Menguak Tabir Peristiwa 1 Oktober 1965 – Mencari Keadilan Merajut Senja di Panti Jompo http://www.media-indonesia.com/ ''ANGGAPLAH Ibu mati, kapan pulang jangan dipikir,'' ucap Lestari, 74, dengan ikhlas kepada anak-anaknya sekitar 13 tahun silam. Tidak ada keraguan dalam kalimat yang disampaikannya itu. Nada bicaranya tegas sama seperti keputusannya untuk menyimpan rapat-rapat kenangan bersama lima buah hatinya di Surabaya. Sekarang, wanita bertubuh kurus dan berambut putih itu tinggal bersama rekan- rekannya berusia lanjut di sebuah rumah mungil di Jalan Kramat V Nomor 1 C Jakarta Pusat. Di tempat yang bernama Panti Jompo Yayasan Waluya Sejati Abadi tersebut terdapat delapan wanita dan tiga pria lanjut usia (lansia). Mereka ini 'korban politik' -- mantan tahanan politik (tapol) kasus G-30-S/PKI (Partai Komunis Indonesia)-- masa lalu. Lestari, memilih tinggal di panti jompo itu lantaran tak ingin menyusahkan anaknya, sebab cap tapol PKI masih melekat. Pada 1968 Dia dicokok aparat di Malang, Jawa Timur (Jatim) karena dituduh terkait dengan aktivitas Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani)--underbow PKI--Jatim. Begitu pula dengan Soedjinah, 78. Wanita ini malahan salah seorang pengurus Gerwani Pusat. Mantan wartawati Harian Rakjat dan Bintang Timoer itu, memilih hidup sendiri setelah suaminya meninggal dunia saat bergerilya melawan pendudukan Jepang. Lestari dan Soedjinah merupakan sahabat lama saat mengha- diri kongres Gerwani di Surabaya, pada 1951. Penghuni lainnya, Siti Komariah, 79, merasa betah tinggal di panti meski baru satu tahun. Sebelumnya nenek ini serumah dengan keponakannya di Kendal, Semarang, Jawa Tengah (Jateng) tetapi merasa tertekan lantaran di tempat itu ia harus terkung- kung dalam aturan sang keponakan yang melarangnya pergi ke mana-mana. ''Enakkan di sini, bebas ngomong apa saja,'' ujar Siti. Setiap hari, mulai matahari terbit para penghuni panti ini mulai beraktivitas layaknya ibu rumah tangga. Urusan masak-memasak dikerjakan Lestari, sedangkan mencuci pakaian dilakukan mereka secara bergantian, begitu pula dengan membersihkan rumah dikerjakan secara gotong-royong. Aktivitas lainnya, secara rutin mereka membaca koran pagi serta nongkrong di muka televisi menyaksikan sinetron, tidak lupa program berita sebagai acara favorit. Selebihnya para mantan aktivis politik ini melakukan diskusi dengan beragam tema, mulai sosial, budaya sampai politik. Bahkan ada pula di antara mereka yang rajin mengikuti seminar, maupun turun ke jalan mengkritisi kebijakan pemerintah. Untuk melakukan semua kegiatan di rumah jompo ini, Yayasan Waluya Sejati Abadi harus merogoh kocek Rp2 juta per bulan. Selain yayasan, tidak sedikit pula donatur yang menggelontorkan rupiah ke rumah itu. 551 Lifting the Curtain on the Coup of October 1st 1965 – Suing for the Justice Bagi warga sekitar, apa yang dilakukan di rumah bercat putih kusam itu lazimnya rumah tangga biasa. ''Kami merasa tidak terganggu walau mereka mantan tapol,'' kata Saiful, 21, warga Kramat V. (*/M-3). *********************** Pemberangusan Lagu Kemerdekaan Manusia Tingkap : Sekitar Tembok Berlin (23) Oleh : A. Kohar Ibrahim Taktik-trik «kill of hope », « rotten apple » dan « teori domino » dalam rangka global strategi dengan pengobaran Perang Dingin yang panas oleh kaum nekolim dengan kolaborator di negeri-negara bersangkutan memang kebiadabannya luar biasa. Seperti di bagian-bagian kawasan Dunia Ketiga lainnya, di negeri kita pun terjadilah apa yang disebut Noam Chomsky sebagai « gulag archipelago » yang bersimbah darah, keringat dan air mata. Tindakan penghancur-binasaan yang mereka lakukan terhadap yang dianggap musuh dan dijadikan sasaran itu bukan hanya secara politis, juga psikis dan bahkan fisik. Termasuk diantaranya tindakan pembungkaman dan pemberangusan terhadap beragam bentuk ekspresi kreativitas dan penggelapan ingatan sejarah. Sebagai kebalikannya, sang penguasa secara sewenang-wenang menyebarkan ketakutan, dusta, fitnah dan pembodohan. Semuanya dilakukan secara intensif dengan memanfaatkan sarana media massa yang dihegemoninya dan jaringan pengajaran dari berbagai tingkat serta berbagai forum apa saja yang bisa menguntungkan atau mengamankan kekuasaannya. Demikianlah yang dilakukan sang penguasa Orba dan kaum orbais – baik semasa jaya-jayanya maupun setelah sang Kepala lengser. Seperti contoh tipikalnya berupa kasus Pramoedya yang masyhur secara nasional maupun internasional. Seperti juga macam kasus Ribka Tjiptaning Proletariati dengan bukunya yang menggemparkan berjudul « Aku Bangga Jadi Anak PKI ». Yang penerbitannya ditentang oleh elit politik yang tak kurang sedang berkedudukan sebagai RI-2. Yakni Wakil Presiden Hamzah Haz. meminta Kejaksaan Agung menyita dan menyelidiki karya Ribka sang Anak Tapol itu. Kasus Ribka terjadi tahun 2002, sedangkan kasus Pramoedya yang berkaitan dengan pengungkap-hidupan ingatan sejarah terjadi pada tahun 1995. Seperti diberitakan oleh Kompas Minggu 14 Mei tahun itu, berjudul : « Jaksa Agung Larang Buku ‘Nyanyi Sunyi ‘ Karya Pramoedya ». Dalam Kreasi nomor 24 1995 saya turunkan catatan budaya berkenaan dengan penerbitan buku terbaru Pram sampai tahun itu. Sebagai suatu evenement yang berkaitan pula dengan hari ulang tahunnya yang ke-70 sekaligus sebagai kado ultah perkawinannya yang ke-40 dengan Maemunah Thamrin. Buku yang berupa catatan-catatan dari Pulau Buru itu telah diterbitkan di Belanda dengan judul « Lied van een Stomme » (hasil penerjemah A. van der Helm dan 552 Menguak Tabir Peristiwa 1 Oktober 1965 – Mencari Keadilan Angela Rookmaker) oleh penerbit Manus Amici--Het Wereldvenster pada tahun 1988-1989. Pada hari ultah ke-70 dan peluncuran buku yang berlangsung di rumahnya sendiri itu, di antara para seniman, aktivis dan tamu-tamu asing yang hadir tampak Sitor Situmorang, Goenawan Mohamad, Rendra, Princen dan Mochtar Pabottinggi. Pada kesempatan itu Pram menjelaskan, bahwa catatan dan surat-surat yang terhimpun dalam buku itu, ditulis terburu-buru tanpa diperiksa kembali. Kecuali beberapa bagian. Semua ditulis setelah 1973, tahun penulis mendapat izin menulis. Dan dia berterimakasih yang tak berhingga kepada semua dan tiap orang. Mereka yang karena solidaritas internasional dan manusiawinya memungkinkan adanya kelonggaran penulis dalam pembuangan sejak Juli 1973, khususnya Amnesti Internasional, Komite Indonesia, Prof. Dr WF Wertheim dan Carmel Boediardjo. Dalam Catatan atas Catatan, Pram menandaskan, bahwa penerbitan buku itu, «didasarkan pada pertimbangan : apa dan bagaimana pun pengalaman indrawi dan batin seorang pribadi, apalagi dituliskan, ia jadi bagian dari pengalaman suatu bangsa dan umat manusia pada umumnya.» Sebagaimana lazimnya, tulis saya ketika itu, kaum intelegensia dan pers Indonesia telah membuta-tuli atas adanya penerbitan sebuah dokumen sosial sekaligus pembuktian dari korban kezaliman banditkrasi Orde Baru tersebut. Kecuali segelintir saja, di antaranya catatan ringkas di Kompas, artikel di Forum Keadilan dan Independen mewawancarai Pramoedya. Sebaliknya, pers luarnegeri, terutama Asiaweek dan Far Eastern Economic Revieuw menyiarkan komentar cukup panjang. Pramoedya dengan tegas menyatakan, bahwa maksud penerbitan buku «Nyanyi Sunyi Seorang Bisu» itu antara lain adalah agar «jangan sampai ada korupsi sejarah». Tetapi arogansi kekuasaan yang memang korup, sekali lagi telah memperlihatkan watak kezaliman sekaligus ketakutan akan kebenaran dan keadilan dengan melakukan larangan atas buku tersebut. Sesungguhnyalah, karena arogansi yang teriring ketakutan sendiri itulah penguasa Orde Baru membuang sebanyak 10.000 tapol ke dalam kamp konsentrasi Pulau Buru. Termasuk di antaranya kaum, jurnalis, seniman, penyair dan sastrawan. Dari kalangan sastrawan dan penyair, selain Pramoedya Ananta Toer, juga HR Bandaharo, Boejoeng Saleh, Rivai Apin, S. Anantaguna, Samanjaya (Oei Haidjoen), Nusananta, Setiawan Hs, Amarzan Ismail Hamid, Sutikno Ws, JT Rahma, Benny Tjhung, James Kaihatu. Dari kalangan wartawan, antara lain : M Naibaho, Hasjim Rahman, Tom Anwar, Habib Azhari, Sumartono Mertoloyo, Samodra, Hariyudi, Kadi. Dari kalangan seni film dan seni drama : Basuki Effendy, Bachtiar Siagian. Dari kalangan ludruk dan ketoprak : Shamsuddin, Buwang, Dasul, Badawi. Dari kalangan seni rupa : Permadi Lyosta, Gultom, Sumardjo. 553 Lifting the Curtain on the Coup of October 1st 1965 – Suing for the Justice Sedangkan dari kalangan seni musik : Subronto K Atmodjo, M Yunanta, Go Giok Liong. Sederetan nama-nama tapol Pulau Buru itu tertera dalam buku tipis susunan eks-tapol Hersri S alias Setiawan Hs berjudul «Dunia Yang Belum Sudah» (1993). Yang menunjukkan antara lain, bahwa dalam keadaan bagaimana pun sulitnya, kaum pekerja kebudayaan dan seniman, sastrawan dan penyair tetap bukan saja bisa bertahan dalam mengayomi hidup dan kehidupannya, tapi juga senantiasa melakukan aktivitas dan kreativitas seninya. Bahkan, di dalam kamp Pulau Buru pun, Hersri : «sensor militer terhadap hasil daya cipta tapol, baik di atas panggung hiburan maupun di tengah tempat kerja, berlaku sangat keras. Dengan sekedar bertujuan untuk memperlihatkan kekuasaan, dan atas dasar itu menjatuhkan hukuman bagi tapol bersangkutan, terkadang sesuatu alasan terasa benar-benar di-ada-ada-kan belaka.» Hersri dalam makalahnya itu mengutarakan beberapa contoh. Seperti yang dialami seorang aktor yang juga sutradara film Basuki Effendy yang disiksa hanya karena menyanyikan lagu «Come Back To Sorento». Sang penguasa mengartikannya bahwa Basuki sedang melakukan agitasi untuk «meng-kam-bek-kan PKI». Begitu juga Lie Bok Hoo yang ditempelengi militer hanya lantaran
Details
-
File Typepdf
-
Upload Time-
-
Content LanguagesEnglish
-
Upload UserAnonymous/Not logged-in
-
File Pages279 Page
-
File Size-