadir tampak Sitor Situmorang, Goenawan Mohamad, Rendra, Princen dan Mochtar Pabottinggi. Pada kesempatan itu Pram menjelaskan, bahwa catatan dan surat-surat yang terhimpun dalam buku itu, ditulis terburu-buru tanpa diperiksa kembali. Kecuali beberapa bagian. Semua ditulis setelah 1973, tahun penulis mendapat izin menulis. Dan dia berterimakasih yang tak berhingga kepada semua dan tiap orang. Mereka yang karena solidaritas internasional dan manusiawinya memungkinkan adanya kelonggaran penulis dalam pembuangan sejak Juli 1973, khususnya Amnesti Internasional, Komite Indonesia, Prof. Dr WF Wertheim dan Carmel Boediardjo. Dalam Catatan atas Catatan, Pram menandaskan, bahwa penerbitan buku itu, «didasarkan pada pertimbangan : apa dan bagaimana pun pengalaman indrawi dan batin seorang pribadi, apalagi dituliskan, ia jadi bagian dari pengalaman suatu bangsa dan umat manusia pada umumnya.» Sebagaimana lazimnya, tulis saya ketika itu, kaum intelegensia dan pers Indonesia telah membuta-tuli atas adanya penerbitan sebuah dokumen sosial sekaligus pembuktian dari korban kezaliman banditkrasi Orde Baru tersebut. Kecuali segelintir saja, di antaranya catatan ringkas di Kompas, artikel di Forum Keadilan dan Independen mewawancarai Pramoedya. Sebaliknya, pers luarnegeri, terutama Asiaweek dan Far Eastern Economic Revieuw menyiarkan komentar cukup panjang. Pramoedya dengan tegas menyatakan, bahwa maksud penerbitan buku «Nyanyi Sunyi Seorang Bisu» itu antara lain adalah agar «jangan sampai ada korupsi sejarah». Tetapi arogansi kekuasaan yang memang korup, sekali lagi telah memperlihatkan watak kezaliman sekaligus ketakutan akan kebenaran dan keadilan dengan melakukan larangan atas buku tersebut. Sesungguhnyalah, karena arogansi yang teriring ketakutan sendiri itulah penguasa Orde Baru membuang sebanyak 10.000 tapol ke dalam kamp konsentrasi Pulau Buru. Termasuk di antaranya kaum, jurnalis, seniman, penyair dan sastrawan. Dari kalangan sastrawan dan penyair, selain Pramoedya Ananta Toer, juga HR Bandaharo, Boejoeng Saleh, Rivai Apin, S. Anantaguna, Samanjaya (Oei Haidjoen), Nusananta, Setiawan Hs, Amarzan Ismail Hamid, Sutikno Ws, JT Rahma, Benny Tjhung, James Kaihatu. Dari kalangan wartawan, antara lain : M Naibaho, Hasjim Rahman, Tom Anwar, Habib Azhari, Sumartono Mertoloyo, Samodra, Hariyudi, Kadi. Dari kalangan seni film dan seni drama : Basuki Effendy, Bachtiar Siagian. Dari kalangan ludruk dan ketoprak : Shamsuddin, Buwang, Dasul, Badawi. Dari kalangan seni rupa : Permadi Lyosta, Gultom, Sumardjo. 553 Lifting the Curtain on the Coup of October 1st 1965 – Suing for the Justice Sedangkan dari kalangan seni musik : Subronto K Atmodjo, M Yunanta, Go Giok Liong. Sederetan nama-nama tapol Pulau Buru itu tertera dalam buku tipis susunan eks-tapol Hersri S alias Setiawan Hs berjudul «Dunia Yang Belum Sudah» (1993). Yang menunjukkan antara lain, bahwa dalam keadaan bagaimana pun sulitnya, kaum pekerja kebudayaan dan seniman, sastrawan dan penyair tetap bukan saja bisa bertahan dalam mengayomi hidup dan kehidupannya, tapi juga senantiasa melakukan aktivitas dan kreativitas seninya. Bahkan, di dalam kamp Pulau Buru pun, Hersri : «sensor militer terhadap hasil daya cipta tapol, baik di atas panggung hiburan maupun di tengah tempat kerja, berlaku sangat keras. Dengan sekedar bertujuan untuk memperlihatkan kekuasaan, dan atas dasar itu menjatuhkan hukuman bagi tapol bersangkutan, terkadang sesuatu alasan terasa benar-benar di-ada-ada-kan belaka.» Hersri dalam makalahnya itu mengutarakan beberapa contoh. Seperti yang dialami seorang aktor yang juga sutradara film Basuki Effendy yang disiksa hanya karena menyanyikan lagu «Come Back To Sorento». Sang penguasa mengartikannya bahwa Basuki sedang melakukan agitasi untuk «meng-kam-bek-kan PKI». Begitu juga Lie Bok Hoo yang ditempelengi militer hanya lantaran
Recommended publications
  • Surrealist Painting in Yogyakarta Martinus Dwi Marianto University of Wollongong
    University of Wollongong Research Online University of Wollongong Thesis Collection University of Wollongong Thesis Collections 1995 Surrealist painting in Yogyakarta Martinus Dwi Marianto University of Wollongong Recommended Citation Marianto, Martinus Dwi, Surrealist painting in Yogyakarta, Doctor of Philosophy thesis, Faculty of Creative Arts, University of Wollongong, 1995. http://ro.uow.edu.au/theses/1757 Research Online is the open access institutional repository for the University of Wollongong. For further information contact the UOW Library: [email protected] SURREALIST PAINTING IN YOGYAKARTA A thesis submitted in fulfilment of the requirements for the award of the degree DOCTOR OF PHILOSOPHY from UNIVERSITY OF WOLLONGONG by MARTINUS DWI MARIANTO B.F.A (STSRI 'ASRT, Yogyakarta) M.F.A. (Rhode Island School of Design, USA) FACULTY OF CREATIVE ARTS 1995 CERTIFICATION I certify that this work has not been submitted for a degree to any other university or institution and, to the best of my knowledge and belief, contains no material previously published or written by any other person, except where due reference has been made in the text. Martinus Dwi Marianto July 1995 ABSTRACT Surrealist painting flourished in Yogyakarta around the middle of the 1980s to early 1990s. It became popular amongst art students in Yogyakarta, and formed a significant style of painting which generally is characterised by the use of casual juxtapositions of disparate ideas and subjects resulting in absurd, startling, and sometimes disturbing images. In this thesis, Yogyakartan Surrealism is seen as the expression in painting of various social, cultural, and economic developments taking place rapidly and simultaneously in Yogyakarta's urban landscape.
    [Show full text]
  • Research Study
    *. APPROVED FOR RELEASE DATE:.( mY 2007 I, Research Study liWOlVEXZ4-1965 neCoup That Batkfired December 1968- i i ! This publication is prepared for tbe w of US. Cavernmeat officials. The formaf coverage urd contents of tbe puti+tim are designed to meet the specific requirements of those u~n.US. Covernment offids may obtain additional copies of this document directly or through liaison hl from the Cend InteIIigencx Agency. Non-US. Government usem myobtain this dong with rimikr CIA publications on a subscription bask by addressing inquiries to: Document Expediting (DOCEX) bject Exchange and Gift Division Library of Con- Washington, D.C ZOSaO Non-US. Gowrrrmmt users not interested in the DOCEX Project subscription service may purchase xeproductio~~of rpecific publications on nn individual hasis from: Photoduplication Servia Libmy of Congress W~hington,D.C. 20540 f ? INDONESIA - 1965 The Coup That Backfired December 1968 BURY& LAOS TMAILANO CAYBODIA SOUTU VICINAY PHILIPPIIEL b. .- .r4.n MALAYSIA INDONESIA . .. .. 4. , 1. AUSTRALIA JAVA Foreword What is commonly referred to as the Indonesian coup is more properly called "The 30 September Movement," the name the conspirators themselves gave their movement. In this paper, the term "Indonesian coup" is used inter- changeably with "The 30 September Movement ," mainly for the sake of variety. It is technically correct to refer to the events in lndonesia as a "coup" in the literal sense of the word, meaning "a sudden, forceful stroke in politics." To the extent that the word has been accepted in common usage to mean "the sudden and forcible overthrow - of the government ," however, it may be misleading.
    [Show full text]
  • Indonesia – the Presence of the Past
    lndonesia - The Presence of the Past A festschrift in honour of Ingrid Wessel Edited by Eva Streifeneder and Antje Missbach Adnan Buyung Nasution Antje Missbach Asvi Warman Adam Bernhard Dahm Bob Sugeng Hadiwinata Daniel S. Lev Doris Jedamski Eva Streifeneder Franz Magnis-Suseno SJ Frederik Holst Ingo wandelt Kees van Dijk Mary Somers Heidhues Nadja Jacubowski Robert Cribb Sri Kuhnt-Saptodewo Tilman Schiel Uta Gärtner Vedi R. Hadiz Vincent J. H. Houben Watch lndonesia! (Alex Flor, Marianne Klute, ....--.... Petra Stockmann) regioSPECTRA.___.... Indonesia — The Presence of the Past A festschrift in honour of Ingrid Wessel Edited by Eva Streifeneder and Antje Missbach Die Deutsche Bibliothek – CIP-Einheitsaufnahme Indonesia – The Presence of the Past. A festschrift in honour of Ingrid Wessel Eva Streifeneder and Antje Missbach (eds.) Berlin: regiospectra Verlag 2008 (2nd edition) ISBN 978-3-940-13202-4 Layout by regiospectra Cover design by Salomon Kronthaler Cover photograph by Florian Weiß Printed in Germany © regiospectra Verlag Berlin 2007 All rights reserved. No part of the contents of this book may be reproduced in any form or by any means without the prior written permission of the publisher. For further information: http://www.regiospectra.com. Contents In Appreciation of Ingrid Wessel 9 Adnan Buyung Nasution Traces 11 Uta Gärtner Introduction 13 Antje Missbach and Eva Streifeneder Acknowledgements 17 Part I: Indonesia’s Exposure to its Past Representations of Indonesian History 21 A Critical Reassessment Vincent J. H. Houben In Search of a Complex Past 33 On the Collapse of the Parliamentary Order and the Rise of Guided Democracy in Indonesia Daniel S.
    [Show full text]
  • A Study of the Cultural Pages of Harian Rakjat in the Early 1950S
    The Communist Imagination: A Study of the Cultural Pages of Harian Rakjat in the Early 1950s Stephen Miller A thesis in fulfilment of the requirements for the degree of Doctor of Philosophy School of Humanities and Social Sciences, UNSW@ADFA, Canberra, Australia August 2015 2 Acknowledgements This dissertation would not have been possible without the enthusiasm, good humour, intelligence and patience of my primary supervisor, Paul Tickell. I cannot thank him enough for his continuing support and faith. He was well supported by my co-supervisors, Emeritus Professor Barbara Hatley and Dr. Edwin Jurriens. I want to especially thank Barbara for her patience in reading drafts in the final throes of thesis production. Dorothy Meyer saw the project through from the beginning of candidature until submission, providing companionship, coding advice, proof reading, and general editing support. Her enthusiasm and passion for my work were central to the thesis reaching the point of submission. The keen grammar sense of my mother, June Miller, helped improve the readability of many sections of the writing. Dr. Kaz Ross also deserves to be mentioned for a late reading of a complete draft and pushing me to submit. It is great to have good colleagues in your corner. I would also like to thank the administrative staff at UNSW at ADFA, especially Bernadette McDermott, who has always been flexible and helpful when dealing with a candidature that lasted far too long. During the prolonged revision process Rifka Sibarani’s support, enthusiasm, and affection was much appreciated, as it continues to be post-thesis. So many other people have also helped me out at various times—students, colleagues, friends, family, comrades.
    [Show full text]
  • ANOTHER LOOK at the INDONESIAN "COUP" Harold Crouch in the Early Hours of October 1St, 1965, Six Senior Generals, In
    ANOTHER LOOK AT THE INDONESIAN "COUP" Harold Crouch In the early hours of October 1st, 1965, six senior generals, in­ cluding the commander of the Army, Lt. Gen. Yani, were abducted and murdered at the Halim Air Force Base on the outskirts of Djakarta. Meanwhile rebel troops occupied Djakarta's Freedom Square enabling them to control the President's palace, the telecommunications center and the radio station. An announcement was broadcast which said that the "September 30th Movement," headed by Lt. Col. Untung, had arrested mem­ bers of the CIA-sponsored "Council of Generals" which had been planning a coup against President Sukarno. In Central Java a similar "coup" was carried out against the commander of the Army's Diponegoro Divi­ sion, Brig. Gen. Surjosumpeno. The "coup attempt" in Djakarta had failed by the evening of Octo­ ber 1st. Although President Sukarno had moved to the Halim base, he refused to commit himself in favor of the rebels. Meanwhile Maj. Gen. Suharto mobilized forces to retake Halim. By the time that Suharto's troops had taken control of the base shortly after dawn on the 2nd, President Sukarno, Untung and his associates as well as the PKI chair­ man, Aidit, had all left. In Central Java, Brig. Gen. Surjosumpeno reoccupied his headquarters in Semarang on October 2nd but his author­ ity was not fully reestablished until three weeks later when reinforce­ ments of elite troops arrived from Djakarta. These troops not only restored Surjosumpeno's authority but also set off the massacres which eliminated the PKI as a political force in Indonesia.
    [Show full text]
  • Sing Wis, Ya Wis: What Is Past Is Past. Forgetting What It Was to Remember the Indonesian Killings of 1965 Robert W
    University of Wollongong Research Online University of Wollongong Thesis Collection University of Wollongong Thesis Collections 2003 Sing Wis, Ya Wis: what is past is past. Forgetting what it was to remember the Indonesian killings of 1965 Robert W. Goodfellow University of Wollongong Recommended Citation Goodfellow, Robert W., Sing Wis, Ya Wis: what is past is past. Forgetting what it was to remember the Indonesian killings of 1965, Doctor of Philosophy thesis, Department of History, University of Wollongong, 2003. http://ro.uow.edu.au/theses/1425 Research Online is the open access institutional repository for the University of Wollongong. For further information contact the UOW Library: [email protected] Sing Wis^ Ya Wis: What is Past is Past. Forgetting what it was to Remember The Indonesian Killings of 1965 A thesis submitted in partial fulfilment of the requirements for the award of the degree DOCTOR OF PHILOSOPHY from UNIVERSITY OF WOLLONGONG Robert W. Goodfellow BA (hons) DEPARTMENT OF HISTORY 2003 Ul Synopsis The personal trauma associated with the intense violence that engulfed Indonesia between October and December 1965 is not enough to explain how an open and documented history of the killings was silenced for over 33 years. Likewise, the New Order government's political and military power to suppress competing historical accounts cannot fully elucidate this enduring silence. History is a story about who controls the means of historical consciousness as well as the production of narratives. Therefore, part of the answer of what enabled the forgetting of the Indonesian killings can be found in an examination of the Suharto regime's propaganda project.
    [Show full text]
  • Edisi Khusus Tempo
    SERI BUKU TEMPO : ORANG KIRI INDONESIA Njoto Peniup Saksofon Di Tengah Prahara DAFTAR ISI Laporan Khusus Peniup Saksofon di Tengah Prahara Saat Lek Njot Bersepatu Roda Lahir dari keluarga keturunan ningrat Solo. Suka musik klasik. Pedagang Batik Pembela Republik Revolusi Tiga Serangkai Ia belajar komunisme sejak belia. Bersama Aidit dan Lukman melakoni sejarah yang sama. Yang Tersisih dari Riak Samudra Ia tak tahu Gerakan 30 September. Menjelang insiden, disingkirkan dari partai. Jalan Curam Skandal Asmara Karier politik Njoto hampir tamat karena perempuan. Jabatannya di partai dilucuti. Soekarnoisme dan Perempuan Rusia Bung Karno menganggap Njoto tak seperti tokoh Partai Komunis Indonesia yang lain. Terpikat kesamaan ideologi. Merahnya HR, Merahnya Lekra Njoto memanfaatkan Harian Rakjat sebagai senjata agitasi dan propaganda partai. Namun ia menyelamatkan film Hemingway dari daftar haram, dan menolak memerahkan seluruh Lekra. Serba Kabur di Akhir Hayat Nasib Njoto tak pernah jelas hingga kini. Kabarnya, ia dihabisi dan jenazahnya dibuang ke Kali Ciliwung. Rahasia Tiga Dasawarsa Soetarni, istri Njoto, hidup sebelas tahun di penjara. Tujuh anaknya hidup berpisah, tinggal bersama sanak saudara. Kenangan di Jalan Malang 1 Secuil AsmAsmaraara Khong Guan Biscuit Karier politik Njoto berantakan setelah skandal percintaannya dengan perempuan Rusia terendus Jakarta. Ia tetap suami setia. Karena Janji Setia Hanya satu dekade mereka bersama. Sel penjara tak meluruhkan cintanya. Puisi Pamflet Sang Ideolog Njoto merayu calon istrinya dengan puisi cinta. Dia orang Lekra yang menyarankan agar tidak "menghancurkan" Hamka dalam kasus Tenggelamnya Kapal Van der Wijk. Kalau Sayang, Aturan Dilangkahi Ahli di berbagai bidang, Njoto menampilkan sosok PKI yang sama sekali berbeda. Dia dikenal pilih-pilih teman. Seorang Istri Empat Dasawarsa Kemudian Politbiro PKI, Njoto, dan G30S 2 NNNJOTONJOTOJOTO:: Peniup Saksofon di Tengah Prahara (Edisi Khusus Majalah Tempo Oktober 2009) IA berbeda dari orang komunis pada umumnya.
    [Show full text]
  • Merangkak Di Bawah Bendera Merah Sejarah Perkembangan Partai Komunis Indonesia Tahun 1948 Sampai Tahun 1955
    MERANGKAK DI BAWAH BENDERA MERAH SEJARAH PERKEMBANGAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA TAHUN 1948 SAMPAI TAHUN 1955 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah Disusun Oleh Nama : Ajeng Dewanthi NIM : 014314001 PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2007 i ii iii Ithaca When you set out on your journey to Ithaca Pray that road is long, Full of adventure, full of knowledge The lestrygonians and the Cyclops The angry Posedion-do not fear them You will never find such as these on your path If your thoughts remain lofty, if a fine emotion touches your spirit and your body The Lestrygonians and the Cyclops The fierce Posedion you will never encounter if you do not carry them within your soul if your heart does not set them up before you Pray that road is long That the summer mornings are many, when, with pleasure, with such joy You will enter ports seen for the first time; Stop at Phoenician markets And purchase fine merchandise, Mother-of pearls and coral, ember and ebony, and sensual perfumes of all kinds, As many sensual perfumes as you can; Visit many Egyptian cities, to learn and learn from scholars. Always keep Ithaca in your mind. To arrive there is your ultimate goal. But do not hurry the voyage at all. It is better to let it last for many years; And to anchor at the island when you are old Rich with all you have gained on the way, Not expecting that Ithaca will offer you riches Ithaca has given you beautiful voyage Without her you never have set out on the road She has nothing more to give you And if you find her poor, Ithaca has not deceives you Wise you have become, with so much experience You must already have understood what Ithaca means Constantine Cavafy (1863-1933) Diterjemahkan oleh Rae Dalven Take from: The Zahir by Paoulo Coelho iv Persembahan My Lord “Allah” yang telah memberiku hidup, “Misteri” yang menciptakan dunia.
    [Show full text]
  • Downloaded4.0 License
    Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 176 (2020) 338–372 bki brill.com/bki Cold War Polarization, Delegated Party Authority, and Diminishing Exilic Options The Dilemma of Indonesian Political Exiles in China after 1965 David T. Hill Murdoch University, Perth, Australia [email protected] Abstract Several thousand Indonesians were in China on 1 October 1965, when six senior milit- ary officers were killed in Jakarta by the Thirtieth of September Movement (G30S) in a putsch blamed upon the Indonesian Communist Party (PKI). The event changed the lives of Indonesians—in China and in their homeland—irrevocably.This article exam- ines the impact of bilateral state relations upon the fate of those Indonesian political exiles in China and assesses the role of the Beijing-based leadership of the PKI (known as the Delegation of the Central Committee) as it attempted to manage the party in exile. Oral and written accounts by individual exiles are drawn upon to illustrate the broader community experience and trauma of exile, which was particularly harsh dur- ing the Cultural Revolution. The fate of the Indonesian exiles during this tempestuous period of Chinese politics was exacerbated by the failure of the delegation and, ulti- mately, by the exiles’ eventual rejection by the Chinese state. Keywords exile – Indonesian Communist Party – delegation – Central Committee – Adjitorop – asylum – Djawoto 1 Introduction Indonesia and China have had a long, complex relationship, resting as much upon the accretion of cultural, including ethnic, links as upon post-indepen- dence conflicts and a coalescence of interests (Liu 2011). This article analyses © david t.
    [Show full text]
  • 1 Surat Dari Presiden Soekarno Kepada Ketua DPR Mengenai Bentuk Peraturan-Peraturan Negara
    KOTI I. INTERNAL KOTI A. Panglima Besar KOTI 1 Surat dari Presiden Soekarno kepada Ketua DPR mengenai bentuk peraturan-peraturan negara. 20 Agustus 1959 salinan 1 sampul 2 Pidato Presiden Soekarno dalam Sidang Majelis umum PBB ke XV. 30 September 1960 fotokopi 1 sampul 3 Naskah pidato Presiden Soekarno tentang Resopim. 17 Agustus 1961 fotokopi 3 lembar 4 Artikel mengenai pidato Presiden Soekarno tentang revolusi yang dikutip dari Harian Bintang Timur. 27 Nopember 1961 fotokopi 4 lembar 5 Naskah amanat Presiden Soekarno kepada para jaksa peserta kongres ke-3 di Bogor. 24 April 1962 konsep 3 lembar 6 Pidato Presiden Soekarno pada Pelantikan Panitia Museum Sejarah Tugu Nasional, Istana Merdeka, Jakarta. 03 Januari 1964 fotokopi 3 lembar 7 Agenda mengenai Acara Harian Presiden Sukarno beserta daftar tamu-tamu yang menghadap presiden. 1964 - 1966 asli 1 sampul 8 Laporan mengenai amanat PJM Presiden kepada Para Ketua/Induk Koperasi di Istana Negara berhubung akan diadakan Munaskop-II. tt fotokopi 8 lembar 9 Laporan mengenai pidato Presiden Soekarno pada rapat raksasa Dwi Dasawarsa RI dan pidato 17 Agustus. tt salinan 3 lembar B. Gabungan - 3 KOTI 10 Surat Perintah Umum untuk Sukarelawan/Sukarelawati Dwikora untuk mengadakan kesiapan tempur tingkat tinggi. 11 September 1964 stensilan 1 lembar 11 Laporan tentang suara-suara pers di ibu kota dan pernyataan partai politik mengenai Komando Gerakan Sukarelawan. tt fotokopi 2 lembar C. Gabungan - 5 KOTI 1. Bidang Hankam 12 Laporan kepada Perwira Staf KSAD tentang pemberontak PRRI, perjudian gelap, kepemilikan senjata api gelap dan pencopet yang bermarkas di Hotel Jakarta. 30 Maret-20 Oktober 1958 asli 1 sampul 13 Materi ceramah Brigjen S.
    [Show full text]
  • PEMBERONTAKAN PKI-MUSSO DI MADIUN Rachmat Susatyo
    PEMBERONTAKAN PKI-MUSSO DI MADIUN 18 - 30 SEPTEMBER 1948 Oleh: Rachmat Susatyo KOPERASI ILMU PENGETAHUAN SOSIAL JUNI 2008 Kata Pengantar Kemerdekaan Indonesia yang baru berjalan selama tiga tahun, pada tanggal, 18 September 1948, sudah dikacau- kan oleh pemberontakan yang di lakukan oleh kelompok Partai Komunis Indonesia (PKI). Kemerdekaan yang seharusnya diisi oleh pembangunan bangsa, justru dikacaukan oleh sekelompok orang yang tidak memahami arti kemerdekaan. Kepentingan pribadi dan kelompok lebih diutamakan daripada kepentingan nasional. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seharus- nya setiap warga negara lebih mengedepankan kepentingan bersama; daripada kepentingan pribadi dan golongan. Akibat dari pemberontakan PKI ini, potensi bangsa dan negara se- harusnya dapat dicurahkan bagi kemajuan; justru terkuras habis untuk memadamkan aksi pemberontakan tersebut. Pemberontakan PKI ini terjadi, akibat dari kesalahan “kalkulasi politik” PKI yang merasa dirinya mendapat dukungan luas dari mayoritas bangsa Indonesia yang nota bene memang dari kalangan buruh dan tani. Akan tetapi kalkulasi politik mere- ka tidak didasari oleh pemahaman yang baik tentang falsafah hidup bangsa Indonesia, yang sangat mengutamakan kehi- dupan yang aman, tentram, damai dan sejahtera. Paham komunisme hanya ada dan tumbuh dalam jiwa para aktivis PKI, sedangkan rakyat; khususnya buruh dan tani, tidak paham berpolitik. Mereka mengikuti aktivis PKI hanya karena ikut-ikutan, dan bukan karena pemahaman yang baik mengenai komunisme. Sehingga, ketika terjadi pemberontakan, rakyat yang mayoritas buruh dan tani; tidak serta merta ikut berjuang bersama para pimpinan PKI. Hasilnya, pemberon- takan PKI hanya didukung oleh segelintir orang yang tidak siap dengan aksi-aksi pemberontakan itu sendiri. Mereka hanya bersenjatakan alakadarnya, persenjataan yang lazim mereka pakai untuk aktivitas pertanian mereka. Hanya dari kalangan tentara dan polisi saja yang bersenjatakan senjata api, sejata yang sesuai untuk menghadapi tentara dan polisi yang pro pemerintah.
    [Show full text]
  • Bung Karno and the Fossilization of Soekarno's Thought by B Anderson
    Bung Karno and the Fossilization of Soekarno's Thought Author(s): Benedict R. O'G. Anderson Source: Indonesia, Vol. 74 (Oct., 2002), pp. 1-19 Published by: Southeast Asia Program Publications at Cornell University Stable URL: http://www.jstor.org/stable/3351522 Accessed: 24/09/2009 22:50 Your use of the JSTOR archive indicates your acceptance of JSTOR's Terms and Conditions of Use, available at http://www.jstor.org/page/info/about/policies/terms.jsp. JSTOR's Terms and Conditions of Use provides, in part, that unless you have obtained prior permission, you may not download an entire issue of a journal or multiple copies of articles, and you may use content in the JSTOR archive only for your personal, non-commercial use. Please contact the publisher regarding any further use of this work. Publisher contact information may be obtained at http://www.jstor.org/action/showPublisher?publisherCode=seap. Each copy of any part of a JSTOR transmission must contain the same copyright notice that appears on the screen or printed page of such transmission. JSTOR is a not-for-profit organization founded in 1995 to build trusted digital archives for scholarship. We work with the scholarly community to preserve their work and the materials they rely upon, and to build a common research platform that promotes the discovery and use of these resources. For more information about JSTOR, please contact [email protected]. Southeast Asia Program Publications at Cornell University is collaborating with JSTOR to digitize, preserve and extend access to Indonesia. http://www.jstor.org BUNG KARNO AND THE FOSSILIZATIONOF SOEKARNO'STHOUGHT* Benedict R.
    [Show full text]