BAB IV

DESKRIPSI OBYEK PENELIAN

4.1 Gambaran Umum Kesenian Janger

Sumber internet :(https://i.ytimg.com/vi/zDWkOGIJpN4 /maxresdefault.jpg diakses pada 18 Desember 2017, pukul 15.30 WIB)

Istilah Janger tidaklah asing bagi masyarakat Banyuwangi yang sebagian besar penduduknya mewarisi kebudayaan osing. Janger adalah sebuah seni pertunjukan yang disajikan kurang lebih selama 7 (tujuh) jam secara terus menerus. Seni pertunjukan ini juga dikenal dengan sebutan Damarwulan; namun dalam istilah keseharian masyarakat lebih akrab menyebut Janger. Upaya pemerintah dalam mengembangkan kesenian ini melalui kegiatan seminar dan workshop sangat besar, melalui hasil sarasehan pernah kesenian ini diberi nama baru yakni kesenian Jinggoan; namun tampaknya dalam perkembangan selanjutnya upaya ini belum mampu diimplementasikan oleh sebagian besar masyarakat Banyuwangi. Sampai saat ini Janger masih tetap eksis dan bahkan mengalami perkembangan yang signifikan, namun demikian tidak semua orang tahu secara pasti kapan kesenian ini mulai ada. Berbagai informasi tentang asal-usul kesenian ini belum memberikan jawaban yang pasti secara ilmiah. Bila

38 dilihat dari bentuk sajiannya, kesenian yang tergolong pada genre dramatari ini memiliki bentuk sangat unik. Dikatakan unik karena berbagai gaya seni pertunjukan (jawa dan Bali) mampu berkolaborasi secara utuh dalam kesenian yang disebut Janger ini. Gaya yang paling menojol dalam pertunjukan ini adalah etnik Bali, karena gerak, musik, serta busananya cenderung berorientasi pada etnik Bali; sedangkan unsur pertunjukan bergaya etnik Jawa terletak pada bahasa, tembang, dan pemanggungan. Harapannya dari penelitian ini dapat membangun kesadaran bersama dalam memahami seni pertunjukan etnik di wilayah Jawa Timur khususnya. (Puspito 2011).

4.2 Asal-usul kesenian Janger

Melacak asal-usul kesenian Janger Banyuwangi ini tidak mudah, karena data tertulis yang memberi informasi tentang keberadaannya sangat sedikit. Melalui data yang terbatas ini dicoba untuk memberi sedikit informasi tentang asal-usul dan perkembangan Kesenian Janger ini.Selain Janger, kesenian ini sering pula disebut Damarwulan ; dua istilah ini bagi masyarakat banyuwangi sama-sama populernya. Disebut dammarwulan, karena pada mulanya kesenian ini selalu menyajikan cerita atau kisah kehidupan Damarwulan. Istilah ini diperkirakan lebih dulu digunakan untuk menyebut kesenian ini dari pada istilah Janger.

Informasi ini juga diberikan oleh Pigeaud (1991: 245) dalam bukunya yang berjudul Javaanse Volksvertoninge. Adapun istilah Janger lebih banyak ditemukan dalam kehidupan keseharian masyarakat secara lisan.Data lapangan yang memberikan informasi tentang asal-usul kesenian ini sangat diragukan

39 keabsahannya, sehingga belum memberi jawaban yang bersifat ilmiah.

Beberapa nara sumber yang ditemui, selalu bernada sama dalam memberikan informasi. Kisah seni pertunjukan ini berawal dari cerita Noerdian salah satu cucu dari tokoh yang dianggap sebagai pencipta/pendiri kesenian Damarwulan. Mbah

Dardji yang merupakan kakek Noerdian, adalah seorang penari dari salah satu kelompok kesenian Ande-ande Lumut dan sekaligus berprofesi sebagai pedagang sapi yang harus pulang pergi dari Banyuwangi ke Bali. Setelah banyak bergaul dengan kesenian Bali, pada tahun 1918 beliau mendirikan kesenian Damarwulan

Klembon (di dukuh Klembon, desa Singonegaran) yang anggotanya berasal dari anggota perkumpulan Ande-ande Lumut. (Puspito 2011).

Sahuni dalam tulisannya yang berjudul ‘Kesenian Daerah

Damarwulan’, mengemukakan bahwa Kesenian Janger lahir dari usaha kreatif para pendukung kesenian Ande-ande Lumut yang pada saat itu sangat popular di kalang masyarakat. Sudardji (Mbah Dardji) yang berhasil belajar tari Bali dari

Bapak Singo di kediamannya kampung Bali Banyuwangi, meneruskan pelatihan kepada para pelaku kesenian Ande-ande Lumut. Semakin berkembangnya kesenian Ande-ande Lumut, kemudian kesenian ini berubah nama menjadi

Damarwulan. Dua versi untuk mencari asal-usul tersebut bila kita sandingkan dengan teori yang kemukakan oleh Sedyawati, maka perlu dipertanyakan kebenarannya. Teori yang dimaksud, yakni:

“Suatu bentuk kesenian, terutama yang tidak dapat digolongkan sebagai primitif, pada umumnya tidak lahir semata-mata sebagai cetusan penemuan baru

40 yang tiba-tiba ada, melainkan kalau dilihat dalam rentang waktu yang panjang akan ternyata bahwa hal-hal baru senantiasa bertolak dari yang sudah ada sebelumnya”. (Sedyawati: 1981: 2)

Versi penulis dalam melacak asal-usul kesenian ini, mencoba menyandingkan dengan kesenian yang jauh lebih lama pernah hidup diwilayah ini, yakni kesenian

Gambuh. Seperti ditulis oleh Bandem (1975: 20) dan (1981:34), bahwa cerita yang disajikan dalam pertunjukan berkisar pada cerita Panji (Malat).

Selain cerita Panji, Gambuh juga memakai cerita Damarwulan yang sangat popular atau berkembang pada abad ke-14. Kemudian juga dijelaskan oleh

Bandem (1975:10) konsep penataan laku pertunjukan Gambuh yang dikutip dari

Walter Spies dan R. Goris, bahwa:

1. Bila raja akan masuk ke arena pentas, ia didahului oleh Demang

atau Tumenggung, kemudian Patih, para Arya, dan terakhir adalah

Raja.

2. Bila putrid raja akan masuk arena, ia didahului oleh (abdi

wanita), kemudian abdi keraton yang lainnya, dan terakhir putrid yang

dimaksud.

3. Jika pangeran muda yang menjadi tokoh utama akan tampil di arena,

maka akan didahului oleh Kamuruhan, Kadehan, dan Rangga.

41 Ciri lain yang dijelaskan oleh Bandem adalah para penari Gambuh

berjenis kelamin pria, dan pertunjukan ini berjenis dramatari tidak

menggunakan topeng.

Bila ciri-ciri tersebut merupakan karekteristik pertunjukan Gambuh, maka dapat diperkirakan kesenian Gabuh merupakan asal-usul kesenian Janger di

Banyuwangi. Hal ini dipertegas lagi oleh Bandem (1983:70), bahwa pada sekitar abad XV – XVI ketika ditaklukan oleh Islam, kerajaan Blambagan masih mampu menolak kekuatan Islam. Pada saat itu hampir semua barang-barang kebudayaan Hindu diboyong oleh transmigran yang datang ke Bali.

Barang-barang tersebut di antaranya berupa transkrip, literatur, dan termasuk pertunjukan Gambuh. ( Puspito 2011).

4.3 Cerita Dalam Kesenian Janger

Pada awalnya pertunjukan ini, selalu menyajikan ceritera-cerita yang berkisar pada kehidupan Panji Damarwulan; kemudian setelah masuk pengaruh seni pertunjukan lain, seperti ketoprak, ludrug, orang tidak lagi menggunakan cerita Damarwulan, namun banyak menampilkan babad, cerita rakyat atau bahkan cerita-cerita popular lainya. Cerita-cerita yang disajikan dikemas dalam bentuk skenario yang sederhana, dan selalu disampaikan kepada para pemain kurang lebih 60 (enampuluh) menit sebelum pertunjukan dimulai. Bentuk scenario ada yang dibuat dengan tulisan (tangan atau diketik) pada lembaran kertas, atau ada juga yang ditulis dalam papan tulis yang disediakan dalam ruang belakang panggung. Tidak semua lakon menggunakan scenario, melainkan hanya

42 lakon-lakon tertentu yang dianggap sulit, hal ini sekedar untuk

mempermudah para aktor dalam mengingat sekaligus mengontrol peristiwa di

atas panggung (Laros 2012).

4.4 Pemeranan dan Karakterisasi

Menentukan jumlah dan jenis peran sangat terggantung pada cerita yang

akan dibawakan. Peran yang mempunyai nama hanyalah peran yang tergolong

pada peran utama dan peran pembantu, di luar itu pemeranan yang sifatnya

klompok seperti prajurit, siswa atau cantrik, dayang-dayang bila memerlukan

nama dapat menggunakan nama pemerannya sendiri. Bila dilihat dari jenis peran

yang ditampilkan, dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Raja, yag terdiri dari raja Sabrang dan raja Jawa, atau raja di luar

keduanya

2. Patih

3. Tumenggung

4. Permaisuri dan Selir

5. Putri atau putra raja

6. Saudara raja (adik, kakak, paman, dan sebagainya

7. Tokoh pahlawan (seringkali menampilkan tokoh putra)

8. Dagelan atau pelawak

Dari sejumlah peran tersebut, pada garis besarnya terbagi menjadi 5 (lima)

kelompok karakter, yakni:

43 1. Putra gagah bawokan atau brawokan, adalah karakter yang memiliki

sifat kasar, otoriter, egois, srakah, biasanya dalam cerita tergolong

pada tokoh antagonis, misalnya: raja, patih, atau prajurit dari kerajaan

sabrang, Kebo Marcuet, Minakjinggo, dan sebagainya.

2. Putra madya atau tengahan, karakter putra gagah yang tidak

menunjukan sifat kasar (dalam karakter pertengahan antara kasar dan

halus), misalnya: raja, patih, tumenggung prajurit yang berasal dari

kerajaan Jawa

3. Putra bambangan, karakter putra yang digambarkan sebagai seorang

keluarga kerajaan atau kesatria berbudi halus, lembut, luhur, bijaksana,

misalnya: tokoh utama yang protagonist dan keluarga atau kerabat

raja.

4. Putri atau wadonan, karakter yang mengambarkan seorang putri baik

putri yang lemah-gemulai atau agresif.

5. Lain-lain, adalah karakter yang tidak tergolong pada keempat jenis

tersebut, merupakan karakter yang dimiliki tokoh-tokoh tertentu,

misalnya: dagelan, emban, tokoh-tokoh binatang, setan, dan

sebagainya. (Puspito 2011).

4.5 Bentuk Teknis Penyajian Kesenian Janger

4.5.1 Gaya penyajian

Yang dimaksud dengan gaya, adalah sesuatu yang meliputi pengertian tentang wujud serta sifat pembawaan dari sebuah penyajian. Seni pertunjukan

44 Janger Banyuwangi memiliki cirri-ciri sebagai pertunjukan dramatari tradisional.

Sebagaimana diutarakan Lindsay (1991: 45-46), bahwa ciri dramatari tradisional, adalah: 1) hidup dalam kurun waktu yang cukup; 2) punya identitas daerah atau regional; 3) ceritanya tradisional (sudah umum atau sudah dikenal); 4) punya pola dramatik tertentu yang dapat digunakan sebelumnya; 5) tidak menggunakan naskah. Secara menyeluruh gaya penyajiannya memiliki kemiripan dengan gaya-gaya pertunjukan ketoprak, ludrug, dan wayang orang. Selain memiliki kemiripan dengan seni pertujukan tersebut, kesenian ini memiliki gaya yang sangat khas yakni gerak dan musik pengiringnya menggunakan gaya Bali. Arena pertunjukannya secara spesifik menggunakan panggung prosesnium yang dapat dibongkar-pasang; menggunakan layar bergambar realis dan setting lainnya; menggunakan lighting sederhana beserta sound sistemnya; menggunakan seperangkat Bali yang sering disebut Gong Gebyar. Selain gerak dan musiknya lebih berorientasi pada gaya Bali dan sedikit dicampur gaya daerah

(Banyuwangi), dialog dan tembang yang digunakan berorientasi pada bahasa dan tembang Jawa, desain busananya merupakan perpaduan gaya bali dan jawa.

(Budiono 2004).

4.6 Musik Kesenian Janger

Pada prinsipnya baik dilihat dari bentuk instrumentasi ataupun instrumentalianya, musik yang digunakan sebagai pengiring pertunjukan ini adalah jenis gamelan Bali yang sering disebut dengan Gong Gebyar. Selain seperangkat gamelan tersebut masih ditambah lagi dengan instrument musik

45 daerah yang terdiri dari kendang, kluncing, kenong dan terkadang biola.

Gending-gending bali biasanya digunakan pada adegan-adegan baku atau pakem, sedangkan daerah cenderung untuk mengiringi adegan-adegan selingan. Sesuai dengan fungsinya sebagai pengiring, penata gending selalu menyesuaikan gending-gending yang ditampilkan berdasar suasana, peristiwa, serta tata laku yang sedang terjadi di atas panggung.( Budiono 2004 )

Beberapa jenis instrumentalia atau gending yang sering digunakan, adalah:

1. Gending Jaok, biasanya untuk mengiringi keluarnya seorang raja yang

mempunyai karakter bawokan.

2. Gending sekar Jambu, Rambat-rambat, dan Pesisiran, biasanya

digunakan untuk mengiringi keluarnya tokoh-tokoh yang berkarakter

bambangan dan putrid atau wadonan.

3. Gending Bapang (Bapang Renteng), digunakan untuk mengiringi

keluarnya tokoh patih dan kerabat kerajaan lainnya yang memiliki

karakter putra madya/tengahan.

4. Gending Gangsaran, Pelor atau Playon, digunakan untuk mengiringi

adegan peperangan atau bodolan.

5. Gending Ombang-ombang, adalah sebuah bentuk ilustraasi yang

digunakan untuk melatarbelakangi dialog yang dilakukan oleh aktor di

atas pentas.

46 6. Gending Rageman, adalah sebuah bentuk musik untuk memberikan

aksentuasi dalam mengiringi gerakan seorang tokoh (raja) menuju

tempat duduk atau singgasananya. (Puspito 2011).

4.7. Suara Yang Disajikan Kesenian Janger

Unsur vocal dalam pertunjukan ini memiliki peran yang sangat penting dalam rangka mengkomunikasikan isi gagasan, adegan, atau cerita yang dibawakan.

Unsur vocal dalam hal ini dapat dibedakan atas 3 kategori, yakni:

1. Dialog, adalah sebuah pembicaraan yang menggunakan rangkaian

kata-kata oleh seorang tokoh atau lebih untuk menyapaikan isi

gagasan, adegan, atau cerita yang sedang terjadi. Bahasa yang

digunakan dalam dialog pada dasarnya menggunakan bahasa Jawa,

dengan memperhatikan tataran atau tingkatan bahasa seperti

lazimnya, yakni krama inggil, krama madya, dan ngoko. Krama

Inggil digunakan untuk berbicara dengan orang yang paling

dihormati, karma madya digunakan untuk berbicara dengan sesama

dalam komunitas keningratan, dan ngoko digunakan untuk

berbicara dengan sesama dalam komunitas rakyat jelata. Selain

bahasa Jawa, pada hal-hal tertentu tidak bisa dipungkiri bahasa

daerah (osing) selalu mewarnai karakter seni pertunjukan ini.

2. Tembang, adalah pembicaraan yang mengunakan lagu sebagai media

penyampaian isi gagasan, adegan, atau ceritanya. Bila dilihat dari

masud ungkapannya, tembang dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis,

47 yakni: 1) tembang yang digunakan untuk berdialog, 2) tembang yang

digunakan untuk dolanan (pelipur). Jenis tembang yang digunakan

untuk berdialog, biasanya berorientasi pada tembang-tembang Jawa,

misalnya sinom, pangkur, dandang gula, durma, kinanthi, pucung ,

mijil, megatruh, dan sebagainya. Adapun jenis tembang dolanan

biasanya sering menggunakan lagu-lagu daerah (Banyuwangi) atau

juga menggunakan tembang-tembang Jawa seperti tersebut di atas.

3. Dhalang, adalah seseorang yang membantu menerjemahkan atau

menjelaskan secara lisan gambaran-gambaran peristiwa yang akan

atau telah terjadi di atas panggung. Bahasa yang digunakan dalam

melantumkan vocal dhalang adalah bahasa Jawa. Ia tidak ditempatkan

atau ditampilkan dalam tempat khusus melainkan berada wiliyah

belakang panggung pertunjukan, terkadang dhalang dirangkap oleh

pemain-pemain yang senior. (Laros 2012).

4.8 Tata Rias dan Busana

Seperti halnya unsur-unsur yang lain, tata rias dan busana memiliki peran yang tidak kalah pentingnya dalam usaha menghadirkan perbedaan tokoh maupun mendukung penonjolan karakter dalam pemeranan. Hal tersebut dapat dicapai dengan usaha pemanfaatan simbol-simbol warna dan desain-desain busana, rias, dan pemanfaatan atribut yang dipasang pada seorang aktor. Tata rias wajah dimaksudkan untuk membantu menciptakan karakter dalam rangka penonjolan seorang tokoh. Tokoh yang memiliki karakter bawokan, biasanya

48 banyak menggunakan warna merah dikombinasi dengan hitam dalam menciptakan garis-garis wajahnya. Selain itu terkadang warna tersebut dikombinasi dengan warna putih sebagai penonjolan warna kontras.

Bentuk-bentuk garis wajah yang dikombinasi dengan warna ini akan menghadirkan kesan lebih seram dan beringas. Pada karakter putra madya dan bambangan, warna merah hanya dipakai lebih tipis sebagai pemerah pipi yang sering digunakan di sekitar pipi atas sampai pada pelipis. Kesan yang diharapkan dari hal ini adalah kehalusan dan ketampanan wajah. Selain warna sebagai simbol munculnya karakter, kumis juga memiliki peran yang sama. Karakter bawokan biasanya menggunakan kumis yang tebal, putra madya menggunakan kumis relatif lebih tipis, dan bambangan hamper tak pernah ada, kalau toh ada biasanya hanya menggunakan kumis lemet (digambar tipis di atas bibir). Untuk peran putri atau wadonan biasanya menggunakan rias wajah cantik, kecuali bila ada tokoh khusus yang diperankan dalam cerita. Selain karakter yang telah disebutkan, masih banyak lagi bentuk-bentuk rias wajah yang secara khusus dilukis menyerupai perannya, misalnya raksasa, monyet, setan, dan sebagainya.

Pendekatan tata busana yang digunakan dalam pertunjukan ini bisa melalui pendekatan jenis cerita yang dilakonkan. Apabila cerita yang dilakonkan pakem, desain busananya juga menggunakan desain yang pakem; sebaliknya bila yang dilakonkan carangan, maka desain busananya disesuaikan cerita tersebut biasanya melalui pendekatan kultur setempat (Laros 2012).

49 4.9 Artistik/Pemanggungan

Sebagian besar kelompok seni pertunjukan Janger Banyuwangi sampai saat ini menggunakan peralatan tata panggung yang relatif lengkap, walau secara kualitas masih dalam kondisi yang relatif sederhana. Panggung yang diguanakan berbentuk prosenium dengan ukuran lebih kurang 5m x 7m persegi, di antara tepi terdapat sebeng atau Side wing, dan di atas tergantung berbagai lukisan realis tentang lokasi peristiwa dalam adegan sering disebut dengan kelir yang tertup border atau plisir. Selain itu, pertunjukan Janger tidak dapat melepaskan kehadiran skeneri lainnya., misalnya sett panggung dan perabotan lainnya. (Laros

2012).

Tata cahaya yang digunaka masih relatif sederhana dan tidak begitu rumit sifatnya. Bagi kelompok yang tidak memiliki cukup peralat tata cahaya, biasanya dalam mengatur sinar masih dilakukan sebagai penerang saja. Sebalik bila memiliki banyak perlengkapan mereka berupaya mencoba mengeksplor efek pencahayaan yang dimiliki. Beberapa diketahui pada kelompok Janger ini tidak semua memiliki peralatan pengeras suara, kalau ada mungkin sangat sederhana sekali kondisinya. Karakteristik pertunjukan ini banyak mengunakan mikrofon yang posisinya diletakan di wilayah panggung bagian atas secara tergantung, pada bagian musik juga membutuhkan mikrofon terutama untuk penabuh kendang

(Puspito 2011).

50 4.10 Demokgrafi Dusun. Glowong, Desa Wringinagung, Kec. Gambiran Kab.

Banyuwangi

JUMLAH PENDUDUK

MENURUT JENIS KELAMIN

No. Jenis Kelamin Jumlah

1. Laki – Laki 331 Orang

2. Perempuan 311 Orang 3. Kepala Keluarga 270 KK

JUMLAH PENDUDUK

MENURUT GOLONGAN USIA DAN JENIS KELAMIN

No. Golongan Umur Jumlah ( Orang )

1. 0 bulan - 12 bulan 13

2. 1 tahun - 4 tahun 27

3. 5 tahun - 6 tahun 35

4. 7 tahun - 12 tahun 32

5. 13 tahun - 15 tahun 25

6. 16 tahun - 18 tahun 34

7. 19 tahun - 25 tahun 103

8. 26 tahun - 39 tahun 110

9. 40 tahun - 45 tahun 58

10. 46 tahun - 50 tahun 127

51 11. Diatas 50 tahun 60

JUMLAH 642

JUMLAH PENDUDUK

MENURUT TINGKAT PENDIDIKAN

No. Tingkat Pendidikan Jumlah ( orang ) 1. Belum sekolah 2. Usia 7 tahun – 45 tahun tidak pernah sekolah 3. Sekolah SD tapi tidak lulus 4. Tamat SD / sederajat 20 5. Tamat SLTP / sederajat 210 6. Tamat SLTA / sederajat 217 7. Tamat D1, D2, D3 58 8. Sarjana / S-1 49 9. Pernah kursus 17 (Sumber : Kantor Dusun. Glowong, Desa Wringinagung, Kec. Gambiran Kab. Banyuwangi)

Dari data Demografi di atas, terdapat 185 masyarakat yang usianya 40-50.

Dari 185 masyarakat tidak semunya memahami dan mengerti tentang kesenian

Janger, maka peneliti mengadakan pra survei dan ditemukannya 30 subjek penelitian, dari usia 40-50, dari kriteria umur 40-50 masyarakat sudah paham tentang kesenian Janger, dan pernah ikut serta melestarikan kesenian Janger. Dari jumlah umur kriteria, subjek penelitian sudah paham dan mengerti tentang kesenian Janger. Dari 30 subjek penelitian, peneliti menemukan 8 kriteria yang cocok untuk diwawancarai oleh peneliti. Jadi dari 8 subjek

52 penelitian itu ditarik kesimpulan subjek tersebut memenuhi kriteria untuk di wawancarai oleh peneliti. Dari hasil wawancara tersebut akan dibahas di bab 5.

4.11 Keterlibatan Masyarakat Dusun. Glowong, Desa Wringinagung, Kec.

Gambiran Kab. Banyuwangi Dalam Kesenian Janger

Masyarakat Dusun. Glowong, Desa Wringinagung, Kec. Gambiran sangat antusias apabila ada pertunjukan kesenian Janger. Kesenian Janger bukan hanya ditonton dari kalangan dewasa melainkan banyak anak kecil, remaja berbondong-bondong sangat antusias dalam menonton kesenian ini. Dengan masih adanya antusias dari masyarakat dalam menonton kesenian Janger ini, menunjukkan bahwa masyarakat ikut melestarikan kesenian Janger. Masyarakat

Dusun. Glowong, Desa Wringinagung, Kec. Gambiran menikmati kesenian

Janger ini sebagai penonton saja dan antusiamenya sangat-sangat besar dalam kesenian Janger. Masyarakat juga menjaga kesenian lokal ini dengan cara masih menampilkan kesenian Janger dalam acara seperti nikahan,sunatan maupun acara ruwat desa/bersih desa. Masyarakat menilai dengan menonton atau menyaksikan pertunjukan Janger masyarakat mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Dalam kesenian Janger banyak terdapat nilai-nilai positif yang terkandung didalamnya, jadi masyarakat yang melihat dapat mengambil manfaat tersebut untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

53