Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non austronesian Linguistic and Literature

PROCEEDINGS THE 7th INTERNATIONAL SEMINAR ON AUSTRONESIAN - NON AND LITERATURE

DENPASAR, BALI, 28-29 AUGUST 2015

The Study Program of Linguistics Local Languages Researcher Association Research Institute for Languages and Cultures of Asia and Africa of Postgraduate Program Udayana University Tokyo University of Foreign Studies Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non austronesian Linguistic and Literature

PROCEEDINGS THE 7th INTERNATIONAL SEMINAR ON AUSTRONESIAN - NON AUSTRONESIAN LANGUAGES AND LITERATURE

Editors: Dr. Made Sri Satyawati, S.S., M.Hum. I Gusti Agung Sri Rwa Jayantini, S.S, M.Hum. KetutWidyaPurnawati, S.S., M. Hum. Ni Luh Putu Sri Adnyani, S.Pd, M.Hum. Lanny Isabela D. Koroh, S.Pd, M.Hum.

Udayana University Denpasar, 28-29 August 2015 Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

“Eksplorasi, Eksplanasi, dan Interpretasi Fenomena Kebahasaan Demi PerkembanganLinguistik dan Sastra Austronesia-Nonaustronesia”

(Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature)

Copyright © 2015 All rights reserved

Editors: Dr. Made Sri Satyawati, S.S., M.Hum. I Gusti Agung Sri Rwa Jayantini, S.S, M.Hum. KetutWidyaPurnawati, S.S., M. Hum. Ni Luh Putu Sri Adnyani, S.Pd, M.Hum. Lanny Isabela D. Koroh, S.Pd, M.Hum.

Cover Design: I Made Yogi Marantika, S.S

Publisher: Pustaka Larasan Denpasar, Bali, Indonesia Email: [email protected]

The Study Program of Linguistics of Postgraduate Program UdayanaUniversity

in collaboration with Local Languages Researcher Association Research Institute for Languages and Cultures of Asia and Africa Tokyo University of Foreign Studies

ISBN: 978-602-1586-39-6

No part of this publication may be reproduced, stored in a retrieval system, or transmitted in any form or by any means, electronic, mechanical, photocopying, recording, or otherwise, without written permission of the copyright owner

~ ii ~ SAMBUTAN DIREKTUR PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

Yang saya hormati, Bapak Dekan Fakultas Sastra dan Budaya beserta jajarannya, para pemaka- lah, peserta seminar dan hadirin sekalian.

Om Swastiastu. Mengawali sambutan ini saya ingin mengajak Ibu/Bapak untuk memanjatkan puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa karena tanpa perkenanNya Seminar Internasional Bahasa dan Sastra Austronesia dan Nonaustronesia ke-7 tidak mungkin terlaksana serta prosiding sebagai dokumentasi publikasi ilmiah dari para pemakalah tidak mungkin selesai pada waktunya.

Ibu/Bapak sekalian, Saya merasa sangat bangga bahwa kali ini Program Pascasarjana, khususnya Program Studi Magister dan Doktor Linguistik tetap dapat melaksanakan salah satu program unggulannya yaitu Seminar Internasional Bahasa dan Sastra Austronesia dan Nonaustronesia yang tahun ini sudah terselenggara untuk ketujuh kalinya. Saya juga sangat berbahagia bahwa kegiatan ilmiah ini dihadiri oleh pemakalah dan peserta dari berbagai daerah di Indonesia juga manca negara. Ini menunjukkan bahwa seminar yang dilaksanakan oleh Program Studi S2 dan S3 Linguistik ini memang layak disebut seminar internasional. Selaku Direktur Pascasarjana Universitas Udayana, saya berharap makalah-makalah yang disajikan dan dikompilasi dalam prosiding dapat menambah wawasan Ibu/Bapak sekalian karena pertemuan ilmiah seperti seminar ini sangat bermanfaat sebagai ajang bertukar informasi tentang hasil penelitian dan kajian yang selama ini telah dilakukan oleh para peneliti, khususnya bahasa dan sastra Austronesia dan Nonaustronesia. Saya juga mengucapkan selamat datang di Bali, khususnya di Universitas Udayana, terutama bagi para peserta seminar dari mancanegara dan luar Bali yang hadir dalam seminar ini. Selamat berseminar dan apabila ada kesempatan, selamat menikmati alam pulau Bali. Mengakhiri sambutan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada para pemakalah kunci, pemakalah undangan, pemakalah pendamping, seluruh peserta serta panitia yang sudah bekerja keras mempersiapkan seminar ini. Ucapan terima kasih dan apresiasi juga saya tujukan kepada semua pihak yang sudah memberikan dukungan. Saya juga mohon maaf apabila terdapat salah kata atau hal-hal lain yang kurang berkenan di hati.

Om Shanti, Shanti, Shanti, Om.

Direktur Pascasarjana Universitas Udayana

~ iii ~ SAMBUTAN KETUA PANITIA

Yang terhormat Ibu Direktur Pascasarjana Universitas Udayana; Yang saya hormati Bapak Dekan Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana; Ketua Program Studi Linguistik S2/S3; para Ketua Program Studi di lingkungan Fakultas Sastra dan Budaya; Ketua Asosiasi Peneliti Bahasa-bahasa Lokal; Para pemakalah dan hadirin sekalian yang berbahagia.

Om Swastiastu. Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi, Wasa/Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas berkatNya, Seminar Internasional Bahasa dan Sastra Indonesia Austronesia dan NonAustronesia VII dapat terlaksana seperti yang telah direncanakan. Dalam sambutan ini, ada beberapa hal yang dapat saya sampaikan terkait dengan perencanaan seminar dan pelaksanaannya. Sebagai langkah awal, seminar ini ditetapkan dengan mengusung tema “Eksplorasi, Eksplanasi dan Interpretasi Fenomena Kebahasaan demi Perkembangan Linguistik Austronesia dan Nonaustronesia.” Pelaksanaan seminar ditentukan selama dua hari yaitu pada hari Jumat-Sabtu, 28 dan 29 Agustus 2015, diikuti hampir 200 peserta. Sambutan hangat kami rasakan dari berbagai pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan seminar ini. Agenda rutin berupa seminar internasional ini dapat menjadi ajang pertemuan dan tukar informasi dari para peneliti dan pecinta bahasa, khususnya bahasa Austronesia dan Nonaustronesia yang berguna menambah wawasan, ilmu serta cakrawala informasi mengenai bahasa yang menjadi bagian penting dari budaya dan kehidupan kita. Di samping itu, seminar ini juga diharapkan dapat menciptakan relasi dan komunikasi yang baik antarpeneliti dan penggiat kegiatan kebahasaan untuk menciptakan sinergi kerjasama untuk kebertahanan dan pengembangan bahasa-bahasa Austronesia dan Nonaustronesia. Dalam seminar kali ini, para pemakalah dari berbagai negara hadir menyajikan makalahnya, seperti Singapura, Jepang, Australia, Italia, Timor Leste, Polandia, juga Indonesia. Dari Indonesia, pemakalah dari wilayah Aceh hingga Papua berpartisipasi dalam seminar ini termasuk dari Denpasar, Flores, Kupang, Manggarai, Medan, Lampung, Bengkulu, Banten, Makasar, Kendari, Surabaya, Mataram, Selong, Bandung, Surakarta, Semarang juga Malang. Untuk itu, kami sampaikan apresiasi dan ucapan terima kasih pada para pemakalah kunci dan undangan yang berkenan hadir berbagi ilmu dalam seminar ini. Tak lupa juga kami berterima kasih kepada Bapak/Ibu pemakalah pendamping dan peserta seminar yang telah hadir dalam seminar ini. Tentu saja tanpa partisipasi dan kontribusi dari Bapak/Ibu, acara ini tak mungkin dapat terselenggara. Akhir kata, saya ucapkan terima kasih kepada Ibu Direktur Pascasarjana Universitas Udayana, Bapak Dekan Fakultas Sastra dan Budaya, Ketua Program S2/S3 Linguistik, Ketua Asosiasi Peneliti Bahasa-bahasa Lokal, juga dari Research Institute for Languages and Cultures of Asia and Africa, Tokyo University of Foreign Studies serta seluruh pemakalah dan panitia. Mohon maaf yang sebesar-besarnya jika ada hal-hal yang kurang berkenan selama penyelenggaraan acara atau kekurangsempurnaan dalam prosiding, buku panduan atau hal lainnya. Semoga seminar ini mendatangkan manfaat dan berkat keilmuan bagi semuanya. Om Shanti, Shanti, Shanti, Om.

Ketua Panitia

~ iv ~ PENGANTAR

Prosiding ini adalah kumpulan makalah yang disajikan pada Seminar Internasional Ba- hasa dan Sastra Austronesia dan Nonaustronesia ke-7 yang diselenggarakan pada tanggal 28-29 Agustus 2015 di Auditorium Pascasarjana Universitas Udayana, Jl. Sudirman, Denpasar-Bali. Dukungan yang luar biasa kami dapatkan dari seluruh pihak yang terlibat dalam seminar ini sehingga acara dapat terselenggara dengan baik sesuai harapan. Seminar kali ini terselenggara berkat kerja sama antara Program Studi Magister dan Doktor Linguistik Program Pascasa- rjana Universitas Udayana dengan Asosiasi Peneliti Bahasa-Bahasa Lokal dan Research Institute for Languages and Cultures of Asia and Africa, Tokyo University of Foreign Studies. Kontribusi dari para pemakalah kunci, undangan dan pendamping memberikan arti yang sangat besar bagi penyelenggaraan seminar ini. Pemakalah yang menjadi penyaji dalam seminar ini berasal dari sejumlah negara seperti Singapura, Jepang, Australia, Italia, Timor Leste, Polandia dan Indonesia. Dari Indonesia, tercatat sejumlah pemakalah dari berbagai insti- tusi di berbagai wilayah nusantara. Tercatat abstrak dan makalah datang dari daerah Aceh, Bali, Flores, Kupang, Manggarai, Medan, Lampung, Bengkulu, Banten, Makasar, Kendari, Sura- baya, Mataram, Selong, Bandung, Surakarta, Semarang, Malang, hingga Papua. Prosiding ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai dokumentasi karya akademik para pemakalah yang sekaligus juga berguna untuk menambah wawasan keilmuan bidang linguistik dan sastra, khususnya bahasa dan sastra austronesia dan nonaustronesia. Prosiding ini memuat berbagai pemikiran dan hasil penelitian pada pemakalah seputar perkembangan bahasa dan sastra austronesia dan nonaustronesia dari berbagai fokus análisis baik dari bidang linguistik mikro, makro dan terapan. Mohon maaf jika ada masih banyak kekurangan dan kesalahan yang ditemukan, karena kami yakin tidak ada sesuatu yang bersifat sempurna. Namun, kerja keras telah diupayakan untuk mencoba mengurangi terjadinya kekeliruan. Mudah-mudahan seminar dan prosiding ini memberikan manfaatnya bagi kita semua.

Panitia

~ v ~ FOREWORD

These proceedings cover a collection of papers presented at the 7th International Seminar on Austronesian and Non Austronesia languages and literature held on 28-29 August 2015 in the auditorium of the postgraduate program University Udayana, on Jl. Sudirman, Denpasar-Bali. We would like to express our tremendous appreciation for the varieties of supports that have been given to the committee so that the seminar can be conducted as it is planned. The seminar is held by the Study Program of Linguistics of Postgraduate Program Udayana University in collaboration with Local Languages ​Researcher Association ​and Research Institute for Languages ​​and Cultures of Asia and Africa, Tokyo University of Foreign Studies. All of the speakers and paper presenters in this seminar have given a great contribution to the sharing of knowledge and insights on Austronesian and non-Austronesian languages and literature. The speakers in the seminar are the linguists from several countries like Singapore, Japan, Australia, Italy, Timor Leste, Poland and Indonesia. From Indonesia, it is noted that a number of speakers come from many institutions in different regions of the archipelago. The abstracts and papers were sent by many lecturers and researchers from Aceh, Bali, Flores, Kupang, Manggarai, Medan, Lampung, Banten, Makasar, Kendari, Surabaya, Mataram, Selong, Bandung, Surakarta, Semarang, Malang, to Papua. We expect that the proceedings will prove to be of use to the documentation of academic works of the seminar speakers as well as to broaden the horizon on the existence of language and its use, especially the Austronesian and non-Austronesia languages and literature. The proceedings contain a variety of ideas and research results on the exploration of language phenomena for the development of Austronesian and non-Austronesian language and literature covering the specific discussion on the field of linguistics from microlinguistics, macrolinguistics and applied linguistics. Finally, we sincerely apologize for any inconvenience caused. We hope that the proceedings can be beneficial for all of us in enriching our knowledge on various aspects of language and literature that are worth investigating.

~ vi ~ DAFTAR ISI

Sambutan Direktur Pascasarjana ~ iii Sambutan Ketua Panitia ~ iv Pengantar ~ v Foreword ~ vi

Pemakalah Undangan

The Definite Marker in Balinese Asako Shiohara dan Ketut Artawa ~ 1

Klasifikasi Bah asa, Geo metri, dan Similaritas: Upay a Reko ns­ truksi Kekerabatan Bahasa dengan Komputasi Ruang Vektor Totok Suhardijanto ~ 7

Pemakalah Pendamping

PENAMAAN DAN OPOSISI BERPASANGAN DALAM ORENG PADA MASY ARAKAT IMULOLONG KABUPATEN LEMBATA Alexander Bala ~ 13

PENTINGNY A PENGELOMPOKAN GENETIS LANJUTAN PADA JENJANG MESSOLANGUAGE Aron Meko Mbete ~ 19

Kesalah an Penulisan Aksara Lampung Ole h M ah asisw a STKIP Muhammadiy ah Pringsewu Lampung Amy Sabila ~ 25

THE SECRET CODE/ARGOT USED BY THE W ARRIORS OF FRETELIN DURING THE INVASION OF INDONESIAN ARMED FORCES IN DECEMBER 1975 Antonio C. Soares ~ 31

LINGUISTIC PHENOMENON OF NEBHA AS THE SPEECH PLA Y ON NGADHA LANGUAGE IN NGADA REGENCHY , FLORES, NTT Bertholomeus Jawa Bhaga ~ 37

STILISTIKA TEKS W ASIAT RENUNGAN MASA PENGALAMAN BARU KARY A TGKH MUHAMMAD ZAINUDDIN ABDUL MAJID Bohri Rahman ~ 43

INTERFERENSI BAHASA BAJO KE DALAM BAHASA INDONESIA DALAM KOMUNIKASI LISAN ETNIK BAJO DI PULAU BUNGIN KECAMATAN ALAS KABUPATEN SUMBAW A NUSA TENGGARA BARAT Burhanudin ~ 49

~ vii ~ BENTUK -KI SEBAGAI PEMARKAH HONORIFIK DALAM BAHASA BUGIS Dafirah ~ 55

EMPOWERING EDUCATION DIMENSION OF SPEECH ACT IN FAMILY COMMUNICATION Daroe Iswatiningsih ~ 59

PELANGGARAN MAKSIM PERCAKAPAN PADA IKLAN FRESTEA Desak Putu Eka Pratiwi & I Wayan Sidha Karya ~ 65

Ako mo dasi Variasi Bah asa Dalam Ko nvergensi Linguistik Pada Penutur Bah asa Madura dan Jaw a di Pasar Turi Surabay a: Kajian So sio linguistik Dewanto ~ 69

SITUASI KEBAHASAAN PADA GENERASI MUDA ETNIK WEWEW A, DALAM PERSPEKTIF EKOLINGUISTIK Diaspora Markus Tualaka ~ 75

TINGKAT TUTUR DALAM BAHASA JAW A DI DESA BANYUMAS KECAMATAN BANYUMAS KABUPATEN PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK Dwi Fitriyani ~ 79

KESANTUNAN KRITIK DALAM MASY ARAKAT ETNIK MADURA: KAJIAN PEMBERDAY AAN FUNGSI BAHASA SEBAGAI SARANAKONTROL SOSIAL Edy Jauhari ~ 85

REDUPLIKASI BAHASAS ROTE DIALEK DENGKA Efron Erwin Yohanis Loe ~ 93

METAFORA DALAM TEKS DAN KONTEKS BAHASA INDONESIA SEBAGAI PANUTAN FILOSOFI BANGSA Esther Hesline Palandi ~ 97

PERGESERAN LEKSIKON BUDA Y A PADI CERMINAN PERUBAHAN LINGKUNGAN FISIK EKOLOGI DAN LINGKUNGAN SOSIAL DI LINGKUNGAN KOMUNITAS GUYUB TUTUR PENEBEL, TABANAN Gek Wulan Novi Utami dan Gede Doddi Raditya Diputra ~ 103

GANGGUAN PRODUKSI KONSONAN BAHASA INDONESIA PENDERITA AUTISTIC SPECTRUM DISORDER DEW ASA Gustianingsih ~ 111

WUJUD PENGGUNAAN DAN TINGKAT TUTUR BAHASA KEDHAT ON DI KARATON SURAKARTA Hary Murcahyanto ~ 117

PEMBEDA FONOLOGIS DAN LEKSIKAL ANTARA BAHASA SA WU DI NTT DAN BAHASA BIMA DI NTB I Gede Budasi ~ 123

~ viii ~ PENYESUAIAN-PENYESUAIAN DALAM PENERJEMAHAN BERANOTASI SE­ BUAH ARTIKEL LINGKUNGAN BERBAHASA INDONESIA KE DALAM BAHASA INGGRIS I Gede Putu Sudana ~ 129

Komponen Makna Pain dan Nyeri sebagai Ko nsep Medis: Pendekatan Metabah asa Semantik Alami (MSA) I Gusti Agung Sri Rwa Jayantini & Ni Ketut Pola Rustini ~ 137

CARA PANDANG TOKOH-T OKOH BELANDA: KAJIAN STILISTIKA ATAS CERPEN SEMUA UNTUK HINDIA I Gusti Ayu Agung Mas Triadnyani ~ 143

PRESTISE BAHASA: KASUS PADA BASA NUSA I Ketut Darma Laksana ~ 151

KETERW ARISAN PROT O-KATA AUST ONESIA *asu ‘ANJING’ DALAM BAHASA BALI I Ketut Paramarta ~ 159

BAHASA MELA YU BRUNEI DARUSSALAM DALAM HIKA Y AT DANG SUASA I Ketut Riana ~ 165

“MENOLEH KE BELAKANG” KAR Y A PUTU WIJA Y A: SEBUAH TAFSIR I Ketut Sudewa ~ 171

OCEANIC GROUP OF AUSTRONESIAN LANGUAGES: VIEWED FROM ARCHAEO – LINGUISTICS I Ketut Warta ~ 177

Explaining Non -canonical Representations of Indonesian Universal Quantifier Semua “All” I Nyoman Aryawibawa ~ 183

PERILAKU SINTAKSIS DAN STRUKTUR LOGIS VERBA BERA W ALAN BER- BAHASA INDONESIA I Nyoman Sedeng ~ 191

SISTEM FONEMIS BAHASA LAMPUNG I Nyoman Suparsa ~ 197

Lexical Reflexivity and Middle Constructions in Indonesian I Nyoman Udayana ~ 201

FRASA PREPOSISIONAL BAHASA NGADA I Wayan Budiarta ~ 207

REPRESENTASI PERANGKAT LINGUISTIK W ACANA POLITIK DI MEDIA TELEVISI INDONESIA I Wayan Pastika dan Ni Made Sri Satyawati ~ 215

~ ix ~ PENGELOMPOKAN BAHASA KABOLA, BAHASA HAMAP, DAN BAHASA KLON DI PULAU ALOR NUSA TENGGARA TIMUR: KAJIAN LINGUISTIK HIST ORIS KOMPARATIF Ida Ayu Iran Adhiti ~ 221

Fungsi Dan Makna Tradisi Lisan Genjek Karangasem Ida Bagus Nyoman Mantra ~ 229

REPRESENTATION IN RITUAL PAKI KABA RESPECT THE OVERTIME Komba CITY DISTRICT DISTRICT EAST MANGGARAI Imelda Oliva Wisang ~ 233

VARIASI LEKSIKON BAHASA SASAK DALAM KONTEKS KEBERAGAMAN BAHASA LOKAL SEBAGAI AKAR BAHASA NASIONAL Irma Setiawan ~ 239

VARIASI LEKSIKAL AJUNG W AKTU BAHASA BALI DALAM KUMPULAN CERITA PENDEK “BELOG” Ketut Widya Purnawati ~ 245

BARANUSA DAN ALOR: DUA BAHASA ATAU SATU BAHASA La Ino ~ 251

THE GENETIC RELATIONSHIP BETWEEN T ONGKUNO AND GU- MAW ASANGKA DIALECTS OF IN SOUTHEAST SULA WESI (SYNCHRONIC AND THE DIACHRONIC STUDIES) La Ode Nggawu ~ 257

UNGKAPAN FALIA DALAM KONTEKS PENDIDIKAN KARAKTER ANAK PADA ETNIK MUNA DI KABUPATEN MUNA SULAWESI TENGGARA La Ode Sidu Marafad ~ 263

Makna Verba Memasak Bah asa Ciacia: Pendekatan Metabahasa Semantik Alami La Yani Konisi ~ 273

MAKNA EKSPRESI VERBAL TENTANG LONTAR PADA MASY ARAKAT SABU DI KABUPATEN SABU RAIJUA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Lanny Isabela Dwisyahri Koroh & Simon Sabon Ola ~ 281

Gender dan Alih Kode dalam Talkshow “ Just Alv in” (Studi Kasus Gender dan Perubahan Bahasa ) Luh Putu Laksminy ~ 289

BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAHASA DALAM KEBUDA Y AAN MODEREN Luh Sukanadi, Maria Gorethy Nei Nie, Ida Ayu Agung Eka Sriadi ~ 297

KAJIAN SEMIOTIKA MALAK SEBAGAI SIMBOL KEPEMILIKAN HEW AN PADA ETNIK DAW AN KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN Magnecia Manek ~ 305

~ x ~ DO SPEECH LEVELS EXIST IN INDONESIAN? Majid Wajdi ~ 313

TRANSFORMASI CERITA RAKY AT FLORES MENJADI NASKAH DRAMA Maria B Larasati ~ 319

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM LAGU KOGO KELA RESA KARY A FERDY LEVI Maria Yulita C. Age ~ 325

REPRESENTASI NILAI BUDAYA MELALUI PELANGGARAN MAKSIM KUALITAS Y ANG TERKANDUNG DALAM SERUAN PERANG (NGAY AU) SUKU DAY AK KAY AN SEGAI/GA’AI Martvertnad ~ 331

WOLIO LANGUAGE IN BUT ON REGENCY , SOUTHEAST SULA WESI: DIACHRONIC STUDY Maulid Taembo ~ 337

Variasi Pemberian Nama Kedai di Roy al Mall Surabay a sebagai Fenomena Kebahasaan Miftah Widiyan Pangastuti ~ 343

Ino vasi Fo no lo gis dalam Bah asa Melay u Lo lo an: Kajian Dialektologi Diakronis Muh. Ardian Kurniawan ~ 351

Struktur Konstituen dalam Tuturan Anak Disleksia Mulyono ~ 357

ISTILAH-ISTILAH DALAM TEKNIK TARI PUTRA ALUS GA Y A SURAKARTA SERTA TERJEMAHANNY A DALAM BAHASA INGGRIS Ni Ketut Dewi Yulianti & Rinto Widyarto ~ 361

VARIASI FONOLOGIS BENTUK INGKAR DALAM BAHASA JAW A KUNA Ni Ketut Ratna Erawati ~ 371

BENTUK BAHASA TELEKS DI BAGIAN KARGO PT GARUDA INDONESIA KANTOR CABANG DENPASAR Ni Ketut Sri Rahayuni & I Gusti Agung Istri Ariani ~ 379

REKONSTRUKSI BUDA Y A AUSTRONESIA Ni Luh Sutjiati Beratha & I Wayan Ardika ~ 385

THE INDONESIAN MORPHOLOGICAL BASE VERB FORMS AND ITS TRANSLATIONAL EQUIVALENCE IN ENGLISH IN NARRATIVE TEXT EDENSOR Ni Made Verayanti Utami ~ 401

EUFEMISME KATA KEMATIAN DALAM BAHASA BALI Ni Putu Luhur Wedayanti ~ 407

~ xi ~ PROFIL BAHASA NIAS SEBAGAI BAHASA MINOR DI SUMATERA Ni Putu N. Widarsini dan I Made Suida ~ 413

PEMBERDAY AAN PERIBAHASA DALAM REV OLUSI MENTAL Ni Putu Parmini ~ 417

THE DYNAMICS OF THE LANGUAGE USE IN ADVERTISEMENT Ni Wayan Kasni ~ 425

THE LANGUAGE OF CHILDREN IN INTERMARRIAGE COUPLES AT SENGGIGI, WEST LOMBOK Ni Wayan Prami Wahyudiantari ~ 429

Problematika Bahasa Indonesia dalam Konteks Kekinian The Problems of Indonesian in Recency Context Ni Wayan Sartini ~ 437

Substitution between Sentences in Balinese Folklores Ni Wayan Suastini ~ 443

KELAS KATA DALAM STRUKTUR MIKRO W ACANA LISAN MBASA WINI ETNIK RONGGA Ni Wayan Sumitri ~ 447

GENDER MARKING IN MEE Niko Kobepa ~ 455

Reko nstruksi Memo ri Ko lektif: studi Peristilah an Pertanian Padi Organik di Y o gy akarta Paulus Kurnianta ~ 467

ANALISIS SKEMA CITRA TERHADAP MAZMUR 23 Paulus Subiyanto ~ 473

KARTOGRAFI FIKSI: NARASI, MOTIF, DAN PERSEBARAN CERITA RAKY AT BALI Puji Retno Hardiningtyas ~ 479

Naming Trends of Star Hotels in the Multilingual Destination of Bali Putu Chris Susanto ~ 495

MAKNA KIAS DALAM EKO-LEKSIKON PERUMPAMAAN TENTANG PUKAT Putu Chrisma Dewi ~ 501

NGUSABA DI DESA SELAT, KARANGASEM: UPACARA PEMUJAAN DEWI SRI, KAJIAN SEMIOTIK SOSIAL Putu Evi Wahyu Citrawati, dan Gede Eka Wahyu ~ 505

~ xii ~ Proses Pembentukan Verba dari Dasar Nomina dalam Bahasa Bali Putu Wedha Savitri ~ 511

MASALAH PENERJEMAHAN Diglosia Rahmat Wisudawanto & Dyah Retno Pratiwi ~ 519

KATEGORI DAN VARIASI BAHASA GAUL REMAJA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLINGUISTIK PUNCA-USIA Rani Siti Fitriani ~ 525

Analisis Satuan Naratif dalam Mitos Kuri dan Pasai dalam Etnik Wamesa Rinetha Stella Suabey Rinetha Stella Suabey ~ 531

PHONEMIC ASSIMILATION OF DA Y AK NGAJU LANGUAGE Ristati ~ 537

Bentuk dan Makna Tuturan dalam Ritual Mebakti di desa Batu Bulan Sang Ayu Isnu Maharani & I G A Nila Wijayanti ~ 443

HARAPAN PERLINDUNGAN DALAM SENI BELUK DI KABUPATEN SUMEDANG: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK Santika, Arista Mega Utami, dan Nengsih ~ 447

TRANSLASI DAN TRANSLITERASI BUDAYA PADA NASKAH LONTAR MEGANTAKA Sarwadi ~ 553

Intercracy of Structural Exchange in Karonese Interaction Siti Aisyah Ginting ~ 557

Wujud Imperatif dalam Sastra Lisan Lampung Muayak (Kajian Pragmatik) Siti Fitriati ~ 565

Spelling Reconstruction of from Phonological Perspective Sri Ratnawati & Dwi Handayani ~ 571

UTILITAS BAHASA DALAM MENGKONSTRUKSI PSIKOLOGI T OKOH PADA NOVEL DADAISME KARY A DEWI SARTIKA Sugiarti ~ 577

SESANTI PENGEJAW ANTAHAN KEPRIBADIAN DAN PENY ANGGA MORAL MASY ARAKAT JAW A Sunoto ~ 583

MAKNA KONTEKSTUAL BAHASA LAMPUNG DALAM KOLOM W AT W AT GAWOH PADA SURAT KABAR HARIAN LAMPUNG POST Veria Septianingtias ~ 589

~ xiii ~ TUAK JATI DIRI GUYUB KULTUR LEMBATA: KAJIAN EKOLINGUISTIK Veronika Genua ~ 595

REDUPLIKASI MORFEMIS BAHASA MANGGARAI-NTT Vinsensius Gande ~ 601

PRODUKTIVITAS PREFIKS /ŋ/ dalam BAHASA INDONESIA DIALEK MELAYU Wuri Sayekti ~ 611

Affixes in Bahasa Lampung (A and O dialects): Morphology Study Wuri Syaputri ~ 617

KATA TANAM DALAM BAHASA MIY AH Yafed Syufi ~ 623

VALENCY CHANGING IN JAVANESE Yana Qomariana ~ 627

PENGGUNAAN LEKSIKON TENTANG DAUN PISANG DALAM MASY ARAKAT SUNDA DI KAMPUNG BABAKAN CIMAHI (KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK) Yeni Mia Liani, Desi Sri Cahyani, Santy Rahmawati, & Agung Setiawan ~ 631

LINGUISTIC LANDSCAPE: PENGGUNAAN SIMBOL-SIMBOL LINGUACULTURE DAN IDENTITAS LOKAL DI KA W ASAN PARIWISATA KUTA Yohanes Kristianto, Made Budiarsa, Wayan Simpen, Ni Made Dhanawaty ~ 635

PROPERTY ARGUMEN LAMALERA DIALECT Yosef Demon ~ 641

DEIKSIS BAHASA MIY AH: STUDI AW AL Yosefina Baru ~ 649

~ xiv ~ THE DEFINITE MARKER IN BALINESE

Asako Shiohara & Ketut Artawa Research Institute for Language and Cultures of Asia and Africa & Udayana University

1 Introduction The presence of the definite suffix–é is a distinctive feature that Balinese exhibits among the Western Malayo- spoken in Indonesia. Most of these languages do not have a special marker indicating definiteness, while some languages, such as colloquial Indonesian and Javanese, employ the third person genitive suffix (–nya in colloquial Indonesian, –(n)é in Javanese) as a definite marker, as a result of semantic extension. Sentence (1) is an example of colloquial Indonesian. The third person genitive form –nya in the NP garam-nya ‘salt-3gen’ may be interpreted as some third person that can be identified by the speaker and the hearer or the definite marker, indicating the salt is identifiable from the linguistic or non- linguistic context, for example, being present at the place of utterance.

• Ambilkan garam-nya. take salt-3gen ‘Take his salt.’ or ‘Take the salt (e.g., on the table).’

Sentences (2) and (3) are Balinese examples corresponding to example (1) above. In sentence (2), the NP with –é refers to the entity that is linguistically or non-linguistically identifiable. Unlike in Indonesian, the form is distinguished from the third person genitive suffix–né , which occurs in example (3).

(2) Jemakang uyah-é! take salt-é ‘Take the salt (e.g., on the table).’

(3) Jemakang uyah-né! take salt-3gen ‘Take his/her/its/their salt.’

This study focuses to describe the semantic conditions in which –é occurs. Before looking into this topic in Section 3, the morpho-phonological and morpho-syntactic properties of –é will be briefly explained in Section 2.

2 Morphophonological and morpho-syntactic properties of –é When the suffix –é attaches to the vowel-final stem, the sound n is inserted between the stem and the suffix, as in the examples below.

jelema ‘person’ + –é → jelema-n-é ‘the book’ buku ‘book’ + –é → buku-n-é ‘the book’ caya ‘light’ + -é → caya-n-é ‘the light’ balé ‘building’ + -é → balé-n-é ‘the building’ radio ‘radio’ + -é →radio-n-é ‘the radio’

The similar rule is observed when the third person agentive clitic a is attached to the vowel-final stem as in the examples below.

~ 1 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

beli ‘buy’ →beli-n-a ‘he/she/they buy(s)’ or aba ‘bring’ →aba-n-a ‘he/she/they bring(s)’ or

The suffix –é may occur when the head noun is modified by other constituent that shows the referent is definite, such as a demonstrative, the first or second person pronoun, or a relative clause, shown in (4) to (6), respectively.

(4) anak-é ento ‘that person’ (a demonstrative modifier) (5) pianak tiang-é (a pronominal modifier) (6) jelema-n-é ané maling dompet person-ins-é rel steal wallet ‘the man who stole a wallet’ (relative clause)

The only exception is when the head noun carries the third person pronominal suffix–né of the low register, with which –é cannot co-occur. This is demonstrated by (7).

(7) *pianak-né-n-é

Balinese has several other third person pronouns that are used according to the social status of the hearer or the referent (see Arka 2005: 174). The other three third person forms are realized as independent pronouns that occur with –é, as in (8) and (9).

(8) pianak ipun-é (9) oka-n-ida-n-é

The suffix –é is normally attached to the head noun, as illustrated in (10)–(13).

(10) anak-é luh ‘the woman’ (an adjective modifier) (11) anak-é ento ‘that woman’ (a demonstrative modifier) (12) marga-n-é di Bali road-ins-é in Bali ‘The roads in Bali’ (a PP modifier)

(13) jelema-n-é ané maling dompet person-ins-é rel steal wallet ‘the man who stole a wallet’ (relative clause)

The only exception is an NP in which the head noun is modified by a noun; in this structure,–é is attached to the modified noun, as inmontor jepang-é ‘the Japanese car’ and sebun kedis-é ‘the bird’s nest’; a personal pronoun exhibits features similar to a noun in this environment, as seen in pianak tiang-é ‘my child (child 1sg-é),’ while a demonstrative pronoun does not, as seen in anak-é ento ‘that woman.’

3 Semantic range of –é As with all the other grammatical categories, the semantic range of “definite markers” varies cross-linguistically. To see the semantic features that definite markers in many languages share, we will start by introducing the use of the English definite article the, based on the discussions of Lyons (1999: 1–15) and Quirk et al. (1985: 265–268). Roughly speaking, the definite article indicates that the referent of the NP is identifiable to the addressee linguistically or non- linguistically. Its three main three categories of use are shown in I to III below.

~ 2 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

I. Situational use The reference of the NP is identified by the extralinguistic situation that the speaker and the hearer share, as in example (14).

(14) ‘Take the salt (e.g., on the table).’

In example (14), the referent of the salt is identifiable from the physical situation in which the speaker and hearer are located.

II. Anaphoric use The referent of the NP with the definite article is identifiable from linguistic information given earlier in the discourse. This is demonstrated in (15).

(15) An elegant, dark-haired woman, a well-dressed man with dark glasses, and two children entered the compartment. I immediately recognized the woman. The children also looked vaguely familiar.

III. Associative use This use can be thought of as a combination of the anaphoric and general knowledge types. The referent of the driver in (16) is identifiable because it is associable from the referent of a car, which is mentioned in the previous sentence. (16) I had to get a taxi from the station. On the way, the driver told me there was an accident.

I carried out elicitation research to identify how the situations expressed in (14)–(16) are expressed in Balinese. The Balinese speakers judged that –é covers all the semantic types in the list above. Balinese sentences corresponding to (14)–(16) above will be shown (17)-(19) below.

(17) Jemakang uyah-é! take salt-é ‘Take the salt (e.g., on the table).’

(18) Anak luh jegeng lan anak cenik person woman elegant and person small ajak dadua macelep ke kamar-é. with two enter to room-know Prajani icang nawang anak-é luh ento. immediately 1sg know person-é woman that ‘An elegant woman and two children entered the room. I immediately recognized the woman’.

(19) Icang musti numpang taksi uli penambangan. 1sg need ride taxi from station di jalan sopir-é nyambat at way driver-é tell ada kecelakaan tunian suba. exist accident a.while.ago already ‘I had to get a taxi from the station. On the way, the driver told me there had been an accident a few hours ago.’

It is the associative use that makes the Balinese definite marker distinct from the apparently similar markers observed in other neighboring languages. The demonstratives in these languages only refer to an entity that is directly available from the situation or previous utterance; they can

~ 3 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature be used in the situational use and the anaphoric use, but not in the associative use. The semantic range of Balinese definite NP overlaps with that of the English definite NP to wider extent. But in some cases, the equivalent of English definite NP appears in the form of an unmarked (non-definite) NP in Balinese. The use of the definite article in English may be accounted by the concept of uniqueness as well as identifiability (Lyons 1999). The English definite NP may indicate an entity that is not known to the addressee at the time of utterance, if it is ‘unique’ in the situation, while the Balinese definite NP may not. Example (20) is one example as such.

(20) The president of Ghana is visiting tomorrow. (20) ’ Presiden Ghana-(*é) lakar teka mani. President Ghana will come tomorrow

Sentence (21) is another example. It is a passage from a folktale appeared in a Balinese elementary textbook.

(21) I Raksasa ngelah manik sakti telung besik luire: Mr.Giant have magic stone power three item that.is manik api, manik yeh, manik angin. magic.stone fire magic.stone water magic.stone wind ‘The Giant had three magic stones (maniks), that is, the fire magic stone,the water magic stone, and the wind magic stone.’

The name of the three magic stone, which is totally new to the addressee at this point of the story, occurs as a definite NP in English translation, presumably because each referent is logically unique in this situation. In contrast to that, the NP referring to each stone does not undergo the marking of the definite marker in Balinese. The English definite NP maybe used when the speaker do not assume that the addressee was previously aware of the referent. Sentence (22) is an example introduced in Quirk et al (1985) to show this point.

(22) Beware of the dog! [Quirk et al (1985)] (22)’ *Awas teken cicing-é careful with dog-e (22)’’ Awas! ada cicing. careful exist dog ‘Be careful! There is a dog.’

Here, the definite NPs are used to announce the existence of the referent in the situation, rather than to refer to the entity that is identifiable from the situation. Balinese suffix-é does not occur in the corresponding sentences, as shown in (22)’. An existential sentence (22)’’ is used in order to introduce the new entity, instead. When we refer to someone that is not considered to be known to the listener, but is unique in the situation, the definite NP is used in English. In contrast to that, Balinese does not employ the definite marker to encode a referent as such. Another type of difference between definite markers in Balinese and English is caused by the presence of the third person genitive suffix né– in Balinese, which is a counterpart of –nya in Malay. This pronominal suffix occurs instead of é– when the referent can be related to an already mentioned entity and is therefore definite. For instance, the pronominal suffixné – cannot be replaced by the definite suffixé – in example (23). ~ 4 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

(23) Umah icang-é resem. Kakus-né (*-é) uwug, raab-né (*-é) bolong house 1sg-é shabby toilet-3gen broken roof-3gen have.a.hole ‘My house is shabby. The (lit. its) toilet is broken and the (lit. its) roof has a hole.’

4. Summary In this presentation, we have seen the semantic conditions in which the Balinese suffix –é occurs. From the elicited examples, we saw that –é exhibits similar semantic range to the English definite article, in that it indicates that the referent of the NP identifiable. The semantic range that –é marked NP is limited to the referent that is known to the addressee. It does not mark the NP when the addressee does not know or is not aware of the presence of the referent at the starting point of the utterance.

REFERENCES

Arka, I Wayan 2005. Speech Levels, Social Predicates and Pragmatic Structure in Balinese: A Lexical Approach. Pragmatics 15:2/3. pp. 169-203.

Lyons, Christoper: 2000. Definiteness. Cambridge: Cambridge Quirk, Randolph, Sidney Greenbaum, Geoffrey Leech, Jan Svartvik, 1985. Comprehensive Grammar of the . London: Longman.

~ 5 ~ ~ 6 ~ KLASIFIKASI BAHASA, GEOMETRI, DAN SIMILARITAS: UPAYA REKONSTRUKSI KEKERABATAN BAHASA DENGAN KOMPUTASI RUANG VEKTOR

Totok Suhardijanto Universitas Indonesia

ABSTRAK Tulisan pendek ini menyajikan selayang pandang pengembangan sistem klasifikasi genealogis bahasa secara otomatis yang memanfaatkan teknik dan metode komputasi. Penelitian ini masih terus berjalan. Sedikit banyak tujuan penelitian ini hampir sama dengan ASJP (Wichman 2015), namun menggunakan algoritme dan dasar komputasi yang berbeda. Dalam penelitian ini, digunakan model vektor ruang yang memperlakukan satuan bahasa sebagai vektor dan memproyeksikannya ke dalam ruang untuk mengukur afinitasnya. Model semantik geometri seperti ini juga dikembangkan oleh Gandenfors (2014) yang menganggap minda manusia dapat dipetakan dalam proyeksi spasial atau ruang. Dalam penelitian ini digunakan data kosakata bahasa-bahasa Austronesia sebagai uji coba pengembangan sistem.

Kata Kunci: linguistik historis, model vektor ruang, mekanisme pencocokan fitur, model semantik geometris, rekonstruksi bahasa

1.Pembuka Dalam satu dasawarsa terakhir terjadi perkembangan yang cukup menarik dan pesat dalam hal ketersediaan set data yang cukup besar (lihat Greenhill et al. 2008, Moran & Cysouw 2014, Dryer & Haspelmath 2013, dan Wichmann et al. 2013). Data-data tersebut tentu saja merupakan lumbung emas bagi studi kebahasaan, terutama untuk kajian linguistik historis, tipologi bahasa, serta kesemestaan bahasa. Terkait dengan kajian linguistik historis, beberapa penelitian pernah memanfaatkan keberadaan pangkalan data tersebut (Gray & Jordan 2000, Gray & Atkinson 2000, Greenhil & Gray 2010, Holman et al. 2007, 2008, 2014). Tren dalam kajian linguistik historis belakangan ini adalah memanfaatkan pendekatan lain di luar leksikostatistik dengan menggunakan set data besar yang tersedia (lihat Greenhill & Gray 2010, Holman et al. 2011, Wichman 2015). Pendekatan yang paling populer adalah menggunakan algoritme komputer yang menerapkan metode dan teknik tertentu (lihat Nakleh 2005, Perfors 2002, Saitou & Nei 1987, Suhardijanto & Kiyoki 2011). Kajian dalam bioinformatika pernah dilakukan dengan tujuan merekonstruksi evolusi makhluk hidup dengan memanfaatkan data lengkap mahkluk hidup dan senarai teknik dan pemodelan komputer (lihat Felsensten 2004). Wichman (2015) dan juga Holman et al (2014) memanfaatkan metode dan teknik komputasi untuk mengelola data leksikostatistik ala Swadesh (1950) dengan menggunakan algoritme dasar jarak levenshtein atau jarak edit1. Sebagaimana diketahui, jarak levensthein memang merupakan terobosan favorit yang digunakan untuk mengenali kognat (Nerbonne & Heeringa 1997; Kondrak 2001; Kessler 2001; Suhardijanto & Kiyoki 2011). Metode dan teknik yang diajukan Wichman (2015) dan Holman et al (2011) secara luas dikenali dengan nama 1 Jarak levenshtein (levenshtein distance = LD) atau jarak edit (edit distance = ED) merupakan rumus yang lazim digunakan dalam teknologi informasi dan sains komputer. Jarak levenshtein merupakan satuan untuk mengukur jumlah perbedaan di antara dua rangkaian (misalnya kata). Jarak levenshtein di antara dua jenis data string (data non-numerik) dianggap sebagai jumlah minimum edit (penyesuaian) yang harus dilakukan untuk mengubah satu data string ke data string lainnya, dengan penyesuaian yang berupa penyisipan, penghilangan, atau penyulihan satu karakter . ~ 7 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature automated similarity judgment program (ASJP). Kajian dalam makalah ini mempunyai tujuan yang sama dilakukan dengan Wichman (2015) dan Holman et al (2011), yakni membuat sistem penentuan afinitas bahasa secara otomatis yang dapat digunakan untuk melakukan klasifikasi bahasa,namun dengan pendekatan dan algoritme berbeda. Algoritme yang sedang dikembangkan didasarkan pada ruang vektor yang berasal dari bidang geometri. Penggunaan ruang vektor tersebut didasarkan pada kesamaan pandangan dengan Gandenfors (2014) yang menyatakan bahwa minda mengelola informasi dalam format yang dapat dimodelkan dengan ruang konseptual, sebuah terminologi geometris. Di samping itu, ruang vektor lebih fleksibel daripada jarak levenshtein dalam mengkaji kesamaan dan perbedaan.

2. Desain Penelitian Dalam penelitian ini, digunakan fitur distingtif fonetis sebagai dasar arsitektur sistem klasifikasi berdasarkan ruang vektor. Digunakan kombinasi 22 fitur distingtif biner dan multivariate untuk menghasilkan metadata. Fitur distingtif ini dikembangkan dari Chomsky & Halle (1991) yang diusulkan oleh Mielke (2008). Berdasarkan fitur ini, tiap bunyi dikenali sebagai metadata fonetis. Digunakan 100 kosakata dasar swadesh (Swadesh 1955) dari bahasa-bahasa pada keluarga bahasa Austronesia. Sebagian besar data bahasa diambil dari Austronesian Basic Vocabulary Database (ABVD) dan beberapa lainnya dari publikasi SIL dan Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Depdikbud. Menggunakan Kirshenbaum ASCII-IPA semua data kosakata ditranskripsikan dari karakter IPA ke ASCII untuk membuat data terbaca komputer. Seluruh informasi fonetik kemudian diubah ke dalam data numerik biner. Hadir tidaknya fitur dipresentasikan dengan 1 dan 0. Data numerik ini kemudian diproyeksikan ke dalam ruang matriks. Data numerik yang disimpan dalam sebuah matriks dianggap sebagai metadata sebuah kata. Tiap metadata kata kemudian diintegrasikan ke dalam sebuah matriks bahasa, mewakili keseluruhan metadata kosakata dasar dalam satu bahasa. Kemudian, dengan menggunakan teknik dan metode penghitungan tertentu diperoleh data perbandingan antarbahasa yang kemudian disimpan dalam sebuah matrik yang dinamakan matriks jarak. Matriks jarak inilah yang kemudian dapat divisualisasikan ke dalam beberapa bentuk grafik. Karena dalam model ruang vektor tiap metadata diperlakukan sebagai vektor, metadata kata pun direpresentasikan sebagai vektor. Jarak antara antara satu vektor dan lainnya dianggap sebagai jarak fonetis dan semantis antarkata. Konsep yang hampir mirip dikemukakan oleh Gandenfors dalam teorinya conceptual spaces (Gandenfors 2014) yang memetakan makna dalam dimensi spasial. Namun, dalam peneltian ini, yang bertujuan untuk mengukur jarak bahasa, fokus hanya diberikan pada konsep afinitas atau similaritas yang dilihat dari sudut pandang matematis. Secara garis besar, konsep dasar penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.

~ 8 ~  0HQJJXQDNDQ .LUVKHQEDXP $6&,,,3$ VHPXD GDWD NRVDNDWD GLWUDQVNULSVLNDQ GDUL NDUDNWHU ,3$ NH $6&,, XQWXN PHPEXDW GDWD WHUEDFD NRPSXWHU 6HOXUXK LQIRUPDVL IRQHWLN NHPXGLDQ GLXEDK NH GDODP GDWD QXPHULN ELQHU +DGLU WLGDNQ\D ILWXU GLSUHVHQWDVLNDQ GHQJDQ  GDQ'DWDQXPHULNLQLNHPXGLDQGLSUR\HNVLNDQNHGDODPUXDQJPDWULNV'DWDQXPHULN\DQJ GLVLPSDQ GDODP VHEXDK PDWULNV GLDQJJDS VHEDJDL PHWDGDWD VHEXDK NDWD 7LDS PHWDGDWD NDWD NHPXGLDQ GLLQWHJUDVLNDQ NH GDODP VHEXDK PDWULNV EDKDVD PHZDNLOL NHVHOXUXKDQ PHWDGDWD NRVDNDWD GDVDU GDODP VDWX EDKDVD .HPXGLDQ GHQJDQ PHQJJXQDNDQ WHNQLN GDQ PHWRGH SHQJKLWXQJDQWHUWHQWXGLSHUROHKGDWDSHUEDQGLQJDQDQWDUEDKDVD\DQJNHPXGLDQGLVLPSDQGDODP VHEXDK PDWULN \DQJ GLQDPDNDQ PDWULNV MDUDN 0DWULNV MDUDN LQLODK \DQJ NHPXGLDQ GDSDW GLYLVXDOLVDVLNDQNHGDODPEHEHUDSDEHQWXNJUDILN  .DUHQDGDODP PRGHOUXDQJYHNWRUWLDS PHWDGDWD GLSHUODNXNDQ VHEDJDL YHNWRU  PHWDGDWD NDWDSXQGLUHSUHVHQWDVLNDQVHEDJDLYHNWRU-DUDNDQWDUDDQWDUDVDWXYHNWRUGDQODLQQ\DGLDQJJDS

VHEDJDL MDUDN IRQHWLV GDQ VHPDQWLV DQWDUNDWD .RQVHS \DQJ KDPSLU PLULS GLNHPXNDNDQ ROHK f 1 *DQGHQIRUVGDODPWHRULQ\Dconceptual spaces *DQGHQIRUV \DQJPHPHWDNDQPDNQDGDODP GLPHQVLVSDVLDO1DPXQGDODPSHQHOWLDQLQL\DQJEHUWXMXDQXQWXNPHQJXNXUMDUDNEDKDVDIRNXV KDQ\DGLEHULNDQSDGDNRQVHSDILQLWDVDWDXVLPLODULWDV\DQJGLOLKDWGDULVXGXWSDQGDQJPDWHPDWLV 6HFDUDJDULVEHVDUNRQVHSGDVDUSHQHOLWLDQLQLGDSDWGLOLKDWSDGD*DPEDUEHULNXWLQL   Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian  Linguistic and Literature f  1    kataA   kataB  f  2  kataC fn  Gambar1:Dimensi dan Pendekatan Similaritas Metrik  *DPEDU'LPHQVLGDQ3HQGHNDWDQ6LPLODULWDV0HWULN  Dalam model ruang vektor, jarak antarvektor—atau dalam hal ini antarkata—dapat dihitung menggunakan beberapa teknik, misalnya euclidean, kosinus, dan sebagainya. Kelebihan dari komputasi ruang vektor adalah seluruh kosakata dasar dalam  semua kata A bahasa dapat dikomputasikan dan diperbandingkan secara sekaligus dengan memproyeksikan kata ke dalam ruang vektor. Namun, salah satu kelemahan model ruang vektor adalah model ini menganggap data bersifat independen secara statistik (Turney & Pantel 2010). Oleh sebab itu, perlu dintegrasikan dengan perangkat lain, misalnya single value decomposition (SVD) atau pangkalan data leksikal—seperti dalam WordNet (Miller 1995). Dalam penelitian ini, digunakan konsep similaritas Tversky atau yang dikenal juga dengan indeks Tversky (Tversky 1977) sebagai perangkat integrasi. Indeks Tversky bekerja dengan mekanisme pencocokan fitur (feature-based mechanism), sementara model ruang vektor beroperasi dengan pendekatan distansi. Oleh sebab itu, integrasi keduanya dapat mengatasi persoalan independensi data secara statistik pada model ruang vektor. Afinitas atau kesamaan menurut indeks Tversky dapat dirumuskan sebagai berikut.

Persamaan 1

di mana f(A ∩ B) adalah fitur yang umum padaa dan b; f(A — B) adalah fitur yang unik padaa ; kataB f(B — A) adalah fitur yang unik padab ; θ,α, and β adalah konstanta

Dua objek dapat dikatakan sama persis atau identik apabila mempunyai jumlah dan nilai fitur yang sama. Misalnya, a = 7xy; maka a = b apabila b = 7xy dan hasil pembagian keduanya akan menjadi 1. Dengan logika demikian, dari Persamaan 1 dapat diperoleh rumus berikut ini.

Persamaan 2

f 2

~ 9 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature di mana i adalah bit i dari fitur yang diperbandingkan; θ adalah representasi total atribut yang menjadi bagian baikobjek a maupun objek b; α adalah representasi total atribut yang menjadi bagianunik pada objek a; β adalah representasi total atribut yang menjadi bagianunik pada objek b;

3. Ujicoba Integrasi model ruang vektor dan mekanisme pencocokan fitur dapat menjadi alternatif penentuan kognat dan penyusunan rekonstruksi bahasa. Seperti yang dikemukakan sebelumnya, komputasi jarak levenshtein merupakan pendekatan yang paling sering digunakan untuk rekonstruksi dan klasifikasi bahasa secara genealogis. Namun, dengan pendekatan model ruang vektordiperoleh keleluasaan dalam penerapannya. Pada penelitian ini, diklasifikasikan 100 kosakata dasar swadesh menjadi sepuluh kategori: tumbuhan, binatang, warna, angka, kata sifat, kata kerja, benda alam, istilah kekerabatan, arah,and anggota tubuh. Untuk kepentingan penulisan makalah pendek ini, dilakukan eksperimen terhadap jarak kosakata dasar dalam kelompok tumbuhan dan benda alam pada 32 bahasa Austronesia dengan hanya berdasarkan korespondensi bunyi (lihat Gambar 2).

Osing Javanese Indonesian Malay Sundanese Bali Madura Mandar Batak Dusun-Kadazan Kapampangan Acehnese Malagasy (outlier) Chamorro WMP Tetun (outlier) Palawan-Batak Pangasinan Tagalog Ilokano Maguindanaon Bikol Aklanon Fijian (outlier) Waray-Waray Cebuano Cuyonon Ilonggo Hawaiian Samoan Remote Tongan Oceania Tuvaluan Tahitian

Gambar 2:Bagan filogenetis 32 bahasa Austronesia berdasarkan komputasi model ruang vektor ~ 10 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Pada Gambar 2, meskipun sudah terdapat perbedaan tajam antara bahasa-bahasa Malayo- Polinesia Baratdan Oseania, masih terdapat beberapa lencengan (outlier), misalnya masuknya Fiji pada kelompok bahasa-bahasa Filipina, atau Malagasy dan Tetun ke dalam kelompok Chamoro. Penyajian klasifikasi genealogis pada Gambar 2 dilakukan dengan menggunakan multidendrogram (Fernández 2008) dan dihitung berdasarkan berdasarkan weight dan algoritme joint-between-within.

4. Penutup Metode komputasi yang disajikan dalam makalah ini menampilkan pengelompokan bahasa secara otomatis berdasarkan korespondensi bunyi kosakatanya. Informasi fonologis pada tiap kosakata diubah bentuknya ke dalam metadata baik dengan sistem biner maupun multivariate. Kemudian, metadata tersebut dihitung afinitasnya menggunakan kaidah pencocokan fitur dan model ruang vektor. Hasil akhir komputasi yang berupa matriks jarak kemudian digunakan sebagai input untuk divisualisasikan dengan menggunakan peranti lunak. Hasil yang diperoleh meskipun telah mampu mengklasifikasikan bahasa-bahasa sejalan dengan klasifikasi Greenhil, Blust, dan Gray (2008), namun masih ditemukan adanya lencengan. Kemunculan lencengan dapat terjadi karena beberapa faktor. Pertama, data yang dibandingkan hanyalah data kosakata tumbuhan dan benda alam. Kedua, penentuan kognat dan klasifikasi dilakukan secara otomatis, tanpa supervise, dan semata-mata hanya berdasarkan korespondensi bunyi. Ketiga, penghitungan jaraknya dalam eksperimen ini baru dilakukan dengan similaritas kosinus, dan belum diujicobakan dengan pendekatan lain. Keempat, proyeksi dan visualisasi hasilnya masih menggunakan satu pendekatan, yakni weight dan algoritme joint-between- within. Dibutuhkan eksperimen berkali-kali untuk menghasilkan keluaran yang meyakinkan. Sementara itu, untuk kebutuhan penulisan makalah pendek ini, baru dilakukan eksperimen secara terbatas. Jika ada perubahan menyangkut metode dan konten dalam makalah ini, akan disampaikan pada saat penyajian.

Kepustakaan Terbatas

Blust, R. (2000). The Austronesian Languages. Canberra: Pacific Linguistics, RSPAS. Campbell, L. (2004). Historical Linguistics. Edinburg: Edinburg University Press. Cangelosi, A., and Parisi, D (Eds.). (2002). Simulating the Evolution of Language. Springer-Verlag: London. Chomsky, N., and Halle, M. (1991). The sound pattern of English. New York: Harper and Row. xiv, 470 pages, 1968, Reprinted in Boston: MIT Press. Dryer, M.S. (2005). Genealogical language list. In Haspelmath et al. (eds.), 584–643, 2005. Dryer, M.S. & Haspelmath, M. (eds.) (2013). The World Atlas of Language Structures Online. Leipzig: Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology. Ellison, T.M., and Kirby, S. (2006). Measuring language divergence by intra-lexical comparison. In Proceedings of the 21st International Conference on Computational Linguistics and 44th Annual Meeting of the ACL, 2006. Felsensten, J. 2\(2004). Inferring Phylogenies. Seattle: University of Washington Press. Fernández, A. and S. Gómez. (2008). Solving Non-uniqueness in Agglomerative Hierarchical Clustering Using Multidendrograms. Journal of Classification 25 , pp. 43–65, 2008. Gandenfors, P. (2014).The Geometry of Meaning: Semantics Based on Conceptual Spaces. Massachusetts: The MIT Press.

~ 11 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Gray, R.D., and Atkinson, Q.D. (2003). Language-tree divergence times support the Anatolian theory of Indo- European origin, Nature, 426: 435—439. Gray, R.D., and Jordan, F.M. (2000). Language tree support the express-train sequence of Austronesian expansion, Nature, 405: 1052—1055. Greenhill, S.J., Blust. R, & Gray, R.D. (2008). The Austronesian Basic Vocabulary Database: From Bioinformatics to Lexomics. Evolutionary Bioinformatics, 4:271-283. Greenhill SJ, Drummond AJ, & Gray RD. (2010). How Accurate and Robust Are the Phylogenetic Estimates of Austronesian Language Relationships? PLoS ONE 5(3): e9573. Heggarty, P., McMahon, A., and McMahon, R. (2005). From Phonetic Similarity to Dialect Classification: A Principled Approach. In Nicole Delbecque, Johan van der Auwera, and Dirk Geeraerts. Perspective on Variation: Sociolinguistic, Historical, Comparatives. New York: Mouton de Gruyter. Holman, E.W., Schulze, C., Stauffer, D., and Wichmann, S. (2007). On the relation between structural diversity and geographical distance among languages: Observations and computer simulations. Linguistic Typology 11.2: 395–423. Holman, E. W., Wichmann, S., Brown, C. H., Velupillai, V., Müller, A., & Bakker, D.(2008). Explorations in automated lexicostatistics. Folia Linguistica, 42, 331-354. Holman, E. W., Brown, C. H., Wichmann, S., Müller, A., Velupillai, V., Hammarström,H., Sauppe, S., Jung, H., Bakker, D., Brown, P., Belyaev, O., Urban, M.,Mailhammer, R., List, J.-M., & Egorov, D. (2011). Automated dating of theworld’s language families based on lexical similarity. Current Anthropology, 52, 841-875. Kessler, B. (2001). The Significance of Word Lists: Statistical Tests for Investigating Historical Connections Between Languages. Stanford, CA: CSLI Publications. Distributed by The University of Chicago Press. Kondrak, G. (2002). Algorithms for language reconstruction. Ph.D. thesis, University of Toronto. Mielke, Jeff. 2008. The Emergence of Distinctive Features. Oxford: Oxford University Press. Miller, G.A. (1995). WordNet: A Lexical Database for English. Communications of the ACM Vol. 38, No. 11: 39- 41. Moran, S. and Cysouw, M. (2014). Typology with Graphs and Matrices. In: 3rd Workshop on Linked Data in Linguistics: Multilingual Knowledge Resources and Natural Language Processing, Reykjavik, Iceland, 27 May 2014 - 27 May 2014, 55-60. Nakleh, L, Warnow, T., Ringe, D., and Evans, S.N. (2005). A comparison of phylogenetic reconstruction methods on an IE datasets. The Transactions of the Philological Society, 3 (2): 171–192. Nerbonne, J., and Heeringa, W. (1997). Measuring dialect distance phonetically. In Proceedings of SIGPHON-97: 3rd Meeting of the ACL Special Interest Group in Computational Phonology. Perfors, A. (2002). Simulated Evolution of Language: A Review of the Field. Journal of Artificial Society and Social Simulation, 5 (2). Saitou, N.& Nei, M. (1987).The neighbor-joining method: a new method for reconstructing phylogenetic trees. Molecular Biology and Evolution 4: 406–425. Suhardijanto, T., Kiyoki, Y., and Barakbah, A.R. (2011). A culture-dependent metadata creation method for color- based impression extraction with cultural color spaces. Information Modelling and Knowledge Bases XXII, IOS Press, 2011, pp. 333–343.. Swadesh, Morris. (1950). Salish internal relationships. International Journal of American Linguistics 16: 157– 167. Swadesh, Morris. (1955). Towards greater accuracy in lexicostatistic dating. International Journal of American Linguistics 21: 121-137. Tversky, A. (1977). Features of Similarity. Psychological Reviews 84, 4: 327–352, 1977. Turney, P.D. and Pantel, P. (2010). From frequency to meaning: Vector space model of semantics. Journal of Artificial Intelligence Research 37: 141-188. Wichmann, S. and Holman, E.W.(2013). Languages with longer words have more lexical change. In: Borin, Lars and Anju Saxena (eds.), Approaches to Measuring Linguistic Differences, 249-284. Berlin: de Gruyter Mouton. Wichmann, S. (2015).Diachronic stability and typology. In: Bowern, Claire and Bethwyn Evans (eds.), Handbook of Historical Linguistics, 212-224. London and New York: Routledge.

~ 12 ~ PENAMAAN DAN OPOSISI BERPASANGAN DALAM ORENG PADA MASYARAKAT IMULOLONG KABUPATEN LEMBATA

Alexander Bala Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Flores Jalan Sam Ratulangi Ende, Flores Telepon: 081353989718 Pos-el: [email protected]

ABSTRACT Regional languages ​​have their own endurance and strength. We certainly hope that the various problems and conflicts that were rocked this nation, both economic conflict, political, social, health, and various other conflicts, can be solved well and wisely by making the local language as a means or a footbridge path in a democratic settlement. Within the framework of view, this study reveal the function and the teaching of regional languages ​​as an effective medium of interaction together. Issues discussed are a form of naming and opposition in pairs in the community Imulolong oreng the district. The method used is the method involved consider ably (SLC) to record and track record as a technique to collect data. This technique combined with the dimensions of phenomenology as a frame of reference against oreng as a cultural phenomenon that has empirical truth. To reveal and discuss the full naming and opposition in pairs in oreng, applied semantic theory. The findings show that in oreng there are three kinds of naming, naming the person, naming the place, and the naming of tribes / clans. While the opposition in pairs consist of paired opposition cultural vs. economic, relational opposition, the opposition polar opposite gradation opposition, and the opposition we-us vs. them.

1. Latar Belakang Setiap bahasa daerah yang ada di negeri ini mempunyai hak hidup. Hak hidup dimaksud setara dengan hak hidup bahasa Indonesia yang menjadi bahasa persatuan dan bahasa negara Republik Indonesia. Demikianlah maka menjadi kewajiban Negara untuk memberi ruang bagi tumbuh dan berkembangnya bahasa-bahasa daerah dimaksud. Ada berbagai ragam penggunaan bahasa daerah oleh para penutur untuk menyampaikan maksud, beradaptasi, berasimilasi, termasuk membangun relasi dan interaksi antaranggota masyarakat yang satu dengan anggota masyarakat lainnya. Selain menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi harian, penggunaan bahasa daerah dirasakan lebih lekat–kuat, bagi masyarakat tutur di mana bahasa daerah tersebut dihidupi. Lekat karena bahasa daerah bagi kebanyakan etnis di Indonesia telah dipersepsi sebagai tanah air kedua. Ibarat lem, bahasa daerah telah memungkinkan masyarakat penuturnya mengkonstruksi berbagai pengetahuan, nilai, dan berbagai sikap sebagai prasyarat tumbuh dan berkembangnya masyarakat tutur itu. Di sisi yang berbeda, meskipun mengalami kemajuan dan kepesatan, dihimpit oleh kehadiran berbagai bahasa modern, termasuk hegemoni bahasa Indonesia yang begitu luas dan kompleks, bahasa daerah ternyata masih bertahan mempertahankan eksistensinya sebagai pewaris budaya. Itulah sebabnya, bahasa daerah memiliki daya tahan dan kekuatan sendiri. Kita tentu berharap bahwa berbagai macam persoalan dan konflik yang sedang mengguncang bangsa ini, baik konflik ekonomi, politik, sosial, kesehatan, dan berbagai konflik lain, bisa terselesaikan secara baik dan bijak dengan menjadikan bahasa daerah sebagai sarana atau “titian” menempuh jalan penyelesaian secara demokratis. Strategi kebudayaan bahasa daerah demikianlah dapat menjadi salah satu agenda strategis yang penting dibicarakan tidak saja oleh para pemerhati bahasa dan budaya daerah, tetapi oleh elemen bangsa yang lebih luas.

~ 13 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature 2. Kerangka Teori Penamaan dan oposisi berpasangan (dyadic set) dalam oreng pada penelitian ini berada pada ranah semantik. Sebagai acuan pembahasan digunakan teori penamaan (naming) dan relasi makna. Nama merupakan sebuah hak istimewa atau kehormatan (privelese) tiap orang. (Ullman, 2009: 84). Nama memegang peranan penting dalam hubungan antara manusia. Dengan nama yang diberikan, orang dapat menjadi lebih dekat dan lebih mengenal diri orang itu. Nama juga menjadi sebuah tanda. Nama mempermudah manusia dalam belajar dan mengingat sesuatu di luar dirinya. Nama sebagai pengganti diri. Ada lima kriteria dalam mendefinisikan nama diri (Ullman, 2009: 86–94), antara lain (1) keunikan, (2) identifikasi, denotasi dan konotasi. (4) bunyi distingtif, dan (5) kriteria gramatikal. Oposisi berpasangan (dyadic set) James Fox (dalam Teeuw. 1984) melakukan penelitian tentang puisi keagamaan pada masyarakat Roti, dan menemukan kekhasan puisi- puisi tersebut yang disebut dengan dyadic sets: pasangan kata yang wajib dipakai dan yang menunjukkan kesejajaran semantik tertentu. Misalnya, kata untuk kambing jantan berpasangan dengan ayam jantan, kata jenggot kambing jantan berpasangan dengan bulu ekor ayam jantan, matahari berpasangan dengan bulan, mata dengan hidung, dll. Sepadan dengan oposisi biner: siang dengan malam, hidup dengan mati, perempuan dengan laki-laki, dan lain-lain. Dalam konsep yang yang lain, oposisi berpasangan disebut sebagai oposisi makna (Chaer, 2009: 90). Menurutnya, oposisi berpasangan dapat dibedakan menjadi lima jenis, yaitu (1) oposisi mutlak, (2) oposisi kutub, (3) oposisi hubungan, (4) oposisi hierarkial, dan (5) oposisi majemuk. Berdasarkan kerangka teori yang telah diuraikan di atas, maka penelitian ini akan menerapkan teori dimaksud untuk menganalisis data penelitian tentang penamaan dan oposisi berpasangan pada oreng di Imulolong Kabupaten Lembata.

3. hasil dan Pembahasan 3.1 Penamaan 3.1.1 Penamaan Orang Nama merupakan identitas yang melekat pada seseorang. Kutipan [1] di bawah ini merupakan contoh terdapatnya penamaan dalam nyanyian oreng.

[1] Gete-gete goe dinaranga ‘Omong-omong nama saya’ Ingat nama saya Pati pandai kemangkek Boli Beda Baranusa ‘Sumpah badan Boli Beda Baranusa’ Boli Beda Baranusa (Konteks: Oreng ketika memperkenalkan diri), (Pn.Org/1).

Kutipan [1] menandai kuatnya pemberian ‘sebuah nama’ dalam tradisi etnik Lamaholot. Kehadiran seseorang terus bertahan juga setelah kematian selama namanya diingat. Ini menjelaskan dengan baik keinginan semua orang nama mereka dikenal dan diabadikan. Bourdieu (1990: 226), menyebutkan bahwa bahasa memperoleh suatu kepadatan eksistensial terutama melalui nama. Memiliki sebuah nama berarti memiliki eksistensi. Para individu memperoleh kekuasaan karena diperkenankan untuk melakukan pemberian nama, karena nama memperkenalkan, maka lewat nama itu, seseorang dapat dikenal. Kutipan [1] mempertegas “nama” sebagai jati diri atau identitas seseorang, Boli Beda Baranusa. Karena nama memperkenalkan, maka lewat nama itu, seseorang dapat dikenal.

~ 14 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Nama berperan sebagai pilar penyangga kehadiran seseorang. Nama, mengatasi batas-batas ruang, tetapi nama juga mengatasi batas waktu. Kehadiran seseorang terus bertahan juga setelah kematian selama namanya diingat. Ini menjelaskan dengan gamblang dan nyata keinginan semua orang agar nama mereka dikenal dan diabadikan.

3.1.2 Penamaan Tempat Selain itu, pemberian nama juga menyatakan tempat, sebagaimana kutipan [2] di bawah ini.

[2] Lewuk doa kampung Imulolo ‘Kampung jauh kampung Imulolong’ Kampung Imulolong Mangkik lela lewo Baingata ‘Sumpah lama kampung Baingata’ Kampung lama Baingata (Konteks: Oreng ketika memperkenalkan kampung), (Pn.Tm/2).

Kutipan [2] menunjukkan bahwa terdapatnya penamaan tempat, yakni kampung Imulolo (kampung Imulolong) dan lewo Baingata (kampung Baingata).

3.1.3 Penamaan Suku (klan) Nyanyian oreng, selain memberikan penamaan pada orang dan penamaan pada tempat, ternyata memberikan penamaan pada suku (klan), seperti dalam kutipan [3] di bawah ini.

[3] Mio lewo suku Gawe no usu-asa mio ‘Kamu kampung Suku Gawe dengan asal-usul kamu’ Kamu Suku Gawe Doan lau Ambon ma doa-doa ‘Jauh dari Ambon jauh-jauh’ Dari Ambon (Konteks: Oreng ketika melukiskan asal-usul sejarah), (Pn.Sk/3).

Kutipan [3] menggambarkan kesetaraan dan kesamaan asal-usul suku (Suku Gawe). Tidak ada kelompok yang menamakan dirinya lebih tinggi dan lebih rendah, tetapi semuanya berada dalam relasi yang sama dan setara. Bahwa setiap manusia mempunyai kesadaran yang sama terhadap apa yang ada di sekelilingnya. Oleh itu, sebaiknya mengakui kesadaran itu, tanpa bermaksud menilainya lebih tinggi-rendah, kaya-miskin, baik-buruk dan kurang atau lebih.

3.2 oposisi Berpasangan Habitus bagi Bourdieu (Takwin, 2009: xix), merupakan produk budaya sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat. Pada proses interaksi dengan pihak luar itulah, terbentuklah ranah yang menjadi pertemuan pada ruang sosial untuk memungkinkan individu dan habitusnya berhubungan dengan individu lain dalam berbagai realitas sosial.

3.2.1 Oposisi Ekonomi vs Budaya Kutipan [4] di bawah ini menunjukkan adanya oposisi ekonomi vs budaya, Gramsci (dalam Latif&Ibrahim,1996). [1] Kaan kabe ope nope ‘Makan sampai beli’ Makan pakai beli Ken kabe awe nawe ~ 15 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

‘Minum sampai tukar’ Minum pakai tukar (Konteks: Oreng tentang relasi manusia dalam perekonomian), (OB. Ebd/1).

Kutipan [1] menyiratkan sistem perekonomian masyarakat etnik Lamaholot pada kata makan (kaan) dan minum (ken). Sebagaimana sistem perekonomian modern yang membutuhkan uang, masyarakat etnik Lamaholot memiliki sistem perekonomian sendiri yang disebut sistem ‘hati’ atau dalam konsep pasar tradisional disebut sistem barter. Antara masyarakat pantai dan masyarakat pegunungan menjalankan roda perekonomian dengan sistem barter. Sistem ini tampak pada pertentangan ekonomi beli (ope nope) dan tukar (awe nawe), dalam sebuah budaya sosial yang bersahabat. Oposisi ini sejalan dengan Bourdieu (dalam Takwin,2009: xvi) yang tidak mengusung sebuah pemikiran pertanyaan-pertanyaan tentang asal-usul dan seluk-beluk masyarakat, melainkan menjawab persoalan-persoalan baru, seperti pertentangan faktor objektif vs faktor subjektif, material vs simbolis, kesadaran vs ketidaksadaran, ekonomi vs budaya, kebebasan manusia vs keterikatan struktur.

3.2.2 oposisi Relasional Bourdieu merumuskan sebuah teori yang disebut teori praktik sosial yang menekankan cara berpikir relasional, (Takwin,2009: xxiii). [2] Pana tabe tutu wata ‘Jalan dengan menyusur pantai’ Berjalan menyusur pantai Gawe ta leri bota ‘Langkah dengan pasir laut’ Berlangkah di atas pasir laut (Konteks: Oreng menggambarkan kondisi masyarakat pesisir), (OB. Orl/2).

Kutipan [2] dibaca dari aspek pandang eksistensi demografis, serta dampaknya terhadap kehidupan ekonomi masyarakat etnik Lamaholot. Pertama, wilayah tinggal masyarakat dibelah oleh laut; kedua, terdiri dari daratan yang berbukit dan bergunung. Wilayah laut Lamaholot sejalan dengan kondisi kewilayahan Indonesia, yang sebagaian besar wilayahnya dialiri laut, sehingga dinamai Negara kepulauan. Istilah ‘negara kepulauan’ merupakan padanan dalam bahasa Indonesia dari pengertian archipelagic state. Jadi archipelagic state sebenarnya harus diartikan sebagai ‘negara laut utama’ yang ditaburi dengan pulau-pulau, bukan negara pulau- pulau yang dikelilingi laut (Kleden: 2009).

3.2.3 oposisi Polar Kutipan [3] di bawah ini menunjukkan adanya oposisi polar. [3] Tubak tabe gelu gala ‘Tombak harus tukar lembing’ Menombak dengan lembing Leo tabe olo leka ‘Panah harus lurus bambu’ Memanah dengan bambu (Konteks: Oreng tentang para leluhur berperang sesama etnik), (OB. Opl/3).

Kutipan [3] disebut oposisi polar (Muhadjir,1990). Oposisi pada kata tombak (tubak) dan panah (leo) didasarkan pada dua kutub yang berbeda dan di tengah-tengah terdapat titik tengah yang memisahkan dua kutub itu. Tombak (tubak) dan panah (leo), menjadi simbol perjuangan. Semangat perjuangan dan vitalitas kepahlawanan itulah menjadi contoh dan pelajaran berharga

~ 16 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature bagaimana orang harus berjuang, dan berusaha untuk hidup setelah mati. Namun, pendekatan perjuangan untuk tetap survive tidak dengan menempuh kekerasan fisik, apalagi menggunakan senjata. Karena dianggap sebagai tindakan dehumanisasi terhadap sesama manusia yang lain.

3.2.4 oposisi Gradasi Berkebalikan Kutipan [4] di bawah ini menunjukkan terdapatnya oposisi gradasi berkebalikan dalam oreng. [4] Tula luga weli wanan jae mai ‘Buat pasak di sana kanan ke sana pergi’ Ke kanan Ara balok tue lewu lolon mene ‘Putar pulang kampung atas jalan’ Ke atas Mene ma nekin lodo-lodo Mari dan kiri turun-turun’ Ke kiri Lau lein lau wara mio ‘Bawah batas bawa kamu’ Di bawah (Konteks: Oreng tentang seseorang di antara empat arah), (OB. Gbr/4).

Kutipan [4] disebut sebagai oposisi berkebalikan secara gradasi karena antara kanan (wanan), atas (lolon), kiri (nekin), dan bawah (lau) tidak mempunyai batas yang jelas, sehingga masih sangat bersifat relatif. Oposisi ini juga terjadi pada utara, selatan, timur, barat, sehingga disebut sebagai oposisi antipodal atau diametrik (Wijana &Rohmadi,2008: 37–38).

3.2.5 Oposisi Kami-Kita Vs Mereka Pembedaan antara satu dengan yang lain telah terjadi pada zaman dahulu, antara Kami- Kita Vs Mereka. Kutipan [5] di bawah ini menunjukkan adanya oposisi Kami-Kita Vs Mereka tersebut. [5] Kiwan papa demon papa ‘Bagian gunung dan bagian laut’ Bagian gunung bagian laut Dolo nolo tite Paji no,o Demon ‘Bernyanyi dulu kita Paji dan Demon’ Dulu kita Paji dengan Demon Pi kae pi tite kaka no’o ari ‘Sekarang sudah kita kakak dan adik’ Sekarang kita kakak dan adik (Konteks: Oreng tentang pemisahan etnik Lamaholot, (OB. KkM/5).

Kutipan [5] menggambarkan komitmen dan kesadaran bersama membangun kesetaraan dan persaudaraan sejati. Sebagaimana sebuah panggung seni, manusia etnik Lamaholot adalah satu, tidak ada perbedaan: kaya–miskin, kota–desa, pantai–gunung, sehingga tidak menghadirkankan kembali mambang perbandingan atau oposisi biner yang memungkinkan untuk merenungkan apalagi memunculkan waktu-waktu yang telah lewat. Bahwa, etnik ini pernah terbelah menjadi dua bagian, Paji–Demon, namun sekarang telah berikhtiar menjadi satu: kakak dan adik. Singh (1999: 142–144) menyebutkan bahwa penggunaan istilah-istilah bermarkah (marked) untuk menciptakan pembedaan antara “Kami/Kita” vs “Mereka”, telah menciptakan pembedaan dan menunjukkan lapisan-lapisan dalam identitas etnik, namun menunjukkan praktik pembedaan di atas. Pembedaan-pembedaan antara “Kami/Kita” vs “Kalian/Mereka” terjadi pada kelompok-kelompok mayoritas kepada kelompok-kelompok minoritas, dan terjadi di seluruh dunia. ~ 17 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature 4. Simpulan Bahasa daerah memiliki daya tahan dan kekuatan sendiri. Kita tentu berharap bahwa berbagai macam persoalan dan konflik yang sedang mengguncang bangsa ini, baik konflik ekonomi, politik, sosial, kesehatan, dan berbagai konflik lain, bisa terselesaikan secara baik dan bijak dengan menjadikan bahasa daerah sebagai sarana atau titian menempuh jalan penyelesaian secara demokratis. Dalam kerangka pandang tersebut, artikel ini menunjukkan bahwa dalam oreng terdapat tiga macam penamaan, yakni penamaan orang, penamaan tempat, dan penamaan suku/klan. Sedangkan oposisi berpasangan terdiri atas oposisi berpasangan ekonomi vs budaya, oposisi relasional, oposisi polar, oposisi gradasi berkebalikan, dan oposisi kami-kita vs mereka. Data ini hendak menunjukkan bahwa bahasa daerah yang ada dan dihidupi oleh berbagai etnis di Indonesia perlu dilestarikan sebagai sebuah daya atau energia pengetahuan.

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, Chaedar. 2002. Pokoknya Kualitatif: Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitia Kualitatif. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya dengan Pusat Studi Sunda. Bourdieu, Piere. 1994. Language and Symbolic Power. Cambridge, Massachussets: Havard University Press. Djojosuroto, Kinayati. 2007. Filsafat Bahasa. : Pustaka Book Publisher. Latif, Yudi dan Ibrahim, Subandy Idi. 1996. Bahasa dan Kekuasaan. Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Dalam Latif dan Ibrahim (Eds),Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Bandung: Mizan. Muhadjir. 1990. Semantik. Dalam Djoko Kentjono (Eds.), Dasar-dasar Linguistik Umum. (hlm. 73–87). Jakarta: Fakultas Sastra UI. Singh, Isthla. 1999. Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan. Dalam Linda Thomas & Shan Wareing (Eds.), Bahasa dan Etnisitas. Terjemahan oleh Sunoto,Cs. 2007. (hlm. 136– 164). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Salatiga: Duta Wacana University Press. Takwin, Bagus. 1990. (Habitus X Modal) + Ranah = Praktik: Pengantar Paling Komperhensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu. Dalam Richard Harker. (Eds.), Bahasa, Kebenaran, dan Kekuasaan: Ministerium Bourdieu (hlm. 203-228). Terjemahan oleh Pipit Maizier. 2009. Yogyakarta: Jalasutra. Teeuw. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Ullmann, Stephen. 2009. Pengantar Semantik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wijana,Putu Dewa dan Rohmadi, Muhamad. 2008. Semantik: Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka.

~ 18 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature PENTINGNYA PENGELOMPOKAN GENETIS LANJUTAN PADA JENJANG MESSOLANGUAGE

Aron Meko Mbete Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana [email protected]

ABSTRACT Monumental works in the field of comparative historical linguistics which has been generated by Dempwolff, Dyen, and a number of other experts in that field are the genetic grouping of languages, genetic and historical relationships of Austronesian languages. Proto-Austronesian’s etymon device and the RGH law, rdl, and pepet law are the binder of Austronesian relation, while genetic relationships of are still have problems. The more complete grouping of a small subgroup (messolanguage) especially on derivatives Austronesian languages and Papua become a diachronic linguistic challenge. On the innovation of phonological side, lexical innovation was assumed that are more numerous than the innovation which in older level, strengthening genetic bond relationship of small groups are a very important qualitatively evidence. Therefore, the development of data searchers which are more particular and specific is also an important methodological advice.

Key words: genetic grouping, small groups, methodological advice

1. Pendahuluan Sebagaimana diketahui bahwa dari 6000 bahasa yang ada di bumi ini, 1200 bahasa ada di kawasan Asia Selatan-Tenggara-Pasifik. Di kawasan ini pula hidup dua rumpun besar yakni Rumpun Austronesia (yang tanpa memasukkan bahasa-bahasa Formosa, juga disebut Rumpun Melayu-Polinesia) dan Non-Austronesia atau Rumpun Papua yang menyertakan bahasa-bahasa di Papua Nugini dan kawasan sekitarnya. Ratusan bahasa yang ada di Sumatera dan sekitarnya, di , Jawa, Bali, sebagian di Nusa Tenggara Timur, dan sebagian di Kepulauan Maluku dan Halmahera dan di Papua, termasuk ke dalam Rumpun Austronesia, seperti juga bahasa-bahasa di Pilipina, Malaysia, Taiwan, dan di kawasan Polinesia, termasuk rumpun Austronesia. Di sisi lain, sejumlah bahsa di Nusa Tenggara Timur khususnya di Pulau Alor dan Pantar, serta di daratan Timor, terlebih lagi sebagian besar bahasa di Papua, tergolong Rumpun Non-Austronesia atau Rumpun Papua (Nothofer, 2015).Luasnya sebaran bahasa- bahasa Austronesia dan juga bahasa-bahasa Papua dapat disimak pada peta berikut ini.

http://teaching.ust.hk/~huma600d/maps/austronesian-map.jpg

~ 19 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Dimensi ruang hidup kebahasaan yang sangat luas ini dan dimensi (perjalanan) waktu silam yang (selain divergensi protobahasa Austronesia dan protobahasa Papua pada setiap jenjang perpisahannya yang mengiringi helombang migrasi ke pelbagai pulau di kawasan Asia Tenggara-Pasifik ini) berabad-abad itu, sudah dapat diduga sangat beragam. Di sisi itu kehadiransimpul-simpul konvergensi atau ruang-ruang kontak kebahasaan (yang berkerabat ataupun yang tak berkerabat) yang di antaranya saling memengaruhi secara mendalam, telah terjadi di kawasan ini. Dengan demikian, baik tataran gramatikal, fonologis, maupun leksikal saling menyerap dan telah “membangun” struktur dan sistem kebahasaan pada sejumlah bahasa di antara kedua rumpun itu, khususnya bahasa-bahasa di kawasan-kawasan tertentu yang hidupnya bersebelahan. Untuk pembedahannya secara historis, pendekatan “stratum“ dengan pilihan-pilahan: superstratum, adstratum, dan substratum dapat digunakan dalam kajian kesejarahan bahasa-bahasa di kawasan ini (lihat Jeffers dan Lehiste, 1979; Macmahon, 1997). Kawasan luas yang terbentang sepanjang 1500 kilometer dari Madagaskar hingga Pulau Paska, Selandia Baru itu (lihat peta di atas) menyimpan kekayaan bahasa (dengan sastra dan budaya yang diwahanainya) yang menjadi sasar kaji banding dalam perspektif linguistic historis komparatif khususnya. Kekayaan itu tak kunjung usai dibedah dalam pelbagai seginya, baik untuk pengembangan mikrolinguistik, termasuk tipologi, maupun makrolinguistik. Dalam kaitan dengan kajian kesejarahan ini, sesungguhnya deskripsi sinkronik yang lengkap dan mendalam sangat membantu kajian kesejarahan bahasa (de Saussure, 1985). Kurangnya tradisi tulis, sebagaimana minimnya kamus-kamus yang lengkap dari sebagian besar bahasa-bahasa kecil di kawasan ini, merupakan persoalan yang “menghambat” kajian linguistik diakronis pula. Bahasa-bahasa di kawasan itu sejak lama telah menjadi ladang linguistic para ahli dari Eropa dan Amerika.Dalam kaitan dengan pengembangan penelitian diakronis atas bahasa- bahasa turunan Auastronesia dan bahasa-bahasa Papua, tulisan singkat ini diharapkan menjadi pendorong, terutama terhadap sejumlah bahasa kerabat yang kemungkinan belum terjamah secara linguistic, khususnya dalam rangka pengelompokan lanjut, rekonstruksi protobahasa jenjang termuda, bahkan juga penjejakan tanah asal atau “pusat penyebaran’dari kelompok kecil itu. Selain kajian yang bersifat deskriptif-sinkronik, kajian linguistik historis komparatif telah pula menghasilkan karya ilmiah monumental yakni dengan ditemukannya hubungan keseasalan dan kekerabatan bahasa-bahasa yang termasuk Rumpun Austronesia. Proto-Austronesia telah direkonstruksi oleh Dempwolff (1934-1938), juga dilakukan oleh sejumlah linguis Austronesia asal Eropa lainnya seperti Hendrik Kern, Branstetter, dan Brandes, juga dari Amerika seperti Isidore Dyen (1956, 1965, 1980), Roberth Blust (1976, 1980, 1981; 2013). Hasil penelitian para ahli itu telah mengangkat evidensi-evidensi kelinguistikan yang semakin meyakinkan adanya hubungan kekerabatan dan keseasalan bahasa-bahasa di kawasan yang terbentang luas di belahan selatan bumi Asia ini. Kendatipun telah ditemukan evidensi-evidensiyang mengukuhkan hubungan kekerabatan dan keseasalan pada jenjang tertinggi Austronesia dengan jenjang bawahnya Melau Polinesia Barat, Tengah, dan Timur (Blust, 1980; 2013), termasuk juga hipotesis-hipotesis tentang Tanah Asal (homeland) seperti yang diajukan oleh Isidore Dyen, dan sejumlah ahli lainnya, sesungguhnya pada jenjang bawah, masih ada sejumlah bahasa di kawasan Nusantara khususnya, belum ditemukan tingkat keeratan hubungannya secara genetis. Di sisi lain, dapat diduga kembali bahwa penentuan status kebahasaan yang belum tuntas terhadap sejumlah bahasa

~ 20 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature (dan dialek) di pelosok-pelosok terpencil, ketegasan status bahasa ataukah dialek, atau juga bahasa-bahasa yang berkembang dari percampuran antarbahasa kerabat dan tidak berkerabat yang menjadi pijin dan kreol sebagai implikasi konvergensi kebahasaan yang mendalam, jelas membuka ruang kaji kesejarahan tersendiri yang lebih spesifik pula.

2. Pentingnya Pengelompokan Jenjang Messolanuage dan Kelompok-kelompok Kecil Sejak Schleicher (1871) mengajukan teori pohon kekerabatan bahasa dengan pola diwipilah (bipartite) tentang pencabangan bahasa-bahasa turunan, yang kemudian direvisi bahwa pencabangan protobahasa (setelah secara evolutif berpisah dari protobahasanya), dapat dihipotesiskan bercabang lebih dari dua bahasa turunan (dengan logika dan fakta kekinian bahwa ada bahasa-bahasa yang memiliki sejumlah dialek geografis yang dalam perjalanan waktu dan dinamika ruang hidup guyub tuturnya)memberi ruang dan waktu pula untuk berkembang dan “berketurunan” lebih dari duabahasa. Seperti juga hipotesis yang diajukan oleh Bynon (1979), setelah perlahan-lahan berpisah dari induknya, dialek dan kemudian menjadi bahasa yang berbeda itu berkembang secara “mandiri”. Atas dasar pemikiran di atas, sejumlah bahasa yang secara geografi berdekatan ataupun yang berjauhan, pola kekerabatan yang disilsilahkan dapat dihipotesiskan dengan beberapa kemungkinan sebelummenentukan secara tuntas dan pasti di atas dasar evdensi kuantitatif dan (terutama) kualitatif. Perlu dijelaskan bahwa, kedekatan geografi dalam arti wilayah hidup berdampingan antara bahasa kerabat (atau juga yang tidak berkerabat) yang satu dengan yang lainnya, tidaklah selalu berkerabat erat (closed relationship), kendati cici-ciri genetikanya terwaris. Sebagai contoh, bahasa Sumbawa di Pulau Sumbawa yang bersebelahan hidup dengan bahasa Bima, keduanya di Pulau Sumbawa tidaklah berkerabat erat (lihat Esser, 1948; Dyen, 1965; Mbete, 1990). Adalah fakta pula bahwa secara genetis bahasa Bima lebih dekat dengan bahasa-bahasadi Pulau Sumba dan bahasa-bahasa di Flores Barat(Manggarai, Ngada, Lio, Palu’e), sedangkan bahasa Sumbawa justru berkerabat lebih erat dengan bahasa Sasak di Pulau Lombok, bahkan berkerabat erat dengan bahasa Bali di Pulau Bali (lihat Mbete, 1990). Pengelompokan dan rekonstruksi protobhasa pada jenjang terbawah sebagai microgrups (lihat Blust, 2013: 82), membuka ruang penjejakan kesejarahan beberapa bahasa kerabat itu disumsikan berpisah dalam kurun waktu yang belum terlalu lama, tentu dalam ukuran ratusan- seribuan tahun silam. Secara teoretis-hipotetis bahasa-bahasa berpisah secara evolutif, bermula dari perbedaan fonetis, (lihat Jeffers dan Lehiste, 1979; Hock, 1988). Bandingkan misalnya dengan Proto-Austronesia yang diperkirakan hidup sekitar 3000-4000 tahun silam. Seperti yang dianjurkan oleh Anceaux (1994), “pembatasan dan keterbatasan” cakupan bahasa-bahasa kerabat Austronesia yang dipilih dan dikajibandingkan oleh Dempwollf, dengan lebih diutamakannya beberapa bahasa Nusantara (Jawa, Melayu, Tagalok, Bali, Aceh), kendati tetap dirujuk pula hasil-hasil penelitian para ahli lain sebelumnya, sejumlah bahasa di kawasan Papua, Melanesia, dan Polinesia dan juga di Nusantara lainnya tak terjangkau secara lebih dalam. Sudah tentu pembatasan ataupun keterbatasan dan tidak lengkapnya hasil-hasil penelitian deskriptif-sinkronik sebagai “data dasar” dan pijakan kajian kesejarahan bahasa secara genetis misalnya, menyisakan persoalan pula. Selain bahasa-bahasa Nusantara yang dengan ciri-ciri genetisnya tergolong turunan Austronesia, Anceaux (1994) menekankan betapa pentingnya kajian atas kelompok kecil atau terbatas terhadap bahasa-bahasa“kecil” di lingkungan bahasa-bahasa Austronesia dan Rumpun Papua, termasuk yang ada di Papua Nugini. Sebagaimana diketahui, ratusan bahasa ~ 21 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature hidup di Tanah dan Pulau Papua. Keberagaman bahasa dan dialek-dialek yang tidak dapat dipisahkan pula dengan keberagaman budaya dan keanekaan etnik di kawasan itu, membuka ruang kaji linguistic historis komparatif yang mungkin tak pernah selesai, berkaitan perjalanan waktu sebagai variable penentu keberbedaan dan karakter dinamika bahasa-bahasa turunan. Keberagaman bahasa dan dialek bahasa-bahasa yang ada di Papua juga membuka peluang penjejakan dan penentuanTanah Asal, baik bahasa-bahasa Papua maupun bahasa-bahasa yang tergolong turunan Austronesia berdasarkan data kuantitatif dan kualitatif. Dyen, atasdasar bukti kuantitatif dengan persentase yang lebih kecil menunjukkan bahwa nenek moyang penutur bahasa Austronesia berasal dan bergerak pindah (migrasi) dari timur (liaht Dyen, 1980). Gejala konvergensi juga dapat dijejaki, di sisi divergensi. Sejumlah unsur leksikal tentang nama diri dan toponimi (ikhwal pola menetap) yang ditemukan di Nusa Tenggara Timur, misalnya leksikon wangge yang berkorespondensi dengan wanggai, juga kata moni dan nggeladalam beberapa bahasa lokal di Flores (khususnya bahasa Nagekeo dan bahasa Lio), ditemukan dalam bahasa-bahasa di Melanesia dan Polinesia. Cuplikan fakta ini menyimpan kecurigaan adanya pengaruh bahasa-bahasa Papua terhadap bahasa-bahasa turunan Austronesia di kawasan tersebut.

3. Saran Metodologis Pengelompokan dan Kreativitas Instrumen Pengais Data Selain perhatian khusus linguistik diakronis terhadap sekelompok kecil bahasa turunan Austronesia dan Papua, beberapa segi metodologis perlu disarankan. Selain asumsi dasar, hipotesis keteraturan dan keterhubungan genetis sebagai landasan rekonstruksi patut digunakan sebagai teori linguistik historis komparatif, utamanya kesepadanan atau korespondensi bunyi. Sebelumnya dikenal sebagai Hukum Bunyi (lihat Hukum Grimm untuk bahasa-bahasa Indo- Eropah dan Hukum Verner untuk subkelompok bahasa-bahasa Indo-German; Hukum Van der Tuuk (RGH, rdl, dan pepet) untuk Rumpun Austronesia, keteraturan korespondensi itu merupakan landasan teoretis yang tetap teguh sebagai pegangan penelitian linguistic historis komparatif terhadap bahasa-bahasa Austronesia, sebelum temuan teoretis yang baru. Sesuai dengan namanya, linguistik historis komparatif memang berbasiskan data kelinguistikan yang bersumber dari para penutur bahasa-bahasa kerabat. Bermula dari asumsi dasar dan hipotesis kekerabatan antarbahasa di suatu kawasan tertentu, dalam hal ini kawasan Austronesia (dengan subkawasan Nusantara) dan Papua, data berupa kata-kata kerabat(cognate set) menjadi data dasar dan tumpuan penelitian linguistik historis komparatif. Perangkat kata kerabat, di sisi ciri-ciri gramatikal, sangat menentukan kekuatan kajian linguistik ini karena disadari sebagai warisan bersama yang memberi peluang untuk dikaji dan dimakai secara historis. Sebagai unsur inti dan intim dengan manusia pemilik dan penggunanya, kategori kata yang secara semantik universal berkaitan dengan nama-nama bagian tubuh manusia, yang juga berimplikasi pada nama-nama bagian tubuh fauna yang diakrabi, bahkan jugafauna khas, perangkat kata tersebut menentukan “mati-hidupnya” bahasa-bahasa manapun (lihat Keraf, 1985). Demikian pula kata-kata dasar yang berkaitan dengan nama segi-segi jagat raya (alam) dengan derajat kesemestaannya yang sangat tinggi, misalnya nama-nama lokal untuk hujan, angin, matahari, bulan, bintang, atau juga verba-verba dasar dan “asali” dengan derajat kesemestaannya yang tinggi pula (makan, minum, bernafas misalnya), sangat mendasar untuk dirujuk.

~ 22 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Sifat dasar kemanasukaan (arbitrary) manusia menandai satuan konseptual dan menciptakan kata, sebagaimana juga memroduksi banyak kalimat secara transformatif- generatif di atas pola dasar kalimat, memberikan ruang daya cipta para penutur bahasauntuk menemukan data kata kerabat (cognate set) dengan lingkup universum tertentu, secara khusus lingkungan penutur bahasa-bahasa Austronesia dan Papua. Dengan lingkup universum atau cakupan kesejagatan tertentu, dinamika bahasa-bahasa dalam satu kelompok dapat dijejaki dan evidensi (kuantitatif dan kualitatif) keeratan hubungan keseasalan tingkat messolanguage dapat ditemukan. Secara teoretis-hipotetis, inovasi fonologis dan leksikal yang hanya dimiliki oleh subkelompok atau kelompok tertentu itu hanya terjadi pada masa perkembangan ketika bahasa- bahasa itu masih merupakan bahasa tunggal. Sebab, sebuah perubahan yang inovatif hanya terjadi satu kali dalam perjalanan waktu bahasa-bahasa itu. Untuk jelasnya, diagram tentang hubungan kekerabatan antarbahasa yang dianjurkan untuk dikaji dapat disimak di bawah ini .

PABCDE

PAB PCDE

BA BB BC BD BE

Bertolak dari uraian di atas, niscaya penggalian kata-kata secara sangat renik atau spesifik, yang diasumsikan dimiliki oleh setiap bahasa, sangat menentukan jumlah kata kerabat di antara bahasa-bahasa yang dihipotesiskan berkerabat sangat erat dengan usia pisah yang tergolong cukup muda. Inovasi bersama pada jenjang dan tahapan hidup masih sebagai bahasa tungga, messolanguage, secara simbolis terlihat pada garis putus-putus pada diagram di atas. Saran metodologis, khususnya penguatan dan kreasi pengembangan gloss-gloss sebagai alat penjaring dan pengais data berupa kata-kata kerabat sangatlah penting. Satuan nuansa makna atau spesifikasi makan konseptual sesuatu yang dikodekan secara lingual-leksikal adalah dasar berpikir metodologis yang penting. Spesifikasi dan kerenikan satuan makna konseptual, yang dipertentangkan dengan bentuk-bentuk yang generic, misalnya kode lingual-leksikal berkategori nomina tentang nama bagaian tubuh atau verba tindakan/perbuatan. Kotoran manusia ‘tahi’ (PAN *taqi) tergolong generik, namun ‘kotoran’ yang spesifik keluar dari mata, hidung, telinga, perut (dubur) manusia, jelas berbeda-beda bentuknya. Contoh pentingnya satuan-satuan yang spesifik (yang dipertentangkan dengan yang generik) dengan bentuknya dalam bahasa-bahasa kerabat, sangat penting dalam menjaring, mengais, dan menemukan kata-kata kerabat di lingkungan tertentu. Semakin “renik,asali, dan asli” satuan makna lingual, semakin memberi peluang untuk menemukan data kata-kata kerabat pada kelompok kecil.

4. Penutup Hubungan kekerabatan (sangat erat) dalam jumlah kecil bahasa kerabat di kawasan tertentu, perlu perhatian khusus dalam penelitian linguistic historis komparatif, baik bahasa- ~ 23 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature bahasa yang tergolong Rumpun Austronesia maupun Rumpun Papua, khususnya yang hidup di wilayah Nusantara. Bertolak pula dari Hukum van der Tuuk (khususnya Rumpun Austronesia), pengelompokan lanjut tetap sangat penting, seperti juga bahasa-bahsa Rumpun Papua. Keteraturan kesepadanaan bunyi merupakan pijakan dan implikasi metodologis, khususnya penggalian dan penjaringan data kata kerabat. Untuk itu, kerangka pikir konseptual yang berkaitan dengan satuan-satuan lingual (kata kerabat) yang spesifik dan renik, merupakan rekomendasi instrumen pengais data yang layak diperhatikan oleh para penelitia linguistic historis komparatif.

DAFTAR PUSTAKA

Anceaux, J.C 1994. Pijar-pijar Karya Anceaux. Terjemahan BAmbang Kaswanti Purwo. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Unievrsitas Leiden.

Arwam, Hendrik, 2011. Memahami Kekerabatan BAhasa BArapati-Tefaro-Sauri di Teluk Saireri Waropen: Suatu Studi Linguistik Historis Bandingan. Manokwari:Sasako Papua Publisher.

Bellwood, Peter, James J Fox & Darrel Tryon 1995 (Eds.). The Austronesians. Canberra: The Australian National University.

Blust, Roberth 2013. The Austronesian Languages. Asia-Pacifik Linguistics. Open Acces Monographs. Canberra: College of Asia and Pasific, The Australian National University. Bynon, Theodore, 1979. Historical Linguistcs. Cambridge: Cambridge University Press

Crowley, Terry 1992. An Introduction to Historical Linguistics. Auckland, Oxford University Press.

Jeffers J. and Ilse Lehiste 1979 . Principles and Methods for Historical Linguistics. Cambridge: The MIT Pres.

Hock, Hans Henrich 1988. Principles of Historical Linguistics. Berlin: Mouton de Gruyter.

Kaswanti Purwo Bambang & J.T. Collins (Ed). Telaah Komparatif Bahasa Nusantara Barat R.A. Blust. Jakarta: Djambatan

Keraf Gorys 1984. Linguistik Bandingan HIstoris. Jakarta Gramedia

Macmahon, April M.S. 1996. Understanding Language Change. Cambridge: Cambridge University Press.

Mbete, Aron Meko 2004. Metode Linguistik Diakronik.Denpasar: Universitas Udayana

Mbete, Aron Meko 2007. “Sekilas tentang Linguistik Historis Komparatif. Bahan Ajar. Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Nothofer, Bernd 2015. “Perspektif Linguistik DIakronis dan Ikatan Kebangsaan”. Makalah yang disajikan dalam Seminar Politik Bahasa, 3-6 Juni 2015. Diselenggarakan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

~ 24 ~ KESALAHAN PENULISAN AKSARA LAMPUNG OLEH MAHASISWA STKIP MUHAMMADIYAH PRINGSEWU LAMPUNG

Amy Sabila STKIP Muhammadiyah Pringsewu Lampung [email protected]

ABSTRACT This study investigates writing error of aksara Lampung by STKIP Muhammadiyah Pringsewu Lampung students. The objective of this study is finding writing error form in aksara Lampung. This study is expected to preserve the aksara of Lampung which has begun to be forgotten by the education community, especially students, because they have undergone their higher education and they are beginning to forget the local aksara. Method in this study is using qualitative descriptive. Methods in this study include two things they are the methods of data collection and data analysis methods. Data collection methods are using the main techniques, namely the written test and note. This technique is used to obtain the data about the students understanding of aksara Lampung, using Indonesian text and transcribed into written form of aksara Lampung by the student. The data analysis technique in this study is using identity method. From this study there are 12 aksara errors namely; ha written gha, wa written by a, nga written by nya, pi written by si, pa written by ba, ba written by sa and the use of anak letters ah, ar, e, u, o and i. These errors occur because of the student has forgotten the local aksara and less of understanding in the local aksara Lampung.

Key W ords: Writing Error, Aksara Lampung

PENDAHULUAN Daerah suku Lampung memiliki aksara yang mencirikan sebuah bentuk tulisan khas dari budaya daerah Lampung yaitu dinamakan aksara Lampung. Aksara Lampung merupakan ciri khas dari Lampung, karena hanya sedikit suku-suku di Indonesia yang memiliki aksara sendiri. Hal ini menjadi suatu ciri khas dan kebanggan untuk masyarakat Lampung dan tentunya keinginan yang kuat agar dapat dilestarikan oleh masyarakat Lampung. Sampai sekarang belum tahu siapa pencipta aksara Lampung. Pendapat para ahli men- gatakan bahwa aksara Lampung termasuk Sukhat Rencong. Para ahli lainnya juga mengemu- kakan aksara Lampung ini berasal dari perkembangan aksara Devanagari yang lengkapnya disebut Dewdatt Deva Nagari atau aksara Pallawa dari India Selatan. Aksara tersebut ber- bentuk suku kata seperti halnya aksara Jawa ca-ra-ka atau bahasa Arab alif-ba-ta. Yang jelas berdasarkan fakta yang ada bahwa aksara Lampung ditulis pada zaman dahulu. Aksara tersebut ditulis oleh masyarakat sebagai sandi atau simbol yang ditulis di batang kayu yang masih hidup atau yang sudah roboh. Semakin meningkat dan semakin lama berubah, masyarakat mencoret batang kayu dengan menggunakan arang, kunyit atau getah-getah bening lainnya. Pada zaman modern seperti sekarang, aksara Lampung telah mengalami perkembangan atau perubahan. Sebelumnya, aksara Lampung jauh lebih kompleks, sehingga dilakukan penyempurnaan sampai yang dikenal sekarang. Aksara Lampung yang diajarkan di sekolah sekarang adalah hasil dari penyempurnaan tersebut. Kelabai sukhat atau yang disebut induk huruf berjumlah 20 buah, dan anak surat terdiri dari 12 buah. Aksara Lampung seharusnya menjadi ciri khas dan selalu diingat masyarakat khususnya peserta didik, tetapi saat ini sangat mudah

~ 25 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature dilupakan. Hal ini terbukti disaat peneliti melakukan penelitian di kelas dengan mengambil beberapa sample penulis mencoba untuk mengetahui pemahaman mahasiswa tentang aksara Lampung. hasilnya, terdapat kesalahan-kesalahan yang peneliti ditemui. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan bentuk kesalahan dalam tulisan aksara Lampung yang sudah ditranskipkan mahasiswa. Penelitian ini diharapkan dapat melestarikan aksara Lampung yang sudah mulai dilupakan oleh kalangan pendidikan, khususnya mahasiswa, karena telah menjalani pendidikan yang lebih tinggi dan mulai melupakan aksara daerah. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, yang bersifat menggambarkan, memaparkan, dan menguraikan objek yang diteliti (Arikunto, 2006:11). Penelitian kualitatif antara lain bersifat deskripitif, data yang dikumpulkan lebih banyak berupa kata-kata atau gambar daripada angka-angka. Dengan demikian, penelitian deskriptif kualitatif merupakan penelitian yang bermaksud untuk membuat deskripsi atau gambaran untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain (Moleong, 2010: 6). Metode yang digunakan dalam penelitian mencakup dua hal yaitu metode pengumpulan data dan metode analisis data. Metode dalam pengumpulan data menggunakan teknik utama yaitu dengan tes tertulis dan catat. Teknik ini digunakan untuk memperoleh data mahasiswa tentang pemahaman aksara Lampung, yaitu dengan menggunakan teks bahasa Indonesia dan ditranskipkan ke dalam bentuk tulisan aksara Lampung oleh mahasiswa. Teknik analisis data penelitian ini menggunakan metode padan.

KAJIAN TEORI Penelitian ini menggunakan kajian aksara Lampung. Aksara yang terdapat pada suatu daerah mencirikan sebuah bentuk tulisan khas dari budaya daerah Lampung yang terbagi menjadi bentuk aksara atau had Lampung/kelabai surat (induk huruf) dan anak surat aksara atau anak huruf. a. had Lampung atau Kelabai Surat (Induk Huruf) Had Lampung atau kelabai surat saat ini berjumlah 20 buah. Hal ini sesuai dengan kesepakatan para pembina bahasa Lampung yang terdiri dari pemuda adat yang peduli dengan bahasa maupun aksara Lampung pada tahun 1971. Semula kelabai surat terdapat 19 buah setelah hasil musyawarah ditambah satu yaitu “gha” (Muntazir, 2014: 8). Adapun bentuk induk huruf sebagai berikut

~ 26 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature b. Anak Surat atau Anak Huruf Anak huruf terbagi menjadi tiga bagian yaitu (1) terletak di atas induk huruf, (2) terletak di bawah induk huruf, (3) terletak di samping kanan induk huruf atau ditulis sejajar (Bakr, 1984: 13). Berikut bentuk anak huruf

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bentuk teks yang diberikan adalah definisi menulis “Aktivitas menulis merupakan suatu bentuk manifestasi kemampuan dan keterampilan berbahasa yang paling akhir dikuasai oleh pembelajar bahasa setelah kemampuan mendengarkan, berbicara, dan membaca. (Sumber: Iskandarwassid, 2008: 248)”.

~ 27 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Data Ke-1

Terdapat beberapa kesalahan dari data 1. Kesalahan-kesalahan tersebut yang telah digaris bawahi oleh bulpoint merah. Kesalahan-kesalahan tersebut antara lain 1. Penggunaan induk huruf, seharusnya “a” ditulis “wa”. 2. Penggunaan induk huruf seharusnya “pi” ditulis “si”. 3. Penggunaan anak huruf yang diletakan di atas “ar” tetapi malah ditulis “ra” dilengkapi dengan tanda mati. 4. Penggunaan induk huruf seharusnya ditulis “wa” ditulis “a”. 5. Penggunaan induk huruf “ha” dengan tanda mati seharusnya ditulis di samping induk huruf “la menjadi Lah”. Tidak semestinya diberi tanda mati karena bisa menggunakan anak huruf di samping “ah”. 6. Penggunaan induk huruf “ra” dengan tanda mati seharusnya ditulis di atas induk huruf menggunakan anak huruf akhiran “ar”.

Data Ke-2

~ 28 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Terdapat beberapa kesalahan dari data ke-2. Kesalahan-kesalahn tersebut yang telah digaris bawahi oleh bulpoint merah. Kesalahan-kesalahan tersebut antara lain 1. Penggunaan anak huruf yang terbalik yaitu “e” ditulis “i”, “u” ditulis “o”. hal ini membingungkan pembaca karena bentuk posisi yang terbalik dapat mengubah bunyi saat diucapkan. 2. Penggunaan induk huruf “ra” ditulis menjadi “gha”. 3. Penggunaan induk huruf “wa” ditulis “a”. 4. Penggunaan induk huruf “nga” ditulis “nya”.

Data Ke-3

Terdapat beberapa kesalahan dari data ke-3. Kesalahan-kesalahan tersebut yang telah digaris bawahi oleh bulpoint merah. Kesalahan-kesalahan tersebut antara lain 1. Penggunaan anak huruf “u” ditulis “o”. 2. Penggunaan induk huruf “wa” ditulis “a”. 3. Penggunaan induk huruf “pa” ditulis “ba”. 4. Penggunaan induk huruf “ba” ditulis “sa”.

SIMPULAN Berdasarkan hasil data dan pembahasan kesalahan penulisan aksara Lampung oleh mahasiswa STKIP Muhammadiyah Pringsewu Lampung terdapat 12 kesalahan beraksara yaitu; ha ditulis gha, wa ditulis a, nga ditulis nya, pi ditulis si, pa ditulis ba, ba ditulis sa dan penggunaan anak huruf ah, ar, e, u, o, dan i. Kesalahan-kesalahan tersebut terjadi karena mahasiswa sudah melupakan aksara daerah dan kurang pemahaman terhadap aksara Lampung. Seharusnya aksara yang dimiliki daerah dipertahankan dan dikembangkan, karena aksara Lampung merupakan ciri khas dari daerah Lampung yang tidak semua Provinsi miliki.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Bakr, Baheram. (1984). Pembelajaran Praktis Membaca dan Menulis Huruf Lampung. Tanjung Karang: CV.

~ 29 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Tanggamus.

Iskandarwassid, Sunendar. (2008). Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Moleong, Lexy. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Muntazir. (2014). Bahasa Lampung. Pringsewu: STKIP Muhammadiyah Pringsewu.

~ 30 ~ THE SECRET CODE/ARGOT USED BY THE WARRIORS OF FRETE- LIN DURING THE INVASION OF INDONESIAN ARMED FORCES IN DECEMBER 1975

Antonio Constantino Soares Master of Linguistics Program Udayana State University [email protected] 08179758631

ABSTRACT Republica Democratica De Timor Leste (RDTL) used to be called Timor-Timur when it still became 27th of Indonesia Province for 24 years. The aims of this research is intended to know and to docu- ment the secret code/argot used by the warriors of Timor Leste during Indonesian Armed Forces in December 1975-August 2000. The theory of Sociolinguistics is applied in writing this paper. The data used in this writing were gained through interview and then analyzed them by applying the descritive qualitative method.The results of the study show that most of the code/argot used by the warriors of Timor Leste are nouns.Those words were applied as the secret code which could only be understood by their friends who were considered to be in the same ideologies.

Keywords: Code/Argot, East Timor Warrior and Indonesian Armed forces

INTRODUCTION Republica Democratica de Timor Leste (RDTL) is a country that is formerly known as East Timor (Timor-Timur) then after it was being independent from Indonesia on May 22, 2002, this country was renamed as RDTL. RDTL is a small country located in , particularly in the north side of Australia, eastern end of the archipelago Indonesia. East Timor’s history begins with the arrival of people from Portugal who did the trading in the island of Timor and occupied the island as well. After a few clashes with the Netherlands, it made an agreement in 1859 in which the Portuguese give the western part of the island. Japan controlled East Timor from 1942 to 1945, but after their defeat in World War II Portugal re-mastered it. Martin (2001: 16) states that in 1975, when the Carnation Revolution in Portugal and the last governor of Portugal in East Timor, Lemos Pires, ordered to withdraw the Portuguese army then FRETILIN (one of political party in East Timor) declared the independence of East Timor as the Democratic Republic of Timor-Leste on 28 November 1975. Then afterwards, it was invaded by Indonesia on December 7, 1975, and it was declared that East Timor was part of Indonesia, as its twenty-seventh province. Nevertheless, not all the people did agree with the integration. It resulted in the revolution in between Timorese warriors with the Indonesian Armed Forces along 24 years, started from December 1975 up to August 2000. During those times, the Timorese fighters used lots code language, or argot as confidential or secret code to communicate to one another. The code language or argot is a secret language that only used by a particular group or community to communicate and can only be understood by certain people only. Code language is quite interesting to be studied more deeply because these language variations are confiden- tial and only used by certain circles or groups. Moreover, there are still not many researchers ~ 31 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature wrote about the code language/argot. Therefore, it is quite interesting to write about the code language, which is including variations in the language that are seen from the sociolinguistic side. The code language/argot was chosen as the title of this paper because it belonged to the language heritage that must be preserved in order to be remembered by the next generation. So that, the next generation will be able to know more about the code language/argot which was once used by the warriors at that time. Based on the reasons above, the writer then decided to do the research about the code language argot as the title of this paper.

THEORITICAL FRAMEWORK

Definition of Code/Argot Language Code language/argot is a simple and specific words that commonly used in the field or certain professions that are highly confidential and can only be understood by certain groups as well. In society, there is a group of people who use a particular language or a secret language (language variations) to communicate among their group. Code language is actually taken from the existing ordinary language, but it is created for the use of certain purposes that are highly confidential in nature. According to Jendra, (2010: 60-61) the variations of code language/argot is in the form of dialect, known as a typical language for a particular group (sometimes is also defined as a cryptolect language). The examples of it are like the typical languages that are associated with criminals, e.g. thieves, vagabonds, pickpockets, robbers, and other secret societies. However, the code language or argot can also be found among paragay, inmates, organized beggars, and other socially marginalized communities. The typical dialect or language typically used to iden- tify a person whether he is one of the members of a particular gang circles or not. It is basically to develop a sense of security and separation as well as disguises the members. In India, some people who are working to keep the Hindu pilgrims, are reported to have used variations of code language/argot to communicate among members of the business. Some of the words are taken from the original language but they make a variation of it. For example, mandir ‘temple’ becomes ‘jhandir,’ also, ghar ‘house’ becomes ‘ragha’. Some other words just absorbed it without knowing the origin of these words, as an example ragul ‘thief’, and khotar ‘policemen’ In a different case, the words are used in a variety of code language/argot in certain circles certainly have different meanings when the words were used as an ordinary language by the general public. For example, in a variation of code language/argot used by thieves, the word fuzz is used to refer to the ‘rule of law’ and ‘on the lamp’ which means ‘to evade law enforce- ment ‘. The study on the crytolect like this is also sometimes known as cryptology. The expert also studied variations in code language/argot for the purpose of military secrets. They analyze how to break the codes (or secret), how to reveal the secret message that was brought, which is sometimes, they create a manual that is known as the secret code-breaking. In addition, there is also a chipper, which is a system to communicate confidentially with changing ordinary let- ters into a message which holds the ‘key’. The examples of code language or argot is usually done by replacing each of the letter with a different number, such as: a = 1 b = 2, c = 3 etc, or a letter could be represented by a combination of different characters such example: a = oe, u = ie, etc.

~ 32 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

RESEARCH METHOD There are two types of methods in this study, which are (1) methods and techniques of data collection, and (2) methods and techniques of data analysis.

Methodology In writing this paper, the authors use the method of conversation to get the data. Mahsun (2007: 95) states that the naming of the method is because the way in which the data collection is taken is in the form of a conversation between researcher and informant.

Data Source The data sources in this study were taken from the former warrior (Fretilin) ​​or former fighters of East Timor, which are still alive and living in East Timor (Timor Leste).

Data Collection The data collected in this study were taken from Timorese fighters through the interviews and then the data is re-recorded and classified by the meaning and ideology.

Data Analysis At this stage, all the data that has been collected were studied and understood to find what the ideology behind the use of specific words in the code language/argot and then the data col- lected were analyzed by qualitative descriptive method

ANALYSIS AND DISCCUSSION

List of Code/Argot Lexicons Here is the list of lexicon in the code language/argot used by fighters (Fretilin) ​​of East Timor during the war with the Indonesian army in the jungle (1975-2002) . The list of the words can be seen in the table below: Table 1: List of Code Language in Makasae Language Makasae Language Meaning as a code language Meaning Kaidala gi isu Grenade Papaya Imika Bullets Rice Diakai Gun Crowbar Sita’a Sword Cleaver Kuda Timorese Warriors Horse Wasa House Cave Depa Indonesian Army dog Biru Charm/Talisman A red cloth Maluasa Money Betel leaves

~ 33 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Analysis of Code/Argot Lexicons

Data 1 Kaidila gi isu Pepaya Papaya

This term originally means papaya, but by the fighters, it is used to code the grenade. They code it as grenade because of the shape of it resembles the shape of grenade which is long and easily found everywhere. That is why; the Timorese warriors code the term kaidila gi su or papaya to refer to grenade.

Data 2 Tapani Beras Rice

The word tapani is actually means rice. However, this term is used as a code for am- munition or tools to war as when we see the shape of the rice itself, it is almost similar to the ammunition or bullets.

Data 3 Diakai Linggis crowbar

This term diakai is used to code a weapon. While in their everyday life, the diakai is actu- ally used as an agricultural tool by farmers in East Timor

Data 4 Sita’a Parang sword

The word sita’a more likely means a kind of sword. Particularly, sita’a is a traditional weapon that every warrior must-have. This kind of sword is often used to open fields or used for everyday activities therefore this word is used to code a gun because the gun is often carried by a soldier. Data 5 Kuda kuda horse

The word kuda actually means one of the precious animals for people in East Timor, which is a horse. This word is used as a code for naming the Timorese warriors that are con- sidered as precious people. In their everyday life, these animals are often used as a dowry for a man, to marry a woman. Horses are also used by farmers to plow their fields.

Data 6 Wasa gua cave

The term of wasa which literary means cave, is used as the code language to refer to a house. Particularly, it is because during that time, the GPK, or Timorese fighters have to fight in the woods and mountain. Because of that, it is impossible for them to build the ‘real’ house. That was why they use wasa/cave as their home at that time.

~ 34 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

Data 7 Depa anjing dog

This term is used by the former combatants (Fretilin) of ​​Timor Leste as a code referring to Indonesian soldiers. The meaning of depa itself is a dog. In the Timorese people like in the rural communities and farmers, depa is often used as a hunter. Thus, the presence of Indonesian troops in East Timor is called as depa, as they often hunt and capture the Timor Leste fighters (Fretilin), just like a hunter dog.

Data 8 Biru jimat charm/talisman

Biru is a red cloth containing a small stone or wood chips and is believed to have the power to protect them from harm. Usually this red cloth tied around the head or well made as a belt. They believe that by using this belt, they can avoid the pursuit of the Indonesian army.

Data 9 Cladistine Pembawa logistik Supplier carrier

The term of cladestine is used as a code language/argot which refers to the people of East Timor who work voluntarily to deliver logistics or food ingredients to help the East Timor fight fighters (Fretilin) in the forest.

Data 10 Maluasa Daun sirih Betel leave

The word ‘maluasa ‘means ‘daun sirih’ in bahasa Indonesia, which means the betel leaves. Since maluasa or betel leaves is often used to greet guests when guests visit their home and they are used to hearing or seeing this thing in their daily life, then it is used by the Fretilin warriors as the code, means ‘money’.

CONCLUSION From the analysis that has been done in the previous chapter on code language /argot , it can be concluded that the code language/argot is in the form of a simple word and has a specific meaning. Those words are commonly used in the field or certain professions that are highly confidential and can only be understood by certain groups in theTimor Leste. In society, sometimes, there is a group of people who use a particular language or a se- cret language (language variations) to communicate among their group. This is also happening in East Timor when the presence of armed forces of the Republic of Indonesia (ABRI) is not expected in East Timor by pro-independence society because they do not want to be part of the government of the Republic of Indonesia, but want to stand alone into a country. Ten lexicon of Makasae language used as data in this paper. From the data that has been analyzed show that the lexicons are chosen by fighters or (Fretilin)​​Timor Leste as code language/argot quite varied and relevant to the meaning and ideology behind the use of code language/argot lexicons.

~ 35 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature REFERENCES

Jendra,Iwan, Indrawan.2010.Sociolinguistics Studi SocietisLanguage. GRAHA ILMU. Mahsun.2007.Metode Penelitian Bahasa.Edisi Revisi.Rajawali Pers Spolsky,Bernard.1998.Introduction to language study.Holmes, 2008. An Introduction to sociolinguistics, third edition. Sumarsono. 2007. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda dan Pustaka Pelajar. Wardhaugh, Ronald. 2006. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Blackwell Inc. Kridalaksana, Harimurti.2008. Kamus Linguistik.Edisi keempat.Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

~ 36 ~ LINGUISTIC PHENOMENON OF NEBHA AS THE SPEECH PLAY ON NGADHA LANGUAGE IN NGADA REGENCHY, FLORES, NTT

Bertholomeus Jawa Bhaga State University of Surabaya Email : [email protected]

ABSTRACT Ngadha language is one of the sub-Central Malayo Polynesian languages are on the island of Timor, Sumba, Flores, and also in the Moluccas. As a language is always used speakers, this language has its own uniqueness that is the Nebha. Nebha is a linguistic phenomenon that existed at Ngadha language in Flores, NTT. Said, because nebha has a uniqueness that does not exist in other languages in Flores in general such Nagekeo, Ende, Lio, Maumere and other languages. This is evidenced by a word that has a specific meaning will be added in other words without meaning then reversed and the second word will produce two new words and also produced a new meaning. The resulting new meaning will describe the function or purpose. This paper aims to identify the various linguistic phenomena that exist in the language Ngadha in particular about the speech play. In nebha which is the language of speech play, will be identified on the speech play which consists of form, function and the resulting mean for that speech play. In nebha, there is a distinctive form of the exchange of sound only due to the addition of other words. Judging from its function nebha have a variety of functions ie pragmatic function that is snapped, informing and familiarizing the atmosphere, and the function of criticism. While the purpose is conveyed from nebha always obeying the existing functionality.

Keywords: Nebha, speech play

LATAR BELAKANG Manusia berdedudukan sebagai makhluk sosial dalam kehidupan dengan sesama dalam masyarakat. Buktinya adalah dalam kehidupan sehari-hari, selalu terjadi interaksi antarsesama yang menunjukan bahwa benar manusia adalah makhluk sosial. Dalam fungsinya sebagai sarana komunikasi, bahasa digunakan oleh masyarakat dengan berbagai cara untuk tujuan tertentu. Manusia sesuai dengan julukannya sebagai homo ludens karena kegemarannya bermain untuk memenuhi kepuasan mental dan spiritualnya, menjadikan bahasa sebagai salah satu milik manusia yang sangat berharga yang tidak luput digunakan sebagai sarana permainan (Wijana dan Mohamad Rohmadi, 2010:148). Masyarakat mengkreasikan bahasa dengan bermain-main dari tataran terendah (bunyi) sampai dengan tataran tertinggi (wacana) yang secara cermat dimanfaatkan oleh para kreatornya untuk efek tertentu dalam menyampaikan berbagai ketidakterdugaan yang secara serta merta diharapkan dapat ditangkap sekaligus dinikmati oleh penikmatnya. Kebermaknaan permainan bahasa tentu dapat ditangkap secara menyeluruh dengan pengetahuan budaya yang sama antara penutur dan pendengarnya. Dalam mengungkapkan sesuatu secara verbal, setiap penutur tentu memiliki gaya tersendiri, baik dari segi dialek situasi berbahasa (secara formal atau informal) maupun ciri khas yang menjadi sebuah kebiasaan sosial dalam masyarakat tertentu dalam pemilihan leksikal (Fromkin: 1990). Permainan dengan sarana bahasa banyak ditemukan dalam berbagai genre berbahasa, seperti dalam kartun, teks-teks humor, teka-teki, sampai dengan wacana-wacana kompleks, seperti tajuk rencana, puisi, iklan, novel, dan dalam percakapan lisan sehari-hari. Bahasa Ngadha yang adalah sub-rumpun bahasa Melayu Polinesia Tengah memiliki

~ 37 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature keunikan tersendiri. Dikatakan memiliki keunikan karena di dalam bahasa ini terdapat permainan bahasa yang dilakukan oleh para penuturnya dalam melakukan interaksi dengan sesamanya setiap hari melalui percakapan lisan yang disebut dengan nebha. Nebha dikatakan sebagai sebuah permainan bahasa karena di dalamnya terdapat ciri khas yakni sebuah kata yang memiliki makna tertentu akan ditambahkan dengan kata lain lalu dibalikkan sehingga membentuk frasa baru dan terbentuk pula makna yang baru tetapi masih memiliki pertalian makna dengan kata awal. Dari uraian yang telah dikemukan tersebut, maka penulis merasa perlu untuk mengkaji lebih dalam mengenai bentuk, fungsi dan maksud di dalam nebha yang adalah permainan bahasa tersebut.

KONSEP

Permainan Bahasa Konsep permainan bahasa dalam penelitian ini mengacu pada konsep permainan bahasa Kirshenblatt-Gimblett (1976) dan Sherzer (2002) dengan istilah Speech Play sebagai bentuk kekreatifan berbahasa. Permainan bahasa adalah manipulasi bahasa (baik secara fonetik, leksikal, maupun sintaksis, dan lain-lain), kekreatifan gaya berbahasa, variasi kode, atau style, yang digunakan dalam percakapan sehari-hari (Kirshenblatt-Gimblett:1976). Lebih lanjut Sherzer (2002:1) menyebutkan pula bahwa permainan bahasa adalah manipulasi elemen-elemen dan komponen-komponen bahasa dalam hubungannya dengan konteks sosial dan budaya dalam penggunaannya (language use). Jadi, dalam konsep speech play ditekankan bahwa manipulasi bahasa yang dilakukan penutur adalah aktivitas bermain-main dengan bahasa dalam komunikasi sehari-hari sehingga komponen-komponen yang ada di dalamnya sangat dipengaruhi oleh budaya penutur. Selanjutnya, Wijana (2010: 248) menyebutkan permainan bahasa dimaksudkan untuk mencapai bermacam-macam tujuan, seperti melucu, mengkritik, menasihati, melarang, dan berbagai tujuan lain yang sering kali tidak mudah diidentifikasi.

PEMBAHASAN Dalam nebha, terdapat bentuk, makna dan fungsi yang dihasilkan sebagai akibat dari bahasa yang terus digunakan oleh penutur bahasa Ngadha. 1. Bentuk Sebagai sebuah permainan bahasa, maka nebha adalah hasil dari manipulasi bahasa yakni pada tataran fonetis dan morfologi. Dikatakan demikian yakni dari cirri nebha tersebut yakni kata yang memiliki makna tertentu akan ditambahkan dengan kata lain lalu dibalikkan sehingga membentuk frasa baru dan terbentuk pula makna yang baru. Kata lain yang ditambahkan tersebut sengaja ditambahkan lalu adanya pertukaran bunyi vokal dari kata pertama ke kata kedua,dan dari kata kedua ke kata pertama sehingga membentuk frasa baru yang adalah hasil pembalikan dua kata pertama tadi. Berikut contoh nebha misalnya : 1. ‘bako’ = ‘rokok’ (1) ‘bako’ + (2) ‘tegi’ = ‘bako tegi’ = ‘tago beki’ Bentuk pada data (1) tersebut muncul dengan proses sebagai berikut : ‘bako’yang memiliki makna ‘rokok’ ditambahkan dengan kata ‘tegi’ yang tidak memiliki makna. Kedua kata ini digabungkna lalu diucapkan secara berkali-kali sehingga muncul

~ 38 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature balikkannya yakni frasa ‘tago beki’ yang bermakna ‘tanggung sendiri’. Proses pembentukan ‘tago beki’ ini terjadi karena adanya perpindahan/pertukaran vokal a dan o pada kata ‘bako’ ke ‘tegi’ dan vocal e dan i pada ‘tegi’ ke ‘bako’ sehingga (‘bako’ =’beki’) dan (‘tegi’ = ‘tago’). Lalu pada unsur/tataran morfologi terjadi ketika ‘bako’ + ‘tegi’ = ‘tago beki’ ‘ maka akan terbentuk kata kedua pada bentukan awal akan menjadi kata pertama pada hasil bentukan baru dan kata pertama pada bentukan awal menjadi kata kedua pada bentukan baru. Hal ini disimpulkan sebagai manipulasi dalam tataran morfologi karena perubahan bentuk atau struktur kata tersebut dapat pula diikuti oleh perubahan jenis atau makna kata yakni : ‘bako’(n)= ‘rokok’, menjadi ‘beki’(pronominal tak takrif) = ‘ sendiri’, ‘tegi’ (tanpa arti), menjadi ‘ tago’(v) = ‘tanggung’ 2. ‘ba’I’ = ‘pahit’ (1) ‘ba’I’ + (2) ‘gono’ = ‘gani bo’o’ Bentuk pada data (2) tersebut muncul dengan proses sebagai berikut : ‘ba’i’yang memiliki makna ‘pahit’ ditambahkan dengan kata ‘gono’ yang tidak memiliki makna. Kedua kata ini digabungkna lalu diucapkan secara berkali-kali sehingga muncul balikkannya yakni frasa ‘gani bo’o’ yang bermakna ‘karena sudah kenyang’. Proses pembentukan ‘gani bo’o’ ini terjadi karena adanya perpindahan/pertukaran vokal a dan i pada kata ‘ba’i’ ke ‘gono’ dan vocal o pada ‘gono’ ke ‘ba’i’ sehingga (‘ba’i’ =’bo’o’) dan (‘gono’ = ‘gani’). Lalu pada unsur/tataran morfologi terjadi ketika ‘ba’i’ + ‘gono’ = ‘gani bo’o’ ‘ maka akan terbentuk kata kedua pada bentukan awal akan menjadi kata pertama pada hasil bentukan baru dan kata pertama pada bentukan awal menjadi kata kedua pada bentukan baru. Hal ini sebagai manipulasi dalam tataran morfologi karena perubahan bentuk atau struktur kata tersebut dapat pula diikuti oleh perubahan jenis atau makna kata, yakni : ‘ba’I ‘ (adj) = pahit ,menjadi ‘bo’o’ = kenyang (adj), ‘gono’ (tanpa arti), menjadi ‘gani’(konjungsi sebab-akibat) = ‘karena/pengaruh’ 3. ‘tu’u’ =’betul’ (1) ‘tu’u’ + (2) ‘zami’ = ‘zumu ta’I’ Bentuk pada data (3) tersebut muncul dengan proses sebagai berikut : ‘tu’u’yang memiliki makna ‘betul’ ditambahkan dengan kata ‘zami’ yang tidak memiliki makna. Kedua kata ini digabungkna lalu diucapkan secara berkali-kali sehingga muncul balikkannya yakni frasa ‘zumu ta’i’ yang bermakna ‘memegang ke (dalam) kotoran’. Proses pembentukan ‘zumu ta’i’ ini terjadi karena adanya perpindahan/ pertukaran vokal u pada kata ‘tu’u’ ke ‘zami’ dan vocal a dan I pada ‘zami’ ke ‘tu’u’ sehingga (‘tu’u’ =’ta’i’) dan (‘zami’ = ‘zumu’). Lalu pada unsur/tataran morfologi terjadi ketika ‘tu’u’ + ‘zami’ = ‘zumu ta’i’ maka akan terbentuk kata kedua pada bentukan awal akan menjadi kata pertama pada hasil bentukan baru dan kata pertama pada bentukan awal menjadi kata kedua pada bentukan baru. Hal ini sebagai manipulasi dalam tataran morfologi karena perubahan bentuk atau struktur kata tersebut dapat pula diikuti oleh perubahan jenis atau makna kata, yakni :‘tu’u‘ = ‘betul’(adj) ,menjadi ‘ta’i’ (n) = ‘kotoran’, ‘zami’ (tanpa arti), menjadi ‘zumu’(v) = ‘memegang ke (dalam)’ 4. ‘bara’ = ‘tomat’ (1) ‘bara’ + (2) ‘nogo’ = ‘naga boro’ ~ 39 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Bentuk pada data (4) tersebut muncul dengan proses sebagai berikut : ‘bara’yang memiliki makna ‘tomat’ ditambahkan dengan kata ‘nogo’ yang tidak memiliki makna. Kedua kata ini digabungkna lalu diucapkan secara berkali-kali sehingga muncul balikkannya yakni frasa ‘naga boro’ yang bermakna ‘banyak berbicara (banyak mulut)’. Proses pembentukan ‘naga boro’ ini terjadi karena adanya perpindahan/pertukaran vokal a pada kata ‘bara’ ke ‘nogo’ dan vocal o pada ‘nogo’ ke ‘bara’ sehingga (‘bara’ =’boro’) dan (‘nogo’ = ‘naga’). Lalu pada unsur/tataran morfologi terjadi ketika ‘bara’ + ‘nogo’ = ‘naga boro’ maka akan terbentuk kata kedua pada bentukan awal akan menjadi kata pertama pada hasil bentukan baru dan kata pertama pada bentukan awal menjadi kata kedua pada bentukan baru. Hal ini sebagai manipulasi dalam tataran morfologi karena perubahan bentuk atau struktur kata tersebut dapat pula diikuti oleh perubahan jenis atau makna kata, yakni : ‘bara‘(n) = ‘tomat’ ,menjadi ‘boro’(v) = ‘bicara’ ‘nogo’ (tanpa arti), menjadi ‘naga’(adj) = ‘terlalu (banyak)’ 5. ‘toko uma’ = ‘tokoh umat’ (1) ‘uma + (2) ‘toko’ = ‘tuka omo’ Bentuk pada data (5) tersebut muncul dengan proses sebagai berikut : ‘uma’yang memiliki makna ‘umat/jemaat’ ditambahkan dengan kata ‘toko’ yang memiliki makna “tokoh/pemimpin”. Kedua kata ini digabungkna lalu diucapkan secara berkali-kali sehingga muncul balikkannya yakni frasa ‘tuka omo’ yang bermakna ‘tukang omong/bicara’. Proses pembentukan ‘tuka omo’ ini terjadi karena adanya perpindahan/pertukaran vokalu dan a pada kata ‘uma’ ke ‘toko’ dan vocal o pada ‘toko’ ke ‘uma’ sehingga (‘uma’ =’omo’) dan (‘toko’ = ‘tuka’). Lalu pada unsur/tataran morfologi terjadi ketika ‘uma’ + ‘toko’ = ‘tuka omo’ maka akan terbentuk kata kedua pada bentukan awal akan menjadi kata pertama pada hasil bentukan baru dan kata pertama pada bentukan awal menjadi kata kedua pada bentukan baru. Hal ini sebagai manipulasi dalam tataran morfologi karena perubahan bentuk atau struktur kata tersebut dapat pula diikuti oleh perubahan jenis atau makna kata, yakni :‘uma‘(n) = ‘umat/jemaat’ ,menjadi ‘omo’(v) = ‘ omong/bicara’, ‘toko’(n) = “tokoh/pemimpin”, menjadi ‘tuka’(n) = ‘biasa’(adj) 2. Fungsi Sebagaimana nebha adalah keunikan dari bahasa Ngadha yang terus menerus di- gunakan oleh penuturnya memiliki tujuan atau fungsi-fungsi yang diketahui dari konteks penggunaan bahasa yakni konteks sosial dan budaya masyarakat pemakai bahasa Ngadha. Hal ini dilihat dari perilaku berbahasa masyarakat penutur bahasa Ngadha sering tidak menjawab secara langsung pertanyaan yang diajukan, tetapi menggunakan nebha. Dalam mengkaji tentang fungsi atau tujuan nebha tersebut, perlu menghadirkan teks dan konteks. (1) ‘bako’ Teks : N = “ ale ngede bako kena le” Konteks : N : Kakak anak ke 2, t = adik t = “ bako tegi la” tempat = rumah, siang hari, setelah pulang kerja N = “ wala” (pb.01)

Data (1) diatas dijelaskan bahwa N meminta rokok kepada t, t menanggapi permintaan N bukan dengan menjawab bahwa tidak ada rokok tetapi t mengatakan tanggung sendiri. Dari ilustrasi ini, teks nebha tersebut berfungsi menginformasi sesuatu/ ~ 40 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature informatif. Selain itu juga bersifat melucu, karena dari konteks bahwa n sebagai kakak dan t sebagai adik dengan kebiasaan masyarakat untuk mencapai keakraban. (2) ‘ba’I’ Teks : N = “ go uta padu dia ba’I” Konteks : N = kakak , t = adik, tempat = rumah, siang hari, setelah makan siang. t = “ haeeee……tuku da ba’I gono so’o “ (pb.02) N = ?

Data (2) tersebut mengambarkan N mengatakan bahwa sayur daun pepaya pahit. t setelah mereka makan di siang hari. t menanggapi pernyataan N tidak dengan menegaskan ataupun membenarkan pernyataan N tetapi t menjawab dengan ketus bahwa karena sudah kenyang maka ia mengeluarkan pernyataan tersebut padahal makanan tersebut sudah dihabiskan. Disini teks dalam nebha tersebut berfungsi mengeritik. (3) tu’u Teks : N = “ ai gau tu’u lulus PNS? Konteks : N = kakak, t = adik, tempat =teras rumah, pagi. t = “ tuku da tu’u zami so’o la, go pengumu- man jia koran bhogo jelas gho“ (pb.03) N = ?

Data (3) ini menjelaskan bahwa N bertanya untuk memastikan bahwa benar atau tidak t lulus PNS, t menanggapi pertanyaan N dengan keragu-raguannya atas kesimpangsiuran berita di koran dengan mengatakan jangan-jangan mendapatkan sial (memegang ke (dalam) kotoran) dalam hal ini tidak lulus. Teks ini berfungsi sebagai mengeritik. (4) bara Teks : N = “ pu’u robha-robha wuku gego gha Konteks : N = kakak, t = adik, tempat = di dalam rumah, sey kena la” pagi. t = “ ata teka bara“ (pb.04) N = “mema,de bara nogo gho”

Data (4) tersebut menggambarkan bahwa N bertanya kepada t siapa yang berteriak ketika masih pagi. t menjawab bahwa yang berteriak adalah penjual tomat. Lalu N serta merta memastikan bahwa yang tukang bicara adalah penjual tomat. Disini fungsi teks nebha tersebut adalah menghina. (5) toko uma Teks : N = “ ge migu toko uma dhele pertemua” Konteks : N = kakak , t = adik t = “ e’e le, way go hasi bhai“ tempat =teras rumah, siang. N = “lo dhele go toko uma pasti uma toko” (pb.05) t = hehehehe…

Data (5) diatas menggambarkan N menginformasikan kapada t bahwa setiap minggu tokoh umat selalu melakukan pertemuan, namun t mengkritik bahwa tidak ada hasil dari pertemuan tersebut, lantas N mengkritik bahwa tokoh umat selalu banyak bicara tanpa hasil. Dari teks tersebut berfungsi mengkritik.

~ 41 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature 3. Maksud Maksud yang disampaikan di dalam nebha tersebut selalu mengikuti fungsi yang telah diketahui. Dari data-data tersebut, terkandung maksud yang disampaikan yakni: a. Data (1) bermaksud untuk : 1)menginformasikan, apabila benar bahwa memang sesuatu yang diminta tersebut tidak ada. 2). Melucu, yakni membangun keakraban antara N dan t. b. Data (2) bermaksud untuk mengkritik, hal ini dikarenakan keadaan yang bertolak belakang dengan yang dibicarakan, yang mana sayur yang dirasakan pahit tetapi tetap dihabiskan. c. Data (3) bermaksud untuk mengkritik atas kesimpangsiuran berita yang didengar. Wujud dari keragu-garuan tersebut,maka t berasumsi jangan-jangan pada akhirnya ketidakberuntungan yang akan dia dapatkan. d. Data (4) bermaksud untuk sinis. e. Data (5) bermaksud untuk untuk mengkritik keadaan yang biasanya terjadi di dalam masyarakat.cenderung yang disebut sebagai tokoh umat/pemimpin jemaat, biasanya banyak berbicara,banyak konsep yang tinggi, tetapi tidak direalisasikan.

KESIMPULAN Dari uraian yang telah dikemukakan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa : 1) permainan bahasa dalam nebha terjadi karena adanya manipulasi pada unsur fonetis dan morfologi. 2) Permainan bahasa dalam nebha ini terjadi karena adanya “ kesengajaan” para penutur bahasa Ngadha menambahkan kata lain yang tidak tidak berarti ataupun memiliki arti dan menyebabkan pula perpindahan atau pertukaran bunyi. Tentu hal tersebut terjadi dengan cara kedua kata tersebut diucapkan secara terus menerus sehingga terjadi efek tertentu. 3) Dalam nebha, tujuan/fungsinya adalah untuk menginformasikan, mengkritik dan menghina. Sedangkan maksud yang ingin disampaikan melalui nebha tersebut selalu mengikuti fungsi yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

Fromkin, Victoria dkk. 1990. An Introduction to Language. Second Edition. Sydney: Harcout Brace Jovanovich Group. Kirshenblatt-Gimblett, Barbara. 1976. Speech Play. Philadelphia: University of Pensylvania Press. Kramsch, Claire. 1998. Language and Culture. Oxford: Oxford University Press. Sherzer, Joel. 2002. Speech Play and Verbal Art. United States of America: University of Texas Press. Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2010. Analisis Wacana Pragmatik Kajian Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka.

~ 42 ~ STILISTIKA TEKS WASIAT RENUNGAN MASA PENGALAMAN BARU KARYA TGKH MUHAMMAD ZAINUDDIN ABDUL MAJID

Bohri Rahman Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Qamarul Huda Bagu Lombok Tengah

ABSTRACT Stylistica Study On the texts of (Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru / Reflection Period New Experience written by Tuan Guru Kyai Hajji M. Zainuddin Abdul Madjid is motivated by the fact that the study of literary texts is focused on the study of the structure either instrinsic or extrinsic elements. We know, there is a complex interaction between form and meaning. Stilistika studies in the literature try to see how the elements of the language used to deliver messages in literary work. Exploration, explanation and interpretation of the text is strategic and important because this text (Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru) is made as the guidance book by thousand of his followers under the Nahdlatul Wathan Organization. It is stated in part 27 : //If you belive //, // You will never left Zainuddin//, //Maulana Hasan will pray for Tamkin”//, //In the book of Mustarsyidin //. This doctrine makes his followers and his lovers be more militant on M. Zainuddin AM and his NW . This phenomenon increases in to linguistic phenomenon because of its complex effects. There is a very basic question that should be answered : Is there a fundamental goal in writing this text ? Or its only the literary expression.

Keywords: Stylistic; Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru;

Pendahuluan Pada kajian karya sastra, bahasa sebagai medium sastra tidak dapat diabaikan. Karya sastra disusun dengan bahasa (Widdowson, 1978: 203). Apapun rumusan dan pengertian orang tentang sastra, bahasa tetap merupakan medium sastra yang tidak dapat diabaikan (Subroto, 1976: 13). Medium bagi penciptaan seni sastra adalah bahasa. Bahasa bagi seni sastra dapat disamakan dengan garis dan bidang bagi seni lukis, gerak dan irama pada seni tari, nada dan irama pada seni musik dan sebagainya. Oleh sebab itu, tidak dapat dipungkiri bahwa karya sastra memiliki status khusus sebagai seni verbal (Cummings dan Simmons, 1986: vii). Pengamatan terhadap bahasa pasti mengungkapkan hal-hal yang membantu kita menafsirkan makna suatu karya atau bagian-bagiannya, untuk selanjutnya memahami dan menikmatinya (Sudjiman, 1993: vii). Menurut Sudjiman, pengkajian tersebut disebut pengkajian stilistik. Dalam pengkajian stilistik tampak relevansi linguistik terhadap studi sastra. Dengan stilistika dapat dijelaskan interaksi yang rumit antara bentuk dan makna yang sering luput dari perhatian dan pengamatan para kritikus sastra. Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1998:280) stilistika kesastraan merupakan sebuah metode analisis karya sastra yang mengkaji berbagai bentuk dan tanda-tanda kebahasaan yang digunakan sperti yang terlihat pada struktur laihirnya. Metode analisis ini menjadi penting, karena dapat memberikan informasi tentang karakteristik khusus sebuah karya sastra. Bahkan, menurut Wellek dan Warren, ia dapat memberikan manfaat yang besar bagi studi sastra jika dapat menentukan prisip yang mendasari kesatuan karya sastra, dan jika dapat menemukan suatu tujuan estetika umum yang menonjol dalam sebuah karya sastra dari keseluruhan unsurnya. Langkah pertama yang lazim diambil dalam analisis stalistika adalah mengamati deviasi-deviasi seperti pengulangan bunyi, inverse susunan kata, susunan hierarki klausa, yang ~ 43 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature semuanya mempunyai fungsi estetis seperti penekanan, atau membuat kejelasan atau justru kebalikannya. Usaha estetis untuk mengaburkan dan membuat makna menjadi tidak jelas (Wellek dan Waren, 1993: 226). Untuk mengetahui cirri pembeda gaya sebuah teks dari teks lain, perlu dilakukan penghitungan frekuensi pemunculan tanda-tanda linguistik yang terdapat di dalamnya. Gaya kemudian diukur berdasarkan kadar deviasinya terhadap bahasa yang wajar dan baku. Data kuantitatif yang diperoleh dari analisis seperti ini dapat memberikan bukti-bukti konkret yang dapat menopang deskripsi stilistika sebuah karya dengan cara yang lebih dapat dipertanggungjawabkan (Nurgiatoro, 1998:283) Selanjutnya teori stilistika ini akan penulis gunakan untuk mengkaji Wasiat Renuangan Masa Pengalaman Baru karya TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Teks tersebut merupakan teks berisi pesan yang harus dilakukan (wasiat). Pesan (wasiat) disampaikan oleh penulis sebagai ayah, guru, tokoh panutan dan pemimpin sentral organisasi kepada anak-anaknya, murid-murisnya, pengikut setia, pecinta dan simpatisan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Teks Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru ditulis oleh Tuan Guru Kiyai Hajji Muhammad Zainuddin Abdul Majid, seorang ulama, politisi, pejuang kemerdekaan, pejuang Pendidikan Agama Islam (Madrasah dan Majlis Taklim) di pulau Lombok. TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) untuk santri laki-laki pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H/22 Agustus 1937 M, dan bebrapa tahun kemudian mendirikan Madrasah Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah (NBDI) untuk santri putri pada tanggal 15 Rabiul Akhir 1362 H/ 21 April 1943 M. Kedua madrasah ini merupakan madrasah pertama di pulau Lombok. NWDI dan NBDI ini menjadi cikal bakal Organisasi Masyarakat Nahdlatul Wathan (NW) yang berdiri pada 15 Jumadil Akhir 1372 H/1 Maret 1953 M. Teks Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru (WRMPB) ditulis dengan bentuk bait- bait puisi. Teks ini terdiri dari 233 bait WRMPB utama, 112 Wasiat (amanat) Ayah kepada Anak yang dicintainya dan 88 tambahan penting wasiat renungan masa. Keseluruhan teks WRMPB terdiri atas 433 bait. Teks Wasiat ini menjadi sangat berpengaruh setelah TGKH. Zainuddin AM wafat. Teks tersebut dipedomani oleh seluruh simpatisan NW. Bait demi baitnya dimaknai secara denotatif oleh pengikutnya. Makna konotatif sebagai makna Mitos dalam karya sastra diyakini sebagai hal gaib yang di luar jangkauan manusia. Akibatnya, pemaknaan terhadap teks Wasiat tersebut terhenti pada makna leksikal dan makna gramatikal semata, tanpa melihat lebih jauh makna simbolik yang terkandung di dalamnya. Pemaknaan teks Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru terhenti pada pemaknaan leksikal dan pemaknaan gramatikal. Akibatnya, mitos yang ditimbulkan oleh makna konotatif tidak diinterpretasi dengan benar. Misalnya pada bait //DEWI mengirim sebuah kelapa,// , // Tinggi pohonnya lima ribu depa// , //Batu keliling tugasnya menjaga// , //Pulau Lombok selama- lamanya//. Jamaah simpatisan Tuan Guru Kiyai Hajji M. Zainuddin AM. Percaya bahwa yang dikirim oleh Dewi benar-benar sebuah kelapa, kemudian minyak kelapa tersebut dijadikan obat segala macam penyakit. Sampai sekarang minyak dari kelapa tersebut masih ditemukan beredar ditengah-tengah simpatisan TGKH Zainuddin AM. Pemaknaan seperti yang ini jelas bukanlah cara yang bijak untuk memaknai sebuah karya besar. Pemaknaan seperti ini membatasi makna sebuah teks lebih-lebih sebuah teks sastra yang memiliki makna universal dan lepas dari penulisnya. Terlepas dari pemaknaan seperti di atas, pada kajian ini teks tersebut akan penulis kaji makna yang dikandungnya berdasarkan bentuk teks tersebut. Kajian ini berangkat dari keyakinan

~ 44 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature bahwa bentuk menimbulkan makna dan kajian stilistika merupakan kajian yang paling objektif dari kajian sastra.

Pembahasan Teks Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru “Wasiat (amanat) Ayah kepada Anak yang dicintainya”

5, Aduh sayang! 18. Aduh sayang! Wahai anakku kalian ABITURIEN Kalau anakku masih mengaku marilah bersatu sebagai kemarin Bahwa NW Organisasimu Kembali bersatu disatu “AREN” Pastilah ‘nakku Tho’at seribu sungguh NW lah Bapakmu yang tulen Menurut “IMAM” kompak selalu

14. Aduh sayang! 24. Aduh sayang! Konon ada menjual gurunya Sudah masanya naknda berbakti menjual Ibu serta Bapaknya membela NW sepenuh hati Menjual NW dan Madrasahnya Melihara NW sepenuh bukti Na’uzubillah apa jadinya .... menanam jiwa DISIPLIN sejati

Kutipan teks di atas merupakan kutipan beberapa bait pada WRMPB. Bagian ini merupakan bagian kedua dari Teks WRMPB yang berjumlah 112 bait. Bagian kedua ini diberi judul “Wasiat (amanat) Ayah kepada Anak yang dicintainya”. Bait pertma hingga bait ke seratus dua belas pada bagin ini selalu diawali dengan ungkapan “aduh sayang” pada larik pertama, kemudian diikuti oleh larik kedua sampai larik ke lima. Mengawali persajakan dengan ungkapan “Aduh sayang” dan dilakukan secara terus menerus sampai bait ke-112, meruakan keunikan tersendiri dari teks WRMPB ini. Penambahan ungkapan tersebut menjadikan setiap bait tidak terdiri dari empat larik, namun menjadi lima larik. Jika kita melihat bentuk puisi yang sejaman dengan teks WRMPB ditulis, kita akan menemukan sebuah terobosan penulisan puisi, karena pada zamannya penulisan bait-bait puisi masih sangat terikat oleh aturan baku penulisan puisi. Kembali pada pengulangan larik pertama “aduh sayang” yang terus menerus diulang sebanyak 112 kali, menunjukkan bagaimana seharusnya orang tua menasihati anaknya. Teks ini berdakwah kepada pembaca bahwa menasihati pemuda haruslah dengan lembut, dengan bahasa yang menyentuh kalbunya. Dengan cara demikianlah nasihat akan mudah diterima oleh kaum muda. Pada bait ke-18 dinyatakan: //Aduh sayang //, //Kalau anakku masih mengaku//, //Bahwa NW Organisasimu//, //Pastilah anakku Tho’at seribu//, //Menurut “IMAM” kompak selalu//. Sebenarnya, bait ini terasa keras dan tegas. Tujuannya jelas dan menukik pada inti permasalahan. Bahwa jika seseorang mengaku bagian dari organisasi NW maka dia wajib patuh pada apa yang telah digariskan oleh pemimpinnya. Namun penggunaan bahasa kiasan dan analogi, menjadikan doktrin itu terasa lembut. Penggunaan kata “kalau” yang bersinonim dengan “jika”, “umpama”, “misalnya” “andai kata”, dan “seandainya”, pada bait kedua dimaksudkan sebagai pengandaian, tapi tidak bermaksud mengandaikan sesuatu yang masih kosong atau kabur, pengandaian tersebut sebenarnya lebih pada penekanan yang keras bahwa “jika ini maka inilah yang harus”. Namun penulis menggunakan “kalau” untuk lebih meringankan beban psikologis dari larik tersebut tanpa harus menurunkan tinkatan makna yang ingin ditekankan oleh larik. ~ 45 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Kata “kalau” secara sadar atau tidak sebenarnya memiliki potensi yang lebih besar dari kata-kata yang berada dalam lingkungannya, seperti “jika”, “umpama”, “misalnya”, dan yang lain. Selain itu “Kalau” memiliki rima yang bersambung dengan kata berikutnya dalam larik tersebut yang juga berakhiran u yaitu anakku, dan mengaku. Tentu perimaan semacam ini penting dalam sebuah puisi untuk menciptakan melodi dan penekanan makna estetik puitika pada sebuah puisi. Pilihan kata “kalau” kemudian dilanjutkan oleh “anakku”. Secara psikologis, seorang penasehat akan menciptakan kedekatan emosi dengan orang yang ingin didokrinnya. Penggunaan istilah anakku, jelas bermaksud mendekatkan penulis teks sebagai pemberi wasiat dengan pembaca teks sebagai penerima wasiat. Dengan menciptakan kedekatan emosional ini diharapkan pembaca sebagai penerima wasiat dapat lebih mudah tersentuh emosinya untuk menerima secara menyuluruh semua isi dari apa yang diwasiatkan tersebut. Menciptakan kedekatan emosional semacam ini penting dilakukan karena selain meringankan beban psikologis tanpa mengurangi tekanan doktrinnya, juga untuk menciptakan suasana kebatinan dan menciptakan kenyamanan yang mendalam bagi pembaca sebagai penerima doktrin. Doktrin yang ingin dituju oleh bait ini sebenarnya dengan jelas pada larik ke-4 dan ke-5. Pada larik ke-4 dan larik ke-5 dinyatakan: //Pastilah anakku Tho’at seribu//, //Menurut “IMAM” kompak selalu//. Tho’at yang menggunakan logat pengucapan bahasa arab mendapatkan pressing yang sangat kuat dengan kata berikutnya yaitu “seribu”. Taat yang diinginkan bukan hanya sekedar patuh, namun taat yang diinginkan adalah patuh yang sesungguhnya, taat yang mendekati takwa. Taat secara lahir batin. Kenapa demikian, taat yang hanya sekedar taat akan menjadikan simpatisan TGKH Muhammad Zainuddin AM dan Organisasi NW yang didirikannya hanya patuh ketika menguntungkan si simpatisan saja, padahal yang diinginkan oleh teks ini adalah simpatisan yang militan, simpatisan yang dengan ikhlas lahir batin mengikuti apa arahan dan petunjuk para pemimpin organisasi. Simpatisan yang bersedia membela organisasi walaupun dengan keringat, darah bahkan nyawa sekalipun. “Tho’at seribu”. Kepada siapa para simpatisan harus taat pun sudah dinyatakan oleh larik berikutnya yaitu kepada “IMAM”. Istialh imam digunakan pada larik ini dimaksudkan untk menganalogikan para pemimpin organisasi Nahdlatul Wathan (NW). Pemimpin organisasi direpresentasikan dengan Pengurus Besar (PB). Para simpatisan harus patuh pada apa yang telah digariskan Pengurus Besar, karena pengurus besar merupakan imam dalam organisasi. Pada bait ke- 15 dinyatakan “Aduh sayang! // Organisaasi ada IMAMNYA // Pengurus Besar (PB) namanya // Wajib dito’ati Instruksinya // selama berjalan menyelamatkannya” Doktrin Patuh pada perjuangan organisasi Nahdlatul Wathan tidak hanya berhenti pada bait ke-18 dan bait 15 saja. Pada bait ke-14 dinyatakan //Aduh sayang!//, //Konon ada menjual gurunya//, //menjual Ibu serta Bapaknya//, //Menjual NW dan Madrasahnya//, // Na’utubillah apa jadinya//. Jika pada bait ke-18, doktrin diperhalus dengan menggunakan pilihan kata yang berkarakter lembut namun memiliki eksistensi, kualitas dan kafabilitas yang kuat dalam memanifestasikan makna doktrin yang dituju, tidak demikian dengan bait ke-14 ini. Bait ke-14 teks tersebut dibungkus oleh majas yang kuat. Kata menjual gurunya dalam pemahaman sosiokultural ke-Indonesia memiliki makna konotasi negatif. Guru dalam ajaran budaya Indonesia secara umum adalah seseorang yang harus dihormati, digugu dan ditiru karena kebijaksanaannya dalam memandang dan menjalani kehidupan. Istilah menjual guru menggunakan majas perumpamaan, guru diumpamakan seperti barang dagangan yang bisa dperjual belikan. Metafora ini bermaksud memperhalus namun sekaligus menempatkannya

~ 46 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature pada sinisme dan ironisme yang memperihatinkan. Pada larik ketiga dinyatakan // menjual Ibu serta Bapaknya//. Larik ini lebih mempertegas lagi perumpamaan sekaligus menegaskan dimensi ironisme dari subjek yang dituju. TGKH. Zainuddin AM ingin menegaskan bahwa akan ada diwaktu yang mendatang orang-orang yang tega menjual dirinya dan menjualn NW. Menjual ibu bapak yang dimaksud Zainuddin AM adalah organisasi Nahdlatul Wathan yang didirikannya. Pada bait ke-5 WRMPB dinyatakan // Aduh sayang!// , //Wahai anakku kalian ABITUR1EN// , //marilah bersatu sebagai kemarin// , // Kembali bersatu disatu “AREN”// , //sungguh NW lah Bapakmu yang tulen//. Bait ke-14 diakhir dengan dengan ungkapan bahasa arab yang menunjukkan penyesalan TGKH. M. Zainuddin AM. Keadaan tersebut beliau mengungkapkan dengan // Na’uzubillah apa jadinya// ungkapan ini menunjukkan kepada kita bahwa penulis teks WRMPB ini sangat menyesali dan berharap keadaan tersebut jangan lah terjadi. Namun kenyataanya setelah hampir seratus tahun wasiat itu ditulis kejadian semacam itu benar-benar terjadi, dimana para politikus menjual sosok beliau dan menjual organisasi yang didirikan beliau sebagai wadah pemenangan politik. Berbicara style dari bait ke-14 ini, kita dihadapkan pada penggunaan majas dan ungkapan yang saling bertaut sedemikian rupa sehingga nilai puitika yang terbentuk dari tautan tersebut demikian kuat. Sebagaimana bait-bait pada bagian ini, bait ke-14 ini juga dimulai dengan ungkapan //aduh sayang// pada bait pertama, bait kedua dimulai dengan //konon//, istilah konon sebenarnya sering kita temukan pada sastra lama, kegunaannya adalah untuk mengungkapkan perihal atau kejadian yang telah lama terjadi. Pilihan kata //konon// ini tentu bukan tanpa alasan. Jelas yang dimaksud “konon” itu adalah masa yang akan datang karena pada waktu WRMPB ini ditulis Organisasi NW dan Pesantren NW masih belum terjadi perpecahan. Namun demikian, TGKH. M. Zainuddin AM tidak menggunakan “nanti”, “kelak” “suatu saat nanti”, “esok” ataupun ungkapan yang menunjukkan bahwa yang ia maksud adalah peristiwa di masa depan. Penggunaan “konon” yang mengacu pada peristiwa di masa lampau memiliki banyak makna simbolik. Selain untuk memperhalus tujuan, juga untuk mengumpamakan kejadian yang dimaksud tidak akan menimpa generasi yang akan datang. Tujuannya jelas, agar penerima pesan itu tidak mengalami sok atau tidak merasa dituduh bahwa nanti diantara kalian akan ada yang tega menjual gurunya, menjual ibu bapaknya demi napsunya. Pemilihan kata “konon” yang selanjutnya diikuti oleh “ada yang menjual gurunya”. Guru ditempatkan lebih dahulu dari pada “menjual ibu paknya”. Hal ini menunjukkan bahwa TGKH. M. Zainuddin AM. Ingin mengintimidasi massaya bahwa guru menempati tempat lebih utama dari orang tua. Hal ini juga sesuai dengan ajaran Agama Islam bahwa urutan yang wajib ditaati adalah Allah Tuhan yang maha esa, kemudian Muhammad Rasulullah, baru setelah itu Guru yang menunjukkan dan mengajarkan kebaikan dan cara berbakti, barulah setelah itu wajib berbakti kepada orang tua yang telah melahirkan. Penempatan guru yang lebih didahulukan dari ibu bapa juga menunjjukan bahwa Wasiat Renungan Masa Pengalam Baru ini tidak hanya diperuntukkan untuk anak-anak beliau namun untuk murid, pecinta dan simpatisan TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid. Jika kita berpendapat demikian maka ahli waris wasiat tersebut tentunya bukan saja anak dan keturunan Zainuddin, tapi semua simpatisan dan pecinta Zainuddin dan NW. Kutipan terakhir pada pembahasan ini, TGKH. M. Zainuddin AM mengatakan: //Aduh sayang!// , //Sudah masanya naknda berbakti// , //membela NW sepenuh hati// , //Melihara NW sepenuh bukti// ,//menanam jiwa DISIPLIN sejati//. ~ 47 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Simpulan Kaderisasi pada teks WRMPB ini sangat terasa dan ke-efektif-an nya juga terbukti. Beradasrkan pembahasan di atas dapat penulis simpulkan: Pertama, WRMPB menggunakan pilihan kata yang bermakna luas dan menghaluskan makna yang diacu tujuannya untuk menyentuh jiwa penerima nasihat. Kedua, doktrin militansi yang ingin dibangun oleh WRMPB dibungkus oleh ungkapan dan susunan kalimat yang sangat halus, sehingga beban psikologi yang diemban oleh kalimat tersebut menjadi ringan. Ketiga, TGKH. M. Zainuddin AM. Menghendaki pengikutnya untuk selalu bersatu dan berbakti kepada Agama, Nusa dan Bangsa serta Organisasi NW yang didirikannya.

DAFTAR PUSTAKA

Cummings, Michael dan Robert Simmons. 1986. The language of Literature. En gland: Pergamon Press Ltd.

Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1993. Pengkajian Puisi. Gadjah Mada University Press.

Reaske, Chistopher Russell. 1966. How to Analyze Poetry. Harvard University. Monarch Press.

Subroto, D. E. 1976. “Hakekat Bahasa dan Realisasinya Dalam Puisi”. Dalam Majalah Bahasa dan Sastra. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.

Sudjiman, P.1993. Bunga Rampai stilistika. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Wellek, Rene. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia..

Widdowson, H.G. 1975. Stylistics and The Teaching of Literature. Logman Group Limited.

Widdowson, H.G dalam J. P. H. Allen dan S. Pit Corder (Ed). 1978. “Stylistics”. Oxford University Press.

~ 48 ~ INTERFERENSI BAHASA BAJO KE DALAM BAHASA INDONESIA DALAM KOMUNIKASI LISAN ETNIK BAJO DI PULAU BUNGIN KECAMATAN ALAS KABUPATEN SUMBAWA NUSA TENGGARA BARAT

Burhanuddin Universitas Mataram [email protected]

ABSTRACT As an object of linguistic nature of language has the sense that language is a system, the symbol system sound speech, language that is where love (arbitrary), the language is meaningful, that language is built from custom / agreement (conventional), is unique / distinctive, universal. In relation to the use and function, the language of communication tools, ever-changing / dynamic, human nature, operating in a community language (speech community), and the language is closely related to the social aspects of the wearer. Syamsinas Jafar, 2012: 3 says linguistics as one of the social field that has relations with other scientific studies. Linguistic study is the study of linguistics itself (linguistic micro) while within the scope of its relationship with other fields (linguistic macro). In this study, micro linguistic (phonology, morphology, and syntax) as the study of the problem of how form and whether the cause of the interference Bajo language into Indonesian in Oral Communication Ethnic Bungin ?. Sumarsono, 2013: 202 says the shape and the occurrence of interference or intervention code (code-mixing) a language speakers tucking elements of other languages. These elements can be either word, phrase or group of words, for example: “tareppal (tarpaulin), MLI (buy), sude (already), rapaq (meeting), brangka (departed), pa (pack), karabbau (buffalo), barapa (how) “, etc. This is because one of the factors of social environment lacking in adapting the language spoken communication Indoneisa.

Keywords: Interference, Bajo language, verbal communication, Indonesian, Ethnic Bajo in Bungin.

PENDAHULUAN Bahasa adalah ucapan pikiran, perasaan, dan kemauan manusia yang bersistem, dihasilkan oleh alat bicara dan digunakan untuk berkomunikasi antara individu yang satu dengan individu lainnya. Bahasa juga merupakan suatu identitas suatu bangsa, seperti bahasa Indonesia merupakan identitas dari bangsa Indonesia. Negara Indonesia adalah Negara yang beraneka ragam suku serta kebudayaan, dengan keanekaragaman tersebut maka dalam setiap suku di Indonesia mempunyai bahasa yang berbeda yaitu bahasa daerah atau bahasa suku. Bahasa daerah adalah bahasa yang berasal dari nenek moyang atau orang terdahulu suku tersebut yang diwariskan secara turun temurun dan digunakan sebagai alat komunikasi oleh sekelompok orang yang berada dalam satu daerah tertentu. Bahasa itu sendiri sebagai objek linguistik memiliki makna, sebagai alat komunikasi utama, dengan bahasa seseorang mampu mengungkapkan pikiran dan perasaannya dengan orang lain. Bahasa bukan hanya dapat menunjukkan adanya perbedaan sosial masyarakat, tetapi juga memberi indikasi mengenai situasi berbahasa, dan mencerminkan tujuan, topik, kaidah, dan modus-modus penggunaan bahasa (de Saussure dalam Chaer dan Leonie, 2010:2). Masyarakat dwibahasa pun terjadi dalam komunitas yang mono etnis dalam Masyarakat suku Bajo desa Pulau Bungin selain menggunakan bahasa Bajo sebagai bahasa pertamanya dan juga menggunakan bahasa asing sebagai bahasa keduanya seperti bahasa Sumawa, bahasa sasak

~ 49 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature dan tidak terlupakan juga bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu dalam hubungan intaraksi antar etnis dalam hal ini masyarakat berpenutur Bajo selain mampu menguasai satu bahasa, juga bisa menggunakan dua bahasa (bilingual) bahkan lebih dari dua bahasa (multilingual). Melihat fenomena kebahasaan yang ada di Pulau Bungin sebagai masyarakat yang multi etnis tidak jarang terjadi interaksi sosial dengan menggunakan media bahasa. Penggunaan media bahasa dalam interaksi antar etnis sering menggunakan pilihan bahasa berupa alih kode dan campur kode dalam hal ini bahasa Bajo dan bahasa Indonesia, kebiasaan itu telah menyebabkan terjadinya interferensi, pencampuran bahasa yang melahirkan penyimpangan pada masyarakat suku Bajo desa Pulau Bungin kecamatan Alas kabupaten Sumbawa. Dengan adanya gejala-gejala kedwibahasaan pada masyarakat desa Pulau Bungin yang multi etnis salah satunnya adalah terjadinya interferensi akibat adanya kontak bahasa dalam proses interaksi dengan etnis yang lainnya. Dengan adanya fenomena kebahasaan tersebut yang terjadi pada masyarakat etnis Bajo khususnya di Pulau Bungin kecamatan Alas tentu saja sangat menarik untuk diteliti karena dapat menambah wawasan keilmuan lingusitik dan sosiolinguistik serta ingin mengetahui akan adanya bentuk-bentuk interferensi yang sering muncul dalam tindak tutur etnik Bajo yang ada di Pulau Bungin disaat berintraksi dengan menggunakan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, peneliti meneliti terhadap “Interferensi Bahasa Bajo Ke dalam Bahasa Indonesia dalam Komunikasi Lisan Etnik Bajo di Pulau Bungin Kecamatan Alas Barat Kabupaten Sumbawa Nusa Tenggara Barat”. Dengan adanya fenomena kedwibahasaan yang terjadi di etnik Bajo Pulau Bungin permasalahan kebahasaan yang muncul adalah sebagai berikut: 1) Terjadinya kontak bahasa yang menimbulkan munculnya integrasi, interferensi, alih kode, dan campur kode dalam komunikasi lisan etnik Bajo desa Pulau Bungin;. 2) Dalam masyarakat dwibahasa di desa Pulau Bungin ada kalanya melakukan pilihan bahasa berupa alih kode dan campur kode; 3) Identitas etnis yang ada dalam masyarakat kedwibahasaan terlihat melalui bahasa yang dominan digunakan; 4) Sikap bahasa yang berbeda-beda dalam tuturan etnis dwibahasawan yang ada di desa Pulau Bungin. Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan masalah yang akan dibahas adalah Bagaimanakah bentuk dan Apakah penyebab terjadinya interferensi bahasa Bajo ke dalam bahasa Indonesia dalam komunikasi lisan etnik Pulau Bungin?

Pengertian interferensi Interferensi secara umum dapat diartikan pencampuran dalam bidang bahasa. Pencampuran yang dimaksud adalah pencampuran dua bahasa atau saling mempengaruhi antar dua bahasa. Aslinda dan Syafyahya (2010:65) menyatakan bahwa interferensi adalah gejala tutur (speech parole) yang terjadi hanya pada masyarakat dwibahasa dan peristiwanya dianggap sebagai penyimpangan. Chaer dan Agustina (2010:120) berpendapat faktor penyebab interferensi pertama kali digunakan oleh Weinrich untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang digunakan oleh penutur yang bilingual. Interferensi merupakan gejala umum dalam sosiolinguistik yang terjadi sebagai akibat dari kontak bahasa, yaitu penggunaan dua bahasa atau lebih dalam masyarakat tutur yang multilingual.

~ 50 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Bentuk-bentuk interferensi Interferensi dapat saja terjadi pada semua tuturan bahasa dan dapat dibedakan beberapa jenis. Weinreich (dalam Aslinda dkk, 2007:14) mengidentifikasikan empat jenis interferensi sebagai berikut: a) Pemindahan unsur dari satu bahasa ke bahasa lain; b) Perubahan fungsi dan kategori unsur karena proses pemindahan; c) Penerapan unsur-unsur yang tidak berlaku pada bahasa kedua ke dalam bahasa pertama; d) Pengabaian struktur bahasa kedua karena tidak terdapat padanannya dalam bahasa pertama. Chaer dan Agustina (2010:123), membagi bentuk-bentuk interferensi atas tiga bagian, yaitu interferensi fonologi, interferensi morfologis, dan interferensi sintaksis.

Penyebab terjadinya interferensi Penyebab terjadinya interferensi sangat beragam mulai dari kontak bahasa, tidak cukupnya kosakata suatu bahasa dalam menghadapi kemajuan dan pembaruan, menghilangnya kata-kata yang jarang digunakan, kebutuhan akan sinonim, sampai pada prestise bahasa sumber. Kedwibahasaan yang digunakan oleh Masyarakat suku Bajo Pulau Bungin serta tipisnya kesetiaan terhadap bahasa penerima juga merupakan faktor penyebab terjadinya interferensi yang terjadi. Sementara menurut Weinrich (dalam Yulihilma 2012) ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya interferensi antara lain: a) kedwibahasaan peserta tutur, b) tipisnya kesetiaan pemakai bahasa penerima, c) tidak cukup kosakata bahasa penerima, d) menghilangnya kata-kata yang jarang digunakan, e) kebutuhan akan sinonim, f) prestise bahasa sumber dan gaya bahasa, dan g) terbawanya kebiasan dalam bahasa ibu.

PEMBAHASAN a. Interferensi Fonologis Bentuk interferensi yang berkaitan dengan ujaran pada etnik Bajo Pulau Bungin ke dalam bahasa Indonesia dalam komunikasi lisan biasanya mengalami interferensi baik bentuk perubahan, penambahan bahkan penghilangan fonem. Adapun bentuk-bentuk kata bahasa Indonesia yang mengalami interferensi fonologis dalam ujaran itu sebagai berikut:

Daftar Kosakata Yang Mengalamin Interferensi Fonologis No Kosakata Mengalami Interferensi Kosakata Bahasa Indonesia 1 Balajar, barangkaq, barapa, barsama ,battiru, bat- Belajar, berangkat, Berapa, Bersama, begitu, begini, titu, bole boleh 2 Camaq, capaq Camat, cepat 3 Dapaq, darmaga, dekkaq Dapat, dermaga, dekat 4 Haragge Harga 5 Ikuq, Ikut 6 Inpormasi, iru, iyya Informasi, itu, iya 7 Ka, kalompoq, katemmu Ke, ya, ,kelompok, bertemu 8 Lanjuq Lanjut 9 Masarakaq, melli, musawara Masyarakat, beli, musyawarah 10 Na, nangkaq, Nya, nangkap 11 Pa, pake, pargi, piker, pote, pralatan Pak,pakai, pergi, piker, putih, peralatan 12 Ranjan, rapaq, rosaq, ruma Ranjang, rapat, rusak, rumah 13 Sakola, salasa, sampe, saraq, spulu, suda, susses Sekolah, selasa, sampai, syarat, sepuluh, sudah, sukses 14 tarappal, tarimakasi, terlamba, taru, tida, tman, terpal, terima kasih, terlambat, taru, tidak, teman, terus, trus, uan. uang

~ 51 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature b. Interferensi Morfologis Interferensi morfologi dapat terjadi pada proses pembentukan kata. Dalam hal ini terjadi perubahan afiks bahasa Indonesia dalam ujaran etnik Bajo di Pulau Bungin dalam komunikasi lisan sebagai berikut:

Daftar Kosakata Yang Mengalami Interferensi Morfologis No Kosakata Mengalami Interferensi Kosakat Bahasa Indonesia 1 Bagoyang, bergoyang 2 Bakelahi berkelahi 3 Basabar bersabar 4 Manangis menangis 5 manjadi menjadi 6 Pameriksaan pemeriksaan 7 Panangkap penangkap 8 Pangepul pengepul 9 Parempatan perempatan 10 Tatarik tertarik c. Interferensi Sintaksis Cabang linguistik yang mempelajari tentang struktur kalimat. Interferensi yang berbentuk sintaksis ini merupakan bentuk interferensi yang berupa kalimat atau klausa. Di mana terjadi pada ujaran-ujaran masyarakat suku Bajo Desa Pulau Bungin dalam komunikasi lisan dengan menggunakan bahasa Indonesia terpakainya struktur bahasa Bajo dalam ujaran bahasa Indonesia, sebagai berikut:

Daftar Kalimat Yang Mengalami Interferensi Sintaksis No Kalimat yang terinterferensi Stuktur Bahasa Bajo Struktur Bahasa Indonesia 1 Apa cari mu ke sini Ai toraq nu ka paitu Apa yang kamu cari ke sini

2 Hati-hati kamu sampan banyak lewat Pakkialaq ko lelepa pare palep- Hati-hati kamu banyak sampan le- pas wat 3 Ikan banyak makan hari ini. Dayah pare nginta ellau itu ikan banyak makan hari ini. 4 Supar, ke laut kita Supar, mandi ka di lauq aha. Supar, mandi ke laut kita atau Su- par Kita Mandi ke laut.

Faktor Penyebab Terjadinya Interferensi Bahasa Bajo ke dalam Bahasa Indonesia dalam Komunikasi Lisan Masyarakat Suku Bajo Desa Pulau Bungin. Dalam hal ini terdapat beberapa hal yang dianggap sebagai penyebab interferensi bahasa Bajo ke dalam bahasa Indonesia dalam komunikasi lisan etnik di Desa Pulau Bungin Kecamatan Alas sebagai berikut: 1. Penyebab terjadinya interferensi fonologis a. Adanya faktor kesusahan dalam pengucapan fonem dalam bahasa Indonesia, akibat kebiasaan pelafalan dalam bahasa Bajo. Hal ini dapat menyebabkan adanya perubahan dan penghilangan fonem dalam ujaran etnik Bajo di Pulau Bungin dalam pemakaian bahasa Indonesia.

~ 52 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature b. Terbawa masuknya logat atau dialek bahasa Bajo, ke dalam bahasa Indonesia. Merupakan salah satu faktor karena etnik Bajo di Pulau Bungin memiliki logat atau dialek yang kuat, sehingga akan terbawa masuk dalam ujaran pemakaian bahasa Indonesia, sehingga terjadinya interferensi dalam ujaran masyarakat suku Bajo. c. Keterbiasaan dalam ujaran-ujaran bahasa Bajo sehingga ujaran tersebut masuk ke dalam bahasa Indonesia. Hal ini dapat menimbulkan terjadinya interferensi dalam ujaran etnik Bajo di Pulau Bungin dalam pemakaian bahasa Indonesia. 2. Panyebab terjadinya interferensi morfologis a. Kurang memahami struktur imbuhan bahasa Indonesia, hal ini dapat menyebabkan terjadinya interferensi. Di mana masyarakat suku Bajo di Desa Pulau Bungin akan memakai struktur imbuhan bahasa Bajo dalam berkomunikasi. b. Faktor keterbiasaan dalam pengucapan bahasa Bajo sehingga terbawa masuk ke dalam bahasa Indonesia lisan, keterbiasaan semacam ini merupakan salah satu faktor yang akan menimbulkan terjadinya interferensi pada masyarakat suku Bajo di Desa Pulau Bungin. 3. Penyebab terjadinya interferensi sintaksis a. Kurangnya penguasaan struktur kaidah bahasa Indonesia, merupakan faktor yang dapat menimbulkan terjadinya interferensi. Di mana masyarakat suku Bajo akan menggunakan struktur bahasa Bajo di Desa Pulau Bungin saat berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia. b. Kebiasaan dalam berkomunikasi memakai kaidah struktur Bahasa Bajo, ini merupakan salah satu penyebab terjadinya interferensi pada etnik Bajo di Desa Pulau Bungin, dalam pemakaian bahasa Indonesia masih menggunakan struktur bahasa Bajo.

SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasanya, dalam penelitian ini dapat ditarik dua simpulan sebagai temuan penelitian. 1. Bentuk-bentuk interferensi bahasa Bajo ke dalam bahasa Indonesia dalam komunikasi lisan etnik Pulau Bungin Kecamatan Alas meliputi interferensi fonologis, morfologis, dan sintaksis. Interferensi fonologis berupa perubahan dan penghilangan bunyi fonem dalam bahasa Indonesia mengikuti pelafalan dalam bahasa Bajo. Interferensi morfologis berupa perubahan afiksasi berupa prefiks dalam kata-kata bahasa Indonesia mengikuti prefiks dalam bahasa Bajo. Sedangkan interferensi sintaksis berupa masuknya struktur kalimat bahasa Bajo ke dalam kalimat bahasa Indonesia yang diujarkan masyarakat suku Bajo pada saat berkomunikasi. 2. Hal-hal yang menjadi faktor penyebab interferensi bahasa Bajo ke dalam bahasa Indonesia dalam komunikasi lisan Etnik Pulau Bungin Kecamatan Alas, meliputi: 1) interferensi fonologis disebabkan oleh, a) kesusahan dalam pengucapan fonem, b) logat atau dialek, dan c) keterbiasaan pemakaian ujaran bahasa Bajo; 2) interferensi morfologis disebabkan oleh, a) kurang memahami struktur imbuhan bahasa Indonesia, b) faktor kebiasaan dalam pengucapan bahasa Bajo; 3) interferensi sintaksis disebabkan oleh, a) kurangnya penguasaan struktur kaidah bahasa Indonesia, b) kebiasaan berkomunikasi memakai struktur kaidah bahasa Bajo di desa Pulau Bungin kecamatan Alas kabupaten Sumbawa.

~ 53 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature DAFTAR PUSTAKA

Fisman, J.A. 1968, Language Problem of Developing Nations, New York: Stanford University Press Samsuri,1988, Berbagai Aliran Linguistik, Jakarta: DEPDIKBUD Sumarsono, 2013. Sosiolinguistik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rahardi, Kunjana, 2010, Kajian Sosiolinguistik, Bogor: Ghalia Indonesia.

~ 54 ~ BENTUK -KI SEBAGAI PEMARKAH HONORIFIK DALAM BAHASA BUGIS

Dafirah Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin

ABSTRAK Bahasa Bugis adalah salah satu bahasa daerah yang termasuk ke dalam rumpun Bahasa Austronesia dan berada di Indonesia, khususnya Sulawesi Selatan. Sebagaimana bahasa daerah yang lain, bahasa Bugis memiliki keunikan tersendiri. Salah satu keunikan yang dimiliki adalah pemarkah penghormatan yang dilambangkan dengan bentuk –ki. Bentuk –ki pada umumnya melekat pada verba aktif , misalnya anreki “makanlah anda (kita)”, tudangki “ duduklah anda (kita)”. Penambahan bentuk –ki pada kedua contoh tersebut merupakan realisasi bentuk penghormatan penyapa kepada yang disapa. Bentuk –ki pada contoh tersebut mengandung dua makna yaitu sebagai orang kedua tunggal dan sekaligus pemarkah penghormatan kepada orang yang disapa. Penggunaan bentuk –ki pada umumnya digunakan ketika menyapa orang yang lebih tua, atau orang yang ditokohkan dalam masyarakat Bugis, seperti tokoh adat, tokoh masyarakat (pemerintah), dan lain sebagainya. Penggunaan bentuk –ki sampai sekarang masih ditemukan dalam masyarakat Bugis terutama yang masih berdomisili di daerah. Bahkan berpengaruh pada pengggunaan bahasa Indonesia. Kata “kita” dalam pemikiran orang Bugis bermakna orang kedua tunggal/jamak yaitu anda (halus) di mana pembicara tidak termasuk di dalamnya , sedangkan “kita” dalam bahasa Indonesia berarti orang pertama jamak termasuk pembicara di dalamnya.

1. Pendahuluan Salah satu bukti kekayaan budaya milik Indonesia adalah keberadaan bahasa-bahasa daerah yang menyebar di seluruh wilayah Indonesia. Bahasa-bahasa daerah tersebut memiliki sistem tersendiri yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara satu bahasa daerah dengan bahasa daerah lainnya. Dalam perkembangannya, bahasaIndonesia saling berinteraksi dengan bahasa-bahasa daerah. Bahasa daerah berfungsi sebagai alat komunikasi bagi pemiliknya. Sebagai alat komunikasi, bahasa daerah menjandi sarana terciptanya adanya saling pengertian, saling menghargai, dan saling menghormati. Kondisi ini menunjukkan bahwa bahasa tertentu hanya dapat digunakan dan dipahami oleh anggota masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan. Bahasa Bugis adalaha salah satu bahasa daerah yang terdapat di Sulawesi Selatan dan digunakan oleh masyarakat dari etnis Bugis. Etnis Bugis berdomisili di sebagian besar wilayah Pangkep, Barru, Watassoppeng, Wajo,Watampone, Sidrap, Pinrang, Pare-pare, dan Sinjai. Bahasa Bugis dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah memiliki fungsi dan peran penting bagi masyarakat pemiliknya. Selain digunakan sebagai alat sehari-hari, bahasa Bugis juga digunakan pada kegiatan kemasyarakatan lainnya, seperti upacara adat, kegiatan kebudayaan, dan keagamaan, Bahasa Bugis yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah bahasa Bugis yang terdapat di Kabupaten Bone (Watampone).

2. Pembahasan Di dalam berkomunikasi sehari-hari, masyarakat di Kabupaten Bone memiliki berbagai bentuk sapaan, salah satu di antaranya adalah penggunaan bentuk honorifik -ki. Bentuk honorifik ~ 55 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature sebagai suatu bentuk lingual yang dipakai untuk menyatakan penghormatan, yang dalam bahasa tertentu digunakan untuk menyapa orang lain. Bentuk lingual yang dimaksud bisa berupa aturan gramatikal yang kompleks seperti dalam bahasa Jepang yang ditandai adanya afiksasi (Kridalaksana, 2008:85). Ide Said (1985:55) mengatakan bahwa istilah honorifik adalah ujaran atau pernyataan dalam bentuk kebahasaan yang dipakai untuk menyampaikan informasi yang di dalamnya sekaligus menyatakan rasa hormat kepada pendengar (adressee) atau yang dibicarakan (reference). Salah satu bentuk honorifik yang masih digunakan oleh masyarakat Kabupaten Bone sampai sekarang adalah honorifik yang berbentuk morfem terikat, yaitu –ki. Untuk lebih jelasnya, berikut penggunaan –ki dapat dilihat pada contoh-contoh berikut. a. Status Sosial Penggunaan bentuk -ki memperhatikan status sosial antara penyapa dan yang disapa. Apabila status sosial penyapa lebih rendah dari yang disapa maka penyapa menggunakan bentuk –ki, contoh:

Penyapa : enrek -ki ri bolae puang Naik/masuk anda di rumah puang Yang Disapa : madecenni Baiklah

b. Usia Penggunaan bentuk –ki dapat dilihat pada perbedaan usia. Penyapa atau yang lebih muda maka contoh penggunaan bentuk –ki dapat dilihat pada contoh berikut:

Penyapa : Pole tega –ki daeng Dari mana anda kak Yang Disapa : Poleka di galunge ndi Dari saya di sawah dik Apabila penyapa berusia lebih tua dari yang disapa, maka penggunaan –ki adalah: Penyapa : Dek ulokka makkantoro ndi Tidak saya pergi ke kantor dik Yang Disapa : malasakiga deng? Sakitkah anda kak ? c. hubungan Kekerabatan Penggunaan bentuk –ki yang berkaitan dengan kekerabatan seperti dialog antara kemanakan dengan bibi/paman, antara anak dengan ibu/bapak, antara cucu dengan nenek, antara adik dengan kakak, antara sepupu. Seorang ponakan yang menyapa tante atau pamannya harus menggunakan bentuk –ki. Demikian juga apabila anak menyapa ibu atau bapaknya. Hal yang sama terjadi saat cucu menyapa neneknya, atau seorang adik menyapa kakaknya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada contoh berikut. 1. Paman : ellingakka bangkung di pasae Belikan saya parang di pasar Kemanakan : melokki magai puang? Mau anda apakan puang?

~ 56 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

2. Cucu : leppakki ri bolana daekku Singgah anda di rumahnya kakakku Nenek : kouenngerang mui Jika saya mengingatnya d. hubungan Non-Kekerabatan Hubungan non- kekerabatan adalah hubungan di luar sistem kekerabatan. Hubungan yang termasuk non-kekerabatan adalah hubungan antara atasan dengan bawahan atau hubungan antara murid dengan guru. Seorang bawahan ataupun seorang murid apabila menyapa pimpinan atau gurunya maka harus menggunakan bentuk –ki sebagai pernghormatan kepada atasan atau gurunya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada contoh berikut:

1. Murid : rewekki gare paimeng ri sikolae puang Kembali anda katanya lagi di sekolah puang Guru : niga makkeda Siapa yang mengatakan 2. Bawahan : nasappaki anaureta Dia cari anda kemanakan anda Atasan : aga nasapparanngak Apa dia carikan saya e. Pola Penggunaan Bentuk Honorofik –ki Berdasarkan pembahasan pada bagian a sampai d di atas, maka pola penggunaan bentuk –ki pada masyarakat Bugis Bone adalah:

1. Verba + Honorifik (-ki) Contoh: enrek -ki ri bolae puang verba 2. Kata Tanya + Honorifik –ki Contoh: Pole tega –ki daeng Kt Tanya 3. Adj. + Enklitik –ki + Penanda Tanya Contoh: malasakiga deng? Adj pt

DAFTAR PUSTAKA

Abas, Husen. 1982. Pemakaian Morfem Terikat di Kalangan Penutur Asli Bahasa Bugis dari Berbagai Strata Sosial: Suatu Studi Sosiolinguistik. Ujung Pandang: Universitas Hasanuddin. Chaer ,Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta Darwis, Muhammad. 1995. Tingkat Tindak Tutur dalam Bahasa Bugis Suatu Studi Sosiolinguistik. Jurnal Linguistik Indonesia Edisi 13 Dessember 1995.

~ 57 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Gusnawaty. 2011. Perilaku Kesantunan dalam Bahasa Bugis: Analisis Sosiopragmatik. Makassar: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Ide Said, M. D. M, Subsistem Honorifik Bahasa Bugis : Sebuah Kajian Sosiolinguistik. Jurnal Linguistik Indonesia Edisi 3 Dessember 1985. Kridalaksana, Harimurti. 1982. Dinamika tutur sapa dalam bahasa indonesia. Jakarta: Bhratara. Leech, Geofry. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia Yule, George. 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

~ 58 ~ PENGUATAN TINDAK TUTUR BERDIMENSI EDUKATIF DALAM KOMUNIKASI KELUARGA

Daroe Iswatiningsih Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Malang Surel: [email protected]

ABSTRACT It is inevitably that communication is a part of human’s life as human’s interaction starts from a communication. In a family interaction, a sustainable communication is built up purposively in order to maintain family future mission because family is the closest person who hold a salient role to accommodate humanistic value for their family members such as character building. To build a strong character for every family member, it should be facilitated by a good communication either verbal or non verbal. Communication means an interchangeably activity to share information between two or more people. Communication in family interaction is usually called as private communication or interpersonal. Hurlock (1997) believes that family communication could shape a controllable life pattern for family members such as education which controls children behavior of children development phase. Therefore, empowering education dimension of speech act in family communication should be critically thinking to build strong family members’ character earlier. Speech act involves an active speech interaction between two parties of speaker that discussing about particular topic. Austin (1978) believes that every spoken act consists of three characters; they are (1) locution act, (2) illocution act, and (3) perlocution act. Among those three, only the last two characters are mostly being discussed because of their indirect meaning are not in form of spoken act. By a mean, speech act with education dimension is intended to raise education values such as spiritual, emotional, moral, cultural, intellectual, and social. Indeed, empowering educated dimension of speech act for family members is believed able to build positive children character.

Key words: speech act, family communication, character building

1. Pendahuluan Kegiatan berkomunikasi senantiasa terjadi dalam kehidupan manusia. Hampir tidak pernah ada sebuah interaksi tanpa adanya komunikasi. Demikian halnya yang terjadi dalam keluarga. Dalam keluarga hampir selalu berlangsung interaksi dan komunikasi. Hal ini dimaksudkan untuk membangun persamaan tujuan yang dicita-citakan dalam suatu keluarga. Keluarga merupakan unit terkecil dalam kehidupan masyarakat. Keluarga merupakan lingkup pertama dalam pembentukan nilai-nilai kehidupan individu. Orang tua memegang peran utama dalam mendasari pembentukan nilai-nilai yang tertanam dalam diri anggota keluarga. Nilai- nilai yang ditanamkan inilah yang nantinya akan membentuk karakter anggota di dalamnya. Semua itu dilakukan melalui kegiatan berkomunikasi, baik secara verbal maupun nonverbal. Secara etimologi komunikasi berasal dari bahasa Latin communicatio, yang akar katanya adalah communis, yang berarti ‘sama’ dalam arti ‘sama makna’. Jadi komunikasi berlangsung apabila terdapat kesamaan makna antara orang-orang yang melakukannya mengenai suatu hal yang dikomunikasikan. Adapun secara terminologi, komunikasi merupakan proses penyampaian suatu pernyataan seseorang kepada orang lain (Djamarah, 2014:12). Dalam pengertian tersebut, jelas menunjukkan bahwa dalam berkomunikasi melibatkan beberapa orang. Beberapa pengertian lain tentang komunikasi adalahi pertukaran atau berbagi informasi antara dua orang atau lebih. Komunikasi juga diartikan sebagai penyampaian pesan dari individu satu kepada

~ 59 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature yang lain atau dari pembicara kepada pendengar. Informasi atau pesan ini beragam sifat dan tujuannya. Komunikasi yang berlangsung dalam keluarga sering disebut sebagai komunikasi antar pribadi atau interpersonal. Umumnya komunikasi ini berlangsung pada orang-orang yang memiliki hubungan sangat dekat atau memiliki hubungan emosional. Seperti halnya komunikasi antara orang tua dengan anak. Hurlock (1997:198) menyebut komunikasi keluarga merupakan pembentukan pola kehidupan keluarga yang di dalamnya terdapat unsur pendidikan, mencakup pembentukan sikap dan perilaku anak yang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Untuk itu, guna mencapai tujuan tersebut tindak berbahasa berdimensi edukatif dalam komunikasi keluarga ini perlu dikembangkan. Hal ini sebagai fondasi dasar dalam pembentukan karakter individu sejak dini.

1. Fenomena Tindak Berbahasa Saat ini Dewasa ini banyak dijumpai anak dengan sikap dan kepribadian yang kurang matang. Hal ini ditandai dengan sikap kurang percaya diri, sikap antisosial, atau sikap yang senang mengganggu, mengusili atau mengertak teman atau orang yang dianggap lebih lemah atau dalam istilah saat ini lebih dikenal dengan membully, dan yang lain. Tentu saja sikap dan kepribadian anak tersebut tidak terlepas dari sikap dan perilaku yang dilihat dan dicontohkan oleh lingkungan terdekat sehari-hari. Tindakan yang dicontohkan oleh lingkungan yang pada akhirnya membentuk perilaku anak dapat dinyatakan secara verbal dan nonverbal. Komunikasi secara verbal menggunakan bahasa sebagai media penyampaian pesan sedangkan komunikasi nonverbal menggunakan sikap dan gerakan tubuh guna menguatkan pesan yang ingin disampaikan (Devito, 1997:177). Tindak berbahasa, baik yang bersifat verbal maupun nonverbal yang berlangsung dalam interaksi dan komunikasi keluarga hendaknya mencerminkan nilai edukatif. Dalam pembelajaran, interaksi yang bersifat edukatif sangat diperlukan. Maksud dari interaksi edukatif adalah terjadinya interaksi yang dengan sadar meletakkan tujuan untuk mengubah tingkah laku dan perbuatan seseorang (Djamarah, 2010:11). Dalam hal ini guru mengondisikan adanya hubungan yang aktif dengan siswanya selama proses pembelajaran guna mencapai tujuan pendidikan yag diharapkan. Interaksi edukatif dalam pembelajaran pada dasarnya merupakan sebuah proses, yakni proses mentranfer norma kepada anak didik, baik yang berkaitan dengan pengetahuan, sikap dan keterampilan. Untuk itu, berlangsungnya interaksi edukatif tidak terjadi dalam proses yang hampa, namun penuh makna. Dalam komunikasi keluarga yang berdimensi edukatif, bahwa tindak tutur yang digunakan orang tua semata-mata dimaksudkan untuk mendidik anak. Mengembangkan potensi-potensi, sikap, serta menenamkan nilai-nilai yang diyakini keluarga. Keluarga merupakan tempat pertama berlangsungnya pendidikan bagi anak (Suhartono, 2007:153). Di dalam keluarga, benih pendidikan mulai tumbuh dalam hubungan cinta kasih, tolong-menolong, dan saling memberi pengertian, pengetahuan, peringatan, bimbingan, dan pengarahan secara timbal balik di antara suami-istri dan antara orang tua kepada anak-anak. Dalam upaya memberikan pendidikan kepada anak, orang tua melakukakannya mula-mula secara instingtif, seperti kasih sayang, perlindungan, dan penjagaan. Selanjutnya orang tua memberikan pengetahuan secara empirik seperti percontohan, bimbingan, dan arahan. Kemudian orang tua memberikan pengetahuan rasional ke arah pemecahan masalah, sepertti menentukan pilihan, membuat keputusan, mengatur kegiatan terencana, yang mampu membentuk sikap percaya diri. Semua itu dilakukan

~ 60 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature orang tua dengan menggunakan bahasa verbal dan nonverbal. Namun demikian, tidak semua keluarga, khususnya orang tua menyadari hal ini. Tindak berbahasa orang tua masih banyak yang belum mencerminkan aspek pendidikan. Orang tua belum memiliki tatanan konseptual yang kuat dalam merealisasikan tanggung jawab nya terhadap pendidikan anak. Dalam pandangan Maslow mendidik anak tidak terlepas dari pemahaman orang tua terhadap kebutuhan anak yang mencakup kebutuhan biologis, rasa kasih sayang, rasa hara diri, dan realisasi diri (Salahudin, 2011:215), Beberapa tindak tutur yang dicatat penulis dalam komunikasi keluarga yang kurang mendukung pengembangan karakter positif anak, misalnya:

(1) Iqbal, kamu itu tidak seperti kakakmu yang rajin belajar sehingga berprestasi di kelas. (2) Dasar anak malas, pulang sekolah kerjaannya hanya main saja. (3) Do, kapan kamu pinternya kalau nggak pernah membaca. (4) Anak bandel! Biar, biar jatuh lagi. Biar kapok! (5) Huh goblok kamu! Nendang aja nggak masuk!

Tuturan (1) merupakan keluhan orang tua atas prestasi anak keduanya yang tidak sebagus kakaknya. Orang tua membandingkan kemampuan anak kedua dengan anak pertama yang selalu berprestasi di sekolah. Tentu saja, tuturan orang tua yang demikian tidak semakin memacu anak untuk lebih berprestasi, namun sebaliknya lebih menyurutkan semangat belajar. Harga diri anak sebagai invividu direndahkan. Demikian halnya pada tuturan (3). Adapun tuturan (2) dan (4) orang tua sudah mencap anak dengan predikat buruk, yaitu ‘anak malas’ dan ‘anak bandel’. Sebutan tersebut akan senantiasa melekat pada diri anak dan pada akhirnya anak tidak berusaha mengubahnya. Tindak tutur orang tua bukannya memberikan bimbingan, arahan atau motivasi pada anak untuk bersikap lebih baik, namun justru berimplikasi pada sikap apatis dan tidak peduli. Tuturan (5) diungkapkan oleh seorang anak pada temannya saat bermain sepak bola di depan rumah. Ungkapan ‘goblok’ pada temannya menunjukkan sikap emosional dan sosial yang dimiliki anak rendah. Ternyata anak memperoleh kosa kata itu dari kebiasaan sehari-hari yang ia terima dari lingkungan keluarga. Dalam hal ini anak menirukan kebiasaan bertutur dalam keluarga. Orang tua tidak bersikap korektor terhadap pernyataan anak yang dinilai kurang pantas tersebut.

2. Tindak Tutur Berdimensi Edukatif 3.1 Tindak Tutur Tindak tutur (speech act) merupakan tuturan yang memuat tindakan yang harus dilakukan baik oleh penutur ataupun mitra tutur berdasarkan konteks yang melingkupinya. Austin (1978) melihat bahwa setiap tuturan mengandung tiga tindak komunikasi, yaitu 1) tindak lokusi, 2) tindak ilokusi, dan 3) tindak perlokusi. Dari ketiga tindak tutur ini dua tindak tutur terakhir yang banyak dikaji karena adanya maksud yang terkandung di dalamnya yang tidak dinyatakan secara langsung. Dalam upaya membangun karakter pada anggota keluarga (anak), kemampuan orang tua dalam menggunakan bahasa khususnya yang mengandung daya atau maksud tertentu sangat diperlukan. Kemampuan orang tua dalam menggunakan fungsi-fungsi komunikatif bahasa untuk menyampaikan pesan seperti informasi, membujuk, mempengaruhi, meyakinkan, menolak, dan sebagainya yang dimaksudkan untuk memberikan pendidikan kepada anak sangat penting.

~ 61 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Searle membagi tindak tutur ilokusi menjadi lima macam, yaitu tindak tutur asertif, direktif, komisif, ekspresif, dam deklarasi (Leech, 1993:164). Masing-masing tindak tutur tersebut digunakan sesuai dengan fungsi yang ingin dinyatakannya. Dalam menyampaikan maksud tuturan seorang penutur dapat menyatakan secara langsung maupun tidak langsung. Penyampaian tuturan secara langsung dan tidak langsung juga didasarkan pada sikap santun yang ingin dibangun penutur kepada mitra tutur (Pranowo, 2009:68). Dalam komunikasi keluarga, tindak tutur langsung lebih sering digunakan, meskipun tindak tutur tidak langsung juga dipakai sehari-hari. Misalnya tuturan berikut.

(6) Mbak, sudah jam setengah tujuh. (7) Ini jam berapa?

Tuturan (6) dapat dikatakan sebagai tindak tutur lokusi dan dapat pula sebagai tindak tutur ilokusi. Dikatakan tindak tutur lokusi apabila penutur menginformasikan waktu kepada mitra tutur. Dalam tuturan (6) ini dinyatakan oleh seorang ibu yang bukan hanya menginformasikan waktu namun juga berharap mitra tutur segera bersiap-siap berangkat ke sekolah agar tidak terlambat. Makna tuturan tersebut mengingatkan mitra tutur agar segera bersiap ke sekolah. Bentuk tuturan dinyatakan secara asertif dan bukannya direktif. Oleh karena itu bentuk penyampaian tuturan dinyatakan secara tidak langsung. Demikian halnya tuturan (7) yang sebenarnya bukan merupakan kalimat tanya, yakni untuk menanyakan waktu, tetapi lebih pada fungsi mengingatkan mahasiswa yang datang terlambat. Berbeda dengan tuturan berikut. (8) Ayo mas belajar! Ujian sudah dekat. (9) Tolong mama belikan cabe di warung sebelah!

Tuturan (8) dan (9) dinyatakan oleh seorang ibu yang menyuruh anaknya untuk melakukan tindakan sebagaimana yang diharapkan. Maksud penutur dinyatakan secara langsung, yakni agar anak melalkuan tindakan belajar dan anak membeli cabe. Komunikasi yang dilakukan secara langsung ini dilakukan penutur agar mitra tutur jelas terhadap maksud yang diharapkan penutur. Tuturan (8) dan (9) mengandung tindak tutur edukatif.

3.2 Tindak Tutur Berdimensi Edukatif Hakikat tindak tutur telah dijelaskan di atas, bagaimana dengan tindak tutur berdimensi edukatif? Kata edukatif merupakan kata sifat yang sering digunakan untuk menerangkan kata benda (nomina). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), edukatif berarti (1) bersifat mendidik, (2) berkenaan dengan pendidikan. Beberapa kata yang mendapat gabungan kata edukatif seperti permainan edukatif, interaksi edukatif, tontonan edukatif, komunikasi edukatif, dan sebagainya menerangkan kata benda yang dilekatinya dengan sifat mendidik atau memberikan nilai-nilai pendidikan. Misalnya ‘permainan edukatif’, yaitu sesuatu yang digunakan untuk bermain yang memberikan manfaat pendidikan, seperti menjadikan anak cerdas, bertoleransi, bekerja sama, sehat secara fisik, bertanggung jawab, tangguh, dan sebagainya. Demikian halnya dengan tindak tutur edukatif, yaitu tuturan yang disampaikan penutur kepada mitra tutur yang bertujuan untuk mendidik. Tuturan yang berlangsung dalam keluarga senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai pendidikan. Aspek pendidikan apa saja yang perlu ditanamkan orang tua kepada anak melalui tindak berbahasa? Suhartono (2007:80) mengartikan pendidikan dalam arti luas dan arti sempit.

~ 62 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Dalam arti luas, pendidikan merupakan proses pembelajaran yang berlasung sepanjang Zaman (life long education). Pendidikan dalam pengertian ini berlangsung di segala jenis, bentuk, dan tingkat lingkungan hidup yang kemudian mendorong pertumbuhan segala potensi yang ada dalam diri individu. Pendidikan pada kelompok ini diorientasikan pada pembudayaan kehidupan manusia. Adapun pendidikan dalam arti sempit adalah seluruh kegiatan belajar yang direncanakan, dengan materi yang terorganisasi, dilaksanakan secara terjadwal dalam sistem pengawasan dan diberikan evaluasi berdasarkan tujuan yang telah ditentukan. Dalam pengertian ini tujuan utama pendidikan adalah pengembangan intelektual dalam bentuk penguasaan bidang ilmu. Untuk itu, penyelenggaraan pendidikan ini bersifat formal di lembaga sekolah. Sebagai alternatif dari dua pandangaan tersebut, Suhartono (2007:89) memberikan alternatif terhadap pengertian pendidikan, yakni bahwa pelaku pendidikan adalah keluarga, masyarakat dan sekolah yang disebut ‘tripartit pendidikan’. Pandangan ketiga ini memberikan penguatan pada ketiga lembaga tersebut sebagai sentral pelaksanaan pendidikan. Bahwa dalam keluarga potensi moral, spiritual dan kultural anak dikembangkan, diproses secara keilmuan di sekolah, dan untuk selanjutnya ditanamkan dalam kelangsungan kehidupan masyarakat luas. Aspek pendidikan yang perlu dikembangkan pada diri anak dalam interaksi dan komunikasi keluarga mencakup aspek moral, spiritual, intelektual, sosial, emosional, dan kultural. Untuk menumbuhkembangkan potensi-potensi tersebut pada diri anak, maka tindak tutur orang tua harus mampu mencerminkan aspek-aspek tersebut. Selanjutnya tindak tutur yang mengandung aspek edukatif tersebut diharapkan dapat membangun karakter spiritual, emosional, sosial dan yang lain kepada anak. Dengan demikian, tindak tutur berdimensi edukatif merupakan tuturan yang dinyatakan penutur kepada mitra tutur yang dilandasi oleh penguatan nilai-nilai pendidikan seperti aspek moral, spiritual, sosial, emosional, intelektual dan kultural. Penguatan tindak tutur berdimensi edukatif ini akan membentuk karakter positip anak. Sebagai contoh tindak tutur berikut.

(10) Sofi : Ma, besok kita dapat daging tidak? Ibu : Kalau dapat, ya Alhamdulillah. Kalau tidak ya tidak apa-apa.

(11) Chaedar : Assalmu’alaikum. Ibu : Wa’alaikum salam. Lancar mas jalannya. Chaedar : Biasa, buk. Macet dikit. Ibu : Ganti baju, terus makan. Oh, ya sudah sholat?

(12) Bunda : Mbak Ata, ada dik Fira. Kamu punya spidol biru? Ata : Punya. Bunda : Dik Fira dipinjami ya… Ata : Ya. Aku ambilkan dulu.

Tuturan (10) berlangsung antara anak dan ibu saat hari Raya Idhul Qurban. Anak berharap dapat pembagian daging hewan yang diqurbankan. Namun ibu mengondisikan anak untuk tidak terlalu berharap. Dengan demikian, dari aspek spiritual ibu mengajari anak untuk bersikap bersyukur dan ikhlas, bersyukur apabila mendapat bagian dan ikhlas apabila tidak mendapat bagian. Pada tuturan (11) keluarga telah meanamkan nilai-nilai spiritual seperti ucapan salam saat masuk dan keluar rumah dan beribadah sholat. Selain itu, penanaman disiplin dan tanggung jawab terhadap diri sendiri juga diajarkan. Adapun tuturan (12) orang tua mengajarkan sikap sosial pada orang lain.

~ 63 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Penutup Penguatan tindak tutur berdimensi edukatif dalam komunikasi keluarga penting dilakukan. Bentuk penguatan tersebut dapat dilakukan selain dengan pembiasaan bertutur yang santun kepada anggota keluarga juga dilakukan dengan penggunaan pilihan diksi, strategi penyampaian serta nada atau intonasi bertutur yang lembut. Kesadaran orang tua untuk membangun sikap dan kepribadian anak dari sisi moral, spiritual, intelektual, sosial, emosional, dan kultural perlu ditanamkan sejak dini. Aspek-aspek tersebut tidak dapat diajarkan secara instan namun perlu pembiasaan dan keteladanan dari orang tua. Oleh karena itu membangun budaya berkomunikasi yang menenamkan nilai-nilai pendidikan dalam keluarga sangat penting.

DAFTAR PUSTAKA

Devito, Joseph A. 1997. Komunikasi Antar Manusia. (Terj. Human Communication). Jakarta: Professional Books. Djamarah, S.Bahri. 2010. Guru dan Anak Dididk dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: Rinek Cipta. Djamarah, Syaiful Bahri. 2014. Pola Asuh Orang Tua dan Komunikasi dalam Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta. Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. (Terj. The Principles of Pracmatics). Jakarta: UI Press. Pranowo. 2009. Berbahasa secara Santun. Yogyakarta: Pustaka pelajar. Salahudin, Anas. 2011. Filsafat pendidikan. Bandung: Pustaka Setia. Suhartono Suparlan. 2007. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

~ 64 ~ PELANGGARAN MAKSIM PERCAKAPAN PADA IKLAN FRESTEA

Desak Putu Eka Pratiwi & I Wayan Sidha Karya [email protected] & [email protected] STIBA Saraswati Denpasar

ABSTRACT Maxims are principles that a speaker needs to obey when s/he is conducting an interactive communica- tion with another, be it textually or interpersonally. There are four maxims of conversation, i.e. maxim of quality, maxim of quantity, maxim of relevance, and maxim of manner. A maxim may be violated in a conversation or in a text so that the impresion an observer gets is questionable or awkward. This awkwardness could happen if the information given is more than enough, untruthful, unrelevant, or too complicated. An advertisement is very often intentionally being incoherently expressed or written in order to give the impression of being unique and controversial. This research aims at those violations of the conversational maxims found in TV advertisement. The source of the data in this research is the Frestea advertisement on the TV. Methodologically this study applies documentation and observation methods that, accordingly, it will appropriately be analyzable qualitatively. The main theory that the researchers use is that of Grice (1975). The result of the analysis is presented in an informal manner, in the form of a discussion to show how the violation of a conversational maxim in an advertisement could bring about an attractive language phenomenon for the high selling value of the product.

Keywords: advertisement, maxim, violation

PENDAHULUAN Pengiklan kerap kali menggunakan percakapan dalam menyampaikan pesan iklan. Hal ini bertujuan untuk membuat iklan menjadi lebih menarik dan interaktif untuk disimak. Karena keterbatasan durasi kadang-kadang percakapan dalam iklan dibuat singkat dan padat. Hal ini membuat makna iklan menjadi samar sebab dalam iklan ada percakapan yang mudah dipahami dan ada pula yang sulit dipahami bahkan membingungkan dan sangat provokatif. Hal yang pal- ing penting dalam percakapan adalah hubungan percakapan (conversational coherence). Yang dimaksud dengan hubungan percakapan di sini yaitu keterkaitan dan kebermaknaan sebuah percakapan. Sebuah percakapan dapat dikatakan koheren apabila percakapan tersebut tersusun dengan baik dan masuk akal bagi pelaku percakapan. Penciptaan koherensi dalam sebuah per- cakapan terlihat mudah namun sesungguhnya dalam praktiknya sangatlah sulit dan tidak dapat dipahami bersamaan antarpelaku percakapan. Maksim adalah prinsip yang harus ditaati oleh peserta pertuturan dalam berinteraksi, baik secara tekstual maupun interpersonal dalam upaya melancarkan jalannya proses komu- nikasi. Menurut Grice (1975) ada empat jenis maksim percakapan yang harus ditaati oleh peserta pertuturan, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara berbicara. Pelanggaran maksim dapat terjadi dalam sebuah percakapan ketika informasi yang ingin disampaikan oleh pembicara kepada mitra wicara tidak tersampaikan dengan baik. Pelanggaran terhadap maksim percakapan akan menimbulkan kesan yang janggal. Kejang- galan itu dapat terjadi jika informasi yang diberikan berlebihan, tidak benar, tidak relevan, atau berbelit-belit. Pengiklan sering kali dengan sengaja melalukan pelanggaran maksim un- tuk menciptakan iklan-iklan yang unik dan kontroversial. Maksim-maksim percakapan yang dikembangkan oleh Grice kerap kali digunakan dalam menelaah percakapan untuk memahami ~ 65 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature hubungan percakapan. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menelaah pelangg- aran-pelanggaran maksim pada iklan TV. Data yang digunakan adalah iklan komersial produk minuman yaitu Frestea yang ditayangkan di beberapa stasiun TV swasta di Indonesia. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data yaitu metode observasi dengan teknik rekam serta teknik simak dan catat. Data dianalisis dengan metode kualitatif menggunakan teori maksim percakapan yang dikembangkan oleh Grice (1975). Hasil analisis data disajikan dengan me- tode formal dan informal.

LANDASAN TEORI Prinsip utama Grice (1975) dalam memahami hubungan percakapan adalah kerja sama. Kerja sama adalah sebuah asumsi mendasar dalam membangun sebuah makna atau maksud yang ingin ditunjukkan oleh pembicara dan pendengar. Grice mengungkapkan bahwa di dalam prinsip kerja sama, seorang pembicara harus mematuhi empat maksim. Empat maksim per- cakapan tersebut adalah:

1) Maksim kualitas (maxim of quality): dalam percakapan, berusahalah menyatakan sesuatu yang benar. 2) Maksim kuantitas (maxim of quantity): berilah keterangan secukupnya dan jangan mengatakan sesuatu yang tidak diperlukan. 3) Maksim relevansi (maxim of relevance): katakanlah hanya apa yang berguna atau relevan. 4) Maksim cara berbicara (maxim of manner): jangan mengatakan sesuatu yang tidak jelas, jangan menga- takan sesuatu yang ambigu, berbicaralah dengan singkat dan secara khusus.

Menurut Grice (1975) dalam bukunya “Logic and Conversation”, ada empat jenis pe- langgaran maksim dalam prinsip kerja sama. Pelanggaran-pelanggaran tersebut adalah sebagai berikut:

(1) Pelanggaran maksim kualitas (maxim of quality) Pelanggaran maksim kualitas dapat terjadi ketika seorang pembicara mencoba untuk memberikan infor- masi yang cenderung tidak benar atau bohong mengenai suatu hal kepada mitra wicara. (2) Pelanggaran maksim kuantitas (maxim of quantity) Pelanggaran maksim kuantitas terjadi ketika seorang pembicara memberikan informasi yang kurang jelas atau berlebihan kepada mitra wicara. (3) Pelanggaran maksim relevansi (maxim of relevance) Pelanggaran maksim relevansi dapat terjadi ketika seorang pembicara memberikan jawaban yang tidak bertautan dengan pembicaraan sebelumnya ataupun mencoba untuk mengalihkan topik pembicaraan yang sedang terjadi dalam sebuah percakapan. (4) Pelanggaran maksim cara berbicara (maxim of manner) Pelanggaran maksim cara berbicara dapat terjadi ketika pembicara memberikan suatu informasi yang tidak beraturan atau tidak jelas kepada mitra wicara.

Teori maksim percakapan digunakan untuk melihat apakah terjadi pelanggaran maksim pada iklan TV. Di samping itu juga untuk melihat karakteristik bahasa iklan. Dengan demikian, dapat dilihat dan dipahami perbedaan antara bahasa iklan dengan bahasa pada umumnya.

PEMBAHASAN Berikut ini akan dipaparkan pelanggaaran-pelanggaran maksim yang terjadi pada iklan komersial pada TV, khususnya pada iklan Frestea.

Data Verbal:

~ 66 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

P1 : (1) “Eh dimarahin lagi gue ma Pak Selamet” P2 : (2) “Selamet lu ladenin” P1 : (3) “Serunya Fruitea dulu ni” : (4) “Eh tapi kita harus utamain Pak Selamet lo” Semua : (5) “Maksud lo?” P1 : (6) “Noooo…..” P3 : (7) “Eh Selamet kan marahnya nyeruduk lo” Semua : (8) “Nyeruduk?” P3 : (9) “Selamat-kan badak Jawa” P1 : (10) “Yahhh… habis. Selamat apa lagi ya?” P4 : (11) “Selamatkan diri kalian!” P1 : (12) “Mampus gue” (Sumber: Trans TV, Oktober 2013)

Iklan di atas menceritakan tentang sekelompok murid bandel yang bolos sekolah. Iklan di atas dibuka dengan permasalahan yang dihadapi oleh seorang murid yang baru saja dimarahi oleh gurunya, Pak Selamet (tuturan 1). Kemudian temannya menyarankan agar ia tidak menghi- raukan Pak Selamet (tuturan 2). Kemudian mereka mulai minum Fruitea untuk menghibur diri (tuturan 3). Setelah minum Fritea muncullah ide-ide jail di kepala mereka. Apa pun yang mereka lihat di jalan selalu dijadikan bahan untuk mengolok-olok Pak Selamet (tuturan 4-10). Ini menunjukkan bahwa Fruitea dapat memberi solusi pada pikiran yang buntu sehingga selalu muncul ide-ide baru setelah minum Fruitea. Pada bagian penutup semuanya menjadi runyam karena tiba-tiba Pak Selamet sudah berdiri di hadapan mereka dan berkata, “Selamatkan diri kalian!”. Hal ini merupakan klimaks dari iklan di atas, mereka diketahui tengah mengolok-olok Pak Selamet. Murid-murid nakal itu pun akhirnya lari tunggang langgang menyelamatkan diri dari Pak Selamet. Terdapat pelanggaran maksim percakapan pada iklan di atas. Pertama, terdapat pelang- garan maksim kualitas yang dapat dilihat pada tuturan 7, “Eh Selamet kan marahnya nyeruduk lo”. Menurut Grice (1975) pelanggaran maksim kualitas dapat terjadi ketika seorang pembi- cara mencoba untuk memberikan informasi yang cenderung tidak benar atau bohong mengenai suatu hal kepada mitra wicara. Pada tuturan 7, penutur mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan. Faktanya adalah tidak mungkin Pak Selamet marahnya “menyeruduk” sep- erti badak karena ia sendiri tidak memiliki tanduk. Kedua, terdapat pelanggaran terhadap maksim cara berbicara pada iklan di atas. Pe- langgaran maksim cara berbicara dapat terjadi ketika pembicara memberikan suatu informasi yang tidak beraturan atau tidak jelas kepada mitra wicara. Hal ini dapat dilihat pada keseluru- han percakapan dimana penutur mengatakan apa saja yang ia lihat dan mengait-ngaitkannya dengan Pak Selamet sebagai bahan olok-olok sehingga tidak jelas arah pembicaraannya. Di samping itu, beberapa tuturan juga tidak jelas maknanya. Hal ini dapat dilihat pada tuturan 4, “Eh tapi kita harus utamain Pak Selamet lo”. Pada tuturan tersebut tidak jelas apa yang dimak- sud dengan “utamain Pak Selamet”. Tuturan 7, “Eh Selamet kan marahnya nyeruduk lo”, juga mengandung makna yang tersembunyi sehingga dikatakan melanggar maksim cara berbicara. Pada tuturan tersebut penutur menggunakan kata-kata yang bersifat ambigu. Ketiga, iklan di atas juga melakukan pelanggaran terhadap maksim relevansi. Pelangg- aran maksim relevansi dapat terjadi ketika seorang pembicara memberikan jawaban yang tidak bertautan dengan pembicaraan sebelumnya ataupun mencoba untuk mengalihkan topik pem- bicaraan yang sedang terjadi dalam sebuah percakapan. Hal ini dapat dilihat pada potongan percakapan di bawah ini:

~ 67 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

P1 : (1) “Eh dimarahin lagi gue ma Pak Selamet” P2 : (2) “Selamet lu ladenin” P1 : (3) “Serunya Fruitea dulu ni”

Pada tuturan 3, penutur memberikan jawaban yang tidak bertautan dengan pembicar- aan sebelumnya. Awalnya penutur 1 bercerita pada temannya bahwa ia dimarahi oleh guru- nya dan temannya menyarankan agar ia tidak menghiraukannya. Kemudian, penutur malahan menjawab, “Serunya Fruitea dulu ni”. Jawaban ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan pembicaraan yang sebelumnya. Dengan kata lain, tidak ada relevansi antara tuturan 3 dengan tuturan 1 dan 2 sehingga dikatakan melanggar maksim relevansi. Terakhir, iklan di atas juga melakukan pelanggaran terhadap maksim kuantitas. Pelang- garan maksim kuantitas terjadi ketika seorang pembicara memberikan informasi yang kurang jelas atau berlebihan kepada mitra wicara. Hal ini dapat dilihat pada tuturan 4-9 sebab pada tuturan tersebut penutur memberikan informasi yang berlebihan dan tidak diperlukan. Tutur- an tersebut diucapkan semata-mata hanya untuk tujuan humor. Tuturan-tuturan tersebut tidak memberikan informasi yang esensial mengenai produk yang diiklankan.

SIMPULAN Menurut Grice (1975) terdapat prinsip yang harus ditaati oleh peserta tutur dalam ber- interaksi, baik secara tekstual maupun interpersonal, dalam upaya melancarkan jalannya pros- es komunikasi. Berpijak dari teori tersebut penelitian ini menemukan fakta yang sebaliknya, bahwa iklan di atas melakukan pelanggaran terhadap keempat jenis maksim percakapan, yaitu maksim kualitas, kuantitas, relevansi, maupun cara berbicara. Pelanggaran terhadap maksim percakapan menimbulkan kesan yang janggal. Sebaliknya dalam wacana iklan “kejanggalan- kejanggalan” sengaja diciptakan oleh pengiklan sehingga menimbulkan tanda tanya di benak penonoton. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kejanggalan-kejanggalan tersebut ber- balik menjadi kekuatan untuk menarik perhatian khalayak dan membuat iklan menjadi semakin unik dan menarik untuk disimak. Walaupun terjadi pelanggaran maksim pada iklan di atas, iklan itu masih dapat dipahami oleh khalayak, bahkan membuatnya menjadi lebih menarik dan lain dari yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa iklan yang menarik tidak harus mematuhi prinsip-prinsip maksim seperti yang dikemukakan oleh Grice. Bahasa iklan tidak terikat pada prinsip-prinsip maksim sebab semakin unik bahasa yang digunakan maka semakin menarik iklan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Austin, J. L. 1962. How to Do Things with Word. Oxford: Oxford University Press. Bungin, B. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rajawali Press. Cook, G. 1992. The Discourse of Advertising. London: Routledge. Danesi, M. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media. Yogyakarta: Jalasutra. Dyer, G. 1982. Advertising as Communication. London and New York: Routledge. Grice, H. P. 1975. “Logic and Conversation.” In: Syntax and Semantics 3: Speech Arts. Eds. Cole, Peter and Jerry L. Morgan. New York: Academic Press.

~ 68 ~ AKOMODASI VARIASI BAHASA DALAM KONVERGENSI LINGUISTIK PADA PENUTUR BAHASA MADURA DAN JAWA DI PASAR TURI SURABAYA: KAJIAN SOSIOLINGUISTIK

Dewanto Fakultas Bahasa dan Sastra Inggris Universitas Wijaya Putra Surabaya [email protected]

ABSTRAK Pasar Turi merupakan salah satu pusat perbelanjaan tradsional terbesar di Surabaya. Pasar Turi juga sebagai tempat tujuan utama para tengkulak. Para pedang dan pembeli bertemu di pasar itu untuk melakukan transaksi jual beli. Tujuan mengadakan transaksi dari para pedagang dan pembeli yaitu untuk mendapat keuntungan. Transaksi tersebut memungkinkan munculnya akomodasi dalam transaksi jual beli dalam percakapannya di pasar Turi Surabaya. Para pembeli dan penjual di pasar Turi berasal dari berbagai daerah seperti Madura dan Jawa. Mereka sebagian sudah ada yang menetap lama di Surabaya, terutama yang berasal dari Madura. Bahasa yang digunakan dalam melakukan transaksi adalah bahasa Madura dan Jawa. Berbagai penutur yang terjadi dalam masyarakat yang multi etnik seperti demikian bisa menimbulkan konvergensi dan divergensi bahasa pada para pedagang. Konvergensi dan divergensi juga menimbulkan akomodasi dalam variasi bahasa pada penutur masyarakat yang berada di Pasar Turi. Para penutur di pasar Turi merupakan multi bahasa. Hal itu didukung oleh latar belakang mereka yang berbeda-beda etnik termasuk para pedagang yang berasal dari Madura yang sudah menetap di Surabaya. Variasi bahasa muncul apabila di masyarakat sosial menggunakan lebih dari satu bahasa dalam percakapannya. Masyarakat di pasar merupakan masyarakat multi etnik. Mereka berasal dari suku Madura dan Jawa. Penelitian ini menggunakan metode observasi, wawancara, dokumentasi dan rekaman. Data ini diperoleh berupa data kualitatif yaitu melalui rekaman, wawancara, pencatatan dan pengamatan di Pasar Turi Surabaya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui terjadinya akomodasi bahasa dalam linguistik dan faktor-faktor terjadinya akomodasi bahasa dalam bentuk konvergensi dan divergensi di Pasar Turi Surabaya.

Kata Kunci: Variasi, akomodasi, konvergen, bahasa, pembeli, penjual, budaya.

INTRODUCTION Accommodation is the speaker of adaptation process with the other partners on communication in certain situation. Accommodation appears because the speakers probably do the language variation. The speakers here later are called the sellers and the buyers. The speakers use variation language with the other in doing interaction of communication process in directly or indirectly with the other speakers at trading. People in Turi market do language variation with the other because they are multilinguals. They do communication not only one language but more languages such as Madura, , Indonesia and Chinese in Turi Market. Languages in multi ethnics have the important role as communication functions. The other function of language is to send messages to other people. Kridalaksana (2008: 4) states that accommodation is natural process in one speaker with other. This statement shows that accommodation happens as part from assimilation. The phenomenon in bargaining between the buyers and the sellers do accommodation as the reason done this research. Accomodation variation happens direct or indirect. The aims accommodation in this situation is to get what the speakers want. The accommodation occurs when the sellers

~ 69 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature offering to the buyers with using Madura language and Javanese to the buyers. The aims doing accommodation in trading here is to show the solidarity of speakers in market. Convergensi and divergence are discourse process in society in which included two aspects in accommodation. If a man does interaction with the other people, it means that she/ he wants to adopt with the opposite speakers. The direction process of equivalency between the speakers with the opposite speakers with the aim to show communication with the speakers is called covergence, but if the speaking between the two speakers are not direction in one way or it does not have equivalence is called divergence. It means that when the situation shows about distingtion with the other, the situation like that called as accommodation. Kridalaksana (2008: 136) states that convergence is one process in making regional dialect into standart dialect because the increasing mobility people in society, mobility in communication, and high education. Further, Holmes (1992: 77) states that convergence can be reached in the form accent, dialect, utterance and vocabulary choice in which is used by the partners. This research discuss about variation language in convergence for the speakers Madura language and Javanese in Turi market. This research uses socio linguistic approach to help in answering the problems in this research. This approach is used to find the forms of accommodation that happened in trading and also to find factors which influenced accommodation. This approach also describes some languages variation based on the social variable difference, for example regional variable, style, age, gender and ethnic (see Wolfram 1974). The difference both of them happen in market Turi shows that appearing the language variation in trading causes the sellers and buyers do accommodation. The problems in this research are 1) what forms accommodations are found in trading at Turi market Surabaya? and 2) what factors are influence accommodations in Turi market?. The purposes in this research are 1) describing the forms of accommodation in society between the sellers and the buyers in market Turi Surabaya, and; 2) describe the factors which influence the using of accommodation in traditional market.

REVIEW OF RELATED LITERATURE This review is used in this related based on relevance chronology concepts. The relevance research with this research is accommodation of language variation in linguistic convergence at Turi market Surabaya. This research uses sociolinguistic approach to give limitation in this research and also help to answer the problems above. The following researches have related literatures with this research. Masinambo (1977) did the research about convergence in his dissertation “Konvergensi Etnolinguistic di Halmahera Tengah”. In that research is focusing on the constituent syantactic convergence from Tobelo and Melayu Halmahera language. That research also mentioned the terms direction convergence, no divergence. The terms are used in both languages dealing with two languages and one of them no follow the constituent arrangement. That research has similarity with this research. The similarity is located on the convergence language which being in Halmahera society that attends do language convergence. The convergence in that research focuss on the kind of language with the other. And the difference with this research is the language Masinambo explain some the terms which used in Halmahera to do language convergence with the other languages. While this research, focusing on the convergences to Madura language and Javanesse. In this research also gives the scope of narrow on the two languages between Madura language and Javanese as the object in research especially in Turi

~ 70 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature market Surabaya. Sunahrowi (2007) did the research about “Variation Accomodation and Language Register in Sociolinguistic Teaching in Purwokerto. The research above has relevance with this research which done in Turi market Surabaya. The Sunahrowi’s research is discussing about accommodation in language variation in society in which happen in Purwokerto society. The object of that research is obtained as the data. The similar research is on the approach namely sociolinguistic. The difference is on the value of gender, age, and society class. It happens becauses all Purwokerto society has elastic characters so society in that place of language variation. The difference with this research, in that research is focusing in the whole language accommodations status of society Purwokerto. While in this research is only focusing on the language accommodation in trading between the buyers and the sellers. So the fact, the limitation of this research is narrower than Sunahrowi’s research.

Concept and Theoretical Framework Concept is mental describing from object, process, or everything in out the language (Kridalaksana, 2008: 132). These concepts and theories below are useful and helpful in description the problems in this research. Those concepts are considered important in relation with the accommodation of language variation in linguistic convergence such as: 1) accommodation, 2) convergence, 3) divergence, 4) sociolinguistic; and 5) market. Those concepts are hoped in describe and explain the problem in this research. And the approach in this research Sociolinguistic, because the situation of accommodation language happens between society and language.

METHODS This research uses qualitative method. Data is obtained by observation, recording, interview, and note. This research uses accommodation approach and helped by Sociolinguistic approach. The data, then collected first the next step is analysis. Object of data in this research is the sellers and the buyers in market Turi Surabaya. The researcher also becomes the buyers to get data by recording the conversation in market. The data is taken in May 2013 for two months. The last step, the data is analyzed.

FINDINGS AND DISCUSSION In this research, the writer seeks data in Pasar Turi Surabaya for more than three months. The data is obtained from the sellers and the buyers. The researcher sometime became a buyer to get data. The data is dealing with accommodation of language in market where in it also accurs convergence and divergence. There are two topics are focusing in this data. They are accommodation and convergence. The utterance below shows the utterances of accommodation and convergence from the example the situation in market. The seller is Madura’s etnic and the buyer is Javanese. Data 1) Location : Turi market, the first floor Topic : offering the cloth Seller : Madura, male, old Buyer 1, 2 : Javanese, female, young Transcript : Seller : Monggo di delok seg? jange golek opo mas? Mari mas, kaene murah- murah, merek’keh cem macem. (please come here and see? What are you looking for? The clotch is cheap. There are ~ 71 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

many brands here). Buyer 1 : ono, kaen celono sing alus? (is there the smoth trousers one) Buyer 2 : ono topi ombo ta? (yes, but it is larger one)

utterance above shows that the sellers and buyers do accommodation in horizontal convergence between the seller and buyer. The seller is Madura and the buyers are Javanese. It can know from the language which is used by the buyers. Sometime the seller speaks Javanese too when the buyers ask to the seller about the size of trousers. The accommodation occurs when the buyers ask to the seller about the size of trousers. The situation above the buyers are Javanese, the language convergence appears in that conversation.

Data 2) Location : Turi market Topic : Bargain the price of cloth Seller : Madura, male, old Buyer 1,2 : Javanese, female, young Transcript : Seller : ono mele’o dewe iku cem macem nduk. (many kinds of cloth brands) Buyer 1 : o…..ono. Wernane apeh beih? Ono werna ireng bleng, abu-abu bereg biruh redhek bungoh. (anything?). (rather brown) Buyer 2 : Se… endelok sing ungu buk! berempah sak meter’eh?. (how much is a metre?).

The data above shows that the seller does convergence to the buyer by using Madura in that utterance, when the buyer knows about the sellr, the buyer does accommodation by using the utterance apeh beih. The seller does the regional language variation to show identity. They do also accommodation each other so show equality between them when they are interaction in trading. It can be shown in the utterance when they do conversation “berempah sak meter’eh. They do convergence with the buyer while the bargaining occurs in market.

Data 3) Location : Turi market, the second floor Topic : Bargaining the clothes price Seller : Madura, female, old Buyer 1 : Javanese, male, young. Buyer 2 : Chinese, female, young Transcript : Seller : Monggo di delok seg, jange golek opo mas? Mari mas, kaene murah- murah, merek’keh cem macem. (many kind of brands). Buyer 1 : ono, kaen celono sing alus? Buyer 2 : ono topi ombo ta? Seller : ono mele o dewe iku cem macem nduk. (many kinds of brands). Buyer 1 : o…..ono. wernane apeh beih? Ono werna ireng bleng, abu-abu bereng biruh redhek bungoh. (what else). (rather brown one). Buyer 2 : Se… endelok sing ungu buk! berempah sak meter’eh? (how much is one metre?)

From data above shows that the seller does accommodation with the buyers even though he/she is not Javaneses. To be attractive the buyer, the sellers does convergence when the seller offers the goods in market. From data above, both the buyers are Javanese and Chinese. The seller knows that the buyers are not Maduran people. In the beginning the seller uses the greeting by Javanese. It means that the seller does convergence by using Javanese. The situation above makes the speakers doing subjective convergence. The word nduk refers the Javanese woman.

~ 72 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature In this situation, the seller often do convergence and divergence situation when the sellers want to show solidarity or when the seller want to reduce the price of goods.

Data 4) Location : Turi market, the second floor Topic : Buy cloth Seller : Madura, male, young Buyer 1 : Javanese, male, young. Buyer 2: Javanese, male, rather old Transcript : Buyer 1 : Butoh Berempah sak meter’eh? The buyers ask to other sellers. (how much is for one metre?). Buyer 2 : Sak meterek berempah? (how much is one metre?) Seller : Petang polo ewu, ole korang kok mas!. The buyer still observed the clothes. (can be offered again). Buyer 1 : segemek yeh! (twenty five!)

The data above shows that the seller and the buyers do convergence. The buyers are Javanese, but they still use Madura language in trading, especially for bargaining the clotch. The buyer replies with using the Madura language when the seller begins using Madura language. The seller also makes convergence by using the equal utterance in the speaking with the buyers. The data above indicates that linguistic convergence is done to get attention to the sellers in order to get the lower price by using divergence.

Types of Accomodations Based on the research above the convergence in accommodation cases at trading between the buyers and the sellers in Turi market Surabaya found some types accommodation. 1) Accomodation type based on time, 2) accommodation based on type on direction, 3) based on completeing process, 4) based on objectivity.

Factors occurring Accommodation Result of the analysis above shows that there are some factors in trading at Turi Market between the sellers and the buyers. The factors of accommodation, especially related to the language convergence happening in selling buying transaction between the sellers and the buyers. The followings are the factors in accommodation such as: 1) accomodation makes easy in communication between two or more languages in conversation, 2) ccomodation shows the speakers identities, 3) accommodation can increase the relationship or solidarity between the speakers, 4) accomodation makes the speakers get adventages, especially in trading.

CONCLUSIONS From the research shows that convergence and divergence occurs between the sellers and the buyers in Turi market Surabaya to show solidarities. Convergence and divergence are the result of language accommodation. The accommodation also shows solidarity between the speakers. Both terms are relation to the socio and language in Surabaya, so this research uses sociolinguistic approach to help answering the problems above. This research is as the result from the writer experience in Surabaya. The fenomenon of languages variation makes appearing convergence and divergence in trading society, especially in Turi market. This research is not perfect in doing research so the writer open suggestion, critic constructively and in put in this research for better in the next time.

~ 73 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature REFERENCES

Ali, Lukman. (1989). Berbahasa Baik dan Berbahasa Dengan Baik. Bandung: Angkasa. Appel, Rene. (1987). Code Switching And Code Mixing. Dalam Edward Arnold (ed). Language Contact and Bilingualism. N. P. A Division Of Hodbor and Stoughton. Alwasilah, Chaedar.(1985). Pengantar Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa. Coupland, N dan Giles,H. (1988). “Introduction: the communicative contexts of accommodation”.Language and Communication Journal,Great Britain Vol.8, no ¾, hal. 175-182. Citrobroto, Suhartin, (1982). Prinsip-prinsip dan Teknik Komunikasi. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Dardjowidjojo, S. (1987). Linguistik: Teori dan Terapan. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atmajaya. Dewanto. (2003). Skripsi Penelitian Strata-1 dengan judul “The Study of The Phenomenon of Code Switching Used in Trading At Pasar Turi Surabaya”. Surabaya: Universitas 17 Agustus 1945. Dhanawati, dkk (2012). Dalam artikel yang membahas tentang “Model Akomodasi Dalam Upaya Pengembangan Toleransi Antar Etnis Masyarakat Transmigran Bali di Indonesia”. Denpasar. Gumperz, J.J. (1962). Types of Linguistic Community: American Anthropologist, 4:28- 40; juga dalam J.A. Fishman (Ed.). Gumperz, J.J. dan Dell Hymes. (1964). The Ethnography of Communication American Antrophologist. Special Publication. Holmes, Janet. (1992). An Introduction to Sociolinguistics. London and New York: Longman. Hymes, Dell. (1973). Foundations in Sociolinguistics: An Ethnographic Approach. Philadelphia: University of Pensylvania Press. Nadra dan Reniwati. (2009). Dialektology: Teori dan Metode. Yogyakart: Elmatera. Pride, J.B. dan Holmes, J. (Eds). (1972). Sociolinguistics. England: Penguin. Sudaryanto. (1990). Menguak Fungsi Hakiki Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press Sumarsono dan Paina Partana. (2002). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda bekerja sama dengan Pustaka. Trudgil. (2004). Dialektology. USA: Cambridge Press. West, Richard, Lynn H. Turner. (2010). Introducing Communication Theory: Analysis and Application 3rd ed. Jakarta : Salemba Humanika.

~ 74 ~ SITUASI KEBAHASAAN PADA GENERASI MUDA ETNIK WEWEWA, DALAM PERSPEKTIF EKOLINGUISTIK.

Diaspora Markus Tualaka Universitas PGRI Kupang-NTT [email protected]

ABSTRACT This paper is a result study toward young generation of Wewewa ethnics in Sumba Island. Waijewa language (WL) is one of Austonesian language which alive and survive in speech community in West Sumba Regency. This research aims to proof a hypothesis that one language will survive if its language is used by its speech community continuously in social environment and vice versa. Waijewa language will changes if its natural and social environment has changed. In ecolinguistics perceptive this problem will be explained in details. The method used in this research is descriptive qualitative to elaborate the relationship between social characteristics of respondents toward some parameters of their opinion, attitude and language used. This research focused on young generation of Wewewa ethnics. In order to gathering the data to describe the language situation of Wewewa ethnics, these language attitude and language usage are used as parameter such as impression, usages and transmission of WL. Some questions were question toward 100 respondents in five districts. The result of data analysis shows that WL will not survive because young generation of Wewewa ethnics proud of having unique language although they still think ethnic language is unpopular language. They used WL only in certain social context such as in core family communication and traditional ceremonies. Deals with language transmit ions in horizontal way, they rarely used WL. In vertical way, most of them not used WL in daily communication although in core family communication, it means that WL in five districts of Wewewa is not stable survive or endanger condition.

Key words: language attitude, language usage, ecolinguistic perspective.

PENDAHULUAN Bahasa Waijewa (BW) termasuk dalam rumpun bahasa-bahasa Austronesia yang hidup dan bertahan dalam komunitas tutur yang berada di Kabupaten Sumba Barat Daya yang berasal dari etnik Wewewa. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan anggapan sementara/ hipotesis bahwa suatu bahasa akan tetap bertahan apabila digunakan oleh penuturnya secara terus menerus dan bahasa itu akan tetap lestari di lingkungan sosialnya namun sebaliknya BW akan mengalami perubahan apabila lingkungan alam dan sosialnya berubah. Lingkungan alam yang berubah mengakibatkan hilangnya beberapa leksikon dalam bahasa lokal, berubahnya lingkungan sosial dan tingginya kontak bahasa lokal dengan bahasa lain menyebakan terjadinya pergeseran bahasa. Peralihan bahasa terjadi melalui beberapa generasi dalam satu masyarakat bilingual dalam jangka waktu yang cukup panjang. Namun, ada juga komunitas bilingual yang tetap bilingual selama berabad-abad, sehingga ini berarti bahwa keberadaan masyarakat bilingual tidak berarti akan terjadinya pergeseran bahasa. Menurut para ahli bahasa, selain bilingualisme terdapat beberapa faktor lain yang menjadi pemicu pergeseran bahasa. Faktor-faktor tersebut antara lain migrasi, baik yang dilakukan oleh kelompok kecil ke wilayah yang menyebabkan bahasa mereka tidak lagi digunakan, maupun oleh kelompok besar yang memperkenalkan populasi lokal dengan bahasa baru; industrialisasi dan perubahan ekonomi; sekolah bahasa dan kebijakan pemerintah; urbanisasi prestise yang lebih tinggi; dan jumlah populasi yang lebih

~ 75 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature sedikit untuk bahasa yang mengalami pergeseran. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Holmes (2001) bahwa faktor-faktor yang medorong pergeseran bahasa adalah fakor ekonomi, sosial, politik, demografis, perilaku, dan nilai dalam suatu komunitas. Lingkungan yang berubah dan tingginya aktivitas sosial masyarakat etnik Wewewa tidak dapat menghindarkan BW dari ancaman kepunahannya. Pembangunan yang makin pesat yang mengubah lingkungan alam, menyebabkan hilangnya beberapa leksikon alamiah dan juga tergantinya beberapa leksikon dengan leksikon baru. Demikian pula tingginya aktivitas masyarakat dan kemajuan tinggkat pendidikan etnik Wewewa menjadi faktor yang turut memberi andil dalam tergesernya BW dalam dominansinya terhadap bahasa lain (bahasa Indonesia dan bahasa asing). Dan masih banyak lagi faktor-faktor lain yang dapat saja mengancam keberlangsungan BW ini. Namun dalam artikel ini hanya difokuskan pada persoalan fenomena pergeseran BW ditinjau dari perspektif ekolinguistik yang dikemukakan oleh Haugen pada tahun 1972 yang selanjutnya diperkuat oleh Fill dan Mushlhausler (2001) dan Mbete (2011) Dengan dilatari oleh perspektif ekolinguistik yang dipadukan dengan teori sosiolinguistik yang dikemukakan oleh Fasold (1984) mengenai pergeseran dan pemertahanan bahasa,maka situasi kebahasaan ini akan digambarkan secara terperinci dengan menggunakan metode kuantitatif yang mempelajari relasi karakteristik sosial responden untuk pembenaran mereka terhadap parameter sikap dan pemakaian bahasa. Yang menjadi fokus pada penelitian ini adalah generasi muda penutur bahasa Waijewa yang berasal dari keluarga ( ayah dan ibu) yang beretnik Wewewa. Parameter yang digunakan adalah kemampuan, impresi (kesan), penggunaan dan transmisi baik secara horizontal ke sesama generasi maupun secara vertikal antar generasi.

METODOLOGI Metode yang digunakan dalam menjaring data adalah metode deskriptif kuantitatif dengan tujuan menidentifikasi dan deskripsikan situasi kebahasaan di kecamatan Wewewa, Sumba Barat Daya. Intrumen yang digunakan adalah questioner yang disebarkan pada generasi muda etnik Wewewa di lima kecamatan Wewewa. Questioner yang disebarkan terdiri atas tiga parameter yang akan dideskripsikan, yakni kesan,penggunaan dan transmisi kebahasaan yang terjadi pada generasi muda. Dan untuk mendapatkan keseluruhan data yang dibutuhkan dilakukan wawancara terstruktur terhadap 100 orang responden yang beretnik Wewewa (ayah dan ibu yang berasal dari etnik Wewewa).

PEMBAHASAN Berikut adalah hasil tabulasi dan analisis data terjaring yang didasarkan pada parameter yang telah ditetapkan untuk memperoleh deskripsi situasi kebahasaan pada generasi muda etnik Wewewa, baik tentang sikap bahasa, pemilihan bahasa dan penggunaan bahasa dari generasi muda etnik Wewewa seperti penjelasan dibawah ini.

Impresi (Kesan) terhadap BW. Generasi muda etnik Wewewa memiliki konsep pemahaman yang umumnya terdapat pada generasi muda di Indonesia saat ini, yaikni mereka memiliki persepsi bahwa BW atau bahasa daerah adalah bahasa orang yang kurang terpelajar, terbukti 86 % responden dari ke-5 kecamatan Wewewa memiliki persepsi ini yang dideskripsikan dengan beragam pendapat, seperti: orang yang menggunakan BW dalam ranah formah dianggap orang tak bersekolah, kampungan dan terbelakang. Namun mereka tetap bangga menjadi orang wewewa yang

~ 76 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature memiliki bahasa yang unik dan berbeda dengan bahasa lain di pulau sumba.

Penggunaan BW Generasi muda etnik Wewewa menggunakan BW dalam komunikasi sehari-hari dalam keluarga dan lingkungan sosial. Dalam lingkungan keluarga, 75% responden menggunakan BW untuk berkomunikasi dengan ibu, ayah, kakek dan nenek mereka, sedangkan antar anggota keluarga yang lain mereka menggunakan Bahasa Indonesia. Dalam lingkungan sosial, saat menghadiri acara adat 47% responden menggunakan BW dengan alasan keterlibatan mereka dalam acara tersebut dan bahasa yang dipakai adalah bahasa adat yang kurang dimengerti dan memang berbeda dari BW sehari-hari yang digunakan untuk berkomunikasi.

Transmisi BW Dalam keberlangsungan hidup BW sangat dipengaruhi oleh proses transmisi kebudayaan dimana bahasa sebagai produk budaya etnik Wewewa. Proses transmisi baik secara horizontal antar generasi muda BW dan secara vertikal antar generasi muda BW dengan generasi tua sangatlah tergantung pada impresi dan sikap bahasa mereka dan lingkungan sosial dimana BW hidup. Data menunjukan bahwa 35 % responden selalu menggunakan BW dalam berkomunikasi dengan teman mereka, sedangkan 65% responden selalu menggunakan BI dalam berkomunikasi baik di lingkungan rumah/ keluarga maupun lingkungan sekolah. Secara Vertikal, 75% responden menggunakan BW dalam berkomunikasi dalam lingkungan keluarga (khusus keluarga inti saja) dan masyarakat lingkungan mereka.

Faktor penyebab pergeseran BW Dari data-data yang diperoleh, terdapat pemilihan bahasa (langauge choice) seperti yang dikemukakan oleh Fasold (1984). Pemilihan bahasa tersebut terjadi melalui: 1. Alih kode (code switching): secara umum perbedaan penggunaan bahasa dalam domain yang berbeda merupakan bentuk dari alih kode. Akan tetapi, terjadi pula alih kode dalam peristiwa tutur yang dilakukan dalam lokasi. Alih kode dalam lokasi yang sama karena penutur berbicara pada dua kelompok mitra tutur yang berbeda. Yaitu ketika penutur berbicara pada sesama teman sebaya di sekolah, penutur menggunakan BW, tetapi kemudian beralih ke dalam bahasa Indonesia, ketika penutur bercerita dengan teman yang bukan berasal dari wewewa. Begitu pula saat berada di toko atau pasar, tempat kebaktian dan kantor pemerintahan. 2. Campur kode (code mixing): peristiwa ini terjadi dalam domain perdagangan ketika pembeli menawar barang yang ingin dibeli. Pada awalnya menawarkan dengan BI, tetapi kemudian beralih ke BW yang dicampur dengan beberapa kosa kata dalam BI. Pembeli yang tidak mengetahui nama barang yang akan di beli dalam BW menggantikan leksikon terseut dengan BI dan bahasa asing. Peristiwa bahasa lain yang terjadi pada generasi muda etnik Wewewa di 5 kecamatan Wewewa adalah diglosia. Yakni adanya perbedaan ragam dalam satu bahasa yang sama. Misalnya, bahasa Indonesia digunakan dalam dua ragam yang berbeda: ragam bahasa tinggi untuk situasi formal dan ragam bahasa rendah untuk situasi informal tergantung kepada siapa mereka berbicara.

KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa adanya fenomena pergeseran BW yang berpola dan dalam hal pemakaian bahasa, generasi muda etnik Wewewa menggunakannya ~ 77 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature dalam domain tertentu saja terkait dengan lingkungan sosial dan hanya bersifat kontekstual. Mereka lebih memilih untuk menggunakan BI dalam berbagai aktivitas sosial mereka dengan beranggapan bahwa bahasa daerah kurang bergengsi status bahasanya bila dibandingkan dengan BI dan bahasa asing. Hal ini juga turut dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan lingkungan demografi mereka yang sedang mengalami perubahan dengan pesatnya pembangunan infrastruktur dan pusat pemerintahan kabupaten Sumba Barat Daya. Dengan demikian dipandang perlu untuk melakukan beberapa langkah konkret untuk mempertahankan Bahasa Wewewa pada generasi muda seperti menumbuhkan rasa kebanggaan dan kecintaan generasi muda terhadap BW baik secara formal, memalui pembelajaran makna dan nilai yang terkandung dalam cerita-cerita legenda baik tentang alam maupun tradisi sosial yang mengungkapkan kearifan lokal BW. Pengajaran BW sebagai bagian dari kurikulum muatan lokal pada tingkat SD dan secara informal melalui pembentukan dan pengembangan lembaga adat di lingkungan etnik Wewewa.

DAFTAR PUSTAKA

Bili, Lukas Dairo. 2007. Pembentukan Kabupaten Sumba Barat daya Suatu Proses Panjang. Jakarta: CV Tarsar Jaya. Budasi, I Gede. 2007. “Relasi Kekerabatan Genetik Kuantitatif Isolek-isolek Sumba di NTT: Sebuah Kajian Historis Komparatif” (disertasi). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2002. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta Crystal, David. 2003. Languade Death. UK: Cambridge University Fasold, Ralph.1984. The Sociolinguistics of Society. England: Basil Blackwell Publisher Fishman, J.A. 1972. The Sociology of Language. Massachusetts: Newbury House Publisher. Fill, Alvin and Peter Mühlhaüsler (eds). 2001. The Ecolinguistics Reader. Language, Ecology, and Environment. London and New York: Continuum. Mahsun, M.S. 2011. Metode Penelitian Bahasa. Tahapan strategi,metode dan tekniknya.Jakarta: Rajawali Press. Maleong, Lexy J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif (edisi Revisi) Bandung: Rosdakarya. Mbete, Aron Mbeko. 2013. Penuntun singkat penulisan proposal penelitian Ekolinguistik. Denpasar: Penerbit Vidia Mbete, Aron Mbeko. 2012. Hak hidup Bahasa-bahasa Minor, Ancaman, dan Strategi Pelestariannya. Disajikan dalam seminar Nasional Bahasa Ibu V. Diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Udayana, 17 & 18 Februari 2012). Bali: SPs Udayana. Sampson, Geoffrey. 2009. School of Linguistics.Competition and evolution. UK: University of Lancaster

~ 78 ~ TINGKAT TUTUR DALAM BAHASA JAWA DI DESA BANYUMAS KECAMATAN BANYUMAS KABUPATEN PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK

Dwi Fitriyani STKIP Muhammadiyah Pringsewu Lampung [email protected]

ABSTRACT This study is investigating sociopragmatics study analyzing speech level and speech function in which used by Banyumas society of Banyumas village. Banyumas village is a village with multicultural society. But the majority language used is Javanese language. The formulations of this study are (1) The Javanese speech level used by Banyumas society and (2) the Javanese speech function used by Banyumas society. The objectives of this study are finding the speech level and speech function used by Banyumas society. The method of this study is using pragmatics identity method. Identity method is a method used in an attempt to find the rules in the data analysis phase determiner tool outside, detached, and do not become the part of the language concerned. The data collection technique is using recording and note. From data analysis result, it can be concluded that majority of Banyumas society utterances are using speech level in appropriate with the level of Javanese Language speech level and the minority is inappropriate with the level of Javanese language speech level. Speech function expressed speakers is appropriate with the purpose or speech purpose desired by speakers with a pragmatic form of imperative variety, declarative, and interrogative.

Key Words: Speech level, Javanese Language, Sociopragmatics

1. Pendahuluan Desa Banyumas yang terletak di Propinsi Lampung Kabupaten Pringsewu Kecamatan Banyumas memiliki masyarakat yang berenaka ragam suku. Keberanekaragaman suku tersebut tidak menjadi penghalang dalam berkomunikasi di kehidupan sehari-hari. Bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi kesehariannya mayoritas masyarakat di desa Banyumas menggunakan bahasa Jawa. Bahasa Jawa yang digunakan dianggap bahasa yang memiliki peranan penting dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan komunikasi berjalan dengan akrab dan luwes. Selain itu bahasa Jawa yang merupakan salah satu bahasa ibu yang ada sampai sekarang dan salah satu unsur penyangga kebudayaan yang adiluhung. Bahasa jawa di dalamnya pun terdapat sistem unggah ungguh, yang berarti sopan santun. Dengan ini maka bahasa Jawa bukan lagi mengenai kata-kata hormat, yang ada dalam setiap bahasa, akan tetapi telah menjadi bahasa tersendiri, yaitu bahasa halus, bahasa penghormatan, dan krama. Selain itu di dalam bahasa jawa terdapat tingkatan dalam bertutur. Tingkat tutur dalam bahasa jawa menurut Poedjoesoedarmo dalam Rahardi (2010: 60) terdapat tiga tingkatan yaitu: tingkat tutur ngoko, tingkat tutur madyo, dan tingkat tutur krama. Tingkat tuntur ini ditentukan dari sikap pembicara kepada lawan bicara. Tetapi dalam kenyataannya dalam kehidupanm sehari-hari masyarakat di Banyumas kadang kala orang tidak memandang lawan tuturnya sehingga bahasa yang digunakan dianggap tidak sopan. Bahasa yang digunakan pun memiliki fungsi-fungsi tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat tutur apa sajakah yang digunakan masyarakat Banyumas di desa Banyumas dan berfungsi apakah tuturan yang digunakan masyarakat Banyumas di desa Banyumas Kecamatan Banyumas Kabupaten Pringsewu Provinsi

~ 79 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Lampung. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat melengkapi kajian sosiopragmatik di Indonesia khususnya tentang tingkat tutur bahasa Jawa dan fungsi dari tuturan tersebut. Secara praktis, penelitian ini diharapkan menjadi bahan referensi untuk penelitian selanjutnya terutama tentang tingkat tutur bahasa Jawa dan fungsi tuturan yang digunakan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan yang bersifat pragmatis. Metode padan merupakan metode yang digunakan terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 13). Alat penentu dalam penelitian ini dikaitkan dengan metode yang digunakan adalah mitra wicara. Adapun teknik untuk mengumpulkan data yang digunakan oleh peneliti adalah teknik rekam dan teknik catat. Penelitian merekam sumber data kemudian mencatat dan mengkaji yang dikaitkan dengan tingkat tuturan dan fungsi tuturan.

2. Kajian Teori Sosiopragmatik menurut Rahardi (2009: 14) adalah gabungan dari dua disiplin ilmu bahasa yang berbeda, yakni sosiolinguistik dan pragmatik. Ditinjau dari nama, sosiolinguitik menyangkut sosiologi dan linguistik, karena itu sosiolinguistik mempunyai kaitan erat dengan kedua kajian tersebut. Sosio adalah masyarakat, dan linguistik adalah kajian bahasa. Jadi, sosiolinguistik adalah kajian tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan (Sumarsono, 2014: 1). Pragmatik menurut Yule, (2014: 3) adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca). sebagai akibatnya studi ini lebih banyak berhubungan dengan analisis tentang apa yang dimaksudkan dengan orang dengan tuturan-tuturannya daripada dengan makna terpisah dari kata atau frasa yang digunakan dalam tuturan itu sendiri. Penelitian ini merupakan kajian sosiopragmatik karena mengkaji dua ilmu yaitu sosiolinguistik dan pragmatik. Kajian sosiolinguistik penelitian ini adalah mengkaji tentang tingkat tutur yang digunakan dalam bahasa Jawa yang digunakan masyarakat Banyumas. Peneliti mengkaji tingkat tutur yang digunakan dalam bahasa Jawa yang ada di desa Banyumas. Tingkat tutur dalam bahasa Jawa ada tiga tingkatan menurut Poedjosoedarmo dalam Rahardi, (2010: 60) yaitu: tingkat tutur ngoko, tingkat tutur madyo, dan tingkat tutur krama. Tingkat tutur ngoko, merupakan tingkat tutur yang menggunakan unsur-unsur morfologi dan kosakata yang pada dasarnya merupakan kosakata ngoko yang berbentuk kata-kata tugas. Contohnya seperti: jangan=ampun, akan=ajeng, sudah=empun, dan lain-lain. Tingkat tutur madya adalah tingkat tutur krama yang telah mengalami proses penurunan tingkat, proses informalisasi, dan proses rulalisasi. Biasanya tingkat tutur madya ditandai oleh beberapa kata tugas dan juga pronomina. Contohnya sebagai barikut: niki=ini, niku=itu, onten=ada, dan lain-lain. Tingkat tutur krama adalah tingkat yang memancarkan arti penuh sopan-santun antara sang penutur dan sang mitra tutur. Dengan perkataan lain, tingkat tutur ini menandakan adanya perasaan segan atau pakewuh diantara keduanya. Hal ini disebabkan hubungan antara penutur dan mitra tutur belum terjalin dengan baik. Kemungkinan mitra tutur adalah orang yang berpangkat tinggi, seorang priyayi atau orang yang amat berwibawa dalam masyarakat. contohnya; menika=ini, wonten=ada, sampeyan=kamu, dan lain-lain. Kajian pragmatik dalam penelitian ini berkaitan dengan fungsi tuturan yang dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur. Fungsi tuturan berkaitan dengan wujud pragmatik. Wujud pragmatik berdasarkan gramatikalnya ada tiga yaitu; deklaratif (declarative), interogatif (interrogative), dan imperatif (imperative) Rahardi, (2005: 4). Kalimat deklaratif mengandung maksud memberitakan sesuatu kepada mitra tutur. Sesuatu yang diberitakan merupakan

~ 80 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature pegungkapan suatu peristiwa atau suatu kejadian yang dituturkan secara langsung dan tidak langsung. Kalimat interogatif adalah kalimat yang mengandung maksud menanyakan sesuatu kepada mitra tutur, dan kalimat imperatif mengandung maksud memerintah atau meminta agar mitra tutur melakukan suatu sebagaimana diinginkan si penutur. Tingkat tutur dan fungsi tuturan terdapat juga dalam ragam bahasa Jawa. Bahasa Jawa yang merupakan bahasa ibu, satu asal dengan bahasa-bahasa di sekitar Pulau Jawa, seperti bahasa Sunda, Melayu, Madura, dan sebagainya. Bahasa-bahasa di wilayah tersebut termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia. Penggunaan bahasa Jawa yang merupakan bahasa yang bukan lagi hanya mengenai kata-kata hormat, yang ada dalam setiap bahasa, akan tetapi telah menjadi bahasa tersendiri, yaitu bahasa halus, bahasa penghormatan, bahasa krama (Pigeaud dalam Purwadi, 2005: 11). Dengan hal ini, seseorang dituntut untuk menggunakan tataran bahasa Jawa dengan tepat, sebab kalau tidak tepat akan menimbulkan perasaan tidak enak di antara para pemakainya dan dianggap tidak sopan.

3. Pembahasan Analisis data dan pembahasan dalam penelitian ini difokuskan pada tingkat tutur yang digunakan dan fungsi dari tuturan yang digunakan masyarakat Banyumas di desa Banyumas. Dari hasil analisis data peneliti menemukan tingkat tuturan yang digunakan masyarakat Banyumas telah sesuai dengan tataran yang ada dalam bahasa Jawa, sehingga dalam kehidupan masyarakat Banyumas tercipta hubungan yang akrab dan sopan. Tuturan yang dituturkan memiliki maksud dan tujuan sesuai dengan yang diharapkan oleh penutur. Peneliti menemukan berbagai wujud pragmatik atau fungsi tuturan dalam tuturan yang dituturkan oleh masyarakat Banyumas di desa Banyumas. Berikut ini hasil analisis data yang peneliti temukan:

Data 1 Data (1) merupakan percakapan antara anak dengan orangtuanya. Usia anak 33 tahun dan usia Bapak 60 tahun. Situasi percakapan dilakukan pada saat Bapak akan pergi. Berikut kutipan percakapannya:

Anak : Pak, Bapak are bali kapan? (1) Pak, Bapak mau pulang kapan? (2) Bapak : La ngopo? (3) Kenapa? (4) Anak : Aku are nitip barang. Aku wes telfon om Lehan engko Bapak tinggal gowo wae. Soale wes dipak Pak. (5) Aku mau titip barang. Aku sudah telfon om Lehan nanti Bapak tinggal bawa aja. Soalnya dah dibungkus rapih Pak. (6)

Dari percakapan di atas masuk ke dalam tingkat tutur ngoko, tetapi terjadi hubungan yang tidak sopan karena usia antara anak dengan orang tua berbeda jauh yang seharusnya menggunakan tingkat tutur krama. Fungsi tuturannya pada kalimat (1) dan (3) berfungsi menanyakan informasi (interogatif) dan kalimat (5) berfungsi meminta atau memerintah (imperatif).

Data 2 Data (2) merupakan percakapan antara suami dengan istri. Usia suami 62 tahun dan usia istri 60 tahun. Situasi percakapan dilakukan pada saat suami mau makan pagi. Berikut kutipan percakapannya:

~ 81 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Suami : Mak, masak opo? (1) Bu, masak apa? (2) Bapak : Panjenengan ajeng nyuwun nopo? (3) Anda mau minta apa? (4) Anak : Masak godong-godongan mak, ket wingi ora mangan sayuran. (5) Masak daun-daunan Bu, dari kemarin tidak makan sayur. (6)

Dari percakapan di atas masuk ke dalam tingkat tutur krama, terjadi hubungan yang sopan karena usia suami lebih tua dari usia istri dan tingkatan yang digunakan sesuai dengan tingkatan yang ada di dalam bahasa Jawa. Fungsi tuturannya pada kalimat (1) dan (3) berfungsi menanyakan informasi (interogatif) dan kalimat (5) berfungsi meminta atau memerintah (imperatif).

Data 3 Data (3) merupakan percakapan antara adik dengan kakaknya. Usia adik 56 tahun dan usia kakak 60 tahun. Situasi percakapan dilakukan pada saat bercakap-cakap santai. Berikut kutipan percakapannya:

Adik : Mbak, sing entuk arisan sopo? (1) Kak, yang dapat arisan siapa? (2) Kakak : Mboh, ora eneng telfon yo mestine uduk dewe. (3) Entah, tidak ada telfon ya pastinya bukan kita. (4) Adik : Dewe kapan yo mbak? (5) Kita kapan ya Kak (6)

Dari percakapan di atas masuk ke dalam tingkat tutur ngoko, tetapi terjadi hubungan yang tidak sopan karena usia antara adik dengan kakak berbeda jauh yang seharusnya menggunakan tingkat tutur krama. Fungsi tuturannya pada kalimat (1) dan (5) berfungsi menanyakan informasi (interogatif) dan kalimat (3) berfungsi meneranngkan (deklaratif).

Data 4 Data (4) merupakan percakapan antara anak menantu dengan ibu mertua. Usia anak menantu 28 tahun dan usia ibu mertua 59 tahun. Situasi percakapan dilakukan pada saat percakapan santai. Berikut kutipan percakapannya:

Anak Menantu : Mak, panjenengan ajeng budal ngaji mboten? (1) Bu, Ibu mau pergi mengaji tidak? (2) Ibu Mertua : Ora lah, awak ora penak banget. (3) Tidak, badan tidak sangat enak. (4) Anak Menantu : Kulo ajeng budal tapi mboten wonten rencange. (5) Saya mau berangkat tapi tidak ada temannya. (6)

Dari percakapan di atas masuk ke dalam tingkat tutur krama, terjadi hubungan yang santun antara anak menantu dengan ibu mertua dan tuturan yang digunakan sesuai dengan tingkat tuturan yang seharusnya. Fungsi tuturannya pada kalimat (1) berfungsi menanyakan informasi (interogatif) dan kalimat (5) berfungsi menerangkan (deklaratif).

Data 5 Data (5) merupakan percakapan antar tentangga. Usia tetangga (1) 54 tahun dan usia tetangga (2) 65 tahun. Situasi percakapan dilakukan pada saat tentangga (1) melewati depan

~ 82 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature rumah tentangga (2). Berikut kutipan percakapannya: Tetangga (1) : Ajeng teng pundi mbah? (1) Mau kemana Nek? (2) Tetangga (2) : Are golek sayuran. (3) Mau cari sayur. (4)

Dari percakapan di atas masuk ke dalam tingkat tutur krama, terjadi hubungan yang santun antara tentangga (1) dan tetangga (2) yang digunakan sesuai dengan tingkat tuturan yang seharusnya. Fungsi tuturannya pada kalimat (1) berfungsi menanyakan informasi (interogatif) dan kalimat (3) berfungsi menerangkan (deklaratif).

Data 6 Data (6) merupakan percakapan antara kiyai dengan santri. Usia kiyai 62 tahun dan usia santri 15 tahun. Situasi percakapan dilakukan pada saat magrib. Berikut kutipan percakapannya:

Kiyai : Di adani, le? (1) Segera azan mas? (2) Santri : Injeh Yai. (3) Baik Yai. (4)

Dari percakapan di atas masuk ke dalam tingkat tutur krama, terjadi hubungan yang santun antara kiyai dengan santri yang digunakan sesuai dengan tingkat tuturan yang seharusnya. Fungsi tuturannya pada kalimat (1) berfungsi memerintah (imperatif) dan kalimat (3) berfungsi menerangkan (deklaratif).

Data 7 Data (7) merupakan percakapan antar ibu-ibu dengan tukang sayur keliling. Usia ibu (1) 30 tahun, usia ibu (2) 48 tahun, usia ibu (3) 58 tahun dan usia tukang sayur 28 tahun. Situasi percakapan dilakukan pada saat ibu-ibu membeli sayur mayur. Berikut kutipan percakapannya:

Ibu (1) : Ene opo wae Wir? (1) Ada apa saja Wir? (2) Ibu (2) : La wes Ora ono opo-opo. (3) Sudah tidak ada apa-apa. (4) Ibu (3) : Wes ora eneng opo-opo kok ider rene lo Wir. (5) Sudah tidak ada apa-apa kok masih jualan ke sini Wir. (6) Tukang sayur : Ajeng pados nopo to Sampeyan, niki tasek enten iwak laut. (7) Mau mencari apa sebenarnya Bu, ini masih ada ikan laut. (8)

Dari percakapan di atas masuk ke dalam tingkat tutur krama, terjadi hubungan yang santun antara ibu-ibu dengan tukang sayurkarena usianya jauh berbeda dan tuturan yang digunakan sesuai dengan tingkat tuturan yang seharusnya. Fungsi tuturannya pada kalimat (1) berfungsi menanyakan informasi (interogatif) dan kalimat (8) berfungsi menerangkan (deklaratif).

4. Kesimpulan Dari hasil analisis data dalam penelitian ini peneliti dapat menyimpulkan bahwa tuturan yang digunakan masyarakat Banyumas di desa Banyumas sebagian besar menggunakan tingkat tuturan sesuai dengan tataran tingkat tutur yang ada dalam bahasa Jawa dan sebagian kecil tidak sesuai dengan tataran tingkat tutur dalam bahasa Jawa. Fungsi tuturan yang diungkapkan

~ 83 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature penutur sesuai dengan tujuan atau maksud tuturan yang diiginkan penutur dengan wujud pragmatik yang bermacam-macam yaitu imperatif, deklaratif, dan interogatif.

DAFTAR PUSTAKA

Mahsun. (2013). Metode Penelitian Bahasa: Tahapan, Strategi, Metode dan Tekniknya. Jakarta: Rajawali. Sudaryanto. (1993). Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Sumarsono. (2014). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Purwadi, dkk. (2005). Tata Bahasa Jawa. Yogyakarta: Media Abadi. Rahardi, Kunjana. (2010). Kajian Sosiolinguistik Kode dan Alih Kode. Bogor: Ghalia Indonesia. Rahardi, Kunjana.. (2005). Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Rahardi, Kunjana.. (2009). Kajian Sosiopragmatik. Jakarta: Erlangga. Yule, George. (2014). Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

~ 84 ~ KESANTUNAN KRITIK DALAM MASYARAKAT ETNIK MADURA: KAJIAN PEMBERDAYAAN FUNGSI BAHASA SEBAGAI SARANA KONTROL SOSIAL

Edy Jauhari FIB Universitas Airlangga Surabaya [email protected]

ABSTRACT This study examines the speech act of criticizing as a means of social control in the Maduraness culture. The goals to be be achieved are to understand the intensity of the criticism, the context of criticism, and the strategy of criticism. Data were collected through DCT and informant interviews. Data analysis was performed using ethnographic methods followed Spradley. The results showed that the intensity of social control is quite high, there are certain contexts are liked or disliked, the indirect strategy is more commonly used than the direct one.

Keywords: Maduraness, criticism, social control, strategy, contexts

1. Pendahuluan Dalam teori tindak tutur (speech act theory) dikenal tindak tutur mengkritik (speech act of criticizing). Tindak tutur mengkritik ini merupakan salah satu jenis tindak tutur yang sangat menarik dikaji karena karakteristiknya yang rawan mengancam muka (Face Threatening Act) (Brown dan Levinson, 1987). Dikatakan rawan mengancam muka karena tindak tutur ini pada umumnya dilakukan dengan cara memberikan penilaian buruk atau penilaian negatif (negative evaluation) terhadap perilaku, perbuatan, atau tindakan yang telah dilakukan oleh penerima kritik (Nguyen, 2005). Oleh karena itu, kritik dalam berbagai budaya sering harus dikemukakan dengan hati-hati, dengan strategi kesantunan yang tepat, menggunakan formula semantik yang tepat, menggunakan modifier yang sesuai, dan dikemukakan dalam konteks yang tepat sesuai dengan norma-norma sosiobudaya yang berlaku. Jika hal ini diabaikan, maka kritik dapat memicu ketegangan atau bahkan konflik di antara pelaku kritik (criticizer) dan penerima kritik (recipient). Dalam ilmu sosiologi, kritik dipandang sebagai suatu tindakan yang mempunyai fungsi yang sangat penting dalam hidup bermasyarakat, yaitu sebagai salah satu sarana untuk melakukan kontrol sosial. Jadi, melakukan kritik sesungguhnya adalah melakukan kontrol. Melakukan kontrol berarti mengendalikan atau mencegah perilaku yang menyimpang. Kontrol itu dilakukan dengan menggunakan tindakan-tindakan linguistik atau tindakan-tindakan verbal. Dengan demikian, kritik dalam fungsinya sebagai sarana kontrol sosial ini memiliki kaitan erat dengan upaya pengendalian terhadap pelanggaran nilai/norma sosial tertentu dalam suatu masyarakat. Makalah ini bermaksud mengkaji tindak tutur mengkritik yang dikaitkan dengan fungsinya sebagai sarana kontrol sosial. Masyarakat yang menjadi sasaran kajian adalah masyarakat etnik Madura. Kritik yang dikaji dalam makalah ini hanya dikhususkan pada ranah perkantoran. Ranah ini dipilih karena struktur power (atasan-bawahan) dalam ranah ini cukup jelas. Kejelasan struktur power ini diharapkan dapat memberikan kemudahan bagi penulis untuk menganaisis data, khususnya menyangkut penggunaan strategi-strategi kritik yang dipengaruhi oleh perbedaan power. Di samping itu, kritik yang dikaji dalam makalah ini hanya dikhususkan pada kritik yang dikemukakan secara lisan (kritik lisan) dalam interaksi yang bersifat face

~ 85 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature to face interaction (tatap muka). Dengan demikian, kritik yang dikemukakan secara tertulis melalui media cetak tertentu, atau dikemukakan secara lisan, tetapi tidak dalam interaksi yang bersifat face to face interaction tidak dimaksukkan sebagai data dalam makalah ini. Ada tiga masalah pokok yang akan diulas dalam makalah ini. Pertama, ulasan itu menyangkut penggunaan strategi MKV (strategi Melakukan Kritik secara Verbal/do the criticism) dan strategi MKH (strategi Melakukan Kritik dalam Hati/ don’t do the criticism) dalam berbagai konteks situasi (dalam ranah perkantoran). Yang dipersoalkan adalah dalam konteks seperti apa strategi MKV boleh/lazim digunakan dan dalam konteks seperti apa penggunaan strategi MKH justru dipandang lebih tepat. Pembahasan mengenai masalah yang pertama ini sangat penting untuk memahami apakah intensitas kontrol sosial dalam masyarakat etnik Madura (dalam ranah perkantoran) termasuk tinggi ataukah justru rendah. Kedua, pembahasan dititikberatkan pada konteks-konteks yang disukai/lazim digunakan dan yang tidak disukai/tidak lazim digunakan untuk menyampaikan kritik (dengan strategi MKV). Ketiga, pembahasan dikonsentrasikan pada penggunaan strategi Kritik Langsung (KL) dan strategi Kritik Tidak Langsung (KTL) dalam berbagai konteks situasi dalam ranah perkantoran. Yang dipersoalkan adalah dalam konteks seperti apa strategi KL pada umumnya boleh/lazim digunakan dan dalam konteks seperti apa strategi KTL justru dipandang lebih tepat atau lebih lazim. Data dikumpulkan dengan menggunakan DCT (Discourse Completion Task). DCT ini disebarkan kepada 40 orang informan di wilayah Bangkalan, Sampang , dan Pamekasan untuk mendapatkan pengisian. Untuk menjaga validitas, data yang diperoleh dari DCT ini kemudian dicek silang melalui wawancara kepada sejumlah informan.

2. Pengertian kritik Mulac, et.al.(2000: 310) mengemukakan bahwa criticism has been conceptualized as negatif evaluation of some aspect of an individual that is communicated by others. Pendapat Mulac, et.al ini senada dengan pendapat MIN Shang-chao (2008: 67) bahwa kritik berkenaan dengan evaluasi negatif terhadap perilaku seorang individu. Sementara itu, Hoang Thi Xuan Hoa (2007: 136) menyatakan bahwa criticizing is sometimes performed to vent the speaker,s negatif feeling or attitude to the hearer or the hearer’s work, choice, behaviour, etc. Pendapat yang lebih lengkap dikemukakan oleh Nguyen (2005: 110). Dia menjelaskan bahwa kritik dapat didefinisikan sebagai berikut. “A criticsm is defined as an illocutionary act whose illocutionary point is to give negative evaluation on H’s actions, choice, words, and products for which he or she may be held responsible. This act is performed in hope of influencing H’s future actions for the better for his or her own benefids as viewed by S or to communicate S’s dissatisfaction/ discontent with or dislike regarding what H has done but without the implicature that H has done brings undesirable qonsequences to S.”

3. Strategi Kritik: MKV dan MKH, KL dan KTL Ketika seseorang melakukan sebuah kritik, orang tersebut pasti menggunakan strategi kritik terentu. Dalam makalah ini strategi kritik dibedakan menjadi dua jenis, yaitu (1) strategi Melakukan Kritik secara Verbal ( strategi MKV) dan (2) strategi Melakukan Kritik dalam Hati (strategi MKH). Yang dimaksud dengan strategi MKV adalah strategi di mana kritik diekspresikan atau diungkapkan secara verbal dengan menggunakan bentuk-bentuk linguistik tertentu dalam konteks tertentu sehingga maksud kritik tersebut dapat dipahami atau dimengerti oleh penerima kritik (PnK). Sementara itu, yang dimaksud dengan strategi MKH adalah strategi di mana kritik

~ 86 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature hanya diungkapkan dalam hati. Artinya, pelaku kritik (PK) bermaksud melakukan kritik kepada PnK, namun karena pertimbangan-pertimbangan tertentu atau kendala-kendala budaya tertentu (misalnya karena sungkan, pakewuh, menghindari konflik, dan lain-lain) maksud kritik tersebut tidak diekspresikan secara verbal, tetapi hanya diungkapkan dalam hati (PK diam saja). Jika dikaitkan dengan pandangan Brown dan Levinson (1987), strategi MKV merupakan spesifikasi dari strategi do the FTA (do the criticism), sementara strategi MKH merupakan spesifikasi dari strategi don’t do the FTA ( don’t do the criticism). Penggunaan strategi MKV merupakan wujud konkret dari sebuah kontrol sosial, sedangkan penggunaan strategi MKH justru menggambarkan lemahnya sebuah kontrol sosial. Selanjutnya, strategi MKV dapat dibedakan lagi menjadi dua macam substrategi, yaitu strategi kritik langsung (KL) dan strategi kritik tidak langsung (KTL). Strategi KL adalah strategi di mana kritik diungkapkan secara transparan, jelas, eksplisit, dan tidak ambigu. Strategi langsung dimungkinkan apabila maksud penutur (speaker’s meaning) sama dengan makna linguistik (linguistic meaning) atau makna kalimat (sentence meaning) (Searle, 1971). Strategi KL, menurut Blum-kulka, et. al (1989: 18) bisa ditandai oleh indikator-indikator linguistik atau bisa juga ditandai oleh semantic content. Strategi KL, menurut istilah Brown dan Levinson (1987) pada umumnya termasuk strategi on record. Kritik langsung bisa juga dilakukan dengan menggunakan verba performatif yang dimunculkan secara eksplisit dalam struktur lahir. Sebaliknya, strategi KTL adalah strategi di mana kritik diungkapkan secara tidak transparan, implisit, atau ambigu. Strategi KTL mengandaikan bahwa penutur menyampaikan maksudnya tidak melalui makna linguistik. Menurut Searle (1974), strategi tidak langsung memiliki dua daya ilokusi, yaitu secondary illocutionary act dan primary illocutionary act. Yang pertama bersifat literal dan yang kedua bersifat nonliteral. Penutur mengemukakan primary illocutionary act melalui secondary illocutionary act. Strategi KTL, menurut istilah Brown dan Levinson (1987), termasuk strategi off record. Dilihat dari Prinsip Kerja Sama Grice, stratregi KTL melanggar maksim cara, khususnya submaksim “hindari ketidakjelasan dan hindari ambiguitas”.

4. Konteks Kritik Kritik selalu dikemukakan dalam konteks tertentu. Konteks kritik ini sangat penting dipahami karena akan mempengaruhi PK dalam menggunakan strategi kritik, apakah strategi MKV, MKH, strategi KL atau KTL. Dalam kehidupan sehari-hari, unsur-unsur yang membangun konteks kritik begitu luas dan kompleks sehingga tidak mungkin dipertimbangkan semua. Oleh karena itu, konteks kritik dalam makalah ini hanya ditentukan berdasarkan dua parameter saja sebagaimana yang dikemukakan Brown dan Levinson (1987), yaitu ± Power (±P) dan ± Distance (±D). Kedua parameter ini ditambah satu parameter lagi yang menurut hemat penulis juga sangat penting dipertimbangkan dalam masyarakat etnik Madura, yaitu parameter ± Public (±Pu). Ketiga parameter tersebut mengacu pada karakteristik PnK. Jadi, parameter (+P), misalnya, berarti kedudukan (power) PnK lebih tinggi daripada PK, parameter (-P) berarti kedudukan (power) PnK lebih rendah daripada PK, parameter (+D) berarti hubungan PnK dan PK berjarak atau tidak akrab, parameter (-D) hubungan PnK dan PK akrab, parameter (+Pu) berarti kritik dikemukakan di hadapan publik seperti dalam rapat kantor atau dalam pertemuan kantor, parameter (-Pu) berarti kritik dikemukakan secara pribadi. Ketiga parameter tersebut bisa berkombinasi satu sama lain sehingga membentuk berbagai konteks kritik yang agak kompleks, yaitu (+P+D+Pu), (+P+D-Pu), (+P-D+Pu), (+P-D-Pu), (-P+D+Pu), (-P+D-Pu), (-P-P+Pi), (-P-D- ~ 87 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Pu), (=P+D+Pu), (=P+D-Pu), (=P-D+Pu), (=P-D-Pu). Konteks (+P+D+Pu), misalnya, berarti kritik dikemukakan kepada PnK dengan power lebih tinggi (+P), dalam hubungan yang tidak akrab atau berjarak (+D), dan kritik dikemukakan di hadapan publik (+Pu). Konteks (-P-D-Pu) berarti kritik dikemukakan kepada PnK dengan power lebih rendah (-P) dalam hubungan yang akrab (-D), dan kritik dikemukakan secara pribadi, menghindari pihak ketiga atau publik (-Pu), dan seterusnya.

5. Strategi MKV dan MKH: Penggunaannya dalam Berbagai Konteks Situasi dan keterkaitannya dengan Intensitas Kritik sebagai Sarana Kontrol Sosial dalam Masyarakat Etnik Madura Ketika hendak melakukan kritik, PK (Pelaku Kritik/Criticizer) tentu harus memilih apakah kritiknya sebaiknya dikemukakan dengan menggunakan strategi MKV (do the criticism) ataukah strategi MKH (don’t do the criticism). Yang penting digarisbawahi adalah pemilihan strategi MKV dan MKH itu tidak mungkin bisa dilakukan dengan sesuka hati, tetapi tentu harus disesuaikan dengan konteksnya dan nilai-nilai sosiobudaya yang berlaku. Berdasarkan analisis data yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa strategi MKV dalam masyarakat etnik Madura (ranah perkantoran) pada umumnya lebih banyak digunakan daripada strategi MKH. Hal ini terjadi pada berbagai konteks situasi. Tabel 2 berikut memperlihatkan perbandingan penggunaan strategi MKV dan MKH dalam berbagai konteks situasi dalam masyarakat etnik Madura (ranah perkantoran). Tabel 1 Perbandingan Penggunaan Strategi MKV dan MKH dalam Berbagai Konteks Situasi dalam Masyarakat Etnik Madura (Ranah Perkantoran) Penggunaan Strategi N0 KONTEKS MKH MKV 1 +P+D 17 23 2 +P-D 5 35 3 -P+D 4 36 4 -P-D 2 38 5 =P+D 15 25 6 =P-D 3 37

Kecenderungan untuk lebih banyak menggunakan strategi MKV daripada MKH dalam masyarakat etnik Madura tidak mungkin terjadi secara kebetulan, tetapi tentu dipengaruhi oleh karakteristik sosiobudaya yang berlaku. Yang penting dipahami adalah kecenderungan ini memiliki kaitan erat dengan intensitas kontrol sosial. Sebagaimana telah dikemukakan, penggunaan strategi MKV merupakan wujud konkret dari sebuah kontrol sosial (karena kritik benar-benar dieksekusi secara verbal), sedangkan penggunaan strategi MKH justru menggambarkan lemahnya sebuah kontrol social (karena kritik hanya disimpan dalam hati). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi penggunaan strategi MKV semakin tinggi intensitas kontrol sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Sebaliknya, semakin tinggi penggunaan strategi MKH semakin rendah intensitas kontrol sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam masyarakat etnik Madura telah terbukti bahwa penggunaan strategi MKV jauh lebih tinggi daripada penggunaan strategi MKH. Hal ini menunjukkan bahwa intensitas kontrol sosial dalam masyarakat etnik Madura dapat dikatakan cukup tinggi. Intensitas yang paling tinggi terdapat dalam konteks (-P-P). Intensitas kedua terdapat dalam konteks (=P-D). Intensitas ketiga dan ~ 88 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature keempat terdapat pada konteks (-P+D) dan (+P-D), dan intensitas yang paling rendah terdapat dalam konteks (+P+D). Makna dari intensitas kritik di atas adalah bahwa manakala terjadi pelanggaran nilai atau norma sosial tertentu dalam masyarakat etnik Madura (khususnya dalam ranah perkantoran), baik yang dilakukan oleh atasan maupun bawahan, baik dalam hubungan yang akrab maupun berjarak, pelanggaran tersebut cenderung segera dapat dicegah atau dikontrol, dan tidak dibiarkan berlarut-larut, berlangsung terus tanpa kontrol. Walaupun demikian, harus digaris bawahi, tingginya intensitas kontrol sosial dalam masyarakat etnik Madura tidak perlu diartikan bahwa penyimpangan perilaku dalam masyarakat etnik Madura menjadi rendah. Sebab, hal itu sangat bergantung juga pada bagaimana orang Madura secara cultural memberikan respon terhadap kritik, apakah cenderung menerima kritik atau justru menolak atau bahkan melawan terhadap kritik. Untuk mengetahui secara persis tentu pemahaman mengenai the speech act of responding to criticism dalam masyarakat etnik Madura juga perlu dilakukan sebagai imbangan dari pemahaman mengenai the spheect act of criticizing yang telah dilakukan dalam makalah ini.

6. Strategi MKV: Penggunaannya dalam Berbagai Konteks Situasi Berdasarkan Parameter (±Pu) dalam Ranah Perkantoran Ketika seorang PK mengambil keputusan untuk menggunakan strategi MKV (alih-alih MKH), maka PK tersebut tentu harus berpikir apakah kritiknya itu sebaiknya dikemukakan secara terbuka (+Pu) atau justru lebih tepat dikemukakan secara tertutup atau pribadi (-Pu). Dalam masyarakat etnik Madura, pemilihan pengungkapan kritik secara terbuka (+Pu) atau tertutup (-Pu) tersebut tidak mungkin dapat dilakukan secara sembarangan. Pemilihan itu tentu harus dilakukan secara tepat dan hati-hati, disesuaikan dengan konteksnya dan norma-norma budaya yang berlaku. Ketidaktepatan pemilihan kedua jenis parameter tersebut sangat rawan menimbulkan ketegangan atau bahkan konflik di antara PK dan PnK. Dalam Tabel 2 berikut dikemukakan hasil analisis data yang menggambarkan bagaimana kritik (dengan strategi MKV) itu diungkapkan dalam berbagai konteks situasi (dalam ranah perkantoran) dengan mempertimbangkan parameter (+Pu) dan (-Pu). Tabel 2 Penggunaan Strategi MKV dalam Berbagai Konteks Situasi Berdasarkan Parameter (± Pu) Strategi dan Parameter Strategi MKV Jumlah

(+Pu) (-Pu) Informan Jenis Konteks (+P+D) 20 20 (+P-D) 9 31 (-P+D) 19 21 40 (-P-D) 7 33 (=P+D) 15 25 (=P-D) 10 30

Jika diamati dengan cermat, pemilihan pengungkapan kritik secara terbuka (+Pu) atau tertutup (-Pu) sebagaimana tampak dalam tabel 2 di atas ternyata tidak terjadi secara acak, tetapi ada parameter dominan yang menjadi porosnya. Poros yang dimaksud adalah parameter (±D). Jika dalam konteks tertentu terkandung poros (-D), maka pengungkapan kritik secara

~ 89 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature tertutup (-Pu) cenderung lebih banyak dipilih daripada pengungkapan kritik secara terbuka (+Pu). Itulah sebabnya, mengapa pengungkapan kritik dalam konteks seperti (+P-D-Pu), (-P-D-Pu), (=P-D-Pu) lebih banyak dipilih oleh informan daripada pengungkapan kritik dalam konteks (+P-D+Pu), (-P-D+Pu), (=P-D+Pu). Selanjutnya, jika dalam konteks tertentu terdapat parameter (+D), maka pengungkapan kritik dalam masyarakat etnik Madura tampaknya agak bervariasi. Dalam hal ini parameter (±P) yang menjadi pasangat dari (+D) tampaknya juga turut menentukan. Apabila parameter (+D) itu berkombinasi dengan parameter (+P) atau (-P), maka pengungkapan kritik lazim dikemukakan, baik secara terbuka maupun secara tertutup. Akan tetapi, bila parameter (+D) berkombinasi dengan (=P), maka pengungkapan kritik secara tertutup tampaknya lebih lazim. Dengan demikian, berdasarkan tabel 2 di atas, dapat diketahui juga adanya konteks- konteks kritik yang disukai dan konteks-konteks yang kurang disukai dalam masyarakat etnik Madura. Konteks-konteks kritik yang cenderung disukai atau dipandang lazim adalah konteks-konteks seperti (+P+D+Pu), (+P+D-Pu), (+P-D-Pu), (-P+D+Pu), (-P+D-Pu), (-P-D- Pu), (=P+D-Pu), dan (=P-D-Pu). Sementara itu, konteks-konteks yang kurang disukai atau kurang dipandang lazim adalah *(+P-D+Pu), *(-P-D+Pu), *(=P-D+Pu), *(=P+D+Pu). Tentu saja melakukan kritik dalam konteks-konteks yang kurang disukai memiliki resiko ketegangan atau konflik yang lebih tinggi.

7. Strategi KL dan KTL: Penggunaannya dalam Berbagai Konteks Situasi Ketika seorang PK memilih menggunakan strategi MKV, PK tersebut juga harus berpikir apakah kritiknya itu sebaiknya dikemukakan dengan menggunakan strategi KL ataukah KTL. Sebagaimana strategi MKV dan MKH yang tidak bisa digunakan secara serampangan, strategi KL dan KTL ini pun tidak mungkin bisa digunakan dengan sewenang-wenang menurut suka- suka PK, tetapi harus digunakan sesuai dengan konteksnya. Ketidaktepatan penggunaan strategi KL dan KTL dengan konteksnya rentan memicu ketegangan atau bahkan konflik di antara PK dan PnK. Berdasarkan analisis data yang dilakukan, diketahui bahwa strategi KTL dalam masyarakat etnik Madura secara umum lebih sering digunakan daripada strategi KL. Hal ini terjadi dalam berbagai konteks situasi. Akan tetapi, hal ini tidak berarti strategi KL tidak bisa digunakan sama sekali dalam masyarakat etnik Madura. Dalam konteks tertentu yang dipandang tepat, strategi KL juga sangat mungkin digunakan. Tabel 4 berikut menjelaskan kecenderungan penggunaan strategi KL dan KTL dalam masyarakat etnik Madura, khususnya dalam ranah perkantoran. Tabel 3 Kecenderungan Penggunaan Strategi KL dan KTL dalam Masyarakat Etnik Madura N0 Jenis Konteks Penggunaan Strategi Jumlah Penggunaan KTL 32 (+P+D+Pu) KL 8 1 KTL 36 (+P+D-Pu) KL 4 KTL 30 (+P-D-Pu) KL 10 2 KTL 37 *(+P-D+Pu) KL 3

~ 90 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

KTL 25 (-P+D+Pu) KL 15 3 KTL 30 (-P+D-Pu) KL 10 KTL 25 (-P-D-Pu) KL 15 4 KTL 37 *(-P-D+Pu) KL 3 KTL 35 *(=P+D+Pu) KL 5 5 KTL 34 (=P+D-Pu) KL 6 KTL 24 (=P-D-Pu) KL 16 6 KTL 33 *(=P-D+Pu) KL 7

Dalam tabel 3 di atas terlihat bahwa dalam konteks-konteks yang preferensinya tinggi (tidak bertanda asterisk) seperti (+P+D+Pu), (+P+D-Pu), (+P-D-Pu), (-P+D+Pu), (-P+D-Pu), (-P-D-Pu), (=P-D-Pu), (=P+D-Pu), penggunaan strategi KTL tampaknya paling disukai dan paling banyak digunakan. Hal ini terbukti dari jumlah informan yang menggunakan strategi KTL dalam konteks-konteks tersebut yang rata-rata menunjukkan angka yang paling tinggi. Sementara itu, penggunaan strategi KL dalam konteks-konteks tersebut memperlihatkan angka yang lebih rendah. Informan yang memilih menggunakan strategi KL dalam konteks-konteks tersebut tidak sebanyak informan yang memilih menggunakan strategi KTL. Kendatipun demikian, sesuai dengan hasil wawancara dengan informan, penggunaan strategi KL dalam konteks-konteks yang preferensinya tinggi tersebut pada umumnya masih dipandang sebagai hal yang wajar sejauh tidak menggunakan ungkapan-ungkapan yang bersifat intensifier. Tabel 3 di atas juga memperlihatkan bahwa dalam konteks-konteks yang preferensinya rendah atau kurang disukai seperti *(+P+D-Pu), *(+P-D+Pu), *(-P-D+Pu), *(=P+D+Pu), *(=P-D+Pu), penggunaan strategi KTL tampaknya dipandang jauh lebih tepat, sedangkan penggunaan strategi KL cenderung dinilai tidak tepat. Dalam tabel 4 di atas penggunaan strategi KL dalam konteks-konteks yang tidak disukai seperti itu mendapatkan nilai yang sangat tidak signifikan. Tampaknya dalam masyarakat etnik Madura manakala kritik terpaksa harus dikemukakan dalam konteks yang tidak tepat atau tidak disukai (bertanda asterisk), maka strategi kritik yang cenderung digunakan adalah strategi KTL. Penggunaan strategi KL dalam konteks yang tidak tepat seperti itu dipandang amat mengancam muka.

8. Simpulan (a) Dalam masyarakat etnik Madura, penggunaan strategi MKV lebih banyak digunakan daripada strategi MKH. Hal ini menunjukkan bahwa intensitas kontrol sosial dalam masyarakat etnik Madura dapat dikatakan cukup tinggi. Intensitas yang paling tinggi terdapat dalam konteks (-P-P). Intensitas kedua terdapat dalam konteks (=P-D). Intensitas ketiga dan keempat terdapat pada konteks (-P+D) dan (+P-D), dan intensitas yang paling rendah terdapat dalam konteks (+P+D). Makna dari intensitas kritik ini adalah bahwa manakala terjadi pelanggaran nilai atau norma sosial tertentu dalam masyarakat etnik Madura (khususnya dalam ranah perkantoran), baik yang dilakukan oleh atasan maupun bawahan, baik dalam hubungan yang akrab maupun berjarak, pelanggaran tersebut

~ 91 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature cenderung segera dapat dicegah atau dikontrol, dan tidak dibiarkan berlarut-larut, berlangsung terus tanpa kontrol. (b) Dari antara tiga parameter yang membangun konteks kritik, tampaknya parameter (±D) merupakan porosnya yang lebih dominan menentukan pengungkapan kritik, yaitu terbuka atau tertutup. Berdasarkan poros ini, dapat diketahui juga adanya konteks-konteks kritik yang disukai dan konteks-konteks yang kurang disukai dalam masyarakat etnik Madura. Konteks-konteks kritik yang cenderung disukai atau dipandang lazim adalah konteks- konteks seperti (+P+D+Pu), (+P+D-Pu), (+P-D-Pu), (-P+D+Pu), (-P+D-Pu), (-P-D-Pu), (=P+D-Pu), dan (=P-D-Pu). Sementara itu, konteks-konteks yang kurang disukai atau kurang dipandang lazim adalah *(+P-D+Pu), *(-P-D+Pu), *(=P-D+Pu), *(=P+D+Pu). Tentu saja melakukan kritik dalam konteks-konteks yang kurang disukai memiliki resiko ketegangan atau konflik yang lebih tinggi. (c) Dalam konteks-konteks yang preferensinya tinggi, strategi KTL tampaknya lebih banyak digunakan daripada strategi KL. Kendatipun demikian, penggunaan strategi KL dalam konteks-konteks seperti itu pada umumnya masih dipandang sebagai hal yang wajar sejauh tidak menggunakan ungkapan-ungkapan yang bersifat intensifier. Akan tetapi, dalam konteks-konteks yang preferensinya rendah atau kurang disukai seperti *(+P+D- Pu), *(+P-D+Pu), *(-P-D+Pu), *(=P+D+Pu), *(=P-D+Pu), penggunaan strategi KTL tampaknya dipandang jauh lebih tepat, sedangkan penggunaan strategi KL cenderung dinilai tidak tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Blum-Kulka, Shoshana, Juliane House, & Grabriele Kasper (eds). 1989. Cross-Cultural Pragmatics: Request and Apologies. New Jersey. Ablex Publishing Corporation Norwood Brown, Penelope dan S.C. Levinson. 1979. Politeness: Some Universals in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press. Hoang Thi Xuan Hoa. 2007. “Criticizing Behaviors by the Vietnamese and the American: Topics, Sosial Fators, and Frequency”. VNU Journal of Science. Foreign Languages, 133-146 MIN Shang-chao. 2008. “Study on tne Differences of Speech Act of Criticism in Chinese and English” dalam US- China Foreign Language, Maret 2008, Volume 6, No. 3 (Serial No.46). Mulac, Anthony, David R. Seibold, & Jennifer Lee Farris. 2000. “Female and Male Managers’ Criticism Giving: Differences in Language Use and Effects” dalam Journal of Language and Psycology. Vol 19. N0 4. Desember. 2000. Nguyen, Minh Thi Thui. 2005. “Criticizing and Responding to Criticism in A Foreign Language: A Study of Vietnamese Leaners of English”. A Thesis Submitted for the Degree of Doctor of Phillosophy in Language Teaching, The University of Auckland. Searle, J.R. 1971. The Philosophy of Language. New York: Oxford University Press. ______. 1974. Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language. Cambridge: Cambridge University Press.

~ 92 ~ REDUPLIKASI BAHASA ROTE DIALEK DENGKA

Efron Erwin Yohanis Loe Mahasiswa S3 Linguistik UNUD

ABSTRAK Judul tulisan ini “Reduplikasi Bahasa Rote Dialek Dengka“. Sebagaiman kita ketahui bahasa- bahasa yang tergolong dalam rumpun bahasa Austronesia yang bertipe aglutinasi mengenal adanya proses morfologis yaitu afiksasi, reduplikasi dan pemajemukan. Dalam tulisan ini akan dibicarakan salah satu proses morfologis yaitu reduplikasi dalam Bahasa Rote Dialek Dengka (disingkat BRDD). Dalam tulisan ini akan dibahasa tiga bentuk proses reduplikasi yang terdapat BRDD yaitu: (1) Reduplikasi penuh, (2) Reduplikasi setengah, dan (3) Reduplikasi setengah yang berproses menjadi reduplikasi penuh. Reduplikasi BRDD dapat dijumpai dalam jenis kata benda (KB), kata kerja (KK), kata sifat (KS), dan kata numeral (Num). Bentuk reduplikasi berkelas KB, KS, dan Num dapat mengalami bentuk reduplikasi penuh dengan memanfaatkan bentuk dasar yang ada. Sementara reduplikasi berkelas KK dapat membentuk reduplikasi setengah, dan reduplikasi penuh, serta reduplikasi setengah yang berproses untuk menurunkan reduplikasi penuh dari kata yang ada. Kerangka berpikir yang digunakan dalam tulisan ini adalah berdasarkan pandangan Simatupang (1983:16) membagi reduplikasi dalam dua kelompok yaitu: (1) Reduplikasi Morfemis, dan (2) Reduplikasi Semantis. Reduplikasi Morfemis diperinci menjadi dua bagian yakni (1) Reduplikasi penuh, dan (2) Reduplikasi setengah. Bijlevel (dalam Simatupang), munculnya pengulangan karena adanya keinginan untuk menyatakan perasaan yang bergelora secara lebih konkrit, pengulangan juga mencoba untuk menggambarkan persan yang bergelora di mana pengulangan biasanya merupakan alat untuk menimbulkan efek-efek emotif. Kedua kerangka berpikir di atas digunakan untuk mengungkapkan perilaku prose morfologis berbentuk reduplikasi dalam BRDD.

Kata Kunci: Proses Morfologi, Reduplikasi, Bahasa Rote, Dialek Dengka

1. Pendahuluan Bahasa adalah bunyi bermakna yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang berfungsi sebagai sarana berkomunikasi diantara sesama manusia dalam suatu kelompok masyarakat untuk berinteraksi. Kridalaksana (2008: 24) mendefinisikan bahasa adalah sistem lambang bunyi yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Keraf (1979:3-7) membagi fungsi bahasa dalam 4 bagian: a) sebagai alat untuk mengekpresikan diri. Sebagai alat untuk mengekspresika diri, bahasa menyatakan secara terbuka segala sesuatu yang tersirat di dalam dada kita, sekurang-kurangnya untuk memaklumkan keberadaan kita. Unsur-unsur yang mendorong ekspresi diri antara lain: agar menarik perhatian orang lain terhadap kita, dan keinginan untuk membebaskan diri kita dari semua tekanan emosi. b) sebagai alat komunikasi. Komunikasi merupakan akibat yang lebih jauh dari ekspresi diri. c) sebagai alat mengadakan integrasi dan adaptasi sosial. Melalui bahasa seseorang akan masuk dalam satu komunitas masyarakat untuk bekerja sama dan belajar beradaptasi secara perlahan- lahan tentang adat istiadat, tingka laku dan tatakrama masyarakat yang dimasukinya. d) sebagai alat mengadakan kontrol sosial. Semua kegiatan sosial akan berjalan dengan baik karena dapat diatur dengan mempergunakan bahasa dalam mempengaruhi tingka laku orang lain. Bahasa Rote dipergunakan di Pulau Rote Provinsi Nusa Tenggara Timur, sebagai penutur terbanyak dari bahasa ini yang terdiri atas 18 variasi yang tersebar dalam 10 kecamatan. Dialek-dialek dalam bahasa Rote adalah dialek Nusak Oepao, Ringgou, Landu, Bilba, Diu,

~ 93 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Korbafo, Lelenuk, Bokai, Talae, Keka, Lole, Tarmanu, Ba’a, Lelain, Tii, Dengka, Ndao, dan Della. Dari 18 dialek yang telah disebutkan di atas, hanya satu dialek yang akan dibahas proses morfologisnya yakni dialek Dengka. Proses morfologis yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah reduplikasi. Menurut Muslich (2007:48), proses pengulangan atau reduplikasi merupakan peristiwa pembentukan kata dengan jalan mengulang bentuk dasar, baik seluruhnya maupun sebagian, baik bervariasi fonem maupun tidak, yang berkombinasi dengan afiks ataupun tidak. Simatupang (1983:16) berpendapat bahwa, reduplikasi adalah proses morfemis yang mengubah bentuk kata yang dikenainya. Selanjutnya, Kridalaksana (2008:208) reduplikasi adalah proses dan hasil pengulangan satuan bahasa sebagai alat fonologis atau gramatikal; misalnya rumah- rumah, dan bolak-balik.

2. Pembahasan Data Reduplikasi BRDD Bahasa-bahasa bertipe aglutinasi memiliki bentuk-bentuk proses morfologis seperti yang telah disebutkan pada bagian pendahuluan yakni afiksasi, reduplikasi, dan pemajemukan. Dalam bagian pembahasan data akan dibahas bentuk proses morfologis jenis reduplikasi dalam BRDD. Berdasarkan hasil wawancara dengan nara sumber, maka telah diperoleh tiga jenis reduplikasi BRDD.

A. Reduplikasi penuh BRDD a. Jenis Kata Benda (KB) Bentuk-bentuk reduplikasi penuh berkelas kata benda dalam BRDD dapat dilihat pada contoh- contoh berikut ini: Bentuk Dasar Bentuk Ulang hasil Pembentukkan pingga’ pingga’ pingga’-pingga ‘piring’ ‘piring’ ‘banyak piring’ ume ume ume-ume ‘rumah’ ‘rumah’ ‘banyak rumah’ fatu fatu fatu-fatu ‘batu’ ‘batu’ ‘banyak batu’ mei mei mei-mei ‘meja’ ‘meja’ ‘meja-meja’ b. Jenis Kata Kerja (KK) Bentuk-bentuk reduplikasi penuh berkelas kata kerja dalam BRDD dapat dilihat pada contoh- contoh berikut ini: Bentuk Dasar Bentuk Ulang hasil Pembentukkan sula’ sula’ sula’-sula’ ‘tulis’ ‘tulis’ ‘tulis-tulis’ uta uta uta-uta ‘potong’ ‘potong’ ‘potong-potong’

c. Jenis Kata Sifat (KS) Bentuk-bentuk reduplikasi penuh berkelas kata sifat dalam BRDD dapat dilihat pada contoh- contoh berikut ini:

~ 94 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Bentuk Dasar Bentuk Ulang hasil Pembentukkan malole’ malole’ malole’-malole’ ‘bagus’ ‘bagus’ ‘bagus-bagus’ malada’ malada’ malada’-malada’ ‘enak’ ‘enak’ ‘enak-enak’ veu’ veu’ veu’-veu’ ‘baru’ ‘baru’ ‘baru- baru’ d. Jenis Numeral (Num) Bentuk-bentuk reduplikasi penuh berkelas kata bilangan dalam BRDD dapat dilihat pada contoh-contoh berikut ini: Bentuk Dasar Bentuk Ulang hasil Pembentukkan esa esa esa-esa’ ‘satu’ ‘satu’ ‘satu-satu’ lua lua lua-lua’ ‘dua’ ‘dua’ ‘dua-dua’ telu telu telu-telu’ ‘tiga’ ‘tiga’ ‘tiga-tiga’

B. Reduplikasi setengah BRDD Proses pembentukkan reduplikasi setengah berdasarkan kaidah BRDD hanya berlaku pada kata yang berkelas kata kerja (KK). Berikut ini beberapa contoh bentuk-bentuk reduplikasi setengah BRDD a. Jenis Kata Kerja (KK)

Bentuk Dasar Bentuk Ulang hasil Pembentukkan dodo do dododo ‘bunuh’, mem - ‘bunuh-bunuh’, ‘membunuh-bunuh’ ndui ndu ndundui ‘menimba’ - menimba-nimba poko po popoko ‘pukul, mem - ‘pukul-pukul’, ‘pukul-memukul’

C. Reduplikasi setengah menjadi reduplikasi penuh BRDD. Pada bagian ini akan diperlihatkan beberapa jenis reduplikasi setengah yang berproses dan menurunkan bentuk reduplikasi penuh Bentuk Dasar Bentuk Ulang hasil Pembentukkan dododo dododo dododo-dododo ‘bunuh-bunuh’, ‘mem-bunuh’ ‘bunuh-bunuh’, ‘mem-bunuh’ ‘bunuh-bunuh’, ‘mem-bunuh’ ndundui ndundui ndundui-ndundui menimba-nimba menimba-nimba menimba-nimba popoko popoko popoko-popoko ‘pukul-pukul’,‘pukul-mem’ ‘pukul-pukul’,‘pukul-mem’ ‘pukul-pukul’,‘pukul-mem’

Pembentukkan reduplikasi setengah dan menjadi reduplikasi penuh dalam BRDD akan menghasilkan makna yang merujuk pada satu peristiwa atau kejadian luar biasa dengan ekpresi jiwa yang meluap-luap dalam mengungkapkan sesuatu atau menjelaskan sesuatu peristiwa. Hal ini terkadang menunjukkna hasil yang negatif.

~ 95 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature 3. Simpulan Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dijabarkan dengan beberapa contoh bentuk-bentuk reduplikasi dengan kelas kata masing-masing dalam BRDD, maka dapat disimpulkan bahwa dalam BRDD terdapat proses morfologis berbentuk reduplikasi yang terdiri dari tiga jenis reduplikasi yakni: (1) Reduplikasi penuh, (2) Reduplikasi setengah, dan (3) Reduplikasi setengah yang berproses menjadi reduplikasi setengah.

PUSTAKA RUJUKAN

Kridalaksana, Harimukti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia. Keraf, Goris. 1979. Komposisi. Flores: Nusa Indah Muslich, Masnur. 2008. Tata Bentuk Bahasa Indonesia: Kajian ke Arah Tatabahasa Deskriptif. Jakarta: PT Bumi Aksara. Simatupang, M.D.S. 1983. Reduplikasi Morfemis Bahasa Indonesia. Jakarta: Anggota IKAPI.

~ 96 ~ METAFORA DALAM TEKS DAN KONTEKS BAHASA INDONESIA SEBAGAI PANUTAN FILOSOFI BANGSA

Esther Hesline Palandi University of Adam Mickiewicz, Poznan, Poland [email protected]

ABSTRACT The concept of Indonesian culture or the Indonesia philosophy appears on the expression of meta­phor or a figurative language style in some of Indonesian literatures. This stylistic of metaphor can be an indi­cator of the level of emo­tional on someone’s speech act. It proves the existence of the parts of culture’s influence, as a model of philo­sophy in the language. The strong concept of culture had been created on philosophy,­­ as a nasionalism proof of Indonesian people and to be a characteristic­ of the . The created of the literature texts contextually show the existence of people’s philosophy­ and the way of thinking’s influence; and also shows how dyna­mic the people language. In this paper, it will be explained about what, why, and how is the Indonesian metaphor created in the form of text and context. As a people’s model of philosophy and the way of thinking’s influence, it can show some­one’s attitude and speech act. The parts of culture’s influence are the main reference in the production of one’s language.

Key words: metaphor, model of philosophy, concept of culture, way of thinking, speech act.

PENDAHULUAN Sebagai sebuah sistem, bahasa memiliki sifat sistematis dan sistemis. Dikatakan sistematis, karena bahasa memiliki kaidah atau aturan tertentu; dan dikatakan sistemis, karena bahasa memiliki subsistem, yaitu subsistem­ fonologi, subsistem gramatikal, dan subsistem leksikal. Ketiga sistem tersebut menurut Sudaryat (2009:2) bertemu dalam dunia bunyi dan dunia makna. Dunia makna (figurative meaning, tranfered meaning) adalah pemakaian leksem dengan makna yang tidak sebenarnya. Sebagai contoh frasa ’mahkota wanita’ bukanlah bermakna sebagai benda yang dipakai seorang wanita di atas kepalanya yang merupakan lambang kekuasaan seorang pemimpin dan berhiaskan emas atau permata, namun frase ini dimaknai sebagai ‘rambut kepala wanita’ Bidang kajian linguistik murni adalah cabang linguistik yang membahas tentang internal dan eksternal bahasa. Yang termasuk dalam kajian internal ilmu bahasa adalah kajian yang membahas tentang dunia bunyi (fonologi), dunia makna (semantik) dan struktur bahasa (morfologi dan sintaksis). Sedangkan yang termasuk dalam kajian ekternal ilmu bahasa adalah kajian yang membahas tentang variasi bahasa (pragmatik dan wacana). Semantik memegang peranan dalam komunikasi, karena bahasa yang digunakan­ dalam komunikasi sehari-hari­ tidak lain adalah untuk menyampai­ kan­ suatu pesan yang mengandung makna. Pragmatik menyangkut hubungan antara tuturan bahasa dengan yang dibicarakan. Sedangkan wacana adalah teks dan konteks yang mengandung­ pola pikir dan maksud pembicara/penutur,­ dan untuk me­­­mahaminya pendengar/pe­ tutur­ harus me­miliki ‘meta-kog­nisi’ atau pengetahuan­ yang cukup, terutama me­ liputi latar belakang sosial dan budaya bahasa tersebut.

~ 97 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Syartanti, 2012

Metafora sebagai teks merupakan ekspresi secara personal dari seorang penutur atau pengarang. Menurut Classe (2000:941), metafora adalah pengalihan citra, makna, atau kualitas sebuah ungkapan kepada suatu ungkapan lain. Dengan kata lain, metafora adalah ekspresi yang menggunakan konteks tidak meng­gunakan makna sesungguhnya. Ditegaskan oleh Mey (1993:9-10), bahwa konteks adalah konsep pragmatik yang quint-essen­tial (inti). Levinson (1983:36) mengatakan bahwa perubahan atau per­kembangan demikian berawal dari pandangan­ teknis linguistik, bahwa ada fenomena­ khusus yang hanya dapat dijelas­ ­kan dengan mempelajari konsep-konsep konteks, sehingga beberapa aturan sintak­ ­­tis nampak terhalangi.­

METAFORA UNIVERSAL DAN METAFORA KHUSUS Metafora adalah sebuah kalimat atau kata yang tidak memiliki arti yang se­benar­nya namun mewakili kata yang dimaksudkan berdasarkan sebuah persamaan atau perbandingan.­ Penggunaan gaya metafora juga diungkapkan berdasarkan konsep ideo­logi, sosial dan kultural yang berlaku dalam masyarakat. Ini merupakan bukti bahwa se­buah komunitas pasti mempunyai konsep ideologi, sosial dan kultural untuk mem­per­tahankan kelangsungan hidupnya. Ditinjau dari sudut pandang kultural, Wahab (1991) membagi Metafora men­jadi dua kategori, yakni: (1) metafora universal, dan (2) metafora­ khusus. Metafora Universal Meta­fora Universal­ adalah metafora umum yang menggunakan simbol/lambang dengan makna yang telah ada atau umum dan diketahui oleh siapapun. Dasar pemikir­­ ­an metafora universal adalah keyakinan akan pendapat yang me­nyebut­kan bahwa semua bahasa memiliki sejumlah fitur yang sama serta mampu menampilkan­ skema organisasi makna yang sifatnya mendasar atau sama. Contoh:

Waktu adalah uang dalam bahasa Inggris: Time is money dalam bahasa Jepang: 「時は金なり」[Toki wa kane nari]

Matsuura, 1994:1085

Diam adalah emas dalam bahasa Inggris: Silent is golden dalam bahasa Jepang: 「沈黙は金」 [Chinmoku wa kin]

Matsuura, 1994:108

Contoh-contoh tersebut membuktikan bahwa bahasa memiliki sejumlah fitur yang sama serta menampilkan­ skema organisasi makna yang sifatnya sama. Contoh lain:

~ 98 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

Patah hati

adalah suatu metafora umum yang digunakan untuk menjelaskan sakit emosional atau penderi- taan mendalam yang dirasakan seseorang setelah kehilangan orang yang dicintai, melalui kema- tian, perceraian, putus hubungan, terpisah secara fisik atau penolakan cinta.

Dalam pandangan filosofis, seseorang mengalami patah hati tidak akan diketahui belumnya,se­ dan dibutuhkan waktu bagi suatu kehilangan emosional atau fisik untuk disadari­ sepenuhnya. Sebagaimana dikatakan oleh Masson (2004), bahwa manusia tidak selalu sadar dengan yang mereka rasakan. Seperti hewan, mereka tidak mampu mengungkapkan­ pe­rasaan mereka dalam bentuk kata-kata. Maka terciptalah metafora sebagai bentuk eks­presi peng­ganti perasaan yang tak terungkapkan itu, sekalipun disadari bahwa manusia memikirkan­ sesuatu yang sedang dirasakan. Sebagaimana maksud Freud (1915) dalam artikelnya,­ The Unconscious: “Kita perlu menyadari esensi sebuah emosi. Namun kita tidak mengetahui bahwa kita bisa ‘memiliki’ perasaan yang tidak kita ketahui.

Metafora Khusus Metafora khusus adalah metafora yang terikat oleh budaya bangsa/suku bangsa / kelompok tertentu, sehingga memiliki medan pragmatik dan semantik yang terbatas.­­ Dasar pemikiran metafora khusus adalah keyakinan akan adanya pengaruh lingkung­ ­an pada peng­ alaman fisik dan pengalaman kultural yangcermin men­ kan­ budaya pengguna­ bahasa itu. Pengaruh lingkungan pada pengalaman fisik berhubung­­ ­an dengan kehidup­ ­an flora & fauna, sedangkan pada pengalam­ an­ kultu­ral ber­hubung­an dengan kehidupan sosial, moral dan seni. Kebudayaan merupakan produk warisan budaya leluhur yang me­miliki ciri-ciri khas tersendiri. Contoh:

tulang punggung keluarga adalah metafora khusus dalam bahasa dan budaya Indonesia, yaitu orang yang bekerja keras dalam sebuah keluarga untuk menghidupi seluruh anggota keluarganya tersebut. Contoh dalam kalimat, - Sebagai tulang punggung keluarga, hendaknya bergembira karena dijanjikan­ surga oleh Rasulullah subhanahu wata’aala. - Tak banyak yang menyangka, di balik keluguannya Ali adalah tulang punggung keluarga. - Meski usianya baru enam tahun, Budi telah menjadi tulang punggung keluarganya.

Dalam pandangan filosofis, tulang punggung, meski terletak di bagian belakang tubuh manusia, namun justru menjadi ‘penopang’ eksistensi tegaknya seluruh tubuh. Me­maknai ekspresi metafora demikian, dimulai dari paradoks realitas yang melekat­ dalam kese­ harian­ kehidupan bangsa Indonesia. Menurut Altenbernd yang dikutip oleh Pradopo (1994:93) bahasa figuratif sebenarnya merupakan bahasa penyimpangan dari bahasa sehari-hari atau dari bahasa standar untuk memperoleh efek tertentu. Sebagaimana yang dikemukakan pula oleh Abrams (1981:63). Menurut Larson (1991: 293), jika metafora­ di­maknai secara harfiah (bukan kontekstual) mungkin akan menimbul­ kan­ salah pengerti­ ­an. Contoh lain:

jantung hati = kekasih - Engkau adalah jantung hatiku sayangku. lintah darat = rentenir - Ayah Andi meminjam uang pada seorang lintah darat. si jago merah = api - Si jago merah melahap habis perkampungan warga di Jakarta selatan.

~ 99 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Ungkapan metaforis tersebut muncul secara khusus dalam hanya perilaku sosial budaya dan perilaku ber­bahasa masyarakat Indonesia. Ke­lom­pok lain (masyarakat bangsa lain) akan menyampaikan pesan yang sama, namun dengan ungkapan berbeda,­ sesuai dengan budaya dan perilaku umum kelompoknya.

METAFORA DALAM PRINSIP KESANTUNAN Ekspresi metafora merupakan perwujudan dari sesuatu yang dirasa dan dilihat oleh pengarang baik indrawi maupun hakiki. Selanjutnya pengarang merespon dan menciptakan hasil secara kreatif. Ekspresi metafora yang menekan­ ­kan konsep budaya politeness (kesopanan/ kesantunan) tingkat tinggi ini, telah menjadi atur­an konvensional yang disepakati­ oleh bangsa Indonesia turun-temurun hingga sekarang. Hal tersebut sesuai­ dengan prinsip-prinsip landasan sosiologis menurut Ibnu Khaldun (1333 – 1406) dalam Pelly (1994:172), antara lain: (1) feno­mena sosial mengikuti­ pola-pola yang sah menurut hukum. Walaupun ter­atur, tetapi sifatnya fleksibel (tidak kaku), dapat dikenali dan dilukiskan; (2) hukum-hukum itu ber­laku pada tingkat ke­hidupan masyarakat­ secara umum, bukan kehidupan individual. Politeness expression (ungkapan kesopanan/kesantunan) meng­acu kepada strategi­ ke­ santun­an menurut Brown & Levinson (1987:60), yang mengidentifikasi empat strategi ke­ santunan dalam pola perilaku umum yang biasa diaplikasikan penutur, yaitu: 1) Bald-on Record Strategy (tanpa strategi), (2) Positive politeness strategy (strategi kesantunan­ positif atau keakraban), 3) Negative politeness strategy (strategi kesantunan negative atau formal), 4) Off- record politeness strategy (strategi tidak langsung atau ter­samar). Ini mengisyaratkan­ bahwa pemahaman terhadap strategi kesantunan sangat di­perlukan­ dalam menjaga kelangsungan dan keberhasilan berkomu­ ­nikasi.­ Contoh:

dewi malam = bulan - Dewi malam bersinar beegitu terang malam ini. bekerja banting tulang = bekerja keras - Ayah ku bekerja banting tulang siang dan malam. buah hati = anak - Seorang ibu pasti sangat menyayangi buah hati mereka.

Metafora dewi malam, bekerja banting tulang dan buah hati menggunakan prinsip kesantunan­ berdasarkan nilai-nilai konteks budaya Indonesia. Prinsip kesantunan yang dikemukakan­ oleh Brown dan Levinson (1987:60) ber­kisar pada nosi ‘muka’, yaitu muka positif dan muka negatif. ‘Muka’ yang ditunjukkan tersebut berbeda-beda ter­gantung pada situasi budaya yang berlaku. Long (1995:21) menyimpulkan bahwa ‘muka’ yang ditunjukkan oleh penutur, memiliki dua kemungkinan yaitu ‘muka positif’ dan ‘muka negatif’. Muka positif, mengacu pada citra penutur yang berkeinginan agar apa yang disampaikan atau apa yang merupa­ kan­ nilai-nilai yang diyakininya­ di­akui petutur se­bagai suatu hal yang baik, me­nyenang­kan, patut dihargai, dan se­bagainya. Muka positif terjadi saat penutur memberi stimuli positif, sehingga petutur me­rasa aman ter­hadap apa yang diterima/didengar sehingga memberi respon positif. Muka negatif, terjadi saat penutur memberi sti­muli negatif artinya petutur bisa me­rasa ter­ganggu terhadap apa yang diterima/didengar se­hingga ada kemungkinan pe­tutur memberi respon negatif. Ke­santunan yang berkenaan dengan muka negatif disebut kesantunan negatif.

~ 100 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Maka dalam komunikasi pet­utur diharapkan dapat memahami/menafsir­ ­kan apa yang di­ sampaikan oleh penutur.

METAFORA DALAM ET OS SOSIAL DAN BUDA Y A Kalimat yang baik dan benar secara gramatikal diperlukan sesuai dengan aturan-aturan ideologi, sosial dan kultural yang berlaku pada masyarakat tertentu,­ se­bagai wujud eksistensi hukum dasar interaksi manusia. Mizutani (1986:148) menyimpulkan­ suatu prasyarat, bahwa maksud penutur harus dapat dipahami oleh pe­tutur. Pemilihan strategi kesantunan oleh penutur tersebut perlu dikaitkan atau disesuai­ ­kan dengan per­spektif pragmatik (prinsip/teori/filosofi) yang dimiliki petutur/kelompok penerima­ (pembaca/pendengar)nya. Perspektif pragmatik bahasa Indonesia nampak dalam cara penyandian­ pesan yang berkaitan dengan konteks budayanya. Contoh:

anak emas = murid kesayangan - Karena sering mendapatkan nilai yang sempurna, Andi menjadi anak emas di sekolah- nya. si kutu buku = orang yang selalu membaca buku - Dian sering mengahabiskan waktunya untuk membaca, kerena itulah dia di juluki si kutu buku. raja siang = matahari - Sang raja siang mulai tenggelam di kejauhan.

Metafora anak emas, si kutu buku dan raja siang menggunakan perspektif pragmatik yang berkaitan dengan etos sosial budaya Indonesia.

METAFORA DALAM KAR Y A SASTRA INDONESIA Di dalam karya sastra terdapat gaya bahasa yang menambah daya tarik karya itu sendiri. Gaya bahasa dalam suatu karya sastra dapat menimbulkan efek tersendiri bagi pembaca atau penikmatnya. Dalam setiap karya sastra ada panutan filosofi yang dianut oleh pengarangnya. Dalam hal ini pembaca atau penikmat dapat mengetahui konsep budaya apa yang menjadi panutan filosofi masing-masing pengarang, melalui teks karya sastra yang ditulisnya. Sebuah filosofi dikatakan sebagai ilmu yang menjadi dasar dari seluruh ilmu yang menjadi panutan manusia. A Teew (1983:12-15) menyatakan bahwa untuk memberi makna terhadap teks karya sastra diperlukan pengetahuan tiga macam kode, yaitu: kode bahasa, kode sastra dank ode budaya. Kode bahasa adalah keseluruhan sistem atau kaidah yang bersifat mengatur penggunaan bahasa pada teks terutama dalam hal tata bahasa dan pilihan kosakatanya. Kode sastra adalah hal-hal yang memiliki ciri khusus seperti pola-pola persajakan, rima, dan gaya penuturan. Yang terakhir adalah kode budaya, yang menjadi latar belakang sebuah cerita. Di sinilah letak panutan filosofi yang dianut pengarang.

SIMPULAN Demikianlah cara menginterpretasi metafora sebagai suatu gagasan dengan cara lain (understanding of one idea in terms of another) sebagaimana diungkapkan oleh George Lakoff dan Mark Johnson dalam ‘Metaphors We Live By’ (1980). Dunia makna (figurative meaning dan tranfered meaning) pada metafora yang berlandaskan tuturan­ (teks) dengan panutan filosofi ini berkaitan­ dengan Pragmatik dan tindak tutur yang memandang konteks sebagai pemahaman

~ 101 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature bersama antara pembicara dan pendengar­ dan mengarah pada interpretasi. Pola pikir manusia pada dasarnya bersifat metaforis, telah disampaikan oleh Steven Pinker dalam ‘The Stuff of Thought’ (2007). Bahwa sesungguhnya metafora bukan hanya bagian dari prosa/puisi saja atau sekedar pe­nyedap sebuah percakapan. Metafora seringkali tertanam dalam dan menjadi esensial dalam peng­ungkapan pemikiran.­ Sadar atau tidak, dalam percakapan sehari-hari muncul beberapa metafora. Pengetahuan atau konteks tertentu dapat mengakibatkan manusia mengidentifikasijenis-jenis tindak tutur yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

Brown, Penelope; Stephen C. Levinson. 1987. Politeness: Some Universals in Language Usage. Cambridge: Cambridge University. Classe, Oliver (ed.). 2000. Encyclopedia of Literary Translation into English. (Vol.2). London: Fitzroy Dearborn Publishers. Freud, Sigmund. 1915. The Unconscious: Amazon’s Book Store. ISBN: 9780099426677 Lakoff, George; Mark Johnson. 1980. Metaphors We Live By. Chicago: University of Chicago Press. Levinson, Stephen C. 1983. Pragmatics. Cambridge: Cambridge Univ. Press. Masson, Jeffrey Moussaieff; General Mc. Carthy. 2004. When Elephants Weep: The Emotional Lives of Animals. ISBN: 0-385-31428-0 Mey, Jacob L. 1993. Pragmatics: An Introduction, 1st published, Malden/Oxford/Carlton: Blackwell­ Publishers. Pelly, Usman. 1994. Teori Sosial Budaya. Jakarta: Proyek Pembinaan dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan, Dikti. Pinker, Steven. 2007. The Stuff of Thought: Language As a Window Into Human Nature. New York: Viking Pradopo, Rahmat Djoko. 1994. Stilistika dalam Buletin Humaniora No.1 tahun 1994. Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM. Sudaryat, Yayat. 2009. Makna dalam Wacana. Bandung: CV. Yrama Widya. Syartanti, Nadya Inda. 2012. Berbagai Kajian Linguistik http://www.slideshare.net/uchyfahrel/berbagai- kajianlinguistik. Wahab, Abdul. 1998. Butir-butir Linguistik. Surabaya: Airlangga Univ. Press.

---oooOooo---

~ 102 ~ PERGESERAN LEKSIKON BUDAYA PADI CERMINAN PERUBAHAN LINGKUNGAN FISIK EKOLOGI DAN LINGKUNGAN SOSIAL DI LINGKUNGAN KOMUNITAS GUYUB TUTUR PENEBEL, TABANAN

Gek Wulan Novi Utami dan Gede Doddi Raditya Diputra Universitas Udayana [email protected], [email protected]

ABSTRACT The aim of this paper is to know the influence of ecology change to linguistic change that reflect on lexical shift in rice harvest event, skinning paddy into rice process, and cooking rice. Besides, the aims also to find the lexical relation of lexicons which relate to those events and toknow the influence environment change on attitude and behavior Balinese that is previously closeto the environment through those events. The shifted lexicons that categorize noun relates to those which categorize verb because the sifted lexicons that categorize verb is a reflection of the shift tradition even lost from speech community routine. The data of research is a spoken data which is obtained from interviewing speech community in Tabanan regency especially Penebel sub-district as informant. It is collected by simak bebas libat cakap (SBLC) method and is assisted by recording and note taking techniques. The study result are the lexical use in Rice culture has shifted which reflect the environment change for instance the tradition lost in rice harvest event, skinning paddy into rice process, and cooking rice and also is discovered the attitude and behavior change as a consequence of the change of their mindset which prefer the time effectiveness with the optimal results of production to do the traditional procedure when doing those events so that mental workers which are had speech community are getting weaken.

Keywords: the lexical shift, Ecolinguistics, the lexical relation

1. Pengantar Budaya padi merupakan budaya tertua di Indonesia (Bellwood, 2000) sehingga setiap wilayah guyub tutur di Indonesia mengenal budaya padi dengan runtutan aktivitas yang sama tetapi dengan pengetahuan kebahasaan yang berbeda. Seperti halnya di setiap daerah di Indonesia, Provinsi Bali khususnya di lingkungan guyub tutur Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan sebagai penghasil beras terbesar di Bali juga mengenal budaya padi dengan baik. Aktivitas-aktivitas dalam budaya padi menjadi aktivitas yang sangat dekat dengan guyub tutur di lingkungan tertentu dan tersimpan menjadi pengetahuan dan pemahaman dalam ingatan guyub tutur di lingkungan Penebel. Pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki guyub tutur khususnya guyub tutur Penebel berupa khazanah leksikon berupa leksikon berkategori nomina dan verba yang digunakan saat aktivitas manyi ‘memanen padi’, mengolah padi menjadi beras, dan nyakan ‘memasak nasi’. Pengetahuan-pengetahuan kebahasaan berupa khazanah leksikon tersebut dapat menjadi gambaran adanya perubahan lingkungan baik lingkungan fisik maupun sosial yang terlihat dari pergeseran pengetahuan-pengetahuan leksikon tersebut dalam penggunaannya berdasarkan fungsi bahasa.

2. Ekolinguistik Ekolinguistik merupakan ilmu interdisipliner yang mengkaji hubungan bahasa dan lingkungan. Haugen (dalam Fill dan Mühlhäusler, 2001:57) melontarkan istilah ekologi bahasa sebagai kajian interaksi antara bahasa tertentu dan lingkungannya. Berdasarkan pendapat ~ 103 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Haugen dapat dikatakan bahasa yang hidup dalam lingkungan tertentu menjadi pengetahuan guyub tutur yang hidup di lingkungan itu saja. Pengetahuan kebahasaan yang dimiliki guyub tutur semakin mengkhusus terkait dengan aktivitas yang merupakan kearifan lokal atau hasil kebudayaan di lingkungan guyub tutur tersebut. Menurut Mbete (2014:4) bahasa lingkungan dapat mengambarkan realitas lingkungan tertentu beserta cakupan pemahaman daya hidup, perilaku lingual-kultural guyub tutur di lingkungan tertentu yang dapat menjadi fakta sosioekologis. Adapun parameter ekolinguistik adalah lingkungan (environment), keberagaman (diversity), interelasi, interaksi, dan interdepedensi (interrelationship, interaction, interdependency). Satuan terkecil dalam bahasa khususnya leksikon sudah dapat merefleksikan realitas lingkungan seperti yang diungkapkan oleh Sapir (dalam Fill dan Mühlhäusler, 2001:16) yaitu gambaran lingkungan penutur baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosialnya dicerminkan dari kosakata yang dimiliki penuturnya bahkan kumpulan kosakata dianggap inventaris kompleks yang mencerminkan karakteristik dan kebudayaan penutur akibat pengaruh karakter lingkungan fisik sebagai tempat hidup guyub tutur dan bahasa tersebut. Begitu juga Haugen (dalam Fill dan Mühlhäusler, 2001:57) berpendapat bahwa leksikon dan tataran bahasa seperti indeks yang memiliki makna dan merujuk pada dunia referensial. Penutur mengenal dan memahami pengetahuan berupa leksikon dan tataran bahasa sampai yang lebih khusus karena tingkat kedekatan (degree of familiarity) antara penutur dan lingkungan tertentu sangat tinggi (Sapir dalam Fill dan Mühlhäusler, 2001:16).

2.1 Khazanah Leksikon dalam aktivitas manyi ‘memanen padi’ Aktivitas manyi ‘memanen padi’ diawali dengan aktivitas memindahkan Dewi Sri yang dipercaya sebagai Dewi Padi1 yang melindungi tanaman padi dan proses pemindahan Dewi Sri dari uma ‘sawah’ ke jineng atau glebeg ‘tempat penyimpanan padi’ di rumah guyub tutur merupakan proses wajib yang dilakukan sebelum manyi ‘memanen padi.’ Ditinjau dari segi kategori leksikon manyi merupakan verba dan secara semantis merupakan verba tindakan yang menunjukkan adanya proses dalam aktivitas manyi ‘memanen padi’ yang berkaitan dengan verba-verba lain serta leksikon-leksikon berkategori nomina yang merujuk pada entitas tertentu dan fungsi tertentu. Adapun khazanah leksikon yang berkaitan dengan aktivitas manyi ‘memanen padi’ sebagai berikut.

Tabel I Khazanah Leksikon dalam Aktivitas manyi ‘memanen padi’ No. Leksikon sebelum perubahan ekologi Leksikon sesudah perubahan ekologi 1 Padi taun (N) Padi Unggul, PB (N) 2 Anggapan (N) Arit (N) 3 a sigih, petang seping ( satuan jumlah) a kampil (satuan jumlah) 4 Katik tegeh (N) Sing mekatik 5. Gumpang (N) - 6 Juru tandu (N) Juru tandu (N) 7. Munuh (V) -

Perubahan ekologi tercermin dari perubahan penggunaan leksikon padi taun dan padi unggul atau padi PB yang berkategori nomina. Jenis padi ini menjadi pokok dari perubahan yang terjadi

~ 104 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature karena berpengaruh pada khazanah leksikon yang bersangkutan seperti alat-alat, pengetahuan satuan jumlah, dan hilangnya aktivitas yang dicerminkan ooleh leksikon berkategori verba. Padi taun merupakan jenis padi yang bisa dipanen setahun sekali dan diganti jenis baru bernama padi PB merupakan jenis padi unggul yang bisa dipanen lebih dari 2 kali dalam setahun. Struktur kedua jenis padi yang berbeda memengaruhi penggunaan alat dalam aktivitas manyi yaitu penggunaan anggapan dan arit. Padi taun memiliki tangkai panjang dan ada bagian pada batang yang disebut gumpang yaitu bagian yang dipotong menggunakan alat bernama anggapan. Berbeda dengan padi PB yang tidak bertangkai dan tidak memiliki gumpang dipanen menggunakan arit ‘sabit.’ Perubahan penggunaan jenis padi juga memengaruhi hilangnya istilah satuan jumlah saat manyi ‘mengumpulkan padi’ yaitu istilah a sigih ‘1 sigih’ yang berisi petang seping ‘4 seping’ padi. Dalam aktivitas manyi ‘memanen padi’ ada istilah munuh yaitu aktivitas yang dilakukan pemunuh yang biasanya dilakukan guyub tutur lain yang membantu memanen padi dan boleh mengambil hasil mengumpulkan potongan padi yang tercecer atau hasil munuh sebagai bayaran. Sebelum perubahan penggunaan jenis padi, juru tandu ‘pekerja yang mengurus sawah orang lain’ biasa dipekerjakan tetapi seiring dengan perubahan pola pikir untuk meningkatkan penghidupan yang berorientasi untuk mencari pekerjaan selain bertani, apalagi generasi mudanya memang tidak bisa bertani maka mempekerjakan juru tandu menjadi solusi untuk mengurus sawah. Pergeseran leksikon tersebut menunjukkan juga adanya perubahan sosial dalam lingkungan guyub tutur Penebel bahkan guyub tutur di Bali yang memprioritas produksi optimal dengan kefektifan waktu panen serta menjadikan pribadi guyub tutur sendiri tidak sabar akibat pemikiran praktis dan lebih individual karena kehilangan aktivitas sosial munuh ‘mengumpulkan padi’ yang dapat mengajarkan kerja keras dan cara berinteraksi dengan guyub tutur lain. Perubahan sosial tersebut disadari informan seperti penuturannya sebagai berikut.

Yen pidan sukeh ngalih nasi uling munuh nganti nyakan, yen nak jani maan nasi jak sing patuh gen emosi “kalau dulu susah nyari nasi dari mengumpulkan padi tercecer sampai proses menanak nasi, kalau orang sekarang dapat nasi atau tidak sama saja emosian”

2.2 Khazanah Leksikon dalam aktivitas memroses padi menjadi beras Aktivitas memroses padi menjadi beras tidak memiliki istilah khusus dalam bahasa Bali. Dalam aktivitas ini banyak alat yang digunakan baik alat tradisional maupun modern. Adapun khazanah leksikon dalam aktivitas ini sebagai berikut.

Tabel II Khazanah Leksikon dalam Aktivitas memroses padi menjadi beras No. Leksikon sebelum perubahan ekologi Leksikon sesudah perubahan ekologi 1 Padi taun (N) Padi Unggul, PB (N) 2 Luu (N) - 3 Lesung (N) - 4 Ketungan (N) - 5 Nyemuh (V) - 5. Ngintuk (V) Nigtig (V) 6 - Napinin, ngindang (V) 7 - Doros (N) 8 - Selip (N)

~ 105 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Seperti paparan sebelumnya, perubahan penggunaan jenis padi memengaruhi perubahan entitas-entitas yang dipergunakan dan ditunjukkan oleh penggunaan leksikon berkategori nomina serta aktivitas-aktivitas yang hilang yang ditunjukkan oleh leksikon berkategori verba proses dan tindakan dalam budaya padi. Padi taun dibawa pulang setelah dipanen lalu dijemur atau dikenal dengan istilah nyemuh lalu dilajutkan dengan ngintuk ‘menumbuk padi’ dengan alat luu ‘alu’, lesung ‘lesung’ dan ketungan yaitu sejenis tempat menumbuk yang lebih panjang bisa menampung 10 orang penumbuk. Penggunaan alat tersebut membantu proses menumbuk padi sampai menjadi beras bersih. Berbeda dengan pemrosesan padi taun, padi PB tidak melakukan perontokan di rumah tapi langsung di sawah dengan memukul-mukulkan padi pada kayu panjang (yang disiapkan) yang dikenal dengan istilah nigtig serta dialasi kampil ‘karung’ di bawah kayu tersebut saat melakukan tindakan nigtig. Adanya teknologi yang memudahkan petani dan guyub tutur dalam memproses padi menjadi beras lebih banyak dipilih dewasa ini karena lebih cepat dan tidak mengeluarkan banyak tenaga untuk melakukannya tetapi diperlukan beberapa aktivitas lain untuk membersihkan beras sebelum dimasak menjadi nasi. Alat doros adalah mesin yang digunakan saat memroses padi menjadi gabah ‘buah padi masih berkulit’ lalu digunakan alat bernama selip yaitu mesin yang digunakan saat memroses gabah menjadi beras. Beras yang dihasilkan tidak langsung bersih, melainkan harus melalui proses napinin yaitu membersihkan beras dengan ngiu ‘niru’ dan ngindang ‘memisahkan batu dari beras’

2.3 Khazanah Leksikon dalam aktivitas nyakan ‘menanak nasi’ Aktivitas nyakan ‘menanak nasi’ juga termasuk aktivitas unik terkait dengan budaya padi. Dalam aktivitas nyakan ‘menanak nasi’ digunakan alat-alat tertentu baik alat tradisional maupun modern yang dikategorikan lebih spesifik menurut fungsi dan jenis bahannya. Selain itu ditemukan juga leksikon berupa verba yang merujuk pada tahapan-tahapan dalam aktivitas nyakan ‘menanak nasi’. Berikut khazanah leksikon yang ditemukan dalam aktivitas nyakan ‘menanak nasi’.

Tabel III Khazanah Leksikon dalam Aktivitas nyakan ‘menanak nasi’ No. Leksikon sebelum perubahan ekologi Leksikon sesudah perubahan ekologi 1 Bungut paon (N) Kompor, magic jar (N) 2 Singgang(N) - 3 Song sumbah (N) - 4 Sepit (N) - 5 Semprong (N) - 6 Lekeh (N) - 7. Ngupin (V) - 8. Nulukang saang - 9. Angkit (V) Angkit (V)

Leksikon bungut paon, kompor, magic jar adalah perapian memasak yang berfungsi untuk memanaskan dalam aktivitas memasak khusunya aktivitas nyakan ‘menanak nasi.’ Perbedaan alat-alat tersebut tidak dipengaruhi penggunaan jenis padi yang berbeda tetapi perubahan teknologi yang bertujuan memudahkan proses memasak. Di dapur tradisional ada bungut

~ 106 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature paon yang memiliki lubang untuk memasukkan bahan bakar berupa batang pohon yang disebut saang dan ada song sumbah ‘lubang udara’ di tembok paling dekat dengan keberadaan bungut paon. Selain itu, memasak dengan bantuan bungut paon juga harus dilengkapi dengan singgang ‘pecahan genteng di atas lubang tungku’ serta lekeh yang terbuat dari tali bambu yang diikat tebal dan kuat membentuk lingkaran untuk alas payuk ‘periuk tanah’, penyanyahan ‘penggorengan dari tanah liat’ agar tidak jatuh. Saat memasak perlu menjaga api tetap hidup sehingga diperlukan Semprong ‘sejenis bambu’ digunakan untuk menghidupkan api dengan meniupnya dan sepit ‘sejenis bambu berbentuk capit’ untuk mengambil kayu-kayu bakar kecil dan arang. Informan mengatakan memasak di bungut paon ‘tungku batu’ jarang hangus, istilah nasi hangus yang membentuk kerak adalah entip sedangkan nasi setengah matang disebut nasi aruan. Dibandingkan dengan penggunaan alat dewasa ini, penggunaan kompor lebih praktis hanya menyiapkan minyak tanah dan gas elpiji untuk menghidupkan api. Proses pemasakanpun lebih cepat daripada menggunakan api dari bungut paon. Akan tetapi perubahan aktivitas tersebut juga menghilangkan pengetahuan yang dimiliki generasi tua dan tidak dimiliki generasi muda. Verba ngupin ‘meniup’ dan nulukang saang ‘mendorong kayu bakar’ juga hanya ada dalam aktivitas nyakan ‘menanak nasi’ dengan bungut paon. Verba yang digunakan dalam aktivitas nyakan ‘menanak nasi’ dengan kompor hanya mengenal angkit ‘angkat’ bahkan verba tersebut tidak ditemukan pada aktivitas nyakan ‘menanak nasi’ dengan magic jar yang semakin modern dan mengandalkan listrik utuk melakukan aktivitas tersebut.

3. Hubungan Makna Pada umumnya, membandingkan dua kata atau lebih secara semantik mengenal istilah sinonim (makna yang sama) dan antonim (makna yang berlawanan). Namun jika lebih lanjut ditelaah makna dari kata-kata tersebut maka akan muncul kesulitan apabila hanya melihat satu dimensi saja (Leech:1974). Seperti contoh apakah kata perempuan merupakan antonim dari laki-laki? Terkait dengan hakikat makna kata yang memiliki hubungan antara kata maka akan muncul tipe tautan makna, seperti sinonim, antonim, polisemi, hiponim, homonim, dan akronim. Hubungan makna sebagai relasi leksikal dicermati dengan menyamakan atau mengontraskan dalam pengelompokan atau pembendaharaan kata. Leech (1974) menuliskan bahwa relasi leksikal berdasarkan pada konsep dasar semantik leksikal sebagai wadah menghasilkan: (1) sinonimi (2)polisemi (3)hiponimi (4)inkompabilitas (5)taksonomi biner (6) taksonomi ganda (7)polaritas (8)hubungan (9)hierarki (10)oposisi inverse. Berdasarkan analisa data diketahui bahwa leksikon-leksikon yang berhubungan dengan alat-alat budaya padi memiliki beberapa tipe taksonomi, seperti:

3.1 Taksonomi Alat Pemotong Padi Beberapa leksikon bahasa Bali sudah tergantikan dan ada beberapa yang sudah tidak digunakan lagi. Sebagai contoh dalam budaya padi, leksikon seperti bungut paon, luu, anggapan dan beberapa leksikon yang erat kaitannya dengan dunia pertanian sudah mulai ditinggalkan. Hal ini dapat menyebabkan generasi muda nantinya dikawatirkan tidak mengenal lagi leksikon- leksikon tersebut. Adapun leksikon-leksikon yang terbagi ke dalam beberapa taksonomi sebagai berikut.

~ 107 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Taksonomi Alat Pemotong Padi

Padi Taun Padi Unggul

Anggapan Arit

Gambar I Taksonomi Alat Pemotong Padi

Berdasarkan diagram pohon di atas dapat dijelaskan bahwa komunitas guyub tutur Bali khususnya komunitas guyub tutur Penebel yang akrab dengan budaya padi, seiring dengan perkembangan akal, keinginan dan pola pikir manusia akan efisiensi waktu, tenaga dan biaya maka masyarakat Bali yang semula hanya mengenal padi taun kini sudah mengenal padi unggul. Perbedaan kedua jenis padi ini adalah padi taun hanya memiliki satu musim panen dalam satu tahun sedangkan padi unggul membutuhkan beberapa bulan saja untuk dipanen. Hal ini menunjukkan bahwa manusia selalu berupaya untuk mencapai kesejahteraan. Dari nomina padi taun dan padi unggul, maka alat yang digunakan dalam aktivitas budaya padi pada kedua jenis padi ini pun berbeda penamaannya. Seperti pada ketika masyarakat mengenal padi taun, mereka juga mengenal anggapan, sebuah alat pemotong padi namun ketika mereka mengenal padi unggul, masyarakat mengenal arit. Kedua contoh alat pemotong pada masing-masing jaman tersebut memiliki fungsi yang sama, yaitu untuk memotong padi namun perbedaannya adalah masyarakat menggunakan arit karena padi unggul tidaklah setinggi padi taun sehingga mereka tidak memerlukan anggapan lagi dan beralih menggunakan arit

3.2 Taksonomi Alat Penumbuk Padi

Taksonomi Alat Penumbuk Padi

Lesung Luu Ketungan Doros Selip

Lesung Kayu Lesung Batu Luu Buntar Luu Polos

Gambar II Taksonomi Alat Penumbuk Padi

Berdasarkan taksonomi di atas, alat penumbuk padi yang digunakan oleh masyarakat Bali yaitu lesung, luu, ketungan, doros dan selip. Lesung kayu dan lesung batu digunakan sebagai tempat atau wadah padi yang ditumbuk dengan luu ‘penumbuk padi ‘. Perbedaan kedua lesung ini adalah lesung kayu terbuat dari kayu dan lesung batu terbuat dari batu.. Perbedaan luu buntar dengan luu polos adalah fungsi luu buntar untuk menumbuk padi dan pada luu buntar terdapat alas di ujung luu berisi pisau saat menumbuk, yang disebut dengan buntar. Sedangkan luu polos digunakan untuk menumbuk basa ‘ masakan’, kopi, boreh obat tradisional

~ 108 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature yang ditumbuk’, dan beras yang ditumbuk menjadi tepung beras yang disebut tepung, Doros merupakan mesin yang berfungsi untuk memisahkan padi menjadi gabah sedangkan selip merupakan alat modern berupa mesin yang berguna untuk memisahkan gabah menjadi beras. Masyarakat Bali dewasa ini cenderung menggunakan selip daripada luu dan lesung. Hal ini disebabkan oleh keinginan mereka untuk menghemat waktu, tenaga seiring dengan kebutuhan beras yang meningkat.

3.3 Taksonomi perapian memasak

Taksonomi perapian memasak

Bungut Paon Bungut paon Kompor Kompor gas Magic Jar merirut Minyak tanah

Gambar III Taksonomi Perapian Memasak

Taksonomi di atas merupakan perapian memasak yang sekiranya pernah digunakan oleh masyarakat Bali. Bungut paon menggunakan oot pesak ‘kotoran padi’ dan kayu bakar sebagai bahan bakar utama. Bungut paon berfungsi sebagai tungku untuk memasak khususnya memasak nasi yang disebut nyakan. Perbedaan bungut paon dan bungut paon merirun adalah pada bungut paon merirun terdapat rirun, sebuah tungku tambahan sehingga bungut paon merirun memiliki dua buah tungku. Selain itu, bahan bakar yang digunakan bungut paon merirun juga berbeda, yaitu saang ‘bahan bakar’ dari batang pohon kopi, batang pohon kelapa, pelepah pohon kelapa, danyuh ‘daun kering pohon kelapa’, dan tiing ‘bambu.’ Kompor minyak tanah dan kompor gas merupakan alat penanak nasi yang bisa dikatakan lebih modern daripada bungut paon. Kompor minyak tanah menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar utama sedangkan kompor gas menggunakan gas elpiji sebagai bahan bakar utama. Magic jar merupakan alat khusus untuk menanak nasi dewasa ini. Masyarakat Bali ketika menanak nasi cenderung menggunakan alat ini untuk menghemat waktu dan tenaga.

“jaenan nyakan di bungut paon, nyangluh, sing enggal pasil, gesaran ken nyakan di magic jar care bubuh (lebih enak menanak nasi di bungut paon, pulen, tidak cepat basi, lebih kasar teksturnya daripada di magic jar seperti bubur)

Penuturan informan di atas menunjukkan adanya perbedaan rasa masakan khususnya nasi yang dimasak dengan bantuan bungut paon ‘tungku batu’ dan magic jar melalui khazanah leksikon berkategori adjektiva. Kata jaen ‘enak’ dan gesar ‘kasar (tekstur)’ adalah kata sifat yang mendapat akhiran –an berarti ‘lebih enak’ dan ‘lebih kasar’. Berdasarkan penuturan tersebut dapat disimpulkan nasi yang dibuat dengan bantuan bungut paon ‘tungku batu’ lebih enak, pulen, teksturnya lebih kasar, dan tahan lama daripada memasak nasi dengan magic jar.

4. Penutup Dari uraian di atas dapat disimpulkan khazanah leksikon yang tersimpan dalam ingatan guyub tutur Penebel, Tabanan dapat menjadi fakta perubahan lingkungan fisik dan lingkungan

~ 109 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature sosial. Upaya guyub tutur Penebel memilih padi PB ‘padi jenis unggul’ untuk mengoptimalkan produksi panen padi dengan waktu yang efektif serta memudahkan aktivitas-aktivitas dalam mengolah padi dengan alat-alat modern memengaruhi lingkungan tempat tumbuhnya padi dan komponen biotik dan abiotik yang ada di lingkungan tersebut serta memengaruhi guyub tutur baik dalam segi kebahasaan atau pun tindakan yang dipengaruhi kecenderungan berpikir praktis. Melalui beberapa kazanah leksikon dalam budaya padi, memunculkan turunan-turunan yang memiliki hubungan makna seperti adanya pengklasifikasian taksonomi dari turunan-turunan khazanah leksikon utama dalam budaya padi.

DAFTAR PUSTAKA

Bellwood, Peter. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. Alih Bahasa T.W. Kamil.Jakarta : Gramedia Pstaka Utama. Fill, Alwin dan Peter Mühlhäusler(eds) 2001. The Ecolinguistic Reader Language: Ecology and Environment. London and New York: Continuum. Haugen, E. 1972. The Ecology of Language: Essay by Einar Haugen. Standford, C.A.:Standford Unversity Press. Leech, Geoffrey. 1974. Semantics. New York: Penguin Books Canada Ltd. Mbete, Aron Meko,dkk. 2008. Nggua Bapu: Ritual Perladangan Lio-Ende. Denpasar: Pustaka Larasan dan Dinas Kebudayaan Kab. Ende. Mbete, Aron Meko.2014. Prosing Seminar Nasional Ekolinguistik 2014. Medan: Lembaga Kajian Ekolinguistik. Sapir, E. (1912). Language and Environment. Berkeley: University of California Press.

~ 110 ~ GANGGUAN PRODUKSI KONSONAN BAHASA INDONESIA PENDERITA AUTISTIC SPECTRUM DISORDER DEWASA

Gustianingsih Fakultas Ilmu Budaya, Departemen Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara (USU) Phone : +62-61-8223530 E-mail : [email protected]

ABSTRAK Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori yang dikemukakan oleh Chomsky. Teori tersebut mengatakan: untuk penelitian kompetensi anak, bahwa jika dalam tuturan anak terdapat penggunaan kaidah yang berulang-ulang muncul dan tetap, maka gejala itu dapat dijadikan bukti bagi kompetensi bahasa anak pada tiap-tiap tahap perkembangan bahasa mereka. Permasalahan yang diuraikan dalam penelitian ini adalah 1. Konsonan apa saja yang terganggu dalam bahasa penderita Autistic Spectrum disorder dewasa di Medan ? 2. Konsonan apa saja yang sudah diperoleh penderita autistic spectrum disorder dewasa di Medan?, 3. Model terapi wicara apa yang ditawarkan pada penderita itu? Sumber data diperoleh dari tuturan lisan anak ASD I- Homeschooling Jl Gajah Mada Medan sebanyak 3 orang. Pengumpulan data dilakukan secara cross sectional selama tiga bulan dengan bantuan obsevasi, rekaman, wawancara, tebak gambar. Analisis data dilakukan dengan criteria kemunculan komprehensibilitas yaitu suatu elemen yang diujarkan anak dianggap sebagai refleksi kompetensi, bila elemen yang dipakai anak dalam produksi komunikasinya telah menunjukkan adanya koherensi semantis dengan elemen-elemen lain dalam ujaran tersebut. Dengan kriteria ini diketahui kemunculan ujaran bahasa Indonesia, sering muncul dan benar, muncul tetapi salah, dan tidak muncul. Dari kriteri kemunculan itu didapat simpulan bahwa:a.bunyi konsonan bahasa Indonesia benar-benar dikuasai anak, bunyi konsonan bahasa Indonesia sedang dalam proses belajar atau sedang dikuasai anak, dan c. bunyi konsonann bahasa Indonesia yang akan dikuasai anak. Hasil sementara diperoleh bahwa anak ASD yang berusia 17—24 tahun ini ternyata belum memperoleh bunyi konsonan [r], [g], [c], [s], [ʃ ], [z].

Kata Kunci: Gangguan produksi, bunyi konsonan, autistic spectrum disorder, dewasa 17- 24 tahun

1.PENDAHULUAN Gangguan fonologis dalam tulisan ini adalah bentuk penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada bunyi ujaran bahasa Indonesia khususnya bunyi konsonan yang terjadi pada penderita autistic spectrum disorder. Gangguan berbahasa secara umum terjadi gangguan dengan pertukaran bunyi konsonan atau vokal, pelesapan bunyi vokal dan konsonan, penambahan bunyi konsonan dan vokal, serta salahurut (metatesis) pada bunyi konsonan dan bunyi vokal dalam ujaran bahasa Indonesia anak autistik. Seandainya ujaran itu adalah boleh, girus prasentral mengatur realisasi ujaran itu dengan memberikan seberkas perintah alat-alat penyuara. (1) Urutkan [b] sebelum [o], (2) rapatkan kedua bibir, lalu lepaskan, (3) bergetarlah suara bersamaan dengan terbukanya bibir (untuk menciptakan bunyi bergetar, perintah ke pita suara itu harus dikirim 30 mls lebih awal daripada perintah ke bibir (Dingwall, 1998: 64), (4) pertahankan getaran pita suara, (5) lakukan bagian lidah sedikit ke atas belakang, (6) buka mulut dan bulatkan kedua bibir sedikit untuk membuat [o]) dan seterusnya untuk [l], [e], [h]. Proses ini berjalan sangat cepat dan memerlukan kerjasama antar neuron yang akurat di dalam otak. Jika terjadi gangguan pada syaraf-syaraf otak di Medan Broca, maka akan terjadi penyimpangan-

~ 111 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature penyimpangan bunyi dalam ujaran anak tersebut. Dikatakan menyimpang karena bunyi yang diujarkan tidak sesuai dengan bunyi yang seharusnya diujarkan secara universal sesuai dengan usia anak. Pengkajian terhadap gangguan fonologis pada anak gangguan berbahasa pada umumnya mengharuskan peneliti mengetahui tipe-tipe penyimpangan yang biasa muncul, seperti gangguan dengan pertukaran bunyi, pelesapan, penambahan, dan kesalahurutan (metatesis). Teori Blumstein (1973, 1994) dan Khon (1993) merupakan klasifikasi teori tentang gangguan bahasa yang sering dirujuk dalam penelitian afasiologi atau neuropsikolinguistik.

2. KARAKTERISTIK AUTISTIC SPECTRUM DISORDER (ASD) Autistik adalah gangguan pada early chilhood ditandai dengan satu atau lebih karakteristik yang diikuti kurang respons terhadap orang lain, gangguan dalam bentuk berkomunikasi atau keterampilan berbahasa, “Bizzare Responses” terhadap aspek lingkungan, pola “peculiar speech” seperti ekolalia, “metaphorical laguage pronominal reversal”, seperti kamu untuk saya, dan ini terjadi lebih kurang 30 bulan pertama. Autistik dapat terjadi pada semua anak, tidak ada perbedaan ras, tingkat pendidikan, dan status sosial. Angka kejadian anak autistik sekitar 4-5 kasus per 10.000 anak di bawah usia 12-15 tahun . Jika retardasi mental berat dengan ciri autistik dimasukkan angka kejadian meningkat sampai dengan 20 per 10.000 anak. Anak laki-laki 4:1 lebih banyak daripada anak perempuan (Jasaputra, 2003: 166). Shadock and Shadock (2009) mengatakan bahwa gangguan autistik spectrum disorder adalah dikenal juga dengan nama early infantile autism, childhood autism atau Kanner’s autism ditandai dengan gangguan dalam interaksi sosial timbal balik, keterlambatan keterampilan komunikasi dan pengulangan terbatas pada aktivitas dan minat. 3 gangguan spektrum autistik yang seing dijumpai adalah autisme, sindroma asperger dan gangguan perkembangan pervasif yang tidak tergolongkan.; sering juga disebut sebagai Autistic Spectrum Disorder. Penyebab Autistik adalah (1) Faktor biologi; 4 sampai 32 % penderita autistik mengalami grand mal seizures beberapa kali, dan sekitar 20-25 % memperlihatkan pembesaran ventrikel pada computed tomography (CT) scan. Abnormalitas electroencephalogram (EEG) yang bervariasi ditemukan pada 10-83 % anak autistik, dan meskipun tidak ada penemuan EEG yang spesifik untuk gangguan autistik, ada beberapa indikasi akan adanya lateralisasi otak yang gagal. Studi menggunakan magnetic resonance imaging (MRI) menunjukkan hipoplasia dari cerebellar vermal lobules VI dan VII , MRI yang lain menunjukkan abnormalitas kortikal, khususnya polymicrogyria pada beberapa pasien autistik. Abnormalitas ini menunjukkan adanya migrasi sel abnormal pada 6 bulan pertama masa gestasi. Pada studi autopsi ditemukan sel-sel Purkinje yang lebih sedikit, studi yang lain menunjukkan peningkatan metabolisme kortikal yang diffuse pada saat positron emission tomography scanning. Gangguan autistik juga berkaitan dengan kondisi neurologik; rubella kongenital, phenylketonuria, tuberous sclerosis, gangguan Rett. (2) Faktor genetik; Pada beberapa survey menunjukkan 2-4 % saudara kandung anak-anak autistik juga mengalami gangguan autistik, 50 kali lebih tinggi daripada dalam populasi umum. Angka kejadian dari gangguan autistik pada dua studi anak kembar terbesar adalah 36% pada kembar monozygot dan 0% pada kembar dizigotik pada satu studi dan 96% pada kembar monozygotik dan 27% kembar dizigotik pada studi lainnya.(3) Faktor Imunologik; Beberapa laporan menunjukkan adanya inkompatibilitas imunologik (antibodi maternal terhadap janin) yang berkontribusi dengan gangguan ini. Limfosit dari beberapa anak autistik bereaksi terhadap antibodi maternal yang meningkatkan kemungkinan kerusakan neural embrionik, ekstraembrionik, jaringan pada masa gestasi. (4) Faktor perinatal; Insidens komplikasi perinatal yang lebih tinggi dari yang diharapkan

~ 112 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature terjadi pada bayi-bayi yang kemudian hari didiagnostik sebagai gangguan autistik. Perdarahan maternal setelah trimester pertama dan meconium pada cairan amnion dilaporkan lebih sering pada riwayat anak-anak autistik dibandingkan dengan populasi normal. Pada periode neonatal anak-anak autistik memiliki insidens yang tinggi terhadap sindroma distress pernafasan dan anemia neonatal.(5) Faktor Neuroanatomi; Studi MRI yang membandingkan subjek autistik dan kontrol normal menunjukkan volume total otak lebih besar pada yang autistik, meskipun anak autistik dengan retardasi mental yang parah lebih umumnya memiliki kepala yang lebih kecil. Peningkatan persentase rata-rata pada ukuran timbul di lobus oksipital, lobus parietal dan temporal. Tidak ada perbedaan ditemukan di lobus frontalis. Penyebab spesifik dari pembesaran ini tidak diketahui, kemungkinan dari tiga mekanisme yang berbeda : peningkatan neurogenesis, penurunan kematian neuronal dan peningkatan produksi jaringan otak non neuronal, seperti sel glia atau pembuluh darah. Pembesaran otak disarankan sebagai suatu kemungkinan pertanda biologik untuk gangguan autistik. Beberapa otak penderita autsistik mengalami penurunan dalam sel-sel Purkinje cerebellar, yang diyakini berperan dalam abnormalitas atensi, bangkitan dan proses sensori. (6) Faktor Biokimiawi; Sejumlah studi menunjukkan sepertiga penderita gangguan autistik memiliki konsentrasi serotonin plasma yang tinggi. Beberapa studi melaporkan individu dengan gangguan autistik tanpa retardasi mental memiliki insidens yang tinggi untuk hiperserotonemia. Pada beberapa anak-anak autistik, konsentrasi yang tinggi dari homovanilic acid (metabolit dopamin yang utama) pada cairan serebrospinal berkaitan dengan peningkatan penarikan diri dan stereotipik.

3. BUNYI KONSONAN Y ANG TERGANGGU PADA ANAK ASD DEW ASA Bunyi konsonan yang selalu terganggu dalam bahasa ASD Dewasa adalah substitusi (pertukaran bunyi, omission (Pelesapan ), dan metatesis (kesalahurutan). Berikut akan dideskripsikan satu per satu di bawah ini :

3.1 Bunyi Konsonan yang Bertukar (Substitusi) Bunyi konsonan yang selalu bertukar dalam ujaran ASD dewasa adalah : 1. Velar hambat, tak bersuara [k] dan bersuara [g] pada awal dan tengah suku kata bertukar menjadi dental hambat [t atau d]. Contoh: //# kertas # // → [ # tatas # ] : 17 tahun // # gerobak# // → [ # dobak # ] : 18 tahun // # pagar# // → [ # padal # ] : 20 tahun

2. Labiodental frikatif [k] pada awal dan tengah suku kata bertukar menjadi bilabial hambat, tak bersuara [p], contoh: //# foto#// → [# poto#] : 17-24 tahun //# aktivitas#// →[ # atæpæta#] : 17- 24 tahun //# aktif#// → [ # atæp#] : 17- 24 tahun 3. Dental-alveolar, frikatif, bersuara pada awal suku bertukar menjadi dental hambat, tak bersuara atau bersuara, contoh : //# ziarah #// → [# dalah #] : 19- 24 tahun [# talah #] : 17-18 tahun 4. Nasal palatal dan nasal velar bersuara pada awal dan tengah suku bertukar menjadi nasal dental, contoh : //# ñañi#// → [#nanæ#] : 17-24 tahun /# keriŋ #// → [# telin #] : 17- 24 tahun //# ŋaŋa #// → [# nana #] : 17-24 tahun ~ 113 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature 5. Getar pada awal dan tengah suku bertukar menjadi lateral alveolar atau lateral palatal aproksiman, contoh: //# rambutan #// → [ # lambutan # ] : 17-24 tahun //# baris #// → [ # balæs # ] : 17-24 tahun 6. Palatal, hambat [c ] dan [j] bertukar menjadi dental/alveolar,hambat, tak bersuara dan bersuara, contoh: // # cacing #// → [#tatæn#] :17-24tahun //# jambu #// → [# dambo #] : 17-24 tahun

3.2 Bunyi Konsonan yang Hilang (Lesap) pada ASD Dewasa Bunyi konsonan yang sering hilang (lesap) adalah : 1) Faringal [h] pada posisi awal, tengah, dan akhir kata selalu hilang atau lesap. Contoh : //# hapus #// → [# apus #] : 17-24 tahun //#mahal #// → [# maal #] : 17-24 tahun //# kuah #// → [# tua #] : 17-24 tahun 2) Trill [r] pada posisi awal, tengah, dan akhir sering hlang (lesap). Contoh : //# ramah #// → [# lama #] : 17-24 tahun //# tabrak #// → [# tabak #] : 17-24 tahun //# usir #// → [# usil #] : 17-24 tahun

3.3 Bentuk Metatesis dalam bahasa ASD Dewasa Bentuk metatesis (kesalahurutan bunyi konsonan) dalam bahasa ASD Dewasa juga terjadi, perubahan bunyi [#kertas#] menjadi [kestar, //# testal #// ]. Bila dibandingkan dengan bahasa anak normal yang selalu dalam bentuk metatesis [#testal#] disebutkan dengan [#kestar#], hanya saja bunyi [r] diujarkan dengan [l] Bentuk metatesis yang lain seperti, //# tabrak #// → [# talbak #] : 17-24 tahun. Bentuk ini sebenarnya seperti [# tarbak #] untuk ujaran anak normal usia 4-5 tahun, tetapi ASD ini mengujarkannya dengan [# talbak #] . Bunyi konsonan trill bersuara [r] hilang dan bertukar menjadi bunyi lateral bersuara [l]. Begitu juga bentuk //# patri # // [# palti #]. Bentuk ini termasuk bentuk metatesis dalam bahasa ASD, karena sebenarnya bentuk kata itu [# parti #], dan ASD mengujarkan dengan [# palti #]. Bunyi konsonan trill bersuara [r] bertukar menjadi bunyi lateral bersuara [l].

4. BUNYI KONSONAN Y ANG TELAH DIPEROLEH ASD DEW ASA Bungi konsonan yang telah diperoleh dengan sempurna ASD Dewasa adalah bunyi bilabial bersuara atau tak bersuara [b] dan [p], dental bersuara atau tak bersuara [d] dan [t], alveolar tak bersuara [s],sedangkan yang bersuara [z] belum diperoleh dengan baik. Bunyi laminal bersuara [l] sudah diperoleh dengan empurna, dan bunyi palatal aproximan [y] juga sudah diperoleh dengan baik dan bunyi bilabial aproximan [ w] juga sudah diperoleh dengan sempurna. Bunyi-bunyi tersebut akan direalisasikan seperti di bawah ini: Contoh : //# lumpur #// → [# lumpul #] : 17-24 tahun //# yakin #// → [# yatin #] : 17-24 tahun //# wajah #// → [# wadan #] : 17-24 tahun Bila dihubungkan dengan pemerolehan bahasa secara psikolinguistik, usia 17-24 tanun adalah termasuk kategori orang dewasa dan bahasa orang ini sudah sempurna dan telah asampai pada penguasaan kalimat kompleks. Penderita ASD dalam penelitian ini ternyata jauh dari usia kronologisnya, ASD ini hanyalah setara dengan usia pemerolehan bahasa anak usia 4-5

~ 114 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature tahun saja yang berkategori speech deelay, karena anak usia 4-5 tahun seperti dalam penelitian Gustianingsih (2002) sudah memperoleh kalimat majemuk koordinatif dan subordinatif dan telah mampu mengumpulkan 200- 500 kalimat majemuk melalui tews gambar, wawancara, dan bercerita.(lihat Gustianingsih, 2002) Dari hasil penelitian ini diperoleh variasi bunyi konsonan yang berhasil dikumpulkan ASD Dewasa adalah : k l z g q f/v c j r

t k l t s d t d t k p t d t d l t

t dan d y w h m n ᵑ ᶮ

t d y w ᴓ m n n n

5. Model Terapi yang Ditawarkan pada ASD Dewasa Penderita ASD Dewasa sebenarnya harus dipersiapkan untuk hidup mandiri tumbuh dewasa baik dari segi prilaku sosial, kognitif, dan bahasa. Target yang harus dicapai selama tiga tahun ke depan adalah : 1. Diberikan 10 kosakata target untuk diulang-ulang selama satu bulan 2. Diberikan 20 kosakata target untuk diulang-ulang selama dua bulan 3. Menggabungkan dua kata atau lebih secara teliti tahun pertama, berangsur-angsur sampai tahun ketiga.

6. Simpulan Gangguan fonologis bahasa Indonesia yang terjadi pada penderita ASD Dewasa adalah gangguan substitusi ( pertukaran), omission (pelesapan), dan metatesis (kesalahurutan). Gangguan yang terjadi ini tidak lazim terjadi pada usia 17-24 tahun, karena bentuk bahasa yang dihasilkan ASD Dewasa ini selaras dengan pemerolehan bahasa pada anak usia 4-5 tahun. Bunyi konsonan yang terganggu adalah bunyi [k], [g], [r], [ᵑ], [ᶮ], [r]. Bunyi [h], senantiasa hilang baik di awal, tengah, dan akhir kata. Bunyi yang sudah diperoleh dengan baik adalah bunyi [p], [b], [t], [d], [l], [m], [n], dan semi vokal [w] dan [y]. Model terapi yang ditawarkan adalah mempersiapkan 10 kata dari bunyi konsonan target yang mengalami gangguan untuk perbaikan selama satu tahun, selanjutnya 20 kata, dan seterusnya selama tiga tahun berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Aitchison. 1994. Words in the Mind: An Indtroduction to the Mental Lexicon. Oxford: Blackwell Publishers. Blumstein, Sheila E. 1973. A Phonological Investigation of Aphasic Speech. The Hague: Mouton. Blumstein, Sheila E. 1994. “Neurolinguistics: An Overview of Language-Brain” dalam Language: Psychological and Biological Aspects, ed. F.J. Newmeyer, 210-36. cambridge: Cambridge University Press. Chomsky, N. 1968. Language and the Mind. New York: Harcourt Brace Jovanovitc ~ 115 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Geschwind, Norman. 1981. “Specialization of the Human Brain” dalam Human Communication: Language and Psycholobiological Bases, Reading from Scientific America, ed. William S-Y.Wang, 110-19. Sanc Fransisco: W.H. Freeman and Company. Gustianingsih. 2005. “Produksi dan Komprehensi Bentuk-Bentuk Ujaran Bahasa Indonesia Pada Anak Autistik : Tinjauan Neuropsikolinguistik”. Prosiding Linguistik ASEAN IV. Singapura : Rancangan Penubuhan Persatuan Linguis ASEAN. Gustianingsih. 2007. “ Pemerolehan Ujaran Koordinatif Bahasa Indonesia Pada Anak Usia Prasekolah”. Prosiding Seminar Internasional Antar Bangsa Linguistik Pemberdayaan Bahasa Melayu ke-3. UPM – Malaysia Gustianingsih. 2014. “Gangguan Fonologis Bahasa Indonesia Indonesia Pada Penderita Autistic Spectrum Disorder. Di Kota Medan. (Hasil Penelitian Hibah Bersaing Dikti Tahun Anggaran 2014-2015. Kohn, Susan E. 1993. “Phonological Production Deficits in Aphasia” dalam Phonological Process and Brain Mechanisme, ed. H.A. Whitaker, 93-117. New York: Springer Verlag. Simanjuntak, M. 1977b. Language, Dictionaries and Nation Building: A Neurpsycholinguistic Perspective. Tokyo: ILCAA, Tokyo University of Foreign Studies. Suhardiyanto, Totok. 1994. “Bahasa dan Saraf Pusat”. Makalah dalam Kongres Linguistik Nasional MLI, Palembang, 1 – 5 Juni 1994. Suhardiyanto, Totok. 2000. “Kecendrungan gejala Kesalahan Segmental Pada Seorang Penderita Afasia Broca”. Tesis Magister. Jakarta : FIB UI

~ 116 ~ WUJUD PENGGUNAAN DAN TINGKAT TUTUR BAHASA KEDHAT ON DI KARAT ON SURAKARTA

Hary Murcahyanto Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Hamzanwadi Selong E-Mail: [email protected]

ABSTRACT The aim in this paper is to describe a form of language use Kedhaton in Surakarta, as well as the use of speech level in language and marker.This paper is descriptive qualitative research conducted in the Surakarta with the data or information extracted from informants, direct observation and document , using techniques footage. The collection of data by the method of interview, tapping records, observation and documentation by using interactive analysis. The core of this paper is, a form of language use Kedhaton in Surakarta today is very much different than the ancients, especially the use of the personal pronoun is very limited and shifted and used by certain circles. Relationship speakers and hearers Kedhaton language users today tend to be vertical, ie the relationship between superiors and subordinate.Form of Kedhaton speech level in the language contained in the use of words greeting. Kedhaton language use today more use ngoko speech level, while the event said in general use manners. Kedhaton speech level in language and manners are markers ngoko conducted by speakers and hearers.

Keywords: Speech level Kedhaton Language

PENDAHULUAN Karaton Surakarta adalah kerajaan terakhir pewaris tahta Dinasti Mataram Islam yang didirikan di desa Sala oleh SISKS Pakoe Boewono II pada tanggal 17 Sura 1670 atau 21 Februari 1745 pindahan dari Karaton Kartasura karena peristiwa Geger Pacinan. Sejak tahun 1945 pemerintahan negara berubah menjadi bentuk Republik, segala bentuk kekuasaan kerajaan dihapus sehingga seluruh kerajaan yang ada di Indonesia di bawah kekuasaan pemerintah dan menjadi bagian dari Republik, dengan luas daerah kekuasaan keraton hanya tinggal kurang lebih 8 hektar yang terdiri dari kompleks Alun-alun utara, kompleks Baluwarti, dan kompleks Alun-alun selatan. Saat ini Karaton Surakarta menjadi salah satu peninggalan sejarah budaya bangsa Indonesia yang perlu dipelihara dalam rangka melestarikan kebudayaan nasional yang diatur pada Keputusan Presiden Nomor 23/1988 yakni menempatkan Karaton Surakarta sebagai salah satu pusat kebudayaan yang perlu dipelihara. Pemegang kekuasaan tertinggi di tangan Sinuhun ’sebutan bagi raja.’ atau Sampeyandalem ‘raja’. Sinuhun merupakan pemegang tunggal hegemoni politik maupun budaya dalam arti luas termasuk bahasanya. Hirarkhi di bawahnya tersusun melebar hingga membentuk piramida. Organisasi di dalam keraton dapat dilihat dari aliran pendelegasian kekuasaan kepada lembaga serta para sentanadalem ‘kerabat raja’maupun para abdidalem ‘pegawai/rakyat/ hamba’ pemegang jabatan struktural. Seluruh stuktur tersebut adalah termasuk para penentu keberadaan bahasa di dalam keraton, sebab semuanya termasuk pengguna bahasa kedhaton. Karaton Surakarta Hadiningrat sampai saat ini masih menjalankan upacara-upacara adat Jawa. Pada upacara-upacara tersebut mayoritas menggunakan bahasa kedhaton. Bahasa kedhaton (di Yogyakarta disebut bahasa bagongan) merupakan bahasa yang

~ 117 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature digunakan oleh keluarga raja dan/atau digunakan oleh para karyawan (abdi) yang bekerja di dalam istana. Bahasa kedhaton dan bahasa bagongan adalah bagian dari bahasa Jawa yang dibedakan menurut tingkat tuturnya dan merupakan bahasa yang tak produktif karena dipakai untuk maksud dan tujuan tertentu dalam suatu lingkup tertentu. Bahasa kedhaton hanya digunakan di Karaton Surakarta Hadiningrat dan tidak boleh digunakan di sembarang tempat atau pada tempat-tempat tertentu saja bahasa tersebut boleh digunakan Bahasa kedhaton sampai saat ini masih sering dipergunakan dalam lingkungan Karaton Surakarta Hadiningrat khususnya dalam acara-acara resmi karaton, keprajuritan serta tata-cara adat kerajaan yang masih berlaku.

PEMBAHASAN A. Deskripsi/Gambaran Umum Bahasa Kedhaton Bahasa kedhaton adalah bahasa yang telah lama digunakan di dalam lingkungan keraton. Dalam manuskrip yang berangka tahun 1910 yang ditulis oleh pujangga besar Karaton Surakarta Hadiningrat yaitu R.Ng Ranggawarsita yang berjudul Serat Waduaji Tuwin Serat Tatakrami Tembung Kadhaton. Manuskrip tersebut terdiri dari 10 bab. Bab I sampai dengan bab III berisi tentang macam-macam tembung kedhaton beserta penggunaannya, bab IV sampai dengan bab X berisi tentang tata-cara, sikap, aturan-aturan, serta cara berpakaian untuk menghadap raja. Pada Bab I halaman pertama disebutkan bahwa bahasa kedhaton telah digunakan sejak tahun 989 Saka atau tahun 1020 M. Pada zaman kerajaan Mataram Islam yaitu pada saat pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma, keadaan bahasa kedhaton mengalami perubahan-perubahan terutama pada bentuk-bentuk tembang ’puisi tradisional Jawa’ yang memakai bahasa Jawa Kuna disederhanakan menjadi kalimat-kalimat biasa agar lebih mudah dipahami tanpa mengubah maksud dan tujuannya. Hal tersebut terjadi atas perintah dari Sultan Agung, karena pengaruh masuknya kebudayaan Islam sehingga banyak kalangan kerabat keraton yang sedikit demi sedikit mulai meninggalkan kebudayaan Hindu dan tidak bisa menggunakan bahasa Jawa Kuna. Karaton Surakarta Hadiningrat pada saat pemerintahan Paku Buwana III, oleh Ki Ngabehi Yasadipura I yaitu pujangga besar keraton, atas perintah raja, tatanan penggunaan bahasa kedhaton mengalami perubahan disesuaikan dengan keadaan zaman dan mudah dipahami oleh seluruh kerabat keraton dari yang berkedudukan tertinggi sampai yang terendah. Bahasa kedhaton digunakan dengan aturan-aturan khusus disertai tindakan menurut tingkat kepangkatan, tempat, situasi, hal, dan tujuan, yang semuanya tidak meninggalkan norma-norma adat keraton.

B. W ujud Penggunaan Bahasa Kedhaton Pada zaman Paku Buwana III, penggunaan bahasa kedhaton masih menurut aturan yang berlaku menurut kedudukan maupun wewenangnya. Hal tersebut disebabkan kondisi pemerintahan pada saat itu masih dalam bentuk kerajaan, status sosial kerajaan masih sangat kelihatan sehingga sikap kepatuhan terhadap orang yang lebih tua atau orang yang berkedudukan lebih tinggi sangat kental. Hal tersebut terlihat dari wujud penggunaan bahasa pada setiap tuturannya. Berikut ini adalah tuturan yang digunakan pada zaman tersebut:

~ 118 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

(1) Penutur : Kanca Wadana, punapi jengandika sami hangengeti dhawuhing Nawala dalem Hundhang-hundhang henggal salebeting tahun puniki? ‘Rekan Wadana’pejabat setingkat camat’, apakah kamu semua ingat akan surat perintah raja mengenai undang-undang yang baru di dalam tahun ini?’ Mitra tutur : Henggeh Ki Lurah, prakawis patanya jengandika punika kula henggeh ragi katambetan, hewa makaten wawi Ki Lurah hapitakena Sang Pandhita meneri sowan. ‘Ya Ki Lurah, perkara pertanyaanmu itu saya agak lupa, kalau begitu mari silahkan bertanya kepada Sang Pandhita ‘ahli spiritual’ yang kebetulan sedang menghadap’.

(2) Penutur : Nedha prikanca dhawuh dalem. ‘Semua rekan-rekan menerima perintahnya’. Mitra tutur : Enggeh, nuwun, nuwun, nuwun, nuwun sendika. ‘Ya, kami terimakasih, siap laksanakan’. Mitra tutur : Nedha, nedha, nedha, enggeh. ‘Ayo, ayo, ayo, ya’.

Pada dialog(1) antara patih ‘wakil raja’ sebagai penutur dan para bupati sebagai mitratutur. Antara penutur dan mitratutur sama-sama menggunakan jengandika ‘kamu’, dan kula ‘aku’ untuk menyebut diri sendiri. Hal tersebut terjadi karena hubungan antara penutur dan mitratutur adalah sederajat yaitu hubungan horisontal antara sesama rekan. Isi dialog tersebut adalah sebuah pertanyaan mengenai undang-undang atau peraturan yang baru ditetapkan. Tujuan dialog tersebut adalah meminta keterangan mengenai peraturan tersebut. Pada dialog (2),adalah sahur timbun rangkep tiga’ jawaban yang harus diulang tiga kali’ . Penutur (2) adalah seorang pimpinan abdidalem. Mitratutur adalah para abdidalem wadana gamel ‘pegawai yang khusus mengurus kuda milik raja’. Pada contoh tersebut terlihat kata nuwun ‘terima kasih’ dan nedha ‘ayo’ diulang tiga kali oleh mitratutur. Pada kata nedha setelah diulng tiga kali tejadi perubahan makna dari ‘menerima’ menjadi ‘ayo’. Sementara itu pada kata nuwun setelah diulang tiga kali tidak terjadi perubahan makna. Hal tersebut sudah menjadi peraturan bahwa para pegawai yang mengurusi kuda apabila diperintah atau diberi pertanyaan harus menjawab dengan kata-kata yang diulang tiga kali.

B. Hubungan Antara Penutur dan Mitratutur Hubungan antara penutur dan mitratutur dalam menggunakan bahasa kedhaton terutama dalam bentuk-bentuk sapaan. Berikut ini adalah beberapa contoh yang diterangkan pada bab tersebut antara lain; a). Perintah Sinuhun ’raja’ kepada Kangjeng Gusti Pangeran Adipati ’putra mahkota’ sampai dan putra raja yang lainnya, menggunakan kata mara [mOrO]‘saya’ dan para [pOrO]‘kamu’. Kalau memberi perintah kepada Patih dan rekan-rekannya atau para bupati sampai ke bawah, raja menggunakan kata ingsun [INsUn]‘saya’ dan sira [sirO]‘kamu’. b). Kangjeng Gusti Pangeran Adipati ’putra mahkota’ kepada para Pangeran putra santana dalem ’ putra raja yang bergelar pangeran’, boleh menggunakan kata mara [mOrO]‘saya’ dan para [pOrO]‘kamu’, tetapi kalau berbicara kepada Patih ’wakil raja sebagai kepala pemerintahan’ harus menggunakan kata manira [manirO] ’aku’ dan pakenira [pak«nirO] ’kamu’, kalau berbicara kepada para bupati sampai ke bawah harus menggunakan kata-kata diantaranya, ~ 119 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature atau setengahnya misalnya panjenengaku [panj«n«Nanku] ’aku’ dan sira[sirO] ’kamu’. c). Patih terhadap Kangjeng Gusti Pangeran Adipati ’putra mahkota’ harus menggunakan kata manira [manirO] ’aku’ dan pakenira [pak«nirO] ’kamu’. Hal tersebut adalah kebalikan dari b). d). Patih berbicara dengan para bupati ke bawahpada waktu menghadap di depan raja, harus menggunakan kata kula [kulO] ’aku’ dan jengandika [j«NandikO] ’kamu’. Hal tersebut berlaku untuk kebalikannya yaitu bupati kepada patih. e). Patih dan putra mahkota berbicara kepada pendeta atau ulama, pujangga, dan penghulu, harus menggunakan kata robaya [robOyO] ’aku’,dan panten [pant«n] ’kamu’. Hal tersebut berlaku untuk kebalikannya atau berbicara kepada sesamanya.

Hubungan antara penutur dan mitratutur dalam penggunaan bahasa kedhaton terlihat hubungan atas-bawah atau lebih bersifat vertikal. Sementara itu hubungan yang bersifat horizontal atau hubungan antar sesamanya hanya terlihat pada penggunaan kata robaya dan panten, itupun hanya terbatas untuk kalangan tertentu yaitu para pujangga atau sastrawan, pendeta, ulama, dan para penghulu.Dalam menjawab suatu tuturan, juga disesuaikan menurut hubungan antara penutur dan mitratutur. Jawaban tersebut cenderung menunjukkan hubungan vertikal yaitu bersifat atas-bawah, atau dengan kata lain hubungan antara atasan dalam hal ini adalah raja, putra mahkota, patih, kerabat, serta pengageng terhadap bawahan yaitu abdidalem.

C. Tingkat Tutur Bahasa Kedhaton Pada umumnya peristiwa tutur yang dilakukan dengan menggunakan bahasa kedhaton cenderung memakai tingkat tutur ngoko meskipun pada situasi resmi ataupun formal, sehingga memberikan kesan bahwa antara penutur dengan mitratutur sangat berbeda tingkat status sosialnya. Berikut ini adalah beberapa penggunaan tingkat tutur krama dan ngoko dalam acara- acara resmi di keraton:

Penutur : Pakenira tampa dhawuhing timbalandalem hawit kaparing karsadalem kapatedhan ganjaran dados Pangeran Santana kanthi sesebutan Kangjeng Pangeran. Handadosna pariksa lan hanetepana apa gawa-gawemu. ’Kamu terima panggilan perintah dari raja sebab atas kehendaknya kamu menerima hadiah berupa pangkat menjadi kerabat dekat raja. dengan julukan Kangjeng Pangeran. Harap menjadi perhatian dan melaksanakan sesuai kewajibanmu’. Mitra tutur : Sendika ‘Siap laksanakan’

Tuturan di atas terjadi di keraton bertempat di bangsal Sidhikara pada acara wisuda pemberian gelar dan pangkat kepada para kerabat keraton. Penutur adalah pimpinan kantor yang mengurusi keluarga dan kerabat keraton. Mitratutur adalah orang yang menerima gelar kerabat keraton. Dalam peristiwa tutur tersebut penutur menggunakan tingkat tutur ngoko meskipun ada beberapa leksikon krama yang masuk dan mitratutur menggunakan tingkat tutur

~ 120 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature krama. Penggunaan tingkat tutur dan bahasa kedhaton apabila dibalik, yaitu penutur adalah seorang abdidalem dan mitratutur adalah seorang Gusti ’putra seorang raja’, yang terjadi adalah penutur menggunakan tingkat tutur krama. Mitratutur menggunakan tingkat tutur ngoko. Hal tersebut karena hubungan antara penutur dan mitratutur adalah atasan dan bawahan sehingga penggunaan tingkat tutur krama sebagai ungkapan rasa hormat.

PENUTUP Berdasarkan uraian di atas maka sebagai simpulan dapat disampaikan bahwa; Wujud penggunaan bahasa kedhaton di Karaton Surakarta Hadiningrat pada zaman sekarang sangat jauh berbeda dibandingkan dengan zaman dahulu yang sedemikian rupa sehingga penggunaan bahasa kedhaton terutama pada pronomina persona dapat digolongkan menurut derajat atau tingkat sosial antara penutur dan mitra tutur. Zaman sekarang, penggunaan pronomina persona bahasa kedhaton sangat terbatas dan mengalami pergeseran sehingga kata-kata tersebut hanya sedikit yang ditemukan yaitu ingsun, sira, pakenira, kula, dan jengandika. Pengguna kata- kata tersebut hanya terbatas pada pengageng, ngulama,dan abdidalem yang bertugas sebagai utusan raja. Hubungan penutur dan mitratutur pengguna bahasa kedhaton pada zaman sekarang cenderung bersifat vertikal yaitu hubungan antara atasan dan bawahan. Tingkat tutur pada bahasa kedhaton adalah terdapat pada penggunaan kata-kata sapaan yang diikuti oleh bentuk tingkat tutur. Penggunaan bahasa kedhaton pada zaman sekarang lebih banyak menggunakan tingkat tutur ngoko, sementara itu peristiwa tutur pada umumnya menggunakan krama.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1936. Kalih Atus Tahun Adeging Surakarta.(Sasana Pustaka Keraton Surakarta).

Dwirahardjo,Maryono, ,2001. Bahasa Jawa Krama.Surakarta: Yayasan Pustaka Cakra.

Ibrahim,Abdul Syukur 1993.Kajian Tindak Tutur, Surabaya: Usaha Nasional.

Kementrian Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan. 1965. Karti Basa.Jakarta: Kementrian .P dan K.

Madjid,Nurcholish. 2001. Raja Di Alam Republik. Jakarta: Bina Rena Pariwara.

Poedjasoedarma, Soepomo, Kundjana Th., Gloria Soepomo, Alif, dan Sukasno. 1979.Tingkat Tutur Bahasa Jawa Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Poerwadarminta,W.J.S. 1937. Baoesastra Djawa. Djakarta:J.B.Wolters Uitgevers Maatschappij.

Puspaningrat, Suryandjari,KPH.,2006. Putra Putri Dalem Karaton Surakarta.Surakarta: Cendrawasih.

Ranggawarsita, RNg. 1910. Serat Waduaji tuwin Serat Tatakrami Tembung Kadhaton (manuskrip). Surakarta: Karaton Surakarta Hadiningrat.

Subroto, Edi D et al., 1991. Tata Bahasa Deskriptif Bahasa Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sudaryanto,1991. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

~ 121 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Uhlenbeck, 1978. Studies In Javanese Morphology. The Hague: KITLV.

Utomo, Mulyanto, 2004. Di Balik Suksesi Keraton Surakarta Hadiningrat. Surakarta: PT. Aksara Grafika Pratama.

Verhaar,J.W.M., 2006. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

~ 122 ~ PEMBEDA FONOLOGIS DAN LEKSIKAL ANTARA BAHASA SAWU DI NTT DAN BAHASA BIMA DI NTB

I Gede Budasi Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja email:[email protected]

ABSTRAK Penelitian yang menerapkan metode komparatif ini bertujuan untuk mendeskripsikan pembeda fitur- fitur phonologis dan leksikal Bahasa Bima (Bm) di NTB dengan Bahasa Sawu (Sw) di NTT. Data primer dan sekunder yang berhasil dijaring dianalisis secara deskriptif dengan mengidentifikasi sejumlah kognat dan korespondensi bunyi kedua bahasa tersebut. Pembeda fonologisnya: deret vokal identik: /a-a/ dan tanidentik: i-a, e-a, u-a ditemukan dalam Sw, tapi dalam Bm tidak ada. Diftong /ui/, / ia/, /iu/, /io/, /oe/, /eo/, /ue/, /au/, /eo/, /ie/ ditemukan pada Sw, namun idak muncul dalam Bm. Dalam Bm ada diftong:/ua/, /ia/, /ea/, dalam Sw ketiganya tidak nampak. Sw memiliki fonem konsonan /η/, sedangkan Bm tidak. Sebaliknya, Bm mengenal fonem-fonem: /Б/, /f/, /j/, /c/, /h/, dan /v/, sedangkan Sw tidak. Dalam Bm ada gugus konsonan: /mb/, /mp/, /ŋg/, /nd/, sedangkan dalam Sw tidak ditemukan. Dari 1702 kosakata yang dijaring, 1190 pasang leksikon sebagai pembeda leksikal.

Kata kata kunci: pembeda fonologis, pembeda leksikal, korespondensi bunyi

1. Latar Belakang Masalah Ketujuh bahasa di Pulau Sumba: Bahasa Kambera, Wanokaka, Mamboro, Wewewa, Kodi, Lamboya, Anakalang, dan Kodi membentuk Kelompok Bahasa Sumba di NTT dalam Studi Budasi (2007, 2009). Bahasa Bm dan Sw ditemukan berada di luar Kelompok itu dengan rerata kekerabatan 29,93%. Status kekerabatan kualitatif antara Bahasa Bm dan Sw belum dapat ditetapkan secara definitif karena belum didukung dengan data-data kebahasaan secara kualitatif (Nothofer, 1975). Fitur-fitur linguistik pembeda kedua bahasa itu masih perlu dibuktikan, terutama pada tataran fonologis dan leksikal (Nothofer 1975; Fenandez, 1988). Dengan demikian, status kekerabatannya sebagai bahasa yang berbeda namun berkerabat menjadi jelas. Penelitian ini merupakan kajian lanjutan untuk menyempurnakan Penelitian Kekerabatan Bahasa-Bahasa Sumba di NTT yang dilalukan Budasi (2007, 2009, 2012). Ruang lingkupnya dibatasi pada kajian sinkronis dengan memanfaatkan kosakata kedua bahasa yang dijaring melalui daftar Kosakata Dasar Swadesh, Nothofer, dan Holle.

2. Kajian Pustaka dan Teori Grimes dan Grimes (2006 mengungkapkan Bahasa Bm dan Sw masing masing sebagai bahasa yang mandiri. Mereka Bahasa Sw digolongkan dalam kelompok bahasa Sumba. Namun penelitian yang lebih kemudian oleh Budasi (2007) menyatakan bahwa Bahasa Sw dan Bm berstatus bahasa yang berada di luar Kelompok tersebut. Budasi (2007, 2009) belum memperoleh bukti- bukti kebahasaan secara sebagai pembeda. Tujuan penelitian ini yaitu: (a) mendeskripsikan fitur-fitur linguistik pembeda fonologis dan leksikal Bahasa Bm dan Sw. Secara teoritis, penelitian yang menerapakan metoda komparatif (Bloomfield, 1993) ini dapat bermanfaat bagi pemerkayaan teori Linguistik Historis Komparatif (LHK). Dalam Studi Budasi (2007 dan 2009) data kuantitatif bahasa-bahasa Sumba dan Bm telah dianalisis dengan leksikostatistik untuk memperoleh gambaran silsilah kekerabatan bahasa-bahasa itu. Data kualitatif dalam penelitian

~ 123 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature ini diperlukan untuk mengkonfirmasi kesimpulan kuantitatif dalam penelitian (Fernandez 1988, Mbete 1990, Budasi, 2007).

3 Metodologi 3.1 Design Penelitian Penelitian ini didisain sesuai tata kaji penelitian Linguistik Historis Komparatif dengan menerapkan metode komparatif

3.2 Informan Penelitian Informan penelitian ini adalah 3 orang. Satu sebagai informan utama dan dua orang lainnya sebagai informan pendamping. Studi ini mempersyaratkan beberapa kriteria sesuai pendapat Samarin (1981).

3.4 Intrumen Penelitian Instrumen penelitian ini berupa Daftar 200 Kosakata Dasar Swadesh, Nothofer, dan Holle dan alat perekam (tape recorder).

3.5 Jenis Data Penelitian Jenis data penelitian adalah data primer dan sekunder

3.6 Prosedur Pemungutan Data Data primer dalam penelitian ini dipungut dengan cara catat dan rekam. Data sekunder diambil dengan cara mencatat dari hasil penelitian yang ada dan dari dukumen tertulis dan kamus, selanjutnya memasukannya dalam daftar penjaring kosa kata yang telah ditentukan. . 3.7 Prosedur Analisis Pembeda fonologis dianalisis secara deskriptif berdasarkan perbandingan deskripsi sistem fonem kedua bahasa itu; fonem yang tidak muncul pada satu bahasa ditentukan sebagai pembeda fonologis, sedangkan pembeda leksikal dianalisis dilakukan pula secara deskriptif. Pasangan leksikon kedua bahasa yang bukan kognat (yang berbeda) ditentukan sebagai bukti pembeda leksikal.

4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Fonologi Bahasa Bm a) Sistem Fonem Vokal Bahasa Bm Bahasa Bm (Bm) memiliki enam buah fonem vokal seperti: /i/, /u/, /e/, / /, /o/,/a/. Distribusi vokal-vokal bahasa An tersebut dapat diamati dalam contoh berikut: /i/ ina ‘ibu’, siwe ‘perempuan’, /wei/ ‘istri’, /u/ uma ‘rumah’, huri ‘kulit’,∂ apu ‘kabut’; /e/ eda ‘melihat’ palenga‘pingang’; rawe ‘pipi’; /o/ obu ‘asap’; dou ‘orang’; siadoho ‘mereka’; / / ntara ‘bintang’, ura ‘putih’; /a/ amania ‘kakak laki-laki’; manca ‘kakak laki-laki dari ibu’ hera ‘suami kakak perempuan dari ayah’. ∂ ∂ ∂ b) Sistem Fonem Konsonan Bahasa Bm Bahasa Bm memiliki dua puluh buah konsonan. Fonem konsonan Bm tersebut meliputi: /b/, /Б/, /p/, /f/, /t/, /d/, /g/, /k/, /’/, /m/, /n/, /j/, /c/, /l/, /h/, /s/, /r/, /v/. /w/, /y/. Distribusi konsonan ~ 124 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature bahasa Bm dapat diamati dalam contoh berikut: /p/ palenga ‘pinggang’; rapa ‘jerami’; /t/ tolu ‘tiga’; mantari ‘mantri’; /k/ kawalu ‘istri adik laki- laki dari ayah’; kalakati ‘tulang rahang’; /b/ bango ‘kuntul’; gaba ‘gabah’; / Б / Бote‘monyet’; kaБuntu ‘tulang tungging’; /d/ dou ‘orang’;ndai ‘kita’; /j/,jagu ‘tinju’; haju ‘kayu’; /c/ cou ‘siapa’; kacoci ‘tikus’; wc ‘wc’ /h/ haki ‘hakim’; madahu‘pengecut’; /s/ sampula ‘bodoh’; koso ‘kosong’; /m/ madaga ‘pedagang’; ama rasa ‘kepala kampung’ jam ‘jam’; /n/ nahu ‘saya’; ina ‘ibu’; tahun ‘tahun’; /r/ rido ‘menantu’; kere ‘bulu’;/l/ loko‘lumbung’; folu ‘limpa’; tari’l ‘kencing’; /w/ wae ‘besan’; kawalu ‘ipar’; /y/ kabaya ‘kebaya’; /f/ fiko ‘telinga’; afi ‘api’; saraf ‘syaraf’; /g/gale ‘melempar’; ragi ‘menarik’; /v/ vode ‘angin ribut’; neva ‘lupa’; /’/ amanto’i ‘adik laki-laki’. Dalam bahasa Bm terdapat sejumlah fonem konsonan yang berdistribusi tidak lengkap di samping fonem konsonan lainnya yang berdistribusi lengkap c) Diftong dalam Bahasa Bm Bahasa Bm mengenal diptong ai, oa, ua, ao, oi, ia, ou, ei, ae, dan ea. Distribusi diftong bahasa Bm tidak ada yang lengkap, kecuali diftong ai. d) Deret Vokal dalam Bahasa Bm Bahasa Bm tidak memiliki deret vokal. e) Gugus Konsonan dalam Bahasa Bm Bahasa Bm memiliki lima gugus fonem konsonan dalam bentuk kombinasi nasal hambat homorgan pada posisi awal dan tengah. Gugus fonem konsonan tersebut antara lain /mb/, /mp/, /ng/, /ηg/, dan /nd/. g) Deret Konsonan dalam Bahasa Bm Bahasa Bm tidak memiliki deret konsonan.

4.2 Fonologi Bahasa Sw Bahasa Sw memiliki enam buah fonem vokal seperti: /i/, /u/, /e/, / /, /o/,/a/. Vokal-vokal bahasa Sw tersebut dapat diamati dalam contoh berikut. /i/ ihimuri ‘suami’; naiki ‘anak’; wobanni‘istri’; /u/ uau‘kutu’; kuri∂ ‘kulit’; nadu ‘siapa’; /e/ era ‘ada’; jele ‘menginjak’; bale ‘kembali’; /o/ ou‘engkau’; rou ‘limpa’; meo ‘kucing’ / / hhi ‘satu’; j ll ‘kaki’; /a/ ana‘anak kandung’; nakue ‘istri adik laki-laki dari ayah’;riama ‘kakak laki-laki dari ayah’ Dari inventarisai fonem-fonem vokal di atas, semua fonem vokal Sw∂ berdistribusi∂ paralel.∂ ∂ b) Sistem Fonem Konsona dalam Bahasa Sw Bahasa Sw lima belas belas segmen konsonan: /p/, /t/, /k/, /’/, /b/, /d/, /g/, /m/, /n/, /η/, /l/, /s/, /r/, /w/, /y/. Contoh distribusi kononan sbb: /k/ ketadu ‘ubun-ubun’; loko‘sungai’; teluk‘teluk’; /l/leku ‘pelipatan’; kelu‘keluarga’; dobul‘gugur’; /t/titu ‘berdiri’; kelate‘cacing’; /r/ rel‘dahi’; kerogo‘suku bangsa’; petor ‘patih’; /p/phelole‘berbaring’; tapali‘berkata’; /b/be’a‘kakak perempuan dari ibu’; kebanni‘anak dari saudara ibu’; /d/doke‘rambut’; namada‘pelupuk mata’; /s/ surge ‘sorga’; angsa ‘angsa’;balas ‘membalas’; /w/wuba‘mulut bagian luar’; tewuni ‘tembuni’; /m/ meroke ‘laba-laba’;womore ‘laki-laki’; mariam ‘meriam’; /η/ ηara ‘nama’; naηi‘berenang’; /n/ nakue‘istri adik laki-laki dari ayah’; ana ‘anak’;tun ‘untung’ /g/ gaga ‘burung gagak’; agu ‘nyamuk’; /’/ a’a dana ‘kakak laki-laki kandung’; ngi’u ‘tubuh’; /y/ ya ‘saya’; anye ‘menekan’. Terdapat sejumlah fonem konsonan Sw yang berdistribusi tidak lengkap disamping yang berdistribusi lengkap. ~ 125 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature c) Deret Vokal dalam Bahasa Sw Dalam Bahasa Sw ditemukan beberapa deret vokal, yaitu a-a, i-a, e-a, dan u-a seperti yang tampak pada contoh berikut: a’a-ari momone ‘saudara laki-laki’ ati-ati ‘anting-anting’ ate-ate ‘subang’ nguru-ali ‘gigi taring’ d) Diftong dalam Bahasa Sw Bahasa Sw mengenal diptong ai, ui, oi, ia, iu, io, ou, ae, ei, oe, eo,ue, au Hanya dipthong : ai dan ui itemukan berdistribui lengkap. e) Gugus Konsonan dalam Bahasa Sw Bahasa Sw tidak memiliki gugus konsonan. f) Deret Konsonan dalam Bahasa Sw Bahasa Sw tidak memiliki deret konsonan.

4.4 Pembeda Fonologis Bahasa Bm Bahasa Sw Pembeda fonologis kedua bahasa itu dapat diamati pada tabel berikut. Sw Bm Total fonem Deret Vocal a-a, i-a, e-a, u-a Dipthong /ui/, /ia/, /iu/, /io/, /oe/, /eo/, / /ua/, /ia/, /ea/ 10-3 ue/, /au/, /eo/, /ie/ Konsonan /η/ /Б/, /f/, /j/, /c/, /h/, /v/, 1-8 Geminat /nn/,/ll/,/tt/,/bb/, /mm/, /ññ / 13-0 /kk/, /dd/,/gg/, /rr/, /jj/, /ηη/, /hh/ Gugus Konsonan /mb/, /mp/, /ŋg/, /nd/ 0-4

Dalam Bahasa Sw terdapat deret vokal pasangan identik:/a-a/, tanidentik: /i-a/, e-a, u-a, sementara pada Bahasa Bm tidak ditemukan. Dipthong /ui/, /ia/, /iu/, /io/, /oe/, /eo/, /ue/, /au/, / eo/, /ie/ ada pada Bahasa Sw, tetapi tidak muncul Bahasa Bm. Bahasa Bm memiliki dipthong: /ua/, /ia/, /ea/, sedangkan dalam Bahasa Sw ketiganya tidak ditemukan. Bahasa Sw memiliki Konsonan /η/, sedangkan Bahasa Bm tidak memiliki. Bahasa Bm memiliki fonem-fonem /Б/, /f/, /j/, /c/, /h/, /v/, , dalam Bahasa Sw fonem tersebut tidak dikenal. Bahasa Bm mengenal Gugus Konsonan /mb/, /mp/, /ŋg/, /nd/. Gugus Konsonan tersebut tidak dikenal dalam Sw.

4.5 Pembeda Leksikal Bahasa Bm di NTB Bahasa Sw di NTT Secara keseluruhan masing masing dari kedua bahasa itu dijaring sejumlah 1702 kosakata. Dari jumlah itu ditemukan 1190 kosakata yang menunjukkan perbedaan: Secara rinci ditemukan 150 kosakata (75 %) dari 200 Daftar Swadesh, 342 (74,03%) dari 462 dari Daftar Nothofer, 698 (67,12%) dari Daftar Holle yang menunjukkan sebagai bukti pembeda leksikal kedua bahasa tersebut. Dibawah ini disajikan beberapa contoh pembeda leksikal:

KKP (Indonesia) Bm Sw perempuan siwe wob nni ihimuri suami rahi wob∂nni isteri wei wob nni ∂ ~ 126 ~ ∂ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

anak ana naiki siapa cou nadu

saya nahu ya kamu (tunggal gomi au dia/ia sia no kami nami i kita ndai di kamu (jamak ) gomi mu mereka siadoho ro

tangan rima kae kaki edi j lla perut loko d llu tulang peke rowi∂ usus loko maci uhu∂ bahu dinca kologonu gigi woi ηutu lidah rera we’o telinga fiko wodilu daging hi’i hedai

e. tumbuhan dan tanaman tanam ηguda halla tumbuh woko muri

menanak mbako hogo minum nono ηinu gigit ηeηe hibbi kunyah mama ñami mengisap kamuci hemuhi muntah lohi m ddu atap wuwu d nni ∂ berenang liwa naηi∂ berpikir kananu peηe memukul pala wobba mencuri mpaηa mena’o melempar bale (ta)k jje meniup ufi (ta)tiu membakar ka’a (ta)tunu∂ bersembunyi cili (pe)wuni nni

4.6 Pembahasan ∂ Pembeda fonologis dan leksikal yang dipaparkan di atas tampak dapat memperkuat studi Budasi (2007, 2009, 2012) yang menyatakan bahwa Sw dan Bm adalah dua bahasa yang berbeda yang berada di luar Kelompok Bahasa Sumba. Kedua bahasa tersebut merupakan bahasa-bahasa dalam keluarga bahasa yang diturunkan dari asal yang sama, yaitu dari Proto Austronesia.

~ 127 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Pusat Bahasa Jakarta juga mendukung pengelompokan itu sesuai dengan Peta Bahasa NTT yang dipublikasikan pada tahun 2008. Keduanya adalah bahasa-bahasa satu keturunan yang memiliki hubungan dekat dengan Kelompok Bahasa Sumba. Bukti-bukti tersebut di atas juga mendukung pernyataan Fernandez (1988) bahwa Sw dan Bm adalah merupakan dua bahasa yang bukan menjadi anggota Kelompok Bahasa Flores. Mbete (1990) mendukung pernyataan ini. Mbete (1990) menyatakan bahwa Sw dan Bm tidak merupakan anggota dari Kelompok Bahasa Balik yang meliputi: Bahasa Bali, Sasak, dan Sumbawa yang berada di luar Kelompok Bahasa Flores. Kendatipun pembeda secara linguistik kedua bahasa tersebut telah ditemukan dalam studi ini, namun bukti-ukti linguistik mengenai keterhubungan kedua bahasa itu dengan proto bahasa Austronesia (PAN) yang menurunkannya masih harus di identifikasi, karena bukti-bukti keterhubungan secara linguistik akan mempertegas dan memperjelas posisi kedua bahasa itu sebagai bahasa seturunan dari Malayo Polenesia Tengah (PAN).

5. Kesimpulan 5.1 Pembeda fonologis antara Bahasa Bm dan Sw adalah sebagai berikut. Dalam Bahasa Sw terdapat Deret Vokal /a-a/, /i-a/, /e-a/, /u-a/, Pada Bahasa Bm, Deret Vokal tidak ditemukan. Dipthong /ui/, /ia/, /iu/, /io/, /oe/, /eo/, /ue/, /au/, /eo/, /ie/ dapat ditemukan pada Bahasa Sw, namun tidak muncul dalam Bm. Bm memiliki Dipthong /ua/, /ia/, dan /ea/, Dalam Sw ketiga Dipthong tersebut tidak ditemukan. Sw memiliki konsonan /η/, sedangkan Bm tidak memiliki fonem ini. Bm memiliki fonem-fonem /Б/, /f/, /j/, /c/, /h/, /v/, /w/, dan /y. Dalam Sw fonem tersebut tidak dikenal. Bm mengenal Gugus Konsonan: /mb/, /mp/, /ŋg/, dan /nd/, akan tetapi tidak dikenal dalam Sw. 5.2 Masing masing dari kedua bahasa itu telah dijaring sejumlah 1702 kosakata. Dari jumlah itu ditemukan 1190 kosakata yang menunjukkan perbedaan. Secara rinci ditemukan 150 kosakata (75 %) dari 200 Daftar Kosakata Swadesh, 342 (74,03%) dari 462 kosakata Nothofer, 698 (67,12%) dari kosakata Holle yang menunjukkan sebagai bukti pembeda leksikal kedua bahasa tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Bloomfield, L. 1933.Language. New York: Holt. Renehart and Winston Budasi, I.G. 2007. Kekerabatan Bahasa-Bahasa Sumba Setudi Linguistik Historis Komparartif. (Disertasi). Universitas Gajah Mada. Budasi, I.G. 2009. Studi Linguistik Diakronis Mengenai Status Isolek Laura dan Gaura pada Kelompok Bahasa Sumba di Provinsi NTT . Penelitian Puslit Universitas Pendidikan Ganesha. Budasi, I.G. 2012. “Phonological Evidences which Separate and Unite Mamboro Language from Proto Wanokaka- Anakalang in Sumba Group of Languages”. Kata, Vol 14 (2). http://puslit2.petra.ac.id/ejornal/index.php/ ing/article/view /18655/18411. Fernandez, I Y. 1988. Relasi historis Kekerabatan Bahasa Flores. Ende. Nusa Indah. Mandala, H. 2010. “Evolusi Fonologis Bahasa Oirata dan Kekerabatannya Dengan Bahasa-Bahasa Non- Austronesia”. (Disertasi) Fakultas Pascasarjana Universitas Udayana-Denpasar. Mbete, A. 1990. “Rekonstruksi Proto Bahasa Bali-Sasak-Sumbawa. (Desertasi). Pascasarjana Universitas Indonesia. Nothofer, B. 1975. “The Reconstruction of Proto Malayo-Javanic”.VKI 73, Den Haag: Martinus Nijholff. Samarin, W. Y.1981. Field Linguistics: A Guide to Linguistics. Holt: Rineharts Winston, Inc. Swadesh, M. 1955. The Origin and Diversification of Language. London: Rutledge and Kegan Paul.

~ 128 ~ PENYESUAIAN-PENYESUAIAN DALAM PENERJEMAHAN BERANOTASI SEBUAH ARTIKEL LINGKUNGAN BERBAHASA INDONESIA KE DALAM BAHASA INGGRIS

I Gede Putu Sudana Universitas Udayana

ABSTRAK Dalam tulisan ini dibahas hasil penelitian tentang penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan oleh penerjemah dalam proses penerjemahan beranotasi teks sumber, yang berbahasa Indonesia, ke dalam teks sasaran, yaitu teks yang berbahasa Inggris, yang sumber datanya diambil dari sebuah artikel yang berjudul “Managemen Lingkungan Sebagai Kearifan Lokal Bali” yang ditulis oleh I Nengah Lestawi, staf pengajar tetap Institut Hindu Dharma Denpasar. Tujuan dari tulisan ini adalah (1) untuk mencari tahu penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan oleh penerjemah dalam proses penerjemahan ; (2) mendeskripsikan strategi yang diterapkan oleh penerjemah dalam mencarikan padanan terjemahan sehingga produk terjemahannya menjadi jelas dan mudah dimengerti. Metode yang dipakai adalah metode inrospektif dan retrospektif (Sukarsih E.: 2012, Said M. et al,: 2009; Sudana: 2015). Hasil penelitian menunjukan bahwa bentuk-bentuk yang tidak nampak dalam teks sumber yang dalam versi bahasa Inggrisnya dibuat muncul lebih banyak bentuk-bentuk berupa konjungsi yang menyatakan sebab dan akibat dan penanda urutan (sequencer) dalam kalimat-kalimat yang menyatakan proses, sedangkan eksplikasi diuangkapan dengan pengulangan informasi yang sudah disebutkan pada kalimat sebelumnya dan penambahan klausa-klausa yang bersifat memerikan penekanan.

Kata kunci: anotasi, penerjamahan, bentuk tidak nampak, introspektif, retrospektif

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan volume terjemahan yang dramatis dalam lima puluh tahun terakhir di berbagai belahan dunia bukan saja diakibatkan oleh adanya kenyataan bahwa bahasa Inggris telah dijadikan lingua franca dalam perdagangan dunia, tetapi lebih diakibatkan oleh meningkatnya globalizasi dan kemajuan dalam bidang internet. Banyak sumber-sumber promosi, manual teknis, halaman web dan bebagai bentuk komunikasi lainnya harus diterjemahkan ke dalam bahasa yang berbeda dengan bahasa sumbernya (Hatim Basil dan Jeremy Munday (2004: 112). Di samping itu pertumbuhan organisasi-organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Uni Eropa juga memerlukan alih bahasa dan penerjemahan dokumentasi dalam pertemuan-pertemuan yang mereka selenggarakan. Pusat Penerjemahan di Luxemburg, menurut European Communities Court of Auditors (2002) (dalam Hatim Basil dan Jeremy Munday (2004: 112), jumlah halaman dokumen yang diterjemahkan dari dari 20.000 halaman pada tahun 1995 menjadi 280.000 pada tahun 2001. Dari apa yang diuraikan di atas, terlihat jelas bahwa makin berkembangnya globalisasi, makin banyak jasa penerjamahan yang diperlukan baik secara kuantitas maupun kualitas, artinya pada jaman globalisasi ini, di mana batas-batas antar negara secara geografis menjadi makin tidak berpengaruh, akan diperlukan lebih banyak penerjemah yang punya kualifikasi yang bisa mentransfer informasi dari satu bahasa ke bahasa lain. Jasa penerjemahan memegang peran penting dalam proses lokalisasi selain proses globalisasi. Misalnya, perusahaan-perusahaan internasional sering membuat websitenya dalam versi lokal. Dalam tulisan ini akan dicoba untuk mengkaji penerjemahan sebuah artikel lingkungan yang ditulis oleh I Nengah Lestawi, seorang staf pengajar tetap Institut Hindu Dharma Denpasar. ~ 129 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Dalam tulisan ini banyak dibahas tentang kearifan-kearifan lokal Bali yang diwariskan oleh leluhur orang Bali tentang bagaimana mengelola lingkungan supaya tetap lestari. Karena kearifan lokal Bali bersumber pada budaya agama Hindu, sudah dalam proses penerjemahannya banyak diterapkan strategi transfer dari bahasa sumber, yang dalam hal ini bahasa Indonesia, ke dalam bahasa sasaran, yang dalam hal ini bahasa Inggris. Banyak unit-unit terjemahannya ditransfer begitu saja ke dalam bahasa Inggris dan banyak pula yang disertai dengan eksplikasi, karena sukarnya mencari unit-unit yang bisa berpadanan secara penuh. Kesukaran mencari unit-unit yang bisa berpadanan penuh dalam bahasa Inggris juga diakibatkan oleh kenyataan bahwa bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris tidak serumpun. Induk bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu, sedangkan induk bahasa Inggris adalah bahasa Indo-Eropa (Oxford Dictionary of English, 2003: 576). Di samping itu, konsep-konsep yang dipakai dalam artikel ini lebih banyak diungkapkan dalam bahasa bahasa Sansekerta. Namun, supaya produk penerjemahannya mendekati akurat, jelas dan alami, ada banyak strategi dan prosedur penerjemahan yang bisa diterapkan. Menurut Abdullah, A. (1996) (dalam Yaralimadzehi H.J., 2012: 62), keakuratan suatu produk penerjemahan bisa diukur dengan sejauh mana kejelasan makna yang ditransfer dari teks sumber ke dalam teks sasaran dan sejauh mana ada penghilangan atau perubahan makna yang ditransfer tersebut. Tingkat kejelasan makna bisa diukur dari seberapa jauh makna tersebut dimengerti, seberapa benar kata-kata, frase-frase dan tata bahasa yang dipakai, dan sejauh mana makna itu tidak menimbulkan ketidakjelasan. Dan tingkat kealamiahannya dapat dilihat dari apakah makna tersebut diungkapkan dengan bahasa yang lumrah, tata bahasa yang umum, ungkapan-ungkapan dan kata-kata yang wajar pula. Sudah banyak kajian penerjemahan yang membahas karya penerjemahan sebagai produk, sedangkan dalam tulisan ini dibahas produk penerjemahan sebagai proses. Alasannya adalah bahwa penerjemah dari artikel ini adalah penulis sendiri. Sudah tentu banyak kesulitan yang dialami dalam proses penerjemahan ini. Oleh karena itu, diterapkan beberapa strategi penerjemahan, yaitu menambahkan bentuk-bentuk yang tidak muncul dalam bahasa sumber, tetapi dibuat muncul dalam bahasa sasaran, perubahan struktur-struktur kalimat dalam versi bahasa sasaran, dan pemberian eksplanasi yang bisa dalam bentuk pemberian penekanan pada apa yang diungkapkan sebelumnya dan pengulangan informasi tersebut, sehingga hasil penerjemahannya menjadi lebih jelas, akurat dan lebih bisa dimengerti oleh pembaca teks sasaran.

1.2 Masalah, Tujuan dan Metode Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka masalah dalam tulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) Bentuk-bentuk apa yang tidak muncul dalam teks sumber tetapi dibuat muncul dalam teks sasaran; (2) Bentuk-bentuk perubahan struktur kalimat apa saja yang dilakukan oleh penerjemah dalam versi teks sasaran; (3) Bentuk-bentuk apa saja yang dipakai untuk pemerian eksplanasi dalam bahasa sasaran; Dan tujuan dari tulisan ini adalah: (1) Mengidentikasi bentuk-bentuk yang tidak muncul dalam teks sumber tetapi dibuat muncul dalam teks sasaran; (2) Mengidentikasi perubahan bentuk-bentuk struktur kalimat pada teks sasaran;

~ 130 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

(3) Mengidentifikasi bentuk pemerian eksplanasi dalam teks sasaran. Metode yang diterapkan dalam penelitian ini adalah metode introspektif dan retrospektif. Menurut definisi yang ada dalam Oxford Dictionary of English (2003: 909), introspektif berasal dari kata introspection, yang berarti menyelidiki pikiran dan perasaan sendiri. Sedangkan introspektif merupakan metode untuk melihat perasaan dan pikiran penerjemah tentang mengapa dan bagaimana suatu teks diterjemahkan. Masalah yang dialami dan prosedur yang diambil untuk memecahkannya dicatat dalam anotasinya. Restrospektif berarti observasi proses mental terhadap sesuatu yang sudah terjadi. Terkait dengan tulisan ini, metode introspektif berarti penerjemah bertanya kepada dirinya sendiri unit-unit bahasa sumber yang sukar didapatkan padananannya dalam bahasa sasaran dan bagaimana solusinya, sedangkan metode retrospektif berarti penerjemah merenungkan teori dan strategi yang dipakai dalam proses penerjemahan ini.

1.3 Teknik Pengumpulan dan Analisa Data Pengumpulan data dalam tulisan ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Teks sumber dibaca dengan seksama; 2) Teks sumber tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran oleh peneliti sendiri. 3) Bentuk-bentuk yang tidak muncul dalam teks sumber diidentifikasi. 4) Bentuk-bentuk tersebut dicarikan padanannya dalam teks sasaran dengan menerapkan strategi-strategi dan prosedur-prosedur penerjemahan yang ada. 5) Bentuk-bentuk tersebut dipaparkan dalam bentuk tabel, yang kemudian diikuti oleh deskripsi anotasinya.

II. Konsep dan Landasan Teori 2.1 Konsep 2.1.1 Penerjemahan Roman Jacobson (dalam Basil Hatim dan Jeremy Munday, 2004: 5) menyatakan bahwa ada tiga jenis penerjemahan tertulis, yaitu: (1) penerjemahan intralingual --- terjemahan dalam bahasa yang sama, yang didalamnya termasuk rewording dan paraphrase; (2) penerjemahan interlingual --- terjemahan dari satu bahasa ke bahasa yang lain, dan (3) penerjemahan intersemiotik --- terjemahan bentuk verbal ke non verbal. Dari pengelompokan tersebut di atas, penerjemahan yang dibahas dalam tulisan ini adalah penerjemahan interlingual, yaitu penerjemahan suatu teks yang berbahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Larson (1984: 15) menyatakan bahwa penerjemahan bisa dibedakan menjadi dua, yaitu penerjemahan literal dan penerjemahan ideomatik. Newmark (1988: 22-23), membedakan penerjemahan komunikatif dan penerjemahan semantis. Kalau bentuk yang ada dalam teks sasaran sama dengan bentuk yang ada pada teks sumber, maka produk tersebut disebut dengan produk penerjemahan literal, sedangkan kalau bentuk-bentuk yang dipakai disesuaikan dengan bentuk-bentuk yang ada pada teks sasaran, maka produk penerjemahan tersebut disebut penerjemahan ideomatik. Kalau pengaruh yang diberikan pada teks sumber sama dengan pada teks sasaran, produk penerjemahan tersebut disebut dengan penerjemahan komunikatif. Kalau produk penerjemahan itu menghasilkan makna konteksual yang tepat, maka produk ~ 131 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature penerjemahan tersebut disebut penerjemahan semantis. 2.1.2 Anotasi Asal kata anotasi adalah anote, yang berarti membubuhi keterangan (Echols, J.M. dan Hasan Shadily, 2008: 29). Ini berarti penerjemahan beranotasi sama dengan penerjemahan yang dilengkapi dengan keterangan atau catatan yang penerjemahnya.

2.1.3 Bentuk Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998: 103-104), kata bentuk bisa berarti 1) lengkung; lentur; 2) bangun; gambaran; 3) rupa, wujud; 4) system; 5) wujud yang ditampilkan (tampak). Dari ke lima definisi yang diberikan di atas, dalam tulisan ini kata bentuk mengacu pada makna yang ke 5, yaitu wujud yang ditampilkan, yang dalam teks,, bisa berupa unit-unit lingual.

2.1.4 Tidak Tampak Tidak tampak berarti tidak bisa dilihat; tersembunyi dari penglihatan (Oxford Dictionary of English, 2003: 911-912), tak kelihatan; limunan; siluman (Ehols J.M and Hassan Shadily, 2008: 330); tidak kelihatan; tidak muncul (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989: 892). Dari semua definisi tidak tampak di atas, yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah tidak muncul atau tidak kelihatan.

2.1.5 Struktur Kata Struktur bisa berarti 1) struktur, 2) bangunan, gedung, dan 3) susunan (Echols J.M and Hassan Shadily, 2008: 563). Dalam tulisan ini, dari ketiga definisi tersebut, kata struktur berarti susunan (kalimat).

2.1.5 Eksplikasi Kata eksplikasi bisa berarti penguraian; pemaparan; penjelasan (Kamus Besar Bahasas Indonesia, 1993: 222). Dalam tulisan ini yang dimaksudkan dengan eksplikasi adalah penjelasan yang diberikan oleh penerjemah dalam bentuk pengulangan informasi dan pemerian penekanan terhadap makna, sehingga produk penerjemahan yang dihasilkan menjadi lebih jelas.

2.2 Landasan Teori Teori yang dipakai dalam tulisan ini adalah theorinya Nida (1964: 139), yang menyatakan bahwa realisasi teknik penerjemahan bisa dalam beberapa bentuk, seperti eksplikasi, pemunculan bentuk yang tidak muncul dalam teks sumber, pengulangan informasi bila dianggap memadai, atau pengurutan kembali kalimat-kalimat apabila urutan-urutan peristiwa dalam teks sumber dianggap kurang tepat atau tidak praktis. Dengan kata lain, penyesuaian- penyesuain harus dilakukan dalam menerjemahkan suatu teks sumber ke dalam teks sasaran. Penyesuaian-penyesuaian tersebut bisa dalam bentuk pemunculan padanan terjemahan bentuk yang tidak muncul dalam teks sumber, bisa dalam bentuk pengulangan informasi, dan bisa juga pengurutan kembali unsur-unsur kalimat teks sumber dalam teks sasaran.

III Pembahasan Dalam proses penerjemahan teks sumber ke dalam teks sasaran, ditemukan banyak kesukaran, namun dalam tulisan ini yang dibahas hanya penerjemahan bentuk-bentuk yang

~ 132 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature tidak muncul dalam teks sumber, bentuk-bentuk yang dipakai untuk memberikan eksplikasi, dan pengurutan kembali kalimat-kalimat yang ada dalam teks sumber yang dianggap membingungkan.

Anotasi 1 (Bentuk-bentuk yang tidak muncul dalam teks sumber) No Data Hlmn Teks Sumber Teks Sasaran

1 3 1 Agama Hindu sebagai sabda Tu- Hinduism, as the God’s word, is su- han yang supra empiris bukanlah per empirical; therefore, it is not a kebudayaan tradition

2 6 2 Menghambur-hamburkan energy, If human beings use energy exag- manusia akan mendapatkan pe- geratedly, they will get burned. If nyakit jiwa. Dengan mengotori they pollute the weather, they will go udara manusia akan mendapatkan mad. penyakit jiwa. 3 6 2 Tanda-tanda kerusakan muka bumi sudah menjalar luas seperti There are many things that indicate tampak pada kenyataan-kenyataan that the earth surface has been wide- di mana ada seputluh gejala keru- ly degraded; in order words, there sakan muka bumi yang semakin are 10 facts indicating that the earth membutuhkan perhatian (Emil surface has been damaged; therefore, Salim, 1995: 242) these needs attention (Emil Salim, 1995: 242) Sad Kertih itu untuk membangun 4 14 4 alam dan manusia yang nampak- In addition, the Sad Kertih teaching nya lokal Bali. is also intended to create the local Balinese nature and people.

Data 3 merupakan sebuah kalimat majemuk (Verhaar, 2008: 275) yang menyatakan hubungan sebab dan akibat. Kalau diparafrase, kalimat majemuk tersebut menjadi Agama Hindu adalah Sabda Tuhan yang supra empiris ; dengan demikian, Agama Hindu itu bukanlah sebuah kebudayaan. Dalam teks sumbernya, konjungsi yang menyatakan akibat tidak dimunculkan, oleh karena itu, dipandang perlu untuk memunculkannya dalam teks sasaran, sehingga menjadi jelas mengapa agama itu tidak bisa dikatakan sebagai tradisi atau kebudayaan. Data 6 merupakan dua buah kalimat majemuk (Verhaar, 2008: 275) yang masing-masing mengungkapkan pengandaian. Hanya saja dalam teks sumbernya tidak dimunculkan penanda kalimat pengandaian berupa kata seandainya yang mestinya muncul dalam if clause (klausa yang dimulai dengana kata if ‘seandainya’). Oleh karena itu, penerjemah memandang perlu untuk memunculkan kata tersebut dalam teks sasarannya, sehingga menjadi seperti yang apa yang terlihat dalam data. Data 14 merupakan penjelasan tambahan dari apa sebenarnya yang disebut dengan Sad Kertih. Pada kalimat-kalimat sebelumnya sudah dijelaskan secara rinci apa yang sebenarnya disebut dengan Sad Kertih. Namun karena ada ilustrasi tambahan lagi dalam bentuk kalimat seperti pada data, maka penulis memandang perlu menambahkan konjungsi yang menyatakan tambahan informasi, yaitu in addition. Data 15 merupakan bentuk kalimat pasif, dengan ciri verbanya berawalan di- yang diikuti kata oleh yang biasanya diikuti oleh ajentif (Verhaar, 2008: 238). Sedangkan dalam hal ini, kata oleh tidak diikuti oleh agentif. Oleh karena itu, penerjemah menambahkan kata in accordance with. Karena kalau diterjemahkan kembali, lebih jelas kalau kalimat teks sumbernya mulai

~ 133 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature dengan sesuai dengan… .

Anotasi 2 Pengurutan kembali unsur-unsur kalimat dalam versi teks sasaran No Data Hlmn Teks Sumber Teks Sasaran

1 1 1 Untuk menegakan fungsi unsure God creates what is called the Rta pembangunan alam semesta ini law as the norm for organizing the Tuhan menciptakan hukum Rta dynamism of the rights of the five sebagai norma untuk menata di- natural elements which construct namika azasi kelima unsure alam the universe to reinforce their tersebut. function.

Menyangkut pengelolaan ling- Many palm leaf manuscripts, which 2 5 3 kungan banyak sekali kita jumpai are written in Sanskrit, in Java and dalam Pustaka Lontar di Jawa Bali contain the environmental dan Bali yang teksnya berbahasa management. What they contain is Sansekerta diulas dalam bahasa discussed using the Old Javanese Jawa Kuno dan sekarang sudah language. What they contain has dialihbahasakan ke dalam bahasa been translated into the Indonesian Indonesia dan diterbitkan dalam language and has been published bentuk buku, Lontar misalnya in the form of books. seperti Wrespati Tattwa, Bhuwa- na Kosa, Tattwa Janyana, Saras- amuscaya Slokantara.

Limbah industry yang tidak di- 3 15 4 dahului oleh pengolahan limbah We have heard that the industrial secara benar masih banyak kita wastes which have not been prop- dengar dibuang secara diam-di- erly processed are stealthily thrown am ke laut. away into the sea.

Pada data 1 di atas, klausa terkandung (Verhaar, 2003: 276), yang dalam hal ini, klausa yang menyatakan tujuan “Untuk menegakan fungsi unsur pembangunan alam semesta ini…” dalam teks sumber berada sebelumnya klausa mandiri ..”Tuhan meniptakan hukum Rta sebagai norma untuk menata dinamika azasi kelima unsur alam tersebut”. Sedangkan dalam teks target padanan dari klausa yang menyatakan tujuan tersebut ditempatkan setelah klausa utama, artinya strukturnya disesuaikan dengan apa yang ada dalam teks sasaran. Demikian juga pada data 5, klausa terkandung dalam teks sumber ditempatkan pada awal kalimat majemuk, namun dalam teks sasaran, diletakan setelah klausa mandiri (klausa utama), sesuai dengan struktur yang ada dalam bahasa sasaran. Di samping itu, padanan dari kalimat majemuk tersebut dalam teks target dipecah menjadi tiga kalimat, yang walaupun masih berupa kalimat majemuk, tetapi sangat mudah untuk dimengerti karena diurut sedemikian rupa. Anotasi 3 (Bentuk-bentuk yang dieksplikasi)

~ 134 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

No Data Hlmn Teks Sumber Teks Sasaran

9 5 2 Mencari kesenangan itu tiada What is meant by searching out fun lain dari hidup mengumbar is giving one’s passion free rein hawa nafsu yang tidak akan which will never come to an end. pernah terpuaskan.

Setelah terbentuknya Panca 22 13 4 Maha Bhuta proses selanjut- After Panca Maha Bhuta was cre- nya munculah Brahmamanda- ated, what are called Brahmanda- Brahmamanda yaitu telornya Brahmanda, namely, the Brah- Brahman sebagai planet-planet man’s eggs as the planets which isi ruang angkasa ini. Melalui occupy the outer space appeared. suatu evolusi alam semesta Then what is referred t as Sad Rasa muncullah Sad Rasa ini mun- appeared through the process of cul dua unsure sebagai dasar the evolution of the universe. After terciptanya mahluk hidup ini that, two elements from which the ala mini. living creatures which occupy the earth were created.

Pada data 5, eksplikasi diberikan dalam bentuk penekanan dengan memakai ungkapan what is meant is that. Ini bearti pada kalimat-kalimat sebelumnya definisi dari pencarian kesenangan itu sudah diberikan, namun masih perlu diperjelas lagi bagi pembaca; oleh karena itu, dipandang perlu oleh penerjemah untuk menambahkan klausa what is meant is that. Pada data 13 dijelaskan proses terciptanya apa yang disebut dengan Panca Maha Bhuta, dengan kata setelah sebagai penanda dalam teks sumber, namun tidak diikuti penanda-penanda urutan berikutnya. Oleh karena itu, penerjemah memandang perlu untuk menambahkan penanda then dan after that sebagai penanda dari proses berikutnya. Dari segi bentuk data 5 dan 13 tersebut diatas bisa juga dipakai untuk mendukung penerjemahan bentuk-bentuk yang tidak tampak dalam teks sumber tetapi padanan terjemahannya muncul dalam teks sasaran. Namun dari segi eksplikasi makna, maka data ini memberikan ilustrasi dari apa yang disebut oleh Nida sebagai eksplikasi.

IV SIMPULAN Dari hasil pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian-penyesuaian harus dilakukan oleh penerjemah dalam menerjemahkan teks sumber ke dalam teks sasaran, khususnya yang berasal dari induk bahasa yang berbeda sebagai akibat dari terlalu besarnya kesenjangan yang terjadi antara ke dua bahasa tersebut sebagai akibat dari factor bahasa itu sendiri dan factor di luar bahasa seperti budaya, agama, geografi dan lain sebagainya. Dengan demikian, produk penerjemahannya menjadi lebih jelas, lebih akurat dan lebih bisa dimengerti oleh pembaca bahasa sasaran.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, A. (1996). Faktor-Faktor Yang Terkait dengan Terjemahan. PPS Universitas Pendidikan Indonesia.

Echols, M. & Hassan Shadily. An Indonesian-English Dictionary. Jakarta: PT. Gramedia.

Larson, Mildred L. 1984. Meaning-Based Translation: A Guide to Cross-Language Equivalence (2nd Edition). Lanham, New York, Oxford: University of Press of America.

~ 135 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Newmark, Peter. 1988. Approaches to Translation. Ontario: Pergamen Institute of Engllish.

Nida, Eugene A. & Charles R. Taber. 1969. The Theory and Practice of Translation. Leiden: United Bibles Societies.

Oxford Dictonary of English. 2003. Second Edition. Exford University Press.

Sukarsih Engkay. 2012. Annoted Translation of Children’s Short Stories. Thesis. Jakarta: Universitas Gunadharma

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1999. Cetakan Kedua. Jakarta: Balai Pustaka.

~ 136 ~ KOMPONEN MAKNA PAIN DAN NYERI SEBAGAI KONSEP MEDIS: PENDEKATAN METABAHASA SEMANTIK ALAMI (MSA)

I Gusti Agung Sri Rwa Jayantini dan Ni Ketut Pola Rustini STIBA Saraswati Denpasar dan Universitas Mahasaraswati Denpasar [email protected]

ABSTRACT This study aims at describing the meaning components of a medical term ‘pain’ and its Indonesian equivalent ‘nyeri’ seen from Natural Semantic Metalanguage (NSM) perspective. As it is widely known, NSM theory used in this study is proposed by Wierzbicka (1996) and her colleagues to show the meaning components of the world’s word inventory through the use of semantic primitives. The investigation is intended to explicate the English medical concept ‘pain’ and the reason why it is translated ‘nyeri’ in Indonesian. It is worth doing since medical world sometimes has its own specific term that involves the paramedics and the patients to maintain a good interaction in order to avoid misunderstanding, or even worse, malpractice. The data were collected from a medical textbook entitled General Ophthalmology and its Indonesian version Oftalmologi Umum. Having done the steps in explicating the two terms, it is found that the medical terms ‘pain’ and ‘nyeri’ have their own specific characteristics in which the meaning components of the terms cannot be exactly the same.

Key words: Pain, Nyeri, Natural Semantic Metalanguage

PENDAHULUAN Tulisan ini menggambarkan komponen makna istilah kedokteran ‘pain’ dan padanannya dalam bahasa Indonesia ‘nyeri’ dilihat dari perspektif Metabahasa Semantik Alami (MSA). Teori MSA merupakan teori yang diajukan oleh Wierzbicka (1996) dan koleganya untuk menunjuk- kan komponen makna leksikon yang dimiliki oleh bahasa-bahasa di dunia melalui makna asali. Makna asali disebut mempunyai sifat yang universal karena bisa ditemukan pada setiap bahasa di dunia. Pembahasan ini mengacu pada uraian tentang komponen makna yang menjadi sangat sentral perannya dalam bidang penerjemahan dan perbandingan makna antara satu leksikon dengan leksikon lainnya. Perbandingan komponen makna ini dapat dilakukan pada tingkat kata dan frasa (lexical and phrasal level) antara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Penelitian ini ditujukan untuk menjelaskan konsep kedokteran dalam bahasa Inggris ‘pain’ dan mengapa istilah ini diterjemahkan ‘nyeri’ dalam bahasa Indonesia. Hal ini merupa- kan kajian menarik karena bidang kedokteran mempunyai istilah khusus yang digunakan oleh pihak-pihak terkait seperti paramedis dan pasien agar interaksi yang baik terjadi. Interaksi yang baik dapat menghindarkan pasien dari hal-hal yang tidak diinginkan, terutama kesalahpahaman dan ketidakmengertian akan konsep medis yang telah bertahun-tahun dipahami oleh seorang pasien dan masyarakat umum. Di samping itu, malpraktik dapat dihindari. Sumber data dalam penelitian ini adalah buku teks kedokteran General Ophthalmology dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia, Oftalmologi Umum. Perbandingan komponen makna dari kedua leksikon ini akan dapat diketahui setelah menerapkan langkah-langkah eksplikasi makna sesuai teori MSA. Hal ini ditujukan untuk membuktikan asumsi bahwa istilah ‘pain’ dan ‘nyeri’ mempu- nyai karakteristik uniknya masing-masing. Keunikan yang ada pada masing-masing leksikon menunjukkan bahwa komponen makna dua leksikon hasil terjemahan tidak bisa benar-benar persis sama.

~ 137 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Pendekatan MSA yang digunakan tak dapat dilepaskan dari landasan awalnya untuk penguraian komponen makna. Natural Semantic Metalanguage (NSM) yang populer dalam bahasa Indonesia sebagai Metabahasa Semantik Alami (MSA) adalah salah satu teori yang dit- erapkan untuk memetakan komponen makna. Caranya adalah dengan menggunakan sejumlah eksponen. Teori ini merupakan hasil pemikiran Anna Wierzbicka (1996) dan para koleganya. MSA digunakan dalam menelusuri unsur-unsur pembeda makna antar leksikon. Teori MSA dapat menunjukkan perbandingan makna leksikon dalam bahasa yang satu dengan bahasa lain- nya. Berdasarkan hal inilah maka pendekatan MSA digunakan dalam tulisan ini.

LANDASAN TEORI Seperti telah dipaparkan, teori semantik yang digunakan untuk menganalisis komponen makna istilah kedokteran ‘pain’ dari bahasa Inggris menjadi ‘nyeri’ dalam bahasa Indonesia adalah teori metabahasa semantik alami (MSA). Teori semantik, MSA mempunyai sejumlah parameter yang dapat digunakan untuk membahas bagaimana leksikon X dalam bahasa sumber dan leksikon Y dalam bahasa sasaran dapat dipetakan komponen maknanya. Sebelum menerap- kan MSA, pembahasan diawali dengan menguraikan secara lebih khusus keberadaan kompo- nen makna (Löbner, 2013) dan teori MSA (Wierzbicka, 1996). Berbicara tentang komponen makna (meaning components), Löbner (2013) menegaskan bahwa komponen makna terurai dalam suatu proses dekomposisi. Lebih lanjut, Löbner menun- juk dua istilah dalam bukunya dengan judul Understanding Semantics. Kedua istilah itu adalah komponen makna (meaning components) dan dekomposisi (decomposition). Komponen ma- kna adalah unit linguistik yang memiliki unsur-unsur pembentuk makna. Para linguis mencoba memberikan definisi dan menggambarkan interpretasi makna. Suatu leksikon, misalnya kata uncle dan aunt mempunyai komponen makna yang dapat membuat seseorang mendefinisikan bahwa uncle adalah saudara laki-laki dari ayah/ibu. Sedangkan aunt adalah saudara perempuan dari ayah/ibu. Proses dekomposisi makna inilah yang memunculkan istilah penguraian untuk menjelaskan nilai-nilai apa yang terdapat dalam suatu leksikon. Hal inilah yang menunjukkan karakteristik dari masing-masing leksikon. Teori MSA merupakan salah satu pendekatan dalam dekomposisi atau penguaraian makna. MSA menguraikan sifat-sifat universal sejumlah eksponen pembentuk makna yang berlaku pada seluruh bahasa di dunia. Penguraian makna (dekomposisi makna) ini didasari pertimbangan bahwa bahasa di dunia pasti memiliki sejumlah fitur-fitur yang berlaku umum, terlepas dari keunikan yang ada pada masing-masing bahasa. Dekomposisi makna dapat dilihat dari adanya sekelompok eksponen yang dapat digunakan dalam menguraikan makna. Proses penjabaran dengan menerapkan teori NSM disebut sebagai reductive paraphrase. Komponen makna sebagai ekponen saling dikaitkan sehingga proses eksplikasi makna untuk menunjukkan definisi leksikon tertentu dapat dilakukan. Proses eksplikasi makna sebelumnya didahului oleh pemetaan (mapping) terhadap makna leksikon yang akan didekomposisi. Dengan menggunakan makna asali dalam tabel 1 menjelaskan bahwa dalam proses dekomposisi suatu leksikon melalui NSM menggunakan komponen makna asali yang saling ditautkan :

~ 138 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Table 1 Eksponen Metabahasa Semantik Alami yang pada tahun 2014 berjumlah 64.

i~me, yo u, so meo ne, so meth ing, peo ple, bo dy Substantives kind, parts Relational substantives th is, th e same, o th er~else Determiners o ne, two, much~ many, little~few, so me, all Quantifiers goo d, bad Evaluators big, small Descriptors th ink, know, w ant, do n’t w ant, feel, see, h ear Mental predicates say, wo rds, true Speech do, h appen, mo ve Actions, events, movement be (so mewh ere), th ere is, be (so meo ne/so me- Location, existence, specification, th ing), be (so meo ne’)s possession live, die Life and death wh en~time, now, befo re, after, a lo ng time, a Time sho rt time, fo r so me time, mo ment wh ere~place, h ere, abo ve, below, far, near, Space side, inside, to uch no t, may be, can, because, if, very, mo re, like~as Logical concepts

METODE Metode kualitatif yang umum digunakan dalam bidang ilmu linguistik diterapkan da- lam penelitian ini sesuai dengan ciri-ciri yang disampaikan oleh Djajasudarma (2006). Secara teknis, pengamatan manusia yang pada umumnya mempunyai ciri-ciri seperti analisis data se- cara induktif diterapkan dalam penelitian ini sehingga temuan penelitian dapat disajikan secara deskriptif. Penggunaan MSA dalam menguraikan makna suatu leksikon, khususnya istilah atau konsep kedokteran dalam bahasa Inggris dan padanannya dalam bahasa Indonesia dilakukan melalui perbandingan komponen makna istilah pain (bahasa Inggris) dan nyeri (bahasa Indone- sia). Komponen makna dari pain dan nyeri masing-masing didekomposisi dengan mengguna- kan makna asali melalui dua proses yaitu: 1. Pemetaan makna dari leksikon pain dan nyeri dilakukan dengan cara menelusuri makna masing-masing istilah dari kamus umum dan khusus. Langkah selanjutnya adalah in- vestigasi terhadap bagaimana istilah tersebut digunakan dalam kalimat juga secara luas digunakan masyarakat umum. 2. Eksplikasi dilakukan dengan menggunakan makna asali sehingga komponen makna suatu leksikon dapat diuraikan secara lebih rinci. Perbandingan komponen makna is- tilah kedokteran pain dalam konsep medis bahasa Inggris menjadi nyeri dalam bahasa Indonesia dilihat dengan menerapkan dua proses tersebut.

PEMBAHASAN Teori MSA menguraikan makna masing-masing leksikon kedokteran dengan cara mela- lui beberapa tahapan yaitu (1) mencari bagaimana istilah pain dan nyeri digunakan dalam kali- mat, (2) mendata makna masing-masing leksikon dalam kamus khusus kedokteran dan kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), (3) melakukan investigasi bagaimana kedua istilah tersebut digunakan dalam kalimat, dan (4) memberikan eksplikasi dengan menggunakan makna asali.

~ 139 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Secara lengkap, proses tersebut dapat disajikan berikut ini: 1) Istilah pain dan nyeri dapat dilihat dalam dua kalimat bahasa Inggris dan bahasa Indo- nesia di bawah ini: B a h a s a “Eye pain” may be periocular, ocular, retrobulbar (behind the globe), or Inggris poorly localized. (Chang,D. in P. Riordan-Eva, & John P.Whitcher, ed. 2008:126) B a h a s a “Nyeri mata” bisa periokular, ocular, retrobulbar (di belakang bola mata), Indonesia atau tidak jelas lokasinya. (Chang,D. in Daniel G. Vaughan, T. Asbury and P. Riordan-Eva, ed. 2000:129)

2) Makna konsep kedokteran pain dan nyeri dapat dilihat dari makna leksikal masing- masing istilah berikut ini: Pain (1) noun (U,C) The feelings that you have in your body when you have been hurt or when you are ill, (2) mental or emotional suffering, (3) a person or thing that is very annoying. (2) verb (not used in the progressive tenses) to cause somebody pain or make them unhappy. Makna pain ini diambil dari Oxford Advanced Learners’ Dictionary (2002:950) (1) The feeling of severe discomfort which a person has when hurt. (NOTE: Pain can be used in the plural to show that it recurs: she has pains in her left leg. To be in great pain (2) to have very sharp pains which are difficult to bear. Pain is carried by the sensory nerves to the central nervous system. From the site it travels up the spinal column to the medulla and through a series of neurons which use Substance P as the neurotransmitter to the sensory cortex. Pain is the method by which a person knows that part of the body is damaged or infected, though the pain is not always felt in the affected part. (Dictionary of Medical Terms, 2005: 286-287) Nyeri Berasa sakit seperti ditusuk-tusuk jarum atau seperti dijepit pd bagian tubuh (KBBI, 2008:1011). Suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).

Nyeri adalah sensori subketif dan emotional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan) dikutip dari International Association for Study of Pain from http://qittun.blogspot.com/2008/10/konsep-dasar-nyeri.html

3) Penggunaan kedua istilah dalam kalimat ditunjukkan dalam uraian di bawah ini:

Pemetaan makna pain melalui penggunaannya Pemetaan makna nyeri melalui penggunaannya dalam dalam kalimat kalimat (1) The doctor gave him an injection to (1) Rasa nyeri di punggungku tak tertahankan lagi. relieve the pain. (2) Nyeri lutut merupakan penyakit nyeri sendi yang (2) She has pains in her left leg. sering dikeluhkan oleh orang tua, dewasa mau- pun anak-anak (http://mediskus.com/penyakit/ (3) To be in great pain. penyebab-nyeri-sendi-lutut.html.) (Example 1,2,3 are taken from Dictionary of Medical Terms, 2005: 286-287

~ 140 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

(4) She was clearly in a lot of pain. (3) Pada saat proses persalinan, kebanyakan wanita mengalami rasa nyeri yang cukup (5) He felt a sharp pain in his knee. hebat, terkadang hingga melebihi dugaan anda (6) Passien suffering from acute back pain. sebelumnya. Menurut beberapa ahli rasa sakit yang terjadi pada proses persalinan tersebut (7) You get more aches and pains as you get terjadi akibat terdapat kerusakan jaringan nyata. older (http://bidanku.com/penyebab-nyeri-pada- (Example 4,5,6,7 are taken from persalinan#ixzz3bTHPXTFA) Oxford Advanced Learners’ Dictionary (2002:950) (4) Nyeri punggung adalah nyeri punggung yang terjadi secara spontan dan memiliki derajat nyeri yang cukup tinggi sehingga bisa menimbulkan gangguan aktivitas dan postur tubuh. http:// id.wikipedia.org/wiki/Nyeri_punggung

4) Berdasarkan tiga proses sebelumnya, eksplikasi istilah kedokteran pain dan nyeri da- pat ditunjukkan dengan merangkaikan makna asali sehingga diperoleh eksplikasi yang mencerminkan proses parafrase untuk menunjukkan komponen makna pain dan nyeri sbb:

Pain Nyeri X feels something X feels something X knows something X knows soemthing X thinks (of) something Something bad happen to X Something bad happen to X X does not want this to happen X does not want this to happen because this can be very bad because this can be very bad This can happen for some time This can happen for some time This can happen for short time This can happen for short time This can happen to part of someone This can happen to part of someone

Dari tahapan eksplikasi yang telah dilakukan dengan menggunakan makna asali dalam bahasa Inggris, istilah pain dan nyeri mempunyai komponen makna yang serupa. Komponen makna yang hampir sama ini mengandung arti bahwa dua leksikon yang dibahas yaitu pain dan nyeri mempunyai sejumlah komponen makna yang sama, namun ada komponen makna juga yang membedakan kedua leksikon tersebut. “Pain” dan “nyeri” tidak dapat disamakan karena komponen makna yang melibatkan emosi tidak ada dalam “nyeri” namun ada dalam “pain.” Secara umum, sesuatu yang bersifat sakit secara pikiran atau emosional tidak dapat diwakili oleh leksikon “nyeri.” Berbeda halnya dengan “pain” yang dapat mewakili makna sakit secara emosional sehingga fitur X thinks (of) something itu muncul dalam eksplikasi “pain” dan tidak ada dalam “nyeri.”

KESIMPULAN Dari uraian dan langkah-langkah yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa kom- ponen makna dari istilah pain dan nyeri tidaklah sama. Hal ini menunjukkan bahwa kedua isti- lah ini juga tidak bisa secara langsung saling menggantikan (interchangeable) karena berdasar- kan makna leksikal dalam kamus dan pemakaian dalam kalimat yang telah didata, pain dapat menunjukkan makna sakit baik fisik dan pikiran, tetapi nyeri hanya bisa terjadi pada bagian tubuh manusia. Komponen makna pain lebih banyak dari komponen makna nyeri terbukti dari ~ 141 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature parafrase yang ditunjukkan pada bagian 4 di atas. Sehingga, dapat disebutkan bahwa konsep pain dalam bahasa Inggris bersifat lebih khusus bila dibandingkan dengan makna istilah nyeri dalam bahasa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA/REFERENCES

Chang, D. in P. Riordan-Eva, & John P.Whitcher, ed. 2008. Vaugan &Asbury’s General Ophthalmology. USA: McGraw Hill.

Chang, D. in in P. Riordan-Eva, & John P.Whitcher, ed. 2008. Oftamologi Umum. (dr Brahm U.Pendit, Pentj) Jakarta: EGC.

Collin, P., 2005. Dictionary of Medical Terms., 4th ed. London: A & C Black.

Djajasudarma, T.F., 1993. Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian, 2nd ed. Bandung: Eresco p. 1-26.

Dorland Medical Dictionary. 2003. Jakarta: EGC.

Löbner, S. 2013. Understanding Semantics. Second Edition. Great Britain: Routledge. p.221-246.

Wierzbicka, Anna. 1992. Semantics, Culture, and Cognition: Universal Human Concept In Culture-Specific Configuration. Oxford: Oxford University Press.

Wierzbicka, Anna. 1996 Semantics: Primes and Universal. Oxford: OUP.

Wierzbicka, Anna. 1996 The Syntax of Universal Semantic Primitives, Goddard (ed.) Cross-Linguistic Syntax from a Semantic Point of View (NSM Approach). Amsterdam: Benjamin.

Tamsuri, A. 2007. Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta. ECG p. 1-63.

~ 142 ~ CARA PANDANG TOKOH-TOKOH BELANDA: KAJIAN STILISTIKA ATAS CERPEN SEMUA UNTUK HINDIA

I Gusti Ayu Agung Mas Triadnyani Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana [email protected]

ABSTRACT This paper wanted to examine another perspective of the writer in applying Indonesian historical background in his work. Literature used language as a medium to describe certain occasion. The writer used a specific vocabulary and style to express his work so that the events would be suitable with the historical setting. If he was not accurate on selecting the word and style to convey his idea, the work will be considered unsuccessfully on giving the voice of certain period. The object of this research was a collection of short story written by Iksaka Banu who has received Khatulistiwa Award in 2014 for the best prose category. This work told about the figure of the historical events that took place in the period of Dutch occupation. One of the interesting aspects from this story was the use of certain point of view of the Dutch character. So, the reader got a new perspective which is different from the historical books. This work contained 13 short stories, but for this purpose, will be used only 3 short stories, that is “Semua untuk Hindia,” “Penunjuk Jalan,” “Selamat Tinggal Hindia.” This research used stylistics approach.

Key words: Dutch character, point of view, value language, stylistics

Pendahuluan Karya sastra menggunakan medium bahasa untuk menggambarkan berbagai peristiwa yang terjadi. Dalam hal ini, pengarang tidak dapat melepaskan diri dari pemakaian kosa kata dan gaya bahasa yang dipilihnya. Kosa kata tersebut disesuaikan dengan kondisi zaman di mana kisah itu berlangsung. Artinya, sebuah kisah yang dilatarbelakangi peristiwa sejarah, misalnya, perlu memperhatikan tidak hanya fakta-fakta sosial dan budaya dari cerita yang diciptakannya, namun juga pilihan kata dan gaya tulisannya. Jika pengarang tidak cermat di dalam menggunakan diksi untuk menyampaikan gagasannya, karya tersebut dianggap gagal menyuarakan zamannya. Kumpulan cerpen Semua untuk Hindia ditulis oleh Iksaka Banu. Buku ini meraih peng- hargaan Khatulistiwa Award untuk kategori prosa terbaik tahun 2014. Kumpulan cerpen Semua untuk Hindia menghadirkan sejumlah babak dari masa pendudukan Hindia Belanda. Karya ini menarik karena pengarang menggunakan sudut pandang tokoh-tokoh Belanda untuk menggam- barkan suatu peristiwa. Akibatnya semua cerpen yang ditulis mendapatkan perspektif yang baru dari apa yang selama ini dipahami oleh pembaca melalui buku-buku sejarah. Penelitian ini penting dilakukan untuk memperlihatkan seberapa jauh pengarang memanfaatkan sudut pandang tokoh Belanda untuk mengungkapkan gagasannya tentang berbagai hal dikaitkan dengan nilai bahasa. Untuk kepentingan analisis hanya akan digunakan tiga cerpen, yaitu “Semua untuk Hindia,” “Pe- nunjuk Jalan,” “Selamat Tinggal Hindia.” Ketiganya dianalisis deangan pendekatan stilistika.

Sudut Pandang Istilah sudut pandang sering digunakan untuk merujuk pada pencerita yang menyampaikan cerita dari sudut pandang tertentu. Pencerita yang berbeda memiliki sudut pandang yang berbeda

~ 143 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature pula. Ketika menentukan sudut pandang, pengarang harus memilih dari sudut siapa sebaiknya cerita itu disajikan. Pemilihan itu didasarkan pada suasana cerita, jenis cerita, dan maksud atau tujuan cerita. Penggunaan istilah sudut pandang di dalam karya sastra masih dipandang ambigu. Ada yang mengartikan sebagai sudut pandang pengarang, ada pula yang mengartikannya sebagai sudut pandang pencerita. Harry Shaw (1972: 293) menyatakan bahwa point of view dalam kesusastraan mencakup sudut pandang fisik (yakni posisi dalam ruang dan waktu yang digunakan pengarang dalam pendekatan materi cerita), sudut pandang mental (yakni perasaan dan sikap pengarang terhadap masalah cerita), dan sudut pandang pribadi, yakni hubungan yang dipilih pengarang dalam membawakan cerita; apakah sebagai orang pertama, kedua, atau orang ketiga. Di dalam kumpulan cerpen Semua untuk Hindia, semua cerita pendek mengambil latar waktu pada masa penjajahan Belanda dengan latar tempat yang berbeda-beda. Ada peristiwa yang berlangsung di Bali, Banten, Batavia, Deli, dan sebagainya. Sikap pengarang terhadap permasalahan cerita adalah cenderung berpihak kepada kaum bumiputra, meskipun tokoh yang dipilih untuk bersuara adalah orang Belanda. Pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama. Dalam hal ini cerita disampaikan oleh tokoh aku. Tokoh aku-an ini mengisahkan apa yang terjadi dengan dirinya dan mengungkapkan perasaannya sendiri dengan kata-katanya sendiri. Dalam bukunya How to Analyze Fiction, Kenney (1966: 46) menjelaskan bahwa pengarang memilih sudut pandang pencerita yang sesuai dengan ceritanya.

Nilai Bahasa Leech (1981: 272) melihat sudut pandang dalam pengertian, hubungan antara pengarang, pembaca, dan fiksi yang diekspresikan melalui struktur wacana. Hal ini secara tidak langsung mengarah pada penggunaan istilah-istilah, seperti ironi, nada (tone), dan jarak (distance), yang menyiratkan tindakan tokoh dan penilaian. Di satu sisi pengarang memperjelas sikapnya terhadap tokoh dan tindakannya. Di lain pihak, sudut pandang berkaitan pula dengan penggunaan bahasa yang di dalam pengertiannya sendiri atau konotasinya mengekspresikan beberapa elemen nilai. Kata benda dan sifat di dalam sebagian besar cerpen-cerpen ini memiliki makna ‘baik’ dan ‘buruk”. Ada skala yang berbeda-beda atau bidang nilai: ada bidang penempatan moral (moral yang tidak baik/buruk, misalnya, membentak, berdusta, menampar, dan merampas); ada juga skala sosial yang menyangkut perilaku tokoh menurut pandangan masyarakat (pengganggu, pembenci). Bidang penilaian yang ketiga merupakan ekspresi perilaku emotif. Gambar 1 memperlihatkan contoh sederhana bagaimana pengarang dapat mengarahkan respon-respon nilai pembacanya terhadap tokoh dan peristiwa di dalam karya sastra. Gambar itu memperlihatkan bagaimana ‘gambar nilai’ dari seorang tokoh, atau persoalan tentang keseluruhan cerita yang mungkin dibangun ke dalam sebuah komposisi jenis-jenis pertimbangan nilai yang diasosiasikan dan dikontraskan. Gambar 1 MORAL SOSIAL EMOSI baik baik baik

Tokoh X

Tokoh X Tokoh X buruk buruk buruk

~ 144 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Analisis Cerpen “Selamat Tinggal Hindia” mengisahkan tokoh Martinus Witkerk, seorang wartawan De Telegraaf yang berkebangsaan Belanda. Ia berupaya membujuk Geertje (Maria Geertruida Welwillend) untuk mengungsi ke tempat yang aman demi menghindari perilaku buruk para pejuang yang menaruh dendam pada orang-orang Belanda. Waktu terjadinya kisah ini adalah sekitar tahun 1945, yakni saat takluknya Jepang pada sekutu. Di mana-mana terjadi pembunuhan terhadap orang-orang Belanda. Elit politik Belanda, termasuk wartawan asing berdiskusi tentang bagaimana mencegah tindakan biadab terebut. Seiring dengan itu, orang- orang Belanda disarankan untuk mengungsi ke kamp-kamp yang aman. Tokoh lainnya yang digambarkan pengarang adalah Dullah, sopir yang mengantar Martinus menuju rumah Geertje dan Iyah, pengurus rumah tangga Geertje. Melalui sudut pandang Dullah, pembaca mengetahui bahwa para pejuang menaruh dendam luar biasa kepada Belanda. Mereka dikenal suka mengganggu perempuan dan masuk ke rumah penduduk meminta makanan dan uang secara paksa (hlm. 2). Melalui tokoh aku. digambarkan penampilan fisik para pejuang tersebut, misalnya kumisnya lebat, matanya menebar ancaman, membentak dengan kasar, serta menggeledah, merampas barang-barang milik tokoh aku (hlm. 2). Gambar 2 memperlihatkan gambar nilai dari tokoh para pejuang.

Gambar 2 MORAL SOSIAL EMOSI high/baik high/baik high/baik

Martinus -> Pejuang Pejuang Pejuang low/ buruk low/buruk low/buruk

Dari segi moral, tokoh pejuang mendapatkan gambar nilai yang buruk. Para pejuang digambarkan melakukan aksi membentak dan menampar (sontoloyo, bentak si kumis sambil memukul bagian depan mobil, hlm.1, sompret! si komandan menampar pipi Dullah, hlm. 2). Penilaian dari segi sosial diperoleh melalui pernyataan Dullah (sang sopir) yang mengungkapkan: “Begitulah sebagian dari mereka. Mengaku pejuang, tapi masuk-keluar rumah penduduk, minta makanan dan uang. Sering juga mengganggu perempuan,” sahut Dullah (hlm. 2). Pembaca dengan segera dapat menyimpulkan gambar nilai seperti apa yang diarahkan oleh pengarang. Di samping itu ada pula pendapat para wartawan yang sedang berkumpul membahas dampak sosial di Hindia setelah kekalahan Jepang. Mereka mengatakan: “Proklamasi kemerdekaan serta lumpuhnya otoritas setempat membuat para pemuda pribumi kehilangan batas logika antara berjuang dan bertindak jahat (hlm.3). Segi emotif dari tokoh pejuang memperlihatkan nilai yang buruk. Mereka melampiaskan dendam dengan membunuh orang-orang Belanda. Gambar 3 memperlihatkan gambar nilai tokoh Geertje. Tokoh Martinus memberi julukan kepada Geertje si kepala batu karena ia susah dibujuk. Gambar 3

~ 145 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

MORAL SOSIAL EMOSI baik baik baik

Martinus->Geertje

Geertje

Geertje buruk buruk buruk

Gambaran tentang tokoh Geertje awalnya diperoleh dari pertemuan Martinus dan Geertje di Hotel Indes. Martinus menganggap bahwa Geertje adalah seorang perempuan yang keras kepala (hlm. 2). Di matanya, Geertje juga seorang perempuan yang penuh teka-teki (hlm. 6). Ia juga berpendapat bahwa Geertje dicintai oleh penduduk pribumi (hlm. 9). Namun gambaran kecintaan rakyat terhadap Geertje tidak dijelaskan secara konkret sehingga pembaca mengalami kesulitan untuk menyimpulkan gambar nilai dirinya tersebut.

“Engkau menyatu dengan alam dan penduduk di sini. Mereka juga menyukaimu. Mungkin mencintaimu setulus hati,” kataku. Tapi zaman tuan dan babu ini akan segera berakhir. Amerika semakin memperlihatkan ketidaksukaan mereka akan kolonialisme….

Tidak dijelaskan apa yang dilakukan Geertje sehingga orang-orang menyukainya. Yang lebih banyak dibicarakan justru topik kolonialisme. Dalam hal ini, tampaklah kelemahan pengarang yang kurang tajam di dalam memberi karakter (penokohan) pada tokoh Geertje. Akibatnya, pembaca tidak percaya pernyataannya itu. Namun, secara umum, berdasarkan sudut pandang tokoh aku (Martinus), Geertje adalah perempuan yang memiliki moral yang baik. Hal ini dibuktikan dari sikapnya terhadap Iyah, pembantu rumah tangganya. Ia begitu dicintai dan dihormati oleh pembantunya, bahkan Geertje mengajak suami Iyah untuk tinggal bersama mereka (hlm. 8). Namun, penjelasan tersebut dirasakan belum memuaskan pembaca. Secara sosial gambar nilai tokoh Geertje tergolong buruk. Orang-orang Belanda menganggap ia sebagai pengkhianat. Rumahnya dijadikan tempat berkumpulnya para pemberontak. Di sana banyak ditemukan bahan propaganda antiNICA (hlm. 11). Di lain pihak, menurut sudut pandang tokoh aku, Geertje bukanlah pengkhianat: Sejak awal Geertje tahu di mana harus berpijak. Perlahan-lahan kuhapus kata pengkhianat yang tadi sempat hinggap di benak (hlm. 12). Pembaca tentu saja lebih percaya kepada tokoh aku karena sejak awal ia menjalin hubungan dengan Geertje. Cerpen “Semua untuk Hindia” berkisah tentang persahabatan seorang wanita Bali bernama A.A. Istri Suandani dengan wartawan Belanda bernama Bastian de Wit. Wit menetap beberapa bulan di Puri Kesiman, tempat tinggal Suandani untuk membuat tulisan tentang tradisi orang Bali. Persahabatan mereka terhenti ketika pada tahun 1906 Belanda mengerahkan pasukan ke Bali. Belanda terpaksa menyerang Bali, terutama Kerajaan Badung karena dinilai telah melanggar kesepakatan tentang hak tawan karang. Tokoh de Wit meskipun adalah orang Belanda, tidak menyetujui adanya kolonialisme. Ia berpihak pada orang-orang bumiputra: “Kusimpulkan ia berada satu biduk denganku: biduk para penentang arus… (hlm. 62). Berdasarkan pembacaan cerpen “Semua untuk Hindia” dapat disimpulkan gambar nilai dari tokoh Bastian de Wit sebagai berikut. Tokoh aku mempertanyakan dirinya sendiri tentang alasan kehadiran bangsanya (Belanda) datang ke Indonesia. Ia meragukan niat Belanda: Benarkah kehadiran kami di sini, atas nama pembawa peradaban modern, diperlukan? (hlm.

~ 146 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature 62). Lalu ia juga mengungkapkan kesedihannya karena telah ikut menyerbu istana adik kecilnya itu: Ya, tadi siang aku ikut mendobrak puri. Bukan dengan kegembiraan seorang penakluk, melainkan kecemasan seorang sahabat (hlm. 64). Secara moral dapat disimpulkan, gambar nilai tokoh de Wit tergolong baik. Ia menganggap orang Belanda justru sebagai orang yang tidak bermoral karena membunuh banyak penduduk melalui perang: Ah, mengapa militer selalu kuanggap tak bermoral?.... Jangan pertanyakan kesetiaan mereka. Pertanyakan yang memberi perintah gila ini (hlm. 65).. Gambar nilai secara sosial dari tokoh de Wit memperlihatkan nilai buruk. Hal ini disebabkan oleh pandangan orang Belanda bahwa de Wit telah berpihak kepada golongan bumiputra. Ia dianggap telah mengkhianati bangsanya. Percakapan di bawah ini memperjelas gambar nilai tokoh de Wit dari segi moral.

“Beginilah kalau wartawan ikut perang,” samar-samar kulihat Jenderal Rost van Tonningen menyarungkan pistolnya seraya memandang sekeliling sebelum kembali menatapku. “Berhentilah menulis hal buruk tentang kami, Nak. Aku dan tentaraku tahu persis apa yang sedang kami lakukan. Semua untuk Hindia. Hanya untuk Hindia. Bagaimana denganmu? Apa panggilan jiwamu?” Aku tak menjawab. Tak sudi menjawab (hlm. 71).

Gambar nilai tokoh de Wit dapat ditinjau pula dari segi emosi. Menurut pengakuannya ia pro bumiputra. Menurut sudut pandang tokoh aku, dirinya digambarkan peduli terhadap orang lain: kubantu Baart menurunkan ransel (hlm. 6). Berdasarkan keterangan dirinya pula, pembaca secara tidak langsung dapat menyimpulkan bahwa de Wit adalah orang yang kurang dapat menahan emosinya. Kutipan berikut memperjelas pernyataan di atas.

Aku melompat ke punggung kuda milik seorang perwira yang sedang dituntun pawangnya. Binatang itu meradang, namun berhasil kupacu ke medan perang. Sempat kudengar teriakan komandan battalion, disusul satu-dua tembakan ke arahku. Tapi serangan itu tak berlanjut. Justru kini kulihat seluruh Balion 18 perlahan-lahan bergerak ke kanan mengikutiku (hlm. 70).

Penjelasan di atas memperlihatkan sikap de Wit yang bertindak menurutkan emosinya semata, tanpa memandang situasi. Tindakannya itu dilandasi oleh rasa kepedulian yang mendalam terhadap bangsa Indonesia, terutama nasib adik kecilnya. Berdasarkan ketiga bidang penilaian, tokoh de Wit digambarkan sebagai berikut. Gambar 4 MORAL SOSIAL EMOSI baik baik baik

de Wit de Wit de Wit

buruk buruk buruk

Cerpen “Penunjuk Jalan” menggunakan sudut pandang orang pertama. Tokoh Belanda yang menjadi pencerita akuan adalah Joris Handlanger.

“Aku baru tiba dari Rotterdam minggu lalu. Dan karena Bandar Sunda Kelapa sedang diperbaiki, kapalku harus merapat di Banten. Perlu tiga hari perjalanan kereta pos untuk sampai di Batavia. Lusa aku harus menghadap Gubernur Jenderal Speelman membicarakan jabatan baruku sebagai Ketua Dewan Kesehatan. Siapa sangka tertahan di sini” (hlm. 118). ~ 147 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Cerita diawali dengan kecelakaan yang dialami Joris dalam perjalanannya menuju Batavia. Untunglah ada orang yang menyelamatkan dirinya dan Jozep, seorang porter yang menemaninya. Penyelamat itu tidak lain dari Sang Pangeran. Perkenalannya dengan Sang Pangeran menimbulkan rasa penasaran Joris. Di akhir cerita terkuaklah rahasia Pangeran yang tak lain adalah pahlawan Untung Surapati. Topik pembicaraan berkisar pada kondisi kota Batavia yang menjelma menjadi kota terkutuk setelah kedatangan Kompeni (hlm. 123). Sungai Ciiwung yang besar dibuatkan kanal- kanal sehingga arusnya melemah. Keadaan ini menyisakan lumpur saat surut dan banjir saat pasang. Penduduk banyak yang mati karena penyakit yang muncul akibat lumpur-lumpur sampah dan udara busuk. Pandangan Joris terhadap Belanda secara keseluruhan memperlihatkan gambar nilai yang buruk. Gambar 5 meperlihatkan tiga bidang penilaian yang mungkin dibuat terhadap tokoh Joris. Sebagai seorang dokter ia digambarkan memiliki watak suka menolong (hlm. 118). Secara moral ia memiliki gambar nilai yang baik. Hal ini dapat dibuktikan dengan sikapnya yang suka menolong orang, misalnya ketika kecelakaan terjadi, ia masih sempat menolong Jozep yang terluka cukup parah. Padahal ia sendiri mengalami luka berat: “Nah Joep, jangan lihat kakimu. Kukatakan sejujurnya: keadaannya sangat buruk. Mungkin tulang pinggulmu juga bergeser, jadi jangan banyak bergerak. Biar kubebat kakimu. Setelah itu, aku akan membuat tandu” (hlm. 118). Joris juga digambarkan sebagai orang yang sopan. Hal ini dibuktikan dengan caranya menghormati Pangeran yang telah mengobati mereka dan sekaligus menunjukkan jalan ke Batavia. Berikut kutipannya: “Betapa budiman,” aku membungkuk. “Joep dan aku akan selalu mengingat kebaikan Tuan.” (hlm. 122). Secara sosial gambar nilai tokoh Joris baik meskipun pengarang sedikit sekali mengolah karakternya. Tokoh aku (Joris) lebih banyak menceritakan tokoh lain, yakni Sang Pangeran. Namun demikian, pembaca dapat menyimpulkan ketika berhubungan dengan orang lain, Joris cukup luwes dan disegani. Sang Pangeran pun bersedia membantu Joris dan Jozep karena mereka berdua dipandang sebagai orang Belanda yang baik. Sementara itu dari segi emosi, Joris sebenarnya digambarkan sebagai orang yang sabar. Hal ini dapat dibuktikan ketika ia membantu Jozep. Namun, ketika menghadapi tabib yang sedang mengobati Jozep secara tradisional, ia sempat marah kepada si tabib. Ia tidak dapat menahan emosinya karena melihat temannya diperlakukan tidak sesuai dengan aturan pengobatan yang biasa dilakukannya. “Apa yang Anda lakukan? Ia bisa lumpuh, “kurenggut tangan si tabib seraya memaki dalam bahasa Melayu. Kutumpahkan pula amarahku kepada pangeran. Ia diam, tapi mendadak jarinya mematuk bahuku…(hlm 125). Secara umum gambar nilai dari tokoh Joris dapat dibuat seperti gambar 5. Gambar 5 MORAL SOSIAL EMOSI baik baik baik

Joris Joris Joris

buruk buruk buruk

~ 148 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Kesimpulan Secara umum berdasarkan analisis ketiga cerpen di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh-tokoh Belanda yang menjadi pencerita akuan mewakili suara pengarang yang menolak praktik kolonialisme di bumi mana pun. Kolonialisme hanya menguntungkan satu puhak dan menghancurkan pihak lainnya. Hal ini menimbulkan ketidakadilan. Orang berlomba-lomba menguasai dunia dan kemudian mereka kehilangan sisi kemanusiaannya. Pengarang melalui ketiga tokoh Belanda tersebut secara gamblang menyuarakan gagasannya tentang dampak buruk penjajahan. Secara khusus, analisis terhadap ketiga cerpen memperlihatkan adanya penggunaan pencerita orang pertama (aku-an). Dengan menggunakan analisis sudut pandang dikaitkan dengan nilai bahasa dapat disimpulkan bahwa, ketiga tokoh utama, yakni Martinus Witkerk (“Selamat Tinggal Hindia”), Bastian de Wit (“Semua untuk Hindia”), dan Joris Handlanger (“Penunjuk Jalan”) yang notabene orang Belanda digambarkan memiliki gambar nilai yang baik. Mereka mewakili orang-orang Belanda yang berpandangan baik. Hal ini berbeda dengan cerita-cerita di dalam novel atau pun film-film yang mengambil latar waktu zaman penjajahan kebanyakan menonjolkan watak jahat dari tokoh Belanda. Cerpen-cerpen yang terkumpul di dalam buku ini ingin memberikan perspektif baru tentang sepak terjang tokoh Belanda di masa pendudukan Hindia Belanda. Cara analisis seperti yang dilakukan di atas, di samping memperlihatkan gambar nilai tokoh berdasarkan tiga bidang/ruang lingkup, yakni segi moral, sosial dan emosi, sekaligus menunjukkan berhasil atau tidaknya pengarang di dalam mengolah karakter tokoh-tokohnya.

DAFTAR PUSTAKA

Banu, Iksaka. 2014. Semua untuk Hindia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Kenney, William. 1966. How to Analyze Fiction. New York: Monarch Press. Leech, Geoffrey N. 1981. Style in Fiction: A Lingustic Introduction to English Fictonal Prose. New York: Longman. Shaw, Harry. 1972. Dictionary of Literary Terms. New York: McGraw-Hill Book Company, Inc.

~ 149 ~ ~ 150 ~ PRESTISE BAHASA : KASUS PADA BASA NUSA

I Ketut Darma Laksana Universitas Udayana

Pendahuluan Sekilas Tentang Nusa Penida Keadaan Geografis Keadaan geografis Pulau Nusa Penida Dua, pulau terbesar di Kecamatan Nusa Penida (pulau lainnya adalah Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan), Kabupaten Klungkung, pada umumnya kering dan tandus pada musim kemarau. Tanaman yang bertahan hidup / hijau adalah mangga, bunut, juwet, turi, kelapa (di sepanjang pantai utara (tidak ditemukan hidup / hijau). Penduduk yang masih tinggal di Pulau Nusa Penida (sebagian bertransmigrasi ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi ) umumnya tetap bertani, namun warga masyarakat yang tinggal dekat pasar mencoba peruntungan dengan berjualan sembako, nasi/lauk-pauk, dan pakaian (ada satu dua yang membuka bengkel sepeda motor atau elektronik) Sejak pertengahan tahun 1980 sebagian masyarakat, baik yang tinggal di pantai maupun di pegunungan (yang dari pegunungan, seperti Klumpu, Petaki, Pendem, Sental) dikenal dengan istilah tohun gonung ‘turun gunung’) menekuni penanaman bolung ‘rumput laut’. Berkat rumput laut itu kehidupan sosial masyarakat berubah karena mempunyai uang yang cukup, mereka suka berbelanja. Rumah penduduk yang sebelumnya beratap ambengan ‘lalang’ dan papalan ‘daun kelapa kering’ dengan dinding bedeg ‘gedek’ berubah menjadi merah (atap genting) dan dinding tembok beton. Hal ini tentu dapat menghapus kegalauan masyarakat atas realitas kehidupan dengan keadaan geografis seperti yang dikemukakan diatas.

• Crystal Bay dan Pesona Mola-Mola Laut di perairan Nusa Penida (bagian utara) dengan batu karang dan biota lautnya ternyata mengundang banyak wisatawan asing/domestik untuk diving. Sementara itu, laut di sebelah barat Nusa Penida yang berbatasan dengan Nusa Ceningan rupanya mendatangkan “berkah” tersendiri dengan kemunculan ikan mola-mola, ikan berukuran besar dengan gerakan lambat, sejak beberapa tahun terakhir ini. Besamaan dengan kemunculan mola-mola, muncul nama Crystal Bay, nama teluk sempit antara Nusa Penida dan Nusa Ceningan. Belum diketahui siapa orang yang berjasa dalam penemuan nama tersebut. Ikan mola-mola sendiri terus-menerus berada di bawah pantauan sebuah tim yang bermarkas di kampung Toyapakeh, terletak di pantai yang berhadapan dengan hutan mangrove yang tumbuh di perairan Nusa Lembongan. Masyarakat Klungkung khususnya dan Bali umumnya menjadikan mola-mola itu sebagai simbol Nusa Penida (siaran percobaan “Metro TV”). Fenomena ini sangat menarik dan akan mengundang wisatawan lebih banyak lagi berkunjung ke Nusa Penida.

• Mitos tentang Ndas Sebelum munculnya mola-mola, Nusa Penida memang sudah dikenal sebagai penghasil be awan ‘ikan tongkol’. Pada musim tertentu nelayan pelasan, jukung berukuran kecil dengan layar, yang bermukim di sepanjang pantai Telaga, Kutampi, Batununggul, dan Suana berhasil ~ 151 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature menangkap/memancing ikan tongkol dalam jumlah yang sangat banyak. Karena jumlahnya sangat banyak, sebagian ikan tongkol dijual/dipasarkan dalam keadaan mentah di pasar Mentigi, Kutampi, dan Toyapakeh, atau dijual berkeliling ke rumah warga oleh tengkulak ikan. Sebagian lagi ikan tongkol itu dibuat pindang, dengan cara direbus bersama garam yang cukup agar hasil rebusan dengan kematangan tertentu dapat bertahan lama/tidak cepat membusuk. Orang Nusa, sebutan singkat untuk orang Nusa Penida, sesungguhnya telah memiliki kebanggaan atas sebutan bahwa orang Nusa itu “pintar-pintar”. Sebutan ini diberikan oleh orang luar, orang Bali khususnya Klungkung, karena putra/putri, pelajar SMA/sederajat dari Nusa Penida tampil “merajai” dunia pendidikan dengan prestasi akademik yang mengagumkan. Berdasarkan capaian prestasi akademik tersebut kemudian muncul mitos Nak Nusa ndas pindang, maksudnya orang Nusa Penida itu pandai-pandai (lit. orang Nusa kepada ikan tongkol yang direbus). Hal ini pun dapat menghibur orang Nusa Penida atas “pelecehan” yang selama puluhan tahun diterima karena keadaan Nusa Penida yang kering. Mitos itu dapat dilacak dalam kehidupan nyata menu makanan sehari-hari orang Nusa (lihat Levi-Strauss dalam Duranti, 1997:33 dan Lansing, 1974). Bagi orang Nusa, nasi yang terbuat dari jagung atau ketela pohon (hanya orang tertentu yang makan nasi beras) akan terasa enak bila lauk/sayurnya pindang. Ndas ‘kepala’ adalah bahasa Bali lumrah, baik untuk manusia maupun binatang, menunjukkan kesamaan, yakni tempat otak. Otak pada manusia, dalam hal ini, dipakai untuk berpikir. Kepintaran orang Nusa yang diakui oleh orang luar merupakan kebanggaan sekaligus prestise dalam hal ilmu pengetahuan walaupun bahasanya “jekek”. Boleh jadi orang luar menganggap remeh orang Nusa karena keadaan geografi dan bahasanya, namun mereka merasa “menang” karena orang luar “angkat topi” atas prestasi mereka dalam pendidikan. Dengan demikian, telah terjadi sikap dwi-muka pada orang luar terhadap orang Nusa.

Prestise Bahasa Para ahli bahasa Bali menyebut bahasa yang dituturkan oleh orang Nusa Penida sebagai sebuah dialek, dialek Nusa Penida. Sementara itu, orang awam menamakannya basa Nusa. Bahkan, orang luar (Kusamba dan sekitarnya ) menjulukinya sebagai bahasa kola-eda. Kola ‘saya, aku’ dan eda ‘engkau, kamu’ masing-masing sebagai prononina persona I dan II tunggal. Dalam percakapan kedua pronominal ini paling sering muncul sehingga paling mudah diingat. Akan tetapi, sadar atau tidak, kedua pronomina persona tersebut sering dipakai “mengolok- olok” orang Nusa Penida. Kenyataan sehari-hari memang orang Kusamba dan sekitarnya yang kerap berhadapan muka dengan orang Nusa Penida. Di situlah terjadi “olok-olokan” itu, baik di depan umum maupun di rumah. Perhatikan bentuk olok-olokan yang dimaksud :

Basa Nusa : Lepeh kola ‘Lelah aku’ Eda ke jaha ‘Kamu pergi ke mana’

Berdasarkan kenyataan di atas dapat dilihat sebuah “potret” perilaku bahasa pada orang Nusa Penida, yang apabila ditampilkan di depan umum terasa tidak nyaman. Karena “ketidaknyamanan” ini, orang Nusa Penida berusaha membentuk sebuah “potret” yang nyaman

~ 152 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature melalui perilaku bahasa berupa kemampuan berbahasa Bali. Dengan demikian, pertanyaan yang perlu dijawab untuk sebuah prestise bahasa adalah “media apa yang menjadi saluran dan siapa aktor d ibalik pencapaian prestise bahasaa itu?”

Fungsi Bahasa Bahasa Bali sebagai bahasa baku/umum secara simbolis memiliki fungsi pembawa wibawa (bdk. Suhardi, 1996) atau prestise. Sehubungan dengan itu, sosiolinguistik sebagai studi penggunaan bahasa, di antaranya terlihat jelas dalam perbedaan konteks interaksional (Bonvillan, 2003), berisikan tema-tema berikut. Pertama, teori bahasa memperikutkan (entails) organisasi tuturan, tidak hanya gramatika. Kedua, dasar-dasar teori dan metodologi menyangkut pertanyaan tentang fungsi, tidak hanya struktur. Ketiga, komunitas tuturan merupakan organisasi tentang cara-cara berbicara dan tidak dapat didefinisikan berdasarkan ciri-ciri gramatika itu sendiri. Keempat, kompetensi adalah kemampuan personal untuk berkomunikasi secara tepat dalam konteks tertentu, tidak sekadar pengetahuan gramatikal. Kelima, bahasa adalah apa yang penggunanya telah perbuat untuknya, tidak hanya apa yang telah diberikan alam kepada penggunanya (Salzmann, 1998:214, diadopsi dari Hymes, 1974). Tema-tema tersebut memperlihatkan saling pengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku sosial (periksa juga Kridalaksana, 1982). Oleh karena itu, tema-tema itu relevan diterapkan pada studi kasus mengenai kepentingan individu untuk menguasai bahasa yang memiliki prestise, tidak hanya persoalan gramatika, dalam hal ini, bahasa Bali yang dijuluki oleh orang Nusa Penida sebagai bahasa tiang-nggih ‘aku-ya’ (halus) Organisasi tuturan berpengaruh pada kenyamanan bertutur. Karena bahasa yang dituturkan menyangkut fungsinya secara sosial, yakni sebuah prestise, bahasa tidak hanya menyangkut struktur. Dengan demikian, repertoar linguistik ini secara total dapat membentuk interaksi sosial yang signifikan (Daranti, 1997 : 71). Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengecilkan, bahkan meniadakan sebuah bahasa agar hilang / punah karena fungsinya bukan sebagai acuan untuk komunikasi umum, dalam hal ini, yang memiliki “status” (Bell, 1978 : 182 – 183). Orang-orang tertentu/personal berkepentingan memiliki kemampuan berkomunikasi dalam konteks tertentu. Dengan demikian, antara bahasa baku/umum dan dialek telah berbagi fungsi dalam masyarakat. Pengguna dapat memanfaatkan bahasa yang diberikan oleh alam.

Data dan Analisa • Data Untuk kepentingan analisis, tulisan ini mendasarkan diri pada “data rekaman” penulis sendiri yang bersifat komulatif, dalam kurun waktu yang lama, yakni sejak tahun 1970 sampai dengan saat ini. Berbagai pesan dan pemahaman diperoleh di lokasi, seperti pelabuhan, pasar, sekolah/kampus, dan rumah tinggal yang menjadi tempat berkumpulnya orang/pelajar, terutama saat liburan sekolah. Oleh karena itu, data dan analisis bersifat kualitatif, deskripsi atas data pengamatan penulis sendiri (alangkah baiknya pada kesempatan lain disertai data/ analisis kuantitatif). Secara umum, hubungan personal dan status sosial (pendidikan) sangat menentukan penggunaan bahasa Bali. Sebagai contoh, partisipan pertuturan yang lebih muda berbahasa tiang–nggih kepada yang lebih tua karena hubungan personal itu, apalagi sama-sama terpelajar atau yang lebih tua terpelajar. Kami orang Nusa Penida, yang lama tinggal di Bali, pada ~ 153 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature saat berkumpul dengan keluarga, kerabat atau tetangga tidak lagi menggunakan basa Nusa, paling tidak bahasa Bali tiang sing ‘saya - tidak’ bukan kola–endek. Fakta linguistik ini sudah merupakan petunjuk bahwa orang Nusa Penida berkeinginan menggunakan bahasa Bali secara baik dan benar.

Analisis • Perilaku Bahasa Dilihat dari segi strukturnya tidak ada perbedaan antara dialek Nusa Penida dan bahasa Bali. Perbedaan keduanya tampak pada fonem /h/, dalam sejumlah kata, kosakata, dan pronomina persona. Pertama, sejumlah kata dialek Nusa Penida ditandai dengan /h/, di awal atau di tengah, sedangkan bahasa Bali tidak. Contoh : Dialek Nusa Penida Bahasa Bali Makna habas abas retas habian abian kebun honya onya/telah habis hud kuud kelapa muda bekang bang beri bekas baas beras gakuk gauk garuk kahet kaet/gugut gigit

Kedua, perbedaan ditandai oleh bentuk kata. Contoh: Bahasa Dialek Nusa Penida Makna Bali beteg nakal bandel endek sing/tusing tidak jahan kejep nanti karok saru tenang kekit bedik sedikit lepeh kenyel lelah lohuh luh perempuan merangkat mekurenan kawin/menikah

Ketiga, perbedaan dapat dilihat pada pronomina persona

Pronomina Persona Dialek Nusa Penida Bahasa Bali Makna Pron. I Tunggal : kola tiang saya, aku Jamak : Ekskl : - Inkl : eba iraga kita

Pron. II Tunggal : eda cai engkau, kamu Jamak : eda honyange cai makejang kalian, kamu sekalian

Pron. III Tunggal : ia ia dia Jamak :- a ia pada mereka

~ 154 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Selanjutnya, penting dikemukakan bahwa dialek Nusa Penida tidak mengenal tingkatan bahasa, sebagaimana bahasa Bali yang mengenal alus – kasar ‘bahasa halus dan kasar’. Walaupun demikian, sebagai informasi saja bahwa di Nusa Penida terdapat dua desa/kampung, yakni Desa Batununggul dan Kampung Toyapakeh, yang menggunakan bahasa Bali. Akan tetapi, orang-orang di dua tempat itu diperkirakan bukan penduduk asli. Perilaku bahasa seperti di atas menciptakan kesenjangan yang berarti bagi penutur dialek Nusa Penida. Mereka merasa tidak nyaman bercakap-cakap dengan sesama orang Nusa bila ada orang Bali di sekitar mereka. Kenyamanan komunikasi, dalam hal ini, mengacu pada anggapan bahwa penggunaan bahasa Bali jauh lebih enak/indah di telinga. Perhatikan dialog di bawah ini yang berasal dari Drama Gong Nusa, dalam adegan “perburuan” dengan pemeran utamanya anak belasan tahun dan kedua panakawanya yang seusia (pertunjukan berlangsung di Br Tanah Bias, Ped, Tahun 1970, dengan penonton sebagian besar orang Nusa dan hanya beberapa orang yang berasal dari Klungkung. Raja : eh, parekan, mlahib nyohung! (Pemeran Uatama ‘Hai, panakawan, lari ke bawah’ Panakawan : Ngoda nyohung menggah ‘Mengapa ke bawah, ke atas’

Orang tertentu hanya memahami kosakata bahasa Bali yang sangat terbatas. Kata-kata yang mirip memang dipahami, namun ciri khas dialek Nusa Penida tetap melekat. Mendengar dialog tersebut, apa reaksi penonton. Orang Nusa sendiri terdengar menggerutu : “ngoda henta“, mengapa seperti ini. Maksud penonton mengapa tidak menggunakan bahasa Bali. Hal ini menunjukkan bahwa sejak dahulu orang Nusa menginginkan diri mereka mampu berbahasa Bali terutama berkomunikasi di depan umum.

4.2 Perilaku Sosial Dalam konteks sosial, orang Nusa ingin menyamai orang Bali dalam hal penggunaan bahasa Bali. Oleh karena itu, penguasaan bahasa Bali sebagai prestise diperlukan oleh mereka. Prestise berarti wibawa (perbawa) yang berkenaan dengan prestasi atau kemampuan seseorang. Jadi, prestise bahasa berarti penggunaan bahasa dengan tujuan agar kawibawaan tumbuh dalam diri seseorang. Untuk tujuan itu seseorang harus menunjukkan kemampuan berbahasa Bali.

4.2.1 Kemampuan Berbahasa Bali Meniadakan dialek Nusa Penida atau membiarkan bahasa itu punah bukanlah perilaku sosial yang dapat dibiarkan. Dialek Nusa Penida tetap hidup dan dipakai oleh orang Nusa. Fakta menunjukkan bahwa orang Nusa yang tinggal di pegunungan hampir tidak ada yang berinteraksi dengan orang Bali. Sebaliknya, orang Nusa yang tinggal di pantai/pesisir, yang oleh orang pegunungan dianggap sebagai “kota”, kerap berinteraksi dengan orang Bali (Kusamba dan sekitarnya). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa prestise bahasa itu diperlukan orang-orang Nusa “pilihan”, misalnya sebagai kepala desa, guru, tenaga medis di puskesmas, karyawan kecamatan dan lain-lain harus menunjukkan kemampuan berbahasa Bali yang biasa disebut basa tiang-nggih seperti yang telah disinggung sebelumnya. Secara singkat, masyarakat secara tidak langsung menginginkan orang-orang pilihannya mampu berbahasa Bali yang baik dan benar. Jadi, prestise bahasa itu lebih bertalian dengan fungsi sosial seseorang. Sebaliknya, penggunaan dialek Nusa Penida tetap mengemban fungsi ~ 155 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature sebagai “bahasa keluarga”

Media Pembelajaran Ada sejumlah media yang telah dan sedang efektif menjalankan fungsinya sebagai saluran pembelajaran bahasa Bali sebagai prototipe bahasa yang berprestise. Media tersebut adalah sekolah, perdagangan, dan ritual keagamaan.

• Sekolah Sekolah merupakan media yang penting bagi anak-anak Nusa Penida dalam mendalami bahasa Bali. Selama tiga tahun pelajar SMA/sederajat bergaul dengan anak-anak orang Bali. Pada umumnya mereka menggunakan bahasa Bali dalam berinteraksi. Jumlah mereka belum dapat dipastikan, namun setiap tahun terjadi urbanisasi ke kota Klungkung untuk melanjutkan sekolah. Urbanisasi terhenti karena sebagian besar tamatan SMP melanjutkan SMA-nya di Nusa Penida (setelah pendiriannya sekitar tahun 1990-an) akan tetapi, banyak tamatan SMA yang melanjutkan studi ke universitas, baik Denpasar maupun Singaraja. Mereka bertemu dengan mahasiswa orang Bali yang pada umumnya menggunakan bahasa Bali. Mereka juga ngekos pada keluarga orang Bali. Dengan demikian, dapat dibayangkan berapa jumlah pelajar, mahasiswa, dan sarjana (yang bekerja di Bali) yang mampu berbahasa Bali. Namun, bahasa Bali yang mampu digunakan adalah bahasa Bali yang umum saja, bukan bahasa Bali yang rumit sesuai dengan tingkatan sosial masyarakat Bali.

• Perdagangan Pedagang, termasuk saudagar kopra, sapi, babi dan ayam, boleh dikatakan hilir mudik Nusa-Bali (Klungkung atau Badung ) bertransaksi barang dagangan dengan orang Bali atau Cina (barang berupa kopra) dengan menggunakan bahasa Bali. Pedagang sembako, sayur- mayur, lauk-pauk, minuman soft drink, dan bermacam roti, dan pedagang kain/pakaian mencari/ membeli barang dagangan ke Bali. Sementara itu, saudagar membawa/menjual hewan-hewanya ke pelabuhan Kusamba, Padangbai, Sanur dan Benoa. Keadaan ini sudah berlangsung sejak lama dan transaksi menggunakan bahasa Bali. Dalam bertransaksi mereka berusaha menggunakan bahasa Bali sesuai dengan keperluan. Namun, saat di rumah bersama keluarga dan tetangga mereka menggunakan basa Nusa. Hal ini merupakan gejala yang positif dalam rangka pemertahanan dialek bahasa yang bersangkutan.

• Ritual Keagamaan Pendeta dan/atau pemangku dalam berinteraksi dengan umatnya senantiasa menggunakan bahasa Bali. Pemangku yang berasal dari Nusa Penida (pendeta tidak ada yang berasal dari Nusa Penida) mau tidak mau harus menggunakan bahasa Bali, apabila berkomunikasi dengan pendeta. Dengan demikian forum formal keagamaan mendorong orang Nusa untuk mampu berbahasa Bali.

Simpulan Fakta bahwa basa Nusa sebagai sebuah dialek yang mempunyai keterbatasan fungsi, sebaliknya bahasa Bali sebagai bahasa baku/umum yang kedudukan dan fungsinya diatur dalam

~ 156 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature kebijakan pemerintah dalam bidang kebahasaan. Selain sebagai lambang kebanggaan daerah, bahasa Bali juga sebagai pendukung kebudayaan Bali. Masyarakat Nusa Penida secara sadar ingin menguasai bahasa Bali karena kedudukan dan fungsinya tersebut. Sebab di balik kesadaran itu terselip “prestise” tersendiri jika mereka mampu menggunakan bahasa Bali.

DAFTAR PUSTAKA

Bell, R.T. 1978. Sociolinguistics : Goals, Approaches and Problems. London : B.T. Batsford Ltd

Bonvillain, N. 2003. Language, Culture, and Communication : The Meaning of Messages. Upper Saddle River, New Jersey : Pretice Hall

Duranti, A. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge : Cambridge University Press.

Kridalaksana, H. 1982. Kamus Linguistik, Jakarta : PT Gramedia.

Lansing, J.S. 1974. Evil in the morning of the world : Phenomenological Approaches to a Balinese Community, Michigan Papers on South and Southest Asia.

Suhardi, B. 1996 Sikap Bahasa : Suatu Telaah Eksploratif atas Sekelompok Sarjana dan Mahasiswa di Jakarta. Depok : Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Salzmann, Z. 1998 Language, Culture, and Society : An Introduction to Linguistic Anthropology. USA : Westview Press.

~ 157 ~ ~ 158 ~ KETERWARISAN PROTO-KATA AUSTONESIA *asu ‘ANJING’ DALAM BAHASA BALI

I Ketut Paramarta Universitas Pendidikan Ganesha [email protected]

ABSTRACT Bahasa Bali merupaka salah satu subkelompok tersendiri dalam rumpun proto-bahasa Austronesia (PAN). Sebagai bahasa yang memiliki hubungan keseasalan, unsur-unsur PAN dipastikan terwaris dalam Bahasa Bali. Salah satu unsur kebahasaan yang dapat membuktikan adanya hubungan keasalan bahasa-bahasa kerabat adalah keterwarisan kosakata purba (etimon sebagai hasil rekonstruksi perangkat kata seasal). Kosakata purba itu merupakan simbol verbal yang merepresentasikan lingkungan nyata dan pola-pola budaya (ekosistem kebudayaan) purba yang sangat dekat dengan penutur PAN. Proto-kata Austronesia *asu ‘anjing’ merupakan cerminan kekhususan ekologi penutur purba PAN yang termasuk dalam kosakata dasar (fundamental vocabulary). Menurut Pagel (2009:406- 407) kosakata dasar cenderung berkembang sangat lambat dalam bahasa-bahasa kerabat dan bersifat melawan (resistant) terhadap pengaruh dari luar dan peminjaman dari unsur bahasa lain. Bagaimana kebenaran pernyataan Pagel tersebut? Hal tersebut menjadi menarik untuk dibuktikan. Penjejakan unsur-unsur terwaris dalam bahasa-bahasa kerabat berpijak pada dua hipotesis, yakni hipotesis keterhubungan dan hipotesis keteraturan (Jeffers dan Lehiste, 1979:17; Hock, 1988:567). Ciri umum yang dimiliki hipotesis keterhubungan ini adalah kemiripan dan kesamaan wujud kebahasaan. Salah satu ciri yang paling diandalkan adalah kemiripan bentuk dan makna kata-kata. Kata-kata yang memiliki kemiripan atau kesamaan bentuk dan makna merupakan kosakata seasal (cognat set) bukan sebagai pinjaman, kebetulan, ataupun kecenderungan semesta, melainkan dihipotesiskan sebagai warisan dari asal usul yang sama.Sementara itu, hipotesis keteraturan berwujud perubahan bunyi yang bersistem dan teratur pada bahasa-bahasa turunan. Korpus data dalam tulisan ini berupa data lisan dan data tulisan. Data lisan bersumber dari tuturan sehari-hari penutur bahasa Bali khususnya yang keseharianya sangat dekat dengan fauna anjing. Data tulisan bersumber dari teks tulisan berupa salinan prasasti dan lontar Carcan Asu (nama- nama jenis anjing). Sumber-sumber data tersebut diyakini menyimpan beragam kosakata dalam bahasa Bali, khususnya terkait fauna anjing yang dihipotesiskan memiliki keterhubungan bentuk dan makna dengan kosakata purba PAN. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode perbandingan sinkronis atau sinkomparatif dan metode perbandingan diakronis atau diakomparatif.

Kata Kunci: proto-kata, bahasa Austronesia, anjing, bahasa Bali

PENDAHULUAN Salah satu fakta yang tidak terbantahkan adalah bahasa sejak semula sangat rentan terhadap perubahan. Oleh karena itu, manusia tidak pernah berhenti pada keadaan bahasa yang sekarang. Manusia tidak pernah berhenti meneliti hubungan kata-kata dengan objek yang dirujuknya, manusia terus menerus menelusuri kata-kata sampai sumber-sumbernya. Dari kata-kata derivatif, para peneliti bahasa khususnya peneliti LHK kembali ke kata-kata primer; menemukan etimon, bentuk murni, dan bentuk asal tiap-tiap kata. Unsur-unsur Protobahasa Austronesia (PAN) dipastikan terwariskan dalam Bahasa Bali (selanjutnya disingkat BB). Salah satu unsur kebahasaan yang dapat membuktikan adanya hubungan keasalan bahasa-bahasa kerabat adalah keterwarisan kosakata purba (etimon sebagai hasil rekonstruksi perangkat kata seasal). Etimon-etimon itu merupakan simbol verbal yang merepresentasikan lingkungan dan pola-pola budaya purba yang sangat dekat dengan masyarakat Austronesia yang diperkirakan telah berlangsung sejak 6000 tahun yang lalu (Bellwood, 2000:228). Rekonstruksi sejumlah etimon proto-Austronesia tersebut telah dibuktikan oleh

~ 159 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature sejumlah peneliti LHK, seperti Blust (1969), Dempwolff (1938), dan Dyen (1982). Kosakata purba Austronesia *asu ‘anjing’ (Blust, 2010) merupakan salah satu artefak verbal (dalam wujud proto-kata) yang merepresentasikan lingkungan dan pola budaya purba penutur Proto-Austronesia, yaitu memelihara anjing. Berdasarkan fakta-fakta bahasa yang ditemukan, kosakata purba tersebut masih terwaris dalam sejarah perkembangan BB bahkan berkembang secara kreatif menjadi beragam leksikon.

Keterwarisan Kosakata Purba (Proto-Austronesia) *asu ‘anjing’ dalam Sejumlah Rumpun Bahasa Austronesia Kosakata purba tentang fauna anjing yang merefleksikan realitas lingkungan (fisik dan sosial) merupakan satuan lingual yang sangat dekat dengan manusia dan pola budaya purba penutur Proto-Austronesia (Bellwood, 2000:160). Hipotesis tersebut diperkuat dengan keterwarisan proto-kata Austronesia tentang fauna anjing pada sejumlah rumpun bahasa proto- Austronesia (PAN). Bahasa-bahasa yang mewarisi kosakata purba PAN tentang fauna anjing termasuk ke dalam tiga kelompok besar PAN, yaitu kolompok bahasa Formosa (mewakili wilayah sebaran Austronesia bagian utara), kelompok bahasa Melayu Polinesia Barat (mewakili wilayah sebaran Austronesia bagian barat), dan kelompok bahasa Melayu Polinesia Tengah- Timur (mewakili wilayah sebaran Austronesia bagian timur). Keterwarisan kosakata purba PAN tentang fauna anjing dalam sejumlah rumpun bahasa PAN (Formosa, Melayu Polinesia Barat, Melayu Polinesia Tengah-Timur) berupa perangkat kata kerabat yang membangun identitas bersama dan identitas mandiri sebagai bahasa turunan yang tumbuh secara mandiri. Sebagai identitas bersama, keterwarisan kosakata purba PAN tentang fauna anjing merupakan fakta bahasa yang saling berhubungan karena berasal dari asal yang sama. Perangkat kata kerabat tersebut disusun berdasarkan fakta-fakta linguistik historis dalam dinamika bahasa PAN hingga menjadi bahasa-bahasa turunan seperti sekarang. Sebagai identitas mandiri, pewarisan kosakata purba PAN tentang fauna anjing dalam sejumlah rumpun bahasa menunjukkan sejumlah perbedaan (pola pewarisan). Hal tersebut adalah wujud kemandirian bahasa-bahasa turunan yang tumbuh dan berkembang sebagai bahasa yang mandiri setelah berpisah dengan moyang bahasanya. Berikut adalah kosakata purba PAN tentang fauna anjing yang sangat dekat dengan pola budaya purba penutur Proto-Austronesia yang terwaris dalam sejumlah rumpun bahasa Austronesia (Formosa, Melayu Polinesia Barat, Melayu Polinesia Tengah-Timur).

Tabel 2. Etimon PAN *asu ‘anjing’ dan kosakata kerabat pada rumpun bahasa Austronesia BAHASA KATA KERABAT MAKNA PROT O-AUSTRONESIA *asu ‘anjing’ Kelompok Bahasa Formosan Saisiyat ‘anjing’ Qh¿

Thao atu ‘anjing’ Bunun asu ‘anjing’ Siraya asu ‘anjing’

~ 160 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

Kelompok Bahasa Melayu Polinesia Barat Isneg ‘anjing’ a@to Itawis ‘anjing’ a@tu

Ilongot atu ‘anjing’ Casiguran ‘anjing, anjing yang digunakan untuk memburu aso@ Dumagat babi dan kijang’ Bontok ‘anjing’ ?a@so Kankanaey ‘anjing, anjing betina’ aso@ Ifugaw ‘anjing’ a@hu Tagalog ‘anjing’ a@so

Bintulu asew ‘anjing’ Kapuas ‘anjing’ asu?

Gayo asu ‘anjing’

Batak Toba asu ‘anjing’

Simalur asu ‘anjing’

Nias asu ‘anjing’

Lampung asu ‘anjing’

Jawa Kuna asu ‘anjing’

Jawa asu ‘anjing’

Bali asu ‘anjing’

Sasak asu, asoN, basoN ‘anjing’

Sumbawa acoN ‘anjing’

Bugis asu ‘anjing’

Makasar asu ‘anjing’

Mandar asu ‘anjing’ Isneg ‘anjing’ a@to Itawis ‘anjing’ a@tu

Ilongot atu ‘anjing’ Casiguran ‘anjing, anjing yang digunakan untuk memburu aso@ Dumagat babi dan kijang’ Bontok ‘anjing’ ?a@so Kankanaey ‘anjing, anjing betina’ aso@ Ifugaw ‘anjing’ a@hu Tagalog ‘anjing’ a@so

~ 161 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Melayu Polinesia Tengah-Timur

Manggarai acu ‘anjing’ Sika ‘anjing’ ?ahu

Kambera ahu ‘anjing’

Roti asu ‘anjing, hanya dalam bahasa ritual’

Kemak asu ‘anjing’

Tetun asu ‘anjing’

Leti asu ‘anjing’

Santa Catalina ausu ‘anjing’

Fagani au ‘anjing’

Arosi misu ‘anjing’

Bauro aou ‘anjing’ Longgu ‘anjing’ ?osu Sa’a ‘anjing’ ?usu

Manggarai acu ‘anjing’ Sika ‘anjing’ ?ahu

Kambera ahu ‘anjing’

Roti asu ‘anjing, hanya dalam bahasa ritual’ Sumber: Greenhill, Blust, & Gray (2008).

Keterwarisan kosakata kerabat di atas merupakan evidensi kekerabatan dan keseasalan dari satu moyang bahasa yang sama, yaitu proto-Austronesia. Proto-kata PAN *asu ‘anjing (generik)’ terwaris dalam bahasa Bali menjadi asu ‘anjing’. Apabila diamati, etimon PAN *asu ‘anjing (generik)’ terwaris dalam bahasa Bali dengan mengalami retensi. Hal ini merupakan fakta bahasa yang menunjukkan bahwa segmen-segmen bunyi, posisi bunyi, dan makna dari pasangan kosakata kerabat tersebut tetap bertahan dan tidak mengalami perubahan bentuk dan makna dalam BB.

Evolusi Proto-Kata Austronesia *asu ‘anjing’ dalam Bahasa Bali Proto-kata Austronesia *asu ’anjing’ telah terbukti mengalami retensi menjadi asu ’anjing’ dalam sejarah perkembangan BB (Bahasa Bali Kuna (BBK), Bahasa Bali Tengahan (BBT), dan Bahasa Bali Baru (BBB)). Anjing (Canis familiaris) adalah binatang menyusui yang biasa dipelihara untuk menjaga rumah, berburu, dan sebagainya (KBBI Daring, 2008 (http://badanbahasa.kemendikbud.go.id/kbbi/)). Dalam sejarah perkembangan BB, kata yang digunakan untuk merujuk pada makna dasar anjing tidak hanya asu saja. Sejumlah kosakata tentang anjing yang ditemukan dalam sejarah perkembangan BB adalah sebagai berikut.

~ 162 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

Etimon PAN BBK BBT BBB Makna ‘anjing (generik)’ *asu asu asu asu ‘anjing’ - - basoN ‘anjing betina dewasa’ - - kuluk ‘anjing jantan dewasa’ - - ciciN ‘anak anjing’ - - kon)oN - kirik - ‘anak anjing’ - swana - ‘anjing, anjing hutan/ pemburu’ cadar ‘anjing hutan/ pemburu’

Data di atas menunjukkan bahwa proto-kata *asu ‘anjing’ yang terwaris menjadi asu ’anjing’ dalam BBK memiliki bentuk lain, yaitu cadar ’anjing hutan, anjing pemburu’. Data BBK adalah data tertulis yang terbatas pada peninggalan-peninggalan prasasti. Keterbatasan kosakata tentang fauna anjing dalam BBK bukanlah cerminan penutur BBK sedikit memiliki kosakata yang terkait dengan anjing. Kutipan prasasti BBK berikut ini menunjukkan masyarakat penutur BBK sangat menghargai dan melindungi keanekaragaman hayati (anjing) dari upaya perburuan liar atau segala bentuk eksploitasi yang tidak memperhatikan kelestarian alam.

tan dampulana sapi, bisar, wdus, celeN, asu, itik hayam, manuk, kitiran, putir, --- hayamalas ‘jangan mencuri sapi, kerbau kecil, kambing, babi, anjing, itik, ayam, burung ketitiran, burung balam, dan burung punai’ (Granoka dkk., 1983).

Kutipan prasasti BBK di atas menunjukkan bahwa asu ’anjing’ adalah hewan yang sangat dekat dan dibutuhkan oleh masyarakat penutur BBK sehingga ada aturan yang tertuang dalam prasasti yang melarang pencurian terhadap hewan tersebut. Asu ’anjing’ oleh penutur BBK merupakan hewan piaraan yang dimanfaatkan untuk membantu masyarakat dalam berburu di hutan. Hal ini dibuktikan dengan munculnya istilah tuhan cadar ’pemimpin anjing pemburu’ dalam BBK. Proto-kata Austronesia *asu ‘anjing’ yang terwaris menjadi asu ’anjing’ dalam BBT berkembang menjadi beragam leksikon yang memiliki hubungan kemiripan dan/ atau penambahan pada makna dasar anjing, seperti kirik ’anak anjing’, dan swana ’anjing, anjing hutan atau anjing pemburu’. Kata swana ’anjing hutan/pemburu’ dihipotesiskan merupakan akronim dari asu wana (asu ’anjing’, wana ’hutan’). Hipotesis tersebut didasarkan atas penemuan data tertulis BBT tentang nama-nama anjing (berdasarkan karakter fisik dan perilaku) yang digunakan sebagai anjing pemburu di hutan. Data tersebut berupa naskah lontar dengan judul Carcan Asu ’nama atau jenis-jenis anjing’ yang masih tersimpan hingga saat ini di Museum Gedong Kirtya Singaraja. Selain ditemukan kata swana untuk merujuk pada anjing pemburu, Gambar (t.t.) dalam bukunya yang berjudul Kamus Dasa Nama Basan Caru, Dharma Pacaruban (kamus sinonim istilah-istilah yang digunakan dalam hal pacaruan ’korban suci’) juga menemukan sejumlah kosakata yang merujuk pada makna anjing pemburu dalam BBT. Kosakata tersebut adalah sebagai berikut: nohkaya, m«r«g«daNsa, wapaka, c«dar, sunahar, kuhkura, sarameya, sarawereksa, seraba, tambra, cambari, dan m«r«g«ripu. Kata c«dar

~ 163 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature ’anjing pemburu’ yang ditemukan oleh Gambar dalam BBT merupakan warisan dari kata cadar ’anjing hutan/pemburu’dalam BBK. Proto-kata Austronesia *asu ‘anjing’ yang terwaris menjadi asu ’anjing (generik)’ dalam BBB berkembang menjadi beragam leksikon, seperti: basoN ’anjing’, kuluk ’anjing betina dewasa’, ciciN ’anjing jantan dewasa’, dan kon)oN ’anak anjing’. Dalam realitas komunikasi sehari-hari, pemakaian kata asu ’anjing’ dianggap memiliki rasa bahasa yang lebih santun daripada kosakata yang lain. Kata kuluk, ciciN, dan kon)oN masih lazim digunakan dalam kehidupan sehari-hari penutur BBB. Sementara itu, kata basoN ’anjing’ sudah jarang digunakan oleh penutur BBB dewasa ini. Kata kuluk dan ciciN oleh sebagian penutur BBB sekarang dianggap mengacu pada makna yang sama, yaitu ’anjing’. Padahal, berdasarkan wawancara dengan salah seorang narasumber (Bapa Sadia), diperoleh keterangan bahwa ada perbedaan (makna tambahan) di antara kedua kata tersebut. Kata kuluk mengacu pada makna lebih spesifik (makna tambahan), yaitu ’anjing betina dewasa’, sedangkan kata ciciN mengacu pada makna ’anjing jantan dewasa’.

DAFTAR PUSTAKA

Bellwood, P. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Blust, R. A. dan Trussel. 2010. Austronesian Comparative Dictionary, web edition. http//www.trussel2.com.acdc/ acdc/-pl.htm. Dempwolff, Otto. 1938. Austronesisches Wortverzichnis. Berlin: Dietrich Reiner. Dyen, Isodore, 1982. “The Present Status of Some Austronesian Subgrouping Hypothesis”, dalam Halim dkk. (Eds). Papers from the TICAL. PL Series C, No 75, Vol. 2: 31-35. Gambar, I Made. (Tanpa Tahun). Kamus Dasa Nama, Basan Caru, Dharma Pacaruban. Denpasar: Cempaka 2 Granoka, Ida Wayan dkk. 1983. Kamus Bahasa Bali Kuno-Indonesia. Denpasar: Proyek Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Greenhill, S.J., Blust, R. & Gray, R.D. 2008 “The Austronesian Basic Vocabulary Database: from bioinformatic to lexomic”. Evol. Bionformatics 4, 271-283. Jeffers, Robert J. and Lehiste. 1979. Principle and Method for Historical Linguistic. Cambridge, Massachusetts and London, England: The MIT Press. Pagel, M. 2009. “Human Language as a Clturally Transmitted Replicator”. Nature, Vol. 10: 405-415. Pusat Bahasa, 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Jaringan (KBBI Daring). Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. http://badanbahasa.kemendikbud.go.id/kbbi/

~ 164 ~ BAHASA MELAYU BRUNEI DARUSSALAM DALAM HIKAYAT DANG SUASA

I Ketut Riana Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana

ABSTRAK Hikayat Dang Suasa adalah sebuah karya sastra yang digolongkan sebagai “Cerita Panji”. Ini amat sejalan dengan isi karya sastra yang berjumlah 24 buah naskah, diterbitkan menjadi Hikayat Dang Suasa. Secara lengkap karya sastra uni mengisahkan bahwa tiga buah kerajaan yang bersudara yakni: (a) Kerajaan Jawa Angkadiri Dhrul Indera Mercu Kemala (b) Negeri Jenggala Kaling Dahrul AlamMercu Manikam, rajanya Baginda Nilam Darwati Indera, dan (c) Baginda Mercu Negara Pertama Selanjutnya, ketiga kerajaan tersebut mempyai seorang puteri yang amat canti, berwiwawa, dan mulia. Sang Puteri bernama Tuan Outeri Amas, karena cantiknya Sang Puteri dilamar 790 putera-putera raja di sekitar kerajaan tersebut . Lamran putera-putera raja itu ditolak oleh Bagina di Jawa Angkadiri Dahrul Indea Mercu Kemala. Lalu, kesemua putera puter- raja berkumpul di kerajan Jterseut Sang Baginda merasa khawatir negerinya akan diserang oleh putera-putera raja tersebut, sehingga kerajaannya binasa. Sang Baginada berniat membunuh puterinya, namun Pengiran Bendahara menyelamatnnya dengan membuangnya ke tengah laut, bersama pengawal dan kedua inang pengasuhnya. Encik Siti laki-bini Sang Pengasuh Tuan Puteri Amas, menyarankan Tuan Puteri Amas bersalin rupa menjadi laki-laki, dengan memuing rambutnya, dan berbusana laki-laki. Sarannya diterima, dan Tuan Puteri Amas berganti rupa menjadi laki-laki bergelar Dang Suasa

1. Pengantar Sastera Lisan Melayu Brunei Darussalam diharapkan tetap terjaga dan terwarisi, karena pada masa kesusastran pratulis amat banyak karya sastera Mekayu Brunei Darussalam, khususnya tradisi lisannya yang dinyatakan sebagai tuturan. Sastra lisan tersebut amat penting dalam kehidupan masyarakat, karenanya diusahakan dapat dipertahankan dengan sebaik- baiknya (Awang bin Ahmad, 2000:: 1). Berkenaan dengan tujuan tersebut Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei, Kementerin Kebudayaan Belia dan Sukan banyak menerbitkan karya sastra lisan seperti: Diangdangan Bujang Sigandam, Hikayat Awang Kamaruddi, Hikayat Awang Si Ampok dan Hikayat Dang Suasa I, II Dalam kaitannya pelestarian Bahasa Melayu Brunei Darussalam tersebut, pada tarikh 14-16 Jumado;akhir 1424 14-16 Ogos 2003, Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei Darussalam, mengadakan “Seminar Pengkajian Manuskrip Lama Melayu”. Dan penulis mendapa undangan mengikuti seminar tersebut, setelah beberapa kali menulis makaalah pada terbitan Jurnal Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei Darussalam. Penulis membawakan makalah berjudul “Bahasa Melayu pada Manuskrip Bali Kuna dan Keterpakaiannya pada Desa Kuna di Bali” (I Ketut Riana, I 2003). Setelah pertemuan tersebut selesai “Panitia Seminar” menghadiahkan beberapa pustaka serta buku Sambutan Hari Kebangsaan ke-18 Negara Brunei Darussalam 10 Zulhijah1422/ 23 Februari 2002, dan Sambutan Hari Kebangsaan Negara Brunei Darussalam ke-19, 2003 21 Zulhijah 1423/23 Februari 2003.Teks yangdikaji dalam seminar ini adalah sebuahbuku yang berjudul “Hikayat Dang Suasa (Bilanga 1), hadiah yang penils terima dalam seminar ini.

~ 165 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature 2. Hikayat Dang Suasa Tradisi lisan dan tulis khususnya karya sastera Melayu Brunei Darussalam sampai dewasa ini masih berkembang dengan baik. Karya sastera yang dibicarakan dalam kesempatan ini adalah “Hikayat Dang Suasa”” diolah menjadi makalah berjudul “Bahasa Melayu Brunei Darussalam dalam Hikayat Dang Suasa”. Dalam “Kata Pendahuluan” buku itu dijelaskan : Dang Suasa adalah seorang biaawati bernama Dan g Suasa Cermin Mangindera Sei Gambar”, kemudian dipendekkan menjadi Dang Suasa (Datin Hajjah Kamisah bini Rahmat, 2003:v). Sebagai sorang biarawati yang amat cantik,mulia, berbudi pekerti amat luhur, Dang Suasa dilamar 790 putera-putera raja, dan Ayahandanya menolak lamara pemuda-pemuda tersebut sehingga puterinya “akan dibunuh”, namun dise,amatkan oleh Pangiran Bendahara, dan dibuang ke terngah laut. Demikian pula, dalam “Kata Penganatar” dijelaskan bahwa naskah asli Danag Suasa terdiri atas 14 kitab.Dapat dsimak ungkapan aslinyasebagai berikut: “Hiyayat Dang Suasa merupakan judul andalan keempat-empat belas naskah yang diterbitkan ini” (Datin Hajjah binti Haji Rahmat, 2003:v) Selain itu, dalam bagian itu juga dijelaskan bahwa: “Hikayat Dang Suasa boleh digolongkan ke dalam genre sastera panji atau berunsur panji (Dean Bahasa dan Pustaka Brunei BPB, 2003: v). Begitu juga, dalam “Kata Pengantar Penelitian dan Kesan Sekilasas” dijelaskan dengan lengkap siapa sebenarnya “Dang Suasa—Sang Biarawati”. Penjelasannya sebagai berikut

… telah Tuan Puteri Amas mendengar kata Encik Siti itu maka ia pun tunduk menyapu air matanya seraya berfikir dalam hatinya, aduh baik aku bersalin nama jangan namaku diketahui orang…. “Aduh Bonda, adapun akan beta ini akan Orang Kaya Muda Johan Perkasa di Tanjung Rambang Salim, sesat berjalan akan pulang tiada tahu akan perjalananlagi adapun akan nama beta ini Dang Suasa Cermin Mengindra Seri Gambar (Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei (DBPB), 2003: viii-ix)

Dari kutipan di atas jelas bahwa “Dang Suasa” adalah Tuan Puteri Amas dari Tanjung Rambang Sali sebagai seorang bangsawan keturunan. raja di tiga negeri Untuk memperjelas siap sebenarnya Dang Suasa, berikut dikutip penjelasannya yang termuat dalam “sinopsis” sebagai berikut

“Mengisahkan asal keturunan raja tiga buah negeri bersaudara. Baginda di Jawa Angkadiri Dahrul Indera Mercu Kemala, Baginda Nilam Darwati Indera di Negeri Janggala Kediri Dahrul Alam Mercu Kemala,dan Baginda Mercu Negara Nilam Pertama. Ketiga-tiga raja mempunyai Puteri Amas yang disukai oleh putera-putera raja berkumpul di Negeri Jawa Angkadiri Indera Mercu Kemala setelah pinangan meraka ditolak baginda (2003: xix).

3. Sinopsis Demikianlah sekilas tentang Sang Biarawati Dang Suasa yang canti, mulia, baik budi peketinya. Naun, penulis menganggap perlu dibutkan sinopsi secara khusus menyangkut kitab Hikayat Dang Suasa (Bilangan 1). Sebagai karya sastra yang digolongkan “Ceita Panjai”, tentunya kisahnya terjadi di sekitar keberadaan “Cerita Panji”, yang dalam lakon tradisinal Bali “Kesenian Arja”, ceritanya berkisah di sekitar Jenggala, dan Kediri. Yang menarik kisah ini juga terjadi di tiga kerajaan bersaudara: yakni (1) Kerajaan Jawa, Angkaduri Dahrul Indera Mercu Kemala, (2) Kerajaan Negeri Dahrul Alam Mrcu Menikam, dan (3) Kerajaan Mercu Negara Nilam Pertama .Demikianlah kiranya sekilas lokasi terjadinya “Kisah Dang Suasa” Selanjutnya, ketiga kerajaan tersebut mmpunyai seorang putrid cantik menjadi Wiarawati bergelar Tuan Puteri Ams. .Sang Puteri dilamar oleh 790 putera-putera raja, dan lamarannya ditolak oleh Ayahanda Bagin Tuan Puteri Amas. Baginda Ayahandanya merasa

~ 166 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature khawatir kerajaannya akan diserang oleh 790 putera-putera raja yang berkumpul di Kerajaan Jawa Angkadiri Dahrul Indera Mercu Kemala. Karenanya, Ayahandanya Tuan Peteri Amas berniat membunuh Tuan Puteri Amas, nanun Tuan Puteri diselamatkan oleh Pangiran Bendahara dengan membuangya ke laut didampingi Inanngnya Encil laki-bini, serta beberapa rakyat yang setia pada kerajaan itu.. Atas saran Encip Penginangna TuanPuteri Amas bersalin menjadi seorang laki-laki, dan mencukur rambutnya. Tuan Pueri Amas berganti nama menjadi Dang Suasa.

4. Analisis Sejalan dengan judul makalah ini yakni: “Bahasa Melayu Brunei Darussalam dalam Hikayat Dang Suasa”, secara sekilas dalam contoh-contoh di depan sudah dapat diandaikan adanya keselaran antara bahasa Indonesia, yang berasal dari bahasa Melayu mendapat pengaruh bahasa daerah dan bahasa asing. Karenanya, pada bagian ini penulis akan mengutip tiga buah contoh yang akan diselaraskan dengan bahasa Indonesia. Perlu dijelaskan sekilas tiga contoh tersebut sepetulnya amat kecil, karenma Hikayat Dang Suasa (Bilangan 1), terdiri atas 120 buah untaian, yang setiap baitnya terdiri atas 16 baris. Berikut kkelima contihnya yang akan dikaji sebagai Bahasa Melayu Brunei Darussalam, sebagai berikut.

(1) yang perempuan bernama Pengiran Puspa Juita dan Pengiran Pemanca beranak dua orang yang tuha laki-laki bernama Pengiran Dipa. Syahdan yang perempuan bernama Pengiran Mas Puspa Kencana dan Pengiran Temenggung Berputera dua orang yang tuha laki-laki bernama Pengiran Dipa Kesuma, yang perempuan bernama Pengiran Intan Kemala Pengiran Bendahara beranak dua orang yang tuha laki-laki Bernama Pengiran Dipa Laksana, yang perempuan bernama Pengiran Pengiran Puspa Indera baik-baik juga perasaannya. Maka segala anak Raja-raja daripada laki dan perempuan maka semuanya sudah diambil oleh baginda laki istri akan teman anakda ketiga bermain anak segala orang kaya-kaya sekalian diambil juga oleh baginda laki isteri akan kepala gundik anakda diberi tanda dengan sepertinya bertutup alat anak segala perttuan yang besar-besar dalam negeri ketiga buah itu, demikian diperintah

(2) akan oleh baginda yang laki-laki jadi akan hawang-hawang anak baginda itu pagi petang naik mengadap berhimpun dengan segala anak raja-raja semuanya, maka duduklah Paduka Seri Sultan bermain dib alai pengadapan sendiri dengan kakanda baginda dan segala anak raja-raja, hawang-hawang semuanya, terlalu sangat ramai rupanya balai Pengadapan.Seri Sultan penuh sasak dengaan anak raja yang amun-amun. dengan segala hawang-hawang muda-muda semuanya dengan segala permainan agung gendrang ragam bunyi-bunyian pagi petang pada sehari-hari gigit Medan Berduri Halaman Kaca Panca Warna karena Paduka Seri Sultan dengan kakanda baginda tetapi termasa memiliki gajah, kuda, bermain tombak ganjir, tambing perisai. Jika syamsu sudah rembang termasa di Balai Gambang Taru bermain memalu segala bunyi-bunyian dan bermain topeng, walang merakit mengagam bertandak, menari

(3) menari jika hari malam, baharu berangkat naik ke balai tenha berbahur ilmu hikmat indah-indah, tiap ~ 167 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

parang dan hikmat parang ilmu hulubangan yang kepetagan airat penjurai jayeng seteru dan airat perempuan langkah pahlawan yang pendekar semuanya habis faham kepadanya utama pula bermain memalu ragam bunyi-bunyian andang permainan baginda tiada usah diajar lagi. Maka segala anak raja-raja orang semuanya pun terlalu hairan melihat kelakuan Paduka Seri Sultan itu. Makin bertambah pula kasih sayangnya gema rnya Paduka Seri Sultan itu karana budi pekertinya terlalu baik kepada orang semuanya’ habis manis takur sifatnya akan segala raja-raja yang tuha-tuha, lemah embut budibaginda pun bahasanya. Akan segala isi negeri terlalu sangat dermawan akan segala fakir miskin, segala teraniaya tiada duka hatinya oleh Paduka Seri Sultan

(4) itu senantiasa suka juga kasih sayangnya jangan dikata lagi, dahulu pula terpandang pada mukanya siding mendengar namanya Paduka Seri Sultan itu berbangkit orang mabuk orang kasih saying akan dia. Maka ayahanda bonda baginda pun terlalu sangat sukacita hatinya melihat kelakuan anakda baginda itu s ungguh pun lagi budak terlalu budiman barang lakunya ahlul permakawi se jangan dikata lagi dapat tujuh balas laksana olehnya yang gahib-gahib boleh diketahuinya tiada pernah bertukar barang titahnya. Selama Paduka Seri Sultan telah basar itu Negeri Dahrul Alam Mrcu Manikampun makin bertambah pula ramainya lebih pula daripada purbakala. Makin duduklah baginda bersuka-sukaan dengan anankda baginda ketiga dan segala raja-raja isi negeri semuanya itu. Maka dalang akan dahulu perkataan

(5) angat baginda Dahrul Alam Mercu Manikam bersuka-sukaan dengananakda baginda itu. Syahdan dalang sebut akan pu;a pada perkataan baginda di Jawa Angkadiri Dahrul Indera Mercu Kemala duduk bersuka-sukaan dengan raja-raja, cerita negeri, orang-orang kaya semuanya, baginda pun telah berputera dua orang yang tuha laki-laki terlalu sangat elok parasnya manis tiada haling kepalang pongah, laila, cantik , agung , sederhan, amun perwira jiwa kebesaran, jangan dikata lgi, sikapnya seperi Batara Kala Indera Sakti memeberi gila, berahi gila kasmaran hilang roh semuanya yang melihat dia menurut kakanda baginda Paduka Seri Sultan Dahrul Alam itu juga sekedar terangkat manis saja putera baginda Dahrul Alam itu, maka dinikmati oleh ayahanda bonda baginda Seri Sultan Muda Mahkota Indera Putera Bangsawan Negara Alam tinggi-tingginya Seri Sultan ….(2003: 1-3).

Demikian sekilas kutupan lima bait “Hikayat Dang Suasa”, yang secara nyata berbentuk “Gurindam Enam Belas”, karena etuap baitnya terdiri atas enam belas baris Yang menarik dalam trankripsinya tidak mengikuti aturan “Gurndam”, namun gayanya sangat berbeda. Trankripsinya tidak diawali dengan huruf capital, srta atyran tanda bacanya pun tidak seragam. Misalnya pada awal bait pertama:

yang perempuan bernama Pengiran Puspa Juwita dan Pngiran Pemanca berak dua orag, yang tuha laki-laki bernama Pengiran Dipa. Syahdan yang perempuan bernama

~ 168 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

Pengiran Mas Puspa Kencana …

Sebgai karya sastra yang digolongkan sebagai “karya sastra panji”, terbukti jelas dengan nama-nama tokoh ceritanya, mengingatkn kita pad nama-nama tokoh cerita panji di Indonesia. Misalnya: Pengian Puspa Juita , Pengiran Dipa, Pengiran pengiran MasPuspa Kemala, (dan seterusnya lihat contoh 1-5). Selanjutnya, akan dicoba mengkompaasikan “Bahasa Melayu Brunei Darussalam dengan bahasa Indonesia”. Komparasinya adalah:

1 kata beranak dan berpura dipasangkan pada bait pertama: 2. ada fonem /h/ pada contoh bait pertama, yakni kata tuha yang tuha laki-laki …, dalam bahasa Indonesia tua, tanpa fonem /h/. sera kata baharu pada bait ketiga, dan ini mengingatkan pada adanya fonem /h/ pada bahasa Bali Aga di Desa . behas--baas, dan jehuk—juuk (Riana, I Ketut, 1995). asli sbagai “Bahasa Bali Kuna, yang tergolong bahasa Austronesia” 3. Kata Pengiran, dalam bahasa Indonesia Pangeran, membuktikan adanya varisai fonem /e/ dengan fonem 4. Frase penuh sasak pada baris keenam, bait kedua, dalam bI adalah peuh sesak. mengingtakan adanya variasi fonem /a, e/ 5. Kata hairan baris sembilan, bait ketiga BMBD berkolerasi dengan kata heran bI. 6. Kata penghubung karana pada baris sebelas, bait ketiga berpadanan dengan karena dalam bI. 7. Kata ulang ghaib-ghaib baris sepuluh, bait keempat, dalam bI adalah gaib-gaib 1 0 Kata basar dalam BMBD, baris 11, bait keempat adalah besar dalam bI

5. Rangkuman Hiikayat Dang Suasa” sebagai karya sastra yang awalny terdiri atas 14 nakah, dierbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei Darussalam, Kementerian Belia dan Sukan (1998). Karya sastra ini diglongkan sebagai “karya sastra panji” mengingat tokoh-tokoh pelaku dalam hikayat itu sejalan dngan nama tokoh tokoj dalam “Ceria Panji Indonesia” Dalam “sinopsinya” dijelaskan bahwa: “Hikayat Dang Suasa mengisahkan tiga buah negeri bersaudara. Kerajaan tersebut adalah : 1) Baginda Jawa Anglkadiri Dahrul Indera Mecu KemL 2) Baginda Nilam Darwati Indera di Negeri Jenggala Kediri Dahrul Alam Mercu Manikam, dan 3) Baginda Mercu Negara Nilam Pertama. KetgNY mempunyai seorang puteri amat cantik, bijaksana, baik pekertinya, sehingga Sang Puteri Amas dilamar 790 putera raja yang ada di sekiarnya. Lamarannya ditolak oleh Baginda Ayahandanya, dan Beliau khawatir nrgerinya akan diserang oleh putera-putera raja, yang sudah berkumpul di Kerajaan Jawa Angkadiri DahrulIndera Mercu Buwana. Karenanya. Sang Raja berniat membunuh Puteri Amas yang cantik jelita, namun Pengirn Bendahra menyelamatkannya dengan membuangnya dalam sebuah kapal yang dilayarkan ke tengh laut. Encik laki bini sebagai “inang pengsuh Tuan Puteri Amas menganjurkan agar Tuan Puteri Amas berganti rupa menjdi “seorang laki-laki dengan mencukur rambutnya” Akhirnya Tuan Puteri Amas setelah berganti menjadi laki-laki, namanyadiganti menjadi Dang Suasa. Demikian secara singkat “Hikayat Dang Suasa” yang diterbitkan dari kumpulan 14 naskah berhuruf Jawi, ditrankripsikan dengan huruf Runi.

~ 169 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature KEPUSTAKAAN

A.B. AhmAD Februari 1984. Bahasa Brunei Darussalam. Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei Darussalam Bil. 39. Abdul Hasan dan Muslim Burnat. 1984. Bunga Rampai Sastra Melayu Brunei. Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia. Ahmad bin Awang. 2000. Diangdangan Bujang Sigandam (Sastera Lisan Brunei). Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei, Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan. Kamus Bahasa Melayu Brunei. 1998. Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei Darssaam Riana, I Ketut. 2011. Kidung Pararaton: Puisi Berirama Kisah Kerajaan Singosari dan Majapahit. Denasara: Yayasan Tan Mukti Palapa Riana I Ketut. 2013. Puisi Berirama Diangdangan Bujang Sigandam. Denpasar: Fakultas Sastra dan Budaya.

~ 170 ~ “MENOLEH KE BELAKANG” KARYA PUTU WIJAYA: SEBUAH TAFSIR

I Ketut Sudewa Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra dan Budaya Unud Pos-el: [email protected], Ponsel. 081338651955

ABSTRACT The story masterpiece of Putu Wijaya full of surprises and also make the reader constantly reconstruct commentary every read them. This situation makes his masterpiece contain multiple interpretations. Short Story Menoleh Ke Belakang is one of the masterpiece Putu Wijaya which has the characteristics mentioned above. The terms of the semiotic, these stories can be interpreted to mean that one should not always look back or look at the past in his life. Real life is not the past, but the present and future. The past is a dream, today is a fact of life and the future is hope. If a person’s life is always overshadowed by the past especially the past is not recognized as a preparation for a life of destruction, it is still important to look past. Psychologically figures of the story caught up in the shadow of the past who believed would help him survive in his life. In fact, it made him see his past led to meet disaster.

Keywords: reconstruct, interpretation, surprise, past

1. Pendahuluan Prosa karya Putu Wijaya tidak hanya menarik dari sudut tema, tetapi yang terpenting menarik dari sudut teknik penyajian (teknik cerita). Dalam sebuah karya sastra (terutama prosa) teknik penyajian cerita menjadi hal yang menentukan kualitas sebuah karya. Betapapun bagusnya sebuah tema, tetapi apabila teknik penyajiannya tidak menarik, maka karya tersebut tidak menarik untuk dibaca. Teknik cerita merupakan cara pengarang menghadirkan cerita bagi pembaca. Cerita menjadi menarik oleh karena kemampuan penulis dalam menggunakan teknik cerita (Kutha Ratna, 2013:475-476). Walaupun demikian, bukan berarti unsur yang lain dalam sebuah prosa menjadi tidak penting. Semuanya memiliki peran masing-masing yang bersifat fungsional terhadap unsur yang lainnya dalam membentuk keutuhan karya sastra, apalagi dilihat dari sudut pandang kaum strukturalis (Pradopo.1995:108). Akan tetapi, dari sudut pembaca sebagai penikmat, maka teknik cerita menjadi tolok ukur menarik atau tidaknya karya sastra bersangkutan. Pembacalah yang menilai dan menghidupkan karya sastra melalui kemampuan “kongkretisasi” (istilah R. Ingarden). Nilai sebuah karya sastra ditentukan oleh pembaca sebagai penyambut yang akan menentukan kesejarahan karya sastra bersangkutan (Jauss,1974:12). Teknik cerita yang khas dari Putu Wijaya adalah teknik mimpi, flashback, dan stream of counsiousness, bahkan ia sering mengombinasikan ketiga teknik cerita ini. Ketiga teknik ini dihadirkan untuk membuat kejutan bagi pembaca. Putu Wijaya ingin selalu meneror pembaca dengan berbagai kejutan. Secara teori, semakin banyak kejutan (suspence) dalam sebuah karya sastra semakin menarik karya bersangkutan bagi pembaca. Akan tetapi, tidak semua karya Putu Wijaya yang memiliki kejutan dan teror menggunakan teknik cerita tersebut di atas. Salah satu karya sastra jenis prosa berupa cerpen karya Putu Wijaya seperti itu adalah cerpen “Menoleh Ke Belakang” (Wijaya, 1992:18-21). Cerpen ini selanjutnya disebut “MKB”.

~ 171 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature 2. Pembahasan Cerpen “MKB” merupakan salah satu cerpen yang dimuat dalam antologi Bom (1992). Melihat dari judul antologi, terkesan ada kejutan demi kejutan, teror demi teror untuk pembaca. Kenyataanya, semua cerpen di dalamnya mengandung berbagai tema, kejutan, dan teror dengan berbagai teknik cerita. Walaupun cerpen “MKB” teknik yang dipakai adalah teknik konvensional, tetapi teror dan kejutan kuat tergambar di dalamya. Inilah yang menyebabkan cerpen ini menarik untuk dibahas dan ditafsir makna yang ada di dalamnya. Setiap karya sastra, lebih-lebih karya Putu Wijaya selalu memberi peluang berbagai tafsir (multi tafsir/multi interpretatif). Sebuah tafsir atau interpretasi akan memperkaya tafsir atau interpretasi sebelumnya terhadap karya sastra bersangkutan. Untuk menafsirkan atau menginterpretasi makna yang terkandung di dalam cerpen “MKB” digunakan teori semiotik sebagai teori utama dan didukung oleh teori lain yang relevan seperti teori psikologi. Metode yang digunakan adalah metode semiotika interpretatif. Menurut Piliang (2012:313) metode semiotika pada dasarnya bersifat kualitatif-interpretatif, yaitu metode yang memfokuskan dirinya pada tanda dan teks sebagai objek kajian dan peneliti menafsirkan dan memahami kode di balik tanda dan teks tersebut. Digunakan teori semiotik untuk menafsirkan cerpen “MKB” karena karya sastra (dalam hal ini “MKB”) merupakan sistem tanda yang mempunyai makna yang menggunakan medium bahasa (Pradopo, 1990:121). Makna yang terkadung di dalam tanda tergantung dari para penafsir atau pembaca. Konsep tanda menurut Ferdinand de Saussure ada dua, yaitu penanda, yang menandai (significant, signifier) aspek formalnya dan petanda, yang ditandai (signifie, signified) konsep sebagai aspek pemaknaannya. Keduanya saling berkaitan (Kutha Ratna, 2013:470-471). Dalam konteks tulisan ini, penanda adalah cerpen “MKB” dan petanda adalah maknanya yang merupakan hasil dari sebuah tafsir atau interpretasi. Sebagai penanda, cerpen “MKB” mengundang berbagai tafsir atau interpretasi sebagai mana layaknya sebuah karya sastra. Tafsir atau interpretasi muncul dari berbagai dimensi, misalnya dimensi sosial, budaya, psikologi, dan sebagainya. Oleh karena itu, ketika penafisr melakukan tafsir atau interpretasi harus dibekali oleh pengetahuan dalam berbagai bidang, sehingga hasil tafsiran atau interpretasinya bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dilihat dari judul cerpen, yaitu “Menoleh Ke Belakang” sebagai sebuah penanda dapat ditafsirkan bahwa kata “menoleh” maknanya melihat, memandang, atau mengingat. Kata “ke belakang” maknanya peristiwa atau kejadian masa lalu sebagai sebuah sejarah. Makna (petanda) judul cerpen ini dapat ditafsirkan bahwa cerpen ini membicarakan tentang penting atau tidaknya sesorang melihat peristiwa atau kejadian masa lalu dalam hidupnya. Cerpen “MKB” mengisahkan tentang seorang wanita (istri) yang memiliki kebiasaan selalu menoleh ke belakang. Kebiasaan ini sudah menjadi tuntutan psikologis tokoh tersebut dan sulit dihilangkan, seperti perilaku di bawah sadar. Ia merasa nyaman apabila sebelum melakukan sesuatu ia menoleh ke belakang terlebih dahulu. Keperibadian seperti ini, menurut teori psikoanalisa dari Sigmund Freud adalah keperibadian orang bersangkutan dikuasai oleh das Es (the Id), yakni aspek biologis manusia yang bertujuan untuk mengejar kenikmatan (kenyamanan) (Freud, 1984:xxxix; Suryabrata, 1993:143) Suaminya berusaha untuk menyadarkan bahwa kebiasaan selalu menoleh ke belang tidak berguna karena akan membatasi kebebasan dalam kehiduapan, bahkan membuat seseorang menjadi sentimental. Perhatikanlah kutipan berikut.

~ 172 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

Yang paling menentang kebiasaan itu adalah suaminya sendiri. “Pertama, “kata lelaki itu memberikan alasan, “itu berarti membatasi kebebasanmu sendiri. Kemudian secara simbolis, secara psikologis, ini tidak baik. Kamu lebih baik menoleh ke depan daripada ke belakang. Percuma menoleh ke belakang, hanya membuat kamu jadi sentimental. Apalagi itu menjadi semacam keharusan!” (Wijaya, 1992:18).

Kutipan di atas dapat dimaknai bahwa bagi seorang laki-laki (suami), tidak ada manfaatnya mengingat dan melihat peristiwa atau kejadian masa lalu, lebih-lebih hal itu membuat yang bersangkutan menjadi rapuh dan tidak mendapat ketenangan hidup. Masa lalu adalah sebuah mimpi yang telah berlalu. Lebih baik melihat masa kini dan masa depan karena hidup yang sesungguhnya adalah masa kini dan masa depan. Secara psikologis, apabila seseorang selalu dibelenggu dan dibayang-bayangi oleh masa lalu, maka yang bersangkutan tidak memiliki kebebasan untuk melangkah maju menuju kehidupan yang lebih baik, lebih-lebih masa lalu itu merupakan peristiwa yang menyakitkan hati. Sang suami mengusulkan kepada istrinya (wanita) agar istrinya itu berani dan mampu melawan kebiasaanya yang selalu menoleh ke belakang. Kebiasaan istrinya tersebut sungguh mengkhawatirkan suaminya, lebih-lebih kebiasaannya itu sudah terjadi mulai sepuluh tahun yang lalu. Perhatikanlah kutipan berikut.

Suaminya tertawa. “Tidak ada. Tapi kalau itu sudah dilakukan sepuluh tahun, barangkali boleh dicurigai sebagai sesuatu kelainan.” Ia mengusulkan kepada istrinya untuk mencoba melawan itu. “Seperti hanya merokok,” katanya mencoba memberikan argumnetasi, “Kalau merokok hanya sekedar iseng, boleh. Tapi kalau sudah sampai ketagihan, artinya kalau tidak merokok, lalu badan jadi nggak nafsu kerja itu yang harus dicegah. Kita harus menjadi manusia merdeka.” (Wijaya, 1992:19)

Suaminya mencoba memberikan argumnetasi dan memberikan analogi tentang kecanduan merokok. Akan tetapi, istrinya tidak mengiraukan usul dan nasihat suaminya dan selalu melakukan kebiasaannya itu pada setiap kesempatan. Istrinya yakin bahwa kebiasaannya itu adalah naluri tubuhnya sebagai perempuan. Perhatikanlah kutipan berikut.

Tapi pada suatu hari, waktu wanita itu menoleh ke belakang sebelum tidur-ia sudah berbaring, lalu tiba-tiba teringat untuk menoleh-ia mengangkat badannya lalu menoleh ke atas kasur. Seekor kalajengking sedang merayap ke luar dari balik bantal. Wanita itu menjerit. Suaminya cepat datang, lalu membunuh binatang yang berbisa itu. “Ya Tuhan, saya tidak tahu bagaimana mungkin ada kalajengking di balik bantal,” katanya sambil memeluk istrinya yang berkeringat dingin. Beberapa orang tetangga yang melihat kalajengking itu ikut bergidik. Mereka menjelaskan bahwa kalajengking yang tua seperti itu sangat berbisa. Bisa bikin mati. Ini menyebabkan beberapa orang perempuan ikut latah menoleh sebelum tidur, kalau-kalau ada kalajengking di bawah bantalnya. “Sekarang bagaimana? Apa kamu masih melarang saya untuk menoleh?” Tanya wanita itu (Wijaya, 1992:20)

Kutipan di atas menggambarkan bahwa si istri semakin yakin akan kebenaran kebiasaannya untuk selalu menoleh ke belekang. Ia selamat dari bencana justru karena selalu menoleh ke belakang sebelum melakukan sesuatu. Bahkan, kebiasaannya itu berpengaruh kepada para perempuan lain karena mereka juga melakukan hal yang sama sebelum melakukan sesuatu. Keadaan ini dapat ditafsirkan bahwa seseorang jangan menyepelekan peristiwa atau kejadian di masa lalu. Seseorang sering terhindar dari sebuah bencana karena mengingat kejadian di masa lalu.

~ 173 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Bagi seorang perempuan (istri), peristiwa atau kejadian masa lalu penting diperhitungkan dalam melangkah. Peristiwa masa lalu akan membuat seseorang lebih berhati-hati dalam hidupnya agar tidak mengulang peristiwa atau kejadian yang tidak baik di masa lalu. Keyakinan istri semakin kuat setelah peristiwa yang dialaminya di tempat tidur. Ia bertambah yakin bahwa menoleh ke belakang itu sangatlah penting seperti pernyataan kepada suaminya berikut.

“Jadi lihatlah, sudah 10 tahun saya diajarkan oleh tubuh saya untuk berhati-hati. Jadi barangkali sejak kalajengking itu masih kecil atau belum ada, tubuh saya sudah mengetahui akan kedatangannya, lalu ia mempersiapkan diri. Kau tahu, sekarang saya lebih mempercayai tubuh saya dari sebelumnya. Ia sangat membantu saya, dia tahu bagaimana caranya melindungi diri sendiri.” (Wijaya, 1992:20)

Semenjak peristiwa yang dialami oleh istrinya di tempat tidur, sang suami mulai terpengaruh dan meyakini kebenaran kata-kata dan prinsip istrinya. Ia mulai belajar mempercayai tubuhnya sendiri dan menghilangkan sifat rasionalnya sebagai laki-laki. Tafsir maknanya bahwa perubahan sikap suami (penanda) menunjukkan seseorang sangat penting melihat atau mengingat peristiwa atau kejadian di masa lalu di dalam kehidupan untuk mencapai keberhasilan (petanda). Apakah dengan kesadaran sang suami (sebagai bentuk katarsis) cerita cerpen ini berakhir? Putu wijaya justru menutup ceritanya dengan sebuah kejutan. Perhatikanlah kejutan yang dibuat oleh Putu Wijaya dalam kutipan berikut.

Tapi pada suatu kali terjadi sesuatu. Di tengah jalan sedang ramai-ramainya lalu lintas, wanita itu menyeberang dengan cepat-karena suatu keperluan. Ia berlari di antara mobil-mobil yang melesat. Pada waktu itu tiba-tiba mendesak keinginannya untuk menoleh. Ia pun menoleh. Semua tetangganya tahu mengapa ia menoleh. Mereka tidak heran. Tapi mobil-mobil tidak tahu kebiasaan itu. Salah sebuah mobil menabraknya. Tidak dikabarkan apakah wanita itu mati atau hanya cidera karena tabrakan itu. Suaminya tertegun waktu diberi kabar. Badannya merinding. Ia ingat lagi kalajengking di atas tempat tidur. Ia ingat lagi kata- kata istrinya. Sekarang ia mendengar sesuatu. “Jadi sudah sepuluh tahun juga tubuhnya mempersiapkan dirinya untuk ditabrak?” Sejak saat itu, ia curiga pada tubuhnya sendiri (Wijaya, 1992:21)

Dari kutipan di atas, tampak kejutan bahwa justru si istri menjadi korban karena kebiasaannya yang selalu menoleh ke belakang sebelum melakukan sesuatu. Keinginannya untuk menoleh ke belakang tiba-tiba terjadi di tempat yang berbahaya. Di samping itu, orang- orang yang berada di tempat itu tidak memahami bahwa wanita itu memiliki kebiasaan yang selalu menoleh ke belakang. Tertabraknya wanita itu akibat kebiasaanya yang selalu menoleh ke belakang (penanda) dapat ditafsirkan bahwa ternyata seseorang yang selalu mengingat kejadian dan peristiwa masa lalu dalam hidupnya justru akan membahayakan dirinya sendiri (petanda). Artinya, sesorang harus dapat memilah-milah, kapan harus mengingat kejadian atau peristiwa masa lalu, kapan tidak. Sebab, tidak semua peristiwa atau kejadian masa lalu berguna untuk diingat dalam mencapai keberhasilan. Sebaliknya, dengan mengingat kejadian atau peristiwa di masa lalu sering membuat seseorang takut untuk melangkah, bahkan menemui kegagalan. Kejutan lain terjadi pada teknik cerita dalam mengakhiri cerita. Teknik yang digunakan adalah teknik halusinasi, yakni ketika suami menerima berita bahwa istrinya ditabrak mobil ketika ia menoleh ke belakang di tengah keramain lalulintas. Ada suara didengar oleh suami, entah darimana sumbernya yang mengatakan bahwa sesungguhnya sudah sepuluh tahun si wanita menyiapkan dirinya untuk ditabrak. Setelah peristiwa itu, si suami yang sebelumnya telah yakin dan mengikuti dengan pandangan istrinya, tiba-tiba menjadi sangsi kembali. Bahkan, ~ 174 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature ia mencurigai tubuhnya sendiri. Secara jelas terlihat pada kutipan berikut.

Sekarang ia mendengar sesuatu. “Jadi sudah sepuluh tahun juga tubuhnya mempersiapkan dirinya untuk ditabrak?” Sejak saat itu, ia curiga pada tubuhnya sendiri (Wijaya, 1992:21)

3. Kesimpulan Cerpen “MKB” Putu Wijaya mengandung kejutan, baik alur maupun teknik ceritanya. Ditinjau dari sudut semiotik, cerpen ini dapat ditafsirkan bahwa seseorang tidak boleh selalu menoleh ke belakang atau melihat masa lalu dalam hidupnya. Hidup sesungguhnya bukanlah masa lalu, tetapi masa kini dan masa yang akan datang. Masa lalu adalah mimpi, masa kini adalah kenyataan hidup dan masa yang akan datang adalah harapan. Apabila hidup seseorang selalu bibayangi oleh masa lalu apalagi masa lalu tidak disadari sebagai persiapan untuk sebuah kehancuran hidup, maka masih pentingkah melihat masa lalu. Secara psikologis tokoh cerita dibelenggu oleh bayangan masa lalu yang dikayini akan membantu dirinya selamat dalam hidupnya. Kenyataannya, justru masa lalunya membuatnya menemui bencana.

DAFTAR PUSTAKA

Freud, Sigmund. 1984. Memperkenalkan Psikoanalisa. Jakarta: PT Gramedia

Jauss, Hans Robert. 1974. “Literary History as a Challenge” dalam Ralph Cohen (ed.). New Direction in Literary History. Roudledge & Kegan Paul: London

Kutha Ratna, I Nyoman. 2013. Glosarium: 1.250 Entri. Kajian Sastra, Seni, dan Sosial Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Piliang, Yasraf Amir. 2012. Semiotika dan Hiper Semiotika. Kode, Gaya dan Matinya Makna. Bandung: Matahari

Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suryabrata. Sumadi. 1993. Psikologi Keperibadian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Wijaya, Putu. 1992. Bom. Jakarta: Balai Pustaka.

~ 175 ~ ~ 176 ~ OCEANIC GROUP OF AUSTRONESIAN LANGUAGES: VIEWED FROM ARCHAEO – LINGUISTICS

I Ketut Warta IKIP Mataram [email protected]

ABSTRACT Development of Oceanic Group of Austronesian Languages (OGAL) has been explained from different approaches with different varied information dealing with the existence of the Austronesian languages. Until recently we do not know for certainty the total number of speakers and the languages of Austronesian, and where this group of languages comes from. This article has been intended to describe the languages from historical evidence as it is used in Archaeo-linguistics. The focus has been on the strength and weakness, and the accuracy of the theory and others in understanding the development, origin, and of OGAL. Sources of data, in this study, are from literature review, reading experience, and earlier research findings. Upon collection, the collected data are comprehensively analyzed; and the results become the basis for research conclusion. Recommendation for further studies and the need for collaborative approaches in an attempt to explain the languages development are put forwards to consider. Information dealing with historical evidence has been the limitation of this study; and also the study focuses only on historical aspects of the languages. Our expectation is that this study will be of assistance in providing information on the historical development of OGAL.

Keywords: Archaeo-linguistics, Austronesian-Languages, Cultural Migration, Linguistic Evidence

PENDAHULUAN Isu marjinalisasi, revitalisasi dan integrasi bahasa–bahasa di kawasan Lautan Pasifik mejadi semakin menarik minat para pakar untuk mempelajarinya. Para pakar dari berbagai disiplin ilmu, arkeologi, antropologi, sosiologi, psikologi dan linguistik telah berupaya menjelaskan kelompok kekeluargaan bahasa–bahasa yang dikenal sebagai bahasa–bahasa Austronesia. Posisi bahasa–bahasa yang berbahaya dan terancam punah ini (Stephen, 2007) karena ditinggal penutur aslinya semakin menarik minat para pakar dari disiplin yang beragam untuk mengkajinya setelah lembaga dunia, semisal UNESCO, mengklaim bahasa–bahasa minoritas sebagai aset dunia harus dilindungi dari kepunahan. Keterlibatan mereka para pakar termasuk lembaga–lembaga kebahasaan dalam mempelajari dan memahami keberadaan bahasa–bahasa Austronesia belum bisa dikatakan lengkap, sebab hingga saat ini belum dapat dikatakan dengan pasti berapa jumlah bahasa–bahasa yang tersebar di Lautan Pasifik itu. Isu ini menjadi semakin menarik setelah Summer Institute of Linguistics (SIL), semacam Lembaga Kebahasaan Amerika, menyebut angka yang sama sekali berbeda dengan jumlah yang disebutkan oleh peneliti lain. Peneliti SIL (Hallen, 1996) menemukan angka 1200 sementara di lain kesempatan muncul angka 1.268 dengan jumlah penutur 311,740,132. Temuan SIL ini sudah tidak bisa dipakai lagi mengingat pertama, bahasa itu dinamis; kedua, dalam kurun waktu yang lama seperti ini banyak masalah kebahasaan bisa terjadi. Jumlah penutur bisa bertambah, atau sebaliknya ditinggal sehingga bahasa tertentu bisa punah. Angka 1200 dan 1268 oleh SIL telah menempatkan kelompok bahasa-bahasa Austronesia sebgai kelompok bahasa terbesar ke dua di dunia. Berkaitan dengan jumlah penutur, keluarga bahasa yang tersebar dari Indonesia, Malaysia, Pilipina, Vietnam bagian selatan, Madagaskar dan pulau–pulau di kawasan Pasifik Bellwood (2005) mengklaim,

~ 177 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature “Ada bukti sejarah yang menyebutkan bahwa Proto bahasa Austronesia terdapat di Taiwan, berarti kemungkinan bahasa Austronesia memiliki nenek moyang yang kurang lebih sama dengan bahasa Thai. Ini menunjukkan bahwa bahasa Austronesia memiliki kesamaan dengan penutur bahasa Thai di daratan China Selatan, walaupun bahasa Austronesia sama sekali tidak dituturkan di sana sekarang ini. Isu ini dari perspektif makro betapa evolusi linguistik itu terjadi sangat totalitas. Ini juga terjadi karena penutur bahasa selalu bermigrasi ke daerah baru, yang disertai evolusi budaya”. Dalam upaya pelestarian bahasa pemetaan bahasa menjadi penting dilakukan, walau berat karena merupakan mega karya linguistik. Melalui pemetaan, jumlah bahasa beserta penuturnya dapat diidentifikasi. Namun, karena masing–masing pakar menggunakan teori yang berbeda maka hasil yang diperoleh menjadi beragam. Keragaman dalam jumlah penutur ini bisa dimaklumi. Ini menyangkut persoalan cara pandang. Akhirnya informasi tentang keberadaan bahasa–bahasa yang jumlahnya paling besar, menurut pakar walau belum pasti berapa, perlu dipelajari secara totalitas. Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan cara kerja teori Arkeolinguistik dalam menjelaskan fenomena bahasa–bahasa Austronesia. Titik lemah serta keterbatasan penjelasan teori ini menjadi fokus tulisan. Signifikasi kerja kolaboratif dari berbagai disiplin ilmu juga menjadi bagian penting tulisan ini. Keterbatasan tulisan ini adalah ketersediaan informasi yang berkaitan dengan bukti–bukti sejarah; di samping juga karena teori ini hanya menjelaskan perkembangan bahasa berdasarkan bukti–bukti fisik sejarah yang tersedia. Diharapkan informasi yang disampaikan dalam artikel ini dapat melengkapi data kebahasaan, terutama yang berkaitan dengan Kelompok Bahasa-Bahasa Austronesia, barangkali juga Kelompok Bahasa Indo-Eropa, dan Indian.

Penjelasan Arkeolinguistik Perlu dibedakan sejarah kebahasaa, sejarah bahasa, dan arkeologi kebahasaan. Yang terse- but pertama, deskripsi tentang bahasa atas dasar ciri-ciri linguistik dalam dimensi dua waktu yang berbeda, sering disebut Metode Komparatif, objeknya jelas dua bahasa yang berbeda tetapi satu rumpun; yang kedua berkaitan dengan asal-usul perkembangan bahasa juga dalam dimensi waktu, dan yang terakhir berkaitan dengan dinamika perkembangan bahasa berdasar- kan bukti-bukti sejarah masa lalu. Ketiga bidang ini memang berbicara tentang bahasa dari sisi waktu masa lalu, sekarang, dan akan datang. Tetapi, masing-masing memiliki ciri pembeda yang khas. Arkeolinguistik memakai bukti-bukti sejarah dalam menelusuri asal daerah penye- baran bahasa. . Pakar arkeolinguistik mengklaim bahwa ilmu sejarah yang dikawinkan dengan ilmu kebahasaan telah melahirkan Arkeolinguistik (Priyadarshi, 2010). Disiplin ini memahami bahasa melalui bukti-bukti sejarah. Dalam usahanya mencari hubungan kekerabatan bahasa para pakar arkeolinguistik menggunakan peninggalan bukti-bukti sejarah arkeologis masa lalu. Kerja sama ahli arkeologis dan bahasa ini telah berhasil menemukan daerah asal kelompok bahasa Austronesia yanitu Taiwan (Blundel, 2011). Berdasarkan bukti-bukti arkeologis mereka mengklaim bahwa bahasa-bahasa Austrone- sia, sebelum bermigrasi penuturnya adalah mereka yang ada di Taiwan atau China. Gabungan antara arkeologi dengan linguistik yang melahirkan disiplin baru, arkeolinguistik, inilah yang menemukan daerah asal nenek moyang bahasa Austronesia. Walaupun sekarang tidak ditemu- kan adanya penutur yang memakai bahasa Austronesia di Taiwan mereka tetap, berdasarkan bukti sejarah yang ada, menyebut bahasa Austronesia berasal dan pertama kali dipakai di Tai- wan. Melalui pelacakan peninggalan sejarah disebutkan bahwa penutur bahasa ini termasuk pelaut yang selalu menyisir dan mengarungi laut ke wilayah lain. Dengan membawa bahasa

~ 178 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature nenek moyangnya mereka menyebarkan bahasa itu ke daerah baru hingga ke Jepang, China, Thailand/Myanmar, Pulau-Pulau Pasifik, Australia, India and Sri Lanka, Pulau-Pulau di Lautan India, Teluk Persian, Madagaskar and Pantai Afrika Bagian Timur, Afrika Barat, Afrika Sela- tan, dan Dunia Baru. Bukti arkeolinguistik yang paling lazim dapat dilihat pada kata-kata yang menunjukkan budaya material, dan pola pemukiman rumah-rumah penutur bahasa Austronesia. Berbeda dengan bukti bukti linguistik, adanya kata-kata pinjaman menunjukan adanya hubun- gan kebahasaan dari bahasa-bahasa Austronesia. Yang paling banyak ditemukan adalah yang berkaitan dengan bukti biologis. Kata-kata yang berkaitan dengan nama tanaman dan binatang, penyakit, dan bakteri. Temuan arkeolinguistik ini merupakan prestasi dan sebuah pencapaian besar di bidang sejarah kebahasaan. Bentuk Proto-Austronesia hanya bisa ditemukan melalui disiplin arkeolinguistik. Sumber lain menyebutkan penyebaran bahasa-bahasa Austronesia dimulai dari pulau For- mosa, kepulauan Pilipina, Malaysia, Indonesia, Mikronesia, kepulauan Melanesia, Polynesia, dan sepanjang kepulauan India. Istilah Austronesia sendiri berasal dari kata austro berarti sela- tan, dan nesia berarti pulau. Bukti linguistik disertai bukti arkeologis telah memperkuat asum- si bahwa bahasa-bahasa Austronesia tersebar dari pulau Formosa hingga ke sepanjang pulau yang tersebar sepanjang lautan Pasifik, Taiwan, Indonesia, Timor Timur, Malaysia, Kepulauan Pilipina, Singapura, Brunei, Mikronesia, Polynesia, Vietnam, Kamboja, Hainan, Kepulauan Myanmar , dan kepulauan di lautan India termasuk Kepulauan Madagaskar. Melalui navigasi penuturnya menyisir hingga ke pulau-pulau dikawasan laut Pasifik. Bukti linguistik seperti ka- ta-kata kognit menunjukan adanya relasi penutur yang berasal dari satu bahasa yang termasuk kelompok bahasa-bahasa Austronesia. Metode filogenetik (juga filogenetik linguistik) dapat menjelaskan asal daerah kelompok bahasa Austronesia. Data leksikal bahasa kelompok bahasa ini dianalisis dan hasilnya menunjukkan adanya persamaan pola tempat tinggal penutur bahasa di daerah Asia Tenggara, Papua Nugini, Osiania dengan pulau-pulau Taiwan. Metode ini juga bisa diterapkan untuk menemukan ciri-ciri gramatikal bahasa-bahasa Austronesia. Metode ini juga dapat melengkapi penjelasan teori pohon tentang asal mula kelompok bahasa dengan melihat relasi bukti-bukti linguistik, arkeologi, budaya dan genetik. Jika dipadukan dengan linguistik historis kita dapat memahami bagaimana bahasa dan budaya penutur bahasa menyatu. Dalam upaya memahami dan menemukan daerah asal bahasa pendekatan kolaboratif menjadi penting, mengingat masing-masing metode memiliki keterbatasannya.

Bahasa-Bahasa Austronesia Kata Autronesia diturunkan dari kata Yunani berarti daerah selatan. Kata Austronesia yang berarti selatan ternyata merujuk pada daerah penutur bahasa seperti Selandia Baru dan Australia. Diantara kelompok bahasa yang ada: kelompok bahasa Indo-Eropa, Indian, Taiwan; bahasa-bahasa Austronesia termasuk kelompok yang paling kompleks. Pertama, jumlah bahasa yang termasuk dalam kelompok bahasa Austronesia sangat besar, diperkirakan antara 1200- 1268 bahasa. Kedua, daerah penuturnya tersebar dari belahan bumi utara, yakni Taiwan, hingga selatan, Selandia Baru dan Australia. Atau dari barat ke timur, mulai dari Madagaskar sampai ke pulau-pulau belahan bumi bagian timur (Blust, 2009). Jika kelompok bahasa Indo-Eropa terse- bar di wilayah lautan Atlantik, maka kelompok bahasa-bahasa Austronesia berada diseputar lautan Pasifik. Diperkirakan jumlah penuturnya mencapai 311,740,132. Secara geografis, letak geografis kedua kelompok bahasa ini berdekatan; prediksi kita ialah bahasa-bahasa Austronesia bisa jadi juga dituturkan di wilayah penutur bahasa Indo-Eropa. Sementara itu SIL melapor- ~ 179 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature kan bahasa-bahasa Austronesia, dengan jumlah 1,268, telah menjadikannya sebagai kelompok bahasa terbesar kedua di dunia. Wilayah penyebaran bahasa-bahasa Austronesia yang terbagi menjadi dua, yakni utara-selatan dan barat timur, membagi Austronesia menjadi kelompok Austronesia bagian barat dan timur, Osiania (Laut Pasifik?) (Bellwood dan Hiscock, 2005). Termasuk kelompok Austronesia barat antara lain, bahasa-bahasa di kepulauan Indonesia seperti Malaya, Sumatra, Jawa, Borneo bagian selatan, Madagaskar, dan sebagian di Vietnam; kelompok Austronesia timur termasuk dalam kelompok ini antara lain, bahasa-bahasa di For- mosa, Pilipina, Sekebes (Sulawesi) bagian utara, dan Borneo (Kalimantan) utara. Kelompok bahasa-bahasa di bagian timur merupakan turunan dari Proto-Indonesia bagian utara (Proto- Northern Indonesian); sementara kelompok bahasa-bahasa di bagian barat memiliki bentuk Proto-Indonesia bagian barat (Proto-Western Indonesian). Dari penjelasan teori pohon, kedua kelompok ini berasal dari Proto-Austronesia sebelum pecah dan berkembang menjadi kelom- pok keluarga bahasa baru. Sebagai kelompok bahasa (juga keluarga bahasa) masing-masing anggota bahasa memiliki kesepadanan. Karakteristik yang berkaitan dengan dua sistem yang melekat dan mendasar pada bahasa, sistem bunyi dan gramatikal bahasa. Kesamaan ini dapat dibuktikan melalui bukti linguistik.

Bukti Linguistik Dalam tradisi linguistik, terutama linguistik historis pemakaian bukti-bukti linguistik dalam penjelasannya mengenai kesamaan kelompok bahasa merupakan hal yang umum berlaku, teru- tama yang berkaitan dengan struktur internal bahasa. Kita tahu struktur internal bahasa meli- puti struktur pada tataran fonologis, morfologis, sintaksis, dan semantik. Keterkaitan antara bahasa-bahasa Austronesia dibuktikan melalui kata-kata yang merujuk pada sistem pertanian. Studi leksikal dari bahasa-bahasa yang terdapat di Formosa, misalnya juga ditemukan pada ba- hasa-bahasa yang ada di Pilipina. Ini menunjukkan bahwa penutur bahasa bermigrasi sekurang- kurangnya pernah hidup berdampingan sehingga terjadi kontak dan peminjaman kata-kata. Jadi bukti-bukti linguistik berupa kesamaan kata-kata yang berkaitan dengan sistem pertanian mendukung asumsi bahwa bahasa-bahasa Austronesia berasal dari Taiwan. Adanya kesamaan kata-kata dalam ternak peliharaan seperti sapi dan kerbau juga menunjukkan bahwa penutur bahasa-bahasa Austronesia dalam perjalanan mereka bermigrasi membawa serta sapi dan ker- bau mereka ke daerah migrasi, kemungkinan melalui laut. Dari cara mereka bercocok tanam dan menggarap sawah dengan menggunakan ternak domestik seperti sapi dan kerbau menun- jukkan bahwa Taiwan adalah asal mula dari penggarapan tanah pertanian melalui sapi dan kerbau. Studi mendalam tentang sistem bercocok tanam padi juga membuktikan bahwa China (Taiwan) merupakan daerah awal dari perkembangan padi. Bukti-bukti linguistik menjelaskan adanya kata-kata yang berhubungan hasil-hasil pertanian seperti padi, tomat, kentang dan jenis lainnya menunjukkan bahwa sebelum bermigrasi ke daerah lain penutur bahasa-bahasa Aus- tronesia di Taiwan telah mengembangkan sistem pertanian. Bukti-bukti linguistik masa lalu ini merupakan prestasi serta pencapaian para pakar Arkeo-linguistik yang sangat membanggakan di bidang kebahasaan, terutama dalam menemukan asal mula daerah penyebaran bahasa-bahasa Austronesia (Greenhill dkk., 2008, http://language.psy.auckland.ac.nz) Para pakar di bidang kebahasaan juga memakai perubahan bunyi bahasa untuk menen- tukan kekerabatan bahasa-bahasa Austronesia. Atas dasar bukti-bukti linguistik pada tataran fonologis yang ditemukan, mereka mengklaim bahwa bahasa-bahasa Austronesia berasal dari Proto-Austronesia di Taiwan. Fakta kebahasaan ini juga dibuktikan dengan adanya korespon-

~ 180 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature densi bunyi dari bahasa-bahasa yang termasuk dalam kelompok bahasa Austronesia baik yang tersebar dari kepulauan Formosa hingga Selandia Baru dan Australia, maupun dari Madagaskar hingga belahan bumi bagian timur. Beberapa contoh dapat diperhatikan pada tabel berikut ini.

Tabel 1. Kata-kata yang menunjukkan adanya korespondensi bunyi dari 4 bahasa Austronesia (Quakenbush, 2007) Malagasy Indonesia Samoan Maori Inggris afo /afu/ api /api/ afi /afi/ ahi /ahi/ fire folo /fulu/ se-puluh /s´puluh/ se-fulu /sefulu (tekau) ten efatra /efatSa/ empat /´mpat/ fa /fa/ uru /huru/ four volo /vulu/ bulu /bulu/ fulu /fulu/ huru /huru/ feather voa /vua/ buah /buah/ fua /fua/ hua /hua/ fruit vao /vau/ baru /baru/ fou /fou/ hou /hou/ new

Dengan mencermati tabel di atas, dengan cepat dan mudah kita pahami bahwa terdapat banyak kesamaan pada tataran fonologis dari ke 4 bahasa Austronesia tersebut. Pertama, dapat kita ka- takan bahwa fonem vokal umumnya sama, tidak ada perbedaan, perhatikan kata buah (Indone- sia); tetapi perbedaan itu nampak jelas pada fonem konsonan. Fonem f /f/ dalam bahasa Mala- gasy sama dengan p /p/ dalam bahasa Indonesia, f /f/ dalam Samoan, dan h /h/ dalam Maori. Data kebahahasaan ini tidak lengkap; keterbatasan ini, membuka peluang untuk dipertanyakan penjelasannya. (http://www.ethnologue.com/ethno_docs/dstribution.asp?by=family, diakses 12 April 2015).

Migrasi Budaya Sistem berternak dan bercocok tanam tidak terpisahkan. Penggarapan tanah pertanian sepenuhnya dilakukan melalui pembajakan dengan menggunakan ternak mereka seperti sapi dan kerbau. Sistem ini mereka kembangkan di daerah-daerah baru yang menjadi wilayah ek- spansi mereka. Bukti-bukti linguistik seperti adanya kata-kata kognit yang berkaitan dengan kata-kata pertanian, ternak, serta hasil bumi telah membuktikan bahwa bahasa-bahasa Austro- nesia pertama kali dituturkan di Taiwan sebelum meluas ke daerah lain (Greenhill dkk., 2008). Disamping kedua sistem tadi penutur Proto-Austronesia dalam bermigrasi juga membawa serta tradisi, bahasa, adat, agama dan seni kerajinan mereka (Ross, 2006). Di daerah yang baru ini mereka kembangkan, melalui proses adaptasi, dirubah bahkan mungkin dihilangkan dan di- ganti dengan yang baru. Banyak kata-kata budaya yang dapat dijadikan bukti bahwa mereka, penutur Proto-Austronesia berekspansi mulai dari Formosa ke wilyah timur, dan dari Taiwan (China) menuju arah selatan menyisir sepanjang Lautan Pasifik. Budaya melekat dalam bahasa, dan bahasa sebagai alat ekspresi budaya tumbuh berkembang secara simultan. Dengan kata lain, mereka bermigrasi dengan membawa serta bahasa dan budaya termasuk sastra.

Kesimpulan Belum diketahui dengan pasti berapa jumlah penutur bahasa-bahasa yang termasuk dalam kelompok Austronesia. Angka terakhir menyebut 311,740,132. Diakui kelompok Austronesia termasuk kelompok bahasa terbesar kedua di dunia, jumlahnya antara 1200-1268 bahasa. Peran

~ 181 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature arkeolinguistik sangat besar dalam memahami dan menemukan asal-muasal dan daerah nenek moyang bahasa Austronesia. Melalui bukti-bukti arkeologis, linguistik, dan budaya disimpul- kan bahwa bahasa Austronesia pertama kali berkembang di Taiwan.

DAFTAR PUSTAKA

Bellwood, P. and Hiscock, P. 2005 ‘Australia and the Austronesians’, in C. Scarre (ed.) The Human Past, London: Thames & Hudson, pp. 264–305. Blundel, D. 2011. Taiwan Austronesia Language Heritage Connecting Pacific Island People: Diplomacy and Val- ues, the International Journal of Asia-Pacific Studies, IJAPS. IJAPS, Vol. 7, No. 1 (January 2011). Blust, R. 2009. The Austronesian languages A-PL 008The Australian National University Press. Tersedia di URL: http://hdl.handle.net/1885/10191. Blust 2009. Bellwood, Fox, Tryon 1995: ch. 1 (The Austronesians in history) and ch. 1 (Origins and dispersals)— they have two chapters numbered 1; here’s the link: http://epress.anu.edu.au/austronesians/austronesians/ mobile_devices/index.html. Greenhill, S.J., R. Blust and R.D. Gray. 2008. The Austronesian basic vocabulary database: From Bioinformatics to Lexomics. Evolutionary Bioinformatics, 4:271–283. Peter Bellwood , James J. Fox and Darrell Tryon. 2009. The ustronesians inHistory: Common Origins and Diverse Transformations. Priyadarshi, P. 2010. Recent Studies in Indian Archaeo - linguistics and Archaeo - genetics Having Bearing on Prehistory. Paper Presented in Seminar on Recent Achievement of Indian Archaeology Department of Ancient History and Archaeology, Lucknow University , Lucknow, India, 28 – 30 December 2010. Stephen, Q.J.. 2007. SIL International and Endangered Austronesian Languages, paper presented on MIPCE, held 23-30 April 2007, tersedia di http://www.klf.com.my/mipce1/index. htm. Ross, M.D. 2006. Reconstructing the case-marking and personal pronoun systems of Proto Austronesian’, paper presented to the Tenth International Conference on Austronesian Linguistics, Puerto Princesa City, Philip- pines. http://language.psy.auckland.ac.nz. http://www.ethnologue.com/ethno_docs/dstribution.asp?by=family, diakses 12 April 2015).

~ 182 ~ EXPLAINING NON-CANONICAL REPRESENTATIONS OF INDONESIAN UNIVERSAL QUANTIFIER SEMUA “ALL”

I Nyoman Aryawibawa English Department, Universitas Udayana [email protected]

ABSTRAK Aryawibawa (2013) meneliti pemerolehan pembilang universal masing-masing/setiap dan semua dalam Bahasa Indonesia. Ada tiga pertanyaan yang yang dicoba untuk dijawab dalam penelitian tersebut: (1) apakah subjek penelitian bisa menggunakan pembilang universal, (2) apakah representasi masing- masing/setiap bersifat kanonis, (3) menguji penyebaran pembilang universal yang diteliti sebelumnya oleh Philip. Dalam makalah ini yang akan disajikan adalah hasil pertanyaan kedua saja yaitu penjelasan mengapa subjek penelitian tidak bisa merepresentasikan makna kanonis dari semua. Penelitian menggunakan teknik mencocokkan gambar yang melibatkan 20 anak yang berusia 4-6 tahun, 30 anak yang berusia 7-12 tahun, dan 30 orang dewasa yang berusia 17-22 tahun. Hasilnya menunjukkan bahwa anak yang lebih muda tidak bisa merepresentasikan makna kanonis untuk masing- masing dan semua. Berbeda dengan anak yang lebih muda, anak yang lebih tua dan subjek dewasa bisa memberikan representasi kanonis untuk masing-masing dengan kebenaran di atas 90%. Sedangkan representasi untuk semua oleh kedua kelompok subjek tersebut hanya sekitar 50% bersifat kanonis. Pertanyaannya: bagaimana kita menjelaskan hasil ini? Penjelasan dari Brooks & Braine (1996) barangkali relevan untuk menjelaskan hasil tersebut. Penjelasan tersebut mengatakan bahwa kalimat Semua anak sedang membuat sebuah layang-layang bersifat ambigu dalam pengertian berapa layang- layang yang dibuat oleh anak-anak tersebut. Lebih spesifik, kalau kita liat posisi sintaksis dari semua dan frasa nominal sebuah layang-layang, kalimat tersebut bisa bermakna ada lebih dari satu layang- layang yang dibuat anak-anak. Dalam hal ini makna kanonis distributif yang muncul. Akan tetapi, kalau dilihat dari makna semua maka makna kalimat tersebut bisa berarti bahwa hanya ada satu layang- layang yang dibuat oleh anak-anak. Dalam konteks ini maka makna kanonis kolektif yang muncul. Jadi, hasil tersebut menunjukkan bahwa makna universal pembilang universal seperti yang ditunjukkan Vendler (1967), Ioup (1975), Brooks & Braine (1996), dan Brooks at al. (2001) dalam Bahasa Indonesia tidak terbukti. Penjelasan Brooks & Braine (1996) relevan untuk menjelaskan hasil temuan di atas.

Kata kunci: pembilang universal, pemerolehan, makna distributif, makna kolektif.

INTRODUCTION There are two classical studies on universal quantifiers. Vendler (1967) says that there are two basic representations of the universal quantifiers all, each, and every in English. The first one is collective where the predicate applies to all group members as can be seen in All the boys are riding an elephant. The meaning of this sentence is that all boys are riding the same elephant. The second one is distributive where the predicate applies to each of the group members as in the sentence Each boy is riding an elephant. The interpretation of the sentence is that every boy is riding a different elephant. Vendler further explains that the collective representation of all and the distributive representation of each are canonical. Ioup (1975), in his universal quantifier study on fourteen languages, claimed that all languages have universal quantifiers with the same meanings as all and each in English. Basically, Ioup’s study points out that all languages distinguish the collective meaning from the distributive one in which each of the meanings is marked with different universal quantifiers. One crucial point of the claims of the two studies just mentioned is that the collective

~ 183 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature and distributive meanings of the universal quantifiers are primitive or innate in nature. The claim is further supported by other studies (e.g., Brooks and Braine, 1996; Brooks et al., 2001, etc.). Aryawibawa (2013) investigated children and adults’ acquisition of Indonesian universal quantifiers in Indonesian (e.g., masing-masing/setiap “each/every”, semua “all”). The study examined three research questions, (1) to point out if the subjects could restrict a quantifier to a noun it modifies, (2) to test if they were able to assign canonical distributive and collective meanings to masing-masing/setiap “each/every”, semua “all” respectively, and (3) to further test Philips’s quantifier spreading. In contrast to the two studies, Aryawibawa (2013) pointed out that there was a delay in the acquisition of Indonesian universal quantifiers by younger children. Additionally, the quantifier semua “all” was not canonically represented by the older children and adults. This paper is presented only in relation to the results of the second research question. Specifically, the main purpose of current paper is mainly dedicated to explain why older children and adults could not assign canonical collective meanings to semua “all”.

METHODS Definition of Data Since this study deals with quantifiers, I should provide working definitions on quantifiers and data that will be included in the analysis. Following Guasti (2002: 314), what it means by quantifiers is “those expressions that combine directly with a noun, have no adverbial use, and cannot modify pronouns, e.g., every, all, few, a, there”. There are two different kinds of quantifiers: universal, e.g.all, every/each and existential, e.g. some, a/an. This study only concerns with the universal quantifiers. Thus, the data used in this study are sentences containing the universal quantifiers in Indonesian, e.g., Semua anak sedang membuat sebuah layang-layang “All children are making a kite”, Setiap/masing-masing anak sedang membuat sebuah layang-layang “Every child is making a kite”).

Data Collecting The experiment was conducted in Bali. I worked with Indonesian native speakers, both children and adults. Data were elicited using Indonesian sentences containing universal quantifiers. The data was recorded on a work-sheet for each participant. Picture selection tasks were used. In the tasks, participants have to select an appropriate picture based on the stimuli given to them. More explanation on the stimuli and the procedure of experiment will be provided in the experiment section below.

Research Participants There were three groups of participants: 20 play group and kindergarten children at the Swadarma School (4-to-6-year old), 30 elementary students (1-6 graders) at the Bali Public Schools (7-to-12-year old), and 30 undergraduate students at the English Department, Universitas Udayana (17-to-22 year old). Regarding children socio- economic background, they are from middle class families based on parental education and occupational prestige. In addition, they are normally developing children. The information is from schools’ teachers and my direct observation, e.g., personal talk with each child. For example, in my talk with them (especially to the younger children) we conversed about their hobbies, breakfasts, foods, etc. In this fashion, I expected that I would be able to test their ability to produce simple sentences,

~ 184 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature i.e., sentences that at least have a SVO, i.e., Subject-Verb-Object, word order. To recruit the participants, written consent forms, i.e., the study proposal, containing the general idea and the detailed procedure of the study, was sent to the Principles of the schools. After the permission from the schools was obtained, meetings between the Principles, the teachers and the experimenter were administered to further explain about the experiments and to give them a chance to ask questions about the study. The experiments were administered at the schools.

Stimuli Stimuli in the form of pictures11 describing children doing certain activities were employed in this study. There were 5 sets of stimuli. Each stimuli consists of pictures describing different activities from the other stimuli. One example of the stimuli is presented below.

Picture A Picture B Picture C Stimuli 2

Each stimuli employed in this study contains three pictures. Methodologically, a set of stimuli having three pictures is reliable since it has a smaller guessing factor by participants compared to that with two pictures, for example. Thus, with a stimuli having three pictures can it be expected a more reliable representation of universal quantifiers by participants since the representation should be processed through more careful computing in their mind. To elicit participants’ knowledge on the universal quantifiers, sentences containing Indonesian universal quantifiers such as semua “all”, masing-masing “each” with a stimuli were given. Based on the stimuli and the sentences, the participants provided their responses by selecting an appropriate picture in the stimuli.

EXPERIMENTS As stated at the outset of the paper, there are three research questions examined in the original study. To repeat here, they are (1) can children and adults restrict the use of a quantifier to its domain (i.e., the noun it modifies)? (2) are the collective and distributive meanings of semua “all” and masing-masing “each” innate in nature?, and (3) do children prefer symmetrical relation between a quantifier and its domain? This paper, however, is mainly dedicated to explain the results of the second research question. In the following sections, I present each experiment to find out the answers of the questions under study.

Research Question 2: are the distributive and collective meanings innate/canonical?

1 I deeply thank Dewa Diasana Putra for assisting me create the pictures ~ 185 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Subjects 20 younger children/play group and kindergarten children (4-to-6-year-old), 30 older children/1-6 graders (7-to-12-year-old), 30 adults/undergraduate students (17-to-22-year- old).

Stimuli There were three stimuli used in this experiment. One example of them is shown above.

Experiment Procedure The procedure applied in this experiment is basically the same as that in the other ones. The teacher, the subject, and the experimenter sat around the same table. Before we began the experiment, the teacher or I chatted with the subject to make him/her comfortable. When this happened, we began the experiment. The stimuli was put in front of the subject. For the younger subjects, the teacher read the sentences describing the activity in the stimuli to elicit the subjects’ quantifier knowledge (e.g. Semua anak sedang membuat sebuah layang-layang “All of the children are making a kite”, Masing-masing anak sedang membuat sebuah layang- layang “Each child is making a kite”). The child then selected one picture that matched with the sentence just spoken. I recorded his/her response on a separate response sheet. For the older children and adults, the teacher did not read the sentences for them. Instead, they did it themselves and matched a sentence with an appropriate picture in the stimuli. The targeted answer (for canonical representation) is marked 1 on the response sheet, the non-targeted answers (for non-canonical representation) are marked 2, and for other irrelevant response is marked with 3. Results Younger Children

Older Children

~ 186 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Adults

Graph 1. The representation of masing-masing “each” and semua “all” by younger children, older children, and adults.

As can be seen in Graph 2, the younger children cannot separate the use of masing- masing “each” from semua “all” (for masing-masing “each”, their canonical and non- canonical use are almost equal. For semua, “all”, their canonical use of it is slightly over 50%. In other words, the number does not indicate that they are able to represent the canonical meaning of semua “all”). However, 80% of the total 90 responses of the older children and almost 100% of the total 90 responses of the adults represented canonical meaning (i.e., distributive) to masing- masing “each”. For semua “all”, nevertheless, the representation of collective meaning was not so clear as that of masing-masing “each”. About 53% of the older children’s responses represented canonical meaning (i.e., collective), almost 30% marked non-canonical meaning (i.e., distributive) and about 27% indicated other irrelevant meaning. For the adults, almost 50% of their responses represented canonical meaning (i.e., collective), 45% represented non- canonical meaning (i.e., distributive) and about 5% represented other unrelated meaning.

Bersama-sama “Together” Effect As we learn from the results of the experiment 2, there is no clear canonical representation for semua “all” by all the subjects. Please note that in Indonesian the scope adverb bersama- sama “together” is common to occur at the end of a sentence containing semua “all”, promoting a collective effect (Semua anak sedang makan sepotong ayam bersama-sama “All children are eating a piece of chicken together”). Thus, it is necessary to conduct a further test for semua that occurs with bersama-sama to examine whether the adverb has any collective effect. The central question for the next experiment is: does the use of bersama-sama “together” promote any collective effect? The experiment involves the same subjects, stimuli, and experiment procedure as that in testing research question 2.

~ 187 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Results Younger Children Older Children Adults

Graph 2. The collective effect of the scope adverb bersama-sama “together” to the use of semua “all”.

The graph shows that about 35% of the younger children marked semua “all” with the canonical meaning, i.e., collective, but about 40% of them represented the non-canonical meaning, i.e., distributive, to semua “all”. For the older children, only about 50% of their responses represented the canonical meaning, i.e., collective, about 25% marked the non- canonical meaning, and surprisingly about 30% represent the other meaning. Unlike the two groups, the use of bersama-sama “together” with semua did affect the adults. Almost 90% of their response represented the canonical meaning, i.e., collective, of semua “all”. The finding is contrastive with the canonical representation of semua “all” by adults in Graph 1.

DISCUSSION From the findings previously shown we learn that there is no evidence that the younger children are able to assign the distributive meaning to masing-masing “each” and the collective meaning to semua “all”. Unlike the younger children, the older children and adults can assign the canonical distributive meaning to masing-masing “each” convincingly. More concretely, 80% of the total 90 responses of the older children and almost 100% of the total 90 responses of the adults represented the canonical meaning (i.e., distributive) to masing-masing “each”. For semua “all”, nevertheless, the representation of the collective meaning is not so clear as that of masing- masing “each”. About 53% of the older children’s responses represented the canonical meaning (i.e., collective), only almost 30% marked the non-canonical meaning (i.e., distributive) and about 27% indicated the other irrelevant meaning. For the adults, almost 50% of their responses represented the canonical meaning (i.e., collective), only 45% represented the non-canonical meaning (i.e., distributive) and about 5% represented the other meaning. In other words, across the boards, the use of semua “all” (Semua anak sedang membuat sebuah layang-layang “All children are making a kite”), which should be appropriate to express the collective meaning described in Picture B, is spread out to describe the distributive meaning indicated in Picture C. Thus, the findings inform that only the canonical distributive meaning of masing- masing “each” was highly assigned by both the older children and adults, not the

~ 188 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature canonical collective meaning for semua “all”. To find out that the use of semua “all” has a collective meaning, a further test was administered. In the test, a sentence using the quantifiersemua “all” and a scope adverb bersama- sama “together” that occurs at the end of a sentence (Semua anak sedang makan sepotong ayam bersama-sama “All the children are eating a piece of chicken together”) describing a stimuli was used. The word bersama-sama is to promote the collective meaning. As we see in Graph 2, the use of bersama-sama “together” does not show the collective effect for the younger and older children. However, it does affect the adults. The question now is, how to account for the facts that the subjects do not assign the canonical collective meaning to semua? The explanation from Brooks and Braine (1996) might be relevant to state here. Their explanation says that the sentence Semua anak sedang membuat sebuah layang-layang “All the children are making a kite” is ambiguous in the sense how many kites are being made. Specifically, if we look at the syntactic position of semua “all” and the noun sebuah layang- layang “a kite”, it means that there is more than one kite that is being made by the children (the distributive meaning is inferred). However, if we look at the semantics or lexical features of semua “all”, we can infer that there is only one kite that is being made (the collective meaning is inferred). Thus, the explanation seems to be relevant to explain the unability of the subjects to assign the canonical collective meaning to semua “all”. For a more comprehensive discussion please refer to Aryawibawa (2014). In short, all the evidence suggests that the use of universal quantifiers and the acquisition of their meanings by children are delayed until they are approximately at age 7. In other words, the evidence informs that the innate meanings of universal quantifiers are not confirmed. What factors play a role in the acquisition delay? Learning process in the sense of Bowerman (2001, p. 497) and linguistic maturation in the sense of Borer & Wexler’s Maturation Hypothesis (1987, p. 123-130), which generally correlates with age, might factor in. The learning process basically explains that linguistic inputs (i.e., the use of universal quantifiers from surrounding) is important for the younger children to use the universal quantifiers. And the Maturation Hypothesis says that the inability of younger children in using the universal quantifiers may be due to the fact that the linguistic concept of the quantifiers is not matured yet in their mind. When they get older, their quantifier concept should be matured. When this happens they are able to use the quantifiers as can be seen from the older children and adults’ results.

CONCLUSION The findings show that there is a delay in the acquisition of universal quantifiers in Indonesian, meaning that the innate meanings of semua “all” and masing-masing “each” are not observed in this study. The findings bring an implication to previous studies on quantifier raising claiming that children do have knowledge and perform well on it. Given current evidence, the topic needs further testing in Indonesian (and in other languages as well). The findings also contribute to teaching how to make inferences using natural languages in class room settings. However, this study is still preliminary. Methods, e.g., stimuli, need further revisions and further examination in other Indonesian local languages involving more subjects using other comprehension techniques, e.g., truth-value judgment tasks and also production tasks, to confirm current results. ~ 189 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature REFERENCES

Borer, H. and Wexler, K. 1987. The Maturation of Syntax. In Thomas Roeper and Edwin Williams (eds.), Parameter Setting, 123-172. D Reidel Publishing Company. Bowerman, M. and Soonja C. 2001. Shaping Meanings for Language: universal and language-specific in the acquisition of spatial semantic categories. In Melissa Bowerman and Stephen C.Levinson (eds), Language Acquisition and Conceptual Development. Cambridge: Cambridge University Press. Brooks, P. J. and M. D. S. Braine, G. Jia & M. da G. Dias. 2001. Early representation for all, each, and their counterparts in Mandarain Chinese and Portuguese. In M. Bowerman and S. C. Levinson (ed.), Language Acquisition and Conceptual Development. Cambridge: Cambridge University Press. Brooks, P. J. and M. D. S. Braine. 1996. What Do Children Know about the Universal Quantifiers all and each? Cognition 60: 235-268. Drozd, K. F. 2001. Children’s Weak Interpretations of Universally Quantified Questions. In M. Bowerman and S. C. Levinson (ed), Language Acquisition and Conceptual Development. Cambridge: Cambridge University Press. Guasti, M.T. 2002. Language Acquisition. The Growth of Grammar. Cambridge, Massachusetts: The MIT Press. Ioup, G. 1975. Some Universal for Quantifier Scope. Syntax and Semantics 4: 37-58. Philip, W.C.H. (1994).Event Quantification in the Acquisition of Universal Quantification. ProQuest Dissertations and Theses. Vendler, Z. 1967. Linguistics in Philosophy. Ithaca: Cornell University Press. Beghelli, F. and T. Stowell.1997. Distributivity and Negation: The Syntax of Each and Every. In A. Szabolcsi (ed.), Ways of Scope Taking. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.

~ 190 ~ PERILAKU SINTAKSIS DAN STRUKTUR LOGIS VERBA BERAWALAN BER- BAHASA INDONESIA

I Nyoman Sedeng Program Studi Bahasa Inggris Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana email: [email protected]

ABSTRACT This paper discusses matters of verbs with prefix ber- in Indonesian and aims at studying three sub-top- ics, namely: (i) distribution of ber- prefix, (ii) the syntactic behavior of ber- verbs, and (iii) see the logi- cal structure and thematic role of the argument. The data were collected with the help of corpus toolkit antconc3.2.1w. The analysis is based on the corpus of data totaling 3565 appearance of ber- verbs found in a number of novels. The analysis showed that; (i) prefix ber- can be attached to all classes of words, such as nouns, free base and bound base, adjectives, numerative, frase, compound, and adverbial. (ii) syntactic behavior indicates that the ber- verbs assign; one argument, two, and x-comp. (iii) in general the logical structure of verbs is represented in the form of ; do ‘(x, [pred’ (x)]), do ‘(x, [pred’ (x) (y)]), and verbs of saying, do ‘(x [express (α) .to (β) .in .language. (γ) (x, y)]). Thematic roles express the meaning; mover, emitter, owner, performer, users, etc.

Keywords: syntactic behavior, logical structure, arguments, thematic role.

Pendahuluan Verba merupakan unsur inti suatu klausa atau kalimat. Sebagai unsur inti, verba dikel- ompokkan berdasarkan atas jumlah argumen yang ditetapkan oleh suatu verba dalam memben- tuk klausa yang gramatikal dan bermakna. Dari pengelompokan ini Pike membagi klausa men- jadi; klausa equatif, klausa mono-intransitif, bi-intransitif, transitif mono, dan klausa kompleks transitif. Secara morfologis verba Bahasa Indonesia (BI) dikelompokkan menjadi; (i) verba dasar yaitu verba yang dapat berdiri sendiri sebagai predikat suatu klausa, misalnya: bangun, tidur, pulang, pergi, jatuh, dsb, (ii) verba berawalan ber-, seperti; bermain, bersenandung, ber- gurau, bersanding (iii) verba berawalan nasal {MeN}, seperti; menulis, menyadur, (iv) verba berawalan {ter-}, seperti; tersambung, terinjak duri, (v) verba berakhiran {-i}, seperti; luka-i, waris-i, dan (vi) verba berakhiran {-kan}, misalnya; beli-kan, bawa-kan. Verba berawalan ber- yang menjadi topik bahasan dalam tulisan ini memiliki kekhasan dilihat dari sudut prilaku sintaksisnya. Walaupun sudah banyak tulisan yang membahas ikhwal verba berawalan ber-, tetapi masih ada celah yang perlu dibahas untuk melengkapi bahasan terdahulu. Ruddiyanto (1990:43-55) menguraikan distribusi awalan ber- dan imbuhan lain yang bertalian dengan awalan tersebut, misalnya: mem(per), per-/-an, imbuhan pe-. Berdasarkan pengelompokan tipe klausa yang disampaikan oleh Pike & Pike, verba berawalan ber- BI dapat mengisi predikat klausa mono-intransitif dan bi-intrasitif. Sebagai con- toh verba bercerai bisa menetapkan satu-satunya argument untuk membangun sebuah kalimat tunggal, misalnya (i) Mereka sudah bercerai dan verba ini dapat menetapkan satu argument inti dan satu argument oblik (ii) Kusnadi sudah bercerai dengan istri pertamanya. Secara sintkasis verba bercerai dalam kalimat (i) menetapkan satu argument yaitu pronomina subyek mereka yang bermakna dual sedangkan dalam kalimat (ii) verba bercerai menetapkan dua argument, satu argument inti dan satu argument oblik dan posisi subyek harus diisi oleh pronomina tung-

~ 191 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature gal. Verba lain yang memiliki prilakukan yang sama termasuk; bertengkar, berkelahi, bermusu- han, berpapasan, bersanding, bercengkrama, berdiskusi, dll. Di lain sisi ada sejumlah verba berwalan ber- yang tidak bisa berdiri sendiri tanpa dikaitkan dengan kontek situasi di mana verba tersebut dipergunakan. Sebagai pemahaman awal ada dua verba yang dapat dicontoh- kan disini, yaitu; bersyukur dan berhasil misalnya dalam kalima (iii) Tidak berhentinya aku bersyukur ke hadirat Illahi karena kemudahan-kemudahan yang kami terima selama itu. (iv) Dan, ketika ia sudah berhasil menapaki kembali kehidupannya semula, tiba-tiba telinganya mendengar berita yang tak menyenangkan itu. Dari contoh (iii) dapat dicermati bahwa verba bersyukur harus dilengkapi dengan sesuatu yang disyukuri, yang dalam konteks itu adalah kemudahan-kemudahan yang kami terima selama itu. Verba ini tidak berterima bila hanya ber- diri sendiri misalnya dalam kalimat, *Mereka bersyukur (ke pada Illahi) tanpa didahului atau diikuti sesuatu yang disyukuri. Secara lengkap tulisan ini akan membahas tiga sub-pokok bahasan, yaitu; (i) distribusi awalan ber- sebagai pembahasan aspek morfologis, (ii) prilaku sintaksis dari verba berawalan ber-, serta (iii) struktur logis verba berawalan ber-.

Distribusi Awalan Ber- Sebagai pembentuk verba awalan ber- memiliki distribusi yang sangat produktif, kar- ena awalan ini dapat merekati hampir semua kelas kata, misalnya: nomina, verba, adjektiva, numeralia, dan adverbia. Kelas kata nomina baik nomina abstrak maupun konkrit secara luas dapat direkati oleh awalan ber- untuk membentuk verba intransitif. karakter, fungsi, harga, bakat, gairah, makna, motif, hak, kesan, maksud, tekad, usia, martabat, , bobot, pesta, sarang, jodoh, ibadah, agama, selera, mata, mutu, baju, lantai, genteng, pidato, lumut, karir, nada, korban, halaman, tumit, tulang, mimpi, hasrat, judi, kerudung, jas, sarung, kemeja, seragam, dsb. Bentuk morfem dasar bebas (free base) dapat direkati awalan ber- untuk membentuk verba intransitive, misalnya; buat, selingkuh, sembahyang, sembunyi, main, praktek, aksi, kon- sentrasi, cerai, buru, zinah, langsung, ubah, dsb. dan sebagaian kecil verba ini juga dapat men- erima akhiran {-i} atau {-kan} untuk membentuk verba transitif, misalnya: zinah-i, selingkuh-i buat-kan, cerai-kan, selingkuh-kan, langsung-kan, sembunyi-kan, main-kan, praktek-kan, dan konsentrasi-kan. Untuk membuktikan bentuk ini sebagai bentuk dasar bebas maka dapat diuji melalui perekatan partikel {-lah} setelah bentuk tersebut atau bentuk perintah negative jangan di depan bentuk dasar itu. Misalnya, Buatlah rancangan yang akurat, Jangan buat kesalahan yang sama. Bentuk dasar terikat (bound base) yang sering diberi istilah “prakatagorial” oleh se- jumlah ahli bahasa juga dapat disatukelompokkan dengan bentuk verba dasar bebas di depan (lihat Ruddiyanto 1990). Kelompok bentuk dasar ini belum dapat difungsikan sebagai pengisi predikat , misalnya: labuh, baring, saing, khianat, gegas, golak, gaul, hayal, semayam, linang, tengkar, kedip, wenang, henti, anjak, tengger, juang, kelana, kencan, dsb. Di samping itu, ben- tuk dasar ini tidak bisa direkati dengan partikel {-lah} atau leksikal imperative negative jangan di depan bentuk dasar itu. Misalnya,* Baringlah agak ke tengah atau *Jangan baring terlalu di pinggir. Sama halnya dengan kelompok verba dasar bebas di depan, di samping dapat direkati

~ 192 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature awalan ber-, sebagian kecil dari bentuk ini juga dapat direkati akhiran atau sufiks {-kan}, mis- alnya; labuh-kan, baring-kan, hayal-kan, semayam-kan, kedip-kan, henti-kan, atau akhiran {-i} saing-i, khianat-i, gaul-i, untuk membentuk verba transitif tunggal. Adjectiva BI juga dapat direkati awalan ber-, namun jumlahnya tidak begitu banyak. Adjektiva yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah adjektiva yang mengungkapkan peras- aan hati (mood). Misalnya, sabar, semangat, salah, santai, damai, mesra, susah, bahagia, , duka, sedih, gembira, imbang, hemat dan malas. Pemunculan awalan ber- yang merekati Nu- meralia jumlahnya sangat terbatas, seperti; berdua, bertiga. Kata ulang BI Reduplikasi berderet-deret, bertalu-talu, berdebar-debar, bersorak-so- rai, berkali-kali, berdecak-decak, berhati-hati, berteriak-teriak, berlama-lama, berkaca-kaca, berbintik-bintik, bersungguh-sunguh, berkicau-kicau, berkelap-kelip, berlipat-lipat, dsb. Sejumlah frasa dapat direkati awalan ber- walaupun jumlahnya tidak begitu banyak, misalnya, pangku tangan, besar hati, istri janda, tekuk lutut, kaki tangan, ramah tamah, sopan santun, makna ganda, baju merah, rambut panjang, kulit halus, pagar besi, tembok tebal, atap genteng, muka teba, bulu domba, badan dua, cat hijau.

Perilaku Sintaksis Verba Berawalan Ber- Verba berawalan ber- BI secara umum tergolong ke dalam verba instransitif baik yang menetapkan satu argument inti Pred (x), misalnya; berjalan (x) berpikir, bermimpi, berdoa, berbakat, berkarakter, bergairah, seperti dalam klausa Anak kecil itu berjalan di halaman atau yang menetapan satu argument inti dan satu argument non inti atau oblik Pred (x)(y), seperti dalam klausa; Dedy bertanya kepada ayahnya. Verba Bi-intransitif BI yang menetapkan satu argument inti dan satu argument non inti oblik memiliki pemunculan yang cukup banyak. Unsur oblik biasanya dimarkahi oleh sejum- lah preposisi, seperti; dari, tentang, dalam, dengan, dan kepada. Dalam dalam data ditemkan sejumlah verba yang diikuti oleh preposisi tersebut seperti; (i)…dan ia menyeka keringat di wajahnya yang belepotan karena bercampur dengan bedak tepung beras. (ii)..., dan dengan wajah demikian syahdu ia mengekspresikan setiap denting senar gitar yang bercerita tentang daun-daun pohon bintang yang melayang jatuh di... Verba bercampur, bercerita, dan berbicara pada data (i, ii, iii) di depan menetapak satu argumen inti dan satu argument non inti oblik. Apabila argumen non inti dihilangkan maka bagian kalimat yang tersisi tidak mengandung makna yang lengkap. Verba lain yang juga me- miliki prilaku sintaksis yang sama dengan ketiga verba di atas adalah; (iv) berbicara dengan dia, (v) syairnya bercerita tentang seorang pria Melayu, (vi) berbicara kepada kami berdua, (vii) Orang yang kaukira lebih beruntung­ dari kamu itu, Sejumlah verba berawaan ber- bisa digolongkan kedalam dua entri leksikal, yaitu dalam satu konteks menetapakan satu-satunya argument dan yang kedua menetapkan satu argument inti dan satu argument non inti. Misalnya, verba bertengkar, berbaikan, bermusuhan, berpa- pasan, berdamai akan menetapkan satu argument ketika subyek klausa diisi oleh nomina atau pronominal jamak atau dual, di sisi lain verba ini akan menetapkan satu argument inti atau (term) dan satu argument none inti (non term) apabila subyek klausa itu tergolong kedalam nomina atau pronomina tunggal. Dalam data ditemukan pemunculan kedua perilaku verba ini,

~ 193 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature seperti berikut: (i) Mereka bertengkar hebat, berbaikan, lalu bertengkar lagi, (ii) Sekarang Dian sedang bertengkar dengan Agung, (iii) Aku takut kamu berselingkuh dengan Mauris! (iv) Dia belum sempat bertanya lagi ketika matanya berpapasan dengan mata seorang wanita …. Verba berwalan ber- seperti: berhasil, berjanji, bersumpah, berharap, berminat, berni- at, berusaha, bertekad tidak dapat secara mandiri menduduki posisi predikat dalam suatu klau- sa intransitive BI. Verba kelompok ini selalu diikuti oleh komplemen berupa klausa non-finit yang dalam teori kontrol diistilah dengan a clause-like phrase (Falk, 1958:121) yang memiliki subyek tan katon yang disimbolkan dengan PRO dan unsur ini dikontrol oleh subyek klausa atasannya atau klausa matriksnya. Dalam LFG struktur ini juga diistilah dengan X-Comp. Un- tuk menopang uraian di atas berikut beberapa pemunculan verba ini yang ditemukan dalam data: (i) Akhirnya, Fitri berhasil meraih perhatian Bambang, (ii) Dia berniat membeli sebuah hotel tua,. Merombaknya dan membangun sebuah hotel kecil tapi eksklusif., (iii) Dia berminat menerima tawaran damai Teguh Perkasa, (iv) “Maaf membuat Ibu repot,” kata Sisi sambil ber­usaha tidak memperdengarkan kejengkelannya. Verba berawalan ber- yang tergolong ke dalam verba pengungkapan, misalnya berdia- log, bertanya, berkata, berkomunikasi, berbicara. memiliki perilaku sintaksis yang bervariasi yang oleh Van Valin dan LaPola (1997:117) disimbolkan dengan struktur logis seperti berikut; do’(x[express(α).to(β). in. language.( γ)(x,y)]). α dapat berupa nomina metabahasa, nomina topik, ungkapan tak langsung, pelengkap, dan nomina ungkapan, β adalah lawan bicara yang berupa frasa preposisi, dan γ adalah bahasa yang dipergunakan. Struktur logis di depan dapat direalisasikan dalam suatu struktur kalimat, seperti; Anak kecil itu bertanya kepada kakeknya tentang sejarah Pura Tanah Lot dalam bahasa Bali. Berikut pemunculan verba pengungkapan dalam data. (i) Bu Rafela tidak berkata apa-apa. (ii) Dia berkata sering membantu kakeknya membikin berbagai perabot rumah. (iii) Aku berbicara­ kepada Tuhan, aku berbicara kepada bayiku. (iv) Tidak pernah nyinyir bertanya kapan suaminya pulang. Sejumlah morfem verba dasar bebas dan bentuk morfem dasar terikat akan membentuk suatu makna hanya apabila diberi berimbuhan konfiks {ber-/an}. Misalnya, bentukan bergan- dengan, berkeliaran, berdekatan, berserakan, bertaburan, berlebihan, bermunculan, berge- limpangan. Semua bentuk ini tidak mengandung makna apabila akhiran {-an} tersebut dilesap- kan. Berikut pemakaian yang ditemukan dalam data; (i) Beberapa hari ini ia belajar di kelas sambil berdiri karena lima biji bisul pada bermunculan di pantatnya. (ii) Ketika bunga jarum digabungkan dengan bunga rumput gunung tanpa diatur maka mereka seolah berebutan tam- pil. Ibunya juga sering sakit-sakitan, sehingga tidak mampu lagi berdagang , satu-satunya kepandaiannya untuk mencari nafkah.

Struktur Logis Verba Berawalan Ber- Berdasarkan distribusi dan perilaku sintaksis verba berawalan ber- yang telah disampai- kan di depan, berikut disajikan struktur logis dan peran tematik setiap argumen verba tersebut. (i) Verba Aksi tak teratur, seperti; berkeliaran, berserakan, bermunculan, berhamburan, do’(x, [berkeliaran’(x)]) dan peran tematik dari argument x=mover. (ii) Verba mosi yang tergolong ke dalam kelompok telik dan tak telik, seperti; berjalan, berkeliling, berlari, berlayar, bergerak,

~ 194 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature berputar ) dengan struktur logis do’ (x, [berjalan’ (x)]). Misalnya, (a) Ketika akhirnya aku ber- jalan menuju ke kelas, Wahyudi mencegatku. (b) Sudah jauh sekali dia berjalan dari rumah. (c) Keesokan harinya Madhuri membawa Rio berkeliling Old Delhi dengan naik becak, dan peran tematik dari argumen x= penindak (iii) Verba emisi dapat dikelompokkan menjadi emisi sinar, bunyi, bau, zat. Misalnya, berdentang, bercahaya, bersinar, berbau, berbusa, berbunyi, berte- riak, berbuih, bersuara, bergetar, berdenyut, memiliki struktur logis do’ (x, [berdentang’ (x)]), peran tematik adalah emitter. (iv) Verba posisi tubuh, berbaring, berdiri, berlutut, bersandar, dll. (v) Verba resiprokal bermusuhan, berpelukan, berpandangan, bertengkar, berciuman, bersahutan, bersilangan, berhadapan, dll. (vi) Verba memakai berkerudung, berkemaja, ber- seragam, berkacamata, bersarung, berkacamata do’(x, [berkemeja’(x)]). (vii) Verba memiliki dapat diikuti oleh obyek inherent berupa bagian tubuh, seperti; berambut, berekor, bermuka, bertubuh, dll., objek nomina nyata, seperti; beruang, berumah, beristri, bersuami, dll., serta obyek nomina yang abstrak, seperti: berkarakter, berfungsi, berharga, berkesan, berpengeta- huan, bertekad, berdaya, dll.

Simpulan Berdasarkan uraian tentang verba berawalan ber- di atas, beberapa simpulan dapat di- tarik bahwa; (i) awalan ber- bisa merekat pada semua leksikal, seperti; nomina, verba, bentuk dasar terikat, adjektiva, adverbial, dan numeralia. (ii) Selain sebagai verba yang menetapkan satu argument, verba berawalan ber- juga menetapkan argumen oblik dan komplimen klausa (x-comp). (iii) Struktur logis cukup bervariasi dan peran tematik verba menunjukkan makna memiliki, memakai, posisi badan, aksi teratur, mosi, dan emisi. Uraian mengenai verba berawalan ber- pada makalah ini belum sepenuhnya lengkap dan masih banyak aspek makna yang perlu digali lebih dalam.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan dkk. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Perum Balai Pustaka.

Baker, Mark. C 1988. Incorporation, A Theory of Grammatikal Function Changing. Chicago and London: The University of Chicago Press.

Comrie, Bernard. 1981. Language Universal and Linguistik Typology. England Basil: Blackwell.

Dowty, D. 1991. Thematic Proto-roles and Argumen selection. Language 67:547-617.

Falk, Yehuda. 1958. Lexical-Functional Grammar. An Introduction to Parallel Constraint –Based Syntax. California: CSLI Publication

Foley, William. A. 1993. Polysinthesis and Complex Verb Formation: The Case of Applicatifs in Yimas. Dalam Complex Predicates, (Ed. Alex Alsina, Joan Bresnan, dan Peter Sells). California: CSLI.

Katamba, Francis. 1993. Morphology. London: Macmillan Press Ltd.

Lobner, Sebastian. 2013. Understanding Semantics. USA and Canada. Routledge

Pike Kenneth L & Evelyn G. Pike. 1977. Grammatical Analysis. Dallas. Summer Institute of Linguistics, Inc.

Quirk, R et. al. 1972. A Grammar of Contemporary English. London: Longman.

~ 195 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Sedeng, I Nyoman. 2000. Predikat Kompleks dan Relasi Gramatikal Bahasa Sikka. Tesis Magister. Linguistik. Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar.

Sedeng, I Nyoman. 2010. Morfosintaksis Bahasa Bali Dialek Sembiran. Analisis Tatabahasa Peran dan Acuan. Denpasar: Udayana University Press.

Spencer, Andrew. 1991. Morphologikal Theory: An Introduction to Word Structure in Generatif Grammar. United. Kingdom: Blackwell.

Van Valin, Jr. Robert. D., Randy J. LaPolla. 1997. Syntax. Structure, Meaning, and Function. Cambridge: Cambridge University Press.

~ 196 ~ SISTEM FONEMIS BAHASA LAMPUNG

I Nyoman Suparsa Universitas Udayana

ABSTRACT This paper is a result of literature study because the data are sourced from Samsuri. Based on the classi- cal phonological theory can be found that the language of Lampung has 17 consonant phonemes, those are the /p/, /b/, /d/, /t/, /k/, /g/, /ʔ/, /ŋ/, /d/, /n/, /dʒ/, /tʃ/, /l/, /r/, /m/, /n/, /s/, and 6 vowel phonemes, those are /i/, /e/, /u/, /o/, /a/, /ǝ/. In a preliminary study which was relied on limited data have not found any phoneme /ɠ/, /w/, and /y/. Further research needs to be done. The orthography system of make use of script or alphabet letters themselves are Lampung letters. Lampung language phoneme distribution is not complete. Lampung language has a canonical pattern of 5 syllables, namely (1) V, (2) VV, (3) VK, (4) KV, (5) and 9 KVK canonical word patterns, namely (1) KVK, (2) V xy, (3) KV.V, (4) V.KVK, (5) KV.VK, (6) KV.KV, (7) KV.KVK, (8) KVK.KVK, (9) KV. V.VK.

Keywords: sounds, phonemes, alternation, distribution, canonical patterns, syllables, words, characters

1. Pendahuluan Tulisan yang sederhana ini bertujuan untuk mengetahui sistem fonemis bahasa Lam- pung. Bahasa Lampung digunakan oleh suku bangsa Lampung yang berlokasi di Provinsi Lam- pung. Dengan menggunakan teori fonologi klasik dari K.L. Pike (1978), tulisan ini berusaha untuk menemukan jumlah fonem konsonan, fonem vokal, distribusi fonem, pola kanonik suku kata dan kata, serta sistem ortografi dari bahasa Lampung.

2. Sumber Data Tulisan ini dapat disajikan berdasarkan hasil kajian pustaka. Dikatakan demikian, karena data dari penelitian ini bersumber dari Samsuri (1980). Untuk lebih jelasnya, maka perhatikan- lah data berikut! • 1. [posor] ‘pusar’ 2. [mahŋas] ‘bernafas’ 3. [rani] ‘hari’ • 4. [həni] ‘pasir’ 5. [suluh] ‘merah’ 6. [təlu] ‘tiga’ • 7. [rutʃi] ‘ruwet’ 8. [məŋan] ‘makan’ 9. [taru] ‘tinggal’ • 10. [nanom] ‘menanam’ 11. [kəlar] ‘sembuh’ 12. [tʃauoh] ‘terobek’ • 13. [bosor] ‘siap bertanding’ 14. [niku] ‘engkau’ 15. [lalaŋ] ‘tertawa’ • 16. [ŋəni] ‘memberi’ 17. [ñulik] ‘menyulik’ 18. [epon] ‘gigi’ • 19. [lapah] ‘berjalan’ 20. [ñuliʔ] ‘memegang’ 21. [ənom] ‘enam’ • 22. [ʤauoh] ‘jauh’ 23. [gəlar] ‘nama’ 24. [dəmon] ‘suka’ • 25. [ñiku] ‘siku (t)’ 26. [gain] ‘semacam bambu’ 27. [bakas] ‘laki-laki’ • 28. [riʔ] ‘sebentar’ 29. [bətuŋ] ‘bambu’ 30. [təmon] ‘betul’ • 31. [hani] ‘kata’ 32. [reʔ] ‘dengan’ 33. [bətoŋ] ‘perut’ • 34. [labah] ‘padi, beras’ 35. [məñan] ‘kemenyan’ 36. [[ralu] ‘merasa’ • 37. [lapar] ‘lapar’ 38. [sai] ‘satu’ 39. [rua] ‘dua’ • 40. [buoʔ] ‘rambut’ 41. [tian] ‘mereka’ 42. [uai] ‘air’

3. Sistem Fonemis Bahasa Lampung Berdasarkan data yang terbatas, bahasa Lampung mempunyai 24 bunyi bahasa yang meliputi 17 bunyi konsonan. Untuk lebih jelasnya perhatikanlah bagan konsonan berikut!

~ 197 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

P b t d k g ʔ m n ñ ŋ tʃ dʒ s h l r Bagan Bunyi Konsonan Bahasa Lampung

Bahasa Lampung mempunyai 6 bunyi vokal. Perhatikanlah bagan bunyi vokal berikut!

i u e o ə a Bagan Bunyi Vokal Bahasa Lampung

3.1 Perselang-selingan Bunyi Konsonan dan Vokal Bahasa Lampung Dari data bahasa Lampung yang terbatas di atas, terdapat perselang-selingan antarbunyi- bunyi konsonan dan antarbunyi-bunyi vokal. Perselang-selingan itu adalah sebagai berikut. • (1) [p]~[b] • (2) [d]~[t] • (3) [k]~[g] • (4) [k]~[ʔ] • (5) [ŋ]~[ñ] • (6) [dʒ]~[tʃ] • (7) [l]~[r] • (8) [h]~[ŋ] • (9) [n] ~ [ñ] • (10) [h]~[r] (11) [a]~[ǝ] (12) [i]~[e] (13) [u]~[o]

3.2 Bunyi Konsonan yang Tidak Berselang-seling Ada beberapa bunyi konsonan yang tidak berselang-seling. Bunyi-bunyi konsonan itu adalah [m, s].

3.3 Analisis Data Berdasarkan perselang-selingan data di atas, maka dapat dianalisis sistem fonemis ba- hasa Lampung sebagai berikut.

(1) [p]~[b] 1. [posor] ‘pusar’ 13. [bosor] ‘siap bertanding’ 19. [lapah] ‘berjalan’ 34. [labah] ‘padi, beras’ Jadi, [p]  /p/ [b]  /b/

(2) [d]~[t] 24. [dəmon] ‘suka’ 30. [təmon] ‘betul’ Jadi, [d]  /d/ [t]  /t/ (3) [k]~[g] 11. [kəlar] ‘sembuh’ 23. [gəlar] ‘nama’

~ 198 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

Jadi, [k]  /k/ [g]  /g/

(4) [k]~[ʔ] 17. [ñulik] ‘menyulik’ 20. [ñuliʔ] ‘memegang’ Jadi, [k]  /k/ [ʔ]  /ʔ/

(5) [ŋ]~[ñ] 8. [məŋan] ‘makan’ 35. [məñan] ‘kemenyan’ Jadi, [ŋ]  /ŋ/ [ñ]  /ñ/

(6) [dʒ]~[tʃ] 22. [ʤauoh] ‘jauh’ 12. [tʃauoh] ‘terobek’ Jadi, [dʒ]  /dʒ/ [tʃ]  /tʃ/

(7) [l]~[r] 9. [taru] ‘tinggal’ 36. [ralu] ‘merasa’ Jadi, [l]  /l/ [r]  /r/

(8) [h] ~ [ŋ] 4. [həni] ‘pasir’ 16. [ŋəni] ‘memberi’ Jadi, [h]  /h/ [ŋ]  /ŋ/

(9) [n] ~ [ñ] 14. [niku] ‘engkau’ 25. [ñiku] ‘siku (t)’ Jadi, [n]  /n/ [ñ]  /ñ/

(10) [h]~[r] 19. [lapah] ‘berjalan’ 37. [lapar] ‘lapar’ Jadi, [h]  /h/ [r]  /r/

(11) [a]~[ǝ] 31. [hani] ‘kata’ 4. [həni] ‘pasir’ Jadi, [a]  /a/ [ǝ]  /ǝ/

(12) [i]~[e] 28. [riʔ] ‘sebentar’ 32. [reʔ] ‘dengan’ Jadi, [i]  /i/ [e]  /e/

(13) [u]~[o] 29. [bətuŋ] ‘bambu’ 33. [bətoŋ] ‘perut’ Jadi, [u]  /u/ [o]  /o/

Bunyi-bunyi yang tidak berselang-seling atau selebihnya merupakan fonem tersendiri, yaitu bunyi [m, s] merupakan fonem /m, s/ Jadi, bahasa Lampung mempunyai 17 fonem konsonan, yaitu /p/, /b/, /d/, /t/, /k/, /g/, /ʔ/, /ŋ/, /h/, /ñ/, /dʒ/, /tʃ/, /l/, /r/, /m/, /n/, /s/, dan 6 fonem vokal, yaitu /i/, /e/, /u/, /o/, /a/, /ǝ/.

3.4 DISTRIBUSI FONEM Tidak semua bunyi bahasa atau fonem bahasa Lampung berdistribusi yang lengkap. Fonem /p/, /b/, /t/, /ŋ/, /l/, /ñ/, /ǝ/, /e/ menempati posisi awal dan tengah kata. Fonem /k/, /h/, /r/, /s/, /n/, /m/, /u/ berdistribusi lengkap karena dapat menempati semua posisi. Fonem /o/ me- nempati posisi tengah kata. Fonem /ʔ/ menempati posisi akhir kata. Fonem /g/, /d/, /dʒ/, /tʃ/ hanya menempati posisi awal kata. Dan, fonem /a, i/ menempati posisi tengah dan akhir kata saja.

~ 199 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature 3.5 Pola Kanonik Pola kanonik ada dua, yaitu pola kanonik suku kata dan pola kanonik kata. (1) Pola kanonik suku kata V  u-ai VV  u-ai VK  bu-oʔ KV  po-sor KVK  la-bah (2) Pola kanonik kata KVK  28. [riʔ] ‘sebentar’ V.VV  42. [uai] ‘air’ KV.V  38. [sai] ‘satu’ V.KVK  18. [epon] ‘gigi’ KV.VK  40. [buoʔ] ‘rambut’ KV.KV  4. [həni] ‘pasir’ KV.KVK  24. [dəmon] ‘suka’ KVK.KVK  2. [mahŋas] ‘bernafas’ KV.V.VK  22. [ʤauoh] ‘jauh’

3.6. Ortografi Bahasa Lampung Bahasa Lampung mempunyai sistem ortografi sendiri, yaitu aksara Lampung. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa Lampung mempunyai 20 huruf, yaitu k, g, ng, p, b, m, t, d, n, c, j, ny, y, a, l, r, s, w, h, dan gh. Apabila dikaitkan dengan penelitian yang dilakukan ini, maka Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak memperlihatkan bahwa bahasa Lampung mempunyai aksara q atau ‘ untuk bunyi [ʔ] atau fonem /ʔ/, i, e, u, o, dan e untuk bunyi /ǝ/ atau fonem /ǝ/. Dalam penelitian pendahuluan yang dilakukan ini belum ditemukan adanyan fonem /ɠ/, /w/ dan /y/. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut sangat perlu dilakukan untuk menemukan kebenaran.

4. Penutup Berdasarkan hasil analisis data di atas, maka dapat disimpulkan bahwa (1) bahasa Lam- pung mempunyai 17 fonem konsonan dan 6 fonem vokal, (2) Fonem bahasa Lampung tidak berdistribusi lengkap, (3) Bahasa Lampung mempunyai 5 pola kanonik suku kata, yaitu (1) V, (2) VV, (3) VK, (4) KV, (5) KVK dan 9 pola kanonik kata, yaitu (1) KVK, (2) V.VV, (3) KV.V, (4) V.KVK, (5) KV.VK, (6) KV.KV, (7) KV.KVK, (8) KVK.KVK, (9) KV.V.VK. Bahasa Lam- pung mempunyai sistem ortografi sendiri, yaitu aksara Lampung.

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Departemen Pendidikan Nasional. 2014. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Cetakan Kedelapan, Edi- si Keempat Desember 2014. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Pike, K.L. 1978. Phonemics A Technique for Reducing Languages to Writing. Ann Arbor: Univ. of Michigan Press. Samsuri. 1980. Analisa Bahasa: Memahami Bahasa secara Ilmiah. Jakarta: Erlangga. Verhaar, J.W.M.. 1979. Pengantar Linguistik Jilid Pertama. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

~ 200 ~ LEXICAL REFLEXIVITY AND MIDDLE CONSTRUCTIONS IN INDONESIAN

I Nyoman Udayana Faculty of Letters and Culture, Udayana University Udayana2011@gmailcom

ABSTRAK Secara lintas bahasa, kata kerja dengan pemarkah middle membentuk konstruksi yang subjeknya bisa berupa aktor dan non-aktor. Secara semantic, konstruksi ini bisa bervalensi satu, dua, dan tiga. Di samping itu, konstruksi ini bisa mempunyai berbagai interpretasi seperti interpretasi refleksif dan pasif. Namun, konstruksi ini mempunyai bentuk yang berbeda dari bentuk aktif maupun pasif (Trask 1993, Matthews 2007, Kemmer 1993). Dengan prilaku seperti ini, konstruksi ini umumnya dipandang sebagai intermediat antara bentu aktif dan pasif (Matthews 2007). Sebagai tambahan, Kemmer (1993), bahwa bentuk middle membentuk kelas semantik kata kerja yang sangat jelas, yang middle bisa dikategorikan kedalam tindakan badan, perubahan postur tubuh, refleksif langsung maupun tak langsung, gerakan translasional, emosi, kognisi, dan middle dengan kejadian spontan. Bentuk ber- dalam bahasa Indonesia umumnya hanya dianggap sebagai pemarkah intransitif. Akan tetapi, mengaplikasikan kelas- kelas kata kerja seperti yang diusulkan oleh Kemmer (1993) pada bahasa Indonesia, kata kerja bahasa Indonesia yang berkait dengan gejala ini secara konsisten mengambil bentuk prefiksber -. Oleh karena itu, ditunjukkan bahwa bentuk ber- secara karakterisasi klasifikasinya berfungsi sebagai eksponen pemarkah middle lebih dari sekadar menunjukkan bentuk intransitif. Status keintermediatan yang dikaitkan pada bentuk middle menyarankan bahwa bahasa-bahasa dengan pemarkah middle yang berbeda mempunyai pemarkah aktif dan pasif yang berbeda pula pada kata kerjanya. Di samping itu, middle bisa bermarkah refleksif (seperti dalam bahasa Jerman, Belanda, dan Perancis). Ditunjukkan bahwa meskipun konstruksi middle dalam bahasa Indonesia secara ketat tidak bermarkah refleksif, reflesifitas leksikal/ inheren bisa berpartisipasi dalam konstruksimiddle yang berlawanan dengan pendapat Kemmer (1993) bahawa middle dipandang sebagai hal yang terpisah dari konstruksi refleksif.

Kata kunci: middle, refleksifitas leksikal, bermarkah refleksif, status keintermediatan

1. Introduction Indonesian has a middle voice system which is marked by the prefix ber-, which itself serves as an intransitive marker. Thus, the form ber-- has a detransitivizing effect when used for designating middle-marking verbs in Indonesian. Looking at the middle constructions that behave in this manner, I appeal to the transitive/intransitive alternation to detect the meaning of the middle construction in question. There are two kinds of derived constructions that can be associated with the use of the transitive/intransitive alternation. First, an intransitive clause (with an MV-marking) can be derived from a transitive clause (with an AV-marking) and the subject of the derived clause is the patient argument of the erstwhile clause yielding a medio-passive construction, i.e. a middle construction resembling a passive construction.

(1) a. Tono mengirim buku itu name AV.send book that ‘Tono sent the book’ b. Buku itu berkirim book that MV.send ‘The book was sent’

~ 201 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Second, the derived clause is middle whose subject corresponds to the agent argument of the transitive clause and the resultant clause is interpretable as a lexically reflexive construction as shown in (2b) which, with respect to the situation type, is called body-care middle (Kemmer 1993).

(2) a, Ia mencukur diri 3SG AV.shave self ‘He shaved himself’ b. Ia bercukur (diri) 3SG MV.shave self ‘He shaved (himself)’

In this paper, I am concerned with the middles of the second type specifically middles that exhibit lexical reflexives.

2. Lexical reflexivity Kemmer (1993) argues that body care middles such as the one in (2b) is not an instance of reflexives. This kind of middle verb is taken as having initiating and endpoint entities but conceived of as having a single participant. With the reflexive construction in (2a), on the other hand, is considered as involving a two-participant event which happens to be realized by one entity. Despite the fact that the two situation types have one thing in common in that the two have a single referent, she maintains that they are conceptually different. By symbolizing an action attributing to them (middles and reflexives) as a circle; a middle type is described as having one circle representing the initiating and end point of the action. The reflexive situation type, however, is described as having two circles with the first representing the initiating point while the second the end point. Crucially, the conception of initiator-endpoint action is taken to be a determining factor that distinguishes the two situation types in terms of distinguishability of participant event hierarchy as illustrated in (3), in which a reflexive is taken as leaning towards the left (a two-participant event) while a middle leaning toward the right (a one-participant event) (Kemmer 1993: 73).

(3) Two-participant Reflexive Middles One-participant Event Event + -

Quite in a different view, however, Reinhart and Reuland (1993) and Reuland (2011), claim that a middle verb denoting body action such as bercukur ‘shave oneself’ above is reflexive. Investigating languages that have two different forms of reflexive: simple reflexive (SE) as in Dutch zich and complex reflexive (ZELF) as zichzelf, the simple reflexive such as zich is used for determining an intrinsic reflexivization (i.e. lexical reflexivity) while its complex reflexive counterpart is used for exhibiting extrinsic reflexivization as shown in the following examples.

(4) a. Max haat *zich/zichself Max hates self/selfself ‘Max hates himself’ b. Max wast zich/zichself Max washes self/selfself ‘Max washes himself’ (Lidz 2001: 124-126, Everaert 1991: 108)

~ 202 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

Example (4a) which is headed by the verb haat ‘hates’ is not compatible with the simple reflexivezich , however, when it takes a complex reflexivezichzelf , the resulting sentence turns out to be grammatical. Interestingly when another type of verb, a body care verb in the sense of Kemmer (1993) takes a simple reflexive, sentence (4b) is perfectly grammatical in contrast with (4a) Given these binding facts, Reinhart and Reuland contend that a sentence such as (4b) with the simple reflexive zich exhibits an intrinsic reflexivization (which in Dutch happens to be marked by a reflexive marker but in other languages such as English it has no marking on the verb). Sentence (4b) can indicate extrinsic reflexivization by taking the complex reflexive zichself. With the characteristic contrast between the verb haat ‘hate’ and the verbs wast ‘wash’ in Dutch in (4), we may conclude that the verb wast can belong to a middle verb while the verb haat cannot (See the next section, the Indonesian verb bercuci ‘wash oneself’ is also a middle verb). Reinhart and Reuland claim that binding theory should have been able to account for these facts. Binding Theory (BT) so far formulated in Government and Binding (GB) Theory only fares well with nominal reflexivity, ignoring the fact that there exists a predicate that has a lexical reflexivity interpretation. Taking this into account, Reinhart and Reuland propose that reflexivization is a property of a predicate. Thus, there is a need to revise the BT, which is presented in (5).

Binding Theory (Reinhart and Reuland 1993):

(5) Condition A A reflexive-marked predicate is reflexive Condition B A Reflexive predicate is reflexive-marked Definitions a. A predicate is reflexive iff two of its argument are co-indexed b. A predicate (formed of P) is reflexive-marked iff either P is lexically reflexive or one of P’s argument is an anaphor

Condition A dictates that a predicate having a lexical reflexivity interpretation is itself a reflexive or specifically it covers both syntactic reflexivity and semantic/lexical reflexivity while Condition B serves to distinguish constructions such as John likes himself and John like him where in the former example the verb like is reflexive while in the latter the verblike is not a reflexive, in this conception.

3. Lexical reflexivity and Indonesian middles Based on the Binding theory formulated above, we are in a position to claim that the Indonesian intransitive verb such as bercuci ‘wash’ is a lexically reflexive verb or more importantly it is an instance of verb which is well known as middle verb. In Udayana (2011) and Udayana and Beavers (2013), it is claimed that the Indonesian middles consistently take the verbal prefix ber- and a verb may enter into more than one middle type. A middle verb exhibits a syntax-semantic mismatch in which a semantically dyadic predicate surfaces as syntactically monadic. A question may arise as to how this is possible. I have argued that middles in Indonesian are derived from their corresponding active constructions. There are principally two ways regulating the mismatch. First, the object of a semantically dyadic verb (i.e. in an

~ 203 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature active construction) surfaces as the subject of its middle verb leaving the subject of the active counterpart unrealized thereby yielding a medio-passive construction. Second, the subject of an active construction is retained and its object cliticized to the ber- form, guaranteeing its monadicness status, which can be referred to as agentive middle. The constructions justifying the second mechanism are shown in (6) in which the object must be bare, a bare NP.

(6) a. Dia berjual= diri 3SG MV.sell=self ‘(S)he sold himself/herself’ b. Orang itu bercuci=diri person that MV.wash=self ‘That person washed himself/herself’

Bing a clitic, then, the lexical reflexivity cannot take a complex reflexive or a DP, thus ruling out the sentences in (7).

(7) a. *Dia berjual=dirinya b. *Orang itu berjual=dirinya

The simple reflexive cliticized to the verb serves as test distinguishing a different kindof middles in Indonesian. Thus, the sentences in (8) are not well-formed for two reasons. First, it is semantically odd that a non-human entity makes an act of selling. Second, the subject of the middles is conceived of as arguably realizing the patient argument of the corresponding active construction. Thus the sentences in (8) are better analyzed as belonging to another type of middle a medio-passive middle in which the cliticized material is absent, as in (9).

(8) a. *Kaca itu berjual=diri mirror that MV.sell=self ‘The mirror sells itself’ b. *Piring itu bercuci =diri plate that MV.wash=self ‘The plate washed itself’ (9) a. Kaca itu/ dia berjual Glass that/3SG MV.sell ‘The glass/(s)he sells’ b Piring itu bercuci plate that MV.wash ‘The plate washes/is washed’

The other type of middle involving lexical reflexivity is body-care middle, as shown in (10). The middle of this sort, the simple reflexive is always treated as being optional.

(10) a. Rini berkaca(=diri) name MV.mirror(=self) ‘Rini looked at herself in the mirror’ b. Mereka bercukur(=diri) 3PL MV.shave(=self) ‘They shaved (themselves)’

Finally, the type of middle having an inherent/lexical reflexivity is the middle known as emotional middle (Kemmer 1993). The verb of this middle always has adjective base and has causative interpretation.

~ 204 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

(11) a. Tini bersabar(=diri) name MV.patient(=self) ‘Tini caused herself to be patient’ b. Tono sudah bersiap (=diri) name PERF MV.ready(=self) ‘Tono has made himself ready’

So far, we have looked at the middle constructions that appear with a simple reflexive, on the basis of their semantics, lexical-reflexive middles may extend to body-care middles which are associated with body parts as exhibited in (12) in which the body part being expressed is cliticized to the verb and it obtains the interpretation that the body action is still done to the self not to somebody else’s parts of body (and the cliticized element must be a bare NP).

(12) Orang itu bercuci=muka/=kaki/=rambut 3PL that MV.wash=face/=leg/=hair ‘The man washed his own face/legs/hair’ ‘[≠ The man washed somebody else’s face/legs/hair]’

To conclude, lexical reflexivity marking correlates with middle marking associated with the language in question. If the lexical reflexive is unmarked, the middle associated with the language is also unmarked. Similarly, if a lexical reflexive is marked, the middle associated with the language is also marked. An interesting point relates to a language that has two reflexive markers: simple and complex form. If the reflexive form is used as a middle marker, the choice is always the simple form.

4. Conclusion Reflexivity may include syntactic reflexives and semantic /lexical reflexives. Although middles in Indonesian are not marked by a reflexive on the verb, unlike Dutch middles, reflexivity precisely lexical reflexivity is not dissociated from them but rather participates in them. Lexical reflexivity is possible through a syntax-semantic mismatched mechanism in which a semantically dyadic verb is turned into a syntactically monadic verb in the middles by cliticizing the internal argument to the ber- form.

REFERENCES

Everaert, Martin. 1991. Contextual determination of the anaphor/pronominal distinction in Koster, Jan and Eric Reuland (eds.) Long-Distance Anaphora. Cambridge: Cambridge University Press.

Faltz, Leonard M. 1985. Reflexivization: A study in universal syntax. New York: Garland Publishing. Jackendoff, Ray. 1992. ‘Mme Tussaud meets the binding theory’. Natural Language & Linguistic Theory 10: 1-31.

Kemmer, Suzanne. 1993. The middle voice. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.

Koster, Jan and Eric Reuland (ed.). 1991. Long-Distance Anaphora. Cambridge: Cambridge University Press.

Lidz, Jeffrey. 2001. ‘Condition R’. Linguistic Inquiry, 32: 123-140.

Matthews, Peter H. 2007. Concise dictionary of linguistics. Oxford: Oxford University Press.

~ 205 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Reinhart, Tanya and Eric Reuland. 1993. ‘Reflexivity’.Linguistic Inquiry 24: 657-720 Reuland, Eric. 2011. Anaphora and language design. Cambridge, MA: The MIT Press.

Trask, Robert L. 1993. A dictionary of grammatical terms in linguistics. London: Routledge.

Udayana, I Nyoman. 2011. Indonesian middle voice. Ms. University of Texas at Austin.

Udayana, I Nyoman and John Beavers. 2013. Indonesian middle voice, a talk given at LSA 2013 Annual Meeting. Massachusetts, Boston.

~ 206 ~ FRASA PREPOSISIONAL BAHASA NGADA

I Wayan Budiarta Universitas Warmadewa Denpasar [email protected]

ABSTRACT This article entitled prepositional pharse of Ngada language. It aims to find out the types of preposition and how prepositional phrase is constructed, This study is categorised as field linguistics research as the data of this research is collected through applying direct elicitation, The research instrumen which is used is questionnaire.. Distributional method is applied in analyzing thye data of the research in accordance with the probelms of this research.The result of analysis is presented by using informal method. The result of analysis showed that preposition is is built by a single or two lexicon. The preposition of Ngada language consists of eta ‘to’ and ‘obove’ eta tolo ‘on’, eta one ‘in’, eta wawo ‘above’, lau ‘to’, lau one ‘into’, mena ‘to ’, mena wawo ‘above’, mena au ‘behind’, mena tolo ‘on above’, mena one ‘on/above ’, zae ‘to’, zae au ‘under’, zae one ‘in’, zi ‘to’, ti’i ‘for’, and ne’e ‘with’. Furthermore, prepositional phrase of Ngada langauge is marke d by the presence of preposition which is followed by noun or noun phrase. The result of analysis also showed that position of prepositional phrase in sentence construction of Ngada language is at the end or after the verb (predicate) of intranstive clause or after noun phrase which functioning as an object of transtive clause. Keywords : Ngada language, sentence constrution, preposition, prepositional phrase

1. Pendahuluan Secara lintas bahasa, struktur sebuah kalimat paling tidak dibangun oleh dua frasa, yaitu frasa nomina dan frasa verba. Di samping itu, sebuah kalimat tidak menutup kemungkinan juga diisi oleh elemen-elemen lain yang berfungsi melengkapi kalimat tersebut. Struktur dasar kalimat terdiri atas dua, yaitu (1) struktur yang terdiri atas sebuah argumen inti dan sebuah predikat dan (2) terdiri atas dua atau tiga argumen inti dan sebuah predikat. Jenis kalimat dasar dengan struktur dasar yang terdiri atas sebuah argumen inti dan sebuah predikat mengindikasikan kalimat tersebut merupakan kalimat intransitif karena satu-satunya argumen inti dalam kalimat tersebut secara fungsional merupakan S (argumen subjek intransitif). Sebaliknya, kalimat dasar yang terdiri atas dua argumen inti atau lebih merupakan kalimat transitif. Konstruksi sebuah klausa/kalimat juga dapat diisi oleh elemen yang sering disebut sebagai keterangan. Keterangan ini biasanya dapat berupa adverbia dan dapat pula berupa prasa preposisional. Baik adverbia ataupun frasa preposisional keduanya digolongkan ke dalam oblik jika mengacu kepada pendapat Comrie (1983: 39) dan Blake (1991:1). Comrie (1983: 39) dan Blake (1991:1) mengungkapkan bahwa subjek (S), objek langsung (OL), dan objek tidak langsung (OTL) merupakan relasi gramatikal sintaksis murni, sedangkan relasi oblik merupakan relasi yang bersifat semantis. Seperti bahasa-bahasa lainnya, kalimat Bahasa Ngada atau juga sering disebut bahasa Bajawa juga paling tidak dibangun oleh frasa nomina yang berfungsi sebagai subjek dan frasa verba yang berfungsi sebagai predikat. Di samping itu, kalimat Bahasa Ngada juga diisi oleh frasa reposisional yang berfungsi sebagai komplemen atau pelengkap. Meskipun berfungsi sebagai komplemen, keberadaan frasa preposisional ini menarik untuk dikaji karena berdasarkan pengamatan awal peneliti menemukan bahwa frasa preposisional yang dimarkahi oleh preposisi memiliki keunikan. Salah satu keunikan tersebut terlihat pada leksikon preposisi tersebut yang dibangun oleh satu atau dua leksikon. Keunikan lainnya adalah beberapa preposisi Bahasa Ngada

~ 207 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature memiliki makna yang sama. Walaupun preposisi tersebut memiliki makna yang sama, namun terdapat properti semantis yang berbeda dari preposisi tersebut. Hal inilah yang mendorong peneliti untuk melakukan kajian lebih lanjut tentang preposisi maupun frasa preposisonal Bahasa Ngada.

2. Metode Penelitian Penelitian bertujuan untuk menggambarkan sifat, keadaan, dan fenomena kebahasaan terkait Frasa preposisional bahasa Ngada. Data penelitian diperoleh dari informan yang merupakan penutur asli Bahasa Ngada. Instrumen penelitian yang digunakan dalam pengumpulan data adalah berupa daftar tanyaan karena peneliti bukan penutur asli BKm. Data penelitian ini diperoleh dengan menerapkan metode linguistik lapangan, yaitu elisitasi langsung. Data dianalisis dengan menggunakan metode agih. Hasil analisis data disajikan menggunakan metode informal, yaitu dijelaskan dengan menggunakan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993).

3. Frasa Preposisional Bahasa Ngada Hasil analisis data menunjukkan bahwa terdapat 16 jenis preposisi yang memarkahi Frasa preposisional Bahasa Ngada, yaitu (1) eta ‘ke’ dan ‘di’ (2) eta tolo ‘di atas’, (3) eta one ‘di dalam’, (4) eta wawo ‘di atas’, (5) lau ‘ke’, (6) lau one ’ke dalam’, (7) mena ‘ke’, (8) mena wawo ‘di atas’, (9) mena au ‘di belakang’, (10) mena tolo ‘di atas’, (11) mena one ‘pada/di atas ’, (12) zae ‘ke’, (13) zae au ‘di bawah’, (14) zae one ‘di dalam’, (15) zi ‘ke’, (16) ti’i ‘untuk’, dan (17) ne’e ‘dengan’.

3.1 Frasa Preposisional yang Dimarkahi Preposisi eta FPrep ini dimarkahi oleh kehadiran preposisi eta “ke” dan diikuti oleh nomina atau frasa nomina. Berikut disajikan frasa prepositional yang dimarkahi oleh preposisi eta “ke”.

(1) Yuli la’a eta Bajawa. Yuli pergi Prep Bajawa. ‘Yuli pergi ke Bajawa’

(2) Loris nuka eta nua. Loris kembali Prep desa. ‘Loris kembali ke desa’

Klausa (1) dan (2) di atas merupakan klausa intransitif yang dibangun oleh frasa nomina (FN) yang berfungsi sebagai subjek, frasa verba (FV) yang berfungsi sebagai predikat dan frasa prepositional (FPrep) yang berfungsi sebagai oblik. Lebih lanjut, frasa prepositional pada klausa (1) – (2) di bangun oleh preposisi eta ‘ke’ dan diikuti oleh nomina atau frasa nomina. Preposisi eta ‘ke’ memiliki fungsi untuk menerangkan tujuan dengan properti semantis yang lebih khusus yaitu menunjukkan bahwa tujuan atau tempat yang dituju berada di atas. Di samping berfungsi untuk menunjukkan tujuan yang berada di atas, preposisi eta ‘di’ ini juga memiliki fungsi untuk menerangkan bahwa tempat yang dimaksud berada jauh di atas dan tidak dapat dijangkau. Perhatikan contoh yang ditampilkan di bawah ini.

(3) Kapa woa eta lizu. pesawat terbang Prep langit. ‘Pesawat terbang di langit’

~ 208 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

(4) Ja’o ngedho rae meze eta lizu. saya see elang besar Prep langit. ‘Saya melihat elang besar di langit’

FPrep yang membangun klausa (3) dan (4) di atas dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa preposisi eta ‘di’ memiliki fungsi untuk menerangkan tempat dengan properti semantis yang lebih khusus yaitu menunjukkan bahwa tempat tersebut berada jauh di atas atau di langit yang tidak dapat dijangkau.

3.2 Frasa Preposisional yang Dimarkahi oleh Preposisi eta tolo FPrep ini dimarkahi oleh kehadiran preposisi eta tolo yang dibentuk dari preposisi eta dan leksikon tolo yang bermakna ‘di atas’ dan diikuti oleh nomina atau frasa nomina. Berikut disajikan frasa prepositional yang dimarkahi oleh preposisi eta tolo ’di atas’.

(5) Ja’o podhu eta tolo hoja. 1T duduk Prep kursi. ‘Saya duduk di atas kursi’

(6) Mey na’a bunga eta tolo meja. Mey taruh bunga Prep meja. ‘Mey menaruh bunga di atas meja’

FPrep yang membangun klausa tersebut terbentuk dari unsur preposisi yang terdiri atas preposisi eta dan leksikon tolo yang bermakna ‘di atas’ dan diikuti oleh nomina atau frasa nomina. Terdapat perbedaan antara preposisi eta dan eta tolo. Perbedaan itu dapat diidentifikasi dari fungsi preposisi eta untuk menyatakan tujuan dan juga berfungsi untuk menunjukkan tempat yang berada di atas dalam hal ini di atas yang dimaksudkan adalah berada di udara dan tidak dapat dijangkau. Sementara, eta tolo ‘di atas’ berfungsi menerangkan tempat yang berada di atas dan menempel.

3.3 Prepositional Phrase Marked by Preposition eta one . FPrep ini dimarkahi oleh kehadiran preposisi eta one yang dibentuk dari preposisi eta dan leksikon one yang bermakna ‘di dalam’ dan diikuti oleh nomina atau frasa nomina. Berikut disajikan frasa prepositional yang dimarkahi oleh preposisi eta one ‘di dalam’

(7) Pedro zoko eta one sa’o. Pedro sembunyi prep rumah (tradisional). ‘Pedro bersembunyi di dalam rumah (tradisional)

(8) Emu banga eta one kamar 3J main Prep kamar ‘Mereka bermain di dalam kamar’

FPrep klausa (7) dan (8) di atas dimarkahi oleh preposisi eta dan one yang bermakna ‘di dalam’.

3.4 Prepositional Phrase Marked by Preposition eta wawo . FPrep l ini dimarkahi oleh kehadiran preposisi eta wawo yang dibentuk dari preposisi eta dan wawo yang bermakna ‘di (sebelah) atas’ dan diikuti oleh nomina atau frasa nomina. Perhatikan contoh berikut ini.

~ 209 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

(9) Ata kena muzi eta wawo tana. orang Det tinggal Prep gunung ‘Orang itu tinggal di atas gunung’ FPrep klausa (9) di atas dimarkahi oleh preposisi eta wawo ‘di atas’. Jika dibandingkan fungsi preposisi eta tolo dan eta wawo memiliki fungsi yang sama, yaitu menunjukkan lokasi yang berada di atas dan menempel. Namun demikian, preposisi eta wawo memiliki properti semantis khusus yang menunjukkan bahwa lokasi yang dimaksud berada di atas gunung ataupun bukit bukan di dataran atau di tanah datar.

3.5 Prepositional Phrase Marked by Preposition lau FPrep ini. dimarkahi oleh kehadiran preposisi lau ‘ke’ dan diikuti oleh nomina atau frasa nomina. Perhatikan contoh berikut ini.

(10) Ja’o la’a lau ma’u. 1T pergi Prep beach. ‘I go to the beach’

(11) Azi ja’o ngodho lau Sekolah adik Pos datang Prep sekolah ‘Adik saya datang ke sekolah’

FPrep klausa (10) dan (11) di atas dimarkahi oleh preposisi lau yang bermakna ‘ke’ yang mengindikasikan tujuan.

3.6 Frasa Preposisional yang Dimarkahi oleh Preposisi lau one FPrep ini. dimarkahi oleh kehadiran preposisi lau dan one ‘ke dalam’ dan diikuti oleh nomina atau frasa nomina. Cermati contoh yang disajikan berikut ini.

(12) Kazi molu lau one mesi. 3T lompat Prep sea. ‘Dia melompat ke dalam laut’

(13) Azi idi buku lau one kelas adik bawa buku Prep kelas ‘Adi membawa buku ke dalam kelas

FPrep klausa (12 dan (13) di atas tersebut dimarkahi oleh preposisi lau one yang bermakna ‘ke dalam’ .

3.7 Frasa Preposisional yang Dimarkahi oleh Preposisi mena FPrep ini. dimarkahi oleh kehadiran preposisi mena ‘ke’ dan diikuti oleh nomina atau frasa nomina. Perhatikan contoh berikut ini.

(14) Pine ja’o la’a mena Lelogama. Bibi Pos pergi Prep Lelogama. ‘Bibi saya pergi ke Lelogama’

(15) Bapa ja’o wado mena Laja. Bapak Pos pulang Prep Laja. ‘Bapak saya pulang ke Laja’

~ 210 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature FPrep klausa (14) dan (15) di atas dimarkahi oleh preposisi mena yang bermakna ‘ke’ yang mengindikasikan tujuan. Dibandingkan dengan preposisi eta dan lau, preposisi mena digunakan untuk menyatakan tujuan yang merupakan nama wilayah atau daerah.

3.8 Frasa Preposisional yang Dimarkahi oleh Preposisi mena wawo FPrep ini. dimarkahi oleh kehadiran preposisi mena dan wawo ‘di atas’ dan diikuti oleh nomina atau frasa nomina. Cermati contoh berikut.

(16) Kazi na’a tudhi mena wawo meja. 3T taruh pisau Prep meja. ‘Dia menaruh pisau di atas meja’ (17) Mama ja’o wari pare mena wawo te’e. Ibu Poss mengeringkan rice Prep tikar. ‘Ibu saya mengeringkan padi di atas tikar’

FPrep klausa (16) dan (17) di atas dimarkahi oleh preposisi mena wawo yang bermakna ‘di atas’ yang menunjukkan tempat yang berada diatas dan menempel Preposisi mena wawo memiliki fungsi yang sama dengan preposisi eta tolo.

3.9 Frasa Preposisional yang Dimarkahi oleh Preposisi mena au (behind) FPrep ini. dimarkahi oleh kehadiran preposisi mena dan au ‘di belakang’ dan diikuti oleh nomina atau frasa nomina. Perhatikan contoh berikut

(18) Azi pa’u kaba mena au umak ja’o. adik ikat kerbau prep kebun Poss. ‘Adik mengikat kerbau di belakang kebun saya’

FPrep klausa (18) di atas dimarkahi oleh preposisi mena au yang bermakna ‘di belakang’ yang menunjukkan tempat. . 3.10 Frasa Preposisional yang Dimarkahi oleh Preposisi mena tolo (on) FPrep ini. dimarkahi oleh kehadiran preposisi mena dan au ‘di belakang’ dan diikuti oleh nomina atau frasa nomina. Perhatikan contoh berikut

(19) Ja’o tei buku mena tolo meja. 1T lihat buku Prep coconut. ‘Saya melihat buku di atas meja’

FPrep klausa (19) tersebut dimarkahi oleh preposisi mena tolo yang bermakna ‘di atas’ dan menempel. Dengan demikian, preposisi mena tolo memiliki fungsi yang sama dengan preposisi eta tolo dan mena wawo.

3.11 Frasa Preposisional yang Dimarkahi oleh Preposisi mena one FPrep ini. dimarkahi oleh kehadiran preposisi mena dan one ‘di dalam’ dan diikuti oleh nomina atau frasa nomina. Perhatikan contoh berikut

(20) Ine na’a doi mena one tas. Ibu taruh uang Prep tas ‘Ibu menaruh uang di dalam tas’

~ 211 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature FPrep klausa (20) di atas dimarkahi oleh preposisi mena one yang bermakna ‘di dalam’ yang menunjukkan tempat berada di dalam sesuatu. Dengan demikian preposisi mena one ini memiliki fungsi yang sama dengan prepisisi eta one. yang mengindikasikan N atau FN yang diterangkan berada di dalam sesuatu.

3.12 Frasa Preposisional yang Dimarkahi oleh Preposisi zae FPrep ini. dimarkahi oleh kehadiran preposisi zae ‘ke’ dan diikuti oleh nomina atau frasa nomina. Preposisi zae ini memiliki dua fungsi, yaitu (1) menerangkan tujuan yang ada di sebelah barat dan (2) menerangkan tujuan yang letaknya berada di bawah. Perhatikan contoh berikut.

(21) Bapa la’a zae sawa. Bapak pergi Prep sawah ‘Bapak pergi ke sawah’

(22) Wunu padu bedu zae tana. Daun papaya jatuh prep tanah ‘Daun Pepaya jatuh ke tanah’

FPrep klausa (21) dan (22) di atas dimarkahi oleh preposisi zae yang bermakna ‘ke’ yang menunjukkan tujuan. Namun demikian, preposisi zae ini memiliki dua fungsi seperti yang diuraikan di atas. Preposisi zae pada FPrep klausa (21) mengindikasikan tempat yang dituju berada di sebelah barat. Sementara, preposisi zae pada FPrep klausa (22) mengindikasikan tempat yang dituju berada di bawah.

3.13 Frasa Preposisional yang Dimarkahi oleh Preposisi zae au. FPrep ini. dimarkahi oleh kehadiran preposisi zae dan au ‘di bawah’ dan diikuti oleh nomina atau frasa nomina. Perhatikan contoh berikut.

(23) Lako nade zae au meja. anjing tidur Prep meja ‘Anjing tidur di bawah meja’

FPrep klausa tersebut dimarkahi oleh preposisi zae au yang bermakna ‘di bawah’ yang menunjukkan lokasi atau tempat yang berada di bawah sesuatu.

1.14 Frasa Preposisional yang Dimarkahi oleh Preposisi zae one FPrep ini. dimarkahi oleh kehadiran preposisi zae dan one ‘di dalam’ dan diikuti oleh nomina atau frasa nomina. Perhatikan contoh berikut

(24) Ata kena na’a doi zae one saku. orang Det taruh uang Prep saku. ‘Orang itu menaruh uang di dalam saku’

FPrep klausa (24) di atas dimarkahi oleh preposisi zae one yang bermakna ‘di dalam’ yang menunjukkan tempat berada di dalam sesuatu. Dengan demikian preposisi zae one ini memiliki fungsi yang sama dengan prepisisi mena one dan eta one. yang mengindikasikan N atau FN yang diterangkan berada di dalam sesuatu.

~ 212 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature 1.15 Frasa Preposisional yang Dimarkahi oleh Preposisi zi/zili FPrep ini. dimarkahi oleh kehadiran preposisi zi/zili ‘ke’ dan diikuti oleh nomina atau frasa nomina. Preposisi zi/zili ini berfungsi untuk menerangkan tujuan. Perhatikan contoh berikut

(25) Emu la’a zi/zili Kupang. 3J jalan Prep Kupang. ‘Mereka berjalan ke Kupang’ FPrep klausa (25) di atas dimarkahi oleh preposisi zi/zili yang bermakna ‘ke’ yang menunjukkan tujuan. Dengan demikian, preposisi zi/zili ini memiliki fungsi yang sama dengan preposisi lau.

1.16 Frasa Preposisional yang Dimarkahi oleh Preposisi ti’i FPrep ini. dimarkahi oleh kehadiran preposisi ti’i ‘untuk’ dan diikuti oleh nomina atau frasa nomina. Preposisi zi/zili ini berfungsi untuk menerangkan tujuan. Perhatikan contoh berikut.

(26) Ata kena weli baju ti’i azi ja’o orang Det beli baju Prep adik Poss ‘Orang itu membeli baju untuk adik saya’

FPrep klausa (26) di atas dimarkahi oleh preposisi ti’i yang bermakna ‘untuk’ yang berfungsi untuk menerangkan penerima.

1.17 Frasa Preposisional yang Dimarkahi oleh Preposisi ne’e FPrep ini. dimarkahi oleh kehadiran preposisi ne’e ‘dengan’ dan diikuti oleh nomina atau frasa nomina. Preposisi ti’i ini berfungsi untuk menerangkan instrumen atau alat. Perhatikan contoh berikut

(27) Ine poro uta ne’e tudhi Ibu potong sayur dengan pisau ‘Ibu memotong sayur dengan pisau’

FPrep klausa (27) di atas dimarkahi oleh preposisi ne’e yang bermakna ‘dengan’ yang berfungsi untuk menerangkan instrumen atau alat.

4. Simpulan Berdasarkan hasil analisis data terkait dengan Frasa Preposisional Bahasa Ngada dapat diuraikan simpulan sebagai berikut. 1. Frasa preposisiona, bahasa Ngada dimarkaahi oleh kehadiran preposisi dan diikuti oleh nomina atau frasa nomina. 2. Preposisi yang memearkahi frasa preposisional bahasa Ngada terdiri atas eta ‘ke’, dan ‘di (atas)’ eta tolo ‘di atas’, eta one ‘di dalam’, eta wawo ‘di atas’, lau ‘ke’, lau one ‘ke dalam’, mena ‘ke ’, mena wawo ‘di atas’, mena au ‘di belakang’, mena tolo ‘di atas’, mena one ‘di atas ’, zae ‘ke’, zae au ‘di bawah’, zae one ‘di dalam’, zi ‘ke’, ti’i ‘untuk’, dan ne’e ‘dengan’. 3. Frasa prepositional bahasa Ngada dimarkahi dengan kehadiran preposisi yang kemudian diikuti oleh nomina atau frasa nomina. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa posisi frasa preposisional bahasa Ngada menempati posisi di bagian akhir kalimat atau setelah verba pada klausa intransitif atau setelah frasa nomina yang berfungsi sebagai objek pada klausa transitif.

~ 213 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature DAFTAR PUSTAKA

Blake, Barry J. 1990. Relational Grammar. London: Routledge Comrie, B. 1983, 1989. Language Universal and Linguistic Typology. Oxford: Basil Blackwell. Dixon. R.M.W. 1994. Ergativity. Cambridge: Cambridge University Press. Dixon, R.M.W. 2010. Basic Linguistic Theory. Vol 2. Oxford: Oxford University Press Foley, William. A. dan Van Valin Jr., Robert D. 1984. Functional Syntax and Universal Grammar. Cambridge: Cambridge University Press. Givon. T. 1990. Syntax A Fuctional-Typological Introduction. Vol. II. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company. Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Lingusitik. (Edisi Ketiga). Jakarta: Penerbit PT Gramedia. Palmer, F. R. 1994. Grammatical Roles and Relations. Cambridge: Cambridge University Press. Shibatani, Masayoshi (Ed.). 1976. Syntax and Semantic: The Grammar of Causative Construction. New York: Academic Press. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press

~ 214 ~ REPRESENTASI PERANGKAT LINGUISTIK WACANA POLITIK DI MEDIA TELEVISI INDONESIA

I Wayan Pastika & Made Sri Satyawati Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana [email protected]

ABSTRACT The Indonesian mass media has enjoyed their press freedom since the Reformation Era established as the consequences of the fall down of Suharto’s regime. The political narration of the public is no longer vertically engineered in top-down way where a single television station employed to deliver the discourse. Nowadays the media or ordinary people can criticize the people in power without any fear. However, political discourse is always about power, democracy, hegemony and commodification and all of them are determined by the power of using language. In this game, the television media plays a very important role because they are equipped by a sophisticated technology, language engineering and desperate men power.

Kata-kata kunci: wacana, politik, media.

PENDAHULUAN Dalam wacana media ada tiga tindakan yang menngendalikan teks: (1) inisiasi (inisiator) yang merangsang munculnya berbagai gagasan dinamis, (2) tanggapan yang berperan menanggapi atau merespon topik yang dikemukakan oleh mitra tutur, dan (3) umpan balik (feedback) sebagai bentuk interaksi pengembanngan tema. Praktek W acana, sebagai unsur pertama wacana media, meliputi tiga proses: (1) produksi teks, (2) distribusi, dan (3) konsumsi. Wacana itu didistribusikan oleh media televisi kepada masyarakat dalam berbagai bentuk: (a) berita, (b) talk show, (c) siaran pidato tokoh politik, dan (d) parodi politik. Sementara itu, wacana sebagai ‘Praktek Sosial’ (Failclough, 1992: 86—96) ditekankan pada hubungan dengan ideologi dan kekuasaan. Ideologi dalam hal ini dijelaskan sebagai konstruksi dari realitas (dunia fisik, relasi sosial dan identitas sosial) yang melahirkan berbagai dimensi bentuk yang bertransformasi dari hububungan dominasi.

ANALISIS TEKS Pola Teks Inisiasi: teks pra-pendahuluan dan teks pendahuluan Ada tiga bentuk teks pra-pendahuluan yang terjadi pada teks media massa: (i) penyampaian salam pembukaan atau tanpa salam pembukaan, (ii) langsung pada sapaan dan pengenalan diri atau langsung pada pengenalan topik tanpa didahului salam pembuka, dan (iii) tanpa sapaan dan tanpa pengenalan diri.

(1) Inisiasi diawali salam pembuka Selamat malam selamat datang di Mata Najwa Shihab tuan rumah Mata Najwa (Mata Najwa di Metro TV: “Apa Kata Mega.” www.youtube.com 22/01/2014) (2) Insisasi tanpa salam pembuka, tetapi sapaan dan pengenalan diri Saudara, saat ini saya Dwi Tunjung Sari mendapatkan kesempatan yang langka untuk bisa berbincang-bincang bersama dengan bapak Prabowo Subianto. (TVRI: “Wawancara dengan Prabowo” www.youtube.com 26/01/2014)

~ 215 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature (3) Memberi gambaran pengantar latar belakang topik: inisiasi tanpa salam pembuka, tanpa sapaan dan tanpa pengenalan diri. Pewawancara: Mas Sujiwo Tedjo.. kalau bisa disarikan-- Sujiwo Tedjo: Hmm Pewawancara: --ketika… berusaha sudah sangat keras begitu walaupun ada yang bisa ke-GR-an, bisa tempatnya tidak tepat, salah caranya dan lain-lain…. (TVRI www.youtube.com 24/11/2014)

Berbeda halnya dengan teks pendahuluan yang berisi pengenalan topik dan ruang lingkup pembahasan sehingga seluruh partisipan dapat mempersiapkan diri berkontribusi dalam pembahasan. Rangsangan didapatkan dari mereka yang menyatakan persetujuan terhadap sudut pandang maupun mereka yang tidak setuju karena gagasan pendukung yang dimilikinya tidak sama.

(4) Pembawa Acara: “Awalnya.. seratus enam anggota.. menandatangani..putusan untuk.. membentuk panitia angket dan juga menjatuhkan…terhadap.. Gubernur DKI tapi belakangan ...anginpun berubah…malam ini juga kita mengundang... pak Wakil Ketua DPRD DKI Pak Haji Abraham Lunggana..” (ILC di TVONE 03/03/2015) Topik yang diperkenalkan oleh pembawa acara talk show politik adalah rencana DPRD Provinsi DKI Jakarta untuk mengajukan hak angket terhadap Gubernur DKI. Setelah pengenalan topik dan dukungan latar belakang dianggap gayut, maka pembawa acara mengundang tanggapan dari partisipan.

(5) “Pak Haji bagaimana awal mulanya de DPRD sampai ke inginan atau. menjadikan persoalan ini menjadi hak angket DPRD…”(ILC di TVONE 03/03/2015) Talk show politik juga dapat dilangsungkan antara pembawa acara dengan partispan tunggal. Tahapan-tahapan inisiasi, pra-pendahuluan dan pendahuluan secara umum tidak berbeda dengan partisipan jamak. Berikut adalah pendahuluan talk show politik dengan partisipan tunggal.

(6) Pembawa Acara: Ya, tadi kita baru saja menyaksikan e Partai Gerindra mendeklarasikan enam program aksi transformasi bangsa ya pak. … apa sih maksud enam program aksi transformasi bangsa ini?(TVRI: “Wawancara dengan Prabowo” www.youtube.com 26/01/2014)

Pola Teks Tanggapan Pola teks tanggapan secara verbal direpresentasikan dengan kalimat-kalimat pernyataan yang intinya memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan yang diajukan oleh pihak lain. Namun, seorang penanggap dapat saja menggunakan kalimat tanya atau kalimat imperatif jika dia ingin mendapatkan tanggapan balik dari partisipan lain. A. Kalimat pernyataan untuk mengendalikan wacana (7) Sebenarnya masalahnya ini adalah kesadaran kita sebenarnya untuk membahas anggaran ini sesuai dengan undang-undang. …(ILC di TVONE 03/03/2015) B. Kalima Tanya untuk mendapatan tanggapan balik Kalimat Tanya dapat dibedakan atas empat jenis: kalimat tanya formatif (di

~ 216 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

man, siapa, kapan, bagaimana, mengapa/kenapa, dan apa), kalimat tanya konfirmatif (apakah…?), kalimat tanya retorik, (…, bukan? atau …, kan?), dan pertanyaan alternatif (“…atau…?”). (8) … sektor keunggulan kita. Kenapa keunggulan? (Prabowo di TVRI) (9) …(apakah) menurut ketentuan, begitu, Pak Julian? (ILC di TVONE 03/03/2015) (10) … rakyat sudah menghasilken, tidak ada yang beli, ya, kan? (Prabowo di TVRI) (11) Selalu Bapak bawa atau karena memang spesial malam ini? (Mata Najwa di Metro TV www.youtube.com 22/01/2014) C. Kalimat imperatif untuk menekan (12) Harus dilaporkan kepada kementrian dalam negeri. (ILC di TVONE 03/03/2015)

PRAKTEK W ACANA Produksi Wacana merupakan satu unit informasi lengkap yang dikemas dalam teks verbal yang mengandung tema, topik dan fokus utama sebagai transformasi dari fenomena sosial yang terjadi. Wacana yang mengandung topik mutakhir dan/atau kontroversial diproduksi oleh media massa dalam berbagai bentuk wacana: (1) percakapan, (2) deskripsi, (3) argumentasi, (4) drama komedi, dan (5) prosodural atau hortatori (dalam bentuk Iklan Layanan Masyarakat).

Distribusi Distribusi wacana dapat berlangsung dari atas ke bawah (top-down) atau dari bawah ke atas (bottom-up) bergantung pada kebutuhan dan tantangan yang dihadapi oleh masing-masing pihak tersebut. Media massa dewasa ini, karena kebebasan memberikan penapsiran wacana, memiliki pandangan atau ideologi sendiri untuk memaknai pesan dari wacana tersebut. Atas dasar gagasan itu, pihak media melakukan reinterpretasi, reproduksi, dan redistribusi wacana dengan pemaknaan baru.

PENGUASA PENGUASA Sumber wacana Sasaran Wacana

MEDIA MASSA: sasaran perantara wacana (reinterpretatif, reproduktif, redistributif)

MASYARAKAT MASYARAKAT Sasaran Akhir Wacana Sumber Wacana

Gambar: Mekanisme distribusi wacana

(Catatan: = arah distribusi)

~ 217 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Konsumsi Produk dan distribusi wacana, baik yang bersumber dari elit bangsa maupun masyarakat biasa, kemudian dinikmati atau dikonsumsi oleh masyarakat dari berbagai lapisan: gender, usia, pendidikan, ekonomi, dan sosial. Distribusi wacana dengan rekayasa teks dapat menempatkan sumber penentu wacana sebagai pihak yang membela kepentingan masyarakat umum, sementara terhadap pesaingnya direkayasa teks yang tidak membela masyarakat umum.

Representassi tuturan dari pendukung Gubernur Ahok :

(13) Pengikut Ahok: … saya itu pengagum Ahok … menurut saya Ahok ini punya banyak kekuatan … Ahok itu sebagai bapak pembuktian terbalik. … tunjukkan dulu uang lu asalnya darimana, berapa pajak lu orang tunjukkan dulu, uang lu asalnya darimana? Berapa pajak lu dan bagaimana cara memperolehnya? Baru lu lawan gue” ... (ILC di TVONE 03/03/2015) Representasi tuturan dari penentang Gubernur Ahok:

(14) Lawan Politik Ahok: … apa yang terjadi dengan 12, 1 triliyun itu,… Ahok mati jalan di situ. … dia bermain pencitraan dalam ranah hukum … kita duga Ahok melanggar hukum ... (ILC di TVONE 03/03/2015)

PRAKTEK SOSIAL Praktek sosial dimaknai sebagai proses interaksi manusia satu dengan manusia lain, baik interaksi antarindividu, antarkelompok, maupun antara individu dan kelompok atau sebaliknya, demi terciptanya satu hubungan sosial yang didasarkan atas kepentingan. Di dalam kepentingan itu, tersirat hegemoni, demokratisasi dan komoditifikasi.

Hegemoni Hegemoni dalam pandangan Gramsci (dalam Fairclough, 1992: 92—93) merupakan kepemimpinan untuk mendominasi kehidupan ekonomi, politik, budaya dan ideologi masyarakat. Di Indonesia, narasi politik masyarakat dewasa ini ditentukan oleh kemampuan media bersaing untuk mendapatkan sumber wacana dengan kemasan kontroversial sehingga menjadi menarik, informatif dan persuasif. A. Hegemoni wacana politik ditentukan oleh ketokohan narasumber

(15) Najwa Shihab (NS):…Inilah Mata Najwa “Apa Kata Mega”…. NS : … Ibu saya ingin melihat bagaimana naga merah berpidato, di konggres PDI-Perjuangan… kenapa sampai sedemikian terharu? Megawati (M) : Bukanya bagaimana ya, kita kan sekarang liat, coba saya, statistik ndak tau betul atau tidak, tapi kan kemiskinan itu masih ada, kita kan berharap di ibu kota, tapi kan kalo kita, liat seperti itu Gubernur kurus itu, … saya kan suka membesarkan hatinya … NS: Jadi ibu sering membesarkan hati Pak Jokowi? M: Ya, kasian. (Mata Najwa di Metro TV www.youtube.com 22/01/2014) Megawati, sebagai narasumber dalam wacana politik itu, tidak memaparkan ide-ide pengendali, kecuali dia menanggapi dengan bahasa sederhana tanpa menggunakan terminologi politik bermakna kompleks, misalnya, “ … statistik ndak tau betul atau tidak…kemiskinan itu masih ada … liat seperti itu Gubernur kurus itu… Jokowi …saya kan suka membesarkan hatinya… … Ya, kasian.”

B. Hegemoni wacana politik ditentukan oleh kekontroversialan topik wacana Selain ketokohan narasumber, wacana politik dapat pula ditentukan oleh kekontroversialan topik: “KPK vs Polri: ujungnya sampai dimana?” “Ahok Dipecat atau DPRD Bubar,” “Presiden

~ 218 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Milik Rakyat atau Milik Partai,” dan sebagainya. Berikut adalah topik tentang perselisihan “KPK vs. PLORI.”.

(16) Karni Ilyas/Pembawa Acara: Pemirsa, … bapak-bapak yang pernah di KPK .. jiwanya sudah KPK- lah... Kenapa Ruhut ...sebelum BG ..diputuskan DPR ..Luhut salah satu pendukung BG.. di seminar dia bicara untuk BD..di media juga. Ketika Partai Demokrat abstain memilih BG..Ruhut hilang. Ruhut Sitompul: ... Saya sebagai Komisi Tiga .. jujur saja.. permasalahan antara KPK dan Kepolisian ini... antara KPK dengan polisi…(ILC di TVONE 03/03/2015)

Pada teks (16) di atas, isu mutakhir saat acara itu ditayangkan adalah berkaitan dengan perselisihan hukum antara KPK dan Polri. Persoalan hukum bermula dari KPK terlebih dahulu menetapkan calon Kapolri Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi. Tidak lama kemudian dua pimpin KPK (Bambang Wijayanto dan Abraham Samad) dan satu penyidik KPK, Novel Basweden, ditetapkan pula sebagai tersangka oleh Polri.

Demokrastisasi: politik dan linguistik Pada bagian ini dapat ditampilkan beberapa pola penalaran yang bersumber dari partisipan talk show ILC yang berupaya melakukan usaha demokratisasi terhadap persoalan politik dalam topik “Presiden Milik Rakyat atau Milik Partai.” Fokus ulasan partisipan tersebut terletak pada sisi positif dan negatif dari masing-masing pihak yang berbeda pendapat.

(17) Karni Ilyas: …Bagaimana Anda melihat pidato tersebut? … Effendi Gozali: … pidato pembukaan itu ada dua ribu enam ratus lima puluh tiga kata... itu memang acara internal partai ...dan kita bukan bagian dari acara itu… ada istilah petugas partai… disebutkan bahwa petugas partai menurut Bu Megawati .. adalah pelayan partai.. .. undangan itu datang ke Pak Joko W idodo di situ ditulis sebagai apa? … ………………… ah?, boleh..boleh. Partisipan lain: boleh menyela? …(ILC di TVOne www.youtube.comm 14/04/2015)

Bagian teks yang berada di dalam kurung siku paling atas merupakan rangsangan dari pembawa acara, kurung siku kedua merupakan penyajian data kuantitatif (fakta dan data) berupa frekuensi pemakaian kata/istilah yang digunakan oleh Megawati Sukarno Putri, dan pada kurung siku ketiga merupakan analisis politik dari narasumber berkatan dengan data. Salah satu bentuk demokratiisasi linguistik dalam bahasa Indonesia dapat dilihat pada penggunaan bentuk pronominal: dia, kamu (personal), Anda (formal). Pada data (18) berikut, narasumber B.J. Habibie tanpa ragu memilih menggunakan kata ganti dia (bukan beliau) untuk mengacu Pak Harto. Kata dia digunakan secara sadar oleh B.J Habibie untuk menunjukkan kesetaraan antara dua tokoh. Sementara itu, penggunaan kata kamu dalam teks tersebut menunjukkan bahwa Pak Harto sebagai pembicara mempunyai hubungan dekat dengan B.J. Habibie, tetapi Pak Harto memposisikan diri sebagai orang yang lebih senior.

(18) Najwa Shihab: Apa ruginya dua pemimpin saling bertemu? B.J.Habibie: … Dia kan orang yang sangat bijaksana … dia mengatakan, beginilah kamu selesaikan masalah-masalah yang kamu hadapi. … Trus dia bilang. Habibie saya tahu kamu … Kamu sholat lima kali sehari. … kamu harus tahu. … Saya doa untuk kamu supaya kamu selamat … Laksanakan tugasmu. Trus dia diem. (Mata Najwa di Metro TV www.youtube.comm 05/02/2014)

Namun demikian, demokratisasi linguistik “dapat diselewengkan” oleh partisipan wacana politik

~ 219 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature untuk menghegemoni narasi politik masyarakat. Dewasa ini ada kecenderungan masyarakat Indonesia dipengaruhi oleh para politisi dalam bertutur, misalnya, penggunaan kita.

(19) Pembawa Acara/Mitra Bicara: … Asal mula Ahok center? Gubernur Ahok/Pembicara: … Ahok Center itu gak pernah ada, …, kita minta beberapa orang sumbang … kan kita butuh pengawas, … relawan kita yang pernah menang kampanye …( “Wawancara Aiman Wicaksono dan Basuki Tjahaja Purnama di Kompas TV” www.youtube.com 17/03/2015)

Dalam teks (19) tersebut, makna kata kita diselewengkan oleh si pembicara dengan mengikutsertakan orang kedua di dalam masalahnya, padahal orang kedua itu sama sekali tidak menjadi bagian dari representasi pembicara.

Komoditifikasi Wacama politik yang dijadikan komodi oleh pihak media massa bertumpu pada dua hal: ketokohan narasumber dan kekontroversialan isu. Kemasan isu kontroversial dan mutakhir ditentukan paling sedikit oleh tiga faktor: (i) pilihan judul, (ii) penekanan ulasan, dan (iii) perdebatan. Judul-judul ditekankan pada penggunaan kosa-kata singkat/kata dasar, terdiri dari beberapa kata saja, mudah dipahami, dan bersifat lugas, contohnya: “Presiden Milik Rakyat atau Milik Partai”, “KPK vs POLRI”, “Ahok Dipecat atau DPRD Bubar” (TV One: “ILC”. Penekanan ulasaan berkaitann dengan persepsi dan argumentasi dari sumber wacana. Sementara iitu, perdebatan dalam acara talk show politik berpartisipan jamak merupakan “amunisi” untuk mempertahankan dan menambah jumlah penonton.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, B.R.O’G. 1990. Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia. New York: Cornell University Press. Fairclough, N. 1992. Discourse and Social Change. Oxford: Blackwell Publisher. Johnson, T. 1996. ‘The decline of television’s family hour’ dalam USA Today. Academic Research Library Pastika, I.W. dkk. 2014. ‘The Indonesian Language in the Indonesian Media during the Reformation Era.’ Makalah disajikan pada International Seminar on Translinguistics di Universitas Indonesia, Jakarta, 02 Desember 2014. Searle, J. 1969. Speech Acts. Cambridge: Cambridge University Press. Sita Supit, R. 2005. “Fenomena Bahasa Film dan Bahasa Siaran di Indonesia.” Disampaikan dalam Seminar Penggunaan Bahasa dalam Film, Sinteron, Televisi, dan Media Luar Ruang. Dilaksanakan oleh Pusat Bahasa dan Lembaga Sensor Film di Jakarta: 10 Agustus 2005. Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Thompson, J.B. 1984. Studies in the Theory of the Ideology. California: University of California Press. (diterjemahkan oleh Haqqul Yaqin menjadi: Analisis Ideologi, Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia. Penyunting: Fathurrahman. Penerbit IRCiSod, Yogyakarta. Van Dijk, Teun A (ed.), 1985. “Structures of News in the Press” Discourse and Communication New Approachs to the Analysis of Mass Media Discourse and Communication. New York: Walter de Gruyter.

~ 220 ~ PENGELOMPOKAN BAHASA KABOLA, BAHASA HAMAP, DAN BAHASA KLON DI PULAU ALOR NUSA TENGGARA TIMUR: KAJIAN LINGUISTIK HISTORIS KOMPARATIF

Ida Ayu Iran Adhiti IKIP PGRI Bali

ABSTRAK Terkait dengan upaya pembinaan dan pengembangan bahasa di wilayah Nusa Tenggara Timur, terutama di Kabupaten Alor, perlu dilakukan penelitian yang mendalam terhadap fenomena kebahasaannya. Fenomena tersebut menyangkut pendataan terhadap pengelompokan bahasa secara genetis. Keseluruhan pendataan terhadap bahasa tersebut merupakan studi linguistik komparatif. Bahasa daerah di Kabupaten Alor merupakan suatu keunikan tersendiri, jika diamati dari segi keberadaannya dan kuantitas rumpun bahasanya. Meskipun mempunyai jarak tempat tinggal cukup dekat antara salah satu suku dengan suku lainnya, walaupun sebatas satu sungai, terjadi perbedaan bahasa. Keanekaragaman bahasa daerahnya mempunyai pengaruh yang sangat besar pada kehidupan bermasyarakat. Penelitian tentang pengelompokan bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon di Pulau Alor didasarkan pada kajian teori lingusitik historis komparatif dengan didukung oleh teori Bynon (1979), Dyen (1978), Jeffers dan Lehiste (1979), dan Antila (1972). Kajian secara kuantitatif yang bersifat sinkomparatif ketiga bahasa berkerabat, digunakan metode leksikostatistik dengan 200 kosa kata Swadesh (1972). Berdasarkan teknik leksikostatistik antara bahasa Kabola dan bahasa Hamap memiliki persentase tertinggi, yakni 53%. Persentase antara bahasa Hamap dan bahasa Klon mencapai 46 %. Selanjutnya, persentase antara bahasa Kabola dan bahasa KLon mencapai 36 % yang merupakan kognat terendah. Angka persentase ketiga bahasa tersebut menunjukkan adanya kekerabatan bahasa, dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain yang ada di sekitarnya. Lima belas bahasa lainnya sebagai bahasa pendamping menunjukkan persentase kognat tertinggi hanya 20 %, dikategorikan sebagai keluarga bahasa. Kognat terendah mencapai 1,5 % dikategorikan sebagai mesofilium. Kelima belas bahasa tersebut dapat dikategorikan sebagai bahasa-bahasa yang tidak berkerabat. Penelitian yang mengkaji kekerabatan bahasa-bahasa di Pulau Alor menggunakan pendekatan sinkomparatif sehingga mendapatkan data yang valid. Dengan demikian, penelitian bahasa secara sinkomparatif dilakukan untuk mengetahui perkembangan bahasa pada satu kurun waktu. Kekerabatan beberapa bahasa tersebut dapat dijajaki pada periode yang sama.

Kata kunci: pengelompokan dan linguistik historis komparatif

I PENDAHULUAN Linguistik komparatif atau linguistik bandingan merupakan suatu cabang dari ilmu bahasa (linguistik) yang berusaha untuk meletakkan dasar-dasar pengertian tentang perkembangan kesejarahan dan kekerabatan antara bahasa-bahasa di dunia (Keraf, 1990:1; 1996:22). Unsur- unsur yang sama diperbandingkan berdasarkan kenyataan dalam periode yang sama dan perubahan-perubahan yang terjadi antara beberapa periode. Antilla (1972:20) mengungkapkan linguistik historis komparatif merupakan cabang ilmu linguistik yang mempunyai tugas utama untuk menetapkan fakta dan tingkat keeratan serta kekerabatan antarbahasa, berkaitan erat dengan pengelompokan bahasa yang berkerabat. Terkait dengan upaya pembinaan dan pengembangan bahasa di wilayah Nusa Tenggara Timur, terutama di Kabupaten Alor, perlu dilakukan penelitian yang mendalam terhadap fenomena kebahasaannya. Fenomena tersebut menyangkut pendataan terhadap silsilah kekerabatam bahasa dengan pengelompokan bahasanya. Kabupaten Alor merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No 69 tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah Tingkat ~ 221 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature II dalam wilayah Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (LNRI tahun 1958 No 122). Jika dilihat dari perjalanan sejarah, Kabupaten Alor telah mengalami berbagai perkembangan khususnya perkembangan di bidang pemerintahan baik pada masa lampau sampai dengan terbentuknya menjadi suatu kabupaten seperti yang ada saat ini (Stonis, 2008:1). Bahasa daerah di Kabupaten Alor merupakan suatu keunikan tersendiri, jika diamati dari segi keberadaannya dan kuantitas rumpun bahasanya. Meskipun mampunyai jarak tempat tinggal cukup dekat, terjadi perbedaan bahasa. Keanekaragaman bahasa daerahnya mempunyai pengaruh yang sangat besar pada kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan penelitian Woisika (1975) ditemukan 17 bahasa daerah yang terdapat di Pulau Alor. Menurut pendataan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Alor, ditemukan 18 bahasa daerah. Bahasa-bahasa daerah tersebut adalah: (1) Bahasa Daerah Alores; (2) Bahasa Daerah Kabola/Adang; (3) Bahasa Daerah Abui/A’fui; (4) Bahasa Daerah Hamap; (5) Bahasa Daerah Klon; (6) Bahasa Daerah Kui; (7) Bahasa Daerah Kafoa; (8) Bahasa Daerah Panea; (9) Bahasa Daerah Kamang; (10) Bahasa Daerah Kailesa; (11) Bahasa Daerah Wersin/Kula; (12) Bahasa Daerah Talangpui/Sawila; (13) Bahasa Daerah Blagar/Pura; (14) Bahasa Daerah Retta; (15) Bahasa Daerah Taiwa; (16) Bahasa Daerah Nedebang/Bintang/Kalamu; (17) Bahasa Daerah Deing/Diang; dan (18) Bahasa Daerah Lamma (Retika, 2012:1--10). Pengelompokan bahasa di Nusa Tenggara Timur (NTT), khususnya di Pulau Alor sesungguhnya belum tuntas, terbukti adanya pandangan yang berbeda mengenai jumlah bahasa yang ada di pulau tersebut. Bahasa-bahasa di Pulau Alor dan Pantar terletak di wilayah Lamaholot disebut sebagai bahasa Alor yang memiliki populasi penutur cukup banyak (Halim ed, 1979:20). Penulis mengkaji pengelompokan tiga bahasa daerah di Kabupaten Alor dengan pendekatan linguistik historis komparatif, yakni bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon, kajian kuantitatif yang bersifat sinkomparatif.

II PEMBAHASAN Berdasarkan pengamatan dan kajian kepustakaan, penulis menemukan kajian penelitian tentang bahasa-bahasa daerah dengan pendekatan linguistik historis komparatif dari beberapa pakar linguistik, baik dalam bentuk tesis maupun disertasi seperti: Putrayasa (1988) tentang“ Hubungan Kekerabatan Bahasa Tetun-Rote-Dawan; Mbete (1990)“Rekonstruksi Protobahasa Bali-Sasak-Sumbawa” ; Syamsuddin A.R (1996) “Kelompok Bahasa Bima-Sumba; Fernandez (1996) “Relasi Historis Kekerabatan Bahasa Flores; Mandala (1999) “Pengelompokan Genetis Bahasa Karui, Waimoa, dan Naueti di Timor Timur”; La Ino (2004) melakukan penelitian di Pulau Alor, NTT mengenai hubungan kekerabatan tiga bahasa yaitu: bahasa Blagar, bahasa Pura, dan bahasa Retta; Budasi (2007) “Kekerabatan Bahasa-Bahasa Sumba: Suatu Kajian Linguistik Historis Komparatif”, membahas secara tuntas beberapa bahasa di Pulau Sumba; Mandala (2010) juga melakukan penelitian kembali di Pulau Kaisar Maluku Tenggara dan Timor Leste mengenai hubungan evolusi fonologis bahasa Oirata dan kekerabatannya dengan bahasa-bahasa non-Austronesia di Timor Leste; La Ino (2013) mengkaji tentang “Protobahasa Modebur, Kaera, Dan Teiwa, Bahasa Kerabat Non Austronesia Di Pulau Pantar Nusa Tenggara Timur”. Penulis mengkaji tentang pengelompokan bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon dengan pendekatan linguistik historis komparatif. Kajian analisis bersifat sinkomparatif, bahasa-bahasa dijejaki kembali ke masa lalu berdasarkan perangkat kognat dengan keteraturan korespondensinya pada masa kini (Mbete, 2007:4).

~ 222 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Kepulauan Alor terdiri atas empat kecamatan yakni: Kecamatan Alor Barat Laut, Kecamatan Alor Barat Daya, Kecamatan Alor Selatan, Kecamatan Alor Timur, dan Kecamatan Pantar (Stonis, 2008:11). Lokasi penelitian bahasa Kabola terletak di Kecamatan Alor Barat Laut, sedangkan penelitian bahasa Hamap dan bahasa Klon berlokasi di Kecamatan Alor Barat Daya. Sumber data diperoleh dari data primer maupun data sekunder. Sumber data primer diperoleh dari sejumlah penutur asli yang digunakan sebagai informan. Sumber data sekunder diperoleh dari penelitian yang sudah ada sebagai bahan perbandingan. Data digali dengan menggunakan daftar 200 kosakata Swadesh. Penentuan informan digunakan beberapa syarat seperti : 1) Penutur asli dari bahasa yang diteliti; 2) Informan mempunyai alat-alat ucap yang normal; 3) Informan berumur 20 sampai 60 tahun; 4) Pendidikan informal minimal sekolah dasar; 5) Informan tidak pernah merantau, supaya bahasa yang digunakan masih asli (Samarin, 1988:55; band dengan Suryati, 2012;61). Jumlah informan dalam penelitian minimal tiga orang pada masing-masing bahasa yang diteliti. Apabila data yang diperoleh meragukan, maka diadakan pengecekan kembali pada informan lain agar memperoleh data bahasa yang akurat. Penggalian data dilakukan dengan metode simak dan metode cakap. Metode simak dilakukan dengan cara menyimak pemakaian bahasa lisan dengan teknik sadap, yakni kecakapan peneliti untuk menyadap pembicaraan informan di lapangan. Metode cakap digunakan dengan mengadakan wawancara kepada informan, dibantu dengan teknik pancing dengan memancing informan agar mau berbicara. Teknik ini dibantu dengan teknik catat, rekam, dan terjemahan (Sudaryanto, 1988:2; Mashun, 2007:92; band Bungin, 2008:8). Analisis secara kuantitatif dengan teknik leksikostatistik menggunakan 200 kosakata Swadesh, diperoleh jumlah persentase kognat serta menetapkan kelompok bahasa yang diteliti pada bahasa tersebut (Crowley, 1987:190; band dengan La Ino, 2013:48). Leksikostatistik merupakan salah satu teknik pengelompokan bahasa dengan angka sebagai dasar pemilahannya. Teknik tersebut digunakan untuk menemukan hubungan kekerabatan dua bahasa atau lebih dengan memperhitungkan unsur-unsur persamaan yang terdapat pada kosakata yang diperbandingkan. Grimes (1987:14) leksikostatistik merupakan teknik pengelompokan bahasa-bahasa atau dialek yang mengutamakan perhitungan kata-kata secara statistik untuk mengetahui jumlah kata-kata kerabat yang diperbandingkan. Persentase kata kerabat antara 81-100 % tergolong dialek, persentase 36-80% tergolong bahasa, persentase antara 12-35 % tergolong keluarga bahasa, persentase 4-12 % tergolong rumpun bahasa, persentase 2-3 % tergolong mikrofilum, dan persentase 0-2 % tergolong mesofilium. Penelitian tentang hubungan kekerabatan dengan teknik leksikostatistik dipaparkan dengan rumus sebagai berikut. H= x 100 Keterangan: H = Hubungan kekerabatan J = Jumlah kata kerabat G = Glos (item)

Gambaran umum tentang keberadaan bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon di Pulau Alor dapat dipaparkan sebagai berikut.

~ 223 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

1) Bahasa Kabola Bahasa Kabola juga disebut bahasa Adang (Retika, 2012:8). Bahasa daerah Kabola/Adang sebagian besar terdapat di wilayah Kepala Adang Burung (ABAL). Bahasa ini merupakan bahasa yang diteliti, memiliki kemiripan dengan bahasa Hamap dan bahasa Klon. Peneliti terdahulu menyebut bahasa ini sebagai bahasa Kedang (La Ino, 2013:92). Sebagai bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, bahasa Kabola memiliki fungsi dan kedudukan bagi warga masyarakat. Bahasa Kabola digunakan pada kegiatan sehari-hari seperti di pasar maupun tempat umum lainnya. Beberapa contoh kosakata berikut menggambarkan bahwa bahasa Kabola memiliki kesamaan dan kemiripan dengan bahasa Hamap dan bahasa Klon.

Bahasa Kabola Bahasa Hamap Bahasa Klon Glos /naba/ /nab/ /nabe/ ’apa’ /hiu/ /hif/ /hi/ ’ayam’ /tara/ /taru/ /ta/ ‘berbaring’ /ib/ /i’biŋ/ /ib/ ‘bintang’ /toromi/ /tu’mi/ /taromi/ ’di mana’ /mihi/ /mih/ /mih/ ’duduk’ /ut/ /u’t/ /ut/ ’empat’ /bo’oi/ /ba’oir/ /bo’gor/ ’kuning’ /koin/ /oin/ /koin/ ‘kutu’ /bataŋ/ /batiŋ/ /bah/ ’jarum’ /lete/’ /let/ /let/ ’jauh’ /denwe/ /denfe/ /dendi/ ’kapan’ /ka’ai/ /kaiŋ/ /kekein/ ’kecil’ /ta’atu/ /ta’at/ /takat/ ’kering’ /bo’oi/ /ba’oir/ /bo’gor/ ’kuning’

2) Bahasa Hamap Bahasa daerah Hamap terdapat di sekitar Moru sampai daerah Wolwal (Retika, 2012: 8). Bahasa daerah ini merupakan bahasa yang diteliti, memiliki kemiripan dengan bahasa Kabola dan bahasa Klon. Pada kegiatan keagamaan juga digunakan baik di mesjid maupun di gereja sehingga dipelihara dan dilestarikan oleh masyarakat pendukungnya. Beberapa contoh kosakata berikut menggambarkan bahwa bahasa Hamap memiliki kesamaan dan kemiripan dengan bahasa Kabola dan bahasa Klon.

Bahasa Hamap Bahasa Kabola Bahasa Klon Glos /o’puin/ /kokopuin/ /go’puin/ ’memegang’ /tar’ra/ /taraai/ /mi’igin/ ’memilih’ /ta’u/ /ta’au/ /ta’ka/ ’mencuri’ /masaŋ/ /masaŋ/ /mah/ ’menembak’ /pet/ /poco/ /pat/ ’mengikat’ /duit/ /dumu/ /dup/ ’mengisap’ /te/ /te’e/ /tek/ ’menikam’ /a/ /puwu/ /pu/ ’meniup /arot/ /haroto/ /ha’rot/ ’menjahit’ /na/ /na/ /na/ ’minum’ /tat/ /tatu/ /gat/ ’mulut’ /pa’ha/ /hang/ /hau/ ’mengunyah’ /tu/ /tuwu/ /ke’ber/ ’menggaruk’

~ 224 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

3) Bahasa Klon Menurut penelitian terdahulu, bahasa Klon ini disebut bahasa Klong . Jumlah penduduk penutur bahasa Klong adalah 649 orang (Alor Dalam Angka, 2010). Bahasa daerah Klon terdapat di daerah Probur, Manatang, Halmerman, Margeta, Tribur, Orgen, Moru, dan Bukit Mas (Pantar). Bahasa Klon memiliki fungsi dan kedudukan cukup penting pada kegiatan sosial maupun budaya bagi masyarakat setempat. Kegiatan sosial masyarakat menggunakan bahasa Klon untuk berkomunikasi, seperti kegiatan jual beli di pasar maupun kegiatan di lingkungan keluarga. Kegiatan yang menyangkut budaya seperti adat isti adat perkawinan, kematian, kelahiran dan lain-lain menggunakan bahasa Klon sebagai bahasa pengantar. Masyarakat juga menggunakan bahasa Klon pada saat melakukan ibadat di gereja maupun kegiatan pemerintahan seperti kegiatan ceramah maupun penyuluhan di desa setempat. Beberapa contoh kosakata berikut menggambarkan bahwa bahasa Klon memiliki kesamaan dan kemiripan dengan bahasa Kabola dan bahasa Hamap.

Bahasa Klon Bahasa Kabola Bahasa Hamap Glos /i’al/ /barapi/ /barpi/ ’semua’ /a’be/ /ana/ /a’no/ ’siapa’ /tuu/ /tun/ /tuu/ ’tahun’ /ge’taŋ/ /kataŋ/ /tataŋ/ ’tangan’ /a’dang/ /do/ /do/ ‘telur’ /lir/ /lili/ /lil/ ’terbang’ /ta/ /tara/ /tar/ ’tidur’ /te’tek/ /te’ei/ /tadung/ ’tipis’ /tum/ /kumu/ /ume/ ’tumpul’ /mon/ /mon/ /mon/ ’ular’

Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengelompokkan ketiga bahasa secara genetis sehingga dapat diketahui silsilah kekerabatan bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon di Pulau Alor. Bukti kuantitatif menunjukkan pengelompokan antarbahasa sekerabat, merupakan pengamatan sekilas pada sejumlah kosakata dasar dan dapat ditentukan kelompok bahasa- bahasa sekerabat berdasarkan prosentasenya (Dyen, 1978:32 dan Bynon, 1979:25). Pengelompokan bahasa berarti penentuan kelompok bahasa untuk kejelasan struktur genetisnya. Dengan pengelompokan yang dilakukan maka setiap bahasa yang diperbandingkan dapat diketahui kedudukan dan hubungan keasalannya dengan bahasa-bahasa kerabat lainnya (Antila, 1972:213). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengelompokan genetis adalah penelusuran subkelompok bahasa turunan dari kelompok bahasa yang lebih besar berdasarkan hipotesis pohon kekerabatan. Moyang bahasa berbelah secara berturut-turut dan pada setiap tahapan terjadi perubahan yang mengakibatkan pembelahan lebih lanjut atau berkembang biak dengan proses dan caranya sendiri (Jeffers dan Lehiste, 1979:31). Kesamaan maupun kermiripan kosa kata ketiga bahasa yakni bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon dibandingkan dengan bahasa pendamping sebanyak 15 (lima belas) bahasa yang ada. Berdasarkan perhitungan leksikostatistik secara kuantitatif dapat dikatakan ketiga bahasa yang dianalisis yakni bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon merupakan bahasa yang berkerabat jika dibandingkan dengan bahasa pendamping lainnya, di

~ 225 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature luar subkelompok maupun kelompoknya. Menurut Grimes (1987:14) leksikostatistik merupakan teknik pengelompokan bahasa- bahasa atau dialek yang mengutamakan perhitungan kata-kata secara statistik untuk mengetahui jumlah kata-kata kerabat yang diperbandingkan. Persentase kata kerabat antara 81-100 % tergolong dialek, persentase 36-80% tergolong bahasa, persentase antara 12-35 % tergolong keluarga bahasa, persentase 4-12 % tergolong rumpun bahasa, persentase 2-3 % tergolong mikrofilium, dan persentase 0-2 % tergolong mesofilium. Berdasarkan teknik leksikostatistik antara bahasa Kabola dan bahasa Hamap memiliki persentase tertinggi, yakni 53 %. Persentase antara bahasa Hamap dan bahasa Klon mencapai 46 %. Selanjutnya, persentase antara bahasa Kabola dan bahasa Klon mencapai 36 %, yang merupakan kognat terendah. Angka persentase ketiga bahasa tersebut menunjukkan adanya kekerabatan bahasa, dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain yang ada di sekitarnya. Lima belas bahasa lainnya menunjukkan persentase kognat tertinggi hanya 21 %, dikategorikan sebagai keluarga bahasa. Kognat terendah mencapai 1,5 % dikategorikan sebagai mesofilium. Kelima belas bahasa tersebut dapat dikategorikan sebagai bahasa-bahasa yang tidak berkerabat karena memiliki persentase rata-rata rendah, seperti: (1) bahasa daerah Alores/Alurung memiliki persentase 4 %; (2) bahasa daerah Abui/A’fui memiliki persentase 1,8 %; (3) bahasa daerah Kui memiliki persentase 7,4 %; (4) bahasa daerah Kafoa memiliki persentase 7,9 %; (5) bahasa daerah Panea memiliki persentase 2,5 %; (6) bahasa daerah Kamang memiliki persentase 2,6 %; (7) bahasa daerah Kailesa memiliki persentase 3,3 %; (8) bahasa daerah Wersin/Kula memiliki persentase 7,6 %; (9) bahasa daerah Tanglapui/ Sawila memiliki persentase 8,3 %; (10) bahasa daerah Blagar/Pura memiliki persentase 10,3 %; (11) bahasa daerah Retta memiliki persentase 11,1 %; (12) bahasa daerah Taiwa memiliki persentase 6,7 %; (13) bahasa daerah Nedebang/ Bitang/Kalamu memiliki persentase 7,3 %; (14) bahasa daerah Deing/Diang memiliki persentase 5,5 %; dan (15) bahasa daerah Lamma memiliki persentase 4,5 %. Pengelompokan bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon disajikan pada bagan berikut.

Pengelompokan Bahasa Kabola, Bahasa Hamap, dan Bahasa Klon (Secara Kuantitatif) Presentase Kelompok Bahasa Status Bahasa Kosakata 0 %-2% Bahasa Abui Mesofilium

2%-3% Bahasa Kamang, Bahasa Panea Mikrofilium

4%-12% Bahasa Alores, Bahasa Kui, Bahasa Kafoa, Bahasa Wersin, Rumpun ba- Bahasa Tanglapui, Bahasa Blagar, bahasa Retta, Bahasa hasa Taiwa, Bahasa Nedebang, Bahasa Deing, dan Bahasa Lamma 12%-35% Keluarga ba- hasa 36%-80% Bahasa Kabola. Bahasa Hamap, dan Bahasa Klon Bahasa

~ 226 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature III KESIMPULAN Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengelompokkan ketiga bahasa secara genetis sehingga dapat diketahui kekerabatan bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon di Pulau Alor. Bukti kuantitatif menunjukkan pengelompokan antarbahasa sekerabat, merupakan pengamatan pada sejumlah kosakata dasar dan dapat ditentukan kelompok bahasa-bahasa sekerabat berdasarkan prosentasenya. Berdasarkan teknik leksikostatistik antara bahasa Kabola dan bahasa Hamap memiliki persentase tertinggi, yakni 53 %. Persentase antara bahasa Hamap dan bahasa Klon mencapai 46 %. Selanjutnya, persentase antara bahasa Kabola dan bahasa Klon mencapai 36 %, yang merupakan kognat terendah. Angka persentase ketiga bahasa tersebut menunjukkan adanya kekerabatan bahasa, dibandingkan dengan lima belas bahasa pendamping bahasa yang ada di sekitarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Antilla, Raimo. 1972. An Introduction to Historical and Comparative Linguistics. New York: Macmillan. Budasi, I Gede. 2007. “Kekerabatan Bahasa-Bahasa Di Sumba (Suatu Kajian Linguistik Historis Komparatif) “ Disertasi untuk memperoleh derajat Doktor dalam bidang linguistik di Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta: Pascasarjana. Bungin, 2008. Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Group. Bynon, Theodora, 1979. Historical Linguistics. London. New York. Melbourne: Cambride University Press. Crowly, Terry. 1987. An Introduction to Historical Linguistic. Port Moresby: University of Papua New Guinea Press. Dyen, Isodore. 1978. Linguistic Subgrouping and Lexicostatistik. The Hague Paris: Mouton Fernandez, Inyo Yos. 1988. “Rekonstruksi Proto Bahasa Flores” Disertasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Grimes, Barbara F.1987. Etnologue: Language of the Wordd. Dallas, Texas: The Summer Institute of Linguistic, Inc. Halim, Amran. 1979. Miscellaneous Studies In Indonesian And Languages In Indonesia Part VI. Jakarta: Badan Penyelenggara Seri NUSA. Keraf, Gorys. 1990. Linguistik Bandingan Tipologis. Jakarta: PT Gramedia. Keraf, Gorys.1996. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. La Ino. 2004. “Pengelompokam Genetis Bahasa-Bahasa Blagar, Pura, Dan Retta Di Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur”. Tesis. Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana. La Ino. 2013. “ Protobahasa Modebur, Kaera, Dan Teiwa, Bahasa Kerabat Non Austronesia Di Pulau Pantar Nusa Tenggara Timur”. Disertasi. Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana. Mandala, Halus.1999.” Pengelompokan Genetis Bahasa Karui, Waimoa, dan Naueti di Timor Timur”. Tesis untuk Program Pascasarjana Universitas Udayana. Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Mbete, Aron Meko. 1990. “Rekonstruksi Protobahasa Bali-Sasak-Sumbawa” Disertasi Untuk Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Sastra Pada Universitas Indonesia. Jakarta: Fakultas Pascasarjana. Mbete, Aron Meko. 2007. “Sekilas Lintas Linguistik Historis Komparatif”. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.

~ 227 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Putrayasa, I Gusti Ngurah Kt. 1988.” Hubungan Kekerabatan Bahasa Tetun-Rote-Dawan: Kajian Linguistik Historis Komparatif” Tesis untuk Program Pascasarjana Universitas Udayana. Retika.E.Thobyn. 2012. Sejarah Dan Budaya Kepulauan Alor. Surabaya: Nidya Pustaka. Robert, J. Jeffers and Ilse Lehiste. 1979. Priciples And Methods For Historical Linguistics. Cambride. Massachusetts and London, England: The MIT Press. Samarin,William J. 1988. Ilmu Bahasa Lapangan. Terjemahan J.S.Badudu. ILDEP: Yogyakarta. Kanisius Sudaryanto, 1986. Metode Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Stones, Adang.2008.Tapak-Tapak Sejarah Perjalanan Pemerintahan Kabupaten Alor 1958-2008. Kalabahi. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Alor. Suryati, Ni Made. 2012. “Variasi Fonologis Dan Leksikal Bahasa Lio Di Flores, Nusa Tenggara Timur: Kajian Dialek Geografi” (Disertasi). Denpasar: Program Doktor; Program Studi Linguistik; Program Pascasarjana Universitas Udayana. Syamsudin, A.R.1996. “Kelompok Bahasa Bima-Sumba. Kajian Linguistik Historis Komparatif”. Disertasi Untuk Unpad Bandung.

~ 228 ~ FUNGSI DAN MAKNA TRADISI LISAN GENJEK KARANGASEM

Ida Bagus Nyoman Mantra Universitas Mahasaraswati Denpasar [email protected]

ABSTRACT The present study examines the function and meaning of Genjek Karangasem as one of the oral tradi- tions existed in Karangasem regency, Bali Province. This qualitative study made use of systematic writing analysis that departs from theory to observation on the availability of data for further analysis. The approach used in this study is a phenomenological approach that moved from the phenomenon of Genjek Karangasem and the implication of this study is expected to provide benefits to the linguistic approach in studying the function and meaning of other literary works for further study on similar fields. In this study, it was found that Genjek Karangasem has several functions, such as functions to remember the past, education, entertainment, ethnic solidarity, social control, social protest, and reli- gious functions and the meanings found in Genjek Karangasem in its context to Karangasem society includes the meaning of love, rituals, recognition of the existence of social stratification, and collective consciousness.

Keywords: Tradition, Oral, and Genjek

PENDAHULUAN Budaya global yang melanda masyarakat Bali tanpa disadari membawa dampak kurang baik terhadap kelestarian budaya Bali. Terkikisnya nilai-nilai luhur kehidupan masyarakat cenderung menjadikan sikap hidup yang semakin individual dan materialistis. Hal ini akan semakin berkembang sejalan dengan perkembangan arus komunikasi yang semakin mutakhir yang mengakibatkan mudahnya budaya luar masuk ke Bali. Masuknya budaya luar ke Bali, terutama budaya asing tentu saja memberi dampak yang luas bagi perkembangan budaya Bali, baik positif maupun negatif dari segala aspeknya. Salah satu bentuk kebudayaan yang masih eksis dan masih mampu memberikan tun- tunan terhadap pelestarian nilai-nilai luhur adalah tradisi lisan. Tradisi lisan merupakan alat penting dalam menyampaikan ide, rasa, nilai, pengetahuan, adat, kebiasaan, yang ada dalam lingkungan masyarakatnya. Selanjutnya, Sibarani (2012:35) menambahkan bahwa tradisi lisan mampu mengenalkan anak terhadap kemulian etika, kenikmatan estetika, keluhuran emosi, dan kebermanfaatannya secara pragmatis. Oleh karena itu, perlu adanya usaha pelestarian tradisi lisan. Keberadaan tradisi lisan di Bali mengalami persaingan dengan nilai-nilai baru yang datang dari luar, sehingga persaingan ini dapat mengancam keberadaan tradisi lisan di Bali. Banyaknya nilai-nilai budaya luar yang masuk ke Bali, sangat berdampak pada nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tradisi lisan yang masih bertahan di tengah perkembangan kehidupan masyarakat. Tradisi lisan Genjek sudah melekat erat dan menjadi suatu identitas sosial serta merupakan sebuah kebanggaan bagi masyarakat Bali khususnya masyarakat Karangasem. Tra- disi lisan Genjek yang berkembang dalam masyarakat, tidak hanya digunakan sebagai sarana untuk acara keagamaan dan sebagai penghibur masyarakat, tetapi juga sebagai sarana untuk menyampaikan tuntunan dan tatanan moral kemanusian demi kehidupan yang lebih baik. Sebagai tradisi lisan, genjek memiliki fungsi dan makna yang sangat signifikan, karena genjek dapat merefleksikan dan mencerminkan keadaan sosial budaya masyarakat pendukungnya. Disamp- ~ 229 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature ing itu, genjek merupakan tradisi lisan yang dalam setiap teksnya terkandung berbagai nilai-nilai luhur, seperti nilai moral, agama, adat, pendidikan, cara berpikir, seni, dan nilai pengendalian sosial yang sangat berguna bagi kehidupan seluruh masyarakat, khususnya masyarakat Karangasem, Bali. Meskipun genjek telah berkembang dengan sangat pesat di Bali, namun wacana lisan dalam genjek belum ada dalam bentuk teks tulis. Hal ini mungkin disebabkan karena seniman genjek cend- erung mengaplikasikan setiap wacana yang ada secara langsung tanpa menuliskan teksnya terlebih da- hulu. Sebagai wacana lisan, teks genjek merupakan sebuah teks lisan yang bersifat alami dan langsung, serta berlatarbelakang konteks situasional, seperti wacana politik, agama, sosial, ekonomi, budaya, dan hukum serta kriminalitas. Dalam penyampaiannya wacana lisan genjek disampaikan melalui wa- cana monolog dan wacana dialog. Wacana lisan yang disampaikan pada mulanya terdiri dari lirik-lirik yang sangat pendek dan sangat sederhana. Namun pada saat ini wacana lisan genjek lebik panjang dan lebih kompleks karena banyak menyerap kata-kata dan ungkapan-ungkapan baru dari bahasa lain. Disamping itu, wacana lisan genjek banyak menggunakan majas-majas baru sehingga maksud atau ide yang ingin disampai- kan oleh para seniman genjek lebih berterima dan juga menjadikan wacana lisan genjek semakin indah didengar oleh pendengarnya. Kenyataannya meskipun tradisi lisan genjek sangat populer dan meru- pakan identitas masyarakat Karangasem, namun tidak banyak masyarakat yang memahami struktur, fungsi, dan makna yang terkandung dalam teks lisan genjek. Dalam mengkaji teks tradisi lisan genjek, prinsip-prinsip yang digunakan sebagai acuan adalah teori Fungsi sosial William R. Bascom. Dalam konsep Bascom dalam Sukatman (2011:11) dijelaskan bahwa secara umum setidaknya ada empat Fungsi penting tradisi lisan. Pertama, tradisi lisan berfungsi sebagai sistem proyeksi (cerminan) angan-angan suatu kolektif. Kedua, tradisi lisan berfungsi sebagai alat legitimasi pranata-pranata kebudayaan. Ketiga, tradisi lisan berfungsi sebagai alat pendidikan. Keempat, tradisi lisan berfungsi sebagai alat pemaksa atau pengontrol agar norma-norma masyarakat selalu dipatuhi angota kolektifnya. Analisis semiotika untuk mengkaji makna dilakukan atas anggapan bahwa tradisi lisan genjek memiliki ekspresi atau ungkapan yang tidak langsung yaitu adanya fenomena dialektik antara teks dengan pendengarnya yang menimbulkan ketegangan-ketegangan pedengar dalam menangkap makna teks tradisi lisan genjek.

RUMUSAN MASALAH Beranjak dari latar belakang diatas, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini di- arahkan untuk memahami wacana tradisi lisan genjek sebagai sebuah teks bergaya sastra yang hidup dan berkembang dalam realitas sosial masyarakat Karangasem. Dalam kaitan ini ada dua permasalahan dibahas, yakni sebagai berikut. 1. Bagaimanakah Fungsi teks tradisi lisan genjek di kabupaten Karangasem? 2. Bagaimanakah makna teks tradisi lisan genjek di kabupaten Karangasem?

PEMBAHASAN Genjek merupakan kesenian tradisi lisan yang terdapat di kabupaten Karangasem. Gen- jek telah berkembang menjadi sebuah bentuk seni pertunjukan yang tidak hanya menjadi sebuah tri masyarakat Karangasem. Genjek sebagai pertunjukan mampu membawa tradisi lisan genjek sebagai sebuah pertunjukan yang juga memberikan fungsi untuk menghibur para penonton-

~ 230 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature nya. Genjek yang semula hanya merupakan pertunjukan rakyat, kini telah berkembang men- jadi pertunjukan yang dapat dikomersilkan. Genjek yang merupakan sebuah pertunjukan tradisi lisan sering sekali digunakan sebagai media dalam menyalurkan setiap aspirasi masyarakatnya. Tembang-tembang yang dilantumkan dalam pertunjukan genjek memuat tentang kehidupan masyarakat pendukungnya, oleh karena itu sebagian masyarakat menggunakan genjek untuk menafsirkan sebuah situasi yang terjadi di masyarakat. Para pemain genjek lebih banyak menampilkan lelucon dan ejekan terkini yang lebih banyak bersifat menghibur. Lelucon dan ejekan tersebut diekspresikan lewat tembang yang juga didukung oleh gerak-gerak tari secara bebas oleh satu atau dua orang pemain genjek, kemudian ditambah permainan ‘gamelan mulut’ yang lebih dikenal dengan sebutan cipak se- hingga memberi kesan tersendiri bagi yang menyaksikannya. Dalam perkembangannya tarian yang juga mengiringi pertunjukan genjek yang semula dimainkan oleh pemain genjek sudah mulai dikreasikan dengan menampilkan penari joged dalam pertunjukan genjek. Penari joged yang semula diiringi dengan gambelan rindik, dalam pertunjukan genjek tari tersebut diiringi gamelan vokal para pemain genjek. Dalam pertunjukan genjek, pemain hanyalah ingin mengisi waktu luang dengan memberikan pertunjukan genjek yang bersifat menghibur, terutama untuk menghidarkan diri dari ketegangan berpikir. Dikaji dari teks genjek memuat berbagai sisi kehidupan masyarakat pendukungnya. Da- lam hal ini fungsi dan makna tembang dalam teks genjek berbicara mengenai kaitan antara institusi yang memberikan keutuhan dari suatu masyarakat dalam kehidupan sebagai suatu ko- munitas yang memiliki hak dan kewajiban. Di samping itu, para pemain tradisi lisan genjek memanfaatkan aspek-aspek budaya yang berkembang di tengah masyarakat dalam mencipta- kan lirik-lirik tradisi lisan genjek tersebut. Dalam penelitian ini genjek Karangasem memiliki 7 fungsi yaitu: (1) Fungsi Hiburan, (2) Fungsi Pendidikan, (3) Fungsi Mengenang Masa Lalu, (4) Fungsi Solidaritas dan Kebersamaan, (5) Fungsi Pengendalian Sosial, (6) Fungsi Protes dan Kritik Sosial, (7) Fungsi Religius. Berdasarkan analisis makna yang bertumpu pada teori semiotik, makna yang dideskrip- sikan dalam kajian genjek Karangasem adalah makna teks tradisi lisan genjek. Makna ini ter- kandung dalam teks genjek, kemudian diekspresikan dalam kehidupan mereka sehari-hari serta dijadikan tuntunan dalam menjalani kehidupan. Pengkajian terhadap makna Teks genjek meli- puti bebergai makna yang dikaitkan dengan konteks kehidupan masyarakat karangasem. Ada- pun empat kategori makna itu adalah (1) kasih sayang, (2) kesadaran kolektif, (3) ritual, dan (4) pengakuan stratifikasi sosial

Simpulan Fungsi Genjek Karangasem, yakni meliputi: fungsi mengenang masa lalu, pendidikan, hiburan, solidaritas antaretnis, pengendalian sosial, protes sosial, dan fungsi religius. Fungsi- fungsi tersebut berlaku bagi pendukung genjek tersebut dan pendengar lainnya. Fungsi menge- nang masa lalu pada hakikatnya sudah tercakup dalam fungsi hiburan. Fungsi genjek yang paling utama dan masih bertahan sampai dewasa ini adalah fungsi hiburan. Makna Genjek Karangasem, yakni meliputi: makna kasih sayang, ritual, pengakuan adanya stratifikasi sosial, dan makna kesadaran kolektif.

~ 231 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Ahyar. 2010. Teori Sosial Sastra. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Berger, Athur Asa. 2010. Pengantar Semiotika:Tanda-Tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana. Carter, David. 2006. Literary Theory. Great Britain: Cox & Wyman, Reading. Damono, Sapardi Djoko. 2003. Sosiologi Sastra. Semarang: Magister Ilmu Susastra Undip. Damono, Sapardi Djoko. 2009. “Kita dan Sastra Dunia.” Makalah Seminar Nasional Bahasa, Sastra, dan Budaya. Tanggal 29 Oktober 2009: Fakultas Ilmu Budaya, Undip, Semarang. Djojosuroto, Kinayati. 2007. Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher. Gunayasa, Ida Bagus Kade. 2010. Cepung Sasak: Tradisi Lisan di Lombok Nusa Tenggara Barat. Hoed, Benny H. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu. Hutomo, Suripan Sadi. 1988. Sastra Indonesia sebagai Sastra Pemersatu Susastra Daerah Bangsa Indonesia. Jakarta : Depdikbud. Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara yang Terlupakan. Malang: Yayasan Mitra Alam Sejati. Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Kutha Ratna, I Nyoman. 2007. Sastra dan Cultural Studies. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mandey, Steven. 2013. “Teks Syair Lagu dalam Tarian Maengket Etnik Tombulu: Analisis Wacana Naratif.” Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Udayana, Denpasar Meinindartato Wel. 2009. Gambang Rancag Teori Formula dalam Tradisi Lisan Pantun Betawi. Jurnal Aswara. Sari, Darwan. 2011. Revitalisasi Tradisi Lisan Kantola Masyarakat Muna Sulawesi Tenggara Pada Era globalisasi. Tesis. Program Pascasasrjana. Universitas Udayana. Sibarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal. Hakekat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan. Sobur, Alex. 2009. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Soekanto, Soerjono. 1988. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: CV. Rajawali. Sugihastuti. 2002. Teori dan Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sumardjo, Jakob. 1979. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: Nur Cahaya Wellek, R. & Warren, A. 1977. Theory of Literature. Diterjemahkan oleh Melani Budianta dengan judul Teori Kesusastraan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama Zoest, Art Van. 1993. Semiotika. Tentang Tanda, Cara Kerjanya, dan Apa Kita Lakukan Dengannya ( Ani Sukwati. Penterjemah). Jakarta: Yayasan Sember Agung

~ 232 ~ REPRESENTASI PENGHORMATAN DALAM RITUAL PAKI KABA MASYARAKAT LEMBUR KECAMATAN KOTA KOMBA KABUPATEN MANGGARAI TIMUR

Imelda Oliva Wisang Universitas Flores Email: [email protected]

ABSTRACT Language has a role to translate the values, norms of a particular community, such as in public life Overtime, district Komba City, East Manggarai district in paki kaba ritual that represents the value of respect for the life of local communities. Respect is one of the noble values, cultural values ​​that are passed through various activities, ceremonies, traditional rituals performed in a certain ethnic regions. Respect revealed in the local language and representation of respect can be seen through the customary expression used, as in ritual paki kaba. Ritual paki kaba is a ceremony organized by the citizens of Manggarai in the tribe in this community subdistrict Overtime Komba City East Manggari district to provide a sense of respect for the ancestors. Kaba paki ritual is viewed by society as something sacred Manggarai are revealed in the customary expression used during the ceremony. This ritual is carried out on a large scale, requires preparation, attended by the whole family, is an opportunity to reunite families who had been living apart. This ritual was prepared with the specified time period, for example, within two years or more according to the agreement extended family. Ritual paki kaba that diaksanakan Overtime community subdistrict of East Manggarai district of Kota Komba is a representation of respect for God, ancestors, others, self, own, nature, and animals or pets.

Keywords: representation, ritual, paki kaba

Pendahuluan Tulisan ini membahas tentang representasi penghormatan dalam ritual paki kaba pada masyarakat Lembur kecamatan Kota Komba kabupaten Manggarai Timur. Penghormatan merupakan salah satu nilai luhur, nilai budaya yang diwariskan melalui berbagai kegiatan, upacara, ritual adat yang dilaksnanakan etnis tertentu dalam sebuah wilayah, yang dapat diketahui melalui tuturan atau bahasa yang digunakan yang merupakan simbol dari penghormatan. Bahasa adalah sarana untuk sosialisasi, pewarisan nilai, dan untuk menyebarluaskan informasi. Bahasa dalam hal ini menyimpan sistem nilai (Honey dalam Sumjati, 2001:51). Bahasa daerah mempunyai peranan penting dalam kehidupan bangsa Indonesia. Sebagian besar pemakai bahasa Indonesia masih memakai bahasa daerah, sebagai bahasa ibu. Dengan demikian jelas bahwa bahasa daerah sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat daerah tertentu (Kridalaksana, 1985:121). Bahasa daerah dengan peran menerjemahkan nilai, norma suatu masyarakat tertentu, seperti yang dilaksanakan oleh masyarakat Lembur, kecamatan Kota Komba kabupaten Manggarai Timur dalam ritual paki kaba. Tuturan adat dalam ritual paki kaba sangat potensial memberikan makna dan nilai sekaligus menunjukkan karakteristik masyarakat setempat yang memegang teguh prinsip untuk membentuk sikap, cara pandang, presepsi, dan konsepsi- konsepsi tentang relasi (hubungan) yang harmonis antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan leluhur, dan dengan Sang Pencipta. Ritual paki kaba adalah suatu upacara yang diselenggarakan oleh anggota masyarakat dalam satu suku dalam hal ini masyarakat Lembur kecamatan kota komba kabupaten Manggari ~ 233 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Timur untuk memberikan rasa penghormatan terhadap arwah para leluhur yang dalam bahasa setempat disebut kelas. Sarong (2012: 6) mengatakan ritual paki kaba dalam upacara kelas termasuk seremoni paling meriah karena melibatkan banyak orang, serta menyita harta dan waktu tidak sedikit. Puncak upacara kelas dengan hewan kurban kerbau ditandai doa mistis bernama tola kaba, yakni panjatan doa krepada leluhuer dan Wujud Tertinggi. Di waktu lalu, kelas dengan hewan kurban kerbau hanya dilakukan oleh lingkungan keluarga terpandang. Belakangan upacara serupa dapat dilakukan oleh siapa saja (masyarakat biasa) yang mampu. Ritual ini dilaksanakan secara besar-besaran yang dihadiri oleh seluruh keluarga, sehingga dapat mempertemukan kembali keluarga yang selama ini tinggal berjauhan.

Kerangka Teori Representasi adalah proses sosial dari ‘representing’. Representasi menunjuk baik pada proses maupun produk dari pemaknaan suatu tanda. Representasi juga bisa berarti proses perubahan konsep-konsep ideologi yang abstrak dalam bentuk-bentuk yang kongkret. Jadi, pandangan-pandangan hidup tentang perempuan, anak-anak, atau laki-laki misalnya, akan dengan mudah terlihat dari cara memberi hadiah ulang tahun kepada teman-teman yang laki- laki, perempuan dan anak-anak. Begitu juga dengan pandangan-pandangan hidup terhadap cinta, perang, dan lain-lain akan tampak dari hal-hal yang praktis juga. Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia: dialog, tulisan, video, film, fotografi, dsb. Secara ringkas, representasi adalah produksi makna melalui bahasa (Hall, 1997:15). Menurut Hall (1997), representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut ‘pengalaman berbagi’. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia- manusia yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam ‘bahasa’ yang sama, dan saling berbagi konsep-konsep yang sama. Hall juga berargumentasi bahwa representasi harus dipahami dari peran aktif dan kreatif orang memaknai dunia, Hall menunjukkan bahwa sebuah imaji akan mempunyai makna yang berbeda dan tidak ada garansi bahwa imaji akan berfungsi atau bekerja sebagaimana mereka dikreasi atau dicipta. Bahasa adalah medium yang menjadi perantara dalam memaknai sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mampu melakukan semua ini karena ia beroperasi sebagai sistem representasi. Lewat bahasa (simbol-simbol dan tanda tertulis, lisan, atau gambar) dapat mengungkapkan pikiran, konsep, dan ide-ide tentang sesuatu. Makna sesuatu hal sangat tergantung dari cara individu merepresentasikannya. Dengan mengamati kata-kata yang digunakan dan imej-imej yang gunakan dalam merepresentasikan sesuatu bisa terlihat jelas nilai-nilai yang diberikan pada sesuatu hal tersebut, seperti nilai budaya. Daeng (2012: 44) mengatakan sistem nilai budaya merupakan sistem nilai yang berisi sejumlah pandangan mengenai soal-soal yang paling berharga dan bernilai dalam hidup. Karena itu disebut sistem nilai. Sebagai inti dari sustu sistem kebudayaan, sistem nilai budaya menjiwai semua pedoman yang mengatur tingkah laku warga pendukung kebudayaan yang bersangkutan. Pedoman tingkah laku itu adalah adat istiadatnya, sistem normanya, aturan etikanya, aturan moralnya, aturan sopan santunnya, pandangan hidup, ideologi pribadi. Untuk menjelaskan bagaimana representasi makna lewat bahasa bekerja, bisa dipakai tiga teori representasi Pertama adalah pendekatan reflektif. Di sini bahasa berfungsi ~ 234 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature sebagai cermin, yang merefleksikan makna yang sebenarnya dari segala sesuatu yang ada di dunia. Kedua adalah pendekatan intensional, dimana manusia menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan sesuatu sesuai dengan cara pandang terhadap sesuatu. Ketiga adalah pendekatan konstruksionis. Dalam pendekatan ini dipercaya bahwa individu mengkonstruksi makna lewat bahasa yang dipakai.

Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian tentang tuturan adat pada ritual paki kaba yaitu pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif dimana data untuk mengumpulkan data penelitian berdasarkan natural setting yaitu data diambil dari latar alamiah yang mendeskripsikan representasi penghormatan dalam ritual paki kaba pada masyarakat Lembur kecamatan Komba kabupaten Manggarai Timur dengan paradigma penelitian menganut logika induktif berdasarkan data, fakta dan fenomena. Data dalam Penelitian ini menggunakan data lisan berupa ungkapan adat dalam upacara paki kaba masyarakat Lembur kecamatan Kota Komba kabupaten Manggarai Timur. Data diperoleh dari sumber data diperoleh dari nara sumber yakni Ga’e Torok dan masyarakat Lembur yang mengerti tentang tuturan adat ritual paki kaba. Data diambil dengan menggunakan metode simak dan cakap (Mahsun, 2005: 94).. Data dianalisis dengan menggunakan teknik induksi- deduksi analisis tentang representasi penghormatan dalam ritual paki kaba masyarakat Lembur Kecamatan Kota Komba Kabupaten Manggarai Timur. Data disajikan secara informal sesuai tujuan penulisan.

2.Pembahasan 2.1.Representasi penghormatan dalam ritual Paki Kaba Masyarakat Lembur kecamatan Kota Komba kabupaten Manggarai Timur Representasi penghormatan dalam ritual Paki Kaba sebagai berikut; 1. Penghormatan kepada Tuhan Pada tempat yang paling pertama dan merupakan yang utama, seluruh masyarakat berkumpul untuk memberikan penghormatan kepada Tuhan Sang Pencipta, seperti berikut;

Mori agu ngaraN ata dedek tanah wa’ agu awang eta’ Tuhan dengan Pemilik cipta tanah bawah dan langit atas ‘Tuhan pemilik dan pencipta langit dan bumi’ Lezo’ghi nggami tombo, dama denge le Gau Hari ini kami bicara supaya dengar oleh Engkau ‘Hari ini kami bicara agar Engkau dengar’ Tegi’ le nggami kaping Gau Minta oleh kami pada Engkau ‘Kami mohon padaMu’ Kami muzi mai paka bheka sama manga bhok sama olo Kami belakang datang harus kembang sama ada rimbun sama dulu ‘Kami berharap agar keturunan kami berkembang dan hidup melimpah’ Tegi le nggami paka zari pening naang Minta oleh kami harus jadi peliharaan ‘Kami berharap agar hewan peliharaan berkembang biak’

~ 235 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature 2.Penghormatan kepada leluhur Leluhur dalam kepercayaan masyarakat Lembur hadir sebagai penjaga, pelindung, pemelihara hidup seperti dalam ungkapan;

Pinga di’a le meu sena’ Dengar baik oleh kamu sana ‘Dengarlah kalian yang ada di sana’ Ne razan tara tombo de kami kaping meu wura seki lembur Itu sebab hingga bicara kami pada kamu nenek moyang lembur’ ‘Sekarang kami sampaikan kepada semua leluhur lembur Dama sakil naki rudha raza dewura seki lembur Agar habis hutang sampai sebab nenek moyang lembur’ Supaya bebas dari hutang budi kepada leluhur kampung lembur’ Sama tughi kole meu wura seki lembur Sama itu juga kamu nenek moyang lembur ‘Kalian semua leluhur kampung lembur’

3. Penghormatan kepada sesama Representasi penghormatan kepada sesama terungkap seperti berikut;

Mai di’i neki’ weki sama ranga agu nggami Mari duduk gabung badan sama muka dengan kami ‘mari kita duduk berkumpul bersama’ W ee see natar raka sama raka lama Kembali ke kampung gembira sama gembira lama ‘Kembali ke kampung halaman selalu membawa kegembiraan’ One weki embo ta lami tana taki hiang tana siwal, Dalam badan cucu yang jaga tanah tetap puja tanah kerja. ‘Kita saling membantu dalam bekerja untuk kemajuan tanah kita’

4. Penghormatan terhadap diri

W eki kombo besi, ulu watu sila Badan balut besi kepala batu keras ‘Menjaga badan tetap sehat paya bisa bekerja keras’

Dama neka lasan ranga agu beti weki Agar jangan panas muka dengan sakit badan ‘Segala macam sakit penyakit agar dijauhkan’ W a’i mbesa tana, sapu tozok awang Kaki sentak tanah destar lurus langit ‘Berpendirian teguh berjuang mencapai tujuan hidup’

Representasi penghormatan terhadap diri dalam ungkapan di atas merupakan ungkapan percaya kepada diri yang memiliki kekuatan, kemampuan, potensi untuk berjuang dalam hidup hingga mencapai apa yang dicita-citakan.

~ 236 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

5. Penghormatan terhadap alam Penghormatam kepada alam sebagai ciptaan Tuhan yang memberi hidup dan menyediakan kebutuhan yang diperlukan terungkap sebagai berikut;

Duat we’an uma uwa ne uma Pergi luar kebun tua di kebun ‘Tanaman di kebun membantu bersikap bijak’ W ee see natar raka sama raka lama Kembali ke kampung gembira sama gembira lama ‘Pulang ke kampung selalu membawa kegembiraan’

Tana taki hiang tana siwal Tanah tetap puja tanah kerja ‘Tanah kelahiran tetap dijaga dan digarap’ W a’i mbesa tana, sapu tozok awang Kaki sentak tanah destar lurus langit ‘Berani serta rajin menggarap tanah untuk tujuan luhur’

6. Penghormatan terhadap hewan peliharaan Ungkapan penghormatan terhadap hewan atau binatang peliharaan sebagai berikut;

Ne le wawi agu kaba podho de kami Itu sana babi dengan kerbau hantar kami ‘Hewan ini sebagi persembahan kehormatan dari keluarga’ W awi soleng wulu kaba tapang rangga Babi lilit bulu kerbau keras tanduk ‘Hewan persembahan yang pantas seperti babi dan kerbau’

Ne le’ ela agu kaba Itu sana babi dengan kerbau ‘Itu semua wujud persembahan dari warga suku’

W awi weghar agu kaba bazar Babi pisah dengan kerbau bayar ‘Wujud perpisahan antara yang mati dengan yang hidup’

Penutup Penghormatan merupakan nilai budaya, nilai luhur yang diwariskan dari generasi ke generasi dalam etnis tertentu melalui berbagai kegiatan budaya seperti ritual adat sebagaimana yang dilakukan masyarakat Lembur kecamatan Kota Komba kabupaten Manggarai Timur dalam ritual paki kaba. Tuturan adat yang digunakan dalam ritual paki kaba yang diaksanakan masyarakat Lembur kecamatan Kota komba kabupaten Manggarai Timur merupakan merupakan representasi dari penghormatan terhadap Tuhan, leluhur, sesama, diri sendiri, alam, dan hewan atau binatang piaraan.

~ 237 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature KEPUSTAKAAN

Daeng, J. Hans. 2012. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hall, Stuart. 1997. Representation: Culture Representation and Signfying Practies. Britain: The Open University. Kridalaksana, H. 1985. Pengembangan Ilmu Bahasa Dan Pembimbingan Bahasa. Ende : Nusa Indah. Liliweri, A. 2004. Dasar- Dasar Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mahsun, M. S. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Mataram. Sarong, Frans. 2013. Serpihan Budaya NTT. Maumere: Penerbit Ledalero. Sumjati, As. 2001. Manusia dan Dinamika Budaya. Yogyakarta : BIGRAF

~ 238 ~ VARIASI LEKSIKON BAHASA SASAK DALAM KONTEKS KEBERAGAMAN BAHASA LOKAL SEBAGAI AKAR BAHASA NASIONAL

Irma Setiawan Universitas Udayana e-mail: [email protected]

ABSTRAK Variasi leksikon merupakan keberagaman dan kekayaan kosakata yang dimiliki oleh suatu suku bangsa, salah satunya pada Suku Sasak yang mendiami Pulau Lombok. Dalam perkembangannya, keberagaman kosakata bahasa lokal menunjukkan tingkat kekayaan lingual. Untuk itu, dalam penelitian ini permasalah yang ditelaah berupa bagaimanakah variasi leksikon bahasa Sasak dalam kaitannya sebagai akar pembentukan bahasa nasional? Sejalan dengan itu, tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan ragam atau variasi leksikon yang bermakna sama dalam leksikon bahasa Indonesia. Misalnya, leksikon “lempar” memiliki tiga variasi leksikon dalam bahasa Sasak (lempar → amet, pelentong/pelewas, dan rambu). Dalam pada itu, variasi leksikon juga menunjukkan identitas objek acuan bahasa, seperti leksikon amet, pelentong/pelewas, dan rambu mengacu pada tindakan “melempar”, tetapi secara objek acuan yang digunakan untuk melempar berbeda. Data yang terkumpul diperoleh melalui metode simak dan cakap (wawancara) serta teknik dasar dan turunannya, metode observasi, dan metode dokumentasi. Sumber data diperoleh dari para penutur Sasak. Data yang terkumpul dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif guna mendeskripsikan penelitian secara sistematis, kategorisasi, dan terpola. Data disajikan secara formal dan informal. Pada akhirnya, penelitian ini menghasilkan kekayaan variasi leksikon bahasa suatu suku bangsa di Indonesia.

Kata kunci: variasi, leksikon, bahasa Sasak, dan bahasa nasional.

A. PENDAHULUAN Setakat ini, fenomena variasi leksikon bahasa daerah yang bersifat divergen (menyebar) dan dinyatakan dalam satu leksikon menjadi keunikan bahasa daerah sebagai akar rumput bahasa nasional, yakni bahasa Indonesia. Berbagai konteks dan bingkai pengiring dapat memengaruhi pembentukan makna suatu leksikon. Suatu leksikon dalam bahasa Indonesia dapat bermetamorfosis menjadi beberapa leksikon ke dalam bahasa daerah. Namun, terdapat perbedaan yang unik, yakni terletak pada lingkup makna setiap variasi leksikonnya. Hal ini berpotensi terjadi dikarenakan adanya interaksi bahasa dan masayarakat sebagai penutur bahasa itu sendiri. Wijana (2006:15) telah menegaskan fenomena di atas, sebagai bnetuk interaksi bahasa dengan masyarakat yang terjalin melalui tiga cara, yaitu bahasa mempengaruhi masyarakat, masyarakat mempengaruhi bahasa, dan bahasa dan masyarakat saling mempengaruhi satu sama lainnya. Sikap kreatif penutur dan sifat bahasa yang dinamis memungkinkan suatu leksikon bahasa nasional akan memiliki ragam atau variasi leksikon dalam bahasa daerah. Masyarakat sebagai pemakai atau pengguna bahasa, khususnya bahasa daerah, tentu memicu fragmentasi leksikon yang memiliki ragam makna. Pemaknaan suatu leksikon juga tidak terlepas atas konteks. Eggins (2004:86) berpandangan bahwa teks tidak dapat ditafsirkan sama sekali, kecuali dengan mengacu pada konteks. Relevansinya bahwa suatu makna bahasa juga terpengaruh oleh konteks yang membingkainya dalam masyarakat. Konteks membantu penutur atau pendengar dalam merealisasiskan makna konseptual yang dimuat pada setiap leksikon. Sebagain besar, variasi leksikon terletak pada dua konteks, yakni konteks tindakan dan konteks media.

~ 239 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Proses pembentukan variasi leksikon pada bahasa daerah juga termanifestasikan dalam kontak kedua bahasa, yakni bahasa daerah dan bahasa nasional. Foley (1997:384) menegaskan bahwa secara alamiah kontak antardua atau lebih kebudayaan (komunitas etnis) yang berbeda akan berakibat pada perubahan bahasa. Artinya, komunitas penutur bahasa Indonesia yang cakupannya luas tentu secara karakteristik memiliki perbedaan dengan bahasa daerah yang komunitas penuturnya cenderung berhierarki. Sifat bahasa nasional sebagai pemersatu dan bahasa daerah sebagai identitas kelokalan dan akar rumput bahasa nasional telah menjadikan suatu komunitas etnis (suku Sasak) memiliki ragam atau variasi leksikon. Pada leksikon bahasa pergaulan sehari-hari terdapat ragam leksikon yang cenderung mengacu pada satu makna dalam bahasa Indonesia. Di satu sisi sebagai bentuk kekayaan kelokalan suatu etnis, juga dapat menunjukkan identitas etnis yang bahasanya terbentuk melalui proses interaksi antara masyarakat dengan masyarakat lain dan antara masyarakat dengan bahasa atau bahasa dengan masyarakat. Melalui penelitian yang memfokuskan telaah pada judul Variasi Leksikon Bahasa Sasak dalam Konteks Keberagaman Bahasa Lokal Sebagai Akar Bahasa Nasional diharapkan dapat mendeskripsikan secara komprehensif beragam ihwal seputar variasi leksikon pada bahasa Sasak sebagai akar pembentuk bahasa nasional.

B. METODE PENELITIAN Pada penelitian ini, dibedakan dua bentuk pendekatan, yakni pendekatan penelitian dan pendekatan analisis. Pendekatan penelitian merupakan suatu paradigma peneliti dalam merekonstruksi bentuk atau sifat penelitiannya, sedangkan pendekatan analisis merupakan suatu paradigma peneliti dalam merekonstruksi bentuk analisis yang dipergunakan pada suatu leksikon. Pendekatan penelitian yang dipergunakan berupa pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipergunakan bersamaan dengan asumsi dasar sebagai upaya terbaik untuk mendapatkan pemahaman terhadap permasalahan penelitian secara mendalam (Denzin & Lincoln, 2000). Seting penelitian yang dipergunakan pada analisis teks pemberitaan kekerasan gender, berupa penentuan lokasi, populasi, maupun sampel penelitian tidak seperti penelitian pada umumnya, melainkan penelitian ini menelaah data berwujud leksikon. Sumber data yang dipergunakan dengan pengumpulan langsung dari pengamatan peneliti sebagai pemakai bahasa Sasak dan para penutur Sasak lainnya. Namun demikian, terkait dengan data penelitian, diperlukan beberapa sampel data yang representatif guna keterwakilan keseluruhan data, karena perlu untuk diperhatikan bahwa sampel data penelitian, cukup seseorang atau satu data tetapi representatif, sebaliknya, terlalu riskan jika data sampel hanya seseorang atau satu data saja, karena data yang diperoleh tidak bisa dikorelasikan silang demi keabsahannya. (Samarin, 1988); bandingkan dengan (Mahsun, 2007:29). Untuk itu, peneliti menetapkan data yang berwujud leksikon bahasa Sasak melalui tahapan, yakni tahap pertama dilakukan penetapan data dan kedua tahap analisis data yang terkumpul. Dalam penelitian ini, metode penyediaan data yang digunakan adalah metode lapangan karena data diperoleh melaui pencermataan di lapangan (Ratna, 2012:196). Hal ini dipergunakan guna pengumpulkan seluruh leksikon bahasa Sasak sehingga dapat menimbulkan variasi makna pada leksikon tersebut. Data yang terkumpul hanya bersumber pada leksikon bahasa sasak yang diligaturkan dengan pemkaian leksikon bahasa nasional. Teknik yang dipergunakan dalam pengumpulan data, yakni; teknik baca guna pencermatan dan pemolaan data dan teknik catat guna mendata dan melihat relasi, dalam hal ini adalah relasi setiap variasi leksikon dalam

~ 240 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature kebahasaan media tersebut (Ratna, 2012:245; bandingkan dengan Muhammad, 2011:168); bandingkan dengan Mahsun, 2007:131), teknik dokumentasi bertujuan untuk pengumpulan data penelitian yang bersumber pada pergaulan sehari-hari masyarakay Sasak (lihat Moleong, 2007:216). Di samping itu, dengan mencatat data, maka akan memudahkan untuk pengkategorian/ pemolaan, pengolahan transitivitas, modalitas, dan pendeskripsian muatan ideologi pada teks pemberitaan. Data dianalisis dengan metode kualitatif yang dipergunakan untuk melakukan kategorisasi dan pemolaan diksi yang menstereotipkan perempuan atau laki-laki dalam ragam leksikon bahasan Sasak. Tujuan analisis kualitatif untuk melakukan penyeleksian dan pengorganisasian yang rasional terhadap kategori-kategori yang ada sebagai makna utama pada teks tertentu (Titscher, dkk, 2009:106); bandingkan dengan Chadwick, dkk (1991:239). Dengan demikian, diperoleh gambaran yang jelas tentang variasi makna leksikon pada bahasa Sasak. Prosedur penganalisisan data kualitatif dilakukan dengan mengutip pernyataan Miles dan Huberman (1992:16); bandingkan dengan Emzir (2010) menyatakan bahwa tahapan penganalisisan data dapat dilakukan melalui tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu; reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi.

C. PEMBAHASAN Pada pembahasan penelitian ini, variasi leksikon dikategorikan ke dalam beberapa pola konteks pembeda makna. Data leksikon yang diperoleh berjumlah 29 data yang terbagi dalam dua kategori konteks pembagian, yakni 26 data konteks tindakan atau berdasarkan perlakuan dan 3 data konteks media atau berdasarkan alat. Adapun deskripsinya sebagai berikut.

1. Variasi Leksikon Berdasarkan Konteks Tindakan Variasi leksikon berdasarkan konteks tindakan merupakan perbedaan makna yang terjadi pada leksikon bahasa Sasak diakibatkan atas perbedaan perlakuan atau tindakan, tetapi memiliki kesatuan makna pada satu leksikon bahasa Indonesia. Lebih jelasnya dapat diperhatikan pada tabel 3.1 di bawah ini.

Tabel 3.1: Variasi Leksikon Berdasarkan Tindakan/Perlakuan No. Leksikon Bahasa Indonesia Variasi Leksikon Bahasa Sasak 1 Baik pacu [pacu] , solah [solah]. 2 Bau mambuq [ mambu?], benges [beŋɛs], bengu[beŋu]. 3 Cium siduk [siduk], ngambuk [ŋamuk]. 4 Cubit piles [piles], plenges [pleŋɛs], bintit [bintIt], tekik [tekik] 5 Diam tedoq [tedo?], momot [momɔ], meco [meco]. 6 Duduk tokol [tokɔl], nyontoq [ńontɔ?], ngesok [ŋeso?]. 7 Gigit karot [karot], tenggiq [teŋgi?], kakoq [kako?] 8 Hangat anget [aŋet], silu [silu], ering [eriŋ]. 9 Ikat taliq [tali?], buntut [buntUt], gantus [gantus]. 10 Ingin/mau melet [məlɛt], mele [melɛ]. 11 Jatuh teriq [teri?], nepak [nepak], kekalep [kekalep], nunsur [nunsur]. 12 Kaget/terkejut nengkejut [neŋkejut], kembelas [kembelas], tinjot [tinjot]. 13 Kencing meneq [menɛ?], ngacer [ŋacer]. 14 Lihat nyeret [ńɛret], ngindeng [ŋindeŋ], gitaq [gita?].

~ 241 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

15 Mandi mandiq [mandi?], nibu [nibu], besebur[ besebur]. 16 Marah sili [silI], gedeq [gede?]. 17 Nangis leliq [leli?], nangis [naŋis]. 18 Patuh matiq [mati?], tindih [tindih]. 19 Pegang tegel [təgel], entiq [enti?]. 20 Pukul pantok [pantok], jagur [jagur]. 21 Selimuti rungkup [ruŋkup], simbut [simbut]. 22 Siram sapeq [sape?], sebur [sebur], siram [siram]. 23 Tarik biteq [bite?], oros [oros], antuq [antu?]. 24 Terbang kekelep [kəkɛlɛp], kekeber [kəkəber]. 25 Teriak nyuraq [ńura?], nengkaing [neŋkaiŋ]. 26 Tidur tindoq [tindo?], begelaq [begela?], begoloq [begolɔ?].

Berdasarkan tabel 3.1 di atas terdapat beragam/variasi bentuk dan makna leksikon pada bahasa Sasak yang bersumber dari satu leksikon dalam bahasa Indonesia. Pada data 1, leksikon baik → pacu [pacu] ‘tindakan yang sesuai dengan nilai dan norma yang berwujud audio-visual’’, solah [solah] ‘lebih kepada sesuatu yang bersifat baik yang dapat teramati secara visual’. Data 2 → mambuq [ mambu?] ‘tindakkan yang sengaja dilakukan seseorang sehingga dapat menimbulkkan bau’, benges [beŋɛs] ‘benda atau hasil kreativitas seseorang yang menimbulkan bau’, bengu[beŋu] ‘tindakan seseorang yang yang menghasikan bau menyengat dan memusingkan’. Data 3 → siduk [siduk] ‘tindakan mencium yang dilakukan secara sengaja’, ngambuk [ŋamuk] ‘ tinddakan seseorang yang mencium bau/mewangian secara tidak sengaja’. Data 4 → piles [piles] ‘kegiatan mencubit yang dilakukan pada bagian pinggul’, plenges [pleŋɛs] ‘kegiatan mencubit yang dilakukan pada bagian telinga dengan cara memutar daun telinga’, bintit [bintIt]’kegiatan menarik daun telinga tanpa memutarnya’, tekik [tekik]’kegiatan mencubit yang biasanya dilaukan pada bagian paha dan lengan tangan’. Lebih lanjut, pada data 5 → tedoq [tedo?] ‘kegiatan berdiam diri dengan tunjukkan tanpa mengeluarkan suara’, momot [momɔ] ‘kegiatan berdiam diri yang ditunjukkan tanpa ada gerakan, meco [meco]’tindakan berdiam diri tanpa ada suara dan gerakan’. Data 6→ tokol [tokɔl] ‘kegiatan duduk di suatu tempat yang lazim, seperti kursi,dll.’, nyontoq [ńontɔ?] ‘kegiatan duduk yang dilakukan pada bagian tertinggi di suatu tempat, misalnya duduk diranting pohon,dll’ , ngesok [ŋeso?] ‘kegiatan duduk yang dilakukan dengan cara bersila di lantai, biasanya tanpa alas’. Data 7 → karot [karot] ‘kegiatan menggigit sesuatu benda dengan tujuan merobek/menyayat’, tenggiq [teŋgi?] ‘kegiatan menggigit yang dilakukan orang dengan tujuan memakan secara perlahan-lahan’, kakoq [kako?] ‘kegiatan menggigit yang bertujuan untuk memotong sesuatu benda’. Data 8 → anget [aŋet] ‘kegiatan memanaskan suatu benda dengan cara direbus ulang, ering [eriŋ] ‘kegiatan memanaskan suatu benda dengan cara dipanaskan pada suatu media yang menghasilkan panas’. Data 9→taliq [tali?] ‘kegiatan mengikat suatu benda dengan satu tali, buntut [buntUt] ‘kegiatan mengikat suatu benda dengan dua tali, gantus [gantus] ‘kegiatan mengikat benda dengan lebih dari dua tali yang bertujuan untuk mengumpulkan keseluruhan benda dalam satu ikatan’. Data 10→ melet [məlɛt]’ kegiatan yang bertujuan untuk menyukai seseorang yang masih dalam wujud angan-angan, mele [melɛ] ‘kegiatan menyukai seseorang yang diwujudkan dalam bentuk rencana dan tindakan’. Data 11 → teriq [teri?] ‘posisi jatuh dengan bagian kaki sebagai tumpuan badan’, nepak [nepak] ‘posisi jatuh dengan bagian pantat/ bagian tubuh belakang jadi tumpuan’, kekalep [kekalep] ‘posisi jatuh dengan bagian tubuh depan menjadi tumpuan badan, nunsur [nunsur] ‘posisi jatuh dengan bagian muka jadi tumpuan

~ 242 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature badan’. Data 12 → nengkejut [neŋkejut] ‘suatu keadaan seseorang yang terkejut karena adanya stimulus yang tidak ditahu/tiba-tiba’, kembelas [kembelas] ‘suatu keadaan seseorang yang terkejut karena adanya penampakan sesuatu benda yang menyeramkan’, tinjot [tinjot] ‘suatu keadaan terkejut yang paling parah, bahkan dapat berakibat stres berat pada penderita’. Data 13→ meneq ‘[menɛ?] ‘posisi kencing dengan duduk/lumrah’, ngacer [ŋacer] ‘posisi kencing dengan cara berdiri’. Data 14 → nyeret [ńɛret] ‘kegiatan melihat keberbagai arah dengan tujuan mengenali suatu hal’, ngindeng [ŋindeŋ] ‘kegiatan melihat dengan tujuan memahami sesuatu hal’, gitaq [gita?] ‘kegiatan melihat dengan tujuan hanya sekilas pandang saja’. Data 15→ mandiq [mandi?] kegiatan mandi dengan cara membasuh tubuh menggunakan centong’, nibu [nibu] ‘kegiatan membasuh tubuh dengan pada air yang mengalir deras’, besebur[ besebur] ‘kegiatan membasuh tubuh dengan cara menceburkan badan ke kolam,dll.’ Data 16 → sili [silI] ‘suatu kondisi marah yang ditunjukkan melalui suara’, gedeq [gede?] ‘suatu kondisi marah yang yang ditunjukkan melalui ekspresi’. Data 17 leliq [leli?] ‘kegiatan menagis dengan tersedu-sedu penuh kepiluan’, nangis [naŋis] ’seseorang yang menangis pada umumnya.’ Data 18→ matiq [mati?] ‘suatu tindakan yang menurut’, tindih [tindih] ‘suatu tindakkan yang patuh disertai tanggung jawab’. Data 19→ tegel [təgel] ‘suatu kegiatan memegang dengan tujuan agar tidak terlepas’, entiq [enti?] ‘tindakan memegang dengan tujuan untuk membawa sesuatu benda’. Data 20→ pantok [pantok] ‘kegiatan memukul dengan menggunakan suatu benda tumpul atau sejenisnya’, jagur [jagur] ’kegiatan memukul dengan menggunakan kepalan tangan/tangan’. Data 21→ rungkup [ruŋkup] ‘menyelimuti suatu benda secara keseluruhan’, simbut [simbut] ‘menyelimuti suatu benda secara sebagaian’. Data 22→ sapeq [sape?] ‘kegiatan menyiram dengan menggunakan panci’, sebur [sebur] ‘kegiatan menyiram dengan menggunakan centong’, siram [siram] ‘kegiatan menyiram dengan menggunakan ember’. Data 23→ biteq [bite?] ‘kegiatan menarik suatu benda dengan cara yang lazim’, oros [oros] ‘suatu kegiatan menarik benda dengan cara menarik-narik kesana kemari’, antuq [antu?] ‘suatu kegiatan menarik dengan cara sesekali tidak sering’. Data 24→ kekelep [kəkɛlɛp] ‘kegiatan terbang suatu benda di udara’, kekeber [kəkəber] ‘kegiatan terbang suatu benda dari keadaan diam kemudian terbang ke udara’. Data 25→ nyuraq [ńura?] ‘kegiatan berteriak pada umumnya’, nengkaing [neŋkaiŋ]’berteriak dengan menirukan suara hewan atau benda-benda tertentu’. Data 26→ tindoq [tindo?]’kegiatan tidur pada umumnya’, begelaq [begela?] ‘kegiatan tidur-tiduran’, begoloq [begolɔ?] ‘kegiatan merebahkan badan dan bukan dimaksudkan untuk memejamkan mata’.

2. Variasi Leksikon Berdasarkan Konteks Media Variasi leksikon berdasarkan konteks media/alat merupakan perbedaan makna yang terjadi pada leksikon bahasa Sasak diakibatkan atas perbedaan penggunaan media/alat, tetapi memiliki kesatuan makna pada satu leksikon dalam bahasa Indonesia. Rincinya dapat diperhatikan pada tabel 3.2 di bawah ini.

Tabel 3.2: ariasi Leksikon Berdasarkan Konteks Media No. Leksikon Bahasa Indonesia Variasi Leksikon Bahasa Sasak 1 Lempar amet [amet], pelentong [pelentoŋ], pelewas [pelɛwas], rambu [rambu] 2 Tangga anjah [anjah], undak-undak [undak-undak] 3 Bakar sedut [sedut], tunuq [tunU?].

~ 243 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Berdasarkan tabel .2 di atas, dapat dicermati bahwa variasi leksikon pada setiap data, di antaranya data 1→ amet [amet] ‘melempar benda dengan menggunakan batu’, pelentong [pelentoŋ] ‘melempar dengan menggunakan piring dan sejenisnya’, pelewas [pelɛwas] ‘melempar dengan menggunakan balok kayu atau sejenisnya’, rambu [rambu]’melempar dengan menggunakan pasir’. Data 2→ anjah [anjah] ‘tangga yang terbuat dari bambu dan sejenisnya’, undak-undak [undak-undak] ‘tangga yang terbuat dari semsen atau tembok beton’. Data 3→ sedut [sedut] ‘membakar tumpukan benda/sampah’, tunuq [tunU?] ‘membakar satu benda atau sehelai sampah’. Kedua variasi di atas, yakni ragam leksikon berdasarkan benda dan leksikon berdasarkan medi/alat memiliki kesamaan yang membedakan makna dalam bahasa Sasak, tetapi tetap satu wujud leksikon pada bahasa Indonesia. Di samping itu, variasi leksikon dapat memperlihatkan kerincian suatu label/pelabelan istilah dalam bahasa daerah.

D. SIMPULAN DAN SARAN Terkait dengan pembahasan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa variasi leksikon yang terjadi pada bahasa daerah merupakan suatu bentuk perincian secara detail yang terdapat pada bahasa Sasak. Bahasa daerah memiliki variasi makna yang dibentuk berdasarkan konteks. Sesuai dengan data temuan, konteks terbagi dalam dua bentuk, yakni leksikon berkonteks tindakan dan leksikon berkonteks media/alat. Keberagaman leksikon, juga menunjukkan tingkat kekayaan leksikon suatu bahasa daerah dalam kedudukannya sebagai akar bahasa nasional. Pada penelitian ini, peneliti menyarankan kepada peneliti selanjutnya agar lebih merincikan motif atau sebab tindakan atau penggunaan media yang mengakibatkan perbedaan makna leksikon, sehingga pada akhirnya dapat memberikan kontribusi nyata terhadap pembendaharaan bahasa nasional.

E. DAFTAR PUSTAKA

Chadwick, Bruce A., dkk.. 1991. Metode Penelitian Ilmu Pengetahuan Sosial. Diterjemahkan oleh Sulistia dkk. dari judul Social Science Reseacrh Methods. Semarang: IKIP Semarang Press. Denzin, Norman K. & Yvona S. Lincoln. 2000. Handbook of Qualitative Research. London: Sage Publication. Eggins, Suzanne. 2004. An Introducing to Systemic Functional Linguistics. London: Continuum. Emzir. 2010. Metode Penelitian Kualitatif: Analisis Data. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Mahsun. 2007. Edisi Revisi: Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Moeleong, Lexy J.. 2007. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Muhammad. 2011. Metode Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Ar-Ruzzmedia. Miles, Matthew B. Dan A. Michael Huberman.1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode- metode Baru. Diterjemahkan oleh Tjejep Rohendi R. Jakarta: UI-Press. Ratna, Nyoman Kutha. 2012. Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Samarin, W. 1988. Ilmu Bahasa Lapangan. Seri ILDEP. Yogyakarta: Kanisius. Titscher, Stefan, dkk.. 2009. Metode Analisis Teks dan Wacana. Diterjemahkan oleh Gazali dkk (Editor Abdul Syukur Ibrahim) dari Judul Methods of Text and Discourse Analysis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wijana P., Dewa I, et.al.. 2006. Sosiolinguistik; Kajian Teori dan Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

~ 244 ~ VARIASI LEKSIKAL AJUNG WAKTU BAHASA BALI DALAM KUMPULAN CERITA PENDEK “BELOG”

Ketut Widya Purnawati Program Studi Bahasa dan Sastra Jepang Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana [email protected]

ABSTRACT This paper aims at finding lexical variation on Balinese temporal adjunct. Temporal adjunct is used to express time in a clause or in a sentence. Temporal adjunct discussed in this paper are limited only to words or phrases as temporal adjunct in a clause. Data source used in this paper is short story collection entitled “Belog” written by Tudékamatra. This short story collection contains lots of temporal adjunct in different variation. Collected data analyzed qualitatively by using descriptive synchronic research method. According to data analysis, it is found that temporal adjunct variation in Balinese can be grouped into two different classifications. First variation occurs due to social status influence and second variation occurs in order to give different nuances.

Keywords: temporal adjunct, lexical, word, phrase, clause

PENDAHULUAN Ekspresi temporal dalam suatu bahasa dapat disampaikan secara leksikal, morfologis, maupun kontekstual. Ketiga hal tersebut dapat dijabarkan menjadi enam tipe seperti yang dikemukakan oleh Klein (2009), yaitu kala, aspek, aktionsart (makna temporal yang terkandung dalam verba), adverbia temporal, partikel temporal, prinsip wacana. Penelitian mengenai pengodean waktu cenderung dilakukan dengan meneliti kala, aspek, dan aktionsart dalam suatu bahasa. Penelitian mengenai adverbia temporal sangat sedikit dilakukan, padahal sebenarnya adverbia temporal merupakan pengodean waktu yang memiliki distribusi paling luas. Selain karena terdapat dalam semua bahasa, adverbia temporal juga dapat menyatakan berbagai ekspresi temporal dengan variasi yang jauh lebih banyak. Dalam bahasa Bali, ekspresi temporal cenderung diungkapkan secara leksikal, yaitu dengan penggunaan adverbia temporal untuk mengisi posisi ajung waktu dalam kalimat. Untuk menyatakan suatu waktu tertentu, ajung waktu dapat dinyatakan dengan menggunakan leksikon berbeda yang mengacu pada makna waktu yang memiliki kemiripan. Dalam penelitian ini, ajung waktu yang dibahas terbatas hanya pada ajung waktu yang terdapat dalam klausa, sehingga satuan yang mungkin muncul hanyalah yang berupa kata atau frasa. Ajung waktu yang berupa klausa temporal dalam satuan kalimat tidak dibahas dalam tulisan ini. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dirumuskan bahwa masalah yang akan dibahas pada tulisan ini adalah bagaimanakah variasi leksikal ajung waktu bahasa Bali yang ditunjukkan oleh kata atau frasa dalam suatu klausa.

METODE PENELITIAN Data yang dipergunakan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menyimak kumpulan cerpen yang berjudul “Belog” yang ditulis oleh Tudékamatra dan diterbitkan oleh Pustaka

~ 245 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Ekspresi tahun 2014. Kumpulan cerpen ini dipilih sebagai sumber data karena memuat kalimat yang kaya dengan ajung waktu yang variatif. Data dikumpulkan dengan mempergunakan metode simak dan dibantu dengan teknik catat. Data yang telah dikumpulkan selanjutnya dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode penelitian deskriptif sinkronik. Analisis data dilakukan berdasarkan rumusan masalah yang telah ditentukan.

PEMBAHASAN Ajung merupakan suatu konstituen tambahan dalam kalimat. Kemunculannya bersifat opsional karena ajung tidak diperlukan untuk menyempurnakan makna predikat meskipun memiliki kontribusi terhadap makna kalimat secara keseluruhan. Ajung dapat digandakan secara bebas dan tidak memiliki batasan pilihan, sehingga sebuah kalimat bisa saja memiliki lebih dari satu ajung. Ajung tidak berkaitan dengan makna predikat karena bukan merupakan argumen suatu verba predikat. (Kroeger, 2004: 10-11). Sesuai dengan fungsinya, yaitu untuk menyatakan suatu informasi semantis seperti waktu, sikap, tujuan, dan sebagainya, maka ajung dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, salah satunya adalah ajung waktu. Ajung waktu merupakan ajung yang berfungsi sebagai pemarkah waktu dalam suatu klausa atau kalimat. Dalam sebuah klausa, ajung waktu dapat diisi oleh kata atau frase yang secara semantis memiliki makna yang menunjukkan waktu. Secara semantis, kata atau frase yang berfungsi sebagai ajung waktu dalam suatu klausa dapat dibedakan menjadi lima, yaitu: kata yang menunjukkan pergantian waktu, kata yang menunjukkan spesifikasi waktu tertentu (definit), kata yang menunjukkan frekuensi, kata yang menunjukkan durasi, dan kata yang berkaitan dengan ekspektasi (Dixon, 2010: 121; 2012:20). Dalam sebuah klausa, ajung waktu yang muncul dapat lebih dari satu. Dari data yang dikumpulkan ditemukan bahwa sebuah klausa dapat diisi oleh dua atau lebih ajung waktu yang secara semantis bisa saja memiliki spesifikasi sama atau bisa juga berbeda. Beberapa ajung waktu yang mengacu pada suatu waktu tertentu dapat disampaikan dengan leksikon yang berbeda. Penggunaan leksikon yang berbeda menunjukkan adanya variasi leksikal ajung waktu. Berdasarkan data yang didapat, dalam Bahasa Bali ditemukan variasi yang dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu variasi karena adanya pengaruh status sosial penutur dan lawan tutur dan variasi untuk memberikan nuansa yang berbeda.

Variasi Leksikal karena Pengaruh Status Sosial Dalam bahasa Bali dikenal adanya istilah sor singgih bahasa. Penutur dari status sosial yang lebih rendah cenderung berbicara dengan bahasa sopan kepada lawan tutur dengan status sosial yang lebih tinggi atau orang yang dihormati karena usianya yang lebih tua. Adverbia yang dapat berfungsi sebagai pengisi ajung waktu dalam bahasa Bali memiliki leksikon yang dapat membedakan bahasa sopan dan bahasa biasa. Adverbia dalam bahasa Bali sebagai kelas kata pengisi ajung waktu memiliki variasi untuk mengungkapkan waktu dalam tingkatan bahasa biasa dan bahasa sopan. Pada data berikut terlihat variasi ajung waktu yang termasuk ke dalam spesifikasi leksikal yang menunjukkan pergantian waktu.

1. Gusti Ngurah i wawu nabrak trek nika. NAMA DEF. baru saja menabrak truk PEMARKAH SOPAN ‘Gusti Ngurah baru saja menabrak truk.’ (Suud: 30)

~ 246 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

2. Made Budi mara pesan enten uli sirep-né. NAMA baru saja bangun dari tidur-nya ‘Made Budi baru saja bangun dari tidurnya.’ (Sing Nyak: 43)

Pada data (1) dan (2) terlihat variasi ajung waktu yang menunjukkan makna bahwa suatu kejadian baru saja terjadi. Ajung waktu tersebut masing-masing diisi oleh i wawu dan mara pesan. Secara semantis, adverbia ini termasuk ke dalam spesifikasi yang menunjukkan ekspektasi. Pada data (1), ajung waktu diisi oleh kata wawu yang dilengkapi dengan pemarkah definit i untuk menunjukkan suatu waktu tertentu, sehingga ajung waktu i wawu dapat menunjukkan suatu titik waktu tertentu yang baru saja terlewati. Bentuk ini digunakan karena subjek pada kalimat tersebut diisi oleh nomina yang berupa nama orang, yaitu Dewa Aji. Dalam masyarakat Bali, panggilan ini mengacu pada sebutan seorang laki-laki dari kelas sosial yang dihormati, sehingga ajung waktu yang dipergunakan pun dalam bentuk sopan. Hal tersebut berbeda dengan ajung waktu pada (2) yang diisi oleh mara pesan ‘baru saja’. Kata ini menunjukkan makna bahwa suatu kejadian baru saja terjadi. Subjek pada kalimat tersebut yang diisi oleh nomina yang berupa nama orang, yaitu Made Budi, sehingga ajung waktu yang dipergunakan pun dalam bentuk biasa. Nama “Made” dalam masyarakat Bali menunjukkan bahwa seseorang berasal dari golongan rakyat kebanyakan. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa dalam percakapan lain, meskipun nama yang dipergunakan sama, yaitu Made Budi, tetapi ajung waktu yang dipergunakan adalah bentuk sopan. Hal itu mungkin terjadi karena situasi pembicaraan mengharuskan penutur untuk menghormati seseorang yang bernama Made Budi karena status sosialnya dalam pekerjaan atau masyarakat yang menyebabkan orang tersebut harus dihormati, misalnya karena memangku suatu jabatan penting di masyarakat atau memiliki jasa pada seseorang atau kelompok masyarakat tertentu. Variasi leksikal akibat perbedaan status sosial tersebut terlihat pula pada data (3) dan (4). Pada data (3) dan (4) variasi tersebut ditunjukkan oleh ajung waktu yang diisi oleh adverbial temporal mangkin ‘sekarang’ dan jani ‘sekarang’. Ajung waktu ini termasuk ke dalam spesifikasi temporal yang menunjukkan pergantian waktu. Pada data (3) ajung waktu diisi oleh adverbia temporal mangkin karena lawan tutur pada kalimat tersebut adalah Gusti Aji, yaitu seseorang yang memiliki kelas sosial yang dihormati. Hal tersebut berbeda dengan data (4) yang tidak melibatkan penutur atau lawan tutur dari kelas yang berbeda atau usia yang berbeda, sehingga adverbial temporal yang mengisi posisi ajung waktu hanya diisi dengan kata jani ‘sekarang’.

3. Gusti Aji, mangkin titiang jagi mapamit. (Suud: 31) NAMA sekarang saya akan permisi ‘Gusti Aji, sekarang saya akan permisi.’

4. Jani ia perlu pesan tekén raga-n Gék-e. (Galah Siduri: 9) Sekarang 3TG perlu sekali dengan diri-POSS 2TG-DEF ‘Sekarang dia perlu sekali dengan dirimu.’

Variasi untuk Memberikan Nuansa yang Berbeda. Beberapa adverbia yang berfungsi sebagai pengisi ajung waktu memiliki makna yang serupa, tetapi dengan nuansa yang berbeda. Pada data (5) dan (6) terdapat adverbia ngénggalang dan ngéncolang yang sama-sama mengandung arti ‘cepat-cepat’. Namun kedua kata ini memiliki nuansa makna yang berbeda. Ngénggalang menunjukkan makna bahwa suatu aktifitas dilakukan dengan cepat, sedangkan ngéncolang menunjukkan makna bergegas. Ngénggalang berasal dari

~ 247 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature kata énggal, sedangkan ngéncolang berasal dari kata éncol. Kedua kata ini mengalami proses afiksasi dengan penambahan konfiksng–ang .

5. Komang Suari ngénggalang pesu uli paon. (Peteng: 51) NAMA cepat-cepat keluar dari dapur. Komang Suari cepat-cepat keluar dari dapur.

6. Ngéncolang ipun macelep. (Suud: 36) Cepat-cepat 3 TG masuk Cepat-cepat dia masuk.

Pada data (7) terdapat juga kata ngénggalang ‘mempercepat’. Kata ini memiliki sedikit perbedaan apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dilihat dari struktur kalimatnya, kata ngénggalang pada data (7) tidak dapat disebut sebagai ajung waktu, karena kata ini hanya bisa berada di depan kata tindakané, sedangkan sifat ajung waktu adalah lebih fleksibel, bisa berada di depan kalimat atau posisi lain setelah subjek kalimat.

7. Komang Suari ngénggalang tindakan-é majalan pesu uli umahé ento. NAMA mempercepat langkah-POSS berjalan keluar dari rumah itu Komang Suari mempercepat langkahnya berjalan keluar dari rumah itu. (Peteng: 52)

Pada data (8) dan (9) terdapat ajung waktu yang diisi oleh adverbial temporal sesai-sai ‘sering kali’ dan ‘sering’. Kedua adverbia ini termasuk ke dalam spesifikasi temporal yang menunjukkan frekuensi. Penggunaan kata ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa suatu pekerjaan sering kali dilakukan. Kata sesai-sai berasal dari kata sesai. Berdasarkan kamus Kersten (1984) kata ini memiliki dua makna, yaitu ‘setiap hari’ dan sering-sering, sedangkan pada kamus bahasa Bali yang diterbitkan oleh Badan Pembina Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali Provinsi Bali (2009),kata ini hanya bermakna ‘sehari-hari’. Kata pepes memiliki makna ‘sering’ (Kersten: 1984). Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa selain bermakna ‘sering’, kata sesai-sai juga memiliki makna sehari-hari, sehingga makna ‘sering’ yang dibawa mengacu pada hitungan hari. Berbeda halnya dengan kata pepes yang bermakna ‘sering’. Makna ‘sering’ pada kata ‘pepes’ tidak mengacu pada hitungan harian. Dalam satu hari pun suatu kegiatan dapat dikatakan sering dilakukan dengan menggunakan kata ‘pepes’ apabila hal tersebut dilakukan berulang-ulang baik dalam hitungan detik, menit, maupun jam.

8. Apa kadén lacuré ngelah panak muani sesai-sai mamedih. Apa entah sedih-DEF punya anak laki-laki sering kali marah. ‘Entah apa sedihnya punya anak laki-laki sering marah.’ (Peteng: 50)

9. Pepes Komang Suari nyelselin déwék ngelah somah buka Madé Karya. Sering NAMA menyesali diri punya suami seperti NAMA ‘Sering Komang Suari menyesali diri punya suami seperti Madé Karya.’ (Peteng: 50)

SIMPULAN Kosakata dalam bahasa Bali yang berkaitan dengan ekspresi temporal cukup banyak, sehingga memungkinkan munculnya variasi dalam penggunaannya. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa variasi leksikal ajung waktu dalam bahasa Bali dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu pengaruh status sosial penutur dan lawan tutur dan variasi dari kata-kata yang mirip tetapi memiliki nuansa yang berbeda.

~ 248 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Penambahan jumlah data dan pemahaman terhadap pola pikir masyarakat Bali dalam pengembangan penelitian ini dapat memperluas wawasan, sehingga tidak tertutup kemungkinan ditemukannya variasi-variasi ajung waktu lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Anom, I Gusti Ketut, dkk. Kamus Bali-Indonesia Beraksara Latin dan Bali. Denpasar: Badan Pembina Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali Provinsi Bali. Dixon, R.M.W. 2010. Basic Linguistic Theory Volume 1. New York: Oxford University Press. Dixon, R.M.W. 2011. Basic Linguistic Theory Volume 2: Grammatical Topics. New York: Oxford University Press. Dixon, R.M.W. 2012. Basic Linguistic Theory Volume 3: Further Grammatical Topics. New York: Oxford University Press. Kersten, J., S.V.D. 1984. Bahasa Bali. Ende: Penerbit Nusa Indah. Klein, Wolfgang. 2009. How time is encoded. Dalam The expression of time, halaman 39-81. Diakses dari http:// www.mpi.nl/people/klein-wolfgang/publications-old-version/fbpubs09/Klein_2009_How_time_is_ encoded.pdf pada tanggal 10 September 2014. Kroeger, Paul.R. 2005. Analyzing Grammar, An Introduction. New York: Cambridge University Press.

~ 249 ~ ~ 250 ~ BARANUSA DAN ALOR: DUA BAHASA ATAU SATU BAHASA

La Ino Universitas Halu Oleo [email protected]

ABSTRACT The previous researchers who conducted the research as SIL languages in Alor Pantar Baranusa language is never called. In the language of maps published by SIL Baranusa language called Alor language. However, based on the results of the study authors found that based on quantitative data of 200 words Morris Swadesh Blust revision using lexicostatistics calculation turns Baranusa language and language Alor is a different language with a percentage of 60%.

Key Word: Swadesh Baranusa Alor

PENDAHULUAN Isolek Baranusa dan Isolek Alor terdapat di Pulau Pantar. Pantar adalah sebuah pulau yang terletak di ujung timur Kepulauan Nusa Tenggara. Pulau ini dibatasi oleh Laut Flores dan Laut Banda di sebelah utara, Selat Pantar di timur, Selat Ombai di selatan, serta Selat Alor di barat. Luas wilayahnya 728 km² dan titik tertingginya 1.318 m (Puncak Topaki). Salah satu gunung api yang aktif, Gunung Sirung (862 m) terletak di bagian tenggara Pulau Pantar. Pulau Pantar merupakan salah satu dari dua pulau utama di Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Penduduk di bagian pantai utamanya beragama Islam. Mereka terdiri atas berbagai suku bangsa, seperti suku bangsa Timor, Kisar, dan Flores. Penduduk aslinya menetap di pedalaman, umumnya beragama Kristen dan agama Alor asli. Secara administrasi Pulau Pantar dibagi menjadi lima kecamatan.

Keadaan Kebahasaan Bahasa Baranusa Bahasa Baranusa berdasarkan pengelompokan para ahli, seperti para ahli yang tergabung dalam kelompok SIL tidak mencantumkan bahasa Baranusa sebagai bahasa tersendiri. Akan tetapi, mereka menamainya bahasa Alor. Berdasarkan data kuantitatif hasil penelitian ini dapat ditemukan bahwa antara isolek Baranusa dan isolek Alor merupakan beda bahasa. Adapun persentase kognat adalah 60%. Dengan persentase 60% maka dapat dikatakan bahwa Alor dan Baranusa merupakan dua bahasa yang berbeda. Baranusa dituturkan di Desa Marisa dan Desa Kayang Kecamatan Pantar Barat Laut, Blang Merah, Baraler, Ilu, Pirinsina, Baranusa Kecamatan Pantar Barat. Jumlah penutur bahasa Baranusa adalah di Kecamatan Pantar Barat Laut 4.503 orang, sedangkan di Kecamatan Pantar Barat berjumlah 1.674 orang (Alor dalam angka 2010). Jadi, secara keseluruhan jumlah penutur bahasa Baranusa adalah 6.200 orang. Bahasa Baranusa memiliki fungsi sosial, yaitu digunakan sebagai bahasa komunikasi antarwarga masyarakatnya, antara lain sebagai pengantar dalam keluarga. Bahasa pergaulan sehari-hari, dan transaksi kegiatan jual beli baik di pasar maupun di luar pasar. Bahasa Baranusa ~ 251 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature digunakan pula sebagai bahasa dalam menyampaikan khotbah, doa, atau pidato dalam kegiatan gereja dan mesjid serta sebagai bahasa pengantar tradisi lisan yang diwariskan pendahulu- pendahulu mereka. Bahasa ini belum memiliki sistem bahasa tulis. Sampai saat ini belum ditemukan dokumen tertulis seperti yang berkaitan dengan cerita rakyat atau dokumen tertulis lainnya. Cerita yang ada hanya dalam bentuk cerita lisan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bahasa Baranusa masih merupakan bahasa lisan. Selain itu, belum ditemukan dokumen atau hasil-hasil penelitian yang menelaah dan mengkaji bahasa Baranusa. Bahasa tersebut digunakan juga pada saat masyarakat melaksanakan upacara ritual. Selain kedua fungsi di atas, bahasa Baranusa juga digunakan pada saat melangsungkan ibadat di gereja, kegiatan aparatur pemerintah yang berkaitan dengan penyuluhan keluarga berencana, penyuluhan pertanian, penyuluhan kesehatan, kegiatan pendidikan (terutama di sekolah-sekolah dasar).

Bahasa Alor/Munaseli/Helangndohi Seperti diuraikan pada 4.11 bahwa bahasa Alor menurut SIL disamakan dengan Baranusa. Berdasarkan hasil pengumpulan data secara kuantitatif bahasa Alor dan Baranusa merupakan dua bahasa yang berbeda. Pada lokasi-lokasi pengambilan data para informan tidak menyebutkan bahasa Alor, mereka menyebut ada dua yakni bahasa Munaseli atau bahasa Helangndohi. Mereka menamai sesuai dengan daerah masing-masing. Akan tetapi, yang paling dikenal adalah bahasa Munaseli. Berdasarkan hal tersebut dalam penelitian ini digunakan istilah bahasa Munaseli, sedangkan bahasa Alor dituturkan oleh masyarakat yang disekitar kepala burung Pulau Alor. Akan tetapi pendapat masyarakat tersebut harus dibuktikan secara kelinguistikan agar jelas apakah bahasa yang sama atau beda bahasa antara isolek Alor dan Munaseli tersebut. Oleh karena itu dalam disertasi menggunakan istilah bahasa Alor/Munaseli/Helangndohi. Bahasa Alor/Munaseli/Helangndohi dituturkan di Desa Wailawar, Pandai, Bama, Munaseli Kecamatan Pantar. Jumlah penutur bahasa ini 3.190 orang (Alor dalam Angka, 2010) Bahasa Alor/Munaseli/Helangndohi memiliki fungsi sosial, yaitu digunakan sebagai bahasa komunikasi antarwarga masyarakatnya, antara lain sebagai pengantar dalam keluarga, bahasa pergaulan sehari-hari, dan transaksi kegiatan jual beli, baik di pasar maupun di luar pasar. Bahasa Munaseli digunakan pula sebagai bahasa dalam menyampaikan khotbah, doa, atau pidato dalam kegiatan gereja dan mesjid serta sebagai bahasa pengantar tradisi lisan yang diwariskan pendahulu-pendahulu mereka. Bahasa ini belum memiliki sistem bahasa tulis. Sampai saat ini belum ditemukan dokumen tertulis, seperti yang berkaitan dengan cerita rakyat atau dokumen tertulis lainnya. Cerita yang ada hanya dalam bentuk cerita lisan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bahasa Munaseli masih merupakan bahasa lisan. Selain itu, belum ditemukan dokumen atau hasil-hasil penelitian yang menelaah dan mengkaji bahasa Munaseli. Selain kedua fungsi di atas, bahasa Munaseli juga digunakan pada saat melangsungkan ibadat di gereja, kegiatan aparatur pemerintah yang berkaitan dengan penyuluhan keluarga berencana, penyuluhan pertanian, penyuluhan kesehatan, kegiatan pendidikan (terutama di sekolah-sekolah dasar). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penelitian yang menyinggung soal perbandingan bahasa Munaseli dengan bahasa-bahasa lainnya di Pantar secara keseluruhan guna memperoleh

~ 252 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature gambaran tentang status kebahasaan, khususnya soal kekerabatan bahasa-bahasa di Pantar sama sekali belum pernah dilakukan.

Hubungan Kekerabatan Bahasa Baranusa dan Bahasa Alor Berdasarkan Bukti Kuantitatif Hasil penghitungan leksikostatistik terhadap KKP daftar Swadesh (revisi Blust, 1980) membuktikan bahwa bahasa Modebur (Md), bahasa Kaera (Kr), dan bahasa Teiwa (Tw) berada dalam satu garis silsilah kekerabatan bahasa. Dengan cara ini akan diperoleh bukti kesamaan kosakata pokok antara bahasa Md, bahasa Kr, bahasa Tw dalam bentuk persentase. Kesamaan kata-kata dasar ketiga bahasa itu dibandingkan pula dengan persentase kesamaan bahasa-bahasa pembanding. Bahasa yang dijadikan pembanding berjumlah sebelas buah bahasa yaitu bahasa Baranusa, Lamaholot, Munaseli/Alor, Deing, Klamu/Mauta, Lamma, Blagar, Pura, Klong, Kedang, Retta. Berdasarkan data kuantitaif isolek Lamma dan Mauta merupakan beda dialek bukan beda bahasa karena persentase kognat kedua isolek 89%. Oleh karena itu, dalam penyebutan selanjutnya kedua isolek ini yang diidentifikasi sebagai bahasa adalah Lamma/Mauta. Disebut demikian disebabkan oleh desa-desa yang memakai isolek Lamma menyebut dengan bahasa Lamma, sedangkan desa-desa yang memakai isolek Mauta menyebut dengan bahasa Mauta. Bahasa Md, Bahasa Kr, Bahasa Tw merupakan tiga bahasa sekerabat yang erat relasi historisnya jika dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain di luar subkelompok maupun kelompoknya. Yang dimaksud dengan di luar kelompoknya adalah bahasa Baranusa, bahasa Munaseli/Alor, bahasa Kedang, dan bahasa Lamaholot yang termasuk kelompok bahasa Austronesia. Yang dimaksud dengan subkelompoknya adalah bahasa Deing, Klamu, Mauta/ Lamma, Blagar, Pura, Klong, Retta yang termasuk kelompok bahasa non-Austronesia. Adapun dalam analisis kualitatif relasi kesebelas bahasa tersebut dengan bahasa-bahasa di luar kelompok dan subkelompoknya tidak dibahas lebih lanjut mengingat hasil kajian secara kuantitatif mempelihatkan persentase lebih rendah. Dengan demikian, hubungan antara kesebelas bahasa tersebut dengan tiga bahasa yang akan diteliti dipandang tidak erat sehingga dianggap berada di luar subkelompok.

Dalam bab ini akan diuraikan secara berurutan analisis kuantitatif hubungan antara bahasa- bahasa sekerabat mendahului analisis kualitatif. Tujuan analisis kuantitatif adalah untuk menemukan gambaran sekilas tentang relasi kekerabatan antarbahasa yang dibandingkan dalam rangka menetapkan diagram pohon silsilah kekerabatan secara kuantitatif. Pada tahap ini dilakukan analisis kuantitatif dengan teknik leksikostatistik untuk penerapan garis silsilah kekerabatan antarbahasa yang dibandingkan dalam kajian ini. Dengan menerapkan analisis kuantitatif, pada tahap ini dapat ditetapkan persentase kognat antara bahasa sekerabat dalam subkelompok bahasa-bahasa di Pulau Pantar yang dibandingkan dengan bahasa Baranusa, Alor, bahasa Kedang, bahasa Lamaholot yang merupakan bahasa yang berada di luar kelompoknya dan dengan bahasa-bahasa di Pulau Pantar yang merupakan satu subkelompok.

~ 253 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Bagan Persentase Kesamaan/Kemiripan Kata Seasal (Kognat) Bahasa di Pulau Pantar dan Bahasa di Sekitarnya Berdasarkan Perhitungan Leksikostatistik 200 Kata Daftar Swadesh (Revisi Blust,1980)

Modebur

Kaera 71

Teiwa 48 50

Baranusa 3 3 3

L.holot 1 1 0 42

Alor 4 3 2 60 37

Deing 17 16 23 1 6 2

Klamu 20 17 13 6 1 6 31

Mauta 15 11 9 1 0 1 16 25

Lamma 18 15 10 1 1 0 12 21 89

Blagar 26 21 14 4 2 4 12 16 13 11

Pura 33 23 19 3 2 4 13 15 15 15 69

Klong 15 13 10 1 1 1 7 9 6 11 14 16

Kedang 4 2 1 28 25 21 3 3 1 2 2 3 3

Reta 22 15 15 4 1 3 10 13 11 12 47 48 18 8

Mo Ka Te Ba La Mu De Kl Ma La Bl Pu Kl Ke Re

Persentase Kesamaan/Kemiripan Kata Seasal (Kognat) Bahasa Baranusa dan bahasa Alor (Revisi Blust,1980)

Penjelasan Tabel Pada bagan Diagram di atas ditunjukkan bukti bahwa bahasa-bahasa yang diteliti memiliki hubungan keseasalan dan keeratan hubungan genetis yang sangat bervariasi. Variasi hubungan di antaranya terbukti dari persentase kemiripan dan kesamaan kosakata seasal yang tertinggi 71% dan terendah mencapai 0 %. Angka persentase ini menunjukkan bahwa hubungan bahasa pada tingkat tertinggi adalah keluarga (family) dan tingkat terendah adalah rumpun (stock). Keadaan persentase seperti ini membuktikan bahwa bahasa-bahasa yang diteliti dan direkonstruksi termasuk dalam rumpun yang sama (Keraf, 1991:135), yakni rumpun non- Austronesia. Menurut Swadesh (1955:101) apabila hubungan di antara bahasa itu menunjukkan persentase kognat dari 36% sampai dengan 80% (atau di atas 36% dan di bawah 81 %) maka angka persentase itu menunjukkan hubungan sebagai keluarga bahasa (language of family). Jika kriteria leksikostatistik itu ditetapkan di sini maka rentangan persentase antarbahasa di Pulau Pantar maka jelaslah bahwa Isolek Baranusa dan Isolek Alor merupakan dua buah bahasa yang berbeda.

~ 254 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Bahasa Alor menurut informan yang berada di Pulau Pantar sebenarnya bukan bahasa Alor namanya tetapi bahasa Munaseli/Helangndohi. Bahasa Alor berada di Pulau Alor tepatnya berada di daerah Kepala Burung Pulau Alor. Walaupun demikian, hal ini masih perlu dibuktikan dengan kajian kelinguistikan. Oleh karena itu dalam disertasi ini menggunakan isitilah bahasa Alor/Munaseli/Helangndohi. Ada beberapa bahasa yang tidak pernah disebut oleh para peneliti terdahulu. Bahasa-bahasa tersebut adalah bahasa Modebur, bahasa Kaera, bahasa Baranusa. Berdasarkan peta bahasa yang dikeluarkan oleh SIL (2000) diketahui bahwa bahasa Modebur dimasukkan ke bahasa Blagar, bahasa Kaera dimasukkan ke Teiwa, sedangkan bahasa Baranusa dimasukkan ke bahasa Alor. Berdasarkan penelitian dengan menggunakan data kuantitatif ditemukan persentase ketiga bahasa tersebut, yaitu Blagar-Modebur 26%, Baranusa-Alor 60%, Kaera-Teiwa 50%. Ada dugaan bahwa para peneliti terdahulu tidak menemukan ketiga bahasa tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya (1) pada saat pengambilan data informan bahasa tersebut tidak ada, (2) saling kesepahaman antara informan di daerah pengambilan data, misalnya informan bahasa Kaera paham juga bahasa Teiwa sehingga disebut saja bahasa Teiwa.

Kesimpulan Berdasarkan uraian maka disimpulkan bahwa isolek Baranusa dan isolek Alor merupakan beda bahasa. Perbedaan persentase kedua isolek tersebut adalah 60 persen.

DAFTAR PUSTAKA/REFERENCES

Abas. Husen, dkk. 1990. Pemetaan Bahasa-Bahasa Daerah sulawesi Selatan dan Tenggara. Hasil penelitian yang belum diterbitkan.

Antilla, Raimo. I989. Historical and Comparative Linguistics. Amsterdam: John Benyamin percetakan Company.

Barr. Donald F.. Sharon, C. Barr and Salombe. 1979. Language of Central of Sulawesi. Adepura: Percetakan Uncen.

Croley. Terry. 1979. An Introduction to Histrorical Linguistics. Papua New Guinea: University Papua of New Guinea.

Dyen. Isidore. 1985. A Lexicostatistics Classification of the Austronesian Languages,dalam Suplement to International Journal of American Linguistics. Vol. 3l No. l.

Esser. S. J. 1951. Peta Bahasa-Bahasa di Indonesia. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan R I.

Grimes. C. E. Barbarrad. Grimes. 1987. Language of South sulawesi, dalam Pacific Linguistic, Seri D, No. 78. Camberra: The Research School of Studies, The Australian National University.

Hock, H. H. 1986. Principles of Histrical Linguistics. Berlin: Mouton de Gruyter.

Ibrahim. Abd. Syukur. 1985. Linguistik Komparatif Sajian Bunga Rampai. Surabaya: Usaha Nasional.

Keraf. Gorys. I990. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: Gramedia.

La Ino. 2004. “Pengelompokan Genetis Bahasa Blagar, Pura, dan Retta di Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur.” Tesis untuk Program Pascasarjana. Universitas Udayana.

La Ino. 2009. “Pelacakan Bahasa Tereweng di Kabupaten Alor Nusa Tenggara Timur” Makalah pada Seminar Internasional Bahasa, Sastra, dan Budaya di Kupang NTT.

La Ino. 2013. Protobahasa Modebur, Kaera, dan Teiwa Bahasa Kerabat Non Austronesia di Pulau Pantar Nusa

~ 255 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Tenggara Timur” Disertasi untuk Program Pascasarjana Universitas Udayana.

La Ino. 2013. “Austronesia dan Non Austronesia di Pulau Pantar Serta Hubungan Kekerabatannya dengan Bahasa Austronesia Di Flores Timur” Makalah Disajikan Pada Seminar Internasional “Bahasa, Sastra, dan Budaya Austronesia-NonAustronesia, Globalisasi, dan Revitalisasi” di Denpasar Bali 6 s.d. 7 November 2013

~ 256 ~ THE GENETIC RELATIONSHIP BETWEEN TONGKUNO AND GU-MAWASANGKA DIALECTS OF MUNA LANGUAGE IN SOUTHEAST SULAWESI: SYNCHRONIC AND THE DIACHRONIC STUDIES

La Ode Nggawu University of Halu Oleo HP: 085255526936 [email protected]

ABSTRACT This research aims at investigating the genetic relationship between Tongkuno dialect (TD) and Gu- Mawasangka dialect (GD) of Muna language in Southeast Sulawesi. This research was conducted based on the synchronic and the diachronic studies. The synchronic study shows that both TD and GD have vowel phonemes of /a/, /i/, /u/, /e/, and /o/ either in the beginning, middle, or the end of base word. Besides, both dialects have bilabial implosive consonant /ɓ/, alveolar implosive /ɗ/, velar /ĝ/; clusters of /ns/, /nt/, /nd/, /nk/, /mb/, /ƞk/, /ƞg/, and /mp/; and all syllables are opened or categorized as vocalist languages, and TD and GD have prefix /fe-/ dan /dopo-/ as verbal former. In addition, the result of the diachronic study in quantitative approach using the dialectometry technique shows that the relationship of TD-GD is 84%. Based on the percentage, TD and GD show the very closed relationship as same language. The result of diachronic study of quantitative approach is supported by qualitative diachronic study through phoneme correspondence. TD and GD have very perfected phoneme correspondence since it occurs to all linguitic data. Phoneme /r/ on TD correspondencing to phoneme /h/ on GD. Moreover, phonemes of /ĝ/ and /h/ on TD has loosing process on GD.

Key words: synchronic, diachronic, quantitative, qualitative, dialectometry.

1. INTRODUCTION Muna is one of languages of Southeast Sulawesi that are not investigated yet maximally and deeply by the previous researchers. Muna is a language used in Muna social cultural society in their daily conversation. The area involves Muna island (Muna Regency) and a part of Buton island in the north, belong to three district in Buton Regency are Gu, Lakudo, and Mawasangka subdistricts. The status of Gu-Mawasangka dialect that is still controversial makes this research is more interesting to be done. Kaseng, et al. (1987) state that Muna and Gu-Mawasangka are two different languages, while Language Centre (2008) and SIL (2005) state that Gu-Mawasangka is one of dialects of Muna. Therefore, this research gives some quantitative and qualitative evidences showing that Gu-Mawasangka is a dialect of Muna language. Based on the background and several problems above, this research aims at (1) describing the synchronic system of Tongkuno and Gu-Mawasangka dialects, (2) describing the cognate percentage of Tongkuno and Gu-Mawasangka dialects by using dialectometry technique, and (3) describing the qualitative evidences found in dialectology of phoneme correspondence between Tongkuno and Gu-Mawasangka dialects.

~ 257 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature 2. THEORITICAL FOUNDATION AND METHODOLOGY OF STUDY Dialectology is a study of dialect variations of a language (Kridalaksana, 1984: 39). Dialectology as a branch of linguistic, so it is always based on the linguitics concepts. The concepts relate to general linguistics study concepts like phoneme/allophone concept for phonology, distinctive feature concept for generative phonology, the concepts of morphology, and concepts of syntax. The linguistics concept used to describe the language features of each dialect or sub-dialect. The data collecting was done by participant speaking and scrutinize methods (Mahsun, 1995: 94-101). Participant speaking method was realized by face speaking technique, which is coming each research location and doing speaking based on the question lists provided. Scrutinize method was done by using noting and recording technique. The data was analyzed either synchronically or diachronically with quantitative and qualitative methods.

3. RESULT AND DISCUSSION Diachronic study of Tongkuno and Gu-Mawasangka dialects is preceded by the synchronic description of both dialects.

3.1 Synchronic Description of Tongkuno Dialect Synchronic study of Tongkuno dialecs is analyzed in the aspects of phonology, lexicon, and affixation. Based on data analysis result collected in the field, Tongkuno dialect has five vowel phonemes are /i/, /u/, /e/, /o/, and /a/ as in the table below.

Table 1 Vowel Phoneme Distribution of Tongkuno Dialect No. Fonem Posisi awal Posisi tengah Posisi akhir 1 /a/ /anahi/‘child’ /kadadi/ ‘animal’ /randa/ ‘stomach’ 2 /i/ /ifi/ ‘fire’ /rindima/ ‘cold’ /taĝi/ ‘abdoment’ 3 /u/ /ule/ ‘snake’ /kulou/ ‘coconut’ /harabu/ ‘dust’ 4 /e/ /elu/ ‘spittle’ /nolensi/ ‘swim’ /pae/ ‘rice’ 5 /o/ /olu/ ‘cloud’ /wora/ ‘see’ /rampano/ ’because’

Next, Tongkuno dialect has 19 consonant phonemes are /b/, /ɓ/, /p/, /d/, /ɗ/, /t/, /g/, /ĝ/, /k/, /m/, /n/, /ŋ/, /f/, /s/, /h/, /l/, /r/, /y/, and /w/, and 8 clusters are /ns/, /nt/, /nd/, /mb/, /nk/, / ƞk/, /ƞg/, and /mp/ as the table below.

Table 2 Consonant Phoneme Distribution of Tongkuno Dialect No. Fonem Posisi Awal Posisi Tengah Posisi Akhir 1 /b/ /bunsolo/ ‘eye’ /harabu/ ‘dust’ - 2 /d/ /dahu/ ‘dog’ /kadampa/ ‘touch’ - 3 /f/ /fetiƞke/ ‘hear’ /ifi/ ‘fire’ - 4 /g/ /gawu/ ‘mist’ /pogira/ ‘fight’ - 5 /h/ /harabu/ ‘dust’ /anahi/ ‘child’ - 6 /k/ /ka:wu/ ‘just’ /buku/‘bone’ - 7 /l/ /lima/ ‘five’ /wulunofotu/‘hair’ - 8 /m/ /manumanu/ ‘bird’ /kema/‘left’ - 9 /n/ /ne:/ ‘nose’ /robine/ ‘woman’ - 10 /p/ /pogira/ ‘fight’ /rampano/ ‘because’ - 11 /r/ /rato/ ‘come’ /pogira/ ‘fight’ -

~ 258 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

12 /s/ /se:ndai/ ‘little’ /nesia/ ‘bite’ - 13 /t/ /tehi/‘river’ /netunu/ ‘burnt’ - 14 /w/ /wua/‘fruit’ /gawu/ ‘mist’ - 15 /y/ - /raƞkaya/ ‘rich’ - 16 /ɓ/ /ɓaryɓarie/ ‘all’ /neɓera/ ‘break’ - 17 /ɗ/ /ɗuɗu/ ‘push’ /iɗa/ ‘father’ - 18 /ĝ/ /ĝito/ ‘black’ /tolobuĝu/ ‘back’ - 19 /ŋ/ /ƞawu/ ‘cook’ /raƞa/ ‘thin’ - 20 /ŋk/ /ŋkora/ ‘sit’ /poŋke/ ‘ear’ - 21 /ŋg/ /ƞgela/ ‘clean’ /manƞge/ ‘fussy’ - 22 /mb/ /mbali/ ‘can’ /kambeya/ ‘flower’ - 23 /mp/ /mpalo/ ‘like’ /neĝompa/ ‘trow’ - 24 /nt/ /ntara/ ‘defense’ /ĝunteli/ ‘egg’ - 25 /nd/ /ndawu/ ‘fall’ /punda / ‘tail’ - 26 /ns/ /nsoba/ ‘try’ /bunsolo/ ‘eye’ - 27 /nk/ /nkuru/ ‘sad’ /pinka/ ‘side/ -

Further, all syllables of Tongkuno dialect always ended by vowel showing that dialect is vocalist. Therefore, there are three syllable structure system in Tongkuno dialect, namely V (vowel), CV (consonant vowel), and CCV (consonant consonant vowel). Besides, there are several affixation processes. However, it just focuses on prefix as verbal former of Tongkuno dialect since affixation process most occurred or found in daily communication activities:

a) Prefix {fe-} /fe-/ ­+ wono ‘kiss’ fewono ‘kiss’ /fe-/ + tiƞke ‘hear’ fetiƞke ‘hear’

b) Prefix {feka-} /feka-/ + roko ‘sharp’ fekaroko ‘exacerbate’ /feka-/ + halusu ‘soft’ fekahalusu ‘soften’

3.2 Synchronic Description of Gu-Mawasangka Dialect Synchronic study of Mawasangka dialecs is analyzed in the aspects of phonology, lexicon, and affixation. As Tongkuno dialect, Gu-Mawsangka dialect has five vowel phonemes are /i/, /u/, /e/, /o/, and /a/ as in the table below.

Table 3 Vowel Phoneme Distribution of Mawasangka Dialect No. Fonem Posisi awal Posisi tengah Posisi akhir 1 /a/ /aeno/ ‘what’ /fewaniu/ ‘wash’ /lela/ ‘tongue’ 2 /i/ /ina/ ‘mother’ /pogiha/ ‘fight’ /naini/ ‘here’ 3 /u/ /utu/ ‘flatus’ /wulu/ ‘hair’ /kahuku/ ‘grass’ 4 /e/ /esi/ ‘ice’ /hea/ ‘blood’ /busoe/ ‘blow’ 5 /o/ /oe/ ‘water’ /foboke/ ‘tie’ /oleo/ ‘day’

Next, Gu-Mawasangka dialect as Tongkuno also has 19 similar consonant phonemes as in the table below.

~ 259 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Table 4 Consonant Phoneme Distribution of Mawasangka Dialect No. Fonem Posisi awal Posisi tengah Posisi akhir 1 /b/ /buou/ ‘new’ /nobie/ ‘heavy’ - 2 /ɓ/ /ɓala/ ‘big’ /woɓa/ ‘mouth’ - 3 /d/ /dagi/ ‘meat’ /dudulane/ ‘push’ - 4 /ɗ/ /baɗa/ ‘body’ 5 /f/ fosiapi/ ‘bite’ /nifi/ ‘dream’ - 6 /g/ /gunu/ ‘mountain’ /dagi/ ‘meat’ - 7 /ĝ/ /ĝaha/ ‘salt’ /puĝu/ ‘stem’ 8 /h/ /hobine/ ‘woman’ /doehe/ ‘stand’ - 9 /k/ /kuli/ ‘skin’ /kokita/ ‘dirty’ - 10 /l/ /lima/ ‘five’ /buliliŋi/ ‘return’ - 11 /m/ /manu-manu/ ‘bird’ /fuma/ ‘eat’ - 12 /n/ /ne:/ ‘nose’ /tunu/ ‘burnt’ - 13 /p/ /pogau/ ‘speak’ /sapu/ ‘sewing’ - 14 /r/ /rohi/ ‘soul’ /mparigi/ ‘pavement’ - 15 /s/ /sodo/ ‘fever’ /busoe/ ‘blow’ - 16 /t/ /tei/ ‘sea’ /fota/ ‘laught’ - 17 /w/ /waane/ ‘give’ /gawu/ ‘smoke’ - 18 /y/ /yolu/ ‘cloud’ /haƞkaeya/ ‘rich’ - 19 /ŋ/ - /tiŋala/ ‘ear’ - 20 /mb/ /mbali/ ‘so’ /lambu/ ‘house’ - 21 /mp/ /mparigi/ ‘pavement’ /tumpo/ ‘cut’ - 22 /nt/ - /kenta/ ‘fish’ - 23 /nd/ /ndawu/ ‘fall’ /founda/ ‘cook’ - 24 /ŋk/ /ŋkoha/ ‘sit’ /waŋka/ ‘tooth’ - 25 /ns/ - /lensi/ ‘tail’ - 26 /nk/ /nkuru/ ‘sad’ /pinka/ ‘side’ - 27 /ƞg/ /taƞgo/ ‘able’

As Tongkuno, all syllables of Gu-Mawasangka dialect always ended by vowel or opened that shows that dialect is vocalist. Therefore, there are three syllable structure system in Gu- Mawasangka dialect, namely V (vowel), CV (consonant vowel), and CCV (consonant consonant vowel). Likewise, there are several affixation processes of Gu-Mawasangka dialect. However, it just focuses on prefix of Gu-Mawasangka dialect since affixation process most occurred or found in daily communication activities as verbal marker at Mawasangka user community is prefix.

a) Prefix {fe-} /fe-/ + wao ‘give’ fewao ‘to give’ /fe-/ + wono ‘kiss’ fewono ‘to kiss’ /fe-/ + dampa ‘handle’ fedampa ‘to handle’ /fe-/ + ɓeɓe ‘hit’ feɓeɓe ‘to hit’ b) Prefix {feka-} - feka + roko ‘sharp’ fekaroko ‘exacerbate’ - feka + halusu ‘soft’ fekahalusu ‘soften’ - feka + meme ‘wet’ fekameme ‘wetted’

~ 260 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

3.3 Quantitative Diachronic Analysis of Tongkuno and Gu-Mawasangka Dialects Based on the counting of dialectometry technique obtained the description of the family relationship of Tongkuno and Gu-Mawasangka dialects. The result of the dialectometry counting shows the cognate percentage of Tongkuno Dialect and Gu–Mawasangka Dialect, namely 83.8 %. Family relationship level of Tongkuno dialect and Gu-Mawasangka dialect in the amount of 83.8 % shows that both dialects are categorized as similar language, namely as two different dialects with closed relationship of Muna language. The result of quantitative diachronic is also supported by the qualitative diachronic as analysis below.

3.4 Qualitative Diachronic Analysis of Tongkuno and Gu-Mawasangka Dialects Phonological correspondence found in both Tongkuno and Gu-Mawasangka dialects shows the very perfected correspondence, particularly for consonant correspondence. The correspondence can be seen in the table 5.

Table 5 Phoneme Correspondence of TD and GD Examples Phoneme Correspondence TD GD Gloss /r/-/h/ no-rato do-hato Come (very perfected/unconditional randa handa stomach law) rea hea blood fo-rou fo-hou drink wora de-wohae see de-ƞkora de-ƞkoha sit do-ere do-ehe stand robine hobine women robinento hobineno wife

/ĝ/-/ᴓ/ no-roko no-hoko leg (very perfected/unconditional ĝaĝe ae intestines law) ka-ĝule-ĝule ule-ule heart ĝate ate shoulder ĝowea owea neck wuĝu wuu cry ĝae do-ae men moĝane moane roof ĝato ato buy /h/-/ᴓ/ de-ĝoli de-oli egg (very perfected/unconditional ĝunteli unteli know law) no:pandeha:ne pandeane afraid no-tehi do-tei child anahi anai dog dahu dau sea tehi tei where ne-hamai se-amai

Based on table 5 above, consonant phonemes of Tongkuno and Gu-Mawasangka dialects have perfected correspondence since it occurs to most data of both dialetcs. Phoneme /r/ on TD correspondencing to phoneme /h/ on GD for all position (ultymo or penutylmo). Besides, phoneme /ĝ/ on TD correspondencing to phoneme (Ø) or get lossing on GD for all position

~ 261 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

(ultymo or penutylmo). Likewise, phoneme /h/ on TD correspondencing to phoneme (Ø) or get lossing on GD for all position (ultymo or penutylmo). All law happen on all linguistics data with any condition. In other words, the law is consistent to all linguistics data found in both dialects for all positions.

4. CONCLUSIONS The comparative study of Tongkuno and Gu-Mawasangka Dialects of Muna language in synchronic and diachronic analysis shows that the closed relationship of both dialects. Based on synchronic analysis, it concludes that Tongkuno and Gu-Mawasangka dialects have five similar vowels are /a/, /i/, /u/, /e/, and /o/; and 19 similar consonant phonemes are /b/, /ɓ/, /p/, /d/, /ɗ/, /t/, /g/, /ĝ/, /k/, /m/, /n/, /ŋ/, /f/, /s/, /h/, /l/, /r/, /y/, and /w/; and even 8 similar clusters are /ns/, / nt/, /nd/, /mb/, /nk/, /ƞk/, /ƞg/, and /mp/. Besides, the words in Tongkuno and Gu-Mawasangka dialects always ended by vowel. Moreover, based on diachronic analysis either quantitative or qualitative approach, several evidences strengthen the very closed relationship of both dialects. Quantitative diachronic with dialectometry technique shows that cognate percentage of Tongkuno and Gu-Mawasangka dialects in the amount of 83.8% as much closed dialect relationship of the similar language (Muna). In qualitative diachronic study shows that consonant phonemes of Tongkuno and Gu-Mawasangka dialects have very perfected correspondence.

REFERENCES

Kaseng, Syahruddin, Alimudin D.P, Andi Mahmuddin, dan Rasdiana P. 1991. Pemetaan Bahasa-Bahasa di Sulawesi Tenggara. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdiknas. Kridaklasana, Harimurti. 1984. Kamus Linguistik. Edisi Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Mahsun. 1995. Dialektologi Diakronis: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Pusat Bahasa. 2008. Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia. Dendy Sugono, Mahsun, Inyo Yos Fernandez, Kisyani Laksono, Multamia Lauder, dan Nadra (Ed). Jakarta: Pusat Bahasa. Departemen Pendidikan Nasional. SIL. 2006. Bahasa-Bahasa di Indonesia. Jakarta: SIL International.

~ 262 ~ UNGKAPAN FALIA DALAM KONTEKS PENDIDIKAN KARAKTER ANAK PADA ETNIK MUNA DI KABUPATEN MUNA SULAWESI TENGGARA

La Ode Sidu Marafad Pascasarjana,Universitas Halu Oleo Kendari, 93232 Tel: +6281341604325, Email: [email protected]

ABSTRAK Makalah ini merupakan hasil penelitian yaang berjudul “Ungkapan Falia dalam Konteks Pendidikan Karakter Anak pada Etnik Muna di Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara”. Tujuan penelitian ialah mengungkap dan menganalisis peran ungkapan falia ‘pamali’ dalam membentuk karakter anak. Metode yang digunakan ialah metode deskriptif kualitatif dengan teknik elisitasi, rekam dan catat. Hasil analisis ditemukan bahwa ungkapan falia sangat berperan dalam pendidikan karakter anak di kalangan etnik Muna. Dengan ungkapan falia karakter anak terbangun dari tidak disiplin menjadi disiplin, dari malas menjadi rajin, dari tidak menghargai orang lain menjadi menghargai orang lain, dari tidak jujur menjadi jujur, dari tidak adil menjadi adil.

Kata Kunci: ungkapan falia, pendidikan karakter

1. PENDAHULUAN Etnik Muna (EM) merupakan salah satu suku bangsa yang mendiami Pulau Muna. Dalam sosio-kultural, EM merupakan salah satu suku bangsa yang memiliki aneka ragam budaya. Salah satu produk budaya yang memiliki peran yang sangat tinggi ialah bahasa. Bahasa yang dipakai sebagai alat komunikasi EM ialah wamba wuna ‘bahasa Muna (BM)’. Bahasa Muna dipakai dalam berbagai keperluan, di antaranya BM dipakai dalam komunikasi luas, BM dipakai dalam konteks adat-istiadat; BM dipakai dalam upacara keagamaan, upacara ritual, BM dipakai dalam dunia pendidikan keluarga. Bahasa Muna dipakai dalam pendidikan keluarga itu berupa katangari ‘nasihat’, katudu ‘perintah’, kafoguru ‘ajaran’, kaforato ‘penyampaian’, kafenaghu petuah, o falia ‘pamali’. Dari sekian aspek yang ditampilkan di atas, dalam penelitian ini dipilih salah satu untuk diungkap dan dianalisis lebih mendalam, yakni o falia dalam konteks pendidikan karakter anak. O falia pada zamannya sulit/berat dilanggar oleh masyarakat pendukungnya. O falia merupakan ungkapan bertuah bernilai magis, sehingga orang takut melanggarnya. Ketakutan ini muncul karena ada dampak empirisnya. Sebagai lustrasi:

O falia derunsa ghoti, maka dokala; dobalaane. ‘pemali meninggalkan makanan, memilih pergi, akan kualat/berdosa ’

Apa dampak empiriknya? Orang itu mendapat bahaya berupa kecelakaan atau kematian. Itu sebabnya, falia tersebut takut bila dilanggar. Dari sisi analisis, bahwa sesungguhnya dalam kehidupan ini, apapun yang dicari adalah makanan dan makan. Nah, ketika lagi berhadapan dengan makanan, apa lagi sementara menikmatinya, tiba-tiba ditinggalkan, tentu sebagai orang beragama, orang itu akan kualat berdosa. Sebagai ganjarannya. Allah memberikan petaka kepadanya. Dalam bahasa Muna, orang

~ 263 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature sedang makan namanya nando dofeopumu ‘lagi bersembah diri ke hadirat-Nya’. Oleh karena itu, kalau makan perilaku kita tidak sembarang, posisi duduk diatur apik, tertib, duduk bersila, lipatan kaki kanan di bagian atas atau bagian kiri sesuai dengan ketentuannya. Ketika mengunyah makanan, pertemuan bibir tidak boleh memproduksi bunyi. Pada waktu menggenggam makanan atau mengambil sayur, atau mencubit ikan, tidak boleh bersinggungan jari dalam kasopa ‘piring dari kulit buah’, kaghua ‘piring dari tempurung’, piring atau bhalobu ‘cawan’.Semuanya itu dikemas dalam ungkapan falia. Ungkapan falia pada zamannya dapat mendidik karakter anak atau keluarga. Dengan falia orang dapat berperilaku sopan dan santun.

2. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dapat dikemukakan dalam pertanyaan berikut. A. Bagaimanakah bentuk dan makna ungkapan falia dalam bahasa Muna? B. Jenis-jenis falia apa saja yang dapat membentuk karakter positif anak?

3. TUJUAN Terkait dengan rumusan masalah tersebut, tujuan penelitian yang ingin dicapai sebagai berikut. A. mengungkap dan menganalisis bentuk dan makna falia dalam bahasa Muna. B. Mengungkap dan menganalisis jenis-jenis falia yang membentuk karakter positif anak.

4. KAJIAN PUSTAKA Buku-buku/referensi yang relevan dan dapat digunakan dalam penelitian ini di antaranya Dimensi Pedagogis dalam Makna Budaya Falia pada Masyarakat Muna yang ditulis oleh La Taena (2014). La Taena mengatakan bahwa bagi masyarakat Muna falia ‘pemali’ merupakan suatu pelarangan sosial atau pantang larang dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak boleh dilanggar baik dalam bentuk tindakan atau ucapan (2014: 91). Apakah ungkapan falia ini masih dapat diterapkan kepada generasi sekarang sebagai kearifan lokal yang dapat menumbuhkembangkan karakter anak di masa kini. Menarik apa yang dikemukakan oleh Lathief (2008: 233) bahwa kini, banyak generasi muda di daerah dan komunitas lokal merasa malu dan tertinggal karena mereka dianggap orang yang tidak maju. Maka, mereka berusaha melepaskan dirinya dari komunitas lokal, lalu lari ke kota, terutama ke kota-kota besar. Mereka tidak menghormati apa yang telah dikerjakan oleh generasi pendahulu, dan lebih percaya pada apa yang datang dari luar karena merasa lebih bagus dan canggih/modern dibandingkan dengan apa yang ada di daerah atau komunitas lokal. Berkaitan dengan pendidikan karakter, khususnya pendidikan karakter di Indonesia saat, Samani dan Hariyanto dalam bukunya (2014: 105) dikemukakan bahwa konsep pendidikan karakter di Indonesia saat ini sesuai dengan hasil Sarasehan Nasional Pendidikan Budaya dan dan Karakter Bangsa (14 Januari 2010 di Jakarta) sebagai berikut: 1. Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari pendidikan nasional secara utuh. 2. Pendidikan budaya dan karakter bangsa harus dikembangkan secara komprehensif sebagai proses pembudayaan. Oleh karena itu, pendidikan dan kebudayaan secara kelembagaan perlu diwadahi secara utuh.

~ 264 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

3. Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, sekolah dan orang tua. Oleh karena itu, pelaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa harus melibatkan keempat unsur tersebut. 4. Dalam upaya merevitalisasi pendidikan budaya dan karakter bangsa diperlukan gerakan nasional guna menggugah semangat kebersamaan dalam pelaksanaan di lapangan.

Konsep di atas mengisyaratkan bahwa pendidikan karakter tidak dilaksanakan hanya sepihak, misalnya orang tua saja atau pemerintah saja, atau masyarakat saja atau sekolah saja. Keberhasilan pendidikan karakter pada zaman dahulu, di masa tahun 50-an – 60-an dimulai dari lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah dan pemerintah. Ajaran di rumah ditindaklanjuti di sekolah dimplementasikan di masyarakat. Berbeda dari zaman global ini, di lingkungan keluarga pendidikan karakter ini ada yang melaksanakan dan ada juga asal-asalan. Keluarga yang sibuk dengan tugas, sibuk dengan profesi, sibuk dengan usaha, tentu pendidikan karakter anak tidak maksimal lagi diberikan. Di rumah yang berperan adalah pembantu rumah tangga yang pendidikannya juga tidak diketahui dengan pasti, moralnya juga tidak diketahui dengan pasti, karakternya juga abu-abu. Keluarga yang mengutamakan pendidikan karakter, tidak berarti terhindar dari masalah. Persoalannya adalah penerapan etika di masyarakat dapat disaksikan sendiri, karakter di kalangan wakil-wakil rakyat juga beraneka ragam. Kadang-kadang di televisi menjadi tontonan yang menarik bagi khalayak termasuk anak-anak. Benar bahwa di sekolah itu tempat pembinaan karakter anak yang paling ampuh, tetapi hasil pendidikan karakter di sekolah tidak cukup, harus didukung oleh masyarakat. Di masyarakatlah tempat penerapan pendidikan karakter itu. Pendidikan karakter bangsa tidak dapat hanya dilakukan oleh pihak tertentu saja. Oleh karena itu, dalam pendidikan karakter perlu memperkuat kemitraan sekolah-komunitas. Lickona (Terjemahan Wamaungo, 2013: 323) mengemukakan bahwa seluruh segmen komunitas- pemerintah, polisi, pengusaha, dan rakyat biasa akan mendapatkan hasilnya ketika sekolah melakukan pekerjaan yang baik dalam mengajarkan kejujuran, rasa hormat, kerja keras dan kebaikan lainnya. Bagaimana peran keluarga dalam pendidikan karakter, hampir semua sepakat bahwa lingkungan keluarga merupakan fondasi yang kuat untuk meletakkan sendi-sendi karakter yang baik. Di sanalah anak-anak dididik oleh orang tua sebagai tanggung jawab moral bangsa. Kemudian, fondasi itu dikembangkan di sekolah melalui pendidikan karakter yang terstruktur dan sistematis. Selanjutnya, di masyarakat sebagai wadah penerapan karakter itu. Pendidikan karakter di lingkungan keluarga, jelas merupakan pendidikan nonformal. Dalam hal bebas memilih topik mana yang menjadi materi pendidikannya. Misalnya: cerita rakyat, bisa menjadi landasan pijak pendidikan karakter karena di dalam cerita rakyat banyak melukiskan tokoh- tokoh perkasa, berani dan bertanggung jawab, banyak masalah sulit yang dapat dipecahkan. Nasihat-nasihat, ajaran-ajaran, petuah-petuah dari orang tua, kakek, nenek, buyut, aba, semuanya merupakan batu fondasi dalam pendidikan karakter. Wadah pendidikan karakter dapat ditemukan dalam cerita rakyat. Banyak cerita rakyat yang mengandung ketulusan, keikhlasan, kejujuran, serta keadilan. Bercerita atau mendongeng merupakan salah satu metode pendidikan karakter. Pendidikan karakter lewat dongeng dapat ditingkatkan di sekolah. Guru bisa berinisiatif untuk meragakan dongeng itu lebih hidup sehingga anak-anak didik lebih tertarik dan bisa mengambil manfaatnya untuk diterapkan ~ 265 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature dalam kehidupannya sehari-hari. Samani (2014: 148) mengatakan bahwa guru lebih leluasa bererita/mendongeng, misalnya melalui perubahan mimik, gerak tubuh, mengubah intonasi suara, seperti keadaan yang hendak dilakukan dan sebagainya. Penggunaan bahasa yang baik adalah salah satu cara untuk mendidikan anak dari tidak disiplin menjadi disiplin. Misalnya: Ada anak yang suka menghambur sampah dalam rumah. Kalau disuruh membersihkan sampah dengan bahasa biasa, dia menolak, tidak menurut. Akan tetapi, bila disuruh dengan bahasa yang baik, dia melaksanakan suruhan itu dengan sangat sensng hati. Contoh: Musa! Begitu namanya, mengapa kamu hambur kulit pisang di lantai? Ambil baru buang atau taruh ke tempat sampah. Anak tiu, cuek saja tak mau menghiraukan suruhan itu. Namun, suruhannya diubah.

Ada seseorang di situ memanggil Musa. Musa! Sini dulu. Saya dengar, kamu ini orang hebat, kamu kuat, pintar. Bagaimana kalau kita bertarung/beradu kekuatan. Siapa yang kuat. Kamu atau saya. Coba kita lempar batu melalui jendela. ‘Batu tidak ada om!’ o, ya, kalau begitu kita pakai kulit pisang saja. Setuju? Ya. Mulailah orang besar mengambil kulit pisang dan melemparkannya, tampak seolah-olah keras, tapi pelan, lewat jendela. Karena pelan, tentu kulit pisang yang dilempar itu todak jauh jatuhnya. Sebaliknya, Musa melemparnya kuat-kuta, sehingga kulit pisang itu jatuh lebih jauh. Tanpa dirasa kulit pisang yang terhambur itu habis terbuang. Sadarkah Musa, bahwa sesungguhnya dia disuruh membuang kulit pisang, tetapi dengan cara lain.

5. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data: elisitasi, wawancara, rekam dan catat. Metode ini digunakan karena data lapangan dideskripsikan sebagaimana adanya. Setelah itu, data diklasifikasi, diinterpretasi, dianalisis, diformulasi, dan disimpulkan.

6. HASIL DAN ANALISIS Ungkapan falia ‘pamali’ berkaitan erat dengan perilaku. Menurut konten/isinya, ungkapan falia dalam bahasa Muna, berkaitan dengan pendidikan karakter atau perilaku berikut ini.

6.1 Berkaitan dengan disiplin 6.1.1 O falia doforoghu ne polangku, nomateane inando bhe amando. ‘Pemali minum di tangga nanti mati mamak dan mati ayah’ Ungkapan falia tersebut mengandung dua pernyataan. a. Pernyataan larangan (O falia doforoghu ne polangku) ==> ‘pemali minum di tangga’ b. Pernyataan dampak atau akibat bila dilakukan (nomateane inando bhe amando) ‘nanti mati mamak dan mati ayah’ Analisis: Maksud ungkapan falia ini ialah agar anak tidak minum di sembarang tempat. Di ujung tangga sangat rawan bahaya. Kita tahu bahwa anak-anak umumnya masih serba ceroboh dalam

~ 266 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature bertindak. Kalau minum di ujung tangga dikhawatirkan anak itu jatuh. Maka intinya adalah ungkapan falia itu merupakan larangan agar sang anak tidak mengulangi perbutannya. Namun, kalau larangan itu berupa ungkapan biasa belum tentu diikuti dan diindahkan. Oleh karena itu, orang tua melarangnya dengan ungkapan pamungkas, yakni nanti mati mamak dan mati ayah. Secara psikologi dapat dikatakan bahwa tak ada anak, bahkan orang dewasa pun, yang menginginkan dengan ikhlas kedua orang tuanya meninggal. Itu sebabnya, sang anak berjanji dalam hati tak akan mengulangi lagi perbuatannya minum di ujung tangga. Dampak ungkapan ini lebih jauh, sang anak memberi tahu juga teman-temannya dan selanjutnya diturunkannya kepada siapa saja, terutama kepada keturunannya. Hal ini diperkuat lagi bila orang tua sambil memantang sambil menunjukkan bukti empirik yang ada. Di situlah sang anak percaya bahwa memang kalau minum di ujung tangga berakibat fatal, yakni orang tua meninggal. Pertanyaan yang muncul, bolehkah dalam ungkapan falia itu berakibat lain, misalnya neneknya/kakeknya atau adik dan kakak yang meninggal? Banyangkan saja kalau akibat pantangan itu yang meninggal adalah nenek/kakek atau kakak dan adik. Secara psikologi anak belum tentu mengindahkan dan menaati ungkapan falia itu. Misalnya: o falia doforoghu ne fotuno polangku bhahi nomate awamu. ‘Pemali minum di ujung tangga nanti nenek/kakekmu meninggal’

Paling-paling dia mengatakan, kasihan nenek/kakek sudah mati. Lalu, mengapa anak itu tidak mau/ikhlas kalau mamaknya meninggal? Analisisnya adalah mamak bagi sang anak adalah tumpuan kasih sayang, mamak merupakan sumber kasih sayang, mamak suka membelikan dia jajan, suka membelikan dia mainan, suka membelikan dia baju baru, sepatu baru, celana baru. Nah, kalau mamak meninggal, siapa lagi yang diharapkan untuk menyayangi, siapa lagi orang yang membelikan dia jajan, dan segalanya itu? Maka sirnalah bagi anak. Lalu, bagaimana sang ayah di mata anak. Ayah bagi anak adalah segalanya. Sang ayah merupakan pengayom, pelindung utama. Kalau ada anak-anak lain yang mengganggu sektika ia melaporkan hal itu kepada sang ayah karena anak bernggapan bahwa ayahnya bisa melindunginya meskipun ayahnya dalam kondisi pincang, misalnya. Nah, kalau ayah meninggal, siapa lagi orang yang melindunginya. Oleh karena itu, ayahnya tidak mau/tidak ikhlas meninggal dunia, karena unsur psikologi yang kental inilah, sang anak menaati ungkapan falia dengan tulus, ikhlas, serta jujur. Tulus maksudnya anak menerima dengan niat tulus tanpa ragu-ragu. Ikhlas, maksudnya anak meninggalkan perbuatannya minum di tangga tanpa ada unsur keterpaksaan. Jujur maksudnya, sekalipun tak ada orang yang melihatnya dia tidak melakukan perbuatan itu. Dia lebih mengikuti apa yang diungkapkan sang orang tua. Dia harus minum dalam posisi duduk. Di sini secara tidak langsung anak dididik untuk disiplin ketika dia minum. Sang anak tidak mau menjadi anak yatim, maka berlakulah dengan sopan.

6.1.2 o falia anahi robhine dekangkalahi kabusando moghane, nobhalaane tanghindo ‘pemali melangkahi bekas kencing lelaki, nanti hamil’ Ungkapan falia tersebut mengandung dua pernyataan. a. Pernyataan larangan (o falia anahi robhine dekangkalahi kabusando moghane) ==> ‘pemali melangkahi bekas kecing lelaki’ b. Pernyataan dampak atau akibat bila dilakukan (nobhalaane tanghindo) ‘nanti hamil’

~ 267 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Analisis: Ungkapan pemali ini sangat menakutan bahkan mengerikan sang gadis. Dengan ungkapan falia ini, sang gadis kalau berjalan, sangat hati-hati. Jangan sampai mereka melangkahi bekas kencing lelaki. Mereka berhati-hati karena bekas kencing sang lelaki tidak diketahui ciri-cirinya. Itu sebabnya, para remaja putri tidak sembarang keluyuran di mana-mana karena takut dengan apa yang terkandung dalam falia itu.

Analisis lebih lanjut: Mengapa dipantang dengan sebuah kehamilan? Sebenarnya, inti dari pemali ini ialah orang tua melarang putrinya berjalan tanpa arah, keluyuran ke sana kemari tanpa tujuan. Lalu, dicarikanlah pemali yang paling ditakuti remaja putri, yakni kehamilan. Kehamilan di luar nikah adalah perbuatan yang tercela oleh Tuhan dan oleh masyarakat lebih-lebih kedua orang tua. Kedua orang tua wajahnya tercoreng malu, aib besar bagi keluarga besar. Untuk mncegah hal itu, maka remaja putrinya tidak diberi kebebasan bergaul sembarang dengan sang lelaki. Untuk maksud itu, maka leluhur menciptakan ungkapan falia yang sangat keras. Apa itu? Yakni, melangkahi saja kecing sang lelaki, remaja puri bisa hamil. Apa lagi bergaul bebas. Maka sang remaja putri di kampung, dahulu sangat membatasi diri untuk bertemu dengan jejaka atau lelaki. Dapat dibayangkan, melangkahi saja bekas kencing bisa hamil. Dengan pemali tersebut, sang remaja putri sangat membatasi diri untuk berkomunikasi dengan sang lelaki. Itu sebabnya dahulu tak jarang muda mudi menikah tanpa melalui pacaran lebih dahulu. Cukup orang tua yang bersepakat. Sang mempelai nanti bertemu di pelaminan, tak kenal wajah sebelumnya. Itulah fakta sejarah manusia dahulu dan peristiwa menikah seperti itu hingga kini masih ada orangnya yang pernah menikah tanpa pacaran. Orangnya sudah berusia sekitar 78 tahun. Simpulan yang diambil dari pemali tersebut adalah orang tua ingin agar anak-anaknya terutama putri harus nasihat orang tua, mengikuti perintah agama, tetap disiplin, taat, dan jujur.

6.1.3 o falia dofumaa kapengke-pengke, nosibudoane langkendo ‘Pamali makan dalam posisi berjengkek, nanti turun ususmu’ Ungkapan falia tersebut mengandung dua pernyataan. a. Pernyataan larangan (o falia dofumaa kapengke-pengke) ==> ‘pamali makan dalam posisi berjengkek’ b. Pernyataan dampak atau akibat bila dilakukan (nosibudoane langkendo) ‘nanti keluar ususmu’

Analisis: Turun usus merupakan salah satu jenis penyakit yang ditakuti sang anak. Penyakit ini, dalam lingkungan anak sudah banyak yang mengalaminya. Dengan pengalaman orang lain itulah, sang anak menjadi takut. Itu sebabnya, sang anak tak mau lagi berbuat seperti itu, duduk berjengkek. Kalau sang anak hendak makan, posii duduk harus duduk bersila. Jadi, ungkapan falia ini sebenarnya lebih pada disiplin anak pada waktu makan. Ungkapan-ugkapan falia yang mirip dengan itu ialah sebagai berikut. a. o falia dufumaa ngkakala-kala, dotolaane ‘pemali makan sambil berjalan, nanti muntah’ b. o falia doforoghu ngkawule-wule dokotumbaane ‘pemali minum ddalam keadaan lelah, nanti sakit lambung’

~ 268 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature 6.2 Menghargai orang lain Pemali yang berkaitan dengan menghargai orang lain, seperti berikut ini.

6.2.1 o falia dengkawowo korondoha, nofomaihiane dhini ‘pemali bersiul ddi waktu malam nanti didatangi jin’ Ungkapan falia tersebut mengandung dua pernyataan. a. Pernyataan larangan (o falia dengkawowo korondoha) ==> ‘pamali bersiul di malam hari’ b. Pernyataan dampak atau akibat bila dilakukan (nofomaihiane dhini) ‘nanti didatangi jin’

Analisis: Ungkapan falia ini berkaitan dengan perilaku menghargai orang lain. Bersiul malam tentu mengganggu orang yang sementara makan, orang yang sudah tidur. Lalu, mengapa jin yang datang, bukan makhluk lain? Makhluk jin itu merupakan makhluk yang sangat ditakuti oleh siapa pun, lebih-lebih anak-anak. Makhluk jin dalam dunia fantasi anak adalah sejenis makhluk yang menakutkan bahkan menyeramkan, badannya besar, matanya melotot. Dengan demikian, pemali ini sangat ampuh untuk meredam perilaku yang tidak etis itu. Pemali yang mirip dengan pemali tersebut ialah sebagai berikut ini.

6.2.2 o falia dobisara ngkaere-ere bhe kamokula dobalaane ‘pemali berbicara dengan orang tua dalam posisi berdiri’

6.2.3 o falia delali pogaundo kamokula dokantobheghoane ‘pemali menyelah/memotong perkataan orang tua, nanti pendek umur’

6.3 Pemali berkaitan dengan semangat kerja Pemali berkaitan dengan semangat kerja, di antaranya seperti berikut ini.

6.3.1 o falia detangku-tangku ghase nomate ane inando bhe amando ‘pemali duduk bertopang dagu, nanti mati mamak, mati ayah’ Ungkapan falia tersebut mengandung dua pernyataan. a. Pernyataan larangan (o falia detangku-tangku ghase) ==> ‘pemali duduk bertopang dagu’ b. Pernyataan dampak atau akibat bila dilakukan (nomate ane inando bhe amando) ‘nanti mati mamak, mati ayah’

Analisis: Ungkapan falia ini berkaitan dengan semangat kerja. Orang yang duduk sambil menopang dagu menandakan orang itu malas kerja. Agar sang anak bersemangat, sikap seperti itu dipantang dengan bentuk pemali tersebut. Posisi duduk seperti itu, menurut orang tua, seakan-akan ada keinginan anak agar orang tuanya segera mati. Tentu saja kematian orang tua bagi anak sangat-sangat tidak diinginkan. Agar orang uanya tidak segera mati, maka posisi duduk seperti itu segra dihndari dan ditinggalkan. Namun, sebenarnya maksud utama orang tua adalah agar anaknya semangat dalam melakukan pekerjaan. Mengapa sang anak tak mau kalau ~ 269 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature mamak dan ayahnya meninggal, sudah dibahas pada ungkapan falia sebelumnya.

6.3.2 o falia dolodo samintaeno, mina dakoradhakiiane ‘pemali tidur di waktu pagi nanti kehilangan rizki’ Ungkapan falia tersebut mengandung dua pernyataan. a. Pernyataan larangan (o falia detangku-tangku ghase) ‘pemali duduk bertopang dagu’ b. Pernyataan dampak atau akibat bila dilakukan (nomate ane inando bhe amando) ‘nanti mati mamak, mati ayah’

Analisis: Pemali ini juga berkaitan dengan semangat kerja. Waktu pagi adalah waktu yang baik mengais rizki di muka bumi ini. Pekerjaan yang mendatangkan rizki bagi orang kampung adalah bertani, mengolah kebun. Waktu yang paling aman mengolah kebun ialah di waktu pagi. Di waktu pagi itulah sang petani dapat terhindar dari teriknya matahari atau guyuran hujan. Ketahanan fisik mereka dalam bekerja biasanya di waktu pagi. Lalu, mengapa alat pantangnya tidak memperoleh rizki. Menurut orang kampung rizki masih identik dengan hasil kebun. Nah, tidak memperoleh rizki maksudnya, kebun merka tidak memberikan hasil yang cukup. Jika hasil keebunnya tidak cukup, maka ke depan akan menderita kelaparan. Itu sebabnya, pantangan dengan pemali ini sangat ampuh. Tak ada lagi anak-anak bahkan remaja, dewasa sekalipun tidak ada yang tidur-tidur di pagi hari.

6.3.3 o falia dofumaa densoro-nsoro, newantahiane titindo. ‘Pemali menjulurkan kaki pada waktu makan, nanti panjang buah dadamu’ Ungkapan falia tersebut mengandung dua pernyataan. a. Pernyataan larangan (o falia dofumaa densoro-nsoro) ‘Pemali menjulurkan kaki pada waktu makan’ b. Pernyataan dampak atau akibat bila dilakukan (newantahiane titindo) ‘nanti panjang buah dadamu’

Analisis: Ungkapan falia ini sebenarnya disampaikan kepada sang anak agar duduk dengan apik, duduk bersila. Duduk bersila pun harus mengikuti tata cara yang sudah baku, yakni kaki kanan dilipat pada bagian atas. Kalau kaki menjulur, banyak mengndang bahaya, seperti orang lewat tersandung padanya, jatuh, bisa fatal kalau bagan kepala terantuk pada lesung atau dinding papan. Lalu, mengapa dalam ungkapan itu berakibat nanti buah dadanya yang panjang? Ya, kita ketahui bahwa wanita identik dengan kecantikan. Kecantikan itu merupakan idaman mereka. Kalau boleh dikatakan, tak seorang wanita yang ingin disebut jelek. Kalau buah dadanya panjang, tentu secara keseuruhan dapat mempengaruhi kesimetrisan tubuh sang wanita. Hal ini tidak disukai. Itu sebabnya, sang anak wanita menaati ungkapan falia itu tanpa banyak pertanyaan atau komentar. Simpulannya, duduk dalam kondisi kaki menjulur adalah dikap tidak sopan. Sikap itu diperbaiki dengan ungkapan falia.

6.3.4 o falia dewotutu welo lambu, bhahi nomate inamu bhee amamu ‘Pemali bertutup kepala dan muka di dalam rumah nanti mamak dan ayahmu meninggal’

~ 270 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Ungkapan falia tersebut mengandung dua pernyataan. a. Pernyataan larangan (o falia dewotutu welo lambu) ==> ‘Pemali bertutup kepala dan muka di dalam rumah’ b. Pernyataan dampak atau akibat bila dilakukan (nomateane inando bhe amando) ‘nanti mamak dan ayahmu meninggal’

Analisis: Anak yang menutup kepala dan muka, tentu tidak bisa melihat apalagi sambil berjalan. Akibat dari perbuatan itu, bisa dia jatuh dan bagian kepala bisa terbentur pada alu atau benda keras yang lain. Agar berjalan dengan tertib, sang anak tidak boleh dalam posisi kepala dan muka tertutup. Agar tertib dan tidak mengulangi laagi perbuatannya, orang tua memantangnya dengan ungkapan falia seperti di atas. Dalam ungkapan itu, terucap kata-kata bhahi nomate inamu bhe amamu ‘nanti meninggal mamak dan ayahmu’. Mengapa sang anak tidak mau/ tidak mengikhlaskan orang tuanya meninggal? Orang tua biasanya memperlihatkan contoh kondisi buruk anak yatim-piatu. Kondisi buruk itulah yang ditakuti anak kalau meninggal orang tuanya. Menurutnya, pasti kondisi itulah yang menimpa dirinya kelak seandainya orang tuanya meninggal lebih awal. Itu sebabnya, perbuatan menutup kepala dihentikan.

7. SIMPULAN Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ungkapan falia dalam konteks pendidikan karakter anak sangat memegang peranan penting. Secara perlahan-lahan, tapi pasti, ungkapan falia dapat membentuk kepribadian anak, dari malas menjadi rajin, dari tidak sopan menjadi sopan, dari tidak jujur menjadi jujur, dari tidak disiplin menjadi disiplin, dari tidak santun menjadi santun, dari tidak menghargai orang lain menjadi menghargai orang lain. Ungkapan falia mengandung dua pernyataan, yakni pernyataan berupa larangan, dan pernyataan berupa akibat bila dilanggar. Pernyataan akibat inilah yang ditakuti anak sehingga ungkapan falia itu menjadi mempan menjadi alat pendidikan karakter yang ampuh bagi anak.

8. SARAN Dilihat dari kontennya, ungkapan falia sangat padat dengan pendidikan karakter. Ungkapan falia mengandung ajaran disiplin, semangat kerja, etika, sopan-santun. Oleh karena itu, ungkapan falia perlu diajarkan di sekolah sebagai bahan kearifan lokal.

DAFTAR PUSTAKA

Agustian, Ary Ginanjar. 2001. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi & Spiritual. ESQ Emotional Spiritual, Quotient. Jakarta: PT Arga Tilanta.

Djajasudarma, T. Fatima, dkk. 1997. Nilai Budaya dalam Ungkapan dan Peribahasa Sunda. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Ibrahim, Marwah Daud. 2012. Mengelola Hidup Merencanakan Masa Depan. Jakarta: Penerbit MHMMD Prduction

Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yoguakarta: PT Tiara Wacana Yogya.

La Taena. 2014. “Dimensi Pedagogis dalam Makna Budaya Falia ‘Pemali’ dalam Masyarakat Muna.” Mudra Vol. 29 No. 1 Februari.

~ 271 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Lathief, Halilintar. 2008. “Generasi Muda Melarikan Diri dari Daerah dan Komunitas Lokal” dalam Industri Budaya dan Budaya Industri: Jakarta: Kongres Kebudayaan Indonesia.

Lickona, Thomas. 2013. Educating for Character (Mendidik untuk Membentuk Karakter). Diterjemahkan oleh Juma Abdu Wamaungo. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Lockona, Thomas. 2013. Character Matters. (Persoalan Karakter) Diterjemahkan oleh Juma Abdu Wamaungo. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Nurhan, Kenedi (Editor). 2008. Industri Budaya, Budaya Industri. Jakarta.

Samani, Muchlas. 2014. Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

~ 272 ~ MAKNA VERBA MEMASAK BAHASA CIACIA: PENDEKATAN METABAHASA SEMANTIK ALAMI

La Yani Konisi Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara Email: [email protected] HP 085298682828

ABSTRAK Tulisan ini mengkaji makna “memasak” dalam bahasa Ciacia berdasarkan metabahasa semantik alami (MSA). Data diperoleh melalui teknik wawancara dan pencatatan. Data dianalisis menggunakan MSA, yakni mengkaji bentuk, struktur, dan makna kata secara menyuluruh dengan prinsip “satu bentuk untuk satu makna, satu makna untuk satu bentuk”. Hasil analisis, makna “memasak” bahasa Ciacia tereal- isasi dengan sejumlah bentuk yang memiliki makna khusus/distingtif. Makna memasak bahasa Ciacia dibagi tiga bagian: (1) memasak menggunakan air: pegheka (memasak yang bersifat umum), pipanai (memasak kembali makanan yang sudah masak), pikandawu (memasak makanan tertentu dalam satu periuk), pisosolu (memasak bubur), pisoami (memasak dengan alat kukus), pikasambi (memasak ubi kayu), pidanda (memasak menggunakan dandan), dan piondeonde (memasak onde-onde); (2) memasak menggunakan minyak: pigore (memasak dengan minyak bersifat umum), piladi-ladi (membuat kue la- diladi), picucughu (memasak ), piwadi (memasak kue wajit), dan pisanggagha (menggoreng pisang); dan (3) memasak tanpa menggunakan air/minyak kelapa: pikancunu (memasak/membakar), pikahole (memasak/sangrai), pilobu (memasak beras ke dalam bambu ukuran besar), pilama (/mema- sak beras ke dalam bambu ukuran kecil), pikatapai (memanggang/mengasapi), pikadange (memasak tepung jagung), dan pibacua (memasak umbi-umbian).

Kata kunci: Makna memasak, MSA, bentuk, struktur, dan makna

I. PENDAHULUAN Bahasa Ciacia (BC) merupakan salah satu bahasa daerah yang di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Dahulu, di daerah ini terdapat sejumlah bahasa daerah, di antaranya bahasa Wolio yang umumnya digunakan di wilayah Keraton Kesultanan Buton, bahasa Kepulauan Tu- kang Besi yang tersebar di Pulau Wanci, Kaledupa, Tomia, Binongko; dan bahasa Muna yang tersebar di Pulau Muna, tetapi masuk dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Buton (Gani, 1988:1; Konisi, 1999:1). Bahasa Ciacia memiliki sejumlah leksikon verba dengan sejumlah makna seperti makna menanam (cika, pontasu, pimbula, pilana, pitewi), memotong (cumpo, dodo, , tata, keo, tamba, pangkasi), membawa (suu, lemba, tongku, rongo, solo, sele, ntai, kopo, tape), melempar (pandok, panawu, polola, polodo), memasak (pegheka, pipanai, pilobu, pilama, pikandawu, pikancunu, pikatapai, pisosolu, pisoami, pikasambi, pidanda, piwadi, piladiladi, picucughu, pisanggagha, pikadange, pibacua, pilama, pikahole, pigore). Makna “memasak” memiliki bentuk yang bervariasi, dan masing-masing bentuk digam- barkan dengan kata yang berbeda. Ini menunjukan bahwa masing-masing makna “memasak” dapat diungkapkan dengan satu kata. Makna “memasak” dalam BC dapat dijelaskan dengan baik dan lengkap melalui pendekatan metabahasa semantik alami. Leksikon-leksikon yang berhubungan makna memasak dalam BC dapat diklasifikasi berdasarkan unsur atau komponen yang dilibatkan dalam kegiatan memasak. Ada kegiatan me- masak dengan menggunakan air, menggunakan minyak kelapa, tidak menggunakan air ataupun minyak kelapa. Tulisan ini akan menganalis makna leksikon yang berhubungan dengan “me- ~ 273 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature masak’ dalam BC.

II. MATERIAL DAN METODE Data penelitian ini dukumpulkan dari sumber lisan melalui metode cakap dengan teknik cakap tak semuka dan simak dengan teknik catat dan rekam (Mahsun, 1995:94-101). MSA dipelopori Wierzbicka, 1972 dan dikembangkan Cliff Goddard (Wierzbicka, 1996). MSA dipi- lih karena dapat mengekpresikan semua makna baik leksikal, ilokusionari, maupun makna gra- matikal yang berasal dari bahasa bermakna dasar atau natural. Prinsip dari MSA adalah satu bentuk untuk satu makna dan satu makna untuk satu bentuk. Sudipa (2006: 2) menyebutkan bahwa kondisi alami sebuah bahasa dapat mempertah- ankan satu bentuk untuk satu makna dan satu makna untuk satu bentuk yang kemudian meng- gunakan tiga konsep MSA, yakni makna dasar, polisemi tak komposisi, dan sintaksis universal. Hal ini pada dasarnya senada dengan apa yang diungkapkan oleh Lehrer (1992); Koch (2001); dan Koptjevskaja-Tamm (2008). Makna dasar adalah rangkaian makna yang tidak berubah sebagaimana telah digunakan sejak zaman kuno. Sementara itu, polisemi bukanlah istilah baru dalam semantik (Wierzbicka, 1996: 25; Goddard, 1998: 18). Dalam MSA, polisemi tak komposisi memiliki bentuk leksikal tunggal yang dapat mengekspresikan dua makna dasar berbeda dan tidak memiliki hubungan antara satu eksponen dengan yang lainnya karena eksponen itu memiliki bingkai gramatikal yang berbeda (Weirzbicka, 1996: 29-30). Dalam verbal tindak “memasak”, ada sebuah polisemi tak komposisi antara MELAKUKAN dan MASAK, dan oleh karena itu verba itu memiliki ek- sponen sebagaia berikut: X “melakukan sesuatu”, dan oleh karena itu terjadi sesuatu pada Y, “menjadi masak”. MSA juga terdiri dari unsur sintaksis atau kaidah sintaksis universal. Makna dasar dihipotesiskan memiliki unsur gabungan universal (konsep sintaksis).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN Makna “memasak” dalam BC dapat direalisasikan dengan beberapa leksikon yang memiliki makna distintif yang bervariasi dalam mengekspresikan makna “memasak”. Lek- sikon-leksikon tersebut diklasifikasi berdasarkan komponen yang dilibatkan dalam memasak, yakni memasak menggunakan air, memasak menggunakan minyak kelapa, dan memasak tanpa menggunakan air ataupun minyak kelapa, sebagaimana yang dapat dilihat pada deskripsi beri- kut.

3.1 Leksikon Memasak yang Menggunakan Air 3.1.1 Pegheka ‘memasak’ Kata pegheka dalam BC memiliki makna umum ‘memasak’, contoh:

(1.1) Wasari nopegheka kamaa ‘Wasari memasak makanan’ (1.2) Wasari nopegheka isi ‘Wasari memasak ikan’

Eksplikasi:

Pada waktu tertentu, X melakukan sesuatu kepada Y Pada waktu yang sama, akibat tindakan itu, Y menjadi masak X menginginkannya, X melakukannya seperti itu

~ 274 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature 3.1.2 Pipanai ‘memanasi’ Kata pipanai dipergunakan untuk memasak kembali makanan yang sudah masak, di- pakai seperti contoh berikut ini:

(1.3) Ia nopipanai isa ‘Dia memanasi ikan’ (1.4) Isami topipanai kambose ‘Kami memanasi jagung’

Eksplikasi:

Pada waktu tertentu, X melakukan sesuatu kepada Y Pada waktu yang sama, akibat tindakan itu, Y menjadi panas/hangat X menginginkannya, X melakukannya seperti itu (memanasi)

3.1.3 Pikandawu ‘memasak beberapa jenis makanan’ Kata pikandawu dipergunakan untuk memasak beberapa jenis makanan (jagung, ubi kayu kering, papaya muda) dalam satu wajan/periuk. Biasanya, jenis makanan jagung yang di- dahulukan di dalam periuk, lalu disertai dengan ubi kayu kering atau papaya muda. Perhatikan contoh berikut:

(1.5) Isami topikandawu kapaeya I taweno kambose ‘Kami memasak pepaya (bersama-sama) di periuk jagung’ Eksplikasi:

Pada waktu tertentu, X melakukan sesuatu kepada Y Pada waktu yang sama, akibat tindakan itu, Y menjadi masak X menginginkannya X melakukannya seperti itu (memasak beberapa jenis makanan dalam satu periuk secara berangsur)

3.1.4 Pisosolu ‘memasak bubur’ Kata pisosolu dipergunakan khusus untuk memasak bubur, seperti contoh:

(1.7) Isami topisosolu labu ‘Kami memasak bubur labu’ (1. 8) Moia nokapisosolu kaladi ‘Mereka memasak bubur keladi’

Eksplikasi:

Pada waktu tertentu, X melakukan sesuatu kepada Y Pada waktu yang sama, akibat tindakan itu, Y menjadi bubur X menginginkannya, X melakukannya seperti itu (membuat bubur)

3.1.5 Pisoami ‘memasak dengan alat kukus’ Kata pisoami dipergunakan jika memasak dengan menggunakan alat kukus yang ter- buat dari anyaman daun kelapa atau daun pandan, Jenis makanan yang dimasak dengan alat ini bisanya berupa beras, ubi kayu (basah) yang diparut (BC, kapagi), ubi kayu kering yang telah diiris-iris kecil (BC, kakeo-keo), contoh:

(1.9) Wanara nopisoami bae gunu ‘Wanara mengukus (nasi) beras merah’ (1.10) Wanara nopisoami kakeo-keo ‘Wanara mengukus ubi kayu kering’

~ 275 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Eksplikasi:

Pada waktu tertentu, X melakukan sesuatu kepada Y Pada waktu yang sama, akibat tindakan itu, Y menjadi masak X menginginkannya X melakukannya seperti itu (mengukus dengan menggunakan daun tertentu)

3.1.6 Pikasambi ‘memasak dengan alat kukus/dandan’ Kata pikasambi dipergunakan khusus untuk memasak ubi kayu (basah) yang telah di- parut lalu dikeringkan (BC, kapagi) dengan menggunakan daun pisang, lalu dikukus. Perhati- kan contoh berikut:

(1.11) Isami topiksambi kapagi ‘Kami mengukus tepung ubi kayu’.

Eksplikasi:

Pada waktu tertentu, X melakukan sesuatu kepada Y Pada waktu yang sama, akibat tindakan itu, Y menjadi masak X menginginkannya X melakukannya seperti itu (mengukus dengan menggunakan daun pisang)

3.1.7 Pidanda ‘memasak dengan dandan’ Kata pidanda digunakan untuk memasak menggunakan dandan, contoh:

(1.12) Wasari nopidanda bae ‘Wasari mengukus nasi’

Eksplikasi:

Pada waktu tertentu, X melakukan sesuatu kepada Y Pada waktu yang sama, akibat tindakan itu, Y menjadi masak X menginginkannya, X melakukannya seperti itu (menggunakan dandan)

3.1.8 Piondeonde ‘memasak ondeonde’ Piondeonde merupakan verba yang digunakan untuk membuat/memasak ondeonde. Ondeonde salah satu jenis kue tradisional maayarakat Buton. Kue ini terbuat dari tepung ubi kayu atau beras, gula merah, dan kelapa parut. Contohnya:

(1.13) Moia nokapiondeondesao kasekea ‘Mereka memasak ondeonde untuk pesta’.

Eksplikasi:

Pada waktu tertentu, X melakukan sesuatu kepada Y Pada waktu yang sama, akibat tindakan itu, Y menjadi masak/sebuah kue X menginginkannya, X melakukannya seperti itu

3.2 Leksikon Memasak dengan Menggunakan Minyak Kelapa 3.2.1 Pigore ‘menggoreng’ Kata pigore bermakna umum untuk memasak menggunakan minyak kelapa, contoh berikut:

(2.1) Moia nokapigore isa ‘Mereka menggoreng ikan’ (2.2) Isami topigore kadese ‘Kami menggoreng pisang’

~ 276 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Eksplikasi:

Pada waktu tertentu, X melakukan sesuatu kepada Y Pada waktu yang sama, akibat tindakan itu, Y menjadi masak/makanan gorengan X menginginkannya, X melakukannya seperti itu (menggoreng biasa)

3.2.2 Piladiladi ‘memasak/menggoreng ladi-ladi’ Kata piladi-ladi memiliki makna membuat/menggoreng kue ladiladi (salah satu kue di masyarakat Ciacia)’ seperti pada contoh berikut:

(2.3) Isami topiladiladiaso kaghiaa ‘Kami membuat/menggoreng ladiladi untuk pesta pingitan’

Eksplikasi:

Pada waktu tertentu, X melakukan sesuatu kepada Y Pada waktu yang sama, akibat tindakan itu, Y menjadi masak/gorengan ladiladi X menginginkannya, X melakukannya seperti itu (menggoreng)

3.2.3 Picucughu ‘memasak cucur’. Kata picucughu digunakan untuk memasak/menggoreng kue cucur. Perhatikan contoh berikut:

(2.4) Moia nopicucughuaso kaasekea ‘Mereka membuat/menggoreng cucur untuk pesta’

Eksplikasi:

Pada waktu tertentu, X melakukan sesuatu kepada Y Pada waktu yang sama, akibat tindakan itu, Y menjadi masak/gorengan cucur X menginginkannya, X melakukannya seperti itu (menggoreng)

3.2.4 Piwadi ‘memasak kue wajit’ Kata piwadi digunakan untuk memasak /menggoreng kue wajit, contoh:

(2.5) Wa Ina nopicucughuaso paghaasoa ‘Ibu memnggoreng cucur untuk dijual’

Eksplikasi:

Pada waktu tertentu, X melakukan sesuatu kepada Y Pada waktu yang sama, akibat tindakan itu, Y menjadi masak (gorengan kue wajit) X menginginkannya, X melakukannya seperti itu (menggoreng)

3.2.5 Pisanggagha ‘menggoreng Pisang’ Kata pisanggagha digunakan untuk memasak/menggoreng pisang, contoh:

(2.6) Wasari nopisanggagha diaaso kancila ‘Wasari menggoreng (pisang) untuk sarapan pagi’

Eksplikasi:

Pada waktu tertentu, X melakukan sesuatu kepada Y Pada waktu yang sama, akibat tindakan itu, Y menjadi masak () X menginginkannya, X melakukannya seperti itu (menggoreng)

~ 277 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature 3.3 Leksikon Memasak tanpa Menggunakan Air atau Minyak Kelapa 3.3.1 Pikancunu ‘memasak dengan cara membakar’ Kata pikancunu bermakna umum memasak dengan cara dibakar, contoh:

(3.1) Wasari nopikancunu isa ‘Wasari membakar ikan’ (3.2) Wasari nopikancunu katela ‘Wasari membakar jagung’

Eksplikasi:

Pada waktu tertentu, X melakukan sesuatu kepada Y Pada waktu yang sama, akibat tindakan itu, Y menjadi masak X menginginkannya, X melakukannya seperti itu (membakar)

3.3.2 Pikahole ‘memasak dengan cara sangrai’ Kata pikahole bermakna memasak dengan tidak menggunakan air (sangrai). Perhatikan contoh berikut:

(1.3) Isami topikahole katela ‘Kami menyangrai jagung’ (1.4) Moia nokapikahole kahawa ‘Mereka menyangrai kopi’

Eksplikasi:

Pada waktu tertentu, X melakukan sesuatu kepada Y Pada waktu yang sama, akibat tindakan itu, Y menjadi masak X menginginkannya, X melakukannya seperti itu (menyangrai)

3.3.3 Pilobu ‘memasak dalam bambu besar’ Kata pilobu khusus dipergunakan untuk membuat/memasak beras yang dimasukkan ke dalam bambu ukuran besar (BC, Lobu ‘nasi bambu’) lalu dibakar. Lobu biasanya hanya berisi beras merah/ketan, contoh berikut:

(1.5) Miano kampo nokapilobuaso maataa ‘Orang kampung membuat nasi bamboo untuk pesta adat’ Eksplikasi:

Pada waktu tertentu, X melakukan sesuatu kepada Y Pada waktu yang sama, akibat tindakan itu, Y menjadi masak X menginginkannya, X melakukannya seperti itu (membakar)

3.3.4 Pilama ‘memasak dalam bambu kecil’ Kata pilama khusus digunakan untuk memasak beras yang dimasukkan ke dalam bambu ukuran kecil lalu dibakar, seperti pada contoh kalimat berikut:

(1.6) Moia nokapilama bae gunu ‘mereka membuat/memasak (dalam bambu) beras merah’

Eksplikasi:

Pada waktu tertentu, X melakukan sesuatu kepada Y Pada waktu yang sama, akibat tindakan itu, Y menjadi masak X menginginkannya, X melakukannya seperti itu (membakar)

~ 278 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature 3.3.5 Pikatapai ‘memanggang’ Kata pikatapai dipergunakan untuk memanggang/mengasapi sesuatu, seperti ikan, ubi kayu, ayam, seperti contoh berikut:

(1.7) Isami topikatapai isa ‘Kami memanggang ikan’ (1.8) Moia nokapikatapai manu ‘Kami memanggang ayam’ Eksplikasi:

Pada waktu tertentu, X melakukan sesuatu kepada Y Pada waktu yang sama, akibat tindakan itu, Y menjadi masak X menginginkannya, X melakukannya seperti itu (memanggang)

3.3.6 Pikadange ‘memasak dengan membakar’ Kata pikadange khusus dipergunakan untuk memasak tepung jagung giling yang di- bungkus dengan kulit jagung lalu dibakar, contoh berikut:

(1.9) Wa Ina nopikadange homeano katela ‘Ibu membakar tepung jagung giling’

Eksplikasi:

Pada waktu tertentu, X melakukan sesuatu kepada Y Pada waktu yang sama, akibat tindakan itu, Y menjadi masak X menginginkannya, X melakukannya seperti itu (membakar)

3.3.7 Pibacua ‘memasak dengan membenamkan dalam tanah’ Kata pibacua khusus dipergunakan untuk memasak/membakar umbi-umbian (ubi jalar, ubi kayu, atau keladi dengan cara dibenamkan ke dalam tanah, lalu di atasnya dibuat perapian, conh:

(1.10) Isami topibacua kajawa ‘Kami membakar ubi jalar (1.11) Moia nokamapibacua kaladi ‘Mereka membakar keladi’

Eksplikasi:

Pada waktu tertentu, X melakukan sesuatu kepada Y Pada waktu yang sama, akibat tindakan itu, Y menjadi masak X menginginkannya, X melakukannya seperti itu (membakar).

V. KESIMPULAN Makna “memasak” dalam BC direalisasikan dengan berbagai bentuk leksikal yang memiliki makna distintif. Makna memasak BC dibagi tiga bagian: (1) memasak menggunakan air: pegheka (memasak/umum), pipanai (memasak kembali makanan yang sudah masak), pi- kandawu (memasak makanan tertentu dalam satu periuk), pisosolu (memasak bubur), pisoami (memasak dengan alat kukus), pikasambi (memasak ubi kayu), pidanda (memasak mengguna- kan dandan), dan piondeonde (memasak onde-onde); (2) memasak menggunakan minyak: pig- ore (memasak dengan minyak bersifat umum), piladi-ladi (membuat kue ladiladi), picucughu (memasak kue cucur), piwadi (memasak kue wajit), dan pisanggagha (menggoreng pisang); dan (3) memasak tanpa menggunakan air/minyak kelapa: pikancunu (memasak/membakar), pikahole (memasak/sangrai), pilobu (memasak beras ke dalam bambu besar), pilama (/mema- sak beras ke dalam bambu kecil), pikatapai (memanggang/mengasapi), pikadange (memasak

~ 279 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature tepung jagung), dan pibacua (memasak umbi-umbian).

DAFTAR PUSTAKA

Goddard, Cliff. 1998. Semantic analysis. Oxford: Oxford University Press. [2nd ed’n in press]. Koch, Peter. 2001. Lexical typology from a cognitive and linguistic point of view. In Martin Haspelmath, Ekke- hard König & Bernard Comrie (eds.), Language typology and language universals, Vol 2, 1142–1178. Berlin: Walter de Gruyter. Koptjevskaja-Tamm, Maria. 2008. Approaching lexical typology. In Martine Vanhove (ed.), From polysemy to semantic change: A typology of lexical semantic associations, 3–54. Amsterdam: John Benjamins. Lehrer, Adrienne. 1992. A theory of vocabulary structure: Retrospectives and prospectives. In Martin Pütz (ed.), Thirty years of linguistic evolution, 243–256. Amsterdam: John Benjamins. Mahsun. 1995. Dialektologi Diakronis: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sudipa, I Nengah. 2006. “Verba Tindak Tutur Bahasa Bali: Suatu Kajian ahasa” dalam Kongres Bahasa Bali VI, 2006. Denpasar: Universitas Udayana. Wierzbicka, A. 1996b. Semantics: Primes and Universals. Oxford: Oxford University Press.

~ 280 ~ MAKNA EKSPRESI VERBAL TENTANG LONTAR PADA MASYARAKAT SABU DI KABUPATEN SABU RAIJUA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

Lanny Isabela Dwisyahri Koroh dan Simon Sabon Ola Universitas PGRI NTT dan Universitas Nusa Cendana Surel: [email protected]

ABSTRAK Makalah ini membahas makna bahasa yang berkaitan dengan lontar dalam masyarakat Sabu. Lontar dalam pandangan orang Sabu merupakan tumbuhan pemberi hidup. Pandangan ini terkait dengan ketergantungan orang Sabu terhadap nira yang disadap dari lontar untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Sebegitu eratnya hubungan antropologis antara orang Sabu dengan lontar tercermin pada ekspresi kebahasaan yang berkaitan dengan lontar, baik leksikon-leksikonnya maupun tuturan ritualnya. Bahasannya dalam makalah ini difokuskan pada makna dan nilai tuturan memanggil nira. Tuturan ini, jika diucapkan secara sungguh-sungguh, mengandung daya yang dapat memberikan efek berupa kelimpahan hasil sadapan lontar (nira). Daya bahasa itu timbul akibat pemaknaan yang diberikan terhadap tuturan yang berkaitan dengan lontar. Tuturan ritual ini mengandung makna dan nilai historis, sosial ekonomis, dan religius. Makna dan nilai tersebut merupakan refleksi kosmologis yang menggambarkan keharmonisan hubungan antara orang Sabu dengan sesamanya, dengan leluhur, dan dengan Adikodrati, Deo Ama.

Kata kunci: verbal expression, papyrus, meaning, cosmogolgy.

1. Pendahuluan Lontar (Ltn. Borassus Flabellifer) merupakan famili palem dan tergolong sebagai tanaman umur panjang. Jenis tumbuhan ini umumnya hidup di daerah tropis, bahkan dapat bertahan hidup di musim panas yang ekstrem. Tumbuhan yang tidak terganggu pertumbuhannya di lahan yang rendah kadar airnya ini diyakini sebagai tumbuhan pemberi hidup bagi masyarakat Sabu. Sebagai tumbuhan pemberi hidup, sudah tentu terdapat keterkaitan secara antropologis antara orang Sabu dengan lontar. Keterkaitan itu tercermin di dalam persepsi mereka ihwal tumbuhan pemberi hidup yang dipahami dan diwariskan dengan menggunakan bahasa, khususnya bahasa Sabu. Keterkaitan dimaksud sedemikian eratnya sehingga lontar, yang oleh orang luar Sabu sering dianggap sebagai ikon orang Sabu. Jika demikian, diyakini bahwa orang Sabu memiliki repetoar verbal yang kaya dengan ekspresi yang khas berkaitan dengan lontar. Penggunaan bahasa oleh suatu guyub tutur didasarkan lingkungan sosial dan budaya yang melatariya. Foley (1997:249) berpendapat bahwa berbicara merupakan tindakan yang dibentuk secara budaya. Pendapat Foley tersebut menyiratkan hubungan antara bahasa dengan budaya guyup tuturnya. Fakta mengenai hubungan ini tampak pada tuturan dalam bahasa Sabu yang berkaitan dengan lontar, yang antara lain mencakup: ekspresi verbal berkaitan dengan pemeliharaan lontar, penyadapan nira, dan proses pembuatan gula (lazim disebut gula Sabu) yang merupakan lanjutan dari proses penyadapan nira lontar. Dalam perkembangan masyarakat yang dinamis, masyarakat Sabu mengalami dinamika dengan mempersepsikan perubahan sebagai suatu keniscayaan. Perubahan itu, antara lain tampak pada diversifikasi atau penganekaragaman matapencaharian hidup yang telah membuat ~ 281 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature sebagian besar orang Sabu tidak lagi menggantungkan hidupnya pada lontar. Dalam konteks dinamika yang dialami masyarakat Sabu itulah diasumsikan telah pula terjadi dinamika pada repertoar kebahasaan orang Sabu yang berkaitan dengan lontar. Ekspresi verbal yang berkaitan dengan lontar tidak hanya menguatkan persepsi orang Sabu mengenai lontar, tetapi dapat pula memberikan pembelajaran nilai-nilai kehidupan yang khas berlatar budaya Sabu. Ekspresi verbal yang dimaksudkan dalam makalah ini berupa tuturan yang menyertai pelbagai ritual yang berkenaan dengan lontar. Tuturan dimaksud akan diidentifikasi dan dideskripsikan berdasarkan hasil survai (secara kualitatif) berkenaan dengan eksistensinya, terutama makna dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

2. Konsep dan Teori

2.1 Konsep Konsep yang relevan dengan topik makalah ini, yakni: fungsi bahasa, dan makna dan nilai.

2.1.1 Fungsi Bahasa Setiap bahasa berfungsi untuk guyup tuturnya. Fungsi bahasa ialah peran bahasa yang bersangkutan di dalam masyarakat pemakainya (Alwi dan Sugono,ed., 2011:219). Fungsi dimaksud diidentifikasi dan dipilah berdasarkan sudut pandang tertentu, terutama berdasarkan tujuan pemakaian suatu bahasa. Banyak pendapat ahli tentang fungsi bahasa yang mungkin dirujuk dalam berbagai penelitian dan kajian bahasa. Namun, khusus untuk topik ini, pendapat Malinowski (dalam Halliday, 1992:20) yang mengelompokkan fungsi bahasa atas dua, yakni fungsi pragmatik/ fungsi praktis, dan fungsi magis. Fungsi pragmatis diperuntukkan bagi komunikasi sehari-hari antarmanusia. Fungsi ini didikotomikan dengan fungsi magis yang diperuntukkan bagi upacara keagamaan dan kebudayaan, yang oleh Concon, Jr disebut bahasa ritual. Ibrahim (1994:66) mengatakan bahwa penggunaan bahasa secara ritual dapat mengungkapkan kebudayaan, yang oleh Humboldt (dalam Basilius (1972:450) dilukiskan sebagai energia, sebagai manifestasi budaya penuturnya.

2.1.2 Makna dan Nilai Makna (meaning) artinya sesuatu yang dinyatakan oleh suatu kalimat (Matthews, 1997:220). Dimensi lain dari makna di dalam studi bahasa ialah maksud. Dalam sebuah kalimat terkandung tidak hanya makna, tetapi juga maksud. Maksud itu tersirat di dalam hubungan antara bentuk linguistik yang digunakan di dalam aktivitas berbahasa. Djajasudarma (1993:138) mengartikan makna sebagai pertautan antara unsur-unsur dalam suatu bahasan yang merupakan komponen yang terpenting di dalam studi bahasa. Makna di dalam domain budaya selalu dikaitan dengan nilai karena dari nilai itulah sebuah komunitas, termasuk suku ataupun etnik membingkai persepsi mereka. Nilai itulah yang menjadi rujukan setiap guyup di dalam berperilaku. Notosusanto, sebagaimana dikutip Bagus (1986:12), “Kita tidak bisa berbicara tentang kepribadian kalau kita tidak bertumpu pada nilai-nilai sebab yang menentukan kepribadian kita ialah nilai-nilai kita, yang menentukan kepribadian seseorang adalah nilai-nilai yang dianut dibandingkan dengan nilai-nilai orang lain.” Pemahaman terhadap nilai yang membingkai persepsi berimplikasi pada perilaku guyup sebagai tindakan budaya.

~ 282 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature 2.2 Teori Kajian dalam makalah ini mengacu pada Teori Linguistik Kebudayaan. Teori ini bertolak dari kesadaran tentang hubungan antara bahasa dan kebudayaan. Alisjahbana (1979:11) berpendapat: “Tak ada yang lebih jelas dan teliti mencerminkan kebudayaan suatu bangsa daripada bahasanya.” Lebih lanjut dikatakannya bahwa setiap bahasa secara sempurna menjelmakan kebudayaan masyarakat penuturnya. Suharno (1982)) menggunakan istilah linguistik kultural yang memfokuskan pada pengenalan model baru dalam penelitian bahasa. Suharno (1982:102) mengatakan: “Istilah Linguistik Kultural .... menunjukkan adanya sesuatu yang baru....Yang dimakksudkan dengan ‘sesuatu’ di sini ialah adanya medan perhatian serta harapan tentang dilakukannya perintisan tentang cakrawala baru telaah bahasa yang berlandaskan kebudayaan....” Palmer (1996) sebagai cultural linguistics. Palmer (1996:36) mengemukakan bahwa linguistik kebudayaan adalah sebuah nama yang cenderung mengandung pengertian luas dalam kaitan dengan bahasa dan kebudayaan. Ola (2005) menerapkan teori linguistik kebudayaan untuk menganalisis tuturan ritual bahasa Lamaholot. Meskipun sarat dengan perdebatan perihal perbedaannya dengan sosiolinguistik, Ola tetap mempertahankan pandangannya tentang linguistik kebudayaan sebagai teori dengan mengemukakan bahwa analisis tuturan berdasarkan teori linguistik kebudayaan mencakup: bentuk, fungsi, makna, nilai, dan impilkasi terhadap perilaku pemilik budaya.

3. Bahasan 3.1 Lontar dalam Budaya Sabu Pohon lontar sejak dahulu menjadi penopang ekonomi masyarakat Sabu. Hal ini telah menjadi kesadaran kolektif orang Sabu yang terekspresi pula di dalam berbagai bentuk lingual, baik pada tataran leksikon mapun pada tataran kebahasaan di atas leksikon. Sebagai produk alam, dan bukan produk manusia, sudah tentu lontar bukanlah anasir kebudayaan Sabu. Meskipun demikian, hal-hal yang berkenaan dengan lontar, termasuk ekspresi lingual tentang lontar yang telah terwariskan antargenerasi patut dikategorikan sebagai anasir budaya Sabu.

3.1.1Tradisi Penanaman Lontar di Sabu Kemunculan lontar sebagai pohon kehidupan orang Sabu lebih bernuansa mitos sehingga penanamannya pun sarat dengan pandangan-pandangan mistik. Pohon lontar hanya boleh ditanam pada hari ke-15 terhitung dari bulan baru, pada bulan Bhagarae Ro (berdasarkan kalender adat Sabu), yakni antara bulan Juli dan Agustus). Penanaman dilakukan dua orang, seorang laki-laki dan seorang perempuan bertepatan dengan upacara Nga’a Robhaha. Hal ini sebagai simbol mengenai adanya kale mone (lontar jantan) dan kale banni (lontar betina). Kale mone mempunyai jenis mayang (hubi) agak panjang dan tidak berbuah, sedangkan kale banni dengan jenis mayang yang menghasilkan buah yang dikenal luas hingga ke Pulau Timor, yang oleh orang Kupang sering menyebutnya saboak. Biji dari saboak tua inilah yang nantinya ditanam. Artinya, hanya lontar betina yang berbuah dan menghasilkan biji buah yang setelah tua bisa ditanam. Ritual yang mengawali, menyertai dan mengakhiri proses penanaman pun sarat dengan simbol-simbol. Simbol-simbol itu, antara lain: nasi kacang, sesajian yang diletakkan di atas batu (mesbah), tugas perempuan menggali lubang tanam, laki-laki bertugas menanan biji lontar, ~ 283 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature dan penanam berdiri menghadapke barat sambil berkomunikasi secara metafisikJaggi Rai dan Jugu Rai (Anak dari Pu Lodho, yang membawa biji lontar ke bumi). Semua simbol ini dapat dieksplanasi utuk selanjutnya dijawab dari perspektif budaya. Sejalan dengan simbol-simbol mistik, terdapat pula sejumlah tabu berkaitan dengan penanaman lontar. Tabu dimaksud, antara lain seperti berikut ini. a. Penggalian lubang tanam boleh menggunakan alat yang berunsur besi, melainkan menggunakan kayu runcing. b. Memasukkan biji lontar ke dalam lubang tanam tidak boleh denganya ditetapkan tangan, melainkan digeser dengan pinggul hingga biji lontar tersebut masuk ke dalam lubang. c. Biji lontar yang sudah berada di dalam lubang tidak boleh terkena bayangan orang si penanam. d. Pada setiap kali menanam jumlah yang ditanam tidak boleh kurang dari 10 pohon. Untuk menghasilkan tanaman lontar yang unggul, perlu diadakan sejumlah ritual yang waktu pelaksanaannya berdasarkan kalender adat Sabu. Upacara-upacara dimaksud, antara lain: a. Hapo Keharru, Pengaddu Rokehai, dan Pengaddu Rokerabbhi. Ketiga upacara ini dimaksudkan untuk memurnikan pohon lontar itu agar kelak dapat memberikan hasil nira yang berlimpah. b. Upacara Akki Bhada Lowe (saat penyadapan pertama). Terdapat pula upacara yang khusus diperuntukkan bagi lontar, seperti: Hogo Manu, Udu Ma Tu’i.,dan Gape Due, Hui Kanna, Perabbi Ki’i Rato, Pana Ngapi, Nga’a Merao, Peka Nga Due. Upacara Hogo Manu dilaksanakan untuk menghormati sang pembawa biji lontar (wokeke). Upacara Udu Ma Tu’i dilaksanakan untuk menghindari kemungkinan penyadap lontar dari musibah, terutama terjatuh dari atas pohon lontar. Upacara Gape Due dimaksudkan untuk memanggil nira agar hasil sadapan melimpah.

3.2 Ekspresi Verbal tentang Lontar 3.2.1 Leksikon tentang Lontar Leksikon dasar orang Sabu tentang lontar sudah tentu due ‘lontar’. Dari leksikon dasar ini terlahir sejumlah leksikon lain yang terkait dengan morfologi lontar, yang secara garis besar terdiri atas: amo due ‘akar lontar’ la due ‘batang lontar’ ru due ‘daun lontar’ eppa due ‘pelepah lontar’ ru kolo due ‘daun lontar muda’ ke’lli mone ‘pohon lontar jantan’ ke’lli be’nni ‘pohon lontar betina’ rabba.’bagian batang tempat melekatnya pelepah lontar’

Di samping leksikon yang berkenaan langsung dengan morfologinya, leksikon tentang lontar juga mencakup bentuk leksikal yang berkaitan dengan penyadapan nira. Leksikon utama dari proses penyadapan nira ialah bagian lontar yang menghasilka nira, yakni: hubbi. Hubbi diperas agar menghasilkan nira dengan cara dijepit dengan penjepit (ngapi) yang dibuat dari kayu khusus, yang dalam bahasa Sabu disebut adju are ‘kayu merah’. Masih banyak lagi leksikon yang berhubungan dengan lontar. Beberapa yang disebutkan di atas merupakan gambaran repertoar bahasa orang Sabu yang berkenaan dengan lontar. Sebagai tumbuhan pemberi hidup, sudah tentu lontar sangat akrab secara ekologis. Bertahan

~ 284 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature atau tidaknya jumlah dan mutu leksikon tersebut dalam repertoar orang Sabu sangat bergantung pada persepsi orang Sabu tentang lontar, di samping faktor dinamika masyarakat Sabu.

3.2.2 Tuturan Ritual Bahasa Sabu yang Berkaitan dengan Lontar Tuturan ritual dalam masyarakat Sabu masih memiliki sifat magis, termasuk tuturan ritual yang berkaitan dengan lontar. Ciri magis ini menempatkan tuturan ritual tentang lontar dalam masyarakat Sabu sebagai topik peka (sensitive topic), sekaligus membatasi cirri komunalnya. Upaya maksimal telah dilakukan untuk mendapatkan data tuturan ritual, dan diperoleh beberapa tuturan. Salah satu di antaranya ialah tuturan memanggil nira, yang akan dianalisis dan didskripsikan tentang makna dan nilainya.

3.3 Makna Tuturan Ritual Lontar dalam Masyarakat Sabu Tuturan ritual memanggil nira dalam masyarakat Sabu menandung makna dan nilai seperti uraian berikut ini. a. Makna dan nilai historis Tuturan ritual yang berkaitan dengan lontar pada masyarakat Sabu sarat dengan penggunaan nama-nama leluhur. Penggunaan nama leluhur dimaksud, di samping diyakini memiliki kekuatan sehubungan dengan kelimpahan hasil lontar, juga merupakan rekaman sejarah asal-usul lontar khususnya, dan asal-usul orang Sabu pada umumnya. Perhatikan penggalan tuturan berikut ini.

Pepureko hari-hari nga dji maudhara Talo Liru turunkan semua-semua dengan kami kepintaran (NAMA leluhur) ‘Turunkan kepada kami semua kearifan Talo Liru’

Mi do pepure pa appu dji Rai Ae. seperti yang turunkan kepada kakek kami (NAMA leluhur) ‘Seperti yang diturunkan kepada leluhur kami Rai Ae’

Penggalan tuturan (1) merekam dan mengungkapkan kembali sejarah lontar yang dibawa Talo Liru, yang kemudian diterima dan diwarikan kepada orang Sabu melalui leluhur mereka, antara lain Rai Ae. Ekspresi tuturan ritual ini tidak hanya menggambarkan sejarah munculnya lontar, tetapi juga sejarah keturunan orang Sabu. Hal yang masih belum diungkapkan secara tuntas ialah peran masing-masing leluhur itu dalam kaitan dengan nira yang disadap dan nira yang dimasak untuk menghasilkan gula. Peran yang belum diungkapkan secara jelas ini disebabkan oleh hakikat nama magis orang Sabu, yang dalam bahasa Sabu disebut ngara banni. Nama jenis ini hanya boleh diketahui oleh orang-orang tertentu yang memiliki peran adat, seperti mone ama. Meskipun demikian, penyebutan nama-nama leluhur di dalam tuturan ritual dimaknai sebagai pengungkapan sejarah keturunan orang Sabu. b. Makna dan nilai sosial-eknomis Tuturan ritual lebih menonjolkan dimensi religius karena komuniasi simbolik yang diekspresikan merupakan refleksi hubungan vertikal antara manusia (petutur) dengan roh- roh leluhur dan kekuatan Adikodrati. Meskipun demikian, keberhasilan usaha dalam kaitan dengan pemanfaatan lontar sudah tentu berorientasi pada kesejahteraan hidup. Sebagai makluk sosial, manusia pada umumnya (termasuk orang Sabu di Pulau Sabu) tidak menikmati ~ 285 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature kesejahteraan itu secara terisolasi dengan orang lain. Kesejateraan itu haruslah memiliki dimensi kebersamaan dan berparadigma humanis. Hal tersebut tersirat pula di dalam tuturan ritual. Realitas kekeluargaan orang Sabu yang tampak saat ini ternyata dilandasi oleh endapan makna dan nilai yang mereka pahami dari tuturan ritual, sebagaimana contoh berikut ini. a. dhue tobo haba mira rede, tuak penuh haik rata rata ‘Tuak penuh haik hingga meluap’

b. alledho tahape penabbu dhara rai. tidak habis dipikul menggenapkan dalam tanah/pulau ‘Tidak habis diambil dan menghidupi masyarakat di tanah ini’.

c. kehia-kehara djau puru ro, miskin-melarat jauh turun jurang ‘Kemiskinan terhindarkan’

d. analalu tunge mengalludhara. yatim piatu senang bahagia ‘Yatim piatu memperoleh kesejahteraan’

Bagian terjemahan dicetak tebal pada penggalan tuturan ritual (2b) menghidupi orang- orang di tanah ini (maksudnya di Sabu) dan (2d) yatim piatu memperoleh kesejahteraan sebagai ekspresi rasa kebersamaan dan rasa kemanusiaan. Dimensi komunal dari menyadap nira dan memasak gula sebagai bagian dari mengolah hasil dari menyadap nira tersebut tampak pada bagian dari penggalan tuturan ritual (2b). Pertanyaan sederhana dapat diajukan, “Mengapa petutur tidak meminta hasil yang banyak itu untuk dirinya ataupun keluarganya?” Dari sini diperlukan penghayatan yang lebih mendalam dan filosofis (hakikat) mengenai dimensi komunal dari keberadaan lontar dalam masyarakat Sabu yang berorientasi pada kesejahteraan (ekonomi) bersama (sosial), berkecukupan ekonomi di dalam kebersamaan. c. Makna dan nilai religius Religiusitas tidak dapat dipisahkan dari ritual dan tuturan-tuturannya. Dalam konteks ini, ritual berkenaan dengan lontar dipandang sebagai peristiwa pengakuan dan penyerahan diri kepada kekuatan lain di luar diri manusia yang diyakini memberikan rezeki, kesehatan, dan hidup, serta menjauhkan manusia dari kesengsaraan, malapetaka, dan kematian. Dari sisi pandang inilah tuturan ritual disepadankan dengan doa yang sarat dengan berbagai bentuk permohonan dan harapan. Hal ini dapat dilihat pada penggalan tuturan ritual berikut ini.

Pedai li nga ou ne Deo ne Muri, bicara suara dengan kamu oh Deo oh Muri ‘(Kami) berseru kepada-Mu oh Tuhan’

Pulodo Maja, Deo, Do Heleo, Kenuhe, Baka Hawu, Haba Hawu; (nama-nama jabatan Dewan Adat di Sabu) Verba berseru, memohon, meminta, dan sejenisnya merupakan ekspresi ketergantungan manusia terhadap leluhur dan Deo Ama.

~ 286 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature 4. Simpulan Secara kosmologis, makna dan nilai yang terkandung di dalam ekspresi verbal yang berkenaan dengan lontar dalam bahasa Sabu menampilkan dimensi hubungan antara manusia dengan manusia, dan hubungan antara manusia dengan Adi Kodrati. Diensi hubungan ini turut menguatkan persepsi orang Sabu tentang lontar, antara lain sebagai tumbuhan “suci” pemberian Deo Ama, sebagai tumbuhan pemberi hidup yang menopang perekonomian, sebagai penguat hubungan orang Sabu dengan luluhurnya yang turut meracik aspek kesejarahan. Ritual yang berkenaan dengan lontar membangun hubungan yang harmonis dengan leluhur dan Deo Ama (Adikodrati, atau Yang Ilahi menurut kepercayaan Sabu, Jingitiu). Keharmonisan hubungan ini merupakan jaminan bagi kesejahteraan yang diperoleh dari lontar; hasilnya (nira dan gula berlimpah), dan tidak tertimpah kecelakaan pada proses penyadapan nira. Tuturan ritual bahasa Sabu yang berkenaan dengan lontar menyiratkan idealisme kebersamaan dan perasaan senasib. Tuturan yang disampaikan kepada leluhur dan Deo Ama agar Doe Ama memberikan hasil lontar berlimpah, tidak hanya bagi petutur, tetapi bagi seluruh orang Sabu, sebagaimana penggalan tuturan berikut: pewede-pekaje, ri bhara haba bara Dimu bara Liae ‘kekayaan dan kemakmuran bagi orang Dimu dan Liae’, artinya sebagai pemberi hidup bagi orang Sabu, dari bagian timur hingga bagian barat. Di balik makna dan nilai yang dipaparkan secara singkat dalam makalah ini, masih ada tugas yang tersisa dari para peneliti. Pertama, perlu ada penelitian ataupun kajian secara ekologis. Kedua, perlu kajian khusus mengenai makna simbolik dan metaforik sebagai unsur utama yang membangun kekuatan bahasa ritual yang berkenaan dengan lontar dalam budaya Sabu. Ketiga, modernisasi selalu berdampak pada pemberangusan unsur budaya lokal. Oleh karena itu, upaya pemertahanan dan pemberdayaan terhadap ekspresi lingual bahasa Sabu yang berkenaan dengan lontar pun merupakan tugas yang mendasar, sekaligus mendesak.

DAFTAR PUSTAKA

Alisjahbana, Sutan Takdir. 1979. “Arti Bahasa, Pikiran, dan Kebudayaan dalam Hubungan Sumpah Pemuda 1928” (Pidato Penyerahan Gelar Doktor Honoris Causa oleh Universitas Indonesia). Jakarta: PT Dian Rakyat Bagus, I G. N. (ed). 1986. Sumbangan Nilai Budaya Bali dalam Pembangunan Kebudayaan Nasional. Denpasar: Proyek Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Bali. Basilius, H. 1972. “Neo-Humboldtian Ethno-Linguistics”, dalam Fishman, J.A. (Ed), Reading in the Sociology of Language. Paris: Mouton. Biro Humas Setda Provinsi NTT. 2004. Hole, Ritual Budaya Masyarakat Sabu. Kupang: PNRI Cabang Kupang. Detaq, Yakob Y. 1973. Memperkenalkan Kebudayaan Subu Bangsa Sawu. Ende: Nusa Indah. Djuli, Labu, dkk. “Pandangan Hidup Masyarakat Sabu dalam Sastra Lisan”. Laporan Penelitian Tidak Diterbitkan. Kupang: FKIP Universitas Nusa Cendana. Duranti, A. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press. Foley, W. A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction.Oxford: Blackwell Publishers. Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan (Terjemahan Fransisco Budi Hardiman, dari judul asli: The Interpretation of Cultures). Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hoed, B. H. 1994. “Linguistik, Semiotik, dan Kebudayaan”. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Tanggal 4 Juni.

~ 287 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Kaho, Robert Riwu. 2005. Orang Sabu dan Budayanya. Yogyakarta: Jogja Global Media. Kaplan, D. dan Manners, A.A. 2000. Teori Budaya (Terjemahan edisi II, oleh Landung Simatupang, dari judul asli: The Theory of Culture). Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar. Kleden, I. 1996. “Pergeseran Nilai Moral, Perkembangan Kesenian dan Perubahan Sosial, dalam Jurnal Kalam, Edisi VIII. Koroh, Lanny I.D. 2012. “Kebertahanan Bahasa Sabu di Kota Seba Kabupaten Sabu Raijua”, dalam Jurnal Nusa Cendana Volume VIII Nomor 1 April 2012, hlm. 1307—1320). Koroh, Lanny I.D. 2012 Makna dan Nilai Budaya dalam Cerita Wara Tada pada Masyarakat Sabu di Pulau Sabu, dalam Prosiding SNBI V. UNUD 2012 Majalah Bulanan Rona. “Sabu, Upacara di Tanah Gersang” Vol.II No. 8 Agustus 1988, hlm. 66—73. Palmer, G. B. 1996. Toward a Theory of Cultural Linguistics. Austin: University of Texas Press. Sabon Ola, Simon dan Benediktus Kasa. 2012. “Sumber Daya Ekspresi Verbal dalam Konteks Pemanfaatan Lontar pada Etnik Sabu di Kabupaten Sabu Raijua, Provinsi Nusa Tenggara Timur”. Laporan Penelitian, Tidak Diterbitkan. Jakarta: DP2M Dikti Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Sabon Ola, Simon. 2005. “Tuturan Ritual dalam Konteks Perubahan Budaya Kelompok Etnik Lamaholot di Pulau Adonara, Flores Timur”. Disertasi, tidak diterbitkan. Denpasar: Program Doktor Linguistik Universitas Udayana. Suharno, I. 1982. “Linguistik Kultural (Peranan Manusia dalarn Telaah Bahasa)”, dalam Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, Nomor 2 Mid X, November, halaman 101-110. Jakarta: FS Universitas Indonesia. Tarno, dkk. 1998. Nilai Budaya dalam Sastra Lisan Sabu. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud. White, L. and Dillingham, B. 1973. The Concept of Culture. New York: Burgess Publishing Company. Wierzbicka, A. 1992. Semantics, Culture, and Cognition. Oxford: Oxford University Press.

~ 288 ~ GENDER DAN ALIH KODE DALAM TALKSHOW “JUST ALVIN” STUDI KASUS GENDER DAN PERUBAHAN BAHASA

Luh Putu Laksminy Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana [email protected]

ABSTRACT It is often found that the guests of Just Alvin Talkshow not only give responses in English, but also use code switching into English. In this case, the women tend to use higher frequency of code switching than the men. Holmes (2001: 209), said that the women have an important role in Language Change. They consciously and continuously do innovation in their speech, as what Gillieron found in his research that the behaviour of women’s speech is said to reflect their prestige consciousness and speak more politely. In addition, the women are more innovative linguistically (Coates, 1986: 42; Pop, 1950:195). This research aims to find out the types of code switching used by the female and male participants in their role as guests in JustAlvin Talkshow, and to explain factors that contribute the switching to other language.

Key W ords: gender, code switching

1. PENDAHULUAN Perbedaan jenis kelamin memberikan ciri-ciri sebagai penentu variasi dalam komunikasi, namun dalam kajian dialek pada zaman dialektologi tradisional, variasi-variasi lebih banyak dikaitkan dengan etnisitas, kelas sosial, dan usia. Belum ada kajian variasi yang dikaitkan dengan jender (Coates, 1986:15-16). Berdasarkan folklinguistik dan penelitian bahasa dan jender tahun 1960-1970 cenderung kurang menguntungkan kaum perempuan, karena bahasa yang digunakan oleh perempuan dihubungkan dengan statusnya yang inferior dan tidak normatif. Pendapat ini mendapat tantangan dari banyak kalangan, terutama dari kalangan pegiat wanita (Coates, 1986:15--25, 41). Penelitian Gillieron menyatakan perempuan memiliki perilaku berbahasa yang inovatif selain lebih baku dan sopan, dan bahkan bahasa laki-laki cendrung menunjukkan dialek kedaerahan. Dalam penelitian-peneltian berikutnya perempuan disebut dengan inovator, karena selalu berinovasi dalam pemakaian bahasanya dan berdampak pada perubahan bahasa (Coates, 1986: 42; Pop, 1950:195, Otto Jespersen, 1922:247; Holmes 2001: 210). Fenomena kebahasaan terkait dengan inovasi dalam berbahasa berdasarkan jender dapat dilihat dalam interaksi di Talkshow “Just Alvin” selanjutnya disingkat menjadi T JA. Para pelibat baik perempuan dan laki-laki dalam perannya sebagai tamu juga berinovasi dalam berbicara, yaitu dengan melakukan alih kode. Berdasarkan hal tersebut artikel singkat ini akan membahas Jender dan Alih Kode pada Talkshow “Just Alvin” (Studi Kasus Jender dan Perubahan Bahasa), yang bertujuan untuk mengetahui frekuensi pemakaian alih kode pelibat laki dan perempuan pada T JA dan factor-faktor yang melatarinya. Tayangan yang digunakan sebagai sumber data: (1) Life Goes On yang semua tamunya perempuan dan berjumlah lima (5) orang; (2) Georgeous ’80 dengan jumlah tamu lima (5) orang yang semuanya laki-laki.

~ 289 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature 2. Konsep dan Jenis Alih Kode Dalam masyarakat yang heterogen tidak hanya menimbulkan adanya kontak bahasa dan berimplikasi pada gejala kedwibahasaan, tetapi juga akan terdapat banyak kode berupa bahasa, dialek, variasi atau gaya yang dapat digunakan untuk berinteraksi. Fasold (1987:1) menyatakan bahwa dalam masyarakat anekabahasa banyak warga menjadi dwibahasawan baik aktif maupun pasif. Dengan tersedianya banyak kode, penutur akan memilih kode yang tepat dalam berinteraksi sesuai dengan faktor-faktor konteks situasi yang mempengaruhinya. Terdapat tiga hal dalam pemilihan kode. Pertama penutur akan memilih satu variasi dari bahasa yang sama. Kedua, penutur akan melakukan alih kode (code switching), yaitu menggunakan satu bahasa pada satu keperluan dan menggunakan bahasa yang lain pada keperluan lain dalam satu peristiwa komunikasi. Ketiga. dengan melakukan campur kode (code mixing) yaitu menggunakan satu bahasa tertentu yang bercampur dengan serpihan-serpihan dari bahasa lain. Alih kode (yang juga disebut dengan campur kode) dapat terjadi antar pelibat pada peristiwa percakapan atau terjadi pada tuturan secara individu. Alih kode dalam tuturan seseorang terjadi antar kalimat dalam tuturannya (inter- sententially) atau terjadi dalam satu kalimat (intra-sententially) (Wadough, 2006:102; Fishman, (1972: 153). Poplack (1980) pada buku Bilingualism oleh Romaine (1989:122-123) menjelaskan jenis alih kode dari aspek gramatikal yaitu (1) tag switching ‘alih kode pemagar’ adalah fenomena penyisipan pemagar suatu bahasa ke dalam tuturan bahasa lain, seperti pemagar dalam bahasa Inggris you know, I mean, etc.; (2) inter-sentential switching ‘alih kode antar kalimat’ adalah alih kode pada tataran klausa atau kalimat bahasa lain yang digunakan diantara kalimat- kalimat dalam ujaran seseorang. Alih kode ini dapat terjadi dalam tuturan seseorang atau dalam percakapan dua arah; dan (3) intra-sentential switching ‘alih kode dalam satu kalimat’ adalah alih kode yang terjadi dengan menyisipkan kata atau frasa bahasa lain dalam tataran klausa atau kalimat tuturan seseorang. Alih kode ini juga mencakup alih kode pada tataran kata,yaitu dengan menyisipkan afiks suatu bahasa ke dalam bahasa tuturan seseorang. Myers-Scotton (1989: 333–346) dalam ensiklopedi linguistik menyebutnya dengan intra word code switching ‘Alih Kode Intra Kata selanjutnya disingkat menjadi AK IKt. Menurut Grosjean (1982:152), ada sepuluh faktor terjadinya alih kode: (1) Untuk memenuhi faktor linguistik berupa kata, frasa, pengisi filler sebagai penanda wacana; (2) Melanjutkan bahasa penutur sebelumnya; (3) mengutip tuturan seseorang; (4) menentukan llawan tutur; (5) lebih menekankan dan menguatkan pesan yang disampaikan; (6) untuk menentukan keterlibatan penutur (melalui pesan-pesan yang sifatnya sangat pribadi); (7) Sebagai simbol identitas kelompok dan simbol solidaritas; (8) Untuk menyatakan kerahasiaan, kemarahan, dan kekecewaan; (9) Untuk mengecualikan seseorang dalam percakapan; (10) untuk mengubah peran penutur : meningkatkan status, mencerminkan otoritas , dan menunjukkan keahlian dalam menggunakan bahasa lain.

3. Jender dan Perubahan Bahasa Holmes (2001:194—212) berpendapat bahwa kenyataannya bahasa tidak berubah, namun penuturnya berinovasi dalam menggunakan bahasa. Inovasi tersebut akan berdampak pada variasi bahasa—cara berbeda untuk mengungkapkan konsep yang sama. Perubahan bahasa erat hubungannya dengan variasi bahasa. Semua bahasa memiliki variasi bahasa yang terjadi karena over time-variasi yang terjadi secara sinkronis; in physical space-setting – variasi bahasa yang terjadi karena tempat dimana bahasa tersebut digunakan apakah homogen atau heterogen;

~ 290 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature socially—variasi bahasa yang terjadi karena factor social penggunaan bahasa. Sehingga jender -salah satu variabel sosiolinguistik (Coulmas, 1998) dihubungkan dengan perubahan bahasa. Perbedaan perilaku berbahasa antara laki-laki dan perempuan adalah salah satu faktor perubahan bahasa. Di samping itu, perempuan dikenal sebagai inovator dalam berbahasa karena perilaku berbahasanya yang inovatif, sehingga dihubungkan dengan perubahan baik terkait norma- norma dialek kedaerahan dan menggunakan norma-norma berprestise, sementara laki-laki cenderung menunjukkan perubahan bentuk baku dalam dialek kedaerahan.

4. ANALISIS Berikut akan dibahas beberapa contoh jenis alih kode pada T JA berjudul Life Goes On dan Georgeous’80. Pembahasan difokuskan pada: (1) jenis alih kode dan didukung dengan beberapa sitirannya; (2) membandingkan kekerapan pilihan alih kode oleh pelibat perempuan dan laki-laki dalam perannya sebagai tamu; (3) menganalisis faktor yang mendasari pilihan terhadap alih kode.

3.1 Frekuensi Jenis Alih Kode Jenis alih kode yang digunakan dalam T JA adalah alih kode antar kalimat selanjutnya disingkat menjadi (AK AK), alih kode intra kalimat (AK IK), alih kode pemagar (AK P), dan alih kode intra kata (AK IKt). Walaupun menurut Wardough, AK IKt tercakup dalam AK IK, namun dalam pembahasan ini akan disajikan terpisah dengan AK IK. Dalam T JA ini kalimat yang disipkan dalam kalimat-kalimat tuturan pelibat F adalah kalimat berbahasa Inggris. Pada JA F7, pelibat dalam perannya sebagai tamu perempuan (F) dan tamu laki-laki (M) cenderung menggunakan alih kode dalam interaksi dengan tuan rumah laki host selanjutnya disingkat menjadi (HM) pada T JA. Baik F dan M menggunakan jenis alih kode yang sama, yaitu AK AK, AK IK, dan AK IKt, kecuali AK P hanya digunakan pada JA F 7 oleh F. Frekuensi dan persentase kumulatif pilihan masing-masing alih kode adalah AK AK 46 (33.09), AK IK 68 (48.92), AK IKt 15 (10.79), dan AK P 10 (7.19). Jika dibandingkan pilihan alih kode antara F pada JA F7 dengan M pada JA M2, F menggunakan AK dengan frekuensi dan persentase yang lebih tinggi diandingkan dengan M, yaitu F 100 (71.94) dan M 39 (28.1). Untuk masing-masing jenis AK, F menggunakan AK AK, AK IK, dan AK IKt dengan frekuensi dan persentase lebih tinggi dari pada M, termasuk penggunaan AK P hanya digunakan oleh F. Untuk lebih jelasnya lihat tabel 1 berikut.

Tabel 1. Frekuensi dan persentase Alih Kode JA F 7 JA M 2 Grand Total Jenis Alih Kode N (F) % N (M) % N % AK AK 45 97.83 1 2.17 46 33.09 AK IK 38 55.88 30 44.1 68 48.92 AK IKt 7 46.67 8 53.3 15 10.79 AK P 10 100 0 10 7.19 Grand Total 100 71.94 39 28.1 139 100

~ 291 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature (1) Bentuk dan Sitiran AK AK AK AK selanjutnya dikatagorikan lagi menjadi AK yang terjadi antar pelibat pada interaksi dua arah antara tamu perempuan yang selanjutnya disingkat dengan F dengan host atau tuan rumah laki yang selanjutnya disingkat dengan HM dan antara M dengan HM, dan AK yang terjadi antara kalimat dalam tuturan pelibat itu sendiri. AK AK ini terjadi dengan menyisipkan kalimat bahasa lain diantara kalimat-kalimat tuturan seseorang.

(a) AK AK Katagori Antar Pelibat Pada figure 1 berikut, dalam contoh 1.1 Alvin yang berperan sebagai HM bertanya kepada Anya yang berperan sebagai F dengan kalimat dalam bahasa Inggris Are you happy now? Pertanyaan tersebut dijawab dengan klausa I’m happy with him because hubungan kita masih sangat baik. Adapun alasan pemakaian AK tersebut adalah untuk mengubah status penutur dalam arti bahwa penutur akhli dalam menggunakan bahasa lain. Pada contoh 1.2 HM bertanya kepada Shandy dengan bahasa Inggris really bites ato apa? Dijawab oleh Ayu: love conquer all, kemudian di jawab lagi oleh Anya that’s the words.

Figur 1. Sitiran AK AK Katagori Antar Pelibat

1.1 HM are you happy now? (JA F 7 84) Anya I’m happy with him because hubungan kita masih sangat baik. (JA F 7 85) 1.2 Shandy ,,,mungkin yang namanya awal proses kita...[Alvin: really bites ato apa?] [shandy eehheee he,he,] (JA F 7, 256) Ayu love conquer all (JA F 7, 257) Anya that’s the words. (JA F 7, 258)

(b) AK AK Katagori Tuturan Individu AK AK katagori tuturan idividu pada figur 2, terjadi dengan menyisipkan kalimat bahasa Inggris I stop hoping for that thing di awal tuturan F kemudian diikuti dengan kalimat dalam bahasa Indonesia, dan diikuti lagi dengan kalimat bahasa Inggris I don’t want that, I… seperti pada contoh 2.1 dan demikian halnya pada contoh 2.2 (lihat figur 2). Penggunaan AK AK katagori antar pelibat dan tuturan individu tersebut untuk meningkatkan status penutur yang akhli dalam menggunakan bahasa lain di samping untuk memenuhi keperluan linguistik dalam memperoleh ekspresi yang tepat.

Figur 2. Sitiran AK AK Katagori Tuturan Individu 2.1 Anya Anya : hhmmm,, I stop hoping for that thing. aku udah nggak mau berharap itu sih. I don’t want that, I...janganlah..[Alvin: sama-sama cinta sih Yu ya?] (JA F 7, 102) 2.2 Anya Anya: I still want him sometimes. Huh tapi kalau aku harus mencintai dia seba- gai hal yang berbeda it’s ok.( JA F 7, 98)

(2) Bentuk dan Sitiran AK IK AK IK adalah alih kode yang terjadi dengan meyisipkan kata atau frasa bahasa lain dalam tutran seseorang. Tamu F pada JA F 7 menggunakan AK IK katagori kata dan frasa. Kata bahasa Inggris yang disisipkan dalam tuturan bahasa Indonesia F adalah nooo, past past,

~ 292 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature digunakan untuk menyatakan kerahasiaan informasi yang disampaikan, happy digunakan untuk mengacu dan mengulang tuturan pelibat sebelumnya, take and givenya karena faktor linguistik, yaitu mencari ekpresi yang tepat terhadap apa yang ingin disampaikan oleh penutur karena penutur tidak mendapat padanan yang sesuai dengan maksud kata-kata tersebut dalam bahasa Indoesia. Faktor tersebut juga berlaku pada peggunaan kata finalist dan stripping oleh pelibat M pada JA M2. Untuk lebih jelasnya lihat Figur 3 berikut.

Figur 3. Sitiran AK IK Katagori Kata No Pelibat Sitiran Faktor Penggunaan 3.1 Ayu Setiap pasangan pasti kan selalu ada ee..give and take nya 1. faktor linguistik: ya. dan aku adalah orang yang sangat amat memberi dalam memperoleh ekspresi artian I, I, I’m a giver gitu. baik perasaan maupun tenaga yang tepat maupun... (JA F 7, 34) 3.3 Shandy: I’m happy now, gitu. maksudnya banyak maksudnya. 3. mengutip tuturan pelibat sebelumnya Alvin : 100% happy? Shandy: Happy. saya mungkin berfikir kenapa waktu itu dalam keadaan yang mungkin masih bisa lebih ringan, kenapa ng- gak kita ee..mundur gitu. tapi mmm..jadinya lebih emo- tional grasak grusuk gitu (JA F 7, 270 3.4 Ayu ... Bahkan untuk membicarakan masalah itu lagi sebenarnya 5. menekankan pesan kayak aduuhhhh nooo...gitu kan. . (JA F 7, 19) 3.5 Ayu Yang past past itu lho, ada past-pastnya.. (JA F 7 376) 5. menekankan keraha- siaan 3.6 Arik ...saya ngeliat paling saya nggak juara, finalist aja ha,,ha,,. 1. faktor linguistik: sangat sangat...[Alvin at the moment finalist kan ya]? (JA M memperoleh ekspresi 2, 19) yang tepat 3.7 Arik nggak langsung sih, prosesnya ee..lumayan panjang yah, 1. faktor linguistik: perjuangan yaa,, untuk mendapatkan stripping ini yang lagi memperoleh ekspresi tayang, 6 bulan boleh dibilang, seperti itu. (JA M 2. 9) yang tepat

AK IK pada tataran frasa digunakan karena memenuhi keperluan linguistik pada tataran leksikon, untuk memberi penekanan pada pesan yang terkandung pada frasa, dan untuk memenuhi faktor linguistik agar memperoleh ekspresi yang tepat sesuai denga makna frasa yang diuakan. Frasa bahasa Inggris yang digunakan adalah true love, three in one, blessing in disguise, every moment, so stupid, thank God, next question, animal clinic, transfer knowledge, shoot trend, cover boy dan beberapa lainnya. Beberapa sitiran penggunaan frasa AK IK dan factor pemakaiannya dapat diperhatikan pada figur 4 berikut.

Figur 4. Betuk dan Sitiran AK IK Katagori Frasa No Nama Sitiran Faktor Penggunaan 4.1 Anya Anya :..., tapi unconditional love kayaknya kata yang paling tepat 1. faktor linguistik: memper- karena mm..bukan buta ya, mm..aku tidak mencintai dia dengan oleh ekspresi yang tepat buta, (JA F 7, 369) 4.2 Ayu Ayu:... [ Shandy: kayak mempersiapkan one day suatu saat kita 5. menekankan pesan bakal kenapa-napa.] ayu: iya... (JA F 7, 320)

~ 293 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

4.3 Nuri Nuri:... dan ternyata mm.. udah banyak yang bilang ke Nuri bah- 8. menyatakan kerahasiaan kan ada salah satu my eks yang tadi disebutkan tuh juga sempat nelfon aku untuk mengingatkan bahwa dia bukan orang yang baik. (JA F 7, 305) 4.4 Elmo Eimo: …dan juga kalo kalo perlu dia harus bisa make up 1. faktor linguistik: memper- sendiri. jadi dalam situasi apapun contohnya saya misalnya foto oleh ekspresi yang tepat di tengah kali, nggak ada make up artis ya kita harus bisa make up sendiri, gitu lho. ( JA M 2, 316) 4.5 Elmo Eimo: Terus, balik udah, muncul, silam. istilahnya kalo di 1. faktor linguistik: memper- fashion show tuh adalah kalo misal keluar adalah muncul, masuk oleh ekspresi yang tepat adalah silam. jadi cuman muncul silam. kalo dulu ke kanan, ke kiri, ke atas, ke bawah. (semua tertawa) ( JA M 2, 190)

(3) Bentuk dan Sitiran AK IKt AK IKt menurut Poplack termasuk ke dalam AK IK. Myers-Scotton (1989: 333–346) dalam ensiklopedi linguistik menyebutnya dengan intra word code switching ‘alih kode intra kata’. Namun proses terjadinya sama menurut kedua pendapat tersebut. Dalam T JA, kata bahasa Inggris, yang disisipkan pada kalimat ditambahkan afiks dalam bahasa Indonesia dalam tuturan pelibat baik F dan M. AK IKt pada JA F7 dapat dibentuk dengan menambahkan partikel nya, prefix di- pada kata bahasa Inggris, dan dengan mengulang kata bahasa Inggris tersebut. Misalnya basicnya, broken heartnya, givenya, past-pastnya. Pada JA M2, kata dan frasa bahasa Inggris ditambahkan dengan partikel nya dan dengan melakukan pengulangan, misalnya company profilenya, designernya, feelnya, of the partnya, scopenya, agency-agency, contact- contact, slow-slow. Untuk lebih jelasnya lihat figur 6 berikut beserta factor penggunaannya.

Figur 5. Bentuk dan Sitiran AK Ikt No Nama Sitiran Faktor Penggunaan. 5.1 Astrid ... Ya udahlah sesama suku aja. ya udahlah coba dikenalin ya udahlah. 1. faktor itu kebaikannya ya udahlah- ya udahlah kalau katanya Dwi Anya jan- linguistik:penanda gan kasian ya, basicnya berdasarkan itu tadinya, tadinya. JA F 7, 156) wacana 5.2 Astrid ya itu sih masalah teknis aja ya ngasih yaitu tinggal dicancel aja kan 1. faktor linguistic gitu. tapi kan...[ Alvin: That simple?] (JA F 7, 263) 5.3 Anya Anya : ... istilahnya buat foto itu adalah keinginan kedua belah pihak 1. faktor linguistic bersama untuk ada moment-moment tertentu menuju ke bahtera perkawinan. (JA F 7, 80) 5.4 Hudi Hudi: Apalagi kalo show-show di luar negeri ya ( JA M 2, 95) 1. faktor linguistic 5.5 Nday [Nday: masalah anak udah ilang, trus pernah sih ini. kok lain ya suasan- 1. faktor linguistik: pen- anya? udah, nggak pas feel-nya, udah. That’s it udah.] ( JA M 2, 292) anda wacana

(4) Bentuk dan Sitiran AK P AK P hanya digunakan oleh pelibat F pada JA F 7. Pemagar dalam bahasa Inggris yang disipkan dalam tuturan F adalah actually, oh my god, that’s why, to be honest, dan well. Penggunaan AK P bahasa Inggris yang disipkan pada tuturan bahasa Indonesia pelibat F untuk memenuhi faktor linguistik, khususnya pemagar yang digunakan untuk menguatkan pesan yang disampaikan. Sitiran AK P dapat dicermati pada figur 6 berikut.

~ 294 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

Figur 6. Bentuk dan Sitiran AK P No Nama Sitiran 6.1 Nuri ...bukan ini. mmm..pada awalnya sama sekali tidak tidak mengira kalau dia bukan seseorang yang tidak tepat, bahkan seseorang yang oh my god benar-benar yang bisa bisa menghargai Nuri,..(JA F 7, 305) 6.2 Anya oh ya, jadi ee,,aku, di tempat tinggal aku yang sekarang aku minta dia karena kecocokkan selera, kecocokkan visi, kecocokkan banyak hal, that’s why.. kalo dibilang siapa dia, dia adalah orang yang melengkapi hidup aku, dan... (JA F 7, 113) 6.3 Ayu Actually bukan aku yang menyampaikan gitu, ... (JA F 7, 39) 6.4 Ayu To be honest, mmm... begitu pulang ke Jakarta setelah pulang Umroh, sakitnya tuh udah nggak ada ya,… (JA F 7, 38) 6.5 Ayu well, ada satu sosok keimaman. cie, yang saya inginkan dari seorang laki-laki kan saya anak satu-satunya, … (JA F 7, 32)

5. Kesimpulan Dari pembahasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pelibat perempuan sebagai tamu (F) pada JA F7 menggunakan Alih Kode dengan frekuensi yang lebih tinggi daripada tamu laki-laki (M) pada JA M2. Ini menandakan bahwa perempuan lebih inovatif dalam berkomunikasi dan menggunakan variasi yang berprestise, yaitu menggunakan kata, rasa, dan kalimat bahasa Inggris dalam tuturannya. Jenis alih kode yang digunakan dalam kedua tayangan tersebut adalah, AK AK, AK IK, AK IKt, dan AK P. Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan alih kode dalam dua tayangan tersebut adalah: (a) faktor (1) memenuhi factor linguistik berupa kata dan frasa, dan penanda wacana, serta faktor linguistic untuk memperoleh ekspresi yang tepat; (b) factor (2) untuk memberikan penekanan dan menguatkan pesan yang terkandung pada kata atau frasa yang digunakan; (c) faktor (5) menguatkan pesan yang disampaikan; (d) faktor (8) untuk menjaga kerahasiaan identitas orang yang dibicarakan.

6. DAFTAR PUSTAKA

Coates, J. 1986. Women, Man, and Languages. Hong Kong: Longman. Coulmas, 1998. The Handbook of Sociolinguistics. Blackwell. Eckert, P, dkk. 2005. Style and Sociolinguistic Variation. London: Cambridge University Press. Eckert, P. 2003. Langauge and Jender. United Kingdom: Cambridge University Press. Fasold, R. 1987. The Sociolinguistics of Society. New York: Brasil Blackwell. Fasold, R. 1990. The Sociolinguistics of Language. Oxford: Blackwell Fishman,J. 1972. The Sociology of Language: An Interdiciplinary Social Science Approach to Sociolinguistics. Rowley Mass: Newbury House. Labov, W. “The intersection of sex and social class inthe course of linguistic change.”Language Variation and Change 2 (1990) 205-254) Myers-Scotton, Carol (1989). “Codeswitching with English: types of switching, types of communities”. World Englishes 8 (3): 333–346. doi:10.1111/j.1467- 971X.1989.tb00673.x. (unduh tgl 11 Mei 2015) http://www.encyclopedia.com/doc/1O29-CODEMIXINGANDCODESWITCHNG.html (unduh tgl 11 Mei 2015) Romaine,S. 1989. Bilingualism. USA: Blackwell.

~ 295 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Trudgill, P. (1972) Sex, covert prestige and linguistic change in the urban British English of Norwich . Language in Society , (1) , 179 95. #1#, #8#. Trudgill, P. 1984. Sociolinguistics. New York: Penguin Book. Wardhaugh, R. 2006. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Blackwell. Wareing,S. 2004. Language and Gender. In: Thomas, L., Wareing, S., Singh, I., stilwell, J.,Thornborrow, J., Jones, J., editors. Language, Society and Power-an Introduction. 2nd edition. London and New York: Routledge. Taylor & Francis Group. P.78-91. West, Candace and Zimmerman, Don. 1987. Doing gender. Gender and Society, 1:125--151.

~ 296 ~ BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAHASA DALAM KEBUDAYAAN MODEREN

Ni Luh Sukanadi, Maria Gorethy Nei Nie, dan Ida Ayu Agung Ekasriadi FKIP. Unmas Denpasar dan Fakultas Sastra Universitas Udayana, dan FPBS. IKIP PGRI. Bali

ABSTRACT The Indonesian language plays a role as the national language as well as the official language of the state, which is listed on the National Language Politics (Amran Halim, (Ed) 1976: 25). In the development of culture in the world, culture is dominated by religious and cultural art expression. Our traditional culture is the expressive culture dominated by religious activities and art like that of pre-modern culture. The strong position of the Indonesian language to build the nation can be seen from the results proposed in the politic of national language seminar conducted on 25 and 28 Februari 1975 that emphasized the role of Indonesian language as the national language. To have such a role, the Indonesian language functions as the symbol of national pride, the symbol of national identity, a means of communication for people from different social and cultural background and a means of communication for different cultures and regions. Language as a means of sharing information and delivering ideas can also be proposed as the representative of culture. In Indonesian context, the Indonesian language should be utilized to have more powerful role to enhance the knowledge in modern world. This is the opprtunity for the Indonesian language to show its potential to play a bigger role and give more imporant impacts in developing the Indonesian culture. One of the ways in achieveing this ideal is through the efforts of maintaining the Indonesian language as the lingua franca to unite the culture of different ethnic groups in Indonesia.

Key words: The Indonesian Language, Modern Culture

I Pendahuluan Republik Indonesia wilayahnya sangat luas dan merupakan negara kepulauan, dengan penduduk yang terdiri atas berbagai suku dan bahasa daerah serta berlatar belakang budaya yang beraneka ragam akan mengalami masalah besar dalam melangsungkan kehidupannya. Perbedaan tersebut dapat memecah belah bangsa bila tidak ada alat perekat yang diterima oleh berbagai kelompok suku bangsa yang ada. Dengan bahasa Indonesia yang diakui sebagai bahasa nasional oleh semua suku bangsa yang ada maka, perpecahan itu dapat dihindari karena suku-suku bangsa tersebut merasa satu. Kalau tidak ada bahasa Indonesia, yang menyatukan suku-suku bangsa maka sungguh sangat sulit dibayangkan akan kelangsungan hidup bangsa yang besar ini Tonggak sejarah yang menyatukan segenap anak bangsa tersirat dalam ikrar sebagai puncak kebulatan tekad persatuan pemuda-pemuda Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928. Yang berbunyi: ”Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah satu Tanah Air Indonesia”, ”Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu Bangsa Indonesia”. ”Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia”. Hal menarik dari ikrar sumpah pemuda, yang berhubungan dengan bahasa adalah pernyataan ketiga. Butir ketiga itulah yang luar biasa. Sebab beberapa negara, seperti Malaysia masih menggunakan bahasa Melayu, bahasa Inggris dan India. Singapura dengan bahasa Inggris, mandari dan Melayu. Philipina dengan bahasa Tagalog dan bahasa Inggris. Timor Leste ~ 297 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature menggunakan bahasa , Indonesia dan Tetun. Ketika negara-negara tersebut mencoba untuk membuat bahasa nasional, selalu mengalami kegagalan, akan tetapi oleh pemuda kita, ikrar sumpah tersebut berlangsung mulustanpa hambatan, hal tersebut dikarenakan semua kelompok pemuda telah mempunyai kebulatan tekad yang sama. Sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 mengukuhkan kehadiran Bangsa Indonesia, di mana ada kesempatan untuk menerima adanya bahasa Indonesia, tanah air Indonesia dan bangsa Indonesia terwujud karena di dalamnya adalah komunitas yang memiliki pengalaman sejarah yang sama, bahasa yang sama, dan kebudayaan yang secara psikologis diterima sebagai kebudayaan Indonesia. Para pencetus ikrar menerima kenyataan bahwa kehadiran suku-suku yang memiliki berbagai latar belakang budaya yang berbeda di wilayah yang mereka namakan Indonesia, merupakan elemen yang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia.( Santoso: 2008) Selain itu bahasa Indonesia harus mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri, yang dibuktikan dengan pemberian ruang khusus bagi bahasa Indonesia, terutama pada ruang publik, dengan cara memberi tempat istimewauntuk bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa lainnya. Berdasarkan hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25 s.d. 28 pebruari 1975 antara lain menegaskan bahwa dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) alat pemersatu berbagai-bagai masyarakat yang berbeda- beda latar belakang sosial budaya dan bahasanya, dan (4) alat perhubungan antar budaya antar daerah. 1. Sebagai lambang kebanggaan nasional, bahasa Indonesia memancarkan nilai-nilai sosial budaya luhur bangsa Indonesia. Dengan keluhuran nilai yang dicerminkan bahasa Indonesia, kita harus bangga dengannya; kita harus menjunjung; dan kita harus mempertahankannya. 2. Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia merupakan lambang bangsa Indonesia. Ini berarti, dengan bahasa Indonesia akan dapat diketahui siapa kita, yaiu sifat dan watak kita sebagai bangsa Indonesia 3. Dengan fungsi yang ketiga memungkinkan masyarakat Indonesia yang beragam latar belakang sosial budaya dan berbeda-beda bahasanya dapat menyatu dan bersatu dalam kebangsaan, cita-cita dan rasa nasib yang sama. Dengan bahasa Indonesia, bangsa Indonesia merasa aman dan serasi hidupnya, sebab mereka tidak merasa bersaing dan tidak merasa lagi dijajah oleh masyarakat suku lain. 4. Dengan fungsi keempat, bahasa Indonesia sering kita rasakan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Bayangkan saja apabila kita ingin berkomunikasi dengan seorang yang berasal dari suku lain yang berlatar belakang bahasa berbeda. Mungkinkah kita dapat bertukar pikirandan saling memberikan informasi? Bahasa Indonesialah yang dapat menanggulangi semuanya itu. Dengan bahasa Indonesia kita dapat saling berhubungan untuk segala aspek kehidupan. Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara/resmi pun mengalami perjalan sejarah yang panjang. Secara resmi adanya bahasa Indonesia dimulai sejak Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Ini tidak berarti sebelumnya tidak ada. Ia merupakan sambungan yang tidak langsung dari bahasa Melayu. Bahasa melayu digunakan sebagai bahasa resmi kedua oleh pemerintah jajahan Hindia Belanda, sedangkan bahasa Indonesia digunakan di luar situasi pemerintahan tersebut oleh masyarakat yang mendambakan persatuan Indonesia dan yang menginginkan kemerdekaan

~ 298 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Indonesia. Demikianlah, pada saat itu terjadi dualisme pemakai bahasa yang sama tubuhnya, tetapi berbeda jiwanya: ada jiwa kolonial dan ada jiwa nasional. Dalam hasil perumusan Politik Bahasa Nasional, dikemukakan bahwa di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara,bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) bahasa resmi kenegaraan,(2) bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan, (3) bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintahan, (4) bahasa resmi di dalam pengembangan kebudayaan dan pemafaatan ilmu pengetahuan serta teknologi modern, 1. Pemakaian pertama yang membuktikan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan ialah digunakannya bahasa Indonesia dalam naskah proklamasi kemerdekaan RI 1945. Dipakailah bahasa Indonesia dalam segala upacara, peristiwa dan kegiatan kenegaraan, Mis. pada Administrasi kenegaraan, peraturan perundangan- undangan, dokumen kenegaraan,piagam kerjasama,nama instansi/lermbaga, pelayanan kepada masyarakat,pertemuan,rapat sidang dan konfrensi(Kasyim Hasan,2008) 2. Sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa pengantar di lembaga- lembaga pendidikan mulai dari taman kanak- kanak sampai dengan perguruan tinggi. Sebagai konsekuensi pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan tersebut, maka materi pelajaran yang berbentuk media cetak hendaknya juga berbahasa Indonesia. 3. Sebagai fungsinya di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan danpelaksanaan pembangunan serta pemerintah, bahasa Indonesia dipakai dalam hubungan antar badan pemerintah dan penyebarluasan informasi kepadamasyarakat. Sehubungan dengan itu hendaknya diadakan penyeragaman sistem administrasi dan mutu media komunikasi massa, Tujuan penyeragaman dan peningkatan mutu tersebut agar isi atau pesan yang disampaikan dapat dengan cepat dan tepat diterima oleh orang kedua. 4. Sebagai fungsi pengembangnan kebudayaan nasional, ilmu dan teknologi modern, bahasa Indonesia terasa sekali manfaatnya. Kebudayaan nasional yang beragam itu, yang berasal dari masyarakat Indonesia yang beragam pula, rasanya tidaklah mungkin dapat disebarluaskan dan dinikmati oleh masyarakat Indonesia dengan bahasa lain selain bahasa Indonesia. (Kedudukan, Fungsi, Pembinaan dan Pengembangannya), Mansur- Suparno, 1992:3- 9) Di dalam buku Politik Bahasa Nasional (Amram Halim, (Ed), 1976: 25) Perkataan moderen hanya sekali, padahal apabila kita ikuti perkembangan pendidikan moderen di negeri kita dan menghubungkannya dengan bangkitnya bahasa Indoensia yang mendapat perumusan yang menentukan dalam Sumpah Pemuda, dalam Konggres Bahasa Indonesia yang pertama dan dalam konstitusi kita, kita tidak dapat mengelakkan tiba pada kesimpulan bahwa fungsi bahasa Indonesia sebagai sarana membentuk bangsa Indonesia yang modern dan kebudayaan yang moderen adalah salah satu tugasnya yang penting,Untuk memahamkan ini, hendaklah kita menganalisis pengertian kebudayaan dalam arti yang luas sehingga kita dapat melukiskan perbedaan maupun persamaan antara berbagai – bagai kebudayaan. Dalam perkembangan kebudayaan di dunia nampak kepada kita bahwa zaman Renaissance yang menjadi pangkal dari kebudayaan moderen adalah permulaan perubahan susunan nilai-nilai dari konfigurasi yang dikuasai oleh nilai-nilai ilmu dan ekonomi. Kebudayaan yang dikuasai oleh nilai agama dan seni disebut kebudayaan expresif dan di dalamnya amat penting kedudukan perasaan, intuisi ~ 299 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature dan imaginasi, sedangkan kebudayaan yang dikuasai oleh nilai ilmu dan ekonomi disebut kebudayaa progresif yang melahirkan teknologi. Dalam ilmu ekonomi amat penting kedudukan rasio manusia yang logikanya sejalan dengan hukum-hukum alam, Kebudayaan tradisi kita adalah kebudayaan expresif, jadi dikuasai oleh agama dan seni seperti umumnya kebudayaan pramoderen. Dalam kebudayaan expresif apabila orang berbicara tentang ilmu maka yang dimaksud dengan ilmu itu adalah ilmu agama atau ilmu gaib. Pada ketika itu negeri kita terbagi dalam sejumlah kerajaan yang masing-masing berdiri sendiri dan antara sesamanya sering berperang takluk- menaklukkan. Pada dasarnya kerajaan itu bersifat feodal, Dalam suasana ini, baik dalam suasanan kefeodalan kerajaan yang mentereng dan penuh kesenian maupun dalam suasana kerukunan dan kegotong royongan, manusia terikat kepada hukum kerajaan yang ditentukan dari atas dan kepada keakraban kekeluargaan dengan adat istiadatnya yang mengekang perkembangnan individu yang tak sesuai dengan suasana solidaritas kedesaan dan kekeluargaan. Dalam hubungan ini, agaknya tidak ada salahnya kalau kita kembali dalam sejarah umat manusia agak jauh, yaitu ke jaman ketika bangkitnya kebudayaan – kebudayaan yang besar di dunia sekitar abad kelima sebelum kurun Masehi. Kebudayan-kebudayaan inilah yang tersebar ke seluruh dunia.Kita tahu bahwa kebudayaan Cina menyebar ke Korea, Jepang, Indo-Cina, kebudayaan India menguasai Burma, Sailon, Thailand malahan terus ke Cina dan Jepang, dan pada suatu ketika menguasai kepulauan kita. Di antara kebudayaan-kebudayaan yang bangkit dan berkuasa sejak abad ke – 5 sebelum kurun Masehi itu, kebudayaan mempunyai kedudukan yang istimewa sekali. Sedangkan kebudayaan –kebudayaan yang lain itu sedikit banyaknya dapat disebut kebudayaan yang amat dikuasai oleh perasaan keagamaan dengan mitos dan upacaranya. Di Yunani ahli-ahli atau filsuf dan ahli-ahli ilmunya menembus mitos agama dan mulai dengan bebas berpikir dan menyelidiki hukum-hukum alam di sekitarnya. Demikianlah timbul sistem-sistem pikiran atau filsafat-filsafat sekitar nama-nama Plato, Aristoteles, dan banyak lagi. Disertai oleh berbagai- bagai ahli ilmu dalam berbagai –bagai lapangan. Pada hakekatnya kebudayaan Yunani dengan pemikiran yang bebas dan minatnya yang besar untuk menyelidiki proses alam dengan objektif itulah yang menjadi sumber daripada ilmu yang dengan teknologi menandai zaman kita.Sepanjang abad ke- 19 pikiran-pikiran hak –hak manusia, tentang kemerdekaan dan kesamaan, tentamg kedaulatan rakyat diperkembangkan, bukan saja dalam lapangan politik, dalam hak hukum untuk memilih dalam kesamaan tiap- tiap rakyat di depanhukum, tetapi juga dalam sistem wajib belajar dan dalam perlindungan yang sama bagi warga negara. Rakyat memegang kedaulatan menggantikan raja yang dahulu dianggap mendapat kekuasaannya dari Tuhan. Tetapi ciri yang terpenting kebudayaan moderen yang berpokok pada perkembangan sejak zaman Renaissance adalah kepercayaan akan kemungkinan –kemungkinan manusia yang tiada berhingga, kesanggupannya untuk memikirkan dan mengetahui alam sekitarnya maupun untuk menguasainya. Kebenaran yang dikemukakan oleh agama terus-menerus mendapat serangan sejak zaman renaissance. Ciri yang terpenting dari ilmu modern adalah ketatnya metode pemikirannya dan penyelidikaknya yang menuju kepada ketelitian pengetahuan yang positif. Dengan terciptanya sikap, pikiran dan metode, keliatanlah dalam abad-abad yang pertumbuhannya terus-menerus dari ilmu pengetahuan dalam arti yang seluas-luasnya. Ilmu menjadi ujung tombak yang lancip yang terus maju. lambat laun banyak orang

~ 300 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature menyadari bahwa ilmulah yang memberikan harapan yang baru kepada manusia untuk kemakmurannya,kesehatannya, kesenangannya maupun kegirangan hidupnya. Demikianlah di mana-mana timbul universitas dilengkapi dengan perpustakaan dan laboratorium tempat kemajuan ilmu dengan sengaja dan bersistem. Dengan perantaraan himpunan-himpunan ilmu, majalah, kongres-kongres, ilmu menjadi perhatian internasional. Dibandingkan dengan kebenaran agama yang bersifat statis dan terbentuk sekali untuk selama-lamanya sebagai wahyu Tuhan, pengetahuan ilmu tentang alam adalah dinamis, selalu berusaha bertambah baik oleh eksperimen-eksperimen yang baru dan oleh rumusan –rumusan yang baru berdasarkan terungkapkan kenyataan yang baru. Dengan perkembangan ilmu ini timbulah suatu sikap yang baru terhadap alam, bangkitlah suatu pemandangan dunia dan tercapainya suatu suasana kebudayaan baru, yaitu suasana kemajuan berdasarkan pengetahuan manusia yang senantiasa bertambah. Hal itu berarti juga terus-menerus bertambahnya kekuasaan manusia atas alam.( dikutip dari Sutan Takdir Alisjahbana:1980: 2-7).

II. Pengaruh Teknologi Pengaruh kemajuan teknologi dapat memajukan lapangan pertanian, peternakan dan penangkapan ikan. Revolusi industri yang bermula di tanah Inggris pada abab ke -18 tersebar keseluruh Eropah dan Amerika, lambat laun ke seluruh dunia, demikianlah kebudayaan modern disebut orang kebudayaan Revolusi industri. Pada hakekatnya revolusi industri itu taklah lain daripada penyesuaian kerajinan tentang penghasilan barang-barang kepada sikap progresif dari ilmu teknologi yang sebelum revolusi industri masih sangat dipengaruhi oleh konsep agama dan seni, sedangkan tangan masih menjadi alat yang terpenting untuk penghasilan barang-barang. Pembaruan yang dibangkitkan oleh revolusi untuk penghasilan adalah penghasilan barang-barang murah dalam jumlah yang bertambah lama bertambah besar. Hal itu bermula di Inggris dan terutama sekali dihubungkan dengan pemakaian besi tua dan bahan bakar batu bara. Pada abad ke – 19 teknologi dan industri berpindah ke Eropa, terutama Jerman dan Amerika Serika. Jerman dan Amerika memakai berbagai –bagai bahan yang barumaupun berbagai-bagai sumber dan bentuk tenaga, meskipun besi dan batu bara masih dipakai..Sesudah perang Dunia I amat cepat berkembang industri-industri yang memakai listrik, campuran –campuran kimia, minyak tanah dan berbagai –bagailogam yang ringan. Ketika itu pula mulailah bertambah penghasilan auto radio, mesin terbang dan barang-barang dari bahan-bahan sentetis, dari batu bara Misilnya: dijadikan orang bermacam-macam bahan kimia untuk menghasilkan aspirin,warna dan bahan peletus. Suatu ciri dari industri moderen ialah pentingnya ilmu kimia. Dengan mengolah tenaga dan sifat butir-butir melekul, atom,dan subatom, dapatlah dicapai penguasaan zat dan tenaga yang jauh lebih halus dan tepat dari sebelumnya

III. Sejarah Bangkitnya Masyarakat Kebudayaan Modern Sejarah bangkitnya masyarakat dan kebudayaan moderen dan menguraikan sekedarnya ciri-ciri sikap hidupnya maupun konfigurasi nilai-nilainya, dapatlah kita mengemukakan hubungannya dengan tujuan nasional pembangunan bangsa kita. Kita tidak dapat menolak bahwa meski bagaimana sekalipun besar penghinaan dan penderitaan bangsa kita dalam zaman penjajahan dahulu, proses penjajahan itu adalah proses yang terpenting yang memasukan bangsa kita ke dalam kebudayaan modern. Ketika bangsa kita bertemu dengan bangsa Portugis, ~ 301 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature bangsa Spanyol, bangsa Belanda dan bangsa Inggris yang telah mengalami revolusi masyarakat dan kebudayaan sejak zaman Renaissance, bangsa kita, seperti boleh dikatakan semua bangsa- bangsa Asia, masih dalam masyarakat dan kebudayaan yang dengan ringkas dapat kita sebut kebudayaan pramoderen, yang bersifat ekspresif, yaitu dikuasai oleh nilai agama, seni dan hubungan sistem kefeodalan dan solidaritas kedesaan. Ini bukan berarti bahwa di seluruh asia tak pernah ada tumbuh ilmu. Kita tentu sering mendengar tentang ilmu di negeri Cina dan pendapatan-pendapatan seperti mesiu, kertas dan lain-lain, di India. Teristimewa dunia Islam dalam zaman jayanya mengenai kehidupan ilmu yang gilang-gemilang. Kembali kepada bangsa Indonesia, terutama dalam abad ke- 19 kelihatan kepada kita pemerintah belanda membukakan seolah-olah Belanda bagai anak-anak Indonesia membaca dan menulis, berhitung dan ilmu-ilmu yang lainnya sekedarnya. Dalam abad ke – 20, nampaknya orang Indonesia menjadi lebih sadar akan kelebihan kebudayaan moderen atas kebudayaannya sendiri tentang ilmu pengetahuan, tentang teknologi dan tentang ekonomi yang memberi kekuasaan dan kekayaan kepada bangsa-bangsa Eropa. Dengan didirikannya sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas dan kemudia sekolah hakim, yang diikuti pula sekolah insinyur di Bandung, sekolah hakim tinggi di Jakarta yang sekalian kemudian menjadi Universitas, ` Dalam suasana meluasnya pendidikan yang bersifat moderen, yaitu yang mengembangkan budi dengan bebas dan berasio berdasarkan keobjektifan inilah maka Sekolah Menengah, sekolah Hakim, sekolah Guru menjadi pusat dari pergerakan pembebasan bangsa Indonesia dari ikatan kebudayaan tradisi. Dalam hubungan inilah lahir Budi Utomo kemudian bebagai-bagai –himpunan pemuda yang bermula-mula bersifat Daerah seperti pemuda Jawa Java. –pemuda Sumatra Jong Sumatra, Pemuda Minahasa Jong Minahasa dan lain-lain.Pada pertengahan tahun dua puluhan, perkumpulan pemuda bersama-sama meluaskan lingkupan cita-citanya dalam Sumpah Pemuda yang pada hakekatnya hingga sekarang masih menjadi pegangan rakyat kita maupun pemerintah kita, yaitu bertanah air satu, berbangsa satu dan menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.Sejalan dengan pergerakan pemuda ini dan sebagai lanjutan timbullah bermacam-macam partai politik yang waktu mula-mula juga cenderung bersifat kedaerahan, tetapi dalam tahun duapuluhan seperti pergerakan pemuda jelas menuju ke arah persatuan Indonesia. . Kebangkitan suasana, semangat, sikap dan cara berpikir moderen di kalangan bangsa Indonesia itu, yang memberikan kepercayaan baru kepadaangkatan muda Indonesia dalam suasana penjajahan, tak urung mulai menyoroti dan mencari unsur-unsur kebudayaan sendiri yang mungkin berharga dalam hubungan dunia moderen. Demikian tak mengherankan bahwa Budi Utomo, Jong Java, Jong Sumatra dan lain-lain, meskipun jelas bersifat organisasi dunia modern, membayangkan sekedarnya perhatian kepada adat-istiadat dan teristimewa kesenian kebudayaan tradisi.Kita sekalian tahu bahwa itulah masanya bahasa Indonesia tampil ke depan didorong oleh kepercayaan akan diri sendiri yangbaru dan kesadaran akan perlunya kesatuan seluruh bangsa Indonesia. Gerakan pemuda terpelajar kita terpaksa mencari jalan sendiri sehingga terjadilah peristiwa Sumpah Pemuda. Kalau kita pikirkan bahwa pada ketika Sumpah Pemuda itu diucapkan bahasa Melayu yang dijunjung menjadi bahasa Indonesia itu adalah suatu bahasa dari masyarakat dan kebudayaan pramodern dan hanya serba sedikit baru dipakai dalam sektor dunia moderen, jelas bagi kita bahwa keputusan pemuda- pemuda kita sangat berani dan amat besar resikonya. Kepada bangsa Indonesia dibebankannya untuk menjadikan bahasa itu dalam waktu yang spendek-pendeknya bahasa moderen. Yang dewasa seperti bahasa Belanda, Inggris, Jerman, Jepang dan lain-lain.

~ 302 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Baiklah pertama sekali kita kemukakan bahwa di antara bahasa-bahasa baru di negara- negara muda ini bahasa Indonesia adalah salah satu bahasa yang amat maju, sebab bahasa itu betul-betul menjadi bahasa kesatuan, bahasa kebangsaan dan bahasa resmi negara kita. Di negara kita segala pendidikan dari sekolah rendah sampai ke tingkat perguruan tinggi memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa pengatar. Keputusan Sumpah Pemuda tak pernah disangsikan, Walaupun demikian kita sebagai bangsa Indonesia juga mempunyai kelemahan. Kelemahan administrasi dan birokrasi negara maupun perusahan-perusahan, kelemahan kita dalam lapanngan ekonomi, demikian juga kesimpang siuran dalam adat-istiadat kita antar unsur-unsr dunia modern,feodal dan kedesaan membayangkan bahwa pikiran kita yang terjelma dalam bahasa belum sampai kepada suatu kesetimbangan yang baru. Hal ini ikut mempengaruhi kekacauan bahasa. Dalam hubungan ini, tak dapat dielakkan kita harus berusaha mengadakan atura-aturan bahasa yang lebih tepat dan lebih mantap, sebab mendisiplin bahasa kita berarti mendisiplin juga pikiran kita dan hal itu pasti berkonskuensi juga kepada kehidupan kebudayaan kita. Dengan ini sampailah kita kepada soal standardisasi dan modernisasi bahasa yang amat penting artinya. Selain dari pada itu, bahasa sebagai alat dan penjelmaan kebudayaan pada tingkat perkembangan bahasa Indonesia sekarang masih belum begitu maju, karena bahasa Indonesia belum dapat memajukan pikiran dan pengetahuan dunia modern yang mencukupi untuk perkembangan bangsa kita dalam zaman yang amat cepat maju dewasa ini, Pada hakekatnya tidak satu mata pelajaran pun atau pekerjaan pun orang Indonesia dapat mengembangkan pikiran dan pengetahuannya sepenuh-penuhnya dengan hanya memakai bahasa Indonesia. Hal ini lebih mengerikan lagi kalau kita ingat akan kelemahan bangsa kita terhadap bahasa asing seperti bahasa Inggris, jerman, Jepang, Rusia dan lian-lainnya. Demikian dapatlah kita pikirkan bagaimana terbatasnya kehidupan masyarakat dan kebudayaan modern di negeri kita. Jalan yang terbuka bagi kita dewasa ini hanyalah dengan sungguh-sungguh memperbaiki pelajaran bahasa Indonesia dari sekolah rendah sampai sekolah menengah. Pengajaran bahasa mesti diketatkan, guru-guru mesti memeriksa karangan-karangan murid-muridnya lebih teliti, sehingga mereka betul-betul terlatih berpikir teratur dalam suasana pikiran dan kebudayaan modern. Selain dari pada itu, kita tidak dapat mengelakkan memperlipatgandakan usaha menerbitkan buku di negeri kita, baik buku-buku karangan sendiri dari para ahli-ahli kita maupun buku-bukuterjemahan dari karangan-karangan yang terpenting dalam segala kebudayaan sepanjang zaman. Di dalamnya tentulah terpenting buku- buku yang menghasilkan puncak- puncak dari ilmu pengetahuan di zaman modern. Kalau hal ini tidak dilakukan dengan cepat . Sumpah pemuda yang kita banggakan sekarang ini dan yang menentukan bahasa Indonesia menjadi bahasa kebangsaan kita, akan terbukti membawa bangsa kita ke jalan buntu di tengah dunia moderen yang amat cepat maju dewasa ini. (dikuti dari Bahasa dan Sastra, Sutan Takdir Alisjahbana, 1980).

DAFTAR PUSTAKA

Alisjhbana,S.Takdir.1980.PerkembanganSejarah Kebudayaan dilihat dari jurusan nilai-nilai. Jakarta : Idayu

Halim,Amram(Ed),1976.PolitikBahasa Nasional 2. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengemba- Ngan Bahasa, Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kasyim,Hasan. 2008. Kongres IX Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. ~ 303 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Mansur, M.1992. Bahasa Indonesia: Kedudukan,Fungsi, Pembinaan dan Pengembangannya. Jemmas Bandung.

Suparno, 1992. Bahasa Indonesia: Kedudukan,Fungsi, Pembinaan dan Pengembangannya. Jemmas Bandung.

Santoso, Imam. 2008: Kongres IX Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.

Koentjaraningrta, 1979:m,anusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan jakarta.

~ 304 ~ KAJIAN SEMIOTIKA MALAK SEBAGAI SIMBOL KEPEMILIKAN HEWAN PADA ETNIK DAWAN KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN

Magnecia O.Manek Mahasiswa PPS Linguistik Undana

ABSTRACT Dawan ethnic communities in the Regency of Timor Tengah Selatan are groups of people that still preserve local culture in a tagging system of pet ownership. Tagging malak symbols is based on clans (kanaf) in Dawan ethnic where every clan in this ethnic has one malak. The scope of this study includes: (1) What kind of malak symbol in Dawan ethnic?, (2) How the form and the role of meaning contained in the malak as an ownership symbol of animals in Dawan ethnic?. To overcome the problems, the writer used semiotic and semantic approach that sees malak as a form of nonverbal language symbol have the meanings in each of its constituent elements. The research data were collected by observation and recording techniques by researches noted directly in the field. The result showed that (1) Themalak symbol form of Dawan ethnic in West Amanuban have different forms adapted to the clan and social status of this ethnic community environments. (2) Each malak contained in certain clans have different meanings based on tne mandate of the ethnic ancestry malak of Dawan ethnic. Each element in forming malak has a meaning in the process of development of the pet and the owner malak clan survival. Malak inherent of the person of ethnic Dawan as a system of symbol have a value and a high cultural function in the preservation of local culture and ancestral mandate as a form of cultural preservation efforts.

Keywords: symbol, malak, ethnic,semiotic

1. Latar Belakang dan Rumusan Masalah Bahasa merupakan suatu sistem tanda dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian yaitu signifier (penanda) dan signified (petanda). Tanda adalah suatu kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Setiap tanda kebahasaan pada dasarnya menyatukan sebuah konsep (concept) dan suatu citra suara (sound image), bukan menyatakan sesuatu dengan sebuah nama (Ferdinand de Saussure, 2003; (Alex Sobur, Semiotika Komunikasi). Suseno (2006:26) berpendapat bahwa ‘ketuhanan’ mencakup segala persepsi terhadap suatu realitas indrawi sehari-hari. Simbol dalam arti sebenarnya adalah tanda yang bukannya mewakilkan apa yang dimaksud, melainkan di dalamnya apa yang dimaksud hadir. Simbol itu muncul dalam konteks yang sangat beragam dan digunakan untuk berbagai tujuan. Masyarakat Dawan Timor merupakan salah satu suku terbesar dari beberapa suku lain seperti Tetun, bunak, Helong, Kemak, Rote, dan Sabu. Masyarakat suku Dawan hidup berdasarkan kelompok-kelompok marga (kanaf). Setiap kanaf memiliki adat istiadat masing-masing. Suku Dawan biasa juga disebut orang atoni (manusia). Masyarakat Dawan merupakan salah satu etnik yang memiliki ciri tersendiri dalam memahami dan memberi simbol pada binatang dan pohon sebagai milik dari suku atau masyarakat tertentu. Simbol ini dikenal dengan Malak. Dengan menggunakan malak mereka dapat membedakan benda, binatang, atau barang milik lainnya. Berdasarkan bentuk dan wujud pula orang pada etnik ini membedakan kepemilikan serta strata sosial yakni simbol malak memiliki acuan makna yang cukup signifikan. Dari hal tersebut dapat kita simpulkan bahwa malak pada etnik Dawan memiliki fungsi komunikatif dan selain itu malak juga merupakan suatu bentuk budaya yang sangat koheren dan identik

~ 305 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature dengan pemiliknya. Dimana bentuk-bentuk simbolis ini mempunyai kaitan yang sangat erat dengan konsep-konsep epistemologis sistem pengetahuan masyarakat. Sistem simbol dan epistemologis juga tidak terpisahkan dari system sosial yang berupa stratifikasi, gaya hidup, sosialisasi, agama, dan seluruh perilaku sosial. Konsep-konsep pemikiran dan pemberian makna pada malak merupakan suatu bentuk kreatifitas budaya yang penuh makna yakni setiap marga memilik malaknya sendiri dan penjabaran makna pada malak tersebut disesuaikan dengan fungsi, peran serta tingkatan kedudukan atau status marga tersebut dalam masyarakat. Makna simbol malak merupakan suatu proses kreatifitas etnik dalam menemukan jati diri diantara etnik yang lain melalui proses komunikasi nonverbal atau bahasa simbol yang menunjukkan kepada kita bagaimana kreatifitas manusia sepanjang sejarah interaksi sosial masyarakat. Penggunaan malak sebagai simbol atau tanda kepemilikan lebih khususnya menandakan kepemilikan terhadap hewan peliharaan berdasarkan marga (kanaf). Setiap marga memiliki satu malak yang menandakan bahwa hewan peliharaan tersebut (sapi, kuda, kerbau) merupakan milik dari marga tersebut. Malak telah menjadi ciri khas dalam kehidupan etnik Dawan turun termurun. Menandakan bahwa etnik ini hidup tidak terlepas dari sistem dan nilai-nilai simbol yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Dawan. Penggunaan malak juga mencegah terjadinya kehilangan hewan peliharaan dan penukaran hewan di tempat mereka tinggal ataupun di desa lain. Selain sebagai simbol kepemilikan hewan malak juga menunjukkan status sosial dalam masyarakat etnik Dawan yang mempunyai fungsi pengikat sekaligus tanda larangan bagi masyarakat lainnya yang berniat melakukan tindakan pencurian terhadap hewan peliharaan tersebut. Kehadiran malak dalam etnik Dawan sekaligus memberikan mitos akan adanya penjagaan dari leluhur etnik Dawan terhadap hewan peliharaaan mereka dan sebagai bentuk tuturan yang bersifat sacral atau tabu dalam kehidupan masyarakat Dawan. Berdasarkan latar belakang diatas malak merupakan simbol atau tanda (sign) bukannya mewakilkan apa yang dimaksud, melainkan di dalamnya apa yang dimaksud hadir. Apa yang dimaksud merupakan persepsi ‘yang tertandai’ (signifie/petanda) terhadap kenyataan yang memerlukan penanda (signifiant) sesuatu sistem yang dinyatakan kepada orang lain, misalnya dengan bahasa, seni pahat, lukis, acara ritual dan sebagainya. Berdasarkan paparan tersebut masalah penelitian ini dapat dirumuskan dalam beberapa ruang lingkup permasalahan yang mencakup hal berikut: (1) Apakah “malak” sebagai simbol kepemilikan hewan pada etnik Dawan? (2)Bagaimanakah bentuk dan peranan makna yang terkandung didalam “malak” sebagai simbol kepemilikan pada hewan dalam etnik Dawan? Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji dan mendokumentasikan penggunaan, fungsi serta bentuk malak dalam etnik Dawan di Nusa Tenggara Timur dan untuk memperkaya penelitian semiotik yang sudah ada.

2. Kerangka Teori Seperti disinggung sebelumnya, kerangka teori utama yang memayungi penelitian ini adalah semiotik. Semiotik adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), berfungsinya tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati, dapat disebut tanda. Oleh karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa , struktur yang ditemukan dalam sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut tanda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf semuanya itu dianggap sebagai tanda (Zoest, 1992:18). Tanda

~ 306 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature akan selalu mengacu pada (mewakili) sesuatu hal (benda) yang lain yang disebut referen. Lampu merah mengacu pada jalan berhenti. Wajah cerah mengacu pada kebahagiaan. Airmata mengacu pada kesedihan. Apabila hubungan antara tanda yang diacu terjadi, maka dalam benak orang yang melihat atau mendengar akan timbul pengertian (Eco, 1976:59). Barthes (1977) mengembangkan semiotika menjadi dua tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Sedangkan konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti. Dalam semiologi Barthes (1977) dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi meruapakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna. Denotasi merupakan makna yang objektif dan tetap, sedangkan konotasi sebagai makna yang subjektif dan bervariasi. Meskipun berbeda, kedua makna tersebut ditentukan oleh konteks. Makna yang pertama yaitu makna denotasi berkaitan dengan sosok acuan, misalnya kata merah bermakna ‘ warna seperti warna darah’ (secara lebih objektif, makna dapat digambarkan menurut tata sinar). Konteks dalam hal ini untuk memecahkan masalah polisemi, sedangkan pada makna konotasi, konteks mendukung munculnya makna yang subjektif. Konotasi membuka kemungkinan interprestasi yang luas. Dalam bahasa, konotasi dimunculkan melalui majas (metafora, metonomini, hiperbola, eufemisme, ironi, dsb), presuposisi, implikatur. Secara umum (bukan bahasa), konotasi berkaitan dengan pengalaman pribadi atau masyarakat penuturnya yang bereaksi dan memberi makna konotasi emotif, misalnya halus, kasar/tidak sopan, peyoratif, akrab, kanak-kanak, menyenangkan, menakutkan, bahaya, tenang, dsb. Jenis ini tidak terbatas. Pada contoh di atas: MERAH bermakna konotasi emotif. Konotasi ini bertujuan membongkar makna yang tersebut.

3. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan paradigma fenomenologis sebagai landasan filosofisnya. Metode deskriptif ini bertujuan untuk membuat deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat mengenai data, sifat-sifat serta hubungan fenomena-fenomena yang diteliti sehingga diperoleh gambaran data secara ilmiah dan merujuk pada jalan dan rambu-rambu ke arah pemecahan masalah dalam penelitian linguistik, yaitu (1) mengikuti tahapan penyediaan data, teknik pengumpulan data, (2) tahapan penganalisian data, dan (3) tahapan penyajian analisis data (Sudaryanto, 1993 dan Djadjasudarma, 1993:8). Penelitian ini dilaksanakan di Desa Nusa, Kecamatan Amanuban Barat kabupaten Timor Tengah Selatan. Metode pengumpulan data adalah pengamatan, wawancara, perekaman, simak-catat dan studi dokumentasi. Sumber data adalah warga Kabupaten Timor Tengah Selatan khusunya Desa Nusa kecamatan Amanuban Barat. Data yang diteliti dalam kajian semiotika ini berupa data kualitatif. Data kualitatif ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer berupa ragam lisan yang bersumber dari informan di lapangan. Dari masing-masing lokasi penelitian dipilih beberapa informan inti dan seorang informan pendamping sebagai sumber data. Informan yang dipilih harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan, yakni (1) pemilik asli malak, (2) mengerti tentang fungsi dan malak sebagai simbol dalam keluarga, (3) berdomisili di Desa Nusa Kecamatan Amanuban Barat, (4) berusia 35-60 tahun, (5) sehat fisik maupun mental sehingga bertutur secara lancar, tepat dan jelas, serta (6) informan bersifat ramah dan terbuka (Samarin, 1988:57-71; Djadjasudarma, 1993:20-24). Model pengumpulan data yang digunakan dalam ~ 307 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature penelitian ini adalah sebagai berikut. Pada tahapan pengumpulan data di lokasi penelitian (yaitu pada masyarakat Dawan) data-data malak dianalisis sebagai berikut. (1) Dokumentasi data, (2 ) Klasifikasi data, (3) Identifkasi data, (4) Pemilahan Unsur; (5) Pendiskripsian temuan, (6) Penetapan Hasil Temuan, dan (7) Pengembangan Hasil Temuan. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah semiotik yaitu teori mengenai sistem penandaan sebagai simbol bahasa nonverbal dalam kehidupan masyarakat budaya.

4. Pembahasan 4.1 Malak sebagai sistem penanda kepemilikan hewan pada etnik Dawan Sistem penandaan simbol dalam etnik Dawan menempatkan malak sebagai atribut yang melekat pada hewan dalam masyarakat Dawan. Malak sendiri merupakan cap atau simbol yang diwariskan secara turun temurun dalam budaya etnik Dawan. Malak yang dimiliki dalam etnik Dawan bervariasi berdasarkan jumlah marga yang ada di dalam etnik ini. Malak merupakan tanda kepemilikan hewan pemeliharaan dalam setiap marga dari zaman dahulu sampai sekarang. Tujuan penggunaan malak adalah untuk menandai binatang peliharaan berdasarkan marga dan juga struktur sosial dalam etnik ini. Malak secara umum merupakan suatu bentuk gambar yang disepakati oleh setiap marga untuk dipasang pada harta atau pusaka sebagai bukti yang sah dan resmi bahwa harta tersebut milik marga tertentu. Malak secara khusus dapat dikatakan sebagai identitas diri, malak sebagai tiruan benda lain, malak sebagai singkatan nama (individu), malak sebagai singkatan nama kelompok, malak sebagai tanda kepemilikan dan malak sebagai tanda pengenal marga. Bentuk penandaan malak dalam etnik Dawan akan dijelaskan dengan menggunakan analisis Semiotika dan Semantik. Penjelasan semiotika menempatkan simbol sebagai tanda nonverbal yang melekat dalam diri setiap marga dalam etnik Dawan. Semiotika dalam istilah Barthes semiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Barthes, 1988:179; Kurniawan, 2001:53). Tanda Denotatif terdiri atas penanda dan petanda tetapi sekaligus sebagai penanda konotatif. Malak bukan sekedar sebagai simbol petanda dan penanda tetapi mengandung unsur ideologi dan mitos yang terkandung didalam setiap bentuk-bentuknya. Hal ini menjadikan keberadaan malak bukan hanya sebagai penanda kepemilikan tetapi didalamnya juga terkandung makna kepercayaan. Hal ini sejalan dengan kerangka Barthes mengenai sistem penandaan secara tingkat pertama yaitu denotasi dan tingkat kedua yaitu konotasi. Makna denotasi terdiri atas penanda dan petanda disempurnakan dengan makna konotasi yang identik dengan ideologi yang lebih sering disebut sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai kereligiusan yang dominan berlaku dalam suatu periode tertentu. Malak sebagai ideologi dan mitos mengungkapkan sebuah kesadaran yang palsu sehingga membuat pemilik malak hidup didalam dunia yang imajiner dan ideal meskipun tidak sejalan dengan kehidupan yang sesungguhnya. Ideologi ini melekat pada etnik Dawan selama kebudayaan itu ada dan merupakan ekspresi budaya. Malak sebagai bentuk konvensi atau perjanjian kelompok masyarakat maupun kelompok marga tertentu menjadikan simbol malak sebagai suatu tanda alamiah yang memiliki hubungan erat antara penanda dan petanda. Berikut ini akan dijelaskan secara rinci nama,bentuk,dan fungsi malak dalam etnik Dawan berdasarkan marga yang terdapat di Desa Nusa, Amanuban Barat, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Beberapa diantara malak itu memiliki makna dibalik setiap unsur-unsur yang terkandung dalam simbol malak yaitu malak

~ 308 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Marga Isu, malak Marga Bell, dan malak Marga Faot.

4.2 Bentuk Malak yang memiliki makna dalam etnik Dawan di Desa Nusa Ada tiga jenis malak dari tiga kelompok marga yang masih memiliki makna dan fungsi yang terkandung dalam setiap unsur-unsur malak tersebut yaitu sebagai berikut”

4.2.1 Malak Mal Noni Marga Isu Mal Noni adalah nama malak yang dimiliki oleh marga Isu atau yang biasa dipanggil Koli/koil abi. Marga Isu berasal dari Lukum Tisi, Tumbes. Tumbes merupakan kampung leluhur dari seluruh anggota keluarga Isu. Malak yang dimiliki oleh Marga Isu ini disebut Mal Noni karena pada zaman pemerintahan raja/sonaf marga Isu dipercayakan sebagai pemegang noin pah/noin banam atau mata uang daerah Amanuban dan noin pah oenam yaitu mata uang daerah Mollo. Marga Isu berkedudukan sebagai usif yang berkuasa sebagai penguasa bumi dan disembah oleh setiap rakyat. Marga Isu sebagai orang memeriksa dan memutuskan setiap masalah dalam masyarakat. Dengan demikian malak marga Isu/koli disebut Mal Noni atau cap uang. Bentuk malak Mal Noni berupa satu buah mata uang yang berbentuk koin dan sebuah gong yang tergantung diatas dacing yang berantai besi. Bentuk Mal Noni dapat dilihat pada data gambar berikut dibawah ini: Tnais (dacing) Sene (gong) Tain Besi (rantai besi)

Noin (Mata Uang logam)

Gambar 1: Bentuk Malak Mal Noni

Secara khusus bentuk malak Mal Noni dijelaskan menurut unsur-unsur yang membentuk malak itu sendiri. Setiap bagian memiliki petandanya sendiri yang akan dijabarkan sebagai berikut:

4.2.1.1 Analisis Makna Tnais (Dacing) Tnais atau dacing dalam bahasa Indonesia merupakan sebuah penanda dan merupakan petanda sebagai alat untuk menimbang. Secara denotatif penandaan tnais bagi Marga Isu yang biasanya disebut Koli atau Koil abi yang berkedudukan sebagai Usif atau Raja mempunyai petanda makna memiliki hak untuk menimbang dan memeriksa setiap masalah dalam masyarakat Dawan. Sistem pemerintahan dari Koil abi ini tidak memihak kepada siapapun dalam hal ini bersifat netral atau bersikap adil dan bijaksana. Selain itu makna konotatif yang terdapat pada Tnais adalah untuk menimbang hasil bumi masyarakat, marga Isu dipercayakan sebagai pemegang dacing dalam akitifitas perdagangan di Amanuban. Sistem perdangan yang diatur oleh Raja harus dipatuhi oleh masyarakat berdasarkan aturan dan sangsi yang berlaku. Bentuk tnais atau dacing dapat dilihat pada data gambar (1) halaman 4.

4.2.1.2 Analisis Makna Tain Besi (Rantai Besi) Tain besi atau rantai besi dalam bahasa Indonesia memiliki petanda sebagai alat untuk menggantung mata uang. Dalam pendekatan semiotika rantai besi dalam penanda malak mal noni digunakan sebagai pengikat dua buah logam uang dan juga memberikan petanda bahwa ~ 309 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature sistem pemerintahan marga Isu memiliki kekuatan yang kokoh ibarat rantai besi. Dalam hal ini makna konotatif dalam sistem penandaan ini dapat dianilisis sebagai bentuk kejayaan dan kekokohan yang dimiliki sebagai raja yang memerintah dalam etnik tersebut. Bentuk Tain besi atau rantai besi dapat dilihat pada data gambar (1) halaman 4.

4.2.1.3 Analisis Makna Noin Banam atau Noin Oenam (Mata uang daerah Amanuban dan Mollo) Penggunaan noin banam sebagai lambang atau nama mata uang yang digunakan di daerah Amanuban menandakan bahwa marga Isu sebagai pemilik kekuasaan atau pemegang kuasa di daerah Amanuban dengan wilayah kekuasaan yang luas. Dalam hal ini makna denotatif yang muncul adalah uang merupakan simbol kemakmuran dan kekayaan yang dimiliki marga Isu dalam menguasai daerah Amanuban.di samping itu, Noin Oenam yang digunakan dalam simbol ini merupakan mata uang yang digunakan di daerah Mollo. Hal ini merupakan petanda bahwa wilayah kekuasaan marga Isu sampai ke daerah Mollo dan menguasai hampir sebagian besar wilayah Mollo. Bentuk Noin banam dan noin oenam dapat dilihat pada data gambar (1) halaman 4.

4.2.1.4 Analisis Makna Sene (Gong) Sene atau Gong dalam bahasa Indonesia digunakan sebagai petanda untuk memanggil anggota masyarakat. Penggunaan sene atau gong juga berfungsi sebagai pemberi isyarat kepada masyarakat apabila terdapat ancaman musuh dalam hal ini peperangan. Selain itu, sene digunakan untuk menghibur para usif atau raja dalam acara-acara besar kerajaan dan ritual- ritual adat yang berlangsung didalam maupun diluar kerajaan. Dapat disimpulkan bahwa makna yang berada dalam simbol sene adalah sebagai alat entertainment atau alat menghibur pada tataran penandaan tingkat pertama dan sebagai alat komunikasi nonverbal petanda adanya ancaman pada tataran tingkat kedua yaitu konotatif. Secara umum dapat dianilisis menurut pendekatan semiotika dan semantik pada setiap unsur pembentuk malak mal noni yang dimiliki oleh Marga Isu adalah simbol bukan hanya sebagai penanda dan petanda kepemilikan terhadap hewan peliharaan tetapi merupakan bentuk pelestarian akan sejarah kejayaan dan perkembangan Marga tersebut dalam hubungan interaksi sosial pada kelompok etnik Dawan. Hubungan antara setiap unsur pembentuk malak memiliki nilai sejarah bagi generasi penerus pemilik marga ini. Hal ini dapat dilihat pada salah satu bagian pembentuk mal noni yaitu noin banam atau noin oenam ditinjau dari semiotika merupakan simbol kemakmuran dan kekayaan juga sebagai petanda pemilik kekuasaan. Secara semantik dapat dilihat bahwa fungsi penandaan simbol malak melekat dalam etnik Dawan dan kebertahanan budaya malak tersebut dalam kedudukan etnik Dawan masih memiliki peranan yang fungsional dalam sistem pemerintahan yang terdapat dalam etnik Dawan.

5. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data penelitian dapat disimpulkan bahwa malak dalam arti luas adalah sebagai simbol penanda kepemilikan hewan dalam etnik Dawan di kabupaten Timor Tengah Selatan. Makna khusus dari malak adalah simbol-simbol berupa gambar yang terdiri dari beragam bentuk berdasarkan marga atau kelompok suku tertentu sebagai hasil kesepakatan masyarakat pemakai malak untuk dijadikan sebagai bukti resmi jika terjadi penyimpangan-penyimpangan dari norma-norma yang berlaku dalam masyarakat

~ 310 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature pengguna malak untuk diproses menurut aturan dan hukum yang berlaku. Beberapa bentuk malak tidak dapat dijelaskan lebih detail karena ada perjanjian-perjanjian leluhur yang sangat sakral dan tidak dapat dilanggar. Makna malak sebagai aset budaya memiliki peranan yang penting dalam pemertahanan budaya lokal etnik dawan khususnya yang terdapat di desa Nusa dan etnik Dawan di daerah lainnya di kabupaten Timor Tengah Selatan pada umumnya. Peranan malak dalam kehidupan etnik Dawan sebagai penanda kepemilikan membuat masyarakat ini hidup tergantung dan tidak terlepas dari alam dan budaya lokal etnik Dawan. Malak dihadirkan dan diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi dalam masyarakat etnik Dawan oleh karena adanya kesepakatan atau konvensi dari para leluhur pemakainya untuk dilestarikan sebagai peninggalan sejarah dan juga merupakan salah satu aset budaya yang mengandung nilai-nilai dan norma-norma sosial untuk dipatuhi dan dilaksanakan menurut aturan-aturan yang berlaku dan disepakati dalam kehidupan masyarakat etnik Dawan. Malak juga berperan sebagai penuntun moral dan pedoman etika bagi etnik Dawan dalam perilaku hidup serta membangun kekerabatan, rekonsiliasi dan kesetiakawanan sosial. Sejalan dengan itu malak juga berfungsi menujukkan status sosial dalam etnik Dawan yang mencerminkan pola tingkah laku masyarakat leluhur etnik Dawan dari masa lampau sampai masa sekarang.

5.2 Saran Malak sebagai media pengungkapan makna bahasa secara nonverbal mengandung makna yang luas dalam sistem penandaan kepemilikan etnik Dawan. Tesis ini mengungkapkan bentuk malak dan maknanya yang berhubungan dengan status sosial masyarakat pemilik malak. Tesis ini jauh dari kesempurnaan untuk itu peneliti menyarankan penelitian lebih lanjut akan sistem penandaan kepemilikan dalam etnik Dawan di Kabupaten Timor Tengah Selatan.

SUMBER RUJUKAN

Bakker Sj., J.W.M 1984. Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius

Berger Arthur, Asa. 2010. Pengantar Semiotika. Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer. Diterjemahkan dari Signs in Contemporary Culture: An Introduction to Semiotics, oleh Marianto M. Dwi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Bungin, H.M. Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Preneda Media Group.

Charon, Joel M. 1979. Simbolic Interactionism: An Introduction, An Interpretation, An Intergration. Prentice-Hall Inc.

De Saussure, Ferdinand. 1993. Pengantar Linguistik Umum. Diterjemahkan dari Course de Linguistique Generale, oleh Kridalaksana, Harimurti. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Djajasudarma, T. Fatimah. 1993. Semantik 1: Pengantar ke Arah Ilmu Makna. Bandung:; Eresco

Djojosuroto, Knayati. 2007. Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.

Eco, Umberto. 1984. Semiotics and the Philosophy of Language. Basingstoke: Macmillan.

Eco, Umberto. 2009. Teori Semiotika. Diterjemahkan dari A Theory of Semiotics oleh Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Hariwijaya, M. 2013. Semiotika Jawa. Yogyakarta: Paradigma Indonesia

~ 311 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Hoed, Benny H. 2011. Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu

Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

Piliang, Amir Yasraf. 2012. Semiotika dan Hipersemiotika. Bandung : Matahari

~ 312 ~ DO SPEECH LEVELS EXIST IN INDONESIAN?

Majid Wajdi Politeknik Negeri Bali Jalan Kampus Bukit Jimbaran, Kuta Selatan, Badung, Bali mawa2id@gmailcom

ABSTRAK Mayoritas penutur bahasa Indonesia di Indonesia adalah penutur asli bahasa daerah, terutama baha- sa Jawa, Sunda, Bali, Sasak, Madura dan lain-lain. Kelima bahasa ini adalah bahasa sekerabat yang memiliki tingkat tutur tinggi dan rendah. Bahasa Jawa, sebagai contoh, dikenal luas sebagai salah satu bahasa daerah yang memiliki tingkat tutur rendah (ngoko) dan tingkat tutur tinggi (krama) yang hidup dan saling berdampingan sebagai media komunikasi sehari-hari para penuturnya. Tingkat tutur rendah dan tinggi ini memiliki bentuk, fungsi dan makna yang berbeda ketika digunakan oleh para penuturnya. Tentu saja, ada perbedaan mendasar yang harus diperhitungkan antara bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Sebagai bahasa yang mengenal prinsip kesetaraan (egaliter), bahasa Indonesia tidak memiliki tingkat tutur sebagaimana tingkat tutur bahasa Jawa dan keempat bahasa sekerabat tersebut. Makalah ini bukan bermaksud untuk membandingkan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa dan keempat bahasa yang lain dari sudut pandang tingkat tutur, tetapi mencoba menelusuri kosakata bahasa Indone- sia dan bagaimana bahasa Indonesia menempatkan kosakata rendah dan tinggi dengan caranya sendiri. Sebagai contoh, verba berfirman, bersabda, dan berkata digunakan untuk menggambarkan aktivitas berujar Tuhan (berfirman), Nabi (bersabda), dan orang kebanyakan (berkata). Hipotesis penelitian awal ini mengungkapkan bahwa ada semacam tingkat tutur dalam bahasa Indonesia, akan tetapi bukan untuk disetarakan dengan tingkat tutur dalam bahasa Jawa, Sunda, Bali, Sasak, and Madura seperti dikenal selama ini.

Kata kunci: bahasa Indonesia, tingkat tutur rendah, tingkat tutur tinggi

INTRODUCTION Indonesian language has become a second language for most of local language speakers in most part of Indonesia such as Sundanese, Javanese, Balinese, Sasak, Madurese and many speakers of local languages besides five languages mentioned in advance. Refer to Indonesian language, Moeliono (see Samuel, 2008: 57) proposed his idea about “language modernized” includes how to put Indonesia language to become the same level with the other developed languages in order to enable to have direct translation, as well as ‘modernized language’ of Indonesia. ‘Modernized language’ in this case covers three aspects, namely ‘scholarized’ or ‘rationalized language’, i.e. development of language in order to be able to form precise statement, accurate and abstract, in line with scientific needs (Moeliono, 1985: 114 and 65), ‘enlarging vocabulary’ including term and term form sources and development of Inodnesian speech levels. Speech level here is language variation or speech variation in low and high meaning, as it is found in Javanese or Sundanese, Balinese, Sasak, and Madurese. As it was stated above that Indonesian language has become a second language for local language speakers, and what it will be mentioned here is the language of Java. The influence of Javanese on Indonesian language more than lexical area, by adopting certain cultural attitude and speech level of Javanese and other language that havesub-group of the same history namely Sundanese, ~ 313 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Madurese, Balinese, and Banjarin which the total amount of them are equal to two-third of Indonesian inhabitants (Samuel, 2008: 93). An effort to consider the role of the local language in the development of Indonesian language in vocabulary and it is proved that local languages are the main sources in enriching Indonesian vocabularies. Labarousse (1975, in Samuel, 2008: 92) described that between 1960 and 1970 there are 40.1% of adopted vocabularies derived from local languages. Adopted words from Javanese are 69.1% from the total amount of adopted words from local languages and 28.2, and on the second position after the Dutch. It is finally concluded that there is a kind of Javanized process in Indonesia language (Samuel, 2008: 92). Since several years ago, it has been identified that a pair of words refer to ‘honorific-non honorific’ appeared in Indonesian language, in which the honorific words are adopted from Old Javanese or from high speech level of Javanese (krama) in modern Javanese. Such a kind of process is called ‘kramanisation’ in Indonesian language (Samuel, 2008: 92). But the process of ‘kramanization’ is not identical with Javanization. Javanization process is mainly seen by adopting low speech level of Javanese (ngoko), appeared from the speakers who do not realize that the process of adopting words from local language (mother tongue) into the second language in this case, Indonesian language. Based on the above background, the research problems are (a) are there any speech levels of low and high speech levels in Indonesian language?, (b) how large the Indonesian words which have forms of low and high vocabulary?

METHOD The data for the research were collected by using document study namely the Indonesian translation of Digital Holly Quran (2004) version 2.1. First, make a list of pairs of words which will be collected to make sure if the pair of words are found in the translation. An example, the verb mati-wafat ‘die-pass away’. By using ‘search feature’, it will be easier for the researcher to find whether this pair of area is accessible. Second, type a word that will be found. An example by typing a verb mati on search feature. Third, click topic list, it will appear ‘title’, ‘location’, and ‘rank’. On title column, it will appear a list of words. On topic list, for example it will appear Al Baqarah 243; it means that the verb mati ‘die’ is found on the verse number 243. Fourth, by clicking list of surah of digital Al Quran (an example Surah Al Baqarah 243), it will appear in translation in Indonesian and the verb mati ‘die’ will be underlined.

DISCUSION AND ANAL YSIS Let us look at the following table how a few of Indonesian vocabularies are used in low and high levels. Although they are not found as complete as Javanese and other local languages, but they indicate that the influence of local language speech levels are present in the Indonesian language.

Table 4.1 Speech Levels in Indonesian Category Low High Meaning

noun kata firman, sabda statement

mayat janazah corpse, dead body

~ 314 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

kuburan makam cemetery

anak putra/i son, daughter

verb berkata berfirman, bersabda to say

mati meninggal, wafat, gugur, to die, to pass away mangkat, tutup usia,

minta, meminta mohon, memohon to ask, to beg

datang hadir present

menguburkan memakamkan to bury

membolehkan mengijinkan, mengabulkan allow

memberikan mengabulkan to give

hamil mengandung to pregnant

pronoun kamu saudara, anda, bapak/ibu you

ia/dia beliau he/she

The Indonesia verb berfirman is found 117 times, and noun of firman is used 28 times in digital translation of Holly Al Quran. The verb berfirman and the noun firman are exclusively used to de- scribe the activity of God’s (Allah) saying in Holly Al Quran. The verb bersabda is used 25 times, and the noun sabda is found 28 times to express the activity of saying by the Prophet Muhammad saw. The verb berkata is used 510 times to express the activity of saying by human being in general. The following example shows us how three verbs: berkata, bersabda, and berfirman are used to describe three different figures in saying something in Indonesian language.

(1) Al Baqarah (2: 260):

Indonesian version: 260. Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.” Allah berfirman: “Belum yakin- kah kamu?” Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: “(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): “Lalu letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

English version: And (remember) when Ibrâhim (Abraham) said, “My Lord! Show me how You give life to the dead.” He (Allâh) said: “Do you not believe?” He [Ibrâhim (Abraham)] said: “Yes (I believe), but to be stronger in Faith.” He said: “Take four birds, then cause them to incline towards you (then slaughter them, cut them into pieces), and then put a ~ 315 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature portion of them on every hill, and call them, they will come to you in haste. And know that Allâh is All-Mighty, All-Wise”.

(2) Al A’raf (7: 1473):

Indoesian version: 143. Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan kami) pada waktu yang telah kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat me- lihat-Ku”. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu[565], dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kem- bali, dia berkata: “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman”.

English version: And when Mûsa (Moses) came at the time and place appointed by Us, and his Lord spoke to him, he said: “O my Lord! Show me (Yourself), that I may look upon You.” Allâh said: “You cannot see Me, but look upon the mountain if it stands still in its place then you shall see Me.” So when his Lord appeared to the mountain, He made it col- lapse to dust, and Mûsa (Moses) fell down unconscious. Then when he recovered his senses he said: “Glory be to You, I turn to You in repentance and I am the first of the believers.”

(3) Maryam (19: 10):

Indonesian version: 10. Zakaria berkata: “Ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda”. Tuhan berfirman: “Tan- da bagimu ialah bahwa kamu tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama tiga malam, padahal kamu sehat”.

English version: [Zakariya (Zachariah)] said: “My Lord! Appoint for me a sign.” He said: “Your sign is that you shall not speak unto mankind for three nights, though having no bodily de- fect.”

(4) Maryam (19: 21):

Indonesian version: 21. Jibril berkata: “Demikianlah”. Tuhanmu berfirman: “Hal itu adalah mudah bagiKu; dan agar dapat kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rah- mat dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan”.

English version:

~ 316 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature He said: “So (it will be), your Lord said: ‘That is easy for Me (Allâh): And (We wish) to appoint him as a sign to mankind and a mercy from Us (Allâh), and it is a matter (already) decreed, (by Allâh)”.

(5) (17: 61):

Indonesian version: 61. Dan (ingatlah), tatkala Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu semua kepada Adam”, lalu mereka sujud kecuali iblis. Dia berkata: “Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?”

English version: And (remember) when W e said to the angels: “Prostrate unto Adam.” They prostrated except Iblîs (Satan). He said: “Shall I prostrate to one whom You created from clay?”

Based on the example above (1—5), it is clearly seen that the Indonesian verbs berkata, bersabda, dan berfirman are used in written expression of translation of Holly Quran. The verb berkata is used to describe an activity of saying something by human being in general. In general, a human being, both man and woman, do an activity of saying something by using the Indonesian verb berkata. An activity of saying or expressing something is described by using an Indonesian verb berkata. Is it only the Indonesian verb berkata that can be used to express an activity of saying something, both written and spoken forms? In Javanese (and also in another local language which has speech levels as Javanese does), Indonesian verb berkata can be expressed in low code (ngoko) ngomong, or ngendika in krama (high code). It seems that Indonesian also has a kind speech level, namely word with low and high forms and meaning. Indonesian speech levels can be inextricably linked to who is speaking to whom or the participants involved. Refers to the example (1—5), it is clear that the Indonesian verb berkata has high variation bersabda and berfirman. If they are ranked, the verb berkata is low verb, neutral verb, or a general verb, while the verb bersabda and berfirman are high verb or high codes which has high meaning and power when they are used to describe someone’s activity of saying. General figure will be described by using the Indonesian verb berkata, on the other hand, the figure with power will be described by using Indonesian verb bersabda and or berfirman to show his or her activity of saying something. A king or a prophet of Muhammad saw is described by using Indonesian verb bersabda. The Indonesian verb berfirman is exclusively used to describe God’s (Allah) statement. Although in Arabic, the Indonesia verb berkata is only expressed in one verb qul with its derivatives: qaala, yaquulu, qul, but in Indonesia verb, it will be converted to berkata, bersabda, dan berfirman.

CONCLUSION This preliminary research will be continued and revised to see in depth the level of speeches in Indonesian language, the second language of most of local language speakers in Indonesia. The preliminary conclusion is as follows. Indonesian speech levels are limited in a few categories. Not all word categories have low and high forms.

~ 317 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature BIBLIOGRAPHY

Anonim. 2004. Al Quran Digital Versi 2.1. http://www.alquran-digital.com Anonim. Quranflash Desktop 1.2. www.vijua.com (accessable at app. market using Mac Computer). Moeliono, Anton M. 1985. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia, Ancangan Alternatif di dalam Perencanaan Bahasa. Jakarta: Djambatan. Samuel, Jérôme. 2008. Kasus Ajaib Bahasa Indonesia? Pemordernan Kosakata dan Politik Peristilahan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Wajdi, M. 2014. “Verba Derivatif Bahasa Jawa: Kajian morfologi dan sosio-kultural”, dalam Sudipa, I Nengah & Gede Primahadi-Wijaya-R. 2014. Cahaya Bahasa: Persembahan Tulus kepada I Gusti Made Sutjaja Memasuki Masa Purnabakti, 2 Oktober 2014. Denpasar: Swasta Nulus. Wajdi, M. 2014. “Solidarity in Javanese”, in Sundayana, W. & Eri Kurniawan. 2014. Proceeding The Seventh International Conference on Applied Linguistics (CONAPLIN 7). Bandung: Balai Bahasa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Wajdi, M. 2015. “Deference and Language Use in Javanese”. Paper presented at Seminar Nasional bahasa Ibu 8, diselenggarakan oleh Program Studi S-2/S-3 Linguistik, Program Pascasarjana Universitas Udayana.

~ 318 ~ TRANSFORMASI CERITA RAKYAT FLORES MENJADI NASKAH DRAMA

Maria Marietta Bali Larasati Universitas Flores

ABSTRAK Sebelum sebuah pementasan drama dilakukan diperlukan sebuah naskah drama yang menjadi sumber cerita yang harus ditafsirkan oleh sutradara, pemain, penata pentas, dan penonton. Naskah drama ini berfungsi memberi inspirasi kepada para penafsirnya. Naskah drama yang baik akan menjadi acuan tata pentas. Dari beberapa jenis naskah, naskah garapan dari sebuah cerita rakyat adalah naskah yang perlu mendapat perhatian sebagai salah satu upaya melestarikan bahasa ibu. Tiga hal positif berkaitan dengan menulis naskah drama dari cerita rakyat adalah (1) cerita rakyat pada umumnya berbentuk narasi, sehingga ketika mengubah bentuknya menjadi naskah drama dituntut kemahiran penulis menciptakan dialog; (2) hampir dipastikan cerita rakyat di Indonesia terancam punah sehingga dengan memilih cerita rakyat untuk diubah menjadi naskah drama merupakan salah satu usaha melestarikan kekayaan sastra lisan dari ancaman kepunahan. Mengubah bentuk (transformasi) dari cerita rakyat menjadi naskah drama dapat dilakukan dengan langkah memilih cerita rakyat, membuat transkrip, menerjemahkan, dan menulis naskah drama. Bentuk dan susunan naskah drama berbeda dengan cerita rakyat. Naskah drama tidak mengisahkan cerita secara langsung (narasi). Penuturan ceritanya berupa dialog para tokoh. Berdasarkan pembicaraan para tokoh itulah penonton dapat menangkap dan memahami seluruh rangkaian ceritanya.

Kata kunci: cerita rakyat, menulis, naskah drama

1. Latar Belakang Naskah drama adalah sebuah karya sastra. Naskah drama sebagai karya sastra dapat dilihat dari segi anatomi dan tujuan. Dari segi tujuan, drama ditulis untuk pementasan, bukan sekedar dilihat atau dicermati anatomi naskahnya (dibaca). Tujuan dari sebuah pementasan tidak sekedar memberi informasi atau kisahan cerita untuk diketahui oleh penonton namun pementasan juga merupakan media menyalurkan nilai-nilai hidup seperti yang telah disebutkan. Demi tujuan itu pula karakteristik audiens atau penonton harus diperhatikan dalam penulisan naskah drama, walaupun tidak secara nyata terwujud dalam naskah drama yangdiproduksi. Namun akan terukur ketika naskah itu dipentaskan. Pemilihan tema juga disesuaikan dengan tingkat intelegensi dan latar belakang sosial budaya penonton. Oleh karena itulah banyak naskah drama yang mengangkat permasalahan sehari-hari agar mampu komunikatif dengan penonton. Untuk tujuan tersebut seorang penulis naskah drama yang berdasarkan cerita rakyat harus kreatif membuat berbagai pengembangan tokoh, karakter, dan peristiwa agar memiliki hubungan dengan kehidupan masa kini. Peranan dialog dalam naskah drama sangatlah penting dan dominan karena dialog mewakili penulis dalam hal penyampaian karakterisasi tokoh-tokoh dalam cerita secara mendalam kepada penonton melalui para pekerja teater, sutradara, produser, aktor, dan perangkat lainnya sehingga terwujud atau tervisualisasi sebuah naskah drama yang menjadi sebuah tontonan yang bermakna. Menulis naskah drama dari cerita rakyat memiliki manfaat melestarikan cerita rakyat itu sendiri yang konon hampir punah jika tidak dilestarikan. Seperti halnya bahasa-bahasa tertentu yang hampir punah, maka punahnya sebuah bahasa mengakibatkan punahnya budaya termasuk

~ 319 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature cerita rakyat. Sebaliknya, dengan menggali terus menerus cerita rakyat untuk penulisan drama, dengan sendirinya akan mengangkat, melestarikan, dan menjauhkan cerita rakyat sekaligus bahasa yang merupakan media cerita rakyat tersebut dari ancaman kepunahan.

2. Masalah, Tujuan, Metode, dan Teori Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah hasil transformasi cerita rakyat menjadi naskah drama. Permasalahan dirumuskan sebagai berikut: (1) Bagaimana deksripsi naskah drama Golo Tatong? (2) Bagaimanakah siklus karakter tokoh dalam naskah drama Golo Tatong? (3) Bagaimanakah alur dalam naskah drama Golo Tatong? (4) Bagaimanakah transformasi narasi dalam cerita Golo Tatong menjadi naskah drama Golo Tatong? Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) memaparkan deskripsi naskah drama Golo Tatong, (2) mendeskripsikan siklus karakter tokoh dalam naskah drama Golo Tatong, (3) mendeskripsikan alur dalam naskah drama Golo Tatong, (4) mendeskrisikan transformasi narasi dalam cerita Golo Tatong menjadi naskah drama Golo Tatong. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Teori yang digunakan adalah Teori Strukut danTekstur dari Kernodle.

3. Pembahasan 3.1 Deskripsi Naskah Drama Golo Tatong Cerita rakyat Golo Tatong adalah sebuah cerita yang berasal dari kampung Kempo, Kecamatan Sanonggoang, Kabuaten Manggarai Barat. Sumber cerita rakyat ini dituturkan oleh Usman Ganggang. Naskah cerita rakyat ini ditranskrip, diterjemahkan dan ditulis oleh penulis sendiri. Judul Golo Tatong tetap dipertahankan sesuai judul cerita rakyat dengan alasan cerita dan tema pada naskah drama ini juga berfokus pada tokoh. Tema Tema umum dari drama Golo Tantong adalah Kesetiaan. Hal ini dapat dilihat dari dialog antar tokoh, karakter, serta alur cerita yang disajikan. Secara sekilas drama Golo Tantong memperlihatkan unsur-unsur realisme yang mencoba mengabstraksikan kenyataan kehidupan sehari-hari secara subjektif. Drama ini menghadirkan sebuah simbol bahwa kesetiaan itu harus dijaga dan dipelihara, agar tidak terjadi permusuhan dan dendam di antara kedua belah pihak. Kesetiaan merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam menjalin sebuah hubungan antara satu dan yang lain khususnya bagi kedua insan yang sedang menjalin hubungan cinta. Drama ini mengajak kita agar kita setia pada pasangan kita. Jika kita tidak setia maka kita akan mengalami akibatnya.

3.2 Siklus Karakter Tokoh dalam Naskah Drama Golo Tatong Cara-cara penokohan dapat dilihat dalam tindakan/lakuan, ujaran/ucapan, pikiran, perasaan, kehendak, penampilan fisik, apa yang dipikirkan/rasakan tentang diri dan orang lain. Beberapa tokoh yang ada dalam naskah drama Golo Tantong adalah Tantong, Kempo, Menes, Teman Kempo, Teman Menes, Ayah Tantong, Ibu Tantong, Ayah Kempo, Ibu Kempo, Ayah Menes, Ibu Menes, Pateng, dan Warga.

1. Tantong Tokoh Tantong adalah tokoh yang mendominasi seluruh adegan atau bagian dalam cerita karena ia tampil hampir di semua adegann. Dia adalah pusat dari cerita ini dan pemeran utama dalam cerita ini.

~ 320 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

Motivasi Interaksi Tujuan Positif Negatif Positif Negatif Anak perempuan Selalu diikuti ke- Disukai banyak Mudah sekali Golo Tatong membuat kedua dari keluarga yang mauannya oleh orang orang karena jatuh cinta pada orang tuanya terpaksa men- sangat dihormati tuanya kecantikannya Kempo erima lamaran Kempo agar anaknya bahagia Bahagia karena te- Terlalu cepat me- Menghadiri Tidak setia pada Pernyataan Golo Tatong lah dilamar Kempo mutuskan menerima pesta syuku- Kempo karena membuat Menes memu- lamaran Kempo ran kampung jatuh cinta lagi tuskan untuk melamarnya tetangga pada Menes walaupun Menes tahu Golo Tatong telah dilamar Kempo Walaupun ada Tidak merasa ada Berhasil mem- Membuat kedua Golo Tatong resmi dilamar rasa takut namun beban bahwa dirinya bujuk orangtu- orang tuanya Menes walaupun ada rasa menyatakan pada telah dilamar Kempo anya untuk men- bingung saat tidak senang pada kedua orangtuanya bahwa erima keluarga menerima kelu- orang tuanya Menes akan datang Menes arga Menes melamarnya Menerima nasehat Merasa khawatir akan Siap menerima Membuat ama- Golo Tatong menerima akibat kedua orang tuanya tindakannya men- akibat dari per- rah pada diri dari perbuatannya yaitu erima lamaran Menes buatannya Kempo dibunuh oleh Kempo sementara dirinya te- lah dipinang terlebih dahulu oleh Kempo

a. Dimensi fisik yang dimiliki tokoh Tantong ini digambarkan bahwa ia adalah gadis kampung yang sangat cantik dan berambut panjang. Hal ini bisa kita lihat pada dialog dibawah ini dan pada perkenalan awal:

(Kempo sedang melewati sebuah kali kecil. Ia sedang memikul kayu. Tanpa sengaja ia melihat seorang gadis cantik yang sedang mencuci kain). Kempo : (Berhenti sejenak dan memandang ke sang gadis dengan penuh kekaguman) cantik sekali gadis itu. Dia siapa e? (adegan 1)

b. Dimensi sosiologis tokoh Tantong adalah dalam kehidupan bermasyarakat adalah orang yang sangat dihormati. Hal ini bisa dilihat pada perkenalan awal cerita:

Sebuah kisah di kampung Kempo, Kecamatan Sanonggoang, Kabuaten Manggarai Barat. Ada sebuah keluarga kecil yang bahagia. Keluarga mereka sangat dihormati. Mereka memiliki seorang anak yang cantik dan disukai banyak orang. Nama gadis itu Tantong. (adegan 1)

c. Dimensi psikologis tokoh Tantong adalah Tantong digambarkan sebagai orang yang tidak setia, cepat jatuh cinta pada orang lain meski baru pertama kali bertemu. Hal ini terlihat pada adegan 3:

Menes : Bisakah saya menjadi kekasihmu? Tantong : (Diam dan menunduk karena menyadari dirinya telah dipinang pemuda lain, sementara hatinya juga sudah tertarik kepada pemuda disampingnya sejak melihatnya pertama kali) Menes : Inuk, bisakah saya meminangmu inuk? (melihat ke arah gadis itu dengan cemas) Tantong : (Mengangkat kepala dengan tatapan sayu) tetapi nana…. Saya sudah dipinang orang lain. Menes : (tersenyum) saya sudah mendengar semuanya itu inuk. Saya tidak keberatan dengan hal itu kalau inuk bisa menerima saya. Tantong : Sebenarnya….(tak melanjutkan kalimatnya sehingga membuat pemuda itu bingung) Menes : Sebenarnya apa inuk? Apa inuk tidak terima saya ?

~ 321 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Tantong : Bukan begitu nana. Sebenarnya saya juga jatuh hati pada nana sejak tadi pertama kali melihat nana (adegan 3)

3.3 Alur dalam Naskah Drama Golo Tatong Alur adalah jalinan atau rangkaian peristiwa berdasarkan hubungan waktu dan hubungan sebab-akibat. Sebuah alur cerita harus menggambarkan jalannya cerita dari awal (pengenalan) sampai akhir (penyelesaian). Alur cerita terjadi dari rangkaian ketiga unsur, yaitu dialog, petunjuk laku, dan latar/setting. Alur yang digunakan dalam drama Golo Tantong merupakan alur maju (progresive plot) karena jalinan peristiwa dalam drama tersebut yang berurutan atau berkesinambungan secara kronologi dari tahap awal sampai tahap akhir cerita, yaitu terbunuhnya Golo Tantong yang dilakukan oleh Golo Kempo. Selanjutnya alur dalam naskah drama GoloTatong dapat digambarkan sebagai berikut: Tatong anak dari keluarga yang sangat dihormati >> Kempo bertemu Tatong >> Kempo jatuh hati pada Tatong >> Tatong menerima pinangan Kempo >> Menes bertemu Tatong >> Menes jatuh hati pada Tatong >> Tatong menerima cinta Menes >> Menes meminang Tatong >> Kempo mendengar kabar Tatong dipinang Menes >> Kempo sangat marah karena dikhianati Tatong >> Kempo membunuh Tatong >> Jenasah Tatong menjelma menjadi dua gunung Berdasarkan alur tersebut di atas dapat diketahui para tokoh serta gambaran pengembangan cerita lewat dialog dan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi pada naskah drama Golo Tatong. Pemetaan peristiwa pada cerita rakyat Golo Tatong ke dalam adegan pada naskah drama menjadi tujuh adegan dengan alasan cerita rakyat Golo Tatong sangat menarik dan kedudukannya sama sehingga perlu ditonjolkan dalam satu adegan sebagai penguatan atas watak dan karakter tokoh- tokohnya. Secara garis besar, konflik yang terjadi dalam drama Golo Tantong terbagi berdasarkan tiap adegan. Pada adegan pertama, terjadi konflik bathin yang dialami Kempo karena kecantikan Tantong telah mengusik hati dan pikirannya ketika itu. Ia semakin penasaran dan meminta bantuan sang sahabat untuk mencaritahu identitas Tantong. Konflik yang terjadi selanjutnya yakni terdapat pada adegan kedua. Tanpa sepengetahuan orang tuanya, Tantong menerima cinta Kempo. Setelah beberapa hari, Kempo bersama keluarganya datang meminang Tantong. Acara ini berlangsung tanpa ada kendala. Konflik kembali terjadi dan menjadi minor climax terdapat pada adegan ketiga. Hal ini berawal dari sebuah upacara syukuran, di mana seorang pemuda tampan yang jatuh hati pula pada Tantong menghampiri gadis cantik itu dan mengutarakan isi hatinya. Mula-mula, Tantong menolak permintaan pemuda tersebut karena ia telah berrtunangan dengan seorang pemuda yan bernama Kempo. Sayang, ia pun tidak dapat menutupi perasaannya terhadap pemuda itu pula. Pada adegan keenam, komplikasi terjadi karena Kempo mengetahui kedatangan pateng dari keluarga Menes yang telah melamar gadis pinangannya. Api kemarahan pun mulai berkobar kala itu. Ia tidak menyangka Tantong berbuat demikian. Ketegangan merambat naik (build) ketika Kempo bertemu Tantong. Pada adegan ketujuh, telah terjadi klimaks besar atau puncak ketegangan. Kemarahan Kempo memuncak hingga ia menjerat leher Tantong dengan seutas tali kemudian memotong buah dada dan kepala Tantong lalu membuangnya ke arah yang berbeda. Buah dada Tantong itulah yang menjadi sebuah gunung bernama Golo Cucu dan sebuah gunung yang berbentuk kepala manusia, dekat sungai Wae Sapo, Terong, Manggarai Barat.

~ 322 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature 3.4 Transformasi Narasi dalam Cerita Golo Tatong Menjadi Naskah Drama Golo Tatong

GOLO TANT ONG Judul tetap dipertahankan sesuai cerita rakyat

Di suatu perkampungan bernama Kempo di Manggarai Barat hiduplah sebuah keluarga kecil yang bahagia. Keluarga mereka sangat dihormati masyarakat setempat. Mereka memiliki seorang anak perempuan yang sangat cantik dan disukai banyak orang. Nama gadis itu Tantong.

Adegan 1 Pemetaan peristiwa dalam cerita rakyat Golo Tantong ditulis- kan menjadai tujuh adegan dalam pada naskah drama ini

Kempo sedang melewati sebuah kali kecil. Ia sedang memikul kayu. Tanpa sengaja ia melihat seorang gadis cantik yang sedang mencuci kain Kempo : (Berhenti sejenak dan memandang ke sang gadis dengan penuh kekaguman) cantik sekali gadis itu. Dia siapa e? dst…..

Adegan 2 Di rumah Tantong Latar tempat

Ibu Tantong : Inuk! Apakah engkau sudah siap untuk hidup bersama Golo Kempo? (menggenggam tangan anaknya) Tantong : Iyo ine. Sa sudah siap (tersenyum)

Tokoh/pemeran

Ayah Tantong : Sebentar lagi Kempo akan datang melamarmu. Ame harap kamu sudah memikirkan hal ini baik-baik. Tokoh tanpa nama karena fokus cerita pada pemeran utama Golo Tantong

Golo Kempo : Selamat pagi…bagaimana keadaanya ine dan ame ? (menjabat tangan orang tua Tantong) Ayah Tantong : Baik! Baik nana Ibu Tantong : Mari masuk dulu (menuntun Kempo dan kelurganya masuk dalam rumah) Silakan duduk. Tantong, tolong ambilkan minuman untuk tamu kita ini! (menoleh ke arah Golo Tantong) Golo Tantong : Iyo Ine (menuju ke belakang)

Penggambaran adegan dan blocking dst ...

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Imran T. 2000. Monolog dan Dialog dalam Drama dalam Nur Sahid (ed.) Interkulturalisme dalam Teater. Yogyakarta: Terawang Press. Endaswara, Suwardi. 2003. Membaca, Menulis, dan Mengajarkan Sastra. Yogyakarta: Kota Kembang.

~ 323 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Hariyawan. 1984. Dramaturgi I. Yogyakarta: Asdrafi. Saini KM. 2000. Teater Indonesia, Sebuah Perjalanan dalam Multikulturalisme dalam Nur Sahid (ed.) Interkulturalisme dalam Teater. Yogyakarta: Terawang Press. Satoto, Soedarto. 2012. Analisis Drama dan Teater. Yogyakarta: Ombak. Waluyo, Herman J. 2001. Drama; Teori dan Pengajarannya. Yogyakarta: Hanindita.

~ 324 ~ PENDIDIKAN KARAKTER DALAM LAGU KOGO KELA RESA KARYA FERDY LEVI

Maria Yulita C. Age Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia-FKIP-Universitas Flores [email protected]

ABSTRACT Character values are now beginning to be abandoned by the people of Indonesia, especially the younger generation due to the influence of globalization that is implicitly erodes the character values of the nation. Formulation of the problem in this research is anything what character education contained in the song Kogo Kela Resa works Ferdy Levi. The results showed that the value of character education contained in the song Kogo Kela Resa Levi Ferdy work consists of religious values, creative, resilient and hard work, discipline, and responsibility and independent.

Keywords: character education, kogo kela resa song

1.Pendahuluan Nilai-nilai karakter kini mulai ditinggalkan oleh masyarakat Indonesia khususnya generasi muda yang disebabkan karena pengaruh arus globalisasi yang secara implisit mengikis nilai- nilai karakter bangsa. Hal ini mengakibatkan generasi muda cenderung condong pada budaya asing yang masuk. Budaya asing tersebut memiliki dampak positif dan negatif, sehingga perlu dilakukan filterisasi agar nilai-nilai budaya asing tersebut sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. Penurunan nilai karakter anak bangsa terlihat pada gaya hidup yang tidak sesuai dengan pola hidup bangsa Indonesia, maraknya perkelahian antarpelajar yang sering terjadi, kekerasan fisik dan phsikis pada anak usia sekolah, penggunaan narkoba, hingga korupsi yang tidak pernah hilang. Kejadian-kejadian ini merupakan gambaran betapa hancurnya nilai karakter bangsa Indonesia yang telah diwariskan oleh nenek moyang. Oleh Kemendiknas (2011), telah diidentifikasi 18 nilai pendidikan karakter yang perlu ditanamkan kepada peserta didik yang bersumber dari Agama, Pancasila, Budaya, dan Tujuan Pendidikan Nasional. Kedelapan belas nilai tersebut adalah: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) tangguh dan kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) kecerdasan dan rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat dan komunikatif, (14) patriotik dan cinta damai, (15) gemar membaca dan cinta ilmu, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggung jawab. Upaya menanamkan kembali nilai-nilai karakter yang mulai luntur tidak hanya dilakukan oleh guru dalam proses belajar mengajar di sekolah. Nilai-nilai karakter pun dapat diajarkan melalui media lain misalnya lagu. Ketika seorang menciptakan sebuah lagu ada pesan yang ingin disampaikan kepada pendengarnya, sehingga seorang musisi berupaya semaksimal mungkin menggunakan bahasa yang syarat akan diksi yang tepat agar lagu yang diciptakannya tersebut mampu memikat dan tetap diingat oleh pendengar. Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia yang dewasa ini dirasakan sebagai mata pelajaran yang menjenuhkan dapat direvitalisasi dengan penerapan atau penggunaan lagu-lagu daerah sebagai perwujudan penanaman pendidikan

~ 325 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature karakter peserta didik. Berdasarkan uraian di atas maka, penulis ingin memaparkan tentang pendidikan karakter apasajakah yang terdapat dalam lagu Kogo Kela Resa karya Ferdy Levi. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah pendidikan karakter apasajakah yang terdapat dalam lagu Kogo Kela Resa karya Ferdy Levi?

2. KONSEP DAN TEORI Pendidikan karakter adalah pendidikan sepanjang hayat, sebagai proses ke arah manusia yang sempurna. Oleh karena itu, pendidikan karakter memerlukan keteladanan dan sentuhan mulai sejak dini sampai dewasa. Periode yang paling sensitif dan menentukan adalah pendidikan dalam keluarga yang menjadi tanggung jawab orang tua (Kartadinata, 2009). Ditegaskan pula, bahwa pendidikan karakter harus menjadi bagian terpadu dari pendidikan alih generasi. Pendidikan adalah persoalan kemanusiaan yang harus didekati dari perkembangan manusia itu sendiri (Kartadinata, 2009). Lagu kogo kela resa merupakan sebuah lagu yang ditulis dalam bahasa Lio. Lagu ini merupakan lagu yang diciptakan khusus untuk Bpk. H.J.Gadi Djou, Drs. Ekon dan istrinya sebagai tanda terima kasih dari seluruh masyarakat sedaratan Flores Lembata atas jasa beliau sebagai pendiri Universitas Flores. Kogo kela resa artinya uapaya yang mendatangkan hasil yang luar biasa. Segala upaya dan kerja keras beliau membuahkan hasil yang dirasakan hingga saat ini sebab masyarakat Flores Lembata dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat sarjana di lembaga pendidikan Universitas Flores. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tentang pendidikan karakter. Pemahaman tentang pendidikan karakter ini diambil dari pendapat Hamad, (2011:18) yang mengatakan bahwa tidak ada definisi tunggal untuk pendidikan karekter. Secara etimologis karakter berarti watak atau tabiat. Ada juga yang menyamakan dengan kebiasaan dan ada juga yang menghubungkan dengan keyakinan atau akhlak. Berdasarkan pengertian tersebut, jelaslah karakter terkait dengan masalah kejiwaan. Karenanya, karakter merupakan sistem keyakinan dan kebiasaan yang ada dalam diri seseorang yang mengarahkannya dalam bertingkah laku. Menurut Lickona (2004) secara sederhana, dapat didefinisikan sebagai segala usaha yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi karakter siswa. Akan tetapi untuk mengetahui pengertian yang tepat, dapat dikemukakan di sini definisi pendidikan karakter yang disampaikan oleh Lickona (2004) dinyatakan bahwa pengertian pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti. Suyanto (2009) sebagai cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Karakter Karakter dipengaruhi oleh hereditas seorang anak sering kali jauh dari perilaku ayah dan ibunya. Dalam bahasa jawa dikenal istilah‘’ Kacang ora ninggal lanjaran’’(pohon kacang panjang tidak pernah meninggal kayu atau bambu tempatnya melilit dan menjalar). Kecuali di lingkungan, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam ikut membentukan karakter. Para ahli menggolongkan faktor pembentuk karakter ke dalam dua bagian yaitu faktor intern dan faktor ekstern. 1. Faktor Internal Berdasarkan faktor internal yang mempengaruhi pembentukan karakter di antaranya

~ 326 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature adalah: a) Naluri atau insting Naluri atau insting, yaitu tabiat sejak lahir atau suatu pembawaan asal. Pengaruh naluri pada diri seseorang sangat tergantung pada penyalurannya. Naluri dapat menjerumuskan manusia pada kehinaan (degradasi), tetapi dapat juga mengangkat kepada derajat yang tinggi (mulia), jika naluri disalurkan kepada hal yang baik dengan tuntunan kebenaran. b) Adat atau kebiasaan (Habit) Kebiasaan merupakan perbuatan yang diulang-ulang sehingga mudah untuk dikerjakan faktor kebiasaan merupakan salah satu faktor penting dalam membentuk dan membina karakter manusia. Hendaknya manusia membiasakan dan terbentuklah karakter (akhlak) yang baik padanya. c) Kehendak atau kemauan (iradah) Salah satu kekuatan yang berlindung di balik tingkah laku adalah kehendak atau kemauan keras (azam). Kehendak atau kemauan keras yang menggerakkan dan mendorong manusia dengan sungguh-sungguh untuk berperilaku, sebab dari kehendak itulah menjelma suatu niat yang baik dan buruk, dan tampah kemauan pula suatu ide, keyakinan kepercayaan pengetahuan menjadi pasif tak akan anda artinya atau pengaruhnya bagi kehidupan. d) Suara Batin atau Suara Hati Di dalam diri manusia terdapat suatu kekuatan yang sewaktu-waktu memberikan peringatan (isyarat) jika tingkah laku manusia berada di ambang bahaya dan keburukan. Kekuatan tersebut adalah suara batin atau suara hati (dhamir). Suara batin berfungsi memperingatkan bahayanya perbuatan buruk dan berusaha untuk mencegahnya, di samping dorongan untuk melakukan perbuatan baik. e) Keturunan Keturunan, yaitu suatu faktor yang dapat mempengaruhi perbuatan manusia. Dalam kehidupan kita dapat melihat anak-anak yang berperilaku menyerupai orang tuanya bahkan nenek moyangnya. Sekalipun sudah jauh sifat yang diturunkan, pada garis besarnya ada dua macam, yaitu: 1) Sifat jasmaniah, yaitu kekuatan dan kelemahan otot-otot dua urat saraf orang tua yang dapat diwariskan kepada anaknya. 2) Sifat rohaniah, yakni yang lemah atau kuatnya suatu naluri yang di tururkan oleh orang tua dan mempengaruhi perilaku anak cucunya. 2. Faktor Eksternal Faktor eksternal yang mempengaruhi karakter manusia antara lain: a) Pendidikan Pendidikan mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan karakter, akhlak, dan etika seseorang, sebab dengan pendidikan naluri yang terdapat pada seseorang dapat dibangun dengan baik dan terarah. Pendidikan ikut mengatakan kepribadian seseorang sehingga tingkah lakunya sesuai dengan pendidikan yang telah diterima oleh seseorang baik melalui pendidikan formal, informal, maupun nonformal. b) Lingkungan Manusia hidup selalu berhubungan dengan manusia lainnya atau juga dengan alam sekitar. Dalam pergaulan itu terjadi interaksi yang saling mempengaruhi pikiran, sifat, dan tingkah laku. Adapun lingkungan dibagi ke dalam dua bagian, antara lain: 1) Lingkungan yang bersifat kebendaan. ~ 327 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Lingkungan alam turut mematahkan dan mematangkan pertumbuhan bakat dan karakter yang dibawa seseorang. 2) Lingkungan pergaulan yang bersifat kerohanian Seorang yang hidup dalam lingkungan yang baik secara langsung atau tidak langsung dapat membentuk kepribadiannya menjadi baik, begitu pula sebaliknya seseorang yang hidup dalam lingkungan kurang mendukung dalam pembentukan akhlaknya maka setidaknya dia akan terpengaruh oleh lingkungan tersebut. Menurut Kemendiknas (2011), 18 nilai pendidikan karakter yang perlu ditanamkan kepada peserta didik yang bersumber dari Agama, Pancasila, Budaya, dan Tujuan Pendidikan Nasional. Kedelapan belas nilai tersebut adalah: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) tangguh dan kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) kecerdasan dan rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat dan komunikatif, (14) patriotik dan cinta damai, (15) gemar membaca dan cinta ilmu, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggung jawab. Sesuai dengan tujuan yang akan dicapai maka penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode kepustakaan, sedangkan data diperoleh dengan menggunakan teknik catat dan baca.

3. PEMBAHASAN Lagu Kogo Kela Resa Karya Ferdy levi I. Lora…miu lora Kalian pergi mencari sesuatu Ngae ngeda gae ka, miu mo iwa mega Mencari makan tanpa kenal lelah Leti deki neni tei, ngeta mai ti’i ae apu dora keli Tercapai maksud dan tujuan seperti embun dari balik tebing

II. Mbana...miu mbana Kalian berjalan Nosi ji’e gare pawe no kau Du’a Ngga’e ‘Memohon berkat pada Tuhan Tipo ji’e pama pawe. Tau uku pape wenggo jejo lei sawe Agar senantiasa menjaga dan melindungi

Reff. Ngai da ghale, ngeda da gheta Berusaha kesana kemari Sipo o midho, kepe o mbela, o…o…o Mia no Ema Mengumpulkan segala sesuatu, o…o…o Mia dan Ema Kogo kela resa walo iwa penga Kerja keras yang membuahkan hasil

Berdasarkan hasil analisis data maka ditemukan pendidikan karakter dalam lagu kogo kela resa karya Ferdy Levi yang akan diuraikan sebagai berikut. 1. Religius Nilai religius dalam lagu kogo kela resa terlihat pada data berikut ini.

Mbana...miu mbana Kalian berjalan Nosi ji’e gare pawe no kau Du’a Ngga’e Memohon berkat pada Tuhan Tipo ji’e pama pawe. Tau uku pape wenggo jejo lei sawe Agar senantiasa menjaga dan melindungi

~ 328 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

Pada data di atas terlihat gambaran pendidikan karakter religius pada kalimat nosi ji’e gare pawe no kau Dua’a Ngga’e. Tipo ji’e pama pawe. Tau uku pape wenggo jejo lei sawe. Kalimat ini menjelaskan bahwa kebiasaan sang visioner yang selalu meminta restu dari sang pencipta sebelum melakukan aktivitas sebagai wujud rasa percaya apabila Tuhan merestui apa yang dikerjakan dan senantiasa menyertai semua pekerjaan maka akan membawa hasil yang memuaskan.

2. Kreatif

Ngai da ghale, ngeda da gheta Berusaha kesana kemari Sipo o midho, kepe o mbela, o…o…o Mia no Ema Mengumpulkan segala sesuatu, o…o…o Mia dan Ema Kogo kela resa walo iwa penga Kerja keras yang membuahkan hasil

Pada data di atas terlihat nilai karakter kreatif yang terdapat pada kalimat sipo o midho kepe o mbela. Kalimat ini menggambarkan bagaimana usaha sang visioner mengumpulkan berbagai hal menjadi sesuatu yang bermanfaat. Ia sangat kreatif sehingga mampu menyatukan semua agar dapat digunakan oleh semua orang dalam waktu yang lama.

3. Tanggguh dan kerja keras Lora…miu lora Kalian pergi mencari sesuatu Ngae ngeda gae ka, miu mo iwa mega Mencari makan tanpa kenal lelah Leti deki neni tei, ngeta mai ti’i ae apu dora keli Tercapai maksud dan tujuan seperti embun dari balik tebing Mbana...miu mbana Kalian berjalan Nosi ji’e gare pawe no kau Du’a Ngga’e Memohon berkat pada Tuhan Tipo ji’e pama pawe. Tau uku pape wenggo jejo lei sawe Agar senantiasa menjaga dan melindungi Ngai da ghale, ngeda da gheta Berusaha kesana kemari Sipo o midho, kepe o mbela, o…o…o Mia no Ema Mengumpulkan segala sesuatu, o…o…o Mia dan Ema Kogo kela resa walo iwa penga Kerja keras yang membuahkan hasil

Nilai karakter tangguh dan kerja keras terdapat pada seluruh kalimat-kalimat dalam lagu tersebut. Kalimat-kalimat tersebut menggambarkan sosok seseorang yang tangguh dan memiliki kemauan untuk bekerja keras. Kogo kela resa walo iwa penga, kalimat tersebut merupakan perwakilan dari keseluruhan lagu bahwa hasil dari usaha tersebut membuahkan sesuatu yang berguna bagi semua orang hingga saat ini.

4. Disiplin Lora…miu lora Kalian pergi mencari sesuatu Ngae ngeda gae ka, miu mo iwa mega

~ 329 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Mencari makan tanpa kenal lelah Leti deki neni tei, ngeta mai ti’i ae apu dora keli Tercapai maksud dan tujuan seperti embun dari balik tebing

Penggalan lagu di atas menggambarkan karakter disiplin pada kalimat Lora…miu lora,ngae ngeda gae ka miu mo iwa mega, leti deki neni tei, ngeta mai ti’i ae apu dora keli. Apa yang dilakukan dengan penuh disiplin setiap hari tanpa kenal lelah medapatkan hasil yang banyak dan terus menerus seperti embun yang tiap hari muncul dari balik tebing. Disiplin merupakan kunci utama menuju kesuksesan. Orang yang disiplin selalu mendapattkan hasil yang baik. Sikap disiplin akan menghantar seseorang pada pencapaian tujuan yang diharapkan.

5. Tanggung jawab dan Mandiri Lora…miu lora Kalian pergi mencari sesuatu Ngae ngeda gae ka, miu mo iwa mega Mencari makan tanpa kenal lelah Leti deki neni tei, ngeta mai ti’i ae apu dora keli Tercapai maksud dan tujuan seperti embun dari balik tebing Ngai da ghale, ngeda da gheta Berusaha kesana kemari Sipo o midho, kepe o mbela, o…o…o Mia no Ema Mengumpulkan segala sesuatu, o…o…o Mia dan Ema Kogo kela resa walo iwa penga Kerja keras yang membuahkan hasil

Pada penggalan lagu di atas dapat dilihat karakter tanggung jawab dan mandiri pada kalimat lora…miu lora…kogo kela resa walo iwa penga. Tanggung jawab yang digambarkan dalam lagu di atas menyatakan bagaimana sang visioner yang bertanggung jawab dengan tugasnya sehingga ia tahu jika melakukan sesuatu harus dengan penuh tanggung jawab agar tidak pulang dengan tangan kosong. Berdasarkan uraian pada bab IV maka dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan karakter yang terdapat pada lagu Kogo Kela Resa karya Ferdy Levi terdiri atas nilai religius, kreatif, tangguh dan kerja keras, disiplin, dan tanggung jawab dan mandiri.

DAFTAR PUSTAKA

Levi, Ferdy. 2014. Teks Lagu Kogo Kela Resa. Kementerian Pendidikan dan Nasional RI. 2011. Majalah Diknas. Meleong, L.J.2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Nuh, Mohammad. 2011. ”Karakter Unggul untuk Menggapai Kebangkitan Bangsa” Majalah Diknas: Kementerian Pendidikan Nasional RI Jakarta. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Penelitian Bahasa. Jakarta: Gramedia. UU RI No. 20 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

~ 330 ~ REPRESENTASI NILAI BUDAYA MELALUI PELANGGARAN MAKSIM KUALITAS YANG TERKANDUNG DALAM SERUAN PERANG (NGAYAU) SUKU DAYAK KAYAN SEGAI/GA’AI

Martvertnad Diponegoro University, Semarang [email protected]

ABSTRACT This writing represents the cultural values which is ​​held by the Kayan Dayaks Segai through maxims violation in war shout (ngayau). The purpose of this paper is to find the cultural value through quality maxim violations in war shout (ngayau) Dayak Kayan Segai. The author uses the theory of cooperation that is a violation of Grice’s maxims and theories of cultural value system by Kluckhohn. The analysis of cultural values ​​found four values ​​contained in the tradition of headhunting Dayak Kayan Segai. From the analysis of maxims violation of the of quality in a war (ngayau) has intentionally violated to give more impact to the listener. The Impact is a fighting spirit to win in the war (ngayau) because ngayau is a tradition that has a sacred cultural value to the community Dayak Kayan Segai.

Kata kunci : nilai budaya, pelanggaran maksim, dayak Ga’ai, ngayau.

PENDAHULUAN Salah satu cabang linguistik yang mempelajari tentang makna yang berkaitan erat dengan konteks penggunaannya adalah pragmatik. Dalam kajian pragmatik terdapat prinsip kerjasama dan implikatur. Prinsip kerjasama menurut Yule (2006: 62-63) merupakan asumsi kerjasama karena informasi yang diberikan lebih banyak dari perkataan sehingga diharapkan ada kerjasama antar penutur. Hal yang diinginkan dalam prinsip kerjasama adalah sebuah kontribusi dalam percakapan yang tidak dinyatakan secara tepat apa yang diminta. Prinsip kerjasama terdiri dari emat sub prinsip yang dinamakan dengan maksim. Maksim merupakan aturan kebahasaan dalam sebuah interaksi lingual berdasarkan prinsip kerjasama. Teori yang digunakan dalam penulisan ini adalah teori kerjasama Grice. Kemudian Grice dalam Levinson (1983:101-102) membagi maksim menjadi; maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim relevansi, dan maksim cara. Maksim kualitas menuntut kebenaran dalam setiap tuturan dan harus sesuai bukti. Maksim kuantitas menekankan pada tuturan yang memberikan kontribusi secukupnya dalam sebuah komunikasi sehingga tidak memberikan sebuah informasi yang lebih dari seharusnya. Maksim relevan mengharapkan relevansi antara penutur dan mitra tutur dalam sebuah komunikasi. Maksim terakhir yaitu maksim cara menekan agar dalam tuturan tidak terjadi ketidakjelasan, tuturan harus teratur dan tersusun sehingga tidak berbelit-belit. Maksim kualitas adalah bentuk prinsip kerjasama yang menekankan pada pengungkapan dalam tuturan harus sesuai dengan kebenaran dan bukti. Masih dalam Levinson (1983), maksim kualitas dikemukakan agar diusahakan melakukan kontribusi dengan benar. Kontribusi tersebut khususnya tidak mengatakan apa yang dipercayai itu salah dan tidak mengatakan sesuatu yang buktinya tidak dimiliki secara mencukupi. Maksim kualitas haruslah mengungkapkan sesuatu yang diyakini sebagai hal yang benar oleh penuturnya. Namun tidak semua hal yang dituturkan oleh penutur mematuhi sebuah maksim. Dalam hal ini pelanggaran bisa saja terjadi dengan maksud dan tujuan tertentu oleh penuturnya. Pelanggaran ini biasanya bukan merupakan sesuatu yang disengaja oleh penutur. Pelanggaran terhadap sebuah maksim dilakukan agar memberikan dampak komunikasi tertentu bagi pendengarnya dan dilakukan sedemikian rupa

~ 331 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature agar pendengarnya tidak mengetahui pelanggaran tersebut. Cummings (2007: 18-19) memberikan contoh pelanggaran maksim kualitas seperti berikut,”pemain-pemain itu laksana singa-singa diatas puncak”. Dari contoh ini jelas bahwa maksim kualitas sengaja dilanggar untuk memberikan dampak tertentu. Bila kita perhatikan penutur tidaklah bertujuan untuk menjelaskan bahwa pemain-pemain itu adalah singa, tapi hanya sebagai kiasan karena mereka diumpamakan seperti singa yang kuat dan galak dalam sebuah pertandingan. Dalam penulisan ini penulis menemukan ada dua penelitian terdahulu yang cukup relevan dengan permasalahan pelanggaran maksim yang penulis teliti. Penelitian pertama adalah Aristanty (2014) dalam jurnal ilmiah mahasiswa FIB Universitas Brawijaya meneliti tentang pelanggaran maksim kuantitas dan relevansi dalam sebuah drama. Kedua oleh Shinta (2010) dalam jurnal Dinamika Bahasa dan Budaya objek penelitiannya adalah prinsip kerjasama Grice dalam bahasa anak usia enam tahun. Nilai budaya adalah suatu pemikiran tentang konsep dalam suatu masyarakat yang dianggap memiliki nilai, berharga, dan penting dalam kehidupan serta memiliki fungsi berupa sebuah pedoman dan arahan bagi kehidupan masyarakat tersebut (Koentjaraningrat,2009:153). Nilai budaya yang dimiliki dan dianut oleh suatu masyarakat merupakan hak milik masyarakat tersebut dan tidak dapat diganti dengan nilai budaya lain walaupun nilai budaya lain adalah benar. Kluckhonn dalam Koentjaraningrat (2009: 154) membagi sistem nilai budaya menjadi lima hakikat. Hakikat pertama yaitu masalah yang dihadapi manusia dalam kehidupannya. Kedua, hasil-hasil karya apa saja yang dimiliki oleh manusia. Ketiga, masalah kedudukan manusia diwaktu tertentu. Keempat, interaksi manusia dengan alam sekitar dan yang terakhir relasi antara manusia dan sesamanya. Suku Dayak merupakan salah satu suku asli di Pulau Kalimantan. Kata Dayak digunakan untuk penduduk asli kalimantan yang tidak beragama Islam dan untuk penduduk asli lainnya kita kenal dengan suku Banjar, Kutai, Bulungan, dan sebagainya. Riwut (1973:234-263) membagi suku dayak dalam 7 suku besar, 18 suku kecil, dan 405 suku yang lebih kecil. Dayak Segai atau Ga’ai masuk ke dalam sub suku dayak Apau Kayan. Dayak Apau Kayan terbagi lagi menjadi 3 suku yang lebih kecil yaitu Kenya,Kayan, dan Bahau. Ketiga suku ini kemudian dibagi lagi berdasarkan dialeknya, Kenya terdiri dari 24 dialek, Kayan 10 dialek, dan Bahau 26 dialek. Dayak Segai mendiami daerah kalimantan bagian timur dan utara tepatnya di Kabupaten Berau (Kalimantan Timur) dan Kabupaten Bulungan (Kalimantan Utara). Ngayau merupakan tradisi memenggal kepala yang dimiliki oleh suku dayak. Tradisi ini dilakukan oleh masyarakat dayak sebelum mengenal agama. Selain itu setelah mendapatkan larangan dari pemerintahan Belanda yang pada saat itu masih menjajah Indonesia, tradisi ini benar-benar telah dihilangkan. Mengayau bagi masyarakat dayak merupakan suatu cara untuk membuktikan kemampuan dan keperkasaan masing-masing suku. Suku Dayak yang paling banyak membunuh lawannya akan ditakuti oleh suku dayak lainnya dan dianggap sebagai suku yang paling kuat. Karena dianggap sebagai suku yang paling kuat maka dengan sendirinya akan dihormati. Mengayau bagi dayak Kayan Segai adalah sebuah kesempatan bagi seorang pria untuk membuktikan kemampuan dan kebranian sehingga akan dapat diakui oleh masyarakatnya. Seorang pria yang telah ikut dalam pengayauan juga akan mendapatkan kebebasan dari pantangan-pantangan di masyarakat. Dalam tradisi pengayauan seruan perang dapat menambah semangat juang bagi orang- orang yang terlibat. Seruan ini diteriakan pada malam sebelum mereka memulai peperangan. Teriakan ini biasanya disertai dengan nyanyian dan tarian-tarian untuk menambah semangat.

~ 332 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Seruan perang ini berbentuk peribahasa. Untuk menemukan makna dari seruan ini diperlukan analisis secara teoritis. Pelanggaran maksim kualitas seperti dijelaskan sebelumnya memiliki tujuan komunikasi tertentu. Tujuan tertentu ini apakah dapat menggambarkan nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat dayak Kayan berdasarkan seruan-seruan dalam perang (ngayau). Penulisan ini juga bertujuan melihat bagaimana tradisi dalam pengayauan memiliki korelasi dengan bahasa dan budaya yang dianut masyarakat dayak Kayan Segai.

METODE PENELITIAN Metode penulisan ini adalah observasi dengan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Taylor dalam Prastowo (2012:22) adalah cara penelitian yang memiliki hasil data berupa deskriptif kualitatif yaitu data lisan dan tulisan berdasarkan pengamatan terhadap perilaku objek penelitian. Menurut Sudaryanto (1993:9) metode merupakan cara dalam melaksanakan penelitian dan teknik merupakan cara pelaksanaan dari metode. Penulisan ini juga menggunakan metode simak dengan teknik catat (Sudaryanto, 1993:135). Data dari penelitian ini diambil dalam buku Achmad (1979 :6-16). Selanjutnya data dianalisis menggunakan teori prinsip kerjasama Grice dan sistem nilai budaya.

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis data dalam penulisan ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah pemaparan tentang data yang digunakan. Bagian kedua membahas tentang pelanggaran maksim yang ter- dapat dalam seruan perang (ngayau) kemudian dari analisis pelanggran maksim ini aka terung- kap makna dan tujuan seruan tersebut. Bagian terakhir membahas tentang hubungan seruan perang (ngayau) dengan nilai budaya yang dianut oleh masyarakat suku dayak Kayan Segai. 1. Data Bang kui entai na la takhong, [Baŋ kui əntai na; la; takhoŋ] Bila aku tidak berhasil memperoleh kepala Entai kui lamli mentapa, [əntai kui lamli məntapa;] Baiklah aku jangan kembali ke tanah lagi Lamli kui melangit [lamli kui mənləŋeat] Melainkan langsung pulang ke langit saja

2. Analisis Pelanggaran Maksim Kualitas Bang kui entai na la takhong, Bila aku tidak berhasil memperoleh kepala

Berdasarkan prinsip kerjasama maka dapat kita lihat bahwa kalimat seruan Bang kui entai na la takhong tidaklah melanggar prinsip kerjasama Grice. Kalimat ini menunjukan makna secara referensial yakni makna yang terkandung dalam kalimat tersebut sesuai dengan makna kata yang sebenarnya. Karena dalam tradisi pengayauan mendapatkan kepala dari musuh adalah sesuatu yang wajib dilaksanakan. Jadi, dalam kalimat ini tidak terjadi pelanggaran terhadap maksim kualitas.

Entai kui lamli mentapa, Baiklah aku jangan kembali ke tanah lagi Bentuk kalimat ini oleh si penutur dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap mak- sim kualitas. Kalimat Entai kui lamli mentapa mengandung metafora dimana seolah-olah si penu-

~ 333 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature tur ketika meneriakan seruan ini tidak sedang menginjakkan kakinya di atas tanah. Dalam maksim kualitas dijelaskan jangan mengatakan sesuatu jika tidak memiliki bukti dan mengandung sebuah kebenaran. Dengan keadaan yang sedang berdiri di atas tanah dan mengatakan jangan kembali ke tanah lagi jelas terlihat bahwa si penutur mengganggap dirinya tidak berpijak di atas tanah. Faktanya ketika si penutur meneriakkan seruan ini adalah dia sedang berdiri di atas tanah namun dengan mengatakan jangan kembali ke tanah lagi si pentur ingin menunjukkan bahwa apa yang dikatakannya sangat penting. Artinya bahwa si penutur bukan sedang di atas tanah secara fisik melainkan semangat yang tinggi sehingga pantang bagi penutur dan pendengar untuk mundur.

Lamli kui melangit Melainkan langsung pulang ke langit saja

Dalam kalimat di atas maksud penutur tentu saja bukanlah akan pulang ke langit yang artinya langit merupakan tempat tinggal si penutur. Pulang ke langit dalam konteks ini adalah kematian. Penutur dalam hal ini ingin menyatakan kepada orang yang mendengarkan bahwa jika yang dilakukan tidak berhasil maka lebih baik pulang ke langit (kematian). Konteks merupakan hal yang penting dalam menghasilkan efek komunikasi dari kalimat- kalimat seruan di atas. Si penutur tentulah orang yang memiliki kuasa dalam komunikasi ini dan para pendengar tentunya akan mengikuti apa yang dikatakannya. Karena konteks situasi ketika seruan ini diteriakan adalah dalam sebuah peperangan maka interpretasi dari pendengar adalah semangat dalam peperangan. Kuasa yang dimiliki oleh penutur diaplikasikan melalui kalimat yang mengandung metafora dan hiperbola sehingga efek yang dihasilkan juga akan lebih dramatis. Frasa-frasa seperti, kembali ke tanah lagi, pulang ke langit tentunya merupakan pernyataan yang mengandung nilai lebih bagi pendengarnya. Karena terlalu sederhana jika kata kematian digunakan untuk menambah semangat juang dan justru akan melemahkan semangat. Ketika kata langit yang digunakan maka ada sesuatu yang postif didalamnya, langit berada di atas dan tidak terjangkau. Oleh karena itu, si penutur lebih memilih kata ini digunakan untuk menimbulkan efek bahwa penutur dan pendengar akan berada pada posisi yang jauh lebih kuat dari lawannya. Berdasarkan analsis diatas dan konteks penggunaan tuturannya dapat dikatakan bahwa pelanggaran maksim oleh si penutur dilakukan untuk menyatakan kepada pendengarnya bahwa apa yang disampaikan itu penting. Kalimat bila aku tidak berhasil memperoleh kepala merupakan satu peringatan yang artinya si penutur ingin memberitahukan kepada pendengar untuk memperoleh kepala. Kemudian dilanjutkan dengan kalimat baiklah aku jangan kembali ke tanah lagi dengan maksud jika tidak berhasil lebih baik jangan pulang ke rumah. Kalimat terakhir melainkan langsung pulang ke langit saja merupakan sebuah ancaman bagi si pendengar dan ancaman tersebut dapat diartikan sebuah kematian. Jadi jika dirangkai dalam sebuah kalimat yang utuh maka kalimat seruan tersebut akan menjadi, Jika aku tidak berhasil memperoleh kepala lebih baik aku tidak pulang kerumah dan memilih kematian. Hasil dari seruan ini yang diharapakan oleh si penutur adalah menumbuhkan semangat juang bagi si pendengar. Tradisi pengayauan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat adat dayak oleh karena itu diperlukan suatu cara untuk tetap menjaga kelanjutan tradisi ini. Salah satu alat yang digunakan adalah bahasa melalui seruan perang ini. Analisis pelanggaran maksim kualitas dalam seruan perang (ngayau) suku dayak Kayan Segai ini menemukan makna bahwa seruan perang itu sangat dibutuhkan untuk memberikan semangat juang dan memenangkan peperangan. Pembahasan selanjutnya adalah analisis mengenai hubungan mengapa seruan perang itu penting untuk memenangkan peperangan

~ 334 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature dengan nilai budaya yang dimiliki masyarakat dayak Segai.

3. Hubungan Nilai Budaya dan Pelanggaran Maksim Pembahasan mengenai nilai budaya ini akan dianalisis menggunakan empat sistem nilai budaya menurut Kluckhohn dalam Koentjaraningrat (2009).

Masalah hakikat dari hidup manusia Pada dasarnya masyarakat dayak adalah orang-orang yang mencintai kedamaian hidup da- lam bermasyarakat. Mengayau yang merupakan tradisi memenggal kepala merupakan suatu per- buatan yang dianggap baik dan memiliki prestise tersendiri bagi masyarakat ini. Bagi masyarakat lainnya mungkin tradisi ini merupakan suatu tradisi yang sadis dan tidak manusiawi. Karena kebudayaan adalah pandangan hidup suatu masyarakat dan menjadi hak miliknya ketika suatu hal dipandang baik maka menjadi baiklah ia bagi masyarakatnya. Bagi suku dayak kayan Segai mengayau dipandang sebagai suatu pembuktian diri seorang laki-laki dewasa untuk dapat di- terima dalam masyarakatnya. Mengayaulah cara bagi dia untuk memperlihatkan keberaniannya dihadapan masyarakat adat. Selain itu mengayau juga merupakan suatu syarat adat yang harus dipenuhi oleh seorang laki-laki untuk menjadi dewasa karena berkaitan dengan kepercayaan.

Masalah hakikat dari karya Manusia Orientasi nilai budaya pada karya manusia adalah memperoleh penghidupan yang layak, kedudukan serta kehormatan dalam bermasyarakat. Seorang laki-laki dayak Segai yang belum pernah ikut mengayau tidak memiliki kebebasan dalam bergaul di tengah masyarakat dan hak- haknya dibatasi dengan larangan. Pembatasan ini misalnya dalam hal berpakaian ia tidak diper- bolehkan menggunakan cawat hitam selain itu laki-laki ini juga tidak dapat menikah dan ber- kumpul bersama dengan orang-orang tua. Larangan-larangan ini tidak boleh dilanggar karena akan berakibat pada masyarakat tempat ia tinggal. Menurut kepercayaan bila hal ini di langgar maka panen tidak akan berhasil dan untuk dirinya sendiri dia akan mengalami nasib sial hingga kematian di usia muda. Dengan demikian dapat kita lihat betapa pentingnya ngayau ini bagi se- orang laki-laki dayak agar memperoleh kedudukan dan kehormatan di masyarakat. Akan tetapi jika ia sudah ikut mengayau maka terbukalah kesempatannya untuk bergaul dalam masyarakat. Semua larangan itu akan dihapus dan ia akan dapat menggunakan pakaian apa saja, menikah, dan berkumpul dengan orang tua lainnya. Dengan ikut mengayau maka sudah dewasalah dan akan dihormati serta dapat menduduki hierarki kepemimpinan yang ada dalam masyarakat. Kehormatan dan kedudukan dalam tradisi pengayauan tidak hanya bagi individu saja akan tetapi juga menjadi kehormatan untuk suatu kelompok masyarakat. Suku dayak Kayan Segai akan merasa sangat malu jika Rajanya meninggal dunia dan tidak dapat dibekali dengan kepala suku lain yang telah dikayau. Mereka akan diremehkan oleh suku dayak lainnya karena jika seorang raja wafat dan tidak diberikan kepala suku dayak lain akan mengganggap kedudukan raja di dalam masyarakatnya sangat rendah. Selanjutnya mengayau juga merupakan bagian dari kepercayaan masyarakat dayak Kayan Segai ini karena dengan mengayau diyakini mereka akan terhindar dari kesialan dan kelaparan.

Masalah hakikat hubungan manusia dengan Alam Pada masa hukum adat dan kepercayaan kahariangan masih menjadi pegangan utama masyarakat dayak Segai alam merupakan tanda yang menjadi pedoman bagi kegiatan hidup masyarakat. Alam sangat dihormati karena dapat memberikan tanda baik dan buruk bagi

~ 335 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature kelangsungan hidup masyarakat dayak Segai. Tradisi pengayauan juga harus mengikuti tanda- tanda baik atau buruk dari alam sehingga akan dapat diketahui berhasil atau tidaknya sebuah pengayauan. Tanda yang diharapkan adalah siulan dari burung sisit dan gisau. Jika burung bersiul dan terbang ke arah kanan maka itu artinya tanda yang baik namun jika sebaliknya ke arah kiri maka itu pertanda tidak baik. Jika yang didengar adalah pertanda baik maka pengayauan dapat diteruskan namun jika tanda yang didengar tidak baik pengayauan harus dibatalkan. Dengan demikian dapat kita lihat alam memiliki kaitan dan pengaruh yang begitu kuat dalam masyarakat daya Kayan Segai terutama dalam melakukan sebuah pengayauan.

Hakikat hubungan manusia dengan sesamanya Mengayau merupakan suatu tindakan yang mengakibatkan kematian karena yang dilakukan adalah memenggal kepala lawan. Dalam hal ini lawan biasanya adalah masyarakat-masyarakat suku dayak lainnya. Jadi mengayau merupakan tradisi memenggal kepala antara masyarakat dayak dengan masyarakat dayak lainnya. Jika suku dayak Segai mengayau suku dayak lainnya dan membubuh 2 orang anggota masyarakat lawan maka tidak ada dendam secara pribadi. Karena kedua masyarakat yang terlibat sudah mengetahui tujuan dan maksud dari pengayauan ini sehingga konsekuensi dari tindakan ini sudah dipahami oleh masing-masing kelompok. Mungkin akan sedikit berbeda jika yang menjadi korban pengayauan adalah raja dari salah satu kelompok masyarakat. Karena raja adalah seorang pemimpin maka wajib bagi masyarakatnya untuk membalas kematian raja tersebut.

SIMPULAN Berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pelanggaran maksim kualitas pada seruan perang suku dayak Kayan Segai dapat merepresentasikan nilai budaya yang dianut oleh suku tersebut. Seruan perang ini bertujuan menambah semangat juang bagi orang-orang yang ikut ke medan perang. Semangat juang ini sangat dibutuhkan untuk dapat memenangkan perang dan memperoleh kepala lawan. Hal ini dikarenakan mengayau merupakan suatu syarat adat yang wajib dijalankan oleh seorang laki-laki dayak Segai. Selain sebagai sebuah syarat adat mengayau juga merupakan sebuah kehormatan bagi masyarakat dayak Segai yaitu kehormatan sesuai dengan nilai budaya yang dimilikinya.

DAFTAR PUSTAKA Achmad, S. 1979. Dajaksehe Adat di Goenoeng Taboer. Jakarta : Yayasan Idayu Aristanty,T. 2014. Absurditas Dalam Dialog Antartokoh Naskah Drama Les Bonnes Karya Jean Genet melalui pelanggaran maksim kuantitas dan relevansi. Malang : Jurnal Ilmiah Mahasiswa FIB. Retrieved vol 4. No 8 2014, from StudentJournal: http://jimbastrafib.studentjournal.ub.ac.id/ Cummings, Louise. 2007. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta Levinson, Stephen. 1983. Pragmatics.Cambridge: Cambridge University Press Prastowo, Andi. 2012. Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan Penelitian. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Riwut, Tjilik. 1993. Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya Shinta,Q. 2010. Pemerolehan Pragmatik Dalam Bahasa Anak Studi Kasus Prinsip Kerjasama-Maksim Grice Pada Anak Usia Enam (6) Tahun. Semarang : Dinamika Bahasa dan Budaya FIB-Unisbank. Retrived vol 4 No. 2 2010, from Unisbank: www.unisbank.ac.id/ojs/indexphp/fbib1/article/view/423 Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa : Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistik. Yogyakarta : Duta Wacana Yule, George. 2006. Pragmatik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

~ 336 ~ IN BUTON REGENCY, SOUTHEAST SULAWESI: DIACHRONIC STUDY

Maulid Taembo University of Halu Oleo [email protected] HP: 085255108296

ABSTRAK Tulisan ini merupakan kajian mengenai bahasa Wolio sebagai turunan dari bahasa Proto Melayu Polinesia (PMP) berdasarkan sudut pandang diakronis. Data penelitian ini berasal dari 200 kata Swadesh, dan sejumlah kata lain dari PMP. Tujuan penelitian ini untuk menemukan dan menggambarkan perkembangan etimon dan fonem PMP terhadap bahasa Wolio. Data penelitian dikumpulkan melalui pencatatan dan perekaman, dan kemudian dianalisis secara diakronis dengan melihat unsur inovasi dan retensinya. Berdasarkan interprestasi penulis, hasil penelitian ini menunjukan bahwa (1) ada bukti yang cukup baik secara leksikal maupun fonologis mengenai bahasa Wolio sebagai turunan dekat dari PMP, yang dapat dilihat dari beberapa aspek, diantaranya terdapat beberapa kata yang sama antara bahasa Wolio dan PMP, adanya fonem-fonem refleksif yang signifikan, dan fonem-fonem yang mengalami inovasi dan retensi seacara teratur dari etimon PMP terhadap bahasa Wolio, (2) Bahasa Wolio adalah termasuk bahasa vokalis yang tidak mengijinkan hadirnya konsonan apapun di akhir kata atau silabel, dan (3) dan perkembangan fonem bahasa Wolio dari etimonnya (PMP) dapat dianalisis baik melalui bukti primer maupun sekunder.

Kata Kunci: Proto Melayu Polinesia, daikronis, inovasi, retensi.

I INTRODUCTION Melayic Polynesia languages are interesting for both in and out researchers of Indonesian since they are uniques, various, and used in much areas widely. Dempwoff (1934-1938) reconstructs the language groups called as Ur Indonesia (ProtoIndonesia). However, there are still until now the Melayic polynesia languages have not been investigated yet, particularly in diachronic point of view. One of the languages is Wolio, a language in Buton regency of Southeast Sulawesi. In fact, the language conditions in Buton regency have great differences with other regencies in Southeast Sulawesi, and even other areas in Indonesia. In Buton regency, there are many languages, and even reach more than thirty languages. It may as the result of the region has several small islands from the west edge of Southeast Sulawesi to Flores sea, or it may Buton as the trade, government, and culture centres in the ancient period (Abas, et.all. 1983: 7). One of the most familiar and popular languages, and interest many diachronic researchers is Wolio language. This study investigates the development of Wolio lanuages from its proto, Melayic Polynesia in phonological and lexical aspects. Clearly, the main objectives of the present study consist of two subtopics, namely (1) historical analysis of Wolio language development in the aspects of phonology and lexicon, and (2) the analysis of relationship level count result of Wolio language from its proto (PMP, Proto Melayic Polynesia).

~ 337 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature II THEORITICAL FRAMEWORK Language is a communication tool that often undergoes changing related to the changes in the around environment either internal or external changes in term of phonology, morphology, syntax, and lexicon (Poedjosoedarmo, 2008: 1). Crowley and Claire (2010: 23) state that all languages may change by time to time with similar ways and interested to be investigated. Even do, the linguists believe that every language will loss a fifth of its words and changed with new words in every one thousand year (Fernandez, 1998: 13). The language changes constitute the inheriting of proto language to family languages in all elements of language. Based on linguists view of diachronic study, like Greenberg (1957) and Lehmann (1972) in Fernandes (1995:7) that “language relationship can be investigated through phonological, morphological, semantic, syntactic, and lexical aspects. Aspects of phonology and lexicon are very basic issues in diachronic study. Those aspects are two language fundamental elements, the sounds of words. Fernandes (1995:8) states that diachronic studies in phonological and lexical aspects constitute the main first analysis before next analysis. However, other elements such as morphology, semantic, and syntax can not be ignored since they can support and give other evidences of language relationship. A hypothesis shows that the similarity of several languages does not happen suddenly or without reasons. It shows that those languages that have several similarities must have altogether development hystory. It can be known through quantitative approach with similarity percentage count of cognates from languages compared. Besides the quantitative approach above, the family relationship can be also proved by qualitative approach. It does not uses statistics count, but it refers to sound correspondence by both languages.

III METHOD The data collecting was done by participant speaking and scrutinize methods (Mahsun, 1995: 94-101). Participant speaking method was realized by face speaking technique, which is coming each research location and doing speaking based on the question lists provided. Scrutinize method was done by using noting and recording technique. The collected data was then tabulated and analyzed based on the sequences of these study objectives. The data was analyzed both in qualitative and quantitative by using top-down reconstruction with external reconstruction to investigate the relationship of Wolio language development and its proto, PMP. It uses both primary and secondary evidences to make phoneme retention and innovation ruleS between Wolio and PMP. Next, in quantitative diachronic analysis, 200 of Swadesh list and several words from Adelaar (1992: 34-35) used to count the development percentage of Muna from its proto. The resemblance of meaning and form used as the criteria that the words are cognate and not loan words.

IV DISCUSSION To find out the development of Wolio language from its proto, PMP can be investigated through the phoneme retention and innovation of Wolio from PMP. By this method, the development of Wolio from PMP can be described and known.

4.1 Historical Analysis of W olio Language Development in the Aspects of Phonology and Lexicon In the data analysis, there are several words of Wolio undergo retention and innovation

~ 338 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature from its proto, PMP that can be seen from illustration below. The perfected retention lexicons of Wolio from PMP are as follows:

PMP > Wolio Gloss 1. *mata mata ‘eye’ 2. *talinga talinga ‘ear’ 3. *ina ina ‘mother’ 4. *bulu bulu ‘feather’ 5. *kutu kutu ‘louse’ 6. *batu batu ‘stone’ 7. *bunga bunga ‘flower’

The data above shows indirectly that Wolio is a language of PMP family. For other data to give more evidences can be illustrated in the following. It explains several retention and innovation phonemes of both vowels and consonants of Wolio to PMP. For example, PMP *ma-pawDa>Wolio. ma-mpado ‘short’, *p>Wolio. mp is a sound change phenomena called as innovation of unvoiced implossive consonant become unvoiced implossive nasal cluster. Other example is PMP *tudaq > Wolio peka-ntuda ‘throw’ showing that PMP phoneme *t-q >Wolio nt-Ø also undergo innovation. Moreover, consonant of PMP *t, *d and vowel *u, and *a > Wolio /n/, /d/, /u/, and /a/, of the examples are retention phenomena. Further, PMP *mula>Wolio. po-mbula ‘plant’, *m>Wolio. mb constitute change of bilabial nasal become bilabial nasal cluster, while other phonemes get retention. PMP *panaq>Wolio. peka-temba ‘shot’, *n>Wolio. /mb/ constitutes change of bilabial nasal become unvoiced implossive nasal. PMP *nipi>Wolio. ŋipi ‘dream’, *n>Wolio. /ŋ/ as change of apico alveolar nasal to dorso velar nasal. Besides, PMP * tutuŋ > Wolio a-tunu ‘burn’ shows that PMP phoneme *ŋ >Wolio Ø get innovation from PMP to Wolio. While, other consonants of PMP *t, *n and vowel of *a > Wolio /t, /n/ and /u/ show the retention phenomena. The phonological change rules both primary and secondary forms can explain the historical development of Wolio through phoneme reflexs on PMP to Wolio. The substitution pattern of PMP to Wolio also occurs in many examples. PMP *ka-wanan>Wolio. ka:na ‘right’ (PMP *w>Wolio. /k/), *Zalan>dala ‘road’ (PMP *Z>Wolio. /d/), *(qa)-baRa>Wolio. awaa ‘shoulder’ (PMP *R>Wolio. /w/), *kaqǝn>Wolio. kande ‘eat’ (PMP *q>Wolio. /d/), *pundul>Wolio. ma-kundu ‘dull’ (PMP *p>Wolio. /k/), *tubuq>Wolio. tuwu ‘grow’ (PMP *b>Wolio. /w/ or as lenition process), *bumi>Wolio. pebuni ‘hide’ (PMP *m>Wolio. /n/). Furthermore, phonological change of Wolio vowels in the form of lenition process can occur on both ultimo and penutilmo position. Lenition process of PMP phoneme *i>Wolio. /e/ (only #-/) as in the following examples, PMP *biliŋ>Wolio. belo ‘turn’, and *dilaq>dela ‘tongue’. Likewise, lenition process of PMP vowel *u>Wolio. /a/ (in the position of /#- and /-#) as the following examples PMP *ma-takut>Wolio. ma-eka ‘afraid’, and *ma-quDip>dadi ‘live’. Other examples of lenition process is PMP *o>Wolio. /a/ (only position of /-#) as PMP *lawo>Wolio. lawa-lawa ‘spider’. However, the fortition process more occurs than lenition. For example, PMP *ǝ>Wolio. /o/ as *qatǝlur>Wolio. ontolu ‘egg’, PMP *a>Wolio. /u/ (perfected rule, unconditional) such as PMP *ama>Wolio. uma ‘father’ and *ma-maja>Wolio. matu ‘dried’, PMP *ǝ>Wolio. /a/ (ultimo dan penutilmo) such as PMP *ma-tazǝm>Wolio. ma- tada ‘sharp’ and PMP *tǝlu>Wolio. talu ‘three’, while PMP *a>Wolio. /o/ can be seen in the example of PMP *ulaR>Wolio. ulo ‘snake’. Other sound change process is assimilation. For example, PMP* xǝpat>Wolio. a:pa ‘four’(*ǝ-a>Wolio. /a-a/), and PMP * qatep>Wolio. pada

~ 339 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

‘roof’ (*a-ǝ>Wolio. /a-a/). The analysis above strengthen the relation of Wolio from PMP. Next analysis of phonological and lexical evidences found that there are several words and phoneme of Wolio get retention from its proto, PMP. The retention consonants with unconditional pattern either in ultimo or penutilmo position are phonemes of PMP *l, *m, *b, *k, *p, *s, and *t as in the following examples PMP *(qa) lima>Wolio. lima ‘hand’, *Zalan>Wolio. dala ‘road’, *kulit >Wolio. kuli ‘skin’, *mata>Wolio.mata ‘eye’, *ma-takut>Wolio. ma-eka ‘afraid’, *ka-nabuq>Wolio. kotibu ‘fall’, *nipi>Wolio. po-ŋipi ‘dream’, *piliq>Wolio. pili ‘choose’, *suksuk>Wolio. a-susu ‘sword’, *qatey>Wolio. ate ‘heart’, and *ki-Ta>Wolio. aka-mata ‘see’. Moreover, consonants of PMP *w, *r, *n, and *ŋ undergo conditioned retention, namely on ultimo and penutilmo position as the examples of PMP *(ta) tawa>Wolio.apo-tawa ‘laugh’, *taliŋa>Wolio. taliŋa ‘ear’, *anak>Wolio. a:na ‘child’, and *Diri>Wolio. a-karo-karo ‘stand’. Other retention vowels with unconditioned criteria on both ultimo and penutilmo are phonemes of PMP *a, *i, and *u as in the following examples PMP *(qa) lima>Wolio. lima ‘hand’, PMP *ka-wanan>Wolio. ka:na ‘right’, and *kulit >Wolio. kuli ‘skin’. Further, the following examples show the primary rule of Wolio to its proto, PMP:

1. *t (PMP) > /Ø/ (Wolio) *kulit kuli ‘skin’ *kilat kila ‘gleam’ *tama uma ‘father’ *tina ina ‘mother’

In the examples above, PMP *kulit > Wolio kuli ‘skin’ shows that phoneme *t >Wolio /Ø/ as consonant innovation on Wolio. Moreover, consonants of PMP *k and *l, and vowels of *u and *i > Wolio /k/, /l/, /u/, and /i/ are retention process examples. Next, PMP *kilat > Wolio. kila ‘gleam’ shows that phoneme *t >Wolio /Ø/ get consonant innovation on Wolio. Consonants of PMP *k and *l and vowels of *i and *a > Wolio /k/, /l/, /i/, and /a/ are also retention. Other examples are also analyzed with same method.

2. *q (PMP) > /Ø/ (Wolio) *puqun puun ‘tree’ *ma-taqu ma-tahu ‘know’ *mamaq mama ‘chew’ *tanaq tana ‘ground’ *ma-putiq ma-puti ‘white’ *ma-paudoq ma-mpodo ‘short’ *rumah rana ‘house’ *ma-tuqal ma-tua ‘old’ *ma-qitǝm ma-eta ‘black’ *kaqǝn kande ‘eat’ The examples above, PMP *ma-taqu>Wolio ma-tahu ‘know’ or PMP *kaqǝn>Wolio kande ‘eat’ show lexical innovation. While, the consonant of PMP *t and vowels of *a and *u > Wolio /t/, /a/, and /u/ are retention phonemes on Wolio. While, the morpheme of ma- on the examples above are bound morpheme as adjective markers for both Wolio and PMPM.

3. *s (PMP) > /Ø/ (Wolio) *taŋis taŋi ‘cry’ *ma-panas ma-pana ‘hot’ *ma-nipis ma-nipi ‘thin’

~ 340 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature In the examples above, PMP *ma-panas > Wolio ma-pana ‘hot’ shows that phoneme PMP *s >Wolio /Ø/ is consonant innovation on Wolio. Moreover, consonants of PMP *p and *n, and vowel of *a > Wolio /p/, /n/, and /a/ are retention phenomena. Next, PMP *ma-nipis > Wolio ma-nipi ‘thin’ shows that phoneme *s >Wolio /Ø/ gets consonant innovation on Wolio. Moreover, consonants of PMP *n and *p and vowel *i > Wolio /n/, /p/, and /i/ are also retention phenomena. Other examples are also analyzed with same method.

4. *k (PMP) > /Ø/ (Wolio) *manuk manu-manu ‘bird’ *suksuk a-susu ‘sword’ *anak a:na ‘child’ *manuk manu ‘chicken’

In the examples above, PMP *susuk > Wolio a-susu ‘sword’ shows that phoneme *k >Wolio /Ø/ is consonant innovation on Wolio. Now, consonant PMP *s and vowel *u > Wolio /s/, and /u/, are the examples of retention. Neverheles, there is addition phoneme, /a/ on Wolio, in which PMP *suksuk>Wolio a-susu and it is predicted as compensation of lossing phoneme /k/. Moreover, PMP *anak > Wolio ana ‘child’ shows that phoneme of PMP *k >Wolio /Ø/ undergo innovation on Wolio language. While, consonant of PMP *n and vowel *a > Wolio /n/ and /a/ are retention consonants. The data above shows that the phoneme /k/ on PMP always become (Ø) in Wolio on ultimo and penutilmo.

5. *l (PMP) > /Ø/ (Wolio) *ma-kapal ma-kapa ‘thick’ *ma-lawa ma-ewa ‘wide’ *ma-tuqal ma-tua ‘old’

The example above, PMP *ma-kapal > Wolio ma-kapa ‘thick’ shows that phoneme of PMP *l >Wolio /Ø / as lossing process of consonant /l/ on ultimo. Moreover, PMP *k and *p and vowel *a get retention on Wolio. Likewise, from PMP *lawa > Wolio ewa ‘wide’, phoneme of PMP *l gets innovation to Wolio as /Ø/, while phonemes of PMP *w and *a get retention to Wolio. Other examples are also analyzed with same method.

4.2 The Analysis of Relationship Level Count Result of W olio Language From Its Proto (Proto Melayic Polynesia) As important note here is this count does not mean to measure the family cognate relationship between Wolio and PMP, rather than to investigate the Wolio language development from its proto (PMP). If the percentage relationship is high, it gives strong evidences of Wolio as a daughter language of PMP or a branch language of PMP family. Although the qualitative evidences in terms of phoneme and lexical innovation and retention above are enough, statistical evidences can strengthen and support it as a language of PMP family. Based on 214 basic words, it can be obtained the result of relationship level count of PMP to Wolio as follow: 127 of 214 gloss (inheritted words on Wolio from PMP; with similar forms or sound patters that can be investigated clearly). 87 of 214 gloss (uninvestigated words on Wolio of their great form and sound differeneces from PMP). To count the cognate (inheritted words) percentage (words with similar forms and sounds) as inheritance from PMP, the number of inheritted words divided by the total number

~ 341 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature of gloss, and then multiplied by 100% as the result below. So, the percentage relationship of PMP to Wolio as follow: 127 X 100 % = 59. 3% 214 Based on the account above, it can be obtained that the development level of Wolio as continuance of PMP is 59.3 %. It means that Wolio language and PMP has closed relationship with 59.3% of similarity of phonological and lexical aspects.

V CONCLUSION Based on the analysis result and interpretation above, it can be concluded as follow. First, there is enough evidence on both lexical and phonology aspects about Wolio language as a closed daughter of PMP that can be seen from some aspects like several words that undergo lexical retention, significant reflective phonemes, and innovation and retention of phonemes of PMP’s etymon toward Wolio language. Second, the development of phoneme in Wolio language from its etymon (PMP) can be analyzed in either primer or secondary evidences. Third, there are several vowel and consonant innovations and retention on Wolio from its proto are in unconditioned pattern or rule. Fourth, the development level of Wolio language as continuance of PMP is 59.3 %.

REFERENCES

Abas, Husen, et.all. 1983. Struktur Bahasa Wolio. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Adelaar, K. Alexander. 1992. Proto Melayic: The Reconstruction of Its Phonology and Parts of Its Lexicon and Mor- phology. Camberra: Research School of Pacific Studies, The Australian National University. Crowley, Terry dan Claire Bowern. 2010. An Introduction to Historical Linguistics: Fourth Edition. New York: Ox- ford University Press. Dempwoff, Otto. 1934-38. Vergleihende Lautlehre des Austronesischen Wortschatzes. Reimer: Berlin. Fernandes, Inyo Yos. 1995. Bahasa Bima dan Komodo, Kajian Linguistik Historis Komparatif terhadap Dua Bahasa NTB dan NTT secara Kaulitatif dan Kuantitatif di Bidang Leksion dan Fonologi. Yogyakarta: Lembaga Pene- litian Universitas Gadjah Mada, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Fernandes, Inyo Yos. 1998. “Melayu Nagi, Wure, dan Konga di Flores Timur : Prototip Bahasa Melayu di Kawasan Timur Indonesia (Kajian Linguistik Historis Komparatif dan Dialektologi)”. Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Gadjah Mada, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Poedjosoedarmo, Soepomo. 2008. “Perubahan Bahasa”. Makalah dalam Ceramah Ilmiah Linguistik. Surakarta: Uni- versitas Sebelas Maret. Syahrudin, Kaseng, Alimudin D.P, Andi Mahmuddin, dan Rasdiana P. 1987. Pemetaan Bahasa-Bahasa di Sulawesi Tenggara. Jakarta : Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaa.

~ 342 ~ VARIASI PEMBERIAN NAMA KEDAI DI ROYAL MALL SURABAYA SEBAGAI FENOMENA KEBAHASAAN

Miftah Widiyan Pangastuti Universitas Negeri Surabaya [email protected]

ABSTRAK A form of linguistic phenomena that occur in Indonesia, namely the variation of the name of the shop in the modern market by utilizing the language of advertising. Evident in the Royal Mall Surabaya, many shops are using a combination of words and language classes. This study stems from the assumption that in general, the naming shop consists only of one or two words by utilizing the word class of noun or adjective, but today has many shops that make variations of the name with the pronoun in fact rarely the insert numeralia words or article. Two classes of words such as verbs and adverbs is not an option to be inserted in naming the tavern. The validity of research data using methods agih changed techniques, namely by step replace one or all of the elements of speech with the same word class that aims to find constancy of the class position of the word in the name of the tavern. Determination of the word class in the study using standard grammatical word classes based Indonesian consisting of eight classes, among others, verbs, adjectives, pronouns, numeralia, noun, adverb, and article. Based on research conducted brief it can be concluded that at this time naming the tavern has undergone a variety of forms.

Keywords : Phenomenon Languages, Advertising , Variations Word Classes.

Pendahuluan Fenomena kebahasaan dipengaruhi oleh berbagai hal, salah satunya yakni sifat bahasa yang dinamis. Saat ini bahasa semakin menunjukkan kedinamisan tersebut, misal pemakaian kelas kata pada bahasa iklan atau pemberian nama pada produk tertentu. Selain faktor sifat bahasa, masyarakat juga menjadi faktor terjadinya fenomena kebahasaan sebab masyarakat memiliki kemampuan untuk berkreasi. Contoh kolaborasi antara kreativitas masyarakat dan sifat bahasa tersebut yakni adanya variasi pemberian nama kedai di pasar modern. Pemberian nama kedai bertujuan untuk menarik perhatian calon konsumen sehingga untuk memutuskan nama yang akan dipakai perlu mengetahui kaidah bahasa iklan. Misalnya jumlah kata pembeian nama pada kedai, jika terlalu panjang dan jelas maka tidak lagi menarik perhatian calon konsumen. Sebab itulah pada umumnya pemberian nama kedai tidak lebih dari tiga kata yang secara tersirat telah menunjukkan ciri khas produk tanpa mengurangi daya tarik calon konsumen. Royal Mall Surabaya merupakan salah satu pusat perbelanjaan modern padat pengunjung. Selain karena harga barangnya tergolong terjangkau dengan kualitas terjamin juga letaknya cukup strategis, yakni di wilayah lembaga pendidikan. Tak jarang mahasiswa bahkan pelajar tingkat Sekolah Menengah Atas di wilayah Royal Mall menghabiskan waktu luang mereka di pasar modern ini. Royal Mall terdiri atas beberapa lantai yang terdiri atas gerai busana muslim, gerai batik, aksesoris, serta wahana bermain. Royal Mall juga menyediakan tempat melepas lelah yang memanjakan pengunjung dengan beragam jenis makanan dan minuman. Penjual memiliki strategi untuk menarik minat calon konsumen, yakni dengan membuat nama unik untuk kedai mereka. Kegiatan pemberian nama kedai tersebut berhubungan erat dengan bahasa iklan yang biasanya hanya terdiri satu atau dua kata dengan memanfaatkan antara kelas kata nomina atau ajektiva. Namun kedai di Royal Mall telah banyak kedai yang membuat variasi nama dengan memanfaatkan pronomina bahkan tak jarang yang menyisipkan kata numeralia

~ 343 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature atau kata tugas. Sebab itulah penelitian ini berjudul Variasi Pemberian Nama Kedai di Royal Mall Surabaya sebagai Fenomena Kebahasaan.

Definisi Bahasa Iklan Bahasa iklan merupakan gabungan antara definisi bahasa dan iklan sehingga bahasa iklan didefinisikan sebagai bahasa yang dimanfaatkan untuk membuat iklan. Sebab itulah bahasa iklan berhubungan dengan kaidah bahasa, tata bahasa, serta aturan iklan sehingga diharapkan iklan mampu menyampaikan pesannya pada khalayak secara menarik dan mengesankan. Senada dengan pendapat Stan Rapp & Tom Collins, bahasa dalam iklan dituntut untuk mampu menggugah, menarik, mengidentifikasi, menggalang kebersamaan, dan mengomunikasikan pesan dengan kooperatif kepada khalayak (1995:152). Dengan demikian iklan yang baik tidak hanya bersifat komersial namun juga memberikan beberapa informasi pada khalayak dengan bahasa yang santun dan menarik. Penggunaan bahasa iklan yang sering ditemui dan disadari oleh khalayak antara lain pada media elektronik seperti radio dan televisi juga media cetak seperti koran, tabloid, dan selebaran. Namun tidak hanya terbatas pada media elektronik dan cetak seperti yang telah disebutkan, bahasa iklan juga dapat ditemui pada papan nama kedai makanan dan minuman. Para penjual masa kini mulai kreatif untuk memberikan nama kedai mereka dengan harapan para calon kunsumen merasa tertarik untuk mencicipi produk mereka. Mereka memanfaatkan bahasa iklan pada kedai makanan dan minuman yang pada umumnya menggunakan satu atau dua kata dengan memanfaatkan antara kelas kata nomina atau ajektiva. Namun penjual makanan dan minuman saat ini telah banyak yang membuat variasi nama dengan memanfaatkan pronomina bahkan tak jarang yang menyisipkan kata numeralia atau kata tugas. Mereka juga memiliki tantangan tersendiri untuk meramu bahasa iklan sebab mereka memiliki batasan jumlah kata yang akan digunakan sebagai nama kedai meski aturan tersebut tidak tertulis. Sebab tidak menarik jika bahasa iklan nama kedai yang digunakan terlalu ‘polos’ dan panjang sehingga calon konsumen dapat menebak jenis makanan dan minuman serta rasanya.

A. Tujuan Iklan Bahasa iklan tentu saja digunakan untuk memasarkan produk berupa jasa atau barang oleh produsen. Bahasa iklan dapat ditemui dalam beragam bentuk, sesuai dengan target konsumen sehingga tidak heran jika bahasa iklan terkadang berlebihan sebab untuk menarik minat calon konsumen merupakan bagian pemasaran yang paling membutuhkan usaha. Persaingan yang ketat diharapkan tetap menciptakan persaingan sehat, sebab itulah produsen perlu mengetahui kaidah periklanan. Tinarbuko mengatakan bahwa periklanan selain merupakan kegiatan pemasaran juga merupakan kegiatan komunikasi. Jika dilihat dari sisi komunikasi, rekaya unsur peran sangat bergantung kepada khalayak sasaran dan jenis media iklan tersebut disampaikan. Sebab itulah untuk membuat komunikasi menjadi lebih efektif maka sebelum mengiklankan produk harus benar-benar memahami khalayak sasaran secara kuantitatif maupun kualitatif (2009:2). Masyarakat yang beraneka ragam menyebabkan Tinarbuko memiliki sudut pandang yang menghargai keberadaan konsumen dalam keberhasilan iklan. Selain itu Tinarbuko juga memberikan saran agar pesan verbal maupun visual mampu menarik perhatian calon konsumen maka karya desain komunikasi visual. Pada sisi ini iklan harus menawarkan eksklusivisme, keistimewaan, dan kekhususan yang dapat memberikan akibat berupa totemisme, perujukan pada suatu benda atau merk untuk menemukan jati diri produk barang atau jasa yang akan

~ 344 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature diperdagangkan (2009:1). Sebab ciri khas dari sebuah produk sangat penting sehingga masyarakat mampu mengenal produk tersebut meski hanya sekali sebut. Misal saat seseorang mengatakan salah satu merk air mineral maka pada umumnya di benak masyarakat ada satu jenis produk yang sering disebut meski air mineral yang diproduksi tidak hanya merk tersebut. Meski pula tidak selamanya hanya merk tersebut yang dikonsumsi oleh masyarakat. Tentu saja sampai di sini masyarakat mengetahui jenis air mineral yang dimaksud. Dari contoh tersebut maka terbukti bahwa ciri khas dari segi verbal dan visual memengaruhi keunggulan produk tertentu. Tinarbuko pun memberi penegasan terhadap tujuan iklan, yakni iklan sebagai salah satu perwujudan kebudayaan massa yang tidak hanya bertujuan menawarkan dan memengaruhi calon konsumen untuk membeli barang atau jasa. Iklan juga turut menjabarkan nilai tertentu yang secara terpendam terdapat di dalamnya. Oleh sebab itulah iklan daam konteks desain komunikasi visual yang sehari-hari dapat ditemukan pada pelbagai media massa cetak dan elektronik yang dapat dikatakan bersifat simbolik. Artinya dalam konteks desain komunikasi visual, iklan dapat menjadi simbol sejauh imaji yang ditampilkannya membentuk dan merefleksikan nilai hakiki (2009:3). Korelasi antara jenis produk dengan tampilan visual pun memengaruhi kepercayaan calon konsumen. Tidak sepadan jika produk yang ditawarkan berupa jasa boga namun tampilan visual berupa perlengkapan bengkel atau alat kesehatan. Sebab itulah perlu diperhatikan pula keserasian antara bahasa verbal dan visual sehingga pesan yang ingin ditampilkan tersampaikan dengan efektif dan efisien.

Variasi Kelas Kata Para linguistik seperti Harimurti Kridalaksana, Ramlan, Sudaryanto, Henry G. Tarigan, Bambang Kaswanti Purwo, Samsuri, dan Moeliono mengelompokkan variasi kelas bahasa dalam delapan kelas, yakni verba, ajektiva, pronomina, numeralia, nomina, adverbia, dan kata tugas (Musclich, 2008:121). Tujuan para tokoh mengelompokkan variasi kata menjadi delapan kelas yakni untuk menyederhanakan dan menyatukan sejumlah kelas kata yang disampaikan pada periode sebelumnya. Bahkan Keraf, Ramlan, Samsuri, dan Kridalaksana sepakat untuk merangkum kelas kata menjadi delapan kelas tanpa meninggalkan prinsip awal mereka. Delapan kelas kata tersebut digunakan oleh peneliti untuk menentukan kelas kata pada pemberian nama kedai makanan dan minuman. A. Verba Verba berbeda dengan kelas kata yang lain terutama ajektiva sebab verba memiliki ciri antara lain: (a) berfungsi sebagai (inti) predikat, (b) bermakna proses, dasar, perbuatan, dan keadaan yang bukan sifat atau kualitas, dan (c) verba yang bermakna keadaan tidak dapat diberi imbuhan {ter-} ‘paling’. Jika dilihat dari bentuknya maka verba dapat dibedakan atas: (a) asal, yakni berdiri sendiri tanpa afiks dan verba turunan, yakni verba yang terjadi dari penambahan afiks pada kata atau kelompok kata. Verba turunan terbagi atas (i) dasar bebas, afiks wajib, (ii) dasar bebas, afiks manasuka, (iii) dasar terikat afiks wajib, (iv) reduplikasi, dan (v) majemuk.

B. Nomina Dari sisi semantis, nomina memiliki definisi kata yang mengacu pada manusia, binatang, benda, dan konsep. Dari segi sintaksis, nomina bercirikan: (a) sebagai fungtor subjek, objek, atau pelengkap dalam kalimat yang berpredikat verba, (b) tidak bisa dibentukingkarkan dengan tidak, melainkan bukan, (c) secara langsung atau tidak, lazimnya dapat diikuti ajektiva dengan ~ 345 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature perantara yang. Dilihat dari bentuk morfologisnya, dikenal (a) nomina kata dasar dan (b) nomina yang diturunkan dari kata lain. Ada dua nomina dasar, yakni umum dan khusus. Ditinjau dari proses penurunannya, nomina turunan terbagi atas (1) yang berprefiks {ke}, (2) yang berkonfiks {ke-an}, (3) yang berprefiks {PeN-}, (4) yang berkonfiks {peN-an}, (5) yang bersufiks {-an}, (6) yang berprefiks {per-}, (7) yang berkonfiks {Pe-an}, (8) berdasar polimorfemis, (9) berinfiks {-el, -er, -em}, (10) yang berafiks {-wan, -wati}, (11) yang berafiks {-at, -in}, (12) yang berafiks {-isme, -isasi, -logi, dan -tas}, (13) reduplikasi, dan (14) pemajemukan.

C. Pronomina Pronomina memiliki definisi setiap kata yang dipakai untuk mengacu nomina lain. Pronomina lebih populer dengan istilah kata ganti dalam dunia pdnidikan. Ada (a) pronomina persona, (b) pronomina penunjuk, (c) pronomina penanya. Adanya pronomina dalam tatabahasa baku Indonesia yakni atas pertimbangan keanekaragaman budaya yang menghargai adanya hubungan sosial untuk digunakan dalam tata krama tutur.

D. Numeralia Numeralia berdefinisi kata yang dipakai untuk menghitung banyaknya maujud (orang, binatang, barang, dan konsep. Numeralia dibedakan menjadi tiga: (a) pokok, (b) bertingkat, dan (c) pecahan.

E. Ajektiva Kata yang dipakai untuk menyatakan sifat atau keadaan orang, benda, binatang, disebut kata sifat atau kata keadaan atau ajektiva. Ciri-cirinya dikenali sebagai berikut: (1) bisa diberi keterangan pembanding lebih, kurang, atau paling, (2) dapat diberi keterangan penguat seperti sangat, sekali, benar, terlalu, (3) dapat diingkari dengan tidak, (4) dapat diulang dengan (se- nya), (5) pada kata tertentu dapat berakhir dengan -er, -(w)i, -iah, -if, -al, -ikan. Ada dua ajektiva, antara lain: (a) monomorfemis dan (b) polimorfemis dengan bentuk pengafiksan, reduplikasi, ajektiva + kata lain, dan ajektiva + ajektiva.

F. Adverbia Adverbia memiliki pengertian sebagai kata yang memberi keterangan pada verba, ajektiva, nomina predikatif, atau kalimat. Adverbia harus dibedakan dari keterangan sebagai fungtor kalimat. Makna adverbia dapat ditinjau dari satuan frasa atau klausa sebab suatu unsur atau kaitan relasional berkaitan dengan relasi kaitannya. Ada dua jenis adverbia, antara lain: (1) monomofemis dan (2) polimorfemis, yang terbagi atas pengulangan, pengulangan dengan imbuhan -an , pengulangan dengan imbuhan se-nya, kata dasar yang ditambahkan dengan imbuhan se-nya, dan kata dasar yang ditambahkan dengan imbuhan -nya.

G. Kata tugas Kata tugas berada di luar kata verba, nomina, ajektiva, numeralia, dan adverbia, ada kata lagi. Kata ini hanya mempunyai makna gramatikal, di samping itu hampir semua kata tugas tidak bisa mengalami perubahan bentuk. Berbeda dengan verba datang yang bisa menjadi kedatangan, pendatang, dan mendatangkan. Misalnya kata tugas di, ke, dari, tetap saja dalam bentuk di, ke, dari. Ada lima kelompok dalam kata tugas, antara lain: presposisi, konjungsi, interjeksi, artikel, dan partikel.

~ 346 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Fenomena Pemanfaatan Kelas Kata Pemanfaatan delapan kelas kata terlihat pada bahasa iklan yang digunakan untuk memberi nama kedai makanan dan minuman. Variasi pemberian nama kedai menajdi slaah satu fenomena kebahasaan yang terjadi saat ini. Penelitian ini memiliki 60 sampel pada awal pencatatan nama kedai dan 15 data untuk menjadi bahan acuan penelitian. Pemilihan 15 data tersebut berdasarkan kebutuhan penelitian dan telah mewakili variasi penggabungan kelas kata. Berikut beberapa variasi penggabungan kelas kata yang ditemui pada nama kedai makanan dan minuman di Royal Mall Surabaya, antara lain:

A. Nomina + Kata Tugas Istana Mi & Es Kata istana, mi, dan es berada dalam posisi sebagai nomina sebab ketiga kata tersebut mengacu pada konsep. Jika struktur tersebut diganti dengan kata yang berbeda dalam kelas kata yang sama maka akan tetap ditemukan keajegan posisi kelas kata. Misal struktur tersebut diganti dengan Rumah Nasi & Es, Rumah, Nasi, dan Es tetap berada dalam acuan konsep. Sesuai dengan salah satu ciri-ciri nomina, kata istana, mi, dan es tidak dapat dibentukingkarkan dengan tidak melainkan bukan maka ketiga kata tersebut semakin ajeg sebagai nomina. Struktur bukan istana, bukan mi, dan bukan es masih berterima dibanding tidak istana, tidak mi, dan tidak es. Sementara tanda & yang berarti dan memiliki posisi sebagai kata tugas dan hal tersebut cukup jelas.

B. Nomina + Ajektiva (1) Piring Suroboyo (2) Kedai Kopi Medan (3) Pak’ne Ndower Nama kedai (1) tampak piring sebagai nomina dan Suroboyo sebagai ajektiva. Posisi nomina dibuktikan dengan adanya struktur bukan piring yang berterima sementara tidak piring tidak berterima. Sedangkan posisi ajektiva menunjukkan sifat yang menunjukkan ciri khas. Meski Suroboyo digantikan dengan nama kota lain, misal Malang, maka akan lain pula menu yang ditawarkan oleh kedai tersebut. Pada nama kedai (2) pun demikian, kedai sebagai nomina dan kopi Medan dalam satu kesatuan berada dalam posisi sebagai ajektiva. Penentuan kelas kata ajektiva pada kopi Medan berdasarkan ‘tugas’ nama yang membawa ciri khas kopi dari Medan, bukan dari kota lain. Oleh sebab itulah kopi Medan menjadi sifat (ajektiva) dari kedai tersebut. Selanjutnya pada nama kedai (3) terjadi keunikan yang disebabkan pelibatan bahasa Jawa dalam penggunaannya. Pak’ne merupakan bahasa Jawa yang berarti Bapak, namun jika diartikan secara sekilas maka mengandung arti Bapaknya. Dalam tatabahasa Indonesia -nya merupakan kata pronomina namun dalam bahasa Jawa Pak’ne menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan untuk menjelaskan ndower. Sebab itulah ndower berada dalam posisi sebagai ajektiva yang merupakan sifat dari Bapak (dalam bahasa Indonesia) yang dituju.

C. Nomina + Pronomina + Kata Tugas Depot A & I Pada nama kedai Depot A &I, kata depot berada dalam posisi sebagai nomina, ~ 347 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature A dan I sebagai pronomina, dan & sebagai kata tugas. Keajegan posisi kelas kata depot dapat dibuktikan juga dengan berterimanya kata bukan depot dan tidak berterimanya tidak depot. Sedangkan A dan I berada dalam posisi sebagai pronomina atau kata ganti sebab A dan I masing-masing sebagai inisial dari ayam dan ikan. Produsen memberikan kata ganti dengan hanya menyebutkan inisial dari menu sehingga keajegan A dan I sebagai pronomina dapat dipastikan. Hal tersebut dibuktikan dengan penulisan nama kedai yang diikuti penjelasan. Sementara simbol & sudah jelas berada dalam posisi sebagai kata tugas.

D. Nomina + Ajektiva + Numeralia WBL (Warung Bintang 5) Pemberian nama kedai tersebut terjadi keunikan sebab dalam akronim dituliskan abjad L namun pada deskripsi akronim justru dituliskan dengan angka 5. Warung berada pada posisi sebagai nomina, bintang sebagai ajektiva, dan 5 sebagai pronomina. Keajegan posisi nomina terbukti dari berterimanya kata bukan warung namun kata tidak warung tidak berterima. Sementara bintang menjadi sifat dari warung tersebut dan 5 sudah jelas menajdi pronomina.

E. Nomina + Kata Tugas + Ajektiva Kedai si Eyang Nama kedai tersebut terdiri atas nomina, kata tugas, dan ajektiva. Keajegan kelas kata nomina pada kata kedai dapat dibuktikan dengan adanya struktur bukan kedai namun tidak ada struktur tidak kedai. Sedangkan si sudah jelas menjadi sebagai kata tugas dalam posisi kata sandang. Sementara eyang menjadi ajektiva sebab jika tergantikan dengan kata Bapak atau Emak yang berada dalam ranah pronomina namun untuk menunjukkan sifat atau ciri khas dari kedai tersebut maka antara eyang, bapak, dan emak tentu saja memiliki ciri khas tersendiri dan memengaruhi jenis menu di kedai tersebut.

F. Nomina + Numeralia One Nama kedai tersebut memiliki struktur nomina dan numeralia. Nomina untuk kata bakso dan numeralia untuk kata one. Pemberian nama kedai tersebut melibatkan dua bahasa antara bahasa Indonesia dan kata bahasa Inggris. Sudah jelas bahwa bakso menjadi nomina sebab struktur tidak bakso tidak berterima melainkan struktur bukan bakso yang berterima. Sementara one yang dalam bahasa Indonesia berarti satu sudah jelas berada dalam posisi sebagai pronomina.

~ 348 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Tabel Daftar Nama Kedai di Royal Mall Surabaya Kelas Kata No. Nama Kedai Kata Verba Ajektiva Pronomina Numeralia Nomina Adverbia Tugas Istana Mi & Istana 1. - - - - - & Es Mi, Es Piring 2. - Suroboyo - - Piring - - Suroboyo Depot 3. - - A, I - Depot - & A & I WBL (War- 4. ung Bintang - Bintang - 5 Warung - - 5) 5. 2 Boys Care - Care - 2 Boys - - Kedai Kopi Kopi Me- 6. - - - Kedai - - Medan dan 7. - Goreng - 69 Nasi - - 69 Kedai si 8. - Eyang - - Kedai - Si Eyang Pak’ne 9. - Ndower - - Pak’ne - - Ndower 10. Bakso One - - - One Bakso - - 11. Bakso Murah - Murah - - Bakso - - 12. Pak Gendut - Gendut Pak - - - - 13. Rotiboy - - - - Rotiboy - - 14. Bu Yuni - - Bu - Yuni - - Ayam Soto 15. - Ayam Bu - - - Bu Har Har

DAFTAR PUSTAKA

Muslich, Masnur. 2008. Tatabentuk Bahasa Indonesia Kajian ke Arah Tatabahasa Deskriptif. Jakarta: Bumi Aksara.

Muslich, Masnur. 2010. Garis-garis Besar Tatabahasa Baku Bahasa Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama.

Rapp, Stan & Tom Collins. 1995. Terobosan Baru dalam Strategi Promosi, Periklanan, dan Promosi, Maxi Marketing. (terj. Hifni Alifahmi). Jakarta: Erlangga.

Tinarbuko, Sunbo. 2009. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalasutra.

~ 349 ~ ~ 350 ~ INOVASI FONOLOGIS DALAM BAHASA MELAYU LOLOAN: KAJIAN DIALEKTOLOGI DIAKRONIS

Muh. Ardian Kurniawan PBSI STKIP Hamzanwadi Selong [email protected]

ABSTRACT This paper discusses phonological innovations in Loloan Malay (BML) by using diachronic dialectology approach. The purposes of this paper are (1) to describe the reflex protolanguage phonemes on BML; and (2) describe the sound changes in the BML. Data collected by using simak and cakap techniques. Data analysis using the comparative method (bottom-up reconstruction technique). From this study it was found that in the BML dialectal variations manifested in phonological aspects that is the regular innovation (correspondence) and irregular innovation (variation) as a reflex of proto language that lowers BML. The correspondence are split of *A > BML ə and , ​​substitution *a, *u, *i, and *k > BML /ə/, /o/, /i/, /?/, and deletion of *? and *h > BML Ο. The variation appears in the form of assimilation, dissimilation, apheresis, syncope, prothesis, and metathesis.

Key W ords: Phonological innovation, Loloan Malay, diachronic dialectology

1. Pendahuluan Bahasa pada hakikatnya bersifat dinamis dan berubah sesuai dengan perkembangan sejarah bahasa tersebut. Perubahan-perubahan itu bisa meliputi berbagai aspek, baik fonologi, morfologi, maupun leksikon yang disepakati oleh masyarakat penutur bahasa dimaksud. Hal ini sesuai pula dengan pernyataan Jacob Grimm yang diperkuat kembali oleh kelompok ilmuwan bahasa yang menamakan diri mereka Jung Grammatiker bahwa perubahan dalam suatu bahasa terjadi tanpa kecuali dalam kurun waktu tertentu atau ausnahmslosigkeit der lautgesetze. Bahasa Melayu Loloan (BML) yang dituturkan oleh masyarakat pendatang di Kecamatan Negara (Kelurahan Loloan Timur dan Kelurahan Loloan Barat) pun terindikasi mengalami perubahan bahasa tersebut seiring perkembangan sejarah mereka. Diperkirakan para pendatang yang membawa cikal bakal BML ini pertama kali menjejak di tanah Negara pada abad ke-19 yang disebabkan oleh faktor politik (perang). Diriwayatkan bahwa nenek moyang masyarakat Loloan adalah sempalan dari Kesultanan Pontianak yang memilih untuk tidak berafiliasi dengan VOC. Oleh karena itu, mereka melakukan perlawanan dan melarikan diri hingga sampai ke Kerajaan Jembrana. Oleh Raja Jembrana pada waktu itu, mereka diperbolehkan tinggal dengan syarat membantu kerajaan untuk mengusir pasukan Kerajaan Buleleng yang hendak menguasai wilayah Jembrana. Berkat bantuan pasukan pendatang inilah, Kerajaan Jembrana terhindar dari kekalahan. Sebagai balas budi terhadap bangsa pendatang ini, Raja Jembrana memberikan tanah mukim pasukan pendatang yang dinamakan kampung Loloan oleh masyarakat setempat. Mengenai sejarah masyarakat Melayu Loloan ini dapat dilihat pada Brandan (1995), Damanhuri (1993), dan Sumarsono (1993). Dalam segi kebahasaan, menurut kajian dialektologi yang dilakukan Kurniawan (2013) bahwa bahasa yang dituturkan oleh masyarakat Loloan termasuk ke dalam rumpun bahasa Melayu sehingga dalam makalah ini disebut bahasa Melayu Loloan (selanjutnya disingkat BML). Sebagai bahasa yang persebarannya cukup tinggi, sampai saat ini bahasa Melayu

~ 351 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature menjadi lingua franca di kantung-kantung daerah persebaran tersebut. Demikian pula yang terjadi pada BML. Oleh karena itu, BML dikatakan pula sebagai enklave (daerah kantung) bahasa Melayu sama seperti bahasa Melayu Betawi, Larantuka, Ambon, Papua, Ampenan, Makassar, Kupang, dan lain-lain. Penamaan bahasa Melayu yang berbeda di masing-masing daerah itu dilakukan untuk mempermudah sekaligus membedakan antara satu enklave Melayu dengan enklave Melayu yang lain. Namun, sebagai kantung bahasa Melayu, dialek-dialek regional bahasa Melayu ini tentunya memiliki perbedaannya masing-masing. Ini diperkuat pula oleh faktor historis, sosiologis, dan kultural yang pastinya berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Persoalan inilah yang hendak diteropong dalam makalah ini, khususnya ihwal BML dengan pendekatan dialektologi diakronis. Berdasarkan hal itu, tujuan makalah ini adalah untuk (1) mendeskripsikan refleks fonem-fonem protobahasa pada BML; dan (2) mendeskripsikan perubahan bunyi yang terjadi dalam BML dengan berpedoman pada telaah dialektologi diakronis;

2. Landasan Teori Pada dasarnya dialektologi adalah kajian tentang dialek-dialek (Chambers dan Trudgill, 1998: 1). Uraian yang lebih sistematis disampaikan oleh Kridalaksana yang mendefinisikan dialektologi, “Cabang linguistik yang mempelajari variasi-variasi bahasa dengan memperlakukannya sebagai struktur yang utuh.” Sementara itu, menurut Mahsun (1995: 13), “Dialektologi diakronis adalah suatu kajian tentang perbedaan-perbedaan isolek yang bersifat analitis sinkronis dengan penafsiran perbedaan-perbedaan isolek tersebut berdasarkan kajian yang bersifat historis atau diakronis”. Penjelasan Mahsun ini menegaskan bahwa kajian dialektologi seharusnya melibatkan unsur historis (diakronis) dalam telaah dialek suatu bahasa. Ini berbeda dari penjelasan dialektologi yang digunakan oleh Ayatrohaedi (1983) yang hanya menekankan pada telaah dialektologi dari perspektif analisis sinkronis semata. Setiap dialek-dialek yang ada pada suatu bahasa memiliki variasi dialektal yang khas sehingga menjadi ciri pembeda antara satu dialek dari dialek yang lain. Perbedaan tersebut bisa dilihat mulai dari tataran fonologi, morfologi, maupun leksikon. Ciri pembeda yang paling mencolok tampak pada aspek fonologi dan leksikon karena proses adaptasi linguistik selalu lebih sering terjadi pada dua hal ini, sementara aspek morfosintaksis atau aspek gramatikal cenderung memiliki tingkat ketahanan yang lebih lama sehingga sedikit terjadi perbedaan di sini (lihat Tadmor, 2007). Pada tataran fonologi, perbedaan itu tampak pada perbedaan fonem-fonem yang bisa berupa pelemahan bunyi (lenisi), pengerasan bunyi (fortisi), penambahan bunyi (protesis, epentesis, dan paragog), pelesapan bunyi (aferesis, sinkope, dan apokope), atau perubahan urutan bunyi (metatesis) (Crowley, 1992: 39-46 atau Chaer, 2009: 96-105). Selanjutnya, jika perubahan tersebut terjadi secara berulang-ulang dan konsisten maka bisa dikatakan perubahan tersebut sebagai perubahan yang bersifat teratur atau disebut korespondensi, sedangkan jika perubahan tersebut terjadi secara tidak teratur disebut variasi (Mahsun, 1995). Dalam linguistik diakronis (termasuk pula dialektologi diakronis), dikenal dua buah prinsip dasar. Prinsip pertama, hipotesis keterhubungan (relatedness hypothesis) yang berasumsi bahwa bahasa-bahasa atau dialek-dialek sesungguhnya berhubungan satu sama lain karena semua bahasa/ dialek yang ada berasal dari satu bahasa induk (protobahasa/ prabahasa). Prinsip kedua, hipotesis keteraturan (regularity hypothesis) yang berpandangan bahwa rekonstruksi bahasa induk dengan mudah dilakukan karena diperkirakan adanya perubahan-perubahan yang

~ 352 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature bersifat teratur (Mahsun, 2010: 3-4). Selanjutnya, masing-masing hipotesis ini menghendaki konsekuensi sebagai dasar metodologisnya. Hipotesis pertama, karena berasal dari satu induk bahasa yang sama, maka pada bahasa-bahasa atau dialek-dialek turunannya akan dijumpai unsur-unsur pewarisan bahasa purba (relik). Sementara itu, dalam hipotesis kedua diasumsikan bahwa setiap bentuk bahasa atau dialek akan berubah dengan cara yang sama pada setiap keadaan atau kejadian yang sama (secara teratur maupun sporadis). Berangkat dari kedua hipotesis di atas, maka analisis dialektologi diakronis pun diarahkan untuk menemukan unsur pewarisan dari bahasa purba yang terdapat pada bahasa/dialek yang digunakan saat ini. Pewarisan tersebut dapat berupa pewarisan langsung, artinya tanpa mengubah bentuk asli atau dengan perubahan terhadap bentuk asli yang terjadi dalam kurun waktu perkembangan bahasa/ dialek tersebut. Pewarisan tanpa mengubah bentuk asli bahasa proto ini dinamakan dengan retensi. Lebih jauh, retensi adalah unsur-unsur kebahasaan purba (lama) yang masih terpelihara oleh penutur suatu dialek bahasa (Mahsun, 1995: 83). Sebaliknya, pewarisan dengan mengubah bentuk asli dinamakan inovasi. inovasi sendiri dibendakan menjadi dua, yaitu inovasi internal dan inovasi eksternal. Inovasi internal lebih membicarakan pembaruan oleh dialek(-dialek) yang kognat sebagai refleks atas bahasa purbanya, sedangkan inovasi internal lebih membicarakan ihwal pinjaman kata.

3. Metodologi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Data dikumpulkan menggunakan metode simak dan cakap (Mahsun, 2005) dengan berpedoman pada daftar kosakata Swadesh dan kosakata budaya dasar yang disarikan dari Nothofer (1975). Analisis data menggunakan metode komparatif dengan teknik rekonstruksi dari bawah ke atas (bottom up) dengan membandingkan rekonstruksi Protomelayik yang telah dilakukan oleh Adelaar (1994) sebagai bahasa meso/ proto dengan BML.

4. Pembahasan Berdasarkan data yang terkumpul, pembahasan dalam makalah ini hanya akan diarahkan pada uraian tentang deskripsi perubahan bahasa yang berupa inovasi saja. Selanjutnya, inovasi itu ada yang bersifat teratur (korespondensi) dan ada pula yang bersifat tidak teratur/ sporadis (variasi). Untuk lebih jelasnya, berikut diperikan masing-masing inovasi yang terjadi pada BML.

a. Inovasi yang Berupa Korespondensi Refleks Fonem *A Protofonem *A pada posisi prapenultima mengalami inovasi dalam BML. Ini tampak dalam dua wujud. Pertama, protofonem *A > O, seperti terlihat pada bentuk PM: *kA-iri > BML: kiri dan PM: *bAharu > BML: baru. Kedua, *A > ə, seperti tampak pada PM: *(mb) Ar-jalan, *tArbaŋ, dan *hAmpədu > BML: məjalan, tərbaŋ, dan əmpədu. Sebagaimana dilihat di atas, refleks fonem PM: *A termanifestasikan menjadi dua buah fonem BML: /O/ dan /ə/, maka dalam situasi ini telah terjadi perengkahan (split) (Crowley, 1992).

Refleks Fonem *a Protofonem *a pada posisi ultima bersuku terbuka atau pada suku ultima bersuku tertutup yang berakhiran bunyi hambat glotal /?/ akan disubstitusikan menjadi ML: ə. Hal ini ~ 353 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

tampak pada PM: *mata, *ia, *apa, *buŋa?, *tuha?, dan *dua? yang dalam BML menjadi: matə, diə, apə, buŋə, tuə, dan duə. Pengecualian terjadi pada glos ‘membuka’ yang tetap mempertahankan protofonem *a. Ini terlihat pada PM: *buka? > BML: buka?. Hal ini bisa dipahami sebab telah terjadi pewarisan langsung kepada BML atas leksikon *buka? dari bahasa protonya.

Inovasi Fonem *u Inovasi pada protofonem *u > BML /o/ terjadi pada posisi ultima sebagaimana diperlihatkan data PM: *tahun, *tikus, dan *ikur > BML: taon, tikos, dan ekor. Perubahan yang sama terjadi pula pada posisi penultima sebagaimana tampak pada PM: *putih dan *kunit > BML: pote dan koneŋ. Meskipun demikian, perubahan pada posisi penultima lebih sedikit terjadi dibandingkan dengan inovasi pada posisi ultima.

Inovasi Fonem *i Inovasi Protofonem PM: *i > BML: e. Berbeda dari data sebelumnya, inovasi *i terjadi secara tidak taat asas. Ini bisa dilihat dari sajian berikut.

PM BML (ultima) BML (penultima) *air aer - *baik bae? - *biluk - belo? *lihər - leher

Inovasi Fonem *k Protofonem PM: *k > BML: ? pada posisi ultima akhir. Ini tampak pada PM: *tanak, *duduk, dan *pindik > BML: mətana?, dodo?, dan pende?.

Inovasi Fonem *? Telah terjadi delesi protofonem PM: *? dalam BML pada posisi ultima akhir atau diwujudkan dengan (O). Ini bisa dilihat pada PM: *tuha?, *kau?, dan *kayu? > BML: tuə, kau, dan kayu. Kondisi ini merupakan gejala aferesis, yaitu pelesapan fonem pada bagian akhir suatu kata (lihat Crowley, 1992).

Inovasi Fonem *h Data menunjukkan bahwa protofonem *h mengalami delesi di berbagai posisi. Ini bisa dilihat pada PM: *hati, *tahun, dan *jatuh > BML: *ati, tau, dan jato. Namun, delesi ini tampaknya tidak terjadi secara menyeluruh karena masih ditemukan sejumlah data yang memperlihatkan pemertahanan protofonem *h ini pada BML, seperti pada PM: *darah, *jahət, dan *bəlah > BML: darah, jahat, dan bəlah. b. Inovasi yang Berupa Variasi Inovasi yang berupa variasi umumnya terjadi dalam jumlah yang sedikit. Hal ini merupakan implikasi dari perubahan yang bersifat sporadis dan tidak teratur. Namun, kondisi ini patut untuk dikedepankan untuk mengetahui sejauh mana perubahan bunyi telah terjadi dalam BML dari bahasa protonya. Masing-masing perubahan ini dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

~ 354 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Tabel 1: Variasi dalam BML Jenis Variasi PM BML Glos Asimilasi *jahət jahat jahat Disimilasi lemak *ləmək ləma? Aferesis bapak *apa? wa? Sinkope *kArəbaw kərbo kerbau Protesis *iə diə dia Metatesis *dilah lidah lidah

Dari paparan di atas, tampak bahwa BML yang dituturkan oleh masyarakat Loloan telah mengalami inovasi yang signifikan dibandingkan dengan PM yang merupakan protobahasanya. Namun demikian, inovasi yang terjadi pada BML masih bisa dijelaskan secara diakronis sehingga meskipun terdapat pembaruan, perubahan tersebut tidak menyebabkan BML menjadi terpisah dari bahasa induknya. Perubahan bunyi ini justru menegaskan satu hal bahwa BML telah mengalami sejarahnya sendiri (bandingkan pula dengan bahasa Melayu Betawi atau Melayu Kupang, misalnya) yang sangat mungkin disebabkan oleh faktor sosial, politik, dan kultural di sekitar tempat BML dituturkan.

5. Simpulan Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam BML terjadi variasi dialektal yang termanifestasikan dalam aspek fonologis. Aspek fonologis yang dimaksud adalah terjadinya inovasi yang bersifat teratur atau korespondensi dan inovasi yang tidak teratur atau variasi sebagai refleks dari PM yang menurunkan BML. Inovasi yang berupa korespondensi adalah perengkahan protofonem *A > BML ə dan O, substitusi *a, *u, *i, dan *k > BML /ə/, /o/, /i/, dan /?/, dan delesi *? dan *h > BML O. Sementara itu, inovasi yang berupa variasi muncul dalam bentuk asimilasi, disimilasi, aferesis, sinkope, protesis, dan metatesis.

DAFTAR PUSTAKA

Adelaar, Alex K. 1994. Proto Malayic: The Reconstruction of Its Phonology and Parts of Its Lexicon and Morphology. Ayatrohaedi. 1983. Dialektologi: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Brandan, Arifin. 1995. Loloan: Sejumlah Potret Ummat Islam di Bali. Jembrana: Yayasan Festival Istiqlal. Chaer, Abdul. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Chambers, J.K. dan Peter Trudgill. 1998. Dialectology. Cambridge: Cambridge University Press. Crowley, Terry. 1992. An Introduction to Historical Linguistics. Melbourne: Oxford University Press. Damanhuri, A. 1993. “Sejarah Kelahiran Kabupaten Dati II Jembrana”. Bahan Seminar Sejarah Lahirnya Kabupaten Jembrana dan Kota Negara. Kurniawan, Muh. Ardian. 2013. “Enklave Melayu Loloan di Bali dan Enklave Melayu Ampenan di Lombok: Studi Dialektologi Diakronis”. Tesis. Tidak Diterbitkan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Mahsun. 1995. Dialektologi Diakronis: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: Rajagrafindo.

~ 355 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Mahsun. 2010. Genolinguistik: Kolaborasi Linguistik dengan Genetika dalam Pengelompokan Bahasa dan Populasi Penuturnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sumarsono. 1993. Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Tadmor, Uri. 2007. “Kontroversi Asal-usul Bahasa Melayu-Indonesia” dalam PELBBA 18 (Yassir Nasanius ed.) Hal. 195-232. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

~ 356 ~ STRUKTUR KONSTITUEN DALAM TUTURAN ANAK DISLEKSIA

Mulyono Universitas Negeri Surabaya

A. PENDAHULUAN Anak disleksia (untuk selanjutnya disingkat AD) menjadi pumpunan dalam penelitian ini karena peneliti merasa resah akan banyaknya kasus AD yang belum tertangani secara baik. AD mengalami kasus yang berbeda dengan anak abnormal lainnya, misalnya anak autis, down sindrom, dan tuna grahita. AD bukanlah anak bodoh. AD adalah anak yang pandai, memiliki tingkat kecerdasan rata-rata atau bahkan di atas rata-rata. Hanya saja, mereka mengalami kesulitan dalam belajar membaca meskipun telah mendapatkan pendidikan yang cukup dan tidak memiliki cacat sen- sori (Shaywitz, 1998). Kemampuan membaca sebenarnya berkaitan erat dengan kemampuan berbahasa dan begitu juga kemampuan berbahasa berhubungan erat dengan kecerdasan. Seorang anak yang mempunyai tingkat kecerdasan rata-rata pada umumnya tidak ada kendala dalam belajar mem- baca. Namun pada kenyataannya, AD mengalami kesulitan dalam belajar membaca. Tingkat kemampuan membacanya jauh di bawah rata-rata anak normal seusia mereka. Para ahli neurologis menyatakan bahwa AD merupakan anak yang mengalami gangguan otak pada bagian kortek primer pengolah bahasa. Kasus semacam ini dapat disebabkan oleh faktor genetis, namun dapat juga disebabkan oleh cedera pada bagian otak yang mengontrol cara membaca dan menulis (Fisher dan Deb Fries, 2002:10). AD banyak dijumpai di sekolah reguler (SD), terutama di kelas 1, 2, dan 3. Meskipun demikian, berapa jumlah mereka sebenarnya belum dapat dipastikan. Diperkirakan jumlah mereka antara 2--10% dari populasi (Somad, 2002:40). Mereka bisa diterima di sekolah reguler karena kelainan yang mereka miliki tidak kasat mata. Di kelas sebagian guru beranggapan bahwa AD merupakan anak yang bodoh, berprestasi rendah, pemalas, kurang konsentrasi, dan bahkan anak nakal. Anggapan itu muncul karena guru tidak paham tentang AD sehingga upaya yang dilakukan oleh guru tidak sesuai dengan kebutuhan serta kemampuan anak. Seharusnya mereka diberi program pembelajaran secara individual dengan memperhatikan kemampuan dan kelemahan mereka (Delphie, 2006:1). Anggapan guru atau tindakan guru yang kurang tepat justru akan dapat menambah parah kesulitan belajar membaca yang dialami oleh AD. Seharusnya guru perlu memahami karakteristik bahasa AD sehingga guru dapat mem- buat program pembelajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangan bahasa dan pola pikir anak. Permasalahannya belum tersedianya rujukan yang memadai tentang karakteristik bahasa AD mengingat masih sedikitnya penelitian yang membahas masalah bahasa anak disleksia. Satu hal penting yang perlu dicatat di sini ialah jika intervensi dilakukan sejak dini, yaitu sejak usia kritis (4—12 tahun), dalam bentuk terapi atau program pembelajaran secara linguistis yang benar dan memadai, sehingga gangguan perkembangan bahasa pada AD tersebut dapat diatasi atau diperkecil dampaknya. Untuk itu, diperlukan penelitian yang komprehensif terhadap tuturan AD agar hasilnya dapat dijadikan sebagai landasan bagi pemberian terapi atau program pembelajaran terhadap AD. Untuk itu, penelitian ini dipandang penting untuk ~ 357 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature dilakukan. Penelitian ini dirancang dalam bentuk penelitian deskriptif-kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Dengan pendekatan ini, diasumsikan fenomena struktur konstituen dalam tuturan AD dapat dikaji secara komprehensif. Sebagai sumber datanya adalah AD yang menggunakan bI sebagai bahasa pertama, berjumlah sembilan anak. Mereka sedang menjalani terapi dan les privat belajar membaca dan menulis. Di pagi hari, mereka bersekolah di jenjang SD, baik di SD reguler maupun SD inklusi di wilayah Gresik dan Surabaya, rentang usia mereka antara 6 hingga 12 tahun. Penetapan usia didasarkan pada hipotesis usia kritis menurut Lenneberg, yaitu rentang usia anak dalam taraf perkembangan paling peka untuk belajar bahasa (Dardjowidjojo, 2000:58). Penelitian ini diharapkan setidaknya memiliki dua manfaat: (1) manfaat teoretis, yaitu tersedianya deskripsi yang komprehensif tentang struktur konstituen dalam tuturan AD; (2) manfaat praktis, yaitu hasil temuan penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi para guru atau terapis AD dalam memilih struktur kalimat sebagai alat komunikasi dalam proses belajar-mengajar atau terapi agar bahasa yang digunakan oleh para guru atau terapis sesuai dengan taraf perkembangan bahasa dan daya pikir anak.

B. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam bidang sintaksis, AD sering menun- jukkan produksi kalimat yang pendek-pendek, banyak pelesapan, dan terkadang salah dalam menggunakan kata tugas dan urutan kata. Untuk kalimat yang telah mengalami perpindahan unsur FN dari posisi kanoniknya (misalnya pada kalimat pasif dan kalimat tanya, serta kon- struksi klausa relatif objektif) mereka sering mengalami kesulitan baik dalam produksi maupun dalam pemahaman. Pada umumnya, kalimat-kalimat pendek yang memiliki struktur sederhana mampu dipahami dan diproduksi dengan baik oleh mereka. Sebaliknya, kalimat-kalimat den- gan struktur sintaksis yang kompleks sering gagal dipahami dan diproduksi. Bagi AD, kompleksitas struktur kalimat tidak hanya ditentukan oleh jumlah klausa yang ada dalam suatu konstruksi, tetapi juga dipengaruhi oleh beberapa variabel: yaitu (1) jenis verba yang menjadi unsur pusat kalimat (terkait dengan jumlah argumennya)(Thompson & Lewis, 2007); (2) urutan tempat kata dalam kalimat (yaitu urutan kanonik vs nonkanonik) (Bastiaanse et al, 2002); (3) jumlah proposisi yang terkandung dalam kalimat (selaras dengan jumlah verba dalam kalimat)(Caplan & Hanna, 1998); dan (4) jumlah dan kedalaman sematan (embedding) dalam kalimat (Yngve, 1960). Masalah kompleksitas struktur sintaksis dalam tu- turan AD telah dibahas dalam makalah Mulyono (2014). Mengingat ruangnya sangat terbatas, pembahasan makalah ini tidak akan mengurai se- mua fenomena struktur sintaksis yang ada, akan tetapi difokuskan pada aspek struktur konstitu- ennya saja. Struktur konstituen didefinisikan sebagai struktur yang berfungsi untuk mengatur hubungan ekspresi tata urut kata yang lebih nyata (Alsina, 1996:16; Dalrymple, 2001:7; Arka, 20003:73;). Struktur konstituen mengatur urutan kata dan bagaimana kata-kata itu berkombi- nasi dalam membentuk sebuah frasa. Setiap struktur klausa / kalimat dibentuk berdasarkan kaidah struktur frasa. Kaidah struktur frasa inilah yang mengatur berbagai kemungkinan tata urut kata secara linier dan hier- arki dalam setiap klausa atau kalimat. Kaidah struktur frasa mengikuti teori X-bar. Teori X-bar adalah teori struktur frasa sebuah klausa/kalimat di tingkat struktur batin (deep structure). Teori

~ 358 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature X-bar mengikuti prinsip-prinsip umum yang berpandangan bahwa setiap struktur frasa selalu memiliki inti (head) dan komplemen yang selalu bergantung kepadanya. Dengan demikian, struktur frasa itu selalu bersifat endosentrik (Alsina, 1996:17; Arka, 2003:73). Menurut Darrymple (2001:52), ada dua macam kategori yang mengisi struktur kon- stituen, yakni kategori leksikal dan kategori fungsional. Kategori leksikal dibedakan atas lima macam, yaitu nomina (N), verba (V), adjektiva (A), preposisi (P), dan adverbia (Adv). Kategori- kategori leksikal ini yang berturut-turut akan menjadi inti (head) dari frasa nominal (FN), frasa verbal (FV), dan seterusnya. Sedangkan kategori fungsional meliputi infleksi (I) dan determiner (D), yang masing-masing akan membentuk frasa infleksional (FI) dan frasa determiner (FD).

Jenis Struktur Konstituen Hasil analisis data menunjukkan terdapat enam jenis kategori struktur konstituen yang muncul dalam tuturan AD, yaitu kategori frasa verbal (FV), frasa nominal (FN), frasa adjektival (FA), frasa adverbial (FADV), frasa preposisional (FP), dan frasa determiner (FD). Keenam jenis kategori tersebut masing-masing memiliki jumlah varian yang berbeda-beda: FV memi- liki 7 varian, FN 4 varian, FA 2 varian, FP 1 varian, FADV 1 varian, dan FD 4 varian.

1) Frasa Verbal (FV) FV adalah frasa yang mempunyai inti berupa verba dan biasanya diikuti oleh kata atau kata-kata lain yang menyatakan kala, aspek, modalitas, dan negasi yang berfungsi sebagai pe- watas (modifier). Terkait dengan penggunaan kata-kata yang menjadi pewatas FV dalam tutur- an AD, ada dua hal yang perlu dicatat di sini, yaitu (a) penggunaan kata-kata pewatas FV dalam tuturan AD sangat jarang, FV sering diisi oleh inti V saja; (b) penggunaan kata-kata pewatas FV (kalaupun ada) terkadang masih menyimpang dari pola urut kata yang tepat, seperti yang tampak dalam (1) berikut.

(1) *Nggak, mau aku pulang. (Y/9/14)

Kondisi semacam ini tidak bersifat permanen, dalam arti pada kesempatan yang satu telah di- gunakan dengan pola urut yang benar, sedangkan pada kesempatan lain masih salah. Fenomena semacam ini menurut Gufron (2013:…) sudah tidak pernah terjadi pada anak normal seusia mereka. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa anak-anak SD kelas tinggi telah mampu me- nyusun konstruksi frasa dan kalimat dengan pola urut kata yang tepat. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa kondisi penggunaan kata-kata pewatas FV dengan pola urut yang terkadang masih salah dan terkadang sudah benar ini menjadi karakteristik tuturan AD. Dalam tuturan AD yang berwujud kalimat sederhana dengan predikat V aktif intran- sitif, FV pada umumnya dibentuk oleh inti V saja, seperti yang terdapat dalam (2). Sebaliknya, dalam kalimat dengan predikat V aktif transitif, FV umumnya dibentuk oleh inti V disertai FN OBJ yang menjadi komplemennya (KOMP), seperti yang terdapat dalam (3).

(2) Papaku kerja. (3) Kemarin saya baca buku.

Dalam data (2), FV dibentuk hanya oleh inti V meninggal saja, sedangkan dalam (4), FV dibentuk oleh V baca sebagai inti diikuti FN buku sebagai KOMP. Dengan demikian, kai- dah struktur frasa dan diagram pohonnya dapat dibuat seperti (4a--b) dan (5a--b) berikut.

~ 359 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature (4) a. FV (5) a. FV

V’ V’

V V FN

Kerja N’

b. V’  V N

baca buku b. V’  FV + KOMP

Dalam (4), V intransitif tidak diikuti oleh FN. Sebaliknya, dalam (5), V transitif diikuti oleh FN sebagai komplemennya. FN buku dalam diagram struktur frasa di atas merupakan komplemen dari inti V baca. FN berada dalam simpul yang sama dengan V dan di bawah sim- pul V’. Dengan kata lain, komplemen merupakan anak dari V’ dan saudara dari V. Kedua data tersebut juga menunjukkan bahwa kata meninggal yang secara fungsional mengisi predikat kalimat (2) dan baca buku yang mengisi predikat kalimat (3) mempunyai kategori yang sama, yakni sebagai FV. Verba baca dan FN buku membentuk sebuah konstituen. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dinyatakan bahwa FV dapat dibentuk oleh inti V saja atau inti V diikuti KOMP. Selain itu, juga terdapat beberapa varian FV lain dalam tuturan AD, misalnya inti V diikuti ADJ. KOMP atau ADJ yang mengikuti FV adalah FN, FD, FAvd, dan FP. Berikut ini disampaikan varian kaidah struktur frasa dari V’ yang muncul dalam tuturan AD. (6) a. V’  V e. V’  V’ FAdv Papaku kerja. Robotnya jalan cepat sekali.

[kerja]V’ [[bisa jalan]V [cepat sekali]FAdv]V’ b. V’  V FN f. V’  V FD Opahku ngobati orang. Aku milih kue ini saja.

[[ngobati]V [orang]FN]V’ [[milih]V [kue ini saja]FD]V’ c. V’  V’ FP g. V’  V FN FP Kelincinya masuk ke hutan. Bibik ngantar adik ke TK.

[[masuk]V [ke hutan]FP]V’ [[ngantar]V [adik]FN [ke TK]FP]V’ d. V’  FAdv V’ Kelincinya cepat-cepat pergi.

[[cepat-cepat]FAdv [pergi]V]V’

2) Frasa Nominal (FN) FN adalah frasa yang memiliki inti berupa nomina (N). Berdasarkan distribusi fungsi sintaktisnya, FN dalam tuturan AD sering berfungsi sebagai Subjek, Predikat, Objek, dan Pe- lengkap kalimat.

(7) Papaku [polisi]N. (8) FN N’ N’ N Dalam data (7) di atas terlihat bahwa FN hanya diisi oleh nomina tunggal.

~ 360 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Dengan demikian, kaidahnya dapat ditulis seperti (8). Nomina yang sering muncul dalam tuturan AD adalah nomina tunggal yang merujuk pada benda-benda umum yang ada di lingkungan sekitar anak (baju, bola, gelas, dsb.), nomina tunggal yang menyatakan kekerabatan (bapak, adik, tante, dsb.), nomina tunggal yang berupa nama diri yang sering ditonton oleh AD di TV (Dora, Subasa, Spongbock, dsb.). Selain itu, FN juga memperlihatkan varian yang berbeda sehingga kaidahnya juga ber- beda. Untaian kata oleh-oleh dan banyak sekali dalam data (9) secara struktural berfungsi se- bagai OBJ kalimat dan merupakan satu konstituen. Untaian oleh-oleh berdiri sebagai nomina yang dimodifikasi oleh frasa adjektivalbanyak sekali. Dengan demikian, untaian kata tersebut dapat dikaidahkan sbb. (9) FN N’ N’ N’, FA

Kaidah struktur frasa dalam (9) menunjukkan bahwa FN dapat dibentuk oleh N’. Kemudian, N’ dibentuk dari N’ dan FA yang bersifat opsional. Dengan demikian, berdasarkan kaidah struktur frasa di atas, struktur konstituen dari (9) dapat diilustrasikan dalam diagram pohon (10) berikut ini. (10) FN

N’

N’ FA

N

oleh-oleh banyak sekali

Varian lain dari FN dibentuk dari nomina satu (N1) diikuti oleh nomina dua (N2). FN ini memiliki struktur frasa N1+N2. Secara semantis, struktur frasa ini menyatakan makna gra- matikal ‘kepemilikan’.

(11) [Rumah saya]FN di Babatan. Dalam frasa tersebut, rumah adalah nomina dan saya juga nomina. Rumah saya adalah frasa nominal yang menyatakan makna gramatikal kepemilikan. Hal ini dapat dibuktikan dengan me- nyisipkan kata ‘milik’. Untaian kata rumah dan saya membentuk satu konstituen, yaitu rumah sebagai inti sedangkan saya sebagai pewatas (modifier). Konstruksi konstituen FN seperti ini sering muncul dalam tuturan AD. Berdasarkan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa ada beberapa variasi FN dalam tu- turan AD. Dalam teori X-bar, FN dapat dibentuk oleh N saja, N + A atau FA, dan N + N. Berikut ini ditunjukkan beberapa kaidah struktur frasa dari N’ beserta contohnya. (12) a. N’ N c. N’ N’ FA [penjahit]N Ibu membawa oleh-oleh banyak sekali.

b. N’ N’ A [[oleh-oleh]N’[banyak sekali]FA]N’

[[permen]N’ [manis]A]N’ d. N’ N’ N Saudara mamaku sudah punya leak.

[[saudara]N’ [mamaku]N]N’ ~ 361 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature 3) Frasa Adjektival (FA) FA merupakan frasa yang berintikan adjektiva. FA yang dihasilkan oleh AD pada um- umnya dibentuk oleh adjektiva tunggal, seperti dalam data (13), namun ada juga yang disertai pewatas (modifier), penentu (determiner), dan/atau pengualitas (qualifier). FA dapat menjadi pengisi Predikat, seperti pada (13a-b), atau menjadi atribut (yang muncul sesudah nomina) seperti pada (13c), namun tidak semua adjektiva dapat digunakan pada kedua posisi tersebut. Sebuah FA terdiri atas adjektiva yang dapat didahului dan/atau diikuti oleh kata lain. Pewatas depan (pre-modifier) selalu berupa frasa adverbial, tetapi pewatas belakang (post-modifier) da- pat berupa frasa adverbial atau frasa preposisional. (13) a. Kukunya [panjang]. b. Teblung [sangat rajin]. c. Dia bawa kue banyak sekali. Kaidah struktur frasanya dapat dibuat sebagai berikut. (14) FA A’ A’ A’ (Adv) Seperti yang dapat dilihat pada kaidah struktur frasa (15), FA dibentuk oleh A’. Kemudi- an, A’ dibentuk oleh A’ dan Adv yang bersifat opsional. Adv sekali dalam data (13-c) merupakan specifier dari inti Adv banyak sehingga struktur konstituennya dapat dibuat seperti berikut.

(15) FA

A’

A’ Adv

banyak sekali

Berdasarkan uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa ada FA dalam tuturan AD. FA dapat dibentuk oleh A saja atau A ditambah Adv. Berikut ini menunjukkan kaidah struktur frasa dari A’. (16) a. A’ A b. A’ A’ Adv Anaknya [rajin] Bukunya [bagus sekali] [rajin]A’ [[bagus]A’ [sekali]Adv]A’

4) Frasa Adverbial (FAdv) FAdv adalah frasa yang berintikan kategori adverbia. Dalam pembentukan FAdv, adver- bia terkadang disertai pewatas (modifier) atau pengualitas (qualifier). Sebuah frasa adverbial dapat menjadi pewatas bagi verba, adjektiva, atau adverbia lain, dan dapat muncul dalam be- berapa posisi yang berbeda dalam sebuah kalimat, seperti data (17a-c) berikut. (17) a. Anak kucing itu makan cepat sekali. b. *Cepat anak kucing itu makan sekali. c. *Anak kucing itu cepat makan sekali.

Dalam data (17a), Adv cepat dan pewatas sekali membentuk sebuah konstituen. Untuk mem- buktikan bahwa Adv cepat dan pewatas sekali tersebut membentuk sebuah konstituen, dapat

~ 362 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature dilakukan melalui tes-perpindahan (movement-test), yaitu dengan memindahkan urutannya ke bagian depan kalimat. Perpindahan inti tanpa diikuti oleh pewatas membuat kalimat tersebut tidak berterima, seperti dalam (17-b) dan (17-c). Sebuah konstituen dapat dipindahkan ke posisi yang berbeda dalam sebuah kalimat hanya jika sebagai satu kesatuan. Cepat sekali merupakan frasa adverbial yang kehadirannya dipicu oleh verba makan. Sekali berfungsi sebagai ADJ, bukan pelengkap dari Adv cepat. Adv’ dan Adv didominasi oleh simpul yang sama, seperti (18) berikut. (18) F Adv

Adv’

Adv’ Adv

Adv

cepat sekali

5) Frasa Preposisional (FP) FP merupakan frasa yang berintikan preposisi. Preposisi yang menjadi unsur pusat frasa. Adapun bagian yang tersisa dari frasa, biasanya berupa (frasa) nominal. Dalam bahasa Indonesia yang dituturkan oleh anak-anak disleksia, kategori preposisi terdiri atas di, ke, dan dari. Dengan demikian, frasa preposisional sebenarnya merupakan kombinasi dari preposisi dan nomina.

(19) a. Toni bermain [[di]P [lapangan]FN]FP b. *Di Toni bermain lapangan.

(20) FP

P’

P FN

di lapangan

Preposisi di dan nomina lapangan dalam data (19-a) membentuk frasa preposisional. FP ini terdiri atas inti di dan pelengkap lapangan. Perpindahan preposisi di tanpa diikuti oleh FN lapangan membuat kalimat (19-b) tidak berterima. Tes-perpindahan membuktikan bahwa di dan lapangan membentuk sebuah konstituen dengan inti P dan komplemen FN. Dengan de- mikian, kaidah struktur frasa dari FP dalam tuturan AD dapat dibuat seperti (21) berikut. (21) FP P’ P’ P FN

Dalam FP, kehadiran pelengkap diperlukan oleh inti. Data (22a) menunjukkan bahwa FP dibentuk oleh P ke sebagai inti dan FN depan mobil papa sebagai pelengkap. Penghilangan ~ 363 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature FN, seperti yang terjadi dalam (22b), menjadikan kalimat tersebut tidak berterima. (22) a. Yoga [ke depan mobil papa]. b. Yoga ke

Struktur konstituen dalam (23) menunjukkan bahwa FN merupakan anak dari P’ dan saudara kembar dari P. Jadi, FN depan mobil papa merupakan pelengkap dari ke. Berdasarkan tes konstituensi dapatlah dinyatakan bahwa ada FP dalam tuturan anak disleksi. (23) FP

P’

P FN

ke depan mobil papa

Secara sintaktis, FP dalam kalimat selalu berfungsi sebagai Adjunct (ADJ). Secara se- mantis, kehadirannya hanya memberikan informasi tambahan bagi makna kalimat. Oleh karena itu, dia tidak wajib hadir, hanya bersifat opsional.

6) Frasa Determiner (FD) FD termasuk ke dalam kategori fungsional, yaitu frasa yang mempunyai inti berupa kategori fungsional determiner (D). Dalam FD, inti D mempunyai KOMP berupa FN. FD juga terdapat dalam beberapa bahasa di Indonesia. Menurut Subiyanto (2013), FD terdapat dalam bahasa Jawa, yang dibentuk dari inti berupa determiner iki ‘ini’, kuwi ‘itu’ (agak jauh), dan kae ‘itu’ (jauh), yang terletak setelah FN sebagai KOMP-nya. FD juga terdapat dalam tuturan AD. Seperti dalam data (24), D dapat berdiri sendiri sebagai frasa (24-a), dan dapat juga mengikuti FN (24-b). D dapat juga menempati posisi di kiri FN, seperti dalam (24-c).

(24) a. Aku minta[[ini]D]FD b. Mainan ini dikasih Ati (nenek). c. Itu bukunya hilang, itu lho dulu dibawa Mas Surya.

Dalam FD, FN dan D bersama-sama diproyeksikan ke dalam kategori D’. Selanjutnta, kategori D’ membentuk FD. Struktur FD dapat digambarkan seperti berikut ini.

FD

D’

FN D

Mainan ini

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dinyatakan bahwa FD dalam tuturan AD dibentuk oleh D’. Selanjutnya, D’ dibentuk oleh D, FN dan D, atau D dan FN. Kaidah struktur FD dapat dibuat

~ 364 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature sebagai berikut. (25) FD D’ D

D’ FN D

D FN

C. SIMPULAN Terdapat enam jenis kategori yang mengisi struktur konstituen dalam tuturan AD. Kee- nam jenis kategori tersebut adalah FV, FN, FA, FAdv, FP, dan FD. Masing-masing kategori memiliki beberapa varian. FV mempunyai 7 varian struk-k, yaitu V’  V’ FN, V’ V’ FP, V’  V’ FAdv, V’  FAdv V’, V’  V’ FD, V’  V, dan V’  V FN FP. FN mempunyai 4 varian, yaitu N’  N, N’  N’ A, N’  N’ FA, N’  N N. FA mempunyai 2 varian, yaitu A’  A, dan V’  A’ FAdv. FAdv terdiri atas 1 varian, yaitu Adv’  Adv Adv. FP terdiri atas 1 varian, yaitu P’  P FN. FD mempunyai 4 varian, yaitu D’  D, D’  FN D, D’  D FN, dan D’  D Poss. Dari keenam kategori yang ada, FV memiliki varian struk-k yang paling banyak, sedangkan FAdv dan FP memiliki varian yang paling sedikit. Namun bila dilihat dari frekuensi kemunculannya, FN menduduki peringkat paling banyak.

DAFTAR PUSTAKA

Bresnan, Joan. 2001. Lexical-Functional Syntax. Oxford: Blackwell. Byrne, B. 1981. Deficient syntactic control in poor readers: Is aweak phoneticmemory code responsible? Applied Psycholinguistics 2 (20). hlm. 201–212. Chomsky, N. (1995). The minimalist program. Cambridge, MA: MIT Press. Crystal, D. (1984). Linguistic encounters with language handicap. New York: Basil Blackwell. Dalrymple, Mary; Ronald M.Kaplan; John T.Maxwell III; Annie, Zaenen (Ed.). 1995. Formal Issues in Lexi- cal Functional Grammar. Stanfor, California: CSLI. Dardjowidjojo, Sunjono. 2000. Echa: Kisah Pemerolehan Bahasa Anak. Jakarta: Grasindo. Delphie, B. 2006. Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus: Dalam Setting Pendidikan Inklusi. Bandung: PT Refika Aditama. Fisher, S. and DeFries, J. 2002. “Developmental Dyslexia: Genetic Dissection of a Complex Cognitive Trait”, Nature Reviews 3, hlm. 767–7781. Grodzinsky, Y. (1986). Language deficits and syntactic theory. Brain and Language, 27, 135–159. Lambrecht, Kund. 1996. Information Structure and Sentence Form: Topic, Focus, the Mental Representations of Discourse Referents. Cambridge: Cambridge University Press. Muhadjir, Noeng. 2002. Metode Penelitian Kualitati. Edisi III. Yogyakarta: Rake Serasin. Mulyono. 2014. “Karakteristik Bahasa Anak Disleksia dan Strktur Sintaksisnya”. Prosiding Seminar Nasional Paramasastra di Universitas Negeri Surabaya. Pinker, Steven. 2003. Language Acquisition. [cited 12 Oktober 2012]. Available from: http://www.psychiacomp. com/diadic/development-piaget.php. Reggiani, Danilo. 2012. “Dyslexia and the Acquisition of Syntax Passive and Control”. (disertasi). Universita Degli Studi di Verona.

~ 365 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Shaywitz, S.E. 1998. Dyslexia. N Engl J Medic, 338:307—312. Snowling, Margaret J. 2000. Dyslexia. Blackwell Publishers. Somad, P. 2002. “Bimbingan Membaca bagi Siswa Berkesulitan Membaca”. Jurnal Jassi Anakku. 1. (1), 38-51. Subiyanto, Agus. 2012. Predikat Kompleks Bahasa Jawa: Kajian Sintaksis dan Pragmatik. Disertasi. Universitas Udayana Bali. Waltzman, D. and Cairns, H. 2000. “Grammatical Knowledge of Third Grade Good and Poor Readers”, Applied Psycholinguistics 21(02), hlm. 263–284.

~ 366 ~ ISTILAH-ISTILAH DALAM TEKNIK TARI PUTRA ALUS GAYA SURAKARTA SERTA TERJEMAHANNYA DALAM BAHASA INGGRIS

Ni Ketut Dewi Yulianti,, Rinto Widyarto, dan Ni Ketut Yuliasih Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar [email protected]

ABSTRACT This study is aimed at creating an innovation in teaching Javanese dance by using Indonesian and English for students of ISI Denpasar especially international class, in an effort to strengthen the steps of ISI Denpasar in the international level. Some terms and terminologies associated with Javanese dance are described in English on the results of this study . It is very significant benefit in the teaching-learning process of Javanese dance for foreign students. This paper is a part of the result of competitive research grants funded by ISI Denpasar DIPA Number : DIPA-023-04.1.673453/2015 dated March 3, 2015. The method apllied is the translation research methods which is started with collecting all the terms related to Javanese dance, then translated into English. Furthermore, the translation results are tested in teaching dance to students majoring in Dance department and foreign students who are studying at ISI Denpasar .

Key words : innovation , teaching , Javanese dance , and two languages

PENDAHULUAN Visi Institut Seni Indoensia (ISI) Denpasar adalah untuk menjadi pusat unggulan (centre of excellence) seni budaya berbasis kearifan lokal berwawasan universal. Untuk mendukung visi ini, penelitian dengan luaran buku panduan dalam bahasa Inggris merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan. Buku panduan ini akan memberikan dampak yang sangat signifikan bagi dosen pengajar maupun mahasiswa terutama mahasiswa asing yang belajar seni tari untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris mereka. Sanggar-sanggar seni juga dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai acuan yang baku dalam mengajarkan tari kepada orang asing, sehingga hasil penelitian ini juga dapat digunakan untuk memperkenalkan budaya Jawa ke dunia Internasional. Salah satu bahasan yang dikaji dalam penelitian ini adalah istilah-istilah yang ada dalam tari Jawa dan terjemahannya ke dalam Bahasa Inggris.

TINJAUAN PUSTAKA Framing and Interpretation (MacLachlan and Reid, 1994). Buku ini men-jelaskan tentang pentingnya framing (membingkai) dalam setiap proses inter-pretasi. Sal Murgiyanto. Ketika Cahaya Merah Memudar (Sebuah Kritik Tari). Jakarta: Deviri Ganan, 1993. Sal Murgiyanto menyatakan bahwa teknik tari bagi penari adalah vokabuler, dengan apa ia berbicara. A Methodology For Translation (Vinay and Darbelnet (in Venuti (ed.) 2000). Buku ini sangat bermanfaat dalam penelitian ini, untuk menentukan terjemahan yang paling tepat untuk terminologi tari Jawa yang diterjemahkan. ~ 367 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature The theory and Practice of Translation (Nida and Taber, 1974). Buku ini membahas tentang terjemahan yang maknanya paling mendekati pesan bahasa sumber, dan juga dalam hal style (cf. Catford, 1965:20). Learning Across Cultures (Gary Althen, ed., 1994). Buku ini menjelaskan tentang berbagai masalah penting dalam komunikasi lintas budaya oleh beberapa ahli pendidikan internasional.

METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan teknik analisis deskriptif. Pengumpulan data dilakukan melalui pencatatan, wawancara, dan observasi mendalam.

HASIL DAN PEMBAHASAN TEKNIK TARI PUTRA ALUS GAY A SURAKARTA Sikap dan Gerak 1.Sikap Dasar Gerak Badan Deg (sikap badan di saat menari) dan gerak cethik (pangkal paha) sangat penting karena dalam praktiknya keseimbangan gerak seorang penari akan banyak dipengaruhi oleh kemampuan penari tersebut dalam mengatur geraknya. Selanjutnya gerak cethik atau persendian antara pangkal paha dengan badan, adalah pusat dari sebagian besar gerak tari yang perlu diperhatikan secara khusus.

2. Sikap Dasar Gerak Kaki Tanjak yaitu sikap awal atau sebagai permulaan dan akhir dari suatu motif gerak. Tanjak ada dua, yaitu tanjak kanan dan kiri yang pada prinsipnya sama hanya dilakukan berlawanan. Tanjak kanan: kaki kiri ditekuk (mayungi), lutut membuka, kaki serong kiri, kaki kanan ditekuk (tegak lurus) lutut membuka, telapak kaki melintang tepat satu garis dengan ujung jari kaki kiri. Tangan kanan menthang jari nyekithing. Tangan kiri trap cethik nyekithing, Pandangan atau tolehan ke sudut kanan. Tanjak kiri adalah lawan dari tanjak kanan. Gejug adalah sikap salah satu kaki sebagai tumpuan sedangkan kaki lainnya berada tepat di belakang kaki yang menumpu dengan posisi telapak kaki berdiri. Seret polok : kaki kanan atau kaki kiri ditarik (diseret) kearah mata kaki (polok) dengan posisi telapak kaki berdiri sedangkan kaki yang lainnya sebagai tumpuan. Berat badan menjadi lebih condong atau rebah ke samping (leyek). Gerak ini hampir selalu dilakukan setiap saat akan melakukan tanjak. Seret jempol : kaki kanan ditarik (diseret) ke arah ibu jari kaki kiri dengan posisi kaki kanan berdiri. Gerak ini dilakukan hanya untuk setiap akan melakukan lumaksana. Kicat : satu kaki sebagai tumpuan kaki yang lainnya diangkat (kicat) di belakang kaki tumpuan. Kedua lutut dalam posisi terbuka sedangkan kaki yang diangkat telapak kaki melintang. Mager timun : napak maju dengan posisi lutut terbuka, telapak kaki serong dengan tumit dekat ibu jari kaki yang menumpu, tolehan ke sudut. Panggel : sikap kaki tanjak kiri sedangkan ke dua tangan trap pusar (tumpang tali), tangan kiri ngra- yung berdiri dan tangan kanan nyekithing berdiri di bawah tangan kiri. Tolehan pajeg. Srisig : bentuk gerak kedua kaki merapat dalam posisi telapak kaki ke arah depan lalu tumit

~ 368 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature di-angkat sehingga berat badan bertumpu pada ujung kaki (gajul, jinjit) namun lutut ditekuk. Kemudian berjalan kecil-kecil dan cepat.

3.Sikap Dasar Gerak Tangan Ngrayung : sikap jari tangan dengan keempat jari lurus ke atas rapat dan ibu jari ditekuk mendekati telapak tangan. Ngrayung dapat dilakukan baik tangan kanan maupun tangan kiri. Nyekithing : sikap jari tangan dengan jari tengah dan ibu jari bertemu sehingga tampak membuat lingkaran, ketiga jari lainnya ditekuk lengkung. Nyempurit : ibu jari tegak lurus keatas bertemu dengan jari telunjuk sedangkan ketiga jari lainnya ditekuk melengkung ke bawah. Menthang: kedua lengan direntangkan lurus ke samping kiri dan kanan. Ukuran yang benar dapat dicapai dengan cara pertama-tama kedua tangan berkacak pinggang, kemudian lengan bawah direntangkan lurus ke sam ping tanpa merubah posisi lengan atas.

4.Sikap Dasar Gerak Kepala Tolehan atau gerakan leher menoleh dari kanan ke kiri atau sebaliknya dengan maksud menambah keluwesan dari gerak itu sendiri. Tolehan dan pandangan sebenarnya menyatu dalam arti bahwa menoleh harus disertai pandangan mata (khususnya bola mata) dalam satu arah sehingga gerak yang yang dilakukan oleh penari menjadi lebih berisi. Gerakan ini dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: tolehan pajeg (pandangan lurus ke depan), tolehan sudut (450), dan samping(900).

Refined Male Dance Technique of Surakarta Style Position and Movement 1.Basic Position of Body Movement Deg (posture when dancing) and cethik movement (groin) is very important because in practice the balance of a dancer’s movement will be heavily influenced by the ability of the dancers in regulating movement. Furthermore cethik movement or joints between groin and the body, is the center of most of the dance movement that requires special attention.

2. Basic Position of Foot Movemnet Tanjak is the initial attitude or as the beginning and end of a movement motive. There are two tanjak, right and left which are principally similar but done in the opposite. Right Tanjak: left leg bent (mayungi), knees open, left leg position, right leg bent (perpendicular) to open the knee, right foot cross in the line with the left toes. Right hand nyekithing menthang of fingers. Left hand trap nyekithing cethik, eyeseeing or tolehan to view the right corner. Left tanjak is the opposite of the right one. Gejug is the attitude of one of the legs as the pedestal while the other foot is exactly in the position at the back rested on the back foot with the standing position. Seret polok : right foot or left foot drawn (dragged) towards the ankles (polok) with position of standing foot while the other foot as a stool. The weight of the body is to be more inclined or fall to the side (leyek). This movement is almost always done at any time doing tanjak. Seret jempol : right leg drawn (dragged) to the left toe with the right leg in standing position. This movement is done only in doing lumaksana. Kicat : one leg is supporting the other leg, the other one is raised (kicat) on the back of supporting foot. Both knees are in the open position while the foot is lifted feet across. ~ 369 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Mager timun : napak forward with an open side of the knee, foot oblique with heel close to the toe of the supporting foot, tolehan is made to the corner (into a corner). Panggel : the position of a left foot tanjak while two hands to trap the navel (overlapping lines), left hand ngrayung (hand up) standing and right hand nyekithing standing under the left hands. Tolehan pajeg. Srisig : the shape of movement for both legs in a position closer to the front of your foot and the heel on weight propped on the toe (gajul, jinjit) but knees bent. Then walk slowly and fast.

3. Basic Position of Hands Movement Ngrayung : finger position, namely four fingers straight up tightly and the thumb bent near the palm of the hand. Ngrayung can be done either right or left hands. Nyekithing: finger movement, the middle finger and thumb meet like making a circle, the three other fingers bent arch. Nyempurit : thumb perpendicular to meet up with the index finger while the other fingers were bent curved downward. Menthang: both arms stretched out straight to the left and right side. The correct size can be achieved by putting hands on the hips, then stretching lower arm straight side without changing the upper arm.

4. Basic Position of Head Movement Tolehan or neck movement: turning head from right to left or vice versa in order to add flexibility of movement itself. Tolehan and actual views converge in the sense that it must be accompanied with gaze (especially the eyeballs) in one direction so that the movement becomes perfect. Neck movement can be divided into three, namely: tolehan pajeg (facing straight ahead), tolehan sudut (450), and tolehan samping (900).

SIMPULAN Menerjemahkan istilah-istilah dalam tari Jawa ke dalam bahasa Inggris perlu melibatkan penari dan dosen tari Jawa. untuk menghasilkan penerjemahan yang sepadan dengan bahasa sumbernya. Masih ada banyak istilah-istilah dalam tari Jawa dan terjemahannya dalam bahasa Inggris. Namun dengan adanya keterbatasan penyajian dalam paper ini, maka hanya disajikan sebagian dari istilah-istilah tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Althen, Gary (Ed.). 1994 Learning Across Cultures. United States of America: NAFSA. Catford, J.C. 1965. A Linguistic Theory of Translation. London: Oxford University Press. MacLachlan, G & Ian Reid. 1994, Framing and Interpretation. Australia: Melbourne University. Nida, E.A. and Taber. 1974. The theory and Practice of Translation. Leiden: E.J. Brill. Sedyawati, edi. (ed) 1986. Pengetahuan Elementer Tari dan Beberapa Masalah Tari . Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tim. 1998. Diktat Pencatatan Tari Gaya Surakarta Surakarta: STSI Surakarta. Vinay, Jean-Paul and Darbelnet Jean. 2000. A Methodology For Translation. In Venuti (ed.) 2000, London and New York: Routledge.

~ 370 ~ VARIASI FONOLOGIS BENTUK INGKAR DALAM BAHASA JAWA KUNA

Ni Ketut Ratna Erawati Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana e-mail: [email protected]

ABSTRACT Old Javanese (OJ) is one of the quite old local languages ​​in Indonesia. The language is expected to evolve rapidly from IX-XV century. At that time, OJ used as the language of instruction in government and public administration. However, today OJ has not active speakers. Therefore, OJ has been considered as a death language. Although OJ is considered a dead language (death language), but the language has inherited many “lange” that can be used in the study of linguistics. Thus, OJ can be understood through texts that inherited until now. OJ linguistic elements are very broad, however, in this article is limited to discussion of the forms dissenter. This topic is very interesting to be studied further because of its negation form of OJ has a fairly productive phonological variation. In plain, the negation forms in OJ can be in the form or free elements (particles) and elements tied (affixation). The negation forms can distinguished as the original negation forms of Javanese and the forms that influenced by Sanskrit. Those forms have a regular phonological variation due to environmental sounds that assist both at the level of morpheme or limit the lexicon. Therefore, the topic is very relevant to be studied based on the theory of generative phonology with emphasis in distinctive features.

Key words: phonological variation, negation form, morphophonemic, distinctive features, particle

1. Pendahuluan Bahasa Jawa Kuna (disingkat BJK) merupakan salah satu subrumpun bahasa Austronesia. BJK diperkirakan berkembang dari abad IX-XV. Uhlenback (1964: 108) mengatakan bahwa BJK mengalami perkembangannya sebelum masuknya agama Islam. Selanjutnya, perkembangan BJK semakin terdesak karena pengaruh bahasa Arab yang kuat dan menggantikan kedudukan bahasa Sansekerta sebagai pengaruh utama terhadap bahasa pribumi saat itu (Zoetmulder, 1985: 35). BJK berangsur-angsur ditinggalkan penuturnya dan kekuasaan politik Hindu-Jawa lenyap, demikian pula bahasanya. Saat ini BJK merupakan bahasa mati. Kendatipun demikian, BJK dapat dipahami berdasarkan data tulis berupa teks-teks karya sastranya. BJK yang telah mati berabad-abad lamanya, namun bahasa tersebut memiliki lange yang cukup banyak sehingga dapat digunakan sebagai bahan penelitian. Seperti yang diungkapkan oleh tokoh linguistik modern Ferdinand de Saussure bahwa lange bersifat kongkret karena merupakan seperangkat tanda bahasa yang disepakati secara kolektif dan merupakan fakta sosial sehingga dapat dipahami walaupun bahasa tersebut telah dikategorikan sebagai bahasa mati (Hidayat, 1996: 9). Lange BJK yang telah diwariskan hingga kini memiliki sistem kebahasaan yang sangat bervariatif. Variasi linguistik dapat terjadi pada level aspek kebahasaan, seperti pada tataran kata, frasa, ataupun klausa. Salah satu topik yang menjadi masalah dalam tulisan kecil ini mengenai variasi fonologis. Adapun masalah yang dikaji diformulasikan dalam bentuk pertanyaan berikut, yakni “Bagaimanakah variasi fonologis bentuk ingkar dalam BJK? Masalah tersebut akan dibedah berdasarkan teori fonologi generatif dengan penekanan fitur distingtif/ ciri pembeda

~ 371 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature 2. Konsep dan Tinjauan Pustaka Konsep yang relevan dalam membahas bentuk ingakar BJK, yaitu proses fonologis, ciri pembeda/fitur distingtif, morfofonemik, dan partikel. Proses fonologis adalah perubahan bunyi yang sistematis yang mempengaruhi pola dan kelas bunyi tertentu. Bagaimana proses penyebaran bunyi itu terjadi dan apa penyebabnya. Para ahli fonologi berasumsi bahwa proses fonologis ini melewati dua tataran, yaitu tataran tersirat (underlying form) dikenal dengan representasi fonologis dan tataran tersurat (surface form), ujaran sesungguhnya yang didengarkan. Struktur fonologis dapat mengakibatkan adanya variasi bunyi, baik variasi sinkronik ataupun variasi diakronik, sehingga menyebabkan suatu perubahan bunyi (Yusuf, 1998: 10-12). Secara umum, proses fonologis dapat terjadi karena pengaruh lingkungan bunyi yang saling berdekatan. Dalam pandangan fonologi generatif, perubahan bunyi tidak hanya mengkhususkan diri pada level morfem saja tetapi mencakup segala perubahan bunyi pada tataran yang lebih tinggi. Ciri Pembeda (fitur distingtif) adalah unsur-unsur terkecil dari fonetik, leksikal, dan suatu transkripsi fonologis yang dibentuk oleh kombinasi dan rangkaian. Setiap segmen bunyi akan memiliki ciri khas yang membedakannya dengan fonem yang lain, misalnya, fonem /i/ dan /u/ (+ silabis, + tinggi, - kons.) tetapi kedua bunyi tersebut dibedakan oleh punggung lidah dan posisi bibir, yakni /i/ berciri (-blk., - bulat), sedangkan /u/ memiliki cirri (+ blk., + bulat). Dengan demikian, ciri pembeda dibedakan atas enam ciri, yaitu: cirri golongan utama, ciri cara artikulasi, ciri tempat artikulasi, ciri punggung lidah, ciri bentuk bibir, ciri tambahan, dan ciri prosodi. Penandaan ciri tersebut menggunakan sistem biner (binary system), yaitu tanda (+) dan minus (-) untuk menandai ciri-ciri yang berlawanan sebagai sifat itu ada atau tidak (Schane, 1973; Simanjuntak, 1989; lihat juga Erawati, 2002) Morfofonemik/morfofonologi adalah analisis dan klasifikasi pelbagai ujud atau realisasi yang menggambarkan morfem; struktur bahasa yang menggambarkan pola fonologis dari morfem-morfem termasuk di dalamnya terdapat penambahan, pengurangan, penggantian fonem, atau perubahan tekanan yang menentukan bangun morfem (Kridalaksana, 1984: 129). Partikel (particle, grammatical word, closed class word, form word, empety word, function word, structural word) adalah kata yang biasanya tidak dapat diderivasikan atau diinfleksikan, yang mengandung makna gramatikal dan tidak mengandung makna leksikal; misalnya, preposisi, konjungsi, dan sebagainya. Patikel ingkar (negative particle) bentuk yang dipakai untuk mengubah klausa menjadi klausa ingkar (Kridalaksana, 1984: 140-141). Dixon (2012) mengatakan kata ingkar merupakan suatu istilah dalam dua sistem yang berlawanan, seperti positif dan negatif. Beberapa konsep di atas kiranya relevan untuk mengkaji topik ini. Selanjutnya, kajian pustaka yang dirujuk dan memiliki kontribusi dalam tulisan ini, yaitu Pastika (2004) meneliti proses fonologis melampaui batas leksikon. Dalam artikelnya dibahas beberapa data bahasa daerah di Nusantara, seperti bahasa Mauta, Kolana, Dawan, dan Dayak Ngaju. Hasil yang ditemukan ternyata perubahan fonologis pada bahasa tersebut tidak saja terjadi pada tingkat morfem melainkan pada tataran kata, frasa, dan klausa. Proses fonologis bahasa tersebut sangat bervariasi, yaitu keselarasan vokal pada bahasa Kolana, perubahan bunyi vokal pada bahasa Dawan, pelesapan konsonan pada bahasa Mauta, dan kaidah berurutan pada bahasa Dayak Ngaju. Semua proses tersebut dijelaskan dengan teori fonologi generatif. Bentuk ingkar dalam BJK sangat bervariasi. Oleh karena itu, bentuk ingkar BJK dikaji berdasarkan teori fonologi generatif. Tokoh fonologi generatif yang pantas disebut adalah Morris Halle dan Noam Chomsky. Buku monumental yang ditulisnya berjudul The Sound Pattern of English (1968) yang disingkat SPE. Teori yang tertuang dalam SPE disebutnya sebagai teori

~ 372 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature standar atau teori klasik (Yusuf, 1998: 95). Sebelumnya, Schane (1992; edisi terjemmahan) menemukan ciri-ciri spesifik, representatif, dan keuniversalan masing-masing segmen.

3. Pembahasan Secara historis, BJK banyak mendapat pengaruh dari bahasa Sanskerta. Hal tersebut dapat dilihat pada Woordenlijst yang ditulis oleh Juynboll menunjukkan perbedaan yang sangat tipis, yaitu 6.790 bahasa Sanskerta dan 6.925 BJK (lihat, Zoetmulder, 1985: 8). Berdasarkan hal tersebut, penggunaan unsur-unsur bahasa Sanskerta terutama bentuk ingkar tidak dapat dipungkiri terdapat pula dalam bahasa Jawa Kuna. Dalam membahas bentuk ingkar dalam BJK dirujuk pendapat Dixon (2012). Dia menjelaskan, kata ingkar (negation) adalah suatu istilah dalam dua sistem yang berlawanan, seperti positif dan negatif. Klausa negatif diturunkan dari korespondensi klausa positif. Secara formal, klausa positif tak bermarkah (unmark). Lebih lanjut dikatakan bahwa kata ingkar dapat ditunjukkan melalui proses morfologis dan partikel sintaktis (Dixon, 2012: 94-99). Bertolak dari konsep di atas, bentuk ingkar BJK terdiri atas dua bentuk, yaitu bentuk ingkar berupa afiks dan bentuk ingkar kategori partikel. Dengan memperhatikan banyaknya unsur-unsur linguistik Sanskerta dalam BJK, maka bentuk ingkar BJK diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu bentuk ingkar yang berpola bahasa Sanskerta dan bentuk ingkar yang berpola asli BJK.

3.1 Bentuk Ingkar Berpola Bahasa Sankerta Bentuk ingkar BJK yang berpola bahasa Sanskerta adalah bentuk ingkar yang menggunakan unit-unit linguistik seperti, nir-nis, dur-dus, dan a. Unsur tersebut diadopsi dalam BJK sesuai dengan bentuk aslinya. Masing-masing bentuk ingkar tersebut ditampilkan seperti data berikut ini.

Bentuk nir-nis Unit Ingkar Bentuk Dasar Bentuk Turunan Makna nir- Ahara Nirahara ‘tidak makan’ nir- Adara Niradara ‘tidak hormat’ nir- Abhra Nirabhra ‘tidak berawan’ nir- Bhaya Nirbhaya ‘tidak takut’ nir- Don Nirdon ‘tidak/tanpa tujuan nir- Duhka Nirduhka ‘tidak sedih’ nir- Gawe Nirgawe ‘tanpa kerja’ nir- Jala Nirjala ‘tidak berair’ nir- Jalada Nirjalada ‘tidak berawan’ Unit Ingkar Bentuk Dasar Bentuk Turunan Makna nis- Caya Niscaya ‘niscaya’ nis- Tresna Nistresna ‘tidak cinta’ nis- Phala Nisphala ‘tidak berhasil’

~ 373 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Bentuk dur-dus Unit Ingkar Bentuk Dasar Bentuk Turunan makna dur- Anta duranta ‘tanpa akhir’ dur- Jnana durjnana ‘tidak terpikirkan’ dur- Labha durlabha ‘tidak beruntung’ Unit Ingkar Bentuk Dasar Bentuk Turunan Makna dus- Kreta duskreta ‘tidak sejahtera’ dus- Sasana dussasana ‘tidak sopan’

Bentuk a-an Unit Ingkar Bentuk Dasar Bentuk Turunan Makna a- Bheda abheda ‘tidak berbeda’ a- Cintya acintya ‘tidak berujud’ a- Cyuta acyuta ‘tidak jatuh’ a- Anta ananta ‘tanpa batas’ a- Artha anartha ‘tanpa uang’

Bentuk ingkar nir-nis, dur-dus, dan a-an tersebut digunakan secara langsung dalam BJK sebagai unit gramatikal yang dilekatkan pada bentuk dasar. Bentuk bentuk tersebut dipakai sebagai sebuah afiks sehingga proses morfologispun dapat berlaku pada bentuk-bentuk tersebut sesuai dengan kaidah morfofonemiknya. Sebagai unit gramatikal, bentuk–bentuk ingkar tersebut dapat berdistribusi pada kategori kata yang potensial dapat menduduki fungsi predikat. Dengan demikian, bentuk ingkar dari bahasa Sansekerta dalam BJK diperlakukan sebagai afiks dan segala proses morfologisnya disesuaikan dengan kaidah/sistem BJK. Dengan demikian, bentuk ingkar dari bahasa Sansekerta dalam BJK mengalami proses morfologis dan diwujudkan dalam bentuk prefiksasi.

3.2 Bentuk Ingkar Berpola Asli Bahasa Jawa Kuna Bentuk ingkar yang dikategorikan sebagai bentuk asli BJK adalah bentuk ingkar yang di dalam suatu tuturan dapat berdiri sendiri secara bebas tanpa unsur lain sebagai pembentuknya. Tuturan dalam BJK dapat dilihat dalam teks-teks karya sastra yang telah terwariskan. Bentuk ingkar asli BJK adalah tan ( kependekan dari ndatan, tatan, taman), tar (ndatar, tamatar), tat (tatat), tak, tag, tad, dudu, Penggunaan bentuk ingkar tersebut dapat dilihat pada contoh berikut ini. (1) Haywa tan masih i sira IMP ING sayang PREP 3TG ‘Jangan tak sayang kepada beliau’ (2) Tatan enak tamběk bhagawan Candabhargawa ING enak hati nama ‘Hati Bhagawan Candabhargawa tidak enak’ (3) Ndatan suka sanghyang pitara de-nira ING senang ART leluhur PART-3TG ‘Sanghyang leluhur tidak senang karenanya’ (4) Ndatan angga sang Uttangka

~ 374 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

ING mau ART nama ‘sang Uttangka tidak mau’ (5) Tar ma-lupeng pitra puja [ lupa-ing] ING PREF-lupa-PREP leluhur puja ‘Tidak lupa memuja leluhur’ (6) Sirna ta taman pa-sesa hilang PART ING PREF-sisa ‘Hilanglah tanpa sisa’ (7) Tamatar ma-lawas sirar hana ngka ING PREF-lama 3TG ada di sana ’Tidak berlama-lama beliau di sana’ (8) Sira tatan pa-anak 3TG ING PREF-putera ‘Beliau tidak berputera’ (9) Dudu ikang pas, tahi ning wrasabhãking ika ING DEF kura-kura, kotoran PART kerbau DEF ‘Itu bukan kura-kura (melainkan) kotoran kerbau kering itu’ (10) Kita lungha tamatad warah nghulun 2TG pergi ING nasehat 1TG ’Engkau pergi tanpa nasehatku’

Bentuk ingkar asli BJK digunakan untuk menyatakan pengingkaran pada tataran frasa dan klausa. Data (1-8) adalah pengingkaran dalam klausa karena bentuk ingkar tersebut berada sebelum verba (frasa verba). Data 9-10 adalah bentuk ingkar pada frasa karena bentuk ingkar tersebut berada sebelum frasa nomina. Bentuk ingkar dudu tidak pernah digunakan sebelum verba. Bentuk ingkar asli BJK tidak dirangkaikan seperti pada bentuk ingkar dari bahasa Sansekerta. Dengan demikian, bentuk ingkar asli BJK berupa bentuk partikel yang berdiri secara bebas namun berkorespondensi secara sintaktis.

3.3 Variasi Fonologis Bentuk Ingkar BJK Berdasarkan klasifikasi bentuk ingkar di atas, dalam BJK terdapat beberapa variasi fonologis. Bentuk ingkar yang berupa afiksasi, seperti nis-nir, dus-dur, a-an terdapat proses fonologis karena lingkungan bunyi sekitarnya. Proses yang terjadi adalah penyesuaian fitur bunyi yang mengikutinya dalam batas morfem. Apabila bunyi yang mengikuti adalah bunyi bersuara maka unit ingkar nis-, dus- berubaha menjadi nir-, dur dan apabila bunyi yang mengikuti nirsuara maka bentuk nis- dan dus- tetap bertahan. Sementara itu, unit ingkar a- menjadi an- terdapat penyisipan nasal /n/ apabila berada di antara segmen vokal (lihat data di atas). Proses perubahan yang terjadi dapat dibuatkan kaidah fonologis seperti berikut ini.

[nis, dus] --- > [ nir, dur] / ([+ suara] ------Ø ------> [ n] / V ------V

Selain variasi bentuk ingkar seperti di atas, BJK juga memiliki variasi bentuk ingkar batas leksikon. Batas leksikon yang dimaksud adalah antara bentuk partikel dengan leksikon. Sebagai kategori partikel, tan.merupakan bentuk ingkar yang paling universal karena dapat berdistribusi dengan segmen apapun (lihat Zoetmulder, 1985). Namun, selain bentuk tan juga dipakai bentuk tag, tat, tad yang dapat dilihat fitur distingtif segmen yang mengikutinya. Kesesuaian fitur dapat dilihat contoh berikut ini.

~ 375 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

tag wenang ‘tidak dapat’ tag yogya majarakna ‘tidak pantas berkata seperti….’ tag langghana ‘tidak melanggar’ tag dadyaku ‘aku tidak jadi….’

Secara fitur distingtif, bentuk tag yang berakhir dengan segmen akhir /g/ memiliki fitur [+ suara]. Bunyi-bunyi tersebut cenderung diikuti oleh bunyi bersuara, yaitu //w/, /y/, /l/, /d/ karena bunyi tersebut berada dalam kelompok fitur bersuara. Kesesuaian fonologis tersebut terjadi pada batas leksikon karena bentuk itu terdiri atas bentuk partikel dan bentuk leksikon. Selain bentuk tag, terdapat pula variasi bentuk tat dan tad. Bentuk tersebut dapat dilihat seperti berikut ini.

Tat tad tat sangsaya ‘tak kawatir’ tad weruh ‘tak tahu’ tat sawita ‘tak mengabdi’ tad warah ‘tak berkata’ tat pramana ‘tak bernafas’ tad antara ‘tak lama antara’ tat purusa ‘tak berjiwa’

Bentuk tat seperti di atas berakhir dengan segmen /t/ dengan fitur [-suara] dan hanya dapat menyesuaikan dengan lingkungan bunyi yang mengikuti, seperti /s/ dan /p/. Segmen /s/ dan /p/ merupakan segmen [-suara]. Oleh karena itu, variasi bentuk tat tidak berubah apabila segmen yang mengikutinya berada dalam fitur bunyi tak bersuara. Sementara, bentuktat menjadi tad [t-d] disebabkan oleh segmen yang menyertainya adalah /w/. Segmen /w/ berada dalam kelompok segmen bersuara [+suara]. Segmen /t/ yang semula (-suara) mengalami asimilasi suara akibat lingkungan bunyi /w/ [+ suara]. Dengan demikian, bunyi hambat /t/ [- suara] menyesuaikan fitur menjadi bunyi hambat bersuara, yaitu /d/. Proses fonologis segmen /t/ menjadi /d/ diakibatkan karena lingkungan bunyi yang mengikutinya berada dalam lingkungan bersuara. Berdasarkan contoh di atas, dapat dikatakan bahwa bentuk tag merupakan bentuk yang sangat universal karena dapat berdistribusi lebih luas jika dibandingkan dengan tat, tad. yang terbatas pada segmen labial dan dental. Kaidah fonologis yang dapat dibuat berdasarkan contoh data di atas, seperti berikut ini.

[tat] ---- >[ tad, tag] / [ + suara] ------

3.4 Variasi Bentuk Ingkar BJK karena Struktur Sintaktis Bentuk ingkar dalam tuturan BJK memiliki variasi fonologis berupa bentuk tak dan tag. Bentuk tersebut digunakan apabila berkaitan dengan penggunaan pronomina orang pertama dalam struktur klausa, seperti aku ‘aku, saya’. Pernyataan tersebut dapat dibuktikan pada contoh berikut ini.

(11) Tak an-(t)on aku ING PREF-lihat 1TG ‘Aku tak lihat’

(12) Tamatak m-angen-angen waneh ING PREF-pikirRED lain’ ‘Tidak memikirkan yang lain’

~ 376 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

(13) Tag dady-aku ING boleh-1TG ‘Aku tak boleh’

Selain bentuk tak dan tag, bentuk ingkar terdapat pula variasi fonologis menjadi tar. Penggunaan bentuk tar apabila berkaitan dengan pemakaian kata ganti orang ketiga, seperti sira ‘dia, beliau’. Penggunaan bentuk tar dapat dilihat contoh berikut ini.

(14) Tar kěneng pangan turu sira [kena-ing] ING kena-PREP makan tidur 3TG ‘Dia tidak makan dan tidur’

(15) Tar ma-lupeng pitra puja sira [lupa-ing] ING PREF-lupa-PREP leluhur memujua 3TG ‘Tak lupa memuja leluhur’

Variasi fonologis bentuk ingkar terakhir, yaitu tat dan tad. Bentuk ingkar tat dan tad biasanya digunakan dalam tuturan, apabila berkaitan dengan penggunaan kata ganti orang kedua, seperti kita ‘kamu, engkau’. Penggunaan bentuk itu dapat dilihat seperti berikut ini.

(16) Tat sangsaya kita ING kawatir 3TG ‘Engkau tidak kawatir’

(17) Tad weruh ri don ing wuwus-ta ING tahu PART tujuan PART kata-kata-2TG ‘Tidak tahu akan tujuan kata-katamu’

4. Simpulan dan Saran Berdasarkan analisis di atas dapat disimpulkan hal-hal yang berkaitan secara fonologis, yaitu bentuk ingkar berpola bahasa Sansekerta diwujudkan sebagai afiks (prefiks) mengalami proses morfofonemik berupa keseuaian/keselarasan bunyi yang mengikutinya. Kalau bentuk ingkar diikuti oleh segmen bersuara maka bentuk ingkar tersebut berujud nir-, sedangkan apabila dikuti oleh segmen tak bersuara maka bentuk ingkar tersebut berujud nis-. Hal tersebut juga dapat terjadi pada dur-dus. Pada batas leksikon, yaitu patikel dan kata juga terjadi kesesuaian fitur. Di samping itu, variasi fonologis bentuk ingkar BJK dapat dikaitkan dengan struktur sintaksis terutama pada penggunaan pronominal (kata ganti) dalam struktur klausanya. Secara sintaktis, bentuk ingkar BJK dominan menegatifkan klausa intransitif. Tulisan kecil ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, segala kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk menyempurnakannya. Masalah yang terkait dengan kata ingkar (negation) terutama dalam proses sintaktisnya masih banyak yang dapat dilakukan. Untuk itu, ke depannya masalah ini disarankan untuk dikaji lebih lanjut untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Sebagai akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat bagi pencinta linguistik BJK khususnya dan pecinta linguistik umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Dixon, R. M. W. 2012. Basic Linguistic Theory: Further Gramatical Topics. Volume 3. New York: Oxpord University Press Inc.

~ 377 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Erawati, Ni Ketut Ratna. 2002. “Pewarisan Afiks-Afiks Bahasa Jawa Kuna dalam Bahasa Jawa Modern. Tesis Magister. Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana. Kridalaksana, Harimurti. 1984. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia. Pastika, I Wayan. 2004. “Proses Fonologis Melampaui Batas Leksikon. Dalam Jurnal Linguistika. Denpasar: Program Studi Magister (S2) dan Doktor (S3) Linguistik Universitas Udayana. Simanjuntak, Mangantar. 1989. Teori Fitur Distingtif dalam Fonologi Generatif: Perkembangan dan Penerapannya. Jakarta: Gaya Media Pratama. Uhlenbeck, E. M. 1964. A Critical Survey of Studies on the Languages of Java and Madura. Martinus Nijhoff: s-Gravenhage. Yusuf, Suhendra. 1998. Fonetik dan Fonologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Zoetmulder, P. J. 1985. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (Edisi terjemahan oleh Dick Hartoko S. J.). Jakarta: Djambatan. Zoetmulder, P. J. 1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia (edisi terjemahan oleh Darusuprapta dan Sumarti Suprayitna). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

~ 378 ~ BENTUK BAHASA TELEKS DI BAGIAN KARGO PT GARUDA INDONESIA KANTOR CABANG DENPASAR

Ni Ketut Sri Rahayun dan I Gusti Agung Istri Aryani Jurusan Sastra Inggris, Universitas Udayana [email protected] dan [email protected]

ABSTRACT Telex language is a form of written language used in a particular community or group of communities. Telex language structure is different from the standard language used in the general population. This language uses many abbreviations in its making. Sometimes, some words which the abbreviations are not in dictionary are abbreviated in accordance with the understanding between the users. It is certainly interesting to be searched as in communicating to avoid misunderstandings between the message giver and the message recipient. The purpose of this study is to analyze telex language variation used in cargo department of PT Garuda Indonesia (Persero) branch office Denpasar. The theory used to analyze the data according telex existing problem is the theory of the formation of abbreviations and acronyms (Kridalaksana, 2007). The approach used is the qualitative one by following the principles of descriptive studies. Data analysis method used is the method of distribution with sorting technique. Language variation used in cargo department of PT Garuda Indonesia (Persero) Denpasar branch is an abbreviation pattern using consonant and syllable pattern. While variations in vocabulary consists of common vocabularies used in all departments and there are also specific vocabularies used only in cargo department. All of word classes appear in the telex language, they are noun, verb, adjective and adverb.

Keywords: Language Variation, Telex Language, Abbreviation

PENDAHULUAN Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga (2005:1161), dinyatakan bahwa teleks adalah pelayanan komunikasi jarak jauh melalui pesawat sejenis mesin tik yg dihubungkan dengan kabel. Bahasa teleks merupakan salah satu bentuk bahasa tulis yang digunakan di dalam kelompok masyarakat tertentu. Struktur bahasa teleks berbeda dengan bahasa yang baku digunakan di masyarakat umum. Bahasa ini menggunakan banyak penyingkatan dalam pembuatannya. Terkadang beberapa kata yang penyingkatannya tidak ada di dalam kamus juga disingkat sesuai dengan pemahaman antara mereka. Penyingkatan yang dilakukan dalam teleks terdiri atas dua jenis, yaitu dengan mengikuti tata cara penyingkatan yang standar dan tidak standar. Penulisan teleks yang standar tentunya dengan mudah diketahui oleh pembaca, baik yang berada di lingkungan penerbangan maupun oleh masyarakat umum. Sementara itu, pola penyingkatan yang tidak standar bisa menimbulkan kesalahampahaman dalam memahami oleh masyarakat umum, bahkan oleh pegawai di lingkungan penerbangan itu sendiri. Penyingkatan yang tidak sesuai dengan aturan penyingkatan standar, yaitu penulisan teleks dengan singkatan yang menggunakan huruf depan sebuah kata atau singkatan yang mengambil salah satu suku kata ini merupakan salah satu alasan mengapa penelitian ini ingin dilakukan. Hal ini tentunya menarik untuk diteliti mengingat dalam berkomunikasi jangan sampai terjadi kesalahpahaman antara pemberi dan penerima pesan.

~ 379 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature ANALISIS DATA 1) Data 1 FD/TX-038/26JAN2015 KARENA SPACE-PROBLEM DI GA7026/26JAN DPS-LBJ-ENE AKIBATNYA CARGO BERIKUT TIDAK DAPAT TERANGKUT CN 126-90164830 PGK96T7 KURSI EX-CGK TUJUAN LBJ 126-90164841 P10K167T12 KURSI EX-CGK TUJUAN ENE ATTN JKTFRGA TLNG PROTC LOAD/SPCE DI GA7028/26JAN TERIMAKASIH-YB

2) Data 2 FR/TX/251/JAN15 SUBJ AKOMODASI CARGO OFLD XGA652/25JAN RYT FD/TX/035/25JAN2015 PERIHAL SUBJ KAMI AKAN AKOMODASIKAN DI GA652/26JAN DPS-TIM-DJJ STP TKS ATAS INFORMASINYA STP RGDS/YU ////////////QUOTE/////////////////// FD/TX-035/25JAN2015 KARENA SPACE-PROBLEM DI GA652/25JAN DPS-TIM-DJJ AKIBATNYA CARGO BERIKUT TIDAK DAPAT TERANGKUT CN 126-45188942 T6K183 GARMENT TUJUAN DJJ 126-45192733 T1K13 CONSOL TUJUAN DJJ

ATTN JKTFRGA TLNG PROTC LOAD/SPCE DI FLT BERIKUTNYA TERIMAKASIH-YB

Bentuk Bahasa Teleks di Bagian Kargo A. Pola Singkatan pada Bahasa Teleks Pada bahasa teleks yang dipakai di bagian kargo PT. Garuda Indonesia Cabang Denpasar terdapat banyak penyingkatan atau bentuk ringkas. Singkatan adalah hasil menyingkat atau memendekkan yang berupa huruf atau gabungan huruf (source???)

1) Singkatan Huruf Konsonan Kategori singkatan ini adalah singkatan yang dibuat oleh penulis teleks dengan tidak mencantumkan huruf vokal dari kata tersebut. Penulis hanya menuliskan huruf konsonan dari kata. Berikut merupakan beberapa contoh dari kategori singkatan. (1) TLNG merupakan singkatan yang dibuat oleh pegawai Garuda Indonesia untuk menyampaikan kata tolong. tolong mempunyai arti bantu: minta, minta bantuan. Pada singkatan ini tidak ada huruf vokal yang dipakai oleh penulis. Hal ini dilakukan karena penulis ingin mempercepat waktu pembuatan teleks

~ 380 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature (2) STP merupakan singkatan dari setop. Biasanya penulis teleks menggunakan singkatan ini ketika ingin mengakhiri kalimatnya sebagai pengganti kata titik. Pada singkatan ini penulis tidak menggunakan huruf vokal sesuai dengan kata lengkapnya. Penulis hanya menggunakan huruf konsonan yang terdiri dari tiga huruf.

Jika dilihat dari data tersebut, maka beberapa singkatan yang muncul dalam bahasa teleks merupakan pola penyingkatan umum yang juga dipakai oleh masyarakat pada umumnya. Pola umum penyingkatan tersebut, antara lain RGDS, TKS, CGK, SMS, dan PHN. Keempat pola penyingkatan tersebut sering pula dipakai oleh masyarakat, terutama pada bahasa pesan singkat atau short message service (sms) dari telepon genggam. Hal ini membuktikan bahwa pola penyingkatan pada bahasa teleks dengan hanya menggunakan huruf konsonan saja memiliki persamaan dengan pola penyingkatan yang dilakukan oleh masyarakat pada kehidupan sehari- hari. Namun, banyak pula yang bukan pola umum dari singkatan yang dipakai masyarakat dan merupakan variasai bahasa teleks yang diciptakan oleh pengirim teleks, di antaranya FVR, HLDG, DLYD, dan lain-lain.

2) Singkatan dengan Pola Suku Kata Singkatan pada kategori ini menggunakan pola satu atau dua suku kata awal pada setiap kata yang ingin disampaikan. Pada beberapa kata singkatan yang dibuat hanya menggunakan 3--4 huruf pertama seperti kata JAN (JANUARI) dan kata SUBJ (SUBJECT). Pada singkatan- singkatan ini yang digunakan adalah suku kata pertama dari kata dasarnya. Dengan adanya perbedaan ini, maka dapat disimpulkan bahwa dalam menulis teleks dengan menyingkat suku kata awal, tidak ada keseragaman dengan jumlah huruf singkatan yang dipakai. Penulis memakai lebih banyak huruf jika menurut mereka tiga huruf saja belum membuat pembaca teleks mengerti tentang apa yang ingin disampaikan. Jika dilihat dari data tersebut, tampak bahwa sebagian besar pola penyingkatan yang dipakai merupakan pola umum yang biasa digunakan oleh masyarakat. Pola umum yang juga dipakai pada bahasa teleks, seperti SEP, REF, SUBJ, ATT. Pola singkatan atau bentuk ringkas ini sering digunakan oleh masyarakat umum ketika menulis surat atau pesan singkat pada telepon genggam.

3) Singkatan Nama Kota Singkatan kota yang digunakan di lingkungan penerbangan diterima bahkan, oleh dunia penerbangan secara internasional, seperti di Eropa dan Amerika. Contoh singkatan DPS (DENPASAR). Ketika mereka mengirim pola singkatan seperti ini ke penerima teleks di luar negeri, penerima sudah mengetahui makna singkatan tersebut, yaitu kota DENPASAR. Selain itu, teleks ini juga menunjukkan bahwa singkatan kota pola ini banyak digunakan oleh masyarakat umum yang tidak selalu terlibat di lingkungan penerbangan secara aktif dan mereka bisa memahami maknanya. Terkadang apabila masyarakat umum mengirim pesan singkat melalui telepon genggam, mereka juga menyingkat kata DENPASAR menjadi DPS. Selain pola singkatan nama kota seperti dijelaskan di atas, ada juga nama-nama kota yang disingkat menjadi pola yang tidak sering dijumpai oleh masyarakat umum. Pola singkatan ini tetap saja dapat diterima dan dimengerti oleh penerima teleks yang merupakan pegawai di lingkungan penerbangan, baik secara nasional di Indonesia maupun di luar negeri (internasional). Penulis tertarik untuk menyampaikan pola singkatan ini sehingga masyarakat umum yang ada di ~ 381 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature luar lingkungan penerbangan dapat ikut memahami makna singkatan tersebut. Ketika membeli tiket, mereka bisa mendapatkan informasi mana yang menunjukkan nama kota-kota tersebut. Pola singkatan ini adalah CGK (CENGKARENG), DJJ (JAYAPURA), TIM (TIMIKA), ENE (ENDE), Ketika menulis nama kota, singkatannya menjadi tiga huruf, baik itu tiga huruf pertama maupun tiga huruf dari nama kota tersebut. Tidak ada keseragaman mengenai penulisannya apakah tiga huruf pertama dengan menggunakan huruf vokalnya juga atau menggunakan huruf konsonan saja dari nama kota tersebut.

4) Tanda Baca Dalam Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan seperti dikemukakan oleh Waridah (2008) dinyatakan bahwa tanda baca adalah simbol yang tidak berhubungan dengan fonem (suara) atau kata dan frasa pada suatu bahasa, tetapi berperan untuk menunjukkan struktur dan organisasi suatu tulisan. Selain itu, juga intonasi, dan jeda yang dapat diamati sewaktu pembacaan. Aturan tanda baca berbeda antarbahasa, lokasi, waktu, dan terus berkembang. Beberapa aspek tanda baca adalah suatu gaya spesifik yang tergantung pada pilihan penulis. Fungsi tanda baca yaitu menghubungkan ataupun memisahkan bagian kalimat; memisahkan unsur – unsur dalam suatu perincian; menunjukkan ciri khas suatu kalimat dan penjelasan suatu sematis konteks kalimat; menciptakan kesesuaian untuk keselarasan dan pengaturan vokal seseorang dengan adanya tanda dalam suatu perincian. Jika mengacu pada penjelasan di atas, tanda baca adalah simbol yang tidak berhubungan dengan fonem (suara) atau kata dan frasa pada suatu bahasa, hal ini berarti tanda baca seharusnya ditulis dengan bentuk simbol sesuai ketentuan yang ada seperti . (titik) , (koma) ! (tanda seru) ? (tanda tanya). Namun pada data teleks tanda baca tidak dicantumkan dengan simbol tersebut, penulis mencantumkannya dengan huruf sesuai dengan makna tanda baca pada kalimat lisan. Contoh penulisan ini adalah STP (SETOP) yang berarti titik (.). Pada data teleks ini, penulis tidak mencantumkan tanda baca seperti titik, koma, tanda tanya dan tanda seru. Hal ini tentu saja bertujuan untuk membuat struktur teleks menjadi lebih singkat sesuai tujuan penulisan teleks yaitu berkomunikasi dengan lebih cepat, efektif, dan efisien namun tetap dapat dipahami maknanya.

B. Proses Pembentukan Singkatan dan Akronim Proses pembentukan singkatan dan akronim pada bahasa teleks ini dianalisis berdasarkan teori dari Kridalaksana (2007). Dari enam belas pola pembentukan singkatan yang dikemukakan oleh Kridalaksana, hanya tiga pola pembentukan singkatan yang ada pada data bahasa teleks di bagian kargo PT Garuda Indonesia. Sementara itu, dua pola pembentukan lainnya penulis formulasikan sendiri sesuai pola singkatan yang ada.Pola tersebut adalah:

(1) Pengekalan empat huruf pertama dari kata SUBJ (Subjek)

(2) Pengekalan huruf pertama dari tiap suku kata DPS (Denpasar)

~ 382 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature (3) Pengekalan huruf pertama dan kedua dari suku kata pertama dan huruf terakhir dari suku kata kedua ENE (Ende) FLT (Flight)

(4) Pengekalan huruf pertama dan terakhir dari suku kata pertama dan huruf pertama dari suku kata kedua CGK (Cengkareng)

C. Kosakata pada Bahasa Teleks Kosakata yang digunakan pada bahasa teleks ini akan dibagi sesuai dengan kelas katanya.

1) Kata Benda (Nomina) Fungsi kata benda yang muncul pada bahasa teleks adalah benda atau hal yang harus diinformasikan atau dilaporkan kepada penerima teleks, baik atasannya, rekan kerja dengan posisi yang sama, maupun bawahannya. Beberapa contoh kata benda yang muncul pada data teleks di atas adalah TUJUAN, PROBLEM, FLIGHT, KURSI, dll

2) Kata Kerja (Verba) Kata kerja yang digunakan dalam bahasa teleks berfungsi sebagai tindakan yang telah, sedang, akan, ataupun harus dilakukan, baik oleh pengirim maupun penerima teleks. Ketika kata kerja itu menjelaskan apa yang sudah atau akan dilakukan pengirim teleks, berarti dia ingin menginformasikan kepada penerima teleks tentang tindakannya itu. Namun, bila kata kerja itu disampaikan agar dilakukan oleh penerima teleks, maka fungsinya untuk memberikan perintah atau meminta pertolongan agar penerima teleks mengerjakannya. Beberapa contoh kata kerja yang muncul pada data teleks di atas adalah AKOMODASIKAN, PROTECT, dll.

3) Kata Sifat (Ajektiva) Penggunaan kata sifat dalam bahasa teleks berfungsi sebagai karakter atau derajat suatu tindakan. Ketika penulis ingin menyampaikan kualitas benda atau tindakan yang dilakukan, ia akan menambahkan kata sifat pada teleks tersebut. Kata sifat bisa muncul ketika pengirim teleks memberikan informasi ataupun memberikan perintah. Contoh dari kata sifat pada data teleks adalah TERANGKUT. Tidak terdapat banyak kata sifat pada data teleks di bagian cargo tersebut.

4) Kata Keterangan (Adverbial) Penulis teleks mencantumkan kata keterangan ketika ingin mengucapkan salam seperti kata REGARDS, BEST REGARDS, THANKS. Pada data teleks yang ada tidak ditemukan banyak kata keterangan.

DAFTAR PUSTAKA

Hornby, AS. 1987. Oxford Advanced Learner’s Dictionaryof Current English. Oxford: Oxford University Press.

~ 383 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Kridalaksana, Harimukti. 2007. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Pusat Bahasa, 2007. Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

~ 384 ~ REKONSTRUKSI BUDAYA AUSTRONESIA

Ni Luh Sutjiati Beratha dan I Wayan Ardika Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana [email protected] dan [email protected]

ABSTRAK Para ahli telah dapat mengidentifikasi ciri-ciri umum penutur Austronesia, meskipun telah terjadi interaksi dan perubahan secara budaya dan biologi berabad-abad lamanya. Adapun ciri-ciri umum yang dimiliki oleh penutur Austronesia adalah sebagai berikut. 1) Sebagian besar penutur Austronesia di luar Melanesia dan Filipina memiliki ciri biologi yang dapat digolongkan sebagai ras Mongoloid Selatan (Southern Mongoloid); 2) Secara budaya, penutur Austronesia di masa lampau memiliki tradisi mentato tubuh; 3) Menggunakan layar pada sampan/perahu; 4) Secara etnografi maupun di masa prasejarah mempunyai style/gaya seni, dan ciri sosial yang terkait dengan urutan kelahiran (birth order) untuk saudara kandung; serta 5) pemujaan terhadap leluhur/nenek moyang yang dianggap cikal- bakal/pendiri keturunan. Makalah ini difokuskan pada adanya kesamaan budaya dan bahasa sebagai ciri penting yang diwarisi oleh penutur Austronesia yang tersebar dari Formosa/Taiwan (di utara) hingga Selandia Baru (di selatan), dan Madagaskar (di barat) hingga Pulau Paskah di (timur). Pendekatan sosial budaya, terutama dengan menggunakan metode komparasi diterapkan dalam penulisan makalah ini. Di samping itu, pendekatan kualitatif yang lebih mengandalkan teknik pengamatan/ observasi dalam pengumpulan data dan informasi juga diterapkan. Teori-teori yang berkaitan dengan rekonstruksi budaya digunakan untuk menganalisis data.

Kata Kunci: rekonstruksi, budaya.

1. Pendahuluan Kunjungan yang dilakukan Ardika ke Taiwan pada tanggal 17 - 22 Nopember 2014, dan ke Nias pada tanggal 12 - 14 Desember 2014 menginspirasi penulisan makalah ini. Hasil kunjungan tersebut telah menambah pemahaman tentang budaya Austronesia. Di samping itu, terdapat kesamaan elemen budaya materi yang dipamerkan di museum Sejarah Universtas Nasional Taiwan (History Museum of National Taiwan University), Museum Taman Nasional Taroko (Taroko National Park) Taiwan, dan rumah Siulu (bangsawan) di Desa Bawomatolou, Kabupaten Nias Selatan, Nias. Kesamaan bahasa merupakan ciri penting yang diwarisi oleh penutur Austronesia yang tersebar dari Madagaskar (barat) hingga Pulau Paskah (timur), Formosa/Taiwan (utara) dan Selandia Baru (selatan). Para ahli mengidentifikasi ciri-ciri umum penutur Austronesia, meskipun telah terjadi interaksi dan perubahan secara budaya dan biologi berabad-abad lamanya. Adapun ciri-ciri umum yang dimiliki oleh penutur Austronesia antara lain sebagai berikut. 1) Sebagian besar penutur Austronesia di luar Melanesia dan Filipina memiliki ciri biologi yang dapat digolongkan sebagai ras Mongoloid Selatan (Southern Mongoloid); 2) Secara budaya, penutur Austronesia di masa lampau memiliki tradisi mentato tubuh; 3) Menggunakan layar pada sampan/perahu; 4) Secara etnografi maupun di masa prasejarah penutur Austronesia mempunyai stile/gaya seni, dan ciri sosial yang terkait dengan urutan kelahiran (birth order) untuk saudara kandung; serta 5) pemujaan terhadap leluhur/nenek moyang yang dianggap cikal- bakal/pendiri keturunan. Rekonstruksi budaya Austronesia juga akan didukung oleh kata-kata yang berkognet sebagai bukti bahwa nama-nama yang ada pada budaya Austronesia ditunjukkan oleh bukti

~ 385 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature kebahasaan yang ada pada bahasa yang tergolong ke dalam rumpun Bahasa Austronesia. Data kebahasaan diambil dari Etimologi Volume I (1980), Volome II (1984), dan Volume III (1986). Data tersebut akan dibandingkan dengan data Bahasa Bali yang diambil dari Prasasti Bali Volume I dan II (Goris, 1954).

2. Metode Penulisan Makalah ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif yang lebih mengandalkan metode observasi/ pengamatan dan kepustakaan dalam pengumpulan data dan informasi. Metode pengamatan yang akan diterapkan adalah pengamatan terlibat, dan penerapannya dilakukan dengan cara peneliti ikut serta berada di tempat melakukan kegiatan bersama para pelakunya masing-masing. Namun perlu dikemukakan di sini, bahwa dalam pengamatan juga dilakukan wawancara dengan menanyakan sesuatu yang telah dilihat dan didengar terkait dengan masalah yang dikaji guna memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang lebih jauh. Hal ini biasa dilakukan dalam pengamatan terlibat, sehingga para ahli mengatakan pengamatan terlibat sebagai pengamatan langsung bersama metode lainnya dalam pengumpulan informasi (Mulyana, 2006 : 162), atau sebagai pengamatan yang bercirikan interaksi peneliti dengan subjek (Satori dan Komariah, 2009 : 117). Aspek-aspek yang akan dicermati dalam pengamatan adalah (1) keadaan/situasi dan di rumah informan; (2) orang-orang yang ikut serta dalam situasi tersebut, termasuk jenis kelamin, usia, profesi, tempat asal, dan lain-lain; (3) kegiatan yang dilakukan orang dalam situasi tersebut; (4) benda-benda yang ada di tempat itu serta letak dan penggunaannya; (5) perbuatan, yaitu tindakan para pelaku dalam proses berlangsungnya kegiatan dalam situasi yang diamati; ekspresi wajah yang dapat dilihat sebagai cerminan perasan dan emosi. Analisis data/informasi dilakukan secara interprétatif, terutama secara emik dan etik, sehingga dapat dihindari kemungkinan adanya masalah dengan informan yang telah melakukan sesuatu tindakan tetapi tidak mampu menginformasikan maknanya sebagaimana dikatakan oleh Brian Vay (2004). Proses analisis ini bisa sejalan dengan proses wawancara dan pengamatan, artinya analisis dilakukan secara bergantian dengan wawancara dan pengamatan dalam satu paket waktu. Secara konkret mekanismenya bahwa setiap informasi penting yang diperoleh dari informan langsung dianalisis untuk membuat hipotesis-hipotesis kecil yang kemudian digunakan untuk membuat pertanyaan yang diajukan berikutnya. Dengan demikian teknik analisis dan wawancara tersebut mengacu kepada apa yang oleh Taylor dan Bogdan (1984 : 128) disebut dengan istilah go hand-in-hand. Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini sebagian besar berwujud data kualitatif. Data ini akan dianalisis dengan mengikuti prosedur analisis data kualitatif sebagaimana dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992), yaitu reduksi data, menyajikan data, menafsirkan data, dan menarik simpulan.

3. Pembahasan Rekonstruksi budaya Austronesia akan mengawali pembahasan yang selanjutnya akan disajikan bukti-bukti kebahasaan yang akan ditunjukkan melalui kata-kata yang berkognet dari bahasa yang tergolong ke dalam rumpun Bahasa Austronesian, khususnya Malayu Polinesia Barat.

~ 386 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature 3.1 Rekonstruksi Budaya Austronesia Sebelum penutur Austronesia pindah ke Taiwan, mereka kemungkinan berasal dari Tiongkok Selatan dengan ciri budaya pertanian. Temuan arkeologi di situs Hemudu di pantai selatan Hangzhou Bay, Provinsi Zhejiang mencerminkan sebuah desa yang berasal dari 7000 tahun yang lalu dengan telah menghasilkan sejumlah temuan antara lain: gerabah, kapak batu, peralatan pertanian yang terbuat dari kayu dan tulang, pengerjaan kayu untuk pembuatan perahu/sampan, pengayuh sampan, alat pemintal benang untuk tenun, anyaman, tali dan sisa- sisa padi. Selain itu, di situs tersebut juga ditemukan tulang hewan yang telah didomestikasi seperti babi, anjing, ayam, dan mungkin juga sapi dan kerbau (Bellwood, 1995: 98). Menurut Bellwood (1995: 100) bahwa komunitas Proto Austronesia (PAN) dan Proto Malayo-Polinesia (PMP) telah bercocok tanam atau masyarakat agraris, membuat gerabah, membuat bangunan/rumah kayu, dan mendomestikasi babi. Neolitik di Taiwan diperkirakan berasal dari 3000-4000 tahun Sebelum Masehi dengan bukti temuan arkeologi yang sama dengan di Tiongkok Selatan. Bukti arkeologi berupa padi, pollen, dan pembukaan hutan untuk lahan pertanian di Taiwan berasal dari 3000 tahun Sebelum Masehi. Sekitar 2500-1500 BC terdapat himpunan temuan arkeologi (asemblage) yang terdiri atas gerabah berselip merah dan domestikasi babi di Filipina, Sulawesi, Kalimantan Utara, Halmahera, sampai Timor. Namun, di Indonesia bagian barat belum ditemukan/dilaporkan situs dengan karakater tersebut. Babi tampaknya hewan yang sangat penting bagi masyarakat Austronesia. Daging babi dimanfaatkan untuk upacara keagamaan dan menjamu tamu untuk pesta di kalangan komunitas Austronesia. Tulang rahang babi di pamerkan di museum Taman Nasional Taroko. Hal yang sama juga ditemukan di rumah Siulu (bangsawan) di Desa Bawomatolou, Nias (lihat gambar 1)

Gambar. 1. Tulang rahang babi digantung di dinding pada museum Taroko dan di rumah Siulu, Desa Bawomatolou, Nias

Dalam masyarakat Nias terdapat tradisi mengadakan upacara owase yakni semacam pesta besar dengan menyebelih sejumlah hewan untuk menjamu para tamu. Pesta ini dimaksudkan untuk meningkatkan status sosial, dan pada saat yang sama keluarga penyelenggara upacara tersebut juga bertambah kekuataan/kekuasaannya (Koestoro dan Wiradnyana,2007: 28-29). Bawi (babi) adalah hewan yang paling dibutuhkan dalam setiap pesta tradisional di Nias. Tinggi- rendahnya status sosial seseorang di Nias dapat diketahui atau diukur dari banyak-sedikitnya daging babi yang dimiliki atau tersedia untuk upacara (Koestoro dan Wiradnyana: 2007: 54). Dengan kata lain, terdapat korelasi positif antara status sosial seseorang dengan jumlah daging ~ 387 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature babi yang dimiliki oleh seseorang pada saat menyelenggarakan upacara dan pesta. Menurut keterangan kepala Desa Bawomatolou bahwa terdapat tujuh upacara pada saat pengukuhan seseorang sebagai bangsawan (siulu) pada masyarakat Bawomatolou, Teluk Dalam, Nias Selatan. Pada saat upacara pengukuhan tersebut diadakan jamuan makan dengan menggunakan daging babi untuk para undangan yang hadir. Jumlah daging babi yang disediakan untuk upacara pengukuhan bangsawan Nias tampaknya menjadi penanda status sosial di masyarakat tersebut. Fenomena yang sama juga terlihat pada masyarakat Toraja, terutama saat upacara kematian. Pada upacara kematian itu disembelih sejumlah kerbau. Dalam kehidupan orang Toraja jaman dulu, keberadaan kerbau adalah simbol kemakmuran, begitu pula dengan kepemilikan babi dan sawah. Ketiga hal ini menjadi komponen penting dalam kehidupan masyarakat Toraja. Dalam upacara adat, kerbau hanya digunakan saat kematian yakni pada upacara penguburan. Biasanya disembelih sejumlah kerbau menurut kemampuan keluarga dan kedudukan yang meninggal tersebut (file:///C:/Users/Vaio/Documents/Arti kerbau (Bahasa Toraja tedong ) bagi orang Toraja, diunduh 6/5/2015). Tanduk kerbau dipajang sebagai hiasan rumah adat warga, dan sekaligus menunjukan status sosial pemiliknya (lihat gambar 2).

Gambar 2. Kerbau yang disembelih untuk upacara kematian dan hiasan tanduk kerbau pada Tongkona di Toraja.

Pada saat kunjungan ke museum sejarah di Universitas Nasional Taiwan dipajang sejumlah koleksi sisir kayu, dan pada bagian pegangannya (handle) terdapat hiasan berupa kepala manusia atau ular (lihat gambar 3). Gambar sisir juga dijumpai pada sebuah patung dan hiasan pintu rumah siulu di desa Bawomatolou (lihat gambar 3). Kenyataan ini mengindikasikan adanya kesamaan seni pahat ataupun tradisi di kalangan penutur Austronesia.

Gambar 3. Beberapa bentuk sisir dengan pola hias kepala manusia dan ular koleksi Museum Sejarah NTU dan gambar sisir di rumah Siulu di desa Bawomatolou, Nias

Sisir kayu (petat, bahasa Bali) kemungkinan berfungsi penting dalam masyarakat penutur bahasa Austronesia. Sisir kayu biasanya digunakan oleh mereka yang berambut panjang.

~ 388 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Masyarakat penutur Austronesia kemungkinan mempunyai tradisi memelihara rambut panjang baik laki maupun perempuan. Komunitas Austronesia juga mempunyai tradisi menghias tubuh dengan tato. Di museum Taroko ditayangkan video tentang proses mentato tubuh di kalangan orang aborigin Taiwan (lihat gambar 4). Tradisi tato pada aborigin Taiwan dilakukan pada bagian wajah baik laki ataupun perempuan. Tradisi mentato tubuh juga dijumpai di kalangan orang Dayak Kenyah, Bahau, Iban dan Kayan, sedangkan kelompok Dayak lain tidak memiliki praktik tersebut. Laki- laki Kenyah hanya memiliki tato pada bagian sisi kanan dan kiri punggung mereka. Motif- motif tato untuk perempuan Kenyah meliputi rantai-rantai anjing, motif parang, tanduk-tanduk binatang di bagian lengan dan paha, serta motif lingkaran dibetis atau pergelangan kaki. Tato pada laki-laki Kenyah merupakan tanda kedewasaan. Gadis-gadis di Long Mekar kini tidak melanjutkan tradisi mentato diri tersebut (Maunati, 2004: 154- 155). Mentato bagian tubuh merupakan fenomena budaya Austronesia.

Gambar 4. Tradisi tato di kalangan aborigin Taiwan dan Dayak, Kalimantan

Tradisi menenun adalah salah satu unsur budaya Austronesia. Peralatan tenun dipamerkan pada museum Taroko (lihat gambar 5). Kebiasaan menenun kini masih berlanjut dan tersebar di seluruh Nusantara. Motif kain tenun di Indonesia dipengaruhi oleh pola hias geometris yang digambarkan pada nekara Dongson seperti : spiral, meander, zigzag. Motif spiral, meander, dan belah ditemukan pada kain tenun di kalangan orang Batak, Lampung, Dayak, Toraja, dan Timor. Selain geometris, terdapat pula motif binatang seperti, reptil, buaya, ular, kadal dan katak. Gambar manusia dan perahu juga diwariskan dari kebudayaan Dongson. Gambar atau motif manusia pada kain diinterpretasikan sebagai leluhur, demikian pula bila muncul pada periode kemudian (Jay, 2010: 18-19).

Gambar 5. Pemintal benang dan alat-alat tenun yang dipajang di Museum Taroko

~ 389 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Tekstil pada umumnya merepresentasikan simbol status pemakainya. Pemujaan terhadap leluhur sebagai salah satu sistem kepercayaan masyarakat Indonesia diwujudkan dalam motif manusia, hewan dan/atau motif abstrak pada tekstil, yang dapat dilihat pada etnik Batak, Toraja, Dayak, dan di pulau-pulau Indonesia bagian timur (Tanimbar, Maluku, dan Timor)(Jay, 2010: 21). Upacara kematian adalah bentuk penghormatan terakhir kepada tokoh atau orang yang telah meninggal dan sekaligus sebagai bentuk pemujaan leluhur. Tradisi ini masih dipraktikan oleh sejumlah etnik di Nusantara. Pada masyarakat Nias misalnya, berbagai upacara yang terkait dengan megalitik dilakukan untuk pemujaan leluhur, dan pada saat yang sama dimaksudkan untuk menunjukan status, prestige, dan kemasyuran seseorang (Koestoro dan Wiradnyana: 2007: 70). Upacara Rambu Solo di kalangan masyarakat Toraja telah diwarisi secara turun temurun. Keluarga yang ditinggal diwajibkan membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi. Namun dalam pelaksanaannya, upacara Rambu Solo terbagi dalam beberapa tingkatan sesuai dengan strata sosial masyarakat Toraja, yakni: Dipasang Bongi adalah upacara yang hanya dilaksanakan satu malam. Dipatallung Bongi adalah upacara yang berlangsung selama tiga malam dan dilaksanakan di rumah dan ada pemotongan hewan. Dipalimang Bongi yakni upacara pemakaman yang berlangsung selama lima malam dan dilaksanakan di sekitar rumah serta dilakukan pemotongan hewan. Dipapitung Bongi ialah upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam, dan setiap hari ada pemotongan hewan. Upacara tertinggi dilaksanakan dua kali dengan rentang waktu sekurang kurangnya setahun; upacara yang pertama disebut Aluk Pia biasanya dilaksanakan di sekitar Tongkonan keluarga yang berduka, sedangkan upacara kedua yakni Rante biasanya dilaksanakan di sebuah “lapangan Khusus” karena upacara ini menjadi puncak dari prosesi pemakaman yang disertai berbagai ritual adat yang harus dijalani seperti : Ma’tundan, Mebalun (membungkus jenazah), Ma’roto (membubuhkan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah), Ma’Popengkalo Alang (menurunkan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan), dan yang terkahir Ma’Palao yakni mengusung jenazah ke tempat peristirahatan terakhir. Kematian bagi masyarakat Toraja menjadi salah satu hal yang paling bermakna, sehingga tidak hanya upacara prosesi pemakaman yang dipersiapkan ataupun peti mati yang dipahat menyerupai hewan (Erong), namun mereka pun mempersiapkan tempat “peristirahatan terakhir” dengan sedemikian apiknya, yang tentunya tidak lepas dari strata sosial yang berlaku dalam masyarakat Toraja maupun kemampuan ekonomi individu bersangkutan. Tempat menyimpan jenazah adalah gua/tebing gunung atau dibuatkan sebuah rumah (Pa’tane). Kerbau merupakan hewan penting di kalangan masyarakat Toraja untuk upacara kematian. Sebagai contoh, pada tahun 1657 Rante Kalimbuang mulai digunakan, dan pada upacara pemakaman Ne’Ramba’ 100 ekor kerbau dikorbankan dan didirikan dua Simbuang Batu. Selanjutnya pada tahun1807 pada pemakaman Tonapa Ne’padda’ didirikan 5 buah Simbuang Batu, dan kerbau yang dikorbankan sebanyak 200 ekor. Ne’Lunde’ pada upacara kematiannya dikorbankan 100 ekor kerbau, dan didirikan 3 buah Simbuang Batu (file:///C:/ Users/Vaio/Documents/Arti kerbau (Bahasa Toraja tedong ) bagi orang Toraja. Diunduh tanggal 6 Mei 2015). Kepercayaan Marapu adalah “keyakinan hidup” yang masih dianut oleh orang Sumba di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Masyarakat Sumba yang masih menganut kepercayaan

~ 390 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

Merapu atau “ajaran para leluhur” senantiasa melakukan upacara dan perayaan ritual untuk mengiringi berbagai sendi kehidupan mereka. Kepercayaan ini dilakukan dengan ritual, perayaan, dan pengorbanan untuk penghormatan kepada sang pencipta dan arwah para leluhur mereka. Merapu dalam bahasa Sumba berarti “Yang dipertuan atau dimuliakan” terutama untuk menyebut arwah-arwah para leluhur mereka. Soeriadiredja menjelaskan bahwa secara hirarki, Merapu terbagi menjadi dua golongan, yaitu Merapu dan Merapu Ratu. Merapu yang pertama merupakan arwah leluhur yang didewakan dan dianggap menjadi cikal-bakal dari suatu kabihu (keluarga luas, clan), sedangkan merapu Ratu ialah merapu yang dianggap turun dari langit dan merupakan leluhur dari para Merapu lainnya. Kehadiran para marapu bagi masyarakat Sumba di dunia nyata diwakili dan dilambangkan dengan lambang-lambang suci yang berupa perhiasan mas atau perak (ada pula berupa patung atau guci) yang disebut Tanggu Marapu. Lambang-lambang suci itu disimpan di Pangiangu Marapu, yaitu di bagian atas dalam menara uma bokulu (rumah besar, rumah pusat) suatu kabihu. Walaupun mempunyai banyak Marapu yang sering disebut namanya, dipuja dan dimohon pertolongan, tetapi hal itu sama sekali tidak menyebabkan pengingkaran terhadap adanya Sang Maha Pencipta. Tujuan utama dari upacara pemujaan bukan semata-mata kepada arwah para leluhur saja, tetapi kepada Mawulu Tau-Majii Tau (Pencipta dan Pembuat Manusia), Tuhan Yang Maha Esa. Pengakuan adanya Sang Maha Pencipta biasanya dinyatakan dengan kata-kata atau kalimat kiasan. Itu pun hanya dalam upacara-upacara tertentu atau peristiwa-peristiwa penting saja. Dalam keyakinan Marapu, Sang Maha Pencipta tidak campur tangan dalam urusan duniawi dan dianggap tidak mungkin diketahui hakekatnya sehingga untuk menyebut nama- Nya pun dipantangkan. Hampir seluruh segi-segi kehidupan masyarakat Sumba diliputi oleh rasa keagamaan. Bisa dikatakan agama Marapu sebagai inti dari kebudayaan mereka, sebagai sumber nilai-nilai dan pandangan hidup, serta mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Orang Sumba juga percaya bahwa manusia merupakan bagian dari alam semesta yang tak terpisahkan. Manusia yang masih hidup mempunyai kewajiban untuk tetap dapat mengadakan hubungan dengan arwah-arwah leluhurnya. Mereka beranggapan bahwa para arwah leluhur itu selalu mengawasi dan menghukum keturunannya yang telah berani melanggar segala nuku- hara sehingga keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya terganggu. Untuk memulihkan ketidakseimbangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia terhadap alam sekitarnya dan mengadakan kontak dengan para arwah leluhurnya, maka manusia harus melaksanakan berbagai upacara. Tradisi leluhur yang diwariskan selama berabad-abad bersamaan dengan pandangan hidup orang Sumba, dewasa ini mulai dipengaruhi oleh kehidupan yang berasal dari luar kehidupan mereka. Generasi muda Sumba kini telah memperoleh cara pandang yang baru dan berbeda dengan tradisi serta ajaran yang telah diwariskan oleh leluhur mereka. Kendati demikian generasi muda Sumba masih menyimpan hormat dengan menjalankan nilai-nilai kepercayaan Merapu dalam kehidupannya (file:///C:/Users/Vaio/Documents/Marapu Ajaran dan Kepercayaan Leluhur Masyarakat Sumba.htm, diunduh 6 Mei 2015 ).

~ 391 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature 3.2 Kata-Kata Berkognet pada Bahasa-Bahasa Austronesia Sutjiati Beratha (1992) telah melakukan kajian pendahuluan terhadap Bahasa Austronesia. Data untuk kajian tersebut adalah data tulis yang diambil dari Blust, Etimologi Volume I (1980), Volome II (1984), dan Volume III (1986). Data tersebut akan dibandingkan dengan data Bahasa Bali yang diambil dari Prasasti Bali Volume I dan II (Goris, 1954). Makalah ini juga menggunakan data serupa dengan membandingkan kata-kata yang memiliki kognet pada bahasa-bahasa yang tergolong ke dalam rumpun Bahasa Austronesia. Menurut Blust (1980:11) Bahasa Bali dikelompokkan ke dalam sub-grup Bahasa Malayu- Polinesia Barat yang terdiri atas Sumatra, Jawa, Bali, Sasak, dll. Berikut akan disajikan kata- kata yang berkognet sebagai bukti dari bahasa-bahasa yang serumpun dari Proto Austronesia (PAN). Kata-kata PAN akan diberi tanda bintang (*), sedangkan kognet pada Bahasa Bali akan ditulis dibawah garis putus-putus.

3.2.1 Vokal PAN memiliki empat bunyi vokal, yaitu *i, *a, *e, dan *u PAN *i pada posisi akhir

PAN *siji ‘sejenis ayakan/ saringan’ PSas sidi ‘ayakan’ TAG sili ‘ayakan’ BBK sigi ‘ayakan’ ------BB sidi ‘ayakan’

PAN *a pada posisi penultimate

PAN *lamak ‘tikar’ BJ lamak ‘sejenis alas’ BSas lamak ‘tikar’ ------BB lamak ‘sejenis tikar untuk hiasan tempat pemujaan’

PAN *a pada posisi akhir

PAN *qara? ‘sejenis pohon’ BJK (h) ara ‘pohon ara’ SAN aha ‘sejenis pohon ara’ BSas ara ‘pohon ara’ ------BB aa ‘pohon ara’

PAN *ě pada posisi penultimate

PAN *kědi ‘sedikit’ BBK kědit ‘pelit’ BJK kědik ‘sedikit’ ------BB kědik ‘sedikit’

PAN * ě pada posisi akhir

PAN *pěkpěk ‘berkerumun’ BM pěpěk ‘berkumpul’

~ 392 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

BSas pěpěk ‘berkerumun’ BJ pěpěk ‘berkumpul’ ------BB pěpěk ‘semua/ lengkap’

PAN *u pada silebel pertama

PAN *bulan ‘bulan’ CEB bulan ‘bulan’ CHM bulan ‘bulan’ ------BB bulan ‘bulan

PAN *u pada silebel ke dua

PAN *pitung ‘sejenis bambu’ BM bitung ‘bambu besar’ BKL bitu ‘bambu’ ------BB pětung ‘sejenis bambu’

PAN *u >o ada baik pada Bahasa Bali (Sutjiati Beratha, 1992:100), maupun pada Bahasa Sasak dan Sumbawa ( Meko Mbete (1990)) seperti contoh berikut.

PAN *tatu ‘tanda rajah/cahcahan’ BJK tatu ‘luka’ ------BB tatu ‘luka’

Menarik untuk dikemukakan di sini bahwa kata PAN *tatu ‘tanda rajah cacahan’yang selanjutnya berubah menjadi tato. Aktivitas kebudayaan mentato sudah dilaksanakan pada sejak 3000 Sebelum Masehi, atau bahkan mungkin lebih awal, contoh lain adalah seperti yang ditemukan oleh Meko Mbete (1990).

PSas olas ‘sebelas’ PSum olas ‘sebelas’ ------BB (s)olas ‘sebelas’

PSas kado ‘rugi’ PSum kado ‘rugi’ ------BB kado ‘rugi’

Blust (1980) tidak menemukan *e untuk PAN, akan tetapi menurut Clynes (1989:149), /e/ dan /o/ pada bahasa Bali berasal dari Bahasa Sanskerta. Meko Mbete (1990:167; 173) dalam Rekonstruksi Proto Bali-Sasak-Sumbawa mengatakan bahwa fonem /e/ dan /o/ ada pada bahasa Sasak dan Sumbawa, dan bukti tersebut diperkuat oleh Sutjiati Beratha (1992:95) fonem /e/ dan /o/ juga dimiliki oleh Bahasa Bali Kuna karena ke dua fonem tersebut sudah ada pada prasasti Bali Kuna yang berangka tahun 882. Bukti tersebut disajikan pada data berikut.

PSas bale ‘rumah’ PSum bale ‘rumah’ ------BB bale ‘rumah’

~ 393 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

PSas pane ‘tempayan’ PSum pane ‘tempayan’ ------BB bale ‘tempayan’

PSas kěbo kerbau PSum kěbo kerbau ------BB kěbo ‘kerbau’

Seperti dikemukakan di atas, binatang kebo ‘kerbau’ digunakan sebagai sarana upacara di Toraja. Menurut Dempwolff (1924) bunyi vokal PAN terdiri atas /i/, /u/, /a/, /e/. Brandstetter pada awalnya menyatakan bahwa PAN memiliki enam bunyi vokal, namun hanya ditemukan satu bunyi /e/ dan /o/ sehingga ke dua bunyi ini dihilangkan pada rekonstruksinya (Dahl, 1977:14). Fonem /e/ dan /o/ menurut Brandstetter (1916a:10) sangat umum pada rumpun bahasa Malayu Polinesia khususnya bahasa-bahasa yang ada di Indonesia, namun //e/ dan /o/ masih diragukan ada PAN karena tidak ditemukan bukti-bukti kognet pada bahasa-bahasa di luar bahasa-bahasa di Indonesia. Contoh di atas mendukung pendapat Brandstetter bahwa /e/ dan /o/ hanya ditemukan pada bahasa-bahasa yang ada di Indonesia yaitu rumpun bahasa Malayu Polinesia Barat.

3.2.2 Konsonan Konsonan PAN terdiri atas *w, *y, *p, *t, *c, *k, *b, *d, *z, *g, *m, *n, *ng, *ny, *l, *r, *s, *q.

Semi Vokal Meko Mbete (1990) mengusulkan bahwa semi vocal /w/ dan /y/ mungkin sudah ada bahasa-bahasa yang tergolong ke dalam bahasa Malayu Polinesia Barat. Kehadiran ke dua fonem ini ditemukan pada kata di antara vocal. Bukti tersebut didukung oleh data BJK dan BBK yang akan disajikan pada contoh untuk ke dua fonem /w/ dan /y/ seperti berikut. PAN *w (?)

BSas lawang ‘pintu’ BSum lawang ‘pintu’ ------BB lawang ‘pintu’

BJK bawi ‘babi’ BBK bawi ‘babi’ ------BB bawi ‘babi’

Binatang bawi ‘babi’ pada contoh di atas digunakan sebagai sarana upacara dan untuk menjamu tamu seperti yang telah dipaparkan di atas. Kata ini tampaknya sudah ada sejak 2500 atau mungkin 1500 Sebelum Masehi. PAN *y

PAN *suyung ‘bergetar’ AKL huyung ‘bergetar’ BJK (h)uyang ‘merasa panas’ ------BB uyang ‘gelisah’

~ 394 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature PAN Stop Tak Bersuara *p PAN *puyuq ‘burung puyuh’ TAG pugo ‘burung puyuh’ BM puyoh ‘burung puyuh’ ------BB puuh ‘burung puyuh’

PAN *děrěp ‘membantu secara komunal’ BSun děrěp ‘membantu pada saat panen’ BJ děrěp ‘membantu pada saat panen’ ------BB děrěp ‘membantu pada saat panen sebagai imbalannya adalah hasil panennya’ *t PAN *ampět ‘menutup aliran’ TAG ampat ‘menutup aliran’ BJ ampět ‘menahan’ ------BB ěmpět ‘menahan aliran’ *c PAN *cělěb ‘masuk ke air’ BM cělěp ‘masuk ke air‘ ------BB cělěb ‘masuk ke air’

PAN *pacěk ‘paku’ BM pacak ‘paku’ BJK pacěk ‘paku’ ------BB pacěk ‘paku/ menanam’ *k PAN *kamuning ‘sejenis tanaman’ CEB kamuning ‘sejenis tanaman’ BJK kamuning ‘sejenis tanaman’ ------BB kamuning ‘sejenis tanaman’

PAN *sikěp ‘burung elang’ CEB sikup ‘burung elang’ BM sikap ‘burung elang ------BB sikěp ‘burung elang’

PAN *těkuk ‘menekuk’ BSun těkuk ‘menekuk’ BM těkok ‘menekuk’ ------BB těkuk ‘menekuk’ PAN Stop Bersuara *b PAN *bang(e)qěs ‘bau tidak enak’ BON bang? ěs ‘bau tidak enak’ MGG bangěs ‘mulai berbau tidak enak ------BB bangěs ‘bau/ rasa tidak enak’

~ 395 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

PAN *lě (m)beng ‘lembah’ BM lěmbah ‘lembah’ BJ lěmbah ‘lembah’ ------BB lěbah ‘landai’

PAN *lě (b)lěb ‘berendam’ BM lělap ‘berendam’ BJK lěleb ‘berendam’ ------BB lěblěb ‘berendam’ *z PAN *zě (m)pit ‘menjepit’ BM jěpit ‘menjepit’ BJ jěpit ‘menjepit’ ------BB jěpit ‘menjepit’ *g PAN *sě (ng)gěr ‘segar/sehat’ MGG cěngěr ‘segar/ sehat’ BM sěgar ‘segar’ BJ sěger ‘segar/sehat’ ------BB sěgěr ‘segar/ sehat’

PAN *sagsag ‘retak’ ILK sagsag ‘retak’ TAG sagsag ‘retak’ ------BB sagsag ‘retak’

PAN Nasal *m pada posisi penultimate PAN *gěměl ‘menggenggam dengan tangan’ IKL gammal ‘menggenggam dengan tangan’ BM gěměl ‘menggenggam dengan tangan’ ------BB gěměl ‘menggenggam dengan tangan’ *m pada posisi akhir PAN kizěm ‘memejamkan mata’ ILK kiděm ‘memejamkan mata’ BM kirěm ‘memejamkan mata’ ------BB kiděm ‘memejamkan mata’ *n PAN *iněm ‘minum’ BK iněm ‘minum’ BSas iněm ‘minum’ ------BB inum ‘meinum’

PAN *suqun ‘menjunjung’ PAI tuqut ‘menjunjung’ MUK su?un ‘menjinjing’ ------BB suun ‘menjunjung’ ~ 396 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

*ny PAN *qanyud ‘terapung’ NgD hanyut ‘terapung’ BM anyut ‘terapung’ ------BB anyud ‘terapung’

*ng pada posisi penultimate PAN *běngěr ‘tuli’ CEB bungug ‘tuli’ MIN bangar ‘tuli’ ------BB bongol ‘tuli’

*ng pada posisi akhir PAN *něngněng ‘menatap’ PAI těng ‘menatap’ MAR něněng ‘menatap’ ------BB něngněng ‘menatap’ PAN Liquid *l PAN *silěm ‘lenyap dari pandangan’ BK silěm-silěm ‘melakukan sesuatu dengan diam-diam’ BM silam ‘mendung/ suram’ BJ silem ‘menyelam’ ------BB silěm ‘menyelam’

PAN *taltal ‘memukul/ menghancurkan’ ISG taltal ‘menghancurkan’ BT taltal ‘memukul/ menghancurkan’ ------BB taltal ‘memukul/ menghancurkan’ *r PAN *r > *r atau *R. *r adalah apical trill, sedangkan *R mungkin bunyi velar. Menurut Collin (1981:12—14), proto Malayu Polinesia *R mungkin merupakan bunyi vilar fricative, tepi Sneddon (1984:39—40) menganggap *R adalah bunyi fricative uvular karena *R dapat berubah dengan mudah menjadi /r/ atau /h/. Pada Bahasa Bali, fonem ini tampaknya kadang- kadang menjadi O sehingga PAN *R > h > O.

PAN *ratu ‘titel’ BM datu ‘titel’ BBK ratu ‘titel’ ------BB ratu ‘titel’

PAN *gěrit ‘menggosok’ BM gěrit ‘menggosok’ MGG gěrit ‘menggosok’ ------BB gěrit ‘menggosok’

~ 397 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Ada sejumlah kata yang berkognet mengalami korespondesi yang tidak beraturan seperti pada contoh berikut.

*puruq > puhuh > puuh ‘burung puyuh’ *rěbuk > hěbuk .> ěbuk ‘debu’ *linur > linuh ‘gempa’ PAN *s *s pada posisi penultimate PAN *gasgas ‘menggaruk’ CEB gasgas ‘menggaruk’ BM gergas ‘menggaruk’ ------BB gasgas ‘menggaruk’

PAN *kělas ‘mengupas’ BON kělas ‘mengupas’ ------BB kělas ‘mengupas’

PAN spirant *q *q PAN *suqun ‘menjunjung’ LgA su?un ‘menjunjung’ BBk suhun ‘menjunjung’ ------BB suun ‘menjunjung’

PAN *panaq ‘memanah’ TAG pana? ‘memanah’ BM panah ‘memanah’ BJ panah ‘memanah’ ------BB panah ‘memanah’

4. Simpulan Unsur seni (pahat/ukir, tato, dan tenun), pemujaan leluhur, dan bahasa digunakan merekonstruksi budaya Austronesia. Kesamaan unsur budaya tersebut mengindikasikan eksistensi dan kontak di kalangan komunitas penutur Austronesia yang tersebar di wilayah Nusantara. Tradisi seni dan upacara pemujaan leluhur masih tetap berlanjut, meskipun telah mengalami dinamika dan perubahan karena pengaruh dari luar dan perkembangan lokal. Kesamaan budaya juga didukung oleh kata-kata yang berkognat. Kata bawi dan kebo sebagai sarana upacara telah muncul sejak 2500-1500 Sebelum Masehi. Tradisi metato dari PAN *tatu dimulai sejak 3000 Sebelum Masehi. Demikian pula titel untuk bangsawan PAN *Ratu telah digunakan oleh masyarakat Austronesia sekitar 3000 SM.

Daftar Singkatan AKL = Aklanon BBK = Bahasa Bali Kuna BB = Bahasa Bali BON = (Bahasa) Bontok BT = (Bahasa) Batak Toba BKL = (Bahasa) Bikol ILK = (Bahasa) Ilokano BJK = Bahasa Jawa Kuna BJ = Bahasa Jawa

~ 398 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature CHN = (Bahasa) Chamoro CEB = (Bahasa) Cebuano PAN = Proto Austronesia MGG = (Bahasa) Magarai NgD = Ngaju Dayak MIN = (Bahasa) Minangkabau MAR = (Bahasa) Maranao ISG = (Bahasa) Isneg PSas = Proto Sasak BS = Bahasa Sasak PSum = Proto Sumbawa BSun = Bahasa Sunda SAN = Sangir PAI = (Bahasa) Paiwan TAG = Tagalog MUK = (Bahasa) Mukah LgA = Long Anap

DAFTAR PUSTAKA

Ardika, I Wayan. 1986. Sumbangan Linguistik terhadap Arkeologi: Studi kasus dalam Prasejarah Melanesia. Pertemuan Ilmiah Arkeologi. 309-326. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Bellwood, Peter. 1995. Austronesian Prehistory in Southeast Asia: Homeland, Expansion and Transformatin. Dalam Bellwood, P., James J. Fox & Darell Tryon (eds). 1995. The Austronesians. Historical & Comparative Perspectives. pp: 96-111. Canberra: ANU Printing Service.

Bellwood, P., James J. Fox & Darell Tryon (eds). 1995. The Austronesians. Historical & Comparative Perspectives. Canberra: ANU Printing Service.

Blust, R.A. 1980. ‘Austronesian Etymologies I. OceanicLinguistics 7— 9 : 104—162.

Blust, R.A. 1983--1984. ‘Austronesian Etymologies II. OceanicLinguistics 22— 23 : 29—149.

Blust, R.A. 1986. ‘Austronesian Etymologies III. OceanicLinguistics 25 : 1—123.

Brandstetter, R. 1916. An Introduction to Indonesian Linguistics. London: The Royal Asiatic Society.

Clynes, A. 1989. ‘Speech Styles in Javanese and Balinese: A Comparative Study’. Tesis, The Australian National University.

Dahl, O. C. 1977. Proto Austronesian. Scandinavian Institute of Asian Studies Monograph Series 15. London: Curzon Press.

Dyen, I. 1971. ‘The Austronesian Languages and Proto-Austronesian’. Current Trends in Linguistics (5—54) dalam T.A. Sebeok (ed.). The Hague: Mouton and Co.

Goris, R. 1954. Prasasti Bali I dan II. Bandung: Masa Baru

Groves, Colin, P. 1995. Domesticated and Commensal, Mammmals of Austronesia and Their Histories. Dalam Bellwood, P., James J. Fox & Darell Tryon (eds). 1995. The Austronesians. Historical & Comparative Perspectives. pp: 152-163. Canberra: ANU Printing Service.

Jay, Sian, E. 2010. Tenun. Handwoven Textiles of Indonesia. Jakarta: BAB Publishing Indonesia.

Koestoro, Lukas Partanda dan Ketut Wiradnyana. 2007. Megalithic Traditions in Nias Island. Medan: North Sumatra Heritage Series No. 0105.

Maunati, Yekti. 2004. Identitas Dayak. Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta: LkiS. Meko Mbete, A. 1990. Rekonstruksi Proto Bali-Sasak-Sumbawa. Disertasi pada Universitas Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia.

Sutjiati Beratha, Ni Luh. 1992. Evolution of Verbal Morphology in Balinese. Disertasi pada

The Australian National University. Australia: Canberra.

Tryon, Darrell. 1995. Proto-Austronesian and The Major Austronesian Subgroups. Dalam

~ 399 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Bellwood, P., James J. Fox & Darell Tryon (eds). 1995. The Austronesians. Historical & Comparative Perspectives. pp: 17-38. Canberra: ANU Printing Service.

Internet 1. file:///C:/Users/Vaio/Documents/Arti kerbau (Bahasa Toraja tedong ) bagi orang Toraja. Diunduh tanggal 6 Mei 2015. 2. file:///C:/Users/Vaio/Documents/Marapu Ajaran dan Kepercayaan Leluhur Masyarakat Sumba.htm. Diunduh tanggal 6 Mei 2015

~ 400 ~ THE INDONESIAN MORPHOLOGICAL BASE VERB FORMS AND ITS TRANSLATIONAL EQUIVALENCE IN ENGLISH IN NARRATIVE TEXT EDENSOR

Ni Made Verayanti Utami STIBA Saraswati Denpasar [email protected]

ABSTRACT Salah satu cabang mikro linguistik adalah morfologi. Ilmu morfologi meganalisa tentang struktur kalimat yang lebih kompleks. Perbedaan struktur dalam dua bahasa yang berbeda (bahasa Indonesia dan bahasa Inggris) menyebabkan munculnya implikasi dalam ranah terjemahan. Perbedaan struktur tersebut terdapat dalam bentuk morfologis kata kerja. Oleh karena itu, penelitian ini dirancang untuk menggambarkan bagaimana bentuk-bentuk kata kerja dasar dalam bahasa Indonesia diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan untuk mengidentifikasikan teknik-teknik terjemahan yang digunakan untuk menerjemahkan kata kerja tersebut. Data yang digunakan dibatasi pada bentuk-bentuk morfologis kata kerja bahasa Indonesia (tanpa imbuhan atau kata dasar), yang diambil dari novel dwibahasa berjudul Edensor. Kemudian, sumber data dikumpulkan dengan menggunakan metode observasi kualitatif, dengan membaca kedua novel tersebut dan memilih kalimat-kalimat yang menggunakan kata kerja dasar dalam bahasa Indonesia. Setelah itu, data yang sudah dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Terakhir, ditemukan bahwa bentuk kata kerja dasar dalam bahasa Indonesia diterjemahkan ke dalam tiga bentuk variasi dan digabung dengan pemarkah keaspekan. Juga terdapat tiga dari delapan belas teknik terjemahan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu adaptasi, modulasi, dan transposisi.

Kata kunci: bentuk-bentuk kata kerja dasar, pemarkah keaspekan, kesepadanan

INTRODUCTION There are two morphological verb forms in Indonesia. They are base form and affixed form. This study only discusses about the base verb forms in Indonesian. Base verb form is a verb without any affixes. The base form in Indonesian can be simple intransitive verbs or simple transitive verb. Intransitive verb is a verb which occurs in an intransitive clause. It refers to an action which involves only one participant, the actor. However, transitive verb is a verb which occurs in a transitive clause. It refers to an action which has two participants, an actor and a patient. Sneddon (1996) stated that a simple intransitive verb occurs alone without an affix. Also, the simplest transitive verbs have verb bases. In this study the base verb form is limited to transitive base verb. Considering most of the translation of the transitive base verbs leads to the passive construction. Related to the background previously explained, the problems discussed in this study are: 1.How are base verb forms in Indonesian translated into English in the novel Edensor? and 2.What translation techniques are found in translating Indonesian base and affixed verb forms in the novel Edensor and why? Data is needed in order to answer those problems. The data of this study was taken directly from a narrative text, an Indonesian novel entitled Edensor. The novel is written by Andrea Hirata, an Indonesian. It is translated into English with the same title by an American named John Colombo. Then the data is collected and analysed using qualitative approach. In qualitative research, inquirers employ theory as a broad explanation (Creswell, 2009). Qualitative approach is used because it deals with descriptive explaination of data. ~ 401 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature The theory used in this study is divided into translation and grammatical theory. The translation theory consists of the theory of objectivism by Fram-Cohen (1985), the theory of conceptual equivalence by Fram-Cohen (1985), and the theory of translation techniques by Molina and Albir (2002). Then, the grammatical theories used are the theory of Indonesian morphological verb forms proposed by Sneddon (1996) and the theory of English morphological verb forms by Quirk and Greenbaum (1973).

THE ANAL YSIS OF THE INDONESIAN MORPHOLOGICAL BASE VERB FORMS AND ITS TRANSLATIONAL EQUIVALENCE IN ENGLISH IN ANAL YZED DATA Verb without affixes or base verb can be transitive or intransitive. As previously explained in the introduction, the transitive base verbs are the only thing analyzed in this study. There were eleven sentences consisted of transitive base verb form found in the data source, but there were only four sentences chosen as the representative data. The Indonesian base form verbs in this study were translated into two forms in English by the translator of Edensor in English version Colombo (2011). They were translated into past form and modal with would. There is also a combination between Indonesian base form verb and aspect marker baru found in this study. It is translated into past form in English. They are explained in detail in the following three sub-fields.

Indonesian Base Verb Form → English Past Form Based on Quirk and Greenbaum (1973), the lexical verbs in English are divided into regular and irregular lexical verbs. The past form verbs in this study were found in both regular and irregular verbs. They are symbolized with V-ed1. There are two representative examples of the data as presented below:

Example 1: Gas karbit yang mampat ke dalam lubang bambu yang sempit berdentum S1 V2 gas carbide that compressed to inside holes bamboo that narrow boomed ‘The carbide gas compressed inside the narrow bamboo holes boomed laksana meriam saat sumbunya kusulut. (Hirata, 2008:34) Prep3 S AG4 V like canoon when fuse-the I PASS5-lit-TR6 like a canoon after I lit the fuse.’ (Colombo, 2011:20-21)

1S = subject 3Prep = preposition 5PASS = passive marker 2V = verb 4AG = agentive marker 6TR = transitive Example 2: Ide itu kuanggap sebagai tantangan bagi orang yang S AG V PP7 idea that I PASS-considered-TR as challenge for everyone who

______1S = subject 3Prep = preposition 5PASS = passive marker 7PP = prepositional phrase 2V = verb 4AG = agnetive marker 6TR = transitive

~ 402 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature ‘I considered it to be a challenge for everyone who selalu ingin berada di tengah pusaran kejadian. (Hirata, 2008:101)

always wanted to be at centre event had always wanted to be at the center of things.’ (Colombo, 2011:85)

The Indonesian base form verb sulut in example 1 and anggap in example 2 are transitive because they are able to transform into passive structure. Sneddon (1996) argued that in passive, the action is expressed by the object in an active clause. The object of active structure in example 1 and 2 are sumbunya and ide itu. They became the subject in passive structure. Both examples 1 and 2 are passive constructions in Indonesian without any affixes. Bothsulut and anggap are combined with pronoun ku. Sulut in example 1 was translated into lit in English. Lit belongs to irregular lexical verb. It is different from anggap in example 2 which was translated into considered that belongs to regular lexical verb. In Indonesian, there are no grammalized tenses, but it is in English. Therefore, both lit and considered are past form or symbolize as V-ed­­1 by Quirk and Greenbaum (1973). The concepts of sulut into lit in example 1 and anggap into considered in example 2 are similar. As they show the same concept of meaning in Indonesian and English, it led the equivalence in translation. The translation technique used to translate verb in example 1 is modulation. But there are two possible techniques used to translate the verb in example 2, modulation and transposition. Molina and Albir (2000) stated that modulation is to change in point of view, focus or cognitive category relation to the ST, it can be lexical or structural. Since in both Indonesian base form verb sulut and anggap are transitive, having passive structure, and translated into past form in English which is active structure, the changing focus of object to subject is happened. Meanwhile, in example 2 the base form verb of anggap in Indonesian is translated into base form consider attached to suffix –ed in English. There is change in grammatical aspect in this example, from base form into base + suffix –ed (affixed form), not base form into base form. Thus the verb in example 2 can be translated using technique of transposition.

Indonesian Base Verb Form → English Modal Could The modal with could belongs to auxiliary verbs, specifically modal auxiliary as mentioned in the theory of English morphological verbs proposed by Quirk and Greenbaum (1973). The Indonesian base form verb below is an example of representative data which is translated into modal with could.

Example 3: Kulihat Arai ingin marah dan aku ingin mengatakan bahwa kami tak S V O8 CONN9 S V PP I see-TR Arai wanted angry and I wanted say that we not ‘I could see Arai was getting mad, and I wanted to say that we didn’t tahu harus ke mana jika tak boleh tinggal di apartemen itu.(Hirata, 2008:76) ______8O = object 9CONN = connector

~ 403 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

know must to where if not permitted stay in apartment that know where we could go if we couldn’t stay in this apartment.’ (Colombo, 2011:64)

Example 3 is a transitive clause. Sneddon (1996) stated that transitive clause is a verbal clause which has an object and which contains a transitive verb. In example 3 the base form verb lihat is transitive. It refers to an action which has two participants, an actor and a patient. Ku (shorten of aku in Indonesian) is the actor and Arai is the patient or the object. The verb lihat was translated into could see in English. It has modal auxiliary could which belongs to auxiliary verb as just mentioned above. Could see is constructed from could + V. V is the symbol of base form verb (present) in English (Quirk and Greenbaum, 1973). Fram-Cohen (1985) argued that translation is the transfer of conceptual knowledge from one language into another. The concept of meaning in one language to another languange has to be equivalent. As in example 3, the base form verb lihat is not translated as the base form verb see, but added with modal could (became could see). In Indonesian kulihat already implies the meaning that the actor or the subject can see. In addition, in English it is added modal could to emphasize that the subject can see. Therefore, the conceptual meaning of both verbs lihat and could see are equivalents. In translating this example, there are two possible techniques used. First, the Indonesian base form verb lihat which is adapted by the English modal auxiliary verb could see. Emphasizing the ability in English by adding modal can or could which is a part of English language culture. Thus, adaptation is possible to be used by the translator to translate the base from verb in example 3. Second, grammatical category changed in this translation. The grammatical category changed from low to high unit. Lihat is as low unit which has less meaning component (one component) and could see is high unit which has more meaning components (two components), meaning that the other possible technique used is transposition.

Indonesian Base Verb Form with Aspect Marker Baru → English Past Form

Sneddon (1996) stated that in Indonesian the form of the verb does not change to indicate tense or aspect. The sentence in Indonesia is inferred by listeners from the context within which the utterance is made. The aspect in Indonesian implied the occurrance of the action, as the following description. There is one example found about the combination of Indonesian base form verb and aspect marker. One of aspect marker in Indonesian is baru. Consider following example.

Example 4: Baru kutahu dia ditampik hampir sepuluh tahun S V S V PP aspect marker-baru I know-TR exist person rejected almost ten year ‘I realized that he is rejected for almost ten years tapi tetap berjuang. (Hirata, 2008:62)

~ 404 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature but still struggling and still cling to struggling out.’ (Colombo, 2011:50)

The base form verb tahu in example 4 above is attached to pronoun ku. The verb is a transitive verb, since it only has one participant, the actor. It does not have any objects. Then, the word kutahu is attached to aspect marker baru became baru kutahu. The phrase baru kutahu is tranlslated into I realized in English. Realized has past aspect or symbolized as V-ed1 by Quirk and Greenbaum (1973). The concept of baru kutahu and I realized are similar. Although Indonesian has the aspect marker baru, in Englsih it is not translated to just. It is because Indonesian used aspect marker to sign the occurance of the action. Yet in English it has grammatilised tenses to mark the occurance of the action. Since they show the same concept of meaning, it led the equivalence in translation. The translation technique used to translate the sentence from Indonesian into English is transposition. The base form of tahu in Indonesian is translated into realized. Realized consists of base form realize attached to suffix –ed in English. There is change in grammatical aspect, in this example, from base form into base + suffix–ed (affixed form), not base form into base form. As the analysis of the Indonesian base verb forms and their translational equivalences into English has been discussed, the whole result analysis of this study is briefly concluded in the next field.

CONCLUSION In the previous chapter, the Indonesian base verb forms and their translational equivalences into English in Edensor, have been analyzed. Based on foregoing discussion and analysis, the following points can be presented as conclusions: First, the base forms are translated into two variations, translated into past form and modal with could. It was found the combination between Indonesian verb forms without affixes (base form) and aspect marker baru. The other point is there are three out of eighteen kinds of translation techniques used in this study. All of them are oriented towards the target language. Those are adaptation, modulation, and transposition. The factors leading to the application of particular technique of translation in this study are linguistic factors, cultural factors, and the translator’s preference.

REFERENCES

Colombo, John. 2011. Edensor. Yogyakarta: Bentang Pustaka.

Creswell, John W. 2009. Research Design. Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. Third Edition. United State of America: SAGE Publications.

Fram-Cohen, Michelle. 1985. Reality, Language, Translation: What Makes Translation Possible. Paper presented in the American Translators Association Conference in Miami.

Hirata, Andrea. 2008. Edensor. Yogyakarta: Bentang Pustaka.

Molina, L & Albir, A.H. 2002. Translation Technique Revisited: A Dynamic and Functionalist Approach. In Meta, Vol. XLVII, No. 4. Hal. 499-512. http://www.erudit.org

~ 405 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Quirk, Randolph. and Greenbaum. 1973. A University Grammar of English. Hongkong: Longman.

Sneddon, James Neil. 1996. Indonesian: A Comprehensive Grammar. Lonndon: Routledge.

~ 406 ~ EUFEMISME KATA KEMATIAN DALAM BAHASA BALI Ni Putu Luhur Wedayanti Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana surel : [email protected]

ABSTRACT Most of culture in the world treat death words as a taboo word. Death words is believed to have power that can bring any disaster to them. Therefore, the word of death often avoided by not spoken, or replaced with another word to refer to death indirectly. Death euphemism found in Balinese mostly as a metaphor, therefore, using Conceptual Metaphor Theory by Lakoff and Johnson (1980) to analysis. Data were collected from litera- ture. From the analysis, it was found that Balinese have a concept of life after death which is indicated by expressions of death euphemism. Key words : euphemism, death, Balinese language.

1. PENDAHULUAN Sebagian besar kebudayaan di dunia tidak menyukai (menabukan) kata yang berkaitan dengan kematian. Hal tersebut berdasarkan pada kepercayaan bahwa kata-kata yang mengand- ung makna kematian memberikan efek tidak nyaman, ketakukan ataupun kekhawatiran yang disebabkan oleh kematian itu sendiri. Sebagian besar orang dapat membayangkan kesakitan menjelang kematian, ataupun kesedihan yang dibawa setelah kematian. Hal-hal tersebut yang menjadikan kata yang mengacu langsung pada kata mati ataupun kematian ditabukan, dan bi- asanya dihindari dengan menggunakan kata lain sebagai penggantinya, ataupun tidak menye- butkannya sama sekali. Allan dan Buridge (2006:222) menjelaskan bahwa orang-orang kha- watir atau takut setengah mati mengenai hal yang mungkin terjadi setelah kematian, kehidupan yang misterius, nasib yang tidak dapat diprediksi, kekuatan gaib. Meskipun tidak semua orang mengekspresikan ketakutan mereka, tetapi mereka mencoba melindungi diri, atau menjauhkan dirinya dari kekuatan misterius yang merugikan tersebut dengan menyilangkan jari mereka (cross finger), dengan jimat, atau mengetuk pada permukaan kayu (ibid, 203). Fan (2006: 72) menambahkan bahwa ungkapan metaforis sebagai eufemisme kerap digunakan untuk me- nyembunyikan makna yang tidak menyenangkan (ungkapan kematian itu sendiri), atau untuk menghindari menyebabkan orang lain terluka karena kata-kata yang tidak disukai. Seperti yang telah disebutkan bahwa untuk menghindari menyebutkan kata mati, orang biasanya memilih untuk diam, atau menggunakan ungkapan lain untuk mengacu pada kata mati (atau kematian). Dalam penelitian ini dikaji mengenai ungkapan-ungkapan yang digunakan untuk mengacu pada kata kematian dalam Bahasa Bali (BB). Ungkapan-ungkapan yang digu- nakan tersebut dikategorikan eufemisme. Hal tersebut dikarenakan eufemisme sebagai variasi bahasa digunakan untuk menghindari mengungkapkan kata tabu, menghindari kata-kata yang tidak mengenakkan mengenai suatu perihal. Eufemisme begitu akrab dalam kehidupan sehari- hari, sehingga kerap eufemisme tersebut tidak dikenal sebagai gaya bahasa, akan tetapi sebatas kata yang sopan saja. Misalnya, penggunaan kata ke belakang sebagai pengganti kata ke ka- mar mandi untuk buang air. Mengucapkan kata pergi ke kamar mandi untuk buang air oleh sebagian besar masyarakat memberikan asosiasi yang buruk tentang hal yang kotor, bahkan menjijikkan sehingga kata tersebut diganti menjadi ke belakang. Kata ke belakang dianggap

~ 407 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature lebih sopan karena tidak langsung mengacu kepada kata kamar mandi. Eufemisme merupakan turunan dari bahasa Yunani yaitu euphemizein yang berarti mem- pergunakan kata-kata dengan arti yang baik atau dengan tujuan yang baik. Sebagai gaya ba- hasa, eufemisme adalah ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-ungkapan yang halus, untuk menggantikan acuan-acuan yang dirasakan menghina, menyinggung perasaan, atau mensugestikan sesuatu yang tidak baik (Keraf, 2009: 132)

2. METODE PENELITIAN Data penelitian ini dikumpulkan dari enam karya sastra (novel dan kumpulan puisi) ber- bahasa Bali. Tujuh karya sastra tersebut berjudul Kembang Rampe Kasusastraan Bali Anyar, Rasti : Novelet Mebasa Bali, Bli Kadek, Gede Ombak Gede Angin, Puputan Satua Cutet Basa Bali Anyar, Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang. Data yang telah terkumpul dielisitasi menggunakan Conceptual Metaphor Theory oleh Lakoff and Johnson (1980) yang memberikan acuan jelas dalam menganalisis struktur metaphor dan menjelaskan proses mengurai ungkapan- ungkapan eufemisme. Data hasil analisis kemudian dipaparkan dengan jelas dan objektif.

3. PEMBAHASAN Dari hasil analisis ditemukan bahwa, eufemisme yang digunakan untuk mensubstitusi kata kematian berbentuk metafora sebagai berikut :

3.1 Kematian adalah tempat yang lebih baik Eufemisme yang menggunakan frase yang dikonseptualisasi bermakna tempat yang lebih baik sering digunakan dalam bahasa Bali. Hal ini didasari oleh kepercayaan masyarakat Bali yang menganggap bahwa tempat yang dituju setelah kematian adalah tempat yang lebih baik dari dunia profan (dari kehidupan). Hal tersebut dibuktikan dengan data Ia suba maan tongos ane melah, mati ring rana melanin kepatutan yang berarti ‘Dia sudah mendapatkan tempat yang lebih baik, karena meninggal untuk hal yang baik yaitu membela hal yang benar’. Kata tongos ane melah ‘tempat yang baik’ mengacu pada tempat yang dituju setelah mening- gal. Data tur sampun wenten ring jagat ning neng, jagat niskala ‘dan sudah ada di tempat yang hening, dunia keabadian’ menjelaskan bahwa dunia setelah kematian adalah dunia yang hening dan damai.

3.2 Kematian adalah kehidupan yang baru di tempat yang baru Kematian kerap disubstitusi dengan ungkapan yang bermakna kehidupan di tempat yang baru. Masyarakat Bali mempercayai bahwa ketika seseorang itu meninggal, ia tidak hilang atau lenyap begitu saja. Dunia tempat orang meninggal dipercaya memiliki tata kelola yang hampir sama dengan kehidupan duniawi, hanya saja kehidupan setelah meninggal dianggap lebih suci. Di tempat setelah meninggal itu, mereka yang meninggal dipercaya dapat melakukan hal-hal yang dilakukan juga di dunia manusia, misalnya makan, tidur, bahkan menikah, Hal ini dibukti- kan oleh data Di mrecepada tan sida matemu, di swargan kapanggih makaronan ‘di dunia tidak bisa bertemu, di sorga bertemu untuk menikah’. Meskipun kedua pasangan tersebut sudah men- inggal, tetapi masyarakat mempercayai bahwa perasaan cinta kedua pasangan tersebut cukup kuat, sehingga setelah meninggal pun mereka akan tetap bertemu dan mungkin akan menikah. Data kanikayang ngayah ring swargan ‘disuruh untuk bekerja (bekerja dengan ikhlas) di surga’ menjelaskan bahwa kata meninggal (mati) diganti dengan kata disuruh bekerja di surga. Mer-

~ 408 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature eka yang telah meninggal, meskipun telah meninggal tidak dianggap sebagai sesuatu yang diam dan tidak dapat melakukan apapun, akan tetapi kehidupan setelah meninggal adalah kehidupan baru bagi yang meninggal dimana mereka tetap dapat melakukan hal yang mereka lakukan saat masih hidup.

3.3 Kematian adalah sebuah panggilan Sebagian besar masyarakat Bali yang beragama Hindu mempercayai bahwa hidup ini adalah sesuatu yang dipinjam dari Yang Maha Kuasa dan dapat diambil kapanpun juga. Oleh sebab itu, data nanging unduk matine ane sampun karuan saking pituduh Sang Hyang Widi ‘tetapi perihal kematian yang sudah pasti tergantung kehendak Sang Hyang Widi’ menjelaskan bahwa kematian itu memang panggilan untuk pergi meninggalkan jasad ke tempat yang sudah semestinya. Data …setrane sampun nampek, malih pidan jagi kaambil, titiang ngiring pikayun Ida Sang Hyang Titah ‘…kuburan sudah dekat, kapan saya akan dipanggil, saya turut pada ke- hendak Yang Kuasa’, nguda nenten pisan-pisan cabut urip titiange mangde ten banget nandang sengsara di jagate? ‘Tuhan, kenapa tidak dicabut juga nyawa saya, saya sudah tidak sanggup menahan beban di dunia’ menjelaskan bahwa kehidupan, jiwa (atma), nafas dan semua unsur yang membuat manusia memiliki kehiduan bukanlah milik manusia itu sendiri. Sehingga, ke- matian disamakan dengan perihal yang dapat terjadi kapanpun tergantung kehendak (panggi- lan) pemilik kehidupan itu (Tuhan).

3.4 Kematian adalah sebuah perjalanan / keberangkatan Kata kematian yang disubstitusi menjadi kata yang berarti perjalanan, kepergian atau- pun keberangkatan adalah kata yang paling sering digunakan di masyarakat. Kata …matilar tan matulak malih ‘pergi tidak kembali lagi’, …memen ceninge ngalahin cening ‘ibumu telah meninggalkanmu’, niang lan cucu mamargi sinarengan ‘nenek dan cucunya pergi bersamaan’, kalahina baan panakne ke sema ‘ditinggal anaknya ke kuburan’, ajak suba luas ‘ajak dia pergi’. Kata-kata yang mengandung makna pergi, meninggalkan digunakan untuk mensubstitusi kata kematian, karena kematian itu sendiri disamakan dengan kepergian seseorang ke suatu tempat meninggalkan keluarga dan teman-temannya.

3.5 Kematian adalah kekalahan Kematian dimetaforakan sebagai sebuah kekalahan atau kemalangan ditemukan pada data sube lacur dibi ‘sudah meninggal kemarin’. Kata lacur yang berarti ‘miskin’ digunakan untuk mengacu pada kata mati, karena kematian itu dianggap sama malangnya dengan kemiski- nan itu sendiri. Kata kematian yang mengacu pada kekalahan (kemalangan ini) didasari oleh konsep metafora yang disampaikan oleh özcaliskan (dalam Galal, 2014: 163) bahwa Life is Heat in the body, Death is Loss of it. Konsep ini menjelaskan metafora pengganti kata kematian tersebut menjadi keadaan tubuh yang kehilangan kehangatannya. Kehidupan itu ditandai den- gan adanya kehangatan dalam tubuh, sebaliknya yang menandai kematian adalah kehilangan kehangatan itu sendiri. Data-data berikut menandakan hilangnya kehangatan dalam tubuh, dan tubuh yang telah meninggal terasa dingin. Boya je cokor lan tangan anake lingsir kemaon sane gesit nyem, kantos sami ragan anake lingsir nyem mleteg kadi es ‘tidak hanya kaki dan tangan- nya yang mendingin, sampai seluruh tubuhnya juga terasa dingin seperti es’, batun paningalan anake lingsir sampun mebading dados kacingak putih kemaon, saha nenten wenten malih mak- lebitan ‘bola matanya (dia yang dituakan) telah terbalik dan yang terlihat hanya putihnya ~ 409 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature saja, sudah tidak bergerak sedikitpun’, bapane ngidem buka anake mesare. tatabine cunguhne, bibihne, tangkahe lan basangne makejang nyem tan pa bayu ‘bapaknya merem seperti orang tidur, diraba hidung, muluh, dada dan perutnya semua dirasa dingin tanpa jiwa.

3.6 Kematian adalah penyatuan kembali Kematian dianggap juga sebagai peristiwa kembalinya atma yang menjiwai raga dengan Penciptanya...atmane maan tongos mewali ring Sang Parama Atma ‘atmanya dapat tempat kembali kepada Sang Parama Atma’, mewali ring asalnyane suang-suang ‘kembali ke asalnya masing-masing’ mewali ka gumi wayah ‘kembali ke dunia tua’, Sang Hyang Atma sampun me- lecat saking guwungannyane ‘Sang Atma sudah keluar dari kurungannnya (jasad)’. Data-data tersebut menjelaskan atma yang meninggalkan tubuh kembali ke penciptaNya, atau kembali ke dunianya. Pada data mewali ka gumi wayah ‘kembali ke dunia tua’ kata wayah ‘tua’ dimaknai sebagai dunia yang dihormati, selayaknya orang yang dituakan dihormati di dunia.

3.7 Kematian adalah ketiadaan Kata yang mengacu kematian kerap diperhalus dengan menyatakan bahwa orang yang mening- gal tersebut telah tidak ada lagi di dunia ini. Kata sing enu ‘tidak ada’, sampun purna ‘sudah sempurna’, sampun lebar ‘sudah wafat’, ten kari nyeneng ‘tidak lagi hidup (sudah meninggal)’, sampun lina ‘sudah meninggal’, sampun padem ‘sudah meninggal’. Berbagai data tersebut merupakan ungkapan konseptual yang mengacu pada kematian. Kata kematian tersebut diganti acuannya mengenai ketiadaan orang tersebut di dunia. Hal ini membuat kata mati tersebut tidak terlalu kasar, dan memberi kesan menghormati yang telah meninggal.

IV. SIMPULAN DAN SARAN Penelitian ini mengkaji eufemisme kata kematian yang berdasar pada metafora dalam bahasa Bali. Ungkapan eufemisme untuk kata kematian dalam bahasa Bali menggunakan un- gkapan : pergi ke tempat yang lebih baik, menjalani kehidupan di dunia lain, sudah dipanggil (olehNya), sudah pergi (kembali) ke dunia abadi, kembali bersatu dengan Penciptanya, kema- tian adalah ketiadaan seseorang di dunia (ketiadaan). Metafora kata kematian juga mengguna- kan bagian tubuh mengacu pada kata kematian itu sendiri, misalnya tubuhnya dingin seperti es. Dari hasil analisis ini dapat juga disimpulkan bahwa metafora kata kematian dalam bahasa Bali ini besar sekali dipengaruhi oleh agama Hindu yang mendasari kepercayaan sebagian be- sar masyarakat Bali. Ajaran agama Hindu mempercayai adanya kehidupan setelah kematian, sehingga ungkapan-ungkapan eufemisme sebagai pengganti kata mati tersebut hidup dan digu- nakan di dalam masyarakat Bali. Penelitian ini, meskipun datanya telah diverifikasi terlebih dahulu, tidak menutup ke- mungkinan akan adanya data yang tidak teranalisis. Hal itu disebabkan data yang diambil hanya dari tujuh karya sastra berbahasa Bali. Besar kemungkinan penelitian ini dapat menjadi lanjutan penelitian lapangan terkait perkembangan eufemisme kata kematian dalam bahasa Bali.

DAFTAR PUSTAKA

Allan, K., & Burridge, K. 2006. Forbidden Words: Taboo and The Censoring of Language. Cambridge: Cam- bridge University Press.

~ 410 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

Fan, Z. 2006. The Mechanism of Euphemism: A Cognitive Linguistic Interpretation. US-China Foreign Language, 4(7), 71-74. Galal, Mohamed Mazen. 2014. Death Euphemism in English and Arabic: A Conceptual Metaphorization Ap- proach. International Journal of Linguistics Vol. 6 (1), 153-170 Keraf, Gorys. 2009. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Lakoff, G.,& Johnson, M. 1980. Metaphors We Live By. Chicago The University of Chicago Press.

DAFTAR DATA

Suardani, Putu Nopi. 2009. Bli Kadek. Amlapura: Sanggar Buratwangi. Suarsa, I Made. 2007. Gede Ombak Gede Angin. Surabaya: Penerbit Paramita. Kusuma, IDK Raka. 2010. Rasti: Novelet Mebasa Bali. Amlapura: Sanggar Buratwangi. Gantang, IGP Bawa Samar. 2009. Puputan Satwa Cutet Basa Bali Anyar: Sipta Dumanggala. Surabaya: Penerbit Paramita. Bagus, IGN., & Ginarsa, I Ketut. 1978. Kembang Rampe Kasusastraan Bali Anyar: Wewidangan 2. Singaraja, Balai Penelitian Bahasa. Keniten, IBW Widiasa.2011 Kania.Amlapura Sanggar Buratwangi. Santha, Djelantik. 1981. Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang. Denpasar: -

~ 411 ~ ~ 412 ~ PROFIL BAHASA NIAS SEBAGAI BAHASA MINOR DI SUMATERA

Ni Putu N. Widarsini dan I Made Suida Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana

ABSTRACT Niasnese is one of the local languages in Sumatera which is classified as a minor language. This study describes its profile. The data were gathered by means of library research method. They were analyzed descriptively and presented with formal and informal methods. By applying the theoretical framework formulated by Ferguson in the form of a formula, the result of the study shows that Niasnese as minor language in Sumatera has the following formula : 1 L = 1 Lmin (V gresw W3).

Key words : profile, Niasnese, minor language

1. PENDAHULUAN Pulau Nias terletak di sebelah Barat Pulau Sumatera, berdekatan dengan pantai Sibolga. Nias merupakan salah satu daerah tingkat II dalam wilayah Pemerintahan Daerah Tingkat I Sumatera Utara dengan ibu kota Gunungsitoli. Pulau Nias memiliki batas-batas sebagai berikut. Sebelah Utara berbatas dengan Pulau-pulau Banyak, sebelah Barat berbatas dengan Pulau-pulau Hinako, sebelah Timur berbatas dengan Lautan Hindia, dan sebelah Selatan berbatas dengan Pulau-pulau Batu. Pulau. Nias didiami oleh satu suku, yaitu suku Nias yang memiliki bahasa daerah yang disebut bahasa Nias. Jumlah pemakai/penutur bahasa Nias secara pasti sangat sukar ditentukan. Akan tetapi SIL dan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa mengungkapkan jumlah penuturnya adalah 200.000 jiwa. Dengan jumlah penutur sebanyak itu maka bahasa Nias diklasifikasikan sebagai bahasa minor menurut formula Ferguson yang dimodifikasi oleh Nababan. Daerah pemakaian bahasa Nias adalah di Pulau Nias yang terbagi menjadi 13 kecamatan, yaitu Kecamatan Gunungsitoli, Kecamatan Tuhemberua , Kecamatan Alasa, Kecamatan Lahewa, Kecamatan Gido, Kecamatan Idanogawo, Kecamatan Mandrehe, Kecamatan Lolowau, Kecamatan Sirombu, Kecamatan Lahusa, Kecamatan Teluk Dalam Kecamatan Gomo, dan Kecamatan Pulau Tello. Selanjutnya, dalam hal apa saja bahasa Nias ini dipakai oleh penuturnya? Pertanyaan ini perlu dijawab sehingga diperoleh gambaran tentang pemakaiannya itu. Berdasarkan uraian di atas maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah profil bahasa Nias sebagai bahasa minor di Sumatera? Gambaran ini djelaskan dengan bantuan formula Ferguson. Data didapat melalui studi pustaka. Selanjutnya, data dianalisis dengan metode pemaparan deskriptif. Akhirnya, penyajian data dilakukan dengan memakai metode informal dan formal karena penyajian diungkapkan dengan uraian kata-kata biasa dan tanda/lambang dari formula Ferguson.

2. KERANGKA TEORI Kerangka teori pada pembahasan ini adalah formula Ferguson. Akan tetapi, tidak semua formula Ferguson diterapkan di sini. Pada pembahasan ini yang paling relevan adalah penggambaran bahasa berdasarkan fungsi, tipe, dan tingkat keberaksaraannya. Formula Ferguson sebenarnya sudah dikembangkan oleh Stewart (1962) kemudian diperbaharui oleh Ferguson

~ 413 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature (1966) dengan beberapa perubahan berdasarkan hasil penelitiannya (Fasold, 1987:61—64). Berdasarkan fungsinya, Ferguson menggolongkan bahasa sebagai berikut dengan simbolnya. 1) Digunakan sebagai bahasa resmi (o) 2) Digunakan sebagai bahasa keagamaan (r) 3) Digunakan sebagai bahasa pengantar pendidikan (e) 4) Digunakan sebagai mata pelajaran (s) 5) Digunakan sebagai bahasa kelompok (g) 6) Digunakan sebagai bahasa komunikasi luas (w) 7) Digunakan secara internasional (i)

Berdasarkan tipenya, bahasa diklasifikasikan menjadi lima golongan. Kelima klas bahasa itu digambarkan dengan kriteria sebagai berikut.

Ciri Kebakuan Otonomi Kesejarahan Vitalitas Simbol Tipe Vernakular - + + + V Standard + + + + S Classic + + + - C Pidgin _ - - - P Creol - - - + K

Keterangan: + = memiliki ciri tersebut - = tidak memiliki ciri tersebut

Menurut tingkat keberaksaraannya, bahasa diklasifikasikan sebagai berikut. 1) Tidak dipakai dalam tulisan (WO) 2) Dipakai untuk surat-surat pribadi (W1) 3) Dipakai di surat kabar atau majalah (W2) 4) Dipakai untuk publikasi IPTEK (W3)

3. hASIL DAN PEMBAHASAN Halawa dkk. dalam buku Struktur Bahasa Nias menyatakan bahwa sebagaimana halnya dengan bahasa daerah lain, bahasa Nias memegang peranan penting dalam pergaulan sehari-hari. Bahasa Nias merupakan alat komunikasi bagi masyarakat pemakainya. Bahasa Nias merupakan bahasa ibu dan bahasa pertama bagi anak-anak. Oleh karena itu, sesuai dengan kriteria Ferguson berdasarkan fungsinya, bahasa Nias berfungsi sebagai bahasa kelompok (g). Selain hal tersebut di atas, bahasa Nias dalam pergaulan sehari-hari juga dapat dipakai di: 1) dalam upacara gereja/kebaktian; 2) bidang pendidikan/ilmu; 3) rumah; dan 4) pada upacara-upacara adat-istiadat seperti upacara perkawinan, kelahiran anak,kematian, ~ 414 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature dan penyambutan/perpisahan. Pemakaian bahasa Nias di gereja cukup dan memenuhi kata-kata atau istilah yang dipakai pihak gereja untuk membimbing jemaatnya. Seorang pendeta menyampaikan khotbahnya dalam bahasa Nias. Demikian pula syair koor yang dibawakan di gereja memakai bahasa Nias. Bahasa Nias bahkan digunakan sebagai bahasa pengantar baik pada upacara gereja maupun pada kebaktian lainnya. Ini berarti, bahasa Nias berfungsi sebagai bahasa keagamaan (r) dalam formula Ferguson. Pemakaian bahasa Nias di bidang pendidikan ditemukan sebagai bahasa pengantar hampir di seluruh sekolah dasar dari kelas I – III baik negeri maupun suasta. Dengan demikian, fungsi bahasa Nias menurut kerangka Ferguson adalah sebagai bahasa pengantar pendidikan (e). Selain sebagai bahasa pengantar, bahasa Nias juga merupakan bahasa yang diajarkan di SD kelas I – III. Bahkan, di sekolah lanjutan tingkat pertama (SMP) bahasa Nias merupakan mata pelajaran pokok. Dengan demikian, fungsinya sebagai mata pelajaran berdasarkan formula Ferguson juga terpenuhi (s). Pemakaian bahasa Nias dalam segala bidang kehidupan di Nias (seperti upacara adat- istiadat, di rumah, pendidikan, dan upacara gereja) berarti bahasa itu digunakan sebagai bahasa komunikasi luas. Dikatakan demikian karena banyak bukti yang ditunjukkan pada saat ada upacara adat-istiadat di Nias. Misalnya, pertama, pada saat pelaksanaan pesta perkawinan, dua atau tiga hari sebelum hari pesta perkawinan di rumah pengantin perempuan diadakan acara mengajak tangis si pengantin. Acara ini dalam bahasa Nias disebut fame’e mbene’o. Dalam acara ini ada syair tangisan pengantin dalam bahasa Nias. Ibunya mengucapkan kata-kata nasihat dan juga dalam bahasa Nias. Ketika pesta perkawinan dilangsungkan, bahasa Nias pun dipakai baik pada acara penyambutan maupun penyerahan sirih dan tembakau. Bahkan pada acara tari-tarian sebagai acara selingan dalam pesta perkawinan itu bahasa Nias dipakai juga dalam syair maena ‘tari-tarian’. Kedua, pada upacara kematian harus melaksanakan upacara adat mange’esi simate ‘menangisi orang mati’. Bahkan upacara adat itu bisa dilaksanakan dua atau tiga hari apabila yang meninggal adalah orang terhormat dan tinggi kedudukannya seperti salawa ‘penghulu’. Upacara adat tersebut memakai bahasa Nias. Ketiga, pada upacara menempati rumah baru harus diawali dengan upacara adat famaheu omo ‘menggoyang rumah’ dan disertai dengan atraksi molaya ‘menari’. Acara molaya diiringi dengan syair hoho yang diucapkan pengetua-pengetua adat secara bergantian dalam bahasa Nias. Begitu juga halnya dengan pemakaian bahasa Nias di rumah. Komunikasi antaranggota keluarga dari sebuah rumah tangga menggunakan bahasa Nias. Panggilan seorang bapak kepada istrinya, anak-anaknya dan anggota keluarga lainnya dan juga sebaliknya selalu memakai bahasa Nias, panggilan ibu dalam bahasa Nias adalah ina, bapak adalah ama . Selain itu, bahasa Nias juga digunakan dalam acara penyambutan gubernur, panglima, dan pejabat-pejabat lainnya yang datang ke daerah Nias. Dengan demikian, dalam hal ini bahasa Nias digolongkan sudah berfungsi sebagai bahasa komunikasi luas (w). Selain dipakai dalam kehidupan sehari-hari, bahasa Nias juga digunakan dalam tulisan. Tulisan bahasa Nias ada dua, yaitu (1) aksara Nias yang ditemukan pada batu-batu besar yang didirikan di muka rumah balugu si’ulu ‘raja-raja adat’ dan (2) aksara Latin. Beberapa tulisan yang dituliskan dalam aksara Latin adalah sebagai berikut. 1) Eronu, buku mata pelajaran bahasa Nias pada tingkat SLTP, karangan Fg. Harefa, diterbitkan ~ 415 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature oleh Gloria-Onawaembo-Gunungsitoli. 2) Sura Wombaso ndrasono sebua, karangan Pieter penerbit Gloria-Onawaembo- Gunungsitoli. 3) Boro Gotari Gotara jilid I dan II, karangan S.W Mendrofa, penerbit Gloria-Onawaembo- Gunungsitoli. 4) Amuata Hulo Nono Niha, karangan C.C Fries, penerbit Gloria-Onawaembo-Gunungsitoli. Berdasarkan tradisi tulisnya, dapat dikatakan bahwa bahasa Nias menurut keberaksaraannya sudah tergolong sudah memiliki publikasi (W3). Ditinjau dari segi tipenya, bahasa Nias termasuk bahasa vernakular (V) karena tidak memiliki ciri kebakuan; hanya memiliki ciri otonomi, kesejarahan, dan vitalitas. Pembahasan di atas dapat diformulasikan seperti di bawah ini. 1 L = 1 Lmin (V gresw W

4. SIMPULAN Berdasarkan hasil pembahasan keadaan bahasa Nias sebagai bahas minor, dapat dibuat simpulan sebagai berikut. 1) Bahasa Nias berfungsi sebagai bahasa kelompok (g), bahasa keagamaan (r), bahasa pengantar pendidikan (e), bahasa mata pelajaran (s), dan bahasa komunikasi luas (w). 2) Bahasa Nias merupakan bahasa daerah yang hanya memiliki ciri otonomi, kesejarahan, dan vitalitas (V). 3) Bahasa Nias telah digunakan untuk publikasi ilmu pengetahuan (W3). 4) Formulanya: 1 L = 1 Lmin (V gresw W3).

DAFTAR PUSTAKA

Fasold, Ralph. 1987. The Sociolinguistics of Society. Inggris: Communitype, Wigston, Leicester. Halawa, T. dkk. 1983. Struktur Bahasa Nias. Jakarta:Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Grimes, Barbara F. (Editor). 1988. Ethnologue. Eleventh Edition. Dallas, Texas: Summer Institute of Linguistics. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. t.t. Bahasa Daerah di Indonesia. Jakarta.

~ 416 ~ PEMBERDAYAAN PERIBAHASA DALAM REVOLUSI MENTAL

Ni Putu Parmini IKIP Saraswati Tabanan

ABSTRACT One of the elements of language, which is an expression of values of life and can be effectively empowered in mental revolution, is proverb. Proverb can be used as one of the strategies to build a generation that strongly holds morality. The existence of proverb today is declining. It can be observed from continuous decrease of proverb materials in the learning process of Indonesian language and its literary as well as its use in everyday communication. This paper will provide a way to empower proverb, and this plays as one of the efforts in mental revolution. The socialization of proverb in the learning process of Indonesian language and its literary is one of the efforts in mental revolution. The socialization of proverb in the learning process of Indonesian language and its literary is one of the ways to empower proverb. This also indicates that in the learning process of Indonesian language and its literary, there is not only the process of transferring knowledge, and building attitude and language skill, but also the process of building character that refers to mental revolution. Proverb empowerment in mental revolution is the right step in shaping the mental and morality particularly of young generation. In addition, this has a positive impact on the implementation of the norms.

Key W ords: empowerment, proverb, mental revolution

1. Pendahuluan Bahasa sebagai sarana komunikasi mewakili pikiran dan perasaan manusia. Manusia memahami pikiran dan perasaan orang lain juga menggunakan bahasa. Dengan bahasa manusia dapat bekerja sama, tetapi belum tentu dapat bekerja bersama-sama. Bahasa juga dapat digunakan untuk memanusiakan manusia (Sudaryanto, 1990: 28). Peribahasa sebagai salah satu unsur bahasa dapat digunakan untuk mewakili pikiran dan bahasa sehingga dapat ditentukan karakter dari komunitas tertentu. Kridalaksana (1982) menyatakan peribahasa mempunyai tiga pengertian yakni (1) pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis; (2) pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu; dan (3) keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra. Dengan demikian peribahasa dapat digunakan untuk mengungkapkan perasaan atau pikiran yang imajinatif. Pemakaian peribahasa yang tepat dan sesuai dengan konteks situasi dapat menarik perhatian pendengar atau pembaca. Peribahasa yang disampaikan dapat mengandung nilai-nilai etika, estetika, pendidikan dan memiliki makna yang mempengaruhi kecerdasan dan emosional seseorang. Bangsa Indonesia yang disemboyankan Bhineka Tunggal Ika sudah tentunya memiliki aneka perbedaan. Dalam menyatukan perbedaan-perbedaan tersebut membutuhkan kecerdasan sosial, intelektual, emosional, dan spiritual. Peribahasa sering digunakan untuk mengungkap suatu fenomena sosial dan emosional di masyarakat. Peribahasa memiliki makna tentang arti hidup, nilai pendidikan dan karakter yang sangat berguna dalam kehidupan masyarakat. Peribahasa yang bernilai perlu dilestarikan dalam rangka pemberdayaan pemeliharaan budaya bangsa. Pemahaman peribahasa dalam pembinaan pendidikan karakter atau dalam rangka

~ 417 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature revolusi mental amatlah signifikan, karena peribahasa dapat menarik perhatian, menambah wawasan sosial sehingga berdampak positif pada perilaku seseorang. Pemberdayaan peribahasa secara kontekstual dapat diinterpretasikan sebagai produk budaya bahasa.

2. Konsep Makna dalam Peribahasa Makna berarti mengandung arti, makna denotatif berarti makna kata atau kelompok kata yang didasari atas penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa yang didasarkan atas konvessi tertentu dan bersifat objektif. Makna konotasi yakni tautan pikiran yang menimbulkan nilai rasa pada seseorang ketika berhadapan dengan sebuah kata (Depdikbud,1995). Menurut Mulyana (1994) perbedaan makna denotative dan makna konotatif didasarkan pada ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata. Setiap kata terutama kata penuh tentu memiliki makna denotatif, yakni makna yang dimiliki secara intern yang sebenarnya sama saja dengan yang disebut sebagai makna leksikal.Sedangkan makna konotatif yakni bila pada kata itu ada nilai rasa,baik bernilai rasa positif,menyenangkan, maupun bernilai rasa negatif atau tidak menyenangkan. Sebuah kata yang tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi., contoh kata kurus, kerempeng dan langsing. Ketiga kata ini memiliki makna secara denotasi yang sama yakni bentuk tubuh atau ukuran tubuh yang relative kurang normal. Ketiga kata itu memiliki konotasi yang berbeda. Kata kurus mempunyai konotasi netral, orang tidak merasakan apa-apa bila dikatakan anda sekarang kurus, kata langsing memiliki konotasi atau nilai rasa positif, sebab orang akan merasa senang bila dikatakan “Anda tambah langsing “. Sebaliknya kata kerempeng memiliki nilai rasa atau konotasi negatif, sebab orang akan merasa kurang senang bila dikatakan “Anda tambah kerempeng”. Tambahan nilai rasa positif yang diberikan pada kata langsing dan tambahan nilai rasa negatif yang diberikan pada kata kerempeng menyebabkan muncul pendapat orang yang mengatakan bahwa makna konotasi adalah makna tambahan yang diberikan pada sebuah kata. Kata kurus tidak diberi nilai rasa apa-apa. Jadi kata kurus tersebut tidak bermakna konotatif, sedangkan kata kerempeng dan langsing bermakna konotatif. Makna peribahasa dalam tulisan ini adalah makna konotasi. Peribahasa dapat dimaknai penggunaan bahasa dalam tataran semantik. Peribahasa yang disampaikan penulis/penutur menghadirkan penanda sebagai sistem kode. Reproduksi peribahasa dilakukan berdasarkan situasi dan kebutuhannya. Melalui peribahasa penutur mengekspresikan maksud dan tujuan agar mudah diterima oleh pembaca atau pendengar sehingga muncul makna tambahan. Menurut Hidayat (2004: 91) melalui teks penutur mengeskpresikan maksud dan tujuan agar mudah dipahami dan dicerna sehingga muncul makna baru. Setiap bahasa memiliki keunikan dalam hal pemaknaan. Bahasa yang disampaikan memiliki sistem tanda melalui interaksi sosial dan komunikasi yang relevan diantara keduanya. Penutur atau penulis memilih kata-kata untuk mewakili maksud dan tujuan, disesuaikan dengan konteks situasi dan memiliki nilai-nilai yang terkandung dalam kehidupan, sehingga dapat menggugah pendengar atau pembaca untuk lebih berpikir logis dan cermat. Seperti peribahasa “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Peribahasa ini memiliki nilai dan makna yang mendalam. Teks peribahasa tersebut dapat dijadikan cermin kehidupan sepanjang masa dan menggugah seseorang khususnya pendidik untuk memberi contoh yang baik kepada muridnya. Nilai kebaikan itu akan makin mulia baik didasarkan atas pikiran cermat dan kasih sayang kepada anak didik. Hal itu akan dapat menjadikan seseorang berhati-hati khususnya guru dalam mendidik muridnya.

~ 418 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature 3. Peribahasa sebagai Produk Budaya Mental dan Moral yang bernilai Peribahasa disoroti dari segi perspektif linguistik memiliki bentuk, fungsi, makna, nilai dan ideologi. Menurut Fromkin (2000) setiap bahasa di dunia dapat dipastikan memiliki hal tersebut, yakni menyangkut struktur kata, frasa, klausa dan kalimat. Peribahasa cendrung dibentuk dengan menggunakan kalimat sederhana. Bahasa dapat digunakan untuk menggerakkan dunia oleh penuturnya, mengungkapkan emosi dalam interaksi sosial. Makna yang terkandung dalam pribahasa dikategorikan dalam makna konotatif. Peribahasa mengandung nilai yakni sesuatu yang berharga dan mengandung kebaikan terhadap sesuatu (Oktavianus, 2013). Peribahasa sebagai produk budaya mental dan moral yang bernilai dapat dilihat pada contoh berikut.

Berat sama dipikul ringan sama dijinjing

Peribahasa di atas dalam bahasa Indonesia mengandung sesuatu yang berharga dan mengandung kebaikan yaitu motif gotong royong atau kerjasama. Kerjasama mengandung unsur-unsur nilai positif, seseorang yang mau bergotong royong atau bekerja sama akan mudah dalam menghadapi tantagan atau cobaan dalam hidup ini. Kemampuan bergotong royong membawa dampak positif pada semua pihak yang terlibat. Peribahasa dalam kaitannya dengan ideologi. Ideologi menurut Depdikbud (1995) merupakan nilai-nilai yang terpelihara dengan baik dan konsisten. Peribahasa dapat membangun ideologi pemakai bahasa. Hal itu disebabkan oleh kandungan makna peribahasa yang dapat mengarahkan mental moral manusia ke arah positif. Bahasa menurut Chaika (1989) merupakan sesuatu yang hidup dan berkembang dan tidak statis, ketidakstatisan bahasa dapat dilihat dari bentuk, fungsi, makna, nilai, dan ideologi yang terkandung dalam unsur bahasa tersebut. Salah satu contoh unsur bahasa yang tidak statis dapat dicermati dari kandungan nilai pada sebuah peribahasa. Contohnya sebagai berikut.

“Pikir dahulu pendapatan sesal kemudian tak berguna”

Unsur-unsur nilai terkandung dalam peribahasa di atas sebagai berikut. - cermat - waspada - intelek - cerdik - pintar - logis - hati-hati - tidak gegabah

Bentuk-bentuk peribahasa yang bervariasi memiliki makna dan nilai yang sama. Nilai positif yang terkandung dalam peribahasa berpusat pada dua hal, yakni sikap dan perilaku yang seharusnya dimiliki oleh manusia serta situasi dan kondisi yang seharusnya dialami oleh manusia. Nilai-nilai dalam peribahasa menggugah seseorang untuk bersikap dan berprilaku hati-hati, konsisten, tetap pendirian, hormat-menghormati, saling percaya, beradaptasi, solider, saling menghormati, saling percaya, efektif dan efisien dalam bertindak, gotong royong, adil, jujur, kreatif, cermat, sabar, tangguh, toleransi, bijaksana, rendah hati, demokratis dan cinta

~ 419 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature damai. Contoh-contoh peribahasa beserta unsur-unsur nilai dikandung sebagai berikut.

No Peribahasa Unsur-unsur Nilai 1 menempuk air di dulang tepercik muka sendiri kehati-hatian 2 siapa yang menggali lubang dia juga terperosok kedalamnya bertanggung jawab 3 ke bukit sama mendaki ke lembah sama menurun Kebersamaan 4 lain padang lain belalangnya Adaptasi 5 biar lambat asal selamat hati-hati 6 sehari sehelai benang, lama-lama menjadi sehelai kain Kesabaran 7 seperti aur dengan tebing tolong-menolong 8 pandai berminyak air Kreatif 9 sambil menyelam minum air Kreatif 10 sepandai-pandai tupai melompat pernah juga dia jatuh hati-hati 11 membunuh ular dalam benih, mencabut benang dalam tepung Bijaksana 12 di mana tanah dipijak di situ langit dijunjung Adaptasi 13 harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan Mulia gading 14 buang air keruh ambil air jernih tabah

Nilai-nilai yang terkandung dalam peribahasa di atas bersifat dinamis dan dapat dijadikan landasan dalam revolusi mental. Nilai-nilai tersebut dapat ditemukan dalam peribahasa bahasa lain selain bahasa Indonesia. Peribahasa di atas dapat dijelaskan maknanya sebagai berikut: 1. “Menepuk air di dulang tepercik muka sendiri dapat dimakna kehati-hatian”. Dapat dikiaskan kepada seorang pemimpin bangsa atau seorang pendidik yang harus selalu hati-hati baik dalam berbicara, bersikap maupun bertindak, sebab hal itu akan berdampak pada pemimpin atau pendidik itu sendiri. 2. “Siapa yang menggali lubang dia juga terperosok ke dalamnya”. Dapat dapat dimaknain bertanggung jawab peribahasa tersebut dapat dimanfaatkan dikiaskan kepada seseorang pemimpin atau pendidik yang harus bertanggung jawab dalam berbicara, bersikap maupun bertindak. Adapun yang dilakukan juka dilandasi atas tanggung jawab hasilnya akan lebih baik dan dapat dijadikan contoh oleh bawahannya. 3. “Ke bukit sama mendakike lembah sama menuruni”. Dapat dimaknai kebersamaan. Peribahasa tersebut dapat dimaknai lebih jelas bahwa suka duka dalam suatu organisasi sebaiknya dilakukan bersama atau berat ringan pekerjaan dilakukan bersama-sama atau dilakukan atas dasar kekompakan. 4. “Lain padang lain belalangnya” dapat dimaknai adaptasi peribahasa tersebut dapat dimaknai lebih jelas bahwa setiap daerah memiliki karakteristik seseorang. Dapat pula dimanfaatkan untuk memberikan kesadaran kepada seseorang bahwa lain daerah lain adat istiadatnya. Hal itu dapat mendukung kesiapan kepada seseorang yang mau pindah

~ 420 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature domisili ke suatu daera untuk beradaptasi. 5. “Biar lambat asal selamat ini dapat dimaknai hati-hati”. Peribahasa ini dapat dimanfaatkan untuk mengarahkan seseorang untuk melakukan sesuatu secara hati-hati dan teliti, tidak gegabah atau asal-asalan agar hasilnya sesuai dengan harapan. 6. “Sehari sehelai benang lama-lama menjadi sehelai kain”. Dapat dimaknai kesabaran. Peribahasa tersebut dapat dapat dimanfaatkan untuk mendidik seseorang untuk bersabar. Sesuatu yang dilakukan atas dasar kesabaran walaupun misalnya mulai dari hal-hal yang kecil atau sederhana kalau sudah dilakukan dengan tekun dan sabar lama-lama akan menjadi banyak atau kompleks. 7. “Seperti aur dengan tebing” dapat dimaknai tolong menolong. Peribahasa tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengasahkan karakter seseorang untuk terbiasa hidup tolong menolong. 8. “Pandai berminyak air” dapat dimaknai kreatif. Peribahasa tersebut dimanfaatkan untuk mengiaskan yang kreatif, mampu memanfaatkan barang seseorang yang nilai nominalnya lebih murah menjadi terlihat memanfaatkan barang yang nilai nominalnya lebih mahal. 9. “Sambil menyelam minum iar” dapat dimaknai kreatif. Peribahasa ini sama nilainya dengan peribahasa nomor 8. Peribahasa ini dapat dikiaskan kepada seseorang yang selalu kreatif sehingga dalam satu waktu dua tiga pekerjaan dapat diselesaikan. 10. “Sepandai-pandai tupai melompat pernah juga dia jatuh” dapat dimaknai hati-hati. Peribahasa tersebut dapat dimanfaatkan untuk mendidik karakter seseorang bahwa bagaimanapun pandainya seseorang akan pernah juga salah atau keliru. Maka dari itu seseorang harus selalu hati-hati dalam bertindak walaupun merasa pandai. 11. “Membunuh ular dalam benih, mencabut benang dalam tepung” dapat dimaknai bijaksana. Lebih jelasnya peribahasa tersebut dimanfaatkan untuk mendidik karakter seseorang untuk selalu loyalitas kepada seseorang khususnya bawahan. Seorang pemimpin haruslah selalu bijaksana. 12. “Dimana tanah dipijak disitu langit dijunjung” dapat dimaknai adaptasi. Peribahasa tersebut dimanfaatkan untuk mengarahkan orang agar mau bersikap sesuai dengan konteks lingkungan tempat tinggalnya. 13. “Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading” dapat dimaknai mulia. Peribahasa tersebut dapat dimaknai lebih jelas untuk mengarahkan orang agar selalu berbuat baik sehingga kesan yang ditinggalkan nantinya benar-benar mulia. 14. “Buang air keruh ambil air jernih” dapat dapat dimaknai tabah. Peribahasa tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengarahkan sikap seseorang agar selalu sabar dan tabah menghadapi berbagai cobaan, bagaimanapun dukanya dan selalu berusaha mencari dan berbuat yang lebih baik.

4. Pemberdayaan Peribahasa dalam Revolusi Mental Revolusi mental merupakan konsep yang diusung oleh Jokowi-JK dalam kampaye perjuangan maju menjadi presiden. Revolusi mental menurut Depdikbud (1995) artinya perubahan mendasar terkait dengan sikap mental manusia. Revolusi mental dapat dimaknai sebagai perubahan yang sangat mendasar yang harus dilakukan terhadap sikap, perilaku, cara pandang dan gerak langkah seseorang dalam menjalani kehidupan. Nilai-nilai religi yang ditanamkan nenek moyang bangsa Indonesia, pendidikan agama yang ditempuh dari ~ 421 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Paud sampai Perguruan Tinggi sesungguhnya sudah terkandung makna pembangunan mental dan moral bangsa. Proses pendidikan moral atau agama dari Paud sampai Perguruan Tinggi merupakan implementasi terimplisit dan eksplisit dari revolusi mental. Jokowi-JK mengusung konsep revolusi mental dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yakni sehat, cerdas, dan berkepribadian. Manusia sehat, cerdas, dan berkepribadian merupakan komponen-komponen vital dalam mewujudkan Negara Indonesia yang kuat dan dinamis. Jika komponen kesehatan, kecerdasan dan kepribadian dapat diwujudkan secara ideal maka sumber daya manusia Indonesia akan senantiasa kompetitif dan berkarakter. Revolusi mental sebagaimana yang diungkap oleh Jokowi-JK ditemukan dalam peribahasa Indonesia dan bahasa daerah. Di atas telah dipaparkan beberapa contoh peribahasa yang dapat diperdayakan dalam revolusi mental yakni dalam menggugah perasaan dan introveksi dari seseorang sesuai dengan peribahasa yang didengar atau dibaca serta disampaikan pada sesesorang untuk lebih jelasnya berikut dipaparkan lagi beberapa contoh pemberdayaan peribahasa dalam revolusi mental. (1) “Berani karena benar takut karena salah” Dari peribahasa di atas dapat dinyatakan bahwa orang akan berani jika merasa dirinya benar dan akan merasa takut karena merasa dirinya berbuat kesalahan. Orang-orang yang memiliki perasaan dan moral akan bisa menilai perbuatan yang benar dan salah. Orang tersebut akan memahami serta menyadari apakah perbuatannya itu benar atau salah serta baik atau buruk. (2) “Jangan sampai dua kali orang tua ketinggalan tongkat” Dari peribahasa tersebut di atas dinyatakan bahwa jangan sampai mengulang pengalaman buruk atau perbuatan salah. (3) “Tak ada gading yang tak retak” Peribahasa di atas mengarahkan manusia untuk menyadari kekurangan orang lain dan diri sendiri. Bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Manusia tidak luput dari kesalahan. (4) “Berjalan peliharalah kaki dan berkata peliharalah lidah” Peribahasa di atas mengarahkan manusia untuk bersikap hati-hati atau waspada, sabar dan santun berbahasa.

Revolusi mental sesungguhnya tidak perlu ada jika manusia mau menghayati dan mengamalkan nilai-nilai luhur Pancasila. Hal itu juga dapat dilakukan melalui pendidikan agama. Ajaran agama jika benar-benar dihayati dan diamalkan maka revolusi mental tidak diperlukan lagi. Kondisi kehidupan yang cendrung pragmatis, hedonis dan materialistis membawa manusia tergelincir dalam dekadensi moral. Kenyataan kehidupan yang cendrung ingin menikmati kepuasan belaka berakibat perlunya revolusi mental. Revolusi mental sebagai upaya membangun manusia Indonesia yang seutuhnya dalam era globalisasi amatlah signifikan. Bila ditinjau lebih jauh upaya-upaya revolusi mental itu sesungguhnya sudah dilakukan pendidikan agama baik secara formal, nonformal dan informal. Dengan demikian guru, orang tua dan tokoh-tokoh agama di masyarakat merupakan pelopor dalam proses revolusi mental. Revolusi mental merupakan upaya yang tidak mudah, banyak hal yang merintangi seperti perkembangan jaman yang selalu membawa perubahan. Perubahan itulah yang harus dilakukan dengan selektif.

~ 422 ~ 5. Penutup Simpulan yang dapat dirumuskan yakni (1) Peribahasa merupakan produk budaya bahasa yang bernilai; (2) Nilai-nilai dalam peribahasa dapat dijadikan landasan dalam mewujudkan revolusi mental; (3) Revolusi mental sebagai upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya; (4) Revolusi mental dapat mewujudkan bangsa Indonesia yang kompetitif dan berkarakter. Revolusi mental muncul sebagai upaya menghadapi tantangan kehidupan yang pragmatis, hedonis, dan materialistis.

DAFTAR PUSTAKA

Chaika, E.1989. Language ; The social mirror. New York: New bury House Publishers. Depdikbud, 1995. Kosa Kata Basaha Indonesia. Jakarta: Depdikbud Fromkin, Victoria dan Robert Rodman. 2000. An Introduction to Language. New York Harcourt Brace Jovanoich Collage Publishers. Hidayat, R.S. 2004. Semotika Bidang Ilmu. Jakarta: Pusat Penelitian kemasyarakatan dan budaya direktorat riset dan pengabdian masyarakat. Keridalaksana, Harimurti. 1983. Kamus sinonim bahasa Indonesia. ende; Nusa Indah. Muljana, slamet. 1994. Kaidah Bahasa Indonesia. Ende : Nusa Indah. Oktavianus. 2013, “Bahasa yang Membentuk Jati Diri dan Karakter Bangsa”. Makalah disajikan dalam international seminar on Linguististies I 11 September 2013. Oktavianus. 2014. “Nilai-nilai dalam Peribahasa dan Peristiwa Masa Kini” makalah seminar internasional kerja sama Indonesia Malaysia di Universitas Lancang kuning. Sudaryanto. 1990. Menguak fungsi hakiki bahasa. Yogyakarta : Duta Wacana Universitas . Tim penyusun kamus pusat pembinaan dan pengembangan Bahasa. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta Balai Pustaka.

~ 423 ~ ~ 424 ~ THE DYNAMICS OF THE LANGUAGE USE IN ADVERTISEMENT

Ni Wayan Kasni Program Magister (S2) Linguistik Program Pascasarjana Universitas Warmadewa [email protected]

ABSTRACT Because of the large number of products and services now days, it brings the effect on the large number of advertisements as well. Therefore this research was done to investigate the develop- ment of the use of language in advertisement which is focused on 3 (three) problems, namely (1) what is the form of sentence used in advertisement ?, (2) what is the form of phrase ?, (3) what lexicons are used and what meanings are expressed by those lexicons? The data of this research were taken from printed advertisements around Denpasar and elec- tronic advertisements through documentation method. The phenomena found in the advertisement were analyzed by using meaning theory proposed by Leech (1978). The result of data the analysis noted that the forms of sentence used in advertisement are declarative, interrogative, and imperative. The form of phrase which is often used is noun phrase with a certain choice of word carrying a persuasive meaning to make the readers interested in trying the products of buying the products. If it is viewed from the language used in the noun phrase, the units forming the noun phrase are Indonesian and mixed (Indonesian and English) known as code mixing.

Keywords: advertisement, declarative, interrogative, imperative, persuasive.

PENDAHULUAN Menurut Arens (dalam Lubis, 2007)) iklan dikatakan sebagai komunikasi informasi yang terstruktur dan disusun bukan oleh perseorangan, biasanya dibayar untuk dan secara alami umumnya membujuk tentang produk (barang, jasa dan ide) yang diidentifikasi sponsor lewat berbagai media. Sedangkan menurut Tom Duncan (dalam Lubis,2007) iklan adalah hal yang tidak pribadi, pengumuman yang dibayar oleh suatu sponsor yang diketahui. Schudson (1993:61) mengatakan bahwa komunikasi iklan awalnya adalah untuk meng- informasikansesuatu. Setelah mengalami perkembangan yang pesat dari pelaku-pelaku iklan, persaingan antarperusahaan yang menghasilkan produk sejenis untuk merebut pangsa pasar tidak dapat dihindari, sehingga fungsi persuasif bahasa menduduki peran yang semakin pent- ing untuk mengakomodasi strategi pemasaran perusahaan dalam memposisikan keunggulan referennya. Shimp (2003) mengungkapkan 5 (lima) fungsi iklan, yaitu (1) informing, (2) persuad- ing, (3) reminding, (4) adding value, dan (5) assisting. (1) informing. Fungsi informing men- gandung makna bahwa iklan berfungsi untuk membuat konsumen sadar akan merek-merek, mendidik mereka tentang fitur dan merek yang diiklankan dan memfasilitasi pencitraan merek yang positif. Iklan dapat dikatakan sebagai bentuk komunikasi yang efektif yang mampu men- jangkau khalayak luas dengan biaya yang relative rendah. Periklanan memfasilitasi pengenalan merek-merek baru yang bertujuan untuk meningkatkan jumlah permintaan terhadap merek- merek yang sudah ada. Fungsi persuading maksudnya adalah iklan mampu mempersuasi (membujuk) pelanggan untuk mencoba produk dan jasa yang diiklankan. Persuasi juga dapat memengaruhi permintaan primer - yakni, menciptakan permintaan bagi keseluruhan kategori produk. Selain itu, iklan berupaya membangun permintaan sekunder, permintaan bagi merek perusahaan yang spesifik. Iklan berfungsi sebagai reminding maksudnya adalah iklan berfungsi

~ 425 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature untuk menjaga agar merek perusahaan tetap segar dalam ingatan para konsumen. Iklan ber- fungsi sebagai adding value, yaitu iklan mampu memberikan nilai tambah terhadap produk yang diiklankan. Iklan juga berfungsi sebagai assisting, yaitu mendamping produk yang di- iklankan sehingga produk tersebut dikenal oleh khalayak luas. Sebagai bentuk komunikasi bahasa memegang peranan yang sangat penting dalam iklan. Pilihan kalimat, frasa, dan leksikon yang baik mampu membujuk masyarakat untuk tertarik pada produk atau jasa yang diklankan. Munculnya berbagai produk dan jasa dewasa ini menim- bulkan persaingan yang ketat dalam dunia bisnis. Para pelaku bisnis membuat iklan yang sangat variatif untuk membuat masyarakat tertarik dengan produk atau jasa yang mereka jual. Hal itu terlihat pada pemakaian bahasanya. Bahasa yang digunakan dalam periklanan dewasa ini san- gat variatif dan mengglitik. Hal inilah yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti dinamika pemakaian bahasa dalam dunia periklanan.

METODE Sumber data penelitian ini adalah iklan cetak yang di pasang di sekitar kota Denpasar dan iklan elektronik yang diambil dari iklan Lazada, Lalora, dan Bukalapak. Data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan teknik dokumentasi, simak, dan catat. Selanjutnya data dianalisis secara deskriptif dengan menerapkan teori semantik yang dikemukakan oleh Leech. Hasil analisis disajikan dengan menggunakan metode formal dan informal.

HASIL DAN PEMBAHASAN Sesuai dengan tujuan penelitian ini, rumusan masalah pada penelitian ini dipilah men- jadi 3 (tiga), yaitu (1) Bagaimana bentuk kalimat yang dipakai dalam dunia periklanan?, (2) bagaimanakah bentuk frasa yang dipakai dalam dunia periklanan ?, dan (3) leksikon-leksikon apakah yang sering dipakai dan makna apakah yang ingin diungkapkan oleh pilihan leksikon tersebut? Ketiga rumusan masalah tersebut dipaparkan sebagai berikut. Bentuk-bentuk kalimat dalam dunia periklanan dan maknanya Kalimat yang sering dipakai dalam dunia periklanan adalah kalimat deklaratif, in- terogatif, dan imperatif. Kalimat deklaratif lebih banyak dipakai untuk menginformasikan fitur produk yang diklankan, namun kalimat deklaratif juga dipakai untuk menarik minat pembeli. Kalimat interogatif dan imperatif dipakai untuk menarik minat pembeli atau menarik minat masyarakat tentang produk yang diklankan. Contoh: (1) Semua yang kamu butuh ada di sini. (2) Kesehatan adalah nomor 1. (3) Produk unik belum tentu laku, kok bisa? (4) Beli dada dapat paha. (5) Ceriakan ruanganmu dengan bantal warna warni. Kalimat (1), (2), dan (4) dikategorikan sebagai kalimat deklaratif yang mengandung makna menyampaikan fakta dan makna persuasif. Melalui kalimat (1) Semua yang kamu butuh ada di sini dan (2) kesehatan adalah nomor 1 diharapkan para pembaca untuk membaca lebih lan- jut tentang produk-produk yang tertera pada iklan tersebut sehingga masyarakat tertarik untuk membeli, sedangkan kalimat (4) mengandung makna persuasif,yaitu membujuk masyarakat untuk makan di warung makan tersebut dan jika mereka membeli dada ayam, pembeli menda- patkan satu paha ayam secara gratis. Pemaknaan kalimat (1), (2) dan (4) dapat digambarkan

~ 426 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature sebagai berikut.

Kalimat (1) Layer 1 – menginformasikan bahwa semua produk yang dibutuhkan oleh masyarakat ada Lazada Layer 2 - Belilah produk-produk yang ada di Lazada. Kalimat (2) Layer 1 - Menginformasikan bahwa kesehatan adalah nomor 1. Layer (2) – Belilah produk kesehatan yang ada di Lazada. Kalimat (4) Layer 1 - Jika anda makan di warung ini anda, dengan membeli 1 dada ayam anda akan mendapat gratis 1 paha ayam Layer 2 - Belanjalah di warung ini dan dapatkan 1 paha ayam gratis dengan membeli 1 dada ayam.

Kalimat kok bisa? pada contoh (3) merupakan kalimat interogatif yang dalam hal ini berbentuk kalimat minor. Terkait dengan iklan, kalimat tersebut mengandung makna persuasif, yaitu membujuk masyarakat untuk mengiklankan produknya di Bukalapak sehingga cepat terjual. Pemaknaan kalimat (3) adalah sebagai berikut.

Kalimat (3) Layer (1) - Menanyakan kenapa produk unik belum tentu terjual. Layer(2) - Membujuk supaya para penjual mengiklan produknya di Bukalapak seh- ingga produk terjual.

Kalimat (5) dikategorikan sebagai kalimat imperatif dan makna yang diungkapkan ada- lah membujuk masyarakat untuk membeli bantal warna warni yang ada di iklan Lazada. Hal itu dapat digambarkan sebagai berikut.

Kalimat (5) Layer 1 - Menyuruh masyarakat untuk mendekorasi ruangan dengan bantal warni warni supaya ruangan terlihat ceria. Layer 2 – Belilah bantal warna warni di Lazada supaya ruanganmu terlihat ceria.

Bentuk frasa, pilihan leksikon dan maknanya Bentuk frasa yang sering dipakai dalam iklan adalah frasa nomina. Dilihat dari unit yang membentuk frasa tersebut, frasa nomina dalam iklan dibentuk oleh leksikon-leksikon yang berasal dari bahasa Indonesia, leksikon-leksikon yang berasal dari bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, dan leksikon-leksikon yang berasal dari bahasa Indonesia dan bahasa Bali Contoh : (1) Barang food terbaru (2) Tas branded (3) Roti nakal (4) Roti kangen (5) Roti jaen (6) setan Frasa nomor (1), (2), dan (5) merupakan frasa nomina yang dapat dikategorikan sebagai campur kode. Frasa nomina pada contoh (1) menggunakan leksikon yang berasal dari bahasa Indonesia yang diisi oleh leksikon barang pada contoh (1) sebagai inti frasa nomina, leksikon bahasa Inggris food sebagai modifier dan leksikon bahasa Indonesia. Frasa nomina (2) diben- tuk oleh leksikon bahasa Indonesia tas sebagai inti frasa nomina dan leksikon bahasa Inggris branded sebagai modifier. Frasa nomina (5) dibentuk oleh leksikon roti sebagai inti frasa nomi- na dan leksikon bahasa Bali jaen sebagai modifier. Frasa nomina (3), (4), dan (6) dibentuk oleh leksikon-leksikon yang berasal dari bahasa Indonesia yang masing-masing berfungsi sebagai inti frasa nomina, seperti leksikon roti pada contoh (3,4), dan sambal pada contoh (6). Leksikon ~ 427 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature nakal pada contoh (3), kangen pada contoh (4), dan setan pada contoh (6) berfungsi seba- gai sebagai modifier. Jika dicermati, pilihan leksikon yang dipakai sebagai modifier pada frasa nomina sangat bervariasi. Pilihan leksikon itu diharapkan mampu membuat produk tersebut laku terjual. Makna yang tersirat pada frasa nomina tersebut dapat dianalisis sebagai berikut.

(1) Barang food terbaru Layer (1) Barang mengandung makna sesuatu yang berwujud. Food mengandung makna sesuatu yang bisa dimakan. Terbaru membawa bagus, berbeda dari yang lain. Layer (2) Jika dilihat dari pilihan leksikonnya, makna membujuk supaya pem- baca iklan tertarik untuk membeli produk tersebut dibawa oleh lek- sikon terbaru yang dalam hal mengandung makna bahwa produk yang diklan adalah produk yang bagus dan berbeda dengan yang lain.

(2) Tas branded Layer (1) Tas mengandung makna sesuatu yang dipakai untuk Branded men- gandung makna mewah, kualitas bagus, mahal. Layer(2) Pilihan leksikon branded pada frasa nomina tersebut mem­­­­bawa makna membujuk pembaca iklan untuk membeli tas yang diiklankan.

(3) Roti nakal, roti kangen, Layer(1) roti mengandung makna sesuatu yang bisa dimakan dan berbahan pokok tepung. Kangen mengandung makna ingat sesuatu/orang/ aktivitas dan ingin bertemu atau mengulang melakukannya karena kesan positif. Nakal mengandung negatif, yaitu tindakan yang di- lakukan di luar batas kewajaran. Layer (2) Makna membujuk dibawa oleh leksikon nakal dan kangen yang da- lam hal ini mengandung makna bahwa roti nakal adalah roti yang membuat anda akan terus memperhatikannya atau membelinya kar- ena rasanya yang enak. Demikian juga halnya dengan roti kangen.

(4) Sambal Setan Layer (1) sambal mengandung sesuatu yang bisa dimakan dan berbahan pokok cabai. Leksikon setan membawa makna mengerikan. Layer (2) Pilihan leksikon setan pada frasa nomina sambal setan membawa makna bahwa sambal itu terbuat dari cabai dalam jumlah yang ban- yak sehingga pedasnya luar biasa. Layer (3) Pilihan leksikon setan pada frasa nomina tersebut membuat orang ingin mencobanya atau membujuk orang untuk membelinya. Simpulan Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk kalimat yang di- pakai dalam iklan adalah kalimat deklaratif, interogatif, dan imperatif. Bentuk kalimat tersebut diharapkan dapat memengaruhi pembaca untuk membeli produk yang diklankan. Bentuk frasa yang sering dipakai adalah frasa nomina yang dibentuk oleh bahasa Indonesia, bahasa Indone- sia dan bahasa Bali, dan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Leksikon-leksikon yang dipilih adalah leksikon-leksikon yang mampu membawa makna persuasif.

DAFTAR PUSTAKA

Halliday, M.A.K. 1985. Spoken and Written Language. Newyork:Oxford University Press. Leech, Geoffrey N. 1974. Semantics: First Edition. Harmondsworth:Penguin. Lubis, Tania Fatima.2007. Perbandingan Pembentukan Imej Merek Melalui Iklan dan Event dengan Berfokus Pada Imej Merek Samporna A Mild. Universitas Indonesia: Depok. Shimp,Terence A.Periklanan Promosi Aspek Tambahan Komunikasi Pemasaran Terpadu.Erlangga: Jakarta. www.lazada.co.id. www.bukalapak.com

~ 428 ~ THE LANGUAGE OF CHILDREN IN INTERMARRIAGE COUPLES AT SENGGIGI, WEST LOMBOK

Ni Wayan Prami Wahyudiantari IKIP Mataram, Lombok

ABSTRAK Makalah ini berkaitan dengan bahasa anak-anak dari pasangan perkawinan campur antar bangsa di Senggigi, Lombok Barat. Makalah ini bertujuan untuk menggambarkan bahasa perilaku anak dari pasangan perkawinan campur antar bangsa di Senggigi Lombok Barat, pola sosialisasi bahasa anak dari pasangan perkawinan campur antar bangsa di Senggigi Lombok Barat, dan untuk menyelidiki pola sosialisasi bahasa pasangan perkawinan campur antar bangsa di Senggigi Lombok Barat yang mempengaruhi pemerolehan bahasa anak-anak. Implikasi dari makalah ini diharapkan hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya teori linguistik teori psikolinguistik terutama berhubungan dengan bahasa anak-anak pasangan perkawinan campur antar bangsa dan mudah-mudahan akan membantu pembaca dalam memahami anak-anak dari perkawinan campur antar bangsa dan membuat mereka lebih mudah untuk beradaptasi dengan berbagai bahasa dan budaya. Makalah ini merupakan penelitian deskriptif dimana temuan data yang dijelaskan dalam bentuk ucapan. Data dikumpulkan dengan menggunakan dua metode, observasi dan wawancara. Pencatatan dan teknik pencatatan yang digunakan untuk mengumpulkan data selama pengamatan berdasarkan kriteria tertentu. Temuan makalah ini menunjukkan bahwa perilaku bahasa antara anak-anak dari pasangan Perkawinan campur antar bangsa di Sengigi Lombok Barat berbeda. Anak-anak dari perkawinan pasangan di Senggigi Lombok Barat mampu bersosialisasi dengan bahasa dalam masyarakat tertentu dalam pola sosialisasi bahasa tertentu. Melalui pengaruh pola bahasa sosialisasi anak 1 (Perempuan) dari keluarga yang dapat berbicara bahasa Indonesia, tapi kepercayaan dirinya menggunakan bahasa Inggris membuat dia lebih suka menggunakan bahasa Inggris kemudian bahasa Indonesia. Anak 2 (Perempuan) dari keluarga yang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris secara aktif. Anak 3 (Pria) dan anak 4 (Perempuan) dari keluarga II berbicara bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Sasak untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Pasangan perkawinan harus mempersiapkan anak-anak mereka dengan keterampilan bahasa untuk membuat mereka mampu berkomunikasi dalam masyarakat mereka. Alih-alih menggunakan bahasa Inggris dan bahasa lainnya dalam komunikasi sehari-hari, pasangan perkawinan campur antar bangsa harus menaruh perhatian lebih pada penggunakan bahasa Indonesia secara aktif dengan anak-anak mereka. Sehingga anak-anak pasangan perkawinan campur dapat berbicara bahasa Indonesia sebagai keseimbangan bahasa Inggris dan bahasa lainnya. Pasangan perkawinan harus mempersiapkan anak- anak mereka dengan keterampilan bahasa untuk membuat mereka mampu berkomunikasi dalam masyarakat mereka. Sehingga anak-anak yang mampu menghadapi era globalisasi.

Kata Kunci: Perilaku Bahasa, sosialisasi Bahasa, Pola sosialisasi bahasa, Anak pasangan Perkawinan campur antar bangsa.

Introduction Language is a means by which we communicate, but it is more than just a means of communication. It conveys a wealth of information other than the primary content of the message. By this we mean that language serves multiple functions. We use it to exchange, share, report, and define experiences. It structures meaning, determines how we see things, is the carrier of our culture, and affects our worldviews. Language informs the way we experience, and the way we interact with each other. Language is inextricably entwined with our mental life. Our perceiving, our remembering, our attending, our comprehending, our thinking in short, all of our attempts to make sense of our experience in the world. Language performs two major functions: (1) enable human to carry on communication with others, to transmit to other people information, ideas, attitudes, and emotions; and (2) it facilitates thinking (Zanden, 1984:70). Language aids people in partitioning the world into manageable units and domain of ~ 429 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature relevance. Language then refers to the use of a system of unit which, in combination, provides meaningful communication. Such units may be words, sentences or whole texts. It’s also important to be noted that we are referring to not simply using these words and so on for the shake of it, but rather as part of a system of human communication. It is clear that children must be exposed to language and be able to interact with others, but how that exposure and interaction occur is extremely variable. Even though children are not formally taught language, language acquisition is part of the overall development of children physically, socially, and cognitively. Children are socialized to develop skills necessary to become competent members within their cultural and linguistic communities. Communication is an activity which involves language, speaker, hearer, message, and of transferring the massage. The word ‘communicate’ means exchanging of information, news, ideas etc., with somebody or making one’s ideas, feeling, etc., clear to other. It is a process of transferring information from one entity to another between at least two agents which share thoughts, opinions, or information by speech, writing of sign. Communication makes the world go round. On a smaller level, communication, or being able to communicate effectively, is what gets human through each day, in both career and personal life. No matter what his/her age, background or experience, communicating effectively is something that every person can achieve. It requires a self-confidence, good articulation and knowledge of how communication can be made more effective including the language skills. A child’s language is constantly developing and changing. Children are actively engaging in communication as they are learning to communicate. Based on this definition about communication, it can be concluded that communication will take place when there are sender/ speaker and receiver/listener, massage in the form of meaningful symbols, and medium of transmitting the information. This interaction of language and culture serves to socialize the child not only to the use of language but also to the cultural group with which he identifies. The processes of communication lead to interesting phenomena in which many aspects are involved. A language is the chief means by which people communicate, yet simply knowing the words and grammar of languages does not ensure successful communication. Their interpretation depends on a multiplicity of factors, including familiarity with context, into national clues and cultural assumption. Communication will be successful when message is understood by the receiver exactly the same what the sander intends to convey. As a reflection of the researcher concerns about the language, the researcher interested to investigate the language of the children of intermarriage couples in Senggigi, West Lombok. The idea of this investigation struck the researcher a year ago when the researcher visited her friend named Suryani. Suryani’s sister married to a Canadian. The researcher was introduced to Suryani’s sister and her Canadian brother in law also with their nice children. While the researcher arrived, they were sitting in the living room and discussed about their children score at school. Lastri got good score for English and Bahasa Indonesia subjects while her elder brother Clark got bad score for English and Bahasa Indonesia. This made the researcher curious to investigate why it happened despite the fact that they got equal attention from their parents about the use of both languages. The researcher assumes that these children speak two or more languages, one language that can be found in their community and the other is a foreign language that can be found in foreign culture. The mastery of two or more languages-bilingualism or multilingualism is a special skill. Two languages can be found in their community, their family or school. It can be

~ 430 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature an additional language used by them at nursery while they use their first language with their parents, grandparents and within their local community. In some families each parent may have a different language and the child is learning these languages from birth and then English at school. Children are skilled at switching between languages and can become proficient and accomplished bilingual or multilingual speakers.

Methods of Data Collection Considering the important of data in a research, a researcher chose a certain techniques to find out the appropriate and objective data. Observation and interview were used by the researcher. The researcher observed the process of communication and interaction among the member of the families in the location of the study. Moreover the researcher is familiar with the location of this study, thus it makes the researcher easier to make an approach with the inhabitants especially with the children of intermarriage couples. The subjects have a good relation with the researcher. They were not aware that they were being observed. It is really important because most of the data was found from the communication. Thus, when they communicate with their parents, they talked as natural without any feeling of worrying even though the researcher was around them. The data were collected during the observation and interview, the researcher applied recording and note taking techniques. Thus, the researcher brought audio recorder and written devices. The researcher recorded any conversation between the subjects and their interlocutors in any situation using the audio recorder. The researcher applied audio record and took notes for any information needed that were supposed to be appropriate data. The researcher divided the conversation into fragments, determined the topic and determined the border of the fragments. Apart from participant observation, the researcher also applied the interview method in collecting data. This applied after the data is collected. It aimed to help the researcher to investigate the knowledge of the children of intermarriage couples about the utterances they uttered in English and bahasa Indonesia.

Data Analysis Miles and Huberman (1994:10) view of qualitative analysis consisting of three concurrent flows of activity, which are data reduction, data display and conclusion drawing/verification. Data reduction referred to the process of selecting, focusing, simplifying, abstracting and transforming the conversation reflected the language of children of intermarriage couples in Senggigi, West Lombok that appeared in written up field notes or transcription. As data collection proceeds, further episode of data reduction/transforming process continued after field work, until a final report was completed. Data reduction was not something separate from analysis but it was apart of the analysis. It was a form of analysis that sharpen, sorts, focuses, and organizes the conversation reflected language of children of intermarriage couples in Senggigi, West Lombok in such way that final conclusion can be drawn and verified. Qualitative data can be reduced and transformed in many ways, such as through selection, through summary, or paraphrase, through being subsumed in a larger pattern and so on. The second major flow of the analysis activity is data display. Generally, a display is an organized, compressed, assembly of information that permits conclusion drawing and action. Miles and Huberman (1994:11) say that better displays are a major avenue to valid qualitative analysis. All were designed to assemble organized information into an immediately accessible, compact form so that the analyst can see what was happening and either draw justified conclusion

~ 431 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature or move on the step of analysis the display suggests may be useful. As with the reduction of conversation reflected the language of children of intermarriage couple in Senggigi, West Lombok, data display was also a part of analysis since the creation and the use of displays was not separated from the analytic activities. The third stream of analysis activity was conclusion drawing and verification. From the start of data collection the qualitative analyst was beginning to decide what things means. Miles and Huberman (1994:11) stated that final conclusions of the language of children of intermarriage couples in Senggigi, West Lombok might not appear until the data collection was over, depending on the corpus of field notes; the coding, storage, and retrieval methods utilized; the sophistication of the researcher; and the demand of the funding agency but they often prefigured from the beginning, even when a researcher claimed to have been proceeding inductively. The conclusion drawing in Miles and Huberman view was verified by the time to analyst proceeds. Verification might be as brief as a fleeting second thought crossing the analyst’s mind during writing, with a short excursion back to the field notes, or it might be through and elaborate, with lengthy argumentation and review among colleagues to develop “inter subjective consensus” or with extensive effort to replicate a funding in another data set. In general, the conversation reflected language of children of intermarriage couples in Senggigi, West Lombok of this research was analyzed on the basis of the procedures suggested by Miles and Huberman (1994). The procedures could be explained in the following steps. First, after data collection, the next step was focusing, simplifying, abstracting and transforming the raw data to find out the conversation reflected language of children of intermarriage couples in Senggigi West Lombok as the source of data. In this step, the researcher selected the collected conversation during data collection. This researcher just took clear and suitable conversation. Then the collected dialogues were categorized into some groups according the kinds of participants, setting, and topic of communication. These activities were included in the data reduction. The following step was a data display, where the researcher showed the organized assembly of information taken from the reduction of the conversation reflected language of children of intermarriage couples in Senggigi, West Lombok. In this step, the conversations as source of data were divided into a number of fragments according to the topics. The researcher dividing conversation into fragments, determining the topic and the border of the fragments. The researcher did not analyze all fragments, but just took several fragments of every conversation. So that the researcher focused on the utterances uttered by the children of intermarriage couples with their interlocutors which were related to the focus of the study. The last step was a conclusion, allowing the researcher to draw the meaning of the finding and generating substantial theories related to language of children of intermarriage couples in Senggigi, West Lombok. Operationally, the analysis was focused on the conversation of the children of intermarriage couples during the interaction. Verification referred to an activity in which the aim was finding the core of information. The core of information obtained should be relevant with the research problems. Verification can also be done by using cross check between the founded information. The way in cross checking the data of information was though data triangulation. The researcher used a descriptive analysis technique. Ary et al (1979:295) state that a descriptive method can be defined as the procedure of solving the matter which is investigated, by describing the condition of the object of investigation at present, based on the actual facts or the reality. A descriptive method focused its attention on fact-finding as the real condition of

~ 432 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature children of intermarriage couples in Senggigi, West Lombok.

Result of the Research Considering all the data which are related to the research questions of the study, the findings fall into three categories. One finding concerns the language behavior of children of intermarriage couples in Senggigi West Lombok. It is revealed from the data analysis that language behavior between the children of intermarriage couples in Sengigi West Lombok is different. The language choice behavior changed in different ways in different situations. C1 hesitates to speak bahasa Indonesia in her daily communication. She speaks English to her friends who are native English speakers and gives responds to her native Indonesian friends mostly using English. She starts the conversation using bahasa Indonesia rarely. She understands when people communicate using Bahasa Indonesia to her, and then she gives respond using English. Her confidence of using English makes her prefer to use English then Indonesia. C2 can apply both of Bahasa Indonesia and English actively in her daily communication. She is confidence using both of the language though she is younger than C1. It can be seen that she communicates to her native Indonesian friends using bahasa Indonesia. She also uses English when speaks to her native English speaker friend. She communicates with them flexibly. C3 and C4 mostly use English when they communicate with other intermarriage children at school. They also have so much opportunity to use bahasa Indonesia at home with their mother and other families. Both of them also competence to use bahasa Sasak, a native language of Sasak tribe. They speak bahasa Indonesia and bahasa Sasak with their mother and their mother’s family. They communicative actively use bahasa Sasak when they communicate with the children of a native tribe of Sasak couples at home and at school. They use bahasa Indonesia and English when they socialized with intermarriage children in their community. Another finding concerns the patterns of language socialization of children of intermarriage couples in Senggigi West Lombok. C1 and C2 also C3 and C4 are socialized to develop skills necessary to become competent members within their communities. Through the particular pattern of language socialization, the children of intermarriage couples in Senggigi West Lombok are able to socialize with the language within a particular community. Indeed, this research has shown that differences in the functional use of language at home and at school. School is a domain of language use. It is also a social environment. It is also part of the children communicative interaction. English and Bahasa Indonesia are the languages of C1 and C2 also C3 and C4 daily socialization to describe the language practices as resources for socialization at school. The third finding concerns the ways the patterns of language socialization of intermarriage couples in Senggigi West Lombok influence the children’s language acquisition. M1 and F1 are C1 and C2 parents’. The father (F1) speaks English with the member of his family. The mother (M1) doesn’t want to lose the opportunity of communicating using English. She always tries to maintain in improving her English. M1 sometimes speaks bahasa Sunda (the ethnic language of Sunda tribe of ) in a particular situation. She uses this language to express her anger to the children (C1 and C2). She doesn’t use this language to communicate with the member of the family. C1 and C2 don’t understand bahasa Sunda so that they don’t use this language in their everyday communication. M1 speaks bahasa Indonesia and English to the children in her daily communication. Through the influence of this patterns of language socialization C1 and C2 become competent of using those languages in speaking. C2 uses bahasa Indonesia and

~ 433 ~  $QRWKHU ILQGLQJ FRQFHUQV WKH SDWWHUQV RI ODQJXDJH VRFLDOL]DWLRQ RI FKLOGUHQ RI LQWHUPDUULDJHFRXSOHVLQ6HQJJLJL:HVW/RPERN&DQG&DOVR&DQG&DUHVRFLDOL]HGWR GHYHORSVNLOOVQHFHVVDU\WREHFRPHFRPSHWHQWPHPEHUVZLWKLQWKHLUFRPPXQLWLHV7KURXJKWKH SDUWLFXODU SDWWHUQ RI ODQJXDJH VRFLDOL]DWLRQ WKH FKLOGUHQ RI LQWHUPDUULDJH FRXSOHV LQ 6HQJJLJL :HVW/RPERNDUHDEOHWRVRFLDOL]HZLWKWKHODQJXDJHZLWKLQDSDUWLFXODUFRPPXQLW\,QGHHGWKLV UHVHDUFK KDV VKRZQ WKDW GLIIHUHQFHV LQ WKH IXQFWLRQDO XVH RI ODQJXDJH DW KRPH DQG DW VFKRRO 6FKRROLVDGRPDLQRIODQJXDJHXVH,WLVDOVRDVRFLDOHQYLURQPHQW,WLVDOVRSDUWRIWKHFKLOGUHQ FRPPXQLFDWLYHLQWHUDFWLRQ(QJOLVKDQG%DKDVD,QGRQHVLDDUHWKHODQJXDJHVRI&DQG&DOVR &DQG&GDLO\VRFLDOL]DWLRQWRGHVFULEHWKHODQJXDJHSUDFWLFHVDVUHVRXUFHVIRUVRFLDOL]DWLRQDW VFKRRO 7KH WKLUG ILQGLQJ FRQFHUQV WKH ZD\V WKH SDWWHUQV RI ODQJXDJH VRFLDOL]DWLRQ RI LQWHUPDUULDJH FRXSOHVLQ6HQJJLJL:HVW/RPERNLQIOXHQFHWKHFKLOGUHQ¶VODQJXDJHDFTXLVLWLRQ0DQG)DUH &DQG&SDUHQWV¶7KHIDWKHU ) VSHDNV(QJOLVKZLWKWKHPHPEHURIKLVIDPLO\7KHPRWKHU 0 GRHVQ¶WZDQWWRORVHWKHRSSRUWXQLW\RIFRPPXQLFDWLQJXVLQJ(QJOLVK6KHDOZD\VWULHVWR PDLQWDLQLQLPSURYLQJKHU(QJOLVK0VRPHWLPHVVSHDNVEDKDVD6XQGD WKHHWKQLFODQJXDJHRI 6XQGDWULEHRI:HVW-DYD LQDSDUWLFXODUVLWXDWLRQ6KHXVHVWKLVODQJXDJHWRH[SUHVVKHUDQJHUWR WKHFKLOGUHQ &DQG& 6KHGRHVQ¶WXVHWKLVODQJXDJHWRFRPPXQLFDWHZLWKWKHPHPEHURIWKH IDPLO\&DQG&GRQ¶WXQGHUVWDQGEDKDVD6XQGDVRWKDWWKH\GRQ¶WXVHWKLVODQJXDJHLQWKHLU HYHU\GD\FRPPXQLFDWLRQ0VSHDNVEDKDVD,QGRQHVLDDQG(QJOLVKWRWKHFKLOGUHQLQKHUGDLO\ FRPPXQLFDWLRQ 7KURXJK WKH LQIOXHQFH RI WKLV SDWWHUQV RI ODQJXDJH VRFLDOL]DWLRQ & DQG & EHFRPHFRPSHWHQWRIXVLQJWKRVHODQJXDJHVLQVSHDNLQJ&XVHVProceedings EDKDVD,QGRQHVLDDQG(QJOLVK DFWLYHO\&FDQVSHDNEDKDVD,QGRQHVLDEXWKHUFRQILGHQFHRIXThe 7th International Seminar on Austronesian - Non AustronesianVLQJ(QJOLVKPDNHVKHUSUHIHUWR Languages And Literature XVH(QJOLVKWKHQEDKDVD,QGRQHVLDEnglish actively. C1 can speak bahasa Indonesia but her confidence of using English makes her 0DQG)DUH&DQG&SDUHQWV¶7KH\VSHDNEDKDVD,QGRQHVLDDprefer to use English then bahasa Indonesia. QG(QJOLVKZLWKWKHPHPEHU RI WKH IDPLO\M2 DQG and PRVWO\ F2 are VSHDN C3 and (QJOLVK C4 parents’. LQ KLV GDLO\They FRQYHUVDWLRspeak bahasaQ 7KHIndonesia PRWKHU and 0  English VSHDNV with the EDKDVD6DVDN WKHHWKQLFODQJXDJHRI6DVDNWULEHRI/RPERN EDmember of the family and mostly speak English in his dailyKDVD,QGRQHVLDDQG(QJOLVKWR conversation. The mother (M2) WKHLU FKLOGUHQspeaks bahasa 6KH PL[HV Sasak WKRVH (the WKUHHethnic ODQJXDJHV language FRPPRQO\ of Sasak tribe & DQofG Lombok), & VSHDN bahasa (QJOLVK Indonesia WR WKHLU and IDWKHU7KH\PL[LQJEDKDVD,QGRQHVLD(QJOLVKDQGEDKDVD6DVDNEnglish to their children. She mixes those three languages commonly.WRWKHLUPRWKHU7KURXJKWKH C3 and C4 speak English LQIOXHQFHRIWKLVSDWWHUQVRIODQJXDJHVRFLDOL]DWLRQ&DQG&to their father. They mixing bahasa Indonesia, English,EHFRPHFRPSHWHQWRIXVLQJWKRVH and bahasa Sasak to their mother. ODQJXDJHV LQ VSHDNLQJ7KH\ DEOH WR GHWHUPLQH ZKHQ WKH\VKRXOGVSHDN EDKDVD 6DVDN EDKDVD ,QGRQHVLDRU(QJOLVKWRFRPPXQLFDWHGHSHQGRQWKHVLWXDWLRQThrough the influence of this patterns of language socialization C3 and C4 become competent of using those languages in speaking. They able to determine when they should speak bahasa  Sasak, bahasa Indonesia, or English to communicate depend on the situation.

7KH0HPEHURI)DPLO\,The Member of Family I

 Wife(Indonesian)+Husband(Australian)

  BahasaSunda English

  BahasaIndonesia  

  Child1,Female(C1) Child2,Female(C2)



 ChildrenLanguagesCompetence



& &

 

(QJOLVK ¥  (QJOLVK ¥ 

%DKDVD,QGRQHVLD ¥  %DKDVD,QGRQHVLD ¥ 

%DKDVD6XQGD ;  %DKDVD6XQGD ; 



 C1preferstospeakEnglish C2speaksEnglishandbahasa  ratherthanbahasa Indonesiaactively.  Indonesia.

)LJXUH&KLOGUHQ/DQJXDJHV&RPSHWHQFHRIIDPLO\, Figure 1. Children Languages Competence of family I 7KH0HPEHURI)DPLO\,,

 ~ 434 ~

 Wife(Indonesian)  +  Husband(American) BahasaSasak English  BahasaIndonesia 



 Child3Male(C3) Child4Female(C4)



 ChildrenLanguagesCompetence

 

 ChildrenLanguagesCompetence



& &

 

(QJOLVK ¥  (QJOLVK ¥ 

%DKDVD,QGRQHVLD ¥  %DKDVD,QGRQHVLD ¥ 

%DKDVD6XQGD ;  %DKDVD6XQGD ; 



 C1preferstospeakEnglish C2speaksEnglishandbahasa  ratherthanbahasa Indonesiaactively.  Indonesia.

)LJXUH&KLOGUHQ/DQJXDJHV&RPSHWHQFHRIIDPLO\,

Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian 7KH0HPEHURI)DPLO\,, Linguistic and Literature The Member of Family II 

 Wife(Indonesian)  +  Husband(American) BahasaSasak English  BahasaIndonesia 



 Child3Male(C3) Child4Female(C4)



 ChildrenLanguagesCompetence



Figure 2. Children Languages Competence of family II

Conclusion Considering all the findings which are related to the research questions of the study, the conclusion concerns the language behavior of children of intermarriage couples in Senggigi West Lombok that the language choice behavior changed in different ways in different situations. The language behavior revealed particular pattern of language socialization. Through the particular pattern of language socialization, the children of intermarriage couples in Senggigi, West Lombok are able to socialize with the certain languages within a particular community. Also through the influence of patterns of language socialization the children of intermarriage couples in Senggigi, West Lombok become competent of using those languages in speaking. The children of Family I and Family II are able to determine when they should speak bahasa Sasak, bahasa Indonesia, or English to communicate depend on the situation. The children of Family I use English and bahasa Indonesia. Bahasa Sunda is not used by the children of Family I because this language is used by the mother only in particular situation to express her anger to the children. The mother doesn’t use this language to communicate with the member of the family. The children don’t understand bahasa Sunda so that they don’t use this language in their everyday communication. On the other hand, the children of Family II use English, bahasa Indonesia and bahasa Sasak in their everyday communication.

~ 435 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature REFERENCES

Miles, M.B., and Huberman, A.M. 1994. Qualitative Data Analysis (2nd ed.). London: SAGE Pablication.

Zanden, James W.Vander (1984) “Social Psychology”. Ohio state university: Random House.

~ 436 ~ PROBLEMATIKA BAHASA INDONESIA DALAM KONTEKS KEKINIAN

Ni Wayan Sartini FIB Universitas Airlangga Surabaya [email protected]

ABSTRACT As a growing and developing language, Indonesian has problematics and develops well into a positive as well as negative direction. This paper aims to analyze the problems of Indonesian in recency context. Based on the analysis that has been done, in recency context, the problems are influenced by globalization and cyber culture. Phonologically, the problems are found in language sound. Freedom of speech or parole colors this phonological problems. In the morphological level, the problems occur in many dictions or new words, known as sandwich words. In addition, there is a phenomenon of word formation by analogy, there is a similar form and a tendency to use acronyms arbitrarily. In the syntactic level, the problems are found in the number of code-mixing in sentence construction. In this level, the use of acronyms that substitute functions in a sentence is found. In general, it can be said that the dynamics and problems that occur in Indonesian are caused by the dynamics of the internal structure of language and external factors such as socio-political, cultural, and economic condition.

Key words; Indonesian, problems, structure, context.

1. Pendahuluan Bahasa Indonesia saat ini berkembang pesat. Perkembangan itu dapat dilihat dari jumlah kosa kata dan bentuk-bentuk kata yang digunakan dalam komunikasi masyarakat Indonesia. Salah satu faktor yang menentukan perkembangan sebuah bahasa adalah globalisasi dan perkembangan budaya masyarakatnya. Globalisasi membawa dampak nyata terhadap bahasa. Globalisasi menjadikan kontak antarmasyarakat dan antarbudaya menjadi sangat cepat. Kontak antara masyrakat menyebabkan juga adanya kontak bahasa. Kontak bahasa Indonesia dengan bahasa-bahasa yang lain menyuburkan tumbuh kembangnya bahasa Indonesia baik ke arah positif maupun ke arah negatif. Bahasa mencerminkan jamannya. Begitu juga yang terjadi dalam bahasa Indonesia. Ciri-ciri atau keadaan suatu masyarakat dan budaya tercermin dalam bahasanya. Sebagai contoh; bahasa Indonesia pada jaman Orde Lama berbeda dengan bahasa Indonesia pada jaman Orde Baru. Begitu juga bahasa Indonesia pada era reformasi memiliki ciri yang berbeda dengan era pascareformasi. Hal ini menunjukkan bahasa tidak dapat dipisahkan dari situasi masyarakatnya. Dengan demikian, problematika bahasa yang muncul mencerminkan problematika masyarakat pada jamannya. Pada jaman Orde Baru misalnya, kecenderungan yang terjadi dalam perkembangan bahasa Indonesia adalah banyaknya makna eufemisme. Seluruh kata seakan- akan dihaluskan untuk tujuan-tujuan tertentu. Dalam hal ini terjadi kooptasi makna sehingga masyarakat tidak tahu keadaan yang sebenarnya tentang suatu peristiwa atau keadaan. Dalam pandangan Ben Anderson, kecenderungan eufemisme yang merasuki bahasa Indonesia resmi, yang lazim dipakai sebagai bahasa kesopanan politik ini, ambiguitasnya sama saja dengan bahasa yang dipakai para “priyayi” untuk menghindar dari kekerasan realitas (1996:36). Lewat bahasa yang digunakan para petinggi negara bukan hanya menyembunyikan atau menciptakan realitas, tetapi juga bersembunyi dari realitas dan perilaku yang sesungguhnya. Itulah sekelumit problematika bahasa pada era Orde Baru.

~ 437 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Kenyataan yang menunjukkan bahwa bahasa berkembang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi masyarakat membuat bahasa memiliki ciri dan karakteristik sesuai dengan jamannya. Untuk itulah masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah problematikan bahasa Indonesia dalam konteks kekinian. Makalah ini akan membahas masalah-masalah yang muncul dalam perjalanan bahasa Indonesai saat ini sebagai bahasa yang dipengaruhi oleh globalisasi.

2. Kajian Pustaka Bahasa Indonesia memiliki aturan-aturan normatif dalam proses penyerapan unsur bahasa lain, aturan dalam pembentukan kata-kata, penggunaan dan pembentukan akronim, pembentukan atau penyusunan frase dan kalimat. Artinya dalam bahasa Indonesia telah disusun pedoman tata bunyi, pembentukan kata, pengelompokkan kata, pembentukan kalimat, penggabungan kalimat dan perpaduan kalimat (Alwi, 1995;25). Lazimnya, dengan adanya pedoman dalam bahasa Indonesia seharusnya penggunaan bahasa Indonesia disesuaikan dengan aturan yang ada. Dalam kenyataannya pelanggaran terhadap norma-norma kebahasaan merupakan hal yang lumrah dilakukan. Perbendaharaan kata, kemampuan pemilihan kata, kesadaran tata bahasa serta logika bahasa rupanya masih merupakan masalah yang tak mudah diatasi (Abdulah, 1996:345). Membanjirnya penggunaan istilah-istilah asing dalam bahasa Indonesia merupakan salah satu problematika yang dihadapi bahasa Indonesia saat ini. Derasnya adopsi istilah asing ke dalam bahasa Indonesia disebutkan oleh Bakhtin (1981) sebagai istilah heteroglosissia yakni adanya hubungan antara berbagai bentuk bahasa dengan orientasi sosial. Penggunaan istilah asing dalam komunikasi dikatakan sebagai sikap yang ingin menonjolkan prestise dan selalu beroientasi pada kelompok yang lebihtinggi. Dalam hal ini tampak dominasi kelompok yang satu atas kelompok yang lainnya. Kelompok masyarakat dengan status sosial, politik, dan ekonomi yang lebih rendah memandang positif budaya masyarakat yang staus sosial, politik, dan ekonomi yang lebih kuat sehingga dengan sangat mudah kebudayaannya didominasi oleh kebudayaan luar (Foley, 2001, dalam Wijana, 2014). Pemakaian bahasa dapat digunakan sebagai indikasi bagaimana dominasi budaya tertentu terhadap budaya yang lain karena bahasa adalah unsur penting kebudayaan dan unsur yang paling konsisiten mencerminkan perubahan- perubahan sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakatnya. Dalam Pedoman Pengindonesiaan Nama dan Kata Asing (1995) telah disebutkan pembentukan istilah dan nama untuk badan usaha telah ditetapkan dengan aturan yang berbunyi “nama asing yang dignakan untuk badan usaha, kawasan, dan bagunan perlu dilengkapidengan padannya dalam bahasa Indonesia”. Cara pembentukan nama pun sudah diatur yakni salah satunya adalah “pola diterangkan-menerangkan adalah urutan yang lazim pada kelompok kata”. Dalam penyerapan kata dan istilah asing ditetapkan (1) kata dan istilah asing dapat diserap melalui penerjemahan; (2) kata dan istilah asing juga dapat diserap melalui penyesuaian ejaan. Penyesuaian ejaan dilakukan dengan mengutamakan bentuk tulisnya tanpa mengabaikan lafalnya. Bahasa Indonesia saat ini telah mengalami banyak perubahan. Sebagai bahasa yang tumbuh dan berkembang pasti mengalami perubahan. Bahasa Indonesia kini sudah agak berbeda dengan bahasa asalnya yaitu bahasa Melayu. Struktur kata dan struktur kalimat pada dasarnya masih tetap berpegang pada aturan bahasa Melayu, namun di sana sini terlihat adanya perubahan (Badudu, 1994:3). Perubahan itu dapat disebabkan oleh kepungan eksternal dan dimamika internal. Kepungan ekstrenal terhadap bahasa Indonesia berasal dari kondisi sosial

~ 438 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature budaya, politik, dan ekonomi masyarakat Indonesia. Problematika bahasa Indonesia saat ini terlihat dari kebebasan “ucapan” atau parole yang semakin tidak terkendali. Kebebasan relatif yang semakin besar ini tidak saja menghambat “konsolidasi” langue yang ingin dicapai, tetapi juga malah mengancam tiang-tiang utama yang telah menjadi bagian yang dibakukan. Kebebasan ucapan ini bukan saja sekadar membenarkan anggapan bahwa bahasa indonesia yang masih berada pada tahap pembentukan (formative stage) yang bisa menunjukkan ciri-ciri yang sangat kreatif tetapi tidak jarang pula menggelisahkan para pecinta bahasa apalagi yang memiliki kecenderungan puris. Lebih penting lagi kesemuanya menunjukkan dengan jelas bahwa bahasa Indonesia sangat mudah terbawa oleh situasi sosial- politik yang berada di luar wilayah internal kebahasaan. Hampir di setiap corak wacana— mulai dari sastra, pidato, berita, perundangan, malah pelajaran – perubahan sebagai akibat penetrasi faktor eksternal kebahasaan tampak dengan jelas (Abdullah, 1996:351). Dinamika internal bahasa dan dorongan-dorongan eksternal yang dimunculkan oleh berbagai kekuatan menyebabkan munculnya problematika dalam bahasa Indonesia seperti problematika dalam tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik.

3. Problematika BI Dalam Konteks Kekinian Problematika BI dalam konteks kekinian meliputi berbagai tataran yaitu problematika dalam tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Problematika pada masing-masing tataran tersebut dijelaskan sebagai berikut.

3.1 Tataran Fonologi Problematika pada tataran fonologi dapat dilihat pada aspek fonemik dan fonetik. Pada aspek fonemik problematika itu terlihat pada penambahan dan pengurangan fonem pada kata- kata yang digunakan untuk berkomunikasi. Dalam hal fonetik, terjadi kebebasan pengucapan dalam bahasa Indonesia. Bunyi-bunyi bahasa diucapkan dengan daya kreativitas sehingga muncul kata-kata ya ampyun (ya ampun), cius (serius), capcus (cepat-cepat) dan sebagainya. Di samping itu, problematika itu terlihat pada bahasa remaja dan bahasa dalam media sosial. Munculnya berbagai sapaan saat ini seperti bro, sis, cin, say, gan, pada bahasa pergaulan merupakan sapaan yang dibentuk dari penyingkatan dari brother, sister, sayang, juragan dan sebagainya. Jenis sapaan seperti itu saat ini telah mewarnai komunikasi masyarakat Indonesia terutama remaja. Tidak jarang dan bahkan sering kita dengar kata event ‘peristiwa, kejadian’ diucapkan berbeda dengan lafal bahasa Inggris. Kata tersebut diucapkan bervariasi yaitu even, epen. Suatu kondisi interferensi bahasa yang sangat mengacaukan. Masyarakat umum tidak sadar dengan apa yang diucapkannya. Dalam hal ini terjadi value mob, status climmbing yaitu menggunakan kata untuk menaikkan prestise namun salah dalam melafalkannya. Penggunaan lafal kata yang kurang tepat ini karena ketidaktahuan penutur akan lafal yang tepat dan bagaimana cara menggunakannya atau menyerapnya dalam bahasa Indonesia.

3.2 Tataran morfologi Secara umum yang paling tampak dalam problematika dan dinamika bahasa Indonesia adalah pada tataran morfologi yang menyangkut pembentukan kata dan diksi-diksi yang digunakan dalam berkomunikasi. Dalam tataran morfologi, hasil pembentukan kata termasuk dalam interferensi sistem morfologi. Afiks-afiks suatu bahasa digunakan untuk membentuk ~ 439 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature kata dalam bahasa lain. Dalam komunikasi saat banyak terdapat kata-kata yang dibentuk dari afiks-afiks bahasa Indonesia dengan kata-kata asing. Dalam konteks ini, hasil pembentukan kata tersebut dapat disebut sebagai sandwich word. Bahkan proses pembentukan kata ini menghasilkan kata-kata yang betul-betul baru. Kata-kata itu dibentuk dari afiks bahasa Indonesia dengan kata bahasa asing. Berikut ini adalah kata-kata yang mewarnai bahasa media sosial; ngedit, ngebully, dibully, ngapload, ngeadd, ngebucks, ngemall, diklik ,didownload, diprint, likenya. Dari data di atas, terlihat pembentukan katanya berasal dari afiks dalam bahasa Indonesia dan kata bahasa Inggris. Afiks-afiks yang digunakan adalah afiks {meN-},{di-}, dan klitik {–nya}. Proses terbentuknya kata-kata tersebut sesuai dengan proses pembentukan kata dalam bahasa Indonesia adalah {meN-} + edit  mengedit. Terjadi penghilangan prefiks {meN-} sehingga muncul kata ngedit, begitu juga dengan kata yang lainnya. Penghilangan prefiks merupakan salah satu ciri ragam informal seperti dalam media sosial ini (Sartini,2011). Proses pembentukan kata diklik, diprint, diadd, hampir sama dengan pembentukan kata dengan prefiks {meN-}. Hanya saja dalam hal ini tidak terjadi pelesapan prefiks {di-}. Hal lain yang menyangkut problematika bahasa Indonesia adalah munculnya berbagai kata sapaan dalam komunikasi masyarakat Indonesia. Kata-kata sapaan yang digunakan dalam media sosial adalah sebagai berikut. 1) Sis  sista sister 2) Gan  agan  juragan 3) Bro  brother  Mas Bro, Mb Bro, Pak Bro 4) Pren  friends 5) Beib  baby 6) Cin  cinta

Kata sapaan di atas beberapa berasal dari bahasa Inggris yaitu sis, bro, pren, beib, dan sebagainya. Kata sapaan gan berasal dari kata juragan yang artinya bos atau orang yang dihormati. Penggunaan kata-kata sapaan yang bentuknya merupakan pemenggalan dari kata aslinya merupakan suatu gejala allegro dan ciri dari ragam akrab atau intimate. Di samping sapaan-sapaan tersebut juga digunakan sapaan-sapaan seperti halnya dalam bahasa Indonesia yaitu ibu, bapak, saudara, kakak, adik, tante dan sebagainya. Diksi-diksi lain yang sering mewarnai komunikasi di Indonesia adalah diksi-diksi yang digunakan dalam media sosial yaitu afgan ‘bisa nego tapi jangan sadis’, alay’anak-anak sok eksis’, bais (habus), cukstaw ‘cukup tahu’, Eaa (dari Tukul), Elo gue end ‘putus’, fudul ‘kepo’, galau ‘bimbang’, gengges ‘ganggu’, hoax ‘berita palsu’, jutex ‘judes’, kepo (kaypoh) ‘ingin tahu’, kicep ‘diem’, narsis, oretz ‘oke’‘, palbis ‘paling bisa’, peres ‘palsu, bohong’ rempong ‘ribet’, ucul ‘lucu’, sutralah, selfie, mager, dan sebagainya. Banyak kata-kata atau diksi-diksi khusus muncul dalam komunikasi masyarakat Indonesia saat ini akibat gencarnya pengaruhnya budaya cyber. Budaya tersebut sangat jelas terlihat dalam pengaruh bahasa. Fenomena kebahasaan yang terjadi saat ini di Indonensia adalah fenomena bahasa cyber. Kata-katanya sangat khas dan unik. Ditemukan banyak kata asing, kata-kata bahasa daerah, yang telah bergeser maknanya. Kata lama (Melayu atau kata bahasa Indonesia) yang disesuaikan artinya dengan keperluan konteks. Kata-kata seperti itu dipahami hanya oleh komunitasnya dan sifatnya ekslusif. Dalam istilah Abdullah (1996) disebut

~ 440 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature pluralisme kedua yakni kebebasan relatif yang dengan penuh gairah dipakaikan oleh berbagai kegiatan, sementara pluralisme pertama adalah kemajemukan yang disebabkan oleh bahasa asing dan bahasa daerah. Problematika dalam tataran morofologi terlihat dari banyaknya penggunaaan bentuk- bentuk kembar dala bahasa Indonesia. Bahasa yang mantap mengenal satu kata untuk konsep tertentu. Artinya satu pengertian dinyatakan oleh satu kata atau satu bentuk tertentu, tidak oleh beberapa bentuk yang mirip. Harus ditentukan mana bentuk yang baku dan mana nonbaku sehingga di dalam tuturan resmi baku, hanya bentuk bakulah yang digunakan. Dalam bahasa Indonesia bentuk kembar itu antara lain; utang – hutang, imbau – himbau, dipersilakan – dipersilahkan, pihak—fihak, hewan—khewan, berjuang –berjoang, merubah—mengubah, izin— ijin.Ada bentuk kembar tiga; mengesampingkan – mengenyampingkan – mengkesampingkan; menerapkan – mengeterapkan—mentrapkan –menterapkan dan masih banyak lagi bentuk- bentuk kembar lainnya. Kondisi lain yang menjadi problematika adalah meluasnya kecendrungan penggunaan akronim secara sewenang-wenang dan membingnugkan masyarakat. Apalagi kalau dua akronim untuk pengertian yang sama digunakan untuk merebut tempat dalam bahasa Indonesia. Contoh ; lansia dan manula. Di samping itu kecenderungan itu juga nampak dalam pemakaian akronim dalam kalimat sehingga banyak kasus kalimat yang elemen fungsi-fungsi kalimatnya terdiri atas akronim seperti berikut ini.

(1) Polantas menilang pemotor yang melanggar lalin. (2) Kapolda melakukan sidak ke seluruh Polresta.

Kalimat di atas mengandung akronim yang menempati fungsi subjek, predikat dan objek. Subjek ditempati oleh polantas merupakan akronim dari Polisi Lalu Linta, predikat menilang yang berasal dari me + tilang (bukti melanggar) dan lalin adalah akronim dari lalu lintas. Begitu juga kalimat (2) subjeknya adalah kapolda (Kepala Kepolisian Daerah), predikatnya sidak akronim dari inspeksi mendadak dan objek diisi oleh polresta (Kepolisian Resort Kota). Kedua kalimat itu hanyalah contoh dari kondisi bahasa Indonesia yang subur dengan akronim- akronim baru. Problematika lain dalam bahasa Indonesia adalah munculnya kata-kata dengan analogi yang salah. Dalam suatu bahasa yang sedang tumbuh dan berkemang, penuturnya sering menciptakan bentuk baru atau bentukan baru dengan meniru bentuk lama yaitu bentuk yang sudah ada. Gejala bentukan itu disebut gejala pembentukan berdasarkan analogi (Badudu, 1996:35). Bentuk-bentuk yang sudah ada antara lain dikemukakan, diketengahkan, kemudian diciptakan bentuk baru seperti dikesampingkan, diketengahkan, dikedepankan. Dari bentuk petinju diciptakan kata-kata pesenam, petenis, pevoli, pebola, pegolf, pemotor, pebowling dan sebagainya. Dari kata penatar dan petatar diciptakan kata penutur dan petutur. Bentuk baru yang muncul sebagai analogi bentuk lama, tetapi sering karena pembentukan itu kurang didasari oleh pengetahuan yang cukup tentang kaidah bahasa, kemungkinan terjadi kesalahan. Pembentukan kata berdasarkan analogi yang tepat dapat memperkaya kosa kata bahasa Indonesia, tetapi pembentukan kata dengan analogi yang salah dapat merusak perkembangan bahasa Indonesia.

3.3 Tataran Sintaksis Dalam tataran sintaksis, problematika bahasa Indonesia banyak diwarnai oleh camtur kode. Campur kode adalah masuknya atau dipakainya beberapa serpihan kode ke bahasa lain ~ 441 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature yang menjadi kode utama atau kode dasar (Chaer, 1995). Dalam kaitan ini, kode utama adalah bahasa Indonesia bercampur kode dengan kode-kode dari bahasa daerah dan bahasa asing. Berikut ini data kalimat dalam media sosial FB. (1) Inbox harganya donk sis?; (2) Ready size M dan L mbak. (3) Lunch bersama Fanny di Grand Indonesia Jakarta; (4) Jalan santai with my best friend; (5) Ojo dibully lho yo; (6) Poko’e backpacker; (7) Heroe-ku sudah kehapus nak, eman sakjane; (8) Mau donlot kok yo sulit banget, link pada mati. Dari beberapa data di atas, ditemukan kalimat-kalimat yang dikonstruksi oleh unsur-unsur bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa daerah. Kalimat-kalimat tersebut didominasi oleh campur kode bahasa Inggris baik yang diserap secara utuh maupun diserap lafalnya. Mencermati dinamika bahasa Indonesia saat ini banyak diwarnai oleh diksi-diksi dalam media sosial. Hal ini merupakan cerminan dari globalisasi dan budaya cyber yang telah mempengaruhi masyarakat Indonesia. Pengaruh itu jelas terlihat dalam bahasa sebagai unsur terpenting dalam kebudayaan.

4. Kesimpulan Sebagai bahasa yang sedang tumbuh dan berkembang, bahasa Indonesia memiliki problematika dan berkembang baik ke arah positif maupun ke arah negatif. Dalam konteks kekinian, problematika itu dipengaruhi oleh globalisasi dan pengaruh budaya cyber. Secara fonologis, problematika itu terjadi dalam permainan bunyi bahasa. Kebebasan ucapan atau parole mewarnai problematika fonologis ini. Dalam tataran morfologi problematika itu tampak dalam banyaknya diksi atau kata baru yang dikenal dengan sandwich words. Di samping itu ada fenomena pembentukan kata dengan analogi, ada bentuk kembar dan kecenderungan penggunaan akronim yang sewenang-wenang. Dalam tataran sintaksis problematika itu terlihat pada banyaknya campur kode dalam konstruksi kalimat. Dalam tataran ini ditemukan penggunaan akronim yang mengisi fungsi-fungsi dalam kalimat. Secara umum dapat dikatakan bahwa dinamika dan problematika yang terjadi dalam bahasa Indonesia diakibatkan oleh dinamika dalam struktur internal bahasa dan dorongan eksternal seperti kondisi sosial-politik, budaya, dan ekonomi.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. 1996. “Situasi Kebahasaan Masa Kini : Kepungan Eksternal Dalam Perkembangan Bahasa dan Wacana di Indonesia” dalam Bahasa dan Kekuasaan. Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Yudi Latif dan Idy Subandy (ed.). Bandung : Mizan Pustaka Alwi, Hasan dkk. (1998). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka Badudu. J.S. 1994. Inilah Bahasa Indonesia yang Benar. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Pedoman Pengindonesiaan Nama dan Kata Asing. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Perbukuan. Proye.k Penyediaan Buku Pelajaran Pokok Sekolah dasar Jakarta 1995/1996. Folley. William. A. 2001. Anthroplogical Linguistics : An Introduction. Oxford : Blackwell Wijana, I Dewa Putu. 2014. “Bahasa, Kekuasaan, dan resistensinya : Studi tentang Nama-nama Badan Usaha di Daerah Istimewa Yogyakarta” malakah Seminar Nasional Bahasa Ibu VII Fakultas Sastra dan Budaya, Program Magister & Doktor Linguistik Universitas Udayana. Sartini, Ni Wayan. 2012. “Bahasa Indonesia Ragam Lisan Formal dalam Ujian Terbuka Kajian Sintaksis Pragmatik.” Disertasi Program Studi S3 Linguistik Pascasarjana Universitas Udayana.

~ 442 ~ SUBSTITUTION BETWEEN SENTENCES IN BALINESE FOLKLORES

Ni Wayan Suastini Student of Doctoral Program of Udayana University

ABSTRACT This paper entitled “Substitution between Sentences in Balinese Folklores”. This study aimed in finding the the existence of substitution as a marker of relationships between sentences in Balinese language. This paper used five Balinese folklores as the data sources. Each text used consists of several sentences that constitute a coherent unity. It is characterized by the unity of discourse markers relations between sentences. To form a good discourse, sentences that connect between propositions must cohesive and coherent. A discourse is said to have a cohesive relationship when there is a harmonious relationship between the elements in the discourse in order to create a proper understanding. This study is based on the theory of cohesion proposed by Halliday and Hasan in his book Cohesion in English (1976) and supported by the structural theory proposed by Verhaar (1981). Based on the research that has been done, the substitution as a marker of relationships between sentences in Bali on 5 Balinese folklores can be viewed from three aspects. First, in terms of its UT (replaced element) syntactic function found: S substitution, and O substitution. Secondly, in terms of its UT syntactic category found: substitution of nouns. Noun substitution differentiated into two: noun substitution and the substitution of non persona nouns. Third, in terms of its UT shape found: word substitution, phrase substitution, and clause substitution.

Keywords: discourse, cohesion, substitution

I Pendahuluan Mengingat pentingnya bahasa bagi kehidupan manusia, kegiatan berbahasa perlu dibina, dikembangkan, serta dilestarikan keberadaannya. Bahasa Bali termasuk juga di dalamnya. Salah satu kegiatan yang dapat dilakukan untuk keperluan pembinaan, pengembangan, dan pelestarian itu adalah penelitian. Kajian “Substitusi Antarkalimat dalam Bahasa Bali” dalam penelitian ini didukung oleh pertimbangan, wacana bahasa Bali terutama dalam media massa kini sudah mulai banyak digunakan, baik dalam berita televisi, koran, majalah, novel, maupun media yang lainnya sehingga bahasa dalam media dapat juga membantu perkembangan bahasa Bali itu sendiri. Hal ini juga menyebabkan bahasa yang digunakan sebagai media pengungkapan dalam wacana perlu diteliti. Untuk membentuk suatu wacana yang apik, kalimat-kalimat yang menghubungkan antarproposisi harus kohesif dan koheren. Suatu wacana dikatakan memiliki hubungan kohesif apabila hubungan antara unsur dalam wacana tersebut serasi sehingga tercipta suatu pengertian yang apik. Tarigan (1987: 70) berpendapat bahwa wacana yang ideal adalah wacana yang mengandung seperangkat proposisi yang saling berhubungan untuk menghasilkan rasa kepaduan atau rasa kohesi. Selain itu juga dibutuhkan keteraturan atau kerapian susunan yang menimbulkan rasa koherensi.

1.2 Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut. Pertama, Bagaimanakah jenis- jenis substitusi yang muncul, bila ditinjau dari segi fungsi, kategori dan bentuk UT-nya?

~ 443 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Kedua, Bagaimanakah keterikatan antara substitusi dengan penanda yang lainnya? II Teori Halliday dan Hasan (1976) menjelaskan bahwa penunjukan dibedakan menjadi dua kelompok: eksofora (exophora), yaitu menunjuk sesuatu yang berada di luar teks (sejalan dengan situasi) dan endofora (endophora) menunjuk sesuatu yang berada di dalam teks. Tipe endofora dibedakan menjadi tiga: persona, demonstratif, dan komparatif. Substitusi dan penghilangan masing-masing dibedakan menjadi tiga bagian: nomina, verba, dan klausa. Perpaduan leksikal dibedakan menjadi dua: kolokasi dan reiterasi. Reiterasi meliputi: sinonim, superordinat, repetisi, dan kata generik. Penghubung dibedakan menjadi empat: aditif, adversatif, kausal, dan temporal. Teori struktural yang diterapkan sebagai landasan pendukung dalam penelitian ini adalah teori struktural yang dikemukakan oleh Verhaar (1981), khususnya tentang sintaksis yang merupakan perpaduan dari beberapa teori tentang sintaksis. Tataran fungsi-fungsi sintaksis merupakan tataran tertinggi yang meliputi: subjek (S), predikat (P), objek (O), dan keterangan (K). Fungsi sintaksis merupakan konstituen formal yang merupakan tempat kosong yang harus diisi oleh unsur lain, seperti kategori dan peran. Fungsi tersebut bersifat relasional, keberadaan fungsi yang satu tidak dapat dibayangkan tanpa dihubungkan dengan fungsi yang lain (Verhaar, 1981: 78). Misalnya, tidak dapat dikatakan bahwa fungsi itu S atau O tanpa dihubungkan oleh P. Demikian sebaliknya, suatu fungsi itu dapat dikatakan P hanya dalam hubungan S atau O. Kategori adalah tataran yang mengisi fungsi-fungsi dari segi bentuk, seperti: nomina, verbal, ajektival, pronominal, dan sebagainya. Berbeda halnya dengan fungsi, kategori pada umumnya tidak relasional oleh karena kategori sudah dapat diketahui tanpa harus melihat hubungannya dengan kategori lain. Misalnya, suatu kategori verba sudah dapat diketahui tanpa harus menghubungkannya dengan kategori nomina atau ajektiva (Sudaryanto, 1979: 13).

III. Analisis a. Susbtitusi Nomina Persona Substitusi nomina persona adalah suatu penanda hubungan antarkalimat yang ditandai oleh adanya penggantian pada satuan lingual yang menjadi UT (Unsur Terganti). Unsur satuan lingual yang dapat menggantikan nomina persona disebut dengan istilah pronomina persona. Penggunaan pronomina persona bentuk ke III dalam proses substitusi pada bahasa Bali terlihat pada contoh-contoh berikut: 1.a. Kacarita ada tuma, nongos di lepitan tilam anake agung. b. Ditu ia kapepekan amah, maan ngisep rah anake agung, kanti mokoh. 2 . a Pan Karsa ajaka pianakné muani nanggap upah ngaé sémér di sisin rurungé gedé. b. Uli semeng makasanja ia ajaka dadua tusing marérén magaé, 3. a Disubane I Belog neked di peken, b. kema-mai ia ninggalin dagang bebek sakewala ia ngenjuhang pipis dasa tali rupiah. 4. a. Kacrita di desa anu ada anak mapungkusan madan Nang Cubling. b.Sedek dina ia masangin bojog di tukade, lantas ada bojog gede teka tur matakon, 5. a. tuturan satua anak muani madan I Rajapala makurenan ngajak dedari madan ken Sulasih. b. Ia ngelah pianak adiri adanina I Durma

Dalam bahasa Bali persona III meliputi ida, ipun, dané, ia dan bentuk terikat –né dan -nyané. Dapat dilihat pada contoh-contoh diatas persona III yang paling banyak muncul adalah bentuk Ia. Contoh (1-5) di atas menggunakan penanda hubungan substitusi, untuk menghubungkan

~ 444 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature kalimat satu dengan kalimat yang lain. Konstituen Tuma pada (1a) adalah UT, sedangkan konstituen ia ‘dia’ pada (1b) adalah UP. Konstituen Pan Karsa pada (2a) merupakan UT dan konstituen ia ‘dia’ pada (2b) adalah UP. Konstituen I Belog pada (3a) adalah UT, sedangkan konstituen ia ‘dia’ pada (3b) adalah UP. Pada contoh-contoh diatas UP yang paling banyak digunakan adalah konstituen ia. Pada contoh 4a UT merupakan objek yang digantikan oleh UP yang berperan sebagai subjek kalimat. Sedangkan pada contoh yang lain UT merupakan subjek dan digantikan dengan UP yang mempunyai posisi sebagai subjek pula. b. Substitusi Nomina non Persona a. Angob pesan tiang ningalin kamelahan Taman Idane b. Dumun, tongosné romon pesan.

Contoh di atas menggunakan pronomina bentuk terikat –né ‘-nya’ sebagai UP nomina yang bukan persona. Bentuk terikat –né ‘-nya’ memiliki variasi leksikal –nyané ‘-nya’ yang dapat saling menggantikan satu sama lain. Bentuk terikat –né ‘-nya’ pada contoh b di atas menggantikan nomina yang menyatakan benda, selain manusia dan binatang. c. Substitusi Frase Substitusi frase adalah salah satu penanda hubungan antarkalimat, yang ditandai adanya penggantian UT dengan unsur yang lain sebagai UP. Dalam substitusi semacam ini UT-nya berbentuk frase. Substitusi frase dalam bahasa Bali dapat dilihat pada contoh-contoh berikut: 1.a. Kacarita ada tuma, nongos di lepitan tilam anake agung. 1.b. Ditu ia kapepekan amah, maan ngisep rah anake agung, kanti mokoh. 1.a Kacrita ia ngemulihang, tur ngaliwatin tukad linggah. 1.b. Ditu lantas bebeke ngeleb. Contoh di atas merupakan contoh-contoh yang menggunakan substitusi sebagai penanda hubungan antarkalimat. Jenis substitusi yang digunakan adalah substitusi frase. Dikatakan demikian, karena UT-nya berbentuk frase. Konstituen lepitan tilam anake agung merupakan frase keterangan tempat yang disubstitusi dengan kata ditu (disana) dan konstituen tukad linggah juga merupakan frase keterangan tempat yang disubstitusi dengan kata ditu yang berarti disana. d. Substitusi Klausa Substitusi klausa sebagai penanda hubungan antarkalimat dalam bahasa Bali, ditemukan dalam contoh berikut.

1.a Rajapala makurenan ngajak dedari madan ken Sulasih. Ia ngelah pianak adiri adanina I Durma.Mara I Durma matuuh pitung oton, kalahina teken memene mawali ka swargan. 1.b. Sawireh keto, Idurma kapiara, olih Irajapala,kanti matuuh dasa tiban.

Pronomina klausa keto ‘begitu’ dapat digunakan dalam konteks di atas, karena kata tersebut mengganti klausa verba. Dalam contoh (1b) pronomina klausa kéto ’begitu’ mengganti konstituen kalahina teken memene mawali ke swargan (1a) yang berupa klausa verba.

Kesimpulan Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, substitusi sebagai penanda hubungan antarkalimat dalam bahasa Bali pada 5 cerita rakyat Bali dapat ditinjau dari tiga segi. Pertama,

~ 445 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature dari segi fungsi sintaksis UT-nya ditemukan: substitusi S, dan substitusi O. Kedua, dari segi kategori sintaksis UT-nya ditemukan: substitusi nomina, Substitusi nomina dibedakan lagi menjadi dua: substitusi nomina persona dan substitusi nomina bukan persona. Ketiga, dari segi bentuk UT-nya ditemukan: substitusi kata, substitusi frase, dan substitusi klausa

DAFTAR PUSTAKA

Halliday, M. A. K. dan Ruqaiya Hasan. 1976. Cohesion In English. London: Longman.

Halliday, M. A. K. dan Ruqaiya Hasan. 1992. Bahasa, Konteks, dan Teks. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sudaryanto. 1979. Predikat-Objek dalam Bahasa Indonesia: Keselarasan Pola Urutan. Jakarta: Djambatan.

Verhaar, J. W. M. 1981. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

~ 446 ~ KELAS KATA DALAM STRUKTUR MIKRO WACANA LISAN MBASA WINI ETNIK RONGGA

Ni Wayan Sumitri IKIP PGRI Bali [email protected]

ABSTRACT This paper discusses word classes in Rongga that form microstructure of the mbasa wini spoken discourse in Rongga, an ethnic group in the Kota Kombadistrict of east Manggarai. This is a qualitative and descriptive study, with phenomenological philosophy. The data was collected by means of interview and audio/video documentation of the mbasawini, and the transcription texts of their songs. The findings show that the following words classes form the microstructure of the texts: nouns, verbs, adjectives, adverbs and functional words (particles, prepositions and conjunctions). Among these classes, nouns dominate. They include subclasses referring to animates (e.g. tibo‘goats’ wawi ‘pigs’, manu ‘chicken’) as well as, plants and other inanimates (e.g. wini’ seed’ mbolu ‘sweet potatos’,pare ‘’rice’, jawa ‘’corn’, uma ‘garden’, mbasa wini -seed wetting ceremony’and watu ‘stone’). The domination by nouns in these semantic fields is socio-culturally related to the collective ethnic identity of the Rongga people in relation to their agriculture. Word classes are part of formal expressions in the Mbasa wini texts allow certain patterns or formulas for parallelism as a way to encode subtle meanings in poetic and esthetic ritual language. Given their important values and endangered nature, the documentation of this kind of cultural practice is urgently needed so that it can be learned and maintained by young generations of Rongga.

Key words: word clases, microstructure, oral discourse, Rongga ethnic group.

1.Pendahuluan Bahasa dan budaya memiliki hubungan yang sangat erat. Bahasa selalu digunakan dalam konteks sosial dan budaya penuturnya. Kramsch (2001:3-6) berpendapat bahwa bahasa adalah wahana mendasar bagi manusia untuk melakukan kehidupan sosial. Hubungan antara bahasa dan kebudayaan dengan kelompok etnik atau suku bangsa yang menjadi subyek penutur bahasa bersangkutan dapat ditelaah dari tiga perspektif terkait, yakni bahasa sebagai unsur budaya, bahasa sebagai indeks budaya dan bahasa sebagai simbol budaya. Fenomena penggunaan bahasa sebagai unsur budaya tercermin dalam berbagai tradisi ritual, cerita rakyat, lagu atau nyanyian rakyat, ungkapan-ungkapan dan sebagainya. Sebagai indeks budaya, bahasa digunakan sebagai wahana komunikasi untuk mengungkap pikiran dan menata pengalaman warga guyub tutur bahasa bersangkutan dalam kerangka pemahaman dan pemaknaan tentang dunia sesuai realitas sosial-budaya yang dihadapi dan dialaminya setiap hari. Penggunaan bahasa sebagai simbol budaya mencirikan keberadaan kelompok etnik atau suku bangsa bersangkutan sebagai satu kelompok etnolinguistik atau guyub tutur (Fishman dalam Kuper dan Jessica, 2000; bdk Bright, 1992:177). Seperti halnya bahasa yang digunakan guyub tutur etnik lain, bahasa Rongga yang digunakan guyub tutur etnik Rongga1 juga berfungsi sebagai unsur budaya, indeks budaya

1 Etnik Rongga tergolong etnik minoritas karena tidak memiliki daya dan peluang yang sama dengan warga kelompok etnik Manggarai sebagai kelompok dominan dalam mengakses dan menduduki posisi kekuasaan dalam struktur politik pemerintiahan di wilayah Manggarai. Kelompok etnik Manggarai mendiami sebagian besar wilayah pulau Flores bagian Barat dengan batias Utara lauti Flores, batas Selatan laut Sawu, batas Timur Wae Mokel batas Barat selat Sape (lihat Sumitri, 2015) ~ 447 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature dan simbol budaya. Etnik Rongga yang identik dengan bahasa lokalnya yaitu bahasa Rongga merupakan salah satu etnik yang berdiam di kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, NTT. Penggunaan bahasa Rongga sebagai unsur budaya bagi etnik Rongga2 tercermin, antara lain, dalam wacana budaya (cultural script) yang dituturkannya dalam berbagai konteks ritual yang diwariskan secara lisan dari leluhur atau nenek moyangnya. Wacana budaya tersebut dipahami dan dimaknai sebagai budaya tetesan masa lalu. Budaya masa lalu itu sangatlah berharga karena selain menjadi sumber inspirasi dan aspirasi, di dalamnya terkandung pula seperangkat norma dan nilai. Nilai yang dikandungya itu berfungsi sebagai sumber rujukan bersama bagi warga etnik Rongga dalam menata sikap dan perilakunya setiap hari. Sikap dan perilaku tersebut tidak saja mengarah dan bermuara pada penyembahan terhadap Tuhan (Mori Ndewa), roh leluhur (embu nusi), dan roh alam (mori tana), tetapi juga mempertahankan eksistensi diri mereka sebagai manusia dan masyarakat terutama dalam lingkup kehidupannya sebagai satu kelompok yakni klen patrilineal yang bersifat genealogis. Salah satu jenis wacana budaya warisan leluhur yang hidup dan berkembang dalam realitas sosial- budaya etnik Rongga adalah wacana mbasa wini yang dituturkan dalam konteks ritual pertanian. Sesuai konteks situasi yang melatari penuturannya, yakni tradisi lisan mbasa wini, wacana budaya tersebut dinamakan wacana mbasa wini. Wacana mbasa wini dicoraki sebagai sebuah wacana budaya tradisi karena fenomena bahasa yang digunakan dalam wacana tersebut memiliki karakteristik yang khas. Kekhasan sebagai ciri pembeda bentuk, fungsi dan makna tekstual dan kontekstual kebahasaan yang digunakannya. Mencermati esensi isi pesannya bahwa ritual mbasa wini mencirikan keberadaan mereka sebagai pengemban budaya pertanian memiliki struktur yang khas dan sangat menarik untuk dikaji. Struktur dimaknai sebagai hubungan antarbagian yang bersifat koheren (bdk. Teeuw 1984:51). Menurut Van Dijk (1985a:1-8) bahwa struktur wacana terdiri atas tiga elemen dasar yakni struktur makro (makna global sebuah teks), superstruktur (kerangka teks), dan struktur mikro (struktur teks berdasarkan aspek kebahasaan dari tataran yang paling rendah seperti bunyi dan tataran yang paling tinggi seperti wacana). Terkait dengan hal itu, dalam tulisan ini dikaji dan disajikan kelas kata dalam struktur mikro teks WLMW. Daerah lokasi penelitian meliputi dua kelurahan (kelurahan Tanarata dan Watu Nggene, dan dua desa yaitu desa Bamo dan desa Komba di Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, NTT. Kajian utamanya bersandar pada data primer berupa rekaman audio/video pertunjukan tarian dan teks trasnkripsi syair-syair nyanyian serta tuturan wacana dan wawancara dengan pelaku dalam tradisi mbasa wini baik generasi muda maupun orang tua. Data sekunder dari tulisan peneliti lain juga dipakai untuk mendukung dan memperkuat analisis. Pembahasan akan dipaparkan sebagai berikut. Uraian mengenai konsep kelas kata pada 2.1, konsep wacana pada 2.2, tradisi mbasa wini diuraikan pada 3.1, Kelas kata dalam struktur mikro teks WLMW diuraikan pada sub 3.2. Simpulan diuraikan pada bagian 4.

2. Konsep 2.1 Kelas Kata

2 Hampir semua warga etnik Rongga beragama Katolik, walaupun beragama Katolik etnik Rongga masih juga melaksanakan berbagai ritual yang diwarsikan dari nenek moyang mereka. Ritual yang demikian utamanya terkait dengan kegiatan di rumah (sa’o), kebun (uma), dan kampong (nua) yang pada dasarnya terkait dengan pentingnya peran, restu dan perlindungan leluhur (Arka, 2007:3). ~ 448 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Kelas kata adalah kategori kata yang memiliki ciri-ciri morfosintaksis dan morfoleksikal tertentu yang sama (Baker, 2004); Keraf, 1999:52). Di pihak lain Keraf (1999:52) menyatakan bahwa kelas kata adalah sekumpulan kata yang memiliki ciri-ciri tertentu berdasarkan suatu kritieria yang sama. Kelas kata tersebut mencakupi verba atau kata kerja (menyatakan tindakan atau perbuatan, nomina atau kata benda (menyatakan benda atau yang dibendakan), adjektiva atau kata sifat (menyatakan sifat atau keadaan), dan adverbia atau kata keterangan. Ada kelompok kata lain yang disebut kata tugas yang terdiri atas preposisi atau kata depan, konjungtor atau kata sambung, dan partikel. Pembagian kelas kata seperti itu berdasarkan pada kriteria semantik (lihat Keraf, 1999:51-53). Masalah multifungsi dan kriteria sintaksis kelas kata di bahasa-bahasa Flores (lihat Arka, 2014).

2.2 W acana Wacana sebagai suatu bentuk praktik sosial, yang pada kenyataannya dapat berupa ujaran, respon, atau aksi dari masyarakat terhadap lingkungan sosialnya (Fairclough 1997:63). Menurut Osch (1988:8), wacana merupakan seperangkat makna yang menghubungkan struktur bahasa dengan konteks yang melatarinya, yang dirajut oleh penutur dan pendengar dalam proses memproduksi dan menafsirkan makna.

3. Pembahasan dan Hasil Penelitian 3.1 Tradisi Mbasa W ini Tradisi mbasa wini merupakan salah satu produk dan praktek budaya warisan leluhur etnik Rongga. Etnik Ronnga adalah salah satu etnik yang terdapat di kecamatan kota Komba Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa tenggara Timur. Sebaran etnik Rongga meliputi kelurahan Tanarata dan Watu Nggene dan di dua desa yakni desa Bamo dan desa Komba dengan jumlah penduduk diperkirakan 8000 jiwa (dari jumlah 11.957 (Statistik Kota Komba 2011). Tradisi mbasa wini merupakan salah satu bagian dari tradisi lisan vera (tradisi ritual berkaitan dengan pertanian dan kehidupan manusia disertai tarian dan nyanyian). Dilihat dari esensi pesannya tradisi mbasa wini adalah wacana budaya yang dituturkan secara lisan dalam konteks tradisi ritual mbasa wini yang mencirikan keberadaan mereka sebagai pengemban budaya pertanian. Secara leksikal, kata mbasa berarti ‘basah’ dan kata wini berarti ‘bibit’. Istilah mbasa wini berarti memerciki bibit (terutama pare ‘padi dan jawa ‘jagung). Bibit diperciki dengan darah korban (ayam atau babi) sebelum ditanan pada tahun musim yang baru. Tradisi ritual mbasa wini dilakukan sebagai ungkapan permohonan kepada Tuhan. Permohonan doa tersebut disampaikan dengan perantaraan leluhur supaya memberkati bibit yang telah disiapkan tumbuh subur dan memberikan hasil yang berlimpah. Sesuai dengan kalender adat yang hidup dan berkembang dalam realitas sosial budaya etnik Rongga, tradisi ritual mbasa wini dilaksanakan pada awal musim tanam, yang biasanya jatuh sekitar bulan Oktober. Ritual mbasa wini ini dilaksanakan pada malam hari disertai dengan tarian dan nyanyian sampai pagi hari menjelang matahari terbit.

3.2 Kelas Kata dalam Struktur Mikro Teks W acana Lisan Mbasa W ini Berdasarkan hasil penelitian, bahwa kelas kata yang ditemukan dalam struktur mikro teks wacana lisan mbasa wini (WLMW) terdiri atas nomina, verba, adjektiva, adverbia, dan kata tugas (preposisi, konjungsi dan partikel). Kelas kata itu pengisi baris-baris dalam bait ~ 449 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature sebagai unsur pembentuk struktur mikro teks WLMW. Dalam kaitan ini, kelas kata dalam teks WLMW diuraikan berdasarkan sudut pandang semantis. Dari analisis data yang dilakukan, jenis dan frekuensi penggunaan kelas kata itu dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 01 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Kelas Kata No. Jenis Kelas Kata Jumlah Persentase (%) 1. Nomina 1.104 58,30 2. Verba 392 20,67 3. Adjektiva 173 9,12 4. Adverbia 67 3,54 5. Kata Tugas (preposisi 66, konjungsi 33, dan partikel 61) 160 8,44 6. Jumlah 1.896 100

Data pada tabel 5.4 di atas menunjukkan bahwa dari 1.896 kata yang digunakan dalam teks WLMW, jumlah kata berkategori nomina dominan digunakan yakni sebanyak 1.104 (58,30%), verba sebanyak 392 (20,67%), adjektiva sebanyak 173 (9.12%), adverbia sebanyak enam puluh tujuh (3,54%), dan kata tugas sebanyak 160 (8.44%). Berikut ini diuraikan masing masing kelas kata tersebut. 1) Nomina Kategori nomina sering disebut kata benda. Secara semantis nomina adalah kata yang mengacu pada manusia, binatang, benda, dan konsep atau pengertian Alwi dkk. 1993:239). Kategori nomina sangat dominan digunakan dalam struktur mikro teks WLMW yakni sebanyak 1.104 dari 1.896 jumlah kata yang digunakan (lihat tabel 01). Nomina itu, berkaitan dengan fenomena alam yang hidup di sekitar lingkungan etnik Rongga. Pemnfaatan fenomena alam menunjukkan bahwa dalam pergaulan sehari-hari, sistem nilai atau sistem budaya sangat mempengaruhi pola perilaku etnik Rongga tidak terkecuali pola perilaku berbahasa. Memanfaatkan perbandingan fenomena alam berupa nomina sebagai media dalam berbagai ungkapan adalah salah satu cara memberikan pendidikan kepada masyarakat dalam menaati norma-norma yang mesti dipatuhi selain untuk menghindarkan ketersinggungan. Fenomena alam yang hidup di sekitarnya mengacu pada mahkluk hidup dan benda tak bernyawa. Frkekuensi penggunaan nomina dalam teks WLMW seperti terlihat pada tabel berikut.

Tabel 02. Jenis dan Frekuensi Penggunaan Kelas Kata Berkategori Nomina No. Jenis Kategori Nomina Jumlah Persentase (%) 1. Mahkluk hidup 212 19,21 2. Benda mati 892 80,79 Jumlah 1.104 100

Penggunaan nomina dalam struktur mikro teks WLMW seperti terlihat pada fragmen berikut.

(01) Lako kongo rongo ndau, lau wena watu Anjing gonggong kambing itu, di (selatan) bawah batu Anjing menggonggong kambing itu, ke selatan di bawah batu Tibo miri kembi ndau, lau wena watu Kambing sandar dinding itu, di (selatan) bawah batu

~ 450 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

‘Kambing bersandar di dinding itu, di selatan bawah batu’

(02) Embo sosa ndau, lau wiri nanga Ombak bunyi itu ke (selatan) batas pantai ‘Ombak berbunyi itu ke selatan batas pantai’ Meti ndili seli, meti reta wiri penda Surut bawah gelap surut henti batas pandan ‘Surut dan gelap di bawah, berhenti di batas pandan’

(03) Kodhe mbeke ko’e lau wena watu kera jantan sebelum ke selatan bawah batu ‘kera jantan sebelum ke selatan berada di bawah batu’ Kodhe mbeke merhe ramba otu mbesi mbolu kera jantan besar agar lihat kayu besi ketela rambat yang masih muda ‘kera jantan besar agar lihat kayu besi dan ketela rambat yang masih muda’

(04) Mbesi tonggu mberi ma’e we’e ame dhenge Ketela bersusun sanding jangan dengan si jamur ‘Ketela bersusun jangan bersanding dengan si jamur We’e dhenge ame dhenge ata rhe’e dengan jamur si jamur orang jelek ‘karena si jamur orang yang jelek’

Seperti tampak pada data (01), nomina yang mengacu pada mahkluk hidup berupa hewan seperti nomina lako ‘anjing, rongo ‘kambing’ mbeke ‘kera’. Nomina mengacu pada tumbuh- tumbuhan berupa nomina mbolu ‘ketela rambat’ pada data (03), dan dhenge ‘jamur’ sejenis tumbuhan pada data (04). Penggunaan nomina lako (anjing) dan tibo (kambing) banyak ditemukan dalam teks WLMW selain wawi (babi) dan manu (ayam) dan sebaginya. Nomina itu berkaitan pula dengan sebagian besar mata pencaharian penduduk etnik Rongga pada sektor pertanian/peternakan. Nomina mengacu benda atau mahkluk takbernyawa seperti nomina watu’batu’ yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat keras pada data (01) dan (03), dan nanga ‘pantai’ yang menyatakan batas daratan dan laut pada data (02). Dalam kebudayaan etnik Rongga nomina watu ‘batu’ memiliki makna penting berkaitan dengan identitas mereka secara sosio-kolektif sebagai satu kesatuan etnik di Manggarai. Konon sebelum mengenal budaya membuat rumah mereka tinggal di goa-goa di sekeliling batu besar dengan kebiasaan seperti itu, sehingga muncul istilah watu susu Rongga terekam dalam vera. Artinya orang-orang tidur di sekeliling batu besar pada malam hari seperti menyusui batu (Sumitri, 2005:39).

2) Verba Secara semantis kelas kata verba mengacu kepada suatu aktivitas baik aksi atau perbuatan, proses, dan keadaan. Ketiga jenis verba tersebut ditemukan dalam struktur mikro teks WLMW. Verba aksi atau tindakan seperti kata kolo’ gonggong’ miri ’bersandar’ pada data (01), mberi ‘bersanding’ pada data (04), sedangkan verba proses seperti kata meti ‘surut’, dan verba keadaan seli ‘gelap’ pada data (02). Di antara ketiga jenis verba itu, verba aksi atau tindakan dominan ditemukan. Data tersebut menunjukkan bahwa verba sebagai unsur pembentuk struktur teks WLMW lebih banyak menampilkan dimensi aksi atau tindakan yang berkaitan dengan ritual mbasa wini.

3) Adjektiva

~ 451 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Seperti disinggung di atas, bahwa penggunaan kelas kata berkategori adjektiva ditemukan pula dalam teks WLMW. Adjektiva meliputi sub-kelas adjektiva yang menerangkan nomina dalam kaitannya dengan hal-hal semantis kualitas, ukuran, bentuk, warna, dan tekstur (lihat Arka, 2007:93). Beberapa contoh kelas kata berkategori adjektiva yang ditemukan seperti adjektiva yang menerangkan nomina berkaitan dengan ukuran, keadaan, dan proses seperti adjketiva merhe ‘besar’ pada data (03) dan seli ‘gelap’, rhe’e ‘jelek’ dan meti ‘surut’.

4) Adverbia Selain kelas kata berkategori nomina, verba dan adjektiva kata berkategori advebia juga ditemukan pengisi baris-baris dalam bait teks WLMW. Adverbia adalah kata yang digunakan untuk menerangkan unsur lain atau bagian kalimat yang berfungsi sebagai predikat baik berupa verba, adjektiva, nomina, maupun numeralia (Alwi, dkk. 1993:218). Dari 1.896 jumlah kata yang digunakan dalam teks WLMW (seperti tabel 01 di atas) sebanyak 67 atau (3,54%) ditemukan kelas kata yang berkategori adverbia seperti kata ko’e ‘sebelum‘ dan ghoru ‘sore’, dhai ‘agak’ dan ghepe ‘hati’hati’ yang menyatakan keterangan.

5) Kata Tugas Jenis kata tugas yang ditemukan terdiri atas preposisi, konjungsi, dan partikel dengan jumlah bervariasi (lihat tabel 01 di atas). Di atara kata tugas tersebut jenis preposisi terutama yang menyatakan latar tempat dominan ditemukan. Hal itu, terkait pula dengan sejarah asal- usul etnik Rongga yang mendiami beberapa kampung di Manggarai Timur. Beberapa contoh kata tugas seperti preposisi lau ‘ke (selatan), menyatakan arah dan tempat seperti terlihat pada data (01), (02) dan, konjungsi ramba’ agar’, we’e ‘dengan’, dan partikel seperti kata ma’e ‘jangan’ pada data (03). Secara linguistik masing-masing kelas kata yang diuraikan di atas dapat bergabung dengan kelas kata lain dalam jumlah lebih dari satu kata. Penggabungan dua kata atau lebih menjadi satu kesatuan organisasi kata yang digunakan dan membentuk struktur makro teks WLMW. Selain itu, pengabunag tersebut juga bertujuan untuk menampung konsep-konsep tertentu dengan kerangka makna khusus yang tidak dapat diwujudkan hanya dalam satu kata. Jalinan dari berbagai kelas kata itu membagun efek estetis puitis teks berupa paralelisme dalam bentuk permainan bunyi baik pada tataran fonologi, maupun gramatikal. Misalnya verba kongo ‘gonggong’ dengan nomina rongo ‘kambing’ menjadi kelompok kata berupa frasa verba kongo rongo ‘gonggong kambing’ menimbulkan efek estetis berupa permainan bunyi berasonansi vokal berstruktur simetris o-o pada data (01), nomina mbeke ‘jantan’ dengan merhe ‘besar’ menjadi kelompok kata berupa frasa nomina mbeke merhe ‘jantan besar’ terjadi menciptakan efek estetis berupa asonansi vokal bersrtuktur simetris e-e pada data (03). Pada tataran gramatikal verba meti’surut’ berekuivalensi dengan verba reta ‘henti’, karena terjadi penyepasangan kelas kata yang sama.

4. Simpulan Hubungan bahasa, kebudayaan dan konseptualisasi etnik Rongga tercermin dalam struktur teks WLMW khusus kelas kata sebagai unsure pembentuk struktur mikro teks. Adapun kelas kata yang ditemukan dalam struktur mikro teks WLMW meliputi nomina, verba, adjektiva, adverbia, dan kata tugas (partikel, preposisi, dan konjungsi) yang cenderung didominasi oleh kategori nomina. Nomina itu, mengacu pada mahkluk hidup dan benda tak bernyawa dan

~ 452 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature yang lainnya seperti nomina rongo ‘kambing’, kodhe ‘kera’, juga wawi ‘babi’, manu ‘ayam’, wini’ bibit’ mbolu ‘ketela rambat’ juga pare ‘padi’ dan jawa ‘jagung’, uma ‘kebun’, mbasa wini ‘upacara membasahi bibit’ dan watu ‘batu. Nomina itu, berkaitan dengan identitas etnik Rongga secara sosio-kolektif sebagai satu kesatuan etnik di Manggarai yang mencirikan mereka sebagai pengemban budaya pertanian yang secara faktual lebih banyak berkaitan dengan dunia kebendaan. Gambaran keadaan sistem ekologi yang melingkupi kehidupan etnik Rongga tercermin dalam kata-kata yang diciptakan dan digunakannya, sebagaimana tercermin dalam teks WLMW. Kelas kata adalah bagian dari ekspresi formal dalam teks WLMW sebagai pola atau rumus tertentu untuk membentuk paralelisme sebagai cara untuk mengkodekan makna halus dalam puitis dan estetika bahasa ritual. Mengingat nilai-nilai penting dan alam yang terancam punah, dokumentasi praktek budaya sejenis ini sangat diperlukan sehingga dapat dipelajari dan dipelihara oleh generasi muda Rongga.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, H., dkk. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. EdisiJakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Arka, I Wayan, dkk. 2007. Bahasa Rongga: Tatabahasa Acuan Ringkas. Jakarta. Penerbit Universitas Atma Jaya. Arka, I Wayan. 2014.”Kategorial Multifunctionality in Flores Languages: Deskriptive Typological and Theoritical Issues’. ALS 2014, The University of New Castle Australia, 10 December 2014. Baker, Mark C. 2004. Lexical categories: verbs, nouns and adjectives. Cambridge: Cambridge University Press. Keraf, Gorys.1999. Tatabahasa Rujukan Bahasa Indonesia. Cetakan ke-4, Jakarta: Penerbit Geamedia Widiasarana Indoensia. Kramsch, C. 2001. Language and Culture. Oxford: Oxford University Press. Ochs, E. 1988. Culture and Language Development: a Language Acquisition in a Samoan Village. Cambridge: Cambridge Unive rsity Press. Sumitri, Ni Wayan. 2005. “Ritual Dhasa Jawa Pada Masyarakat Etnik Rongga, Manggarai, Nusa Tenggara Timur”. Tesis Program Studi Kajian Budaya Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar Sumitri, Ni Wayan. 2015. Wacana Tradisi Lisan Vera Etnik Rongga di Manggarai Timur, NTT. Disertasi Program Studi Doktor Linguistik Universitas Udayana, Denpasar. Teeuw, A.1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori sastra. Jakarta:Pustaka Jaya

~ 453 ~ ~ 454 ~ GENDER MARKING IN MEE

Niko Kobepa Universitas Cenderawasih [email protected]

ABSTRAK Mee (juga disebut Kapauku, Ekagi atau Ekari), yang juga dipakai untuk merujuk pada penuturnya, adalah nama sebuah bahasa di Papua. Kata Mee dipakai di sini karena inilah yang lebih diterima oleh banyak kalangan masyarakat penutur bahasa ini. Makalah ini berisi pembahasan gender dari perspektif linguistik. Secara khusus, makalah ini bertujuan untuk memaparkan pemarkaan gender secara gramatikal dan leksikal dalam bahasa Mee. Referen manusia yang mendapat status tinggi dalam hirarki animasi karena itu gender referen manusia termarkai secara gramatikal dan leksikal. Semua jenis binatang termarkai secara leksikal saja. Sedangkan tumbuh-tumbuhan dan pepohonan, hanya beberapa jenis saja yang termarkai secara leksikal. Gender referen benda tidak bernyawa (inanimate) tidak termarkai baik secara gramatikal maupun secara leksikal.

Kata Kunci: Mee, Gender, grammatikal, leksikal, animasi (animacy)

1. Introduction Mee is a non-Austronesian language of Trans New Guinea, spoken in Wissel Lakes region. Other names for Mee are Kapauku, Ekari and Ekagi. Mee is used here because majority of the speakers prefer this name to the others. According to Doble (Doble, 1987), the speakers of the language consist of some 100,000 people. The number of speakers of this language is, however, decreasing, I think, as a result of unfoldment of new regencies since 1997. Doble describes that the speakers inhabit a territory in the west-central part of the highlands of the Indonesian province of Irian Jaya, located between 1350 25’ and 1370 east longitude and 3025 and 4010 south latitude whose country lies 1500 meters above sea level. She gives a description of the region being composed of rugged mountain chains and deep valleys three large lakes called Paniai, Tage, and Tigi, known to the western world as Wissel Lakes, named after their discoverer who spotted them from his small plane in the year 1936. The speakers are located in the hand-like red-circled area in the map 1.

Map 1: Location of Mee language

The speakers of the language now inhabit in in 5 regencies, namely Paniai Regency, Deiyai Regency, Dogiyai Regency, Nabire Regency and some in Intan Jaya Regency. ~ 455 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Sample utterances presented in this paper are taken from data collected in two occasions. First data were collected in in the years between 2011 and 2013 in three villages, namely Debaiye and Dinubutu in Agadide District and Baguwo in Ekadide Distrcit. Another occasion that I benefited from when two Mee speakers were invited as language consultants was Grammar and Social Cognition Workshop1 held at Universitas Negeri Manokwari in Manokwari, Papua in the months of January and February 2014.

2. Gender Markings Gender marking in Mee is conditioned by the animacy factor as it is schematized in the animacy hierarchy in (1). (1) Human>animal/celestial bodies>plants (trees)>inanimate nouns As (1) shows, the higher a referent is in the hierarchy the more chances gender coding it gets. A human referent gets privileged status in gender coding in that it is coded in more ways while the other kinds of referent get less gender coding possibilities. Each of these will be discussed one after the other below. A human referent can get gender coding in three ways. The first way is that gender of a human referent gets grammatically marked in two waysː on the noun phrase and on the verb. Gender of the head of a noun phrase must agree with its modifiers as discussed in this section, §2.1.1. The second way that a human referent gets grammatical gender coding is on the verb as will be discussed in §2.1.2. The last way of marking the human referent is coding lexically as in kinship terms and personal names that will be discussed in §2.2.1., animals in 2.1.1. sample (4), celestial bodies in §2.2.2., and plants and trees in §2.2.3.

2.1. Grammatical gender marking Grammatical gender is marked on two domains. The first one is on the noun phrase and the other on the verb. It should be reminded here that the same forms are used to mark two different meanings. If the referent is human, the use of any modifier is to mark gender. If the referent is not human, it is to mark size of the non-human referent. This is also true with subject marking on the verb where it gets –i as for a third person singular masculine and –a for third person singular feminine. This distinction is illustrated in (2) and (3).

(2) a Yagúmo yóka kou nóo-g-a Woman child ART.DEIC.S.FABS consume-DEF.IMPST-3SG.F.SUBJ ‘That female child ate (something)’ *b Yagúmo yóka kii nóo-g-i woman child ART.DEIC.S.F.ABS consume-DEF.IMPST-3SG.M.SUBJ c yame yokaa kii noo-g-i male child ART.DEIC.S.M.ABS consume-DEF.IMPST-3SG.M.SUBJ ‘That boy ate (something)’ (3) a Ukaá-kinaa yókaa kii nóo-g-i Female-pig child ART.DEIC.S.M.ABS consume-DEF.IMPST-3SG.M.SUBJ ‘The female piglet ate (it)’ ?b Ukaá-kina yókaa kou nóo-g-a Female-pig child ART.DEIC.S.F.ABS consume-DEF.IMPST-3SG.F.SUBJ ‘The female piglet ate (it)’

1 I would like thanks to Prof. Nicholas Evans, the Australian National University, Dr. Henrik Bergqvist, Stock- holm University, Sweden and Dr. Lila San Roque, MPI for Psycholinguistics, Nijmegen who provided the venue for me to participate in the workshop which made possible for me to collect a lot of data. ~ 456 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

c Yamee-kinaa íbo kou óo-mee-g-ai male-pig big ART.DEIC.S.F.ABS 3OBJ.come-DEF.IMPST-3PL.SUBJ ‘they brought a big male pig (earlier today)’

In (2)a, the utterance is acceptable because the article kou is in terms of gender compatible with yagúmo yóka ‘the female child’, the head of the noun phrase. In (2)b, the utterance is unacceptable because the modifying article, kii is not compatible with yagúmo yóka ‘female child’, the head of the phrase. Article kou is used to mark a singular female human referent while kii is used to mark a singular male human referent as can be seen the table 1. In case of (3)a, notice that the head is a female piglet, a non-human referent, but is modified by kii, ’deitic male singular absolutive article’ and the utterance in acceptable. This is because the use of singular masculine article is to indicate size of the piglet which is small, not the gender of the referent. The utterance in (3)b is question-marked because it depends on the size of the piglet. If it is big, the utterance is acceptable but if it is small then it is unacceptable. In (3)c, the utterance is acceptable even though the male referent is modified with deitic singular feminine article, kou, because the use of the article is to mark the size of the referent not gender of it. In case of subject marking on the verb as are shown in (2) and (3), if the referent is human, -i is used to mark third person singular masculine subject and -i is to mark small in size if the referent is a non-human third person singular. If the referent is human, -a is used to mark third person singular feminine subject and -a is to mark large in size if the referent is a non- human third person singular.

2.1.1. Gender marking on noun phrase There are three modifiers that must agree in gender with their human referent as presented in the table 1, namely demonstrative, focus and article. 2 Table 1: Noun Phrase Modifiers Gender Forms Male Female Singular Plural Singular Plural Demonstrative Kií Keì Koú Koù Focus -ki, -ke -ke -ko -ko A ABS OBL ABS OBL ABS OBL ABS OBL Deictic r Kii Kiiya Kei Keiya Kou Kouya Kou Kouya t Definite Kidi Kidaa Kede Kedaa Kodo Kodak Kodo Kodaa i c Indefinite Naki Nakaa Nike Nikaa Nako Nakaa Niko Nikaa l SKS2 Nokidi nokidaa Nokede nokedaa Nokodo nokodaa nokodo nokodaa e

The utterance in (2) is presented to illustrate the relative positions of the modifiers to the head of a noun phrase. All modifiers are singular male as they must agree in number and gender with their head which is singular.

(4) Kií yoká kidi=ki uwí-p-i DEM.S.M. child ART.DEF.S.M.ABS=FOC.SG.M go-INDEF.IMPST-3SG.M.SUBJ ‘The boy has gone (the speaker know the boy as indicated by the definite article but did not see him going as indicated by the indefinite morpheme in the verb morphology)’

2 Subsequently known knowledge to speaker ~ 457 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature As can be seen in (4), demonstratives precede the head. There are two forms of demonstrative which are distinguished based on number, one being singular and the other plural. Singular demonstrative forms get high tone all the way across. When tone is marked high, the mora after the high tone gets low tone. Tone is marked on the second mora for the singular masculine and singular feminine. This means that both moras get high tone. In the case of plural forms, high tone is marked on the first mora. This means that the mora after the one with high tone is low. This rule applies to all Mee sample utterances presented in this paper. (More on tone marking rules, see (Hyman & Kobepa, 2013). Focus clitics are hosted on the last material of a noun phrase. Articles follow the head. Articles are more complex than the other two as they have more forms distinguished based on case and epistemic meanings3. There are four cases on the articles, namely Absolutive, Ergative, Genitive and Instrumental. Absolutive case is marked separately. The other three cases are marked with a single form. This is why Oblique is used as a cover term for the three cases. In this paper, not all modifiers are exemplified and explained. Only some illustrative examples are presented. As also shown in the examples above, when the head of a noun phrase is human, gender and number of the referent must agree with its modifiers as in (5).

(5) Kowáke éni-p-i íbo yókaa kiiya Hi 1SG.OBJ.tell-INDEF.IMPST-3SG.SUBJ big child ART.DEIC.M.S.OBL ‘“Hi (you)” this gentleman said to me’ (ALP-MANSINAM-30.1.2014)

In (5), Alpius, the speaker uses kii ‘deitic masculine singular article’ to refer to the head noun íbo yóka ‘an endearment form for people who are middle-aged’ because the referent, David Gil, is a male. In (6), male plural referent is illustrated.

(6) …. Óttow=ma Geisə́ ler=ma kede emáki-ta-ida …. Ottow=CONJ Geisler=CONJ ART.DEF.M.PL.ABS 3OBJ.bury-LEDPST-LOC ‘the place where Ottow and Geisler (whom we are familiar with through stories as they were first Christian Missionary to Papua) were buried’ (ALP-MANSINAM-30.1.2014)

In (6), the head of the noun phrase is Óttow and Geisə́ler, the first two Christian missionaries who landed on Mansinam Island, Manokwari, to Papua on 5th February 1885. The head of the noun phrase, Óttow and Geisə́ler, is modified with kede ‘a definite masculine plural absolutive article’ because these two men are well-known in Papua and both Marius, the speaker, and Alpius, the hearer, have knowledge4 about them being the first missionaries to Papua. The speech participants’ knowledge about them was also refreshed by the carnivals taking place on the celebration of 159th anniversary of the arrival of the two missionaries, which Papuans call it the day of Gospel. God and heavenly beings are considered to be male. Therefore, after introduction of Christianity to the Mee society, God and Jesus are modified with masculine modifiers. The utterances in (7) is about Jesus being referred to with kidi ‘definite singular masculine absolutive article’ excerpted from the Book of Acts chapter 3 verse 6 of Christian Bible (LAI, 2005, p. 294).

(7) Kodeja Peetrus eteete mána: “Más megé perak megéanee-pa beu. But Peter 3OBJ.tell word: “Gold money silver money 1SG-LOC no

3 Epistemic meanings will not be discussed in this paper due to space restriction. 4 Epistemic meanings of these articles are not discussed in detail in this paper because of the space restriction. ~ 458 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

Kodeya anee-pa topá agíyo kaníi. But 1SG-LOC stay good 2SG.OBJ.give Koúko Nazáret-kaa mee Jesus Kerístus kidi That’s Nazareth-GEN human Jesus Christ ART.DEF.S.M.ABS Eká dubaiga uwí-naa-ti”, etii. Name in go-REPT-DO.IMP 3OBJ.tell ‘But Peter said: Gold and Silver I do not have. I give you what I have. In the name of Jesus, the Christ walk!, said he.

In (6), Jesus is referred to with kidi ‘definite singular masculine aboslutive article’. In the utterance in (8) below excerpted from the Book of Acts chapter 3 verse 22 (LAI, 2005, p. 295) God is referred to with kidaa ‘definite singular masculine oblique article’.

(8) Músa kií dáni wega-ta: Ikíi-ya Túhan Ugátamee Moses DEM.SM.M like talk-LEDPST: 2PL-OBL Lord God kidaa ikíi-ya kenekaa yúpii bagee make ART.DEF.S.M.OBL 2Pl.OBL sibling middle kind from Mána wudee-tai mee idaá-na ewá-awii-tag-i Word share-DO human clas.HUM-one appear-LK-FFUT-3SG.SUBJ ‘Moses told like this: From your midst God will raise a person who will preach the word’.

2.1.2. Gender marking on the verb Finite verb morphology in Mee is intricate in that the verb is phonologically one word but syntactically it is a clause as can be seen in the translations of the sample utterances presented in this paper. The finite verb consists of a verbal root, markers of tense, aspect, modality, evidentiality and engagement (TAMEE) and markers indicating person, number and gender. A complete paradigm of TAMEE and PNG illustrated with the verb you ‘cook’ presented in the table 1.While every finite verb ends in a marker that indicates person and number, gender is distinguished only for third person singular. The utterances in (9) and (10) illustrate this distinction.

(9) Marius, the speaker, reports about Nick drinking water drawn from the well on the Mansinam Island to Alpius, the hearer. Áni nó-yakee=ko daána dege 1SG consume-COMPLT=FOC.F CONJ light Adáma kii nóo-g-i elder.ENDEAR ART.DEIC.SG.M.ABS consume-DEF.IMPST-3SG.M.SUBJ ‘After I drank (the water), the white gentleman also drank (MAR-MANSINAM_ISLAND-30.1.2014). (10) Yagúmo dege yagúmo no-p5-a ́ ókai Woman light woman consume-INDEF.IMPST-3SG.F.SUBJ 3SG ‘She drank (water drawn from the well which you did not see her drinking) (MAR-MANSINAM_ ISLAND-30-1-2014)

2.2. Lexical gender marking In this section, lexical gender marking is discussed. Lexical marking on kinship system is discussed in §2.2.1., celestial bodies in §2.2.2., and plants (and trees) in §2.2.3.

2.2.1. Kinship The discussion of kinship in this paper is specifically to deal with grammatical and lexical gender markings only. Therefore, the reader is recommended to refer to the work of 5 The uses of g-, a definite marker, in the example (1) and p-, the indefinite marker, in the example (2) are to distinguish en- gagement meanings where the former indicates epistemic authority of the speaker and the latter shows the hearer lacking the knowledge about the woman drinking the water. This intricate system of TAMEE is not discussed in this paper. ~ 459 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Pospisil for a full description of kinship in Mee. It should be reminded, however, that the reader will find some differences between the work of Pospisil and this paper as he uses Kamu dialect while grammatical and lexical gender discussed in this paper are based on Paniai dialect. Gender distinction in this paper is discussed only within two ascending generations of Ego, since gender distinction in Mee kinship is found only in these boundaries. There are two kinds of kinship terms in Mee, namely relative and absolute terms (Pospisil, 1960). Discussions to follow in this section are presented under these two kinds.

2.2.1.1 Absolute terms Absolute terms are applied to individuals irrespective of their relationships to the speaker and to indicate the order of birth of siblings. In the table 2 below, gender system for sibling is organized according to birth order which is here referred to as absolute (Table 2.) Table 2: Gender based on birth order Gender Male Female Kin-types Terms Kin-types Terms 1So Ibouto 1Da Oumau 2So Magapai 2Da Magawau 3So Mabiipai 3Da Mabiiwau LaSo Amooye(pai) LaDa Amaadi(wau)

As can be seen in the table 2, names of first-born children are different. First-born male child (1So) is ibóuto and first-born female child is óumau. Second-born child irrespective of sex is referred to as mága- and third born child irrespective of sex is called mábii. To distinguish gender, morphemes, -pai and -wau respectively, are suffixed to them as in mágapai ‘male second-born child (2So)’, mágawau ‘female second-born (2Da)’, mabiípai ‘third-born male child (3So)’ and mabiíwau ‘third-born female child (3Da)’. A gender-neutral term for mága is ipóugai. Third-born is called mábii- irrespective of sex and the morphemes marking gender are suffixed to make gender distinction. When there are more than one mábii, specification terms may be used. Degemabii is used for third-born, degemabiipa miyókaa mábii ‘the child born after degemabii’ for the fourth born and búnamabii for the child born before amoóyee ‘the last- born male child’ or amaádii ‘the last-born female child’. Last-born children are marked with different names as in amoóye ‘male last-born’ and amaádi ‘female last-born’. As with mága-, -pai for male and -wau for female are used to indicate gender for the third-born up to the last- born children preceded by gender-neutral birth order names, namely, mábii ‘those children born between the second-born and the last-born’. When family name is used, that family name is followed by íbo big/large’ as in as in Kayámeibo ‘male first-born whose family name isKayáme and Kayámeumau ‘female first-born whose family name isKayáme ’ and so on.

2.2.1.2 Relative terms Relative terms here refer to “a relation between the speaker and the person spoken or referred to” (Pospisil, 1960, p. 193) In this section, relative terms that are relevant to gender system are up to two ascending generations as generations after grandparents and descending generations including parallel and cross cousins terms are gender neutral. Third person kin-type forms are used as they are considered to be base for the reasons discussed below. Table 3 shows two generations above Ego.

~ 460 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Table 3: Cosanguineal ascending kin-types Gender Male Female Kin-types Terms Kin-types Terms Fa Nakamee6 Mo Úkamee7 FaFa, MoFa Muúmamee8 MoMo, FaMo, Oókamee or okaabai9 FaBr Nakaane FaSi Oókaane MoBr Amakaane MoSi Úkaane

6789 As can be seen in the table (3), when the morpheme mee ‘human’ is suffixed to morphemes indi- cating relative kin terms, the combination will have singular reading as in nakámee ‘his/their father’, úkamee ‘his/their mother’, oókamee ‘grandmother’, muúmamee ‘grandfather’. When –ne is at- tached to the relative kin terms morphemes, the combination will have plural reading as in nakaáne ‘his/her/their paternal uncles’, muúmaane ‘paternal/maternal grandfathers’, amákaane ‘maternal un- cles’, oókaane ‘paternal/maternal grandmothers and paternal aunts’ and ukáane ‘maternal aunts’. Paternal uncles and aunts may be addressed with their birth order terms. Father’s brothers are called nakaáne. First-born paternal uncle is called nakaíbo ‘his/her/their big father’, second-born paternal uncle nakaípouga ‘his/her/their middle father’, those who were born between the second-born and the last-born nakámabii ‘his/her/their after-middle father’ and last-born uncle nakaámooyee ‘his/her/their little father’. Father’s sisters are called oókaane. The first-born paternal aunt is called oókaumau ‘his/her/their big aunt’, oókaipouga ‘his/her/ their middle aunt’ for second-born father’s sister, oókamabii ‘father’s sisters who are born between the second and the last’ and oókaamaadii for father’s last-born sister. Terming maternal uncles and aunts goes in the similar manner as those of paternal ones as presented in the previous paragraph. Maternal uncles are called amákaane and aunts are called úkaane. The first- born maternal uncle is called amákaibo ‘his/her/their maternal uncle’, the second-born maternal uncle amákaipouga, third-born amákamabii and the last-born amákaamooyee. The first-born maternal aunt is called úkaumau, the second-born úkaipouga, third-born úkaamabii and the last uncle úkaamaadii.

2.2.1.3 Gender neutral kin-types In this section, both consanguineal and affinal terms that are gender neutral are briefly presented as shown in the table 4. 10

Table 4: Gender Neutral kin-types Kin-types Gender-neutral FaBrCh Okaapaamaa MoSiCh Iíyokaane MoBrCh, FaSiCh, Ónaane10 MaSiHa Wapemee FaMoBrSoCh, FaFaSiSoCh Okaítayokaane

6 When other possessor markers are attached, their forms change as in naitai ‘my father,’ akaitai ‘your father’, iniitai ‘our father’, ikiitai ‘your (pl) father’, noukai ‘my mother’, akoukai ‘your mother’, iniiukai ‘our mother’, ikiiukai ‘your (pl) mother’. 7 Ukamee is also used to refer to FaBrWi 8 Muumamee may also be used for others, such as FaFaBr, FaFaWi,. When possessors are other than third persons, the forms change as in animuuma ‘my grandfather’, akimuuma ‘your grandfather, iniimuuma ‘our grandfather’, ikiimuuma ‘your (pl) grandfather.’ 9 Ookamee or okaabai can also be used to refer to MoBrWi but those affinal that overlap with consanguineal relative kin terms are not discussed in this paper. Affinal terms that are distinguished based on gender will be discussed in this paper. 10 Other kin-types that are used with the term onaane are MoMoBrSoCh, MoFaBrSoCh ~ 461 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Gender neutral parallel paternal cousins are called okaápama regardless of sex. Gender neutral parallel maternal cousins are called iíyokaane. Gender neutral cross cousins are called ónaane. Mother’s sister’s husband is called wapemee. Okaítayokaane is used to indicate children of sons of brothers of father’s mother and children of sons of sisters of father’s father.

2.2.1.3 Dyad and reciprocal constructions Mee language has a particular construction called dyadic (or dyad for short) which is similar to reciprocal in form. Dyad construction is defined as “from a kin [or other human relational] term K, a dyad morpheme D derives a new term K-D, with the meaning ‘[be] two (people), one of whom calls the other K’ or ‘[be] two (people), such that one is K to the other” (Evans, 2003, p. 2). This may be simplified and formulated as “a pair of people one of whom calls the other X” (Nordlinger, 1993). Before further discussions, dyadic form and regular plural form are contrasted since they are similar and therefore may cause confusion. As the definitions above indicate, a singular dyadic construction consists of two referents that are considered to be a pair that has a relation between them, for example, a couple for a husband and a wife. In this case, the term couple dictates that each of the pair is considered to be half of the pair, not independent individuals. Each referent in the pair does not hold the meaning of dyadic; it is the pair that denotes the meaning of the term couple. On the contrary, plural forms are normally thought of as a collection of independent individuals which may be separated and the collection does not have a unified meaning to refer to the collection. For example, if someone says: “I have two books” and even if one of them is given away, the remaining one is still a book; the meaning is still retained. It is not possible to keep the original meaning if the relation is broken in the case of dyadic relation; that is because each one of the pair contributes meaning partially to establish the dyadic term. In (11)a and (11)b, regular plural and singular dyadic are contrasted.

(11) a Nakaa-ne-iya father-PL-two ‘their two fathers b Naaka-iya father-two ‘father and child’

In (11)a, addition of ne-, the plural kin marker, indicates the referents are two individuals who are both fathers. It has regular plural reading because one is not father to the other but both are fathers to external referents. In (11)b, the form without plural marker is a singular dyadic construction because one is father to the other. Dyadic construction also has its plural form which is different from regular plural. Quoting Merlan and Heath (1982), Evans presents a definition of a plural dyadic as follows:

“ a plural dyadic would be of the type ‘(three or more) brothers’ or ‘father(s) and children’ in which there are at least three designated referents but in which there are no additional complications in the kinship relationship specified in the corresponding dyadic term.’ (Evans, 2003, p. 2).

As the above definition indicates, it is called a plural dyadic when the term denotes three or more referents that one or some is/are X to the other/s. In Wardaman, a language of the Northern Territory Australia, pluralisation is done by adding regular plural number marker to singular dyadic forms. Singular dyadic form of mother and child is guyu-rlang. In order

~ 462 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature to make this form plural, -mulu, the regular plural number marker, is suffixed to the singular form as in guyu-rlang-mulu ‘mother and children’, or ‘mothers and children’ (Merlan, 1994, p. 104). In the case of dyadic plural construction, referents (that are more than three) have an inseparable relation with each other just as two referents in singular dyadic construction would have; whereas the regular plural does not denote that meaning. In (12), singular dyadic construc- tion is contrasted with plural dyadic one as exemplified with father/fathers and child/children.

(12) a naáka-iya father-two ‘father and child’ b naáka-bage father-kind ‘father(s) and child(ren)’

In (12)a, there are two referents to whom the other is called father to the other referent (child in this case). This is singular dyadic. In (12)b, the utterance is plural dyadic as indicated by the addition of –bagee ‘kind’ which is used to mean plural. Mee is similar to Wambaya, an Australian language (Nordlinger, 1993) , in terms of which referent of the two in the construction is used. Terms for senior member of the pair or group is used to indicate dyad relation where naká- and úkwa-, base forms of father and mother but in the context of (13), the constructions denote one of the pair is X to the other.

(13) a Naákaiya ‘father and child’ b ukwákaiya ‘mother and child’

Mee is similar to Wardaman in plural dyadic formation. The singular form consists of the kin term of the senior member of the pair and regular number two. For example, naáka-iya has naáka- and –iya (contracted from of wiyá ‘two’) ‘father and a child (male or female)’. Both singular and plural dyadic constructions are asymmetric because their relation is that one is K (kin) to the other. For example in ukwá-ka-iya ‘female-GEN-two’ is a relation between a mother and a child which may be read as one is mother to the other not one is child to the other. There is another construction that indicates a symmetric relation. This reciprocal construction is made for relations between Ego and other kin-type relations, namely siblings, parallel and cross cousins, maternal uncles, and grandfathers (both maternal and paternal), and in-laws (including relations between husbands of sisters or wives of brothers). Of these relations, one that is relevant to the gender discussion is opposite sex siblings while others are gender neutral. Therefore, below I only provide an example of opposite sex sibling relation and one other example in (14). In (14)a, while the term pane does not denote gender by itself, it is used only to refer to opposite sex relation. In (14)b, geto is a gender neutral term just like the others mentioned in this paragraph.

(14) a aká-pane-ka-bage RECIP-opposite_sex_sibling-GEN-kind ‘three or more opposite sex sibling relations’ b aká-geto-uya RECIP-in_laws of_husbands_of_two_sisters_or_wives_of_two_bothers to each other-two ‘relations between in-laws of husbands of two sisters or in-laws of wives of two brothers’

~ 463 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature In both cases in (14)a and (14)b, the relation is mutual, unlike those of dyadic terms where the relation is asymmetric.

2.2.2. Celestial bodies Celestial bodies may be conceptualized as deities and are accordingly treated differently in terms of gender marking in the world languages. In many languages, these bodies are grammatically marked with three possible ways of grammatical gender marking (Hellinger & Bußmann, 2001, p. 3). In languages such as German and Lithuanian, the sun is treated as feminine and the moon masculine. In other languages, such as Greek, Latin and the , the sun is treated as masculine and the moon treated as feminine. Still another way would be that they may be coded with gender neutral marking such as in Old Indic, Old Iranic and Russian. In other languages, such as Mee, gender of the celestial bodies is distinguished lexically. Sun is called meúkwa ‘the mother of human’ and moon meenaka ‘the father of human’ as illustrated in (15).

(15) a Me-úkwa ewáa-kee-te Human-female appear-BECOME-PRESPROG ‘The sun is rising’ b mee-naka=ko wane-too gáneig-a human-father=FOC.F night-only shine.PLURAC-3SG.M.SUBJ ‘Moon only shines in the night’

2.2.3. Plants (and trees) The last case where gender distinction is made is for plants. There are certain plants that may be distinguished for gender. The distinction is made based on the physical appearance, particularly their leaves. The leaves of male plants are usually small while female ones are large. The terms used for plants and trees are yáme ‘male’ for male plants/tree’ and úkwa ‘female’ for female plants/trees. Some names of the plants that may be differentiated for gender are: daagu ‘cordyine’, ida ‘reed’ and mome ‘bambu’.

2.2.4. Inanimate referents Gender of inanimate referents is not coded both grammatically and lexically as in (16).

(16) Ibo mogo nako ani-ya tai-da top-a Big stone ART.INDEF.S.F.ABS 1SG-OBL garden-LOC exist-3SG.F.SUBJ ‘There is a big stone (which you do not know) in my garden’

In (16), the referent is ibo mogo ‘big stone’. The speaker uses nako ‘indefinite singular feminine absolutive article’ to indicate that stone is big. As explained above, feminine forms are used to indicate big in size if the referent is non-human and masculine forms are used to indicate small in size for non-human referents. This means that the use of nako in (16) is to indicate size not gender.

3. Conclusion In the discussion above, gender markings in Mee are presented. Grammatical gender is sensitive to animacy hierarchy as presented in the schema 1. The higher a referent is in the hierarchy the more chances for it to get gender grammatically coded. Human referent gets

~ 464 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature privileged status in the hierarchy as human referent does not only get grammatically coded but it does also get lexically marked. God and spiritual beings are also treated the same way as human referents in this respect. Animals, celestial bodies and some plants (including some trees) get lexical gender marking. As can be seen in the hierarchy in (1), inanimate things do not get gender coded at all. Gender conceptualizations in Mee from different perspectives remain to be seen.

REFERENCES

Doble, Marion. (1987). Description of Some features of Structure. Oceanic Linguistics, 26(1/2).

Evans, Nicholas. (2003). An Interesting Couple: The Semantic Development of Dyad Morphemes. (47). Köln.

Hellinger, Marlis, & Bußmann, Hadumod. (2001). Gender across languages: The linguistic representation of women and men. In Marlis Hellinger & Hadumod Bußmann (Eds.), Gender Across Languages (Vol. 1). Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.

Hyman, Larry M, & Kobepa, Niko. (2013). On the Analysis of Tone in Mee (Ekari, Ekagi, Kapauku). Oceanic Linguistics, 52(2), 10.

LAI. (2005). Ijakaa Togiyaawita mana. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia (LAI).

Merlan, Francesca C. (1994). A Grammar of Wardaman: A Language of the Northern Territory of Australia. Berlin: Mouton de Gruyter.

Nordlinger, Rachel. (1993). A Grammar of Wambaya (PhD), University of Melbourne, Melbourne

Pospisil, Leopold. (1960). The Kapauku Papuans and their kinship organizations. Oceania, 30(3), 17.

~ 465 ~ ~ 466 ~ Rekonstruksi Memori Kolektif: studi Peristilahan Pertanian Padi Organik di Yogyakarta

Paulus Kurnianta Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta Email: [email protected] and [email protected]

ABSTRACT Based on the estimation of Ethnologue.com (18th Edition, 2015) , Javanese Language spoken by 84,3 native positions 11th rank. Slowly, its natives will decrease and its local genius is going to fade away. One is its ecological philosophy in farming. Despite its status as a regional language in Indonesia, the New Oder’s policy of Green Revolution for 30 years have also marginalized cultural cognition sedimented in Javanese Language as the memory bank of its natives. Nowadays, emerges a movement of organic padi farming in Yogyakarta which is implicitly reconstructing Javanese collective memory. Researcher is interested in conducting research on its linguistic expressions and philosophy. To conduct this research, he registed some key expressions in organic farming. Then based on the notes of the expressions, he interviewed peasants to retell their cognition on ecological farming and worked on interpretation. Reseacher finds some results. First, there are some expressions which show collective memory of agrarian experience in groing padi. Second, there is a gap between fossilized language traces and farming practice . Third, the expression show that Javanese tradition of cultivating padi put a respect on their ecology

Key words: reconstuction, collective memory,organic farming, philosophy, local genius

PENDAHULUAN Suatu pagi di tahun 90-an, seorang petani di desa peneliti didatangi oleh aparat. Mereka meminta si petani untuk mencabuti tanaman padi rojo lele yang sedang tumbuh subur. Dalih mereka, jenis padi tersebut bisa menjadi sumber petaka di bulak (lokal persawahan) karena petani lain secara seragam menanam varietas unggul dan tahan hama jenis C4 atau IR. Tak ada yang membela. Kontras cerita, suatu pagi di tahun 2013, di areal yang sama bapak gubernur merayakan panen perdana padi lokal bersama para petani organik. Refleksi atas dua peristiwa itu mengantar peneliti pada politik pangan yang menjadi latar sejarah pertanian pasca Indonesia merdeka. Orde Baru menjalankan revolusi hijau untuk menjamin stabilitas pangan. Revolusi hijau tidak berhenti pada pilihan jenis padi hibrida yang harus ditanam, namun juga menguatkan jenis nalar bertani. Sejarah revolusi hijau mengantar Soeharto mendapatkan anugerah dari FAO tahun 1985 tetapi senyap setelah itu . Padi hibrida dapat mendobrak kuantitas namun rakus hara sehingga pupuk kimia wajib dan mematikan tanah. Sementara padi lokal berbasis pada sustainability pangan, yang tidak tergantung pada industri pupuk, pestisida dan benih. Dari sisi disiplin humaniora, bahasa termasuk di dalamnya, peneliti tertarik untuk menelisik cara bernalar petani lewat istilah-istilah dan ungkapan yang samar-samar hidup kembali. Kini, di sekitar Yogyakarta muncul gerakan bertanam padi organik di kalangan petani. Peniliti mencoba mengais serpihan-serpihan konsep yang lebih berperan sebagai snapshots untuk sebisa mungkin membingkai memori kolektif kaum tani.

~ 467 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature TERANG TEORITIS Peneliti menggunakan perspektif cultural linguistics karena teori ini dapat dipakai untuk menjelaskan bagaimana hubungan antara kebudayaan, bahasa dan konseptualisasi (Sharifian 2015: 473). Peristilahan dan ungkapan dalam pertanian padi organik adalah fenomena konseptual yang menghubungkan bahasa dan kebudayaan. Dalam peristilahan itu ada wujud kebahasaan konkret; sekaligus ada aspek non-fisik kebahasaan. Aspek non fisik kebahasaan adalah sistem konsep implisit yang berasal dari penggambaran-penggambaran yang terkonstruksi secara kultural dan kemudian bermain dalam simbol-simbol verbal. (Palmer 1996: 3). Kebudayaan berperan menbentuk bahasa pada tataran konseptual yang memuat nalar kultural atau pengetahuan kultural. Pengetahuan kultural berasal dari interaksi antar individu, melintasi ruang dan waktu, dan bersifat dinamis. Sebutan Jawa Dwipa untuk Pulau Jawa yang artinya ‘pulau padi’ menyiratkan pengalaman panjang dan komunal dari kebudayaan Jawa yang menyusun sistem konsep implisit tersebut. Keterkaitan tersebut dapat dijelaskan lebih lanjut dengan pandangan Boas yang mencermati hubungan antara bahasa dan kebudayaan (Djawanai, 2011). Kebudayaan dipahami sebagai sistem kognitif masyarakat penuturnya atau native point of view (Caughey: 1972). Demikian pula, Duranti (1997: 338) menyatakan bahasa sebagai pintu masuk mengkaji kebudayaan sebagai sistem pengetahuan. Kebudayaan Jawa dalam menanam padi merefleksikan pengetahuan tertentu yang membentuk tradisi. Refleksi tersebut dapat diamati dalam istilah- istilah pertanian membentuk memory bank masyarakat penuturnya. Peredarannya dapat dilihat pada praktek kultural historis pertanian di Jawa yang kini masih meninggalkan jejak-jejak kebahasaaan yang dipakai oleh para petani organik. Dengan demikian, telaah linguistik kultural dapat dipakai untuk merekonstruksi memori kultural sebuah kebudayaan dengan menelisik konseptualisasinya yang memuat nalar kultural. Perangkat analitisnya adalah skema kultural, kategori kultural dan metafor kultural dalam fenomena konsptual (Sharifian 2015: 477).Cultural schema, adalah representasi abstrak yang menunjukkan struktur kognitif dari pemahaman dan penalaran atas sebuah pengalaman kultural. Cultural category, mengacu pada kemampuan sebuah kebudayaan untuk memilah dan mengategorikan lingkungan sekitarnya. Cultural metaphor, menjelaskan kemampuan kognitif sebuah kebudayaan untuk memahami dan menjelaskan penggunaan konsep kebahasaan antar wilayah pengalaman.

HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam perbincangan dengan para petani padi organik, peneliti mendapatkan istilah, patokan-patokan dan penjelasan sebagai titik pijak untuk merekonstruksi nalar mereka dalam proses menanam padi. Ada juga karya sastra tradisional yang bertemakan seluk-beluk bertanam padi.

A. Kisah dari Sawah 1. Petani memperhitungkan pranoto mongso ketika memulai aktivitas bertanam padi. Mereka punya paugeran yang tersirat dalam ora nggege mongso. Siklus besar pranoto mongso berdurasi siklis 32 tahunan yang terbagi dalam 4 windu, atau masa 8 tahunan. Tiap tahun mempunyai 4 mongso, ketigo, labuh, rendheng, dan mareng. Sawah maksimal ditanami 3 kali. Proses menanam padi dimulai tanggal 25 Desember s/d 5 januari. Padi ditunggu hingga masa panen, kurang lebih 4 bulan. Periode tanam

~ 468 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature ke-2 padi atau polowijo (tergantung air di wilayah setempat) dan period ke-3 adalah polowijo. Adapun detail pranoto mongso mengutip dari keraton atau penanggalan Jawa yang ada di kalender. Bila tidak mengikuti pedoman tersebut ada kemungkinan gagal panen. Uwi ungu adalah penanda alami lainnya. 2. Ketika menyiapkan benih padi mereka menggunakan metode tertentu. Karena benih merupakan hasil panen sendiri, mereka menyeleksi benih menggunakan air garam dengan kadar tertentu. Kemudian gabah dijadikan kecambah. Kosa kata yang dipakai untuk menandai proses ini sudah mereka lupakan. Di daerah Blora disebut nyacab (Nurhayati, 2010 ). Pari jero berbedakan dengan pari cetek. Selain itu untuk mengamkan benih dari semut, mereka menggunakan awu. 3. Sekarang proses mengolah tanah menggunakan traktor. Proses lebih cepat tetapi jasad renik tidak terurai secara sempurna sehingga perlu proses lawet sehingga proses tumbuh bibit padi tidak kalah dari rumput. Herbisida tidak dipakai. 4. Benih disemai hingga tumbuh ron sekawan. Padi ditanam per batang atau sak ler. Menurut pengalaman, mereka hanya menghabiskan 2 kg gabah untuk 1000 m2 sehingga sangat hemat . 5. Sebutan yang dipakai untuk tikus adalah den baguse. Tikus tidak dibasmi dengan racun tetapi justru diberi makan berupa tempe dan ketela. Petani juga njawab tikus agar tidak menghabiskan padi yang ada di sawah. Pernah, sehabis gempa Bantul 2006, seorang petani menanam genjah rante yang kemudian diserang tikus lalu petani berujar: dho cicipono, aku dingegehi dinggo winih. Walhasil 300m2 masih menyisakan 6kg dan sekarang banyak ditanam oleh petani. Bahkan, petani berujar den kuwi sawahku tuggokno, aku duwe anak bojo dignegehi yo! Mereka mempunyai pemahaman bahwa tikus adalah binatang pendendam dan sekaligus bijak. Ternyata tikus adalah predator keong. Ada juga pawang tikus yang tugasnya memindahkan: tikuse pun dibirak. 6. Mereka kembali mengenal nama-nama padi lokal seperti jasmin, menthik susu, menthik wangi, somali, genjah rante, cempo welut, cempo abang, mawar, dan jawa melik. Jenis- jenis ini justru tumbuh dengan lebih baik dengan rabok. 7. Wiwitan dilakukan sebelum memanen padi. Mbok Sri dipersonifkasikan sebagai pengayom, bersemayam di lumbung gupit mondrogino dan menjaga tananaman padi. 8. Para petani menggunakan penanda alam berupa konang dan kunthul/blekok yang kni muncul lagi. Keduannya adalah penanda kehidupan sawah, lemah sing loh. Secara khusus, kunang-kunang akan hinggap di hamparan padi yang tidak mengandung insektisida. 9. Gedang kluthuk adalah tumbuhan yang mampu memurnikan air/menyerap pencemaran. Jenis pisang ini biasanya banyak ditanam petani di pematang sawah. 10. Tulakan di tiap petak sawah bukan sekedar bermakna praktis tetapi menyimpan makna lebih dalam. Petani biasa menancapkan tombak pecok sari yang dipercaya dapat mengusir burung pemakan padi. Pengusir tikus alami, seperti getah kamboja, ditebar dari tulakan ketika petani mengairi sawah. 11. Para petani bereksperimantasi dalam jarak tanam ada sehingga ditemukan beberapa formasi tanam padi seperti tapak macan dan jejer wayang untuk mendapatkan hasil yang terbaik. 12. Mereka meracik pengendali atau pengusir hama dengap prinsip opo sik diemohi seperti rasa pait, kecut, gatel,pedes dan kraket yang bias didapatkan dari alam sekitar. ~ 469 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature 13. Meraka kembali mengenal istilah bero, membiarkan tanah tidak ditanami sebagai jeda sebelum proses penanaman selanjutnya. 14. Mereka mempunyai pengalaman bahwa bertani organik membutuhkan kesabaran. Biasanya waktu diperlukan sekitar 4 tahun untuk menggembalikan lemi tanah. Proses yang lama tersebut mampu mengembalikan lapisan hara yang hilang sehingga tanah mampu menopang produksi maksimal. 15. Dandang Gulo. Tembang atau lagu ini peneliti dapatkan dari JogloTani, sebuah LSM penggerak padi organik di Godean, Sleman, Yogyakarta. Wiwitane nyebar winih pari Ati sabar nunggu ron sekawan Tanem tunggal ditindake … 16. Wiji dukut sewu tanem tuwuh. Judul ini adalah lakon wayang kulit yang dimainkan dalam bersih desa di Dusun Ndowaluh, Bantul, Yogyakarta.

B. Melacak Konseptualisasi Kisah tentang Sawah

No. Peristilahan konseptualisasi 1 Pranoto mongso (ketigo-labuh-rendeng-mareng), = siklus Pranoto mongso tidak berdasarkan kalender musim (kemarau, menjelang penghujan, penghujan, menje- masehi atupun hijriah. Kalender dibuat ber- lang kemarau), ojo nggege mongso= jangan melawan musim dasarkan kejadian alam sepeti musim, letak dalam siklus alami. Paugeran=aturan. bintang dan bulan (Fidiyani dkk, 2012). Skema kultural: struktur kognitif mengenai peristiwa alam yang berpola. 2 Pari jero = padi umur panjang; pari cetek = padi umur Kategori kultural: membeda-bedakan jenis pendek. padi berdasarkan umur panen dan cara pembudidayaan masing-masing. 3 Lawet = tahapan mengolah tanah sawah setelah dibajak un- Kategori kultural: melakukan tahap-tahap tuk memperhalus tekstur tanah dan menyempurnakan jasad pengolahan tanah. renik. 4 Sak ler = satu batang bibit padi; ron sekawan = berdaun em- Kategori kultural: mengidentifikasi tahap pat. pertumbuhan bibit yang paling iseal untuk mulai ditanam. 5 Den baguse = dari kata den bagus, sebutan untuk orang den- Metafor kultural: domain gelar status sosial gan strata sosial menengah atas yang harus dihormati. untuk manusia dipinjam untuk spenyebutan tikus. Konsepsinya adalah penghormatan pada eksistensi rantai makanan. 6 Jasmin, menthik susu, menthik wangi, somali, genjah rante, Kategori kultural: membedakan-bedakan cempo welut, cempo abang, mawar, dan jawa melik = jenis- jenis-jenis padi berdasarkan sifat dan cita jenis padi organik dengan rasa yang khas. rasanya. 7 Wiwitan = ungkapan syukur atas panen padi dalam bentuk Metafor kultural: padi yang akan dipanen sesajian dan nasi. diperlakukan sebagai ciptaan yang berjiwa atau hidup. 8. Lemah loh = tanah yang amat subur dan tidak ercemar: pen- Kategori kultural: mampu mengidentifikasi andanya kunang-kunang; kunthul = bangau kecil pemakan penanda alam untuk kesuburan. katak dan serangga. 9 Gedang kluthuk = pisang biji. Kategori kultural: mampu mengidentifikasi fungsi tumbuhan untuk menetralkan air. 10 Tulakan = jalan air / pintu air untuk mengaliri sawah. Satu Metafor kultural: pintu irigrasi tidak seke- petak ada satu tulakan. dar dimaknai teknis, tetapi juga untuk tolak bala /penyakit atau hama. 11 Tapak macan = sepeti jejak harimau; jejer wayang = seperti Metafor kultural: membuat formasi tanam wayang kulit yang ditata berjajar. yang menyerupai jejak hewan untuk hasil maksimal.

~ 470 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

12 Sing diemohi = yang tidak disukai: pait, kecut, gatel, pedes, Metafor kultural: makhluk hidup lain dise- kraket = rekat. jajarkan dengan diri. Hama tidak menyukai apa yang tidak disukai manusia. 13 Bero = dibiarkan tanpa tananam biar sawah beristirahat. Metafor kultural: tanah yang hidup juga mengenal istirahat untuk memulihkan diri seperti halnya mahkluk lain. 14 Lemi = tanah lunak dengan unsur hara tinggi. Kategori kultural: mingidentifikasi lapisan tanah yang ideal untuk tanaman. 15 Dalam Dandang Gulo ada empat bait yang berisi tata cara Skema kultural: representasi sastrawi da- merawat padi. lam bentuk tembang/lagu tentang tata cara merawat padi. 16 Wiji dhukut sewu tanem tuwuh = Lakon wayang kulit tentang Skema kultural: representasi sastrawi men- Dewi Sri dan Kolo Gumarang. genai cerita asal mula tanaman padi.  Konseptualisasi yang berasal dari pengalaman bertani masyarakat Jawa terekam dalam Bahasa Jawa. Rekaman tersebut bukan sekedar penamaan tetapi juga memperlihatkan pemikiran tetang bagaimana mereka menanam padi dengan memperhatikan alam dan hidup bersama alam.  Dari peristilahan dan ungkapan bertani yang tampak berserakan memperlihatkan hubungan pada tingkat sudut pandang yang berbeda dengan model revolusi hijau yang sangat intensif baik dari sisi eksplotasi tanah, pupuk kimia maupun insektisida.  Aspek praktis bertani yang dirasakan oleh petani organik adalah keuntungan ekonomis, kemandirian dan penghormatan terhadap alam.  Secara teoritis, linguistik kultural mengakomodasi dinamika konseptualisasi. Tersisanya peristilahan tersebut tidak lepas dari peranan bahasa Jawa dan juga modernisasi dalam bentuk padi ala revolusi hijau.  Bahasa Jawa bukan saja alat komunikasi, tetapi juga menyimpan memori kolektif penuturnya. Dalam gerakan padi organik, kosa kata dan ungkapan-ungkapan merupakan endapan local genius masyarakat penuturnya dalam bertanam padi.

SIMPULAN 1. Terdapat beberapa peristilahan dan ungkapan yang memuat memori kolektif pengalaman bertani padi. 2. Potongan-potongan ungkapan dan peristilahan menunjukkan kesenjangan memori kolektif dengan praktek bertani padi. Ada tradisi pertanian yang tidak lagi dijalankan menilik adanya kesenjangan sekarang. 3. Ada kearifan lokal berupa prinsip ekologis, hidup bersama alam, yang terkonseptualisasi dalam peristilahan dan ungkapan petani padi organik.

DAFTAR PUSTAKA

Caughey. 1972. Simulating the Past: A Method for Using Ethnosemantics in Historical Research. American Quarterly Vol. 24, No. 5, Dec., 1972 . The Johns Hopkins University Press. Djawanai, Stephanus. 2011. Kemanusiaan sebagai Pemandu dan Penjaga Kehidupan. Disajikan dalam Focus Group Discussion dengan MPR RI, 11 Oktober. Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press. Ethnologue.com. Edisi ke-18, 2015. https://www.ethnologue.com. Nurhayati. 2010. Pengaruh Teknologi Mesin terhadap Perubahan Kosa Kata di Bidang Pertanian . Jurnal Parole, Vol. 1, Oktober. http://ejournal.undip.ac.id/ index.php /parole/article/download/810/698. Palmer. 1996. Toward a Theory of Cultural Linguistics. Austin TX: University of Texas Press. Fidiyani, Rini dan Ubaidillah Kamal. 2012. Cara Berhukum Orang Banyumas dalam Pengolahan Lahan Pertanian. Prosiding Seminar Nasional Dies Natalis Ke-1. Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman.

~ 471 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Sharifian, F. 2015. Cultural Linguistics dalam F. Sharifian (ed.), The Routledge Handbook of Language and Culture. New York/London: Routledge. Tan Khoen Swie. 1952. Serat Kidungan. Kediri.

~ 472 ~ ANALISIS SKEMA CITRA TERHADAP MAZMUR 23: KAJIAN LINGUISTIK KOGNITIF

Paulus Subiyanto Politeknik Negeri Bali iin_paul @yahoo.com

ABSTRACT This paper is aimed to identify what types of Image Schemas in Psalm 23, with well known title “The Lord is My Shepherd. It is considered as an old text with full of metaphors. Moreover, using the context and cultural background of the psalm, the meaning and message can be interpreted and constructed properly. Theory of Conceptual Metaphor is based on the notion that metaphorical phenomena are not merely as linguistic matter, but rather as a process of cognition by which humans understand the reality (Lakoff and Johnson,1980). Unconsciously, we produce metaphors in our daily life coming from Conceptual Metaphor in our cognitive process. In the Theory of Conceptual Metaphor, Image Schema is a preconceptual structure derived from physical experiences, cultural background, and ideology of a nation. It is a recurring structures within our cognitive process ( Johnson,1987). According to Johnson’s list, there are 15 types of Image Schemas, summarized into 3 groups, claimed as universal in nature. (i) Spatial Motion Group, (ii) Force Group, dan (iii) Balance Group. The Psalm 23 consists of 6 verses, each may be contained of more than one sentence or phrase. It was written by King David about the fifth and the tenth century B.C. to show the goodness of God, and his close relationship with his people. God is portrayed as a good shepherd caring deeply to his cattle. Each verse is analyzed to find Image Schemas involved in the text. As the result, there are 7 types of Image Schemas in Paslm 23 : Container, Path, Link,Force,Attraction, Blockage, and Removal of Restraints. Based on the analysis, we can conclude that Image Schema as a part of Conceptual Metaphor Theory has potential to be as an analysis tool to discover the meaning of texts with full of metaphors. Besides, the factors of culture and ideology in the formation of Image Schema may give chance to find other types of Image Schema contained in local languages.

Key words : Image Schema, Conceptual Metaphor, and Cognitive Linguistics

1. Latar Belakang Dalam Kitab Suci (The Bible), Kitab Mazmur (KM) dikategorikan dalam genre teks sastrawi karena berupa kumpulan doa, pujian, dan lagu yang penuh metafora. KM diperkirakan ditulis dalam kurun waktu abad ke-10 sampai abad ke-5 Sebelum Masehi, semula ditulis dalam Bahasa Ibrani dan Aram, selanjutnya diterjemahkan dalam Bahasa Yunani dan Latin, kemudian diterjemahkan ke ratusan bahasa nasional dan lokal di seluruh dunia. Sampai sekarang KM masih digunakan baik sebagai lagu maupun doa dalam peribadatan di kalangan umat kristiani dan Yahudi, demikian juga bagi umat muslim KM dikenal sebagai Kitab Jabur yang ada dalam Al Quran. Dengan demikian, KM adalah teks kuno yang memiliki nilai penting, khususnya dalam konteks agama-agama samawi (Yahudi, Kristiani, dan Islam). KM adalah ungkapan pengalaman religius yang muncul dari relasi dan interaksi pemazmur yang mendalam dengan realitas transenden, yang disebut sebagai Yahwe (Tuhan, Allah). KM terdiri dari 105 mazmur, salah satu yang sangat populer adalah Mazmur 23 yang diberi judul metaforis “Tuhan adalah Gembalaku”. Mazmur 23 berfungsi untuk mencitrakan

~ 473 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Tuhan sebagai seorang gembala, dan melukiskan hubungan yang erat antara pemazmur dan Tuhan seperti hubungan antara domba dan gembala. Kitab Suci ditulis dan diterjemahkan juga memiliki fungsi pengajaran atau pewarisan nilai-nilai religius dan moral dari satu generasi ke generasi berikutnya. Namun demikian, teks yang sarat dengan metafora seperti Mazmur 30 tentu tidak mudah bagi pembaca untuk menginterpretasikan makna dan pesan yang mau disampaikannya. Apalagi dari perspektif linguistik kognitif, fenomena metafora bukan sekedar menyangkut bahasa saja, melainkan bersumber dari proses kognitif sehubungan bagaimana manusia memahami dunia dan membangun pengetahuannya ( Lakoff &Johnson, 1984). Oleh sebab itu, untuk menginterpretasi makna dari metafora dibutuhkan pendekatan yang berbasis teori kognitif. Makalah ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasikan Skema Citra apa saja yang terlibat dalam Mazmur 23, dan (ii) menginterpretasikan makna atau pesan yang mau disampaikan dengan melihat konteks dan latar belakangnya.

2. Linguistik Kognitif Berawal dari studi tentang hubungan bahasa dan pikiran pada tahun 1970-an, teori Linguistik Kognitif mulai berkembang dengan melibatkan penelitian-penelitian yang bersifat multi disipliner, khususnya bidang psikologi dan neurosains. Ada 5 prinsip yang menjadi pijakan teori linguistik kognitif:

(i) Menolak pemikiran adanya kemampuan berbahasa yang terpisah dan otonom dalam pikiran manusia sebagaimana disampaikan teori generative grammar. (ii) Tatabahasa (grammar) dipahami sehubungan dengan konseptualisasi. Data linguistik yang disimpan dalam pikiran manusia tidak jauh berbeda dari pengetahuan- pengetahuan yang lain. (iii) Pengetahuan bahasa muncul dari penggunaan bahasa (language in use). Penggunaan bahasa untuk memahami realitas menggunakan kemampuan kognitif yang sama dengan tugas-tugas non linguistik. (iv) Kemampuan berbahasa tidak bersifat bawaan (innate) sebagaimana disampaikan Chomsky, melainkan berasal dari proses belajar, sama dengan kemampuan- kemampuan yang lain. (v) Makna merupakan fokus dan sentral dalam bahasa, struktur-struktur yang lain terkait dengan semantik. Linguistik kognitif berusaha untuk memahami bagaimana semantik dan sintaks bekerjasama, bagaimana hubungan antara berbahasa dan berpikir, bagaimana proses konseptualisasi melalui bahasa.

Berdasarkan temuan empiris dari disiplin ilmu yang lain, linguis kognitif berusaha menciptakan model psikologis untuk bahasa sehubungan dengan kategorisasi, konseptualisasi, memori, dan imagery dalam proses kognisi, misalnya mental space (Fauonnier,1994), image schema ( Johnson, 1987), gestalt ( Lakoff,1987). Model-model psikologis ini berfungsi untuk menggambarkan bagaimana kemampuan berbahasa merupakan proses kognitif dalam rangka memahami dunia dan membangun pengetahuan dan pengalaman.

~ 474 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature 3. Metafora Konseptual Lakoff dan Johnson (1980) berpendapat bahwa ujaran-ujaran konvensional yang kita gunakan sehari-hari sebenarnya berupa pola pemetaan yang di dalamnya satu domain (target domain) disampaikan dalam hubungannya dengan domain yang lain( source domain). Metafora adalah cara kita mengkonseptualisasi pengalaman dan pengetahuan melalui bahasa. Metafora yang terpola dalam kognisi ini disebut Metafora Konseptual (MK). Selanjutnya, Lakoff dan Johnson (1980) membedakan adanya tiga jenis MK:

(i) Metafora struktural adalah MK yang terstruktur dari satu konsep ke konsep yang lain. Satu konsep dimengerti melalui konsep lain yang sudah dimengerti seperti pada contoh LIFE IS JOURNEY. Pengetahuan dan pengalaman konkret tentang JOURNEY digunakan untuk memahami dan membicarakan konsep tentang LIFE yang lebih rumit atau abstrak.

(ii)Metafora orientasional tidak menstruktur satu konsep dengan konsep yang lain, melainkan menentukan seluruh sistem konseptual melalui orientasi spasial yang dipengaruhi oleh fungsi tubuh manusia dalam menghadapi lingkungan. Misalnya, MK UP-DOWN yang selanjutnya menjadi GOOD IS UP;BAD IS DOWN , HAPPY IS UP; SAD IS DOWN. Orientasi metaforis ini bersumber dari pengalaman konkret tubuh kita dalam hubungannya dengan ruang, tempat, dan gerak.

(iii)Metafora ontologis bersumber dari pengalaman manusia dengan obyek-obyek sebagai dasar untuk memahami—lebih dari sekadar orientasi. Pengalaman dan pemahaman melalui obyek atau benda ditarik sebagai entitas atau wujud yang lebih umum. Misalnya metafora ontologis CONTAINER(wadah). Manusia adalah makhluk bertubuh, hubungan manusia dengan dunia dibatasi oleh permukaan kulit. Dengan kata lain, manusia mengalami dunia sebagai “di luar” tubuhnya. Pengalaman manusia sebagai obyek yang berada dalam ruang (wadah) juga ikut membentuk metafora ini. Contoh: We’re out of trouble now; He fell into a depression;She fell in love with him.

4. Skema Citra Skema Citra (Image Schema) adalah struktur prekonseptual yang berulang dan beroperasi tanpa sadar dalam proses kognisi manusia dalam rangka untuk memahami dunia dan menstruktur pengalaman melalui bahasa (Johnson,1987). Lebih lanjut, Johnson (1987) menyamaikan daftar Skema Citra yang terdiri dari 15 jenis, yang dikelompokkan menjadi 3 kategori yang diklaim bersifat universal: (i) Spatial Motion Group, (ii) Force Group, dan (iii) Balance Group.

5. Mazmur 23 : TUHAN, Gembalaku Yang Baik

1. Mazmur Daud Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. 2. Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau. Ia membibing aku ke air yang tenang. 3. Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena namaNya. 4. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, ~ 475 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature aku tidak akan takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gadaMu dan tongkatMu, itulah yang menghibur aku. 5. Engkau menyediakan makanan bagiku di hadapan lawanku; Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh berlimpah. 6. Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah Tuhan sepanjang masa.

6. Analisis Skema Citra Ayat 1 : Ayat ini merupakan penegasan tema atau keyakinan pemazmur, yang akan diuraikan dalam ayat-ayat selanjutnya. Ayat 2: Skema Citra yang terlibat adalah Force (Tuhan) yang mengenai obyek (aku) sehingga obyek mengalami berada dalam Container (padang rumput hijau, air yang tenang). Bagi domba, rumput adalah makanan pokok, dan air adalah minuman yang dibutuhkan untuk hidup. Dan dua hal ini sudah disediakan oleh gembala secara berlimpah. Metafora hubungan manusia dan Tuhan sebagai domba dan gembala mau mengatakan bahwa Tuhan sudah menyediakan semua kebutuhan hidup manusia secara berkelimpahan. Skema Citra Wadah menyampaikan bahwa pada dasarnya Tuhan sudah menempatkan manusia dalam kondisi yang berkelimpahan, tidak perlu kuatir akan kekurangan kebutuhan hidupnya. Ayat 3 : Skema Citra yang terlibat adalah Force (Tuhan) yang bertindak atas obyek (aku) sehingga obyek berjalan dalam suatu Path ( jalan yang benar) . Tuhan tidak hanya menyediakan kebutuhan jasmani seperti makan dan minum ( ayat 2), melainkan juga “menyegarkan jiwa” (restore), dengan menuntun di “jalan yang benar”, yang berarti hidup menurut perintah dan hukumNya. Skema Citra Force dan Path menyampaikan bahwa jika manusia mentaati hukum- hukumNya, maka Tuhan akan membimbing dan menjaga manusia dalam perjalanan hidupnya menuju tujuan akhir, yakni kekekalan. Ayat 4 : Situasi bathin yang penuh kesulitan dan penderitaan digambarkan sebagai realitas konkret “lembah kelam” yang menakutkan, Skema Citra yang digunakan adalah Container berupa ruang gelap. Pemazmur sendiri juga berupa Container yang di dalamnya terdapat obyek (rasa takut). Namun demikian, karena ada Link antara pemazmur dan Tuhan (Engkau besertaku), maka timbullah kekuatan yang mampu mengusir rasa takut itu, melalui Skema Citra Removal of Restraint, yakni kekuatan yang mampu menyingkirkan hambatan. Tongkat dan gada adalah dua alat yang selalu dibawa seorang gembala pada masa itu: tongkat untuk menghalau predator atau binatang buas sedangkan gada memiliki kait untuk menarik domba yang keluar dari kawanan. Dengan demikian, Skema Citranya adalah Blockage, yakni kekuatan yang mampu menghalangi ancaman dari luar. Ayat ini mau berbicara bahwa Tuhan juga tetap mendampingi, menjaga, dan menyingkirkan hambatan ketika manusia sedang menghadapi masa-masa yang sulit dalam hidupnya dengan syarat manusia tetap menyatukan diri dengan Tuhan. Ayat 5 : Kebaikan Tuhan juga digambarkan sebagai Tuan Rumah yang mengadakan pesta

~ 476 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature dengan hidangan berlimpah, dan manusia diundang sebagai tamu terhormat dengan ditandai “kepalanya diurapi minyak”. Dalam tradisi yahudi saat itu, hanya tamu terhormat yang diurapi minyak. Pesta adalah Skema Citra Container (tempat) yang di dalamnya obyek (para tamu) diundang untuk masuk. Piala (benda konkret) merupakan lambang harga diri atau martabat (abstrak). “Pialaku penuh berlimpah” berarti manusia diperlakukan Tuhan sebagai pribadi yang istimewa dan terhormat sehingga harkat dan martabat manusia diangkatNya seperti piala yang dituangi minuman sampai penuh berlimpah. Pesta juga lambang kehidupan abadi sebagai tujuan hidup manusia yang percaya padaNya. Ayat 6 : Ayat ini merupakan kesimpulan dari ayat-ayat sebelumnya dengan menggunakan Skema Citra Attraction, yakni obyek memiliki kekuatan yang mampu menarik obyek lain, seperti magnet. Kebajikan dan kebaikan (abstrak) ditarik oleh obyek (orang yang hidupnya dekat dengan Tuhan) sehingga mengikutinya seumur hidup. Dan tujuan atau dambaan hidup manusia adalah bersatu dengan Tuhan yang digambarkan sebagai “diam di rumah Tuhan” sepanjang masa.“Rumah Tuhan” adalah Container yang di dalamnya obyek (manusia) berada, sebagai tujuan akhir hidup manusia.

7. Kesimpulan Dalam Mazmur 23 ini terdapat 7 jenis Skema Citra yang terlibat: Container, Path, Force, Link, Blockage, Removal of Restraints, dan Attraction. Skema Citra ini secara metaforis berfungsi untuk memetakan antara target domain (hubungan antara manusia dengan Tuhan) dengan source domain ( hubungan antara domba dan gembala). Dengan demikian, metafora berfungsi menggambarkan realitas yang abstrak yang rumit ( hubungan manusia dengan Tuhan) sebagai target domain melalui pengalaman konkret ( hubungan domba dan gembala) sebagai source domain. Dengan mengidentifikasi Skema Citra, makna atau pesan Mazmur 23 bisa diinterpretasikan. Tuhan sudah menyediakan kebutuhan hidup manusia lahir bathin dengan berlimpah asalkan manusia hidup sesuai dengan hukum-hukumNya. Tuhan juga menuntun, menjaga, dan melindungi dari segala ancaman dan tantangan dalam perjalanan hidup manusia menuju kehidupan abadi. Di mata Tuhan , manusia adalah ciptaan yang berharga dan bermartabat sehingga pantas untuk mendapatkan kehidupan abadi yang dilambangkan sebagai tamu istimewa yang diundang dalam pesta-Nya.

DAFTAR PUSTAKA

Croft,W.and Cruse,D.A (2004).Cognitive Linguistics.NewYork:Cambridge University Press. Harrison,V.M. (2007). Metaphor, Religious Language and Religious Experience. Sophia: International Journal for Philosophy of Religion,p. 46 Johnson,M.(1987).The Body in The Mind:the Bodily Basis of Meaning,Imagination, and Reason. Chicago:University of Chicago Press. Kovecses,Zoltan.(2006). Language, Mind, and Culture. New York: Oxford University Press Lakoff,G and Johnson,M.(1980).Metaphors We Live By. Chicago: University of Chiago Press. Lakoff,G.(1987). Women, Fire,and Dangerous Things: What Categories Reveal Abaout the Mind. Chicago: University of Chicago Press.

~ 477 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Ortony, Andrew.(1979). Metaphor and Thought. London: Cambridge University Press Pareira,B.A. dan Barth,M.C.(2008). Kitab Mazmur 1-72.Pembimbing dan Tafsirannya. Jakarta: Gunung Mulia Saeed, John I.(2000).Sermantics.Massachusetts: Blackwell Publishers Ltd Langacker, R.(1990).Concept, Image,and Symbol:The Cognitive Basis of Grammar. Berlin: Mouton de Gruyter.

~ 478 ~ KARTOGRAFI FIKSI: NARASI, MOTIF, DAN PERSEBARAN CERITA RAKYAT BALI

Puji Retno Hardiningtyas Balai Bahasa Provinsi Bali Jalan Trengguli I No. 34 Denpasar 80238, Bali, Indonesia Telepon (0361) 461714, Faksimile (0361) 463656 Pos-el: [email protected]

ABSTRACT Generally the folklore told in the local language so that the mind and the typical of the region can be expressed clearly. The spreading of folklore in Bali through oral tradition from generation to generation decreases and growing as communal is anonymous. Changes and variations or versions of folklore that occurred prove the development is dynamic in accordance with the dynamics of community supporters. The problem of this study are (1) how the cartographyof the narrative fiction and motifs of the folklore in Bali and (2) map the spreading of folklore in Bali. The purpose of this study is to describe the narrative fiction, motifs, and the existence of the spreading space of folklore in Bali. This research using descriptive methods; qualitative approaches; data collection was done by using the documentation, interviews, recording, and noting; and the theory of comparative historicism, Thompson index motiv, and cartography approaches. The results of this study show a text corpus of the folklore that can be seen narrative and motifs so that can be done the mapping of the spreading of local stories. In addition, this mapping is expected to determine and visualize areas with depictions of literary space through fiction geography in Bali.

Keywords: fiction, folklore, narrative, motif, cartography

PENDAHULUAN Pada dasarnya, ahli sejarah Indonesia selalu menawarkan bahwa sejarah lisan untuk menjelaskan politik luar negeri Indonesia, konstruksi historis yang dibangun berdasarkan sumber lisan. Tidak mengherankan jika sejarawan Indonesia mengacu pada buku Oral Tradition: A study in Historical Methodology yang ditulis oleh Jan Vansina (Purwanto, 2014: xxxii). Konstruksi masyarakat Indonesia lahir dari kenyataan sejarah dengan tradisi lisan dan sumber lisan yang masih kentara. Keberagaman suku ini dan kehadiran cerita rakyat sebagai sumber lisannya merupakan hal yang menarik dan memberikan sumbangan penting bagi kajian penelitian sastra, termasuk sastra lisan di Bali. Cerita rakyat Bali merupakan warisan karya sastra lisan yang masih hidup di wilayah Bali, khususnya di daerah pedesaan. Cerita rakyat Bali ini diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi pada masyarakat penutur bahasa Bali. Cerita rakyat Bali pada umumnya memuat tentang hal-hal yang berhubungan dengan kepahlawanan, keberanian, asal-muasal terbentuknya suatu daerah, kepandaian, atau kepercayaan yang ingin ditanamkan dalam pribadi seseorang. Cerita rakyat Bali yang tumbuh dan berkembang pada penutur masyarakat Bali jenisnya sangat beragam dan tersebar di seluruh daerah di Provinsi Bali. Ragam cerita rakyat Bali terdiri atas mite, legenda, dan dongeng. Dahulu, cerita itu berkembang subur dalam kehidupan masyarakat Bali. Lahirnya penelitian pemetaan sastra jika ditelusuri sejarahnya berkembang sejak tahun 2012. Seorang ilmulan bernama Dr. Mark Turin memimpin kegiatan lokakarya pemetaan terhadap budaya lisan yang hampir punah bertajuk “Charting Vanishing Voices: ~ 479 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature A Collaborative Workshop to Map Endangered Oral Cultures” (Mengabadikan Suara yang Hilang).1 Lokakarya tersebut kemudian menjadi World Oral Literature Project rutin oleh Universitas Cambridge.2 Lokakarya ini menghadirkan ilmuwan perguruan tinggi, ahli media digital, dan aktivis organisasi internasional untuk berbagi pengalaman dalam membuat peta keragaman etnolinguistik menggunakan teknologi digital interaktif. Dengan metode presentasi singkat dan diskusi yang panjang, peserta lokakarya mencoba menemukan cara-cara inovatif dalam dalam memvisualisasikan keragaman budaya dan linguistik dan mencari teknik yang paling tepat untuk memetakan budaya lisan yang hampir punah, baik secara cartographically maupun geospatially (Taum, 2015:1). Seiring dengan berkembangnya sastra lisan menjadi sastra tulis, pola pemetaan fiksi tersebut memunculkan ruang baru di Indonesia. Penelitian tentang pemetaan sastra yang bermuara pada tradisi lisan—cerita rakyat—merupakan upaya menyelamatan dan menginventarisasi milik masyarakat Bali. Langkah awal penelitian pemetaan sastra lisan di Bali dengan memperlihatkan letak persebaran karya tersebut. Pada dasarnya, pemetaan kartografik dan geospasial adalah hasil perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi digital terkini yang menghasilkan peta. Pengalokasian ruang persebaran ini merupakan salah satu jawaban permasalahan tentang daerah persebaran karya sastra lisan di Bali. Permasalahan katografi narasi fiksi dan motif cerita rakyat di Bali dan memetakan daerah persebaran cerita rakyat di Bali merupakan persoalan yan menarik untuk diteliti. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan narasi fiksi, motif, dan memetakan keberadaan ruang persebaran cerita rakyat di Bali. Secara teoretis, penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai sarana memperkaya kajian kesusatraan, khususnya sastra Bali. Penelitian ini juga dapat digunakan sebagai bahan kajian bagi para peneliti, peminat, dan pemerhati cerita rakyat. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menentukan kebijakan dalam upaya melestarikan dan memasyarakatkan cerita rakyat Bali. Hal yang perlu dilakukan dalam penelitian ini adalah menentukan kajian aspek teritorial dan topografi sastra di Bali. Pola pemetaan sastra dalam dekade terakhir belum mendapat perhatian serius oleh para peneliti. Oleh karena itu, fokus utama penelitian ini memperdalam kajian geografi sastra—interaksi antara geografi real dan imajiner dalam bidang genre sastra, khususnya cerita rakyat Bali.

KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI Kajian Pustaka Penelitian cerita rakyat di Bali sebelumnya pernah dilakukan oleh I Gusti Ngurah Bagus tahun 1968 dengan judul Arti Dongeng Bali dalam Pendidikan dan Satua-Satua Sane Banyol ring Kasusastraan Bali tahun 1976. Penelitian kedua berjudul Satua-Satua Sane Banyol ring Kasusastraan Bali tahun 1976 diterbitkan oleh Balai Penelitian Bahasa Singaraja. Selain itu, I Made Subandia juga melakukan penelitian mandiri tahun 2006 dan diterbitkan tahun 2011 berjudul Khazanah Cerita Rakyat Bali. Penelitian tentang cerita rakyat di Bali dengan berbagai teori lainnya dilakukan oleh I Gusti Ngurah Bagus dengan judul “Akal dan Humor Rakyat dalam Dongeng Bali” (1963);

1 Workshop diadakan 29—30 Juni 2012 di CRASSH, Alison Richard Building, 7 West Road, Cambridge CB3 9DT. 2 Dr. Mark Turin kemudian mendirikan sebuah yayasan yang peduli pada kebudayaan yang punah, Vanishing Worlds Foun- dation dengan semboyan Recording Oral Cultures Before They Disappear. Yayasan ini membiayai studi lapangan untuk merekam dan mendokumentasikan berbagai bentuk kebudayaan lisan. ~ 480 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature “Tokoh Dempu Awang dalam Dongeng Bali” (1966); “Si Ayam hitam sebuah Fabel Populer di Bali” (1964); Kembang Rampe Kesusastraan Bali Purwa I (I Gusti Ngurah Bagus dan I Ketut Ginarsa, tahun 1978); Dongeng Panji dalam Kesusastraan Bali (I gusti Ngurah Bagus, dkk. tahun 1986). Penelitian Cerita Rakyat Daerah Bali tahun 1976/1977 juga dilakukan oleh tim Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Depdikbud. I Made Subandia tahun 1998/1999 melakukan penelitian berjudul “Analisis Tema, Amanat, dan Nilai Budaya Cerita “Prabu Malian”, “Orang Sakti-Sakti”, dan “Pisang Gedang Saba””. Selain itu, peneliti Ni Putu Ekatini Negari pernah meneliti berjudul “Analisis Struktur dan Fungsi Dongeng “I Bintang Lara”” tahun 1993/1994 dan ”Cerita Rakyat di Desa Tigawasa dalam Buku Cerita Rakyat Bali: Analisis Tema, Amanat, dan Nilai Budaya” (1997/1998). Tahun 1996/1997 Cokorda Istri Sukrawati melakukan penelitian berjudul “Aspek-Aspek Sosiologis dalam Cerita Rakyat Daerah Bali, Desa Bulian dan Selat”. Ni Wayan Aryani pun pernah meneliti “Nilai Budaya dalam Dongeng Bali” tahun 1996/1997. Gusti Ayu Made Mardiani meneliti “Nilai dan Fungsi Cerita Rakyat di Kecamatan Nusa Penida: Sebuah Pendekatan Sosiologi Sastra” tahun 1987. Begitu pula Ida Bagus Mayun meneliti “Cerita Rakyat Daerah Bali (Mite dan Legenda) tahun 1979/1980. Ketut Sidja, dkk. tahun 2002 melakukan penelitian Cerita Rakyat Daerah Bali. Ni Ketut Sulami, dkk. melakukan penelitian berjudul Cerita Rakyat Daerah Bali, Desa Bulian dan Desa Selat tahun 1988. I Ketut Suwidja meneliti cerita rakyat berjudul Satua Babung teken Be Jagul tahun 1985. Puji Retno Hardiningtyas, dkk. meneliti “Jejaring Motif Asal-Usul Cerita Rakyat Bali: Sastra sebagai Penguat Keindonesiaan” (2014; Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa). Penelitian lain berkaitan dengan pemetaan sastra dilakukan oleh Ni Putu Ayu Krisna Dewi, dkk. berjudul “Pemetaan Bahasa dan Sastra Bali” (2013; Balai Bahasa Provinsi Bali). Tahun 2014 I Made Subandia, dkk. melakukan penelitian berjudul “Pemetaan Sastra Bali: Cerita Prosa Rakyat Bali” (Balai Bahasa Provinsi Bali). Sementara itu, kajian pemetaan sastra di luar negeri juga dilakukan oleh David Lodge berjudul “Historicism and Literary History: Mapping the Modern Period” (tahun 1997); Barbara Piatti, dkk. berjudul “Mapping Literature: Towards a Geography of Fiction” (tahun 2008). Berdasarkan kajian pustaka sebelumnya tersebut, penelitian ini memfokuskan pada “Kartografi Fiksi: Narasi, Motif, dan Persebaran Cerita Rakyat di Bali”. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu alternatif pengembangan geografi sastra di Indonesia, khususnya di Bali.

Landasan Teori Penelitian ini menggunakan teori historis komparatif dan motif indeks, serta pendekatan kartografi. Sejarah lahirnya teori histori komparatif dikembangkan oleh Krohn dan Aarne di Helsinki, Finlandia. Teeuw (2015:220—221) menyebutkan bahwa madzab Finlandia merupakan aliran kajian sastra lisan. Aliran tersebut mengembangkan metode dan teori historis komparatif yan bersifat sistematik. Helsinki menganalisis epos nasional Finlandia berjudul Kalevala, cerita epik rakyat tertua pada abadi ke-19. Mahzab yang dikembangkan oleh Helsinki dijadikan pusat organisasi oleh peneliti di dunia disebut Historio-Georaphical School. Studi bandingan mereka bertujuan untuk (a) memperlihatkan hubungan antara berbagai sampel sastra rakyat; (b) mengungkapkan pola penyebaran atau migrasi sastra rakyat itu; (c) melacak dan menjelaskan tempat asal sebuah cerita rakyat; dan d) sedapat mungkin mengetahui bentuk asli sebuah cerita rakyat yang telah mengalami berbagai transformasi. Krohn dan Aarne adalah pelopor studi historis-komparatif itu. Mereka memulai ~ 481 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature kajiannya dengan melakukan studi terhadap epos nasional Finlandia yang berjudul Kalevala, yang sesungguhnya merupakan ciptaan abad ke-19 berdasarkan berbagai macam cerita epos rakyat klasik. Mereka mengupayakan dilakukannya sebuah usaha raksasa untuk mengumpulkan, mengklasifikasikan, dan membandingkan cerita rakyat selengkap mungkin dan seluas mungkin, bahkan mereka memiliki cita-cita untuk menjangkau cerita rakyat di seluruh dunia (Teeuw, 2015:288—229). Teori kedua yang digunakan dalam penelitian ini adalah motif indeks Thompson. Menurut Danandjaja (1991:53—54) istilah motif dalam cerita rakyat, folklore adalah unsur- unsur suatu cerita (narratives elements). Motif teks suatu cerita rakyat adalah unsur dari cerita rakyat yang menonjol dan tidak biasa sifatnya. Unsur cerita itu dapat berupa benda (seperti tongkat wasiat), hewan luar biasa (kuda yang dapat berbicara), suatu konsep (larangan atau tabu), suatu perbuatan (ujian ketangkasan), penipuan terhadap suatu tokoh (raksasa atau dewa), tipe orang tertentu (si Pandir, si Kebayan), atau sifat struktur tertentu (misalnya pengulangan berdasarkan angka keramat, seperti angka tiga dan tujuh). Motif mitos dianalisis berdasarkan motif indeks Thompson yang terangkum dalam bukunya berjudul Motif-Index of Folk Literature: A Classification of Narrative Elements in Folktales, Ballads, Myths, Fables, Mediaeval Romances, Exampla, Fabliaux, Jest-Books, and Local Legends (1966) terdiri atas enam jilid. Buku tersebut memuat katalogus tipe dan motif yang dapat diterapkan secara universal pada cerita rakyat. Penggolongan sejarah hidup (life history) sebuah cerita rakyat kemudian ditelusuri oleh peneliti dengan membandingkan varian cerita yang memiliki tipe dan motifnya sama. Pendekatan kartografi digunakan untuk membaca karya sastra yang berlangsung di suatu tempat. Unsur karya sastra dianalisis berdasarkan konteks spasial. Menurut Piatti, dkk. (2008:181) bahwa pemetaan sastra yang dimaksudkan sebagai berikut.

“The map displays Scotland and – in dark grey shade – the zone of action for several novels written by Walter Scott (among them the famous Waverley). In other words: As a map user you’re able to see immediately where real and fictional space overlap. There is a rather long tradition of literary geography, dating back to the beginning of the 20th Century, with promising attempts in Great Britain, Germany, Switzerland and France. But the history of that (international) research field hasn’t been written yet (for a draft and some map samples see Piatti 2008b). However, in the first stages of literary geography, scholars succeeded to visualise a couple of important aspects like the distribution of fictional settings (‘gravity centres’ vs. ‘unwritten regions’).”

“Peta itu menampilkan Skotlandia dan—dalam warna abu-abu gelap—zona untuk beberapa novel yang ditulis oleh Walter Scott (di antara karya-karya yang terkenal di Waverley). Dengan kata lain, sebagai pengguna peta, Anda dapat melihat langsung di mana tumpang tindih antara ruang nyata dan fiksi. Ada tradisi geografi sastra yang aak lama, kembali ke awal abad ke-20, dengan menjanjikan upaya di Inggris, Jerman, Swiss dan Prancis. Namun, sejarah penelitian lapangan (yang dilakukan secara internasional) belum pernah ditulis (rancangan dan beberapa sampel peta, lihat Piatti 2008b). Namun, pada tahap pertama geografi sastra, para sarjana berhasil memvisualisasikan beberapa aspek penting, seperti distribusi pengaturan fiksi (‘pusat gravitasi’ vs ‘daerah tidak tertulis’).”

Berdasarkan pemikiran tersebut, arah penelitian ini berpedoman pada geografi melalui perspektif geografi atau spasial dengan disiplin ilmu terkait. Perkembangan perspektif geografis dapat dilihat pada pertengahan abad ke-20. Geografi lebih menekankan pada deskripsi dan sintesis aspek fisik dan sosial suatu wilayah. Sementara itu, pemetaan fiksi ini menekankan pada model visualisasi teks sastra.

~ 482 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Pendekatan kualitatif sebagai prosedur penelitian data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang diamati atau perilakunya (Moleong, 2010:17). Desain penelitian ini adalah etnografi. Data dalam penelitian ini adalah teks lisan dan tertulis dari naskah, cerita, informasi, ataupun transkrip teks dari informan mengenai cerita rakyat di Bali. Sumber data primer yang diperoleh dari rekaman langsung pada para pencerita, para tetua adat, pemuka agama, dan masyarakat yang masih menguasai cerita yang mengandung motif mitologi (mite), legenda (asal-usul manusia, tempat, dan benda), dan babad/sejarah. Sumber data yang terkumpul sebanyak 39 (lihat tabel 6) cerita rakyat berbahasa Bali dan berbahasa Indonesia yang tersebar di Bali. Data tersebut secara umum digunakan untuk membantu kartografi fiksi dan persebaran daerah keberadaan cerita rakyat di Bali. Pengumpulan data primer dan sekunder dilakukan wawancara, kuesioner, dan studi pustaka terhadap cerita rakyat dari Bali dengan lokasi yang telah ditentukan. Seperangkat instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah 75 kuesioner (form 1 daftar pertanyaan kepada informan kunci; form 2 kuesioner responden/informan; dan form 3 kuesioner cerita rakyat yang diisi oleh peneliti), perekam, kamera, dan buku catatan. Lokasi penelitian ini terletak di Bali, yaitu Desa Pedawa (Singaraja); Desa Tigawasa (Singaraja); Desa Seraya Timur (Kecamatan Karangasem); Desa Tenganan (Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem); Desa Tanglad dan Desa Nusa Lembongan di Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Desa Songan B dan Desa Trunyan (Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli)3. Dalam penelitian ini menggunakan tiga teknik pemeriksaan keabsahan data, yaitu ketekunan pengamatan, triangulasi data, dan kecukupan referensial. Metode pengumpulan data penelitian ini adalah metode inventarisasi, dokumentasi, dan catat. Berbagai cerita yang dikumpulkan kemudian diklasifikasi sesuai dengan jenis isinya. Klasifikasi itu terbagi tiga, yakni cerita yang berkaitan dengan (1) asal-usul manusia, (2) asal-usul suatu tempat, dan (3) asal-usul suatu benda. Cerita rakyat tersebut diharapkan dapat dijadikan dasar untuk penelitian keterkaitan antara satu suku dengan suku lain di Bali. Data dianalisis dengan metode pemahaman dan penafsiran dalam pandangan motif indeks-Stith Thomson. Dalam sastra dan filsafat, metode pemahaman (verstehen) disejajarkan dengan dan penafsiran (hermeneutika). Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi observasi, angket/kuesioner, wawancara, dan studi kepustakaan. Instrumen pengumpulan data yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini berupa (1) panduan observasi, angket/kuesioner, pedoman wawancara, dan panduan pemilihan dokumentasi; serta (2) tabel dengan nama panduan kodifikasi korpus data. Analisis data dalam penelitian ini terdiri atas tiga alur kegiatan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan/verifikasi.

HASIL DAN PEMBAHASAAN Kartografi Narasi Fiksi dan Motif Cerita Rakyat Bali Masyarakat Bali dan masa lalu yang memunculkan masalah sosial-kultural di beberapa bagian daerah di Bali merupakan refleksi diri yang dapat diambil dari tradisi lisan—satua Bali4—yang terlindas oleh hiruk-pikuknya modernitas, bahkan postmodernitas sekarang ini. 3 Sumber sekunder dari data penelitian Dewi, dkk. (2013). 4 Satua Bali adalah cerita rakyat, bagian dari tradisi lisan, berupa cerita bagian dari tradisi lisan yang berupa cerita lisan yang diturunkan secara oral (dari mulut ke mulut). Dalam klasifikasi naskah kepustakaan Bali oleh Gedong Kirtya Singaraja, satua-satua ini termasuk kelompok Ithiasa (IV), sedangkan satua bernomor IVd. (lihat Agastia, 1985: 145; “Jenis-jenis Naskah Bali”; bandingkan Pegeaud, 1967. Literature of Java). ~ 483 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Pemahaman terhadap sebuah tradisi perlu jika akan memahami lebih dalam hakikat budaya sebuah komunitas, sekecil apa pun sebuah komunitas itu. Setiap komunitas memiliki akar tradisi (tradition roots) yang berbeda-beda berdasarkan geografis, adat istiadat, bahasa, dan agama. Sebuah tradisi bisa lahir atas penghayatan masyarakat terhadap alam lingkungannya sebagai jawaban pralogis dari sebuah misteri alam sekitarnya. Oleh karena itu, dalam sebuah tradisi akan ditemukan juga fakta-fakta budaya di dalamnya (Dwija, 2013:244). Dalam sebuah tradisi lisan (sastra lisan) dapat digali fakta-fakta budaya, seperti sistem geneologis, kosmologi, dan kosmogoni5; sejarah; filsafat; etika; moral; sistem pengetahuan; dan kaidah kebahasaan. Pengungkapan makna secara holistik fakta-fakta budaya itulah sebagai alasan mengapa begitu penting arti sebuah tradisi lisan di masa kini (Sedyawati, 1995:4). Tradisi lisan tersebut—mengandung sistem genelogis, kosmilogi dan kosmogoni, sejarah, filsafat, etika, moral, pengetahuan, dan kaidah kebahasaan—pun banyak ditemukan cerita rakyat di Bali. Sebagai upaya mempertahankan keberadaan sastra lisan di Bali, salah satunya langkah yang bisa dilakukan adalah melakukan penelitian dan inventarisasi karya, bahkan memetakan keberadaan karya dan persebarannya. Penggolongan cerita rakyat dalam masyarakat Bali dengan saksama melihat keaslian cerita, masih alami/mempertahankan kelokalan atau sudah tercampur budaya asing, bahkan memiliki kesamaan tematik dengan motif-motif cerita di Indonesia. Dalam tahap ini, penjelasan tentang dua kemungkinan: monogenesis atau poligenesis sangat berperan. Monogenesis adalah suatu penemuan akibat dari proses difusi (penyebaran), sedangkan poligenesis adalah suatu penemuan yang disebabkan oleh penciptaan sendiri (independent invention), atau sejajar (parallel invention) dari motif-motif yang sama, di tempat dan waktu yang sama ataupun berbeda. Dari deksripsi cerita yang telah terkumpul, langkah berikutnya adalah membuat klasifikasi cerita. Klasifikasi tersebut meliputi bentuk cerita, motif cerita dan jejaring motif, dan asal-usul cerita. Hasil pengklasifikasian cerita rakyat Bali disimpulkan bahwa bentuk sastra lisan tersebut termasuk ke dalam kategori mitos (myth), legenda (legend), dongeng (folktale). Klasifikasi bentuk cerita rakyat Bali berdasarkan pada pemikiran para ahli, mitos dikategorikan oleh William R. Bascom6, legenda oleh Alan Dundes dan Jan Harold Brunvand7, dan dongeng oleh Anti Aarne dan Stith Thompson8. Untuk klasifikasi asal-usul berdasarkan pada pemikiran Alan Dundes9, sedangkan motif cerita meletakkan klasifikasi pada pemikiran Stith Thompson10. Motif indeks yang ditemukan dalam cerita rakyat Bali tersebut termasuk kategori legenda

5 Kosmologi (cosmology) adalah pemahaman menyeluruh mengenai jagat raya, asal-usul, hakikat tata susunan, dan tujuan akhirnya (lihat Collins & Farrugia, 1996:166). Kosmologi merupakan teori tentang asal-mula, watak, serta perkembangan alam semesta sebagai suatu sistem yang teratur. Kosmologi sesungguhnya merupakan suatu pengetahuan yang memiliki jangkauan sangat luas menyangkut alam semesta yang di dalamnya terdapat seluruh ciptaan termasuk di dalamnya manusia itu sendiri (lihat Donder, 2007:2—3). Sementara itu, kosmogoni adalah penciptaan alam semesta. Dalam konteks teologi Hindu sering dituangkan dalam berbagai purana yang merupakan “teori” penciptaan dunia dalam istilah sains modern. Bentuk-bentuk kultural dan isi kosmologi bervariasi sangat luas. Namun, secara berbeda meraka penuh dengan simbol, mitos religius, upacara, dan refleksi religius (lihat Rasmussen, 2003:217). 6 Lihat Danandjaja (1991:50) definisi mite/mitos oleh William R. Bascom. 7 Ibid hlm. 66—67. 8 Ibid hlm. 86.

9 Ibid hlm. 67. 10 Lihat Thompson, Stith. 1966. Motif-Index of Folk Literature: A Classification of Narrative Elements in Folktales, Ballads, Myths, Fables, Mediaeval Romances, Exampla, Fabliaux, Jest-Books, and Local Legends,Volume I—VI. ~ 484 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature perseorangan dan legenda tempat. Selain itu, unsur yang menjadikan cerita ini legenda terletak pada ide altruistic suicide. Legenda yang ditemukan dalam cerita rakyat Bali ini memiliki beberapa motif yang begitu kuat, sebagian besar cerita bermotif origin of place name dan first descends from sky. Perhatikan tabel berikut ini. Tabel 1 Motif Cerita Rakyat di Bali Nomor Indeks No. Motif Judul Cerita 1. Tuhan menitahkan “Asal-Usul Gunung Agung dan Gunung Batur”; A0—A99 creator (pencipta) dewa-dewi turun ke “Perjalanan Maha Resi di Bali”; “Asal-Usul bumi Padi” 2. Dewa-Dewi turun ke “Asal-Usul Gunung Agung dan Gunung Batur”; A1231 First descends from sky bumi “Asal-Usul Padi” (Dewa turun ke bumi) 3. Dewa-Dewi menjelma “Asal-Usul Gunung Agung dan Gunung Batur”; A132.6.2. Goddess in form of menjadi burung perkutut “Asal-Usul Padi” bird (Dewi dalam bentuk burung)

4. Pemberian nama tempat: “Asal-Usul Gunung Agung dan Gunung Batur”; A1617 Origin of place name gunung/desa/pura “Perjalanan Maha Resi di Bali”; “Asal-Usul Pulau Ceningan”; “Asal-Usul Selat Bali”; ”Ular Hitam di Bukit”; ”Kbo Iwa”; ”I Rajapala”; “Dewi Turun dari Langit”; “Anak Dalem Solo Mengembara Mencari Sumber Bau Harum”; ” Pasek Trunyan yang Meyelengkan Gamelan Pemberian Dalem Solo”; “Patung Ratu Sakti Pancering Jagat”; “Putri Betara Kehen Diperistri Sakti Pancering Jagat”; “Kebo Iwa Membantu Orang Truyan Membuat Jalan Batu Gedé”; ”Desa Bintang Danu dan Desa Lain Bagian dari Banua Desa Trunyan”; ”Desa Trunyan Bagian Kera- jaan Karangasem”; ”Betara Dèsa Landih adalah Putra Ratu Sakti Pancering Jagat”; “Desa Bunut Dikalahkan Panji Sakti”; “Panji Sakti Menyerang Trunyan”; “Barong Landung”; “Dalem Majapahit Datang ke Bali”; “Tampak Siring”; “Jayaprana”; “I Renggan”; “I Dukuh Mengku” 5. Hubungan Dewa dengan “Asal-Usul Gunung Agung dan Gunung Batur”; A5.1. Gods make earth to have dewi Bumi “Perjalanan Maha Resi di Bali”; “Asal-Usul place to rest their feet Pulau Ceningan”; “Asal-Usul Selat Bali”; ”Ular Hitam di Bukit”; ”Kbo Iwa”; ”I Rajapala”; “Dewi Turun dari Langit”; “Anak Dalem Solo Mengembara Mencari Sumber Bau Harum”; ” Pasek Trunyan yang Meyelengkan Gamelan Pemberian Dalem Solo”; “Patung Ratu Sakti Pancering Jagat”; “Putri Betara Kehen Diperistri Sakti Pancering Jagat”; “Kebo Iwa Membantu Orang Truyan Membuat Jalan Batu Gedé”; ”Desa Bintang Danu dan Desa Lain Bagian dari Banua Desa Trunyan”; ”Desa Trunyan Bagian Kera- jaan Karangasem”; ”Betara Dèsa Landih adalah Putra Ratu Sakti Pancering Jagat”; “Desa Bunut Dikalahkan Panji Sakti”; “Panji Sakti Menyerang Trunyan”; “Barong Landung”; “Dalem Majapahit Datang ke Bali”; “Tampak Siring”; “Jayaprana” 6. Asal-usul kelahiran se- “Asal-Usul Gunung Agung dan Gunung Batur”; A2.2. First human pair as orang manusia di bumi “Dewi Turun dari Langit”; “Anak Dalem Solo creators Mengembara Mencari Sumber Bau Harum” 7. Manusia berpindah “Perjalanan Maha Resi di Bali”; “Asal-Usul A.1620 Distribution of tribes tempat atau migrasi Pulau Ceningan”; “Asal-Usul Selat Bali”; ”Ular Hitam di Bukit”; “I Renggan”

~ 485 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

8. Manusia berpencar atau “Asal-Usul Pulau Ceningan”; “Asal-Usul Selat A.1630 Wandering of tribes berpisah Bali”; “Anak Dalem Solo Mengembara Mencari Sumber Bau Harum”; ” Pasek Trunyan yang Meyelengkan Gamelan Pemberian Dalem Solo”; “Patung Ratu Sakti Pancering Jagat”; “Putri Betara Kehen Diperistri Sakti Pancering Jagat” 9. Raja yang kejam “Asal-Usul Padi”; “Rajapala” S261.2. Dying and dead people buried in the wall of great wall (building) in order to close heaven so that they cannot see God or God see them 10. Hubungan Dewa dengan “Asal-Usul Padi”; A5.1. Gods make earth to have Dewi Bumi place to rest their feet 11. Asal-usul kelahiran “Asal-Usul Padi”; A2.2. First human pair as seorang manusia dari creators jenazah 12. Manusia lahir titisan dari “Asal-Usul Padi” dewa 13. Pertolongan dewa ke- “Asal-Usul Padi”; “I Tuung Kuning” (Si Terung pada manusia di bumi Kuning); “I Kaki Gadang” 14. Tiga ekor burung dari “Asal-Usul Padi” khayangan menolong manusia 15. Benih itu tercecer di “Asal-Usul Padi” A430.God of Vegetation jalan sehingga tidak tumbuh menjadi bahan makanan, tetapi bahan untuk mewarnai maka- nan, yaitu kunir. 16. Benih yang putih men- “Asal-Usul Padi” A432.God of Agriculture jadi padi putih, sedang- kan benih yang merah menjadi padi merah 17. Hubungan manusia dan “Pan Balang Tamak” (Pak Balang Tamak); “I N851.1. Poor merchant as manusia; ketulusan, Bawang teken I Kesuna” (Si Bawang Merah dan helper; W34.5. Great general kesetiakawanan, dan Bawang Putih); “I Cupak lan I Grantang” (Si does not forget his old helper balas budi Cupak dan Si Grantang)

18. Hubungan manusia dan “Nang Cubling” (Pak Cubling); “I Kaki Gadang” N851.1. Poor merchant as binatang; ketulusan, helper; W34.5. Great general kesetiakawanan, dan does not forget his old helper balas budi

19. Hubungan binatang dan “I Siap Selem” (Si Ayam Hitam); “I Lutung teken N851.1. Poor merchant as binatang; ketulusan, I Kekua” (Si Lutung dengan Si Kura-Kura); “I helper; W34.5. Great general kesetiakawanan, dan Bojog teken I Kambing” (Si Kera dan Si Kam- does not forget his old helper balas budi bing); “I Kidang teken I Cekcek“ (Si Kijang dan Si Cicak) 20. Hubungan makhluk “Barong Landung” D435.1. halus dan manusia Transformation statue to person

Berdasarkan data cerita rakyat tersebut dapat disimpulkan bahwa motif yang mendominasi pada cerita adalah A0—A99 creator; A1231 first descends from sky; A132.6.2. Goddess in form of bird; A1617 origin of place name. Motif ini menjadi petujuk untuk mengetahui asal- usul terjadinya gunung dan daerah di Pulau Bali. Di samping itu, terjadinya Gunung Batur dan Gunung Agung, dapat digunakan sebagai referensi sejarah melihat sejarah lokal manusia pertama kali turun ke Pulau Bali dan terbentuknya Benua Trunyan yang dikenal sebagai manusia Bali

~ 486 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Aga/mula. Menurut asal-usulnya, jelas legenda ini berawal dari Bali, khususnya Desa Trunyan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Dengan kata lain, cerita ini merupakan local legend, baik tokoh maupun latarnya mengambil lokasi di daratan tinggi Bangli dan Karangasem. Motif cerita seperti A5.1. Gods make earth to have place to rest their feet, A2.2. First human pair as creators, A.1617Origin of Place name, dan A.1620 Distribution of tribes. Namun, motif lain pun ditemukan dan bersumber dari perilaku sebagai kategori legenda keagamaan, seperti W34. loyalty, W37.0.1. Man never breaks his word, W32. bravery, Q68.1. truth-speaking rewarded, Q68.2. honesty rewarded, Q72. loyalty rewarded, dan Q172.9. deification as reward. Dengan melihat latar dan tokohnya, legenda keagamaan, perorangan, dan tempat ini tampaknya merupakan migratory legend. Dengan mengkalsifikasikan asal cerita migratory, disimpulkan bahwa kondisi seperti dalam cerita “Perjalanan Maha Resi di Pulau Bali” dapat pula berlaku— di tempat dan di mana pun—orang yang menyebarkan agama Hindu tinggal dan menetap. Berdasarkan penggolongan Stith Thompson, mitos tersebut jelas sangat kuat memiliki motif yang menunjukkan kedewaannya, yaitu A430.God of Vegetation, A432.God of Agriculture, A454.God of Healing. Sementara itu, menurut asal-usulnya, cerita yang mengambil setting di khayangan dan bumi tersebut jelas merupakan migratory myth. Untuk memetakan ruang fiksi cerita rakyat Bali, hal yang harus dilakukan kali pertama terhadap teks (legenda, mite, dongeng, dan babad/sejarah) adalah membaca dengan saksama. Kedua, dalam rangka merancang letak geografi yang tepat, model visualisasi untuk teks tunggal dan jumlah banyak teks dilakukan analisis dengan pendekatan statistik. Pemikiran georafi sastra yang dimaksudkan tidak hanya sekadar ilustrasi kartografi atau kajian ilmiah, melainkan cakupan yang jelas mengenai lokasi yang dipetakan. Kartografi sastra ini dimaksudkan sebagai alat interpretasi, instrumen analisis yang kuat. harus dibaca dan dipersiapkan dengan hati-hati, dengan memecah tata ruang/latar yang menjadi elemen pemetaannya. Perhatikan tabel berikut ini. Table 2 Spatial Elements of a Fictional Text category (kategori) explication/definition (penjelasan/definisi) setting (tempat/latar) where the action takes place (i.e. a house, a village) (di mana tindakan terjadi, yaitu di rumah, daerah) zone of action (zona several settings combined (i.e. a whole city, a region) (beberapa gabungan tempat aksi/wilayah kejadian) peristiwa, yaitu seluruh kota/wilayah, daerah) projected space (ruang characters are not present there, but are dreaming of, remembering, longing for a diproyeksikan) specific place (gambaran tempat tertentu dapat melalui mimpi, mengingat, atau ker- induan tempat tertentu) marker (penanda) a place which is mentioned, but not part of the categories above; markers indicate the geographical range and horizon of a fictional space (tempat yang disebutkan, tetapi bukan baian kategori; tanda yang menunjukkan jangkauan georafis dan cakrawala ruang fiksi) route (rute) along which characters are moving: by foot, by train, on horseback etc. (sepanjang karakter bergerak; berjalan kaki, dengan transportasi, atau kuda, dsb.) Sumber: Piatti, et al. (2008:185)

Berdasarkan tabel spatial elements of a fictional text tersebut, kartografi fiksi yang terdapat pada cerita rakyat di Bali dapat divisualisasikan dalam ruang geospasial dan tekstual ruang. Secara garis besar, cerita rakyat Bali memberikan pemetaan fiksi, meliputi kategori, tempat/ seting, zona tindakan, ruang, penanda, dan rute. Menurut Piatti (2008:185) bahwa.

~ 487 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

“To map a fictional space, first of all the text (i.e. a novel, a novella, a short story) has to be read and prepared carefully, by breaking down the spatial structure into single elements and their respective functions. There are, according to our newly developed system, five main categories of which a fictional space consists. Every topographical or geographical notion within the narrative belongs to one of these categories. This is already part of the preparation: the process of designing visualisations that depict geographies of literature is a process of translation. One set of symbols –text– is translated to another set of symbols–map symbols.”

Dengan keenam unsur ruang narasi fiksi tersebut, dapat dilihat referensi antara gospasial dan tekstual ruang cerita. Ruang tekstual yang tampak mencolok dalam teks cerita rakyat Bali adalah gunung. Pada dasarnya, kartografi fiksi memperlihatkan batasan latar yang akan dipetakan. Misalnya, tempat atau batas-batas dari satu elemen dipetakan dapat digambarkan secara akurat. Akan tetapi, perlu diperhatikan ketika akan memetakan sastra—batas terpenting terletak pada pokok permasalahan yang menjadi topik utamanya—lokasi bagian dari geospasial dengan topografi yang tepat. Bahkan, seorang peneliti perlu untuk mencari petunjuk tentang lokasi/latar, kemudian diikuti oleh rute dan membatasi definisi ruang yang tepat untuk aturan kartografi. Tabel 4 Peta Lokasi/latar Gunung dan Selat Bali di Jawa Tengah dan Jawa Timur Kartografi Cerita Rakyat Bali (secara umum)

Sumber: Peta Google Tabel 5 Peta Lokasi/latar Gunung, Pura, Desa di Bali (Kartografi Cerita Rakyat Bali)

Sumber: Peta Google ~ 488 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Tabel 4 lokasi gunung yang melatari cerita rakyat Bali, berupa babad “Perjalanan Maha Resi di Bali”. Secara garis besar masyarakat Bali sangat mempercayai keberadaan gunung sebagai simbol kehidupan mereka. Pada kenyataannya gunung di Bali adalah tempat tumbuh dan berkembangnya mitos yang terwujud melalui cerita rakyat yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat. Sementara itu, tabel 5 menunjukkan lokasi gunung, pura, dan desa di Bali yang ditemukan dalam cerita rakyat Bali. Salah satu persyaratan setiap desa adat di Bali adalah wajib memiliki pura. Berkaitan dengan gunung, cerita rakyat yang di Bali ditemukan lima cerita: “Asal-Usul Gunung Agung dan Gunung Batur”; “Perjalanan Maha Resi di Bali“; “Asal-Usul Selat Bali“; “Anak Dalem Solo Mengembara Mencari Sumber Bau Harum”; dan ”Barong Landung” (berupa legenda, mite, dan dongeng) dengan cerita yang berlatar gunung. Pada legenda Asal-Usul “Gunung Agung dan Gunung Batur” keberadaan pura pun lahir akibat lahirnya sejarah di Trunyan. Selain itu, Pura Besakih dalam legenda “Perjalanan Maha Resi di Bali” membuktikan sejarah tempat lahirnya pura di Pulau Bali. Perjalanan suci Resi Markandeya sebagai upaya penyebaran agama Hindu dan membuka lahan untuk menetap di daerah tersebut bagi para pengikutnya. Bahkan, perjalanan ke hutan Pringgo di lereng Gunung Agung dengan peninggalan sebuah Pura Besakih yang terkenal hingga saat ini. Pola hubungan pura-pura yang tersebar di Bali memperlihatkan kemiripan struktural dan historis yang cukup besar dengan banua11 yang berdekatan satu dengan lainnya. Pura— dalam cerita rakyat Bali—menjadi kekuatan tidak ternilai bagi masyarakat Bali, tempat ritual dan bentuk mitos yang menggambarkan upaya menyatakan seluruh Pulau Bali. Tabel 5 ini pun memberikan gambaran lokasi desa yang menjadi latar cerita rakyat di Bali. Data tabel tersebut merupakan nama-nama banua/desa/dusun/tempat/sungai yang hingga saat ini masih dapat ditemukan di Bali. Dari cerita rakyat di Bali ini pengenalan asal-usul tempat yang terjadi merupakan peristiwa sejarah sebelum masuknya pengaruh kekuasaan Jawa atas Bali. Dari nama-nama desa tersebut tampak bahwa kelompok masyarakat yang tinggal di suatu tempat menyebutnya dengan nama desa. Dari 39 cerita rakyat dari Bali diketahui nama-nama gunung, hutan, pura, dan desa yang melatari cerita—legenda, mite, dongeng, dan babad/sejarah. Dengan demikian, kartografi fiksi cerita rakyat Bali melibatkan geospasial dan ruang teks sebagai penanda topografi secara simbolis.

Ruang Persebaran Cerita Rakyat di Bali Untuk membedakan dengan kebudayaan (culture pada umumnya), folklor mempunyai beberapa ciri pengenal, seperti (1) penyebaran dan pewarisannya bersifat lisan; (2) bersifat tradisional; (3) ada (exist) dalam versi-versi, bahkan varian yang berbeda; (4) bersifat anonim; (5) biasanya memiliki bentuk berumus, (6) mempunyai kegunaan (fungsi) dalam kehidupan bersama kolektifnya; (7) bersifat pralogis; (8) milik bersama (kolektif); dan (9) pada umumnya bersifat polos dan lugu (Danandjaja, 1991:3—5). Cerita rakyat di Bali dapat diklasifikasikan berdasarkan penyebaran dan pewarisannya bersifat lisan. Salah satu untuk mengetahui keberadaan cerita rakyat dapat dilakukan dengan cara menyebarkan kuesioner kepada masyarakat. Hal ini pun telah diterapkan dalam penelitian ini. Dari hasil penyebaran kuesioner dengan 75 orang responden menunjukkan bahwa cerita rakyat Bali, meliputi genre legenda, dongeng, fabel, dan mite. Menurut Bascom (Danandjaya, 1991:50) bentuk atau genre foklor, cerita rakyat, diklasifikasikan dalam tiga kelas, yaitu 1) mite

11 Banua adalah istilah yang menunjuk pada tempat dan komunitas tertentu dalam melakukan kesamaan ritual; kawasan ritual (Reuter, 2005: 33; 37). ~ 489 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature (myth), 2) legenda (legend), dan 3) dongeng (folktale). Berkaitan dengan hal tersebut, cerita rakyat di Bali yang ditemukan dalam penelitian ini akan ditabulasikan berdasarkan jenisnya. Berikut tabel cerita rakyat Bali dengan uraian deskripsinya.

Tabel 6 Daerah Pengamatan Cerita Rakyat di Bali No. Judul Genre Daerah Pengamatan 1 “Asal-Usul Gunung Agung dan Gunung Batur” Legenda Desa Trunyan 2 “Perjalanan Maha Resi di Bali” Legenda Bali (menyeluruh) 3 “Asal-Usul Pulau Ceningan” Legenda Nusa Lembongan 4 “Asal-Usul Selat Bali” legenda Bali (menyeluruh) 5 “I Cening Belog” dongeng Desa Pedawa 6 ”Kbo Iwa” legenda Desa Trunyan 7 ”I Rajapala” dongeng Bali (menyeluruh) 8 “Asal-Usul Padi” Mite Bali (menyeluruh) 9 “Dewi Turun dari Langit” legenda Desa Trunyan 10 “Anak Dalem Solo Mengembara Mencari Sum- legenda Desa Trunyan ber Bau Harum” 11 ”Pasek Trunyan yang Meyelengkan Gamelan legenda Desa Trunyan Pemberian Dalem Solo” 12 “Patung Ratu Sakti Pancering Jagat” legenda Desa Trunyan 13 “Putri Betara Kehen Diperistri Sakti Pancering legenda Desa Trunyan Jagat” 14 “Kebo Iwa Membantu Orang Truyan Membuat legenda Desa Trunyan Jalan Batu Gedé” 15 “Desa Bintang Danu dan Desa Lain Bagian dari legenda Desa Trunyan Banua Desa Trunyan” 16 ”Desa Trunyan Bagian Kerajaan Karangasem” legenda Desa Trunyan 17 ”Betara Dèsa Landih adalah Putra Ratu Sakti legenda Desa Trunyan Pancering Jagat” 18 “Desa Bunut Dikalahkan Panji Sakti” legenda Desa Trunyan 19 “Panji Sakti Menyerang Trunyan” legenda Desa Trunyan 20 “I Belog” dongeng Desa Tigawasa 21 “Dalem Majapahit Datang ke Bali” legenda Bali (menyeluruh) 22 “Tampak Siring” Legenda Desa Tampak Siring 23 “Jayaprana” legenda Bali (menyeluruh) 24 “I Siap Selem” (Si Ayam Hitam) dongeng Desa Seraya Timur, Desa Tenganan, Desa Tanglad, Desa Nusa Lembongan, Desa Songan B, Desa Trunyan 25 “I Lutung teken I Kekua” (Si Lutung dengan Si dongeng Desa Seraya Timur, Desa Tenganan, Desa Kura-Kura) Trunyan 26 “I Bojog teken I Kambing” (Si Kera dan Si dongeng Desa Seraya Timur, Desa Tenganan, Desa Kambing) Songan B, Desa Trunyan 27 “I Kidang teken I Cekcek“ (Si Kijang dan Si dongeng Desa Seraya Timur, Desa Tenganan, Desa Cicak) Songan B, Desa Trunyan 28 “Pan Balang Tamak” (Pak Balang Tamak) dongeng Desa Seraya Timur, Desa Tenganan, Desa Tanglad, Desa Nusa Lembongan, Desa Songan B, Desa Trunyan 29 “I Tuung Kuning” (Si Terung Kuning) dongeng Desa Seraya Timur, Desa Tenganan, Desa Songan B, Desa Trunyan 30 “I Bawang teken I Kesuna” (Si Bawang Merah dongeng Desa Seraya Timur, Desa Tenganan, Desa dan Bawang Putih) Tanglad, Desa Nusa Lembongan, Desa Songan B, Desa Trunyan 31 “I Cupak lan I Grantang” (Si Cupak dan Si dongeng Desa Seraya Timur, Desa Tenganan, Desa Grantang) Tanglad, Desa Nusa Lembongan, Desa Songan B, Desa Trunyan

~ 490 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

32 “Nang Cubling” (Pak Cubling) dongeng Desa Seraya Timur, Desa Tenganan, Desa Songan B, Desa Trunyan

33 “I Rare Angon” Legenda Desa Seraya Timur; Desa Tenganan; Desa Pedawa 34 “I Renggan” Legenda Desa Tanglad; Desa Nusa Lembongan 35 “I Dukuh Mengku” Legenda Desa Tenganan 36 “Lipi Selem Bukit” (Ular Hitam Bukit) Legenda Desa Tenganan 37 “Barong Landung” Mite Desa Tanglad; Desa Nusa Lembongan 39 “I Kaki Gadang” Mite Desa Tanglad; Desa Nusa Lembongan Sumber: Danandjaja (1980); dan Dewi, dkk. (2013); Hardiningtyas, dkk. (2014)

Hal menarik tentang legenda adalah sering dipandang sebagai sejarah kolektif (folk history). Namun, ‘sejarah’ itu tidak ditulis, tentunya telah banyak mengalami distorsi sehingga sering kali jauh berbeda dari kisah aslinya. Distorsi ini disebabkan oleh tiada lain karena sifat dari legenda yang migratoris (migratory legend). Artinya, cerita itu dikenal luas akibat dari perpindahan/ penyebaran ke daerah-daerah yang berbeda. Distorsi ini akan semakin besar manakala legenda setempat (local legend) ikut pula memengaruhi perkembangan migratory legend. Perkembangan suatu legenda juga berjalan seiring dengan perkembangan waktu. Varian-varian baru dari legenda tersebut akan terus bermunculan dari masa ke masa yang semakin mempertegas distorsi ceritanya (Ben-Amos, 1992:67). Perhatikan peta persebaran cerita rakyat Bali berikut ini.

Tabel 7 Peta Persebaran Cerita Rakyat Bali

Sumber: Peta Goole Keterangan: 1. “I Cening Belog”; “I Rare Angon” 2. “I Siap Selem”; “I Bojog teken I Kambing”; “I Kidang teken I Cekcek“;“Pan Balang Tamak”; “I Tuung Kuning”; “I Bawang teken I Kesuna”; “Nang Cubling” 3. “Asal-Usul Gunung Agung dan Gunung Batur”; “Dewi Turun dari Langit”; “Anak Dalem Solo Mengembara Mencari Sumber Bau Harum”; ”Pasek Trunyan yang Meyelengkan Gamelan Pemberian Dalem Solo”; “Patung Ratu Sakti Pancering Jagat”; “Putri Betara Kehen Diperistri Sakti Pancering Jagat”; “Kebo Iwa Membantu Orang Truyan Membuat Jalan Batu Gedé”; “Desa Bintang Danu dan Desa Lain Bagian dari Banua Desa

~ 491 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Trunyan”; ”Desa Trunyan Bagian Kerajaan Karangasem”; ”Betara Dèsa Landih adalah Putra Ratu Sakti Pancering Jagat”; “Desa Bunut Dikalahkan Panji Sakti”; “Panji Sakti Menyerang Trunyan”; “I Siap Selem”; “I Lutung teken I Kekua”; “I Bojog teken I Kambing”;“I Kidang teken I Cekcek“;“Pan Balang Tamak”; “I Tuung Kuning”; “I Bawang teken I Kesuna”; “Nang Cubling” 4. “I Siap Selem”; “I Lutung teken I Kekua”; “I Kidang teken I Cekcek“;“I Bojog teken I Kambing”; “I Kidang teken I Cekcek“;“Pan Balang Tamak”; “I Tuung Kuning”; “I Bawang teken I Kesuna”; “I Cupak lan I Grantang”; “Nang Cubling”; “I Rare Angon” 5. “I Siap Selem”; “I Lutung teken I Kekua”; “I Kidang teken I Cekcek“;“I Bojog teken I Kambing”; “I Kidang teken I Cekcek“;“Pan Balang Tamak”; “I Tuung Kuning”; “I Bawang teken I Kesuna”; “I Cupak lan I Grantang”; “Nang Cubling”; “I Rare Angon”; “I Dukuh Mengku”; “Lipi Selem Bukit” 6. Cerita “Asal-Usul Pulau Ceningan”; “I Siap Selem”; “I Bawang teken I Kesuna”; “I Cupak lan I Grantang”; “Barong Landung”; “I Kaki Gadang” 7. “I Siap Selem”; “I Bawang teken I Kesuna”; “I Cupak lan I Grantang”; “Barong Landung”; “I Kaki Gadang” 8. “I Belog” 9. “Tampak Siring” 10. “Perjalanan Maha Resi di Bali”; “Asal-Usul Selat Bali”; ”I Rajapala”; “Asal-Usul Padi”; “Dalem Majapahit Datang ke Bali”; “Jayaprana”

SIMPULAN Perkembangan cerita lisan/rakyat keberadaan telah memberikan warna dalam kesusastraan di Bali. Dari 39 cerita tersebut, genre cerita, meliputi legenda, mite/mitos, dongeng, dan babad/sejarah. Mitos-mitos yang diperoleh kebanyakan perihal dewa-dewi asal- usul manusia di Bali, ataupun binatang suci yang dikeramatkan. Untuk legenda, jenis-jenisnya adalah legenda perseorangan, tempat, alam gaib, dan keagamaan, meskipun yang paling banyak adalah legenda tempat. Sementara itu, dongeng yang ada di Bali adalah berjenis dongeng dusta. Sejarah/babad memperlihatkan cerita dengan latar lokal, seperti cerita tentang tempat-tempat di Bali. Motif cerita menurut asal-usulnya yang ditemukan merupakan migratory legend dan migratory myth. Secara umum, motif indeks cerita rakyat Bali A0—A99 creator; A1231 first descends from sky; A132.6.2. Goddess in form of bird; A1617 origin of place name; A5.1. Gods make earth to have place to rest their feet; A2.2. First human pair as creators, A.1617Origin of Place name; A.1620 Distribution of tribes; W34. Loyalty; W37.0.1. Man never breaks his word; W32. Bravery; Q68.1. truth-speaking rewarded; Q68.2. honesty rewarded; Q72. loyalty rewarded; Q172.9. deification as reward; A430.God of Vegetation; A432.God of Agriculture; A454.God of Healing. Kartografi fiksi cerita rakyat Bali dapat dilihat dari geospasial dan ruang tekstual, meliputi kategori, latar, zona aksi/wilayah kejadian, ruang yang diproyeksikan, penanda, dan rute. Lokasi/latar pemetaan fiksi memperlihatkan historis tempat yan ada hingga saat ini, yaitu nama gunung, hutan, selat, desa, pura, dan pulau.Gambaran lokasi cerita diproyeksikan melalui topografi wilayah penelitian dan latar yang ditampilkan dalam cerita rakyat. Sementara itu, ruang persebaran cerita rakyat Bali divisualisasikan berdasarkan tabulasi cerita yang terkumpul (kemudian diklasifikasi, diinterpretasi, dan dianalisis) dengan mempertimbangkan lokasi penelitian. Oleh karena itu, daerah persebaran tersebut menunjukkan bahwa cerita rakyat Bali masih bertahan hingga sekarang.

DAFTAR PUSTAKA

Agastia, Ida Bagus. 1985. “Jenis-Jenis Naskah Bali”. Dalam Keadaan dan Perkembangan Bahasa, Sastra, Etika, Tata Krama, dan Seni Pertunjukan Jawa, Bali, dan Sunda. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan

~ 492 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

Kebudayaan. Aryani, Ni Wayan. 1996. “Nilai Budaya dalam Dongeng Bali”. Penelitian Mandiri. Denpasar: Balai Penelitian Bahasa. Bagus, I Gusti Ngurah. 1963. “Akal dan Humor Rakyat dalam Dongeng Bali”. Singaraja: Lembaga Bahasa dan Kesusastraan. ______. 1966. “Tokoh Dempu Awang dalam Dongeng Bali”. Singaraja: Lembaga Bahasa dan Kesustraan. ______. 1968. Arti Dongeng Bali dalam Pendidikan. Singaraja: Lembaga Bahasa dan Kesustraan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Cabang Singaraja. ______. 1976. Satua-Satua Sane Banyol ring Kasusastraan Bali. Singaraja: Lembaga Bahasa Nasional. ______. 1987. “Manusia dan Kebudayaan Bali”. Dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Editor Koentjaraningrat. Jakarta: Djambatan. Bagus, I Gusti Ngurah dan I Ketut Ginarsa. 1978. Kembang Rampe Kasusastraan Bali Purwa. Singaraja: Balai Penelitian Bahasa. Bagus, I Gusti Ngurah, dkk. 1986. Dongeng Panji dalam Kasustraan Bali, Pengantar, Teks, dan Terjemahan. Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan. Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktoral Jenderal Kebudayaan. Ben-Amos, Dan. 1992. “Folktale”. Dalam Folklore, Cultural Performances, and Popular Entertainments. Richard Bauman (Editor). New York: Oxford University Press. Brunvand, Jan Harold. 1968. The Study of American Folklore—An Introduction. New York: W.W. Norton & Co. Inc. Collins, Gerald S.J. dan Edward G. Farrugia. 1996. Kamus Teologi. Terjemahan Suharyo. Yogyakarta: Kanisius. Danandjaja, James. 1980. Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali. Jakarta: Pustaka Jaya. ______. 1991. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-Lain. Jakarta: Grafiti. Dewi, Ni Putu Krisna. 2013. “Pemetaan Bahasa dan Sastra Bali”. Laporan Penelitian. Denpasar: Balai Bahasa Provinsi Bali. Donder, I Ketut. 2007. Kosmologi Hindu: Penciptaan, Pemeliharaan, dan Peleburan serta Penciptaan Kembali Alam Semesta. Surabaya: Paramitha. Dwija, I Nengah. 2013. “Mitos “I Ratu Ayu Mas Manembah”: Pendekatan Theo-Antroplogi”. Dalam Folklor Nusantara: Hakikat, Bentuk, dan Fungsi. Editor Suwardi Endraswara. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Hardiningtyas, Puji Retno, dkk. 2014. “Jejaring Motif Asal-Usul Cerita Rakyat Bali: Sastra sebagai Penguat Keindonesiaan”. Laporan Penelitian. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Lodge, David. 1997. “Historicism and Literary History: Mapping the Modern Period”. New Literary History, Vol. 10, No. 3, Anniversary Issue: I (Spring, 1979), pp. 547--555P. The Johns Hopkins University Press. This content downloaded from 156.56.153.43 on Wed, 28 Jan 2015 14:51:50 PM. Mardiani, Gusti Ayu Made. 1987. “Nilai dan Fungsi Cerita Rakyat di Kecamatan Nusa Penida: Sebuah Pendekatan Sosiologi Sastra”. Denpasar: Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Mayun, Ida Bagus. 1979/1980. “Cerita Rakyat Daerah Bali (Mite dan Legenda)”. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Darah. Denpasar: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Moleong, L. J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Negari, Ni Putu Ekatini. 1993. “Analisis Struktur dan Fungsi Dongeng “I Bintang Lara””. Penelitian Mandiri. Denpasar: Balai Penelitian Bahasa. Piatti, Barbara, et al. 2008a. “Mapping Literature: Towards a Geography of Fiction”. Proceedings of the Symposium ‘Art & Cartography 2008’, 31st January to February 2nd 2008, hlm. 179—194,Vienna, Austria. Piatti, Barbara. 2008b. Die Geographie der Literatur. Schauplätze, Handlungsräume, Raum-phantasien mit Blick auf Vierwaldstättersee und Gotthard. Goettingen: Wallstein. Purwanto, Bambang. 2014. “Belajar dari Afrika: Tradisi Lisan sebagai Sejarah dan Upaya Membangun Historiografi bagi Mereka yang Terabaikan”. Dalam Tradisi Lisan sebagai Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Sedyawati, Edi. 1986. “Local Genius dalam Kesenian Indonesia”. Dalam Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Editor Ayatrohaedi. Jakarta: Pustaka Jaya. ______. 1995. “Kedudukan Tradisi Lisan dalam Ilmu-Ilmu Sosial dan Budaya”. Dalam Makalah Semiloka Tradisi Lisan Nusantara, tanggal 1—21 Juni di Malang. Subandia, I Made. 1998. “Analisis Tema, Amanat, dan Nilai Budaya Cerita “Prabu Malian, “Orang Sakti-Sakti”, dan “Pisang Gedang Saba””. Penelitian Mandiri. Denpasar: Balai Penelitian Bahasa. ______. 2011. Khazanah Cerita Rakyat Bali. Denpasar: Cakra Press. Subandia, I Made, dkk. 2014. “Pemetaan Sastra Bali: Cerita Prosa Rakyat Bali”. Laporan Penelitian. Denpasar: Balai Bahasa Provinsi Bali. Sukrawati, Cokorda Istri. 1996. “Aspek-Aspek Sosiologis dalam Cerita Rakyat Daerah Bali, Desa Bulian dan

~ 493 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Selat”. Penelitian Mandiri. Denpasar: Balai Penelitian Bahasa. Sulami, Ni Ketut, dkk. 1988. Cerita Rakyat Daerah Bali, Desa Bulian dan Desa Selat. Denpasar: Dinas Kebudayaan Provinsi Dati I Bali. Suwidja, I Ketut. 1985. Satua Babung teken Be Jagul. Singaraja: Proyek Pencetakan Naskah Sastra Klasik Daerah Bali. Taum, Yoseph Yapi, 2011. Studi Sastra Lisan: Sejarah, Teori, Metode, dan Pendekatan Disertai Contoh Penerapannya. Yogyakarta: Lamalera. ______. 2015. ”Pemetaan Sastra Lisan: Teori dan kemungkinan Aplikasinya”. Makalah lokakarya “Pencerapan Ilmu Bahasa dan Sastra” bagi Tenaga Teknis Balai Bahasa dan dosen Perguruan Tinggi di Yogyakarta, diselenggarakan Balai Bahasa Provinsi DIY, tanggal 8 – 10 April 2015. Teeuw, A. “Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan”. Dalam Basis Nomor XXXVII--11 dan XXXVIII-12. Yogyakarta: Andi Offset. ______. 1991. “The Text” dalam J.J. Ras dan S.O. Robson (eds.) Variation, Transformation andMeaning: Studies on Indonesian Literatures in Honour of A. Teeuw. Leiden: KITLV Press. ______. 2015. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Bandung: Pustaka Jaya. Thompson, Stith. 1966. Motif-Index of Folk Literature: A Classification of Narrative Elements in Folktales, Ballads, Myths, Fables, Mediaeval Romances, Exampla, Fabliaux, Jest-Books, and Local Legends, Volume I—VI. California: University of California Press.

~ 494 ~ NAMING TRENDS OF STAR HOTELS IN THE MULTILINGUAL DESTINATION OF BALI

Putu Chris Susanto Universitas Dhyana Pura [email protected]

ABSTRAK Nama adalah fitur penting dari sebuah hotel dalam mengkomunikasikan identitas, keunikan, dan nilai yang ditawarkan sebuah properti. Pilihan bahasa yang digunakan juga penting, utamanya bagi hotel- hotel di destinasi pariwisata yang multilingual seperti Bali. Berlandaskan model triad yang dikemu- kakan oleh Peirce, penelitian ini merupakan kajian empiris tentang penamaan 224 hotel berbintang di Bali untuk mengetahui adakah tren tertentu dalam pemilihan nama. Data diolah secara deskriptif dan sumatif, yang menunjukkan beberapa tren. Pertama, penggunaan ragam bahasa lokal untuk nama inti menurun dari 39% untuk properti yang dibangun sebelum tahun 1990an sampai menjadi hanya 11% untuk properti yang dibangun tahun 2010an ke atas. Sebaliknya, penggunaan nama berbahasa asing meningkat dari 34% sebelum tahun 1990-an menjadi 77% setelah tahun 2010-an. Di samping itu, pembauran antara ragam bahasa lokal dengan bahasa asing dimulai sejak tahun 1950-an dan tetap digunakan.. Terakhir, penggunaan kata-kata deskriptif untuk tipe properti tidak mengikuti konvensi tertentu, dan properti bebas menggunakan pelbagai deskriptor.

INTRODUCTION A brand can be a powerful marketing tool. A good brand with a well-executed branding strategy can help identify a product, distinguish it from others, and create a favorable perception in the consumers’ minds. This is especially true in industries with monopolistic competition in which there are many firms selling similar products and none of which has a significant control over the market, such as the hotel industry (McKenzie & Lee, 2010). Strategically, firms in monopolistically competitive market seek to be and to stay competitive by differentiating them- selves form their competitors. One of the ways to accomplish this is through branding. A brand refers to a combination of name, term, symbol and design that identifies certain products or sellers and differentiates them from the competition (Keller, 2003). In addition, a brand epitomizes consumers’ perception about the product it represents (Hasan, 2008). A pow- erful brand can shape favorable perception, opinion, even loyalty when it comes to value, qual- ity, and prestige of the product or the brand itself. Drawing from the importance of brand, this study seeks to combine marketing with the linguistic approach on branding. In particular, the present study is interested in brand name as one of the most essential element of a brand.

BRAND NAME AS REPRESENTAMEN There is a clear analogy between brand (and thus brand name), serving as both an identi- fier of a product and a representation of certain perception on that product, with Peirce’s triadic model on signs. According to Peirce (in Chandler, 1994) a sign is a unity consisting of an object (what is represented), the representamen (how the object is represented), and the interpretant (how the object and its representation are sensed or perceived). Peirce coined the interaction between the representamen, the object and the interpretant as ‘semiosis’. The parallel between Peirce’s theory of sign and branding is striking: a brand is analogous to representamen, the product itself is the object, and the perception of the brand is comparable to the interpretant.

~ 495 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature The interaction is analogous to semiosis because branding is about how brand elements, includ- ing brand name, interact with the product it represents and the consumer perception it seeks to influence. A brand name is a deliberate and conscious choice. A brand name should be simple, dis- tinctive, memorable, meaningful, associative, and mentally stimulating (Robertson, 1989). This is contrary to The Juliet Principle (from Shakespeare’s Romeo and Juliet) stating, “that which we call a rose, by any other name would smell as sweet”, suggesting that brand names are like a commodity and do not influence consumer perception (Collins, 1977). In contrast, the Joyce Principle suggests that brand names have linguistic characteristics that can distinguish certain products from their competition and may influence the perception of the target market (Ang, 1997).

Choice of Language in Hotel Brand Name Distinctiveness is a central characteristic of a brand name as it helps position the brand (Robertson, 1989). One key decision in choosing a brand name is language used in the name itself, especially in a multilingual market. Names derived from different languages can help create a different feel, and thus perception, of a brand. Non-English names can be appealing to native English speakers, and vice versa. In industry in a multilingual setting and with a multilingual target market, the choice of language used in the brand name is as crucial as it is strategic. This is true in the hotel industry, particularly hotels competing in international tourist destinations. The choice of brand name is an essential feature for hotels to convey the identity, uniqueness and value proposition of each property. The choice of language used is also important for hotels in multilingual destinations such as Bali. As language is dynamic, so is the choice of language in brand names. This should also apply to brand names in the hotel industry. Using star hotels in Bali as the research object, the present study hypothesizes that certain trends will emerge when the hotels are grouped based on the built year of the properties. The nature of the study is empirical research, in which the researcher attempts to show whether certain trends exist, without necessarily making inferences on why such trends exist.

METHODOLOGY This is an empirical study on the names of 224 star hotels, attained from the latest di- rectory of star hotels in Bali (Disparda Bali, 2014). This data was cross-referenced with each hotel’s website to verify the correct name and year built of each property. Further, the star hotels were categorize the hotels into four clusters based on year built. The full name of each hotel is divided into three parts: core brand name, locator, and descriptor. The primary focus of the present study is the core brand name along with the descriptor used. Using descriptive statistical tool (Excel) the data is organized, categorized, and analyzed using summary statistics and cross tabulation.

FINDINGS AND ANALYSIS The initial key finding relates to the nomenclature of hotel names. In general, a prop- erty’s full name (e.g., ‘Amana Villa Seminyak Bali’) is comprised of core brand name (‘Ama- na’), locator (‘Seminyak Bali’), and descriptor of property type (‘Villa’). Some properties only

~ 496 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature feature a locator in addition to its core brand name, without specifying the type of property (e.g., ‘Ize Seminyak’), while other properties only feature the descriptor with its core brand name, not specifying its location (e.g., ‘Gajah Mina Beach Resort’). Of the 224 star hotels in Bali, 47% use locators in the name, while 76% use descriptors. A select few stay away from both locator and descriptor by featuring only the core brand name (e.g., ‘Amanusa’). In order to establish certain trends, the properties were divided into four clusters based on year built. As shown in Table 1, the highest number of star hotels were built in 1990s, but it can potentially be overtaken by new properties built in 2010s since the current data only states properties built between 2010 and 2014. Still, the 1990s was marked by most numbers of 5-star properties built in Bali, riding from the first wave of tourism development that happened in the preceding decades. Meanwhile, the 2000s saw a spike in the building of 3 and 4-star hotels, a trend which continues to the 2010s.

Table 1. Cross tabulation of hotels in Bali based on star rating and year built Star 1-star 2-star 3-star 4-star 5-star Total Built

Before 1990 4 10 8 14 10 46

1990-1999 3 5 17 15 27 67

2000-2009 0 2 21 18 14 55

2010 to 2014 0 5 15 24 12 56

Total 7 22 61 71 63 224

Trends of Native, Foreign and Mixed Brand Names The development of star hotels in Bali and its described clustering led to the next key findings on the trends in choosing core brand names. As illustrated by Figure 1, the use of for- eign names in the core name is increasing, ranging from 37% of properties built before 1990s, 42% in 1990s, 46% in 2000s, to a whopping 77% of properties built in 2010s. Meanwhile, the use of native names is on the decline: from 39% prior to 1990s, increasing slightly to 43% in 1990s, before decreasing to 35% in 2000s, and plummeting to a mere 11% in 2010s. The mixing of native and foreign languages is consistent but declining, from 24% prior to 1990s, to 15% in 1990s, up slightly to 20% in 200s, before decreasing to 13% of properties built in 2010s. The earliest example of using mixed language for a hotel brand name is ‘Segara Village’ in Sanur (built 1957), mixing the word ‘Segara’ (meaning ‘beach’ in Balinese) with the English word ‘Village’.

~ 497 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Figure 1. Language used in hotel brand name based on year built

The language used in brand name can be further divided. For native names, there are four subcategories: Bahasa Indonesia (‘Rumah Manis’), Balinese (‘Jepun Bali’), Ethnic (i.e., names derived from ethnic origins including Sanskrit, ‘Alila’, or ethnic-sounding words, ‘Amana’), and location (i.e., using specific location of the property as the core name, ‘Bali Lovina’). For- eign names can be divided into five subcategory: English (‘Hanging Gardens’), other foreign languages (‘Fontana’), eponym (i.e., referring to a person’s name, ‘Conrad’), fanciful name (i.e., an invented name without obvious reference to any other word in the lexicon, ‘Ozz’), and alphanumeric name (‘J’, ‘The 1O1’). Mixed names combine any of the four language subcat- egories for native names with any of the five subcategories in foreign names (‘Grand Istana Rama’). Empirical data suggests certain trends in the specific language selection of brand names, as shown in Figure 2. The use of Bahasa Indonesia peaked in 1990s at 25% of the 46 properties built that decade. This trend did not persist, as the use of Bahasa Indonesia decreased to 15% in 2000s and further to a trifling 4% in 2010s. The use of Balinese is on a steady decline from 24% prior to 1990s, to 12% in 1990s, 13% in 2000s, to a mere 7% in 2010s. The use of ethnic language is on a similar declining trend as the use of Balinese: starting at 26% prior to 1990s, down to 16% in 1990s, staying steady at 18% in 2000s, before sinking to 7% in 2010s. Mean- while, the use of location as core brand name is quite stable, ranging from 5 to 9% throughout the decades. Conversely, the use of foreign names shows diverging trends. For instance, the use of English names has been steady over the decades—spanning only in the 40 to 43% range of all brand names within each respective decade. The use of other foreign languages started at 13% prior to 1990, down to 3% in 1990s, then 4% in 2000s, before swinging back to 16% in the 2010s. The use of eponym is on the rise, perhaps also due to the proliferation of international chain hotels in the recent decades carrying their own brand name based on a person’s name, typically its founder. The proportion of hotel brand name using eponym has increased from 4% prior to 1990s, to 8% in 1990s, to 9% in 2000s, and finally leaping into 18% in 2010s. Fanci- ful names are trending up from only 2 properties built prior to 2000 to 10 properties built since 2000 (9% average). One trend is that emerged since the 2000s is the use of alphanumeric names, i.e., a sub- set of fanciful names that specifically combine letters and numbers. This is widely used in tech- nological brands to infer qualities or product cycle, e.g., ‘Galaxy S6’ (Ang, 1997). It could also involve the use of a property’s address as a name, a practice widely used in naming of buildings

~ 498 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature (e.g., ‘100 Sunset’ is located in 100 Sunset Road). Thus far, four properties employ this naming strategy, all of which are built since 2000.

Figure 2. Specific language selection of brand names based on year built

Trends in Property Type Descriptors Several developments also exist in the descriptors used to complement the core brand name. Proportionally 76% of the 224 star hotels in this study use some kind of descriptor, typically suggesting the type of property. There is no consensus in certain rules of using hotel descriptors. Properties freely use descriptors to help convey certain image or quality association (e.g., ‘resort’ to signify grandness and opulence). Figure 3 indicates the several trends in property types used as descriptors. First, ‘hotel’ and ‘resort’ are the most frequently used descriptors, featured by 73 and 70 properties respec- tively. There are, however, indicative differences between the two. The descriptor ‘hotel’ (which traditionally means a large house to accommodate travelers) is used by 35% of properties built prior to 1990s, slipping down to 28% in 1990s and further to 24% in 2000s, before significantly increasing to 45% of properties built in 2010s. This is perhaps due to the increasing number of budget and city hotels being built in Bali in the recent years to accommodate the increasing demands of mass tourism. Many of these properties use the generic term ‘hotel’ as descriptors. Meanwhile, as many as 27 properties or 40% of all properties built in 1990s use the descriptor ‘resort’ (i.e., self-containing recreational establishment with certain expected facili- ties and amenities), up from 37% prior to 1990s, then down to 33% in 2000s. Along with the decrease five-star properties, the use of ‘resort’ falls sharply to 14% in 2010s. Similarly, the descriptor ‘spa’ (traditionally a location for medicinal baths and health treatments) also experi- ence its ups and downs, ranging from 20% prior to 1990s, up to 25% in 1990s, peaking at 29% in 2000s, before tumbling to 13% in 2010s. Perhaps one factor is the decline in the use of ‘re- sort’, since the descriptors ‘resort’ and ‘spa’ tend to complement each other. In fact, there are 27 instances in which a property use both descriptors simultaneously (e.g., ‘Matahari Beach Resort & Spa’) Additionally, the use of the descriptor ‘villa’ (traditionally a luxurious country house connected to outdoor spaces) peaked in the 2000s at 33% of all properties built in that decade, as developers moved away from large, costly property projects to the more confined, more refined, and more secluded villas. Smaller trends worth mentioning are the decline in the use of old English descriptors such as ‘cottage’ and ‘bungalow’, replaced with more modern de- ~ 499 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature scriptors ‘boutique’, ‘private,’ ‘estate’, and ‘suite’—all of which denote the sense of specialty property and an image of intimacy.

Figure 3. Property type used as descriptor based on year built

CONCLUSION Drawing the analogy from Peirce’s triadic model of signs, a brand name is an important feature of a brand, which represents a product and seeks to persuade customers into adopting certain favorable perception about both the product and the brand itself. For companies compet- ing in a monopolistically competitive, multilingual setting such as the hotel industry in Bali, the choice of language used becomes crucial. The current study empirically shows several trends in the declining use of native names, substituted by the increased use of foreign names in the core brand names of star hotels in Bali. It also indicates several trends on the descriptors used to complement core brand names. This study is limited, however, in the inferential analysis as to why these trends emerge. Further study is required, along with a study on how consumers respond to the various brand name nomenclatures and descriptors used and whether certain language selection strategies influence consumers’ perception of different properties.

REFERENCES

Ang, S.H. 1997. Chinese consumers’ perception of alpha-numeric brand names. The Journal of Consumer Market- ing, 14(3), 220-233. Chandler, D. 1994. Semiotics for Beginners [www document]. URL http://www.aber.ac.uk/media/Documents/ S4B/semiotic.html Collins, L. 1977. A name to conjure with. European Journal of Marketing, 11(5), 340-363. Disparda Bali. 2014. Direktori Hotel Bintang 2014 [Excel Document]. Denpasar. Hasan, T. 2008. Influence of Brand Name on Consumer Decision in Car Choice [Graduate Thesis]. Umeå School of Business and Economics. Keller, K.L. 2003. Strategic Brand Management, Second Edition. New York: Pearson. McKenzie, R., & Lee, D. 2010. Microeconomics for MBAs: The economic way of thinking for managers. Cam- bridge, UK: Cambridge University Press. Robertson, K. (1989). Strategically desirable brand name characteristics. The Journal of Consumer Marketing, 6(4), 61-71. Vallen, G.K. & Vallen, J.J. 2008. Check in, check out: Managing hotel operations, Eighth Edition. New York: Prentice Hall.

~ 500 ~ MAKNA KIAS DALAM EKO-LEKSIKON PERUMPAMAAN TENTANG PUKAT

Putu Chrisma Dewi Universitas Dhyana Pura – Bali [email protected] /[email protected]

ABSTRACT In order to make the followers understand about the Bible, so the Bible has been translated into various languages in the world, including Bahasa Indonesia and also many local languages in Indonesia. Gospel of Matthew is one of four Gospel in the New Testament which consist many parables. The eco- lexicon frequently used in the parable, because our social life cannot be separated from the culture and nature. Parable is used as a means of illustrating something in order to be easily remembered and using common things that would be familiar for the society and their meaning clear in the context of teaching. This study analyzed the figurative meaning in the parable of the net and also the meaning of each eco- lexicon that occurs in this parable. The data is taken from Matthew 13 : 47 – 50 printed by Lembaga Alkitab Indonesia. Analyzed by using descriptive – qualitative method and adopts the explanation of figurative meaning by Keraf (2006), the result shows the figurative meaning used in this parable and the eco-lexicon is metaphor which concisely compares two things by saying that the one is the other.

Keywords : eco-lexicon, parable, figurative meaning

PENDAHULUAN Bahasa merupakan salah satu bagian dari kebudayaan serta mrupakan sarana komunikasi. Catford (1965:1) menyatakan bahwa bahasa merupakan salah satu subsistem dan kebudayaan yang memiliki aturan-aturan. Dalam berbagai kebudayaan, manusia akan tetap menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi dan akan bereaksi menurut pola kebudayaannya. Mbete (2010 : 1) menyatakan bahwa dimana pun bahasa hidup di dunia ini akan bergantung pada para penutur dan lingkungannya. Ekolinguistik, selain menekankan bagaimana hubungan fisik dan sosial, tetapi juga bagaimana hubungan bahasa dan budaya. Alkitab telah diterjemahkan ke dalam berbagai macam bahasa, termasuk bahasa-bahasa lokal yang ada di Indonesia. Alkitab sarat dengan cerita, perumpamaan, serta ajaran-ajaran yang di dalamnya penggunaan kata kiasan Perumpamaan-perumpamaan yang terdapat dalam Injil Matius ini berfungsi sebagai sebuah ilustrasi dan kata-kata yang digunakan merupakan kata- kata umum bagi para pendengarnya sehingga lebih mudah bagi pendengar untuk mengingat tentang apa yang diajarkan. Perumpamaan tentang pukat merupakan salah satu dari perumpamaan yang terdapat dalam Injil Matius. Perumpamaan tentang pukat menggambarkan tentang keadaan yang akan terjadi pada akhir jaman yakni pemisahan antara orang yang baik dan tidak. Dalam perumpamaan ini, beberapa eko-leksikon kerap muncul dalam setiap perumpamaan yang diceritakan, hal ini terkait karena manusia tidak dapat dipisahkan dari budaya, alam, dan lingkungan. Untuk itu, penelitian ini membahas tentang makna kias dalam eko-leksikon dalam perumpamaan tentang pukat dalam Injil Matius.

~ 501 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature LANDASAN TEORI Kiasan dapat didefinisikan sebagai ungkapan atau bahasa yang berbunga – bunga. Tentunya maksud berbunga-bunga bukan dalam konteks yang sebenarnya, tetapi digunakan untuk memberikan keindahan, penekanan, serta memperhalus makna. Keraf (2006) mendefinisikan gaya bahasa sebagai sebuah cara mengungkapkan pikiran penulis dengan caranya yang khas. Keraf (2006 : 130) gaya bahasa dapat dibedakan menjadi 2 yakni: gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan. Gaya bahasa retoris dapat didefinisikan sebagi gaya bahasa yang semata- mata merupakan sebuah penyimpangan untuk menimbulkan efek tertentu bagi pendengar atau pembacanya. Sedangkan gaya bahasa kiasan merupakan gaya bahasa yang digunakan untuk membandingkan satu hal dengan hal lainnya dan menunjukkan kesamaan dari dua hal yang dibandingkan tersebut. Gaya bahasa retoris dapat dibagi menjadi aliterasi, asoransi, anastrof, apopasis, apostrof, asidenton, polisindeton, kiamus, ellipsis, eufemismus, litotes, hysteron proteron, pleonasme dan tautology, periphrasis, prolepsis atau antisipasi, erotesis atau pertanyaan retoris, silepsis dan zeugma, koreksio atau epanortosis, hiperbola, paradox dan oksimoron. Gaya bahasa kiasan terdiri dari simile atau persamaan, metafora, alegori, parable, fable, personifikasi, alusi, eponim, epitet, sinekdok, metonimia, antonmasia, ironi, sinisme, sarkasme, innuendo, satire, antifrasis, pun atau paronomasia.

METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini, data diambil dari Injil Matius terbitan Lembaga Alkitab Indonesia (2009). Injil Matius dipilih karena Injil Matius adalah Injil tertua dan yang pertama kali dituliskan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-kualitatif. Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara simak catat. Data yang mengandung eko-leksikon dicatat, dikumpulkan, diklasifikasi, kemudian dianalis berdasarkan makna kias yang dimiliki oleh masing-masing eko-leksikon.

ANALISIS Perumpamaan-perumpamaan yang terdapat dalam Injil Matius ini berfungsi sebagai sebuah ilustrasi dan kata-kata yang digunakan merupakan kata-kata umum bagi para pendengarnya sehingga lebih mudah bagi pendengar untuk mengingat tentang apa yang diajarkan. Kata kiasan kerap digunakan dalam perumpamaan-perumpamaan tersebut. Kata kiasan sendiri terbentuk karena adanya perbandingan ataupun persamaan. Membandingkan secara tidak langsung tentunya akan mencari persamaan-persamaan dari objek yang dibandingkan. Berikut adalah bunyi dari Perumpamaan Tentang Pukat dalam Matius 13 : 47-50

13:47 “Demikian pula hal Kerajaan Sorga itu seumpama pukat yang dilabuhkan di laut, lalu mengumpulkan berbagai-bagai jenis ikan. 13:48 Setelah penuh, pukat itupun diseret orang ke pantai, lalu duduklah mereka dan mengumpulkan ikan yang baik ke dalam pasu dan ikan yang tidak baik mereka buang. 13:49 Demikianlah juga pada akhir zaman: Malaikat-malaikat akan datang memisahkan orang jahat dari orang benar 13:50 lalu mencampakkan orang jahat ke dalam dapur api; di sanalah akan terdapat ratapan dan kertakan gigi.

Secara umum, perumpamaan tentang pukat dalam Matius 13 : 47-50 menggunakan kata kiasan simile, yakni gaya bahasa yang langsung menggambarkan sesuatu sama dengan yang lainnya. Ciri khas dari simile adalah penggunakan kata seumpama, bagaikan, ibarat, seperti.

~ 502 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Ada beberapa eko-leksikon muncul dalam kutipan ayat-ayat diatas, yakni.

1. Laut 2. Pantai 3. Pukat 4. Ikan 5. Pasu 6. Api

Perumpamaan tentang pukat ini digunakan oleh Yesus untuk mengajar. Perumpamaan ini mengumpamakan tentang Kerjaan Surga. Pukat digunakan sebagai perumpamaan mengingat mata pencaharian sebagian dari murid Yesus adalah nelayan, maka dari itu, mereka tentunya mengenal baik apa pukat dan apa fungsinya. Bila dibaca secara keseluruhan, Injil Matius banyak menggunakan istilah-istilah “kelautan” mengingat profesi yang dilakoni oleh masyarakat pada waktu itu. Sebagai contoh, dalam Matius 4 : 19 murid-murid Yesus diibaratkan sebagai “penjala manusia” yang memiliki arti bahwa mereka berkewajiban membawa semua orang untuk bertobat (berubah dari yang kurang baik menjadi baik) serta mengabarkan kabar baik bagi seluruh umat manusia. Laut dan pantai dala perumpamaan ini menggambarkan dunia. Di lautan terdapat berbagai jenis ikan yang merupakan penghuni utama dari lautan, hal ini mengibaratkan bahwa di dalam dunia berbagai macam sifat manusia dapat ditemui. Ada yang baik, ada yang pura- pura baik, ataupun ada yang jahat. Laut dan pantai digunakan dalam perumpamaan ini, karena pada masa itu sebagian besar masyarakatnya menggantungkan hidupnya di sektor kelautan atau berprofesi sebagai nelayan. Pukat (jala besar) merupakan jaring berukuran besar yang dilabuhkan di laut, lalu diseret ke pantai oleh beberapa orang laki-laki sehingga berbagai macam ikan terjaring di dalamnya. Pukat dalam perumpamaan ini menggambarkan situasi pada akhir jaman, dimana semua orang akan dikumpulkan untuk mendapatkan penghakiman yang terakhir. Semua orang akan dihadapakan pada sebuah “persidangan Tuhan” entah mereka orang yang baik ataupun yang tidak baik. Setelah semua yang terjaring dalam pukat tersebut barulah akan dipilah – pilah, mana yang akan diletakkan ke dalam pasu (tempat yang baik) dan mana yang akan dibuang. Ikan yang dimaksudkan dalam perumpamaan ini menggambarkan keadaan manusia dan gereja. Seperti yang disebutkan di atas, pukat berfungsi untuk menjaring ikan yang tidak bisa ditentukan jenisnya. Berbagai jenis ikan akan masuk ke dalamnya.ikan yang baik (yakni ikan yang layak dimakan) akan dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam pasu, sedangkan ikan yang tidak baik akan dibuang. Dalam hukum Yahudi pada masa itu terkait dengan makanan, banyak ikan yang dinyatakan tidak bersih seperti ikan yang tidak bersisik, seperti ikan lendong atau ikan – ikan kecil harus dipisahkan, dibuang, atau dikembalikan ke laut. Dalam dunia ini, berbagai tipe manusia dapat ditemui, dari yang baik hingga yang jahat. Bahkan diantara kedua belas murid Yesus ada salah seorang dari mereka yang mengecewakannya. Pasu merupakan tempayan atau ember atau wadah yang digunakan untuk menempatkan ikan setelah dijala dari laut. Dalam ayat 48 dikatakan …. dan mengumpulkan ikan yang baik ke dalam pasu dan ikan yang tidak baik mereka buang. Pasu menggambarkan tempat bagi ikan – ikan yang baik. Bila disumsikan dengan keadaan di akhir jaman, maka pasu menggambarkan tempat yang layak bagi orang yang baik, yakni surga. Karena seperti kutipan pada ayat 48 di ~ 503 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature atas, ikan yang baik ditempatkan di pasu, dan ikan yang tidak baik akan di buang. Pada ayat ke 49-50 api diibaratkan sebagai neraka. Dikatakan dalam ayat tersebut bahwa malaikat akan dating untuk memisahkan orang yang baik dan yang jahat. Orang yang baik adalah ikan yang baik dalam ayat sebelumnya, dan orang yang jahat adalah ikan yang tidak baik. Dalam ayat ini, diberitakan bahwa neraka benar-benar ada, dan perumpamaan ini diberitakan untuk memperingatkan semua orang untuk bertobat (kembali kepada jalan yang diinginkan Tuhan).

KESIMPULAN Perumpamaan berfungsi sebagai sebuah ilustrasi yang bertujuan membuat para pendengarnya lebih mudah untuk mengingat tentang apa yang diajarkan. Karena manusia tidak dapat dipisahkan dengan alam serta lingkungan, maka eko-leksikonpun kerap dijadikan sebagai perumpamaan. Bahasa kiasan yang digunakan dalam dalam perumpamaan tentang pukat adalah simile, yakni gaya bahasa yang langsung menggambarkan sesuatu sama dengan yang lainnya. Sebagai contoh, ikan yang baik melambangkan orang yang baik dan ikan yang tidak baik melambangkan orang yang jahat. Berikut adalah gambaran umum makna kias dalam Matius 13 : 47 - 50 Laut dunia Pantai Pukat situasi akhir jaman Ikan manuasia (orang baik dan jahat) Pasu surga Api neraka

REFERENSI

Catford, J.C. 1974. A Linguistic Theory of Translation. London: Oxford University Press. Heer, J.J. de. 2011. Tafsiran Alkitab : Injil Matius 1 – 22. Jakarta : Gunung Muria Keraf, G. 2006. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia. Mbete, A.M. 2009. “Selayang Pandang Tentang Ekolinguistik: Perspektif Kelinguistikan yang Prospektif.” Bahan untuk berbagi pengalaman kelinguistikan dalam Matrikulasi Program Magister Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana, 12 Agustus 2009. Nurgiyanto, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Sastra. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

~ 504 ~ NGUSABA DODOL DI DESA SELAT, KARANGASEM: UPACARA PEMUJAAN DEWI SRI, KAJIAN SEMIOTIK SOSIAL

: Putu Evi Wahyu Citrawati, dan Gede Eka Wahyu FSB Unud, dan STPBI Bali [email protected] dan [email protected].

ABSTRACT Ngusaba is a ceremony which is held to Dewi Sri or the goddess of prosperity adoration. One of typical ceremony in Bali is Ngusaba Dodol which conducted by the entire community in Selat district, Karangasem regency. Ngusaba Dodol was held every year at the end of sasih Kesanga, at pengelong or the day after tilem nemu kajeng in traditional Balinese calendar. Ngusaba was held at Pura dalem in local village. The ceremony is arguably distinctive and unique, because every citizen who brings offerings contains of dodol. Dodol is typical snack made of flour, mixed with brown sugar and coconut milk. Dodol is made in this ceremony unlike ordinary dodol which made by others people. It has larger size. Every offerings brought by the people consists of three large dodol, large jaje uli (Balinese cake) three pieces, tree kg of rice, three tanding, pelas and rasmen three tanding, three bunches of bananas, three pieces of crackers, fruit and others. Besides, the offering is decorated with the flowers in such way to make it beautiful and look like onggar-onggaran. However, every village has difference way to fill up the Banten Sokan that will offer to the god.

Keywords: Ngusaba Dodol, Sasih Kesanga, Banten Sookan.

1. Latar Belakang Masyarakat Bali tidak pernah terlepas dari kegiatan adat maupun kegiatan keagamaan. lazim disebut dengan piodalan. Piodalan biasanya dilaksanakan setiap 6 bulan sekali atau menurut wuku, dan menurut bulan. Upacara yang dilaksanakan menurut wuku misalnya adalah odalan Saraswati yang bertujuan untuk pemujaan pada Dewi Saraswati atas turun nya ilmu pengetahuan. Sedangkan upacara atau odalan menurut bulan adalah ngusaba. Ngusaba berasal dari kata usaba yang berarti melaksanakan upacara selamatan desa atau subak. Ada beberapa jenis ngusaba tergantung pada adat dan tradisi masyarakat desa setempat, tetapi ngusaba yang sering dilaksanakan di masing-masing desa adalah ngusaba nini. Ngusaba Desa atau Ngusaba Nini ini bertujuan untuk ngentegang toya/tirtha “ menegakkan tirta sebagai perlambang kesejahteraan dan kesejukan , sedangkan Ngusaba Desa bertujuan untuk ngentegang Bhumi “ mensejahterakan bumi/dunia”, agar tidak terjadi bencana atau hal- hal yang tidak diinginkan”. Menurut Lontar Dewa Tattwa Ngusaba Desa dan Ngusaba Nini diselenggarakan secara bersamaan untuk kesuburan pertanian, tegaknya pemerintahan, dan terciptanya dunia yang damai dan tentram. Selain itu, upacara ini juga bertujuan yang bersifat universal, tetapi tetap dikemas dalam koridor budaya desa adat setempat. Salah satu upacara Ngusaba yang unik dan khas serta tidak ada di daerah manapun di Bali adalah Ngusaba Dodol. Ngusaba Dodol dilaksanakan di Kecamatan Selat, Karangasem. Hampir semua desa yang ada di Kecamatan Selat melaksanakan upacara ngusaba dodol tersebut. Upacara ini merupakan bentuk rasa syukur masyarakat setempat kepada sang pencipta (Sang Hyang Widhi).

~ 505 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Awalnya ngusaba ini merupakan ritual syukuran masyarakat Desa Selat yang dilakoni di perkebunan masing-masing milik warga setempat, atau oleh masyarakat setempat disebut dengan Usaba/Ngusaba di Mel (kebun). Upacara ini merupakan bentuk rasa syukur masyarakat yang ditujukan kepada Dewi Sri sebagai manifestasi tuhan (Ida Shang Hyang Widhi Wasa) sebagai Dewi Kesejahteraan, atas berkah pangan yang berlimpah selama ini.

2. Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka ada beberapa masalah yang ingin di jawab dalam makalah kecil ini. Adapun masalah yang ingin diangkat antara lain adalah. Apasajakah urutan dan sesajen dalam upacara Ngusaba Dodol yang ada di Desa Selat?, Makna apasajakah yang terdapat dalam upacara Ngusaba Dodol tersebut?.

3. Tujuan Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka ada beberapa tujuan yang ingin disampaikan dalam makalah ini. Adapun tujuan yang ingin dicapai antara lain berupa tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum penulisan makalah ini adalah untuk memperkaya khasanah keilmuan yang membicarakan tentang adat istiadat serta budaya Bali yang masih ajeng sampai dewasa ini. Disamping itu untuk mendokumentasikan dan memperkenalkan tentang Ngusaba Dodol yang hanya ada pada masyarakat Desa Selat Karangasem. Karena selama ini yang lazim dikenal oleh masyarakat Hindu terutama yang ada di Bali hanyalah Ngusaba Desa ataupun Ngusaba Nini. Sedangkan tujuan khusus dalam pembuatan makalah ini adalah. Untuk mengetahui urutan serta sesajen upacara dalam Ngusaba Dodol yang ada di wilayah Desa Selat, Karangasem. Selain itu juga untuk mengetahui makna apasajakah yang terdapat dalam upacara Ngusaba Dodol.

4. Landasan Teori Semiotik/semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang lambang-lambang dan tanda-tanda, seperti tanda lalu-lintas, kode morse, dan sebagainya (Kridalaksana, 1983:151). Tanda diartikan sebagai mewakili sesuatu. Sedangkan proses mewakili saat tanda ditafsirkan sebagai suatu hubungan dengan yang mewakilinya. Dalam perkembangan selanjutnya, teori tanda dikenal dengan teori semiotik, yang terbagi atas 3 (tiga) cabang, yaitu: (a) Semantik, (b) Sintaksis, dan Pragmatik. Semantik berhubungan dengan makna tanda, sintaksis berhubungan dengan asal-usul, pemakaian, dan akibat pemakaian tanda-tanda dalam tingkah laku berbahasa. (Alex Sobur, 2004:122-123). Berdasarkan hal ini, dia membagi menjadi 3 macam jenis tanda yaitu.

1. Tanda yang ditimbulkan oleh alam yang diketahui oleh manusia berdasarkan pengalaman, misalnya kalau mendung berarti sebentar lagi akan turun hujan. 2. Tanda yang ditimbulkan oleh binatang yang telah diketahui oleh manusia dari suara binatang tersebut, seperti anjing menggonggong adalah tanda bahwa ada orang yang masuk halaman atau lewat depan rumah. 3 Tanda yang ditimbulkan oleh manusia itu sendiri, baik yang bersifat verbal ataupun nonverbal. Tanda verbal adalah suatu tanda yang dihasilkan oleh manusia melalui alat ~ 506 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature ucap, sedangkan tanda yang bersifat non verbal adalah tanda yang tidak dihasilkan oleh alat ucap manusia, tetapi melalui gerakan badan dan suara. Isyarat adalah tanda yang dihasilkan oleh anggota badan, seperti acungan jempol sebagai tanda (bermakna) hebat atau bagus. Berdasarkan acuan indra, tanda juga dibedakan menjadi 3 yaitu: (1) Auditif, seperti suara bedug, suara bel rumah, (2) Visual seperti rambu-rambu lalu lintas (merah:berhenti, kuning:hati- hati, dan hijau:jalan), dan (3) Audio-Visual seperti ambulance yang membunyikan sirine (audio) dan lampu merah yang berputar-putar di atasnya (visual) sebagai tanda minta diberikan jalan agar segera sampai di rumah sakit. Setiap tanda memiliki makna. Tanda-tanda linguistik yang ada selalu memiliki makna semantik, baik berupa makna literal (makna yang sesuai dengan muatan semantis leksikal, atau makna yang terdapat dalam kamus, atau makna denotasi), maupun makna yang tersirat (hidden meaning) atau makna konotasi (Pateda, 2001: 48 dalam Sobur, 2004:122). Makna merupakan suatu studi yang relatif baru dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Banyak para ahli yang masih mempertentangkan makna itu sendiri, dalam artian bahwa apakah makna itu merupakan perangkat ilmu yang dapat berdiri sendiri, dan lepas dari ilmu lainnya. Ada beberapa ahli yang menyatakan tentang makna, antara lain. 1 Odgen dan Ricards (1923) yang menyatakan bahwa makna adalah: a. Suatu sifat intrinsik: adalah makna sesuatu yang bersifat hirarki yang melekat pada suatu bentuk. Artinya bahwa makna ditinjau dari sudut pandang benar atau salah. b. Konotasi suatu kata: menekankan bahwa makna sebagai suatu konotasi suatu makna kata, yang bersifat relatif tidak stabil karena pemakai bahasa mengkonsepsi dunia nyata berdasarkan pada perasaan, pikiran, dan budaya yang ada padanya. c. Tempat sesuatu di dalam sistem. d. Sesuatu yang benar-benar diacu oleh pemakai lambang. e. Sesuatu yang seharusnya diacu oleh pemakai lambang. f. Sesuatu yang menurut keyakinan pemakai lambang dipakai sebagai acuan. g. Sesuatu yang oleh penafsir lambang seperti: diacu, diyakini bahwa dia sendiri mengacu kepadanya, dan diyakini bahwa pemakai mengacu kepadanya. Kelima unsur di atas (c-g) meninjau makna dari interaksi antar pemakai bahasa. Terlihat bahwa, pemakai bahasa tidak memakai suatu bentuk secara ketat dan juga mengimplementasikan bahwa makna ada dalam pikiran penutur.

Leech (2003) mengatakan bahwa ada 7 tipe makna yaitu. 1. Conceptual meaning (makna konseptual), yang sama dengan makna denotatif atau makna kognitif, yaitu makna yang sebenarnya yang dikandung oleh kata tersebut. 2. Connotative meaning (makna konotasi), makna yang tidak sebenarnya, makna yang di dasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan oleh pembicara atau pendengar. 3. Sosial meaning (makna sosial), makna yang ditimbulkan oleh kondisi sosial (status, hubungan antara pembicara dan pendengar, daerah asal partisipan, dll) dimana kata itu dipergunakan. Contoh : kata ‘cai’ apabila dipergunakan oleh masyarakat Buleleng dianggap biasa, namun untuk daerah lain dianggap kasar. 4. Affective meaning (makna afektif), makna yang ditimbulkan karena penggabungan kata

~ 507 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature untuk mengekspresikan perasaan. Makna afektif timbul karena penggunaan kata-kata secara konseptual maupun secara konotatif. 5. Reflected and collocative meaning. Reflected meaning adalah makna suatu kata yang merefleksikan makna-makna yang lainnya, sedangkan collocative meaning adalah makna suatu kata akan sama dengan makna yang lainnya jika digunakan pada konteks tertentu. 6. Assosiative meaning adalah istilah yang menyatakan makna yang tidak sebenarnya (makna reflektif, kolokatif, afektif, dan makna sosial). Jadi makna ini adalah makna yang berlawanan dengan makna konseptual. 7. Thematic meaning, makna yang ditekankan oleh pembicara. Makna ini disampaikan dengan cara mengubah konstruksi gramatikal dari kalimat yang di sampaikan. Berdasarkan uraian di atas maka dalam makalah ini landasan teori yang dipergunakan sebagai acuan adalah 7 tipe makna yang dikembangkan oleh Leech (2003). Teori ini dianggap paling lengkap dan terperinci dalam menganalisis makna dalam upacara Ngusaba Dodol yang ada di Karangasem.

5. PEMBAHASAN Ngusaba dodol merupakan rangkaian upacara Ngusaba Besakih yang dilaksanakan di Pura Besakih. Setelah semua rangkaian upacara Ngusaba Besakih itu berlangsung, maka Desa Adat Selat bersiap untuk melaksanakan upacara ngusaba dodol. Seluruh upacaranya berawal dari rangkaian Upacara Ngepitu. Upacara ini bertujuan untuk memohon kepada Ida Batara Sakti Gunung Agung bahwa masyarakat Desa Adat Selat akan melaksanakan upacara Usaba di Mel (kebun), yang bertujuan untuk mengucapkan rasa syukur kehadapan Dewi Sri sebagai Dewi kemakmuran. Kemudian dilanjutkan dengan upacara ngaturang piuining yang oleh masyarakat setempat disebut dengan Upacara Nyaga Nyungsung. Upacara ini bertujuan untuk pemberitahuan kepada Tuhan bahwa Krama/masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani di sawah, maupun di ladang siap akan bekerja, dan diberikan anugrah agar sawah ataupun ladang nya mendapatkan hasil yang maksimal. Upacara selanjutnya adalah Nguit toya yang bermakna untuk ngaturang angayu bagia (syukur) dan memohon agar semua kegiatan yang akan dilaksanakan memperoleh berkah kesuburan yaitu dengan mendapatkan air suci serta sinar yang baik demi kebaikan dan keselamatan semua masyarakat desa. Kemudian upacara dilanjutkan dengan meboros/medugul yang menggunakan sarana bodag jaring (wadah berupa boks yang terbuat dari anyaman bambu). Upacara ini memiliki makna bahwa semua masyarakat di desa Selat mendapatkan wara nugraha ‘ berkah/anugrah’ dari Ida Shang Hyang Widhi Wasa. Biasanya kegiatan Ngusaba ini berlangsung selama 12 hari di pura dalem desa setempat. Ngusaba dodol dilaksanakan pada akhir sasih kesanga, pangelong sebelum tilem, pas hari kajeng. Seperti halnya dengan upacara-upacara yang lain yang ada di Bali, seluruh warga desa sibuk mempersiapkan sarana upacara untuk dihaturkan ke Pura Dalem. Adapun sarana upacara yang di buat adalah dodol sebagai ciri khas tersendiri dalam usaba dodol tersebut. Pada hari yang telah ditentukan seluruh masyarakat desa membawa sesaji/banten ke pura dalem. Upacara di mulai dari pagi hari atau yang disebut dengan penyemeng, dengan membawa banten rayunan yang berupa hasil bumi dan ternak. Yang dihaturkan untuk Ida Shang Hyang Widhi dan para leluhur. Tujuannya untuk memohon tirtha amerta yang akan dipergunakan

~ 508 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature sebagai sarana upacara di masing-masing rumah (merajan, dan dadia). Siang hari atau Tengai seluruh masyarakat berkumpul di pura dalem dengan membawa berbagai sarana upacara, terutama dodol. Selain dodol sebagai sarana upacara ada juga berbagai macam jenis banten yang dihaturkan antara lain: jaja uli gede 3 tanding, beras 3 kg, sate 3 tanding, pelas dan rasmen 3 tanding, biu/pisang 3 ijas, jempani 3 biji, pis bolong 3 gencet, satuh 3 biji, 3 biji, dan buah-buahan. Selain itu juga ada banten yang lain pajengan bunga yang dihias oncer yang di sebut dengan onggar-onggaran. Semua bahan banten di atas diletakkan di dalam sookan, tapi di masing-masing desa isi sookan banten tersebut berbeda-beda. Mulai dari hitungan ganjil 3, 5, 7, dan 9. Rangkaian upacara di tutup pada sore sampai malam hari yang disebut dengan Nyanjain. Pada upacara ngusaba dodol ini ada tradisi unik yang dimiliki oleh masing-masing desa adat yang ada di Kecamatan Selat. Di Desa Pering salah satu desa yang melaksanakan upacara Ngusaba Dodol. Masyarakat desa ini, ada tradisi unik yang dilakoni yaitu: Naur Sot/naurin (pembayaran). Bagi sebagian besar masyarakat Hindu yang ada di bali mengenal adanya mesesangi ‘kaul’. Pada saat upacara ngusaba dodol inilah masyarakat desa adat Pering naur sot ‘membayar kaul yang sudah diucapkan’. Ada bermacam-macam jenis sot yang dihaturkan oleh masyarakat, namun yang lazim dihaturkan adalah Takilan yang berupa dodol dengan beberapa ketentuan yang disebut dengan catu. Catu yang biasa dipilih antara lain: selae catu (25 catu), seket catu (50 catu), telung benang catu (75 catu), satus catu (100 catu) hingga satak catu (200 catu). Catu adalah ukuran berat bahan yang dipergunakan untuk membuat takilan, 1 catu kurang lebih sebanyak 1,5 kg. Kemudian takilan tersebut diarak oleh anggota keluarga menuju pura dalem untuk Naurin sesuai dengan apa yang telah mereka kaulkan sebelumnya.

Simpulan Ngusaba dodol adalah suatu ritual upacara yang di laksanakan oleh sebagian masyarakat yang ada di Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem. Ritual upacara ini bertujuan untuk mengucapkan rasa syukur warga atas panen yang melimpah selama ini. Ritual ini di bagi menjadi 3 rangkaian upacara yaitu: (1) pada pagi hari yang disebut dengan penyemeng, siang hari, dan terakhir pada malam hari yang merupakan rangkaian terakhir dari semua upacara Ngusaba Dodol. Pada upacara Ngusaba Dodol ini, masyarakat biasanya menghaturkan beragam sarana upacara, tetapi yang paling utama adalah Dodol. Jajanan yang terbuat dari beras ketan, yang di campur dengan santan dan gula. Selain itu pada upacara ngusaba dodol ini masyarakat juga melaksanakan atau membayar kaul yang telah diucapkan atau yang biasa di sebut dengan naur sot. Ukuran sot yang mereka bayarkan adalah 25, 50, 75, sampai 200 takilan. 1 takilan itu kurang lebih 1,5 kg, dan yang unik pada upacara ini, masyarakat selalu menghaturkan banten dengan sokan yang berukuran ganjil mulai dari 3, 5, 7, dan 9.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi pertama. Jakarta: Perum Balai Pustaka. Leech, Geoffry. 2003. Semantik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

~ 509 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Santosa, Riyadi. M.Ed. 2003. Semiotika Sosial, Pandangan Terhadap Bahasa. Surabaya: Pustaka Eureka Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung:Rosda Offset Sunardi, S.T. 2002. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal.

~ 510 ~ PROSES PEMBENTUKAN VERBA DARI DASAR NOMINA DALAM BAHASA BALI

Putu Weddha Savitri Universitas Udayana [email protected]

ABSTRACK Word formation is part of morphology in which includes the process of derivation and inflection. Word formation which produces a new word with different category from the base form categorized as derivational morphology. This paper aims to analyze the morphological process that occurs in the formation of verbs from the base of equipment noun in Balinese language. It also will be explained about the meaning and function of the derived verb as the result of the morphological process. The data was taken from many Balinese books and daily conversation by Balinese peoples. The data will be classified and analysed by its morphological process in descriptive qualitative analysis. The analysis showed that the derivation process that occurs in the formation of verb from base of equipment nouns was happened through process of affixation and conversion which can then be followed by the process of inflection. While the derived verb can be transitive and intransitive verb, and also formed passive and imperative verb. It can be concluded that verb formation from noun base has an unpredictable process.

Keyword: morfologi, derivasi, infleksi, verba, nomina

PENDAHULUAN Setiap bahasa yang ada mempunyai keunikan atau ciri khas masing-masing yang selalu menarik untuk ditelaah dari berbagai aspek linguistik, salah satunya yaitu dari segi morfologi. Morfologi merupakan salah satu bidang ilmu dalam linguistik yang menjabarkan tentang pem- bentukan kata pada suatu bahasa. Dengan kata lain, bagaimana sebuah kata itu terbentuk be- serta fungsi dan makna yang menyertai proses pembentukan kata pada suatu bahasa merupakan objek yang menjadi perhatian bagi para peneliti di bidang ini. Secara structural objek pembicar- aan dalam morfologi adalah morfem pada tingkat terendah dan kata pada tingkat tertinggi. Bahasa Bali merupakan salah satu bahasa Austronesia dari anak cabang Bali-Sasak yang struktur katanya hampir sama dengan bahasa Indonesia yaitu pembentukan kata dengan proses afiksasi sangat produktif terjadi. Seperti misalnya bentuk dasargae ‘kerja’ dapat menjadi kata ngae ‘membuat, mengerjakan, magae ‘bekerja’, gegaen ‘pekerjaan’, gaenang ‘buatkan’. Tipe bahasa seperti ini digolongkan ke dalam tipologi bahasa Aglutinasi (Indriani, 2005) karena sebagian besar pembentukan kata dalam bahasa Bali terjadi dengan proses afiksasi atau penggabungan morfem bebas dan terikat yang tidak terpengaruh oleh aspek dan kala. Berbagai penelitian yang berkaitan tentang morfologi sebenarnya telah banyak dilakukan dan dapat memberikan pemahaman tentang bagaimana proses pembentukan kata itu terjadi. Abdulah dkk (2012) menjelaskan tentang pembentukan verba dari dasar nomina dalam bahasa Indonesia. Judul tersebut sangat berkaitan dengan topic penelitian dalam makalah ini, namun berbeda dalam objek bahasanya. Dalam artikelnya, Abdullah menyimpulkan bahwa pembentukan verba dari dasar nomina dibedakan menjadi beberapa kategori diantaranya kategori verba dengan zero-derivation, dan verba yang terbentuk dari bentuk dasar yang mendapat imbuhan –kan, -i, meng-, ber-, per-, ter-, per-kan, ber-kan, ke-an. Selain itu, proses morfologi dalam bahasa Bali juga diungkapkan oleh Indriani (2005) dalam artikelnya Afiksasi Infleksional dalam Bahasa Bali. Sesuai dengan judulnya, makalah

~ 511 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature ini hanya membahas tentang proses morfologi infleksional yang biasanya terjadi dalam verba Bahasa Bali. Kemudian Laksana (1997) juga menulis tentang Morfologi Bahasa Bali dialek Nusa Penida. Dalam tesisnya tersebut, Laksana mengungkapkan tentang komponen-komponen dalam pembentukan kata Bahasa Bali khususnya dialek Nusa Penida yang tergolong dalam bahasa Bali Aga, yaitu meliputi prefiks, sufiks, konfiks, pembentukan kata ulang dan majemuk, serta proses morfofonemis yang terjadi di dalamnya. Dalam makalah ini, proses pembentukan kata dalam Bahasa Bali akan difokuskan pada pembentukan verba dari daar nomina dengan referensi peralatan, seperti gunting, tumbeg ‘cangkul’, sampat ‘sapu’ dan lain-lain. Data pada makalah ini diperoleh dari kalimat-kalimat Bahasa Bali baik lisan atau yang digunakan sehari-hari oleh penutur Bahasa Bali dalam percakapan, maupun tulisan yang dapat ditemukan pada buku-buku, koran, dan internet. Dengan kata lain, kategori nomina lainnya tidak menjadi bagian dalam pembahasan makalah ini. Dalam penelitian ini, hanya menganalisis tentang pembentukan verba dari dasar nomina dengan afiksasi, sehingga akan didapat berbagai afiks apa saja yang dapat melekat pada bentuk dasar nomina serta bentuk apa yang dihasilkannya. Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak dan catat dari sumber-sumber data. Kemunculan data yang berupa verba turunan dari dasar nomina kemudian dikelompokkan berdasarkan tipe proses pembentukan kata yang terjadi, yaitu proses derivasi dengan derivational- affiks maupun dengan zero-derivation (konversi). Sedangkan untuk metode dan teknik analisis akan dilakukan secara deskriptif kualitatif.

LANDASAN TEORI Secara tradisional, morfologi dibagi menjadi dua jenis yaitu morfologi derivasional dan morfologi infleksional. Morfologi derivasional dapat dikatakan sebagai proses pembentukan kata baru (word formation) seperti misalnya :

makan (v)  makanan (n) cangkul (n)  mencangkul (v) indah (adj)  keindahan (n)

Dari contoh diatas, dapat dilihat bahwa bentuk dasar yang mengalami proses afiksasi bertransformasi menjadi kata lain yang dapat berbeda kategori dengan bentuk dasarnya, misalnya bentuk dasar makan (V) mendapat sufiks –an menjadi makanan yang berkategori nomina. Perubahan ini juga menghasilkan fungsi dan makna yang baru. Hal seperti ini yang dimaksud dengan proses derivasi. Jadi, afiks-afiks yang digunakan pada contoh-contoh di atas disebut afiks derivasional karena membentuk kata baru dengan kategori atau identitas yang berbeda dari bentuk dasarnya. Hal ini sejalan dengan Katamba (1994:47) yang membedakan afiks menjadi dua yaitu afiks derivasional dan afiks infleksional. Verhaar (1996:143) lebih lanjut menjelaskan bahwa derivasi dapat dipastikan mengubah kelas kata seperti kata sedih (Adj)  kesedihan (N). Derivasi juga berarti perubahan identitas leksikal seperti pada kata tidur (V)  menidurkan (V). Kata tidur yang merupakan verba intransitive setelah mendapat afiks me-kan menjadi menidurkan yang merupakan verba transitif. Hal ini menandakan perubahan identitas leksikal antara bentuk dasar dan bentuk turunannya. Selain penggunaan afiks, suatu proses derivasi juga dapat terjadi dengan tanpa pembubuhan afiks, dengan kata lain bentuk dasar dan bentuk turunannya tidak mengalami perubahan (identik sama). Hal ini disebut dengan zero-derivation atau conversion (Mattews

~ 512 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature (1974:65). Perubahan kategori kata dalam konversi ini hanya dapat diketahui dari fungsi gramatikalnya dalam ujaran. Lebih lanjut, infleksi lebih kepada pembentukan kata yang dikarenakan oleh tata bahasa itu sendiri yang menyediakan informasi tentang struktur gramatikal seperti number (dalam bahasa inggris: book  books), gender (dalam bahasa Perancis: chanteur ‘penyanyi maskulin’  chanteuse ‘penyanyi feminin’), kala (dalam bahasa Inggris: drink  drunk), aspek, konjugasi (I go  He goes), yang tidak menghasilkan jenis kata baru yang berbeda dari bentuk dasarnya atau tidak menghasilkan perubahan identitas leksikal. Verhaar (1996:143) menyatakan bahwa infleksi adalah perubahan kata yang mempertahankan identitas leksikal kata yang bersangkutan. Seperti misalnya Dengan kata lain, satu leksikal dapat mempunyai beberapa paradigma yang diakibatkan oleh struktur gramatikal bahasa itu sendiri. Proses pembentukan kata biasanya tidak terjadi sati jenis saja, artinya suatu kata dapat mnegalami proses derivasi terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan proses infleksi, namun tidak sebaliknya. Hal ini pun terjadi dalam proses pembentukan verba dari dasar nomina dalam Bahasa Bali. Afiks-afiks derivasional dalam Bahasa Bali, telah pula diungkapkan oleh beberapa penelitian sebelumnya. Anom dkk (dalam Indriani, 1983) menyebutkan afiks dalam bahasa Bali dibedakan menurut tempatnya melekat pada bentuk dasar yaitu :

- Prefiks : N-, ma-, ka-, pa-, pi-, sa-, a-, pra-, pari-, maka-, saka-, kuma- - Infiks : -um-, -in-, -el-, -er- - Sufiks : -a, -ang, -an, -in, -e, -ne, -n, -ing - Konfiks : pa – an, ka – an, ma – an, bra – an

Afiks-afiks tersebut diatas, ada yang prosuktif dan ada pula yang kurang produktif. Dalam proses pembentukan kata, tidak jarang akan terjadi pula proses morfofonemik. Oleh karena itu beberapa afiks akan mempunyai allomorph yang merupakan variasi bentuk suatu morfem karena dipengaruhi oleh lingkungan tertentu, biasanya dipengaruh oleh bunyi awal dari kata yang dilekatinya. Seperti misalnya dalam Bahasa Indoensia, morfem peN- mempunyai morf-morf pe-, pem-, pen-, peng-, peny-, dan penge- sebagai alomorfnya.

PEMBAHASAN Pembentukan verba (V) dari bentuk dasar nomina (N) dengan referensi peralatan sudah pasti mengalami proses derivasional pada proses pembentukan kata yang pertama. Setelah tu akan dianalisis juga mengenai proses pembentukan kata berikutnya, apakah akan mengalami proses derivasi atau infleksi. Nomina bahasa Bali yang mempunyai fitur semantik peralatan yang digunakan dalam makalah ini adalah gunting ‘gunting’, sampat ‘sapu’, lap ‘lap’, tumbeg ‘cangkul’, telpun ‘telepon’, sendok ‘sendok’, sikat ‘sikat’, suah ‘sisir’, tiuk ‘pisau’, potlot ‘pensil’. Berikutnya, akan diklasifikasikan bagaimana proses morfologi yang terjadi dalam pembentukan Verba dari dasar Nomina.

Proses Derivasi dengan Zero-Derivation (Konversi) Seperti telah diungkapkan sebelumnya, proses derivasi dapat terjadi dengan tanpa pembubuhan afiks apapun pada bentuk dasarnya. Proses seperti ini lazim disebut dengan konversi (zero-derivation). Fenomena ini juga dapat ditemukan dalam beberapa nomina peralatan Bahasa Bali yang dapat langsung bertransformasi menjadi verba, jika dilihat dari fungsinya dalam ujaran.

~ 513 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Proses Bentuk Dasar (N) Bentuk Turunan (V) Ujaran derivasi gunting  gunting Gunting kertase! ‘gunting kertasnya!’ sendok  sendok Sendok nasine liunang! ‘sendok nasinya lebih banyak!’ tumbeg  tumbeg Tumbeg tegale bin mani! ‘cangkul kebunnya besok!’ telpun  telpun Telpun adine tunden mulih! ‘telepon adik suruh pulang!’ lap*  lap Lap malu kaca mobile! ‘lap dulu kaca mobilnya!’ sikat*  sikat Sikat sepatune! ‘sikat sepatunya!’

Berdasarkan data dan proses pembentukan kata diatas, dapat dilihat pembentukan verba (V) dari dasar Nomina (N) terjadi dengan tanpa pelekatan afiks. Dapat dikatakan bahwa bentuk dasar dan bentuk turunannya identik sama atau tidak dapat dibedakan. Perubahan ini hanya dapat diketahui ketika bentuk turunan tersebut dipakai dalam ujaran dimana fungsi dan maknanya jelas terlihat berbeda. Proses transformasi ini dapat disimbolkan sebagai berikut :

[X]N  [X]V

[gunting]N  [gunting]V

Bentuk dasar (X) gunting yang berkategori nomina (N) mengalami proses derivasi menjadi bentuk turunan gunting yang berkategori verba (V). Perubahan kelas kata ini dapat dipastikan pada contoh ujaran Gunting kertase! ‘gunting kertasnya!’ dimana kata gunting pada ujaran diatas merupakan verba transitif yang memerlukan konstituen argumen nomina atau frasa nomina setelahnya. Uniknya adalah proses konversi ini hanya dapat digunakan pada ujaran atau kalimat perintah (imperative). Hampir semua nomina yang mempunyai referensi alat-alat yang dipakai manusia dapat mengalami pembentukan kata secara konversi terutama jika digunakan dalam kalimat perintah. Walaupun demikian, tidak semua nomina peralatan dapat berubah menjadi nomina seperti kata sampat ‘sapu’, tiuk ‘pisau’, potlot ‘pensil’, piring ‘piring’, gelas ‘gelas’ dan sebagainya. Oleh karena itu, proses pembentukan verba dengan zero- derivation tidak terjadi secara teratur atau unpredictable, dan sangat bergantung pada naluri kebahasaan penuturnya, dalam hal ini penutur Bahasa Bali. Seperti juga halnya kata lap* dan sikat*, bagi sebagian masyarakat, jika kata ini di konversi menjadi verba mperatif seperti contoh diatas, maka akan terdengar kurang lazim karena mereka lebih terbiasa menggunakan sufiks–in untuk membentuk kalimat perintah dengan menggunakan kata tersebut, sehingga menjadi lapin ’lap(i)’ dan sikatin ‘sikat(i)”. Selanjutnya, dari proses konversi sebagai tahap pertama dalam pembentukan verba, kemudian dapat dilanjutkan dengan proses infleksi dengan penambahan sufiks yaitu –in dan –ang. Hal ini dapat dilihat pada proses dibawah ini:

~ 514 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

VT I infleksi VT II infleksi VT III gunting  guntingin ‘guntingi’  guntingang ‘guntingkan’ sendok  sendokin ‘sendoki’  sendokang ‘sendokkan’ tumbeg  tumbegin ‘cangkuli’  tumbegang ‘cangkulkan’ telpun  telpunin ‘teleponi’  telpunang ‘teleponkan’ lap  lapin ‘lap-i’  lapang ‘lapkan’ sikat  sikatin ‘sikatin’  sikatang ‘sikatkan’

Dari verba turunan I (VT I) yang merupakan hasil dari proses konversi, kemudian dapat mengalami proses infleksi dengan penambahan sufiks –in sehingga membentuk VT II, yang selanjutnya mengalami kembali proses infleksi dengan sufiks –ang untuk membentuk VT III. Kedua verba turunan terakhir dikatakan mengalami proses infleksi karena pembubuhan sufiks –in dan –ang tidak mengakibatkan perubahan identitas leksikal bentuk dasarnya, yaitu VT yang dihasilkan masih tetap merupakan verba transitif untuk pola kalimat imperative, hanya saja makna yang dihasilkan sedikit berbeda. VT I dan VT II mempunyai makna yang hampir sama yaitu menyuruh seseorang melakukan pekerjaan dengan menggunakan alat yang disebutkan oleh bentuk dasar, sedangkan VT III ada kesan meminta tolong kepada seseorang untuk melakukan kegiatan dengan menggunakan alat seperti yang disebutkan bentuk dasarnya.

Proses Pembentukan Kata dengan Afiksasi

Pembentukan verba dari dasar nomina peralatan dalam bahasa Bali juga dapat melalui proses afiksasi, artinya pembentukan kata baru terjadi dengan adanya penambahan afiks pada bentuk dasarnya, baik itu berupa prefix, infiks, sufiks, maupun konfiks.

B e n t u k Prefiks Verba Turunan I Dasar (N) N- gunting  Ngunting ‘menggunting’ Adin tiange ngunting gambar ‘Adik saya menggunting gambar’ sampat  Nyampat ‘menyapu’ I meme nyampat di natahe ‘Ibu menyapu di halaman’ sendok  Nyendok ‘menyendok’ Pekak nyendok nasi ‘Kakek menyendok nasi’ tumbeg  Numbeg ‘mencangkul’ Bapa numbeg tanah di carike ‘Bapak mencangkul di sawah’ telpun  Nelpun ‘menelepon’ Tiang nelpun timpal tiange ‘Saya menelepon teman saya’ lap  Ngelap ‘mengelap’ Muride-muride tundene ngelap kaca ‘para murid disuruh mengelap kaca’

Melalui tabel di atas, prefix N- mempunyai beberapa morf yaitu ng-, ny-, dan n- ketika melekat pada lingkungan tertentu pada bentuk dasarnya. Fungsi prefixN- menimbulkan fungsi dan makna yang sama dengan prefix me- dalam bahasa Indonesia, yaitu membentuk verba transitif yang artinya melakukan suatu pekerjaan dengan bantuan alat yang disebutkan dalam bentuk dasarnya. Kecuali kata suah ‘sisir’ prefix yang digunakan untuk membentuk verba

~ 515 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature adalah ma- ­sehingga menjadi masuah ‘menyisir’ akan tetapi verba yang terbentuk adalah verba intransitive. Selanjutnya dari verba turunan ini, dapat terjadi kemudian proses derivasi selanjutnya dengan menambahkan sufiks–ang.

VT I derivasi VT II infleksi VT III Ngunting  Nguntingang ‘mengguntingkan’  Nguntingin ‘mengguntingi’ Nyampat  Nyampatang ‘menyapukan’  Nyampatin ‘menyapui’ Nyendok  Nyedokang ‘menyendokkan’  Nyendokin ‘menyendoki’ Numbeg  Numbegang ‘mencangkulkan’  Numbegin ‘mencangkuli’ Nelpun  Nelpunang ‘meneleponkan’  Nelpunin ‘meneleponi’ Ngelap  Ngelapang ‘melapkan’  Ngelapin ‘melap-i’

Dari data diatas, VT I kemudian mengalami proses derivasi menjadi VT II dengan penambahan sufiks –ang, karena sufiks –ang walaupun masih tetap menghasilkan kata berkategori verba tetapi indentitas leksikalnya mengalami perubahan yaitu dari verba transitif menjadi verba yang memerlukan satu lagi tambahan argument (penambahan valensi). Maknanya pun menjadi berubah yaitu melakukan suatu pekerjaan untuk orang lain.

I Made ngunting gambar ‘I Made menggunting gambar’ I Made nguntingang adine gambar ‘I Made mengguntingkan adiknya gambar’

Selanjutnya, proses infleksi dapat terjadi sehingga membentuk VT III dengan pembubuhan sufiks –in karena tidak menghasilkan verba dengan identitas berbeda, hanya maknanya yang mengalami sedikit perubahan yaitu menyatakan pekerjaan yang berulang-ulang dengan menggunakan alat yang disebutkan bentuk dasarnya. Proses afiksasi berikutnya adalah untuk membentuk verba pasif, seperti terlihat pada table berikut :

VT I D VT II D VT III VT IV Guntinga Guntinganga Gunting    Kagunting ‘tergunting oleh saya’ ‘digunting’ ‘diguntingkan’ Sampatanga ‘disapu/ Kasampatang ‘tersapu(kan) oleh Sampat*    disapukan’ saya’ Sendoka Sendokanga Sendok    Kasendok ‘tersendok oleh saya’ ‘disendok’ ‘disendokkan’ Tumbega Tumbeganga Tumbeg    Katumbeg ‘tercangkul oleh saya’ ‘dicangkul’ ‘dicangkulkan’ Telpuna Telpunanga Telpun    Katelpun ‘tertelpun oleh saya’ ‘ditelepon’ ‘diteleponkan’’ Suah*   Suahanga ‘disisirkan  Kasuahin ‘tersisirkan oleh saya’

Untuk membentuk verba pasif dari dasar nomina, sufiks –a ditambahkan pada VT I (hasil dari konversi) sehingga membentuk VT II yang merupakan verba pasif. Kemudian, VT II dijadikan dasar untuk membentuk VT III dengan menambahkan sufiks –anga yang juga

~ 516 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature merupakan verba pasif. Namun perbedaan VT II dan VT III adalah terletak pada identitas leksikalnya, dimana pada VT II penambahan argument tidak wajib ada, sedangkan pada VT III membutuhkan 2 argumen.

(VT II) Gambare guntinga lantas tempelanga di tembok ‘Gambarnya digunting lalu ditempelkan di tembok’ (VT III) Gambare guntingange teken Nyoman baanga adinne. ‘Gambarnya diguntingkan oleh Nyoman diberikan pada adiknya’

Proses selanjutnya yang dapat terjadi adalah dengan pembubuhan prefixka- pada bentuk dasar VT I yang juga membentuk verba pasif (VT IV). Sedangkan makna yang ditimbulkan oleh sufiks ka- adalah kegiatan tersebut dilakukan oleh Namun ada pengecualian untuk bentuk dasar sampat dan suah, karena kedua kata tersebut tidak dapat dikonversi langsung menjadi verba, maka dasar sampat dan suah tidak dapat dibentuk menjadi VT II melainkan langsung membentuk VT III.

(VT IV) Gambare kagunting lantas katempelang di temboke ‘gambarnya tergunting (oleh saya) lalu (saya) tempelkan di tembok’

Dari contoh kalimat di atas, makna sufiks ka- bermakna bahwa pekerjaan itu dilakukan oleh orang pertama atau yang mengeluarkan ujaran tersebut.

KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pembentukan verba dari daar nomina peralatan dalam bahasa Bali sudah pasti mengalami proses derivasi baik secara konversi maupun afiksasi dimana proses tersebut menghasilkan kata baru dengan identitas leksikal yang berbeda dari bentuk dasarnya. Selain itu, verba hasil proses derivasi, dapat mengalami proses infleksi yang identitas leksikalnya tidak mengalami perubahan namun maknanya berbeda. Verba yang dihasilkan juga dapat berupa verba transitif dan intransitive, juga verba pasif dan imperative. Beberapa proses terjadi secara tidak beraturan, sehingga dapat dikatakan tidak semua kata nomina peralatan dapat mengalami proses yang sama, atau dapat dikatakan unpredictable. Bahkan ada nomina yang sama sekali tidak dapat dibentuk menjadi verba seperti tiuk ‘pisau’, potlot ‘pensil, ember ‘ember’, dan lain-lain. Hal ini sepernuhnya tergantung pada intuisi penutur aslinya dalam hal ini masyarakat Bali yang menggunakannya sebagai bahasa ibu mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Wakit dkk. 2012. “Pembentukan Verba dari Dasar Nomina dalam Bahasa Indonesia”. Jurnal Ilmiah Masyarakat Linguistik Indonesia: Lingustik Indonesia, edisi Agustus tahun ke 30 No.2, p.129-145. Jakarta

Indriani, Sri Made. 2005. “Afiksasi Infleksional dalam Bahasa Bali: Sebuah Kajian Morfologi Generatif”. PRASI, Vol.3 No.6, p. 59-73.

Katamba, Francis. 1994. Morphology. London: The Macmillan Press.

Laksana, Darma I Ketut. 1997. Morfologi Bahasa Bali Dialek Nusa Penida. Denpasar: Udayana University thesis

~ 517 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Matthew, P.H. 1974. Morphology : An Introduction to The Theory of Word Structure. London: Cambridge University Press.

Simpen, I Wayan. 2008. Afikasi Bahasa Bali: Sebuah Kajian Morfologi Generatif. Denpasar: Universitas Udayana.

Verhaar, J.W.M. 1996. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

~ 518 ~ MASALAH PENERJEMAHAN DIGLOSIA

Rahmat Wisudawanto dan Dyah Retno Pratiwi Sahid Surakarta University [email protected], [email protected]

ABSTRACT Diglossia involves use of two varieties of the same language by the same society for different functions. In translation diglossia, translator is faced by some problems. The translator should be aware to this problem since it does not only focus in meaning but also to the force of an utterance. This research focuses in analyzing the problem of diglossia in translation studies at Ada Apa Dengan Cinta movie and its translation in English subtitle. It is expected to identify the translation problems in diglossia and to know translation technique used in translated it. To address the objective, the study uses utterances in subtitle movie as data. The result of analysis shows that there are some problems encountered by the translator in translating diglossia from Indonesian to English such as the determination of the cultural contexts of verbal elements and the difficulty of identifying dialogue that are found in the text. Meanwhile, the data analysis of translation technique indicates that there are some translation techniques applied by translator. The dominant technique used in translation utterance in this movie is literal translation. Keyword: diglossia, translation, subtitle, movie

Pendahuluan Isu-isu terkait dengan budaya masih hangat untuk diperbincangkan. Hal ini disebabkan karena nilai yang dikandung oleh sebuah budaya berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan nilai yang terkandung oleh satu budaya dengan budaya yang lain memungkinkan terjadinya konflik. Hal ini terjadi manakala ketika cara memandang budaya lain masih menggunakan prespektif budaya yang dianut. Dengan demikian, cara pandang budaya berdasarkan kacamata pemilik budaya dapat meminimalisir konflik yang akan terjadi. Dalam mempelajari nilai-nilai budaya yang lain bukanlah sesuatu yang mudah. Selain dituntut untuk hidup berdampingan dengan pemilik budaya, pembelajar budaya juga perlu berinteraksi secara langsung. Oleh karena itu, pembelajaran budaya membutuhkan waktu, tenaga dan biaya yang tidak sedikit. Bahkan, apabila masyarakat yang memiliki budaya tersebut tidak terbuka membantu seseorang mempelajari budaya mereka tentunya hal ini juga akan menimbulkan kesulitan tersendiri. Dengan demikian, perlu adanya media untuk mempermudah pembelajar budaya mempelajari budaya orang lain tanpa terhambat oleh waktu, tenaga dan biaya. Salah satu media yang dapat digunakan untuk belajar budaya adalah melalui film. Film yang dibuat berdasarkan sebuah budaya sebenarnya merefleksikan budaya masyarakatnya. Oleh karena itu, belajar budaya melalui film akan lebih memangkas jarak, waktu serta biaya yang perlu dikeluarkan seseorang untuk belajar budaya dari tempat lain. Namun demikian, dalam menggunakan film sebagai media pembelajaran budaya, seorang pembelajar budaya terkadang mengalami kesulitan dengan bahasa. Cerita atau alur dalam film yang merupakan kombinasi antara adegan, latar belakang suara dan dialog antara tokoh yang bermain dalam film tersebut menuntut kemampuan pemirsa untuk tahu bahasa yang ada dalam film tersebut. Bahkan, cara pengucapan atau style berbicara tokoh dalam film menyebabkan kesulitan tersendiri dalam pemahamaan alur cerita sebuah film. Oleh karena itu, ~ 519 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature diperlukan subtitle dalam memahammi alur cerita sebuah film. Penggunaan subtitle dalam film akan sangat membantu pemirsa dalam hal pehamamman film. Dengan adanya subtitle memungkikan minimalmya kesalahan dalam memahammi film. Dengan demikian, nilai yang dibawa oleh budaya yang ada dalam film tersebut akan mudah ditransfer atau dipelajari oleh pemirsanya. Terdapat dua pendektan dasar ketika melakukan transfer dialog lisan suatu program dari satu bahasa kebahasa yang lain, baik hasil akhirnya berupa lisan seperti produksi aslinya ataupun ditransformasikan menjadi teks tulis. Jika pendekatan pertama yang dikehendaki maka prosesnya disebut dubbing tetapi jika pilihan ke dua yang dipilih maka pendekatan disebut subtitling (Cintas & Andermen, 2009). Dalam transfer dialog film dari satu bahasa ke dalam bahasa lain tidaklah mudah. Penerjemah dihadapkan pada keterbatasan ruang. Pembatasan jumlah karakter dan baris serta space dalam film merupakan tantangan yang harus diatasi oleh penerjemah untuk menghasilkan terjemahan yang berkualitas. Selain itu, penerjemah juga dituntut jeli dalam memilih teknik- teknik penerjemahan yang tepat agar semua pesan yang dibawa dari bahasa sumber dapat tersampaikan ke dalam bahasa sasaran. Selain space dan teknik yang merupakan tantangan penerjemah dalam menerjemahkan subtitle dalam film, seorang penerjemah akan mengalami tantangan yang berbeda manakala penerjemah dituntut menerjemahkan dialog karakter yang terkait dengan penggunaan bahasa dalam masyarakat. Dalam penggunaan bahasa dalam masyarakat ada sebuah fenomena dimana masyarakat membiarkan adanya dua variasi yang eksis dalam masyarakatnya atau sering disebut dengan diglossia. Bahasa yang eksis dalam masyarakatnya bisa berbentuk variasi yang tinggi (high) dan variasi yang rendah (low). Karena adanya diglossia ini maka dalam penggunaan bahasa, seseorang akan memilih code dalam hal ini variasi tinggi dan rendahnya tergantung pada situasi interaksi sosial dimana bahasa tersebut digunakan. Dengan kata lain, situasi bahasa yang digunakan dalam hal ini adalah sering disebut dengan konteks. Penerjemahan yang terkait dengan diglossia menjadi tantangan tersendiri bagi penerjemah manakala meraka tidak sadar terhadap penggunaan variasi berbahasa. Dengan demikian, makalah ini akan berusaha membahas tentang masalah yang timbul dalam diglossia serta teknik penerjemahan yang digunakan penerjemah dalam menerjemahkannya.

Kajian Pustaka

Penerjemahan dan budaya Kegiatan menerjemahkan bukanlah suatu kegiatan yang mudah dilakukan. Dalam kegiatan menerjemahkan, seorang penerjemah bukan hanya mencari padanan kata dalam bahasa sasaran tetapi seorang penerjemah juga dituntut mengalihkan pesan dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran yang pasti terdapat perbedaan diantara keduanya “languages are not nomenclatures and the concepts of one language may differ radically from those of another” (Culler dalam Ordudari, 2007). Karena bahasa merupakan salah satu unsur dari budaya maka selain perbedaan bahasa, kegiatan penerjemahan juga dihadapkan pada perbedaan budaya. One of the most difficult problems in translating is found in the differences between culture (Larson, 1984:137). Lebih lanjut, Baker (1992:4) menyatakan bahwa penerjemahan adalah “a discipline which has to concern itself with how meaning is generated within and various groups of people in various

~ 520 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature cultural settings.” Dengan demikian, sesuai dengan pendapat Wong dan Shen (1999:10) bahwa kegiatan penerjemahan yang melibatkan dua bahasa, tidak bisa terhindar dari pengaruh dua budaya dari dua bahasa yang bersangkutan, yaitu budaya bahasa sumber dan budaya bahasa sasaran. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika seorang penerjemah akan mampu menghasilkan terjemahan yang baik jika penerjemah tersebut menguasai bahasa sumber dan bahasa sasaran (bilingual) dan juga menguasai budaya bahasa sumber dan budaya bahasa sasaran (bicultural).

Digglosia Penerjemahan sebagai ilmu interdisipliner selalu mempunyai keterkaitan dengan bidang ilmu yang lain seperti Linguistics, Comparative culturology, Comparative Ethnology Computer science, Comparative Sociology, dan masih banyak lagi (Newmark,1981:3). Dengan demikian, sociolinguistics sebagai salah satu cabang dari ilmu linguistik tentunya juga berhubungan dengan penerjemahan. Salah satu ranah kaji sociolinguistics adalah diglossia. Ferguson dalam Wardhaugh (1998) mengatakan bahwa:

diglossia is relatively stable language situation in which, in addition to the primary dialects of the language (which may include a standard or regional standards), there is a very divergent, highly codified (often grammatically more complex) superposed variety, the vehicle of a large and respected body of written literature, either of an earlier period or in another speech community, which is learned largely by formal education and is used for most written and formal spoken purposes but is not used by any sector of the community for ordinary conversation.

Dari kutipan diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa diglossia adalah suatu situasi bahasa dimana terdapat pembagian fungsional atas variasi-variasi bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di masyarakat.

Tekinik penerjemahan Teknik adalah suatu metode, keahlian atau seni praktis yang diterapkan pada suatu tugas tertentu (Machali, 2000:77). Dalam definisi diatas terdapat dua hal penting: (1) teknik adalah hal yang bersifat praktis; (2) teknik diberlakukan terhadap tugas tertentu (dalam hal ini tugas penerjemahan). Dari dua butir hal penting diatas dapat dipahami bahwa teknik berbeda dengan metode dan prosedur yang sifatnya kurang-lebih normatif. Molina dan Albir (2002) membedakan strategi dan teknik penerjemahan berdasarkan produk dan proses. Strategi mengacu pada prosedur (disadari atau tidak disadari, verbal atau non verbal) yang digunakan oleh penerjemah untuk mengatasi masalah pada saat melakukan proses penerjemahan. Adapun teknik penerjemahan adalah hasil dari pilihan yang dibuat penerjemahn atau perwujudan strategi dalam mengatasi permasalahan pada tataran mikro yang dapat dilihat dengan membandingkan hasil terjemahan dengan teks aslinya. Teknik penerjemahan ini berada pada tataran mikro seperti penerjemahan kata, istilah, konsep dan kalimat yang mempunyai lima karakteristik, yaitu: 1. mempengaruhi hasil terjemahan, 2. diklasifikasikan berdasarkan perbandingan dengan teks sumber, 3. mempengaruhi unit teks pada tataran mikro, 4. bersifat diskursif dan kontekstual, dan 5. fungsional. Beberapa teknik penerjemahan yang dipaparkan Monila dan Albir (2002) adalah

~ 521 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Adaptasi (Adaptation), Penambahan (Amplification), Peninjaman (Borrowing), Kalke (Calque), Kompensasi (Compensation), Deskripsi (Description), Kreasi Diskursif (Discursive Creation), Padanan lazim (Established Equivalent), Generalisasi (Generalization), Amlipikasi lingusitik (Lingusitic Amplification), Kompresi linguistik (Linguistik Compression), Terjemahan harafiah (Literal Translation), Modulasi (Modulation), Partikulasi (Particulation), Reduksi (Reduction), Substitusi (Substitution), Transposisi (Transposition), Variasi (Variation)

Metodologi Makalah ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan bentuk terpancang yaitu penelitian kualitatif yang sudah menentukan fokus penelitiannya berupa variabel utamanya yang akan dikaji berdasarkan pada tujuan dan minat penelitinya sebelum peneliti masuk ke lapangan studinya (Yin dalam Sutopo, 2006:39). Dalam hal ini peneliti telah memfokuskan variabel permasalahan yang akan diteliti yaitu masalah penerjemahan tuturan. Oleh karena itu secara lebih specifik, Makalah ini berusaha mendeskripsikan masalah-masalah penerjemahan diglossia dalam terjemahan tuturan dengan subtitle film sebagai sumber datanya. Dengan, Apabila ditinjau dari sisi orientasinya maka penelitian ini menurut Shuttleworth and Crowie (1997:131-132) termasuk penelitian di bidang penerjemahan yang berorientasi pada produk karena penelitian ini mengkaji produk penerjemahan sebagai sumber data.

Analisis Dalam bagian analisis ini akan dipaparkan permasalahan dalam penerjemahan diglossia. Masalah-masalah tersebut diantaranya adalah penentuan konteks budaya dalam elemen-elemen ujaran dan kesulitan dalam mengidentifikasi dialek yang ditemukan dalam text. Permasalahan diglossia dalam makalah ini dapat ditemukan pada contoh ujaran di bawah ini.

Penentuan konteks budaya dalam elemen-elemen ujaran Konteks : ujaran ini diucapkan Pak Wardiman (penjaga sekolah) kepada Cinta (salah satu siwsi SMA yang sekolah di tempat Pak Wardiman bekerja) ketika pak Wardiman hendak menempelkan puisi dalam mading yang dikelola Cinta dan teman-temanya.

ST : Neng cinta ini puisinya taruhnya dimana? TT : Miss Cinta, This is a poem Where do I put it?

Apabila dilihat dari teks bahasa sumber yaitu bahasa Indonesia maka akan dapat dilihat bahwa terdapat penggunaan bahasa sehari-hari dalam ujaran yang di ucapkan oleh Pak Wardiman kepada Cinta. Hal dapat dilihat dari jenis sapaan yang digunakan, struktur kalimat dan pilihan kata yang dipilih dalam memproduksi ujaran tersebut. Pilihan ujaran yang diucapkan Pak Wardiman ke pada Cinta termasuk dalam penggunaan bahasa yang low variation. Namun demikian, dalam penerjemahan teks tersebut kedalam bahasa Inggris, nampaknya penerjemah kurang peka terhadap hadirnya variasi bahasa yang digunakan dalam berinteraksi antara Pak Wardiman dengan Cinta. Hal ini dimungkinkan karena dalam menerjemahkan, penerjemah tidak melakukan analisis elemen-elemen ujaran yang membuat konteks tidak tertransfer kedalam bahasa sasaran. Selanjutnya, jika dilihat dari produk terjemahan yang dihasilkan maka penerjemah menerapkan teknik literal dan modulasi. Walaupun penerapan teknik yang

~ 522 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature dilakukan penerjemah ini tepat dan dapat mentransfer makna yang akurat dalam target teks, tetapi penerjemah kurang berhasil dalam membewa konteks yang dihasilkan oleh elemen- elemen ujaran yang tepat.

Kesulitan dalam mengidentifikasi dialek yang ditemukan dalam text Berbeda dengan analisis di atas, dalam paparan data berikut akan ditunjukkan masalah penerjemahan yang dihadapi oleh penerjemah terkait dengan adanya diglossia. Dalam hal ini masalah penerjemahan diglossia sangat terkait dengan penggunaan dialek.

Konteks : Tuturan yang diucapkan Cinta kepada Rangga di luar kelas ketika mereka melihat pertandingan basket.

ST : Kalau gue bilang tu ye, loe tu bener-bener sakit jiwa TT : Read my lips I thinks you are mentally ill

Pada ujuran diatas dapat dilihat bahwa ujaran dalam teks bahasa sumber bukan merupakan bahasa Indonesia yang standar atau baku. Akan tetapi, ujuaran dalam bahasa sumber merupaka sebuah dialek. Dalam menerjemahkan ujaran dari bahasa sumber kedalam bahasa sasaran, nampaknya penerjemah susah mengidenfifikasi bentuk variasi bahasa Indonesia yang dalam hal ini muncul dalam bentuk dialek. Penggunaan kata gue dan loe dalam bahasa sumber menunjukkan kedekatan antara partisipan. Selain itu penggunaan bentuk dialek dalam percakapan menunjukkan bahwa percakapan yang dilakukan antara kedua partisipan tersebut tidaklah formal. Selanjutnya, teknik penerjemahan yang digunakan penerjemah dalam menerjemahkan tuturan tersebut adalah teknik literal dan reduksi. Namun demikian, hasil terjemahan yang dihasilkan juga tidak sanggup membawa keutuhan makna. Oleh karena itu, hasil terjemahan dalam bahasa sasaran selain mengalami distorsi makna, kalimat dalam bahasa sasaran tersebut juga tidak memperhatikan penggunaan bentuk dialek.

Kesimpulan Dari paparan analisis diatas maka dapat disimpulkan bahwa ketika penerjemah menerjemahkan bentuk penggunaan bahasa dalam berinteraksi, penerjemah kurang memperhatikan masalah penerjemahan diglossia. Dalam penelitian ini, masalah penerjemahan diglossia ditunjukkan dengan penentuan konteks budaya dalam elemen-elemen ujaran dan kesulitan dalam mengidentifikasi dialek yang ditemukan dalam text. Selain itu, penerapan teknik yang tidak sesuai mengakibatkan hilangnya keutuhan pesan yang dibawa pada teks bahasa sumbernya.

DAFTAR REFERENSI

Baker, M. (1992). In other word: a course book on translation. London: Routledge Cintas, J.D. & Andermen, G. (2009) Audiovisual Translation. London : Macmillan. Larson, M. (1984). Meaning based translation: A guide to cross language equivalence. USA: University Press of America Machali, R. (2000). Pedoman bagi penerjemah. Jakarta: PT Grasindo. Monila, L and Albir, A.H. (2002). Translation techniques revisited: A dynamic and functionalist approach. Meta

~ 523 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Vol XLVII, No.4 Hal.498-512 Newmark, P. (1981). Approach to translation. Oxford: Pegamon Press. Ordudari, M. (2007). Translation procedures, strategies and methods. http://accurapid.com/journal/ 41culture. htm. diakses pada tanggal 8 Januari 2011 Shuttleworth, M and Cowie, M. (1997). Dictionary of translation studies. Manchester: St.Jerome Publishing. Sutopo, H.B. (2006). Penelitian kualitatif : Dasar teori dan terapannya dalam penelitian. Surakarta : Sebelas Maret University Press. Wardhaugh, R. (1998). An Introduction to Sociolinguistics. London:Blackwell

~ 524 ~ KATEGORI DAN VARIASI BAHASA GAUL REMAJA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLINGUISTIK PUNCA-USIA

Rani Siti Fitriani FKIP UNINUS Bandung Mahasiswi S-3 Linguistik Unpad [email protected]

ABSTRACT This paper will describe the phenomenon of adolescent language in sociolinguistics. Presentation is based on the subject of age as a factor in the choice of language. Age--such factors as gender, profession, social class, and geographical or ethnic origin--are factors that influence the differences in position and give rise to variations in the choice of language. The theory used in this paper comes from Kridalaksana (1989), Halliday (1993), Chambers (2003), Abdul Chaer (2004), and Wijana (2010). Issues discussed is the vocabulary used teen language are grouped in categories and variations. The data source is narrative adolescent respondents in the city with interview techniques, see, and record. Based on these results, the category and variations of slang are grouped into acronym, abbreviation, contractions, adoption, inversion, reinversi, and arbitrary, while based on variations in slang is divided into a variety of casual and a variety of intimate.

Keywords:slang, category, variety, and sociolinguistics

Pendahuluan Bahasa merupakan alat komunikasi untuk menyampaikan ide, gagasan, perasaan, dan pikiran penutur kepada mitra tutur. Bahasa berkembang secara dinamis dari waktu ke waktu dipengaruhi oleh perubahan sosial budaya juga perkembangan ilmu dan teknologi di masyarakat. Tak dapat dipungkiri banyak kosakata baru yang khas dan unik dituturkan oleh sekelompok masyarakat yang heterogen era globalisasi saat ini. Menurut Wijana (2010: 7) heterogenitas ini dapat bersumber dari berbagai faktor seperti individual, regional, maupun sosial. Di Indonesia, salah satu bahasa yang masuk dalam variasi atau ragam bahasa adalah bahasa gaul remaja atau disebut juga slang. Bahasa gaul remaja masuk ke dalam ragam bahasa sosiolek yaitu ragam bahasa yang dipengaruhi faktor sosial, terutama faktor umur. Dalam hal ini, tentu peranan faktor lainnya harus juga diakui tidak kalah dominannya di dalam menentukan eksistensinya. Faktor-faktor itu adalah ketidakformalan situasi pertuturan, emosi penutur, derajat keakraban para pemakainya, tujuan pertuturan, dan sebagainya (Wijana, 2010: 7). Para remaja umumnya menggunakan bahasa gaul dalam situasi nonformal atau situasi santai baik secara lisan ataupun tulisan. Dalam interaksi sosial baik di lingkungan rumah, sekolah atau kampus, dan tempat umum lainnya apabila kita simak dan perhatikan banyak remaja yang menggunakan beragam bahasa gaul. Menciptakan hubungan yang akrab tanpa jarak sosial antara penutur menjadi alasan dan tujuan mengapa bahasa gaul semakin banyak dituturkan para remaja. Penyebaran bahasa gaul berawal dari remaja yang tinggal di kota besar kemudian ke kota kecil yang terjadi secara langsung oleh penutur dengan tuturan langsung kepada mitra tutur baik tatap muka langsung ataupun menggunakan oleh alat komunikasi seperti handphone. Selain itu, dipengaruhi juga media sosial seperti Facebook, Whatsapp, Line, Twitter, Path, Instagram, radio, bahkan televisi memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perluasan bahasa gaul para remaja khususnya melalui program-program dan iklannya.

~ 525 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Misalnya, sinetron remaja yang menggunakan percakapan dengan bahasa gaul mudah sekali ditiru oleh penonton. Berbicara tentang bahasa remaja tidak terlepas dari pembicaraan usia sebagai faktor pilihan bahasa. Usia, sama seperti faktor jender, profesi, kelas sosial dan asal muasal geografis atau etnis, telah banyak diteliti dan dibahas sebagai faktor yang memengaruhi posisi kita dalam masyarakat dan bagaimana perbedaan posisi itu akan menimbulkan variasi pilihan bahasa. Perbedaan kosakata antarkelompok usia merupakan aspek yang paling mudah teramati dari hubungan bahasa dengan usia. Misalnya, bahasa Indonesia, dari pengalaman sehari-hari, kita bisa tahu bahwa ada banyak kosakata yang digunakan remaja—dengan bahasa gaulnya— kadang-kadang tidak dipahami oleh para orang tuanya. Kita juga dapat merasakan perbedaan diksi kelompok kanak-kanak dengan diksi remaja ketika mereka berbicara. Namun, ada perbedaan-perbedaan linguistis lain antarkelompok usia yang mungkin tidak tampak di permukaan. Yaitu, struktur dari bahasa yang mencerminkan cara sebuah budaya memandang dunia dan mencerminkan perbedaan-perbedaan yang dianggap penting oleh budaya itu. Dalam hal ini bahasa dianggap sebagai sarana untuk menyampaikan pesan budaya dan keyakinan budaya dari anggotanya di samping untuk mewariskannya dari generasi ke generasi (Thomas dan Wareing, 1999: 168—169). Bahasa Italia menggunakan pronomina tertentu untuk usia tertentu dari penutur dan lawan bicaranya. Contoh lainnya, penutur bahasa Sunda ketika berbicara dengan yang lebih tua; undak usuk atau tingkat tutur atau tingkatan bahasa yang terimplikasi dalam diksinya. Kita tidak dapat memungkiri bahwa usia membedakan cara berbicara. Hal itu juga merupakan salah satu dari karakteristik cara mengungkapkan penilaian usia dan diharapkan dapat membedakan satu kelompok usia dengan kelompok usia lain. Mengingat hal ini adalah relatif dibandingkan dengan bagian absolut yang memperlihatkan modulasi budaya dan sejarah, kita dapat membagi pola hidup ke dalam empat kelompok usia, yaitu usia kanak-kanak, remaja, dewasa, dan usia tua. Mereka berbeda satu sama lain dalam berbagai cara, terutama dalam hal penggunaan bahasanya. Setiap bahasa meliputi ungkapan, pengucapan kata-kata, dan konstruksi yang telah dipakai dalam jangka waktu yang lama; dan ungkapan, pilihan kata, dan konstruksi itu dipilih oleh penutur dari generasi yang berbeda dengan frekuensi yang berbeda pula. Lebih dari itu, ada bagian-bagian bahasa, lebih-lebih pada tataran leksikal dan sintaksis, yang dirasakan berbeda oleh para penutur yang “modern” dengan yang “kuno”. Keduanya mungkin digunakan untuk tujuan mengungkapkan “ide”—untuk memperolokkan “ketinggalan zaman”; untuk membuat suatu klaim “kedudukan”—menunjukkan bahwa kita mengikuti tren atau tidak mengikuti tren. Apapun alasannya, dikotomi “modern dan kuno” mengingatkan kita pada fakta bahwa suatu bahasa bukanlah suatu formasi monolitis yang dengan jelas dibedakan dari yang sekarang dan yang akan datang. Namun, suatu sistem yang berubah terus menerus atau yang permanen meliputi unsur-unsur dari ketahanan variabel bahasa. Pada setiap masa, ungkapan kuno tidaklah disediakan untuk penutur yang “berpandangan modern” atau “bahasa generasi tua” untuk orang muda. Memang, akan ada kecen­derungan ke arah itu seandainya para penutur yang lebih tua hanya mengetahui ungkapan yang kuno dan ungkapan yang modern identik dengan orang muda. Dalam konteks masa atau jangka waktu, tataran ekspresi linguistik antargenerasi terdapat perbedaan, tetapi di sisi lain akan ada persamaan. Gambar 1 menunjukkan bahwa sistem

~ 526 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature linguistik dari tiga generasi yang berurutan (Gn—Gn+2) terjadi tumpang-tindih, tetapi ada beberapa sisitem linguistik (D, seperti diksi) yang sudah meliputi setiap generasi tertentu. Oleh karena itu, masalah perbedaan linguistik antargenerasi bertalian erat dengan perbedaan pilihan bahasanya.

Fungsi Komunikatif Bahasa Gaul Jika menggunakan pendekatan determinasi sosial, maka ragam bahasa diregulasi oleh sosial. Diregulasi oleh sosial maksudnya adalah bahwa ragam bahasa dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial misalnya konteks sosial dan struktur sosial. Misalnya ketika bahasa dipengaruhi konteks sosial, dapat dilihat bahwa terdapat high variants dan low variants. High variants digunakan dalam konteks formal sebagai careful speech. Jika di Indonesia, maka dalam konteks formal bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia baku sedangkan low variants digunakan dalam konteks informal sebagai casual speech, yaitu dipakainya bahasa pergaulan sehari-hari dan tidak terlalu baku. Contoh lain bahasa dipengaruhi oleh struktur sosial adalah ketika seorang remaja berbicara kepada gurunya maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia baku, berbeda ketika ia berbicara kepada teman sebayanya dengan menggunakan bahasa gaul. Akan tetapi tidak hanya dipengaruhi oleh struktur sosial, menurut pendekatan determinisme linguistik, bahasa sebenarnya juga mempengaruhi bahkan membentuk struktur sosial. Nilai-nilai yang ditunjukkan melalui ragam bahasa yang dipakai adalah nilai- nilai sosial. Ragam bahasa yang dipakai juga menunjukkan ekspresi simbolik dari struktur sosial (Halliday, 1993: 156). Dalam hal ini, ragam bahasa tidak semata-mata bersifat sosial (mengandung nilai sosial, dan dipengaruhi konteks sosial), melainkan ragam bahasa yang dipakai juga menunjukkan ekspresi simbolik dari struktur sosial atau bisa disebut membentuk struktur sosial. Membentuk struktur sosial dalam hal ini adalah bahwa ragam bahasa yang digunakan oleh seseorang akan menempatkan ia pada suatu struktur tertentu dalam masyarakat, yaitu sebagai bagian dari suatu kelompok tertentu. Dalam penggunaan bahasa gaul, ketika seseorang menggunakan bahasa gaul tersebut, maka ia akan terstruktur menjadi bagian dari kelompok tertentu. Bagaimana bisa disebutkan bahwa bahasa gaul membentuk struktur bahasa gaul bagi para penuturnya? Hal ini dikarenakan ketika seseorang berbicara menggunakan bahasa gaul kepada temannya, maka secara otomatis ia dan temannya tersebut telah menggolongkan diri mereka sebagai kelompok remaja gaul yang berbeda dengan kelompok remaja gaul lainnya. Dikatakan berbeda dengan kelompok remaja lainnya karena tidak semua orang memahami setiap kosa kata yang dipakai dalam bahasa gaul kelompok tertentu, sehingga bagi mereka yang tidak mengerti bahasa tersebut, akan digolongkan sebagai kelompok di luar kelompok tertentu. Pembedaan ini terjadi akibat ketidakpahaman akan bahasa gaul dan ketidakpahaman ini terjadi karena fungsi komunikatif bahasa gaul hanya akan berlaku bagi masyarakat tutur bahasa gaul yaitu pada kelompok tertentu saja. Adapun menurut Wijana (2010: 113-119), terdapat enam fungsi komunikatif bahasa gaul yaitu,

1) Fungsi informatif, yaitu fungsi di mana bahasa gaul dimanfaatkan untuk menginformasikan sesuatu kepada lawan bicaranya. Misalnya, pada kalimat “Itu bukan rambutnya sendiri, dia itu Buchery” (Buchery artinya bule ngecet sendiri). 2) Fungsi direktif, yaitu fungsi di mana bahasa gaul digunakan untuk memaksa, menganjurkan, atau menyarankan lawan tuturnya untuk melakukan. Contohnya yaitu pada kalimat “Hei, pada cabut yok!” (artinya “mari kita pergi”). 3) Fungsi ekspresif, yaitu fungsi di mana bahasa gaul digunakan untuk mengungkapkan berbagai perasaan. Contohnya yaitu pada kalimat “Amrosy, nggak sengaja” (artinya “maaf, saya tidak sengaja).

~ 527 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

4) Fungsi komisif, yaitu fungsi di mana bahasa gaul digunakan untuk membuat janji atau sumpah. Contohnya yaitu pada kalimat “Suwer tak kewer-kewer” (artinya “sumpah”). 5) Fungsi fatis, yaitu fungsi di mana bahasa gaul digunakan untuk menjalin atau mengakhiri kontak/ percakapan dengan lawan bicaranya. Contohnya yaitu pada kalimat “Santi Suntoro” (artinya “sampai nantisee you tomorrow”). 6) Fungsi poetik, yaitu fungsi ketika bahasa gaul digunakan untuk membenuk tuturan yang indah, di mana secara fonologis membentuk ritme antara ekspresi dengan arti. Contohnya yaitu pada kalimat“Kolang- kaling dalam gelas” (artinya “calling-calling nggak jelas”). Tentu saja masih banyak fungsi komunikatif lain disamping keenam fungsi di atas, seperti merahasiakan, mengakrabkan, mengejek, melucu, dan sebagainya (Wijana, 2010: 113-119). Interpretasi nilai-nilai sosial yang ada dalam ragam bahasa oleh masing-masing kelompok sosial tidaklah sama karena nilai-nilai yang ada pada masing-masing kelompok sosial juga tidaklah sama. Bagi suatu kelompok, ragam bahasa yang digunakan mungkin merupakan bentuk bahasa yang memiliki prestise, namun bagi kelompok lain bisa jadi merupakan hal yang “konyol” (Halliday, 1993: 156).

Kategori dan Variasi Bahasa Gaul Remaja Bahasa remaja barangkali yang paling banyak diteliti dari semua variasi usia khusus. Fitur istimewa dari bahasa remaja sering dijadikan pembahasan. Di dalam banyak budaya fitur usia khusus di dalam bahasa remaja sangat mencolok. Pertanyaannya adalah ba­gai­mana fitur-fitur itu dapat diterangkan.­ Beberapa peneliti mengatakan bahwa sebuah register remaja yang berlainan akan membedakan bahasa-bahasa remaja dari bahasa anak-anak di satu sisi dan bahasa orang dewasa pada sisi lain (Coulmas, 2005). Dari beberapa penelitian yang sudah dilakukan ada beberapa fungsi dan fitur yang menandai ujaran remaja, seperti penggunaan bentuk-bentuk substandar, dialek dan vernacular (logat), serta bahasa slang dan inovatif yang memiliki tiga fungsi utama, yakni (1) menyediakan bahasa untuk tujuan pembicara sendiri, (2) memanifestasikan anggota kelompok untuk membangun satu identitas berbeda dengan kolompok lainnya, dan (3) menunjukkan keinginanan pembicara untuk menolak tekanan norma sosial (Widdicombe dan Wooffitt, 1995). Bahasa remaja juga adalah bahasa yang penuh inovasi—secara multimodal dan multimedia. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, para remaja lebih leluasa menggunakan interaksi beberapa sumber bahan dan daya semiotik (multimodal), seperti penggunaan bahasa (tulisan dan lisan) dalam telepon pintar dengan beragam fitur aplikasi pengolah kata dan gambar atau suara (multimedia). Berikut beberapa macam kategori bahasa gaul remaja.

1. Akronim membentuk singkatan dengan menggunakan huruf-huruf awal atau suku kata yang digabungkan dari frasa (1) krismon (krisis moneter) Gara-gara krismon, perusahaan orang tuanya gulung tikar. (2) boncan (bobo cantik) “Aku, mau bocan dulu ya Say.” (3) telmi (telat mikir) “Jadi orang jangan telmi gitu dong!” (4) gabimi (gak bisa mikir) “Ih ... Lu ya ... gabimi akut!” (5) kepo (kelakuan polisi)—seperti tugas polisi pada umumnya yang selalu bertanya-tanya “Soal mantan gue, Loe gak usah kepo deh!” (6) kepo (bahasa Hokkian, ke ‘bertanya’ dan po ‘nenek-nenek’)—nenek-nenek yang suka bertanya-tanya “Kepo banget sih ... terserah gue mau ke mana!”

2. Abreviasi yaitu pemendekan bentuk sebagai pengganti bentuk yg lengkap atau bentuk singkatan tertulis sebagai pengganti kata atau frasa. (1) ABG (Anak baru gede)

~ 528 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

Kedua abg itu terlihat sedang asyik makan ice cream. (2) GWS (Get Well Soon) “GWS Say, jangan lupa makan obatnya!” (2) Kepo (knowing every particular object)—seperti mau tahu saja. “Dih terserah mau gue... siapa lo? Kepo amat!”

3. Kontraksi yaitu pemendekan suatu kata, suku kata, atau gabungan kata dengan cara penghilangan huruf yang melambangkan bunyi di dalam kata tersebut. (1) tidak --- tak “Maaf, saya tak tahu masalah itu.” (2) kenapa --- napa “Napa kamu cemberut aja?”

4. Adopsi kata asing (1) Hoax --- berita bohong “Jangan mudah percaya hoax!” (2) Please --- tolong “Please sayang bantuin aku dong!” (3) cekidot --- silakan dilihat, terjemahan dari frasa “check it out”. “Please sayang bantuin aku dong!”

5. Inversi yaitu pembalikan pengucapan (1) Ucul --- lucu “Ih, kamu ucul banget sih hari ini.”

6. Reinversi yaitu gabungan dari reduplikasi dan pembalikan pengucapan (1) Misami --- sami-sami “Makasih udah bantuin ya,” “Misami”

7. Manasuka yaitu bebas semaunya (1) Bingit --- banget “Gue suka bingit.” (2) Mbekenyol --- kata untuk mengejek, jika ada hal yang absurd/aneh “Ih kamu mbekenyol banget sih.”

Ragam bahasa menurut Joos (1961) dibagi menjadi lima macam yaitu, beku (frozen), resmi (formal), konsultatif (consultative), santai (casual), dan akrab (intimate). Bahasa gaul adalah bahasa nonformal yang variasi bahasanya digunakan dalam ragam santai (casual) dan akrab (intimate). 1. Ragam santai (casual) (1) “Rempong banget sih kamu bawa barang banyak banget.” Rempong ‘repot’ (2) “Jangan curcol di sini dong!” Curcol ‘curhat colongan, curhat yang dilakukan bersamaan dengan hal lain yang tidak berhubungan secara langsung’ 2. Ragam akrab (intimate) (1) “Bro, jangan lupa nanti malem nelpon ya!” Bro kependekan dari brother ‘saudara laki-laki’ Padahal belum tentu mitra tutur adalah saudara laki-lakinya. (2) “Honey, maafin aku ya!” Honey ‘sayang’ Untuk membuat hubungan yang akrab antara penutur dan mitra tutur.

Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, kategori bahasa gaul dikelompokkan menjadi akronim; abreviasi; kontraksi; adopsi; inversi; reinversi; dan manasuka sedangkan berdasarkan variasi bahasa gaul dibagi menjadi ragam santai (casual) dan ragam akrab (intimate).

~ 529 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature REFERENSI

Chaer, Abdul & Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta. Chambers, J.K. 2003. Sociolinguistic Theory. Oxford: Blackwell Publishing. Coulmas, Florian. 2005. Sociolinguistics: The Study of Speaker’s Choices. Cambridge: Cambridge University Press. Gunarwan, Asim. 2003. ”Persepsi Nilai Budaya Jawa di Kalangan Orang Jawa: Implikasinya pada Penggunaan Bahasa” dalam PELBBA 16. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Halliday, M. A.K. 1993. “Towards o Language-Based Theory of Learning. Linguistics and Education 5. Kridalaksana, Harimurti. 1996. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Labov, Willam. 1972. Sosilinguistic Patterns. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. O’Halloran, Kay. I (Edior). 2004. Multimodal Discourse Analysis. London: Continuum. Thomas, Linda and Wareing, Shan (ed). 1999. Language, Society, and Power. New York: Routledge. Widdicombe, Sue and Robin Wooffitt. 1995. The Language of Youth Subcultures: Social Identity in Action. New York: Harvester Wheatsheaf. Wijana, I Dewa Putu. 2010. Bahasa Gaul Remaja Indonesia. Malang: Adytia.

Martin Jose (1967), Martin Jose (1967), Kridalaksana (1989), Halliday (1993), Chmabers (2003), Abdul Chaer (1972, 2004), dan Wijana (2010)

~ 530 ~ ANALISIS SATUAN NARATIF DALAM MITOS KURI DAN PASAI DALAM ETNIK WAMESA

Rinetha Stella Suabey Sastra Inggris – Universitas Papua Manokwari [email protected]

ABSTRAK Penelitian ini tentang kuri dan Pasai, mitos dari salah satu etnik di daerah Kabupaten Wondama propinsi Papua Barat. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk menganalisis satuan naratif dari mitos kuri dan pasai. Penelitian ini menunjukkan bahwa satuan naratif dari cerita ini terbagi menjadi empat bagian. Bagian pertama adalah pendahuluan cerita. Kemudian, bagian isi terdapat di bagian dua dan tiga, sedangkan bagian ke empat atau bagian terakhir cerita. Bagian Plot atau garis cerita dari Mitos Kuri dan Pasai adalah fungsi utama dari cerita ini. Dalam menganalisis satuan naratif, satian naratif yang mebgikat satuan cerita juga dianalisis. Dalam pengikat satuan –satuan tersebutterdapat pengikat untuk menyatakan penanda tempat, penanda waktu, introduksi tokoh, dan pelanjuttan cerita.

Kata kunci : Mitos dan satuan Naratif.

I. PENDAHULUAN Kabupaten Teluk Wondama merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Papua Barat, yang baru berdiri pada 12 April 2003 (Pemda, 2008: 3). Etnik Wamesa merupakan nama etnik asli yang mendiami daerah Kabupaten Teluk Wondama. Selain etnik Wamesa ada juga satu etnik asli lainnya, yaitu etnik Sough. Etnik Sough lebih banyak terdapat di daerah pegunungan Teluk Wondama dan di daerah pesisir sepanjang teluk ini yang didiami oleh sebagian besar etnik Wamesa. Salah satu jenis tradisi lisan yang berkembang di daerah Teluk Wondama adalah sastra lisan. Sastra lisan tersebut, baik berupa nyanyian, mitos rakyat, maupun mitos-mitos. Salah satu hasil sastra lisan yang menjadi pokok pembicaraan ini adalah mitos yang berupa prosa. Kebenaran mitos sering kali sulit diterima dan dipahami masyarakat karena kisah di dalamnya tidak masuk akal dan tidak sesuai dengan kehidupan sehari-hari. Namun, mitos juga sering kali dipegang sebagai sumber kebenaran, pegangan masyarakat karena nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya dianggap sakral. Menurut Barthes (2004:151) mitos adalah tipe wicara, mitos tidak ditentukan oleh objek pesannya, tetapi oleh cara mitos mengutarakan pesan itu sendiri. Mitos memiliki batas-batas formal, tetapi tidak begitu substansial. Segala objek di dunia ini dapat lolos dari suatu eksistensi yang diam atau tertutup menjadi eksistensi oral, yang terbuka untuk ditafsirkan oleh masyarakat. Hal itu terjadi sebab tidak ada hukum, baik alamiah maupun tidak, yang melarang orang berbicara tentang berbagai hal (Barthes 2004:152). Kembali berpijak pada awal paragraf tentang Kabupaten Teluk Wondama, pada kesempatan ini salah satu mitos yang cukup dikenal di Papua yang berasal dari Etnik Wamesa di daerah Teluk Wondama ini dibahas, yaitu mitos Kuri dan mitos lama tetapi sebagai wacana mitos Kuri dan Pasai ini juga dapat dikatakan mitos kontemporer bersifat diskontinu (Barthes, 2010:171). Namun, dalam kesempatan ini, mitos Kuri dan Pasai dibahas dari segi narasi yang ditelaah tentang satuan-satuan naratif yang membentuk mitos tersebut. Analisis satuan naratif di sini mengarah kepada satuan naratif dalam Nurgiyantoro (2010: 46) yaitu bahwa tiap satuan

~ 531 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature cerita juga disebut sekuen dapat terdiri dari sejumlah motif (satuan makna,biasanya berisi satu peristiwa) dalam kajian karya fiksi tiap satuan cerita dan motif diberi simbol-simbol atau notasi tertentu. Secara umum, penelitian ini diharapkan memberikan inspirasi dan mengungkapkan serta mengembangkan salah satu aspek kebudayaan Indonesia. Melalui penelitian ini diharapkan para pembaca dapat mengenal dan memahami serta mendapat sumbangan tentang kekayaan karya di Indonesia, dalam hal ini daerah Kabupaten Teluk Wondama. Penelitian ini juga sekaligus mendukung eksistensi kebudayaan nasional. Selain itu, tujuan umum penelitian ini adalah mengkaji satuan naratif dalam miyo Kuri dan Pasai. Secara teoretis, hasil penelitian diharapkan agar bermanfaat bagi upaya pengembangan studi ilmu sastra terhadap kebudayaan sastra lama, khususnya memperkaya sastra lisan dalam pandangan masyarakat terhadap nilai-nilai kebudayaan setempat. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan bahan ajar materi sastra Indonesia dan secara khusus sastra daerah Papua. Secara praktis konsep, gagasan atau nilai budaya yang terungkap melalui hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mampu memaknai kehidupan dalam masyarakat Papua dan kebudayaan nusantara pada umumnya. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi media informasi dan refleksi kehidupan masyarakat dan etnik asli Kabupaten Teluk Wondama.

2. Metode Penelitian Fokus penelitian ini adalah satuan naratif dalam mitos Kuri dan Pasai. jenis data yang dlihat adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh langsung dari informan yang kemudian ditranskripsikan. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Teluk Wondama, pengambilan data melibatkan tua-tua adat dan tokoh masyarakat. Data yang diperoleh dianalisis dengan melihat satuan naratif yang terdapat di dalamnya.

3. Pembahasan 3.1 Satuan Naratif Tiap satuan naratif atau satuan cerita juga disebut sekuen. Satuan naratif dapat terdiri atas sejumlah motif (satuan makna, biasa berisi satu peristiwa). Dalam kajian karya fiksi tiap satuan cerita dan motif diberikan simbol-simbol atau notasi tertentu (Nurgiyantoro, 2010:46). Satuan naratif berupa kumpulan episode yang ada di dalam mitos Kuri dan Pasai.

3.1.1 Peristiwa-peristiwa Peristiwa dapat diartikan sebagai peralihan dari suatu keadaan ke keadaan lain (Luxemburg dkk., 1984:150). Keseluruhan cerita Kuri dan Pasai secara runtun, membangun peristiwa-peristiwa sebagai berikut. 1) Cerita ini dimulai dengan pemaparan tentang kehidupan dua orang raksasa bernama Kuri dan Pasai bersama ibu dan adik perempuan mereka di hulu kali Wosimi. Ibu mereka bernama Isermase dan adik perempuan mereka Inggokubori. Di awal cerita ini juga disebutkan bahwa mereka adalah manusia besar atau raksasa yang mendiami kepala kali Wosimi dan bekerja sebagai pemburu dan petani.

1). Raksasa nine sandu kuri tutir Pasai, vavopa ma sumasoi tutiri siniani nana maria wosimi rawi wai. Terjemahannya: Dahulu kala hidup dua orang raksasa Kuri dan Pasai, bersama ibu mereka di hulu wosimi atau di udik kali wosimi.

~ 532 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

2.) Susiniami nei sanone Isermase mae sune neta katu nei sanone Inggokubari. Terjemahannya: Ibu mereka bernama Isermase dan mereka mempunyai adik yang bernama Inggokubari. 3.) Raria wura mamo sune nanaripi pasi verae wiadua verae vioromi. Terjemahannya: Pekerjaan mereka sepanjang hari hanya berburu dan bertani.

2) Pasai adalah seseorang yang senang berdansa dan memukul/memainkan tifa. Suatu hari Pasai duduk dan memainkan tifanya, Kuri mendengar bahwa bunyi suara tifa Pasai sangat indah maka Kuri penasaran dan menanyakan kepada Pasai. Pasai menipu Kuri dengan mengatakan bahwa tifa tersebut terbuat dari kulit manusia. Suara tifa akan lebih baik dan merdu kalau tifa tersebut dibuat dari kulit perut sang ibu. Kuri dengan mudah mempercayai Pasai. Ia pergi menemui ibunya untuk mengambil kulit perut sang ibu dan Kuri lalu menguliti kulit perut ibunya sampai ibunya mati. Melihat ibunya sudah meninggal Kuri marah kepada Pasai. Kemudian terjadi konflik yang besar di antara mereka. Dari perkelahian itu Kuri berlari ke arah timur dan Pasai berlari ke arah barat.

4.) Raria siri pa Pasai mesoi dono nie vivorotu nei. I ma ka sinotu vemajai, veroi, wemei voivorotu. Terjemahannya: Suatu hari Pasai sedang duduk dengan tifanya. Dia memang seorang yang gemar berdansa dan bernyanyi dan bermain tifa atau memukul tifa. 5.) Kuri dediauwama viworotu pai vesieveito apa duta Pasai. “awoka viworotupai buonitutir vito nina” Terjemahannya: Kala Kuri mendengar bunyi tifa itu sangat merdu Kuri bertanya “Kulit apakah yang kau pakai di tifa itu” 6.) Pasai dojo “ joni nanasane rawa siniotu” Terjemahannya: Kata Pasai “ saya buat dengan kulit perut manusia” lanjut Pasai 7.) “mae sane neireto nienei bieba vawo, nai dete to diadiwa” Terjemahannya: “ Kalau mama punya kulit perut besar, jadi nanti bagus sekali” 8.) Kuri dediawa Pasai kievopa to manau, riara so siniani. Terjemahannya: Setelah Kuri mendengar ucapan Pasai, Kuri pergi menemui ibunya. 9.) “mai sumajai wuata na nine, awe jo ikor sanmu ne ve jiton ine viworotu nei. Pasai dojo nomunei ma dete. Terjemahannya: ” Mama naiklah disini, saya mau mengambil kulit perut mama untuk membuat tifa untuk ku, dengan perut mama nanti lebih bagus”. 10.) Ava ka kiak siniani sane pai to manau ma, sejoma siniani ka wioru, awori tiendor ka manau. Kuri dinggasou Pasai, aso Pasai dawini Kuri mu siniani pana. Terjemahannya: Lalu Kuri mulai menguliti kulit perut ibunya. Tidak berselang beberapa waktu Kuri terkejut ibunya sudah mati. Akhirnya menjadi marah dan terjadilah perkelahian dahsyat antara Kuri dan Pasai. 11.) Kuri tutir Pasai sumu sandu apavo Kuri viewu rawa wor nei siane,mae ka Pasai viewu rawa wor nei tiawa ne. Terjemahannya: Dari perkelahian kedua raksasa itu Kuri berlari ke arah timur dan Pasai berlari ke arah barat. 3) Kuri berlari ke arah timur dan Pasai berlari ke arah barat. Kuri menyusuri teluk dan sampailah di tempat hidup orang-orang kerdil. Sesampainya di tempat itu, orang-orang kerdil menipu Kuri dan mengambil hati Kuri. Akibatnya Kuri mati di tangan mereka, tetapi ia bangkit kembali. Kuri marah dan mengutuk mereka. Kemudian Kuri melanjutkkan perjalanannya menuju terus ke arah timur. Kuri berlari ke timur hingga sampailah di daerah Waropen.

12.) Kuri viewu usar raimu nei ma, viewu ma so uta uta kora-kora ne semasoi na ne.

~ 533 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Terjemahannya: Kuri menyusuri teluk ini dan sampailah dia di tempat dimana hidup orang-orang kerdil. 13.) Kuri viewu usar raimu nei ma, viewu ma so uta uta kora-kora ne semasoi na ne. Kuri viewu ma siejo ma koma kora-kora ne sia sema soi seta amor ateni ni na. Avawo siau na sia ka metona esa jotan esa te? Seton katu esa soi e ka dotan. Ama wie rasa ma ete to diadiwa. Terjemahannya: Sesampainya Kuri di tempat orang-orang kerdil, dia melihat mereka sedang makan. Lalu ia bertanya “kamu makan apa berikan sedikit untuk saya makan?” Mereka memberinya sedikit untuk dimakan dan rasanya enak sekali. 14.) Pi kora-kora setona dan nesi ka vierasa dete ,pa duta “awo ka viewieta ninei ka witonina?kora kora setawi Kuri setojo. “ma viamata nei ma ateni siniotu.”Apawo nomu vedaima bueba pa nai bieba ee deteto diadi wa. Terjemahannya: Makanan yang diberikan kaum kerdil ini ketika dimakan rasanya enak sekali. Dia bertanya “barang apa ini?” Jawab orang kerdil “ini adalah hati manusia”, tetapi yang dimakan mereka adalah hati lao-lao. Mereka menipu raksasa, Kuri. 15.) Setajaso Kuri nomu neima vieba pawo nai dete to, so bueba pana. Terjemahannya: Mereka berkata kepada Kuri “kau punya pasti lebih enak karena engkau tinggi dan besar” 16.) Kuri doja so sia, “amamo ine nei menggaki we menggori tatani menggori tutir witonina?” “Tutir kandai” Terjemahannya: Kuri berkata kepada mereka ” kalau begitu kamu ambil yang saya punya, tetapi pakai apa? “nanti ambil pakai duri rotan” 17.) Kuri tiebari viata, kora-kora ne sia sesosar kandai na sama kambreipai. Ditanara viesawa wue tahan. Terjemahannya: Kuri berbaring lalu manusia kerdil mulai memasukkan duri rotan pada duburnya. Ia berteriak karena sakit. Kata mereka tidak apa tahan saja. 18.) Kora kora pa sia se so sar kandai pai to, ka masa Kuri di vorua. Manau setaratu waraka umaja nei senggori wa pai setivawuri. Terjemahannya: Kaum kerdil memasukkan duri rotan ke dubur raksasa Kuri hingga ia mati. Lalu mereka memotong ibu jari kaki dan ibu jari tangan dan menaikkan ke perahu, tetapi perahu tenggelam. Mereka melemparkan jari kaki dan tangan lalu hendak bergerak meninggalkan raksasa itu. 19.) Kuri tiendor ma kora-kora pasiana wa pai je na rarau setimbawuri . A pa dosamajaj dimbe kutuk sia veivea.Miama sa mebaba naika metojana jana weiwea. To manau we Kuri ditosae din da. Terjemahannya: Kuri bangkit, tetapi dia melihat kaum kerdil meluncur laju dengan perahu ke laut, maka raksasa Kuri mengutuk mereka. Kamu akan tinggal seperti itu saja. Kemudian Kuri melanjutkkan perjalanannya menuju terus ke arah timur.

20.) Kuri terus berlari ke arah timur dan karena marahnya ia mencabut bambu dari tanah Waropen dan melempari Pasai di daerah Wondama, sedangkan Pasai mencabut pohon sagu dari Wondama dan melempari Kuri di daerah Waropen. Kemudian Kuri melanjutkan pelariannya terus ke arah timur hingga kini tak diketahui di mana rimbanya. Pasai terus berlari ke arah barat. Kuri dan Pasai pergi dan mereka berjanji akan kembali.

20.) Kuri viewu rama so waropen, kiesioupa piati sasa pa sinana Waropen ditisa vera Pasai Wondama. Pasai piati ana pasi na Wondama ditisa Kuri nana Waropen ka manau pa Kuri di wawu turus tar rawa wor nei siane. Terjemahannya: Kuri berlari ke timur hingga sampailah ia di daerah Waropen. Karena marahnya, ia mencabut bambu dari tanah Waropen dan melempari Pasai di daerah Wondama (sampai sekarang terbukti di daerah Teluk Wondama banyak terdapat bambu. Sebaliknya, Pasai mencabut pohon sagu dari Wondama dan melempari Kuri di daerah Waropen (hingga saat ini tanah Waropen terbukti mempunyai dusun sagu yang sangat luas dan besar). Kemudian Kuri

~ 534 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

melanjutkan pelariannya terus ke arah timur hingga kini tak diketahui di mana rimbanya. 21.) Kuri tutir Pasai sumbawu sumbe janji nai susovere vape rariria pai ma sunduiniva. Terjemahannya: Kuri dan Pasai pergi dan mereka berjanji akan kembali.

3.1.2 Pengikat Satuan Naratif Adapun dalam rangkaian peristiwa-peritiwa atau satuan-satuan di atas terdapat penanda- penanda yang berfungsi sebagai pengikat satuan naratif, antara lain adalah sebagai berikut.

3.1.2.1 Penanda Tempat. 1.) Raksasa nine sandu kuri tutir Pasai, vavopa ma sumasoi tutiri siniani nana maria wosimi rawi wai. Terjemahannya: Dahulu kala hidup dua orang raksasa Kuri dan Pasai, bersama ibu mereka di hulu wosimi atau di udik kali wosimi. 4.) Raria siri pa Pasai mesoi dono nie vivorotu nei. I ma ka sinotu vemajai, veroi, wemei voivorotu. Terjemahannya: Suatu hari Pasai sedang duduk (halaman rumahnya) dengan tifanya. Dia memang seorang yang gemar berdansa dan bernyanyi dan bermain tifa atau memukul tifa. 11.) Kuri tutir Pasai sumu sandu apavo Kuri viewu rawa wor nei siane,mae ka Pasai viewu rawa wor nei tiawa ne. Terjemahannya Dari perkelahian kedua raksasa itu Kuri berlari ke arah timur dan Pasai berlari ke arah barat. 12.) Kuri viewu usar raimu nei ma, viewu ma so uta uta kora-kora ne semasoi na ne. Terjemahannya: Kuri menyusuri teluk ini dan sampailah di tempat hidup orang-orang kerdil. 20.) Kuri viewu rama so waropen, kiesioupa piati sasa pa sinana W aropen ditisa vera Pasai W ondama. Pasai piati ana pasi na W ondama ditisa Kuri nana W aropen ka manau pa Kuri di wawu turus tar rawa wor nei siane. Terjemahannya: Kuri berlari ke timur hingga sampailah ia di daerah Waropen. Karena marahnya, ia mencabut bambu dari tanah Waropen dan melempari Pasai di daerah Wondama (sampai sekarang terbukti di daerah Teluk Wondama banyak terdapat bambu. ( lihat data 20)

Dari kutipan data 1, 4, 11, 12 dan 20 di atas dapat dilihat bahwa, kalimat tersebut menunjukkan suatu penanda tempat, di mana di dalam kalimat tersebut menjelaskan tentang nama tempat. Misalnya, dalam kutipan 1 dikatakan bahwa kedua raksasa Kuri dan Pasai hidup di kali Wosimi. Kemudian,dalam kutipan 4 dikatakan bahwa Pasai sedang duduk di halaman rumah mereka. Selanjutnya, dikatakan dalam kutipan 11 yaitu Kuri berlari ke arah timur dan Pasai lari kearah barat. Dalam kutipan 12 Kuri menyusuri teluk

3.1.2.2. Penanda W aktu Dari kutipan nomor empat (4) diatas bisa dilihat adanya penanda waktu : “Raria siri pa Pasai mesoi …..” dalam terjemahan bahasa Indonesia Raria siri pa artinya Suatu hari Pasai sedang duduk dengan tifanya. Dia memang seorang yang gemar berdansa dan bernyanyi dan bermain tifa atau memukul tifa.

3.1.2.3. Introduksi tokoh Dari kutipan data satu (1), dua (2) dan empat (4) ditemukan pula adanya introduksi mengenai tokoh/karakter di dalam mitos Kuri dan Pasai ini. Salah satu contoh : “Raksasa nine sandu Kuri tutir Pasai Terjemahannya: Dahulu kala hidup dua orang raksasa Kuri dan Pasai. Kedua, nama Ibu dan adik kedua raksas tersebut “Susiniami nei sanone Isermase mae

~ 535 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature sune neta katu nei sanone Inggokubari Terjemahannya; Ibu mereka bernama Isermase dan mereka mempunyai adik yang bernama Inggokubari. Di data nomor empat , disitu dijelaskan kegemaran Pasai hal ini menjelaskan juga tentang tor koh/karakter yang ada di dalam cerita mitos Kuri dan Pasai.

3.1.2.4. Pelanjutan Cerita Penanda pelanjutan cerita ini dapat ditemukan pada data lima pada kata “ Kuri dediauwama “ artinya “Kala Kuri” (lihat data no. 5). Kemudian , dari data no delapan (8) “Kuri dediawa artinya “Setelah Kuri (lihat data no. 8). Pada data nomor sepuluh(10) “Ava ka kiak siniani sane pai to manau mae ” artinya “ Lalu Kuri mulai menguliti kulit perut ibunya” (lihat data no. 10). Ditemukan juga pada data tiga belas (13) yang menyatakan “ Kuri viewu usar raimu nei ma” yang berarti “ Sesampainya Kuri “ (lihat data 13). Kata yang menunjukkan pelanjutan suatu cerita dapat dilihat dari kata “ Kala, setelah itu, lalu dan sesampainya, kata- kata tersebut merupakan pelanjutan dari cerita yang menyebabkan peristiwa berikutnya. Kata- kata tersebut membawa cerita ini mengarah kepada klimaks mitos tersebut.

4. Simpulan Dalam analisis mitos Kuri dan Pasai satuan cerita mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi utama dan fungsi katalisator. Satuan cerita sebagai fungsi utama adalah fungsi menentukan jalan cerita (plot), sedangkan sebagai katalisator berfungsi menghubungkan jalan-jalan cerita tersebut. Dalam cerita ini satuan cerita terbagi menjadi empat bagian. Bagian pertama merupakan pemaparan tentang pendahuluan dalam cerita. Kemudian bagian isi, yang terdapat dalam bagian dua dan tiga, sedangkan bagian keempat merupakan akhir dari cerita. Bagian-bagian tersebut membentuk plot atau alur dari cerita mitos Kuri dan Pasai tersebut yang memiliki fungsi utama dalam cerita. Dalam analisis satuan naratif juga dianalisis satuan naratif dalam cerita yang mengikat satuan-satuan cerita tersebut. Di dalam pengikat satuan-satuan itu terdapat pengikat untuk menyatakan penanda tempat, penanda waktu, introduksi tokoh, dan pelanjutan cerita dalam mitos tersebut. Keempat pengikat tersebut memiliki fungsi sebagai katalisator dalam cerita.

DAFTAR PUSTAKA

Barthes, Roland. 2004. Mitologi (Terjemahan Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana. ______. 2010. Imaji/Musik/Teks; Esai-esai Terpilih dan Disunting oleh Stephen Heath (Agustinus Hartono, Pentj). Yogyakarta: Jalasutra. Luxemburg, Jan van (dkk). 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia. Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Pemerintah Daerah Teluk Wondama. 2008. Teluk Wondama Gerbang Peradaban Papua. Teluk Wondama: Pemda.

~ 536 ~ PHONEMIC ASSIMILATION OF DAYAK NGAJU LANGUAGE

Ristati Palangka Raya University [email protected]

ABSTRACT This study aims to describe the process of phonemic assimilation based on the place of phoneme which is assimilated and explain the rules that govern the assimilation process in Dayak Ngaju language. Assimilation is one of the morphophonemic types that can be seen through affixation. Dayak Ngaju language has prefix that can be attached to the face of the basic morpheme or word so many phonological changes occur. The theory is used to analyze the data in this study is Generative Phonology which refers to distinctive features. Based on the results of data analysis, phonemic assimilation process in Dayak Ngaju language contains progressive phonemic assimilation and regressive phonemic assimilation, while the rules that govern the phonemic process in the morphophonemic phenomenon with nasal phoneme /N/ is the phoneme change and phoneme deletion. The process of nasal phonemes change, namely (1) / N / / m / / ___ + / p, b /, (2) / N / / n / / ____ + / t, d, c, j /, (3 ) / N / / ñ / / ___ + / s /, (4) / N / / η / / ___ + / k, g /, and phoneme deletion process (5) /N /Ø / ___ + / i, e, a, o, u, m, w, n, l, r, y, h / Keywords: Phonemic Assimilation, Dayak Ngaju Language

PENDAHULUAN Keanekaragaman bahasa daerah di Indonesia mencerminkan kekayaan budaya nasional yang perlu dijaga dan dilestarikan di tengah masyarakat penuturnya. Salah satu bahasa daerah yang harus dilestarikan adalah bahasa Dayak Ngaju yang merupakan bahasa mayoritas di Kalimantan Tengah. Bahasa ini sebagai bahasa lingua franca bagi masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah. Bahasa Dayak Ngaju juga diajarkan di sekolah-sekolah dasar sebagai mata pelajaran muatan lokal. Mengingat pentingnya bahasa Dayak Ngaju maka kajian dalam makalah ini akan bergerak di bidang mikro, yaitu pada tataran fonologi yang membahas tentang proses asimilasi fonemis beserta kaidah-kaidah yang mengaturnya. Teori yang digunakan untuk menganalisis data adalah teori fonologi generatif.

PEMBAHASAN Asimilasi Fonemis Asimilasi adalah proses penyamaan/penyesuaian bunyi atau fonem. Artinya dua buah bunyi yang berbeda saling berdekatan cenderung saling memengaruhi sehingga terjadi proses penyamaan/penyesuaian bunyi (Kridalaksana, 2008). Berdasarkan sifatnya asimilasi terbagi menjadi dua, yaitu (1) asimilasi parsial dan (2) asimilasi total. Asimilasi parsial terjadi bila kedua fonem yang disamakan itu hanya disamakan sebagian, sedangkan asimilasi total terjadi bila dua fonem yang disamakan itu dijadikan serupa. Berdasarkan tempat bunyi yang diasimilasikan, ada yang secara progresif, regresif, dan resiprokal. Secara progresif apabila bunyi yang diasimilasikan terletak sesudah bunyi yang mengasimilasi, secara regresif jika bunyi yang diasimilasikan berada sebelum bunyi yang mengasimilasi. Asimilasi resiprokal merupakan asimilasi yang terjadi jika bunyi saling mengasimilasikan sehingga menimbulkan bunyi baru/fonem (Muslich, 2012:119).

~ 537 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Asimilasi fonemis bahasa Dayak Ngaju dapat dilihat berdasarkan proses morfologisnya. Proses morfologis yang dimaksud adalah afiksasi. Afiks yang terdapat dalam bahasa Dayak Ngaju adalah prefiks. Bahasa ini cenderung tidak memiliki sufiks dan ini merupakan ciri bahasa-bahasa di Indonesia bagian timur (Donohue, 2007). Prefiks yang terdapat dalam bahasa Dayak Ngaju tersebut dalam membentuk suatu kata atau morfem menimbulkan terjadinya proses fonologis. Terjadinya proses fonologis tidak hanya disebabkan oleh lingkungan bunyi yang ada di sekitarmya, tetapi dapat terjadi karena perbatasan morfologi (Pastika, 2004:1). Proses fonologis yang menimbulkan perubahan bunyi/fonem yang disebabkan oleh pertemuan antarmorefem yang membentuk kata merupakan gejala morfofonemik.

Teori Fonologi Generatif Teori fonologi generatif adalah teori fonologi dalam aliran transformasi generatif yang memperlakukan ciri pembeda sebagai satuan terkecil dan menghubungkan ciri-ciri pembeda dan leksikon dengan kaidah-kaidah fonologis. Melalui fitur-fitur pembeda dapat diketahui persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan segmen-segmen yang ada dalam satu bahasa (Hyman, 1975:42-51). Dalam bahasa Dayak Ngaju terdapat 15 fitur pembeda untuk menjelaskan karakteristik segmen-segmennya. Kelima belas fitur pembeda yang digunakan di sini mengikuti pola Chomsky dan Halle (1968) (dalam Hyman, 1975:42-51) yang meliputi (1) fitur kelas utama: silabis, sonoran, dan konsonantal; (2) fitur titik artikulasi: anterior dan koronal; (3) fitur badan lidah: tinggi, rendah, belakang, dan bulat, (4) fitur cara artikulasi: kontinuan, nasal, lateral, dan stiden; (5) fitur tambahan: suara dan tegang.

Asimilasi Fonemis Bahasa Dayak Ngaju Berdasarkan hasil analisis data ditemukan ada dua tipe asimilasi fonemis bahasa Dayak Ngaju, yaitu (1) asimilasi fonemis secara progresif dan (2) asimilasi fonemis secara regresif. Di bawah ini dipaparkan data bahasa yang dianalisis dengan teori fonologi generatif.

Data 1 (a) Bentuk asal #maN- + pisik# Perubahan [ N ] #mam- + pisik# Bentuk turunan mampisik ‘membangunkan’

(b) Bentuk asal # maN- + bisa# Perubahan [ N ] # mam- + bisa# Bentuk turunan mambisa ‘membasahi’

Pada data 1 di atas terlihat bahwa bunyi konsonan [ p ] yang memiliki fitur [+ant., -bers] dan [ b ] dengan fitur [+ant., +bers.] mengasimilasi ciri-ciri konsonan nasal [ N ] yang menyebabkan terjadi perubahan bunyi nasal [ N ] menjadi [ m ] dengan fitur [+nas., +ant.]. Segmen /m/ merupakan segmen yang sehomorgan dengan segmen /p/ dan /b/. Proses asimilasi yang terjadi adalah asimilasi regresif yang bersifat parsial. Kaidah yang dapat dibuat dalam proses tersebut adalah [ N ] [ m ] / _____ + { [ p, b ] } bunyi nasal [ N ] mengalami perubahan menjadi bunyi nasal anterior jika berada pada posisi sebelum bunyi [p, b].

Data 2 (a) Bentuk asal #maN- + tambah# Perubahan [ N ] #man- + tambah# Pelesapan [ t ] #man- + Øambah# Bentuk turunan manambah ‘menambah’

~ 538 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

(b) Bentuk asal #maN- + dinun# Perubahan [ N ] #man- + dinun# Bentuk turunan mandinun ‘menemukan’

(c) Bentuk asal #maN- + culup# Perubahan [ N ] #man- + culup# Bentuk turunan manculup ‘mencelupkan’

(d) Bentuk asal #maN- + jual# Perubahan [ N ] #man- + jual# Bentuk turunan manjual ‘menjual’

Pada data 2 di atas terlihat bahwa bunyi konsonan [ t ] dengan fitur [+kor., +ant., -bers.], bunyi konsonan [ d ] dengan fitur [+kor., +ant., +bers.], bunyi konsonan [ c ] dengan fitur [+kor., -ant., -bers.], dan bunyi konsonan [ j ] dengan fitur [+kor., -ant., +bers.] mengasimilasi ciri-ciri konsonan nasal [ N ] yang menyebabkan terjadinya perubahan bunyi [ N ] menjadi bunyi [ n ] yang memiliki fitur [+nas., +ant., +kor]. Segmen /n/ merupakan segmen yang sehomorgan dengan segmen /t/, /d/, /c/, dan / j/ yaitu pada ciri daerah artikulasi koronal. Proses fonologis yang terjadi adalah asimilasi regresif yang bersifat parsial di mana prefiksman - merupan alomorf dari maN-. Akan tetapi pada morfem manambah ‘menambah’ terjadi asimilasi progresif bersifat total dan terjadi kaidah berurutan yang diawali dengan perubahan bunyi [ N ] kemudian diikuti dengan pelesapan segmen /t/ yang merupakan segmen hamba tak bersuara. Kaidah yang dapat dibuat pada proses tersebut adalah bunyi nasal [ N ] [ m ] / _____ + { [ t, d, c, j ] } bunyi nasal [ N ] mengalami perubahan menjadi bunyi nasal anterior [ m ] jika diikuti oleh bunyi [t, d, c, j ]. Pada kaidah berurutan, setelah terjadi asimilasi diikuti pelesapan [ t ] dengan kaidah [ t ] Ø/ _____ + V bunyi [ t ] menjadi lesap apabila didahului oleh bunyi nasal [ n ] dengan fitur [+nas., +ant., +kor.] dan diikiti oleh bunyi vokal [ i, e, a, o, u].

Data 3 (a) Bentuk asal #IN- + kesah# Perubahan [ N ] #Iη- + kesah# Pelesapan [ k ] #Iη- + Øesah# Bentuk turunan iηesah ‘diceritakan’

(b) Bentuk asal #maN- + gau# Perubahan [ N ] #maη- + gau# Bentuk turunan manggau ‘mencari’

Pada data 3 di atas terjadi proses perubahan bunyi [ N ] menjadi bunyi nasal [ η ] dengan fitur [+nas., +bel]. Perubahan ini terjadi karena bunyi [ k ] dengan fitur [+bel., -bers.,] dan bunyi [ g ] dengan fitur [+bel., +bers.,] mengasimilasi ciri-ciri artikulasi [ N ] menjadi [ η ]. Bunyi [ η ] merupakan bunyi yang sehomorgan dengan bunyi [ k, g]. Pada kata iηesah terdapat kaidah berurutan, diawali dengan perubahan [ N ] menjadi [ η ] kemudian diikuti dengan pelesapan bunyi [ k ]. Proses asimilasi fonemis yang terjadi pada kata iηesah adalah asimilasi progresif yang bersifat total. Sementara itu, proses asimilasi yang terjadi pada kata maηgau adalah asimilasi regresif yang bersifat parsial. Kaidah yang dapat dibuat pada proses tersebut [ N] [η] / ____ + { [ k, g ] }bunyi [ N ] menjadi bunyi nasal belakang [ η ] apabila diikuti oleh bunyi- bunyi +anterior +koronal [ k, g ]. Pada kaidah berurutan, setelah terjadi asimilasi kemudian diikuti oleh pelesapan bunyi tak bersuara [ k ] dengan kaidah [ k ] Ø / ______+ V. Kaidah

~ 539 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature tersebut menjelaskan bunyi [ k ] menjadi lesap apabila didahului oleh bunyi [ η ] dengan fitur [+nas., +ant., +kor.] dan diikuti oleh bunyi vokal [ i, e, a, o, u] atau berada pada posisi di antara bunyi nasal [ η ] dan bunyi vokal.

Data 4 Bentuk asal #maN- + supa# Perubahan [ N ] #mañ- + supa# Pelesapan [ s ] #mañ- + Øupa# Bentuk turunan mañupa ‘menemui’

Data 4 di atas mendeskripsikan terjadi proses di mana bunyi konsonan [ s ] dengan fitur [+ant., +kor., +kont.] memengaruhi ciri-ciri konsonan [ N ] sehingga terjadi asimilasi [ N ] menjadi [ ñ ] dengan fitur [+nas., +kor., -ant. ]. Pada proses ini terjadi keselarasan bunyi, yakni pada fitur +koronal. Proses asimilasi yang terjadi adalah asimilasi fonemis progresif yang bersifat total. Kaidah berurutan yang dapat dibuat pada proses tersebut adalah perubahan bunyi [ N ] [ ñ ] / ____ + { [ s ] }bunyi nasal [ N ] menjadi bunyi nasal palatal [ ñ ] apabila diikuti oleh bunyi frikatif [ s ]. Pada kaidah berurutan, setelah terjadi asimilasi diikuti dengan bunyi [ s ] Ø/_____ + V. Kaidah tersebut menjelaskan bunyi [ s ] menjadi lesap apabila didahului oleh bunyi [ ñ ] dan diikuti oleh bunyi vokal atau berada pada posisi di antara bunyi nasal [ ñ ] dan bunyi vokal.

Data 5 (a) Bentuk asal #maN- + agah# Pelesapan [ N ] # maØ + agah# Bentuk turunan maagah ‘mengantar’

(b) Bentuk asal #maN- + imbit# Pelesapan [ N ] #maØ + imbit# Bentuk turunan maimbit ‘membawa’

(c) Bentuk asal #maN- + ukur# Pelesapan [ N ] #maØ + ukur# Bentuk turunan maukur ‘mengukur’

(d) Bentuk asal #IN- + etun# Pelesapan [ N ] #IØ + etun# Bentuk turunan Ietun ‘digendong’

(e) Bentuk asal #maN- + obat# Pelesapan [ N ] #maØ + obat# Bentuk turunan maobat ‘minum obat-obatan’

(f) Bentuk asal #maN- + misi# Pelesapan [ N ] #maØ + misi# Bentuk turunan mamisi ‘memancing’

(g) Bentuk asal #maN- + watas# Pelesapan [ N ] #maØ + watas# Bentuk turunan mawatas ‘membatasi’

(h) Bentuk asal #IN- + nasehat# Pelesapan [ N ] #IØ + nasehat# Bentuk turunan Inasehat ‘dinasehati’

~ 540 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

(i) Bentuk asal #maN- + rampas# Pelesapan [ N ] #maØ + rampas# Bentuk turunan marampas ‘merampas’

(j) Bentuk asal #maN- + lapas# Pelesapan [ N ] #maØ + lapas# Bentuk turunan malapas ‘melepaskan’

(k) Bentuk asal #maN- + yakin# Pelesapan [ N ] #maØ + yakin# Bentuk turunan mayakin ‘meyakini’

(l) Bentuk asal #maN- + haga# Pelesapan [ N ] #maØ + haga# Bentuk turunan mahaga ‘menjaga’

Data 5 di atas mendeskripsikan terjadi proses di mana bunyi-bunyi vokal dan konsonan [ m, w, n, r, l, y] dan [ h ] dengan fitur [+son.,] dan [+kont.,+ren.] memengaruhi ciri-ciri konsonan [ N ] sehingga terjadi asimilasi [ N ] menjadi lesap. Bunyi vokal bawah [ a ] pada prefiks ma- memiliki keselarasan fitur [+son.] dengan bunyi vokal awal dan konsonan awal pada kata-kata yang terdapat pada data 5. Pertemuan antarmorfem yang membentuk kata, khususnya pada bunyi [ a ] pada prefiks ma- dan bunyi vokal awal pada morfem imbit, etun, agah, obat, dan ukur disisipi bunyi glotal stop [ ? ] pada saat dilafalkan, seperti ma?imbit ‘membawa’, itulah sebabnya mengapa bunyi [ N ] harus dilesapkan. Kasus serupa juga terjadi pada pertemuan antarmorfem ma- dan bunyi konsonan awal [ m, w, n, r, l, y, h ] pada morfem dasar misi, watas, nasehat, rampas, lapas, yakin, dan haga. Jika proses pelesapan [ N ] tidak terjadi maka akan menimbulkan kesulitan dalam mengucapkan kata-kata tersebut akibat munculnya gugusan konsonan yang tidak terdapat dalam bahasa Dayak Ngaju. Proses asimilasi yang terjadi adalah asimilasi fonemis regresif yang bersifat parsial. Kaidah yang dapat dibuat pada proses tersebut adalah [ N ] Ø / _____ + { [ i, e, a, o, u, m, w, n, r, l, y, h ]. Kaidah tersebut menyatakan bahwa bunyi nasal [ N ] menjadi lesap apabila diikuti oleh bunyi-bunyi [ i, e, a, o, u, m, w, n, r, l, y, h ].

SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data bahasa Dayak Ngaju dengan teori fonologi generatif, ditemukan dua tipe asimilasi berdasarkan tempat bunyi/fonem yang diasimilasikan, yaitu (1) asimilasi fonemis regresif yang bersifat parsial /N/  /m/ /____ + /p, b/, /N/  /n/ /______+ /d, c, j/, /N/  /η/ /____ + /g/, /N/  /Ø/ /____ + / i, e, a, o, u, m, w, n, r, l, y, h/ dan (2) asimilasi fonemis progresif bersifat total yang diikuti oleh kaidah berurutan /N/  /η/ /_____ + /k/ kemudian diikuti dengan kaidah /k/  Ø, /N/  /n/ ______+ /t/ kemudian diikuti dengan kaidah /t/  Ø, /N/  /ñ/ /____ + /s/ kemudian diikuti dengan kaidah /s/  Ø.

DAFTAR PUSTAKA

Donohue, Mark. 2007. Austronesian Unity, Austronesian Diversity: the Change from West to East in Indonesia. (Makalah Seminar Internasional Bahasa Austronesia Universitas Udayana). Denpasar: Universitas Udayana.

Hyman, Larry M. 1975. Phonology Theory and Analysis. USA: Rinehart and Winston.

~ 541 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Muslich, Masnur. 2012. Fonologi Bahasa Indonesia. Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

Pastika, I Wayan. 2004. Proses Fonologi Melampaui Batas Leksikon. Linguistika No. 20 Vol. II Maret 2004. Denpasar: Program Studi Magister dan Doktor Linguistik Universitas Udayana.

~ 542 ~ BENTUK DAN MAKNA TUTURAN DALAM RITUAL MEBAKTI DI DESA BATU BULAN

Sang Ayu Isnu Maharani & I G A Nila Wijayanti Universitas Udayana & Sekolah Tinggi Desain Bali [email protected], [email protected]

ABSTRAK Tulisan ini berusaha menggambarkan tentang keunikan budaya; yang tercermin dalam kebiasaan masyarakat di desa Tegal Tamu, Batu Bulan Gianyar. Kebiasaan tersebut membuktikan keragaman budaya yang ada di desa Batu Bulan. Adapun budaya dimaksud adalah ritual Mebakti Adapun permasalah yang ingin di bahas adalah untuk dapat mendeskripsikan bentuk dan makna tuturan dalam ritual Mebakti di desa Batu Bulan. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Adapun teori yang digunakan adalah teori linguistik kebudayaan

Kata kunci: Bentuk, Makna, Tuturan, Ritual Mebakti, Batu Bulan Gianyar

1.1 Latar Belakang Kebudayaan adalah keseluruhan kebiasaan kelompok masyarakat yang tercermin dalam pengetahuan, tindakan dan hasil karyanya sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungannya dan menjadi pedoman tingkah lakunya untuk mencapai kedamaian dan atau kesejahteraan hidupnya (Sibarani, 2004: 17). Definisi lainnya mengenai kebudayaan juga disampaikan oleh budayawan Bali, Pak Geria. Disebutkan bahwa Kebudayaan bali pada kekatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Kebudayaan Bali juga memiliki identitas yang jelas yaitu budaya ekspresif yang termanifestasi secara konfiguratif yang mencakup nilai-nilai dasar yang dominan seperti nilai religious, nilai estetika, nilai solidaritas, nilai harmoni, dan nilai keseimbangan (Geria 2000:12). Budaya Bali merupakan salah satu kekayaan Indonesia diantara pelbagai budaya daerah lainnya. Kebudayaan Bali yang berdasarkan agama Hindu menjadi hal yang unik dan menarik, mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Tradisi adat lisan dan tulis yang diwariskan oleh para leluhur masyarakat Bali menjadi kearifan lokal masyarakatnya. Kesenian menjadi jiwa dan nafas kehidupan mereka. Berbagai keunikan budaya dapat kita lihat pada masyarakat Bali diantaranya Omed-omedan (tradisi ciuman oleh wakil remaja dalam komunitas banjar warga Sesetan, Denpasar Selatan), Perang Pandan dari Kabupaten Karangasem, Budaya Mebakti desa Batu Bulan Gianyar dan masih banyak lagi. Budaya Mebakti merupakan salah satu kebiasaan unik yang dilakukan oleh masyarakat Batu Bulan jika mereka terjatuh. Ritual ini merupakan sebuah budaya unik yang perlu diuraikan oleh karena merupakan salah satu kearifan lokal masyarakat desa Batu Bulan yang perlu dijaga, dilestarikan dan dituliskan sehingga bisa menjadi acuan pengetahuan bagi generasi berikutnya.

1.2 Masalah, Tujuan, Metode dan Teori Berangkat dari pemaparan latar belakang di atas maka permasalah yang ingin dibahas dalam tulisan ini adalah untuk mengetahui bentuk dan makna tuturan dalam ritual mebakti desa Batu Bulan, Gianyar. Tujuannya adalah untuk mengetahui bentuk dan mendeskripsikan makna ritual

~ 543 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature mebakti desa Batu Bulan, Gianyar. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yaitu rangkaian kegiatan atau proses mengumpulkan data atau informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek kehidupan tertentu pada objeknya. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode observasi dengan teknik pencatatan, dokumentasi serta studi pustaka. Adapun sumber data adalah tuturan berupa teks sederhana dari ritual Mebakti. Teori yang digunakan adalah linguistik kebudayaan dan juga didukung oleh Halliday dan Hasan. Linguistik kebudayaan mempelajari hubungan antara bahasa dengan kebudayaan di dalam suatu masyarakat. Hubungan antara bahasa dan kebudayaan sangat erat. Mereka saling mempengaruhi, saling mengisi dan berjalan berdampingan. Yang paling mendasari hubungan bahasa dengan kebudayaan adalah bahasa harus dipelajari dalam konteks kebudayaan dan kebudayaan dapat dipelajari melalui bahasa (Sibarani, 2004:49) Selain Sibarani, pemaparan dari Halliday dan Hasan juga disertakan dalam tulisan ini oleh karena tuturan yang digunakan dalam tuturan ini merupakan tuturan sederhana yang dikategorikan sebagai teks lisan. Halliday dan Hasan (1976:1) memberikan definisi bahwa teks sebagai bacaan (passage) lisan atau tulis berapapun panjangnya yang mengandung arti yang disatukan dalam wujud kalimat. Pemahaman teks diperoleh sesuai dengan konteks yang terjadi. Definisi lain yang dipaparkan oleh Halliday dan Ruquiya Hassan (1985:10) adalah bahasa yang memiliki fungsi. Fungsi dimaksud adalah dengan melakukannya sesuai dengan konteks. Konteks situasi memiliki peran dalam memberikan karakterisasi dari sebuah teks yang memiliki tiga (3) unsur yaitu; Field, Tenor dan Mode. Lebih jauh dalam pemaparannya disampaikan bahwa teks adalah berarti sebagai makna, teks sebagai sebuah unit semantik, teks sebagai produk dan juga proses, teks sebagai pertukaran makna sosial dan juga hubungan lingkungan sosial dan fungsi organisasi bahasa.

1.3 Pembahasan 1.3.1 Makna Ritual Mebakti Sebelum diuraikan lebih detail mengenai bentuk dan makna tuturan ritual mebakti di Desa Batu Bulan ada baiknya dijelaskan selintas mengenai keberadaan desa ini. Desa Batu Bulan adalah sebuah desa dalam ruang lingkup Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali. Desa Batu Bulan pada awalnya terkenal sebagai suatu desa agraris yang kaya akan kesenian termasuk seni tari dan seni ukir. Struktur masyarakat desa ini serta kebudayaan agrarisnya dijiwai oleh agama Hindu dan menjadi dasar dari kehidupan masyarakat Desa Batu Bulan. Desa ini lebih dikenal sebagai sebuah desa seni dikarenakan oleh kentalnya nuansa seni yang meliputi desa ini. Kenyataan ini makin diperkokoh dengan hadirnya Sekolah Menengah Kesenian, yang mencakup Sekolah Menengah Kerawitan Indonesia (SMKI), Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) dan Sekolah Menengah Industri Kerajinan (SMIK). Kehadiran Sekolah Kejuruan ini boleh jadi semakin membukakan jalan bagi desa Batu Bulan untuk mengembangkan pariwisata karena selain seni, desa ini juga ditunjang oleh lokasi desanya yang strategis. Citra Batu Bulan sebagai desa wisata telah memiliki akar sejarah sejak masa sebelum kemerdekaan. Citra terebut kini makin mantap baik pada tingkat lokal, nasional bahkan internasional, salah satunya dengan pertunjukkan tari Barong. Masyarakat Bali kemudian memberikan stigma bahwa desa seni ini sebagai desanya tari Barong. Selain pertunjukkan tari Barong, ternyata desa Batu Bulan juga memiliki keunikan lainnya di bidang budaya. Salah satunya adalah ritual Mebakti yang saat ini masih berlangsung dan menjadi pegangan hidup utamanya bagi penduduk asli desa Batu

~ 544 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Bulan. Ritual Mebakti merupakan salah satu ritual unik yang dilaksanakan di desa Batu Bulan, Gianyar. Ritual ini merupakan ritual sederhana yang boleh dikata menjadi identitas masyarakat Batu Bulan selain juga ketenaran tari Barong yang terwujud dalam teks sederhana. Ritual ini dilakukan oleh tiap-tiap warga asli Batu Bulan jika mereka mengalami terjerembab ataupun terjatuh; entah dari tangga, sepeda, motor baik sengaja maupun tidak sengaja. Secara langsung mereka akan melakukan ritual Mebakti Kata mebakti secara literal sederhana dimaknai sebagai kegiatan menghaturkan sembah kepada Sang Pencipta; Sang Hyang Widhi Wasa. Akan tetapi dalam konteks seseorang yang terjatuh maka mebakti yang dilakukan adalah sebagai kegiatan meminta maaf (matur sisip). Biasanya tahapan yang dilakukan sebelum mebakti adalah Ngambil daun/sekar, Mebakti, Colek tanah, Tapak Jidat sebanyak tiga kali. Pada tahapan Ngambil daun/sekar biasanya dilakukan untuk mempersiapkan sarana untuk menghaturkan bakti (mebakti); sekar atau bunga adalah sarana umum yang digunakan, tetapi apabila tidak tersedia bunga dapat juga menggunakan sarana daun. Daun dimaksud boleh dari berbagai jenis; apabila yang bersangkutan berada dekat pohon kembang sepatu, maka daun dari pohon tersebut bisa digunakan. Hal tersebut juga berlaku untuk daun dari jenis pohon lainnya. Akan tetapi jika disekitar memang tidak tersedia pohon dengan dedaunan atau bunga maka dibolehkan untuk tidak menggunakan sarana apapun. Berbeda pada kegiatan mebakti pada umumnya, dalam mebakti karena terjatuh tidak memerlukan sarana lainnya untuk melengkapi seperti dupa dan juga tirta. Pada tahapan mebakti, posisi tubuh adalah bersimpuh di atas tempat terjatuh dan posisi menyilang kaki (bersila) bagi para pria. Hal ini pun berlaku untuk anak-anak. Bagi anak balita bisa dilakukan bersama orang tua; orang tua yang mendoakan untuk ananknya. Kemudian sarana yang disiapkan digunakan untuk mebakti. Pada umumnya mebakti adalah mengucap syukur kepada Sang Pencipta. Akan tetapi dalam ritual ini, mebakti adalah sebagai ungkapan permohonan maaf (matur sisip) atas kesalahan yang mungkin dilakukan apabila orang terjatuh secara sengaja ataupun tidak sengaja terjatuh.Tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memohon keselamatan, agar terhindar dari kemungkinan untuk bisa terjatuh lagi. Biasanya tahapan mebakti hanya dilakukan satu kali saja, berbeda dengan tahapan mebakti Panca Sembah yang biasanya dilakukan sebanyak lima kali. Pada tahapan Colek Tanah-Tapak Jidat, orang yang terjatuh akan mencolek tanah dan menempelkannya pada jidat diantara kedua alis sebanyak tiga kali. Apabila yang terjatuh tidak berada dekat tanah maka apapun dasar tempat yang terjatuh, baik itu paving, bata ataupun semen juga bisa digunakan, diumpakan sebagai tanah. Kegiatan ini bertujuan untuk memohon restu pada ibu pertiwi (tanah) agar diberikan kekuatan sehingga tidak jatuh lagi.

1.3.2 Bentuk Tuturan Ritual Mebakti Ditinjau dari unsur fonologis maka bentuk tuturan ritual Mebakti desa Batu Bulan Gianyar dapat diuraikan sebagai berikut: Ratu Betara Sesuhunan, Ratu Betara Sami Titiang ngaturang bakti Matur sisip indik pedewekan titiang Dumogi ngemanggihin keselametan lan kerahayuan Kirang langkung atur titiang ~ 545 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature 1.3.3 Makna Tuturan Ritual Mebakti a. Makna Permohonan Maaf Makna yang bisa dideskripsikan dari tuturan yang berupa teks sederhana di atas adalah makna permohonan maaf sekiranya orang yang terjatuh memiliki kekhilafan dalam bertingkah laku. Masyarakat Bali cenderung memiliki sikap dan pemikiran sebab-akibat; terlepas dari kehidupan modern yang melingkupi. Umumnya sikap masyarakat Bali jika terjadi sesuatu yang kurang baik, cenderung memiliki pemikiran bahwa ada sesuatu yang kurang baik dalam laku, tutur maupun pikiran. Oleh karena itulah permohonan maaf kepada Hyang Pencipta dihaturkan. >Matur sisip indik padewekan titiang< Mohon maaf atas kekurangan dalam diri saya b. Makna Permintaan Makna yang terkandung selain makna permohonan maaf adalah makna permintaan. Ini dapat dilihat dari kata ‘dumogi’ yang berarti ‘semoga’. Tuturan yang disampaikan adalah permintaan agar diberikan keselamatan dan kerahayuan >Dumogi ngemanggihin keselametan lan kerahayuan< Semoga mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan c. Makna Religius Makna lainnya yang bisa dideskripsikan adalah makna religius. Ini bisa terlihat dari perilaku religius yang merupakan cerminan dari ketidakberdayaan manusia dalam kehidupan mereka. Tuturan yang terujar merupakan bentuk kepercayaan masyarakat terhadap sesuatu yang bersifat abstrak yang diyakini memiliki kekuatan mengatur kehidupan mereka untuk menjadi lebih baik; dalam konteks yang lebih spesifik adalah menghindari untuk terjatuh lagi. > Ratu Betara Sesuhunan, Ratu Betara Sami Titiang ngaturang bakti< Wahai Sang Pencipta dan para Dewa-Dewi Hamba menghaturkan doa (pemujaan)

1.4 Penutup Budaya Bali merupakan budaya yang kaya akan adat, seni dan tradisi. Ritual mebakti di desa Batu Bulan Gianyar merupakan salah satu budaya unik yang dapat ditemui sampai saat ini. Adapun bentuk tuturan dapat kita lihat secara unsur fonologis berupa kalimat kalimat yang diuraikan berupa doa. Sedangkan makna yang terkandung dalam tuturan tersebut diantaranya adalah makna permohonan maaf, permintaan dan juga makna religius. Tuturan yang berupa teks lisan sederhana tersebut diatas berfungsi sesuai dengan konteksnya yaitu digunakan oleh masyarakat Batu Bulan pada saat mengalami ketidakberuntungan sepertihalnya terjatuh atau terjerembab.

DAFTAR PUSTAKA Chaer, Abdul. 2006. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta Halliday, M.A.K and Ruqaiya Hasan.1985. Language, Context and Text: Aspects of Language in a Social Semiotic Perspective. Victoria: Deakin University Press Palmer.F.R 1981: Semantics. Cambridge: Cambridge University Press Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik. Medan: Poda` Sudaryanto.1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press ~ 546 ~ HARAPAN PERLINDUNGAN DALAM SENI BELUK DI KABUPATEN SUMEDANG: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK

Santika, Arista Mega Utami, dan Nengsih Universitas Pendidikan Indonesia [email protected]; [email protected]; [email protected]

ABSTRACT This writing discuss about local wisdom which contained in beluk art on sumedang regency. This research include in qualitative research which tend descriptive. The approach that used is antropolinguistics approach. The research data be in form of speech text of beluk art that have been speech by a group of people. That speech use pupuh tone and just being speech in certain times. The data source that used is speech from the beluk art chanter that refer to the text. This art beluk used for entertain, starting reinforcements, protecttion to baby with read way. The collectin data technic in this research used see method with record and write technic. The analysisi data technic in this research used means end analysis technic, heuristic and contextual. The resume in this research is that have founded the local wisdom about how believe, protection, entertain and magic a speech which contained in beluk art. The study of meaning which contained in beluk art text studiedwith using semiotica analysis which emphasizes to the marks or symbols that consist in the beluk art text. In the end, this study will explain the society mind that being represented by the speaker about knowledge that have been controlled. That study will do by explore all aspects which consists in the beluk art text that reflecting the harmonization of life.

Keywords: beluk, art text, semiotics, local wisdom, antropolinguistics

PENDAHULUAN Kesenian adalah bagian dari budaya. Dalam pengertian yang sangat luas, kebudayaan pertama sekali didefinisikan Taylor pada tahun 1871 (Wilson, 1966:51 dalam Sibarani 2004: 2) sebagai keseluruhan bidang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, dan kemampuan-kemampuan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kesenian merupakan sarana yang digunakan untuk mengekspresikan rasa keindahan dari dalam jiwa manusia. Namun, kesenian tidak berhenti hanya sebagai ekspresi rasa keindahan tetapi memiliki fungsi sebagai penentu norma berperilaku untuk meneruskan adat dan nilai-nilai kebudayaan. Secara umum, kesenian dapat mempererat ikatan solidaritas suatu masyarakat. Salah satu kesenian yang mengekspresikan rasa keindahan dari dalam jiwa, sebagai penentu norma dan, menjadi ciri suatu adat kebiasaan adalah seni Beluk. Seni Beluk adalah sejenis seni suara. Kesenian rakyat yang hanya mengandalakan perpaduan vokal dari tiap pemain, tidak diiringi oleh instrumen musik (dalam seni modern disebut akapela). Jenis kesenian tradisional ini boleh dibilang sudah langka, proses pewarisan yang terhenti dan kurangnya peminat dan penikmat seni beluk menjadi faktor utama. Generasi muda yang pada zaman sekarang ini banyak disuguhi berbagai jenis kesenian modern baik itu datang dari luar negeri maupun dari dalam negeri sendiri seperti rock, country, dance, indie, pop, hiphop, jazz, jaipongan, chacha, dangdut dan sebagainya. Akhirnya Seni Beluk ini terlupakan dan mungkin banyak yang tidak tahu, apa Seni Beluk itu. Keberadaan Seni Beluk sebenarnya sudah ada sejak dahulu. Beluk pada hakikatnya merupakan kesenian tembang buhun yang lebih mengutamakan tinggi rendahnya suara. Syair yang dilantunkan adalah jenis Wawacan (Carita Babad) yang dibawakan seperti kita jumpai dalam berbagai pupuh mulai dari pembukaan sampai pada penutupan seperti: Pupuh Kinanti, ~ 547 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Asmaradana, Pucung, Dangdanggula, Balabak, Magatru, Mijil, Ladrang, dan sebagainya. Kesenian beluk di Sumedang telah jarang dipertunjukan dalam upacara-upacara. Sebagai bentuk kesenian yang lahir dari keseharian masyarakat agraris yang sederhana, dalam penyajiannya seni beluk tidak menerapkan aturan berpakaian tertentu yang paling umum ditemui menggunakan baju takwa, sarung, kopiah, dan celana panjang atau memakai pakaian pangsi. Pembagian peranan dalam penyajian beluk juga memberi ciri masyarakat agraris yang senang bergotong-royong, bekerja-sama dan berkomunikasi secara harmonis.

TUJUAN Penelitian tentang konsep harapan perlindungan dalam seni beluk ini bukan sebatas mengidentifikasi leksikon yang ada, melainkan lebih menekankan pada fungsi senibeluk tersebut bagi masyarakat di Daerah Sumedang, yang ternyata mencerminkan sebuah pengetahuan lokal di balik konsep seni beluk tersebut. Di samping itu, dengan adanya penelitian ini kita akan mampu meningkatkan pemahaman tentang pentingnya pemertahanan pengetahuan lokal budaya, khususnya dalam kepercayaan bagi suatu kolektif masyarakat. Hal ini jelas selaras dengan apa yang tercermin dalam seni beluk sebagai kristalisasi suatu pengetahuan budaya lokal.

METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah etnografi komunikasi. Penelitian dengan model etnografi menempatkan nilai yang tinggi pada kenormalan gejala yang diteliti (Duranti, 1997:84). Penelitian ini memanfaatkan metode kualitatif etnografi (Spradley, 1970 dan Muhadjir, 1996) dalam (Sudana, dkk., 2012), yakni dengan melibatkan peneliti dalam pergaulan dengan masyarakat di Kampung Narongtong, Desa Cileles, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang. Dengan menggunakan metode ini, sumber data berlatar alami dengan peneliti yang berfungsi sebagai human instrument (Moleong, 1995:121-125 dalam Sudana, dkk., 2012).

KLASIFIKASI DAN DESKRIPSI LEKSIKON SENI BELUK Untuk membongkar sebuah kearifan lokal dari sebuah seni beluk, kita bisa melakukan pengkajian dari pengklasifikasikan dan mendeskripsikan leksikon yang terdapat dalam seni beluk. Dari 58 leksikon seni beluk, diklasifikasikan menjadi 9 klasifikasi. l leksikon kesenian yaitu leksikon beluk merujuk pada kesenian sejenis seni suara. Kesenian beluk ini tidak diiringi oleh instrumen musik dalam seni modern disebut akapela. Permainan suara para pemain menjadi daya tarik yaitu dengan menggunakan teknik vokal tinggi dan suara/sora dieluk-eluk sehingga seorang pemain beluk harus kuat suaranya sehingga mampu dalam memainkan suara keras serta nada panjang. 9 leksikon yang menunjukan alat yang dipakai dalam seni beluk yaitu naskah berisi bacaan yang akan dibacakan para pemain beluk, sesajen yang berisi parukuyan yaitu benda menyerupai mangkok dari tanah liat berisi lebu dan ruhay untuk membaka kemenyan. Leksikon Cerutu merujuk pada roko dengan batang yang lebih besar berwarna coklat, biasanya diperlukan 2-3 batang cerutu untuk ikut dibakar bersama kemenyan. Sementara leksikon rujak buah 7 rupa dan bunga 7 rupa merujuk pada 7 macam buah dan bunga yang kemudian disimpan pada 7 gelas kecil berbeda. Leksikon air putih dan air kopi merujuk pada gelas kecil yang berisi air putih atau air kopi. Leksikon tetek merujuk pada daun sirih yang telah di beri apu dan panglay. 4 leksikon yang menunjukan kostum yang dipakai dalam seni beluk yaitu pangsi, peci,

~ 548 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature koko dan sarung. Dalam seni beluk tidak ada patokan khusus mengenai kostum, leksikon pangsi merujuk pada pakaian berwarna hitam dengan model kemeja tanpa kerah dan celana standar. Leksikon peci merujuk pada penutup kepala yang lazim dipakai ke masjid. Leksikon koko merujuk pada baju lengan panjang yang lazim dipakai ke masjid sementara leksikon sarung merujuk pada kain yang digunakan untuk menutup bagian pinggang sampai pangkal kaki. 4 leksikon yang menunjukan peran pemain seni beluk yaitu leksikon tukang ngilo merujuk pada orang yang membaca syair secara naratif. Pembacaan dilakukan dalam tempo sedang dengan artikulasi yang jelas dan dibacakan per padalisan (baris). Syair-syair beluk berasal dari naskah-naskah cerita babad atau wawacan dan disajikan dalam bentuk pupuh yang berjumlah 17. Leksikon tukang ngejual merujuk pada orang yang menyanyikan syair yang dibacakan tukang ngilo sesuai dengan pupuhnya, namun cara menyanyikannya tanpa ornamen. Leksikon tukang meuli merujuk pada orang yang melanjutkan sajian tukang ngajual dengan tambahan ornamen pelengkap. Leksikon tukang naekeun merujuk pada orang yang melanjutkan sajian tukang meuli dengan nada-nada tinggi dan meliuk-liuk. Di bagian ini ornamentasi vokal sangat dominan sehingga artikulasi tidak diutamakan dan bisa menjadi sangat kabur. Setiap tukang naekeun menyelesaikan satu bait, seluruh hadirin dan para penyaji lainnya memungkas lagu secara bersama (koor). 2 leksikon yang menunjukan tempat dilaksanakannya pertunjukan seni beluk yaitu leksikon di luar dan leksikon di jero. Pertunjukan seni beluk ini bisa ditampilkan di lua rumah maupun di dalam rumah sesuai dengan tujuan yang ini dicapai. 3 leksikon yang menunjukan konteks dilaksanakannya seni beluk yaitu leksikon syukuran yang merujuk pada tujuan berterima kasih atas keberhasilan, keselamatan dsb. contohnya seni beluk di tampilkan dalam 40 hari kelahiran bayi, syukuran setelah panen, syukuran setelah memotong hewan berkaki empat dll. 4 leksikon yang menunjukan proses berlangsungnya seni beluk yaitu leksikon do’a yang merujuk pada pembukaan yang dipimpin oleh sesepuh kampung atau ketua seni beluk dengan memanjatkan doa-doa yang ditujukan kepada Tuhan, Karuhun, dan para sesepuh yang telah tiada. Leksikon sambutan merujuk pada pemaparan maksud dan tujuan yang mengundang seni beluk. Leksikon penampilan merujuk pada pelaksanaannya seni beluk dengan mulai membacakan naskah, dan leksikon panutupan merujuk pada do’a penutup dengan mengucapkan rasa syukur dan harapan agar apa yang di minta dapat dikabulkan Yang Maha Kuasa. 20 leksikon yang menunjukan tembang yang dipakai dalam seni beluk yaitu leksikon babad merujuk pada kisah-kisah kerajaan. Leksikon wawacan merujuk pada nama lain dari babad, secara etimologi wawacan berasal dari kata bacaan. Leksikon pupuh merujuk pada pola- pola lagu dalam menembangkan babad atau wawacan, ada 17 pupuh dengan pola yang berbeda sebagai berikut:

No Leksikon Tema Guru Lagu dan W ilangan 1 Asmarandana rasa asmara, cinta kasih dan sayang 8i, 8a, 8o/e, 7a, 8u, 8a 2 Balakbakn lelucon atau komedi 15e, 15e, 15e. 3 Dangdangula rasa kedamayan, keindahan, keagungan, 10i, 10a, 8e/o, 7u, 9i, 7a, 6u, atau kegembiraan 8a, 12i, 7a 4 Durma rasa mara, besar hati, atau semangat 12a, 7i, 6a, 7a, 8i, 5a, 7i. 5 Gambuh sakit susah sedih 8u, 8u, 8i, 7a, 8a/u, 8a/0. 6 Juru demung perasaan binggung akan tinggkah diri 8a, 8u, 6i, 8a, 8u sendiri

~ 549 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

7 Gurisan seseorang yang sedang melamun 8a, 8a, 8a, 8a, 8a, 8a, (+8a, 8a). 8 Kinanti perasaan yang penuh pengharapan dan 8u, 8i, 8a, 8i, 8a, 8i. kasih sayang 9 Ladrang lelucon yang menyindir 10i, 4a, 8i, 12a. 10 Lambing lelucon yang bermanfaat 7-a, 8-a, 8-a, 8-a, 8-a, 8-a, 8-a, 8-a 11 Magatru perasaan sedih dan menyesal 11u, 8i, 8u, 8i, 8o. 12 Maskumambang kesedihan dan nelangsa 12i, 6a, 8i, 8a. 13 Mijil kesedihan tetapi penuh pengharapan 10i, 6o, 10e, 10i, 6i, 6u 14 Pungkur kemarahan yang terpendam 8a, 12i, 8u, 8a, 12u, 8a, 8i. 15 Pucung kemarahan kepada diri sendiri 12u, 6a, 8i, 12a. 16 Sinom kegembiraan dan semangat 8a, 8i, 8a, 8i, 7i, 8u, 7a, 8i, 12a 17 Wirangrong rasa malu 8i, 8o, 8u, 8i, 8a, 8a.

11 leksikon yang menunjukan teknik vokal yang digunakan para pemain seni beluk. Leksikon Nyurup merujuk pada tektik vokal yang sesuai dengan laras yang dibawakan; leksikon Jentre merujuk pada tektik vokal dengan artikulasi yang jelas; leksikon eureur merujuk pada tektik vokal yang sesuai vibrasi dengan kalimat lagu; leksikon senggol merujuk pada tektik vokal ketepatan ornamentasi; leksikon leotan merujuk pada teknik ketepatan nada yang digunakan; leksikon embat merujuk pada teknik vokal bertempo bebas, leksikon pedotan merujuk pada teknik ketepatan waktu untuk mengambil nafas; leksikon renggep atau saregep merujuk pada teknik keseriusan dalam penyajian; leksikon cacap merujuk pada teknik vocal pengucapan kata demi kata harus disajikan sampai tuntas;leksikon bawarasa merujuk pada teknik ekspresi dalam penyajian; dan leksikon bawaraga merujuk pada teknik penegasan suasana dengan gestur yang dianggap menarik.

FUNGSI SENI BELUK Ada hubungan yang sangat erat antara kehidupan suatu masyarakat dan leksikon bahasanya (Wierzbicka, 1997 hlm. 1). Artinya, fungsi leksikon perangkat adat dalam bahasa Sunda juga sangat berkaitan dengan aktivitas hidup orang Sunda. Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya, fungsi leksikon perangkat adat dalam bahasa Sunda dapat dikategorikan menjadi (1) fungsi individual, (2) fungsi pengetahuan, (3) fungsi kepercayaan. Ketiga fungsi tersebut akan dipaparkan pada subbab-subbab di bawah ini.

1. Fungsi Individual Fungsi individual merujuk pada peranan leksikon seni beluk yang bersifat perorangan. Leksikon seni beluk di Kampung Narongtong Desa Cileles Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang memiliki fungsi individual karena sejumlah leksikon tersebut berkaitan dengan sesuatu yang dikerjakan secara individual dan kegiatan tersebut dikerjakan sebagai sebuah pemenuhan kebutuhan individual seseorang. Seperti pada leksikon tukang ngilo, tukang ngajual, tukang meuli, dan tukang naekeun yang yang memiliki peran individu dalam terjalinnya harmonisasi nada.

2. Fungsi Pengetahuan Fungsi pengetahuan merujuk pada bagaimana leksikon-leksikon seni beluk dapat menggambarkan pengetahuan masyarakat mengenai seni vocal. Seperti pada leksikon nyurup,

~ 550 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature jentre, eureun, senggol, leotan, embat, pedotan, renggep, cacap, bawarasa, dan bawaraga. Kesebelas leksikon tersebut merupakan teknik-teknik pengaturan vocal dalam menembakan wawacan dalan seni beluk. Selain pengetahuan tentang vocal masyarakat di Kampung Narongtong, Desa Cileles, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang juga memiliki pengetahuan tentang bermacam pupuh dan naskah. Seperti pada leksikon wawacan, babad, asmarandana, balakbak, dandanggula, durma, gambuh, gurisa, juru demung, kinanti, ladrang, lambang, magatru, maskumambang, mijil, pangkur, pucung, sinom, dan wirangrong. Pengetahuan tentang nada dan irama tentu masyarakat Kampung Narongtong memahaminya, karena setiap pupuh memiliki nada dan irama yang berbeda. Masyarakat Kampung Narongtong juga memiliki pengetahuan mengenai kostum yang digunakan dalam seni beluk. Seperti pada leksikon pangsi, peci, koko, dan sarung pemilihan kostum yang sederhana ini juga memiliki fungsi kesederhanaan.

3. Fungsi Kepercayaan Leksikon seni beluk yang digunakan oleh masyarakat Kampung Narongtong, Desa Cileles, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang, memiliki nilai kepercayaan karena leksikon perangkat adat tersebut berkaitan dengan nilai- nilai kepercayaan (adat istiadat) yang ada pada masyarakat di Kampung Narongtong. Leksikon seni beluk yang mengandung fungsi kepercayaan adalah ada pada klasifikasi alat, klasifikasi konteks, klasifikasi proses dan kalsifikasi tempat. Alat yang digunakan untuk menunjang seni beluk memiliki fungsi kepercayaan karena setiap alat yang dipakai dalam seni beluk dipercaya dapat mensukseskan kelangsungan pertunjukan beluk, seperti kelengkapan sesajen, pembakaran parukuyan dan serutu menjadi ritual yang wajib dan penting dilaksanakan sebelum acara di mulai agar para leluhur, sesepuh dan karuhun ikut bersama-sama mensukseskan pertunjukan seni beluk. Konteks dilaksanakannya seni beluk memiliki fungsi kepercayaan karena kesenian beluk ini di gelar memiliki tujuan sesuai konteksnya. Contohnya di gelar ketika 40 hari kelahiran bayi, maka tujuan yang ingin dicapai dari seni beluk ini adalah agar anak yang diperdengarkan seni beluk senantiasa terlindung dari marabahaya, menjadi anak yang kuat sesuai dengan cerita yang dilantunkan para pemain, dsb. kemudian klasifikasi proses memiliki fungsi kepercayaan karena setiap tahap demi tahap pelaksanaan seni beluk ini dipercaya sudah menjadi keharusan yang tidak boleh dirubah. Klasifikasi terakhir yaitu klasifikasi tempat memiliki fungsi kepercayaan karena seni beluk tidak bisa ditampilkan sembarang waktu, beluk ditampilkan pada malam hari sekitar mulai pukul 17.30 sampai subuh. Pemilihan tempatpun di sesuaikan dengan konteks dan tujuan yang ingin di capai. Jika untuk acara 40 hari kelahiran banyi maka di adakan di dalam rumah, jika untuk acara hajatan yang tujuannya menghibur maka di adakan di luar rumah.

HARAPAN PERLINDUNGAN DALAM SENI BELUK Wierzbicka (1997, hlm. 4) mengemukakan bahwa kata mencerminkan dan menceritakan karakteristik cara hidup dan cara berpikir penuturnya, serta dapat memberikan petunjuk yang sangat bernilai dalam upaya memahami budaya penuturnya. Begitu pun halnya dengan leksikon seni beluk yang terdapat di Kampung Narongtong, leksikon tersebut dapat memberikan gambaran tentang pandangan cerminan gejala budaya masyarakat Kampung Narongtong terhadap dunianya. Pada mulanya seni beluk hanya sekedar untuk menghibur diri dan sebagai alat ~ 551 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature komunikasi. Namun, sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat seni beluk beralih fungsi sebagai fungsi religius, sosial dan rekreatif (hiburan). Seperti seni tradisional lain, Beluk tidak lepas dan mitos atau legenda yang beranggapan bahwa dengan menyanyikan Beluk dalam acara syukuran kelahiran bayi, pernikahan atau sunatan akan mendapat berkah dan terhindar dari mala petaka. Oleh karena itu pada prakteknya penyajian Beluk diawali dengan doa-doa dan sesajen. Maka, dapat dikatakan seni beluk dipandang sebagai wujud harapan perlindungan kepada Tuhan YME. Di sisi lain muncul kepercayaan bahwa seni beluk adalah kesenian yang serius, artinya tidak boleh sembarang dimainkan. Segala ritual dalam penyajian beluk harus bener-bener teratur dan tidak boleh dikurang atau ditambahkan karena apabila tidak sesuai salah satu baik dari pemain maupun penonton akan kesurupan.

SIMPULAN Dari 58 leksikon seni beluk di kalasifikasikan menjadi 9 klasifikasi berdasarkan alat, kostum, pemain, tempat, konteks, proses, tembang dan teknik. Leksikon-leksikon tersebut memiliki fungsi individu, pengetahuan dan kepercayaan yang menggambarkan kebudayaan masyarakat Kampung Narongtong, Desa Cileles Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang. seni beluk yang memiliki kemagisan di hati masyarakat kampung narontong adalah salah satu cara warga menyampaikan harapan perlindungan kepada Tuhan YME.

DAFTAR PUSTAKA

Duranti, Alessandro. (2002). Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press. Sibarani, Robert. (2004). Antropolinguistik:Antropologi Lingusitik, Linguistik Antropologi. Medan: Poda. Sudana, Dadang, dkk.. (2012). “Eksplorasi Nilai Pendidikan Lingkungan Hidup dalam Leksikon Etnobotani: Kajian Etnopedagogi di Kampung Naga, Kabupaten Tasikmalaya”. Proposal Penelitian Hibah Penelitian Etnodedagogi, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung: tidak diterbitkan. Wierzbicka, Anna. 1992. Semantics, Culture, and Cognition: Universal Human Concept I n Culture-Specific Configuration. Oxford: Oxford University Press.

~ 552 ~ TRANSLASI DAN TRANSLITERASI BUDAYA PADA NASKAH LONTAR MEGANTAKA

Sarwadi Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Udayana

ABSTRACT Most familiar terms on transfering meaning is translation. translation engage more then one language or culture. Diferences both of culture was problems on translation studies because translator should look for equivalence meaning on target language. Whereas, transliteration is transfering meaning on the same culture. Translation theory sate that the strategy that usualy use by trasnlator is adoption, borowing, and descritption. The aims of studies were to know how a traslator looking for equivalence meaning on the same culture, whereas the fact that the same culture. The benifit of this study is to rich wirter understanding on translation studies especially on traslation old text such as text MEGANTAKA. Based on the data analysis and discussion, the researcher found some strategy on traslation and transliteration by adoption, borowing, description, but the fact that the researcher found there a lot problem on the results of texts traslation. The strategy that used by translator on translation old text was unsuitabele massage on traget language. It means, the massage there was lost and change on target text.

Keywords: cultuer, translation, transliteration, old text.

1. Pendahuluan Budaya dan penerjemahan dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena keduanya saling terkait. Penerjemahan merupakan proses alihbahasa suatu makna atau pesan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran, sedangkan budaya merupakan hasil karya cipta masyarakat yang mengidentitaskan suatu kelompok masyarakat yang hidup pada saat itu. Dengan dimikian bahwa kajian terjemahan dan budaya mempunyai kajian yang sangat erat karena ketika proses transfer meaning, penerjemah secara langsung harus memahami budaya pada bahasa sumber dan bahasa sasaran. Permasalahan budaya menjadi tantang para penrjemah dalam menerjemahkan suatu teks hususnya terkait dengan budaya. Dalam teori penerjemahan, penerjemah harus menguasai atau memahami paling tidak dua budaya karena sebuah karya tulis atau penulis menulis untuk memberikan gambaran atau menceritakan suatu kebudayaan baik pada bidang pendidikan, astronomi, cermony, atau yang lainya. Dalam menerjemahkan suatu teks, pemahaman budaya menjadi hal yang sangat penting. Seperti yang telah di jelaskan di atas, seorang penrjemah tidak hanya memahami budaya pada bahasa sasaran tetapi yang lebih penting adalah budaya pada bahasa sumber. permasalahan budaya kerap kali menjadi perdebatan dikalangan akhli penerjemah karena ketika penerjemah menerjemahkan istilah yang terkait dengan budaya selalu menggunakan metode adopsi sehingga permasalahanpun muncul pada bahasa sasaran yaitu permasalahan tingkat keterbacaan dan minat pembaca pada bahas sasaran. Penomena seperti demikian perlu diperhatikan oleh penerjemah sehingga hasil terjemahan tersebut dapat dinikmati oleh pembaca pada bahasa sasaran seperti pada pembaca bahasa sumber. Dalam teori penerjemahan, permasalahan kesetaraan menjadi hal yang sangat penting karena penerjemah harus menghasilkan teks terjemahan tanpa melakukan perubahan dan penghilangan kususnya terkait dengan budaya. Menurut Nababan (2008), hubungan kesepadanan, yang sering dianggap sebagai aspek terpenting dari sebuah terjemahan berkualitas, pada hakikatnya

~ 553 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature merupakan suatu hal yang problematik karena adanya perbedaan-perbedaan aspek linguistik (morfologis, sintaksis, semantis) dan kultural antara BSu dan BSa. Toury (2002) mengatakan penerjemahan adalah sebuah aktivitas yang melibatkan dua bahasa dan dua kebudayaan sekaligus, Semakin besar perbedaan-perbedaan antara BSu dan BSa, dalam kedua aspek tersebut, semakin tinggi pula tingkat kesulitan pemindahan makna atau pesan di antara kedua bahasa itu. Sebagai contoh, ungkapan “I lost my money”, yang jika ditinjau dari strukturnya merupakan kalimat aktif, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan ungkapan berstruktur pasif “Uang saya hilang”. Oleh karena itu, teks BSa dan teks BSu tidak mungkin benar-benar sepadan dalam seluruh aspek linguistik dan kultural.

B. Pembahasan 1. Hubungan antara Penerjemahan dengan Budaya Sebuah karya atau hasil karya cipta seseorang baik berupa tulisan, seni budaya dan lainnya menunjukan suatu budaya yang tercipta pada suatu masyarakat baik itu berupa hasil karya perorang atau kelompok. Apabila hasil karya cipta seseorang dianggap bagus dan mengandung kebenaran maka masyarakat akan mengikutinya dan menjadikan identitas kelompok tersebut. Dengan demikian dapat penulis simpulkan bahwa hasil karya cipta suatu kelompok atau seseorang yang dianggap benar dan perlu diikuti maka, hal tersebut akan dijadikan suatu kebiasaan yang menjadi identitas masyarakat tersebut. Linguistik kebudayaan sesungguhnya adalah bidang ilmu interdisipliner yang mengkaji hubungan kovariatif antara struktur bahasa dengan kebudayaan suatu masyarakat (lihat Mbete, 2004:18—25). Jika dikaitkan dengan pendapat Wierzbicka (1994:1), maka linguistik kebudayaan terkait erat dengan pertanyaan: “Mengapa setiap kelompok etnik mengggunakan bahasa ataupun ragam yang berbeda, dan dengan cara yang berbeda bahkan di satu kelomok entik sekalipun”. Seperti yang dijelaskan oleh Prof. Dr. Mahyuni bahsa sasak mempunyai ragam dialek yang sangat banyak seperti dialek menu-meni, ngeo-ngene, meriak-meriku, dan ngeto-ngete. Apa yang dimaksud dengan budaya? Dalam ruang lingkup Studi Penerjemahan, budaya mempunyai pengertian yang sangat luas dan menyangkut semua aspek kehidupan manusia yang dipengaruhi oleh aspek sosial (Snell-Hornby, 1995: 39). Konsep budaya ini didefinisikan oleh Goodenough (1964), Gohring (1977), dan Newmark (1988) sebagai berikut:

As I see it, a society’s culture consists of whatever it is one has to know or believe in order to operate in a manner acceptable to its members, and do so in any role that they accept for any one of themselves. Culture, being what people have to learn as distinct from their biological heritage, must consist of the end product of learning: knowledge, in a most general, if relative, sense of the term. By this definition, we should note that culture is not a material phenomenon; it does not consists of things, people, behavior, or emotions. It is rather an organization of these things. It is the forms of things that people have in mind, their models for perceiving, relating, and otherwise interpreting them. As such, the things people say and do, their social arrangements and events, are products or by-products of their culture as they apply it to the task of perceiving and dealing with their circumstances. To one who knows their culture, these things and events are also signs signifying the cultural forms or models of which they are material presentations ...(Goodenough, 1964: 36).

Dari definisi ini dapat ditarik empat hal pokok. Pertama, budaya merupakan totalitas pengetahuan, penguasaan dan persepsi. Kedua, budaya mempunyai hubungan yang erat dengan perilaku (tindakan) dan peristiwa atau kegiatan. Ketiga, budaya tergantung pada harapan dan norma yang berlaku dimasyarakat. Keempat, pengetahuan, penguasaan, persepsi, perilaku kita terhadap sesuatu yang diwujudkan melalui bahasa. Oleh karena itu, bahasa dan budaya, serta bahasa dan perilaku mempunyai hubungan yang sangat vital. Sementara itu, bahasa merupakan

~ 554 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature ungkapan tentang budaya diri penutur yang dapat memahami dunia melalui bahasa. Hasil karya cipta yang ada di masyarakat baik berupa seni budaya, artefak, dan lain-lain membutuhkan gambaran dan penjelasan terkait dengan makna atau pesan yang tersimpan dalam seni budaya, dan artefak. Oleh sebab itu, penerjemah menjadi sangat penting untuk memahami maksud atau penjelasan terkait dengan hal tersebut terlebih orang asing. terkait dengan budaya dapat dilihat pada penjelasan di bawah ini:

Culture is everything one needs to know, master and feel in order to judge where people’s behavior conforms to or deviates from what is expected from them in their social roles, and in order to make one’s own behavior conform to the expectations of the society concerned – unless one is prepared to take the consequences of deviant behavior (Gohring dalam Snell-Hornby, 1995: 40).

2. Penerjemahan naskah lontar kaitannya dengan kebudayaan Naskah lontar merupakan suatu karya yang tercipta pada masa lalu yang menceritakan atau memberikan informasi tentang kehidupan, fenomena sosial, budaya dan ekonomi. Selanjutnya, naskah lontar yang menjadi wariasan budaya yang mengandung nilai dan norma yang dianggap oleh masyarakat sebagai suatu hal yang sangat sakral. di sampng itu, naskah lontar ketika dibaca atau diterjemahkan harus melalui beberapa tahapan baik dari segi persiapan, pakaian, bakar kemenyan, dan bacaan mantra. Hal tersebut dilakukan dengan harapan apa yang menjadi tujuan dari pembacaan dan penerjemahan naskah tersebut dapat berjalan sesuai dengan harapan. Nilai yang terkandung dalam naskah terjemahn khususnya naskah lontar menjadi hal yang paling penting dalam penerjemahan karena apabila penerjemahan tersebut tidak didasarkan pada pemahaman nilai budaya yang ada pada bahasa sumber akan menyebabkan pesan tersebut jauh berbeda dengan bahasa sumber. atas dasar tersebut, penulis menyampaikan bahwa penerjemah yang handal adalah penerjemah yang bisa menguasai budaya pada bahasa sumber dan bahasa sasaran, dengan demikian pembaca pada bahasa sasaran akan mendapat gambaran dan informasi terkait dengan pesan yang disampaikan oleh penulis. Terjemahan merupakan alat komunikasi. Sebagai alat komunikasi, terjemahan mempunyai tujuan komunikatif, dan tujuan komunikatif itu ditetapkan oleh penulis teks bahasa sumber, penerjemah sebagai mediator, dan klien atau pembaca teks bahasa sasaran. Penetapan tujuan itu sangat dipengaruhi oleh konteks sosial dan budaya serta ideologi penulis teks bahasa sumber, penerjemah, dan klien atau pembaca teks bahasa sasaran (Nababan, 2004). Pemahaman budaya dalam kajian penerjemahan menjadi hal yang sangat penting dalam kajian penerjemahan, apabila tidak disertai dengan pemahaman budya maka hasil penerjemahan tersebut akan merusak nilai-nilai yang terkandung dalam naskah terlebih naskah merupakan salah satu identitas suatu kebudayaan pada saat itu. Konsep bahasa adalah budaya, dan budaya diwujudkan melalui perilaku kebahasaan, dapat pula diterapkan dan dikaitkan pada bidang penerjemahan. Bukankah penerjemahan juga merupakan tindak komunikasi interlingual, yang perwujudannya sangat dipengaruhi oleh budaya pengguna bahasa? Barangkali itu sebabnya pakar penerjemahan, House (2002), berpendapat bahwa seseorang tidak menerjemahkan bahasa tetapi budaya, dan dalam penerjemahan kita mengalihkan budaya bukan bahasa (h.92). Pendapat ini sejalan dengan pandangan bahwa budaya merupakan satuan terjemahan, bukan kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf atau teks, (Nord, 1997) yang seharusnya mendapatkan perhatian yang serius dari penerjemah.

3. Perbedaan budaya berinflikasi terhadap variasi makna Penerjemahan merupakan proses pengalihan pesan teks bahasa sumber ke dalam bahasa

~ 555 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature sasaran. Tujuan praktis dari proses pengalihan pesan ialah untuk membantu pembaca teks bahasa sasaran dalam memahami pesan yang dimaksudkan oleh penulis asli pada bahasa sumber. Tugas penerjemah adalah mempunyai peran yang sangat penting dalam menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi. Apabila ilmu pengetahuan dan teknologi dipahami sebagai bagian dari budaya, secara tidak langsung penerjemah turut serta dalam proses alih budaya. Tujuan praktis penerjemahan, seperti yang telah disebutkan di atas, acapkali terlupakan oleh penerjemah. Ada terjemahan yang sudah secara setia menyampaikan pesan teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran, tetapi bahasa yang dia digunakan tidak bisa dipahami oleh pembaca dengan baik. Ada pula terjemahan yang tampak “cantik” dan wajar, tetapi pesannya menyimpang jauh dari pesan teks aslinya. Jika kasus seperti ini sering terjadi, tujuan praktis penerjemahan itu tidak tercapai dengan baik. Terjemahan yang demikian dianggap telah menghianati tidak hanya penulis teks asli tetapi juga pembaca teks terjemahan (Damono, 2003). Fenomena penerjemahan yang dijelaskan di atas merupakan permasalahan berubahnya makna pada hasil terjemahan tersebut. Beberapa teori penerjemahan menjelaskan terkait dengan tujuan penerjemahan yaitu penerjemahan pada dasarnya tidak hanya ditentukan oleh penerjemah tetapi juga oleh klien (orang yang memberi tugas penerjemahan) dan pembaca teks bahasa sasaran. Pakar penerjemahan menawarkan berbagai strategi untuk memecahkan masalah padanan yang disebabkan oleh faktor budaya (lihat Newmark, 1988; Baker, 1992; Hervey dan Higgins, 1992). Strategi-strategi yang ditawarkan perlu dicermati diterapkan secara seksama agar tidak bertentangan dengan tujuan penerjemahan itu sendiri. Transplantasi budaya yang ditawarkan oleh Hervey dan Higgins (1992), misalnya, cenderung menghasilkan saduran, bukan terjemahan. Demikian juga dengan konsep addition of information harus dipahami sebagai upaya untuk membuat terjemahan mudah dipahami oleh pembaca sasaran tanpa mengaburkan pesan teks bahasa sumber.

DAFTAR PUSTAKA

Baker, M. 1992. In Other Words: A Coursebook on Translation. London: Sage Publication. Catford, J.C. 1974. A Linguistic Theory of Translation. London: Longman. Damono, S.J. 2003. “Menerjemahkan Karya Sastra.” Makalah disajikan dalam Kongres Nasional Penerjemahan, di Tawangmangu, 15-16 September 2003. Dollerup, C dan Lindegard, A. 1993. Teaching Translation and Interpreting 2. Philadelphia: John Benjamins. Duff, A. 1984. The Third Language. Great Britain: Pergamon Press. Goodenough, W.H. 1964. “Cultural Anthropology and Linguistics.” In Dell Hymes (ed.). Language in Culture and Society: A Reader in Linguistics and Anthropology. New York: Harper & Crow. Hervey, S., & Higgins, I. 1992. Thinking Spanish Translation: A Course in Translation Method: French to English. London: Routledge. House, J. 2002. “Universality versus Culture Specificity in Translation.” Dalam Alessandra Ricardi (ed.). Translation Studies: Perspective on an Emerging Discipline. Cambridge: Cambridge University Press. Nababan, M.R. 2004. “Kecenderungan Baru dalam Studi Penerjemahan”, Makalah disajikan dalam Semiloka Penerjemahan yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri Jogyakarta pada tanggal 23 Juli 2004. Nababan, M.R. 2003. “Arah Penelitian Penerjemahan”, Makalah disajikan dalam Kongres Nasional Penerjemahan, di Tawangmangu, 15-16 September 2003. Newmark, P. 1988. A Textbook of Translation. New York: Prentice-Hall International. Nida, E. 1975. Language Structure and Translation. Standford, California: Standford University Press. Nord, C. 1997. Translating as a Purposeful Activity: Functional Approaches Explained. Manchester, UK: St. Jerome Publishing Snell-Hornby, M. 1995. Translation Studies: An Integrated Approach. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.

~ 556 ~ INTERCRACY OF STRUCTURAL EXCHANGE IN KARONESE INTERACTION

Siti Aisyah Ginting Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Medan

ABSTRACT This article is the result of research of structural exchange in Karonese language. Normally if someone (A) requires some information from other people (B) is marked k2 and k1, so the structural exchange in this case is k2^k1. However, in Karonese language customs forbid people to talk directly to other freely for some excuses. For example, a mother in-law or father in-law is not allowed to talk directly to son in-law or daughter in law. Consequently, structural exchange a2^a1(k2)^k1 is made. Similarly, in wedding ceremony the structural exchange also occurs where the bridegroom is not allowed to talk to the bride, and vice versa. The close relationship between the speaker and the interlocutor constitutes the major cause. Lately conversational structural exchange in Karonese language goes through changes in its intercracy. (Ginting, 2012). Karonese people are tendentious to execute activity shortly for time and money consuming reasons. If every custom activity is completed, so long conversational structure exchange will be made. As the result, the intercracy of the structural exchange is there. If it really is, the conversation will take more time and huge cost amongst Karonese native speaker community.

Struktur percakapan menurut linguistik sistemik fungsional baik secara langsung dan tidak langsung dipengaruhi oleh partisipan yang terlibat. Pada umumnya, setiap partisipan dapat berbicara secara langsung. Namun budaya Karo tidak membenarkan Partisipan tertentu berbicara secara langusung seperti mertua laki-laki dengan menantu perempuan, mertua perempuan dengan menantu laki-laki, antara ipar beripar (istri dengan suami adik/kakak suaminya) dan antara besan berbesan (khususnya dalam proses perkawinan). Akibatnya terbentuk struktur percakapan yang lebih panjang dibandingkan dengan percakapan dimana setiap partisipan dapat berbicara secara langsung. Partisipan yang tidak dapat berbicara secara langsung baik dalam percakapan sehari-hari maupun dalam kegiatan budaya, seperti pemberian nama anak, perkawinan, kematian, memasuki rumah baru, dan sebagainya. Pembicaraan yang mereka lakukan harus memakai perantara, baik benda maupun manusia. Kondisi ini disebut dengan budaya “rebu”. Berikut contoh percakapan dimana terdapat partisipan yang tidak dapat berbicara langsung. Suami : “Sungkun mami ah pukul piga ia itaruhkan” Tanya ibu jam berapa dia diantarkan Istri : “Begindu kang e nande. Jam piga kari kam itaruhkan” Apakah mamak dengar Jam berapa nanti mamak diantar Ibu dari istri : “Kai kin nina kela ena?” Apa yang diucapkan menantu itu? Istri : “Jam piga kari kam itaruhkan?” Jam berapa nanti mamak diantarkan? Ibu dari Istri : “ Jam telu” . jam tiga

Percakapan ini memiliki langkah sebagai berikut

a2 : Sungkun mami ah pukul piga kari ia itaruhkan ‘Tanya ibu jam berapa nanti dia diantarkan’ a1 (k2) : Begindu kang e nande. Jam piga kari kam itaruhkan. ‘Dengar mamaknya itu. Jam berapa nanti mamak diantarkan’ cl : Kai kin nina kela ena? ‘Apa rupanya dibilang menantu itu’ rcl : Jam piga kari kam taruhkan ‘Jam berapa nanti mamak diantarkan’ k1 : Jam telu ‘jam tiga’

~ 557 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Dari percakapan tsb terbentuk struktur percakapan a2 ^ a1(k2) ^ cl ^ rcl ^ k1. Sebenarnya percakapan itu memiliki langkah yang sederhana menurut Martin (1992), yaitu:

k2: (menantu lk-lk): Jam piga kam itaruhken mami? Jam berapa nanti mamak diantarkan? k1: (ibu mertua) : Jam telu ‘jam tiga’ dan membentuk struktur percakapan k2^k1 tetapi karena adanya budaya ‘rebu’ langkah k2 (meminta informasi) diubah menjadi a2 (memerintah) sehingga terbentuk struktur percakapan berikut a2^a1 (k2). Dalam hal ini menantu melakukan pilihan yang berbeda. Namun, akhir-akhir ini ditemukan fenomena di salah satu daerah komunitas penutur bahasa Karo, perantara tidak perlu hadir cukup dengan menyebut namanya saja (Ginting, 2010). Misalnya, ketika menantu perempuan mengajak mertua laki-laki makan siang, maka menantu perempuan cukup menyebut salah satu nama anaknya yg tdk ada di tempat. Contoh: a2 Menantu Pr : Kataken man bulang ndu meta gelah man suari ya. (Bilang sama kakekmu Meta agar makan siang). a2 Mertua Laki-laki : Ue ningen man nande ndu kempu. (Ya bilang sama mamakmu cucu)

Percakapan di atas memperlihatkan bahwa menantu perempuan berbicara langsung dengan mertua laki-laki tanpa perantara hanya dengan kalimat perintah yang ditujukan kepada salah satu anaknya bernama Meta untuk mengajak kakeknya makan siang. Demikian pula halnya dengan Mertua laki-laki menjawab secara langsung dengan kalimat perintah yang ditujukan kepada Meta yang tidak hadir dalam situasi tersebut. Akibatnya terbentuk struktur pecakapan yang sangat berbeda dengan Martin (2002), yaitu a2^a2. Perubahan struktur percakapan tidak hanya terjadi di dalam percakapan sehari-hari, namun juga ditemukan di dalam kegiatan budaya, yaitu dalam acara perkawinan dan kematian (Ginting, 2010; Ginting, 2013). Biasanya dalam upacara perkawinan, partisipan yang terlibat dalam proses perkawinan harus lengkap sesuai dengan hubungan kekerabatan. Namun kini ditemukan pihak-pihak yang terlibat dalam proses perkawinan hanya mewakili salah satu dari setiap pihak. Demikian pula halnya dalam upacara kematian, biasanya dalam memberikan kata sambutan pihak yang berbicara terdiri dari beberapa orang. Kata sambutan diiringi dengan ratapan, seakan mereka berkomunikasi dengan orang mati dengan memperoyeksikan dirinya. Tetapi ditemukan sebagian besar dari mereka tidak lagi meratap dan memperoyeksikan dirinya sebagai orang mati. Akibatnya terbentuk struktur percakapan yang lebih singkat. Fenomena ini menunjukkan adanya pergeseran budaya yang berdampak pada perubahan struktur percakapan yang bermuara pada berkurangnya kepadatan struktur percakapan dalam suku Karo. Artikel ini membahas faktor penyebab berkurangnya kepadatan struktur percakapan tersebut ditinjau dari teori linguistik sistemik fungsional.

Struktur Percakapan Struktur merupakan realisasi dari sistem. Sistem bersifat vertikal dan merupakan pilihan, sedangkan struktur bersifat horizontal dan merupakan urutan atau susunan. Langkah percakapan direalisasikan dalam struktur. Setelah diambil sebuah pilihan dari sistem itu, lalu direpresentasikan dengan struktur seperti contoh berikut di mana yang dipilih adalah ‘hormat’ yang bersumber dari posisi ‘tidak sama’ dari segi pilihan ‘status’.

~ 558 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

Struktur: + hormat k2: Ibu, boleh saya pulang? + positif k1: Sebentar lagi.

Struktur percakapan yang terjadi adalah k2^k1. Struktur percakapan ini dapat dijelaskan lebih rinci dengan menguraikan negosiasi, modus, fungsi ujar dan respon.

Negosiasi, Fungsi Ujar, Modus, dan Tanggapan ‘Respon’ Negosiasi dan fungsi ujar adalah bagian dari semantik wacana, yang direalisasikan oleh modus sesuai dengan konteksnya. Negosiasi dan fungsi ujar berperan penting dalam menganalisis wacana karena maksud dari penutur akan tercapai jika dinegosiasikan dengan penggunaan fungsi ujar yang bersesuaian dengan hubungan tenor yang terlibat dalam komunikasi. a. Negosiasi dan Fungsi Ujar Menurut Martin (1992:31) negosiasi merupakan struktur percakapan dalam bentuk langkah ‘move’. Dalam hal yang sama Martin dan Rose (2002:219) berpendapat bahwa negosiasi berhubungan dengan interaksi sebagai suatu pertukaran langkah di antara para penutur. Bagaimana para penutur mengadopsi dan menandai perannya masing-masing di dalam percakapan serta bagaimana langkah-langkah disusun dalam kaitan satu dengan yang lain. Langkah diartikan sebagai fungsi atau peran yang dimainkan oleh penutur dalam sebuah percakapan yang berhubungan dengan fungsi atau peran yang dimainkan oleh petutur dan komoditas yang dipertukarkan (Saragih, 2006:14). Sedangkan menurut Martin (1992) ‘move’ adalah titik keberangkatan yang berharga. Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik tiga parameter yang perlu dipertimbangkan dalam percakapan, yaitu apa yang akan dinegosiasikan, peran apa yang dilakukan, memulai percakapan atau merespon percakapan serta apakah memberi atau meminta informasi atau memberi atau meminta barang atau jasa (Martin dan Rose, 2002:222). Dalam meminta dan memberi informasi yang diharapkan adalah respon verbal atau gerak badan sedangkan jawaban yang diharapkan dapat berbentuk respon verbal atau aksi atau sekaligus keduanya, yaitu respon verbal dan aksi. Contoh 1 A meminta informasi kepada B (respon). Contoh 2 L meminta barang dan jasa. (1) A : Enggo dung bandu kerina? ‘Sudah siap semua kau buat’? B : Enggo ‘sudah’ (2) L : Banci kita ngerana entisik ‘Boleh kita sebentar bercakap-cakap’? M : (lalu mereka memulai percakapan) b. Fungsi Ujar Halliday (1994:69) menggolongkan fungsi ujaran ke dalam empat kelompok yaitu: tawaran, perintah, pernyataan, dan pertanyaan. Keempatnya dipasangkan dengan respon yang diharapkan yaitu menerima tawaran, melaksanakan perintah, mengakui pernyataan’menjawab pertanyaan. Komoditas yang dipertukarkan dalam fungsi ujaran ini terbagi dua yaitu: (1) informasi dan (2) barang & jasa. Yang termasuk ke dalam informasi adalah pernyataan dan pertanyaan, sedangkan tawaran dan perintah termasuk ke dalam barang & jasa. Kemudian, pernyataan dan pertanyaan dianggap sebagai proposisi, dan tawaran dan perintah dianggap sebagai proposal.

~ 559 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature c. Modus Thompson (1996:40) menyebutkan bahwa tiga dari keempat fungsi ujar itu berhubungan erat dengan struktur gramatika tertentu. Pernyataan sering diujarkan dengan klausa deklaratif, pertanyaan dengan klausa interogatif, dan perintah dengan klausa imperatif. Yang aneh adalah tawaran karena tidak ada pilihan modus tertentunya, namun tawaran lebih berhubungan dengan modalitas.Eggins (1994:153) menyimpulkan fungsi ujar dan modus klausa yang biasa digunakan yang dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel: Fungsi Ujaran dan Modus Klausa Tipikal Fungsi Ujaran Modus Tipikal dalam Klausa Pernyataan Modus deklaratif Pertanyaan Modus interogatif Perintah Modus imperative Tawaran Modus interogatif termodulasi jawaban Modus deklaratif eliptikal pengakuan Modus deklaratif eliptikal penerimaan klausa minor persetujuan klausa minor

Tanggapan ‘Respond’ Fungsi ujar yang diekspresikan penutur menempatkan petutur pada posisi menanggapi. Tanggapan berkembang dari struktur Subject – Finite langkah inisiasi yang berbentuk klausa lengkap, Subject dan Finite, klausa tidak lengkap (modalitas, polaritas, dan temporalitas) atau atau tanda-tanda polaritas (misalnya ya, tidak, baiklah) dan sebagainya. Contoh berikut merupakan bentuk-bentuk respon seperti yang disebutkan di atas.

A: Apakah Amir tinggal di sini? B: Dia tinggal di sini ( Respon dengan klausa Lengkap) A: Apakah Amir di rumah hari ini? B: Dia di rumah ( Respon dengan Subject-Finite)

Dalam percakapan sedikitnya terdapat satu langkah yang diperankan oleh penutur dalam melakukan transaksi komoditas berupa imformasi, barang dan jasa. Orang yang memiliki sesuatu bermakna yaitu informasi atau barag dan jasa memiliki peran primair ditandai dengan 1 dan orang yang meminta sesuatu bermakna memiliki peran sekunder ditandai dengan 2. Jika percakapan berlanjut ditandai dengan f (follow up). Komoditas informasi ditandai dengan k dan komoditas barang dan jasa ditandai dengan a. Oleh karena itu penutur yang memiliki komoditas informasi ditandai dengan k1 dan penutur yang meminta informasi ditandai dengan k2. Selanjutnya penutur yang memiliki barang dan jasa ditandai dengan a1 dan penutur yang meminta barang dan jasa ditandai dengan a2. Jika percakapan berlanjut, k1 dan k2 menjadi k1f dan k2f, 1 dan a2 menjadi a1f dan a2f. Langkah yang berbeda dari penutur yang berbeda dihubungkan dengan garis lurus seperti pada contoh (1) di mana langkah k2 dan k1 dihubungkan oleh garis lurus. Langkah yang sama dari penutur yang sama serta langkah dinamis dihubungkan dengan tanda panah melengkung. Contoh (2) memperlihatkan bahwa langkah a2 dan a1 dihubungkan oleh garis lurus dan di antara kedua langkah tersebut terdapat dinamika langkah yang dihubungkan oleh tanda panah melengkung. Contoh berikut menunjukkan bahwa A meminta informasi kepada B:

~ 560 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

(1) k2 A : Digan berkat nande ndu ‘ Kapan berangkat ibumu’? k1 B : Sendah bi ‘ hari ini bik ‘

Dalam percakapan ini, A dinyatakan sebagai k2 ‘secondary knower move’ karena ia meminta informasi dengan harapan adanya jawaban dari B. Sedangkan B sebagai pemilik informasi diistilahkan dengan k1 ‘primary knower move’. Langkah k2 digunakan karena A tidak mengetahui atau memiliki informasi. Ia kemudian mengetahui informasi setelah B memberitahunya. Jadi, yang lebih dahulu mengetahui informasi adalah B. Itulah sebabnya A dinyatakan sebagai k2 dan B sebagai k1. (2) da1 : A : Kopi man bandu? ‘Minum kopi’? a2 : B : Ue ‘Ya’. a1 : A : Enda kopi ndu ‘Ini kopinya’. a2f : B : Bujur ‘Terima kasih’. a1f : A : Bujur ‘Sama-sama’

Struktur percakapan itu dapat dipahami sebagai da1 ^ a2 ^ a1 ^ (a2f) ^ (a1f). dA1 merepresentasikan orang yang menunda pemberian barang & jasa ‘delayed primary actor’, a2 orang yang meminta barang dan jasa ‘secondary actor’, a1 orang yang memberi barang dan jasa ‘primary actor’, a2f langkah tindak lanjut orang yang meminta barang dan jasa, dan a1f langkah tindak lanjut orang yang memberi barang dan jasa.

Perubahan Sosial Budaya dalam Masyarakat Setiap masyarakat dalam kehidupannya pasti mengalami perubahan. Perubahan itu terbagi dua, yaitu perubahan sosial dan perubahan budaya. Perubahan sosial budaya menurut Samuel Koenig adalah menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia. Modifikasi tersebut terjadi karena factor intern atau ekstern. Sedangkan menurut Soemardjan perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Perubahan yang berkaitan dengan budaya seperti upacara pernikahan, upacara kematian, pemberian nama, memasuki rumah baru, dsb adalah pada cara pelaksanaannya. Berdasarkan sifatnya, perubahan yang terjadi bukan hanya menuju ke arah kemajuan, namun dapat juga menuju ke arah kemunduran. Perubahan sosial yang terjadi memang telah ada sejak zaman dahulu. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perubahan sosial dan budaya adalah perubahan unsur-unsur atau struktur sosial dan perilaku manusia dalam masyarakat dari keadaan tertentu ke keadaan yang lain. Sebab-Sebab Terjadinya Perubahan Sebab-sebab perubahan sosial yang bersumber dari dalam masyarakat adalah (1) Dinamika pertambahan dan penurunan jumlah penduduk, (2) Penemuan-penemuan baru, (3) Munculnya konflik dalam masyarakat, (4) Terjadinya pemberontakan atau revolusi. Sebab-sebab perubahan yg berasal dari Luar Masyarakat adalah (1) Pengaruh bencana alam, (2) Peperangan, (3) Pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Selain penyebab tersebut, perubahan dapat lebih cepat terjadi maupun lebih lambat disebabkan adanya faktor pendorong dan penghambat perubahan sosial budaya tersebut.1. Faktor-Faktor Pendorong Perubahan antara lain (a) Adanya Kontak dengan Kebudayaan Lain, (b) Sistem Pendidikan Formal yang Maju, (c) Sikap Menghargai

~ 561 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Hasil Karya Orang Lain (d) Toleransi terhadap Perbuatan yang Menyimpang, (e) Sistem Terbuka Masyarakat (Open Stratification), (f) Heterogenitas Penduduk, (g) Orientasi ke Masa Depan, (h) Ketidakpuasan Masyarakat terhadap Bidang-Bidang Tertentu, dan (i) Nilai Bahwa Manusia Harus Senantiasa Berikhtiar untuk Memperbaiki Hidupnya. Sedangkan Faktor Penghambat Perubahan antara lain (a) Kurangnya Hubungan dengan Masyarakat Lain, (b) Terlambatnya Perkembangan Ilmu Pengetahuan, (c) Sikap Masyarakat yang Masih Sangat Tradisional (d) Rasa Takut Terjadinya Kegoyahan pada Integritas Kebudayaan.

Pembahasan Pertukaran langkah percakapan di dalam berbagai kegiatan budaya dalam bahasa karo mengalami perubahan dalam bentuk kepadatan struktur. Kepadatan ini berkurang disebabkan oleh berkurangnya jumlah penutur dan petutur yang terlibat didalamnya serta berkurangnya tahapan-tahapan dalam proses pelaksanaan kegiatan budaya tersebut. Dalam upacara perkawinan (meminang/mbah mbloh selambar) seyogyanya partisipan yang terlibat dalam kedua belah pihak berdasarkan kekerabatan harus lengkap. Partisipan tersebut mencakup seninak, sembuyak, kalimbubu, anakberu, sipemereen, gereja, perwiritan, dan pemerintahan. Setiap bagian-bagian ini terdiri dari beberapa orang sesuai dengan kekerabatan yang dimiliki kedua belah pihak. Keterlibatan partisipan ini akan sangat tergantung pada komitmen untuk melaksanakan semua tahapan dari meminang. Komitmen pelaksanaan tahapan-tahapan ini akan sangat mempengaruhi struktur percakapan yang terjadi. Bila semua tahapan dilaksanakan secara lengkap akan menghasilkan struktur percakapan yang lebih panjang dibandingkan dengan kegiatan dimana pelaksanaannya tidak dijalankan secara penuh. Seperti yang ditemukan Ginting (2013) di Kabupaten Deli Serdang sebagai salah satu daerah penutur komunitas bahasa karo, struktur percakapan dalam acara meminang jauh lebih pendek dan padat dibandingkan dengan struktur percakapan dalam upacara meminang di Kabupaten Tanah Karo (2010). Hal ini disebabkan partisipan yang terlibat dalam percakapan tidak lengkap serta tahapan-tahapan tidak dilaksanakan sepenuhnya. Perubahan-perubahan diatas merupakan perubahan sosial budaya yang disebabkan adanya factor pendorong. Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap partisipan tentang tidak lengkapnya partisipan yang hadir dan tidak dilaksanakannya semua tahapan, karena mereka menganggap bila semua tahapan dilaksanakan akan memakan waktu yang lama dan biaya yang besar. Demikian pula bila semua partisipan dilibatkan berdasarkan kekerabatan akan juga membutuhkan biaya yang besar. Ini merupakan pandangan dari penyelenggara, sedangkan menurut partisipan yang diundang bila mereka datang suami isteri akan berakibat pada besarnya ongkos perjalanan. Dan juga menyebabkan terbengkalainya pekerjaan mereka yang bermuara pada berkurangnya pendapatan keluarga. Alasan yang mereka berikan ini sesuai dengan factor pendorong terjadinya perubahan seperti berikut yaitu pandangan orientasi ke masa depan dan nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki hidupnya. Dalam hal ini para partisipan sudah menyadari bahwa sebagai manusia mereka harus berorientasi kedepan seperti menyikapi adanya era globalisasi sehingga mereka harus memperbaiki kehidupannya (kesejahteraannya). Lain pula halnya dalam upacara kematian, Ginting (2010) menemukan struktur percakapan dalam upacara kematian di Kabupaten Tanah Karo lebih panjang bila dibandingkan dengan struktur percakapan di Kabupaten Deli Serdang (2010). Berkurangnya struktur percakapan ini tidak terjadinya interaksi antara partisipan dengan orang mati. Interaksi dilakukan dengan cara

~ 562 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature partisipan memproyeksikan dirinya sebagai orang mati. Alasan yang mereka berikan bahwa berinteraksi dengan orang yang mati adalah haram hukumnya menurut agama Islam dan Kristen (Ginting, 2010; 2013).

Kesimpulan Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa kepadatan struktur percakapan dalam bahasa karo berkurang disebabkan oleh berkurangnya jumlah penutur dan petutur yang terlibat didalamnya serta berkurangnya tahapan-tahapan dalam proses pelaksanaan kegiatan budaya tersebut. Faktor penyebab terjadinya ini sebenarnya tidak ada, yang ada hanyalah faktor pendorong penyebab terjadinya perubahan yaitu pandangan orientasi ke masa depan dan nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki hidupnya.

DAFTAR PUSTAKA

Benson, J.D.& Greaves, W.S. 1985. Systemic Persfectives on Discourse Vol 2. New Jersey: Ablex. Berry, M. 1981. Systemic linguistics and discourse analysis: A multilayered approach to exchange structure. Dalam M. Coulthard dan M. Montgomery (Editor), Studies in discourse analysis. London: Routledge & Kegan Paul. Bloor, T dan Bloor, Meriel. 2004. The Functional Analysis of English: A Hallidayan Approach. London: Arnold. Chandler, D. 2008. Semiotics: the Basics. London: Routledge Cobley, Paul. 2001. Semiotics and Linguistics. London: Routledge. Eggins, Suzanna. 1994. An Introduction to Systemic Functional Linguistcis. London: UK. Eggins, S ., Diana S. 1997. Analysis of Casual Conversation. London: Wellington House. Fairclough, N. 2003. Analysing Discourse: Textual Analysis for Social Research. NewYork: Routledge. Gerot, Linda. Dan Wignell, Peter. 1994. Making Sense of Functional Grammar. Australia: Gerd Stabler. Ginting, Siti Aisah. 2005. Kesantunan dalam Bahasa Karo. Medan: Disajikan dalam Pertemuan Linguistik Utara (PLU) 13-14 April 2004. ______2008. Sistem Tutur Sapaan dalam Bahasa Karo dalam Fungsi Antarpersona dalam Prosiding Jilid 2. Seminar Antar Bangsa: Dialek-dialek Austronesia di Nusantara III.hal.439. ______2008. Peran Hubungan Kekerabatan dalam Pembentukan Struktur Percakapan dalam Puspitorini, dkk. (ed). Kajian Wacana dalam Konteks Multikultural dan Multidisiplin. Hal.145.Jakarta: Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI. ______2010. Sistem dan Struktur Percakapan Dalam Bahasa Karo. Unimed. Desertasi. ______2013. Sistem dan Struktur Percakapan Dalam Bahasa Karo di Berbagai Komunitas Penutur Bahasa Karo. Universitas Negeri Medan. Laporan Penelitian. Ginting, Malem Ukur. 2008. Adat Karo Sirulo. Medan: Prima. Halliday, M.A.K.1975. ‘Language as social semiotic: towards a general sociolinguistic theory dalam A. Makkai dan V.B. Makkai (eds). The First LACUS Forum 1974. Colombia, SC: Hornbeam (Dicetak ulang dalam Halliday 1987) Halliday, M. A. K. 1985 An Introduction to Functional Grammar. London: Edward Arnold. ______2002. Linguistics Studies of Text and Discourse. Great Britain: MPG Books Bodmin Cormwall. Lee, David. 1992. Competing Discourses: Perspective and Ideology in Language. London: Longman. Love, Kristina., Didi Suherdi. 1996. The Negotiation of Knowledge in an Adult English as a Second Language Classroom. Melbourne: The University of Melbourne. Htpp.www.curtin.edu.au/ diakses pada 28 Desember 2009. ~ 563 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Martin, J. R. 1984. Functional components in grammar: A review of deployable recognition criteria. Nottingham Linguistic Sircular, 13, 35-70.. ______1992. English Text. Philladelphia: John Benjamins. Martin, J.R, David Rose. 2002. Working with Discourse: Meaning Beyond the Clause. London, New York: Continuum. ______2008. Genre Relation: Mapping Culture. London: Equinox. Martin, J.R., P.R.R White. 2006. The Language of Evaluation. New York: Palgrave. Matthiessen, C. 1992. Lexicogrammatical Cartography: English Systems. Sidney: Sidney University. Prinst, Darwin. 2004. Adat Karo. Medan: Bina Media Perintis. Rogers. R. 2004. An Introduction to Critical Discourse Analysis in Education. NJ: Lawrence Erlbaum. Salamudin .2001. Struktur Percakapan dalam Bahasa Alas. Medan: Thesis S2 USU Saragih, Amrin. 2005. Bahasa dalam Konteks Sosial: Pendekatan Linguistik Fungsional Sistemik terhadap Tata Bahasa dan Wacana.. Medan: Unimed. ______2006. Discourse Analysis: A Systemic Functional Approach. Medan: Unimed. ______2009. Semiotik Bahasa: Tanda , Penanda dan Petanda. Medan: Pascasarjana Unimed. Schegollf, E.A. 1968/1972. ‘Sequencing in conversational opening’. Dalam Laver, J. Dan Hutcheson,S. (eds). 1972.. Communication in Face to Face Interaction. Harmondsworth: Penguin. 233-264. Thompson, Geoff. 1996. Introducing Functional Grammar. London: Edward Arnold. Thompson, Neil. 2003.Communication and Language. New York: Palgrave Macmillan. Ventola, Eja. 1987. The Structure of Social Interaction: a systemic approach to the semiotics of service encounters. Great Britain: Frances ...... http://www.karoweb.or.id/dinamika-budaya-karo-1, diakses tanggal 2/01/2010...... http://budayakaro.wordpress.com/2009/03/18/sistem-kekerabatan-, diakses tanggal 2/01/2010. ………..http://achmadfahmi489.blogspot.com/2011/10/faktor-faktor-yang-mempengaruhi.html ………..http://dwisetiyono23.blogspot.com/2013/04/penyebab-terjadinya-perubahan.html ………..http://it-softcenter.blogspot.com/2012/12/perubahan-sosial-budaya-dalam-masyarakat.html

~ 564 ~ WUJUD IMPERATIF DALAM SASTRA LISAN LAMPUNG MUAYAK (KAJIAN PRAGMATIK)

Siti Fitriati STKIP Muhammadiyah Pringsewu Lampung Jalan Makam KH. Ghalib No.112 Pringsewu Kec. Pringsewu Prov. Lampung [email protected]

ABSTRACT This research is a pragmatic study analyzing the forms of imperative in oral literature of Lampung muayak. Muayak is one of the Lampung oral literatures, a kind of poem (quatrain) which is well-known in West Lampung especially in Belalau region. Muayak is a type of oral literature that could only be performed at a certain situation in the past and it was performed without musical accompaniment (oral sound only). However today, muayak can be peformed with musical accompaniment and in the form of dialogues (drama). The data of the research are collected from VCD (Video Compact Disk). The formulation of study of this research is what are the forms of imperative conveyed in the oral literature of Lampung muayak. The objective of the research is to describe the forms of imperative in the oral literature of Lampung muayak. The method used in this research is qualitative-descriptive aiming to describe the existing facts to be analyzed. The technique of data collection uses observation and writing techniques. The result of the analysis shows that in the oral literature of Lampung muayak there is imperative-pragmatic forms of speech conveying imperative-pragmatic ordering, imperative-pragmatic persuasion, imperative-pragmatic asking permission, imperative-pragmatic giving permission, and imperative-pragmatic requesting.

Keywords: Imperative, oral literature, muayak, pragmatics.

1. Pendahuluan Indonesia merupakan negara yang memiliki kebudayaan yang beranekaragam. Kebudayaan pada umumnya lahir dari keanekaragaman suku yang ada di Indonesia. Keanekaragaman kebudayaan tersebut tersebar di seluruh nusantara. Keanekaragaman adalah suatu kekayaan dan kebanggaan bangsa Indonesia. Indonesia memiliki kekayaan etnik, bahasa serta kebudayaan daerah. Bahasa ternyata memiliki fungsi yang sangat hakiki dalam kerangka hubungan antarmanusia, yakni sebagai pengukuh hubungan antarsesama. Tanpa kehadiran sosok bahasa, manusia tidak akan dapat saling berhubungan antara yang satu dan yang lainnya. Kerja sama antarmanusia juga hampir mustahil dilakukan dengan optimal bilamana bahasa tidak benar-benar hadir sebagai peranti komunikasi dan interaksi. Sebagai penunjang komunikasi, bahasa tidak hanya berkaitan dengan struktur bahasa, tetapi berkaitan dengan konteks berbahasa. Perhatian terhadap masalah konteks ini diwujudkan dalam pengembangan ilmu-ilmu baru cabang dari linguistik di antaranya adalah pragmatik. Pragmatik merupakan studi pemahaman terhadap tindakan manusia yang disengaja. Jadi studi ini melibatkan penafsiran tindakan-tindakan yang diasumsikan dilakukan untuk mendapatkan beberapa tujuan. Cara untuk mencapai tujuan melibatkan komunikasi. Sebagai alat komunikasi, bahasa Lampung, seperti bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia memiliki peranan yang sangat penting bagi masyarakat Lampung. Di lingkungan masyarakat Lampung Barat, khususnya di daerah Belalau dikenal sastra lisan Lampung muayak yang dahulu hanya dapat dibawakan pada saat tertentu dan tanpa musik pengiring (hanya dengan

~ 565 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature suara mulut). Namun, saat ini muayak dapat dijadikan tontonan (pertunjukan). Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan wujud imperatif dalam sastra lisan Lampung muayak. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengkajian ilmu pragmatik, khususnya mengenai wujud imperatif serta dapat bermanfaat sebagai bahan referensi pada penelitian selanjutnya mengenai wujud pragmatik imperatif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis adalah suatu metode yang mendeskripsikan fakta-fakta yang ada kemudian disusun dengan cara menganalisis (Nyoman Kutha Ratna, 2007: 53). Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik simak dan catat.

2. Kajian Teori 1) Pragmatik Pragmatik sebagai salah satu bidang linguistik, mengkhususkan pengkajian pada hubungan antara bahasa dan konteks tuturan. Berkaitan dengan itu, Rahardi (2003:12) mendefinisikan pragmatik bahwa “pragmatic is the study of the conditions of human language uses as there determined by the context of society”, pragmatik merupakan studi mengenai kondisi- kondisi penggunaan bahasa manusia yang ditentukan oleh konteks masyarakat. Menurut Yule (2014:3) pragmatik merupakan studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (pembaca).

2) w ujud Pragmatik Imperatif Rahardi (2005:93) menyatakan bahwa wujud pragmatik imperatif dalam bahasa Indonesia dapat berupa tuturan yang bermacam-macam, dapat berupa konstruksi imperatif dan dapat pula berupa konstruksi nonimperatif. Adapun yang dimaksud dengan wujud pragmatik adalah realisasi maksud imperatif dalam bahasa Indonesia apabila dikaitkan dengan konteks situasi tutur yang melatarbelakanginya. Makna pragmatik imperatif yang demikian itu sangat ditentukan oleh konteksnya. Ada tujuh belas macam makna pragmatik imperatif di dalam bahasa Indonesia. Macam-macam makna pragmatik imperatif itu adalah sebagai berikut:

a) Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Perintah b) Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Suruhan c) Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Permintaan d) Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Permohonan e) Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Desakan f) Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Bujukan g) Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Imbauan h) Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Persilaan i) Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Ajakan j) Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Permintaan Izin k) Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Mengizinkan l) Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Larangan m) Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Harapan n) Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Umpatan o) Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Pemberian Ucapan Selamat p) Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Anjuran q) Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif “Ngelulu”

~ 566 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature 3) Sastra Lisan Sastra lisan sebagai ungkapan merupakan gabungan sastra dan lisan, karenanya dapat diberi batasan sastra yang disampaikan dan dinikmati secara lisan. Lord menuliskan hasil penelitiannya bersama Parry dalam Adriyetti Amir (2013:76) bahwa sastra lisan adalah sastra yang dipelajari, digubah, dan disebarkan secara lisan. Sementara itu, Suripan Sadi Hutomo (1991:1) dalam Adriyetti Amir (2013:76) memberi batasan “kesusastraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturunkan secara lisan (dari mulut ke mulut)”. Sastra lisan Lampung adalah sastra berbahasa Lampung yang hidup secara lisan yang tersebar dalam bentuk tidak tertulis (kini sudah diinventarisasi dan sudah banyak yang ditulis). Sastra lisan Lampung merupakan milik kolektif etnik Lampung dan bersifat anonim. Sastra itu banyak yang tersebar di masyarakat, bagian yang sangat penting dari kekayaan budaya etnik Lampung dan bagian dari kebudayaan nasional. Sastra lisan Lampung dapat dibedakan menjadi lima jenis, yaitu peribahasa, teka-teki, mantra, puisi, dan cerita rakyat (Sanusi, 1999: 7). 4) Muayak Tim penyusun ensiklopedia sastra Lampung (2008:138) mendefinisikan muayak adalah salah satu sastra lisan Lampung, sejenis puisi (pantun) yang dikenal di lingkungan masyarakat Lampung Barat, khususnya di daerah Belalau. Muayak merupakan jenis sastra lisan yang dahulu hanya dapat dibawakan pada saat tertentu dan tanpa musik pengiring (hanya dengan suara mulut). Namun, saat ini muayak dapat dijadikan tontonan (pertunjukan) karena sudah diiringi musik dan dapat dikemas dalam bentuk dialog-dialog (drama). Masyarakat Belalau, Lampung Barat, mengenal tiga jenis muayak. Jenis-jenis muayak tersebut mereka kenal dengan nama sujak. Berikut adalah ketiga jenis muayak sujak itu. a. Muayak sujak jebus, yaitu muayak yang dibawakan dengan nada yang tinggi (nguin ‘melengking’) mulai dari awal hingga akhir. Maksudnya, agar yang disampaikan oleh orang yang sedang muayak terdengar dari jauh. Muayak sujak jebus dilakukan pada saat berkunjung ke suatu desa (pekon). Kira-kira 40 meter menjelang desa yang dituju, muayak dialksanakan sebagai tanda (pemberitahuan) kepada gadis-gadis bahwa akan ada tamu sehingga mereka memiliki kesempatan bersiap-siap untuk menerimanya. b. Muayak sujak pulangan, yaitu muayak yang dibawakan dengan nada yang sedang. Muayak sujak pulangan ini dibawakan oleh bujang dan gadis yang akan berumah tangga kepada teman-temannya. Biasanya, muayak ini berisi tentang maaf-memaafkan. c. Muayak sujak kecambay, yaitu muayak yang dibawakan dengan nada yang bervariasi antara nada tinggi dan nada rendah atau menggunakan sujak jebus dan sujak pulangan dan biasanya dibawakan secara bersamaan dengan kelompok bujang dengan kelompok gadis.

3. Pembahasan Pembahasan dalam penelitian ini difokuskan pada wujud pragmatik imperatif dalam sastra lisan Lampung muayak.

1) Analisis Data ke-1 a) Data Kik / temon / abang / sayang / dippa / buktini / kidah. Kalau / betul / abang / sayang / mana / buktinya / coba. Kalau betul abang sayang mana buktinya coba.

~ 567 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature b) Analisis Wujud pragmatik imperatif yang muncul pada data ke-1 adalah tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif suruhan. Imperatif yang bermakna suruhan dapat ditandai oleh pemakaian penanda kesantunan coba. Informasi indeksal yang ada pada data di atas yaitu tuturan disampaikan oleh pelantun muayak wanita yang ditujukan kepada pelantun muayak laki-laki agar si laki-laki dapat membuktikan rasa sayangnya kepada si wanita.

2) Analisis Data ke-2 a) Data Kik / temon / ano / kacang / dippa / isina / kiddah. Kalau / betul / itu / kacang / mana / isinya / coba. Kalau betul itu kacang mana isinya coba. b) Analisis Wujud pragmatik imperatif yang muncul pada data ke-2 adalah tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif suruhan. Imperatif yang bermakna suruhan dapat ditandai oleh pemakaian penanda kesantunan coba. Informasi indeksal yang ada pada data di atas yaitu tuturan disampaikan oleh pelantun muayak wanita yang ditujukan kepada pelantun muayak laki-laki agar si laki-laki dapat menunjukkan isi kacang kepada si wanita.

3) Analisis Data ke-3 a) Data Payu / kham / jama / jama / nyussuk / kumbang / melati. Ayo / kita / sama / sama / menusuk / bunga / melati. Ayo kita sama-sama menusuk bunga melati. b) Analisis Wujud pragmatik imperatif yang muncul pada data ke-3 adalah tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif ajakan. Imperatif dengan makna ajakan, biasanya, ditandai dengan pemakaian penanda kesantunan mari atau ayo. Kedua macam penanda kesantunan itu masing- masing memiliki makna ajakan. Informasi indeksal yang ada pada data di atas yaitu tuturan disampaikan oleh pelantun muayak laki-laki dan wanita yang sama-sama saling mengajak untuk menusuk atau merangkai bunga melati.

4) Analisis Data ke-4 a) Data Payu / kham / jama / jama / ngandan / khasan / nyin / jadi. Ayo / kita / sama / sama / merawat / komitmen / agar / terwujud. Ayo kita sama sama merawat komitmen agar terwujud. b) Analisis Wujud pragmatik imperatif yang muncul pada data ke-4 adalah tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif ajakan. Imperatif dengan makna ajakan, biasanya, ditandai dengan pemakaian penanda kesantunan mari atau ayo. Kedua macam penanda kesantunan itu masing- masing memiliki makna ajakan. Informasi indeksal yang ada pada data di atas yaitu tuturan disampaikan oleh pelantun muayak laki-laki dan wanita yang sama-sama saling mengajak untuk menjaga komitmen cinta mereka supaya dapat diwujudkan.

~ 568 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature 5) Analisis Data ke-5 a) Data Khappa / inda-indani / kik / nguccakko / kehaga. Bagaimana / seandainya / kalau / menyampaikan / keinginan. Bagaimana seandainya kalau menyampaikan keinginan. b) Analisis Wujud pragmatik imperatif yang muncul pada data ke-5 adalah tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif permintaan izin. Informasi indeksal pada data di atas dituturkan oleh pelantun muayak laki-laki yang ditujukan kepada pelantun muayak wanita bahwa pelantun muayak laki-laki mohon izin untuk menyampaikan keinginannya kepada pelantun muayak wanita.

6) Analisis Data ke-6 a) Data Mak / salah / na / ti / uccak / kik / wat / citta / kehaga. Tidak / salah / itu / di / ucapkan / kalau / ada / keinginan / harapan. Tidak / salah / itu / di / ucapkan / kalau / ada / keinginan / harapan. b) Analisis Wujud pragmatik imperatif yang muncul pada data ke-6 adalah tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif mengizinkan. Informasi indeksal dapat muncul jika tuturan tersebut dibuat menjadi parafrasa. Tuturan pada data di atas disampaikan oleh pelantun muayak wanita yang ditujukan kepada pelantun muayak laki-laki bahwa si wanita mempersilakan si laki-laki untuk menyampaikan keinginan dan harapannya kepada si wanita.

7) Analisis Data ke-7 a) Data Pujamma / do / kham / ading / kebuah. Bersamamu / lah / kita / adik / mencari buah pinang. Bersamamulah kita adik mencari buah pinang. b) Analisis Wujud pragmatik imperatif yang muncul pada data ke-7 adalah tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif permohonan. Imperatif yang mengandung makna permohonan, biasanya, ditandai dengan ungkapan penanda kesantunan mohon. Selain ditandai dengan hadirnya penanda kesantunan itu, partikel –lah juga lazim digunakan untuk memperhalus kadar tuturan imperatif permohonan. Informasi indeksal dapat muncul jika tuturan tersebut dibuat menjadi parafrasa. Tuturan pada data di atas disampaikan oleh pelantun muayak laki-laki yang ditujukan kepada pelantun muayak wanita bahwa si laki-laki memohon kepada si wanita agar si wanita mau bersama dengan si laki-laki, karena hanya dengan wanita itulah si laki-laki ingin bersama.

4. Simpulan Dari analisis data pada sastra lisan Lampung muayak, terdapat sembilan data tuturan wujud pragmatik imperatif yang mengandung makna pragmatik imperatif suruhan, pragmatik imperatif

~ 569 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature ajakan, pragmatik imperatif permintaan izin, pragmatik imperatif mengizinkan, dan pragmatik imperatif permohonan.

DAFTAR PUSTAKA

Amir, Adriyetti. 2013. Sastra Lisan Indonesia. Yogyakarta: ANDI.

Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik:Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Rahardi, Kunjana. 2009. Sosiopragmatik. Jakarta: Erlangga. Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sanusi, A. Effendi. 2000. Sastra Lisan Lampung. Bandar Lampung: Universitas Lampung. Tim Penyusun. 2008. Ensiklopedia Sastra Lampung. Bandar Lampung: Kantor Bahasa Provinsi Lampung.

Tim Penyusun Kamus. 2009. Kamus Dwibahasa Lampung-Indonesia. Bandar Lampung: Kantor Bahasa Provinsi Lampung.

Yule, George. 2014. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

~ 570 ~ SPELLING RECONSTRUCTION OF MADURESE LANGUAGE FROM PHONOLOGICAL PERSPECTIVE

Sri Ratnawati dan Dwi Handayani Indonesian Literature Department, Faculty of Humanities, Universitas Airlangga

ABSTRACT Madurese had ever been a language without linguistic standardization on spelling for around 50 years. The language originally used Van Ophoysen’s spelling, but it started to use the perfected spelling or ejaan yang disempurnakan (EYD) after Indonesian standardization in 1972. The perfected spelling, however, was not able to accurately represent the sounds in Madurese. As a result, Madurese people has developed their language without good fundamentals that leads to the existence of local language handbooks with many varieties in the spelling. Madurese linguists had done a spelling reconstruction to the language from 1986 to 2012. They managed to integratephonetic transcription into Madurese, resulting in a link between the spelling and the proper phonetic symbols; one letter represents one sound. Madurese spellingcan now be pronounced into various sounds. The five vowel letters can now represent six phones whilethe 21 consonants represent 31 sounds, resulting in a total of 40 letters including three diphthongs. Thus, this paper aims to reconstruct Madurese spelling based on sound so that it can be useful for the society, academicians, researchers, as well as Madurese enthusiasts.

Latar belakang Masalah Bahasa Madura merupakan salah satu bahasa daerah yang digunakan oleh kelompok etnis Madura yang mendiami Pulau Madura dan pulau-pulau di sekitarnya. Kedudukan bahasa Madura dilindungi negara R.I. sebagaimana tertuang dalam UUD 45 yang berbunyi , “ Bahasa daerah dipelihara negara”. Dengan demikian pemerintah berhak melindungi bahasa daerah dengan melakukan berbagai upaya pengembangan, pembinaan dan penelitian bahasa daerah, temasuk bahasa Madura. Penutur bahasa Madura cukup luas, bukan hanya terkonsentrasi di sekitar Pulau Madura, melainkan menyebar di sepanjang utara pantai Jawa Timur, seiring dengan penyebaran orang Madura ke wilayah berbasis kelautan dan pertanian. Adapun wilayah yang didiami orang Madura, mulai dari Pasuruan, Probolinggo, Besuki Situbonda hingga Muncar, selanjutnya masuk ke pedalaman di Bondowoso dan Jember. Wilayah tersebut popular dengan isilah tapal kuda, yang menggambarkan keberadaan orang Madura yang mendiami kota-kota yan dijelaskan di atas. Bahasa Madura tidak memiliki aksara, sepanjang sejarah keberaksaraan (literacy) bahasa Madura dituliskan dalam bahasa Jawa (Uhlenbeck, 1964:176), Pegon dan latin. Aksara Jawa perupakan aksara pertama yang dikuasai orang Madura berkaiatan dengan “melek huruf”. Penguasaan aksara tersebut erat kaitannya dengan hegemoni Jawa atas Jawa yang diperkiran sejak zaman Singosari (1991: 193 ) yang secara tidak langsung berdampak pada kemahiran mereka menguasai aksara Jawa. Selanjutnya, ketika Islam masuk ke Jawa dan orang-orang Madura nyantri di pesantren di Jawa, maka kemahiran membaca dan menulis pun bertambah, yaitu menguasai aksara pegon. Ketika Belanda menyelanggarakan pendidikan dengan aksara latin, dengan sendirinya masyarakat Madura pandai menulis dengan aksara latin. Dengan sendirinya, orang-orang Madura terdidik di masa lalu menguasai aksara Jawa, pegon dan latin. Hanya saja aksara latin cakupan fungsinya lebih luas, yaitu sebagai bahasa administrasi pemerintahan di samping bahasa pendidikan. ~ 571 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Permasalahan muncul ketika ejaan bahasa Madura mengadaptasi Ejaan Yang Disempurnakan (selanjutnya disingkat EYD), yaitu sistem penulisan bahasa Madura yang disesuaikan dengan sistem EYD. Sistem penulisan ini cukup praktis dengan menggabungkan fonem yang dianggap satu bunyi. Misalnya fonem / è/ disatukan dengan /e/. Untuk bahasa Madura penggabungan ini bermasalah, karena efeknya pada makna. Penyederhanaan atau penghilangan beberapa fonem dan konsonan bahasa Madura, sama dengan menafikkan keberadaan fonem-fonem bahasa lokal dan hal ini dianggap tindakan yang salah. Oleh karena keberadaan bunyi-bunyi tersebut dihasilkan oleh ucapan bahasa lokal dari masyarakat tradisi (Viker,1988:9). Oleh karena itu, dilakukan rekonstruksi ejaan bahasa Madura dilakukan, dengan tujuan untuk membenahi ejaan bahasa Madura yang benar yang sesuai dengan prinsip linguistik, yang selanjutnya dapat menghasilkan perbedaan antara ejaan bahasa Indonesia dengan ejaan bahasa Madura. Dalam jangka panjang, Ejaan Bahasa Madura ini dapat diperlukan untuk kepentingan identitas bahasa dari sebuah kelompok etnis Madura

Ejaan Van OPhuijsen Keberadaan ejaan Van Ophuijsen tahun 1901 (Mahayana, 2008:62), sebagai sistem penulisan bahasa Indonesia. Ejaan tersebut keberadaannya cukup penting, karena prinsip- prinsipnya dijadikan acuan bagi sistem penulisan bahasa Indonesia. Adanya standardisasi penulisan ejaan bahasa Indonesia, menginspirasi sistem penulisan bahasa daerah, khususnya bahasa Madura. Sejak itu, bahasa Madura dalam tata penulisan aksara lain mengadaptasi ejaan tersebut. Salah satu buku bahasa Madura yang terbit tahun 1922 , seperti teks di bawah ini yang diterbitkan tahun 1922

Terjemahan bebas: ... senang sekali dipuji. Jika ada seseorang yang memuji, seluruh tingkah laku dibuat-buat diulang-ulang. Meskipun menjadikan diri berat, sakit, atau merugikan diri sendiri.

Teks di atas masih tertulis ejaan lama, namun yang menjadi soroton dalam makalah ini, yaitu penulisan fonem /a, â, e dan è/; konsonan /ḍ, bh, dh / yang dalam bahasa Madura termasuk bunyi yang membedakan arti. Misalnya, bunyi / sѐ / artinya yan, jika ditulis /se/, maka kata tersebut tidak mempunyai arti. Demikian juga vokal / ȃ/ pada kata ḍȃ’ artinya ke. Penulisan bh, pada kata bhai, gh pada kata ghabay. Kata-kata tersebut jika diucapkan akan menimbulkan suara aspirat, sehingga cara penulisannya demikian mendekati bunyinya. Ejaan Van Ophuijsen ini tergolong ejaan yang dapat mewadahi semua bunyi bahasa Madura. Bahasa Madura memiliki vokal dan konsonan yang cukup kompleks, jika ditulis dengan ejaan ini menghasilkan sistem penulisan yang ideal yang sesuai dengan bahasa Madura. Oleh

~ 572 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature karena itu, ketika ejaan ini digantikan dengan ejaan bahasa Indonesia, maka sistem penulisan ejaan bahasa Madura kehilangan orientasi.

Ejaan Bahasa Indonesia tahun 1972 Pergantian ejaan Van Ophuijsen ke Ejaan bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) mempengaruhi berubahnya sistem penulisan ejaan bahasa Madura. EYD melakukan perombakan dalam sistem penulisan, baik dari penulisan huruf, fonem dan konsonan yang disederhanakan. Penyederhanan sistem penulisan bahasa Madura yang disamakan dengan EYD, berdampak pada hilangnya karakteristik bunyi-bunyi dalam bahasa Madura yang justru menjadi identitas kelompok etnis Madura. Bahasa Madura yang memiliki 40 lambang disederhanakan menjadi 36 lambang sama seperti yang tercantum dalam bahasa Indonesia. Sistem penulisan EYD memang lebih sederhana dan ideal untuk penulisan bahasa Indonesia, namun tidak untuk bahasa Madura. Bahasa Madura memiliki bunyi cukup variatif, misalnya vokal /a,a,i,u e,e,o/ dan ini semua disederhanakan dan cukup ditulis dalam lambang bunyi /a, i,u,e,o/. demikian pula konsonan ,bh,dh,gh,jh, cukup ditulis dalam/ b,d, g,j/

Ejaan Bahasa Madura tahun 1973 Ejaan bahasa Madura mengadaptasi ejaan bahasa Indonesia, akhirnya lahirlah Pedoman Ejaan Bahasa Madura yang disempurnakan hasil Sarasehan di Pamekasan tahun 1973.

Kutipan di atas merupakan penjelasan mengenai perubahan ejaan bahasa Madura yang disesuaikan dengan EYD. Penyesuaian tersebut terkait dengan penyedehanaan vokal dan konsonan. Tidak jelas argumentasi apa yang digunakan dalam kasus perubahan tersebut. Kemungkinan pertimbangannya hanyalah persoalan kepraktisan dalam penulisan ejaan. Perhatikan teks di bawah ini:

Cerita Campaka, tahun 1979 ~ 573 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Terjemahan bebas: “Cepatlah kau segera mandi! “Ucap Buk Randha. Setelah Campaka pergi, pikiran Buk Randha semakin kacau. Kog tega nian Ne’ Sagu berbuat demikian. Tapi sesungguhnya, tingkah laku demikian itu sudah sering dilakukan Nek Sagu. Dalam teks di atas, vokal /ȃ / dalam kata bȃ’na dihilangkan dan digantikan dengan /a/ yang dituliskan ba’na. Penulisan / è /pada kata sè, tapè, jarèya yang dituliskan dengan cara /se dan tape, jareya.

Di era ejaan bahasa Madura tahun 73 ini, tidak sepenuhnya diikuti oleh penulis buku. Sebagaian dari mereka menenukan sendiri ejaannya, sehingga terkesan setiap penulis memiliki ejaan berbeda-beda. Ketika ejaan bahasa Madura mengadaptasi EYD, dikalangan paraktisis penulis bahasa Madura terjadi perpecahan. Masing-masing penulis menggunakan prinsip masing-masing sehingga terjadi ketidakseragaman tata penulisan buku teks. Akibatnya, terciptalah bermacam versi penulisan. Standardisasi ejaan bahasa Madura mengacu pada standardisasi ejaan bahasa Indonesia, sehingga bahasa Madura ditulis sesuai dengan sistem EYD. Strandardisasi ejaan bahasa Madura yang mengadaptasi EYD, sebagai titik awal pencarian ejaan bahasa Madura yang ideal baik yang sesuai engan prinsip linguistik dengan mempertimbangan urusan teknis..

Terjemahan bebas:

Embargo minyak Arab yang dilakukan Arab dalam perang Arab-Israel tahun1973, telah membuat susah negara-negara Eropa, Amerika dan Asia. Berkurangnya minyak tentunya membuat lumpuh industri di negara tersebut. Indonesia sebagai produsen minyak ikut merasa khawatir, sebab dalam kesehari hanya mampu menghasilkan minyak 1,4 juta barel.

Dalam teks di atas, penggunaan fonem / ѐ / masih dipertahankan, sehingga Tampak perbedaannya dengan /e/. fonem / ȃ / tampaknya dihilangkan dan menyatu dengan /a/. ketentuan menulis dengan sistem ejaan demikian, justru mendatangkan persolan baru bagi pembaca. Bagi pembaca yang tidak belajar bahasa Madura, mereka sulit membedakan kapan vocal /a/ dibaca /ȃ/. Sebagaimana teks di atas. Khusus mengenai /dh/ dalam tulisan di atas mengadaptsi dari /dho/ bahasa Jawa. Sementara bahasa Madura memilik d, dh, d. yang masing- masing membedakan bunyi dan arti Vokal dan konsonan yang disederhanakan tersebut sebenarnya membawa konsekuensi pada hilangnya karakteristik bunyi bahasa Madura. Sistem penulisan menggunakan ejaan ini justru menghilangkan orisinalitas fonem bahasa Madura dan tidak sesuai dengan prinsip linguistik yang menganut prinsip satu fonem satu bunyi dan satu arti. Sebaliknya dengan mengadaptasi EYD, menunjukkan tidak ada bedanya antara EYD dengan ejaan bahasa Madura.

Ejaan bahasa Madura Tahun 2011 Ejaan bahasa Madura digunakan sebelum tahun 1973 dianggap kurang sempurna, karena ada beberapa vocal dan konsonan bahasa Madura yang sistem penulisan dihilangkan, akibat peleburan beberapa vokal dan konsonan. Dalam kenyataannya ejaan bhasa Madura 73

~ 574 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature terlalu sederhana, seperti vokal seperti/â, è /. Konsonan dh, bh, gh,jh,dihilangkan. Dalam bahasa Madura antara konsonan beraspirasi dengan konsonan yang tidak beraspirasi merupakan fonem yang berbeda, sehingga perlu diberi symbol yang berbeda. Misalnya, kata buru ‘ lari’ dan bhuru’ baru’, baja ‘waktu’ dan bhȃjȃ ‘ buaya’. Dalam ejaan bahasa Madura 73, vokal dan konsonan tersebut justru tidak ditampilkan sebagaimana adanya. Hal ini karena pengaruh EYD. Sebaliknya jika vokal dan konsonan yang faktanya benar-benar ada, maka jika dihilangkan justru melanggar prinsip-prinsip linguistik , yaitu satu fonem, satu lambng dan satu makna. Ejaan bahasa Madura tahun 2011 merupakan hasil dari penyempurnaan sistem ejaan yang sudah ada sebelumnya. Mulai dari ejaan Van Ophuijsen ke EYD dan ejaan bahasa Madura73. Dari ketiga masa tersebut dilakukan konstruksi ulang sistem ejaan yang mendekati vokal, konsonan bahasa Madura. hal ini dilakukan guna menghasilkan ejaan bahasa Madura yang berlandaskan prinsip linguitik, yaitu satu fonem satu lambang dan satu arti. Dengan lahirnya ejaan bahsa Madura 2012 resmi menjadi pendoman penulisan bahasa Madura. Meskipun masih ada kendala dengan belum dimasukkannya konsonan /ṭ / pada kata koṭṭa artinya kota. Contoh: Baja (waktu ) berbeda dengan bhȃjȃ (buaya) Lempo (gemuk) berbeda dengan lèmpo (capek) Seksek ( sesak ) berbeda dengan sèksèk (iris) Dara (darah) berbeda dengan dhȃrȃ (merpati) Buru (lari) berbeda dengan bhuru (baru)

Sistem penulisan di atas justru memudahkan bagi pembaca pemula yang sedang belajar bahasa Madura. mereka akan dipandu dengan tanda fonemis dan konsonan yang beraspirat, sehingga memudahkan dalam mengucapkannya dalam bahasa Madura. Perhatikan tabel berikut ini:

Huruf Ejaan Van OPhuijsen EYD Ejaan Madura Keterangan Fonem a a a Apa = apa â a â Adâ’ = ada Oe u u Jhujur = jujur i i i Andi’ = punya e e e Rèya = ini o o o Mon = kalau Konsonan Dh dhârâ dara dhârâ merpati Bh bhârâ bara bhârâ paru bhuru buru bhuru baru Jh lajhu laju lajhu kemudian Gh bighi bigi bighi biji Jh jhârân jaran jhârân kuda ṭ ṭèṭèt tetet ṭèṭèt terompet

Pada prinsipnya, sistem penulisan ejaan Bahasa Madura yang sekarang ditingkatkan menjadi pedoman penulisan buku teks bahasa Madura ini bukan saja menganut prinsip linguistik, melainkan juga secara teknis dapat dituliskan dengan mudah. Dalam arti sistem penulisan demikian tidak menyulitkan penulis dengan mengoperasionalkan komputer. Sebelum muncul komputer, bahasa ditulis menggunakan mesin ketik manual. Kesulitan menuliskan fonem dan konsonan bahasa Madura dirasa cukup menyulitkan penulis, karena fon tidak tersedia dalam mesin ketik. Untuk itu, tidak ada alasan bagi masyarakat Madura untuk belajar

~ 575 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature menulis bahada Madura dengan mengunakan ejaan yang benar sesuai dengan pedoman yang ada.

Simpulan Ejaan bahasa Madura 2011 dapat dianggap sebagai ejaan yang menganut prinsip- prinsip berbasis kerifan lokal Madura. Untuk itulah pembenahan atas ejaan ini harus terus ditingkatkan guna menunjukkan identitas ejaan bahasa Madura yang berbeda dengan ejaan bahasa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Balai Bahasa Surabaya, 2011. Ejaan Bahasa Madura, Penerbit Balai Bahasa Surabaya

Hutomo, Suripan, 1991.”Wajah Kesusasteraan Madura,” dalam Basis, `Juni, XL, no.6.

Uhlenbeck, E.M 1964. A Critical Suurvey of StudyOn The Language of Java and Madura, Koninklijk Institute Voor Taal-Lnad-En -``Volkenkunde.

Mahayana, Maman S. 1988. Bahasa Indonesia Kreatif. Jakarta : Penaku.

Moesaffa, Ahmad. 1922. Mantja –Barna II, G.Kolff &Co. Weltevreden

Vikers, S. 1988. “Some Fundamentals of Orthography” dalam Pervecting Splelling , Verhendchgen van het koninklijk institute voor tall. Land en volkenkunde, Dordrecht/ Providence, foris.

Sarasehan Pedoman Ejaan Bahasa Madura Yang Disempurnakan tahun 73 di Pamekasan tanggal 28-29 mei 1973.

~ 576 ~ UTILITAS BAHASA DALAM MENGKONSTRUKSI PSIKOLOGI TOKOH PADA NOVEL DADAISME KARYA DEWI SARTIKA

Sugiarti Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Malang Email: [email protected]

ABSTRACT Language hold important role in defining many events in literature works including Dadaisme novel by Dewi Sartika. Through language, the message of the author can be deeply explored by the manifestation of character utilization. The characters have the role in coloring the events is conducted by utilizing the language uttered by the author. The language utility in reconstructing the characters’ psychology is a strategic use as the language utility reveal (1) symbolic aspect of language within the novel Dadaisme by Dewi Sartika; (2) psychological construction of characters in relation to the language utility in the Dadaisme novel by Dewi Sartika. To completely explore the use of language in the novel, the data collection technique is conducted through the literary studies on the Dadaisme novel as the primary data and other sources which is relevant to the problem of the studies. Next, the data analysis is conducted by hermeneutic reading supported by dialectic interaction to get the complete understanding. The result of the study showed that (1) the aesthetic aspect in the Dadaisme novel by Dewi Sartika showed that the symbolic language can be used to explore the aesthetic aspect in relation to the psychological nuance of the characters; (2) psychological constructions of characters related to the language utility in the Dadaisme novel by Dewi Sartika reveal the presence of the characters as legitimatization to absurd social reality.

Keywords: language utility, characters psychology, absurd social reality.

A. PENDAHULUAN Pada dasarnya bahasa memegang peranan penting dalam keseluruhan model komunikasi baik dalam bentuk lisan maupun tertulis. Pemanfaatan bahasa sebagai bentuk ekspresi pengarang dalam mengekplorasi ide/gagasan yang bersumber dari pengembaraan batiniah atas realitas kehidupan. Persoalan estetika dalam sastra merupakan sesuatu yang menarik untuk dikaji, karena di dalamnya mewariskan ide-ide kontemporer tentang ‘simbol’ dan ‘pengalaman estetik’ tentang ‘harmoni estetik dan sifatnya unik. Dalam hal ini terjadi penjiwaan dan reintegrasi struktur budaya dengan realitas sosial yang tengah mengglobal (Sugiarti, 2009: 66). Kekuatan dalam memanfaatkan simbol bahasa sebagai sesuatu yang menarik tidak dapat dilepaskan dengan bagaimana mengungkapkan nilai estetika dan nilai etika dalam bentuk pengalaman realitas dalam karya sastra. Bahasa dapat digunakan alat untuk menyampaikan pesan tersembunyi di balik teks. Seperti halnya bagaimana bahasa yang digunakan dalam teks sastra terkadang memiliki maksud sendiri sesuai dengan pilihan metafor yang digunakan oleh pengarang. Antropologi linguistik telah menunjukkan kategori dan generalisasi yang tidak hanya ditemukan dalam tulisan-tulisan akademik atau dalam diskusi-diskusi ilmiah, namun hal itu juga muncul pada saat seseorang menceritakan sesuatu (Duranti, 1997: 405). Produk kebudayaan yang berwujud lambang dan sistem informasi berperan penting dalam membentuk kerangka konsep pengarang guna mengeksplorasi ide gagasan dalam bentuk teks sastra. Pengarang dalam relativitas linguistik akan menafsirkan budaya dan dunia dengan cara yang berbeda. Perbedaan ini akan terkodekan dalam bahasa yang tersebar dalam

~ 577 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature ranah keseharian, sebagaimana kekuasaan yang tersebar dalam seluruh tatanan sosial termasuk karya sastra (Sugiarti, 2011: 210). Salah satu karakteristiknya, pemilihan kosa kata penting yang sempat disaksikan dalam dunia simbolis, tidak sedikit akhirnya memunculkan beberapa jargon yang lebih dari muatan dan makna sebenarnya. Persoalan-persoalan ini harus dijawab dalam kerangka melakukan telaah yang berkaitan dengan bahasa dalam perspektif psikologi. Dalam hal ini bahasa memiliki peran penting dalam mengkonstruk berbagai persoalan yang dianggap penting. Bahasa sebagai sumber energi yang pernah habis yang selalu digunakan pengarang dalam mengekplorasi gagasan-gagasan yang tersembunyi maupun yang tampak. Mengenai tokoh, Semi (1993: 39) menjelaskan bahwa pada umumnya fiksi mempunyai tokoh utama (a central character), yaitu orang yang mengambil bagian dalam sebagian besar peristiwa dalam cerita, biasanya peristiwa atau kejadian-kejadian itu menyebabkan terjadinya perubahan sikap terhadap diri tokoh atau perubahan pandangan kita sebagai pembaca terhadap tokoh tersebut. Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Bahkan aspek-aspek stilistika karya seorang pengarang dapat ditelusuri pada penggunaan bahasa pada zamannya. Selain itu, Greimas (dalam Ratna (2007: 256) mengungkapkan bahwa proses metaforis dalam karya sastra sebagai interaksi antara berbagai isotopi, yang didefinisikan sebagai koherensi dan homogenita teks, yang mana makna selalu dipahami sebagai interdependensi antara keseluruhan dan kualitas ambiguitas. Metafora estetis mampu mengantarkan seseorang pengarang dan pembaca untuk menjelajahi keragaman aspek-aspek kehidupan. Karya seni bersifat imajinasi, personal, dan khas. Secara genesis, karya seni yang sesungguhnya apabila dikaitkan dengan peranan subjek, maka karya seni pada dasarnya adalah bagian dari struktur sosial. Karya seni lahir melalui interaksi kelompok tertentu dengan memanfaatkan peranan medium bahasa. Pada tahap yang kedua ini karya seni dengan berbagai dimensinya termasuk stilistika, dianggap sebagai manifestasi masyarakat, sebagai kualitas transindividu. Peranan pengarang sebagai teori ekspresif, gaya bahasa menduduki posisinya yang semakin kuat dalam kaitannya dengan individualitas subjek kreator. Namun demikian disadari bahwa sastra merupakan karya ”kreatif” atau ”imajinatif”. Oleh karena itu, untuk menjelajah ke medan makna Ricoeur menyebut ”dunia sebuah karya”, dunia yang menawarkan sesuatu yang baru. Untuk mendapatkan makna dari sebuah kata, kita harus melakukan ”cara-cara baru” untuk memandang dan berhubungan dengan realitas yang kita dapati dengan penggunaan kata yang tidak biasa (Sugiharto, 1996: 108). Berdasarkan kedua pemikiran tersebut dapat dikatakan bahwa makna bahasa dalam sastra lebih cenderung performatif yang cenderung menuntut kita melakukan sesuatu yang berbeda. Keyakinan-keyakinan yang dibangun oleh masyarakat secara kental direpresentasikan pada novel tersebut. Keraguan, keyakinan, sikap, kepribadian manusia secara lengkap tergambarkan dalam novel tersebut. Hal ini sesuai dengan pemikiran Eric Aurbech (Hough, 1972: 69) dalam sebuah artikelnya ”The Presentation of Reality in Western Literature” melihat cakupannya sangat luas terdiri dari berbagai macam cara yang mencakup pengalaman aktual manusia, historis, sosial, moral, dan religius yang dihadirkan dalam pola sastra dalam berbagai macam fase budaya barat. Hal ini tampak bahwa pada tradisi sastra secara global tidak dapat dihindari adanya tantangan-tantangan kehidupan yang dihadirkan pengarang melalui narasi cerita, sehingga menjadikan kejelasan masalah yang dialami oleh tokoh. Simbol-simbol stilistika yang digunakan terkait dengan alam, keyakinan, alam ghaib, sihir, kekuatan supranatural dipadu sedemikian rupa.

~ 578 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Pembaca diajak menggembara ke dunia religius dan mistis dalam memahami teks (novel). Karya sastra berada di sebuah ranah estetika yang mana ia adalah simbolisasi keindahan. Ia menjelaskan tentang objek estetik, kualitas serta pengaruhnya terhadap jiwa manusia, yaitu perasaan, imajinasi, alam pikiran dan institusi (Hadi W.M, 2004). Kenyataan tidak dapat dipungkiri bahwa sastra selalu bergerak mengikuti gerak zaman kapan sastra diciptakan serta memberikan pengalaman yang unik bagi manusia, karena sastra mampu memasuki ke dalam kehidupan dasar manusia. Penggunaan bahasa gaya melahirkan kegairahan sebab gaya memberikan citra baru, gaya membangkitkan dimensi yang stagnan. Di samping itu, gaya merupakan tindakan untuk melahirkan sesuatu yang baru untuk mencapai suatu kepuasan yang melibatkan orang lain atau komunitas lain. Gaya bahasa merupakan efek seni dalam sastra yang dipengaruhi oleh nurani. Melalui gaya bahasa itu seorang pengarang akan meng ekspresikan gagasannya. Betapapun rasa sedih, jengkel, bahagia atau senang, jika dibungkus dengan gaya bahasa akan semakin indah. Keindahan yang dibangun atas dasar keinginan pengarang mampu memberikan efek estetik tersendiri bagi pembaca. Dalam kaitannya dengan ini pengarang memiliki cara lain dalam memanfaatkan bahasa sebagai sarana untuk memunculkan aspek estetik dalam karya sastra. Disadari bahwa pengaranglah yang memiliki hak prerogatif untuk memilah dan memilih pengalaman batin yang sesuai untuk diungkapkan. Dewi Sartika dalam novel Dadaisme berupaya mengungkapkan pengalaman estetis ketika ia melihat realitas kehidupan dengan pengembaraan batin yang mendalam. Oleh karena itu, ia menghadirkan pengalaman-pengalaman estetis yang mistis yang ditampilkan dalam sebuah gerak kehidupan yang terkadang sublim. Untuk menjelajah secara keseluruhan penggunaan bahasa dalam novel dilakukan teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan baik dalam penelusuran sumber primer, yaitu novel Dadaisme dan sumber rujukan yang relevan dengan permasalahan penelitian. Selanjutnya, analisis data dilakukan dengan pembacaan secara hermeneutik yang ditunjang interaksi dialektik, sehingga diperoleh pemahaman secara menyeluruh. Bagaimana bahasa dimanfaatkan sebagai sarana estetik serta bahasa digunakan untuk mengkonstruksi psikologi tokoh. Berdasarkan pemikiran di atas maka pada tulisan ini akan mengungkapkan 2 hal yaitu (1) aspek estetika yang terdapat dalam novel Dadaisme karya Dewi Sartika, (2) konstruksi psikologis tokoh terkait dengan pemanfaatan bahasa dalam novel Dadaisme Karya Dewi Sartika. Kedua hal ini menjadi penting karena akan diketahui bagaimana sesungguhnya pengarang memanfaatkan aspek bahasa sebagai sarana estetik serta mengkonstruksi psikologi tokoh sesuai dengan keinginannya.

B. PEMBAHASAN a. Aspek Estetika yang terdapat dalam novel Dadaisme karya Dewi Sartika Estetika dalam karya sastra dapat dikaitkan dengan berbagai persoalan sosial, politik, ideology, kebudayaan, dan agama. Pemikiran Monroe C Beradsley pada tulisan Aesthethic From Classical Greece to Present: A Short History (dalam Hadi, 2004: 4). Pada pemikiran tersebut lebih lanjut diungkapkan bahwa secara umum kajian estetika memiliki unsur utama, yaitu: (1) pembicaraan tentang hakikat karya seni dan objek-objek indah buatan manusia; (2) pembicaraan tentang maksud dan tujuan penciptaan karya seni serta bagaimana cara memahami dan menaf- sirkannya; (3) mencari tolok ukur penilaian karya seni dengan kaidah-kaidah tertentu yang me- madai. Tolok ukur bobot dan keindahan karya seni juga harus dikaitkan dengan besar kecilnya kesempurnaan yang ditampilkan karya seni. Sebagaimana nampak pada kutipan berikut.

~ 579 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Sebut saja kota itu sebagai Metropolis dan ada banyak alasan mengapa tidak pernah bisa disebutkan namanya. Sebuah kota yang bila mau disamakan layaknya kota-kota besar dibelahan bumi, di mana pun berada, penuh dengan gedung-gedung, jalan-jalan layang membelah langit, mulusnya aspal-aspal, yang berkilat disiram cahaya matahari, tidak lupa juga lampu-lampu berkelip-kelip, atau lebih mudah mengejanya neon berwarna (Sartika, 2004: 1).

Estetika pada kutipan di atas terlihat dari pilihan kata yang digunakan oleh pengarang dalam menggambarkan kota yang menjadi pusat kegiatan tertentu. Pemilihan kata metropolis untuk menggambarkan pusat perkotaan. Pusat kota penuh dengan gedung-gedung, jalan-jalan layang membelah langit, mulusnya aspal-aspal yang berkilat disiram cahaya matahari, tidak lupa juga lampu-lampu berkelip-kelip. Hal ini menegaskan bahwa betapa megahnya pusat ibu kota tersebut. Penggunaan diksi yang tepat mampu menggambarkan pusat kota yang penuh dengan pernak-pernik keindahannya. Demikian pula persoalan keindahan dapat dicermati melalui kutipan berikut.

Lukisan di dinding rumah yang berlatar langit dan pemandangan desa selalu menggambarkan langit dengan warna biru, tetapi tidak selalu untuk lukisan anak itu. ... (Sartika, 2004: 2).

Pada kutipan tersebut menggambarkan bagaimana keindahan lukisan tentang pedesaan dengan warna dalam lukisan tersebut. Warna biru merupakan simbol dari keindahan, ketenangan, kedamaian, dan keasrian. Kekutan simbol warna itu membuat keindahan tersendiri, tetapi di sisi lain warna biru memiliki makna berbeda dengan lukisan seorang anak yang tidak menyukai warna tersebut.

Kali ini Nedena menggambar kota. Gedung-gedung besar meliuk-liuk mencakar langit. Tidak lupa juga pohon-pohon yang seperti serabut hijau dengan garis vertikal berwarna hitam, ... (Sartika, 2004: 6).

Kecerdasan dalam memilih kata yang memiliki efek estetika juga tergambar dalam kutipan di atas. Berwujud keindahan dalam pemilihan kata dalam mengungkapkan lukisan kota.. Menggambarkan kemegahan dan keindahan ibu kota menggunakan pilihan kata yang indah untuk dapat menggambarkan kemegahannya. Seperti pada kutipan “Gedung-gedung besar meliuk-liuk mencakar langit. Tidak lupa juga pohon-pohon yang seperti serabut hijau dengan garis vertikal berwarna hitam”. Pilihan kata dengan variasi warna yang tidak lazim akan tetap memberikan aspek keindahan karena itu sebagai hasil ekspresi seni.

... Dia memakai hak tinggi 4 senti, dan ubin ini terlalu putih dan bersih untuk tidak ikut memantulkan suara detok ujung haknya. Perempuan itu mengenakan blazer berwarna biru dongker. Rambutnya ter- blow rapi dan alis matanya digambarkan melengkung, bibirnya masih merah merona dilapis gincu mahal buatan Paris. ... (Sartika, 2004: 30).

Estetika tergambar pada kutipan di atas untuk menggambarkan kecantikan perempuan yang memiliki keindahan tersendiri. Keindahan dalam pilihan kata yang digunakan untuk menggambarkan sesosok perempuan yang cantik, modis, dan berkelas. Kecantikan dari sosok perempuan itu digambarkan mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Kecantikanya digambarkan mulai dari tatanan rambut, pakaian yang dikenakan, sepatu yang dikenakan, dan alis matanya yang indah serta bibir yang merona yang dilapisi dengan lipstik. Estetika yang dibangun melalui narasi tersebut benar-benar sebagai bentuk refleksi dari keutuhan yang ditampilkan melalui tokoh perempuan.

~ 580 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature b. Konstruksi Psikologis Tokoh Terkait dengan Pemanfaatan Bahasa dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika Kontruksi psikologis bertumpu pada persoalan-persoalan yang menimpa perempuan dalam realitas kehidupan. Perempuan merasa kehilangan semangat atas dirinya kemudian ia membangun imajinasi yang dapat memberikan kesenangan pada dirinya. Secara keseluruhan estetika yang digunakan lebih memanfaatkan energi bahasa yang menarik, sehingga memiliki makna yang mendalam dan mengena. Simbol-simbol bahasa yang dipilih secara representatif menggambarkan kondisi sesungguhnya yang dialami oleh tokoh. Hal ini dapat diperhatikan melalui kutipan berikut ini.

Lagi-lagi Nedena memandangi kembali lukisan di dinding tersebut. Lukisan itu memang indah, dengan sepasang sayap jernih tampak seperti melambai. Malaikat di dinding tengah memegang sebuah mahkota, bulu-bulu putihnya bertebaran laksana salju yang indah. Senyumnya begitu ranum. ... (Sartika, 2004: 23-24).

Lukisan peri yang terpasang di dinding menggambarkan bagaimana indahnya seorang peri. Keindahan yang ada dalam lukisan tersebut tergambar dari sayap peri yang jernih tampak seperti melambai-lambai dan peri itu memegang sebuah mahkota. Lukisan tersebut bertambah indah ketika bulu putih yang berterbangan seperti salju. Penggambaran keindahan peri pada lukisan tersebut secara tidak langsung menggambarkan suasana hati tokoh dalam melihat suasana dinding yang berada di kamarnya. Secara kasad mata bahwa suasana tersebut hanya dialami oleh tokoh yang tidak dapat dipahami oleh orang lain yang berada di sekitarnya. Pilihan kata yang tepat mampu menggambarkan keindahan seperti yang diidamkan tokoh. Dalam kehidupan tokoh selalu diwarnai dengan kesendirian. Sendiri merupakan kosa kata yang tepat untuk mewakili tokoh. Dalam kondisi seperti itu tokoh sering kali melamun sesuai dengan apa yang diinginkan. Oleh karena itu, terkadang ketika mendengar suara ia tersadar. Hal ini dapat diperhatikan pada kutipan berikut.

Sayup-sayup, di antara kesadarannya yang semakin nyata, dia mendengar suara Dr. Aleda memanggil- manggil namanya. Dia tidak pernah tahu, namanya begitu manis terucap di mulut perempuan tersebut. Suara perempuan itu lembut dan sedikit menyapu kesadaran yang sekejap pupus. ... (Sartika, 2004: 26).

Pemanfaatan bahasa dengan menggambarkan keindahan suara Dr. Aleda memanggil- manggil nama seorang Nedena. Keindahan suaranya digambarkan suaranya penuh dengan kelembutan dan membuat damai bagi yang mendengarnya, sehingga seorang yang dipanggil itu kembali pada kesadaranya yang tadinya sekejap hilang. Suara yang indah mampu menyadarkan diri tokoh ketika dia dalam lamunannya. Secara psikologis kesadaran seseorang mampu dibangkitkan dengan suara atau tuturan yang lembut dari tokoh. Tokoh Yossi yang diumpamakan seperti peri dia berharap dapat hidup dengan leluasa. Seperti digambarkan pada kutipan berikut.

Yossy masih menari, bajunya yang mengembang dengan pita panjang berkibar-kibar terhempas oleh gerakan tubuhnya, sayapnya yang putih sedang berkepakan di antara punggungnya. Dia senang menjadi peri, karena dia sekarang bisa menari dengan bebas. ... (Sartika, 2004: 32-33).

Pada kutipan di atas mengungkapkan bahwa kehidupan seorang peri selalu dalam kesenangan bebas ke mana saja sesuai dengan keinginannya dengan sayapnya. Seorang anak yang berperilaku baik, maka ketika meninggal akan menjadi seorang peri dan menghuni tempat terbaik dan terindah yaitu surga. Estetika dalam kutipan di atas adalah seorang anak yang digambarkan menjadi seorang peri dengan pilihan estetika pita panjang berkibar-kibar terhempas oleh ~ 581 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature gerakan tubuhnya, sayapnya yang putih sedang berkepakan di antara punggungnya. Demikian pula pada kutipan berikut ini bagaimana wajah yang membeku tanpa gerak digunakan untuk menggambarkan sebuah kematian sebagaimana diungkapkan pada kutipan berikut.

Wajahnya beku seperti ikan yang selalu kau letakan di dalam lemari es di dapur. Biru merona bibirnya. Kamu ingatkan bahwa darah semula merembas di sekitar bibir, dahi, dan hidungya, dan kini darah itu telah bersih. Suster-suster berseragam putih yang baik hati telah membersihkan rona darah itu, menjadikan wajah Yossy bersih dengan sisa biru yang disukainya mengandap dalam wajahnya. ... (Sartika, 2004: 35).

Estetika juga terdapat dalam kutipan di atas memiliki unsur keindahan yang mendalam terkait dengan tokoh. Meskipun dalam kutipan tersebut mengungkapkan kesedihan, namun penggunaan kata dan pilihan kata mampu membentuk estetika dalam penceritaan peristiwa atau kejadian yang ada secara menarik. Suasana yang dibangun membuat pembaca seolah-olah melihat peristiwa tersebut padahal tidak nampak.

Yossy tersenyum dan sayapnya mengembang, dan lagi-lagi dia menari dan terlihat lingkaran balon di sekeililingnya, bersinar semakin lebar dan semakin lebar. Yossy terus menari sampai membumbung tinggi di atas awan, kini dia sama seperti awan. ... (Sartika, 2004: 39).

Penggambaran suasana yang absurd memberikan kesan bahwa pengarang berupaya untuk mengemukakan bahwa peri dalam bayangan imajinasi identik dengan bayangan penghuni surga dalam kisah tersebut. Padahal sesungguhnya kenyataan yang dihadirkan hanyalah kehidupan yang absurd sebagai bagian dari estetika yang diungkapkan pengarang.

C. SIMPULAN 1. Aspek estetika yang terdapat dalam novel Dadaisme karya Dewi Sartika dapat diungkapkan bahwa simbol bahasa dimanfaatkan untuk mengeksplorasi aspek-aspek estetik terkait dengan suasana psikologis tokoh. Melalui estetika bahasa pemanfaatan bahasa figuratif dapat menambah keindahan yang dibangun melalui cerita yang dimunculkan pengarang. 2. Konstruksi psikologis tokoh terkait dengan pemanfaatan bahasa dalam novel Dadaisme karya Dewi Sartika tampak bahwa kehadiran tokoh sebagai pelegitimasian atas realitas sosial yang absurd. Pengarang dengan kepekaan batin yang mendalam mengungkap psikologi tokoh dengan tidak serta merta bersifat fisik tetapi terdapat muatan absurd yang terkadang sulit untuk dibuktikan secara objektif.

DAFTAR PUSTAKA

Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. United Kingdom: Cambridge University Press. Hadi W.M, Abdul. 2004. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas. Esai-esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa. Yogyakarta: Matahari. Hough, Graham. 1972. Concept of Literature Style and Stylistic. London: Routledge dan Kegan Paul. Sartika, Dewi. 2004. Dadaisme.Yogyakarta: Mahatari. Sugiarti, 2009. ”Telaah Estetika dalam Novel Nayla Karya Djenar Maesa Ayu”. Atavisme. Jurnal Ilmiah Kajian Sastra Edisi Volume 12 No 1 Juni 2009. Balai Bahasa Surabaya. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Sugiarti, 2011. ”Utilitas Bahasa dalam Mengkontruksi Hegemoni Kekuasaan pada Novel Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari dan Jantera Bianglala karya Ahmad Tohari dalam Perspektif Antropologi Linguistik” Kajian Linguistik dan Sastra. Volume 23 No. 2 Desember 2011. Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Prodi Pendidikan Bahasa Inggris. FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta. Semi, Atar. 1993. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa. Ratna. I Nyoman Kutha. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1985. Teori Kesusastraan. Diindonesiakan oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.

~ 582 ~ SESANTI PENGEJAWANTAHAN KEPRIBADIAN DAN PENYANGGA MORAL MASYARAKAT JAWA

Sunoto Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang

ABSTRAK Sesanti, terejawantahkan sebagai petuah masyarakat Jawa dalam mewariskan idealitas tatanan sosial yang rukun, damai, dan kreatif, dapat dirujuk sebagai pengejawantahan kepribadian dan penyangga moral masyarakat Jawa, serta didudukkan sebagai piranti pendidikan kepribadian masyarakat Jawa. Sesanti bagi masyarakat Jawa hingga sekarang masih digunakan. Tulisan ini bermaksud mengenalkan pengertian, muatan nilai, dan fungsi sesanti bagi pembentukan kepribadian dan penyangga moral masyarakat Jawa.

Kata Kunci: sesanti, representasi, kepribadian, moral, masyarakat Jawa

Pendahuluan Sebutan kebudayaan merujuk semua kreasi manusia sebagai mahluk sekunder. Dipahami demikian karena keberadaan manusia tidak atas kehendak dirinya melainkan karena kehendak zat primer (Tuhan, Allah, Hyang Widi), sebagaimana tersirat dalam gagasan masyarakat Jawa urip iki mung saderma nglakoni ‘hidup hanya sebatas menjalani’. Pada posisi tersebut manusia memberdayakan potensi akal budinya dalam konteks memenuhi dan menjaga kelestarian kehidupan spesiesnya berarti juga karena kehendak zat primer. Sesanti sebagai salah satu produk akal budi manusia Jawa yang terkonstruk dengan piranti bahasa Jawa, yang pemahamannya dapat disandingkan dengan pengertian moral dan kepribadian juga dapat dipahami sebagai salah satu piranti pemertahanan kelestarian masyarakat Jawa. Pemahaman demikian dijelaskan berikut ini. Perhatikan kutipan berikut. (1) Wani ngalah luhur wekasane ‘berani mengalah menuju kemulyaan’. (2) Ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake‘ datang tanpa membawa pasukan, menang tanpa mempermalukan’. Dari bentuk dan pesan yang terinskripsi di dalam kedua kutipan tersebut dapat dikenali sebagai sesanti. Bentuk berupa pernyataan, sedangkan pesan yang terinskripsi di dalamnya berupa ajaran moral bagi masyarakat Jawa. Ajaran moral yang dimaksud mencakup batasan kepribadian dan perilaku bagi masyarakat Jawa, baik yang dianjurkan maupun dilarang. Setelah mengetahui ciri wujud dan pesan sesanti selanjutnya perhatikan ilustrasi berikut ini. “Moralmu rusak”. Dari bentuk dan pesan yang terinskripsi di dalam kutipan ini dapat dikenali sebagai pernyataan tentang keadaan kepribadian dan perilaku seseorang setelah diukur atau dinilai dengan norma tertentu. Dikenali demikian, karena ketika seseorang melontarkan pernyataan itu tentu dia sudah mengukur atau menilai penanda luaran seseorang tersebut dengan norma atau moral tertentu, salah satunya adalah ajaran moral yang terinskripsi dalam sesanti tersebut. Pengertian tersebut menunjukkan, bahwa moral merupakan potensi kejiwaan dan hanya bisa dikenali dari gejala luarannya saja. Sebagai potensi jiwa, moral berada pada kognisi, afektif, dan psikomotoris, merupakan akumulasi dan refleksi dari proses berinteraksi dan berkomunikasi diri ini dengan lingkungan. Karena itu, norma tentang moral bukan berada

~ 583 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature pada diri ini melainkan di luar diri ini, berupa hukum formal, adat istiadat, ideologi, agama, kepercayaan, mitos, totem, serta ajaran-ajaran hidup yang terinskripsi dalam sesanti (salah satunya). Karena moral berada di luar diri dan menjadi normatif, maka menjadi bersifat meng- imanen/mengurung setiap anggota masyarakat pemilik moralitas tersebut. Fakta menunjukkan sejak lahir diri ini berada dalam kondisi tidak berdaya terhadap moralitas yang dilegalkan atau disakralkan oleh masyarakat tempat diri ini hidup dan berkehidupan. Kondisi itulah yang menjadikan diri ini perlu belajar mengenal dan menyerap norma-norma yang meng-imanen tersebut menjadi milik, sebagaimana pesan yang terinskripsi pada pernyataan wong Jawa kudu mangerteni karo jawane ‘orang Jawa harus mengerti dengan kejawaannya’. Setelah memahami padanan sesanti dan moral, berikut ini dengan kepribadian. Dalam khasanah bahasa Jawa kata kepribadian dinyatakan dengan kata kapribadèn, berupa kata bentukan ka–pribadi–an”. Dalam bahasa Jawa bunyi /a/ pada akhiran [–an] jika mengikuti bunyi /i/ dilafalkan /è/, sehinga dibaca [–èn], kapribadèn, sebagai akibat dari proses morfofonemik. Kata pribadi dikenali merujuk hal yang berurusan dengan diri ini, atau diriku, sebagaimana pernyataan bahasa Jawa aku pribadi…, yang sepadan dengan pernyataan bahasa Indonesia aku sendiri. Fakta itu menunjukkan, bahwa hal-hal yang berurusan dengan pribadi berciri otonom, milik ADA/ada, sebagai igo. Gunawan Muhamad (Tempo 1998) menyebutnya sebagai igo insani, selalu melekat dengan logos. Dipahami demikian, karena jika igo terpisahkan dari logos tidak lagi terkatagori sebagai igo insani melainkan igo animalia atau igo plantae. Igo insani terejawantah sebagai id atau identitas. Karena itu memaknai kepribadian sama dengan memaknai identitas insani sebagai aku. Dimaknai demikian karena di luar aku adalah kamu. Akibatnya, jika dorongan yang ada pada aku melebihi kamu, yang muncul pastilah super igo, tetapi sebaliknya jika aku tertekan oleh kehendak kamu pastilah muncul perendahan diri.

Pembahasan Pembahasan tentang sesanti berikut ini dikaitkan dengan pertanyaan sebagai berikut: (1) pesan apa saja yang terinskripsikan dalam sesanti, (2) moral apa saja yang dapat ditemukan dalam sesanti, (3) bagaimana relevansi sesanti dengan keberlanjutan pengembangan kepribadian manusia Jawa, dan (4) apa fungsi sesanti bagi pengembangan igo diriku jika dihubungkan dengan konteks pelestarian budaya Jawa? Untuk itu, berikut ini ditampilan sepuluh sesanti yang dipungut secara acak dari beratus sesanti yang berserakan dalam kelisanan masyarakat Jawa. Sepuluh sesanti yang dimaksud seperti berikut.

Aja Dumeh Aja dumeh, ‘jangan sok’. Contoh: Aja dumeh kuwasa ‘jangan karena berkuasa lalu bertindak sewenang-wenang’. Aja dumeh sugih ‘jangan karena kaya lalu berbuat semena-mena’. Sesanti ini memuat pesan tentang larangan sekaligus juga anjuran. Pesan itu disampaikan, karena setiap yang terlahir memiliki hak dan kewajiban sama sebagai umat ciptaan zat primer. Dengan sesanti tersebut para tetua masyarakat Jawa berpesan, bahwa apa yang dimiliki setiap diri ini hanya sebagai titipan dan bersifat sementara, tidak abadi. Karena itu tindakan berlebihan tidak dibenarkan dalam masyarakat Jawa. Untuk itu setiap generasi Jawa dianjurkan memikirkan sesamanya. Jika kebetulan ditakdirkan beruntung memiliki ilmu, kekayaan, status, kekuasaan maka ia berkewajiban memaknakannya untuk kebaikan dan kemaslakatan sesamanya, bukan

~ 584 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature malah untuk memperdayai. Ilmu, kekakayaan, status, kekuasaan hanyalah titipan dari zat primer.

Angkara Gung Ing Angga Anggung Gumulung Angkara gung ‘angkara besar’, ing angga ‘di badan’, anggung gumulung ‘selalu menggelora’. Sesanti itu memuat pesan tentang peringatan. Dipesankan demikian, karena di dalam diri ini terdapat nafsu yang sewaktu-waktu menggelora atau bergolak menggulung kepribadian apabila tidak dikendalikan. Karena itu berkehendak sebagai pengejawantahan nafsu itu penting, tetapi mampu mengukur kapasitas diri menjadi lebih penting. Dalam konteks tersebut setiap manusia Jawa wajib tahu angger-angger ‘batasan-batasan atau norma’, tidak boleh maguguk makutho waton ‘memaksakan kehendak’. Dengan begitu diharapkan dapat tanggap ing sasmita ‘tanggap terhadap tanda-tanda’ jangan sampai tertipu wingka katon kencana, kencana katon wingka ‘kereweng disangka emas, dan sebaliknya emas malah disangka kereweng’.

Bener Luput, Ala Becik, Begja Cilaka, Hamung Saking Badan Priyangga Bener luput ‘benar dan salah’, ala becik ‘buruk baik’, begja cilaka ‘beruntung dan celaka’, hamung saking badan priyangga ‘hanya berasal dari diri sendiri’. Sesanti ini memuat pesan, bahwa apa yang diperoleh dan atau menimpa seseorang merupakan hasil perbuatannya sendiri, bukan akibat dari perbuatan orang lain. Pesan itu dapat dipadankan dengan maksud, bahwa hidup ini berarti memilih. Jika sudah memilih, dan ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan, tidak dibenarkan jika menyalahkan pihak lain. Ya dan tidak adalah tanggung jawab-ku, bukan karena-mu. Dalam konteks tersebut agar tidak ada keterlanjuran, maka diri ini wajib titis, tutug, dan tatas. Titis berarti bertindak tepat sasaran. Tutug berarti bertindak harus sampai batas, selesai, dan tuntas. Tatas berarti dalam bertindak tidak boleh kalah karena rintangan, karena tidak ada kemuliaan yang datang dari langit, semua harus dipratikeli ‘diusahakan’.

Berbudi Bawa Leksana Berbudi ‘berwatak’, bawa ‘suara, ucapan, perkataan’, leksana ‘laku atau perbuatan’. Jika dipahami secara bebas, bertanggung jawab atas perkataan dan perbuatan. Sesanti ini mengandung pesan bagi siapa saja yang memilih laku sebagai pemimpin, wajib bersikap berbudi bawa leksana, tegas tetapi lentur dalam mengambil keputusan. Semua kemungkinan diperhitungkan dengan cermat dan terbuka, sehingga pihak-pihak yang terkait dapat mengetahui bermacam duduk perkara yang melatarbelakangi tindakan dan kebijaksanannya, sehingga tercipta kewibawaan serta suasana tenang, tenteram, damai, dan bahagia. Tidak ada kendala komunikasi yang disebabkan perasaan ewuh pakewuh ‘takut tanpa sebab yang jelas yang menjadikan ragu’.

Durung Menang Yen Durung W ani Ngalah, Durung Unggul Yen Durung W ani Ngasor, Durung Gedhe Yen Durung W ani Cilik Durung menang yen durung wani ngalah ‘belum menang jika belum berani mengalah’, durung unggul yen durung wani ngasor ‘belum unggul jika belum berani merendah’, durung gedhe yen durung wani cilik ‘belum besar kalau belum berani kecil’. Sesanti ini memuat pesan tentang mawas diri terhadap prestasi yang dicapai selama ini. Dimaknai demikian, karena ~ 585 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature pribadi yang dinilai telah meraih kesempurnaan adalah mereka yang telah berhasil melewati pasang-surut kehidupan. Karena itu untuk meraih kemuliaan harus berani mengalah, merendah, dan menyatu dengan masyarakat kebanyakan. Pada konteks pesan tersebut menang, unggul, dan besar bukanlah tujuan hidup, sebab semua hadir berpasangan dan berdemensi terbalik. Siapa yang suka memenangkan diri ini, sesungguhnya diri ini sedang menuju kekalahan. Siapa yang suka mengunggulkan diri ini, sesungguhnya sedang memerosokkan diri ini. Siapa yang suka membesarkan diri ini, sesungguhnya sedang membawa diri ini ke arah ketidakberartian.

Narima Ing Pandum Narima ‘menerima’, ing pandum ‘apa pun yang diberikan atau diterima’. Pengertian bebas, menerima tanpa penyesalan atas apa yang diberikan atau didapat. Sesanti ini memuat pesan tentang keikhlasan. Jika diri ini telah menjalankan laku sesuai dengan kemampuan, tidak menabrak hukum formal, agama, dan istiadat tetapi harapan belum terwujud, maka wajib kembali pada proporsi keterbatasan diri ini. Pada konteks pesan tersebut keikhlasan wajib didahului oleh usaha atau tindakan yang didasarkan pada hukum kausal, ngundhuh wohhing pakerti ‘menerima sesuai amal perbutan’. Usaha yang dimaksud selalu digayutkan dengan tujuan yang dipilih.

Ora Keras Yen Keris, Ora Keris Yen Keras Ora keras ‘tidak keras’, yen keris ‘asalkan keris’, ora keris ‘tidak keris’, yen keras ‘asalkan keras’. Terjemahan bebas, tidak keras berbicara asalkan menyandang keris, tidak menyandang keris asal berbicara keras. Sesanti ini memuat pesan tentang pentingnya perimbangan. Kelemahan pada suatu sisi wajib diimbangi dengan kelebihan pada sisi yang lain. Diri ini tidak sempurna. Karena itu diri ini berkewajiban berusaha dengan bermodalkan “sifat ganep” ‘kelengkapan jasmaniah dan rohaniah’ yang telah dibekalkan oleh zat primer. Dengan begitu diri ini didorong memiliki nilai lebih terhadap orang lain dalam kontek kebermaknaan. Manusia Jawa kudu musik atine ‘punya niat untuk berbuat baik’, kudu obah badane ‘belajar dan bekerja’, ora wedi kangelan ‘tidak takut kesulitan’.

Rumangsa Melu handarbeni, W ajib Hangrukebi, Mulat Sarira Hangrasa W ani Maksud rumangsa handarbeni ‘merasa ikut memilki’, wajib hangrungkebi ‘wajib membela atau melindungi’, mulat sarira hangrasa wani ‘melihat/mawas badan/diri sendiri merasa berani’. Terjemahan bebas, merasa ikut memiliki, wajib membela, berani diri sendiri. Sesanti ini memuat pesan ajakan pemimpin kepada seluruh jajaran yang dipimpin. Ajakan itu dimaksudkan agar seluruh jajaran yang dipimpin ikut terlibat aktif melindungi dan membangun negara dan bangsa. Bagian yang sudah menjadi milik wajib dilindungi dan diperjuangkan. Sadumuk bathuk sanyari bumi, maksudnya meski milik ini hanya selebar kening dan jari-jari wajib dilindungi dan diperjuangkan. Dalam konteks pesan tersebut, manusia Jawa yang suka mengabaikan konskuensi pilihan dan kewajibanya tergolong manusia Jawa bermoral rendah. Suka berlaku tinggal glanggan colong playu berlari terbirit-birit, tidak berani bertanggung jawab atau wani silit wedi rahi” hanya berani dengan cara bersembunyi-sembunyi tidak berani berhadapan secara langsung.

Sugih tanpa Bandha, Digdaya tanpa Aji, Nglurug tanpa Bala, Menang tanpa Ngasorake

~ 586 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Maksud sugih tanda bandha ‘kaya tanpa harta’, digdaya tanpa aji ‘sakti tanpa ajimat’, nglurug tanpa bala ‘menyerbu tanpa pasukan’, menang tanpa ngasorake ‘menang tanpa merendahkan’. Terjemah bebas, bahwa setiap orang harus mau dan berani belajar tentang kepasrahan. Sepi dari riak, jauh dari rasa takut. Hidup dinikmati dengan datar-datar saja, kenikmatan dan kesusahan hanya istilah, sehingga tidak muncul gejolak, tetapi tenang dan tenteram dalam kesungguhan. Dalam konteks pesan tersebut kekayaan, mantra, dan ajimat tidak bisa diandalkan agar diri ini sakti atau menang. Kesaktian dan kemenganan hanya bisa diwujudkan dengan memperbaiki kepribadian dan menambah ilmu secara berkelenjutan. Bantuan pihak lain akan menjadi pintu kekalahan setelah kemenangan.

Terima W ani pasrah, Suwung Pamrih, Tebih Ajrih, Langgeng Tan Ana Susah, Tan Ana Seneng, Anteng Mantheng, Sugeng Jeneng Maksud terima wani pasrah ‘menerima, berani memasrahkan diri’, suwung pamrih ‘nir riak’, tebih ajrih ‘tidak ada rasa takut’, langgeng tan ana susah ‘abadi bebas dari rasa susah dan duka’, tan ana seneng ‘nir kegembiraan’, anteng mantheng ‘berkonsetrasi terhadap tujuan’, sugeng jeneng ‘nama menjadi abadi’. Terjemahan bebas, untuk mencapai keabadian, wajib pasrah kepada yang memiliki hidup, menjauhkan diri dari riak apalagi duka nestapa, selalu tertuju pada yang dicita-citakan. Sesanti itu memuat pesan bahwa manusia adalah ciptaan, berada pada kutub perintah dan kehendak-Nya. Manusia dengan piranti akal dan pikirannya memang diperintahkan belajar agar mampu mengelola seluruh ciptaan-Nya meski dalam keterbatasan menembus kehendak- Nya. Tindakan belajar untuk mengelola potensi sebagai perwujudan perintah-Nya adalah positif, tetapi keterbatasan menembus kehendak-Nya adalah pesimistis. Itulah keseimbangan yang dipahami oleh manusia Jawa. Antara greget dan kepasrahan diletakkan pada titik yang berhimpitan tetapi tidak terlihat sekatnya. Dalam konteks pesan tersebut dapat dimaknakan, bahwa pada kebersahajaan terkandung kekuatan tak berhingga. Dengan pemahaman tersebut, manusia Jawa senantiasa menjaga bumi seisinya, mendudukkan seluruh unsur pembangunnya pada fungsi dan peran masing-masing. Konsekuensinya, manusia Jawa percaya bahwa kesulitan yang timbul pada kehidupan ini pastilah karena ketidakselarasan fungsi dan peran pembangun makro kosmos yang disebabkan oleh keserakahan manusia itu sendiri.

Penutup Masyarakat Jawa ternyata ada. Mereka hidup dan berkehidupan, memiliki dan meninggalkan jejak yang dapat ditelusur kembali. Jejak peradaban masyarakat Jawa beragam, salah satunya adalah sesanti, berbentuk pernyataan, memuat pesan tentang ajaran moral. Jika sesanti ditelisik hingga di balik kata dan pernyataannya, maka banyak ditemukan mutiara ajaran moral pembangun kepribadian yang masih relevan dengan kehidupan yang majemuk saat ini. Ajaran moral masyarakat Jawa tidak hanya terbatas pada dimensi spiritual, tetapi juga material duniawi. Memang sesanti yang berdimensi spiritual lebih mudah ditemukan, tetapi itu bukan berarti masyarakat Jawa menafikan sisi material duniawi. Tentang urusan duniawi tetap didudukkan pada proporsi yang sentral, tetapi dalam penikmatannya tidak berlebihan. Material didudukkan sebagai sarana prasarana dalam batas kecukupan, tidak sampai pada berlebihan, sebagaimana tercermin pada pernyataan nrima ing pandum ‘menerima ~ 587 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature atas apa yang menjadi bagiannya, sugih tanpa bandha ‘kaya tanpa material, karena saudara dan lingkungan yang ada di kiri kanan kehidupannya adalah bagiannya dari keutuhan diri dan kehidupannya’. Dalam batas kecukupan tadi masyarakat Jawa terus berusaha memperkaya ilmu dan keagungan budi untuk menggapai keabadian, sebagai termaktub pada pernyataan langgeng jeneng ‘abadi dikenang sepanjang kehidupan’. Ngelmu iku olehe kanthi laku ilmu itu diperoleh karena dijalani dalam proses yang berkelanjutan. Dalam laku tentu banyak rintangan dan godaan, karena itu kudu karep lan manteb ‘wajib didasarkan pada kehendak yang kuat dan konsisten’. Pesan moral pada sesanti tersebut dapat difungsikan sebagai salah satu pilihan untuk membangun kepribadian anak-anak. Pilihan itu menjadi strategis jika dikaitkan dengan kepentingan pendidikan karakter sebagaimana dilontarkan para pembuat kebijakan dan pakar pendidikan pada akhir-akhir ini. Hanya saja lontaran-lontaran pemikiran itu masih terbatas pada ekspresi kegelisahan, belum didasarkan pada hasil pengkajian yang mendalam, apalagi tindakan kongkrit oleh yang membuat pernyataan itu untuk bisa diteladani. Jika dengan pertimbangan kultural sesanti dipilih sebagai salah satu yang dapat difungsikan untuk mendukung pelaksanaan pembinaan kepribadian anak-anak, pastilah banyak kendalanya. Kita tahu anak-anak usia sekolah dasar dan menengah di Jawa sudah tidak punya minat mendekati teks berbahasa Jawa apalagi membacanya. Kondisi itu bisa diatasi dengan mengalihbahasakan sesanti berbahasa Jawa ke berbahasa Indonesia. Tindakan lain dengan merevitalisasi pesan sesanti ke bentuk yang berterima untuk era anak-anak sekarang, misalnya digubah menjadi puisi, prosa, atau naskah drama dengan gaya tuturan sekarang.

DAFTAR PUSTAKA

Aiken, Henry D. 2009. Abad Ideologi. Yogyakarta: Relief. Amrih, Pitoyo. 2008. Ilmu Kearifan Jawa. Yogyakarta: Pinus Book Publisher Budhi Santoso, Uman. 2010. Nasihat Orang Jawa. Yogyakarta: Diva Press Carey, P. 1986. Asal usul Perang Jawa, Pemberontakan Sepay dan Lukisan Raden Saleh. Jakarta: Pustaka Azet Chodjim, A. 2009. Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga. Jakarta: Serambi Endraswara, Suwardi. 2010. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala Giri MC, Wahyu. 2010. Sesajen dan Ritual orang Jawa. Yogyakarta: Narasi Harimurti, Wisnu. 2011. Mutiara-mutiara Terpendam dari Jawa 12 Serat dan babad Warisan Orang Jawa. Yogyakarta: In Azna Books Herusatoto, Budiono. 2008. Simbolisme Jawa. Yogyakarta: Ombak Hidyat, Komaruddin. 2009. Memaknai jejak Kehidupan. Jakarta: Gramedia

~ 588 ~ MAKNA KONTEKSTUAL BAHASA LAMPUNG DALAM KOLOM WAT WAT GAWOH PADA SURAT KABAR HARIAN LAMPUNG POST

Veria Septianingtias STKIP Muhammadiyah Pringsewu Lampung [email protected]

ABSTRACT This research studies contextual meanings of Lampung language in Wat Wat Gawoh section of Lampung Post daily newspaper. Lampung post daily newspaper is a local and the oldest daily newspaper in Lampung Province. Wat Wat Gawoh is a phrase in Lampung language meanings “really/seriously?” (there is always something new/going on!), the phrase is usually used by the speakers of Lampung language as a joke to the addressees. The research aims to describe the contextual meanings of Lampung language in Wat Wat Gawoh section and its influence towards the readers. The method used in this research is qualitative-descriptive method. The qualitative-descriptive research tends to describe data systematically, actually, and accurately. The technique of data collection uses record technique, that is recording or transcribing the Lampung language in Wat Wat Gawoh section of Lampung post daily newspaper. Based on the result of the data analysis, it can be concluded that the contextual meanings of Lampung language in Wat Wat Gawoh section of Lampung post daily newspaper refer to context of situation, setting, object, and context of language. The influence of contextual meanings in Wat Wat Gawoh section which has been analyzed shows purposes of affecting readers, delivering information, and entertaining.

Keywords: Contextual Meanings, Wat Wat Gawoh, Lampung Post.

1. Pendahuluan Bahasa merupakan alat komunikasi yang peranannya sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam penggunaanya, bahasa dapat disampaikan dengan lisan maupun tulisan. Pada penelitian ini, penulis mengkaji penggunaan bahasa yang terdapat dalam kolom Wat Wat Gawoh pada surat kabar harian Lampung Post. Surat kabar harian merupakan salah satu ragam tulisan yang banyak diminati oleh masyarakat. Pada ragam tulis, perlu diperhatikan penggunaan bahasa yang baik agar makna dan maksud yang terkandung dalam tulisan dapat dimengerti oleh pembaca. Penggunaan bahasa dalam surat kabar harian merupakan hasil gagasan yang ditulis sesuai dengan bahasa jurnalistik. Ciri-ciri bahasa jurnalistik di antaranya: sederhana, singkat, padat, lugas, jelas, jernih, menarik, demokratis, populis, logis, gramatikal, menghindari kata tutur, menghindari istilah asing, diksi yang tepat, mengutamakan kalimat aktif, menghindari kata atau istilah teknis, dan tunduk pada kaidah etika (Sumadiria, 2005:53-61). Dalam penelitian ini, peneliti akan memfokuskan penggunaan bahasa Lampung yang terdapat dalam kolom Wat Wat Gawoh pada surat kabar harian Lampung Post. Alasan peneliti memilih surat kabar harian Lampung Post karena surat kabar harian Lampung Post merupakan surat kabar harian tertua di Provinsi Lampung yang terbit sejak 10 Agustus 1974. Lampung Post dikenal sebagai surat kabar pertama dan tertua di Lampung. Dalam surat kabar harian Lampung Post terdapat kolom yang dinamakan Wat Wat Gawoh. Wat Wat Gawoh merupakan frasa dalam bahasa Lampung yang mengandung makna ‘ada-ada saja’, frasa tersebut biasanya digunakan oleh penutur bahasa Lampung sebagai bentuk canda terhadap lawan tutur. Dalam Kolom Wat Wat Gawoh terdapat satu atau lebih kalimat berbahasa Lampung

~ 589 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature dan disajikan dengan makna dalam bahasa Indonesia. Hal tersebut merupakan pemertahanan bahasa Lampung dalam bentuk tulisan. Topik yang disajikan dalam kolom Wat Wat Gawoh berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat dan cara penyampaiannya bersifat menghibur. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan makna kontekstual bahasa Lampung yang terdapat dalam kolom Wat Wat Gawoh pada surat kabar harian Lampung Post serta pengaruhnya terhadap pembaca. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Teknik pengkajian data dilakukan dengan dua tahap, yaitu metode pengumpulan data dan metode analisis data. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik catat, yakni mencatat atau mentranskrip bahasa Lampung dari kolom Wat Wat Gawoh pada surat kabar harian Lampung Post. Data yang diambil oleh peneliti adalah kolom wat wat gawoh pada bulan Januari 2015. Setelah pengumpulan data, peneliti melakukan reduksi data untuk mendapatkan data-data yang sesuai dengan pengkajian data. Selanjutnya pada tahap terakhir peneliti melakukan analisis data berdasarkan makna kontekstual dalam kolom Wat Wat Gawoh yang difokuskan pada penggunaan bahasa Lampung.

2. Kajian Teori Penelitian ini menggunakan kajian semantik. Istilah semantik tentu tidak akan lepas dari makna, karena makna merupakan objek kajian semantik. Makna yang dimaksud tentunya berkaitan dengan makna dari satuan-satuan bahasa, seperti kata, klausa, frasa, kalimat dan wacana. Semantik adalah ilmu tentang makna. Istilah umum dipakai dalam studi linguistik (Parera, 2004:43). Pada dasarnya, ‘makna’ bermula dari ‘kata’ (Aminuddin, 2003:52). Selain bermula dari kata, makna juga memiliki hubungan erat dengan (1) sistem sosial budaya maupun realitas luar yag diacu, (2) pemakai, (3) konteks sosial-situasional dalam pemakaian. Dengan demikian pengertian makna dibatasi sebagai hubungan antara bahasa dan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh para pemakai bahasa sehingga dapat saling dimengerti (Grice, 1957 dalam Aminuddin, 2003:53). Makna ternyata dapat didefenisikan bermacam-macam, tergantung dari sudut manakah kita hendak memandangnya. Makna juga dalam arti luas menyangkut semua hal yang dikomunikasikan dengan bahasa. Blommfield, salah seorang pakar linguistik menyarankan bahwa makna suatu bentuk kebahasaan harus dianalisis dalam batas unsur-unsur penting situasi penutur mengutarakannya. Bentuk situasi tersebut di antaranya (1) rangsangan penutur (2) ujaran (tanggapan penutur dan rangsangan pendengar) (3) tanggapan pendengar (Abdul Wahab, 1995:40-41). Dalam kaitannya dengan penelitian ini, kajian semantik dikaitkan dengan makna kontekstual dalam kolom Wat Wat Gawoh pada surat kabar harian Lampung Post. Makna kontekstual merupakan salah satu jenis makna dalam kajian semantik.

1) Makna Kontekstual Pateda (2010:116-118) menyatakan bahwa makna kontekstual (contextual meaning ) atau makna situasional (situasional meaning) muncul sebagai akibat hubungan antara ujaran dan konteks. Sudah diketahui bahwa konteks itu berwujud dalam banyak hal. Konteks yang dimaksud di sini, yakni: (i) konteks orangan, yang berkaitan dengan jenis kelamin, kedudukan pembicara, usia pembicara/pendengar; (ii) konteks situasi, misalnya situasi aman, situasi ribut; (iii) konteks tujuan, misalnya meminta, mengharapkan sesuatu; (iv) konteks formal/tidaknya pembicaraan; (v) konteks suasana hati pembicara/pendengar, misalnya takut, gembira, jengkel;

~ 590 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature (vi) konteks waktu, misalnya malam, setelah magrib; (vii) konteks tempat, apakah tempatnya di sekolah, pasar, dll; (viii) konteks objek, maksudnya apa yang menjadi fokus pembicaraan; (ix) konteks alat kebahasaan, maksudnya apakah memenuhi kaidah bahasa yang digunakan oleh kedua belah pihak; dan (xi) konteks bahasa, yakni bahasa yang digunakan. Konteks orangan memaksa pembicara untuk mencari kata-kata yang maknanya dipahami oleh kawan bicara sesuai dengan jenis kelamin, usia, latar belakang sosial ekonomi, latar belakang pendidikan. Konteks situasi memaksa pembicara mencari kata yang maknanya berkaitan dengan situasi, misalnya situasi kedukaan akan memaksa orang untuk mencari kata yang maknanya berkaitan dengan situasi itu. Konteks tujuan, misalnya tujuannya untuk meminta maka orang akan mencari kata-kata yang maknanya meminta. Konteks formal/ tidaknya pembicaraan memaksa orang harus mencari kata yang bermakna sesuai dengan keformalan/tidaknya pembicaraan. Pilihan kata yang dipilih pada konteks formal dan tidak formal disesuaikan dengan situasi dengan tujuan agar kata yang disampaikan sopan atau tidak menyinggung perasaan lawan tutur. Konteks suasana hati pembicara/pendengar turut mempengaruhi kata yang berkaitan pula pada makna, misalnya suasana hati yang jengkel akan memungkinkan kata-kata yang bermakna jengkel pula. Konteks waktu, misalnya waktu akan tidur, waktu saat-saat orang akan bersantap. Jika seseorang bertamu pada waktu seseorang akan beristirahat maka orang yang diajak bicara merasa kesal. Perasaan kesal itu akan terlihat pada makna kata-kata yang digunakannya. Konteks tempat, misalnya di pasar, di depan bioskop, semuanya akan turut mempengaruhi kata yang digunakan atau turut mempengaruhi makna kata yang digunakan. Di tempat-tempat itu, orang akan mencari kata yang bermakna biasa-biasa, misalnya makna yang berhubungan dengan informasi. Konteks objek yang mengacu pada fokus pembicaraan akan turut mempengaruhi makna kata yang digunakan. Konteks kelengkapan alat bicara/dengar akan turut mempengaruhi makna kata yang digunakan. Misalnya orang yang tidak normal alat bicaranya akan melafalkan kata yang tidak sama dengan kata yang sebenarnya, akibatnya dapat menimbulkan perbedaan makna dan tanggapan dari pendengar. Konteks kebahasaan, maksudnya hal-hal yang berhubungan dengan kaidah bahasa yang bersangkutan akan turut mempengaruhi makna. Dalam tulis- menulis yang diperhatikan, yakni tanda-tanda baca dan diksi, sedangkan dalam komunikasi lisan yang perlu diperhatikan, yakni unsur suprasegmental (berhubungan dengan segmen ujaran atau bunyi (fonem), yaitu nada, tekanan, sendi, intonasi). Akhirnya konteks kesamaan bahasa mempengaruhi makna secara keseluruhan. Dalam hal ini kedua belah pihak harus menguasai bahasa yang digunakan.

2) Surat Kabar Effendy (2006:241) mengemukakan bahwa surat kabar adalah lembaran tercetak yang memuat laporan yang terjadi pada masyarakat dengan ciri-ciri terbit secara periodik, bersifat umum, isinya termasa dan aktual mengenai apa saja dan dimana saja di seluruh dunia untuk diketahui pembaca. Arti penting surat kabar terletak pada kemampuannya untuk menyajikan berita-berita dan gagasan-gagasan tentang perkembangan masyarakat pada umumnya yang dapat mempengaruhi kehidupan modern seperti sekarang ini. Selain itu surat kabar mampu menyampaikan sesuatu kepada pembacanya melalui surat kabar pendidikan, informasi dan interpretasi mengenai beberapa hal sehingga hampir sebagian besar dari masyarakat menggantungkan dirinya kepada pers untuk memperoleh informasi. Surat kabar sebagai media ~ 591 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature massa dalam masa orde baru mempunyai misi menyebarluaskan pesan-pesan pembangunan dan sebagai alat mencerdaskan rakyat Indonesia. Ada empat fungsi surat kabar, (Ardianto, dkk, 2005:104), di antaranya: menyampaikan Informasi, edukasi (pendidikan), hiburan, persuasif (membujuk). Fungsi yang paling menonjol pada surat kabar adalah informasi. Hal ini sesuai dengan tujuan utama khalayak membaca surat kabar, yaitu keingintahuan akan setiap peristiwa yang terjadi disekitarnya.

3. Pembahasan Analisis data atau pembahasan dalam penelitian ini difokuskan pada makna kontekstual bahasa Lampung yang terdapat dalam kolom Wat Wat Gawoh pada surat kabar harian Lampung Post. Berdasarkan hasil reduksi data dan pengklasifikasian, peneliti akan menganalisis dan mendeskripsikan makna kontekstual yang terangkum dalam 5 (lima) data kalimat berbahasa Lampung. Analisis data atau pembahasan pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

Data 1 Nah/ kuh/ lebon/ aki/ pakai/ kaci/, repa/ kik/ lebon/ mubelni/. Wat wat/ gawoh. Nah/ aki/ saja/ pakai/ anjing pelacak/, apalagi/ kalau/ mobilnya/. Ada ada/ saja. ‘Nah... hilang aki saja pakai anjing pelacak, apalagi kalau mobilnya. Ada-ada saja’.

Data (1) merupakan data yang diambil dari kolom wat wat gawoh yang berjudul ‘Mengendus Aki Bekas’, 8 Januari 2015. Situasi yang terjadi pada wacana tersebut tampak dengan gambar seorang polisi bersama anjing pelacak yang sedang melakukan penyelidikan pada kasus pencurian dua baterai atau aki mobil angkutan sampah milik Dinas Kebersihan dan Pertamanan (Disbertam) Bandar Lampung. Tempat kejadian dan pencarian di depan kantor Lurah Gunung Sulah, Way Halim. Konteks objek pada data di atas adalah pencurian aki mobil. Konteks kebahasaan terlihat pada penggunaan bahasa Lampung yang dikhususkan untuk memperjelas tujuan penulis, tujuannya agar pembaca dapat mengetahui peran polisi dan pemerintah dalam menyelesaikan kasus pencurian aki mobil. Konteks kebahasaan pada kalimat bahasa Lampung di atas menggunakan konjungsi subordinatif atau konjungsi bertingkat yang ditandai dengan kata ‘apalagi’. Kata tersebut bersifat membandingkan antara hilangnya aki mobil dan hilangnya sebuah mobil. Tentu pembaca dapat menyimpulkan jika terjadinya pencurian mobil maka pemerintah dan polisi akan segera menindak kasus tersebut.

Data 2 Ai/ seno/ kepentinganmu/, kik/ mesakik/ ya/ ulehmu/. Wat wat/ gawoh. Aduh/ itu/ kepentinganmu/, kalau/ merasa/ sakit/ ya/ bagianmu/. Ada ada/ saja. ‘Aduh itu mah kepentinganmu, kalau merasa sakit ya bagianmu. Ada ada saja’.

Data (2) merupakan data yang diambil dari kolom wat wat gawoh yang berjudul ‘Sakitnya Wakil Rakyat’, 9 Januari 2015. Situasi yang terjadi pada wacana tersebut tampak pada gambar tiga anggota DPR yang berada di teras sebuah gedung. Konteks objek pada data di atas adalah sejumlah anggota DPRD Jabar protes soal kebijakan kemendagri yang menghapus dana hibah sosial. Konteks kebahasaan terlihat pada penggunaan bahasa Lampung yang dikhususkan untuk memperjelas tujuan penulis, tujuannya agar pembaca dapat memahami keadaan anggota DPRD saat ini. Salah satu anggota DPRD Imas Masitoh berkata, “Rasanya sakitnya tuh disini, Pak”. Konteks kebahasaan pada kalimat bahasa Lampung di atas menggunakan konjungsi subordinatif

~ 592 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature atau konjungsi bertingkat yang ditandai dengan kata ‘kalau’. Kata tersebut menunjukkan penanda anak kalimat keterangan syarat. Kalimat bahasa Lampung pada data (2) menunjukkan idealisasi penulis untuk mempengaruhi pembaca dengan gaya bahasa ironi. Tentu pembaca dapat menyimpulkan jika terjadinya hal tersebut, yang menanggung adalah anggota DPRD karena itu adalah kepentingan mereka.

Data 3 Ya/ pusing/ muneh/ plisis/ aga/ nulis/ datani/, bebai/ api/ bekas/ kuti/ no/. Wat wat/ gawoh. Dia/ pusing/ juga/ polisi/ mau/ menulis/ datanya/, laki-laki/ atau/ perempuan/ kalian/ itu. Ada ada/ saja. ‘polisi pusing juga menulis datanya, laki-laki atau perempuan kalian. Ada ada saja’.

Data (3) merupakan data yang diambil dari kolom wat wat gawoh yang berjudul ‘Bingung Jenis Kelamin’, 10 Januari 2015. Situasi yang terjadi pada wacana tersebut tampak pada gambar dua polisi dan satu orang warga yang berada di kantor polisi yang sedang diperiksa alat kelaminnya. Konteks objek pada data di atas adalah pembatasan kepemilikan SIM di Rusia kepada transeksual dan transgender. Konteks kebahasaan terlihat pada penggunaan bahasa Lampung yang dikhususkan untuk memperjelas tujuan penulis. Tujuannya agar pembaca dapat mengetahui bahwa di Negara Tirai Besi itu menetapkan transeksual dan transgender mengubah jenis kelamin tidak lagi memenuhi syarat untuk mendapatkan surat izin mengemudi (SIM). Pembatasan kepemilikan SIM itu dilakukan karena transeksual dan transgender dianggap gangguan mental. Hal tersebut dilakukan pemerintah Rusia karena tingginya tingkat kecelakaan di jalanan Rusia. Konteks kebahasaan pada kalimat bahasa Lampung di atas menggunakan kalimat bertingkat yang ditandai oleh kalimat inti dan anak kalimat. Kalimat bahasa Lampung pada data (3) menunjukkan idealisasi penulis terhadap kasus transeksual dan transgender, tetapi idealisasi tersebut dituangkan dengan gambar dan penggunaan bahasa yang sifatnya menghibur.

Data 4 Nah/, temon/ do/. Kuti/ emak-emak/ aga/ tikurung/ unyin/, sapa/ si/ nunggu/ lamban/? Wat wat/ gawoh. Nah/, betul/ kan/. Kalian/ ibu-ibu/ mau/ dikurung/ semua/, siapa/ yang/ menunggu/ rumah/? Ada ada/ saja. Nah, betul kan. Kalian dipenjara semua, siapa yang menjaga rumah? Ada ada saja.

Data (4) merupakan data yang diambil dari kolom wat wat gawoh yang berjudul ‘Ransum Narkoba’, 12 Januari 2015. Situasi yang terjadi pada wacana tersebut tampak pada gambar seorang sipir LPdan tiga orang tersangka yang berada di kantor polisi. Konteks objek pada data di atas adalah dua pemuda bersaudara yang ditangkap sipir LP Kerobokan Bali yang kedapatan membawa sabu-sabu yang dsimpan di nasi ransum untuk kakaknya yang telah ditahan di LP tersebut. Konteks kebahasaan terlihat pada penggunaan bahasa Lampung yang dikhususkan untuk memperjelas tujuan penulis. Tujuannya agar pembaca dapat mengetahui bahwa di Kerobokan Bali terdapat satu keluarga yang bersekongkol melakukan tindak kejahatan. Dua pemuda bersaudara ditangkap oleh sipir LP yang membawa sabu-sabu dan diletakan ke dalam nasi ransum untuk kakaknya, dua pemuda bersaudara itu mengaku melakukan hal tersebut karena disuruh ibunya. Konteks kebahasaan pada kalimat bahasa Lampung di atas menunjukkan idealisasi penulis terhadap kasus tersebut, namun penulis menggunakan gaya bahasa yang sifatnya menghibur pembaca.

~ 593 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Data 5 Na/ kajong/... hara/ saramu/ kidah/, dipa/ anak/ umpumu/. Wat wat/ gawoh. Na/ nenek/... alangkah/ sengsaranya/ dirimu/, dimana/ anak/ cucumu/. Wat wat/ gawoh. Na nenek... alangkah sengsaramu, di mana anak cucumu. Ada ada saja.

Data (5) merupakan data yang diambil dari kolom wat wat gawoh yang berjudul ‘Derita Nenek’, 13 Januari 2015. Situasi yang terjadi pada wacana tersebut tampak pada gambar sepasang kakek dan nenek yang sedang berjalan. Konteks objek pada data di atas adalah potongan tunjangan untuk nenek yang menjadi tunawisma di Australia. Konteks kebahasaan terlihat pada penggunaan bahasa Lampung yang dikhususkan untuk memperjelas tujuan penulis. Tujuannya agar pembaca dapat mengetahui bahwa di Australia menjadi nenek justru seperti mendapat giliran menjadi tunawisma. Dewan Pelayanan Sosial Australia menyatakan wanita bisa lebih miskin daripada pria. Konteks kebahasaan pada kalimat bahasa Lampung di atas menggunakan kalimat pengandaian yang ditandai dengan kata ‘alangkah’ dan ‘dimana’. Kalimat bahasa Lampung pada data (5) menunjukkan idealisasi penulis terhadap nasib nenek di Australia dan bertujuan untuk mempengaruhi pembaca agar selalu menjaga orangtua atau kakek nenek.

4. Simpulan Berdasarkan data dan hasil analisis, dapat disimpulkan makna kontekstual bahasa Lampung dalam kolom Wat Wat Gawoh pada surat kabar harian Lampung Post berupa konteks situasi, tempat, objek, dan konteks kebahasaan. Pengaruh makna kontekstual pada kolom wat wat gawoh yang telah dianalisis menunjukkan tujuan-tujuan untuk mempengaruhi pembaca, menyampaikan informasi, dan menghibur.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab. (1995). Teori Semantik. Surabaya: Airlangga University Press.

Aminuddin. (2003). Semantik, Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Ardianto, dkk. (2005). Komunikasi Masa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Effendy, Onong Uchjana. (2006). Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.

Parera, J. D. (2004). Teori Semantik. Jakarta: Erlangga.

Pateda, Mansoer. (2010). Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.

Sumadiria, As. Haris. (2005). Jurnalistik Bahasa Indonesia. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

~ 594 ~ TUAK JATI DIRI GUYUB KULTUR LEMBATA: KAJIAN EKOLINGUISTIK

Veronika Genua Universitas Flores Email: [email protected]

ABSTRAK Makalah ini menyajikan tentang tradisi guyub kultur Lembata yang selalu menyajikan tuak (arak) dalam setiap ritual adat, dan juga menjamu tamu yang masuk dalam wilayah Lembata. Leksikon tuak merupakan jenis minuman khas guyub kultur Lembata. Tuak (arak) menjadi ciri khas atau jati diri pada tiap acara keluarga atau ritual. Tuak (arak) memberikan rasa kearakraban dan suasana kekeluargaan dimana saja berada. Tuak dapat dihasilkan dari pohon lontar dan juga pohon kepala. Terdapat leksikon unik yang dari bahan dan juga proses menghasilkan tuak yakni bambu (peri) yang dijadikan tempat menyimpan tuak disebut nawi. Namun pada saat ini wadah yang disebut nawi sudah berubah karena tidak lagi menggunakan bambu melainkan jerigen yang membuat keaslian berbeda. Generasi mudah tidak lagi mengenal leksikon asli tetapi berubah ke alat-alat modern. Leksikon tuak memiliki berbagai makna antara lain, makna penyatuan dengan para leluhur dan sesama, makna kebersamaan

Kata kunci : tuak, jati diri, guyub kultur.

1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Bahasa dan budaya merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Keduanya selalu hidup berdampingan, berjalan bersamaan dan akan tetap berkembang apabila para pengguna bahasa dan pencinta budaya tetap mempertahankan dan mewariskan pada generasi penerusnya. Budaya masyarakat selalu berhubungan dengan alam, dan alam itulah yang akan mempersatukannya dalam segala hal. Guyub kultur Lembata tetap berpegang teguh pada tradisi adat istiadat sejak zaman dahulu hingga saat ini. Dalam watak dominasi lingkungan, tidak heran jika dalam masyarakat ritual terlembaga tradisi-tradisi atau ritualisme, selain untuk menghibur ketidakpastian (uncertainty) ia juga merupakan cara manusia untuk menghormati alam. Alam terletak pada diri guyub tutur yang mendiami kawasan setempat. Alam merupakan bagian hidup manusia. Filosofi yang dianut masyarakat mengatakan bahwa alam perlu dihormati, dipelihara dan diajak bersahabat ( Susilo,2012: 37) Memahami pandangan dominasi lingkungan tidaklah sulit, inti penjelasan terletak pada asumsi bahwa kehidupan manusia bergantung pada alam. Masyarakat kota dan desa sangatlah berbeda, Lingkungan fisik desa didominasi dengan hukum-hukum yang berhubungan dengan lingkungan biologis ( tumbuh-tumbuhan dan hewan). Lingkungan biologi memiliki hukum keteraturan tertentu yang bersifat evolutif dan cendrung jauh dari intervensi manusia. Masyarakat kota lebih banyak beriteraksi dengan lingkungan buatan (ada yang menyebut dengan istilah lingkungan binaan). Lingkungan buatan adalah lingkungan yang sudah tidak alamiah karena sudah ada intervensi manusia dalam menciptakan model atau bentuk lingkungan tersebut menjadi bentuk-bentuk tertentu ( Susilo, 2012: 42) Berdasarkan pernyataan Susilo dapat dikatakan bahwa guyub kultur Lamatuka berpegang pada tradisi adat istiadat yang diwariskan para leluhur sejak zaman dahulu.

~ 595 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Tradisi yang diwariskan turun temurun yakni melaksanakan ritual dan dalam ritual tersebut wajib menyajikan minuman yang merupakan ciri khas dalam setiap ritual adat sebagai bentuk rasa kebersamaan dan kekeluargaan baik itu dengan guyub tutur lainnya maupun dengan para leluhur. Minuman yang menjadi ciri khas adalah tuak (tua). Tuak merupakan sejenis minuman yang memilki dua rasa yakni manis dan pahit. Tuak dihasilkan dari pohon kelapa ‘tapo’ dan lontar ‘ole’. Hal ini berkaitan dengan mata pencaharian guyub kultur Lamatuka yakni bekerja di ladang, mengiris tuak, berkerang ( mencari siput dilaut), berkarya di gunung, melayani atau memberi hidup bagi keluarga, mengabdi kepada tanah air ‘lewotana’. Guyub kultur Lamatuka tetap mempertahankan hal tersebut karena dengan tuak dapat memberikan penyatuan dengan para leluhur serta rasa kebersamaan atau kekeluargaan baik guyub kultur setempat maupun masyarakat asing yang masuk ke wilayahnya. Kata / tuturan adalah tempat di mana kita mengelompokkan benda ke dalam kelas-kelas. “Kata” adalah rumah baru bagi gagawan universal, yang diperoleh dari yang rill ( Gibbons, 2002: 135) Keanekaragaman budaya terkait erat dengan keanekaragaman hayati. Pengetahuan manusia kolektif keanekaragaman hayati dan penggunaan dan manajemen terletak pada keragaman budaya; sebaliknya melestarikan keanekaragaman hayati sering membantu memperkuat integritas budaya dan nilai-nilai “(World Resources Institute, World Conservation Union, dan United Nations Environment Programme, 1992: 21). Guyub kultur Lamatuka menghormati, melestarikan dan menjaga pengetahuan, inovasi dan praktek masyarakat adat dan lokal yang mewujudkan gaya hidup tradisional yang relevan untuk konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati dan mempromosikan aplikasi bijaksana dengan persetujuan dan keterlibatan pemilik pengetahuan, inovasi dan praktek dan mendorong pembagian yang adil dari keuntungan yang dihasilkan dari pemanfaatan pengetahuan, inovasi dan praktek “. Menciptakan suatu masyarakat di mana orang berusaha mempertinggi kemungkinan untuk memahami arti bahasa merupakan tugas mulia. Pemakaian bahasa dengan penuh pengertian mempertinggi derajat manusia, menyuburkan budaya dan memurnikan jalan pikiran ( Anwar, 1990: 90). Berdasarkan pandangan yang diutarakan Anwar dapat dikatakan bahwa dengan menikamati tuak sebagai tradisi guyub tutur Lembata dapat menyatukan dan mempererat dalam kebersamaan baik kerabat yang jauh (tamu) maupun yang dekat (keluarga). Selain itu dengan menikmati suguhan tuak dapat memberi semangat bagi orang untuk berbicara dan memunculkan berbagai ide yang dapat membangun kawasannya serta . Hal tersebut yang membuat menarik untuk diperkenalkan atau dipublikasikan.

1.2 Rumusan Masalah, Tujuan, Metode , dan Teori Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada latar belakang, maka permasalahannya dapat yang diangkat tentang tuak jati diri guyub kultur Lamatuka dapat dirancang rumusan masalah sebagai berikut 1) Bagaimanakah leksikon yang berhubungan dengan tuak pada guyub kultur Lamatuka?; 2) Bagaimanakah makna tuak pada guyub kultur Lamatuka? Tujuan dari penulisan ini yakni mendeskripsikan leksikon yang berhubungan dengan tuak pada guyub kultur Lamatuka; 2) menganalisis makna tuak pada guyub kultur Lamatuka? Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, yakni mendeskripsikan tuak sebagai jati diri dari guyub kultur setempat. Pakar ekolinguistik Haugen (1972:326) menggambarkan lingkungan alam sebuah bahasa adalah masyarakat pengguna bahasa itu, dan bahasa sesungguhnya hanya ada dalam otak manusia penuturnya yang hanya berfungsi menghubungkan penutur dengan

~ 596 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature sesamanya, dan dengan alam sekitar yaitu lingkungan sosial dan lingkungan alam. Makna lingkungan yang dimaksud mencakup manusia pikiran seseorang yang merujuk kepada dunia atau wilayah tempat bahasa itu ada dan digunakan. Sebelum menjelaskan secara terperinci tentang ekolinguistik, ada baiknya terlebih dahulu mengenal ekologi. Kata Ekologi berasal dari bahasa Yunani oikos, berarti rumah atau tempat untuk hidup. Secara harafiah, ekologi adalah pengkajian organisme di rumah. Ekologi didefinisikan sebagai pengkajian hubungan organisme-organisme atau kelompok-kelompok organisme terhadap lingkungannya. Ekologi memperhatikan terutama biologi’ golongan- golongan organisme dan dengan proses-proses fungsional di daratan, di lautan, dan di perairan adalah lebih tepat berhubungan dengan upaya mutakhir untuk mendefinisikan ekologi sebagai pengkajian struktur dan fungsi alam, telah difahami bahwa manusia merupakan bagian dari alam (Odum, 1966:3) Ekologi merupakan ilmu yang berhubungan antara mahkluk hidup dan lingkungannya. Sedangkan ekolinguistik merupakan hubungan antara bahasa dengan lingkungannya. Lingkungan bahasa dalam ekolinguistik meliputi lingkungan ragawi dan sosial ( Sapir dalam Fill, 2001: 14). Lingkungan ragawi menyangkut geografi yang terdiri atas fisik: topografi suatu Negara (pesisir, lembah, daratan, dataran tinggi, gunung) , iklim, dan sintesitas curah hujan, dasar ekonomis kehidupan manusia yang terdiri dari fauna, flora, dan sumber-sumber mineral. Lingkungan sosial terdiri atas berbagai kekuatan masyarakat yang membentuk pikiran dan kehidupan setiap individu diantaranya agama, etika, bentuk organisasi, politik dan seni.

1.3 Pembahasan Berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan dapat dikatakan bahwa tuak merupakan minuman beralkohol yg dibuat dr nira aren (kelapa, siwalan) yang diragikan.;Tuak memiliki dua rasa yakni manis dan pahit. Tuak dihasilkan dari pohon kelapa ‘tapo’, palma ‘ebo’ dan lontar ‘ole’ . Hal ini berkaitan dengan tradisi dan mata pencaharian guyub kultur Lamatuka yakni bekerja di ladang, mengiris tuak, berkerang ( mencari siput dilaut), berkarya di gunung, melayani atau memberi hidup bagi keluarga, mengabdi kepada tanah air/ pertiwi (lewotana). Pembahasan selengkapkapnya akan diuraikan berikut.

1.3.1 Leksikon yang berhubungan dengan tuak pada guyub tutur Lembata Berbicara tentang tuak tentu memiliki leksikon sesuai dengan ciri tiap wilayah/kawasan. Leksikon yang berhubungan dengan tuak yakni: 1. Jenis Tuak Tua heru ‘tuak manis’ yang tidak banyak mengandung alkohol (rasanya manis dihasilkan dari poho kelapa. Tuak manis merupakan tuak asli/alami dari sadapan kelapa dan lontar. Terdapat pula tua pei ‘ tuak pahit’ sudah mengandung alkohol yakni dicampur dengan ramuan yakni kulit dari pohon kesambi ‘ebahe’. Untuk menghasilkan tuak pahit, yaitu dicampur dengan batang kesambi ‘ ebahe’ yang dihancurkan dan dimasukan dalan wadah hasil tirisan tuak yang sudah mengandung alkohol dan banyak diminati masyarakat. 2.Peralatan Peralatan dan proses untuk menghasilkan tuak memiliki leksikon sesuai ciri khas guyub kultur Lamatuka yakni 1) puhu’ bunga kelapa (nomina) untuk menghasilkan tuak. Puhu dihancurkan untuk menhasilkan air yang disebut tuak. tanpa puhu. Tanpa puhu tidak dapat menghasilkan tuak. 2) ‘moto’(nomina) . Moto merupakan wadah/ tempat menyimpan tuak terbuat dari ~ 597 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature bambu ‘ eu’ dengan ukuran setengah sampai satu meter, dan apabila diganti dengan wadah lain, rasanya akan berbeda; 2) ole lolo ‘daun lontar’ (nomina) untuk menutup moto, tempat tadahan tuak; 4) bote ‘ bambu kecil’ tempat /wadah sebelum tuak menghasilkan air.

1.3.2 Makna Tuturan Tuak pada Guyub Kultur Lamatuka Setiap guyub kultur memiliki makna sesuai dengan tuturan pada ritual adat masing- masing, baik ritual adat dalam wilayah adat maupun ritual dalam keluarga. Tuturan pada saat menyajikan tuak untuk menghormati leluhur maupun acara keluarga terlihat pada kalimat berikut ini.

mio na’u lata doe-doe Kamu tinggal tempat jauh-jauh kamu berada di tempat jauh ga mobe tau, menu mobe hape makan selalu simpan, minum selalu gantung makanan dan minuman selalu tersedia tobo mobe hue duduk selalu ingat duduk selalu berpikir turu mobe ture tidur selalu mimpi tidur selalu bermimpi

Tuturan tersebut memiliki makna nasihat/petuah bagi setiap orang yang berada di luar wilayah untuk bekerja dan mencari pekerjaan. Pesan/nasihat tersebut mengingatkan kepada setiap orang agar dapat bekerja dengan baik di tempat rantau dengan jujur dan menabung untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Hal ini terlihat pada kalimat ‘ga mobe tau, menu mobe hape’ yang berarti makanan dan minuman selalu ada tersedia. Makna pesan /nasihat tersebut agar masyarakat yang meninggalkan wilayah atau kampung halaman selalu hidup baik dan tidak menelantarkan keluarga. Tuturan berikut menunjukkan makna kebersamaan antara pemerintah dengan masyarakat setempat dalam menikmati minum tuak bersama sebagai rasa kekeluargaan pada saat mengunjungi wilayah setempat. Tuturan tersebut terlihat pada kalimat berikut.

ribu ratu gite hope hodi seribu seratus kita beli terima seluruh masyarakat menerima rike mbale ne ro bule gite kesine pemerintah datang kunjung kita orang susah kunjungan pemerintah ke wilayah /desa hupe hodi dike mbele jemput terima orang besar menjemput pemerintah

~ 598 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Berdasarkan tuturan yang telah dipaparkan dapat dikatakan bahwa pemerintah juga merasakan kebersamaan dengan warga setempat dalam menikmati tuak bersama tanpa ada perbedaan khusus pada kalimat ‘rike mbale ne ro bule gite kesine’ yang artinya pemerintah mengunjungi masyarakat kecil. Sebagai rasa kebersamaan dengan menikmati tuak bersama. Selain makna kebersamaan, terdapat pula makna permohonan terlihat pada tuturan berikut. ina ama ame malu ma ma ibu bapak kami lapar kebun ibu bapak kami orang susah ge ame waige bisa bira jadi kami badan pecah belah hidup kami terlantar

Tuturan tersebut menunjukkan makna permohonan yang menyatakan bahwa bahwa masyarakat hidup susah dan memohon kepada pemerintah agar memperhatikan untuk membangun wilayah / desa setempat agar merata seperti wilayah desa lainnya.

1.4 Kesimpulan Tuak melambangkan jati diri masyarakat setempat dan juga merupakan sarana untuk menunjukkan hubungan kebersamaan dengan para leluhur dan masyarakat setempat. Terdapat leksikon yang berhubngan dengan tuak yang masih aktif pada generasi tua, namun untuk generasi muda perlahan –lahan menghilang karena tidak menggunakan bahasa daerah namun bahasa pertama yakni bahasa Indonesia. Tradisi / budaya minum tuak memiliki tuturan yang menunjukkan makna pesan/nasihat, makna kebersamaan dan makna permohonan sebagai waeisan dari para leluhur

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Chairil. 1990. Fungsi dan Peranan Bahasa Sebuah Pengantar. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press Fill, Alwin and Peter Muhlhausler. 2001. (Eds.). The Ecolinguistics Reader. Language, Ecology, and Environment. London and New York: Continuum. Gibbons, Michael T.2002. Tafsir Politik .Yogyakarta: Qalam Haugen, Einer. 1972. The Ecology of Language. Standford, CA: Standford University Press. Odum, Eugene P. 1996. Dasar-dasar Ekologi. Edisi Ketiga Diterjemahkan dari Fundamentals of Ecology Third Edition. Diterjermahkan oleh Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Susilo, Rachmat K. Dwi. 2012. Sosiologi Lingkungan. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada

~ 599 ~ ~ 600 ~ REDUPLIKASI MORFEMIS BAHASA MANGGARAI-NTT

Vinsensius Gande SMA Negeri 1 Komodo-Kabupaten Manggrai Barat-Flores-NTT

ABSTRACT This article describes the types of morphological reduplication of (ML) and the process of its formation by using the eclectic theory, ie, a combination of structural morphology theory and the theory of generative morphology according to Chomsky (1970) and Aronoff (1976). The focus of the problem is the type described reduplication and its formation process. Morphologically, the Manggarai language (ML) can be divided into five types in which, first, the total reduplication; second, partial reduplication followed phoneme changes; third, partial reduplication combined by clitic; fourth, reduplication followed phoneme changes; and fifth, reduplication followed by changes at the same phoneme deletion. The Manggarai Language formation process may occur by way of parafixation and proyection of base segments. Furthermore, consonant phonemes can be associated one-on-one with a vocal movement to the left (right to left) or to the right (left to right).

Keywords: reduplication morphemic, types of redupliaction, and formation process.

PENDAHULUAN Di Nusa Tenggara Timur terdapat kurang lebih 37 bahasa daerah termasuk bahasa Manggarai (bM), Fox (dalam Bustan, 1987:1). Bahasa Manggarai dipakai oleh masyarakat Manggarai di tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Manggarai Timur yang letaknya berbatasan dengan Kabupaten Ngada, Kabupaten Manggarai Tengah, dan Kabupaten Manggarai Barat yang letaknya berbatasan dengan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) atau di ujung Flores bagian Barat. Bahasa Manggarai terdiri atas empat dialek, yaitu dialek Manggarai Timur, dialek Manggarai Tengah, dialek Manggarai Barat dan dialek Manggarai Utara, dengan masing-masing subdialeknya. Penelitian ini berfokus pada pendekatan morfologi. Unsur morfologi yang diangkat adalah reduplikasi. Reduplikasi didefinisikan sebagai proses morfemis yang mengubah bentuk kata yang dikenainya (Simatupang, 1983:16; Verhaar, 1996:152). Kemudian, secara khusus Borselow dan McCarty (dalam Katamba, 1993:184) menegaskan bahwa reduplikasi merupakan proses afiksasi suatu morfem pada bentuk dasar. Dalam telaah ini, reduplikasi dimaknai sebagai satuan gramatikal yang memiliki satuan yang diulang dan satuan yang diulang itu disebut bentuk dasar (base). Setiap kata ulang memiliki satuan yang diulang, satuan yang diulang itu disebut bentuk dasar (base). Dalam kaitannya dengan reduplikasi, menurut Samsuri (1991:191), banyak sekali terdapat pada bahasa-bahasa di dunia. Secara lebih sempit Verhaar (dalam Hente, 1994:3) menyatakan bahwa di Asia Tenggara, reduplikasi tergolong masih sangat umum termasuk bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Bahasa Manggarai salah satu bahasa daerah di NTT yang memiliki sistem reduplikasi. Setiap bahasa yang digunakan tentu memiliki sistem reduplikasi tersendiri, baik tipe, fungsi, maupun maknanya. Ada tiga tipe reduplikasi, yaitu (1) reduplikasi fonologis, yaitu pengulangan yang tidak terjadi perubahan makna (2) reduplikasi sintaksis, yaitu proses pengulangan yang terjadi pada bentuk dasar yang menghasilkan satuan yang berstatus klausa, sedangkan (3) reduplikasi morfemis, yaitu perubahan yang terjadi perubahan makna gramatikal atas bentuk dasar yang

~ 601 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature diulang, sehingga terjadilah satuan yang berstatus kata (Kridalaksana, 1992:88). Salah satu tipe reduplikasi yang relevan dengan kajian ini adalah reduplikasi morfemis. Reduplikasi morfemis dapat diklasifikasikan atas beberapa macam di antaranya, pertama, reduplikasi seluruh bentuk dasar. Reduplikasi jenis ini maksudnya, bentuk dasar dikopi secara utuh, tanpa adanya perubahan fonem dan tidak berkombinasi dengan afiks, misalnya dalam data bahasa Maori reo diulang menjadi reo-reo yang artinya percakapan (Krupa, 1966). Kedua, reduplikasi parsial, yaitu reduplikasi sebagian bentuk dasar (bentuk dasar tidak diulang seluruhnya), misalnya dalam data bahasa Maori kata pango menjadi papango yang artinya gelap (Krupa, 1966). Ketiga, reduplikasi berkombinasi afiks, yaitu reduplikasi terjadi bersama- sama dengan proses pembubuhan afiks. Misalnya kata takki diulang menjadi taktakki, Agta (dalam Marantz, 1982). Keempat, reduplikasi dengan perubahan fonem, misalnya dalam kata bahasa Indonesia lauk-pauk, (Ramlan, 1987:69—75; Verhaar, 1996:4; Katamba, 1993:150; Simatupang,1983:52). Proses pembentukan reduplikasi morfemis tersebut dapat melalui proses yang berbeda- beda, di antaranya, (1) reduplikasi progresif, yaitu proses reduplikasi yang berlangsung ke arah sebelah kanan (left to right) atau sesuai dengan arus ujaran, (2) reduplikasi regresif, yaitu proses pembentukannya ke arah sebelah kiri (right to left) (Parera, 1994:52; Kridalaksana, 1996:99— 101; Katamba, 1993:186). Hal senada dipertegas oleh Borselow dan McCarthy (dalam Spencer, 1993:150). Dijelaskan bahwa reduplikasi mengandung beberapa hal pokok, yaitu (1) setiap pengulangan harus memiliki bentuk dasar atau satuan yang diulang, (2) reduplikasi bisa terjadi pada bagian kiri dari bentuk dasar sebagai prefiks, (3) reduplikasi bisa terjadi pada bagian kanan dari bentuk dasar sebagai sufiks, (4) reduplikasi bisa terjadi pada bagian tengah dari bentuk dasar sebagai infiks, dan (5) reduplikasi bisa terjadi pada seluruh bentuk dasar, seluruh morfem, sebuah silabel, sebagian silabel, dan semua silabel atau perubahan konsonan dan vokal. Dalam proses morfemis, makna dapat dibagi menjadi makna leksikal, dan makna gramatikal. Makna leksikal adalah makna yang kurang lebih tetap terkandung dalam kata, sedangkan makna gramatikal adalah makna yang disebabkan oleh adanya perubahan bentuk, perubahan golongan dan perubahan makna sebagai akibat melekatnya afiks pada bentuk dasar. Oleh proses morfemis kata yang dikenainya dapat mengalami perubahan makna, dan bukan membentuk makna baru (Ramlan, 1987:22; Simatupang, 1983:79). Bahasa Manggarai memiliki keunikan tersendiri mengenai reduplikasi morfemis. Penelitian tentang reduplikasi morfemis bM memang sudah pernah diteliti oleh peneliti terdahulu, namun dalam penelitian tersebut masih menerapkan teori struktural, yakni hanya mengkaji unsur surface saja. Padahal, masalah reduplikasi dalam bM begitu menarik dan produktif proses morfologisnya jika dibedah dengan menggunakan teori morfologi generatif. Ada beberapa data yang membuat peneliti merasa tertarik untuk menelaah reduplikasi bM di antaranya kata lelo ‘melihat’. Kata lelo dapat diulang menjadi tiga bentuk, yaitu pertama, lelo- lelo (melihat-lihat); kedua, lali-lelo (sekadar melihat-lihat) dan ketiga lelo-lalo (melihat-lihat secara tidak terarah pada tujuan tertentu). Adapula data reduplikasi yang sangat sulit dieksplikasi dengan teori struktural karena bentuk pengulangannya ada pemunculan bunyi konsonan baru, seperti bunyi trill [r] atau lateral [l]. Dapat diperhatikan pada contoh berikut. Kata wutir mengandung makna bergerak. Kata wutir dapat diulang menjadi lima bentuk alternasi, yaitu pertama, wutir-wutir, kedua, wati-wutir; ketiga, wuli-wutir; keempat, wel-wutir; dan kelima wer-wutir. Selain itu, ada

~ 602 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature juga bentuk pengulangan lain yang sama dengan kata wutir, misalnya kata ngotes mengandung makna tidur tidak tenang. Kata ngotes bentuk pengulangannya menjadi dua bentuk alternasi, yaitu ngati-ngotes dan ngel-ngotes. Begitu pula kata mbikas yang mengandung makna air yang keluar dari suatu tempat namun tidak terarah pada satu tujuan. Kata mbikas dapat diulang menjadi dua bentuk alternasi mbaki-mbikas dan mber-mbikas. Pemunculan konsonan [r] dan [l] pada kata wutir, ngotes, mbikas hanya dapat dieksplikasi dengan teori morfologi generatif. Teori morfologi generatif mempostulatkan bahwa tidak ada satuan kebahasan yang tidak bisa dieksplikasi. Keunggulan lain dari teori morfologi generatif mengakui adanya bentuk alternasi. Bentuk reduplikasi, seperti yang disebutkan di atas, menurut penulis suatu gejala bahasa yang perlu ditelaah secara mendalam agar menjadi bahasa yang berterima dan terkaidah. Teori morfologi generatif digunakan untuk menganalisis proses pembentukan kata yang sangat sulit ditentukan bentuk dasarnya. Teori morfologi generatif semula dikemukan oleh Chomsky (1970) (dalam Parera, (1994:86). Chomsky (1970) menjelaskan bahwa proses analisis morfologis perlu dibedakan antara kompetensi (kompotence), struktur luar (surface structure) dan struktur dalam (underlying structure), sintaksis (syntax), performansi (performance), transformasi (transformation) dan fonologi (phonology). Menurut Chomsky (1970), struktur bahasa yang didengar atau ditulis merupakan struktur luar (surface structure). Struktur luar merupakan hasil transformasi dari struktur dalam (underlying structure). Demikian pula dengan proses pembentukan kata (word formation process) untuk proses morfemis tertentu. Teori morfologi generatif menghasilkan suatu deskripsi bahasa yang produktif (productive) dan kreatif (kreative).Maka dalam proses analisis morfologi generatif akan menghasilkan perangkat kaidah pembentukan kata (a set of word formation rules) yang produktif dan kreatif. Dengan demikian, perangkat kaidah itu dapat menghasilkan sejumlah besar kata bentukan yang berterima dan berkaidah. Teori morfologi generatif memiliki perangkat kaidah dalam membentuk kata- kata baru atau kalimat-kalimat baru dengan kaidah transformasi. Menurut Beratha (2010), ada dua pendekatan yang dikembangkan oleh pakar morfologi generatif, yakni (1) pendekatan morfem (morpheme based approach) oleh Halle (1972:1973) dan (2) pendekatan kata (word based approach) oleh Aronoff (1976). Aronoff (1976) menerapkan word based hypothesis dalam pembentukan kata. Syarat pembentukan kata adalah sebagai berikut. Pertama, dasar pembentukan kata adalah kata (bukan lebih kecil dari kata). Kedua, kata adalah kata yang benar-benar ada (tidak termasuk kata-kata yang potensial). Ketiga, kaidah pembentukan kata berlaku untuk kata tunggal bukan frasa. Keempat, kata dasar harus termasuk dalam kategori sintaksis utama, yaitu nomina, verba, ajektiva, dan lain-lain. Kelima, out put dari kaidah pembentukan kata harus merupakan kategori sintaksis yang utama. Aronoff (1970) menerapkan konsep kaidah penyesuaian (adjustment rules). Keberadaan kaidah ini disebabkan oleh kata-kata yang tidak semuanya mengalami proses yang mulus pada kaidah pembentukan kata menuju kamus, sehingga sering muncul truncation & allomorphy rules yang menjelaskan bagaimana penyesuaian itu berinteraksi dalam kaidah pembentukan kata. Dalam kajian ini penulis menggunakan teori morfologi generatif menurut Aronof.

METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Prinsip dasar metode deskriptif, yaitu menganalisis data berdasarkan apa yang diujarkan informan, data yang dianalisis adalah data primer, menganalisis data secara komprehensif tanpa mengabaikan bagian- ~ 603 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature bagiannya. (Nida, 1974:1-2). Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik elisitasi, rekaman, dan instrospeksi. Jenis data yang dikumpulkan adalah data tulis dan data lisan. Informan sebagai sumber data berjumlah 15 orang yang dapat mewakili wilayah pemakai bahasa Manggarai. Selanjutnya, data dianalisis dengan menggunakan teknik kualifikasi, klasifikasi, dan formulasi data.

PEMBAHASAN Secara morfologis bM tidak mengenal reduplikasi afiks karena bM tidak memiliki afiks. Reduplikasi bM terdiri atas 5 (limat) tipe, yaitu (1) reduplikasi penuh (total reduplication), (2) reduplikasi parsial dengan perubahan fonem, (3) reduplikasi parsial berkombinasi klitik, (4) reduplikasi dengan perubahan fonem, dan (5) reduplikasi dengan perubahan dan pelesapan fonem. Untuk lebih jelas, tipe-tipe reduplikasi bM dapat dilihat pada deskripsi berikut ini. Ada beberapa tipe reduplikasi morfemis yang terdapat dalam bM, yaitu 1. Reduplikasi penuh (total reduplication) Reduplikasi penuh atau dirumuskan R-1: [(D+Dup)→R] merupakan reduplikasi bentuk dasar secara utuh tanpa terjadi perubahan dan pelepasan fonem atau bentuk dasar dikopi secara utuh. Perhatikan beberapa contoh berikut:

watu→watu-watu batu batu-batu ‘batu’ ‘batu-batu’ (banyak batu) ce-beo → ce-beo-ce-beo PROK-kampung PROK-kampung-PROK-kampung ‘satu kampung’ ‘satu kampung-satu kampung’ (setiap kampung)

Proses pembentukan reduplikasi total tipe R-1: watu adalah menansfer segmen- segmen bentuk dasar secara utuh, misalnya watu→watu-watu. Proses ini disebut proses transfer kuantitatif. Selanjutnya, mengopi atau memroyeksi segmen-segmen yang ada pada bentuk dasar melalui proses parafiksasi (paraffixation). Segmen-segmen bentuk dasar diproyeksi menjadi sebuah reduplikasi yang utuh. Tipe R-1: cebeo juga merupakan reduplikasi bentuk dasar yang dikopi secara utuh. Tipe ini bentuk dasar berkombinasi dengan pemarkah proklitik ce- ‘satu’. Bentuk ce- merupakan variasi bentuk ca-‘satu’. Bentuk ce- merupakan bentuk terikat, atau tidak dapat berdiri sendiri dalam tuturan, misalnya merespons pertanyaan, berapa?, yang membutuhkan jawaban singkat, misalnya ce-, kecuali dijawab ca-‘satu’. Kemudian bentuk ce- secara fonologis tidak bertekanan dibanding bentuk ca-. Itulah sebabnya ce- dikategorikan ke dalam klitik.

2. Reduplikasi Parsial terjadi perubahan fonem Reduplikasi parsial yang diikuti dengan perubahan fonem atau dirumuskan tipe R-2: [(D+DupPrf) →R] merupakan reduplikasi sebagian bentuk dasar (dikopi sebagian bentuk dasar). Silabel yang dikopi terdiri dari silabel pertama, dan silabel kedua bentuk dasar. Perhatikan contoh berikut:

~ 604 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

a. Silabel pertama papok → pi-papok sombong Dup-sombong ‘sombong’ ‘sekali sombong’ (sombong sekali) bangas → bi-bangas bodoh Dup-bodoh ‘bodoh’ ‘sekali-sombong’ (sombong sekali) mbalar → mbi-mbalar lihat Dup-lihat ‘melihat’ ‘melihat-lihat’ (melihat dengan tidak fokus) b. Silabel pertama dan silabel kedua holes → hole-hales balik Dup-balik ‘balik’ ‘terus-balik’ (membalikan badan secara terus-menerus dalam kondisi tidak tenang) erok → ero-arok besar’ Dup-besar ‘besar’ ‘sekali-besar’ (besar sekali)

Bentuk parafiksasi morfem papok pada contoh 2a, yaitu papi-papok dan pipapok. Keduanya merupakan reduplikasi parsial yang diikuti dengan perubahan fonem. Reduplikasi papi-papok hanya muncul dalam tatanan unsur batin, bukan dalam tatanan pemakaian, karena umumnya masyarakat pemakai bM menggunakan pi-papok dalam berkomunikasi sehari-hari. Proses pembentukan morfem papi-papok, yaitu berawal dari mengopi silabel pertama dan silabel kedua bentuk dasar sekaligus terjadinya perubahan fonem vokal bawah depan /a/ pada silabel pertama dan vokal tengah belakang /o/ pada silabel kedua bentuk dasar bergeser menjadi vokal bawah depan /a/ dan vokal tinggi depan /i/ pada bentuk kopiannya. Konsonan akhir silabel kedua tidak mengalami asosiasi fonem dan transfer fonem. Oleh karena itu, bentuk linearisasi morfem papok, yaitu papi-papok. Proses pembentukan reduplikasi pi-papok, yaitu mengopi silabel pertama bentuk dasar sekaligus diikuti dengan perubahan fonem. Fonem vokal bawah depan /a/ silabel pertama dikopi menjadi vokal tinggi depan /i/, sehingga membentuk morfem pi-papok. Terjadinya pergeseran vokal bawah ke vokal tinggi. Maka kaidah perubahannya sebagai berikut: /a/→ /i/ / K—. Morfem bangas pada contoh 2a terdiri atas tiga bentuk alternasi reduplikasi, yaitu bangi-bangas, bingi-bangas, dan bibangas. Ketiganya termasuk dalam tipe reduplikasi parsial yang diikuti dengan perubahan fonem. Reduplikasi bangi-bangas dan bingi-bangas sebagai unsur batin dari bi-bangas. Morfem bi-bangas umumnya dipakai oleh masyarakat pemakai bM. Proses pembentukan morfem bangi-bangas, yaitu mengopi silabel pertama dan silabel kedua bentuk dasar, sekaligus terjadinya perubahan fonem vokal /a/ pada silabel pertama dan kedua menjadi fonem vokal tinggi depan /i/ pada silabel kedua. Adanya pergeseran fonem vokal bawah ke vokal tinggi pada bentuk kopiannya. Pergeseran vokal tersebut terjadi secara regresif, yaitu bentuk kopiannya berada di bagian kiri dari bentuk dasar (right to left). Fonem konsonan /s/ pada akhir silabel kedua tidak mengalami asosiasi

~ 605 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature dan transfer fonem. Proses pembentukan morfem bingi-bangas, yaitu mengopi silabel pertama dan silabel kedua bentuk dasar, sekaligus diikuti dengan perubahan fonem. Terjadinya perubahan fonem vokal bawah /a/ pada silabel pertama dan kedua menjadi vokal tinggi /i/, kecuali fonem konsonan /s/ pada akhir silabel kedua. Kaidah perubahannya adalah /a/→/i/ /K—. Proses pembentukan morfem bi-bangas, yaitu mengopi silabel pertama bentuk dasar sekaligus terjadi perubahan fonem. Adanya pergeseran fonem bawah ke fonem tinggi. Demikian pula morfem mbalar pada contoh 2a. Bentuk parafiksasi morfemmbalar , yaitu mbali-mbalar, mbili-mbalar, dan mbi-mbalar. Ketiganya termasuk dalam tipe reduplikasi parsial yang diikuti dengan perubahan fonem. Morfem mbali-mbalar dan mbili- mbalar sebagai unsur batin (deep structure) dari mbi-mbalar. Proses pembentukan ketiga morfem ini hampir sama dengan proses pembentukan morfem bi-bangas. Morfem-morfem lain yang setipe dengan morfem pi-papok, mbi-mbalar, yaitu ngi-nganga dari morfem dasar nganga ,ri-ra dari morfem dasar ra, dsb. Morfem holes pada contoh 2b juga memiliki tiga bentuk parafiksasi, yaitu holes- holes, hali-holes, dan hole-hales. Ketiganya termasuk dalam tipe reduplikasi parsial yang diikuti dengan perubahan fonem. Proses pembentukan ketiga morfem tersebut, yaitu pertama, bentuk dasar holes dikopi secara utuh menjadi holes-holes. Tetapi bentuk holes- holes hanya bisa berterima secara kaidah karena reduplikasi tersebut sudah tidak lagi dipakai oleh masyarakat pemakai bM, kecuali bentuk hole-hales atau hali-holes. Dengan kata lain, reduplikasi holes-holes hanya sebagai struktur batin (deep struktur) dari hali-holes atau hole-hales. Secara gramatikal keduanya tidak memiliki perbedaan makna. Kedua, bentuk dasar holes dikopi sebagian menjadi hali-holes. Proses pembentukannya, yaitu silabel pertama dan silabel kedua dari bentuk dasar dikopi, sekaligus terjadi perubahan fonem. Perubahan fonem yang terjadi, yaitu fonem vokal belakang /o/ pada silabel pertama dan vokal tengah depan /e/ pada silabel kedua bentuk dasar berasosiasi dengan vokal bawah depan /a/ pada silabel pertama dan vokal tinggi depan /i/ pada silabel kedua bentuk kopinya. Asosiasi fonem tersebut bergerak ke arah sebelah kiri (right to left), sedangkan fonem konsonan akhir /s/ tidak mengalami asosiasi. Ketiga, silabel pertama dan silabel kedua bentuk dasar holes dikopi menjadi hole- hales. Proses pembentukan reduplikasi hole-holes agak beda dengan hali-holes. Proses pembentukan reduplikasi hole-hales terjadi secara progresif sedangkan hali-holes terjadi regresif. Fonem kopi posisi di sebelah kanan dari bentuk dasar. Selain bentuk holes, ada juga bentuk reduplikasi parsial lain yang menarik, yaitu bentuk erok dan mbirut. Morfem erok memiliki dua bentuk alternasi reduplikasinya, yaitu ari-erok, atau ero-arok. Demikian pula morfem mbirut memiliki dua bentuk alternasi, yaitu mbari-mbirut atau mbiru-mbarut. Proses pembentukannya bisa terjadi ke arah kanan dan ke arah kiri dari bentuk dasar.

3. Reduplikasi Parsial berkombinasi klitik Ada dua tipe reduplikasi parsial berkombinasi klitik dalam bM, yaitu proklitik dan enklitik. Ihwal tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut: a) Tipe R-3 : [(D+Dup+-s,-r,-m,-n,-k,-d)→R] Tipe R-3 reduplikasi bentuk dasar berkombinasi dengan enklitik pronomina persona -s,-r,-m,-n,-k,-d. Reduplikasi morfemis berenklitik dalam bM tidak menghasilkan

~ 606 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature perubahan bentuk kata, meskipun enklitik dianggap sebagai morfem terikat. Redupikasi enklitik dalam bM sebagai hasil kontraksinya, adalah (1) –s, untuk orang ketiga jamak (3J), (2) –r untuk orang ketiga jamak (3J) dan orang pertama jamak (1J), (3) –n untuk diri ketiga tunggal, (4) –m untuk orang kedua tunggal (1T), dan orang kedua jamak (1J), dan (5) –k untuk orang pertama tunggal (1T) serta (6) –d untuk orang ketiga jamak (3J). Contoh 3, lako-r → lako-lako-r jalan-3J jalan-jalan-3J ‘jalan kita’ ‘jalan-jalan kita’ (Kita jalan-jalan) lelo-r → lelo-lelo-r lihat-1J lihat-lihat-1J ‘lihat-kita’ ‘lihat-lihat kita’ (Kita hanya melihat-lihat) dia-m → dia-dia-m baik-3T → baik-baik-3T ‘baik-engkau’ ‘baik-baik-engkau’ (Engkau baik-baik) lako-k → lako-lako-k jalan-1J jalan-jalan-1J ‘jalan-saya’ ‘jalan-jalan-saya’ (Saya jalan-jalan) mese-n → mese-mese-n besar-3T besar-besar-3T ‘besar-dia’ ‘besar-besar-dia’ (Dia besar sekali) lewe-d → lewe-lewe-d panjang-3J panjang-panjang-3J ‘panjang-dia (benda)’ ‘panjang-panjang-dia’ (Dia panjang sekali)

Morfem lakor, lelor, diam, lakok, mesen, dan lewed termasuk reduplikasi parsial berkombinasi enklitik. Sebagian bentuk dasar dari morfem tersebut dikopi dan diasosiasikan secara progresif, sedangkan bentuk enklitik, seperti -s,-r,-m,-n,-k, -d tidak dapat diinkorporasikan ke dalam konstituen ulang. Dalam kajian ini, dijelaskan dua contoh data saja, tetapi pada prinsipnya contoh-contoh yang lain ada kemiripan dari proses pembentukannya.

b) Tipe R-4 : [ce+(D+Dup)→R] Tipe R-4 merupakan reduplikasi parsial berkombinasi dengan pemarkah proklitik ce-. Proklitik ce- pada bentuk dasar dikopi tanpa adanya perubahan fonem. Contoh 4: ce-uma → ce-ceuma PROK-kebun Dup-PROK kebun ‘satu-kebun’ ‘satu-satu kebun’ (masing-masing satu kebun)

4. Reduplikasi terjadi perubahan fonem Ada beberapa contoh reduplikasi yang diikuti dengan perubahan fonem di antaranya: lelo → lelo-lalo lihat lihat-Dup’

~ 607 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

‘lihat’ ‘lihat-lihat’ (melihat-lihat) kote → kote-kate putar putar-Dup ‘putar’ ‘putar-pati’ (berputar-putar)

Reduplikasi morfem lelo memiliki tiga bentuk alternasinya, yaitu lelo-lelo, lali-lelo atau lelo-lalo. Reduplikasi lelo-lelo termasuk dalam tipe reduplikasi total. Kemudian, lali- lelo atau lelo-lalo termasuk dalam tipe reduplikasi parsial. Morfem lelo-lelo mengandung makna melihat-lihat dengan suatu tujuan tertentu dan bersifat positif, morfem lali-lelo mengandung makna sekadar melihat-melihat dan bersifat positif, sedangkan morfem lelo- lalo mengandung makna melihat-lihat tanpa suatu tujuan yang jelas dan bersifat negatif. Proses pembentukan ketiga morfem tersebut, yaitu pertama, morfem lelo dikopi secara utuh dari bentuk dasarnya, tanpa ada perubahan fonem menjadi lelo-lelo Kedua, morfem lelo dikopi seluruh bentuk dasarnya diikuti dengan perubahan fonem menjadi lali-lelo. Posisi bentuk kopiannya ada di sebelah kiri bentuk dasarnya (asosiasi ke arah kiri atau right to left). Ketiga, morfem lelo dikopi seluruh bentuk dasarnya dan diikuti dengan perubahan fonem menjadi lelo-lalo. Posisi bentuk kopiannya di sebelah kanan dari bentuk dasar. Bentuk ini mengalami asosiasi fonem vokal /o/→/a/ dari kiri ke kanan (left to right) pada silabel pertama pada kopiannya. Demikian halnya dengan morfem kote. Proses reduplikasi morfem kote hampir sama dengan proses pembentukan reduplikasi morfem lelo di atas.

5. Reduplikasi terjadi perubahan dan pelesapan fonem Ada beberapa contoh reduplikasi yang diikuti dengan perubahan sekaligus pelesapan fonem di antaranya: ribok → rabi-ribok buncit Dup-buncit ‘buncit’ ‘sangat-buncit’ (sangat buncit) mbepep → mbapi-mbepep kepak sayap Dup-kepak ‘kepak sayap’ ‘berulang-ulang-kepak saya’ (mengepak saya berulang-ulang)

Bentuk parafiksasi dari morfemribok , yaitu ribok-ribok dan rabi-ribok. Morfem ribok dikopi secara utuh dari bentuk dasarnya. Reduplikasi ribok-ribok hanya muncul dalam tatanan unsur batin (deep struktur), bukan dalam tatanan pemakaian (sufacae structure). Karena umumnya, masyarakat pemakai bM menggunakan rabi-ribok dalam tatanan pemakaian. Setelah dilakukan parafiksasi, morfem ribok mengalami asosiasi fonem, yaitu fonem vokal /i/ pada awal silabel bentuk dasar dikopi menjadi vokal /a/ pada silabel pertama pada bentuk kopiannya dan fonem vokal /o/ pada silabel kedua bentuk dasar dikopi menjadi vokal /i/ pada silabel kedua bentuk kopiannya. Secara fonologis, asosiasi ini terjadi pada vokal tinggi depan /i/ dan vokal tengah belakang /o/ pada bentuk dasar dengan vokal bawah depan /a/ dan vokal tinggi depan /i/. Dalam hal ini adanya pergeseran vokal belakang ke vokal depan. Dalam proses pembentukannya, morfem kopiannya berada di posisi sebelah kiri dari

~ 608 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature bentuk dasar atau proses pembentukan reduplikasi terjadi dari kanan ke kiri (right to left). Setelah mengalami asosiasi fonem, maka bentuk transfer dari morfem ribok, yaitu rabi. Fonem yang ditransferkan hanya sebagian fonem saja, sedangkan fonem akhir morfem bentuk dasar tidak ditransferkan karena diakhiri bunyi konsonan. Dalam hal ini, setiap morfem yang diakhiri bunyi konsonan (suku tertutup) tidak mengalami asosiasi fonem dan transfer fonem. Oleh karena itu, bentuk linearisasi dari morfem ribok, yaitu rabi-ribok, bukan rabik-ribok. Ada tiga bentuk parafiksasi dari morfemmbepep, yaitu mbepep-mbepep, mbapi-mbepep, dan mber-mbebep. Tetapi yang digunakan oleh masyarakat pemakai bM dalam berkomunikasi sehari hari, yaitu morfem mber-mbepep. Morfem ini sebagai struktur permukaan (surface structure) dari bentuk mbepep-mbepep dan mbapi-mbepep. Reduplikasi mbepep-mbepep dan mbapi-mbepep hanya muncul dalam tatanan unsur batin (deep struktur), bukan dalam tatanan pemakaian (sufacae structure). Asumsi penulis bahwa awal mulanya masyarakat pemakai bM menggunakan morfem mbepep-mbepep dan mbapi-mbepep, karena bM mengenal reduplikasi seluruh bentuk dasar, seperti lako-lako (jalan-jalan), cedako-cedako (masing-masing satu kumpul), atau cemongko-cemongko (masing-masing satu buah) dan mengenal reduplikasi parsial, seperti rabi-ribok, hali-holes, mbapi-mbapas, ngati-ngotes, hati-hutis, dsb. Morfem yang setipe dengan mber-mbepep, yaitu mber-mbapas dari morfem dasar mbapas, mber-mbikas dari morfem dasar mbikas, her-hutis dari morfem dasar hutis, ngel- ngotes dari morfem dasar ngotes, nger-ngauk dari morfem dasar ngauk, ngger-nggatang dari morfem dasar ngger-nggatang, wel-wutir dari morfem dasar wutir, dsb. Ada pemunculan bunyi trill /r/, /l/ pada beberapa contoh reduplikasi di atas. Pemunculan wel-, wer-, mber-, nggger-, nger-, ngel-, dan her-, tidak bisa terjadi pada morfem-morfem reduplikasi parsial yang lain, seperti holes diulang menjadi *her-holes, kecuali morfem hoek diulang menjadi her-hoek dan morfem huhu diulang menjadi her-huhu; morfem nganga tidak bisa diulang menjadi nger-nganga (belum lazim digunakan, kecuali ngangi-nganga). Setelah dilakukan parafiksasi, morfemmbepep mengalami asosiasi fonem, yaitu fonem vokal /e/ pada awal silabel bentuk dasar dikopi menjadi vokal /a/ pada silabel pertama pada bentuk kopiannya dan fonem mvokal /e/ pada silabel kedua bentuk dasar dikopi menjadi vokal /i/ pada silabel kedua bentuk kopiannya. Secara fonologis, asosiasi ini terjadi pada vokal tengah depan /e/ dan vokal bawah depan /a/ pada bentuk dasar dengan vokal tengah depan /e/ dan vokal tinggi depan /i/. Dalam hal ini adanya pergeseran bunyi vokal depan. Dalam proses pembentukannya, morfem kopiannya berada di posisi sebelah kiri dari bentuk dasar atau proses pembentukan reduplikasi terjadi dari kanan ke kiri (right to left). Setelah mengalami asosiasi fonem, maka bentuk transfer dari morfem mbepep, yaitu mbapi. Fonem yang ditransferkan hanya sebagian fonem saja, sedangkan fonem akhir morfem bentuk dasar tidak ditransferkan karena diakhiri bunyi konsonan. Setiap morfem yang diakhiri bunyi konsonan (suku tertutup) tidak mengalami asosiasi fonem dan transfer fonem. Oleh karena itu, bentuk linearisasi dari morfem ribok, yaitu rabi-ribok, bukan rabik-ribok.

SIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa reduplikasi morfemis bM terdiri atas beberapa tipe, yaitu (1) reduplikasi total, (2) reduplikasi parsial, (3) reduplikasi parsial terjadi perubahan fonem, (4) reduplikasi parsial berkombinasi klitik, dan (5) reduplikasi dengan perubahan ~ 609 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature sekaligus pelesapan fonem. Kemudian dalam proses pembentukan reduplikasi bM dapat melalui proses parafiksasi, asosiasi fonem, transfer fonem, dan linearisasi morfem. Ada beberapa morfem yang unik dalam proses pembentukan reduplikasinya, yaitu morfem wutir diulang menjadi wel-wutir, mbapas diulang menjadi mber-mbapas, mbikas diulang menjadi mber-mbikas, hutis diulang menjadi her-hutis, nggatang diulang menjadi ngger-nggatang, ngauk diulang menjadi nger-ngauk, dan ngotes diulang menjadi ngel-ngotes. Ada pemunculan bunyi trill /r/ atau /l/ pada morfem- morfem tertentu. Beberapa morfem tersebut dimasukkan sebagai reduplikasi karena memiliki bentuk alternasinya, seperti mber-bapas bentuk alternasinya mbapi-mbapas, mber-mbikas bentuk alternasinya mbaki-mbikas, her-hutis bentuk alternasinya hati-hutis, nger-ngauk bentuk alternasinya ngai-ngauk, ngel-ngotes bentuk alternasinya ngati-ngotes. Proses pembentukan reduplikasi umumnya terjadi secara regresif. Fonem yang mengalami asosiasi dalam proses tersebut adalah fonem vokal yang terdapat pada silabel pertama dan kedua bentuk dasar, sedangkan fonem konsonan diakhir morfem tidak mengalami asosiasi. Dalam hal ini, semua fonem vokal pada bentuk dasar akan berubah menjadi fonem vokal /a/ pada silabel pertama dan /i/ pada silabel kedua bentuk kopiannya, misalnya lelo→lali-lelo, mbikas→mbaki- mbikas, dsb.

BIBLIOGRAFI Aronoff, Mark.1976. Word Formation In Generative Grammer. Combridge: MTT Press. Bawa, I Wayan. 1984. Sistem Perulangan Bahasa Bali. Jakarta: Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan kebudayaan. Chomsky, N. 1970. Remarks On Nominalization in Jacobs and Rosembaum, P. David, Stuart.1988. Theoritical Morphology: On The Nature of Internal Reduplication. Approaches In Modern Lin- guistik. San Diego. De Sausure, Ferdinand. 1988. Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press. Hente, A.M. dkk. 1994. Sistem Perulangan Bahasa Bahasa Pamona.Jakarta:Pembinaan & Pengembangan Bahasa. Katamba, Francis. 1993. Morphology Teory. Modern Linguistik Series. London: Macmilan Press Ltd. Kridalaksana, Harimurti. 1996. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta: PT. Gramedia. Lieber, Rochelle. 1992. Deconstructing Morphology: Word Formation In Syntatic Theory. London: The University of Chigago Press. Ltd. Moleong, Lexi J. 1994. Metode penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Moleong, Lexi J. 2010. Metode penelitian Kualitatif. Edisi Revisi Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nida, A.E.1974. Morphology: The Descriptive Analysis of Words. New York: The University of Michigan Press. Parera, Daniel Jos. 1994. Morfologi Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Pateda, Mansoer. 1988. Linguistik: Sebuah Pengantar. Bandung: Angkasa. Ramlan, M. 1987. Morfologi: Sebuah Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: Universitas Gaja Mada. Robin, r.h. 1992. Linguistik Umum: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius. Roeper, T. Siegel. M.E.A. 1978. A Lexical Transformation For Verbal Compunds. Linguistic Iquiry. Samsuri. 1991. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga. Scalise, Sergio. 1984. Generative Morphology. Foris Publication Dodrect-Holland/Cinnaminson. Spencer, A. 1993. Morphology Theory: An Introduction To Word Structure In Generative Grammer. Blackwell. Simatupang, m.d.s. 1983. Reduplikasi Bahasa Indonesia. Jakarta: Djambatan. Verhaar, J.W.M.1995. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Verhaar, J.W.M.1996. Asas-Asas Linguistik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

~ 610 ~ PRODUKTIVITAS PREFIKS /ŋ/ DALAM BAHASA INDONESIA DIALEK MELAYU JAKARTA

Wuri Sayekti Universitas Diponegoro [email protected]

ABSTRACT People tend to use economical form of words when they talk in everyday life. It is shown in television programs that broadcast program in everyday life setting like soap operas in which colloquial language or vernacular language is used. National television stations that located mostly in The Capital City, Jakarta, use standard Bahasa Indonesia and non-standard Bahasa Indonesia or Melayu Jakarta (MJ) dialect of Bahasa Indonesia as their broadcast language. The use of MJ dialect of Bahasa Indonesia are widely spread and influence the process of word-forming of active verb both for Bahasa Indonesia and English-rooted borrowing word. The data used in this study are the dialogue in two soap operas with setting of place in Jakarta and Bandung. This qualitative-descriptive research used observation, note taking and transcribing technique in acquiring and processing data. One way to make word-forming of active verb in MJ dialect of Bahasa Indonesia is using prefix /ŋ/. Based on this study, the productivity of using prefix /ŋ/ is high. By using theory of phonological process and optimality theory, it is figured out how productive the using of prefix /ŋ/ is, and how phonological process occurs in active verb-forming using prefix /ŋ/. Key words: prefix /ŋ/, Melayu Jakarta dialect of Bahasa Indonesia, phonological process

PENDAHULUAN Seperti telah diketahui bahwa Bahasa Nasional Bangsa Indonesia adalah Bahasa Indonesia yang telah dibakukan tata bahasanya. Bahasa Indonesia yang ada saat ini berasal dari Bahasa Melayu yang berusia sekitar 1900, karena menurut Collins, penutur Bahasa Melayu Purba yang mendiami daerah rawa-rawa dan sungai di Kalimantan Barat pindah ke arah barat pada sekitar tahun 100 Masehi menyeberangi Laut Cina Selatan melalui Pulau Tambela ke Sumatera kemudian ke ujung selatan Benua Asia yang sekarang dikenal Semenanjung Malaysia, berlanjut ke bagian barat Kalimantan, ke timur hingga Maluku, ke selatan hingga pantai barat Jawa (sekarang Jakarta). Maka, hingga sekarang Bahasa Melayu merupakan Bahasa serumpun yang digunakan oleh lima Negara: Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei Darussalam, dan Filipina (2005: 4-5). Namun, pada realita kehidupan masyarakat Indonesia sehari-hari, penggunaan Bahasa Indonesia tidak sepenuhnya mengikuti aturan baku yang kita sebut Bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Bahasa Indonesia berkembang sesuai komunitas penuturnya yang ada di seluruh tanah air ini. Mengingat suku yang mendiami tanah air Indonesia ini begitu beragam, maka muncullah beragam dialek Bahasa Indonesia yang bersifat regional. Salah satu dialek yang banyak digunakan dalam tayangan televisi adalah dialek Betawi atau Jakarta, yang disebut juga Bahasa Indonesia Jakarta (Kushartanti, 2014) atau Melayu Jakarta (1996, terjemahan 2005). Penyebutan Melayu Jakarta juga digunakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Kedua, 1994). Dialek Melayu Jakarta (MJ) merupakan dialek Bahasa Indonesia yang cukup dominan dikarenakan dialek ini banyak digunakan dalam tayangan-tayangan televisi nasional yang berpusat di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Salah satu ciri khas dialek MJ ini menggunakan prefiks ng- (/ŋ/) untuk membentuk verba aktif, sebagai bentuk kontraksi dari prefiks meng- (/ meŋ/). Prefiks meng- merupakan bentuk dasar prefiks pembentuk verba aktif yang mempunyai

~ 611 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature alofon prefiks me- (/me/) meny- (/meɳ/), dan menge- (/meŋe/). Prefiks ng- (/ŋ/) pun mengalami perluasan penggunaan mejadi prefiks kata-kata Bahasa Inggris yang diserap utuh dan digunakan oleh penutur Bahasa Indonesia sebagai verba aktif, seperti: ngeprint, ngemail, ngebackpacker. Fenomena ini menarik diteliti agar bisa diketahui bagaimana perubahan fonologis pada prefiks pembentuk verba aktif dari Bahasa Indonesia standar yang mengalami kontraksi pada Bahasa Indonesia non-standar dialek Melayu Jakarta. Kasus kedua dalam kajian ini adalah pencarian alasan mengapa prefiks ng- (/ŋ/) yang digabungkan dengan kosa kata Bahasa Inggris untuk menjadi verba aktif seperti contoh yang telah disebutkan di atas. Penelitian yang pernah dilakukan berkaitan dengan proses fonologis pada prefiks salah satunya pernah dilakukan oleh Subiyanto dalam tulisannya “Proses Fonologis Bahasa Jawa: Kajian Teori Optimalitas” dalam Jurnal Bahasa dan Seni Tahun 38 Nomor 2 Edisi Agustus 2010 yang membahas aneka proses fonologis yang terjadi dalam Bahasa Jawa baik karena afiksasi maupun karena pengaruh sintaksis dalam tataran frasa yang dianalisis menggunakan teori optimalitas. Proses fonologis mayor menurut Schane (1973) yaitu sebagai berikut: 1. Asimilasi: proses fonologis yang menyebabkan sebuah segmen mendapat ciri-ciri dari segmen yang berdekatan. Macam asimilasi: a) konsonan berasimilasi dengan ciri-ciri vokal, b) konsonan berasimilasi dengan ciri-ciri konsonan, c) vokal berasimilasi dengan ciri-ciri konsonan, d) vokal berasimilasi dengan ciri-ciri vokal. 2. Proses struktur silabel: proses ini mempengaruhi distribusi relative antara konsonan dan vokal dalam kata. Konsonan dan vokal dapat dilesapkan atau disisipkan. Dua segmen dapat berpadu menjadi satu segmen; atau bisa saling bertukar tempat. Macam proses struktur silabel meliputi: a) pelesapan konsonan, b) pelesapan vokal, c) penyisipan konsonan (epentesis), d) penyisipan vokal (epentesis), e) perpaduan konsonan, f) perpaduan vokal, g) perpaduan vokal dan konsonan, h) perpaduan kelas utama. 3. Pelemahan dan penguatan: modifikasi segmen menurut posisi fonem dalam kata. Proses ini terbagi dalam 4 jenis: a) sinkope: vokal yang dekat dengan vokal bertekanan dilesapkan, b) apokope: pemenggalan vokal tak bertekanan pada posisi akhir, c) kontraksi vokal: pelemahan vokal tak bertekanan menjadi bunyi pepet, d) diftongisasi: perubahan bunyi vokal tunggal menjadi vokal rangkap, e) perubahan vokal: perubahan vokal rendah menjadi sedang, vokal sedang menjadi tinggi, vokal tinggi menjadi rendah. 4. Netralisasi: proses pembedaan fonologisnya dihilangkan dalam lingkungan tertentu. Dua jenis netralisasi: netralisasi konsonan dan netralisasi vokal.

Kemudian dilengkapi dalam penjelasan Muslich (2012) yaitu: 1. Disimilasi: perubahan bunyi dari dua bunyi yang sama atau mirip menjadi bunyi yang tidak sama. 2. Anaptiksis: perubahan bunyi dengan jalan menambahkan bunyi vokal tertentu di antara dua konsonan untuk memperlancar ucapan. Anaptiksis terdiri dari 3 jenis: protesis, epentesis, dan paragog. 3. Zeroisasi: penghilangan bunyi fonemis sebagai akibat upaya penghematan dan ekonomisasi pengucapan. Proses ini mirip dengan proses pelemahan dan penguatan yang dijelaskan oleh Schane (1973) di atas, dan terdiri dari: a) apheresis: proses penghilangan satu atau lebih fonem pada awal kata, b) sinkop (penjelasan sama dengan di atas), c) apokop (penjelasan sama dengan di atas), d) kontraksi.

~ 612 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Teori kedua yang digunakan untuk menjawab pertanyaan kedua dalam kajian ini adalah Teori Optimalitas. Teori Optimalitas (TO) merupakan teori linguistik generatif yang menerangkan bahwa dalam Tata Bahasa Universal terdapat pembatas (constraint) yang jelas yang dapat menentukan susunan tata bahasa fonologis. Pembatas (constraint) yang bisa menentukan suku kata optimal sehingga suku kata tersebut bisa terucap secara harmonis (Harmonic Syllabification) yaitu onset (ONS) dan coda (COD) (Prince dan Smolensky: 2002). Menurut Archangeli (1997, dalam Subiyanto, 2010), TO mengusulkan sebuah input (bentuk fonetis) dan sebuah output (bentuk fonetis) yang dimediasi oleh generator (GEN) dan evaluator (EVAL). GEN berfungsi menghubungkan input pada representasi kandidat yang mungkin akan menjadi output. EVAL merupakan alat yang berfungsi menyeleksi kandidat yang optimal dari rangkaian kandidat yang dibuat oleh GEN. dalam memilih kandidat yang optimal, EVAL menggunakan tingkatan pembatas (constraint/CON) yang dilanggar. Dalam hal ini, CON yang boleh dilanggar adalah CON yang memiliki tingkatan paling rendah.

METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif dan metode agih yaitu alat penentunya justru bagian dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto dalam Kesuma,2007) yang menyangkut silabe kata, fonologi dalam istilah serapan asing bahasa Inggris dalam bahasa Indonesia. Metode penelitian ini memiliki tiga teknik, yakni (1) pengamatan dan perekaman, (2) kajian pustaka kamus besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua (9942) dan kamus bahasa Inggris, dan (3) pencatatan atau pentranskripsian fonetis. Khusus yang terkait dengan pentranskripsian, kerja penelitian ini dibantu oleh transkripsi fonetik IPA (International Phonetic Association), khususnya SIL Doulos IPA93. Data penelitian ini dianalisis dengan menggunakan teori fonologi generatif dan teori optimalitas. Selanjutnya, hasil analisis data disajikan dalam bentuk laporan dengan menggunakan metode formal (Kesuma, 2007).

PEMBAHASAN Wuri Sayekti  Tabel 1. Daftar Verba Aktif Berprefiks /ŋ/ Dalam Dialek MJ

No Prefiks Root Verbaaktif Bentukbaku(dalamKBBI),makna(dalamKBBI) 1 [ż] /ażgur/ Nganggur[żażgʐr] Menganggur,tidakmelakukanapaͲapa 2 [m] /balas/ Mbalas[mbalas] Membalas,menjawab;mengimbangi 3 [ࡊ] /cuci/ Nyuci[ࡊuci] Mencuci,membersihkandenganmemakaiair ataubarangcair 4 [n] /dompleż/ Ndompleng Mendompleng,ikuttinggal/duduk/makan [ndomplæż] dengancumaͲCuma 5 [ż] /eyel/ Ngeyel[żæyæl] Mengeyel,tidakmaumengalahdalam berbicara 6 [m] /foto/ Moto[moto] Memoto,mengambilgambarmenggunakan kamera 7 [ż] /goreż/ Nggoreng[żgoræż] Menggoreng,memasakdiwajan menggunakanminyak 8 [ż] /hidup/+[in] Ngidupin[żidupin] Menghidupkan,menjadikanhidup 9 [ż] /ingat/+[in] Ngingetin[żiż࠯tin] Mengingatkan,mengingatakan;memberi ingat 10 [n] /jiplak/ Njiplak[njiplak] Menjiplak,menirugambaratautulisanyang telahtersedia 11 [ż] /kumpul/ Ngumpul[żumpʐl] Kumpul,bersamaͲsamamenjadisatukesatuan 12 [m] /layat/ Melayat[m࠯layat] ~ 613 ~ Melayat,menjengukkeluargayangmeninggal 13 [m] /masak/ Masak[masak] Memasak,membuatbahanmakananmenjadi matang 14 [n] /nikah/ Nikah[nikah] Menikah.melakukannikah;perkawinan 15 [ż] /obat/+[in] Ngobatin[żobatin] Mengobati,menyembuhkandenganobat 16 [m] /puji/ Muji[muji] Memuji,melahirkankeheranandan penghargaankepadasesuatu 17 [ż] /q/ Ͳ Ͳ 18 [ż] /rawat/ Ngerawat[ż࠯rawat] Merawat,memelihara;mengurus;menjaga 19 [ࡊ] /sarap/ Nyarap[ࡊarap] Menyarap,makansesuatupadapagihari 20 [n] /teduh/ Neduh[n࠯duh] Meneduh,berteduh;berlindungdarihujan ataupanas

7DEHO'DIWDU9HUED$NWLI%HUSUHILNVƾGHQJDQ5RRW%HUEDKDVD,QJJULV No Prefiks Root Verbaaktif Makna 1 [ż] /buli/ Ngebully[ż࠯buli] Menggertak,mengganggu 2 [ż] /bækpæk࠯r/ Ngebackpacker[ż࠯ Melakukanperjalandenganmembawatas bækpæk࠯r] punggungsaja 3 [ż] /dæns/ Ngedance[ż࠯dæns] Menaridiiringimusic 4 [ż] /edit/ Ngedit[żedit] Membacadanmemperbaikiataumenyiapkan (naskah/film)sebelumpublikasi 5 [ż] /imeil/ Ngemail[żimeil] Mengirimkanemail(suratelektronik) 6 [ż] /fæn/ Ngefan[ż࠯fæn] Menjadipenggemarsesuatuatauseseorang 7 [ż] /hit/ Ngehit[ż࠯hit] Sukses;menjadipopuler;begituterkenal 10 [ż] /ࡻus/ Ngejuice[ż࠯ࡻus] Membuatsaribuahsebagaiminuman 13 [ż] /prin/ Ngeprint[ż࠯prin] Mencetakmenggunakanmesin“printer” 14 [ż] /rȿk/ Ngerock[ż࠯rȿk] Memainkanmusikrock

4  Wuri Sayekti 

No Prefiks Root Verbaaktif Bentukbaku(dalamKBBI),makna(dalamKBBI) 1 [ż] /ażgur/ Nganggur[żażgʐr] Menganggur,tidakmelakukanapaͲapa 2 [m] /balas/ Mbalas[mbalas] Membalas,menjawab;mengimbangi 3 [ࡊ] /cuci/ Nyuci[ࡊuci] Mencuci,membersihkandenganmemakaiair ataubarangcair 4 [n] /dompleż/ Ndompleng Mendompleng,ikuttinggal/duduk/makan [ndomplæż] dengancumaͲCuma 5 [ż] /eyel/ Ngeyel[żæyæl] Mengeyel,tidakmaumengalahdalam berbicara 6 [m] /foto/ Moto[moto] Memoto,mengambilgambarmenggunakan kamera 7 [ż] /goreż/ Nggoreng[żgoræż] Menggoreng,memasakdiwajan menggunakanminyak 8 [ż] /hidup/+[in] Ngidupin[żidupin] Menghidupkan,menjadikanhidup 9 [ż] /ingat/+[in] Ngingetin[żiż࠯tin] Mengingatkan,mengingatakan;memberi ingat Proceedings 10 [n] /jiplak/The 7th International Njiplak Seminar[njiplak] on Austronesian - NonMenjiplak, Austronesian meniruLanguagesgambar And Literatureatautulisanyang telahtersedia 11 [ż] /kumpul/ Ngumpul[żumpʐl] Kumpul,bersamaͲsamamenjadisatukesatuan 12 [m] /layat/ Melayat[m࠯layat] Melayat,menjengukkeluargayangmeninggal 13 [m] /masak/ Masak[masak] Memasak,membuatbahanmakananmenjadi matang 14 [n] /nikah/ Nikah[nikah] Menikah.melakukannikah;perkawinan 15 [ż] /obat/+[in] Ngobatin[żobatin] Mengobati,menyembuhkandenganobat 16 [m] /puji/ Muji[muji] Memuji,melahirkankeheranandan penghargaankepadasesuatu 17 [ż] /q/ Ͳ Ͳ 18 [ż] /rawat/ Ngerawat[ż࠯rawat] Merawat,memelihara;mengurus;menjaga 19 [ࡊ] /sarap/ Nyarap[ࡊarap] Menyarap,makansesuatupadapagihari 20 [n] /teduh/ Neduh[n࠯duh] Meneduh,berteduh;berlindungdarihujan ataupanas

7DEHO'DIWDU9HUED$NWLI%HUSUHILNVƾGHQJDQ5RRW%HUEDKDVD,QJJULV No Prefiks Root Verbaaktif Makna 1 [ż] /buli/ Ngebully[ż࠯buli] Menggertak,mengganggu 2 [ż] /bækpæk࠯r/ Ngebackpacker[ż࠯ Melakukanperjalandenganmembawatas bækpæk࠯r] punggungsaja 3 [ż] /dæns/ Ngedance[ż࠯dæns] Menaridiiringimusic 4 [ż] /edit/ Ngedit[żedit] Membacadanmemperbaikiataumenyiapkan (naskah/film)sebelumpublikasi 5 [ż] /imeil/ Ngemail[żimeil] Mengirimkanemail(suratelektronik) 6 [ż] /fæn/ Ngefan[ż࠯fæn] Menjadipenggemarsesuatuatauseseorang 7 [ż] /hit/ Ngehit[ż࠯hit] Sukses;menjadipopuler;begituterkenal 10 [ż] /ࡻus/ Ngejuice[ż࠯ࡻus] Membuatsaribuahsebagaiminuman 13 [ż] /prin/ Ngeprint[ż࠯prin] Mencetakmenggunakanmesin“printer” 14 [ż] /rȿk/ Ngerock[ż࠯rȿk] Memainkanmusikrock 17 [ż] /tuit/ Ngetwit[ż࠯tuit] Menggunakanmediasosial“twitter” 18 [ż] /࡚ut/ Ngeshoot[ż࠯࡚ut] Mengarahkantembakanataukamerakearah tertentu 4 19 [ż] /ࡾࠧࡻ/ ngecharge Menyeterumbaterai  20 [ż] /ࡾæt/ ngechat Mengobrol(mengajakberbincang) 'DODP UDJDP %DKDVD ,QGRQHVLD VWDQGDU SUHILNV PHƾ PHQJ  PHUXSDNDQ EHQWXN GDVDU \DQJ PHPLOLNL DORPRUI PHƾ PHQJ  PH PH  PHQ PHQ  PH݅ PHQ\ Dalam GDQ ragam PHƾH Bahasa PHQJH  Indonesia .HWLND standar, SUHILNV prefiks VDWQGDU /meŋ/ WHUVHEXW (meng-) PH merupakanQJDODPL NRQWUDNVL bentuk dasar yangGDODP memiliki UDJDP alomorf EDKDVD /meŋ/ ,QGQHVLD (meng-), QRQ VWDQGDU/me/ (me-), GLDOHN /men/ 0-  (men-), SUHILN ƾ/meɳ/ QJ  (meny-) MXJD PHQMDGLdan /meŋe/ (menge-).EHQWXN Ketika GDVDU prefiks NDUHQD GLVWULEXVLQ\Dsatndar tersebut \DQJ mengalami WHUEDQ\DN kontraksi \DLWX ELVD dalam EHUJDEXQJ ragam GHQJDQ bahasa URRWIndnesia non \DQJEHUDZDODQ>DHJKLNRUXZ\@GHQJDQDORPRUISUHILNVstandar (dialek MJ), prefik /ŋ/ (ng-) juga menjadi bentuk dasarEHUXSD>P@ P NHWLND karena distribusinya yang EHUJDEXQJ GHQJDQ URRW \DQJ EHUDZDODQ >EIOPS@ >Q@ Q  NHWLND EHUJDEXQJ GHQJDQ terbanyak,URRW \DQJ yaitu EHUZDODQ bisa bergabung >G M Q dengan W@ GDQ root >݅@ Q\  yang NHWLND berawalan EHUJDEXQJ [a,e,g,h,i,k,o,r,u,w,y], GHQJDQ URRW \DQJ dengan alomorfEHUDZDODQ>FV@SURVHVIRQRORJLVSHUXEDKDQEXQ\L\DQJGLEDKDV prefiks berupa: [m] (m-) ketika bergabung dengan root GDODPWXOLVDQLQLKDQ\Dyang berawalan [b,f,l,m,p], [n] (n-)PHOLSXWL ketika SUHILNV bergabung SHPEHQWXN dengan root YHUED yang DNWLI berwalan VDMD 3HUXEDKDQ [d, j, n, t], SDGDdan [ɳ] VXI (ny-)LNV WLGDN ketika PHQMDGL bergabung denganEDKDVDQSHQXOLV root yang berawalan [c,s]. proses fonologis perubahan bunyi yang dibahas dalam tulisan 'LVWULEXVLSUHILNV݅\DLWX ini hanya meliputi prefiks pembentuk verba aktif saja. Perubahan pada sufiks tidak menjadi bahasan penulis.ƾ Distribusi prefiks /ɳ/ yaitu:

>P@>Q@ /ŋ/ >݅@

6HEHOXP>EIOPS@VHEHOXP>GMQW@VHEHOXP>FV@  [m] [n] [ɳ] Sebelum3URVHV [b, f,l,m,p] IRQRORJLV sebelum \DQJ [d, j, WHUMDGL n, t] sebelum VHKLQJJD [c, s] WHUMDGL SHUXEDKDQ EXQ\L GDUL SUHILNV VWDQGDUPHƾPHQMDGLƾWHUMDGLNDUHQD]HURL ~ 614VDVL SHQJKLODQJD ~ QEXQ\LIRQHPLVVHEDJDL DNLEDWXSD\DSHQJKHPDWDQSHQJXFDSDQ NKXVXVQ\DDSKHUHVLV\DLWXSHQJKLODQJDQVDWX DWDXOHELKIRQHPSDGDDZDONDWD\DLWXIRQHPPGDQԥDSKHUHVLVLQLWHUMDGLNDUHQDGXD SURVHV\DQJPHQGDKXOXLQ\D\DLWXVLQNRSDWDXSHOHVDSDQYRNDOWDNEHUWHNDQDQԥ\DQJ GHNDW GHQJDQ YRNDO EHUWHNDQDQ DXRLH GDQ SHOHVDSDQ P \DQJ WLGDN PXQJNLQ EHUVDQGLQJGHQJDQƾ3URVHVIRQRORJLV\DQJVDPDMXJDEHUODNXSDGDSHUXEDKDQEXQ\L GDULSUHILNVVWDQGDUPHPPHQMDGLPSUHILNVVWDQGDUPHQPHQMDGLQGDQSUHILNV VWDQGDU PH݅ PHQMDGL ݅ 1DPXQ DGD EHEHUDSD NDWD EHUSUHILNV VWDQGDU \DQJ WLGDN GDSDWVHFDUDODQJVXQJPHQJDODPLSHQJKLODQJDQIRQHPPGDQԥGLGHSDQ\DLWXNDWD memfotomenghidupkan, melayat, merawat D PԥPIRWRĺPRWR )RQHP YRNDO WDN EHUWHNDQDQ ԥ PHOHVDS WHUOHELK GDKXOX NDUHQD EHUGHNDWDQ GHQJDQYRNDOEHUWHNDQDQż3URVHVVHODQMXWQ\D\DLWXSHOHVDSDQNRQVRQDQ\DQJ WHUMDGL SDGD NDWD PHPIRWR \DQJ WHUMDGL GXD NDOL \DLWX SHOHVDSDQ IRQHP P \DQJNHGXDGDQSHOHVDSDQIRQHPI E PԥƾKLGXSNDQĺQJLGXSLQ 3URVHDSKHUHVLVMXJDWHUMDGLSDGDNDWDLQLXQWXNPHQJKLODQJNDQIRQHPPGDQ H NHPXGLDQ WHUMDGL SHOHVDSDQ NRQVRQDQ VHNDOL ODJL SDGD IRQHP K VHKLQJJD WHUEHWXNNDWDQJLGXS F PԥOD\DWĺPԥOD\DW 3DGDNDWDLQLWLGDNWHUMDGLSURVHVDSKHUHVLVGDODPSHUXEDKDQSUHILNVYHUEDDNWLI VWDQGDUPHPHQMDGLSUHILNVYHUEDDNWLIQRQVWDQGDUPH

5  Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

Proses fonologis yang terjadi sehingga terjadi perubahan bunyi dari prefiks standar / meŋ/ menjadi /ŋ/ terjadi karena zeroisasi (penghilangan bunyi fonemis sebagai akibat upaya penghematan pengucapan) khususnya apheresis, yaitu penghilangan satu atau lebih fonem pada awal kata yaitu fonem /m/ dan /ə/. apheresis ini terjadi karena dua proses yang mendahuluinya, yaitu sinkop atau pelesapan vokal tak bertekanan /ə/ yang dekat dengan vokal bertekanan /a,u,o,i,e/, dan pelesapan /m/ yang tidak mungkin bersanding dengan /ŋ/. Proses fonologis yang sama juga berlaku pada perubahan bunyi dari prefiks standar /mem/ menjadi /m/, prefiks standar /men/ menjadi /n/ dan prefiks standar /meɳ/ menjadi /ɳ/. Namun, ada beberapa kata berprefiks standar yang tidak dapat secara langsung mengalami penghilangan fonem /m/ dan /ə/ di depan, yaitu kata: memfoto, menghidupkan, melayat, merawat.

a. /məmfoto/ → /moto/ Fonem vokal tak bertekanan /ə/ melesap terlebih dahulu karena berdekatan dengan vokal bertekanan /○/. Proses selanjutnya yaitu pelesapan konsonan yang terjadi pada kata /memfoto/ yang terjadi dua kali yaitu pelesapan fonem /m/ yang kedua dan pelesapan fonem /f/. b. /məŋhidupkan/ → /ngidupin/ Prose apheresis juga terjadi pada kata ini untuk menghilangkan fonem /m/ dan /e/, kemudian terjadi pelesapan konsonan sekali lagi pada fonem /h/ sehingga terbetuk kata /ngidup/ c. /məlayat/ → /məlayat/ Pada kata ini, tidak terjadi proses apheresis dalam perubahan prefiks verba aktif standar /me/ menjadi prefiks verba aktif non standar /me/. d. /mərawat/ → /ŋrawat/ prefiks /mə/ (me-) kembali ke bentuk dasar prefiksnya terlebih dahulu /meŋ/ (meng-), baru mengalami perubahan bunyi seperti proses apheresis yang telah dijelaskan di atas.

Maka kaidah zeroisasi yang dimanifestasikan dalam proses apheresis yang didahului proses sinkop atau pelesapan vokal tak bertekanan /ə/ yang dekat dengan vokal bertekanan /a,u,o,i,e/, dan pelesapan /m/ yang tidak mungkin bersanding dengan /ŋ/, /ɳ/, /n/, /m/ dan /f/ sebagai berikut:

1. [məŋ] → [mŋ] → [ŋ], 2. [məm] → [mm] → [m] 3. [mən] → [mn] → [n] 4. [məɳ] → [mɳ] → [ɳ]

Prinsip utama yang dianut dalam penggabungan kata-kata asing dengan prefiks ini adalah bentuk fonetis asli kata-kata ini tetap dijaga, sehingga kemungkinannya yang mengalami penyesuian adalah fonetis prefiks /ŋ/. Analisis Teori Optimalitas terhadap pemilihan prefiks /ŋ/ (ng-) sebagai pembentuk verba aktif saat digabungkan dengan kata serapan yang diserap sepenuhnya dari Bahasa Inggris adalah sebagai berikut: 1. Prefiks /ŋ/ digabungkan dengan kata-kata bersuku kata satu: /dæns/, /fæn/, /hit/, /hæk/, /ʤæm/, /ʤus/, /ʤΛʤ/, /pæth/, /prin/, /rΛk/, /treil/, /trip/, /tuit/, /ʃut/, /ʧɑʤ/, /ʧæt/:

Tablo 1. Prefiks [ŋə] /ŋhit/ setia konsonan peak kompleks setia vokal

ŋ.hit *! *! ŋ.it *! m.hit *! >> ŋə.hit *

Tablo 1 menunjukkan kata-kata asing yang bersuku kata satu, yang diwakili oleh kata /hit/, bisa bergabung dengan prefiks ng- yang mempunyai realisasi fonetis [ŋə] sebagai pilihan optimal

~ 615 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature karena bentuk prefiks inilah yang mengalami pelnggaran minimal, yaitu pelanggaran kesetiaan vokal berupa penyisipan vokal [ə], namun diperbolehkan dalam Bahasa Indonesia karena rootnya bersuku kata tunggal. 2. Prefiks /ŋ/ bergabung dengan kata bersuku kata dua atau lebih: /buli/ Tablo 2. Prefiks [ŋə] /ŋbuli/ setia konsonan peak kompleks setia vokal

ŋ.buli *! *! ŋe.buli *! m.buli *! *! >> ŋə.buli *

Tablo 2 menunjukkan kata asing yang bersuku kata dua, yaitu /buli/, lebih tepat bergabung dengan prefiks ng- yang mempunyai realisasi fonetis [ŋə] karena bentuk prefiks inilah yang mengalami pelanggaran minimal, yaitu pelanggaran kesetiaan vokal berupa penyisipan vokal [ə], namun diperbolehkan dalam Bahasa Indonesia. 3. Prefiks /ŋ/ bergabung dengan kata bersuku kata dua dan berawalan vokal: /edit/ dan / email/. Tablo 3. Prefiks [ŋ]

/ŋedit/ setia konsonan peak kompleks setia vokal

>> ŋ.edit * ŋe.edit *! ŋə.edit *!

Prefiks [ŋ] adalah bentuk optimal saat bergabung dengan kata berbahasa Inggris dengan dua suku kata dan berawalan vokal, walaupun melanggar kesetiaan vokal yang seharusnya mengikuti [ŋ] karena susunan dua vokal berjejer sebagai peak (puncak) tidak berterima dalam Bahasa Indonesia.

SIMPULAN Keberadaan prefiks /ŋ/ (ng-) bersifat produktif dalam pembentukan verba aktif dalam Bahasa Indonesia dialek Melayu Jakarta (MJ) dan pembentukan verba aktif yang mengambil root dari kata-kata Bahasa Inggris yang tetap dijaga bentuk fonetis aslinya. Produktivitas prefiks /ŋ/ (ng-) ini membuktikan bahawa penutur Bahasa Indonesia, khususnya dialek MJ, begitu mengutamakan sisi kehematan atau ekonomis dalam bertutur dan merasa perlu menjaga bentuk asli kata-kata asing yang digunakan dengan menggunakan prefiks yang paling hemat dalam membentuk verba aktif.

DAFTAR PUSTAKA Collins, James. T. 2005. Bahasa Melayu Bahasa Dunia: Sejarah Singkat. Terj. A.E. Almanar. Jakarta: YOI. Kesuma, Tri Mastoyo Jati. 2007. Pengantar (Metode) Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Carasvatibooks. Kushartanti, B. 2014. The acquisition of Stylistic Variation by Jakarta Indonesian Children. Disertasi Ph.D. The Netherlands: LOT Utrecht University. Muslich, Masnur. 2012. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara. Prince, Alan, dan Paul Smolensky. 2002. ROA Version. Schane, Sanford A. 1992. Fonologi Generatif. Terj. K. Gunawan. Jakarta: Summer Intitute of Linguistics. Subiyanto, Agus. 2010. “Proses Fonologis Bahasa Jawa: Kajian Teori Optimalitas.” Jurnal Bahasa dan Seni Tahun 38 Nomor 2 Edisi Agustus 2010.

~ 616 ~ AFFIXES IN BAHASA LAMPUNG (A AND O DIALECTS): MORPHOLOGY STUDY

Wuri Syaputri STKIP Muhammadiyah Pringsewu Lampung [email protected]

ABSTRACT Tujuan dari penelitian ini adalah menemukan 17 afiksasi pada wacana Ngenal Lagu-lagu Lampung. metode pengumpulan data yang digunakan adalah kualitatif deskriptif. Langakah-langkah analisis data yang dilakukan yaitu menemukan topic, membaca data, membaca data sesuai dengan topic, mencari pola, menandai data sesuai pola identifikasi, mencari contoh lain dari pola yang hendak dipakai, mencari hubungan antara pola-pola yang sudah ditemukan, menuliskan pola yg sudah ditemukan menjadi satuan tulisan secara umum, dan menemukan kutipan untuk mendukung tulisan. Pada data tersebet ditemukan prefiks, sufiks, dan sirkumfiks. Afiksasi pada dialek A ditemukantegh-, di-, be-, se-, -ni, -an, -i, nge-i, pe-an, ke-an, pegh-an, peng-an, mem-ko dan nge-k. Afiksasi pada dialek O ditemukan ter-, di-, se-, -no, -an, -i, nge-i, per-an, ke-an, ke-an, peng-an, pe-an, mem-ken dan nge-ke. Pola dari pembentukan katanya yaitu: PREFIKS + KATA DASAR= KATA BARU, KATA DASAR + SUFIKS = KATA BARU, dan PREFIKS + KATA DASAR = KATA BARU.

Kata Kunci: Dialek, Afiksasi, Morfologi

1. INTRODUCTION The unique character in Lampung language is being one of the backgrounds in this study. The unique character because of Lampung has two dialects in a Language and it is being society agreement. According to Edwards (2009) dialect is a variety of a language that differs from others along three dimensions: vocabulary, grammar and pronunciation (accent). It means that the dialect do not make the language becomes different but only the special feature in vocabulary, grammar and pronunciation. In Lampung language generally has special feature in vocabulary and pronunciation. Generally in A dialect is using phoneme A in general wording and vice versa of O dialect. Trudgill (2001) stated that dialect is the particular combination of words, pronunciations and grammatical forms that you share with other people from your area and your social background, and that differs in certain ways from the combination used by people from other areas and backgrounds. The theory from Trudgill (2001) dialect is not only about the combination of words, pronunciations and grammatical forms but also it is about the area of the language. Lampung language has the special distribution for each dialect. A dialect is spreading at Sekala Brak, Melinting Maringgai, Darah Putih Rajabasa, Balau Teluk Betung, Semaka Kota Agung, Pesisir Krui, Ranau, Komering, Daya (beradat saibatin), Way Kanan, Sungkai, and Pubian (pepadun tradition). Whereas O dialect is spreading at Abung and Tulang Bawang (pepadun tradition). There were four previous studies as the additional information in this study. They were from Matanggui (1982), Raja (2005), Febrina et al. (2013) and Arista et al. (2014). Those previous researcher has been completed conduct a research about morphology in Lampung language.

~ 617 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature 2. METHOD Method in collecting the data use qualitative descriptive. According to Nunan (1992) qualitative research assumes that all knowledge is relative, that there is a subjective element to all knowledge and research and that holistic un-generalisable studies are justifiable. This study elaborate the language phenomenon by described the data result. According to Hatch (2002) there are ten steps in conducting qualitative research in education. They are (a) identify topic areas to be analyzed; (b) read the data, marking entries related to topics; (c) read entries by topic, recording main ideas in entries on a summary sheet; (d) look for patterns, categories, relationships within topic areas; (e) read data, coding entries according to patterns identified (keep a record of what entries go with what elements in your patterns); (f) search for non-examples of your patterns—decide if your patterns are supported by the data; (g) look for relationships among the patterns identified; (h) write your patterns as one-sentence generalizations; and (i) select data excerpts to support your generalizations. These steps will give the researcher easy ways to distinguish the result.

3. FINDING AND DISCUSSION This study explains the differences between dialects in a language. The object of this study is Lampung language. This language has a unique character which is having two dialects. They are A (Api) dialect and O (Nyow) dialect. The character of this dialect is mostly different. The difference of dialects are using affixes categorizes. There are three categorizes of affixes according to Cartairs-McCarthy (2002). They are prefix, suffix and circumfix. These affixes categorizes as the analyzes tools in identifying the data. According to the data of the text that taken from a student’s workbook (LKS) of Junior High School titled Ngenal Lagu-lagu Lampung found 23 words affixes. These words will appear in a table below.

Table 3.1 Data Analysis A (Api) dialect O (Nyow) dialect W ords Affixes W ord Class W ords Affixes W ord Class Prefixes teghdighi tegh- verb -verb terdirei ter- verb -verb diliyak di- verb - verb dinah di- verb - verb beghupa be- noun- verb berupo be- noun- verb Selain se- adj -det selayen se- adj -det Suffixes ghususni -ni adj - adj ghususno -no adj - adj umumni -ni adj-adj umumno -no adj-adj baghihni -ni adj - adj barihno -no adj - adj Jenisni -ni noun - noun jenisno -no noun - noun dangdutni -ni noun - noun dangdutno -no noun - noun Sairni -ni noun – noun iseino -no noun – noun tujuanni -ni noun - noun tujuanno -no noun - noun

~ 618 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

Ciptaan -an noun - noun ciptaan -an noun - noun ghitanan -an verb-noun ghitanan -an verb-noun Ighingi -i verb - verb iringei -ei verb - verb Circumfixes ngalului nge-i verb - verb ngalalui nge-i verb - verb peghkawinan pe-an verb - noun perkawinan per-an verb - noun kesenangan ke-an adj - noun kesenangan ke-an adj - noun peghcintaan pegh-an adj - noun percintaan per-an adj - noun kesengsaghaan ke-an noun -noun kesengsaraan ke-an noun -noun pengalaman peng-an noun -noun pengalaman peng-an noun -noun penyampaian pe-an verb - noun penyappaian pe-an verb - noun mempeghtahanko mempegh-ko adj - verb mempertahan- memper-ken adj - verb ken ngelestaghiko nge-ko adj - verb ngelestaghiken nge-ken adj - verb Source : Hilal et al. (2007)

Prefixes According to the data, it found four prefixes in the text. They are tegh-, di-, be- and se-. These prefix are the same form in both dialects, in dialect A (Api) and O (Nyow) dialect. According to the data these prefixes do not give the changes of the word form. Prefix tegh- in the word tegh-dighi,­ the root is dighi means by ‘self’ prefixtegh- which is the class of the word changes from VERB to VERB. Prefixdi - in the word di-liyak, the root is liyak means by ‘look’ prefix di- which is class of the word changes from VERB to VERB. Prefix be- in the word be- ghupa, the root is ghupa means by ‘shape’ prefix ­be- which is class of the word changes from NOUN to VERB. Prefix se- in the word se-lain, the root is lain means by ‘other’ prefix se- which is class of the word changes from ADJECTIVE to DETERMINER. Prefix ter- in the word ter-direi=i,­ the root is direi means by ‘self’ prefix ter- which is the class of the word changes from VERB to VERB. Prefix di- in the word di-liyak, the root is liyak means by ‘look’ prefixdi- which is class of the word changes from VERB to VERB. Prefix be- in the word be-ghupa, the root is ghupa means by ‘shape’ prefix ­be- which is class of the word changes from NOUN to VERB. Prefix se- in the word se-lain, the root is lain means by ‘other’ prefix se- which is class of the word changes from ADJECTIVE to DETERMINER. From the data above, it could be conclude that prefixes differences only in the prefix tegh- belong to A dialect and ter- belong to O dialect. All of prefixes includes di-, be- and se- in these word have similar formation of the word both of dialects. But the word class changes in the word selain which is the root is lain, word class is ADJECTIVE changes become DETERMINER because of affixse-. The formulation is PREFIX+ROOT=WORD.

Suffixes There are ten words that get suffix of the word. But, there are three types of suffixes in A (Api) dialect. They are –ni, -an and –i. Suffix –ni in the word ghusus-ni, umum-ni, baghih- ni, jenis-ni, dangdut-ni, sair-ni, and tujuan-ni. In the word ghusus-ni, the root is ghusus means by ‘particular’ suffix –ni which is class of the word changes ADJECTIVE to ADJECTIVE . In

~ 619 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature the word umum-ni, the root is umum means by ‘general’ suffix –ni which is class of the word changes ADJECTIVE to ADJECTIVE. In the word baghih-ni, the root is baghih means by ‘other’ suffix –ni which is class of the word changes ADJECTIVE to ADJECTIVE. In the word jenis-ni, the root is jenis means by ‘kind’ suffix –ni which is class of the word changes NOUN to NOUN. In the word dangdut-ni, the root is dangdut means by ‘dangdut’ suffix –ni which is class of the word changes NOUN to NOUN. In the word sair-ni, the root is sair means by ‘lyric’ suffix –ni which is class of the word changes NOUN to NOUN, and In the word tujuan- ni the root is tujuan means by ‘goal’ suffix –ni which is class of the word changes NOUN to NOUN. Suffix –an in the word cipta-an the root is cipta means by ‘creative’ suffix –an which is class of the word changes NOUN to NOUN and ghitan-an the root is ghitan means by ‘cutting bird’ suffix –an which is class of the word changes VERB to NOUN. Last, suffix –i in the word ighing-i the root is ighing means by ‘accompany’ suffix –i which is class of the word changes VERB to VERB. In contrast, in O dialect there is suffixes–no, -an and –i. In the word ghusus-no, the root is ghusus means by ‘particular’ suffix –no which is class of the word changes ADJECTIVE to ADJECTIVE . In the word umum-no, the root is umum means by ‘general’ suffix –no which is class of the word changes ADJECTIVE to ADJECTIVE. In the word baghih-no, the root is baghih means by ‘other’ suffix –no which is class of the word changes ADJECTIVE to ADJECTIVE. In the word jenis-no, the root is jenis means by ‘kind’ suffix –no which is class of the word changes NOUN to NOUN. In the word dangdut-no, the root is dangdut means by ‘dangdut’ suffix –no which is class of the word changes NOUN to NOUN. In the word sair- no, the root is sair means by ‘lyric’ suffix –no which is class of the word changes NOUN to NOUN, and In the word tujuan-no the root is tujuan means by ‘goal’ suffix –no which is class of the word changes NOUN to NOUN. Suffix –an in the word cipta-an the root is cipta means by ‘creative’ suffix –an which is class of the word changes NOUN to NOUN and ghitan-an the root is ghitan means by ‘cutting bird’ suffix –an which is class of the word changes VERB to NOUN. Last, suffix –ei in the word iring-ei the root is iring means by ‘accompany’ suffix –ei which is class of the word changes VERB to VERB. Therefore, in O (Nyow) dialect also three types of suffixes in ten words. They are –no, -an, and –i. Suffix –no in the word ghusus-no, umum-no, barih-no, jenis-no, dangdut-no, isei- no and tujuan-no. Suffix –an in the wordcipta -an and ghitan-an. Suffix –i in the word iringe-i. In short, it can be conclude that the suffix of dialect A (Api) and O (Nyow) has the same pattern of word formation and word classes changess but any difference in the form of suffix –ni as suffix A dialect and –no as suffix O dialect. The formulation is ROOT + SUFIX = WORD.

Circumfixes From the data on the table above, there are seven circumfix of the word in the text both of dialects. They are nge-i, pe-an, ke-an, pegh-an, ke-an, peng-an, pe-an, mempegh-ko and nge-ko in A dialect. In the word ngalului circumfixnge-i the root is lulu means by ‘pass’ which is class of the word changes VERB to VERB, peghkawinan circumfix pe-i the root is kawin means by ‘marry’ which is class of the word changes VERB to NOUN, kesenangan circumfix ke-an the root is senang means by ‘happy’ which is class of the word changes ADJECTIVE to NOUN, peghcintaan circumfix pe-an the root is cinta means by ‘love’ which is class of the word changes ADJECTIVE to NOUN, kesengsaghaan circumfix ke-an the root is sengsagha means by ‘suffery’ which is class of the word changes NOUN to NOUN, pengalaman circumfix ~ 620 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature pe-an the root is alam means by ‘world’ which is class of the word changes NOUN to NOUN, penyampaian circumfix pe-an the root is sampai means by ‘arrive’ which is class of the word changes VERB to NOUN, mempeghtahanko circumfixmempegh-ko the root is tahan means by ‘endure’ which is class of the word changes ADJECTIVE to VERB and ngelestaghiko circumfix nge-ko the root is lestaghi means by ‘eternal’ which is class of the word changes ADJECTIVE to VERB. In contrast, O dialect have similar pattern that found seven circumfix in the text. They are nge-i, per-an, ke-an, per-an, ke-an, peng-an, pe-an, memper-ken and nge-ken. In the word ngalalui circumfix nge-i the root is lalu means by ‘pass’ which is class of the word changes VERB to VERB, perkawinan circumfixper-i the root is kawin means by ‘marry’ which is class of the word changes VERB to NOUN, kesenangan circumfixke-an the root is senang means by ‘happy’ which is class of the word changes ADJECTIVE to NOUN, percintaan circumfix per- an the root is cinta means by ‘love’ which is class of the word changes ADJECTIVE to NOUN, kesengsaraan circumfixke-an the root is sengsara means by ‘suffery’ which is class of the word changes NOUN to NOUN, pengalaman circumfix pe-an the root is alam means by ‘world’ which is class of the word changes NOUN to NOUN, penyappaian circumfix pe-an the root is sappai means by ‘arrive’ which is class of the word changes VERB to NOUN, mempertahanken circumfix memper-ken the root is tahan means by ‘endure’ which is class of the word changes ADJECTIVE to VERB and ngelestaghiken circumfix nge-ken the root is lestaghi means by ‘eternal’ which is class of the word changes ADJECTIVE to VERB. From these circumfix, there is a circumfix that give assimilation word such like in pe- sampai-an. The root is sampai means ‘mission’. In this circumfix occurred the assimilation of phoneme ‘s’ become ‘ny’. So, the changes from pe-sampai-an become pe-nyampai-an. There are two differences of suffix form of those dialects from the data. They are in the suffixmem-ko and nge-ko such in A dialect, in contrast of O dialect has the difference form, they are mem-ken and nge-ken. But, the pattern of word form is the same form. The formulation is PREFIX + ROOT + SUFFIX = WORD.

4. CONCLUSION The conclusion of this study is affixes in Lampung language. There are prefix, suffix and circumfix. The pattern of the word such as: PREFIX +ROOT=WORD, ROOT + SUFIX = WORD, and PREFIX + ROOT + SUFFIX = WORD. It could be conclude that affixes is the word formation process from root and combining with affixes form (prefix and suffix) so that make the new formation called by word. Prefix is bound affix at the initial root. Suffix is bound affix at the final root. Therefore circumfix is bound affix at the initial and final root. Affixes inA dialect found tegh-, di-, be-, se-, -ni, -an, -i, nge-i, pe-an, ke-an, pegh-an, peng-an, mempegh- ko and nge-ko.Affixes in dialect O found ter-, di-, se-, -no, -an, -i, nge-i, per-an, ke-an, ke-an, peng-an, pe-an, memper-ken and nge-ken.

5. REFERENCES

Arsita, T. Y., Rusminto, N. E., & Fuad, M. (2014). AFIKS DALAM BERITA UTAMA SURAT KABAR LAMPUNG POST. Carstairs-McCarthy, A. (2002). An introduction to English morphology: words and their structure. Edinburgh

~ 621 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

University Press. Edwards, J. (2009). Language and identity: An introduction. Cambridge University Press. Febrina, E., Sanusi, A. E., Nazaruddin, K., & Lampung, F. U. (2013). KEMAMPUAN MEMAHAMI PROSES MORFOFONEMIK BAHASA LAMPUNG MENGGALA SISWA KELAS VIII SMPN 2 TULANG BAWANG UDIK TAHUN PELAJARAN 2012/2013. Hatch, J. A. (2002). Doing qualitative research in education settings. Suny Press. Hilal, S., & Fahrizal. (2007). Guwa Jughai. Sesuai dengan KTSP 2006. Pringsewu: Amanah Kreasi. Matanggui, J. H. (1982). Proses morfologis prefiks/N/bahasa Lampung dan pengaruhnya dalam berbahasa Indonesia lisan. Fakultas Sastra Budaya, Universitas Sebelas Maret. Nunan, D. (1992). Research methods in language learning. Cambridge University Press. Raja, P. (2005). Early morphological development of Indonesian children. Bahasa Dan Seni, 33(1), 1–13. Trudgill, P. (2001). Dialects (Language Workbook). USA and Canada: Psychology Press. Trudgill, P. (2004). Dialects. Psychology Press.

~ 622 ~ KATA TANAM DALAM BAHASA MIYAH

Yafed Syufi Universitas Papua

ABSTRAK Masyarakat Miyah yang mendiami Kabupaten Tambrauw Provinsi Papua Barat mereka menggunakan bahasa Miyah sebagai bahasa ibu. Selanjutnya dapat duraikan bahwa meskipun dikategorikan sebagai masyarakat nomaden (berpidah-pindah lahan) tetapi mereka memiliki sejumlah konsep dalam sistem pertanian. Sistem pertanaian erat kaitanya dengan kata kerja yang berhubungan langsung dengan pola pertanian. Selain itu, setiap manusia memiliki bahasa untuk membahasakan apa yang terdapat di alam sekitarnya. Yang perlu disajikan di sini adalah konsep pertanian mengenai kata tanam. Dalam bahasa Miyah ada klasifikasi dalam konsep kata tanam seperti tanam jagung (tapum pese), berbeda halnya dengan tanam ubi jalar (ta sasu), begitu juga tanam pisang (tai apit) yang tentunya berbeda leksikon. Lain halnya dengan bahasa Indonesia tentu semuanya digunakan kata tanam untuk semua jenis tanaman. Klasifikasi kata tanam ini sangat penting bagi masyarakat Miyah karena domain pertanian untuk kelangsungan hidup mereka.

PEMBAHASAN Untuk bahasa Miyah setiap kata-kata yang berkategori verba dan adjektiva selalu berkorelasi dengan pronominal persona baik tunggal, dual dan jamak. Selain itu pengklitikan merupakan ciri yang sangat menonjol dalam bahasa Miyah, begitupun dengan pemarkah pronomina persona seperti dalam uraian berikut ini (t), (n), (m), (y) dan (P). Menurut Kridalaksana (1986) pronomina dibatasi sebagai kategori yang berfungsi untuk menggantikan nomina. Selanjutnya dalam Kamus besar bahasa Indonesia kata yang dipakai untuk menggantikan orang atau benda; kata ganti seperti aku,engkau, dia selain itu dapat diuraikan juga mengenai pronomina persona adalah pronomina yang menunjukkan kategori persona seperti saya, ia mereka (KBBI, 2005:898). Setiap masyarakat memiliki bahasanya masing-masing. Dengan adanya bahasa masyarakat dapat membahasakan objek yang ada dialam sekitarnya. Selain itu tidak ada bahasa yang modern dan primitif yang penting hanya fungsinya sebagai alat untuk berinteraksi antarsesama. Begitupun dengan penutur bahasa Miyah yang mendiami Distrik Miyah, Fef, distrik Senopi Kabupaten Tambrauw Provinsi Papua Barat. Masyarakat Miyah menggunakan bahasa Miyah untuk menyampaiakan gagasan atau ide untuk mengekspresikan setiap aktivitas yang dapat dilakukan. Dalam makalah ini yang akan disajikan adalah Kata Tanam dalam bahasa Miyah. Kebanyakan orang berpendapat bahwa masyarakat yang tidak memiliki sistem pertanian dengan pola lahan tidak menetap maka, komunitas tersebut tidak memahami konsep pertanian. Teryata konsep pemikiran tersebut tidak relevan dengan sistuasi dan kondisi objektif daerah. Masyarakat Miyah memiliki klasifikasi terhadap jenis tanaman. Yang digunakan dalam kata tanam. Bahasa Indonesia hanya mengenal kata tanam untuk bermacam- macam jenis tanaman, tidak dapat mengklasifikasi lebih jauh berbeda halnya dengan bahasa Miyah. Masyarakat penutur bahasa Miyah memiliki konsep untuk membagi kata tanam dalam beberapa bagian antara lain (1) tanam kacang tapum semi (2) tanam ubi jalar ta sasu (3) tanam pisang tai apit. Selanjutnya dalam kaidah bahasa Miyah setiap verba dan ajektiva selalu berproklitik baik itu tunggal, dual dan jamak . Kata tanam dan proklitik akan dibahas

~ 623 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature pada bagian Pembahasan. Sebelum menguraikan lebih mendalam mengenai leksikon dalam sistem bercocok tanam pada masyarakat Miyah yang mendiami Kabupaten Tambrauw Provinsi Papua Barat. Pada kesempatan ini dapat kata tanam terlebih dahulu disampaikan bahwa bahasa-bahasa daerah di tanah Papua merupakan bahasa daerah yang paling unik dan sangat kompleks dari seluruh bahasa-bahasa daerah yang terdapat diseluruh Nusantara ini. Oleh sebab itu, bahasa Miyah adalah salah satu dari keunikan bahasa yang terdapat di tanah Papua. Dalam pembahasan ini dapat dideskripsikan kata tanam dalam bahasa Miyah. Perlu dijelaskan hal ikhwal mengenai bahasa Miyah, setiap verba yang berkorelasi pronomina tidak dapat berdiri sendiri tetapi selalu berproklitik. Menurut Kridalaksana (1986) pronomina dibatasi sebagai kategori yang berfungsi untuk mengantikan nomina. Selanjutnya dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI 2005:898) dapat menjelaskan bahw proklitik adalah klitik yang secara fonologis terikat dengan kata yang mengikutinya. Ditilik dari fungsi sintaksisnya dapat dijelaskan bahwa pronomina menduduki posisi yang lazim diduduki oleh nomina subyek dan obyek pronomina dibedakan atas tiga macam yakni.

(1) Pronomina persona (2) Pronomina penunjuk, dan (3) Pronomina penanya

Untuk kepentingan ini dapat ditelusuri pronomina persona. Pronomina persona adalah pronomina yang mengacu kepada nomina insani. Jika pronominal mengacu pada diri sendiri disebut pronominal persona pertama, yang mengacu kepada orang yang diajak bicara disebut pronominal persona kedua dan yang mengacu kepada orang yang dibicarakan disebut pronomina persona ketiga. Di antara pronomina persona itu ada yang berbentuk tunggal, dual dan Jamak. Dalam bahasa Miyah (BM) mengenal tiga macam pronomina persona yakni pronomina persona pertama (tunggal, dual dan jamak. Persona kedua tunggal, dual dan jamak. Persona ketiga tunggal, dual dan Jamak. Pronomina yang dimaksud ditabulasikan dalam bagan berikut: Bagan ini menginformasikan bentuk pronomina persona Pronomina Tunggal Dual Jamak Persona pertama Tuo Saya Pae kami berdua Amu kami Persona kedua Nuo Anda Kuaej mereka berdua Anu kalian Persona ketiga Ait dia laki-laki Kuriar kalian Anna mereka Au dia perempuan

Bagan ini dapat diformulasikan bahwa yang termasuk dalam kelompok pronominal persona pertama adalah bentuk tuo, Pae dan amu berturut-turut untuk bentuk tunggal, dual dan jamak. Dalam konstruksi kalimat, persona pertama tunggal, diilustrasikan pada contoh (1) tunggal, (2) dual dalam contoh (2) dan jamak dalam contoh (3).

Tanam jagung Contoh (1) Tuo tapum pesen Tuo ta-pum pesen Saya saya tanam jagung Saya menanam jagung

~ 624 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

Contoh (2) Pae pupum pesen Pae p-upum pesen Kami berdua kami berdua tanam jagung Kami berdua menanam jagung

Contoh (3) Amu pupum pesen Amu p-upum pesen Kami tanam jagung Kami menanam jagung

Selanjutnya yang tergolong dalam kelompok pronominal persona kedua berturut turut untuk tunggal nuo ,dual kuaej dan jamak anu. Penggunaan bentuk nuo dicontohkan dalam kalimat (4) kuaej dalam contoh (5) dan anu dalam contoh (6).

Contoh (4) Nuo napum pesen Nuo n-apum pesen Anda anda tanam jagung Anda menanam jagung Contoh (5) Kuaej mapum pesen Kuaej m-apum pesen Anda berdua tanam jagung Anda berdua menanam jagung Contoh (6) Anu nepum pesen Anu nepum pesen Kalian kalian tanam jagung Kalian menanam jagung

Bagian yang berikut membahas kelompok pronomina persona ketiga adalah sebagai berikut: Bentuk ait dan au untuk tunggal, bentuk kuriar untuk dual dan bentuk anna untuk jamak. Penggunaan bentuk-bentuk tersebut dapat dilihat pada konstruksi kalimat (7) mengiilustrasikan penggunaan bentuk ait, contoh (8) bentuk au dalam contoh (9) bentuk anna dalam contoh (10). Contoh Ait yapum pesen (7) Ait y-apum pesen Dia laki-laki dia laki-laki tanam jagung Dia menanam jagung

Contoh Au mapum pesen (8) Au m-apum pesen Dia perempuan dia perempuan tanam jagung Dia menanam jagung

Contoh Kuriar nepum pesen (9) Kuriar n-epum pesen Kalian kalian tanam jagung Kalian menanam jagung

Contoh Anna mapum pesen (10) Anna m-apum pesen Mereka mereka tanam jagung Mereka menam jagung

Tanam singkong Pronomina persona pertama tunggal tuo diilustrasikan dalam contoh (11) selanjutnya pronomina persona kedua tunggal nuo diilustrasikan dalam contoh (12) untuk pronomina persona ketiga ~ 625 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature tunggal dalam konteks laki-laki ait diilustrasikan dalam contoh (13) dan untuk perempuan au diilustrasikan dalam contoh kalimat (14). Contoh (11) Tuo tai rasu Tuo t-ai rasu Saya saya tanam singkong Saya menanam singkong

DAFTAR PUSTAKA

Chaer A. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal: PT Rineka Cipta. Jakarta Mulyono A 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia : Balai Pustaka Jakarta Kridalaksana H. 2007 . Pembentukan kata dalam bahasa Indonesia: PT Gramedia Pustaka utama .Jakarta Syufi Y. 2009 .Deskripsi Kata Tanam dalam Bahasa Irires : Prosiding Seminar Ilmiah Masyarakat Linguistik Indonesia Cabang UNIPA Manokwari : UNIPA Press Manokwari Syufi Y 2014. Potret Suku Irires: Kepel Press Puri Arsita A-6 . Yogyakarta

~ 626 ~ VALENCY CHANGING IN JAVANESE

Yana Qomariana Udayana University [email protected]

ABSTRAK Artikel ini mendiskusikam perubahan valensi dalam Bahasa Jawa, khususnya yang digunakan di kota Malang, Jawa Timur. Valensi (valency or valence) berarti jumlah argument yang digunkan oleh kata kerja (Tesniere, in Haspelmath and Martin 2011; Kapplani 2013). Argumen-argumen dalam kalimat dikaji berdasarkan peran semantiknya (semantic role) dan posisinya dalam kalimat. Data dalam artikel ini didapatkan melalui elisitasi dari tiga pembicara asli Bahasa Jawa di kota Malang. Data diteliti secara deskriptif kualitatif. Analisa data menunjukkan adanya perubahan valensi dengan penggunaan akhiran –i dan –na. Dalam kedua proses tersebut, terdapat peningkatan valensi yang ditunjukkan oleh perubahan posisi argument dari oblique menjadi salah satu argument utama (core argument).

Kata kunci: peningkatan valensi, penurunan valensi, core argument, non-core argument.

INTRODUCTION Javanese is a language spoken mainly in the island of Java, the central and eastern part of the island. There are variants of the standard of Javanese which is spoken in Yogyakarta, a city in . One of the variants in Javanese spoken in Malang, a city in Province. Javanese spoken in Malang is the one taken as subject in this paper. Javanese has been subject of studies of various language topics, however, the change in valency in Javanese has not been discussed in detail. Valency or valence refers to the number of arguments controlled by a verbal predicate (Tesniere, in Haspelmath and Martin 2011; Kapplani 2013). There are verbs that can take one arguments, i.e. intransitive and verbs that can take more than one arguments, i.e. transitive. Some verbs can undergo processes that results in change of number of arguments. Passive and applicative constructions, for example, are processes that result in change of valency. Sentences below illustrate verbs in Javanese based on number of arguments taken: 1.a. Bapak turu Father slept “Father slept”

b. Bapak turu wingi sore Father slept yesterday afternoon “Father slept yesterday afternoon”

c. Aku Tuku klambi anyar I bought cloth new „I bought a new cloth“

d. Aku n(t)ukok-na ibu klambi anyar I bought mother cloth new „I bought mom new cloth“ (Lit: I bought a new cloth for mother“

~ 627 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

e. Aku n(t)ukok-na ibu klambi anyar wingi sore I bought mother cloth new yesterday afternoon „I bought mom new cloth“ (Lit: I bought a new cloth for mother yesterday afternoon“.

Based on Dixon (2000), verb in (1a) is intransitive, the argument taken by this verb type is Subject, usually encoded S. Sentence (1b) also demonstrate an intransitive verb, however there is another argument ‚wingi sore‘ which is a non-core argument and encoded E. Sentence (1c) shows a transtive or mono-transitive verb with one Subject, encoded A. While verb in sentence (1s) is ditransitive as it takes two arguments; the Subject (A) and the Object (O). In sentence (1d) the verb ‚tuku‘ receives suffix –na (pronounced -nɔ) which enables it to take one more argument ‚wingi sore‘ which has peripheral function (E). However, categorisation of arguments can be based on their grammatical function in sentences, which include: Subject, Indirect Object, Direct Object, and obliques that represent adjuncts. The first three from the argument line above is called Core arguments while the last in the line is Non Core argument. The concepts above will be basic to analyze valency changing that will be discussed in the latter part of this paper.

VALENCY CHANGING Change in valency refers to change in numbers of arguments taken by verbs or change in semantic role of the arguments (Dixon, 2001). Operation that causes valence decrease involves deletion of arguments. This include deletion of agent (in the subject position) and patient (in object position) (Haspelmath and Muller-Bardey, 2001:2). Language operation that results in valency decrease include passivization and anticausative. On the contrary to the valency decrease, valency increase refers to argument addition, applicativization and causativization are operation that demonstrate increase on valency. This paper is limited to passivization and applicativization to show valency changing in Javanese.

VALENCY CHANGING IN APPLICATIVE CONSTRUCTION Applicative is a process that promotes a non core argument into a core argument (Kroeger, 2004). In Javanese spoken in Malang, applicative operation is achieved by attaching suffix –i or –na to verbs. The suffix is selected based on semantic role of the arguments (Suhandono, 1994; Conners, 2001; Arka et.all, 2009; Nurhayani, 2012 among others). Suffix –i is selected for oblique which are semantically locative, goal and source, while suffix -na is applied for benefactive and instruments oblique.

2a. Ibu teka nang kundangan Mother came To a party “Mother came to a party”

b. Ibu n-(t)ekan-i kundangan Mother act-came-appl a party “Mother came to a party”

3a. Adik n-(t)umpak nang jaran Little sibling act-rode on horse “Little sibling rode a horse”.

~ 628 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

b. Adik n-(t)umpak-i jaran Little sibling act-rode-appl horse “Little sibling rode a horse”.

4a Ibu masak sego goreng gawe bapak Mother cooked rice fried for father “Mother cooked fried rice for father”.

b Ibu masak-na bapak sego goreng Mother cooked-appl father rice fried “Mother cooked rice fried for father”.

c Aku ng- kucing iku ambek sapu I act-hit cat that with broom “I hit that cat with a broom”.

d Aku ng-gepuk-na sapu nang kucing iku I act-hit-appl broom to cat that “I hit that cat wih a broom”. (Lit: I use a broom to hit that cat)

The sentences above demonstrate applicative construction. Sentence (2a) and (3a) shows that verb ‘teka’ and ‘numpak’ take Subject and Oblique arguments. The obliques ‘kundangan’ is a goal gand ‘jaran’ is a location. They are promoted into Object function in sentence (2b) and (3b) respectively. The promotion shows the characteristic of applicative construction. This also demonstrates valency increasing as the core argument increases from only one argument which is Subject in sentence (2a) and (3a) into two core arguments: Subject and Object in sentence (2b) and (3b). Sentences (4a) and (4b) illustrate applicative process to a benefactive ‘bapak’. These sentences show a valency increase from two core arguments in (4a) into three in (4b). In sentence (4c) and (4d) the process is applied to instrument ‘sapu’. The two sentences demonstrate valency change between ‘kucing iku’ and ‘sapu’; sapu is promoted into a core argument as Object.

VALENCY CHANGING IN PASSIVE CONSTRUCTION Passive is a process that shows valency alteration. Based on change on number of valency, passive in Javanese shows a reduction.

5 a. Ibu nggepuk kucing iku Mother hit cat that “Mother hit cat”

b. Kucing iku di-gepuk ambek ibu That cat pass-hit by mother “The cat was hit by mother”

c. Kucing iku di-gepuk That cat pass-hit “That cat was hit”.

~ 629 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature The above sentences demonstrate passivization. Sentence (5b) and (5c) are possible passive counterparts of sentence (5a). This shows valency reduction from two core arguments of Subject and Object into only Subject.

CONCLUSION Javanese demonstrates operations that result in valency changing. Applicative construction is encoded by the use of suffix –i for verbs that take location, goal and source obliques. While for other types of obliques include benefactive and instrumental, the selected suffix is –na. Applicative demonstrates valency changing as there is a promotion of core argument. Passive in Javanese is encoded by prefix di-. This costruction shows valency reduction from two core arguments into one.

REFERENCES

Arka, I Wayan; Dalrymple, Mary; Mistica, Meladel; Mofu, Suriel; Andrews, Avery; Simpson, Jane. 2009. A Linguistic and Computational Morphosyntactic Analysis for The Applicative -i in Indonesian. In: Proceedings of the LFG09 Conference. CSLI Publications. (Available online at http://web.stanford.edu/ group/cslipublications/cslipublications/LFG/14/papers/ lfg09arkaetal.pdf) Conners, Thomas J. Applicative Functions in Two Javanese Varieties. University of Maryland. (Available online at: http://wwwstaff.eva.mpg.de/~gil/applicatives/abstracts/Conners.pdf) Dixon, R.M.W. and Aikhenvald, Alexandra Y. 2000. Changing Valency Case Studies in Transitivity. Cambridge : Cambridge University Press. Haspelmath, Martin and Muller-Bardey, Thomas. 2001. Valence Change for HSK Morphology. A Handbook for Inflection and Word Formation. (Available online at: http://wwwstaff.eva.mpg.de/~haspelmt/2005val.pdf) Kroeger, Paul R. 2004. Analyzing Syntax. A Lexical-Functional Approach. Cambridge, Cambridge University Press. Nurhayani, Ika. 2012. Javanese Applicative Construction in Coyote Papers 19 University Arizona Linguistic Cycle. (Available online at http://arizona.openrepository.com/arizona/bitstream/10150/231151/1/ Nurhayani2012JavaneseApplicativeConstruction.pdf) Suhandono. 1994. Grammatical Relations in Javanese: A Short Description. Master Thesis. The Australian National University. Canberra

~ 630 ~ PENGGUNAAN LEKSIKON TENTANG DAUN PISANG DALAM MASYARAKAT SUNDA DI KAMPUNG BABAKAN CIMAHI (KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK)

Yeni Mia Liani, Desi Sri Cahyani, Santy Rahmawati, & Agung Setiawan Universitas Pendidikan Indonesia [email protected]; [email protected]; [email protected]; & [email protected]

ABSTRACT This study was conducted in Babakan Cimahi, Giri Mekar Village, District Cilengkrang, Bandung regency. The data obtained show that the language of the people Babakan Cimahi still maintaining the values ​​of local wisdom relating to the lexicon of banana leaves although modern technology has existed. However, there are also concerns that the lexicon of this banana leaf can be threatened. The problem in this study include (1) the classification and description of the lexicon of banana leaves are used in Babakan Cimahi; (2) mirrors local knowledge of the lexicon on a banana leaf. To answer these problems, the data collection phase begins with the methods of participant observation and in- depth interviews. After the data is collected, the procedure is done through the following stages: data reduction, making classification and description, and make conclusions. The findings of this study indicate that the lexicon of a banana leaf contained in Babakan Cimahi so much from the type of banana leaves, packing way, to the type of food wrapped in banana leaves. Based on local wisdom mirror, the lexicon of banana leaves quite closely related to people Babakan Cimahi. In addition to frequently eat the leaves or other vegetation, public Babakan Cimahi too many farming because the village is located in the hills of Mount Palasari. A reflection of local wisdom also suggests that harmonious relationship between society Babakan Cimahi with nature. Keywords: lexicon on a banana leaf, local wisdom, antropolinguistik

PENDAHULUAN Bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan yang dapat mencerminkan kearifan lokal suatu masyarakat. Bahasa yang bersifat arbiter atau manasuka ini dapat menghasilkan beberapa leksikon-leksikon berbeda yang menunjukkan budaya masyarakat. Semakin banyak leksikon yang merujuk suatu hal atau benda semakin dekat suatu hal atau benda itu dengan masyarakatnya. Apabila kita perhatikan pisang yang merupakan salah satu jenis buah-buahan yang tum- buh subur di Indonesia. Banyak leksikon yang merujuk pada pisang, baik dari berbagai jenis pisang, hasil olahan pisang, anatomi pohon pisang, termasuk manfaat dari anatomi pisang terse- but. Salah satu anatomi pohon pisang yang sering digunakan masyarakat yaitu daun pisang. Masyarakat Kampung Babakan Cimahi masih menggunakan daun pisang sebagai pembungkus makanan. Daun pisang yang digunakan cukup beragam sesuai dengan jenis makanan yang akan dibungkus. Selain itu juga, cara pembungkusan makanan pun begitu unik. Dalam penelitian ini, ternyata masih sulit ditemukan referensi maupun hasil penelitian khusus secara mendalam mengenai leksikon tentang daun pisang. Namun, masih terdapat penelitian terdahulu yang masih berkaitan dengan topik ini. Setyanto (2014) melakukan penelitian tentang hubungan antara Biomassa Ulat Penggulung Daun Pisang Erionota Thrax L. (Lepidoptera:Hesperiidae) dan Posisi Sedentari Larva dengan Tingkat Kerusakan Daun Pisang Kepok Musa Acuminata Colla. Adapun Shapira (2013) yang melakukan penelitian tentang Leksikon Makanan dan Peralatan dalam Upacara Adat Wuku Taun di Kampung Adat Cikondang, Desa Lamajang, Pangalengan, Bandung. Selain itu, Nugraha (2009) melakukan penelitian ~ 631 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature tentang Karakterisasi Asap Cair dari Daun dan Kulit Buah Pisang (Musa Paradisiacal). Penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu. Kini masyarakat sudah jarang menggunakan daun pisang untuk membungkus makanan sehingga nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat dalam leksikon tentang daun pisang pun akan hilang. Di samping itu, penelitian ini dapat memberikan gambaran kepada masyarakat akan pentingnya nilai-nilai yang terdapat dalam leksikon tentang daun pisang. Oleh karena itu, topik ini menarik dan penting untuk diteliti.

TEORI DAN MET ODOLOGI Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori antropolinguistik. Antropolinguistik merupakan cabang ilmu linguistik yang mempelajari variasi bahasa dan penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan perkembangan waktu, perbedaan tempat komunikasi, sistem kekerabatan, pengaruh kebiasaan etnik, kepercayaan, etika berbahasa, adat istiadat, dan pola- pola kebudayaan lain dari suku bangsa (Sibarani, 2004). Bahasa bisa dijadikan sebagai medium untuk mencapai ranah daya ungkapnya, sebab relevansi budaya dan bahasa akan selalu menjadi objek yang menarik. Unsur-unsur budaya yang terkandung dalam pola-pola bahasa yang dimiliki oleh penuturnya serta bahasa dalam hubungannya dengan budaya penuturnya secara menyeluruh dikaji dalam antropolinguistik. Penelitian ini dilaksanakan di Kampung Babakan Cimahi, Desa Giri Mekar, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung. Data penelitian ini meliputi jenis daun pisang, cara pembungkusan, sampai jenis makanan yang dibungkus dengan daun pisang. Data tersebut didapatkan dari salah satu sesepuh di Kampung Babakan Cimahi. Tahap pengumpulan data dimulai dengan metode observasi partisipan dan wawancara mendalam. Setelah data terkumpul, prosedur dilakukan melalui tahapan berikut: (1) mereduksi data, (2) membuat klasifikasi dan deskripsi, serta (3) membuat simpulan.

TEMUAN DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini, peneliti mendapatkan temuan mengenai jenis daun pisang, cara pembungkusan, sampai jenis makanan yang dibungkus dengan daun pisang. Di Kampung Babakan Cimahi terdapat banyak jenis pisang yang sering dikonsumsi dalam kehidupan sehari- hari. Jenis pisang ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga. Pertama, jenis pisang yang dapat langsung dikonsumsi, diantaranya pisang ambon, muli, raja, dan mas. Kedua, jenis pisang yang harus diolah terlebih dahulu, diantaranya pisang tanduk, nangka, kapas, dan kepok. Ketiga, jenis pisang yang berbiji, diantaranya pisang kulutuk dan pisang roid.

Jenis makanan dan Cara Membungkusnya Berdasarkan pemaparan mengenai jenis pisang, maka penamaan jenis daun pisang disesuaikan dengan nama pisang. Daun pisang yang digunakan untuk membungkus makanan, yaitu daun pisang manggala (kulutuk) karena daunnya yang bagus dan tidak mudah sobek serta teksturnya licin. Sebelum digunakan untuk membungkus, biasanya daun di simpan di atas api, yaitu di tungku atau hawu, cara ini biasa dinamakan dideang atau dileumpeuh. Selain itu, digunakan lidi untuk mengeratkan daun pisang, lidi tersebut biasa disebut sesemat meskipun ada makanan yang tidak perlu disemat hanya dilipat-lipat saja. Makanan pun ada yang disepan, dikulub dan dipais.

~ 632 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Leksikon Pincuk Leksikon pincuk merujuk pada daun pisang yang digunakan sebagai wadah. Pincuk ini biasanya digunakan sebagai pengganti piring untuk wadah sate atau rujak. Bentuk pincuk yang digunakan untuk wadah sate cara menggunakannya harus dipegang karena tidak bisa berdiri sendiri. Kemudian bentuk pincuk yang lainnya dapat dibentuk dengan cara sisi kiri dan sisi kanan dilipat ke tengah, kemudian di bagian tengahnya disemat dengan lidi agar tidak terbuka. Biasanya digunakan untuk membungkus berbagai jenis makanan seperti lotek, , dan ciu. Penggunaan lidi ini bertujuan agar panganan di dalamnya tidak tumpah keluar.

Leksikon Dumpi Leksikon dumpi merujuk pada daun pisang yang digunakan untuk membungkus makanan yang dikenal masyarakat Kampung Babakan Cimahi dengan sebutan makanan dumpi. Daun pisang dilipat berbentuk segitiga, kemudian digulung-gulung dan bagian terakhir daun dimasukkan ke tengah gulungan tersebut.

Leksikon Tengkor Leksikon tengkor merujuk pada daun pisang yang dibentuk persegi lalu kedua ujungnya dilipat membentuk seperti mangkuk, lalu di sebelah kanan dan kirinya disemat dengan menggunakan lidi. Tengkor ini biasanya digunakan untuk wadah makanan yang agak berkuah seperti pisang, bubur, tumisan atau bisa juga untuk tempat menyimpan nasi dan berbagai macam makanan.

Leksikon Dipintel Leksikon dipintel ini merujuk pada penggunaan daun pisang sebagai pembungkus makanan. Dipintel biasanya digunakan untuk membungkus atau papais, bentuknya pun persegi. Kemasannya tanpa disemat, hanya dilipat-lipat. Daun pisang yang memiliki aroma khas ini akan menambah rasa nikmat untuk nasi timbel yang dibungkus dengan daun pisang.

Leksikon Tilam/ Ceper Leksikon tilam/ceper merujuk pada daun pisang yang dibentuk persegi. Biasanya digunakan sebagai alas makanan atau bisa juga digunakan sebagai penutup makanan.

Leksikon Ditimbel Leksikon ditimbel merujuk pada daun pisang yang digulung berbentuk lonjong hingga rapat kemudian kedua ujungnya dilipat ke bawah agar isinya tidak keluar dan tidak perlu menggunakan disemat. Biasanya digunakan untuk membungkus nasi, bongko, dan longsong.

Leksikon Corong Leksikon corong merujuk pada daun pisang yang dibentuk kerucut seperti corong kemudian ujungnya disemat supaya daunnya tidak lepas. Biasanya digunakan untuk menutup nasi supaya nasinya tidak terkena debu dan tetap hangat.

Leksikon Dipais Leksikon dipais merujuk pada daun pisang yang digulung hingga rapat, kemudian kedua ujungnya dilipat ke bawah agar isinya tidak keluar dan tidak perlu menggunakan lidi sebagai ~ 633 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature penguat. Biasanya digunakan untuk membungkus makanan yang dimasak di dalam lebu ‘abu panas’, seperti ikan, ayam dan tahu.

Cermin Kearifan lokal Masyarakat Kampung Babakan Cimahi beranggapan bahwa daun pisang merupakan pembungkus makanan yang alami tanpa adanya bahan kimia. Selain mudah untuk didapatkannya, daun pisang pun praktis hanya dibersihkan dengan air bersih kemudian di lap dengan kain. Selain itu, setiap makanan yang dibungkus dengan daun pisang memiliki aroma tersendiri yang membuat makanan lebih enak. Kearifan lokal yang tercermin dari leksikon-leksikon yang merujuk pada daun pisang ini diantaranya: 1. Mencerminkan kekayaan pengetahuan lokal Penggunaan daun pisang dalam kehidupan sehari-hari tak lepas dari pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat Kampung Babakan Cimahi. Kreasi untuk memanfaatkan daun pisang sebagai alat untuk membungkus panganan atau sebagai wadah ini dipelajari secara turun-temurun. Masyarakat sangat kreatif dan inovatif dalam membuat bentuk pembungkus panganan atau wadah yang menggunakan daun pisang ini. Contohnya leksikon pincuk, dumpi, tengkor, dan dipintel merupakan leksikon yang merujuk pada daun pisang yang digunakan sebagai tempat makanan namun memiliki cara pembuatan yang berbeda. Setiap perbedaan cara pembuatan tersebut diberikan nama (leksikon) yang berbeda pula. 2. Mencerminkan kontrol sosial masyarakat Leksikon-leksikon yang merujuk pada penggunaan daun pisan ini sangatlah banyak. Pemanfaatan daun pisang tanpa disadari berfungsi sebagai kontrol sosial masyarakat setempat. Masyarakat ditanamkan untuk lebih dekat dengan alam karena Allah menciptakan alam beserta isinya ini sudah sangat lengkap. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya pengetahuan masyarakat berkaitan dengan klasifikasi pisang yang terdapat di wilayah tersebut. Pengetahuan masyarakat tentang jenis pisang ini menunjukka adanya peran masyarakat dalam mengelola dan melestarikan tanaman pisang di wilayahnya. 3. Mencerminkan ciri khas pola hidup masyarakat Leksikon-leksikon yang merujuk pada kekhasan leksikon yang berlaku di masyarakat kampung Babakan Cimahi. Leksikon-leksikon ini merujuk pada leksikon yang mampu menunjukkan pola hidup masyarakat yang berlaku pada masyarakat kampung Babakan Cimahi. Kebiasaan masyarakat kampung Babakan Cimahi dalam menggunakan daun pisang sebagai tempat makanan diyakini sebagai salah satu upaya menjaga kesehatan dan menjaga lingkungan dari penggunaan plastik sebagai bungkus makanan. Contohnya leksikon dumpi dan tengkor diketahui hanya berkalu di wilayah masyarakat kampung Babakan Cimahi.

DAFTAR PUSTAKA Nugraha, Angga. 2009. Karakterisasi Asap Cair dari Daun dan Kulit Buah Pisang (Musa Paradisiacal). Skripsi. Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung, Bandung. Setyanto, Haqqi Anajili. 2014. Hubungan Antara Biomassa Ulat Penggulung Daun Pisang Erionota Thrax L. (Lepidoptera:Hesperiidae) dan Posisi Sedentari Larva dengan Tingkat Kerusakan Daun Pisang Kepok Musa Acuminata Colla. Skripsi. Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, Universitas Jember, Jember. Shapira, Nurul. 2013. Leksikon Makanan dan Peralatan Dalam Upacara Adat Wuku Taun di Kampung Adat Cikondang, Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Skripsi. Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik: Antropologi Lingusitik, Linguistik Antropologi. Medan: Poda.

~ 634 ~ LINGUISTIC LANDSCAPE: PENGGUNAAN SIMBOL-SIMBOL LINGUACULTURE DAN IDEN- TITAS LOKAL DI KAWASAN PARIWISATA KUTA

Yohanes Kristianto, Made Budiarsa, Wayan Simpen, Ni Made Dhanawaty Universitas Udayana [email protected]

ABSTRACT Language is all around us in the form of text. The text is displayed in stores, with commercial signs, posters, announcements, traffic signs and others on a specific territorial. This phenomenon is called linguistic landscape (LL), which refers to the use of language in public spaces, especially in urban areas (urban). LL phenomenon also occurs in the tourist area of ​​Kuta. Various forms of commer- cial signs, posters, announcements, and others adorn the public spaces in the area of ​​Kuta. The study focused on the phenomenon LL multiligualisme the locus of research in the Legian Kuta Bali. The formulation of the problem LL include (1) who makes the LL, (2) to whom LL made, and (3) what LL uniqueness in Jalan Legian Kuta. LL data collection done by survey area. Data LL LL then classified by item, whether multilingual or monolingual, then analyzed what are the underlying paradigm, under the system of what and how to practice its use. This paper was presented as a preliminary study of the commodification of language in the realm of tourism. To that end, the author also presents the theoretical foundations as LL definition to examine the phenomenon in the Kuta tourist district. The theory is used, namely (1) the theory of discourse, (2) the semiotic, and (3) the theory of ethnography of communication. Results of the data analysis LL temporary phenomenon, indicated that LL on Legian street Kuta include (1) commercial signs in stores, restaurants, cafes, bars, stores and trav- el information services, (2) English posters characterize the commercial concept, (3) the nam- ing of hotels, bars, cafés, and restaurants with foreign terms, especially in English, Japanese, and Chinese, and (4) creating a global gaze Kuta LL as an international tourist destination.

Keywords: linguistic landscape, the commodification of language, commercial

PENDAHULUAN Kuta menjadi representasi realitas dan bahkan hiperealitas industri pariwisata seba- gai industri global. Artinya, Kuta seolah tidak hanya milik Bali saja melainkan menjadi ruang global bagi siapa saja yang berkunjung ke Bali, terutama bagi wisatawan. Konsekuensinya, Kuta kini menjadi ruang serba ada bagi wisatawan. Maksudnya, segala fasilitas dan layanan pendukung kegiatan pariwisata dapat diperoleh dengan mudah. Keserba-adaan Kuta tampak dari penggunaan simbol-simbol lingual sebagai representasi industri dan layanan pariwisata bertaraf internasional. Dengan simbol-simbol lingual, Kuta dikonstruksi menjadi simbol glob- al. Simbol-simbol lingual yang dimaksud adalah bentuk-bentuk lingual (tulisan) berupa iklan, pengumuman, plakat, promosi yang digunakan di ruang publik, dan juga nama-nama jalan, restoran, bar, café, hotel, toko souvenir, toko pakaian dan lain-lain di kawasan Kuta. Penggunaan bentuk-bentuk lingual di ruang publik khususnya di kawasan Kuta menun- jukkan betapa bahasa menjadi rumah ada untuk mengonstruksikan realitas kawasan Kuta se- bagai destinasi wisata global. Lokus pengamatan simbol lingual dilakukan di sepanjang Jalan Legian dengan fokus penggunaan bentuk-bentuk lingual dalam bahasa asing dan bahasa lokal (bahasa Bali). Jalan Legian dipilih menjadi lokus pengamatan dengan pertimbangan bahwa jalan Legian menjadi ruang praktik penggunaan simbol-simbol pariwisata.

~ 635 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Praktik penggunaan simbol lingual tentunya tidak terlepas dari berlakunya sistem kepariwisataan itu sendiri. Sebagai sistem, pariwisata merupakan industri global yang terstan- dar. Hal ini tampak pada produk dan jasa layanan yang ditawarkan bagi wisatawan. Sistem kepariwisataan inilah yang memberikan kekhususan bahasa (bentuk lingual) dalam ranah pari- wisata. Artinya, bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi tetapi sekaligus medium pemben- tuk citra baik bagi produk, jasa, layanan, bahkan bagi suatu destinasi atau kawasan pariwisata. Sebagai rumah ada seperti kata Martin Heidegger, bahasa menyediakan segala kemung- kinan dalam mengonstruksikan realitas atau dunia pariwisata. Untuk itu, makalah ini menjadi ancangan bagi penelitian penggunaan simbol-simbol lingual (bahasa) di ruang publik khusus- nya di kawasan pariwisata Kuta. Beberapa pertanyaan penelitian yang akan dijawab melalui penelitian penggunaan simbol lingual di ruang publik (selanjutnya disebut linguistic landscape) antara lain: (1) paradigma apa saja dibalik penggunaan simbol-simbol lingual di kawasan pari- wisata Kuta, (2) sistem kepariwisataan seperti apa yang mengatur penggunaan simbol-simbol lingual di kawasan pariwisata Kuta, (3) bagaimanakah realisasi atau praktik penggunaan sim- bol-simbol lingual di kawasan pariwisata Kuta. Dengan diketahuinya ideologi, sistem, dan praktik penggunaan simbol-simbol lingual di kawasan pariwisata Kuta, penulis berharap akan mengetahui identitas dan citra Kuta sebagai kawasan pariwisata di Bali dari simbol-simbol lingual. Dengan kata lain, masih adakah simbol- simbol lingual sebagai identitas lokal Bali di tengah simbol-simbol global ? Mungkinkah ter- jadi simbol-simbol glokal ?

SIMBOL-SIMBOL LINGUAL SEBAGAI MEDIUM SIMULASI Secara umum, pariwisata dapat diidentikan dengan segala sesuatu yang menyenangkan. Untuk itu, penggunaan simbol lingual tentunya menjadi medium simulasi dalam industri pari- wisata. Merujuk Baudrillard, simulasi dimaknai sebagai penghilangan antara yang riil dengan yang imajiner (dalam Lubis, 2014:180). Hal ini tampak pada penggunaan simbol-simbol lingual di kawasan Kuta khususnya jalan Legian pada nama-nama restoran yang menggunakan bahasa asing. Mama’s Restaurant, misalnya merupakan restoran Jerman yang menyajikan masakan Jerman. Meskipun restoran tersebut tidak berada di Jerman, penggunjung dapat menikmati ma- sakan ala Jerman tersebut seperti layaknya berada di Jerman. Begitu juga halnya dengan nama- nama bar dan toko souvenir yang menggunakan bahasa Inggris (bahasa asing lainnya) dapat memberikan simulasi tertentu bagi wisatawan.

Gambar 1. Restoran Jerman Hasil analisis secara tentatif dapat dikatakan bahwa sim- bol lingual di ruang publik tampak bahwa simbol lingual da- pat mensimulasikan: (1) aspek geografis, (2) aspek sosial bu- daya, dan (3) komoditas pariwisata. Untuk itu, Kuta menjadi simulasi global bagi industri pariwisata. Sebaliknya, simulasi lokal hanya direpresentasikan oleh beberapa simbol-simbol lokal saja. Misalnya, hanya Warung Made yang mampu mem- berikan simulasi ke-Bali-an di kawasan Kuta khususnya Jalan Pande.

~ 636 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Gambar 2. Warung Made

SIMBOL-SIMBOL LINGUAL SEBAGAI HOSPITAL- ITAS GLOBAL Pariwisata identik dengan hospitalitas. Dalam arti sempit hospitalitas dimaknai sebagai keramahtamahan. Sejatinya, hospitalitas merujuk pada pengertian menyambut tamu atau mengundang orang asing (Derrida, 2000). Untuk itu, penggunaan simbol-simbol lingual pun ditujukan untuk kepentingan hospitalitas. Hal ini tampak maraknya nama-nama restoran dalam bahasa Inggris yang mengacu pada kehidupan sosial budaya Australia misalnya Aussie. Maksudnya, para pelaku pariwisata merealisasikan hospitalitas tidak hanya dalam tindakan non verbal tetapi juga hospitalitas verbal dengan menggunakan simbol-simbol lingual yang mengacu pada identitas Negara tertentu.

Gambar 3 Aussie Laundry

Untuk itu, penggunaan simbol-simbol lingual dapat mengonstruksikan hospitalitas verbal yang terkait dengan : (1) asal wisatawan, (2) representasi sosial budaya wisatawan, dan (3) hospitalitas komersial pariwisata. Hal ini juga berarti bahwa praktik penggunaan simbol-simbol lingual ditentukan oleh sistem pariwisata sebagai industri global.

KUTA SEBAGAI REPRESENTASI GLOBAL LINGUISTIC LANDSCAPE Istilah linguistic landscape (LL) dikemukakan pertama kali oleh Landry dan Bourhis (1997). LL mengacu pada penggunaan bahasa di ruang publik, tanda-tanda jalan, papan iklan, nama jalan, nama tempat, simbol komersial di toko, dan gedung-gedung pemerintahan. Sebagai global LL, penggunaan simbol-simbol lingual di kawasan Kuta cenderung bersifat multilingual.

Gambar 4 Toke, toko dengan nama Bali

Gambar 4 di atas menunjukkan salah satu nama toko sou- venir (pakaian) dengan multilingual, yaitu bahasa Bali, In- donesia, dan Inggris. Begitu pula pada gambar 5 berikut ini, sebuah tempat massage menggunakan nama Bali, bahasa Jepang dan Inggris.

~ 637 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Gambar 5 Tempat massage

Penggunaan simbol-simbol lingual secara global pun di- tunjukkan pada sebuah nama restoran khas Libanon pada gambar 6. Hal ini membuktikan bahwa sistem hospitalitas dalam pariwisata memiliki tendensi komersial.

Gambar 6 Restoran Libanon

Kesan (gaze) global semakin tampak ketika nama jalan atau gang den- gan menggunakan bahasa Inggris. Sementara itu, di kawasan pariwisata Kuta hanya ada tiga nama jalan yang menggunakan nama lokal (Bali), yaitu jalan Legian, jalan Jelantik, dan jalan Pande. Berikut gambar 7 menunjukkan nama gang sebagai representasi global dan komersial.

Gambar 7 Gang Three Brothers

Selanjutnya, representasi lokal dari simbol-simbol lingual tam- pak semakin berkurang. Beberapa simbol-simbol lingual yang masih mempertahankan nama-nama lokal adalah sebagai berikut.

Gambar 8 Warung Bu Ayu

Warung Bu Ayu adalah salah satu nama warung yang meng- gunakan simbol lokal tanpa ada simulasi terhadap komer- sialisasi simbol-simbol yang digunakan untuk mengikuti sistem pariwisata sebagai industri global. Sebaliknya, nama restoran dan bar pada gambar 9 berikut yang diberi label lokal berusaha memberikan simbol-simbol lokal (makanan) dengan mengikuti tuntutan industri pariwisata.

Gambar 9. Nasi Bali

Beberapa toko souvenir pun menggunakan simbol-simbol lokal (Bali) dan menggabungkan dengan simbol global (bahasa Ing- gris). Berikut disajikan gambar 10 sebagai contoh.

~ 638 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature Gambar 11 Made Ayu Shop

Beberapa hotel juga memilih strategi menggunakan simbol lokal dan global. Dengan penggunan kedua dimensi simbol- simbol lingual, hotel-hotel tersebut memiliki citra tersendiri bagi wisatawan yang menginap. Berikut disajikan dua nama hotel pada gambar 12 dan 13 yang mempertahankan simbol- simbol lokal.

Gambar 12 Hotel Bendesa Gambar 13 Hotel Taman Ayu

PENUTUP Bahasa menjadi medium manusia mengontruksikan realitas atau dunia. Bahasa sebagai simbol mampu merepresentasikan ruang di mana manusia beraktifitas. Kuta sebagai ruang aktifitas pariwisata terbentuk dari realitas global yang direpresentasi oleh simbol-simbol lingual. Simbol-simbol tersebut mensimulasikan realitas dan irrealitas bahkan sesuatu yang hiperealitas yang dikendalikan oleh sistem pariwisata sebagai industri global. Dalam praktiknya, penggunaan bahasa sebagai simbol tidak hanya sekedar merepresentasikan simbol terhadap satu realitas. Namun, representasi simbol bersifat kontingen. Kawasan pariwisata Kuta menjadi arena language game. Hal ini disebabkan bahwa simbol- simbol senantiasa berubah-ubah dari waktu ke waktu. Pariwisata sebagai agen globalisasi tidak hanya memindahkan penduduk dari satu tempat ke tempat lainnya untuk berwisata. Lebih jauh, pariwisata menjadi pasar lingual yang merepresentasikan paradigma, sistem, dan praktik berbahasa tertentu yang perlu dicermati secara linguistis. Kiranya makalah ini dapat membangkitkan minat pemerhati bahasa untuk melakukan kajian-kajian bahasa dalam konteks kekinian (globalisasi).

DAFTAR PUSTAKA

Derrida. 2000. Of Hospitality. California: Stanford University Press.

Gorter, D. 2006. Linguistic Landscape. A New approach to Multilingualism. UK: Multilingual Matters Ltd.

~ 639 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Landry, R. & Bourhis, R. Y. 1997. Linguistic landscape and ethno-linguistic vitality: An empirical study. Journal of Language and Social Psychology, 16: 23-49.

Lubis, A.Y. 2014. Postmodernisme. Teori dan Metode. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Shohamy, E dan Gorter, D. Linguistic Landscape. Expanding the Scenery. New York: Routledge

~ 640 ~ PROPERTI ARGUMEN BAHASA LAMAHOLOT DIALEK LAMALERA

Yosef Demon Universitas Flores

ABSTRACT Lamaholot language dialect Lamalera hereinafter abbreviated as BLDL is one of a family Lamaholot language or one of the 35 dialects which are in the district of East Fores and the district. As one English family Lamaholot and as one of the dialect, BLDL have characteristics similar to a linguistic family other languages or dialects in clumps Lamaholot language. Similarities include aspects of phonological, morphological and syntactic. Although there are similarities, but there are very significant otherness antardialek in clumps Lamaholot language family. This paper only discusses the syntactic aspects of the property, especially the analysis of core argument Lamaholot Language Dialect Lamalera. Property core argument is intended in this paper is the core argument property contained in clause simplex. The core argument clauses property simplex Lamaholot Language Dialects Lamalera is (1) Relative, (2) quantifier floating (Quantify), (3) Noun Phrase Not Light (PRO) or subject Predicate Complement Clause, and (4) Fronting (Raising).

Keywords: Argument, Promineny (Pro.), Quantifier (quantifier Kambang), Relative (Perelatifan), Raising (Pengkeatasan) and Perujusilangan (Cros Reference).

1. Pengantar Konstituen-konstituen yang membangun sebuah kalimat sesungguhnya memiliki pertalian yang sangat erat dengan sesuatu yang dipredikasi oleh verba. Tatanan konstituen yang membangun sebuah kalimat sejatinya memiliki kerangka sintaktik yang unik seperti kategori, fungsi dan peran. Artinya bentuk-bentuk lingual yang mengkonstruksi sebuah konstruksi sintaksis tidak sekedar dileretkan sekehendak hati. Dengan demikian, setiap bentuk lingual yang mengisi sebuah kontruksi memiliki kategori tertentu, fungsi tertentu dan peran tertentu. Peran bertalian erat dengan part of speech atau syntactic category atau word class (Carnie, 2013:44), fungsi bertalian dengan fungsi sintaksis(S dan O) dan peran bertalian erat dengan A dan P. Aspek peran bergayut erat dengan verba sebagai inti. Verba mempredikasikan suatu keadaan, kejadian, atau kegiatan. Dalam mempredikasikan suatu keadaan, kejadian, dan atau kegiatan biasanya melibatkan orang atau benda, satu atau lebih. Orang atau benda ini disebut sebagai peserta atau argumen, dan argumen atau peserta itu berupa nomina atau yang setara nomina dan atau bervalensi nomina. Peserta atau argumen yang kehadirannya sangat bergantung pada semantis verba predikasi, merupakan konstituen inti sebuah kalimat. Argumen yang membangun sebuah kalimat, dibedakan atas argumen inti dan non-inti (Verhaar, 1996:164). Argumen inti adalah argumen yang secara fungsional disebut sebagai subjek dan objek. Setiap bahasa memiliki karakteristik tersendiri dalam mengindentifikasi wujud argumen inti. Penetapan properti argumen inti pun memiliki kriteria atau parameter dan pendekatan yang berbeda pula. Meskipun demikian, kriteria semantik-sintaksis tetap dipakai sebagai acuan kriteria universal. Sehubungan dengan properti argumen inti dan non-inti, paparan berikut akan menyajikan properti argumen inti dan non-inti dalam BLDL.

~ 641 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature 2. Properti Argumen Inti BLDL 2.1 Properti Unsur Subjek Konsep subjek dalam pandangan tatabahasa tradisonal ialah orang-orang atau barang- barang yang dapat dipredikasikan (dinyatakan) dengan ciri-ciri yang berubah-ubah kuantitas, kualitas, hubungan, perbuatan, tempat, keadaan dalam proposisi-proposisi yang secara logis baik bentuknya (Lyons, 1968:330). Logika tradisonal ini meletakan substansi-substansi sebagai inisiator-inisiator atau korban-korban kegiatan-kegiatan dan proses-proses, berpembawaan, kualitas, kuantitas tertentu. Dengan demikian, teori tradisional bersandar pada struktur gramatikal bahasa Latin dan Yunani. Teori tradisional mendeskripsikan ciri-ciri subjek seperti:

1) Salah satu dari kedua nomina dalam kalimat-kalimat transitif (nomina yang menandai pelaku) ditandai dengan infleksi kasus yang sama (nominatif) seperti halnya subjek dalam kalimat intransitif. 2) Jumlah (dan personal) pada verba ditentukan oleh nomina ‘pelaku’ kalimat transitif (Lyons, 1968:350).

Dalam kaitannya dengan konsep subjek ’pelaku’, Elsa dan Pickett (1987:63-66) mengatakan bahwa subjek adalah topik pembicaraan atau yang menunjukkan sesuatu yang melakukan tindakan verba atau sesuatu yang diperhatikan. Pada umumnya subjek melakukan sesuatu sebagai pelaku, agen atau yang mengalami suatu kejadian. Verhaar (1996:173), mengatakan bahwa struktur fungsional klausa adalah struktur formal dan dapat dikatakan juga ‘kosong’. Kosong menurut isi semantisnya artinya menurut peran dan kosong menurut isi bentuknya atau secara kategorial (asalkan nomina). Kekosongan fungsi menurut pengisi semantis yang namanya peran berarti bahwa subjek dapat saja menjadi pelaku atau agentif, atau pengalam atau, lokatif, atau instrumen. Hal ini berarti di tempat subjek terdapat konstituen yang secara leksikal berarti sesuatu secara gramatikal mempunyai peran tertentu (pelaku) dan secara kategorial memiliki hubungan semantik. Demikian juga predikat, objek, dan keterangan. Setiap fungsi dalam kalimat konkret adalah tempat kosong yang harus NRQNUHWDGDODKWHPSDWNRVRQJ\DQJKDUXVGLLVLROHKSHQJLVLNDWHJRULDO PHQXUXW diisiEHQWXNQ\D  oleh pengisi GDQ kategorial SHQJLVL (menurut VHPDQWLV bentuknya) PHQXUXW SHUDQQ\D  dan pengisi 6HFDUD semantis VHGH (menurutUKDQD GDSDW perannya). SecaraGLJDPEDUNDQVHEDJDLEHULNXW sederhana dapat digambarkan sebagai berikut.  )XQJVL6XEMHN3UHGLNDW2EMHN.HWHUDQJDQ  .DWHJRUL %HQWXN   3HUDQ 0DNQD    Comrie(1983:2101)&RPULH   menyatakan PHQ\DWDNDQ bahwa, EDKZD prototypeprototype (hakekat KDNHNDW asal) subjek DVDO  VXEMHNadalah adanya salingDGDODKDGDQ\DVDOLQJNHWHUNDLWDQDQWDUDDJHQGDQWRSLN'HQJDQ keterkaitan antara agen dan topik. Dengan kata lain, subjek ituNDWDODLQVXEMHN adalah agen dan juga topik.LWXDGDODKDJHQGDQMXJDWRSLN Dixon (1994:178) mengatakan'L[RQ  PHQJDWDNDQEDK bahwa penetapan subjek hendaknyaZDSHQHWDSDQ mempertimbangkan VXEMHN KHQGDNQ\D PHPSHUWLPEDQJNDQ GXD KDO \DLWX VXEMHN GDQ SLYRW 'HQJDQ dua hal yaitu, subjek dan pivot. Dengan konsep prateori S, A dan O, Dixon menetapkan bahwa NRQVHS SUDWHRUL 6 $ GDQ 2 'L[RQ PHQHWDSNDQ EDKZD VXEMHN XQLYHUVDO subjekEHUGDVDUNDQ universal berdasarkan NULWHULD VHPDQWLNVLQWDNVLV kriteria semantik-sintaksis \DLWX GHQJDQ yaitu SHQJHORPSR dengan pengelompokanNDQ $ VDPD A sama denganGHQJDQ S sehingga 6 VHKLQJJD A merupakan $ PHUXSDNDQ subjek gramatikal. VXEMHN JUDPDWLNDO Dengan demikian 'HQJDQ untuk GHPLNLD bahasaQ XQWXN akusatif hal ini tidakEDKDVD bermasalah DNXVDWLI KDOtetapi LQL hal WLGDN ini akan EHUPDVDODK menjadi WHWDSLpersoalan KDO apabila LQL DNDQ diterapkan PHQMDGL SHUVRDODQpada bahasa yang memperlakukanDSDELOD GLWHUDSNDQ P sama SDGDdengan EDKDVD S. Pivot \DQJ penetapannya PHPSHUODNXNDQ berdasarkan 3 VDPD kriteria GHQJDQ sintaksis. 6 3LYRW Biasanya padaSHQHWDSDQQ\D kalimat kompleks EHUGDVDUNDQ terdapat NULWHULD dua kalimat VLQWDNVLV yaitu %LDVDQ\D klausa matrik SDGD dan NDOL PDWklausa NRPSOHNV bawahan. Pivot WHUGDSDWGXDNDOLPDW\DLWXNODXVDPDWULNGDQNODXVDEDZDKDQ3LYRWEHUKXEXQJDQ GHQJDQSHOHVDSDQ)1NODXVDEDZDKDQ\DQJEHUNRRUGLQDVLGHQJDQ6 ~ 642 ~ DWDX$NODXVD PDWULN 3DGD EDKDVD DNXVDWLI VXEMHN GDQ SLYRW WLGDN EHUEHGD 3HUEHGDDQ VXEMHN GDQSLYRWDNDQWHUMDGLSDGDEDKDVDEDKDVD\DQJHUJDWLIVHFDUDVLQWDNVLV  6HFDUDVHPDQWLNVXEMHNPHUXSDNDQDUJXPHQ)1\DQJELDVDQ\DEHUXSD$ \DQJ PHQJRQWURO VXDWX DNWLILWDV VHSHUWL \DQJ GLSUHGLNDVLNDQ ROHK YHUED 6HGDQJNDQ VHFDUD VLQWDNVLV VXEMHN GLWDIVLUNDQ VHEDJDL DUJXPHQ \DQJ GDSDW PHQJRQWUROSHQ\HVXDLDQGHQJDQYHUEDDWDXSDGDNODXVD  3HQJHUWLDQ GDQ SHQHWDSDQ VXEMHN GDODP VXDWX EDKDVD PHQLPEXONDQ IHQRPHQD \DQJ WLGDN EHUXMXQJ )HQRPHQD LQL SDGD KDNLNDWQ\D GLVHEDENDQ ROHK SHULODNX JUDPDWLNDO EDKDVD \DQJ EHUDJDP GDQ WLSRORJ\ EDKDVD \DQJ EHUEHGD GDVDUSHQJNDMLDQVHUWDSLMDNDQWHRUL\DQJEHUEHGD0HVNLSXQWHUGDSDWIHQRPHQD NHEHUDQHNDUDJDPDQDQ SLNLUDQ GDQ SDQGDQJDQ WHQWDQJ KDNLNDW GDUL VXEMHN SHQHWDSDQIXQJVLVXEMHNSDGDPDNDODKLQLOHELKEDQ\DNGLGDVDUNDQSDGDNULWHULD VLQWDNVLV+DOLQLSHQWLQJNDUHQDNULWHULDVLQWDNVLVOHELKQHWUDOGDODP PHQDQJDQL EDKDVDEDKDVDWHUWHQWX\DQJEHOXPGLNHWDKXLWLSRORJLQ\D  8QWXN LWXODK EHEHUDSD WHV JUDPDWLNDO VHSHUWL SHUHODWLIDQ SHQMDQJND NDPEDQJ quantifier float 352GDQSHQJHGHSDQDQVXEMHN  3HUHODWLIDQ 6HWLDSEDKDVDPHPLOLNLVWUDWHJLWHUVHQGLULGDODPPHPEHQWXNNODXVDUHODWLI 7HVSHUHODWLIDQGLWHUDSNDQXQWXNPHOLKDWKXEXQJDQVLQWDNVLV\DQJWHUGDSDWDQWDUD Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature berhubungan dengan pelesapan FN klausa bawahan yang berkoordinasi dengan S atau A klausa matrik. Pada bahasa akusatif, subjek dan pivot tidak berbeda. Perbedaan subjek dan pivot akan terjadi pada bahasa-bahasa yang ergatif secara sintaksis. Secara semantik, subjek merupakan argumen FN yang biasanya berupa A yang mengontrol suatu aktifitas seperti yang dipredikasikan oleh verba. Sedangkan secara sintaksis, subjek ditafsirkan sebagai argumen yang dapat mengontrol penyesuaian dengan verba atau pada klausa. Pengertian dan penetapan subjek dalam suatu bahasa menimbulkan fenomena yang tidak berujung. Fenomena ini pada hakikatnya disebabkan oleh perilaku gramatikal bahasa yang beragam, dan tipology bahasa yang berbeda, dasar pengkajian serta pijakan teori yang berbeda. Meskipun terdapat fenomena keberanekaragamanan pikiran dan pandangan tentang hakikat dari subjek penetapan fungsi subjek pada makalah ini lebih banyak didasarkan pada kriteria sintaksis. Hal ini penting karena kriteria sintaksis lebih netral dalam menangani bahasa- bahasa tertentu yang belum diketahui tipologinya. Untuk itulah beberapa tes gramatikal seperti, perelatifan, penjangka kambang (quantifier float), PRO dan pengedepanan subjek.

3.1 Perelatifan Setiap bahasa memiliki strategi tersendiri dalam membentuk klausa relatif. Tes perelatifan diterapkan untuk melihat hubungan sintaksis yang terdapat antara klausa transitif dan klausa intransitif. Perelatifan subjek klausa transitif dapat diamati pada contoh (1a, ab) dan (2) berikut.

1a. Tena tuba koteklema perahu tikamV ikan paus Perahu tikam ikan paus

1b. Tena yang na klala miteng pe, tuba koteklema Perahu REL. ART. tanda hitam DEM tikamV ikan paus Perahu yang bertanda hitam itu menikan ikan paus

2. Koteklema yang tena tuba fiapnәe pe, korok burә Ikan REL perahu tikamV ADV DEM, dada putih Ikan yang perahu tikam kemarin itu, berdada putih

Kalimat 1a merupakan sebuah kalimat transitif dengan tena ‘perahu’ sebagai subjek. Dengan penyisipan pemarkah relatif ‘yang’ maka perelatifan itu hanya terjadi pada tena ‘perahu’ sehingga argumen itu merupakan subjek. Kalimat 2 merupakan kalimat intransitif dengan koteklema’ ikan paus’ sebagai subjek. Dengan penyisipan pemarkah relatif ‘yang’, mengisyaratkan bahwa perelatifan itu hanya terjadi pada koteklema ‘ikan paus’ sehingga argumen itu merupakan subjek gramatikal.

3.2 Penjangka Kambang Penjangka atau kata Bantu bilangan (quantifier) tak tak tentu merupakan penunjuk jumlah. Penjangka tak tentu dalam BLDL dikelompokkan atas : (i) jumlah tidak pasti, usi ‘sedikit’, aja ‘banyak’. Jumlah tak pasti juga dapat mengalami reduplikasi menjadi usi-usi ‘sedikit-sedikit, aja-aja ‘banyak-banyak’. Makna reduplikasi dari kedua penunjuk jumlah tidak tentu ini adalah menyatakan intensitas. (ii) jumlah kolektif, fakahae ‘semua’. Penjangka yang menunjukkan

~ 643 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature jumlah tidak tentu, letaknya di belakang FN. Sedangkan penjangka yang menunjukkan jumlah kolektif, letaknya boleh di depan boleh juga di belakang FN yang dikuantifikasi. Penjangka atau penjumlah dalam BLDL menempati posisi mendampingi argumen yang dikuantifikasi. Posisi penjumlah dapat mengambang ke posisi lain dalam struktur. Pengambangan posisi ini umumnya terkait dengan argumen preverbal. Untuk mengetahui kesubjekan dalam BLDL, sehubungan dengan penjangka kambang, cermatilah contoh-contoh berikut ini.

3a. Rae nei kame gula usi 3J beriV 2J gula PK Mereka beri kami gula sedikit

3b. Gula usi rae nei kame Gula PK 3J beriV 2J Gula sedikit mereka beri kami

4a. Kame m -әkә kluo usi-usi 2J 2J -makanV nasi RED-PK Kami makan nasi sedikit-sedikit

4b. Kluo usi-usi kame m - әkә Nasi RedPK 2J 2J -makanV Nasi sedikit-sedikit kami makan

5a. Nana -k fәda ikә aja-aja Paman -POS1T pancingV ikan RED-PK Pamanku memancing ikan banyak-banyak

5b. Ikә aja-aja nana -k feda Ikan RED-PK paman -POS1T pancingV Ikan banyak pamanku pancing

6a. Kresi fakahae tani ikә Anak kecil PK tangisV ikan Anak kecil semua menangis ikan

6b. Kresi tani ikә fakahae Anak kecil tangisV ikan PK Anak kecil menangis ikan semua

6c. Ikә fakahae kresi tani -fi Ikan PK anak kecil tangisV -SUF3J Ikan semua anak kecil menangis

3.3 Frasa Nomina Tidak Terang (PRO) atau Subjek Predikat Klausa Komplemen Predikat finit (finite) mengacu pada verba yang berinfleksi dengan S kalimat. Infleksi ini ditandai dengan hadirnya pemarkah persesuaian (agreement) pada verba yang mencerminkan fitur semantis seperti jumlah dan peran dari S klausa tersebut. Asumsi Teori Pengikatan dan Penguasaan (GB), subjek pada kalimat finit ditandai dengan PRO yang berkoreferensi dengan FN (subjek) pada kalimat matrik. Dengan demikian, PRO diinterpretasikan sebagai FN gantung yang dikontrol oleh FN pada kalimat matrik. Istilah kontrol merujuk pada relasi referensial antara pengontrol dengan terkontrol (Haegeman, 1989). Hal ini dapat disetarakan dengan konsep pivot (Dixon, 1994) dan Subjek (Comrie, 1981). Berikut ini, adalah contoh-contoh kalimat BLDL.

~ 644 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

7a. Goe mi [k -ai -k fule] 1T ingin [1T -pergi -1TV pasar] Saya ingin pergi ke pasar

7b. Goe mi [k -ai -k lio keluarga goe] 1T ingin [1T - pergi -1TV lihatV keluarga 1T] Saya ingin melihat keluarga saya

Subjek klausa bawahan dalam kalimat 7a berkoreferensi dengan S klausa matrik. Pemarkah yang menjadi penanda koreferensial S klausa bawahan dengan klausa matrik adalah prefiks k- dan sufiks -k pada verba akar intransitif -ai- ‘pergi’. Yang menarik pada kalimat 6a adalah adanya kesesuaian (agreement) antara FN sebagai subjek klausa matrik dengan verba akar -ai. Verba akar ini memiliki kemampuan untuk mengopi FN yang diikutinya. Kesesuaian verba ini tidak hanya menampakkan kemampuan verba mengopi atau merujuksilang subjek kalimat tetapi juga menyatakan fenomena morfonologi juga menyatakan jumlah nomina atau persona yang menjadi subjek (Moravcsik,2013:82). Kalimat 7b menyatakan bahwa argumen A pada klausa bawahan berkoreferensi dengan S klausa matrik klausa. Pemarkah A sama dengan S klausa matrik terlihat pada prefiks k- dan sufiks -k pada verba akar intransitif-ai- ‘pergi’.

3.4 Pegkeatasan Fenomena PRO hampir sama dijumpai pada konstruksi pengkeatasan Subjek (Subject Raising). Asumsi Teori Pengikatan dan Penguasaan, adalah FN pada klausa sematan dapat diproyeksikan menjadi S klausa matrik (Sportiche, dkk, 2014:212). Oleh karena itu, FN yang mengalami pengkeatasan itu merupakan S. Untuk memperoleh gambaran tentang kaidah pengkeatasan yaitu sebuah ketegori gramatikal (sintaksis) yang sebelumnya bukan S dapat dinaikkan atau dikeataskan ke posisi S. Kalimat 8 - 10 merupakan bukti pengkeatasan argumen S kalimat inversi dalam BLDL.

8a. Batә nae pәkә goe sedih 3T tingggalV 1T ‘Sedih sekali dia tinggalkan saya’

8b. Nae batә pәkә goe 3T sedih tingggalV 1T Dia sedih sekali tinggalkan saya

9a. Blele kame tedә rae Lama sekali 1J tungguV 3J ‘Lama sekali kami menunggu mereka’

9b. Kame blele tedә rae Kami lama sekali tungguV 3J ‘Kami lama sekali menunggu mereka’

10a. Berә nae bәso di pi Cepat 3T datangV di sini ‘Cepat sekali dia datang di sini’

10b. Nae berә bәso di pi 3T cepat datangV di sini ‘Dia cepat sekali datang di sini’

~ 645 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature 3.5 Dapat dirujuksilang oleh Verba Ciri yang menarik lainnya dari argumen S (A) dalam BLDL adalah dapat dirujuksilang (dikopi, agreement) oleh verba. Meskipun demikian, tidak semua verba dapat merujuksilang (mengopi, agreement) argumen S (A) ini. Verba-verba yang dapat merujuksilang argumen S(A) ini adalah verba yang berjenis prekategorial (root). Artinya verba ini hanya tidak dapat berdiri sendiri. Verba prekategorial (root) dapat bermakna gramatikal atau semantik jika merujuksilang (mengopi, agreement) nomina atau pronominal yang menjadi argumen S(A). Contoh kalimat berikut menyatakan kemampuan verba untuk merujuksilang (mengopi, agreement) argumen S(A).

11. Kame m-ai fulә bau nulәng 1JEKS PROC1J-pergiV pasar besok pagi Kami pergi ke pasar besok pagi

12. Nae n- ele labu bapә nәe 3T PROC3T-pakaiV baju bapak POSS3T Dia mengenakan baju bapaknya

4. Properti Objek Objek adalah suatu elemen dalam konstruksi dasar klausa suatu bahasa yang menyatakan seseorang atau sesuatu selain subjek (Mathews, 1997). Pada umumnya, O merupakan fungsi atau relasi gramatikal yang wajib hadir dalam sebuah kalimat transitif (Bresnan, 1995, Dixon, 1994, Dixon, 2010). Dengan demikian, O adalah argumen yang mengalami tindakan yang dinyatakan oleh verba transitif. Argumen yang mengalami tindakan yang dinyatakan oleh verba transitif tersebut menduduki posisi kedua pada hirarki fungsi gramatikal (sesudah S) (Verhaar, 1999:193-212). Objek adalah argumen inti kedua setelah subjek. Tatabahasa Relasional memperkenalkan tiga jenis relasi gramatikal murni bersifat sintaksis yaitu S, O, dan OTL. Objek adalah relasi gramatikal yang merujuk kepada satu argumen inti yang bukan subjek. BLDL, memiliki OBJ dan OBJө. OBJө hanya ada dalam klausa ditransitif, maka pembahasan tentang O dipilah menjadi dua yaitu OBJ dalam kalimat transitif dan OBJө dalam kalimat ditransitif.

4.1 Objek Klausa Transitif Verbal kalimat transitif memiliki ciri-ciri semantis tertentu secara leksikal. Sifat leksikal inilah yang menentukan hal-hal seperti, (i) valensi verba, (ii) peran dari argumen (satu atau lebih), (iii) sifat-sifat lain dari argumen (persona, jumlah dan jenis), dan (iv) kasus (Verhaar, 1994:193). Verba kalimat transitif BLDL memiliki perilaku leksikal seperti memiliki valensi verba, memiliki peran dari argumen dan sifat-sifat lain dari argumen (persona dan jumlah) sedangkan, sifat leksikal (iv) tidak diketemukan karena BLDL tidak mengenal adanya kasus. Untuk mengidentifikasi properti argumen O dan posisi dari argumen ini dalam kalimat transitif BLDL, maka amatilah contoh-contoh kalimat berikut ini.

13a. Rae r -әf ә fulu nei kame 3J PREF3J -petikV sayur ART 1J Mereka memetik sayur untuk kami

~ 646 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

13b. Nae n -әle nofi fu 3T PROC3T -pakaiV sarung ADJ Dia memakai sarung baru

13c. Tena - kem tuba kotәklәma Perahu -POS1J tikamV ikan paus Perahu kami menikan ikan paus

13d. Bapa -k bote ari -k Bapa -POS1T gendongV adik -POS1T Bapakku menggendong adikku

4.2 Objek Ditransitif Sepintas kalimat transitif dan kalimat ditransitif hampir sama. Objek dalam kedua kalimat ini menduduki posisi posverbal. Perbedaannya terletak pada jumlah argumen. Kalimat transitif memiliki argumen proto A dan P sedangkan kalimat ditransitif memiliki argumen proto A dan P juga memiliki non-[A/P] yaitu argumen yang bukan A dan juga bukan P. Dalam BLDL argumen tersebut dapat berupa penerima (recipient), beneaktif, dan tujuan (goal). Tataurutan dasar argumen inti dalam kalimat ditransitif adalah proto-A(gen) + V + proto-P(asien) +non- [A/P], seperti terlihat dalam contoh berikut ini.

14. Kame m -eti rae hura kajo fiapnәe 1J PROC1J -bawaV 3J ubi kayu kemarin Kami membawakan memreka ubi kayu kemarin

15. Goe denә rae fatafәi 1T masakV 3J jagung air Saya memasakkan mereka bubur

16. Nae bei goe kluo 3T sendukV 1T nasi Dia menyendukkan saya nasi

17. Bine -k gnatu kame fatabiti Saudara -POS1T kirimV 1J jagung titi Saudaraku mengirimkan kami jagung titi

5. Penutup Bahasa Lamaholot Dialek Lamalera sebagaimana bahasa-bahasa daerah lainnya secara universal memiliki ciri-ciri lingusitik yang sama. Meskipun demikian, tidak berarti semua ciri universal yang sama dimiliki oleh BLDL juga namun tidak semua ciri itu ada dalam BLDL. Hal ini menunjukkan bahwa setiap bahasa daerah di dunia memiliki ciri khas yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Paparan teoretis properti argumen inti BLDL yang telah disajikan dapat disimpulkan bahwa argumen inti dalam kalimat BLDL terdiri dari satu argumen pada klausa intransitif dan dua atau tiga argumen pada klausa transitif dan ditransitif. Adapun properti argumen yang dimaksud itu adalah : 1) Subjek (Agen) a. Dapat mengalami perelatifan b. Dapat dimodify oleh penjang kambang c. Frasa Nomina Tidak Terang (PRO) atau Subjek Predikat Klausa Komplemen d. Pengkeatasan atau pengedepanan (pentopikalisasian)

~ 647 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature e. Dapat dirujuksilang (dikopi) atau mengalami persesuaian dengan verba. 2) Objek Objek adalah argumen kedua setelah subjek (agen). Berdasarkan valensi verba dalam kalimat BLDL, maka kalimat dibedakan atas kalimat transitif dan kalimat ditransitif. Kalimat transitif memiliki dua argumen yaitu S (A) dan O. Kalimat ditransitif adalah kalimat yang memiliki tiga argumen yaitu S (A), O dan OTL. Adapun ciri dari kedua jenis objek ini adalah: a. FN yang terletak setelah verba atau berposisi posverba b. FN kalimat ditransitif dapat bermakna resipen, benefaktif atau tujuan c. FN kalimat ditransitif yang animit dapat diringkas dan dilekatkan pada verba sebagai bentuk enklitik. d. FN dalam kalimat ditransitif tidak dapat disela atau disisipi dengan kategori kata yang lain (hubungannya sangat erat)

DAFTAR PUSTAKA

Carnie, Andrew. 2013. Syntax: A Generative Introduction. Third Edtion. Jhons Wiley & Sons Ltd.Publication Comrie, B. 1981. Language Universals and Linguistic Typology . Syntax and Morphology. Oxford : Basil Blackwell Publisher Limited. Dixon, R. M. W.1994. Ergativity. Cambridge : Cambridge University Press Dixon, R. M. W. 2010. Basic Linguistic Theory. Volume 1 Methodology. Published in The United States of America : by Oxford University Press Dixon, R. M. W. 2010. Basic Linguistic Theory. Volume 2. Grammatical Topics. Published in The United States of America : by Oxford University Press Dixon, R. M.W. 2012. Basic Linguistic Theory. Volume 3. Further Grammatical Topics. Published in The United States of America : by Oxford University Press Keraf, G. 1978. Morfologi Dialek Lamalera. Ende / Flores: Percetakan Offset Arnoldus Lyons, John. 1968. Introduction To Theoretical Linguistics. New York: Cambridge University Press Cambridge New York Mithun, M. 1991. Active / Agentive a Case Markinga and It’s Motivations ;Language Journal of The Linguistic Society of America 66 :221 – 250 Moravcsik, Edith A. 2013. Introducing Language Typology. Published in The United States of America: Cambridge University Press Sportiche, Dominique, Hilda Koopman, Edward Stabler. 2014. An Introduction to Syntactic Analysis and Theory. Wiley & Sons Ltd.Publication Verhaar , J. W. M. 1996. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

~ 648 ~ DEIKSIS BAHASA MIYAH: STUDI AWAL

Yosefina Baru Prodi Sastra Indonesia – Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Papua Manokwari [email protected]

ABSTRAK Tulisan dalam makalah ini merupakan tulisan atau kajian awal tentang deiksis bahasa Miyah. Bahasa Miyah merupakan salah satu bahasa daerah di Tanah Papua. Makalah ini secara khusus mengkaji tentang deiksis persona, deiksis tempat, dan deiksis waktu dalam bahasa Miyah. Ada tiga jenis persona dalam bahasa Miyah, yaitu persona pertama tunggal tuo dan persona pertama jamak amu; persona kedua tunggal nuo dan persona kedua jamak anu; dan persona ketiga tunggal au dan ait dan persona ketiga jamak ana. Deiksis tempat dalam bahasa Miyah yang menunjukkan tempat/lokasi yang dekat dengan pembicara mfo dan ofo, , sedangkan deiksis tempat yang menunjukkan lokasi yang jauh dari pembicara dan lawan bicara adalah no, ono, hau dan rehau. Deiksis waktu dalam bahasa Miyah yang menyatakan waktu sekarang emfo, aow, dan buwar; deiksis waktu yang menyatakan waktu kemarin adalah is, caen, dan umbri; dan deiksis waktu yang menyatakan waktu besok adalah men dan fetiah.

Kata Kunci: Deiksis bahasa Miyah, deiksis persona, deiksis tempat, dan deiksis waktu.

1. Pendahuluan Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Bahasa merupakan salah satu hasil budaya manusia yang sangat tinggi nilainya karena dengan bahasalah manusia dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesamanya. Dengan bahasa pulalah, memungkinkan manusia untuk dapat berkembang dan mengabstraksikan berbagai hal yang muncul di lingkunnya. Sejalan dengan pernyataan di atas, Bahasa Miyah (selanjunya disebut BM) pun memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat etnis Miyah. BM merupakan salah satu bahasa daerah yang terdapat di Tanah Papua, Provinsi Papua Barat. Setiap bahasa menunjukkan keunikan dan keberagamannya tersendiri, serta menunjukkan jati diri dan identitas bagi penuturnya, demikian juga BM. BM menunjukkan jati diri dan identitas etnis Miyah. Namun, seiring perkembangan zaman, bahasa daerah pada umumnya dan secara khusus pengguna BM mulai mengalami penurunan frekuensi pemakaiannya di masyarakat, terutama pada generasi muda. Generasi muda lebih cenderung menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehar-hari jika dibandingkan dengan bahasa daerah. Sebagian generasi muda etnis Miyah pun lebih intens menggunakan bahasa Indonesia dibandingg BM, terutama generasi muda yang tinggal di daerah perkotaan. Padahal generasi muda etnis Miyah inilah yang diharapkan sebagai generasi penerus bahasa dan budaya Miyah. BM yang oleh SIL Papua disebut dengan bahasa Karondori, sementara etnis Miyah sendiri menyebut bahasa mereka dengan BM. Etnis Miyah merasa bahwa dengan penamaan Karondori tidak mencerminkan identitas dan jati diri etnis miyah, sehingga melalui sebuah sidang adat, ditetapkan secara bersama untuk kembali menggunakan nama BM seperti yang sudah ditakdirkan sejak awal oleh Sang Pencipta sebagai penanda identitas diri etnis Miyah, daripada menggunakan nama Karondori yang sama sekali tidak menunjukkan identitas dan jati diri asli bagi etnis dan BM. Seperti telah disinggung di atas, bahwa bahasa memiliki keunikan dan keberagamannya sendiri, dalam hal ini deiksis. Deiksis berarti ‘penunjukkan’ melalui bahasa (Yule, 2006:13).

~ 649 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature Deiksis mengacu pada bentuk yang terkait dengan konteks penutur dan deiksis ini terdapat pada semua bahasa, begitu juga dengan BM. Deiksis dalam BM pun unik dan beragam, tergantung pada konteks penunjukkan yang terjadi antara pembicara dan pendengar. Selain unik dan beragam, masalah deiksis maupun masalah kebahasaan lainnya dalam BM pun belum pernah dikaji orang, sehingga boleh dikatakan bahwa kajian ini merupakan kajian awal berupa pengenalan terhadap deiksis BM. Merujuk kembali pada permasalahan yang diangkat, yaitu permasalahan deiksis, khsususnya deiksis BM. Deiksis adalah sebuah kata yang referennya berpindah-pindah atau bergantung-gantung bergantung pada siapa yang menjadi pembicara dan tergantung pada saat dan tempat dituturkannya kata itu (Purwo, 1984 dalam Nadar, 2008:54). Cara penunjukkan itu tergantung pada konteks yang dihasilkan atau ditafsirkan. Fenomena deiksis merupakan cara yang paling jelas untuk menggambarkan hubungan antara bahasa dan konteks di dalam bahasa itu sendiri (Djajasudarma, 1994:57). Deiksis merupakan penujukkan kata-kata yang merujuk pada sesuatu, yakni kata-kata tersebut dapat ditafsirkan menurut makna yang diacu penutur dan dipengaruhi oleh suasana pembicaraan, sehingga sebuah deiksis dapat berubah berdasarkan situasi pembicaraan. Selanjutnya, Djajasudarma (1994:57), mengatakan bahwa deiksis berdasarkan prototipe adalah pengguna pronominal demonstratif pronominal persona I dan II, kala, temporal khusus dan lokasi. Deiksis dapat berupa lokasi (tempat), identifikasi orang, objek, peristiwa, proses atau kegiatan yang sedang dibicarakan atau yang diacu dalam hubungan ruang dan waktu pada saat dituturkannya pembicara atau kawan bicara. Permasalahan deiksis dalam bahasa-bahasa lain sudah banyak dikaji orang, seperti Levinson (1983) dalam Nadar (2008:56) mengkalsifikasikan deiksis dalam bahasa Inggris menjadi tiga jenis, yaitu deiksis persona ‘person deixis’, deiksis ruang ‘place deixis’, dan deiksis waktu ‘time deixis’. Nababan (1984), mengklasifikasikan deiksis menjadi lima macam, yaitu deiksis persona, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana, dan deiksis sosial. Berdasarkan berbagai pendapat para ahli di atas, mendorong kami sebagai penutur asli BM untuk mengkaji permasalahan deiksis persona, deiksis tempat, dan deiksis waktu dalam BM.

2. Teori Deiksis merupakan salah satu kajian dalam pragmatik. Kata deiksis berasal dari bahasa Yunani deiktikos, yang berarti “hal penunjukkan secara langsung”. Sebuah kata dikatakan bersifat deiktis apabila referennya berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung pada saat dan tempat dituturkannya kata itu (Kaswanti Purwo, 1983:1-2) dalam Nadar (2008:54). Deiksis merupakan penunjukkan kata-kata yang merujuk pada sesuatu, yaitu kata-kata tersebut dapat ditafsirkan menurut makna yang diacu penutur dan dipengaruhi oleh situasi pembicaraan. Deiksis yang hendak dikaji dalam makalah ini adalah deiksis persona, deiksis tempat, dan deiksis waktu. Deiksis persona merupakan deiksis yang menunjukkan diri penutur. Orang yang berbicara mendapat peranan yang disebut persona pertama, jika pembicara tidak berbicara lagi dan ia berganti peran sebagai pendengar, maka ia disebut sebagai persona kedua. Orang yang tidak hadir dalam tempat terjadinya pembicaraan, tetapi menjadi bahan pembicaraan, disebut dengan persona ketiga (Djajasudarma, 2009:52) Deiksis tempat adalah deiksis yang merujuk lokasi menurut penutur dalam peristiwa tutur. Lokasi bagi penutur bersufat relative, artinya penutur bahasa itu dapat membedakan deiksis tempat yang dianggap dekat oleh pembicara (proximal deixis) dan objek yang jauh

~ 650 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature dari pembicara (distal deixis). Menurut Lyons (1977:648), deiksis tempat digunakan untuk merujuk ke suatu objek dengan dua cara, yaitu (a) penutur mendeskripsikan sesuatu dengan tangan (menunjuk) dan (b) penutur memposisikan objek tersebut dengan tangan yang lain. Menurut Nadar (2008:55), deiksis tempat berhubungan dengan pemaham lokasi atau tempat yang dipergunakan peserta pertuturan dalam situasi pertuturan. Dalam berbahasa, orang akan membedakan antara di sini (lokasi atau tempatnya dekat dengan pembicara), di situ mengacu pada lokasi atau tempat yang tidak dekat pembicara atau agak jauh, sedangkan, di sana mengacu pada lokasi atau tempat yang jauh dari pembicara dan pendengar. Deiksis waktu adalah pengungkapan (pemberian bentuk) kepada titik atau jarak waktu yang dipandang dari waktu sesuatu ungkapan dibuat atau sama dengan peristiwa berbahasa. Menurut Nadar (2008:56), deiksis waktu berhubungan dengan pemahaman titik ataupun rentang waktu atau saat tuturan dibuat (atau pada saat pesan tertulis dibuat). Selanjutnya, Purwo (1984:71), mengemukakan bahwa deiksis waktu seperti pagi. Siang, sore, dan malam tidak termasuk deiksis karena perbedaan dari masing-masing kata itu ditentukan berdasarkan posisi waktu bumi terhadap matahari. Kata deiksis menjadi waktu jika yang menjadi patokan adalah pembicara. Kata sekarang bertumpu pada si pembicara mengucapkan kata itu (dalam kalimat) atau yang disebut saat tutur. Deiksis waktu berkenan dengan keterangan waktu, seperti kemarin, hari ini, dan besok.

3. Pembahasan 3.1 Deiksis Persona Persona pertama dalam BM adalah tuo ‘saya’ dan amu ‘kami/kita’. Kata tuo’saya’ mengacu pada diri pembicara itu sendiri dan merupakan persona pertama tunggal, sedangkan kata amu ‘kami/kita, mengacu pada pembicara dan orang atau kelompok orang yang terlibat dalam pembicaraan, dan kata amu merupakan persona pertama jamak. Lebih jelasnya dapat dilihat pada contoh kalimat (1) dan (2) berikut ini:

(1) Tuo tamo cuok aya. Saya pergi mandi kali/sungai (2) Amu pomo ora. Kami/kita pergi kebun.

Persona kedua dalam BM adalah kata nuo ‘kamu’ dan anu ‘kalian’. Kata nuo ‘kamu’ mengacu pada orang yang diajak bicara dan tersebut merupakan bentuk tunggal dari bentuk persona kedua, sedangkan kata anu ‘kalian’ mengacu pada lawan bicara dan merupakan bentuk persona kedua jamak. Perhatikan contoh kalimat (3) dan (4) berikut ini.

(3) Nuo nsia yie. Kamu ikut lagi/juga. (4) Anu nema pawia? Kalian buat apa?

Persona ketiga dalam BM adalah au ‘untuk dia perempuan’, ait ‘untuk dia laki-laki’, dan ana ‘mereka’ . Kata au dan ait mengacu pada persona ketiga tunggal, sedangkan ana mengacu pada persona ketiga jamak. Persona au, ait, dan ana mengacu pada orang ketiga yang dirujuk oleh pembicara dan lawan bicara dalam peristiwa tutur. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh kalimat (5), (6), dan (7) berikut ini: (5) Au mehu mae amah. ~ 651 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature

Dia perempuan tinggal di rumah. (6) Ait yamo syafkror mae Manokwari. Dia laki-laki pergi sekolah di Manokwari. (7) Ana mforok awia mbat is. Mereka tiba/sampai sudah dari kemarin.

3.2 Deiksis Tempat Deiksis tempat adalah pemberian bentuk pada lokasi menurut peserta dalam peristiwa berbahasa. Deiksis tempat yang terkait dengan lokasi relatif antara pembicara dan lawan bicara yang terlibat di dalam interaksi tersebut. Deiksis tempat dibedakan atas deiksis tempat yang lokasinya dekat dengan penutur dan deiksis tempat yang lokasinya jauh dari penutur. Deiksis tempat dalam BM yang lokasinya dekat dengan penutur dan masih dalam jangkauan pembicara dan lawan bicara adalah mfo ‘ini’, ofo ‘di sini’, sedangkan deiksis tempat/ruang lokasinya jauh dari penutur adalah no ‘itu’, ono ‘di situ’, hau ‘sana dan di sana’. Kata mfo dan ofo merupakan deiksis tempat yang lokasinya dekat dan masih berada dalam jangkauan penutur dan lawan tutur, sedangkan kata no, ino/mino, dan hau merupakan deiksis tempat yang lokasinya jauh dari jangkauan pembicara. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada contoh kalimat berikut:

(a) Deiksis tempat yang lokasinya dekat dengan pembicara

(1) Nuo napo mfo e. Kamu/kau ada ini (menegaskan keberadaan orang yang dimakusd) (2) Yu peris ta yehu ofo. Pak polis menegaskan polisi tinggal di sini. (Pak polisi itu tinggal di sini)

(b) Deiksis tempat atau ruang yang lokasinya jauh dari penutur

(1) Mapo no Ada itu (2) Mae ono. Ada di situ (3) Amah rana mae hau Rumah mereka di sana (4) Tuo tehu rehau Saya tinggal di sana (jauh sekali jangkauannya dari pembicara dan lawan bicara)

3.3 Deiksis W aktu Deiksis waktu ialah pemberian bentuk rentang waktu seperti yang dimaksudkan penutur dalam peristiwa bahasa. Deiksis waktu dalam BM seperti emfo ‘sekarang’ menunjukkan waktu di mana pembicara sedang menghasilkan ujaran atau saat suatu peristiwa tutur sedang berlangsung, aow ‘tadi atau sudah terjadi’ menunjukkan waktu di mana pembicara sudah atau telah lalu, atau baru berselang beberapa saat atau berdekatan, dan buwar ‘sebentar’ menyatakan pembicaraan tentang sesuatu atau apa yang akan terjadi pada peristiwa tutur. Contoh dalam kalimat adalah:

(1) Emfo ana nfakror nggak awia. Sekarang mereka sekolah selesai sudah. (Mereka sekarang sudah pulang sekolah) (2) Au mamo aow awia. Dia (pr) pergi tadi sudah. (Dia sudah pergi dari tadi.)

~ 652 ~ Exploration, Explanation, and Interpretation on the Language Phenomenon for the Development of Austronesian and Non-Austronesian Linguistic and Literature

(3) Buwar rae nggapuk mae amah ramu. Sebentar orang-orang sembahyang di rumah kami. (Sebentar orang-orang sembahyang/ibadah di rumah kami)

Selain kata mfo, aow, dan buwar, BM juga menjelaskan peristiwa tutur yang sudah atau telah terjadi pada hari kemarin, dua hari atau beberapa hari yang lalu, serta peristiwa tutur yang terjadi dalam waktu yang sudah lampau atau waktu terjadinya lebih dari beberapa bulan bahkan tahun yang lalu. Deiksis yng menyatakan waktu kemarin dalam BM adalah is ‘kemarin’ menyatakan peristiwa tutur yang sudah/telah terjadi kemarin, caen ‘waktu beberapa hari yang lalu’ menyatakan peritiwa tutur yang terjadi beberapa hari yang lalu, dan umbri ‘waktu yang yang sudah lampau ’ yang menyatakan peristiwa tutur telah berlalu dan dalam jangka waktu yang sangat lama dari peristiwa tutur yang terjadi saat itu. Lebih jelasnya perhatikan contohnya pada kalimat (4), (5), dan (6) berikut ini.

(4) Amu is fat ora re yu Hauh. Kami kemarin tebang kebun menyatakan milik Bapak Hauh (nama orang) (Kami kemarin menebang pohon pohon/kayu di kebunnya Bapak hauh) (5) Caen rae makuo pokuo mapi mae Kebar. Beberapa hari yang lalu orang buat pesta besar di Kebar (nama tempat) (beberapa hari yang lalu orang-orang mngadakan pesta besar/rakyat di Kebar). (6) Amu umbri pehu mae amah ta Kami dahulu (waktunya sudah lampau/lama) tinggal di rumah itu. (kami dahulu tinggal di rumah itu)

Selain itu, deiksis BM yang menjelaskan peristiwa tutur yang akan terjadi pada besok yaitu men ‘menyatakan peristiwa tutur yang akan terjadi pada keesokan harinya dan fetiah ‘menyatakan peristiwa tutur yang akan terjadi dalam beberapa hari yang akan datang’. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada contoh kalimat berikut ini.

(7) Men menaow. Besok pagi. (8) Tuo fetiah tamo Tabamsere. Saya lusa pergi Tabamsere (nama tempat) (Saya lusa pergi ke Tabamsere.

4. Penutup 4.1 Simpulan Deiksis persona dalam BM pada umumnya terdiri atas bentuk persona tunggal dan jamak, baik itu untuk persona pertama, persoan kedua, dan persona ketiga. Bentuk persona pertama tunggal dalam BM adalah tuo ‘saya’, sedangkan bentuk persona pertama jamak adalah amu ‘ kami/kita’. Bentuk persona kedua tunggal adalah nuo ‘kamu/kau’, sedangkan bentuk persona kedua jamak adalah anu ‘kalian’. Bentuk persona ketiga tunggal adalah au ‘dia perempuan’ dan ait ‘dia laki-laki’, sedangkan bentuk persona ketiga jamak adalah ana ‘mereka’. Deiksis tempat dalam BM yang menyatakan lokasi atau tempatnya dekat dengan pembicara adalah mfo ‘ini’ dan ofo ‘di sini’, sedangkan deiksis tempat yang menyatakan lokasinya jauh dari pembicara adalah no ‘sana’, ono ‘ di situ’, hau ‘di sana’, dan rehau ‘ di sana, jauh sekali jangkauan pembicara dan lawan bicara’. Deiksis waktu dalam BM yang menyatakan waktu sekarang adalah emfo ‘menyatakan saat terjadinya peristiwa tutur atau peristiwa tutur sedang berlangsung’, aow ‘menyatakan

~ 653 ~ Proceedings The 7th International Seminar on Austronesian - Non Austronesian Languages And Literature waktu sudah atau telah terjadi peristiwa tutur atau peristiwa tutur telah berlangsung’ dan buwar ‘menyatakan yang akan terjadi peristiwa tutur yang akan terjadi’. Selain itu, deiksis waktu yang ktu besok adalah men ‘men ‘menyatakan peristiwa tutur yang akan terjadi pada keesokan harinya dan fetiah ‘menyatakan peristiwa tutur yang akan terjadi dalam beberapa hari yang akan datang’.

4.2 Saran Penulis menyadari bahwa selama ini belum pernah ada penelitian atau kajian tentang deiksis BM, sehingga beberapa contoh data deiksis persona, tempat, dan waktu yang dikaji dalam tulisan ini kemungkinan belum lengkap, sehingga diperlukan kajian atau penelitian yang lebih lengkap dan lebih mendalam lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Djajasudarma, Fatimah T. 2006. Wacana: Pemahaman dan Hubungan Antarunsur (cet.kedua). Bandung: PT Refika Aditam. Kusumaningtyas, Adityarini. 2012. http://belajarilmubahasa.blongspot.com., diunduh pada hari Rabu, 17 Juni 2015, 14.45 WIT.

Nadar, F.X. 2008. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Levinson, Stephen. 1983. Pragmatics. London: Cambridge University Press.

Lyons, John. 1977. Semantics (volume 2). Cambridge: Cambridge University Press.

PWJ, Nababan. 1984. Sosiolinguistik: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia htpp://suluhpendidikan.blongspot.com., diunduh pada hari Rabu, 17 Juni 2015, pukul 15.00 WIT.

~ 654 ~