Quick viewing(Text Mode)

HERI JUNAIDI- DIS.SPS.Pdf

HERI JUNAIDI- DIS.SPS.Pdf

Heri Junaidi NIM. 09.3.00.1.08.01.0015

EFISIENSI BERKEADILAN PADA KASUS USAHA SONGKET PALEMBANG

Disertasi Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Doktor di Bidang Pengkajian Islam

Promotor: Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA. MM Prof. Dr. Ahmad Rodoni.

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011

ABSTRAK

Berdasarkan hasil studi ini disimpulkan bahwa efisiensi berkeadilan memiliki nilai-nilai kekuatan ekonomi berbasis pemberdayaan dalam meningkatkan kesejahteraan bersama. Nilai-nilai yang tidak berorientasi pada nilai ekonomis semata seperti dipahami dalam teori trickle down effect maupun pareto optimum yang hanya melahirkan kapitalis semu dan kejahatan moral karena kekayaan, harta, dan penumpukan modal sebenarnya hanya dimiliki oleh para pelaku ekonomi modal kuat, bukan oleh semua kalangan. Penguatan ekonomi berbasis pemberdayaan berarti pemerintah berperan mengatur agar masyarakat kaya tidak merugi (tidak worse off) dan masyarakat miskin memperoleh untung (menjadi better off). Dalam perspektif tersebut, nilai-nilai efisiensi berkeadilan dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam yang mengarahkan seluruh umat Islam untuk meningkatkan produkifitas namun tidak melupakan hak-hak orang lain dalam proses mendapatkan hasil usaha. Persamaan dan perbedaan dengan komunitas akademik lain (1) Efisiensi berkeadilan yang termaktub dalam amandemen UUD 1945 pasal 33 (ayat 4) adalah istilah yang diusung oleh Sri-Edi Swasono sebagai efisiensi sosial dalam mencapai keadilan sosial ekonomi pada tataran mikro dan makro; (2) Jamaludin Atthiyah menyebutkan bahwa sumber daya manusia dalam melakukan aktifitas dituntut untuk melakukan efisiensi dengan tidak mengkonsumsi dan mengeksploitasi nikmat Allah secara berlebihan; (3) Umar Chepra dan Mannan menilai efisiensi berdasarkan maqa>s}id. Setiap penggunaan yang menggagalkan realisasi maqa>s}id harus dipandang sebagai kesia-siaan, penetapan kesejahteraan dalam pembangunan ekonomi dalam Islam harus bermuara kepada mas}lahat atau kebaikan, dan kesejahteraan umat manusia untuk pemeliharaan lima mas}lahat berdasarkan aturan syari‟ah; (4) Muhammad Amin Suma menguatkan dengan keadilan sosial secara menyeluruh dimana kemakmuran rakyat yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang, berkeadilan dan berkemakmuran dengan tawaran ekonomi berbasis kitab suci. Sumber data dan cara membaca melalui pemahaman dan perbandingan efisiensi berkeadilan dari perspektif ekonomi kapitalis, konsep ekonomi kerakyatan dan ekonomi Islam serta pada kasus usaha songket Palembang Hasil studi menyimpulkan bahwa keterbatasan pemahaman terhadap makna efisiensi berkeadilan dalam implementasi merupakan penjelasan penting dalam menjawab pertanyaan pada kasus usaha songket Palembang. Nilai-nilai efisiensi berkeadilan belum terbangun pada usaha songket Palembang. Indikator penting memperlihatkan aktifitas yang hanya berorientasi untung rugi ekonomi.

ii ABSTRACT

Equitable efficeincy embodied in the amandement of 1945 constitution article 33 (paragraph 4) is one of the basic values to build social efficiency in Indonesia. The term introduced in the amandement by Sri-Edi Swasono, as also strengthened by earlier thinkers such as Mohammad Hatta, Posner, , Sritua Arief, Mubyarto, Umar Chepra, Baqir Shadr, Jamaluddin Attiyah, Amin Suma, Han-Joon Chang and Ilene Grabel. The dissertation is then shown that (1) the of equitable efficiency oriented economic efficiency is not only the view of the economic costs and benefits, (2) the equitable efficiency is a concept to build empowerment, balance, sustainability, equality and shared prosperity. The main source of this dissertation is the work of economists thought that examines the concept of equitable efficiency and Palembang songket business activities. The data is read through the concept of capitalist economics, Islam and the economy, while providing a revision of the existing based on field findings and the concept of Islamic Law (fiqh muamalah ). Actualization of the various theories are assessed from activities of business development in South Sumatra in songket (1)empowerment of capital, (2) development aspects of rights and mutual obligations, (3) togetherness in human resource development, (4) free enterprise and , (5) enhance partnerships in distribution. In explore the equitable efficiency in Palembang songket business done with the conceptual approach and the comparative approach. The study concluded that the values of equitable efficiency influenced the concept of Islamic economics. The of such a term is needed to encourage the accelaration of productivity that justice which every citizen can enjoy the results in accordance with humanity and devotion dharma. It also reinforces the implementation of the demands of Article 27 paragraph (2) of the 1945 Constitution (UUD 1945). Lack of understanding of the meaning of equitable efficiency. Lack of and strength of the ideological struggle of economic democracy building within the basic concept at the level of production and distribution business Palembang‟s Songket. The effort to build a future songket waves business by holding on values of parameters the Equitable efficeincy and mumalah maliyah and muamalah ma‟daniyah as reinforce basic awareness of Khalifatullah fi al-ardhi, contract implementation in accordance with the values of Islamic law, and strengthening partnership with the concept of sharing (murabaha and musharaka).

iii

iv

v

vi

vii

viii

ix

x

xi

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Heri Junaidi Nim : 09.2.00.1.09.01.0020 Konsentrasi : Ekonomi Islam xii

Dengan ini menyatakan bahwa disertasi Efisiensi Berkeadilan Pada Kasus Usaha Songket Palembang adalah benar-benar karya saya sendiri, didukung oleh berbagai sumber terkait. Apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan di dalamnya, sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya. Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.

Jakarta, Juli 2011

Heri Junaidi NIM. 09.3.00.1.08.01.0015

Kata Pengantar

Dengan rahmat dan Inayah Allah Swt penelitian disertasi berjudul “Efisiensi Berkeadilan (Studi Kasus Usaha Songket Palembang)” yang merupakan hasil pergulatan akademik selama masa studi di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dapat diselesaikan, salawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada nabi Muhammad Saw. Disertasi ini merupakan penggalian mendalam terhadap salah satu kalimat dalam amandemen keempat tahun 2004, Pasal 33 yang dikenal sebagai pasal pengelolaan ekonomi, ayat keempat “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan xiii prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Konsep efisiensi berkeadilan yang diusung Sri-edi Swasono memberikan banyak nilai yang memerlukan penafsiran yang lebih mendalam terhadap nilai-nilai efisiensi berkeadilan tersebut terutama bagaimana mengimplementasikan ke wilayah usaha mikro dan usaha kecil seperti usaha songket Palembang yang menjadi kajian studi ini. Walaupun tidak mencerminkan keadaan usaha mikro dan usaha kecil secara menyeluruh, namun hasil penelitian ini dapat memberikan gagasan dan pemikiran untuk mengarusutamakan (mainstreaming) produktifitas usaha mikro dan usaha kecil dalam melakukan persaingan global di dunia usaha. Bagi sebagian kalangan, efisiensi berkeadilan mungkin masih sangat asing, padahal didalamnya mempunyai nilai-nilai filosofis yang sangat penting untuk dipahami oleh segenap komponen bangsa Indonesia di tengah kondisi usaha mikro dan usaha kecil yang masih belum mampu bersaing. Seperti jaringan kebersamaan (ukhuwah), solidaritas kerja, keuntungan dan produksi yang tidak memfokus pada orang perorang, kemitraan yang sama-sama menguntungkan, memberdayakan dan berkesinambungan, serta keterbawasertaan unit usaha kecil dan mikro dalam program pembangunan lokal dan nasional. Keberhasilan konsep tersebut juga masih bergantung pada kesadaran tindakan dalam menjalankan aspek-aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Studi ini lebih ditegaskan pada hasil observasi dan wawancara mendalam, sehingga alur pendalaman materipun mengikuti aktifitas yang muncul dalam studi ini. Sehingga konsep-konsep perhitungan dalam konsep ekonomi sebagai kajian sekunder untuk mempertajam analisis studi. Pada bab II dikaji efisisiensi berkeadilan dalam perdebatan akademik sehingga menemukan perbandingan konsep terutama konsep efisiensi berkeadilan dalam perspektif kapitalis, ekonomi Islam dan ekonomi kerakyatan. Bab III menggali implementasi efisiensi berkeadilan dalam ranah produksi dengan studi kasus utama usaha songket Palembang. Untuk mencapai kajian pada ranah tersebut, digali terlebih dahulu akar budaya songket, karekteristik usaha hingga penjelasan-penjelasan yang sangat terkait dengan bab-bab selanjutnya. Pada bab IV penilaian efisiensi berkeadilan dalam ranah kemitraan distribusi. Bab ini menggali berbagai dinamika yang berhubungan dengan kemitraan dalam aktifitas penjualan songket serta akad-akad yang terjadi seiring dengan aktifitas tersebut. Pada bab V lebih difokuskan untuk meramu problematika dan dinamika yang muncul lebih mendalam sehingga memunculkan beberapa tawaran-tawaran teoritisasi penguat atas teori efisiensi berkeadilan. Seperti penegasan dalam “efisiensi berkeadilan sosial” dan “efisiensi humanis spritualis” beserta argumentasi-argumentasinya. Bab VI merupakan kesimpulan studi, implikasi dan beberapa rekomendasi tawaran pendalaman studi.

xiv Seiring dengan selesainya penelitian diucapkan penghargaan dan terima kasih kepada mereka yang banyak sekali memberi bantuan yang amat berharga dari banyak pihak secara langsung maupun tidak langsung. Ucapan terima kasih dan sembah sujud serta doa yang tiada henti disampaikan kepada orang tua, ayahanda almarhum Umar Usman dan ibunda Mariana, Almarhum M. Natsir dan Siti Nurjannah yang telah memberikan ketauladanan tut wuri handayani kepada ananda hingga mencapai gelar Doktor bidang pengkajian Agama Islam serta karier yang sejalan dengan cita-cita masa kecil penulis, menjadi seorang pendidik. Selanjutnya diucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Azumardi Azra, MA, Prof. Dr. Suwito, MA, Dr. Fuad Jabali. MA dan Dr. Yusuf Rahman, MA yang memberikan berbagai masukan berkenaan dengan proses awal penulisan dan masa-masa work in disertasi ini. Terima kasih juga diucapkan kepada Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA. MM, dan Prof. Dr. Ahmad Rodoni yang keduanya menjadi promotor penulis. Berbagai masukan, komentar selama proses studi ini menjadi bagian yang sangat berharga dalam memperkuat data dan analisis disertasi, Prof. Dr. Atho Muzhar, MA yang memberikan masukan terutama dalam penyederhanaan judul dan metodologi disertasi yang diolah selama masa perkuliahan bersama beliau. Terima kasih juga kepada Prof. Dr. Sri-Edi Swasono yang penulis sempat menjadi mahasiswa tamu dalam perkuliahan beliau di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Berbagai informasi dan data baik dalam buku-buku, makalah seminar, tulisan dalam berbagai media serta naskah ajar beliau menjadi data primer dalam memahami konsep efisiensi berkeadilan tersebut. Kemudian semua tim teaching dalam berbagai mata kuliah yang disajikan selama masa studi penulis, kesemuanya juga diucapkan terima kasih. Jaza>kumulla>h Khairul jaza>’ Selama awal-awal pendalaman materi pra-proposal, penulis mendapatkan banyak informasi dan masukan. Terima kasih terutama kepada Prof. Dr. Sirozi, MA. Phd, dengan motivasi dan spiritnya awalnya sehingga dapat kembali melanjutnya program S3 di sekolah pascasarjana UIN Jakarta ini. Prof. Dr. Izzan Fautanu. MA yang motivasi awal dan perhatiannya selama studi ini mengingatkan untuk tetap fokus studi. Dr. Izzomiddin, MA, Dr. Edison Saifullah, Lc, yang tidak pernah lelah mengajarkan penulis untuk memahami pemikiran tokoh-tokoh ekonom Muslim dunia. Dr. Muhammad Adil, Dr. Muhajirin,Dr. Kusnadi, Dr. Nur Fitriyani yang setiap saat menjadi teman dialog ilmiah penulis. Segenap tim kerja di lingkungan IAIN Raden Fatah Palembang, Prof. Dr. Aflatun Mukhtar, MA, Rektor IAIN Raden Fatah Palembang, Prof. Dr. Duski Ibrahim, MA, Dekan Fakultas Syari‟ah beserta seluruh jajaran yang banyak membantu memberikan kemudahan baik dari aspek admintrasi izin belajar, bantuan pendanaan hingga selesai studi ini. Kepada Juwita Anggraini, SHI, MHI yang banyak membantu dalam mengisi kuliah yang menjadi tanggung jawab penulis selama masa studi ini, sekaligus memberikan waktu berlama-lama mengedit aspek kebahasaan disertasi ini. tidak lupa mitraku Kun Budianto, SE. MHI, Dra. Nurmala Hak, MHI, Drs. Legawan Isa, MHI, Yusida Fitri, MA, Titin Suhartini, ME, xv Yuswalina, SH, dan Drs. Sunaryo, MHI dalam Labarotorium Terpadu Fakultas Syari‟ah dimana penulis diamanatkan untuk memimpinnya serta semua civitas akademik di lingkungan IAIN Raden Fatah. Terima kasih atas semua kebersamaan yang terbangun walau saya sering meninggalkan tugas untuk izin belajar ini. Kepada Prof. Dr. Suyitno, MA; Dr. Rr. Rina Antasari, SH. M.Hum, Nilawati, MHI, Rika Lidyah, SE, MSi, Titin SE. Msi, Dinul Alfian Akbar, SE>. Msi, M. Fatah, MA Kolega dalam Lembaga Kajian Hukum Islam (LKHI) Fakultas Syari‟ah. Semoga sekecil apapun bantuan dari kolega civitas IAIN Raden Fatah Palembang akan menjadi amal. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada para pegawai Perpustakaan sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Nasional yang telah memberikan kemudahan untuk mendapatkan data-data dalam studi ini, juga kepada semua staff administrasi yang telah memberikan berbagai kemudahan dalam semua proses studi ini. Para responden dari pengrajin, perajin songket yang dengan keikhlasan memberikan waktu untuk berdialog dengan berbagai pertanyaan sebagai penguat data primer studi, tidak ada ucapan kecuali terima kasih atas semua informasi yang diberikan. Kepada adik-adikku, M. Zazili, SE, Sulhana, Sri Mulyati, S.Sos MM, Isman Komari, SPd, MM, Eka Izzati, SE, Karsten Lohmeyer, Mustika Aini SE, Made, Ana Yusro, S.Kes, Farizal Hadriyanto, S.Kes, Rodhi Sabirin, SE, RA. Marisa serta semua keponakan yang turut mendoakan, memberikan bantuan finansial yang tidak terbatas. Kepada Kanda Komaruzzaman, Maryani, Imron, Yuliana, Dewi Hasriani, Putu, Julailah yang turut mendoakan, tidak ada ucapan kecuali terima kasih dan semoga amal ibadah tersebut mendapatkan imbalan yang tidak terhingga dari Allah Swt. Dalam proses penulisan disertasi ini, banyak sekali para sahabat yang dapat menjadi tempat berkomunikasi ilmiah, berlama-lama membaca berbagai kekurangan dari aspek hurup, kalimat, hingga paragraf yang mungkin tidak relevan dalam tulisan ini. Beberapa diantaranya Mas Tris, Ramadhanita, dan Dian Indriyani yang selalu mencoba mengkritisi dan memperbaiki semua logika tulisan ini, Mas Dekky, Mbak Ani, Mas Azan yang memberikan waktu berlama-lama untuk mengkaji konsep ekonomi konvensional dan sistem ekonomi Islam, serta teman- teman yang membantu dalam menguatkan pemahaman dalam bahasa Arab dan Bahasa Inggris seperti Dr. Edison, Eva Nugraha, dan Sholeh Sakni. Kepada rekan seangkatan kuliah tahun 2009 dan semua teman pada mata kuliah isu-isu ekonomi Islam kontemporer, teman-teman dalam IMPASS (Ikatan Mahasiswa Pascasarjana Sumatera Selatan) yang diketui oleh Syarifuddin, MA bersama Jhon Supriyanto, MA, Maryuzi dan Abdul Hadi, MA yang memberikan nilai bahwa rentan waktu berjuang hidup di kost semakin menambah persahabatan, keakraban, sekaligus mempertajam dalam arisan pikiran kita. termasuk mereka yang buku-bukunya dipinjam dan dibedah serta memberikan semangat dan motivasi untuk dapat menyelesaikan studi ini, tiada kata kecuali ucapan, semoga apa yang telah diberikan dengan segenap keikhlasan dapat menjadi pahala dari Allah, Swt. xvi Akhirnya secara sangat khusus ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada istriku Herlina yang telah menjadi fondasi aktifitas belajar dan karier, Ia juga membangunkan nilai pengertian dan kesabarannya, memahami persoalan dan dinamika perjuangan selama masa kuliah ini tanpa sedikitpun mengeluh. Dari dirinya aku menemukan sebuah nilai ” cintailah buku seperti sungai, karna sungai mengalir selamanya. Ia juga membuat saya bertemu pada satu kesimpulan ”kebahagian hadir dan memberi arti, saat kepahitan pernah singgah dan mengisi kehidupan kita”. Terima kasih atas semua sugesti yang diberikan selama ini. Kepada anak-anakku Nabilah Dea Afifah, Adrian Rofiq dan Alfian Ridwan, ketiganya menjadi motivasi dan semangat perjuangan ini, walau dalam kesendirian penulis selalu berungkap kata ”maafkan ayahanda tidak bisa selalu hadir bersama menemani selama masa studi kalian, dan maafkan kasih sayang ayah berkurang demi studi ini. The last not the least, terucap terima kasih kepada guruku Drs. H. Mahir Mallawi, MA yang semangat mengajar dan membimbingnya selalu kuikuti. Khamami Zada, Yudhi R. Haryono, Pramono U. Tahtowi, Busman Edyard, Dr. Mesraini, Dr. Nurhasanah, Dr. Suwendi, Dr. Asrina Irnaz, kritik panjenangan selama berlatih menulis selalu ikut memotivasi untuk terus mempertajam tulisanku dari masa ke masa. Pada akhirnya, karya ini hanyalah awal untuk pengembangan ilmu dan pengetahuan penulis, Sebagai sebuah karya ilmiah, tulisan ini memiliki nilai perdebatan, dan karenanya menjadi sebuah studi yang menarik dan terus untuk dapat dikaji secara ilmiah, untuk itu sumbang saran, ajakan dialog dan diskusi, akan diterima dengan hati lapang. Di atas semua itu, saya sendirilah yang bertanggung jawab atas segala kesalahan dan ketidaksempurnaan dalam penelitian ini. Ciputat, 2011

TRANSLITERASI ARAB-INDONESIA

A. Huruf Konsonan

q = ق z = ز ' = أ k = ك s = س b = ب l = ل sh = ش t = ت m = م {s = ص th = ث

xvii n = ن }d = ض j = ج w = و {t = ط }h = ح h = ه {z = ظ kh = خ ` = ء „ = ع d = د y = ي gh = غ dh = ذ f = ف r = ر

B. Huruf Vokal

ُ = Vokal Tunggal: a = ´ ; i = ِ ; u و = ū ; ي = Vokal Panjang: a ا و = aw ; ا ي = Vokal Rangkap: ay

DAFTAR ISI

Abstrak...... ii Persetujuan Promotor...... v Persetujuan Tim Penguji...... vii Surat Pernyataan...... xiii Kata Pengantar...... xiv Transliterasi Arab...... xviii BAB I PENDAHULUAN...... 1 A. Latar Belakang Masalah...... 1 B. Permasalahan...... 8 C. Definisi Operasional...... 10 D. Penelitian Terdahulu...... 15

xviii E. Tujuan...... 20 F. Manfaat ...... 20 G. Landasan Teori...... 20 H. Kerangka Berpikir...... 25 I. Metodologi...... 26 J. Sistematika Penulisan ...... 30

BAB II EFISIENSI BERKEADILAN DALAM PERKEMBANGAN PEMIKIRAN EKONOMI 32 ...... A. Ekonomi Kapitalis...... 32 B. Ekonomi Kerakyatan...... 49 C. Ekonomi Islam ...... 72 D. Perbandingan Efisiensi Berkeadilan...... 103

BAB III PRODUK USAHA BERASAS 109 KEKELUARGAAN...... A. Karakteristik Usaha ...... 109 B. Pendayagunaan kapital ...... 127 C. Hak dan Kewajiban Bersama...... 138 D. Kebebasan Berusaha dan Berkreatifitas...... 149

BAB IV DISTRIBUSI BERBASIS 156 KEMITRAAN...... A. Pola Kemitraan...... 156 B. Etika Nilai kemitraan………………………………………. 172 C. Kemitraan yang berkeadilan ……. …………………………. 191

BAB V PENGEMBANGAN PRODUKSI DAN DISTRIBUSI BERWAWASAN HUMANIS 198 SPRITUAL...... A. Analisis SWOT Usaha...... 198 B. Penguatan Sumber Daya Manusia...... 204 C. Corak Usaha Berbasis Nilai………………………………… 212 D. Strategi Pengembangan Usaha……. ……………………….. 234 E. Membangun Pola Usaha Berbasis Kemitraan ...... 241 F. Rekonstruksi Pengembangan Usaha...... 268

BAB VI PENUTUP...... 275 A. Kesimpulan...... 275 B. Implikasi ...... 278 C. Saran ...... 280 xix

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………… 274 LAMPIRAN-LAMPIRAN….……………………………………………. 310 INDEKS…………………………………………………………………... 309 GLOSARI………………………………………………………………… 326 BIOGRAFI PENULIS

xx Pengantar Penulis

Dengan rahmat dan Inayah Allah Swt penelitian saya tentang “Efisiensi Berkeadilan Usaha Songket Palembang” dapat diterbitkan dengan judul Efsiensi Berkeadilan: Membangun Ekonomi Kerakyatan Berbasis Syari’ah. Buku ini merupakan hasil pergulatan akademik selama masa penelitian disertasi saya pada pengkajian Islam Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2011), Disertasi yang kemudian menjadi buku ini merupakan penggalian mendalam terhadap salah satu kalimat dalam amandemen keempat tahun 2004, Pasal 33 yang dikenal sebagai pasal pengelolaan ekonomi, ayat keempat “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Konsep efisiensi berkeadilan yang diusung Sri-edi Swasono memberikan banyak nilai yang memerlukan penafsiran yang lebih mendalam terhadap nilai-nilai efisiensi berkeadilan tersebut terutama bagaimana mengimplementasikan ke wilayah usaha mikro dan usaha kecil seperti usaha songket Palembang yang menjadi kajian studi ini. Walaupun tidak mencerminkan keadaan usaha mikro dan usaha kecil secara menyeluruh, namun hasil penelitian ini dapat memberikan gagasan dan pemikiran untuk mengarusutamakan (mainstreaming) produktifitas usaha mikro dan usaha kecil dalam melakukan persaingan global di dunia usaha. Bagi sebagian kalangan, efisiensi berkeadilan mungkin masih sangat asing, padahal didalamnya mempunyai nilai-nilai filosofis yang sangat penting untuk dipahami oleh segenap komponen bangsa Indonesia di tengah kondisi usaha mikro dan usaha kecil yang masih belum mampu bersaing. Seperti jaringan kebersamaan (ukhuwah), solidaritas kerja, keuntungan dan produksi yang tidak memfokus pada orang perorang, kemitraan yang sama-sama menguntungkan, memberdayakan dan berkesinambungan, serta keterbawasertaan unit usaha kecil dan mikro dalam program pembangunan lokal dan nasional. Keberhasilan konsep tersebut juga masih bergantung pada kesadaran tindakan dalam menjalankan aspek-aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Seiring dengan selesainya penelitian diucapkan penghargaan dan terima kasih kepada mereka yang banyak sekali memberi bantuan yang amat berharga dari banyak pihak secara langsung maupun tidak langsung. Ucapan terima kasih dan sembah sujud serta doa yang tiada henti disampaikan kepada orang tua, ayahanda almarhum Umar Usman dan ibunda Mariana, Almarhum M. Natsir dan Siti Nurjannah yang telah memberikan ketauladanan tut wuri handayani kepada ananda hingga mencapai gelar Doktor bidang pengkajian Agama Islam serta karier yang sejalan dengan cita-cita masa kecil penulis, menjadi seorang pendidik. Selanjutnya diucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Azumardi Azra, MA, Prof. Dr. Suwito, MA, Dr. Fuad Jabali. MA dan Dr. Yusuf Rahman, MA yang memberikan berbagai masukan berkenaan dengan proses awal penulisan dan masa-masa work in progress disertasi ini. Terima kasih juga diucapkan kepada Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA. MM, dan Prof. Dr. Ahmad Rodoni yang keduanya menjadi promotor penulis. Berbagai masukan, komentar selama proses studi ini menjadi bagian yang sangat berharga dalam memperkuat data dan analisis disertasi, Prof. Dr. Atho Muzhar, MA yang memberikan masukan terutama dalam penyederhanaan judul dan metodologi disertasi yang diolah selama masa perkuliahan bersama beliau. Terima kasih juga kepada Prof. Dr. Sri-Edi Swasono yang penulis sempat dibimbing dan menjadi mahasiswa tamu dalam perkuliahan beliau di Fakultas Ekonomi UI dan sekolah pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Berbagai informasi dan data baik dalam buku-buku, makalah seminar, tulisan dalam media surat kabar dan internet serta naskah ajar beliau menjadi data primer dalam memahami konsep efisiensi berkeadilan tersebut. Kemudian semua tim teaching dalam berbagai mata kuliah yang

ii disajikan selama masa studi penulis, kesemuanya juga diucapkan terima kasih. Jaza>kumulla>h Khairul jaza>’ Selama awal-awal pendalaman materi pra-proposal, penulis mendapatkan banyak informasi dan masukan. Terima kasih terutama kepada Prof. Dr. Sirozi, MA. Phd, dengan motivasi dan spiritnya awalnya sehingga dapat kembali melanjutnya program S3 di sekolah pascasarjana UIN Jakarta ini. Prof. Dr. Romli, SA, MA yang semangat belajar nya selalu kuikuti. Prof. Dr. Izzan Fautanu. MA yang motivasi awal dan perhatiannya selama studi ini mengingatkan untuk tetap fokus studi. Dr. Izzomiddin, MA, Dr. Edison Saifullah, Lc, yang tidak pernah lelah mengajarkan penulis untuk memahami pemikiran tokoh-tokoh ekonom Muslim dunia. Dr. Muhammad Adil, Dr. Muhajirin, Dr. Kusnadi, Dr. Nur Fitriyani yang setiap saat menjadi teman dialog ilmiah penulis. Segenap tim kerja di lingkungan IAIN Raden Fatah Palembang, Prof. Dr. Aflatun Mukhtar, MA, Rektor IAIN Raden Fatah Palembang, Prof. Dr. Duski Ibrahim, MA, Dekan Fakultas Syari’ah beserta seluruh jajaran yang banyak membantu memberikan kemudahan baik dari aspek admintrasi izin belajar, bantuan pendanaan hingga selesai studi ini. Kepada Juwita Anggraini, SHI, MHI yang banyak membantu dalam mengisi kuliah yang menjadi tanggung jawab penulis selama masa studi ini, sekaligus memberikan waktu berlama-lama dengan tekun dan tabah mengedit aspek kebahasaan disertasi ini. Kepada semua mitraku Kun Budianto, SE. MHI, Dra. Nurmala Hak, MHI, Drs. Legawan Isa, MHI, Yusida Fitri, MA, Titin Suhartini, ME, Yuswalina, SH, dan Drs. Sunaryo, MHI dalam Labarotorium Terpadu Fakultas Syari’ah dimana penulis diamanatkan untuk memimpinnya serta semua civitas akademik di lingkungan IAIN Raden Fatah. Terima kasih atas semua kebersamaan yang terbangun walau saya sering meninggalkan tugas untuk izin belajar ini. Kepada Prof. Dr. Suyitno, MA; Dr. Rr. Rina Antasari, SH. M.Hum, Nilawati, MHI, Rika Lidyah, SE, MSi, Titin SE. Msi, Dinul Alfian Akbar, SE. Msi, M. Fatah, MA Kolega dalam Lembaga Kajian Hukum Islam (LKHI) Fakultas Syari’ah. Semoga sekecil apapun bantuan dari kolega civitas IAIN Raden Fatah Palembang akan menjadi amal.

iii Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada para pegawai Perpustakaan sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Nasional yang telah memberikan kemudahan untuk mendapatkan data-data dalam studi ini, juga kepada semua staff administrasi yang telah memberikan berbagai kemudahan dalam semua proses studi ini. Para responden dari pengrajin, perajin songket yang dengan keikhlasan memberikan waktu untuk berdialog dengan berbagai pertanyaan sebagai penguat data primer studi, tidak ada ucapan kecuali terima kasih atas semua informasi yang diberikan. Kepada adik-adikku, M. Zazili, SE, Sulhana, Sri Mulyati, S.Sos MM, Isman Komari, SPd, MM, Eka Izzati, SE, Karsten Lohmeyer, Mustika Aini SE, Made, Ana Yusro, S.Kes, Farizal Hadriyanto, S.Kes, Rodhi Sabirin, SE, RA. Marisa serta semua keponakan yang turut mendoakan, memberikan bantuan finansial yang tidak terbatas. Kepada Kanda Komaruzzaman, Maryani, Imron, Yuliana, Dewi Hasriani, Putu, Julailah yang turut mendoakan, tidak ada ucapan kecuali terima kasih dan semoga amal ibadah tersebut mendapatkan imbalan yang tidak terhingga dari Allah Swt. Dalam proses penulisan disertasi ini, banyak sekali para sahabat yang dapat menjadi tempat berkomunikasi ilmiah mengkaji konsep ekonomi konvensional dan sistem ekonomi Islam diantaranya Mas Tris, Mas Dekky, Mbak Ani, Mas Azan, kemudian Ramadhanita dengan bantuan menelaah indeks buku, dan menjadi editor akhir hingga menjadi buku. Komunitas Kost H. Maus yang sering sekali memberi support untuk konsisten dalam belajar yang digawangi oleh Dian Indriyani serta teman- teman yang membantu dalam menguatkan pemahaman dalam bahasa Arab dan Bahasa Inggris seperti Dr. Edison, Eva Nugraha, MA dan Sholeh Sakni. MA. Kepada rekan seangkatan kuliah tahun 2009 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, termasuk teman-teman dalam IMPASS (Ikatan Mahasiswa Pascasarjana Sumatera Selatan) yang diketui oleh Syarifuddin, MA bersama Jhon Supriyanto, MA, Maryuzi dan Abdul Hadi, MA yang memberikan nilai bahwa rentan waktu berjuang hidup di kost semakin menambah persahabatan, keakraban, sekaligus mempertajam dalam arisan pikiran kita. termasuk mereka yang buku-bukunya dipinjam dan dibedah serta memberikan semangat dan motivasi

iv untuk dapat menyelesaikan studi ini, tiada kata kecuali ucapan, semoga apa yang telah diberikan dengan segenap keikhlasan dapat menjadi pahala dari Allah, Swt. Akhirnya secara sangat khusus ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada istri Herlina dan anak-anak tercinta Nabilah Dea Afifah, Adrian Rofiq dan Alfian Ridwan yang telah menjadi fondasi aktifitas belajar dan karier, mereka membangunkan nilai pengertian dan kesabarannya, memahami persoalan dan dinamika perjuangan selama masa kuliah ini tanpa sedikitpun mengeluh, sehingga dalam proses kutemukan sebuah kesimpulan”kebahagian hadir dan memberi arti, saat kepahitan pernah singgah dan mengisi kehidupan kita, maafkan ayahanda tidak bisa selalu hadir bersama menemani selama masa studi kalian, dan maafkan kasih sayang ayah berkurang demi studi ini. The last not the least, terucap terima kasih kepada guruku Drs. H. Mahir Mallawi, MA yang semangat mengajar dan membimbingnya selalu kuikuti. Dr. Khamami Zada, Mas Yudhi R. Haryono, MA, Dr. Pramono U. Tahtowi, Busman Edyard, MA, Dr. Mesraini, Dr. Nurhasanah, Dr. Suwendi, Dr. Asrina Irnaz, dan Dr. Thabib al-Asyhar. Kritik panjenangan selama berlatih menulis selalu ikut memotivasi untuk terus mempertajam tulisanku dari masa ke masa. Pada akhirnya, karya ini hanyalah awal untuk pengembangan ilmu dan pengetahuan penulis, Sebagai sebuah karya ilmiah, tulisan ini memiliki nilai perdebatan, dan karenanya menjadi sebuah studi yang menarik dan terus untuk dapat dikaji secara ilmiah, untuk itu sumbang saran, ajakan dialog dan diskusi, akan diterima dengan hati lapang. Di atas semua itu, saya sendirilah yang bertanggung jawab atas segala kesalahan dan ketidaksempurnaan dalam penelitian ini.

Ciputat, 2011

v TRANSLITERASI ARAB-INDONESIA

A. Huruf Konsonan q = ق z = ز ' = أ k = ك s = س b = ب l = ل sh = ش t = ت m = م {s = ص th = ث n = ن }d = ض j = ج w = و {t = ط }h = ح h = ه {z = ظ kh = خ ` = ء ‘ = ع d = د y = ي gh = غ dh = ذ f = ف r = ر

B. Huruf Vokal ُ = Vokal Tunggal: a = ´ ; i = ِ ; u و = ū ; ي = Vokal Panjang: a ا و = aw ; ا ي = Vokal Rangkap: ay

vi DAFTAR ISI

Pengantar Penulis i Transliterasi Arab vi Pendahuluan ……………………………………………………... 1 Kesatu Menuju Efisiensi Berkeadilan…………………….. 13 A. Latar Belakang dan Permasalahan…………………… 13 B. Penelitian Terdahulu…………………………………. 33 C. Landasan Teori………………………………………. 41 D. Metodologi…………………………………………… 50 Kedua Efisiensi Berkeadilan Dalam Perkembangan Pemikiran Ekonomi………………………………… 57 A. Ekonomi Kapitalis…………………………………… 57 B. Ekonomi Kerakyatan………………………………… 85 C. Ekonomi Islam………………………………………. 124 D. Perbandingan Nilai Efisiensi Berkeadilan…………… 175 Ketiga Produk Usaha Berasas Kekeluargaan…………… 186 A. Karakteristik Usaha…………………………………. 186 B. Pendayagunaan Kapital……………………………… 216 C. Hak dan Kewajiban Bersama………………………… 236 D. Kebebasan Berusaha dan Berkreatifitas...…………… 251 Keempat Distribusi Berbasis Kemitraan…………………… 263 A. Pola Kemitraan………………………………………. 263 B. Etika Nilai Kemitraan……………………………….. 291 C. Kemitraan yang Berkeadilan………………………… 323 Kelima Pengembangan Produksi dan Dstribusi Berwawasan Humanis Spritual…………………… 334 A. Analisis SWOT Usaha………………………………. 334 B. Penguatan Sumber Daya Manusia…………………… 342 C. Corak Usaha Berbasis Nilai…………………………. 356 D. Strategi Pengembangan Usaha………………………. 392 E. Membangun Usaha Berbasis Kemitraan……………. 404 F. Rekonstruksi Pengembangan Usaha………………… 449 Keenam Kesimpulan, Implikasi dan Saran………………… 463 Lampiran………………………………………………………... Indeks …………………………………………………………… Glosari……………………………………………………………. Biografi Penulis ………………………………………………….

vii

Pendahuluan

Pembangunan dengan teori trickle down effect diusung Walt W. Rostow1, Evsey Domar dan Roy Harrod yang dikenal Harrod-Domar2 dan analisis pareto optimumnya Vilfredo Federico Damaso Pareto3 yang keduanya diharapkan menjadi pendekatan kemakmuran rakyat ternyata justru melahirkan kapitalis semu dan

1Walt. W. Rostow, the Stages of Economic Growth: a Non Communist Manifesto (1960) dalam N.S. mirovitskaia; William Ascher, Guide to Sustainable Development and Environmental Policy (Durham: Duke University Press, 2001); lihat juga Johan Norberg, in Defense of Global Capitalism (Washinton: Cato Intitute, 2001); Jonathan Porritt, Capitalism as if the World Matter (London: Cromwell Press, 2007). 2Lihat K. R. Gupta, Economics of Development and Planning: History, Principles, Problems and Policies (New Delhi: Atlantic Publishers and Distributors, 2009); lihat juga Kaushik Basu, Analytical Development Economics: the Less Developed Economy Revisited (Cambridge: MIT Press, 2003). 3Benoit Mandelbrot dan Richard L. Hudson, the (mis) Behavior of Markets: a Fractal View of Risk, Ruin, and Reward (New York: Basic Books, 2004; Robert S. Pindyck dan Daniel L. Rubinfeld, Microeconomics 5th Ed (New Jersey: Prentice-Hall Inc., 2007); Lihat juga M. Fay and T. Yepes, “Investing in Infrastructure: What is Needed from 2000 to 2010?” World Bank Policy Research Working Paper 3102, Washington DC; Suroso Imam Jadjuli, Reformasi Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Masyarakat (Surabaya: Pascasarjana Universitas Airlangga, 2007); D.N. Dwivedi, Microeconomis: and Application, Singapore: Perason Education, ltd, 2008. lihat juga Bruce D Craven; Sardar M N Islam, Optimization in Economics and Finance (New York: Springer, 2005). Penegasan terhadap pola yang berkembang lihat Sri-Edi Swasono,”Welfare Kontemporernya Boulding, Pareto, Edgeworth, Samuelson, Arrow, Galbraith dan Scitovsky” dalam Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial: dari Klasik dan Neoklasikal sampai ke the End of Laisse-Faire (Jakarta: Perkumpulan Perkasa, 2010).

1 2 kejahatan moral karena kekayaan, harta, dan penumpukan modal sebenarnya hanya dimiliki oleh para pelaku ekonomi modal kuat, bukan oleh semua kalangan. Asumsi dasar yang dibangun bahwa manusia rasional adalah manusia yang dengan dasar inisiatifnya sendiri mengejar keuntungan maksimal dengan pengorbanan yang minimal, bersaing di pasar bebas, dan menjadi pelaku yang bebas dengan berpedoman pada laissez faire, laissez passer.4 Ini artinya dalam dunia ekonomi berlaku hukum “mendapatkan untung yang sebesar-besarnya”. Untuk mendapatkan untung inilah kadang-kadang cara-cara yang tidak bermoral dilakukan. Apakah caranya itu mengakibatkan matinya usaha dagang orang lain atau tidak, bukan menjadi pertimbangan. Asumsi yang selama ini dijadikan acuan dalam pengembangan tersebut bersumber dari mitos kapitalisme Smitan, yaitu: kebutuhan manusia yang tidak terbatas, sumber-sumber ekonomi yang terbatas

4Lihat M. Teresa Lunati, Ethical Issues in Economic: from Altruism to Cooperation to Equity (London: Mac Millan Press, 1997; Deborah Waynes, ”Management of the United Nations Laissez-Passer,” Articel 11.2 of Justatute (United Nations: Geneva, 2005); Sukasah Sahdan, ”Menyikapi Paham-Paham Paradoks,” Jurnal Kebebasan: Akal dan Kehendak, Vol. II, Edisi 35, Tanggal 23 Juni 2008; Perbandingan lihat juga Karl W. Roskamp, “Pareto Optimal Redistribution, Utility Interdependence and Social Optimum”, Journal Review of World Economics, vol. 109, no. 2/Juni, 1973; lihat juga Deliarnov, Ekonomi Politik (Jakarta: Erlangga, 2006). Laissez faire ini berasal dari bahasa Prancis yang secara harfiah berarti membiarkan berbuat/melakukan. Tuturan laissez faire secara lengkap “laissez faire, laissez passer, le monds va de lui-meme” (biarkanlah, jangan campur tangan, alam semesta dapat mengatur dirinya sendiri). Kalimat ini dilontarkan oleh kaum fisiokrat Francis yang dipelopori oleh F. Quesney Mirabeau, A.R.J. Turgot dan du Pont. Lihat Sumitra Djojohadikusumo, Perkembangan Pemikiran Ekonomi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991). 3 dan berupaya memaksimalisasi kepuasan pribadi, bersaing dalam kompetisi sempurna.5 Dalam pemikiran liberal klasik yang mengadvokasi pasar bebas, kebebasan individu dan intervensi negara minimal dalam perekonomian menjadi icon penting perjuangan isme ini. Konstruk intervensi dilatarbelakangi oleh (1) lahirnya ilmu ekonomi kesejahteraan (welfare economics), yang dibidani oleh Arthur Pigou yang bertentangan dengan konsepsi neoklasik, cabang ini menunjukkan bahwa satu perekonomian yang semata berdasarkan pasar bebas dan perilaku maksimisasi individu bisa saja menghasilkan alokasi sumber daya yang tidak optimal secara sosial. Hal ini menjustifikasi campur tangan negara dalam memanipulasi harga; (2) pemikiran ekonomi Keynesian yang menunjukkan bawah suatu perekonomian pasar bebas bisa saja tidak mencapai alokasi optimal pada saat tingkat output yang ada dalam kondisi kerja penuh.6 Selanjutnya dikenal pula neo-liberalis, dimana doktrin ini memperjuangkan fundamentalisme pasar, yaitu pandangan yang menekankan bahwa mekanisme pasar akan

5Sri-Edi Swasono, Ekspose Ekonomika: Waspadai Globalisme dan Pasar Bebas (Yogyakarta: PUSTEP-UGM, 2010). Lihat juga M. Teresa Lunati, Ethical Issues in Economic: from Altruism to Cooperation to Equity (London: Mac Millan Press, 1997); Deborah Waynes, ”Management of The United Nations Laissez-Passer,” Articel 11.2 of Justatute (United Nations: Geneva, 2005); Sukasah Sahdan, ”Menyikapi Paham-Paham Paradoks,” Jurnal Kebebasan: Akal dan Kehendak, Vol. II, Edisi 35, Tanggal 23 Juni 2008, 27. Karl W. Roskamp, “Pareto Optimal Redistribution, Utility Interdependence and Social Optimum”, Journal Review of World Economics, Vol. 109, No. 2/Juni, 1973. Lihat juga Deliarnov, Ekonomi Politik (Jakarta: Erlangga, 2006). 6Hayek, “Price Expectations, Monetary Disturbances, and Malinvestments” in Profits, Interest, and Investment (New York: Augustus M. Kelley, 1975). Lihat juga Ed Silvo, Transfomation: Change the Market Place and You Change the World (California: Regal Books, 2010). 4 berjalan dengan baik apabila ia bebas bergerak tanpa kendali dan intervensi dari pemerintah. Isme ini dikaitkan deregulasi, liberalisasi pasar, dan kebijakan fiskal ketat sebagai bentuk pengurangan intervensi pemerintah, dan privatisasi.7 Pada akhirnya Islam dijadikan alat kritik terhadap praktek kapitalisme dengan asumsi bahwa perkembangan ilmu ekonomi sejak abad XVII sampai sekarang mengalami perubahan paradigma, dari paradigma Merkantilis, Fisiokrat, Klasik, Neo-Klasik, Marxian, Keynesian, termasuk yang terakhir paradigma Syari’ah.8 Pendeknya, bahwa teori tersebut memproyeksikan hasil kemajuan oleh sekelompok masyarakat, sehingga dengan sendirinya keuntungan yang didapat akan merembes ke bawah. Akibat dari hal tersebut akan menciptakan lapangan kerja baru, serta berbagai peluang ekonomi yang menciptakan produksi dan distribusi kepada masyarakat luas. Selanjutnya, penggunaan sumber daya dan dana yang terbatas dalam pola dan dengan cara yang membawa kepuasaan optimal. Ini berarti secara makro ditunjukkan dengan besaran pendapatan perkapita, dan secara mikro para pelaku ekonomi mengejar maksimal utilitas untuk konsumen, dan maksimal laba untuk produsen. Titik berat dari tujuan tersebut mengejar kekayaan semata yang pada akhirnya membuat individu semakin kehilangan sisi sosialnya sebagai manusia. Untuk itu perbandingan pemikiran ekonomi sosial, ekonomi kerakyatan dan

7Andrew Heywood, Politics (Basingstoke, London: Palgrave, 2002); David N. dan Michael Veseth, Introduction to International Political Economy (New Jersey: Pearson Education Inc, 2005). 8Lihat Kuntowijoyo dan A E Priyono, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 2008); Muhammad AS Hikam, Islam, Demokratisasi, dan Pemberdayaan Civil (Jakarta: Erlangga, 2000). Lihat juga M. Umer Chapra, The Future of Economic: an Islamic Perfective). 5 ekonomi Islam menjadi pertimbangan penting untuk menegaskan sistem ekonomi di Indonesia masa depan. Kajian ini merupakan studi pertama yang menggali nilai-nilai penting istilah efisiensi berkeadilan yang telah diperjuangkan ekonom muslim, Sri-Edi Swasono dalam pergulatan politik menggolkan pasal 33 dalam amandemen UUD 1945 di MPR yang dikuatkannya dalam analisis dalam buku-bukunya.9 Istilah efisiensi berkeadilan pada dasarnya tertuang dalam amandemen keempat tahun 200410 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal 33 yang mengatur pengelolaan ekonomi. Dalam ayat keempat disebutkan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.11 Dalam berbagai pemahaman efisiensi

9Beberapa buku penting Sri-Edi Swasono yang banyak membahas nilai-nilai efisiensi berkeadilan seperti Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan (Jakarta: UNJ Press, 2005; Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial (Jakarta: Prakarsa, 2006). Ekspose Ekonomika: Mewaspadai Globalisasi dan Pasar Bebas (Jogjakarta: Pusat Studi Ekonomi Pancasila-UGM, 2010); Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial dari Klasikal dan Neoklasikal sampai ke the End of Laissez-Faire (Jakarta: Perkumpulan Prakarsa, 2010); Kembali ke Pasal 33 UUD 1945 Menolak Neoliberalisme (Jakarta: Yayasan Hatta, 2010). 10UUD 1945 Hasil Amandemen dan Proses Amandemen UUD 1945 Secara Lengkap (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 26, 59. 11Rumusan lengkap: BAB XIV Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Pasal 33 (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”, “(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan memenuhi hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”, “(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, “(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan 6 berkeadilan sudah menjadi asas, seperti yang tertuang dalam UU No. 20 tahun 2008 Usaha Mikro, Kecil dan Menengah berasaskan bab II asas dan tujuan pada pasal 2 yang menyebutkan bahwa Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah berasaskan (1) kekeluargaan; (2) demokrasi ekonomi; (3) kebersamaan; (4) efisiensi berkeadilan; (5) berkelanjutan; (6) berwawasan lingkungan. Hal yang paling krusial dari pemahaman pada nilai- nilai Pancasila adalah sebuah kesatuan gagasan yang koheren dan integratif. Sila pertama menjadi prasyarat atau keniscayaan bagi sila kedua dan seterusnya. Artinya, tidak mungkin mewujudkan sila kelima, tanpa berhasil merealisasikan sila-sila sebelumnya. Begitulah pembukaan atau mukadimmah konstitusi negara Republik Indonesia menyebut empat sila awal tidak diikuti oleh kata sambung “dan” melainkan frase “untuk mewujudkan” sila yang terakhir. Maka membahas sila-sila Pancasila menjadi sia-sia bila ia tidak menempatkan sila-sila sebelumnya sebagai bagian yang integral atau semacam prakondisi bagi sila berikutnya.12 Radar Panca Dahana seperti dikutip dari Sri- Edi Swasono menyebutkan bung Hatta (1966): …revolusi yang dicetuskan dengan proklamasi 17 Agustus 1945 yang disemangati Pancasila tidak mengenal jalan kanan atau jalan kiri, tetapi hanya mengenal jalan lurus yang diridhoi oleh Tuhan yang Maha Esa…; Bung Syahrir: …mengapa kita mesti memilih antara Barat yang kapitalis dan Timur yang menghamba? Kita tidak perlu menginginkan salah

lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”, “(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang”. 12Radhar Panca Dahana, “Hikmah Kebudayaan Pancasila”, http://www.metrotvnews.com, 12 Mei 2011; Lihat juga Radhar Panca Dahana, Ekonomi-Politik Pancasila: Jejak Perlawanan Ekonom-Politik Konstitusi Melawan Neoliberal (Jakarta: Kalam Nusantara, 2010). 7 satu dari keduanya. Kita mesti menolak kedua-duanya, sebab kedua-duanya harus menjadi masa silam…; Jakob Oetama (2005): pasal 33-nya Hatta mendahului the third way Antony Giddens. Studi ini melakukan komparasi dalam berbagai sudut terutama dalam menelaah lewat kajian efisiensi berkeadilan tersebut melalui ekonomi kerakyatan dan fiqh muamalah. Studi ini juga memberikan wawasan yang lebih mendetail dimulai dari akar sejarah penyatuan kata efisiensi dan berkeadilan sehingga menjadi efisiensi berkeadilan dan dianalisis melalui usaha songket Palembang sebagai salah satu pintu masuk menilai implementasi efisiensi berkeadilan terimplementasi atau tidak terimplementasi, serta berbagai penyebab dan solusinya. Studi ini bermula dari keinginan untuk memperoleh jawaban secara filosofis mengenai efisiensi berkeadilan sebagai kekuatan demokrasi ekonomi di Indonesia dan memiliki kekuatan dalam meningkatkan pendayagunaan ekonomi kerakyatan. Sebagai pintu kajian dilihat dari aktifitas produksi dan distribusi usaha songket Palembang. Sehubungan dengan itu, permasalahan yang ada dalam judul tersebut diidentifikasi sebagai berikut. Banyak hal yang dipahami dari efisiensi berkeadilan. Diantaranya menyangkut pemahaman dari efisiensi berkeadilan itu sendiri. Apakah konsep efisiensi berkeadilan merupakan kontradiksi terhadap pareto optimum? Kemudian nilai filosofis apa yang menjadikan penyatuan kata ”efisiensi berkeadilan” disaat pemikiran masih terpola pada pemisahan kata ”efisiensi”, dan ”berkeadilan”? Hal ini penting, untuk memaknai konsep efisiensi itu sendiri dalam perkembangan ekonomi kerakyatan di Indonesia, terutama memperdalan nilai-nilai penyatuan kata ”efisiensi berkeadilan” yang diusung oleh Sri-Edi Swasono sehingga termaktub dalam amandemen 8 pasal 33 UUD 1945. Ini membawa implikasi dari aspek normatif; apa yang baik dan apa yang yang tidak baik; apa yang harus dilakukan atau dihindari bukan semata-mata dilihat dari aspek efisiensi sebagaimana dikenal dalam ekonomi konvensional, melainkan bagaimana agar efisiensi memiliki nilai keadilan sosial. Hal yang juga menjadi perhatian penyatuan konsep efisiensi dan konsep keadilan sosial sebagai sebuah proses yang bersama-sama dan tidak menjadi parsial. Tetapi pandangan yang mengedepankan kebersamaan ini nyaris terkikis dari konstitusi negara RI, ketika terjadi amandemen terhadap pasal 33 UUD 1945, karena dalam konsep ayat 4 dari pasal 33 yang akan diamandemen tersebut sudah dirancangkan prinsip efisiensi ke dalam pengelolaan ekonomi bangsa. Bila hal ini terjadi maka tidak mustahil, rakyat akan kalah oleh kepentingan orang seorang. Dengan kata lain kepentingan bersama rakyat luas, terutama orang-orang yang miskin akan kalah oleh pertimbangan pertumbuhan ekonomi atau maksimalisasi dari badan usaha dan atau oleh keuntungan maksimal dari orang perorang. Terjadi perbedaan pula ditinjau dari sudut pemberdayaan ekonomi kerakyatan ditengah pergulatan sistem ekonomi kapitalis dan liberal yang berkembang di Indonesia pada saat penelitian ini disusun. Perbedaan sudut pandang terhadap tersebut dinilai dari aspek ketidak- efisiennya, berarti pelaku ekonomi dianggap tidak hanya akan merusak sumber-sumber daya yang telah disediakan sebagai suatu bentuk amanah, melainkan juga menimbulkan ketidakadilan kepada para konsumen. Selanjutnya, menimbulkan pertanyaan pula apakah strategi yang dilakukan dalam pelaksanaan efisiensi berkeadilan tidak sekedar mendapatkan keuntungan minimum dalam memenuhi nilai anugrah dari Tuhan (primer) sebagai 9 tambahan pemasukan keluarga, tetapi dapat lebih mengembangkan kreatifitas, sehingga mampu memenuhi nilai-nilai sekunder. Hanya dari sekedar mendapatkan tenunan songket dalam wilayah distribusi seadanya, meningkat dengan mendesain berbagai bentuk dan aksesories dari kain songket yang dibuat, sehingga bisa bersaing di pasar global. Pendalaman nilai filosofis tersebut dilihat dari salah satu aktifitas usaha mikro dan usaha kecil, yaitu unit usaha songket Palembang yang merupakan salah satu produk andalan khas Sumatera Selatan. Pendalaman ini penting, untuk menguatkan pentingnya nilai-nilai efisiensi berkeadilan sebagai salah satu item dalam demokrasi ekonomi yang termaktub dalam amandemen pasal 33 UUD 1945 tahun 2002. Istilah efisiensi berkeadilan pada dasarnya tertuang dalam amandemen keempat tahun 200413 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal 33 yang mengatur pengelolaan ekonomi. Dalam ayat keempat disebutkan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Dalam berbagai pemahaman efisiensi berkeadilan sudah menjadi asas, seperti yang tertuang dalam UU No. 20 tahun 2008 Usaha Mikro, Kecil dan Menengah berasaskan bab II asas dan tujuan pada pasal 2 yang menyebutkan bahwa Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah berasaskan (1) kekeluargaan; (2) demokrasi ekonomi; (3) kebersamaan; (4)

13UUD 1945 Hasil Amandemen dan Proses Amandemen UUD 1945 Secara Lengkap (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 26, 59. 10 efisiensi berkeadilan; (5) berkelanjutan; (6) berwawasan lingkungan. Pendalaman ini juga penting untuk mendapatkan keadaan usaha songket tersebut melalui kerangka nilai-nilai filosofis efisiensi berkeadilan, selanjutnya dapat memberikan solusi untuk meningkatkan usaha tersebut yang berdaya saing berbasis nilai-nilai efisiensi berkeadilan. Dalam bab satu buku ini didasarkan pada pentingnya efisiensi berkeadilan dalam membangun pemberdayaan usaha dan data-data awal berdasarkan pendalaman kajian kepustakaan terhadap studi ini dengan metode dan cara membacanya. Dalam bab dua membahas nilai efisiensi berkeadilan dalam perkembangan pemikiran ekonomi. Pada bab ini membahas perdebatan sekitar masalah efisiensi dalam perspektif ekonomi kapitalis, ekonomi Islam dan ekonomi Kerakyatan. Dari hasil kajian kemudian diadakan perbandingan pemahaman efisiensi berkeadilan. Dari bab dua ini disimpulkan pula hasil pemahaman efisiensi berkeadilan tersebut, sehingga memberikan data yang jelas munculnya eksistensi senafasnya kata efisiensi berkeadilan. Bab ini berkaitan erat dengan bab-bab selanjutnya terutama dalam menilai usaha songket Palembang pada (1) pendayagunaan kapital; (2) upaya membangun hak dan kewajiban bersama; (3) kebersamaan dalam mengembangkan Sumber Daya Manusia; (4) kebebasan berusaha dan berkreatifitas; (5) bagaimana membangun dan meningkatkan kemitraan dalam distribusi usaha; dan (6) bagaimana meningkatkan usaha yang berbasis nilai-nilai efisiensi berkeadilan. Bab tiga, difokuskan pada produksi usaha berdimensi kebersamaan yang meliputi karakteristik usaha kecil di kota Palembang, aktifitas dalam kebersamaan menggunakan bahan baku, kerjasama antara pengrajin dan 11 perajin dalam menghasilkan kain songket, serta berbagai dinamika dalam pendayagunaan kapital yang dimiliki pada perajin dan pengrajin. Pada aspek hak dan kewajiban bersama terutama keselarasan dalam memberikan upah, kebersamaan peluang dalam mendapatkan akses bantuan dan berbagai pelatihan yang dimotori oleh pemerintah daerah. Aspek kemitraan, dan pengembangan Sumber Daya Manusia. Dari studi ini diketahui dinamika persoalan yang berkembang pada usaha songket Palembang. Bab empat, membahas distribusi berbasis kemitraan dalam upaya membangun usaha songket Palembang berdaya saing melalui pola kemitraan dalam distribusi. Bab ini juga menjadi bagian penting untuk mendapatkan berbagai persoalan yang berkenaan dengan pola penjualan songket oleh para pengrajin dan perajin. Dalam stui ini juga digali etika nilai kemitraan yang bisa dijadikan langkah strategis untuk pendalaman pada bab selanjutnya. Bab lima, dalam bab ini saya mengajukan upaya mengembangkan usaha kecil dan usaha mikro melalui nilai- nilai filosofis efisiensi berkeadilan dengan memperluas dalam ranah sosial dan spritual. Manfaat tersebut seperti dijelaskan dalam pendahuluan adalah untuk membangun suatu kerangka sistematik yang utuh dalam memahami fenomena usaha songket Palembang, sekaligus memberikan strategi konstruktif dalam membangun usaha kecil yang berpijak pada nilai efisiensi berkeadilan berbasis ekonomi kerakyatan dan ekonomi Islam. Serta beberapa tawaran dalam pengembangan usaha berbasis efisiensi berkeadilan. Bab enam yang berisi kesimpulan yang menjawab masalah studi ini, implikasi terhadap penelitian ini dalam pengembangan teori, saran yang dijadikan rekomendasi penguatan efisiensi berkeadilan serta usaha untuk memasyarakatkan nilai-nilai efisiensi berkeadilan pada usaha kerakyatan.

Satu

Menuju Teori Efisiensi Berkeadilan

A. Latar Belakang dan Permasalahan Kritik terhadap teori trickle down effect maupun analisis pareto optimum dengan berbagai varian pengejawantahannya telah banyak dilakukan oleh kalangan pemikir ekonomi sosial, ekonomi kerakyatan dan ekonomi Islam yang diantaranya dengan istilah efisiensi berkeadilan sebagaimana fokus utama studi ini. Apa arti efisiensi? Dalam prinsip dasar dan hukum dasar ilmu ekonomi, efisiensi dapat dijelaskan dari tataran mikro maupun makro ekonomi. Dalam tataran mikro ekonomi, efisiensi adalah prinsip ekonomi “dengan biaya tertentu dapat dicapai hasil maksima. Bila kondisi ini tercapai, maka disebut sebagai kondisi optima” atau efisiensi dapat pula dikatakan sebagai prinsip ekonomi “dimana dengan hasil tertentu dapat dicapai dengan biaya minima”.1

1Selanjutnya Sri-Edi Swasono menguraikan macam-macam dimensi efisiensi ekonomi meliputi: (1) efisiensi statis (mampu memproduksi produk nasional sesuai preferensi sosial secara optimal; (2) efisiensi distribusional (mampu melayani struktur permintaan efektif yang mencerminkan distribusi pendapatan yang ada dan adil); (3) efisiensi dinamis (efisiensi yang dikaitkan dengan ekspansi optimal untuk memenuhi tuntutan transformasi ekonomi dan kemajuan ekonomi masa depan). Ketiganya membeentukkan suatu (4) “efisiensi sosial” (melalui penentuan social indefference curve yang rumit. Lihat, Sri-Edi Swasono, Ekspose Ekonomika: Mewaspadai Globalisasi dan Pasar Bebas (Jogjakarta: Pusat Studi Ekonomi Pancasila-UGM, 2010), 13 14

Dalam tataran makro, maka efisiensi seperti dimukakan di atas ditransformasi menjadi efisiensi sosial yang liputannya tidak hanya orang seorang tetapi orang banyak. Bahkan, meliputi/mencakup masyarakat luas ataupun negara. Efisiensi berkeadilan berkaitan dengan liputan/cakupan lebih luas daripada kegiatan ekonomi orang perorang. Efisiensi sosial harus dapat menjamin bahwa kepentingan masyarakat tidak diabaikan bahkan melalui kerjasama sinergis antaranggota masyarakat, orang perorang akan memberikan dampak benefit kepada keseluruhan. Dalam kaitan ini, maka dikenal prinsip efisiensi berkeadilan a la Pareto (dikenal dengan istilah pareto optimum) dimana efisiensi sosial dicapai bila sekelompok masyarakat sudah tidak bisa lagi menjadi better-off tanpa mengakibatkan orang lain worse-off. 2 Secara khusus, akar sejarah efisiensi berkeadilan merupakan istilah Sri-Edi Swasono untuk mengangkat pasal 33 ayat (4) hasil amandemen UUD 1945. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa naskah asli yang diajukan badan pekerja MPR hanyalah “efisiensi” yang dikhawatirkan olehnya dapat melumpuhkan ayat (1, 2, 3) Pasal 33 UUD 1945. Alasan penting terhadap hal tersebut karena perkataan “efisiensi” saja dapat diartikan sebagai efisiensi ekonomi yang berorientasi hanya kepada pandangan “untung rugi” ekonomi. Kata tersebut merupakan eksistensi jati diri ekonomi kerakyatan sebagai

2Sri-Edi Swasono, Naskah Ajar, No 36 (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 13 Juni 2011). Efisiensi sosial a la pareto ini merupakan dinamisasi dari pareto optimum yang dilakukan oleh Sri-Edi Swasono, dinamisasi dua individu ditransformasi menjadi dua kelompok masyakat (kelompok kaya versus kelompok miskin). Bandingkan dengan pareto optimal yang belum ditranspormasi menjadi efisiensi sosial (berdasar preferensi ), lihat juga Sri-Edi Swasono, Ekspose Ekonomika: Mewaspadai Globalisasi dan Pasar Bebas, 15 kekuatan pasca-penghilangan asas kekeluargaan dan perubahan kata “kesejahteraan sosial” (BAB XIV UUD 1945) dengan “perekonomian dan kesejahteraan sosial”.3 Sri-Edi Swasono kemudian dengan tegas melakukan koreksinya terhadap teori trikle down effect yang tidak pernah menciptakan kemakmuran. Bahkan, dalam bukunya Kembali ke Pasal 33 UUD 1945 Menolak Liberalisme, Swasono menegaskan bahwa menerima mekanisme trikle down berarti menganggap rakyat hanya berhak menerima rembesan belaka, dan dianggapnya suatu moral-crime terhadap rakyat.4 Disamping itu Swasono menunjukkan pula kelemahan ekonomi neoklasikal dengan kegagalan pasar dan ketidaksempurnaan pasar dalam mewujudkan an invisible hand dan ketidakadilan ekonomi, dan menawarkan ekonomi berdasar kerjasama.5 Dalam bukunya Indonesia dan Dokrin Kesejahteraan Sosial, Swasono juga menjelaskan ekonomi Pancasila pada dasarnya adalah suatu solusi moral dan politik untuk dekonstruksi ekonomi penindasan kolonial menuju rekonstruksi sistem ekonomi

3Lihat Sri-Edi Swasono, Kembali ke Pasal 33 UUD 1945 Menolak Liberalisme (Jakarta; Yayasan Hatta, 2010); lihat juga Sri-Edi Swasono, Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan (Jakarta: UNJ Press, 2005). 4lihat Sri-Edi Swasono Kembali ke Pasal 33 UUD 1945 Menolak Liberalisme. Lihat juga Mohammad Hatta, Beberapa Fasal Ekonomi, Djalan ke Ekonomi dan Kooperasi I (Jakarta: Balai Pustaka, 1950, cet.4); Mohammad Hatta, Beberapa Fasal Ekonomi, Djalan Ke Ekonomi dan Bank II (Jakarta: Balai Pustaka, Jakarta, 1951, cet. 2). 5Sri-Edi Swasono, Kembali ke Pasal 33 UUD 1945 Menolak Neoliberalisme. Dalam bukunya Indonesia dan Dokrin Kesejahteraan Sosial (2010) Ekonomi Pancasila pada dasarnya adalah suatu solusi moral dan politik untuk dekonstruksi ekonomi penindasan kolonial menuju rekonstruksi sistem ekonomi nasional Indonesia. Landasan hukum Ekonomi Pancasila adalah Pasal 33 UUD 1945 yang dilatar belakangi oleh jiwa pembukaan UUD 1945 dan didukung/dilengkapi oleh pasal- pasal 18, 23, 27 ayat 2, dan 34. 16 nasional Indonesia. Landasan hukum Ekonomi Pancasila adalah Pasal 33 UUD 1945 yang dilatar belakangi oleh jiwa pembukaan UUD 1945 dan didukung/ dilengkapi oleh pasal-pasal 18, 23, 27 ayat 2, dan 34. Asshiddiqie menyebutkan bahwa prinsip-prinsip efisiensi diimbangi dengan konsep keadilan, sehingga terbingkai dalam satu nafas sebagai kata majemuk efisiensi berkeadilan.6 Asas efisiensi berkeadilan adalah asas dalam pengelolaan sumber daya yang harus mencapai pemerataan akses dengan harga yang ekonomis dan terjangkau, serta bertitik tolak pada nilai-nilai moral dan etika.7 Efisiensi berkeadilan sama dengan efisiensi social, yang diartikan dengan bagaimana ekonomi bisa dikelola dengan baik dan tepat guna, sehingga dapat memberikan kesejahteraan dan kemakmuran untuk semua.8 Dalam filosofis efisiensi berkeadilan, katagori modal bukan hanya berupa modal finansial dan modal manusia (human capital), tetapi juga bentuk-bentuk modal lainnya yang diketemukan dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu modal sosial (nilai-nilai keutamaan), modal kultural (kreativitas dan estetika), modal intelektual (teknologi dan informasi) serta modal spiritual (keyakinan dan semangat). Efisiensi berkeadilan dalam sistem ekonomi kerakyatan disebut juga sebagai upaya pemberdayaan

6Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi (Jakarta: Buku Kompas, 2010). 7Misalnya terlihat dalam penjelasan pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi yang menjelaskan asas efisiensi berkeadilan adalah asas dalam pengelolaan energi yang harus mencapai pemerataan akses terhadap energi dengan harga yang ekonomis dan terjangkau. 8Anwar Abbas dan Mukhaer Pakkana, Bung Hatta dan Ekonomi Islam: Menangkap Makna Maqasyid al Syari'ah (Jakarta: Buku Kompas, 2010); lihat juga Harsya W Bachtiar, Menuju Indonesia yang Demokratis, Adil dan Pluralis (Jakarta: Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa, 2002). 17 maksimal masyarakat banyak dengan berpegang pada asas produktifitas. Lebih tegas Hatta (1978), al-Haq (1991), Dessler (2000), Mankiw (2001), dan Swasono (2010) menyebutkan bahwa konsep efisiensi berkeadilan dalam ekonomi berangkat dari persaudaraan dan kebersamaan yang kemudian dikembangkan dalam salah satu konsep dasar ekonomi kerakyatan,9 yang menciptakan pengunaan tenaga kerja maksimal (full employment) dan mampu mengunakan kapital atau modal secara penuh,10 yaitu apabila alokasi dari kekayaan tidak membuat seseorang sejahtera dengan membuat orang lain dirugikan.11 Sekaligus memberikan jaminan keadilan bagi rakyat adalah tata ekonomi yang pemilikan aset ekonomi nasional terdistribusi secara baik kepada seluruh rakyat, sehingga sumber penerimaan (income) rakyat tidak hanya dari penerimaan upah tenaga kerja, tetapi juga dari sewa modal dan deviden.12 Ini membawa implikasi dari aspek normatif: apa yang baik dan buruk, apa yang harus dilakukan atau dihindari bukan semata-mata dilihat dari aspek efisiensi,

9Mohammad Hatta, Pengembangan Usaha Kecil: Salah Satu Aspek Ekonomi Terpimpin (Jakarta: Idayu, 1979). Lihat juga, Sri-Edi Swasono, Kebersamaan dan Asas. 10Mahbub al-Haq, Islam Property and Income Distribution (Leicester UK: The Islamic Foundation, 1991). 11N. Gregory Mankiw, Priciples of Economics, 2nd edition, 2001; Thomson Learning, Pengantar Ekonomi, terjemahan (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003); Dessler, Human Resource Management (New Jesrey: Hall Inc, 2000); Rivai, Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005). 12Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan (Jakarta: LP3ES, 1993),; Marwan Ja‟far, Infrastruktur Pro-rakyat: Strategi Investasi Infrastruktur Indonesia Abad 21 (Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa, 2007). Sebagai perbandingan lihat Anderson, Enviromental Improvement Through Economic Incentives: Resourch of Future (Amerika: Baltimore, 1977), 93 dan Christianto Wibisono, Anatonomi Efesiensi BUMN (Jakarta: Pusat Data Bisnis Indonesia, 1996). 18 sebagaimana dikenal dalam ekonomi konvensional, melainkan bagaimana agar tindakan di kehidupan duniawi juga menghasilkan imbalan di akhirat. Lebih dalam lagi Sri-Edi Swasono menafsirkan rumusan Muhammad Hatta dalam pasal 33 UUD 1945 ”perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan” dengan memaknai perekonomian bukan hanya badan usaha koperasi, tetapi juga meliputi Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Swasta yang ketiganya harus disusun sebagai usaha bersama yang berdasar asas kekeluargaan. Perkataan “disusun” berarti tidak dibiarkan tersusun sesuai dengan kehendak dan selera pasar yang merupakan selera kelompok orang-orang kaya penentu wujud pola-produksi dan pola konsumsi nasional. Usaha bersama merupakan cerminan doktrin kebangsaan Indonesia yang mengutamakan rasa bersama, bergotong royong saling menolong, tidak mengutamakan egoisme pribadi (self-interest), mengemban solidaritas antar sesama, mengetengahkan mutualisme yang dalam bahasa agama disebut ke-jemaah-an. Sedangkan “asas kekeluargaan” adalah budaya antara sesama sebagai saudara, mengemukakan pentingnya the brotherhood of men atau ke- ukhuwahan, wujud dari idealisme peaceful-coexistence antar sesama dan seluruh umat yang bhineka namun tunggal-ika itu.13 Dalam konstruk ekonomi Islam, efesiensi dalam bahasa Arab dikenal juga kafa>'ah yaitu profesional. Profesionalisme dalam pandangan Islam dicirikan oleh tiga hal, yakni: (1) kafa>’ah, yaitu adanya keahlian dan kecakapan dalam bidang pekerjaan yang dilakukan; (2) himmatul ‘amal, yakni memiliki semangat atau etos kerja

13Sri-Edi Swasono,”Keabadian Koperasi dan Kooperativisme”, dalam media Suara Pembaharuan, Senin, 11 Juli 2011. 19 yang tinggi; (3) amanah, yakni terpercaya dan bertanggung jawab dalam menjalankan berbagai tugas dan kewajibannya, serta tidak berkhianat terhadap jabatan yang didudukinya.14 Efisiensi diartikan juga dengan pengertian usaha untuk melakukan yang terbaik, yaitu pengembangan dari konsep ihsa>n sebagai kebaikan dan konsep itqa>n sebagai kesempurnaan. Antara konsep ihsa>n dan itqa>n dapat membantu mewujudkan penggunaan sumber-sumber daya manusia dan alam, dengan cara yang paling efisien dan adil.15 Dalam perspektif tersebut, memperlihatkan bahwa efisiensi berkeadilan diartikan melakukan yang terbaik. Rasulullah menjunjung tinggi kualitas dengan menekankan ihsa>n (kebaikan) dan itqa>n (kesempurnaan).16 Rasulullah Saw bersabda ”Allah telah mewajibkan kamu untuk berbuat baik (ihsa>n) dalam segala hal”.17 dan Rasulullah Saw bersabda ”Allah menyukai orang yang melakukan pekerjaan, ia melakukannya dengan sempurna”.18 Upaya untuk merealisasikan ihsa>n dapat melengkapi usaha melakukan itqa>n, dan keduanya bersama-sama dapat membantu mewujudkan penggunaan

14Imam Khomeini seperti dikutip dari al-Wilayat al-'Ammah, Abu Sukainah, http://www.al-shia.org/html; dikutip juga dari http://eei.fe.umy.ac.i, Enslikopedia ekonomi Islam. Diakses tanggal 12 November 2010. 15Lihat Murasa Sarkaniputra, Ruqyah Syar’iyyah: Teori, Model dan Sistem Ekonomi (Jakarta: al-Ishalah, 2009). 16M. Umer Chepra, Masa Depan Ilmu Ekonomi; Sebuah Tinjauan Islam (The Future Of Economics: an Islamic Perspective), terjemahan Ikhwan Abidin Basri (Jakarta: Gema Insani Press, 2001). 17Hadits diriwayatkan dari Syaddat ibn Aus dalam Shahih Bukhari dalam kitab ash-S{aid wa adzaba>ih, bab al-Amr bi al-Ihsa>n fi al-dzabh wa qatl, vol. 3 no. 57. 18Hadits diriwayatkan dari Aisyah dalam Kitab Syua‟abul Imam Baihaqi, vol. 4. no. 57. 20 sumber-sumber daya manusia dan alam dengan cara yang paling efisien dan adil. Dalam arti, ihsa>n menuntut seseorang untuk memberikan lebih dari apa yang dituntut oleh al-adl, umpamanya, jika seorang penjual memberikan kepada pembeli secara ikhlas tidak saja timbangan atau takaran yang disepakati, tetapi lebih daripada itu, maka ia telah berbuat ihsa>n. Itqa>n menuntut manusia supaya melaksanakan sesuatu amal atau kerja dengan cara yang bersungguh-sungguh, melakukannya dengan sebaik- baiknya, sehingga tercapai apa yang menjadi usaha. Dari berbagai hal tersebut, maka efisiensi berkeadilan dimaknai dengan (1) semua aktifitas usaha songket terbangun sebuah jaringan kebersamaan (ukhuwah); (2) berorientasi pada solidaritas kerja; (3) keuntungan tidak terfokus pada orang perseorang; (4) kemitraan yang sama- sama menguntungkan dan memberdayakan; (5) keterbawasertaan usaha songket dalam program pembangunan lokal dan nasional. (5) pengembangan usaha yang berpegang pada moral dan etika bisnis Islam.19 Efisiensi berkeadilan juga dipahami membangun pemberdayaan yaitu sebuah proses satu usaha yang termarginal menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam proses usaha yang dapat meningkatkan kehidupannya, menekankan upaya memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kemampuan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya.20 Dengan demikian dapat

19Lihat Muhammad Amin Suma, Menggali Akar Mengurai Serat Ekonomi dan Keuangan Islam (Ciputat: Kholam Publishing, 2008), terutama pada sub pokok-pokok aksioma etika Islam. 20Herman Haeruman J. S.; Eriyanto, Kemitraan dalam Pengembangan Ekonomi Lokal (Jakarta: Yayasan Mitra Pembangun Desa-kota, 2001). 21 meningkatkan kemampuan usaha lemah21 agar mampu menguasai atau berkuasa atas kehidupannya dan membagi kemampuan dan pengalaman kepada orang lain yang bersama-sama untuk membangun usaha.22 Dengan demikian, usaha kerajinan songket pada aspek produksi dan distribusi dalam fokus studi ini mengarahkan kepada nilai- nilai efisiensi berkeadilan yang tercipta suasana atau iklim yang memungkinkan menguatnya potensi usaha songket berkembang selaras, bersama, dan dilindungi oleh pemerintah dengan meminimalisir terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Calabresi dan Melamed dengan konsep efisiensi melihat hakekat hak asasi dan isu tentang distribusi berkeadilan.23 Keduanya kemudian menjelaskan bahwa hakekat hak dan efisiensi dikelompokkan menjadi tiga alasan untuk menentukan satu hak atas hak lainnya, yaitu efisiensi ekonomi, preferensi distribusi, pertimbangan- pertimbangan keadilan lainnya tanpa efisiensi yang acceptable akan melemahkan dorongan pertumbuhan ekonomi lebih maksimal,24 sebab efisiensi merupakan faktor utama yang harus mendapatkan tekanan dalam mensejahterakan masyarakat.25 Suma menguatkan dengan keadilan sosial secara menyeluruh dimana kemakmuran

21Jim Ife, Community Development: Creating Community Alternatives (Melbourne: Longman, 2001). 22Gilbert C. Rappaport, Grammatical Function and Syntactic Structure (Columbus, Ohio: Slavica Publishers, 2004). 23G. Calabresi and A.D. Melamed, “Property Rules, Liabbility Rules and Inalienability: One View of the Cathedral”, Harvad Law Review 85 (1972). 24Haa-Joon Chang dan Ilene Grabel, Reclaiming Development: an-Alternative Economic Policy Manual (New York: Zed Books, 2004). 25Paul Heinze Keester, Tokoh-Tokoh Ekonomi Mengubah Dunia (Jakarta: Gramedia, 1987). 22 rakyat yang diutamakan, bukan kemakmuran orang- seorang, berkeadilan dan berkemakmuran dengan tawaran ekonomi berbasis kitab suci.26 Posner menegaskan bahwa penggambaran kekayaan tidak dapat lepas dari hukum yang memperbanyak transaksi dengan berbagai macam cara,27 yang pada sisi bersamaan hukum harus memperhatikan konsep ekonomi yang dapat memberikan perlindungan kekayaan sebagai suatu nilai efisiensi yang berkeadilan.28 Sekaligus usaha untuk mencapai yang terbaik dalam bentuk ihsa>n dan itqa>n yang saling melengkapi, sehingga keduanya bersama-sama dapat membantu mewujudkan dengan cara yang paling efisien (Q.S. al-Hujura>t [49]: 13, Q.S. al- Ma>‟idah [5]: 8, Q.S. asy-Syu‟ara> [26]: 183).29 Oleh karena itu, konsep sosialisme yang mengajak umat manusia untuk meninggalkan kepemilikan individu atas alat produksi, dan menyarankan perlunya penguasaan komunitas (negara) atas perekonomian, sehingga seluruh individu mempunyai tingkat kesejahteraan yang relatif sama, tanpa ada ketimpangan distribusi pendapatan (Q.S.

26Muhammad Amin Suma, Membangun Ekonomi Negeri Berbasis Kitab Suci dan Konstitusi (Tangerang: Kholam Publishing, tt). 27R.A. Posner, the Problem of (Cambridge: Harvard University Press, 1990). 28Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Oxford University, 1999), tulisan yang hampir sama juga ditulis oleh Henry J. Brutton, “A Reconsideration of Import Substitution,” Journal of Economic Literature, vp. xxxvi. Sebagai perbandingan lihat, Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan (Yogyakarta: LP3ES, 1987). 29Muhammad Baqir S{ada>r, Iqtis}a>duna (Beirut: Dar al- Kita>b al-Lubha>ni, 1977); M. Umer Chapra, al-Isla>m wa al-Tahaddi> al-Iqtis}a>di>, terj. Arab Muhammad Zuheir al-Samhuri> (Amma>n: tp, 1996); Habib Ahmad, Theoritical Foundation of Islamic Economics (Jeddah: IRTI dan IDB, 2002). 23 al-An‟a>m [6]: 165, Q.S. an-Nah}l [16]: 71, az-Zukhruf [43]: 32).30 Sejalan dengan pendapat tersebut, Atthiyah menyebutkan bahwa manusia dalam melakukan aktifitas dituntut untuk tidak mengkonsumsi dan mengeksploitasi nikmat Allah dengan berlebihan, karenanya penggunaan sumber-sumber daya manusia menciptakan kebebasan individu dalam konteks kesejahteraan sosial dan penggunaan Sumber Daya Alam dengan cara melakukan efisiensi untuk menghasilkan tujuan maqa>s}id shari>’ah yaitu kebaikan dan kesejahteraan umat manusia (Q.S. ar- Ra‟d [13]: 36, Q.S. Luqma>n [31]: 22).31 Konsep tersebut memberikan dasar bahwa usaha mempertahankan harga pada tingkat sekarang tidak dapat dibuat menjadi lebih bermanfaat, jika kelebihan output tersebut tidak dihancurkan, harga akan turun atau kelebihan itu dapat dibagikan kepada orang-orang miskin. Meskipun tidak selalu penurunan output, sehingga menghambat maksimalisasi output dan laba. Namun, jika dipandang dari sudut kontribusi, pemilik modal yang akan dapat menciptakan character building dan peningkatan spiritual serta kesejahteraan manusia, maka efisiensi memiliki keunggulan positif. Dasar lain dapat digali bahwa salah satu kaidah us}ul membolehkan penetapan suatu pengorbanan privat yang lebih sempit untuk mendapatkan kemas}lahatan

30Murasa Sarkani Putra, Adil dan Ihsan dalam Perspektif Eknomi Islam (Jakarta: P3EI, 2004). Bandingkan konsep pasar David C. Korten, the Post-Corporate World; Life (London: Mc.Grow- Hill, 2000). Joseph E. Stiglitz, Globalization and its Discontents (New York: Norton, 2003). 31Jamaluddin Athiyah, Nahwa Taf’il Maqa>s}id (Beirut: Dar al-Kutub al-Arabiah, 2003). Lihat juga Syed Nawab Haider Naqvi, Islam, Economic, and Society (London: Kegan Paul International, 1993); lihat juga Raisu>ni>: Ahmad, Nażariya>t al-Maq}a>sid ‘inda al-Ima>m al-Sya>ţibi> (Beiru>t: al-Ma‟had al-a>lami li al-fikri al-Isla>mi>, 1995). 24 publik yang lebih besar. Umumnya, para ulama memandang bahwa syariat dengan strategi dan nilai-nilai moral yang disediakan untuk menanamkan nilai-nilai ini secara efektif dalam masyarakat, bukan saja akan membantu menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi semua, melainkan juga mendorong kemajuan manusia. Pentingnya ke arah efisiensi berkeadilan dalam aktifitas ekonomi kerakyatan berangkat dari realitas yaitu: Pertama, sistem ekonomi sosialis yang dibangun pada era 1959 hingga 1966 telah gagal karena tidak relevan dengan nilai-nilai moral Pancasila dan pluralisme bangsa, sedangkan eksperimen kedua yang “demokratis” berdasar sistem kapitalisme pasar bebas yang dikembangkan pada dekade 1966 hingga 1998 makin menguasai ekonomi Indonesia secara membabi buta dengan semangat globalisasi yang puncaknya adalah krisis moneter yang menyerang ekonomi Indonesia tahun 1997 hampir meruntuhkan sektor perbankan-modern yang kapitalistik yang mengandalkan modal asing. Utang-utang luar negeri yang makin besar, baik utang pemerintah maupun swasta, makin menyulitkan ekonomi Indonesia karena resep-resep penyehatan ekonomi dari ajaran ekonomi Neoklasik seperti Dana Moneter Internasional (IMF) ditambah mulai tergerusnya kepercayaan diri bangsa Indonesia atas jati dirinya.32 Di tengah hal tersebut, ekonomi rakyat telah menyelamatkan ekonomi nasional dari ancaman kebangkrutan. Kedua, sistem ekonomi nasional Indonesia adalah sistem ekonomi kerakyatan, yaitu ekonomi berasas

32Sritua Arief, Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan (Jakarta: CIDES, 1998); Susan George, “A Short History of Neoliberalism,” dalam Global Finance: New Thinking on Regulating Speculative Capital Markets, ed. Walden Bello, Nicola Bullard, Kamal Malhotra (London: Zed Books, 2000). 25 kekeluargaan yang demokratis dan bermoral dengan pemihakan pada sektor ekonomi rakyat. Pemihakan dan perlindungan pada ekonomi rakyat merupakan strategi memampukan, dan memberdayakan pelaku-pelaku ekonomi rakyat yang sejak zaman penjajahan, dan setengah abad Indonesia merdeka selalu dalam posisi tidak berdaya. Ini artinya, ekonomi kerakyatan adalah watak atau tatanan ekonomi rakyat di Indonesia dimana, pemilikan aset ekonomi harus didistribusikan kepada sebanyak-banyaknya warga negara. Pendistribusian aset ekonomi kepada sebanyak-banyaknya warga negara yang akan menjamin pendistribusian barang dan jasa kepada sebanyak- banyaknya warga negara secara adil. Pentingnya hal tersebut juga diperkuat dengan data pareto Usaha Mikro, Kecil dan Menengah di Indonesia sebagai berikut: TABEL 1.1 PARETO UMKM DI INDONESIA N Kret Standar Jumlah o eria Angka Proporsi (%) 1 Usah 1. Kekayaan Bersih/tahun ± 4.37 ribu 0.01 a lebih dari Rp 10. Milyar Besa 2. Hasil Penjualan lebih dari r Rp. 50 milyar 2 Usah 1. Kekayaan bersih/tahun 39.66 ribu 0.08 a diatas Rp 500 juta sampai Men dengan Rp 10 milyar enga 2. Hasil penjualan diatas Rp h 2.5 milyar sampai dengan Rp 50 milyar 3 Usah 1. Kekayaan bersih/tahun ± 520.22 1.01 a lebih dari Rp 50 juta ribu kecil sampai dengan Rp 500 juta 2. Hasil penjualan lebih dari Rp 300 juta sampai dengan Rp 2.5 milyar 4 Usah 1. Kekayaan bersih/tahun ± 50.70 98.90 a kurang dari Rp 50 juta. juta mikr 2. Hasil penjualan kurang o dari Rp 300 juta 26

Sumber: Olah data UMKM tahun 2008, BPS 2009, dikutip dari Kadin Indonesia, “Strategi Pemberdayaan dan Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan Koperasi”, Oktober, 2010.

Berdasarkan pengembangan hasil kajian survey terdahulu UMKM merupakan mayoritas jumlah pelaku di Indonesia sebesar 51,3 juta unit usaha 99.91%, menyerap tenaga kerja terbanyak 90.9 juta pekerja (97.10%), 4.000 orang menjadi bagian dari usaha mikro dan kecil pada kerajinan songket di Palembang. Kontribusi terhadap PDB sebesar Rp 2.609.4 triliun atau 55.6%. Nilai ivestasi UMKM sebeesar Rp 640.4 triliun (52.9%) dengan penciptaan devisa sebesar Rp 183.8 triliun atau 20.2%.33 Hasil observasi diketahui bahwa rata-rata pengrajin songket memiliki omzet (1) Rp 6 juta/bulan hingga Rp 50 juta/bulan; (2) 75 s/d 90 juta rupiah/ bulan. Penjualan harga songket Palembang bervariasi tergantung dengan benang, corak dan bahan dasarnya tetapi berkisar antara Rp 800 ribu sampai Rp 15 juta per pasang yang terdiri atas sarung dan selendang, dan aksesories dari bahan songket (gantungan kunci, sepatu, hiasan dinding sampai baju berbahan songket) antara Rp 10.000 sampai Rp 2 juta rupiah. Meutia Hatta seperti dikutip dari Sri-Edi Swasono pada wawancara tanggal 16 Juni 2011 bahkan menyebutkan bahwa harga

33Sumber: Kadin Indonesia, “Strategi Pemberdayaan dan Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan Koperasi”, Oktober, 2010. Standar dalam tabel tersebut belum ada batasan mengenai usaha kecil di Indonesia. Hal tersebut tergantung pada fokus permasalahan yang dituju dan diinstansi yang berkaitan dengan sektor ini. Biro Pusat Statistik (BPS), misalnya menggunakan ukuran jumlah tenaga kerja, sementara menurut Kamar Dagang dan Industri (KADIN), sektor usaha yang tergolong kecil tergantung modal aktif, adapun menurut UU No 9 tahun 1995 tentang usaha kecil, yang dimaksud sektor usaha kecil adalah mengacu pada kekayaan bersih. 27 kain songket 4 Juta rupiah hingga 15 juta rupiah, bahkan harga songket yang dipamerkan di Mesium Tekstil Indonesia di Jalan K.S. Tubun / Petamburan No. 4 Tanah Abang, Jakarta mencapai Rp 100 juta. Tingginya harga kain songket tersebut berhubungan dengan keantikan songket Palembang tersebut.34 Seperti juga usaha mikro dan usaha kecil lainnya, berdasarkan hasil observasi didapatkan bahwa usaha songket Palembang memiliki problem, diantaranya diperlihatkan beberapa kasus yang berkenaan dengan proses dan hasil efisiensi kerja, seperti hasil usaha bertenun songket tidak diiringi dengan tingkat kesejahteraan perajinnya, aktifitas usaha yang belum menunjukkan efisiensi dan efektifitas,35 kebijakan-kebijakan efisiensi internal antara pengrajin dan perajin belum bernilai keadilan, produkifitas tidak dibarengi dengan manejemen profesional,36 dan bantuan kemitraan yang belum berbasis

34Hasil wawancara dengan responden pengrajin songket tanggal 23 September 2010. 35Yudhy Syarofie, “Ketika Biduk Membutuhkan Dermaga: Pemberdayaan Masyarakat dalam Pelestarian dan Pemanfaatan Warisan Budaya,” Hasil Penelitian (Palembang: Balai Arkeologi, 2003). Kajian lebih luas lihat Olaf Cramme dan Patrick Diamond, Social Justice in the Global Age (USA: Polity Press, 2009). Lihat juga Faisal Basri dan Haris Munandar, Lanskap Ekonomi Indonesia; Kajian dan Renungan Terhadap Masalah-Masalah Struktural, Transformasi Baru dan Prospek Perekonomian Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009). 36Proyek Penelitian, Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya, “Traditional Ceremony in Relation with Natural Event and Belief of The People in Sumatera Selatan Region,” (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Penelitian, Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya, 2000). Sebagai perbandingan lihat Hadisuwito, S., ”Memanfaatkan Momentum Kenaikan Upah,” Prisma (Jakarta, 2001); Hendawan Supratikno, “Pengembangan Industri Kecil di Indonesia: Pelajaran Analisis Dampak dari Jawa Tengah” Prisma, 23, September, Jakarta. 28 pemberdayaan ekonomi kerakyatan,37 serta jaringan pemasaran yang rendah,38 akibat produktifitas tidak diimbangi dengan manajemen profesional. Asumsi yang muncul akibat terputusnya rantai produksi oleh dominasi unit usaha produksi dan distribusi dengan unit yang lain dalam kluster usaha songket Palembang menjadi dasar utama studi ini. Keterbatasan modal usaha yang dibarengi dengan rendahnya manajemen usaha adalah hal yang sangat mempengaruhi upaya peningkatan usaha. Berdasarkan data awal tersebut, memperlihatkan bahwa efisiensi berkeadilan memiliki berbagai konsep dan strategi bergantung kepada sudut pandang dan sumber. Dalam studi ini efisiensi berkeadilan merupakan produktifitas usaha yang dibangun dengan kebersamaan, memberdayakan dan bermoral dengan dasar rumusan masalah Bagaimana nilai-nilai filosfis efisiensi berkeadilan sebagai bagian dari konsep demokrasi ekonomi di Indonesia? Pertanyaan yang dikembangkan dalam rumusan masalah tersebut kepada pengrajin dan perajin songket yang berkenaan dengan nilai-nilai filosofis konsep efisiensi berkeadilan adalah (1) bagaimana pendayagunaan kapital?;

37Megumi Uchino, Songket of Palembang: Socio-cultural and Economic Change in a South Sumateran Textile Tradition Authors (USA: University of Hull, 2006); Mari Elka Pangestu, (et al.), Studi Industri Kreatif Indonesia (Jakarta: Departemen Perdagangan RI, 2008). 38Grace I. Selvayagam, Songket Malaysia’s Woven Treasure (New York: Oxford University Press, 1991); Sukanti, Tenun Tradisional Sumatera Selatan (Palembang: Departemen Pendidikan Nasional, 2000); Haziyah Hussin, “Peranan Songket dalam Perkawinan Melayu: Golongan Istana dan Rakyat Biasa,” Jurnal Arkeologi Malaysia, Bilangan 17-2004. KDN PP 6026/10/03, 34. Netti Tinerprilla, Jadi Kaya dengan Berbisnis di Rumah (Jakarta: Alexmedia Komputindo, 2000). Sebagai perbandingan lihat Jackie Ambadar, Nuranty Abidin, Yanti Isa, Menentukan Mitra Usaha (Jakarta: Bina Karsa Mandiri, 2005); lihat Penerbit Buku Kompas, Profil Daerah Kabupaten dan Kota (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001). 29

(2) bagaimana upaya membangun hak dan kewajiban bersama?; (3) bagaimana para pengrajin dan perajin songket melakukan kebersamaan dalam mengembangkan sumber daya manusia?; (4) bagaimana kebebasan berusaha dan berkreatifitas para pengrajin dan perajin songket Palembang?; (5) bagaimana membangun dan meningkatkan kemitraan dalam distribusi usaha songket Palembang?; (6) bagaimana meningkatkan usaha songket Palembang berbasis nilai-nilai efisiensi berkeadilan. Operasionalisasi objek studi pada aspek produksi dan distribusi usaha songket Palembang dilihat lima hal, yaitu Pertama. Aspek produksi dari sisi (1) pendayagunaan kapital dimulai dari keadaan modal usaha pengrajin dalam melakukan produksi dan problem mendapatkan tambahan modal usaha, tingkat ketrampilan perajin songket, termasuk keadaan alat-alat tenun dan bahan baku dalam proses produksi; (2) hak dan kewajiban bersama dalam pemberian upah baik dari pengrajin sebagai pengusaha, pemesan maupun pengumpul hasil songket dengan menilai pertimbangan alokasi waktu kerja, kebijakan UMR, keadaan tempat kerja, dan hak-hak tunjangan sosial lainnya; (3) kebersamaan dalam pengembangan sumber daya pengrajin maupun perajin songket dalam bidang manajemen usaha dan penambahan pelatihan ketrampilan produsi songket serta kendala yang dihadapi. Kedua hal tersebut penting untuk mengetahui implementasi kebijakan bantuan modal usaha mikro dan kecil dari pemerintah Sumatera Selatan dalam melestarikan usaha songket. Kedua hal tersebut juga penting untuk mengetahui penerimaan generasi muda terhadap aktifitas pertenunan songket sebagai upaya menguatkan pelestarian budaya lokal; (4) kebebasan berusaha dan berkreatifitas dinilai dari kreasi pengrajin songket sesuai dengan kebutuhan pasar, serta bagaimana penerimaan pasar atas hal tersebut dengan 30 melihat indikator jumlah pertumbuhan omset yang didapat pengrajin maupun perajin pada tahun 2009-2010. Dari aspek distribusi difokuskan pada pola kemitraan pada penjualan hasil tenun songket baik melalui jalur distribusi perorangan, aktifitas kelembagaan pemerintah BUMN, BUMS dan koperasi serta berbagai kendala yang dihadapi. Hasil studi tersebut digunakan kemudian untuk mencari solusi konstuktif sesuai dengan konsep dasar efisiensi berkeadilan. Dalam kaitan dengan pelaku usaha songket disebutkan dalam disertasi ini pada dua komponen yaitu pengrajin dan perajin. Pengrajin adalah pemiliki modal, memiliki nama usaha serta aktifitas menenun baik dilokalisasi dalam satu wadah maupun dalam sentra-sentra jaringan penenun (yang disebut kemudian dengan perajin) serta memiliki jaringan distribusi yang jelas. Perajin adalah orang yang memiliki keahlian pada proses penenunan songket yang mengambil upah dari pengrajin maupun bertenun menjual sendiri berdasarkan pesanan baik pribadi maupun dari pengumpul.39 Efisiensi berkeadilan adalah salah satu pilar penguatan ekonomi di Indonesia, karena itu studi ini kemudian bertujuan untuk (1) menganalisis nilai-nilai filosofis konsep efisiensi berkeadilan; (2) menganalisis aspek produksi dan distribusi songket Palembang dalam menerapkan nilai efisiensi berkeadilan dengan fokus pada pendayagunaan kapital, pembangunan aspek hak dan kewajiban bersama, kebersamaan dalam pengembangan SDM, kebebasan berusaha dan berkreatifitas; meningkatkan kemitraan dalam distibusi.

39Perbedaan istilah tersebut didapat dari hasil observasi maupun beberapa hasil studi yang berkenaan dengan aktifitas usaha songket Palembang. Penjelasan lanjutan dapat dilihat pada bab ke 3 disertasi ini. 31

Manfaat dari hasil studi ini dapat memperkuat eksistensi nilai-nilai filosofis efisiensi berkeadilan seperti termaktub dalam amandemen UUD 1945 Tahun 2004. Bermanfaat untuk membangun aktifitas ekonomi usaha songket Palembang berbasis efisiensi berkeadilan yang mampu meningkatkan usaha terbangun kebersamaan dan persaudaraan. Sekaligus dapat memberikan strategi konstruktif dalam membangun usaha kecil yang berpijak pada nilai efisiensi berkeadilan berbasis ekonomi kerakyatan dan ekonomi Islam. Kerangka implementasi dalam studi ini melalui pintu masuk usaha songket Palembang. Usaha songket Palembang memiliki akar budaya yang dapat digali dalam ranah keilmuan. Aktifitas tenun songket juga merupakan unit usaha berbasis budaya lokal Sumatera Selatan yang terus dilestarikan. Pelestarian songket didominasi oleh pengrajin dan perajin yang memiliki ketrampilan turun temurun yang dijadikan lahan mendapat keuntungan untuk membantu ekonomi keluarga maupun untuk mengembangkan usaha bisnis songket keluarga dan satu sisi lain untuk melestarikan hasil budaya daerah. Dalam mencapai tujuan tersebut, pengrajin maupun perajin menghadapi beberapa kendala. Tujuan yang hendak dicapai dan kendala yang dihadapinya merupakan faktor penentu bagi pengrajin maupun perajin untuk mengambil keputusan dalam aktifitas usaha tenun songketnya. Oleh karena itu, pelaku usaha songket akan mengalokasikan produksi dan distribusi yang dimiliki sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Masalah produksi berkaitan erat dengan keadaan modal usaha, alat-alat tenun dan bahan baku (pendayagunaan kapital). Keseimbangan hak dan kewajiban. Kebebasan berkreatifitas dan berusaha yang ditekankan pada kebersamaan dalam melakukan terobosan kreasi sesuai pasar. Masalah distribusi dititiktekankan pada 32 kontribusi pola jaringan kemitraan yang terjadi pada usaha songket. Besar kecilnya keuntungan yang diperoleh akan sangat ditentukan oleh kemampuan pengrajin dan perajin songket dalam menyelesaikan persoalan pada fokus studi ini. Kesejahteraan bersama akan tercapai apabila nilai- nilai efisiensi berkeadilan yang dikaji dalam landasan teori studi ini dapat diimplementasikan secara optimal. Artinya, pengrajin dan perajin secara optimal melakukan perbaikan tata aturan bisnis sesuai dengan penilaian dari sikap kebersamaan, kekeluargaan, keselarasan, amanah, ihsa>n dan itqa>n. Untuk mencapai penilaian pada aspek- aspek tersebut di analisis dari observasi dan hasil wawancara mendalam dengan para responden yang hasilnya dapat diketahui implementasi efisiensi berkeadilan pengrajin dan perajin songket Palembang. Studi ini lebih ditegaskan pada hasil observasi dan wawancara mendalam, sehingga alur pendalaman materipun mengikuti aktifitas yang muncul dalam studi ini. Sehingga konsep-konsep perhitungan hanya sebagai kajian sekunder untuk mempertajam analisis studi mengikuti realitas yang berkembang di lapangan.

B. Penelitian Terdahulu Problematika efisiensi telah dikaji dalam beberapa sudut pandang, Pertama, konsep efisiensi dipandang sebagai pola meredam kebebasan distribusi negara-negara otoritas dan membentuk pertumbuhan ekonomi menjadi mundur (set back) telah dikaji oleh Barro,40 walaupun

40Robert J. Barro, Getting it Right: Market and Choices in a Free Society (USA: Massachusetts Institute of , 1996). Tulisan yang hampir sama seperti dikaji oleh Dale Adams and Robert C. Vogel, ”Rural Financial Markets in Low-Income Countries and Lesson,” World Development, vol. 14, no. 4, 1986. 33 kemudian hasil itu dipertanyakan Sen yang menyebutkan perkembangan ekonomi tidak cukup hanya melihat hubungan-hubungan statistik belaka, namun juga menilai pengambilan kebijakan ini merupakan trade-off, artinya seringkali ada pihak-pihak yang dikorbankan. Karena prinsip alokasi yang pareto optimum, artinya seseorang tidak bisa menjadi better off , tanpa membuat orang lain worse off. 41 Kedua, teoritisasi efisiensi berkeadilan dengan berbagai kebijakan pendukung seperti persaingan terbuka, pemanfaatan pasar internasional, tingkat pendidikan yang tinggi, keberhasilan program landreform, dan tersedianya insentif bagi masyarakat umum untuk melakukan investasi, ekspor, dan industrialisasi. Profesionalisme yang dicirikan dalam tiga hal, yakni efisiensi (kafa>’ah), himmatul ‘amal, dan amanah.42 Ditambah pula dengan komitmen bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi hal itu bukan merupakan refleksi pesatnya pertumbuhan sektor produksi (baik barang maupun jasa), maka uang yang melimpah itu tidak ada nilainya. Sektor produksilah yang menjadi motor pembangunan, menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja, dan menimbulkan permintaan atas faktor produksi lainnya.43 Hasil penelitian Singer, Jung dan

41M. Fay and T. Yepes, “Investing in Infrastructure: What is Needed from 2000 to 2010?” World Bank Policy Research Working Paper 3102, Washington DC; Suroso Imam Jadjuli, Reformasi Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Masyarakat (Surabaya: Pascasarjana Universitas Airlangga, 2007); Muhammad Amin Suma, Mengugat Akar Mengurai Serat Ekonomi dan Keuangan Islam. 42Muhammad Baqir S{ada>r, Iqtis}aduna (Buku Induk Ekonomi Islam). 43Mudrjat Kuncoro, Ekonomika Industri Indonesia: Menuju Negara Industri 2030? (Yogyakarta: Andi, 2007); Perbandingan kajian 34

Marshall di negara-negara berkembang telah memberikan basis empirik terhadap antisipasi Hatta sebagaimana yang dikutip dari Arief bahwa pasaran dalam-negerilah yang harus memperkukuh fundamental ekonomi Indonesia, yaitu fundamental ekonomi yang berbasis pada kekuatan rakyat dalam-negeri.44 [Ketiga, efisiensi dan jawaban unsur-unsur ekonomi, seperti: Apa yang diproduksi? (adalah unsur kebutuhan masyarakat). Bagaimana memproduksi? (unsur pengaturan produksi). Untuk siapa produksi yang dihasilkan? (unsur distribusi).45 Dari ketiga unsur tersebut dapat dijelaskan: apa yang menjadi prioritas keinginan dan kebutuhan secara keseluruhan, atau berapa banyak barang dan jasa yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.46 Sedangkan, dari segi Sumber Daya Ekonomi, yaitu bagaimana penyediaan barang dan jasa, sumber daya apa saja yang akan digunakan, dengan teknologi atau cara bagaimana, kemudian dari mana sumbernya (impor atau produksi dalam negeri). Dalam hal ini, terkait dengan faktor-faktor produksi dan distribusi, yakni tenaga kerja dan kapital, serta kemitraan dan kelembagaan dalam

lihat Muhammad Baqir S{ada>r, Iqtis}aduna (Buku Induk Ekonomi Islam). 44Lihat Sritua Arief, Pemikiran Pembangunan Bung Hatta (Jakarta: LP3ES). 45Muhammad Yu>nus, Maba>di’ ‘ilmi al-Iqtisa>d (al- Iskanda>riyah: al-Da>r al-Ja>mi‟iyyah, 1993). 46Muhammad Abdul Mannan, Islamic Economics: Theory and Practice: a Comparative Study, terjemah, Nastangin (Jakarta: Intermasa, 1992), 55; Muhammad Ahmad S{aqar, Qira>t fi> al-Iqtis{}a>di al- Isla>ma> Bahs Manshu>r, al-Iqtis}a>di al-Isla>mi> Mafa>him wa Murtakaza>t (Jeddah: Markaz al-Nas}r al-„Ilmi, 1987). 35 distribusi.47 Walaupun kemudian, hal tersebut belum dikembangkan dalam sistem nilai dan efisiensi berkeadilan, dalam upaya maksimalisasi dan efisiensi pendayagunaan setiap faktor produksi dan distribusi yang tersedia. Selanjutnya, distribusi hasil produksi bagi masing- masing faktor produksi merupakan sesuatu yang tidak terpisahkan dari proses produksi, sebab hanya dengan demikian akan tercipta agregat pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi.48 Selain itu juga, bahwa produksi tidak hanya bertujuan menghasilkan barang dan jasa semata, tapi ia hanya sebagai media untuk mencapai tujuan mensejahterakan, berkenaan dengan keterikatan antara „keadilan distribusi‟ dengan „kesejahteraan‟ individu dan masyarakat.49 Studi terhadap ekonomi kerakyatan telah banyak dilakukan, terutama terhadap Hatta sebagai tokoh ekonomi kerakyatan di Indonesia.50 Kajian ekonomi kerakyatan yang berkaitan dengan penyerapan tenaga kerja, seperti

47Priyonggo Suseno, “Analisis Efisiensi dan Skala Ekonomi pada Industri Perbankan Syariah di Indonesia,” Journal of Islamic and Economics, vol. 2, no. 1, Juni 2008. 48M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, terj. Ikhwan Abidin. Lihat juga Ha>syim, Isma>‟i>l Muhammad dan Shari>kuhu>, Usus ‘Ilmu al-Iqtis}a>d (Kairo: Da>r al-Nahd}ah al-„Arabiyah, 1976). 49Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek; Muhammad Ahmad S}aqar, Qira>t fi> al-Iqtis}a>di al- Isla>ma> Bahs} Manshu>r, al-Iqtis}a>di al-Isla>mi> Mafa>him wa Murtakaza>t. 50Lihat misalnya Anwar Abbas, Pemikiran Ekonomi Mohammad Hatta Ditinjau dari Perspektif Islam (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008); Sri-Edi Swasono, Bung Hatta Bapak Kedaultan Rakyat, (Jakarta: Yayasan Hatta, 2002); Yayasan Idayu, Bung Hatta Kita dalam Pandangan Masyaraka (Jakarta: Yayasan Idayu, 1980); Yasni, Z. Bung Hatta Menjawab (Jakarta: Gunung Agung, 1978); Sri- Edi Swasono dan Fauzie Ridjal, Mohammad Hatta Demokrasi Kita Bebas Aktif Ekonomi Masa Depan (Jakarta: UI Press,1992). 36

Tambunan,51 Isomo,52 dan Destha53. Dalam hubungannya dengan kebijakan, program, dan intervensi pemerintah yang pembahasannya merupakan bagian dari sektor ekonomi telah dilakukan studi oleh Purba,54 Machwal,55 Irsan,56 Utomo,57 dan Hendro58. Model pembiayaan dan dampak bagi pengusaha kecil oleh Widyaningrum,59 dan aktifitas yang berhubungan dengan usaha rumahan,60 serta menentukan mitra usaha.61 Disamping itu studi tentang terjadi pemahaman terhadap nilai-nilai penguatan ekonomi

51T. Tambunan, ”The Role of Small Industry in Indonesia: a General Reviw,” Ekonomi Keuangan Indonesia, 37(1), Jakarta, 1990. 52Isomo Sadoko, et al., Pengembangan Usaha Kecil: Pemihakan Setengah Hati (Bandung: Akatiga, 1995). 53Destha T Raharjana, ”Siasat Usaha Kaum Santri: Ekonomi Moral dan Rasional dalam Usaha Konfeksi di Mlangi Yogyakarta,” dalam Ahimsa-Putra (Yogyakarta: Kepel, 2003); Sarmini, ”Politik Usaha Pengusaha Islam: Kiat Manipulatif dalam Industri Penyamakan Kulit di Magetan Jawa Timur,” dalam Ahimsa-Putra (Yogyakarta: Kepel, 2003). 54R. Purba, Produktivitas Tenaga Kerja Industri Kecil: Studi Kasus pada Industri Barang-barang Kulit di Manding, Kabupaten Bantul (Yogyakarta: UGM, 1990). 55Machwal Huda, ”Etos Kerja, Kebijaksanaan Pembinaan dan Perkembangan Industri Kecil: Studi Kasus INTAKO,” (UGM: Yogyakarta). 56Irsan Azhary Saleh, Industri Kecil: Pemihakan Setengah (Bandung: Akatiga, 2000). 57B.S. Utomo, Perkembangan Industri Kerajinan Rumah Tangga dan Intervensi Pembinaan dan Yayasan Pekerti Dai Kabupaten Tasikmalaya, Proyek Penelitian Sektor Non Pertanian Pedesaan Jawa Barat no. A-4, PSP-IPB (Jawa Barat: Bogor, 1990). 58E.P Hendro, Ketika Tenun Mengubah Desa Troso (Semarang: Bendera, 2000). 59Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam: Pergulatan Menangkap Makna Keadilan dan Kesejahteraan (Jakarta: LP3M STIE Ahmad Dahlan). 60Netti Tinerprilla, Jadi Kaya dengan Berbisnis di Rumah (Jakarta: Alexmedia Komputindo, 2000). 61Lihat Jackie Ambadar et.al., Menentukan Mitra Usaha (Jakarta: Bina Karsa Mandiri, 2005). 37 kerakyatan dikaji melalui aspek penyimpangan dalam mandat konstitusi pada UUD 1945 pasal 33 oleh Ruslina.62 Persoalan-persoalan anatomis di dalam industri sendiri sebagaimana ia adanya, misalnya studi tentang sejumlah faktor yang menjadi penghambat dan pendukung baik yang berhubungan dengan ekonomi maupun non ekonomi. Hal tersebut telah dikaji oleh Loekman,63 Weber64. Industri kecil juga dikaji dari aspek etos kerjanya oleh Hadisuwito,65 upaya-upaya pengembangannya oleh Hendawan,66 kategorisasi dan ciri-ciri industri kecil serta kontribusinya dalam ekonomi nasional telah dikaji oleh Mubyarto67. Industri kecil, sebagai faktor non-ekonomi sesungguhnya juga telah diperhatikan oleh sejumlah peneliti yang melihat dari perspektif strategi adaptasi, sebenarnya di dalamnya juga telah terkandung pengertian gerakan sosial (social movement) yang sudah selayaknya mendapat perhatian yang memadai.68

62Elli Ruslina, “Pasal 33 UUD 1945 Sebagai Dasar Perekonomian Indonesia: Telah Terjadi Penyimpangan Terhadap Mandat Konstitusi, Disertasi Pascasarjana Universitas Indonesia, 2010. 63Loekman Soetrisno, Kemiskinan, Perempuan, dan Pemberdayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1997). 64Weber, ”Industrialisasi di Pedesaan Indonesia: Isu dan Masalah,” dalam Industrialisasi di Pedesaan Jawa, ed. T.N. Effendi dan H. Weber (Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM, 1995). 65S Hadisuwito, ”Memanfaatkan Momentum Kenaikan Upah,” Prisma, no. 7 (Jakarta, 2001). 66Hendawan Supratikno, “Pengembangan Industri Kecil di Indonesia: Pelajaran Analisis Dampak dari Jawa Tengah,” Prisma, no. 23, September, Jakarta. 67Mubyarto, Ekonomi Rakyat dan Program IDT (Yogyakarta: Aditya Media, 1996); Mancur Olson, Kebangkitan dan Kemerosotan Perkembangan Bangsa-Bangsa: dari Pertumbuhan Ekonomi ke Stagnasi- Inflasi dan Kemandegan Sosial (Rajawali: Jakarta, tt). 68Sarmini, ”Politik Usaha Pengusaha Islam: Kiat Manipulatif dalam Industri Penyamakan Kulit di Magetan Jawa Timur,” dalam Ahimsa-Putra (Yogyakarta: Kepel, 2003). 38

Raharjana yang melihat ekonomi moral dan rasional dari para pelakunya dapat dihadirkan secara bersama-sama dalam dinamika dan dialektika ekonomi moral-rasional. Studi ini belum memaparkan secara terperinci, misalnya perilaku yang mempermainkan harga sebagai bagian dari gerakan sosial. Mempermainkan harga itu dari para pengusahanya kepada para pembeli baik pelanggan maupun calon pelanggan. Hal ini sebenarnya yang juga dapat dilihat dalam kaitannya dengan gerakan sosial (social movement) dari para pelakunya.69 Sementara itu nilai-nilai etika bisnis sudah banyak digali seperti Fakhruddin yang memfokuskan pada etika produksi dalam perspektif ekonomi Islam.70 Khusus untuk usaha songket Palembang, para peneliti terdahulu telah mengkaji dalam berbagai perspektif. James Bennett dalam penelitian menyimpulkan nilai seni Islam terapresiasi dalam kain songket Palembang.71 Sedangkan Syarofy,72 Lindawati,73 dan Uchino74 menilai

69Destha T Raharjana, ”Siasat Usaha Kaum Santri: Ekonomi Moral dan Rasional dalam Usaha Konfeksi di Mlangi Yogyakarta,” dalam Ahimsa-Putra (Yogyakarta: Kepel, 2003). 70Fakhruddin Sukarno, “Etika Produksi dalam Perspektif Ekonomi Islam”, (Disertasi Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010). 71James Bennett, Crescent Moon: Islamic Art and Civilisation in Southeast Asia (Adelaide: Art Gallery of South Australia, 2005). 72Yudhy Syarofy, Ketika Biduk Membutuhkan Dermaga: Pemberdayaan Masyarakat dalam Pelestarian dan Pemanfaatan Warisan Budaya. 73Lindawati, “Songket: Simbol Kekuatan Budaya Lokal,” (Malaysia: Universitas Kebangsaan Malaysia, 2004). Sebagai perbandingan dapat dilihat Suwati Kartiwa, Kain Songket Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1996); Haziyah Hussin, “Peranan Songket dalam Perkawinan Melayu: Golongan Istana dan Rakyat Biasa,” dalam Jurnal Arkeologi Malaysia, Bilangan 17-2004, KDN PP 6026/10/03. 74Megumi Uchino, “Socio-Cultural History of Palembang,” Songket, Indonesia and the Malay World”, vol. 33, Issue 96 July 2006. 39 efisiensi usaha perajin songket Palembang di tengah perbenturan budaya global dan upaya efektif melestarikan ciri khas kain songket bernilai sejarah dan budaya. Riyanti bahkan menyimpulkan telah terjadi pergeseran makna atau nilai simbolis kain songket.75 Orang lebih cenderung bebas dalam memilih warna atau motif kain songket, tanpa melihat pada makna simbolis yang terkandung dalam kain songket itu sendiri. Sementara, Abdullah76; Tim Peneliti Deperindag77; serta Tim Proyek Penelitian, Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Indonesia78 lebih menekankan perhatian pada rendahnya kreatifitas dan efisiensi dalam produktifitas para pengrajin kain songket terutama dari kalangan perempuan. Dalam bidang efisiensi kemitraan, Tim Peneliti Direktorat Kerjasama dan Perdagangan Internasional memberikan kesimpulan penelitian, yang menyebutkan satu sisi, perlunya usaha segenap pihak menguatkan komoditas songket Palembang sebagai salah satu komoditas Indonesia

75Sari Ade Riyanti, “Makna Simbolis Kain Songket sebagai Simbol Status,” (Semarang: Fakultas Teknik, Teknologi Jasa dan Produksi Busana, Universitas Negeri Semarang, 2006). 76Makmun Abdullah, Kota Palembang sebagai Kota Dagang dan Industri (Jakarata: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, tt), 77Tim Peneliti Deperindag, Keberhasilan Pemberdayaan Usaha Kecil dan Koperasi oleh BUMN di Lingkungan Departemen Perdagangan dan Perindustrian (Jakarta: Departemen Perdagangan dan Perindustrian, 2003). 78Proyek Penelitian, Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya, Traditional Ceremony in Relation with Natural Event and Belief of The People in Sumatera Selatan Region (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 2000). Sebagai perbandingan lihat Jeanne. Beker, “Sari to Sarong: Five Hundred Years of Indian and Indonesia Textile Exchange,” American Craft, Augst/Sep, vol. 64, Iss. 4 (New York: 2004). 40 yang memiliki reputasi strategis, sekaligus sebagai komoditas rakyat yang akan meningkatkan kesejahteraan rakyat, disisi lain adanya niat peran serta para pengrajin untuk menggunakan modal usaha dari para mitra secara efisiensi dan berdaya guna.79 Perbedaan atas studi-studi sebelumnya terletak pada teoritisasi yang dibangun. Studi ini mengkaji salah satu item amandemen keempat tahun 2004 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal 33 (ayat 4...efisiensi berkeadilan...) yang mengatur pengelolaan ekonomi. Hasil studi atas dianalisis pada usaha songket Palembang yang menjadi salah satu usaha mikro dan kecil andalan produk di Indonesia. Perbedaan utama dengan penelitian sebelumnya terletak pada analisis yang melalui kajian efisiensi berkeadilan dengan parameter ekonomi Islam seperti termaktub dalam nilai-nilai muamalah maliyah dan muamalah ma’daniyah.

C. Landasan Teori Studi ini berangkat dari kelompok pemikir yang memunculkan teori efisiensi yang berdasarkan nilai-nilai kesejahteraan dan keadilan. Efisiensi Kesejahteraan

79Tim peneliti Direktorat Kerjasama dan Perdagangan Internasional, Peningkatan Nilai Tambah Komoditas Indonesia dengan Pengembangan Indikasi Geografis Non Pertanian (Jakarta: Direktorat Kerjasama dan Perdagangan Internasional, 2008). Sebagai perbandingan dapat dilihat juga hasil penelitian sejenis oleh Ozaman, N., “Protection of Geographical Indications Food Products The Example of Champagne Industry,” France. WIPO Asia and The Pacific Regional Symposium on The Protection of Geographical Indications, November, New Delhi, 2005, 18-20; Blakeney, M., “Geographical Indications and TRIPS,” Occasional Paper, no. 8, (Geneva: Quaker United Nations Office, 2001). Lihat juga Escudero, S., “International Protection of Geographical Indications and Developing Countries,” TRADE Working Papers, no. 10 (Geneva: South Centre, 2005). 41 mengandung dimensi sosial mencakup tersedianya pelayanan hak-hak dasar bagi warga seperti papan, pangan, pendidikan dan kesehatan; dan dimensi ekonomi mencakup tersedianya lapangan pekerjaan bagi warga, kepemilikan warga atas sumber-sumber produksi, maupun pendapatan ekonomi masyarakat. Kedua dimensi akan memberikan kontribusi kepada kesejahteraan secara merata dan adil kepada rakyat, jika rakyat mempunyai akses terhadap sumber-sumber produksi dan distribusi ekonomi. Sedangkan, negara sebagai yang bertanggungjawab mencapai janji kesejahteraan, terutama memainkan peran distribusi sosial dan investasi ekonomi (kebijakan ekonomi). Fungsi dasar negara adalah ”mengatur” untuk menciptakan law and order dan ”mengurus” untuk mencapai welfare, dengan menciptakan pembangunan yang seimbang (balanced development), antara pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial.80 As}-Shadr menekankan kedalam nilai kewajiban timbal balik. Kewajiban untuk melakukan usaha yang terbaik satu sisi dan memberikan bantuan kepada orang lain dalam batas- batas kemampuan dan kekuasaannya.81 Hatta memaknai dengan efisiensi sosial atau “efisiensi berkeadilan“, karena memang dalam pandangan Hatta manusia sebagai makhluk individu dan sekaligus sebagai makhluk sosial itulah yang harus diutamakan bukanlah pembangunan dan pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Untuk

80Didiet Widiowati, Kesejahteraan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman (Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI, 2005); Isbandi Rukminto Adi, Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial (Jakarta: FISIP UI Press, 2005). 81Muhammad Baqir S}ada>r, Buku Induk Ekonomi Islam (Jakarta: Zahra Publishing House, 2008); Lihat juga, M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjuan Islam. 42 melindungi hal demikian, maka menurut Hatta cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, juga bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dikuasai oleh negara.82 Swasono menyimpulkan bahwa Hatta menolak teori trickle-down effect karena dalam teori ini rakyat hanya diberi rembesan (spill-over), dan ini berarti posisi rakyat telah direduksi menjadi residual dan tanpa rugi. Karena itu, kesejahteraan sosial dalam konsep Hatta tidak terpisahkan dari keadilan dan kemakmuran pada tataran ideologi kerakyatan.83 Dalam teori manfaat progresif yang dibangun oleh Sarkar bahwa efisiensi berkeadilan yang mengarahkan pada nilai kesejahteraan berarti memiliki kekhasan yaitu ketercukupannya kebutuhan minimum, penguatan koperasi, pengembangan industri, dan perancangan pembangunan.84 Teori ini didasarkan atas upaya menjamin terpenuhinya lima kebutuhan dasar manusia, meyakini akan perlunya penggunaan sumber daya yang secara maksimal dan distribusi yang rasional, menjamin hak untuk bekerja

82Menurut Hatta setiap orang boleh mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Miliknya itu terjamin, tidak boleh dirampas dengan semena-mena. Tetapi jika hak miliknya tidak dipergunakan untuk kepentingan umum sedangkan masyarakat menghendakinya, pemerintah berhak mempergunakannya untuk itu, Mohammad Hatta, Ekonomi Terpimpin (Jakarta: Penerbit Mutiara, 1979). 83Lihat Sri-Edi Swasono, Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial dari Klasikal dan Neoklasikal sampai ke the End of Laissez-Faire (Jakarta: Perkumpulan Prakarsa, 2010). 84Prabhat Ranjan Sarkar, Proutist Economics: Discourses on Economic Liberation (: Publications, 1991). 43 sebagai suatu yang mendasar, membentuk moralitas spiritualis untuk menuntun masyarakat ekonomi.85 Penguatan atas teori itu ditegaskan dalam sudut pandang efisiensi berkeadilan yang diusung Swasono. Konsep yang dibangunnya berdasarkan pada pandang juridis formal, yaitu berangkat dari keyakinan bahwa landasan hukum sistem ekonomi Pancasila adalah Pasal 33 UUD 1945, yang dilatar belakangi oleh jiwa Pembukaan UUD 1945 dan dilengkapi oleh Pasal 23, 27 Ayat (2), 34 serta Penjelasan Pasal 2 UUD 1945. Orientasi teorinya juga menghubungkan sila-sila dalam Pancasila sebagai landasan sistem demokrasi di Indonesia.86 Nilai-nilai filosofis efisiensi berkeadilan yang dibangun dalam satu kalimat memberikan nilai kekuatan ekonomi Indonesia untuk tetap berpijak pada kesejahteraan sosial. Pertama, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Kedua, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Ketiga, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Keempat, perekonomian nasional diselenggarakan

85PROUT terdiri dari progress (maju), unilization (pemanfaatan), dan theory (teori). Progress pada semua bidang fisik dan spiritual. Membangun kemajuan efisien dan efektif dengan tetap melihat dampak atas kemajuan, seperti penemuan mobil. Namun, selalu disertai kecenderungan lawannya, seperti polusi dan meningkatnya resiko luka dan kematian karena kecelakaan. Lihat Sohail Inayatullah, Understanding Sarkar: the Indian , Macrohistory and Transformative (Leiden: Brill, 2002). 86Lihat Sri-Edi Swasono, Ekspose Ekonomika: Mewaspadai Globalisasi dan Pasar Bebas (Jogjakarta: Pusat Studi Ekonomi Pancasila-UGM, 2010); Hadi Soesastro, Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2005). 44 berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Efisiensi berkeadilan menunjukkan bahwa perilaku ekonomi bangsa tidaklah boleh semata-mata mempertimbangkan maksimalisasi keuntungan dan kepuasan dari para pelaku ekonomi tetapi juga harus memperhatikan kepentingan orang lain. terutama hak-hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan seperti yang terdapat dalam pasal 27 ayat 2, sehingga mereka dapat hidup layak dan sejahtera dengan hasil kerjanya (societal welfare), bukan karena karitas dan atau jaminan serta santunan sosial dari negara (welfare state) seperti dimungkinkan juga oleh konstitusi yang terdapat dalam pasal 34 UUD 1945. Kelompok fakir miskin dan anak-anak terlantar yang harus dibantu, adalah memang orang-orang yang belum sempat diberi dan disediakan pekerjaan oleh negara. Seperti diamanatkan dalam pasal 27 ayat 2. Jadi, dengan dimasukan kata berkeadilan setelah kata efisiensi seperti yang terdapat dalam pasal 33 ayat 4 tersebut, maka individual preferences diubah menjadi social preference, dan pareto efficiency yang statis diubah menjadi pareto social-eficiency.87

87Konsep tersebut mengubah paradigma efisiensi dalam ilmu ekonomi digunakan untuk merujuk pada sejumlah konsep yang terkait pada kegunaan pemaksimalan, serta pemanfaatan seluruh sumber daya dalam proses produksi barang dan jasa, seperti pandangan Schultz yang menyebutkan bahwa sebuah sistem ekonomi dapat disebut efisien bila memenuhi kriteria berikut: (1) tidak ada yang bisa dibuat menjadi lebih makmur tanpa adanya pengorbanan; (2) tidak ada keluaran yang dapat diperoleh tanpa adanya peningkatkan jumlah masukan; (3) tidak ada produksi bila tanpa adanya biaya yang rendah dalam satuan unit. Lihat 45

Penyatuan efisiensi berkeadilan dalam satu kalimat untuk mentransformasi makna efisiensi pada tataran ekonomi mikro maupun pada tataran ekonomi makro yang terbentuk dalam nilai-nilai keadilan. Memberikan kekuatan produktifitas selalu mengarah kepada kemas}lahatan manusia secara menyeluruh, dan juga sekaligus menekankan pentingnya efisiensi sosial.88 Dengan demikian, nilai-nilai efisiensi berkeadilan juga bersama dengan asas kekeluargaan, sebab tidak akan ada keadilan tanpa berada dalam suasana kekeluargaan (ukhuwah wathoniah). Tanpa adanya asas kekeluargaan maka keadilan akan berarti perebutan, yang kuatlah yang akan menentukan apa adil bagi si lemah, berlakulah di sini peradaban homo homini lupus. Sebaliknya, dengan dalam masyarakat yang melaksanakan asas kekeluargaan, keadilan akan terwujud sendiri.89 Lain daripada itu, tetap harus diingat bahwa asas kekeluargaan tidak bisa diganti dengan asas keadilan, karena tidak akan ada keadilan yang genuine tanpa berada dalam suasana kekeluargaan (ukhuwah wathoniah). Swasono juga menguatkan konsep kebersamaan, gotong royong, maju dan makmur bersama dengan teori triple-Co yaitu Co-ownership (ikut serta dalam pemilikan bersama), Co-determination (ikut memiliki dan ikut menentukan kebijakan perusahaan), Co-responsibility (ikut serta bertanggung jawab).90 Filosofis atas nilai-nilai efisiensi berkeadilan sebagaimana dijelaskan dalam landasan teori ini digunakan untuk menganalisis aktifitas

Walter J. Schultz, the Moral Conditions of Economic Efficiency (London: Cambridge University Press, 2001). 88Lihat Sri-Edi Swasono, Kembali ke Pasal 33 UUD 1945 Menolak Liberalisme. 89Lihat Sri-Edi Swasono, Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan. 90Sri-Edi Swasono, Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial: dari Klasikal dan Neoklasikal sampai ke The End of Laissez-Faire. 46 pengrajin-perajin songket pada wilayah produksi dan distribusi dalam batasan studi, sehingga diketahui akar penyebab, akibat dan solusinya melalui asas kebersamaan dan kekeluargaan sebagai fondasi efisiensi berkeadilan. Penguatan atas nilai-nilai tersebut didukung pula dengan teori maqa>s}id shari>’ah. Teori ini penting untuk studi ini sebab Chapra menilai efisiensi sumber daya dalam perekonomian Islam ditentukan berdasarkan maqa>s}id. Setiap penggunaan yang menggagalkan realisasi maqa>s}id harus dipandang sebagai infesiensi (kesia-sian),91 penetapan kesejahteraan dalam pembangunan ekonomi dalam Islam harus bermuara kepada mas}lahat atau kebaikan, dan kesejahteraan umat manusia untuk pemeliharaan lima mas}lahat berdasarkan aturan shari‟ah.92 Dalam arti bahwa konsep mas}lahat dalam bingkai terwujudnya tujuan maqa>s}id shari>’ah bertujuan melindungi kemas}lahatan manusia. Kemas}lahatan, dalam hal ini diartikan sebagai segala sesuatu yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan penghidupan manusia, dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektual dalam pengertian yang mutlak. Hak dasar kebutuhan ekonomi, sebagai kebutuhan setiap individu warga masyarakat yang mesti diprioritaskan pemenuhannya; hal tersebut juga merupakan kebutuhan

91Muhammad Umer Chepra, Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjuan Islam. 92Ahmad Raisu>ni>, Nażariyat al-Maqa>sid ‘Inda al-Ima>m al- S}atibi (Beiru>t: al-Ma‟had al-„Lami li al-Fikri al-Islami, 1995). Sebagai perbandingan lihat Shaikh „Abd al-Qa>dir al-Jaila>ni al-H}asani, al- Ghunyah li T}a>lib T{a>riq al-Haqq fi> al-Akhla>q wa al-Tas}awwuf wa al-Ada>b al-Isla>miyyah (Da>r al-Kutub al-Isla>miyyah, t.t., Juz I). Lihat juga Izzuddin ibn Abd al-Salam, Qawa>id al-Ahka>m fi> Masa>lih al-Ana>m (Kairo: al-Istiqa>mat, t.t); Hamka Haq, Al-Shat}}}ibi Aspek Teologis Konsep Mas}lahah dalam Kitab al-Muwafaqat (Jakarta: Erlangga, 2007). 47 akan barang dan jasa paling besar dari secara kuantitatif, maka untuk itu juga diperlukan produksi yang besar pula; sehingga hal tersebut akan meningkatkan demand atas tenaga kerja, yang berarti akan mengurangi pengangguran. Untuk membangun hal tersebut digunakan prinsip-prinsip keadilan sosial dalam perspektif Islam yang meliputi: Pertama, prinsip-prinsip keadilan sosial dalam kepemilikan. Kepemilikan merupakan subjek penting dalam kerangka keadilan ekonomi. Pengakuan atas hak kepemilikan adalah prasyarat untuk berhubungan dalam melakukan transaksi atas kekayaan. Kedua, prinsip-prinsip keadilan sosial dalam produksi. Kebutuhan dasar manusia terbentang dari kebutuhan yang sifatnya individual (private goods) seperti sandang, pangan dan papan, dan kebutuhan publik (public goods) seperti pendidikan, kesehatan dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semua bentuk kebutuhan tersebut merupakan sarana kehidupan yang tak terelakkan. Untuk memastikan keseimbangan dua kebutuhan tersebut, penggunaan, penguasaan dan faktor-faktor produksi, serta proses produksi harus berada dalam kerangka keadilan. Ketiga, prinsip-prinsip keadilan dalam konsumsi. Keadilan ekonomi dalam Islam tidak menghendaki dan mengakui pola konsumsi yang murni materialistik.93 Perilaku konsumsi harus berpijak pada prinsip keselamatan, yakni sustainability dan investasi masa depan secara kontinyu. Keempat, prinsip-prinsip keadilan dalam distribusi dan redistribusi. Distribusi sebagaimana dirujuk dalam Islam merupakan landasan pentingnya peredaran harta, kekayaan dan pendapatan agar tidak terkonsentrasi di tangan orang- orang tertentu yang sudah kaya atau berkecukupan secara

93Muhammad Abdul Mannan, Islamic Economics: Theory and Practice. 48 ekonomi (QS. al-Hashr [59]: 7). Kelima, prinsip-prinsip keadilan dalam peran pasar dan negara. Dari sudut pandang legitimasi, prinsip Islam secara tegas mengundang peran negara dalam menata dan menegakkan keadilan sosial- ekonomi. Tujuan penerapan prinsip-prinsip keadilan tersebut dalam aktivitas ekonomi adalah untuk mencapai kesejahteraan baik pada tingkat individu maupun kolektif, yang indikatornya bebas dari kemiskinan, memelihara harga diri (tidak mengemis) dan kemuliaan (bebas dari jeratan hutang). Upaya menjaga rasa keadilan dan menerapkan prinsip-prinsip keadilan dalam rangka menuju kesejahteraan melahirkan sejumlah implikasi dalam proses pelembagaannya melalui: (1) penumbuhan nilai-nilai keadilan sebagai motif bertindak dalam aktivitas ekonomi; (2) perwujudan kebaikan dan kewajiban-kewajiban agama dalam aktivitas ekonomi; (3) penegakan suatu sistem manajemen sosial-ekonomi yang berkeadilan, manusiawi, dan ramah lingkungan; dan (4) implementasi peran pemerintah dalam menjalankan sistem politik dan kebijakan yang adil dan mensejahterakan untuk semua.94 Teori kedua adalah maqa>s}id shari>’ah sebagai dasar dalam menguatkan konsep efisiensi berkeadilan yang merupakan akar ekonomi Islam. Menurut al-Sya>t}ibi>, bahwa nilai-nilai yang dibangun dalam maqa>s}id shari>’ah adalah kemas}lahatan dunia dan akhirat untuk lima hal pokok yang tercakup dalam al-d}aru>riya>t al-

94M. Umer Chapra, the Future of Economics: an Islamic Perspektif; Hilad Jone, Strategic Management: an Integrate Approach; Ali Abdul Rasul, Maba>di al-Iqtis}a>di fi> al Isla>m wa al-Iqt}as}a>di li ad-Daulah al-Isla>miyah. 49 khams.95 Lima hal tersebut adalah agama (al-di>n), jiwa (al- nafs), akal (al-‘aql), keturunan (al-nasl) dan harta (al- ma>l).96 Dalam studi ini untuk melakukan komparasi atas teori efisiensi berkeadilan sekaligus membedah aktifitas pengrajin dan perajin songket Palembang dalam memaknai konsep-konsep yang berkembang dalam nilai-nilai perekonomian Islam.

D. Metodologi Penelitian ini adalah fundamental research97 dengan menggunakan pendekatan penelitian induktif yang bertujuan mengembangkan (generating) teori, dan menemukan teori (grounded theory)98 yang berkenaan dengan konsep efisiensi berkeadilan. Untuk mencapai konsep efisiensi berkeadilan dilakukan pendekatan adaptif yang berusaha melakukan penyesuaian diri berdasarkan kondisi setempat seperti gagasan sosialisme Islam, sosialisme kerakyatan, dan sosialisme demokrasi.99 Sumber

95Wahbah al-Zuhaili, Usu>l al-Fiqhi al-Isla>mi> (Damaskus: Dar al Fikr, 1986), jld. 2; Muhammad Khali>d Mas‟u>d, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial (Surabaya: Al Ikhlas, 1995). 96Abu Ishaq Syathibi. al-Muwa>faqāt fi> Us}ūl al-Shari>’ah. jilid II. (Beirut: Da>r al-Ma‟rifah, 1973).

97Berdasarkan tujuan penelitian, maka penelitian dibagi dua yaitu: penelitian dasar (fundamental research) dan penelitian terapan (applied research). Jenis penelitian dasar adalah penelitian yang bertujuan untuk mengembangkan teori. Lihat Muhammad Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003). 98Sekaren, Research Method for Business: a Skill Building Approach (New York: John Wiley and Sons, Inc., 1992). Lihat juga Nur Indriantoro dan Bambang Supomo, Metodologi Penelitian Bisnis untuk Akuntansi dan Manajemen (Yogyakarta: BPFE-UGM, 2002). 99Volker Nienhaus, “Islamic Economic, Finance and Banking, Theory and Practice in Islamic Banking and Finance, edited by Butterworth Editorial Staff, (London: Butterworth, 1986). Menurut 50 data penelitian ini adalah (1) berbagai teoritisasi yang berkenaan dengan nilai-nilai efisiensi berkeadilan; (2) hasil kajian terhadap para pengrajin dan perajin usaha songket Palembang yang menjadi responden baik melalui observasi maupun wawancara mendalam. Responden penelitian ini adalah para pengrajin dan perajin songket Palembang. Secara umum pengrajin dan perajin songket menyebar di seluruh desa wilayah kabupaten kota di Sumatera Selatan. Untuk itu batasan wilayah sampel (area sampling) hanya difokuskan di tempat-tempat yang diidentifikasikan sebagai wilayah mayoritas berdomisili para pengrajin dan perajin, yaitu (1) Ki Rangga Santika Tangga Buntung, Kecamatan Ilir Barat II dan Di wilayah Kecamatan Ilr Barat I Palembang. (2) daerah Seberang Ulu Palembang, dan (3) desa Tanjung Laut, Tanjung Pinang dan Limbang Jaya Kecamatan Tanjungbatu, Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan.100 Responden yang masuk dalam wilayah tersebut

Volker Nienhaus ada empat pendekatan utama dalam kajian mengenai ekonomi Islam yaitu: Pertama, pragmatis; kecenderungan ini ditandai dengan penolakan ideologi-ideologi ekonomi yang diikuti dengan upaya mencampur berbagai gagasan dan teori yang dianggap paling praktis untuk dilaksanakan. Kedua, resitatif; pendekatan yang mengacu pada teks ajaran Islam, pendekatan ini mengacu pada hukum fikih, teologi, etika ekonomi. Ketiga, pendekatan utopian dikembangkan dengan merumuskan model manusia yang selanjutnya dikembangkan model masyarakat yang dicita- citakan. Keempat, adaptif yang berusaha melakukan penyesuaian diri berdasarkan kondisi setempat dan sejarah masing-masing umat Islam, seperti gagasan sosialisme Islam; sosialisme kerakyatan; sosialisme demokrasi. Lihat juga M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi (Surabaya: Risalah Gusti,1999). 100Pengungkapan kata “identifikasi” disebabkan tidak adanya data kongkret jumlah masing-masing wilayah fokus kajian. Data-data yang dimunculkan berdasarkan hasil observasi yang sering muncul nama wilayah-wilayah tersebut ketika ditanya produksi hasil pada distribusi songket Palembang. Data jumlah pengrajin berdasarkan penghitungan 51 menjadi fokus pengambilan data wawancara dengan menggunakan metode snowball sampling. Dalam menggali efisiensi berkeadilan pada usaha songket Palembang dilakukan dengan pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Pendekatan konseptual berkenaan dengan efisiensi dalam penggunaan kapital, hak dan kewajiban bersama, sistem nilai, dan kebersamaan peluang dari aspek kemitraan, bantuan, dan pengembangan Sumber Daya Manusia dari konsep kapitalis, ekonomi kerakyatan dan ekonomi Islam. Pendekatan perbandingan (comparative approach) dalam penelitian ini menggunakan komparasi mikro101 untuk menilai efisiensi yang dibatasi pada teori efisiensi berkeadilan dan teori maqa>s}id shari>’ah. Hasil kedua pendekatan dinilai dari usaha songket Palembang pada wilayah produksi dan distribusinya dalam batasan studi ini. Pengumpulan data dilakukan dengan penelaahan pustaka berkisar pada teori, efisiensi berkeadilan dalam berbagai konsep ekonomi. Untuk menilai efisiensi berkeadilan pada usaha songket Palembang sebagai objek penelitian digunakan beberapa tahapan, yaitu: Pertama, tahap observasi dengan mendatangi langsung sentra-sentra usaha di wilayah responden yang telah ditentukan, mengamati keadaan dan aktifitas orang-orang yang terlibat dalam proses pembuatan songket, mencatat kejadian- kejadian yang nampak terutama ekspresi saat menjawab dari daftar nama-nama yang diinventarisir Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (DesPerinDagKop) Kota Palembang tahun 2009-2010 yang menyebutkan bahwa di wilayah Sumatera Selatan sudah ada 660 unit usaha songket, dengan jumlah 3.760 sampai 4000 pengrajin- perajin. 101Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Surabaya: Bayumedia Publishing, 2006). 52 spontan beberapa pertanyaan peneliti. Sebelum peneliti melakukan penelitian dengan fokus kajian ini, peneliti telah melakukan studi terhadap aktifitas kerajinan songket di Palembang diantaranya: (1) Usaha Songket dan Jumputan Palembang dalam Perspektif Fiqh Muamalah; (2) Efektifitas Akte di Bawah Tangan dalam Produksi dan Distribusi Usaha Songket Mustika Mandiri Palembang. Khusus untuk sejarah kain songket telah diteliti sebelumnya dengan judul Etnografi Kain Songket Palembang. Dengan demikian, peneliti sudah memiliki pengetahuan awal yang cukup mendalam tentang sejarah dan dinamika pengrajin dan perajin songket di Palembang. Sedangkan yang berkaitan dengan responden dan informan penelitian, peneliti tidak mengalami kesulitan dengan pengrajin dan perajin songket, di mana peneliti sendiri tim pakar gender Kementrian Pendidikan Nasional Provinsi Sumatera Selatan (2004-2010) yang setiap pelatihan berhubungan dengan narasumber dan peserta dari kepala sekolah, , stakeholder yang juga pengrajin, ataupun pengggiat usaha mikro dan kecil pada usaha songket maupun yang tinggal disekitar lingkungan usaha songket. Dengan demikian, peneliti telah memiliki modal yang memadai untuk berhubungan dengan mereka, baik dalam konteks kepentingan wawancara, maupun yang berkaitan dengan observasi. Namun demikian sebagai seorang peneliti tetap menjaga jarak yang memungkinkan terjadi bias dalam menerima informasi. Dalam tahapan observasi, peneliti telah melakukan aktifitas observasi sejak 2007, dua tahun sebelum peneliti diterima program doktor di sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, diantaranya hadir beberapa kali sebagai partisipan dalam pelatihan manajemen sederhana Usaha Mikro Kecil dan Menengah yang diselengarakan Kementrian Perindustrian 53 dan Perdagangan, dan nara sumber penggiat pengarusutamaan gender untuk wilayah Sumatera Selatan. Selama masa pelatihan, peneliti sudah mendapatkan info awal dari peserta yang berkenaan dengan problematika usaha songket di Sumatera Selatan. Kelanjutan observasi juga digunakan dalam proses penelitian disertasi berlangsung untuk memperoleh data tentang hal-hal, yang karena berbagai sebab tidak diungkapkan oleh subjek penelitian secara terbuka dalam wawancara. Kedua, wawancara dengan responden seputar produksi dan distribusi dalam batasan studi ini baik secara langsung yang direkam lewat media MP4, tape recorder, maupun jawaban tertulis. Ketiga, dokumentasi yang berhubungan dengan usaha songket Palembang, baik dalam bentuk poto, manuskrif dan buku yang diterbitkan pengrajin songket. Validitas data dilakukan dengan trianggulasi sumber dan teori. Secara umum wilayah observasi dibagi dalam 3 kelompok yang disimpulkan selama masa observasi dan wawancara dengan ciri khas masing-masing. Pertama, kelompok wilayah kecamatan Ilir Barat I Palembang adalah: (1) kelompok pengrajin dan perajin yang memiliki usaha dekat dengan instansi pemerintah yang cepat mendapatkan akses informasi; (2) kelompok ini lebih kreatif; (3) memiliki buku tentang sejarah songket; (4) tidak terlalu bersentuhan dengan rumah-rumah penduduk, sebab mereka terkoordinir dalam sentra-sentra kerja yang jarak tinggal berjauhan; (5) antusias menjawab pertanyaan, terbuka dan berwawasan. Kedua, kelompok Wilayah Kecamatan Ilir Barat II (wilayah sekitar Ki Rangga, Tangga Buntung). (1) pengrajin dan perajin sebagian menerima dengan baik pada masa wawancara, sebagian terkesan acuh dan tidak respon. Hal ini terkait dengan kebosanan dengan berbagai 54 wawancara dan publikasi yang tidak pernah mereka rasakan hasilnya; (2) aktifitas kerja berbagai bentuk. Sebagian bekerja di rumah dan bertransaksi jual beli dirumah, sebagian memiliki toko atau butik yang berhubungan dengan rumah dan tempat bertenun, sebagian membentuk kelompok-kelompok sentra pada masing-masing keahlian (pada tenun, dan pemintalan benang); (3) lebih banyak membanggakan bantuan pemerintah yang diterima; (4) lebih banyak membanggakan jaringan dan tamu yang berbelanja; (5) tertutup dalam memberikan info prosedur mendapatkan bantuan dari BUMN. Ketiga, kelompok Wilayah Seberang Ulu I Palembang adalah: (1) aktifitas harian berkisar pada proses tenun songket; (2) kreatifias menunggu pesanan; (3) terbuka dalam menjelaskan proses usaha, namun tertutup masalah jaringan kemitraan usaha; (4) aktifitas kerja banyak di rumah; (5) bersentuhan dengan aktifitas masyarakat sekitar; (6) lebih banyak mengeluh persoalan bantuan pemerintah. Keempat, kelompok pengrajin dan perajin wilayah Kabupaten Ogan Ilir (1) terbuka dengan pendatang yang mewancarai berkenaan dengan hasil usaha kerja tenun songket; (2) aktifitas komunikasi perempuan menunggu masa senggang; (3) menenun di rumah-rumah dengan kapasitas tempat terbatas; (4) tidak terlalu banyak menuntut, sebab kesadaran mereka rendahnya pengetahuan yang berkenaan dengan kinerja usaha yang baik; (5) penjualan dengan sistem menunggu pembeli atau dibawa ke pasar oleh keluarga penenun; (6) tertutup pada masalah- masalah yang berkenaan dengan kebersamaan dalam kemitraan usaha; (7) lebih banyak berkomunikasi dengan “pengumpul”. Analisis data adalah analisis kualitatif dengan menggunakan grounded theory research dengan cara yaitu: (1) mengumpulkan data untuk menyusun/menemukan suatu 55 teori baru. (2) berkonsentrasi pada deskripsi yang rinci mengenai sifat atau ciri dari data yang dikumpulkan untuk menghasilkan pernyataan teoritis secara umum. (3) menilai jalinan hubungan antara realitas lapangan pada usaha kerajinan songket Palembang, kemudian mengujinya dengan teoritisasi efisiensi berkeadilan yang didapat. (4) didasarkan dari akumulasi data yang telah di dapat, peneliti mengembangkan suatu teori baru dalam konstruk efisiensi berkeadilan.

Kedua

EFISIENSI BERKEADILAN DALAM PERKEMBANGAN PEMIKIRAN EKONOMI

Bab ini dikaji dalam menilai konsep efisiensi berkeadilan pada aspek produksi dan distribusi dalam pemikiran ekonomi kapitalis, ekonomi kerakyatan dan ekonomi Islam. Selanjutnya dilakukan perbandingan pemikiran ketiganya. Penilaian dan perbandingan tersebut ikut memperkuat teoritisasi akar munculnya efisiensi berkeadilan dalam amandemen pasal 33 UUD 1945. Hasil kajian bab ini menjadi penting untuk menilai implementasi konsep efisiensi berkeadilan pada ranah usaha mikro dan kecil dengan fokus usaha songket Palembang.

A. Ekonomi Kapitalis Pertanyaan dasar sub ini adalah bagaimana efisiensi berkeadilan dalam hal produksi dan distribusi. Aspek produksi yang meliputi (1) bagaimana pendayagunaan kapital1 dalam membangun, menguatkan dan meningkatkan

1Kapital dalam studi ini adalah faktor produksi buatan manusia seperti mesin dan pabrik yang dipergunakan untuk memproduksi barang lain. Lihat Tony Hartono, Mekanisme Ekonomi, dalam Konteks Ekonomi Indonesia (Bandung: Rosda Karya, 2006). Penjelasan lebih luas dapat pula dilihat dalam Winardi, Kamus Ekonomi (Bandung: Alumni, 2000); 57 58 barang dan jasa secara efisien untuk mencapai kemakmuran; (2) nilai kebebasan berusaha dan berkreatifitas; (3) hak dan kewajiban. Dari aspek distribusi ditekankan pada kemitraan. Menjawab hal tersebut dikaji lewat dua tokoh pemikir kapitalis yaitu dan .2 Adam Smith merupakan pelopor sistem kapitalisme,3 sedangkan pareto merupakan salah seorang ekonom modern dalam barisan kynesian yang sangat mashur di Amerika.4 Dua tokoh tersebut merupakan representasi utama konsepsi ekonomi kapitalisme, yang dibuktikan dengan banyaknya ekonom dewasa ini yang berpijak pada pemikiran kedua tokoh tersebut. Diantaranya Walt W. Rostow5, Evsey Domar dan Roy Harrod yang dikenal

Bas van Leeuwen, Human Capital and Economic Growth in India, Indonesia, and Japan: a Quantitative Analysis, 1890-2000 (The Netherlands: Universiteit Utrecht, 2007). 2G. Eisermann. "Pareto, Vilfredo (1848-1923)", International Encyclopedia of the Social and Behavioral Sciences, 2001. Vilfredo Pareto; Hans L Zetterberg, the Rise and Fall of Elites: an Application of Theoretical Sociology (New Brunswick, N.J.: Transaction Publishers, 1991). 3Lihat Jhon Rae, Life of Adam Smith, 2006; Lihat juga Baharuddin, Negara dan Sistem Perekonomian dalam Pemikiran Ibnu Taimiyah dan Adam Smith (Mataram, Yayasan Cerdas Press, 2006). 4Lihat Michael Szenberg; Aron A. Gottesman; Lall Ramrattan, Paul A. Samuelson: on Being an Economist (New York: Jorge Pinto Books, 2005); Paul Anthony Samuelson; William D Nordhaus, Economics (Boston, Mass.: McGraw-Hill/Irwin, 2001). 5Walt. W. Rostow, ”the Stages of Economic Growth: a Non Communist Manifesto”, dalam Guide to Sustainable Development and Environmental Policy, N S Mirovit︠s︡kai︠a︡; William Ascher eds. (Durham: Duke University Press, 2001); lihat juga Johan Norberg, in Defense of Global Capitalsm (Washinton: Cato Intitute, 2001); Jonathan Porritt, Capitalism as If the World Matter (London: Cromwell Press, 2007).

59

Harrod-Domar6, Nicolas Barr dalam Economics of the Welfare State (2004), Pindyck dan Rubinfeld dalam Microeconomics (2008), serta beberapa tokoh ekonomi kapitalis kontemporer lainnya yang menjadi rujukan studi ini. Sebagai dasar awal, sistem ekonomi kapitalis merupakan sistem sosial yang lahir dari relasi hubungan produksi dan tenaga produktif, sekaligus sebagai respon atas perdebatan klasik antara kaum merkantilisme dan kaum fisiokrat tentang upaya meningkatkan kekayaan.7 Hak milik atas barang modal atau alat-alat produksi lain seperti tanah, mesin dan sebagainya akan efektif bila berada dan dipergunakan melalui tangan perorangan. Setiap

6Lihat K. R. Gupta, Economics of Development and Planning: History, Principles, Problems and Policies (New Delhi : Atlantic Publishers and Distributors, 2009); lihat juga Kaushik Basu, Analytical Development Economics: the Less Developed Economy Revisited (Cambridge: MIT Press, 2003). 7Menurut kaum merkantilisme, kekayaan negara akan meningkat, jika negara menjual (mengekspor) lebih banyak daripada membeli (mengimpor), di samping itu sistem perekonomian yang terbaik adalah suatu sistem perekonomian di mana negara harus melakukan campur tangan seluas-luasnya terhadap dunia usaha dan perdagangan luar negeri. Tokoh merkantilisme diantaranya Montchreten (1575-1621), Edward Misselden (1608-1654), dan Thomas Mun (1571-1641). Sementara kaum fisiokrat berpendapat bahwa kekayaan negara bisa meningkat, jika negara mengembangkan basis perekonomiannya pada pertanian. Di antara pokok pikiran fisiokrat yang dalam perkembangannya menjadi dasar liberalisme adalah kebebasan ekonomi, yakni bebas dari segala macam kontrol akan mengakibatkan terciptanya masyarakat yang makmur dan teratur. Tokoh fisiokrat diantaranya Francois Quesnay, Barthelemy de Laffemas (1545- 1611), Antoine deMontchretien (1575-1621), Jean Baptiste Colbert (1619-1683), Marshal Vauban (1633-1707), Pierre le Pesant de Boisguilbert (1646-1714). Lihat Jean F. Lyotard, the Postmodern Condition (USA: Manchester University Press, 1984); perbandingan lihat Yunan Labib Rizq, Urubbah fi> ‟asr al-Ra‟sumaliyah (Kairo: Dar al- Thaqafah al-Arabiyah, 2000); Deliarnov, Ekonomi Politik (Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 2006); Alan Greenspan, Abad Prahara: Ramalan Kehancuran Ekonomi Dunia Abad ke-21 (Jakarta: Gramedia, 2007).

60 orang (individu) berhak dan bebas menggunakan, mengembangkan dan mencari keuntungan dari modal yang dimiliki untuk berusaha melakukan aktivitas ekonomi melalui berbagai produksi, dan negara tidak boleh ikut campur dalam semua aktivitas ekonomi yang bertujuan mencari keuntungan (profit).8 Artinya, keabsahan efisiensi sebuah aktifitas usaha dalam mencapai keuntungan diperbolehkan selama aktivitas kegiatan tersebut sesuai dengan peraturan yang ditetapkan negara. Sehingga pembangunan sebagai sebuah proses mencapai kemajuan kehidupan masyarakat. diukur dengan kemajuan material.9 Upaya mencapai kepuasaan diri melalui tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah menjadi ciri pokok kehidupan di seluruh dunia, dan konsumsi barang menjadi sumber kenikmatan yang paling besar, sekaligus menjadi

8Deborah Waynes, ”Management of the United Nations Laissez- passer”, Articel 11.2 of Justatute (Geneva: United Nations, 2005); Hayek, “Price Expectations, Monetary Disturbances, and Malinvestments,” dalam Profits, Interest, and Investment (New York: Augustus M. Kelley, 1975). Dalam buku Wilber Moore, Economy and Society (Random House, 1955) yang meminjam dari buku besar sosiolog Jerman, Wirtschaft and Gesellschaft atau Economy and Society (Tubingen, JCB Hohr, 1910) jelas bahwa ekonomi dianggap wilayah kecil yang merupakan bagian dari wilayah besar masyarakat. Dengan perkembangan masyarakat yang makin komplek, kehidupan ekonomi menjadi makin penting dan lama-kelamaan dalam sistem (ekonomi) kapitalisme seakan-akan menjadi jauh lebih penting ketimbang masyarakat sendiri. Lihat Mubyarto, a Development Alternative for Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002). Lihat juga Nabil Abdul Salam Shakir, “al-Fasl al-Ma>li Li al Masru>‟at (al- Sakhshiah-al Tan‟bi>u-al I‟laju-minha>j al-Tahli>l),” artikel diakses pada 5 Mei 2010 dari www.kotubaria.com, 2006. 9T.S. Kuhn, 1996, the Structure of Scientific Revolutions, 7rd Ed. (Chicago: The University of Chicago Press, 2001). Pemahaman terhadap pembangunan dikaji pula dalam Muhammad ibn Ahmad al-Ansho>ri al- Qurtu>bi, al-Ja>mi‟ah li Ahka>m al-Qur‟a>n, juz. 33 (Beirut: Da>r al- Qutb al-„Ilmiyya, 1993).

61 tolak ukur manusia yang paling tinggi.10 Bergunanya suatu barang merupakan syarat mutlak bagi berlakunya nilai tukar.11 Pembahasan kategori pertama yang disebut nilai guna (utility value) dalam kapitalisme diwakili oleh pandangan teori kepuasan batas atau teori kepuasan akhir (marginal satisfaction theory). Teori kepuasan batas (marginal satisfaction theory) atau guna marginal (marginal utility), ialah kepuasan atau nilai kegunaan yang diperoleh seseorang (konsumen) dari mengkonsumsi unit terakhir barang yang dikonsumsinya.12 Nilai guna yang menjadi pandangan kapitalisme ini juga disebut “nilai subyektif” karena sifatnya yang sangat subyektif bagi setiap individu. Dalam pengukuran nilai guna, diasumsikan bahwa tingkat kepuasan seseorang dapat diukur. Sedangkan satuan ukur untuk mengukur kepuasan seseorang disebut util (satuan kepuasan).13 Berdasarkan hal tersebut maka efisiensi nilai guna suatu barang dan jasa dalam kapitalisme ditentukan oleh penilaian subyektif individu dari satu unit atau beberapa unit barang yang dikonsumsinya pada saat mencapai kepuasan maksimum. Dengan demikian berdasarkan

10Jhon K. Galbraith, the New Industrial State, 5th edition (New York: New American Library, 2000). Lihat juga M. Umer Chapra, al- Qur‟an Menuju Sistem Moneter yang Adil (Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 2003). 11Joseph Francis Zimmerman, Interstate Economic Relations (Albany: State University of New York Press, 2004). Lihat juga Anthony James Gregor, et al, Ideology and Development (Berkeley: Inst. of East Asian Studies, Univ. of Calif., Center for Chinese Studies, 1981); Mark Blaug,Who's Who in Economics (Cheltenham: Elgar, 2003). 12Soediyono Reksoprayitno, Ekonomi Makro: Analisis Islam dan Permintaan-Penawaran Agregatif (Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi, 2000). 13Taqiyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif: Perspektif Islam.

62

“hukum guna batas yang semakin menurun”, pada titik tertentu nilai guna suatu barang menurun, pada titik tertentu pula suatu barang tidak dianggap berguna bagi individu, dan bahkan pada titik negatif barang tersebut dianggap sama sekali tidak berguna. Dari teori ini diketahui bahwa seorang individu dituntut mengkonsumsi barang sebanyak- banyaknya sampai batas kepuasan maksimum, bukan sampai batas sesuai kebutuhan. Nilai tukar (exchange value) didefinisikan sebagai kekuatan tukar suatu barang dengan barang lainnya atau nilai suatu barang yang diukur dengan barang lainnya.14 Sedangkan, untuk mencapai mekanisme pertukaran yang sempurna atau untuk menghindari kesulitan penaksiran nilai tukar suatu barang terhadap barang lainnya, maka harus ada alat tukar (medium of exchange) yang menjadi ukuran bagi semua barang dan jasa. Nilai uang merupakan alat tukar yang memudahkan transaksi. Pertemuan antara uang dengan barang yang dinilai dengan sejumlah uang disebut harga (price). Jadi, harga merupakan sebutan khusus nilai tukar suatu barang. Atau dapat dikatakan perbedaan antara nilai tukar dengan harga, adalah nilai tukar merupakan penisbatan pertukaran suatu barang dengan barang-barang lainnya secara mutlak, sedangkan harga merupakan penisbatan nilai tukar suatu barang dengan uang. Sistem ekonomi yang mengoperasionalkan dasar-dasar itu adalah ekonomi dengan persaingan bebas, yang diatur oleh tangan yang tersembunyi. Proteksi dalam berbagai kegiatan ekonomi ditiadakan, monopoli dihapuskan, dan setiap orang tahu apa yang terbaik untuk dirinya dan apa yang sebaiknya

14Peter McLaren, Capitalists and Conquerors: a Critical Pedagogy Against Empire (Lanham, MD: Rowman and Littlefield Publishers, 2005); Anthony Cutler, Marx's 'Capital' and Capitalism Today (London: , 1978).

63 dipertukarkan bagi orang lain, sehingga kekayaan bangsa dapat meningkat.15 Teori nilai yang digunakan Adam Smith adalah teori biaya produksi, walaupun semula dia menggunakan teori nilai tenaga kerja. Barang mempunyai nilai guna dan nilai tukar. Biaya produksi menentukan harga relatif barang, sehingga tercipta dua macam harga, yakni harga alamiah dan harga dasar. Dalam jangka panjang harga pasar akan cenderung menyamai harga alamiah.16 Namun tidak demikian, dengan teori nilai tersebut, timbul persoalan diamond-water paradox, yaitu sebuah pertanyaan dasar “efisienkah komoditas pokok dihargai murah, sedangkan barang yang tidak pokok dihargai begitu mahal?”. Rintisan teori produksi dan distribusi fungsional Adam Smith tersebut berpijak pada sumber kekayaan bangsa adalah kapital, tenaga kerja yang keterampilannya berbeda-beda dan modal. Kapital memiliki berbagai makna, dalam abad ke-16 dan 17 istilah "kapital" dipergunakan untuk menunjuk kepada (1) stok uang yang akan dipakai untuk membeli komoditi fisik yang kemudian dijual guna

15Maurice Allais, “The General Theory of Surplus as a Formalization of the Underlying Theoritical Thought of Adam Smith, His Predecessors and His Contemporaries,”. Beberapa kajian terkait dengan penolakan pemikiran Laissez-Faire dalam konteks Indonesia dapat dilihat Sri-Edi Swasono, Kembali ke Pasal 33 UUD 1945 Menolak Liberalisme (Jakarta: Yayasan Hatta, 2010); LAN, Beberapa Catatan Kecil Menyongsng dan Melewati 2004: Fokus dan Solusi Menuju Terwujudnya Good Governance (Jakarta: LAN, 2003); Hadi Susastro, Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir: 1959-1966 (Jakarta: Kanisius, 2005). 16James M. Buchanan, ”The Supply of Labour and Extent of the Market,” dalam Adam Smith‟s Legacy: His Place in the Development of Modern Economics, ed. Michal Frey (London: Taylor and Francis e- Library, 2005). Lihat lebih luas penjelasan Rima, Inggrid H, eds. Devolopment of Economics Analysis (London: Routledge, 2001); Murray N. Rothbard, Classical Economics (Hants.: Edward Elgar, 1995).

64 memperoleh keuntungan, atau (2) stok komoditi itu sendiri. Pada waktu itu, istilah stock dan istilah kapital sering dipakai secara sinonim. Pembedaan ini didasarkan atas kriteria sejauh mana suatu unsur modal itu terkonsumsi dalam jangka waktu tertentu (misal satu tahun). Jika suatu unsur modal itu dalam jangka waktu tertentu hanya terkonsumsi sebagian, sehingga hanya sebagian (kecil) nilainya menjadi susut, maka unsur itu disebut fixed kapital (misal mesin, bangunan, dan sebagainya). Tetapi jika unsur modal terkonsumsi secara total, maka ia disebut circulating kapital (misal tenaga kerja, bahan mentah dan sarana produksi).17 Dalam perspektif kapitalis, kapital bukanlah sekedar uang untuk membeli barang-barang yang digunakan untuk produksi. Kapital adalah continous transformation dari Money-Commodity-Money (MCM). Jadi, ia adalah proses repretitif dan ekspansif. Proses ini dilakukan lewat organisasi perdagangan dan produksi. Keberadaan fisik dari kapital justru merupakan kendala yang mesti dihilangkan dengan mengkonversi komoditi kembali menjadi uang. Meski komoditi ini dijual, uang yang dihasilkan tidak dianggap sebagai produk atau hasil akhir, namun harus dilihat sebagai sebuah tahapan dari siklus yang tak berakhir. dalam Principle of Political Economy (1848) menggunakan istilah "kapital" dengan arti: (1) barang fisik yang dipergunakan untuk menghasilkan barang lain, dan (2) suatu dana yang tersedia untuk mengupah buruh. Pada akhir abad ke-19, modal dalam arti barang fisik

17Nicolas Barr, Economics of the Welfare State. Lihat juga Aḥmad ibn Muhammad Ṭaḥa>wi> dan Jeanette A Wakin, the Function of Documents in Islamic Law: the Chapters on Sales from Ṭaḥa>wi's Kita>b al-Shuru>ṭ al-Kabi>r (Albany: State University of New York Press, 1972). Bandingkan dengan Muhammad Hilmi Murod, Ma>lia al- Daulah, www. kotobarabiah.com, 2000; Mahrus Husen, Ida>rah al- Mansyaa>t al-Ma>liyah, www. kotobarabiah.com, 2001.

65 yang dipergunakan untuk menghasilkan barang lain, dipandang sebagai salah satu di antara empat faktor utama produksi (tiga lainnya adalah tanah, tenaga kerja, dan organisasi atau managemen). Para ahli ekonomi neo-klasik pun menggunakan pandangan ini, seperti Hiks dalam Value and Kapital (1939), Marshall dalam Principles of Economies (1891), dan Pareto dalam buku Manuel d‟ Economie Politique (1909).18 Manusia memiliki dorongan akan prestige dan distinction. Dorongan untuk memperoleh prestige objects meskipun perlu, bukanlah kondisi yang suffient bagi dorongan akan kapital (wealth). Prestige dan distinction memperbesar dan memberikan status bagi pemiliknya, namun ia belum tentu memberikan kemampuan memaksa kepada orang lain. Kapital dalam konsep kapitalis berbeda dari prestige goods, karena pemiliknya mempunyai kemampuan untuk mengarahkan dan memobilisasi aktivitas masyarakat, meskipun ia mungkin tidak memiliki reputasi atau otoritas politik, kapital adalah power. Dilihat dari aspek kemunculan dan pertumbuhannya yang berhubungan dengan kapital, maka kapitalisme adalah bentuk sosial dimana di dalamnya akumulasi kapital menjadi dasar organisasi dalam kehidupan sosio-politik. Akumulasi kapital sendiri adalah proses sosial yang berkesinambungan dari money to commodity to money yang lebih besar lagi (M-C-M) yang didasari oleh kehendak individu untuk mengakumulasi wealth yang menjadikannya memiliki power, prestige dan dictinction sekaligus.19

18Penjelasan lebih luas lihat Soemitro Djojohadikusumo, Perkembangan Pemikiran Ekonomi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991). 19Edward Wayne Younkins, Capitalism and Commerce: Conceptual Foundations of Free Enterprise (Lanham: Md. Lexington Books, 2002); Jerry Z. Muller, The Mind and The Market: Capitalism in Modern European Thought (New York: Alfred A. Knopf, 2002). Lihat

66

Dengan demikian, kapital adalah suatu konsep abstrak yang manifestasinya dapat berupa barang atau uang dan tidak cukup diterangkan hanya dengan satu definisi. Konseptualisasi Marx mengenai kapital, dijabarkan secara sederhana dalam enam butir pokok berikut ini seperti dikutip oleh Bottomore, yaitu: Pertama, transformasi uang menjadi modal berjalan melalui proses tertentu, terdiri dari dua rangkaian transaksi dalam suasana sirkulasi, yaitu: (1) menjual komoditas (K) dan uang yang diterima (U) dipakai untuk membeli komoditas lain; dan (2) membeli komoditas untuk kemudian dijual lagi (secara bagan: K-U-K; dan U- K-U). Kedua, dalam rangkaian transaksi itu faktor "nilai" menjadi penting, sebab terutama dalam U-K-U, transaksi itu hanya bermakna jika jumlah uang pada titik akhir menjadi lebih besar daripada jumlah asal. Kalau pertukaran itu merupakan pertukaran nilai yang setara, apabila tidak setara, berarti nilai itu sendiri tidak tercipta. Marx menjawab persoalan ini dengan menerapkan "nilai-guna". Nilai guna mempunyai sifat "menciptakan" nilai tambahan atau "nilai-lebih". Komoditas yang mempunyai nilai-guna seperti itu adalah tenaga kerja. Ketiga, jalur K-U-K, secara tipikal mengacu kepada transaksi pengupahan tenaga kerja. Buruh menjual tenaganya untuk memperoleh sejumlah uang (yang pada gilirannya dipakai untuk membeli barang lain (pangan, dan lain-lain kebutuhan) yang diperlukan untuk dapat mereproduksi tenaganya. Karena itu dalam transaksi ini, uang sama sekali tidak bertindak sebagai modal.20 juga Ann E. Cudd, Analyzing Oppression (New York: Oxford University Press, 2006); sebagai perbandingan E. Ray Canterbery, The Making of Economics (River Edge, N.J.: World Scientific Pub., 2003). 20Tom Bottomore dan Robert J. Brym, the Capitalist Class: an International Study (Hemel Hempstead: Harvester Wheatsheaf, 1989). Lihat juga T B Bottomore, the Socialist Economy: Theory and Practice (London: Harvester Wheatsheaf, 2000); Ross B. Emmett, Research in the

67

Keempat, sebaliknya, jalur U-K-U merupakan transaksi yang mencakup pembelian sarana produksi, yang kemudian diolah menjadi produk, untuk selanjutnya dijual dalam rangka memperoleh uang lebih banyak. Berbeda dengan upah yang dibelanjakan untuk membeli barang yang dikonsumsi dan kemudian lenyap sama sekali, dalam jalur U-K-U ini uang hanya merupakan "advance" untuk kemudian muncul kembali dalam jumlah yang lebih banyak. Disinilah, uang ditransformasikan menjadi kapital dalam suatu proses historis ketika tenaga kerja menjadi komoditas. Kelima, dengan demikian, modal dalam konsep Marx adalah "nilai yang membengkak sendiri" (self expanding value) atau "nilai dalam gerak" (value in motion). Keenam, constant kapital (CC) dan variable kapital (VC). CC adalah bagian dari modal yang dikeluarkan (advance) untuk diubah menjadi sarana produksi yang dalam proses produksi tidak mengalami perubahan nilai. Artinya, "nilai" sarana produksi itu disimpan dalam "nilai" produk yang dihasilkan, suatu proses pengalihan "nilai" melalui proses kerja. Proses produksi adalah transformasi "nilai-guna". Nilai-guna dari barang (sarana produksi) yang diolah, dikonsumsi. Tetapi, "nilai" barang itu sendiri dialihkan ke dalam produk baru. VC adalah bagian dari modal yang dikeluarkan untuk diubah menjadi tenaga kerja yang dalam proses produksi kegiatannya menuju kepada dua arah, yaitu produksi nilai setaranya sendiri, dan di lain pihak menghasilkan "nilai- tambah", yang besarnya beragam menurut keadaan.21 Dari aspek pemahaman kapital, tenaga kerja hanya sebagai buruh yang menjual tenaganya untuk memperoleh

History of Economic Thought and Methodology a Research Annual (Emerald Group Pub Ltd, 2009). 21Tom Bottomore dan Robert J. Brym, the Capitalist Class: an International Study.

68 sejumlah uang selanjutnya dipakai untuk membeli barang kebutuhan masing-masing buruh. Semua sarana produksi hanya difokuskan pada pengolahan menjadi produk yan kemudian menjual dengan mendapatkan keuntungan maksimal. Artinya mesin, bangunan (fixed capital); Tenaga kerja, bahan mentah, sarana produksi (circulating capital) dalam pemikiran smithan bernilai guna untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dan memberikan nilai tambah orang perseorangan. Selanjutnya dari aspek hak dan kewajiban, kelompok kapitalis berpijak pada peningkatan utility sekaligus mengakui adanya hak kepemilikan individual, kebebasan memiliki harta secara persendirian, persaingan bebas dan ketidaksamaan ekonomi, dan karenanya berlaku hukum untuk mengeksploitasi tenaga kerja, baik laki-laki, perempuan dan anak-anak dengan upah yang rendah.22 Dari hal tersebut, menunjukkan bahwa sistem ekonomi kapitalis mengandung hak dan kewajiban dengan prinsip dasar dimana kebebasan memilih harta secara perorangan; dimana setiap negara mengetahui hak kebebasan individu untuk memiliki harta perseorangan. Setiap individu dapat memiliki, membeli dan menjual hartanya menurut yang dikehendaki tanpa hambatan. Individu mempunyai kuasa penuh terhadap hartanya dan bebas menggunakan sumber- sumber ekonomi menurut cara yang dikehendaki. Setiap individu berhak menikmati manfaat yang diperoleh dari produksi dan distribusi, serta bebas untuk melakukan pekerjaan. Hak dan kewajiban untuk andil dalam melakukan kebebasan ekonomi dan melakukan persaingan bebas. Setiap individu berhak untuk mendirikan, mengorganisasi dan mengelola perusahaan yang diinginkan.

22Allen E. Buchanan, Marx and Justice: the Radical Critique of (London: Methuen, 1982).

69

Individu juga berhak terjun dalam semua bidang perniagaan dan memperoleh sebanyak-banyaknya keuntungan. Ketidaksamaan dalam hak kewajiban merupakan sebuah resiko dari siklus kehidupan manusia.23 Dalam hal pertukaran didasari atas prinsip give and take (self interest), bukan benevolence,24 sebab tenaga kerja dibatasi oleh pasar. Jika pasar terlalu kecil, maka menjadi tidak ekonomis bila dilakukan pembagian kerja. Hubungan jumlah penduduk dan kapital, tidak dapat lepas dari proksi determinan penawaran pekerja. Penawaran tenaga kerja dalam unit efisiensi tergantung dari kemajuan teknik atau pada pelatihan, dimana memenuhi pengaruh pelatihan. Karena itu, produktifitas dan upah meningkat, tetapi pendapatan berkurang. Hal ini mengarah pada penurunan dalam tabungan dan pengeluaran untuk pendidikan. Sebagai akibatnya, tingkat pertumbuhan modal fisik dan Sumber Daya Manusia berkurang, dan pertumbuhan produktifitas juga berkurang. Akibat jangka panjang tergantung pada ukuran pengaruh modal Sumber Daya Manusia dan pelatihan dalam fungsi produksi, yaitu: (1) ketika modal Sumber Daya Manusia tidak menjadi masalah dan tidak terdapat pelatihan, pertumbuhan produktifitas kembali pada tingkat eksogen tertentu. Lebih dari itu, bahkan tingkat produktifitas tidak terpengaruh dalam jangka panjang; (2) ketika tenaga kerja kasar produktif dan bahkan modal Sumber Daya Manusia produktif juga atau terdapat pelatihan, pertumbuhan produktifitas kembali pada tingkat

23Fazlur Rahman, Economic Doctrines of Islam (Lahore: Islamic Publications, 1980); sebagai perbandingan lihat Robert Benne, the Ethic of Democratic Capitalism a Moral Reassessment (Philadelphia: Fortress Press, 1981); Samuel Richard Freeman, the Cambridge Companion to Rawls (Cambridge: Cambridge University Press, 2003). 24Robert E. Frederick, at el, Business Ethics: Readings and Cases in Corporate Morality (New York,NY: McGraw-Hill, 2001).

70 eksogen. Tetapi, penurunan transitor dalam pertumbuhan produktifitas mengurangi tingkat produktifitas dalam jangka panjang; (3) ketika terdapat pertumbuhan endogen baik melalui pelatihan yang komplit maupun melalui akumulasi modal Sumber Daya Manusia, tingkat pertumbuhan produktifitas menurun ke tingkat kondisi stabil yang baru. Sehingga, diperoleh pengurangan permanen dalam pertumbuhan produktifitas.25 Hak dan kewajiban dikukung dalam eksploitasi tenaga kerja (buruh). Hak buruh dibayar dengan murah, jauh dari nilai produksi yang dihasilkan, sementara kewajiban mereka bekerja maksimal. Para kapitalis selanjutnya mengatur sistem upah kepada buruh, selain serendah mungkin upah yang diterima, buruh disuruh bekerja 12 jam perhari, bukan 10 jam. Kalau menggunakan perhitungan produk, tiap satu jam buruh harus dapat menghasilkan barang 5 atau 4 buah, dan kalau biasanya hanya dapat menghasilkan 3 buah barang, maka harus ditingkatkan menjadi 4 buah barang. Akibat perjuangan hak dan kewajiban tersebut, membuat orang terasing dari proses sosial ekonomi. Pekerja atau buruh dipisahkan dengan produk yang mereka buat, dari proses produksi, bahkan mereka tidak perlu mengetahui tujuan dari produk yang dikerjakan. Dalam sistem kapitalis benda atau barang- barang produksi mendominasi manusia. Hal ini dapat dilihat dalam praktek kapitalisme misalnya di industri otomotif, dan elektronik, manusia hanya mengetahui sedikit dari proses produksi secara utuh. Kalau mereka berkewajiban pada bagian perakitan televisi, radio atau motor, hanya mengerjakan sesuai dengan job yang

25Joseph A. Schumpeter, Capitalism, and Democracy (London: Routledge, 1994); Victor Nee, On Capitalism (Stanford: Calif. Stanford Univ. Press, 2007).

71 diberikan, sehingga mereka tidak mengetahui pekerjaan yang lain. Dalam sistem kapitalis, ekonomi dan politik negara hanya ditujukan untuk memenuhi hasrat kapitalis (vested interest). Orang kaya dan para kapitalis akan semakin kaya dan terus memupuk kapitalnya semakin besar, sementara rakyat tetap saja miskin, penghasilannya rendah dan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara wajar. Richard mencontohkan gambaran perbedaan penghasilan, ada yang berpenghasilan 1.000.000 US $ pertahun, sementara yang lain berpenghasilan 10.000 US $ pertahun.26 Menurut Rawls, keadilan akan menjadi kenyataan kalau kesempatan berusaha terbuka untuk semuanya, sementara realitas sistem kapitalis mengajarkan bahwa individu memiliki hak untuk menguasai suatu produk sebesar-besarnya dan dapat leluasa mengambil alih perusahaan lain dengan menguasai saham mayoritas dalam beberapa jenis usaha, misalnya properti, agrobisnis, perhotelan, transportasi, perbankan, perkapalan dan teknologi informasi,27 dan dari hal kemudian Meaney dan Steven Best juga menunjukkan bahwa tidak ada konsep “kebersamaan” dalam membangun hak dan kewajiban dalam melakukan kegiatan ekonomi.28 Efisiensi dalam hak dan kewajiban pada wilayah kapitalis tidak memiliki berkeadilan, kecuali aktifitas kewajiban untuk meningkatkan maksimal produk dan

26Richard Sennett, the Culture of the New Capitalism (London: Yale University Press, 2006); sebagai perbandingan lihat Richard R. Fagen, Capitalism and the State in U.S.-Latin American Relations (Stanford, Calif.: Stanford University Press, 1979). 27Robert E. Frederick, Business Ethics: Readings and Cases in Corporate Morality (New York,NY: McGraw-Hill, 2001). 28Steven Best dan Anthony J. Nocella, Igniting a Revolution: Voices in Defense of the Earth (Edinburgh: AK Press, 2006); Mark E Meaney, Capital As Organic Unity: the Role of Hegel's Science of Logic in Marx's Grundrisse (Dordrech: Kluwer, 2002).

72 maksimal laba, sehingga mendapatkan hak gaji dan fasilitas untuk meningkatkan kualitas hidup. Bagi pengusaha, penggalang modal untuk melakukan produksi merupakan suatu usaha untuk memperoleh keuntungan (profit). Sedangkan bagi pekerja kesediaannya berada di bawah pengusaha dengan melakukan aktivitas produksi merupakan suatu usaha untuk mendapatkan upah.29 Keuntungan yang diperoleh pengusaha dan upah yang didapatkan pekerja esensinya adalah harga. Keuntungan bagi pengusaha merupakan harga yang dia peroleh dari konsumen, sedangkan upah bagi pekerja merupakan harga yang harus dibayar pengusaha. Dengan demikian, harga merupakan pendorong produksi. Artinya bahwa kapitalisme memandang bahwa dalam dunia ekonomi suatu pengorbanan manusia yang didorong oleh insentif materi.30 Dengan demikian, timbul persoalan pembagian pendapatan yakni upah untuk pekerja, laba bagi pemilik modal dan sewa untuk tuan lahan dan pengembangan usaha melalui peningkatan Sumber daya manusia.31 Barr kemudian sejalan dengan konsep Smith yang menyatakan bahwa pembagian kerja sangat berguna dalam efisiensi usaha, dalam meningkatkan produktivitas, dan

29Wizārat al-„Amal, Kita>b al-„Amal (Arab Saudi: Jam‟īyat Nashr al-Thaqāfah li-Wizārat al-„Amal, 1979, didigitalkan 24 Juli 2006). 30Nicolas Barr, Economics of the Welfare State (New York: Oxford University Press, 2004); Robert S. Pindyck dan Daniel L. Rubinfeld, Microeconomics 5th Ed. (New Jersey: Prentice-Hall Inc., 2001). Untuk perbandingan lihat Adi Warman Karim. Ekonomi Mikro Islami, ed. II (Jakarta: IIIT Indonesia, 2003). 31Jeremy N. Smith, “the Adam Smith of Supply Chain Management,” World Trade. Troy, Sep 2006, vol. 19, Iss. 9. Lihat juga Sumitro Djojohadikusumo, Perkembangan Pemikiran Ekonomi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia); M. Dawam Rahardjo, Ekonomi Pancasila: Jalan Lurus Menuju Masyarakat Adil dan Makmur (Yogyakarta: Aditya Media Bekerjasama dengan Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP), Universitas Gadjah Mada, 2004).

73 akan mengembangkan spesialisasi mempunyai kerugian sosial, oleh karena suasana kerja yang monoton menjadi problem sendiri di tengah pergulatan penguatan ekonomi, karena itu Barr menolak pandangan pentingnya lahan dalam mengembangkan kesejahteraan bagi masyarakat yang mengabaikan sistem perburuhan dan pembagian kerja.32 Baginya, lahan yang luas akan berdaya guna manakala pemberdayaan buruh serta pembagian kerja dapat diefisiensikan. Berbeda dengan Barr, Pindyck dan Rubinfeld menyatakan bahwa buruh merupakan prioritas tinggi dan pembagian buruh ke dalam beberapa unit kerja, akan berakibat pada kenaikan yang signifikan terhadap hasil produksi. Smith memakai contoh proses pembuatan jepitan. Satu pekerja bisa membuat dua puluh pin sehari. Tapi, jika sepuluh orang di bagi menjadi delapan belas langkah yang diperlukan membuat sebuah jepitan, mereka bisa membuat 48.000 jepitan dalam sehari.33 Perkembangan pemikiran ekonomi kapitalis di era pasar global juga mengkondisikan pembangunan sebuah negara melalui spesialisasi produksi sesuai dengan keunggulan komparatif yang dimilikinya. Aktifitas kerja yang komprehensif merupakan instrumen utama dari masyarakat dalam mencapai kesejahteraan individu. Satu contoh dari berbagai kajian mendalam telah menemukan (discover) bahwa teknologi sebenarnya merupakan hasil akhir dari suatu proses yang terdiri dari rangkaian sub-proses penelitian dan

32Nicolas Barr, Economics of the Welfare State (New York: Oxford University Press, 2004). Lihat juga Masyhuri, Ekonomi Mikro (Malang: UIN Malang, 2004). Bandingkan Dong-Sung Cho dan Hwy- Chang Moon, from Adam Smith to Michael Porter: of Competitiveness Theory (Singapore: World Scientific, 2000). 33S. Pindyck dan Daniel L. Rubinfeld, Micro Economics 5th Ed. (New Jersey: Prentice-Hall Inc., 2001). Perbandingan kajian lihat Sumitro Djojohadikusumo, Perkembangan Pemikiran Ekonomi.

74 pengembangan, invensi, rekayasa dan disain, manufaktur dan pemasaran. Disini teknologi modern didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang ditransformasikan ke dalam produk, proses, jasa dan struktur organisasi. Setiap sub- proses dalam rangkaian tersebut merupakan unsur krusial yang tidak dapat ditiadakan dan dihilangkan dalam nilai komersialisasi.34 Komersialisasi merupakan proses transformasi dari sesuatu yang tidak atau kurang memiliki nilai ekonomi-langsung, menjadi suatu produk atau komoditi bernilai pasar yang kompetitif. Agar transformasi tersebut bermakna, maka tidak bisa tidak hal tersebut harus dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip kapitalisme. Dari aspek kebersamaan pengembangan Sumber Daya Manusia lebih dititik-beratkan pada investasi Sumber Daya Manusia terhadap peningkatan produktivitas melalui pendidikan, pelatihan, dan peningkatan derajat kesehatan. Hal tersebut tidak lepas dari faktor pertumbuhan endogen yang dapat meningkatkan stok pengetahuan dan ide baru dalam perekonomian yang mendorong tumbuhnya daya cipta dan inisiatif yang diwujudkan dalam kegiatan inovatif dan produktif. Hal tersebut menuntut Sumber Daya Manusia yang berkualitas.35 Tuntutan pengembangan Sumber Daya Manusia tidak dibarengi dengan nilai humanis, sebab kapitalisme berpijak pada konsep bahwa

34J.D. Bernal, the Emergence of Science (Cambridge: MIT Press, 2000). Perbandingan dapat dilihat dalam F. Braudel, a History of Civilizations (New York: Penguin Books, 1993); M. Kaku, Visions (New York: Anchor Books, 1997). Lebih lengkap pemikiran Adam Smith lihat Jhon Rae, Life of Adam Smith (New York: Cosimo, 2006); Knud Haakonssen, The Cambridge Companion to Adam Smith (Cambridge: Cambridge University Press, 2006). 35Clem Tisdell dan Keith Hartley, Microeconomic Policy: A New Perspective (Cheltenham: Edward Elgar, 2008). Sebagai perbandingan dapat dilihat Nan Lin, Social Capital: a Theory of Social Structure and Action (New York: Cambridge University Press, 2007).

75 tenaga kerja merupakan komoditi dengan harga dan imbalan. Dari sisi ini pula, buruh tidak mempunyai kebersamaan dalam hak pemilikan atas barang-barang yang dibuatnya dan buruh tidak menjual buah hasil kerjanya, melainkan kerja itu sendiri.36 Pengembangan Sumber Daya Manusia teralienasi dari produk hasil kerja mereka. Artinya, sebesar apapun pengembangan sumber daya manusia , tetap saja kelompok pekerja tidak memiliki hak untuk memiliki produk hasil produksi mereka, karena produk tersebut hak milik kapitalis, dan pada akhirnya kerja tidak lagi menjadi transformasi dan pemenuhan sifat dasar manusia.37 Dari aspek tersebut pengembangan sumber daya manusia, adalah penguatan nilai kreatifitas bukan untuk membentuk pekerja berkembang menjadi otonom. Dalam arti bahwa manusia tidak bisa merealisasi-diri dalam setiap arti yang signifikan, kecuali lewat cara realisasi yang diinginkan kaum borjuis. Alienasi dalam masyarakat kapitalis terjadi karena di dalam kerja, setiap orang berkontribusi pada kemakmuran usaha. Namun, mereka hanya bisa mengekspresikan secara mendasar aspek sosial dari individualitas lewat sistem produksi yang tidak dimiliki secara sosial, atau secara publik. Namun, hal ini juga berlaku untuk perusahaan yang dimiliki swasta, di mana masing-masing individu berfungsi sebagai instrumen, bukan sebagai makhluk sosial.38

36Aris Ananta (peny), Ekonomi Sumber Daya Manusia (Jakarta; Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Pusat antar-Universitas Bidang Ekonomi Universitas Indonesia, 1990). Lihat juga James L. Gibson, Organizations: Behavior Structure Process (America: McGraw International Edition, 2006). 37Lihat William L. Chenery, Industry and Human Welfare (New York: Arno Press, 1977). 38Robert J. Barro dan Xavier Sala-i-Martin, Economic Growth (Cambridge, Mass.: MIT Press, 2003).

76

Kapitalisme memandang bahwa Sumber Daya Manusia (human resources) tidak lain adalah faktor produksi yang dipergunakan dalam proses produksi untuk menghasilkan barang dan jasa. Karenanya kemampuan tenaga kerja (labor) menjadi urgen dalam meningkatkan keuntungan dan kemakmuran optimal. Nilai Sumber Daya Manusia merupakan bagian tidak terpisahkan dalam melakukan persaingan atas dan kemampuan wiraswasta (enterpreneurial).39 Pengembangan efisiensi kerja tidak bisa pula dipisahkan dengan Sumber Daya Manusia dan aktifitas pasar. Sebab pasar berfungsi memberikan signal kepada produsen dan konsumen produk yang harus dibuat atau harus dikembangkan. Kapitalis membangun kreativitas dengan menyerap ide-ide, serta toleransi terhadap berbagai pemikiran. Menurut Rand, kebebasan dan hak individu memberi ruang gerak manusia dalam berinovasi dan berkarya demi tercapainya keberlangsungan hidup dan kebahagiaan.40 Pengembangan sumber daya difokuskan pada upaya penciptaan inovasi kerja karena konsep pemikiran Marx adalah mengembalikan manusia sebagai manusia, dengan asumsi: (a) kebebasan individu, (b) kepentingan diri (selfishness), dan (c) pasar bebas. Pengembangan Sumber Daya Manusia berdasarkan pula pada individu bebas berpikir, berkarya dan berproduksi untuk keberlangsungan

39Raghuram G. Rajan; Luigi Zingales, Saving Capitalism from the Capitalists: Unleashing the Power of Financial Markets to Create Wealth and Spread Opportunity (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2004); lihat juga Prijono Tjiptoherijanto; Laila Nagib, Pengembangan Sumber Daya Manusia: di antara Peluang dan Tantangan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008). 40Jonathon Porritt, Capitalism as if the World Matters (Sterling, VA: Earthscan, 2007); lihat juga Hermann Strasser; Karl Gabriel; Susan C Randall, an Introduction to Theories of Social Change (London: Routledge and Kegan Paul, 1981).

77 hidupnya.41 Pada gilirannya, pengakuan institusi hak individu memungkinkan individu untuk memenuhi kepentingan dirinya. Menurut Rand, manusia hidup pertama-tama untuk dirinya sendiri, bukan untuk kesejahteraan orang lain. Karenanya dalam pengembangan Sumber Daya Manusia diberikan kebebasan dalam mengikuti berbagai pendidikan pelatihan yang dapat meningkatkan sumber daya sendiri dan sumber daya ekonomi. Kapitalis memandang bahwa problem dasar ekonomi adalah produksi. Pandangan ini didasarkan pada sebuah asumsi yang salah, “kebutuhan manusia tidak terbatas, sedangkan alat pemuasnya terbatas”. Keterbatasan alat pemuas merupakan problem dasar ekonomi yang harus dipecahkan. Sebab, kebutuhan manusia tidak terbatas sedangkan alat pemuasnya terbatas. Masalah ini bisa diselesaikan dengan meningkatkan produksi semaksimal mungkin.42 Dengan demikian, nilai-nilai yang dimunculkan hanya pada efisiensi Sumber Daya Manusia yang ditegaskan melalui penilaian human resources dengan berbagai pelatihan yang disedia untuk bersaing mendapatkan maksimal. Aspek produksi lain yang dinilai dalam konsep kebebasan berusaha dan berkreatifitas bersama prinsip dasar bahwa hak milik atas barang modal atau alat-alat produksi lain seperti tanah, mesin dan sebagainya, dapat

41Tamás Szentes, the Transformation of the World Economy: New Directions and New Interests (Tokyo: United Nations University, 1988). 42Geoffrey K. Ingham, Capitalism (Cambridge, UK; Malden, MA: Polity Press, 2008); sebagai perbandingan lihat juga Sumitro Djojohadikusumo, Perkembangan Pemikiran Ekonomi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991); Jonathan Kramet dan Thomas Hyclak, “Why Strikes Occur: Evidence from the Capital Markets,” Industrial Relaions, vol. 41, Issue 1, 2002.

78 berada di tangan perorangan. Setiap orang (individu) berhak dan bebas menggunakan, mengembangkan dan mencari keuntungan dari modal yang dimiliki untuk berusaha (melakukan aktivitas ekonomi seperti produksi dan sebagainya), dan negara tidak boleh ikut campur dalam semua aktivitas ekonomi yang bertujuan mencari keuntungan (profit), selama aktivitas itu sah dan sesuai dengan peraturan yang ditetapkan negara.43 Nilai-nilai yang dibangun kapitalis, adalah nilai kepuasan maksimum dan tidak mengajarkan nilai batas sesuai kebutuhan. Sehingga para pengikut kapitalisme dapat bebas berusaha dan bebas berkreatifitas dengan dasar nilai harga yang menentukan strata kaya dan miskin.44 Francis Saunderaraj mengemukakan sejumlah isu yang dirasakan manusia abad ke-20 seperti dikutip dari James L Crenshaw yang menyebutkan bahwa semangat pencerahan (enlightenment) yang muncul di Eropa sejak abad ke-18, menurut Saunderaraj, telah menghasilkan ilmu pengetahuan dan masyarakat hampa nilai sehingga erosi nilai-nilai moral masyarakat karena tiga alasan utama. Pertama, manusia hidup dalam suasana kompetitif yang sangat tinggi untuk memperoleh materi yang sangat cepat. Kecenderungan profit oriented menghalalkan segala cara. Kedua, nilai-nilai moral menjadi sangat relatif, tergantung pada situasi dan kondisi lingkungan, tidak ditentukan oleh kekuatan eksternal dan ketentuan pasti yang menjadi pegangan umat manusia. Ketiga, masyarakat lebih berorientasi pada keberhasilan (succsess oriented society) yang memunculkan succsess syndrome dengan ukuran

43Mukhtar Sya‟rawi, Islam di antara Kapitalisme dan Komunisme (Jakarta: Gema Insani Press, 1991). 44Dong-Sung Cho dan Hwy-Chang Moon, from Adam Smith to Michael Porter: Evolution of Competitiveness Theory (Singapore: World Scientific, 2000).

79 perolehan posisi dan kekuatan yang mendorong pada kehampaan nilai-nilai moral.45 Efisiensi pekerja dalam berkreatifitas bagi kapitalisme, yakni bagaimana kekuatan mereka dapat menjadi komoditi yang diperjualbelikan di pasar seperti objek-objek pertukaran lainnya. Sistem outsourcing telah melegalkan perbudakan buruh, eksploitasi secara besar- besaran, pengurasan keringat dan tenaga buruh demi akumulasi modal yang sebesar-besarnya.46 Dari perspektif ini, efisiensi kapitalisme adalah sebuah sistem produksi, distribusi, dan pertukaran dimana kekayaan yang terakumulasi diinvestasikan kembali oleh pemilik pribadi untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, sehingga dipahami bahwa efisiensi tidak memiliki konsep baku, hanya dikembangkan atau diaplikasikan oleh pemiliki usaha. Smith seperti dikutip dari Maurice Dobb berpendapat bahwa jalan yang terbaik untuk memperoleh kemakmuran, adalah dengan membiarkan individu-individu

45James L. Crenshaw, Old Testament Wisdom: an Introduction (Louisville, Ky.: Westminster John Knox Press, 2010); lihat juga Leemon McHenry, Science and the Pursuit of Wisdom: Studies in the Philosophy of Nicholas Maxwell (Frankfurt: Ontos, 2009). Lihat juga Henry L. Petersen, Harrie Vredenburg, “Morals or Economics Institutional Investor Preferences for Corporate Social Responsibility,” Journal of Business Ethics, vol. 90, Iss., Nov 2009, Dordrecht, 1. Lihat juga Maurice Dobb, Theories of Value and Distribution Since Adam Smith: Ideology and Economic Theory (Cambridge: Cambridge, 1973); Jeremy N. Smith, “The Adam Smith of Supply Chain Management,” World Trade, vol. 19, Iss., 9 Sep 2006, Troy. Revrisond Bawsir, Kapitalisme Perkoncoan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999). 46Steven M. Bragg, Outsourcing: a Guide Toselecting the Correct Business Unit Negotiating the Contractmaintaining Control of the Process (Hoboken: Wiley, 2006). Bandingkan dengan Nicholas C Burkholder, Outsourcing: the Definitive View, Applications and Implications (Hoboken, N.J.: Wiley, 2006); Dawam, Raharjo, Kapitalisme Dulu dan Sekarang (Jakarta: PT. New Aqua Press, 1987).

80 mengejar kepentingan-kepentingan mereka sendiri, tanpa keterlibatan perusahaan-perusahaan negara.47 Dengan mengejar kepentingan pribadi itu, ia akan mendorong kemajuan masyarakat dengan dorongan yang sering kali bahkan lebih efektif dari pada kalau ia sengaja melakukannya. Pandangan tersebut mengatakan bahwa pasar yang baik adalah pasar yang dibentuk oleh kompetisi antara penawaran dan permintaan (supply and demand). Negara harus tidak boleh mengintervensi pasar dalam bentuk apapun (semisal penetapan harga barang, upah kerja), agar tercipta harga yang wajar sebagai wujud keseimbangan dari kompetisi bebas antara kekuatan penawaran dan kekuatan permintaan. Biarkan pasar digerakkan oleh kekuatan tersembunyi yang akan menyeimbangkan antara supply dan demand. Peran negara dianggap justru akan mengganggu terciptanya efisiensi kebebasan berusaha dan berkreatifitas karena dorongan untuk memenuhi peningkatan permintaan.48 Dari aspek tersebut, memperlihatkan ide invisible hands secara langsung mendorong tuntutan kebebasan berproduksi, dimana individu-individu haruslah dapat mengembangkan kemampuan dan kuantitas produksinya, sehingga diharapkan tercapainya kemakmuran, yaitu kondisi dimana masyarakat bisa mendapatkan barang dan

47Maurice Dobb, Theories of Value and Distribution Since Adam Smith: Ideology and Economic Theory (Cambridge: Cambridge U.P., 2000). Lihat juga Geoff Martz dan Laurice Pearson, Cracking the GED (New York: Random House, 2005). 48Michael C. Thomsett, Getting Started in Options (New York: John Wiley and Sons Ltd, 2003). Sebagai perbandingan lihat J. Zucchetto dan National Research Council (U.S.), Board on Energy and Environmental Systems, Trends in Oil Supply and Demand, the Potential for Peaking of Conventional Oil Production, and Possible Mitigation Options: A Summary Report of the Workshop (Washington, DC: National Academies Press, 2006).

81 jasa semurah mungkin. Untuk mewujudkan hal itu, maka masyarakat harus bisa mengakses semua bentuk resources baik itu berupa modal kapital, bahan baku industri, mesin, tenaga kerja, dan lain-lain agar tercipta produksi secara maksimal. Inilah semangat dari kapitalisme klasik yang melahirkan revolusi industri.49 Dalam hal kebersamaan peluang dari aspek kemitraan, bantuan, dan pengembangan Sumber Daya Manusia perspektif kapitalis tidak bisa lepas dari konsep yang jelas tentang hakikat manusia. Asumsi dasarnya adalah manusia mengejar kepentingan pribadinya, karena sistem persaingan bebas akan menertibkannya. Orang yang terlalu serakah menjual barangnya terlalu mahal, akan terpaksa membatasi keinginannya ini dengan munculnya orang lain yang mau menerima keuntungan yang lebih sedikit dengan menjual barangnya secara lebih murah. Dalam pasar persaingan sempurna dikatakan efisien, jika telah memaksimasi surplus konsumen dan produsen. Pengembangan dapat dinilai dari konsep ekonomi pertukaran menganalisis perilaku dua orang individu dalam suatu pasar yang saling melakukan perdagangan atau pertukaran kedua barang yang dimilikinya. Masing-masing individu dalam pasar pertukaran tersebut memiliki keunggulan modal awal (endowment) yang berbeda satu sama lain. Misalnya, endowment individu 1 lebih banyak pada barang 1, sedangkan individu 2 memiliki lebih banyak

49Neil J. Smelser, Social Change in the Industrial Revolution: an Application of Theory to the British Cotton Industry (London: Routledge, 2005); lihat juga Vijay V. Vaitheeswaran, Power to the People: How the Coming Energy Revolution Will Transform an Industry, Change Our Lives, and Maybe Even Save the Planet (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2003); Peter N. Stearns, the Industrial Revolution in World History (Oxford: Westview Press, 1998). Lihat juga Robert M. Solow, ”Growth Theory and After,” the American Economic Review, vol. 78, Iss., 3 Jun 1988, Nashville.

82 barang 2. Kondisi tersebut akan memacu masing-masing individu untuk membuat dirinya better-off dengan melakukan perdagangan barang 1 dan 2. Pertukaran tersebut akan berakhir pada kondisi alokasi yang efisien, dimana tidak dapat lagi suatu individu menambah utility- nya terhadap suatu barang (better-off) tanpa membuat utility individu lainnya dirugikan (worse-off). Kondisi inilah yang disebut sebagai kondisi pareto optimum. Dengan demikian dalam ekonomi pertukaran, perdagangan antara individu satu dengan lainnya akan membuat masing-masing individu better-off sampai kondisi pareto optimum. Analisis efisiensi dalam ekonomi pertukaran didasarkan kepada dua asumsi dasar, yaitu: (1) kedua individu mengetahui preferensi satu sama lain; dan (2) pertukaran barang costless. Secara matematis ekonomi pertukaran merupakan fungsi dari utilitas, barang yang diperdagangkan dan endowment masing-masing individu. Efisiensi produktif yang lebih besar dapat dicapai melalui spesialisasi sumber daya yang ada dengan menggunakannya dalam bidang yang paling produktif. Pembagian kerja akan memanfaatkan ketrampilan secara intensif dan akan memberikan hasil yang lebih besar dalam penggunaan modal. Suatu produksi massal akan mengakibatkan produksi yang berlebihan di atas kebutuhan produsen, yang kelebihan produksi itu harus segera diperdagangkan. Oleh karena itu, perdagangan memerlukan suatu ekonomi pemasaran dan penggunaan uang. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa manusia merupakan wilayah berusaha, berekreatifitas bebas nilai untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Aspek distribusi dalam ranah kemitraan bagi kapitalisme berdasarkan pada interest base yang menempatkan uang sebagai komoditi yang diperdagangkan dan menjadikan uang pada nilai transaksi yang spekulatif

83 berdasarkan nilai suku bunga. Artinya kemitraan dan kerjasama berkaitan erat dengan bagaimana nilai uang dapat berdaya guna dengan menggunakan teori abstinence, yaitu: bahwa kreditor menahan diri, atau menangguhkan keinginan mamanfaatkan uangnya sendiri semata-mata untuk memenuhi keinginan orang lain, ia meminjamkan modal yang semestinya dapat mendatangkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Jika peminjam menggunakan uang untuk memenuhi keinginan pribadi, ia dianggap wajib membayar sewa atas uang yang dipinjamkannya.50 Kemitraan dinilai dari teori nilai uang, dimana uang pada masa mendatang lebih rendah dibanding masa sekarang. Melalui teori ini pemberi pinjaman manganggap bunga sebagai agio (selisih nilai) yang diperoleh dari barang-barang pada waktu sekarang terhadap perubahan dan penukaran barang di waktu yang akan datang. Dengan demikian, modal yang dipinjamkan kepada seseorang sekarang lebih bernilai dibanding uang yang akan dikembalikan beberapa tahun kemudian. Bunga merupakan nilai lebih yang ditambahkan pada modal yang dipinjamkan agar nilai pembayarannya sama dengan nilai modal pinjaman semula; (g) inflasi atau dalam istilah lain decreasing purchasing power of money (penurunan daya beli uang ). Oleh karena itu pengambil bunga uang sangatlah logis sebagai kompensasi penurunan daya beli uang selama dipinjamkan.51

50Lihat Malcolm Bull, dan Keith Lockhart, Seeking a Sanctuary: Seventh-Day Adventism and the American (Bloomington: Indiana University Press, 2007); lihat juga Syafei Antonio, Bank Syari‟ah: dari Teori ke Praktek (Jakarta: Gema Insani Press, 2001). 51Ataul Haque, Riba: the Moral Economy of Usury, Interest, and Profil\ (Kuala Lumpur: S. Abdul Majeed and CO, 1995); Muhammad Abdullah al-Araby, “Private Property and It‟s Limit‟s In Islam”, Akademi al-Azhar untuk Riset Islam, konfrensi pertama, 1964; bandingkan Fahrul Ahsan, “on the and Signifance of BankingWithout Interest”,

84

Kemitraan dikaitkan dengan uang dimungkinkan, karena filosofi positivisme yang mendewakan power of . Sehingga nilai-nilai etika dan moral yang bersifat teologis tidak menjadi dasar utama. Seseorang yang meminjam tidak memiliki nilai tawar, kecuali harus mengembalikan dengan tambahan bunga, kemitraan yang dibangun berpijak kepada profit oriented atau capital oriented tidak menggunakan konsep nilai manfaat (benefit oriented).52 Artinya kemitraan dalam profit oriented dan capital oriented didasarkan pada kekuatan uang untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya bagi kepentingan individu. Dari berbagai kajian aktifitas kapitalisme hanya sampai pada efisiensi ekonomi. Hakekat manusia pada ranah produksi dan distribusi dibentuk untuk investasi peningkatan produktifitas dan mengejar kepentingan pribadi. Manusia kehilangan kontrol atas sosialisasi kehidupan masing-masing dan hanya diwarnai dengan bekerja sampai batas maksimal dengan berbagai cara pada masing-masing perseorang. Dengan demikian hasil kajian dari aspek penggunaan kapital, hak dan kewajiban bersama, sistem nilai dan kebersamaan dalam peluang dari aspek kemitraan, bantuan dan pengembangan Sumber Daya Manusia dalam penguatan efisiensi tanpa penyatuan berkeadilan adalah peningkatan produktifitas untuk satu

Bangladesh Bank Bulitten, vol. 56, February 1978; dan tanggapan masalah bunga bank oleh Anwar Qureshi, Islam and the Theory of Interest (Lahore: tp, 1970); Muhammad Syafei Antonio, Bank Syari‟ah: Sebuah Pengenalan Umum. 52Michele Dillon, Introduction to Sociological Theory: Theorists, , and Their Applicability to the Twenty-First Century (Chichester, U.K.; Malden, MA: Wiley-Blackwell, 2010); lihat juga Richard Swedberg, Max Weber and the of Economic Sociology (Princeton : Princeton University Press, 2000).

85 tujuan yaitu keuntungan, tanpa membuka peluang adanya keadilan sosial yang muncul dari berbagai kajian tersebut.

B. Ekonomi Kerakyatan Sejarah ekonomi di Indonesia memunculkan istilah ekonomi rakyat yang diciptakan oleh Mohammad Hatta,53 kemudian muncul berbagai konsep berdasarkan istilah Hatta seperti ekonomi kerakyatan ataupun ekonomi Pancasila sebagai watak atau tatanan ekonomi rakyat.54 Konsep-konsep tersebut bukan ekonomi penyantunan kepada kelompok masyarakat yang kalah dalam persaingan, tetapi, ekonomi kerakyatan adalah tatanan ekonomi dimana aset ekonomi dalam perekonomian nasional didistribusikan kepada sebanyak-banyaknya warga negara.55 Pemberdayaan

53Sri-Edi Swasono, Kelengahan Kultural dalam Pemikiran Ekonomi: Pancasila Pasal 33 UUD 1945 Koperasi Entrepreneurship- Kooperatif (Jakarta: Bappenas, 2011). 54Konsep ekonomi Pancasila yang dikembangkan Mubyarto dan Sri-Edi Swasono (1981) misalnya walaupun memiliki ciri dan penggambaran yang berbeda, Mubyarto melalui analisis sosialis, dan Sri- Edi Swasono lewat penggambaran nilai-nilai Pancasila dan Shari>‟at Islam, namun arahnya untuk membangun ekonomi kerakyatan di Indonesia berdaya guna lewat payung UUD 1945 terutama pasal 33 dan menegaskan komitmen untuk menolak self-interest dan konsep homo- economicus Adam Smith mengikuti pemikiran Mohammad Hatta. Lihat, Sri-Edi Swasono, Tentang Demokrasi Ekonomi dan Pasal 33 UUD 1945 (Jakarta: BAPPENAS, 2008). 55Herman Haeruman J. S. dan Eriyanto, Kemitraan dalam Pengembangan Ekonomi Lokal: Bunga Rampai (Jakarta: Yayasan Mitra Pembangunan Desa-Kota: Business Innovation Center of Indonesia, 2001); lihat juga H. Moh Ali Aziz; Rr Suhartini; A Halim, Dakwah Pemberdayaan Masyarakat: Paradigma Aksi Metodologi (Yogyakarta: Pustaka Pesantren atas Kerjasama dengan Dakwah Press, Fakultas Dakwah, IAIN Sunan Ampel Surabaya: Distribusi, LKiS Pelangi Aksara, 2005). lihat juga Ahmad Syahbandi, Mardi Yatmo Hutomo, Mandiri untuk Kejayaan Indonesia (Jakarta: Proyek Pengembangan Ekonomi Masyarakat [di] Daerah, Badan Perencanaan Pembangunan Nasonal [Bappenas]: Spasiwidya Consultant, 2000).

86 masyarakat dalam pembangunan ekonomi dimaksudkan untuk: (1) menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang, (2) memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat, (3) melindungi yang lemah dalam menghadapi yang kuat.56 Ada dua dasar yang melandasi konsep pembangunan yang berpusat pada rakyat, yaitu: Pertama, memusatkan pemikiran dan tindakan kebijaksanaan pemerintah pada penciptaan keadaan yang mendorong dan mendukung usaha-usaha rakyat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri, dan untuk memecahkan masalah-masalah mereka sendiri pada tingkat individual, keluarga, dan komunitas. Realitas di era pasar global orientasi industrialisasi berbasis pada modal besar dan teknologi tinggi, namun kurang berdasar atas kekuatan ekonomi rakyat. Pengalaman Taiwan, sebagai perbandingan, justru menunjukkan ekonominya dapat tumbuh pesat, karena ditopang oleh sejumlah usaha kecil dan menengah yang disebut community-based industry. Perkembangan industri modern di Taiwan, yang sukses menembus pasar global, ternyata ditopang oleh kontribusi usaha kecil dan menengah yang dinamik. Keterkaitan yang erat antara pengusaha besar dan pengusaha kecil lewat program subcontracting terbukti mampu menciptakan sinergi yang menopang perekonomian Taiwan. Hanya saja strategi industrialisasi yang banyak mengandalkan akumulasi modal, proteksi, dan teknologi tinggi telah menimbulkan polarisasi dan dualisme dalam proses pembangunan. Fakta menunjukkan sektor manufaktur yang

56Masaaki Satake, People's Economy: Philippine Community- Based Industries and Alternative Development (Manila, Philippines: Solidaridad Pub. House, 2003). Lihat juga Adi Sasono dan Achmad Rofi'ie, People's Economy (Jakarta: Southeast Asian Forum for Development Alternatives, 1988).

87 modern hidup berdampingan dengan sektor pertanian yang tradisional dan kurang produktif. Dualisme dalam sektor manufaktur juga terjadi antara industri kecil dan rumah tangga yang berdampingan dengan industri menengah dan besar. Kedua, mengembangkan struktur dan proses organisasi yang berfungsi menurut kaidah-kaidah sistem yang swa-organisasi. Mengembangkan sistem produksi konsumsi yang diorganisasi secara teritorial yang berlandasan pada kaidah-kaidah pemilikan dan pengendalian lokal.57 Pertanyaan dasar sub judul ini adalah bagaimana perspektif ekonomi kerakyatan dalam hal: (1) efisiensi pendayagunaan kapital dalam membangun, menguatkan dan meningkatkan barang dan jasa secara efisien untuk mencapai kemakmuran; (2) efisiensi hak dan kewajiban; (3) efisiensi sistem nilai; (4) efisiensi kebersamaan peluang dari aspek kemitraan, bantuan, dan pengembangan Sumber Daya Manusia. Menjawab hal tersebut dikaji dari pemikiran efisiensi berkeadilan yang menjadi istilah dari Sri-Edi Swasono. Dalam bukunya Ekspose Ekonomika: Mewaspadai Globalisasi dan Pasar Bebas dengan sangat peka Sri-Edi Swasono mengkritisi efisiensi ekonomi yang ditinjau secara teknis ekonomis semata yaitu dengan hasil tertentu diperoleh hasil maksimal atau dengan hasil tertentu diperoleh biaya minimal.58 Secara prinsip ekonomi, terutama dari pendekatan mikro, efisiensi adalah prinsip untuk memperoleh hasil kegiatan ekonomi oftima, artinya dengan hasil tujuan tertentu dicapai biaya minimal, atau

57Zulkarnain, Membangun Ekonomi Rakyat: Persepsi tentang Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (Yogyakarta: Adicita, 2003). 58Sri-Edi Swasono, Expose Ekonomika: Mewaspadai Globalisasi dan Pasar Bebas (Jogjakarta: Pusat Studi Ekonomi Pancasila-UGM, 2010).

88 dengan biaya tertentu dicapai hasil (tujuan) maksima59. Dalam Perspektifnya efisiensi berkeadilan adalah efisiensi sosial yaitu transformasi dari efisiensi berdimensi mikro menjadi berdimensi makro. Dalam konteks pembangunan Nasional (kepentingan masyarakat keseluruhan pada tataran makro) dimensi efisiensi berkeadilan meliputi (1) efisiensi statis yaitu mampu memproduksi produk nasional sesuai preferensi sosial secara optimal; (2) efisiensi distribusional yang mampu melayani struktur permintaan efekti, mencerminkan distribusi pendapatan yang ada dan adil; (3) efisiensi dinamis yaitu efisiensi yang dikaitkan dengan ekspansi optimal untuk memenuhi tuntutan transformasi ekonomi dan kemajuan ekonomi masa depan.60 Hal tersebut berarti pula transformasi dari efisiensi a la Pareto Optimum dalam tataran mikro kedalam tataran makro dimana peranan negara mengatur agar masyarakat kaya tidak merugi (tidak worse off) dan masyarakat miskin memperoleh untung (menjadi better off).61 Prabhat Ranjan Sarkar62 yang membangun progressive utilization theory menyebutkan bahwa kapital

59Sri-Edi Swasono, “Sistem Ekonomi Indonesia”, Naskah Ajar Kuliah 22 November 2010 (Jakarta: Fakultas Ekonomi UI, 2011). 60Sri-Edi Swasono, Expose Ekonomika: Mewaspadai Globalisasi dan Pasar Bebas. 61Sri-Edi Swasono, “Pareto Optimum (Pareto Efficiency), Naskah Ajar Mata Kuliah Sistem Ekonomika, No. 35, 13 Juni (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2011). Lihat juga Sritua Arief, Ekonomi Kerakyatan Indonesia: Mengenang Bung Hatta, Bapak Ekonomi Kerakyatan Indonesia (Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2002); Sri- Edi Swasono dan Mohammad Hatta, Bung Hatta: Bapak Kedaulatan Rakyat (Jakarta: Yayasan Hatta, 2002). Lihat juga Wangsa Widjaya dan Meutia Farida Swasono, Mohammad Hatta: Membangun Ekonomi (Jakarta: Inti Idayu Press, 1985). 62Lihat Ann Arbor, the New York Times Biographical Service, jilid 18, University Microfilms International; tulisan yang sama juga dikaji oleh and Sohail Inayatullah, eds. Macrohistory and

89 diberlakukan untuk memaksimalkan kegunaan dan distribusi dari seluruh sumber dan potensi dunia secara rasional baik itu fisik, mental, maupun spiritual dan pembentukan tata tertib sosial humanistis yang harmonis, serta keadilan merata. Pemenuhan akan kebutuhan pangan, sandang, perumahan, pendidikan dan layanan kesehatan merupakan hal yang sangat penting demi terciptanya keamanan sosial. Lima kebutuhan pokok minimum ini sangat diperlukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Untuk menjamin hal ini, prinsip produksi yang berdasar pada konsumsi harus diadopsi. Sarkar kemudian merancang kapital yang efisien didasarkan pada empat faktor dasar, yaitu: (1) biaya produksi, produktivitas, daya beli dan kepentingan bersama. Disamping itu kapital berdaya guna didukung dengan faktor yang meliputi sumber-sumber daya, ciri-ciri geografis, iklim, transfortasi, potensi perindustrian, warisan budaya, serta keadaan- keadaan sosial.63 Konsep dasar yang merujuk pada teori efisiensi berkeadilan berdasarkan pada nilai efisiensi merupakan pemaksimalan kegunaan dan distribusi dari seluruh sumber dan potensi dunia secara rasional baik itu fisik, mental, maupun spiritual dan pembentukan tata tertib sosial humanistis yang harmonis, serta keadilan merata.64 Teori ini

Macrohistorians: Perspectives on Individual, Social and Civilizational Change (Wesport: Ct. Praeger, 1997). Tentang PROUT dapat dilihat Phillip M. Parker, Utilization: Webster‟s Quatations, Facts and Phrases (California: Icon Group, Inc.). 63Prabhat Ranjan Sarkar, Proutist Economics: Discourses on Economic Liberation (Calcutta, India: Ananda Marga Publications, 1991). 64Sohail Inayatullah, Understanding Sarkar: The Indian Episteme, Macrohistory and Transformative Knowledge (Leiden: Brill, 2002). Lihat juga Sohail Inayatullah and Jennifer Fitzgerald, ed, Transcending Boundaries: Prabhat Rainjan Sarkar's Theories of Individual and Social Transformation. Tulisan yang sama juga dikaji oleh

90 didasarkan atas upaya menjamin terpenuhinya lima kebutuhan dasar (makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan dan perawatan kesehatan) kepada seluruh umat manusia, meyakini akan perlunya penggunaan Sumber daya yang secara maksimal dan distribusi yang rasional dari seluruh Sumber daya yang ada di alam semesta, menjamin hak untuk bekerja sebagai suatu yang mendasar. Ia juga menganjurkan desentralisasi penuh dari ekonomi, dengan sebagian besar melalui kontrol kooperatif.65 Sarkar berpandangan bahwa pemilikan aset ekonomi tidak semua diwakilkan oleh lembaga pemerintah. Pemerintah ditempatkan dalam penggunaan kapital harus disinergikan dengani penyedia barang publik dan jasa publik. Intervensi pemerintah hanya diperlukan untuk menjamin mekanisme distribusi aset terjadi melalui mekanisme pasar. Ini berarti bahwa semua masyarakat dan komitmen pemerintah untuk meningkatkan kehidupan rakyat dengan program-program nyata yang koorporatif. Ia memberikan contoh usaha kecil berdasarkan ciri khas usaha setiap wilayah untuk membeli barang langsung ke pabrik, tanpa sistem grosir yang dikontrol oleh pemerintah, hasilnya harga dapat bersaing dengan perbelanjaan modern.66 Hatta memberikan pandangan bahwa penggunaan kapital yang dapat menjamin efisiensi, adalah penggunaan tenaga kerja secara penuh (full employment), dan mampu

Johan Galtung and Sohail Inayatullah, ed, Macrohistory and Macrohistorians: Perspectives on Individual, Social and Civilizational Change (Wesport: Ct. Praeger, 1997). 65Prabhat Ranjan Sarkar, Proutist Economics: Discourses on Economic Liberation. 66Prabhat Ranjan Sarkar, Proutist Economics: Discourses on Economic Liberation. Perbandingan dapat dilihat dari kajian Sohail Inayatullah and Jennifer Fitzgerald, ed, Transcending Boundaries: Prabhat Rainjan Sarkar's Theories of Individual and Social Transformation.

91 menggunakan kapital atau modal secara penuh, modal atau barang investasi berkaitan dengan keseluruhan bahan dan alat yang dilibatkan dalam proses produksi seperti alat (perkakas), mesin, perlengkapan, pabrik, gudang, pengangkutan, dan fasilitas distribusi yang digunakan memproduksi barang dan jasa bagi konsumen akhir.67 Dalam penggunaan kapital, para ekonom ekonomi kerakyatan menegaskan bahwa tindakan menggunakan kapital berdasarkan pada kebijaksanaan pemerintah pada penciptaan keadaan yang mendorong dan mendukung usaha-usaha rakyat untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri, dan memecahkan masalah mereka sendiri pada tingkat individu, keluarga, dan komunitas. Proses produksi hanya bisa berlangsung, jika terpenuhinya faktor produksi yang diperlukan. Faktor produksi yang dimaksud terdiri dari Sumber Daya Alam (land), modal (kapital), tenaga kerja (labour), dan kewirausahaan (entrepreneurship).68 Selanjutnya setelah proses tersebut, maka dilakukan pendistribusian baik oleh orang maupun lembaga yang ditujukan untuk menyalurkan barang dan jasa dari produsen ke konsumen. Sedangkan, saluran distribusi merujuk pada proses pemilihan atau rute yang akan ditempuh oleh suatu produk ketika produk tersebut mengalir dari produsen ke konsumen. Kegiatan distribusi, secara ekonomis, merupakan suatu kegiatan ekonomi yang berupaya menambah manfaat atau nilai guna suatu barang melalui proses pemindahan tempat dan pengaturan waktu. Melalui

67Achmad Rofi'ie, Adi Sasono, People's Economy. Lihat juga Edward J. Blakely dan Ted K Bradshaw, Planning Local Economic Development: Theory and Practice (London: Paul Chapman, 2002). 68B. Onuma Okezie dan Vladimir Podsolonko, Strengthening Teaching and Outreach Capabilities in Business and Management Education at Tavrida National University, Ukraine, Under a Market- oriented Economy: the Final Report (Alabama A And M University, 2004).

92 kegiatan inilah suatu produk akan disalurkan pada tempat dan waktu yang tepat ke wilayah intensif, selektif, dan eksklusif melalui grosir, agen, dan pedagang eceran .69 Pendayagunaan kapital tersebut dilakukan sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan, diakui dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Ini berarti aktifitas yang berhubungan dengan hal tersebut tidak merugikan kepentingan umum.70 Dengan demikian, sinerjisitas semua faktor pada wilayah capital dimanfaatkan bersama dan mendapatkan keuntungan bersama. Dalam konsep ekonomi kerakyatan, konsep modal pun juga telah berkembang, bukan hanya berupa modal finansial dan modal manusia, tetapi juga bentuk-bentuk modal lainnya yang diketemukan dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu: modal sosial (nilai-nilai keutamaan), modal kultural (kreativitas dan estetika), modal intelektual (teknologi dan informasi), dan modal spiritual (keyakinan dan semangat). Modal-modal baru ini telah membebaskan ekonomi dari sistem kapitalis yang hanya mengenal modal finansial saja.71 Dalam aspek hak dan kewajiban, progressive utilization theory berstandar pada eksistensi manusia dalam tiga strata, yaitu: (1) strata fisik, (2) strata mental, dan (3) strata spiritual. Dalam strata fisik, terdapat banyak strata:

69Noel W Thompson, the People's Science: the Popular Political Economy of Exploitation and Crisis 1816-34 (Cambridge: Cambridge University Press, 2002); Erhard W. Kropp dan B.R. Quinones, Financial System Development in Support of People's Economy (Bangkok: APRACA Publications, 1992). 70Kampto Utomo, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat dalam Kancah Globalisasi (Bogor: Yayasan Agro-Ekonomika, Sains, Perhepi, 2005); M Dawam Rahardjo; Achmad Tirtosudiro, Pembangunan Ekonomi Nasional: Suatu Pendekatan Pemerataan, Keadilan, dan Ekonomi Kerakyatan (Jakarta: Intermasa, 1997). 71Prabhat Ranjan Sarkar, Varńa Vijinána (the Science of Letters) (Calcutta: Ananda Marga Publications, 2003).

93 sebutlah pencapaian ilmu pengetahuan (sains) untuk pelayanan dan kesejahteraan, kemajuan sosial, kehidupan politik, kehidupan ekonomi, kehidupan budaya yang kesemuanya untuk membangun pelayanan dan kesejahteraan. Dasar utama hak dan kewajiban yang menjadi konsep ekonomi adalah menghilangkan ketidakadilan sosial. Tiap-tiap anggota masyarakat manusia harus menikmati persamaan hak, layaknya anggota dari satu keluarga yang sama, menghilangkan perbedaan dan membawa kesetaraan, serta keseimbangan dan keselarasan antar manusia. Salah satunya cara untuk meminimalisir ketimpangan hak dan kewajiban adalah dengan membangun kepemimpinan yang koordinatif, bukan kepemimpinan sub- ordinasi; harus terdapat suatu koordinasi, kepemimpinan koperatif.72 Dalam kehidupan ekonomi harus menjamin kebutuhan minimum bagi tiap individu dan semuanya. Harus tidak boleh berpikir dua kali, tidak boleh ada penyesuaian sejauh menyangkut hal ini. Daya beli kebutuhan minimum harus terjamin bagi semua. Dewasa ini, hal-hal pokok yang esensial itu belum dijamin. Bahkan, masyarakat digiring oleh gagasan-gagasan ekonomi yang deseptif (tipu daya) yang telah terbukti tidak efektif dalam kehidupan praktis dan tidak berhasil diterapkan dimanapun di dunia ini.73 Sarkar misalnya memberikan contoh dengan

72Prabhat Ranjan Sarkar, Proutist Economics: Discourses on Economic Liberation. 73Prabhat Ranjan Sarkar, Perekonomian PROUT: Pembebasan Ekonomi (tp:tt). Lihat juga Carl Davidson, Solidarity Economy: Building Alternatives for People and Planet (London: Changemaker Publications, 2001). Lihat juga Sadao Miyamoto, Introduction to Prout: A Spiritual Socio-Economic Theory (Bellingham, Wash.: Huxley College of Environmental Studies, Western Washington University, 1982); PROUT juga digali dalam konsep spritual lihat Sarah Strauss, Positioning : Balancing Acts Across Cultures (Oxford: Berg, 2004).

94 beberapa orang berpikir bahwa orang-orang dari kelompok tertentu dimana mereka termasuk di dalamnya adalah diberkati oleh Tuhan, sedangkan yang lainnya adalah makhluk terkutuk. Ini adalah sebuah tipe dogma yang sangat buruk, kaum oportunis telah memperkenalkan ajaran ini. Dogma adalah penyakit psiko-fisikal. Kemudian ada penyakit fisiko-psikis. Beberapa orang berpendapat bahwa binatang telah diciptakan oleh Tuhan untuk makanan manusia. Seseorang tertentu yang selalu berkata bahwa jika orang tidak makan daging kambing, maka dunia akan dipenuhi oleh kambing, dan yang lain juga berkata bahwa apabila orang tidak makan ayam, maka bahkan tidak ada ruang satu incipun di bumi ini akan dipenuhi oleh ayam. Hanya karena kerakusan yang berlebihlah manusia memakan ayam, kambing, dan hanya mencari-cari logika untuk mendukung tindakan mereka dan menutupi kelemahannya. Kelicikan semacam ini tidak akan berlaku.74 Dalam dunia psikis, terdapat kesalahan pemikiran yang terjadi bahwa manusia ditakdirkan untuk berkuasa, dan mahkluk hidup lainnya ditakdirkan untuk diatur oleh manusia. Karena itu dalam konsep Sarkar, semua memiliki hak yang sama untuk hidup didunia ini: alam semesta ini adalah untuk semua. Ini bukanlah warisan bagi manusia saja. Dalam level psikis murni, pemikiran salah terjadi dalam masyarakat, dan sebagai hasilnya, seorang individu atau kelompok masyarakat sering mencoba untuk menekan atau menindas yang lain. Disebabkan oleh tipe psikologi yang cacat inilah, sejumlah besar manusia menderita

74Sedangkan dalam ungkapannya Prabhat Ranjan Sarkar “sthulasuksma karanopayogah susantulitah vidheyah” (harus ada penyesuaian yang tepat antara pemanfaatan fisik, metafisik, duniawi, supraduniawi dan spiritual). Lihat Prabhat Ranjan Sarkar, Perekonomian PROUT: Pembebasan Ekonomi. Lihat juga Sadao Miyamoto, Introduction to Prout: A Spiritual Socio-Economic Theory.

95 depresi psikis. Dalam strata spiritual, hak dan kewajiban sudah teraplikasi secara benar, sehingga semua aplikasi dari strata psiko-fisikal hingga strata spiritual disampaikan dalam lingkup solidaritas.75 Dari aspek tersebut memperlihatkan bahwa setiap manusia memanfaatkan maksimum dan pembagian yang rasionil atas semua potensi fisik, metafisik, dan spiritual dari suatu unit dan badan bersama masyarakat. Artinya, kebersamaan merupakan dasar untuk menghadapi persoalan-persoalan ekonomi dan kebutuhan minimum semua orang harus terjamin, dengan pembagian yang rasionil.76 Sistem Ekonomi Pancasila merupakan sistem ekonomi campuran yang mengandung pada dirinya ciri-ciri positif dari kedua sistem ekstrim yang dikenal yaitu kapitalis-liberalis dan sosialis-komunis. Berbeda dengan ekonomi peraturan yang jelas antitetikal dengan makna Ekonomi Pancasila sebagai wadah berkembangnya manusia Indonesia seutuhnya. Dalam Ekonomi Pancasila, satu sumber legitimasi diambilnya tindakan pengaturan dalam pembatasan kebebasan usaha adalah adanya ekses negatif dari setiap tindakan. Peranan unsur agama sangat kuat dalam konsep Ekonomi Pancasila. Karena unsur moral dapat menjadi salah satu pembimbing utama pemikian dan kegiatan ekonomi. Kalau moralitas ekonomi Smith adalah kebebasan (liberalisme), dan ekonomi Marx adalah diktator mayoritas (oleh kaum proletar), maka moralitas Ekonomi Pancasila mencakup ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Sehingga pelaku Ekonomi

75Prabhat Ranjan Sarkar, Varńa Vijinána (The Science of Letters). 76Lihat Prabhat Ranjan Sarkar, Perekonomian PROUT: Pembebasan Ekonomi. Lihat juga Raveendra N Batra, Progressive Utilization Theory: Prout: an Economic Solution to Poverty in the Third World (Philippines: Ananda Marga Publications, 1989).

96

Pancasila tidak hanya sebagai homo economicus, tapi juga homo metafisikus, dan homo mysticus. Hatta berstandar pada Pasal 33 UUD 1945, adalah sebuah sistem perekonomian yang ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi, salah satu prinsip dasar tersebut adalah perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Ini berarti hak dan kewajiban dalam melaksanakan perekonomian memiliki nilai kekeluargaan.77 Tidak adanya diskriminasi bagi setiap warga negara, berarti mengakui bahwa dibalik setiap perbedaan warga negara ada sebuah kesamaan, yaitu: sebagai manusia yang sama-sama memiliki hak dan kewajiban setara yang diakui undang- undang dan dilandasi nilai-nilai kemanusiaan universal.78 Hal ini ditandai dengan kesamaan peluang dan akses (equal opportunity) bagi setiap warga negara dalam berekonomi dan menikmati pembangunan ekonomi. Dalam Pembukaan UUD 1945 dijelaskan bahwa tujuan dari negara Indonesia adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan sosial sebagai sila pamungkas Pancasila disini seyogianya juga menjadi tujuan dari pelaksanaan ekonomi di Indonesia.79 Dari sini, maka kalangan pemilik modal dan kelompok masyarakat yang menyediakan faktor produksi berupa tenaga kerja sama-sama memiliki hak dan kewajiban

77Sri-Edi Swasono dan Mohammad Hatta, Bung Hatta: Bapak Kedaulatan Rakyat. Lihat juga Wawan Tunggul Alam, Demi Bangsaku: Pertentangan Bung Karno vs. Bung Hatta (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003). 78Raveendra N. Batra, Progressive Utilization Theory: an Economic Solution to Poverty in the Third World. 79Gunawan Sumodiningrat, et al, Membangun Indonesia Emas: Model Pembangunan Indonesia Baru Menuju Negara-Bangsa yang Unggul dalam Persaingan Global (Jakarta: Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia, 2005).

97 yang terjalin dalam proses produk. Dalam ungkapan Sarkar badan usaha ekonomi utama yang menyediakaan kebutuhan dasar bagi orang banyak janganlah ditaruh ditangan pribadi- pribadi.80 Alam semesta raya ini merupakan milik bersama setiap orang. Semua mempunyai hak pakai, semua mempunyai hak menikmati, tetapi jelas tidak punya hak menyalahgunakannya. Apabila ada sementara orang yang mencari dan menimbun kekayaan, secara langsung iapun menghambat kebahagiaan dan kebebasan orang lain. Perilakunya tersebut bersifat anti-sosial. Karena itu, tidak seorangpun diperbolehkan menimbun kekayaan tanpa perkenan dari masyarakat. Setiap usaha ekonomi harus dapat meningkatkan pemilikan bukan sekadar meningkat- kan pendapatan masyarakat secara merata. Bagi Indonesia pemikiran-pemikiran strategis, cermat dan mendalam mengenai ketimpangan-ketimpangan struktural harus tetap dikembangkan. Hanya dengan demikian maka kebijakan restrukturisasi untuk mengatasi ketimpangan struktural dapat didesain. Sri-Edi Swasono menawarkan beberapa butir kebijakan restrukturisasi ekonomi dalam artian reformasi makro yang meliputi berbagai sektor, bidang dan dimensi antara lain: (1) restruk- turisasi pemilikan dan penguasaan aset ekonomi: Pemilikan dan penguasaan aset oleh rakyat harus makin merata dan dapat mengurangi secara struktural konsentrasi-konsentrasi pemilikan dan penguasaan aset pada sekelompok kecil aktor-aktor ekonomi. Setiap usaha ekonomi harus dapat meningkatkan pemilikan bukan sekadar meningkatkan

80Sohail Inayatullah dan Jennifer Fitzgerald, eds. Transcending Boundaries: Prabhat Rainjan Sarkar's Theories of Individual and Social Transformation (Maleny, Australia: Gurukul Publications. 1999). Tulisan yang sama juga dikaji oleh Johan Galtung dan Sohail Inayatullah, eds. Macrohistory and Macrohistorians: Perspectives on Individual, Social and Civilizational Change (Wesport: Ct. Praeger, 1997).

98 pendapatan masyarakat secara merata. Lebih dalam lagi Sri-Edi Swasono seperti ditulis pada bab sebelumnya telah menafsirkan rumusan Mohammad Hatta dalam pasal 33 UUD 1945 ”perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan” dengan memaknai perekonomian bukan hanya badan usaha koperasi, tetapi juga meliputi Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Swasta yang ketiganya harus disusun sebagai usaha bersama yang berdasar asas kekeluargaan. Perkataan “disusun” berarti tidak dibiarkan tersusun sesuai dengan kehendak dan selera pasar yang merupakan selera kelompok orang-orang kaya penentu wujud pola- produksi dan pola konsumsi nasional.81 Usaha bersama merupakan cerminan doktrin kebangsaan Indonesia yang mengutamakan rasa bersama, bergotong royong saling menolong, tidak mengutamakan egoisme pribadi (self- interest), mengemban solidaritas antar sesama, mengetengahkan mutualisme yang dalam bahasa agama disebut ke-jemaah-an. Sedangkan “asas kekeluargaan” adalah budaya antara sesama sebagai saudara, mengemukakan pentingnya the brotherhood of men atau ke- ukhuwahan, wujud dari idealisme peaceful-co-existence

81Swasono mencontohkan dalam pasar bebas maka kredit untuk membangun apartemen super mewah akan mudah diperoleh daripada kredit untuk rumah sederhana. Kredit untuk investasi membangun kawasan Barat akan lebih mudah cair daripada kredit investasi untuk membangun kawasan Timur Indonesia. Akibatnya kemiskinan rata-rata nasional Indonesia 13.33 persen, tetapi 36.80 persen di Papua, 27.74 persen di Maluku, 23.03 persen di NTT. Ia kemudian menegaskan bahwa penyebaran investasi tidak merata ini adalah kehendak dan selera pasar yang lebih mengutamakan kepentingan dan keselamatan modal daripada kepentingan dan keselematan rakyat. Lihat Sri-Edi Swasono,”Keabadian Koperasi dan Kooperativisme” dalam media Suara Pembaharuan, Senin, 11 Juli 2011.

99 antar sesama dan seluruh umat yang bhineka namun tunggal-ika itu82 Restrukturisasi tersebut diarahkan untuk membentukkan “Triple-Co”, yaitu co-ownership, co- determination dan co-responsibility sebagai implementasi demokratisasi ekonomi di dalam badan-badan usaha ekonomi. Dalam restrukturisasi ini hendaknya dihindarkan suatu perampasan; (2) restrukturisasi alokatif: Menyangkut alokasi dana-dana pembangunan, baik dana anggaran nasional ataupun daerah, baik yang berasal dari perbankan ataupun dari lembaga-lembaga non-bank. Bank- bank dan lembaga-lembaga keuangan non-bank harus tetap memelihara perannya sebagai agen pembangunan, agen reformasi dan agen restrukturisasi ke arah tercapainya keseimbangan struktural yang lebih baik. Selanjutnya dibutuhkan pula (3) restrukturisasi untuk mencapai pemerataan dan keseimbangan pembangunan serta pertumbuhan antara kawasan barat Indonesia dan ka- wasan timur Indonesia, antara Jawa dan luar Jawa, antara perkotaan dan perdesaan, dan seterusnya; (4) Restrukturisasi sektoral: Hal ini diperlukan terutama untuk mencapai keseimbangan dinamis antara sektor industri dan sektor pertanian, antara sektor formal-modern dan sektor informal-tradisional, antara sektor-sektor yang grass roots- based dan yang non grassroots-based, menuju kukuhnya perekonomian rakyat (dengan wadah koperasi) sebagai sokoguru perekonomian nasional. Koperasi dan kooperativisme lebih mengutamakan kerjasama untuk menumbuhkan efisiensi melalui sinergisme daripada mengutamakan persiangan kapitalistik yang melumpuhkan kelompok lemah dan membesarkan sekelompok kuat yang mampu efisien. (5) Restrukturisasi perpajakan: Selain

82Sri-Edi Swasono,”Keabadian Koperasi dan Kooperativisme”.

100 berperan sebagai sumber penerimaan negara, pajak adalah sarana redistribusi. Pada dasarnya pajak harus progresif untuk mempersempit kesenjangan. Khususnya terhadap kekayaan dan pemilikan barang mewah harus dikenakan pajak kekayaan secara progresif. Sebaliknya terhadap ke- lompok miskin yang memerlukan pemberdayaan diberikan subsidi atau proteksi. Pajak merupakan insentif untuk kegiatan produktif dan disinsentif terhadap konsumsi mewah. (6) Restrukturisasi strategis: Restrukturisasi ini untuk memperkukuh kemandirian ekonomi, mengurangi dependensi dan meningkatkan interdependensi resiprokal yang seimbang dan diperlukan untuk memperkukuh fun- damental ekonomi. Dengan restrukturisasi strategis ini perekonomian nasional diarahkan untuk berakar di dalam- negeri dan menjadi people-centered dan resources-based. (7) Restrukturisasi pola-pikir atau reorientasi budaya: GBHN telah mendorong reorientasi semacam ini, yakni antara lain reorientasi ke arah lebih banyak membuka akses akan hak-hak rakyat dan mengembangkan perekonomian rakyat melalui sistem ekonomi berdasar demokrasi ekonomi. (8) Restrukturisasi sosial-politik dan sosial- budaya: Restrukturisasi ekonomi ini tidak akan sepenuhnya bermanfaat apabila tidak didukung oleh restrukturisasi di bidang sosial-politik dan sosial-budaya. Restrukturisasi sosial-politik menyangkut demokratisasi politik dan peran masyarakat madani. Restrukturisasi sosial-budaya menyangkut upaya mengubah mindset, melakukan unlearn- ing terhadap pakem-pakem usang, khususnya restrukturisasi dan demokratisasi pendidikan rakyat. 83 Efisiensi bukan banyak atau sedikitnya sebuah usaha, tetapi bagaimana semua komponen dalam siklus produk

83Lihat Sri-Edi Swasono, Pembangunan Berwawasan Sejarah: Kedaulatan Rakyat, Demokrasi Ekonomi dan Demokrasi Politik (Jakarta: UI-Press, 1990).

101 sama-sama merasakan nilai dari sebuah produk yang dibuat dan dipasarkan.84 Ketika faktor produksi yang paling dibutuhkan adalah modal, maka kelompok masyarakat yang menyediakan modal akan membangun kemitraan dengan kelompok masyarakat yang menyediakan faktor produksi berupa tenaga kerja, dan melakukan pembagian kompensasi berdasarkan keadilan. Jika terjadi penyimpangan hak dan kewajiban akan menyebabkan ketidakseimbangan harga faktor produksi yang dijual oleh masyarakat dengan keuntungan yang diraih pengusaha. Untuk itu, peran negara juga menjadi bagian penting mengontrol hak dan kewajiban tersebut, sehingga harga yang diterima bisa setimpal dengan pengorbanan yang dikeluarkan, misalnya pemberian kompensasi (gaji dan fasilitas) seiring dengan jerih upaya menjual faktor produksinya berupa tenaga kerja.85 Upaya menguatkan hak dan kewajiban ditegaskan pula pada Pasal 33 ayat (1), “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan”.; Pasal 33 ayat (2), menyatakan bahwa “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”.; Pasal 33 ayat (3), menyatakan bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.; Pasal 34 menyatakan bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Pesan dari pasal-pasal tersebut menunjukkan bahwa: (1) hak memperoleh jaminan kesejahteraan ekonomi, misalnya

84Hal ini sangat berbeda seperti yang diungkapkan David Ricardo dalam teorinya the law of diminishing return yang menyatakan semakin tidak efisien jika sebuah perusahaan memiliki banyak tenaga kerja. Lihat William J. Baumol dan Alan S. Blinder, Economics: Principles and Policy (Mason, Ohio: Cengage Learning, 2009). 85Prabhat Ranjan Sarkar, Perekonomian PROUT: Pembebasan Ekonomi.

102 dengan tersedianya barang dan jasa keperluan hidup yang terjangkau oleh daya beli rakyat; (2) kewajiban bekerja keras dan terarah untuk menggali dan mengolah berbagai Sumber Daya Alam; (3) kewajiban dalam mengembangkan kehidupan ekonomi yang berazaskan kekeluargaan, tidak merugikan kepentingan orang lain; (4) kewajiban membantu negara dalam pembangunan, misalnya membayar pajak tepat waktu.86 Penjelasan Pasal 33 UUD 1945 itu, dapat disaksikan bahwa substansi ekonomi kerakyatan dalam garis besarnya mencakup tiga hal sebagai berikut: Pertama, partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses produksi nasional. Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses produksi nasional ini menempati kedudukan yang sangat penting dalam sistem ekonomi kerakyatan. Hal itu tidak hanya penting untuk menjamin pendayagunaan seluruh potensi sumberdaya nasional, tetapi juga sebagai dasar untuk memastikan keikutsertaan seluruh anggota masyarakat dalam menikmati hasil produksi nasional.87 Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan, "tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian." Swasono menegaskan bahwa berhak atas pekerjaan adalah kewajiban negara untuk pro-poor, imperatif (anti kemiskinan). ”Bagi kemanusiaan” adalah moralitas humanitarian.88 Kedua, partisipasi seluruh anggota

86Teguh Sulistia, Aspek Hukum Usaha Kecil dalam Ekonomi Kerakyatan (Padang, Indonesia: Andalas University Press, 2006). Lihat juga Mahmud Thoha, Globalisasi, Krisis Ekonomi, dan Kebangkitan Ekonomi Kerakyatan (Jakarta, Indonesia: Pustaka Quantum, 2002). 87Penegasan eksistensi manusia sebagai makhluk sosial sebagai response globalisasi lihat Sri-Edi Swasono, Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial (Jakarta: Prakarsa, 2006). 88Sri-Edi Swasono, Strategi Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (Jakarta: Fakultas Ekonomi UI, 2011).

103 masyarakat dalam turut menikmati hasil produksi nasional. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan, harus ada jaminan bahwa setiap anggota masyarakat turut menikmati hasil produksi nasional, termasuk para fakir miskin dan anak-anak terlantar. Hal itu antara lain dipertegas oleh Pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan, "fakir miskin dan anak- anak terlantar dipelihara oleh negara." Dengan kata lain, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, negara wajib menyelenggarakan sistem jaminan sosial bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar di Indonesia. Ketiga, kegiatan pembentukan produksi dan pembagian hasil produksi nasional itu harus berlangsung di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, anggota masyarakat tidak boleh hanya menjadi objek kegiatan ekonomi. Setiap anggota masyarakat harus diupayakan agar menjadi subjek kegiatan ekonomi. Dengan demikian, walaupun kegiatan pembentukan produksi nasional dapat dilakukan oleh para pemodal asing, tetapi penyelenggaraan kegiatan-kegiatan itu harus tetap berada di bawah pimpinan dan pengawasan angota-anggota masyarakat.89 Dengan demikian efisiensi berkeadilan dalam membangun hak dan kewajiban dalam ekonomi kerakyatan adalah keseimbangan antara kewajiban dalam meningkatkan produktifitas secara bersama, solidaritas dan berkesinambungan dengan gaji yang adil dan proporsional beserta jaminan-jaminan sosial lainnya. Antara keduanya memberikan kekuatan kualitas hidup.

89Mahmud Thoha, Globalisasi, Krisis Ekonomi, dan Kebangkitan Ekonomi Kerakyatan; Revrisond Baswir, Agenda Ekonomi Kerakyatan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000). Sebagai perbandingan lihat Tiktik Sartika Partomo, Ekonomi Koperasi (Jakarta: Ghalia Indonesia); Revrisond Baswir, Koperasi Indonesia (Yogyakarta: BPFE, 2000).

104

Ekonomi kerakyatan memberikan dasar dalam kebersamaan dalam pengembangan Sumber Daya Manusia berdasarkan kebhinekaan. Aktifitas dalam kebersamaan berangkat pula pada nilai kekeluargaan, kegotong- royongan, perjuangan dinamis mengembangkan diri dan mencapai kemajuan. Keberdayaan masyarakat ini menjadi sumber dari apa yang di dalam wawasan politik pada tingkat nasional Indonesia sebut ketahanan nasional.90 Dengan kata lain kebersamaan adalah memberdayakan, memampukan dan memandirikan masyarakat. Dalam konsep ekonomi kerakyatan, aplikasi dari upaya pemberdayaan Sumber Daya Manusia secara implisit mengandung arti menegakkan demokrasi ekonomi, dimana para pelaku ekonomi baik pemilik modal maupun karyawan sama-sama meningkatkan diri dan kualitas bersama. Karenanya pengembangan Sumber Daya Manusia menyangkut masalah penguasaan teknologi, pemilikan modal, akses ke pasar dan ke dalam sumber-sumber informasi, serta keterampilan manajemen. Agar demokrasi ekonomi dapat berjalan, maka aspirasi masyarakat yang tertampung harus diterjemahkan menjadi rumusan-rumusan kegiatan yang nyata. Untuk menerjemahkan rumusan menjadi kegiatan nyata tersebut, negara mempunyai birokrasi. Birokrasi ini harus dapat berjalan efektif, artinya mampu menjabarkan dan melaksanakan rumusan-rumusan

90Syahril Sabirin, Terobosan Pemulihan Ekonomi Indonesia (Jakarta: Forum Kampus Kuning, 2002); Mappadjantji Amien, Kemandirian Lokal: Konsepsi Pembangunan, Organisasi, dan Pendidikan dari Perspektif Sains Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005); sebagai perbandingan lihat juga Gunawan Sumodiningrat, Membangun Perekonomian Rakyat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bekerjasama dengan Institute of Development and Economic Analysis), 1998.

105 kebijaksanaan publik (public policies) dengan baik, untuk mencapai tujuan dan sasaran yang dikehendaki.91 Dalam paham bangsa Indonesia, masyarakat adalah pelaku utama pembangunan, sedangkan pemerintah (birokrasi) berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing, serta menciptakan iklim yang menunjang. Sehingga dalam hakekat perencanaan pembangunan dalam istilah Swasono adalah “niat ingsun” (strong political will) untuk mendesain masa depan sebagaimana yang dicita- citakan dengan adigium “tanam satu tumbuh seribu”, “patah tumbuh hilang berganti, “tak ada rotan akarpun jadi” sebagai penuntun dalam menyusun prioritas dan strategi pembangunan92. Dalam model progressive utilization theory, pertumbuhan ekonomi akan ditentukan oleh dua unsur pokok, yaitu tingkat tabungan dan produktivitas modal. Agar dapat tumbuh secara berkelanjutan, masyarakat dalam suatu perekonomian harus mempunyai tabungan yang merupakan sumber investasi. Makin besar tabungan, yang berarti makin besar investasi, maka akan semakin tinggi pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, makin rendah produktivitas kapital atau semakin tinggi capital output ratio, makin rendah pertumbuhan ekonomi. Karenanya, Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam

91Prabhat Ranjan Sarkar, Perekonomian PROUT: Pembebasan Ekonomi.. Lihat juga Raveendra N Batra, Progressive Utilization Theory: Prout: an Economic Solution to Poverty in the Third World; sebagai perbandingan Sri-Edi Swasono dan Mohammad Hatta, Bung Hatta: Bapak Kedaulatan Rakyat. 92Sri-Edi Swasono, “Poverty, Impoverishment, Empowerment, Disempowerment Pendekatan Paradigmatik: Mengatasi Kemiskinan (Beyond the Economics of Poverty)”, Naskah Ajar Current Issue UIN, 2011, No. 32; lihat juga Sri-Edi Swasono, Strategi Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal.

106 konsep ekonomi kerakyatan menjadi modal untuk meningkatkan kualitas produksi mereka.93 Dalam perspektif ini juga dibutuhkan kemandirian yaitu sikap berdikari menolak ketergantungan nasib sendiri pada pihak lain. Sikap menolak subordinasi, menolak pengemisan. Kemandirian adalah kepahlawanan, suatu prestasi diri menolak ketertundukan, penghambaan. Merubah sikap menghamba (servile) dan minderwaardig menjadi kedigdayaan.94 Dengan demikian pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah strategi pembangunan partisipatif dapat digunakan sebagai alternatif dalam memecahkan persoalan pembangunan yang dihadapi. Di lain pihak konsep pembangunan yang selama ini diterapkan belum mampu menjawab tuntutan-tuntutan yang menyangkut keadilan dan pemerataan serta keberpihakannya kepada masyarakat. Hal tersebut dimungkinkan sejalan dengan pemahaman terhadap pembangunan itu sendiri sebagai suatu proses yang dinamis menuju keadaan sosial ekonomi yang lebih baik atau yang lebih modern.95

93Prabhat Ranjan Sarkar, Perekonomian PROUT: Pembebasan Ekonomi; lihat juga William J Baumol dan Alan S Blinder, Economics: Principles and Policy. Sebagai perbandingan muncul pula konsep ekonomi terbuka berkeadilan sosial lihat Sulastomo,the Indonesian Dream: Kapita Selekta (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008); Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi (Jakarta: Buku Kompas, 2010). 94Lihat Sri-Edi Swasono, “The End of Laissez-Faire” (Jakarta: Bappenas, 2009). 95Bambang Rudito, Akses Peran serta Masyarakat (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), 22-23. Lihat juga Jhingan, ML, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan (Jakarta: Rajawali Pres, 2000). Kedua buku tersebut mempertegas bahwa batasan tersebut jelas menggambarkan bahwa pembangunan merupakan suatu gejala sosial yang berdimensi banyak, dan haruslah didekati dari berbagai disiplin ilmu. Pembangunan negara-negara di Asia hanya bisa berlangsung bila persyaratan- persyaratan politis dan sosial terpenuhi.

107

Pemberdayaan merupakan satu istilah yang diterjemahkan dari empowerment artinya selalu peningkatan kemampuan atau peningkatan kualitas, harkat martabat. Ini artinya pemberdayaan dikatakan berhasil bila menghasilkan self-empowerment96. Pemberdayaan memiliki dua kecendrungan yaitu kecendrungan primer dan kecenderungan sekunder. Kecendrungan primer merupakan pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya. Kecenderungan sekunder, merupakan pemberdayaan yang menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan mereka.97 Adanya pengembangan sumber daya pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas. Peningkatan kualitas individu, kualitas usaha, dan peningkatan usaha bersama. Sehingga dari usaha pemberdayaan Sumber Daya Manusia semua produktifias ekonomi bisa memberikan keuntungan yang seiring dengan profesionalitas kerja dan hasil usaha. Dari aspek ini, memperlihatkan bahwa ilmu ekonomi hendaknya berdimensi luas tidak hanya berkaitan upaya melakukan pilihan terhadap sumber daya yang terbatas, meminimalisasi biaya, memaksimalisasi hasil atau manfaat, tetapi harus pula menguraikan beberapa hal yang berkaitan dengan upaya pemberdayaan masyarakat luas. Sehingga mendapat perbaikan taraf hidup sejalan dengan

96Sri-Edi Swasono, Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial: Dari Klasikal dan Neoklasikal sampai ke the End of Laissez-Faire (Jakarta: Perkumpulan PraKarsa, 2010). 97Sinis Munandar MS, Program Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan Melalui Pembangunan Sumber Daya Manusia dan Pelayanan Keuangan Mikro (Jakarta: Badan Pengembangan SDM, Departemen Pertanian, 2002).

108 realisasi dari beraneka ragam potensi mereka sebagai manusia. Dari berbagai konsep tersebut terlihat bahwa pembangunan tidak dapat didekati hanya dengan perubahan ekonomi, tapi secara umum pembangunan juga harus mampu menciptakan suatu kondisi yang dapat menjamin keadaan sosial masyarakat yang berkeadilan, kapasitas masyarakat yang dapat berkembang dengan pemberian wewenang dan kekuasaan, serta lingkungan yang terjamin kesalingtergantungannya. Sebagai contoh, Negera China menekankan saerge taijin, yaitu dekat pada realitas, dekat pada rakyat, dan dekat pada kehidupan. Sementara ekonomi Jepang berangkat dari harmoni hubungan antar manusia, dan antara manusia dan alam (soft path).98 Dari perspektif tersebut pula memperlihatkan bahwa pengembangan Sumber Daya Manusia berprinsip kebhinekaan, yaitu: kekeluargaan, kegotongroyongan, kreatifitas pengembangan diri, memberdayakan dengan cara memampukan dan memandirikan masyarakat. Capaian hal tersebut tidak lepas dari kemitraan bersama pemerintah baik dalam bentuk pelatihan, pendidikan dan kerjasama. Dalam arti bahwa efisiensi berkeadilan terlihat dengan pengembangan Sumber Daya Manusia berbasis kebhinekaan dan kemitraan bersama pemerintah, sehingga terjamin peningkatan kualitas individu, dan kualitas usaha bersama sehingga tercapai keuntungan bersama berdasarkan proporsi hasil usaha. Berbagai wacana tersebut memperlihatkan bahwa konsep ekonomi kerakyatan memberikan tatanan nilai dalam kebebasan berusaha dan berkreatifitas, yang bertumpu pada pembangunan berbasis masyarakat, atau

98Lihat Siregar, Pembaharuan Ekonomi Tiongkok (Jakarta: Pustaka Pena, 2002); Craig Freedman, Economic Reform in Japan: Can the Japanese Change? (Cheltenham, UK Elgar 2001).

109 pembangunan yang berpusat pada manusia. Konsep pelaksanaan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat tersebut antara lain berlandaskan azas-azas: (a) komitmen penuh pemerintah dengan keterlibatan minimal, pemerintah berintervensi hanya apabila terjadi distorsi pasar dengan cara selektif dan bijaksana; (b) peran-serta aktif dari seluruh komponen masyarakat madani; (c) keberlanjutan; serta (d) pendanaan bertumpu pada prinsip-prinsip: efisiensi, efektivitas, transparansi, dan accountability, serta dapat langsung diterima oleh masyarakat yang betul-betul memerlukan. Sebagai konsekuensinya semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) atau semua unsur masyarakat madani (pemerintah, pengusaha, perguruan tinggi, serta masyarakat dan LSM) haruslah dilibatkan di dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengendalian yang dibangun berdasarkan pula pada nilai-nilai moral.99 Swasono lebih tegas menyatakan bahwa koperasi dan kooperativisme lebih mengutamakan kerjasama untuk menumbuhkan efisiensi melalui sinergisme daripada mengutamakan persaingan kapitalistik yang melumpuhkan yang lemah dan membesarkan sekelompok kuat yang mampu efisien100. Koperasi adalah soko guru perekonomian. Soko guru industri sigaret adalah tembakau rakyat dan cengkeh rakyat yang terhimpun dalam koperasi. Begitu juga batik rakyat yang terhimpun dalam koperasi merupakan soko guru industri busana. Termasuk pedagang- pedagang kaki lima dan warung-warung makan yang menyediakan hidangan murah merupakan soko guru yang menghidupi para buruh pabrik-pabrik besar yang berupah

99Y. Harsoyo, Ideologi Koperasi Menatap Masa Depan (Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma Bekerjasama dengan Penerbit Pustaka Widyatama, 2006); Tiktik Sartika Partomo, Ekonomi Koperasi (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2008). 100Sri-Edi Swasono, “Keabadian Koperasi dan Kooperativisme”.

110 rendah. Ini artinya pedagang-pedagang kaki lima dan warung-warung rakyat menompang kehidupan besar.101 Ia mengkritisi pembangunan UKM lebih ditonjolkan daripada pembangunan koperasi. Pembangunan UKM yang tidak di dalam payung koperasi dan kooperativisme, ibarat menyebarkan bibit kapitalisme kecil. Karena itu kalau mau taat asas ia menegaskan bahwa koperasi harus menjadi wadah pengembangan UKM102 Dari aspek ekonomi kerakyatan, efisiensi kebersamaan pengembangan Sumber Daya Manusia dibangun selalu berpijak pada nilai kemandirian, harga diri, kebersamaan (gotong royong), keadilan (kemakmuran bukan untuk orang perorang tetapi bersama), kemanusiaan, kesejahteraan rakyat. Hal ini penting dikembangkan sebab dalam konstelasi inilah, perhatian untuk menumbuhkembangkan usaha kecil dan menengah setidaknya didasarkan bahwa usaha kecil dan menengah menyerap banyak tenaga kerja. Kecenderungan menerap banyak tenaga kerja umumnya membuat banyak usaha juga intensif dalam menggunakan Sumber Daya Alam lokal.103 Pertumbuhan usaha kecil dan menengah akan menimbulkan dampak positif terhadap peningkatan jumlah tenaga kerja, pengurangan jumlah kemiskinan, pemerataan dalam distribusi pendapatan, dan pembangunan ekonomi di pedesaan. Dari sisi kebijakan, usaha kecil dan menengah jelas perlu mendapat perhatian karena tidak hanya memberikan penghasilan bagi sebagian besar angkatan kerja Indonesia, namun juga merupakan ujung tombak

101Sri-Edi Swasono, Kelengahan Kultural dalam Pemikiran Ekonomi: Pancasila Pasal 33 UUD 1945 Koperasi Entrepreneuship- Kooperatif (Jakarta: Bappenas, 2011). 102Sri-Edi Swasono, “Keabadian Koperasi dan Kooperativisme”. 103Aburizal Bakrie, Merebut Hati Rakyat Melalui Nasionalisme, Demokrasi, dan Pembangunan Ekonomi: Sumbangan Pemikiran Aburizal Bakrie (Jakarta: Primamedia Pustaka, 2004).

111 dalam upaya pengentasan kemiskinan.104 Di perdesaan, peran penting usaha kecil memberikan tambahan pendapatan, merupakan seedbed bagi pengembangan industri dan sebagai pelengkap produksi pertanian bagi penduduk miskin. Kuantitas yang banyak dengan menerapkan sistem nilai akan membangun peningkatan usaha yang produktif, berdaya saing dan memiliki kebersamaan, dan kemandirian. Prinsip Prout dalam konsep nilainya berdasar bahwa: (1) kebutuhan dasar semua orang dijamin sesuai dengan jamannya; (2) surplus setelah distribusi kebutuhan dasar ini lalu dibagikan sesuai dengan nilai sosial dan produktivitas pelayanan individu; (3)peningkatan standar hidup manusia adalah indikasi dari vitalitas suatu masyarakat.105 Berdasarkan wacana tersebut, memperlihatkan bahwa efisiensi berkeadilan dalam tatanan ekonomi kerakyatan mengarahkan eksistensi masyarakat yang kuat bukan ekonomi belas kasihan maupun ekonomi penyantunan kepada kelompok masyarakat yang kalah dalam persaingan.106 Contoh tata nilai dimana petani, tukang, guru, dokter, karyawan semua mendapatkan hak pendapatan minimum cukup buat membeli lima kebutuhan

104Sarbini Sumawinata, Politik Ekonomi Kerakyatan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004); Iwan Triyuwono dan Ahmad Erani Yustika, Emansipasi Nilai Lokal: Ekonomi dan Bisnis Pascasentralisasi Pembangunan (Malang: Bayumedia Pub., 2003). 105Sohail Inayatullah dan Jennifer Fitzgerald, eds. Transcending Boundaries: Prabhat Rainjan Sarkar's Theories of Individual and Social Transformation. Lihat juga Benny Susetyo, Teologi Ekonomi: Partisipasi Kaum Awam dalam Pembangunan Menuju Kemandirian Ekonomi (Malang: Press, 2006). Perbandingan lihat Mubyarto, Reformasi Sistem Ekonomi: dari Kapitalisme Menuju Ekonomi Kerakyatan (Yogyakarta: Aditya Media, 1998). 106Kajian yang lebih luas lihat Sri-Edi Swasono, “Kemandirian Ekonomi: Menghapus Sistem Ekonomi Subordinasi” dalam Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan.

112 dasar. Setelah semuanya dapat yang memenuhi minimum itu, dan masih bersisa, maka seorang dokter dapat mencicil mobil sehingga kerja dokter jadi lebih efisien. Seorang guru bisa membeli motor sehingga mengajar lebih efisien, begitu juga petani dapat membayar angkot untuk aktifitas pertanian. Ketika barang dan jasa semakin banyak, maka dokter bisa menggaji sopir, guru bisa beli mobil, petani bisa beli motor, sehingga terjadi penyesuaian standar dari waktu ke waktu. Upaya mengatur hal tersebut melalui lewat upah minimum yang standar dan benar-benar cukup untuk kebutuhan dasar. Lalu ada batas upah maximum yang disesuaikan dengan ketersediaan extra barang dan jasa. Dalam sistem tersebut dapat dimaknai bahwa "produksi berdasarkan kebutuhan", bukan "produksi untuk profit semata". Perbandingan antara jumlah produk dan permintaan dikendalikan stabil. Pemanfaatan maksimal demi keuntungan bersama maupun invididu, dengan tetap melihat kepentingan-kepentingan lain sebagai skala prioritas dan ada penyesuaian yang tepat dalam pemanfaatan.107 Contoh dalam nilai ini adalah bagaimana pengelolan Sumber Daya Alam tanpa merugikan ekosistem. Kerja keras untuk pemaksimalan potensi fisik dikurangi untuk memaksimalkan potensi mental dan spiritual. Dengan demikian dalam progressive utilization theory, di alam semesta ini merupakan kekayaan bersama, walaupun pembagiannya tidak sama bagi setiap orang dari persen ke persen. Namun demikian, kebutuhan minimal bagi setiap orang haruslah terjamin. Kebutuhan minimal yang mendasar bagi setiap orang meliputi: makanan, pakaian, perumahan, pengobatan dan pendidikan. Kebutuhan minimum manusia tentu saja berubah seiring dengan

107Prabhat Ranjan Sarkar, Perekonomian PROUT: Pembebasan Ekonomi.

113 perubahan zaman. Setelah kebutuhan minimal terpenuhi, kelebihan yang dimiliki haruslah dibagi-bagikan kepada orang-orang yang memiliki kelebihan khusus, sesuai dengan tingkat kemampuannya itu.108 Penjelasan yang membahas sistem nilai tersebut dijabarkan dalam sila pada Pancasila. Sila ke-1 dari Pancasila memperlihatkan agama-agama yang dianut oleh rakyat Indonesia mengandung nilai-nilai yang mengayomi, meliputi, dan menjiwai keempat sila yang lain. Segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, termasuk moral penyelenggara negara, politik negara, pemerintahan negara dan peraturan perundang-undangan negera, kebebasan dan hak asasi warga. Sila ke-2 memperlihatkan konstruk pemberlakuan atas warga dalam keadilan, termasuk hak dan kebebasannya beragama. Kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung nilai bahwa suatu tindakan yang berhubungan dengan kehidupan bernegara dan bermasyarakat didasarkan atas sikap moral, kebajikan dan hasrat menjunjung tinggi martabat manusia, serta sejalan dengan norma-norma agama dan sosial yang telah berkembang dalam masyarakat.109 Sila ke-3 memberikan nilai dan sikap nasionalisme yang menguatkan kebersatuan dalam keberagaman. Sedangkan, sila ke-4 memiliki konsep demokrasi, dan solidaritas kemanusiaan, menjunjung tinggi asas musyawarah dan mufakat. Ditutup dengan konsep keadilan

108Prabhat Ranjan Sarkar, Perekonomian PROUT: Pembebasan Ekonomi. 109Suwarno, Pancasila Budaya Bangsa Indonesia: Penelitian Pancasila dengan Pendekatan, Historis, Filosofis dan Sosio-Yuridis Kenegaraan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993). Konsep keadilan dalam Pancasila dapat dilihat pula dalam Benyamin Fleming Intan, Public Religion and The Pancasila Based State of Indonesia an Ethical and Sociological Analysis (New York: Oxford Lang, 2006).

114 pada sila ke-5 didasarkan pada empat sila sebelumnya.110 Keadilan termaktub dalam tiga bentuk, yaitu: (1) keadilan distributif, menyangkut hubungan negara terhadap warga negara, berarti bahwa negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam membagi kemakmuran, kesejahteraaan penghasilan negara, yang terakhir ini dalam bentuk bantuan, subsidi dan kesempatan untuk hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban yang setara dan seimbang; (2) keadilan legal, yaitu: keadilan dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban warga negara terhadap negara, tercermin dalam bentuk ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam negara; (3) keadilan komulatif: yaitu suatu hubungan keadilan antara warga dengan warga lainnya secara timbal balik.111 Dalam arti memberdayakan masyarakat, adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang masih terperangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Pembangunan basis utama ekonomi kerakyatan, bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peran serta masyarakat

110Benyamin Fleming Intan, Public Religion and The Pancasila Based State of Indonesia an Ethical and Sociological Analysis. Sebagai perbandingan lihat Eka Darmaputera, Pancasila and the Search for Identity and Modernity in Indonesian Society: A Cultural and Ethical Analysis (Leiden: E.J. Brill, 1988); Sri-Edi Swasono, Ekonomi Islam Dalam Pancasila, Naskah ajar Curent Issue, S3 UIN Jakarta (Surabaya: UNAIR, 2008). 111Muhammad Baqir S}ada>r dan M Hashem, Keunggulan Ekonomi Islam: Mengkaji Sistem Ekonomi Barat dengan Kerangka Pemikiran Sistem Ekonomi Islam (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002); M Nur Mufid; Ilyas Hassan, Falsafatuna: Pandangan Muhammad Baqir Ash- Shadr Terhadap Berbagai Aliran Filsafat Dunia (Bandung: Mizan, 1991).

115 dalam rangka menciptakan kesempatan kerja dan pengurangan angka pengangguran.112 Sistem ekonomi kerakyatan akan menyerap determinan efisiensi berkeadilan sebagai basis daya saing dan bagi penciptaan keuntungan dengan memanfaatkan Sumber daya yang terbatas. Pergerakan skala usaha pun bertahap dari skala usaha kecil, menengah, dan besar yang saling mendukung dan saling memerlukan dengan atmosfer keterbukaan. Interelasi pelaku-pelaku ekonomi tidak dibenarkan mengingkari norma-norma, etika, dan dasar- dasar moralitas yang menjadi dasar segala interaksi usaha ekonomi sebagaimana alam juga tidak dapat mengingkari hukum alam yang ada, sebab hal itu dapat memendekkan umur kehidupan, padahal alam berusaha mencapai rentang masa kehidupan yang panjang.113 Dalam konteks Indonesia, maka sistem ekonomi Indonesia perlu mengacu pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Sila pertama Pancasila (ketuhanan) dan kedua (kemanusiaan) sebagai dasar sistem, sila ketiga (nasionalisme) dan keempat (kerakyatan) sebagai cara penerapannya, dan sila kelima (keadilan sosial) sebagai tujuannya.114 Tata nilai tersebut sebagaimana tertuang juga

112Suwarno, Pancasila Budaya Bangsa Indonesia: Penelitian Pancasila dengan Pendekatan, Historis, Filosofis dan Sosio-Yuridis Kenegaraan; Nasruddin Anshoriy, Dekonstruksi Kekuasaan: Konsolidasi Semangat Kebangsaan (Yogyakarta: LKiS, 2008). Lihat juga George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Ithaca, NY: Cornell Southeast Asia Program, 2003); Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila: Pendekatan Melalui Sejarah dan Pelaksanaannya (Yogyakarta: Hanindita, 2001). 113Teguh Sulistia, Aspek Hukum Usaha Kecil dalam Ekonomi Kerakyatan (Padang, Indonesia: Andalas University Press, 2006). 114Departemen Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Ekonomi Kerakyatan dalam Kancah Globalisasi (Jakarta: Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Republik Indonesia, 2003).

116 dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 ”...berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusian yang adil dan beradab, persatuan Indoneisa dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Nilai tersebut melihatkan bahwa tatanan ekonomi memandang manusia tidak dilihat satu segi saja sebagai homo-economicus, tetapi manusia juga berpikir, bertingkah laku dan berbuat berdasarkan juga dengan nilai sosial, moral dan agama. Bahwa titik sentral ideologi ekonomi yang berlandaskan pada nilai Pancasila dan UUD 1945 adalah kekuasaan dan kewenangan manusia wajib berpijak kepada nilai-nilai ilahiah.115 Secara substansi ekonomi Pancasila merupakan: (1) varian dari sistem ekonomi campuran, (2) sistem ekonomi Pancasila adalah landasan berpikir dan bertindak pemerintah dan dari pelaku-pelaku ekonomi seluruhnya yang beroperasi di Indonesia, (3) sistem ekonomi Pancasila bertujuan untuk menciptakan sense of sosio-economic equilibrium dan sense of sosio-economic balance pada semua pelaku ekonomi. Sedangkan, kebaikan dari ekonomi Pancasila yang utama: (1) mempunyai nilai ekonomi kerakyatan. Artinya, ekonomi kerakyatan bagi sistem ekonomi lain tidak diperhatikan, maka di dalam sistem ekonomi Pancasila sebaliknya; (2) dasar dari pada ekonomi Indonesia adalah sosialisme yang berorientasi pada ketuhanan yang dijabarkan Swasono dengan istilah

Lihat juga Mubyarto, Reformasi Sistem Ekonomi: dari Kapitalisme Menuju Ekonomi Kerakyatan (Yogyakarta: Aditya Media, 1998). 115Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Renungan Satu Tahun PUSTEP UGM (Yogyakarta: PUSTEP UGM, 2003). Lihat juga Mubyarto, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (Yogyakarta: Aditya Media, 1998).

117 ekonomi sosialis Indonesia, yaitu berorintasi pada Ketuhanan Yang Maha Esa (adanya etik dan moral agama, bukan materialisme); kemanusian yang adil dan beradab (tidak mengenal pemerasan dan eksploitasi manusia); persatuan (kekeluargaan, kebersamaan, nasionalisme, dan patriotisme ekonomi); kerakyatan (mengutamakan ekonomi rakyat dan hajat hidup orang banyak); serta keadilan sosial (persamaan, kemakmuran masyarakat yang utama, bukan kemakmuran orang perseorangan).116 Dan kapitalis yang berorientasi pada ekonomi kerakyatan. Sedangkan, kelemahan sistem ini yang paling utama belum dipergunakannya nilai-nilai ekonomi kerakyatan, yang lebih diperhitungkan adalah mereka yang mempunyai modal besar dan dekat dengan patron pemerintah. Akibatnya, nilai-nilai ekonomi Pancasila masih dalam konsep utuh yang terus di benahi. Kesejahteraan sosial Indonesia berdasar pada paham “demokrasi ekonomi” Indonesia, artinya berdasar pada tuntutan ideologi bahwa ”kemakmuran masyarakatlah yang utama, bukan kemakmuran orang seorang, kemakmuran bagi semua orang, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan dan penilikan anggota-anggota masyarakat”. Dalam konteks demokrasi ekonomi, Hatta sebagaimana dikutip Swasono menyebutkan bahwa kesejahteraan sosial Indonesia berdasar pada ”hak sosial rakyat” (istilah), di mana “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, dari titik tolak itu jelaslah bahwa penghidupan yang layak tidak terpisah dari pekerjaan. Jelaslah pula dari rumusan tentang “hak sosial rakyat” ini maka penghidupan yang layak seperti dimaksudkan tidaklah bersifat filantropis, tetapi adalah kewajiban

116Lihat Sri-Edi Swasono, “Orientasi Ekonomi Pancasila”, dalam Abdul Madjid, et al, Wawasan Ekonomi Pancasila.

118 melaksanakan pemberdayaan(empowerment) rakyat, agar rakyat memperoleh hak sosialnya sehingga mampu bekerja dan memperoleh pekerjaan. suatu empowerment dikatakan berhasil bila menghasilkan self-empowerment. Kesejahteraan sosial Indonesia menganut faham produktivisme ini.117 Bagi Indonesia, menurut Swasono kesejahteraan sosial menempati posisi sentral dalam kemerdekaan Indonesia. Di dalam UUD 1945\, ada pasal yang kita kenal dengan “pasal ekonomi” yaitu pasal 33, berada di bawah payung Bab XIV UUD 1945 yang berjudul “kesejahteraan sosial”. Dengan demikian itu, maka posisi orde ekonomi Indonesia menjadi gamblang dengan sendirinya (self explanatory), bahwa kegiatan dan arah penyelenggaraan perekonomian nasional dengan segala statika dan dinamikanya, haruslah berujung pada “kesejahteraan sosial”. “Kesejahteraan sosial”(sosietal welfare) merupakan kelanjutan yang lebih utuh dari pemikiran tentang “ekonomi kemakmuran” (welfare economics). Swasono menyebut welfare sebagai “kemakmuran”, welfare economics sebagai ilmu ekonomi yang berorientasi kemakmuran ”societal welfare” sebagai ”kesejahteraan sosial yang mengutamakan dimensi keadilan” dan “social welfare” sebagai “kesejahteraaan sosial” atau sekedar “santunan sosial”, well-being sebagai kesejahteraan hidup dalam arti luas ”welfare-state sebagai “negara kemakmuran” atau “negara kesejahteraan”.118

117Sri-Edi Swasono, Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial: dari Klasikal dan Neoklasikal sampai ke the End of Laissez- Faire. 118Sri-Edi Swasono, Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial: dari Klasikal dan Neoklasikal sampai ke the End of Laissez- Faire, 2-3. Dalam bidang ekonomi wujud dari integralisme ini adalah berlakunya paham kebersamaan (mutualism) dan kekeluargaan (brotherhood) berikut kepentingan-bersama (mutual interest) yang

119

Secara khusus terlihat bangun ideologi Pancasila yaitu: (1) dasar sistem pada ketuhanan (sila pertama) dan kemanusian (sila kedua); (2) cara penerapannya dengan nasionalisme (sila ketiga) dan kerakyatan (sila keempat); (3) tujuan adalah keadilan (sila kelima). Dengan demikian ideologi ketuhanan-kemanusian menjadi dasar yang menunjukkan bahwa manusia mencari keseimbangan antara hidup sebagai pribadi dan hidup sebagai anggota masyarakat, antara hidup rohani dan materi. Manusia Indonesia yang berketuhanan Yang Maha Esa, selain homo- economicus, juga homo metafisikus dan homo-mysticus.119 Hal ini berarti dalam ekonomi di Indonesia, manusia tidak dilihat hanya dari satu sisi saja yaitu insting ekonominya, tetapi sebagai manusia bulat, manusia seutuhnya. Sebagaimana manusia yang utuh ia berpikir, bertingkah laku, dan berbuat, tidak berdasar rangsangan ekonomi saja, tetapi selalu memperhatikan rangsangan-rangsangan (atau terangsang oleh faktor-faktor) sosial dan moral. Faktor sosial dalam hubunganya dengan manusia lain dan masyarakat dimana ia berada, dan faktor-faktor moral

menyertainya, ditempatkan pada kedudukan utama. Kolektivisme adalah representasi paham kebersamaan (apa yang dimaksudkan dengan brotherhood di atas bukanlah kinship atau kekerabatan). Singkat kata, Indonesia menganut faham kolektifisme (kebersamaan). Indonesia menolak individualisme dan liberalisme. Dengan ruh kebersamaan itu Indonesia menegaskan kebersamaannya berdasar doktrin kebangsaan dan kerakyatan berkat munculnya”rasa bersama” seperti dikemukakan di atas (59). 119Sri-Edi Swasono, ”Ekonomi Islam dalam Pancasila”, Paper for International on Islamic Economics on Global Financial Cricis, IAEI dan Program Pascasarjana IAIN Raden Fatah Palembang, 4-5 Agustus 2008; Sarbini Sumawinata, Politik Ekonomi Kerakyatan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004); Mubyarto, Amandemen Konstitusi dan Pergulatan Pakar Ekonomi (Yogyakarta: Aditya Media, 2001).

120 dalam hubungannya dengan titah Tuhan sebagai penciptanya.120 Ekonomi kerakyatan dalam konsepnya adalah sistem ekonomi yang di jiwai ideologi Pancasila yang merupakan usaha bersama yang berasaskan kekeluagaan dan kegotong- royongan nasional. Memiliki lima ciri yatu: Pertama, roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan moral. Kedua, kehendak kuat dari seluruh masyarakat ke arah keadaan kemerataan sosial (egalitarianisme), sesuai asas-asas kemanusiaan. Ketiga, prioritas kebijakan ekonomi adalah penciptaan perekonomian nasional yang tangguh yang berarti nasionalisme menjiwai tiap kebijakan ekonomi. Keempat, koperasi merupakan soko guru perekonomian, dan merupakan bentuk paling kongkrit dari usaha bersama. Kelima, adanya imbangan yang jelas dan tegas antara perencanaan di tingkat nasional dengan desentralisasi dengan pelaksanaan kegiatan ekonomi untuk menjamin keadilan nasional.121 Konsep efisiensi bukanlah domain ekonomi yang statis. Efisiensi adalah bagian perjalanan evolusi. Efisiensi adalah capaian mutlak untuk keberlanjutan hidup dan kehidupan sebagai suatu syarat pra kondisi. Kesejahteraan dan keuntungan hanya bisa diperoleh karena terpenuhinya efisiensi. Hukum alam kedua yang dapat dipahami adalah terdapatnya keragaman elemen yang dimiliki alam dengan jumlah yang beragam pula. Tidak ada satu orang pun yang

120Mahmud Thoha, Globalisasi, Krisis Ekonomi, dan Kebangkitan Ekonomi Kerakyatan (Jakarta: Pustaka Quantum, 2002); Revrisond Baswir, Agenda Ekonomi Kerakyatan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bekerjasama dengan Institute of Development and Economic Analysis, 1997). 121Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Renungan Satu Tahun PUSTEP UGM. Lihat juga Mubyarto, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, 10. Sebagai perbandingan lihat Dawam Rahardjo, Ekonomi Pancasila (Yogyakarta: Aditya Media, 2004).

121 mampu menjawab mengapa jumlah elemen itu beragam jumlahnya, kenapa tidak pada jumlah tertentu. Alam terbentuk adalah sebagai bagian dari suatu evolusi yang teraplikasi dengan cepat disusul dengan terbentuknya keragaman bahan mentah sebagai sumber dari daya kreativitas dan inovasi peradaban manusia. Elemen pertama adalah Sumber Daya Ekonomi meliputi manusia, kekayaan alam, akuatik, aeronatik, dan unsur lain yang mendukung kegiatan produksi. Elemen kedua adalah elemen pendukung yang terdiri dari lembaga pasar tradisional, lembaga konsultasi, usaha keuangan mikro, advokasi hukum, pendamping usaha, lembaga penjamin usaha (fund insurance), dan unsur lain yang tidak langsung terkait dengan kegiatan produksi. Sedangkan, Elemen ketiga adalah lembaga adat, lembaga kebudayaan, lembaga keagamaan, tokoh masyarakat yang semuanya berfungsi sebagai pengontrol dan pemelihara etika dan moralitas serta norma-norma. Sebagai suatu sistem ekonomi, elemen-elemen tersebut berhubungan satu dengan lainnya mengikuti aktivitas produksi, konsumsi, dan distribusi yang didasarkan pada mekanisme pasar dan harga dengan sasaran memroduksi barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan masyarakat dengan landasan saling membutuhkan, saling membesarkan, dan saling menguntungkan.122 Selanjutnya perlu disadari bahwa koperasi merupakan “soko guru” dan bagian integral dari tata perekonomian Nasional dan menjadi soko usaha rakyat.

122Raveendra N Batra, the Crash of the Millennium: Surviving the Coming Inflationary Depression (New York: Harmony Books, 1999), 273. Perbandingan terhadap elemen-elemen tersebut dapat dilihat dalam Sohail Inayatullah dan Jennifer Fitzgerald, eds. Transcending Boundaries: Prabhat Rainjan Sarkar's Theories of Individual and Social Transformation, 25-26.

122

Lahirnya koperasi bukan hanya amanah dari para pendiri bangsa yang tertuang dalam konstitusi, tetapi sekaligus merupakan tuntutan pembangunan bagi kemakmuran rakyat. Kehadiran koperasi tidak hanya menampung, tetapi juga mempertahankan dan memperkokoh identitas budaya bangsa. Bahkan Moh.Hatta secara ekstrim menyatakan : “ koperasi merupakan satusatunya wadah aparat produksi”. Pernyataan tersebut, tidak bisa ditafsirkan secara a con trario bahwa koperasi merupakan satu-satunya wadah produksi yang diakui secara konstitusional, karena dalam pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 masih mengakui bangun perusahaan selain koperasi, yaitu Perusahaan Negara (BUMN) dan Perusahaan Swasta (BUMS). Akan tetapi semangat untuk menjadikan koperasi sebagai “soko guru” perekonomian nasional tetap merupakan cita-cita yang harus diwujudkan.123 C. Ekonomi Islam Sebagaimana konsep ekonomi kapitalis dan ekonomi kerakyatan, ekonomi Islam dalam studi ini juga membahas efisiensi dalam pendayagunaan kapital, hak dan kewajiban

123Dihapuskannya secara keseluruhan Penjelasan Pasal 33 UUD 1945, secara otomatis menjadikan hapusnya kata “koperasi” sebagai bangun usaha yang sesuai dengan demokrasi ekonomi atau asas kekeluargaan. Perlu diingat bahwa walaupun secara implisit kata koperasi tidak tercantum dalam pasal 33 UUD 1945 Pasca Amandemen, namun secara ekplisit koperasi harus tetap diakui sebagai “soko guru” dalam perekonomian nasional. Lihat Mubyarto, Amandemen Konstitusi dan Pergulatan Pakar Ekonomi (Yogyakarta: Aditya Media, 2003). Presiden Soeharto dalam pidatonya tanggal 27 Juli 1987 menegaskan: “Pembangunan koperasi Indonesia bukan hanya merupakan selera pemerintah atau selera presiden sebagai mandataris, tetapi merupakan amanat rakyat, dengan dasar idiil Pancasila, landasan konstitusional UUD 1945,serta amanat GBHN. Oleh karena itu, mutlak harus dilaksanakan. Tidak seorangpun warga negara Indonesia yang bisa mengelak dari jiwa dan semangat konstitusi. Dan harus yakin bahwa apa yang diamanatkan kosntitusi harus dapat dilaksanakan”.

123 bersama, sistem nilai, dan kebersamaan peluang dari aspek kemitraan, bantuan, dan pengembangan Sumber Daya Manusia. Menjawab kajian tersebut digali dari pemikiran Mannan124, Ash-Shadar,125 Chepra,126 Naqvi,127 Essid,128 Sarkaniputra,129 Suma130, Rivai131. Selanjutnya, beberapa ilmuwan yang membahas teori maqa>s}id al-Shari>‟ah seperti Raisuni>, Naża>riyat al-Maqa>s}id „inda al- Ima>m al-S}at}ibi, dan Effendi dalam kajian Maqa>s}id al-Shari>‟ah dan Perubahan Sosial dan Usul fiqh.132 Kapital mengandung arti barang yang dihasilkan oleh alam semesta, termasuk manusia, adalah milik Allah, yang

124Muhammad Abdul Mannan, the Making of Islamic Economic Society: Islamic Dimensions In Economic Analysis (Islamabad: International Association of Islamic Banks). 125Muhammad Baqir S}ada>r dan M Hashem, Keunggulan Ekonomi Islam: Mengkaji Sistem Ekonomi Barat dengan Kerangka Pemikiran Sistem Ekonomi Islam; M Nur Mufid; Ilyas Hassan, Falsafatuna: Pandangan Muhammad Baqir Ash-S}adr Terhadap Berbagai Aliran Filsafat Dunia (Bandung: Mizan, 1991). 126Lihat Bill Maurer, Mutual Life, Limited: Islamic Banking, Alternative Currencies, Lateral Reason (Princeton,N.J.: Princeton University Press, 2005), 172; Institute for Research in Biography (New York, N.Y.), World Biography. (Bethpage [etc.] N.Y., Institute for Research in Biography). 127Syed Nawab Haider Naqvi, Islam, Economics, and Society (London; New York: Kegan Paul International, 1993). 128Yassine Essid, a Critique of the Origins of Islamic Economic Thought (Leiden: Brill, 1995). 129Murasa Sarkaniputra, Ruqyah Syar‟iyyah: Teori, Model dan Sistem Ekonomi. General Equilibrium Ghazali-Khaldun-Syatibi Melalui Analisis Leontif-Sraffa. 130Muhammad Amin Suma, Menggali Akar Mengurai Serat Ekonomi dan Keuangan Islam (Jakarta: Kholam Publishing, 2008), terutama pada Etika Bisnis dalam Islam. 131Veithzal Rivai, Islamic Human Capital (Jakarta: Radjagrafindo, 2009). 132Amir Mahmud, Islam dan Realitas Sosial di Mata Intelektual Muslim Indonesia (Jakarta: Edu Indonesia Sinergi, 2005).

124 memiliki kemahakuasaan (kedaulatan) sepenuhnya dan sempurna atas makhluk-Nya. Manusia, tanpa diragukan, merupakan tatanan makhluk tertinggi diantara makhluk- makhluk yang telah dicipta-Nya, dan segala sesuatu yang ada di muka bumi dan di langit ditempatkan di bawah perintah manusia. Dia diberi hak untuk memanfaatkan semuanya ini sebagai khalifatullah atau pengemban amanat Allah. Manusia diberi kekuasaan untuk melaksanakan tugas kekhalifahan ini dan untuk mengambil keuntungan dan manfaat sebanyak-banyaknya sesuai dengan kemampuannya dari barang-barang ciptaan Allah ini atau buatan manusia, yang diperlukan bukan untuk memenuhi secara langsung keinginan manusia, tetapi untuk membantu memproduksi barang lain yang nantinya akan dapat memenuhi kebutuhan manusia secara langsung dan menghasilkan keuntungan. Produktifitas dan distribusi dalam konsep ekonomi Islam bersandarkan pada nilai-nilai dasar bahwa harta dan kegiatan ekonomi sebagai wasi>lah al-haya>t, sekaligus aturan-aturan yang melingkari sekitarnya.133 Dunia ini, semua harta dan kekayaan sumber-sumber adalah milik Allah dan menurut kepada kehendak-Nya (QS. al-Baqarah [2]: 6; QS. Al-Ma>idah [5]: 120). Manusia sebagai khalifah-Nya hanya mempunyai hak khilafat dan tidak absolut dan wajib melaksanakan hukum-hukumnya, serta menjauhi larangannya. Kepemilikan oleh manusia bersifat relatif dan hanya sebatas untuk melaksanakan amanat mengelola dan memanfaatkannya sesuai dengan ketentuannya (Q.S. al-Hadi>d [57]: 7). Mereka yang menyatakan pemilikan eksklusif tidak terbatas berarti ingkar kepada kekuasaan Allah. Karenanya, hal yang sering

133Lihat Masyhuri, Kajian Teori Ekonomi dalam Islam (Jakarta: Pusat Penelitian Ekonomi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2003).

125 menjadi objek kajian adalah perihal barang dan jasa, ”barang” dalam al-Qur‟an dan al-Hadis disebut dengan .Q.S. al-Baqarah [2]: 168; Q.S. Yunus (11): 24) (ما) ”- fi> al ard}i hala>lan t}ayyiban dan min ma> ya‟kulu>, biasanya digunakan untuk menyebut semua benda/barang apapun diluar makhluk berakal (manusia) yang lazim menggunakan kata ”man”. dengan kalimat lain, kata “man” biasa digunakan untuk menyebut orang, sedangkan (من) kata ”ma>” digunakan untuk menyebut ”barang”. Termasuk atau malahan terutama ”barang” yang digunakan oleh ilmu ekonomi.134 Hanya saja, berlainan dengan ekonomi konvensional yang membedakan ”barang” dan ”jasa” semata-mata dari sudut pandang ekonomi dan kepentingan-kepentingan yang bersifat pragmatis-ekonomis, ekonomi Islam membedakan ”barang” dari sudut pandang filosofis, nilai guna dan dampak yang ditimbulkannya. Disinilah justru terletak ciri khusus pengertian barang dalam sistem ekonomi Islam yang membedakannya dari sistem-sistem ekonomi konvensional.135 Berdasarkan sumber hukum ekonomi yang dianutnya, para ahli hukum Islam (fuqaha) telah lama membagi barang (al-a‟ya>n, kata tunggalnya ‟ain) ke dalam beberapa bagian. Ibnu Rusd (520-595 H) membagi

134Lihat Muhammad Sulaiman et.al., Jejak Bisnis Rasul (Jakarta: Hikmah, 2010); Hilman Latief, Melayani Umat: Filantropi Islam Dan Ideologi Kesejahteraan Kaum Modernis (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010). 135Muhammad Amin Suma, Menggali Akar Mengurai Serat Ekonomi dan Keuangan Islam; lihat juga Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam (Jakarta: Salemba Empat, 2002); M Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1999).

126 al-a‟aya>n (barang) ke dalam barang najis (naja>sat) dan barang tidak najis (ghair naja>sat). Dilihat dari sudut pemanfaatannya, barang (al-a‟ya>n) dapat dibedakan ke dalam barang berharga (mutaqawwim) dan barang tidak berharga (ghair mutaqawwim). Dilihat dari segi tujuan penggunaan dan dampak yang akan ditimbulkannya, barang juga bisa dibedakan ke dalam barang mas}lahat (berdampak positif) dan barang madarat (berdampak negatif/berbahaya).136 Diantara barang maslahat ialah: barang-barang yang tujuan dari produksi, distribusi, pembelian dan kepemilikannya dimaksudkan untuk memberikan manfaat bagi konsumen dan bahkan orang lain pada umumnya. Sebutlah diantara contohnya, yaitu kelengkapan rumah tangga, kendaraan bermotor, sarana komunikasi. Tetapi ketika produsen, distributor tahu benar bahwa barang yang diproduksi, didistribusikan dan dijualnya itu hampir dapat dipastikan atau di duga kuat akan disalah-gunakan konsumen, misalnya senjata untuk merampok, maka dalam ekonomi Islam penjual diharamkan menjual barang-barang dagangannya kepada siapapun yang jelas-jelas diketahui bahwa barang itu oleh pembeli atau pemakaianya akan digunakan dalam hal-hal yang membahayakan kehidupan manusia tersebut. Pemilihan barang dan kehati-hatian hampir tidak dijumpai dalam ekonomi konvensional tidak seperti ekonomi Islam dengan konsep ihtiya>t} yaitu: prinsip kehati-hatian dalam wilayah etika dan moral, bukan kehati- hatian hanya pada uang dan untung ataupun tuntutan pasar. Karakteristiknya diuraikan oleh Mannan bahwa kekhasan konsep Islam mengenai hak milik pribadi terletak pada

136Lihat Ahmad bin Abdurrazzaq al-Duwaisy, Fata>wa al- Lajnah al-Da>imah li al-Buhu>ts al-Ilmiyyah wa al-Ifta‟ (Riyadh: Da>r al As}imah, 2000).

127 kenyataan bahwa dalam Islam, legitimasi hak milik tergantung pada moral yang dikaitkan padanya, seperti juga jumlah matematika tergantung pada tanda aljabar yang dikaitkan padanya. Dalam hal ini, lagi-lagi Islam berbeda dengan kapitalisme dan komunisme, karena tidak satupun dari keduanya itu yang berhasil dalam menempatkan individu selaras dalam suatu mosaik sosial. Hak milik pribadi merupakan dasar kapitalisme, sedang penghapusannya merupakan sasaran pokok ajaran sosialisme.137 Syariat mengajarkan bahwa harta hanya sebagai perhiasan, dan manusia sebagai salah satu makhluk yang berasal dari substansi yang sama memiliki perasaan dan sikap untuk menguasai dan menikmati harta dengan tidak berlebih-lebihan (QS. ali-Imra>n [3]: 14). Sedangkan perbedaan jumlah harta tidaklah menunjukkan tingkat kedekatan kepada Allah Swt. perbedaan terletak pada ketaqwaan, dan perbuatan amal salehnya. (Q.S.al-Baqarah [2]: 213; QS. al-Mu‟min [40]: 13). Sedangkan, ketidakmerataan karunia nikmat dan kekayaan sumber- sumber ekonomi kepada perorangan maupun bangsa adalah kuasa pula, agar mereka diberi kelebihan untuk menegakkan sikap egalitarian, yakni pandangan dimana manusia itu mempunyai harkat dan martabat yang sama sesuai dengan Allah berikan, yaitu predikat mulia terhadap seluruh umat manusia.138 Gagasan seorang individu yang menciptakan suatu benda bertanggungjawab atas wujud benda itu sebagai

137Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993); lihat juga Iwan Triyuwono, Organisasi dan Akuntansi Syari'ah (Yogyakarta: LKiS, 2000). 138Moeslim Abdurrahman, Islam sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Erlangga, 2003); R. Lukman Fauroni, et al, Etika Bisnis dalam Al-Qur'an (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006).

128 pemiliknya, dan ia memiliki klaim penuh atasnya. Sebagaimana individu memiliki kebebasan bertindak berkenaan dengan dirinya, ia juga memiliki klaim yang tak terbantah atas apa saja yang diciptakannya. Atas pertimbangan ini, kepemilikan sebagai hasil kerja seseorang dan bentuknya yang disadari olehnya, dianggap sebagai hal yang natural dan logis. Kedua konsep di atas merupakan doktrin etis Islam: yaitu Tuhan sebagai pemilik Mutlak atas segala sesuatu (Q.S. ali-Imra>n [3]: 189). Sementara manusia hanya menjadi wakilnya di bumi (QS al-Baqarah [2]: 30). Dari premis pertama tersebut, selanjutnya dapat ditarik premis kedua bahwa manusia dalam kehidupan sosial yang ada, memiliki suatu klaim kepemilikan, baik yang bersifat individual maupun kolektif. Dari premis awal pula, logika menetapkan bahwa produsen suatu barang dinisbahkan sebagai pemiliknya. Atau dengan kata lain, seorang manusia yang memiliki diri otentik diamanatkan sebagai pemilik kerjanya maupun produk kerjanya. Ini merupakan salah satu asal usul kepemilikan insaniah: yaitu Pertama, kerja kreatif. Kerja kreatif dapat dianggap sebagai sumber kepemilikan karena dapat menciptakan nilai konsumsi baru dan meningkatkan kualitas dan kuantitas nilai konsumsi keseluruhan yang ada. Tingkatan kepemilikan individu atas komoditas yang diproduksinya dapat diukur oleh kontribusinya dalam proses produksi tersebut. Dalam hal ini, kerja produktif yang dimaksud mencakup baik aktivitas langsung maupun tidak langsung yang memberikan tambahan bersih pada kuantitas dan kualitas barang. Al-Qur‟an menggunakan konsep produksi dalam artian luas, dan lebih menekankan pada perolehan manfaat dari barang yang akan diproduksi, yaitu harus memiliki hubungan dengan kebutuhan hidup manusia. Kegiatan memproduksi barang-barang secara

129 berlebihan dan tidak sesuai dengan kebutuhan manusia dianggap sebagai kegiatan yang tidak produktif. Sebagai ujian keimanan, manusia diberikan langkah-langkah bagaimana mendapatkan dan memanfaatkannya secara baik dan benar. Seperti melalui keimanan pada hari kiamat sangat mempengaruhi tingkah laku dalam bermuamalah menurut horison waktu. Salah satu contoh, seorang muslim yang mendayagunakan akan mempertimbangkan akibatnya pada hari perhitungan (kiamat). Artinya, menurut dalil ekonomi orang akan mempertimbangkan manfaat dan biaya (benefit-cost) dalam memilih kegiatan ekonomi dengan menghitung nilai sekarang dari hasil yang akan dicapai pada masa datang. Hasil kegiatan mendatang ialah semua yang diperoleh baik sebelum maupun sesudah mati. Artinya, iman kepada hari kiamat akan mempengaruhi langsung tingkah laku ekonomi yang dipilih seorang muslim, dan lebih bernilai daripada sekedar teori siklus hidup suatu barang ekonomi, karena horison waktunya menjangkau pula keadaan setelah mati (extended time horizon).139 Konsep ekonomi Islam menilai bahwa kepemilikan harta dapat dilakukan melalui usaha (a‟ma>l) yang halal sesuai dengan aturan-Nya. Banyak sekali ayat-ayat Alquran dan hadits yang menerangkan hukum dalam berusaha.140 Disamping itu, secara fisik terdapat dua jenis kapital, yaitu

139Ahmad Muflih Saefuddin, “Filafat, Nilai Dasar, Nilai Instrumental, dan Fungsionalisasi Konsep Ekonomi Islam,” dalam Solusi Islam atas Problematika Umat, Adi Sasono, et.al (Jakarta: Gema Insani Press, 1998); R. Lukman Fauroni, Etika Bisnis dalam Al-Qur'an (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006). 108Lihat Q.S. al-Mulk [67]: 15, Q.S. al-A‟ra>f [7]: 10; Q.S. al- Qas}a>s} (28): 77; Q.S. Hu>d [11]: 61, Q.S.al-Jumu‟ah [62]: 10; Q.S an- Nisa> [4]: 32.

130 fixed capital dan circulating capital.141 Kapital dalam konsep shari>‟ah tetap pada umumnya dapat disewakan, tetapi tidak dapat dipinjamkan (qard}). Sedangkan modal sirkulasi yang bersifat konsumtif bisa dipinjamkan (qard}) tetapi tidak dapat disewakan. Modal yang produktif bila dapat menjadi faktor pendukung dalam memproduksi barang-barang produksi, mempunyai kekuatan untuk menghasilkan barang-barang dalam jumlah yang lebih besar, menghasilkan nilai harga (price) yang dapat dinikmati sesuai dengan tingkat kebutuhan dan keuangan masyarakat.142 Contoh dalam hubungannya dengan upaya menghindari segala bentuk perselisihan masalah modal, maka kontrak mud}a>rabah harus merinci dengan jelas jumlah modalnya. Ini dapat diwujudkan jika jumlah modal dinyatakan dalam satuan mata uang. Modal mud}a>rabah tidak boleh berupa suatu hutang yang dipinjam mud}a>rib pada saat dilansungkannya kontrak mud}a>rabah. Tak satu pun dari empat mazhab fiqh Sunni yang mengizinkan suatu kontrak dimana kreditur meminta debitur untuk menjalankan mud}a>rabah berdasarkan pengertian bahwa modal kongsi adalah hutan calon mud}a>rib kepada investor. Alasan pelarangan ini, tampaknya karena dalam kontrak semacam ini, si investor dapat dengan mudah menggunakan mud}a>rabah sebagai alat untuk memperoleh kembali hutangnya sekaligus mungkin mengambil untung darinya. Mengambil untung

141Lihat Muhammad Nejatullah Siddiqi, Some Aspects of the Islamic Economy (Delhi: Markazi Maktaba Islami, 1972); Muhammad Baqir S{ada>r, Islam and Schools of Economic. 142Muhammad Baqir S{ada>r, Keunggulan Ekonomi Islam: Mengkaji Sistem Ekonomi Barat dengan Kerangka Pemikiran Sistem Ekonomi Islam; lihat juga Didin Hafiduddin, Islam Aflikatif (Jakarta: Gema Insani Press, 2003).

131 dari suatu hutang dipandang sebagai riba yang diharamkan dalam hukum Islam.143 Menurut Ibn Rusyd, Malik (w. 179/796) tidak mengizinkan hal itu, karena khawatir kalau hal itu menjurus kepada bentuk riba yang dipraktikkan pada masa pra-Islam. Jika si debitur dalam kesulitan keuangan, si kreditur mungkin mengeksploitasi situasi kesusahan debitur, dan mungkin pula mendiktekan syarat-syarat yang tak masuk akal dalam kontrak mud}a>rabah mereka. Si debitur mungkin tidak akan punya pilihan lain, kecuali mengikuti kehendak si kreditur. Untuk menghindari eksploitasi semacam inilah tampaknya para fuqaha menutup jalan ini bagi investor. Investor harus menyerahkan modal mud}a>rabah kepada mud}a>rib agar kontrak ini menjadi sah. Mud}a>rib bebas menginvestasikan dan menggunakan modal tersebut dalam batas-batas klausul kontrak mud}a>rabah yang secara umum menetapkan jenis usaha yang dipilih, jangka waktu kongsi, dan lokasi-lokasi tempat mud}a>rib boleh menjalankan usahanya.144 Konsep tersebut berhubungan pula dengan konstruk ajaran Islam yang mencakup dua dimensi pokok, yakni dimensi vertikal (hablun min Alla>h) dan dimensi horizontal (hablun min al-na>s). Keduanya mempunyai arti ibadah, yakni ketaatan seseorang hamba kepada Allah Swt. Kualitas tertinggi dari ketaatan yang bersifat vertikal adalah taqwa, sementara kualitas tertinggi dari ketaatan yang bersifat horizontal adalah berlaku adil. Kejujuran merupakan salah satu tangga untuk mencapai tingkat adil yang dimaksud. Dimensi

143Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah: Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis, diterjemahkan oleh Arif Maftuhin (Jakarta: Paramadina, 2006). 144Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah: Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis.

132 vertikal dalam ajaran Islam bersifat mahdah, yakni ibadah yang telah ditentukan cara pelaksanaannya dan tidak bisa direkayasa, sementara dimensi horizontal bersifat ghairu mah}d}ah, menyeluruh dan mujmal, yang meliputi segala aspek kehidupan, yang masih harus difahami dan ditafsirkan.145 Konsep circulating capital, uang tidak akan mendapatkan return on capital dalam bentuk upah sewa seperti dalam ijarah. Karena uang dalam Islam bukan komoditas yang bisa disewakan atau dijualbelikan dengan kelebihan. Ia dibutuhkan sebagai alat tukar saja.146 Uang juga memiliki return on capital bila dikembangkan dalam bentuk akad mud}arabah. Ia juga dapat dipinjamkan (qard}), tetapi tidak diperbolehkan pengembaliannya melebihi pokoknya. Kelebihan demikian masuk dalam kategori riba.147 Karenanya uang tidak memenuhi syarat sebagai sebuah komoditas.148 Konsep pengembangan kapital dalam ekonomi Islam sangat terkait dengan konsep kepemilikan Islam. Menurut Islam, kepemilikan pada dasarnya adalah sebagai naluri alamiah yang dimiliki

145M. Umer Chapra, the Future of Economics: an Islamic Perspective (Leicester: The Islamic Foundation, 2000); sebagai perbandingan Ahmad al-Raysuni, Naz}ariyah al-Maqa>sid „inda al-Ima>m al-Sha>tibi (Riyad}: Dar al-„Alamiyyah Kita>b al-Isla>mi, 1992). 146Muhammad Khali>k Bar‟i, Ali Hafi>z Manshu>r, Muqaddimah fi> Iqt}is}a>diyyah al-Nuqu>d wa al-Bunu>k (Kairo: Maktabah al-Shuru>q}, tt). Kajian lengkap konsep mata uang lihat Ahmad Hasan, Mata Uang Islami: Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islami (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005). 147Ahmad bin Abdurrazzaq al-Duwaisy, Fata>wa al-Lajnah al- Da>imah li al-Buhu>ts al-Ilmiyyah wa al-Ifta‟ (Riyadh: Da>r al As}imah, 2000). 148Penjelasan lengkap kajian uang dalam perspektif lihat Muhammad Amin Suma, Menggali Akar, Mengurai Serat: Ekonomi dan Keuangan Islam. Lihat juga Ahmad Hasan, Mata Uang Islami, Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islami.

133 manusia, dan hanya berfungsi sebagai sarana penunjang untuk mencapai tujuan yang lebih besar, karena semua yang ada di muka bumi (termasuk harta) adalah milik Allah Swt. Sehingga, dalam konsep ekonomi Islam kepemilikan itu haruslah merata, dan tidak terfokus pada beberapa golongan saja, serta dalam mendapatkan dan mengembangkannya haruslah melalui cara-cara yang sesuai dengan ketentuan ajaran agama. Konsep ekonomi Islam tidak memberikan toleransi pengembangan kapital dengan menggunakan spekulasi semata, dengan jalan riba berupa pengambilan keuntungan dengan cara mengeksploitasi tenaga orang lain, atau jalan penipuan (al-ghabn atau at-tadli>s), dan penimbunan bertujuan menunggu waktu naiknya harga barang- barang tersebut, sehingga ia bisa menjualnya dengan harga tinggi menurut kehendaknya. Pada dasarnya ekonomi Islam mendasarkan pada prinsip peningkatan dan pembagian hasil untuk menciptakan sirkulasi yang benar dan tepat bagi setiap golongan masyarakat dengan latar belakang perekonomian yang berbeda. Hak miliki pribadi dalam keadaan tertentu dapat berubah menjadi milik umum. Di antara hal penting yang diungkapkan ajaran Islam, adalah penetapan antara pemilikan bersama menyangkut benda-benda yang bersifat d}aru>ri (yang sangat dibutuhkan bagi semua manusia), sehingga kepemilikannya bersifat bersama dan umum.149 Sejalan dengan kapital itu juga, ekonomi Islam memberikan keterkaitan sebagai masyarakat zoon politicum, yaitu memberikan pinjaman modal untuk digunakan sebagai modal usaha, sehingga dapat dikembangkan lagi menjadi lebih besar, ataupun dengan memberikan modal kepada seseorang dengan perjanjian

149Ikhwan Abidin Basri, Menguak Pemikiran Ekonomi Ulama Klasik (Solo: Aqwan, 2008).

134 membagi hasil yang didapat sesuai perjanjian (mud}a>rabah).150 Secara teknis, konsep dimaksud adalah kerjasama usaha antara dua pihak. Pihak pertama sebagai penyedia modal, pihak kedua sebagai pengelola, yang keduanya bergabung sebagai mitra usaha. Kemitraan tersebut dituangkan dalam sebuah master of understanding (nota kesepahaman) dengan segala pasal-pasal yang tertera didalamnya, baik keuntungan maupun kerugian, serta hal- hal yang berhubungan dengan human error.151 Secara tersirat mudharabah menunjukkan bahwa sesungguhnya manusia itu mempunyai kekurangan yang memerlukan orang lain sebagai patner atau mitra, kekurangan tersebut tidaklah manusia disuruh untuk bersifat fatalis, menerima apa adanya tanpa mau berusaha. Oleh karenanya mud}a>rabah merupakan salah satu jalan untuk berbuat atas kekurangan yang dimiliki dan kelebihan yang dipunyai orang lain, ataupun sebaliknya (Q.S. al-Muzammil [73]: 20). Rasulullah saw sebelum menjadi rasul telah melakukan mud}a>rabah dengan Khadi>jah ra, beliau mendapatkan modal dari Khadi>jah ra dan beliau pergi berniaga ke negeri Syam.152 Nilai efisiensi berkeadilan dalam aspek pendayagunaan kapital, berarti optimalisasi kapital baik untuk kepentingan pemilik maupun untuk kepentingan masyarakat, karena itu pendayagunaan kapital dapat

150lihat juga Karnaen A. Perwataatmadja, Membumikan Ekonomi Islam di Indonesia (Jakarta: Usaha Kami, 1996). 115Abdul Hamid Mahmu>d al-Ba>‟ly, al-Madkha>l li al-Fiqhi al Banu>k al-Isl>miyah (Kairo: al-Ma‟had al-Dauli li al-Bu>nuk wa al- Iqtisha>di al-Isla>miah, 1983). 152M. Suyanto, Muhammad Business Strategy and Ethics (Yogyakarta: Andi Offset, 2008). Lihat juga Muhammad Syafe`i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek (Jakarta: Gema Insani Press, 2001). Adhiwarman A. Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Temporer (Jakarta: Gema Insani Press, 2001).

135 disewakan, sebab benda-benda yang ketika manfaatnya dinikmati tidak berkurang eksistensi substansinya. Sementara modal sirkulasi yang bersifat konsumtif dapat dipinjamkan, tapi tidak dapat disewakan. Ekonomi Islam juga mengenal nilai-nilai sosial dan humanitarin yang merupakan ultimat goal yang dilakukan oleh sistem ekonomi Islam. Tindakan ekonomi individu melalui proses filterisasi moral yang bertujuan menjaga self-interest dalam batas-batas kemas}lahatan sosial. Nilai-nilai mudharabah juga berhubungan pula dengan upaya hak dan kewajiban bersama. Secara umum hak dan kewajiban merupakan nilai aktifitas bermuamalah yang saling membutuhkan. Karenanya konsep tersebut bahwa berlaku larangan mengorbankan hak-hak individu lainnya untuk mendapatkan hak dan kewajiban individu dalam kerangka menguatkan al-D{aru>riya>t al-Khams, yang meliputi agama (al-di>n), jiwa (al-nafs), akal (al- „aql), keturunan (al-nasl) dan harta (al-ma>l). D{aru>riyat adalah landasan kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat yang terletak pada pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan, yaitu: keimanan, jiwa, akal, keturunan dan harta benda. Pengabaian terhadap maqa>s}id d}aruriyat ini akan menimbulkan kerusakan di muka bumi, dan kerugian yang nyata di akhirat kelak. Hajiya>t adalah menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan terhadap lima unsur kehidupan menjadi lebih baik. Tahsiniyat adalah menyempurnakan lima unsur pokok kehidupan. Ketiga tingkatan maqa>s}id tersebut memiliki keterkaitan yang erat. Maqa>s}id d}aruriyat adalah dasar bagi maqa>s}id hajiya>t dan maqa>s}id tahsiniyat. Kerusakan pada maqas}id d}aruriyat akan membawa kerusakan pada maqas}id hajiya>t dan maqa>s}id tahsiniya>t. Namun demikian, pemeliharaan maqa>s}id hajiya>t dan maqa>s}id tahsiniya>t adalah

136 diperlukan demi memelihara maqas}id d}aruriyat secara tepat.153\ Perilaku dalam mendapatkan hak dan kewajiban ditetapkan dalam hukum Allah (shari>‟ah) dan diawasi oleh masyarakat secara keseluruhan, berdasarkan aturan dan etika ekonomi Islam. Dalam perspektif ini, hak dan kewajiban tidak dapat lepas dari eksistensi manusia itu sendiri. Dari pandangan di atas tentang esensi manusia sebagai cermin khali>fatulla>h fi> al-Ard}i, maka secara khusus ekonomi Islam memandang manusia sebagai makhluk yang terdiri dari jasmani dan rohani dalam kesatuan.154 Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan dengan orang lain dalam kerangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga terkadang secara pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain.155 Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan, harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam kerangka memenuhi kebutuhan keduanya, lazim disebut dengan proses untuk berakad atau melakukan kontrak.

153M. Umer Chapra, al-Isla>m wa al-Tahaddi> al-Iqtis}a>di>, terjemah Muhammad Zuheir al-Samhuri> (Amma>n: al-Ma‟had al- „a>lami>, li al-Fikr al-Isla>mi>, 1996); Muhammad D{aifullah Bathaniyah, fi> Ta>ri>kh al-Had}arah al-Arabiyah al-Isla>miyah al Haya>t al-Iqtis}a>diyah fi> s}adr al-Isla>m (Oman: Da>r al-Furqa>n, 2000); Muhammad D{aifullah Bathaniyah, fi> Ta>ri>kh al-Had}arah al-Arabiyah al-Isla>miyah al Haya>t al-Iqtis}a>diyah fi> s}adr al- Isla>m. 154M. Umer Chapra, al-Isla>m wa al-Tahaddi> al-Iqtis}a>di>. Sebagai perbandingan terutama kajian atas kesejahteraan berbasis kaidah al-d}aru>riya>t al-khams lihat Muhammad Abdul Mannan, Islamic Economic: Theory and Practice (Hounder and Stouhgten, Ltd, 1992). 155John Bunnell Davis, the Social Economics of Human Material Need (Carbondale u.a. Southern Illinois Univ. Press 1994).

137

Hubungan ini merupakah fitrah yang sudah ditakdirkan oleh Allah, karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal arti hak milik. Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan dalam setiap masa.156 Dalam membangun hak dan kewajiban ekonomi Islam menetapkan batas-batas tertentu terhadap perilaku manusia, sehingga menguntungkan individu tanpa mengorbankan hak-hak individu lainnya. Alam semesta, termasuk manusia, adalah milik Allah, yang memiliki kemahakuasaan (kedaulatan) sepenuhnya dan sempurna atas makhluk-makhluk-Nya.157 Manusia, tanpa diragukan, merupakan tatanan makhluk tertinggi diantara makhluk- makhluk yang telah diciptaNya, dan segala sesuatu yang ada di muka bumi dan di langit ditempatkan di bawah perintah manusia. Dia diberi hak untuk memanfaatkan semuanya ini sebagai khali>fah atau pengemban amanat Allah. Manusia diberi kekuasaan untuk melaksanakan tugas kekhalifahan ini, dan untuk mengambil keuntungan dan manfaat sebanyak-banyaknya, sesuai dengan kemampuannya dari barang-barang ciptaan Allah ini, dengan berpijak pada nilai-nilai hak dan kewajiban.158

156Brian Morris, Western Conceptions of the Individual (New York; Oxford: Berg, 1991); lihat juga Roger Smith, Being Human: Historical Knowledge and the Creation of Human Nature (New York : Columbia University Press, 2007). 157Khondakar G Mowla, the Election of Caliph/Khalifah and World Peace (tp: K.G. Mowla, 1998), 321-322; Matthew Clarke; Sardar M N, Islam Economic Growth and Social Welfare: Operationalising Normative Social Choice Theory (Boston: Elsevier, 2004). 158M. Umer Chapra, Islam and Economic Development: A Strategy for Development with Justice and Stability (Islamabad, Pakistan: International Institute of Islamic Thought: Islamic Research Institute, 1993); lihat juga Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance (Hoboken, NJ : John Wiley and Sons, 2007).

138

Status khali>fahtulla>h berlaku umum bagi semua manusia; tidak ada hak istimewa bagi individu atau bangsa tertentu sejauh berkaitan dengan tugas kekhalifahan itu. Namun ini tidak berarti bahwa umat manusia selalu atau harus memiliki hak yang sama untuk mendapatkan keuntungan dari alam semesta itu. Mereka memiliki kesamaan hanya dalam kesempatannya, dan setiap individu bisa mendapatkan keuntungan itu sesuai dengan kemampuannya. Individu-individu dicipta oleh Allah Swt dengan kemampuan yang berbeda-beda, sehingga mereka secara instingtif diperintah untuk hidup bersama, bekerja bersama, dan saling memanfaatkan keterampilan mereka masing- masing. Namun demikian, Islam tidak memberikan superioritas kepada pengusaha terhadap karyawan. Karena itu individu-individu memiliki kesamaan dalam harga dirinya sebagai manusia. Tidak ada pembedaan bisa diterapkan atau dituntut berdasarkan warna kulit, ras, kebangsaan, agama, jenis kelamin atau umur. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban ekonomik setiap individu disesuaikan dengan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya dan dengan peranan-peranan normatif masing- masing dalam struktur sosial.159 Hak-hak dan kewajiban-kewajiban diatur sehingga tercipta keseimbangan, arena itu prinsip persamaan (musawah) maupun dengan prinsip persaudaraan (ukhuwwah). Pemahaman terhadap hakekat manusia sebagai “khali>fatulla>h fi al-Ard}i” mempunyai konsekuensi pada landasan filosofis untuk membangun

159Khondakar G Mowla, the Election of Caliph/Khalifah and World Peace; Mohamed Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought: A Selected Comparative Analysis (Malaysia: Selangor Ikraq 1995); lihat juga Ridjaluddin, Nuansa-Nuansa Ekonomi Islam (Jakarta: Sejahtera, 2007).

139 konsep ekonomi berdasarkan syari‟at Islam. Ahmad dan Muhammad, misalnya memberikan landasan filosofis sebagai berikut: Pertama, tauhid. Esensi tauhid ini adalah komitmen total terhadap semua kehendak Allah, melibatkan ketundukan dan tujuan pola hidup manusia terhadap kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan merupakan sumber nilai dan menjadi tujuan akhir manusia. Kedua, rububiyyah terkait erat dengan hukum Tuhan atas alam yang memberikan gambaran tentang model ketuhanan bagi pengembangan sumberdaya dan hukum-hukumnya yang saling terkait. Ketiga, khilafah yang didefinisikan sebagai status dan peranan manusia, khususnya tanggungjawab manusia muslim sebagai wadah khalifah. Dari konsep ini berkembang dengan konsep-konsep lainnya. Seperti konsep amanah, moral, politik, dan ekonomi. Keempat, tazkiyah berhubungan dengan pertumbuhan dan ekspansi pada arah kesempurnaan melalui pemurnian sikap dan hasilnya berupa fala>h (kemenangan). Kelima, akuntabilitas yang tumbuh dari diri muslim yang menyadari, dan yakin akan adanya hari pembalasan, tempat segala sesuatu dipertanggung jawabkan.160 Dalam hak kewajiban dibutuhkan tauhid, karena merupakan fondasi ajaran Islam, sebab dunia dengan segala isinya adalah milik Allah Swt dan berjalan menurut kehendak-Nya (Q.S. al-Ma>‟idah [5]: 20, QS. al-Baqarah [2]: 6). Manusia sebagai khalifah-Nya hanya mempunyai hak khila>fat dan tidak absolut, serta harus tunduk melaksanakan

160Landasan filosofis ini lihat Khurshid Ahmad, “Economic Develovement in an Islamic Framework,” dalam Studies in Islamic Economic, ed. Khurshid Ahmad (Jeddah: International Centre for Research in Islamic Economics, King Abdul Aziz University, and the Islamic Foudation, 1980); Muhammad Arif, “Toward the Syari‟ah Paradigm of Islamic Economics: The Beginning of a Scientific Revolution,” dalam the American Journal of Islamic Social Science 2 (1), 1985.

140 hukum-Nya, sehingga mereka yang menganggap kepemilikan secara tak terbatas, berarti ingkar kepada kekuasaan Allah Swt. Implikasi dari status kepemilikan menurut Islam, adalah hak manusia atas barang atau jasa itu terbatas.161 Dalam konsep tauhid, juga mengajarkan bahwa Allah Swt. adalah pencipta semua makhluk dan semua makhluk tunduk kepada-Nya (Q.S. al-An‟a>m [6]: 142-145; Q.S. an-Nahl [16]: 10-16; Q.S. Fa>t}ir [35]: 27-29, QS. al-Z{umar [39]: 21).162 Pembangunan hak dan kewajiban memberikan memberikan konstruk, bahwa ketidakmerataan karunia nikmat, dan kekayaan yang diberikan Allah kepada setiap makhluk-Nya merupakan kuasa Allah Swt. semata. Tujuannya adalah agar mereka yang diberi kelebihan, sadar menegakkan persamaan masyarakat (egalitarian) dan bersyukur kepada-Nya (Q.S. al-Hadi>d [57]: 7), persamaan dan persaudaraan dalam kegiatan ekonomi, yakni shirkah dan qira>d atau bagi hasil (QS. al-Baqarah [2]: 254, QS. al-Ma>‟idah [5]: 2). Sehubungan dengan hak dan kewajiban dikontruk juga dalam keadilan. Keadilan yang berimplikasi pada aktivitas dan perilaku manusia. Implikasi itu terlihat pada keadilan hokum, dalam makna bahwa al-Qur‟an memerintahkan agar manusia memperlakukan semua orang sama dihadapan hokum, dan tidak boleh membedakannya berdasarkan aksiden-aksiden atau hal-hal yang melekat secara lahiriyah yang dimilikinya (Q.S. an-Nisa> [4]: 58; Q.S. al-Ma>idah [5]: 42; QS. at-Tat}fi>f [83]:1-3).163 Implikasi ekonomi dari

161Yassine Essid, A Critique of the Origins of Islamic Economic Thought (Leiden: Brill 1995); lihat juga Masudul Alam Choudhury, Islamic Economic Co-Operation (Basingstoke: Macmillan, 1989). 162Nimat Hafez Barazangi, Islamic Identity and the Struggle for Justice (Gainesville: Univ. Press of Florida 2000). 163Lihat Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1982); Muhammad Fu‟ad Abdul Ba>qi, al-Mu‟ja>m al-Mufahras li alfa>z al- Qur‟a>n al-Kari>m (Mesir: Da>r al-Fikr, 1981); lihat juga M. Dawam

141 nilai ini, adalah bahwa pelaku ekonomi tidak dibolehkan untuk mengejar keuntungan pribadi, apabila hal itu merugikan orang lain atau merusak alam. Tanpa keadilan, manusia akan terkelompok dalam berbagai golongan yang men-z}alimi. Dalam hubungan dengan hak dan kewajiban, tidak lepas pula dari rasa tanggung jawab untuk berbagi, jika produk dapat terjual dan keuntungan didapatkan. Berbagi dalam pemakaian, yaitu kewajiban atas individu untuk tidak menyia- nyiakan, menghancurkan ataupun untuk menggunakan kepemilikan tersebut, untuk tujuan yang tidak dibolehkan oleh syari‟at. Kedudukannya sesuai dengan konsep keadilan, dan hak dalam Islam, dan tanggungjawab individu, serta komunitas. Dalam sistem ekonomi Islam, setiap individu tidak hanya membuat keputusan untuk dirinya sendiri, tetapi mereka juga berinteraksi dengan anggota masyarakat yang lain, melalui transaksi yang difasilitasi oleh kontrak eksplisit dan implisit. Sebuah perjanjian, adalah suatu alat pengikat yang terikat dengan waktu dan memiliki tujuan-tujuan. Konsep perjanjian dalam Islam, tidak hanya penting untuk aspek pertukaran sah, sebagai sebuah institusi yang diperlukan untuk pemuasan sah atas kebutuhan manusia, tetapi juga merupakan konsep yang berdasarkan pada shari>‟ah. Landasan syariah adalah perjanjian antara Allah Swt. dengan manusia/hamba, yang memaksa manusia atas kewajiban setia dengan kata-katanya. Salah satu dengan memahami perjanjian kontrak, sebagaimana mereka diminta oleh keimanannya untuk menghormati perjanjian kontrak tersebut. Hal ini juga, untuk menjamin bahwa semua pihak dalam kontrak tersebut memiliki pengetahuan yang penuh atas apa yang mereka komitmenkan, dan apa saja tangungjawab mereka nantinya. Sebuah perjanjian dianggap mengikat, dan terikat oleh syari‟ah. Hal juga yang tidak kalah pentingnya dalam

Raharjo, Ensiklopedi al-Quran:Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep- Konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, 1996).

142 membangun hak dan kewajiban bersama adalah rasa kepercayaan. Kepercayaan dianggap sebagai elemen paling penting dari permodalan sosial di dalam Islam atas hubungan individu dengan Allah Swt. dan dengan yang lain dalam masyarakat. Islam menempatkan penekanan yang sangat besar atas kepercayaan, dan menganggap kepercayaan sebagai sifat kepribadian yang wajib.164 Berdasarkan pertimbangan kemas}lahatan (altruistic considerations) tidak semata-mata didasarkan pada permintaan pasar (given demand conditions). Kurva permintaan pasar tidak dapat memberikan data sebagai landasan bagi suatu perusahaan dalam mengambil keputusan tentang kuantitas produksi, serta membangun hak dan kewajiban yang proporsional.165 Dari hal-hal tersebut, memperlihatkan bahwa nilai- nilai efisiensi berkeadilan dalam membangun hak dan kewajiban, dengan kata kunci bahwa bekerja dinilai sebagai kebaikan, dan kemalasan dinilai sebagai kejahatan. Ibadah yang paling baik adalah bekerja, dan pada saat yang sama bekerja merupakan hak dan sekaligus kewajiban. Karenanya eksistensi manusia diwajibkan untuk berusaha dan bekerja untuk mengejar kesejahteraan. Status kekhalifahan berlaku umum untuk setiap manusia, namun tidak berarti selalu punya hak yang sama dalam mendapatkan keuntungan. Kesamaan hanya dalam

164Mohamed Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought: A Selected Comparative Analysis; lihat juga Khurshid Ahmad, “Economic Develovement in an Islamic Framework”. Akar kata “percaya”- iman- sama dengan kata kepercayaan-amanah. Al-Qur‟an menekankan kesetiaan atas perjanjian kontrak dan janji yang dibuat (QS. al-Mu‟minu>n [23]: 1-8; QS. Bani> Isra>‟i>l [17]: 3-4; QS. ash-Shu>ra> [42]: 107, 125, 143, 162, 178, 193). 165Muhammad Abdul Mannan, “the Behaviour of the Firm and Its Objective in an Islamic Framework”, Readings in Microeconomics: an Islamic Perspektif (Malaysia: Longman,1992); lihat juga M.M. Metwally, “a Behavioural Model of an Islamic Firm,” Readings in Microeconomics: an Islamic Perspektif (Malaysia: Longman,1992).

143 kesempatan, dan setiap individu dapat menikmati keuntungan itu sesuai dengan kemampuannya. Setiap orang memiliki kesamaan dalam harga dirinya sebagai manusia, sehingga hak dan kewajiban ekonomi individu disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya, dan dengan peranan normatif masing-masing dalam struktur sosial. Ekonomi Islam membangun kebersamaan dalam pengembangan Sumber Daya Manusia bersandarkan pada konsep penguasaan ketrampilan, kecakapan, dan penilaian. Oleh karena itu pembangunan (development) yang tepat, adalah pemberdayaan manusia dengan cara yang terbaik, yang ditujukan untuk kegiatan produktivitas, yang berupa pengembangan keterampilan, pengetahuan, dan kapasitas kekuatan buruh. Sedangkan yang lainnya, seperti pertumbuhan ekonomi, tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi, dan penyebaran pendapatan yang lebih adil, itu semua sebenarnya merupakan dampak lebih lanjut dari keberhasilan pemberdayaan manusia. Pada prinsipnya, Sumber Daya Manusia bukanlah sesuatu yang sudah ada sejak lahir, melainkan kemampuan yang diperoleh kemudian sehingga Sumber Daya Manusia bisa ditingkatkan dan diperbaiki. upaya menganalisis kualitas sumber daya manusia dapat dinilai dari sisi fisik dan non fisik. Dari sisi fisik dapat dinilai dari angka kematian, usia harapan hidup, ukuran dan bentuk tubuh, kekuatan dan kesegaran tubuh. Sedang dari sisi bukan fisik, tingkat kepercayaan dan keimanan, tingkat kesetiakawanan sosial, kemampuan hidup penduduk yang selaras dengan tuntutan lingkungan.166 Dalam kehidupan ekonomi, Al-Qur‟an menunjukkan banyak sekali tuntunan tatalaku agar manusia sukses di dunia

166Abdul Hamid Mursi, asy-Syakhsiyatu al-Muntajah (Mesir: Maktabah Wahbah, 1985); lihat M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam.

144 dan akhirat secara seimbang (Q.S. al-Qas}a>s [28]: 77). Kebahagiaan dan keberuntungan di akhirat merupakan insentif moral, agar orang menciptakan kebaikan dan menghindari kerusakan dan agar orang memanfaatkan kesempatan yang diperoleh dalam kehidupan di dunia ini dengan sebaik-baiknya. Karena perhitungan dan kebahagiaan di akhirat ditentukan berdasarkan pada perbuatan di dunia.167 Antara pola analisis kualitas sumber daya manusia dengan dibangun etika ekonomi islam, menunjukkan bahwa sumber daya manusia bukanlah alat produksi yang sekedar memberi keuntungan semata, lebih dari itu peningkatan sumber daya manusia bersama membangun sinergisitas bersama dengan dasar etika dan manusiawi. Kebersamaan dalam membangun Sumber Daya Manusia tidak dapat lepas pada prinsip dasar, bahwa manusia adalah makhluk sosial yang membentuk keseimbangan antara kebendaan dan rohaniah. Keberhasilan sistem ekonomi Islam tergantung kepada sejauh mana penyesuaian yang dapat dilakukan di antara keperluan, kebendaan, dan keperluan rohani/etika yang diperlukan manusia (Q.S. al-Ahza>b [33]: 72; QS. Hu>d [11]: 61; Q.S. al-Baqarah [2]: 30).168 Pemanfaatan kemajuan dicapai oleh ilmu pengetahuan bisa dinikmati oleh masyarakat dari semua strata ekonomi. Karyawan golongan rendah diberikan kesempatan mengembangkan sumber daya manusia masing-masing sama dengan

167Lihat Abdel Hamid el-Ghazali, Man is the Basis of the Islamic Strategy for Economic Development (Jeddah: Islamic Research and Training Institute Islamic Development Bank, 1994); M. Dawam Raharjo, Etika Ekonomi dan Manajemen (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990); untuk perbandingan lihat juga Riza Prima Henda, Kemiskinan dan Kemandirian: Catatan Per]alanan dan Reneksi Bina Swadaya (Jakarta: Yayasan Bina Swadaya, 2003). 168Jamaluddin At}iyah, Nahwa Taf‟i>l al Maqa>sid (Beirut: Dar al-Kutub al-Arabiah, 2003).

145 kesempatan pemimpin perusahaan dalam struktur seimbang dan proporsional.169 Nilai-nilai sosial dan humanitarin merupakan ultimat, melalui proses filterisasi moral, yang bertujuan menjaga self-interest dalam batas-batas kemaslahatan sosial (social interest), dalam arti bahwa pengembangan Sumber Daya Manusia dilakukan dengan cara mengubah preference individu menurut prioritas sosial, dan menghapuskan atau meminimalkan penggunaan sumber-sumber daya yang bertujuan menggagalkan realisasi kemas}lahatan sosial. Sistem ekonomi Islam pada dasarnya mendorong terjadinya equilibrium antara self-interest dan social interest, sehingga paradoks-paradoks yang lahir dari ketidak- seimbangan antara dua nilai ini dapat diminimalisir.170 Upaya mencapai hal tersebut, diperlukan keorganisasian yang memungkinkan masyarakat mencapai suatu tujuan yang tidak dapat dicapai individu secara perseorangan. Organisasi sebagai satuan sosial yang dikoordinasi secara sadar, terdiri dari dua orang atau lebih yang berfungsi atas dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai tujuan atau seperangkat tujuan bersama antar pemimpin (ar-ra>i) dan yang dipimpin (ar-raiyyah). Perubahan lingkungan bisnis dan kemajuan teknologi informasi menuntut organisasi untuk memperbaharui konsep tentang kepemimpinan dalam rangka menghadapi persaingan global, kepemimpinan

169Antony Black, Pemikiran Politik Islam: dari Masa Nabi hingga Masa Kini (Jakarta: Serambi, 2006); lihat juga dinamika keorganisasian dan manajerial masa kerajaan Islam dalam Abdullahi Ahmed an-Na>'im, et al, Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah (Bandung: Mizan, 1428). 170Lihat M. Umer Chapra, al-Isla>m wa al-Tahaddi> al- Iqtişa>d; lihat juga Ahmad Muhammad al-„Assâl, dan Fathi> Ahmad „Abd al-Kari>m, al-Niza>m al-Iqtişa>di fi> al-Isla>m (Kairo: Maktabah al-Wahbah, 1997).

146 kerap kali dipandang sebagai kualitas pribadi yang didefinisikan dengan jelas seperti visi, kharisma, intelegensi dan keuletan yang hanya dimiliki segelintir orang saja, namun sebenarnya konsep kepemimpinan hendaknya dipahami bukan saja sebagai serangkaian kualitas individu, tetapi lebih sebagai fenomena relasional. Pengaruh pemimpin merupakan salah satu aspek terpenting kepemimpinan, dalam kaitannya dengan efektivitas kepemimpinan, usaha bawahan dan kepuasan kerja bawahan. Kunci efektivitas kepemimpinan adalah perilaku yang disesuaikan dengan situasinya. Pemimpin efektif akan dapat menjalankan fungsinya dengan baik, tidak hanya ditunjukkan dari kekuasaan yang dimiliki, tetapi juga ditunjukkan dari sikap atasan memotivasi karyawan dalam melaksanakan tugasnya, dan meningkatkan produktifitas kerja.171 Dalam perspektif ini, maka makin baik hubungan antara pemimpin dengan karyawan, makin terstruktur pekerjaan yang dilakukan, dan makin kuat kekuasaan pemimpin, akan banyak kendali terhadap pengaruh pemimpin. Di samping gaya kepemimpinan, motivasi juga merupakan faktor lain penunjang kinerja dari seorang karyawan, walaupun mesin-mesin otomatis sudah merajai dunia ekonomi konvensional. Tetapi, perkembangan Sumber Daya Manusia tetap merupakan satu penentu atas tercapainya tujuan perusahaan, karena alat atau mesin- mesin teknologi pada hakekatnya ciptaan hasil karya manusia. Untuk pencapaian semua itu, perusahaan harus

171Robert W. Hafner, Islam Pasar Keadilan: Artikulasi Lokal, Kapitalisme dan Demokrasi (Yogyakarta: LKIs, 2000); sebagai perbandingan membangun produktifitas kerja, Tony Hartono, Mekanisme Ekonomi dalam Konteks Ekonomi Indonesia (Bandung: Rosdakarya, 2006).

147 dapat memberikan motivasi yang meliputi berbagai aspek, yaitu: fisiologis, keselamatan dan keamanan kerja, sosial, penghargaan dan aktualisasi diri. Hal tersebut dapat mendorong semangat kerja mereka.172 Kreatifitas kepemimpinan dan bawahan yang berupaya bersama-sama mensinerjikan peningkatan Sumber Daya Manusia, berarti terjadi sebuah prinsip gerakan untuk maju dalam bekerja. Dengan prinsip ini, Islam menolak pandangan yang statis, dan mengikuti pola hidup yang dinamis. Prinsip kemajuan dalam Islam adalah bekerja untuk mencapai falah, dan menyiapkan kondisi yang membantu dirinya untuk menjadi manusia yang layak di setiap aspek dan dimensi eksistensinya, maka dia akan terbebaskan dari egoisme dan hawa nafsu yang membelenggu dirinya. Kerja merupakan kunci untuk memanfaatkan Sumber Daya Alam.173 Pada dasarnya, tidak ada kerja berarti tak ada pendapatan, tidak ada usaha mengembangkan sumber daya manusia bersama, berarti tidak ada peningkatan kualitas dan kuantitas usaha yang berdaya saing. Dalam Islam, orang yang bekerja keras mencari nafkah adalah setara dengan orang yang berjuang di jalan Allah, bertujuan untuk memperkuat basis integritas, dan moralitas manusia, serta memasyarakatkan keadilan sosial. Disamping itu, sistem ekonomi Islam yang mengedepankan sosial kapital sebagai sebuah icon sentral, seperti dicontohkan Nabi Muhammad Saw. dalam membangun tatanan perekonomian berbasis partnership akan terwujud dengan kebersamaan, dalam melakukan pengembangan Sumber Daya Manusia, yang

172Nur al-Di>n Mukhta>r al-Kha>dimi, al-Ijtiha>d al- Maqa>shid (Qatar: Wiza>rat al-Awqa>f wa al-Syuun al-Isla>miyah, 2003). 173Muhammad Iqbal, the Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Sang-E-Mell Publications, 2004).

148 seiring dengan kemajuan, dan perkembangan perekonomian.174 Perwujudan atas upaya meningkatkan Sumber Daya Manusia bersama, berarti ada upaya meningkatkan “kebutuhan” untuk memenuhi standar bagi pemeliharaan keselamatan agama, sebagaimana “kebutuhan” dalam Islam, dimana kemaslahatan jiwa, akal dan keturunan harus terpelihara, dan dipenuhi segala hak dasar kebutuhan ekonominya, dengan cara melakukan segala sesuatu yang memungkinkan untuk itu, agar produksi berupa makanan dan pakaian mencukupi kebutuhan, pendidikan yang sinkron, pengembangan rohani dan akal, tempat tinggal dan lingkungan secara rohani dan materi, sarana kesehatan dan transportasi yang memadai, waktu istirahat yang cukup untuk melaksanakan semua kewajiban-kewajiban pokok bagi keluarga dan masyarakat, serta kesempatan kerja secara layak.175 Dari berbagai perspektif tersebut, maka terlihat tata letak efisiensi kebersamaan dalam pengembangan Sumber Daya Manusia pada aspek pembangunan tata nilai keseimbangan dalam struktur kerja. Kebersamaan dalam meningkatkan kualitas etos kerja dan produktifitas, dengan tidak memilah kelompok kerja, dan membangun informasi berdaya saing di setiap kelompok usaha. Setiap pelaku

174Akhtar, Shamshad "Islamic Finance: Emerging Challenges of Supervision", Paper presented in the 4th Islamic Services Board Summit held at Dubai, United Arab Emirates on May 15. (2007); lihat juga Salman Ali, Islamic Capital Market Products: Developments and Challenges, (Jeddah: Islamic Research and Training Institute, 2005). 175Lihat Al-Ghaza>li>, dalam M. Umer Chapra, al-Isla>m wa al- tahadd> al-iqtis>d>; dan lihat Al-Khayya>ţ, al-Mujtama‟ al-mutaka>fil fi> al-Isla>m, 91; Abdullahi Ahmed An-Na'im, Dekonstruksi Syari'ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam (Yogyakarta: Penerbit LKiS, 2001); Krishna Adityangga, Membumikan Ekonomi Islam: Diskursus Pengembangan Ekonomi Berbasis Syari'ah (Yogyakarta: Pilar Media, 2006).

149 ekonomi diberikan kesempatan untuk meningkatkan kualitas kerja, sehingga terjalin kebersamaan meningkatkan “kebutuhan” untuk memenuhi hak dasar hidup. Kualitas Sumber Daya Manusia tidak bisa terjalin dengan baik, jika masih terjadi kesenjangan sosial dengan pola kerja statis, dan pemimpin yang tidak membangun kemitraan. Pengalaman kerja dan pelatihan tidak hanya untuk satu kelompok, sementara kelompok lain hanya belajar dengan realitas lingkup kecilnya sendiri. Karenanya, ilmu bantu semisal studi kelayakan, manajemen usaha, dan manejemen Sumber Daya Manusia semakin menjadi penting dalam menilai pola dan cara kerja menuju kebersamaan usaha. Ekonomi Islam membangun kebebasan berusaha dan berkreatifitas berdasarkan prinsip nilai-nilai hak asasi manusia.176 Manusia siapa pun dan dalam strata apapun harus dihormati hak-haknya tanpa perbedaan. Semua memiliki hak hidup, hak berbicara, dan mengeluarkan pendapat, hak beragama, hak memperoleh pekerjaan dan berserikat yang dicakup oleh Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia (Q.S. al-Baqarah [2]: 30; Q.S. al-Jatsiyah [45]: 12-13; Q.S. al-Hujura>t [49]: 13). Dalam berbagai kajian Islam bahwa kebebasan mengandung tiga makna sekaligus. Makna pertama, kebebasan identik dengan „fitrah‟, orang yang bebas ialah orang yang hidup selaras dengan fitrahnya, karena pada dasarnya ruh setiap manusia telah bersaksi bahwa Allah itu Tuhannya. Sebaliknya, orang yang menyalahi fitrah dirinya sebagai abdi Allah sesungguhnya

176Beberapa kajian penting yang bahas masalah HAM, lihat Ahmed an-Naim, "Syari'ah and Basic Human Rights Concerns", dalam Liberal Islam: A Sourcebook, ed. Charles Kurzman (Oxford: Oxford University Press, 1998). Lihat juga Siraj Sait; Land Hilary Lim, Law and Islam: Property and Human Rights in the Muslim World (London: Zed Books, 2006).

150 tidak bebas dalam arti „bebas‟ (hur) dari ikatan hukum, dan dari sifat-sifat mafsadah.177 Makna kedua dari kebebasan adalah manusia (Q.S. al-Kahf [18]: 29; Q.S. asy Syu>ra> [42]: 20). Kebebasan yang ketiga adalah „memilih yang baik‟ (ikhtiya>r). Disamping itu, kebebasan dalam Islam bukan hanya meliputi kemerdekaan/kebebasan dari perbudakan dan penjajahan, tetapi mencakup arena atau bidang yang sangat luas, yaitu: kebebasan berbicara atau melahirkan pendapat (freedom of speech); kebebasan dari rasa ketakutan (freedom from fear); kebebasan dari kemiskinan (freedom from want); dan kebebasan beragama (freedom of religion).178\ Salah satu kontribusi Islam yang paling orisinil dalam filsafat sosial adalah konsep mengenai manusia „bebas‟. Hanya Tuhanlah yang mutlak bebas, tetapi dalam batas-batas skema penciptaan-Nya manusia juga secara bebas. Kemahatahuan Tuhan, meliputi segala kegiatan manusia selama ia tinggal di bumi, tetapi kebebasan manusia juga diberikan oleh Tuhan. Prinsip kebebasan ini pun mengalir dalam ekonomi Islam. Prinsip transaksi ekonomi yang menyatakan asas hukum ekonomi adalah halal, seolah mempersilahkan para

177ar-Raghib al-Ishfaha>ni, Mufradat Alfa>zh al-Qur‟a>n (Lubna>n: Da>r al-Kutb al-Ilmiah, tt); lihat juga Charles Birch; David Paul, Life and Work: Challenging Economic Man (Sidney: UNSW Press, 2003). 178Nagendra K Singh, Social Justice and Human Rights in Islam (New Delhi: Gyan Publ. House, 1998). Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa dalam UUD 1945 ada beberapa hak asasi yang patut didapatkan oleh setiap warga negara Indonesia, seperti hak untuk hidup, persamaan kedudukan (pasal 27); kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat (pasal 28); kemerdekaan beragama (pasal 29); dan hak mendapat pengajaran (pasal 31). Konsep kebebasan yang termaktub dalam Piagam Madinah, untuk penjelasan yang lebih luas lihat Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945 (Jakarta: UI Press; 1995).

151 pelakunya melaksanakan kegiatan ekonomi sesuai yang diinginkan, menumpahkan kreativitas, modifikasi dan ekspansi seluas sebesar-besarnya, bahkan transaksi bisnis dapat dilakukan dengan siapa pun secara lintas agama. Dalam kaitan ini, diperoleh pelajaran yang begitu banyak dari Nabi Muhammad Saw., termasuk skema kerja sama bisnis yang dieksplorasi Nabi Muhammad Saw. Di luar praktek ribawi yang dianut masyarakat masa itu. Model- model usaha tersebut, antara lain: mud}a>rabah, musha>rakah, mura>bahah, „ija>rah, waka>lah, sala>m, istis}na>.179 Jaminan atas implikasi kebebasan dalam konsep Islam, diantaranya: (1) kebebasan yang terjamin maka hak- hak individu seperti hak berpendapat lebih terjamin (orientasi demokrasi); (2) kebebasan yang terjamin akan memberikan stimulus atau rangsangan bagi setiap orang untuk berpikir dan bertindak lebih kreatif dan inovatif, karena tidak ada ketakutan kalau pikiran dan cara-cara ”baru” itu mendatangkan bahaya bagi dirinya sendiri; (3) kebebasan (berpendapat) akan semakin memungkinkan terciptanya tatanan yang lebih berkeadilan karena memberikan kemungkinan yang semakin besar pada tiap masyarakat untuk menyampaikan gagasan dan aspirasinya, berpartisipasi secara lebih luas dalam pengambilan kebijakan-kebijakan publik (demokrasi deliberatif); (4) kebebasan (berpikir) akan memberikan peluang yang lebih besar dalam pencarian kebenaran, karena dengan adanya kebebasan berpikir bisa memperkuat atau merevisi

179Husein Nasr, Islamic Work Ethics (England: Hamdard Islamicus, tt); Ibn Rusyd, Bida>yatu al-Mujtahid wa Niha>yatu al- Muqtashi>d, juz II (Beirut: Da>r al-Fikr, tt); Monzer Kahf, “a Contribution to the Theory of Consumer Behavior in an Islamic Society”, dalam Studies in Islamic Economics, disunting oleh Khursid Ahmed, the Islamic Foundation (America: Leicester, 1980).

152 kebenaran saat ini yang telah mapan, atau bahkan menemukan kebenaran-kebenaran lain berada di luar kebenaran dominan.180 Semua aktifitas tersebut dibutuhkan pula kreatifitas yang tidak bebas nilai. Kreativitas merupakan cara berpikir yang selalu berkembang dan inovatif sesuai dengan zamannya. Manusia diberikan kelebihan oleh Sang Pencipta berupa akal dan pikiran. Dengan akal tersebut kita bisa melakukan perenungan dan pemikiran sebagai proses untuk dapat melakukan sesuatu yang akan membuahkan hasil. Hasil itu akan baik dan bermanfaat jika dikemas dengan sesuatu yang punya nilai kreatif. Kreatif merupakan kata yang selalu ditujukan bagi orang-orang yang berhasil menciptakan sesuatu yang berbeda dan menarik perhatian secara umum. Orang-orang kreatif ini bekerja menggunakan akal dan pikiran, selain tergantung mood pada pekerjaan tersebut.181 Gaya kreativitas merupakan cara seseorang dalam mengakomodasikasikan proses berpikir kreatifnya. Proses tersebut dibagi dalam dua macam, yaitu: Pertama, adaptive problem solving. Gaya ini cenderung dimiliki oleh orang yang menggunakan kreativitasnya untuk menyempurnakan sistem dimana mereka bekerja. Hal-hal yang terlihat pada cara mereka yang akan berusaha sebaik mungkin untuk membuat sistem menjadi lebih baik, lebih cepat, lebih murah dan efisien. Apa yang mereka lakukan akan dapat dilihat hasilnya secara cepat. Oleh karena itu, mereka lebih sering mendapat penghargaan. Kedua, innovative problem

180Muhammad Baqir S}ada>r, Keunggulan Ekonomi Islam: Mengkaji Sistem Ekonomi Barat dengan Kerangka Pemikiran Sistem Ekonomi Islam; M. Umer Chapra, the Future of Economics: an Islamic Perspective. 181Lihat Ozay Mehmed, Islamic Identity and Development: Studies of the Islamic Periphery (New York: Chapman and Hall Inc, 2001).

153 solving, gaya ini dimiliki orang dimana cara kerjanya cenderung menantang dan mengubah sistem yang sudah ada. Mereka ini sering disebut sebagai “agent of change”, karena lebih memfokuskan pada penemuan sistem baru daripada menyempurnakan yang sudah ada. Dalam perusahaan mereka biasanya ada pada bagian-bagian yang melakukan riset, penciptaan produk baru, mengantisipasi kebutuhan pelanggan tanpa diminta, dan orang-orang yang menjaga kelangsungan hidup perusahaan di masa yang akan datang. Kedua gaya tersebut tidak bisa bebas nilai, tetap berpijak pada nilai-nilai Shari>‟ah.182 Dalam melakukan kreatifitas usaha dilakukan dengan tahapan, yaitu: Pertama, eksplorasi. Di tahap ini pekerja mengidentifikasikan hal-hal apa saja yang ingin dilakukan dalam kondisi yang ada dalam lingkungan proses berpikir kreatif. Kedua, inventing. Pada tahap ini, sangat penting bagi perusahaan atau usaha untuk melihat atau mereview berbagai alat, teknik dan metode yang telah dimiliki yang mungkin dapat membantu dalam menghilangkan cara berpikir yang tradisional. Ketiga, pemilihan, tahap memilih dimana satu perusahaan atau satu usaha mengidentifikasi, dan memilih ide-ide yang paling mungkin, serta mudah untuk dilaksanakan. Keempat, implementasi. Tahap akhir untuk dapat disebut kreatif adalah bagaimana membuat suatu ide dapat diimplementasikan. Seseorang bisa saja memiliki ide cemerlang, tetapi jika ide tersebut tidak dapat diimplementasikan, maka hal itu menjadi sia-sia saja, atau dapat diimplemtasikan namun melanggar aturan-aturan shari>‟at Islam, maka hal itu juga tidak dapat dibenarkan.183

182Lihat Masudul Alam Choudhury, Comparative Economic Theory: Occidental and Islamic Perspectives (Boston: Kluwer 1999). Lihat juga M Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi. 183Veithzal Rivai, Islamic Human Capital dari Teori ke Praktek (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009); Musa Asyarie, Islam, Etos Kerja

154

Beberapa cara untuk mendorong kreativitas dan inovasi dalam sebuah perusahaan/usaha yaitu: Pertama, pengukuran terhadap hal yang sudah dilakukan. Perusahaan dianjurkan untuk memasukkan unsur kreativitas dan inovasi ke dalam proses evaluasi kerja. Contoh: memasukkan unsur penilaian tentang berapa banyak ide dari seseorang atau kelompok yang dapat diimplementasikan oleh perusahaan; Kedua, penempatan karyawan dengan konsep the right people with the right job, juga merupakan salah satu cara yang tepat untuk menstimulasi munculnya kreativitas dan inovasi.184 Mencapai hal tersebut, diperlukan konsep manajemen185 perusahaan Islami, dimana digariskan bahwa hakekat amal perbuatan manusia harus berorientasi pada pencapaian ridha Allah. Kebebasan berkreatifitas tetap dalam niat dan cara yang sesuai dengan shari>‟at Islam, sehingga selalu dalam golongan ahsan (ahsanul amal) [Q.S. al-Mulk [67]: 2]. Keberadaan manajemen organisasi harus dipandang pula sebagai suatu sarana untuk memudahkan implementasi kaedah berfikir dan kaedah amal dalam seluruh kreatifitas yang ingin dibuat dan dijalankan. Sebagai kaedah berfikir, aqidah dan shari>‟ah difungsikan sebagai asas atau landasan pola pikir dan beraktifitas, sedangkan sebagai kaedah amal, shari>‟ah difungsikan dan Pemberdayaan Ekonomi Umatan (Yogyakarta: Lesfi, 2000); Suyoso Sukarno, Pembinaan Tenaga Manusia (Jakarta: Logos, 2002). Lihat juga Charles A. Job, “Waterlaw in Muslim Countries as to Ground Water” dalam Groundwater Economics (USA: Taylor and Francis Group, LLc, 2010). 184Veithzal Rivai, Islamic Human Capital: dari Teori ke Praktek; Nick Boulter; Murray M Dalziel; Jackie Hill, Achieving the Perfect Fit: How to Win with the Right People in the Right Jobs (Houston, Tex.: Gulf Publication. Co., 2001). Lihat juga Ozay Mehmed, Islamic Identity and Development: Studies of the Islamic Periphery. 185Lihat Mamduh M. Hanafi, Manajemen (Yogyakarta: UPP AMPYKM, tt).

155 sebagai tolak ukur kegiatan organisasi. Tolak ukur syari‟ah digunakan untuk membedakan aktivitas yang halal dan haram. Kebebasan berusaha dan berkreatifitas menjadi aktivitas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, yang akan selalu terikat dengan shari>‟ah. Maka disini nilai mas}lahah yang termaktub dalam kaedah ushul fiqh ”al-As}lu fi> al- Af‟a>l, at-Taqayyudu bi al-Hukm al-Shar‟iy”186 seperti termaktub dalam ayat al-Qur‟an (Q.S. al-Ja>tsiyah [45]: 18; Q.S. an-Nisa> [4]: 65; Q.S. al-Has}r [59]: 7). Ini berarti, semua aktifitas mementingkan perilaku yang terkait denga nilai-nilai keimanan dan ketauhidan, serta mementingkan adanya struktur organisasi yang terorganisasi, terencana dan terkontrol.187 Dalam kebebasan berusaha dan berkreatifitas, kebersamaan pengembangan Sumber Daya Manusia tidak dapat lepas dari hak dan kewajiban dalam masalah upah. Upah sebagai pemberian imbalan kepada pekerja tidak tetap, atau tenaga buruh lepas, seperti upah buruh lepas di perkebunan kelapa sawit, upah pekerja bangunan yang dibayar mingguan atau bahkan harian. Sedangkan gaji terkait dengan imbalan uang yang diterima oleh karyawan atau pekerja tetap, dan dibayarkan sebulan sekali atau berdasarkan kesepakatan kerja, maupun berdasarkan peraturan yang sudah ditetapkan baik internal maupun peraturan pemerintah.188

186Hukum asal setiap perbuatan adalah terikat dengan syari‟ah, Maji>d Hami>d, Atsaru al-Mas}lahah fi> al-Shari>‟at (Jordaniah: al- Da>r al-I‟lmiyyah al-Dauliyah wa Da>r li an-Nasr wa al-Tauzi‟, jilid I, 2002). Lihat juga Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris (Yogyakarta: LkiS, 2005). 187Veithzal Rivai, Islamic Human Capital: dari Teori ke Praktek; Iwan Triyuwono, Organisasi dan Akuntansi Syari'ah (Yogyakarta: LKiS, 2000). 188Lihat Ahmad S. Ruky, Manajemen Penggajian dan Pengupahan Karyawan Perusahaan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

156

Berbagai penafsiran terhadap konsep upah dalam nash seperti dalam Q.S. at-Taubah [9]: 105; Q.S. an-Nahl [16]: 97; Q.S. al-Kahf [18]: 30 yang disebutkan bahwa seorang yang bekerja pada suatu badan usaha (perusahaan) dapat dikategorikan sebagai amal saleh, dengan syarat perusahaannya tidak memproduksi/menjual atau mengusahakan barang-barang yang haram. Dengan demikian, maka seorang karyawan yang bekerja dengan benar, akan menerima dua imbalan, yaitu imbalan di dunia dan imbalan di akhirat. Ayat di atas bermakna bahwa janganlah seseorang merugikan orang lain, dengan cara mengurangi hak-hak yang seharusnya diperolehnya.189 Dalam pengertian yang lebih jauh, hak-hak dalam upah bermakna bahwa janganlah mempekerjakan upah seseorang, jauh dibawah upah yang biasanya diberikan. Misalnya saja untuk seorang staf administrasi, yang upah perbulannya menurut pasaran adalah Rp 900.000,-. tetapi di perusahaan tertentu diberi upah Rp 500.000,-. hal ini berarti mengurangi hak-hak pekerja tersebut. Dengan kata lain, perusahaan tersebut telah memotong hak pegawai tersebut sebanyak Rp 400.000,- perbulan. Jika ini dibiarkan terjadi, maka pengusaha sudah tidak melakukan nilai-nilai efisiensi bagi si pekerja tersebut. Kebebasan berusaha dan berkreatifitas dapat berjalan dengan optimal, manakala upah dalam dimensi moral yang bercirikan adil dan layak dilaksanakan. Dalam arti bahwa adil diberikan harus jelas, transparan dan proporsional sesuai dengan tingkat kreatifitas yang dibuat, layak berarti dapat mencukupi kebutuhan pangan, sandang, dan papan serta tidak jauh berada di bawah pasaran. Aturan

2001). Lihat juga Aris Ananta, Ekonomi Sumber Daya Manusia (Jakarta: Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, tt). 189Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol. 5 (Bandung: Mizan, 2000).

157 manajemen upah ini perlu didudukkan pada posisinya, agar memudahkan bagi kaum muslimin atau pengusaha muslim dalam mengimplementasikan manajemen shari>‟ah dalam pengupahan karyawannya di perusahaan.190 Selanjutnya, Nabi Muhammad Saw. mewariskan pula pilar tanggung jawab dalam kerangka dasar etika bisnisnya. Kebebasan harus diimbangi dengan pertanggungjawaban manusia, setelah menentukan daya pilih antara yang baik dan buruk, harus menjalani konsekuensi logisnya (Q.S. al-Muddaththir [74]: 3; Q.S. al-An'a>m [6]:164; Q.S. al-Ra‟ad [13]: 11; Q.S. al-Anfa>l [8]: 25. Dengan penilaian tersebut, efisiensi berkeadilan dalam kebebasan berusaha dan berkreatifitas berpijak pada nilai-nilai syariah, sehingga semua aktifitas kerja dapat berdaya guna baik untuk pribadi maupun untuk kemas}lahatan umat. Selanjutnya, dalam memahami sistem nilai diawali dari prinsip kegiatan produksi yang merupakan mata rantai dari konsumsi, maka tanpa kegiatan produksi yang menghasilkan barang dan jasa tak akan ada yang bisa dikonsumsi. Oleh karena itu, kegiatan produksi merupakan suatu hal yang diwajibkan, karena tanpa kegiatan produksi, maka aktifitas kehidupan akan berhenti. Manusia butuh makan, minum agar bisa beraktifitas dan beribadah, perlu pakaian untuk menutupi aurat dan beribadah, serta butuh tempat tinggal untuk melindungi dirinya serta beribadah juga berbagai kebutuhan lainnya. Allah Swt. telah menyediakan bahan bakunya berupa kekayaan alam yang sepenuhnya diciptakan untuk kepentingan manusia (Q.S. an-Nahl [16]: 10, 11,12,18). Karena itu nilai dasar dalam berekonomi adalah bekerja keras memanfaatkan semua sumber daya itu seoptimal

190Muhammad Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam; Ahmad S. Ruky, Manajemen Penggajian dan Pengupahan Karyawan Perusahaan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001).

158 mungkin untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (QS al- Qas}as} [28]: 73; Q.S. al-Ru>m [30]: 23; Q.S. al-Nisa> [4]: 32; dan Q.S. al-Saba> [78]: 11). Allah memerintahkan manusia untuk melakukan perubahan yang lebih baik, dengan menggali dan menggunakan Sumber Daya Alam yang tak terbatas di dunia ini, melalui pengelolaan, modal, kemampuan dan kecenderungannya di dalam proses produksi.191 Secara umum tata nilai produksi adalah suatu usaha untuk menghasilkan dan menambah daya guna dari suatu barang, baik dari sisi fisik materialnya maupun dari sisi moralitasnya, sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup manusia sebagaimana yang digariskan dalam nilai-nilai agama, yaitu mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat sebagai upaya menguatkan pembangunan.192 Karena pada dasarnya produksi adalah kegiatan yang menghasilkan barang dan jasa yang kemudian dimanfaatkan oleh konsumen, maka tujuan produksi harus sejalan dengan tujuan konsumsi sendiri, mencapai falah.193 Dengan demikian, maka akan teraplikasi dimana seluruh kegiatan produksi terikat pada tatanan nilai moral dan tehnikal yang Islami, seperti halnya dalam kegiatan konsumsi. Artinya, bahwa seluruh kegiatan produksi mulai dari kegiatan mengorganisir faktor-faktor produksi, proses produksi

191Muqrin, Khālid ibn Sad ibn Muhammad, Awa>bi al-intaj fi> al-iqtia>d al-isla>mi> wa-atharuha> alá al-inta>j wa-al-inta>ji>yah (al-Riyād: al-Mamlakah al-Arabīyah al-Sa‟ūdīyah, Wizārat al-Ta‟līm al- Āli>, Jāmi‟at al-Imām Muhammad ibn Sa‟ūd al-Islāmīyah, 2004). 192Muhammad Abdul Mun‟im A‟fa>r, al-Tanmiya al- Iqtis}a>diya li Duwali al-„Ālam al-Isla>mi> (Jeddah, Da>r al-Mujtama‟ al-Ilmi>, tt). 193Falah atau muflihun adalah kesuksesan jangka panjang, dunia dan akherat seperti termaktub dalam Q.S. Ali Imron (3): 104. Lihat Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam Universitas Islam Indonesia Jogjakarta, Ekonomi Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008).

159 hingga pemasaran dan pelayanan kepada konsumen harus mengikuti aturan-aturan dalam Islam. Seperti larangan memproduksi barang-barang dan jasa yang dapat merusak nilai-nilai moralitas sehingga menjauhkan manusia dari nilai-nilai religius, walaupun secara ekonomi menguntungkan.194 Dalam sistem nilai produksi diupayakan memperhatikan aspek sosial kemasyarakatan. Artinya, kegiatan produksi harus menjaga nilai-nilai keseimbangan, dan harmoni lingkungan sosial, serta lingkungan hidup masyarakat. Jadi, produksi bukan hanya untuk kepentingan produsen semata, tetapi masyarakat secara keseluruhan harus dapat menikmati hasil produksi secara memadai dan berkualitas. Dari aspek ini, kemalasan dan pengabaian optimalisasi segala karunia Allah Swt., baik dalam bentuk Sumber Daya Manusia, maupun Sumber Daya Alam menjadi kesalahan yang tidak bisa diabaikan. Dengan demikian, prinsip produksi dalam pandangan Islam bukan sekedar efisiensi, tetapi secara luas adalah bagaimana mengoptimalkan Sumber Daya Ekonomi dalam upaya pengabdian manusia kepada Tuhannya. Menurut al-Qard}a>wi195 ada empat aspek terkait keadilan distribusi, yaitu: (1) gaji yang setara (al-ujrah al- mithl) bagi para pekerja; (2) profit atau keuntungan untuk pihak yang menjalankan usaha atau melakukan perdagangan melalui mekanisme mudharabah maupun bagi hasil (profit sharing) untuk modal dana melalui mekanisme musyarakah; (3) biaya sewa tanah serta alat produksi

194Mahmu>d Muhammad Bablali>, al-Kasbu wa al-infa>q wa ada>lat al-Tauzi>‟ fi> al-Mujtama‟ al-Isla>mi> (Beirut: Maktab al- Isla>mi>, 1988). Lihat juga Muhamad Alimin, Etika dan Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam (Yogyakarta: Badan Penerbitan Fakultas Ekonomi, Universitas Gajah Mada, 2004). 195Yusu>f Qard}a>wi, Da>r al-Qiya>m wa al-Akhla>q fi> al- Iqtisha>di al-Isla>mi (Kairo: Maktabah Wahwah , 1995).

160 lainya; (4) tanggung jawab pemerintah terkait dengan peraturan kebijakannya. Adapun sistem yang kedua, dimensi sosial, yaitu Islam menciptakannya untuk memastikan keseimbangan pendapatan di masyarakat. Mengingat tidak semua orang mampu terlibat dalam proses ekonomi karena yatim piatu, jompo dan cacat tubuh, Islam memastikan distribusi bagi mereka dalam bentuk zaka>t, infaq dan s}adakah.196 Hal tersebut ditegaskan Mannan bahwa kegiatan produksi dalam perspektif Islam bersifat altruistik, yaitu mementingkan kepentingan orang lain tanpa mengabaikan kepentingan diri sendiri, karena secara umum Islam menekankan keseimbangan antara keduanya. Sehingga produsen tidak hanya mengejar keuntungan maksimum saja, sebagaimana dalam kapitalisme, tetapi dia mempunyai tujuan lebih luas, yaitu mencapai falah di dunia dan akhirat.197 Tahapan-tahapan yang ditawarkan oleh Mannan cukup konkrit dan realistik. Hal ini berangkat dari pemahamannya bahwa dalam melihat ekonomi Islam tidak ada dikhotomi antara aspek normatif dengan aspek positif. Secara jelas Mannan mengatakan “...ilmu ekonomi positif mempelajari masalah-masalah ekonomi sebagaimana adanya (as it is). Ilmu ekonomi normatif peduli dengan apa seharusnya (ought to be)...” penelitian ilmiah ekonomi modern (Barat) biasanya membatasi diri pada masalah

196Lihat Muhammad Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam; Armiadi, Zakat Produktif: Solusi Alternatif Pemberdayaan Ekonomi Umat (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2008). 197Lihat Muhammad Abdul Mannan, the Making of Islamic Economic Society: Islamic Dimensions in Economic Analysis (Kairo, Egypt: International Association of Islamic Banks; Turkish Federated State of Kibris, Turkish Cyprus: International Institute for Islamic Banking and Economics, 1984). Lihat juga Muhammad Abdul Mannan, the Frontiers of Islamic Economics (Delhi: Ida>rah Adabiyyati Delli, 1984).

161 positif daripada normatif. Aspek-aspek positif dan normatif dari ilmu ekonomi Islam saling terkait, memisahkan kedua aspek ini akan menyesatkan dan menjadi counter produktif. Dalam mengembangkan ilmu ekonomi Islam, maka langkah pertama adalah menentukan basic economic functions yang secara sederhana meliputi tiga fungsi, yaitu: konsumsi, produksi dan distribusi. Lima prinsip dasar yang berakar pada nilai-nilai syariah untuk basic economic functions berupa fungsi konsumsi, yakni prinsip righteousness, cleanliness, moderation, beneficence dan morality. Perilaku konsumsi seseorang dipengaruhi oleh kebutuhannya sendiri yang secara umum kebutuhan manusia terdiri dari necessities, comforts dan luxuries.198 Sama seperti aplikasi produksi, distribusi dalam konstruk ekonomi Islam diarahkan dalam upaya memenuhi hak dasar kebutuhan ekonomi untuk mendapatkan nilai „kesejahteraan‟ dan „kehidupan yang baik‟ sesuai dengan maqa>s}id shari>‟ah. Ketimpangan dalam distribusi, mengakibatkan ketimpangan ekonomi secara keseluruhan, ketidakstabilan perekonomian, meluasnya kriminalitas dan perselisihan dan kondisi kekacauan sosial. Para ekonom menyadari bahwa ekonomi secara historis-empiris yang berhasil adalah ekonomi yang tidak bebas atau tidak dapat membebaskan diri dari pengendalian nilai, yaitu nilai yang bersumber dari agama (value comitted). Sehingga di dalam Islam, ilmu ekonomi umat berasaskan iman dan berfondasikan taqwa. Chepra mencontohkan disamping Nabi Muhammad sebagai tauladan operasional ekonomi, Nabi Syu‟aib, disebut sebagai nabi ilmu ekonomi yang mendasarkan

198John L. Esposito dan John Obert Voll, Makers of Contemporary Islam (Oxford: Oxford University Press, 2001); John H. Dunning, Making Globalization Good: the Moral Challenges of Global Capitalism (Oxford: Oxford University Press, 2003).

162 ekonomi kepada iman dan tauhid (Q.S. Hu>d [11]: 84- 87).199 Kajian tingkah laku ekonomi manusia merupakan ibadah. Kekayaan ekonomi adalah satu alat untuk memenuhi hajat dan kepuasaan hidup dalam rangka meningkatkan kemampuannya agar dapat mengabdi lebih baik kepada Allah Swt. mencari dan menimba kekayaan bukan untuk pengabdian kepada harta semata, tetapi pencarian itu merupakan jalan menuju tingkat kekhusuan ibadah kepada Allah.200 Untuk itu, penguatan nilai dasar ekonomi Islam, yaitu: Pertama, dunia dan semua isinya adalah milik Allah Swt. dan menurut kepada kehendaknya. Kepemilikan manusia pada barang di dunia terbatas dan tidak absolut.201 Kedua, semua manusia di dunia itu tidak mengenal kelas, ataupun kasta. Ketidakmerataan karunia merupakan bagian dari ketentuan Allah agar manusia lebih sadar untuk bisa menegakkan egaliatarian secara riel, membawa sifat saling membantu dan menyadari bahwa setiap orang mempunyai kekurangan. Ketiga, Kepercayaan pada hari pengadilan akan memberi implikasi memberikan nilai ekonomi sekarang untuk mendapatkan keuntungan dimasa depan, dan di hari akhir. Hal inilah kemudian membentuk prilaku muslim untuk menyadari tindakannya dalam melakukan kegiatan ekonomi selalu dalam bayangan untuk kebahagian masa depan (fi> al-dunya> wa al-a>>khirat). Sedangkan nilai dasar ekonomi Islam merupakan implikasi dari asas filsafat

199M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (USA: The Islamic Foundation and the International Institute Of Islamic Thought UK, 1992). 200Dalam Adi Sasono, et. Al., Solusi Islam atas Problematika Umat: Ekonomi, Pendidikan, dan Dakwah (Jakarta: Gema Insani Press, 1998). 201Landasan filosofisnya dikutip dari Q.S. al-Baqarah [2]: 6; Q.S. al-Ma>‟idah [5]: 120. Muhammad Baqir S}ada>r, Buku Induk Ekonomi Islam.

163 sistem yang dijadikan sebagai kerangka konstruksi sosial dan tingkah laku sistem. Nilai-nilai dasar trersebut adalah: Pertama, kepemilikan atau ownership dalam ekonomi Islam adalah: (a) pemilikan terletak pada memiliki kemanfaatannya bukan menguasai; (b) kepemilikan hanya terbatas sampai akhir hayat manusia, yang kemudian dialih generasikan atau diwariskan menurut syari‟at Islam; (c) kepemilikan seseorang tidak berlaku untuk kepemilikan orang banyak dan negara.202 Keempat, keseimbangan sebagai nilai equlibrium antara hak dan kewajiban dalam sirkulasi ekonomi. Konstruk kebutuhan ekonomi adalah keinginan untuk memperoleh barang dan jasa, sebagai sesuatu yang mampu memberikan manfaat tertentu bagi kehidupan manusia.203 Selanjutnya, nilai dasar kelima adalah keadilan yang telah dibahas pada sub-bab sebelumnya, yang pada intinya berada dalam (a) kebebasan yang bersyarat akhlak, (b) dalam semua fase kegiatan ekonomi. Baik filsafat ekonomi Islam, maupun nilai dasarnya tidak dapat dipisahkan dalam sistem ekonomi secara operasional. Pelanggaran terhadap keduanya akan menimbulkan ketimpangan dalam usaha, dan bahkan lebih buruk dari sistem ekonomi modern yang sekarang sedang dipertanyakan kembali. Wujud dari etika ini adalah terbangunnya transaksi yang fair dan bertanggungjawab. Nabi menunjukkan integritas yang tinggi dalam memenuhi segenap klausul kontraknya dengan pihak lain seperti dalam hal pelayanan kepada pembeli, pengiriman barang secara tepat waktu, dan kualitas barang yang dikirim. Di samping itu, beliau pun kerap mengaitkan suatu proses ekonomi dengan

202Muhammad Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam; lihat juga Muhammad Baqir S{ada>r, Buku Induk Ekonomi Islam. 203„Afar, al-Iqtis}a>d al-Isla>mi al-Juz-I, jilid III (Jeddah: Da>r al-Baya>n al-„Arabi>, 1985).

164 pengaruhnya terhadap masyarakat dan lingkungan. Untuk itu, ia melarang diperjualbelikannya produk-produk tertentu (yang dapat merusak masyarakat dan lingkungan). Dalam konsep distribusi dengan fokus kemitraan berangkat dari nilai-nilai keadilan sosial.204 Berdasarkan nilai-nilai ilahiyah yang membimbing tanggungjawab manusia dalam mengembangkan persepsi moral dan spiritual, serta motivasi dalam melakukan kerjasama. Nilai dasar yang dipertegas dalam hal tersebut bahwa manusia seluruhnya sebagai satu bangsa untuk saling membangun kebersamaan dalam melakukan aktifitas ekonomi sesuai dengan usaha yang dikembangkan masing- masing, sehingga memunculkan kemitraan dalam tatanan sosial yang proporsional. Dasar penting lain bahwa manusia sebagai wakil (khalifah) Allah di dunia tidak mungkin bersifat individualistik karena semua (kekayaan) yang ada di bumi adalah milik Allah semata, dan manusia adalah kepercayaannya di bumi dan secara simultan sekaligus menjamin kebebasan individu tanpa mengorbankan kebijakan sosial.205 Dengan demikian pembangunan ekonomi harus mampu mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat

204Lihat Mubyarto, Etika, Agama dan Sistem Ekonomi (Jakarta: YAE-Bina Swadaya, di Financial Club, 2002). Lihat juga Sonny Keraf, Etika Bisnis (Yogyakarta: Kanisius, 1998); Adiwarman A Karim, Bangunan Ekonomi yang Berkeadilan (Teori, Praktek, dan Realitas Ekonomi Islam) (Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004); Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis (Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004); Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006). Lihat juga , A Theory of Justice, diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006). 205Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, UII Yogyakarta, Ekonomi Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008); Syed Nawab Haider Naqvi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, terj. M. Saiful Anam dan M. Ufuqul Mubin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).

165 berdasarkan azas demokrasi, kebersamaan, dan kekeluargaan yang, serta mampu memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua pelaku ekonomi untuk berperan sesuai dengan bidang usaha masing-masing. Untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, dibutuhkan sebuah bentuk kemitraan yang diartikan sebagai kerjasama pihak yang mempunyai modal dengan pihak yang mempunyai keahlian atau peluang usaha dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Esensi kemitraan, jika secara umum konsep ini diimplementasikan dalam konsep mud}a>rabah206 dan musha>rakah207. Secara tersirat mud}a>rabah

206Mud}arabah atau trust financing adalah kerjasama usaha antara dua pihak. Pihak pertama sebagai penyedia modal, pihak kedua sebagai pengelola yang keduanya bergabung sebagai mitra usaha. Kemitraan tersebut dituangkan dalam sebuah master of understanding (nota kesepahaman) dengan segala pasal-pasal yang tertera didalamnya, baik keuntungan maupun kerugian, serta hal-hal yang berhubungan dengan human error. Lihat Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syari‟ah: Suatu Pengenalan Umum (Jakarta: Tazkie Institut dan Bank Indonesia, 1999). Lihat juga Karnaen A. Perwataatmadja, Membumikan Ekonomi Islam di Indonesia (Jakarta: Usaha Kami, 1996); Lois Ma‟luf, al-Munji}d fi> al-Lughah wa al-„A‟la>m, (Beirut: Da>r al Masyri>q, 1987). Sedangkan pengertian lain kata mud}a>rabah, yakni: mereka yang melakukan perniagaan (d}arb) mencari sebagian karunia Allah adalah para pengusaha (entrepreneur) yang bertindak sebagai mud}arib yang terikat dalam perjanjian mud}a>rabah (qira>d) dengan sistem bagi hasil. Lihat Abdul Ha>mid Mahmu>d al-Ba>ly, al-Madjal li al-Fiqhi al Banu>k al-Isla>miyah (Cairo: al-Ma‟had al-Dauli li al-Bunu>k wa al- Iqtis}a>di al-Isla>miah, 1983). Lihat juga Ahmad Rodoni dan Abdul Hamid, Lembaga Keuangan Syariah (Jakarta: Zikrul Hakim, 2008). 207Musha>rakah, S{irkah, ikhtila>t} (percampuran). Menurut mazhab Hanafi, syirkah adalah akad antara orang-orang berserikat dalam hal modal dan keuntungan. Lihat Muhammad Ahma>d Sira>j, al- Nid}a>m al-Masha>rafi fi>> al-Isla>m (Lahore: Muhammad Asharaf, 2003); Musthafa Ahmad Zarqa, al-Uqu>d al-Musamma (Damascus: al- Mat}baah Fata al-Arab, tt).

166 menunjukkan bahwa sesungguhnya manusia itu mempunyai kekurangan yang memerlukan orang lain sebagai patner atau mitra, kekurangan tersebut tidaklah manusia disuruh untuk bersifat fatalis, menerima apa adanya tanpa mau berusaha. Oleh karenanya, mud}a>rabah merupakan salah satu jalan untuk berbuat atas kekurangan yang dimiliki dan kelebihan yang dipunyai orang lain, ataupun sebaliknya (Q.S. al-Muzzammil [73]: 20; QS. al-Jumu‟ah [62]: 10). Rasulullah Saw. sebelum menjadi Rasul telah melakukan mud}a>rabah dengan Khadijah ra, beliau mendapatkan modal dari Khadijah ra. dan beliau pergi berniaga ke negeri Syam. Disamping itu, salah satu hadits Rasulullah yang menjelaskan tentang mud}a>rabah adalah: عن صاحل بن صهيب عن أبيو قال قال رسىل اهلل صلى اهلل عليو وسلن ثالث فيهن الربكة البيع اىل أجل واملقارضة وأخلط الرب بالشعري للبيت آل للبيع )رواه ابن هاجو( Secara umum mudharabah di bagi dua: Pertama, mudharabah mutlaq, yaitu bentuk kerjasama antara pemilik harta dengan pengelola dalam usaha yang mencakup luas, tanpa dibatasi. Kedua, mudaharabah muqayyad, yaitu bentuk kerjasama yang dibatasi dengan usaha tertentu atas instruksi pemilik modal. Baik mud}a>rabah mut}laqah maupun mud}a>rabah muqayyad sama-sama mempunyai satu tujuan untuk mendapatkan keuntungan bersama. Dibangun nilai-nilai: (1) penentuan besarnya nisbah (rasio) bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untug rugi, tidak terlihat adanya konsep bunga dalam pelaksanaannya; (2) besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh; (3)

208Dari Sha>lih ibn Suhaib ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “tiga hal di dalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara tanggung, muqad}arah (mud}arabah, dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual”. Lihat ibn Majah, Kitab Tija>rah, no. 2280.

167 bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak; (d) jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan jumlah peningkatan jumlah pendapatan. Perbedaan antara bunga dan bagi hasil dapat diketahui bahwa dalam konsep bunga, yaitu: (1) penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung; (2) besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan; (3) pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi; (4) jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”; (5) eksistensi bunga diragukan oleh semua agama.209 Disamping mud}a>rabah, Islam mengajarkan juga serikat perdagangan atau sarikat (musha>rakah) dengan beberapa jenis, yaitu: Pertama, syarikat„inan merupakan kontrak yang dilakukan oleh persero yang menyerahkan harta masing-masing untuk dijadikan kapital dagang, kedua belah pihak berbagi dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana menjadi agreement bersama,210 namun porsi masing-masing pihak, baik dalam dana maupun kerja ataupun bagi hasil, tidak harus sama dan identik sesuai dengan kesepakatan mereka.211 Kedua, syarikat mufawad}ah, yaitu kerjasama antara dua orang atau lebih dengan syarat-syarat sebagai berikut: (1) nilai saham dari masing-masing persero harus sama; (2) persamaan

209Lihat Muhammad Syafe‟i Antonio, Bank Syari‟ah: Suatu Pengenalan Umum. 210Akmaluddin Muhammad ibn Mahmu>d al-Babarti>, al- Ina>yah Ma‟a al-Hida>yah biha>s}iati Fathi al-Qa>dir (Mesir: Maktabah Must}afa al-Ba>bi al-Halaby, 1970). 211Muhammad Ahmad Siraj, al-Nid}am al-Mas}arafi fi> al- Isla>m (Lahore: Muhammad Asharaf, 1987).

168 wewenang dalam perbelanjaan;212 (3) persamaan agama; (4) setiap persero harus dapat menjadi penjamin, atau wakil persero lainnya dalam pembelian maupun penjualan barang-barang yang dibutuhkan.213 Ketiga, syarikat abdan yaitu dua orang yang satu propesi ataupun berlainan propesi sepakat untuk menerima pekerjaan baik secara upah harian, mingguan maupun borongan dengan pembagian upah diambil berdasarkan kesepakatan diantara mereka.214 Hal ini biasanya dilakukan oleh tukang-tukang kayu, kuli angkut, tukang jahit, tukang- tukang disentra pembuatan kain songket Palembang. Seluruh imam mazhab mengakui sahnya shari>kat ini, dengan mengambil dalil dari Abdullah ibn Mas‟u>d r.a. yang mengungkapkan: ااشرتكت أنا وعوار وسعد فيوا نصيب يىم بدر )رواه النسائى(215 Keempat, syarikat wujuh. Berbeda dengan macam- macam shari>kat yang lain, shari>kat wujuh adalah

212Muhammad Baqir ash-S{adr, Buku Induk Ekonomi Islam, terj. (Jakarta: az-Zahra, 2008). 213Lihat Sayi>d Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid 13; Musthafa Ahmad Zarqa, al-Uqu>d al-Musamma (Damascus: al-Mat}baah Fata al-Ara>b, tt). 214Disebut juga dengan istilah syirkah a‟ma>l, syirkah sina>‟i, atau syirkah taqabbul. Lihat Heri Junaidi, Fiqh Muamalah Kontemporer (Palembang: IAIN RF, 2008). 215Dari Abdullah ibn Mas‟ud r.a, “saya dan Sa‟ad bersekutu pada apa-apa (ghanimah) yang akan kita dapat di hari peperangan Badar. (H.R. Nasa‟i). Sejalan dengan hadits di atas, di dalam kitab al-Raud}ah al- Nad}iyah sebagaimana dikutip Sayyid Sabiq yang disebutkan bahwa semua nama-nama yang ada dalam kitab furu‟ tentang nama-nama syirkah seperti: mufawwad}ah,‟ina>n, wuju>}h dan a‟bdan, bukanlah sebagai nama-nama syari‟ah dan bukan pula lughawi, akan tetapi merupakan istilah baru dan diperbaharui. Tidak ada larangan bagi dua orang mencampur hartanya untuk mereka perdagangkan, seperti yang dikenal dengan istilah mufawwad}ah. Karena pemilik berhak menggunakan miliknya sebagaimana ia kehendaki, selama tindakannya tidak membawa kepada haram yang diharamkan oleh syari‟at. Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid 13.

169 kerjasama antara pemilik barang dengan orang yang hanya bermodalkan kewibawaan dan kepercayaan. Secara teknis, kegiatan ini adalah seseorang datang mengambil barang kepada pemilik barang dengan maksud di jual kembali. Pengambilan barang tersebut di ambil dengan hanya sikap kewibawaan dan kepercayaan yang ditinjau oleh si pemilik barang. Shari>kat seperti ini banyak berlaku pada saat sekarang. Seperti seorang yang dikenal baik oleh pemilik modal, terutama akhlak dan kejujurannya datang kepada pemilik modal tersebut, kemudian ia membawa barang- barang untuk dijualkan oleh diberi kepercayaan. Selanjutnya, pembayaran dan keuntungan hasil penjualan barang berdasarkan kesepakatan pada waktu pengambilan barang. Dalam bentuk lain, seperti yang ditulis Antonio, yaitu kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi baik serta ahli dalam bisnis, mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan, menjual barang tersebut secara tunai. Mereka berbagi dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh tiap mitra.216 Dari konsep tersebut, memperlihatkan nilai-nilai sosial dan humanitarin merupakan ultimate goal yang dibedakan oleh sistem ekonomi Islam. Tindakan ekonomi individu melalui proses filterisasi moral yang bertujuan menjaga self-interest dalam batas-batas kemas}lahatan sosial (social interest). Sistem ekonomi Islam pada dasarnya mendorong terjadinya equilibrium antara self- interest dan social interest, sehingga paradoks-paradoks yang lahir dari ketidak-keseimbangan antara dua nilai ini dapat diminimalisir. Ekonomi Islam sebagai sebuah sistem lebih mendorong lahirnya sikap patnership antar sesama masyarakat di tingkat bawah (grass root), artinya nilai-nilai pemberdayaan dari kaum ghaniyyin (kaya) terhadap kaum d}uafa> (lemah) merupakan crusial point yang didorong

216Muhammad Syafe‟i Antonio, Bank Syari‟ah: Suatu Pengenalan Umum. Lihat juga Abdul Jalil, Teologi Buruh (Yogyakarta: LKiS, 2008).

170 oleh sistem ekonomi Islam.217 Kemas}lahatan tersebut juga dibangun berdasarkan pada kekuatan komitmen untuk mengikuti aturan dan tidak membahayakan orang lain.218Aspek penggunaan kapital, hak dan kewajiban, pengembangan Sumber Daya Manusia, sampai kemitraan tidak dapat lepas dari dasar ekonomi Islam itu sendiri yang berpijak pada saling bermusyawarah,219 yang merupakan salah satu prinsip ajaran Islam mengenai kehidupan bermasyarakat.220 Beberapa ayat dalam al-Qur‟an menjelaskan pentingnya musyawarah (Q.S. az-Z{ukhruf [43]: 38; Q.S. ali-Imra>n [3]: 159). Dari sejumlah ayat yang membicarakan masalah musyawarah dalam al-Qur‟an terdapat dalam tiga kasus, yakni: (1) dalam hubungannya dengan rumah tangga, yaitu antara suami istri; (2) berhubungan dengan muamalah

217Nauwaf al-Qudaimi, Muḥawarat: al-Islamiyun wa -AsIlat an - Nahḍa al-Mua>qa (Beirut: al-Muassasa al-Arabiya li al-Dirasat wa-'n- Nasr, 2006); lihat juga Veithzal Rivai dan Andi Buchari, Islamic Economics: Ekonomi Syari‟ah bukan Opsi, tetapi Solusi (Jakarta: Bumi Aksara, 2009). 218Abdullah al-Muslih dan Shalah ash-Shawi, Ma> la Yasa‟ al- ta>jira Jahluhu>, diterjemahkan oleh Abu Umar Basyir, Fiqh Ekonomi Keuangan Islam (Jakarta: Dar al-Haq, 2008). 219Lihat Abu Husain ibn Faris ibn Zakaria, Mu‟ja>m Muqayis al- Lugha>t, jilid III (Mesir: Must}afa al-Ba>bi al-Halabi, 1972); bandingkan dengan Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an, Tafsir Maudhu‟i atas Berbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1999); lihat juga Nauwaf al- Qudaimi, Muḥawarat: al-Islamiyun wa-Aslat an-Nahḍa al-Mua}qa (Beirut: al-Muassasa al-Arabiya li al-Dira>sat wa-'n-Nasr, 2006). 220Lihat Munawir Sjazali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI-Press, 1990); Masykuri Abdillah, ”Kata Pengantar Syura dan Demokrasi”, dalam Musyawarah dan Demokrasi: Analisis Konseptual Aplikatif dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Politik Islam, Artani Hasbi (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001); lihat juga Fahmi Jad‟a>ni, al-Muqaddas wa al-Huriyah: wa Abhatsu wa Maqa>lat Ukhra min Athya>fi al-Hada>shah wa Maqa>shid (Beirut: al-Arabiyah li-Dirashat wa Natsr al-Mu‟assasah, 2000).

171 dalam rangka menciptakan masyarakat yang ideal dan harmonis; (3) dalam rangka mengatur kehidupan berpolitik dalam sebuah negara dalam mencapai “baldatun t}ayyibatun warabbun ghafu>r”.221 Dengan demikian, melakukan konsultasi untuk mendapatkan nilai bersama dalam kehidupan bermuamalah merupakan wajib fard}u. Argumentasi berdasarkan pada: (1) ayat-ayat musyawarah diungkapkan dalam bentuk jumlah ismiyah yang berfungsi untuk menyatakan bahwa sesuatu berjalan tetap dan terus berlangsung;222 (2) karena Allah Swt. memuji orang-orang mukmin yang menjadikan musyawarah sebagai kebiasaan; (3) karena Allah mengungkap kata “shura>” diantara dua kalimat, Shalat (aqi>mu al-S{a>lat) dan zakat (a‟t}u al- zaka>t). Artinya jika orang Islam tidak boleh meninggalkan sholat, maka berarti ia juga tidak boleh meninggalkan musyawarah; (4) Rasulullah Saw. selalu melakukan dan mengajak musyawarah dalam urusan duniawi.223 Islam dengan tegas menyangkal anggapan bahwa alam memiliki sifat kikir seperti itu. Allah Swt. Yang Maha Pemurah telah menganugerahkan kepada manusia apa saja yang mereka perlukan melalui ketersediaan berbagai sumber daya di alam semesta ini (Q.S. al-Baqarah [2]: 29). Keterbatasan perspektif manusialah yang menimbulkan adanya kelangkaan sumber daya, perspektif ini dipengaruhi oleh dua hal: Pertama, kurangnya pengetahuan, informasi; dan Kedua, kurangnya kemampuan untuk melakukan eksplorasi sumber daya yang tersedia, atau bahkan kombinasi dari keduanya.

221Lihat Yusuf al-Qard}awi, al-Isla>m wa al-Ilmaniyah, Wajhan li Wajhin (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000); Ṣaqr Abu Fakhr, al-Din wa al-Dahma wa al -Dam: al-Arab wa Istisa al -Ḥada Thah (Beirut: al Muassasah al-Arabiyah lil-Dirasat wa-al-Nashr, 2007). 222Abu al-Fad}al Syiha>b al-Di>n al-Sayyid Mahmu>d al-Alusy, Tafsir Ru>h al-Ma‟a>ni Fi> Tafsi>r al-Qur‟a>n al-Ad}im wa al Sab‟a al-Ma‟a>ni, jilid XII (Beirut: Da>r al-Fikr, tt.). 223Ibn Hajar Al-Asqa>lani, Fath al-Ba>ri bi Sarh al-Bukha>ri, jilid XVII (Cairo: Da>r al-Fikr, tt).

172

Dalam arti luas, sumber daya natural ini tidak akan pernah habis kecuali Allah menentukannya di Hari Kiamat. Habisnya satu bentuk sumber daya melahirkan bentuk yang lain yang bisa baru sama sekali, baik secara natural ataupun melalui intervensi pengetahuan dan teknologi yang berkembang. Jadi, kelangkaan ini lebih merupakan persoalan ilmu (pengetahuan) sebagai fungsi “waktu”. Karenanya Islam amat menegaskan perlunya penguasaan ilmu pengetahuan (al-Muja>dilah [58]: 11) dan pengelolaan waktu (al-„As}r [103]: 1-4). Tambahan lagi bahwa pemberian sumber daya secara bertahap ini juga memberi pelajaran manusia agar tidak arogan, dan agar manusia menyadari posisinya sebagai pengemban amanah Allah sebagai Khalifatullah fi> al-Ard}i Rasionalitas dalam Islam bukannya kemudian membatasi peluang untuk melakukan pemaksimalan kepentingan atau kebutuhan secara mutlak. Term “maksimisasi” bisa saja tetap digunakan, hanya ia dibatasi oleh kendala etika dan moral Islam. Maka istilah “kepuasan” pun mengalami transformasi pengertian dari “kepuasan tak terbatas” menjadi falah, dalam arti yang luas, dunia dan akhirat. Falah di akhirat adalah menjadi tujuan akhir dari proses di dunia secara terus-menerus. Dalam relasi tujuan akhir kepuasan duniawi dengan berbagai kerja dan usaha yang halal dan mampu meningkatkan kualitas hidup pada tingkat maksimal berdasarkan pada itqan dan ihsan untuk mencapai kebahagian hakiki di akherat (Q.S al- Qas}as} [28]: 77). Dengan demikian pengejaran sarana material di dunia dapat dimaksimalkan guna memaksimalkan pelaksanaan ibadah kepada Allah dengan lebih sempurna terealisasikan dalam institusi zakat, infaq, dan sedakah, yang dalam konsep Islam mampu memberikan peluang pada golongan yang lemah untuk berusaha, karena mereka memiliki hak yang melekat dalam harta benda si- kaya.224

224Pemahaman lebih luas terhadap konsep zakat, infaq dan shadaqah lihat Heri Junaidi dan Suyitno (ed), Fiqh Zakat Sumatera

173

Dari berbagai kajian tersebut dapat dipahami bahwa konsep efisiensi berkeadilan seperti tertuang dalam amandemen pasal 33 UUD 1945 dalam kajian pemikiran ekonomi kerakyatan, ekonomi Pancasila dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam. Hal ini memperlihatkan bahwa para pengusung pemikiran tersebut adalah orang-orang muslim yang mampu mentransfer nilai-nilai syari‟at Islam kedalam ekonomi di Indonesia, seperti Mohammad Hatta, Sritua Arif, Mubyarto, dan Sri-Edi Swasono serta para pemikir ekonomi di lingkungan perguruan tinggi Agama Islam.

D. Perbandingan Nilai Efisiensi Berkeadilan Seperti dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, bahwa efisiensi berkeadilan merupakan asas pengelolaan sumber daya yang harus mencapai pemerataan akses terhadap semua masyarakat dengan harga yang ekonomis dan terjangkau dan bertitik tolak pada nilai-nilai moral dan etika, dikelola dengan baik dan tepat guna, sehingga dapat memberikan kesejahteraan dan kemakmuran untuk semua. Sehingga konsep efisiensi berkeadilan merupakan upaya pemberdayaan maksimal masyarakat berbasis persaudaraan dan kebersamaan yang tidak membuat seseorang sejahtera dengan membuat orang lain dirugikan. Hasil kajian produksi dan distribusi dalam studi ini (pendayagunaan kapital, hak dan kewajiban, kebersamaan dalam pengembangan sumber daya, kebebasan berusaha dan berkreatifitas, serta kemitraan) memperlihatkan perbedaan. Nilai-nilai efisiensi berkeadilan sebagaimana dimaknai dalam studi ini, tidak terlihat dalam wacana kapitalis. Pendekatan kapitalis sampai pada konstruk efisiensi yang membangun keuntungan sehingga perdagangan bebas,

Selatan (Jogjakarta: Gama Media, 2004). Lihat juga Peraturan Menteri Agama RI Nomor 4 tahun 1968 tanggal 15 juli 1968 tentang pembentukan Badan/Amil Zakat; Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999; Keputusan Direktorat Jenderal Binmas Islam dan Urusan Haji No.D/291 Tahun 2000 tentang petunjuk tehnis pengelolaan zakat; Keputusan Menteri Agama nomor 373/2003 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999.

174 investasi bebas, termasuk bebasnya kapital keluar masuk sebuah negara menjadi pendekatan dalam membangun efisiensi tersebut. Efisiensi ada bila berada dan dipergunakan melalui tangan perorangan yang mampu membangun dan mengelola, sehingga mendapatkan keuntungan maksimal, negara tidak boleh ikut campur dalam semua aktivitas ekonomi yang bertujuan mencari keuntungan (profit), serta memberikan perhatian lebih banyak kepada manusia yang beretika dan manusiawi. Sistem kapitalis bersandar pada kepemilikan individu, melepaskan pemikirannya dari kerangka nilai sehingga menimbulkan ketidakadilan dalam berbagai aspek ekonomi dan kecemburuan sosial. Akibatnya kelompok ekonomi kapitalis menjadi penguasa menguatkan monopolistik (ihtikar), penimbunan (iktinâz), penarikan bunga (faidah) yang memberatkan kelompok ekonomi lemah. Teori, model dan sistem ekonomi kapitalis dijadikan alat oleh negara- negara maju melakukan eksploitasi kekayaan alam dan sumber daya manusia negara-negara berkembang melalui investasi dan bunga pinjaman.225 Efisiensi berkeadilan adalah konsepsi makro ekonomi sebagai transformasi dari konsepsi efisiensi pada tataran mikro ekonomi. Efisiensi berkeadilan adalah efisiensi sosial dalam mencapai keadilan sosial ekonomi pada tataran makro. Apabila efisiensi ekonomi terjadi pada titik optimun pada indefferent curve, maka efisiensi berkeadilan terletak pada optimum di dalam social indefferent curve. Demikian pula efisiensi, ekonomi pada tataran mikro terletak pada titik optimum perolehan laba usaha (titik optimum di mana marginal cost sama dengan marginal revenue atau MC=MR), maka efisiensi berkeadilan dicapai pada titik sesudah melampaui titik MC=MR dimana harga lebih murah dan laba perusahaan

225Murasa Sarkaniputra, Adil dan Ihsan dalam Perspektif Ekonomi Islam.

175

(kapitalistik) yang memproduksi lebih kecil226. Dalam bidang ekonomi wujud dari integralisme ini adalah berlakunya paham kebersamaan (mutualism) dan kekeluargaan (brotherhood) berikut kepentingan-bersama (mutual interest) yang menyertainya, ditempatkan pada kedudukan utama. Kolektivisme adalah representasi paham kebersamaan (apa yang dimaksudkan dengan brotherhood di atas bukanlah kinship atau kekerabatan). Ini artinya Indonesia menganut faham kolektifisme (kebersamaan). Indonesia menolak individualisme dan liberalisme. Dengan ruh kebersamaan itu Indonesia menegaskan kebersamaannya berdasar doktrin kebangsaan dan kerakyatan berkat munculnya”rasa bersama”227. Status kapital yang dimiliki manusia hanya sebagai amanah (as a trust) dan ujian dari Allah Swt, dimana seseorang yang memiliki suatu barang pada hakekatnya memperoleh suatu titipan yang diamanatkan kepadanya untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya. Sementara pandangan dunia dalam definisi ekonomi konvensional menempatkan Tuhan pada wilayah yang berbeda sama sekali dan tidak dapat disentuh oleh domain yang lain, yang terkait dengan masalah kemanusiaan dan alam semesta. Dalam bidang ekonomi, Dia (Tuhan) tidak ada campur tangan apapun dalam urusan manusia, terutama menyangkut persoalan materi. Oleh karenanya, pengejaran materi merupakan standar rasionalitas dalam definisi ilmu ekonomi sekular,

226Sri-Edi Swasono, Kelengahan Kultural dalam Pemikiran Ekonomi: Pancasila, Pasal 33 UUD 1945 Koperasi Entrepreneuship- Koorperatif (Jakarta: Bappenas, 2011), 9. Ada empat buku Sri-Edi Swasono menggambarkan pembelaannya kepada ekonomi rakyat ini dan ketegasannya dalam menolak neoliberalisme, yakni Ekspose Ekonomika (Pustep-UGM, Maret 2010), Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial (Jakarta: Perkumpulan PraKarsa, April 2010), Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan (Jakarta: UNJ Press, Agustus 2005), Kembali ke Pasal 33 UUD 1945 Menolak Liberalisme (Penerbit Yayasan Hatta, Juli 2010). 227Sri-Edi Swasono, Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial: dari Klasikal dan Neoklasikal sampai ke the End of Laissez- Faire.

176 yang oleh Adam Smith dan diikuti pula oleh Alfred Marshall diformulasikan sebagai the wealth atau well- being, yaitu kesejahteraan; dan oleh Lionel Robbins sebagai the means, sarana dan sekaligus, dengan nilai yang mungkin lebih tinggi, sebagai the ends atau tujuan.228 Perbedaan dengan prinsip ekonomi kerakyatan maupun ekonomi Islam terletak pada prinsip kesejahteraan dan pemberdayaan. Kapital diberlakukan untuk memaksimalkan kegunaan dan distribusi dari seluruh sumber dan potensi dunia secara rasional baik itu fisik, mental, maupun spiritual dan pembentukan tata tertib sosial humanistis yang harmonis, serta keadilan merata. Secara normatif landasan ideal sistem ekonomi kerakyatan adalah Pancasila dan UUD 1945. Hal ini berarti bahwa keadilan menjadi syarat utama, dan Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal utama bertumpunya sistem ekonomi Indonesia. Pasal 33 UUD 1945 dan penjelasannya secara tegas mengamanatkan bahwa asas dan sendi perekonomian nasional harus dibangun sebagai usaha bersama atas azas kekeluargaan.229 Hal ini berarti pula, bahwa perekonomian nasional harus dibangun berdasar demokrasi ekonomi, di mana kegiatan ekonomi pada intinya dilaksanakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam doktrin ekonomi Islam, efisiensi berkeadilan memberikan sinyal bahwa segala sesuatunya adalah milik Allah, manusia diberi hak untuk memanfaatkan segala sesuatu yang ada di muka bumi ini sebagai Khalifatullah atau pengemban amanat Allah, untuk mengambil keuntungan dan manfaat sebanyak-banyaknya sesuai dengan kemampuannya dari barang-barang ciptaan Allah.

228Hasan, Zubair, “Profit Maximization: Secular versus Islamic” dalam Sayyid Taher et.al., Reading in Microeconomics: an Islamic Perspective (Kuala Lumpur: Longman Malaysia, 2000). 229Lihat Sri-Edi Swasono, Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial: dari Klasikal dan Neoklasikal sampai ke the End of Laissez- Faire; As‟ad Said Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2009).

177

Upaya pemberlakuan tersebut diberikan batasan-batasan, sehingga menguntungkan individu tanpa mengorbankan hak-hak individu lainnya. Status kekhalifahan berlaku umum untuk setiap manusia, namun tidak berarti selalu punya hak yang sama dalam mendapatkan keuntungan. Kesamaan hanya dalam kesempatan, dan setiap individu dapat menikmati keuntungan itu sesuai dengan kemampuannya. Individu-individu memiliki kesamaan dalam harga dirinya sebagai manusia, sehingga aktifitas produksi dan distribusi yang diberlakukan disesuaikan dengan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya, dan dengan peranan-peranan normatif masing-masing dalam struktur sosial. Sistem kapitalisme dan sosialisme berbasis bebas nilai atau keadaan yang netral, jelas hal itu karena mereka tidak mengakui nilai-nilai moral dan etika, dengan memusatkan kepentingan segala sesuatu daam kehidupan ekonomi menurut tolak ukur kebendaan semata. Sebaliknya, nilai atau etika merupakan pandangan pokok sistem ekonomi Islam atau Islam secara keseluruhan. Ilmu ekonomi Islam dapat digambarkan sebagai ilmu ekonomi yang bernuansa keagamaan (religious economics), dan ilmu ekonomi yang beretika (ethical economics). Sehingga dalam anggapan dasar analisisnya ilmu ekonomi Islam didasarkan pada pengertian manusia yang beretika (ethical man) dan tidak pada pengertian manusia ekonomi (economic man), sebagaimana dalam kapitalisme atau prinsip manusia yang berkelompok (social cogwheel) dalam sosialisme. Oleh karena itu, ilmu ekonomi Islam didasarkan pada sendi-sendi etika yang jelas dengan memberikan perhatian lebih banyak kepada manusia yang beretika dan manusiawi. Dalam konsep ekonomi Islam, efisiensi berkeadilan dari aspek kapital ketika misalnya, tidak dijadikan sebagai lahan untuk memperkaya diri sendiri. Modal tetap pada umumnya dapat disewakan. Penyewaan yang efisien berkeadilan adalah untuk membantu kesejahteraan orang lain sementara pemikiran kapitalis berupaya untuk meningkatkan nilai sewa setiap saat dengan niat

178 keuntungan pribadi. Ekonomi kerakyatan maupun ekonomi Islam berdasarkan pada konsep ijarah yang bernilai kemitraan (patnership) dan bukan hanya sekedar keuntungan (utility).230 Artinya, efisiensi juga perlu dalam berbagai konteks sementara sumber-sumber daya tidak boleh disia-siakan atau disalahgunakan, karena adanya pertanggungjawaban kepada Tuhan. Pertanggungjawaban ini berlaku bagi semua sumber daya yang dipergunakan untuk membantu memaksimalkan kesejahteraan manusia. Pertanggungan ini berlaku bagi sumber-sumber daya langka atau melimpah, mengandung biaya atau gratis.231 Titik perbedaan yang terlihat pada ekonomi kerakyatan dan ekonomi Islam dalam memaknai konsep efisiensi berkeadilan. Konsep ekonomi kerakyatan yang ditegaskan dalam UUD 1945 belum memiliki nilai dasar yang tegas bagaimana memberlakukan ekonomi bebas riba yang dikembangkan adalah social capital (modal sosial), sementara ekonomi Islam dengan tegas melarang konsep riba. Sehingga perdebatan sekitar boleh dan tidak bolehnya bunga masih menjadi perdebatan di dunia ekonomi kerakyatan. Pertama, kelompok yang membolehkan bunga. Mereka yang membolehkan bunga bank berpijak pada: (a) teori abstinence, yaitu bahwa kreditor menahan diri, atau menangguhkan keinginan memanfaatkan uangnya sendiri semata-mata untuk memenuhi keinginan orang lain. Ia meminjamkan modal yang semestinya dapat mendatangkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Jika peminjam menggunakan uang untuk memenuhi keinginan pribadi, ia dianggap wajib membayar sewa atas uang yang dipinjamkannya. Sama halnya dengan membayar sewa terhadap sebuah rumah, perabotan, maupun kendaraan; (b) bunga sebagai imbalan sewa; (c) faktor produktif dan konsumtif sebagai pembolehan bunga; (d) opportunity cost,

230Veithzal Rivai dan Andi Buchari, Islamic Economics: Ekonomi Syari‟ah bukan Opsi tapi Solusi. 231M. Umer Chepra, Masa Depan Ilmu Ekonomi; Sebuah Tinjauan Islam (the Future of Economics: an Islamic Perspective), terjemahan Ikhwan Abidin Basri.

179 didasarkan pada alasan bahwa kreditor berhak menikmati keuntungan terkait langsung dengan besar kecilnya waktu; (e) fungsi modal dalam produksi sangatlah penting; (f) teori nilai uang pada masa mendatang lebih rendah dibanding masa sekarang; (g) inflasi. Kedua, kelompok yang melarang bunga. Mereka yang berkeyakinan untuk mengharamkan riba disebabkan: (a) bunga menumbuhkan sikap egois, bakhil dan berwawasan sempit, cenderung bersikap tidak mengenal belas kasih. Maududi memberikan analisa psikologis, bahwa praktek pembungaan uang menjadikan seorang malas untuk menginvestasikan dananya dalam sektor usaha; (b) bunga adalah bagian dari hidup ribawi; (c) secara sosial, institusi bunga merusak semangat berkhidmat kepada masyarakat, menghancukan solidaritas dan kepentingan yang akan membawa kepada perpecahan; (d) bunga membawa kepada kezaliman ekonomi, dan merendahkan standar kehidupan masyarakat; (e) bunga menimbulkan kecemasan bagi individu yang malah menghancurkan efesiensi kerja mereka. Sebab, setiap hari dia selalu berpikir pada suku bunga pinjamannya; (f) dengan bunga menimbulkan monopoli sumber dana.232 Penegasan tersebut penting, sebab efisiensi dalam konsep ekonomi Islam mengenai persoalan sirkulasi keuangan sangat penting. Jika seseorang meminjam uang untuk pengembangan usaha, maka ia menanggung utang sebesar jumlah yang digunakan dan harus mengembalikan dalam jumlah yang sama (mithl), bukan substansinya.

232Haque, Riba: The Moral Economy of Usury, Interest, and Profit (Kuala Lumpur: S. Abdul Majeed and CO, 1995); Fahrul Ahsan, “on the Nature and Signifance of Banking without Interest”, Bangladesh Bank Bulitten, vol. 56, February 2007, 9-11; dan tanggapan masalah bunga bank oleh Anwar Qureshi, Islam and the Theory of Interest (Lahore: tp, 2000) dan Muhammad Syafei Antonio, Bank Syari‟ah: Sebuah Pengenalan Umum. Hasibuan, S., Case Study of Muslim- managed Organizations, the Case of Indonesian Development Agenda (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Al Azhar 2006), acceed www. uai.ac.id.

180

Modal memiliki return on capital bila dikembangkan dalam bentuk akad mud}ara>bah atau dipinjamkan (qard}), tetapi tidak diperbolehkan pengembaliannya melebihi pokoknya. Kelebihan demikian masuk dalam kategori riba. Karena itu Islam melarang berkembangnya riba dalam dunia perekonomian. Ini juga ditegaskan dalam musyarakah dengan capital return-nya dalam bentuk bagian dari laba (profit). Mudarabah atau dalam istilah ekonomi dikenal dengan trust financing atau trust investment233 menunjukkan bahwa sesungguhnya manusia itu mempunyai kekurangan yang memerlukan orang lain sebagai patner atau mitra, kekurangan tersebut tidaklah manusia disuruh untuk bersifat fatalis, menerima apa adanya tanpa mau berusaha. Oleh karenanya Mudarabah merupakan salah satu jalan untuk berbuat atas kekurangan yang dimiliki dan kelebihan yang dipunyai orang lain, ataupun sebaliknya. Hal tersebut memperlihatkan efisiensi berkeadilan yang tegas dalam konsep ekonomi Islam, merealisasikan kesejahteraan untuk semua dalam cara yang seimbang dan adil. Chapra merangkum nilai-nilai efisiensi berkeadilan, yaitu: Pertama, suatu kerugian atau pengorbanan privat dapat ditimpakan untuk menyelamatkan pengorbanan atau kerugian publik, dan suatu mas}lahat yang lebih kecil dapat dikorbankan untuk merealisasikan mas}lahat yang lebih besar. Kedua, suatu kerugian yang lebih besar dapat digantikan oleh kerugian yang lebih kecil. Kemas}lahatan mayoritas yang lebih besar harus didahulukan daripada kemas}lahatan minoritas yang lebih sempit; kemas}lahatan publik harus dikedepankan daripada kemas}lahatan privat. Ketiga, penghapusan kesulitan dan bahaya harus

233Lihat Karnaen A. Perwataatmadja, Membumikan Ekonomi Islam di Indonesia (Jakarta: Usaha Kami, 1996); Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syari‟ah: Suatu Pengenalan Umum. Lihat juga Abdul Ha>mid Mahmu>d al-Ba‟ly, al-Madkha>l li al-Fiqhi al Banu>k al- Isla>miyah (Cairo: al-Ma‟had al-Dauli li al-Bunu>k wa al-Iqtis}a>di al- Isla>miah, 1983).

181 didahulukan daripada mendapatkan kemas}lahatan. Keempat, bahaya harus dihilangkan sejauh mungkin.234 Semua kaidah ushul di atas jelas bertentangan dengan konsep optimum pareto, yang tidak mengakui solusi apapun yang menuntut pengorbanan dari pihak sekelompok kecil (orang kaya) untuk meningkatkan kesejahteraan jumlah yang lebih banyak (orang-orang miskin). Dengan demikian, penggunaan sumber-sumber daya yang paling efisien ditentukan berdasarkan maqas}id. Setiap penggunaan yang menggagalkan realisasi maqas}id harus dipandang sebagai kesia-siaan dan in-efisiensi. Dalam paradigma Islam, perilaku seperti ini tidak hanya akan merusak sumber-sumber daya yang telah disediakan oleh Allah sebagai suatu bentuk amanah, melainkan juga menimbulkan ketidakadilan kepada para konsumen. Meskipun usaha mempertahankan harga pada tingkat sekarang tidak dapat membuat konsumen menjadi lebih buruk, namun barang-barang itu dapat dibuat menjadi lebih bermanfaat, jika kelebihan output tersebut tidak dihancurkan, harga akan turun atau kelebihan itu dapat dibagikan kepada orang-orang miskin. Begitu juga, waktu dan energi yang dipergunakan untuk s}alat dan berpuasa akan nampak sia-sia, jika dipandang menurut kerangka materialisme, karena hal itu akan menyebabkan kerugian, meskipun tidak selalu, penurunan output sehingga menghambat maksimalisasi output dan laba. Namun, jika dipandang dari sudut kontribusi si kaya yang akan dapat menciptakan character building, dan peningkatan spiritual, serta kesejahteraan manusia, maka s{alat dan puasa sesungguhnya memiliki keunggulan positif. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan efisiensi berkeadilan dalam perspektif ekonomi kapitalis, ekonomi kerakyatan dan ekonomi Islam. Pertama, efisiensi berkeadilan dalam ekonomi kapitalis dimunculkan dalam konstruk bebas nilai, tanpa intervensi pemerintah,

234M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi; Sebuah Tinjauan Islam.

182 orientasi pasar bebas, dan kemitraan dibangun untuk mendapatkan keuntungan maksimal orang perseorangan. Kedua, ekonomi kerakyatan dalam konstruk kebersamaan, kemandirian, keseimbangan, dibatasi dengan peraturan dan perundang-undangan dalam mengatur pasar, sehingga rakyat yang berdaulat dan bukan pasar yang berdaulat. Sementara aktifitas kemitraan terutama dalam pengembangan usaha masih mengggunakan mekanisme sistem bunga; Ketiga, ekonomi Islam didasarkan pada nash dan fiqh muamalah, adanya keseimbangan pasar, negara, dan individu, dan menuju kesejahteraan bersama melalui prinsip bagi hasil (non ribawi). Tujuan ekonomi Islam adalah menciptakan kehidupan manusia yang aman dan sejahatera. Dengan demikian dalam ekonomi Islam, manusia dan faktor kemanusiaan merupakan faktor utama. Faktor kemanusiaan dalam ekonomi Islam terdapat dalam kumpulan etika, yang ada pada Al-Qur‟an, hadist serta ijma para ulama yang mencakup etika, kebebasan, kemanusian, keadilan, sikap moderat dan persaudaraan sesama manusia. Etika Islam menjajarkan dan mengajukan manusia untuk menjalin kerjasama, tolong menolong dan menjauhi sikap iri, dengki dan dendam. Konsep Ekonomi Pancasila dan ekonomi kerakyatan maupun termasuk demokrasi ekonomi termasuk istilah Efisiensi Berkeadilan dalam amandemen pasal 33 UUD 1945 dengan varian yang dibangun didalamnya di pengaruhi nilai-nilai Islam. Hal tersebut tidak lepas dari para pengusung adalah ekonom ekonom muslim seperti Mohammad Hatta, Mubyarto, Sritua Arief, Sri-Edi Swasono. Kajian disertasi ini mengarah pada instrumental dalam wilayah fiqh muamalah maliyah dan muamalah ma‟daniyah seperti konsep mud}arabah, musharakah, etika akhlak ekonomi yang dikaji oleh pemikir-pemikir muslim. Sehingga semakin menguatkan konsep efisiensi berkeadilan dalam amandemen pasal 33 UUD 1945.

Ketiga

PRODUK USAHA BERASAS KEKELUARGAAN

Dalam bab ini menunjukkan nilai-nilai efisiensi berkeadilan berdasarkan hasil penelaahan pada bab-bab sebelumnya yang terjadi dan berkembang pada usaha songket Palembang sebagai salah satu usaha kecil objek studi. Observasi tidak terstuktur untuk mencari gambaran awal, wawancara mendalam untuk mencari informasi, studi literer untuk mencari data. Responden dan informan kunci dari pengrajin dan perajin songket dipilih secara purposive, dikembangkan dengan metode snowball. Observasi dan wawancara dilakukan secara bertahap antara tanggal 22 September hingga 18 Oktober 2010. Sebagai penegasan ulang indikator adanya efisiensi berkeadilan seperti dijelaskan bab sebelumnya adalah: (1) semua aktifitas usaha songket terbangun sebuah jaringan kebersamaan (ukhuwah); (2) berorientasi pada solidaritas kerja; (3) keuntungan tidak terfokus pada orang perseorang; (4) kemitraan yang sama-sama menguntungkan dan memberdayakan; (5) keikutsertaan usaha songket dalam program pembangunan lokal dan nasional.

A. Karakteristik Usaha Memaknai songket sebagai sebuah produk dapat didasarkan akar budaya songket itu sendiri. Usaha songket adalah salah satu aktifitas kerajinan tradisional masyarakat

186 187 di Indonesia yang sudah dikenal sejak zaman pra sejarah1 yang berhubungan pula dengan sejarah pertenunan di Indonesia. Hal tersebut bisa dibaca ketika tanaman kapas2 sudah dikenal dan mampu dibuat menjadi benang. Sejarawan Robyn dan Maxwell menulis ”…tradisi tenun sutra dan songket dibawa oleh pedagang Cina dan India yang menguasai perdagangan Asia Tenggara melalui selat Malaka dan pelabuhan-pelabuhan Sumatera dan pantai utara pulau Jawa sekitar abad VII-XV”.3 Selanjutnya berkembang dalam ranah pertekstilan dari industri rumahan tahun 1929, dimulai dari sub-sektor pertenunan (weaving) dan perajutan (knitting) dengan menggunakan alat Textile Inrichting Bandung (TIB) gethouw atau yang dikenal

1Sejarah kapas dimulai di negara asal India selama hampir 5000 tahun yang lalu. India menjadi produsen kapas terkemuka dalam beberapa ribu tahun. Selama 300 SM, ketika pasukan Macedonia dipimpin oleh Alexander Agung melewati Indonesia dalam perjalanan ke Persia. Lihat Steve Mull, The Cotton History (Kansas City: Walsworth Publishing Company); A. Widyamartaya, Manusia Kain Kapan (Jogjakarta: Kanisius, 2006); lihat juga Sulistiyo dan Agnes Mawarni, Kapas: Kajian Sosial-Ekonomi (Yogyakarta: Adity Media, 1991). 2Kapas adalah serat yang dihasilkan oleh tanaman kapas (gossypium hirsutum ) tanaman kapas ini mempunyai banyak spesies, diperkirakan berjumlah 30-40 spesies yang tersebar di seluruh belahan dunia dari daerah yang beriklim tropis hingga subtropis. Sedangkan yang paling banya digunakan untuk produksi pakaian, adalah tanaman kapas jenis gossypium hirsutum yang tingkat penggunaanya mencapai 90% dari produksi kapas di dunia. Republik China adalah produsen kapas terbesar, disusul kemudian India, Amerika Serikat, Pakistan, hingga Syria. Lihat Stephen H Yafa, Cotton: the Biography of a Revolutionary Fiber (New York: Penguin Books, 2005); Jane Bingham, Science and Technology (Chicago: Raintree, 2006). 3Robyn Maxwell, Textiles of Southeast Asia: Tradition, Trade and Transformation (Singapore: Periplus, 2003). Lihat juga Sayyed Hossein Nasr and Oliver Leaman, Routledge History of World Philosophies (USA and Canada: Rouldge, Inc, Vol.1, 2002); Michael Mass, Readings in Late Antiquity: a Sources Book (USA and Canada: Rouldge, Inc, 2000). 188 dengan nama Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM), yang diciptakan oleh Daalennoord pada tahun 1926 dengan produknya berupa tekstil tradisional seperti sarung, kain panjang, lurik, stagen (sabuk), dan selendang. Penggunaan ATBM mulai tergeser oleh Alat Tenun Mesin (ATM) yang pertama kali digunakan pada tahun 1939 di Majalaya-Jawa Barat disaat daerah tersebut mendapat pasokan listrik pada tahun 1935.4 Aktifitas ATBM dengan fasilitas tersebut tetap menjadi andalan dalam produksi pertenunan. Hal tersebut tidak lepas dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia, dimana kreativitas pemintalan benang di Indonesia bukanlah aktifitas yang baru bagi masyarakat muslim, lama sebelum proses pertenunan di Indonesia dan diberbagai wilayah lain di dunia. Di samping itu, sejarah membuktikan bahwa aktifitas

4Tahun 1960-an, sesuai dengan iklim ekonomi terpimpin, pemerintah Indonesia membentuk Organisasi Perusahaan Sejenis (OPS) yang antara lain, seperti OPS Tenun Mesin; OPS Tenun Tangan; OPS Perajutan; OPS Batik. Sejarah pertekstilan kemudan mencatat bahwa pertengahan tahun 1965-an, OPS dan GPS dilebur menjadi satu dengan nama OPS Tekstil dengan beberapa bagian menurut jenisnya atau sub- sektornya, yaitu pemintalan (spinning); pertenunan (weaving); perajutan (knitting); dan penyempurnaan (finishing). Menjelang tahun 1970, berdirilah berbagai organisasi seperti Perteksi; Printer‟s Club (kemudian menjadi Textile Club); perusahaan milik pemerintah (Industri Sandang, Pinda Sandang Jabar, Pinda Sandang Jateng, Pinda Sandang Jatim), dan Koperasi (GKBI, Inkopteksi). Tanggal 17 Juni 1974, organisasi- organisasi tersebut melaksanakan Kongres yang hasilnya menyepakati mendirikan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), dan sekaligus menjadi anggota API. Lihat Chamroel Djafri, Gagasan Seputar Pengembangan Industri dan Perdagangan Tekstil dan Produk Tekstil (Jakarta: Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dan Cidesindo, 2003); Gunadi, Pengetahuan Dasar tentang Kain-kain Tekstil dan Pakaian Jadi (Jakarta: Yayasan Pembinaan Keluarga UPN Veteran, 1984); sebagai perbandingan lihat juga Benny Soetrisno, Perspektif dan Tantangan Industri Tekstil Nasional Pasca Kuota, Implikasi dan Urgensinya terhadap Perbankan (Jakarta: Asosiasi Pertekstilan Indonesia [API], 2004). 189 pemintalan benang menjadi salah satu simbol sejarah peradaban Islam terutama di era zaman kekhalifahan. Para sejarawan mengungkapkan bahwa industri tekstil menjadi salah satu pendorong bergeraknya roda perekonomian dunia Islam. Para sejarawan mengungkapkan, pada masa kekhilafahan Turki Usmani dikenal ‟peradaban tekstil‟, terjadi investasi besar-besar di sektor industri tekstil (wol, linen, katun dan sutera). Tekstil pun industri menjadi andalan pada era tersebut. Pada abad ke-12 M, industri tekstil telah berkembang pesat di wilayah Andalusia, terutama sentra produksi wol dan sutera Islam.5 Sejarah penemuan mesin pemintalan, terutama mesin pemintal sutera yang lebih maju dengan negara lain pada saat itu membuktikan bahwa kreativitas pemintalan benang dan industri tekstil menjadi salah satu aset penting dalam perkembangan perekonomian Islam di dunia muslim.6 Seiring dengan sejarah kapas, pemintalan dan pertekstilan, Indonesia kemudian menjadikan pula simbol

5Di saat dunia Barat belum mengenal cara membuat katun dan sutera. Berkat kualitas dan keunggulannya, industri tekstil umat Islam ini ternyata mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap Barat. Hal itu dibuktikan banyaknya kata-kata Arab dan Islam untuk tekstil ditemukan dalam bahasa-bahasa Eropa, seperti damask, muslin, mohair, sarsanet, tafffeta, dan tabby. Berkembangnya industri tekstil di dunia Islam ternyata ditopang oleh peralatan dan teknologi yang maju. Saat itu, peradaban Islam telah menguasai beragam peralatan yang digunakan industri tekstil, seperti alat pemintal, alat tenun, dan teknologi yang digunakan pada tahap akhir pembuatan tekstil. Lihat Murice Lombard, the Golden Age of Islam (New York: Markus Wiener Publishers, 2003). 6Selain berfungsi untuk memintal, alat itu juga berperan penting bagi perkembangan teknik mekanik. Roda pemintal diperkenalkan bangsa Arab dalam masa kejayaan Sisilia dan Spanyol. Bersamaan dengan pengetahuan kulturasi sutera, dan cara penggunaan mesin pemintal benang dari beberapa buah kokon menjadi helai benang yang kuat. Lihat Ahmad Yusuf Hasan dan Donald Routledge Hill, Islamic Technology: an Illustrated (Cambridge: Cambridge University Press, 1992). 190 kapas salah satu lambang Negara Republik Indonesia yang mencerminkan kemakmuran masyarakat.7 Indonesia juga memiliki ragam tenun terbanyak di dunia dengan populasi pengrajin tenun tersebar di 33 provinsi, yang konsentrasinya dan sebaran utamanya ada 19 provinsi, yakni: Nangro Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, NTB, NTT, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan. Diantaranya usaha kerajinan tenun songket yang merupakan seni tenun asli budaya melayu Indonesia, baik itu melayu Aceh, melayu Deli Medan, melayu Riau, melayu Jambi, melayu Sumatera Barat, melayu Palembang, melayu Bengkulu, melayu Nusa Tenggara dan seluruh Puak Melayu Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Hal tersebut dilihat dari ketuaan Kerajaan Suku Melayu Indonesia dibandingkan kerajaan suku melayu negara lain. Dalam sejarahnya, songket yang dijuluki “ratu tenun songket (queen of woven cloth)” secara umum merupakan perpaduan benang sutera Tionghoa dan dengan benang emas dan perak dari India, yang mana kedua suku tersebut menjalin perdagangan dengan suku Melayu, dengan titik temu di pesisir pantai timur pulau Sumatera, dan umumnya mereka berlabuh di Pulau Bintan.8 Gabungan sutera Tionghoa dengan benang emas dan perak India lah yang dijadikan tenunan songket oleh suku Melayu.9

7Edi Sigar, Buku Pintar Budaya Bangsa Nusantara (Jakarta: Penerbit AMA, 2000); Sartono Kartodirdjo, 700 Tahun Majapahit, 1293- 1993: Suatu Bunga Rampai (Surabaya: Dinas Pariwisata Daerah, Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur, tt); Burhanuddin Salam, Filsafat Pancasilaisme (Jakarta: Penerbit Bina Aksara, tt). 8Ki Agus Zainal Arifin, Songket Palembang: a Resplendent Tradition Woven with Devout Passions (Jakarta: Dian Rakyat, 2006). 9Menurut sejarah Melayu, sebelum Kerajaan Melayu Singapura, Melaka, Johor, Riau dan Siak Indrapura; di Kepulauan Riau telah berdiri 191

Sumatera Selatan sebagai pusat wilayah usaha songket dengan ibukota Palembang10. Sumatera Selatan sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Bintan. Pusat kerajaannya berada di Pulau Basar yang kemudian terkenal dengan nama Pulau “Bintan”. Pulau ini pada mulanya dihuni oleh pendatang dari berbagai daerah, bahkan ada yang dari Kamboja dan India. Disebabkan keadaan letaknya yang baik untuk lalu lintas perdagangan di Selat Melaka, menyebabkan negeri ini cepat berkembang. Dengan demikian, budaya Malaysia jauh lebih muda daripada budaya melayu Indonesia, sehingga tidak mungkin budaya Indonesia berasal dari budaya Malaysia. Situs- situs sejarah pun membuktikan hal ini. Tari Pendet (karya Wayan Rindi yang bermula dari tarian suci di pura-pura Bali), keris, batik, angklung, wayang, reog, dan seluruh budaya Indonesia itu memang berasal dari tanah kedaulatan Indonesia. Karena itu, songket merupakan warisan budaya Indonesia yang tidak dapat diklaim oleh negara manapun. Lihat Supartono Widyosiswoyo, Sejarah Seni Rupa Indonesia, jilid 2 (Jakarta: Universitas Trisakti, 2001); Suwita Kartiwa, Tenun Ikat: Ragam Kain Tradisional Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007); lihat juga Siti Zainon Ismail, Tekstil Tenunan Melayu: Keindahan Budaya Tradisional Nusantara (Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan, 1994). 10Kota Palembang berasal dari kata “limbang” yang berarti membersihkan dan memilih suatu benda dalam air untuk diambil dan dipergunakan, dalam hal ini dimaksudkan adalah melimbang biji emas yang baru diperoleh dari dalam tangah. Konon kabarnya di muara Sungai Ogan, mata pencarian penduduk sekitarnya adalah melimbang, maka tempat itu kemudian disebut dengan “pelimbang” kemudian diucapkan dengan kata-kata “Palembang” sampai sekarang. Ada juga yang mengartikan Palembang dengan asal kata “lembeng” (bahasa yang menyebut genangan air) yang kemudian ditambah dengan awalan “pa” (sebagai kata penunjuk tempat, sehingga terjadi kata “pa lembeng‟‟ dengan arti, kota yang selalu tergenang air atau di lembeng air. Legenda rakyat ini dapat dihubungkan dengan data sejarah munculnya Kerajaan Sriwijaya. Dari kronik-kronik Cina yang diterjemahkan W.P.Groenerveld tahun 1876, diperoleh data bahwa sejak abad ke-empat belas ada suatu negeri atau kerajaan di laut Selatan yang disebut “san-fo-shi” yang disamakan dengan Palembang. Sanfoshi berarti kerajaan Sriwijaya. Disebut juga dalam tulisan Cina “Chau-Ju-Kuan” (1225) menyebutkan dengan “Pa-Lin-Fong”, begitu juga pada tulisan “Wang-ta-Yuan”, yang berjudul “Toi-ichi-Lio (1349-1350),dan catatan perjalanan Ying-Ysi yang ditulis Ma-huan, yang selalu menyebut dengan kata Po-Lin-Pang. Pola 192 adalah wilayah yang berbatasan dengan Jambi, Bengkulu, dan Lampung.11 Sungai Musi merupakan pusat dari sungai- sungai kecil sekitarnya. Seperti, sungai Kikim, sungai Kelingi, sungai Lakitan, sungai Rawas, sungai Lematang, sungai Enim, sungai Ogan, sungai Komering, dan sungai Banyuasin. Sungai-sungai tersebut merupakan alat transfortasi dari pusat kesultanan di daerah pedalaman yang kaya dengan berbagai hasil bumi. Di samping sungai, Sumatera Selatan memiliki danau, yaitu danan Ranau dan Danau Teluk Gelam. Kota Palembang sebagai ibukota propinsi Sumatera Selatan merupakan bandar yang letaknya sangat strategis, terletak di kedua tepi sungai musi yang dalam, yang sibuk dengan jalur perdagangan dalam dan luar negeri. Penduduk Sumatera Selatan dibedakan atas penduduk asli dan pendatang, baik dari Arab (datang tahun

pemukiman dan bentuk rumah adat di Palembang cukup memberikan keunikan sendiri. Pembelahan sungai musi yang disetiap bantaran sungai dibuat pemukiman yang dibangun diatas tiang tinggi menghadap ke arah sungai. Biasanya arah Timur dan Selatan merupakan arah yang paling dikehendaki dalam pendirian rumah di tanah Sriwijaya, sedangkan arah Barat dan Utara merupakan arah yang dihindari, karena dipandang kurang sehat. Sebagian lain mendirikan bangunan di atas permukaan air, sehingga ketinggian bangunan menurutkan ketinggian air. Beberapa istilah nama untuk rumah dikenal rumah rakit, restoran apung. Propinsi Sumatera Selatan terdiri dari 8 kabupaten dan 4 kota yang terdiri atas 143 kecamatan dan terbagi dalam 280 kelurahan/desa dengan luas wilayah seluruhnya 97.159.321 km. Lihat Anonimus, Penemuan Hari Jadi Kota Palembang (Palembang: Humas Pemda Kotamadya Palembang, 1973); Jalaluddin, Petunjuk Kota Palembang dari Manua ke Kotamadaya (Palembang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tk-II, 1992); lihat juga Latifah Ratnawati, “Kebudayaan Palembang”, dalam Achdiati Ikram, Jati Diri yang Terlupakan: Naskah-Naskah Palembang (Palembang YANASSA, 2004).

193

1690), Cina (datang tahun 1720), Hindustan (datang tahun 1800, dan Eropah (mulai VOC muncul).12 Sumatera Selatan dibagi dalam dua golongan: golongan priyayi dengan tiga tingkatan, yaitu: Pangeran, Raden dan Masagus; golongan kedua adalah rakyat. Pada masa Kesultanan Palembang Darussalam tempo dulu menjadi dalam tingkatan, yaitu: Kemas, Kiagus, dan rakyat kebanyakan.13 Golongan rakyat kebanyakan dibagi atas: Miji, Senan, dan Budak. Untuk beberapa daerah kabupaten sebutan panggilan macam sebutan seperti klawai, puyang dan sebagainya. Tingkatan-tingkatan ini akan berhubungan erat dengan pola dan bentuk kain songket Palembang14.

12Yudhy Syarofie, Legenda Tepian Musi (Palembang: Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, Kegiatan Pengelolaan Kelestarian dan Pembinaan Nilai Budaya, Sumatera Selatan, 2008); Kiagus Zainal Arifin, “Negeri di Tepi Sungai Musi”, dalam Songket Palembang: Indahnya Tradisi di tenun Sepenuh Hati (Songket Palembang: a Resplendent Tradition Woven with Devout Passions (Jakarta: Dian Rakyat, 2006). 13Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1996); Bambang Budi Utomo, Pertanggalan dan Arsitektur Bangunan Gedingsuro (Jakarta: Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata, Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan, Bagian Proyek Penelitian dan Pengembangan Arkeologi, 2002); K.O.H Gadjahnata; Sri-Edi Swasono, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986); Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2005). 14Secara khusus tidak ditemukan mengapa pengucapan kata songket di wilayah Sumatera Selatan dengan kata songket Palembang. Namun peneliti menilai bahwa kata songket yang ditambah dengan Palembang disebabkan eksistensi Palembang yang merupakan ibukota Palembang, dan lebih dikenal dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain disekitar Sumatera Selatan. Sama seperti kata “duku Palembang” walaupun sebenarnya produksi dari kabupaten Komering, atau “durian Palembang”, walaupun produksi tanamannya berasal dari Muara Enim, Musi Banyu Asin, Lahat. Lihat juga Yudhy Syarofy, Ketika Biduk Membutuhkan Dermaga: Pemberdayaan Masyarakat dalam Pelestarian 194

Secara umum songket dari kata sangko yang berarti saat pertama orang menggunakan hiasan kepala. Dapat juga dipahami dengan bahwa songket ucapan bahasa dari kata tusuk dan cukit yang kemudian disingkat menjadi suk-kit, selanjutnya berubah menjadi sungkit dan disebut kemudian oleh orang-orang Palembang dengan nama songket.15 Asal mula teknik tenun tersebut diilhami oleh sarang laba-laba yang dikembangkan dengan berbagai eksperimen, hingga penguasa Mesir di tahun 2500 SM memerintahkan rakyatnya untuk membuat bentuk yang serupa dalam membuat busana para bangsawan pada saat itu. Pada perkembangan selanjutnya, tenun ikat mulai diperkenalkan pula ke Eropa sekitar tahun 1880 oleh Hein dengan nama ikatten. Sejak itu nama “ikat” menjadi populer di manca

dan Pemanfaatan Warisan Budaya (Palembang: Balai Arkeologi Palembang). Lindawati, “Songket: Simbol Kekuatan Budaya Lokal,” Tesis (Malaysia: Universitas Kebangsaan Malaysia, 2004). Sebagai perbandingan dapat dilihat Suwati Kartiwa, Kain Songket Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1996); Haziyah Hussin, “Peranan Songket dalam Perkawinan Melayu: Golongan Istana dan Rakyat Biasa,” dalam Jurnal Arkeologi Malaysia, Bilangan 17-2004, KDN PP 6026/10/03. 15Sukanti, Tenun Tradisional Sumatera Selatan (Palembang: Departemen Pendidikan Nasional, 2000), 23. Secara umum data sejarah menjelaskan bahwa sejak zaman neolitikum, di Indonesia pada umumnya dan Palembang pada khususnya telah mengenal ragam hias. Hal tersebut dapat diketahui dari penemuan gua, peralatan pertanian, dan peralatan rumah tangga yang terbuat dari bahan batu, kayu, logam dan tekstil. Pada masa itu, hiasan tidak hanya merupakan suatu keindahan yang dipergunakan sebagai hiasan an sich, tetapi memberi kandungan makna yang sesuai dengan pengetahuan dan kepercayaan dan upacara ritual. Karenanya, usaha tenun terutama tenun songket di tanah Sriwijaya menjadi bagian dari penggalian nilai-nilai seni artistektur dan budaya masyarakat. Lihat Suwati Kartiwa, Kain Songket Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1996); Kiagus Zainal Arifin, Songket Palembang: Indahnya Tradisi di Tenun Sepenuh Hati (Songket Palembang: a Resplendent Tradition Woven With Devout Passions). 195 negara sebagai sebuah istilah internasional untuk menyebut jenis tenunan dengan menggunakan teknik ini.16 Warming dan Gaworski menulis bahwa pada zaman dahulu tenunan dengan desain ikat pakan diterapkan di Indonesia, yang dibawa oleh pedagang Islam India dan Arab ke Sumatera dan Jawa. Terutama di daerah yang telah kontak dengan Islam, dan letaknya strategis penting bagi lalu lintas perdagangan. Pada saat itulah, awal mulanya berkembang seni tenun yang menggunakan sutera dan benang emas ini.17 Gittinger menambahkan bahwa daerah yang menghasilkan tenunan dengan desain benang emas dan perak terdapat di daerah yang membuat desain ikat pakan dan mempergunakan benang sutera. Daerah itu diantaranya Sumatera dan kepulauan Riau. Bahkan, di Palembang sejak abad ke-15 telah ditanam pohon murbei dan peternakan ulat sutera.18 Tradisi tenun pada masa Kerajaan Sriwijaya lebih terfokus pada penggunaan benang emas dari asli emas

16 Lihat Anesia Aryunda Dofa, Batik Indonesia (Jakarta: Golden Terayon Press), 1996; Suwita Kartiwa, Tenun Ikat: Ragam Kain Tradisional Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007); Nian, S. Djoemena, Lurik: Garis-Garis Bertuah (Jakarta: Djambatan, 2000). Sejarah tokoh membuat sendiri pakaian sederhana yang ditenun dengan alat tenun bukan mesin; sebagai sebuah propaganda kepada rakyatnya agar melakukan gerakan swadesi, yaitu membuat barang-barang produksi negaranya sendiri dan menolak hasil dan barang dari Negara lain (Inggris). 17Wanda Warming dan Michael Gaworski, the World of Indonesian Textiles (New York: Kodanska Internat, 1981); Megumi Uchino, “Socio-Cultural History of Palembang,” Songket, Indonesia and the Malay World”, vol. 33, Issue 96 July 2006; Sari Ade Riyanti, “Makna Simbolis Kain Songket sebagai Simbol Status,” (Semarang: Fakultas Teknik, Teknologi Jasa dan Produksi Busana, Universitas Negeri Semarang, 2006). 18Mattiebelle Gittinger dan H Leedom Lefferts, Textiles and the Tai in Southeast Asia (Washington, D.C.: Textile Museum, 1992). 196 dalam membuat kain songket. Maka pada saat itu, Songket emas lebih dikenal dengan songket jantung yang dipakai oleh para pembesar raja Majapahit. Unsur kebudayaan yang memakai kain songket sebagai simbol terutama pada pakaian upacara adat atau dalam penyambutan tamu kehormatan dari kerajaan di luar Sriwijaya. Data juga memperlihatkan bahwa kain songket dijadikan sebagai hadiah semasa istiadat perkawinan lingkungan pembesar raja. Pada masa ini, kain songket belum menjadi simbol utama sebuah kebangsawanan. Artinya, masih sebagai hadiah istimewa kepada keluarga yang menikah baik dari pembesar raja dan para bangsawan, hingga kini simbol pemberian songket dalam proses pernikahan menjadi salah satu bagian penting.19

19Pada masa kerajaan Sriwijaya itu sudah terjadi barter barang para pedagang luar untuk mengambil rempah-rempah sebagai komoditi internasional, sementara para pedagang kerajaan Sriwijaya mendapatkan tekstil dan bahan-bahan untuk menenun, antara lain: benang perak dan zat pewarna. Hal tersebut terbukti berdasarkan penggalian arkeologis yang menyimpulkan bahwa pada abad VIII dan IX, diyakini adanya orang yang memperdagangkan kisi, benang, zat warna, menjual kapur yang dipergubakan dalam campuran pembuatan kain, di samping ditemukannya mata uang Cina yang berasal dari dinasti Song (960-1279) sampai Ming (abad 14-17 M). Kekayaan Sriwijaya menjadikan emas sebagai logam mulia melimpah ruah. Sebagian emas itu kemudian dikirim ke negara Siam, di mana di negara tersebut, emas tadi diolah dan dijadikan benang emas untuk kemudian dikirim kembali ke kerajaan Sriwijaya. Bersamaan itu pula, Kerajaan Sriwijaya mengimpor benang sutra dari kota Canton (Cina). Dasar impor benang sutra dan pembuatan benang emas pada masa itu untuk melestarikan seni menenun yang telah ada sebelum kerajaan Sriwijaya muncul. Indikasi dari distribusi benang sutra dan pembuatan benang emas juga menunjukkan bahwa tanah Sriwijaya pada waktu itu termasuk daerah memiliki tradisi tenun. Suwati Kartiwa, Kain Songket Indonesia, 32; V.J. Herman, Seni Ragam Hias pada Kain Tenun (Mataram: Depdikbud, 1990); I Wibowo, Belajar dari Cina: Bagaimana Cina Merebut Peluang Pasar Global (Jakarta: Kompas, 2004); lihat juga Ali M. A. Rachman. Masyarakat Kecil dalam Era Global (Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, 2000). 197

Pada masa ini, para penenun songket sudah dilestarikan, dihormati dan mendapat tempat tersendiri di kalangan kaum bangsawan kerajaan, sementara dari kelompok rakyat jelata tidak memperlihatkan antusias besar terhadap kain tersebut. Indikasinya terlihat dari tidak nampaknya data yang menjelaskan upaya masyarakat jelata untuk membeli dan mengoleksi pakaian tenun, kecuali bagi pemuka adat atau tetua adat yang menjadi bagian dari pegawai kerajaan Sriwijaya. Namun demikian, hal yang menarik dari penggalian data sejarah dengan penggunaan benang emas kain songket hampir bersamaan dengan bentuk bangunan adat, rumah adat yang disebut limas di Tanah Sriwijaya. Sebagai bukti adanya hubungan songket dan rumah adat limas terlihat dari definisi limas yang pahami dari kata lima dan emas.20 Emas adalah logam mulia sebagai simbol melimpah ruahnya kerajaan Sriwijaya. Hal tersebut diimprovisasikan menjadi lima tujuan mulia berupa: (1) simbol keagungan dan kebesaran; (2) simbol rukun dan damai; (3) adab dan sopan santun; (4) aman, subur sentosa dan (5) simbol kemakmuran dan kesejahteraan. Seiring dengan hal tersebut kain songket mengidentifikasi tingkat kekayaan dan keagungan si pemakai.21 Motif-motif yang dimunculkan pada masa Sriwijaya mengikuti tradisi India yang memperlihatkan adanya hubungan diplomatik dan

20Reimar Schefold dan P. Nas; Gaudenz Domenig, Indonesian Houses (Singapore: Singapore University Press, 2004); Dahlan, Sejarah Ringkas Museum Sumatera Selatan (Palembang: Penerbit Proyek Pengembangan Permuseuman Sumatera Selatan, 1984); lihat juga Yudhi Syarofie, Songket Palembang: Nilai Filosofis, Jejak Sejarah, dan Tradisi (Palembang: Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, Kegiatan Pengelolaan Kelestarian dan Pembinaan Nilai Budaya Sumatera Selatan, 2007). 21Achadiati Ikram, Jati Diri yang Terlupakan: Naskah-Naskah Palembang (Palembang: Yanassa, 2004). 198 kebudayaan antar negara. Indikator kesamaan motif dengan desain yang dibuat, dapat dilihat dari cara ikat lungsi dan pakan yang sama-sama menggunakan benang dan sutera, dengan simbol utama bunga teratai yang melambangkan kekuasaan besar kerajaan Sriwijaya dan perluasan wilayah kekuasaan. Seiring dengan perkembangan pengetahuan dalam dunia pertekstilan, maka era kerajaan Sriwijaya melakukan pengembangan motif yang membawa sumbangan yang besar bagi seni budaya kerajaan Sriwijaya, terutama dalam melestarikan bermacam-macam jenis tenunan lain yang telah ada sejak zaman pra-sejarah Indonesia.22 Dengan demikian, motif dan desain kain songket pada masa kerajaan Sriwijaya telah mengikuti pola dan desain kain tenunan Melayu lainnya.23 Karakteristik usaha songket pada masa kesultanan Palembang Darussalam terkait erat dengan asimilasi budaya dan agama, terutama pasca masuknya agama Islam. Pada era 1629, kesultanan Palembang Darussalam dikenal masa berkembangnya aspirasi desain dan motif songket. Meningkatnya aktifitas tenun songket masa tersebut dikaitkan dengan tingkat kekayaan dan kebangsawaan seorang pemakai. Disamping itu, kain songket seperti masa-masa sebelumnya menjadi simbol kedudukan seseorang dalam lingkungan kesultanan.24 Usaha awal dalam mengelola kain songket dengan membudidayakan bahan baku dasar songket, diantaranya pembudidayaan ulat sutera melalui kemitraan dengan

22Mattiebelle Gittinger, to Speak with Cloth: Studies in Indonesian (USA: Museum of Cultural History, University of California, 1989). 23Tini Sardadi dan Amy Wirabudi, Seri Serasi dan Gaya Berkain (Jakarta: Gramedia, 2007); lihat juga Suwati Kartiwa, Kain Songket Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1986). 24Barbara Watson Andaya, the Cloth Trade in Jambi and Palembang During The 17th and 18 th Centuries (New York: tp. 1989). 199 kerajaan di Sulawesi, dan metode pencelupan benang emas di wilayah kesultanan Palembang. Penggunaan bahan baku yang sudah diambil di lokal, menambah kemampuan para penenun untuk melakukan eksperimen motif dan desain songket. Karena itu, pada masa Kesultanan Palembang Darussalam pewarnaan mulai menggunakan warna-warna terang lebih dari pewarnaan songket semasa kerajaan Sriwijaya. Warna merah, hijau, biru dan ungu semakin menonjol. Penggunaan benang emas dan perak merupakan bahan tambahan sebagai pemanis kain songket, dengan menonjolkan benang emas dan perak pada permukaan kain tenun.25 Hal yang menarik dalam usaha mengembangkan kain songket pada masa kesultanan Palembang terkait dengan nilai-nilai syariat Islam yang disampaikan oleh para ulama masa itu. Artinya, kebebasan apresiasi para penenun tidak lepas dari agama dan budaya yang telah berlangsung pada saat itu.26

25Suwati Kartiwi, Kain Songket Indonesia. 26Pemaknaan motif yang terdapat dalam kain songket Palembang penuh dengan perlambangan yang sakral dalam setiap coraknya, yakni: (1) motif bunga mawar dalam desain kain songket mempunyai arti perlambangan sebagai penawar malapetaka. Kain songket yang memiliki motif bunga mawar biasanya dipakai sebagai kelengkapan upacara cukur rambut bayi, sebagai selimut, dan kain gendongan. Kain songket dengan motif bunga mawar digunakan dengan harapan kehidupan si anak yang akan datang selalu terhindar dari bahaya, dan selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa; (2) motif bunga tanjung melambangkan keramah tamahan sebagai nyonya rumah juga sebagai lambang ucapan selamat dating; (3) motif bunga melati dalam desain kain songket melambangkan kesucian, keanggungan dan sopan santun. Kain songket yang memiliki motif bunga melati biasanya digunakan oleh gadis-gadis dalam lingkup kerajaan yang belum menikah karena motif bunga melati menggambarkan kesucian; (4) motif pucuk rebung melambangkan harapan baik, karena bambu adalah pohon yang tidak mudah rebah oleh tiupan angin kencang. Motif pucuk rebung selalu ada dalam setiap kain songket, sebagai kepala kain atau tumpal. Penggunaan motif pucuk rebung pada kain songket dimaksudkan agar si pemakai selalu 200

Era kesultanan Palembang Darussalam, karakteristik penenun dan usaha tenun songket terbagi menjadi dua kelompok, yaitu: Pertama, kelompok yang menenun songket untuk kepentingan Sultan dan para bangsawan; Kedua, kelompok yang menenun untuk masyarakat kebanyakan. Polarisasi penenun tersebut membentuk tingkatan para penenun di era tersebut. Polarisasi itu kemudian membangun berbagai macam motif dan desain, yang akhirnya bersatu dalam pluralitas simbol. Berbagai penelitian sebelumnya, menyimpulkan bahwa usaha tenun pada masa kesultanan Palembang merupakan puncak peningkatan usaha songket, dengan berbagai motif dan berkembang pada masa-masa selanjutnya.27 Karakteristik tersebut kemudian memunculkan adat Palembang yang melarang seorang gadis untuk memakai pakaian songket sampai ia menikah. Hal ini berdasarkan pengalaman para penenun yang mendapatkan wajah para gadis yang belum menikah tidak bercahaya (munggah paes) saat memakai kain songket. Berkembang kemudian, adat bahwa pemakaian kain songket melalui proses masa pingitan dimana pada masa itu diajarkan pendidikan kerumahtanggaan bagi seorang gadis, diantaranya mempunyai keberuntungan dan harapan baik dalam setiap langkah hidup. Lihat Djamarin, Pengetahuan Barang Tekstil (Bandung: ITT Bandung, 1977); lihat juga Tim Penulis Depdikbud Dinas Permuseuman Pembinaan Sumatera Selatan. 2000. Tenun Tradisional Sumatera Selatan (Jakarta: tp). 27Lindawati, “Songket: Simbol Kekuatan Budaya Lokal”. Sebagai perbandingan dapat dilihat Suwati Kartiwa, Kain Songket Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1996); Haziyah Hussin, “Peranan Songket dalam Perkawinan Melayu: Golongan Istana dan Rakyat Biasa,” dalam Jurnal Arkeologi Malaysia, Bilangan 17-2004, KDN PP 6026/10/03; Megumi Uchino, “Socio-Cultural History of Palembang,” Songket, Indonesia and the Malay World”, vol. 33, Issue 96 July 2006; Sari Ade Riyanti, “Makna Simbolis Kain Songket sebagai Simbol Status”. 201 menyulam. Selanjutnya, setelah menikah berkembang dengan memberikan ketrampilan membuat kain songket bersama generasi tua lainnya.28 Masa kemerdekaan hingga masa Orde Baru karakteristik para penenun songket Palembang merupakan masa kerja para kader penenun yang masih ada dan masih hidup hingga akhir penjajahan pada era 1945-an. Disamping itu, mereka mempertahankan budaya tenun dan nilai-nilai adat pada simbol-simbol songket, pada saat bersamaan para penenun lebih berorientasi pada motivasi kebutuhan hidup29. Para penenun sudah mulai merubah orientasi usahanya pada konsumtif, walaupun tetap meningkatkan produktifitas. Artinya, disadari atau tidak disadari motif-motif dan bahan andalan pada masa kejayaan kain songket mulai memudar, dan berganti dengan motif yang lebih sederhana dengan bahan-bahan yang lebih murah. Hasil data lapangan diketahui karakteristik usaha songket Palembang terbagi dalam beberapa karakter, yakni:

28Ade Riyanti, Makna Simbolis Kain Songket sebagai Simbol Status Sosial di Kelurahan Serengam 32, Ilir Kecamatan Ilir Barat Palembang. Lihat juga J.L. Van Sevenhoven, Lukisan Ibukota Palembang (Jakarta: Bhatara, 1998). 29Pada titik yang paling Hierarki, Maslow memiliki teori kebutuhan adalah salah satu teori motivasi yang paling dikenal. Teori ini sangat berpengaruh dalam psikologi industri, perdagangan dan organisasi sebagai teori motivasi kerja dan sering digunakan dalam bidang-bidang terapan lain. Secara singkat, Maslow berpendapat bahwa kebutuhan manusia sebagai pendorong (motivator) membentuk suatu hierarki atau jenjang peringkat. Pada awalnya, ia mengajukan hierareki lima tingkat, yang terdiri atas: kebutuhan fisiologi, rasa aman, cinta, penghargaan, dan mewujudkan jati diri (self-actualization). Tenun songket menjadi bagian dari kebutuhan karena motivasi economy oriented. Lihat Boone dan Kurt, Contemporary Business (Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2007); lihat juga M. Suyanto, Revolusi Organisasi dengan Memberdayakan Kecerdasan Spritual (Jogjakarta: Andi, 2006). 202

Pertama, perajin songket merupakan kelompok membantu usaha keluarga, karena itu mereka berpatokan pada bagaimana keinginan pemesan, atau pasar. Kedua, pengrajin dan perajin kreatif yang melakukan berbagai modifikasi dan kreasi sovenir. Berdasarkan hasil observasi disimpulkan bahwa perbedaan penting antara pengrajin kreatif dan perajin kreatif terletak pada dasar kerja awal. Pengrajin kreatif adalah komunitas masyarakat yang tahu prospek market songket, memiliki dana dan jaringan namun tidak memiliki kemampuan menenun. Kelompok ini kemudian melakukan kemitraan dengan perajin yang memiliki ketrampilan turun temurun untuk memesan dan membuat kain songket. Perajin kreatif adalah kelompok penenun yang ahli menenun, dan membangun kelompok- kelompok kecil sesama penenun yang berusaha membuat Kelompok Usaha Bersama (KUB) berdasarkan kedekatan keluarga maupun berdasarkan kedekatan tempat tinggal (satu desa). Ketiga, penenun yang bekerja dan berusaha sendiri-sendiri sesuai dengan kemampuan modal masing- masing. Dari rekapitulasi jawaban responden, dapat disimpulkan bahwa tipologi pelaksana dalam unit usaha songket Palembang terbagi ke dalam tiga bentuk, yaitu: (1) pengrajin, yakni pemilik usaha songket dan pemilik sekaligus koordinator sentra usaha perajin songket; (2) perajin songket mandiri (kepala dari bisnis keluarga, orang yang mempekerjakan diri sendiri, tenaga kerja keluarga tak di bayar); dan (3) perajin songket upahan (perajin dari pengrajin, perajin songket rumahan yang tidak terdaftar). Karakteristik lain menunjukkan bahwa para perajin tenun songket Palembang membuat aktifitas usaha rumah (home industry) dengan pengelolaan manajemen keluarga. Pada saat itu, para penenun dibagi dalam dua kelompok, sehingga istilah penenun mulai bergeser kesebutan 203

Pengrajin dan perajin songket. Pengrajin adalah orang yang memiliki usaha kerajinan songket, dan perajin adalah pegawai yang dibentuk dalam beberapa koordinasi kelompok kerja maupun dalam kooordinasi sentra usaha. Kelompok kerja terbangun dalam: (1) kelompok kerja bidang melerai bahan; kelompok kerja menganing; kelompok kerja menggulung; (2) kelompok menghubung dan mengarak; dan (3) kelompok kerja yang menenun. Hasil observasi diketahui model kegiatan usaha terbagi dua kelompok, yakni: Pertama, perajin songket tradisional, yaitu perajin yang eksis untuk tetap menjadikan songket apa adanya seperti bentuk masa-masa dahulu, kelompok ini tidak menerima desain modifikasi mengikuti pasar. Bagi mereka aktifitas modifikasi menjadikan songket kehilangan ciri khas dan nilai sejarahnya. Mereka berpandangan bahwa lebih baik menjual songket apa adanya, dan jika tidak laku bisa disimpan, daripada harus mengikuti selera pasar. Kelompok ini berpandangan bahwa melestarikan seni menenun adalah lebih penting, daripada merubah ciri khas dengan atas nama mengikuti selera pasar. Kedua, perajin songket modernis, yaitu perajin yang mau mengikuti selera pasar, mau melakukan modifikasi songket menjadi berbagai bentuk aksesories yang dapat dijadikan cidera mata yang beragam, murah, namun tetap tidak menghilangkan ciri khas songket. Bagi kelompok ini, nilai filosofis dan sejarah songket tidak akan hilang maknanya, bahkan dapat semakin membuat terkenal kerajinan tenun songket Palembang. Mereka juga berpandangan bahwa dengan banyaknya kreativitas yang tidak menghilangkan ciri khas songket menjadikan usaha songket tidak mati sebagai budaya adi luhung anak bangsa.30

30Hasil observasi dan wawancara dengan responden tanggal 25- 27 September 2010. 204

Secara umum prinsip perajin songket tradisional kain tenun songket dapat dimaklumi, sebab songket merupakan suatu warisan kekayaan peninggalan para leluhur bangsa Indonesia yang tak ternilai harganya. Hampir seluruh kelompok etnis di wilayah Nusantara hingga saat ini masih melakukan pembuatan tenun, baik secara turun temurun maupun dalam wilayah industri kecil dan menengah. Hasil- hasil tenun dari Nusantara juga menjadi salah satu bentuk artefak budaya yang paling menyebar dihampir seluruh museum dibelahan dunia. Kekaguman pada corak atau motif dan pola-pola yang rumit, namun indah, serta halus, dan mempunyai kandungan makna budaya, menjadikan para pencinta kain tenun dan peneliti diseluruh dunia mengakui bahwa estetika kain tenun di Indonesia memang begitu beragam dan bernilai budaya tinggi.31 Maka, selain sebagai identitas budaya, hasil-hasil tenunan dan tekstil lainnya memainkan peranan penting dalam kehidupan sosial-ekonomi masyarakatnya. Di beberapa daerah di tanah air, seperti kain batik telah menjadi industri yang bukan hanya mendatangkan pendapatan bagi sekelompok orang, tetapi menjadi sumber pendapatan daerah, sebab bagaimanapun kain tenun dan hasil tekstil lainnya masih dipergunakan untuk upacara- upacara khusus adat istiadat dan ritual lainnya, bahkan penggunaannya masih berlangsung dalam keseharian masyarakat. Dalam perkembangannya, secara inovasi, kain tenun telah mengalami evolusi dalam teknik maupun coraknya. Namun dari bahan, motif, serta pola tersebut bisa menangkap pengaruh-pengaruh zamannya. Bahkan, dalam penerapannya kain-kain tenun bisa menjadi materi yang menarik dijadikan gubahan yang dikreasikan pada pakaian oleh para disainer, fashion kontemporer, maupun untuk kain

31Lihat pandangan Kathleen Cee, Pendidikan Seni Visual (Jakarta: Pelangi, 2009). 205 pelapis. Ini juga menunjukan bahwa seni tradisi tidaklah mandek, bahkan sebaliknya menunjukan kreativitasnya.32 Istilah sentra usaha adalah kelompok-kelompok perajin yang berkerja di rumah masing-masing dalam koordinasi para pengrajin. Aktifitas dalam sentra dilakukan dengan pertimbangan: (1) tempat usaha pengrajin tidak mencukupi untuk bekerja dalam satu tempat; (2) keterkaitan dengan efisiensi pengeluaran operasional yang harus diatur sebagaimana kinerja layaknya karyawan pada satu usaha atau perusahaan; (3) keterkaitan dengan efektifitas kerja para perajin. Setiap kelompok dalam masing-masing perajin memiliki tanggungjawab pada bidang masing-masing dan saling bekerjasama untuk mendapatkan hasil kain songket yang baik dan bermutu dalam koordinasi para pengrajin.33 Perbedaan penting dengan pekerja rumahan dalam berbagai perspektif dengan pekerja rumahan proses tenun songket adalah pada aspek pekerja. Dalam berbagai penelitian diketahui bahwa pekerja rumahan lebih identik dengan perempuan,34 sementara hasil wawancara dan observasi di lapangan didapatkan pada proses tenun songket identik

32Pemahaman sejenis dapat dilihat dari Tedi Sutardi, Antropologi: Mengungkap Keragaman Budaya (Bandung: Setia Purna Inves, 2005). 33Heri Junaidi, “Efektifitas Perjanjian Akte di Bawah Tangan Usaha Songket Palembang dalam Perspektif Fiqh Muamalah”, (Palembang: Fakultas Syari‟ah IAIN Raden Fatah Palembang, 1997); lihat juga Lindawati, “Songket: Simbol Kekuatan Budaya Lokal. Hasil wawancara responden perajin songket, Tanggal 4-11 Oktober 2010. 34Lihat misalnya Charles B Hennon; Suzanne LokerRosemary Adams Walker, Gender and Home-Based Employment (Westport, Conn: Auburn House, 2000); Eka Chandra, Membangun Forum Warga: Implementasi Gagasan Partisipasi dan Penguatan Masyarakat Sipil di Kabupaten Bandung (Bandung: Akatiga, 2003); Ricky. W. Graffin, Ronald. J. Ebert, Bisnis, alih bahasa oleh Wardani (Jakarta: Erlangga, 2010); Wahyu.W, Basjir, “Informalisasi dan Tantangan Perburuhan”, Jurnal Analisis Sosial. Vol. 1, No.3, Desember 2003. 206 dengan laki-laki maupun perempuan yang saling membantu dalam proses pembuatan songket. Struktur kerjasama ini memperlihatkan ada kontruk responsif gender yang berbasis kebersamaan bekerja. Para responden menilai bahwa dalam menenun tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, semua bisa melakukan yang penting memiliki kriteria dalam bekerja sepenuh hati. Dalam pandangan responden mungkin sedikit berbau mistis namun sering terjadi, bila si penenun sedang marah atau kesal, maka benangnya sering putus atau hasil tenunannnya kasar dan banyak kesalahan, sehingga menurunkan nilai songketnya.35 Pekerjaan menenun adalah serangkaian proses yang panjang dan melibatkan banyak orang. Dimulai dari menentukan warna dan desain, mengelola benang, membuat pola di kertas, menyiapkan peralatan, memasang, benang, barulah kain diangin- anginkan, dan siap dikenakan. Seluruh rangkain ini memakan waktu sekitar 2 minggu hingga 3 bulan. Proses ini juga tidak bisa dikerjakan oleh satu orang, tapi merupakan semacam kerja tim. Menurut para responden, pekerjaan tenun songket dimulai dengan menentukan warna dasar, jenis lepus atau tawur, polos atau limar dan motif ragam hiasnya. Bila ragam hias belum ada contoh, maka harus digambar pada kertas berpetak sebagia pola atau patoknya. Gambar dibentuk menyerupai sulam cruisstick. Pola meliputi motif pinggir, tumpal, dan isian tengahnya. Warna-warna songket palembang adalah warna yang terang dan kuat seperti merah, anggur, ungu terung,

35Olah data wawancara dengan responden kelompok perajin songket desa Tanjung Laut, Tanjung Pinang dan Limbang Jaya Kecamatan Tanjungbatu, Kabupaten Ogan Ilir), Tanggal 22-28 September 2010. Penegasan hasil wawancara dapat juga dilihat Ki Agus Zainal Arifin, Songket Palembang: Indahnya Tradisi di Tenun Sepenuh Hati. 207 hijau tua, hijau pupus, oranye, biru, dan hitam. Sekarang warna-warna muda dan pastel juga disukai seperti pink, biru muda, ungu muda, krem, dan putih. Dulu warna-warna diperoleh dari tumbuhan yang juga dipakai untuk pewarna batik dan tenun ikat. Sekarang pengrajin lebih banyak memakai pewarna kimia lebih cepat menyerap. Ragam warnanya pun sangat banyak. Dalam selembar kain bisa ditemukan lebih dari dua kombinasi warna. Bahkan, pada kain limar bisa dipakai sampai lebih dari lima warna. Responden juga menilai bahwa ragam hias songket Palembang sangat banyak, namun yang tidak boleh dilupakan adalah tumpal yang bentuk dasarnya adalah pucuk rebung, meskipun dibuat dalam berbagai variasi. Pucuk rebung melambangkan bahwa setiap manusia harus berguna sepanjang hidupnya seperti pohon bambu (rebung), yang sejak muda hingga tua dapat dimanfaatkan.36 Para responden mengungkapkan bahwa dalam mengelola benang pada awalnya dari katun sebagai bahan baku utama. Kini, kain dihasilkan dari berbagai jenis benang, sutera, bulu domba, (wool), serat nanas, polyester, selulosa, dan lycra. Songket Palembang menggunakan benang sutera dengan beragam mutu sesuai dengan target pasar yang akan dituju. Namun, umumnya songket menggunakan benang sutera. Benang-benang itu didatangkan dari Cina, Thailand, dan Jepang dalam gulungan besar dan berwarna asli, putih kecokelatan (broken white). Benang mentah tersebut kemudian dicelup dala air tawar biasa sambil pelan-pelan diremas agar benang lebih lembut. Setelah diperas benang siap dicelup.37 Bila benang sudah siap, dan desain sudah ditentukan, tiba saatnya mulai menenun. Alat tenun adalah dari jenis

36Olah data wawancara tanggal 4-18 Oktober, 2010. 37Olah data wawancara tanggal 4-18 Oktober 2010. 208 gedongan dimana penenun duduk tegak di lantai dengan kaki lurus ke depan. Bagian pinggang belakang penenun ditahan oleh sebilah papan yang disebut por. Bagian-bagian lain dari alat tenun ini adalah cakcak yang bentuknya seperti telinga sebagai kepala dayan. Apit adalah penggulung hasil tenunan yang sudah jadi, posisinya dekat perut penenun. Beliro, sebilah kayu pipih untuk merapatkan benang pakan. Pemipil, alat untuk membentuk bunga. Penyencang yag berguna untuk membuka katup saat benang pakan dimasukkan. Lidi adalah bagian penting untuk membentuk desain atau ragam hiasnya. Suri untuk mengatur alur benang lungsi. Langkah pertama adalah menyiapkan benang lungsi yang panjangnya 20 m. Lalu dimasukkan ke dalam suri yang mirip sisir rapat sekali dari bamboo. Pekerjaan ini dinamakan nyucuk suri. Perlu ketelitian dan ketrampilan yang sangat terlatih untuk memasukkan lebih dari 1000 helai benang, dan dibagi dalam kumpulan beberapa helai sesuai dengan kebutuhan desain. Setelah semua siap, maka proses menenun pun dimulai. Tahap menenun bagian ragam hias yang merupakan bagian tambahan dari benang pakan. Dalam pembuatan songket biasanya para perajin menggunakan tiga tehnik penyulaman. Pertama, dengan satu benang. Jadi satu persatu benang diurai ke kanan dan ke kiri. Tehnik ini merupakan tehnik yang paling lama pengerjaannya. Dan hasilnya pun tentu paling bagus. Biasanya pembuatan songket dengan menggunakan tehnik ini membutuhkan waktu tiga sampai empat bulan. Kedua, dengan tehnik benang rangkap dua. Ketika menggunakan tehnik ini, para perajin menggunakan dua helai benang. Karena benangnya rangkap, motif yang dihasilkannya pun terlihat lebih jarang dibanding dengan yang pertama. Ketiga, tehnik dengan menggunakan benang rangkap 209 empat. Tentu dengan tehnik inilah, satu kain songket dapat dihasilkan dalam waktu yang cukup singkat. Namun, hasilnya lebih kaku dan motifnya nampak lebih jarang.38 Kaki memainkan pedal, kedua tangan menarik beliro, dan penyecang dibuka, maka benang emas pun disisipkan. Setiap kali beliro ditarik yang disebut menyentek, wajah atau pandangan mata harus dipalingkan ke kanan bawah, agar mata tidak silau oleh kilau benang emas. Apalagi bila hasil tenunan sudah mulai banyak dan terbentuk motifnya. Pekerjaan menenun ini bisa diselesaikan dalam waktu 1-3 bulan tergantung kepandaian penenun dan kerumitan motifnya. Songket lepus pasti lebih lama dibandingkan songket tawur. Satu set songket, yaitu kain sarung dan selendang bisa dikerjakan oleh dua orang penenun atau sendiri, tergantung pada kesanggupan masing-masing. Bahkan, bila di tengah pekerjaan sang penenun sakit, pekerjaan ini bisa diteruskan oleh lainnya.39 Sepanjang hari, suasana di rumah-rumah pengrajin maupun perajin selalu ramai oleh suara gedokan belira dan sentakan, diselingi canda para penenun yang rata-rata kaum perempuan paruh baya, perempuan dan laki laki muda usia putus sekolah. Dalam kelompok pengrajin, para perajin datang dari desa-desa di luar kota Palembang yang memiliki keahlian menenun secara turun temurun. Tidak aneh bila di rumah-rumah pengrajin banyak anak beranak, dan kakak beradik bekerja sebagai penenun. Kerajinan ini mampu memberi banyak lapangan kerja terutama para gadis remaja yang putus sekolah, dan tenaga kerja sektor informal lainnya, seperti: tukang celup benang, tukang menggulung benang, pembuat cinderamata barang aksesoris dari tenun songket, penjahit, pengepakan, hingga penjualan.

38Wawancara responden tanggal 22 September-18 Oktober 2010. 39Olah data wawancara tanggal 4-18 Oktober 2010. 210

Satu set sarung dan selendang masing-masing mempunyai lebar 80-90 cm dengan panjang 200 cm untuk sarung (sewed), dan lebar 60 cm dengan panjang 200 cm untuk selendangnya. Bila songket telah selesai, maka tahap akhir adalah melepas kain dari dayan. Sisa-sisa benang dibuang, dan tepi kain dijahit rapi dengan jarum tangan. Agar lebih mewah dan indah selendang bisa tambah dengan renda rajut lebar berwarna keemasan. Untuk busana pengantin masih ditambah dengan taburan payet dan mote. Kain diangin-anginkan sebentar, lalu digulung, dan dapat disimpan dalam lemari, tapi harus dijaga jangan sampai terlalu lembab.40 Setiap kelompok memiliki tim perajin yang menguasai bidang masing-masing. Mereka yang biasa menggulung benang tidak memiliki kapasitas untuk menenun. Para pembuat motif tidak memiliki kapasitas dalam pewarnaan dan penenun. Dari sisi ini, nilai-nilai pembagian tenaga kerja atau spesialisasi kerja (divition of labor) telah terbangun baik.41 Dari proses tersebut dapat disimpulkan bahwa secara garis besar pembuatan kain songket ini dilakukan melalui tiga tahapan. Pertama, pencungkilan, artinya tahap ini merupakan tahap pembuatan motif kain songket itu sendiri. Dengan cara menyilah-milah benang dari benang songket, lama prosesnya tergantung dari kerumitan motif kain

40Songket jangan dilipat karena benang emasnya bisa patah- patah. Tidak boleh juga dicuci apalagi dengan mesin cuci. Bila terkena noda cukup dibersihkan dengan kain basah pada bagian kotornya saja lalu diangin-anginkan. Pada masa sekarang songket bisa dicuci dengan sistem dry clean pada binatu modern. Olah data responden dari wawancara tanggal 4-18 Oktober 2010. 41Secara sederhana nilai-nilai divition of labor yang diusung Adam Smith dalam konsep dan implementasi. Lihat Rob Paton dan James McCalman, Change Management: a Guide to Effective Implementation (London: SAGE, 2008); Teresa A Daniel dan Gary S Metcalf, The Management of People in Mergers and Acquisitions (Westport, Conn.: Quorum Books, 2001). 211 songket itu. Motif songket digambarkan dengan tuntunan lidi yang dipasang ditenunan yang disebut sebagai “dayan”. Kedua, proses penyambungan, artinya memisahkan benang untuk pakan songket, dengan cara diuraikan untuk persiapan penenunan. Para perajin biasanya menggulung dengan alat yang dinamakan “undaran benang”. Ketiga, kreativitas perajin. Kemudian dilanjutkan dengan tahap pencukitan yang mirip dengan proses streamin dalam penyulaman sesuai pola corak dan motif yang sudah didesain. Baru kemudian penenunan di mulai. Alat tenunnya yang berbahan dasar kayu ada berbagai macam. Masing-masing memiliki nama dan fungsi tersendiri seperti dayan, beliro, pelipir, penyincing, tuju bilang, chacha, suri (sisir) buluh bambu, apit, dan pur. Tak hanya perangkat peralatan dan tahapan pembuatannya yang rumit, dalam pola corak warna dan motif benang emasnya pun juga banyak macamnya. Setiap bentang kain ada 4 bagian, yaitu: pinggiran, tumpal, tengah, dan tretes untuk ujung siku kain. Setiap bagiannya itu motifnya berbeda. Bahkan, di bagian tumpal terdapat 4 jenis motif, yakni: ombak, rumpak, carebung, dan tawur. Begitu juga di bagian tengah ada beberapa macam, seperti lepus, tabor, limar, dan bungo Cino.42 Kreativitas songket pun mengalami perubahan- perubahan yang berkembang dari masa ke masa. Awalnya kain ditenun dari benang kapas mentah (lawe), dan berubah ketika benang sutera dan benang emas belum dikenal, sehingga mutu benang membaik dan sistem pewarnaan lebih menarik. Songket Palembang dari masa ke masa meskipun tetap pada pakemnya mengalami perubahan- perubahan. Pada tahun awal 1900-an banyak songket

42Wawancara dengan perajin songket tanggal 25 September 2010. Lihat juga Yudhi Syarofie, Songket Palembang: Nilai Filosofis, Jejak Sejarah, dan Tradisi, 14-22. 212 berbentuk sarung yang menyambung seperti sebuah tabung, tanpa ada sambungan jahitan yang dalam bahasa Palembang disebut pa ujung pa bongkot yang merupakan kain limar sumping dengan motif tetes mider. Benang yang tipis dan halus sehingga menghasilkan songket yang transparan dapat dilihat pada songket lepus bintang berantai. Kombinasi berbagai warna juga sudah dikenal seperti pada songket lepus bintang berakam. Sarung rumpuk lanang atau sarung untuk pria mendapat pengaruh dari Bugis, Sulawesi Selatan. Sekitar 1950-an songket Palembang tampak lagi perubahannya. Warna-warna lebih berani dalam bentuk songket limar berantai tampuk manggis, lepus naga besaung dengan kombinasi berani antara merah dan ungu terong, lepus nampan perak yang anggun menunjukkan perkembangan tersebut, meskipun lebar kain sama, hanya 80 cm. Bila dikenakan bagian atasnya harus disambung kain polos, supaya songket mencapai mata kaki. Pakem wajib sebuah songket tetap dipertahankan seperti adanya tumpal pucuk rebung, dan motif pinggiran. Yang baru adalah motif tengahnya, seperti kucing, buah anggur, burung kecil, bunga mawar bertangkai, kembang goyang. Benang sutera yang digunakan lebih halus membuat songket ini ringan dan lembut, sehingga nyaman saat dikenakan.43 Para responden menyebutkan bahwa umumnya motif yang ditampilkan mirip dengan helaian daun-daun kecil yang panjang atau bulu ayam (lar). Sambil ditenun, benang emas pun disisipkan. Kain songket limar bisa berupa songket tawur maupun songket lepus. Hasil karya yang muncul dengan berbagai macam motif yang diambil dari alam sekitar baik flora maupun fauna seperti bunga, dedaunan, sulur daun, kumbang, ikan, burung, dan

43Wawancara dengan perajin songket tanggal 22-28 Sepember 2010; Lihat juga Ki Agus Zainal Abidin, Songket Palembang: Indahnya Tradisi di Tenun Sepenuh Hati, 65-69. 213 sebagainya. Warna dasar kain yang klasik adalah merah anggur, hijau tua, dan kuning. Tetapi songket sekarang sangat beragam warnanya. Beberapa yang sifatnya klasik, namun bukan sebagai penanda si pemakai, salah satunya adalah songket Janda Berhias. Songketnya berlatar merah anggur dengan kombinasi kuning dan hijau. Motif dari benang emas ditambahkan pada kedua ujung secara berserak (tawur), dan pada tumbal yang bermotif pucuk rebung, sementara bagian tengahnya dibiarkan polos saja berwarna hijau.44 Di era tahun 2000 hingga tahun 2010 aktifitas usaha songket Palembang masih mempertahankan tenun songket dengan memberikan berbagai modifikasi dalam bentuk souvenir.45 Dari sini, pergeseran karakteristik usaha pada penguatan seni. Aktifitas kerja dikembangkan dengan sentra-sentra yang dikembangkan oleh para pengrajin

44Warna-warna lain yang muncul seperti motif bunga mawar dimaknai sebagai penawar rasa atau sebuah ungkapan mencegah malapetaka. Bunga melati yang putih dimaknakan sebagai lambang kesucian hati dan sikap sopan beradab tinggi. Bunga manggis dimaknakan manisnya kehidupan. Bunga tanjung menunjukkan keramahtamahan. Penamaan songket selain mengandung arti, juga lebih banyak kepada bentuk yang nampak. Diantaranya binatang berakam, naga besaung, limar bintang berantai, pacar cina, tetes mider, tampuk manggis, limar pulir, tiga negeri, nampan berserak, belah belimbing, kupu-kupu pita, buah cermin, dan seterusnya. Motif-motif ini sampai sekarang masih dipakai dan tetap di kalangan penenun. Responden menyatakan bahwa para penenun profesional yang sudah menenun bertahun-tahun tidak lagi memerlukan pola yang digambar pada sehelai kertas, bahkan hanya dengan melihat contoh perajin tahu bagaimana menghitung benang lungsi dan membentuk motifnya. Sedangkan, untuk para pemula pola pada kertas berpetak masih diperlukan. Hasil wawancara tanggal 22-28 September 2010. 45Stephanus Hamy dan Debbie S. Suryawan, Chic Mengolah Wastra Indonesia: Batik Jawa Barat (Jakarta: Gramedia, 2009), 4; Tina Sardadi dan Amy Wira Budy, Muslimah Berbusana Nusantra (Jakarta: Gramedia, 2009). 214 songket Palembang. Hasil wawancara dengan beberapa pengrajin diketahui pergeseran terjadi karena: (1) para perajin songket sudah mulai terbuka dengan gerakan persaingan usaha global; (2) adanya berbagai pelatihan yang mengarahkan pada pengembangan songket kedalam berbagai desain, motif maupun pembentukan souvenir yang digemari oleh pasar dan laku terjual. Dari alat-alat tersebut dibuatlah songket dengan perbedaan dari banyaknya penggunaan benang emas dalam sehelai kain. Ada dua sebutan besar untuk jenis songket Palembang ditambah dengan penamaaan motif-motifnya yang semuanya mengacu pada alam sekitar. Responden perajin menyebutkan dari tempat usaha sederhana dan peralatan pembuat songket diarahkan ke songket Tawur adalah jenis songket yang penggunaan benang emasnya tidak banyak dan rapat, namun menyebar dalam motif-motif tunggal. Selain menyebar, benang emas ditambahkan pada motif pinggiran dan tumpalnya. Ada juga songket Lepus, yakni jenis songket yang penggunaan benang emas penuh sampai hampir menutupi seluruh dasar kain. Songket Lepus tentu saja lebih mahal dibandingkan songket tawur. Bukan saja banyaknya benang emas yang dipakai, tapi juga motif yang dipilih lebih rumit dan rapat.46 Dari berbagai data dapat disimpulkan adanya perbedaan karakteristik usaha songket Palembang yang terbagi: Pertama, masa kerajaan di Sumatera Selatan, terutama masa Kesultanan Palembang Darussalam, menenun songket berbasis nilai adat dan nilai-nilai agama dalam setiap motif, lebih berorientasi penenun kerajaan, tersedia bahan baku lengkap dan berkualitas, motif belum berkembang dan statis namun diarahkan pada keanggunan, dan kemewahan. Pada umumnya pembuatan motif terbagi

46Hasil observasi dan wawancara tanggal 4-18 Oktober 2010. 215 dua kelompok, yaitu: kelompok perajin pelestari adat dan budaya; dan kelompok perajin pengikut syariat Islam. Kedua, masa kemerdekaan sampai masa-masa Orde Baru, para penenun eksis mempertahankan budaya tenun songket dengan mempertahankan nilai-nilai adat, orientasi produktif dan konsumtif, berbasis keluarga sebab tenun merupakan warisan turun temurun, bahan baku lengkap dan mudah didapat, berkembangnya berbagai pola dan pengembangan motif. Ketiga, masa kontemporer (era transisi hingga reformasi 2011), para pengrajin dan perajin songket mempertahankan dan memodifikasi desain tenun songket, membangun kerjasama dengan desain pakaian, berbagai aksesories, lebih mengutamakan seni dan bersifat konsumtif, berkembangnya kerjasama dalam sentra-sentra usaha terutama dengan perajin di kabupaten/kota di Sumatera Selatan.47

B. Pendayagunaan Kapital Konstruk pendayagunaan kapital berarti (1) melihat mesin dan pabrik yang dipergunakan untuk memproduksi barang lain, dan (2) proses yang berhubungan dengan subjek manusia dalam mempergunakan alat-alat tersebut untuk menenun dan meningkatkan usaha songket secara bersama. Dari aspek proses usaha songket Palembang didapatkan. Hasil observasi menunjukkan bahwa proses pembuatan kain songket telah membuktikan bangun kebersamaan, dan saling bergantung antara satu keahlian dengan keahlian yang lain. Artinya, ketika salah satu rantai proses pembuatan kain songket tidak lancar, maka semua proses produksinya menjadi terganggu. Karena itu, jalinan komunikasi yang saling menguntungkan bersama menjadi

47Hasil Observasi di wilayah sentral penjualan kain songket di Ilir Barat Permai Palembang (15 dan 18 September 2011), dan hasil wawancara tangga 22-25 September 2010. 216 prioritas dalam memproduksi kain songket. Persaudaraan dalam melakukan pendayagunaan kapital terlihat dengan hasil wawancara dengan Mariana (M), pengrajin songket dan Jumputan Mustika Mandiri yang menjelaskan jaring usaha songket yang dimilikinya. Pertama, M pada awalnya hanya sebagai penjahit karung terigu, limbah usaha Indomie di Palembang dengan beberapa karyawannya hingga perkembangan usaha tersebut berkembang. Dalam proses usahanya, ia berkenalan dengan tetangga yang menawarkan keahliannya menenun songket untuk bergabung dalam usahanya. M kemudian mengajak ibu-ibu lingkungannya untuk belajar menenun, sehingga terkumpul 10 ibu-ibu yang mau belajar menenun. Kerjasama dan proses awal membangun kesejahteraan bersama muncul. Kedua, kerjasama dalam mengelola bahan dan alat- alat tenun dikembangkannya, dengan memberdayakan kelompok yang khusus memintal benang tenun songket. Kelompok yang mengurusi benang, dari pewarnaan, pemasangan benang, mencoket/membuat motif, melimas, dan kelompok menenun. Responden (1) kemudian mampu mengkoordinir tenaga kerja bidang produksi songket sebanyak 31 pekerja yang terdiri dari: (1) 8 orang laki-laki dan 5 orang perempuan yang khusus mengurusi masalah bahan baku benang, mewarnai dan memasang benang ke alat tenun; (2) 3 orang perempuan dan satu orang laki-laki yang berkreasi membuat motif; (3) 2 orang laki-laki dan 1 orang perempuan yang melimas; (4) 10 orang penenun; (5) 2 orang laki-laki sebagai tenaga administrasi. Dari jumlah karyawan tersebut, M kemudian mampu menghasilkan songket antara 15 dan 20 stel perbulan.48 Hampir sama, responden (2) memiliki hingga 40 orang karyawan, yang terbagi dalam kelompok-kelompok

48Wawancara tanggal 24 September 2010. 217 tersebut yang mampu menghasil 30 stel kain songket.49 Dari berbagai tempat usaha songket juga memiliki karyawan yang variatif dan selalu berhubungan, dan ini berarti solidaritas kerja terwujud dalam proses produksi dilingkup karyawan. Kelemahan yang muncul pada persoalan loyalitas dan dedikasi kerja sentra-sentra usaha terutama yang berhubungan dengan ketidakseragaman dalam memberikan upah kepada para perajin. Responden (3) dan responden (4) perajin songket menjelaskan bahwa pada umumnya perajin songket di Palembang ini tidak menginduk kepada pengrajin. Mereka bekerja sesuai dengan besaran upah yang diberikan. Pengrajin yang loyal dan perhatian pada para perajin-perajin sentra akan diterima dan dikerjakan dengan baik. Sementara pengrajin yang tidak perhatian terhadap kebijakan pembayaran upah yang sesuai diabaikan para perajin.50 Dari perspektif ini memperlihatkan bahwa perajin sebagai orang yang memiliki keahlian keturunan terposisikan sebagai objek yang hanya menerima upah untuk keperluan sehari-hari dan jauh dari penguatan efisiensi berkeadilan Para responden penelitian ini menyebutkan persoalan tersebut terletak pada kekuatan modal dan distribusi. Dari sisi ini, secara umum para pengrajin telah melakukan proses spesialisasi dan penguatan nilai tambah sekunder, dalam meningkatkan ekonomi para pengrajin dan perajin. Bahan baku benang yang diimpor dari negeri China, Thailand atau India, selanjutnya diolah menjadi berbagai aneka benang warna untuk kepentingan menenun, untuk sebagian konsumen meminta untuk dicelup dengan warna emas. Dampak dari hal tersebut, pemberdayaan masyarakat dalam

49Wawancara tanggal 28 September 2010. 50Wawancara tanggal 14-15 Oktober 2010. 218 proses membuat tenun songket menjadi baik.51 Perubahan terjadi ketika persoalan modal menjadi kendala. Pada sisi modal, semua responden dari pengrajin dan perajin memiliki keterbatasan modal yang berimplikasi pada berbagai aspek produksi terutama dalam hubungannya dengan proses produksi yaitu (1) keterbatasan tempat usaha; (2) keterbatasan ATBM; (3) keterbatasan sumber daya penenun; (4) keterbatasan penyediaan bahan baku dan keterbatasan distribusi terutama dalam promosi.52 Hasil wawancara diketahui rata-rata modal sendiri perajin dan pengrajin songket yang terjadi antara tahun 2008-2010 terbagi dalam: (1) modal sendiri pengrajin antara Rp 5.000.000,- sampai Rp 30.000.000,- (2) dan modal sendiri pengrajin pemula dan perajin Rp 500.000,- Rp 4.000.000,-.53 (3) hanya memiliki modal alat tenun dan ketrampilan bertenun. Data akurat terhadap keuangan para pengrajin maupun perajin tidak bisa diakses dengan baik. Hal tersebut terkait dengan ketiadaan data keuangan sederhana secara baik. Seperti tidak adanya buku penerimaan kas, buku pengeluaran kas, buku pembelian,

51Pengrajin yang memiliki modal langsung membeli benang yang sudah jadi dalam bentuk gelondongan benang emas dan benang sutra ke pedagang-pedagang benang. 52Sebagian besar pengusaha mikro terutama yang bergerak di sektor pertanian dan sektor informal memiliki pendapatan bersih kurang dari USD1. 440 per keluarga pertahun. Dengan pendapatan sekecil itu, mereka masih tergolong kelompok miskin yang berpendapatan kurang dari USD1 per orang per hari. Namun demikian kelompok usaha ini menyerap lebih kurang 89 juta tenaga kerja atau identik dengan 96,7% tenaga kerja. Lihat Hg Suseno Triyanto Widodo, et.al, Reposisi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam Perekonomian Nasional (Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2005). Lihat juga Tulus Tambunan, Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia: Beberapa Isu Penting (Jakarta: Salemba Empat, 2002). 53Modal sendiri adalah dana pengrajin/perajin dan saldo keuntungan yang ditanamkan kembali dalam usaha songketnya. 219 maupun buku memorial. Walaupun ada, tidak disertai bukti- bukti yang memungkinkan pelacakan dengan mudah. Pengrajin yang sudah memiliki, hanya pengrajin yang sudah bersentuhan dengan kemitraan, dan mau mengelola keuangan usahanya dengan benar. Pada umumnya, pengrajin dan perajin songket hanya memiliki catatan serba serbi, yang didalamnya hanya catatan kunci seperti daftar piutang, daftar hutang. Walaupun tidak ditelusuri secara mendalam, asumsi peneliti dengan minimnya adminstrasi keuangan, maka neraca keuangan dan daftar rugi laba hanya dalam bentuk proyeksi, sehingga sulit mengetahui perkembangan usaha kerajinan songket, ditambah lagi sistem usaha menggunakan manajemen keluarga. Maka, semakin sulit mengukur laba rugi usaha songket tersebut.54 Seiring dengan lemahnya modal usaha, alat-alat tenun, maupun bahan baku mengalami persoalan, terutama bagi perajin di luar kota Palembang. Bahan baku benang dari: (1) benang emas sintesis dari pabrik benang di Jepang. Benang ini halus, dan tidak mengkilap, hasil tenunannya lebih halus dan ringan dan lebih mudah diolah kembali; (2) Jenis benang emas dari Bangkok yang tidak mudah putus, sehingga ketika diolah dengan macam-macam warna lebih kuat; (3) benang emas lokal yang sulit ditenun, kasar dan mudah putus ketika diolah kembali. Ketiga jenis benang bahan baku tersebut sudah mudah di dapat dari pemasok di beberapa toko yang berada di pasar tradisonal di kota Palembang. Persoalan pada aspek harga jual dari pemasok yang sangat tinggi, tanpa terjadi tawar-menawar. Para pengrajin dan perajin songket di Palembang mengeluh terjadinya monopoli perdagangan bahan baku utama songket, seperti benang sutra dan emas. Pasalnya, mereka terpaksa membeli bahan baku dari satu sumber dengan

54Hasil olah dan analisis data wawancara tanggal 22-25 Oktober 2010. 220 harga yang relatif tinggi, karena dipermainkan oleh pedagang. Responden menjelaskan bahwa perdagangan bahan baku songket saat ini dimonopoli beberapa pedagang kain dari India. Pedagang India mampu mendatangkan benang sutra dari China, dan benang emas dari Perancis, Jepang, dan Bangkok. Sementara, pedagang lokal tidak mampu mendatangkan bahan baku tersebut. Dampaknya, mereka terus merasakan kenaikan harga bahan baku. Saat ini, harga benang emas sudah naik menjadi Rp 25.000,- dari beberapa bulan sebelumnya yang hanya seharga Rp 22.000,- per gulung. Sementara benang sutra sudah naik menjadi Rp 27.000,- per gulung dari sebelumnya Rp 24.000,-. Permintaan turun, masalah tingginya harga bahan baku, diperparah dengan minimnya pesanan dari luar negeri.55 Dampak yang muncul akibat tidak terkontrolnya modal usaha songket dari aspek internal: Pertama, sulitnya mengetahui ril keadaan keuangan apabila dibutuhkan untuk mendapatkan kemitraan dengan BUMN atau bank; Kedua, usaha songket Palembang masih kental dengan sistem manajemen keluarga, yaitu hasil yang didapat lebih diprioritaskan untuk konsumsi dibandingkan investasi dan tidak tercatat. Seperti penjelasan seorang perajin responden yang memiliki 5 orang anak. Ia menjelaskan bahwa upah yang didapat dari bertenun atau hasil penjualan dari bertenun sebesar Rp 2.000.000-Rp 3.000.000/bulan dicatat dalam buku sederhana, namun realnya diperuntukkan untuk dana makan, keperluan rumah tangga dan tambahan biaya sekolah anak-anak. Ia juga menegaskan bahwa kelompok- kelompok yang bersama-sama dan berhubungan dengannya memiliki tipologi yang sama.56 Ini berarti wujud kemitraan antara pengrajin dan perajin hanya sekedar untuk

55Wawancara tanggal 26-28 September 2010. 56Wawancara tanggal 17 September 2010. 221 mencukupi kebutuhan sehari-hari belum sampai pada pemberdayaan; Ketiga, ketrampilan menenun sekedar bisa berkreasi dan menghasilkan untuk membantu perekonomian keluarga. Sumber daya penenun di samping dalam lingkungan keluarga saja, bisa diambil dari luar yang mereka (para penenun) yang tidak terlalu banyak menuntut dalam soal upah.57 Dari aspek tempat usaha dengan berbagai karakteristik seperti: (1) dalam wilayah komunitas usaha songket binaan, seperti Kampung BNI Tenun Songket di Desa Muara Penimbung Indalaya Ogan Ilir dalam PKBL (Program Kerja Bina Lingkungan);58 (2) usaha mandiri tempat pencelupan, dan memproses benang; dan (3) usaha tempat menenun. Kedua tempat tersebut (2 dan 3) dibagi dalam 3 bentuk, yaitu: (1) tempat kerja yang bersentuhan dengan aktifitas rumah; (2) tempat kerja yang bersentuhan dengan aktifitas rumah, dan toko penjualan, terutama pada sentral-sentral pengrajin songket. Unsur tempat usaha berdasarkan indikator efisiensi berkeadilan cukup responsif. Ini terbukti dengan keseimbangan dalam proses kerja. Keterbatasan ruang usaha menambah kebersamaan dalam meningkatkan omset penjualan kain songket.59 Hasil observasi dan wawancara diketahui bahwa aktifitas dengan

57Kesimpulan wawancara, beberapa pengrajin yang ditemukan mereka menyebutkan dengan kira-kira tanpa data otentik, selama melakukan proses wawancara, pertanyaan persoalan pembiayaan diarahkan dengan memperlihatkan hasil karya dan harga jual. 58Kampung usaha songket ini diresmikan oleh Hatta Rajasa pada tanggal 11 Februari 2010. Program kampung ini adalah salah satu langkah meningkatkan produktifitas usaha kecil berbasis daerah dengan diberikan pelatihan, binaan, modal, dan pemasaran. Di akses dari http://www.koperasiku.com/aggregator/, Tanggal 16 Oktober 2010. 59Hasil wawancara dengan pengrajin dan perajin diketahui bahwa omset penjualan kain songket terbagi dalam dua kelompok: (1) omset antara Rp 2 juta hingga Rp 15 juta/bulan; (2) omset antara Rp 15 juta hingga Rp 40 juta/bulan. 222 bentuk-bentuk tempat usaha demikian tidak mengganggu aktifitas rumah tangga. Persoalan yang muncul justru pada wilayah sekitar, yang berhubungan erat dengan perkembangan penduduk di wilayah sentra usaha songket yang semakin padat, dan memarginalkan aktifitas usaha, sehingga sulit berkembang. Contoh yang nampak pada sentra usaha songket di salah satu wilayah objek penelitian yang masing masing terdiri dari 15 unit usaha songket yang mempekerjakan 95 perajin ditambah aktifitas kerajinan kain lain yang dikenal jumputan. Pada tahun 1980 hingga tahun 2000, perajin songket di wilayah tersebut mudah di akses, jalan kendaraan untuk ke dalam wilayah pengrajin dan perajin mudah. Sejak tahun 2001 hingga 2010 wilayah pengrajin mulai tergeser dengan pembangunan rumah rumah sekitar, sehingga infra struktur menjadi menyempit dan sekarang terlihat lebih kumuh dan tidak teratur.60 Apabila ditarik dalam wilayah filosofis efisiensi berkeadilan dengan indikator yang dibuat, maka persoalan tersebut berhubungan dengan penjabaran dari keterbawasertaan usaha songket dalam program pembangunan lokal. Dalam hal ini, peran pemerintah daerah menjembatani problem wilayah usaha songket yang mulai tergerus dengan perkembangan pembangunan perkampungan. Solusi yang nampak berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan memperbaiki, dan memperluas jalan akses ke wilayah perkampungan- perkampungan pengrajin dan perajin songket Palembang. Hal ini penting, sebab hasil observasi dengan menelusuri jalan yang beraspal, berkerikil, dan ke sentra pembuat benang limar dan rumah penenun. Lingkungan dengan kondisi rumah yang saling berhimpitan satu dengan lainya,

60Hasil observasi sentra usaha kelompok perajin songket di Palembang, dan wawancara dengan responden pengrajin Tanggal 15-18 Oktober 2010. 223 tidak ada kesan glamour, layaknya kain songket yang sudah jadi dengan bandrol jutaan rupiah. Rumah mereka sangat sederhana. Tidak ada kesan mewah, selayaknya pengrajin tenun kelas dunia. Apabila kesan ini tidak segera dituntaskan akan menimbulkan kesan dua sisi. Pertama, akan ada sentimen perajin songket terhadap kesenjangan keadaan mereka, yang berakibat menurunnya motivasi dalam meningkatkan salah satu aset daerah ini.61 Kedua, regenerasi penenun akan semakin sulit didapat, karena adanya kesan tidak majunya kehidupan penenun.62 Solusi yang lain, adanya pembinaan pemerintah provinsi Sumatera Selatan melalui dunia perbankan dan BUMN, dengan cara memberikan tempat kluster usaha songket Kampung BNI Tenun Songket dalam program Kerja Bina Lingkungan. Solusi yang sudah dilakukan dengan menguatkan kapital usaha songket mendapatkan bantuan melalui beberapa jalur program, yaitu: Pertama, pembangunan Kampung BNI Tenun Songket di Desa Muara Penimbung Indalaya Ogan Ilir dalam PKBL (Program Kerja Bina Lingkungan) yang mengkondisikan 400 KK sebagai perajin songket. Kampung usaha songket yang diresmikan oleh Hatta Rajasa pada 11 Februari 2010 merupakan salah satu langkah untuk mengembangkan industri kreatif dalam meningkatkan produktifitas usaha

61Penelusuran dokomentasi pemerintah melalui Departemen Perindustrian ditemukan sudi kelayakan terhadap pengembangan usaha mikro dan kecil di kota Palembang lewat program pembangunan Perkampungan Industri Kecil (PIK) sejak tahun 1998. Baru tahun 2008 terealisir pada wilayah kabupaen kota. Sementara kota Palembang masih terpeta-peta seperti dijelaskan dari hasil observasi dalam pengantar bab III ini. 62Khusus analisis atas regenerasi penenun dibahas dalam sub bab selanjutnya. 224 kecil berbasis daerah dengan diberikan pelatihan, binaan, modal, dan pemasaran.63 Kedua, bantuan dalam program Bapak Angkat Industri Kecil (BAIK), yang dirancang sejak masa Orde Baru pada program repelita V (1988-1993), dan dikembangkan dengan program kemitraan. Seperti program kemitraan PT Telkom Kandatel Sumatera Bagian Selatan Rp 2,099 miliar, dengan 120 mitra binaan terdiri dari: Palembang Rp 1,035 miliar dengan 61 mitra binaan, Lubuk Linggau Rp 500 juta dengan 30 mitra binaan, sedangkan

63Kajian atasIndustri kreatif yang digagas Richard Florida, Daniel Pink, John Howkin sampai kepada John Hartley telah membangunkan negara-negara di seluruh benua untuk menggali dan mengembangkan potensi kreativitas yang dimilikinya. Bahkan ekonomi kreatif telah di daulat sebagai gelombang ekonomi keempat setelah era ekonomi informasi. Inggris berbenah melalui DCMSnya, Selandia Baru melalui NZTEnya, Singapura melalui MICA dengan konsep Renaisssance City, Media 21 dan Design Singapore-nya, Malaysia melalui MDICnya, Thailand dengan TCDCnya, dan RRT secara bertahap melahirkan kota- kota kreatif baru, dan telah menjadi yang terdepan dalam kontribusi ekonomi kreatif. Arus ekonomi kreatif juga melanda Indonesia. Kampung BNI ini merupakan salah satu dari sekian banyak program pemerintah pro rakyat untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Ada juga Kampung BNP di Kabupaten Subang, Jawa Barat yang menekuni usaha beternak sapi dan memerah susu, Kampung BNP di Imogin, Yogyakarta berhasil mengembangkan usaha kacang mete dan ulat sutra, "Kampung BNI di Lumajang, Jawa Timur, menjadi kelompok yang berhasil mengembangkan usaha budidaya pisang hingga berkembang maju. Pada negara-negara maju, seperti Amerika usaha kecil telah memberikan banyak lapangan kerja. Di Jerman barat, perusahaan yang digolongkan dalam bisnis kecil menghasilkan 2/3 produk nasional bruto mereka. Lihat Departemen Perdagangan RI, Program Kerja Pengembangan Industri Kreatif Nasional 2009- 2015 (Jakarta: Departemen Perdagangan RI, Kelompok Kerja Indonesia Design Power-Departemen Perdagangan, 2010). Kajian atas ekonomi kreatif dapat dilihat dalam Ricard Florida, Cities and The Creative Class (New York: Routledge, 2005); John, Hartley Creative Industries (Malden, Mass.: Blackwell, 2006). 225

Baturaja Rp 500 juta disalurkan kepada 29 mitra binaan. Dari sejumlah penerima bantuan 35 usaha songket masuk dalam pembinaan PT Telkom Kandatel Sumatera Bagian Selatan. Beberapa BUMN lain, seperti PT. PUSRI menyalurkan dana kemitraan pada 25 pengrajin dan perajin songket yang berada di wilayah Sumatera Selatan. Ketiga, membuat program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Pada tanggal 5 November 2007, Presiden meluncurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) melalui Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM), dengan fasilitas penjaminan kredit dari Pemerintah melalui PT. Askrindo dan Perum Sarana Pengembangan Usaha. KUR ini bertujuan untuk membantu usaha-usaha masyarakat mikro-ke bawah agar mampu berkembang, dan meningkatkan badan usaha mereka. Selain itu, pemberian KUR bertujuan untuk pemberdayaan UMKM, penciptaan lapangan kerja dan penanggulangan kemiskinan. Jenis kegiatan upaya yang diverifikasi bervariasi, antara lain: bantuan permodalan, pemberian pelatihan, pendampingan dan fasilitasi, bantuan teknis dan konsultasi, penyediaan informasi, bantuan sarana, serta bantuan promosi pasar. Umumnya, dalam satu upaya terdapat lebih dari satu kegiatan, misalnya bantuan modal disertai dengan kegiatan pelatihan atau bimbingan teknis. Setiap tahun kredit yang dikucurkan pemerintah terus mengalami peningkatan. Hingga April 2009 pemerintah sudah mengucurkan sekitar Rp 5 triliun Kredit Usaha Rakyat (KUR).64 Pemerintah akan mengoptimalkan peranan

64Rendahnya produktivitas. Perkembangan yang meningkat dari segi kuantitas tersebut belum diimbangi dengan peningkatan kualitas UMKM yang memadai khususnya skala usaha mikro. Masalah yang masih dihadapi adalah rendahnya produktivitas, sehingga menimbulkan kesenjangan yang sangat lebar antar pelaku usaha kecil, menengah, dan 226 koperasi simpan pinjam maupun unit simpan pinjam (KSP/USP) di seluruh provinsi untuk mendongkrak penyaluran permodalan UMKM melalui program kredit usaha rakyat (KUR), Program Perkassa (Program Perempuan Keluarga Sehat dan Sejahtera), melalui berbagai bentuk program perkreditan, antara lain program Modal Awal dan Padanan (MAP), program perkuatan sektoral, program USP/KSP konvensional, program USP/KSP pola agribisnis; Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) lewat BUMN (PT. PUSRI, SUCOFINDO,

besar. Atas dasar harga konstan tahun 1993, produktivitas per unit usaha selama periode 2000-2003 tidak menunjukkan perkembangan yang berarti, yaitu produktivitas usaha mikro dan kecil masih sekitar Rp 4,3 juta per unit usaha per tahun dan usaha menengah sebesar Rp 1,2 miliar, sementara itu produktivitas per unit usaha besar telah mencapai Rp 82,6 miliar. Demikian pula dengan perkembangan produktivitas per tenaga kerja usaha mikro dan kecil, serta usaha menengah belum menunjukkan perkembangan yang berarti, yaitu masing-masing berkisar Rp 2,6 juta dan Rp 8,7 juta, sedangkan produktivitas per tenaga kerja usaha besar telah mencapai Rp 423,0 juta. Kinerja seperti itu berkaitan dengan: (a) rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia UMKM khususnya dalam bidang manajemen, organisasi, penguasaan teknologi, dan pemasaran; dan (b) rendahnya kompetensi kewirausahaan UMKM. Peningkatan produktivitas UMKM sangat diperlukan untuk mengatasi ketimpangan antarpelaku, antar golongan pendapatan dan antardaerah, termasuk penanggulangan kemiskinan, selain sekaligus mendorong peningkatan daya saing nasional. Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah dalam 10 terakhir menyebutkan, jumlah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) terus menaik. Akhir 2009, jumlahnya mencapai 51,26 juta unit, terus naik hingga 39,5 persen sejak 1998. Pada 2009 sebagian pelaku usaha kecil menengah yang berbisnis kurang dari 10 tahun terakhir berhasil melakukan ekspor ke Eropa, Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, penyerapan Kredit Usaha Rakyat (KUR) hingga Agustus 2010 sudah mencapai 50% dari target Rp13,1 triliun tahun ini. Diakses dari http://www.koperasiku.com, Tanggal 16 Oktober 2010. 227

PERTAMINA).65 Artinya, Pemerintah Indonesia dengan berbagai program tersebut telah melakukan bantuan penguat kapital para pengrajin dan perajin, yang diwujudkan dalam hubungan participatory-emancipatory, bukan hubungan subordinasi yang diskriminatory, yang menumbuhkan ketergantungan.66

65Johnny W. Situmorang, “Analisis Tipologi dan Posisi Koperasi Penerima Program Perkassa Studi Kasus di Sumatera Selatan”, Jurnal Pengkajian Koperasi dan UKM, vol. 5, Agustus 2010. Hasil olah data didapatkan berbagai program yang diupayakan untuk usaha kecil hingga tahun 2010 tidak terkecuali untuk usaha songket Palembang, seperti Kementrian Perindustrian dan Perdagangan dengan proyek peningkatan peran serta wanita; Kementrian Koperasi dan UKM dengan Program Modal Awal dan Padanan (MAP), Business Development Services Sentra UKM (BDS Sentra), Perkuatan Permodalan UKMK dan Lembaga Keuangannya dengan Penyediaan Modal Awal dan Padanan (P2LK-MAP); Perbankan dengan program Program Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK), Kupedes, Kredit Mikro, Program Swamitra. Ada juga program pengembangan BMT dari organisasi sosial non politik (ornop), BUMN dengan progam Program Pemberdayaan Usaha Kecil dan Koperasi (PUKK), Program BAIK (Bapak Anak Industri Kecil). 66Pada tahun 2009 sebagaimana dikutip dari menitdotkom, Sri- Edi Swasono telah mengingatkan bahwa alokasi dana untuk usaha kecil sangat minim bahkan dalam penyalurannya juga tidak sampai pada sasaran. Dia mencontohkan, Kredit Usaha Tani (KUT) senilai Rp 8,6 triliun akhirnya penyalurannya lebih banyak menyimpang. Usaha kecil merupakan ekonomi rakyat. Upaya menggerakkan ekonomi rakyat ini harus berbasis akar rumput, sumber daya dan berorientasi pada orang. Sementara usaha menengah, menurut Swasono, walaupun tidak semuanya, selama ini menjadi beban bagi usaha kecil dengan melakukan eksploitasi dan kadang-kadang berperan sebagai predator. Usaha menengah yang jumlahnya sedikit sebagian hanya menjadi brokrer atau distributor untuk usaha kecil. “usaha bersama” dan “asas kekeluargaan” adalah kata-kata dan makna mulia yang harus tetap dipertahankan… Menghilangkan “usaha bersama” dan “asas kekeluargaan” bisa diartikan sebagai mengabaikan nilai-nilai agama, mengabaikan moralitas ukhuwah di dalam berperikehidupan yang menjadi kewajiban agama. Sumber: www.bappenas.go.id 228

Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (DisPerinDagKop) kota Palembang (2009-2010) diperkirakan 225 unit usaha songket dari 660 unit usaha, dengan jumlah 1800 pengrajin dan perajin songket dari 4000 pengrajin dan perajin yang menyebar di wilayah Sumatera Selatan telah mendapatkan dana PKBL, KSP/USP dan KUR tersebut. Sisanya belum mendapatkan bantuan terkait dengan kelayakan manajemen pada masing-masing usaha songket.67 Secara umum program keterbawasertaan usaha songket didasarkan pada pendayagunaan kapital sebagai langkah peningkatan kesejahteraan dan usaha rakyat melalui pendekatan kelompok yang tepat sasaran, efisien, dan ada proses pembelajaran di dalamnya telah nampak. Dari perspektif ini, maka konsep ekonomi Islam mengatasi ketidak- merataan pendapatan dan menjalankan apa yang dinamakan ”maq}a>sid shari>ah.68 Peran pemerintah (tada>khul dauliyah) yang menjaga maqa>sid untuk kemas}lahatan orang banyak. Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa maq}a>sid shari>ah menurut al-Ghazali adalah meningkatkan kesejahteraan seluruh manusia yang terletak pada perlindungan keimanan mereka, jiwa mereka, akal mereka, keturunan mereka, dan kekayaan mereka. Apapun yang menjamin kelima hal ini, menjamin kepentingan publik, dan merupakan hal yang diinginkan.69 Hal-hal tersebut diatas pula yang sebenarnya diinginkan oleh ekonomi kerakyatan, dimana pemerataan kesejahteraan dan kepentingan rakyat yang diutamakan.

67Analisis penyebab dikaji selanjutnya pada bab kemitraan pada studi ini. (pen.) 68QS. al-Hashr [59]: 7. 69Dikutip dari M. Umer Chapra, the Future of Economics, an Islamic Perspective, 8-10; lihat juga Ikwan Abidin Basri, Menguak Pemikiran Ekonomi Ulama Klasik (Solo: Aqwan, 2007), 120-121. 229

Menurut responden, ada solusi dari permasalahan ini, yakni dengan menyatukan para perajin songket ke dalam sebuah asosiasi. Asosiasi perajin songket akan memperkuat posisi tawar perajin dari pedagang bahan baku yang dimonopoli. Selain itu, asosiasi akan membuat para perajin mampu memperluas jaringan pasar songket. Namun, asosiasi selalu sulit untuk dibentuk. Para perajin belum memiliki kesadaran untuk menyatu, demi memperkuat eksistensi perajin dalam menghadapi persaingan, mereka lebih suka melakukan aktifitas pengembangan sendiri- sendiri.70 Dalam persepktif ini, akan terjadi dua persoalan penting. Pertama, akibat bahan baku mahal, maka harga jualpun mahal, dan persaingan harga hasil usaha songket bisa kalah bersaing dengan bentukan songket dari negara lain terutama dari negara China. Sejak diberlakukannya ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA), sepertinya mengkhawatirkan perajin songket. Jika kualitas, kreativitas, dan corak-corak songket tidak diperkuat, maka dikhawatirkan kerajian akan kalah saing dengan produk China. Apalagi, pembuatan songket Palembang menggunakan tangan, waktunya cukup lama dan harganya cukup tinggi dari Rp 6000.000,- hingga ratusan juta. Tetapi, jika China juga mengeluarkan songket dengan kualitas baik, bagus, harga murah dan menggunakan alat canggih, maka bisa dipastikan songket Palembang akan kalah bersaing. Kedua, permainan harga bahan baku tanpa ada kontrol pemerintah, akan berdampak pula pada proses produksi usaha perajin yang bermodal minim, dan belum mendapat bantuan kemitraan dari pemerintah. Hasil wawancara diketahui sebagian pengrajin dan perajin daerah melakukan kerjasama untuk pembelian bahan baku tersebut.

70Wawancara tanggal 26-28 September 2010. 230

Mereka sama-sama mengumpulkan uang kepada salah seorang dari mereka yang dipercayai untuk membeli bahan baku pada pemasok, yang selanjutnya dibagi berdasarkan jumlah uang yang disetor. Dari aspek ini, memperlihatkan belum adanya koperasi yang mewadahi persoalan tersebut. Penelusuran mendalam diketahui bahwa pengrajin dan perajin belum terbangun kelembagaan lewat koperasi dan asosiasi, ditambah dengan aktifitas koperasi yang lebih mengutamakan pengurusnya.71 Para pengrajin songket Palembang menyatakan bahwa terjadi struktur tempat usaha kerja songket yang terpilah-pilah dengan sistem menggunakan sentra usaha, merupakan langkah dalam meningkatkan efisiensi perajin songket sebagai pekerja rumahan (home workers).72 Dari sini, memperlihatkan adanya upaya efisiensi kapital dengan memberdayakan semua pihak. Lebih lanjut, dijelaskan argumentasi pola mempekerjakan penenun sebagai tenaga kerja, tanpa menyediakan gedung, dan fasilitas disepakati pula oleh para pengrajin dengan alasan kegiatan menenun songket lebih banyak melibatkan ketrampilan perorang, dan ketrampilan yang diwariskan dalam lingkup masing-masing perajin songket. Pola ini juga dapat menekan biaya produksi, sehingga mampu menghadapi persaingan pasar. Pendayagunaan kapital demikian menjadikan satu kekuatan untuk sama-sama mendapatkan keuntungan bersama, dan kapital yang mereka miliki terus berjalan.73

71Wawancara tanggal 11Oktober 2010. 72Lihat Josept Migga Kizza, Ethical and Social Issues in the Information Age (London: Springer, 2010); Herbert Applebaum, the Concept of Work: Ancient, Medieval, and Modern (Albany: Univ. of New York Press 1992); Hesti R. Wijaya, “Sektor Informal: Katup Pengaman dan Sang Penyelamat yang Terabaikan”, dalam jurnal FPBN, edisi ke-8, Maret-September 2008. 73Hasil wawancara dengan pengrajin songket tanggal 22-28 September 2010. 231

Pola pendayagunaan kapital demikian tidak memiliki konsekuensi berkeadilan sosial. Hasil penelusuran melalui wawancara diketahui bahwa para perajin memberdayakan kapital hanya untuk mendapatkan hasil, dan bisa membiayai keluarga, atau membantu perekonomian keluarga. Sementara, dari sisi efek dari pola sentra usaha dan efek dari menerima upah dari pemesan songket. Ini dibuktikan dengan tidak adanya hak-hak yang layak diterima, seperti dalam sebuah perusahaan. Indikasi yang sangat jelas dengan tidak adanya ikatan kerja yang formal, kecuali menggunakan konsep kepercayaan. Pendayagunaan kapital digunakan hanya untuk meningkatkan produksi, dan memberikan keuntungan maksimal bagi pengrajin, maupun pemesan songket dari kalangan pedagang.74 Jika ditelaah lebih mendalam, pendayagunaan kapital perajin tidak dibarengi dengan hak dan kewajiban, seperti diterangkan pada sub selanjutnya. Artinya, upaya pendayagunaan kapital baik oleh pengrajin maupun perajin songket untuk memproduksi maksimal songket untuk menutupi pengeluaran dan pembayaran pinjaman kredit modal usaha. Sehingga perajin songket menjadi buruh dalam perekonomi, dan tidak sebagai pemilik atau memiliki saham di sektor produksi. Asumsi penilaian adalah sebagai berikut: Perajin songket dengan keahlian yang dimiliki hanya mendapat upah tenun rata-rata Rp 160 ribu per songket, dengan rincian: untuk sarung bawahan Rp 100 ribu dan untuk selendang upahnya Rp 60 ribu yang dikerjakan dalam waktu 2 Minggu. Perbulan penenun bisa mendapatkan Rp 320.000,- bila produktif. Hasil dari upah kerja hanya sampai untuk menutupi biaya keluarga, dan tidak mampu berinvestasi. Ini artinya perajin hanya

74Wawancara dengan para perajin tanggal 13-14 Oktober 2010. 232 mendapatkan keuntungan minimum dari nilai keahlian yang dimiliki secara turun temurun. Berbeda dengan pengrajin yang memiliki cukup modal dan jaringan usaha. Disamping mendapatkan nilai tambah (primer) yang didapat dari kemitraan dengan para perajin, mereka juga mampu menghasilkan nilai-nilai sekunder dengan mengembangkan desain tenun songket menjadi berbagai aksesories dan ragam busana yang mengikuti pasar. Pada akhirnya para pengrajin mampu mendapatkan keuntungan jauh melebihi para perajin. Para pengrajin juga mampu melakukan investasi berdasarkan hasil usahanya. Pertama, seorang pengrajin melakukan kemitraan dengan 1 orang perajin untuk membuat tenun songket motif X sebanyak 5 stel kain songket. Pengrajin kemudian memberikan modal kepada perajin bahan baku tenunan. Perbandingan pendapatan antara pengrajin dan perajin untuk 5 stel kain songket Rp 5.310.000 : Rp 800.000. Perajin yang memiliki ketrampilan turun temurun mendapatkan penghasilan jauh lebih rendah dengan pengrajin/pengusaha yang hanya berdasarkan kemampuan modal dan finansial semata. Ini artinya berdasarkan perhitungan sederhana dari data lapangan tersebut memperlihatkan kesenjangan penghasilan antara pengrajin dan perajin, yang menunjukkan bahwa kemitraan belum pada tingkat saling menguntungkan dan memberdayakan. Keuntungan dalam arti tidak ada transpransi dalam soal hasil penjualan songket yang diproduksi penenun. Ketika mendapat hasil penjualan maksimal, pengrajin lebih arif dalam membayar upah dan memperhatikan karyawan, ketika hasil penjualan minimal, perajin yang disalahkan, dan upah produksi bagi perajin ikut terimbas tanpa tahu 233 penyebab utama, demikian salah seorang perajin menjelaskan dalam wawancara.75 Kedua, jika kemudian pengrajin mengelola pula kain songket hasil tenunan perajin menjadi berbagai aksesories seperti gantungan kunci, bantal kursi, tanjak, boneka gadis dan bujang Palembang, sandal, pakaian, tas laptop, pajangan songket, maka keuntungan yang diperoleh pengrajin jauh melebihi keuntungan perajin yang memiliki ketrampilan menenun. Dari kedua aspek ini, efisiensi berkeadilan tidak terlihat. Apalagi kemudian pemerintah daerah membantu kelompok-kelompok pengrajin tidak kepada perajin. Maka akan semakin terlihat ketidakadilan dalam memaksimalkan usaha. Berdasarkan aktifitas faktor produksi alat atau sarana untuk melakukan proses produksi usaha songket Palembang sudah berdasarkan pada pemberdayaan alat, yang tidak sekedar menghasilkan alat pemuas kebutuhan manusia, namun memberikan keuntungan sesuai dengan tingkat usaha yang dikerjakan. Dalam konstruk ekonomi Islam, prinsip dan tujuan produksi songket adalah sebuah usaha bernilai halal. Dalam perspektif ekonomi Islam dasar efisiensi dalam pendayagunaan kapital pada usaha tenun songket dibangun dalam konsep dasar amanah dan moral. Dari sisi ini, maka baik pengrajin maupun perajin tidak hanya sekedar mempercepat produksi songket bertujuan pada capital oriented an sich, tapi juga melakukan perbaikan peralatan produksi dan peningkatan kualitas ketrampilan. Amanah dan moralitas dalam pendayagunaan kapital pada usaha songket tidak bisa menafikan visi manusia dimuka bumi sebagai penebar rahmatan li al- a>lami>n.76 Melalui serangkaian aktifitas ekonomi bisnis yang berhenti pada tujuan pencapaian Ridlo Allah Swt.,

75 Wawancara tanggal 11 dan 14 Oktober 2010. 76Q.S. an-Nisa>‟[4]: 58. 234 dimana ekspektasi keuntungan yang diharapkan (tinggi) yang sesuai dengan konsep mas}lahat. Pendayagunaan kapital pada usaha songket walaupun mendatangkan keuntungan yang sangat besar, namun merugikan salah satu pihak tidak dapat dibenarkan, sebab walaupun efisiensi pendayagunaan kapital sudah baik namun tidak seiring nilai keadilan sosial77. Keadilan ekonomi mengandung pengertian bahwa Islam sangat menekankan persamaan manusia (egalitarianism) dan menghindarkan kepincangan ekonomi, seperti eksploitasi, keserakahan, konsentrasi harta pada segelintir orang. Dengan demikian, konsep keadilan sosial- ekonomi yang berhubungan dengan pendayagunaan kapital adalah persaudaraan (Q.S. al-Hujara>t [49]: 13 dan al- Ma>‟idah [5]: 8). Sehingga pengrajin, perajin maupun pedagang songket sama-sama mendapatkan keuntungan tanpa membedakan status kerja. Hal yang juga dikaji dalam konstruk Islam dalam upaya memberdayakan, dan menguatkan kapital pengrajin dan perajin songket, dengan dukungan dari pemerintah. Islam menentukan fungsi pokok negara dan pemerintah dalam bidang ekonomi, yaitu menghapuskan kesulitan ekonomi yang dialami rakyat, memberi kemudahan pada akses pengembangan ekonomi kepada seluruh lapisan rakyat dan menciptakan kemakmuran (Q.S. Ta>ha> [20]: 118-119). Nilai tanggung jawab sosial dalam visi negara seperti yang dimaksudkan dalam Al-Qur‟an tersebut adalah tanggung jawab negara membantu rakyat ketika menghadapi persoalan dari aspek kapital.78 Ini

77Konsep keadilan ekonomi dalam Islam dapat ditelaah pada sub bab sebelumnya. 78Muhammad Abdul Mannan, Islamic Economic: Theory and Practice. Larangan bunga yang dilekatkan dengan kronologisnya dalam al-Qur‟an, (1) Q. S. ar-Ru>m [30]: 39; (2) Q.S. al-Baqarah [2]: 275-278, 235 berarti, pemberdayaan dalam studi ini mempunyai filosofi dasar sebagai suatu cara mengubah pengrajin perajin songket dari yang tidak mampu menjadi berdaya, baik secara ekonomi, sosial, maupun budaya. Pendayagunaan kapital pengrajin dan perajin songket sebagai bagian usaha mikro dan kecil tidak bisa berdiri sendiri untuk mencapai indikator studi ini tanpa peran pemerintah Provinsi Sumatera Selatan.

C. Hak dan Kewajiban Bersama Berdasarkan data hingga tahun 2010 diketahui bahwa jumlah keseluruhan baik pengrajin maupun para perajin songket berjumlah 4000 orang yang menyebar di berbagai kabupaten kota di Sumatera Selatan, dan 1500 dari mereka berdomisili di Palembang dalam katagori perajin dalam lingkup pengrajin maupun menerima pesanan penjual songket.79 Mereka melaksanakan kewajibannya dengan berusaha meningkatkan produktifitas sesuai dengan pesanan maupun kemampuan modal yang didapat atau dimiliki. dan 280.; (3) Q. S. ali-Imra>n [3]: 130 dan (4) Q.S. an-Nisa>‟ [4]: 29 yang kesemuanya disebutkan sebanyak 7 kali. Beberapa hadits yang juga membahas persoalan tersebut dapat dikutip dari hadits yang diriwayatkan al-Bukhari dalam kitab al-Buyu> ‟. no. 2084. Lihat juga. Heri Junaidi, Fiqh Muamalah Kontemporer (Palembang: P3RF-Press, 2005). Muhammad Syafei Antonio, Bank Syari‟ah: Sebuah Pengenalan Umum, 70-71; dalam bukunya juga diterangkan beberapa bentuk undang-undang yang dikeluarkan gereja tentang masalah larangan praktek bunga. Seperti: Council of Elvira (Spanyol tahun 306) yang mengeluarkan canon 20; Council of Aries (tahun 314 mengeluarkan canon 44; First Ciuncil of Nicea (tahun 325) mengeluarkan canon 17. 79“49 motif songket dipatenkan”, Diakses dari http//kompas.realveawusa.com, Tanggal 26 April 2010. Data di Disperindakkop Kota Palembang (2010) setidaknya terdapat sekitar 120 pengrajin songket yang tersebar dalam komunitas dan sentra songket yang ada dengan rata-rata memiliki perajin 10 hingga 50 perajin baik dalam satu tampat kerja terkoordinir maupun dalam sentra-sentra perajin songket yang menyebar di seluruh wilayah Sumatera Selatan. 236

Jaring kebersamaan dan kekeluargaan dalam membangun hak dan kewajiban yang berkeadilan dalam kluster pengrajin dan perajin songket terkendala dengan kondisi tempat usaha, solidaritas kerja dan pemberian upah. Para responden sangat memahami pemakanaan tanggungjawab atas hak dan kewajiban. Ini terbukti, para responden dapat menjelaskan hak dan kewajiban yang disimpulkan dalam 3 pemahaman pengrajin/perajin: (1) hak dan kewajiban adalah sebuah kepastian dalam setiap usaha; (2) hak dan kewajiban wujud kebersamaan dalam meningkatkan perekonomian masing-masing individu; (3) hak dan kewajiban adalah fondasi kelanggengan usaha songket Palembang.80 Namun, ketika masuk kepada realitas tempat usaha pengrajin dan perajin maka pemahaman itu tidak terapresiasi sebagaimana mestinya. Perhatian terhadap pengrajin sebagai pemberi kewajiban kepada perajin songket tidak terwujud solidaritas sosial. Penilaian atas hal tersebut nampak ketidakperhatiannya para pengrajin dengan lingkungan perajin. Para penenun hidup ditempat kumuh, rumah berhimpitan, kegiatan menenun bersamaan dengan kehidupan keluarga yang kemudian selalu diwanti-wanti untuk segera menyelesaikan tenunan tepat waktu. Artinya, para penenun untuk dipaksa menyelesaikan tenunan sesuai dengan kesepakatan dan tepat waktu Penelusuran hasil wawancara ketidakberdayaan perajin pada aspek ini karena upah yang sudah diberikan, atau karena keterikatan dengan keterkaitan hutang dengan pengrajin. Ketidakberdayaan tersebut juga bisa terjadi karena kepasrahan akibat himpitan ekonomi keluarga disatu sisi, dan ketidakmampuan perajin membangun jaringan produksi. Sehingga, perajin hanya terfokus pada pemberian

80Wawancara dengan para pengrajin, Tanggal 22-28 September 2010. 237 kerja dari satu pengrajin yang dikenal.81 Dalam masalah upah didapatkan sistem upah yang dibayar secara cicilan. Seperti kasus yang disampaikan responden yang menceritakan bagaimana upah yang harus diterima secara cicilan. Misalnya, hasil tenunan mereka selesai dengan jumlah upah Rp 1.500.000,- pada bulan Januari 2010. Pengrajin kemudian memberikan upah Rp 1.000.000,- sisanya diberikan kemudian sambil menunggu perkerjaan selanjutnya selesai. Pada bulan Februari 2010 perajin mampu bekerja dan menghasilkan tenun songket dengan upah Rp 2.000.000 plus dengan sisa upah yang belum dibayar pada bulan sebelumnya, sehingga pengrajin membayar bulan Februari sebesar Rp 2.500.000. namun kemudian dibayar dahulu Rp 1.250.000,- sisanya dibayar bulan depan seperti janji. Namun realitasnya tidak demikian, dan itu berlanjut terus setiap bulan. Responden perajin menyatakan mereka tidak bisa berbuat banyak, sebab mereka tidak punya daya tawar. Sementara, dari sisi pengrajin memberikan respon bahwa hal tersebut tidak semua terjadi. Terjadinya hal tersebut karena pengrajin yang berusaha untuk memenuhi target pesanan, namun sering mengalami persoalan dalam pesanan tersebut.82 Dari aspek ini, tidak sesuai dengan nilai-nilai efisiensi berkeadilan yang diantaranya kemitraan yang sama-sama menguntungkan. Hatta dalam karyanya menegaskan bahwa “setiap orang yang melakukan pekerjaan yang sama dalam hal-hal yang sama, berhak atas pengupahan yang sama dan atas perjanjian-perjanjian pekerjaan yang sama baiknya”. Oleh karena itu, menurut Hatta “setiap orang yang melakukan pekerjaan berhak atas pengupahan

81Hasil wawancara tanggal 5-7 Oktober 2010. 82Pendalaman atas hal tersebut dalam sub kemitraan dalam disertasi ini. (pen) 238 yang adil yang menjamin kehidupannya bersama dengan keluarganya, sepadan dengan martabat manusia”.83 Dalam konstruk ekonomi kerakyatan masalah gaji dan upah tidak hanya punya dimensi ekonomis, tetapi juga politis, karena gaji dan upah yang rendah akan mengundang masuknya infiltrasi paham komunisme. Itulah sebabnya, Hatta dengan keras mengkritik kelemahan “syarikat Islam yang kurang memperhatikan nasib buruh”. Untuk menghilangkan perbedaan yang besar dan tajam antara tingkat kemakmuran rakyat, maka pemerintah perlu “menentukan upah minimum berdasarkan keperluan hidup yang layak bagi kemanusiaan” (Q.S. at-Taubah [9]: 105).84

83Mohammad Hatta, Ekonomi Terpimpin (Jakarta: Penerbit Mutiara, 1979). 84Mohammad Hatta, “Sesudah Dua Puluh Lima Tahun”, Pidato pada Dies Natalis Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 2 September 1970, dalam I. Wangsa Widjaja dan Meutia Farida Swasono, Mohammad Hatta, Membangun Ekonomi Indonesia (Jakarta: Inti Idayu Press, 1985). Tentang berapa ukuran dari upah minimum itu, para ahli telah membuatnya dengan standar yang berbeda-beda. menurut Hatta “upah minimum sehari ditentukan sama dengan harga 5 kilo beras. Jadi, kalau sekarang harga beras Rp. 5.000,-/kg, maka berarti gaji dan upah mereka sehari adalah Rp. 25.000,- dan sebulan lebih kurang Rp.750.000,- perkembangan hingga tahun 2011 Secara kebijakan, pemerintah di tiap- tiap kabupaten atau kota dan provinsi memang sudah sudah mengeluarkan peraturan mengenai standar upah terendah bagi buruh, upah minimum regional (UMR). Namun upah minum regional yang ada, juga tergolong rendah, jika dibandingkan dengan tingkat kebutuhan sehari-hari buruh. Dapat dilihat, misalnya UMR di tiap-tiap provinsi. Besarannya hanya antara Rp. 675.000 sampai Rp. 1.410.000. Peringkat terendah adalah Provinsi Jawa Tengah. Sedangkan, peringkat tertinggi Provinsi Papua Barat. Untuk Provinsi DKI Jakarta yang tingkat kebutuhan hidup masyarakatnya dapat dikatakan sangat tinggi, karena merupakan ibukota negara dan kota metropolitan terbesar, tingkat UMR yang ditetapkan pemerintah daerahnya hanya sebesar Rp. 1.250.000. Ada kenaikan UMR hampir setiap tahunnya. Tapi itu tidak signifikan. Kenaikan tahun ini, misalnya, prosentase kenaikan tertinggi terjadi di Provinsi Papua Barat yang mengalami peningkatan sebesar 16,53 persen. 239

Masalah upah dan gaji di samping sangat menentukan tingkat kesejahteraan buruh/pekerja, juga berfungsi sebagai instrument dalam meningkatkan pemerataan dan peningkatan rasa kebersamaan dan stabilitas, karena dengan dekatnya jarak gaji dan upah maka tingkat kecemburuan dan saling iri akan berkurang, kalau tidak bisa dikatakan akan hilang. Dasar pengupahan yang dibutuhkan untuk memungkinkan perajin songket hidup layak pada kondisi dan situasi di mana ia hidup, karena itu perbedaan gaji dan upah85 tidak boleh terlalu besar. Dalam perspektif Islam hal ini bisa dicegah, jika terjadi sebelum terjadi proses menenun terjadi akad upah yang tegas dari aspek: (1) waktu memberikan sistem mingguan, bulanan, setelah selesai barang tenunan; (2) besaran upah yang diterima penenun. Besaran ini penting sebab upah yang setara ditetapkan dengan cara yang sama dengan harga yang adil. Misalnya, jika pengrajin membutuhkan perajin, kemudian tidak siap memberikan pelayanan kepada perajin, otoritas bisa menetapkan upah yang setara. Jadi, pemberi kerja (employer) tak boleh mengurangi upah dari pekerja, atau pekerja itu menginginkan upah yang lebih tinggi ketimbang upah yang adil.86 Pemikiran fiqh Islam tentang penetapan upah di atas menggambarkan bahwa upah yang setara akan

Sedangkan untuk Provinsi DKI Jakarta menempati peringkat kedua dengan kenaikan sebesar 15,38 persen. 85Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pemberi kepada penerima kerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah dan akan dilakukan, berfungsi sebagai jaminan kelangsungan hidup yang layak bagi kemanusiaan dan produksi, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan, undang-undang dan peraturan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pemberi dan penerima kerja. Lihat Gray, S. A. dan Thomson, A., the Development of Economic Doctrine Longman (New York: t.p., 1980). 86Ibnu Taimiyah, al-Hisbah wa Mas‟u>liyah al-Huku>mah al- Isla<>miyah (Kairo: Dar Al-Shab, 1976). 240 dipertimbangkan oleh penetapan upah (musamma), jika ketetapan upah itu ada, di mana dua pihak bisa menerima. Adil, seperti dalam kasus penjual atau penerima upah/harga yang ditetapkan berpijak pada harga yang setara.87 Prinsip ini berlaku bagi pemerintah maupun individu. Jadi, jika pemerintah ingin menetapkan upah atau kedua pihak tidak bersepakat tentang besarnya upah, mereka harus bersepakat tentang besarnya upah yang ditetapkan pemerintah, yang berpijak pada kondisi normal. Ini seyogianya berlaku dalam penetapan dan penerimaan, untuk jenis pekerjaan tertentu. Pendapat ini merupakan sebuah pemikiran yang sangat mendalam dan lebih maju dalam menginterpretasikan makna upah yang adil dalam al-Qur‟an dan Sunnah.88 Sehingga terjadi kerid}ahan dan tidak terjadi gharar (spekulasi). Jika dianalisis terjadinya hal tersebut karena tidak ada akad yang tertulis, dan cuma berdasarkan kepercayaan dan kebaikan.89 Perbedaan upah akibat bakat dan kesanggupan diakui oleh Islam, namun tetap berpegang pada konsep persaudaraan dan perlakuan yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat di muka hukum yang disertai dengan keadilan, memungkinkan setiap orang memperoleh hak atas sumbangannya terhadap masyarakat atau terhadap produksi sosial. Agar tidak ada eksploitasi terhadap seseorang oleh orang lain, karena itu konsep mas}lahah dibutuhkan dan al- Qur‟an juga mendesak kaum Muslimin untuk “tidak menahan hak orang lain”. Untuk itu, perubahan terhadap

87Ibnu Taimiyah, Majmu‟ Fatawa Shaikh al-Islam (Riyad: Matabi‟ Al-Riyad, tt, vol. 34). 88Muhammad Amin Suma, Ijtihad Fiqh Islam dalam Fiqih Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002). 89Lihat Muhammad Shahrir Sula, Asuransi Syari‟ah (Jakarta: Gema Insani Press, 2004); Muhammad Suyanto, Muhammad: Business Strategy and Ethics (Jogjakarta: Andi Offset). 241 pola penggajian dengan sistem cicil perlu diubah, karena tidak sesuai dengan semangat efisiensi berkeadilan. Terbitnya UU No.13/2003 tentang ketenagakerjaan yang menjadi pengganti UU No.25/1997 disebutkan: “upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan”. Pasal ini tidak menjelaskan kata “layak” dan “kemanusiaan”. Sementara, kelayakan dimunculkan pasal 88 sebagai syarat tambahan berupa “....dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi”. Ini berarti hak penghidupan layak akan diberikan kepada buruh sejauh menunjang produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Maka, kemudian hak dan kewajiban diukur berdasarkan produktifitas perajin songket. Hasil olah dan analisis data juga, diketahui adanya „eksploitasi‟ pemberi kerja baik seorang perantara ataupun pengrajin pemilik modal terhadap sentra-sentra perajin tenun yang rata-rata perempuan. Bukan hanya jam-jam domestik rumah tangga mereka saja yang tereksploitasi, aktivitas kerja menenggelamkan aktivitas keluarga atau menggeser aktivitas keluarga menjadi aktivitas kerja.90 Rumah pengrajin maupun perajin songket berorientasi bukan hanya tempat proses produksi, tetapi telah berubah menjadi pabrik mini, karena berpindahnya gudang bahan

90Hasil kajian sebelumnya menunjukkan hal yang sama, lihat Dedi Haryadi et. al., Tahap Perkembangan Usaha Kecil: Dinamika dan Peta Potensi Pertumbuhan (Bandung: AKATIGA, 1998); Nur Syam, “Buruh Perempuan, Pekerja Rumahan, Sosok Manusia Teralienasi”, dalam Jurnal Paramedia, vol.1. no. 2., bulan Juni 2000. 242 baku dan semua sarana yang berkenaan dengan proses pembuatan kain songket. Dinamika ini merupakan bagian dari persoalan economic recovery menuntut adanya solidaritas. Sebab, tanpa adanya solidaritas, masing-masing pengrajin dan perajin hanya akan mengutamakan kepentingan sendiri, serta mempertajam kesenjangan sosial dan ekonomi. Jika terjadi kesenjangan dan ketidakadilan ekonomi dalam kehidupan pengrajin dan perajin akan mengalami keguncangan, sehingga rentan memicu terjadinya konflik antara sesama pengrajin dan perajin. Selanjutnya, dalam kewajiban untuk melakukan kemitraan baik antara pengrajin, perajin songket, maupun dengan pemerintah daerah tidak terbangun secara optimal. Indikator yang muncul berdasarkan hasil olah data wawancara adalah: Pertama, baik pengrajin maupun perajin songket memiliki jaringan usaha yang saling merahasiakan. Pada umumnya, mereka berusaha mencari pelanggan dengan membentuk kelompok sendiri-sendiri. Efisiensi menjaga solidaritas dan kekeluargaan adalah dengan cara memperkuat jaringan yang dimiliki dengan berbagai cara.91 Kedua, produktifitas perajin songket bergantung kepada pengrajin atau pemesan. Karena itu, para pengrajin berusaha meningkatkan produktifitas tenun songket walau sistem upah borongan Rp 940.000,- dan harus mengorbankan jam-jam pribadi, dan domestik, juga ruang (rumah) pribadi dari keluarga menjadi bagian dari proses produksi, yang tanpa mereka sadari tidak mendapat kompensasi apa pun.92

91Deskripsi wawancara dengan pengrajin tanggal 24-26 September 2010. 92Deskripsi wawancara dengan perajin songket tanggal 8-11 Oktober 2010. Harga 1 songket bervariasi antara Rp 200.000,- sampai Rp 8.000.000,. Sementara untuk perajin songket diupah rata-rata Rp 160.000,-/songket dengan rincian upah tenun untuk sarung bawah Rp 100.000 dan selendang Rp 60.000,-. 1 songket dihasilkan selama 7 hari. 243

Dari berbagai pandangan tersebut, menunjukkan bahwa hak dan kewajiban pengrajin dan perajin songket Palembang terbangun berdasarkan siklus sosial ekonomi antara komunitas pengrajin dan perajin pada masing-masing wilayah dan sentra usaha. Terjadinya kesenjangan hak dan kewajiban secara tersembunyi diantara pengrajin maupun diantara para perajin, termasuk kesenjangan dalam hak mendapatkan bantuan usaha kecil baik dari aspek modal usaha, pelatihan ketrampilan maupun pelatihan manajemen sederhana. Sementara, kewajiban para pengrajin songket dieksploitasi maksimal untuk dapat bersaing dalam pasar global. Dari aspek ini, memperlihatkan bahwa adanya perbedaan yang sangat jelas antara pekerja yang memiliki hubungan kerja yang ditegaskan dalam perundang- undangan dengan para perajin songket Palembang yang dapat dikatagorikan pekerja rumahan (home workers).93 Dari sisi ini, maka hak dan kewajiban para perajin songket terpasung dalam: (1) subbordinasi ekonomi dan tekhnis industrial (pengrajin-perajin); (2) minimnya akses pemasaran produk; (3) perajin songket mendapatkan penghasilan dengan dibayar berdasarkan jumlah produk yang mampu dihasilkannya, bukan berdasarkan lama jam kerja dalam memproses songket. Sementara, hak dan kewajiban pengrajin songket dibatasi dengan modal usaha dan pengembangan usaha.94 Hasil analisis data

Maka 1 bulan seorang perajin menghasilkan 4 buah songket dengan upah Rp 940.000,-. 93Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003, mendefinisikan pekerja atau buruh sebagai seseorang yang menerima perintah kerja dan menerima upah (BAB I, Pasal 1 [1]. 94Kerja rumahan secara khusus dapat didefinisikan sebagai proses produksi barang dan jasa yang dikerjakan di lingkungan rumah untuk memperoleh pendapatan ataupun upah. Kerja rumahan untuk untuk memperoleh pendapatan dilakukan dengan melakukan usaha baik dalam 244 memperlihatkan hak perajin yang juga dilupakan oleh para pengrajin yang memiliki perajin tenun songket dan para bentuk produksi barang dan jasa maupun usaha dagang, sedangkan kerja rumahan untuk memperoleh upah dilakukan dengan melakukan proses produksi barang dan jasa dengan upah persatuan (piece rate) dan sama sekali tidak tergantung pada lamanya (jam) kerja. Secara khusus kerja rumahan (homework) dikonotasikan secara langsung dengan pekerja rumahan (homeworkers), bahkan ILO (International labour organization) Perserikan Bangsa-Bangsa dalam konvensi 1996 mendefinisikan “kerja oleh seseorang di dalam rumahnya atau ditempat lain yang dipilihnya, diluar tempat kerja milik majikan (pengusaha); untuk memperoleh upah; dan hasilnya berupa produk atau jasa yang ditetapkan oleh majikan (pengusaha) terlepas dari siapa yang menyediakan bahan baku, peralatan dan masukan lain yang dipergunakan. Pekerja rumahan merupakan buruh yang bekerja bukan di pabrik, tapi di rumah dengan bekerja seperti layaknya di pabrik. Pekerja rumahan mengerjakan atau memproduksi produk dan jasa yang layaknya di kerjakan oleh pabrik. Pekerjaan yang dilakukan mulai dari aktifitas pabrikasi seperti memintal benang hingga menenun (pada usaha songket). Pekerja rumahan bekerja mandiri tanpa memiliki atasan tetapi juga tidak punya bawahan, karena pekerja rumahan yang bekerja sendiri di rumah tidak dibayar berdasar jam kerja tetapi berdasar jumlah produksi tertentu yang dihasilkannya. Pada dasarnya, Pemberi kerja baik itu perantara maupun sang majikan sendiri tidak mau tahu proses kerja yang dilakukan pekerja rumahan, tidak mau tahu berapa banyak sumber daya domestik yang dipergunakan oleh pekerja rumahan, yang perantara atau majikan tahu adalah jumlah produk tertentu dengan standar mutu tertentu sesuai dengan perjanjian lisan tanpa pernah ada kontrak resmi. Lihat Erwin Alampay, Living the Information Society in Asia (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies 2009); Lynda A C Macdonald, Managing Fixed-Term and Part-Time Workers: a Practical Guide to Employing Temporary and Part-Time Staff (London: Tolley, 2003); lihat juga istilah pekerja rumahan dalam Eka Chandra, Membangun Forum Warga: Implementasi Gagasan Partisipasi dan Penguatan Masyarakat Sipil di Kabupaten Bandung (Bandung: Akatiga, 2003); Gunanto Surjono dan Henry Azwar, Peningkatan Partisipasi Ibu- Ibu Rumah Tangga dalam Pemecahan Masalah Kemiskinan Keluarga Melalui Program Usaha Ekonomi Kampung (PUEK) (Yogyakarta: Departemen Sosial RI, Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial, 2003); Kian Wie Thee, Industrialisasi di Indonesia: Beberapa Kajian (Jakarta: LP3ES, 1994). 245 pemberi upah tenun terhadap hak tunjangan hari raya atau hak kesehatan. Ada indikasi bahwa mereka mendapatkan hak itu hanya sebagai kebaikan, bukan karena adanya kekuatan hukum yang mengharuskan mereka mendapatkan hak hak tersebut.95 Dari hal-hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa hak dan kewajiban yang berlaku antara pengrajin dan perajin atau antara perajin induk dengan perajin dibawah naungannya memperlihatkan hal-hal sebagai berikut: Pertama dari aspek kewajiban memperlihatkan (1) produktifitas tenunan dipaksakan; (2) kemitraan dan kebersamaan semu karena semua aktifitas berorientasi pemenuhan jumlah tenunan tanpa melihat nilai-nilai yang lain, semisal kondisi tempat usaha dan kondisi penenun; (3) keuntungan jumlah penjualan dari hasil tenunan terprioritas pada pengrajin; (4) mengkristalnya solidaritas perajin songket yang tidak terapresiasi dengan baik.

95Sumber: analisis data, 2010. Sementara dalam realitasnya, di awal abad ke-21 ini, sebagian besar masyarakat pekerja di dunia memperoleh mata pencahariannya pada kondisi perekonomian informal yang rentan dan tidak terjamin. Pekerjaan informal diperkirakan mencapai sekitar 65 persen pekerjaan di sektor non-pertanian di Asia, 51 persen di Amerika Latin, 48 persen di Afrika Utara, dan 72 persen di Afrika Sub-Sahara. Angka- angka ini bisa jadi jauh lebih besar di beberapa negara, apabila pekerjaan informal di sektor pertanian turut dimasukkan. Perempuan, remaja, orang tua, kelompok minoritas, pekerja pendatang, masyarakat adat dan suku tidak diwakili secara proporsional. Perekonomian informal mencakup sebagian besar kegiatan skala kecil di sektor perekonomian tradisional, serta menjadi bagian dari strategi produksi baru dan perubahan pola pekerjaan dalam perekonomian global. Di beberapa bagian di dunia ini, bagian yang lebih besar dari pekerjaan baru yang diciptakan adalah pekerjaan informal, baik wiraswasta maupun pekerjaan berupah. Informalitas tidak akan surut saat negara berkembang mengalami pertumbuhan informalisasi walaupun kinerja perekonomian sudah membaik. Lihat International Labour Office, “The Informal Economy: Enabling Transition to Formalization” (Swizerland: ILO Publications, 2007). 246

Kedua, dari aspek hak memperlihatkan: (1) sistem upah yang dibentuk berdasarkan kebijakan pengrajin, dan atau permintaan perajin yang membentuk ketidakberayaan; (2) penenun tidak mendapatkan hak-hak selayaknya pekerja/karyawan yang bekerja pada perusahaan- perusahaan yang terlindungi oleh UU RI No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Ekonomi Islam memberikan tata aturan yang sangat jelas dalam menguatkan satu usaha yang didasarkan pada konsep keseimbangan. Nilai-nilai keseimbangan tersebut dapat dilakukan dengan membangun konsep mud}ara>bah dan mushara>kah. Bila para perajin songket sering tidak diakui sumbangannya, tidak mengetahui haknya, mereka menyediakan sendiri fasilitas kerja.96 Disini kemudian nilai etika ekonomi Islam tidak terbangun. Al-Qur‟an sangat banyak mendorong manusia untuk melakukan bisnis (Q.S. al-Jum‟ah [62]:10). Al-Qur‟an memberi pentunjuk agar dalam bisnis tercipta hubungan yang harmonis, saling rid}a, tidak ada unsur eksploitasi (Q.S. an-Nisa>‟ [4]: 29) dan bebas dari kecurigaan atau penipuan, seperti keharusan membuat administrasi transaksi kredit (Q.S. (al-Baqarah [2]: 282). Antara pengrajin, perajin maupun pemberi upah pembuatan songket dari para pedagang sama-sama memahami eksistensi manusia yang kesemuanya bertujuan

96Dalam proses penggunaan kapital tidak dapat lepas juga dari pandangan tradisional terhadap administrasi ketenagakerjaan yang menekankan peran protektif yang dimilikinya, termasuk: (1) perlindungan terhadap upah untuk memastikan pembayaran upah dilakukan secara tunai (bukan dalam bentuk barang atau jasa) dan tepat waktu; (2) perlindungan terhadap waktu kerja melalui peraturan mengenai jam kerja dan cuti; (3) perlindungan terhadap kondisi kerja melalui pelayanan pengawasan ketenagakerjaan; (4) perlindungan dari cedera dan penyakit akibat kerja melalui sistem pengawasan dan skema kompensasi. Lihat Robert Heron, Administrasi Ketenagakerjaan (Jakarta: Kantor Perburuhan Internasional, 2002). 247 untuk mencukupi kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat dipenuhi, serta memperoleh perlindungan dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya.97 Berbagai hal tersebut, maka ekonomi Islam kemudian memberikan konstruk keadilan, kesetaraan yang diukur dari konsep standar pengupahan berbasis pendapatan layak, berkeadilan sosial dan manusiawi. Konsep standar tersebut juga mengembalikan fungsi negara agar menempatkan buruh sebagai manusia dengan menanggung kesejahteraan yang berkeadilan sosial (jaminan pekerjaan, jaminan pendapatan, dan jaminan sosial). Modal sosial diwarnai oleh saling tukar informasi antar perajin dan pengrajin songket. Trust adalah sikap saling mempercayai memungkinkan pengrajin dan perajin songket saling bersatu dengan yang lain dan memberikan kontribusi pada peningkatan modal sosial. Berbagai tindakan kolektif yang didasari atas rasa saling mempercayai yang tinggi, akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai ragam bentuk dan dimensi, terutama dalam konteks membangun hak dan kewajiban bersama.98

97Dalam konsep Syatibi yang dimodifikasi Murasa Sarkaniputra lima kebutuhan dasar adalah: (1) pemeliharaan iman, khususnya keagamaan dalam arti luas [al-din]; (2) pemeliharaan pendidikan yang menjadikan dirinya berpotensi untuk mampu berperan di masyarakat [al- aql]; pemeliharaan kesehatan dan keamanan diri serta kemerdekaan untuk menyatakan pendapat (al-nafs); (3) pemeliharaan rumah tangga yang penuh kasih sayang dan tanggap menjaga kehormatannya (al-nasl); (4) pemeliharaan atas kecukupan sandang, pangan, papan dan kekayaan lainnya yang mendukung berlangsungnya pergaulan antar warga masyarakat (al-Mal). Murasa Sarkaniputra, Ruqyah Syar‟iyyah: Teori, Model dan Sistem Ekonomi, General Equilibrum Ghazali-Khaldun- Syatibi Melalui Analisis Leontief-Sraffa. 98Muhammad Baqir as}-S}ada>r dan M Hashem, Keunggulan Ekonomi Islam: Mengkaji Sistem Ekonomi Barat dengan Kerangka Pemikiran Sistem Ekonomi Islam (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002). 248

Penegasan harus bisa dipahami bahwa kaum pekerja dan rakyat itu sejak kemerdekaan sudah diurus oleh Pendiri Republik. Itu sebabnya ada pasal 27 ayat 2 UUD 1945. Artinya, berhak akan pekerjaan itu kewajiban Negara untuk pro-job. Penghidupan yang layak berarti anti kemiskinan atau pro-poor. Sedangkan bagi kemanusiaan adalah moralitas humanitarian. Tiap-tiap orang berhak akan pekerjaan, tentu itu bisa sebagai bekerja swakarsa atau bekerja sebagai buruh. Negara harus bisa menjamin hal itu terpenuhi. Dengan demikian, maka potensi buruh sebagai agen pembangunan juga dapat berjalan dengan baik. Saya tidak ingin dalam negara Pancasila ini buruh sebagai kekuatan yang melawan, atau diterapkan teori konflik antara buruh dan majikan. Dua-duanya harus menjadi agen pembangunan dan agen kemajuan. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan diri untuk menjaga keharmonian antara buruh dan majikan. Jangan sampai pemerintah didikte majikan atau didikte kapitalis, lalu pemerintah menekan buruh atau suara pemerintah menjadi suara majikan untuk mengeksploitasi buruh. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama, bukan usaha perorangan, maka yang berlaku adalah asas kebersamaan di Indonesia, bukan asas perorangan. Buruh (perajin songket) bukan sebagai kekuatan yang melawan majikan (pemilik modal, pengrajin songket, pengusaha songket) sebagaimana dalam teori konflik Marxisme. Dua- duanya harus menjadi agen pembangunan dan agen kemajuan. Sementara, pemerintah menetapkan diri untuk menjaga keharmonian buruh dan majikan. Terjadinya konflik, sentimen dan kecemburuan sosial karena kapitalisme telah menjadi dasar kehidupan ekonomi di Indonesia. Buruh, Majikan dan Pemerintah terus berkonflik sehingga tidak muncul menjadi agen pembangunan dan agen kemajuan bangsa. kapitalisme itu asasnya perorangan, 249 maximum profit, kepuasan maksimal, dan ujungnya self interest. Maka di situlah kapitalisme akan menekan buruh. Buruh sebagai alat faktor produksi, bukan manusia. Di dalam alam kapitalisme yang inception adalah jika menekan ongkos atau biaya dan buruh dianggap bagian biaya. Menaikkan upahnya berarti menaikkan biaya. Langkah penting untuk mengatasi kondisi itu, sudah tentu dengan kembali kepada konsep ekonomi Pancasila99 dan nilai-nilai Islam. Hubungan baik antara pengusaha dan buruh diatur dalam islam yang menawarkan sistem sosial yang berkeadilan dan bermartabat. Islam memberikan penghargaa yang tinggi terhadap pekerjaan. Para buruh yang bekerja dan mendapatkan penghasilan dengan tenaga sendiri wajib dihormati termasuk dalam meningkatkan kreativitas beserta penghargaan yang didapat seperti dijelaskan dalam sub bab berikut.

D. Kebebasan Berusaha dan Berkreativitas Usaha songket adalah suatu pilar perekonomian yang masih eksis menyangga kehidupan sebagian masyarakat Sumatera Selatan. Dengan demikian sektor kerajinan sampai sekarang masih tetap di usahakan sebagai mata pencaharian, baik dilakukan secara perorangan, maupun kelompok. Dalam bentuk usaha, ada yang dilakukan secara tradisional perorangan, kelompok masyarakat. Makin majunya dunia usaha, serta taraf kehidupan masyarakat produsen maupun konsumen, tak pelak menuntut pencitraan bentuk-bentuk kerajinan, sehingga kerajinan dapat berkembang begitu dinamis. Tuntutan gaya hidup konsumen serta kemampuan desainer dalam merespon, dapat menyuburkan perkembangan mode kerajinan, dari waktu ke waktu. Konsep efisiensi berkeadilan yang dilihat selanjutnya pada kebebasan berusaha dan berkreativitas para pengrajin

99Lihat http://www.intelijen.co.id/profil/1460-prof-dr-sri-edi- swasono, Juni 2011. 250 dan perajin songket. Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa karakteristik perajin songket Palembang terbagi dalam dua tipe, yaitu: tipe kelompok perajin songket yang memegang tradisi tenun songket yang terwarisi turun temurun, dan tipe kedua kelompok perajin yang menerima pembaharuan songket dengan pengembangan desain. Realitas di lapangan perajin songket mendapatkan kebebasan dalam berusaha dan berkreativitas. Beberapa pandangan perajin maupun pengrajin, kebebasan berusaha dan berkreativitas dalam menenun bertujuan untuk menilai bagaimana hasil tenun songket terus berkembang sesuai dengan perubahan- perubahan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakatnya.100 Sehingga, perluasan kreativitas perajin dapat memberikan gambaran bagaimana praktik tenun merepresentasikan juga estetik sebuah masyarakat yang majemuk. Ada pula karya- karya perancang mode ternama, maupun benda-benda keseharian yang menggunakan tenun, maupun dilapisi kain tenun sebagai suatu alternatif yang secara kreatif bisa dikembangkan lebih lanjut. Hasil observasi dan wawancara dengan perajin diketahui dari sisi kebebasan berusaha dan berkreativitas, efisiensi berkeadilan dilakukan oleh perajin. Artinya, pengrajin dan perajin memberikan kesempatan konsumen dari semua kalangan untuk memiliki kain songket bernilai

100Pengaruh kontak budaya melalui jalur-jalur perdagangan dari peradaban lampau, hingga kemudian dengan rentang masa era kolonial, telah menghasilkan beragam olahan artistik dalam kehidupan seni tradisi khususnya kain tenun. Pengaruh ini sama sekali tidak melemahkan keberadaan seni tenun sebagai sebuah bentuk seni tradisi dalam konteks kehidupan sakral, tapi justru memperkaya nilai-nilai estetikanya. Bahkan lebih jauh bila ditelusuri dan pencermatan melalui motif-motifnya, niscaya kita bisa membaca tanda-tanda budaya atau narasi. Oleh karena itu seni kriya, khususnya seni tenun mempunyai dimensi nilai simbolik. Lihat Bernhard Bart, et.al., Revitalisasi Songket Lama Minangkabau (Padang: Studio Songket ErikaRianti, 2006); Denys Lombard, Jaringan Asia (Jakarta: Gramedia, 1996). 251 sejarah tersebut. Data adanya kebebasan mendesain tenun songket dengan berbagai teroboson kreativitas, semakin meningkatkan distribusi hasil kerajinan songket, dan semakin menambah pemasukan pengrajin dan perajin songket. Sebelum ada terobosan desain mereka sulit mendapatkan pemasukan Rp 1.000.000,- pada hari biasa, kini meningkat hingga Rp 2.000.000,- perhari pada hari biasa. Kalau libur bisa sampai Rp 5.000.000,-/hari. Kreativitas perajin songket dilakukan juga dengan strategi mengikuti selera konsumen. Saat ini, kain songket berbahan katun bisa dibeli hanya dengan harga Rp 15.000,- per meter. Harga ini jauh lebih murah dari kain songket berbahan sutra yang mencapai Rp 100.000,- per meter. Kebebasan kreativitas dilakukan dengan membuat kain songket dengan motif dibordir dengan harga yang bervariasi, mulai dari Rp 1,5 juta hingga Rp 2,5 juta per kain, sesuai pesanan motif bordir.101 Hasil wawancara mendalam, terjadinya perubahan pola dengan perubahan aktifitas yang mulai berkembang, dengan berbagai bentuk dan desain berbahan songket di kalangan pengrajin dan perajin songket, tidak lepas dari solidaritas kerja. Dimana, pengrajin yang eksis terhadap komitmen, membangun tenun mengikuti pola turun temurun, menerima perkembangan desain dengan motif songket dari pengrajin dan perajin songket lainnya. Hasil wawancara diketahui beberapa dasar utama terjadi kebebasan berkreasi, yaitu: Pertama, pemanfaatan limbah sisa-sisa tenun songket. Hal ini muncul karena sisa tersebut bisa menjadi peluang untuk menambah keuangan. mendesain songket menjadi baju siap pakai perlu kecermatan tinggi.

101Hasil wawancara dengan pengrajin tanggal 22-28 September 2010. 252

Salah seorang responden dari Kampung Songket BNI menceritakan dampak positif dari kebebasan berapresiasi dan berkreativitas dapat memajukan ekonomi masyarakat desa dengan songket Palembang. Awalnya, tenunan songket hanya sebagai pekerjaan sampingan remaja putus sekolah, atau ibu-ibu yang sekedar menenun, menghabiskan waktu sehingga tidak ada kreasi. Pada tahun 2006 selembar tenun songket hanya dihargai Rp 200.000,- sampai dengan Rp 300.000,- akibatnya penenun terkendala dengan ketersedian bahan kain dan benang. Kemudian, diadakan terobosan dengan membuat motif-motif baru dengan tetap mempertahankan motif bintang, melakukan terobosan dalam pewarnaan. Jika biasanya songket Palembang cenderung berwarna terang keemasan, dibuat dengan warna gelap. Terobosan tersebut mampu meningkatkan penjualan hingga 60% dengan harga berkisar Rp 900.000 sampai Rp 5 juta per helai, dan meraup omzet hingga Rp 40 juta per bulan. Dampak lain, mampu memberdayakan 38 perajin, dan meningkatkan perekonomian keluarga masing-masing perajin, serta membayar upah sesuai dengan tingkat kesulitan dan jenis bahan. Dampak lainnya, kreatifas untuk membuat aksesoris semakin bertambah dengan menggunakan limbah tenun songket yang tidak terpakai.102 Dalam konsep ekonomi Islam, upaya kreativitas para perajin songket membangun kebebasan berusaha dan berkreativitas tetap berpegang dengan „fitrah‟ dan tidak bebas dalam arti „bebas‟ (hur) dari ikatan hukum, dan dari sifat-sifat mafsadah. Para perajin melaksanakan kebebasan berusaha dan berkreativitas dengan berpegang pada ikhtiya>r, untuk dapat berprestasi melahirkan produk dan

102Wawancara tanggal 26 September 2010. 253 desain yang marketable, dan mampu memberikan produk yang halal. Kreativitas demikian itu untuk dapat bersaing dalam perdagangan bebas instrumen dari paham neoliberalisme.103 Manusia memiliki kebebasan dalam kehendak dan perbuatan. Dengan kebebasan itu manusia menjadi aktif dan dinamis. Kebebasan manusia sesuai dengan ajaran yang terdapat dalam Al-Qur‟an, misalnya: “berbuatlah apa yang kamu kehendaki” (Q.S. al-Mukmin [40]: 41); “…siapa yang mau percaya, percayalah ia, dan siapa yang tidak mau percaya, janganlah ia percaya…” (Q.S. al-Kahf [18]: 29); “…Tuhan tidak akan mengubah keadaan suatu kaum (umat) sebelum umat itu sendiri mengubah keadaannya…” (Q.S. al-Ra‟d [13]: 11). Tuhan telah menganugerahkan akal pada manusia. Dengan akalnya manusia dapat membedakan antara kebaikan dengan kejahatan. Oleh karena itu, manusia bebas memilih antara kebaikan dan kejahatan, yang disertai dengan tanggung jawab moral atas segala perbuatannya. Manusia mempunyai kebebasan dalam kehendak (free will) dan kebebasan dalam perbuatan (free act). Dengan kebebasan tersebut, manusia menjadi aktif dan dinamis. Bila manusia tidak punya kebebasan dan berkeyakinan bahwa segala sesuatu tergantung pada kehendak mutlak Tuhan, maka manusia akan bersifat pasif dan menyerahkan masa depannya kepada nasib dan perkembangan zaman. Secara umum, makna kebebasan dalam ekonomi, dapat melahirkan dua pengertian yang luas, yakni: kreatif dan kompetitif. Dengan kreativitas, seseorang bisa

103Dalam liberalisasi, ukuran kemajuan dilihat dari meningkatnya pendapatan, perdagangan dan arus barang-barang. Lihat A Prasetyantoko, Bencana Finansial: Stabilitas Sebagai Barang Publik (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008); A Prasetyantoko, Krisis Finansial dalam Perangkap Ekonomi Neoliberal (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009). 254 mengeluarkan ide-ide, bisa mengekplorasi dan mengekspresikan potensi yang ada dalam diri dan ekonominya untuk menghasilkan sesuatu. Sedangkan dengan kemampuan kompetisi, seseorang boleh berjuang mempertahankan, memperluas dan menambah lebih banyak apa yang diinginkannya. Dalam ekonomi Islam, makna kebebasan adalah memperjuangkan apa yang menjadi haknya dan menunaikan apa yang menjadi kewajibannya sesuai perintah syari‟at Islam. Sebagaimana konsep kepemilikan, konsep kebebasan dalam berekonomi menurut Islam, tidak boleh keluar dari aturan-aturan syari‟at. Bahwa manusia diberi keluasan dan keleluasaan oleh Allah untuk berusaha mencari rizki Allah pada segala bidang. Kebebasan ekonomi Islam adalah kebebasan berakhlak. Berakhlak dalam berkonsumsi, berproduksi dan berdistribusi. Dengan kebebasan berkreasi dan berkompetisi akan melahirkan produktifitas dalam ekonomi. Kegiatan produksi adalah bagian penting dalam perekonomian. Produksi atau al-intaj atau istishna‟ adalah pelayanan jasa yang jelas dengan menuntut adanya bantuan pengabungan unsur-unsur produksi yang terbingkai dalam waktu yang terbatas.104 Proses produksi yang dijadikan ukuran utamanya adalah nilai manfaat (utility) yang diambil dari hasil produksi tersebut.105 Produksi harus mengacu pada nilai utility, dan masih dalam bingkai nilai halal, serta tidak membahayakan bagi diri seseorang ataupun sekelompok masyarakat. Di samping

104Muhammad Rawwas Qalahji, Mabahis fi al-Iqtishad al- Islamiy min Ushulihi al-Fiqhiyyah (Beirut: Dar an-Nafes, 2000). 105Abdurrahman Yusro Ahmad, Muqaddimah fi „Ilm al-Iqtishad al-Islamiy (Iskandariyah, 1988); Taqyuddin an-Nabhani, an-Nidzam al- Iqtis}a>di fi al-Isla>m (Beirut: Darul Ummah, 1990), yang dalam edisi bahasa Indonesia diberi judul Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1996). 255 itu, manusia diberi kemampuan untuk mengembangkan ilmu dan daya nalarnya, Kesempurnaan manusia, menurut al- Ghazali, juga terkait dengan alfad}a>'il (keutamaan- keutamaan), yakni berfungsinya daya-daya yang melekat pada diri manusia selaras dengan kesempurnaan manusia itu sendiri.106 al-fad}a>'il yang dimaksud adalah al- hikmah (sebagai keutamaaan dan daya akal), al- shaja>'ah (sebagai keutamaan daya ghad}}ab), al-'iffah (sebagai keutamaan daya shahwah) dan al-„Adalah (sebagai keseimbangan dan ketiga keutamaan tersebut di atas).107 Dengan demikian, pengembangan kreativitas pengrajin dan perajin songket memperlihatkan upaya dan semangat berkembang dalam nilai-nilai ekonomi Islam. Jangan sampai sebagaimana digambarkan Swasono sikap manusia saat ini sebagai homo economicus, digambarkan sebagai individual yang bercirikan egois, rational dan menginginkan maksimalisasi kepuasan serta oportunis. Ia bertindak secara independen, dan terisolasi dari lingkar sosial, tidak dapat dipercaya mempercayai orang lain.108 Efisiensi berkeadilan yang terjadi dalam apresiasi para pengrajin dan perajin memberikan jamin stimulus atau rangsangan bagi perajin untuk bekerja dan bertindak lebih kreatif dan inovatif, karena tidak ada ketakutan kalau pikiran dan cara-cara ”baru” itu mendatangkan bahaya bagi dirinya sendiri. Karena itu, pemerintah daerah memiliki tangung jawab untuk menjamin kreativitas tersebut, tidak terganggu dengan masyarakat yang tidak menyukai perombakan bentuk songket. Sekaligus menjamin bahwa kreativitas yang tidak bebas nilai. Sebab, bagaimanapun

106a1-Ghazali, Ma „a>rij al-Qudsi (Kairo: Da>r al-Ma‟a>rif, 1964). 107a1-Ghazali, Miza>n al-A‟ma>l, ed.: Sulaiman Dunya (Kairo: Da>r al-Ma‟a>rif, tt). 108Sri-Edi Swasono, Ekspose Ekonomika, 4. 256 kreativitas perajin songket merupakan inovasi sesuai dengan zamannya. Kreativitas yang terbangun untuk menyempurnakan tenun songket lebih murah dan efisien, bukan untuk mengubah olah tenun songket yang sudah ada, dan pada akhirnya menghancurkan tradisi tenun itu sendiri.109 Upaya membangun efisiensi berkeadilan dalam melakukan kreativitas tenun songket dilakukan dalam tahapan yaitu: Pertama, eksplorasi berupa identifikasi bentuk-bentuk desain yang dimungkinkan dapat digunakan sebagai kreasi pasar. Kedua, inventing, yaitu aktifitas pengrajin dan perajin songket untuk melihat atau mereview berbagai alat, teknik dan metode yang telah dimiliki yang mungkin dapat membantu dalam menghilangkan cara berpikir yang tradisional. Ketiga, tahap memilih dimana pengrajin dan perajin songket mengidentifikasi dan memilih ide-ide yang paling mungkin untuk dilaksanakan dikerjakan. Keempat, implementasi dari semua tahapan yang dilakukan. Langkah selanjutnya adalah dengan beberapa pola, yaitu: Pertama, memasukkan desain kreativitas tenun songket ke dalam evaluasi kerja; Kedua, mencari perajin yang mau untuk melakukan terobosan desain. Ketiga, hasilnya dapat dijual dalam berbagai pameran regional dan nasional. Dari berbagai problematika dalam produksi usaha songket, memperlihatkan umumnya upaya berupa pelatihan dan bimbingan/pendampingan tidak diberikan langsung kepada pengrajin songket, melainkan kepada lembaga yang

109Perhatikan kembali konstruk adaptive problem solving dan innovative problem solving, Lihat Masudul Alam Choudhury, Comparative Economic Theory: Occidental and Islamic Perspectives (Boston: Kluwer 1999). Lihat juga M Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1999). 257 menjembataninya. Misalnya, Kementrian Perdagangan dan Perindustrian kota Palembang kepada Ornop yang ditunjuk, atau BUMN yang menjadi mitra, atau perbankan. Materi pelatihan lebih terkait dengan kegiatan program dan cara mengelolanya, misalnya tentang pemberian kredit. Pelatihan/bimbingan/pendampingan yang diberikan langsung kepada pengrajin songket maupun perajin songket dengan jumlah terbatas dan peserta terbatas. Termasuk keterbatasan dalam keikutsertaan program studi banding ke usaha tenunan di daerah lain, seperti di Lasem, Bali, atau dalam aktifitas pameran. Aspek keterbatasan hanya dinikmati oleh pengrajin tertentu yang memiliki nama usaha yang sudah dikenal. Ada juga pengrajin songket yang dimanfaatkan untuk melaksanakan kegiatan pelatihan tenun atau manajemen sederhana, dan harus menyediakan sarana dan prasarana, serta tenaga pengajar untuk menyelenggarakan kegiatan pelatihan selama beberapa hari kepada sejumlah orang yang sudah ditentukan instansi yang bersangkutan. Meskipun pada akhirnya pengrajin songket yang ditunjuk tersebut menerima insentif, namun jumlahnya sangat tidak sebanding dengan apa yang sudah dilakukan, khususnya untuk menggantikan kerugian, karena tertundanya kegiatan usaha selama persiapan dan pelaksanaan pelatihan. Bantuan sarana pada umumnya sudah tepat guna, namun tidak merata, hanya diperuntukkan dengan pengrajin songket yang sudah dikenal, sementara para pengrajin atau perajin yang tidak dikenal tidak mendapakan sarana yang sangat dibutuhkan. Berdasarkan kajian tersebut, dapat disimpulkan bahwa aktifitas usaha songket dalam kebersamaan memiliki berbagai kendala yang dapat dinilai pada umumnya, yakni: (1) aktifitas produksi usaha songket tidak memiliki visi, misi dan tujuan kecuali hanya ingin mendapat keuntungan untuk menghidupi keluarga; (2) kurang membangun 258 kecerdasan kreatif dan inovatif; (3) masih berorientasi usaha sambilan dan berharap bantuan, belum membangun manajemen usaha dan masih berorientasi pada manajemen keluarga, hal ini tidak lepas dari tingkat pengetahuan terhadap pentingnya manajemen yang tertib, tim kerja berbasis keluarga dan kenalan sehingga mudah rapuh. Pemerintah telah memberikan berbagai upaya membangun kebersamaan dalam memberdayakan dan meningkatkan usaha songket. Namun demikian usaha songket Palembang dengan berbagai kelebihan dan kelemahan di bidang produksi menunjukkan usaha kekuatan lokal sosial ekonomi di Indonesia memiliki kemampuan yang tetap bertahan. Ketahanan kekuatan lokal tersebut disebabkan rakyat Indonesia pada waktu itu mengembangkan pula sistem sosial-ekonomi tradisional.110 Lauren mengatakan bahwa di wilayah pedesaan, upaya diversifikasi pencarian nafkah, di luar aktivitas pertanian, dilakukan oleh rakyat Indonesia, dengan aktivitas non pertanian cukup beragam, terutama di sektor jasa (warung, pasar, tambal ban, penarik becak, pedagang eceran). Hal tersebut terakumulasi akibat wilayah pedesaan, adalah salah satu akibat dari kepemilikan lahan yang sangat

110Victor T. King and William D. Wilder, the Modern Antrophology of South-East Asia (London: Routledge, 2003). Kontra pemikiran dikembang Clifford Geertz (1963) yang menyimpulkan involusi (perputaran kedalam) pertanian mewarnai pesimisme kekuatan lokal rakyat Indonesia. Dengan penggambarannya atas ”Mangan Ora Mangan Asal Kumpul” adalah salah satu refleksi kultur dari ‟shared poverty‟ (kemiskinan terbagi) yang melahirkan ketidakberdayaan masyarakat dalam kehidupannya. Lihat Clifford Geertz, Agricultural Involution the Process of Ecological Change in Indonesia (Berkeley: University of California Press 2000). Beberapa ide Geertz dikutip juga dalam Arskal Salim, Shari'a and Politics in Modern Indonesia (Singapore: Inst. of Southeast Asian Studies, 2003). 259 terbatas para petani di Jawa.111 Swasono menegaskan bahwa mengapa buruh dengan gaji rendah tetapi tetap bisa hidup. Hal ini lantaran ada sektor informal yang menyediakan kehidupan murah. Ada PKL atau warteg. Ini yang menopang kehidupan mereka dan itu berarti menopang kehidupan perusahaan tempat mereka bekerja. Jadi, sesungguhnya terjadi trickle up mechanism. Kondisi ini tidak disadari oleh pemerintah maupun korporasi- korporasi besar itu. Malah pemerintah menggusuri sektor informal itu. Kebiasaan membawa hasil bumi dari kampung, yang kemudian membangun suasana guyup di kampung atau desanya membuktikan rakyat Indonesia yang selama ini berada pada posisi marjinal, sesungguhnya memiliki inisiatif dan mekanisme kebertahanan hidup yang cukup efektif, lewat bangunan-bangunan kekuatan sistem lokal, yang co-exist dengan sistem global. Paling penting adalah keberadaan sistem-sistem dan kekuatan tersebut secara kultur menjadikan rakyat memiliki ‟tempat perlindungan‟ pada saat sistem global dirasa tidak dapat menjamin kelangsungan hidupnya, baik dari aspek sosial maupun aspek ekonomi. Dalam bahasa lain, ‟modal sosial‟ (capital social) sebagai akumulasi dari interaksi manusia, dalam bentuk rasa percaya, saling pengertian dan kesamaan nilai dan perilaku yang mengikat anggota dalam sebuah jaringan kerja dan komunitas yang memungkinkan adanya kerjasama.112

111Diane Wolf Lauren. Factory Daughters: Gender, Household Dynamics, and Rural Industrialization in Java (California: University of California Press. Berkeley, 1992), 3-9. 112Keberhasilan Cina sebagai penguasa ekonomi baru di Asia merupakan cerminan penerapan konsep ekonomi yang berdasarkan jaringan sosial. Jaringan sosial, yang kemudian menjelma menjadi jaringan bisnis antara masyarakat dalam negeri dan masyarakat di perantauan, efektif untuk membangkitkan pertumbuhan ekonomi negara 260

Swasono menjelaskan modal cultural-social suatu bangsa yang bersifat nasionalistik, ketidakmauan atas ketertindasan, dan kemandirian, jika tertanam dalam pada jiwa tiap warga bangsa dan pemerintahan negara tersebut, juga akan membangun suatu “ketangguhan” dan “semangat” yang luar biasa bagi bangsa negara tersebut dalam melakukan pembangunannya (modal sosial kultural). Ketika ketersediaan sumber daya dalam suatu bangsa yang melimpah sebagai karunia tiada terkira dari Tuhan YME, dikelola dan digunakan sebaik-baiknya dalam proses pembangunan sepenuhnya untuk memperbaiki taraf hidup dan derajat hidup rakyat. Penguatan atas saving dan investasi tidak saja mampu melakukan keputusan ekonomi yang bertujuan meningkatkan pendapatan, namun juga memiliki kemampuan untuk melakukan saving yang digunakan untuk investasi (Modal Sumber Daya Alam-Modal Ekonomi). Selanjutnya, pembanguan suatu negara juga membutuhkan kemampuan produksi, kreasi dan inovasi sebagai wujud proses peningkatan kemampuan rakyat, dan terus-menerus meningkatkan kreativitas rakyat demi terangkatnya harkat martabat rakyat dan sebagai suatu bangsa (Modal Ketangguhan-Entreprenurship).113

Cina. Lihat TM. Siregar, Pembaharuan Ekonomi Tiongkok: dari Fokus Pedesaan ke Pasar Internasional (Jakarta: Pustaka Pena, 2002). 113Sri-Edi Swasono. “Robinson Cruzoe‟s Struggle for Freedom and Take-Off”. Naskah Ajar Mata Kuliah Perkembangan Pemikiran dan Perbandingan Sistem Ekonomi. Program Doktoral Ilmu Ekonomi Islam Universitas` Airlangga. 24 Oktober 2009. Dikutip dari http://www.scribd.com/doc/53952840/PROF-EDI-A-Blog.

Keempat

DISTRIBUSI BERBASIS KEMITRAAN

Bab ini berhubungan erat dengan bab-bab sebelumnya, dalam menggali implementasi efisiensi berkeadilan yang dibangun pada wilayah kemitraan usaha. Bab ini menjadi penting sebagai penilaian atas proses distribusi usaha songket Palembang yang sama-sama menguntungkan, dan memberdayakan, baik antara pengrajin dengan pengrajin, pengrajin dengan perajin, pengrajin-perajin dengan pihak pemerintah Provinsi Sumatera Selatan. Sekaligus menilai makna kebersamaan dan konsensus sosial atas jaminan usaha. Sejarah dan perkembangan songket dengan penilaian atas aktifitas usaha songket menjadi elemen krusial kehidupan salah satu produk lokal di Sumatera Selatan. Seperti dipahami sebelumnya, bahwa kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Karena merupakan strategi bisnis, maka keberhasilan kemitraan sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan diantara yang bermitra dalam menjalankan etika bisnis.

A. Pola Kemitraan Dalam pengembangan ekonomi lokal keberadaan kerajinan tenun songket memiliki peranan yang penting, karena umumnya berkembang dengan adanya semangat

263 264 kewirausahaan lokal, dan lebih mengutamakan pemanfaatan input bahan baku dan tenaga kerja lokal, sehingga keberadaan industri kecil ini dapat berpotensi sebagai penggerak tumbuhnya kegiatan ekonomi lokal di Sumatera Selatan.1 Salah satu strategi pengembangan usaha songket Palembang dalam mendukung pengembangan ekonomi lokal adalah melalui distribusi kemitraan. Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menumbuhkan lokalitas dengan memadukan, mengorganisasi, dan mentransformasi seluruh potensi lokal yang ada, terutama aspek pemasaran dan pendanaan, sehingga dapat menciptakan sinergi pembangunan. Dalam perspektif umum, keberadaan usaha tenun songket sangat memberikan sumbangan terhadap eksistensi budaya lokal, namun masih bersifat job order, sehingga perajin songket sangat tergantung pada pengrajin, pemesan, maupun pedagang songket melalui kemitraan yang berkesinambungan. Kemitraan diciptakan dan dipertahankan oleh anggota-anggotanya melalui proses komunikasi.2

1Lihat Departemen Dalam Negeri. Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah (Bangda), Pengembangan Ekonomi Lokal: Manual Best Practices (Jakarta: Bangda: JICA, 2006); Herman Haeruman J. S.; Eriyanto, Kemitraan dalam Pengembangan Ekonomi Lokal: Bunga Rampai (Yayasan Mitra Pembangunan Desa-Kota: Business Innovation Center of Indonesia, 2001). 2Konsep kemitraan tertuang jelas dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1997 Tentang Kemitraan. Seperti tertuang dalam pasal 4 disebutkan bahwa dalam hal kemitraan Usaha Besar dan atau Usaha Menengah dengan Usaha Kecil berlangsung dalam rangka sub kontrak untuk memproduksi barang dan atau jasa, Usaha Besar atau Usaha Menengah memberikan bantuan berupa kesempatan untuk mengerjakan sebagian produksi dan atau komponen; kesempatan yang seluas-luasnya dalam memperoleh bahan baku yang diproduksinya secara berkesinambungan dengan jumlah dan harga yang wajar; bimbingan dan kemampuan teknis produksi atau manajemen;

265

Kemitraan ini dibentuk untuk melayani berbagai maksud dan tujuan. Oleh sebab itu, kemitraan akan terwujud apabila berbagai orientasi dari semua sub-sub sistem tadi dapat dikoordinasikan, disalurkan, dan difokuskan. Kondisi ini akan mempertajam identifikasi permasalahan yang dihadapi, serta mendukung pilihan terhadap jawaban permasalahan diikuti dengan strategi yang akan ditempuh. Keberhasilan dalam menggalang kemitraan dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu produktivitas-distribusi dan moral/etika. Dari segi produktivitas-distribusi didapatkan model kekeluargaan. Dalam prosesnya diketahui kemitraan distribusi kain songket dengan wilayah perkotaan adalah sistem distribusi berdasarkan kepercayaan dan akte di bawah tangan. Informasi data ditemukan contoh sebagai berikut: seorang datang kepada perajin atau pengrajin songket yang dikenal. Kemudian orang tersebut mengambil beberapa kain songket untuk dijual. Pada saat pengambilan barang tidak dibuat sebuah transaksi yang jelas cukup dengan prinsip kepercayaan dan janji lisan. Prinsip kemitraan tersebut berdampak negatif, dengan tidak terkontrolnya keluar masuk kain songket, tidak terjalinnya konsep manajemen yang rapi, terjadinya wanprestasi dengan tidak tepat waktunya penyetoran, bahkan kain songket yang tidak kembali. Akibat hal tersebut, sirkulasi penjualan songket menjadi tersendat yang berdampak pada sulitnya pengembangan usaha songket pada masa selanjutnya. Kasus ini juga terjadi pada wilayah tenun di pedesaan. Bahkan untuk kasus ini, sering sekali ditemukan hasil tenunan songket yang dijualkan seseorang atas dasar kepercayaan perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan; pembiayaan.

266 tidak kembali, sehingga menimbulkan kebangkrutan penenun. Berdasarkan hasil wawancara, didapatkan pola kemitraan distribusi berbasis kekeluargaan. Hal ini terjadi karena faktor demand masih terbatas, tidak ada komunikasi yang terbuka untuk melakukan studi kelayakan usaha, termasuk masih rendahnya upaya penguatan jaringan distribusi dan eksistensi distribusi berkeadilan pada pengrajin dan perajin songket Palembang. Hasil wawancara mendalam dengan para responden diketahui berbagai persoalan yang berkenaan dengan kemitraan yang terjadi antara pengrajin dan perajin songket, distributor dan pengumpul maupun pedagang songket yang persoalannya terpeta dalam dua wilayah, yaitu: (1) wilayah penenun songket di desa kabupaten kota; (2) wilayah penenun di kota Palembang. Untuk wilayah responden yang berada di desa penenun songket, ditemukan kemitraan yang tidak menguntungkan dan memberdayakan. Ditemukan distributor yang dikenal dengan “pengumpul”. Pengumpul adalah orang yang memiliki modal yang melakukan kemitraan di wilayah masyarakat penenun songket. Model kemitraan yang terjadi terbagi dalam tiga bentuk. Pertama, orang (pengumpul) datang ke perajin songket dengan memberikan dana untuk dibuatkan kain songket sejumlah dana yang diberikan, terjadi transaksi dengan melakukan kalkulasi bersama yang saling memberikan keuntungan ditambah dengan kesepakatan waktu penyelesaian. Kedua, perajin songket datang ke “pengumpul” untuk meminjam sejumlah uang, dan biasanya dibayar dengan hasil tenun songket yang ditentukan oleh “pengumpul” dengan waktu yang ditentukan. Apabila kesepakatan waktu tidak ditepati, maka pengumpul memberikan tenggang waktu hingga selesai. Untuk kasus ini, biasanya dengan memberikan sanksi

267 sosial, dengan tidak diberikan lagi pinjaman oleh „pengumpul‟ tersebut atau dipersulit dengan berbagai syarat. Karena „pengumpul‟ adalah pemilik modal yang kuat di desa tersebut, maka perajin yang wan-prestasi akan sulit bermitra („berasan‟) kembali di lingkungan tersebut. Ketiga, perajin songket karena kebutuhan uang mendesak, datang kepada pengumpul untuk menjual hasil tenunannya. Pengumpul membeli dengan harga sangat di bawah standar, bergantung dengan ketentuan dan taksiran pengumpul. Jika di pasaran hasil tenunan songket si perajin ditaksir Rp 1.000.000,- maka pengumpul bisa membeli dengan harga Rp 600.000,-. Biasanya perajin karena terdesak ekonomi keluarga dan memerlukan uang cepat tidak bisa menolak tawaran harga pengumpul.3 Kasus yang juga terjadi dengan kemitraan dalam distribusi yang juga ditemukan adalah sistem titip-setor. Sistem ini biasanya dilakukan perajin tenun songket yang tidak memiliki jaringan distribusi dan tidak masuk dalam kelompok asosiasi. Para perajin songket tersebut kemudian mendatangi pedagang songket kemudian menitipkan tenunan untuk dijualkan. Perjanjian apabila barang tersebut laku akan disetor. Hasil observasi diketahui bahwa sistem titip setor tidak bernilai efisisensi. Indikator yang muncul dengan tidak adanya perhatian para pedagang dengan barang titipan. Sebagai dagangan sekunder. Ketika jualannya tidak ada stok maka barang titipan ditawarkan. Akibatnya, barang tenun songket pengrajin lama bisa terjual sehinga sirkulasi distribusi terhambat. Pola tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan apabila salah seorang komplain terhadap kemitraan tersebut. Karena tidak ada perjanjian kedua belah pihak yang saling menguntungkan. Dinamika ini memperlihatkan

3Hasil wawancara tanggal 6-11 Oktober 2010.

268 efisiensi distribusi yang tidak berkeadilan dimana pada akhirnya perajin songket tersebut hanya pasrah dengan hal tersebut. Akibat dari hal tersebut sirkulasi produksi perajin songket tersendat, sementara ekonomi keluarga mendesak. Maka, salah satu solusi yang terjadi adalah menjual kepada pengumpul dengan konsekuensi yang harus ditanggung perajin songket. Pola kemitraan yang lain dengan mengikutsertakan unit usaha tenun songket dalam acara berbagai pameran-pameran tingkat regional nasional maupun Internasional. Akifitas ini menjadi salah satu program pemerintah dalam upaya meningkatkan sekaligus memperkenalkan perkembangan kreatifitas tenun songket. Hasil pendalaman data antara tahun 2008 hingga tahun 2010 diketahui berbagai aktifitas pameran tingkat regional dan nasional yang mengikutkan perajin songket, diantaranya: (1) Bazar Rakyat dan Pojok Rakyat; (2) Road Show Franchise and Business Concept Expo 2009; (3) “Regional Expo, Pameran "Campus Expo” bekerjasama dengan perguruan tinggi di Sumatera Selatan (IAIN Raden Fatah Palembang, Universitas Sriwijaya Palembang, Univeristas Bina Darma Palembang); (4) pameran kerajinan rakyat yang diselenggarakan oleh Dekranasda Provinsi Sumatera Selatan; (5) program Visit Musi, (6) Pameran Kridaya di Convention Hall, Jakarta; (7) Resource of Indonesia Craft (CRAFINA) 2010.4 Beberapa data jadwal

4Pameran merupakan salah satu kegiatan yang mengakomodasi promosi produk sekaligus sebagai sarana pembelajaran untuk meningkatkan daya saing terhadap produk-produk negara lain. Tujuan umum program pengembangan/perluasan pasar ekspor produk usaha kecil melalui berbagai pameran luar negeri antara lain untuk meningkatkan akses dan pangsa pasar produk di pasar internasional termasuk kerajinan songket. Program pameran bisa juga digunakan untuk sarana mem- perkenalkan, dan tes pasar produk di luar negeri. Kemudian, sejak tahun 2008 Pemerintah Provinsi sudah mulai membangun gedung pusat

269 pameran yang telah dilaksanakan untuk usaha kecil dan menengah yang diikutsertakan unit usaha songket Palembang berdasarkan data hingga tahun 2010, diantaranya: (1) Dubai Global Village di Dubailand, Dubai, Uni Emirat Arab; (2) International Consumer Goods and Fair di Plovdiv, Bulgaria; (3) Texmed Tunisia di Parc des exposotion du Kram, Tunisia; (4) Hongkong Fashion Week for Spring/Summer 2010 di Hongkong Convetion and Exhibition Centre; (5) Discover Indonesia Trade and Investment Fair di Mid Valley, Kuala Lumpur, Malaysia; (6) Kuala Lumpur Lebaran Fair di PWTC, Kuala Lumpur, Malaysia; (7) Vietnam International Trade Fair di Ho Chi Minh, Vietnam.5 Aktifitas pameran yang diikutsertakan para pengrajin dan perajin songket dalam unit usaha yang terpilih sebagai ruang penghubung, yang dapat digunakan sebagai wadah interaksi para pengrajin, para pemerhati dan pengurus dan asosiasi yang bergerak di bidang kerajinan serta semua orang untuk membangun produk kerajinan dan melebarkan jaringan yang lebih luas. Dari penilaian proses mengikuti pameran ditemukan adanya ketidakadilan. Ini terbukti aktivitas dan promosi Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM) di areal dua hekter. Pada saatnya gedung yang diprakirakan memakan biaya Rp 21,1 milyar tersebut dapat menjadi ajang promosi usaha kecil dalam pameran skala nasional ataupun internasional. Pembangunan gedung ini sejalan pula dengan program Kementerian Koperasi dan UKM mengalokasikan anggaran untuk membangun pusat promosi dan pemasaran produk usaha kecil di empat provinsi. Di samping Sriwijaya Promotion Centre di Palembang, (Sumatera Selatan) ada juga Pusat Promosi Sentra Bisnis KUKM (Jawa Barat), Borneo Promotion Center (Kalimantan Barat), dan Paradise Promotion Center (Sulawesi Utara). Lihat “Gedung Promosi Butuh Rp 21,1 Milyar”, Di akses dari http://www.sumeks.co.id/index.ph, 10 Januari 2010. 5Ikhwan Asrin, “Pameran Perluas Pasar Ekspor Produk KUKM”, Jurnal KUKM, (Mei 2009).

270 dengan para peserta yang mengikuti pameran adalah kelompok-kelompok pengrajin yang sudah dikenal. Sementara para pengrajin dan perajin yang jauh dari akses aktifitas pameran tidak dapat menyentuh wilayah tersebut. Kemitraan yang terjadi adalah kemitraan satu arah. Gambaran hal tersebut adalah sebagai berikut: Pengrajin (X) mendapat tawaran untuk ikut dalam pameran (Y) karena (X) tidak memiliki stok songket, atau memang tidak memproduksi tenun songket, maka X mengambil barang kepada pengrajin, pedagang atau penenun songket (M) dengan perjanjian sederhana bahwa barang tersebut akan dijual dalam pameran (Y). Harga songket dan aksesories berdasar songket berdasarkan negoisasi antara X dan M yang memungkinkan ditawar serendah mungkin dan kemudian dijual X dalam pameran Y dengan harga berlipat. Sistem negoisasinya dibenarkan, namun dari sisi M hanya mendapat keuntungan yang secukupnya untuk kepentingan kelanjutan usaha dan keluarga. Sementara X mendapatkan dua keuntungan, yaitu: (1) laba besar dengan hanya mengandalkan kedekatan dengan pemerintah atau BUMN/BUMND yang mengutus atau yang menyelenggarakan; (2) tidak mengeluarkan dana penyewaan stand serta dana transportasi dan akomodasi lainnya; (3) menambah jaringan untuk kepentingan pengembangan usahanya dan kepentingan dirinya sendiri. Baik pengrajin, perajin atau pedagang songket yang memiliki jaringan terbatas menyadari hal tersebut, namun mereka tidak bisa berbuat banyak. Alih-alih yang penting produksi terus berjalan dan mendapatkan keuntungan untuk menghidupi keluarga.6

6Hasil wawancara dengan responden tanggal 19 Oktober 2010. Dari kegiatan pameran diketahui pula bahwa kain songket dapat dikatakan sebagai salah satu jenis pakaian yang mewah. Untuk satu set

271

Kemitraan yang berkembang juga dengan sistem pesanan. Aktifitas produksi berdasarkan jumlah pesanan, dan kontinyunitas pesanan, serta ketepatan pembayaran. Dalam sistem ini ada dua pola. Pertama, pemesan memberikan modal benang dan bentuk motif yang diinginkan pemesan, perajin mengerjakan sesuai pesanan; Kedua, pemesan memberi down payment (persekot) dan perajin mengerjakan. Apabila kekurangan modal, perajin biasanya meminjam kepada tengkulak dan akan dilunasi pada saat pembayaran lunas dari pemesan. Problem yang

kain songket dengan kualitas bagus, yang terdiri dari tumpal (kepala kain) dan selendangnya, dijual dari Rp. 2.000.000,- sampai Rp 50.000.000,-. Untuk kelas songket yang paling murah, yaitu kain super dengan benang mamilon, dan ukuran selendangnya kecil, harga jualnya Rp 250.000 per set. Jika selendangnya berukuran tanggung, harganya menjadi Rp 350.000 per set. Sedangkan, jika selendangnya dodot maka harganya Rp 500.000 per set. Dengan melihat betapa sulitnya membuat songket tentu harga yang ditawarkan tersebut dapat dikatakan sesuai. Proses yang telaten dengan tingkat kesabaran tinggi, serta bahan baku benang yang harus diimpor dari China, India, atau Thailand. Sedangkan untuk pemasaran yang lebih luas, karena songket memiliki unsur estetika dan nilai jual yang tinggi tentu pangsa pasarnya pun terbuka lebar. Kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Bali, Surabaya dan di beberapa negara merupakan daerah pemasaran yang menjanjikan. Para desainer terkenal Indonesia pun banyak yang menaruh perhatian pada kain songket ini. Ini menggambarkan bahwa memang songket telah menjadi komoditi dagang yang sangat bernilai. Bahkan, sebelum Indonesia merdeka songket merupakan salah satu barang dagangan yang diandalkan dalam pasar dagang internasional. Lihat Dhorifi Zumar, Tenun Tradisional Indonesia (Jakarta: Dewan Kerajinan Nasional Bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Industri Kecil dan Menengah, Departemen Perindustrian, 2009; Lihat juga Tim Badan Pengembangan Ekspor Nasional, Indonesia Export Product and Producer for International Market (Jakarta: Fery Agung Corindotama, 2007), 63. Lihat juga sebagai perbandingan pengembangan eksport awal pada berbagai usaha terutama hasil songket dalam Denys Lombard, Jaringan Asia (Jakarta: Gramedia, 1996). 6Wawancara dengan perajin tanggal 22-26 September 2010.

272 sering terjadi adalah ketika pesanan tidak diambil dan dibayar tepat waktu. Maka perajin mendapat persoalan dengan pemodal (tengkulak) hingga sampai batas kerugian dan kebangkrutan perajin. Hasil wawancara yang berhubungan dengan hal tersebut terjadi dengan proses sebagai berikut: A (pemesan) datang ke pengrajin (B) dan minta dibuatkan 20 stell kain songket dengan berbagai macam bentuk dengan tenggang waktu 2 minggu, kemudian A (pemesan) memberikan dana awal Rp 5 juta. Jika harga produk 20 stel kain songket sebesar Rp 15.000.000,- maka kemudian pengrajin yang mendapat orderan tersebut mencari dana talangan cepat dengan meminjam, dengan harapan segera membeli bahan baku, dan memberikan order kepada perajin di sentra unit usahanya. Setelah selesai, dan dengan kepercayaan produk 20 stel kain songket selesai, dan diberikan kepada A (pemesan) dengan janji seminggu setelah barang selesai, semua kekurangan pembayaran akan dilunasi. Realitas perjanjian itu terjadi, hingga batas waktu pengrajin belum mendapatkan sisa bayaran, sementara tagihan pinjaman dan pembayaran untuk upah perajin menunggu. Pengrajin tidak bisa menuntut, sebab tidak ada perjanjian tertulis. Akibat hal tersebut, pengrajin merugi dengan hutang di sana sini serta mendapat hukuman sosial (dianggap ingkar janji), sementara pemesan (A) pergi dengan keuntungan.7 Kemitraan yang lain yang juga dibangun adalah dengan cara mencari kenalan. Cara ini dilakukan perajin songket dengan dua cara. Pertama, mempromosikan hasil kerajinannya lewat mulut ke mulut; Kedua. melakukan hubungan dengan para pengrajin songket. Dua cara ini merupakan kemitraan alternatif yang biasa dilakukan oleh setiap perajin songket, maupun pengrajin songket.

7Seperti diceritakan pengrajin tanggal 23 September 2010.

273

Berdasarkan hasil wawancara, alternatif kemitraan dengan pola seperti ini memberikan keuntungan yang tidak optimal. Sebab, perajin songket hanya menunggu hingga datang pembeli. Apabila tidak terjual, maka alternatif yang termudah bagi mereka adalah menyimpan hasil tenunannya, dan mengerjakan aktifitas lain yang menguntungkan. Pada akhirnya, ketika datang persoalan ekonomi keluarga, hasil tenun di jual kepada pengumpul dengan harga di bawah standar.8 Aktifitas lain yang juga dilakukan pengrajin- pengrajin yang memiliki unit usaha songket untuk membangun jaringan kebersamaan yang menguntungkan dengan memanfaatkan jejaring internet.9 Namun, pola ini belum banyak dilakukan, kecuali beberapa pengrajin songket. Hal ini disebabkan karena keterbatasan pengetahuan pengrajin atau perajin songket. Hasil wawancara diketahui, penggunaan internet hanya sekedar mencari informasi yang berhubungan dengan akses dan aktifitas pameran kerajinan, bukan untuk melakukan transaksi perdagangan, itupun jika pengrajin memiliki anak yang sekolah atau kuliah, dan bisa membuka internet. Beberapa contoh pengrajin songket yang sudah menggunakan teknologi internet sebagai media distribusi dapat dilihat dalam iklan house.com, toko online.com. ebisnis.com, songket blog, blog pengrajin Zainal Songket atau Cek Ipah. Namun demikian, para pengrajin mengakui bahwa media internet hanya untuk memajang produk, sebab mereka tidak menguasai managemen sistem informasi. Jika

8Hasil wawancara dengan perajin responden 22-28 September 2010. 9Persoalan kesulitan teknologi internet bagi usaha mikro dapat dilihat dalam Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia, Cakap Kecap, 1972-2003 (Yogyakarta: Galang Press, 2004).

274 ada yang memesan dilakukan sistem konvensional. Pembeli langsung bisa diarahkan ke wilayah unit usaha songket yang menggunakan internet, kemudian terjadi transaksi. Berdasarkan hasil wawancara, tingkat kemitraan cara ini sangat rendah, sebab penggunaan orang ketiga yang tinggal di wilayah Sumatera Selatan menjadi sangat penting. Responden mencontohkan, Jika ada pemesan dari Kalimantan dan menginginkan produk songket yang ditawarkan dalam situs internet, maka pemesan biasanya menelpon untuk transaksi. Jika belum terjadi kesepakatan dalam model dan cara membayar, maka solusi yang ditawarkan pengrajin adalah “siapa kira-kira keluarga yang ada di Palembang yang bisa menjadi penghubung?”. Jika tidak ada, maka transaksi bisa tidak terjadi, atau terjadi dengan kepercayaan dan sistem “ada uang ada barang”.10 Solusi yang telah dilakukan dalam membangun wawasan dan pengetahuan dalam melakukan transaksi perdagangan lewat internet untuk pengrajin dan perajin songket dengan mengikutkan peran pemerintah Daerah Palembang dan Perguruan Tinggi. Hasil observasi dan wawancara diketahui keterbawasertaan unit songket dalam aktifitas ini telah dilakukan lewat aplikasi E-Commerce, yaitu suatu situs web yang berisi barang dagangan yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan tertentu.11 Aktifitas

10Wawancara tanggal 22-24 September 2010. Pernyataan tersebut dapat dilihat juga dalam penelitian Hasni Yusrianti, Noviar Marzuki et.al., ”Aplkasi E-Commerce dalam Pengembangan Usaha Sentra Industri Songket 30 dan 32 Ilir Palembang”, Kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat Program Penerapan IPTEKS dan VUCER (Palembang: Universitas Sriwijaya, 2009). 11Lihat H. Snijders dan S Weatherill, E-Commerce Law: National and Transnational Topics and Perspectives (The Hague: Aspen Publishers Inc, 2003); Hannes Werthner dan Martin Bichler, Lectures in e-Commerce (New York: Springer, cop. 2001); Theerasak Thanasankit,

275 tersebut baru sebatas pada pengrajin dan perajin songket yang berada di kota Palembang. Ini kemudian terbukti dengan situs www.songket-palembang.com. Walaupun belum terlihat hasilnya, namun upaya program pemberdayaan usaha songket dalam program keterbawasertaan dalam pembangunan telah dilakukan oleh pemerintah. Seiring dengan perkembangan desain dan mode, para perancang mode internasional seperti Jepang mengakui bahwa tenun Indonesia memberikan sebuah inspirasi tersendiri dalam menghasilkan sebuah trend pakaian bertaraf internasional. Banyak sekali trend baju kontemporer yang mulai berkiblat, dan memanfaatkan seni tenun. Hingga saat ini, minat masyarakat mancanegara terhadap tenun sangatlah besar. Itu bisa dilihat dari banyaknya permintaan dari mereka untuk mengimpor hasil tenun, baik songket, maupun batik Indonesia dengan harga yang bersaing. Satu contoh berdasarkan data tahun 2009-2010 pengiriman kain songket rata-rata 200 stel perbulan ke Malaysia dan Brunei Darussalam.12 Kelemahan dalam penjualan produk keluar negeri melalui sistem paket bila ada pesanan, dan tidak memiliki agen atau sentra penjualan di mancanegara. Kemitraan dengan koperasi yang berhubungan dengan kemitraan produksi dan distribusi belum terlihat. Para pengrajin dan perajin songket tidak terlalu mengenal koperasi yang berhubungan dengan usaha songket.13

E-commerce and Cultural Values (Hershey, Pa.: Idea Group Publishing, 2002). 12Sumber: Majalah Berita Potret Indonesia, Tanggal 6 November 2010. 13Nampaknya sejalan dengan Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2004- 2009 yang di bab 20 bagian IV yang menyebutkan bahwa tertinggalnya kinerja koperasi dan kurang baiknya citra koperasi. Kurangnya

276

Mereka hanya mengenal Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kota Palembang yang sedang memperjuangkan hak paten terhadap songket dan program bantuan pembiayaan. Beberapa pengrajin telah berupaya untuk membentuk semacam asosiasi pengrajin songket. Asosiasi perajin songket akan memperkuat posisi tawar perajin dari pedagang bahan baku yang dimonopoli, dan perbaikan kemitraan dalam distribusi. Ide membentuk asosiasi pengrajin dan perajin songket belum mendapat respon positif. Para responden menilai kesulitan terletak pada “kepercayaan”. Analisis dilapangan ditemukan bahwa: Pertama, ketidakmengertian terhadap koperasi karena belum tersosilisasinya konsep koperasi pada masyarakat perajin songket. Asumsi yang muncul dari ketidaksiapan pemahaman tentang koperasi sebagai badan usaha yang memiliki struktur kelembagaan (struktur organisasi, struktur kekuasaan, dan struktur insentif) yang unik/khas dibandingkan badan usaha lainnya, serta kurang memasyarakatnya informasi tentang praktek-praktek berkoperasi yang benar (best practices) telah menimbulkan berbagai permasalahan mendasar yang menjadi kendala bagi kemajuan perkoperasian di Indonesia. Pertama, banyak koperasi yang terbentuk tanpa didasari oleh adanya kebutuhan/kepentingan ekonomi bersama dan prinsip kesukarelaan dari para anggotanya, sehingga kehilangan jati dirinya sebagai koperasi sejati yang otonom dan swadaya/mandiri. Kedua, banyak koperasi yang tidak dikelola secara profesional dengan menggunakan teknologi dan kaidah ekonomi modern sebagaimana layaknya sebuah badan usaha. Ketiga, masih terdapat kebijakan dan regulasi yang kurang mendukung kemajuan koperasi. Keempat, koperasi masih sering dijadikan alat oleh segelintir orang/kelompok, baik di luar maupun di dalam gerakan koperasi itu sendiri, untuk mewujudkan kepentingan pribadi atau golongannya yang tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan kepentingan anggota koperasi yang bersangkutan dan nilai-nilai luhur serta prinsip-prinsip koperasi. Sebagai akibatnya: (i) kinerja dan kontribusi koperasi dalam perekonomian relatif tertinggal dibandingkan badan usaha lainnya, dan (ii) citra koperasi di mata masyarakat kurang baik. Lebih lanjut, kondisi tersebut mengakibatkan terkikisnya kepercayaan, kepedulian dan dukungan masyarakat kepada koperasi.

277 masyarakat perajin songket terhadap ide pembentukan koperasi untuk wilayah studi ini, dan lebih memilih untuk bernegosiasi dengan “pengumpul”. Sosialisasi terhadap eksistensi koperasi, dan bagaimana membangun, dan membentuknya tidak termunculkan (terutama dalam proses penelitian rentan waktu antara tahun 2007-2010), terutama di sentra-sentra usaha songket di desa. Kedua, jaringan-jaringan usaha pada masing-masing pengrajin dan perajin saling menutupi. Upaya membentuk kebersamaan dalam pengembangan terutama dalam distribusi sulit dilaksanakan. Pengrajin lebih memilih melakukan proses produksi dan distribusi dalam lingkup masing-masing. Ketiga, pengrajin dan perajin songket mengharap, bergantung dan mengandalkan bantuan dari berbagai instansi dan BUM, setelah mendapat bantuan dana perkembangan usahapun tetap stagnan. Pola pikir tersebut membentuk pengrajin dan perajin melakukan kerja maksimal untuk mengembalikan dana bantuan tersebut, sehingga ide-ide yang muncul semacam membangun koperasi unit songket tidak terapresiasi. Seperti dijelaskan pada bab sebelumnya, dalam kemitraan melalui pembiayaan pengrajin dan perajin sudah mendapatkan bantuan dalam bentuk PKBL (Program Kerja Bina Lingkungan) dan Program Kredit Usaha Kerja (KUK) dari Sucofindo, Pusri, Pertamina. Hasil pendalaman pada aspek pembiayaan diketahui mereka yang belum mendapatkan bantuan, disebabkan adanya ketakutan untuk berspekulasi, dan takut tidak dapat membayar. Menurut responden, perasaan takut untuk melakukan kemitraan dengan pemerintah lewat BUMN/BUMD yang menyediakan dana karena persoalan pembayaran dengan sistem bunga. Responden berpikir bahwa kalau bicara “bunga”, maka akan mempersulit dalam pembayaran. Alasan yang mereka sampaikan bukan dalam perspektif

278 agama, tapi dari hasil informasi yang diterima dari media bahwa Indonesia terlibat hutang yang tidak pernah terbayar karena bunga, mereka berasumsi, negara saja sulit membayar bunga pinjaman apalagi kami usaha mikro.14 Hasil pendalaman wawancara kepada responden juga diketahui bahwa mereka tidak memiliki akses untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah daerah melalui BUMN/BUMD, karena tidak adanya saling keterbukaan informasi antar pengrajin-perajin. Responden berpandangan adanya ketidakadilan dalam mendapatkan akses. Alih-alih komunitas tersebut, kemudian hanya bisa menunggu dan berharap. Kesimpulan penulis terhadap dua pernyataan tersebut merupakan bahasa-bahasa kecewa karena mereka tidak bisa menembus kemitraan. Kesimpulan ini diambil dengan menilai perbandingan para responden lain yang menerima bantuan walau dengan bunga. Alasan yang disampaikan bahwa: Pertama, lebih baik menerima kesepakatan bantuan dengan kejelasan bunga, daripada mereka selalu dihantui dengan pinjaman para tengkulak yang tidak pernah habis-habis bayaran karena bunga yang berlipat-lipat. Artinya, penulis menilai bahwa para pengrajin-perajin yang biasa terkukung dengan tengkulak/ijon kemudian merasa lebih nyaman dengan bantuan pinjaman dari BUMN/BUMD. Kedua, dengan lolosnya kelayakan mendapat bantuan dari pemerintah, mereka merasa manajemen pembukuan yang dibuat sederhana yang selama ini digunakan dalam versi mereka diterima oleh tim dari perusahaan memberi bantuan. Bagi mereka ini, merupakan langkah awal untuk memperbaiki manajemen yang sudah

14Wawancara tanggal 16-18 Oktober 2010, kalimat tersebut dari peneliti yang pada umumnya arah mereka menjawab dalam asumsi- asumsi seperti yang ditulis diatas. (pen)

279 mereka kerjakan selama bertahun-tahun tersebut. Ketiga, pengrajin-perajin yang mendapatkan bantuan pembiayaan menjawab bahwa bunga yang diberlakukan pada BUMN, hanya bunga rendah sebesar 6% setahun (1/2 % perbulan). Jika pinjaman Rp 40.000.000,- dengan bunga 6% setahun. Maka, pengrajin atau perajin mengembalikan dana sebesar Rp 46.600.000,- selama kurun waktu 3 tahun. Mereka tidak pernah dikenalkan konsep bagi hasil dan pada umumnya menjawab yang penting efisien dan mudah mendapatkan tanpa banyak prosedur yang berlebihan.15 Sebagian lain mengetahui konsep bagi hasil dapat dari informasi mahasiswa yang kebetulan tinggal di wilayah usaha atau anak dan keluarga pengrajin/perajin yang kuliah di IAIN Raden Palembang.16 Dalam kajian masih terjadi silang pendapat berkenaan dengan bergulirnya sistem bunga dalam dunia perekonomian di Indonesia. Secara umum ada dua kelompok yang menilai bunga dalam pembiayaan. Pertama, kelompok yang membolehkan bunga. Mereka yang membolehkan bunga bank berpijak pada: (a) teori abstinence, yaitu bahwa kreditor menahan diri, atau menangguhkan keinginan mamanfaatkan uangnya sendiri semata-mata untuk memenuhi keinginan orang lain. Ia meminjamkan modal yang semestinya dapat mendaangkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Jika peminjam menggunakan uang untuk memenuhi keinginan pribadi, ia dianggap wajib membayar sewa atas uang yang

15Wawancara tanggal 15-18 Oktober 2010. 16Wawancara tanggal 22-25 September 2010. Hasil penelusuran kemitraan dalam pembiayaan melalui situs-situs internet yang berhubungan dengan konsep bagi hasil juga tidak nampak. Unit usaha pengrajin yang sudah masuk dan memperkenalkan produk usaha mereka terbangun selalu berkat pinjaman dari bank yang memberlakukan sistem bunga.

280 dipinjamkannya. Sama halnya, ia membayar sewa terhadap sebuah rumah, perabotan, maupun kendaraan; (b) bunga sebagai imbalan sewa; (c) opportunity cost; (d) teori kemutlakan produktivitas modal, artinya disini fungsi modal dalam produksi sangatlah penting. Modal dianggap mempunyai daya untuk menghasilkan barang lebih banyak, daripada yang dapat dihasilkan tanpa modal itu. Dengan demikian, mereka yang memberikan modal layak mendapatkan imbalan bunga; (e) teori nilai uang pada masa mendatang lebih rendah dibanding masa sekarang; (f) inflasi atau dalam istilah lain decreasing purchasing power of money. Kedua, kelompok yang melarang bunga. Mereka yang berkeyakinan untuk mengharamkan riba disebabkan: (a) bunga menumbuhkan sikap egois, bakhil dan berwawasan sempit, cenderung bersikap tidak mengenal belas kasih; (b) bunga adalah bagian dari hidup ribawi; (c) secara sosial, institusi bunga merusak semangat berkhidmat kepada masyarakat, menghancukan solidaritas dan kepentingan yang akan membawa kepada perpecahan; (d) bunga membawa kepada kezaliman ekonomi, dan merendahkan standar kehidupan masyarakat; (e) bunga menimbulkan kecemasan bagi individu yang malah menghancurkan efesiensi kerja mereka. Sebab, setiap hari dia selalu berpikir pada suku bunga pinjamannya.17 dalam berbagai istilah (bunga, rente, bantuan usaha bunga rendah, kredit bunga rendah) tetap sebagai upaya merampas harta orang lain, dimana peminjam berada dalam tekanan

17Lihat misalnya Anwar Qureshi, Islam and the Theory of Interest (Lahore: tp, 1970); Vithzal Rivai dan Andi Buchari, Islamic Economics: Ekonomi Syari‟ah bukan OPSI tapi Solusi (Jakarta: Bumi Aksara, 2009); Muhammad Amin Suma, Menggali Akar dan Mengurai Serat Ekonomi dan Keuangan Islam.

281 eksploitasi, dan menimbulkan monopoli sumber dana. Para pengrajin dan perajin yang ingin berpacu dalam tingkat produktifitas usaha mereka sering terhambat, karena penguasaan modal oleh para kapitalis. Sama halnya, bunga yang dibebankan melalui pinjaman pemerintah, sesungguhnya merupakan manipestasi dari pemberatan hutang kepada masyarakat luas, bukan memberikan pemerataan pendapatan.18 Dalam persepktif studi ini, tidak menyoroti perdebatan masalah boleh dan tidak bolehnya bunga. Yang ingin dilihat dari sudut kemitraan, terutama dalam kendala mereka yang mendapat bantuan pembiayaan dengan sistem bunga. Responden yang mendapatkan bantuan dengan bunga 6% setahun mendapat kendala, terutama dalam proses pengembalian yang berhubungan dengan kesulitan pengrajin-perajin. Menurut responden, pada umumnya tidak ada persoalan dalam pengembalian modal usaha, walau kadang harus tidak tepat waktu atau menunggak 1 atau 2 bulan, yang sulit adalah dalam membuat laporan keuangan, karena tidak terbiasa dengan sistem manajemen yang ribet. Sementara satu sisi pemberi modal tidak terlalu banyak memberi perhatian pada aspek manajemen keuangan. Pemberi modal hanya tahunya bantuan dana dikembalikan tepat waktu. Jika terjadi keterlambatan lebih banyak diingatkan dengan telepon atau surat. Jika terjadi pemanggilan selalu difokuskan hanya masalah keterlambatan pembayaran. Pertanyaan sekitar penyebab keterlambatan hanya sebagai formalitas perhatian.19

18Murasa Sarkaniputra, Ruqyah Syar‟iyyah: Teori, Model dan Sistem Ekonomi, General Equilibrum Ghazali-Khaldun-Syatibi melalui Analisis Leontief-Sraffa (Jakarta: al-Ishlah Press dan STEI, 2009). 19Wawancara dengan responden pengrajin Tanggal 24-25 September 2010.

282

Akses kemitraan dalam pembiayaan usaha tidak terakses pada perajin-perajin songket maupun pengrajin songket menurut responden disebabkan kurangnya informasi sumber pembiayaan dari lembaga keuangan non-bank, misalnya dana penyisihan laba BUMN dan modal ventura. Termasuk informasi jenis sumber pembiayaan, serta persyaratan dan prosedur pengajuan. Disamping itu, perbankan maupun BUMN yang memiliki konsep kemitraan dengan usaha mikro dan kecil kurang menginformasikan standar proposal pengajuan kredit, sehingga pengusaha kecil tidak mampu membuat proposal yang sesuai dengan kriteria pemilik modal. Akibatnya, banyak perajin yang kemudian pasrah dan menunggu kebijakan pemerintah provinsi.20 Seiring dengan hal tersebut, hasil wawancara dengan para responden diketahui ada upaya untuk membangun Kelompok Usaha Bersama (KUB). Realisasi di lapangan KUB, songket hanya sebagai dasar untuk mendapatkan pembiayaan yang selanjutnya dibagikan untuk komunitas KUB. Setelah pembiayaan didapat, perajin lebih banyak menggunakan bantuan pembiayaan untuk hal-hal konsumtif yang tidak berhubungan dengan peningkatan usaha tenun. Alih-alih ketika masa pembayaran datang, para perajin meningkatkan tenunan dan hasilnya hanya untuk memenuhi kewajiban pembayaran dari pembiayaan yang didapat. Pada akhirnya, pembiayaan yang di dapat berhubungan dengan kegiatan tenunan untuk menutupi hutang dari pembiayaan yang didapat. Beberapa pengrajin walaupun sudah masuk dalam kelompok KUB yang dibuat, masih berusaha mendapatkan bantuan pembiayaan dengan cara menggunakan berbagai nama usaha, dengan

20Wawancara dengan responden pengrajin, Tanggal 22-23 September 2010.

283 mencantumkan beberapa nama dalam keluarga. Hasil analisis data, spekulasi untuk mendapatkan modal usaha dengan cara tersebut ditemukan. Disisi yang lain, perajin yang berani untuk menerima pembiayaan dengan alasan ketidaksiapan untuk membayar. Maka, perajin model ini hanya bekerja menenun, hingga kecapean, dan akhirnya menyerah.21 Ditemukan pula, kasus yang berkenaan dengan mendapatkan kemitraan lewat modal usaha yang didramatisasi unit usaha songket, dan unit usaha lain. Kasus yang ditemukan terutama pada proses aplikasi studi kelayakan usaha oleh instansi penyandang modal pada saat proses bantuan “bisa atau tidak bisa dicairkan. Unit usaha yang akan dinilai kelayakannya, melakukan berbagai cara untuk membentuk, dan membangun suasana seakan produks unit usahanya memang ada dan berkembang. Solidaritas sesama pengrajin dan perajin muncul di wilayah ini. Pengrajin meminjam beberapa produk perajin untuk mengisi ruang usaha sesama studi kelayakan. Setelah selesai studi kelayakan, aktifitas berjalan seperti biasa, dan ketika dana dicairkan, unit-unit pengelola bantuan usaha kecil pada instansi tertentu hanya berpatokan pada evaluasi lancar dan tidak lancarnya pembayaran dana bantuan.22 Selanjutnya, para pengrajin dan perajin songket belum mempercayai konsep asosiasi. Mereka masih berpandangan asosiasi hanyalah upaya untuk memperkaya sekelompok pengrajin semata. Berdasarkan dinamika kemitraan ada beberapa hal yang muncul. Pertama, efisiensi berkeadilan dalam upaya membangun kebersamaan dan asas kekeluargaan melalui

21Olah data wawancara dengan responden tanggal 22-28 September 2010. 22Wawancara tanggal 22-28 September 2011.

284 jalur koperasi masih memerlukan intensitas perbaikan, terutama pada respon awal menyadarkan pengrajin songket dan perajin songket bahwa koperasi bukan hanya untuk meningkatkan keuntungan bersama, lebih dari itu menjadi salah satu upaya meningkatkan integrasi (kerukunan sosial). Kedua, komitmen bersama ditengah upaya memarginalkan gerakan koperasi, seperti ditegaskan Hatta dengan kesadaran pribadi (individualitet) dan kesetiakawanan (kolektivita).23 Jika tidak pengrajin dan perajin songket yang kecil-kecil, yang hanya mengandalkan kemampuan menenun tanpa modal, akan mudah kena jerat si lintah darat (rentenir), pada akhirnya perajin songket hanya menjadi tukang tenun, sedangkan hasilnya dinikmati orang lain dengan keuntungan yang melimpah. Studi ini tidak sampai pada pengembangan koperasi songket, namun upaya pengenalan konsep koperasi terus menerus yang tidak bisa diabaikan. Visi, misi dan tujuan koperasi sebagaimana digagas Hatta dan dikembangkan oleh ekonom pro-ekonomi Pancasila dan ekonomi kerakyatan perlu disinerjikan dengan perkembangan pola kerjasama yang dikembangkan pemerintah Indonesia saat ini. Potret program koperasi meskipun mencatat keberhasilan bagi pelaksanaan pemeliharaan stabilitas ekonomi, namun masih menyimpan antipati masyarakat karena berbagai kegagalan yang terjadi. Sementara, praktis sejak akhir tahun 2000 semua bentuk fasilitas perkreditan program melalui koperasi dihentikan, dan mengikuti prinsip perbankan komersial biasa. Agar dapat bersikap proaktif, koperasi tentu dituntut untuk memiliki rumusan strategi yang jelas, artinya selain harus memiliki tujuan dan sasaran usaha yang berorientasi ke depan, koperasi juga dituntut

23Lihat Sri-Edi Swasono, Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan (Jakarta: UNJ Press, 2005).

285 untuk merumuskan strategi yang tepat dalam mencapai tujuan dan sasaran tersebut. Upaya mendukung peningkatan profesionalitas usahanya, maka setiap koperasi songket harus secara tegas menentukan misi usahanya. Kecenderungan koperasi songket untuk melakukan diversifikasi usaha semata-mata untuk melayani kebutuhan anggota sebagaimana berlangsung selama ini, tentu perlu dikaji ulang secara sungguh-sungguh. Selain itu, agar masing-masing unit usaha koperasi benar-benar memiliki keunggulan kompetitif terhadap pelaku-pelaku ekonomi yang lain, maka setiap unit usaha koperasi tidak bisa tidak harus memilih apakah akan bersaing dengan menonjolkan aspek keunikan produk, harga murah, atau fokus pada sasaran pasar tertentu.24 Berdasarkan gambaran tersebut, dapat diketahui bahwa beberapa masalah dalam kemitraan distribusi antara pengrajin, perajin, pedagang dan pemerintah adalah, Pertama, kerjasama yang dibangun masih berorientasi untuk keuntungan sepihak. Kedua, pengrajin dan perajin sangat bergantung bantuan modal dari program pemerintah. Sementara disisi lain perbaikan manajemen semata-mata beroerintasi pada bantuan pembiayaan tersebut. Ketiga, lebih mengakui eksistensi diri dibandingkan eksistensi pengrajin lain, yang menyebabkan sulitnya duduk bersama mengkomunikasikan persoalan produksi maupun distribusi. Keempat, fenomena ”ganti pemerintah, ganti kebijakan”

24Lihat Machwal Huda, Etos Kerja, Kebijaksanaan Pembinaan dan Perkembangan Industri Kecil: Studi Kasus INTAKO (Jogakarta: Universitas Gadjah Mada, 2006); M. Irsan Azhary Saleh, Industri Kecil: Pemihakan Setengah (Bandung: Akatiga, 2000). Data Koperasi kredit (kredit, simpan pinjam dan kegiatan pembiayaan oleh koperasi) menguasai 55 persen dari aset koperasi, melayani hampir 11 juta nasabah serta menempati tempat ke dua dalam pasar kredit mikro setelah BRI Unit Desa.

286 yang mendatangkan ketidakpastian kebersinambungan sebuah inisiatif yang sudah dilaksanakan, atau yang sedang direncanakan, atau yang sedang dalam proses pelaksanaan kemitraan. Kelima, faktor resiko yang sulit dikelola, karena banyaknya hal-hal eksternal yang mendatangkan ketidakpastian terhadap nasib kemitraan di kemudian hari. Menurut Swasono, bahwa asas kekeluargaan dapat pula dijelmakan di dalam bangun usaha non-koperasi. Buruh dan karyawan bukan faktor produksi, tetapi adalah partner berproduksi. Seperti dijelaskan dalam landasan teori ini ”perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan” dengan memaknai perekonomian bukan hanya badan usaha koperasi, tetapi juga meliputi Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Swasta yang ketiganya harus disusun sebagai usaha bersama yang berdasar asas kekeluargaan. Perkataan “disusun” berarti tidak dibiarkan tersusun sesuai dengan kehendak dan selera pasar yang merupakan selera kelompok orang-orang kaya penentu wujud pola-produksi dan pola konsumsi nasional. Usaha bersama merupakan cerminan doktrin kebangsaan Indonesia yang mengutamakan rasa bersama, bergotong royong saling menolong, tidak mengutamakan egoisme pribadi (self- interest), mengemban solidaritas antar sesama, mengetengahkan mutualisme yang dalam bahasa agama disebut ke-jemaah-an. Sedangkan “asas kekeluargaan” adalah budaya antara sesama sebagai saudara, mengemukakan pentingnya the brotherhood of men atau ke- ukhuwahan, wujud dari idealisme peaceful-coexistence antar sesama dan seluruh umat yang bhineka namun

287 tunggal-ika itu.25 Dengan demikian kemitraan harus secara sadar diatur, tidak dibiarkan tumbuh tersusun sendiri. Peraturan perundangan dalam hal perizinan harus berperan secara aktif untuk menyusun perekonomian nasional, menetapkan dan membentuk sistem dan orde ekonomi yang dikehendaki itu. Maka, apabila ada suatu perusahaan yang tidak melaksanakan kebersamaan dan kekeluargaan itu, hendaknya dianggap tidak berhak menjadi bagian dari perekonomian nasional, dan ini dapat dianggap disfungsional terhadap sistem ekonomi Pancasila. Konsep kemitraan dalam ekonomi Islam adalah bagian dari muamalat, yang pada dasarnya merealisasikan kemas}lahatan-kemas}lahatan manusia dalam pencaharian dan kehidupan, serta melenyapkan kesulitan mereka dengan menjauhi yang haram. Oleh karenanya, orang-orang yang terjun di dunia usaha, berkewajiban mengetahui hal-hal yang dapat mengakibatkan jual beli itu sah atau tidak.26 Hal ini dimaksudkan, agar mu‟amalah berjalan syah serta segala sikap dan tindakannya jauh dari kerusakan yang tidak dibenarkan. Tatanan jual beli dalam syariat sebagai pemberian keluangan dan keluasaan dari-Nya untuk hamba- hamba-Nya. Karena semua manusia secara pribadi mempunyai kebutuhan berupa sandang pangan dan papan. Dalam hal ini, tidak ada satu halpun yang lebih sempurna dari pertukaran; dimana seseorang memberikan apa yang dimiliki untuk kemudian ia memperoleh sesuatu yang

25Sri-Edi Swasono,”Keabadian Koperasi dan Kooperativisme”, Media Suara Pembaharuan, Senin, 11 Juli 2011. 26Jual beli menurut pengertian lughawinya adalah saling menukar. Kata al-Ba‟i dan al-Syira dipergunakan dalam pengertian yang sama. Dalam pengertian syari‟at: jual beli ialah pertukaran harta (semua yang memiliki dan dapat dimanfaatkan) atas dasar saling rela, atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan. Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid 12 (Bandung: al-Ma‟arif, 1988).

288 berguna dari orang lain sesuai dengan kebutuhan masing- masing. Dalam istilah para ulama fiqh disebutkan dengan: perikatan adalah ijab dan qabul (serah terima) menurut bentuk yang disyari‟atkan agama, nampak bekasnya pada yang diakadkan itu.27 Dalam melaksanakan transaksi tidak ada kemestian menggunakan kata-kata khusus, karena ketentuan hukumnya ada pada akad dengan tujuan dan ma‟na, bukan dengan kata-kata dan bentuk kata-kata itu sendiri. Paling utama dalam pelaksanaan itu adalah saling rid}a (antar ra>d}in),28 direalisasikan dalam bentuk mengambil dan memberi atau cara lain yang dapat menunjukkan kerid}aan, dan berdasarkan makna kepemilikan dan mempermilikan. Seperti contoh ucapan pembeli: “aku beli…”, “aku ambil…”, aku mau beli…”, ”aku ingin kan…”; dan jawaban penjual: “ambilah dengan harga…”, “silahkan”, kalau setuju…”; “kalau harga Rp… maka, ambillah”, “barang…ini menjadi milikmu” . Etika transaksi semakin bermacam-macam cara. Baik melalui telepon, melalui perantara orang ketiga, sistem penjualan di supermarket (“lihat …!, suka…?, ambil dan bayar di kasir sesuai dengan label yang tertera di barang, selesai), dan yang paling canggih adalah sistem jual beli melalui internet(internet advertisiment), yang pada prinsipnya adalah pertukaran harta atas dasar saling rela. Sistem penjualan yang bermacam-macam sekarang ini pada

27Hamzah Ya‟kub, Kode Etik Dagang Menurut Islam: Pola Pembinaan Hidup dalam Berekonomi. Para ulama sebagaian menyepakati boleh tidak terjadi ijab dan kabul pada barang-barang kecil, cukup dengan saling memberi sesuai dengan kebiasaan yang berlaku. Di samping transaksi, untuk bisa mendapatkan barang dapat dengan jalan, (1) ihrazul muba>hat, yaitu (memiliki benda yang boleh dimiliki atau menempatkan sesuatu yang boleh dimiliki di tempat yang boleh dimiliki, (2) al-Tawalludu min al mamlu>k, yaitu memperoleh benda karena beranak pinak. 28Q.S. al-Nisa >(4): 29.

289 dasarnya halal bila telah mencukupi rukun29 dan syarat jual beli30, serta mencukupi syarat-syarat shighat jual beli31. Begitu juga cukup syarat barang yang diakadkan. Islam sendiri telah memerintahkan umatnya untuk melaksanakan ketatalaksanaan niaga yang baik guna mewujudkan kelancaran dan keserasian dalam hubungan- hubungan dagang (Q.S. al-Baqarah [2]: 282). Dalam masalah kemitraan yang berhubungan dengan hutang- piutang terkaji dalam beberapa pendapat. (1) jumhur ulama berpendapat, bahwa perintah penulisan apabila diadakan perikatan jual beli secara hutang adalah sunnah, (2) sedangkan At}a‟ al-Sya‟bi dan ibn Jari>r berpendapat bila terjadi perikatan melalui hutang, penulisannya wajib. Alasan yang dikemukakan adalah dengan melihat surat al- Baqarah ayat 282. Secara detilnya hukum penulisan kontrak dagang atau pengadaan dokumen dalam transaksi adalah sebagai berikut: Pertama, barang-barang yang bernilai tinggi yang memerlukan pendukung surat menyurat, maka hukumnya sunnat. Seperti contoh: jual beli kendaraan baik roda dua maupun roda tiga, jual beli tanah. Kedua, perikatan melalui hutang piutang, maka penulisan dengan bukti surat hukumnya wajib. Dan disyaratkan adanya saksi sebagai penguat surat. Beberapa kasus ditemukan, bahwa hutang piutang dengan menggunakan akte di bawah tangan akan berdampak

29Rukun jual beli: (1) adanya ijab dan kabul dan (2) adanya saling rela (rid}a). 30Syarat-syarat jual beli: (1) orang yang berakad (berakal, valid); dan (2) lengkap syarat barang yang diakadkan: (bersihnya barang, dapat dimanfaatkan, milik orang yang melakukan akad, mampu menyerahkannya, mengetahui, barang ada di tangan). 31Syarat-syarat sighat: (1) satu sama lainnya berhubungan di satu tempat tanpa ada pemisahan yang merusak, (2) ada kesepakatan ijab dangan qabul, (3) ungkapan menunjukkan ketetapan membeli dan melepaskan.

290 negatif dikemudian hari, bila tidak ada saksi sebagai bukti kedua setelah surat.32 Sebenarnya, bila ingin membuat sebuat administrasi niaga yang baik kata “maka tulislah” dalam surat al-Baqarah ayat 282 memberikan inspirasi bahwa setiap apapun yang berkenaan dengan tatalaksana perdagangan hendaklah dicatat dengan rapi, jelas dan lengkap. Sehingga bila terjadi misunderstanding kesalahan di masa-masa selanjutnya segera dapat diselesaikan, tanpa harus merugikan pihak manapun. Para ulama pun sepakat bahwa mencatat penjualan dan pembelian sekalipun secara tunai disukai, misalnya dalam bentuk kwintansi dan nota pembelian.33

B. Etika Nilai Kemitraan Etika memiliki tiga komitmen yang saling berhubungan, yaitu: Pertama, etika adalah norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika merupakan asas atau nilai moral. Ketiga, etika merupakan ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika tidak membatasi diri pada gejala-gejala konkret seperti ilmu-ilmu lainnya (non empiris) yang secara faktual dilakukan, tetapi ia bertanya tentang yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan, tentang apa yang baik dan buruk. Walaupun etika bersifat non empiris, tetapi ia tetap dapat disebut sebagai sebuah ilmu, karena memiliki metode kritis dan

32Heri Junaidi, Efektifitas Akte di Bawah Tangan Usaha Kerajinan Songket dan Jumputan dalam Perspektif Muamalah Islam (Palembang: IAIN Raden Fatah Palembang, 1994). 33Ahmad bin Abdurrazaq al-Duwaisy, Fatwa Jual Beli oleh Ulama-Ulama Besar Terkemuka (Jakarta: Pustaka Imam Syafei, 2006), 2. Lihat juga Ahmad Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islami (Jakarta: Salemba Empat, 2002); Chairuddin Hadri, Klasifikasi al-Qur‟an, jilid 2 (Jakarta: Geama Insani Press, 2005).

291 sistematis dalam mengamati perilaku manusia. Etika tidak berwenang untuk menetapkan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak, tetapi berusaha untuk mengerti mengapa, atau atas dasar apa seseorang harus hidup menurut norma-norma tertentu.34 Suma mengartikan dengan filsafat tentang nilai-nilai kesusilaan tentang baik dan buruk. Kecuali etika mempelajari tentang nilai-nilai, ia juga merupakan pengetahuan tentang batin, tiap orang mempunyai etosnya, yaitu sikap batin yang sesuai dengan norma-norma etik.35 Dengan demikian, secara hakiki etika selalu memiliki keterarahan kepada realitas moral, bukan ajaran-ajaran moral, etika tidak menyediakan ajaran atau pandangan yang berhubungan dengan syarat atau kondisi dengannya manusia menjadi orang baik secara moral, namun etika justru menuntut agar pandangan atau ajaran moral dipertanggungjawabkan. Manusia beretika, berarti manusia mengamati realitas moral.36 Aktifitas etika dan moral dalam

34L. Sinuor Yosephus, Etika Bisnis: Pendekatan Filsafat Moral terhadap Perilaku Pebisnis Kontemporer (Jakarta: Pustaka Obor, 2010); Emily Post, Etiquette in Society, in Business, in Politics and at Home (New York: Cosmo Classics, 2007); Ron Scapp, Brian Seitz, Etiquette: Reflections on Contemporary Comportment (Albany: State University of New York Press, 2007). 35Muhammad Amin Suma, Menggali Akar Mengurai Serat Ekonomi dan Keuangan Islam (Ciputat: Kholam Pubslishing, 2008). 36L. Sinuor Yosephus, Etika Bisnis: Pendekatan Filsafat Moral terhadap Perilaku Pebisnis Kontemporer. Sama seperti moral Sama seperti moral, akhlak diartikan dengan perangai; kelakuan, tabiat, watak dasar, kebiasaan, kelaziman. Konsep akhlak dapat ditemui Q.S. al- Shu‟ara [22]: 147. Secara terminologi akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Dapat juga dipahami dengan sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan keseluruhan definisi al-akhla>q di atas melahirkan lima

292 aplikasinya dalam ekonomi dengan menilai sebagai berikut: dalam konsep ekonomi, setiap usaha dikerjakan bukan untuk merugi dan tidak mau rugi. Dalam moral ada kejujuran dan keadilan. Pertanyaan kemudian, apakah dengan kejujuran dan keadilan bebisnis bisa meraup keuntungan?. Peran etika kemudian membangun pandangan masyarakat terhadap kejujuran dan penerimaan masyarakat atas pebisnis yang jujur dan adil. Berdasarkan berbagai sintesa, maka dapat dipahami bahwa kejujuran dan keadilan bukan halangan untuk meraup keuntungan. Secara normatif landasan idiil sistem ekonomi Indonesia adalah Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian, maka sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi yang berorientasi kepada Ketuhanan Yang Maha Esa (berlakunya etik dan moral agama, bukan materialisme); Kemanusiaan yang adil dan beradab (tidak mengenal pemerasan atau eksploitasi); Persatuan Indonesia (berlakunya kebersamaan, asas kekeluargaan, sosio- nasionalisme dan sosio-demokrasi dalam ekonomi); Kerakyatan (mengutamakan kehidupan ekonomi rakyuat dan hajat hidup orang banyak); serta Keadilan Sosial (persamaan/emansipasi, kemakmuran masyarakat yang utama bukan kemakmuran orang-seorang). Dari butir-butir

ciri, yaitu: Pertama, perbuatan al-akhla>q tersebut merupakan sudah menjadi kepribadian yang tertanam kuat di dalam jiwa seseorang. Kedua, perbuatan al-akhla>q merupakan perbuatan yang dilakukan dengan acceptable dan tanpa pemikiran (unthought). Ketiga, perbuatan al- akhla>q merupakan perbuatan tanpa paksaan Keempat, perbuatan dilakukan dengan sebenarnya tanpa ada unsur sandiwara. Kelima, Perbuatan dilakukan untuk mendapat Ridha Allah Swt. Lihat Ibn. Miskawih, Tahzi>b al-Akhla>q Wa Tahri>r al-A‟ra>q (Mesir: al- Mat}ba‟ah al-Mishriyah,tt); Imam al-Ghazali. Ihya> Ulu>m al-Di>n (Beirut: Da>r al-Fikr, tt. jilid III); Ibrahim Anis. al-Mu‟ja>m al-Wasi>th (Mesir: Da>r al-Ma‟a>rif. 1972).

293 di atas, keadilan menjadi sangat utama di dalam sistem ekonomi Indonesia. Keadilan merupakan titik-tolak, proses dan tujuan sekaligus. Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal utama bertumpunya sistem ekonomi Indonesia yang berdasar Pancasila, dengan kelengkapannya, yaitu pasal- pasal 18, 23, 27 (ayat 2) dan 34.37 Secara hakiki, etika ekonomi Islam mengajarkan secara mendalam dan mendasar secara kritis, dan sistematis terhadap konsep moral. Islam memuat ajaran moral seperti mengajarkan kejujuran, keadilan, membantu yang lemah, meningkatkan kerjasama.38 Berdasarkan Al-Qur‟a>n dan

37Lihat Sri-Edi Swasono, “Sistem Ekonomi Indonesia”, dalam Jurnal Ekonomi Rakyat, Artikel Th. I, No. 2, April 2002. Beberapa pandangan luas dapat dilihat kembali dalam beberapa buku karyanya. Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan (Jakarta: UNJ Press, 2005); Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial (Jakarta: Prakarsa, 2006); tentang Demokrasi Ekonomi dan Pasal 33 UUD 1945 (Jakarta: BAPPENAS, 2008); Ekspose Ekonomika: Mewaspadai Globalisasi dan Pasar Bebas (Jogjakarta: Pusat Studi Ekonomi Pancasila-UGM, 2010); Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial dari Klasikal dan Neoklasikal sampai ke the end of Laissez-Faire (Jakarta: Perkumpulan Prakarsa, 2010); Kembali ke Pasal 33 UUD 1945 Menolak Neoliberalisme (Jakarta: Yayasan Hatta, 2010). 38Berdasarkan Al-Qur‟a>n dan al-Hadits dalam diri manusia juga terdapat berbagai macam fitrah yang antara lain adalah: Pertama, fitrah agama, fitrah beragama sudah tertanam dalam jiwa manusia semenjak dari alam arwah dulu. Kedua, fitrah suci, keadaan yang membuat manusia kotor adalah dosa, dan itupun bila manusia itu sudah mencapai baligh dan mumayyiz. Ketiga, fitrah beral-akhla>q, ajaran Islam menyatakan secara tegas sekali bahwa Nabi Muhammad Saw. diutus oleh Allah untuk menyempurnakan al-akhla>q. Allah juga menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam sebaik-baik kejadian termasuk dalam kejadian adalah moralnya. Keempat, fitrah kebenaran, dalam Al-Qur‟a>n bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui kebenaran (al-Baqarah [2]: 26 dan 144). Kelima, fitrah kasih sayang, menurut Al-Qur‟a>n dalam diri manusia telah diberi fitrah kasih sayang (al-Ru>m [30]: 21; al- Mumtahanah [60]:7; al-Bala>d:17). Lihat Hasan ibn Ali Hasan al-

294 al–Hadits dalam diri manusia juga terdapat berbagai macam fitrah yang antara lain adalah: Pertama, fitrah agama, fitrah beragama sudah tertanam dalam jiwa manusia semenjak dari alam arwah dulu (al-A‟raf; 172). Kedua, fitrah suci, keadaan yang membuat manusia kotor adalah dosa, dan itupun bila manusia itu sudah mencapai baligh dan mumayyiz (al-Muthafifin: 14). Ketiga, fitrah beral-akhla>q, ajaran Islam menyatakan secara tegas sekali bahwa Nabi Muhammad Saw diutus oleh Allah untuk menyempurnakan al-akhla>q. Allah juga menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam sebaik-baik kejadian (at-Ti>n [95]: 4) termasuk dalam kejadian adalah moralnya. Keempat, fitrah kebenaran, dalam Al-Qur‟a>n bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui kebenaran (al-Baqarah [2]: 26 dan 144). Kelima, fitrah kasih sayang, menurut Al- Qur‟a>n dalam diri manusia telah diberi fitrah kasih sayang (ar-Ru>m [30]: 21; al-Mumtahanah [60]: 7; al-Bala>d [90]: 17).39 Berdasarkan hal itu, maka ketika seorang mengatakan bahwa si “Fulan” adalah pebisnis yang beretika, maka si “Fulan” sedang merefleksikan sistem moral dan akhlak yang menuntun perilakunya. Dia berakhlak dan bermoral karena semua tingkah lakunya selalu bersadarkan pada norma agama dan nilai-nilai di dalam masyarakat. Sekaligus, ia beretika karena selalu memeriksa secara kritis dan sistematis semua tingkah dan tindakannya. Ia kemudian tidak bingung dalam menentukan arah berekonomi, karena memiliki pedoman hidup. Ia juga

Hija>zy, al-Fikru al-Tarbawy „Inda Ibnu Qayyi>m al-Jauzy (Beiru>t: Da>r al-Hafi>dz li- al-Nasyr wa al-Tauzi‟, 1998); Jalaluddin, Teologi Pendidikan (Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2001). 39Untuk jelasnya lihat Fazlur Rahman, “Law and Ethics in Islam”, dalam Ethics in Islam, Richard G. Hovanisian eds. (California: Undena Publications Malibu. 1985).

295 tidak mengalami kerancuan ketika memutuskan apa yang harus dilakukan dan apa yang wajib ditabukan dalam aktifitas ekonominya, karena etika akan menyelesaikan kerancuan diantara beragam norma dan nilai yang dihadapi. Memaknai etika tidak dapat lepas dari manusia dengan kehidupan sehari-harinya. Myrdal (Swedia),40 Myint (Burma/Myanmar),41 Sen (India),42 Sarkar (India),43 Hatta (Indonesia),44 al-Qarad}awi (Mesir),45 Chapra (Pakistan),46 Mannan (Islamabad),47 as}-S{ada>r (Irak),48 hampir berpendapat sama bahwa jika etika tidak ada dalam ilmu ekonomi, maka akan berdampak pada kemelaratan untuk mayoritas manusia, dan memperkaya sebagian kecil pemilik modal. Etika dalam ekonomi bagaimana membangun

40Gunnar Myrdal, the Political Element in the Development of Economic Theory (London: Routledge and Kegan Paul, Ltd, 2002). 41Deepak Lal dan H. Myint, the Political Economy of Poverty, Equity and Growth (London: Oxford Press, 1999). 42Amartya Kumar Sen, the Idea of Justice (Cambridge, Mass.: Belknap Press of Harvard University Press, 2009). 43Prabhat Ranjan Sarkar, Proutist Economics: Discourses on Economic Liberation (India: Ananda Marga Publications, 1991). 44Mohammad Hatta, “Pengembangan Pengusaha Kecil: Salah Satu Aspek Ekonomi Terpimpin“, Sambutan Tertulis pada Pelantikan Badan Pimpinan Daerah dan Cabang HIPKI Sumatera Barat di Padang, pada Tanggal 18 April 1979, dalam I. Wangsa Widjaja dan Meutia F. Swasono, Mohammad Hatta, Kumpulan Pidato II dari Tahun 1951 s.d 1979 (Jakarta: Inti Idayu Press, 1983). Lihat juga Mubyarto, Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1988). 45Yusuf Qarad}awi>, Dar al-Qiya>m wa al-Akhla>q fi> al- Iqtis}a>di al-Isla>mi (Beirut: Dar al-Furqa>n al-Nasr wa al-Tauzi‟, 1999). 46M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi (Surabaya: Risalah Gusti, 2000). 47Muhammad Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam (Jogjakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993). 48Muhammad Baqir As} S{ada>r, Iqtis}aduna (Buku Induk Ekonomi Islam), penerjemah Yudi (Jakarta: Zahra, 2008).

296 persamaan (equality) dan pemerataan (equity), mengedepankan kemanusiaan (humanity), serta mengemban nilai-nilai agama (religious values). Dalam dimensi etika mengenal dan menghormati kepentingan-kepentingan bersama, seperti societal welfare, public needs, public interests, solidarity, juga menghormati kepentingan- kepentingan individu seperti kebebasan, kebahagiaan, kejujuran, kebaikan, kebajikan, perasaan belas kasihan, dan sifat mementingkan orang lain. Dalam ekonomi sekuler masalah pilihan untuk melakukan kegiatan ekonomi dalam produksi, sirkulasi (distribusi), maupun konsumsi sangat tergantung pada masing-masing individu.49 Sedangkan, ekonomi Islam mengacu pada asumsi etis bahwa kesejahteraan sosial dapat dimaksimalkan, jika Sumber Daya Ekonomi dialokasikan sedemikian rupa, sehingga tidak seorangpun akan dinilai baik, jika menjadikan orang lain lebih buruk. Etika ekonomi Islam yang mendasari bidang produksi diantaranya adalah: (1) bahwa Allah menciptakan alam dan seisinya ini agar dimanfaatkan oleh manusia (Q.S. Ibra>hi>m [14]: 32-34); (2) bahwa Allah menjamin rejeki bagi orang yang bekerja (Q.S. al-Mulk [67]: 15); (3) bahwa

49Sistem ekonomi sekuler pun memiliki landasan filsafat etika. Tetapi dalam prakteknya seringkali pandangan etika ini dilupakan dan lebih memfokuskan kepada usaha mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya sehingga terjebak dalam kebebasan ekonomi yang dikendalikan pasar tanpa campur tangan pemerintah dan potensial menimbulkan monopoli. Pada sistem ekonomi sosialis dan komunis dimana sumber-sumber ekonomi dikendalikan sepenuhnya oleh negara bahkan kemudian membatasi kebebasan individu dalam berusaha dan meningkatkan taraf hidupnya. Lihat Fachrizal A Halim, Beragama dalam Belenggu Kapitalisme (Magelang: Indonesia Tera, 2002); Abdul Jalil, Teologi Buruh (Yogyakarta: LKiS 2008); Krishna Adityangga, Membumikan Ekonomi Islam: Diskursus Pengembangan Ekonomi Berbasis Syari'ah (Yogyakarta: Pilar Media, 2006).

297 bekerja dan kegiatan ekonomi adalah ibadah bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup, untuk kemas}lahatan keluarga, untuk kemas}lahatan masyarakat, untuk kemanfaatan seluruh makhluk hidup.50 Etika ekonomi Islam yang mendasari bidang distribusi, adalah: (1) larangan memperdagangkan barang- barang haram (Q. S al-Muthaffifin [83]: 2-3); (2) benar, menepati amanat dan jujur atau setia (Q.S. al-Mu‟min [40]: 8); (3) bersikap adil dan tidak melakukan riba (Q.S. al- Hu>d (11): 18 dan Q.S. al-Baqarah [2]: 279); (4) kasih sayang dan larangan terhadap monopoli (Q.S. al-Anbiya>‟ [21]: 107). (5) menumbuhkan toleransi, persaudaraan dan sedekah (Q.S. al-Baqarah [2]: 280); (6) orientasi keakhiratan dengan tidak lupa mengingat Allah (Q.S. al- Jumu‟ah [62]: 9-11) dan memiliki sikap dengan meluruskan niat, melaksanakan fard}u kifayah, memperhatikan pasar akhirat (Q.S. an-Nu>r [24]: 36-37 ), terus berzikir, tidak rakus, menghindari syubhat (Q.S. al-Baqarah [2]: 172) dan selalu melakukan introspeksi.51 Dalam konstruk bisnis dan usaha etika akan tercirikan dalam: (1) dimensi sosial berciri, antara lain melibatkan paling kurang dua pihak, demi tujuan tertentu, menguntungkan semua pihak. (2) dimensi ekonomi bercirikan profit oriented, efisiesi dalam proses, produktifitas, biaya produksi rendah, harga produk bersaing dan kualitas produk dan pelayan prima. (3) dimensi yuridis bercirikan pada dasar hukum, tidak memanfaatkan kelemahan hukum untuk kepentingan diri sendiri, tunduk kepada semua peraturan yang berlaku. (4) dimensi moral berciri nilai-nilai

50R Lukman Fauroni et.al., Etika Bisnis dalam Al-Qur'an (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006), 215. 51Lihat juga Samir Muhammad Naufal, Daur al-Aqi>dah fi> al- Iqtis}a>di al-Isla>mi (www.kotobarabiah.com, 2005), 18-27.

298 keadilan, kejujuran, kesetaraan antara hak dan kewajiban, serta dilaksanakan secara bertanggung jawab.52 Ekonomi Islam membangun etika berhubungan dengan aktifitas dan kerja manusia, dengan ketegasan bahwa bekerja bukan hanya mencari uang sebanyak- banyaknya dengan jalan apapun, namun juga diberikan suatu garis pemisah antara yang boleh dan yang tidak boleh dalam mencari perbekalan hidup, dengan menitikberatkan juga kepada mas}lahat. Dalam etika Islam juga ditegaskan bahwa Pertama, kemitraan itu harus dilakukan atas dasar saling rela antara kedua belah pihak. Tidak boleh bermanfaat untuk satu pihak dengan merugikan pihak lain. Kedua, tidak boleh saling merugikan baik untuk diri sendiri maupun orang lain, termasuk dalam kemitraan diperlukan sebuah komunikasi antara dua pihak, sebab sebagaimana dipahami bahwa kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah dan atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah dan atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.53 Etika yang didalamnya terdiri dari nilai keimanan, ketakwaan, ketaatan pada asas yang berarti bekerja mengacu pada landasan hukum, peraturan perundang- undangan, membentuk manajemen terbuka yang menghilangkan rasa curiga (su‟uz}on) bertemu dengan langkah kemitraan yang menemukan saling menghargai sikap, pandangan dan kritik, saling memahami kekurangan dan kelebihan, bertindak berdasarkan norma, serta saling

52L. Sinuor Yosephus, Etika Bisnis: Pendekatan Filsafat Moral terhadap Perilaku Pebisnis Kontemporer. 53Muhammad Najib Hamadi Jaw‟a>ni, D}awa>bit al-tija>rah fi> al-iq}tisa>d al-Isla>mi (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 2005).

299 menghormati. Nilai-nilai etika dan konsep dasar kemitraan tersebut menjadi seseorang dalam etos kerjanya selalu melakukan aktifitas dengan suka rela, sesuai dengan sasaran dan tujuan program yang dibuat. Mampu puncak dedikasi kerja yang diharapkan adalah optimal, artinya sungguh- sungguh tidak setengah tengah hati dan penuh rasa tanggung jawab.54 Kemitraan merupakan suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama, dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Kemitraan juga dipahami dengan suatu rangkaian proses yang dimulai dengan mengenal calon mitranya, mengetahui posisi keunggulan dan kelemahan usahanya, memulai membangun strategi, melaksanakan, memonitor, dan mengevaluasi sampai target tercapai. Hal ini melahirkan konsep supply chain management, yaitu jaringan perusahaan-perusahaan yang secara bersama-sama bekerja untuk menciptakan dan menghantarkan suatu produk ke tangan pemakai akhir.55

54Didin Hafiduddin, Islam Aflikatif (Jakarta: Gema Insani, 2004); Ketut Rindjin, Etika Bisnis dan Implementasinya (Jakarta: Gramedia, 2004); M. Dawam Rahardjo, Etika Ekonomi dan Manajemen (Jogjakarta: Tiara Wacana, 1990). 55Birgit Dam Jespersen, Supply Chain Management: in Theory and Practice (Copenhagen: Business School Press, 2005); John Tom Mentzer, Supply Chain Management (California: Sage Publ., 2001). Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM. Sebagai perbandingan lihat juga Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 1983, yang dimaksud dengan industri kecil yang layak untuk dibantu adalah semua industri yang memiliki investasi mesin dan peralatan yang nilainya tidak lebih dari Rp 70 juta,- dengan investasi per-tenaga kerja tidak lebih dari Rp 625.000,-, Sedangkan pengusaha ekonomi lemah adalah perorangan atau badan usaha yang mempunyai asset/activa setinggi-tingginya Rp 300 juta,- atau omzet maksimal Rp 300 juta.,- pertahun. Selain itu, dapat juga dilihat dari faktor lain. Diantaranya ditinjau dari jumlah tenaga kerja. Pada umumnya suatu industri kecil atau kerajinan rumah tangga mempunyai tenaga kerja

300

Selanjutnya, dalam kemitraan diperlukan relasional yang tidak bisa mengabaikan salah satu yang lainnya. Dalam usaha songket, kemitraan dilakukan saling berhubungan dengan nilai keadilan, berupa kesamaan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas usaha, dengan tidak mengorbankan hak-hak orang lain. Dimulai dari kemitraan dengan komunitas petani ulat sutra, selanjutnya ke komunitas petani yang menjadikan kapas. Dari komunitas tersebut ke wilayah pabrik pemintalan, sehingga menjadi berbagai benang yang didistribusikan ke pabrik tekstil dan ke pertenunan, termasuk tenun songket. Bisa juga komunikasi usaha saling menguntungkan antara pemasok benang-benang untuk tenun songket yang didatangkan dari Thailand, Bangkok, India dengan pengrajin dan perajin songket Palembang. Dari pertenunan, adanya kemitraan dengan semua struktur kerja hingga sampai ke produk menenun yang menghasilkan kain songket. Dari hasil tersebut dimasukkan dalam komunitas penjahit, komunitas desain sehingga melahirkan berbagai bentuk kain songket dan aksesoriesnya. Hasil tersebut kemudian diatur oleh kemunitas pengepakan, sebelum di lempar ke pasar.

1-4 orang bila mempunyai peralatan dan mesin, atau 1-9 orang jika tidak mempergunakan peralatan dan mesin. Sedangkan ciri-ciri umumnya adalah: lemah modal; peralatan produksi sederhana; pendidikan dan ketrampilan lemah; kemampuan organisasi dan manajemen rendah; cara produksi masih tradisional; hasil produksi berkualitas sedang; tidak mampu bersaing; ketergantungan kepada perusahaan dan pedagang besar; sulit mendapat kredit modal; persoalan bahan baku dan lainnya. Industri kecil terbagi dalam empat jenis yang meliputi: Pertama, industri kecil logam (kerajinan pembuatan kompor; pengecoran logam; pandai besi; pengolahan logam; alat-alat memasak; dll); Kedua, industri sandang dan kulit (pakaian jadi; tenun daerah; sepatu/sandal kulit; dll); dan Ketiga, industri kecil makanan dan minuman (pembuatan tahu/tempe; kerupuk/kemplang; minuman ringan; makanan khas daerah); industri kecil kerajinan rotan).

301

Relasional tersebut melibatkan banyak orang, dan lembaga. Karena itulah, kemudian diperlukan konsep yang sama dalam membangun kemitraan yang saling menguntungkan bukan saling menjatuhkan. Kemitraan yang berjalan tidak lepas pula dari struktur sosial budaya masyarakat. Perbedaan kebudayaan dan peradaban yang ada di masyarakat manusia pada dasarnya menyebabkan perbedaan pemahaman terhadap lingkungan. Pada masyarakat yang mempunyai peradaban lebih tinggi, kemungkinan mendominasi terhadap masyarakat lainnya akan terjadi, dan juga pendominasian terhadap pengelolaan lingkungan yang dapat berakibat pada termarjinalisasinya kelompok-kelompok manusia lainnya dengan peradaban yang berbeda. Untuk itu, pembangunan diarahkan pada segi kemanusiaan itu sendiri sebagai salah satu model pembangunan yang berkelanjutan, yaitu keberlanjutan pada kualitas manusia. Kemitraan dalam bangun sosial ekonomi dibentuk dalam sebuah kesepakatan. Kesepakatan akan selalu terjaga apabila dapat diatur berdasarkan perubahan yang terjadi, dan semua pelaku siap, dan mau melakukan perubahan. Salah satu contoh atas perubahan transaksi yang terkait dengan usaha pengembangan modal. Kemitraan yang baik adalah kemitraan yang berkeinginan sama. Pemiliki modal (bank/koperasi) memahami keinginan seseorang atas nama usaha untuk menambah pembiayaan usaha. Maka, pemiliki modal mencari solusi konstruktif untuk dapat melayani keinginan mitranya dengan membangun prinsip bagi hasil sesuai dengan syari‟at Islam. Dengan demikian, kemitraan akan berjalan kesepakatan bersama. Dari sisi ini timbul semangat untuk meningkatkan keuntungan bersama dengan komitmen dan loyalitas. Jika terjadi pailit, maka keduanya memiliki pertanggungjawaban yang sama (loss sharring) untuk menyelesaikan persoalan kepailitan tersebut.

302

Kemitraan berdasarkan kebersamaan, kekeluargaan dan semangat kerjasama dapat terjalin.56 Kemitraan antara pengrajin-perajin dalam unit usaha songket dan penguasa merupakan kerjasama yang terbuka dan saling mendukung. Kerjasama antara pengusaha dan pengusaha merupaka inti etika bisnis. Dalam prakteknya, perusahaan besar (BUMN) membantu pengusaha kecil untuk membagi keuntungan secara efisiensi berkeadilan, bukan karena kerangka belas kasihan. Manfaat yang dapat diperoleh bagi pengrajin-perajin dan pemerintah melalui BUMN untuk kemitraan diantaranya, adalah: (1) meningkatnya produktivitas; (2) memberdayakan penenun; (3) menambah tenaga kerja pada sektor produksi dan distribusi usaha songket; (4) meningkatkan jaminan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas tenunan songket; (5) memberikan social benefit yang cukup tinggi; dan (6) meningkatkan ketahanan ekonomi secara nasional. Kemanfaatan kemitraan yang memiliki nilai etika dapat ditinjau dari 3 (tiga) sudut pandang. Pertama, dari sudut pandang ekonomi, kemitraan usaha menuntut menguatnya nilai-nilai efisiensi berkeadilan, produktivitas, peningkatan kualitas produk, menekan biaya produksi, mencegah fluktuasi suplai, menekan biaya penelitian dan pengembangan, dan meningkatkan daya saing. Kedua, dari sudut moral, kemitraan usaha menunjukkan upaya kebersamaan dam kesetaraan. Ketiga, dari sudut pandang soial-politik, kemitraan usaha dapat mencegah kesenjangan sosial, kecemburuan sosial, dan gejolah sosial-politik.

56Lihat juga Achjar Iljas, Reformasi Sistem Pembiayaan Usaha Kecil (Jakarta: Global Mahardika, 2004); Darwin, Model-Model Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (Jakarta: Pusat Penelitian Ekonomi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2003).

303

Kemanfaatan ini dapat dicapai sepanjang kemitraan yang dilakukan didasarkan pada prinsip saling memperkuat, memerlukan, dan menguntungkan. Keberhasilan kemitraan usaha sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan di antara yang bermitra dalam menjalankan etika bisnisnya. Pelaku-pelaku yang terlibat langsung dalam kemitraan harus memiliki dasar-dasar etika bisnis yang dipahami, dan dianut bersama sebagai titik tolak dalam menjalankan kemitraan. Sebab, etika adalah sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan, dan terwujud dalam sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok. Dengan demikian, keberhasilan kemitraan usaha tergantung pada adanya kesamaan nilai, norma, sikap, dan perilaku dari para pelaku yang menjalankan kemitraan tersebut. Kegagalan kemitraan pada umumnya disebabkan oleh fondasi dari kemitraan yang kurang kuat dan hanya didasari oleh belas kasihan semata atau atas dasar paksaan pihak lain, bukan atas kebutuhan untuk maju dan berkembang bersama dari pihak-pihak yang bermitra. Kalau kemitraan tidak didasari oleh etika bisnis (nilai, moral, sikap, dan perilaku) yang baik, maka dapat menyebabkan kemitraan tersebut tidak dapat berjalan dengan baik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa berjalan tidaknya kemitraan usaha, dalam hal ini antara usaha kecil dan usaha besar tergantung pada kesetaraan nilai-nilai, moral, sikap, dan perilaku dari para pelaku kemitraan. Atau dengan perkataan lain, keberhasilan kemitraan usaha tergantung pada adanya kesetaran budaya organisasi. Sustainabilitas sebuah kemitraan hanya akan terjadi apabila sejumlah faktor kunci diperhatikan, yaitu: (1) kepercayaan dan kesungguhan untuk berhasil yang tinggi di antara mereka yang bermitra (trust, faith, and passion); (2)

304 ekseskusi yang konsisten dan kontinyu, dalam arti kata tidak mudah menyerah atau mudah mengganti-ganti pendekatan setiap menemukan berbagai kendala teknis; (3) secara periodik melakukan proses ”plan-do-check” terhadap manfaat aliansi ditinjau dari kacamata masing-masing organisasi yang bermitra secara transparan, tidak perlu ditutup-tutupi terhadap berbagai kekecewaan yang timbul (tentu saja untuk dikomunikasikan dan dicari jalan keluarnya); (3) selalu melakukan; dan (4) proses penyelenggaraan kemitraan yang menjunjung nilai-nilai profesional dan etika yang tinggi.57 Daya saing kemitraan akan dihasilkan oleh produktivitas dan efisiensi. Sebab, produktifitas tidak bisa lepas dari unsur pokoknya yaitu Sumber Daya Manusia (SDM) dan teknologi. Efisiensi menyangkut aspek kelembagaan ekonomi, terutama bekerjanya mekanisme pasar secara efektif dan sedikitnya hambatan dalam transaksi. Ekonomi yang mandiri, dipahami sebagai ketidaktergantungan kepada pihak lain (dependency). Ketidaktergantungan tidak berarti keterisolasian, dan tidak berarti tidak mengenal adanya saling ketergantungan (interdependency). Oleh karena tidak semua negara memiliki potensi atau endowment yang sama, maka ada kebutuhan untuk saling mengisi, dan kebutuhan ini menciptakan perdagangan, dan dengan demikian mengakibatkan adanya lembaga yang disebut pasar.58

57Lihat juga Richardus Eko Indrajit, Ragam Model Bisnis Kemitraan Pemerintah Swasta: Kunci Sukses Pengembangan E- Government di Indonesia. Di akses dari [email protected], Tanggal 7 November 2010. 58David Barsamian dan Siok Lian Liem, Menembus Batas Beyond Boundaries: Damai untuk Semesta (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008). Lihat juga Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islami (Jakarta: Salemba Empat, 2002).

305

Tidak ada negara di dunia yang tidak membutuhkan perdagangan, baik barang maupun jasa, karena saling ketergantungan adalah wajar, dan bahkan mencerminkan kehidupan perekonomian yang modern. Teknologi telah membuat konsep keunggulan komparatif menjadi makin relative, sehingga lahir konsep keunggulan kompetitif. Saling ketergantungan dengan kemitraan adalah kesadaran bahwa setiap jalur menuju produktifitas saling berhubungan. Ketergantungan yang tidak dibenarkan adalah ketergantungan pada satu hal (bahan baku, misalnya) yang menyebabkan pihak yang dibutuhkan melakukan penjualan dengan mendapatkan keuntungan sekehendaknya.59 Penggambaran relasional dan hubungannya dengan aktifitas kerajinan songket Palembang dengan siklus kemitraan sebagai berikut: Pertama, persutraan alam yaitu kegiatan agro- industri yang meliputi pembibitan ulat sutera, tanaman Murbei sebagai pakan ulat sutera, pemeliharaan ulat sutera. Kedua, hasil dari ulat sutra kemudian diolah dalam pabrik pemintalan untuk diolah menjadi benang, selanjutnya dikemas untuk di pasarkan. Ketiga, pabrik benang kemudian mendistribusikan ke kelompok tekstil dan kelompok penenun, termasuk penenun songket Palembang. Ketiga proses tersebut memerlukan tenaga kerja yang tidak sedikit.60 Keempat, aktifitas kerajinan songket memerlukan tenaga kerja kasar dan trampil sejak dari penggulungan

59Wahyupuspitowati, Teknik Dasar Sulam Pita, Payet dan Benang (Jakarta: Kawan Pustaka, 2008); lihat juga M T Zen et.al., Dialog Teknologi dan Industri: Pemacuan Teknologi Menuju Terbentuknya Industri Nasional yang Kuat dan Berdaya Saing Tinggi (Jakarta: Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 1995). 60Sebagai contoh lihat Eka Chandra, Membangun Forum Warga: Implementasi Gagasan Partisipasi dan Penguatan Masyarakat Sipil di Kabupaten Bandung (Bandung: Akatiga, 2003).

306 benang, pemintalan, mempola desain, mendisain, menjahit, mengepakkan. Kelima, dipasarkan dengan berbagai model distribusi sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Keenam, pengembangan tersebut berhubungan dengan lembaga keuangan, BUMN/BUMD, koperasi dan asosiasi. Terjadi struktur kerja yang profesional dan proporsional akan terjalin baik jika adanya kesetaraan, kesepakatan, penyesuaian dengan kinerja dan budaya masing-masing, komitmen dan loyalitas pada masing-masing kelompok. Pemerintah menjadi fasilitator, mediator sekaligus evaluator terhadap aktifitas ekonomi tersebut. Inilah kekuatan implementasi nilai-nilai filosofis efisiensi berkeadilan yang terbangun. Aktifitas yang terfokus pada efisiensi saja, dengan memunculkan para pemasok yang dengan modal besar dan jaringannya mampu mengimpor benang ke negara-negara lain untuk kemudian di jual kepada pengrajin dan perajin songket dengan harga tanpa kontrol pemerintah. Kemudian muncul pula, kelompok “pengumpul” yang berorientasi kepada keuntungan pribadi dengan memanfaatkan ekonomi dan kebutuhan penenun. Padahal, jika dinilai bahwa secara umum pola kemitraan di Indonesia antara Usaha Kecil dan Menengah dengan Usaha Besar di Indonesia yang telah dibakukan, menurut UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil dan PP No. 44 Tahun 1997 tentang kemitraan. Dalam pasal 5 disebutkan bahwa dalam kegiatan perdagangan pada umumnya, kemitraan antara Usaha Besar, dan atau Usaha Menengah dengan Usaha Kecil dapat berlangsung dalam bentuk kerjasama pemasaran, penyediaan lokasi usaha, atau penerimaan pasokan dari Usaha Kecil mitra usahanya untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh Usaha Besar dan atau Usaha Menengah yang bersangkutan. Manfaat yang dapat diperoleh bagi UKM dan UB yang melakukan kemitraan diantaranya, adalah: (1)

307 meningkatkatnya produktivitas; (2) efisiensi; (3) jaminan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas; (4) menurunkan resiko kerugian; (5) memberikan social benefit yang cukup tinggi; dan (6) meningkatkan ketahanan ekonomi secara nasional.61 Kemanfaatan kemitraan dapat ditinjau dari 3 (tiga) sudut pandang. Pertama, dari sudut pandang ekonomi, kemitraan usaha menuntut efisiensi, produktivitas, peningkatan kualitas produk, menekan biaya produksi, mencegah fluktuasi suplai, menekan biaya penelitian dan pengembangan, dan meningkatkan daya saing. Kedua, dari sudut moral, kemitraan usaha menunjukkan upaya kebersamaan dam kesetaraan. Ketiga, dari sudut pandang soial-politik, kemitraan usaha dapat mencegah kesenjangan sosial, kecemburuan sosial, dan gejola sosial-politik. Kemanfaatan ini dapat dicapai sepanjang kemitraan yang dilakukan didasarkan pada prinsip saling memperkuat, memerlukan, dan menguntungkan. Keberhasilan kemitraan usaha sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan di antara yang bermitra dalam menjalankan etika bisnisnya. Pelaku-pelaku yang terlibat langsung dalam kemitraan harus memiliki dasar-dasar etika bisnis yang dipahami dan dianut bersama sebagai titik tolak dalam menjalankan kemitraan. Dalam etika, akan memunculkan sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan, dan terwujud dalam sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik sebagai pribadi maupun

61Informasi tentang peraturan kemitraan dapat lihat Tanri Abeng dan Faisal Siagian, Reformasi BUMN dalam Perspektif Krisis Ekonomi Makro (Jakarta: Pusat Reformasi dan Pengembangan BUMN, 1999); Masalah-Masalah di Seputar Usaha Kecil Indonesia (Jakarta: Kerjasama Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, Kamar Dagang dan Industri Indonesia, the Asia Foundation, 1998); Sejarah perkreditan di Indonesia lihat Tim Pustaka Binaman Pressindo, Informasi Kredit Usaha Kecil (Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1997).

308 sebagai kelompok. Dengan demikian, keberhasilan kemitraan usaha tergantung pada adanya kesamaan nilai, norma, sikap, dan perilaku dari para pelaku yang menjalankan kemitraan tersebut. Esensi kemitraan jika ditinjau dari sudut pandang tujuan perlindungan usaha adalah agar kesempatan usaha yang ada dapat dimanfaatkan pula oleh yang tidak mempunyai modal keuangan, tetapi punya keahlian untuk memupuk jiwa wirausaha. Pada dasarnya, kemitraan secara alamiah akan mencapai tujuannya jika kaidah saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan dapat dipertahankan dan dijadikan komitmen dasar yang kuat di antara para pelaku kemitraan. Implementasi kemitraan yang berhasil harus bertumpu kepada persaingan sehat dan mencegah terjadinya penyalahgunaan posisi dominan dalam persekutuan usaha. Disamping itu, ada banyak prasyarat dalam melakukan kemitraan usaha, diantaranya adalah harus adanya komitmen yang kuat diantara pihak-pihak yang bermitra. Kemitraan usaha memerlukan adanya kesiapan yang akan bermitra, terutama pada pihak UKM yang umumnya tingkat manajemen usaha dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang rendah, agar mampu berperan seabagai mitra yang handal. Pembenahan manajemen, peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia, dan pemantapan organisasi usaha mutlak harus diserasikan dan diselaraskan, sehingga kemitraan usaha dapat dijalankan memenuhi kaidah-kaidah yang semestinya. Kegagalan kemitraan pada umumnya disebabkan oleh fondasi dari kemitraan yang kurang kuat, dan hanya didasari oleh belas kasihan semata atau atas dasar paksaan pihak lain, bukan atas kebutuhan untuk maju dan berkembang bersama dari pihak-pihak yang bermitra. Kalau kemitraan tidak didasari oleh etika bisnis (nilai, moral, sikap, dan perilaku) yang baik, maka dapat menyebabkan

309 kemitraan tersebut tidak dapat berjalan dengan baik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa berjalan tidaknya kemitraan usaha, dalam hal ini antara usaha kecl dan usaha besar, tergantung pada kesetaraan nilai-nilai, moral, sikap, dan perilaku dari para pelaku kemitraan. Atau dengan perkataan lain, keberhasilan kemitraan usaha tergantung pada adanya kesetaran budaya organisasi.62 Problem kemitraan yang dihadapi adalah modal untuk investasi dan modal untuk kerja. Karena jangkauan pasar yang masih terbatas, teknologi dan ketrampilan turun

62Usaha mikro dan Usaha Kecil Menengah (UKM) yang menguasai 99,99% dan mampu menyerap lebih dari 99% angkatan kerja menjadi salah satu program penguatan perekonomian di Indonesia dan mampu memberikan kontribusi yang besar juga dalam ekspor dan Produk Domestik Bruto (PDB). Namun saat ini mereka masih menyumbang tidak lebih dari 20% dalam ekspor dan 59.36% dalam PDB. Peran UMKM dalam perekonomian nasional sampai tahun 2009 dari sumber Menko Ekuin dengan jumlah pelaku UMK 51.3 juta unit usaha dengan perbandingan usaha besar 4.372 unit; usaha menengah 39.65 ribu unit; usaha kecil 520 ribu unit; dan usaha mikro 50.69 juta unit dengan total penyerapan tenaga kerja UMK sebanyak 90.9 juta pekerja. Lihat M. Faisal Badroen, ”Pengembangan Pusat Kewirausahaan Mahasiswa pada Perguruan Tinggi”, Makalah Workshop Asosiasi Dosen Indonesia, 2010, 2. Di beberapa negara di dunia, Aktifitas UKM sangat mendukung perekonomian masyarakat negara tersebut. Amerika Serikat, Italia, Jepang, dan Taiwan memberikan forsi peran UKM-nya sudah melebihi peran Usaha Besar. Dalam ekspor, misalnya sudah lebih dari 55% merupakan kontribusi UKM di negara-negara tersebut. Bahkan di Italia, peran UKM dalam ekspor sudah mencapai lebih dari 75%. Lihat Tulus Tambunan, Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia: Beberapa Isu Penting (Jakarta: Salemba Empat, 2002); Bambang N Rachmadi et.al, Franchising, the Most Practical and Excellent Way for Succeeding: Membedah Tawaran Franchise Lokal Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007); David Barsamian dan Siok Lian Liem, Beyond Boundaries (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008). Peran UMKM dalam perekonomian nasional sampai tahun 2009 dari sumber Menko Ekuin.

310 temurun, dan manajemen usaha yang belum efisien, maka resiko kegagalannya cukup tinggi. Tingginya resiko gagal menyebabkan resiko investasinya juga besar. Tingginya resiko investasi dan rendahnya pemilikan collateral, menyebabkan lembaga keuangan bank kurang berminat memberi pinjaman kepada UKM. Jumlah dana yang diberikan bank kepada UKM jauh di bawah tingkat permintaan UKM. Kekurangan pasokan ini selanjutnya diisi oleh lembaga kredit non bank, seperti pengijon, dengan tingkat bunga jauh di atas tingkat bunga pasar. Upaya tersebut tidak lepas dari persaingan dalam dunia usaha yang merupakan syarat mutlak bagi terselenggaranya ekonomi pasar. Persaingan dapat dibedakan atas persaingan sehat (fair competition), dan persaingan tidak sehat (unfair competition). Persaingan usaha yang tidak sehat pada akhirnya akan mematikan persaingan, dan dapat menimbulkan monopoli. Monopolitik dibidang ekonomi ini sangat berbahaya dan merugikan kepentingan umum apabila diciptakan dan didukung oleh pemerintah, karena mematikan jalannya mekanisme pasar yang sehat dan kompetitif, yang pada akhirnya akan dapat melumpuhkan sistem politik yang demokratis.63 Intervensi pemerintah, melalui dana bantuan langsung ke masyarakat, seperti dalam Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Inpres Desa Tertinggal (IDT), dan program sejenis, ternyata kurang efektif dan kurang efisien. Kelembagaan keuangan mikro (micro finance) yang terbentuk dari program-program dimaksud, tingkat keberlanjutannya rendah, dan hampir tidak mampu memecahkan permasalahan tingkat suku bunga yang tinggi.

63Editorial, “Membudayakan Persaingan Sehat”, Jurnal Hukum Bisnis, Yayasan Penggembangan Hukum Bisnis, vol. 19, Mei-Juni, Jakarta, 2002.

311

Selain itu juga banyak menimbulkan ketergantungan kepada pemerintah dan membutuhkan biaya delivery yang tinggi. Dari permintaan kredit yang cukup besar dari lembaga keuangan non bank, walaupun dengan tingkat bunga di atas bunga pasar, membuktikan bahwa yang dibutuhkan unit produksi rakyat sebenarnya bukan subsidi bunga dan bukan dana block grant, tetapi akses untuk mendapatkan bantuan pengembangan produksi dan distribusi. Dalam amanat etis bisnis di Indonesia diterapkan berdasarkan pasal 33 UUD 1945. Pada bab XIV ditegaskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Dari perspektif ini, maka pasar bertujuan untuk menggembangkan mekanisme ekonomi pasar terkendali yang diabdikan bagi kesejahteraan masyarakat. Kemudian mendorong inisiatif swasta dalam kegiatan ekonomi dengan tetap memelihara keseimbangan kepentingan swasta, dan kepentingan sosial dalam manajemen perekonomian melalui instrument pengendali, sebagai bentuk dari intervensi pemerintah untuk mempertahankan persaingan sehat dan wajar.64 Kejahatan bisnis yang dilakukan oleh para pelaku usaha yang merugikan para pelaku usaha yang lain, dapat menimbulkan konflik yang tidak kondusif bagi pembangunan ekonomi negara. Penerapan aturan hukum tegas merupakan salah

64Syamsul Ma‟arif, “Tantangan Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis, Yayasan Penggembangan Hukum Bisnis, vol. 19, Mei-Juni, Jakarta, 2002.

312 satu upaya untuk mencegah bentuk-bentuk kejahatan bisnis tersebut, diantaranya dengan melahirkan UU Anti Monopoli. Dalam undang-undang nomor 5 tahun 1999, monopoli didefinisikan sebagai suatu bentuk penguasaan atas produksi, dan atau pemasaran barang, dan atau penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok usaha. Dalam prakteknya, membentuk pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya alat-alat produksi oleh seseorang atau sekelompok kecil orang saja. Upaya meminimalisir praktek tersebut dilakukan dan dikembangkan lewat koperasi dan kemudian baitul ma>l wa tamwi>l65. Etika nilai yang dikembangkan kedua lembaga non perbankan berdasarkan kebersamaan dan kepedulian terhadap orang lain,66 disamping adanya upaya pembagian keuntungan seimbang dengan tidak membeda-

65Baitul ma>l wa tanwi>l adalah balai usaha mandiri terpadu yaitu lembaga usaha ekonomi kerakyatan yang dapat dan mampu melayani nasabah usaha kecil-bawah berdasarkan sistem bagi hasil, dan jual beli dengan memanfaatkan potensi jaminan dalam lingkungannya sendiri. Peristilahan tersebut diambil dari konsep dasar baitul ma>l dan baitu tanwi>l. Kegiatan baitu al-tamwi>l mengutamakan pengembangan kegiatan kegiatan investasi dan produktif dengan sasaran ekonomi yang dalam pelaksanaannya saling mendukung untuk pembangunan usaha- usaha kesejahtraan masyarakat. Sedangkan baitu al-ma>l mengutamakan kegiatan kesejahtraan bersifat nirlaba yang diharapkan mampu mengakumulasi dana zakat, infaq, sadaqah yang pada gilirannya berfungsi mendukung kemungkinan resiko yang terjadi dalam kegiatan ekonomi pengusaha kecil-bawah itu. Lihat Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2004); Didin Hafiduddin, Dakwah Aktual (Jakarta: Gema Insani Press, 1981). 66Revrisond Baswir, Koperasi Indonesia (Jogjakarta: BPEF, 2000), 37; lihat juga Tiktik Sartika Partomo, Ekonomi Koperasi (Jogjakarta: BPEF, 2008).

313 bedakan aliran dan agama anggota.67 Etika ekonomi koperasi, yaitu melayani tetapi sekaligus melindungi kepentingan umum. Karena itu, nilai etika kemitraan yang didasarkan pada hal tersebut dapat terbangun bersama-sama untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara maksimal (sebesar-besar kemakmuran rakyat) antara pemerintah, lembaga dan masyarakat. Konsep etika ekonomi Pancasila oleh Mubyarto dalam bukunya Sistem dan Moral Ekonomi Pancasila dicirikan, sebagai berikut: (1) roda perekonomian digerak- kan oleh rangsangan ekonomi, moral dan sosial; (2) ada kehendak kuat dari seluruh anggota masyarakat untuk mewujudkan keadaan kemerataan sosial ekonomi; (3)prioritas kebijaksanaan ekonomi adalah pengembangan ekonomi nasional yang kuat dan tangguh, yang berarti nasionalisme selalu menjiwai setiap kebijaksanaan ekonomi; (4) koperasi merupakan soko guru perekonomian nasional; (5) adanya imbangan yang jelas dan tegas antara sentralisme dan desentralisme kebijaksanaan ekonomi untuk menjamin keadilan ekonomi dan keadilan sosial dengan sekaligus menjaga efisiensi dan pertumbuhan ekonomi. Artinya, etika kemitraan dalam wilayah koperasi yang mengusahakan modal bersama untuk suatu usaha perdagangan atau jasa yang dikelola bersama, dan hasil keuntungan dibagi bersama. Dalam pasal tersebut tersimpul dasar ekonomi yang teratur, yang mengacu pada dasar perekonomian rakyat

67Prinsip-prinsip koperasi yang pertama kali dikenal dan dirintis oleh Koperasi Rochdale tahun 1844. Lihat Tiktik Sartika Partomo, Ekonomi Koperasi (Jogjakarta: BPEF, 2008). Catatan Revrisond Baswir, masih ditambah lagi dengan 3 (tiga) unsur, yaitu: (1) pembatasan bunga atas modal; (2) keanggotaan bersifat sukarela; dan (3) semua anggota menyumbang dalam permodalan. Lihat Revrisond Baswir, Koperasi Indonesia (Jogjakarta: BPEF, 2000).

314 dengan usaha bersama yang dikerjakan secara kekeluargaan. Usaha bersama berdasar asas kekeluargaan itu dikenal dengan koperasi. Paham koperasi Indonesia menciptakan masyarakat Indonesia yang kolektif, berakar pada adat-istiadat masyarakat Indonesia yang asli. Semangat kolektivisme Indonesia yang dihidupkan dengan koperasi mengutamakan kerjasama dalam suasana kekeluargaan antara manusia pribadi, bebas dari penindasan, intimidasi, dan paksaan. Paham koperasi menghargai pribadi manusia sebagai makhluk Allah yang bertanggung jawab atas keselamatan keluarganya dan masyarakat. Syarat mutlak berjalannya sistem ekonomi nasional yang berkeadilan sosial adalah berdaulat di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya. Moral pembangunan yang mendasari paradigma pembangunan yang berkeadilan sosial mencakup: (1) peningkatan partisipasi dan emansipasi rakyat baik laki-laki maupun perempuan dengan otonomi daerah yang penuh dan bertanggung jawab; (2) penyegaran nasionalisme ekonomi melawan segala bentuk ketidakadilan sistem dan kebijakan ekonomi; (3) pendekatan pembangunan berkelanjutan yang multidisipliner dan multikultural; (4) pencegahan kecenderungan disintegrasi sosial; (5) penghormatan Hak- Hak Asasi Manusia (HAM) dan masyarakat.68 Koperasi pada hakekatnya merupakan gerakan ekonomi rakyat, yang lahir dari kultur ekonomi masyarakat. Kultur yang terbangun secara alamiah

68Lihat juga Kamto Utomo, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat dalam Kancah Globalisasi (Bogor: Yayasan Agro-Ekonomika, Sains, 2005); A Ariobimo Nusantara dan R Masri Sareb Putra, Keadilan dalam Masyarakat: Kajian dan Renungan Sosial bagi Komunitas Basis (Jogjakarta: Kanisius, 2007), 32-33; Maria S Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Jakarta: Kompas, 2008).

315 melalui nilai-nilai budaya seperti gotong royong, menampilkan adanya tolong menolong (mutual aid), dan kebersamaan di dalam kerjasama kolektif untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Gotong royong yang semula bersifat tradisional lahir dari adat kebiasaan, dikembangkan menjadi bentuk kerjasama yang lebih permanen dan memenuhi kebutuhan modern, yaitu koperasi. Hanya melalui koperasi semangat gotong royong dapat dilembagakan.69 Pengembangan koperasi dalam konsep ekonomi global, bukan merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Koperasi tidak boleh anti pasar, justru dengan prinsip nilai-nilai ekonomi "etis"nya, koperasi bisa menciptakan kondisi pasar yang berkeadilan, dan bahkan populis (market friendly). Nilai-nilai etis yang dimiliki koperasi berpotensi untuk meminimalisir biaya-biaya ekonomi yang berkembang akibat ketidak-jujuran, kecurangan, penipuan, diskriminasi, egoistik dan sikap tidak bertanggung jawab. Dengan demikian, memunculkan bahwa masyarakat adalah makhluk sosial, hidup berjamaah. Masyarakatlah yang utama dan individu orang-orang mengikuti kaedah sosial.70 Kemitraan yang dibangun berdasarkan konsep koperasi sangat mempertimbangkan proyeksi usaha, yang merupakan gambaran masa mendatang sehubungan dengan adanya penambahan modal kerja. Dari hasil perhitungan akan kebutuhan modal kerja itu, dapat diproyeksikan biaya yang akan timbul dan profit margin yang diharapkan. Untuk modal kerja yang dibutuhkan dalam rangka investasi

69Lihat Murbyarto, Ekonomi dan Sistem Ekonomi Menurut Pancasila dan UUD 1945 (Bandung: Rosda Karya); lihat juga Sri-Edi Swasono, Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial (Jakarta: Prakarsa, 2006). 70Lebih luas lihat Sri-Edi Swasono, Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial.

316

(misalnya, pembelian mesin, pembangunan gedung, atau pembelian mobil), maka harus melakukan perhitungan dan perincian secara cermat atas investasi yang diperlukan. Misalnya, jenis barang yang akan dibeli, dibangun atau direhabilitasi, jumlah harga yang akan dibayar yang didasarkan atas surat penawaran dari pihak ketiga, mengecek kembali kebenaran data yang diterima, dan membuat cash flow (rencana perputaran kas). Hal tersebut mutlak diperlukan, karena pendekatan itu merupakan cara yang cocok, baik dalam penetapan jadwal pencairan modal kerja maupun mengukur jangka waktu pemakaian dan pelunasan pinjaman jika modal kerja itu diperoleh dari pinjaman. Dalam menghitung modal kerja, dilarang untuk di-mark up dengan harapan mendapat pinjaman besar. Pengrajin/perajin songket dalam menjalankan usaha memerlukan 3 jenis modal yang dikeluarkan, yaitu: Pertama, modal investasi awal yaitu jenis modal yang harus dikeluarkan di awal, dan biasanya dipakai untuk jangka panjang. Contoh-contoh modal ini adalah tempat menenun, tempat menyimpan dan mengatur peralatan alat-alat tenunan, perabotan-perabotan sekunder yang dipakai untuk jangka panjang. Kedua, modal kerja dalam bentuk alat-alat menenun seperti gedongan berlungsi, Cacak, merupakan tumpuan untuk meletakkan dayan. Terdiri dari dua buah tiang yang berukir ataupun polosan; Dayan, berupa sekeping papan tempat penggulung benang lungsing (benang emasnya); Apit, tempat menggulung benang; Lampaut/por, penahan yang digunakan untuk menahan benang lungsing dan diletakkan dipunggung penenun.71

71Data alat-alat tenunan dapat dilihat Ade Riyanti, “Makna Simbolis Kain Songket sebagai Simbol Status Sosial di Kelurahan Serengam 32 ilir Kecamatan ilir Barat Kota Palembang Provinsi Sumatera Selatan” (Semarang: Universitas Negeri Semarang, 2005); lihat

317

Ketiga, modal operasional, yakni modal yang harus dikeluarkan para pengrajin/perajin songket untuk membayar biaya operasi bulanan seperti pembayaran gaji pegawai, pulsa telepon bulanan, PLN, air, bahkan retribusi. Dengan kejelasan modal-modal tersebut akan memberikan kepercayaan, sehingga jalinan kemitraan makin berjalan dengan profesional dan proporsional. Etika kemitraan yang juga perlu menjadi dasar kerja adalah kejujuran dalam menghitung harga jual. Hal ini sangat berhubungan dengan kebersamaan dalam penjualan. Terjadinya harga yang melonjak disebabkan para pengusaha kecil, termasuk pengusaha songket tidak memisahkan antara biaya dagangan dan biaya rumah tangga. Kegagalan bukan hanya karena masalah pasar dan pemodalan namun, justru pada pola pikir, sikap dan pola tindak para pelaku usaha itu sendiri. Dalam kasus itu, kelemahan bukan terletak pada pasar dan suplai barang, tetapi lebih terkonsentrasi pada pola perhitungan biaya dan pembagian arus kas yang masih lemah. Penghitungan nilai jual yang dapat menguatkan kemitraan yang saling menguntungkan dapat dilakukan dengan cara: Pertama, kejujuran dalam menentukan biaya sesuai dengan akad yang digunakan, sekaligus semua jaringan kemitraan dalam distribusi demikian membutuhkan kepekaan terhadap dinamika pasar, disamping dibutuhkan efisiensi dan konsistensi untuk terus membentuk jaringan pasar. Dengan adanya laba maka perlu pencatatan, juga Reimar Schefold et.al., Indonesian Houses (Singapore: Singapore University Press, 2004); Dahlan, Sejarah ringkas Museum Sumatera Selatan (Palembang: Proyek Pengembangan Permuseuman Sumatera Selatan, 1984); lihat juga Yudhi Syarofie, “Songket Palembang: Nilai Filosofis, Jejak Sejarah, dan Tradisi,” (Palembang: Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, Kegiatan Pengelolaan Kelestarian dan Pembinaan Nilai Budaya Sumatera Selatan, 2007).

318 pengelompokkan, dan pengikhtisaran dengan cara sistematis dan dalam ukuran moneter atas transaksi dan kejadian yang bersifat keuangan dan menjelaskan hasilnya72. Dalam menguatkan hal tersebut, diperlukan juga peran pemerintah untuk menguatkan nilai etika kemitraan para usahawan diantaranya dengan memberikan payung hukum yang tegas terhadap pola kemitraan. Kemitraan sebagai kerjasama usaha yang telah dipilih oleh pemerintah untuk dijadikan pola untuk memberdayakan usaha kecil, melibatkan beberapa pihak, yakni: Pertama, pemrakarsa, para pemrakarsa adalah pengusaha besar baik swasta maupun BUMN yang bersedia menjalin kemitraan dengan pengusaha kecil. Kedua, mitra usaha yaitu pengusaha kecil termasuk koperasi dapat dipertimbangkan menjadi peserta dalam kemitraan usaha nasional dengan mempertimbangkan antara lain, yaitu: (a) kesediaan menjalin kemitraan dengan pengusaha besar, (b) mempunyai kinerja yang baik. Ketiga, pemerintah. Pemerintah berperan dalam koordinasi, fasililitasi, dan pengawasan bagi kemitraan usaha nasional.73 Dalam koordinasi dilakukan oleh unsur instansi pemerintah tetapi juga meliputi dunia usaha, perguruan tinggi dan tokoh masyarakat sebagaimana ketentuan dalam Pasal

72Untuk penjelasan lebih luas terhadap akuntansi lihat Sofyan Syafri Harahap, Teori Akuntansi (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2003); Iwan Triyuwono, Organisasi dan Akuntansi Syari'ah (Yogjakarta, LKiS, 2000). Lihat juga Cecily A. Raibon, Core Concepts of Accounting (New York: Wiley), 2010; W. Steve Albrecht, Accounting, Concepts and Applications (Ohio: Thomson/South-Western, 2007); Rika Lidyah, “Akuntansi Syari‟ah Sebagai Bentuk Transparansi dan Akuntabilitas”, Jurnal Ekonomi Islam, IAIN Raden Fatah Palembang, vol. 1/2010. 73Herman Haeruman dan Eriyanto, Kemitraan dalam Pengembangan Ekonomi Lokal: Bunga Rampai (Jakarta: Yayasan Mitra Pembangunan Desa-Kota, 2001).

319

26 Peraturan Pemerintah Nomor. 44 Tahun 1997. Selanjutnya, di dalam melakukan koordinasi ruang lingkupnya meliputi kegiatan dalam hal penyusunan kebijakan dan program pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, serta pengendalian umum terhadap pelaksanaan kemitraan usaha nasional (Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor. 44 Tahun 1997 ). Aspek fasilitasi dari pemerintah hendaknya dilaksanakan semaksimal mungkin, terutama dalam mengupayakan penyediaan dan pemberian fasilitas baik modal, teknologi dan jaringan pasar dalam dan luar negeri, sehingga masyarakat dapat menikmati dan menggunakan peluang yang sama. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi ketimpangan sosial di dalam masyarakat, karena ada sekelompok kecil masyarakat yang sangat mudah mendapat peluang, sementara sebagian besar masyarakat lainnya sulit mendapatkannya. Sesuai dengan konstruk nilai etika kemitraan, maka program kemitraan sebagai kebijakan hukum sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh GBHN Republik Indonesia Tahun 1999, di dalam prakteknya tentunya tidak lepas dari peran serta dari pemerintah.74 Isi ketentuan Pasal 23 tersebut di atas jelas memberikan amanat untuk melakukan pengawasan pengendalian kemitraan. Adapun peran pemerintah sebagai pelaksana kemitraan tentunya meliputi aspek-aspek kegiatan kebijakan hukum pada umumnya, yaitu formulating, executing, controling. Ketiga tahap kebijakan di bidang kemitraan tersebut, tentunya tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, dan kesemuanya menjadi variabel pengaruh

74Sebagaimana yang ditentukan dalam ketentuan Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor. 44 Tahun 1997 yang isinya: “Menteri teknis bertanggungjawab memantau dan mengevaluasi pembinaan pengembangan pelaksanaan kemitraan usaha sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing”.

320

(independent variable) dan sekaligus variabel terpengaruh (dependent variable). Fungsi formulasi tentunya sangat ditentukan dengan model pelaksanaan (executing) ataupun model pengawasan (controlling) yang akan dijalankan dan demikian pula sebaliknya. Khusus yang berkaitan dengan masalah controlling dapat diartikan sebagai pengawasan, namun pada sisi yang lainnya dapat pula diartikan sebagai pengendalian, fungsi pengawasan lebih menekankan kepada kegiatan yang tidak aktif, sedangkan pengendalian sebenarnya merupakan pengawasan dalam bentuk kegiatan yang aktif. Fungsi- fungsi pengawasan dan atau pengendalian ini dilakukan dalam beberapa tahapan proses gabungan antara pengawasan dan pengendalian.75 Masalah yang mendasar untuk diperhatikan dalam kemitraan adalah mempersiapkan rambu-rambu hukum kemitraan terutama dalam proses pengawasan dan pengendalian kemitraan, hal ini penting karena bagaimanapun juga bentuk usaha kemitraannya tentu pelaksanaannya akan merujuk kepada perjanjian kemitraan tersebut. Dengan demikian, maka kesalahan atau kekurangakuratan dalam pembuatan perjanjian hukum kemitraan tentunya dapat berakibat patal, dan akan menimbulkan permasalahan-permasalahan dikemudian hari. Dalam proses pembimbingan terhadap Usaha Kecil tidak selalu dilakukan oleh pemerintah, akan tetapi dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga pendukung lainnya, sebagaimana menurut ketentuan Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 1997 sebagai berikut: “Lembaga pendukung lain berperan mempersiapkan dan menjembatani Usaha Kecil yang akan bermitra dengan

75Sudadi Martodireso dan Widada Agus Suryanto, Agribisnis Kemitraan Usaha Bersama: Upaya Peningkatan Kesejahteraan Petani (Jogjakarta: Kanisius, 2002).

321

Usaha Besar dan atau Usaha Menengah melalui; (a) penyediaan informasi, bantuan manajemen dan teknologi terutama kepada usaha kecil, (b) persiapan usaha kecil yang potensial untuk bermitra, (c) pemberian bimbingan dan konsultasi kepada usaha kecil, (d) pelaksanaan advokasi kepada berbagi pihak untuk kepentingan usaha kecil, (e) pelatihan dan praktek kerja bagi usaha kecil yang akan bermitra”. Dengan demikian pembimbingan sebagai salah satu kegiatan pengawasan dan pengendalian preventif sangat dibutuhkan terutama bagi usaha kecil, karena pembimbingan ini bertujuan untuk menyiapkan usaha kecil dalam segala aspek untuk siap melaksanakan perjanjian kemitraan.76 Dari berbagai perspektif etika nilai kemitraan, dapat diketahui bahwa semua komponen dalam proses pengembangan usaha kecil tidak bisa berjalan sendiri-sendiri namun memerlukan kebersamaan, termasuk peran LSM dan masyarakat yang menilai, mengamati dan mengawasi aktifitas tersebut. Artinya, terjadi hubungan antara kelompok pengrajin-perajin songket sebagai pelaksana, BUMN/BUMD/BUMS sebagai pemberi bantuan pembiayaan, Pemerintah memberikan rambu-rambu dalam bentuk aturan. Sebagai pengawas dalam mekanisme tersebut adalah perguruan tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan masyarakat.

C. Kemitraan yang Berkeadilan

76Hg Suseno Triyanto Widodo et.al., Reposisi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam Perekonomian Nasional (Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2005); lihat juga Ahmad Ifham Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010).

322

Nilai-nilai etika yang dibangun dan dikembangkan dalam subjudul di atas memperlihatkan, bahwa efisiensi berkeadilan telah menjadi konstruk dasar dalam wilayah peraturan dan perundang-undangan, dasar kerja dan upaya menguatkan dan meningkatkan usaha kerajinan songket serta berbagai usaha mikro dan kecil di Indonesia. Seperti dijelaskan pada kajian sebelumnya, bahwa secara umum aktifitas produksi dan distribusi kapitalisme didasarkan kepada azas pengembangan hak milik pribadi dan pemeliharaannya, serta perluasan paham kebebasan. Perbedaan dengan prinsip ekonomi kerakyatan maupun ekonomi Islam terletak pada prinsip kesejahteraan dan pemberdayaan. Semua proses dalam produksi maupun distribusi untuk memaksimalkan kegunaan dan distribusi dari seluruh sumber dan potensi dunia secara rasional baik itu fisik, mental, maupun spiritual dan pembentukan tata tertib sosial humanistis yang harmonis, serta keadilan merata. Kesemuanya dilakukan untuk memenuhi lima kebutuhan pokok minimum (al-d}aru>riya>t al-khams).77 Ini semua menjadi dasar efisiensi berkeadilan sebagaimana dipahami dalam penjelasan UU No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, serta isi amandemen pasal 33 (ayat 4) UUD 1945. Kata "efisiensi" dibutuhkan untuk mendorong percepatan produktivitas yang diikuti dengan kata berkeadilan hingga harus dilakukan dengan adil, yang berarti setiap setiap warga negara dapat menikmati hasilnya sesuai dengan kemanusiaan dan darma baktinya. Hasil penelitian ini memperlihatkan hal yang sama dimana semua

77al-Zuhaili>, Wahbah, Us}u>l al-Fiqhi al-Isla>mi> (Damaskus: Dar al Fikr, 1986), jilid. 2. Lihat juga Al-Bu>t}i>, Muhammad Sa‟i>d Ramad}a>n, D}awa>bit} al-Mas}lahah fi> al-Shari>‟ah al-Isla>miyah (Beirut: Da>r al-Muttahidah, 1992).

323 komponen melakukan upaya untuk mempercepat produktifitas yang berdaya saing global, namun tetap berpegang pada nilai-nilai “efisiensi berkeadilan” sebagaimana diamanatkan pada UUD 1945 dan Pancasila yaitu prinsip kebersamaan, kegotongroyongan, dan kekeluargaan.78 Berbagai data yang ditemukan bahwa nilai- nilai dalam prinsip kebersamaan, kegotongroyongan dan kekeluargaan masih menyentuh pada pengertian yang sempit. Artinya, kebersamaan dan gotong royong masih diartikan bersama-sama untuk menenun untuk sekedar mendapat penghasilan tambahan. Realiasi nilai-nilai sosial menjadi tidak terlihat. Pengrajin memaknai hal tersebut adalah sekedar membantu dan menambah penghasilan. Pada akhirnya hak-hak sosial para perajin, seperti hak tunjangan hari raya, hak jaminan kerja, dan hak-hak sosial lainnya sebagaimana layaknya perusahaan-perusahaan besar yang sudah memiliki standar kode etik tidak muncul pada unit usaha pengrajin songket. Ini artinya, aktifas produksi songket hanya mengacu pada untung rugi. Mereka yang tidak bisa mengikuti proses tersebut akan termarginalkan dalam kelompok usaha tenun, seperti terlalu menuntut gaji, atau sering mengoreksi aturan yang dibuat pengrajin terutama dalam hal ketetapan waktu dan hasil pengerjaan. Jika perajin terlalu menuntut, maka yang muncul adalah bahasa “kami mencari penenun dari lingkungan keluarga saja”.79 Dari wilayah ini, pola majikan- buruh dalam bungkus kebersamaan dan kekeluargaan muncul.

78Lihat Mohammad Hatta, Ekonomi Terpimpin (Jakarta: Penerbit Mutiara, 1979); Sri-Edi Swasono, Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial dari Klasikal dan Neoklasikal sampai ke the End of Laissez-Faire (Jakarta: Perkumpulan Prakarsa, 2010). 79Wawancara dengan responden pengrajin dan perajin songket pada tanggal 4-13 Oktober 2010

324

Dalam usaha songket, semua komponen dalam lingkar proses aktifitas memiliki etika bisnis berangkat dari masyarakat yang terdorong oleh keinginan untuk hidup damai baik dengan orang lain, maupun damai dalam diri sendiri, mereka termotivasi untuk selalu menghindari konflik-konflik kepentingan,. Karena itu, secara normatif etika bisnis di Indonesia baru mulai diberi tempat khusus semenjak diberlakukannya UUD 1945, khususnya pasal 33 yang memiliki pesan moral bahwa pembangunan ekonomi negara Indonesia semata-mata demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia yang merupakan subjek atau pemilik negeri ini, dan ini berarti pembangunan tidak diperuntukkan bagi segelintir orang yang memperkaya diri atau untuk kelompok orang tertentu saja yang kebetulan tengah berposisi strategis, melainkan demi seluruh rakyat Indonesia. Nilai sosial yang muncul, berarti sistem ekonomi yang khas bagi rakyat Indonesia adalah ekonomi yang tertata dalam sistem yang tidak pernah membiarkan segelintir orang tertentu memperkaya diri sendiri dengan memanfaatkan wewenang, atau kesempatan yang ada, atau dengan membiarkan sebagian besar rakyat hidup dalam kondisi ekonomi yang memprihatinkan. Sementara itu, keadilan sosial itu didasarkan dalam pasal 27 ayat 2 Undang-undang Dasar 1945 yang dinyatakan bahwa tiap-tiap warga negara itu berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, hal tersebut akan terwujud dengan dukungan sifat-sifat kebenaran, keadilan, kebaikan yang meliputi perbuatan dan tindakan manusia Indonesia dalam kedudukannya memimpin dan dipimpin.80 Hatta juga menilai

80Mohammad Hatta, Demokrasi Kita (Jakarta: Pustaka Antara, t.t), 125-126; lihat juga Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila (Jakarta: Idayu Press, 1977), 17-20.

325 bahwa keadilan sosial sangat signifikan untuk diimplementasikan sebagai tujuan yang mesti dilaksanakan sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.81 Pemaknaan UUD 1945 pasal 33 berbunyi: (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Suma menegaskan kata „bersama‟ dan „asas kekeluargan‟ memperlihatkan makna masyarakat Indonesia secara keseluruhan, bukan segelintir orang dengan asas kekeluargan yang bukan diartikan keluarga (nepotisme). Termasuk cabang-cabang produksi yang penting bagi negara, dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara yang menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada rakyat.82 Untuk itu, aktifitas usaha songket juga menjadi perhatian yang tidak bisa diabaikan, melalui peran pemerintah pada aspek kebijakan-kebijakan untuk usaha tersebut, sehingga semua kesenjangan dalam aktifitas usaha mikro dan kecil secara umum bisa terapresiasi dan terkontrol dengan baik. Fokus dasar untuk peningkatan demikian, berdasarkan bahwa srategi pembangunan yang memberdayakan ekonomi rakyat merupakan strategi melaksanakan demokrasi ekonomi, yaitu produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dan di

81Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila, 34. 82Muhammad Amin Suma, Menggali Akar Mengurai Serat Ekonomi dan Keuangan Islam.

326 bawah pimpinan dan kepemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat lebih diutamakan ketimbang kemakmuran orang seorang. Maka, kemiskinan tidak dapat di toleransi, sehingga setiap kebijakan dan program pembangunan harus memberi manfaat pada mereka yang paling miskin dan paling kurang sejahtera. Inilah pembangunan generasi mendatang sekaligus memberikan jaminan sosial bagi mereka yang paling miskin dan tertinggal. Dalam konteks keadilan, kembali ditegaskan bahwa norma didalamnya menuntut agar dalam mencapai tujuan-tujuan tertentu, termasuk dalam dunia bisnis, seseorang tidak boleh mengorbankan hak-hak dan kepentingan-kepentingan orang lain. Prinsip dasar ini akan membantu untuk memahami hakikat dan arti keadilan sebagai norma moral yang berlaku umum bagi semua orang, termasuk para pebisnis. Pada masa Romawi Kuno, Celcus seorang tokoh era tersebut mendefinisikan keadilan sebagai “tribuere quique suum” atau to give every body his own yaitu memberikan kepada setiap orang lain apa yang menjadi haknya. Implikasi konkret dalam kehidupan, jangan mendapat sesuatu dengan cara mengorbankan hak- hak orang lain.83 Dari perspektif tersebut, menunjukkan bahwa keadilan sebagai etika memberikan kepada setiap pengrajin dan perajin songket apa yang menjadi haknya dengan berciri other-directedness. Artinya, masalah keadilan hanya muncul dalam konteks relasi antar makhluk. Jadi, sekurang- kurangnya antar dua pihak atau dua orang. Selain itu, dikatakan bahwa keadilan harus ditegakkan adalah identik dengan menegaskan bahwa keadilan bersifat mengikat. Pada tataran ini, keadilan menuntut agar hak-hak orang lain

83Morris Ginsberg, Keadilan dalam Masyarakat (Bantul: Pondok Edukasi, 2003).

327 wajib ditegakkan sesuai proporsinya.84 misalnya dengan mewajibkan pengusaha untuk membayar gaji atau upah karyawan atau buruh di akhir bulan. Hal itu disebabkan, karena karyawan sudah terlebih dahulu melaksanakan kewajiban mereka. Oleh karena usaha mencapai suatu imbalan materi yang tepat bagi nilai kerja dan keusahaan seseorang dalam bentuk upah dan laba merupakan suatu hal penting, tidak hanya untuk memenuhi kewajiban keadilan, melainkan juga merealisasikan efisiensi. Dengan demikian, menahan imbalan materi seseorang akan mengurangi insentif untuk mendapatkan pendapatan dan penghasilan, serta kurangya insentif akan menyebabkan berhentinya usaha dan berkarya. Jika penahanan imbalan materi itu sudah sedemikian menyebar di semua sektor ekonomi, maka akan ada kemandegan umum dalam penghasilan karena tiadanya insentif.85 Pendalaman hal tersebut sejalan dengan teori efisiensi berkeadilan yang memberikan lima prinsip ini pada dasarnya, yaitu: (1) kebersamaan; (2) pembagian rasional; (3) pemanfaatan Sumber Daya Manusia secara optimal; (4) inspiratif sebagai motivasi kerja; (5) kreatifitas

84Lain halnya dengan memberi sejumlah uang kepada pengemis di pinggir jalan atau dibawah kolong jembatan. Dalam hal seperti ini, dasar tindakan seseorang memberi atau tidak memberikan uang kepada pengemis kita tidak sebut sebagai orang adil, melainkan dermawan. Bagaimana dengan pengamen yang meminta uang setelah menyanyikan sejumlah lagu dengan alasan untuk menghibur para penumpang dalam sebuah bus. Hal itu juga lebih berhubungan dengan kemurahan hati, bukan soal keadilan. Implikasinya, pengamen dengan alasan apapun tidak bisa memaksa penumpang bus untuk bermurah hati kepadanya. Keadilan juga menuntut equality atau kesetaraan. Lihat Sinuor Yosephus, Etika Bisnis (Jakarta: Pustaka Obor, 2010). Lihat juga Haidar Bagir, “Etika „Barat‟, Etika Islam” (suatu pengantar) dalam M. Amin Abdullah, antara al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam (Bandung: Mizan Media Utama, 2002). 85M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam (The Future of Economics: an Islamic Perspective) (Jakarta: Gema Insani Press, 2001).

328 dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan.86 Karenanya, penghindaran terhadap pemerasan (eksploitasi) dengan melarang badan-badan usaha yang menyediakaan kebutuhan dasar bagi orang banyak ditaruh ditangan pribadi-pribadi. Jika sumber-sumber daya merupakan suatu bentuk amanah dari Allah dan manusia akan mempertanggungjawabkan di hadapan-Nya, maka tak ada opsi, kecuali menggunakannya dengan keadilan. Al-Quran dan as-Sunnah menempatkan penekanan tegas terhadap keadilan, menjadikannya salah satu tujuan pokok. Dalam konsep al-Qur‟an penegakan keadilan merupakan salah satu tujuan pokok Allah menurunkan para Rasul-Nya (Q.S. al- Hadi>d [57]: 25). Keadilan oleh al-Qur‟an sangat berorientasi dengan upaya peningkatan kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup warga masyarakat terutama mereka yang menderita dan lemah posisinya dalam zona ekonomi, seperti perajin songket yang tidak pernah mendapatkan akses bantuan usaha, seperti layaknya pengrajin atau perajin-perajin songket lain yang memiliki akses kepada patron. Dengan demikian, keadilan tidak bisa lepas juga dari nilai-nilai amanat dan persaudaraan (Q.S an-Nisa>‟ [4]: 58) dan ketaqwaan.87 Tanpa itu akan selalu terjadi kezaliman yang menghapuskan persaudaraan dan solidaritas, mempertajam konflik, ketegangan dan kejahatan, memperburuk problem kemanusiaan, dan pada gilirannya hanya akan mengantarkan kepada kegelapan di dunia dan azab di akhirat. Karena itu, semua fuqaha tanpa kecuali disepanjang sejarah kaum muslimin memandang keadilan sebagai isi utama maqa>sid tujuan-tujuan pokok syariah. Abu Yusuf seperti menjelaskan keadilan kepada khalifah Harun ar-Rasyi>d yang mengatakan bahwa

86Prabhat Ranjan Sarkar, Proutist Economics: Discourses on Economic Liberation (India: Ananda Marga Publications, 1991). 87Sahih Muslim, Kitab al-Birr was-Shillah wal-Adab, vol 4, 1996.

329 dengan memberikan keadilan kepada mereka yang disakiti dan menghapuskan kezaliman akan meningkatkan penghasilan, mempercepat pembangunan negara, dan membawa keberkahan, di samping mendapatkan pahala di akhirat.88 Keadilan komprehensif menanamkan rasa saling mencintai dan kasih sayang, ketaatan kepada hukum, pembangunan negara, perluasan kekayaan, pertumbuhan keturunan, dan keamanan kedaulatan yang banyak ditegaskan oleh Syekh Muhammad Abduh (w. 1323/1905), memandang kezaliman atau keadilan sebagai kemungkaran yang paling buruk (aqa>bah al-munkara>t) dalam kerangka nilai-nilai Islam. Sayyid Quthb (w. 1385/1966), Sayyid Abul A‟la Maududi (w.1399/1979), dan Baqir as}- S}adar (w.1400/1980).89 Dari berbagai kajian tersebut, memperlihatkan kemitraan yang terbangun dalam nilai-nilai efisiensi berkeadilan memiliki kelemahan terutama dalam proses manajemen pemasaran pada usaha songket Palembang yang membangun hanya berdasarkan kepercayaan. Terbatasnya akses kemitraan dalam pembiayaan melalui perbankan dan BUMN merupakan penjelasan penting, yakni: (1) mengapa memunculkan kepasrahan pengrajin dan perajin songket yang tidak mendapatkan bantuan; (2) mengapa terjadi ketakutan dalam mendapatkan pembiayaan dengan bunga rendah; (3) mengapa para ”pengumpul” kain songket dapat leluasa mempermainkan harga tenunan songket tanpa memikirkan kondisi dan tingkat kesulitan menenun songket. Sementara terbatasnya akses informasi dalam pengembangan usaha songket melalui pameran-pameran menjadi penyebab utama kesenjangan dalam membangun kebersamaan, dan meningkatkan keuntungan bersama.

88Ya‟qub ibn Ibrahim Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj, edisi ke 3 (Kairo: al-Matba‟ah al-Salafiyyah, 1352 H). 89M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam (The Future of Economics: an Islamic Perspective), 58.

330

Hasil observasi dan wawancara dari bab sebelumnya dan sub-sub bab studi ini, memperlihat masalah-masalah usaha songket Palembang yang muncul seiring dengan nilai-nilai filosofis efisiensi berkeadilan pada aspek: Pertama, bahan baku yang fluktuatif disebab struktur pasar bersifat monopolistik. Suplai bahan baku yang dilakukan oleh pembeli dari pedagang-pedagang besar, dan keengganan mereka untuk membuat kontrak dengan para perajin songket. Hal tersebut terkait dengan sistem pembelian bahan baku secara tunai yang menyulitkan pengrajin dan perajin songket bermodal kecil. Kedua, permodalan yang berkaitan dengan suku bunga dan intervensi pengumpul, infomasi sumber pembiayaan baik dari aspek jenis sumber pembiayaan, persyaratan dan prosedur pengajuan dari lembaga keuangan non perbankan masih belum terakses keseluruh kluster usaha songket, Informasi standar proposal pengajuan yang tidak terealisasi sehingga perajin songket tidak mampu mengikuti standar. Disamping, persoalan manejemen keuangan yang masih menggunakan manajemen keluarga. Persoalan lain terhadap peta kebutuhan masing-masing kluster usaha kecil tidak dimiliki secara proporsional. Sehingga calon penyandang dana baik dari pihak perbankan, dan pihak non perbankan (BUMN, BUMD) memberikan jumlah kredit yang disetujui tidak sesuai dengan kebutuhan usaha songket. Akibat dari hal tersebut, bantuan dana tersebut digunakan untuk urusan keluarga menjadi prioritas dibandingkan untuk mengembangkan usaha. Ini berarti, pemberdayaan yang seharusnya ke wilayah produktif bergeser ke wilayah konsumtif. Kedua, terjadinya bargaining power pada wilayah pemasaran. Belum terjalinnya kolektifitas kemitraan dalam pemasaran. Kelompok usaha yang dekat pada patron institusi yang berhubungan dengan pengembangan usaha kecil dan menengah lebih mendominasi dalam perluasan pemasaran. Asosiasi dan koperasi belum berperan optimal dalam mengkoordinir pemasaran produk, yang banyak menimbulkan persaingan tidak sehat antara pengrajin dan

331 perajin songket. Informasi perluasan pemasaran ke luar negeri hanya terakses pada sekelompok kecil pengrajin seperti produk songket yang diinginkan, potensi pasar, tatacara memasarkan produk, serta berbagai jasa yang berhubungan dengan wilayah pemasaran. Ketiga, tenaga kerja yang tidak stabil, penegasan akan terlihat dalam penjabaran pada bab selanjutnya dalam studi ini.

Kelima

PENGEMBANGAN PRODUKSI DAN DISTRIBUSI BERWAWASAN HUMANIS SPRITUAL

Dalam bab ini penulis mengajukan upaya mengembangkan usaha kecil dan usaha mikro melalui pintu usaha songket Palembang dari hasil kajian nilai-nilai filosofis efisiensi berkeadilan dengan memperluas dalam ranah sosial dan spritual. Manfaat tersebut seperti dijelaskan dalam pendahuluan adalah untuk membangun suatu kerangka sistematik yang utuh dalam memahami problematika usaha songket Palembang, sekaligus memberikan strategi konstruktif dalam membangun usaha kecil yang berpijak pada efisiensi berkeadilan berbasis nilai-nilai ekonomi Islam.

A. Analisis SWOT Usaha Berbagai pemahaman terhadap analisis SWOT dapat disimpulkan sebagai instrumen perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dalam suatu usaha bisnis. Proses ini melibatkan penentuan tujuan yang spesifik dari spekulasi bisnis atau proyek, dan mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang mendukung dan yang tidak dalam mencapai tujuan tersebut. Dengan menggunakan kerangka kerja kekuatan dan kelemahan dan kesempatan ekternal dan ancaman, instrumen ini 334 memberikan cara sederhana untuk memperkirakan cara terbaik untuk melaksanakan sebuah strategi. Instrumen ini menolong para perencana apa yang bisa dicapai, dan hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan oleh mereka.1 Analisis SWOT atas usaha songket Palembang berdasarkan berbagai kajian mendalam diidentifitkasikan SWOT usaha songket Palembang berdasarkan pertanyaan studi adalah sebagai berikut; Dalam perspektif studi ini, hasil observasi dan wawancara mendalam yang dijelaskan dalam studi ini analisis SWOT usaha songket Palembang dideskripsikan sebagai berikut: Pertama, pendayagunaan kapital (1) aspek kekuatan (strengths), alat tenun tersedia dan mudah dibuat dan diperbaki, ketersedian dan kesiapan penenun, jiwa kewirausahaan yang handal dan siap bekerja optima; (2) kelemahan (weaknesses), ketersedian bahan baku benang, lemah modal, lingkungan kerja tidak kondusif; (3) kesempatan (opportunities), program bantuan pemerintah, dukungan pelestarian dari masyarakat Sumatera Selatan; (4) ancaman (threats), permainan harga bahan baku benang, permainan “pengumpul” berorientasi ekonomis, kebijakan suku bunga yang relatif tinggi.2 Kedua, hak dan kewajiban, (1) aspek kekuatan (strengths), memahami konsep hak dan kewajiban dalam berusaha di bidang usaha songket, bertanggung jawab

1SWOT merupakan singkatan dari strengths (“kekuatan”), weaknesses (“kelemahan”), opportunities (“kesempatan”), dan threats (“ancaman”). Lihat Lawrence G Fine, the Swot Analysis: Using Your Strength to Overcome Weaknesses, Using Opportunities to Overcome Threats (London: CreateSpace, 2009); lihat juga Fredy Rangkuti, Business Plan: Teknik Membuat Perencanaan Bisnis dan Analisis Kasus (Jakarta: Gramedia, 2001); Muhammad Ismail Yusanto; Muhammad Karebet Wirjajakusuma, Menggagas Bisnis Islami (Jakarta: Gema Insani Press, 2002). 2Analisis data wawancara dan observasi, 2010. 334 335 terhadap kewajiban dalam bertenun, solidaritas terhadap hak-hak yang didapat; (2) kelemahan (weaknesses), rendah solidaritas sosial, sistem upah yang gharar, akad berorientasi “kepercayaan”, eksploitasi waktu, tidak adanya asosiasi; (3) kesempatan (opportunities), ketersedian lembaga-lembaga bantuan hukum/konsultasi hukum, kesiapan lembaga pengabdian dan lembaga penelitian perguruan tinggi; (4) ancaman (threats), belum terlindungi oleh UU RI no 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, ketidak jelasan proses mendapat bantuan modal usaha dan hibah.3 Ketiga, kebersamaan mengembangkan SDM, (1) aspek kekuatan (strengths), motivasi belajar yang kuat, kesedian mengikuti berbagai ketrampilan usaha dan kewirausahaan; (2) kelemahan (weaknesses), rendahnya motivasi generasi muda terhadap tenunan songket, orientasi pengembangan SDM bernilai ekonomis, ketidakpercayaan terhadap koperasi; (3) kesempatan (opportunities), menguatnya program bantuan tenun songket terutama dalam berbagai pelatihan SDM; (4) ancaman (threats), pola pikir yang serba praktis, aktifitas generasi berorientasi matrealistis.4 Keempat, kebebasan berusaha dan berkreatifitas, (1) aspek kekuatan (strengths), keterbukaan masyarakat terhadap perkembangan tenun songket, perajin tenun yang memiliki semangat untuk mengembangkan pertenunan, mampu mengembangkan limbah tenun songket menjadi berbagai aksesories; (2) kelemahan (weaknesses), tidak memiliki modal mengembangkan usaha, tidak mengetahui perkembangan pangsa pasar bidang fasion dan desain, belum memiliki kebersamaan dengan perajin yang mampu mengelola kain songket menjadi berbagai desain dan

3Analisis data wawancara dan observasi, 2010. 4Analisis data wawancara dan observasi, 2010.

336 aksesoris; (3) kesempatan (opportunities), penerimaan pasar pada produk-produk modifikasi, respon positif masyarakat terhadap perkembangan desain dan aksesoris songket; (4) ancaman (threats), pengusaha besar yang mengolah untuk kepentingan usahanya sendiri, orientasi pebisnis pada perkembangan efisiensi ekonomis semata.5 Kelima, kemitraan, (1) aspek kekuatan (strengths), semangat menjalin kebersamaan usaha, semangat meningkatkan distribusi kain songket, ketersediaan membangun komunikasi produksi antara pengrajin, perajin dan pemerintah; (2) kelemahan (weaknesses), tertutup dari jaringan distribusi masing-masing pengrajin dan perajin, akad yang berbasis akte di bawah tangan, akad berkembang berdasarkan kepercayaan dan kekeluargaan, keterbatasan promosi, tidak munculnya koperasi sebagai wadah kebersamaan dalam membangun dan meningkatkan usaha, ketidaksiapan manajemen dalam membangun profesionalitas kemitraan dana dan keahlian, masih mementingkan kekeluargaan untuk menghemat biaya; (3) kesempatan (opportunities), terbukanya akses pameran tingkat regional, nasional dan internasional yang berhubungan dengan usaha tenun songket, terbukanya bantuan kerjasama melalui kebersamaan peran pemerintah dan BUMN; (4) ancaman (threats), bantuan pemberdayaan masih tebang pilih, pemerintah tidak memiliki peta usaha songket di Sumatera Selatan, lebih mementingkan pengrajin daripada perajin songket palembang.6 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hasil identifikasi SWOT tersebut memperlihatkan Pertama, aspek kekuatan (strenght). Kekuatan utama usaha songket adalah eksistensi kain songket yang merupakan usaha turun temurun yang memiliki nilai sejarah, nilai budaya hingga

5Analisis data wawancara dan observasi, 2010. 6Analisis data wawancara dan observasi, 2010.

337 nilai jati diri. Sebagai salah satu kain adat, keanggunan kain songket dipakai pada berbagai acara adat khas daerah Palembang maupun acara perkawinan. Kain songket Palembang masih menjadi industri andalan di Sumatera Selatan, terutama dalam upaya mengembangkan dunia pariwisata di bumi Sriwijaya tersebut. Hal itu memperlihatkan pula bahwa usaha songket bukan hanya mendatangkan pendapatan bagi sekelompok orang, tetapi juga menjadi sumber pendapatan daerah. Kekuatan usaha songket yang menjadi andalan pada motif kain baik dari nilai filosif.7 Motif dan bahan yang memberi kesan menarik bagi para pemakainya, dan bisa menjadi materi yang menarik dijadikan gubahan yang dikreasikan pada pakaian oleh para disainer, fashion kontemporer, dan berbagai aksesoris berbahan songket. Ketersedian bahan baku di pasaran setempat, dan ketersedian perlengkapan alat-alat tenun yang mudah diperoleh, serta ketrampilan yang bisa diwariskan kepada siapapun merupakan bagian dari kekuatan usaha songket tersebut. Di samping itu, adanya dukungan kebijakan pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, serta program BUMN dan BUMS menjadi kekuatan penting pula dalam melestarikan usaha songket, termasuk upaya mempatenkan motif-motif kain songket. Kedua, aspek kelemahan (weakness), prilaku mengharap dan menunggu bantuan pemerintah menjadi kelemahan utama perajin dan sebagian pengrajin songket di Sumatera Selatan. Disamping itu, keterbatasan modal yang memunculkan ketidakseragaman dalam memberikan upah kepada para perajin, pola pembayaran upah cicilan yang

7Penjelasan luas eksistensi kain songket lihat Yudhy Syarofie, Songket Palembang: Nilai Filosofis, Jejak Sejarah, dan Tradisi (Palembang: Kementerian Pendidikan Nasional, Kegiatan Pengelolaan Kelestarian dan Pembinaan Nilai Budaya Sumatera Selatan, 2007).

338 menyebabkan sentimen perajin dan menurunnya motivasi kerja. Regenerasi penenun akan semakin sulit didapat, karena adanya kesan tidak majunya kehidupan penenun. Hal tersebut menjadi rentan terhadap perkembangan usaha songket. Kelemahan lain dalam manajemen yang masih didominasi sistem manajemen keluarga. Akibatnya, ketidakjelasan dan transparansi keadaan keuangan pengrajin dan perajin songket.8 Kelemahan lain yang mendominasi internal pengrajin dan perajin adalah: ketertutupan dalam berbagai kemitraan antara perajin, pengrajin dan antar pengrajin. Disamping itu, masih adanya ketidakpercayaan terhadap asosiasi dan koperasi menyebabkan organisasi tersebut tidak berjalan. Dari aspek peralatan masih sederhana, sehingga kurang efisien hal ini terkait dengan spesialisasi yang tidak terbangun. Sikap dan perilaku perajin dan sebagian pengrajin “apa adanya” menyebabkan keterbatasan akses informasi pasar, lemahnya jaringan kemitraan dengan distributor luar daerah dan luar negeri. Tingginya biaya produksi dan lemahnya promosi akibat rendahnya penguasaan teknologi sebagai media informasi, serta kemasan yang belum memenuhi persyaratan teknis dan tidak menarik konsumen juga menjadi bagian kelemahan yang penting penyebab ketidakmampuan bersaing. Pola manajemen yang sesuai dengan kebutuhan hampir pasti tidak ditemukan, antara lain karena pengetahuan dan strategi penjabaran manajemen tidak dimiliki pengrajin dan perajin songket. Ketidak mampuan mengontrol dan mengatur cash flow akibat ketiadaan pemisahan antara manajemen keuangan usaha dan keuangan keluarga. Dampak yang paling pasti, yakni tidak tersedianya perencanaan dan laporan keuangan yang

8Analisis data, 2010.

339 siap digunakan untuk berbagai keperluan. Pengorganisasian yang terlalu berorientasi pada kekerabatan dan kekeluargaan menutup akses untuk melakukan kolektifitas usaha. Ketiga, kesempatan (opportunity). Usaha songket Palembang memiliki pangsa pasar dalam negeri cukup luas dan berarti pengembangan usaha bisa terus dioptimalkan hingga ke pasar ekspor. Meningkatnya kebutuhan tenun songket seiring dengan pencanangan visit musi, serta berbagai kegiatan dan aktifitas tingkat nasional maupun internasional yang diadakan di Sumatera Selatan. Kesempatan juga bisa dimiliki dengan makin membaiknya perhatian pemerintah terhadap usaha mikro dan kecil dengan berbagai bentuk bantuan dana dan hibah. Keempat, ancaman (treats). Persaingan semakin ketat dalam usaha pertenunan di lokal maupun barang impor tenun mancanegara seperti India, Malaysia dan China. Iklim usaha tenun songket yang sangat berhubungan dengan bahan baku dari luar negeri (India, Thailand dan China) sehingga membangkitkan iklim usaha yang tidak stabil dibandingkan dengan fasilitas negara-negara pesaing tenun yang relatif stabil. Kebijakan pemerintah di berbagai bidang seperti tarif BBM, tarif listrik dan tarif transport termasuk kebijakan suku bunga berdampak pada peningkatan biaya bagi perajin dan pengrajin songket. Ancaman yang juga menjadi salah satu persoalan terhadap aktifitas para “pengumpul” yang ada dalam bagian aktifitas perajin songket. Kebijakan bantuan permodalan baik dalam dunia perbankan dan kemitraan BUMN lebih berorientasi pengembalian bantuan dibandingkan dengan pemberdayaan menjadi ancaman perkembangan usaha perajin dan pengrajin.9 TABEL 5.1

9Analisis data wawancara dan observasi, 2010.

340

MATRIK ANALISIS SWOT USAHA SONGKET PALEMBANG

INTERNAL Strengths (Kekuatan) Weaknesses Analisis lingkungan 1. Ketersedian alat tenun (Kelemahan) internal 2. Sumber daya trampil 1. Sumber dana minim turun temurun 2. Manajemen keluarga 3. Jiwa kewirausahaan 3. Akad kepercayaan 4. Solidaritas 4. Lemah promosi 5. Amanah 5. Lemah kemitraan EKSTERNAL 6. Keterbukaan 6. Pengembangan usaha Analisis 7. Komunikatif tidak merata lingkungan 8. Budaya kerja optima 7. eksternal 9. Apresiatif terhadap konsep ekonomi Islam

Opportunies (Peluang) Pakai Kekuatan untuk Tanggulangi kelemahan memanfaatkan peluang dengan peluang

1. Mengikat sumber daya 1. Memanfaatkan 1. Dukungan pelestarian trampil dengan dukungan masyarakat dari masyarakat solidaritas dan jiwa dan lembaga-lembaga Sumatera Selatan kewirausahaan perguruan tinggi untuk 2. Dukungan perguruan 2. Menguatkan budaya meningkatkan tinggi terhadap kerja islami untuk manajemen usaha pelestarian dan memperkuat dukungan 2. Memperbaiki perkembangan usaha pemerintah dan manajemen untuk songket masyarakat mendapatkan dana 3. Kebijakan pemerintah 3. Menjadikan keterbukaan bantuan dari dalam bantuan dana dan komunikatif untuk pemerintah melalui dan hibah mendapatkan simpati perbankan dan BUMN 4. Ketersedian lembaga- pemerintah dan BUMN 3. Melakukan kemitraan lembaga bantuan penyandang dana dan dengan lembaga- hukum hibah lembaga bantuan 5. Pasar yang kondusif 4. Menjalin hubungan hukum untuk untuk usaha songket dengan lembaga bantuan menyelesaikan dan semua aksesoris hukum dan perguruan persoalan yang tinggi. berkenaan dengan hak dan kewajiban dalam 5. Memberikan amanah aktifitas usaha songket kepada generasi penenun untuk melestarikan songket melalui program pelatihan bertenun

341

Treaths (Ancaman) Pakai Kekuatan untuk Perkecil Kelemahan dan Menghadapi Ancaman Hindari Ancaman Ancaman 1. Permainan harga 1. Ketrampilan turun 1. Penguatan sumber bahan baku benang temurun digunakan daya pengrajin dan 2. Gerakan ekonomis untuk daya tawar perajin para “pengumpul” 2. Menguatkan ukhuwah 2. Eksis melestarikan 3. Kebijakan suku bunga dan solidaritas untuk nilai-nilai sosial yang yang relatif tinggi mengantisipasi ancaman dikandung karya 4. Belum terlindungi oleh 3. Meningkatkan jiwa songket sebagai UU RI No 13 Tahun kewirausahaan untuk budaya adiluhung 2003 tentang bisa memperlihatkan anak bangsa ketenagakerjaan eksistensi 3. Menghindari para 5. Ketidakjelasan proses 4. Membangun komunikasi pengumpul dengan mendapat bantuan dan keterbukaan setiap membangun asosiasi modal usaha dan hibah survey yang dan koperasi 6. Bantuan berhubungan dengan 4. Mengimplemntasi pemberdayaan masih lokasi dan keadaan etika dan moral Islam tebang pilih usaha songket dalam usaha 7. Pemerintah tidak 5. Memberikan 5. Memperbaiki memiliki peta usaha ketauladanan dalam manajemen usaha songket di Sumatera budaya kerja optima 6. Melakukan kemitraan Selatan kepada generasi penerus dalam menguatkan 8. Lebih mementingkan 6. Meningkatkan kaderisasi penenun- pengrajin daripada pemahaman terhadap penenun profesional perajin songket parameter ekonomi 7. Melakukan koordinasi Palembang Islam (bagi hasil, dengan pemerintah 9. Pola pikir yang serba musyarakah, etika kerja provinsi dan daerah praktis islami) dalam memperbaiki 10. Aktifitas generasi promosi dan distribusi berorientasi matrealistis usaha Model analisis: Fredy Rangkuti, Business Plan: Teknik Membuat Perencanaan Bisnis dan Analisis Kasus (Jakarta: Gramedia, 2001); Muhammad Ismail Yusanto; Muhammad Karebet Wirjajakusuma, Menggagas Bisnis Islami (Jakarta: Gema Insani Press, 2002).

B. Penguatan Sumber Daya Manusia Dalam analisis SWOT dan berbagai analisis yang berhubungan dengan tersebut memperlihatkan kata kunci utama pada penguatan sumber daya para pengrajin dan

342 perajin. Dalam bab sebelumnya, dijelaskan bahwa menenun songket merupakan kerajinan tangan yang memerlukan kesabaran, dan ketenangan dengan tingkat kesulitan yang tinggi. Karena itu, semua faktor pendukung dalam aktifitas ini tidak dapat diabaikan, seperti tempat usaha, suasana lingkungan, dan suasana hati. Pekerjaan menenun biasanya dilakukan kaum wanita, walaupun akhir-akhir ini kaum pria juga sudah berpartisipasi membuatnya. Menenun songket dengan kreatifitas rumit tersebut merupakan kerajinan turun temurun yang mulai tidak banyak diminati remaja, akibat pergeseran global. Hasil wawancara diketahui ada dua tipologi remaja dalam menilai aktifitas songket tersebut: Pertama, kelompok anak-anak keturunan yang memiliki keahlian menenun songket yang lebih menyukai melihat, menilai dan memakainya daripada ikut menenun. Mereka lebih berminat untuk bekerja di sektor modern. Mereka lebih suka bekerja di mall atau di toko-toko yang tidak memerlukan ketekunan. Faktor mudah bosan, dan berprinsif hidup praktis merupakan bagian dari penyebab ketidaksukaan terhadap dunia penenunan. Kedua, mereka tertarik mengikuti tradisi menenun karena keadaan ekonomi, pada umumnya mereka yang putus sekolah atau keluarga yang tidak memiliki dana untuk melanjutkan studi. Keterpaksaan tersebut menyebabkan regenerasi menenun menjadi lambat. Sebab, tingkat kesulitan dan kesabaran memerlukan latihan dan motivasi dari dalam. Ketiga, kelompok remaja yang memang terpanggil untuk belajar menenun. Kelompok ini sudah sangat sulit ditemukan, kecuali di sentra-sentra tenun songket wilayah kabupaten/kota yang sedikit mendapatkan akses modernisasi.10

10Hasil wawancara dengan responden penelitian antara tanggal 22 September hingga 18 Oktober 2010.

343

Berdasarkan dalil-dalil tersebut, maka penguatan Sumber Daya Manusia menampakkan aktifitas persaingan untuk saling mengalahkan/mengorbankan antara satu pengrajin dengan pengrajin, atau antara perajin songket Palembang. Penguatan Sumber Daya Manusia dalam bertenun, memberikan solusi atas persoalan dalam pembagian waktu dan penggunaan waktu. Adanya asumsi bahwa aktifitas perempuan untuk beberapa kasus hanya menanti suami, menunggu nafkah suami tanpa berbuat apa- apa. Laki-laki yang merasa tidak memiliki kemampuan, sehingga tumbuh perasaan minder dengan ketiadaan ketrampilan akan terbuka peluang untuk membangun usaha berbasis budaya lokal yang tetap diperhatikan dan dilestarikan tersebut. Implementasi dari sikap imani dalam menghargai waktu sebagai karunia ilahi dapat ditumbuh kembangkan lewat aktifitas usaha songket tersebut. Hasil wawancara diketahui bahwa anak-anak penenun ada yang tidak berminat untuk berlatih bertenun, mereka lebih suka bekerja di mall atau di toko-toko yang tidak memerlukan ketekunan. Mereka lebih suka memandang orang-orang yang menenun yang rata-rata sudah cukup umur (di atas 40 tahun).11 Tanpa kreatifitas dan inovasi pengrajin, maka sinyal ketakutan kaum tua jika anak-anak muda tidak tertarik lagi menenun, maka 10 tahun kedepan, tenunan songket menghilang karena tidak ada lagi alih generasi, akan berdampak psikologis bagi penenun itu sendiri.12 Karena itu, harus ada peran serta pemerintah untuk mencari solusi pengkaderan tenunan songket, dan sekaligus kreatifitas para pengrajin dan perajin profesional untuk dapat mengarahkan bahwa menenun itu mudah, indah, dan

11Hasil wawancara Tanggal 22-28 Oktober 2010. 12Hasil kesimpulan wawancara Tanggal 4-18 Oktober 2010.

344 bisa dilakukan oleh siapa saja, tanpa tekanan13 dan memberi penghasilan yang memadai. Akibat dari hal tersebut menyebabkan terjadinya 2 (dua) masalah krisis, yaitu: Pertama, berkurangnya produksi dan pengembangan tenun songket; Kedua, ancaman kepunahan budaya tenun songket tradisional. Observasi lapangan memperlihatkan pula bahwa sumber daya penenun hanya berkisar pada bertenun dengan model dan gaya turun temurun. Walaupun, ada keinginan untuk mengembangkan kreasi menenun, namun mereka pada umumnya kesulitan untuk bisa melakukan perubahan kreatifitas. Pada umumnya sangat terikat pada tempat kediamannya dan tidak mampu/tidak bersedia menempatkan orang lain untuk ikut memberikan usulan kreatifitas. Alasan yang juga menjadi problem kurangnya daya inovasi dan kreatifitas perajin songket Palembang, akibat rendahnya modal usaha yang dimiliki. Bagaimana memberdayakan penenun songket terutama dalam meningkatkan sumber daya penenun, erat kaitannya dengan hakikat dari daya itu sendiri. Kata „daya‟ dapat dipahami dengan kemampuan, kekuatan ataupun kekuasaan yang dipengaruhi dengan berbagai faktor yang saling terkait (interlinking factors)14 antara lain

13Hasil wawancara dengan beberapa anak pengrajin songket di kota Palembang pada saat wawancara hadir mendengarkan, dan tidak tertarik untuk belajar menenun, seperti yang dilakukan orang tua dan uwaknya karena ketakutan ketinggalam dalam pergaulan, tidak bisa berkiprah diluar rumah, takut ditingal pacar, capek. Hasil penilaian peneliti, ketidak-tertarikan juga disebabkan tidak ada upaya orang tua yang mengarahkan anaknya untuk menenun dengan memberikan alasan yang menyenangkan. Mereka juga lebih membanggakan anaknya kerja di toko, atau disektor-sektor swasta lainnya yang tidak membangun jiwa wirausaha, hanya sekedar menambah penghasilan diri sendiri (wawancara tanggal 24 dan 28 September 2010. 14Heru Nugroho, Globalisasi dan Tantangan Daya Saing Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2005); Akhmad Fauzi. Ekonomi Sumber

345 seperti pengetahuan pengrajin dan perajin songket, kemampuan kerja dan berusaha, kapital. Faktor-faktor yang saling terkait tersebut pada akhirnya membentuk simbolis mutualis antar pengrajin, perajin, kreatifitas tenunannya dan peran pemerintah provinsi. Efisiensi pengembangan sumber daya penenun songket tidak bisa hanya dilakukan oleh internal penenun, namun semua pihak terkait termasuk Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan beserta semua institusi terkait berbasis kebhinekaan yang didalamnya ada unsur kekeluargaan, kegotongroyongan, dan memandirikan penenun menjadi sesuatu yang menjadi target pengembangan tenun songket. Hasil wawancara dengan pengrajin dan perajin diketahui adanya ketidakadilan dalam pelaksanaan. Beberapa pengrajin responden mengaku pengembangan sumber daya penenun dengan mengikutkan pada pelatihan- pelatihan desain songket modern masih tebang pilih. Mereka yang jauh dari akses pemerintah daerah belum disentuh dengan program bantuan pelatihan tenun, maupun pelatihan manajemen sederhana.15 Implementasi efisien berkeadilan dilakukan melalui identifikasi kebutuhan pembinaan, sehingga mendapatkan peta wilayah tenun songket yang dapat dijadikan modal penentuan kawasan pembinaan pada setiap program tahunan yang berhubungan dengan pembinaan dan pelatihan tersebut. Walau tidak secara tersurat, para responden menilai bahwa pelatihan dan pembinaan bukan untuk membentuk sumber daya perajin songket (human‟s songket resources) berkembang menjadi perajin berdaya saing, namun tidak lebih sebagai

Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi (Jakarta: Gramedia, 2004). Lihat juga Tsuraya Kiswati, al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional (Jakarta: Erlangga, 2005). 15Wawancara dengan pengrajin dan perajin responden. Antara tanggal 22 September-18 Oktober 2010.

346 upaya melestarikan songket dari kepunahan.16 Padahal, seharusnya melestarikan songket dari kepunahan dengan menguatkan regenerasi penenun. Sehingga, program- program yang berkenaan dengan pelestarian tenun songket dilakukan secara berkesinambungan, terarah menyebar dengan berbagai pelatihan manajemen penunjang lainnya dengan kejelasan nilai program, pendekatan dan kelompok- kelompok penenun yang dijadikan target, sehingga tidak terkesan bahwa implementasi penguatan usaha kecil semacam tenun songket tidak digambarkan seperti ungkapan Hakim sebagai pasukan kebakaran (fire-bridge) yang menyelenggarakan program-program jangka pendek pada masa-masa krisis.17 Analisis sederhana dilihat dari hasil proses kemitraan sebelumnya, yang memperlihatkan adanya kelompok perajin yang mendapatkan pelatihan manajemen sederhana, sementara kelompok perajin yang lain sama sekali belum mendapatkan pelatihan. Sementara, pelatihan ini penting untuk memberikan dasar-dasar awal bagaimana membangun sebuah usaha yang bisa dinilai berhasil dari aspek produksi dan distribusi. Pelatihan ini juga memberikan dasar-dasar untuk dapat mengevaluasi hasil kerajinan songket, untuk dikembangkan baik melalui penguatan bantuan modal usaha, maupun untuk kepentingan kemitraan lainnya. Kelompok pengrajin maupun perajin yang telah dibina tidak dievaluasi dan tidak dijadikan modal untuk penguatan pengrajin yang lain. Alih- alih aktifitas pelatihan sampai batas untuk unit usaha yang ikut pelatihan sementara yang belum mendapatkan

16Wawancara dengan Tanggal 22-28 September 2010. 17Budi Rahman Hakim, Rethinking Sosial Work Indonesia (Jakarta: Wahana Semesta Intermedia, 2010).

347 pelatihan menunggu proyek instansi terkait.18 Realitas ini memungkinkan semangat kompetisi dan individualisasi yang dibawa oleh kapitalisme telah memitoskan gotong royong menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, sebab kreatifitas lewat pengembangan sumber daya perajin songket hanya untuk meningkatkan produktifitas bersaing dan menghilangkan sifat kegotongroyongan.19 Merubah paradigma tersebut sangat diprioritaskan, sebab identifikasi kebutuhan pembinaan dan peningkatan kreasi dan kreatifitas perajin songket dalam wilayah ekonomi kerakyatan tidak bisa hanya sekedar sebuah pola kebersamaan, namun dikuatkan nilai-nilai kepada semua pelaku usaha songket. Oleh karena itu, menurut Hatta pembangunan yang dijalankan tidaklah boleh hanya berorientasi kepada pertumbuhan, tetapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana pembangunan itu berperikemanusian seperti telah dituangkan dalam pasal 27

18Wawancara dengan pengrajin songket tanggal 24-27 September 2010. 19Selama ini gotong royong dianggap sebagai kearifan lokal bangsa Indonesia yang diwariskan secara turun temurun di setiap generasi. Istilah gotong royong dapat dimaknai sebagai “bekerja bersama- sama dalam menyelesaikan pekerjaan, dan secara bersama-sama menikmati hasil pekerjaan tersebut secara adil. Atau suatu usaha atau pekerjaan yang dilakukan tanpa pamrih, dan secara sukarela oleh semua warga menurut batas kemampuannya masing-masing”. Dengan kata lain, gotong royong dapat dimaknai sebagai saling tolong menolong untuk mengerjakan sesuatu, khususnya sesuatu yang bermakna sosial dan ekonomis. Dilihat dari sudut agama Islam, gotong royong adalah salah satu perwujudan dari nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan yang melahirkan prestasi sosial. Lihat pemaknaan mendalam konsep gotong royong dalam membangun usaha rakyat. Bur Rasuanto, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas: Dua Teori Filsafat Politik Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005); Y Harsoyo, Ideologi Koperasi Menatap Masa Depan (Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma Bekerjasama dengan Penerbit Pustaka Widyatama, 2006).

348 ayat 2 UUD 1945.20 Artinya, pembangunan ekonomi tidak sekedar menguatkan pertumbuhan dan melupakan pemerataan. Berdasarkan hal tersebut, pengembangan unit usaha songket dilakukan melalui pendekatan resources based management, dan nilai-nilai Triple-Co. Resources based management yakni pengembangan ekonomi yang bertolak dari potensi-potensi transpormatif yang berada pada lingkaran usaha songket. Sementara Triple-Co membentuk ril kebersamaan, yaitu Co-ownership (ikut serta dalam pemilikan bersama), Co-determination (ikut memiliki dan ikut menentukan kebijakan perusahaan), Co-responsibility (ikut serta bertanggung jawab).21 Dalam kerangka ini, unit usaha songket Palembang di Sumatera Selatan berkembang di tengah masyarakat tidak ditempatkan sebagai objek, melainkan sebagai mitra. Ini artinya, ada kerjasama yang saling memberi dan menguntungkan tolong menolong dalam kebaikan, dimana pengrajin yang telah memiliki wawasan dari hasil pelatihan dikembangkan kepada pengrajin dan perajin lain yang membutuhkan. Quthb menegaskan bahwa pengembangan sumber daya adalah perilaku muamalah dalam membentuk dan membangun tata nilai kehidupan bermasyarakat dalam bentuk taka>ful (solidaritas) dan ta‟a>wun (kerjasama) berdasarkan pada

20Mohammad Hatta, Ilmu dan Agama (Jakarta: Yayasan Idayu, 1983); lihat juga Adi Isbandi R, Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas (Jakarta: Lembaga Penelitian Ekonomi UI, 2003); Sutarmadi, Islam dan Masalah Kemasyarakatan (Jakarta: Kalimah, 2000). 21Lihat kembali Sri-Edi Swasono, Kembali ke Pasal 33 UUD 1945 Menolak Liberalisme; Kelengahan Kultural dalam Pemikiran Ekonomi: Pacasila Pasal 33 UUD 1945 Koperasi Entrepreneurship- Kooperatif.

349 nash.22 Dalam konsep ekonomi Islam, kebersamaan dalam pengembangan sumber daya perajin songket seharusnya tidak dapat lepas dari norma manusia sebagai khali>fah fi> al-ard}i yang menjadi hak dan memiliki kesempatan untuk diraih. Alam semesta ini bukanlah milik manusia, tetapi milik absolut Tuhan. Manusia sebagai khalifah-Nya hanya dititipi dan diberi amanat untuk mengelola dan mengambil manfaat darinya. Pemanfaatan tersebut tidak bisa mengandalkan sumber daya yang tidak bisa menerima pengembangan, dan tidak bisa mengembangkan diri hanya untuk diri sendiri. Karena itu, perlu efisiensi berkeadilan dalam pengembangan sumber daya perajin songket harus ada jiwa, serta semangat tolong menolong antara sesama perajin dan pengrajin. Ditambah peran aktif negara dalam memantau mekanisme pasar. Diantara yang penting diselaraskan pengembangan sumber daya perajin songket dengan menjadikan dunia pendidikan sebagai salah satu medianya. Seperti memberikan mata pelajaran tambahan ketrampilan menenun songket.23 Disini, peran pemerintah daerah berfungsi sebagai penguat efisiensi berkeadilan pemberdayaan Sumber Daya Manusia. Artinya, pemerintah, dan pasar tidak selalu memberikan tanggung jawab produk songket optimal dan kaderisasi kepada perajin, namun juga didistribusikan lewat peran pemerintah daerah. Strategi pengembangan usaha songket seiring pula dengan langkah-langkah strategis yang dilakukan

22Sayyid Quthb, fî Zhila>l al-Qur‟a>n II, juz 3 (Beirut: Dar al- Syuruq, 1992). 23Berdasarkan hasil wawancara dengan pengrajin yang pernah melakukan pengembangan kerajinan songket, dengan mengajar pembuatan kain songket kepada 30 narapidana (napi) perempuan di Lembaga Permasyarakatan Pakjo Palembang, pada tahun 1989 selama dua tahun (1991).

350 pemerintah baik dalam menyederhanakan prosedur perijinanan, memperluas dan meningkatkan kualitas institusi pendukung yang menjalankan fungsi intermediasi sebagai penyedia jasa pengembangan usaha, teknologi, manajemen, pemasaran dan informasi, kebijakan bunga rendah, hingga kebijakan bagi hasil yang proporsional. Hal yang tidak kalah pentingnya, dengan cara meningkatkan kualitas kelembagaan koperasi, sebagai wadah organisasi kepentingan usaha bersama untuk memperoleh efisiensi kolektif. Langkah tersebut tidak dapat lepas dari manajemen Sumber Daya Manusia, sebagai salah satu faktor penentu kemampuan keberhasilan suatu usaha tenun songket. Dengan adanya kebersamaan dari semua pihak akan terlihat ukuran keberhasilan dari kinerja organisasi (organizational performance), dan manajemen Sumber Daya Manusia menjadi satu kesatuan dengan keberhasilan usaha. Upaya menganalisis kinerja organisasi tidak cukup hanya dari kinerja keuangan saja. Kinerja keuangan digolongkan sebagai hard issue. Selain aspek keuangan, suatu usaha harus dievaluasi berdasarkan soft issues yang bersifat non-finansial atau aspek aspek keperilakuan (behavioral). Aktifitas menenun songket terkait dengan kinerja organisasional dengan cara menciptakan nilai (value creation), yang berarti menggunakan keahlian Sumber Daya Manusia untuk mengkaitkan praktek manajemen dan organisasi internal dengan bisnis eksternal.24 Peningkatan sumber daya berkualitas melalui keterbawasertaan dalam program pembangunan lokal, terutama menguatkan regenerasi perajin songket yang tidak

24Lihat Robert A Giacalone dan Carole L Jurkiewicz, Handbook of Workplace and Organizational Performance (Armonk, N.Y.: M.E. Sharpe, 2010); Richard L Daft, Organization Theory and Design (Mason, Ohio: South-Western Cengage Learning, 2010).

351 terpisahkan dalam melakukan persaingan dan kemampuan wiraswasta25. Pengembangan efisiensi kerja tidak bisa pula dipisahkan dengan Sumber Daya Manusia (SDM) dan aktifitas pasar. Ekonomi Islam memandang bahwa pasar, negara, dan individu berada dalam keseimbangan (iqtis{a>d), tidak boleh ada sub-ordinat, sehingga salah satunya menjadi dominan dari yang lain. Perspektif Islam, pasar dijamin kebebasannya, bebas menentukan cara-cara produksi dan harga, tidak boleh ada gangguan yang mengakibatkan rusaknya keseimbangan pasar. Namun, dalam kenyataannya sulit ditemukan pasar yang berjalan sendiri secara adil (fair). Distorasi pasar tetap sering terjadi, sehingga dapat merugikan para pihak.26 Dari sini, pasar menunjang untuk menguatkan kemampuan ide- ide para pengrajin dan perajin tenun, sehingga mampu bersaing di pasar bebas, ketika pasar berfungsi memberikan signal kepada produsen dan konsumen produk yang harus dibuat atau harus dikembangkan dengan menggunakan Sumber Daya Alam lokal.27

25Raghuram G Rajan dan Luigi Zingales, Saving Capitalism from the Capitalists: Unleashing the Power of Financial Markets to Create Wealth and Spread Opportunity (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2004); lihat juga Prijono Tjiptoherijanto dan Laila Nagib, Pengembangan Sumber Daya Manusia: di antara Peluang dan Tantangan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008). 26Ade Warman Karim, Kajian Islam Kontemporer (Jakarta: TIII, 2003). 27Aburizal Bakrie, Merebut Hati Rakyat melalui Nasionalisme, Demokrasi, dan Pembangunan Ekonomi: Sumbangan Pemikiran Aburizal Bakrie (Jakarta: Primamedia Pustaka, 2004). Data tersebut menunjukkan pula bahwa ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai kajian tentang perilaku manusia dalam hubungannya dengan pemanfaatan sumber- sumber produktif yang langka untuk memproduksi barang-barang dan jasa-jasa, serta mendistribusikannya untuk dikosumsi, termasuk didalamnya pengembangan sumber daya perajin songket.

352

Berdasarkan hal tersebut, dapat dipahami bahwa pola pengembangan efisiensi berkeadilan dalam penguatan sumber daya perajin songket didasarkan pada sumber daya perajin, terdiri dari penenun yang bekerja berdasarkan ketrampilan warisan, dan pengrajin-perajin melakukan aktifitas kerjasama dalam membuat desain berbagai aksesories yang bernilai jual dan bersaing di pasar. Aktifitas dari semua komunitas yang ada dalam kluster usaha songket, terbangun pula dengan keterbawasertaan semua unit usaha songket oleh pemerintah dalam semua aktifitas pengembangan seperti pelatihan, pendidikan, dan kerjasama. Sehingga, terjadi pelestarian seni tenun songket yang inovatif dan berdaya saing yang terjalin dalam kebersamaan. Realitas yang terjadi, adanya indikasi para pengrajin dan perajin songket yang hanya menunggu bantuan pemerintah satu sisi, sisi lain tanggung jawab pelestarian diberikan kepada perajin dan pengrajin, sisi yang lain penguatan usaha lebih pada penguatan masing-masing komunitas unit usaha.28

28Membangun hal tersebut tidak dapat lepas dari kepemimpinan yang memiliki visi, misi, strategi, dan program pemberdayaan Sumber Daya Manusia. Mohammad Hatta dengan kegigihannya membangun dan mengimplementasikan UUD 1945 terutama pasal 27, 33 dan 34 dapat menjadi contoh untuk Indonesia. Mahathir Mohamad memimpin Malaysia dengan program New Economic Policy (1970-2000) melalui visi membangun ekonomi bumiputra dan menciptakan good governence berhasil menyalip Indonesia sejak tahun 1990-an. Demikian juga Kim Young Sam dan Kim Dae Jung (Korea Selatan), Chuan Leek Pai dan Thaksin (Thailand). Kedua, adanya proses demokratisasi yang menyejahterakan rakyat banyak. Proses demokratisasi di Korea dari peran para konglomerat (Chaebol) menuju kebersamaan hingga mampu menyelesaikan problem ketimpangan rakyatnya dengan penegakan hukum terhadap korupsi skala mega, termasuk mencontohkan hukuman mati terhadap dua mantan Presidennya. Ketiga, resource based economic development. Malaysia dan Thailand mampu mencapai keberhasilan pembangunan ekonominya yang memadukan antara kemajuan Iptek dengan pengelolaan sumber daya alamnya. Thailand merajai ekspor

353

Kerajinan songket memerlukan kreativitas sebagai modal utama, untuk mengacu pada kemampuan individu yang mengandalkan keunikan dan kemahirannya untuk menghasilkan gagasan baru bernilai bagi. Kreativitas dapat juga dianggap sebagai suatu pengalaman untuk mengungkapkan, dan mengaktualisasikan kemampuan atau kemahiran menenun secara terpadu bagi dirinya sendiri, maupun untuk orang lain. Kreatifitas berkaitan dengan inovasi yang tepat sasaran (appropriate).29 Kreativitas muncul di karya tenunan, sedangkan inovasi berhubungan dengan pengembangan teknologi yang dimiliki, sehingga lebih mudah dalam berkreasi. Kreatifitas pengrajin-perajin songket memiliki dua unsur, yaitu: Pertama, kefasihan yang produk-produk agro industri di dunia untuk teknologi menengah dan sederhana. Pendapatan penduduk rata-rata kedua negara tersebut jauh melampaui Indonesia. Keempat, kemampuan mereaktualisasikan nilai-nilai agama, tradisi, dan nilai lokal bersamaan dengan proses ekselerasi industrialisasinya. Jepang, bahkan memunculkan nilai-nilai model manajemen Total Quality Control (TQC, Toyotaism) seperti nilai-nilai seniorism, long-live worker, dan loyalitas karyawan terhadap perusahaan dikutip dari nilai-nilai ajaran agama (Sintoisme). Implementasi Indonesia memiliki kekuatan dalam membangun bangsa lebih maju jika saja Pancasila, UUD 1945 menekankan kesejahteraan sosial yang societal welfare dan menafsirkan sekaligus mengimplementasikan semua pasal yang ada termasuk pasal 27, 33, 34 UUD 1945 dan parameter nilai-nilai agama (ekonomi Islam) dan payung bagi ekonomi Syari‟ah dapat disadari dan dilakukan oleh semua komponen dan strata masyarakat Indonesia tanpa “malu-malu”, maka penghambaan terhadap kapitalisme dan neoliberalisme yang menghilangkan jati diri bangsa Indonesia akan terkikis dan menjadikan masyarakat memiliki jati diri bangsa Indonesia berdaulat. Lihat kembali berbagai pemikiran ekonomi dalam karya Mohammad Hatta, Sri-Edi Swasono, Mubyarto, Sritua Arif, Dawam Rahardjo, Muhammad Amin Suma, Revrisond Baswir, Didin S. Damanhuri, Murasa Sarkani Putra, Fathurrahman Djamil, Abdul Hamid, Rodoni dalam disertasi ini 29Kiagus Zainal Arifin, Songket Palembang: Indahnya Tradisi Ditenun Sepenuh Hati (Jakarta: Dian Rakyat, 2006); Netti Tinaprilla, Jadi Kaya dengan Berbisnis di Rumah (Jakarta: Gramedia, 2007).

354 ditunjukkan oleh kemampuan menghasilkan sejumlah besar gagasan pemecahan masalah secara dini dan cepat. Pada saat kain songket mengalami penurunan pembelian, maka seorang pengrajin-perajin melakukan terobosan desain yang lebih berorientasi pasar, dengan tidak meninggalkan eksistensi dan ciri khas kain songket. Kreatifitas dalam mendaur ulang kain songket ke dalam berbagai aksesoris sebagai cinderamata yang sudah dilakukan, memperlihatkan ada upaya melakukan kreatifitas dan inovasi. Kreatifitas lain yang bisa ditawarkan seperti membuat map untuk kegiatan formil seperti penandatangan MOU, kaligrafi berbahan dasar kain songket. Kaos dengan motif kain songket yang didesain menjadi lebih terkesan menarik, sarung bantal songket.30 Hal-hal tersebut memerlukan kemitraan dengan kelompok lain, sehingga kreatifitas kain songket semakin menjadi lebih bervariasi dan menjadi salah satu komoditas eksport daerah unggulan provinsi Sumatera Selatan dan sekaligus menjadi ciri khas budaya masyarakat Sumatera Selatan. Kedua: keluwesan dalam memanfaatkan jaringan dan komunikasi dengan pengrajin lain maupun dengan para pelanggan, distributor untuk mendapatkan ide-ide pengembangan usaha songket. Seiring dengan kreatifitas sebagai penguat sumber daya pengrajin dan perajin songket yang ingin maju akan merasakan bahwa: (1) kreatifitas merupakan kemampuan (ability) yang bisa terus dikembangkan untuk mendapatkan hal-hal yang baru; (2) kreatifitas merupakan sikap (attitude) untuk menerima perubahan dan sesuatu yang baru sambil memberikan penjelasan pada masyarakat yang belum siap menerima

30Susan Rodgers et.al., Gold Cloths of Sumatra: Indonesia's Songkets from Ceremony to Commodity (Leiden: KITLV Press; Worcester, Mass: Iris and B. Gerald Cantor Art Gallery, College of the Holy Cross, 2007); Justine Vaisutis, Indonesia (Melbourne: Lonely Planet, 2007).

355 perubahan songket dengan modifikasi mengikuti arus pasar; (3) kreatifitas merupakan sebuah proses (process) secara berkelanjutan untuk membuat perubahan dan perbaikan secara bertahap pada usaha songket. Konsep Islam dalam berkreatifitas berstandar pada kesadaran bahwa dengan bekerja berarti kita merealisasikan fungsi kehambaan kepada Allah, dan menempuh jalan menuju ridha-Nya, mengangkat harga diri, meningkatkan taraf hidup, serta memberi manfaat kepada sesama. Untuk itu, tatanan nilai dalam berkreatifitas tidak dapat lepas dari nilai nilai syari‟ah seperti: (1) al-s}ala>h, yaitu setiap aktifitas bertenun memberi nilai baik dan berdaya guna (Q.S. al-An‟a>m [6]: 132; (2) al-itqa>n, yaitu kemantapan untuk melakukan yang terbaik dalam setiap bertenun, tidak asal jadi, dan karenanya diperlukan dukungan pengetahuan dan pengalaman yang diamalkan baik untuk diri sendiri, maupun untuk para kader penenun pemula (Q.S. an-Naml [27]: 88); Q.S. al-Baqarah [2]: 263; (3) al-Ihsan sebagai upaya memaksimalkan pekerjaan dengan semangat ibadah (Q.S. Fus}s}ilat [41]: 34, (4) al-Muja>hadah yang berkenaan dengan optimalisasi dalam bekerja (Q.S. a>li- „Imra>n [3]: 142, Q.S. al-Ma>‟idah [5]: 35, Q.S. al-Hajj [22]: 77, Q.S al-Furqa>n [25]: 25, dan Q.S. al-„Ankabu>t [29]: 69); (5) tanafus dan ta‟a>wun, yaitu berkompetisi namun tetap berusaha saling tolong menolong, fastabiqul al-khaira>t (Q.S. al-Baqarah [2]: 108; Q.S. a>li-Imra>n [3]: 133-135; Q.S. at-Tat}fi>f [83]: 22-26; Q.S. al-Hujura>t [49]: 13). Ayat ayat tersebut menyuratkan dan menyiratkan etos persaingan dalam kualitas kerja.31

31Saneya Hendrawan, Spritual Management: from Personal Enlightman to Words God Corporate Govermance (Jakarta: Mizan, 2009). Pemahaman al-Ihsan lebih luas lihat. al-Alu>si, Ru>h al- Ma‟a<>ni fi> Tafsi>r al-Qur‟a>n al-Azi>m wa Sab‟a al Masta‟ni (Beirut: Dar Kutub al-Imiyyah, 1974), juz 12; juz 14.

356

C. Corak Usaha Berbasis Nilai Seperti dijelaskan sebelumnya, kain songket memiliki nilai sejarah budaya serta memiliki keistimewaan. Masyarakat Palembang memiliki keharusan untuk memakai kain songket dalam setiap upacara adat, perkawinan ataupun upacara adat lainnya dan tidak untuk dipakai sehari-hari. Pemakaian kain songket untuk upacara perkawinan berbeda dengan yang digunakan untuk upacara keagamaan, dan upacara adat lainnya. Kain songket merupakan tenun budaya yang menjadi bagian penting untuk dilestarikan. Karena itu, setelah menguatkan Sumber Daya Manusia dalam kerangka efisiensi berkeadilan dengan nilai sosial, maka corak usaha juga dibangun berdasarkan konsep tersebut dengan nilai-nilai humanis spritualis. Pentingnya penegasan humanis32 spritual33 dalam wilayah efisiensi

32Humanisme sama dengan kemanusiaan. Inti pemikiran humanisme adalah melihat bahwa manusia adalah makhluk yang berharga, yang punya potensi sangat besar, yang mampu menaklukan berbagai persoalan berat humanisme sangat mendewakan kemampuan manusia dan rasionalitas humanisme mulai "booming" saat era renaissans, karena ilmu pengetahuan dan rasio manusia sangat dihargai saat itu dalam batas tertentu, humanisme bisa mendorong ketidakpercayaan terhadap Tuhan, karena merasa manusia sudah begitu. Secara khusus, humanisme tidak berkaitan dengan kegiatan sosial, humanisme lebih ke cara pikir mendewakan kemampuan manusia. Konsep ini pada mulanya ditujukan pada guru atau murid yang mempelajari kebudayaan seperti gramatika, retorika, sejarah, seni puisi atau filsafat moral. Pelajaran inilah yang dalam konsep humanisme biasa disebut sebagai studia humanitatis. Pada era renaisans, ilmu-ilmu tersebut menduduki kedudukan yang amat penting. Oleh sebab itu, kaum humanis memilki kedudukan yang cukup terpandang dalam komunitas intelektual. Secara umum, humanisme berarti martabat dan nilai dari setiap manusia, dan semua upaya untuk meningkatkan kemampuan-kemampuan alamiahnya (fisik non fisik) secara penuh. Dalam istilah umum untuk berbagai jalan pikiran yang berbeda yang memfokuskan dirinya ke jalan keluar umum dalam masalah-masalah atau isu-isu yang berhubungan

357 tidak lepas dari nilai dasar produktifitas dan distribusi dalam bisnis, memerlukan suatu proses memanusiakan manusia dengan disemangati oleh nilai-nilai ilahiyah, sehingga terjadi keseimbangan antara aspek rohani dan aspek jasad menuju kesejahteraan sosial. Pelaku bisnis selalu berpegang teguh tentang hakikat manusia, sehingga tidak terjebak dalam wilayah materialisme. Sementara dari sisi yang bersamaan, membangun spiritualisme adalah usaha melakukan refressing mental atau ruhani berupa keyakinan, iman, ideologi, etika, dan pedoman atau tuntunan. Membangun spritualisme dapat dilakukan dengan berbagai media. Salah satunya adalah yang membangun dengan manusia. Humanisme telah menjadi sejenis doktrin beretika yang cakupannya diperluas hingga mencapai seluruh etnisitas manusia, berlawanan dengan sistem-sistem beretika tradisonal yang hanya berlaku bagi kelompok-kelompok etnis tertentu. Lihat Ensiklopedia Britannica, 2007; Abdurrachman Mas'ud, Menuju Paradigma Islam Humanis (Yogyakarta: Gama Media, 2003); Jakob Oetama, Berpikir Ulang tentang Keindonesiaan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001). 33Spiritualisme di dalam agama adalah kepercayaan, atau praktek-praktek yang berdasarkan kepercayaan. Dalam sub ini tidak membahas perdebatan manifesto humanis seperti (1) kajian bahwa humanis yang memandang alam semesta ada dengan sendirinya dan tidak diciptakan; (2) kepercayaan bahwa manusia adalah bagian dari alam dan bahwa dia muncul sebagai hasil dari proses yang berkelanjutan; (3) bahwa dualisme tradisional tentang pikiran dan jasad harus ditolak. Dari hal tersebut memperlihatkan ekspresi dari sebuah filsafat umum yang mewujudkan dirinya di bawah nama materialisme, Darwinisme, ateisme, dan agnotisisme. Lebih mengkaji humanis spritualis atau humanis teosentris yang mengarahkan manusia untuk dapat membangun nilai-nilai humanisme dalam bangun nilai-nilai keagamaan. Lihat Said Aqiel Siradj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, bukan Aspirasi (Bandung: Mizan, 2006); Syamsul Arifin et.al., Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan (Yogyakarta: Sipress, 2000); Dody S Truna dan Ismatu Ropi, Pranata Islam di Indonesia: Pergulatan Sosial, Politik, Hukum, dan Pendidikan (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2002).

358 spiritualitas yang bersumber dari agama yang dinamakan spritualisme religius yang pada dasarnya merupakan bentuk spritualitas yang bersumber dari ajaran Tuhan, diyakini memiliki kekuatan spiritual yang lebih kuat, murni, suci, terarah, dan abadi dibandingkan spritualitas sekuler dengan berbagai coraknya. Membangun spritualitas religius dengan demikian merupakan kebutuhan untuk diwujudkan di tengah kehidupan masyarakat modern.34 Selama ini banyak berkembang dalam masyarakat kita sebuah pandangan dikotomis antara dunia dan akhirat. Dikotomisasi antara unsur-unsur kebendaan dan unsur agama, antara unsur kasat mata dan tak kasat mata. Mereka yang memilih keberhasilan di alam vertikal cenderung berpikir bahwa kesuksesan dunia justru adalah sesuatu yang bisa dinisbikan, atau sesuatu yang demikian mudahnya dimarginalkan. Hasilnya, mereka unggul dalam kekhusyu‟an dzikir dan kenikmatan berkontemplasi, namun menjadi kalah dalam percaturan ekonomi, ilmu pengetahuan, sosial, politik dan perdagangan di alam horizontal. Sebaliknya, seseorang yang berpijak hanya pada alam kebendaan, kekuatan berpikirnya tidak pernah diimbangi oleh kekuatan dzikir.35 Manusia sebagai makhluk ciptaan dilengkapi dengan potensi pengembangan diri secara bebas dan kontinyu sepanjang kemampuan dirinya dalam memahami inti proses kehidupannya. Usaha peningkatan tenun songket, maupun ekonomi mikro dan kecil lainnya tidak terlepas dari pelaku usaha sebagai makhluk alternatif yang ditawarkan pilihan

34Said Aqil Husin al-Munawar dan Abdul Halim, al-Qur'an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Jakarta: Ciputat Press, 2002). 35Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual (Jakarta: Arga, 2001), xxxviii; lihat juga Kisdarto Atmosoeprapto, Temukan Kembali Jati Diri Anda (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2004).

359 nilai yang terbaik yaitu nilai ilahiyat, sehingga kemudian dikatagorikan sebagai makhluk bebas, tetapi tidak bebas nilai (nilai alternatif). Sekaligus empat potensi, yaitu: naluriah, indrawi, akal, dan potensi keagamaan membawa keragaman dalam mencapai kualitas diri. Dari persepktif tersebut, maka kajian etika pada diri manusia terdapat keragaman dan kecenderungan untuk menundukkan diri pada sesuatu yang dikagumi, di samping jiwa yang selalu merasa menyesal dan merasa bersalah (sense of quilty). Al-Qur‟a>n dan al-Hadits juga menjelaskan tentang potensi diri manusia dengan berbagai macam fitrah yang antara lain, adalah: Pertama, fitrah agama, fitrah beragama sudah tertanam dalam jiwa manusia semenjak dari alam arwah dulu (Q.S. al-A‟ra>f [7]: 172). Kedua, fitrah suci, keadaan yang membuat manusia kotor adalah dosa, dan itupun bila manusia itu sudah mencapai baligh dan mumayyiz (Q.S. at-Tat}fi>f [83]: 14). Ketiga, fitrah beral-akhla>q, ajaran Islam menyatakan secara tegas sekali bahwa Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah untuk menyempurnakan al-akhla>q. Allah juga menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam sebaik-baik kejadian (Q.S. at-Ti>n [95]: 4) termasuk dalam kejadian adalah etika moralnya. Keempat, fitrah kebenaran, dalam al-Qur‟a>n bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui kebenaran (al-Baqarah [2]: 26 dan 144). Kelima, fitrah kasih sayang, menurut al-Qur‟a>n dalam diri manusia telah diberi fitrah kasih sayang (Q.S. ar-Ru>m [30]: 21; Q.S. al-Mumtah}anah [60]: 7; Q.S. al-Balad [90]: 17). Kelima potensi yang terangkum pada fitrah potensi dasar manusia menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk biologis (basyr dan nafs), sedangkan hidayat al- aqliyah (aqal), dan hidayat al-di>niyah (agama) termuat dalam ruh. Oleh karena itu kecerdasan emosi, seperti

360 keterampilan sosial, ketangguhan bekerja, loyalitas, komitmen, optimisme yang dapat membentuk karakter seorang pengrajin maupun perajin songket jauh lebih penting bagi faktor keberhasilan, dibandingkan dengan ranah kognitf yang diukur melalui kecerdasan otak. Pada hakekatnya keberhasilan sangat ditentukan faktor usaha (ikhtiar) yang dilakukan.36 Tetapi, setiap usaha tidak selalu membuahkan hasil, karena keberhasilan sangat dipengaruhi banyak faktor, termasuk faktor keterbatasan dan kelemahan manusia, termasuk memaknai kegagalan, kecemasan, frustasi, dan sejenisnya. Meskipun semuanya manusiawi dan hal yang fitrah dalam diri manusia, kecerdasan emosi sangat diperlukan untuk mengatasi problem-problem tersebut. Emosi bukanlah suatu hal yang negatif. Emosi yang dapat dikendalikan dan dikelola secara baik justru memiliki potensi besar untuk mengarahkan seseorang kepada keberhasilan. Sebaliknya, emosi akan menyebabkan malapetaka, jika kita tidak dapat mengendalikan dan mengelolanya secara baik. Dalam pengertian yang lain, bahwa emosi mempengaruhi energi mental seseorang dalam menumbuhkan kreatifitas. Masing-masing aspek inteligensi, emosi dan kreatifitas terkait satu sama lain, dan imajinasi kreatif (creative imagination) terkait dengan memberfungsikan belahan otak kanan (right brain).37 Nilai-nilai tersebut

36Muhammad Sa‟i>d Ramad}a>n al-Bu>t}i>, D}awa>bit} al- Mas}lahah fî al-Shari>‟ah al-Isla>miyah (Beirut: Da>r al-Muttahidah, 1992); Anas al-Zarqa>, Islamic Economic an Approach to Human Welfare in Studies in Islamic Economic (Leicester: the Islamic Foundation, 1980); S.M Ghazanfar dan Azim Islahi, Economic Thought of an Arab Scholastic Abuha>mid al-Gha>za>li>, History of Political Economy (London: Duke University Press, 1998). 37Kisdarto Atmosoeprapto, Temukan Kembali Jati Diri Anda (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2004). Peranan IQ sebagai ukuran

361 penting untuk ditekankan bagi para pengrajin-perajin songket, sebab dengan adanya nilai tersebut akan terpatri dalam diri pengrajin-perajin bahwa ketrampilan yang dimiliki adalah sebuah anugrah yang tidak boleh disia- siakan, dengan standar hanya untuk menambah pendapatan keluarga, bukan sekedar hanya mendapat upah dan harta untuk dikonsumsi, tapi hasil karyanya dapat berdaya guna bagi masyarakat.38 Lebih dari itu, bahwa ketrampilan yang dimiliki dapat menjadi penerus dan pelestari sejarah budaya lokal Sumatera Selatan, sekaligus menambah penguat

kecerdasan seseorang menjadi pemain tunggal sekaligus pemain utama dalam memprediksi kemampuan seseorang baik selama masa pembelajaran di sekolah dan perguruan tinggi maupun sebagai calon karyawan dan karyawati. Seolah-olah IQ adalah segalanya. Namun dari hasil test IQ, kebanyakan orang memiliki IQ tinggi menunjukan kinerja buruk dalam pekerjaan, sementara yang ber IQ sedang, justru sangat berprestasi. Kemampuan akademik, nilai rapor, predikat kelulusan pendidikan tinggi tidak bisa menjadi tolak ukur seberapa baik kinerja seseorang sesudah bekerja atau seberapa tinggi sukses yang akan dicapai. Saat ini, perusahan-perusahaan raksasa dunia sudah menyadari hal ini. Mereka menyimpulkan pribadi dan sosial yang merupakan kunci utama keberhasilan seseorang adalah kecerdasan emosi (EQ). Dengan munculnya EQ sebagai tolak ukur baru yang mampu memprediksi kemampuan seseorang tidak hanya dalam bidang akademik, bidang yang berkaitan dengan rasio dan kemampuan analisis, tetapi menyangkut hampir seluruh bidang dalam segala aspek kehidupan, dunia menjadi gempar, terutama di kalangan ilmuwan dan EQ langsung menggeser IQ, menjadi pemain utama yang lebih menentukan jalan cerita dan IQ hanya sebagai pemain pendamping yang kontribusinya dalam menentukan jalannya cerita dalam kehidupan tidak lebih dari 20. Lihat Steven J. Stein dan Howard E, Ledakan EQ: 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emotional Meraih Sukses (Bandung: Penerbit Kaifa, 2002). 38Afar, al-Iqtis}a>d al-Isla>mi> al-Juz-i> (Jeddah: Da>r al- Baya>n al-„Arabi>, 1985), jld. 3; Malcom Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan (Jakarta: Gunung Mulia, 2004).

362 keimanan, dimana semua aktifitas yang dikelola dengan baik, ditekuni, dan fokus akan memberikan kontribusi.39 Model penenunan dengan sepenuh hati meretas adanya ketenangan batin, dan ketenangan batin akan tercipta manakala seseorang merasakan adanya kedekatan dengan Ilahi.40 Kecerdasan tersebut harus pula didasari oleh kesadaran akan kebenaran sejati, yang didorong oleh kekuatan dan kesadaran untuk mencapai ridho Allah, sehingga terbentuk suatu pribadi yang memiliki komitmen dan integritas tinggi, serta ketakwaan. Adanya kerjasama antara otak sebelah kanan yang berperan dalam emosi, sedangkan otak sebelah kiri yang berperan dalam rasio, dan otak sebelah kanan ini akan menghasilkan efek sinergis yang mempunyai daya luar biasa dan bisa berkembang nyaris tanpa batas, namun yang akan memberi arah yang benar adalah hati nurani atau spiritual yang intellegensinya disebut spiritual intellegence.41 Kesimpulan yang didapatkan pada proporsi di atas bahwa dalam membangun corak pengembangan usaha songket berbasis nilai dibentuk dengan keseimbangan antara keahlian, intelektual, dan spritualitas sehingga produktif. Dampak dari hal tersebut, upah yang dapat

39M Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Budaya (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa bekerjasama dengan the International Institute of Islamic Thought Indonesia [IIIT] dan Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 2002). 40Nilai-nilai ketenangan batin dapat dilihat M Cholil Bisri, Menuju Ketenangan Batin (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008), 97- 98; M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi (Jakarta: Gema Insani, 2006). 41Lihat Alan E. Nelson, Spiritual Intellegence: Discover Your SQ Deepen Your Fath (USA: Baker Publishing Group, 2010); lihat juga Tony Buzan, the Power of Spiritual Intelligence (Jakarta: Gramedia, 2003). Sebagai perbandingan dalam menggali spiritual intelegence lihat juga Brian Draper, Spiritual Intelligence: a New Way of Being (Oxford: Lion, 2009).

363 menjamin kelangsungan hajat yang sesuai dan usaha yang berdaya guna, sehingga menimbulkan ketenangan yang membentuk keimanan menjadi lebih baik. Corak pengembangan usaha songket berbasis nilai selanjutnya adalah dengan membentuk kemitraan melalui akad42 shari>‟ah. Titik lemah usaha songket Palembang sebagaimana ditemukan dalam studi ini adalah kemitraan yang tidak produktif. Penyalahgunaan kepercayaan, hingga persoalan keadilan memberikan jalur informasi peta penjualan, maupun peta distribusi. Sehingga, menimbulkan konflik kepercayaan dan ketidakadilan distribusi. Sebagaimana dipahami sebelumnya, bahwa konsep dasar transaksi

بقبول ايجاب ارتباط 42Untuk diingat kembali bahwa al-„Aqdu, yaitu Hubungan antara ijab dan qabul sesuai dengan محله فى أثره مشروع وجه على kehendak syariat yang menetapkan adanya pengaruh/akibat hukum pada obyek akadnya. Salah satu bentuk akad yang sesuai dengan investasi (ististmar) harta adalah akad mud{a>rabah berdasarkan lughat penduduk Iraq, yaitu kerja sama antara pemilik modal dengan pengelola modal dalam kerangka hukum dan ketentuan shari>‟at Islam. Beberapa istilah yang berkaitan dengan janji atau perjanjian, yaitu kata wa‟ad (al-wa‟du), akad (al-‟aqdu), dan ‟ahd (al-‟aqdu), janji, perjanjian, perikatan, persetujuan. Secara umum, kata-kata tersebut sering dianggap sama atau mempunyai pengertian yang serupa. Tetapi, dalam kajian hukum istilah tersebut memiliki arti dan implikasi yang berbeda. Sebagian ahli hukum Islam yang menilai bahwa janji (wa‟ad) ini tidak hanya mengikat secara moral tetapi juga secara hukum apabila dikaitkan dengan suatu sebab, baik sebab itu disebutkan dalam pernyataan janji atau tidak disebutkan (QS. al-Shaff [60]: 2-3) dan Hadis tentang tanda orang munafik, yang salah satunya apabila berjanji dia mengingkari. Orang yang memberikan “janji” (wa‟ad), bila menjalankan janji tersebut merupakan suatu bentuk etika yang baik (akhlak karimah) karena didasarkan pada kebajikan (tabarru‟) sebagaimana hibah. Lihat Ahmad ibn Abdurroza>q al- Duwaisy, Fata>wa al-Lajnah al-Da>imah li al-Buhu>ts al-Ilmiyyah wa al-Ifta (Riyadh: Da>r al-S}imah, 2000), bab al-buyu‟; Fathurrahman Djamil, “Akad dan Aspek Legalitas dalam Transaksi Ekonomi Syariah”, naskah ajar Fiqh Muamalat dalam Keuangan dan Perbankan Islam (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syahid, 2010), 1.

364 ekonomi Islam adalah membangun efisiensi yang mengacu pada upaya berusaha, dengan mencapai laba, dengan biaya yang dikeluarkan selayaknya. Dengan adanya prinsip tersebut, maka hubungan kemitraan adalah „an tara>d}in dan saling isi dalam meningkatkan produktifas usaha. Berkenaan dengan hal tersebut, salah satu rukun jual beli dalam Islam adalah ada barang dan ada uang. Rukun jual beli tersebut adalah sesuatu yang harus wujud. Terpenuhi dan tidaknya atau ada dan tidaknya rukun tersebut menentukan sah dan tidaknya perdagangan yang dilakukan.43 Sementara bentuk-bentuk pengembangan modal menurut ketentuan shari>‟ah mu‟amalah, dapat dilakukan dalam bentuk: (1) transaksi akad jual-beli, yaitu pengembangan modal usaha di mana seseorang berada dalam posisi sebagai penjual dan yang lainnya sebagai pembeli, seperti dalam akad al-ba‟i (2) transaksi akad bagi-hasil, yaitu pengembangan modal usaha di mana seseorang dapat bertindak sebagai pemberi modal, dan yang lainnya bertindak sebagai pengelola modal, dengan ketentuan akan membagi hasil yang diperoleh sesuai perjanjian yang telah disepakati. Transaksi ini dapat dilihat dalam akad-akad bagi hasil, seperti dalam akad as-shirkah seperti akad al-mud}a>rabah dan akad as-shirkah. (3)transaksi akad jasa, yaitu

43Muhammad Bagir S}adar, Islam and Schools of Economic. Lihat juga J. Snider, R. P. Hill dan D. Martin, “Corporate Social Responsibility in the 21st Century: a View from the World‟s Most Successful Firms,” Journal of Business Ethics, no. 48, 2003; Jusmaliani, Kajian Teori Ekonomi dalam Islam: Kebijakan dalam Perekonomian Islam (Jakarta: Pusat Penelitian Ekonomi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2004). Bandingkan dengan Muhammad Baqir ash-Shadr, Islam and Schools of Economic, diterjemahkan oleh M Hashem, Keunggulan Ekonomi Islam: Mengkaji Sistem Ekonomi Barat dengan Kerangka Pemikiran Sistem Ekonomi Islam (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002).

365 pengembangan modal di mana seseorang bertindak sebagai konsumen/pemakai jasa, dan wajib memberikan harga kepada pihak yang telah memberikan jasa tersebut menurut kesepakatan yang dibuat, seperti dalam akad al- rahn, al-wadi‟ah. Kemitraan juga ditegaskan dalam konsep mud}a>rabah, yaitu seseorang memberikan harta kepada pekerja untuk diperdagangkan sedangkan keuntungan menjadi milik bersama,44 sehingga mud}a>rabah (profit and loss sharing system) adalah suatu sistem usaha berbagi atas laba dan rugi, di mana pihak-pihak yang melakukan investasi bersama memberikan modal, tenaga kerja dan manajemen pada kesepakatan kontrak untuk usaha patungan dengan persentase nisbah yang ditentukan diawal kontrak. Konsekuensi logis dari kemitraan melalui pelaksanaan mud}a>rabah ada pada tanggungan kerugian. Kerugian sebagai resiko usaha (dalam bentuk materi) ditanggung oleh pemodal, kecuali kerugian itu karena kealpaan pengusaha. Dapat dipahami bahwa pengusaha secara tidak langsung juga mengalami kerugian dari segi kerja dan waktu. Tentu saja disini dituntut kredibilitas dan profesionalitas usaha.

44Muhammad Abdul Mun‟im Abu Zaid, al- wa Tat}biqatiha al- „Amaliyah fi> al- Mas}arif al-Islamiyah (al-Qa>hirah; al-Ma‟ahad al- „A>limi li al-fikr al-Islam, 1996). Mud}a>rabah menurut Hanabilah menyebutkan dengan memberikan harta untuk diperdagangkan kepada orang lain dan keuntungan (dibagi) pada keduanya. Lihat ibn-Qudamah, al- Mughni, jiid 5 (Kairo: Da>r al-Mana>r, 1376 H). Hanafiah dengan akad kerja sama untuk mencari keuntungan dimana harta dari pemiliknya dan kerja dari pihak pengusaha. Lihat Hasyiyah ibn „Abidin, Rad al- Mukhta>r (Beirut: Da>r al-Fikr. tth). jilid 5; Malikiyah mengartikan pemodal memberikan uang dalam jumlah tertentu dan di ketahui kepada pedagang (pemberian) bagian dari keuntungan (yang diperoleh). Lihat al- Khatib al-Sharbaini, Mughni al-Muhta>j, jilid 2 (Beirut: Da>r al-Fikr, 1994).

366

Impelemtasi mud}a>rabah dimana terjadi akad kerja sama usaha di bidang kerajinan songket Palembang antara dua belah pihak dimana pihak pertama (sahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lain menjadi pengelola (perajin). Keuntungan usaha dibagi menurut kesempatan yang dituangkan dalam kontrak. Konsekuensi kerugian ditanggung oleh pihak modal selama bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian pengelola, maka si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian. Berdasarkan ijma‟ para ulama juga telah membolehkan mud}a>rabah, bahkan ada juga sebagian ulama yang membolehkan berdasarkan qiyas kepada al-Musaqah.45 Aspek kemitraan antara pengrajin dan pengrajin songket dalam keuntungan adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Kejelasan jumlah keuntungan yang diperoleh dari hasil usaha merupakan salah satu prasyarat keuntungan. Karena, keuntungan adalah tujuan akhir mud}a>rabah. Keuntungan yang tidak jelas berimplikasi pada kerusakan (fasad) mud}a>rabah, berarti syarat batal. Namun meskipun syarat keuntungan batal, akad tetap sah.46 Pembagian keuntungan bagi masing- masing pihak pada mud}a>rabah ditetapkan melalui perjanjian bersama dengan persentase. Jadi, tidak ada jumlah pasti dari keuntungan yang harus diterima pada perjanjian mud}a>rabah, dan tidak selayaknya bagi salah satu pihak

45al-Musaqah adalah penyerahaan sebidang kebun pada petani untuk digarap dan dirawat dengan ketentuaan bahwa petani mendapatkan bagian dari hasil kebun itu. Lihat Hasyiyah ibn „Abidin, Rad al- Mukhta>r. Petani yang bekerja disebut al-musaqi, sedangkan yang punya kebun disebut rab al-syajr. Lihat Said Sabiq, Fiqh al-Sunnah, jilid 3 (tt: al-Muallaf, 1998 M). 46Al-Khatib al-Syarbaini, Mughni al-Muhta>j, jiid 2 (Beirut Da>r al-Fikir, 1978).

367 diperkenankan mengambil seluruh keuntungan tanpa membagi pada pihak yang lain. Proporsi keuntungan masing-masing pihak harus diketahui pada waktu berkontrak, dan proporsi tersebut harus dari keuntungan. Misalnya 60% dari keuntungan untuk pemodal dan 40% dari keuntungan untuk pengelola. Tidak dibenarkan syarat dengan menentukan bagian mud}arib dengan jumlah tertentu, karena porsi masing- masing pihak tidak jelas. Ketidakjelasan porsi masing- masing pihak dapat merusak mud}a>rabah. Seperti: pemilik modal menentukan bahwa porsi mud}arib adalah seratus dinar atau lebih dan sisanya diambil oleh shahib al-mal. Kalau jangka waktu akad mud}a>rabah relatif lama, ini berlaku pada mud}a>rabah mustamirrah seperti mud}a>rabah untuk jangka panjang, maka nisbah keuntungan disepakati untuk ditinjau dari waktu ke waktu. Secara teknis, tinjauan keuntungan dapat dilihat pada laporan periodik keuangan. Dari kajian tersebut, memperlihatkan bahwa nilai keadilan47 yang dibangun dalam usaha terlihat jelas dan hal tersebut tidak dapat lepas dari konsep aqd. Aqd yang

47Al-Qur‟an banyak sekali berbicara tentang keadilan. Ada beberapa ayat yang memuat kata adil, yaitu: an-Nah}l (16): 90, al-A‟ra>f (7): 7, as}-S}u‟ara>‟ (26): 181-183, an-Nisa>‟ (4): 58, S}a>d (38): 26, al- Ma>‟idah (5): 8, an-Nisa>‟ (4): 135, al-Baqarah (2): 177. Dari beberapa ayat tersebut dapat diambil beberapa pengertian adil, yaitu: 1. Adil diartikan dengan ihsan bukan kekejian dan bukan kebatilan. 2. Adil bisa diartikan kejujuran yang tidak merugikan orang lain, yaitu bagimana bersikap terhadap hak orang lain (tidak korupsi karena dapat merusak dan merugikan seperti merusak perdagangan dan ekonomi). 3. Adil juga dapat diartikan amanah. Oleh sebab itu, pemimpin yang amanah adalah pemimpin yang adil dan harus ditaati. 4. Adil dapat diartikan dengan pengendalian hawa nafsu atau perasaan-perasaan subjektifitas seperti senang dan benci. 5. Adil berarti keadilan komutatif atau keadilan etis seperti yang dikatakan oleh Aristotales dan keadilan distribusi atau keadilan sosial.

368 diisyaratkan dalam fiqh muamalah adalah aqd yang tidak mengandung unsur riba, dan hubungannya dengan bunga. Berdasarkan kajian di atas, juga dipahami bahwa pemilihan kontrak bagi muslim ditentukan oleh minimal dua faktor penentu, yaitu: (1) ekspektasi keuntungan yang diharapkan (tinggi), dan (2) sesuai dengan shari>‟ah. Berbeda dari preferensi non-muslim yang hanya berdasarkan keuntungan semata, preferensi muslim dalam memilih tipe kontrak harus sesuai dengan konsep mas}lahat yang sesuai dengan shari>‟ah. Konsep sharing, merupakan suatu kontrak usaha yang berimplikasi pada rasa tolong menolong dalam menghadapi ketidakpastian dalam dunia usaha. Anjuran Islam tersebut ditambah lagi dengan petunjuk yang berfungsi untuk meningkatkan kualitas transaksi kontrak. Anjuran itu misalnya perintah untuk berbuat jujur (siddiq). Konsep kejujuran akan mendorong transparansi dalam berkontrak. Transparansi dapat melahirkan kontrak usaha yang bermutu dan berkualitas.48 Ilustrasi ikhtisar rugi laba dalam revenue sharing dan profit sharing antara pemilik modal dan perajin songket dalam sebulan sebagai berikut: Revenue: Pendapat usaha (kotor) = XX Harga pokok = XX Pendapatan usaha (bersih) = Y (revenue sharing)

Expenses Biaya operasional = XX Biaya pemasaran = XX

48Khurshid Ahmad, “Economic Develovement in an Islamic Framework”, dalam Studies in Islamic Economic, Khurshid Ahmad eds. (Jeddah: International Centre for Research in Islamic Economics, King Abdul Aziz University, and the Islamic Foundation, 1980).

369

Biaya manajemen = XX Biaya lain-lain = XX Total biaya = XXX EBT = XX Pajak (N%) = XXX EAT = Y (Profit Sharing)

Islam juga mempunyai konsep penghargaan terhadap waktu dan dorongan untuk bekerja keras di dunia. Penghargaan terhadap waktu dan bekerja keras adalah syarat untuk keberhasilan suatu usaha. Islam juga mewajibkan amanah terhadap sesuatu yang dipercayakan orang kepada seseorang. Konsep amanah adalah konsep yang sangat diperlukan dalam sebuah kontrak usaha, apalagi sharing. Ketiga konsep Islam tersebut tentu sangat mendorong terjadinya kontrak yang berkualitas dalam sharing. Karena itu, konsep aqd non ribawi sangat memberikan dampak terutama penguatan kedermawanan sosial perusahaan-perusahaan besar di Indonesia dalam membantu usaha kecil dan mikro.49 Melalui aqd non ribawi dan aktifitas mud}a>rabah menjadi antara kedua pemilik modal (usaha besar) dengan pengguna modal (usaha mikro dan usaha kecil) sama-sama saling membangun kekuatan dibidang usaha, dan saling memberikan keuntungan dengan tetap menjaga nilai nilai shari>‟ah, paling kurang jalinan silaturahmi yang menumbuhkembangkan kebersamaam dalam dunia bisnis. Upaya menambah kekuatan dalam kemitraan, maka peluang baitu mal wa tamwil yang benar-benar mengutamakan pembiayaan proyek-proyek usaha kecil dapat bermitra dengan para pengrajin-perajin songket,

49M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (USA: the Islamic Foundation and the International Institute of Islamic Thought UK, 1992).

370 terutama bagi pengrajin dan perajin songket yang baru tumbuh. Seperti contoh, BMT membuat alat-alat tenun songket, membiayai dan sekaligus mengajak para perajin senior untuk melatih para perajin pemula. Setiap minggu atau sesuai dengan program BMT dapat membicarakan dan melatih nilai-nilai usaha untung ruginya sambil melatih sifat amanah bagi perajin sebagai mitra usaha. Selanjutnya, hasil tenunan dijual oleh BMT dengan distributor maupun mitra lain yang dapat menjadi mitra penjual dengan harga awal yang disepakati. Corak pengembangan usaha yang menjauhkan prinsip pareto optimum juga dilakukan melalui nilai-nilai humanisme yang terdiri dari: (1) kebebasan, (2) kesejajaran manusia, (3) naturalisme, (4) kecerdasan emosi. Wilayah perdebatan tentang konsep humanisme sangat banyak,50 setidaknya yang dipahami seperti dijelaskan dalam bab sebelumnya bahwa hakekat manusia sebagai “ khalifatullah fi al-Ard}i” yang dilandasi dengan: (1) tauhidiyah yang melibatkan ketundukan dan tujuan pola hidup manusia terhadap kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan merupakan sumber nilai dan menjadi tujuan akhir manusia; (2) rububiyyah terkait erat dengan hukum Tuhan atas alam,

50Perdebatan terhadap konsep manusia dan kemanusian lihat misalnya dalam Arief Budiman et.al., Mencari Konsep Manusia Indonesia: Sebuah Bunga Rampai (Jakarta: Erlangga, 1986); Adde Maruf W. S. dan Haedar Nashir, Masa Depan Kemanusiaan (Jogjakarta: Jendela, 2003); Muhammad Natsir, Islam dan Pancasila: Konstituante 1957 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001); Charles Kendall Franklin, the Socialization of Humanity: an Analysis and Synthesis of the Phenomena of Nature, Life, Mind and Society Through the Law of Repetition; a System of Monistic Philosophy (USA: C.H. Kerr and Company, 1904); Mieke Bal, Travelling Concepts in the Humanities: a Rough Guide (Toronto: Univ. of Toronto Press, 2002); E Sumaryono, Etika dan Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat (Yogyakarta: Kanisius, 2002); Yasraf Amir Piliang dan Sukini, Hantu-Hantu Politik dan Matinya Sosial (Solo: Tiga Serangkai, 2003).

371 yang memberikan gambaran tentang model ketuhanan bagi pengembangan sumber daya, dan hukum-hukumnya yang saling terkait; (3) khila>fah yang didefinisikan sebagai status dan peranan manusia, khususnya tanggungjawab manusia muslim sebagai wadah khila>fah. Dari konsep ini berkembang dengan konsep-konsep lainnya. Seperti konsep amanah, moral, politik dan ekonomi; (4) tazkiyah berhubungan dengan pertumbuhan dan ekspansi pada arah kesempurnaan melalui pemurnian sikap, dan hasilnya berupa fala>h (kemenangan); (5) akuntabilitas yang tumbuh dari diri muslim yang menyadari dan yakin akan adanya hari pembalasan, tempat segala sesuatu dipertanggung jawabkan.51 Sebagai manusia berpredikat khalifatullah fi al- Ard}i. Islam memandang bahwa bumi dengan segala isinya merupakan amanah Allah kepada manusia agar digunakan sebaik-baiknya. Dan dalam mencapai tujuan ini Allah memberikan petunjuk melalui rasulnya, baik berupa aqidah, akhlaq maupun shari>‟ah. Universalisme shari>‟ah Islam dapat diterapkan dalam setiap waktu terutama pada bidang muamalah. Selain luas, fleksibel juga pluralis. Kenyataan ini tersirat sebagaimana sabda Rasulullah bahwa “kamu lebih mengetahui tentang urusan duniamu” ataupun ungkapan yang diriwayatkan Ali bin Abi Thalib, ”dalam bidang muamalah kewajiban mereka adalah kewajiban kita, dan hak mereka adalah hak kita”.52 Pembangunan diarahkan pada segi kemanusiaan itu sendiri, sebagai salah satu model pembangunan yang berkelanjutan, yaitu keberlanjutan pada kualitas manusia (human

51Landasan filosofis ini lihat Khurshid Ahmad, “Economic Develovement in an Islamic Framework”, dalam Studies in Islamic Economic. 52Gharib Jama>l, al-Masha>rif wa A‟ma>lu al Masha>rafiyyah fi al-Shariatu al-Isla>miyah wa al-Qa>nun (Jeddah: Da>r al-Syuruq, tt.).

372 sustainability). Pembangunan terhadap pengetahuan pada diri manusia dikenal dengan peningkatan kualitas hidup, yang tidak hanya menyangkut segi-segi fisik dari manusia itu seperti kesehatan (termasuk berat dan tinggi badan), pendidikan, tetapi juga segi moral agama. Disinilah implementasi kesalehan berbisnis yang diperlukan. Dalam pendefinisian ini, dengan jelas menunjukkan bahwa moral merupakan buah iman yang telah tertanam di dalam diri manusia. Karenanya, Gandhi misalnya memberikan satu statement bahwa “Agama dan moral yang luhur adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Agama adalah ruh moral, sedangkan moral merupakan cuaca bagi ruh itu”. Demikian pula Pachtah, seorang filosof Jerman mengatakan” moral tanpa agama adalah sia-sia.53 Bahkan lebih jauh lagi pemikir muslim telah memberikan nilai-nilai moral pada wilayah ekonomi, Qarad}a>wi yang membangun landasan moral dalam ekonomi Islam dalam berbagai aspeknya.54 Chapra yang meletakkan moral dalam sejarah perkembangan ekonomi di dunia Muslim.55 Suma yang memberikan kontribusi etika bisnis dari aksioma hingga etika konsumsi.56 Hal yang juga tidak kalah pentingnya bahwa kedudukan nilai-nilai ekonomi Islam tidak bertentangan apalagi melanggar Pancasila terutama “Sila Ketuhanan yang Maha Esa,” juga sama sekali tidak bertentangan apalagi melawan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia baik bagian Pembukaan (preambule) yang di dalamnya antara lain termaktub

53Dikutip dari Anas Urbaningrum, Islam-Demokrasi: Pemikiran Nurcholish Madjid, (Jakarta: Katalis, 2004). 54Yusuf Qarad}a>wi, Da>rul Qiya>m wa akhla>q fi> al- Iqtisa>d{ al-Isla>mi (Cairo: Maktabah Wahbah, 2000). 55M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2001). 56Muhammad Amin Suma, Menggali Akar Mengurai Serat Ekonomi dan Keuangan Islam (Ciputat: Khalam Publishing, 2008).

373 kalimat: “… dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” maupun dengan bagian isinya terutama yang tertera dalam BAB XI (Agama) Pasal 29 ayat (1) dan (2), serta BAB XIV Pasal 33 dan 34 yang mengatur perihal perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial Indonesia.57 Konstruk humanitas yang sudah menjiwai bangsa Indonesia seperti ungkapan yang berkembang di Jawa dengan tepo seliro (tenggang rasa), sepi ing pamrih, rame ing gawe (mau bekerja keras tanpa pamrih), dan gotong royong (berat ringan ditanggung bersama). Dibeberapa wilayah lain dikenal konsep humanitas seperti Minagkabau dengan ungkapan penghulu beraja ke mufakat, mufakat beraja kebenaran, atau konsep religiusitas adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Di Maluku terkenal kaulete mulowang lalang walidase nausavo sotoneisa etolomai kukuramese upasasi netane kwelenetane ainetane (mari kita bersatu baik di laut maupun di darat untuk menentang kezaliman), di salah satu wilayah Sumatera Selatan dikenal istilah dik de ngiluki, jage jadiha (tidak bisa

57Ir. Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia menyebutkan bahwa Pancasila digali dari bumi Indonesia sendiri dan dikristalisasikan dari nilai-nilai yang berkembang dalam kehidupan rakyat Indonesia yang beraneka ragam. Nilai-nilai tersebut dapat diamati pada kelompok masyarakat yang tersebar di seluruh Indonesia yang dalam implementasinya sangat disesuaikan dengan kultur masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian, nampak jelas bahwa sesungguhnya Pancasila telah menjadi living reality (kehidupan nyata) jauh sebelum berdirinya negara republik Indonesia. Lihat Soekarno, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno (Yogyakarta: Media Pressindo, 2006); Badri Yatim, Soekarno, Islam, dan Nasionalisme (Jakarta: Wacana Ilmu, 1999); B Sukarno, Tinjauan Filosofis tentang Pancasila sebagai Filsafat (Surakarta: Sebelas Maret University Press, 2005). Beberapa pandangan yang menekankan pentingnya pemahaman tersebut, lihat Sri-edi Swasono, Kembali ke Pasal 33 UUD 1945 Menolak Neoliberalisme (Jakarta: Yayasan Hatta, 2010).

374 memperbaiki, menjaga jadilah) atau kalimat “Wong Kito Galo” sebagai ekpresi kebersamaan dalam bahasa daerah.58 Dari nilai-nilai tersebut, maka tidak bisa tidak bahwa kualitas manusia berhubungan dengan masalah etika yang mendasar yang terdapat pada kebudayaan manusia itu sendiri. Kedudukan etika dalam kebudayaan menjadi modal penting dalam pengembangan wawasan pembangunan berkelanjutan. Bila mendengar kata etika, berarti termasuk didalamnya suatu tatanan tentang cara- cara berbuat baik, atau sekelompok perbuatan-perbuatan baik diselimuti oleh perasaan-perasaan keagamaan. Etika merupakan pemikiran manusia yang tercakup dalam sebuah perangkat penilaian manusia dalam menghadapi lingkungannya. Etika secara aksiologi adalah bagian atau salah satu sisi dalam pemikiran manusia. Merupakan penjelasan-penjelasan dalam filsafat yang membicarakan masalah predikat “betul” (right) dan “salah”(wrong) dalam arti “susila” (moral) dan “tidak susila” (immoral). Predikat-predikat tersebut tidak mempunyai makna apapun bila tidak terwujud dalam tindakan manusia di alam empiris. Bila seseorang mengantarkan simbol pada bentuk atribut yang sesuai dengan pendapat dan aturan umum, maka dapat dikatakan bahwa tindakan tersebut ber”susila” atau “baik” atau “etis”. Sehingga dengan demikian, pada sisi “baik” atau “susila” adalah etika. Orang yang tidak sesuai dengan kebiasaan umum komunitinya maka dikatakan sebagai tidak baik,

58Lihat Heri Junaidi, Nilai Filosofis Wong Kito Galo: Studi Penelusuran Sikap Pluralis Masyarakat Kota Palembang (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009).

375 atau tidak susila atau tidak etis, dan dianggap melanggar etika. 59 Keterkaitan etika dengan keagamaan dan atau keyakinan sangatlah kuat, sehingga agama juga menjadi acuan dalam pemilihan etika.60 Karenanya sering sekali spritualitas dan jiwa sosial dibangun untuk mengetahui kemampuan dalam mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya, serta mengendalikan perasaan secara mendalam, sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual kemampuan untuk mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri, dan kemampuan mengelola

59Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21 (Bandung: Alfabeta, 2005). 60Etika pada dasarnya tergantung pada ruang dan waktu. Pada masa pra-industri cara-cara protestan aliran Calvin merupakan aktivitas sekelompok orang yang menentang dominasi gereja Katholik dalam pemerintahan. Kemudian, pada masa industri cara-cara ini dianggap sebagai suatu etika (etika Protestan), sehingga memunculkan prinsip kapitalis (Weber). Hal ini bersumber pada etika Protestan yang menyatakan bahwa orang yang bisa masuk surga adalah orang yang terpilih, dan untuk menjadi orang yang terpilih, maka ia harus bekerja. Dari sini, tampak bahwa ketika cara-cara protestan tersebut dibuat pada masa pemerintahan keuskupan, maka itu merupakan cara-cara yang deviant yang tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dan bisa mengakibatkan ketidak-seimbangan. Akan tetapi, ketika cara tersebut berada pada masa industry, dimana diharapkan individu melakukan kegiatan bekerja untuk menghasilkan, maka cara ini menjadi suatu etika. Peran dan status dari masing-masing individunya yang terlibat interaksi di dalamnya, dan pengaturan struktur sosial dalam pranata ini mengandung juga sistem etika. Dengan kata lain, tindakan individu terwujud dan mempunyai arti bagi individu lainnya dalam sebuah rangkaian peran sesuai dengan status yang disandangnya pada pranata sosial tertentu. Lihat R Lukman Fauroni et.al., Etika Bisnis dalam Al-Qur'an (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006); Abdul Jalil, Teologi Buruh (Yogyakarta: LKiS, 2008).

376 emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Kesadaran diri adalah untuk mengetahui apa yang dirasakan suatu saat dan menggunakannya untuk mengambil keputusan diri sendiri. Pengaturan diri yaitu menangani emosi, sehingga berdampak positif terhadap pelaksanaan tugas; peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran; mampu pulih kembali dari tekanan emosi. Motivasi yaitu menggunakan hasrat yang paling tinggi untuk menggerakkan dan menuntun menuju sasaran, membantu mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif, dan untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi. Empati berarti merasakan apa yang dirasakan orang lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya, dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang. Ketrampilan sosial, yaitu menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain, dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial; berinteraksi dengan lancar; menggunakan keterampilan-keterampilan ini untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan, dan untuk bekerja sama serta bekerja dalam tim.61 Hal ini karena, menurut pemahaman mereka yang keliru, mereka hanya ada di dunia satu kali, dan karenanya, akan mengambil sebanyak-banyaknya. Lagi pula, menurut keyakinan keliru ini, tidak ada balasan bagi kecurangan maupun kejahatan yang mereka lakukan di dunia. Padahal, moralitas hanya terbina di masyarakat berdisiplin agama. Pada landasan moralitas tiada arogansi dan egoisme, dan satu-satunya yang dapat mewujudkan keadaan ini adalah mereka yang menyadari tanggung jawab mereka terhadap

61Steven J. Stein dan Howard E, Ledakan EQ: 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emotional Meraih Sukses (Bandung: Kaifa, 2003).

377

Tuhan. Di dalam al-Qur‟a>n, setelah Allah menceritakan tentang pengorbanan diri orang beriman, Dia memerintahkan, “...dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS. al-Hasyr [59]: 9). Karenanya sering sekali spritulitas, humanis, dan jiwa sosial dibangun untuk mengetahui kemampuan dalam mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan secara mendalam, sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual. Manusia mampu menyadari keberadaan dirinya di dunia ini. Dengan kesadaran diri inilah manusia dapat mendeteksi kebutuhan-kebutuhannya dan keinginan- keinginanya. Manusia butuh makan, ingin hidup enak, ingin menikmati alam, ingin mencipta, ingin meraih sesuatu, ingin memiliki makna hidup. Kesadaran diri akhirnya menggerakkan karunia kecerdasan pertama, yaitu kemampuan manusia untuk bermimpi, membuat tujuan, dan cita-cita. Manusia mampu beraspirasi, dan inilah yang dinamakan kecerdasan aspirasi (aspiration intelligence), kecerdasan membuat cita-cita.62 Kecerdasan adalah anugerah istimewa yang dimiliki manusia. Makhluk lain memiliki kecerdasan yang terbatas, sedangkan manusia diberi Allah Swt. kecerdasan yang sangat tinggi. Dengan kecerdasan manusia mampu memahami fenomena kehidupan secara mendalam, dengan kecerdasan manusia mampu mengetahui suatu kejadian kemudian mengambil hikmah dan pelajaran darinya, dan dengan kecerdasan pula manusia menjadi lebih beradab dan lebih bijak. Karena manusia mampu menganalisa sesuatu yang terjadi di alam, maka hal ini dapat mengembangkan ilmu pengetahuan yang

62Khairul Ummah, 5 Kecerdasan Utama Meraih Bahagia dan Sukses (Bandung: Penerbit Ahaa Pustaka, 2003).

378 merupakan buah dari kecerdasan, dan di era modern ini ilmu pengetahuan sangat berperan dalam segala hal. Humanis spritual memperlihatkan hubungan antara nilai ajaran tauhid dalam pengamalan dan penghayatan agama Islam terbagi dalam tiga aspek, yakni: iman,63 Islam,64 dan ihsan65. Dan pada gilirannya, ketiga aspek tersebut mewujudkan tiga macam orientasi keagamaan dalam etimologi Islam. Antara keimanan dan ilmu fiqh yang mensistematisasikan hukum shari>‟ah, telah membentuk orientasi keagamaan yang lebih eksoteris. Sedangkan, aspek “ihsan” melalui proses yang sejajar, dan oleh sebab kewajaran, serta kesadaran perlunya ada faktor pengimbang atas rasionalisasi dari agama, membentuk persepsi keagamaan yang lebih bersifat intuitif, yang lebih menekankan pentingnya menghayatan melalui pengalaman- pengalaman nyata dalam olah-rohani, sekaligus dapat mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan untuk masyarakat Indonesia seluruhnya, makmur, adil dan merata.66 Kecendrungan demikian bukan hanya membentuk

63Aspek “iman” telah mendapatkan kajian sistematis, selain persoalan transendentalisme, diskusi-diskusi masalah keimanan/aqidah telah melahirkan ilmu kalam, yang mengutamakan pemahaman dengan pendekatan rasional dan logis. 64Aspek “Islam” yang memperoleh kajian luas dalam usaha memformulasikan hukum-hukum Islam yang terorganisir, dengan melahirkan cabang keilmuan yang sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan kaum muslimin selanjutnya, yakni ilmu fiqh, yang bersifat lebih formalis. 65Lihat al-Asqala>ni>, Fath al-Ba>ri> Syarh Shahi>h al- Bukha>ri (Da>r al-Kutub alIlmiyyah, Bairut, 1997), juz I. 66Tujuan pembangunan nasional sesuai dengan Garis-Garis Besar Haluan negara, yaitu pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah Negara Kesatuan RI yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana prikehidupan bangsa yang aman, tentram, tertib, dan dinamis

379 sikap-laku dan pandangan moral saja, tapi juga melahirkan wawasan keilmuan, yakni ilmu tas}awuf dan akhlak, salah satu wawasan keilmuan yang merupakan orientasi keagamaan yang lebih esoteris, yang lebih banyak mempertanyakan makna dan nilai-nilai dari ajaran-ajaran agama (Islam) itu.67 Ihsan mencakup pengertian segala sesuatu yang baik, semua interaksi antara manusia dengan Tuhannya, atau antara manusia dengan sesama manusia maupun lingkungannya, yang dapat mengangkat dan meningkatkan martabat dan kedudukan kemanusianya, mengembangkan kualitas dirinya, dan juga dapat mendekatkan pada Tuhan (al-Qas}as} [28]: 77). Al-Ihsan membangun tiga dimensi kesadaran batin, yaitu: (1) adanya intensitas hubungan manusia dan Tuhan; (2) kepedulian sosial; dan (3) ketahanan mental dalam menghadapi tantangan kehidupan yang sulit dengan menggunakan konsep etika moral, seperti sabar, qona‟ah, tawakkal, iffah, shaja‟ah, dan istiqomah, telah membentuk budaya pribadi (private culture) yang mandiri, tegar, optimis dan sederhana.68 Spritualitas yang disandarkan dengan keimanan yang benar dan diyakini secara mendalam, akan membentuk perangkat nilai dalam kehidupan manusia, yang akan memberi arah pandangan dan sikap hidupnya yang mendasar, kemudian dalam kegiatan teraganya memotivasi tindakan, dan usaha lahiriahnya. Perajin songket mempunyai pembagian kerja antara kewajiban menenun dan kewajiban rumah tangga serta dalam lingkungan pergaulan yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai. 67Lebih berbagai sudut kajian dalam abu Hamid Muhammad al- Gazali, Ihya Ulumuddin (Beirut: Dar al-Fikr), jilid I dan IV. 68Lihat al-Razi>, al-Tafsi>r al-Kabi>r Mafa>tih al-Ghayb, jilid 9 (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 80; Muhammad Jama>l al- Di>n al-Qa>simi>, al-Tafsi>r al-Qa>simi: Maha>sin al-Ta‟wi>l (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), juz 5.

380 dengan imbalan kecil, karena dilatarbelakangi nilai-nilai keyakinan dan keimanan dapat melakukan dengan baik. Sebab seperti dijelaskan sebelumnya, menenun songket tidak dapat lepas dari ketenangan hati. Kritik pareto optimum oleh pemikir Calabresi dan A.D. Melamed dan berbagai kajian pemikir ekonomi kerakyatan dan ekonomi Islam dengan konsep efisiensi ekonomi, preferensi distribusi, pertimbangan-pertimbangan keadilan lainnya yang tidak acceptable akan melemahkan dorongan pertumbuhan ekonomi lebih maksimal,69 maka ajaran ihsan, sebagai aspek esoteris dari orientasi keagamaan Islam, yang banyak memberi nilai dasar dan memberi arah pandangan hidup kepada umatnya, yang mempengaruhi sikap-laku dan tindakan sosialnya, membentuk suatu private culture yang pada giliran selanjutnya dapat mewarnai budaya masyarakat (public culture) dapat dimanfaatkan dengan baik dalam memperkaya motivasi, memberi makna dan sekaligus mereduksi timbulnya penyimpangan-penyimpangan dan kesesatan-kesesatan pembangunan. Keadilan humanis dalam nilai-nilai spritual, memperlihatkan bahwa manusia sebagai objek sekaligus subjek ekonomi walaupun aktifitas pada galibnya bersumber dari upaya bagaimana mendapatkan uang, dan bagaimana membelanjakannya tetap bersifat teosentris, dengan satu kenyataan bahwa manusia mempunyai kebutuhan, dan kebutuhan itu pada umumnya tidak dapat dipenuhi tanpa pengeluaran sumber daya energi manusia. Dengan demikian, walaupun “uang” yang menjadi sasaran mencapai kesejahteraan ekonomi, namun Islam mengaturnya sehingga dapat bermanfaat untuk kesejahteraan semua pihak.

69Haa-Joon Chang dan Ilene Grabel, Reclaiming Development: an-Alternative Economic Policy Manual (New York: Zed Books, 2004).

381

Upaya pemanfaatan tersebut subjek utama bagaimana manusia muslim bisa mentransformasi secara benar keuangan tersebut. Salah satu membangun pareto optimum dengan berbasis Q.S al-Baqarah ayat 215.70 (Q.S. al-Baqarah [2]: 60, 68; Q.S. al-Ma>idah [5]: 87-88. Dalam mendapatkan uang, maka Islam mengajarkan umatnya mempunyai sifat dan sikap: (1) berusaha untuk membina ketentraman dan kebahagian, (2) berusaha untuk memenuhi nafkah keluarga, (3) berusaha untuk memenuhi hajat masyarakat, (4) berusaha sebagai sarana ibadah, (5) berusaha untuk melaksanakan amal ma‟ruf dan nahi munkar di setiap lapangan pekerjaan apapun.71 Artinya, pokok kesejahteraan harus sejalan dengan prinsip-prinsip universal Islam. Terbatas bahwa baik konsumen maupun produsen bukanlah raja. Perilaku keduanya harus dituntun oleh kesejahteraan umum, individual dan sosial sebagaimana dipahami dalam shari>‟at. Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa usaha di Indonesia tertuang dalam perundang-undangan beserta berbagai penafsiran didalamnya terdiri dari Usaha Mikro, Usaha Kecil, Usaha Menengah, dan Usaha Besar. Pembagian hal tersebut memperlihatkan adanya kelas-kelas dalam dunia ekonomi, yang pada akhirnya memunculkan teori kelas ketiga usungan Geertz sebagai pengembangan

70Lihat Muhammad Suyanto, Etika dan Strategi Bisnis Nabi Muhammad (Jogyakarta: Andi Offset, 2008), 172; Ashjar Chalil, Hudaya Latuconsina, Pembelajaran Berbasis Fitrah (Jakarta: Balai Pustaka, 2008). 71Diantara perbuatan itu: tidak menggunakan cara yang bathil, tidak didzalimi dan mendzalimi, menjauhkan diri dari unsur riba, atau melakukan prinisp ekonomi “mengambil sebesar-besarnya dengan mendapatkan untung sebesarnya” secara berlebihan, melakukan intended speculation. Tolak ukur yang digunakan al-Ghaza>li> sesuai kebutuhan makanan seorang menjalani hidup secara “zuhud” pada tingkatan paling rendah. al-Gha>zali>, Ihya> „Ulu>m al-Di>n, bab Baya>n tafs}i>l al- Zuhd fî ma>huwa min daru>riyya>t al-haya>t, jilid. 4.

382 konsep ekonomi kerakyatan di Indonesia.72 Sejalan dengan krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia sampai saat ini, merupakan akibat dari biasnya strategi pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah. Kebijakan yang cenderung menumbuhkan kelas-kelas ekonomi besar tanpa diimbangi oleh kelas ekonomi kecil menengah yang kuat dan mandiri, mengakibatkan tujuan pembangunan untuk mencapai kemakmuran rakyat belum bisa tercapai. Oleh karena itu, konsep "pembangunan ekonomi Indonesia" yang selama ini diterapkan harus diubah menuju konsep “pembangunan ekonomi di Indonesia”, dengan titik berat pada sektor ekonomi mikro dan usaha kecil.73 Dalam pengertian yang khusus, nilai-nilai ekonomi kerakyatan dengan partisipasi penuh dari rakyat dalam bidang ekonomi dicerminkan dalam konsep ekonomi di Indonesia

72Buku Clifford Geertz yang berjudul the Religion of Java, teorinya Max Weber bahwa masyarakat memiliki tiga kelas. Hal itu kemudian diikuti oleh Geertz dengan teori trikotomi yaitu abangan, santri, dan priyayi, terutama dalam masyarakat Jawa. Teori Geertz tersebut dikembangkan oleh Mubyarto lewat teori mengenai usaha-usaha kecil dan menengah di Indonesia. Juga mengenai pertanian yang dikembangkan oleh Marhaenisme. Involusi pertanian itu singkatnya berisi fakta tentang pembagian kemiskinan (sharing poverty) di kalangan petani di Jawa karena beberapa faktor. Geertz melihat, yang terjadi dalam masyarakat petani Jawa selama dia meneliti bukanlah pemberdayaan ekonomi rakyat, tapi pembagian kemiskinan saja. Walau tesisnya itu tidak selamanya benar, namun atas dasar itulah kemudian dikembangkan teori mengenai pengembangan ekonomi kerakyatan. Pengembangan konsep ekonomi kerakyatan itu sebenarnya merupakan pengembangan teori kelas ketiga yang mula-mula diperkenalkan Geertz tersebut. Lihat Mubyarto, Teori Ekonomi dan Penerapannya di Asia (Jakarta: Gramedia, 1981). 73Elfindri, Strategi Sukses Membangun Daerah (Jakarta: Gorga Media, 2008).

383 dengan ketegasan pembangunan koperasi sebagai wadah pengembangan UKM.74 Ekonomi nasional yang tangguh dan mandiri hanya mungkin dapat terwujud apabila pelaku-pelakunya tangguh dan mandiri, dan seluruh potensi masyarakat dapat dikerahkan, berarti partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya. Jika kegiatan ekonomi terpusat pada kelompok yang terbatas dan di wilayah yang terbatas, maka perekonomian tidak berkembang sesuai dengan potensinya atau tertinggal. Dasar pendekatan diarahkan langsung pada akar persoalannya, yaitu meningkatkan kemampuan rakyat atau dalam istilah “pemberdayaan”75 sebagai fondasi corak pengembangan usaha berbasis nilai. Secara praktis, upaya yang merupakan pengerahan sumber daya untuk mengembangkan potensi ekonomi rakyat ini diarahkan untuk meningkatkan produktivitas rakyat, sehingga baik Sumber Daya Manusia maupun Sumber Daya Alam di sekitar keberadaan rakyat dapat ditingkatkan produktivitasnya.76 Pemberdayaan akan menguatkan partisifasi yang menghasilkan dan menumbuhkan nilai tambah ekonomis, dan meminimalisir pengangguran dan kemiskinan. Dengan demikian, pemberdayaan dapat meningkatkan income masyarakat lemah, dan sekaligus merangkum nilai-nilai sosial. Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia,

74Lihat Sri-Edi Swasono, “Keabadian Koperasi dan Kooperativisme”, 75Departemen Pendididkan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2001); Soetandyo Wignjoaoebroto, dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995). 76Zulkarnain, Membangun Ekonomi Rakyat: Persepsi tentang Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (Yogjakarta: Adicita, 2003); Randy R. Wrihatnolo dan Rianti Nugroho Dwidjowiyoto, Manajemen Pemberdayaan (Jakarta; Gramedia, 2007).

384 setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Keberpihakan (semangat profetik) pada pengembangan ekonomi masyarakat melalui sektor ril yang berdimensi kemandirian domestik merupakan semangat Qur‟anik (Q.S. ali- „Imra>n [3]: 114). Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, dengan mendorong memotivasikan dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya, serta berupaya untuk mengembangkannya.77 Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Perkuatan ini meliputi langkah- langkah yang menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya. Untuk itu, perlu ada program khusus bagi masyarakat yang kurang berdaya, karena program-program umum yang berlaku untuk semua, tidak selalu dapat menyentuh lapisan masyarakat ini. Karena itu, dibutuhkan kearifan lokal yang dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Dalam Islam berkaitan dengan „urf, kearifan berarti ada yang memiliki kearifan (al-„addah al-ma‟rifah), yang dilawankan dengan al-„addah al-jahiliyyah. Kearifan adat dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari pengetahuan dan diakui akal, serta dianggap baik oleh ketentuan agama. Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai baik, karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang dan mengalami

77Nanih Machendrawaty dan Agus Ahmad Safei, Pengembangan Masyarakat Islam: dari Ideologi, Strategi, sampai Tradisi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001).

385 penguatan (reinforcement).78 Karakter khas yang inherent dalam kearifan lokal yakni sifatnya dinamis, kontinyu dan diikat dalam komunitasnya.79 Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah.80 Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity) karena pada dasarnya setiap apa yang dinikmati, harus dihasilkan atas usaha sendiri (yang hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain). Dengan demikian, tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara sinambung. Permberdayaan ekonomi rakyat adalah tanggung jawab pemerintah. Akan tetapi, juga merupakan

78Perdagangan berbasis urf dapat dilihat dalam Antony Black, Pemikiran Politik Islam: dari Masa Nabi hingga Masa Kini (Jakarta: Serambi), 2006. 79Muhammad Ridwan Lubis, Menelusuri Kearifan Lokal di Bumi Nusantara: Catatan Perjalanan dan Hasil Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural antara Pemuka Agama Pusat dan Daerah, 2002- 2005 (Jakarta: Departemen Agama, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005); Wawan Sobari, Fahmi Wibawa, Moch Yunus, Inovasi sebagai Referensi: Tiga Tahun Otonomi Daerah dan Otonomi Award (Surabaya, Indonesia: Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi, 2004). 80Darwin, Model-Model Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (Jakarta: Pusat Penelitian Ekonomi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2003).

386 tanggung jawab masyarakat, terutama mereka yang telah lebih maju, karena telah terlebih dahulu memperoleh kesempatan bahkan mungkin memperoleh fasilitas yang tidak diperoleh kelompok masyarakat lain. Salah satu strategi agar yang kuat membantu yang lemah adalah dengan melalui kemitraan.81 Seperti dijelaskan juga sebelumnya, pengembangan usaha kecil tidak dapat pula lepas dari dua persoalan utama yang harus dipecahkan. Usaha kecil pada umumnya memperoleh modal berasal dari sumber tidak resmi seperti tabungan keluarga, pinjaman dari kerabat dan mungkin dari “lintah darat”. Sifat pengelolaan terpusat, demikian pula pengambilan, keputusan tanpa atau dengan sedikit pendelegasian fungsi dalam bidang-bidang pemasaran, keuangan, produksi dan lain sebagainya. Tenaga kerja yang ada umumnya terdiri dari anggota keluarga atau kerabat dekat, dengan sifat hubungan kerja yang “informal” dengan kualifikasi teknis yang apa adanya atau dikembangkan sambil bekerja. Hubungan antara keterampilan teknis dan keahlian dalam pengelolaan usaha industri kecil ini dengan pendidikan formal yang dimiliki para pekerjanya umumnya lemah. Hal lain ditemukan pula bahwa peralatan yang digunakan adalah sederhana dengan kapasitas output yang rendah pula.82 Persoalan lain juga, yaitu: Pertama, kurangnya modal. Sering keluhan yang disampaikan oleh usaha mikro dan kecil adalah kurangnya modal untuk mengembangkan usahanya, apalagi ketika permintaan meningkat sementara

81Ziauddin Sardar, “Teknologi dan Kemandirian Domestik: Sebuah Alternatif Islam”, dalam Ulumul Qur‟an, vol. II.1991/1411H. no. 8. 82Lihat sebagai perbandingan Sentot Harman Glendoh, Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil, Di akses dari http://puslit.petra.ac.id/journals/management/, 2010.

387 modal minim, yang akhirnya hilanglah pelanggan yang memberikan order. Kurangnya akses mendapat modal, karena lemahnya pengetahuan terutama dalam membuat usulan dan informasi tentang tata cara mendapatkan dana. Kedua, kemampuan manajerial yang rendah. Kebanyakan usaha skala kecil dalam menjalankan usaha tanpa adanya perencanaan, pengendalian maupun juga evalusi kegiatan usaha. Kegiatan usaha yang tanpa membuat rencana seperti menjalankan usaha yang penting bisa jalan, tanpa mengantisipasi hambatan, ancaman yang akan terjadi dalam kegiatan usahanya tersebut dan juga dalam penggunaan dana.83 Dari pola pemberdayaan dan problem yang muncul mulai pula dikembangkan konstruk pengembangan, upaya pengembangan tetap berpijak pada pola pemberdayaan. Namun demikian, pengembangan tidak dapat lepas dari nilai. Salah satunya dengan pendidikan. Sebab, pendidikan adalah hak rakyat yang dapat dilakukan dengan berbagai mekanisme. Pendidikan yang dimaksud adalah proses belajar terus menerus yang bertujuan untuk mengembangkan usaha. Ada banyak sumber belajar dan cara yang dapat dilakukan, bisa dengan membaca buku- buku tentang pengembangan usaha kecil, menjelajahi internet untuk menemukan tulisan-tulisan berkualitas, atau bertanya dan berdiskusi dengan sesama pemilik usaha lainnya. Melalui pelatihan ketrampilan, maupun pelatihan manajemen sederhana bagi pengusaha mikro dan pengusaha kecil. Hal tersebut selaras dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1998 pasal 1 yang menyebutkan bahwa pengembangan adalah upaya yang dilakukan oleh

83Hal tersebut dibuktikan juga dengan penelitian Triani Sofiani, “Pendayagunaan Hukum di Sektor Koperasi Berbasis Nilai-nilai Ekonomi Kerakyatan”, (Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang, 2007).

388 pemerintah, dunia usaha dan masyarakat melalui pemberian bimbingan dan bantuan perkuatan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kecil, agar menjadi usaha yang tangguh dan mandiri, serta dapat berkembang menjadi usaha menengah.84 Nilai-nilai dalam pendidikan yang dikembangkan untuk usaha kecil melalui prinsip-prinsip dasar tauhid, yang mengajarkan bahwa Allah sebagai pemilik mutlak dan manusia hanyalah sebagai pemegang amanah, mempunyai konsekuensi, bahwa di dalam harta yang dimiliki setiap individu terdapat hak-hak orang lain. Pengembangan usaha tetap berbasis keadilan dan persaudaraan. Keduanya menuntut agar semua sumber daya yang menjadi amanat untuk mewujudkan maq}a>s}id shari>‟ah, yakni pemenuhan kebutuhan hidup manusia, terutama kebutuhan dasar (primer), seperti sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan. Secara operasional, faktor kewirausahaan dan manajerial bagi pengembangan usaha yang meliputi kompetensi usaha, dasar pendidikan, keinovasian, dan motivasi menjadi mutlak dalam pengembangan usaha berbasis nilai. Karenanya survival, consolidation, control, planning and expectation sangat diperlukan sebagai penguasaan manajemen. Mampu merekrut tenaga yang diberi wewenang secara jelas. Di bidang pemasaran, mengubah dari “getting customer” menjadi “improve competitive situation”. Demikan juga di bidang keuangan, dari tahap “cash-flow” berubah menjadi “improve margin and control cost” dan menjadikan dana yang ada menjadi “venture capital”.85

84Lihat Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil. 85Lihat Timo B Poser, the Impact of Corporate Venture Capital: Potentials of Competitive Advantages for the Investing Company (Wiesbaden: Deutscher Universitats̈ -Verlag, 2003); Chary T

389

Sistem keuangan dan perbankan, serta kebijakan moneter yang mengarah pada pemberdayaan, dan pengembangan usaha mikro maupun usaha kecil dirancang semuanya secara organis, dan terkait satu sama lain untuk memberikan sumbangan yang positif bagi pengurangan ketidak-adilan dalam ekonomi dalam bentuk pengucuran pembiayaan (kredit) bagi masyarakat, serta memberikan pinjaman lunak bagi masyarakat ekonomi lemah melalui produk qard}ul hasan, mud}a>rabah, mus}a>rakah. Karena itu, konstruk perbankan shari>‟ah, koperasi shari>‟ah ataupun bait al-ma>l wa tanwi>l dengan produk yang sudah dibangun sudah bisa dipahami, disosialisasikan secara terus menerus, hingga bisa menjadi bagian penguatan usaha mikro dan kecil.86 Berdasarkan prinsip ini, maka konsep pertumbuhan ekonomi tidak menggunakan indikator PDB (Produk Dosmetik Bruto) dan perkapita, namun pertumbuhan harus seiring dengan pemerataan. Prioritas yang dijelaskan secara terus menerus dengan memberikan pola pengembangan usaha kecil dengan memprioritaskan advokasi pengentasan kemiskinan dan pengurangan pengangguran. Karena itu, Islam menekankan keseimbangan antara petumbuhan dan pemerataan. Pertumbuhan an sich bukan menjadi tujuan utama, kecuali dibarengi dengan pemerataan. Dalam konsep Islam, pertumbuhan dan pemerataan merupakan dua sisi dari

Satyanarayana, Venture Capital, Concepts and Applications (New Delhi: Macmillan India, 2005). 86Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) (Jogjakarta: Penerbit UII Press, 2004); untuk kajian perbandingan lihat Baihaqi Abd Madjid; Saifuddin A Rasyid, Paradigma Baru Ekonomi Kerakyatan Sistem Syari'ah: Perjalanan Gagasan dan Gerakan BMT di Indonesia (Jakarta: Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil, 2000).

390 sebuah entitas yang tak terpisahkan, karena itu keduanya tak boleh dipisahkan.87 Pendidikan untuk usaha mikro dan kecil tidak diarahkan untuk menonjolkan peran perusahaan swasta (private ownership) dengan motivasi mencari keuntungan maksimum, harga pasar akan mengatur alokasi sumber daya, dan efisiensi. Namun tetap diarahkan pada konstruk persaudaraan dan kebersamaan yang proporsional dalam terma prestasi, etos kerja dan kemampuan seseorang. al- Qur‟a>n dalam memaknai hak orang lain pada harta seseorang (QS. al-Ma‟a>rij [70]: 24), bukanlah dimaksudkan untuk mematahkan semangat karya pada setiap individu atau menimbulkan rasa malas bagi sebagian orang. Landasannya, antara lain bahwa etos kerja dan kemampuan seseorang harus dihargai, dibanding seorang pemalas atau yang tidak mampu berusaha. Bentuk penghargaannya yang memperkenankan pendapatan seseorang berbeda dengan orang lain, karena usaha dan ikhtiarnya (Q.S. al-Nah}l [16]: 71). Dari sisi yang sama, mereka yang sudah menguat dari aspek pemberdayaan dan pengembangan usaha dapat mengeluarkan sebagian hartanya untuk kelompok masyarakat yang tidak mampu (d}u‟afa). Sehingga, seluruh masyarakat terlepas dari kemiskinan absolut. Konstruk pengembangan berbasis nilai menjadikan semua aktifitas usaha mikro dan kecil pada akhirnya diarahkan dalam penegakkan keadilan sosio-ekonomi berbasis rasa persaudaraan (ukhuwah), saling mencintai (mahabbah), bahu membahu (taka>ful), dan saling tolong menolong (ta‟a>wun), baik antara si kaya dan si miskin,

87Y.Harsoyo, Ideologi Koperasi Menatap Masa Depan (Jogjakarta: Pustaka Widyatama, 2006). Untuk melihat persoalan koperasi lihat Hadi Soesastro, 1966-1982: Paruh Pertama Ekonomi Orde Baru (Yogyakarta: Kanisius, 2005).

391 maupun antara penguasa dan rakyat. Nilai-nilai Pancasila juga menekankan filosofis bahwa manusia dan perilaku manusia yang pancasilais menjadi sokoguru sistem perekonomian, yaitu keseimbangan harmoni manusia sebagai makhluk, ekonomi dengan makhluk sosial.88 Pengembangan berbasis nilai bagi usaha mikro dan usaha kecil harus mendapat dukungan pemerintah, serta membantu sarana dan prasarana usaha melalui peraturan- peraturan, bahkan proteksi untuk menjamin pengembangan usaha kecil dan usaha mikro, agar tetap menjadi milik rakyat.89 Bila tidak sektor usaha mikro dan usaha kecil hanya sebagai pekerja, bukan pengusaha. Berapa banyak ditemukan produk usaha kecil dibungkus oleh logo hypermarket, seolah-olah itu adalah produksi hypermarket tersebut.90 Untuk itu, peran pemerintah di samping melakukan proteksi juga melakukan upaya ikut menguatkan nilai-nilai nasionalisme dengan membangun supermarket usaha kecil.

D. Strategi Pengembangan Usaha Upaya mengembangkan usaha songket Palembang memerlukan sebuah strategi. Strategi adalah faktor penting dalam pengorganisasian, yang merupakan sebuah proses dimana manajemen memutuskan tujuan dan cara mencapainya. Dalam ekonomi Islam, strategi dapat akan berkembang efisien apabila ada sinergitas diantara semua pihak melakukan proses penyatuan atau penggabungan aspek-aspek sosialisasi, riset dan pengembangan, keuangan

88M. Umer Chapra, the Future of Eonomics: an Islamic Perspective (London: The Islamic Foundation, 2000). 89Gunawan Sumodiningrat et.al., Membangun Indonesia Emas: Model Pembangunan Indonesia Baru Menuju Negara-Bangsa yang Unggul dalam Persaingan Global (Jakarta: Gramedia, 2005). 90Beberapa produk sembako yang merupakan produk usaha kecil di Indonesia telah dibalut dengan logo hypermarket.Observasi, 2010.

392 dan operasional dari sebuah bisnis. Dalam berbagai data diketahui bahwa proses strategi dilakukan terdiri dari: (1) pembuatan strategi (formulating); (2) penerapan strategi (implementing); dan (3) adanya evaluasi/control strategi (controling).91 Dalam pembuatan strategi (formulating) dipertegaskan bersama bahwa songket tidak lagi dilihat sebagai karya agung masyarakat Palembang dalam eksklusivisme local specifics, tetapi telah menjadi milik seluruh bangsa Indonesia dan kebanggaan bangsa Indonesia. Dengan kata lain, songket Palembang tidak boleh mati karena tidak memenuhi efisiensi saja, dimensi efisiensi berkeadilan harus ditegakkan sebagai tuntutan eksistensinya. Untuk itu, pemerintah Provinsi Sumatera Selatan memberikan prioritas subsidi berbasis pemberdayaan di bidang produk budaya ini. Pertama, Memperluas akses sumber bantuan permodalan92 ke semua perajin songket. Peran pemerintah provinsi dan lembaga- lembaga perguruan tinggi Sumatera Selatan menjadi

91Alfred Allen Marcus, Management Strategy: Achieving Sustained Competitive Advantage (New York : McGraw-Hill Irwin, 2005); Andrew M Pettigrew et.al., Handbook of Strategy and Management; Hetifah Sjaifudian; Erna Ermawati Chotim, Dimensi Strategis Pengembangan Usaha Kecil: Subkontrak pada Industri Garmen Batik (Bandung: AKATIGA, 1994); M. Tohar, Membuka Usaha Kecil (Jogjakarta: Kanisius, 2002). 92Hal tersebut sinergi dengan berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu telah menetapkan Pembangunan UKM termasuk koperasi sebagai program perioritas, dan telah diformalkan dalam bentuk Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 7 tahun 2005 tentang “Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009”. Pada bagian IV dari agenda meningkatkan kesejahteraan rakyat, yakni bab 20 secara khusus memuat “Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah”, yang menjadi acuan pemerintah untuk pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah selama 5 tahun ke depan.

393 kemitraan penting untuk mendapatkan data base peta perajin songket dan berbagai persoalan yang berhubungan dengan bantuan modal pemberdayaan, penguatan manajemen usaha, dan perbaikan lingkungan. Dari 225 unit usaha songket dengan jumlah 1800 pengrajin dan perajin songket yang menerima bantuan tersebar di wilayah Sumatera Selatan (tahun 2009-2010) dapat ditingkatkan hingga ke semua usaha songket yang tercatat (660 unit usaha, dengan jumlah dari 4000 pengrajin dan perajin).93 Data base tersebut memberikan akses informasi Pemerintah Sumatera Selatan dalam mengoptimalkan pemberdayaan usaha-usaha songket melalui peranan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) maupun Unit Simpan Pinjam (USP), program Kredit Usaha Rakyat (KUR), Program Perkassa (Program Perempuan Keluarga Sehat dan Sejahtera) dengan program Modal Awal dan Padanan (MAP). Termasuk juga Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) lewat BUMN (PT. PUSRI, SUCOFINDO, PERTAMINA).94

93Catatan jumlah berdasarkan data dari Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (DisPerinDagKop) kota Palembang (2009- 2010). 94Johnny W. Situmorang, “Analisis Tipologi dan Posisi Koperasi Penerima Program Perkassa Studi Kasus di Sumatera Selatan”, Jurnal Pengkajian Koperasi dan UKM, vol. 5, Agustus 2010, 1-29. Hasil olah data didapatkan berbagai program yang diupayakan untuk usaha kecil hingga tahun 2010 tidak terkecuali untuk usaha songket Palembang, seperti Kementrian Perindustrian dan Perdagangan dengan proyek peningkatan peran serta wanita; Kementrian Koperasi dan UKM dengan Program Modal Awal dan Padanan (MAP), Business Development Services Sentra UKM (BDS Sentra), Perkuatan Permodalan UKMK dan Lembaga Keuangannya dengan Penyediaan Modal Awal dan Padanan (P2LK-MAP); Perbankan dengan program Program Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK), Kupedes, Kredit Mikro, Program Swamitra. Ada juga program pengembangan BMT dari organisasi sosial non politik

394

Kedua, penguatan sinergisitas pemberdayaan antara pemerintah dan perajin songket terhadap makna penting bantuan permodalan. Dalam perspektif ini, nilai-nilai ekonomi Islam dalam pemberdayaan modal usaha menjadi dasar arahan melalui untuk pada perajin dan pengrajin. Menurut penulis, teoritisasi efisiensi berkeadilan yang diantaranya menyebutkan pemanfaatan maksimum dengan strategi perencanaan berasas kekeluargaan dan kesejahteraan bersama.95 Dari sini, kekuatan teori pembangunan yang berpusat pada rakyat, yaitu memusatkan pemikiran dan tindakan kebijaksanaan pemerintah pada penciptaan keadaan yang mendorong dan mendukung usaha-usaha rakyat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri, dan untuk memecahkan masalah-masalah mereka sendiri pada tingkat individual, keluarga, dan komunitas.96 Langkah penting seiring dengan konsep tersebut adalah merubah paradigma dari bantuan yang berorientasi pada ekonomis dan rutinitas pengembalian menuju kemitraan yang memberdayakan, sistem bagi hasil dan program-program pendanaan yang tidak memberatkan kelompok perajin. Ini artinya kelompok pemberi bantuan selalu melakukan evaluasi perbaikan kepada usaha songket yang menjadi mitranya. Pola pendampingan yang memberdayakan dapat berakibat perubahan paradigma pemikiran para perajin songket yang hanya sekedar bekerja memenuhi pengembalian pinjaman

(ornop), BUMN dengan progam Program Pemberdayaan Usaha Kecil dan Koperasi (PUKK), Program BAIK (Bapak Anak Industri Kecil). 95Prabhat Ranjan Sarkar, Proutist Economics: Discourses on Economic Liberation (India: Ananda Marga Publications, 1991). 96Masaaki Satake, People's Economy: Philippine Community- Based Industries and Alternative Development (Manila, Philippines: Solidaridad Pub. House, 2003). Lihat juga Adi Sasono dan Achmad Rofi'ie, People's Economy (Jakarta: Southeast Asian Forum for Development Alternatives, 1988).

395 dan menghidupi keluarga menuju pengembangan kretifitas produktif. Ini berarti, konsep ekonomi Islam yang mengarahkan bahwa keahlian ini merupakan anugrah dan amanat dari Allah Swt. yang dititipkan kepada perajin untuk diwariskan kepada generasi selanjutnya dan mampu berdaya guna usaha. Pemberdayaan lainnya adalah perbaikan pembukuan yang berhubungan dengan manajemen ketatalaksanaan usaha berkesinambungan. Seperti dijelaskan sebelumnya, perajin songket tidak memiliki data keuangan usaha. Kelompok yang memiliki data keuangan baru pada pengrajin-pengrajin songket yang sudah memiliki jaringan kemitraan dengan dunia perbankan maupun BUMN. Hasil studi memperlihatkan dalam proporsi 90% responden hanya memiliki buku hutang piutang dengan sedikit bukti-bukti. 10% responden memiliki pembukuan yang cukup baik seperti laporan keuangan disertai bukti-bukti, surat menyurat yang tertata baik. Untuk itu, peran serta pemerintah dan perguruan tinggi di Sumatera Selatan menjadi penting guna membantu perbaikan manajemen usaha songket tersebut. Seperti mengadakan pelatihan manajemen keuangan sederhana yang didalamnya menemukan masalah, memperbaiki dan di evaluasi terus menerus hingga mampu berjalan sendiri. Pendampingan melalui perbaikan manajemen tersebut memberikan dampak positif terutama melihat perkembangan usaha songket masing-masing, dan mendapatkan kelemahan masing- masing sehingga bisa maju sebagaimana diharapkan.97

97Data ini menjadi salah satu harapan para perajin yang ingin meningkatkan usaha mereka terkendala pada kesulitan untuk mendapatkan bantuan modal usaha, akibat kelemahan bidang manajemen dan laporan keuangan. Wawancara dengan responden pengrajin dan perajin songket tanggal 22-28 September 2010.

396

Pada prinsipnya para penenun songket diberikan penjabaran bahwa kegiatan produksi merupakan suatu hal yang diwajibkan untuk mendapatkan nilai-nilai kebutuhan lain. Tanpa kegiatan produksi, maka aktifitas kehidupan akan berhenti. Manusia butuh makan, minum agar bisa beraktifitas dan beribadah, perlu pakaian untuk menutupi aurat dan beribadah, butuh tempat tinggal untuk melindungi dirinya serta beribadah, juga berbagai kebutuhan lainnya. Allah Swt. telah menyediakan bahan bakunya, berupa kekayaan alam yang sepenuhnya diciptakan untuk kepentingan manusia. Itu semua baru bisa diperoleh dan bisa dinikmati manusia jika manusia mengelolanya, agar menjadi barang dan jasa yang siap dikonsumsi dengan jalan diproduksi terlebih dahulu. Melihat pentingnya peranan produksi yang nyata-nyata menentukan kemakmuran suatu bangsa dan taraf hidup manusia, al-Qur‟a>n telah meletakkan landasan yang sangat kuat terhadap sistem produksi. Eksistensi nilai-nilai al-Qur‟a>n memberikan konsep produksi barang dalam artian luas, dan menekankan manfaat dari barang yang diproduksi menjadi dasar kekuatan para pengrajin dan perajin songket. Dalam Surah an-Nah}l (16): 10,11,12,18 telah diuraikan secara singkat bahwa Allah telah menyediakan kekayaan alam untuk kepentingan dan kesejahteraan manusia. Pada beberapa ayat yang lainnya (QS al-Qas}as} [28]:73; Q.S. ar-Ru>m [30]: 23, Q.S. an-Nisa>‟ [4]: 32, Q.S. al-Qalam [68]: 11) Allah memerintahkan manusia untuk bekerja keras memanfaatkan semua sumber daya itu seoptimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.98 Al-Qur‟a>n juga telah memberikan berbagai alternatif kepada manusia

98Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek (Jogjakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993); R. Lukman Fauroni et.al., Etika Bisnis dalam Al-Qur'an (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006).

397 bagaimana melakukan perubahan yang lebih baik, dengan menggali dan menggunakan Sumber Daya Alam yang tak terbatas di dunia ini, melalui pengelolaan, modal, kemampuan dan kecenderungannya di dalam proses produksi. Dalam ekonomi Islam, pengrajin atau perajin songket tidak hanya memaksimalkan utility pribadinya di dunia, tapi juga kemas}lahatan umat secara umum, serta imbalan yang akan dia dapatkan di akhirat. Dalam hal produksi, ekonomi Islam tidak melihat bahwa tujuan memaksimalkan kemas}lahatan umat adalah motivasi yang inheren. Tidak ada pertentangan antara memaksimumkan keuntungan perusahaan dan manfaat sosial, sehingga altruisme dengan sendirinya masuk dalam variabel yang menentukan bagaimana pengrajin menetapkan tingkat produksi dan harga. Dengan demikian, pada prinsipnya kegiatan produksi usaha songket sebagaimana kegiatan konsumsi terikat sepenuhnya dengan shari>‟at Islam. Karena kegiatan produksi merupakan mata rantai dari konsumsi, maka tanpa kegiatan produksi yang menghasilkan barang dan jasa tak akan ada yang bisa dikonsumsi atau digunakan. Oleh karena itu, kegiatan produksi merupakan suatu hal yang diwajibkan, karena tanpa kegiatan produksi maka aktifitas kehidupan akan berhenti. Dalam sistem nilai, produksi dalam perspektif Islam adalah suatu usaha untuk menghasilkan dan menambah daya guna dari suatu barang baik dari sisi fisik materialnya maupun dari sisi moralitasnya, sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup manusia sebagaimana yang digariskan dalam agama Islam, yaitu mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat. Karena pada dasarnya, produksi adalah kegiatan yang menghasilkan barang dan jasa yang kemudian dimanfaatkan oleh konsumen, maka

398 tujuan produksi harus sejalan dengan tujuan konsumsi sendiri, yaitu mencapai falah.99 Langkah penting memperkuat pengembangan usaha dengan mematenkan semua motif songket oleh pemerintah Provinsi Sumatera Selatan sesuai dengan prinsip Undang- Undang No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri. Hingga tahun 2010 baru 22 hak cipta motif songket dari 71 motif yang diusulkan sejak 9 November 2004 yang sudah mendapatkan hak paten oleh Direktorat Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual (Dirjen HAKI).100 Strategi ini penting dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan untuk ikut memberikan perlindungan kreasi perajin songket terhadap keterbatasan pemahaman perajin songket atas hukum hak perlindungan tersebut sekaligus memberikan sikap positif perajin atas partisifasi mereka di dunia pertenunan di Indonesia. Menurut penulis, menghormati dan melindungi hak cipta perajin songket berarti juga melindungi hak-hak sosial dan budaya masyarakat Sumatera Selatan. Strategi ini akan membangun kesadaran

99Lihat Kembali Ahmad Raisu>ni>, Nażariyat al-Maqa>sid „Inda al-Ima>m al-S}atibi (Beiru>t: al-Ma‟had al-„Lami li al-Fikri al- Islami, 1995). Sebagai perbandingan lihat Shaikh „Abd al-Qa>dir al- Jaila>ni al-H}asani, al-Ghunyah li T}a>lib T{a>riq al-Haqq fi> al- Akhla>q wa al-Tas}awwuf wa al-Ada>b al-Isla>miyyah (Da>r al-Kutub al-Isla>miyyah, t.t., juz I). Lihat juga Izzuddin ibn Abd al-Salam, Qawa>id al-Ahka>m fi> Masa>lih al-Ana>m (Kairo: al-Istiqa>mat, t.t); Hamka Haq, al-Shat}}}ibi Aspek Teologis Konsep Mas}lahah dalam Kitab al-Muwafaqat (Jakarta: Erlangga, 2007). 100Beberapa nama motif songket yang dipatenkan, antara lain: lepus bintang berakam, bungo pacik, tabur limar bintang gajah mada, jupri, bungo bakung, bungo kayu apui, bungo tabur limar kucing tidur tajung rompak, dan limar tigo negeri cempuk kupu, bungo intan, limar mawar jepang, limar berantai, limar negeri, lepus pulir tigo negeri, dan limar emas berantai. Sumber: dokumentasi Bidang Industri Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (DisPerinDagKop) Pemerintah Kota Palembang, 2010.

399 kepada semua masyarakat pentingnya karya seni tradisional songket. Hal ini juga berarti songket lebih diapresiasi, dan terus mendapat sambutan positif oleh masyarakat Indonesia yang berkembang, diapresiasi oleh pihak asing sebagai konsumen. Strategi dasar yang harus dimiliki oleh pengrajin dan perajin adalah menguatkan tujuan terjun ke dunia usaha pertenunan songket. Sementara, para pemberi bantuan modal usaha lewat berbagai program pemerintah melalui jaringan BUMN dan Perbankan. Tujuan yang selalu dibangun selama ini hanyalah sebagai upaya konsumtif dalam membantu ekonomi keluarga, dan sekedar mengisi waktu luang satu sisi, dan menjalankan proyek dan perputaran uang bagi pemberi modal. Tujuan kerja seperti ini menjadi gerakan usaha sambilan dan penyelesaian proyek. Sehingga, tujuan sebenarnya untuk melestarikan kerajinan songket dan meningkatkan kualitas hidup pengrajin dan perajin tidak tercapai. Upaya yang perlu disatukan adalah penguatan visi, misi dan tujuan kreatifitas usaha songket yang dibangun bersama-sama dengan mengikutkan peranserta pemerintah, pengrajin, perajin dan akademisi dengan berpijak pada rencana pembangunan nasional pemerintah republik Indonesia. Dengan pemaknaan seperti tersebut, implikasi mendasar bagi kegiatan produksi songket, adalah: Pertama, seluruh kegiatan produksi songket terikat pada tatanan nilai moral dan etika Islami, tidak melakukan kecurangan dalam mengatur bahan baku benang atau desain yang dapat merugikan pelanggan, walaupun secara ekonomi menguntungkan. Kedua, nilai-nilai produksi songket menjaga nilai-nilai keseimbangan dan harmoni lingkungan sosial dan lingkungan hidup masyarakat sekitar usaha. Keberisikan dalam proses menenun diupayakan untuk diminimalisir, terutama pembicaraan saat bertenun,

400 dengan demikian memproduksi songket bukan hanya untuk kepentingan produsen semata, tetapi masyarakat secara keseluruhan harus dapat menikmati proses secara memadai, proforsional dan berkualitas. Ketiga, kreatifitas, semangat kerja dan pengabaian optimalisasi segala karunia Allah Swt., baik dalam bentuk Sumber Daya Manusia maupun Sumber Daya Alam. Artinya, bahwa prinsip produksi dalam pandangan Islam bukan sekedar efisiensi, tetapi secara luas adalah bagaimana mengoptimalkan Sumber Daya Ekonomi dalam upaya pengabdian manusia kepada Tuhannya.101 Dalam sistem nilai, prinsip produksi pada usaha songket dapat bersifat altruistik, yaitu mementingkan kepentingan orang lain tanpa mengabaikan kepentingan diri sendiri, karena secara umum Islam menekankan keseimbangan antara keduanya. Adanya perilaku altruistik ini menuntut produsen songket tidak hanya mengejar keuntungan maksimum saja, namun berupaya mencapai falah di dunia dan akhirat. Lebih jauh sebagai konsekuensi dari sifat altruistik ini, maka prinsip produksi songket menolak pareto optimum, karena tidak sejalan dengan prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam. Dengan demikian, dalam tatanan nilai Islam fokus produksi tidak hanya produk finansial, namun mendesign proses sosial-ekonomi yang mempunyai hubungan strategis dengan pengembangan produk, pelestarian budaya bangsa, dan kebersamaan untuk mencapai maq}a>sid shari>‟ah. Prinsip penting lain yang digairahkan dalam produksi songket Palembang adalah: (1) memiliki komitmen penuh terhadap keadilan; dan (2) memiliki dorongan untuk

101Lihat kembali M. Umer Chapra, the Future of Economics: an Islamic Perspektif, 19; Hilad Jone, Strategic Management: an Integrate Approach, 38; Ali Abdul Rasul, Maba>di al-Iqtis}a>di fi> al Isla>m wa al-Iqt}as}a>di li ad-Daulah al-Isla>miyah, 10-11.

401 menciptakan kebajikan. Dengan demikian optimalisasi keuntungan diperkenankan dengan batasan keadilan dan kebijakan. Argumentasi atas hal tersebut, bahwa penerapan prinsip-prinsip produksi dalam Islam ternyata sangat kondusif bagi upaya produsen untuk mencapai keuntungan yang maksimum, terutama dalam jangka panjang. Jika pengrajin songket mengutamakan keadilan dan kebajikan dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat, maka dengan sendirinya dalam jangka panjang eksistensi usaha songket akan lebih terjamin. Dengan demikian, tujuan keadilan dan kebajikan dalam produksi akan berkorelasi positif dengan keuntungan yang dicapai perusahaan. Sekaligus memberikan kaderisasi penguasaan tenun songket yang lebih baik untuk generasi-generasi selanjutnya. Seperti juga sistem nilai produksi, distribusi songket berstandar pula pada kemitraan yang berkeadilan dan kebijaksanaan. Tata aturan dibangun berstandar pada komitemen untuk menjamin ketersediaan songket dan aksesories yang berkualitas dengan harga yang sesuai. Karenanya, mata rantai distribusi hingga sampai pada konsumen harus memiliki nilai kerjasama dan kemitraan yang amanah, jujur, transparan dan saling menguntungkan. Islam mentolerir ketidak-samaan pendapatan sampai tingkat tertentu, karena setiap orang tidaklah sama sifat, kemampuan, dan pelayanannya kepada konsumen (QS. al- An‟a>m [6]:165; 16: Q.S. Nu>h} [71]; Q.S. az-Zukhruf [43]: 32).102

102Şaqar, Muhammad Ahmad, Qira>‟a>t fî al-Iqtis}a>di> al- Isla>mi> bahs} Manshu>r, al-Iqtis}a>di> al-Isla>mi> Mafa>hi>m wa Murtazaka>t (Jeddah: Markaz al-Nasyr al-„Ilmi>, 1987); lihat juga Yusri Abd al-Rahma>n, Usus „Ilm al-Iqtis}a>d (t.t.: Da>r al-Nahd}ah al- Arabiyah, 1976).

402

Mekanisme pasar juga dapat dipandang sebagai bagian integral dari sistem ekonomi Islam, aktifitas usaha songket tidak akan berjalan produktif tanpa pasar, di sisi yang sama pasar memberikan kesempatan kepada para konsumen untuk mengungkapkan keinginannya terhadap produk songket, dan berbagai desain didalamnya yang disenangi dengan kesediaan untuk membayar harganya, dan juga memberikan kepada para pengrajin, perajin atau pedagang songket kesempatan untuk menjual produk barang atau jasanya sesuai dengan keinginan bebas mereka. Motif mencari keuntungan, yang mendasari keberhasilan pelaksanaan sistem yang dijiwai kebebasan berusaha, juga diakui oleh Islam. Hal ini dikarenakan, keuntungan memberikan insentif yang perlu bagi efisiensi pemakaian sumber daya yang telah dianugerahkan Allah kepada umat manusia. Efisiensi dalam alokasi sumber daya ini merupakan unsur yang perlu dalam kehidupan masyarakat yang sehat dan dinamis dengan batasan-batasan moral tertentu atas motif mencari keuntungan, sehingga motif tersebut menunjang kepentingan individu dalam konteks sosial dan tidak melanggar tujuan Islam dalam keadilan ekonomi dan sosial, serta distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil. Artinya, nilai kebebasan dalam distribusi maupun produksi adalah nilai pemberlakuan setiap orang untuk berusaha untuk menjual kepada dan membeli dari siapapun yang dikehendakinya dengan harga yang disetujui oleh kedua belah pihak („an tara>din). Kesimpulan yang muncul, bahwa penegasan atas sistem nilai distribusi unit usaha songket dalam efisiensi berkeadilan dimana kemitraan dalam konstruk keseimbangan, kebersamaan, demokrasi, patnership, kebebasan yang dilakukan dari semua pelaku usaha songket mulai dari pengrajin, perajin, distributor hingga

403 kelembagaan terbangun dalam nilai-nilai tauhid. Pengakuan Islam atas model kemitraan dalam distribusi yang digambarkan tersebut berbeda dengan sistem nilai kapitalisme, sebab walaupun pemilikan harta benda secara pribadi diizinkan, namun ia harus dipandang sebagai amanat dari Allah, karena segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi sebenarnya adalah milik Allah, dan manusia sebagai wakil (khalifah) Allah hanya mempunyai hak untuk memilikinya dengan status amanat (Q.S. al-Baqarah [2]: 84; Q.S. al-Mu‟minu>n [23]: 84-85; Q.S.an-Nu>r [24]: 33). Seperti juga dalam pembahasan sebelumnya, maka dalam tatanan nilai dipertegas lagi bahwa sesungguhnya manusia adalah wakil Allah di bumi, dan harta benda yang dimilikinya adalah amanat dari-Nya, maka manusia terikat oleh syarat-syarat amanat, dan nilai-nilai moral Islam, seperti nilai-nilai halal dan haram, persaudaraan, keadilan sosial dan ekonomi, distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil, dan menunjang kesejahteraan masyarakat umum. Ini berarti, konsep efisiensi berkeadilan dalam ekonomi berangkat dari persaudaraan dan kebersamaan, yang kemudian dikembangkan dalam salah satu konsep dasar ekonomi kerakyatan yang dapat menciptakan pengunaan tenaga kerja maksimal dan mampu mengunakan kapital atau modal, membuat seseorang sejahtera dengan tidak membuat orang lain dirugikan.103

E. Membangun Pola Usaha Berbasis kemitraan

103Lihat kembali Mohammad Hatta, Pengembangan Usaha Kecil: Salah Satu Aspek Ekonomi Terpimpin (Jakarta: Idayu, 1979); Mahbub al- Haq, Islam Property and Income Distribution (Leicester UK: The Islamic Foundation, 1991); N. Gregory Mankiw, Priciples of Economics, 2nd edition, 2001; Thomson Learning, Pengantar Ekonomi, terjemahan (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003); Dessler, Human Resource Management (New Jesrey: Hall Inc, 2000); Rivai, Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005).

404

Pembuatan perencanaan yang dimiliki adalah untuk mendorong pengembangan dasar tersebut diolah kembali kinerja yang sudah ada dari aspek produksi dan distribusi. Dari aspek produksi, pengrajin dan perajin songket dapat menentukan kembali secara proforsional, efisiensi dan efektif pada: (1) apa yang dikerjakan dan dikembangkan dari songket yang sudah ada? Hasil evaluasi dari hasil yang sudah dibuat; (2) bagaimana mengerjakannya? Dengan melihat kondisi fasilitas dan perlengkapan yang sudah dimiliki; (3) kapan akan dikerjakan? Dengan melihat kondisi efisiensi dan efektifitas waktu yang sudah berjalan selama ini; (4) dengan melihat kondisi riil perajin dan kaderisasi perajin yang sudah ada dan yang sudah disiapkan. Dari aspek distribusi, pengrajin dan perajin songket dapat menentukan kembali secara proforsional, efisiensi dan efektif pada: (1) apa yang dikerjakan dan dikembangkan dalam memperbaiki kualitas (product improvement) songket beserta modifikasinya (product development) dan keanekaragamannya (product diversification)?; (2) bagaimana cara penyajiannya, persaingan harga dan cara menyalurkannya? Dengan membuat peta pemasaran sederhana; (3) siapa mitra yang mampu mengembangkan jaringan distribusi songket? Dengan melihat hasil evalusi dalam jaringan kemitraan yang telah atau sedang dilaksanakan; (4) Bagaimana melakukan pengembangan kemitraan beretika?. Dalam perencanaan pengrajin maupun perajin melakukan aktifitas tahapan yang memungkinkan diambil keputusan meliputi: (1) menentukan permasalahan dan mencari gejala-gejala permasalahan yang menyangkut produktifitas dan distribusi; (2) mengembangkan alternatif dan kemungkinan. Dalam proses pembuatan perencanan al- mas}lahah al-mursalah sangat efektif dalam menyikapi, dan

405 menjawab permasalahan-permasalahan, dan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi modern untuk tetap menguatkan eksistensi para pengrajin songket, baik dalam mas}lahah sosial maupun dalam meningkatkan pemenuhan kebutuhan hidup sesuai dengan nilai-nilai Shari>‟at Islam.104 Selanjutnya, dalam penerapan strategi (implementing) dibutuhkan pengorganisasian sebagai sebuah proses pengelompokan orang-orang dengan tugas dan wewenang dengan jelas, dengan semua perlengkapan proses tenun songketnya. Kesemua komponen sama-sama saling bersinergi dalam kerangka efisiensi berkeadilan dengan nilai-nilai etika. Dalam proses produksi, semua komponen usaha sama-sama terlibat dan sama-sama bertanggung jawab dalam pendayagunaan kapital, membangun hak dan kewajiban bersama, kebersamaan pengembangan sumber daya pengrajin, dan kebebasan berusaha dan berkreatifitas. Penggunaan faktor produksi tersebut direncanakan dengan optimal, efisien dengan biaya efisien dan berkeadilan. Dalam pengertian keadilan dalam pandangan Islam tidak diartikan sama rata, akan tetapi pengertiannya adalah menempatkan sesuatu sesuai dengan proporsinya atau hak- haknya. Sikap adil sangat diperlukan dalam setiap tindakan termasuk dalam tindakan berekonomi. Dengan sikap adil setiap orang yang terlibat dalam kegiatan ekonomi akan memberikan dan mendapatkan hak-haknya dengan benar. Dalam menentukan honor, harga, porsentase, ukuran, timbangan dan kerugian akan tepat dan terhindar dari sifat dzulmun (aniaya).

104Lihat kembali Abu Ishaq al-Shathibi, al-Muwa>faqāt Fi> Us}ūl al-Syari>‟ah, jilid II (Beirut: Da>r al-Ma‟rifah, 1973); Muhammad Adib Shaleh, Mas}a>dir al-Tasyri‟ al-Isla>mi (Damaskus, Al- Mat}ba‟ah al-Ta‟awuniyah, tt).

406

Al-Qur‟a>n memerintahkan setiap tindakan harus didasari dengan sikap adil, karena bentuk keadilan akan mendekatkan kepada ketaqwaan (Q.S. al-Ma>idah, [5]: 8). Dari aspek biaya produksi bukan hanya sekedar rendah, namun bisa mencakup kesejahteraan dari semua pihak. Sehingga, dalam wilayah pemasaran tenun songket beserta semua modifikasi dalam berbagai bentuknya dapat berdaya guna sebagai produk usaha berciri khas, bernilai kebersamaan, memiliki nilai etika dan estetika, dan dapat dijual dengan harga yang wajar dan bersaing. Dalam konsep ini, maka faktor produksi perlu direncanakan secara baik. penerapan yang efisiensi adalah semua faktor produksi dikembangkan secara seimbang. Tidak terlalu kecil yang akhirnya produksi terhenti, dan tidak terlalu besar yang menimbulkan investasi yang tertanam dalam aktiva lancar yang dapat mengganggu kemampuan untuk membayar pembiayaan jangka pendek, walaupun menguntungkan dalam penciptaan laba. Sementara, bahan baku yang minim menguntungkan dalam sudut keuangan, karena modal pembiayaan yang tertanam kecil, namun rugi dalam proses produksi yang menyebabkan pengrajin tidak dapat melayani permintaan pembeli, sehingga berdampak pada perolehan keuntungan yang kecil pula. Dalam hal itu, maka diperlukan di dalam suatu usaha atau bisnis atau berwirausaha, kita harus memerlukan perhitungan untuk estimasi atau proyeksi laba yang akan atau ingin diperoleh pengrajin. Karena itu salah satu strategi untuk membangun hal tersebut dengan memiliki pola penyusunan rencana keuangan. Jadi, kerangka penyusunan rencana keuangan untuk usaha songket Palembang terdiri dari rencana penjualan, rencana produksi yaitu mulai dari rencana penjualan, rencana produksi, yaitu mulai dari penyusunan rencana kebutuhan bahan baku, rencana biaya tenaga langsung,

407 rencana penggunaan jam kerja mesin dan penggunaan peralatan sampai dengan penyusunan rencana anggaran biaya pemasaran dan bidang administrasi umum. Dalam penyusunan rencana keuangan, usaha songket perlu memperhatikan faktor-faktor internal maupun eksternal. Internal seperti hasil dan perkembangan penjualan masa lalu, target penjualan yang dicapai, kapasitas produksi yang tersedia. Faktor eksternal seperti perkembangan dunia usaha, perkembangan usaha songket, peraturan pemerintah, keadaan ekonomi dan pola konsumsi masyarakat.105 Strategi lain yang juga perlu dipertimbangkan adalah penghitungan harga pokok. Penetapan harga pokok yang tinggi mengakibatkan lemahnya usaha songket menghadapi saingan, dan penetapan harga pokok yang rendah dapat berakibat kurangnya kemampuan untuk memperoleh laba. Di samping, strategi yang terus menjadi dasar kerja agar memilik nilai lebih (added value) yang berorientasi pada pemenuhan permintaan pasar (market driven), dibutuhkan dukungan kebijakan untuk menciptakan iklim yang kondusif, dukungan finansial dalam bentuk Modal Awal dan Padanan (MAP), dan dukungan non finansial berupa pendidikan dan latihan. Dengan berbagai dukungan yang diberikan, terutama LPB/BDS dan lembaga keuangan mikro yang terkait dengan lembaga keuangan modern, yang saling bersinergi dengan pengrajin dan perajin songket yang dapat meningkatkan dinamika bisnis mereka. Terlebih lagi, secara kultural, aktifitas pengrajin dan perajin songket tidak akan mengalami perubahan budaya, karena sentra usaha mereka tetap berada di tempat semula dengan aktifitas turun temurun. Sehingga, penerapan strategi tersebut maka hasil tenun songket dapat terpasarkan dengan baik, menyerap

105Adji Suratman, Konsep, Proses, dan Implementasi Rencana Jangka Panjang Perusahaan (Jakarta: Intama Artha Indonusa, 2000).

408 tenaga kerja potensial, serta memberi multiplayer effect bagi masyarakat sekitar. Kemampuan mengembangkan ide dan cara-cara baru dalam memecahkan masalah, dan menemukan peluang. Di samping itu, memiliki inovasi yaitu kemampuan menerapkan kreatifitas dalam memecahkan masalah dan menemukan peluang. Maka kebijakan pemerintah, aktifitas pengrajin dan perajin, dan masyarakat, serta peran perguruan tinggi selalu disinerjikan merupakan komponen penting dalam membangun strategi usaha songket yang berdaya guna, terutama dalam meningkatkan jiwa kewirausahaan setiap pengrajin dan perajin songket. Peningkatan kewirausahaan tersebut dapat dilakukan melalui internal dan eksternal, sebab keberhasilan suatu usaha sangat ditentukan oleh faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal meliputi situasi perekonomian, kebijakan pemerintah, perubahan lingkungan persaingan, serta perubahan selera konsumen, yang sulit dikendalikan oleh suatu usaha, karena keberadaannya di luar organisasi. Faktor eksternal semakin kompleks dan tidak dapat diprediksi, sehingga suatu usaha semakin sulit untuk mencapai dan mempertahankan kesuksesan organisasi.106 Faktor internal sepenuhnya berada di usaha songket Palembang, seperti sumber daya keuangan, kebijakan pengrajin terhadap perajin, praktek Sumber Daya Manusia, manajemen dan struktur organisasi, sikap dan perilaku perajin yang terkait dengan keadaan jiwa perajin yang dapat dikendalikan oleh organisasi. Permasalahan yang dihadapi suatu usaha adalah menyangkut kemampuan mengelola

106Muhammad Ismail Yusanto dan Muhammad Karebet Widjayakusuma, Menggagas Ekonomi Islami (Jakarta: Gema Insani Press, 2002); Hadi Soesastro, Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2005).

409 faktor internal dan eksternal. Keberhasilan mengelola faktor internal akan memiliki kontribusi yang sangat berarti terhadap keberhasilan suatu usaha.107 Kemampuan mengelola faktor internal tidak dapat dipisahkan dengan kemampuan manajemen Sumber Daya Manusia mengembangkan kreatifitas dalam meningkatkan usaha tenun songket dengan beradaptasi pada faktor eksternal. Kemampuan menyesuaikan terhadap lingkungan menjadi hal yang utama bagi suatu usaha songket untuk mencapai keberhasilan. Kemitraan sebagai kerjasama usaha yang telah dipilih oleh pemerintah untuk dijadikan pola untuk memberdayakan usaha kecil, melibatkan beberapa pihak, yaitu: Pertama, pemrakarsa, para pemrakarsa adalah pengusaha besar baik swasta maupun BUMN yang bersedia menjalin kemitraan dengan pengusaha kecil. Kedua, mitra usaha, yaitu pengusaha kecil termasuk koperasi dapat dipertimbangkan menjadi peserta dalam kemitraan usaha nasional dengan mempertimbangkan antara lain, yaitu: (a) kesediaan menjalin kemitraan dengan pengusaha besar, (b) mempunyai kinerja yang baik. Ketiga, pemerintah. Pemerintah berperan dalam koordinasi, fasililitasi, dan pengawasan bagi kemitraan. Hal yang mendasar adalah bagaimana suatu usaha mampu menyeimbangkan strategi lingkungan internal (controllable) seperti proses, produk, harga, distribusi, dan budaya dan eksternal (uncontrollable) seperti persaingan, teknologi, globalisasi, legislasi dan demograpi, sehingga dapat terjadi keseimbangan untuk mencapai tujuan usaha.

107Lihat James D Thompson, Organizations in Action: Social Science Bases of Administrative Theory (New Brunswick, N.J.: Transaction Publishers, 2003); lihat juga Mahmud Thoha, Dinamika Usaha Kecil dan Rumah Tangga (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekonomi dan Pembangunan, 2001); Noer Soetrisno, Menuju Pembangunan Ekonomi Berkeadilan Sosial (Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Keuangan dan Perbankan Indonesia (STEKPI), 2003).

410

Dalam wilayah internal, setiap pengrajin memiliki semangat untuk selalu konsisten melakukan aktifitas proses penenunan. Penurunan motivasi kerja selalu menjadi bahan evaluasi kerja setiap saat.108 Untuk wilayah eksternal pemerintah juga turut memberikan stimulan kerja sesuai dengan masing-masing job description. Kemitraan sebagai kerjasama usaha yang telah dipilih oleh pemerintah untuk dijadikan pola untuk memberdayakan usaha kecil, melibatkan beberapa pihak yaitu: Pertama, pemrakarsa. Para pemrakarsa adalah pengusaha besar baik swasta maupun BUMN yang bersedia menjalin kemitraan dengan pengusaha kecil. Kedua, mitra usaha, yaitu pengusaha kecil termasuk koperasi dapat dipertimbangkan menjadi peserta dalam kemitraan usaha nasional dengan mempertimbangkan antara lain yaitu: (a) kesediaan menjalin kemitraan dengan pengusaha besar, (b) mempunyai kinerja yang baik. Ketiga, pemerintah. Pemerintah berperan dalam koordinasi, fasililitasi, dan pengawasan bagi kemitraan usaha nasional.109 Strategi lewat intervensi eksternal dapat dilihat dari pembagian kerja pada masing-masing instansi. Dari aspek koordinasi, pada dasarnya lembaga yang melakukan koodinasi sebenarnya tidak hanya dari unsur instansi pemerintah tetapi juga meliputi dunia usaha, perguruan tinggi, dan tokoh masyarakat.110 Selanjutnya, di dalam melakukan koordinasi ruang lingkupnya meliputi kegiatan dalam hal penyusunan kebijakan dan program pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, serta pengendalian umum terhadap pelaksanaan kemitraan usaha nasional.111

108Responden sering mengeluh terhadap penurunan dalam aktifitas menenun dikarenakan faktor kebosanan, usia, perasaan dan merasa sudah tidak mampu berkreasi lagi (wawancara dengan perajin songket pada tanggal 19 Oktober 2010. 109Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor. 44 Tahun 1997. 110Lihat ketentuan Pemerintah Nomor. 44 Tahun 1997 ( pasal 26). 111Lihat Peraturan Pemerintah Nomor. 44 Tahun 1997 (Pasal 24).

411

Peran fasilitasi dari pemerintah terutama dalam mengupayakan penyediaan dan pemberian fasilitas baik modal, teknologi dan jaringan pasar dalam dan luar negeri, sehingga masyarakat dapat menikmati dan menggunakan peluang yang sama. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi ketimpangan sosial di dalam masyarakat, karena ada sekelompok kecil masyarakat yang sangat mudah mendapat peluang, sementara sebagian besar masyarakat lainnya sulit mendapatkannya. Program kemitraan sebagai kebijakan hukum sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh GBHN Republik Indonesia Tahun 1999, di dalam prakteknya tentunya tidak dapat dilaksanakan begitu saja tanpa peran serta dari pemerintah. Sebagaimana yang ditentukan dalam ketentuan Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor. 44 Tahun 1997. Salah satu BUMN yang memiliki strategi dalam mengembangkan songket melalui penerapan strategis adalah Pusri. Contoh usaha kecil yang telah mendapat bantuan antara lain berupa industri kerajinan khas daerah seperti songket, kayu ukir khas Palembang, kerupuk atau kemplang Palembang, pempek, keramik, dan lain-lain. Banyak pengusaha kecil yang telah menjadi mitra binaan PT Pusri dan berhasil mengembangkan usahanya. Strategi yang digunakan PT. PUSRI seperti dijelaskan Departemen Kemitraan Usaha Kecil dan Bina Wilayah dengan menentukan karakteristik dan spesifikasi pengusaha kecil dan koperasi yang bisa dijadikan mitra binaan. Calon mitra harus berdomisili di lingkungan bisnis PT Pusri, memproduksi atau menjual produk maupun komoditas khas unggulan daerah dan berpeluang untuk ekspor. Selain itu, produk tersebut juga harus dapat dipergunakan oleh PT Pusri, dan jenis usaha yang diajukan sebaiknya berhubungan langsung dengan core bisnis PT Pusri.

412

Syarat-syarat untuk menjadi mitra binaan: (1) usaha telah berjalan minimal 1-2 tahun; (2) belum pernah mendapatkan bantuan dari BUMN pembina lain; (3) mempunyai prospek untuk berkembang; (4)Usaha Kecil dan Koperasi yang diajukan belum termasuk katagori bankable; (5) penjualan atau omzet per tahun maksimal Rp 1 miliar atau memiliki aktiva/aset maksimum Rp 200 juta di luar tanah dan bangunan yang ditempati. Bantuan pinjaman akan diberikan setelah melewati prosedur yang telah ditetapkan. Inti dari sebuah prosedur pemberian bantuan pinjaman di Pusri adalah proposal yang baik dan survey yang terkontrol. Tahapan awal yang harus dilaksanakan adalah calon mitra binaan mengajukan permohonan kepada PT Pusri atau melalui Dinas/Badan Koperasi PKM Kabupaten/Kota untuk diteruskan kepada BUMN Pembina. Berdasarkan permohonan tersebut PT Pusri akan melakukan pengkajian atau survey ke lokasi calon mitra binaan dengan memperhatikan aspek organisasi, aspek teknologi produksi dan bahan baku, aspek pemasaran, aspek keuangan, dan lain-lain aspek yang memegang peranan penting untuk keberhasilan calon mitra binaan. Dana pinjaman akan segera dikucurkan untuk permohonan atau proposal yang dinyatakan layak. Satu- satunya syarat terakhir yang harus dilakukan adalah menandatangani surat perjanjian yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Realisasi kucuran dana yang diberikan adalah pinjaman berbunga sebesar Rp 6 persen hingga 12 persen efektif per tahun, dengan jangka waktu dua tahun untuk modal kerja. Dari sisi kelembagaan, dibangun intervensi eksternal pada usaha songket dengan satu program bersama yang disebut “Jaring Penguat Tenun Tradisional Songket.112

112Pengembangan konsep sejalan dengan Permendagri No. 24 tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu

413

Progam ini bisa masuk dalam wilayah sistem manajemen satu atap ataupun program kebersamaan semua institusi yang berhubungan dengan usaha mikro dan usaha kecil. Semua institusi memiliki satu program utama yang tidak tumpang tindih, seperti Kementrian Perindustrian dan Perdagangan dan Kementrian tenaga kerja yang khusus mensurvey, mengkaji, menfasilitasi pelatihan kader penenun songket, dan mengevaluasi dengan target penenun muda yang lebih kreatif. Kementrian Pendidikan untuk memfasilitasi program ekstra-kurikuler sekolah yang ditunjuk sebagai percontohan termasuk memprogramkan pendidikan luar sekolah pada aktifitas produksi songket. Selanjutnya, Kementrian Sosial bekerjasama Bappeda dan Dinas Tata Kota menfasilitasi kemudahan dalam aspek perizinan untuk unit usaha songket yang baru merintis. Kementrian Tenaga Kerja memberikan penyuluhan dengan program kembali ke kewirausahaan berbasis daerah. Selanjutnya, calon-calon peminat menenun di data, dikoordinasikan dan bekerjasama dengan Departemen Perinsdusrian dan Perdagangan untuk dilatih sebagai regenerasi perajin songket. Hasil kegiatan diarahkan oleh Kementrian Tenaga Kerja disalurkan pada pengrajin- pengrajin unit usaha yang telah terdaftar pada data base Kementrian Perindustrian dan Perdagangan, Kementrian Tenaga Kerja maupun instusi yang berhubungan dengan data base unit usaha songket di seluruh wilayah Sumatera Selatan.

Atap merupakan salah satu instrumen untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi penanaman modal dan investasi, sehingga lebih meningkatkan dan menggairahkan ekonomi kerakyatan, serta perekonomian daerah. Pembangunan ekonomi daerah, selain ditujukan untuk memperkuat ketahanan ekonomi daerah itu sendiri, juga mewujudkan pembangunan ekonomi secara berkelanjutan. Ketahanan ekonomi daerah sangat tergantung kepada potensi ekonomi yang ada didaerah untuk dikelola dengan benar dan efisiensi berkeadilan.

414

Kementrian Koperasi wilayah Provinsi Sumatera Selatan merumuskan kebijakan pengembangan usaha kecil, serta mengembangkan koperasi sebagai satu-satunya wadah kegiatan ekonomi rakyat. Kementrian Keuangan khusus mekanisme yang berhubungan dengan perajin yang telah terbina untuk membangun usaha sendiri melalui bantuan modal usaha, termasuk program pelatihan manajemen sederhana yang dapat menjadi standar pengelolaan usaha songket yang lebih baik dan proporsional dan profesional. Perguruan tinggi menjadi mitra masing-masing institusi baik sebagai konsultan, nara sumber, peneliti survey, pengevaluasi, sekaligus konsultan dan pembinaan usaha songket, serta berbagai distribusi informasi yang berhubungan dengan pengembangan jalur usaha. Semua struktur tersebut saling bertanggungjawab dengan program utama. Sehingga, ketika memerlukan informasi apapun yang berkenaan dengan pengembangan kluster usaha songket. Masing-masing institusi memiliki data base dan tempat menyalurkan informasi bagi yang membutuhkan. Inilah asas kebersamaan dan kekeluargaan yang terbangun dalam menciptakan iklim usaha kerakyatan yang berdaya saing. Langkah yang juga bisa menjadi bagian pengembangan usaha berbasis nilai dengan mulai melakukan konsep One Village One Product (OVOP), yaitu suatu gerakan revitalisasi daerah, untuk mengembangkan potensi asli daerah supaya mampu bersaing di tingkat global. OVOP akan disesuaikan dengan kompetensi daerah, di mana akan dipilih produk unggulan yang unik dan khas.113 Dalam prosesnya, terjadi persebaran

113Konsep OVOP pada mulanya diterapkan oleh pemerintah Jepang dalam memperkuat produk lokal khas daerah mereka. Indonesia mencanangkan konsep OVOP pada tahun 2008 melalui Peraturan Menperin Nomor 78 Tahun 2007. Lihat Saiful Ulum et.al., “Konsep One

415

Perkampungan Industri Kecil (PIK) di seluruh Indonesia dengan ciri khas masing-masing.114 Dengan adanya konsep One Village One Product atau perkampungan industri kecil di semua daerah akan memberikan solusi konstruktif, terutama membangun juga nilai-nilai motivasi membangun ciri khas wilayah masing-masing. Pembentukan perkampungan tersebut tidak sekedar memberikan pemukiman para usaha kecil, teratur dan sehat, namun juga dibangun fasilitas mendukung pengembangan usaha berbasis nilai. Seperti pendirian pelayanan tehnis, pendirian balai pengembangan industri, pendirian aula pameran hasil usaha bersama. Dengan demikian, perkampungan industri kecil yang dibangun memiliki nilai bukan sekedar mengumpulkan usaha kecil pada satu tempat. Perkampungan tersebut akan berdaya guna, dan dapat dengan cepat pemerintah memberikan solusi konstruktif. Semua aktifitas mulai dari survey penelitian dan pengembangan, bantuan studi kelayakan, bantuan studi perbandingan, pendidikan dan pelatihan, serta bimbingan dan penyuluhan dapat dikontrol, dan dievaluasi secara berkesinambungan. Penggambaran rancang bangun usaha berbasis nilai dengan membangun kebersamaan antara

Village One Product (OVOP ) Melalui Peran Triple Helix Sebuah Strategi Penguatan Produk Lokal Menyambut Free Trade Agreement (Fta) Asean- China 2010”, dalam Penjurnalan Karya Ilmiah (Reseach Study Club (RSC )FIA UB 2009, edisi ke-2). 114Salah satu contoh kawasan sentra home industri Perkampungan Industri Kecil (PIK) Pulogadung, Jakarta, menampung 495 pengusaha dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 5.706 pekerja. Di dalam kawasan PIK terdapat lima kelompok pengusaha kecil dan menengah, antara lain sentra garmen sebanyak 273 pengusaha dengan jumlah pekerja 3.619 orang, logam 96 pengusaha (927 pekerja), kulit 72 pengusaha (632 pekerja), aneka komoditi 46 pengusaha (491 pekerja) dan meubel (delapan pengusaha dengan 37 pekerja). Pekerja memproduksi kaus di bengkel produksi di Perkampungan Industri Kecil (PIK) Cakung, Jakarta Utara.

416 cluster songket dengan unit pelayanan teknis, balai pengembangan usaha, pemukiman dan aula pameran kreatifitas usaha bersama. Implementasi kebersamaan digunakan untuk aktifitas studi kelayakan, studi banding, pendidikan dan pelatihan, pemasaran. Aktifitas tenun songket yang progresif ditandai adanya kinerja yang meningkat, peningkatan kemampuan karyawan, motivasi karyawan, dan struktur kerja yang fleksibel. Sehingga, usaha tetap survive di tengah-tengah lingkungan usaha yang penuh ketidakpastian dan turbulence. Strategi pengembangan tenun songket adalah mendorong untuk mengembangkan dan memanfaatkan keterampilan, menolong memelihara kinerja standar dan meningkatkan produktivitas melalui efektivitas job design, menyediakan ketepatan orientasi, pelatihan dan pengembangan, menyediakan hubungan timbal balik kinerja, dan memastikan komunikasi dua arah secara efektif. Membantu memantapkan dan memelihara hubungan antara karyawan dan pemilik yang harmonis. Program pengembangan untuk mempertemukan kebutuhan sosial, psikologi, ekonomi bagi karyawan sekaligus menolong organisasi mempertahankan produktivitas perajin. Strategi pengembangan sumber daya perajin songket dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti melalui pendidikan lewat mata pelajaran ekstra kurikuler menenun dari semua jenjang pendidikan lewat modul dalam berbagai tingkatan.115 Pelatihan berkesinambungan melalui program instansi yang terkait dengan perajin songket sebagai bagian dari aktifitas usaha kecil, dalam mencapai peningkatan

115Untuk membuat modul dapat dilakukan lewat kerjasama antara kementrian pendidian nasional, dengan yang perguruan tinggi, dan perajin profesional.

417 kompetensi Sumber Daya Manusia yang fokus pada kreatifitas tenun songket. Strategi pengrajin songket dengan melakukan terobosan-terobosan dalam penerapannya mampu meningkatkan kualitas kerja, sehingga terbangun organisasi bisnis yang fleksibel dan agility (cerdas), Pertama, mendapatkan hasil maksimum dari tenun songket, kreatifitas inovatif dari tenun dalam bentuk souvenenir yang berdaya saing. Sehingga semakin meningkatkan pendapatan, serta meningkatkan aliran kas, dan meminimalisir biaya operasi yang berkeadilan; Kedua, dengan berbagai variabel penetapan dan penerapan strategis dapat membangun usaha yang terorganisir secara profesional, dan mampu menyesuaikan perubahan kebutuhan usaha; Ketiga, berusaha selalu menguatkan kinerja para penenun songket dengan memberikan hak-hak yang adil dan manusiawi, sehingga mampu meminimalisir ekspos resiko faktor internal dan eksternal. Keempat, berorientasi pada kepuasaan pelanggan pencinta kerajinan tenun khas, dan menjaring kemitraan dalam distribusi yang sama-sama membangun keuntungan, baik lewat jalur kebijakan pengrajin, maupun intervensi pemerintah dan BUMN mitra lewat aktifitas pameran ekspor daerah maupun regional. Dalam aktifitas ini, Islam mengajarkan konstruk ta‟aw>un (Q.S. al-Ma>‟idah [5]: 2). Ketika ta‟a>wun dijadikan landasan dalam berekonomi pelaku bisnis akan terhindar dari sikap-sikap yang merugikan orang lain termasuk sikap monopoli. Seorang produsen akan menjaga kualitas produksinya untuk membantu orang lain yang tidak mampu berproduksi, seorang pengrajin punya tujuan membantu pembeli yang membutuhkan tenunan songket sesuai dengan kemampuannya. Sehingga penjual tadi akan memberikan hak-hak bagi pembeli. Artinya, suatu usaha akan sukses

418 dengan fokus pada inovasi penjualan dengan memahami kebutuhan pelanggan. Di dalam kasus ini, model kompetensi menekankan pada kemampuan mengembangkan produk sekaligus membangun dan mempertahankan loyalitas dan hubungan.116 Islam menempatkan majikan dan pekerja dalam kedudukan yang setara, keduanya saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Hubungan keduanya adalah kemitraan dalam bekerja, majikan adalah orang yang memiliki dana dan membutuhkan kerja manusia, sementara pekerja adalah pemilik tenaga yang memerlukan dana. Keduanya saling membutuhkan, karenanya harus diatur agar masing-masing dari keduanya menjalankan tugasnya dengan baik dan mendapatkan bagiannya secara benar (Q.S. az-Zukhruf (43): 32). Karena itu, konsep Islam tentang hubungan kerja majikan-pekerja adalah konsep penyewaan (ija>rah). Konsep penyewaan meniscayakan keseimbangan antara kedua belah pihak, sebagai musta‟ji>r (penyewa) dan mu‟ji>r (pemberi sewa). Penyewa adalah pihak yang menyerahkan upah dan mendapatkan manfaat, sedangkan mu‟ji>r adalah pihak yang memberikan manfaat dan mendapatkan upah. Antara musta‟ji>r dan mu‟ji>r terikat perjanjian selama waktu tertentu sesuai kesepakatan. Selama waktu itu pula, kedua belah pihak menjalankan kewajiban dan menerima hak masing-masing.

116Lihat Michael Martone, Flatness and Other Landscapes (Athens: Univ Of Georgia Press, 2003), Craig John Benham, Mathematics of Dna Structure, Function and Interactions (New York: Springer, 2009). Beberapa konsep membangun teknik penjualan strategis dapat dilihat Arthur Middleton Hughes, Strategic Database Marketing: the Masterplan for Starting and Managing a Profitable, Customer-Based Marketing Program (New York: McGraw-Hill), 2005; Joan Capelin, Communication by Design: Marketing Professional Services (Atlanta: Greenway Communications), 2004.

419

Dalam akad ija>rah tersebut, musta‟ji>r tidak dapat menguasai mu‟ji>r, karena status mu‟ji>r adalah mandiri, dan hanya diambil manfaatnya saja.117 Berbeda dengan jual beli, ketika akad selesai maka pembeli dapat menguasai sepenuhnya barang yang dibelinya. Beberapa bangun yang dilakukan dalam konstruks pengrajin (majikan)-perajin (pekerja) adalah: (1) musharakah yang menempatkan sama- sama menanggung profit and loss sharing (QS. S{a>d (38): 24); (2) mud}a>rabah dimana keuntungan dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya, dan kerugian finansial menjadi beban pemilik dana, sedangkan pengelola tidak memperoleh imbalan atas usaha yang telah dilakukan; (3) al-Ju‟a>lah yaitu kompensasi atas sebuah pekerjaan tenun songket tepat waktu dan produktif baik dalam bentuk hadiah atau persenan.118 Dalam evaluasi dalam meningkatkan kinerja usaha songket pada aspek gaji/upah dibutuhkan paradigma bahwa penenun bukanlah salah satu faktor produksi dari Sumber Daya Alam, tenaga kerja, modal, dan teknologi. Pola hubungan pengrajin (majikan)-perajin (pekerja) memiliki dasar bahwa para pekerja yang membantu aktifitas usaha telah mengorbankan waktu, tenaga, keahlian demi untuk kemajuan usaha songket.119 Hal tersebut berbeda pola

117Ahmad Hasan, Nazhariya>t al-Uju>r fi> al-Fiqh al-Isla>miy (Suria: Da>r Iqra>‟, 2002). 118Lihat Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam (Yogyakarta: BPFE, 2004). 119Penegasan kembali terhadap konsep upah yang menurut pengertian Barat terkait dengan pemberian imbalan kepada pekerja tidak tetap, atau tenaga buruh lepas, seperti upah buruh lepas di perkebunan kelapa sawit, upah pekerja bangunan yang dibayar mingguan atau bahkan harian. Sedangkan, gaji menurut pengertian Barat terkait dengan imbalan uang (finansial) yang diterima oleh karyawan atau pekerja tetap dan dibayarkan sebulan sekali. Sehingga dalam pengertian Barat, perbedaan gaji dan upah itu terletak pada jenis karyawannya (tetap atau tidak tetap), dan sistem pembayarannya (bulanan atau tidak). Meskipun titik berat

420 hubungan majikan-pekerja dalam ekonomi konvensional ditempatkan pada dua ranah yang berbeda, majikan adalah pihak yang menguasai faktor-faktor produksi, sementara pekerja adalah faktor produksi yang berfungsi melakukan proses produksi. Hubungan kedua entitas ini tidak seimbang. Akibatnya, majikan karena tujuan meningkatkan hasil produksi, selalu memaksimalkan kinerja tenaga kerja dan mengurangi biaya produksi dari tenaga kerja (upah). Hubungan yang “dikotomis” ini merupakan salah satu pemicu dari ketegangan-ketegangan yang terjadi antara majikan dan pekerja. Ketidakseimbangan kedudukan ini berimbas pada perbedaan perlakuan yang akhirnya mempengaruhi sikap dan perilaku kedua belah pihak. Konsep upah seperti dijelaskan dalam Q.S at- Tawbah (9): 105; Q.S. an-Nah}l (16): 97; Q.S. al-Kahf (18): 30, memperlihatkan bahwa dengan bekerja maka kamu akan mendapatkan ganjaran amalan tersebut, tanpa melihat jenis kelamin (laki-laki ataupun perempuan) baik di dunia dan imbalan di akhirat. Tidak adanya perbedaan gender dalam menerima upah menunjukkan konsep larangan diskriminasi upah dalam Islam, jika mereka mengerjakan pekerjaan yang sama. Hal yang menarik dari ayat ini, adalah balasan Allah langsung di dunia (kehidupan yang baik/rezeki yang halal) dan balasan di akherat (dalam antara upah dan gaji terletak pada jenis karyawannya apakah tetap ataukah tidak. “upah atau gaji biasa, pokok atau minimum dan setiap emolumen tambahan yang dibayarkan langsung atau tidak langsung, apakah dalam bentuk uang tunai atau barang, oleh pengusaha kepada pekerja dalam kaitan dengan hubungan kerja” (Konvensi ILO nomor 100). Menurut Dewan Penelitian Perupahan Nasional: Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pemberi kepada penerima kerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah dan akan dilakukan, berfungsi sebagai jaminan kelangsungan hidup yang layak bagi kemanusiaan dan produksi, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan, undang-undang dan peraturan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pemberi dan penerima kerja.

421 bentuk pahala). Rasulullah Saw. juga menegaskan seperti haditsnya kepada Aisyah bahwa “pahala kamu adalah kesuksesan kamu”.120 Dari hadits ini dapat didefinisikan bahwa upah yang sifatnya materi (upah di dunia) mestilah terkait dengan keterjaminan dan ketercukupan pangan dan sandang. Ketercukupan tersebut setimpal dengan kualitas kerja pada masing-masing karyawan, artinya upah setimpal dengan kualitas kerja (Q.S. an-Nisa>‟ [4]: 6, 32. Disamping itu, prinsip keadilan dalam pengupahan mencerminkan pengrajin telah melakukan nilai-nilai orang-orang bertaqwa (Q.S. al-Ma>‟idah [5]: 8). Adil dalam pemahaman jelas dan transparan (Q.S al-Baqarah [2]: 282; Q.S al-Ma>‟idah: 1), dari dua ayat al-Qur‟an ini dipahami bahwa prinsip utama keadilan terletak pada kejelasan aqad (transaksi), dan komitmen melakukannya antara pengrajin dan perajin songket.121 Dalam arti, bahwa seorang pekerja hanya berhak atas upahnya, jika ia telah menunaikan pekerjaannya dengan semestinya dan sesuai dengan kesepakatan, karena umat Islam terikat dengan syarat-syarat antar mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Namun, jika ia membolos bekerja tanpa alasan yang benar atau sengaja menunaikannya dengan tidak semestinya, maka sepatutnya hal itu diperhitungkan untuk dipotong upahnya, karena setiap hak dibarengi dengan kewajiban. Selama ia mendapatkan upah secara penuh, maka kewajibannya juga harus dipenuhi. Oleh karenanya, dalam “peraturan kerja” yang menjelaskan masing-masing

120Lihat Imam Muslim, Shahih Muslim, jilid 2 (Libanon: Dar al- Fikr, tt), 876. 121Abdurrahma>n al-Jaziry, al-Fiqh ala Madza>hib al-‟Arba‟ah, jilid 3 (Kairo: Da>r al-Hadi>s, 2004).

422 hak dan kewajiban kedua belah pihak secara layak122 dan proporsional (equal pay for equal job) [Q.S. al-Ahqa>f (46): 19; Q.S. Ya>si>n (36): 54].123 Dari perspektif tersebut, memperlihatkan penerapan strategi pengembangan usaha songket dalam upah menjadi perhitungan penting, sebab upah atau gaji merupakan perajin songket selama bekerja dengan baik, jika tenunan tidak sesuai dengan harapan tanpa ada alasan, maka gajinya dapat dipotong atau disesuaikan. Artinya, strategi hak- kewajiban pengrajin-perajin dari aspek upah menjadi titik dasar untuk meningkatkan kualitas tenun songket. Berdasarkan observasi dan wawancara dengan perajin maka pengrajin, pengusaha maupun pedagang yang memiliki perajin harus memperhatikan hak-hak lain, seperti hak memberikan ketenangan karena aktifitas tenun berhubungan dengan hati, hak pembatasan jam kerja; hak mendapatkan perlindungan; hak berserikat; hak beristirahat (cuti); dan hak mendapatkan jaminan sosial.124

122Pemahaman terhadap kebercukupan sandang, papan dan pangan. Dalam perspektif sejarah Islam, karyawan merupakan bagian dari keluarga, pengusaha muslim seringkali memperhatikan kehidupan karyawannya di luar lingkungan kerjanya, artinya upah tidak dapat dipisahkan dari konsep moral. Layak juga dipahami sesuai dengan peraturan pemerintah yang ditetapkan dalam UMR (Upah Minimum Regional). Lihat Baqir Sharief Qorashi, Keringat Buruh, Hak dan Peran Pekerja dalam Islam, terj. (Jakarta: Penerbit Al-Huda, 2007); Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang (Yayasan Swarna Bhumi, 1997). 123Yusuf Qarad}a>wi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, terj Didin Hafidudin (Jakarta: Rabbani Press, 2001). 124Lihat juga Muhammad Mushthafa al-Syinqit}i, Dira>sah Shar‟iyyah li> Ahammi al-‟Uqu>d al-Ma>liyah al-Mustahdatsah (Madinah: Maktabah al-‟Ulu>m wa al-Hika>m, 2001); Ahmad Hasan, Naz}ariya>t al-Uju>r fi> al-Fiqh al-Isla>miy; Eko Prasetyo, Upah dan Pekerja (Yogyakarta: Resist Book, 2006).

423

Program lain yang perlu menjadi penguatan usaha songket dengan menguatkan koperasi bahan baku. Koperasi ini akan membeli bahan baku dalam jumlah besar, sehingga harga bahan baku menjadi lebih murah, akibat keuntungan skala. Kemudian, pengrajin-perajin bisa membeli bahan baku dari koperasi dengan harga yang lebih bersaing. Sumber pembiayaan koperasi, dapat berasal sepenuhnya dari investasi swasta, kerjasama antara swasta dan pemerintah, sepenuhnya berasal dari investasi pemerintah, baik itu pemerintah provinsi dan/atau pemerintah daerah. Oleh karena itu, jumlah koperasi bahan baku yang akan dikembangkan, tidak terbatas pada satu koperasi pada satu daerah tertentu, tetapi terbuka kemungkinan untuk dikembangkan beberapa koperasi di berbagai lokasi yang membutuhkan, sebagai upaya untuk kluster songket dapat memperoleh bahan baku dengan harga yang kompetitif, melalui konsep skala ekonomi, sehingga meningkatkan efisiensi produksi UKM bidang usaha songket, yang pada akhirnya meningkatkan daya saing industri. Program lain yang tidak kalah pentingnya memfasilitasi pengembangan jaringan songket yang mengupayakan agar para pengrajin-perajin kreatif Indonesia dapat memasuki jaringan/komunitas pelaku kreatif di dalam negeri dan di luar negeri. Kegiatan fasilitasi pengembangan jaringan pelaku kreatif dalam negeri maupun luar negeri perlu dilakukan karena: Pertama, dapat meningkatkan permintaan produk songket di pasar internasional. Jika pengrajin-perajin aktif dalam jaringan/komunitas di dalam negeri maupun luar negeri, maka pelaku kreatif akan saling mengenal dan dapat bersinergi maupun berkolaborasi untuk menciptakan produk kreatif, mendistribusikan produk, atau saling mengkonsumsi produk kreatif yang dihasilkan. Kedua, mendukung proses pencitraan yang positif bagi bangsa Indonesia di dunia internasional. Pengrajin-

424 perajin songket kreatif merupakan duta-duta nasional yang mengemban tugas untuk mensosialisasikan budaya dan produk lokal negara Indonesia di tingkat internasional, terlebih mengenai hal yang terkait dengan ekonomi kreatif, sehingga citra Indonesia sebagai bangsa yang kreatif dapat semakin meningkat di mata dunia. Ketiga, meningkatkan minat investor dan masyarakat dunia untuk berkreasi dan berinvestasi atau berwisata ke Indonesia. Dalam jangka panjang, semakin menguatnya jaringan kreatif Indonesia di dunia akan membentuk persepsi positif masyarakat dunia, sehingga mereka berminat ntuk melakukan investasi, berkreasi ataupun berwisata ke Indonesia, terkhusus ke Sumatera Selatan sebagai sentral tenun songket. Keterbatasan dalam kemitraan dalam akses pasar dan kemampuan komersialisasi, kembali menjadi latar belakang pentingnya aplikasi promosi online, ini diharapkan memampukan produk-produk songket semakin dikenal luas di pasar dalam dan luar negeri, dan meningkatkan penguasaan pangsa pasar. Aplikasi juga akan mampu menciptakan prosedur yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan promosi, lebih penting lagi, aplikasi sistem promosi online ini memberi kesempatan yang sama kepada seluruh pengrajin-perajin songket untuk berpromosi, selama mampu memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan. Aplikasi sistem promosi ini dapat dijadikan sebagai sub- domain website Departemen Perdagangan. Di tahun-tahun berikutnya, diharapkan sistem promosi ini semakin membesar menjadi sistem promosi sekelas www.alibaba.com, atau bahkan www.ebay.com. Program lain yang dapat membantu penguatan distribusi tenun songket dan aksesoriesnya bermitra dengan pasar ritel modern secara berkesinambungan. Kendala- kendala yang dihadapi oleh pengrajin songket dan aksesories yang ingin memasuki pasar ritel modern, adalah

425 tidak dapat memenuhi standar yang diisyaratkan oleh ritel modern, misalnya terkait dengan: bentuk kemasan, kapasitas/kesinambungan pasokan, standar pemprosesan, serta berbagai prosedur lainnya. Sedangkan kendala yang sering dihadapi oleh pengrajin songket yang sudah berhasil memasuki ritel modern, adalah pemenuhan pasokan produk yang diisyaratkan harus dipenuhi untuk jaringan pasar ritel modern. Kondisi-kondisi ini merupakan latar belakang perlunya dilakukan kegiatan pengembangan kemitraan ritel modern-UKM yang saling menguntungkan. Pengembangan desain produk kreatif Indonesia agar berdaya saing di pasar internasional, adalah kegiatan Departemen Perdagangan untuk meningkatkan kualitas desain dan fungsi dari produk produk kerajinan Indonesia dengan mengusung ciri khas bangsa Indonesia lebih dalam, dikolaborasikan dengan sentuhan-sentuhan kontemporer, selera konsumen dan faktor-faktor lain, melalui kerjasama dengan desainer-desainer handal dalam dan luar negeri, melalui metode live in di sentra-sentra, seperti yang dilakukan stasiun TVRI Palembang pada industri kerajinan dan fesyen tersebut. Munculnya kegiatan ini dilatarbelakangi oleh kondisi dimana produk kerajinan songket tidak memiliki desain yang baru, inovatif dan kreatif. Produk yang dijual di pasar adalah produk dengan desain lama atau tiruan dengan sedikit modifikasi, atau hanyalah memproduksi sesuai dengan desain yang diberikan. Kekeringan dalam kreasi desain ini akan berdampak langsung pada daya saing sub sektor kerajinan di pasar domestik dan asing, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Kerjasama intensif dengan desainer handal dalam dan luar negeri melalui metode live in ini, diharapkan dapat meningkatkan kualitas produk kerajinan Indonesia agar dapat unggul di pasar domestik dan memiliki daya saing di

426 pasar internasional. Kegiatan ini juga untuk: (1) meningkatkan citra positif dunia pertenunan terutama tenun songket di mata dunia; (2) mempertegas bahwa Indonesia memiliki banyak kelebihan yang kurang dimanfaatkan sebagai sebuah keunggulan, bangsa Indonesia adalah bangsa yang kreatif; (3) memberikan kesadaran akan keberadaan dan kualitas produk-produk kreatif Indonesia; (4) menghilangkan persepsi yang negatif atas Negara Indonesia, serta kualitas SDM Indonesia. Keberhasilan terhadap aktifitas yang berkenaan dengan promosi melalui pameran songket dalam ajang- ajang nasional maupun internasional yang diusung institusi terkait dapat diukur berdasarkan: (1) kesepakatan bisnis yang terjalin selama masa promosi; kesan para pengunjung terhadap produk kreatif usaha songket. Keberhasilan promosi ini sangatlah dipengaruhi oleh ketepatan pameran, yang diikuti dengan berbagai bentuk produk yang akan dipromosikan berbasis songket, serta kualitas produk yang ditawarkan. Oleh karena itu, proses fasilitasi ini haruslah mengacu kepada hasil kajian pemilihan pameran luar negeri yang sesuai dengan konsep pameran yang akan dilakukan dan tujuan promosi yang ingin dicapai. Strategi pengembangan usaha lain yang penting untuk meningkatkan efisiensi berkeadilan pada aspek penjualan dan pemasaran kain songket. Langkah untuk merebut hati para konsumen untuk mengenal, membeli dan mencintai kain songket dan aksesories. Karena itu, strategi pemasaran shari>‟ah dapat dibangun dalam variabel bauran seperti pada produk songket, dan aksesories berbasis songket yang berkualitas, dan sesuai dengan yang dijanjikan. Variabel harga songket dengan harga yang kompetitif, variabel distribusi berbasis kebaikan tidak dalam kerangka kezoliman terhadap pengrajin atau perajin songket lain dan terbangun etika kemitraan, serta

427 membangun profesionalitas termasuk variabel promosi yang menjauhi iklan fiktif, tidak jujur dan tidak mengandung unsur gharar dan tadli>s. Kesemuanya dibangun berdasarkan kehalalan dan keadilan. Efisiensi berkeadilan di bidang pemasaran dilakukan oleh pengrajin songket ataupun perajin songket yang langsung menjual tenunnya selalu bernilai ilahiyah, menguatkan kesejahteraan, dan selalu berusaha untuk memperbaiki mutu produk baik dari aspek pengembangan desain produk, ketepatan pemesanan dan keadalan, serta kejujuran untuk tidak menyembunyikan kecacatan atau nilai kreatifitas dari benang tenun songket. Pemasaran bukan wilayah yang sekedar untuk menyenangkan pelanggan dengan membangun imej jelek kepada pengrajin lain dengan harapan akan meningkatkan pelanggan, atau menggunakan cara rayuan sehingga pelanggan tertarik. Dengan demikian, strategi pemasaran kain songket berbasis shari>‟ah diawali dengan: Pertama, produk yang dibuat berkualitas sesuai dengan realitas yang terdiri dari (1) aspek tampilan; (2) aspek keanekaragaman desain; (3) aspek kualitas dan kemasan; dan (4) aspek merk yang mencerminkan kemitraan. Kedua, harga (price), dimana semua harga disesuai dengan produk hasil dan bisa memberikan keuntungan bersama, serta potongan harga yang realistis. Ketiga, distribusi dilakukan oleh distributor yang amanah, pelayanan yang profesional, semua pemasukan ditulis dan menggunakan pembukuan yang baik dan amanah. Keempat, promosi. Jujur tidak fiktif, profesional bukan sekedar iming-iming, dan memiliki ketertarikan aset daerah yang prospektif. Jika itu dilakukan, maka akan menimbulkan kepuasaan konsumen dari produk tenun dan aksesories yang dibuat.

428

Berdasarkan realitas tersebut, maka penggambaran atas metode yang dapat digunakan dalam efisiensi berkeadilan dalam strategi pengembangan usaha songket dalam nilai-nilai shari>‟ah secara keseluruhan. Keberhasilan pengembangan UKM di beberapa negara maju diantaranya karena jaringan usahanya (business networks) berkembang dengan baik. Taiwan mengembangkan dua konsep, yaitu: sektor industri dikenal dengan satelite factory system, dan sektor non industri jaringan usaha yang dikembangkan disebut cooperative exchange program.125 Konsep satelite factory system mengungkapkan identik dengan pola sub kontrak sebagaimana berkembang pada industri otomotif di Jepang. Industri-industri besar melakukan sub kontrak beberapa komponen yang dikerjakan oleh industri kecil dan menengah. Dalam kaitan ini, industri besar hanya memproduksi bagian-bagian penting dan merakit produk yang dihasilkan.126 Di Taiwan, industri-industri yang terus mengembangkan industri perakitan mobil, industri elektronik (ACER, SONY, Motorolla, dll), dan industri mesin pesawat (Thunder Tiger).127 Konsep cooperative exchange program, merupakan forum kerjasama informasi dan pengalaman dalam pengembangan usaha. Jaringan usaha seperti ini dilakukan secara multi sektoral. Misalnya, UKM yang bergerak di

125Milton T. Wolf dan Marjorie E. Bloss, Creating New Strategies for Cooperative Collection Development (USA: The Haworth Information Press, 2000). 126Hasegawa Harukiyo dan Glenn D. Hook, Javaness Bussines Management: Rectruturing for Low Growth and Globalization (London: Routledge, 2002). 127Cheng Tian Kuo, Global Competitives and Industrial Growth in Taiwan and Philippines (USA: University of Pitsburgh Press, 1995); sebagai perbandingan dapat dilihat dalam T.M. Siregar, Pembaruan Ekonomi Tiongkok: dari Fokus Pedesaan ke Pasar Internasional (China‟s Economic Reform from Rural Focus to International Market) (Jakarta: Pustaka Pena, 2002).

429 sektor pertanian melakukan kerjasama dengan sektor perdagangan dan jasa. Kerjasama usaha ketiga sektor ini bermanfaat untuk memperoleh informasi harga atau informasi komoditi yang memiliki prospek cerah ke depan. Di samping tentunya untuk memasarkan produk yang dihasilkan. Di Australia pengembangan jaringan usaha yang dirintis melalui proyek program network antara tahun 1991 dan 1993. Pilot proyek jaringan usaha di Australia dilaksanakan oleh “the National Industry Extension Service (NIES)”, yaitu suatu joint venture antara pemerintah commonwealth dengan delapan negara bagian teritori. Dari pilot proyek tersebut diklasifikasikan dua konsepsi jaringan usaha yang berkembang, yaitu “hard” dan “soft” networks. Hard networks merupakan jaringan usaha yang betul-betul terjadi secara solid dalam mengembangkan usaha. Sedangkan soft networks lebih ke arah jaringan usaha informal yang pada dasarnya untuk saling tukar-menukar informasi.128

128Bureau of Industry Economics, the National Industry Extension Service (NIES) and Industry Development (Australia: BIE Press, tt) volume 9 dari Occasional Paper, 1-8. Lihat juga Richard Hatch. Overcoming the Limitations of Size: Network Strategies in Asia (Paper for the ABD/OECD workshop on SME Financing in Asia, 2000); bandingkan dengan John Dean, Business Networks and Strategic Alliances in Australia (Australia: Departement of Industry, Science and Tourism, Australia, 1997). Beberapa contoh pengembangan jaringan usaha yang berhasil di Australia adalah : (1) Asia Pacific Design Group. Jaringan usaha ini dibentuk oleh 11 perusahaan yang bergerak dalam jasa konsultasi untuk seluruh aspek bangunan dan konstruksi; (2) ATVC. ATVC adalah Automotive Trim and Upholstrey Contractors Network. Dimana 8 perusahaan membentuk jaringan usaha untuk memenangkan kontrak-kontrak tender pemasangan rel untuk Trim, dimana yang selama ini selalu dimenangkan oleh Bridgestone dari Jepang atau Amerika Utara; (3) Daplar. Daplar merupakan jaringan kerjasama dari 4 perusahaan pembuat kabinet dan penyambungan yang memproduksi kitchen set dan kamar mandi. Jaringan usaha ini mampu memproduksi rangka-rangka rumah yang “knocked down”; (4) Ambulances to Asia. Jaringan ini menyediakan paket ambulances siap pakai untuk

430

Berbagai contoh tersebut menunjukkan efisiensi kerja akan profesional dengan kekuatan motivasi bersama yang tidak dipaksakan. Karenanya, kemitraan dan usaha dibangun atas dasar prakarsa sendiri dengan terbangun pada nilai-nilai keagamaan. Sebagai langkah strategis yang tidak bisa diabaikan yang perlu dilakukan adalah merubah kultur bisnis (changing business culture). Orientasi mengejar keuntungan dan monopoli dalam usaha songket Palembang diubah dalam konsep kebersamaan, keadilan dan kemitraan dengan tetap melakukan perbaikan manajemen usaha profesional. Perubahan merupakan pekerjaan yang tidak mudah dan sekali jalan, apalagi usaha yang sudah menikmati hasil yang besar dan semakin besar dari kegiatan bisnis yang dilakukan. Sarana promosi media cetak maupun elektronik lebih mempercepat proses terjadinya jaringan usaha antara pengrajin dan perajin songket, atau antara pengrajin dengan pengrajin, dan perajin dengan perajin, maupun dan antar pengrajin-perajin dengan BUMN/BUMS, baik di dalam dan di luar negeri. Melalui media inilah diinformasikan konsep jaringan usaha dan apa manfaatnya. Di samping itu juga perlu ada talk shows melalui televisi atau radio, presentasi pada asosiasi-asosiasi perdagangan dengan para nara sumber yang capable dan profesional. Setelah sosialisasi tersebut berhasil dan telah tumbuh kesadaran para pengrajin songket untuk melakukan kerjasama, maka dilakukan aktifitas jaringan usaha melalui intervensi pemerintah. Di dalam pelatihan tersebut mereka diberikan studi kasus mengenai struktur dan fungsi jaringan,

layanan medis guna memenuhi permintaan di pasaran Asia; (5) Oz Electronics Manufacturing. Jaringan tersebut adalah kerjasama usaha antara 3 (tiga) perusahaan elektronik kecil dimana menghadapi masalah yang sama, yaitu biaya komponen perusahaan tersebut yang tinggi yang dibutuhkan. Tanpa jaringan ini tampaknya mereka tidak mungkin bisa bertahan dalam menghadapi biaya tinggi tersebut.

431 teknik berorganisasi, resolusi konflik, perencanaan strategi kelompok, dan pengembangan pasar. Hal yang juga diperlukan dalam penerapan strategi untuk menguatkan usaha kerajinan songket di Sumatera Selatan adalah sosialisasi berkelanjutan semua bank-bank syari‟ah dengan merangkul semua pengrajin dan perajin songket tersebut. Pada umumnya, para pengrajin dan perajin songket yang berkeinginan mengembangkan usaha membutuhkan akses mendapatkan bantuan modal dan bantuan pemasaran, bukan subsidi bunga, dan bukan dana block grant. Karena itu, intervensi yang diperlukan dari pemerintah adalah adanya penjaminan bantuan modal dan pemasaran untuk pengrajin-perajin songket khususnya, dan semua usaha mikro dan kecil di Indonesia pada umumnya. Strategi ini perlu ditegaskan, sebab bank adalah risk aversion, sehingga tidak berminat memberikan kredit kepada usaha mikro dan kecil yang memang memiliki default risk tinggi. Dalam konstruks ini, bank-bank syari‟ah dapat melakukan efisiensi berkeadilan dengan berpegang pada konsep fiqh muamalah. Proses pemberdayaan usaha songket melalui perbankan syariah perlu memperhatikan beberapa hal antara lain: skim pendanaan, skim penyaluran, dan skim restrukturisasi usaha songket bermasalah. Selain menggunakan sumber dana yang telah ada, yakni sebagian keuntungan BUMN, sumber dana pengelolaan juga dapat diperoleh dari Badan/Lembaga Amil Zakat berupa dana zakat, infaq, sedekah, wakaf sehingga dapat diperoleh akumulasi dana yang lebih besar. Untuk pengelolaan secara profesional, maka pemerintah harus memberikan kesempatan kepada perbankan syariah untuk mengelola dana tersebut di atas, baik pengumpulan maupun penyalurannya. Hal ini penting, sebab walaupun bank konvensional tidak serta merta identik dengan riba, namun praktek kebanyakan bank konvensional digolongkan

432 sebagai transaksi riba.129 Hal ini sangat relevan jika pemerintah hendak mengubah sistem pengelolaan dana untuk usaha songket maupun usaha-usaha mikro dan usaha kecil lainnya dengan sistem bagi hasil, karena perbankan syariah merupakan satu-satunya bank yang memiliki skim pembiayaan secara bagi hasil. Penyaluran dana untuk UKM oleh perbankan syariah dapat dilakukan dengan skim musharakah ataupun mud}a>rabah. Kedua skim ini pada hakikatnya, adalah penggabungan beberapa potensi dana dan profesionalisme dalam sebuah usaha dengan perjanjian saling berbagi hasil atas keuntungan yang akan diperoleh. Perbedaannya terletak pada komposisi dananya saja. Dalam mud}a>rabah, modal hanya berasal dari satu pihak, yaitu pihak bank sebagai sahibul mal dengan penyertaan modal 100 persen, sedangkan dalam musharakah penyertaan modal berasal dari dua pihak atau lebih yang besarnya ditentukan diawal kesepakatan secara bersama. Dalam pengertian lain bahwa pada musharakah, pengrajin songket harus menyediakan dana tertentu sebagai porsi modal usaha, sedangkan pada skim mud}a>rabah pengrajin atau perajin songket tidak perlu menyediakan modal. Kelebihan skim ini adalah tidak mutlak diperlukannya jaminan dan sistem angsuran yang disesuaikan dengan kinerja usaha. Hal ini tentunya dapat menjawab kesulitan usaha mikro dan usaha kecil terutama usaha songket dalam berhubungan dengan bank, yakni jaminan. Pola mud}a>rabah dan musharakah adalah pola investasi langsung pada sektor riil, return pada sektor keuangan (bagi hasil), dalam prinsip ajaran Islam, sangat ditentukan oleh sektor riil. Hal ini berarti, keberadaan bank syariah harus mampu memberikan kontribusi yang meningkatkan

129Ahmad Rodoni dan Abdul Hamid, Lembaga Keuangan Syariah (Jakarta: Zikrul Hakim, 2008).

433 pertumbuhan sektor riil, fungsi tersebut akan terwujud bila bank syariah menggunakan akad profit and loss sharing (mud}a>rabah dan musharakah) sebagai core productnya. Di samping lebih adil dan tidak memberatkan, sistem angsuran yang disesuaikan dengan kinerja usaha dapat meningkatkan pendapatan pemerintah, jika kinerja usaha usaha kerajinan songket maupun usaha mikro dan kecil lainnya meningkat.130 Dalam perjalanannya porsi pembiayaan profit and loss sharing pada bank syariah umumnya rendah karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya besarnya resiko dalam pembiayaan bagi hasil, moral hazard dan adverse selection, rendahnya total asset bank syariah yang market share sebesar 1,77 persen dari perbankan nasional menyebabkan bank syariah harus berhati-hati dalam menyalurkan dananya ke nasabah. Faktor-faktor yang menyebabkan pembiayaan bagi hasil kurang menarik bagi bank syariah antara lain: Pertama, sumber dana bank syariah yang sebagian besar berjangka pendek tidak dapat digunakan untuk pembiayaan bagi hasil yang biasanya berjangka panjang. Kedua, kebanyakan pengusaha yang memilih pembiayaan bagi hasil adalah mereka yang

130Dalam perjalanan usahanya, bank syariah tidak bisa memberikan kontribusi yang maksimal untuk mendukung kemajuan sektor riil, khususnya UMKM. Hal ini terjadi karena pembiayaan yang diberikan di dominasi oleh pembiayaan non bagi hasil (murabahah dan ijarah). Dalam statistik perbankan syariah bulan November 2007, porsi produk untuk jenis pembiaayaan murabahah mencapai 58,93 persen dan piutang istishna‟ mencapai 1,26 persen, sementara proporsi pembiayaan musyarakah sebesar 16,06 persen dan pembiayaan mud}arabah sebesar 20,49 persen. Selain itu, perannya untuk memberdayakan perekonomian ummat secara keseluruhan tidak berjalan dengan optimal, karena pembiayaan masih fokus pada sektor jasa yang cenderung menggunakan skema pembiayaan non-bagi hasil mencapai 31,16 persen, sedangkan untuk sektor industri mencapai 4,94 persen, dan sektor pertanian mencapai 2,40 persen.

434 berbisnis dengan risiko tinggi termasuk mereka yang baru terjun ke dunia bisnis, Ketiga, banyak pengusaha yang mempunyai dua pembukuan, pembukuan yang diberikan kepada bank adalah yang tingkat keuntungannya kecil, sehingga porsi keuntungan yang harus diberikan kepada bank juga kecil, padahal pada pembukuan sebenarnya pengusaha membukukan keuntungan besar.131 Mencermati pola bagi hasil yang didasari kepercayaan antar pihak yang terlibat, maka dibutuhkan proses pendampingan yang optimal antara lain pembinaan aspek administrasi dan pengelolaan keuangan, pembinaan aspek manajerial, dan pembentukan akses terhadap pasar songket. Upaya untuk mengoptimalkan mud}a>rabah pada bank syariah melalui berbagai langkah, antara lain adalah: Pertama, kesinambungan dan transparansi informasi terhadap usaha yang akan dijalankan. Informasi usaha dan pasar adalah sesuatu yang sangat penting dan berharga dalam setiap usaha. Oleh karena itu, langkah ini bisa dimaksimalkan melalui database yang aktual, rinci, dan faktual, sambil terus mencari dan menemukan format usaha yang sesuai dengan iklim usaha kerajinan songket. Kedua, pengembangan usaha-usaha kerajinan songket yang dibina langsung oleh bank syariah. Industri ini benar-benar milik rakyat, prospektif, dan dikelola dengan amanah. Ketiga, membuat aturan dan regulasi yang tepat, terstandarisasi, dan sesuai dengan prinsip shari>‟ah. Hal tersebut untuk menegaskan keyakinan kepada masyarakat usaha songket bahwa bank syari‟ah lahir dari antusias mayoritas umat Islam di kalangan bawah (grass root). Salah satu strategi yang dapat dilakukan dengan pola

131Ahmad Sumiyanto, Problem dan Solusi Transaksi Muharabah (Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2005); Muhammad, Permasalahan Agency dalam Pembiayaan Mudarabah pada Bank Syariah di Indonesia, Disertasi (Yogyakarta: UII Yogyakarta, 2005).

435 penerapan sistem bapak angkat dalam jasa bagi hasil. Yaitu kerjasama usaha antara dua pihak. Pihak pertama (bank syari‟ah) sebagai penyedia modal, pihak kedua (pengrajin/perajin songket) sebagai pengelola yang keduanya bergabung sebagai mitra usaha.132 Untuk dapat menggabungkan dalam kemitraan diperlukan pendataan dari bank syari‟ah bekerjasama dengan kementrian terkait di provinsi Sumatera Selatan semua pengrajin dan perajin songket yang aktif dan prospektif. Hasil pendataan disampaikan kepada para pengrajin dan perajin melalui proposal bantuan bapak angkat sistem bagi hasil yang dilakukan pihak perbankan syari‟ah, sekaligus sebagai upaya pendekatan dan sosialisasi konsep muamalah dalam perbankan syari‟ah. Strategi selanjutnya, memberikan kesempatan semua pengrajin dan perajin songket untuk membuat proposal bantuan dana, dan diserahkan kepada pihak bank syari‟ah yang ditindaklanjuti lewat studi kelayakan ke tempat usaha yang sudah berjalan. Pengrajin atau perajin yang layak dibantu dituangkan dalam

132Hal ini penting dibangun, sebab data wawancara menunjukkan bahwa para pengrajin/perajin songket belum banyak mengetahui pola akad dalam dunia perbankan syari‟ah, bahkan ada kesan para pengrajin masih menilai bahwa bank syari‟ah tidak membangun keadilan bagi usaha mikro dan kecil. Seperti ungkapan dimana ketika mereka mengikuti tabungan wadi‟ah mereka tidak mendapat imbalan, kecuali bonus yang tidak ditetapkan dan berdasarkan kebijakan bank, Walaupun hal tersebut sudah terbantahkan dengan konsep tabungan yang dikembangkan oleh bank syari‟ah. sementara bank syari‟ah sangat over hati-hati dalam memberikan bantuan dana pinjaman. Hasil wawancara dengan responden baik dari pengrajin maupun perajin (antara 22 September-18 Oktober 2010. Dampak dari pola kehati-hatian tersebut para pengrajin songket lebih menyukai sistem bunga rendah yang ditawarkan oleh kemitraan BUMN, beberapa responden ditanyakan sistem bagi hasil, mereka malah balik bertanya apa itu “bagi hasil”, bagi kami ada bantuan modal, kami bekerja untuk menutupi pinjaman dan bisa untuk hidup sehari-hari sudah cukup.

436 sebuah Memorandum of Understanding (MoU) atau (qira>d) yang benar-benar dipahami oleh pengrajin/perajin yang menjadi mitra.133 Untuk meningkatkan kemitraan yang membangun keuntungan bersama hasil tenun songket dan aksesoris yang sudah dibawah naungan bank syari‟ah dapat dijual dan di pasarkan melalui jalur bank sebagai bapak angkat lewat pengaturan strategi kelancaran sistem penjualan produknya, termasuk juga bank syari‟ah dapat memberikan pelatihan manajemen sederhana berbasis shari>‟ah. Salah satu penerapan strategi tersebut, akan memberikan dampak kemitraan yang humanis dan berkesinambungan. Termasuk juga dalam pembagian keuntungan dengan memberikan penentuan besarnya nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untuk rugi, besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh, bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Dalam hal terjadi kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak, namun jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan jumlah peningkatan jumlah pendapatan.134 Penilaian motivasi dan semangat pengembangan melalui beberapa hal berikut: Pertama, pengrajin-perajin berorientasi pada kewirausahaan melalui penilaian (1) kreatif dan inovatif; (2) menjaga perasaan; (3) pekerja keras; (4) bertanggung jawab. Kedua, produksi dengan menilai pada (1) penggunaan sarana dan prasarana

133Penjelasan perjanjian mud}}}arabah (qira>d) dengan sistem bagi hasil. Lihat Abdul Hamid Mahmud al-Ba‟ly, al-Madkha>l li al- Fiqhi al Banu>k al-Isla>miyah (Cairo: al-Ma‟had al-Dauli li al-Bu>nuk wa al-Iqtisha>di al-Isla>miah, 1983). 134Muhammad Syafe‟I Antonio, Bank Syari‟ah: Suatu Pengenalan Umum (Jakarta: Tazkia Institute-Bank Indonesia, 1999). 134Murasa Sarkaniputra, Ruqyah Syar‟iyyah: Teori, Model, dan Sistem Ekonomi (Cirebon: al-Ishlah dan STEI Bobos, 2009).

437 yang lebih baik; (2) kemudahan akses kerja, sarana dan prasarana; (3) peningkatan dan pengembangan kemampuan keterampilan Sumber Daya Manusia (SDM); (4) ketersediaan bahan baku yang berkualitas. Ketiga, strategi pemasaran melalui penilaian seluruh proses dari pembuatan, penawaran, dan harga distribusi terbangun dalam nilai-nilai shari>‟ah. Keempat, informasi keuangan melalui penilaian pedoman tata buku tunggal penilaian dengan (1) kelengkapan laporan keuangan beserta bukti pembukuan; (2) kelengkapan sumber dan penggunaan dana. Kelima, kesadaran untuk membangun dan memperluas jaringan kemitraan. Keenam, membuka peluang untuk melakukan pendampingan melalui program- program binaan usaha mikro dan usaha kecil; dan kesiapan untuk melakukan transaksi dan penggunaan produk perbankan syari‟ah dengan tetap membuka peluang kemitraan dengan BUMN yang eksis membangun kemitraan. Ketujuh, siap membantu institusi yang berhubungan dengan penguatan kaderisasi penenun/perajin songket. Selanjutnya, penekanan terhadap konsep dan penerapan strategis tidak bisa lepas dengan evaluasi (controling) dari infrastruktur Sumber Daya Manusia. Kegiatan analisis pekerjaan dalam organisasi pengrajin songket merupakan hal yang sangat penting, karena berbagai tindakan dalam pengelolaan Sumber Daya Manusia tergantung pada informasi-informasi tentang analisis pekerjaan para perajin songket dari para konsumen dan pelanggan. Teori manajemen Sumber Daya Manusia memberi petunjuk bahwa ada paling sedikit sepuluh kegiatan pengelolaan Sumber Daya Manusia yang penyelenggaraannya dengan baik didasarkan pada informasi yang berhasil dikumpulkan, yaitu: Pertama, informasi analisis pekerjaan memberikan gambaran tentang tantangan

438 yang bersumber dari lingkungan yang mempengaruhi pekerjaan para perajin songket. Salah satu implikasinya ialah bidang pelatihan yang harus segera direncanakan dan dilaksanakan, sehingga apabila ada permintaan pengembangan desain songket, para perajin yang tadinya melakukan pekerjaan tersebut langsung dibekali dengan keterampilan lain, sehingga mereka tetap diberikan kesempatan memberikan kontribusinya yang maksimum. Kedua, menghilangkan persyaratan pekerjaan yang sebenarnya tidak diperlukan karena didasarkan pada pemikiran yang diskriminatif. Di masyarakat yang menganut paham demokrasi dan tidak mengenal perlakuan yang bersifat deskriminatif dalam bentuk apapun, hal ini mungkin tidak menjadi masalah. Akan tetapi, para analis pekerjaan tetap harus mewaspadai situasi organisasi agar jangan sampai ada kebijaksanaan di bidang aktifitas penenun yang bernada diskriminatif. Terutama dalam merealisasikan upah yang diiming-imingkan kepada perajin, yang akhirnya mendiskriditkan pengrajin lain yang memiliki modal usaha minim. Ketiga, analisis pekerjaan harus juga mampu menemukan unsur-unsur pekerjaan yang mendorong atau menghambat mutu tenunan songket, terutama dalam memberikan suasana yang menenangkan para perajin songket dalam menenun. Sebab ketenangan dan ketentraman hati para penenun songket sangat berdampak dari hasil tenunan perajin. Keempat, merencanakan ketenagakerjaan untuk masa depan melalui analisis pekerjaan harus dapat diperoleh gambaran tentang kemampuan para perajin songket yang ada sekarang, arah dan kecenderungan perubahan dimasa depan yang dikaitkan dengan dampaknya kaderisasi penenun yang cenderung mulai kurang diminati generasi muda. Kelima, analisis pekerjaan harus mampu menilai secara tepat kader penenun, sehingga ketika diperlukan

439 penenun yang baru maka dengan segera dilakukan realisasi dan peradaptasian dengan aktifitas penenun songket lainnya. Keenam. analisis pekerjaan sangat membantu dalam menentukan kebijaksanaan dan program pelatihan, program pelatihan yang bersifat praktis dalam arti kata berkaitan langsung dengan tugas tenun songket tetap diperlukan, mengingat bahwa pengetahuan atau keterampilan yang diperoleh di lembaga pendidikan formal itu masih bersifat teoritikal. Ketujuh, menyusun rencana pengembangan potensi para perajin. Pengembangan harus mempunyai dua sasaran sekaligus, yaitu satu pihak agar para perajin semakin mampu memberikan kontribusi, dan di lain pihak agar mutu kekaryaan di bidang tenun songket semakin meningkat, yang pada giliranya memungkinkan para perajin yang menekuni dunia tenun songket dapat memenuhi berbagai jenis kebutuhan. Kesembilan, informasi analisis pekerjaan sangat penting pula arti dan perannya dalam pemberian tugas menenun agar benar-benar sesuai dengan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang dimilikinya. Kesepuluh, informasi tentang analisis pekerjaan juga sangat penting artinya dalam merumuskan, dan menentukan system, serta tingkat imbalan yang adil dan tepat. Segi keadilan penting mendapat perhatian, sebab perbedaan persepsi antara manajemen dapat para pekerjaan tentang keadilan dalam pemberian upah dapat merupakan salah satu sumber konflik yang harus di atasi. Secara umum para perajin tenun songket menggunakan tiga “alat” pembanding, yaitu: (1) diri sendiri berdasarkan harapan-harapan; (2) diri sendiri dengan orang lain dalam lingkup usaha; (3) diri sendiri dengan orang lain di luar lingkup usaha. Upaya mendapatkan informasi mengenai semua hal tersebut disusun suatu kuesioner yang disusun untuk kepentingan pengumpulan informasi tentang pekerjaan

440 mengandung paling sedikit lima hal, yaitu: (1) status informasi yang dimiliki pengrajin dikaitkan dengan pekerjaan perajin yang diidentifikasikan lewat pernyataan konsumen; (2) tugas dan tanggung jawab yang dibangun para perajin; (3) karakteristik insani; (4) kondisi kerja; (5) standar prestasi kerja. Dalam menilai usaha menggunakan dua sudut pandang yaitu shari>‟at (dunia) dan hakikat (ukhrawi). Bagi pelaku ekonomi yang menggunakan dua sudut pandang dalam menilai hasil sangat penting, karena dalam dunia usaha untung dan rugi dalam kaca mata materi pasti terjadi, sehingga ketika hasil usaha dianggap rugi sekalipun ia masih punya harapan besar dan panjang, karena masih ada keuntungan yang bersifat ukhrawi (Q.S Fa>t}ir, [35]: 29). Islam adalah ajaran rasional dan senantiasa mengajak kepada umat manusia untuk memberdayakan potensi akal termasuk dalam tindakan ekonomi, setiap kegiatan ekonomi harus bersipat logis dan rasional tidak berdasarkan emosinal semata. Evaluasi dilakukan dengan rancangan yang tepat, ketelitian dan perhitungan yang akurat. Bagi muslim dalam berekonomi tentu harus punya managemen yang kokoh, planning yang terarah, tindakan dan perhitungan ekonomi yang cermat dan akurat, yang semua itu menjadi indikator pada profesionalime ekonomi. Sehingga, dalam menilai beberapa langkah menjawab evaluasi dengan indikator pertanyaan: (1) bagaimana kesiapan Sumber Daya Manusia untuk mencapai hasil yang diinginkan [fungsi sebagai F(Pi)]; (2) bagaimana manusia yang tepat dengan keterampilan tepat pada tempat yang tepat dan biaya yang tepat (proses sebagai F (Q); (3) kebutuhan Sumber Daya Manusia (F). Serta kemampuan beradaptasi dengan perubahan untuk memelihara manusia yang siap terhadap tantangan berikutnya (hasil usaha sebagai fungsi f (R).

441

Dengan demikian dapat diilustrasikan F(R)=F (Pi) + F (Q) + F (C ).135 Dari berbagai sub kajian, pada dasarnya berorientasi pada efisiensi berkeadilan pada nilai-nilai sistem ekonomi Islam baik aspek produksi, maupun aspek distribusi dengan semua unsur manajemen didalamnya. Tumbuh dan diakuinya manajemen sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan, antara lain ditandai oleh lahirnya apa yang sekarang dikenal dengan istilah “gerakan manajemen ilmiah” atau “gerakan efisiensi” dengan pendekatan mekanistik. Begitu pentingnya hasil studi tersebut, sehingga sering dipandang sebagai dasar rekayasa industrial yang banyak digunakan hingga sekarang ini. Pendekatan mekanistik bermanfaat dalam rancang bangun pekerjaan yang sifatnya spesialistik dan repetitif. Pendekatan tersebut memberikan dorongan bagi para pekerja/karyawan/perajin untuk berusaha menghasilkan buah pekerjaan semaksimal mungkin. Hal kedua yang merupakan unsur organisasional dalam rancang bangun pekerjaan adalah arus pekerjaan. Bentuk barang atau jasa yang dihasilkan memberi petunjuk tentang urutan dan keseimbangan antara berbagai jenis pekerjaan sedemikian rupa, sehingga proses produksinya berlangsung dengan efisien. Hal ketiga yang penting mendapat perhatian menyangkut kebiasaan-kebiasaan dalam aktifitas kerajinan songket dan keinginan manajemen untuk meningkatkan produktivitas kerja organisasi, tradisi dan kesepakatan bersama yang selalu diperhatikan. Jika akan terjadi perubahan kebijakan menyangkut persoalan kemanusiaan, sebaiknya para perajin diikutsertakan dalam memikirkan, dan memutuskan perubahan yang akan terjadi.

135Marwan Ja'far, Infrastruktur Pro Rakyat: Strategi Investasi Infrastruktur Indonesia Abad 21 (Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa, 2007).

442

Selanjutnya, unsur lingkungan suatu kenyataan yang tidak dapat disangkal adalah bahwa apa yang mungkin, dan tidak mungkin dilakukan oleh suatu usaha kerajinan songket ditentukan pula oleh kondisi lingkungan, dengan mana setiap usaha pasti berinteraksi. Corak pengembangan penting untuk ditegaskan, sebab secara umum songket merupakan salah satu pusaka budaya Indonesia yang tergabung dalam pusaka tangible (bendawi) dan non intangible (non bendawi)136. Pelestarian budaya bukan hanya yang berhubungan dengan masa lalu, namun justru membangun masa depan yang menyinambungkan berbagai potensi masa lalu dengan berbagai perkembangan zaman yang terseleksi. Kesinambungan yang menerima perubahan merupakan konsep utama pelestarian. Tujuannya adalah untuk memelihara sumber budaya dan identitas suatu lingkungan pusaka, dan membangun aspek tertentu untuk memenuhi kebutuhan masa depan tanpa merusak, serta menghasilkan kualitas hidup yang lebih baik. Usaha songket salah satu usaha ekonomi kerakyatan memerlukan corak baku yang dapat dinilai tidak hanya aspek kreatifitas budaya daerah yang memerlukan pelestarian, namun juga dituntut untuk mampu merefleksi nilai-nilai efisiensi berkeadilan dalam proses usaha. Sehingga, kreatifitas usaha tenun songket menjadi salah satu produk yang bisa meningkatkan ekonomi keluarga. Untuk membangun corak pengembangan usaha songket diawali dengan melakukan menilai faktor pendukung dan penghambat usaha tenun songket. Aspek pendukung terletak pada efisiensi berkeadilan pada nilai, yaitu: Pertama, modal sebagai alat mengukur suatu sumber daya,

136Pusaka tangible (bendawi) memperlihatkan bahwa songket adalah hasil tenunan tangan kreatif tradisional yang terlestarikan, dan non intangible (non bendawi) yang mengarah pada semua kreatifitas, hingga hasil tenun songket menjadi bagian proses adat.

443 termasuk didalamnya digunakan sebagai pengukur potensi manusia dengan cara menilai pengetahuan, keterampilan dan sifat kognitif yang lain, yang kemudian didekati dengan nilai uang dan direalisasikan dalam bentuk gaji atau upah kerja yang berkeadilan. Kedua, alat dan bahan baku, yang merupakan salah satu faktor pendukung dalam upaya meningkatkan kesejahteraan keluarga terkait dengan kegiatan pertenunan, yang dilakukan baik secara perseorangan maupun dalam kelompok-kelompok sentra. Dengan tersedianya alat, maka dapat terjadi kegiatan produksi barang, sehingga menghasilkan keuntungan. Ketiga, waktu produksi yang tercukupi dalam menenun tanpa terganggu oleh kegiatan rumah tangga lainnya, sehingga dalam memproduksi barang ini dapat diperoleh hasil maksimal dan berdaya saing. Keempat, ketrampilan sebagai syarat utama dalam melakukan kegiatan produksi. Ketrampilan ini pada akhirnya akan berhubungan erat dengan sumber daya penenun dan kualitas hasil dalam bentuk kain songket yang dibuat. Kelima, tersedianya cukup ruang untuk melakukan kegiatan produksi. Dimana alat-alat produksi dapat ditempatkan secara efektif, sehingga mendukung kelancaran kegiatan produksi itu sendiri. Sementara faktor penghambat yang ada diantaranya, Pertama, keterbatasan modal usaha untuk melakukan kegiatan produksi, berakibat pada kurangnya upah yang diperoleh dari hasil bekerja sebagai perajin tenun songket. Kedua, terjadinya tumpang tindih antara waktu untuk bekerja dan memproduksi barang dengan waktu untuk mengurus urusan rumah tangga. Ketiga, peta wilayah pemasaran yang tidak jelas. Hal ini akan mempersulit perluasan dan pengembangan usaha. Ketidakjelasan peta pemasaran memberikan dampak menurunnya produksi, dan

444 lesunya keinginan perajin maupun pengrajin untuk melakukan aktifitas pertenunan Dari berbagai pendukung dan penghambat dijadikan dasar untuk membentuk corak pengembangan yang mampu mengangkat kreatifitas tenun songket. Jika tidak, akan terjadi kemandekan dalam dunia pertenunan songket, sebab penenun setiap tahun akan berkurang karena usia. Karena itu, diperlukan corak pengembangan usaha songket berbasis penguatan. Pada aspek uang dijadikan sebagai sebuah gerakan produktif, terutama ketika sudah mendapatkan bantuan modal usaha, bantuan pemasaran tenun songket yang prospektif. Selanjutnya, dibangun corak pengembangan usaha songket dalam term efisiensi berkeadilan yang terletak pada tiga ciri, yaitu: Pertama, kafa>‟ah, yaitu adanya keahlian dan kecakapan dalam menenun yang terus dilestarikan melalui kaderisasi penenun. muamalah dan ibadah. Kedua, himmatul „amal, yaitu selalu berkreasi dengan semangat dan etos kerja yang bertanggung jawab atas kelestarian tenun songket dalam berbagai tujuan, sebab sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya diantara perempuan penenun, selain bekerja sendiri, ada yang menjadi tenaga kerja lepas dari para pengrajin pertenunan (house based worked) dari kalangan perempuan yang sudah menikah, karena mereka bisa bekerja sambil melakukan tugas-tugas domestik. Ketiga, amanah, yakni terpercaya dan bertanggung jawab dalam menjalankan aktifitas tenun tanpa ada merasa keterpaksaan. Dengan corak demikian, akan memberikan pembentukan citra adalah perkembangan gambaran dalam pikiran berdasarkan beberapa kesan yang dipilih pelbagai informasi. Pembentukan corak usaha dalam pencitraan bagi satu daerah di Indonesia di era otonomi ini, memang sesuatu

445 yang perlu dilakukan, terutama untuk memberikan daya tarik di dunia pariwisata. Seperti Bali dikenal dengan pulau dewata dan pariwisata, Padang dikenal sebagai bandar gadang dan “masakan”, Yogyakarta dikenal sebagai bandar gudeg dan bandar pelajar, Malang dikenal dengan bandar apel, Aceh dikenal dengan sebutan serambi Makkah, Sulawesi dikenal dengan budaya bugisnya, dan Palembang dikenal sebagai bandar songket dan jembatan musi.137 Aspek yang paling penting dalam membangun corak satu usaha adalah nilai-nilai agama yang hidup dan berkembang di dalam aktifitas dan proses satu usaha. Berbagai masalah terjadi pada usaha songket Palembang tetap memerlukan corak pengembangan usaha songket Palembang, tidak bisa lepas dari sejarah songket itu sendiri yang memiliki nilai-nilai keagamaan yang kuat. Dalam bertenun para perajin memiliki jiwa yang tenang, sepenuh hati serta membangun corak-corak bernuasa agama, dan nilai ini menjadi dasar corak pengembangan usaha songket Palembang. Di dalam aktifitas tersebut

137Pembentukan citra bandar, tidak dapat hanya sekadar ungkapan semata, namun memerlukan motivasi dan usaha kerja keras menciptakan hal tersebut. Sebagai usaha mengembangkan nilai bandar dapat dilakukan dengan tiga citra, yaitu citra organik, citra ciptaan, dan citra tujuan. Citra organik adalah citra yang didasarkan pada informasi yang diperoleh dari sumber-sumber di luar daerah, seperti media umum (laporan, majalah, buku), pendidikan (mata pelajaran sejarah daerah), dan beberapa pendapat para pakar mengenai pengembangan bandar. Citra ciptaan dipakai untuk mengembangkan eksistensi bandar yang diharapkan melalui media promosi. Berbagai bentuk model promosi yang dapat dipakai, berupa promosi dalaman di kalangan masyarakat daerah, dan promosi luaran melalui kegiatan antar daerah, seperti contoh pengadaan pameran, pembuatan jalur-jalur sebagai wadah pengembangan bandar, pelaksanaan acara atau kegiatan nasional dengan membuat slogan pembentukan baru, dan sebagainya. Sedangkan citra tujuan, setelah dua citra sebelumnya dilaksanakan, maka langkah akhir adalah membentuk kemudahan bandar yang mengarah pada citra bandar.

446 perajin tenun songket dibutuhkan keseimbangan antara doa dan kerja yang selaras dalam dimensi waktu, ruang dan energi. Hubungan penenun dengan alat-alat tenun, dan hubungannya dengan sesama manusia dan lingkungan sekitar memiliki arti yang mendalam yang masuk dalam kesatuan-Nya.138 Dengan demikian, dalam pengembangan usaha songket berdasarkan alur studi ini maka Pertama, dalam pendayagunaan kapital usaha songket Palembang dengan melakukan kemitraan dengan BUMN atau institusi pemerintah maupun perbankan syari‟ah untuk mendapatkan modal usaha, sehingga terjadi keseimbangan antara modal usaha dengan ketrampilan untuk mendapatkan bantuan modal usaha, maka pengrajin-perajin songket memerlukan transparansi usaha lewat laporan keuangan yang dibuat sesuai dengan standar akuntansi, ditambah dengan amanah dalam menjalankan usaha. Dapat juga dengan membangun Kelompok Usaha Bersama (KUB) yang benar, jujur, membangun kebersamaan. Sehubungan dengan tempat usaha diupayakan untuk ditata, sehingga tidak terkesan kumuh yang menyebabkan keengganan pelanggan untuk melihat para perajin menenun yang menjadi daya tarik aktifitas usaha songket Palembang. Alat atau sarana untuk melakukan proses produksi usaha songket tidak sekedar menghasilkan alat pemuas kebutuhan manusia, namun memberikan keuntungan sesuai dengan tingkat usaha yang dikerjakan. Kedua, dari aspek hak dan kewajiban. Meninggalkan sikap „eksploitasi‟ pemberi kerja baik seorang perantara ataupun pengrajin pemilik modal terhadap sentra-sentra perajin tenun yang rata-rata perempuan. Rumah pengrajin maupun perajin songket berorientasi bukan hanya tempat

138Murasa Sarkaniputra, Ruqyah Syar‟iyyah: Teori, Model, dan Sistem Ekonomi.

447 proses produksi, tetapi telah berubah menjadi pabrik mini karena berpindahnya gudang bahan baku dan semua sarana yang berkenaan dengan proses pembuatan kain songket. Kesamaan dalam menerima bantuan, dan tidak memarginalkan para perajin yang tidak terakses. Untuk itu, intansi yang terkait dengan usaha mikro dan kecil memiliki peta usaha yang dapat menilai wilayah-wilayah usaha yang memerlukan bantuan modal usaha, dan bantuan-bantuan lain yang seiring dengan peningkatan usaha. Antara pengrajin, perajin, maupun pemberi upah pembuatan songket dari para pedagang sama-sama memahami eksistensi manusia yang kesemuanya bertujuan untuk mencukupi kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat dipenuhi, serta memperoleh perlindungan dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya. Ketiga, dalam pengembangan sumber daya penenun songket memerlukan strategi tepat guna yang tidak sekedar untuk meningkatkan kuantitas penenun, membangun sikap gotong royong yang memiliki nilai-nilai eknomi Islam dan ekonomi kerakyatan. Melakukan pekerjaan sendiri-sendiri untuk mendapatkan pengembangan sumber daya perajin dan melupakan semangat berbagi informasi, berbagi pengalaman yang semestinya terkandung dalam gotong royong. Perajin songket bukan sekedar faktor produksi yang dipergunakan dalam proses produksi untuk menghasilkan tenunan songket. Pengembangan efisiensi kerja tidak bisa pula dipisahkan dengan Sumber Daya Manusia (SDM) dan aktifitas pasar. Keempat, kebebasan berusaha dimaknai usaha dan kerja yang tidak bebas nilai. Untuk mendapatkan simpati pasar, maka pengrajin dan perajin songket menjadi produk usaha yang dibuat menjadi khazanah budaya lokal yang berdaya saing global. Pada akhirnya, dalam kemitraan terbangun dalam nilai-nilai

448 kebersamaan dengan berbagai etika dan moral seperti dijelaskan sebelumnya.

F. Rekonstruksi Pengembangan Usaha Dari berbagai kajian yang dijelaskan dalam bab dan sub-bab studi ini memperlihatkan bahwa efisiensi berkeadilan juga memerlukan jaminan sosial. Tataran normatif keadilan menjadi tidak berarti, manakala masih terjadi ketimpangan sosial, dan tidak terwujud keseimbangan ekonomi. Salah satu wujud yang menggeser nilai-nilai efisiensi berkeadilan adalah pemberlakuan prinsip ribawi untuk usaha mikro dan usaha kecil, seperti dijelaskan dalam olah data penelitian pada bab sebelumnya. Dari sini, memperlihatkan bahwa kebijakan ekonomi hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, sementara kebutuhan bangsa tidak hanya terdiri dari kebutuhan ekonomi materil saja, tetapi juga kebutuhan sosial dan etik. Penggambaran berdasarkan kasus dialurkan sebagai berikut: Pertama, Pancasila, UUD 1945, UU bidang perekonomian, dan peraturan pemerintah bidang perekonomian diarahkan menuju konsep efisiensi berkeadilan dengan indikator yang dibangun dalam studi ini. Kedua, unit usaha songket yang terdiri dari pengrajin, perajin dan distributor songket yang diakumulasi dari hasil observasi dan pendalaman wawancara, yaitu: (1) amanah untuk tetap melestarikan budaya bangsa Indonesia; (2) profit oriented (orientasi keuntungan) dan benefit oriented (orientasi pelayanan); (3) kreatifitas dalam proses; (4) manajemen keluarga; (5) kebersamaan semu; (6) manajemen berbasis; (7) bantuan usaha percepatan produktivitas dengan kemanusiaan berdasarkan kebijakan pribadi; (8) bantuan (modal dan pemasaran) belum merata. Dari realitas tersebut, memperlihatkan nilai-nilai yang tidak terlihat dalam kebersamaan sosial, keselarasan,

449 jaminan sosial, jaringan kemitraan dalam termin kegotongroyongan sosial. Ini artinya, jika ditarik ke dalam wilayah yang lebih luas, maka nilai-nilai sosial sebagai sebuah kesatuan dalam keadilan seperti tertuang dalam perundang-undangan belum menyatu. Karena itu, diperlukan satu kesatuan kalimat yang mampu dikembangkan secara selaras, yaitu efisiensi berkeadilan sosial. Dalam wilayah alur konstitusi di Indonesia sudah ditegaskan dengan jelas istilah keadilan sosial, yaitu dalam tataran konstitusi disebutkan dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.139 Kemudian … Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu piagam negara yang berbentuk republik federasi, berdasarkan pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial.140 ... Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu Piagam negara yang berbentuk republik-kesatuan, berdasarkan pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial, untuk mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia Merdeka yang berdaulat sempurna.141 Banyak pengertian keadilan sosial yang dapat dipahami memelihara hak-hak individu dan memberikan

139Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 140Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949). 141Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (1950).

450 hak-hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya.142 Artinya, produktifitas berkeadilan yang menitikberatkan peranan uang (capital centered development) sebagai pembangunan sosial yang dilaksanakan melalui proses humanisasi (people centered development) dengan pemberdayaan masyarakat sebagai kuncinya, sehingga pertumbuhan ekonomi yang dicapai akan menjadi “pelayan” bagi pemenuhan berbagai aspek kebutuhan masyarakat secara berkeadilan. Penguatan kata kunci pada konsep keadilan sosial sebagai dasar penting bahwa pembangunan yang dilaksanakan bukan sekedar dinilai dari pertumbuhan ekonominya tinggi, yang pada gilirannya akan memberikan efek tetesan ke bawah (trickle down effect), dan dirasakan oleh semua strata masyarakat tanpa kecuali. Hal ini seiring dengan konsep amandemen pasal 33 UUD 1945. Disamping itu manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang tidak bisa berdiri sendiri dalam memenuhi segala kebutuhannya. Inilah salah satu alasan Allah menciptakan manusia dalam beragam warna kulit dan bahasa, suku dan ras, agar tercipta sebuah kebersamaan dan keharmonisan di antara manusia. Dengan manusia saling memenuhi kebutuhan masing-masing, maka

142Berbagai pengertian yang ditemukan diantara Sayyid Quṭb, al- „Ada>latu al-Ijtima>iyyah fi> al-Isla>m (Beirut: Dār al-Shurūq, 1975); Bernice Q Madison, the Meaning of Social Policy. (London: Croom Helm, 1980); Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban yang Adil: Problematik Filsafat Hukum (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1999); Andang L. Binawan dan A. Prasetyantoko, Keadilan Sosial: Upaya Mencari Makna Kesejahteraaan Bersama di Indonesia (Jakarta: Kompas, 2004); Bur Rasuanto, Keadillan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005); Khalil Abdul Maksu>d Abdul Hami>d, al-Khidmatu al- Ijtima>iyyah wa al-Huqu>q al-Insa>ni (www.kotobarabia.com); David Harvey, Social Justice and the City (USA: University of Georgia Press, 2009).

451 kebersamaan dan saling ketergantunganpun tercipta, dan ini merupakan kedilan Allah yang Maha Adil. Keadilan sosial pada dasarnya merupakan konsep yang multidimensi. Terdapat keadilan sosial yang menekankan aspek regional, ras, gender, dan antar golongan. Dalam teoritisasi studi ini diarahkan hanya pada kesenjangan zona ekonomi pada usaha mikro dan usaha kecil untuk perwujudan tujuan pembangunan sosial. Nilai-nilai dalam teori efisiensi dan efisiensi berkeadilan sosial memaknai pembangunan sebagai usaha produktifitas pemenuhan dasar minimum melalui peningkatan produksi dan penguatan distribusi.143 Todaro menyimpulkan bahwa tiga makna dan tujuan pembangunan adalah subsisten atau pemenuhan kebutuhan dasar, penegakan harga diri, dan kebebasan untuk bertindak namun tidak bebas nilai. Sama halnya, konsep ekonomi Islam yang memaknai pembangunan sebagai upaya membangun masyarakat untuk kesejahteraan umat manusia dalam memelihara lima mas}lahat berdasarkan aturan shari‟ah. Sen bahkan mendefinisikan pembangunan sebagai sebuah kebebasan (development as freedom) dengan mensyaratkan ”protective security”, yaitu sebuah jaminan bagi kelompok-kelompok masyarakat yang terpinggirkan dari gerak utama pembangunan untuk tetap dapat hidup nyaman. Pengambil kebijakan tidak hanya bertanggungjawab memberikan segala fasilitas-fasilitas publik untuk kebutuhan dasar, tetapi juga menjamin tidak adanya pelanggaran hak bagi kelompok tersebut untuk

143Prabhat Ranjan Sarkar, Proutist Economics: Discourses on Economic Liberation (India: Ananda Marga Publications, 1991). Lihat juga Jenna Allard et.al., Solidarity Economy: Building Alternatives for People and Planet; Papers and Reports from the U.S. Social Forum 2007 (Chicago : ChangeMaker Publications, 2008).

452 berpartisipasi dalam seluruh aktivitas kehidupan, termasuk dalam penentuan kebijakan atas dirinya.144 Pembangunan tidak saja harus menghasilkan “nilai- nilai ekonomi” tetapi juga nilai-tambah sosial-kultural. Artinya, pembangunan adalah proses humanisasi, proses ditingkatkannya harkat-martabat, dengan kualitas hidupnya yang mampu memahami betapa pentingnya meraih suatu kecerdasan hidup.145 Dari aspek tersebut, maka efisiensi keadilan sosial akan membangun asumsi bahwa kreatifitas usaha mikro dan usaha kecil atau kreatifitas lokal adalah titik tolak dari segala aktivitas pembangunan. Untuk itu, diperlukan kebersamaan dan membangun kegotong- royongan dalam meningkatkan kesadaran berorganisasi masyarakat lokal, dan kemampuan dalam mengelola manajemen usaha yang lebih produktif dan bersama-sama dalam kemitraan. Sebagai sebuah strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu manfaat bersama ataupun keuntungan bersama tertentu untuk meraih sesuatu sesuai prinsip saling membutuhkan, dan saling mengisi sesuai kesepakatan yang muncul (mutual). Kemitraan yang ingin diwujudkan dengan misi utamanya adalah membantu memecahkan masalah ketimpangan dalam kesempatan berusaha, ketimpangan pendapatan, ketimpangan antar wilayah, ketimpangan kota dan desa. Kemitraan yang dibangun atas landasan saling membutuhkan, saling menguntungkan, dan saling memperkuat dengan fungsi dan tanggung jawab yang sesuai dengan kemampuan, dan proporsi yang dimiliki oleh masing-masing pihak yang

144Amartya Sen, Development as Freedom (London: Oxford University Press, 1999). 145Sri-Edi Swasono, Kelengahan Kultural dalam Pemikiran Ekonomi, Pancasila Pasal 33 UUD 1945, Koperasi, Entrepreneurship- Kooperatif.

453 terlibat dalam kemitraan tersebut. Hal itu juga lebih menguatkan partisifasi politik yang pro-rakyat yang berkelanjutan. Pada alur ini, maka usaha mikro dan usaha kecil tidak sekedar diperhatikan ketika perekonomian sedang kesulitan, namun sudah menjadi kerjasama untuk meningkatkan pemberdayaan usaha mikro dan usaha kecil, serta tidak terkecuali koperasi sebagai soko kedua tersebut. Penguatan teori efisiensi berkeadilan sosial juga memberikan akses untuk lebih menekankan arti kemitraan dalam kegotongroyongan untuk meningkatkan taraf kehidupan semua strata masyarakat secara proporsional dan profesional. Keadilan sosial bertujuan memberikan dasar- dasar bagi kerja sama sosial masyarakat bangsa pluralistik modern. Berbeda dari masyarakat tradisional, mereka berpendapat masyarakat modern tak terelakkan menjadi masyarakat pluralistik dengan kepentingan dan anutan nilai hidup berbeda-beda, bahkan mungkin bertentangan. Bagaimanapun pengaturan masyarakat pluralistik modern itu tidak boleh didasarkan atas suatu anutan nilai hidup tertentu, melainkan haruslah dikendalikan oleh prinsip yang menjamin dan mengekspresikan kepentingan bersama. Sebagaimana tercermin sejak terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 1983 tentang tata cara pembinaan dan pengawasan perusahaan jawatan, perusahaan umum dan perusahaan perseroan, kemudian Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1232/KMK.013/1989 tanggal 11 November 1989 tentang pedoman pembinaan pengusaha ekonomi lemah dan koperasi melalui Badan Usaha Milik Negara yang kemudian dikenal dengan program Pagelkop yang kemudian pada tahun 1994, program tersebut diubah menjadi Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi (Program

454

PUKK) berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni tentang Pedoman Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi melalui pemanfaatan dana dari bagian laba Badan Usaha Milik Negara.146 Selanjutnya, ditetapkan dari Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN/Kepala Badan Pembina BUMN Nomor. Kep-216/M-PBUMN/1999 Tanggal 28 September 1999 tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan BUMN. Kemudian adanya Keputusan Menteri BUMN Nomor Kep-236/MBU/2003 Tanggal 17 Juni 2003 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, pada akhirnya Peraturan Menteri Negera BUMN Nomor Per-05/MBU/2007 tanggal 27 April 2007 tentang program kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Terakhir, Undang-undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Dari semua peraturan yang ada akan semakin berdaya guna manakala saling terjadi keterkaitan antara pemerintah, BUMN dan masyarakat termasuk didalamnya usaha-usaha mikro, kecil dalam membangun efisiensi berkeadilan sosial. Efisiensi berkeadilan sosial menjadi bagian konsep ekonomi kerakyatan yang memperlihatkan demokrasi ekonomi, bermoralitas nondiskriminatori, noneksploitatori, anti monopoli pada penguasaan aset produktif yang berlandaskan etika suci (berketuhanan), berkeadilan sosial (emansipatori ekonomi) yang mengutamakan kerjasama (berasas kebersamaan dan kekeluargaan [ukhuwah]), dan sekaligus anti firqah (tidak fair). Dalam sudut pandang Swasono, demokrasi ekonomi Indonesia tidak harus sepenuhnya diartikan sebagai

146Dalam keputusan tersebut dijelaskan bahwa dana pembinaan disediakan dari penyisihan sebagian laba sebesar 1%-5% dari laba setelah pajak.

455 berlakunya prinsip equal treatment secara mutlak.147 Demokrasi ekonomi Indonesia bercita-cita mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia (social justice, fairness, equity, equality) sehingga menyandang pemihakan (parsialisme, spesial vapor) terhadap yang lemah, yang miskin, dan yang terbelakang untuk mendapatkan perhatian dan perlakuan khusus ke arah pemberdayaan. Disinilah titik tolak untuk menegaskan bahwa efisiensi ekonomi berdimensi kepentingan sosial.148 Demokrasi ekonomi berarti produktifitas keseluruhan masyarakat menyatu dalam partisifasi dan emansipasi ekonomi. Berdasarkan teoritisasi yang ada, maka penegasan efisiensi berkeadilan sosial menjadi penting sebagai sukma pasal 33 UUD 1945 sekaligus penekanan atas asas individualisme149 yang mengabaikan kebersamaan, terutama dalam penegasan pada aspek kemitraan sebagaimana digambarkan usaha songket Palembang. Penegasan tersebut juga menguatkan eksistensi paham kebersamaan dan asas kekeluargaan untuk kepentingan masyarakat. Dalam arti, bahwa negara merupakan wujud sosial, bukan merupakan suatu kesepakatan individualistik, bukan pula konstrak sosial,

147Sri-Edi Sawasono, “Ekonomi Islam dalam Pancasila”, Paper the Indonesian of Islamic Economist DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) Bekerjasama dengan Program Pascasarjana IAIN Raden Fatah Palembang, International On Islamic Economics On Global Cricis”, Agustus 2009. 148Sri-Edi Swasono, tentang Demokrasi Ekonomi dan Pasal 33 UUD 1945 (Jakarta: BAPPENAS, 2008). 149Konsep Individualisme dialurkan sebagaimana ditafsirkan oleh Sri Edi Swasono merupakan individu-individu dengan paham perfect individual dan self interest berkedudukan utama, bersepakat membentuk masyarakat (society) melalui suatu kontak sosial (social contract atau vertrag). Bukan Individualisme yang berdasar liberalisme melalui proses panjang yang kemudian membentukkan kapitalisme, Sri- Edi Sawasono, “Ekonomi Islam dalam Pancasila”.

456 sehingga kepentingan masyarakat yang diutamakan terkhusus pada wilayah usaha mikro dan usaha kecil. Pandangan pada efisiensi berkeadilan sosial pada hak-hak produksi dibatasi dimensi sosial. Pada saat satu usaha yang masuk dalam zona bangkrut, maka kluster usaha yang sama melakukan langkah memberi solusi penguatan usaha tersebut dengan memberikan bantuan arah perbaikan, sementara sektor lain (pemerintah dan BUMN) memberikan solusi produktif. Disini, usaha mikro dan kecil mendapatkan garansi sosial. Selanjutnya, dalam nilai filosofis dari konsep efisiensi berkeadilan bukanlah dimaknai kesamaan dalam sejahtera, namun memberi kesempatan kepada setiap orang yang memiliki kemauan berusaha diberi kesempatan untuk merealisasikan kemamuan diri untuk berusaha. Disinilah peran pemerintah untuk menjadi mediasi memberikan jalan tersebut. Efisiensi berkeadilan sosial juga dapat dipahami, Pertama, kepuasaan dan bisnis usaha songket harus diukur dengan standar yang lebih manusia. Uang sering digunakan untuk menjadi indikator kesejahteraan, tetapi masalahnya uang tidak mampu menjelaskan kualitas hidup. Bisa jadi seorang pengrajin mendapatkan pendapatan berkali-kali lipat dari sebelumnya karena mendapat orderan atau keikutsertaan dalam pameran, namun mendzolimi usaha songket lain, atau melakukan spekulasi dengan menghancurkan usaha lain yang pada akhirnya merusak tatanan kluster usaha tersebut, atau lebih luas merusak tatanan kehidupan masyarakat. Dengan demikian, tidak ada artinya sejahtera jika merusak kesejahteraan masyarakat secara umum, dan satu usaha secara khusus. Kedua, apabila standar kepuasan diukur menurut standar yang lebih manusiawi, standar tersebut harus bisa menjelaskan kebaikan riil hidup manusia secara keseluruhan. Ekonomi harus tunduk kepada etika dan

457 moral. Seperti kejujuran berkaitan dengan penghargaan pada kebenaran dalam menyampaikan realitas keberhasilan usaha songket dalam melaporkan hasil distribusi pada mitra pemberi bantuan modal usaha dengan kesadaran. Jika tidak ada pengaturan, maka yang akan menang dan berhasil hanyalah golongan yang kuat. Dengan demikian, golongan lemah seperti yang tercantum dalam GBHN harus mendapat perlindungan, yang sebenarnya merupakan hak mereka. Ketiga, solidaritas juga tidak diabaikan dalam konsep efisiensi berkeadilan sosial. Hasil studi ini dan studi-studi yang lain memperlihatkan bahwa jalinan solidaritas kelompok usaha mampu mempengaruhi perkembangan usaha dengan cara memberikan informasi peluang usaha dan perkembangan usaha, hingga informasi pemasaran yang disebar-luaskan untuk kepentingan usaha memberikan penguatan usaha. Seyogyanya para pengrajin songket saling membantu dalam menguatkan jaringan kluster usaha, tidak bisa hanya sekedar kemitraan kamuplase seperti dijelaskan sebelumnya. Satu sisi membangun kelompok usaha bersama untuk mendapatkan modal bersama, namun sisi lain mencari dana tambahan melalui jalur lain lewat cara yang tidak tepat. Solidaritas memberikan makna adanya satu langkah untuk memahami eksistensi manusia sebagai khali>fatulla>h fi> al-ard}i. Keempat, dengan produktifitas usaha dengan berdasarkan pada kebutuhan manusia semakin menguatkan martabat manusia, sekaliguskan mengembangkan kebaikan bersama untuk mendapatkan hak-hak ekonominya. Jika mencari langkah mendapatkan dana dengan berbagai bentuk, akan berdampak pada pengabaian atas pembayaran bersama dalam kelompok usaha yang merugikan kelompok, dan mencari untuk membayar bantuan lain. Akibat dari hal tersebut, hukum akan menindak kelompok bukan hanya

458 salah seorang dalam kelompok itu saja. Dari sisi ini, memperlihatkan konsep efisiensi semakin memberikan kejelasan dalam menguatkan usaha berbasis ekonomi kerakyatan. Rekonstruksi pengembangan usaha yang tidak kalah pentingnya adalah memfokuskan pada penguatan semua aspek sebagaimana dijelaskan pada studi ini, di wilayah perajin sebagai pemilik ketrampilan turun temurun. Pemberdayaan kelompok ini akan membuka kebersamaan yang dapat benar-benar mampu mensejajarkan mereka dengan para pengrajin sebagai pengusaha yang sudah lebih dahulu mengembangkan songket menjadi komoditas sekunder, dan tersier yang menguntungkan kelompok pengrajin saja. Mengangkat komunitas perajin untuk sama-sama berkarya luas di bidang keahliannya merupakan bagian penting dalam membangun kriteria efisiensi berkeadilan. Orientasi bangun yang diterapkan menggunakan parameter ekonomi Islam seperti dijabarkan luas dalam bab-bab sebelumnya.

Keenam

Kesimpulan, Implikasi dan Saran

A. Kesimpulam Berdasarkan hasil studi ini disimpulkan rendahnya pemahaman nilai-nilai efisiensi berkeadilan, serta kuatnya hegemoni kapitalisme-neoliberalisme menjadi penyebab belum terimplementasikannya pemberdayaan dalam meningkatkan kesejahteraan bersama pada usaha songket Palembang. Persamaan dan perbedaan dengan kesimpulan akademik lain dimana studi ini turut memperkuat teori efisiensi berkeadilan beserta berbagai variannya yang telah diusung Sri-Edi Swasono, yang diantaranya menyebutkan efisiensi berkeadilan sama dengan efisiensi sosial yang tidak diartikan dengan ekonomi berorientasi untung rugi semata, namun membangun ekonomi yang memberdayakan, dan memberikan kesejahteraan serta kemakmuran untuk semua bukan kemakmuran orang perorang. Bahwa efisiensi berkeadilan memiliki nilai-nilai kekuatan ekonomi berbasis pemberdayaan dalam meningkatkan kesejahteraan bersama. Teori tersebut diperkuat pula dengan pemikiran diantaranya Bagir S}ada>r, Umer Chapra yang menggambarkan bahwa kekayaan bukan perhitungan moneter sederhana, namun mampu membangun ihsa>n, itqa>n dan falah dalam berusaha. Kemudian, Amartya Sendi antara konsep pembangunan seberapa jauh individu memiliki kesempatan untuk memperoleh hasil yang bukan dihargai saja, tetapi juga yang mereka ketahui mengapa hasil tersebut pantas dihargai. Sritua Arief dan Mubyarto menyatakan dasar tata ekonomi yang dapat memberikan jaminan keadilan bagi rakyat, bila pemilikan aset ekonomi nasional terdistribusi secara baik kepada seluruh rakyat. Kemudian, Amin Suma yang menguatkan dengan keadilan sosial berbasis kitab suci. 464

Studi ini kemudian membuktikan ketidakbenaran teori trickle down effect yang diusung Walt W. Rostow dan Harrod-Domar yang memproyeksikan hasil kemajuan oleh seseorang atau satu perusahan yang dengan sendirinya keuntungan yang didapat akan merembes ke bawah. Sekaligus membantah analisis pareto optimum yang diusung Vilfredo Federico Damaso Pareto bahwa penggunaan sumber daya, dana yang terbatas dalam pola dan dengan cara maksimal untuk mendapat kepuasaan maksimal. Disertasi ini menunjukkan bahwa (1) efisiensi berkeadilan memiliki nilai-nilai kekuatan ekonomi berbasis pemberdayaan dalam meningkatkan kesejahteraan bersama; (2) teori trickle down effect maupun pareto optimum hanya melahirkan kapitalis semu dan kejahatan moral karena kekayaan, harta, dan penumpukan modal sebenarnya hanya dimiliki oleh para pelaku ekonomi modal kuat, bukan oleh semua kalangan; (3) pemerintah harus memiliki peran dalam mengatur agar masyarakat kaya tidak merugi (tidak worse off) dan masyarakat miskin memperoleh untung (menjadi better off). Data hasil temuan studi memperlihatkan Pertama, dalam ranah pendayagunaan kapital dari keadaan modal usaha antara pengrajin dan perajin yang bertolak belakang. Perajin songket yang hanya mendapatkan keuntungan minimum dari modal ketrampilan turun temurun, sementara pengrajin dan pengusaha songket mendapatkan keuntungan maksimal dengan menjadikan hasil tenunan perajin menjadi berbagai ragam produk. Pemerintah daerah lebih memprioritaskan para pengrajin dalam memberikan tambahan modal usaha dan berbagai ketrampilan pengembangan produk songket dibandingkan dengan perajin. Sehingga para pengrajin/pengusaha menjadi kaya dan memiliki jaringan luas, sedangkan para perajin songket tetap miskin dan menunggu pesanan. Kedua, dalam ranah hak dan kewajiban bersama belum memberikan kesejahteraan bersama. Perajin songket sebagai pemilik ketrampilan utama mendapatkan kewajiban untuk menyelesaikan semua tenunan maksimal, dan mendapatkan upah yang berstandar pada pengrajin/pengusaha bukan pada aturan UMR yang berlaku. Perajin belum mendapatkan hak-hak tunjangan sosial seperti tunjangan hari raya, tunjangan kesehatan, hak perhatian terhadap 465 tempat usaha, dan hak sosial lainnya. Hak tunjangan sosial hanya berdasarkan kebaikan para pengrajin/pengusaha sebagai mitra kerja. Ketiga, kebersamaan dalam pengembangan sumber daya belum nampak secara profesional dan proporsonal. Ini terbukti dari manajemen usaha yang masih menggunakan manajemen keluarga. Artinya, pengembangan sumber daya di lingkungan usaha songket masih seadanya, memfokuskan pada nilai konsumtif dan menyampingkan investasi. Pada umumnya, perajin dan pengrajin songket tidak memiliki manajemen pembukuan yang bisa dipertanggungjawabkan, dan dapat dijadikan modal studi kelayakan bagi BUMN/BUMD untuk memberikan bantuan modal usaha. Sementara, pelatihan-pelatihan dalam bentuk manajemen sederhana hanya terbatas pada pengrajin dan perajin yang memiliki akses dengan instansi pemerintah yang memiliki program-program pelatihan tersebut. Para pengrajin dan perajin songket belum melakukan upaya kebersamaan dalam mengembangkan sumber daya manusia. Upaya memberikan ketrampilan menenun songket yang hanya dilakukan hanya sebatas lingkup keluarga atau tetangga yang terkendala ekonomi dan pendidikan. Pengembangan sumber daya pengembangan berharap keadilan dari kebijakan pemerintah provinsi Sumatera Selatan dalam mengakses berbagai bantuan seperti pelatihan, binaan, modal, dan pemasaran. Ini artinya, pemerintah daerah belum melakukan gerakan memasyarakatkan cara bertenun kepada generasi muda, dengan program-program yang berkesinambungan, melalui kemitraan dengan para perajin. Alih-alih regenerasi tenun songket sulit tercapai, akibat ketidaksiapan generasi muda untuk ikut menguatkan tenunan songket, di samping budaya konsumerisme dan budaya ingin serba praktis lebih mendominasi aktifitas generasi muda. Beberapa penenun yang mau belajar menenun disebabkan karena ketidakmampuan bersaing dalam usaha lain dan putus sekolah. Keempat, dalam kebebasan berusaha dan berkreatifitas sudah dimiliki para pengrajin maupun perajin. Terbukti berbagai kreatifitas berbahan songket dinilai dari kreasi pengrajin songket sesuai dengan kebutuhan pasar seperti berbagai aksesories gantungan kunci berbahan songket, baju motif songket, sarung gorden, songket untuk alas meja, songket untuk bedcover. Seiring dengan kebebasan 466 kreatifitas dimanfaatkan oleh pengusaha melupakan akar budaya kain songket dengan melakukan plagiasi motif-motif tradisional yang menjadi kebanggaan masyarakat Sumatera Selatan oleh perusahaan tenun mesin, sehingga jadilah songket modern, bahannya dari kain satin tetapi motifnya songket dengan harga yang jauh lebih murah. Para perajin yang memiliki hak paten motif ditinggalkan. Kelima, distribusi dinilai dari penjualan kain songket dalam kemitraan berorientasi pada untung rugi ekonomi semata terutama para pengumpul yang melakukan spekulasi untuk mendapatkan keuntungan maksimal tanpa memikirkan keadaan perajin. Beberapa model kemitraan seperti sistem titip-setor tidak produktif dan tidak membangun kebersamaan, kemitraan satu arah dalam mengikuti pameran usaha, pesanan berdasarkan kekeluargaan dan pesanan songket yang dibayar tidak tepat waktu menyebabkan kebangkrutan usaha songket. Akad gharar terjadi karena kepercayaan perajin yang tidak dibarengi dengan manajemen pembukuan dan perjanjian yang jelas. Keenam, ketidaktersedian pemerinah daerah data base unit usaha songket baik dalam bentuk: (1) peta sentra-sentra usaha berserta berbagai persoalan masing-masing sentra, (2) peta kelemahan manajemen, dan (3) peta akses pemasaran yang lebih luas dan menyeluruh menyebabkan terjadinya kesenjangan dalam membangun kebersamaan, dan meningkatkan keuntungan bersama. Ketujuh, program-program pemberdayaan usaha songket Palembang yang ada juga lebih ditonjolkan, sementara koperasi sebagai wadah usaha songket belum dijadikan prioritas penguataan usaha songket. Ini juga salah satu penyebab berkembangnya individualis di ranah usaha songket Palembang Upaya meningkatkan usaha songket Palembang dengan melakukan rekonstruksi melalui kekuatan kebersamaan, kekeluargaan, gotong royong dan moralitas kerja. Pola dasar dengan meningkatkan pemberdayaan perajin sebagai orang-orang yang memiliki ketrampilan menenun songket turun temurun. Ini berarti, bantuan modal usaha dan hibah pelatihan manajemen usaha yang diprogramkan pemerintah provinsi diprioritaskan utama untuk para perajin tersebut. Sehingga, perajin songket dapat ikut bersama para pengrajin dalam membangun kebersamaan usaha. Capaian langkah 467 terjadi apabila pemerintah memiliki peta sentra-sentra perajin songket di seluruh pelosok wilayah provinsi Sumatera Selatan beserta keadaan bantuan dana dan hibah yang sudah, sedang, pernah dan belum didapat para perajin. Untuk itu, pemerintah provinsi melakukan kemitraan dengan Perguruan Tinggi di Sumatera Selatan dalam melakukan survey peta produksi dan distribusi perajin. Data-data itu juga dibutuhkan untuk membuat berbagai kebijakan yang berhubungan dengan peran BUMN/BUMD yang ada pada masing-masing kabupaten/kota terhadap pemberdayaan perajin songket, melalui bantuan modal usaha dengan kesadaran bahwa ketiadaan jaminan dari perajin songket, karena mereka usaha kecil yang berkeinginan untuk sejahtera bersama, maupun penguatan kebijakan sistem bagi hasil yang proporsional, bantuan hibah dalam bentuk pelatihan manajemen usaha dan pendampingan, promosi serta distribusi. Langkah penting lainnya dengan menjalankan produk-produk bank-bank syari’ah sebagai bagian dari penguatan modal usaha untuk para perajin-perajin songket tersebut. Hal penting lainnya, penguatan koperasi sebagai wadah usaha songket tidak bisa diabaikan dalam membangun demokrasi ekonomi. Dengan kata lain songket Palembang tidak boleh mati karena tidak memenuhi dimensi efisiensi berkeadilan (lihat lampiran gambar).

B. Implikasi Dalam studi ini menunjukkan bahwa mendalami potret pembangunan usaha mikro dan kecil secara nasional masih memerlukan perhatian, sebab konseptualisasi yang sempurna tidak sampai menyentuh akar usaha mikro dan kecil, sehingga menyimpan berbagai kesalah-pengertian dan pemahaman bagi sementara pihak, sehingga implementasinyapun menjadi jauh dari hakikat tujuan pengembangan usaha mikro itu sendiri. Pengrajin dan perajin songket adalah salah satu dari ribuan usaha dan produk mikro di Indonesia mengalami hal yang sama. Konsep efisiensi berkeadilan yang lahir dalam amandemen perekonomian nasional Pasal 33 UUD 1945 yang idealnya menjadi model penguatan usaha kecil dalam kerangka menjauhkan dan menghindarkan ekonomi Indonesia dari proses pemusatan kekuasan yang terbangun dari pemusatan penguasaan faktor produksi. Pemusatan kekuasaan faktor produksi tersebut akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat yang 468 pengusaha pinggiran, menciptakan dua kelompok masyarakat, masyarakat yang berkuasa dan manusia yang dikuasai. Efisiensi berkeadilan membangun nilai-nilai progresif ditandai adanya kinerja yang meningkat, peningkatan kemampuan karyawan, motivasi karyawan dan struktur kerja yang fleksibel. Strategi pengembangan tenun songket adalah mendorong untuk mengembangkan dan memanfaatkan keterampilan, menolong memelihara kinerja standar dan meningkatkan produktivitas melalui efektivitas job design, menyediakan ketepatan orientasi, pelatihan dan pengembangan, menyediakan hubungan timbal balik kinerja, dan memastikan komunikasi dua arah secara efektif. Membantu memantapkan dan memelihara hubungan antara karyawan dan pemilik yang harmonis. Program pengembangan untuk mempertemukan kebutuhan sosial, psikologi, ekonomi bagi karyawan sekaligus menolong organisasi mempertahankan produktivitas perajin. Penguatan atas efisiensi berkeadilan ditawarkan pula dengan konsep “sosial” sehingga teoritisasi yang muncul menjadi efisiensi berkeadilan sosial yang membawa: Pertama, penguatan aktifitas dengan nilai kegotongroyongan. Karena walaupun ada kebersamaan tanpa sifat gotong royong yang tersurat seperti kata “efisiensi berkeadilan” akan memunculkan ketimpangan pola. Karena itu penguatan teoritisasi dengan penambahan kata sosial, sehingga menjadi efisiensi berkeadilan sosial semakin memberi kelengkapan dari efisiensi berkeadilan istilah Sri-Edi Swasono seperti dikaji dalam studi ini. Kedua, pentingnya dimunculkan nilai-nilai sosial memberikan tambahan kekuatan dasar dan hak-hak karyawan sesuai dengan peraturan yang berlaku seperti hak tunjangan hari raya, hak jaminan kerja, dan hak-hak sosial bukan hanya karena kewelas asihan pimpinan usaha. Ini berarti, tawaran efisiensi berkeadilan sosial akan memberikan kekuatan arahan kesejahteraan dan kebersamaan yang lebih komprehensif. Ketiga, peluang memunculkan konsep sosial akan memberikan kesempatan kepada semua usaha mikro dan kecil dapat berkembang melalui BUMN sebagai tangan kanan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan penambahan modal, hibah dalam bentuk pelatihan manajemen usaha dan peta pemasaran secara bersama- 469 sama dalam masing-masing kluster, tanpa ada kesempatan memunculkan pemarginalan pada satu kluster dengan kluster yang lain, akibat kolusi dan nepotisme. Keempat, efsiensi berkeadilan sosial membentuk tanggungjawab dalam wilayah ketrampilan, dan usaha masing-masing terutama membangun modal sosial bersama- sama (tenaga kerja yang berkemampuan baru) profesional dan amanah. Efisiensi berkeadilan sosial sebagai sebuah pengembangan teori studi mengarahkan pada kemitraan melalui komunikasi, berpegang pada nilai moral dan etika bermuamalah, serta berpegang pada prinsip cultural social. Hal tersebut dapat dinilai dari keselarasan, kebersamaan yang diciptakan dalam siklus produksi usaha. Hukum sosial berlaku pada individu maupun usaha yang melakukan kecurangan dalam bermitra, dan bergotong royong termasuk ketidakamanahan dalam menjalankan kelembagaan koperasi ataupun asosiasi, dan baitul mal wa tamwil. Pada akhirnya konsep, dan regulasi atas nilai-nilai efisiensi berkeadilan sosial yang kokoh dan terhubung simbiosis mutualis antara pemerintah, BUMN, usaha kecil dan perguruan tinggi akan memperkokoh pasar usaha. Teori lain yang ditawarkan seiring dengan studi ini pada efisiensi humanis spritualis. Tawaran atas teori ini dari penilaian dasar bahwa efisiensi keadilan, atau efisiensi berkeadilan sosial tidak bisa lepas dari parameter ekonomi Islam seperti zakat, infak, sadakah, penguatan bagi hasil secara proporsional, musyarakat, dan etika moral Islam. Secara khusus manusia adalah makhluk biologis (bas}r dan nafs), yang memerlukan hidayat al-aqliyah (aqal), dan hidayat al-di>niyah (agama). Sebab kecerdasan otak yang dibarengi dengan ketrampilan sosial, ketangguhan bekerja, loyalitas, komitmen, optimisme memerlukan nilai-nilai spritual yang ada di dalam agama. Karena itu, penelitian ini semakin memperkuat perlunya implementasi konsep pemberdayaan dan pendampingan terhadap usaha songket Palembang secara proporsional. Dalam arti, pemberdayaan adalah membangun kemitraan yang berbasis kemandirian usaha mikro dan kecil yang disupport dari usaha- usaha besar. Bentuk implementasinya tidak hanya memberikan pemberian bantuan modal usaha, mengembangkan sumber daya, 470 menguatkan usaha dan membantu profesionalisme koperasi syari’ah atau bait al-mal wa tamwil sebagai soko usaha mikro dan kecil didukung dengan kebijakan operasional. Implikasi hasil penelitian ini menjadi dasar penelaahan civitas akademik di lingungan PTAIN terhadap pengembangan mata kuliah ekonomi Islam dan fiqh muamalah dengan model pemahaman sederhana yang bisa dapat dicerna oleh pelaku usaha mikro dan kecil, dan dapat pula dipahami oleh BUMN atau institusi yang berhubungan dengan kelompok usaha usaha mikro dan usaha kecil. Implikasi penelitian ini juga dapat mengubah paradigma dari pemberi bantuan modal usaha, lewat berbagai program pemerintah melalui jaringan BUMN dan Perbankan hanya berorientasi pada finansial, dan rutinitas pengembalian menuju paradigma kemitraan serta pembinaan berbasis nilai-nilai shari>’ah dan ekonomi kerakyatan dalam kerangka ekonomi Pancasila.

C. Saran Kekuatan nilai-nilai efisiensi berkeadilan yang telah diperjuangkan ekonom muslim, Sri-Edi Swasono dalam pergulatan politik menggoalkan pasal 33 dalam amandemen UUD 1945 di MPR disarankan untuk dikaji dalam kuliah ekonomi. Sehingga, memunculkan kajian-kajian lebih mendalam terhadap efisiensi berkeadilan dalam ilmu ekonomi Islam. Peran dunia akademik yang mengkaji ekonomi Islam maupun fiqh muamalah lebih mempertegas efisiensi berkeadilan beserta parameter-parameternya. Ini penting untuk ditegaskan dalam mata kuliah dengan harapan mahasiswa alumni pengkajian ekonomi Islam tidak hanya berkutat dalam penggalian perbedaan antara pemikiran ekonomi umum yang konvesional versus ekonomi Islam, namun lebih dari itu mampu menjelaskan berbagai kajian muamalah ma’daniyyah maupun ma>liyah dalam bahasa yang bisa dipahami oleh pengambil kebijakan, dan masyarakat ekonomi mikro-kecil yang mayoritas muslim untuk melakukan efisiensi berkeadilan. Dalam pada itu, Sri- Edi Swasono minta agar para mahasiswa mampu memahami dan memanfaatkan ilmu ekonomi umum yang kontemporer, serta mengembangkan ekonomi Islam konvensional ke arah ekonomi Islam yang kontemporer. 471

Bagi para pengrajin dan perajin songket, dengan modal kerja yang terbatas, kredit perbankan yang terbatas, mereka secara bersama harus mampu menghasilkan produksi secara maksima, baik kualitas maupun kuantitasnya. Atau dengan pola pikir yang lain, dengan target-target produksi tertentu (sesuai permintaan pasar). Masing-masing dari pengrajin maupun perajin songket tersebut secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama mengusahakan dicapainya biaya yang minima, menghindari segala macam pemborosan. Jika mereka menyadari makna efisiensi sosial yang akan secara bersama-sama meningkatkan benefit ataupun kesejahteraan bersama, maka mereka harus melaksanakannya dalam payung ataupun mekanisme koperasi. Ini artinya, para pengrajin dan perajin songket harus mampu melakukan transformasi mindset bahwa mereka harus membeli bahan secara bersama, mencari pinjaman secara bersama, menikmati keuntungan secara bersama, mendesain rancangan produksi secara bersama-sama, sehingga dapat ditumbuhkan komitmen bersama dan langkah bersama, membangun marketing bersama, menanggung resiko kerugian secara bersama dan seterusnya. Lebih penting dari itu adalah membuat rencana kerja termasuk veasibility study secara bersama-sama. Bagi pemerintah, sudah saatnya menyadari bahwa saat ini telah tumbuh kesadaran nasional dan pentingnya mengangkat local specifics sebagai kebanggaan dan kekayaan nasional akan keanekaragaman Indonesia. Demikian pula, dalam keanekaragaman yang membanggakan itu telah diangkat berbagai kreatifitas lokal (local wisdom) yang mengagumkan. Sri-Edi Swasono pada pertemuan International Wisdom 2010 menegaskan tentang perlunya memamerkan local wisdom untuk menginspirasikan “global solutions”.1 Masalah songket adalah kebanggaan nasional terhadap local specifics Indonesia yang harus menjadi kebanggaan tidak saja bagi masyarakat Palembang, tetapi juga Pemda Palembang bahkan Pemerinah Indonesia. Eksistensi dari usaha songket ini harus

1Sri-Edi Swasono dalam Wisdom 2010 menyatakan, apa yang dicari oleh Staglitz dalam bukunya Free Fall (April 2010) adalah Pasal 33 UUD 1945 sebagai Indonesia’s Local Wisdom that inspires global solutions. Lihat kembali Sri-Edi Swasono, Kelengahan Kultural dalam Pemikiran Ekonomi: Pancasila Pasal 33 UUD 1945 Koperasi, Entrepreneurship-Kooperatif (Jakarta: BAPPENAS, 2011). 472 dikembangkan, keterlibatan seluruh masyarakat, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat harus mampu mewujudkan efisiensi sosial yang akan menjamin kelestarian hasil budaya tenun songket Indonesia. Apa yang dipamerkan di musium tekstil pada 11 April 2010 yang lalu mampu menarik kalangan dalam negeri maupun luar negeri, telah menuntut eksistensi dan pengembangan usaha songket di Palembang, serta di segenap penjuru tanah air harus dipertahankan. DAFTAR PUSTAKA

A‟fa>r, Muhammad Abdul Mun‟im. al-Tanmiya al-Iqtis}a>diya li Duwali al-‘Ālam al-Isla>mi>. Jeddah, Da>r al-Mujtama‟ al-Ilmi>, tt. Abbas, Anwar dan Mukhaer Pakkana. Bung Hatta dan Ekonomi Islam: Menangkap Makna Maqasyid al Syari>'ah. Jakarta: Buku Kompas, 2010. Abbas, Anwar. Pemikiran Ekonomi Mohammad Hatta Ditinjau dari Perspektif Islam. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Abdillah, Masykuri. ”Kata Pengantar Syura dan Demokrasi”. dalam Musyawarah dan Demokrasi: Analisis Konseptual Aplikatif dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Politik Islam, Artani Hasbi. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001. Abdullah, Makmun. Kota Palembang sebagai Kota Dagang dan Industri. Jakarata: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, tt. Abdurrahman, Moeslim. Islam sebagai Kritik Sosial. Jakarta: Erlangga, 2003. Abeng, Tanri dan Faisal Siagian. Reformasi BUMN dalam Perspektif Krisis Ekonomi Makro. Jakarta: Pusat Reformasi dan Pengembangan BUMN, 1999. Abu Zaid, Muhammad Abdul Mun‟im. al- wa Tat}biqatiha al- ‘Amaliyah fi> al- Mas}arif al-Islamiyah. al-Qa>hirah: al- Ma‟ahad al-„A>limi li al-fikr al-Islam, 1996. Adi, Isbandi R. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas. Jakarta: Lembaga Penelitian Ekonomi UI, 2003. ______. Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Jakarta: FISIP UI Press, 2005.

Adityangga, Krishna. Membumikan Ekonomi Islam: Diskursus Pengembangan Ekonomi Berbasis Syari'ah. Yogyakarta: Pilar Media, 2006. Afzalurrahman. Muhammad sebagai Seorang Pedagang. Yayasan Swarna Bhumi, 1997. Agustian, Ary Ginanjar. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual. Jakarta: Arga, 2001. Ahmad, Abdurrahman Yusro. Muqaddimah fi> ‘Ilm al-Iqtis}a>d al-Isla>miy. Iskandariyah, 1988. Ahmad, Habib. Theoritical Foundation of Islamic Economics. Jeddah: IRTI dan IDB, 2002. Ahmad, Khurshid. “Economic Develovement in an Islamic Framework”. dalam Khurshid Ahmad eds. Studies in Islamic Economic. Jeddah: International Centre For research in Islamic Economics, King Abdul Aziz University, And The Islamic Faudation, 1980. Alam, Wawan Tunggul. Demi Bangsaku: Pertentangan Bung Karno vs. Bung Hatta. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003. Alampay, Erwin. Living the Information Society in Asia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2009. Albrecht, W. Steve. Accounting, Concepts and Applications. Ohio: Thomson/South-Western, 2007. Ali, As‟ad Said. Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa. Jakarta: Pustaka LP3ES, 2009. Ali, Salman. Islamic Capital Market Products: Developments and Challenges. Jeddah: Islamic Research and Training Institute, 2005. Alimin, Muhamad. Etika dan Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam. Yogyakarta: Badan Penerbitan Fakultas Ekonomi, Universitas Gajah Mada, 2004. Allard, Jenna. Solidarity Economy: Building Alternatives for People and Planet; papers and reports from the U.S. Social forum 2007. Chicago: Change Maker Publications, 2008. Alusy, Abu al-Fad}al Syiha>b al-Di>n al-Sayyid Mahmu>d. Tafsir Ru>h al-Ma’a>ni Fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Ad}im wa al Sab’a al-Ma’a>ni, jilid XII. Beirut: Da>r al-Fikr, tt.

Ambadar, Jackie. Menentukan Mitra Usaha. Jakarta: Bina Karsa Mandiri, 2005. Amien, Mappadjantji. Kemandirian Lokal: Konsepsi Pembangunan, Organisasi, dan Pendidikan dari Perspektif Sains Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005. Ananta, Aris eds. Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta: Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Pusat antar- Universitas Bidang Ekonomi Universitas Indonesia, 1990. Andaya, Barbara Watson. the Cloth Trade in Jambi and Palembang during the 17th and 18 th Centuries. New York: tp. 1989. Anderson. Enviromental Improvement Through Economic Incentives: Resourch of Future. Amerika: Baltimore, 1977. Anonimus. Penemuan Hari Jadi Kota Palembang. Palembang: Humas Pemda Kotamadya Palembang, 1973. Anshoriy, Nasruddin. Dekonstruksi Kekuasaan: Konsolidasi Semangat Kebangsaan. Yogyakarta: LKiS, 2008. Antonio, Muhammad Syafi‟i. Bank Syari’ah: Suatu Pengenalan Umum. Jakarta: Tazkie Institut dan Bank Indonesia, 1999. ______. Bank Syari’ah: dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani Press, 2001. Applebaum, Herbert. the Concept of Work: Ancient, Medieval, and Modern. Albany: Univ. of New York Press 1992. Arief, Sritua. Ekonomi Kerakyatan Indonesia: Mengenang Bung Hatta, Bapak Ekonomi Kerakyatan Indonesia. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2002. Arifin, Ki Agus Zainal. Songket Palembang: a Resplendent Tradition Woven with Devout Passions. Jakarta: Dian Rakyat, 2006. ______. “Negeri di Tepi Sungai Musi”. dalam Songket Palembang: Indahnya Tradisi di tenun Sepenuh Hati (Songket Palembang: a Resplendent Tradition Woven with Devout Passions). Jakarta: Dian Rakyat, 2006.

Arifin, Syamsul et.al. Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan. Yogyakarta: Sipress, 2000. Armiadi. Zakat Produktif: Solusi Alternatif Pemberdayaan Ekonomi Umat. Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2008. Arnold, Roger A. Micro Economics. Princeton, N.J.: Recording for the Blind and Dyslexic, 2008. Asqala>ni>. Fath al-Ba>ri> Syarh Shahi>h al-Bukha>ri. Da>r al- Kutub alIlmiyyah, Bairut, 1997, juz I. Asyarie, Musa. Islam, Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Umat. Yogyakarta: Lesfi, 2000. At}iyah, Jamaluddin. Nahwa Taf’i>l al Maqa>sid. Beirut: Da>r al-Kutub al-Arabiah, 2003. Atmosoeprapto, Kisdarto. Temukan Kembali Jati Diri Anda. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2004. Ayub, Muhammad. Understanding Islamic Finance. Hoboken, NJ: John Wiley and Sons, 2007. Aziz, H Moh Ali. Dakwah Pemberdayaan Masyarakat: Paradigma Aksi Metodologi. Yogyakarta: Pustaka Pesantren atas Kerjasama dengan Dakwah Press, Fakultas Dakwah, IAIN Sunan Ampel Surabaya: Distribusi, LKiS Pelangi Aksara, 2005. Ba>‟ly, Abdul Ha>mid Mahmu>d. al-Madkha>l li al-Fiqhi al Banu>k al-Isla>miyah. Cairo: al-Ma‟had al-Dauli li al- Bunu>k wa al-Iqtis}a>di al-Isla>miah, 1983. Ba>qi, Muhammad Fu‟ad Abdul. al-Mu’ja>m al-Mufahras li alfa>z al-Qur’a>n al-Kari>m. Mesir: Da>r al-Fikr, 1981. Babarti>, Akmaluddin Muhammad ibn Mahmu>d. al-Ina>yah Ma’a al-Hida>yah biha>s}iati Fathi al-Qa>dir. Mesir: Maktabah Must}afa al-Ba>bi al-Halaby, 1970. Bablali>, Mahmu>d Muhammad. al-Kasbu wa al-infa>q wa ada>lat al-Tauzi>’ fi> al-Mujtama’ al-Isla>mi>. Beirut: Maktab al-Isla>mi>, 1988. Bachtiar, Harsya W. Menuju Indonesia yang Demokratis, Adil dan Pluralis. Jakarta: Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa, 2002. Baharuddin. Negara dan Sistem Perekonomian dalam Pemikiran Ibnu Taimiyah dan Adam Smith. Mataram, Yayasan Cerdas Press, 2006.

Bakrie, Aburizal. Merebut Hati Rakyat Melalui Nasionalisme, Demokrasi, dan Pembangunan Ekonomi: Sumbangan Pemikiran Aburizal Bakrie. Jakarta: Primamedia Pustaka, 2004. Bal, Mieke. Travelling Concepts in the Humanities: a Rough Guide. Toronto: Univ. of Toronto Press, 2002. Bar‟i, Muhammad Khali>k dan Ali Hafi>z Manshu>r. Muqaddimah fi> Iqt}is}a>diyyah al-Nuqu>d wa al- Bunu>k. Kairo: Maktabah al-Shuru>q}, tt. Barazangi, Nimat Hafez. Islamic Identity and the Struggle for Justice. Gainesville: Univ. Press of Florida 2000. Barr, N. Economics of the Welfare State. New York: Oxford University Press, 2004. Barro, Robert J. dan Xavier Sala-i-Martin. Economic Growth. Cambridge. Mass.: MIT Press, 2003. Barsamian, David dan Siok Lian Liem. Beyond Boundaries. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008. Bart, Bernhard et.al. Revitalisasi Songket Lama Minangkabau. Padang: Studio Songket ErikaRianti, 2006. Basri, Faisal dan Haris Munandar. Lanskap Ekonomi Indonesia; Kajian dan Renungan Terhadap Masalah-Masalah Struktural, Transformasi Baru dan Prospek Perekonomian Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009. Basri, Ikhwan Abidin. Menguak Pemikiran Ekonomi Ulama Klasik. Solo: Aqwan, 2008. Baswir, Revrisond. Agenda Ekonomi Kerakyatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bekerjasama dengan Institute of Development and Economic Analysis, 1997. ______. Koperasi Indonesia. Jogjakarta: BPEF, 2000. Bathaniyah, Muhammad D{aifullah. fi> Ta>ri>kh al-Had}arah al- Arabiyah al-Isla>miyah al Haya>t al-Iqtis}a>diyah fi> s}adr al-Isla>m. Oman: Da>r al-Furqa>n, 2000.

Batra, Raveendra N. Progressive Utilization Theory: Prout: an Economic Solution to Poverty in The Third World. Philippines: Ananda Marga Publications, 1989. ______. the Crash of the Millennium: Surviving the Coming Inflationary Depression. New York: Harmony Books, 1999. Baumol, William J. dan Alan S Blinder. Economics: Principles and Policy. Mason, Ohio: Cengage Learning, 2009. Benne, Robert. the Ethic of Democratic Capitalism a Moral Reassessment. Philadelphia: Fortress Press, 1981. Bennett, James. Crescent Moon: Islamic Art and Civilisation in Southeast Asia. Adelaide: Art Gallery of South Australia, 2005. Bernal, J.D. the Emergence of Science. Cambridge: MIT Press, 2000. Best, Steven dan Anthony J Nocella. Igniting a Revolution: Voices in Defense of the Earth. Edinburgh: AK Press, 2006. Binawan, Andang L. dan A. Prasetyantoko. Keadilan Sosial: Upaya Mencari Makna Kesejahteraaan Bersama di Indonesia. Jakarta: Kompas, 2004. Bingham, Jane. Science and Technology. Chicago: Raintree, 2006. Birch, Charles dan David Paul. Life and Work: Challenging Economic Man. Sidney: UNSW Press, 2003. Bisri, M. Cholil. Menuju Ketenangan Batin. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008. Black, Antony. Pemikiran Politik Islam: dari Masa Nabi hingga Masa Kini. Jakarta: Serambi, 2006. Blakely, Edward J. dan Ted K Bradshaw. Planning Local Economic Development: Theory and Practice. London: Paul Chapman, 2002. Blaug, Mark. Who's Who in Economics. Cheltenham: Elgar, 2003. Boone dan Kurt, Contemporary Business. Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2007.

Bottomore, T. B. the Socialist Economy: Theory and Practice. London: Harvester Wheatsheaf, 2000. Bottomore, Tom dan Robert J Brym. the Capitalist Class: an International Study. Hemel Hempstead: Harvester Wheatsheaf, 1989. Boulter, Nick et.al. Achieving the Perfect Fit: How to Win with the Right People in the Right Jobs. Houston, Tex.: Gulf Publication. Co., 2001. Bragg, Steven M. Outsourcing: a Guide Toselecting the Correct Business Unit Negotiating the Contractmaintaining Control of the Process. Hoboken: Wiley, 2006. Braudel, F. a History of Civilizations. New York: Penguin Books, 1993. Brownlee, Malcom. Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan. Jakarta: Gunung Mulia, 2004. Buchanan, Allen E. Marx and Justice: the Radical Critique of Liberalism. London: Methuen, 1982. Buchanan, James M. ”The Supply of Labour and Extent of The Market,” dalam Michal Frey. eds. Adam Smith’s Legacy: His Place in the Development of Modern Economics, London: Taylor and Francis e-Library, 2005. Budiman, Arief et.al. Mencari Konsep Manusia Indonesia: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Erlangga, 1986. Bull, Malcolm dan Keith Lockhart, Seeking a Sanctuary: Seventh- Day Adventism and the American Dream. Bloomington: Indiana University Press, 2007. Burkholder, Nicholas C. Outsourcing: the Definitive View, Applications and Implications. Hoboken, N.J.: Wiley, 2006. Buzan, Tony. the Power of Spiritual Intelligence. Jakarta: Gramedia, 2003. Canterbery, E Ray. the Making of Economics. River Edge, N.J.: World Scientific Pub., 2003. Capelin, Joan. Communication by Design: Marketing Professional Services. Atlanta: Greenway Communications, 2004. Chalil, Ashjar dan Hudaya Latuconsina. Pembelajaran Berbasis Fitrah. Jakarta: Balai Pustaka, 2008.

Chang, Haa-Joon dan Ilene Grabel. Reclaiming Development: an- Alternative Economic Policy Manual. New York: Zed Books, 2004. Chapra, M. Umer. Islam and the Economic Challenge. USA: The Islamic Foundation and The International Institute of Islamic Thought UK, 1992. ______. Islam and Economic Development: a Strategy for Development with Justice and Stability. Islamabad, Pakistan: International Institute of Islamic Thought: Islamic Research Institute, 1993. ______. al-Isla>m wa al-Tahaddi> al-Iqtis}a>di>, terj. Arab Muhammad Zuheir al-Samhuri>. Amma>n: al-Ma‟had al- „a>lami>, li al-Fikr al-Isla>mi>, 1996. ______. Islam dan Tantangan Ekonomi, terj. Ikhwan Abidin. Jakarta: Gema Insani, 2000. ______. the Future of Economics: an Islamic Perspective. Leicester: The Islamic Foundation, 2000. ______. al-Qur’an Menuju Sistem Moneter yang Adil. Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 2003. Chenery, William L. Industry and Human Welfare. New York: Arno Press, 1977. Cho, Dong-Sung dan Hwy-Chang Moon. from Adam Smith to Michael Porter: Evolution of Competitiveness Theory. Singapore: World Scientific, 2000. Choudhury, Masudul Alam. Comparative Economic Theory: Occidental and Islamic Perspectives. Boston: Kluwer 1999. ChoudhuryI, Masudul Alam. Islamic Economic Co-Operation. Basingstoke: Macmillan, 1989. Clarke, Matthew dan Sardar M N. Islam Economic Growth and Social Welfare: Operationalising Normative Social Choice Theory. Boston: Elsevier, 2004. Cramme, Olaf dan Patrick Diamond. Social Justice in the Global Age. USA: Polity Press, 2009. Craven, Bruce D. dan Sardar M N Islam. Optimization in Economics and Finance. New York: Springer, 2005.

Cudd, Ann E. Analyzing Oppression. New York: Oxford University Press, 2006. Cutler, Anthony. Marx's 'Capital' and Capitalism Today. London: Routledge, 1978. Daft, Richard L. Organization Theory and Design. Mason, Ohio: South-Western Cengage Learning, 2010. Dahlan. Sejarah Ringkas Museum Sumatera Selatan. Palembang: Penerbit Proyek Pengembangan Permuseuman Sumatera Selatan, 1984. Daniel, Teresa A dan Gary S. Metcalf. The Management of People in Mergers and Acquisitions. Westport, Conn.: Quorum Books, 2001. Darmaputera, Eka. Pancasila and the Search for Identity and Modernity in Indonesian Society: a Cultural and Ethical Analysis. Leiden: E.J. Brill, 1988. Darwin. Model-Model Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah. Jakarta: Pusat Penelitian Ekonomi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2003. David N. dan Michael Veseth. Introduction to International Political Economy. New Jersey: Pearson Education Inc, 2005. Davidson, Carl. Solidarity Economy: Building Alternatives for People and Planet. London: Changemaker Publications, 2001. Davis, John Bunnell. the Social Economics of Human Material Need. Carbondale u.a. Southern Illinois Univ. Press 1994. Dean, John. Business Networks and Strategic Alliances in Australia. Australia: Department of Industry, Science and Tourism, Australia, 1997.

Deliarnov. Ekonomi Politik. Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 2006. Departemen Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah. Ekonomi Kerakyatan dalam Kancah Globalisasi. Jakarta: Kementerian Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah, Republik Indonesia, 2003. Departemen Perdagangan RI. Program Kerja Pengembangan Industri Kreatif Nasional 2009-2015. Jakarta: Departemen Perdagangan RI, Kelompok Kerja Indonesia Design Power-Departemen Perdagangan, 2010. Dessler. Human Resource Management. New Jesrey: Hall Inc, 2000. Dewi, Gemala. Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syari’ah di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2004. Dillon, Michele. Introduction to Sociological Theory: Theorists, Concepts, and Their Applicability to the Twenty-First Century. Chichester, U.K.; Malden, MA: Wiley- Blackwell, 2010. Djafri, Chamroel. Gagasan Seputar Pengembangan Industri dan Perdagangan Tekstil dan Produk Tekstil. Jakarta: Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dan Cidesindo, 2003. Djamarin. Pengetahuan Barang Tekstil. Bandung: ITT Bandung, 1977. Djamil, Fathurrahman. “Akad dan Aspek Legalitas dalam Transaksi Ekonomi Syariah”, Naskah ajar. Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syahid, 2010. Djoemena, Nian, S. Lurik: Garis-Garis Bertuah. Jakarta: Djambatan, 2000. Djojohadikusumo, Soemitro. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991. Dobb, Maurice. Theories of Value and Distribution Since Adam Smith: Ideology and Economic Theory. Cambridge: Cambridge, 1973. Dofa, Anesia Aryunda. Batik Indonesia. Jakarta: Golden Terayon Press, 1996. Dunning, John H. Making Globalization Good: the Moral Challenges of Global Capitalism. Oxford: Oxford University Press, 2003.

Duwaisy, Ahmad bin Abdurrazaq. Fatwa Jual Beli oleh Ulama- Ulama Besar Terkemuka. Jakarta: Pustaka Imam Syafei, 2006. Dwivedi, D.N. Microeconomis: Theory and Application. Singapore: Perason Education, ltd, 2008. Draper, Brian. Spiritual Intelligence: a New Way of Being. Oxford: Lion, 2009. Efendi, Agus. Revolusi Kecerdasan Abad 21. Bandung: Alfabeta, 2005. Elfindri. Strategi Sukses Membangun Daerah. Jakarta: Gorga Media, 2008. Emmett, Ross B. Research in the History of Economic Thought and Methodology a Research Annual. Emerald Group Pub Ltd, 2009. Esposito, John L. dan John Obert Voll. Makers of Contemporary Islam. Oxford: Oxford University Press, 2001. Essid, Yassine. a Critique of the Origins of Islamic Economic Thought. Leiden: Brill, 1995. Fagen, Richard R. Capitalism and the State in U.S.-Latin American Relations. Stanford, Calif.: Stanford University Press, 1979. Fakhr, Ṣaqr Abu. al-Di>n wa al-Dahma wa al-Dam. Beirut: al Muassasah al-Arabiyah lil-Dira>sat wa-al-Nashr, 2007. Fauroni, R Lukman et.al. Etika Bisnis dalam Al-Qur'an. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006. Fauzan, Uzair dan Heru Prasetyo. Teori Keadilan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Fauzi, Akhmad. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Gramedia, 2004. Fine, Lawrence G. the Swot Analysis: Using Your Strength to Overcome Weaknesses, Using Opportunities to Overcome Threats. London: CreateSpace, 2009. Florida, Ricard. Cities and the Creative Class. New York: Routledge, 2005. Franklin, Charles Kendall. the Socialization of Humanity: an Analysis and Synthesis of the Phenomena of Nature, Life, Mind and Society Through the Law Of Repetition; a

System of Monistic Philosophy. USA: C.H. Kerr and Company, 1904. Frederick, Robert E. Business Ethics: Readings and Cases in Corporate Morality. New York: McGraw-Hill, 2001. Freedman, Craig. Economic Reform in Japan: Can the Japanese Change?. Cheltenham, UK Elgar 2001. Freeman, Samuel Richard. the Cambridge Companion to Rawls. Cambridge: Cambridge University Press, 2003. Friedrich, Carl Joachim. Filsafat Hukum Perspektif Historis. Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004. Fuad, Mahsun. Hukum Islam Indonesia: dari Nalar Partisipatoris hingga Emansipatoris. Yogyakarta: LkiS, 2005. Galbraith, Jhon K. the New Industrial State. New York: New American Library, 2000. ______. Organizations: Behavior Structure Process. America: McGraw International Edition, 2006. Galtung, Johan and Sohail Inayatullah eds. Macrohistory and Macrohistorians: Perspectives on Individual, Social and Civilizational Change. Wesport: Ct. Praeger, 1997. Geertz, Clifford. Agricultural Involution the Process of Ecological Change in Indonesia. Berkeley: University of California Press 2000. Ghazali, Abdel Hamid. Man is the Basis of the Islamic Strategy for Economic Development. Jeddah: Islamic Research and Training Institute Islamic Development Bank, 1994. Giacalone, Robert A dan Carole L Jurkiewicz. Handbook of Workplace Spirituality and Organizational Performance. Armonk, N.Y.: M.E. Sharpe, 2010. Ginsberg, Morris. Keadilan dalam Masayarakat. Bantul: Pondok Edukasi, 2003. Gittinger, Mattiebelle. to Speak with Cloth: Studies in Indonesian. USA: Museum of Cultural History, University of California, 1989. Gittinger, Mattiebelle dan H. Leedom Lefferts. Textiles and the Tai Experience in Southeast Asia. Washington, D.C.: Textile Museum, 1992. Graffin, Ricky. W. dan Ronald. J. Ebert. Bisnis, alih bahasa oleh Wardani. Jakarta: Erlangga, 2010.

Greenspan, Alan. Abad Prahara: Ramalan Kehancuran Ekonomi Dunia Abad ke-21. Jakarta: Gramedia, 2007. Gregor, Anthony James et.al. Ideology and Development. Berkeley: Inst. of East Asian Studies, Univ. of Calif., Center for Chinese Studies, 1981. Gunadi. Pengetahuan Dasar tentang Kain-kain Tekstil dan Pakaian Jadi. Jakarta: Yayasan Pembinaan Keluarga UPN Veteran, 1984. H}asani, Shaikh „Abd al-Qa>dir al-Jaila>ni. al-Ghunyah li T}a>lib T{a>riq al-Haqq fi> al-Akhla>q wa al-Tas}awwuf wa al- Ada>b al-Isla>miyyah. Da>r al-Kutub al-Isla>miyyah, t.t., juz I. Ha>syim, Isma>‟i>l Muhammad dan Shari>kuhu>. Usus ‘Ilmu al- Iqtis}a>d. Kairo: Da>r al-Nahd}ah al-„Arabiyah, 1976. Haakonssen, Knud. the Cambridge Companion to Adam Smith. Cambridge: Cambridge University Press, 2006. Haeruman, Herman dan Eriyanto. Kemitraan dalam Pengembangan Ekonomi Lokal: Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Mitra Pembangunan Desa-Kota, 2001. Hafiduddin, Didin. Islam Aflikatif. Jakarta: Gema Insani, 2004. Hafner, Robert W. Islam Pasar Keadilan: Artikulasi Lokal, Kapitalisme dan Demokrasi,. Yogyakarta: LKiS, 2000. Hakim, Budi Rahman. Rethinking Sosial Work Indonesia. Jakarta: Wahana Semesta Intermedia, 2010. Halim, Fachrizal A. Beragama dalam Belenggu Kapitalisme. Magelang: IndonesiaTera, 2002. Hami>d, Maji>d. Atsaru al-Mas}lahah fi> al-Shari>’at. Jordaniah: al-Da>r al-I‟lmiyyah al-Dauliyah wa Da>r li an-Nasr wa al-Tauzi‟, jilid I, 2002. Hanafi, Mamduh M. Manajemen. Yogyakarta: UPP AMPYKM, tt. Haneef, Mohamed Aslam. Contemporary Islamic Economic Thought: a Selected Comparative Analysis. Malaysia: Selangor Ikraq 1995. Haq, Hamka. al-Shat}hibi Aspek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat. Jakarta: Erlangga, 2007. Haq, Mahbub. Islam Property and Income Distribution. Leicester UK: The Islamic Foundation, 1991. Haque. Riba: the Moral Economy of Usury, Interest, and Profil. Kuala Lumpur: S. Abdul Majeed and CO, 1995.

Harahap, Sofyan Syafri. Teori Akuntansi. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2003. Harsoyo, Y. Ideologi Koperasi Menatap Masa Depan. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma Bekerjasama dengan Penerbit Pustaka Widyatama, 2006. Hartono, M Dimyati. Problematik dan Solusi Amandemen Undang- Undang Dasar 1945. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009. Hartono, Tony. Mekanisme Ekonomi dalam Konteks Ekonomi Indonesia. Bandung: Rosdakarya, 2006. Harukiyo, Hasegawa dan Glenn D. Hook. Javaness Bussines Management: Rectruturing for Low Growth and Globalization. London: Routledge, 2002. Haryadi, Dedi. Tahap Perkembangan Usaha Kecil: Dinamika dan Peta Potensi Pertumbuhan. Bandung: AKATIGA, 1998. Hasan, Ahmad. Mata Uang Islami: Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islami. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005. Hasan, Ahmad Yusuf dan Donald Routledge Hill. Islamic Technology: an Illustrated. Cambridge: Cambridge University Press, 1992. Hasan, Zubair, “Profit Maximization: Secular versus Islamic”. dalam Sayyid Taher eds. Reading in Microeconomics: an Islamic Perspective. Kuala Lumpur: Longman Malaysia, 2000\. Hasibuan, S. Case Study of Muslim-managed Organizations, the Case of Indonesian Development Agenda. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Al Azhar, 2006. Hatta, Mohammad. Pengertian Pancasila. Jakarta: Idayu Press, 1977. ______. Ekonomi Terpimpin. Jakarta: Penerbit Mutiara, 1979. ______. Pengembangan Usaha Kecil: Salah Satu Aspek Ekonomi Terpimpin. Jakarta: Idayu, 1979. ______. Ilmu dan Agama. Jakarta, Yayasan Idayu, 1983. Hayek. “Price Expectations, Monetary Disturbances, and Malinvestments”. dalam Profits, Interest, and Investment. New York: Augustus M. Kelley, 1975. Henda, Riza Prima. Kemiskinan dan Kemandirian: Catatan Perjalanan dan Reneksi Bina Swadaya. Jakarta: Yayasan Bina Swadaya, 2003.

Hendrawan, Saneya. Spritual Management: from Personal Enlightman to Words God Corporate Govermance. Jakarta: Mizan, 2009. Hendro, E.P. Ketika Tenun Mengubah Desa Troso. Semarang: Bendera, 2000. Hennon, Charles B. dan Suzanne Loker Rosemary Adams Walker. Gender and Home-Based Employment. Westport, Conn: Auburn House, 2000. Herman, V.J. Seni Ragam Hias pada Kain Tenun. Mataram: Depdikbud, 1990. Heron, Robert. Administrasi Ketenagakerjaan. Jakarta: Kantor Perburuhan Internasional, 2002. Huda, Machwal. Etos Kerja, Kebijaksanaan Pembinaan dan Perkembangan Industri Kecil: Studi Kasus INTAKO. Jogakarta: Universitas Gadjah Mada, 2006. Hughes, Arthur Middleton. Strategic Database Marketing: the Masterplan for Starting and Managing a Profitable, Customer-Based Marketing Program. New York: McGraw-Hill, 2005. Ibrahim, Johny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Surabaya: Bayumedia Publishing, 2006. Ikram, Achadiati. Jati Diri yang Terlupakan: Naskah-Naskah Palembang. Palembang: Yanassa, 2004. Iljas, Achjar. Reformasi Sistem Pembiayaan Usaha Kecil. Jakarta: Global Mahardika, 2004. Inayatullah, Sohail dan Jennifer Fitzgerald, eds. Transcending Boundaries: Prabhat Rainjan Sarkar's Theories of Individual and Social Transformation. Maleny, Australia: Gurukul Publications. 1999. Inayatullah, Sohail. Understanding Sarkar: the Indian Episteme, Macrohistory and Transformative Knowledge. Leiden: Brill, 2002. Indriantoro, Nur dan Bambang Supomo. Metodologi Penelitian Bisnis untuk Akuntansi dan Manajemen. Yogyakarta: BPFE-UGM, 2002. Ingham, Geoffrey K. Capitalism. Cambridge, UK; Malden, MA: Polity Press, 2008.

Intan, Benyamin Fleming. Public Religion and the Pancasila Based State of Indonesia an Ethical and Sociological Analysis. New York: Oxford Lang, 2006. Iqbal, Muhammad. the Reconstruction of Religious Thought in Islam. Lahore: Sang-E-Mell Publications, 2004. Ismail, Siti Zainon. Tekstil Tenunan Melayu: Keindahan Budaya Tradisional Nusantara. Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan, 1994. Jadjuli, Suroso Imam. Reformasi Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Masyarakat. Surabaya: Pascasarjana Universitas Airlangga, 2007. Ja'far, Marwan. Infrastruktur pro Rakyat: Strategi Investasi Infrastruktur Indonesia Abad 21. Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa, 2007. Jalaluddin. Petunjuk Kota Palembang dari Manua ke Kotamadaya. Palembang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tk- II, 1992. Jalil, Abdul. Teologi Buruh. Yogyakarta: LKiS, 2008. Jaw‟a>ni, Muhammad Najib Hamadi. D}awa>bit al-tija>rah fi> al-iq}tisa>d al-Isla>mi. Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 2005. Jespersen, Birgit Dam. Supply Chain Management: in Theory and Practice. Copenhagen: Business School Press, 2005. Jhingan, ML. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: Rajawali Pres, 2000. John. Hartley Creative Industries. Malden, Mass.: Blackwell, 2006. Junaidi, Heri. “Efektifitas Perjanjian Akte di Bawah Tangan Usaha Songket Palembang dalam Perspektif Fiqh Muamalah”. Palembang: Fakultas Syari‟ah IAIN Raden Fatah Palembang, 1997. ______eds. Fiqh Zakat Sumatera Selatan. Jogjakarta: Gama Media, 2004. ______. Fiqh Muamalah Kontemporer. Palembang: IAIN RF, 2008. ______. Nilai Filosofis Wong Kito Galo: Studi Penelusuran Sikap Pluralis Masyarakat Kota Palembang. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang Dan Diklat Departemen Agama RI, 2009\.

Jusmaliani. Kajian Teori Ekonomi dalam Islam: Kebijakan dalam Perekonomian Islam. Jakarta: Pusat Penelitian Ekonomi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2004. Kahf, Monzer. “a Contribution to the Theory of Consumer Behavior in an Islamic Society”. dalam Studies in Islamic Economics, eds. Khursid Ahmed. America, Leicester: The Islamic Foundation 1980. Kahin, George McTurnan. Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca, NY: Cornell Southeast Asia Program, 2003. Karim, Adiwarman A. Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press, 2001. ______. Ekonomi Mikro Islami. Jakarta: IIIT Indonesia, 2003. ______. Bangunan Ekonomi yang Berkeadilan (Teori, Praktek, dan Realitas Ekonomi Islam). Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004. Kartiwa, Suwati. Kain Songket Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1996. ______. Tenun Ikat: Ragam Kain Tradisional Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007. Keester, Paul Heinze. Tokoh-Tokoh Ekonomi Mengubah Dunia. Jakarta: Gramedia, 1987. Keraf, Sonny. Etika Bisnis. Yogyakarta: Kanisius, 1998. Kha>dimi, Nur al-Di>n Mukhta>r. al-Ijtiha>d al-Maqa>s}id. Qatar: Wiza>rat al-Awqa>f wa al-Syuu>n al-Isla>miyah, 2003. Korten, David C. the Post-Corporate World; Life after Capitalism. London: Mc.Grow-Hill, 2000. Kropp, Erhard W. dan B R. Quinones. Financial System Development in Support of People's Economy. Bangkok: APRACA Publications, 1992. Kuhn, T.S. The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: The University of Chicago Press, 1996. Kuncoro, Mudrjat. Ekonomika Industri Indonesia: Menuju Negara Industri 2030?. Yogyakarta: Andi, 2007. Kuntowijoyo dan A. E. Priyono. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan, 2008.

Kuo, Cheng Tian. Global Competitives and Industrial Growth in Taiwan and Philippines. USA: University of Pitsburgh Press, 1995. LAN. Beberapa Catatan Kecil Menyongsong dan Melewati 2004: Fokus dan Solusi Menuju Terwujudnya Good Governance. Jakarta: LAN, 2003. Lauren, Diane Wolf. Factory Daughters: Gender, Household Dynamics, and Rural Industrialization in Java. California: University of California Press. Berkeley, 1992. Leeuwen, Bas van. Human Capital and Economic Growth in India, Indonesia, and Japan: a Quantitative Analysis, 1890- 2000. The Netherlands: Universiteit Utrecht, 2007. Lin, Nan. Social Capital: a Theory of Social Structure and Action. New York: Cambridge University Press, 2007. Lindawati, “Songket: Simbol Kekuatan Budaya Lokal.” Tesis. Malaysia: Universitas Kebangsaan Malaysia, 2004. Lombard, Murice. the Golden Age of Islam. New York: Markus Wiener Publishers, 2003. Lunati, M. Teresa. Ethical Issues in Economic: from Altruism to Cooperation to Equity. London: Mac Millan Press, 1997. Lyotard, Jean F. The Postmodern Condition. USA: Manchester University Press, 1984. Ma‟luf, Lois. al-Munji>d fi> al-Lughah wa al-‘A’la>m. Beirut: Da>r al Masyri>q, 1987. Macdonald, Lynda A C. Managing Fixed-Term and Part-Time Workers: a Practical Guide to Employing Temporary and Part-Time Staff . London: Tolley, 2003. Machendrawaty, Nanih dan Agus Ahmad Safei. Pengembangan Masyarakat Islam: dari Ideologi, Strategi, sampai Tradisi. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001. Madjid, Baihaqi Abd dan Saifuddin, Rasyid. Paradigma Baru Ekonomi Kerakyatan Sistem Syari'ah: Perjalanan Gagasan dan Gerakan BMT di Indonesia. Jakarta: Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil, 2000. Mahmud, Amir. Islam dan Realitas Sosial di Mata Intelektual Muslim Indonesia. Jakarta: Edu Indonesia Sinergi, 2005. Mannan, Muhammad Abdul. the Frontiers of Islamic Economics. Delhi: Ida>rah Adabiyyati Delli, 1984.

______. the Making of Islamic Economic Society: Islamic Dimensions in Economic Analysis. Kairo, Egypt: International Association of Islamic Banks; Turkish Federated State of Kibris, Turkish Cyprus: International Institute for Islamic Banking and Economics, 1984. ______. Islamic Economic: Theory and Practice. Hounder and Stouhgten, Ltd, 1992. ______. Ekonomi Islam: Teori dan Praktek. terjemah. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 2006. Marcus, Alfred Allen. Management Strategy: Achieving Sustained Competitive Advantage. New York: McGraw-Hill Irwin, 2005. Martodireso, Sudadi dan Widada Agus Suryanto. Agribisnis Kemitraan Usaha Bersama: Upaya Peningkatan Kesejahteraan Petani. Jogjakarta: Kanisius, 2002. Martone, Michael. Flatness and Other Landscapes. Athens: Univ Of Georgia Press, 2003. Mass, Michael. Readings in Late Antiquity: a Sources Book. USA and Canada: Rouldge, Inc, 2000. Mas'ud. Abdurrachman. Menuju Paradigma Islam Humanis. Yogyakarta: Gema Media, 2003. Masyhuri. Kajian Teori Ekonomi dalam Islam. Jakarta: Pusat Penelitian Ekonomi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2003. _____. Ekonomi Mikro. Malang: UIN Malang, 2004. Maurer, Bill. Mutual Life, Limited: Islamic Banking, Alternative Currencies, Lateral Reason. Princeton, N.J.: Princeton University Press, 2005. Maxwell, Robyn. Textiles of Southeast Asia: Tradition, Trade and Transformation. Singapore: Periplus, 2003. McHenry, Leemon. Science and the Pursuit of Wisdom: Studies in the Philosophy of Nicholas Maxwell. Frankfurt: Ontos, 2009. McLaren, Peter. Capitalists and Conquerors: a Critical Pedagogy Against Empire. Lanham, MD: Rowman And Littlefield Publishers, 2005. Mehmed, Ozay. Islamic Identity and Development: Studies of the Islamic Periphery. New York: Chapman and Hall Inc, 2001.

Mentzer, John Tom. Supply Chain Management. California: Sage Publ., 2001. Miyamoto, Sadao. Introduction to Prout: a Spiritual Socio- Economic Theory. Bellingham, Wash.: Huxley College of Environmental Studies, Western Washington University, 1982. Morris, Brian. Western Conceptions of the Individual. New York; Oxford: Berg, 1999. MS, Sinis Munandar. Program Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan melalui Pembangunan Sumber Daya Manusia dan Pelayanan Keuangan Mikro. Jakarta: Badan Pengembangan SDM, Departemen Pertanian, 2002. Mubyarto. Teori Ekonomi dan Penerapannya di Asia. Jakarta: Gramedia, 1981. ______. Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan. Yogyakarta: LP3ES, 1987. ______.Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1988. ______. Ekonomi Rakyat dan Program IDT. Yogyakarta: Aditya Media, 1996. ______. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Yogyakarta: Aditya Media, 1998. ______.Reformasi Sistem Ekonomi: dari Kapitalisme Menuju Ekonomi Kerakyatan. Yogyakarta: Aditya Media, 1998. ______.Amandemen Konstitusi dan Pergulatan Pakar Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media, 2001. ______. Etika, Agama dan Sistem Ekonomi. Jakarta: YAE-Bina Swadaya, di Financial Club, 2002. ______. Ekonomi Pancasila: Renungan Satu Tahun PUSTEP UGM. Yogyakarta: PUSTEP UGM, 2003. Muhammad, Ahmad. Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islami. Jakarta: Salemba Empat, 2002. Muhammad. Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam. Yogyakarta: BPFE, 2004. ______. Permasalahan Agency dalam Pembiayaan Mudharabah pada Bank Syariah di Indonesia. Disertasi. Yogyakarta: UII Yogyakarta, 2005.

Mull, Steve et.al. the Cotton History. Kansas City: Walsworth Publishing Company. Muller, Jerry Z. the Mind and the Market: Capitalism in Modern European Thought. New York: Alfred A. Knopf, 2002. al-Munawar, Said Aqil Husin dan Abdul Halim. al-Qur'an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta: Ciputat Press, 2002. Muqrin, Khālid ibn Sad ibn Muhammad. Awa>bi al-intaj fi> al- iqtia>d al-isla>mi> wa-atharuha> alá al-inta>j wa-al- inta>ji>yah. al-Riyād: al-Mamlakah al-Arabīyah al- Sa‟ūdīyah, Wizārat al-Ta‟līm al-Āli>, Jāmi‟at al-Imām Muhammad ibn Sa‟ūd al-Islāmīyah, 2004. Muslih, Abdullah dan Shalah ash-Shawi. Ma> la Yasa’ al-ta>jira Jahluhu>. diterjemahkan oleh Abu Umar Basyir. Fiqh Ekonomi Keuangan Islam. Jakarta: Dar al-Haq, 2008. Myint, Deepak Lal, H. the Political Economy of Poverty, Equity and Growth. London: Oxford Press, 1999. Myrdal, Gunnar. the Political Element in the Development of Economic Theory. London: Routledge and Kegan Paul, Ltd, 2002. Nabhani, Taqyuddin. an-Nidzam al-Iqtis}a>di fi al-Isla>m. Beirut: Darul Ummah, 1990. Naim, Ahmed. "Syari'ah and Basic Human Rights Concerns", dalam Liberal Islam: a Sourcebook, eds. Charles Kurzman. Oxford: Oxford University Press, 1998. Naqvi, Syed Nawab Haider. Islam, Economic, and Society. London: Kegan Paul International, 1993. _____. Menggagas Ilmu Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Nasr, Husein. Islamic Work Ethics. England: Hamdard Islamicus, tt. Nasr, Sayyed Hossein dan Oliver Leaman. Routledge History of World Philosophies. USA and Canada: Rouldge, Inc, 2002. Natsir, Muhammad. Islam dan Pancasila: Konstituante 1957. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001. Nazir, Muhammad. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003.

Nee, Victor. on Capitalism. Stanford: Calif. Stanford Univ. Press, 2007. Nelson, Alan E. Spiritual Intellegence: Discover Your SQ Deepen Your Fath. USA: Baker Publishing Group, 2010. Nugroho, Heru. Globalisasi dan Tantangan Daya Saing Indonesia. Jakarta: LIPI Press, 2005. Nusantara, A Ariobimo dan R Masri Sareb Putra. Keadilan dalam Masyarakat: Kajian dan Renungan Sosial bagi Komunitas Basis. Jogjakarta: Kanisius, 2007. Oetama, Jakob. Berpikir Ulang tentang Keindonesiaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001. Okezie, B. Onuma dan Vladimir Podsolonko. Strengthening Teaching and Outreach Capabilities in Business and Management Education at Tavrida National University, Ukraine, Under a Market-oriented Economy: the Final Report. Alabama: A and M University, 2004. Olson, Mancur. Kebangkitan dan Kemerosotan Perkembangan Bangsa-Bangsa: dari Pertumbuhan Ekonomi ke Stagnasi- Inflasi dan Kemandegan Sosial. Rajawali: Jakarta, tt. Pangestu, Mari Elka et.al. Studi Industri Kreatif Indonesia. Jakarta: Departemen Perdagangan RI, 2008. Pareto, Vilfredo dan Hans L Zetterberg. the Rise and Fall of Elites: an Application of Theoretical Sociology. New Brunswick, N.J.: Transaction Publishers, 1991. Parker, Phillip M. Utilization: Webster’s Quatations, Facts and Phrases. California: Icon Group, Inc.. Partomo, Tiktik Sartika. Ekonomi Koperasi. Jogjakarta: BPEF, 2008. Paton, Rob dan James McCalman. Change Management: a Guide to Effective Implementation. London: SAGE, 2008. Perwataatmadja, Karnaen A. Membumikan Ekonomi Islam di Indonesia. Jakarta: Usaha Kami, 1996. Pindyck, Robert S. dan Daniel L. Rubinfeld. Microeconomics. New Jersey: Prentice-Hall Inc., 2007. Porritt, Jonathon. Capitalism as if the World Matters. Sterling, VA: Earthscan, 2007. Poser, Timo B. the Impact of Corporate Venture Capital: Potentials of Competitive Advantages for the Investing

Company. Wiesbaden: Deutscher Universitats-Verlag, 2003. Posner, R.A. the Problem of Jurisprudence. Cambridge: Harvard University Press, 1990. Post, Emily. Etiquette in Society, in Business, in Politics and at Home. New York: Cosmo Classics, 2007. Prasetyo, Eko. Upah dan Pekerja. Yogyakarta: Resist Book, 2006. Prasetyantoko, A. Bencana Finansial: Stabilitas sebagai Barang Publik. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008. ______. Krisis Finansial dalam Perangkap Ekonomi Neoliberal. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009. Proyek Penelitian, Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya. Traditional Ceremony in Relation with Natural Event and Belief of the People in Sumatera Selatan Region. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Penelitian, Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya, 2000. Purba, R. Produktivitas Tenaga Kerja Industri Kecil: Studi Kasus pada Industri Barang-barang Kulit di Manding, Kabupaten Bantul. Yogyakarta: UGM, 1990. Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, UII Yogyakarta. Ekonomi Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008. Putra, Murasa Sarkani. Adil dan Ihsan dalam Perspektif Ekonomi Islam. Jakarta: P3EI, 2004. Qalahji, Muhammad Rawwas. Maba>his fi> al-Iqtis}a>d al- Isla>miy min Us}u>lihi al-Fiqhiyyah. Beirut: Da>r an- Nafes, 2000. Qarad}a>wi, Yusu>f. Da>r al-Qiya>m wa al-Akhla>q fi> al- Iqtisha>di al-Isla>mi. Kairo: Maktabah Wahwah , 1995. ______. al-Isla>m wa al-Ilmaniyah, Wajhan li Wajhin. Kairo: Maktabah Wahbah, 2000. ______. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam. terj Didin Hafidudin. Jakarta: Rabbani Press, 2001. Qorashi, Baqir Sharief. Keringat Buruh, Hak dan Peran Pekerja dalam Islam. Jakarta: Penerbit Al-Huda, 2007.

Qudaimi, Nauwaf. Muḥawarat: al-Isla>miyun wa-Aslat an-Nahḍa al-Mua}qa. Beirut: al-Muassasa al-Arabiya li al-Dira>sat wa-'n-Nasr, 2006. Qureshi, Anwar. Islam and the Theory of Interest. Lahore: tp, 1970. Qurtu>bi, Muhammad ibn Ahmad al-Ansho>ri. al-Ja>mi’ah li Ahka>m al-Qur’a>n, juz. 33. Beirut: Da>r al-Qutb al- „Ilmiyya, 1993. Quthb, Sayyid. fî Zhila>l al-Qur’a>n. II. juz 3. Beirut: Dar al- Syuruq, 1992. Rachman, Ali M. A. Masyarakat Kecil dalam Era Global. Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, 2000. Rachmadi, Bambang N et.al. Franchising, the Most Practical and Excellent Way for Succeeding: Membedah Tawaran Franchise Lokal Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007. Rae, Jhon. Life of Adam Smith. New York: Cosimo, 2006. Rahardjo, Dawam. Kapitalisme Dulu dan Sekarang. Jakarta: PT. New Aqua Press, 1987. ______. Etika Ekonomi dan Manajemen. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990. ______.Ensiklopedi al-Quran:Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep- Konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, 1996. ______. Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi. Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1999. ______. Ekonomi Pancasila. Yogyakarta: Aditya Media, 2004. Rahardjo, M. Dawam dan Achmad Tirtosudiro. Pembangunan Ekonomi Nasional: Suatu Pendekatan Pemerataan, Keadilan, dan Ekonomi Kerakyatan. Jakarta: Intermasa, 1997. Rahman, Fazlur. Economic Doctrines of Islam. Lahore: Islamic Publications, 1980. ______. Islam and Modernity, Transformation of Intellectual Tradition. Chicago: The University of Chicago Press, 1982. ______. “Law and Ethics in Islam”. dalam Richard G. Hovanisian eds. Ethics in Islam. California: Undena Publications Malibu. 1985. Rajan, Raghuram G. dan Luigi Zingales. Saving Capitalism from the Capitalists: Unleashing the Power of Financial

Markets to Create Wealth and Spread Opportunity. Princeton, NJ: Princeton University Press, 2004. Ramad}a>n, Al-Bu>t}i>, Muhammad Sa‟i>d. D}awa>bit} al- Mas}lahah fi> al-Shari>’ah al-Isla>miyah,. Beirut: Da>r al-Muttahidah, 1992. Rangkuti, Fredy. Business Plan: Teknik Membuat Perencanaan Bisnis dan Analisis Kasus. Jakarta: Gramedia, 2001. Rasuanto, Bur. Keadillan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas: Dua Teori Filsafat Politik Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005. Ratnawati, Latifah. “Kebudayaan Palembang”. dalam Jati Diri yang Terlupakan: Naskah-Naskah Palembang, Achdiati Ikram. Palembang YANASSA, 2004. Raysuni, Ahmad. Naz}ariyah al-Maqa>sid ‘inda al-Ima>m al- Sha>tibi. Riyad}: Dar al-„Alamiyyah Kita>b al-Isla>mi, 1992. Reksoprayitno, Soediyono. Ekonomi Makro: Analisis Islam dan Permintaan-Penawaran Agregatif . Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi, 2000. Ridjaluddin, Nuansa-Nuansa Ekonomi Islam. Jakarta: Sejahtera, 2007. Ridwan, Muhammad. Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT). Jogjakarta: Penerbit UII Press, 2004. Rima, Inggrid H. Devolopment of Economics Analysis. London: Routledge, 2001. Rindjin, Ketut. Etika Bisnis dan Implementasinya. Jakarta: Gramedia, 2004. Rivai, Veithzal. Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. ______. Islamic Human Capital dari Teori ke Praktek. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009. Rivai, Veithzal dan Andi Buchari. Islamic Economics: Ekonomi Syari’ah bukan Opsi, tetapi Solusi. Jakarta: Bumi Aksara, 2009. Riyanti, Sari Ade. “Makna Simbolis Kain Songket sebagai Simbol Status.” Semarang: Fakultas Teknik, Teknologi Jasa dan Produksi Busana, Universitas Negeri Semarang, 2006.

Rizq, Yunan Labib. Urubbah fi>’asr al-Ra’suma>liyah. Kairo: Da>r al-Thaqa>fah al-Arabiyah, 2000. Robert J. Barro. Getting it Right: Market and Choices in a Free Society. USA: Massachusetts Institute of Technology, 1996. Rodgers, Susan. Gold Cloths of Sumatra: Indonesia's Songkets from Ceremony to Commodity. Leiden: KITLV Press; Worcester, Mass: Iris and B. Gerald Cantor Art Gallery, College of the Holy Cross, 2007. Rodoni, Ahmad dan Abdul Hamid. Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Zikrul Hakim, 2008. Rothbard, Murray N. Classical Economics. Hants.: Edward Elgar, 1995. Rudito, Bambang. Akses Peran serta Masyarakat. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003. Ruky, Ahmad S. Manajemen Penggajian dan Pengupahan Karyawan Perusahaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001. S{ada>r, Muhammad Baqir. Islam and Schools of Economic, penerjemah M. Hashem, Keunggulan Ekonomi Islam: Mengkaji Sistem Ekonomi Barat dengan Kerangka Pemikiran Sistem Ekonomi Islam. Jakarta: Pustaka Zahra, 2002. ______. Iqtis}aduna (Buku Induk Ekonomi Islam). penerjemah Yudi. Jakarta: Zahra, 2008. Sabirin, Syahril. Terobosan Pemulihan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Forum Kampus Kuning, 2002. Sadoko, Isomo et.al. Pengembangan Usaha Kecil: Pemihakan Setengah Hati. Bandung: Akatiga, 1995. Saeed, Abdullah. Menyoal Bank Syariah: Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis. diterjemahkan oleh Arif Maftuhin. Jakarta: Paramadina, 2006. Saefuddin, Ahmad Muflih. “Filafat, Nilai Dasar, Nilai Instrumental, dan Fungsionalisasi Konsep Ekonomi Islam.” dalam Solusi Islam atas Problematika Umat, Adi Sasono, et.al. Jakarta: Gema Insani Press, 1998.

Sait, Siraj dan Land Hilary Lim. Law and Islam: Property and Human Rights in the Muslim World. London: Zed Books, 2006. Salam, Burhanuddin. Filsafat Pancasilaisme. Jakarta: Penerbit Bina Aksara, tt. Salam, Izzuddin ibn Abd. Qawa>id al-Ahka>m fi> Masa>lih al- Ana>m. Kairo: al-Istiqa>mat, t.t. Saleh, Irsan Azhary. Industri Kecil: Pemihakan Setengah. Bandung: Akatiga, 2000. Salim, Arskal. Shari'a and Politics in Modern Indonesia. Singapore: Inst. of Southeast Asian Studies, 2003. Samuelson, Paul Anthony dan William D. Nordhaus. Economics. Boston, Mass.: McGraw-Hill/Irwin, 2001. Sardadi, Tina dan Amy Wira Budy. Seri Serasi dan Gaya Berkain. Jakarta: Gramedia, 2007. ______. Muslimah Berbusana Nusantra. Jakarta: Gramedia, 2009. Sarkaniputra, Murasa. Proutist Economics: Discourses on Economic Liberation. India: Ananda Marga Publications, 1991. ______. Ruqyah Syar’iyyah: Teori, Model dan Sistem Ekonomi. Jakarta: al-Ishalah, 2009. Sarkar, Prabhat Ranjan. Varńa Vijinána (The Science of Letters). Calcutta: Ananda Marga Publications, 2003. Sasono, Adi dan Achmad Rofi'ie. People's Economy. Jakarta: Southeast Asian Forum for Development Alternatives, 1988. Sasono, Adi. Solusi Islam atas Problematika Umat: Ekonomi, Pendidikan, dan Dakwah. Jakarta: Gema Insani Press, 1998. Satake, Masaaki. People's Economy: Philippine Community-Based Industries and Alternative Development. Manila, Philippines: Solidaridad Pub. House, 2003. Satyanarayana, Chary T. Venture Capital, Concepts and Applications. New Delhi: Macmillan India, 2005. Scapp, Ron dan Brian Seitz. Etiquette: Reflections on Contemporary Comportment. Albany: State University of New York Press, 2007. Schefold, Reimar et.al. Indonesian Houses. Singapore: Singapore University Press, 2004.

Schultz, Walter J. the Moral Conditions of Economic Efficiency. London: Cambridge University Press, 2001. Schumpeter, Joseph A. Capitalism, Socialism and Democracy. London: Routledge, 1994. Sekaren. Research Method for Business: a Skill Building Approach. New York: John Wiley and Sons, Inc., 1992. Selvayagam, Grace I. Songket Malaysia’s Woven Treasure. New York: Oxford University Press, 1991. Sen, Amartya. Development As Freedoem. New York: Oxford University, 1999. Sennett, Richard. the Culture of the New Capitalism. London: Yale University Press, 2006. Sevenhoven, J.L. Van. Lukisan Ibukota Palembang. Jakarta: Bhatara, 1998. Shaleh, Muhammad Adib. Mas}a>dir al-Tasyri’ al-Isla>mi. Damaskus: Al-Mat}ba‟ah al-Ta‟awuniyah, tt. Shiddiqie, Jimly. Konstitusi Ekonomi. Jakarta : Buku Kompas, 2010. Shihab, Quraish.Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1999. ______. Tafsir al-Misbah. vol. 5. Bandung: Mizan, 2000. Sholihin, Ahmad Ifham. Buku Pintar Ekonomi Syariah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010. Siddiqi, Muhammad Nejatullah. Some Aspects of the Islamic Economy. Delhi: Markazi Maktaba Islami, 1972. Sigar, Edi. Buku Pintar Budaya Bangsa Nusantara. Jakarta: Penerbit AMA, 2000. Singh, Nagendra K. Social Justice and Human Rights in Islam. New Delhi: Gyan Publ. House, 1998. Siraj, Muhammad Ahmad. al-Nid}am al-Mas}arafi fi> al-Isla>m. Lahore: Muhammad Asharaf, 1987. Siradj, Said Aqiel. Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, bukan Aspirasi. Bandung: Mizan, 2006. Siregar, T.M. Pembaharuan Ekonomi Tiongkok: dari Fokus Pedesaan ke Pasar Internasional (China’s Economic Reform From Rural Focus to International Market). Jakarta: Pustaka Pena, 2002.

Sjaifudian, Hetifah dan Erna Ermawati Chotim, Dimensi Strategis Pengembangan Usaha Kecil: Subkontrak pada Industri Garmen Batik. Bandung: AKATIGA, 1994. Smelser, Neil J. Social Change in the Industrial Revolution: an Application of Theory to the British Cotton Industry. London: Routledge, 2005. Smith, Roger. Being Human: Historical Knowledge and the Creation of Human Nature. New York: Columbia University Press, 2007. Snijders, H. dan S Weatherill. E-Commerce Law: National and Transnational Topics and Perspectives. The Hague: Aspen Publishers Inc, 2003. Sobari, Wawan et.al. Inovasi sebagai Referensi: Tiga Tahun Otonomi Daerah dan Otonomi Award. Surabaya, Indonesia: Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi, 2004. Soekarno. Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno. Yogyakarta: Media Pressindo, 2006. Soesastro, Hadi. Menuju Pembangunan Ekonomi Berkeadilan Sosial. Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Keuangan dan Perbankan Indonesia (STEKPI), 2003. ______.1966-1982: Paruh Pertama Ekonomi Orde Baru. Yogyakarta: Kanisius, 2005. ______. Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2005. Soetrisno, Benny. Perspektif dan Tantangan Industri Tekstil Nasional Pasca Kuota, Implikasi dan Urgensinya terhadap Perbankan. Jakarta: Asosiasi Pertekstilan Indonesia [API], 2004. Soetrisno, Loekman. Kemiskinan, Perempuan, dan Pemberdayaan. Yogyakarta: Kanisius, 1997. Soetrisno, Noer. Menuju Pembangunan Ekonomi Berkeadilan Sosial. Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Keuangan dan Perbankan Indonesia (STEKPI), 2003. Stearns, Peter N. the Industrial Revolution in World History. Oxford: Westview Press, 1998. Stiglitz, Joseph E. Globalization and its Discontents. New York: Norton, 2003.

Sukanti. Tenun Tradisional Sumatera Selatan. Palembang: Departemen Pendidikan Nasional, 2000. Sukardja, Ahmad. Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: UI Press; 1995. Sukarno, B. Tinjauan Filosofis tentang Pancasila sebagai Filsafat. Surakarta: Sebelas Maret University Press, 2005. Sukarno, Fakhruddin. “Etika Produksi dalam Perspektif Ekonomi Islam”. Disertasi Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010. Sukarno, Suyoso. Pembinaan Tenaga Manusia. Jakarta: Logos, 2002. Sulastomo. The Indonesian Dream: Kapita Selekta. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008. Sulistia, Teguh. Aspek Hukum Usaha Kecil dalam Ekonomi Kerakyatan. Padang, Indonesia: Andalas University Press, 2006. Sulistiyo dan Agnes Mawarni. Kapas: Kajian Sosial-Ekonomi. Yogyakarta: Adity Media, 1991. Suma, Muhammad Amin. Ijtihad dalam Fiqih Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002. ______. Membangun Ekonomi Negeri Berbasis Kitab Suci dan Konstitusi. Tangerang: Kholam Publishing, tt. ______. Menggali Akar Mengurai Serat Ekonomi dan Keuangan Islam. Ciputat: Kholam Publishing, 2008. Sumardjono, Maria S. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Jakarta: Kompas, 2008. Sumaryono, E. Etika dan Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas. Yogyakarta: Kanisius, 2002. Sumawinata, Sarbini. Politik Ekonomi Kerakyatan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004. Sumiyanto, Ahmad. Problem dan Solusi Transaksi Muharabah. Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2005.

Sumodiningrat, Gunawan; Riant Nugraha, Membangun Indonesia Emas: Model Pembangunan Indonesia Baru Menuju Negara-Bangsa yang Unggul dalam Persaingan Global. Jakarta: Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia, 2005. Sunoto. Mengenal Filsafat Pancasila: Pendekatan Melalui Sejarah dan Pelaksanaannya. Yogyakarta: Hanindita, 2001. Surjono, Gunanto dan Henry Azwar. Peningkatan Partisipasi Ibu- Ibu Rumah Tangga dalam Pemecahan Masalah Kemiskinan Keluarga Melalui Program Usaha Ekonomi Kampung (PUEK). Yogyakarta: Departemen Sosial RI, Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial, 2003. Soesastro, Hadi, Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir: 1959-1966. Jakarta: Kanisius, 2005. Susetyo, Benny. Teologi Ekonomi: Partisipasi Kaum Awam dalam Pembangunan Menuju Kemandirian Ekonomi. Malang: Averroes Press, 2006. Sutarmadi. Islam dan Masalah Kemasyarakatan. Jakarta: Kalimah, 2000. Suyanto, M. Muhammad Business Strategy and Ethics. Yogyakarta: Andi Offset, 2004. Swasono, Sri-Edi. Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986. ______. Pembangunan Berwawasan Sejarah: Kedaulatan Rakyat, Demokrasi Ekonomi dan Demokrasi Politik. Jakarta: UI- Press, 1990. ______. Bung Hatta Bapak Kedaulatan Rakyat. Jakarta: Yayasan Hatta, 2002. ______. Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan. Jakarta: UNJ Press, 2005. ______. tentang Demokrasi Ekonomi dan Pasal 33 UUD 1945. Jakarta: Bappenas, 2008. ______. the End of Laissez-Faire. Jakarta: Bappenas, 2009.

______. Ekspose Ekonomika: Mewaspadai Globalisasi dan Pasar Bebas. Jogjakarta: Pusat Studi Ekonomi Pancasila-UGM, 2010. ______. Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial dari Klasikal dan Neoklasikal sampai ke the end of Laissez-Faire. Jakarta: Perkumpulan Prakarsa, 2010. ______. Kembali ke Pasal 33 UUD 1945 Menolak Neoliberalisme. Jakarta: Yayasan Hatta, 2010. ______.Pembangunan Berwawasan Pancasila. Jakarta: Bappenas, 2011. ______. Kelengahan Kultural dalam Pemikiran Ekonomi: Pancasila Pasal 33 UUD 1945 Koperasi Entrepreneurship-Kooperatif. Jakarta: Bappenas, 2011. ______. Strategi Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal. Jakarta: Fakultas Ekonomi UI, 2011. Swedberg, Richard. Max Weber and the Idea of Economic Sociology. Princeton: Princeton University Press, 2000. Sya‟rawi, Mukhtar. Islam di antara Kapitalisme dan Komunisme. Jakarta: Gema Insani Press, 1991. Syarofie, Yudhi. Songket Palembang: Nilai Filosofis, Jejak Sejarah, dan Tradisi. Palembang: Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, Kegiatan Pengelolaan Kelestarian dan Pembinaan Nilai Budaya Sumatera Selatan, 2007. ______. Legenda Tepian Musi. Palembang: Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, Kegiatan Pengelolaan Kelestarian dan Pembinaan Nilai Budaya, Sumatera Selatan, 2008. Syathibi, Abu Ishaq. al-Muwa>faqāt fi> Us}ūl al-Shari>’ah. jilid II. Beirut: Da>r al-Ma‟rifah, 1973. Shinqit}i, Muhammad Musht}afa. Dira>sah Shar’iyyah li Ahammi al-’Uqu>d al-Ma>liyah al-Mustahdatsah. Madinah: Maktabah al-‟Ulu>m wa al-Hika>m, 2001. Szenberg, Michael. Paul A. Samuelson: on Being an Economist. New York: Jorge Pinto Books, 2005. Szentes, Tamás. the Transformation of the World Economy: New Directions and New Interests. Tokyo: United Nations University, 1988. ibn-Taimiyah. al-Hisbah wa Mas’u>liyah al-Huku>mah al- Isla<>miyah. Kairo: Dar Al-Shab, 1976.

Tambunan, Tulus. Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia: Beberapa Isu Penting. Jakarta: Salemba Empat, 2002. Thanasankit, Theerasak. E-commerce and Cultural Values. Hershey, Pa.: Idea Group Publishing, 2002. Thee, Kian Wie. Industrialisasi di Indonesia: Beberapa Kajian. Jakarta: LP3ES, 1994. Thoha, Mahmud. Dinamika Usaha Kecil dan Rumah Tangga. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekonomi dan Pembangunan, 2001. ______.Globalisasi, Krisis Ekonomi, dan Kebangkitan Ekonomi Kerakyatan. Jakarta, Indonesia: Pustaka Quantum, 2002. Thompson, James D. Organizations in Action: Social Science Bases of Administrative Theory. New Brunswick, N.J.: Transaction Publishers, 2003. Thompson, Noel W. the People's Science: the Popular Political Economy of Exploitation and Crisis 1816-34. Cambridge: Cambridge University Press, 2002. Thomsett, Michael C. Getting Started in Options. New York: John Wiley and Sons Ltd, 2003. Tim Badan Pengembangan Ekspor Nasional. Indonesia Export Product and Producer for International Market. Jakarta: Fery Agung Corindotama, 2007. Tim Peneliti Deperindag. Keberhasilan Pemberdayaan Usaha Kecil dan Koperasi oleh BUMN di Lingkungan Departemen Perdagangan dan Perindustrian. Jakarta: Departemen Perdagangan dan Perindustrian, 2003. Tim peneliti Direktorat Kerjasama dan Perdagangan Internasional. Peningkatan Nilai Tambah Komoditas Indonesia dengan Pengembangan Indikasi Geografis non Pertanian. Jakarta: Direktorat Kerjasama dan Perdagangan Internasional, 2008. Tim Penulis Depdikbud Dinas Permuseuman Pembinaan Sumatera Selatan. Tenun Tradisional Sumatera Selatan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2000.

Tim Pustaka Binaman Pressindo. Informasi Kredit Usaha Kecil. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1997. Tinaprilla, Netti. Jadi Kaya dengan Berbisnis di Rumah. Jakarta: Gramedia, 2007. Tisdell, Clem dan Keith Hartley. Microeconomic Policy: a New Perspective. Cheltenham: Edward Elgar, 2008. Tjiptoherijanto, Prijono dan Laila Nagib. Pengembangan Sumber Daya Manusia: di antara Peluang dan Tantangan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008. Tohar, M. Membuka Usaha Kecil. Jogjakarta: Kanisius, 2002. Triyuwono, Iwan. dan Ahmad Erani Yustika. Emansipasi Nilai Lokal: Ekonomi dan Bisnis Pascasentralisasi Pembangunan. Malang: Bayumedia Pub., 2003. Triyuwono, Iwan. Organisasi dan Akuntansi Syari'ah. Yogjakarta, LKiS, 2000. Truna, Dody S dan Ismatu Ropi. Pranata Islam di Indonesia: Pergulatan Sosial, Politik, Hukum, dan Pendidikan. Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2002. Ummah, Khairul. 5 Kecerdasan Utama Meraih Bahagia dan Sukses. Bandung: Penerbit Ahaa Pustaka, 2003. Utomo, Bambang Budi. Perkembangan Industri Kerajinan Rumah Tangga dan Intervensi Pembinaan dan Yayasan Pekerti Dai Kabupaten Tasikmalaya. Jawa Barat: Proyek Penelitian Sektor non Pertanian Pedesaan Jawa Barat no. A-4, PSP-IPB, 1990. Utomo, Kamto. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat dalam Kancah Globalisasi. Bogor: Yayasan Agro-Ekonomika, Sains, 2005. Vaitheeswaran, Vijay V. Power to the People: How the Coming Energy Revolution Will Transform an Industry, Change Our Lives, and Maybe Even Save the Planet. New York: Farrar, Straus and Giroux, 2003. W. S., Adde Maruf dan Haedar Nashir. Masa Depan Kemanusiaan. Jogjakarta: Jendela, 2003. Wahyupuspitowati.Teknik Dasar Sulam Pita, Payet dan Benang. Jakarta: Kawan Pustaka, 2008. Warming, Wanda dan Michael Gaworski. The World of Indonesian Textiles. New York: Kodanska Internat, 1981.

Werthner, Hannes dan Martin Bichler. Lectures in e-Commerce. New York: Springer, 2001. Wessels, Walter J. Economics Hauppauge. N.Y.: Barron's, 2006. Wibisono, Christianto. Anatonomi Efesiensi BUMN. Jakarta: Pusat Data Bisnis Indonesia, 1996. Wibowo. Belajar dari Cina: Bagaimana Cina Merebut Peluang Pasar Global. Jakarta: Kompas, 2004. Widiowati, Didiet. Kesejahteraan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman. Jakarta: PenerbitPusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI, 2005. Widjaja, I. Wangsa dan Meutia Farida Swasono. Mohammad Hatta, Membangun Ekonomi Indonesia. Jakarta: Inti Idayu Press, 1985. Widodo, Hg Suseno Triyanto et.al. Reposisi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam Perekonomian Nasional. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2005. Winardi. Kamus Ekonomi. Bandung: Alumni, 2000. Wolf, Milton T. dan Marjorie E. Bloss. Creating New Strategies for Cooperative Collection Development. USA: The Haworth Information Press, 2000. Wrihatnolo, Randy R. dan Rianti Nugroho Dwidjowiyoto. Manajemen Pemberdayaan. Jakarta: Gramedia, 2007. Yafa, Stephen H. Cotton: the Biography of a Revolutionary Fiber. New York: Penguin Books, 2005. Yasni, Z. Bung Hatta Menjawab. Jakarta, Gunung Agung, 1978. Yosephus, L. Sinuor. Etika Bisnis: Pendekatan Filsafat Moral terhadap Perilaku Pebisnis Kontemporer. Jakarta: Pustaka Obor, 2010. Younkins, Edward Wayne. Capitalism and Commerce: Conceptual Foundations of Free Enterprise. Lanham: Md. Lexington Books, 2002. Yu>nus, Muhammad. Maba>di’ ‘ilmi al-Iqtisa>d. al- Iskanda>riyah: al-Da>r al-Ja>mi‟iyyah, 1993.

Yusanto, Muhammad Ismail dan Muhammad Karebet Widjayakusuma. Menggagas Ekonomi Islami. Jakarta: Gema Insani Press, 2002. Yusuf, Ya‟qub ibn Ibrahim Abu. Kitab al-Kharaj. edisi ke 3. Kairo: al-Matba‟ah al-Salafiyyah, 1352 H. ibn-Zakaria, Abu Husain ibn Faris. Mu’ja>m Muqayis al-Lugha>t. jilid III. Mesir: Must}afa al-Ba>bi al-Halabi, 1972. Zarqa, Musthafa Ahmad. al-Uqu>d al-Musamma. Damascus: al- Mat}baah Fata al-Ara>b, tt. Zen, M. T. et.al. Dialog Teknologi dan Industri: Pemacuan Teknologi Menuju Terbentuknya Industri Nasional yang Kuat dan Berdaya Saing Tinggi. Jakarta: Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 1995. Zimmerman, Joseph Francis. Interstate Economic Relations. Albany: State University of New York Press, 2004. Zucchetto, J. Board on Energy and Environmental Systems, Trends in Oil Supply and Demand, the Potential for Peaking of Conventional Oil Production, and Possible Mitigation Options: a Summary Report of the Workshop. Washington, DC: National Academies Press, 2006. Zulkarnain. Membangun Ekonomi Rakyat: Persepsi tentang Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Yogjakarta: Adicita, 2003. Zumar, Dhorifi. Tenun Tradisional Indonesia. Jakarta: Dewan Kerajinan Nasional bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Industri Kecil dan Menengah, Departemen Perindustrian, 2009.

JURNAL Adams, Dale dan Robert C. Vogel. ”Rural Financial Markets in Low-Income Countries and Lesson.” World Development. vol. 14, no. 4, 1986, 477-487. Ahsan, Fahrul. “on the Nature and Signifance of BankingWithout Interest”. Bangladesh Bank Bulitten. vol. 56, February 2007, 9-11. Akhtar, Shamshad. "Islamic Finance: Emerging Challenges of Supervision". Paper presented in the 4th Islamic Services Board Summit held at Dubai, United Arab Emirates on May 15. (2007), 4.

Araby, Muhammad Abdullah. “Private Property and It‟s Limit‟s In Islam”. Akademi al-Azhar untuk Riset Islam, Konfrensi pertama, 1964. Arbor, Ann. the New York Times Biographical Service. jilid 18, University Microfilms International, 880. Arif, Muhammad. “Toward the Syari‟ah Paradigm of Islamic Economics: the Beginning of a Scientific Revolution.” dalam the American Journal of Islamic Social Science 2 (1), 1985, 79-8. Asrin, Ikhwan. “Pameran Perluas Pasar Ekspor Produk KUKM”. Jurnal KUKM, (Mei 2009), 16. Basjir, Wahyu W. “Informalisasi dan Tantangan Perburuhan”. Jurnal Analisis Sosial. vol. no.3, Desember 2003, 41-42. Beker, Jeanne. “Sari to Sarong: Five Hundred Years of Indian and Indonesia Textile Exchange”. American Craft, Augst/Sep, vol. 64, Iss. 4 (New York: 2004), 30. Blakeney, M. “Geographical Indications and TRIPS”. Occasional Paper, no. 8. Geneva: Quaker United Nations Office, 2001. Brutton, Henry J. “A Reconsideration of Import Substitution”. Journal of Economic Literature, vp. xxxvi, 903. Escudero, S. “International Protection of Geographical Indications and Developing Countries”. TRADE Working Papers, no. 10 (Geneva: South Centre, 2005). Fay, M. dan T. Yepes. “Investing in Infrastructure: What is Needed from 2000 to 2010?” World Bank Policy Research Working Paper 3102, Washington DC. G. Calabresi and A.D. Melamed. “Property Rules, Liabbility Rules and Inalienability: One View of the Cathedral”. Harvad Law Review 85 (1972): 1089-1128. Gray, S. A. dan Thomson, A. the Development of Economic Doctrine Longman. New York: t.p., 1980. http://ahmadrajafi.wordpress.com/2011/01/31 Hasan, Ahmad. http://p3ei.blogdetik.com/2008/07/10/buruh-dalam- islam/ - _ftnref8Naz}ariya>t al-Uju>r fi> al-Fiqh al- Isla>miy. Suria, Da>r Iqra>‟, 2002. Hadisuwito, S. ”Memanfaatkan Momentum Kenaikan Upah”. Prisma, no. 7 (Jakarta, 2001), 79-96. Hussin, Haziyah. “Peranan Songket dalam Perkawinan Melayu: Golongan Istana dan Rakyat Biasa”. dalam Jurnal Arkeologi Malaysia, Bilangan 17-2004, KDN PP 6026/10/03, 34.

Job, Charles A. “Waterlaw in Muslim Countries as to Ground Water”. dalam Groundwater Economics. USA: Taylor and Francis Group, LLc, 2010. Kramet, Jonathan dan Thomas Hyclak. “Why Strikes Occur: Evidence from the Capital Markets”. Industrial Relaions, vol. 41, Issue 1, 2002, 80-93. Lidyah, Rika. “Akuntansi Syari‟ah Sebagai Bentuk Transparansi dan Akuntabilitas”. Jurnal Ekonomi Islam (IAIN Raden Fatah Palembang, vol. 1, 2010, 14-23. Ma‟arif, Syamsul. ”Tantangan Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia”. Jurnal Hukum Bisnis, Yayasan Penggembangan Hukum Bisnis, Jakarta Volume 19, Mei- Juni 2002, 34-35. Manna>n, Muhammad Abdul. “the Behaviour of the Firm and Its Objective in an Islamic Framework”. Readings in Microeconomics: an Islamic Perspektif. Malaysia: Longman,1992. Metwally, M.M. “A Behavioural Model of An Islamic Firm”. Readings in Microeconomics: an Islamic Perspektif . Malaysia: Longman,1992, 135. Petersen, Henry L dan Harrie Vredenburg. “Morals or Economics Institutional Investor Preferences for Corporate Social Responsibility”. Journal of Business Ethics, vol. 90, Iss., Nov 2009. Raharjana, Destha T. ”Siasat Usaha Kaum Santri: Ekonomi Moral dan Rasional dalam Usaha Konfeksi di Mlangi Yogyakarta”. dalam Ahimsa-Putra. Yogyakarta: Kepel, 2003. Roskamp, Karl W. “Pareto Optimal Redistribution, Utility Interdependence and Social Optimum”. Journal Review of World Economics, vol. 109, no. 2/Juni, 1973, 337. S., Hadisuwito.”Memanfaatkan Momentum Kenaikan Upah”. Prisma. Jakarta, 2001, 79-96. Sardar, Ziauddin. “Teknologi dan Kemandirian Domestik: Sebuah Alternatif Islam”. Dalam Ulumul Qur’an, voll II.1991/1411H. no.8, 17. Sarmini. ”Politik Usaha Pengusaha Islam: Kiat Manipulatif dalam Industri Penyamakan Kulit di Magetan Jawa Timur”. dalam Ahimsa-Putra. Yogyakarta: Kepel, 2003, 251-385. Situmorang, Johnny W. “Analisis Tipologi dan Posisi Koperasi Penerima Program Perkasa Studi Kasus di Sumatera

Selatan”. Jurnal Pengkajian Koperasi dan UKM, vol. 5, Agustus 2010, 1-29. Smith, Jeremy N. “the Adam Smith of Supply Chain Management”. World Trade. Troy, Sep 2006, vol. 19, Iss. 9, 62. Solow, Robert M. ”Growth Theory and After”. The American Economic Review, vol. 78, Iss., 3 Jun 1988, Nashville, 307. Stein, Steven J. dan Howard E. Ledakan EQ: 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emotional Meraih Sukses. Bandung: Penerbit Kaifa, 2002. Supratikno, Hendawan. “Pengembangan Industri Kecil di Indonesia: Pelajaran Analisis Dampak dari Jawa Tengah.” Prisma, no. 23, September, Jakarta, 25-34. Suseno, Priyonggo. “Analisis Efisiensi dan Skala Ekonomi pada Industri Perbankan Syariah di Indonesia”. Journal of Islamic and Economics, vol. 2, no. 1, Juni 2008. Sutarmadi. Islam dan Masalah Kemasyarakatan. Jakarta: Kalimah, 2000. Suyanto, Muhammad. Etika dan Strategi Bisnis Nabi Muhammad. Jogyakarta: Andi Offset, 2008. Swasono, Sri Edi. “Ekonomi Islam dalam Pancasila”. Paper the Indonesian of Islamic Economist DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) Bekerjasama dengan Program Pascasarjana IAIN Raden Fatah Palembang, International on Islamic Economics on Global Cricis”, Agustus 2009. ______. “Indonesia Tidak untuk Dijual”, Media Kompas, Kamis, 4 November 2010. ______”Pancasila dan Nasionalisme Kampus”, Opini, dalam Kompas, Jum'at 3 Juni 2011. ______. “Robinson Cruzoe‟s Struggle For Freedom and Take- Off”. Naskah Ajar Mata Kuliah Perkembangan Pemikiran dan Perbandingan Sistem Ekonomi. Program Dokotoral Ilmu Ekonomi Islam Universitas` Airlangga. 24 Oktober 2009. dikutip dari http://www.scribd.com/doc/53952840/PROF-EDI-A-Blog ______. “Poverty, Impoverishment, Empowerment, Disempowerment Pendekatan Paradigmatik: Mengatasi

Kemiskinan (Beyond the Economics of Poverty)”, Naskah Ajar Current Issue UIN, 2011. ______. “Kelengahan Kultural dalam Pemikiran Ekonomi: Neoliberalisme adalah Penjajahan Baru”, Naskah Ajar, S3 UIN, Current Issues, No. 40, 2011. ______.“Keabadian Koperasi dan Kooperativisme”, dalam Media Suara Pembaharuan, Senin 11 Juli 2011. Syam, Nur. “Buruh Perempuan, Pekerja Rumahan, Sosok Manusia Teralienasi”. dalam Jurnal Paramedia, vol.1. no. 2., bulan Juni 2000, 9. Tambunan, T. ”the Role of Small Industry in Indonesia: a General Reviw”. Ekonomi Keuangan Indonesia, 37(1), Jakarta, 1990, 88-114. Uchino, Megumi. “Socio-Cultural History of Palembang”. Songket, Indonesia and the Malay World”, http://www.informaworld.com/smpp/2134469411- 59916903/- v3333, Issue 96 July 2006, 205-223. Ulum, Saiful et.al, “Konsep One Village One Product (OVOP ) Melalui Peran Triple Helix Sebuah Strategi Penguatan Produk Lokal Menyambut Free Trade Agreement (Fta) Asean-China 2010”. dalam Penjurnalan Karya Ilmiah (Reseach Study Club (RSC ) FIA UB 2009, edisi ke-2, 34. Waynes, Deborah. ”Management of The United Nations Laissez- passer”. Articel 11.2 of Justatute. Geneva: United Nations, 2005, 3. Wijaya, Hesti R. “Sektor Informal: Katup Pengaman dan Sang Penyelamat yang Terabaikan”. dalam jurnal FPBN, edisi ke-8, Maret- September 2008. Yusrianti, Hasni et.al.”Aplkasi E-Commerce dalam Pengembangan Usaha Sentra Industri Songket 30 dan 32 Ilir Palembang”. Kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat Program Penerapan IPTEKS dan VUCER. Palembang: Universitas Sriwijaya, 2009, 18-19. LAMPIRAN-LAMPIRAN

GAMBAR 1 PERBEDAAN EFISIENSI BERKEADILAN KAPITALIS, EKONOMI KERAKYATAN DAN ISLAM

Ekonomi Kapitalis Ekonomi Kerakyatan Ekonomi Islam

Produksi dan Distribusi

Nash Bebas Nilai Nilai Nilai Peraturan dan Fiqh Perundang-undangan Akhlak Orientasi Pasar Kebersamaan, Bebas kemandirian, Keseimbangan pasar, negara, dan individu berada dalam

keseimbangan(iqtisha>d) Tampa intervensi Pemerintah intervensi Pemerintah

Pemenuhan al- Keuntungan Terpenuhinya lima Maksimal kebutuhan dasar dharu>riya>t al- khams

310 311

GAMBAR 2 EFISIENSI BERKEADILAN DALAM NILAI-NILAI EKONOMI ISLAM

Parameter Ekonomi Islam AMANDEMEN PASAL 33 UUD 1945

1. Konsep Khalifatulla>h …Efisiensi berkeadilan… (Istilah SES) fi> al-Ard}i 2. Ukhuwah 3. Himmatu al-Amal Menguatkan 4. Kafaah 5. Amanah Demokrasi Ekonomi Dipengaruhi 6. Mudharabah Ekonomi Kerakyatan oleh Nilai- 7. Musyarakah Ekonomi Pancasila Nilai Islam 8. Murabahah 9. Etika Moral Islami Hasil Perjuangan tokoh-tokoh ekonom Muslim Indonesia

GAMBAR 3 KONSEP DAN REGULASI KEMITRAAN EFISIENSI BERKEADILAN

1. Nash 2. UUD 1945 1. Pemerintah 1. Perbankan 3. Pancasila Penjabaran 2. BUMN 2. Koperasi 4. Peraturan 3. Dunia Usaha 5. Hukum

Produksi

proses EFISIENSI Kesejahteraan Faktor produksi BERKEADILAN Bersama Usaha songket Distribusi Nilai-nilai

1. Tenaga Kerja 1. Kesejahteraan dan kemakmuran bersama 2. Kapital 2. Solidaritas dan kegotongroyongan Payung Hukum 3. Tanah 3. Kemitraan dalam profit and sharing System 4. Kebersamaan dan Kekeluargaan 5. Jaminan Sosial 6. Keselarasan

GAMBAR 4

312

MASALAH USAHA SONGKET PALEMBANG

AKAR PENYEBAB POHON MASALAH

Minim Modal Produk Berdasarkan Pesanan

Tidak ada kesiapan bersaing

Berbasis Konsumtif Hasil usaha digunaka untuk kehidupan sehari-hari tanpa ada catatan

Manajemen Keluarga

Dihitung dan dicatat secara sederhana

Koordinasi Internal Pemasaran berorientasi kepercayaan sehingga banyak menggunakan akte di bawah tangan Mengikuti desain yang berlaku turun temurun Menguatkan ketrampilan pada lingkup

keluarga

Menurunkan Ketrampilan Asosiasi pengrajin songket tidak berjalan berdasarkan struktur keluarga

Berdiri Sendiri Sesuai Koperasi yang tidak berjalan Dengan Kelompok Usaha Pendidikan pelatihan dan ketrampilan yang rendah dan tidak terkoordinir Bergantung Pemberi Modal Usaha

Rendahnya kemitraan dengan perbankan dan BUMN

Rendahnya kepercayaan

GAMBAR 5

313

POLA PRODUKSI USAHA SONGKET: REALITAS DAN IDEALITAS

REALITA

Memenuhi Nilai PERAJIN Anugrah Dari Tuhan Keahlian Turun Songket Keuntungan Temurun Menenun ( A ) (Primer) Minimum Songket

1. Pengembangan desain Memenuhi Nilai 2. Pengembangan dalam PENGRAJIN Sekunder Anugrah bentuk aksesories dan Keuntungan Maksimal ( B ) Dari Tuhan souvenir 3. Pakaian songket 4. Perluasan jaring usaha

1. Dana Bantuan Pemerintah 2. Hibah

IDEAL

Bangun Teori Triple CO (SES ) 1. Co-Ownership 2. Co-Determination A + B 3. Co-Responsibilty

EFISIENSI KESEJAHTERAAN BERSAMA Parameter Ekonomi Islam: BERKEADILAN Pemerintah 1. Konsep Khalifatulla>h fi> al-Ard}i 2. Mudharabah 3. Musyarakah 4. Murabahah 5. Etika Moral

GAMBAR 6 EFISIENSI BERKEADILAN DALAM

314

PENGUATAN SUMBER DAYA PERAJIN SONGKET

Bekerja berdasarkan ketrampilan warisan Sumber daya perajin

Berusaha melakukan terobosan desain Menunggu Bantuan Pemerintah REALITAS

Tanggung jawab pelestarian dari perajin YANG SEHARUSNYA

Pro aktif Tanggung jawab Orientasi Kelompok pemerintah pelestarian bersama (arra>i)

1. Pelatihan 1. Peningkatan kualitas individu 2. Pendidikan 2. Peningkatan kualitas usaha 3. Kerjasama 3. Peningkatan usaha bersama

Pemenuhan hak dasar

GAMBAR 7 PENGEMBANGAN USAHA BERBASIS EFISIENSI BERKEADILAN

315

Berorientasi pada  Kreatif dan Inovatif Kewirausahaan  Menjaga perasaan  Pekerja Keras  Bertanggungjawab

Seluruh proses dari pembuatan, Stratejik Pemasaran penawaran, dan harga distribusi PENGRAJIN/ terbangun dalam nilai-nilai PERAJIN SONGKET syari’ah

Kejelasan informasi 1. Laporan keuangan beserta keuangan usaha bukti pembukuan 2. Sumber dan penggunaan dana Kesadaran

1. Penggunaan sarana dan prasarana yang lebih baik Efisiensi Produksi 2. Kemudahan akses kerja, sarana dan prasarana 3. Peningkatan dan pengembangan kemampuan ktrampilan SDM 1. Membangun Koperasi 4. Ketersediaan bahan baku yang 2. Perluasan jaringan berkualitas kemitraan

Penambahan modal usaha dan Pendampingan pemasaran melalui bank-bank syari’ah

INDEKS

INDEKS ISTILAH Alat produksi 112, 444 Alat tenun 2, 5, 8, 38, 115, 334, 337, 340, 370, 447 Apit 208 318 Asas kekeluargaan 284, 286, 293, 315, 326 Asosiasi perajin songket 277 ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) 188, 219 Bahan baku 2, 5, 7, 9, 11, 29, 32, 68, 74, 75, 81, 91, 106, 112, 116, 199, 208, 215, 217, 219, 220, 221, 230, 231, 233, 243, 245, 264, 271, 272, 277, 301, 306, 331, 334, 337, 339, 341, 400, 406, 407, 413, 423, 438, 444, 448 Bapak Angkat Industri Kecil (BAIK) 226 Bekerja 203, 206, 210, 218, 238, 245, 247, 249, 251, 257, 261 Beliro 209 Berkeadilan 1, 5, 6, 7, 9, 10, 12, 16, 17, 21, 22, 29, 31, 34, 35, 41, 49, 50, 51, 52, 56, 333 Berkeadilan sosial 232, 249, 315 Better-off 33, 14 Cacak 318 Cakcak 208 Calabresi 21 Capital social 261 Cash flow 317 Co-ownership 16, 348 Co-responsibility 16, 348

Dayan 318 Demand 48 Demokrasi ekonomi 5, 7, 9 Distribusi 4, 7, 9, 11, 13, 14, 21, 23, 25, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 35, 36, 41, 43, 47, 48, 51, 54, 69, 71, 72, 73, 78, 82, 86, 93, 95, 96, 106, 110, 120, 126, 263, 264, 265, 266, 267, 268, 274, 276, 277, 286, 297, 298, 303, 307, 312, 319, 323, 336, 341, 346, 357, 364, 368, 380, 401, 403, 404, 405, 410, 414, 418, 425, 427, 428, 438, 442, 452, 458, 464 Distribusi sosial 42 Distribusi usaha 7, 11 Distributor 6, 22, 38, 71, 96, 117, 266, 338, 354, 370, 403, 428, 449 Divition of labor 211 Dunia bisnis 328 Efektifitas 27 Efisien 229, 258 Efisiensi 1, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 14, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 27, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 48, 49, 50, 51, 52, 56, 58, 60, 62, 68, 70, 71, 72, 73, 74, 92, 95, 96, 99, 100, 110, 112, 113, 117, 118, 120, 121, 122, 124, 125, 126, 127, 186, 206, 218, 223, 231, 234, 239, 242, 251, 252, 258, 263, 268, 284, 303, 305, 307, 308, 312, 315, 319, 323, 324, 329, 331, 333, 336, 349, 350, 351, 352, 356, 364, 380, 390, 392, 394, 400, 402, 403, 404, 405, 406, 424, 427, 428, 431, 432, 442, 444, 445, 449, 450, 452, 453, 454, 456, 457, 458, 459

Efisiensi berkeadilan 1, 5, 7, 9, 10, 11, 12, 14, 16, 17, 20, 21, 24, 29, 31, 33, 41, 42, 44, 46, 47, 50, 52, 60, 62, 71, 73, 95, 96, 100, 110, 112, 113, 117, 118, 120, 122, 124, 125, 126, 127, 186, 218, 223, 234, 239, 242, 251, 252, 257, 258, 263, 284, 303, 307, 312, 323, 324, 329, 331, 333, 349, 352, 356, 392, 394, 403, 405, 427, 428, 432, 442, 444, 445, 449, 450, 452, 454, 456, 457, 458, 459, 461, 462, 465, 466, 467, 468 Efisiensi humanis spritualis, 467 Efisiensi sosial 13, 14, 16, 46 Egalitarianism 235 Ekonomi 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 19, 20, 21, 22, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 54, 57, 59, 60, 62, 63, 65, 67, 68, 69, 70, 71, 74, 75, 81, 82, 85, 89, 92, 109, 110, 111, 116, 117, 119, 120, 121, 123, 124, 127, 128, 188, 205, 218, 225, 228, 229, 234, 235, 238, 239, 242, 243, 244, 245, 248, 249, 250, 252, 253, 254, 255, 256, 257, 260, 261, 262, 263, 267, 268, 273, 276, 281, 285, 287, 288, 293, 294, 296, 297, 298, 300, 302, 303, 305, 307, 308, 311, 312, 313, 314, 315, 316, 323, 325, 327, 329, 330, 333, 340, 341, 342, 347, 348, 349, 351, 352, 358, 359, 364, 368, 371, 372, 380, 381, 382, 383, 384, 386, 389, 391, 392, 394, 395, 397, 399, 400, 401, 402, 403, 406, 407, 413, 414, 417, 421, 424, 441, 442, 443, 448, 449, 451, 452, 453, 455, 456, 459, 460, 461, 462, 463, 464, 465, 466, 467, 468 Ekonomi Islam 1, 5, 8, 9, 10, 12, 13, 17, 19, 21, 31, 32, 39, 40, 41, 48, 49, 50, 52, 60, 62, 63, 65, 69, 70, 110, 120, 128, 229, 234, 247, 248, 249, 254, 256, 257,

262, 297, 323, 333, 340, 341, 349, 353, 364, 372, 380, 392, 394, 395, 397, 401, 402, 442, 452, 460 Ekonomi kapitalis 8, 10 Ekonomi kerakyatan 5, 7, 10, 13, 15, 17, 24, 25, 28, 31, 36, 48, 50, 52, 72, 81, 111, 116, 124, 127, 333, 340, 341, 349, 353, 364, 372, 380, 392, 394, 395, 397, 401, 402, 442, 452, 460 Ekonomi konvensional 8, 18 Ekonomi nasional 5, 6, 10, 15, 16, 17, 25, 38, 44, 51, 383 Ekonomi Pancasila 13, 15, 16, 17, 22, 44, 287, 294, 314, 470 Ekonomi sosial 5, 13 Ekonomi sosialis 24 Equality 296, 328 Equity 296 Etika 9, 26, 27, 31, 41, 42, 43, 47, 68, 73, 74, 95, 117, 124, 126, 263, 265, 291, 292, 294, 296, 297, 298, 299, 300, 303, 304, 305, 309, 310, 314, 319, 321, 323, 325, 328, 341, 358, 359, 363, 373, 374, 375, 379, 400, 405, 406, 427, 449, 456, 458 Etika bisnis 39, 263, 303, 304, 309, 310, 325 Etika ekonomi 297 Etika konsumsi 41, 373 Etika transaksi 289 Etos kerja 19 Fiqh muamalah 7, 36, 100, 368, 432, 468 Free act 255 Free will 255 Gerakan efisiensi 110, 442 Gotong royong 15, 42, 46, 116, 316, 325, 347, 374, 448, 464, 466 Home industry 203 Home workers 231, 245

Homo economicus 257 Homo homini lupus 46 Human capital 16 Humanis spritualis 46 Ideologi kerakyatan 43 Industri kecil 38 Jaminan sosial 91, 117, 118, 423, 449, 450 Jaminan usaha 263 Jaringan kebersamaan 186, 237 Jaringan kemitraan 319 Jaringan pemasaran 28 Jaringan usaha 97, 98, 99, 233, 243, 429, 430, 431 Jual beli 288, 289, 290, 313 Kain songket 3, 4, 5, 9, 11, 17, 22, 24, 95, 96, 112, 116, 194, 196, 197, 198, 199, 200, 201, 202, 203, 206, 209, 211, 216, 218, 223, 224, 233, 234, 243, 252, 335, 336, 337, 349, 354, 356, 427, 428, 444, 448 Kain tenun songket 204 Kampung Songket BNI 253 Kampung usaha songket 225 Kapitalisme 2, 4, 24, 250, 323 Keadilan 8, 16, 17, 21, 24, 28, 36, 48, 235, 242, 249, 293, 294, 298, 301, 312, 315, 324, 326, 327, 328, 330 Keadilan ekonomi 48, 71, 235, 403 Keadilan humanis 49, 381 Keadilan sosial 22, 48, 49, 235, 293, 464 Kebersamaan 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 11, 15, 16, 17, 18, 20, 29, 30, 31, 32, 42, 44, 46, 52, 55, 58, 69, 71, 74, 81, 83, 84, 99, 115, 117, 118, 120, 121, 124, 125, 127, 206, 216, 223, 237, 240, 247, 250, 259, 263, 273, 277, 284, 287, 293, 303, 304, 308, 312, 314, 316, 318, 323, 324, 325, 329, 331, 335, 336, 347, 348, 350, 352, 374, 390, 401, 403, 406, 413, 415, 416,

431, 447, 449, 450, 452, 453, 456, 457, 459, 463, 464, 466, 467 Kebijakan ekonomi 42, 117, 449 Kebijaksanaan ekonomi 314 Kegiatan ekonomi lokal 264 Kekeluargaan 4, 5, 6, 7, 10, 13, 62, 83, 124, 125, 336, 339, 345, 394, 415, 456, 457 Kemakmuran 15, 16, 22, 43, 44, 51, 64, 190, 198, 236, 239, 327, 383, 396 Kemas}lahatan 24, 45, 47, 49, 229 Kemiskinan 226, 227, 249, 260 Kemitraan 4, 6, 7, 8, 9, 11, 14, 22, 28, 29, 31, 32, 33, 34, 35, 38, 40, 52, 54, 61, 63, 69, 71, 72, 73, 77, 78, 79, 80, 86, 87, 93, 94, 95, 96, 99, 104, 105, 106, 115, 117, 118, 121, 122, 123, 125, 127, 186, 199, 202, 220, 221, 226, 229, 231, 233, 239, 243, 247, 263, 264, 265, 266, 267, 270, 271, 273, 274, 276, 278, 279, 281, 282, 283, 284, 286, 287, 288, 290, 291, 299, 300, 301, 302, 303, 304, 305, 307, 308, 309, 310, 311, 314, 315, 317, 318, 319, 320, 321, 322, 323, 331, 332, 336, 338, 339, 340, 341, 346, 354, 363, 364, 366, 370, 386, 393, 395, 401, 403, 404, 405, 410, 411, 418, 419, 425, 426, 427, 428, 431, 436, 437, 438, 447, 449, 450, 453, 454, 455, 457, 459 Kerajaan Sriwijaya 192, 196, 197 Kerajinan songket 269, 306, 307, 323 Kerja 264, 277, 281, 299, 300, 301, 303, 307, 310, 311, 317, 318, 322, 323, 325, 329, 332 Kerjasama 4, 11, 14, 15, 16, 20, 30, 70, 77, 78, 85, 92, 94, 97, 98, 99, 104, 122, 124, 206, 216, 217, 231, 261, 285, 286, 294, 299, 303, 308, 315, 316, 319, 336,

348, 352, 362, 402, 409, 410, 417, 424, 426, 429, 430, 431, 436, 454, 456 Kesejahteraan 3, 15, 16, 21, 23, 24, 25, 27, 36, 40, 41, 43, 44, 47, 49,50, 61, 62, 65, 66, 69, 71, 74, 96, 112, 119, 120, 126, 198, 217, 225, 229, 240, 249, 353, 357, 373, 381, 382, 393, 394, 397, 398, 401, 403, 406, 428, 444, 451, 452, 458 Kesejahteraan ekonomi 49, 381 Kesejahteraan sosial 15, 42, 43, 46, 297 Kesenjangan sosial 304, 308 Ketidakadilan 270, 278, 315 Ketidakadilan ekonomi 15 Keuntungan 186, 219, 232, 233, 234, 235, 247, 259 Kewirausahaan 2, 3, 8, 9, 56, 76, 82, 106, 264, 334, 335, 340, 341, 388, 408, 414, 438 Kode etik 325 Konsep humanitas 42, 374 Konsep supply chain management 300 Konsumen 6, 19, 33, 50, 66, 67, 70, 76, 94, 95, 96, 106, 109, 219, 251, 252, 338, 351, 365, 382, 398, 399, 402, 408, 426, 427, 428, 438, 441 Konsumsi 18, 48, 65, 66, 75, 397, 398, 407 Koperasi 3, 4, 6, 9, 15, 16, 18, 30, 43, 51, 55, 57,58, 61, 62, 67, 78, 79, 80, 81, 82, 91, 121, 122, 123, 227, 231, 269, 276, 277, 284, 285, 286, 302, 307, 313, 314, 315, 316, 317, 320, 332, 335, 336, 338, 341, 350, 383, 389, 390, 393, 410, 411, 412, 414, 423, 454, 455 Kreatifitas 10, 11, 12, 13, 15, 21, 22, 29, 68, 76, 77, 84, 85, 96, 111, 113, 118, 121, 188, 189, 204, 212, 251, 252, 254, 255, 257, 258, 262, 335, 336, 338, 341, 342, 343, 344, 345, 347, 350, 353, 354, 361, 383,

389, 390, 393, 400, 408, 409, 410, 411, 412, 414, 416, 417, 423, 428, 443, 445, 450, 453, 454, 455 KUB (Kelompok Usaha Bersama) 115, 203, 283, 447 KUK (Kredit Usaha Kerja) 278, 393 KUKM (Koperasi dan Usaha Kecil Menengah) 226 KUR (Kredit Usaha Rakyat) 61, 226, 227, 229 Laissez faire 2 Lidi 209 Limbang Jaya 51 Manajemen 4, 6, 8, 9, 13, 14, 18, 21, 34, 37, 49, 53, 56, 57, 60, 61, 63, 64, 77, 81, 82, 99, 105, 106, 108, 110, 111, 118, 121, 203, 220, 221, 227, 229, 244, 259, 260, 265, 279, 282, 299, 301, 309, 311, 313, 322, 331, 332, 336, 338, 340, 341, 345, 346, 350, 353, 366, 369, 388, 389, 392, 393, 395, 396, 409, 413, 414, 431, 437, 438, 440, 442, 443, 450, 453 Manajemen keluarga 203, 220, 221, 260 Maqa>s}id shari>’ah 23, 36, 47, 52, 69, 229, 401 Mas}lahat 36, 120, 368, 452 Maximum profit 250 Micro finance 312 MAP (Modal Awal dan Padanan) 228 Modal 2, 3, 5, 9, 12, 13, 14, 16, 17, 21, 24, 26, 29, 30, 31, 32, 34, 35, 37, 38, 40,42, 53, 54, 55, 61, 62, 64, 65, 67, 72, 74, 76, 79, 81, 82, 88, 100, 101, 104, 107, 112, 113, 115, 116, 118, 126, 127, 203, 218, 219, 220, 221, 222, 225, 227, 232, 233, 237, 243, 244, 245, 249, 250, 261, 262, 266, 271, 280, 281, 282, 283, 284, 286, 296, 301, 302, 307, 309, 311, 314, 315, 317, 318, 320, 334, 335, 338, 341, 344, 345, 346, 353, 363, 364, 366, 367, 369, 370, 374, 386, 387, 393, 394, 396, 397, 399, 404, 406, 408, 411,

413, 414, 420, 432, 433, 436, 439, 444, 445, 447, 448, 450, 458, 459 Modal ekonomi 262 Modal intelektual 17 Modal kerja 317, 318 Modal kultural 16 Modal kultural-sosial 262 Modal sosial 16 Modal sosial-kultural 262 Modal spiritual 17 Moral 9, 16, 20, 24, 31, 38, 39, 40, 42, 47, 68, 70, 71, 90, 102, 117, 126, 341, 356, 363, 371, 372, 374, 379, 400, 402, 403, 422, 434, 449, 458 Motif songket 66, 211, 398 Mud}a>rabah 33, 34, 35, 37, 57, 88, 101, 103, 247, 365, 366, 367, 369, 389, 420, 433, 435 Multiplayer effect 76, 408 Mushara>kah 247 Negoisasi 270 NIES, 430 Nilai spritualis 49, 381 OVOP 83, 415 Pareto optimum 7, 13, 14, 33, 38, 48, 49, 69, 370, 380, 381, 401 Pareto, 1, 2, 3, 14, 25 Pasal 33 UUD 1945 5, 7, 8, 9, 14, 16, 18, 37, 41, 45, 120, 121, 124, 125, 293, 294, 312, 324, 325, 326, 348, 373, 453, 452, 456, 457 Pasar 2, 3, 6, 7, 17, 19, 20, 22, 23, 24, 34, 49, 58, 70, 76, 79, 92, 93, 94, 100, 103, 117, 202, 204, 208, 215, 221, 226, 230, 232, 233, 244, 258, 260, 268, 271, 286, 287, 297, 298, 302, 305, 311, 312, 316, 319, 320, 331, 332, 335, 338, 339, 349, 351, 352, 354,

355, 390, 402, 408, 411, 424, 425, 426, 432, 435, 449 Pedagang songket 235, 264, 266, 267, 270 Pemasaran 18, 37, 54, 57, 73, 74, 75, 81, 84, 95, 96, 100, 106, 113, 118, 126, 264, 269, 271, 308, 313, 331, 332, 350, 369, 386, 389, 405, 406, 407, 413, 416, 427, 428, 432, 438, 445, 450, 458 Pembangunan ekonomi 16, 51, 81, 313, 348, 383, 413 Pemberdayaan 4, 7, 9, 16, 17, 20, 28, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 57, 59, 61, 62, 63, 100, 119, 122, 124, 127, 219, 222, 226, 234, 236, 336, 339, 341, 348, 349, 352, 382, 383, 384, 385, 386, 387, 389, 391, 393, 394, 395, 432, 451, 454, 456, 459 Pemerintah 2, 4, 5, 7, 8, 9, 11, 13, 17, 18, 20, 21, 24, 30, 36, 43, 49, 50, 54, 55, 56, 59, 60, 61, 62, 64, 66, 67, 75, 76, 78, 79, 80, 83, 84, 86, 91, 92, 98, 99, 100, 102, 115, 117, 123, 124, 125, , 188, 223, 224, 225, 227, 229, 231, 234, 235, 239, 240, 241, 243, 250, 257, 261263, 264, 268, 269, 270, 274, 278, 279, 281, 282, 285, 286, 297, 300,303, 305, 307, 311, 312, 313, 314, 318, 319, 320, 321, 322, 323, 327, 334, 336, 337, 339, 340, 341, 343, 345, 349, 350, 352, 382, 386, 388, 391, 392, 393, 394, 396, 398, 399, 407, 408, 410, 411, 412, 415, 416, 418, 423, 424, 430, 431, 432, 434, 447, 449, 456, 457, 462, 463, 465, 470 Pemerintah daerah 462, 463 Pemipil 209 Pendapatan 5, 30, 58, 70, 71, 85, 102, 105, 116, 122, 126, 205, 219, 227, 229, 233, 245, 248, 249, 255, 262, 337, 362, 390, 402, 403, 417, 434, 437, 448, 454, 458

Penenun 197, 199, 200, 201, 203, 207, 208, 210, 211, 214, 215, 217, 219, 222, 224, 231, 233, 234, 237, 241, 247, 254 Penenun songket 12, 64, 82, 86, 107, 108, 116, 266, 270, 307, 344, 396, 414, 418, 439, 440, 448 Pengrajin 4, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 19, 20, 22, 27, 28, 29, 34, 38, 40, 51, 53, 61, 62, 63, 64, 65, 67, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 82, 85, 86, 87, 88, 90, 91, 92, 93, 95, 96, 99, 101, 104, 105, 106, 107, 109, 113, 115, 116, 117, 126, 127, 186, 190, 202, 203, 205, 207, 210, 215, 216, 217, 218, 219, 221, 222, 223, 224, 226, 228, 229, 231, 232, 233, 234, 235, 236, 237, 238, 241, 243, 244, 245, 247, 248, 249, 250, 251, 252, 253, 257, 258, 259, 263, 264, 265, 266, 267, 269, 270, 272, 273, 274, 276, 277, 278, 279, 281, 282, 283, 284, 286, 301, 303, 307, 318, 323, 325, 328, 330, 331, 332, 336, 337, 338, 339, 340, 341, 342, 343, 344, 345, 346, 347, 348, 349, 351, 352, 354, 360, 361, 366, 370, 393, 394, 395, 396, 397, 399, 401, 402, 403, 404, 405, 406, 407, 408, 409, 410, 414, 417, 418, 419, 420, 422, 423, 424, 425, 427, 428, 431, 433, 436,묈437, 438, 439, 441, 445, 447, 448, 449, 458, 459, 462, 463, 465, 469

Pengusaha songket 319 Penyencang 209 Perajin 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 19, 20, 22, 28, 29, 34, 37, 38, 39, 51, 53, 61, 62, 63, 64, 65, 67, 70, 71, 72, 73, 76, 77, 78, 82, 85, 87, 88, 90, 91, 92, 93, 95, 96, 99, 100, 101, 104, 105, 106, 107,

108, 109, 110, 113, 115, 116, 117, 127, 263, 264, 265, 266, 267, 268, 269, 270, 271, 272, 273, 274, 276, 277, 278, 279, 281, 282, 283, 284, 286, 301, 303, 307, 317, 318, 323, 325, 328, 330, 331, 335, 336, 337, 338, 339, 341, 342, 343, 344, 345, 346, 347, 348, 349, 351, 352, 354, 360, 361, 366, 369, 370, 393, 394, 395, 396, 397, 399, 402, 403, 404, 405, 408, 409, 410, 414, 417, 419, 420, 422, 423, 424, 425, 427, 428, 431, 432, 433, 436, 437, 438,묈439, 440, 441, 442, 445, 447, 448, 449, 459, 462 Perekonomian Islam 47, 50 Pesanan 271, 276 PIK 83, 415 PKBL, 222, 225, 228, 229 Por 208, 318 Posner 22 Produk lokal 263 Produk 58, 83, 94, 390, 415, 426 Produksi 4, 6, 12, 14, 18, 19, 21, 23, 28, 29, 31, 32, 34, 35, 39, 41, 42, 44, 45, 47, 48, 51, 52, 54, 59, 64, 65, 66, 68, 69, 71, 72, 73, 74, 75, 81, 82, 84, 88, 92, 106, 110, 112, 113, 116, 120, 125, 187, 188, 189, 194, 195, 196, 217, 218, 219, 231, 232, 234, 238, 240, 242, 243, 244, 245, 247, 250, 256, 258, 259, 262, 264, 268, 271, 276, 277, 280, 286, 297, 298, 301, 303, 308, 312, 313, 323, 325, 326, 327, 336, 338, 344, 346, 351, 386, 391, 396, 397, 398, 400, 401, 403, 404, 405, 406, 407, 413, 414, 416, 420, 424, 438, 442, 444, 445, 448, 452, 457, 465, 466, 467, 469

Produktifitas 15, 17, 25, 28, 29, 40, 45, 73, 119, 120, 124, 127, 202, 222, 225, 237, 243, 244, 247, 256, 265, 280, 281, 298, 303, 305, 308, 324, 347, 357, 405, 451, 452, 456, 459 Produsen 19, 50, 68, 69, 86, 351, 382, 400, 401, 418 Pro-job 249 PROUT 43, 52 Religious values 296 Sejahtera 17, 45 Sentra usaha 203, 205, 216, 218, 223, 231, 232, 244 Sistem ekonomi Indonesia 293 Social movement 38 Solidaritas kerja 20, 186, 218, 237, 253 Solidaritas sosial 2, 335 Solidaritas 186, 218, 237, 243, 244, 247, 253 Songket lepus 215 Songket Palembang 1, 2, 5, 60, 115, 193, 195, 197, 203, 208, 215, 231, 254, 333, 334, 337, 392, 447, 464, 465, 468 Songket tawur 210, 213, 215 Sosial ekonomi 314 Sosialisme demokrasi 50, 51 Sosialisme Islam 50, 51 Sosialisme kerakyatan 50, 51 Spritualitas 26, 31, 44, 48, 358, 363, 376, 380 Sulam cruisstick 207 Sumber daya 8, 10, 12, 13, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 29, 30, 39, 43, 45, 47, 49, 51, 52, 56, 58, 65, 68, 70, 74, 77, 85, 112, 116, 340, 342, 344, 345, 347, 348, 349, 350, 351, 352, 353, 354, 371, 381, 383, 388, 390, 397, 400, 402, 406, 409, 417, 444, 448 Sumber Daya Alam (SDA)13, 19, 52, 65, 68, 88, 262, 345, 351, 384, 397, 400, 420

Sumber Daya Ekonomi (SDE) 68, 297, 400 Sumber Daya Manusia (SDM) 3, 9,11, 17, 18, 19, 20, 24, 31, 52, 68, 77, 85, 95, 106, 109, 117, 305, 335, 342, 343, 349, 350, 351, 352, 356, 384, 400, 409, 417, 427, 438, 441, 449, 463 Suri 209 Tenaga kerja 17, 26, 34, 35, 36, 48 Tenaga kerja lokal 264 Tenun 3, 4, 7, 11, 12, 13, 18, 19, 20, 24, 27, 69, 73, 74, 76, 77, 84, 85, 86, 88, 91, 93, 94, 96, 105, 108, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 335, 336, 339, 343, 344, 345, 350, 351, 352, 356, 359, 401, 405, 406, 408, 409, 416, 417, 418, 420, 423, 425, 426, 428, 437, 440, 443, 444, 445, 446, 447, 448 Tenun ikat 195, 207 Tenun songket 3, 4, 7, 11, 12, 13, 18, 20, 27, 30, 31, 55, 69, 74, 76, 77, 84, 85, 88, 91, 93, 94, 96, 105, 108, 111, 112, 113, 115, 263, 266, 267, 268, 270, 301, 335, 336, 339, 343, 344, 345, 350, 352, 359, 401, 406, 408, 409, 416, 417, 420, 423, 425, 426, 428, 437, 440, 443, 444, 445, 447 Teori trickle down effect 1, 13, 15, 462 Teori triple-Co 46 Tradisi tenun 196 Transaksi 22, 48 Triple-Co 16, 348 UKM (Usaha Kecil dan Menengah) 51, 61, 62, 92, 94, 96, 97, 101, 269, 303, 307, 308, 309, 310, 311, 383, 393, 394, 424, 426, 428, 429, 433 UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) 6, 10, 25, 226, 227, 228 UMR (Upah Minimum Regional) 30 Unsur-unsur produksi 256

Untung rugi 14 Upah 2, 11, 5, 17, 30, 31, 87, 88, 89, 90, 91, 107, 108, 112, 113, 116, 218, 221, 232, 233, 234, 237, 238, 239, 240, 241, 242, 244, 245, 246, 247, 248, 254, 335, 338, 362, 363, 419, 420, 421, 422, 423, 439, 440, 444, 445, 448 Usaha bersama 287, 315 Usaha kecil 1, 9, 11, 12, 14, 26, 37, 38, 50, 51, 54, 56, 57, 58, 59, 60, 62, 72, 77, 78, 80, 81, 82, 84, 85, 101, 106, 117, 120, 121, 122, 123, 125, 186, 222, 225, 227, 228, 244, 268, 269, 284, 299, 304, 310, 313, 320, 322, 323, 332, 333, 346, 369, 370, 382, 383, 386, 387, 388, 389, 390, 392, 391, 394, 404, 409, 410, 412, 413, 414, 416, 417, 433, 438, 449, 452, 453, 454, 455, 457 Usaha kerakyatan 12 Usaha menengah 50, 382 Usaha mikro 1, 7, 9, 12, 26, 38, 50, 55, 57, 58, 59, 61, 81, 100, 101, 104, 106, 116, 117, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 273, 278, 282, 310, 323, 327, 333, 339, 370, 382, 387, 389, 390, 391, 393, 413, 432, 433, 436, 438, 448, 449, 452, 453, 454, , 455 456, 457 Usaha songket 1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10,11, 12, 15, 16, 18, 20, 22, 27, 29, 30, 31, 32, 39, 41, 51, 52, 54, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 68, 69, 70, 71, 75, 76, 77, 81, 82, 88, 91, 95, 96, 99, 100, 101, 103, 112, 113, 115, 117, 125, 126, 186, 191, 198, 201, 202, 203, 204, 214, 215, 216, 218, 220, 221, 222, 223, 224, 226, 228, 229, 230, 234, 237, 245, 258, 259, 263, 264, 265, 269, 273, 275, 276, 283, 301, 303, 325, 327, 331, 333, 334, 336, 337, 338, 340, 341, 343, 347, 348, 350, 352, 354, 363, 392, 393, 394, 395, 396, 397, 400, 401, 402, 403, 407, 408, 409, 413, 414, 420,

423, 427, 428, 431, 432, 433, 435, 444, 445, 447, 449, 457, 458 Usaha tenun songket 264, 268 Usaha tenun 7, 112, 339, 444 Utility 65, 256, 397 UU No. 20 tahun 2008 6, 10 Worse off 33

INDEKS TOKOH Hamid, Abdul 21, 101, 105, 353, 433, 437 Qarad}a>wi, Yusu>f 296 S{ada>r, Muhammad Baqir 22, 42, 296, 461, 463 Barro, Robert J. 33 Ipah, Cek 274 Chapra, Muhammad Umer 22, 30, 35, 37, 41, 49, 51, 230, 296, 329, 331, 362, 369, 373, 461 Dessler 17 Domar, Evsey 1 Djamil, Fathurrahman 21, 32, 353, 364 Hatta, Mohammad 5, 6, 15, 16, 17, 18, 20, 27, 34, 36, 37, 41, 42, 43, 46, 72, 222, 225, 227, 239, 284, 285, 294, 296, 324, 326, 347, 348, 352, 373, 404 Junaidi, Heri 42, 206, 236, 290, 374 Arifin, Ki Agus Zainal 21, 191, 207, 353 al-Haq, Mahbub 17 Mankiw, N. Gregory 17 Manna>n, Muhammad Abdul 35, 36, 236, 296 Melamed, A.D. 21 Mubyarto 17, 21, 22, 38, 50, 296, 314, 316, 353, 382, 461 Suma, Muhammad Amin 20, 21, 22, 33, 41, 241, 292, 327, 353, 373, 462 Antonio, Muhammad Syafei 236

Putra, Murasa Sarkani 23, 248, 281 Myint, H. 296 Myrdal, Gunnar 296 Sarkar, Prabhat Ranjan 43, 62, 120, 296, 329, 394, 452 Rodoni, Muhammad 21, 101, 353, 433 Swasono, Sri-edi 1, 5, 6, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 21, 27, 36, 41, 43, 44, 46, 51, 121, 124, 125, 284, 286, 316, 317, 324, 348, 353, 373, 383, 453, 456, 457, 461, 466, 468, 470 Rostow, Walt W. 1

INDEKS TEMPAT Australia 98, 430 Cina 7, 187, 192, 193, 197, 208, 261, 339 Desa Tanjung Laut 51 India 7, 57, 62, 120, 271, 296, 301, 329, 339, 389, 394, 452 Indonesia 1, 2, 5, 6, 7, 8, 9, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 22, 24, 25, 26, 28, 29, 30, 31, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 43, 44, 46, 47, 50, 51, 53, 54, 58, 59, 60, 61, 67, 68, 77, 79, 83, 92, 94, 100, 103, 105, 110, 111, 114, 118, 119, 124, 187, 188, 190, 191, 193, 194, 195, 197, 198, 199, 201, 204, 214, 219, 225, 228, 239, 246, 250, 256, 260, 261, 264, 268, 271, 273, 275, 276, 278, 280, 285, 287, 293, 296, 303, 305, 306, 307, 308, 310, 312, 313, 314, 315, 316, 317, 321, 323, 324, 325, 326, 327, 345, 346, 347, 351, 352, 354, 357, 362, 364, 369, 370, 373, 379, 382, 383, 385, 386, 390, 391, 392, 393, 399, 400, 409, 411, 415, 424, 426, 432, 435, 437, 442, 443, 446, 450, 451, 456, 469 Jepang 208, 220, 221, 275, 310

Kabupaten Ogan Ilir 51, 55 Kecamatan Ilir Barat II 51, 54 Kecamatan Ilr Barat I 51 Kecamatan Tanjungbatu 51 Palembang 1, 2, 4, 5, 7, 9, 11, 12, 16, 17, 21, 24, 26, 27, 28, 29, 31, 32, 33, 34, 39, 40, 41, 42, 50, 51, 52, 54, 55, 56, 60, 61, 62, 67, 69, 75, 77, 80, 94, 99, 114, 115, 124, 125, 186, 190, 191, 193, 194, 195, 196, 197, 198, 199, 200, 201, 202, 203, 204, 206, 207, 208, 210, 212, 213, 214, 215, 216, 218, 220, 221, 223, 224, 226, 228, 229, 230, 231, 234, 236, 237, 244, 245, 251, 253, 259, 260, 263, 264, 266, 268, 269, 274, 275, 276, 279, 290, 301, 306, 307, 318, 319, 331, 333, 334, 337, 339, 341, 343, 344, 348, 349, 353, 356, 364, 366, 374, 392, 393, 394, 399, 401, 407, 409, 412, 426, 431, 446, 447, 456, 457, 464, 470 Seberang Ulu 51, 55 Sumatera Selatan 5, 7, 8, 9, 13, 16, 22, 28, 30, 31, 40, 42, 51, 52, 53, 54, 60, 61, 62, 64, 66, 82, 93, 100, 104, 190, 191, 192, 193, 194, 197, 200, 215, 224, 226, 228, 229, 236, 237, 251, 263, 264, 268, 269, 274, 318, 337, 338, 339, 340, 341, 345, 348, 354, 362, 374, 392, 393, 394, 396, 398, 414, 425, 432, 436 Tangga Buntung 51, 54 Tanjung Pinang 51 Thailand 7, 20, 208, 219, 225, 271, 301, 339, 352 Tionghoa 190

INDEKS AL-QUR’AN al-Baqarah ayat 6 126, 141 ayat 213 129 ayat 30 129, 146, 151

ayat 254 142 ayat 282 290, 422 ayat 26 dan 144 360 ayat 279 298 ayat 280 298 ayat 172 298 ayat 263 355 ayat 108 355 ayat 215 381 ayat 60, 68 381 ayat 84 403 ali-Imra>n ayat 14 129 ayat 189 129 ayat 159 173 ayat 142 355 ayat 133-135 355 ayat 114 384 al-Ma>’idah ayat 8 22 ayat 120 126 ayat 20 141 ayat 2 142 ayat 42 142 ayat 8 235, 406, 422 ayat 35 355 ayat 87-88 381 ayat 1 422 al-Hujura>t ayat 13 22, 151, 235, 355 an-Nah}l ayat 71 23, 391 ayat 10-16 142 ayat 97 158, 421 ayat 10,11,12,18 160, 397 al-An’a>m ayat 165 23 ayat 142-145 142

ayat 164 159 ayat 132 355 al-Hadi>d ayat 7 126, 142 ayat 25 330 asy-Syu>ra> ayat 183 22 al-Furqa>n ayat 183 242 az-Zukhruf ayat 32 23 ar-Ru>m ayat 23 160, 397 ayat 21 295, 360 al-Hashr ayat 7 49, 157 al-Mu’min ayat 13 129 ayat 41 255 ayat 8 298 al-Muzzammil ayat 20 136 al-A’ra>f ayat 172 294, 359 al-Ahqa>f ayat 19 422 al-Ahza>b ayat 72 146 al-Anbiya>’ ayat 107 298 al-Anfa>l ayat 25 159 al-’Ankabu>t ayat 69 355 al-Bala>d ayat 17 295, 360 Fa>t}ir ayat 27-29 142 ayat 29 441 al-Furqa>n ayat 25 355 ayat 34 355 al-Hajj ayat 77 355 Hud> ayat 61 146 ayat 84-87 164 ayat 18 298 Ibra>hi>m ayat 32-34 297 al-Ja>s}iyah ayat 18 157 ayat 12-13 151 al-Jumu’ah ayat 10 168

ayat 9-11 298 al-Kahf ayat 30 158, 421 ayat 29 152, 255 al-Mu’minu>n ayat 84-85 403 al-Muddaththir ayat 3 159 al-Mulk ayat 15 297 ayat 2 157 al-Mumtah}anah ayat 7 295, 360 at-tat}fif ayat 22-26 355 ayat 14 295, 359 ayat 2-3 298 ayat 1-3 142 al-Muzzammil ayat 20 168 an-Naml ayat 88 355 an-Nisa> ayat 32 160, 397, 422 ayat 58 142, 330 ayat 65 157 an-Nu>r ayat 33 403 ayat 36-37 298 al-Qalam ayat 11 397 al-Qas}as} ayat 77 146 ayat 73 160, 397 ar-Ra’d ayat 11 159, 255 an-Naba’ ayat 11 160 Syu>ra> ayat 20 152 Ta>ha> ayat 118-119 236 at-Taubah ayat 105 158, 239, 421 at-Ti>n ayat 4 295, 360 Ya>si>n ayat 54 422 az-Z{ukhruf ayat 38 173 az-Z{umar ayat 21 142

GLOSARI

Alat gedokan : Alat tenun tradisional dari sejumlah rangkaian kayu. Perajin duduk dilantai dengan kaki lurus ke depan. Setiap kali benang pakan dirapatkan dengan bantuan sebilah papan akan mengeluarkan bunyi yang disebut gedokan Al-Ijarah Operasional Lease; akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian Altruistic considerations : Pertimbangan Kemashlahatan Bai’u al-Istishna’ Purchase By Order Or Manufacture; sistem jual beli berdasarkan pesanan. Bai’u al-Murabahah Defferend Payment Sale; jual beli barang dari harga pabrik (asal) dengan tambahan keuntungan yang disepakati Bai’u Salam In-Front Payment Sale; pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari sementara pembayaran dilakukan dimuka Basic needs fulfillment : pemenuhan kebutuhan pokok Bazaar : Sebuah pasar dimana diperdagangkan benda-benda yang digemari oleh umum Benang lungsi : Benang dasar menenun yang dipasang memanjang (vertikal). Pada alat enun ATBM lungsi bisa mencapai 20-50 m Benang pakan : Benang dasar menenun yang dipasangi melebar (horizontal) yang biasanya berukuran 90-10 cm Capital output ratio : produktivitas modal Cukitan : Sulaman, Mencukit= menyulam Distribution of resources : distribusi kekayaan Equilibrum : Hal yang berhubungan dengan keadaan yang bila sekali dicapai akan berlangsung terus menerus kecuali terdapat adanya suatu perubahan dalam keadaan non ekonomi Flexible budget : Anggaran belanja yang fleksibel. Sebuah 333 334

anggaran belanja yang memuat perkiraan perkiraan mengenai berapa banyak uang tunai dibutuhkan, perkiraan mengenai laba serta kebutuhan-kebutuhan permodalan untuk tingkat-tingkat yang berbeda itu Homo economicus : sebutan orang awam terhadap mereka- mereka yang senantiasa berorientasikan dan mendewa-dewakan profit, produktivitas, modal, dan hal-hal yang berbau materi lainnya. Human development : pembangunan manusia Inflasi : decreasing purchasing power of money. Laissez faire-laissez : Dari bahasa Perancis yang artinya passer “biarkan segala sesuatu terjadi, biarkan segala sesuatu berlangsung. Sebuah doktrin yang menekankan tindakan untuk memberikan kepada si individu kebebasan maksimal, untuk memelihara /mengejar kepentingan sendiri. Inti teori ini adalah setiap individu akan melakukan pekerjaan terbaik bilamana ia mencapai balas jasa tertinggi.

Lepus : Kain songket yang kainnya sepenuhnya adalah cukitan benang emas dari China. Kadangkala benang emas ini diambil dari kain songket yang sudah sangat tua (ratusan tahun) karena kainnya menjadi rapuh, benang emas disulam kembali ke kain yang baru. Kualitas jenis songket lepus merupakankualitas yang tertinggi dan termahal harganya Levels of living : tingkat kehidupan Market-failures : Kegagalan pasar Masagus : Gelar ini diberikan kepada anak laki-laki dari hasil perkawinan seorang Pangeran atau Raden dengan seorang pempuan 335

dari golongan rakyat biasa Meiji : Kelompok orang-orang yang mempunyai keahlian atau ketrampilan tertentu, baik tentara, pekerjaan tanganatau membuat karya seni Mud}a>rabah Trust Financing, Trust Investment; kerjasama usaha antara dua pihak. Pihak pertama sebagai penyedia modal, pihak kedua sebagai pengelola yang keduanya bergabung sebagai mitra usaha. Kemitraan tersebut dituangkan dalam sebuah master of understanding (nota kesepahaman) dengan segala pasal-pasal yang tertera didalamnya, baik keuntungan maupun kerugian, serta hal- hal yang berhubungan dengan human error Omnipotent : Sifat berkuasa Omniscient : Maha Tahu One villaga one product : suatu gerakan revitalisasi daerah, untuk mengembangkan potensi asli daerah (ovov), supaya mampu bersaing di tingkat global. Pangeran : Gelar tertinggi kepada putera mahkota (biasanya anak laki-laki tertua dari sultan palembang dan keturunannya hingga sekarang Pengumpul : Sebutan untuk orang yang menjadi perantara pembeli songket dengan cepat kepada perajin yang ada di pedesaan wilayah kabupaten/kota di Sumatera Selatan Pucuk rebung : Salah satu motif yang sangat banyak ditemui pada hampir semua kain tenun. Inspirasinya diambil dari tunas pohon bambu semasa muda. Dan semasa tua tetap berguna, motip pucuk rebung biasanya diletakkan pada bagian kepala kain (tumpal) Raden : Dijunjung atau dicintai. Gelar ini 336

diberikan kepada anak laki-laki dari hasil perkawinan seorang Pangeran dengan anak perempuan seorang Pangeran. Gelar ini berlaku otomatis dan tidak diberikan kepada orang lain Raden ayu/denayu : adalah gelar istri dan anak perempuan dari pangeran dan raden Rumpak/ bumpak : Istilah kain songket untuk pria Saerge taijin : Dekat pada realitas, dekat pada rakyat, dan dekat pada kehidupan, sementara ekonomi Jepang berangkat dari harmoni hubungan antar manusia, dan antara manusia dan alam Self regulation : Mengatur diri sendiri Self-correcting : Koreksi diri sendiri Senam : Kelompok orang yang rendah dari Miji, tetapi tidak boleh dipekerjakan kecuali oleh sultan Stelsel laissez-faire : Ekonomi pasar-bebas Syirkah Patnership, Project Financing Participation Tanjak : Kain songket persegi empat yang dibuat khusus untuk menutup kepala laki-laki sepasang dengan kain rumpak Trah : Urutan keturunan atau asal usul seseorang dalam komunitasnya Tribuere quique suum : memberikan kepada setiap orang lain apa yang menjadi haknya. Implikasi konkret dalam kehidupan, jangan mendapat sesuatu dengan cara mengorbankan hak- hak orang lain. Trickle down effect : Efek penetesan ke bawah Tumpal : Kepala kain yang berada di tengah bentangan kain Utility Diartikan kepuasan yang digambarkan sebagai beberapa tingkat kepuasan (satisfaction) yang terukur yang didapat oleh konsumen dari mengkonsumsi barang atau jasa. Sebagian besar 337

konsumen menghabiskan banyak uang untuk memuaskan kebutuhannya. Kepuasan konsumen dalam kajian ekonomi makro dikenal dengan istilah utility.

Preferensi=preference : Berarti bahwa seseorang akan mempunyai satu bundel yang disukai, dan indifference berarti seseorang tidak membedakan masing-masing bundel. Dalil ini menyatakan bahwa konsumen dapat membuat perbandingan berkitu untuk setiap kemungkinan pasangan kombinasi dari bundel tersebut Hukum Gossen (Law of : Yaitu bahwa semakin banyak sesuatu Diminishing Marginal barang dikonsumsikan, maka tambahan Utility) kepuasan (marginal utility) yang diperoleh dari setiap satuan tambahan yang dikonsumsikan akan menurun. Distingsi : Disparitas= perbedaan, jarak Teori triple-Co yaitu Co-ownership (ikut serta dalam pemilikan bersama), Co-determination (ikut memiliki dan ikut menentukan kebijakan perusahaan), Co-responsibility (ikut serta bertanggung jawab)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Heri Junaidi, Berasal dari keluarga Bengkulu, dan mengabdi sebagai dosen Fiqh Muamalah pada Fakultas Syari’ah IAIN Raden Fatah Palembang. Pendidikan awal dari SDN No. 110 Palembang, SMP Tarbiyah Curup Rejang Lebong Dan kemudian melanjut ke Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo hingga selesai tahun 1990. Strata 1 pada jurusan Perdata Pidana Islam Fakultas Syari’ah IAIN Raden Fatah Palembang hingga mendapat gelar sarjana pada tahun 1994. Melanjutkan S2 pada program pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dengan gelar magester (MA) pada tahun 2002. Masuk pada program S3 pada tahun 2009 pada sekolah pascasarjana di Universitas yang sama. Anak dari pasangan Umar Usman dan Mariana memiliki berbagai pengalaman pekerjaan seiring dengan perkembangan akademik diantaranya pernah menjadi Wakil Kepala Sekolah Yayasan Pendidikan Daruraja Cikalong Wetan Bandung (1989) dan Kepala Yayasan TK-SD- SMP-SMA Al-Manar Cikajang Garut Jawa Barat (1999). Membangun kursus dan bimbingan showdown (2000), dari tahun 2000 sampai tahun 2008 menjadi guru honor di SD Negeri No. 1 Palembang, SD Negeri No. 33 Palembang, SMP Ethika Palembang, SMU Muhammadiyah VII Palembang, SMA Yanusa Jakarta Selatan. Di tahun yang sama mengajar pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah, Sekolah Tinggi Ilmu Pariwisata Palembang, Universitas Palembang, Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Fatah Palembang, Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Palembang pada mata kuliah metodologi, fiqh Muamalah dan Bahasa Inggris hingga kemudian menjadi dosen tetap pada Fakultas Syari’ah IAIN Raden Fatah Palembang. Pengalaman jabatan diantaranya pernah ikut pelatihan IELS Guru- Guru Bahasa Inggris Se Indonesia di Cimahi Jawa Barat, Training of Trainner penjamin mutu, Bina Skripsi Jurusan Ahwal al-Skhasyiah Fakultas Syari’ah IAIN Raden Fatah Palembang, Sekretaris Jurusan

Ahwal al-Skhasyiah Fakultas Syari’ah IAIN Raden Fatah Palembang, Kepala Pusat Penjamin Mutu Pendidikan IAIN Raden Fatah Palembang, dan kepala laboratorium terpadu Fakultas Syari’ah IAIN Raden Fatah (2010-2014) Dalam keorganisasian pernah menjadi Ketua Theater Islam Darussalam (Therisda) Pondok Modern Gontor Ponorogo (1987-1989, Hakim Bahasa Rayon Pondok Modern Gontor Ponorogo (1990), Sekertaris Angkatan Muda Islam Indonesia (AMII) Provinsi Sumatera Selatan (2000), Direktur Lembaga Pemerhati Ekonomi, Sosial dan Keagamaan el-Fikra Kampung Utan-Ciputat (2001-2002) Presidium III Ikatan Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2001- 2002), Wakil Ketua Ikatan Mahasiswa Pascasarjana Sumatera Selatan Jakarta (2001), Wakil Bidang Pengembangan keilmuan Majelis Sinergi Kalam (MASIKA) ICMI Orwil Sumatera Selatan (2005), Sekretaris Umum Lembaga Kajian Hukum Islam (LKHI) IAIN Raden Fatah Palembang (2005-2010);Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Hukum, Lembaga Penelitian IAIN Raden Fatah Palembang (2007-2009). Karya ilmiah yang sudah dimiliki baik ditulis sendiri maupun bersama-sama tim adalah. Pertama, dalam bentuk buku yaitu: Terjemahan Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam kontemporer tentang isu-isu global (Jakarta: Ford Foundation-Paramadina, 2000, 2002); Paradigma Ilmu Syari’ah (Jogjakarta: Gama Media, 2003); Anatomi Fiqh Zakat (Jogjakarta: gama media, 2004); Negara Bangsa dan Negara Syari’ah dalam Perspketif (Jogjakarta: Gama Media, 2005); Figh Muamalah Kontemporer (Palembang: P3RF, 2004); Komunikasi Ulama Umara Sumatera Selatan (Palembang: P3RF, 2006); Profil Pengembangan Wisata Islami Kota Pagar Alam (Palembang: P3RF, 2007); Penjaminan Mutu IAIN Raden Fatah Palembang (Palembang: P3RF, 2008); Standar Penulisan Karya Tulis Ilmiah untuk Jurnal (Palembang: P3RF, 2008); Wacana Bilik Kampus: Kumpulan Karya Sanggar Kerja Penulisan Karya Ilmiah (Palembang: P3RF, 2009); Jendela Ilmiah Kampus: Kumpulan Tulisan Terpilih Dosen IAIN Raden Fatah Palembang (Palembang: P3RF, 2009); Peta Alumni IAIN Raden Fatah Palembang 2000-2009 (Palembang: P3RF, 2010); Menggagas Fiqh Lingkungan Hidup (Jogjakarta: Gama Media, 2009); Membangun Daerah Berbasis Agama: Belajar dari Musi Banyu Asin (Jogjakarta: Gama Media, 2010); Standar SAP IAIN Raden Fatah Palembang (Palembang: P3RF, 2010). 3 buku dalam proses Menulis dan editing adalah: (1) Fiqh Gender;

(2) Meretas Pemikiran Ekonom Kapitalis dan Muslim Kontemporer; (3) Dari Bilik Kamar Kost Ciputat [tulisan lepas masa proses kuliah dalam catatan Face book]. Kedua, Penelitian regional dan nasional, Sejarah Kudeta Dalam Kebudayan Islam: Analisa Siyasah Kesultanan Palembang Darussalam (2001); Bina Kesadaran Tertib Administrasi Kependudukan Masyarakat di 11 Kabupaten/Kota wilayah Sumatera Melalui Peran Ulama (2002); Gerakan Oposisi Ormas Islam Ekstra Parlementer Masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid (2001); Gagasan Sistem Ekonomi Sayyid Quthb ( Studi Tematik Atas Kitab Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an ) [2002]; Islam Dan Politik di Indonesia (Studi Analisa Atas Kegagalan Mazhab Islam Politik di Indonesia) [2003]; Problematika Mahasiswa IAIN Raden Fatah Dalam Penulisan Karya Tulis Ilmiah (2003); Respon Mahasiswa IAIN Raden Fatah Terhadap Program Kekerasan dan Sensualitas di Media Televisi (2004); Filsafat “Wong Kito Galo”: Penelusuran Sosial Ekonomi Masyarakat Palembang Studi Penelusuran Sikap Masyarakat Pluralistik di Kawasan Sumatera Selatan (2004); Negara Bangsa Versus Negara Syari’ah (Pandangan Ulama Sumatera Selatan Antara Penentang dan Pendukung) [2005]; Rekonstruksi Lingkungan Belajar di Kota Perdagangan (Studi Pemikiran di Perguruan Tinggi Palembang (2005); Studi Analisis Kebijakan Pendidikan Berwawasan Gender Dalam Rangka Penyusunan Kebijakan Pendidikan dan dan Pendidikan Luar Sekolah di Wilayah Sumatera Selatan (2005); Teologi Maut: Memaknai Konsep Jihad Kelompok Radikalisme (2006); Analisis Pemikiran Ekonomi H.M. Soeharto (2007); Pemahaman Majelis Taklim Perempuan Kota Palembang Terhadap Pembagian Tugas Bidang Ekonomi Keluarga (2007); Respon Dosen IAIN Raden Fatah Palembang Terhadap Fiqh Lintas Agama (2008); Studi Kebijakan IAIN Raden Fatah Palembang Berwawasan Gender Melalui Gender Analysis Pathway (GAP) [2008]; Survey Dosen Ideal Menurut Mahasiswa IAIN Raden Fatah Palembang (2009); Pergeseran Peran Ulama Era Otonomi Daerah di SUmatera Selatan (2009); Peta Potensi Alumni IAIN Raden Fatah Palembang (2010); Reproductive Health in Madrasah’s Curriculum of South Sumatra, Partnership Research Program Ministry For Women Empowerment And Child Protection, Flinders University and Center For Gender Studies (PSG) IAIN Raden Fatah Palembang (2011)

Ketiga, Hasil Karya Ilmiah dalam Jurnal Regional, Nasional dan Internasional diantaranya: Pendidikan Keberagaman: Peluang dan tantangan menuju kehidupan pluralistik di Indonesia (concencia, 2000); Model pembelajaran berbasis Emotional Spritual Quentient (concencia, 2000); Pendidikan Keluarga Berbasis Tauhidiyah (concencia, 2001); Ekonomi dan Intervensi Spritualitas (Nurani, 2001); Islam Liberal: Benarkah Sekulerisasi Berkedok Muslim (Nurani, 2002); Islam dan Substansialisme (Nurani, 2002); Pola Relasi Gender Dalam Islam (al- Fatah, 2002); Membangun Desa Madani (al-Fatah, 2003 ); Moralitas Pembangunan Masyarakat dalam Perspektif Agama-Agama (al-Fatah, 2003); Gerakan Kudeta Kesultanan Palembang Darussalam: Benarkah Perebutan Kepentingan Keturunan (intizar, 2004); Intervensi spritualitas dalam dunia ekonomi umat (Nurani, 2005); Manuskrif Islam Pesantren: Telaah Konsep berbasis Sumatera Selatan (Makalah juara II Penulisan Karya Tulis Ilmiah Kalangan Akademisi Tingkat Propinsi, 2005); Respon Komunitas Santri Pedesaan Dan Perubahan Sosial (jurnal al-Fatah, 2006); Nikah Sirri: Subbordinasi Perempuan Berbungkus Hukum (Jurnal an- nissa, 2006); Tenunan Songket Melayu Palembang: Sejarah, Filosofi, Dan Perkembangannya (Jurnal Internasional di Malaysia, 2007); Feminisme dan Gender Menurut Islam (2007); Respon Komunitas Santri Pedesaan Dan Perubahan Sosial (jurnal al-Fatah, 2008); Nikah Sirri: Subbordinasi Perempuan Berbungkus Hukum (Jurnal an-nissa, 2008); Tarbiyah As-Siyasah: Belajar Dari Kegagalan Calon Legislatif Pemilu 2009 (Jurnal Nurani, 2009); Efesiensi dalam Sistem Ekonomi Islam (jurnal ekonomi Fakultas Syari’ah, 2009; Transaksi Valas Dalam Perspektif Syari’ah (Jurnal Iqtishad Fak. Syari’ah UIN Jakarta, 2010); Pendidikan Efisiensi: Sebuah Pendekatan Budaya Masyarakat Belajar (2010); Koperasi Sebagai Soko Ekonomi Kerakyatan: Studi Komparatif Indonesia, Malaysia, Bangladesh, Dan Pakistan (2010) Aqd Non Ribawi Pada Corporate Social Responsibilty: Konsep, Dan Tawaran (2011); Menggugat Pemikiran Ekonomi Kaum Muda Kapitalis (Jurnal Ekonomi Fak.Syari’ah, 2011). Komunikasi dapat dilakukan lewat email: [email protected], dan alamat blog: http://heriju- naidi.blogspot.com/



© 2022 Docslib.org