BAB IV DESKRIPSI OBYEK PENELIAN 4.1 Gambaran Umum

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

BAB IV DESKRIPSI OBYEK PENELIAN 4.1 Gambaran Umum BAB IV DESKRIPSI OBYEK PENELIAN 4.1 Gambaran Umum Kesenian Janger Sumber internet :(https://i.ytimg.com/vi/zDWkOGIJpN4 /maxresdefault.jpg diakses pada 18 Desember 2017, pukul 15.30 WIB) Istilah Janger tidaklah asing bagi masyarakat Banyuwangi yang sebagian besar penduduknya mewarisi kebudayaan osing. Janger adalah sebuah seni pertunjukan yang disajikan kurang lebih selama 7 (tujuh) jam secara terus menerus. Seni pertunjukan ini juga dikenal dengan sebutan Damarwulan; namun dalam istilah keseharian masyarakat lebih akrab menyebut Janger. Upaya pemerintah dalam mengembangkan kesenian ini melalui kegiatan seminar dan workshop sangat besar, melalui hasil sarasehan pernah kesenian ini diberi nama baru yakni kesenian Jinggoan; namun tampaknya dalam perkembangan selanjutnya upaya ini belum mampu diimplementasikan oleh sebagian besar masyarakat Banyuwangi. Sampai saat ini Janger masih tetap eksis dan bahkan mengalami perkembangan yang signifikan, namun demikian tidak semua orang tahu secara pasti kapan kesenian ini mulai ada. Berbagai informasi tentang asal-usul kesenian ini belum memberikan jawaban yang pasti secara ilmiah. Bila 38 dilihat dari bentuk sajiannya, kesenian yang tergolong pada genre dramatari ini memiliki bentuk sangat unik. Dikatakan unik karena berbagai gaya seni pertunjukan (jawa dan Bali) mampu berkolaborasi secara utuh dalam kesenian yang disebut Janger ini. Gaya yang paling menojol dalam pertunjukan ini adalah etnik Bali, karena gerak, musik, serta busananya cenderung berorientasi pada etnik Bali; sedangkan unsur pertunjukan bergaya etnik Jawa terletak pada bahasa, tembang, dan pemanggungan. Harapannya dari penelitian ini dapat membangun kesadaran bersama dalam memahami seni pertunjukan etnik di wilayah Jawa Timur khususnya. (Puspito 2011). 4.2 Asal-usul kesenian Janger Melacak asal-usul kesenian Janger Banyuwangi ini tidak mudah, karena data tertulis yang memberi informasi tentang keberadaannya sangat sedikit. Melalui data yang terbatas ini dicoba untuk memberi sedikit informasi tentang asal-usul dan perkembangan Kesenian Janger ini.Selain Janger, kesenian ini sering pula disebut Damarwulan ; dua istilah ini bagi masyarakat banyuwangi sama-sama populernya. Disebut dammarwulan, karena pada mulanya kesenian ini selalu menyajikan cerita atau kisah kehidupan Damarwulan. Istilah ini diperkirakan lebih dulu digunakan untuk menyebut kesenian ini dari pada istilah Janger. Informasi ini juga diberikan oleh Pigeaud (1991: 245) dalam bukunya yang berjudul Javaanse Volksvertoninge. Adapun istilah Janger lebih banyak ditemukan dalam kehidupan keseharian masyarakat secara lisan.Data lapangan yang memberikan informasi tentang asal-usul kesenian ini sangat diragukan 39 keabsahannya, sehingga belum memberi jawaban yang bersifat ilmiah. Beberapa nara sumber yang ditemui, selalu bernada sama dalam memberikan informasi. Kisah seni pertunjukan ini berawal dari cerita Noerdian salah satu cucu dari tokoh yang dianggap sebagai pencipta/pendiri kesenian Damarwulan. Mbah Dardji yang merupakan kakek Noerdian, adalah seorang penari dari salah satu kelompok kesenian Ande-ande Lumut dan sekaligus berprofesi sebagai pedagang sapi yang harus pulang pergi dari Banyuwangi ke Bali. Setelah banyak bergaul dengan kesenian Bali, pada tahun 1918 beliau mendirikan kesenian Damarwulan Klembon (di dukuh Klembon, desa Singonegaran) yang anggotanya berasal dari anggota perkumpulan Ande-ande Lumut. (Puspito 2011). Sahuni dalam tulisannya yang berjudul ‘Kesenian Daerah Damarwulan’, mengemukakan bahwa Kesenian Janger lahir dari usaha kreatif para pendukung kesenian Ande-ande Lumut yang pada saat itu sangat popular di kalang masyarakat. Sudardji (Mbah Dardji) yang berhasil belajar tari Bali dari Bapak Singo di kediamannya kampung Bali Banyuwangi, meneruskan pelatihan kepada para pelaku kesenian Ande-ande Lumut. Semakin berkembangnya kesenian Ande-ande Lumut, kemudian kesenian ini berubah nama menjadi Damarwulan. Dua versi untuk mencari asal-usul tersebut bila kita sandingkan dengan teori yang kemukakan oleh Sedyawati, maka perlu dipertanyakan kebenarannya. Teori yang dimaksud, yakni: “Suatu bentuk kesenian, terutama yang tidak dapat digolongkan sebagai primitif, pada umumnya tidak lahir semata-mata sebagai cetusan penemuan baru 40 yang tiba-tiba ada, melainkan kalau dilihat dalam rentang waktu yang panjang akan ternyata bahwa hal-hal baru senantiasa bertolak dari yang sudah ada sebelumnya”. (Sedyawati: 1981: 2) Versi penulis dalam melacak asal-usul kesenian ini, mencoba menyandingkan dengan kesenian yang jauh lebih lama pernah hidup diwilayah ini, yakni kesenian Gambuh. Seperti ditulis oleh Bandem (1975: 20) dan (1981:34), bahwa cerita yang disajikan dalam pertunjukan Gambuh berkisar pada cerita Panji (Malat). Selain cerita Panji, Gambuh juga memakai cerita Damarwulan yang sangat popular atau berkembang pada abad ke-14. Kemudian juga dijelaskan oleh Bandem (1975:10) konsep penataan laku pertunjukan Gambuh yang dikutip dari Walter Spies dan R. Goris, bahwa: 1. Bila raja akan masuk ke arena pentas, ia didahului oleh Demang atau Tumenggung, kemudian Patih, para Arya, dan terakhir adalah Raja. 2. Bila putrid raja akan masuk arena, ia didahului oleh condong (abdi wanita), kemudian abdi keraton yang lainnya, dan terakhir putrid yang dimaksud. 3. Jika pangeran muda yang menjadi tokoh utama akan tampil di arena, maka akan didahului oleh Kamuruhan, Kadehan, dan Rangga. 41 Ciri lain yang dijelaskan oleh Bandem adalah para penari Gambuh berjenis kelamin pria, dan pertunjukan ini berjenis dramatari tidak menggunakan topeng. Bila ciri-ciri tersebut merupakan karekteristik pertunjukan Gambuh, maka dapat diperkirakan kesenian Gabuh merupakan asal-usul kesenian Janger di Banyuwangi. Hal ini dipertegas lagi oleh Bandem (1983:70), bahwa pada sekitar abad XV – XVI ketika Majapahit ditaklukan oleh Islam, kerajaan Blambagan masih mampu menolak kekuatan Islam. Pada saat itu hampir semua barang-barang kebudayaan Hindu diboyong oleh transmigran yang datang ke Bali. Barang-barang tersebut di antaranya berupa transkrip, literatur, dan termasuk pertunjukan Gambuh. ( Puspito 2011). 4.3 Cerita Dalam Kesenian Janger Pada awalnya pertunjukan ini, selalu menyajikan ceritera-cerita yang berkisar pada kehidupan Panji Damarwulan; kemudian setelah masuk pengaruh seni pertunjukan lain, seperti ketoprak, ludrug, wayang orang tidak lagi menggunakan cerita Damarwulan, namun banyak menampilkan babad, cerita rakyat atau bahkan cerita-cerita popular lainya. Cerita-cerita yang disajikan dikemas dalam bentuk skenario yang sederhana, dan selalu disampaikan kepada para pemain kurang lebih 60 (enampuluh) menit sebelum pertunjukan dimulai. Bentuk scenario ada yang dibuat dengan tulisan (tangan atau diketik) pada lembaran kertas, atau ada juga yang ditulis dalam papan tulis yang disediakan dalam ruang belakang panggung. Tidak semua lakon menggunakan scenario, melainkan hanya 42 lakon-lakon tertentu yang dianggap sulit, hal ini sekedar untuk mempermudah para aktor dalam mengingat sekaligus mengontrol peristiwa di atas panggung (Laros 2012). 4.4 Pemeranan dan Karakterisasi Menentukan jumlah dan jenis peran sangat terggantung pada cerita yang akan dibawakan. Peran yang mempunyai nama hanyalah peran yang tergolong pada peran utama dan peran pembantu, di luar itu pemeranan yang sifatnya klompok seperti prajurit, siswa atau cantrik, dayang-dayang bila memerlukan nama dapat menggunakan nama pemerannya sendiri. Bila dilihat dari jenis peran yang ditampilkan, dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Raja, yag terdiri dari raja Sabrang dan raja Jawa, atau raja di luar keduanya 2. Patih 3. Tumenggung 4. Permaisuri dan Selir 5. Putri atau putra raja 6. Saudara raja (adik, kakak, paman, dan sebagainya 7. Tokoh pahlawan (seringkali menampilkan tokoh putra) 8. Dagelan atau pelawak Dari sejumlah peran tersebut, pada garis besarnya terbagi menjadi 5 (lima) kelompok karakter, yakni: 43 1. Putra gagah bawokan atau brawokan, adalah karakter yang memiliki sifat kasar, otoriter, egois, srakah, biasanya dalam cerita tergolong pada tokoh antagonis, misalnya: raja, patih, atau prajurit dari kerajaan sabrang, Kebo Marcuet, Minakjinggo, dan sebagainya. 2. Putra madya atau tengahan, karakter putra gagah yang tidak menunjukan sifat kasar (dalam karakter pertengahan antara kasar dan halus), misalnya: raja, patih, tumenggung prajurit yang berasal dari kerajaan Jawa 3. Putra bambangan, karakter putra yang digambarkan sebagai seorang keluarga kerajaan atau kesatria berbudi halus, lembut, luhur, bijaksana, misalnya: tokoh utama yang protagonist dan keluarga atau kerabat raja. 4. Putri atau wadonan, karakter yang mengambarkan seorang putri baik putri yang lemah-gemulai atau agresif. 5. Lain-lain, adalah karakter yang tidak tergolong pada keempat jenis tersebut, merupakan karakter yang dimiliki tokoh-tokoh tertentu, misalnya: dagelan, emban, tokoh-tokoh binatang, setan, dan sebagainya. (Puspito 2011). 4.5 Bentuk Teknis Penyajian Kesenian Janger 4.5.1 Gaya penyajian Yang dimaksud dengan gaya, adalah sesuatu yang meliputi pengertian tentang wujud serta sifat pembawaan dari sebuah penyajian. Seni pertunjukan 44 Janger Banyuwangi memiliki cirri-ciri sebagai pertunjukan dramatari tradisional. Sebagaimana diutarakan Lindsay (1991: 45-46), bahwa ciri dramatari tradisional, adalah: 1) hidup dalam kurun waktu yang cukup; 2) punya identitas daerah atau regional; 3) ceritanya tradisional (sudah umum atau sudah dikenal); 4) punya pola dramatik tertentu yang dapat digunakan sebelumnya; 5) tidak menggunakan naskah. Secara menyeluruh gaya penyajiannya
Recommended publications
  • Masyarakat Kesenian Di Indonesia
    MASYARAKAT KESENIAN DI INDONESIA Muhammad Takari Frida Deliana Harahap Fadlin Torang Naiborhu Arifni Netriroza Heristina Dewi Penerbit: Studia Kultura, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara 2008 1 Cetakan pertama, Juni 2008 MASYARAKAT KESENIAN DI INDONESIA Oleh: Muhammad Takari, Frida Deliana, Fadlin, Torang Naiborhu, Arifni Netriroza, dan Heristina Dewi Hak cipta dilindungi undang-undang All right reserved Dilarang memperbanyak buku ini Sebahagian atau seluruhnya Dalam bentuk apapun juga Tanpa izin tertulis dari penerbit Penerbit: Studia Kultura, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara ISSN1412-8586 Dicetak di Medan, Indonesia 2 KATA PENGANTAR Terlebih dahulu kami tim penulis buku Masyarakat Kesenian di Indonesia, mengucapkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkah dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan penulisan buku ini pada tahun 2008. Adapun cita-cita menulis buku ini, telah lama kami canangkan, sekitar tahun 2005 yang lalu. Namun karena sulitnya mengumpulkan materi-materi yang akan diajangkau, yakni begitu ekstensif dan luasnya bahan yang mesti dicapai, juga materi yang dikaji di bidang kesenian meliputi seni-seni: musik, tari, teater baik yang tradisional. Sementara latar belakang keilmuan kami pun, baik di strata satu dan dua, umumnya adalah terkonsentasi di bidang etnomusikologi dan kajian seni pertunjukan yang juga dengan minat utama musik etnik. Hanya seorang saja yang berlatar belakang akademik antropologi tari. Selain itu, tim kami ini ada dua orang yang berlatar belakang pendidikan strata dua antropologi dan sosiologi. Oleh karenanya latar belakang keilmuan ini, sangat mewarnai apa yang kami tulis dalam buku ini. Adapun materi dalam buku ini memuat tentang konsep apa itu masyarakat, kesenian, dan Indonesia—serta terminologi-terminologi yang berkaitan dengannya seperti: kebudayaan, pranata sosial, dan kelompok sosial.
    [Show full text]
  • The Rise up Art Tradition in the Popular Culture
    Journal of Education and Social Sciences, Vol. 5, issue 2, (October) ISSN 2289-1552 2016 THE RISE UP ART TRADITION IN THE POPULAR CULTURE Bani Sudardi Cultural Studies Department Universitas Sebelas Maret Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta [email protected] ABSTRACT This research is about folklore and its corrrelation with art tradition. This research has signification wit tradition, especially in Solo, Central Java, Indonesia. Folkore is a tradition, but in the line with the development of media. Folklore spread in the wider area outside its tradition.This study used a qualitative approach. Data is the form of art traditions in Java, especially around Surakarta. Which is the source of data are the kinds of traditions such as puppets, drama, songs, and so on. The data source is also in the form of electronic display on the TV, radio, movies, and CDs. Another source is the tradition of the artists themselves. Sampling determined by purposive sampling. Art tradition is part of folklore. Today, art tradition became popular culture and loss its tradition value. Art tradition has changed and reflected the change of the era. The change is a form of the changing identities and mass communication. It mean that the culture is instable and not in the closed system. The culture is in forming, dynamic, and continuously updating their self. So, the culture is not artifacts or symbol, but a process. This research tries to study the transformation of culture from folklore or art tradition to the popular culture. Art tradition grows in the certain society. But, today, it is transformed to TV’s performance.
    [Show full text]
  • PERKEMBANGAN SENI LUDRUK KIRUN DAN RELEVANSINYA UNTUK MENINGKATKAN APRESIASI SISWA TERHADAP BUDAYA LOKAL Oleh: Dhelfyan Hargianto1 Sariyatun, Sri Wahyuni2
    Jurnal CANDI Vol. 14 No. 2 Oktober 2016 PERKEMBANGAN SENI LUDRUK KIRUN DAN RELEVANSINYA UNTUK MENINGKATKAN APRESIASI SISWA TERHADAP BUDAYA LOKAL Oleh: Dhelfyan Hargianto1 Sariyatun, Sri Wahyuni2 ABSTRACT The purpose of this study were to describe: (1) the background of Ludruk Kirun art establishment in Madiun, (2) the development and existence of Ludruk Kirunart, (3) the views of teachers and the community to the existence of Ludruk in relation as preservation culture, (4) the teachers efforts to cultivate the students local culture appreciation. The form of this research was descriptive qualitative, which is a way to examine an event at the present time by generating descriptive data of written or spoken source of certain persons or behaviors that can be observed by using certain measures. This study used a single-rooted case studystrategy. Source of data used was objects, places, events, informants, and documents. Data collection techniques used was observation, interviews, and document analysis. The sampling technique used was purposive and snowball sampling. The validity of the data used two triangulation techniques namely data triangulation and methods triangulation. The data analysis technique used was interactive analysis, which is a process of analysis that move between three components including data reduction, data presentation, and verification / conclusion. Based on the results of the research concluded: (1) the establishment background of Ludruk Kirun driven by internal factors, namely: (a) an original art Ludruk East Java, (b) Kirun desire that want to preserve the Ludruk arts, (c) the wishes of the people aboutt populist entertainment. External factors, namely: (a) the entry of foreign culture that led to the removal of Indonesian native culture (b) culture was a human need.
    [Show full text]
  • Ketoprak, Cultural Heritage, and Character Building
    Ketoprak , Cultural Heritage, and Character Building Budi Waluyo 1, Dewi Pangestu Said 2, and Favorita Kurwidaria 3 {[email protected] 1, [email protected] 2,[email protected] 3} 1,2,3 Javanese Education Department, Faculty of Teacher Training and Education, Universitas Sebelas Maret, Indonesia Abstract. Ketoprak , as one of the traditional performing arts, is highly potential to be reactualized, reconstructed, and refunctionalized. Ketoprak always adjusts itself to the audiences’ “taste” in order to preserve and inherit it to the next generation. This preserverance is important since ketoprak is closely related to character building in schools which eventually ketoprak can improve the educational quality within the schools in terms of the students’ character quality; holistic, integrated, and balanced. This research aims to describe ketoprak as cultural heritage and describe the character building values within it. The method used was descriptive qualitative. In this research, the qualitative data were thoroughly and analytically described. The range of description includes the development of ketoprak as well as ketoprak as cultural heritage and character building. The findings of the research show that ketoprak is one of the cultural heritage to which perseverance has to be done, for the character building values are rich within it. Implication of this research is that there are efforts from many parties to preserve ketoprak as cultural heritage and a means of character building which are important for society. Keywords: ketoprak, character building, cultural heritage. 1. INTRODUCTION Ketoprak is a long-standing traditional performing art with great potential to be the subject of reactualization, restructure, and refunctioning in this modern days.
    [Show full text]
  • The Role of Humor in Ludruk Performance Art
    Journal of Critical Reviews ISSN- 2394-5125 Vol 7, Issue 7, 2020 TRADITIONAL STAGE AS A MEDIUM OF SOCIAL CRITICISM: THE ROLE OF HUMOR IN LUDRUK PERFORMANCE ART 1Naily Nur Kholidah*,2 Sahid Teguh Widodo ,3Kundharu Saddhono Sebelas Maret University, Surakarta, Indonesia Corresponding E-mail: [email protected] Received: 01.02.2020 Revised: 03.03.2020 Accepted: 05.04.2020 Abstract This article focuses on describing the role of humor in Ludruk as educated performance which is containing social protest to state of society and generating the spirit of the nation's struggle. Ludruk is traditional theater performance that be able to exist in globalization era right now. Humor as the main characteristic of performance art is used as means to reveal social critic. In community of East Java, humor is humor is an expression of a long-depressed condition. Humor in Ludruk performance is a protest and resistance in colonial era as well as a medium to connect the past and the present. The data source used in this study is the humor of the monologue in the form of poem which is sung in traditional ludruk performances, it is usually called by kidungan jula juli. This study used qualitative approach to analyze data by exploration, although it can be gotten the understanding about the form and role of ludruk humor as educated entertainment containing social protest. The scientific novelty of this work lies on the study used to analyze the role of humor in traditional performances as part of a conditional reflection in a nation during the colonial period.
    [Show full text]
  • Heritage Media and Local Wisdom of Indonesian Society
    Volume 13 Issue 6 Version 1.0 Year 2013 Type: Double Blind Peer Reviewed International Research Journal Publisher: Global Journals Inc. (USA) Online ISSN: & Print ISSN: Abstract- In rural communities, the communication between humans mostly done by using symbols such as sounds, gestures, visual and performing arts of the people. Heritage media is a communication tool used by people from outside in an attempt to convey some messages that contain various elements values, norms, rules, also include development message from the kingdom, therefore this heritage media purposes beside in addition to entertainment is also used as a tool to solve community problems in their own way, in this context local wisdom, especially issues related to community efforts to meet their needs for information. Keywords: heritage media, local wisdom, and indonesian society. GJHSS-A Classification : FOR Code: 200212, 750899 Heritage Media and Local Wisdom of Indonesian Society Strictly as per the compliance and regulations of: © 2013. Muslimin Machmud. This is a research/review paper, distributed under the terms of the Creative Commons Attribution- Noncommercial 3.0 Unported License http://creativecommons.org/licenses/by-nc/3.0/), permitting all non-commercial use, distribution, and reproduction inany medium, provided the original work is properly cited. Heritage Media and Local Wisdom of Indonesian Society Muslimin Machmud Abstract- In rural communities, the communication between the existing culture. Basically, in heritage media have a humans mostly done by using
    [Show full text]
  • Seni Pertunjukan Wisata Di Candi Borobudur Kabupaten Magelang
    SENI PERTUNJUKAN WISATA DI CANDI BOROBUDUR KABUPATEN MAGELANG Skripsi diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Seni Tari oleh Ayu Nur Adilla 2501415152 JURUSAN PENDIDIKAN SENI DRAMA, TARI DAN MUSIK FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2020 SENI PERTUNJUKAN WISATA DI CANDI BOROBUDUR KABUPATEN MAGELANG Skripsi diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Seni Tari oleh Ayu Nur Adilla 2501415152 JURUSAN PENDIDIKAN SENI DRAMA, TARI DAN MUSIK FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2020 i ii iii iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN MOTTO: “Musuh yang paling berbahaya di atas dunia ini adalah penakut dan bimbang. Teman yang paling setia hanyalah keberanian dan keyakinan yang teguh.” _Andrew Jackson_ PERSEMBAHAN : Skripsi ini saya persembahkan untuk : 1. Almamater Universitas Negeri Semarang 2. Ibu dan Kakak tercinta v PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga dapat terselesaikan penyusunan skripsi dengan judul SENI PERTUNJUKAN WISATA DI CANDI BOROBUDUR KABUPATEN MAGELANG yang disusun dalam rangka memenuhi tugas dan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan dari Universitas Negeri Semarang. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari beberapa pihak, penulis skripsi ini tidak akan selesai. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya dan ucapan terimakasih kepada pihak- pihak sebagai berikut : 1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum., Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan fasilitas selama melaksanakan perkuliahan. 2. Dr. Sri Rejeki Urip, M.Hum., Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan izin penelitian kepada peneliti. 3. Dr.
    [Show full text]
  • Perbedaan Tata Busana Dan Tata Rias Antara Pertunjukan Ketoprak Dan Kabuki
    PERBEDAAN TATA BUSANA DAN TATA RIAS ANTARA PERTUNJUKAN KETOPRAK DAN KABUKI Oleh : Nur Hastuti Abstract Kabuki and ketoprak are two art performances that are still growing and liked by their supportive society. Some elements of kabuki and ketoptrak making us easy to recognize what performance is being played, beside the actors and actresses get dressed and make up. The actors and actresses of kabuki and ketoprak must know how to get dressed and make up. Things the actors and actresses should consider in making up the face are the face, characters, and the actors face shape. While the actors and actresses of kabuki wear kimono. Keywords: dress, make up, characters, face shape, kimono 1.1 Latar Belakang Masalah Seni pertunjukan ketoprak merupakan —Kita di dalam menyaksikan jenis kesenian tradisional Yogyakarta pementasan ketoprak, kecuali ingin mengetahui jalan ceritanya, dengan yang hingga kini masih tumbuh dan mendengarkan dialog para pemain, digemari oleh masyarakat juga ingin melihat cara mereka pendukungnya. Dalam buku yang berkostum. Biasanya penonton akan merasa puas dan terkesan terhadap berjudul Ketoprak disebutkan bahwa pementasan tersebut apabila, —hakeNat ketoprak sesungguhnya adalah —3akaian yang dikenakan para drama, tetapi tentu saja ketoprak bukan pemain dalam perwatakan sesuai dengan jalan ceritanya, atau paling drama modern, karena beberapa tidak mendekati waktu peristiwa unsurnya diliputi oleh tradisi Jawa, baik tersebut terjadi, serta dapat struktur lakon, dialog, busana, riasan, menimbulkan lasa indah yang maupun musik tradisional“ (Handung wajar, terhadap pandangan kita,“ sebab saya kira sudah menjadi Kus Sudyarsana, 1939: 25). watak manusia pada umumnya, selalu ingin rnelihat barang yang Sampai sekarang seni ketoprak tetap indah, tetapi wajar dan tidak digemari oleh rakyak dari segala lapisan.
    [Show full text]
  • Proses Kreatif Kirun Dalam Kesenian Ketoprak Dan Ludruk
    PROSES KREATIF KIRUN DALAM KESENIAN KETOPRAK DAN LUDRUK Oleh Rizcky Bangkit Alfarizs [email protected] Dr. Autar Abdillah, S.Sn., M.Si Jurusan Sendratasik,Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya [email protected] ABSTRAK Kirun ialah tokoh seniman ludruk dan juga ketoprak yang berbakat. Beliau semasa mudanya sering belajar dan bermain ludruk di berbagai tempat. Orang bisa belajar melucu tapi ada orang yang memang asli lucu. Kirun membuat padepokan untuk merawat kesenian dan budaya tradisi. Selain itu, Kirun melestarikan kesenian agar tidak hilang oleh arus globalisasi. Beliau juga terlahir dari seniman ludruk dan ketoprak sejak masih muda. Dengan adanya ide kreatif dari Kirun membuat masyarakat Indonesia lebih mencintai budayanya. Dalam berkesenian Ketoprak dan Ludruk Kirun memiliki keunikan berkreativitas mulai dari penggarapan lakon sampai beberapa pementasan Ludruk Kirun serta Kidungan Jula Juli nya berada pada babak 4 atau pertengahan pementasan. Kirun juga sering menyutradarai Ketoprak dan Ludruk yang di kreasi olehnya. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah wawancara, observasi, dan dokumentasi yang divalidasi menggunakan triangulasi sumber, teknik, dan metode. Selanjutnya data yang diperoleh direduksi, interpensi, serta penarikan kesimpulan Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Ketoprak dan Ludruk Kirun saling bersinergi satu sama lain. Mulai dari metode penggarapan babak, Teknik penggarapan, faktor kreativitas sampai yang dimunculkan dalam penggarapan pun hampir bersinergi satu sama lain. Permasalahan komersial kesenian Ketoprak dan Ludruk berdampak kepada keterlangsungan kesenian tradisional ini sehingga muncul juga beberapa faktor dalam kreativitas mulai dari faktor lingkungan hingga faktor sosial. Seringnya berprestasi juga meningkatkan harga jual dan mengelola berkreativitas Ketoprak dan Ludruk Abah Kirun Abah Kirun.
    [Show full text]
  • INDONESIAN POSTCOLONIAL THEATRE Spectral Genealogies and Absent Faces
    Studies in International Performance Published in association with the International Federation of Theatre Research General Editors: Janelle Reinelt and Brian Singleton Culture and performance cross borders constantly, and not just the borders that define nations. In this new series, scholars of performance produce interactions between and among nations and cultures as well as genres, identities and imaginations. Inter-national in the largest sense, the books collected in the Studies in International Performance series display a range of historical, theoretical and critical approaches to the panoply of performances that make up the global surround. The series embraces ‘Culture’ which is institutional as well as improvised, underground or alternate, and treats ‘Performance’ as either intercultural or transnational as well as intracultural within nations. Titles include: Patrick Anderson and Jisha Menon (editors) VIOLENCE PERFORMED Local Roots and Global Routes of Conflict Elaine Aston and Sue-Ellen Case STAGING INTERNATIONAL FEMINISMS Christopher Balme PACIFIC PERFORMANCES Theatricality and Cross-Cultural Encounter in the South Seas Susan Leigh Foster WORLDING DANCE Helen Gilbert and Jacqueline Lo PERFORMANCE AND COSMOPOLITICS Cross-Cultural Transactions in Australasia Helena Grehan PERFORMANCE, ETHICS AND SPECTATORSHIP IN A GLOBAL AGE Judith Hamera DANCING COMMUNITIES Performance, Difference, and Connection in the Global City Silvija Jestrovic and Yana Meerzon (editors) PERFORMANCE, EXILE AND ‘AMERICA’ Sonja Arsham Kuftinec THEATRE, FACILITATION, AND NATION FORMATION IN THE BALKANS AND MIDDLE EAST Carol Martin (editor) DRAMATURGY OF THE REAL ON THE WORLD STAGE Alan Read THEATRE, INTIMACY & ENGAGEMENT The Last Human Venue Shannon Steen RACIAL GEOMETRIES OF THE BLACK ATLANTIC, ASIAN PACIFIC AND AMERICAN THEATRE Joanne Tompkins UNSETTLING SPACE Contestations in Contemporary Australian Theatre S.
    [Show full text]
  • 04 Chapter 4 Burns
    72 Chayter 4 - The Gambang of Sunda and Cirebon Introduction Sunda, occupying the western third of Java, is mountainous and densely forested, which kept it separate and autonomous until Dutch and English incursions in the 1600s. [n earlier times trade and treaty were limited to the coastal towns of Bilnten, Cirebon and Sunda Kelapa (subsequently Batavia, then Jakarta), while the hill fort of Bogar and the tea plantations in the surrounding forests (parahiangan/ priangan) became favourites for the Dutch during their colonisation. In the last two centuries the northern road from Cirebon to Jakarta and the Sundanese capital Bandung have become some of Indonesia 's busiest areas outside Jakarta itself. Sunda developed quickly and has embraced certain modernisms. Bandung, the capital, is a modern dty with no kraton or a/un-atun, and has developed Sundanese music and its theory rapidly. In many ways it now leads the gamelanfusion genre, through production and performance groups like Jugala and Gapura, and the many projects created by graduates of ASTI, the arts academy. The game/an and fdk music traditions reflect an energetic and cheerful spirit blended with a delicate aesthetic sense. While Sundanese game/an has clecrly borrowed heavily from Cireoon and Central Java in its evolution, it has made the tradition its own and now produces some of Indonesia's most successful recordings, attractive to Westerners and Indonesians. Van Zanten and Cook show Orebonese origins for Sundanese gamelan, though kacapi (the Sundanese zither, which shares contrapuntal patterns with the gambang) and the bamooo idiophone angkJung are said to be indigenous to Sunda.
    [Show full text]
  • The Local Wisdom of Kidung Sri Bedhaya: the Ruler's Hegemony
    The Local Wisdom of Kidung Sri Bedhaya: The Ruler’s Hegemony Towards a Woman Hartikaningsih1., Andayani2, P A W Wibowo3 1,2,3Sebelas Maret University, Indonesia E-mail: [email protected] ABSTRACT Monologue drama performance with Javanese as its language is seemingly rare to find. Kidung Sri Bedhaya monologue drama created by Trisno Santoso applies feminism to be the approach. It is as considered by litterateurs that woman is as an attractive topic to discuss. This research belongs to descriptive qualitative with document study without any places taken Moreover, in this research, the data are in the form of written descriptive. A woman, in this case, tends to be left behind as she is placed under man in term of position and domination while in fact, rulers are not allowed to be arbitrary towards their families, slaves, and those who work under the governmental. This is in contrast to what was occurred that authority as if blinds the boundary between personal and government affairs. Finally, through Kidung Sri Bedhaya, ruler’s hegemony towards woman is able to investigate. Keywords: Local Wisdom; Kidung Sri Bedhaya, Hegemony; Feminism 1. INTRODUCTION Javanese literature contains complex and relevant values dealing with any problems emerge in society, mainly Javanese [1]. There are particular aims proposed by litterateurs while creating such works of literature. Hence, to them, works of literature are a tool of self- expression while in common, they are enjoyed, and conceived. To some extends, they gain benefit, are being exampled, and applied in daily life. Thus, works of literature are a tool of entertaining their readers, listeners, as well as audiences.
    [Show full text]