KONSEP KETUHANAN DAN KEMANUSIAAN DALAM HINDU

Oleh: IBG Yudha Triguna Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia Denpasar [email protected]

Abstract

This article discusses the concept of theology and humanity in of its implications for human relationships. believe in one God personified into many names, attributes, and functions. The belief in the personification of God in many varieties is based on the idea of the Saguna . The belief in God with His plural manifestations has inspired the whole series of ceremonies in Hinduism, both in relation to the life of the individual, the ceremony of preserving nature, the salvation and the happiness. The consistency of mind, speech, and deed determines man to hell, heaven and moksa as the world after death, as well as the measure of salvation in life.

Keywords: Theology, Humanity, Hindu

Abstrak

Artikel ini membahas tentang konsep ketuhanan dan kemanusiaan dalam Hindu implikasinya ragam,terhadap dilandasioleh hubungan antar paham manusia.Saguna HinduBrahman percaya. Keyakinan kepada terhadap satu Tuhan Tuhan yang dengan dipersonifikasi manifestasiNya ke dalam yangbanyak jamak, nama, telah atribut, menginspirasi dan tugas-fungsi. seluruh Kepercyaanrangkaian upacara terhadap dalam personifikasi Hindu, baik Tuhan dalam dalam kaitannya banyak dengan sepanjang hidup individu, upacara menjaga kelestarian alam, keselamatan dan kebahagiaan. Konsistensi pikiran, perkataan, dan perbuatan menentukan manusia mencapai neraka, sorga, dan moksa sebagai dunia setelah kematian, sekaligus menjadi ukuran keselamatan dalam hidup.

Kata Kunci: Ketuhanan, Kemanusiaan, Hindu

I. PENDAHULUAN pohon besar akan ditemukan tempat pemujaan dan pohon itu sendiri dibungkus kain kotak- Dalam pergaulan antarpemeluk agama, kotak hitam putih], sungai, danau, laut dan acapkali Agama Hindu dianggap oleh outsider lembah [dilaksanakannya berbagai upacara sebagai agama politeisme, agama yang memuja danu kertih, segara kertih, wana ], kertihdan banyak Tuhan. Tidak hanya itu, Hindu juga tempat sejenis. Keyakinan dan pemujaan kepada identik dengan agama yang memberi ruang roh para leluhur yang di-istanakan di masing- untuk berkembangnya kepercayaan dan masing sanggah atau merajan, semakin ritualisme kepada mahluk yang lebih ‘rendah’ memperkaya keunikan agama Hindu bagi dari Tuhan, seperti para butha, kepercayaan pemeluknya.Sebaliknya bagi outsider, kondisi kepada para roh penghuni pohon [di setiap ini dianggap semakin tidak mudah dijelaskan

KONSEP KETUHANAN DAN KEMANUSIAAN DALAM HINDU 71 IBG Yudha Triguna dan dipahami dalam satu uraian singkat. ketidakseragaman dalam konsepsi ketuhanan. Kompleksitas kedudukan Tuhan dalam Variasi itu semakin komples jika diamati konsepsi Hindu [terlebih di Bali dan Indonesia upacara stages along the life cycle dan upacara pada umumnya] semakin tidak mudah setelah kematian. Hindu [di Bali atau komunitas dijelaskan dan dipahami oleh pihak lain dengan Hindu di berbagai daerah di Indonesia beretnis diberikannya ruang bagi konsepsi desa, kala, Bali] mengenal upacara sejak bayi masih dalam patra dalam pelaksanaan ritualnya, baik dalam kandungan hingga pernikahan. Ketika usia konsteks upacara stages along the life cycle kandungan beranjak 7-8 bulan Bali [satu bulan maupun upacara setelah kematian. Desa dalam 35 hari] akan diadakan upacara magedong- konteks ini berarti tempat, artinya Hindu gedongan yang hakikatnya agar bayi terlahir memberi ruang adanya perbedaan atau varian selamat, dilindungi oleh Tuhan, upacara upacara akibat tempat dan lingkungan yang mabayuh jika usia kandungan dilewati wuku berbeda. Upacara yang dilaksanakan di Wayang, maka ibu dan cabang bayi harus lingkungan pegunungan berbeda dengan yang dibayuh sapu leger. Setelah kelahiran akan dilakukan dalam lingkungan pesisir, setidaknya diselenggarakan upacara pegat pusar [putus berbeda dalam sarana yang digunakan dan puser], tuun tanah [turun tanah] yang dipersembahkan dengan konten yang sama. dilaksanakan ketika bayi berumur tiga bulan Kala berarti waktu.yang artinya Hindu dengan Bali. Setelah itu, dilaksanakan upacara naik sistem kalendernya [perhitungan dengan dewasa [menek kelih, ngaraja swala], bagi mengkombinasikan antara wuku, sapta wara perempuan saat menstruasi pertama, dan bagi dan panca wara] untuk mencari dan menentukan laki-laki saat sudah pernah mimpi basah. hari baik untuk dipilih dan hari buruk untuk Penyelenggaraan upacara menek kelih ini dihindari. Akibat sistem perhitungan ini, akan biasanya dikaitkan dengan upacara potong gigi di ditemukan di daerah tertentu upacara ngaben [masangih, mapandes] sebagai simbol dilaksanakan sebelum matahari condong ke pengekangan terhadap 6 musuh dalam diri, barat, sementara di daerah lainnya dilaksanakan yang disebut dengan Sad Ripu.Upacara setelah matahari condong ke Barat. Perbedaan pernikahan juga dilaksanakan dengan prinsip pelaksanaan upacara ngaben dimaksud dapat bahwa upacara pernikahan adalah upacara yang diterima dan sesuatu yang biasa disebabkan penuh krisis, peralihan dari masa Brahmacari karena berlakunya unsur desa dan kala. menuju masa Grahasta. Oleh karena itu, dalam Sedangkan pertimbangan patra [keadaan] setiap tahapan akan ditemukan proses berkaitan dengan level upacara itu, yang pelepasan, penerimaan, dan integrasi kembali, dibedakan berdasarkan tingkatan utama, baik secara sosial [antar kedua keluarga], madya, nista. Bagi yang mampu dapat maupun dalam bentuk ritual dan konsepsi melaksanakan upacara keagamaan sesuai mengenai [migrasi] terhadap para leluhur dan dengan kemampuannya, mulai nista sampai atau Tuhan. Seluruh rangkaian ritual yang utama. Sementara bagi yang kurang mampu dilaksanakan, merupakan implementasi dapat memilih upacara yang paling nista mengenai konsepsi keselamatan dan anugrah [sederhana] dengan substansi yang sama dalam agama Hindu yang dibungkus ragam sebagaimana dinyatakan dalam Bhagawad Gita upacara sesuai dengan desa, kala, dan patra. [III.3.1] “Istham bhagantu o Dewa dasyante Dari seluruh uraian yang menunjukkan yadnya bhawitah airdhanam apradayai bhya Yo keanekaragaman pelaksanaan ritual Agama Bukre Srena ewasah” yang artinya “Siapa yang Hindu di atas, maka naskah ini akan membahas sujud kepada-Ku dengan persembahan bagaimana sesungguhnya konsepsi ketuhanan setangkai daun, sekuntum bunga, sebiji buah- dan keselamatan dalam Hindu serta implikasi buahan atau seteguk air, Aku terima sebagai terhadap hubungan antarmanusia. persembahan dari orang yang berhati suci”. Kata kunci dari setiap pelaksanaan upacara II. PEMBAHASAN mensyaratkan adalah unsur tulus dan iklas [lascarya].Dengan konsepsi desa, kala, dan 2.1 Ketuhanan dalam Hindu patra, maka ritual Hindu semakin bervariasi Hindu menganut paham monoteisme, yang oleh para outsider dapat dianggap sebagai mengakui satu Tuhan sebagai yang Esa.Konsepsi

DHARMASMRTI 72 Nomor 18 Vol. I Mei 2018 : 1 - 134 Tuhan sebagai yang tunggal dapat dipahami sebagai yang tunggal sebagai berikut. melalui beberapa sumber berikut. Dalam “Tad evagnis tad adityas tad tad u Rgveda Mandala I Sukta 164, mantra 46 cadramah, dinyatakan sebagai berikut. Tad eva sukra tad tapan sa “Ekam sat wiprah bahuda wadanti, agnim prajapatih.” yaman matariswanam.” Terjemahannya: Terjemahannya: adalah itu, Aditya adalah Itu, “Tuhan itu satu, oleh para Rsi disebutkan adalah itu, Candrama adalah Itu, dengan Agni, Yama, Matariswanam”. Cahaya adalah itu, Brahma adalah Itu, Apah adalah Itu, Prajapatilah Ia. Di dalam Rgveda Mandala I.Sukta 164 Mantra 46 menyebutkan sebagi berikut. Keyakinan akan ke-Esa-an Tuhan dalam “Indram mitram varunam,Agnir ahur agama Hindu dinyatakan dengan dua cara atho divyah pandang, yaitu Tuhan yang memiliki sifat-sifat Ekam sadviprah bahudha vadhantyagim Nirguna Brahman [Tuhan tidak berwujud, dan yamam mataiswam ahuh.” merupakan jiwa suci] dan Tuhan yang bersifat Saguna Brahman[Tuhan diberi nama, bentuk, Terjemahannya: dan atribut lainnya]. Sebagai Nirguna Brahman Mereka menyebut , Mitra, Varuda, Tuhan dinyatakan tak berwujud, tidak Agni, dan Dia yang bercahaya yaitu terpikirkan dan abstrak sebagaimana tersirat Garutman yang bersayap elok, satu dalam sloka Bhagawab Gita [II-25] sebagai kebenaran itu [Tuhan] orang bijaksana berikut. menyebut dengan banyak nama seperti “Avyakto’yam acintyo ‘yam Avikaryo ‘yam Agni, Yama, Matarisavan. ucyate Tasmad evam viditvainam Manusocitum Dalam Rgveda Mandala X Sukta 83 Mantra 3 arhasi.” juga dinyatakan sebagai barikut. “Ya nah pita janita yo nidhata dhanani Terjemahannya: veda bhuvanani vista, “Dia tidak dapat diwujudkan dengan Yo devanam namadha eka eva, tam kata-kata, tidak dapat dipikirkan, dan samprasnam bhuvana yantyanya.” dinyatakan, tak berubah-ubah; karena itu dengan mengetahui sebagaimana Terjemahannya: halnya, engkau tak perlu berduka [Pudja, Oh Bapak kami, pencipta kami, pengatur 2005: 47] kami yang mengetahui semua keadaan, semua apa yang terjadi, Dia hanyalah Esa Dalam naskah yang sama [Bhagawad Gita, belaka memikul nama bermacam-macam XII-3] dinyatakan sebagai berikut. dewa, kepada Nya lah yanglain mencari- “Ye tv aksaram anirdesyam Avyaktam cari dengan bertanya-tanya. paryupasate Sarvatra-gam acintyam ca Kuta-stham Di dalam sumber yang sama Rgveda juga acalam dhruvam”. ditemukan konsepsi Tuhan yang tunggal sebagai berikut “Ekam sat wiprah bahudha vadanti” Terjemahnnya: hanya satu Tuhan, tapi para bijaksana “Tetapi yang memuja Yang Kekal Abadi, menyebutnya dengan banyak nama. Lebih lanjut yang tak terumuskan, hal yang sama ditemukan dalam sloka “Ekatwa Yang tak nyata, yang melingkupi anekatwa, swalaksana Bhatara” artinya yang segalanya, dan yang tak terpikirkan, satu itu Tuhan dan yang banyak itu pula Tuhan, Yang tak berubah, yang tak bergerak, semua adalah Tuhan [Lontar Jnanasiddhanta]. yang abadi [Pudja, 2005: 310]. Sementara itu, sumber lain yakni dalam Yajur Veda 3.21 dinyatakan juga mengenai Tuhan Sementara itu, menurut pandangan Saguna

KONSEP KETUHANAN DAN KEMANUSIAAN DALAM HINDU 73 IBG Yudha Triguna Brahman, Tuhan berwujud, berkepribadian, kuning, di sebelah utara Dewa Wisnu, dan disimbolkan dengan berbagai atribut yang disimbolkan dengan A, warnanya hitam, dan di satu sama lain kadang-kadang berbeda, tengah-tengah dipuja Siwa dengan simbol sehingga mengesankan Tuhan itu bersifat aksara I dengan warna campuran [brumbun]. jamak. Dalam agama Hindu, Tuhan yang Tunggal Konsepsi Tuhan sebagai penguasa 5 arah mata angin, kemudian dikembangkan dalam memiliki sifat-sifat maskulin dan femenim, konsepsi 7 dan 11 [eka dasa ], Konsepsi 7 lingga[Esa] dipersonifikasidan yoni, akasa-prethiwi menjadi , Tuhandan cetana- yang dibangun berdasarkan keyakinan Tuhan dalam acetana. Penjelasan mengenai cetana [Tuhan manifestasikan sebagai Siwa [di tengah], yang berkesadaran] dan acetana [Tuhan yang berdimensi tiga loka Bhur, Bhwah, dan Swah tidak berkesadaran] secara lebih detail dapat dengan tiga sebutan berbeda [walau itu satu], didalami pada Wrhaspati tattwa [SS, 2009], yakni Siwa, Sadasiwa, dan Paramasiwa. parwa [Sura, 2002] maupun pada Sedangkan Tuhan dalam manifestasikan sebagai dalam Samkya dan [Sura, 2009]. Malahan yang 11, dikembangkan dari konsepsi 5, 7, dengan menyimbolkan Tuhan sebagai penguasa setengah purusa dan setengah predana, arah mata angin yang lainnya, yaitu arah dalamsetidaknya simbolisasi, hal itu Tuhan dapat kadang dipahami dipersonifikasi melalui Tenggara dengan Dewa Maheswara, waranya konsepsi Ardanareswari. Dalam aksara dan orange, aksaranya NA; arah barat daya dewanya yoga konsepsi Tuhan dalam yang dua Rudra dengan warna ping, dan aksaranya MA; di disimbolkan dengan aksara Ang dan Ah. arah barat laut, dewanya Sangkara, dengan Tuhan yang satu kemudian dikembangkan ke warna hijau dan aksaranya SI; di arah timur laut dalam konsepsi tiga, dalam fungsinya sebagai Dewa Sambu, dengan warnanya biru, dan Pencipta disebut Dewa Brahma dengan saktinya aksaranya WA, serta di di tengah Iswara, dengan . Sebagai Pemelihara, Ia disebut Wisnu aksara YA [Triguna, 1997; PHDI, 2013: 112- dengan saktinya Sri dan Tuhan dalam manifertasi 113]. Uraian di atas, telah menunjukkan bahwa sebagai Pelebur disebut Siwa dengan saktinya Hindu dengan konsepsi moteisme, . Ketiga manifestasi Tuhan dalam fungsi berbeda-beda itu disebut dengan satu istilah, yaitu Tri , yang disimbolkan dan dipuja di menjadimempersonifikasi 5 [Iswara, Brahma, Tuhan Mahadewa, menjadi Wisnu, 3 [Brahma, PuraDesa untuk Dewa Brahma, di Pura Puseh danWisnu, Siwa], kemudiandan menjadiSiwa], 7 [Iswara,kemudian Brahma, mempersonifikasi untuk memuja Dewa Wisnu, dan di Pura Dalem Mahadewa, Wisnu, Siwa, Sadasiwa, dan untuk memuja Dewa Siwa. Konsepsi ini Paramasiwa], menjadi 9 [Iswara, Brahma, dilaksanakan di hampir lebih dari 2.400 desa Mahadewa, Wisnu, Siwa, Iswara, Brahma, adat yang tersebar di Bali, dan desa-desa Mahadewa, dan Wisnu,] dan bercorak Bali di seluruh pelosok tanah air. Jadi, Tuhan yang tunggal menginspirasi Tuhan dalam eka dasa dengan rudramenambahkan yang 9 tiga fungsi utama, yaitu Dewa Brahma, Wisnu, mempersonifikasikannyaRudra di atas dengan Sadasiwa danlagi Paramasiwa menjadi. 11 atau dan Siwa sekaligus sebagai pengakuan atas sebuah siklus lahir [Brahma], hidup [Wisnu], dalam angka 11, tetapi berkembang ke 33 Dewa dan mati [Siwa] atau dalam bahasa agama Hindu sebagaimanaPersonifikasi tercantum dalam Hindudalam kutipan tidak berhenti Rgveda proses itu disebut uttpeti, stithti dan pralina. Mandala I. Sukta 34.Mantra 11 berikut. Tuhan Yang Esa, kemudian dimanifestasikan “A nasatya tribhirekadasaimha devebhir pula ke dalam wujud 5, disimbolkan dalam yatam madhupeyam asvina, purustaristam aksara SA, BA, TA, A, I yang menguasai empat ni rapam si mrksataim sedhatam dveso penjuru mata angin dan satu di tengah sebagai bhavatam sacabhurva.” pusat [seperti halnya konsepsi monco pat dalam kebudayaan Jawa]. Di arah Timur [SA] Tuhan Terjemahannya: dalam manistasi sebagai Dewa Iswara, warnanya “Semogalah Engkau tiga sebelas [33] putih; di sebelah selatan disimbolkan dengan tidak pernah jatuh dari kesucian, sumber aksara BA dengan Dewanya Brahma, warnanya kebenaran, yang memimpin kami menuju merah; di arah barat Dewa Mahadewa, jalan untuk memperoleh kebajikan, disimbolkan dengan aksara TA, warnanya semoga Tuhan Yang Maha Esa menerima

DHARMASMRTI 74 Nomor 18 Vol. I Mei 2018 : 1 - 134 persembahan kami, memperpanjam kemudian ditambah Indra dan , hidup kami, menghapuskan kekurangan seluruhnya menjadi 33”. kami, melenyapkan sifat-sifat jahat kmi dan semoga semuanya tidak Penjelasan di atas menegaskan kedudukan membelenggu kami”. dengan berbagai nama, atribut, dan peran yang “Ye devaso divy ekadasa stha prithivyam berbeda-beda.Tuhan sebagai Jadi,yang Hindu Esa, namunbukan agamadipersonifikasi yang adhy ekodaso stha, memuja banyak Tuhan, melainkan agama yang Apsuksito mahanaikadasa stha te devaso memuja satu Tuhan beserta percikan sinar dan yajnamimam jusadhvam”. jiwa Tuhan yang disebut berbagai nama dan [Rgveda Mandala I.Sukta 139. Mantra 11] sebagai bentuk pujian. Sinar dan percikan jiwa Tuhan itu bersifat banyak [nawa rupa], dan Terjemahannya: “Wahai para dewa [33 dewa], sebelas di dalam bentuk 2 [cetana-acetana], 3 [Brahma- sorga, sebelas di bumi, dan sebelas di ketikaWisnu-Siwa], dipersonifikasi dalam bentuk Hindu 5 [Iswara, memuja Brahma, Tuhan langit, semoga engkau bersuka cita Mahadewa, Wisnu, dan Siwa], dalam bentuk 7 dengan persembahan suci ini”. [Iswara, Brahma, Mahadewa, Wisnu, Siwa, Sadasiwa, Paramasiwa], dalam bentuk 9 [Iswara, Dalam sumber lain, yakni [bagian Brahma, Mahadewa, Wisnu, Siwa, Maheswara, dari Weda yang berisi nyanyian dan pujian yang Rudra, Sangkara, dan Sambu], dalam bentuk 11 dilantunkan saat upacara dilaksanakan, berisi [Iswara, Brahma, Mahadewa, Wisnu, Maheswara, tatacara melaksanakan yadnya yang benar], Rudra, Sangkara, Sambu, Siwa, Sadasiwa, khususnya dalam bagian [XIV.31] juga Paramasiwa] dan 33 dengan komposisi 11 di ditemukan aspek Tuhan dalam 33 manifestasi langit, 11 di sorga, dan 11 di bumi. sebagai berikut. “Trayastrimsatastuvata bhutanyasamyan, 2.2 Konsepsi Tentang Harmoni dan Prajapatih paramestayadhipatirasit”. Keselamatan Ajaran agama Hindu menekankan pentingnya Terjemahannya: membangun hubungan harmonis dengan “Pemujaan oleh 33 dewa dan kedamaian Tuhan, antarmanusia, dan hubungan manusia ditegakkan Tuhan Yang Maha Esa, dengan lingkungan, yang dituangkan dalam satu maharaja dari semua mahluk, Ia adalah istilah tri-hita-karana. Tri berarti tiga, hita penguasa dan pengendalinya”. berarti kebahagiaan dan karana berarti sebab. Dengan demikian, tri hita karana berarti tiga Lebih lanjut, penjelasan tentang 33 penyebab kebahagiaan, intinya manusia Hindu namadewata tersebut dapat ditemukan dalam diajarkan memelihara hubungan harmonis kitab Satapatha [XIV.5] sebagai antara dirinya dengan Tuhan, dengan sesama berikut. manusia, dan dengan lingkungan.Bagi pemeluk “Sa hovaca mahiman evaisameteHindu hidup harmoni diyakini dapat menjadi trayastrim satteva iti, pangkal kedamaian, keselamatan, dan katame te trayastrisadity astau vasavah,kebahagiaan. ekadasarudra Konsepsi mengenai hidup harmonis, dvadasadityayasta ekatrimsad Indrascadisamping penting dan selalu ditekankan dalam iva prajapatisca, traya strimsavati”. ajaran-ajaran agama Hindu, juga dipelihara melalui ritus-ritus keagamaan. Ditemukan Terjemahannya: banyak terminologi agama yang bermakna “Sesungguhnya Ia mengatakan: “ adalah bahwa “kita adalah sebuah keluarga dan “kita kekuatan agung yang dasyat sebanyak 33 bersaudara” melalui terminologi Wasudewa devata. Siapakah devata itu ? Mereka Kutumbakam yang bersumber dari teks Maha adalah 8 Vasu [astavasu], 11 Rudra Upanisad. Persaudaraan antarsesama harus [ekadasarudra], 12 Aditya dilandasi prinsip bahwa “setiap orang [Dvadasaditya], jumlah seluruhnya 31, hendaknya menjaga dan menjadikan semua

KONSEP KETUHANAN DAN KEMANUSIAAN DALAM HINDU 75 IBG Yudha Triguna orang berbahagia”. Oleh karena itu, setiap orang 2002: 22-35]. harus menjaga dan memperlakukan orang lain Prinsip ajaran tat twam asitentu tidak bisa seperti halnya menjaga dan memperlakukan dilaksanakan jika di dalam diri kita masih ada dirinya sendiri. Konsepsi ini dikenal dengan rasa dengki, iri hati, pendendam, pemarah, istilah tat twam asi [, IV,8.7]. sifat-sifat tersebut mempersempit atau “Sa ya eso’nima aitad atmyammenghalangifitnah, dan seterusnyakesadaran kepadadiri yang pihak cenderung lain. Karena sarvam, tat satyam, melahirkan sifat keakuan [egoism].Karena itu, Sa atma: tat twam asi, Svetaketu”.ajaran ini baru menjadi suatu pola tindakan, jika telah dilaksanakan sebagai disiplin, karena Terjemahannya: agama adalah praktek dan disiplin diri.Patañjali “Itu merupakan esensi halus seluruh [Suamba, 2015] menjelaskan bahwa, manusia jagat ini adalah untuk dirinya sendiri. memiliki lima klesa atau kesedihan, yaitu [1] Itulah kebenaran. Itulah Atman. Engkau avidya yaitu kesadaran akan realitas yang adalah itu, Svetaketu”. cendrung melemah atau salah; [2]asmita, yaitu keakuan yang cendrung meningkat atau Menurut pandangan advaita , memandang roh sama dengan pikiran; [3]raga, manusia harus memelihara persaudaraan dan yaitu keterikatan akan objek pesona semakin memperlakukan orang lain seperti menjadi-jadi; [4]dvesa, yaitu kebencian kepada memperlakukan diri sendiri. Hal ini dilandasi yang tidak menyenangkan; dan [5]abhinivesa, pemikiran bahwa “manusia secara esensial yaitu ketakutan menghadapi kematian [Sura, sama, walaupun secara fenomena tidak sama”. 2009: 22].Agar manusia bisa menekan Kesamaan esensial dilandasi keyakinan bahwa kecemasan itu, Mahàrsi Patañjali mengajarkan semua benda mengandung energi yang tidak Astanga Yoga, delapan tahap yoga dengan jalan lain adalah panas atau prana dan itu adalah daya abhyasa atau latihan terus menerus dan hidup. Karena itu, segala perbuatan yang dapat sistematis [I:12] dan wairagya atau mengakibatkan penderitaan, ketidak ketakmelekatan terhadap objek [I.12, 15]. seimbangan, disharmoni, bahkan penghancuran Bagi umat Hindu yang tidak menekuni jalan dan kematian orang lain serta alam semesta, Jnana dan Yoga, dibenarnya menggunakan jalan bertentangan dengan prinsip dasar ajaran lainnya , yaitu jalan Bhakti dan . Bhakti kemanusiaan di dalam agama Hindu. menekankan pentingnya upacara dan Secara implisit Hindu menekankan persembahahan. Sedangkan karma menekankan pentingnya menahan diri terhadap kekerasan pentingnya kerja keras, pengabdian dengan yang menimbulkan rasa sakit dan penderitaan tulus iklas, serta pelayanan sepenuh hati bagi mahluk yang memiliki kesadaran, yaitu [sewaka ]. Idealnya, umat Hindu manusia dan binatang. bukan semata ditekankan menguasai dan melaksanakan empat jalan [catur marga] dharma, namun mental mencintai. Non-kekerasan sebagai suatu kenyataannya dibenarnya memilih salah satu di kondisisebuah kondisimental fisik,berbeda tetapi dengan lebih kepadasikap tak sikap antara empat jalan dharma [catur marga] yang melawan. Non-kekerasan tidak memiliki diajurkan. dendam dan kebencian. Dalam bahasa Melalui jalan bhakti, umat Hindu Sangsekerta Himsa atau kekerasan, berbeda mempraxiskan dogma agamanya dalam bentuk dengan danda, atau hukuman. Himsa melukai persembahan dan upacara. Upacara yang orang yang tidak bersalah; sedangkan danda dilaksanakan dalam siklus manusia dari lahir adalah tindakan pengendalian sah terhadap hingga mati, maupun upacara dalam kaitannya orang yang bersalah. Hindu menentang berbagai dengan upacaya memelihara harmoni dengan kekerasan kemanusiaan, sebab jika itu lingkungan, semuanya mengandung makna dilakukan, maka kelak akan menjelma menjadi pentingnya harmoni dan permohonan untuk orang penuh dosa, penyakitan, penjahat, dan keselamatan. pendek umur. Secara detail bentuk hukuman Persembahan harian setelah selesai memasak tentang segala perbuatan yang tidak diharapkan [yadnya sesa] kepada Tuhan, roh leluhur, dan dapat dipahami dalam Agastya Parwa [Sura, para butha merupakan praktek memuliakan

DHARMASMRTI 76 Nomor 18 Vol. I Mei 2018 : 1 - 134 semua ciptaan Tuhan. Disamping itu, yadnya ketenangan, keselamatan, dan kebahagiaan sesa dimaksudkan agar apa yang dimasak dan manakala manusia masih diganggu oleh kemudiaan dimakan, dipersembahkan terlebih kekuatan-kekuatan mahluk lain di bawah dahulu kepada Sang Pencipta sebagai simbolilasi kehidupan manusia. Oleh sebab itu, upacara agar manusia tidak dianggap pencuri. Mengambil tawur atau caru merupakan rangkaian awal dari dan mengkomsumsi cipataan-Nya tanpa terlebih setiap upacara kepada Tuhan. dahulu mempersembahkannya adalah tindakan Cara manusia Hindu mengaplikasi ajaran dosa. Bagi penganut jalan Jnana dan yoga marga, agamanya dalam bentuk upacara dapat pula persembahan ini kadang-kadang diganti dengan dipahami melalui ritus penghormatan kepada mengucapkan doa sebelum makan. Tuhan sebagai penguasa api, air, tumbuhan, dan Upacara bayi dalam kandungan [ketika mahluk hidup lainnya. Dalam konteks berusia tujuh bulan Bali atau 8 bulan kalender], penghormatan kepada Tuhan dalam manifestasi upacara bayi berusia 3 bulan saat pertama kali sebagai matahari disebutkan disebutkan dalam turun tanah, upacara naik dewasa [menek kelih], Yajur Veda Mandala I. Sukta III. Mantra 6 sebagai upacara potong gigi, upacara perkawinan, dan berikut. kematian semuanya mengandung tujuan Aayam gauh prsnir akramiidasadan menghindari krisis dan dibukakan jalan menuju Maataram purah, pitaram ca prayantsvah keselamatan. Anggapan akan masa krisis yang dialami oleh Terjemahannya: setiap individu yang sedang mengalami Bumi ini berputar di angkasa, dengan peralihan tahapan hidup [dari masa anak-anak sumber air dalam orbitnya. ke dewasa, masa dewasa ke tua, dan kematian] Ia bergerak mengelilingi ayahnya, yaitu adalah proses yang penuh masa-masa gawat. matahari. Oleh karena itu, harus dinetralkan dengan ritual sesuai tingkatan peralihannya. Anggapan akan Pentingnya kedudukan air sebagaimana gangguan dari mahluk lain, menginspirasi tersurat dalam berbagai sumber, tidak berhenti dilaksanakannya berbagai upacara caru atau di tataran kitab suci, namun [di Bali khususnya] tawur untuk ‘mahluk bawah’. Tawur eka dasa kemudian diimplementasikan ke dalam berbagai rudra [dilaksanakan 100 tahun sekali], panca aktivitas kebudayaan.Dibedakannya antara Bali krama[dilaksanakan 10 Tahun sekali], Tri prethiwi, apah, teja, , dan bayu akasa sebagai Bhuwana [dilaksaksanakan 5 tahun sekali], Eka elemen yang bertruktur [dari yang konkrit ke Bhuwana [dilaksanakan 3 tahun sekali] maupun yang semakin abstrak] dengan segala aktivitas tawur kasanga yang dilaksanakan setiap tahun ikutannya menjadi bukti tentang hal itu. sekali, sehari sebelum hari raya Nyepi, serta Demikian pula dibedakan antara yeh-toya-tirta tawur yang dilaksanakan oleh masing-masing memperkuat keutamaan air dalam struktur keluarga batih [tawur eka satu, panca satakebudayaan Bali.Yeh, secara sosiologis hingga Rsigana] pada dasarnya adalah ruwatan diletakkan sebagai sesuatu yang biasa yang bumi, agar semua mahluk berbahagia. hanya berfungsi untuk hal-hal yang bersifat Pelaksanaan tawur dalam berbagai toya dan tingkatannya, dilandasi pemikiran bahwa dunia tirta yang sudah muatan spiritual dan agama, ini dibedakan atas alam bawah [bhur], alam walaufisikal ketiganya dan sekuler, menunjuk berbeda pada dengan entitas yang manusia [bhwah], dan alam Dewata [Swah]. Di sama. Air dalam kebudayaan Hindu kemudian bawah alam manusia, hidup berbagai butha menjadi berbeda nilai dan maknanya melalui yang jika tidak diberikan lelabaan [suguhan], proses ritual yang dipayungi oleh agama, dapat mengganggu kehidupan manusia, dan sebagaimana tertuang dalam teks-teks kitab pada akhirnya akan menyebabkan tidak suci. Air kemudian disakralisasi menjadi tirta fokusnya manusia menghubungkan diri dengan [pabiokalan, pakelemigian, prayascita, Tuhan. Para butha dalam agama Hindu tidak pabresihan-panyucian, pangelukatan, pangurip- dibunuh dan atau dimusnahkan, melainkan urip, panebusan, papegat, panembak, dinetralkan [somyo], dikembalikan ke asalnya pangentas,dantirta ke purwa dsb]. Penjelasan agar tidak mengganggu kehidupan manusia. mengenai pentingnya kedudukan air dalam Tidak mungkin manusia memperoleh agama Hindu dan Kebudayaan Bali dapat

KONSEP KETUHANAN DAN KEMANUSIAAN DALAM HINDU 77 IBG Yudha Triguna dipahami pada Triguna [2017]. 2.3 Kehidupan Setelah Mati Strukturasi tidak berhenti pada penyakralan Agama Hindu percaya kepada lima hal dasar air menjadi tirta, tetapi juga memastikan yang disebut panca sradha, yaitu 1] percaya pentingnya memelihara wilayah sumber air kepada Tuhan yang disebut Ida Sang Hyang Widi [kelebutan, pancoran, danu, tukad, dan lautan Wasa, 2] percaya dengan adanya atman, 3] sebagai pemberi kesuburan dan kesucian. Lahir percaya dengan adanya hukum sebab-akibat dan dikembangkannya konsepsi nyagara-giri atau karma phala, 4] percaya kepada reinkarnasi menempatkan segara [laut] dan giri [gunung] atau punarbhawa; dan 5] percaya kepada adanya sebagai dua tempat yang saling berpengaruh, moksa. ibarat suami dan istri. Agar gunung dengan Kelima kepercayaan tersebut menjadi dasar hutan bisa berfungsi dengan baik sebagai hidup beragama bagi umat Hindu secara holistik. penyerap dan penyangga air dan bermakna, Keyakinan akan adanya Tuhan beserta ‘istana” maka dilaksanakan berbagai upacara seperti yang didiaminya, yaitu Sorga dan Naraka, wana kerthi, yang bertujuan menyucikan, melahirkan anggapan bahwa Atman [roh] ketika menghidupakan, memelihara agar hutan tetap menuju ke alam setelah kematian akan lestari. Sementara itu, untuk menjaga pentingnya segara dilakukan dengan proses enkulturasi maupun buruk] yang pernah dilakukan semasa malukat, nganyut, malasti, banyu pinaruh, hidupmengalami yang disebut verifikasi karma phala atas . perbuatan [baik mapekelem, sagara kerthi dan di beberapa Proses reinkarnasi [penjelmaan kembali], kawasan tertentu, ada upacara nyepi di laut. bahwa manusia hidup di dunia ini pada dasarnya Semua itu, dalam rangka meneguhkan, menebus dosa kehidupan, dan karena itu hidup merevitalisasi, dan melestarikan air sebagai ini harus diisi dengan menanam karma sesuatu yang sakral, agar tetap memenuhi fungsi [perbuatan] yang lebih baik agar kehidupan di religius dengan dibalut aktivitas kebudayaan. masa mendatang lebih baik.Hindu percaya Dalam batas tertentu sumber air dipelihara, bahwa hukum sebab-akibat di bawah kendali Dewa Yama dan Sekretarisnya bernama Sang untuk mandi, minum, dan pengairan, melainkan Suratma.Bagi manusia yang dalam hidupnya karenabukan karenadi tempat air itu ia [kelebutan, berfungsi pancoran, secara fisikal dipenuhi dengan perbuatan dosa, Tuhan danau, sungai, campuhan, dan laut] sering mengetahui dan mencatatnya kemudian dilaksanakan upacara untuk menyucian dan digunakan menentukan lama-pendeknya pencarian air suci serta dijadikan tempat menghuni neraka. Sebaliknya, jika pikiran, pembuangan hal-hal yang dianggap kotor perkataan, dan perbuatannya [tri kaya parisuda] [Triguna, 2017]. penuh dengan keutamaan, maka rohnya akan Aktivitas, menyakralkan air melalui proses menuju Sorga secara langsung atau setelah ngukup , mencari tirtha panembak, dan melewati neraka [kisah Yudistira, melalui aktivitas sejenis, dilandasi keyakinan, tirtha neraka sebelum sampai ke Sorga dapat dipahami yang dibuat melalui rangkaian upacara memberi melalui Parva 17 dan 18 dari Asta dasa Parva]. energi berbeda dengan keadaan air yang tidak Akan tetapi bagi manusia utama yang dicirikan melalui rangkaian upacara. Melalui ujaran oleh kemampuan mengalahkan enam musuh mantera Weda, seorang Wiku akan dalam diri, maka kehidupan moksa, yaitu ‘menghidupkan’ kekuatan air dan bersatunya Atman dengan Brahman menyucikannya, walaupun air yang diambil diperolehnya.Moksa lebih utama dari kehidupan bersumber dari lingkungan dan domain yang sorga. relatif tidak terpelihara. Keyakinan bahwa air Sorga [svarga] baik dalam bentuk maskulin biasa akan memiliki kekuatan dan kualitas yang maupun feminim berarti perjalanan menuju semakin baik, jika diupacarai, didoakan, dan cahaya atau svarga, yang dideskripsikan sebagai diperoleh melalui proses sulit, ribet, dan tempat tinggal para Dewa dengan segala kadangkala penuh tantangan, sejalan dengan kebahagiaan, keceriaan, serta kemewahan, penelitian Erato [2006: 101-102] yang tempat kediaman para leluhur dan Dewa Yama. menyatakan bentuk air sesudah melalui doa Sorga adalah tempat dimana tidak boleh ada selalu lebih indah dan anggun. kebencian dan permusuhan. Sementara itu, neraka digambarkan sebagai tempat penyiksaan

DHARMASMRTI 78 Nomor 18 Vol. I Mei 2018 : 1 - 134 bagi mereka yang berdosa berbentuk kawah dan tiba di tempat bernama panas [Kumbhipaka], uap mendidih [Tilapaka], ayatanasthana, yaitu tempat di antara tempat yang menakutkan [Maharaurava], gelap, svarga dengan naraka-tempat roh-roh dan berdarah-darah[Titib, 2006: 81]. leluhur memperhatikan apakah akan Lebih lanjut akan dimuat kutipan menemukan svarga atau naraka. Tempat Svagarohanaparva Jawa Kuno [dalam Titib, itu telah dilalui Maharaja Yudhisthira, ke 2006: 73-77] sebagai berikut. Selatan arah perjalanannya. Kelihatanlah “....diceritakan setelah kisah Prasthani- alam Yamaniloka secara samar-samar, kaparva, Bhagawan Vaisampayana dan Maharaja Yudhisthira mempercepat menguraikan Svargarohanaparva kepada langkahnya, dengan motivasi segera Maharaja Janamejaya sebagai berikut mengetahui keadaan adik-adiknya Catur [37b][1.1-2]. Setibanya di svarga, Pandawa [40b][2.10] Yudhistira melihat Duryodhana dan semua pahlawan dari pihak Kaurava Sangat mengerikan perjalanan itu, bersinarkan cahaya ke-Deva-an, seperti membuat bulu roma berdiri menakutkan. Indra raja para Dewa, dikelilingi para Jurang dalam dan lebar tak terhingga. Dewa lainnya, tetapi tak seorang Pandawa Gelap gulitanya, tiada seberkas cahaya. keliahatan. Yudhisthira merasa Banyak roh yang tidak bisa melalui jalan terperanjat dan sakit hati karena keadaan itu karena digulung oleh batu, yang tak yang tidak adil itu. Terkejut luar biasa, terhingga jumlahnya dan entah datang Maharaja Dharmaputra menyaksikan dari mana. Semua yang dilewati oleh keagungan Raja Kurupati [Duryodhana]. batu-batu itu hancur berantakan, hancur Juga tampak Dang Hyang Drona, Bagawan lebur digilas segala sesuatu yang lewat di Bisma, Maharaja Bhagadatta, Bhurisrawa, sana. Maharaja Dharmaputra tetap Maharaja Salya dan juga Dussasana berjalan, tiada hentinya, Ia menjumpai dengan adik-adiknya duduk berjejer di api besar berkobar-kobar hendak samping Maharaja Kurupati, tampak menghentikan perjalanannya. Tampak seperti Sang Hyang Indra diikuti para seperti api vadavannala pikirnya, Dewata. Melihat itu, Yudhistira bergetar tubuh Maharaja Yudhisthira. menyatajan tidak mau tinggal di sana Mengeluh, pusing karena terbakar dan dan akan mencari saudara-saudaranya berbau gosong [41a][2.12]. [38b][2.1-3]. Setelah lewat dari tempat itu, Dewa indra berusaha meyakinkan berjumpalah beliau dengan wilayah yang Yudhistira, bahwa di Svarga segala begitu panas, debu berterbangan perpecahan dan kebencian di dunia menutupi mata, panaskan bagaikan api harus dilupakan. Sudah selayaknya para matahari. Hancur diliputi kegelapan Kaurava diberi penghargaan sesuai pikiran Maharaja Yudhisthira. Tibalah di perbuatannya-mereka telah melakukan tegal Pamasaran (di Bali disebut Tegal kewajibannya sebagai seorang ksatriya Penansaran), tiada terkira luasnya, taji dengan setia. Akan tetapi, Yudhistira tajam merupakan rumput alang-alangnya tetap tidak bisa dibujuk untuk tinggal di di sana, tiada berdaya arwah melewati sana, sehingga para Dewa menunjuk wilayah tersebut, disertai panasnya seorang utusan Dewa, bernama Dewa matahari, kering krotang keberadaannya Suduta untuk menemaninya dalam di sana, mereka semua berteduh karena perjalanan mencari saudara-saudaranya kepanasan yang menyengat, mereka [40a][2.10] saling berebut berteduh di selah-selah batu besar yang diduga menyejukkan. Yudhistira ditemeni Dewa Suduta Seketika batu mengatup, hancur tulang memasuki alam neraka berupa iganya, berkeping-keping kepalanya, perjalanan yang jauh, bermacam-macam berhamburan otaknya, mengalir dilewati, sungai, jurang, gunung, hutan, darahnya, kocar-kacir mereka

KONSEP KETUHANAN DAN KEMANUSIAAN DALAM HINDU 79 IBG Yudha Triguna berhamburan, dikejar dan disambar oleh niscaya akan ketemu adik-adik tuan catur burung yang wujudnya menyeramkan, Pandava dan Dewi Draupadi beserta burung hantu, burung punguk, burung rakyat tuan sang raja. Hanya sampai di air, gagak runcing paruhnya, runcing sini saya ditugaskan mengantar tuan. mulutnya, bulu sayapnya segala jenis Demikianlah kata-kata utusan Devata keris yang runcing. Lagi ada pohon yang [2.16]. Oleh Dewa Suduta, ia dipesan agar berbuah keris, itu digoyang oleh pasukan meneruskan perjalanannya sendirian. algojo, hancur lebur mereka yang Yudhisthira bimbang, ia ingin lari dari tertimpa olehnya [41b][2.13] tempat yang demikian menakutkan dan mengerikan itu, tetapi ia ingat akan Perjalanan Maharaja Dharmatmaja janjinya bahwa ia akan menemani dipercepat diikuti oleh utusan Devata, saudara-saudara dalam suka dan duka Deva Suduta menemui sungai bernama [42b][2.17]. Vaitarini, sungai yang sangat lebar, dalam dan airnya panas, airnya meluap, tampak Tiba-tiba ia mendengar suara-suara yang mendongak ikan gabus besar berkepala memanggil namanya dan mendesak agar raksasa, ikan itulah yang menghamburkan ia tidak meninggalakn mereka, karena lumpurnya, mengenai mereka yang lewat setibanya di sana segala siksaaan naraka di sana. Juga diperjalanankotor penuh kehilangan kemampuannya untuk dengan lumpur berupa nanah, menyakiti mereka. Hanya Yudhisthira berhamburan juga tengkorak manusia, yang dapat membebaskan mereka. yang tampaknya seperti batu krikil, Dengan rasa heran bertanya, siapakah tampak rambut-rambut roh sebagai yang berbicara dengan dia, lalu satu lumutnya (42a)(2.14) persatu mereka menampakkan diri, yaitu saudara-saudara dan anggota keluarga Bau busuk memenuhi indra penciuman, lain. Dengan penuh emosi Yudhisthira mengiyang suara lalat yang lalu lalang, mempersalahkan para Dewa yang lalat hijau ilir mudik berebut mayat yang berbuat keji dan tidak adil itu. Ia membusuk, bergerak-gerak kepala ulat- menyuruh Dewa Suduta itu pergi dan ulat bangkai. Beraneka ragam semut ada mengatakan kepada Dewa Indra, baha ia di sana, pematik, lintah, cacing, ular kecil, telah menjatuhkan pilihannya: ia cacing kecil, mata bajak, wukuh-wukuh. memutuskan untuk tetap tinggal di mana Saat itu kecut hati Maharaja Yudhisthira, saudaranya ada [43b][2.22] dalam pada itu beliau jatuh terjerembab pada lumpur yang licin, terpeleset pada Sesudah menerima berita itu para Dewa jalanan, istirahat beliau sebentar [41b] turun ke naraka yang seketika menjadi [2.15] berubah menjadi svarga. Mereka menerangkan kepada Yudhisthira, Utusan Devata menjelaskan bahwa jalan bagaimana mereka mengatur segalanya. yang luar biasa sulit dilalui itu adalah Saudara-saudaranya harus menebus jalannya Atma (roh) yakni mereka yang dulu sekelumit dosa yang telah mereka berbuat buruk pada kehidupan lakukan dalam hidup mereka sebelumnya. sebelumnya. Oleh karena itu, semua yang Juga dengan pengalaman pahit yang baru ada di sana menakutkan sekali. Tempat saja dialaminya. Yudhisthira harus itu bernama Yamaniloka. Tempat yang menebus dosa yang dilakukannya dalam luas, karena banyak roh-roh yang pertempuran, karena ia turut juga dalam melaksanakan perbuatan buruk selama penipuan yang mengakibatkan kematian hidupnya. Dewa Yama sebagai penguasa Drona. Sebaliknya, Duryodhana dan alam naraka (nirayaloka) itu. “Tempat itu kawan-kawannya lebih dulu menerima tidak jauh dari sini”! [42a][2.16]. reward atas sekelumit perbuatan baik yang pernah mereka lakukan, dan Berjalanlah tuan sendiri menuju Selatan, sekarang harus menderita selama-

DHARMASMRTI 80 Nomor 18 Vol. I Mei 2018 : 1 - 134 lamanya dalam naraka karena tingkah Itulah sebabnya di dalam agama Hindu dikenal laku mereka yang jahat. Sesudah itu, pemujaan terhadap Bhatara-Bhatari roh para mereka semua menuju sungai Gangga. leluhur yang diistanakan di bangunan rong tiga Para Pandava turun ke sungai yang suci pada setiap keluarga yang berfungsi itu untuk mensucikan diri lalu diubah menjembatani komunikasi antara manusia dan diliputi cahaya ke-Devata-an. Mereka dengan Tuhan. Mengapa perlu dijembatani? menggantikan Kaurava di svarga [44a] Tuhan mahasuci, sementara manusia tidak [2.23-25]. semuanya memiliki keutamaan.Kepada para roh leluhur inilah manusia mengadu, memohon Dijelaskan pula keutamaan membaca petunjuk, dan meminta rejeki, keselamatan, dan teks Astadasaparva [] yang kebahagiaan. bermanfaat bagi raja dan para menteri, Keselamatan hidup dalam agama Hindu, yang ingin memperoleh kejayaan dalam sesungguhnya terletak pada usaha manusia perang dan nama yang harum dan memperoleh kekuasaan, juga bagi yang berbicara, dan berbuat [tri kaya parisuda]. Ada hanya mau mendengarkan, walaupun enamsecara perbuatan sistematis [sad menjaga ripu] yang konsistensi patut dihindari berfikir, orang kebanyakan, pahalanya hormat dan akan menentukan kualitas kehidupan kepada orang tua, semuanya mencapai setelah mati, yaitu: 1] , hawa nafsu yang svarga [3.1]. tidak terkendali; 2] lobha, tamak keinginan yang berlebihan; 3] krodha, kemarahan yang Berdasarkan kutipan Svargarohanaparva melampui batas, 4] moha, kebingunan dan tersebut, dengan tegas dibedakan antara svarga ketidakmampuan fokus, 5] mada, kesombongan sebagai istana pada Dewa dan roh manusia dan kemabukan yang membawa akibat dengan kebajikan utama, sementara kegelapan pikiran, dan 6] matsarya, dengki dan narakatempat berkumpulnya manusia yang iri hati. Kemampuan mengekang diri terhadap berbuat jahat dan bertentangan norma-norma tindakan yang menjadikan manusia dosa, akan agama. Di satu sisi, svarga dicikan dengan menentukan kualitas kehidupan di masa yang kegemerlapan, kebahagiaan penuh kedamaian, akan datang ketika mengalami proses sedangkan naraka tempat yang penuh dengan reinkarnasi. Ada seseorang yang semasa penderitaan, siksaan, dan kegalauan. Pendek hidupnya selalu berbuat kurang baik, akan kata, svargarohanaparva membuat pemilahan mendapatkan buah perbuatan yang juga tidak hitam putih, atas bawah, baik buruk yang satu baik, misalnya tidak dapat melihat, bibirnya sama lain saling bertentangan, yang oleh Levy sumbing, dan sejenisnya. Di dalam Hindu semua Strauss disebut dengan oposisi biner. itu diperoleh karena perbuatannya sendiri pada Sedangkan manusia utama tidak melalui dua masa lalu.Oleh karena itu, agar diri kita selamat dunia itu [svarga dan neraka], melainkan dan memperoleh kehidupan yang lebih baik, langsung moksa [keyakinan dasar Hindu yang maka Hindu menyarankan kendalikan musuh kelima] menyatunya Atman dengan Brahman. dalam diri. Upacara pembakaran mayat [ngaben], upacara duabelas hari [ngarorasin] atau upacara satu III. PENUTUP bulan tujuh hari [mamukur] atau yang lebih besar maligia punggel. Upacara itu dilaksanakan Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan dengan tujuan, pertama, melepaskan sang beberapa hal penting, yaitu. Atman dari kedudukan dunia lama, dengan cara 1. Hindu percaya kepada satu Tuhan yang mengembalikan lima unsur [panca mahabutha] ke asalnya. Setelah upacara ngaben, dilaksanakan atribut, dan tugas-fungsi. Kepercyaan upacara ngarorasin atau mamukur atau maligia dipersonifikasi ke dalam banyak nama, punggel yang bertujuan membersihkan sang banyak ragam, dilandasioleh Atman menuju dunia Dewata. Akhirnya, pahamterhadapSaguna personifikasi Brahman. Tuhan dalam dilaksanakan upacara ngalinggihang 2. Keyakinan terhadap Tuhan dengan [menistanakan] Sang Atman di tempat pemujaan manifestasiNya yang jamak, telah keluarga yang disebut sanggah atau merajan. menginspirasi seluruh rangkaian upacara

KONSEP KETUHANAN DAN KEMANUSIAAN DALAM HINDU 81 IBG Yudha Triguna dalam Hindu, baik dalam kaitannya perbuatan menentukan manusia dengan sepanjang hidup individu, mencapai neraka, sorga, dan moksa upacara menjaga kelestarian alam, sebagai dunia setelah kematian, sekaligus keselamatan dan kebahagiaan. menjadi ukuran keselamatan dalam 3. Konsistensi pikiran, perkataan, dan hidup.

DAFTAR PUSTAKA

Anadas, Ra. 2009. Melalui Kematian Kita Lahir Kembali. Paramita. Surabaya. ……………. 2015. Reinkarnasi, Hidup Tidak Pernah Mati.Paramita. Surabaya. Ananda Kusuma, Sri Reshi. 2009. AUM Upacara Pitra Yadnya. CV. Kayumas Agung. Denpasar. Anwar, Moch. 1981. Ada Apa Setelah Kematian. Penerbit Pustaka Offset. Bandung. Budi Adnyana, Gede Agus. 2009. Air Menurut Veda: Bagaimana Veda Berbicara Tentang Air di Permukaan Bumi. Denpasar: Pustaka Bali Post. Dharmika, Ida Bagus. 2016. “Konservasi Air: Rekonstruksi Kearifan Lokal Bali” dalam Air, Tradisi, dan Industri [Budi Utama, ed]. Denpasar: Universitas Hindu. Emoto, Masaru [Susi Purwako, penerjemah], 2006.The Secret Life of Water: Menguak Rahasia Air Mengapa Dapat Menyembuhkan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Yajurveda . Surabaya: penerbit Paramitha. Gungun.2014. Mahaprasthanika Parwa. Denpasar.ESBE Buku. ------.Griffith, R.T.H. 2014. 2005. Swargarohana Parwa. Denpasar.ESBE Buku. ------. 2016. Upadesa Bergambar. Penerbit ESBE. Denpasar. Gunarsa, Ktut. 2002. Atma Prasangsa. CV. Kayumas Agung. Denpasar. Hooykass, C. 1994. Agama Tirtha.Five Studies in Hindu Balinese Religion. Amsterdam: NV. Noord Hollandsche Uitgevers Maatschappij. Inten Genitri, Ida Ayu. 2008. Makna Air. Denpasar: Yayasan Spiritual Dharma Sastra. Kamajaya, Gede. 2015. Alam Kehidupan Sesudah Mati. Paramita. Surabaya. , Anand. 2016. Soul Awareness: Menyikap Rahasia Roh dan Reinkarnasi. Gramedia. Jakarta. Mantra, Ida Bagus. 1967. Bhagawad-gita. Jakarta: Parisada Hindu Dharma. Martha, Wayan. 2016. “Mengungkap Misteri Air” dalam Revitalisasi Agama Tirtha di Bali. Denpasar: Universitas Hindu Indonesia. Maswinara, I Wayan. 2008. Rgveda Samhita. Surabaya: Paramitha. Newton, Michael. 2006. Journey of Souls, Koleksi Studi Kasus Mengenai Kehidupan Selama Jeda Antarkehidupan. PT Bhuana Ilmu Populer. Jakarta. Palz, Daniel L. 2001.Seven Theories of Religion, Dari Animisme E.B. Tylor, Materialisme Karl Marx, hingga Antropologi Budaya C. Geeertz. Penerbit Qalam. Yogyakarta. Pasek Swastika, I Ketut Pasek. 2008. Ngaben. CV Kayumas Agung.Denpasar. Paz, Octavio (Pengantar, Heddy Shri Ahimsa Putra). 1997. Levi-Strauss, Empu Antropologi Struktural . LKiS.Yogyakarta. Pemda Tingkat I Bali.1989/1990.Catur Yadnya (Bhuta, Manusa, Pitra, Dewa). Denpasar. Pemerintah Provinsi Bali. 2005. Siwatattwa. Denpasar. Purwa, Ketut. 2012. Yang Tercecer dalam Memahami Hinduisme. ESBE Buku Penatih.Denpasar. Rini, Ayu. 2013. Sorga dan Neraka: Pengalaman Roh Menikmati Karma Di Alam Setelah Kematian. Paramita. Surabaya. Roland, Paul. 2013. Reinkarnasi: Kisah Laur Biasa dari Orang-Orang yang Mengingat Kehidupan

DHARMASMRTI 82 Nomor 18 Vol. I Mei 2018 : 1 - 134 Masa Lalu. Karisma Publishingn Group. Pamulang, Tanggerang Selatan. Saraswati, Swami Satyananda. 1996. , Pranayama, Mudra, Bandha. Munger-Bihar: Yoga Publication Trust. Sayanacarya. 2009. . Surabaya: penerbit Paramitha. Suamba, Ida Bagus Putu. 2003. Dasar-Dasar Filsafat India. Denpasar. Dharma. ------. 2014. “Air [Apah] dalam Kesusastraan Weda”. Makalah Kemah Sastra. Denpasar: Dinas Kebudayaan Kota. ------. 2015. Yoga . Denpasar.Widya Dharma Universitas Hindu Indonesia. ------. 2017. Air dalam Peradaban Bali. Denpasar: Makalah Remug Sastra Purnama Badrawada. Sivananda, Sri Svami. 2005 (I Wayan Punia, penerjemah).Jiwa Setelah Kematian (What Becomes of The Soul After Death). Paramita. Surabaya. Sura, I Gede. 2002. Agastya Parwa: Teks dan Terjemahnnya. Denpasar. Vidya Dharma. Sura, I Gede dan Suka Yasa, I Wayan. 2009. Samkya dan Yoga. Denpasar.Lembaga Penelitian Universitas Hindu Indonesia. Wrhaspati tatta. 2009. [alih bahasa oleh Putra I.G.A.G dkk]. Surabaya. Paramitha. Widyalankar.P.S. The Holy Wedas.A Golden Treasure International Wedas. Delhi: Aryana Printer Sanjivaputra, Jan (penyadur). 1999. Menguak Mesteri Kematian. LPD Publisher. Thailand. Santiko, Hariani. 1987. Kedudukan Bhatari Durga di Jawa pada Abad X-XV Masehi. Disertasi Doktor UI. Jakarta. Triguna. IBG Yudha 1997. Mobilitas Kelas dan Dewangsanisasi: Transformasi Ekonomi dan Perubahan Sosial di Bali. Disertasi. Bandung. Universitas Pajajaran. ------. 2012. Himpunan Dharma Wacana dan Dharma Tula. Jakarta. Diretorat Jenderal Bimas Hindu. ------. 2017. Kata Pengantar Penerbitan Ahimsa dalam Teropong Filsafat Antropologi. Denpasar.ESBE Buku. ------. 2017. “Pelestarian Air Sumber Kehidupan, Penghidupan, dan Peradaban: Perspektif Sinergi Agama, Kebudayaan, dan Kearifan Lokal. Denpasar.Paper Saresehan Pesta Kesenian Bali. ------. 2017. “Kearifan Lokal dalam Membangkitkan Nasionalisme dan Keberagaman”. Makalah FGD diselenggarakan ISI Negeri Denpasar bekerjasama dengan Harian Bali Pos, 4 Agustus 2017. ------. 2017. “Opini Nyepi dan Altruisme” dalam Media Indonesia. Jakarta. ------. 2017. Nyepi, Kerja, dan Kemuliaan Hidup: Dharma Wacana dalam rangka Dharma Santi Nasional. Cilangkap Jakarta. PHDI Pusat. ------. 2017. Budaya Inspiratif dan Pembangunan Karakter.Denpasar.Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia. Widnya, I Ketut.2016. Kematian Yang Indah.Paramitha. Surabaya.

Lontar:

Candra Widyajnyana, Ida Bagus Kade. 2015. Putru Saji (disalin oleh M. Wyn Turun). Griya Buruwan. Tabanan. Jnanasidhanta.Koleksi Pusdok Pemba Bali.

KONSEP KETUHANAN DAN KEMANUSIAAN DALAM HINDU 83 IBG Yudha Triguna