MAKNA SIMBOLIK HUJAN PADA MASYARAKAT KARO

(Studi Kasus: Kelurahan Tanjung Langkat, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana Sosial Dalam Bidang Antropologi Sosial

Oleh :

ISMI DARA HASIBUAN

160905003

PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2021

Universitas Sumatera Utara

i

Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui dan dipertahankan oleh:

Nama : Ismi Dara Hasibuan NIM : 160905003 Program Studi : Antropologi Sosial Judul Skripsi : Makna Simbolik Ritual Pawang Hujan Pada Masyarakat Karo (Studi Kasus: Kelurahan Tanjung Langkat, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat) Pada Ujian Komprehensif yang dilaksanakan :

Hari : Kamis Tanggal : 01 April 2021 Pukul : 14.00 WIB Tempat : Zoom Meeting

Dengan penyempurnaan/perbaikan yang telah disetujui oleh Tim Penguji :

Ketua Penguji Dra. Sabariah Bangun, M.Soc, Sc ( ) NIP. 195701051987032001

Penguji I Drs. Agustrisno, M.SP ( ) NIP. 196008231987021001

Penguji II Drs. Lister Berutu, MA ( ) NIP. 196007171987031005

i

Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PERNYATAAN ORIGINALITAS

“MAKNA SIMBOLIK RITUAL PAWANG HUJAN PADA MASYARAKAT KARO” (Studi Kasus: Kelurahan Tanjung Langkat, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat)

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka. Apabila kemudian terbukti lain dan tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.

Medan, April 2021

Ismi Dara Hasibuan

i

Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK

Ismi Dara Hasibuan (160905003/Antropologi Sosial), 2020. Judul Skripsi Makna Simbolik Ritual Pawang Hujan Pada Masyarakat Karo (Studi Kasus: Kelurahan Tanjung Langkat, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat). Penelitian Dibimbing Oleh Bapak Drs. Lister Berutu, MA.

Ritual pawang hujan suku Karo merupakan tradisi budaya lokal yang dilaksanakan turun-temurun oleh masyarakat suku Karo di Kelurahan Tanjung Langkat, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses pelaksanaan ritual pawang hujan serta makna simbolik yang terdapat pada ritual pawang hujan pada suku Karo yang ada di Kelurahan Tanjung Langkat, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat. Ritual pawang hujan suku Karo yang hingga sekarang masih dilaksanakan oleh suku Karo di kelurahan tanjung langkat, yang para masyarakat setempat masih mempercayaai ritual pawang hujan tersebut guna sebagai cara membenteng turunnya hujan pada saat acara-acara tertentu salah satunya dalam acara pernikahan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif, dimana dengan menggunkan metode pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Dalam penelitian ini teori yang penulis gunakan dalam menganalisis data yaitu teori , menjelaskan bahwa kebudayaan merupakan jaringan dari simbol- simbol yang memiliki makna bagi masyarakat. Simbol-simbol yang muncul untuk dapat memahami tujuan dan makna diadakannya ritual pawang hujan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam ritual pawang hujan Suku Karo di Kelurahan Tanjung Langkat, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat memiliki beberapa tahapan proses pelaksanaan dalam ritual pawang hujan Suku Karo yaitu berawal dari pemesanan jasa pawang hujan, mempersiapkan media alat dan bahan, persembahan sesajen kepada leluhur, dan tarian gendang silengguri berserta dengan penghembusan asap rokok oleh pawang hujan. Dalam ritual pawang hujan juga terdapat makna simbolik yang terkandung dalam media alat dan bahan yang digunakan serta makna tindakan dalam ritual pawang hujan.

Kata Kunci : Makna Simbolik, Ritual, Pawang Hujan

ii

Universitas Sumatera Utara

UCAPAN TERIMAKASIH

Alhamdulillah puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan

Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya doa, dukungan, dan dorongan dari berbagai pihak. Selesainya skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur, penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang tiada terhingga kepada:

Kedua orang tua penulis yaitu Ayahanda Ismail Hasibuan dan Ibunda

Masdinar serta abang dan kakak tersayang, Afri Hasibuan, Anda Hasibuan,

Esendra Hasibuan, dan Putri Mayawi Hasibuan S.P yang selalu mendoakan, memberikan kasih sayang, motivasi serta dukungan baik moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini, semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmatnya kepada kalian.

Kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu kepada Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si. selaku Dekan Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Kepada Bapak Dr. Fikarwin Zuska, MA selaku Ketua Program Studi

Antropologi Sosial Universitas Sumatera Utara sekaligus selaku Dosen

Pembimbing Akademik penulis di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Kepada bapak Drs. Agustrisno MSP, selaku Sekretaris Departemen Antropologi Sosial

Universitas Sumatera Utara.

Penulis juga mengucapkan terimaksih kepada Bapak Drs. Lister Berutu,

MA selaku dosen pembimbing penulisan skripsi karena telah bersedia banyak

iii

Universitas Sumatera Utara

meluangkan waktunya untuk membimbing, mengarahkan, memberikan masukan serta saran dari penulisan proposal sampai penulisan skripsi ini.

Kepada Seluruh Dosen Departemen Antropologi Sosial Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik yaitu Ibu dan Bapak Dosen. Dra. Tjut Syahriani,

M.Soc.Sc; Dra. Sabariah Bangun, M.Soc.Sc; Dra. Nita Savitri, M.Hum; Prof Dr.

R. Hamdani Harahap M.si; Drs. Lister Berutu, MA; Drs Zulkifli Rani, MA; Drs.

Yance. M.si; Nurman Achmad S.Sos, M.Soc, Sc; dan Alm. Bapak Drs.

Ermansyah, M.Hum, yang telah memberikan berbagai ilmu pengetahuan dan pengalaman yang berbeda-beda kepada penulis pada masa perkuliahan.

Serta kepada seluruh staf administrasi Antropologi Sosial yaitu kak Nur, dan Kak Sri penulis ucapakan terimah kasih atas segala bantuan dalam proses akademik yang penulis lalui di Program Studi Antropologi Sosial.

Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada masyarakat

Kelurahan Tanjung Langkat yang sudah menerima penulis dengan baik. Begitu juga dengan para informan penulis yang telah banyak membantu berjalannya proses belajar penulis selama di lapangan.

Terimakasih juga untuk sahabat tersayang group “Ecek-ecek Squad”

Dhiniyati Aulia, Nur Syawaliah, Yuvi Rahma Dona, Creyzhita Emeliani

Sitompul, Ratna Sari Rezeky Harahap, Sakinah Siregar, Sella Ramicha Devi,

Jayanti Dongoran, Safri diany, dan Yuliana Pratiwi teman seperjuangan dari semester awal hingga akhir ini, yang mana mereka selalu menjadi teman suka maupun duka selama 4 tahun belakangan ini.

Saya ucapkan terima kasih juga kepada teman seperjuangan PKL tepatnya teman satu kamar selama PKL saya Asdani Daulay, Linda Mora Pulungan, Sindy

iv

Universitas Sumatera Utara

Santika, dan Nurul Ain yang telah mendoakan, semangat dan motivasi, dan juga seluruh teman seperjuangan Antropologi Sosial 2016 yang telah memberi semangat, dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan study ini.

Medan, April 2021

Ismi Dara Hasibuan

v

Universitas Sumatera Utara

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis memiliki nama lengkap Ismi

Dara Hasibuan, lahir di Binjai pada tanggal

10 Juni 1998. Penulis merupakan anak ke

lima dari lima bersaudara yang merupakan

putri dari Bapak Ismail Hasibuan dan Ibu

Masdinar. Pendidikan formal yang pernah

ditempuh adalah sebagai berikut :

Alamat e-mail penulis :

[email protected]

1. Pada tahun 2003 memulai pendidikan TK dan lulus tahun 2004 dari TK

Swasta Teladan Binjai.

2. Pada tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikan SD dan lulus tahun 2010

dari SD Negeri 024764 Binjai.

3. Pada tahun 2010 melanjutkan pendidikan SLTP dan lulus tahun 2013 dari

SMP Negeri 2 Binjai.

4. Pada tahun 2013 melanjutkan pendidikan SLTA dan lulus tahun 2016 dari

SMA Negeri 3 Binjai.

5. Pada tahun 2016 penulis diterima di Program Studi Antropologi Sosial,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

6. Pada tahun 2016 menjadi peserta inisiasi Antropologi Sosial FISIP USU di

kampus.

vi

Universitas Sumatera Utara

7. Pada tahun 2017 menjadi panitia acara GOMAI Ukmi As-Siyasah FISIP

USU.

8. Pada tanggal 20-22 Oktober 2017 mengikuti kegiatan Gamadiksi Green

Camp Season 4 di Serdang Bedagai

9. Pada tanggal 24-26 November 2018 menjadi panitia di kegiatan P3AP di

Pulau Gambar

10. Pada tanggal 28 November 2018 menjadi panitia acara Maulid Nabi Saw

11. Pada tanggal 18-21 Januari 2019 mengikuti penelitian dalam rangka

Pengenalan Komunitas Bagi Antropologi Pemula di Desa Lubuk Kertang.

12. Pada tanggal 25-28 April 2019 mengikuti penelitian di Desa Nagalawan

Kecamatan Perbaungan-Sergei.

13. Pada tanggal 15 Juli - 30 Agustus 2019 melaksanakan Praktek Kerja

Lapangan (PKL) selama 45 hari di Desa Pekan Tanjung Beringin Kecamatan

Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai.

14. Pada bulan februari 2020 melakukan penelitian skripsi di Kelurahan Tanjung

Langkat, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

15. Tahun 2016-2018 menjadi anggota UKMI Asyiasa Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

16. Tahun 2016-2018 menjadi anggota forum Keputrian UKMI Asyiasa Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

vii

Universitas Sumatera Utara

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Makna Simbolik Ritual

Pawang Hujan Pada Masyarakat Karo (Studi Kasus: Kelurahan Tanjung

Langkat, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat)”, dan tak lupa pula shalawat beriring salam penulis ucapkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya yang telah memberikan tuntunan risalah kepada kita semua sebagai umatnya agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada

Allah SWT.

Penulisan skripsi ini diajukan guna untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan dalam jenjang perkuliahan strata I (SI) pada Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini tidak lepas dari hambatan dan kesulitan, namun berkat bimbingan, bantuan, nasehat, dan saran serta kerjasama dari berbagai pihak khususnya pembimbing, segala hambatan tersebut akhirnya dapat diatasi dengan baik.

Pada penulisan skripsi ini, penulis sudah berusaha secara maksimal, akan tetapi penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, masih memiliki banyak kekurangan, kesalahan, keterbatasan, baik dari sistematika penulisan, materi, ataupun penyajiannya. Untuk itu penulis menerima saran dan kritik yang konstruktif bersifat membangun untuk menyempurnakan skripsi ini.

Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi pembaca dan pihak-pihak yang membutuhkan, baik untuk penelitian yang akan dilakukan

viii

Universitas Sumatera Utara

selanjutnya, terutama bagi perkembangan bidang keilmuan Antropologi Sosial.

Akhir kata penulis ucapkan terima kasih.

Medan, April 2021

Ismi Dara Hasibuan

ix

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERSETUJUAN PERNYATAAN ORIGINALITAS ...... i ABSTRAK ...... ii UCAPAN TERIMAKASIH...... iii RIWAYAT HIDUP PENULIS ...... vi KATA PENGANTAR ...... viii DAFTAR ISI ...... x DAFTAR GAMBAR ...... xii DAFTAR TABEL ...... xiii BAB I PENDAHULUAN ...... 1 1.1. Latar Belakang ...... 1 1.2. Rumusan Masalah ...... 8 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 8 1.4. Tinjauan Pustaka ...... 9 1.4.1. Religi ...... 9 1.4.2. Ritual ...... 12 1.4.3. Konsep Kebudayaan dan Simbol ...... 14 1.4.4. Pawang Hujan ...... 16 1.5. Metode Penelitian ...... 21 1.5.1. Lokasi Penelitian ...... 21 1.5.2. Tipe dan Pendekatan Penelitian ...... 21 1.5.3. Teknik Pengumpulan Data ...... 21 1.6. Pengalaman Penelitian ...... 25 BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ...... 29 2.1. Lokasi dan Keadaan Alam ...... 29 2.2. Sarana dan Prasarana ...... 31 2.3. Keadaan Penduduk ...... 34 2.4. Mata Pencaharian...... 37 2.4.1. Pertanian ...... 37 2.5. Curah Hujan ...... 40 2.6. Gambaran Umum Masyarakat karo di Kel. Tanjung Langkat ...... 42 BAB III RITUAL PAWANG HUJAN SUKU KARO ...... 45 3.1. Sejarah Adanya Ritual Pawang Hujan ...... 45 3.2. Ritual Pawang Hujan ...... 46 3.2.1. Diperolehnya Sebuah Keahlian ...... 47 3.2.2. Perlengkapan dan Peralatan ...... 50 3.2.3. Pelaksanaan Ritual ...... 54 3.2.4. Pimpinan Ritual ...... 68 3.2.5. Peserta Ritual ...... 70 3.3. Waktu Jalannya Ritual ...... 71 3.4. Tabu (Larangan) Yang Terkait Dengan Ritual ...... 73 3.4.1. Tabu (Larangan) Bagi Pengguna Jasa ...... 73 3.4.2. Tabu (Larangan) Bagi Pawang ...... 74 3.5. Perubahan Yang Terjadi Dalam Ritual Pawang Hujan ...... 75

x

Universitas Sumatera Utara

BAB IV MAKNA SIMBOLIK RITUAL PAWANG HUJAN ...... 77 4.1. Makna Perlengkapan Bahan dan Peralatan Ritual Pawang Hujan ...... 77 4.1.1. Makna Perlengkapan Bahan ...... 81 4.1.2. Makna Perlengkapan Peralatan ...... 85 4.2. Makna Tindakan Pawang Dalam Ritual Pawang Hujan ...... 86 4.3. Cara Menyadarkan Diri Dari Leluhur...... 90 4.3.1. Pawang Hujan Dalam Menyadarkan Diri ...... 90 4.3.2. Menyadarkan Diri Seorang Tamu dari Musik Gendang Silengguri 90 4.4. Respon Masyarakat Terhadap Jasa Pawang Hujan ...... 91 BAB V PENUTUP ...... 102 5.1. Kesimpulan ...... 102 5.2. Saran ...... 103 DAFTAR PUSTAKA ...... 105 LAMPIRAN ...... 108

xi

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta Kecamatan Salapian ...... 30 Gambar 2. Alat Untuk Persembahan Sesajen ...... 50 Gambar 3. Bahan Pembuatan Hisap Sempelang ...... 52 Gambar 4. Proses Pembuatan Hisap Sempelang...... 52 Gambar 5. Pemesanan Jasa Pawang Hujan ...... 55 Gambar 6. Sesajen Dalam Sumpit Karo ...... 58 Gambar 7. Sesajen Persembahan Leluhur ...... 58 Gambar 8. Sesajen Untuk Tarian Gendang Silengguri ...... 61 Gambar 9. Kacemba (Kain Merah ) 2m ...... 62 Gambar 10. Ulos (Uis Karo) ...... 62 Gambar 11. Pemakaian Kacemba Dan Ulos (Uis Karo) ...... 63 Gambar 12. Tarian Silengguri Bersama Pengguna Jasa ...... 64 Gambar 13. Pawang Mendekati Musik Keyboard Karo ...... 65 Gambar 14. Pawang Hujan Memberi Minuman Kepada Pengguna Jasa...... 66 Gambar 15. Gerakan Pawang Dalam Menyadarkan Diri...... 68 Gambar 16. Perlengkapan Sirih Pawang Hujan ...... 73

xii

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Daftar Nama Informan ...... 24 Tabel 2. Sarana Dan Prasarana Penduduk Kecamatan Salapian ...... 32 Tabel 3. Panjang Jalan Menurut Jenis Permukaan Jalan ...... 33 Tabel 4. Data Penduduk Menurut Kelompok Umur Kecamatan Salapian ...... 34 Tabel 5. Komposisi Penduduk Menurut Suku Bangsa Kecamatan Salapian ...... 35 Tabel 6. Distribusi Penduduk Menurut Agama Kecamatan Salapian ...... 36 Tabel 7. Distribusi Penduduk Menurut Mata Pencaharian ...... 37 Tabel 8. Distribusi Luas Panen, Produksi Dan Produktivitas Tanaman Padi Dan Palawija ...... 38 Tabel 9. Banyaknya Industri Dirinci Menurut Jenisnya ...... 39 Tabel10. Luas Tanam, Produksi Dan Produktivitas Tanaman Keras Perkebunan Rakyat ...... 39

xiii

Universitas Sumatera Utara BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Keragaman negara kepulauan sudah banyak diakui oleh bangsa lain dan terlihat dari berbagai macam suku bangsa yang tinggal dan berkembang sejak dahulu. Indonesia yang sangat luas dengan bentuk kepulauannya menjadikan berbagai macam ragam suku, bangsa, dan kebudayaan yang saling memiliki kebiasan yang berbeda beda. Kebudayaan tersebut dapat menunjukkan ciri kepribadian pada setiap manusia dan kebudayaan suatu tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat. Dalam kebudayaan terkandung sebuah norma-norma, tatanan nilai, atau nilai-nilai yang dimiliki oleh manusia atau masyarakat. Kebudayaan mempunyai tujuh unsur kebudayaan yang bersifat universal. Tujuh unsur kebudayaan itu adalah (1) bahasa, (2) sistem pengetahuan,

(3) organisasi sosial, (4) sistem peralatan hidup dan teknologi, (5) sistem mata pencaharian hidup, (6) sistem religi, dan (7) kesenian. Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari suatu kebudayaan. Dengan kebudayaan tersebut dapat membuat kehidupan manusia lebih bermakna.

Dalam setiap masyarakat, baik yang kompleks maupun sederhana, sejumlah nilai budaya antara satu dan lainnya berkaitan hingga merupakan suatu sistem. Sistem tersebut berupa konsep-konsep ideal dalam kebudayaan dapat memberikan motivasi yang kuat terhadap arah kehidupan masyarakatnya. Dengan begitu kebudayaan sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari manusia, karena kebudayaan tersebut hadir beriringan dengan kehadiran manusia.

1

Universitas Sumatera Utara

Kebudayaan tersebut dijadikan manusia untuk kelangsungan kehidupan dalam berinteraksi dengan lainnya (Koentjaraningrat, 2009:153).

Tujuh unsur kebudayaan yang bersifat universal tersebut juga termasuk dalam ketiga wujud kebudayaan yaitu wujudnya berupa sistem budaya, sistem sosial, dan berupa unsur-unsur kebudayaan fisik. Sistem religi salah satu dari tujuh unsur kebudayaan mempunyai wujud sebagai sistem keyakinan, dan gagasan tentang tuhan, dewa, roh halus, neraka, surga dan sebagainnya. Sistem religi tersebut juga memiliki wujud berupa upacara, yang bersifat musiman maupun yang kadangkala, setiap sistem religi juga mempunyai wujud sebagai benda-benda suci dan benda-benda religius (Koentjaraningrat, 2015:165).

Dalam sebuah religi J.G Frazer menjelaskan bahwa manusia dalam memecahkan sebuah masalah hidup mereka dengan akal dan sistem pengetahuan, tetapi akal dan sistem pengetahuan manusia ada batasnya. Semakin berkembangnya kebudayaan manusia semakin luas masalah-masalah yang dihadapi dengan begitu batas akal manusia tersebut pun semakin menyempit.

Tidak terpecahkannya masalah-masalah oleh akal, manusia pun menggunakan cara lain untuk memecahkan masalah-masalah tersebut yang bersifat ilmu gaib

(). Magic tersebut dapat dikatakan sebagai suatu yang ada pada ritual dalam bentuk doa dan -mantra yang diucapkan manusia untuk mencapai sesuatu terhadap alam dan kekuatan-kekuatan gaib, atas dasar kepercayaan penguasaan terhadap manusia untuk maksud–maksud tertentu. Dari perkembangan demikian timbullah religi yang merupakan sebuah sitem tingkah laku manusia untuk mencapai sesuatu harapan dengan cara menyadarkan diri terhadap kemauan dan

2

Universitas Sumatera Utara

kekuasaan makhluk-makhluk halus, seperti dewa-dewa, roh-roh, nenek moyang yang menempati seluruh jagad raya (Kusnaka Adimihardja, 1976:89-90).

Dengan timbulnya ilmu gaib (magic) yang dilakukan oleh manusia dari sebuah ketidak sanggupan manusia untuk memecahkan sebuah masalah yang sama halnya dengan sebuah mitos (mitologis) yang dijadikan sebagai alat pemecah masalah hidup, karena ilmu pengetahuan belum sanggup memecahkannya. Digunakan untuk memberikan eksplanasi ketika orang belum menemukan penjelasan rasional. Sehingga pengetahuan mitologis dapat dikatakan irasional yang menerima penjelasan dituntut untuk percaya begitu saja, misalnya di dalam masyarakat Jawa era tahun 70-an, terutama di pedesaaan orang tua-tua masih percaya bahwa ketika terjadi gerhana bulan mereka harus memukul kentongan secara beramai-ramai agar bulan dapat keluar lagi. Sifat khas pengetahuan mitologis adalah tidak didukung oleh data empiris, sehingga sulit dibuktikan secara objektif. Mitologis (mitos) juga terdapat dalam sebuah ritual yang dilakukan oleh berbagai komunitas tertentu, yang dipercaya oleh mereka secara turun-temurun dari nenek moyang. Sebuah kepercayaan yang terdapat dalam simbol-simbol yang ada pada sebuah ritual tersebut memiliki perbedaan dengan pengetahuan sains dalam mengartikan sebuah simbol.

Dalam banyak hal sebuah ritual dimaknai sebagai upacara keagaamaan atau semi keagamaan pada suatu komunitas. Menurut Mudjahirin Thohir, ritual merupakan bentuk dari penciptaan atau penyelenggaraan hubungan-hubungan antara manusia kepada yang gaib, hubungan manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia kepada lingkungannya. Ritual memperlihatkan tatanan atas simbol-simbol yang diobjekkan, simbol-simbol tersebut mengungkapkan prilaku

3

Universitas Sumatera Utara

dan perasaan, serta membentuk disposisi pribadi dari pada pemuja mengikuti modelnya masing-masing. Ritual dilaksanakan berdasarkan suatu agama atau bisa juga berdasarkan tradisi dari suatu komunitas tertentu.

Simbol tersebut memiliki sebuah fungsi utama sebagai suatu cara mempermudah dalam berkomunikasi. Komunikasi manusia tidak hanya dengan sesamanya melainkan juga dengan makhluk di luar dirinya yang bersifat supranatural atau gaib, demi menjaga sebuah keseimbangan dalam alam hidupnya.

Menurut Clifford Geertz sebuah makna itu tidak terletak di dalam kepala manusia, melainkan makna dan simbol dimiliki bersama pada setiap komunitas sosial yang sama pula. Sebuah makna dan simbol yang ada di satu komunitas sosial yang satu dengan yang lainnya memiliki makna yang berbeda dalam memaknainya.

Hubungan manusia kepada yang gaib, seperti ritual pawang hujan pada masyarakat Karo. Ritual pawang hujan sebagai sebuah hubungan manusia kepada yang gaib, dilengkapi dengan menggunakan berbagai benda dan objek-objek sesajen, serta mantra-mantra dalam proses ritual pawang hujan. Dalam proses menjalankan sebuah ritual biasanya manusia itu menghadapi dunia atau alam gaib dengan berbagai perasaan seperti perasaan hormat, takut, kasih atau campuran dari berbagai perasaan-perasaan. Penggunaan benda dan objek-objek lain dalam proses ritual pada setiap kebudayaan yang ada pada setiap manusia memiliki perbedaan dalam memaknai sebuah simbol yang ada.

Seperti halnya dalam ritual pawang hujan kebudayaan Jawa dan Karo memiliki perbedaan penggunaan benda dan objek lainnya dalam melaksanakan ritual pawang hujan tersebut, serta dalam memaknai sebuah simbol-simbol yang

4

Universitas Sumatera Utara

memiliki perbedaan makna dalam memaknainya. Perbedaan tersebut terjadi karena dari dua kebudayaan yang berbeda pula. Maka dari itu telah diuraikan di atas bahwa setiap makna dan simbol tidak akan sama antara setiap kelompok sosial yang ada.

Ada beberapa artikel, jurnal, dan penelitian yang memiliki keterkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan, seperti penelitian yang dilakukan oleh Evi

Junalisah (2016) yang berjudul “Peranan Pawang Hujan Dalam Pelaksanaan Pesta

Pernikahan Pada Etnis Jawa Di Tinjowan Kecamatan Ujung Padang Kabupaten

Simalungun”. Penelitian ini menjelaskan bahwa Masyarakat Jawa di Tinjowan masih melakukan beberapa rangkaian tradisi yang mereka percayai dan lakukan sebelum melaksanakan sebuah acara pesta pernikahan. Tradisi tersebut dilakukan agar dijauhkan dari hal-hal yang dapat mengganggu berlangsungnya acara pernikahan. Beberapa hal yang mereka lakukan pada tradisi sebelum acara pesta berlangsung adalah ziarah kubur kepada para leluhur mereka yang telah meninggal sebagai tanda penghormatan, menentukan tanggal dan hari baik untuk melaksankan pesta, dan pencegahan turunnya hujan pada saat pesta berlangsung.

Pencegahan turunnya hujan diperlukan peranan seorang pawang yang dapat melakukan ritual pawang hujan tersebut.

Pada saat melaksanakan tugasnya sebagai seorang pawang hujan, cara yang dilakukan untuk membenteng agar hujan tidak turun, biasanya ada beberapa peralatan atau benda yang diperlukan saat menjalankan tugasnya. Beberapa peralatan atau benda yang sering digunakan untuk membenteng hujan yaitu seperti cabe merah, bawang merah yang ditusuk menjadi satu, kemudian ditancapkan di daerah-daerah tertentu yang menjadi simbol bahwa pawang hujan

5

Universitas Sumatera Utara

sedang berperan melaksankan tugasnya untuk mencegah hujan tidak turun. Selain itu juga ada pantangan-pantangan bagi keluarga yang akan melaksanakan acara pesta, salah satu pantangan yang sering dilakukan sebagai syarat agar hujan tidak turun adalah dilarang mandi selama 3 hari saat pelaksanaan pesta akan berlangsung sampai acara pesta berakhir.

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Anne Respanda Sepenty Rinal

Ashari (2018) yang membahas tentang Nyirep udan dalam acara pernikahan masyarakat dusun Damarsi, Mojoanyar, Mojokerto (tinjauan perspektif teori konstruksi social Perter Ludwig Berger dan Thomas Luckman). Penelitian ini menjelaskan bahwa budaya itu sebuah sistem yang mempunyai koherensi.

Bentuk-bentuk simbolik yang berupa kata, benda, sastra lukisan, nyanyian, musik, kepercayaan mempunyai kaitan erat dengan konsep-konsep epistemologis dari sistem pengetahuan masyarakatnya. Sistem simbol dan epistemologis juga tidak terpisahkan dari sistem sosial yang berupa startifikasi, gaya hidup, sosialisasi, agama, mobilitas sosial, organisasi kenegaraan dan perilaku sosial.

Terlihat pada saat pelaksanaan pernikahan, orang-orang cenderung tidak bisa lepas dari unsur kebudayaannya. Salah satunya nyirep udan yang tidak pernah tertinggal pada saat pelaksanaan acara penikahan di Dusun Damarsi

Mojoanyar Mojokerto. Masyarakat menginginkan agar tidak turunnya hujan ketika hajatan berlangsung. Pelaksaaan nyirep udan harus menyiapkan berupa cok bakal dan sesajen tujuannya untuk meminta berkah, menahan hujan dan menolak musibah kepada arwah leluhur. Keyakinan terhadap tradisi tersebut berfungsi sebagai meminta restu dan doa kepada nenek moyang dan keluarga yang sudah meninggal dunia supaya lancar acara tanpa ada bencana hujan.

6

Universitas Sumatera Utara

Dari beberapa penelitian sebelumnya yang telah penulis paparkan, belum ada yang secara khusus membahas tentang ritual pawang hujan suku Karo sebagaimana yang dimaksudkan oleh penulis dalam penelitian ini. Maka dari itu penulis mencoba untuk meneliti tradisi kebudayaan suku Karo di Kelurahan

Tanjung Langkat, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat. Salah satu tradisi kebudayaan suku Karo yang saat ini masih mereka yakini dan laksanakan adalah ritual pawang hujan.

Dalam ritual pawang hujan suku Karo ini terdapat adanya tarian gendang silengguri serta penggunaan sesajen yang berbeda dengan ritual pawang hujan suku Jawa pada umumnya. Pawang hujan suku Jawa menggunakan sesajen seperti bawang dan cabe merah yang ditusukkan dengan sebuah lidi. Suku Karo sendiri berbeda dalam penggunaan sesajen, seperti menggunakan nasi, telur, ayam, dan perlengkapan sirih. Selain menggunakan sesajen sebagai persembahan, suku Karo juga menggunakan sebuah tarian gendang silengguri dalam ritual pawang hujannya. Sesajen yang digunakan serta tarian gendang silengguri dalam ritual pawang hujan suku Karo memiliki makna simbolik yang berbeda pula dengan suku Jawa.

Sehingga penulis memandang sangat penting sebagai sebuah pengetahuan, mengenai bagaimana pelaksanaan ritual pawang hujan, peralatan dan bahan yang digunakan untuk sesajen, pelaksanaan tarian gendang silengguri, makna simbolik yang terkandung, serta respon masyarakat terhadap adanya sebuah jasa pawang hujan, sehingga menambah pengetahuan dan dipahami oleh semua lapisan masyarakat. Dengan begitu mendorong semangat penulis untuk mengambil judul dan melakukan penelitian tentang “Makna Simbolik Ritual Pawang Hujan Pada

7

Universitas Sumatera Utara

Masyarakat Karo di Kelurahan Tanjung Langkat, Kecamatan Salapian, Kabupaten

Langkat”.

1.2. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, penulis dapat merumuskan beberapa pokok masalah yang akan dijelaskan lebih lanjut dalam Bab selanjutnya, adapun rumusan masalah tersebut, yakni:

1. Bagaimana proses ritual pawang hujan pada masyarakat Karo di

Kelurahan Tanjung Langkat, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat.

2. Bagaimana makna simbolik yang ada dalam ritual pawang hujan di

Kelurahan Tanjung Langkat, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat.

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses ritual pawang hujan, serta makna simbolik yang terkandung pada ritual pawang hujan tersebut.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran dan bahan referensi kepada peneliti-peneliti selanjutnya

terutama mengenai ritual pawang hujan.

2. Manfaat Praktis, penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan bacaan

dan pengetahuan masyarakat, kalangan muda atau tua, dan setiap orang

yang ingin mengetahui mengenai bagaimana ritual pawang hujan suku

Karo serta makna simbolik yang terkandung didalamnya.

8

Universitas Sumatera Utara

1.4. Tinjauan Pustaka

1.4.1. Religi

Menurut Kusnaka Adimihardja (1976:84) Religi sesungguhnya memiliki arti ikatan atau pengikat diri, sedangkan agama memiliki pengertian peraturan atau ajaran. Religi lebih bersifat personalistis dari agama, yang memiliki arti langsung mengenai dan menunjuk pribadi manusia, dengan begitu religi lebih dinamis, yang berarti lebih menonjolkan eksistensi manusia.

Pengertian lain dari religi menurut Koentjaraningrat adalah religi sebagai suatu sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat tradisional. Religi merupakan segala sistem tingkah laku manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyadarkan diri pada kemauan dan kekuasaan makhluk-makhluk halus seperti roh-roh, dewa-dewa yang menempati alam. Sistem yang terdiri dari konsep-konsep yang dipercaya dan menjadi keyakinan secara mutlak suatu umat beragama dan upacara-upacara berserta pemuka-pemuka agama yang melaksanakannya. Sistem religi mengatur hubungan antara manusia dengan tuhan dan dunia gaib, antara sesama manusia dan antara manusia dengan lingkungannya, yang dijiwai oleh suasana yang dirasakan sebagai suasana kekerabatan yang dianutnya.

Dalam sebuah (teori batas akal) oleh J.G. Frazer dalam bukunya The

Golden Bough (1890). Teori tersebut merupakan ilmuan yang meletakkan rasionalitas, meski dengan sangat sederhana dalam konfigurasi religi. Beliau menyatakan bahwa manusia dalam memecahkan problematika (masalah-masalah hidupnya) dengan akal dan sistem pengetahuan yang dimiliki, tetapi akal dan

9

Universitas Sumatera Utara

sistem pengetahuan manusia terbatas. Semakin maju kebudayaan manusia, semakin luas pula batas akalnya. permasalahan yang tidak dapat mereka pecahkan dengan akal, mereka pecahkan dengan magic itulah ilmu gaib. Magic menurut

Frazer adalah segala perbuatan manusia berupa abtraksi-abtraksi dari perbuatan untuk mencapai suatu maksud melalui kekuatan-kekuatan yang ada pada alam, serta seluruh kompleks anggapan yang ada dibelakangnya.

Menurut Frazer pada mulanya manusia hanya mempergunakan ilmu gaib untuk memecahkan persoalan hidupnya yang ada di luar batas kemampuan dan pengetahuan akalnya. Religi pada waktu itu belum ada dalam kebudayaan manusia. Akan tetapi kemudian terbukti bahwa banyak dari masalah gaib pada perbuatan magic tidak ada hasilnya yang tidak dapat memenuhi tantangan hidup dan kebutuhan manusia. Maka mulailah manusia percaya bahwa alam dikuasai oleh makhluk-makhluk halus yang dirasa lebih berkuasa dari pada manusia itu sendiri, dengan begitu manusia mencari hubungan dengan makhluk-makhluk halus yang mendiami alam itu. Sehingga timbullah religi yang merupakan sistem tingkah laku manusia untuk mencapai sesuatu harapan dengan cara menyadarkan diri terhadap kemauan dan kekuasaan makhluk-makhluk halus, seperti dewa- dewa, roh-roh nenek moyang yang menempati seluruh jagat raya

(Koentjaraningrat, 1967:231-232).

Religi digunakan oleh manusia sebagai suatu penyelesaian dalam menghadapi krisis di dalam kebudayaannya. Religi sangat mempengaruhi wujud kebudayaan yang lain. Sistem religi terdapat konsep animisme yaitu percaya pada roh nenek moyang dan dinamisme yaitu percaya akan benda yang memiliki

10

Universitas Sumatera Utara

kekuatan gaib merupakan bagian dari sistem religi yang ada dalam masyarakat

(E.K.M. Masinambow, 1997:275-276).

Lima komponen sistem religi menurut Koentjaraningrat yaitu:

1. Emosi keagamaan atau getaran jiwa yang menyebabkan manusia

menjalankan kelakuan keagamaan. Emosi keagamaan itu yang mendorong

orang berlaku serba religi.

2. Sistem kepercayaaan atau bayangan-bayangan manusia tentang bentuk

dunia, alam, alam gaib, hidup, maut dsb. Sistem kepercayaan itu bisa

berupa konsepsi tentang faham-faham yang hidup terlepas dalam pikiran

orang, tetapi juga bisa berupa konsepsi-konsepsi dan faham-faham yang

terintegrasikan ke dalam dongeng-dongeng dan aturan-aturan.

3. Sistem upacara keagamaan yang bertujuan untuk mencari hubungan

dengan dunia gaib berdasarkan atas sistem kepercayaan. Terdapat empat

komponen sistem upacara keagamaan seperti, tempat upacara, saat

upacara, benda-benda dan alat-alat upacara, dan orang-orang yang

melakukan dan memimpin upacara.

4. Umat beragama berupa kelompok masyarakat yang memiliki keyakinan

yang sama.

5. Sistem peralatan ritus berupa alat-alat atau benda-benda sakral bagi

penganut kepercayaan yang mempercayainya seperti, sajadah, salib,

mesjid maupun (Koentjaraningrat, 1992:238-252).

11

Universitas Sumatera Utara

1.4.2. Ritual

Pengertian ritual menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah hal ihwal tata cara dalam upacara keagamaan. Ritual juga dapat diartikan sebagai peranan yang dilakukan oleh komunitas pendukung suatu agama, istiadat, kepercayaan, atau prinsip, dalam rangka pemenuhan kebutuhan akan ajaran atau nilai-nilai budaya dan spiritual yang diwariskan turun-temurun oleh nenek moyang mereka.

Keberadaan ritual di seluruh daerah merupakan wujud simbol dalam agama atau religi dan juga simbolisme kebudayaan manusia. Tindakan simbolis dalam upacara religius merupakan suatu bagian yang sangat penting dan tidak mungkin dapat ditinggalkan begitu saja. Manusia harus melakukan sesuatu yang melambangkan komunikasi dengan Tuhan. Selain pada agama, adat istiadat pun sangat menonjolkan simbolismenya, upacara-upacara adat yang merupakan warisan turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya (Koentjaraningrat,

1980:59-61).

Adapun oleh W.R Smith (1846-1894) menurut Smith gagasan penting dalam asas-asas religi dan agama pada umumnya ada tiga hal yaitu di samping keyakinan dan doktrin, sistem upacara dan doktrin, sistem upacara yang juga merupakan suatu perwujudan dari religi atau agama yang memerlukan studi dan analisa yang khusus. Upacara religi atau agama biasanya dilaksanakan oleh orang banyak warga masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersama- sama memiliki fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat, serta agama muncul dari upacara dan ritual.

12

Universitas Sumatera Utara

Orang-orang yang melakukan upacara keagamaan seperti:

1) Pendeta dalam bahasa asing priest yaitu orang yang memiliki pendidikan

yang lama menjadi ahli dalam hal melakukan pekerjaan sebagai pemuka

upacara keagamaan. Para pendeta sering mempelajari tentang jalannya

bintang-bintang sehingga mereka menjadi ahli bintang-bintang di dalam

kemasyarakatan.

2) Dukun atau biasa di sebut orang pintar, orang yang memiliki kemampuan

supranatural, dapat memahami hal tidak kasat mata serta dapat

berkomunikasi dengan arwah dan alam gaib, yang berguna untuk

membantu menyelesaikan masalah di masyarakat, seperti penyakit,

gangguan sihir, memohon sesuatu dll.

3) Syaman Berasal dari Siberia (Voitgt, 1977) adalah budaya agama pertama

tradisi Mongoloid yang dibawa ke Indonesia, khususnya separuh

kepulauan barat dari China Selatan (Magnis Suseno, 1988: 21 ) dan Dri

Asia Tenggara sejak kira-kira 3000 tahun SM (Poerbatjaraka, 1952: VI ).

Syamanisme adalah fenomen religious sangat menonjol dari Siberia dan

Asia Tenggara yang menjadi budaya kuno masyarakat Indonesia zaman

Pra-Indik, budaya yang eksis lebih dari 2000 tahun, yang telah

dihubungkan dengan praktek pemujaan nenek moyang dan pemujaan

orang-orang mati. Menurut Levi Strauss, syaman adalah seorang

penyembuh magis yang biasanya berkerja dalam keadaan ekstase, yakni

keadaan mental yang tidak sadarkan diri.1

1 Lihat “Shamanisme: Fenomena Religius dalam Seni Pertunjukan Nusantara”, by Sunarto, Desember 2013. https://journal.unnes.ac.id

13

Universitas Sumatera Utara

1.4.3. Konsep Kebudayaan dan Simbol

Clifford Greertz (1973) dalam teori kebudayaan yang menjelaskan bahwa simbol-simbol yang muncul untuk dapat memahami tujuan dan makna diadakannya ritual pawang hujan tersebut. Clifford Greertz mengemukakan beberapa definisi kebudayaan, kebudayaan menurutnya sebagai suatu sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol, yang dengan makna dan simbol tersebut individu-individu mendefinisikan dunia mereka, mengekpresikan perasaan-perasaan mereka, dan membuat penilaian mereka. Kebudayaan juga sebagai suatu pola makna-makna yang ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik, yang melalui bentuk-bentuk simbolik tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan, dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan. Sebuah kebudayaan sebagai suatu peralatan simbolik bagi mengontrol perilaku, sumber- sumber ekstrasomatik dari informasi, dan oleh karena itu kebudayaan adalah suatu sistem simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan, dan diinterpretasi.

Maka dengan begitu konsep kebudayaan menurut Clifford Greertz

(1992:3) adalah sebuah sistem yang digunakan manusia untuk melangsungkan hidup dengan gagasan dan karya yang telah dibuatnya, kemudian mengajarkannya secara turun-temurun dalam bentuk simbol yang digunakan manusia untuk berkomunikasi, melestarikan, dan memperkembangkan pengetahuan tentang kehidupan dan sikap-sikap kehidupan yang kemudian dijadikan sebagai sebuah pedoman tingkah laku manusia. Makna terdapat dalam simbol yang mengacu pada

14

Universitas Sumatera Utara

setiap objek, tindakan peristiwa, kualitas atau hubungan yang menjadi sarana untuk sebuah konsepsi-konsepsi (A Rahmad Rusdiana: BAPALA,2020).

Simbol itu sendiri adalah sebuah objek, kejadian, bunyi, bentuk-bentuk tertulis, yang diberi makna oleh manusia. Bentuk primer dari simbolisasi oleh manusia adalah melalui bahasa. Tetapi manusia juga berkomunikasi dengan menggunakan tanda dan simbol dalam lukisan, tarian, musik, arsitektur, mimik wajah, gerak gerik, postur tubuh, perhiasan, pakaian, ritus, agama, kekerabatan, nasionalitas, tata ruang, pemilikan barang, dan lain-lain. Manusia juga dapat memberikan sebuah makna kepada setiap kejadian, tindakan, atau objek yang berkaitan dengan pikiran, gagasan, dan emosi. Simbol bisa menjadi tempat menempelnya sebuah makna. Makna dari suatu simbol yang dimaknai oleh komunitas tertentu, dan bisa sebagai emosi keagamaan, tergantung kesatuan sosialnya.

Menurut Clifford Greertz simbolik adalah sebuah ilmu tentang tanda-tanda yang mengandung makna. Sebuah makna itu tidak sama di dalam kepala setiap orang. Simbol dan makna dimiliki bersama oleh anggota masyarakat di dalam komunitas sosial yang sama, terletak di antara mereka, bukan di dalam diri mereka. Pengertian lain dari sebuah tanda menurut Perdinan de Saussure yaitu tanda merupakan gabungan antara penanda (signifier) yaitu sebuah citra bunyi/visual yang dapat diinderakan, sedangkan petanda (signified) adalah sebuah konsep pikiran.

Semiotika tersebut banyak terdapat dalam sebuah kebudayaan, yang memiliki berbagai simbol-simbol kepercayaan dalam setiap kebudayaan tertentu.

15

Universitas Sumatera Utara

Dalam ritual seperti adanya penggunaan alat, benda, serta objek-objek tertentu yang memiliki makna simbolik yang terkandung. Dalam emosi keagamaan juga terdapat simbol-simbol antara lain seperti dalam agama simbol sajaddah memiliki makna sebagai benda yang sakral yang digunakan saat melakukan sholat. Sama halnya dengan simbol salib, yang memiliki makna sakral pada agama Kristen (Kahfie Nazaruddin, 2015:1-2).

Sedangkan sebuah tanda didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat digunakan untuk memaknai sesuatu yang lain. Simbol dari prespektif Saussurean adalah jenis tanda di mana hubungan antara penanda dan petanda seakan-akan bersifat arbitrer. Suatu simbol dari perspektif kita adalah sesuatu yang memiliki signifikasi dan resonansi kebudayaan. Simbol tersebut memiliki kemampuan untuk mempengaruhi dan memiliki makna yang mendalam. Simbol keagamaan selalu berada pada puncak gunung dari peristiwa bersejarah, legenda-legenda dan sebagainya juga memiliki kekuatan untuk mengarahkan pikiran dari sebagian besar. Karena itu simbol-simbol dapat membantu untuk tanggap terhadap sesuatu.

Simbol-simbol membantu kita mempertajam tingkah laku dan prestasi kebudayaan, dalam pembahasan (Arthur Asa Berger, 2010:28).

1.4.4. Pawang Hujan

Pawang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang yang mempunyai keahlian istimewa yang berkaitan dengan ilmu gaib, seperti dukun, mualim perahu, pemburu buaya. Dengan demikian pawang hujan adalah orang yang memiliki keahlian untuk menolak atau memindahkan hujan, jasa pawang hujan biasanya digunakan pada acara-acara tertentu.

16

Universitas Sumatera Utara

Pengertian lain dari pawang menurut Th. Fischer (1957:166) adalah orang yang mendapat kehormatan umum sebagai perantara yang kira-kira resmi diakui atau ahli dilapangan religius dan magis, berpaling kepada kekuatan gaib dengan menyembah atau dengan alat yang bersifat magis, dalam mengabdi kepada perseorangan atau masyarakat.

Adanya seorang pawang disebabkan oleh sesuatu yang tergantung dengan keadaan alamnya, yang dimaksud dengan tergantung oleh alam yaitu seperti di daerah pegunungan yang mana banyak terdapat ular-ular liar maka dengan begitu alam memerlukan adanya seorang pawang ular yang dapat menjinakkan serta menangkap ular tanpa menyebabkan dampak negatif. Dengan begitu adanya seorang pawang hujan di Indonesia dikarenakan Indonesia hanya memiliki dua musim yaitu panas dan hujan. Keadaan alam pada musim hujan di Indonesia yang menyebabkan sangat diperlukannya seorang pawang hujan yang dapat menangkal turunnya hujan. Maka dari itu adanya seorang pawang dikarenakan melihat dengan keadaan alam tersebut.

Ritual pawang hujan pada suku karo memiliki nama tersendiri yang biasa di kenal dengan natang wari. Sedangkan penyebutan kepada pawang hujannya disebut oleh masyarakat Suku Karo Kec. Tanjung Langkat dengan guru si natang wari. Pengertian pawang hujan menurut suku Karo sendiri ialah mereka menyebutkannya sebagai orang yang memiliki kekuatan gaib yang dapat berkomunikasi dengan leluhur untuk membenteng turunnya hujan pada saat adanya sebuah acara tertentu. Hujan menurut suku karo diartikan bahwa leluhur mereka bersedih bahkan menangis dikarenakan tidak mendapatkan sesajen dari seseorang yang melaksanakan sebuah acara pernikahan. Cara yang mereka

17

Universitas Sumatera Utara

lakukan agar tidak turunnya hujan, mereka melakukan sebuah ritual pawang hujan pada saat sebelum acara berlangsung. Pawang hujan Di Kel. Tanjung Langkat,

Kec. Salapian, Kab. Langkat hanya dapat memberi jasa sebagai pawang hujan untuk membenteng hujan saja, dan tidak dapat menjadi pawang hujan untuk mendatangkan hujan.

Jasa pawang hujan yang menimbulkan sebuah komodifikasi yang memiliki arti sebuah pertukaran jasa, barang, serta gagasan yang menjadi objek yang memiliki nilai ekonomi. Maksudnya yaitu, dengan adanya jasa pawang hujan tersebut, dengan jasa menjadi pawang hujan akan dipertukarkan menjadi sebuah bayaran yang bernilai rupiah.

Penelitian terdahulu oleh beberapa peneliti sebelumnya yang pernah penulis baca dilakukan oleh Sintia Kurni (2017) yang membahas tentang kepercayaan masyarakat terhadaap ritual memindahkan hujan di Kecamatan

Tualang Kabupaten Siak. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa kepercayaan masyarakat sangat didukung oleh peranan dari pawang hujan di dalam kegiatan sosial masyarakat. Menurut J.G. Frazer sebuah persoalan yang tidak dapat diselesaikan dengan rasionalitas dipecahkan melalui magic atau magi. Magi didefenisikan sebagai tindakan manusia untuk memecahkan persoalan hidup, dan untuk mencapai suatu maksud melalui kekuatan-kekuatan supranatural yang ada di alam. Bagi Frazer, magi menjadi sains bagi masyarakata primitive. Magi dibangun diatas asumsi bahwa setelah sesuatu ritual dilakukan dengan benar, maka pengaruh alaminya pasti terjadi seperti yang telah ditetapkan. Magi menetapkan hukum-hukum impersonal, tetap dan universal. Jika ritual pawang hujan dilakukan secara benar, maka hujan benar-benar tidak akan turun. Dengan

18

Universitas Sumatera Utara

begitu masyarakat Kecamatan Tualang Kabupaten Siak mempercayainya, serta ritual pawang hujan tersebut menjadi turun temurun dilaksanakan oleh masyarakat.

Pawang hujan dalam melakukan ritualnya menggunakan cara metafisik, yang terkadang sulit bagi kita untuk mencernanya dengan akal sehat. Jasa pawang hujan dinilai mujarab dikarenakan sudah banyak yang memakai jasa pawang hujan ini berhasil dan muncul anggapan dibenak masyarakat bahwa ritual pawang hujan ini sangat membantu untuk keberlangsungan acara mereka dengan baik tanpa gangguan apapun.

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Nurfitriyanti (2012) yang membahas tentang kepercayaan masyarakat terhadap pawang hujan di Desa Kedaburapat ditinjau dari aqidah islam. hasil pembahasan ini menjelaskan bahwa dalam ilmu gaib sering terdapat konsepsi-konsepsi dan ajaran-ajaran, ilmu gaib juga memiliki kelompok manusia yang yakin dan menjalankan ilmu gaib untuk mencapai suatu tujuan dan maksudnya. Tata cara ritual pawang hujan yang dilakukan oleh pawang hujang, di dalamnya jelas terlihat unsur gaib, maka jelaslah bahwa pawang hujan ini bertentangan dengan ajaran islam. Masyarakat memandang pawang hujan sebagai tradisi budaya yang merupakan suatu ritual wajar sebagaimana sering dilakukan juga oleh masyarakat lain dan sudah diwarisi sejak lama dari nenek moyang terdahulu.

Dalam pembahasan ini menjelaskan bahwa pawang hujan bukanlah menolak hujan, melainkan memindahkan guyuran air hujan ke tempat lain, seperti gunung, lembah laut, atau hutan. Pemohonan meminta kepada sang pencipta agar

19

Universitas Sumatera Utara

hujan tidak diturunkan di tempat mereka. Dengan alasan akan ada suatu hajat atau dikhawatirkan mendatangkan mudarat. Dapat percaya atau tidak, pawang hujan mampu meneyelesaikan masalah itu. Namun, banyak juga yang tidak mau melakukannya, karena mereka yakin, menolak hujan sama artinya dengan menolak rahmat Allah Swt. Masyarakat Desa Kudaburapat kurang memahami aqidah islam yang sesungguhnya, sehingga pelaksanaan pawang hujan yang dipercayai oleh Masyarakat Desa Kudaburapat dianggap biasa-biasa walau bertentangan dengan aqidah islam.

Ritual pawang hujan bermakna sebuah proses dalam menangkal turunnya hujan pada saat hari-hari tertentu, seperti acara pernikahan dan syukuran. Dengan begitu pengguna jasa mencari atau memberi tawaran kepada jasa pawang hujan untuk penangkal hujan tersebut. Ritual pawang hujan sudah lama dilaksanakan oleh masyarakat Karo di Kelurahan Tanjung Langkat, Kecamatan Salapian,

Kabupaten Langkat. Ritual pawang hujan ini sangat memiliki pengaruh bagi masyarakat Karo dalam sebuah acara-acara tertentu guna untuk kelancaran berlangsungnya acara tanpa ada halangan seperti turunnya hujan. Hujan bagi para petani memiliki sebuah anugrah, karena dengan turunnya hujan tanaman-tanaman pun akan tumbuh subur dan tidak kekeringan. Berbeda dalam sebuah acara pernikahan, peristiwa turunnya hujan dianggap sebuah halangan, karena dengan turunnya hujan tersebut menyebabkan acara pernikahan tidak berjalan lancar seperti para tamu sedikit yang berhadir.

20

Universitas Sumatera Utara

1.5. Metode Penelitian

1.5.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Tanjung Langkat, Kecamatan

Salapian, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Pemilihan lokasi penelitian ini dikarenakan kelurahan tanjung langkat tersebut yang mana suku

Karo nya memiliki kebudayaan yang kental, dan masih mempercayai sebuah ritual pawang hujan. Jarak tempuh dari kediaman saya menuju lokasi penelitian selama

1 ½ jam perjalanan menggunakan sepeda motor.

1.5.2. Tipe dan Pendekatan Penelitian

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu berupa metode penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif. Metode kualitatif berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi tingkah laku manusia dalam situasi tertentu menurut perspektif. Peneliti memilih pendekatan deskriptif karena penelitian yang bersifat deskriptif memiliki tujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu di dalam masyarakat. Adapun pendapat dari Moleong (2006: 3) mengatakan “penelitian kualitatif berarti prosedur penelitian yang menghasilkan data kualitatif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari perilaku orang-orang yang diamati”. Penelitian kualitatif didasarkan pada tradisi metodologi penelitian dengan cara menyelidiki masalah sosial atau kemanusiaan.

1.5.3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data sesuai dengan permasalahan yang diteliti dimana peneliti bertindak sebagai instrumen utama (key instrument) yang menyatu dengan

21

Universitas Sumatera Utara

sumber data dalam situasi yang alamiah (natural setting). Adapun teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan dan dibutuhkan di lapangan seperti berasal dari sumber data. Sumber data tersebut dalam sebuah penulisan ilmiah dapat dibagi menjadi dua, yaitu data sekunder dan data primer.

Data Sekunder, teknik pengumpulan data sekunder diperoleh melalui media perantara, atau secara tidak langsung data yang berkaitan dengan objek penelitian namun bukan dari penelitian di lapangan berupa bahan bacaan yang berkaitan dengan penelitian seperti buku, surat kabar, internet, jurnal, tulisan-tulisan ilmiah, serta dokumen-dokumen terkait. Berikut sumber data sekunder dalam penelitian ini yaitu:

1. Data Kecamatan dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kelurahan Tanjung

Langkat, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat yang ada di Kantor

Kecamatan.

2. Hasil-hasil studi tentang ritual pawang hujan dan juga makna simbolik di

dalam sebuah ritual yang bersumber dari situs internet.

3. Buku-buku bacaan yang berkaitan dengan topik penelitian sebagai

landasan teoritis penelitian

Data primer, teknik pengumpulan data primer tersebut dilakukan dengan teknik wawancara dan observasi. Penulis juga akan melakukan penulisan harian data yang rutin di dalam fieldnote. Alat bantu yang digunakan antara lain, kamera handphone untuk mengambil dokumentasi, alat tulis untuk mencatat hal-hal yang penting, dan juga voice recorder untuk mengantisipasi kekurangan penulis dalam menangkap apa-apa yang disampaikan oleh informan serta aktor-aktor sosial yang terlibat.

22

Universitas Sumatera Utara

 Wawancara

Wawancara merupakan bagian dari metode pengumpulan data primer dalam penelitian kualitatif. Wawancara merupakan alat pemeriksaan ulang atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya.

Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam (in-depth interview). Kegunaan dari teknik wawancara tersebut yaitu dapat menggali informasi yang lengkap dan mendalam mengenai pengetahuan pandangan informan mengenai masalah, dan informasi yang didapatkan lebih detail.

Wawancara mendalam sering digunakan dalam penelitian kualitatif dan sebagai metode utama dalam melakukan penelitian. Dimana peneliti berusaha menggali informasi sedalam-dalamnya dari informan, dilakukan secara berulang-ulang untuk mendapatkan data yang lebih lengkap dan lebih akurat. Wawancara juga memiliki pedoman pada interview guide yang digunakan saat penelitian dan melakukan wawancara.

Informan yang dapat diwawancara antara lain, informan pangkal, informan kunci, informan biasa. Informan pangkal yaitu tokoh pertama yang kita jumpain dan memberi petunjuk kepada kita siapa tokoh yang dapat mengetahui segalanya mengenai topik yang kita ambil. Tokoh yang menjadi informan kunci adalah pawang hujan, tokoh-tokoh masyarakat yang tau tentang ritual pawang hujan, dan informan biasa adalah masyarakat yang menggunakan jasa pawang hujan. Dalam penelitian ini, ada 12 informan yang penulis wawancarai dalam pengumpulan data. Dengan rincian 1 orang informan pangkal yang penulis jumpai pertama sekali dan dapat memberikan informasi kepada penulis mengenai kepada pawang hujan mana yang cocok untuk menjadi informan kunci, 3 orang informan kunci

23

Universitas Sumatera Utara

tidak lain adalah pawang hujan yang beragama Islam, 5 orang masyarakat pengguna jasa pawang hujan, 2 orang tokoh agama, dan 1 orang kerabat pengguna jasa yang membantu dalam proses ritual pawang hujan. Daftar nama informan disajikan pada Tabel 1. berikut ini :

Tabel 1. Daftar Nama Informan

No. Nama Jenis Kelamin Keterangan

1. Nur Lela Surbakti (52 tahun) Perempuan Informan Pangkal 2. Uli Surbakti (55 tahun) Perempuan pawang hujan 3. Harapen Sembiring (54tahun) Laki-laki pawang hujan 4 Endang Sitepu (62 tahun) Laki-laki pawang hujan (bolang Tepu) 5. Ratna Sembiring (32 tahun) Perempuan Pengguna Jasa 6. Mila Surbakti (27 tahun) Perempuan Pengguna Jasa 7. Srilina Ginting (55 tahun) Perempuan Pengguna Jasa 8. Sokor Surbakti (52 tahun) Laki-laki Pengguna Jasa 9. Buah Barus (40 tahun) Laki-laki Pengguna Jasa 10. Marlis Safriuddin (61 tahun) Laki-laki Tokoh Agama (ustadz) 11. Mamud (55) Laki-laki Tokoh Agama (imam masjid) 12. Ahmadyani Sitepu (34 tahun) Laki-laki Kerabat pengguna Jasa (berperan membantu memberi sesajen kepada pawang)  Observasi

Sebuah pengamatan salah satu teknik dalam pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian. Dalam observasi tersebut kita dapat menemukan hal- hal yang sedianya tidak akan terungkap oleh informan dalam wawancara.

Observasi pengamatan terhadap suatu fenomenal berupa peristiwa, tingkah laku, serta artefak. Melalui observasi atau pengamatan lapangan, kita juga dapat memperoleh kesan-kesan pribadi, dan merasakan suasana atau situasi sosial yang kita teliti.

24

Universitas Sumatera Utara

Dalam penelitian ini yang akan diobservasi adalah bagaimana kegiatan proses ritual pawang hujan berlangsung, melihat bagaimana cara kerja pawang hujan dalam melakukan ritual, serta melihat sebuah peristiwa atau kejadian yang terjadi saat proses tarian gendang silengguri. Peristiwa bisa terjadi pada pawang, pengguna jasa, dan para tamu yang ikut menyaksikan proses tarian gendang silengguri. Alasan mengapa hal tersebut diobservasi, dikarena agar mengetahui apa, bagaimana, dan mengapa itu dapat terjadi dalam sebuah ritual pawang hujan.

Agar menghasilkan data yang baik untuk sebuah hasil penelitian.

1.6. Pengalaman Penelitian

Pelaksanaan penelitian untuk penulisan skripsi yang dimulai setelah proposal penelitian penulis diterima dan disetujui oleh dosen pembimbing dan

Departemen. Berawal dari penulis melihat sebuah ritual baru yang terdapat saat sebelum acara pernikahan berlangsung pada Suku Karo di Kel. Tanjung Langkat.

Kemudian penulis memasukkan ritual tersebut kedalam beberapa judul yang sudah penulis catat. Penulis juga dibantu oleh teman untuk memilih salah satu judul yang ingin penulis ajukan untuk disetujui oleh Departemen. Sebelumnya penulis juga susdah mengajukan judul kepada Departemen, tetapi ditolak dan kemudian penulis mengajukan judul lainnya. Sebelum mengajukan judul, penulis mulai mencari referensi di berbagai buku dan jurnal yang berkaitan dengan judul yang ingin penulis ajukan. Ketika referensi sudah memenuhi, penulis kemudian mengajukan judul lagi kepada ketua Departemen. Pada saat itu juga judul skripsi penulis diterima dan disetujui. Hari itu juga penulis mengabari dan menanyakan jadwal bimbingan pertama penulis kepada dosen pembimbing yaitu bapak Lister

Berutu.

25

Universitas Sumatera Utara

Dosen pembimbing penulis menganjurkan penulis untuk menyelesaikan sebuah proposal penelitian berdasarkan judul yang sudah disetujui tersebut.

Proposal penelitian tersebut penulis selesaikan selama 1 bulan setengah, kemudian penulis mengabari dosen pembimbing untuk menanyakan jadwal bimbingan proposal penelitian. Proses revisi proposal penelitian penulis mengalami 2 kali perbaikan dan akhirnya di acc oleh dosen pembimbing. Setelah mendapatkan acc bersetujuan proposal penelitian tersebut, berkelang selama 1 bulan barulah penulis melakukan penelitian lapangan. Proses penelitian lapangan oleh penulis tepatnya pada masa pandemi covid-19 mula-mula muncul di Indonesia, tetapi tepatnya di wilayah penelitian penulis belum separah saat-saat ini. Keadaan tersebut masih dikatakan masih belum diwajibkannya menggunakan masker, dan menjaga jarak.

Penelitian lapangan pertama penulis lakukan pada 12 Maret 2020.

Penelitian ke Kelurahan Tanjung Langkat, Kecamatan Salapian, Kabupaten

Langkat. Penelitian tersebut penulis lakukan setelah penulis menjumpai seorang yang dapat memberi tahu informasi kepada penulis, siapa pawang yang dapat penulis jadikan informan penulis. Perjalanan menuju lokasi penelitian penulis lakukan bersama ibu dan informan utama penulis, kami pergi mengendarai sebuah angkot. Keberangkatan kami dari rumah (Binjai) mulai pukul 10.00. Sesampai di lokasi penelitian kami langsung menuju ke rumah pawang hujan yang ditujukan oleh informan awal penulis. Sesampai di rumah pawang hujan, penulis memperkenalkan diri kepada pawang hujan dan meminta kesediakan waktu pawang agar dapat penulis wawancarai. Pawang hujan tersebut bernama ibu Uli

Surbakti. Kemudian pawang bersedia untuk penulis wawancarai, dan proses wawancara pun dimulai.

26

Universitas Sumatera Utara

Pada hari itu juga tepatnya ada pengguna jasa datang ke rumah pawang hujan untuk memberikan tawaran menjadi pawang hujan di pernikahan adiknya.

Proses wawancara pun berhenti sejenak, penulis pun mengambil gambar pengguna jasa dan pawang hujan. Setelah selesai proses penawaran jasa pawang hujan, penulis merasa senang dikarenakan penulis dapat menyaksikan ritual pawang hujan secara langsung lagi dan dapat mengambil dokumentasi langsung dari kamera handpone penulis. Penulis pun bertanya kepada pawang hujan mengenai tanggal berapa pengguna jasa tersebut melaksanakan ritual pawang hujan. Pawang hujan mengatakan bahwa tanggal pelaksanaan ritual pawang hujan dilakukan pada pertengan bulan Mei 2020, penulis meminta izin ke pawang hujan untuk dapat menyaksikan ritual secara langsung serta mengambil dokumentasinya.

Kemudian penulis pun melanjutkan wawancara kepada pawang hujan mengenai proses pelaksanaan ritual, media alat dan bahan apa saja yang digunakan, dan berbagai tanggapan-tanggapan pawang mengenai ritual pawang hujan. Tak lupa penulis menanyakan kepada pawang hujan siapa lagi pawang hujan di daerah tersebut, dan penulis meminta alamat pawang hujan berikutnya.

Setelah wawancara berjalan lancar selama 2 jam, kami pun pamit dari rumah pawang hujan, dan kami pun mendatangi rumah kerabat dari informan awal penulis. Penulis memperkenalkan diri serta memberi tau tujuan penulis, kemudian penulis meminta izin kepadanya untuk dapat tinggal di rumahnya selama 2 malam. Penulis dan ibu penulis pun akhirnya menginap di rumah kerabat informan awal yang mana rumahnya tidak jauh dari rumah pawang hujan ibu Uli

Surbakti.

27

Universitas Sumatera Utara

Keesokkan harinya saya mendatangi rumah ibu Uli Surbakti lagi sambil menanyakan kembali hal-hal yang saya rasa kurang dimengerti. Selesai dari ibu

Uli Surbakti, penulis mencari informan lainnya tepatnya masyarakat setempat pengguna jasa pawang hujan. Pada tanggal 18 Maret 2020 penulis kembali kelapangan untuk mewawancari pawang hujan Endang Sitepu (bolang Tepu) untuk mewawancarai tentang ritual pawang hujan tersebut. Pawang hujan ke tiga yang akan penulis wawancarai yaitu Harapen Sembiring pada tanggal 21 Maret

2020. Sama halnya penulis juga menanyakan mengenai ritual pawang hujan serta makna dari simbol-simbol yang ada pada ritual pawang hujan.

Keadaan di akhir bulan Maret sudah mulai penganjuran pemakaian masker, jaga jarak, serta dilarangnya keluar dari wilayah kediaman dan juga dilarangnya untuk memasuki wilayah lainnya. Keadaan tersebut disebabkan oleh pandemi covid-19 yang menyebabkan tertundanya penyelesaian penulisan skripsi penulis. Ketertundaan tersebut menyebabkan penulis harus berhenti dulu untuk ke lapangan mencari informan lainnya, serta penulis tidak memiliki kesempatan untuk menyaksikan secara langsung lagi proses ritual pawang hujan serta pengambilan dokumentasi. Maka dari itu penulisan skripsi penulis mengalami ketertundaan yang dapat dikatakan begitu lama, tetapi akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi tersebut walau banyak kendala yang penulis rasakan, tetapi penulis tetap berusaha dan selalu bersemangat untuk menyelesaikan skripsi ini walaupun perlahan demi perlahan.

28

Universitas Sumatera Utara BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1. Lokasi dan Keadaan Alam

Kelurahan Tanjung Langkat adalah salah satu Kelurahan dari 17

Kelurahan di Kecamatan Salapian. Kecamatan Salapian merupakan salah satu dari

23 Kecamatan, 37 kelurahan, dan 240 desa yang berada di Kabupaten Langkat.

Luas wilayah Kecamatan Salapian yaitu 22173 Ha (221,73 Km²). Dengan jumlah penduduk 27.516 jiwa dan jumlah Kepala Keluarga 6.689 KK dari tujuh belas

(XVII) Kelurahan. Secara administratif Kecamatan Salapian memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:

- Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kecamatan Serapit

- Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kecamatan Kutambaru

- Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kecamatan Kuala

- Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kecamatan Bahorok2

Kecamatan Salapian terletak antara, Litang Utara: 03º15ʼ38ˮ-03º36ʼ48ˮ dan Bujur

Timur: 98º14’17”-98º22’24”, ketinggian di Atas Permukaan Laut yaitu 88 meter.

2 BPS Kecamatan Salapian Dalam Angka 2018

29

Universitas Sumatera Utara

Gambar 1. Peta Kecamatan Salapian.

Kelurahan Tanjung Langkat terletak di Kecamatan Salapian Kabupaten

Langkat yang merupakan salah satu Kelurahan dari tujuh belas (XVII) Kelurahan yang ada di Kecamatan Salapian. Total luas wilayah yang dimiliki Kelurahan

Tanjung Langkat adalah ± 5,20 Km² dengan jumlah penduduk 3.648 jiwa dan jumlah Kepala Keluarga 889 KK dari Enam (VI) lingkungan. Kelurahan Tanjung

Langkat merupakan Kelurahan urutan kedua yang paling padat penduduknya dan

Kelurahan Perk Tambunan merupakan Kelurahan dengan kepadatan penduduk terkecil. Kelurahan Tanjung Langkat berlokasi di Jalan Merdeka No.12

Kecamatan Salapian Kabupaten langkat. Adapun batas-batas wilayah Kelurahan

Tanjung Langkat adalah :

- Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kelurahan Pancor Ido

- Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kelurahan Glugur Langkat

- Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kelurahan Ujung Teran

30

Universitas Sumatera Utara

- Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kelurahan Bandar Telu

Kelurahan Tanjung Langkat termasuk kelurahan yang dapat dikatakan nyaman, sejuk karena terlihat masih banyak terdapat pepohonan seperti kebun karet, sawit, dan kebun durian yang terdapat di dekat pemukiman warga dan sepanjang jalan untuk menuju Kelurahan Tnjung Langkat tersebut. selain pepohonan di daerah Kelurahan Tanjung Langkat juga terdapat sungai-sungai yang masih bersih aliran airnya. Penulis menikmati suasana dan pemandangan yang sejuk di karenakan sepanjang jalan juga banyak terdapat perkebunan masyarakat yang ditanami dengan tumbuhan seperti seperti cabai, sayuran, terong, tumbuhan obat dan lainnya. Kelurahan Tanjung Langkat dikenal dengan hasil buah duriannya yang enak dan pahit.

Untuk mencapai lokasi penelitian dengan melintasi jalan aspal yang dapat dikatakan jalannya sudah baik, jalan menuju lokasi penelitian sudah dapat dilintasi berbagai kendaraan darat seperti, kendaraan roda dua, kendaraan roda tiga, dan kendaraan roda empat. Jarak untuk menempuh antara Kota Binjai ke Kelurahan

Tanjung Langkat sekitar 37 km dan untuk menuju Kelurahan Tanjung Langkat ini menghabiskan waktu sekitar 90 menit dari Kota Binjai. Di sekeliling jalan menuju lokasi penelitian Kelurahan Tanjung Langkat banyak terdapat warung- warung, kedai kopi, dan kedai tuak. Di sepanjang perjalanan, pukul 09.00 pagi tampak para warga yang bertani di kebun di kawasan Tanjung langkat ini.

Terlihat ada yang sedang mercocok tanam, ada yang hanya membersih-bersihkan kebun, dan ada yang memanen hasil tanamnya.

2.2. Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana sangat mempengaruhi perkembangan dan kemajuan masyarakat. Semakin baik sarana dan prasarana akan mempercepat laju pembangunan khususnya mempercepat laju perekonomian dari masyarakat

31

Universitas Sumatera Utara

setempat. Adapun sarana publik yang terdapat di Kelurahan Tanjung langkat,

Kecamatan Salapian berupa sarana peribadatan dan sarana kesehatan lainnya.

Keadaan sarana dan prasarana dari penduduk Kelurahan Tanjung Langkat disajikan pada Tabel 2. berikut ini :

Tabel 2. Sarana dan Prasarana Penduduk Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat Tahun 2018

No. Sarana dan Prasarana Jumlah (Unit)

1. SD 3 2. SLTP 3 3. SLTA 3 4. Puskesmas 1 5. Polindes 5 6. Posyandu 4 7. Apotek 4 8. Mesjid 2 9. Mushollah 2 10. Gereja 7 11. Kuil 1 12. Vihara 1 Jumlah 36

Sumber: BPS Kecamatan Salapian Dalam Angka 2018

Berdasarkan Tabel 2. dapat diketahui bahwa sarana dan prasarana

Kelurahan Tanjung Langkat, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat, jumlah sarana SD berjumlah 3 unit, jumlah sarana SLTP berjumlah 3 unit, jumlah sarana

SLTA berjumlah 3 unit, jumlah sarana Puskesmas berjumlah 1 unit, jumlah sarana

Polindes berjumlah 5 unit, jumlah sarana Posyandu berjumlah 4 unit, jumlah sarana Apotek berjumlah 4 unit, jumlah sarana Masjid berjumlah 2 unit, jumlah sarana Mushollah berjumlah 2 unit, jumlah sarana Gereja berjumlah 7 unit, jumlah sarana Kuil berjumlah 1 unit, dan jumlah sarana Vihara berjumlah 1 unit.

32

Universitas Sumatera Utara

Saranan dan prasarana juga membahas mengenai transportasi.

Transportasi yang digunakan untuk mencapai Kelurahan Tanjung Langkat hanya dapat menggunakan satu jalur perhubungan yaitu jalur darat. Penduduk Kelurahan

Tanjung Langkat biasa menggunakan kendaraan pribadi atau memakai jasa angkutan umum seperti angkot, dan becak motor untuk berpergian dari luar dan keluar Kelurahan. Kondisi jalan Kecamatan Salapian belum sepenuhnya baik, masih terdapat jalan dalam keadaan beraspal, berkerikil serta bertanah. Kondsi jalan Kecamatan Salapian tersebut dapat dilihat di tabel 3. Berikut:

Tabel 3. Panjang Jalan Menurut Jenis Permukaan Jalan Tahun 2017 (Km)

No. Permukaan Jalan Panjang Jalan

1. Beraspal 22,90 2. Kerikil 33,60 3. Batu - 4. Tanah 9,10 Jumlah 65,6

Sumber: BPS Kecamatan Salapian Dalam Angka 2018 Adapun orbitasi waktu dan jarak tempuh desa ini yang dapat dilihat dari penjelasan di bawah ini :

• Jarak dari Kelurahan ke Kecamatan dapat menempuh jarak sekitar 2,5 Km

dan menghabiskan waktu hanya + 7 menit

• Jarak dari Kelurahan ke Kabupaten menempuh jarak sekitar 30 Km dan

menghabiskan waktu + 72 menit

• Jarak dari Kelurahan ke Provinsi menempuh jarak sekitar 41 Km dan

menghabiskan waktu +1 ½ jam.

Angkutan yang biasa digunakan bernama angkot Kuala pengantaran sampai menuju simpang Laukambing Tanjung Langkat dengan ongkos sebesar

33

Universitas Sumatera Utara

Rp.12.000,-. Tiba di simpang Laukambing (simpang tiga), turun lalu dari situ menuju Kelurahan Tanjung Langkat dapat menggunakan becak motor yang sering mangkal di simpang tiga tersebut, dan juga dapat berjalan kaki. Hingga saat ini masyarakat tepatnya Kelurahan Tanjung Langkat masih banyak menggunakan angkutan umum tersebut.

2.3. Keadaan Penduduk

Jumlah penduduk Kecamatan Salapian pada tahun 2018 tercatat berjumlah

27.516 jiwa dan jumlah Kepala Keluarga 6.689 KK yang terdiri dari 13.833 jiwa laki-laki dan 13.683 jiwa perempuan. Berikut adalah data penduduk menurut kelompok umur disajikan pada Tabel 4. berikut ini:

Tabel 4. Data Penduduk Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat Menurut Kelompok Umur Tahun 2018

No. Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Jumlah

1. 00-04 1.327 1.341 2.668 2. 05-09 1.390 1.312 2.702 3. 10-14 1.281 1.233 2.514 4. 15-19 1.244 1.169 2.413 5. 20-24 1.148 1.076 2.224 6. 25-29 1.108 1.011 2.119 7. 30-34 1.032 1.016 2.048 8. 35-39 999 1.066 2.065 9. 40-44 921 1.019 1.940 10. 45-49 920 859 1.779 11. 50-54 814 802 1.616 12. 55-59 663 626 1.289 13. 60-64 392 444 836 14. 65-69 255 253 508 15. 70-74 173 208 381 16. 75 ≥ 166 248 414 Jumlah 13.833 13.683 27.516

Sumber: BPS Kecamatan Salapian Dalam Angka 2018

34

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan tabel 4. dapat diketahui bahwa jumlah usia produktif penduduk Kelurahan Salapian berada pada kisaran umur yaitu 15-19 tahun, 20-24 tahun, 25-29 tahun, 30-34 tahun, 35-39 tahun, 40-44 tahun, 45-49 tahun, 50-54 tahun, dan 55-59 tahun. Sedangkan kisaran umur lainnya bukan merupakan usia produktif. Maka jumlah penduduk dengan usia produktif lebih dominan dibanding penduduk bukan usia produktif. Sedangkan dari sisi keagamaan, diketahui bahwa penduduk Kecamatan Salapian menganut 4 agama yaitu agama Islam, Protestan,

Khatolik, dan Budha.

Terlihat dari sosial masyarakatnya, Kecamatan Salapian, Kabupaten

Langkat memiliki penduduk berbagai suku bangsa yang tinggal di Kecamatan

Salapian, Kabupaten Langkat. Berikut adalah data penduduk berdasarkan suku bangsanya, disajikan pada Tabel 5. berikut ini:

Tabel 5. Komposisi Penduduk Menurut Suku Bangsa, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat Tahun 2018

No. Suku Bangsa Jumlah Jiwa Persentase

1. Jawa 15.464 Jiwa 56,2% 2. Karo 10.318 Jiwa 37,5% 3. Melayu 303 Jiwa 1,1% 4. Toba dan Simalungun 495 Jiwa 1,8% 5. Mandailing 193 Jiwa 0,7% 6. Lainnya 743 Jiwa 2,7% Jumlah 27.516 Jiwa 100%

Sumber : BPS Kecamatan Salapian Dalam Angka 2018

Berdasarkan tabel 5. dapat diketahui bahwa secara umum mayoritas masyarakat di Kecamatan Salapian adalah suku Jawa akan tetapi banyak juga suku-suku lain seperti suku Karo, suku Melayu, suku Batak Toba dan

Simalungun, suku mandailing, dan suku lainnya.

35

Universitas Sumatera Utara

Keadaan sosial mayarakat di Kecamatan Salapian, terlihat dari praktek hidup mereka baik dalam pergaulan sesama suku maupun dengan suku-suku bangsa lainnya yang berdomisili. Dengan adanya perbedaan agama dan kepercayaan dalam sebuah daerah, perbedaan tersebut tidak membuat mereka menjadi saling tidak menghargai. Perbedaan tersebut makin membuat sebuah terjalinya kerukunan dan hormat-menghormati antara sesama umat beragama.

Bukti dari tingkat penghayatan agama terhadap berbagai kehidupan masyarakat

Kecamatan Salapian terlihat dengan jelas. Hal ini jelas dilihat misalnya, ketika adanya pesta-pesta perkawinan maupun acara hajatan lainnya maka masyarakat dengan ringan tangan melakukan tolong menolong agar tercapainya sebuah acara tersebut dengan berjalan lancar.

Berikut ini adalah pembagian penduduk Kecamatan Salapian menurut agama yang dianut:

Tabel 6. Distribusi Penduduk Menurut Agama Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat Tahun 2018

No. Agama Yang di Anut Jumlah Persentase

1. Islam 22.398 Jiwa 81,4% 2. Protestan 3.770Jiwa 13,7% 3. Khatolik 440 Jiwa 1,6% 4. Budha 55 Jiwa 0,2% 5. Lainnya 853 Jiwa 3,1% Jumlah 27.516 Jiwa 100%

Sumber : BPS Kecamatan Salapian Dalam Angka 2018 Berdasarkan tabel 6. dapat diketahui bahwa secara umum mayoritas masyarakat di Kecamatan Salapian adalah beragama Islam. Di Kecamatan

Salapian, walaupun terdapat perbedaan agama atau kepercayaan serta jumlah

36

Universitas Sumatera Utara

pemeluknya tidak pernah menjadi penghalang bagi penduduk Kecamatan Salapian untuk saling hidup rukun dan damai baik di dalam keseharian mereka maupun dalam suatu acara tertentu.

2.4. Mata Pencaharian

Penduduk Kelurahan Tanjung Langkat, Kecamatan Salapian memiliki mata pencaharian yang beragam. Mata pencaharian penduduk kelurahan Tanjung

Langkat dominan adalah Pertanian. Pada Tabel 7. ini disajikan penduduk menurut pekerjaan di Kelurahan Tanjung Langkat.

Tabel 7. Distribusi Penduduk Kelurahan Tanjung Langkat, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat Menurut Mata Pencaharian Tahun 2018

No. Uraian Jumlah (Jiwa)

1. PNS Dan ABRI 85 2. Petani 2.311 3. Industri/Kerajinan 24 4. Pedagang 356 5. Angkutan 34 6. Buruh 318 7. Lain-lain 63 Jumlah 3.191

Sumber: BPS Kecamatan Salapian Dalam Angka 2018 Berdasarkan Tabel 7. diketahui bahwa mata pencaharian penduduk

Kelurahan Tanjung Langkat dominan berprofesi sebagai Petani sebanyak 2.311 jiwa. Dan urutan kedua mata pencaharian terbanyak berprofesi sebagai Pedagang sebanyak 356 jiwa.

2.4.1. Pertanian

Pertanian masih merupakan mata pencaharian yang menempati urutan teratas. Hal ini tidak terlepas dari keadaan alamnya, dimana sekitar 8.791 ha dari sekitar 22.173 ha luas Kecamatan Salapian digunakan sebagai lahan pertanian.

37

Universitas Sumatera Utara

Melihat kondisi tersebut pastilah digunakan untuk menanam berbagai bahan makanan pokok seperti padi, jagung, ubi dan sebaginya. Berikut merupakan rincian dari tabel luas panen dan jumlah produksi tanaman pangan. Data-data hasil produksi tanaman padi masyarakat Kecamatan Salapian dapat dilihat pada table 8. di bawah ini:

Tabel 8. Distribusi Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Padi dan Palawija Menurut Jenis Tanaman Tahun 2018

No. Jenis Tanaman Luas Panen Produksi Produktivitas (Ha) (Ton) (Kw/Ha) 1. Padi Sawah 450 2.668 59,29 2. Padi Ladang 50 147 29,40 3. Jagung 471 3.198 67,90 4. Ubi Kayu 33 964 292,12 5. Ubi Jalar 15 179 119,33 6. Kedelai - - - 7. Kacang Tanah 40 136 34,00 8. Kacang Hijau - - - Sumber Data : Dinas Pertanian Kabupaten Langkat Sub sektor tanaman bahan pangan mencakup tanaman padi dan palawija.

Untuk padi dan palawija tahun 2018 padi sawah memiliki luas panen 450 ha dengan produktivitas 59,29 kw/ha, padi ladang memiliki luas panen 50 ha dengan produktivitas 29,40 kw/ha, jagung memiliki luas panen 471 ha dengan produktivitas 67,90 kw/ha, ubi jalar memiliki luas panen 15 ha dengan produktivitas 119,33 kw/ha, dan kacang tanah memiliki luas panen 40 ha dengan produktivitas 34,00 kw/ha. Produktivitas paling tinggi adalah tanaman ubi kayu sebesar 292,12 kw/ha. Untuk tahun 2018 tidak ada tanaman kedelai dan kacang hijau.

Di Kecamatan Salapian juga terdapat sejumlah Perusahaan Industri yang juga masyarakat Kecamatan bekerja didalamnya. Perusahaan Industri tersebut

38

Universitas Sumatera Utara

tergolong kedalam industri besar, kecil dan industri rumah tangga. Untuk lebih jelasnya keterangan mengenai jumlah perusahaan industri dan jumlah tenaga kerja pada perusahaan tersebut akan dijelaskan pada tabel di bawah ini:

Tabel 9. Banyaknya Industri Dirinci Menurut Jenisnya di Kecamatan Salapian

No. Perusahaan Industri Jumlah (Unit)

1. Besar/Sedang 1 2. Kecil 2 3. Industri Rumah 2 Tangga Jumlah 5

Sumber : BPS Kecamatan Salapian Dalam Angka 2018 Selain tamanan padi dan palawija yang di tanam para petani di Kecamatan

Salapian ada juga tanaman keras perkebunan rakyat yang ditanam oleh para petani. Dapat kita lihat data dari table 10. di bawah ini.

Tabel 10. Luas Tanam, Produksi dan Produktivitas Tanaman Keras Perkebunan Rakyat Tahun 2018

No. Komoditas Belum Menghasi Tidak Jumlah Produksi Menghasi lkan Menghasi (Ton) lkan lkan 1. Karet 300 7.876 9 8.185 11.814,00 2. Kelapa sawit 120 3.461 18 3.479 6.229,80 3. Kakao 2 160 - 162 136,00 4. Kelapa 2 171 - 173 179,55 5. Kop - 7 - 7 4,90 i 6. Kayu Manis - 0,5 30,5 31 0,31 7. Pinang 2 41 - 43 33,19 8. Kemiri 1 40 - 41 42,00 9. Tebu - - - - - 10. Aren - 8 - 8 7,20 Sumber data : Dinas Perkebunan Kabupaten Langkat Berdasarkan tabel 10. di atas dapat disimpulkan bahwa produksi unggul terdapat pada tanaman karet dan kelapa sawit, berbeda dengan tanaman

39

Universitas Sumatera Utara

perkebunan lainnya. Perekonomian Kecamatan Salapian juga dibantu dari hasil perdagangan yang dilakukan oleh masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari hasil data mata pencarian masyarakat Kecamatan Salapian. Masyarakat mendagangkan hasil tanaman padi dan tanaman perkebunannya kepada orang dalam daerah maupun luar daerah mereka. Cara mereka mendagangkan hasil tanamannya seperti tanaman padi dan tanaman perkebunan dengan cara tidak menjajakan hasil tanamannya melainkan, pembeli dari luar daerah yang datang langsung di kediaman mereka.

Dengan demikian hasil produksi tanaman lainnya seperti sayuran, kacang, ubi dan jagung dari Kecamatan Salapian juga dipasarkan ke wilayah lainnya misalnya ke daerah Kuala hingga Binjai. Perjalanan ditempuh melewati jalur darat dan kondisi jalan pada sekarang ini sudah dapat dikatakan sangat lebih baik dari pada sebelumnya. Pada tahun 2015 kebawah kondisi jalan Kecamatan Salapian dikatakan kurang baik karena kondisi jalannya masih tanah bebatuan.

2.5. Curah Hujan

Pengertian sebuah hujan dilihat melalui sebuah pengetahuan sains, hujan adalah sebuah presipitasi yang berwujud cair, berbeda dengan es dan salju. Hujan memerlukan keberadaan lapisan atmosfer tebal agar dapat menemui suhu di atas titik leleh es di dekat dan juga berasa di atas permukaan Bumi. Sedangkan proses kondensasi uap air di atmosfer butir air yang cukup berat untuk jatuh dan biasanya tiba di daratan. Panas matahari dapat membuat air laut/danau menguap, uap air terkumpul di udara dalam bentuk awan, awan yang terbentuk menjadi semakin besar, lalu butiran-butiran air akan jatuh dan terjadilah hujan.

40

Universitas Sumatera Utara

Dalam pengetahuan mitologis yang dipercaya oleh suku Karo di

Kelurahan Tanjung Langkat, hujan menurut pawang dan menurut masyarakat adalah bahwa leluhur sedang dalam keadaan bersedih bahkan menangis dikarenakan tidak mendapatkan sesajen dari seseorang yang melaksanakan sebuah acara pernikahan, dan mereka tidak mengingat serta tidak meminta izin kepada leluhur. Hal tersebut dipercaya bahwa leluhur adalah makhluk yang sudah meninggal bertahun-tahun lamanya yang memiliki ikatan keturunan dengan mereka, tetapi leluhur tersebut dipercaya masih berada di sekeliling mereka, dan dapat membantu mereka dalam membenteng turunnya hujan. Maka dari itu leluhur harus selalu dihormati dan ketika ingin melaksanakan sebuah acara pernikahan sebaiknya orang tersebut meminta izin dan mengingat serta memberikan sesajen kepada luluhur agar leluhur tidak bersedih yang menyebabkan turunnya hujan.

Dengan begitu mereka melakukan cara agar tidak turunnya hujan, mereka melakukan sebuah ritual pawang hujan pada saat sebelum acara berlangsung.

Hujan memiliki kaitannya dengan simbol seperti dalam sebuah ritual pawang hujan, agar leluhur tidak bersedih bahkan menangis yang menyebabkan turunnya hujan, maka itu mereka melaksanakan sebuah ritual pawang hujan. Dalam ritual pawang hujan memiliki sebuah simbol yang terdapat pada sesajen. Sesajen sebagai makanan leluhur menyimbolkkan bahwa adanya sebuah persembahan leluhur agar tidak terjadi turunnya hujan.

41

Universitas Sumatera Utara

2.6. Gambaran Umum Masyarakat Karo di Kel. Tanjung Langkat, Kec.

Salapian

Suku Karo mendiami beberapa daerah yang meliputi Kabupaten Karo,

Kabupaten Langkat, Kabupaten Deli Serdang, dan Kabupaten Dairi, semuanya berada di Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan wilayah geografis, sebagian besar masyarakat Karo mendiami daerah Kabupaten Karo (meliputi Kabupaten Karo dan sekitarnya) dan Kabupaten Langkat. Masyarakat Karo yang mendiami

Kabupaten Karo sering disebut sebagai karo gugung yang artinya masyarakat

Karo yang mendiami dataran tinggi (pegunungan), dan masyarakat Karo yang mendiami Kabupaten Langkat disebut sebagai karo jahe yang artinya sebagai masyarakat Karo yang mendiami dataran rendah wilayah Langkat, Deli Serdang,

Kota Binjai, Medan, dan sekitarnya. Masyarakat Karo di Kel. Tanjung Langkat,

Kec. Salapian yang menjadi lokasi penelitian penulis, termasuk ke dalam sebutan karo jahe, dikarenakan mendiami Kabupaten Langkat pada dataran rendah.

Komunitas suku Karo Jahe yang bermukim di daerah Langkat, mereka hidup diantara budaya Melayu, sehingga beberapa tradisi mereka terpengaruh dengan budaya tersebut. Walaupun demikian mereka tetap mempertahankan tradisi dan identitas mereka sebagai suku Karo. Terdapat perbedaan bahasa pada suku Karo Gugung dan Karo Jahe. Bahasa dan dialek suku Karo Jahe sedikit terpengaruh oleh bahasa dan dialek melayu, sehingga berbeda dengan bahasa dan dialek suku Karo Gugung (Repilita Br. Barus, 2014).

Secara umum mayoritas masyarakat Suku Karo di Kel. Tanjung Langkat,

Kec. Salapian (lokasi penelitian penulis) adalah suku Jawa, akan tetapi ada juga

42

Universitas Sumatera Utara

suku-suku lain seperti suku Karo, suku Melayu, suku Batak Toba dan

Simalungun, suku mandailing, dan suku lainnya.

Sebagian besar masyarakatnya memeluk agama Islam, karena terpengaruh dengan masyarakat Melayu di Langkat yang memeluk agama Islam, sedangkan sebagian kecil masyarakatnya memeluk agama Kristen Protestan dan Katolik.

Masyarakat suku Karo di Kel. Tanjung Langkat, Kec. Salapian terdiri dari beragama islam dan juga beragama kristen. Walaupun terdapat perbedaan agama atau kepercayaan pada masyarakat Karo muslim dan non-muslim juga pada suku lainnya, hal itu tidak menjadi penghalang mereka untuk saling hidup rukun dan damai baik di dalam keseharian mereka maupun dalam suatu acara tertentu.

Masyarakat suku Karo di Kel. Tanjung Langkat mengerti untuk saling menghargai agama dan suku yang berbeda pada mereka.

Terlihat dari hasil observasi penulis saat berada di lokasi penelitian, dalam sebuah acara pernikahan suku Karo, terlihat bahwa suku lainnya seperti suku

Jawa, Batak Toba, Mandailing juga ikut hadir membantu berjalannya acara tersebut. Begitu juga sebaliknya seperti yang dikatakan oleh informan penulis jika ada sebuah acara pernikahan pada masyarakat suku Jawa di Kel. Tanjung Langkat mereka yang bersuku Karo, Melayu, dan Mandailing juga ikut hadir membantu berjalannya acara tersebut seperti membantu pada bagian dapur seperti menyiangi sayuran, mencuci piring, memasak nasi, dan sebagainya.

Kehidupan sehari-hari masyarakat Karo di Kel. Tanjung Langkat, Kec.

Salapian sebagian besar adalah petani (berladang). Mereka bertani ada yang melakukannya di lahannya sendiri dan ada juga yang bertani di lahan orang lain untuk mendapat upah. Bertani yang dilakukan seperti menanam sayur-sayuran,

43

Universitas Sumatera Utara cabe, dan umbi-umbian. Hasil tanaman mereka gunakan untuk kebutuhan sendiri dan ada juga yang mereka jual kepada pedagang, seperti hasil tanaman daun ubi dan umbi-umbian. Hasil penjualan tersebut mereka gunakan untuk kebutuhan dapur dan disisikan untuk keperluan sekolah anak.

Masyarakat suku Karo di Kel. Tanjung Langkat sangat melekat dengan kebudayaan khususnya dalam bidang kesenian, salah satunya seni musik. Seni musik adalah salah satu kesenian yang sangat melekat pada kehidupan masyarakat

Suku Karo. Bagi masyarakat Karo, musik digunakan dalam setiap kegiatan yang berkaitan dengan segala aktifitas yang mereka lakukan, misalnya dalam acara adat, hiburan dan pertunjukan. Adapun beberapa kegiatan yang dilaksanakan pada masyarakat Karo yang menggunakan musik yaitu, upacara Erdemu Bayu

(perkawinan), upacara kematian, pesta panen, upacara Mengket Rumah Mbaru

(meresmikan rumah baru), upacara Natang Wari (membenteng hujan), dan sebagainya.

44

Universitas Sumatera Utara

BAB III

RITUAL PAWANG HUJAN SUKU KARO DI KEL. TANJUNG LANGKAT

3.1. Sejarah Adanya Ritual Pawang Hujan

Sejarahnya berawal dari dahulu terdapat masyarakat yang membuat sebuah hajatan, dimana saat melakukan hajatan, tepat disaat turunnya hujan yang tak kunjung berhenti. Mereka yang melakukan hajatan pun merasa kebingungan dengan keadaan hujan tidak kunjung berhenti sehingga menyebabkan acara hajatan tidak berjalan dengan lancar. Semua orang kebingungan dan mencari apa yang harus dilakukan agar hujan berhenti. Secara tiba-tiba terjadi sesuatu hal, yang mana terjadi kerasukan kepada salah satu orang tua di daerah tersebut. Orang tua tersebut tidak memiliki hubungan keluarga dengan sipembuat hajatan.

Keadaan ini membuat sosok orang tua yang dapat dikatakan telah kerasukan oleh leluhur yang ingin membantu dan memberi petunjuk untuk bagaimana caranya agar hujan dapat dibenteng dan berhenti.

Sosok orang tua tersebut seperti mendapatkan sebuah petunjuk mengenai cara apa saja yang harus dilakukan untuk membenteng turunnya hujan. Kemudian orang tua yang telah dirasuki oleh leluhur tersebut menghampiri dan memberi perintah kepada si pembuat hajatan untuk membuat sebuah musik silengguri yang mana dahulu itu musik silengguri berasal dari sebuah gendang binge. Kemudian si pembuat hajatan pun setuju untuk membuat musik silengguri dan mereka pun menari. Selain memberi perintah untuk membuat sebuah musik silengguri, ia juga memberi perintah kepada pembuat hajatan untuk membuat sesajen kepada leluhur sebagai syarat agar hujan dapat dibenteng oleh leluhur tersebut. Setelah dilakukan

45

Universitas Sumatera Utara

semua perintah yang diajukan oleh orang tua, yaitu membuat musik dan menari serta membuat sesajen sebagai syarat untuk leluhur. Tak lama kemudian keadaan hujan yang awalnya tak kunjung berhenti, dengan adanya petunjuk dari leluhur tersebut menyebabkan keadaan hujan pun mereda perlahan hingga berhenti.

Peran leluhur yang hadir secara tiba-tiba tersebut yang telah membuahkan sebuah ritual baru dalam suku Karo yang dapat dikatakan sekarang oleh masyarakat sebagai ritual pawang hujan. Keadaan tersebut membuat masyarakat percaya dan melakukannya turun temurun hingga sekarang ini.

3.2. Ritual Pawang Hujan

Ritual dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah hal ihwal tata cara dalam upacara keagamaan. Sebuah ritual juga dapat diartikan sebagai peranan yang dilakukan oleh komunitas pendukung suatu agama, adat istiadat, kepercayaan, atau prinsip, dalam rangka pemenuhan kebutuhan akan ajaran atau nilai-nilai budaya dan spiritual yang diwariskan turun-temurun oleh nenek moyang mereka.

Ritual pawang hujan atau disebut natang wari sebuah nama yang biasa disebutkan oleh suku Karo. Adapun penyebutan Suku Karo Kel. Tanjung Langkat pada seorang pawang hujan disebut dengan guru si natang wari. Pawang hujan sendiri diartikan sebagai seorang yang memiliki keahlian istimewah yang berkaitan dengan kekuatan gaib untuk menangkal turunnya hujan di sebuah tempat pada saat waktu adanya acara tertentu. Pawang hujan biasanya digunakan oleh orang yang mempunyai hajatan atau penyelenggara sebuah even yang menggunakan tempat terbuka, agar ketika acara berlangsung tidak diganggu hujan

46

Universitas Sumatera Utara

yang bisa mempengaruhi jumlah tamu yang hadir. Pawang hujan digunakan tidak hanya pada saat musim hujan saja, tetapi digunakan pada saat mempunyai hajatan atau penyelenggara sebuah even yang menggunakan tempat terbuka. Jasa pawang hujan di Suku Karo Kel, Tanjung Langkat digunakan saat acara kerja tahun, sunatan, aqiqah, dan pernikahan yang hingga sekarang masih dipercayai. Dapat dikatakan bahwa sesungguhnya pelaksanaan pawang hujan ini masih berpengaruh di dalam masyarakat Kelurahan Tanjung Langkat. Terutama di saat adanya suatu acara pernikahan, karena tidak ingin saat acara berlangsung terjadi turunnya hujan. Sebuah ritual pawang hujan dilakukan oleh masyarakat Karo pada setiap acara pernikahan, dikarenakan ritual pawang hujan tersebut sebagai sebuah tradisi kebudayaan yang selalu dilakukan oleh masyarakat Karo pada setiap acara pernikahan dan tidak hanya dilakukan pada saat musim hujan saja. Hal itu juga dikatakan agar dapat berjaga-jaga jika nantinya hujan turun secara tiba-tiba mereka sudah bersedia diawal.

Dalam pelaksanaan ritual pawang hujan yang telah dipimpin oleh pawang hujan, pada waktu di hari-H tidak akan terjadi lagi turunnya hujan dan cuaca pun cerah. Hal tersebut dikarenakan sebuah ritual sebagai sebuah cara memohon meminta bantuan kepada leluhur yang mereka percaya dapat membenteng turunnya hujan. Oleh karena itu masyarakat akan sangat membutuhkan bantuan jasa pawang hujan tersebut.

3.2.1. Diperolehnya Sebuah Keahlian

Keahlian yang didapat oleh pawang hujan tidak hanya melalui turun temurun saja tetapi juga melalui beberapa tahapan. Adapun tahapan yang

47

Universitas Sumatera Utara

dilaluinya dari sebuah keahlian yang diperoleh oleh seorang pawang hujan yaitu antara lain :

a. Di wariskan turun temurun

Menurut hasil wawancara penulis dilapangan dengan seorang pawang

hujan menunjukkan bahwa keahlian beliau dalam pawang hujan diperoleh

dari pewaris sebelumnya yang memiliki kemampuan yang sama. Keahlian

tersebut didapat melalui keturunan, yang mana dalam satu keluarga hanya

1 atau 2 orang saja yang dapat diwariskan menjadi seorang pawang hujan.

b. Melalui sebuah mimpi

Diiringi dengan melalui sebuah mimpi, didapatkan setelah pawang hujan

sudah tidak memiliki tanggungan lagi, yang mana anak-anaknya sudah

berumah tangga semua. Dengan mendapatkan sebuah mimpi tidak

langsung menjadikannya sebagai seorang pawang hujan. Mimpi terjadi

secara berulang-ulang kepada orang yang dituju para leluhur untuk

menjadi pewaris pawang hujan.

c. Mengalami Sakit Berturut-turut

Dari sebuah mimpi, kemudian pawang hujan mendapatkan sebuah cobaan.

Sebuah cobaan yang didapat oleh pawang hujan, ia mengalami sakit secara

berturut-turut. Sakit yang dialaminya pun berganti-ganti, berawal dari sakit

demam, badan lemas, darah tinggi, dan pundak terasa berat. Sakit yang

dialamainya tidak semata-mata penyakit medis saja, tetapi ia juga

mengalami sakit non medis. Penyakit non medis yang dialaminya seperti

tiba-tiba kaki bengkak dan tidak dapat digerakkan atau dapat dikatakan

lumpuh. Keadaan tersebut sudah ditangani oleh pengobatan medis, tetapi

48

Universitas Sumatera Utara

tidak dapat sembuh dengan pengobatan medis tersebut. Dengan begitu

pawang hujan berusaha untuk melakukan pengobatan alternatif datang

kepada orang pintar untuk melakukan pengobatan.

d. Mendapatkan Sebuah Bisikan

Pawang hujan mendapatkan cobaan tersebut selama 1 tahun setengah.

Dalam keadaan sudah membaik, yang mana dapat dikatakan bahwa tubuh

pawang hujan sudah dapat menerima kehadiran leluhur yang dapat

membantunya menjadi seorang pawang hujan.

Sebuah pengetahuan yang didapat oleh pawang mengenai sesajen serta alat

dan bahan yang diperlukan oleh seorang pawang hujan, ia

mendapatkannya melalui sebuah bisikkan yang dipercaya melalui leluhur

yang berusaha masuk kedalam tubuhnya selama 1 tahun setengah

belakangan ini. Dan proses untuk menjadi pawang hujan tidak sama sekali

melalui ilmu dari para guru lainnya, dan ini langsung didapat melalui

mimpi dan bisikan yang mereka percaya. Awal mula pawang hujan

mencoba melakukan pekerjaannya menjadi seoarang pawang hujan

disebuah acara kecil yang diadakan oleh kerabat dekatnya sendiri.3

Dengan melalui beberapa tahapan tersebut, barulah pawang hujan dapat bekerja menjadi pawang hujan di sebuah acara tertentu. Yang mana dalam proses belajarnya melalui sebuah kegagalan dan akhirnya berhasil.

3 Hasil Wawancara dengan pawang hujan, 12 Maret 2020

49

Universitas Sumatera Utara

3.2.2. Perlengkapan dan Peralatan

Dalam proses pelaksanaan ritual pawang hujan ada beberapa media yang harus disiapkan oleh pawang hujan dan pengguna jasa pawang hujan, medianya antara lain seperti berikut :

Media alat dan bahan yang dipersiapkan oleh pengguna jasa:

a. Sesajen persembahan kepada leluhur yang letakkan di dalam piring

makan. Sesajen tersebut dibuat oleh pawang hujan pada H-1 sebelum acara

berlangsung, sesajen tersebut seperti:

Alat :

- 1 buah piring makan

- Sumpit karo

- 2 buah gelas

Gambar 2. Alat untuk persembahan sesajen (Sumber: Dokumentasi pribadi pada tahun 2020)

Bahan :

- nakan (nasi putih)

- 1 ekor ayam yang sudah dimasak

50

Universitas Sumatera Utara

- 1 buah bohopong (telur ayam) yang sudah direbus dan dikupas

- 3 buah hisap sempelang (rokok yang terbuat dari kulit jagung

kering)

- 5 helai daun sirih

- 1 buah gambir

- kapur

- 1 buah pinang

- bako (tembakau)

- 2 gelas air putih

Waktu persembahan sajen tersebut dilakukan pada pukul 09.00 WIB, semua media alat dan bahan untuk sesajen disiapkan oleh pengguna jasa, lalu pawang hujan membuat sesajen tersebut dan kemudian melaksanakan persembahan sesajen.

Dalam pembuatan sesajen, salah satu bahan sesajen yaitu hisap sempelang

(rokok yang terbuat dari kulit jagung kering), pembuatan hisap sempelang berawal dengan mengeringkan kulit jagung. Pengeringan kulit jagung dapat dilakukan dalam waktu semalam saja, dan dilakukan sehari atau dua hari sebelum hari H.

Pengeringan kulit jagung dapat dikatakan tidak rumit, karena kulit jagung dapat kering walau hanya dijemur di dalam rumah. Pembuatan hisap sempelang dilakukan tepat pada waktu persembahan sesajen. Hisap sempelang yang terbuat dari kulit jagung kering sebagai bahan pembalut tembakau hingga berbentuk rokok.

51

Universitas Sumatera Utara

Gambar 3. Bahan pembuatan hisap sempelang (Sumber: Dokumentasi pribadi pada tahun 2020)

Pembuatan hisap sempelang dapat dilakukan oleh siapa saja, tidak ada kriteria khusus dalam proses pembuatan hisap sempelang.

Gambar 4. Proses pembuatan hisap sempelang (Sumber: Dokumentasi pribadi pada tahun 2020)

52

Universitas Sumatera Utara

b. Sesajen sebagai syarat untuk leluhur yang merasuki tubuh pawang hujan,

yang digunakan pada saat berlangsungnya tarian gendang silengguri

berasal dari musik keyboard Karo. Tarian gendang silengguri dilakukan

oleh pawang hujan pada waktu malam sebelum hari H atau biasa disebut

malam silatih. Sesajen tersebut seperti :

Alat :

- Mancis untuk menghidupkan rokok

- Piring tempat bohopong (telur ayam) yang sudah direbus

Bahan :

- 1 bungkus rokok gudang garam merah

- Hisap sempelang (rokok yang terbuat dari kulit jagung kering)

- 3 buah bohopong (telur ayam) yang sudah direbus

- Bagut (tuak), nira, sprit (tergantung permintaan roh yang telah

masuk ke dalam tubuh si pawang hujan saat berlangsungnya tarian

gendang silengguri)

Alat dan bahan tersebut dipersiapkan oleh pengguna jasa untuk sebagai syarat kepada leluhur yang akan memasuki tubuh pawang hujan tersebut. Tarian silengguri dapat diikuti oleh pengguna jasa dan kerabatnya, dalam tarian gendang silengguri pawang hujan juga membagi minuman tersebut kepada pengguna jasa dan beberapa kerabatnya yang ikut dalam tarian gendang silengguri. Pembagian minuman tersebut dilakukan pawang hujan dalam keadaan tidak sadar atau dalam kendali leluhur, pawang hujan sendirilah yang membagikan dengan cara menuangkan minuman tersebut ke setiap mulut para pengguna jasa yang ikut dalam tarian gendang silengguri.

53

Universitas Sumatera Utara

Media alat yang dipersiapkan oleh pawang hujan :

a. Alat-alat yang biasa digunakan oleh pawang hujan Suku Karo di

Kelurahan Tanjung Langkat, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat

pada saat melakukan tarian gendang silengguri pada malam sebelum hari

H (malam silatih). Alat tersebut seperti :

- Kacemba (kain merah polos) ukuran 2 meter digunakan untuk

mengikat kepala

- Kain ulos digunakan untuk mengikat kain sarung di bagian

pinggang

3.2.3. Pelaksanaan Ritual

Pelaksanaan ritual pawang hujan berawal dari pemesanan jasa pawang hujan sebulan sebelum acara berlangsung, pengguna jasa dapat menanyakan terlebih dahulu kepada pawang hujan bersedia atau tidak untuk menerima tawaran sebagai jasa pawang hujan diacara pernikahan tersebut. Pemesanan jasa pawang hujan berlangsung di kediaman pawang hujan sendiri. Proses pemesanan jasa pawang biasa dilakukan oleh pengguna jasa yaitu orang tua pengantin atau juga dapat diwakili oleh kakak dan abang pengantin. Terlihat dari hasil observasi penulis, pengguna jasa yang hadir di kediaman pawang hujan yaitu kakak dari pengantin dan tanpa membawa buah tangan. Pemesanan jasa pawang hujan hanya dengan cara menanyakan pawang hujan untuk menerima atau tidak tawaran jasa pawang hujan dan memberitahukan waktu acara berlangsung. Hal tersebut dilakukan agar pawang hujan dapat memberitahukan kapan ritual harus dilakukan dan apa saja bahan dan alat yang harus dipersiapkan oleh pengguna jasa.

54

Universitas Sumatera Utara

Setelah pemesanan jasa pawang hujan, masuk dalam ritual pawang hujan tersebut yang dilaksanakan dengan dua proses. Proses pertama persembahan sesajen yang dilakukan pada H-1 sebelum acara berlangsung yang dilaksanakan di rumah si pengguna jasa, yang kedua pelaksaaan tarian gendang silengguri yang dilakukan pawang hujan pada malam sebelum hari H atau biasa disebut malam silatih. Sebelum berlangsungnya proses ritual pawang hujan tersebut ada beberapa media bahan dan alat yang disiapkan oleh pengguna jasa dan pawang hujan sebagai persyaratan yang diperlukan agar acara tersebut berjalan lancar tanpa harus terkendala oleh turunnya hujan.

Gambar 5. Pemesanan jasa pawang hujan (Sumber: Dokumentasi pribadi pada tahun 2020)

Ritual dipercaya dapat menjadi cara untuk menguatkan maksud membenteng turunnya hujan. Melakukan ritual persembahan sesajen kepada leluhur, menjalankan larangan-larangan yang diperintahkan oleh pawang hujan,

55

Universitas Sumatera Utara

dan melakukan tarian gendang silengguri pada malam sebelum hari H atau biasa disebut malam silatih.

Pelaksanaan ritual pawang hujan pada umumnya hanya dilakukan oleh seorang pawang hujan saja, tetapi jika si pengguna jasa memiliki kekhawatiran yang berlebih dan takut mendapatkan hal-hal buruk dari luar, dengan begitu pengguna jasa menggunakan 2-3 pawang hujan. Hal ini juga sempat terungkap dari hasil wawancara penulis dengan seorang pawang hujan yang bernama Uli

Surbakti, berusia 56 tahun beliau mengatakan,

“…biasanya kalau buat pawang hujan itu cuma dilakukan satu orang pawang hujan aja, tetapi kalau si tuan rumah itu banyak imbang dari luar atau ada masalah dengan orang lain, dia tidak yakin untuk memakai satu pawang hujan aja, si tuan rumah takut terjadi hal buruk saat acara berlangsung, maka dari itu dia memakai 2 pawang hujan untuk membentengi rumahnya agar tidak bermasalah. Yang dimaksud banyak imbang dari luar yaitu tuan rumah ada hubungan tidak baik dengan kerabatnya atau orang lain”. (Sumber : Hasil Wawancara Tanggal 12 Maret 2020)

Pada peristiwa di atas berdasarkan dari pengalaman pawang hujan bahwa beliau pernah menjadi salah satu bagian dari pawang hujan tersebut. Peristiwa ini terjadi pada saat beliau mendapatkan tawaran sebagai jasa pawang hujan di daerah

Gelugur Langkat.

Penggunaan 2-3 pawang yang dilakukan pengguna jasa berupa pawang hujan Karo, Jawa, dan Banten. Dalam proses pelaksanaan pawang hujan diawali dengan ketiga pawang saling meminta izin dan permisi satu dengan yang lainnya agar tidak ada timbul sebuah rasa curiga, dan sakit hati agar pelaksanaan pawang

56

Universitas Sumatera Utara

hujan berjalan lancar. Dalam proses pelaksanaan dilakukan oleh setiap pawang secara bergantian dan tidak dilaksanakan secara bersamaan agar tidak saling bertabrakan, yang mana pawang hujan Karo melaksanakan ritual pawang hujan seperti semestinya, kemudian setelah selesai dilanjutkan dengan pawang berikutnya dengan caranya sendiri. Hal itu meningkatkan rasa yakin dan hilangnya rasa takut yang dirasakan oleh pengguna jasa, dan jasa pawang hujan menjadi penolong baginya.

Peran pawang hujan sangat penting bagi pengguna jasa dalam menggelar sebuah acara hajatan. Dengan begitu urutan pelaksanaan dalam proses ritual pawang hujan yaitu :

 Persembahan Sesajen Untuk Leluhur

Bermula dari sebulan sebelum acara berlangsung, pengguna jasa dapat menanyakan terlebih dahulu kepada pawang hujan bersedia atau tidak untuk menerima tawaran sebagai jasa pawang hujan diacara pernikahan tersebut.

Selanjutnya pada H-2 pengguna jasa menanyakan kembali kepada pawang hujan mengenai media alat dan bahan apa saja yang harus dipersiapkan oleh pengguna jasa untuk ritual pawang hujan.

Media alat dan bahan digunakan sebagai sesajen persembahan kepada leluhur. Terlihat sesajen yang disajikan dan biasa digunakan seperti nakan (nasi putih), satu ekor ayam yang sudah dimasak, dan 1 buah bohopong (telur ayam) yang sudah direbus. Ketiga bahan sesajen tersebut ditaruh di dalam piring yang sudah disediakan oleh pengguna jasa. Sesajen berikutnya seperti, 3 buah hisap sempelang (rokok yang terbuat dari kulit jagung kering), 5 helai daun sirih, 1 buah

57

Universitas Sumatera Utara

gambir, kapur, 1 buah pinang, dan bako (tembakau). Bahan sesajen tersebut ditaruh kedalam sebuah sumpit Karo. Serta dilengkapi dengan 2 gelas air putih.

Sesajen tersebut dipercaya sebagai syarat dan persembahan kepada leluhur. Hal ini dilakukan untuk membantu pawang hujan dalam proses ritual pawang hujan dengan berjalan lancar. Sesajen tersebut dimaksud sebagai makanan untuk leluhur dan 2 gelas air putih untuk minuman dan cuci tangannya, hal ini dipercaya oleh pawang hujan.

Gambar 6. Sesajen dalam sumpit Karo (Sumber: Dokumentasi pribadi pada tahun 2020)

Gambar 7. Sesajen persembahan leluhur (Sumber: Dokumentasi pribadi pada tahun 2020)

Sesajen tersebut disiapkan dan dipersembahkan oleh pawang hujan pada waktu H-1 sebelum acara berlangsung pukul 09.00 WIB. Sebelum persembahan

58

Universitas Sumatera Utara

dilakukan, penulis melihat pawang hujan terlebih dahulu membaca doa dan meminta bantuan kepada tuhan agar pekerjaannya berjalan lancar dan hujan tidak turun saat acara berlangsung. Dalam proses berdoa dan meminta bantuan kepada

Tuhan pawang hujan mendahuluinya dengan mengucapkan Basmalah “Bismillah” dan dilanjutkan berdoa meminta bantuan kepada Tuhan. Selesai berdoa kepada tuhan, dilanjutkan dengan melakukan persembahan kepada leluhur agar membantunya dalam menangkal hujan agar tidak turun. Persembahan sesajen tersebut dilakukan oleh pawang hujan di sudut halaman belakang rumah pengguna jasa. Sesajen tersebut diletakkan diatas tanah, kemudian pawang hujan membacakan doanya hingga selesai. Setelah persembahan sajen selesai dilakukan, pawang hujan meminta rokok kepada pengguna jasa, lalu si pawang hujan menghembuskan asap rokok tersebut menghadap awan-awan gelap yang dalam penglihatannya.

Sesajen tersebut diletakkan sampai waktu sehari setelah acara selesai.

Setalah acara selesai, keesokan pagi harinya sesajen tersebut ditangkupkan beserta

2 gelas air putih. Proses penangkupan tidak lagi dilakukan oleh pawang hujan, tetapi hanya dilakukan oleh pengguna jasa saja, dan juga tidak ditetapkan jamnya.

Sedangkan sesajen berupa perlengkapan menyirih yang ditaruh di dalam sumpit

Karo tersebut dapat diambil kembali serta dapat dipergunakan kembali oleh pengguna jasa, pawang hujan, dan para kerabat lainnya.

Adapun doa yang dibacakan oleh pawang hujan dalam proses persembahan sesajen tersebut. Dari hasil wawancara penulis dengan seorang pawang hujan bernama Harapen Sembiring (54tahun), adapun doa yang disebutkan beliau kepada tuhan,

59

Universitas Sumatera Utara

“Ya tuhan, aku memohon pada mu, tolong lah aku untuk membenteng hari (membenteng turunnya hujan), agar berjalan lancar acara pernikahan anak kami ini”. Adapun doa yang dibacakan pawang hujan untuk penyembahan sajen kepada leluhur seperti,

“Ya para leluhur yang telah mendahului kami, dan para leluhur kami, kami memerlukan bantuan mu untuk membenteng turunnya hujan ini, kami juga sudah menyiapkan sesajen untukmu, dengan begitu kami sudah memenuhi persyaratanmu maka dari itu tolonglah bantu kami agar hujan tidak turun di waktu acara pernikahan anak kami ini”. Tolonglah aku membenteng hari ini, kau tolonglah aku janganlah jatuh hujan di hari pernikahan anak kami besok, maka itu aku siapkanlah sajen ini untuk makananmu”. (Sumber : Hasil Wawancara Tanggal 21 Maret 2020)

Pawang hujan tidak menjelaskan dengan semestinya doa yang biasa digunakan untuk penyembahan leluhur yang diucapkan dengan bahasa Karo. Pawang hujan juga tidak memperbolehkan penulis untuk mengetahui doa sesungguhnya, ia hanya memberikan gambaran garis besar doa dalam bahasa Indonesia saja.

 Tarian Gendang Silengguri

Pelaksanaan tarian gendang silengguri salah satu dari urutan ritual pawang hujan, yang mana menjadi sesuatu yang tidak pernah dilewatkan. Tarian gendang silengguri dilakukan setelah selesainya acara tembe-tembe (pidato untuk peradatan/bayar adat). Acara tembe-tembe ini dilaksanaan pada malam silatih atau malam sebelum hari H sama dengan tarian gendang silengguri, hanya saja berbeda jam. Malam silatih atau malam sebelum hari H, pelaksanaan tarian gendang silengguri yang dilakukan oleh pawang hujan. Tarian gendang silengguri

60

Universitas Sumatera Utara

dilakukan pukul 21.00 WIB dilakukan sehabis acara tembe-tembe. Sebelum berlangsungnya tarian gendang silengguri, pengguna jasa harus mempersiapkan sesajen atau sebagai sebuah syarat untuk leluhur yang nantinya akan merasuki tubuh pawang hujan. Terlihat bahwa sesajen yang dipersiapkan oleh pengguna jasa, seperti 1 bungkus rokok gudang garam merah, hisap sempelang (rokok yang terbuat dari kulit jagung kering), 3 buah bohopong (telur ayam) yang sudah direbus, bagut (tuak), nira, dan sprit (tergantung permintaan roh yang telah masuk ke dalam tubuh si pawang hujan saat berlangsungnya tarian gendang silengguri) diletakkan di atas sebuah tampah anyaman kecil.

Gambar 8. Sesajen untuk tarian gendang silengguri (Sumber: Dokumentasi pribadi pada tahun 2020)

Adapun alat tersendiri yang biasa dibawa oleh pawang hujan Kelurahan

Tanjung Langkat, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat pada saat melakukan tarian gendang silengguri. Alat tersebut seperti kacemba (kain merah polos) ukuran 2 meter digunakan untuk mengikat kepala dan kain ulos (uis Karo)

61

Universitas Sumatera Utara

digunakan untuk mengikat kain sarung di bagian pinggang agar kain sarung yang digunakan tidak turun saat berlangsungnya tarian gendang silengguri tersebut.

Gambar 9. Kacemba (kain merah) 2m (Sumber: Dokumentasi pribadi pada tahun 2020)

Gambar 10. Ulos (Uis Karo) (Sumber: Dokumentasi pribadi pada tahun 2020)

Pemakaian kacemba dan ulos pun dilakukan oleh pawang hujan sendiri, yang mana kacemba digunakan sebagai pengikat kepala, dan ulos sebagai

62

Universitas Sumatera Utara

pengikat sarung di bagian pinggang agar saat proses tarian silengguri sarung yang digunakan agar tidak turun. Adapun gambar pemakaian kacemba dan ulos di bawah ini:

Gambar 11. Pemakaian kacemba dan ulos (Sumber: Dokumentasi pribadi pada tahun 2020)

Pawang hujan sebagai peran utama dalam membenteng turunnya hujan dalam proses tarian gendang silengguri, dalam proses tarian gendang silengguri keluarga pengguna jasa juga dapat ikut dalam tarian gendang silengguri tersebut.

Keluarga pengguna jasa yang ikut dalam tarian gendang silengguri ini biasanya seperti ayah dan ibu si pengantin, dan kerabat lainnya. Mereka yang ikut dalam tarian gendang silengguri hanya sebatas mengikuti tari silengguri (manortor) pada tarian gendang silengguri tersebut. Dalam suku Karo tarian manortor disebutkan mereka sebagai tarian silengguri.

63

Universitas Sumatera Utara

Proses tarian gendang silengguri dimulai dengan pawang hujan berdiri di halaman tepat dihadapan keyboard Karo dan disusul oleh musik gendang silengguri yang berasal dari keyboard Karo tersebut. Kemudian pawang hujan pun mulai menikmati musik gendang silengguri dengan diawali gerakan silengguri.

Gambar 12. Tarian silengguri bersama pengguna jasa (Sumber: Dokumentasi dari informan pada tahun 2018)

Terlihat sebuah gerakan pawang hujan yang mana ia semakin lama perlahan mendekati musik gendang silengguri yang berasal dari suara keyboard

Karo tersebut. Gerakan perlahan mendekati musik di karena dengan semakin kuat musik terdengar atau seperti nada menghentak yang membuat pawang hujan merasa terpanggil yang mana tubuh dari si pawang hujan mulai dirasuki oleh leluhur. Musik gendang silengguri tersebut yang dipercaya sangat lekat dengan dunia roh dan mistis, sehingga tidak hanya pawang hujan saja yang dapat mengikuti tarian gendang silengguri tersebut. Orang lain yang menjadi tamu juga kemungkinan dapat terikut. Hal tersebut dikarena jika orang tersebut memiliki keturunan keluarga pawang hujan pada dulunya, yang membuat ia akan merasa terpanggil oleh musik gendang silengguri tersebut.

64

Universitas Sumatera Utara

Tarian gendang silengguri yang dilakukan pawang hujan yang diawali dengan silengguri dan perlahan mendekati musik keyboard Karo, dilanjuti dengan tarian seperti melompat-lompat, dan yang terakhir kembali dengan gerakan menortor sambil berputar di area halaman tarian gendang silengguri. Gerakan tarian seperti melompat-lompat tersebut yang dilakukan oleh pawang hujan yang terlihat meminta sesajen yang disediakan oleh pengguna jasa. Sesajen yang diminta oleh pawang hujan berawal dengan meminta minuman, minuman yang ia minta sesuai keinginannya seperti sprit. Setelah minuman, pawang hujan juga meminta rokok dan selanjutnya meminta bohopong (telur) yang telah disediakan.

Gambar 13. Pawang hujan mendekati musik keyboard Karo (Sumber: Dokumentasi dari informan pada tahun 2018)

Situasi tersebut tidak terjadi pada semua pawang hujan yang telah dirasuki oleh leluhur saat tarian gendang silengguri. Terkadang sesajen yang telah disiapkan oleh pengguna jasa untuk tarian gendang silengguri, tidak semua sajen diminta atau dimakan oleh pawang hujan. Ada juga terdapat pawang hujan yang telah dirasuki leluhur saat tarian gendang silengguri, ia tidak meminta telur hanya saja dia meminta rokok dan minuman. Gerakan pawang hujan saat meminta

65

Universitas Sumatera Utara

minuman seperti sprit yang terlihat pada saat tarian gendang silengguri, gerakan meminum sprit yang dilakukan oleh pawang hujan, ia tidak meminumnya dengan sendiri, tetapi ia juga membagikannya kepada kedua orang tua pengantin dan kerabat lainnya yang mengikuti tarian gendang silengguri tersebut.

Gambar 14. Pawang memberi minuman kepada pengguna jasa (Sumber: Dokumentasi dari informan pada tahun 2018)

Pemberian minuman tersebut dilakukan pawang hujan dengan cara menuangkannya ke setiap mulut kerabat pengguna jasa yang ikut serta dalam tarian. Kemudian pawang hujan meminta rokok kepada pengguna jasa. Dengan merokok pawang hujan akan lebih mendekati bunyi musik gendang silengguri tersebut, yang mana musik tersebut berasal dari keyboard Karo. Semakin keras suara musik maka semakin kencang juga tariannya. Dilanjutkan dengan tarian seperti gerakan melompat-lompat mengikuti musik yang terdengar seperti menghentak-hentak. Setelah gerakan melompat-lompat selesai, pawang hujan terlihat melakukan gerakan tarian silengguri kembali dan dilanjuti dengan gerakan mengelilingi halaman tepat dilakukannya proses tarian gendang silengguri serta

66

Universitas Sumatera Utara

berdoa. Hal ini dipercaya sebagai sebuah kekuatan gaib yang dilakukan para leluhur yang telah merasuki tubuh pawang dalam membenteng turunnya hujan.

Proses tarian gendang silengguri tersebut dibarengi dengan proses penghembusan asap rokok menghadap ke atas langit. Penghembusan asap rokok tersebut dilakukan oleh pawang hujan setelah melakukan tarian silengguri. Dalam proses penghembusan asap rokok, pawang hujan akan berjalan mengelilingi rumah pengguna jasa sambil mengembuskan asap rokok tersebut ke atas langit.

Hal ini disebutkan oleh pawang hujan dari hasil wawancara penulis, bahwa proses penghembusan asap rokok tersebut dilakukan untuk menahan gumpalan awan yang terlihat tebal/gelap oleh penglihatan dari pawang hujan. Dalam proses penggembusan asap rokok, pawang hujan juga sesekali mengangkat kedua tangannya ke atas mengarah langit seperti gerakan menolak sebagai sebuah cara menolak turunnya hujan. Selesai pawang hujan melakukan tarian gendang silengguri dan penghembusan asap rokok, pawang hujan akan kembali ke halaman yang berhadapan dengan keyboard sambil menari. Proses menari akan semakin lambat dengan mengikuti suara musik keyboard yang juga semakin pelan. Ada cara tersendiri yang dilakukan pawang hujan untuk menyadarkan dirinya yang telah dirasuki oleh leluhur.

Pawang hujan dalam proses menyadarkan dirinya dilakukannya dengan sendiri. Pawang hujan tau waktunya kapan ia harus berhenti, dan meminta leluhur yang telah merasukinya untuk pergi dari tubuhnya. Dengan diakhiri oleh tarian yang semakin melambat dengan mengikuti alunan musik yang terdengar pelan.

Pawang hujan mengawalinya dengan tari silengguri pelan dan kelamaan berdiri diam dan mengaitkan jari-jari tangannya mengarah keatas kepala, dan bagian

67

Universitas Sumatera Utara

telapak tangan mengarah keatas. Dengan begitu pawang hujan pun tersadarkan, dan dapat normal seperti para tamu lainnya.

Gambar 15. Gerakan pawang dalam menyadarkan diri (Sumber: Dokumentasi dari informan pada tahun 2018)

3.2.4. Pimpinan Ritual

Dalam pelaksanaan ritual pawang hujan, pawang hujanlah yang memimpin berlangsungnya ritual pawang hujan dari awal hingga akhir ritual. Pawang hujan merupakan pelaku ritual yang memegang kunci berjalannya ritual karena dia dianggap sebagai orang yang memiliki kemampuan lebih untuk berkomunikasi dengan leluhur guna untuk membenteng turunnya hujan. Pawang hujan memiliki tugas bertanggung jawab mengawasi segala sesuatu yang berhubungan dengan ritual membenteng turunnya hujan.

Pawang hujan menjadi pimpinan ritual, berawal dari proses pemesanan jasa pawang hujan. Dengan cara memberi arahan kepada pengguna jasa, dia menjelaskan apa saja bahan dan alat yang harus dipersiapkan untuk ritual pawang hujan. Kemudian saat proses persembahan sesajen, pawang hujan memimpin

68

Universitas Sumatera Utara

berjalannya proses persembahan sesajen, mulai dari menyusun tata letak sesajen hingga selesai. Pada proses tarian gendang silengguri, pawang hujan juga yang memimpin berjalannya tarian gendang silengguri, dengan dibantu oleh kerabat pengguna jasa dalam memberikan persyaratan sesajen oleh pawang hujan. Pada waktu selesai tarian gendang silengguri, pawang hujan tetap memimpin ritual guna untuk mengamankan keadaan dari gangguan atau kiriman jahat dari luar.

Pawang hujan akan tetap siaga memantau keadaan hingga acara selesai.

Setelah selesai dilakukannya ritual pawang hujan, pada saat di hari-H belum pernah terjadi peristiwa hujan turun secara tiba-tiba. Tetapi pernah terjadi peristiwa di hari-H cuaca terlihat mendung, kemudian yang dilakukan pawang yaitu pawang hujan memerintahkan pengguna jasa untuk membuatkan sesajen berupa nasi dan ayam serta kue yang ada di acara pesta sebagai syarat untuk makanan leluhur yang dikatakan tidak kebagian tersebut agar ia tidah sedih lagi.

Ayam yang digunakan ayam biasa yang dimasak untuk acara pernikahan. Sesajen tersebut sebagai syarat saja untuk sebagai pengingat. Sesajen diletakkan di dalam rumah seperti dalam kamar agar aman. Kemudian pawang hujan juga menghembuskan asap rokok kembali serta membaca doa dan memohon kepada leluhur.

“janganlah kau marah sama ku, aku pawang pesta anakmu cucumu, ayoklah kita kerja sama, kau minta sesajen udah ku kasih, bantu aku agar lancar acara pesta anakmu cucumu ini”. Dengan begitu cuaca pun terlihat cerah kembali.

69

Universitas Sumatera Utara

3.2.5. Peserta Ritual

Peserta ritual “pawang hujan” dalam pelaksanaannya tidak memiliki jumlah yang menentu atau tidak ditentukan. Pesertanya terdiri dari pimpinan ritual

(pawang hujan), pemain keyboard Karo, orang tua pengantin, dan kerabat dekat pengguna jasa ( kakak/abang dari orang tua pengantin serta para keluarga). Selain pemain keyboard Karo, para peserta ritual tidak dapat melanggar larangan yang sudah dibuat oleh pawang hujan. Jika larangan tersebut dilanggar maka ritual pawang hujan tidak akan dapat berjalan lancar dan tidak akan membuahkan hasil yang baik.

Dalam ritual pawang hujan tersebut tidak membentuk sebuah panitia dikarenakan dalam pelaksanaan ritual, siapapun dari kerabat pengguna jasa dapat membantu berjalannya ritual pawang hujan. Membantu dalam hal seperti mengambil atau memberikan sesajen yang diminta oleh pawang hujan. Sesajen tersebut telah disiapkan oleh pengguna jasa.

Seorang kerabat pengguna jasa yang berperan membantu memberikan sesajen kepada pawang hujan saat tarian gendang silengguri berlangsung.

Informan penulis kali ini bersama kerabat pengguna jasa yaitu Ahmadyani Sitepu

34 tahun. Beliau mengatakan bahwa dalam ritual pawang hujan tidak ada pembagian panitia, hanya saja dapat dibantu oleh kerabat pengguna jasa seperti sepupu dari pengantin. Pekerjaan yang dilakukan oleh beliau tidak berat, hanya duduk di dekat sesajen yang telah disiapkan oleh pengguna jasa untuk pawang hujan saat tarian gendang silengguri berlangsung. Beliau menunggu perintah dari pawang hujan yang dalam keadaan tidak normal atau masih dibawah kendali para

70

Universitas Sumatera Utara

leluhur. Biasanya pawang hujan meminta rokok dan sprit, dalam hal ini kerabat pengguna jasalah yang membantunya hingga pawang hujan kembali sadar.

Tidak ada terbentuknya sebuah panitia dalam ritual pawang hujan. Hal tersebut dikarenakan ritual tersebut sepenuhkan dipimpin oleh pawang hujan dan pengguna jasa serta kerabat dekatnya dapat saling membantu dalam proses ritual berlangsung.

3.3. Waktu Jalannya Ritual

Pelaksanaan ritual pawang hujan berawal dari pemesanan jasa pawang hujan 1 bulan sebelum acara berlangsung, ritual pawang hujan tersebut yang dilaksanakan dengan dua proses. Proses pertama persembahan sesajen yang dilakukan pada H-1 sebelum acara berlangsung yang dilaksanakan di rumah si pengguna jasa, yang kedua pelaksaaan tarian gendang silengguri yang dilakukan pawang hujan pada malam sebelum hari H atau biasa di sebut malam silatih.

Waktu persembahan sajen tersebut dilakukan pada pukul 09.00 WIB, semua media alat dan bahan untuk sesajen disiapkan oleh pengguna jasa, lalu pawang hujan membuat sesajen tersebut dan kemudian melaksanakan persembahan sesajen. Persembahan sesajen yang dilakukan dengan cara sesajen tersebut diletakkan di samping belakang rumah pengguna jasa sampai waktu sehari setelah acara selesai. Setelah acara selesai, keesokan pagi harinya sesajen tersebut ditangkupkan beserta 2 gelas air putih.

Malam silatih atau malam sebelum hari H, pelaksanaan tarian gendang silengguri yang dilakukan oleh pawang hujan. Tarian gendang silengguri dilakukan pukul 21.00 WIB dilakukan sehabis acara tembe-tembe. Waktu yang

71

Universitas Sumatera Utara

terpakai dalam proses tarian gendang silengguri tersebut sebanyak ± 45 menit.

Setelah selesai proses tarian gendang silengguri, tugas pawang memantau keadaan hingga acara selesai. Pawang hujan tidak dapat bekerja di luar dari ritual pawang hujan saat berlangsung acara hingga selesai, tetapi ia dapat bergabung bersama para tamu lainnya seperti biasanya.

Pawang hujan bekerja hingga pagi hari acara selesai, setelah selesai acara pawang hujan mendapatkan sebuah imbalan yang diperolehnya dari seorang pengguna jasa. Imbalan yang diterima oleh pawang hujan hanya seikhlas hati dari pemberian si pengguna jasa, dan pawang hujan tidak mematokkan harga. Dari hasil wawancara penulis dengan seorang pawang hujan yang bernama Endang

Sitepu (62 tahun) atau biasa dipanggil (bolang Tepu) beliau mengatakan,

“...bolang sendiri kalau ada tawaran pawang hujan, bolang gak ada kasih patokan ongkosnya berapa gitu. Ongkosnya seikhlas hati dari si pemesan itulah. Kenapa bolang gak patokkan ongkos, karna rasa bolong ini untuk membantu orang, lagi pun bolong ini dapat ilmu ini gak belajar nuntut ilmu gitu. Ya dapat dari mimpi gitu, kayak dikasih petunjuk, jadi rasanya gak pantas aja kita dikasih kepercayaan dari leluhur untuk membantu, kayak sejarah dulu pawang hujan kan datang tiba-tiba dan niat awal untuk membantu bukan menjual ilmu untuk dapat uang...” (Sumber : Hasil Wawancara Tanggal 18 Maret 2020)

Biasanya pengguna jasa selain mendapatkan bayaran seikhlas hati, ia juga diberikan oleh pengguna jasa perlengkapan menyirih yang diletakkan di dalam sumpit Karo. Ukuran sumpit Karo sendiri berukuran sedang muatan 1 kg beras.

Perlengkapan sirih yang diberikan oleh pengguna jasa kepada pawang hujan sebagai sebuah syarat saja, yang memiliki makna sebagai ucapan terima kasih

72

Universitas Sumatera Utara

kepada pawang hujan. Perlengkapan sirih tersebut yang ditaruh dalam sebuah sumpit Karo berisikan ½ kg beras, 5 helai daun sirih, 1 buah gambir, kapur, 1 buah pinang, tembakau, dan rokok.

Gambar 16. Perlengkapan sirih pawang hujan (Sumber: Dokumentasi pribadi pada tahun 2020)

3.4. Tabu (Larangan) Yang Terkait Dengan Ritual

Adanya sebuah larangan dalam pelaksanaan ritual pawang hujan yang memiliki maksud dan tujuan agar acara berlangsung dengan lancar sesuai dengan apa yang diinginkan. Pengguna jasa dan pawang hujan memiliki larangan tersendiri yang mereka miliki. Larang tersebut dapat dilihat sebagai berikut:

3.4.1. Tabu (Larangan) Bagi Pengguna Jasa

1. Pertama tidak boleh mandi pada H-1 dan pada hari H nya. Yang dimaksud

tidak boleh mandi tersebut adalah calon pengantin, saudara kandung, dan

kedua orang tuanya tidak boleh mandi berkeramas sepuasnya seperti biasa,

yang diperbolehkan hanya seperti menyiram badan seadanya saja,

menggosok gigi, mencuci muka saja, tidak boleh melebih-lebihi sepuasnya

mandi seperti biasanya.

73

Universitas Sumatera Utara

2. Tidak boleh memakan makanan kiriman dari luar, seperti orang rumah

tersebut tidak boleh memakan makanan yang diberikan oleh orang luar,

atau seperti jamuan dari tetangga. Orang rumah hanya boleh memakan

makanan yang dimasak dari rumahnya saja. Selama H-1 hingga hari H.

3. Tidak boleh memakan makanan yang dihangat-hangatkan, hanya boleh

memakan makanan yang sekali masak. Jika pengguna jasa melanggar

larangan tersebut penyebab yang akan terjadi hasil dari ritual pawang

hujan tidak dapat berjalan lancar dengan yang diinginkan. Pengguna jasa

hingga sekarang selalu mempercayai dan mengikuti perintah pawang guna

menghindari sebuah hal yang tidak diinginkan. Dalam membenteng hujan

harus dilakukan secara bersih dan hanya sekali jalan. Sebuah makanan

yang dihangatkan tersebut dilakukan secara berulang dan tidak sekali

masak, hal tersebut ditakutkan dalam proses membenteng hujan juga akan

berulang-ulang dan tidak akan berhasil karena harus dilakukan sekali

jalan.

Larangan tersebut dipercaya karena dalam membenteng hari dalam menangkal hujan, harus dilakukan secara bersih, dan sekali jalan. Kalau makan berulang itu dilakukan secara berulang, ditakutkan proses membenteng hujan juga akan berulang-ulang dan tidak akan berhasil.

3.4.2. Tabu Bagi Pawang

1. Pawang hujan tidak boleh mandi pada H-1 dan pada hari H nya. Larangan

tersebut sama dengan larangan yang diperoleh oleh calon pengantin dan

pengguna jasa.

74

Universitas Sumatera Utara

2. Pawang hujan juga berbeda dengan yang lainnya, ia tidak diperbolehkan

untuk bekerja yang lainnya selain fokus dalam ritual pawang hujan

tersebut, dalam memantau keadaan cuaca dan ada tidaknya kiriman jahat

dari luar.

3.5. Perubahan Yang Terjadi Dalam Ritual Pawang Hujan

Ada beberapa perubahan ritual pawang hujan dulu dan pawang hujan sekarang, terdapat perubahan pada bagian sesajen persembahan leluhur dan tari gendang silengguri antara lain :

- Perubahan bagian sesajen persembahan

Sesajen tersebut menggunakan media bahan seperti, nakan (nasi), hisap sempelang (rokok yang terbuat dari kulit jagung kering), ayam, bohopong (telur ayam), bako (tembakau), bagut (tuak atau nira), gambir, sirih, pinang, dan cina tasak telu (darah ayam dan daging ayam di cincang). Perubahan ritual pawang hujan zaman dulu dan pawang hujan sekarang, terlihat dari penggunaan bahan untuk sesajen yaitu terdapat bahan cina tasak telu (darah ayam dan daging ayam di cincang). Penggunaan bahan cina tasak telu tersebut digunakan pada masa ritual pawang hujan zaman dulu atau dikatakan belum beragama. Seiring berjalannya waktu masyarakat suku Karo sudah memeluk agama seperti islam dan kristen.

Dari hasil wawancara penulis dengan Uli Surbakti, beliau mengatakan bahwa semenjak masyarakat suku Karo memeluk agama, mulai dari itu mereka sudah tidak menggunakan darah ayam dan daging ayam mentah sebagai sesajen. Mereka menggantinya dengan seekor ayam yang sudah dimasak.

75

Universitas Sumatera Utara

- Perubahan dalam penggunaan musik tarian gendang silengguri

Ritual pawang hujan dilakukan malam sebelum hari H (malam silatih) hingga sekarang dilakukan. Perubahan yang terjadi terdapat pada penggunaan gendang binge. Gendang binge tersebut merupakan sebuah musik tradisional

Karo dari daerah Langkat. Gendang binge tersebut pada ritual pawang hujan disajikan sebagai pengiring tarian gendang silengguri. Namun seiring berjalannya waktu keaslian dari gendang binge tersebut mulai menghilang karena dipengaruhi oleh beragamnya budaya di Karo Jahe Kabupaten Langkat, bahkan dengan kuatnya pengaruh dari modernisasi saat ini maka jarang adanya penyajian gendang binge sehingga digantikan oleh alat musik baru seperti keyboard Karo.

Dari hasil wawancara penulis dengan pawang hujan Endang Sitepu 18

Maret 2020, beliau mengatakan dahulu waktu jaman dahulu setiap ritual pawang hujan di masyarakat Karo menggunakan musik berasal dari gendang binge, tetapi dengan datangnya musik keyboard tersebut menyebabkan gendang binge kurang terlihat bahkan jarang digunakan lagi. Maka dengan datangnya alat musik keyboard tersebut sesuaikan dengan jaman sekarang ini, menyebabkan penggunaan musik gendang binge saat ini sangat jarang digunakan. Hal tersebut menyebabkan lebih mudah orang untuk menggunakan keyboard Karo dikarenakan mudah didapatkan pada jaman sekarang. Maka dari itu kesenian musik gendang binge tersebut terancam hilang.

76

Universitas Sumatera Utara BAB IV

MAKNA SIMBOLIK RITUAL PAWANG HUJAN

4.1. Makna Perlengkapan Bahan dan Peralatan Ritual Pawang Hujan

Proses ritual pawang hujan memiliki beberapa tahapan pelaksanaan dalam ritual pawang hujan Suku Karo di Kelurahan Tanjung Langkat Kecamatan

Salapian yaitu berawal dari pemesanan jasa pawang hujan, mempersiapkan perlengkapan bahan dan alat, persembahan sesajen kepada leluhur, dan tarian gendang silengguri berserta dengan penghembusan asap rokok oleh pawang hujan. Dalam beberapa tahapan tersebut terdapat makna yang terkandung di dalamnya. Clifford Greertz (1973) dalam teori kebudayaan yang menjelaskan bahwa simbol-simbol yang muncul untuk dapat memahami tujuan dan makna diadakannya ritual. Menurut Clifford Geertz sebuah makna itu tidak terletak di dalam kepala manusia, melainkan makna dan simbol dimiliki bersama pada setiap komunitas sosial yang sama pula. Sebuah simbol dan makna yang ada pada satu komunitas sosial yang satu dengan yang lainnya memiliki arti yang berbeda dalam mengartikannya.

Sebuah ritual memperlihatkan tatanan atas simbol-simbol yang diobjekkan, simbol-simbol tersebut mengungkapkan prilaku dan perasaan, serta membentuk disposisi pribadi dari pada pemuja mengikuti modelnya masing- masing. Manusia mengobjekkan dan menciptakan sebuah aturannya sendiri maka jadilah sebuah simbol, yang mana simbol tersebut diciptakan dan dilakukan serta dipercayanya sendiri juga.

77

Universitas Sumatera Utara

Adapun sebuah simbol pada ritual pawang hujan yang memiliki makna yang diobjekkan sebagai berikut:

 Hujan : leluhur bersedih dan menangis

Masyarakat suku Karo di Kelurahan Tanjung Langkat, Kecamatan Salapian

Kabupaten Langkat, mereka mengartikan hujan sebagai sebuah leluhur yang sedang bersedih bahkan menangis. Mereka mengatakan kalau turunnya hujan tersebut sebagai sebuah pertanda bahwa leluhur sedang bersedih bahkan menangis, dikarenakan dalam sebuah acara pernikahan keluarga yang bersangkutan melaksanakan acara pernikahan tersebut tidak memberikan sebuah sesajen atau makanan untuk leluhur bahkan tidak mengingat serta tidak meminta izin kepada leluhur dalam melaksanakan sebuah acara pernikahan. Maka dari itu masyarakat Karo percaya dengan sebuah ritual pawang hujan, agar tidak terjadi hujan saat pelaksanaan acara pernikahan dan tidak menyebabkan leluhur sedih serta menangis pada saat acara berlangsung.

 Leluhur : orang yang sudah meninggal tetapi masih berada disekeliling

Leluhur menurut masyarakat Karo adalah seorang yang telah meninggal pada ratusan tahun yang memiliki ikatan keturunan dengan mereka, leluhur dapat disebutkan mereka sebagai nenek moyang suku Karo yang sudah lama bertahun- tahun meninggal, tetapi walaupun leluhur sudah lama meninggal tetapi roh dan keberadaanya masih diyakini mereka selalu ada di dekat mereka untuk menolong mereka dalam keadaan kesulitan, contohnya seperti dalam acara pernikahan mereka percaya dan meminta pertolongan kepada leluhur untuk dapat membenteng turunnya hujan.

78

Universitas Sumatera Utara

 Ayam : salah satu sumber kekuatan leluhur

Ayam sebagai salahsatu sesajen yang memiliki sumber kekuatan leluhur dalam membenteng turunnya hujan. Penggunaan ayam dalam sebuah sesajen dikarenakan saat ini masyarakat Karo sudah beragama, tetapi dahulu ini mereka menggunakan satu ekor babi. Ayam disimbolkan dan dipercaya masyarakat Karo

Kelurahan Tanjung Langkat agar leluhur yang membenteng turunnya hujan tersebut kuat. Ayam sebagai sebuah syarat makanan yang dipersembahkan khusus kepada leluhur, bermakna bahwa kita menghargai leluhur dengan memberikan satu ekor ayam. Hubungan ayam dengan kekuatan yaitu dalam membenteng hujan leluhur melakukan tugasnya dengan tidak ringan maka dari itu pengguna jasa dapat membalas budi pekerjaan leluhur dengan mempersembahkan seekor ayam sebagai sebuah makanan untuk leluhur agar leluhur kuat juga dalam membenteng turunnya hujan. adapun hasil wawancara penulis dengan ibu Uli Surbakti:

“Biar kuat leluhur tadi membenteng hujan, tapi kalau rokok, telur, ya bele-belelah, lantak situ kau hujan, pelit yang punya rumah, ko bante situ. Jadi kalau ayam, kau suruh aku nari membenteng hujan sampek besok pun mau, ini telur rokok aja yang kau kasih cepat habis, coba kau kasih aku ayam lama aku ngabiskannya santai aku enak aku benteng hujan”.

 Nakan (nasi) dan telur

Nasi dan telur tersebut menyimbolkan dari benda dan warnanya. Nasi berasal dari sebuah padi, yang mana padi tersebut sebagai sebuah bahan pokok makan manusia menjadi besar, bertenaga. Hal tersebut dikarenakan nasi dan telur sebagai sebuah tanbul atau makanan leluhur agar leluhur semakin kuat dalam

79

Universitas Sumatera Utara

membenteng turunnya hujan, nasi dan telur layaknya sebuah bahan pokok makanan manusia pada umumnya, maka dengan itu mereka juga menganggap bahwa leluhur tersebut juga dapat untuk memakan nasi dan telur tersebut. Nasi dan telur tersebut juga menyimbolkan sebuah warna putih bersih yang diyakini agar hari dan cuaca pada saat berlangsungnya acara juga cerah dan bersih dari gangguan kiriman dari luar. Nasi dan telur sudah digunakan sebagai sajen sejak dahulu hingga sekarang yang dikatakan mereka tidak dapat diubah, dan leluhur dipercaya dapat memakan sesajen tersebut.

 Asap rokok

Asap rokok yang dihembuskan ke arah awan memiliki makna bahwa asap dipercaya berupa sebuah lapisan yang mampu menahan sebuah gumpalan awan yang dapat menyebabkan turunnya hujan. Asap dihembuskan oleh pawang hujan, tetapi leluhur menjadi perantara dalam menyampaikan asap ke awan. Hujan dipercaya bahwa leluhur bersedih bahkan menangis, tetapi jika sudah diberikan sesajen dan tarian gendang silengguri yang dilengkapi dengan penghembusan asap rokok. Hal itu membuat leluhur merasa puas dengan penyajian yang setimpal dengan pekerjaan yang dilakukannya dalam membenteng turunnya hujan.

Sama halnya dengan makna yang terkandung dalam ritual pawang hujan

Suku Karo tersebut memiliki makna yang berbeda pula dengan suku lainnya. Ada beberapa simbol yang terdapat dalam pelaksanaan ritual pawang hujan. Dalam pawang hujan terdapat perlengkapan bahan dan peralatan, dimana perlengkapan bahan dan peralatan itu memiliki makna tersendiri, perlengkapan bahan dan peralatan tersebut adalah sebagai berikut.

80

Universitas Sumatera Utara

4.1.1. Makna Perlengkapan Bahan

Persembahan sesajen kepada leluhur yang letakkan di dalam piring makan.

Sesajen tersebut dibuat oleh pawang hujan pada H-1 sebelum acara berlangsung.

Perlengkapan sesajen yang disiapkan untuk persembahan leluhur seperti nakan

(nasi), ayam, bohopong (telur) adalah sebagai syarat untuk makanan. Ayam tersebut menggunakan satu ekor ayam kampung merah yang dimasak kuning dengan bahan berupa kunyit, ketumbar, merica, sere, lengkuas, jahe, bawang putih, bawang merah, dan santan. Ayam memiliki makna sebagai penanda bahwa leluhur yang masuk kedalam tubuh si pawang tersebut kuat dalam membenteng turunnya hujan. Ayam tersebut sebagai sebuah syarat makanan untuk leluhur tersebut agar setimpal dengan pekerjaaannya, karena dalam membenteng hujan yang dianggap sebuah pekerjaan yang sangat berat. Maka dari itu upah atau syarat makanan yang diberikan pada leluhur juga harus satu ekor ayam.

“ ...nakan (nasi), bohopong (telur), dan ayam satu ekor itulah sebagai makanan atau biasa dibilang sesajen untuk leluhur tadi. Kalau ayam itu memang dipakai satu ekor, karena ayam tadi itu disebut penanda kalau leluhur itu kuat untuk membenteng hujan tadi. Kalau tidak pakai ayam satu ekor, leluhurnya dia marah kalau dikatakan lelehur tadi, bisa bilang sama pawangnyalah seperti (aku gak gak mau kalau gak satu ekor ayam, karna pekerjaanku untuk benteng hujan bukan tidak berat, makanya kasih aku juga makanan ayam satu ekor sebagai makanan ku) kalau dibilang setimpallah dengan bantuan leluhur sama sesajennya”. (Sumber : Hasil Wawancara kepada Harapen Sembiring (54 tahun) Tanggal 21 Maret 2020)

Ayam yang digunakan untuk sesajen berupa satu ekor ayam merah yang sudah dimasak kuning. Jika sesajen tidak menggunakan satu ekor ayam, leluhur

81

Universitas Sumatera Utara

tersebut dikatakan akan marah kepada pawang hujan dan dipercaya bahwa ritual pawang hujan tidak akan berjalan dengan lancar. Ayam tersebut memiliki makna sebagai penanda satu, utuh, dan kuatnya leluhur tersebut dalam membenteng turunnya hujan.

Sedangkan sesajen nakan (nasi) dan telur memiliki makna putih, cerah, dan bersih. Makna tersebut dipercaya bahwa agar keadaan cuaca saat berlangsungnya acara terlihat cerah dan tidak turunnya hujan serta bersih dari kejahatan yang datang dari luar. Selain itu juga ada sesajen perlengkapan menyirih seperti hisap sempelang (rokok yang terbuat dari kulit jagung kering), daun sirih, gambir, kapur, pinang, dan bako (tembakau). Bahan sesajen tersebut ditaruh kedalam sebuah sumpit karo, serta dilengkapi dengan 2 gelas air putih.

Sumpit karo sebagai tempat perlengkapan menyirih yang dari awal ritual pawang hujan tersebut sudah menggunakan sumpit karo. Sumpit karo tersebut tidak dapat ditukar dengan wadah seperti baskom dan talam. Hal tersebut dikarenakan bahwa sumpit karo biasa digunakan sebagai wadah khas untuk tempat perlengkapan menyirih dan dikatakan sopan menggunakan wadah tersebut.

Sesajen perlengkapan menyirih memiliki makna sebagai sebuah permohonan dari pengguna jasa kepada leluhur agar cuaca saat hari H hingga selesai terlihat cerah dan tidak terjadi turunnya hujan. Sedangkan 2 gelas air putih sebagai pelengkap sesajen memiliki makna yang dipercaya sebagai minuman dan cuci tangan leluhur tersebut, hal ini yang dikatakan oleh pawang hujan Harapen

Sembiring.

82

Universitas Sumatera Utara

Adapun sebuah makna dari sajen rokok kulit jagung sebagai salah satu syarat yang sudah dari asal pertama adanya ritual pawang hujan, yang mana rokok kulit jagung tersebut sudah sebagai syarat yang diminta oleh leluhur melalui pawang hujan tersebut. Rokok kulit jagung hingga sekarang dapat ditemui, dan juga dapat dibuat dengan sendiri.

Selain sesajen rokok kulit jagung kering, ada pula menggunakan sajen rokok gudang garam merah. Rokok gudang garam merah yang biasa digunakan dalam sesajen ritual pawang hujan yang dipercaya oleh mereka sebagai sebuah penajam syarat. Rokok gudang garam merah tersebut dikatakan oleh pawang hujan sebagai rokok yang tidak memiliki filter, yang mana mereka menyebutkannya rokok para dukun. Alasan dari pernyataan tersebut mengenai rokok gudang garam merah sebagai rokok para dukun. Hal tersebut dikarenakan bahwa rokok gudang garam merah tidak memiliki filter dan rokok gudang garam merah memiliki kemiripan dengan kretek. Kretek sendiri adalah rokok yang menggunakan tembakau asli dan dilakukan secara alami tanpa ada campuran dan pembuatannya tidak dilakukan dengan menggunakan mesin. Pada dasarnya, kretek adalah sesuatu yang diciptakan tuhan dari tanaman dan berasal dari alam, maka dari itu bahwa kretek adalah salah satu media yang dipercaya dapat bersentuhan sekaligus berkomunikasi dengan dunia ghaib atau tak kasat mata.

“...kalau rokok gudang garam merah itu kami biasa bilang itu rokok dukun dan rokok untuk penajam sesajen sama berobat kampung. Kalau ditanyak alasan kenapa disebut rokok dukun ya karna rokok gudang garam merah itu mirip kayak rokok kretek dulu. Rokok kretek kan dari tembakau asli gak ada filternya dibuat sama tangan langsung. Ya jadi kretek ini kan lebih mudah berhubungan dengan hal gaib gitu. Ini karna kayak leluhur lebih suka atau

83

Universitas Sumatera Utara

gampang berkaitan dengan berbau alam asli gitu. Ya saya bilang makanya gudang garam merah ini menjadi pengganti kretek, karna lebih mudah untuk berkaitan dengan hal yang gaib dan gak pakek filter kayak lebih tajam...” Pernyataan yang dikeluarkan oleh pawang hujan dalam sebuah wawancara yang penulis lakukan oleh informan bapak Endang Sitepu (bolang tepu). Beliau juga mengatakan alasan mengapa gudang garam merah sering digunakan oleh para dukun atau rokok sesajen. Dari pembahasan diatas disimpulkan bahwa beliau mengatakan rokok gudang garam merah memiliki kemiripan dengan kretek, yang mana rokok gudang garam merah tidak memiliki filter. Maka dengan itu rokok gudang garam merah sering digunakan oleh para dukun dan menjadi sesajen karena rokok tersebut dipercaya dapat berkaitan dengan hal-hal gaib yang serupa dengan kretek yang disebutkan sebelumnya. Hal tersebut tidak semata-mata orang lain yang menggunakan rokok gudang garam merah dapat berkomunikasi dengan dunia ghaib atau kasat mata tersebut. Situasi tersebut menjelaskan, penggunaan rokok gudang garam merah yang dapat berkaitan dengan sebuah hal ghaib hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki pengetahuan mengenai hal-hal supranatural.

Dalam sebuah perlengkapan bahan untuk sesajen, ada pula sesajen berupa sprit, tuak, dan nira sebagai minuman yang disiapkan oleh pengguna jasa untuk leluhur yang ada dalam tubuh pawang hujan saat proses tarian gendang silengguri berlangsung. Sprit, tuak, dan nira juga memiliki makna sebagai sebuah rasa berterimakasih dan syukur pengguna jasa kepada leluhur, dan leluhur juga merasa puas dengan sesajen yang telah disiapkan. Hal tersebut dapat dikatakan adanya saling menguntungkan antara pengguna jasa dan leluhur. Pengguna jasa beruntung

84

Universitas Sumatera Utara

karena cuaca saat acara berlangsung tidak turunnya hujan, dan leluhur juga mendapatkan sebuah imbalan sesajen, atau disebutkan sebanding.

4.1.2. Makna Perlengkapan Peralatan

Setelah pelaksanaan persembahan sesajen siap dilakukan, kemudian pada waktu malam sebelum hari H atau biasa disebut malam silatih tepat pada waktu dilakukannya tarian gendang silengguri. Dalam proses tarian gendang silengguri, pawang hujan memiliki alat yang biasa dibawa dan digunakan oleh pawang hujan suku karo pada saat tarian gendang silengguri seperti kacemba (kain merah polos) dan kain ulos atau biasa disebutkan oleh suku karo (Uis Karo).

Kacemba (kain merah polos) dan kain ulos memiliki maknanya masing- masing. Ulos memiliki makna selain sebagai pengikat sarung yang digunakan saat tarian gendang silengguri, ulos juga memiliki makna sebagai sebuah pengikat tondi (semangat) agar kuat dari gangguan. Selain ulos, kacemba (kain merah polos) memiliki makna yang dipercaya sebagai tanda kuat, berani, membenteng turunnya hujan.

Kain panjang merah (kacempa) tersebut tidak semua pawang hujan menggunakannya, dan itu hanya tergantung kepada pawangnya, tidak ada terkhususkan oleh penggunaan kacemba (kain merah polos) tersebut. Karena setiap pawang berbeda, ada yang menggunakannya dan ada yang tidak menggunakannya saat proses tarian gendang silengguri. Alasan yang membedaan dari penggunaan kain merah panjang (kacempa) tersebut adalah dari keturunan yang didapatkannya melalui pewarisnya, ada yang diwajibkan menggunakan kain merah panjang (kacempa), dan ada yang tidak diwajibkan menggunakannya.

85

Universitas Sumatera Utara

4.2. Makna Tindakan Pawang dalam Ritual Pawang Hujan

Pelaksanaan ritual pawang hujan terdapat sebuah tindakan yang dilakukan oleh pawang hujan dalam proses ritual pawang hujan. Tindakan-tindakan yang dilakukannya tersebut memiliki makna tersendiri. Tindakan yang dilakukan oleh pawang hujan terdapat dalam sebuah persembahan sesajen, tarian gendang silengguri, dan dalam proses penghembusan asap rokok. Dalam persembahan sesajen dilakukan oleh pawang hujan saat pagi hari tepat H-1 acara berlangsung.

Persembahan sesajen dilakukan di sudut halaman belakang rumah pengguna jasa, dan sesajen tersebut diletakkan diatas tanah. Tindakan tersebut dilakukan oleh pawang hujan, yang mana memiliki makna dari posisi peletakkan sesajen persembahan tersebut. Peletakkan sudut kiri ataupun kanan sama saja dan tidak ada kriteria khusus.

Makna yang dipercaya dari peletakan di sudut belakang rumah agar sesajen aman sebagai persembahan makanan leluhur, dan jauh dari gangguan keingintahuan dan jangkauan lintasan orang-orang. Posisi peletakan sesajen tersebut juga memiliki maksud yang dipercaya oleh pawang hujan agar tidak terjadi penampakan oleh anak kecil yang melihat mahluk halus yang sedang memakan sesajen tersebut yang menyebabkan anak kecil dapat keteguran mahluk halus. Posisi sudut itu dipercaya lagi lebih aman dari jangkauan lainnya atau disebut lebih tersembunyi. Adapun tindakan lainnya yang dilakukan oleh pawang hujan dalam proses tarian gendang silengguri.

Dalam tarian gendang silengguri, diawali dengan tarian silengguri

(menortor) yang dilakukan oleh pawang hujan dengan menikmati alunan musik

86

Universitas Sumatera Utara

yang berasal dari keyboard karo yang telah disiapkan. Berlanjut dengan pawang seperti merasa terpanggil oleh alunan musik keyboard karo tersebut. Semakin kuatnya musik dan nada musik yang seperti menghentak, hal tersebut membuat pawang merasa terpanggil dan pawang pun melakukan tarian gerak seperti melompat-lompat. Makna dari gerakan tersebut dipercaya bahwa lelehur yang sudah merasuki tubuh si pawang hujan merasa cocok atau pas dalam menikmati musik tersebut, dan semakin musik bernada menghentak atau keras ia akan semakin berenergik dalam menari dan memiliki gerakan seperti meloncat-loncat.

Dalam keadaan gerakan meloncat-loncat pawang hujan meminta sesajen yang telah disiapkan seperti rokok, minuman, dan bohopong (telur) tersebut.

Situasi tersebut diawali dengan pawang hujan meminta minuman sesuai keiinginannya salah satunya seperti sprit. Hal tersebut tidak dilakukan oleh pawang hujan sendiri, melainkan ia juga membagi minuman tersebut kepada pengguna jasa dan beberapa kerabatnya yang ikut dalam tarian gendang silengguri. Dalam tarian gendang silengguri ibu dan ayah pengantin serta kerabat ikut menemani pawang menari gendang silengguri, pada saat pawang hujan meminum yang dipilihnya seperti spit, tuak atau nira, ia tidak akan meminumnya sendiri. Pawang juga akan berbagi minuman kepada ibu, ayah, dan kerabat dekat pengantin yang ikut dalam menari.

Makna dari membagikan minuman pawang hujan kepada ibu, ayah, dan kerabat pengantin bahwasanya, leluhur yang ada dalam tubuh si pawang memberikan sebuah selamat kepada ibu, ayah, dan kerabat dekat pengantin yang memiliki arti, leluhur mengatakan “habislah hajat kedua orang tua karena anakmu akan menikah dan berumah tangga”. Dengan begitu pawang

87

Universitas Sumatera Utara

membagikan minuman tersebut sebagai sebuah ucapan selamat kepada kedua orang tua pengantin atas sampainya hajat dan cita-citanya kedua orang tua tersebut untuk menikahkan anaknya.

Proses tersebut dilanjuti dengan adanya tindakan pawang hujan seperti melakukan gerakan mengelilingi halaman tarian gendang silengguri. Gerakan tersebut menjadi sebuah tindakan yang dilakukan oleh pawang hujan dalam keadaan dirasuki oleh leluhur. Hal tersebut memiliki makna dari adanya sebuah gerakan menari sambil mengelilingi halaman serta doa yang dilakukan oleh pawang hujan. Makna dari gerakan tersebut adalah beliau merusaha memagari atau memberi benteng area sekeliling rumah serta keluarga dan para tamu pengguna jasa. Proses memagari tersebut bertujuan agar jika ada kejahatan dari luar yang ingin mengganggu para keluarga serta tamu pengguna jasa, ia tidak akan dapat masuk untuk merusaknya (memberi sebuah kiriman hal-hal jahat). Hal tersebut terjadi karena pawang hujan sudah memagari atau membenteng area sekeliling rumah pengguna jasa.

“Oh gerakan nari sambil mutar-mutar (keliling) itu bikin pagar atau memagari kayak membenteng, itu untuk jaga diri keluarga sama tamu undangannya. Bukan Cuma keliling gitu aja, itu sambil membacakan doa juga agar terjaga dari kejahatan dari luar. Mana tau kan ada kiriman yang jahat dari luar yang mau merusak acaranya….” (Sumber : Hasil Wawancara Kepada Uli Surbakti Tanggal 12 April 2020)

Selesai dari melaksanakan rangkaian tarian silengguri, dilanjutkan dengan adanya gerakan penghembuskan asap rokok mengarah langit. Keadaan tersebut memiliki makna yang mereka percaya yaitu pawang hujan dengan leluhur yang berada dalam tubuhnya berusaha membenteng turunnya hujan dengan kekuatan

88

Universitas Sumatera Utara

asap rokok serta doa yang dibacakan. Penghembusan asap rokok tersebut dilakukan pawang hujan dengan menggunakan penglihatan si pawang hujan melihat awan-awan yang beliau lihat seperti menggumpal atau tebal. Pawang hujan berusaha menghembuskan asap rokoknya untuk menahan atau membenteng turunnya hujan yang berasal dari gumpalan awan tersebut.

Selain gerakan penghembusan asap rokok mengarah ke langit, pawang hujan juga sesekali menggerakkan satu tangannya seperti gerakan menolak mengarah keatas, dan sesekali beliau juga menggerakkan kedua tangannya mengarah keatas langit. Makna dari gerakan tersebut bahwa sama halnya dengan makna penghembusan asap rokok yang bermakna menahan serta menolak turunnya hujan tersebut. Gerakan tersebut dilakukan dengan menghembuskan asap rokok dan diikuti dengan gerakan tangan menolak mengarah ke langit.

Setelah penghempusan asap rokok selesai dilakukan, pawang hujan kembali ke halaman tarian gendang silengguri guna untuk menyadarkan diri.

Adapun tindakan pawang dalam menyadarkan diri, terlihat berdiri diam dan mengaitkan jari-jari tangannya mengarah keatas bermakna bahwa pawang berusaha untuk mengeluarkan leluhur tersebut dari tubuhnya. Pawang berdiri diam berusaha untuk berkomunikasi kepada leluhur melalui batinnya untuk memberitahu leluhur untuk keluar dari tubuhnya. Kemudian gerak mengaitkan jari-jari tangannya bermakna pawang berusaha sekuat tenaga seperti menarik leluhut keatas untuk keluar dengan dilanjutkan gerakan telapak tangan mengarah ke atas.

89

Universitas Sumatera Utara

4.3. Cara Menyadarkan Diri dari Leluhur

Dalam ritual pawang hujan terdapat sebuah cara menyadarkan diri dari kerasukan oleh leluhur pada pawang hujan dan seorang tamu yang terkontak dengan tarian gendang silengguri sebagai berikut:

4.3.1. Pawang Hujan Dalam Menyadarkan Diri

Dalam tarian gendang silengguri pawang hujan melaksanakannya dalam keadaan dirasuki tubuhnya oleh leluhur yang membantu dalam pelaksanaan tarian gendang silengguri tersebut. Adapun cara yang dilakukan oleh pawang hujan dalam menyadarkan dirinya dari rasukan leluhur. Pawang hujan dalam proses menyadarkan dirinya dilakukannya dengan sendiri. Pawang hujan tau waktunya kapan ia harus berhenti, dan meminta leluhur yang telah merasukinya untuk keluar dari tubuhnya. Pawang hujan mengawalinya dengan menortor pelan dan kelamaan berdiri diam dan mengaitkan jari-jari tangannya mengarah keatas kepala, dan bagian telapak tangan mengarah keatas.

4.3.2. Menyadarkan Diri Seorang Tamu dari Musik Tarian Gendang

Silengguri

Pada sebuah pelaksanaan tarian gendang silengguri, seseorang tamu yang tidak ikut serta dalam tarian gendang silengguri, antara lain ia hanya sebagai penonton juga dapat terkontak oleh musik gendang silengguri. Keadaan ini dikarenakan jika orang tersebut memiliki keturunan keluarga pawang hujan pada dulunya, yang membuat ia akan merasa terpanggil oleh musik gendang silengguri.

Dengan begitu ada sebuah cara menyadarkan diri seseorang yang terkontak oleh tarian gendang silengguri tersebut. Seseorang itu hanya dalam keadaan duduk dan

90

Universitas Sumatera Utara

menggerakkan kedua kakinya, dan tidak sampai ikut menari bersama pawang hujan.

Cara yang dilakukan yaitu pawang hujan memberikan daun sirih kepada kerabat pengguna jasa, kemudian kerabat pengguna jasa tersebut memberikan daun sirih kepada seorang tamu itu. Kerabat pengguna jasa seperti memegang tangan tamu itu, lalu meletakkan tangannya ke bagian kepala tamu tersebut. Dan terakhir kerabat pengguna jasa meletakkan daun sirih ke bagian bawah kaki tamu yang terkontak oleh musik gendang silengguri tersebut.

4.4. Respon Masyarakat Terhadap Jasa Pawang Hujan

Masyarakat Kelurahan Tanjung Langkat Kecamatan Salapian merupakan kelurahan yang masyarakatnya masih mempercayai akan adanya kekuatan supranatural. Seperti pada saat melakukan ritual pawang hujan yang memiliki kaitan dengan hal gaib atau leluhur. Setiap masyarakat dalam merespon mengenai jasa pawang hujan sangat baik dan lancar. Sehingga nantinya dalam respon yang diberikan masyarakat dalam menanggapi hal tersebut lebih mudah dipahami dan mengetahui bagaimana dengan pentingnya sebuah jasa pawang hujan dalam sebuah acara hajatan.

Masyarakat pengguna jasa pawang hujan di Kel. Tanjung Langkat tersebut dominan lebih banyak Suku Karo walaupun sebagian kecil Suku Jawa juga menggunakan jasa pawang hujan. Hal tersebut dikarenakan di Kel. Tanjung

Langkat tersebut mayoritas penduduknya bersuku Karo. Di Kel. Tanjung Langkat tersebut juga terdapat pawang hujan Suku Jawa, tetapi masyarakat di Kel. Tanjung

Langkat tersebut lebih banyak menggunakan pawang hujan Suku Karo. Pawang

91

Universitas Sumatera Utara

hujan Suku Karo dalam mendapatkan konsumen tidak menggunakan unsur doktrin, hal tersebut dikarenakan bahwa di Kel. Tanjung Langkat masyarakatnya sendiri dapat melihat secara nyata bagaimana pawang hujan berhasil dalam membenteng turunnya hujan, tanpa harus pawang hujan melakukan unsur doktrin untuk mendapatkan konsumen. Dengan begitu dapat dilihat, berikut respon para masyarakat mengenai jasa pawang hujan. Dalam hal ini penulis mewawancarai informan mengenai jasa pawang hujan antara lain:

- Respon Masyarakat yang menerima

Adapun respon masyarakat yang menjadi informan penulis mengenai jasa pawang hujan yang hingga sekarang perannya sangat penting dalam sebuah pekerjaan membenteng hujan pada saat acara tertentu. Pertama mengenai respon para pawang hujan dalam menyikapi ritual pawang hujan tersebut. Ketiga pawang hujan beragama Islam tetapi mereka tetap sangat menekunin ritual pawang hujan hingga sekarang. Walaupun dalam agama Islam dijelaskan bahwasanya mempercayai sesuatu selain kekuatan Allah SWT termasuk perbuatan musrik, tetapi para pawang hujan tetap memegang teguh ritual pawang hujan yang bersifat supranatural. Para pawang hujan mengatakan bahwa ritual pawang hujan tersebut sebagai sebuah tradisi budaya mereka yang dilakukan secara turun temurun dan tidak pernah mengecewakan bagi mereka. Dalam ritual pawang hujan mereka juga meminta pertolongan ke pada Tuhan sebelum meminta pertolongan kepada leluhur. Mereka tetap mempercayai adanya kekuatan Tuhan dan mereka mengabungkannya dengan meminta pertolongan kepada leluhur agar ritual tersebut dapat berjalan dengan lancar.

92

Universitas Sumatera Utara

Adapun penjelasan dari Clifford Geertz antropologi budaya kehidupan

Jawa dalam Jurnal Dudy Imanuddin Effendi berjudul “The Religion of Jawa

Karya Clifford Geertz”, Geertz melihat agama sebagai fakta budaya bukan semata-mata sebagai ekspresi kebutuhan sosial tersembunyi meskipun hal-hal ini juga diperhatikan melalui simbol, ide, ritual, dan adat kebiasaanya. Agama juga bukan hanya tentang asal-usul manusia, surga, dan neraka, tetapi juga merajut perilaku politik saat memilih partai dan corak paguyuban. Dalam buku Abangan,

Santri, Priyayi dalam masyarakat Jawa, Geertz juga menjelaskan fenomena agama

“Jawa” ke dalam tiga varian utama yaitu abangan, santri, dan priyayi.

Orang Jawa mengakui satu varian atau tradisi agama “abangan”. Tradisi agama Abangan, pada pokoknya terdiri dari pesta ritual yang disebut , satu kompleks kepercayaan yang luas tentang roh-roh dan seperangkat teori dan praktek penyembuhan, ilmu ghaib dengan cara yang luas dan umum pada desa

Jawa. Dalam pernyataan ini, dapat disimpulkan bahwa abangan sebagai varian agama mengacu kepada bahasa sehari-hari disebut tradisi rakyat dan tradisi kaum tani. Varian agama abangan mencerminkan pemberian tekanan pada aspek-aspek animisme dari sinkretisme Jawa secara keseluruhan. Salah satu ciri orang abangan adalah sikap masa bodoh terhadap ajaran dan hanya terpesona oleh sebuah upacara. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa abangan mengacu kepada kategori sosial yang empiris, yang tidak melibatkan diri secara aktif dalam agama Islam.

Geertz juga menjelaskan varian “santri” mengacu kepada ciri-ciri yang lebih pasti, kepada pola-pola kebudayaan yang hanya diasosiasikan dengan orang- orang santri saja. Pola ini termasuk sebuah sistem yang jelas tentang kepercayaan, nilai-nilai, dan norma-norma yang sebenarnya lebih dikenal sebagai tradisi agama

93

Universitas Sumatera Utara

Islam. Varian santri dimanifestasikan dalam pelaksanaan yang cermat dan teratur, ritual-ritual pokok agama Islam, seperti kewajiban salat lima waktu sehari, salat

Jum’at di masjid, berpuasa selama bulan Ramadhan dan menunaikan ibadah haji ke Mekah. Di desa-desa terdapat unsur santri yang kuat, yang sering kali dipimpin oleh para petani kaya yang telah naik haji ke Mekah dan kembali dengan mendirikan pesantren-pesantren.

Geertz dalam menjelaskan sebuah kaum priyayi, yaitu kaum elite yang sah memanifestasikan satu tradisi agama yang khas disebut sebagai varian agama priyayi. Priyayi yang hanya mengacu kepada golongan bangsawan yang turun- temurun yang telah dilepaskan Belanda dari ikatan mereka dengan kerajaan asli, lalu dijadikan pegawai negeri diangkat dan digaji. Mereka tidak menekankan unsur animisme dalam sinkretisme Jawa secara keseluruhan sebagaimana dilakukan oleh kaum abangan, tidak pula menekankan unsur Islam sebagaimana dilakukan oleh kaum santri, melainkan mereka menekankan sebuah unsur

Hinduisme, (Dudy Imanuddin Effendi, 2020). Maka dengan begitu ritual pawang hujan masyarakat Suku Karo tersebut dapat dikatakan masih dalam varian abangan yang masih menganut sebuah unsur animisme.

Respon informan penulis berikut mengatakan bahwa ritual pawang hujan pada suku karo yang ada di Kelurahan Tanjung Langkat merupakan tradisi yang sudah sejak lama diyakini oleh masyarakat. Informan menjelaskan bahwa tradisi sudah ada secara turun-temurun hingga kegenerasi dirinya. Beliau merasakan sebuah keajaiban dari jasa pawang hujan pada saat pernikahannya. Disaat acara pernikahannya, keluarga beliau tak lupa menggunakan jasa pawang hujan dalam membenteng turunnya hujan. Beliau mengatakan pada waktu hari menuju acara

94

Universitas Sumatera Utara

pernikahannya, cuaca sedang tidak baik dikarenakan dalam musim hujan. Tetapi dengan ajaibnya pada saat acara berlangsung tidak ada terjadi turunnya hujan, cuaca pun terlihat bagus.

Dengan begitu beliau sangat mempercayai kekuatan sebuah jasa pawang hujan, yang mana jasa pawang hujan sendiri ada kaitannya dengan hal ghaib yaitu dengan meminta bantuan dari leluhur. Jasa pawang hujan dianggap sangat membantu dalam sebuah acara hajatan. Orang tua beliau dulunya juga menggunakan jasa pawang hujan tersebut. Dapat dikatakan bahwa ritual pawang hujan harus tetap untuk dipertahankan dikarenakan hasil yang didapat sangat memuaskan para pengguna jasa dalam berjalannya acara pernikahan dengan lancar. Pernyataan dalam sebuah wawancara yang penulis lakukan oleh informan

Ratna Sembiring 32 tahun.

Dari sebuah pengalaman informan yang penulis temui dalam sebuah wawancara mengenai respon tentang jasa pawang hujan. Pengalaman tersebut terjadi kepada Mila Nuriah, beliau menjelaskan bahwa sebuah jasa pawang hujan suku karo yang baru beliau ketahui saat beliau menikah dengan suaminya yang bersuku Karo. Mila Nuriah sendiri bersuku Jawa, dalam suku beliau juga terdapat sebuah ritual pawang hujan dalam suku Jawa. Hanya saja beliau baru mengetahui ritual pawang hujan Karo. Dengan melakukan beberapa tahapan, salah satunya hembusan asap rokok. Beliau yang awalnya tidak mempercayai dengan menggunakan hembusan asap rokok dapat membenteng turunnya hujan. Tetapi dengan merasakan serta melihat hasilnya dengan sendirinya, beliau dapat mempercayainya. Beliau mengatakan bahwa jasa pawang hujan sangat berpengaruh penting dalam sebuah acara pernikahannya. Banyaknya orang merasa

95

Universitas Sumatera Utara

resah disaat menggelar sebuah acara dan saat itu terjadi turunnya hujan. Hal itu membuat banyak rasa kecewa, seperti kurangnya tamu berhadir, situasi pesta menjadi basah dan becek membuat orang susah untuk melangkah. Dengan begitu beliau sangat mempercayai adanya kekuatan dari ritual pawang hujan tersebut, dan tidak ada menyebabkan sebuah kegagalan dalam membenteng hujan. Hasil wawancara yang penulis lakukan oleh informan Mila Nuriah 27 tahun.

Terdapat juga sebuah respon informan mengenai jasa pawang hujan yang penulis dapatkan dari informan ibu Srilina Ginting. Beliau mengatakan bahwa ritual pawang hujan tersebut adalah sebuah tradisi yang diwariskan oleh nenek moyangnya secara turun temurun. Tradisi budaya ini sebaiknya akan tetap ada dan jangan sampai punah. Hal ini dikarenakan, bahwa sebuah jasa pawang hujan sangat berpengaruh untuk masyarakat dalam melaksanakan sebuah acara seperti pernikahan. Beliau semasa hidupnya hingga 55 tahun, sudah banyak merasakan jasa pawang hujan yang dikatakannya semua pekerjaan jasa pawang hujan selalu berjalan lancar. Hingga saat ini beliau belum pernah menyaksikan sebuah pekerjaan jasa pawang hujan tidak berjalan lancar. Beliau mengatakan jika ritual pawang hujan tidak ada dalam sebuah hajatan, mereka khawatir dan tidak tau bagaimana lagi cara untuk membenteng hujan jika turun disaat menggelar sebuah acara hajatan.

Ritual pawang hujan juga sangat dekat dalam keluarga informan penulis bernama bolang Sokor Surbakti. Kakak beliau tidak lain adalah seorang pawang hujan, maka dari itu beliau dan keluarganya sangat mempercayai sebuah ritual pawang hujan melalui jasa pawang hujan. Beliau mengatakan bahwa ritual pawang hujan sudah ada diwariskan ke keluarganya. Dengan begitu beliau sangat

96

Universitas Sumatera Utara

mempercayai sebuah jasa pawang hujan tersebut. Beliau juga mengatakan bahwa masyarakat biasa saja sangat mempercayai jasa pawang hujan karena menjadi satu-satunya penolong dalam sebuah acara. Apa lagi dengan diri nya yang memiliki keturunan menjadi pawang hujan, yang mana beliau dan keluarganya sangat mempercayai ritual pawang hujan tersebut. Dikatakan bahwa jasa pawang hujan sebagai sebuah penolong bagi masyarakat yang melaksanakan sebuah acara hajatan. Apabila ritual pawang hujan tidak dijaga dan dipertahankan, beliau mengatakan bahwa ia dan keturunan berikutnya tidak tahu cara apa lagi yang menjadi penolong mereka dalam membenteng hujan dalam sebuah acara. Hasil wawancara penulis dengan Sokor Surbakti 52 tahun.

Dalam sebuah penggunaan jasa pawang hujan, informan penulis mengatakan bahwa tidak ada patokan harga bayaran, hanya saja memberi seikhlas hati. Maka dari itu dengan adanya ritual pawang hujan tersebut, yang mana jasa pawang hujan yang beliau katakan, bahwa prosesnya selalu berjalan lancar tanpa ada kegagalan dalam membenteng turunnya hujan. informan penulis juga mengatakan bahwa anaknya pernah bertanya kepadanya soal keajaiban dari ritual pawang hujan tersebut. Yang mana anak beliau pernah melihat, bahwa hanya dengan melakukan tarian dan hembusan rokok dapat membenteng turunnya hujan.

Dengan adanya pertanyakan tersebut, membuat beliau menjelaskan bahwa pelaksanaan ritual pawang hujan tidak hanya dengan menari dan hembusan rokok saja. Tetapi memiliki tahapan yang dilakukan oleh pawang hujan agar hujan tidak turun. Beliau mengatakan bahwa pentingnya untuk mengajarkan dan memberitahukan kepada anak tentang tradisi budaya yang ada pada suku masing- masing. Hal tersebut bertujuan agar anak dapat mempertahankan tradisi tersebut

97

Universitas Sumatera Utara

dan tidak meyebabkan hilangnya sebuah tradisi budaya yang ada. Pernyataan dari hasil wawancara penulis dengan Buah Barus 40 tahun.

Dari respon masyarakat tentang jasa pawang hujan tersebut dapat dikatakan, bahwa masyarakat menganggap jasa pawang hujan sangat membantu dalam sebuah hajatan. Ritual pawang hujan sendiri dikatakan sebagai sebuah tradisi yang sampai sekarang dilakukan secara turun-temurun. Mereka mengganggap jasa pawang hujan sangat berpengaruh penting dalam sebuah penggelaran sebuah hajatan atau even. Mereka berusaha untuk tetap mempertahankan ritual pawang hujan ini. Jika ritual pawang hujan tidak ada dalam sebuah hajatan, mereka khawatir dan tidak tau bagaimana lagi cara untuk membenteng hujan jika turun disaat menggelar sebuah hajatan. Mereka mengganggap ritual pawang hujan sebagai sebuah usaha yang mereka lakukan agar acara berjalan lancar.

Sebuah ritual pawang hujan hingga saat ini dikatakan oleh para pengguna jasa bahwa selama mereka menggunakan jasa pawang hujan dalam sebuah hajatan belum ada pernah terjadi kegagalan dalam membenteng turunnya hujan. Ritual pawang hujan tersebut selalu berjalan lancar dan membuahi hasil yang baik.

Dengan begitulah para pengguna jasa sangat mempercayaai yang nama sebuah ritual pawang hujan tersebut dalam menggelar sebuah acara hajatan.

- Respon Masyarakat yang menolak

Adapun respon seorang ustadz sebagai informan penulis yaitu Marlis

Safriuddin, 61 tahun mengenai pembahasan tentang jasa pawang hujan. Beliau termasuk seorang tokoh agama di Kel. Tanjung Langkat tersebut. Penulis ingin

98

Universitas Sumatera Utara

mengetahui bagaimana pandangan dan respon seorang ustadz melihat adanya sebuah ritual pawang hujan. Beliau pribadi mengatakan tidak mempercayai ritual pawang hujan tersebut, dikarenakan dalam ritual pawang hujan diikutsertakan dengan kekuatan mistis seperti dengan bantuan roh-roh halus. Hal tersebut dapat dikatakan musyrik atau menduakan ke Esa-an Allah SWT. Segala sesuatu di muka bumi ini tercipta atas izin Allah, dan jika ingin meminta pertolongan sebaiknya memintalah kepada yang menciptakan bumi ini.

Dalam membenteng turunnya hujan saat acara tertentu seperti pernikahan, beliau hanya mempercayaai sebuah ke Esa-an Allah SWT. Dengan segala urusan sesuatu yang mengganjal dan dapat membuat ketakutan tersendiri pada diri sebaiknya memintalah kepada Allah dan percaya bahwa ia akan dapat membantu serta mengabulkan doa kita. Beliau bersuku Jawa, walaupun dalam suku Jawa juga terdapat sebuah ritual pawang hujan, beliau juga tidak mempercayaai ritual tersebut.

Beliau juga mengatakan bahwa hingga sekarang ritual pawang hujan tersebut terus dilaksanakan oleh masyarakat Karo di Kel. Tanjung Langkat. Beliau tidak keberatan dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat Karo dalam mempercayai ritual pawang hujan tersebut. Tetapi beliau pribadi tidak mempercayai dan tidak ingin menggunakan ritual pawang hujan yang ada pada suku Karo maupun sukunya sendiri yaitu suku Jawa.

Pengalaman beliau saat menikahkan putrinya yang menikah dengan seorang pria bersuku Karo, beliau mendapat tawaran dari pihak keluarganya serta keluarga pihak menantunya untuk melakukan ritual pawang hujan agar acara

99

Universitas Sumatera Utara

pernikahan jauh dari kendala dan turunnya hujan. Dengan keyakinan yang kuat, beliau menggelar acara pernikahan putrinya tanpa menggunakan ritual pawang hujan. Sebuah cara yang dilakukan oleh ustadz tersebut hanya meminta berdoa dan yakin dengan kekuatan Allah agar acara pernikahan anaknya berjalan lancar tanpa sebuah kendala dan turunnya hujan. Dengan begitu, di hari acara berlangsung hingga selesai tidak ada turunnya hujan. Beliau sanagt percaya dengan kekuatan Allah, tidak ada yang lebih kuat dari kekuatan Allah SWT.

- Respon Masyarakat yang netral

Berbeda pula pada informan penulis berikutnya pak Mamud 55 tahun, seorang yang biasa menjadi imam masjid di Kel. Tanjung Langkat, dan beliau bersuku Jawa. Keluarga beliau pribadi masih menggunakan ritual pawang hujan hingga sekarang. Dalam keluarga beliau sudah bercampur antara suku Karo dan suku Jawa. Beliau mengatakan tidak sepenuhnya mempercayai, tetapi hanya saja menganggap ritual pawang hujan tersebut sebagai sebuah tradisi kebudayaan yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya dahulu. Sebuah tradisi kebudayaan tersebut dikatakannya sebaiknya tetap dilestraikan hingga anak cucunya kelak, hal tersebut dilakukannya agar tradisi tersebut tidak punah.

Beliau juga mengatakan sebuah ritual pawang hujan tersebut sangat berpengaruh dalam sebuah acara seperti pernikahan. Hal ini dilakukan agar hujan tidak turun secara tiba-tiba. Dalam sebuah ritual pawang hujan pada suku Karo maupun suku Jawa tetap sama-sama menggunakan bantuan roh-roh halus atau leluhur terdahulu, tetapi dalam ritual tersebut juga tidak lupa untuk meminta dan

100

Universitas Sumatera Utara

berdoa kepada Allah SWT. Hal tersebut dikatakannya dalam melakukan segala sesuatu harus ingat dengan adanya Allah SWT.

101

Universitas Sumatera Utara BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Penduduk Kelurahan Tanjung Langkat merupakan salah satu Kelurahan dari Kecamatan Salapian. Kehidupan dari mayarakatnya terlihat dari praktek hidup mereka baik dalam pergaulan sesama suku maupun dengan suku-suku bangsa lainnya yang berdomisili. Dengan adanya perbedaan agama dan kepercayaan dalam sebuah daerah, perbedaan tersebut tidak membuat mereka menjadi saling tidak menghargai. Perbedaan tersebut makin membuat sebuah terjalinnya kerukunan dan hormat-menghormati antara sesama umat beragama.

Perbedaan agama dan suku yang ada dalam setiap agama memiliki berbagai ritual yang masih dilakukan hingga sekarang, yang mana ritual tersebut berasal dari diwariskan turun-temurun. Sama halnya dengan suku Karo di Kelurahan Tanjung

Langkat, mereka memiliki sebuah ritual pawang hujan yang telah penulis bahas.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kelurahan Tanjung Langkat penulis menarik kesimpulan dalam pembahasan mengenai ritual pawang hujan

Suku Karo di Kelurahan Tanjung Langkat. Dalam ritual pawang hujan tersebut memiliki beberapa tahapan pelaksanaan dalam ritual pawang hujan Suku Karo yaitu berawal dari pemesanan jasa pawang hujan, mempersiapkan media alat dan bahan, penyembahan sesajen kepada leluhur, tarian gendang silengguri berserta dengan penghembusan asap rokok oleh pawang hujan. Proses pelaksanaan ritual pawang hujan dalam tahapan pelaksanaan terbagi dua waktu pelaksanaan ritual.

Pembagian waktu seperti dalam pelaksanaan persembahan sesajen dilakukan pada

102

Universitas Sumatera Utara

pagi hari H-1 sebelum acara berlangsung, dan dalam pelaksanaan tarian gendang silengguri dilaksanakan pada malam hari sebelum hari H atau biasa dikatakan malam silatih.

Dalam ritual pawang hujan terdapat makna perlengkapan bahan dan peralatan serta makna dari tindakan yang dilakukan oleh pawang hujan. Makna tersebut terdapat pada sesajen persembahan yaitu satu ekor ayam yang sudah dimasak. Satu ekor ayam tersebut bermakna satu, utuh, dan kuatnya leluhur dalam membenteng hujan. Terdapat juga tindakan yang dilakukan pawang hujan seperti gerakan menortor sambil memutari halaman tarian gendang silengguri. Tindakan tersebut memiliki makna bahwa pawang hujan dalam keadaan bekerja memagari sekeliling rumah pengguna jasa dari gangguan jahat kiriman dari luar.

Menurut Clifford Geertz sebuah makna itu tidak terletak di dalam kepala manusia, melainkan makna dan simbol dimiliki bersama pada setiap komunitas sosial yang sama pula. Sebuah simbol dan makna yang ada pada satu komunitas sosial yang satu dengan yang lainnya memiliki arti yang berbeda dalam mengartikannya. Banyak terdapat berbagai makna yang ada dalam sebuah pelaksanaan ritual pawang hujan tersebut. Makna yang terkandung dalam simbol- simbol yang ada pada ritual tersebut berbeda dengan makna yang diketahui oleh komunitas sosial lainnya.

5.2. Saran

Berdasarkan apa yang telah dijelaskan dalam hasil penelitian yang telah diuraikan di atas, bahwa penulis dapat memberikan beberapa saran dalam penelitian ini sebagai berikut :

103

Universitas Sumatera Utara

1. Untuk masyarakat suku Karo di Kelurahan Tanjung Langkat Kecamatan

Salapian diharapkan dapat mengenalkan dan mengajarkan kepada anak

cucu tentang ritual pawang hujan. Hal tersebut dikarenakan agar mereka

memahami arti peninggalan budaya dari nenek moyang atau masyarakat

terdahulu akan simbol-simbol pada ritual pawang hujan tersebut.

2. Dalam acara pernikahan, masyarakat sangat yakin dengan jasa pawang

hujan di Kelurahan Tanjung Langkat Kecamatan Salapian. Dengan begitu

penulis memberi saran untuk masyarakat agar tetap menjaga nilai-nilai

agama yang dimiliki oleh masing-masing anggota masyarakat, agar tidak

terlalu berpegang teguh dengan keyakinan supranatural yang dipercayai

hingga saat ini. Masyarakat boleh meyakini ritual pawang hujan sebagai

warisan nenek moyang yang harus dijaga, tetapi masyarakat juga harus

dapat menyeimbangkan antara peninggalan budaya yang ada dengan

kepercayaan terhadap agama.

104

Universitas Sumatera Utara DAFTAR PUSTAKA

Buku

Adimihardja, Kusnaka. 1976. Kerangka Studi Antropologi Sosial Dalam

Pembangunan. Bandung: Tarsito

Berger, Arthur Asa. 2010. Pengantar Semiotika. Yogyakarta: Tiara Wacana

Fischer, Th. 1957. Pengantar Anthropologi Kebudayaan Indonesia. Djakarta: P.T.

Pembangunan

Ginting, Meneth. 1990. Idaman & Harapan Masyarakat Desa Kabupaten Karo.

Medan: USU Press

Koentjaraningrat.1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: P.T. Dian

Rakyat

Koentjaraningrat. 2015. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta

Masinambow, E.K.M. 1997. Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia.

Jakarta: Asosiasi Antropologi Indonesia

Nazaruddin, Kahfie. 2015. Pengantar Semiotika. Yogyakarta: Graha Ilmu

Saifuddin, Achmad Fedyani. 2005. Antropologi Kontemporer Suatu Pengantar

Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta: Prenada Media Group

105

Universitas Sumatera Utara

Jurnal

Br. Barus, Repelita. “Bentuk Penyajian Gendang Binge Pada Upacara Gendang

Guro-guro Aron Di Desa Tambunan Kecamatan Salapian Kabupaten

Langkat”. 2014, Digilib.unimed.ac.id

Effendi, Dudy Imanuddin. “The Religion of Jawa Karya Clifford Geertz”. 2020,

Digilib.uinsgd.ac.id

Junalisah, Evi. “Peranan Pawang Hujan Dalam Pelaksanaan Pesta Pernikahan

Pada Etnis Jawa Di Tinjowan Kecamatan Ujung Padang Kabupaten

Simalungun”. 2016, Unimed.ac.id

Keesing, R. “Teori-Teori Tentang Budaya”. 2014, Antropologi Indonesia No.52

Kurnia, Sintia. “Kepercayaan Masyarakat Terhadap Ritual Memindahkan Hujan

di Kecamatan Tualang Kabupaten Siak”. 2017, Jom Fisiop Vol.4 No.2

Laila, Arofah Aini. “Kepercayaan Jawa dalam Novel Wuni Karya Ersta

Andantino (Interpretatif Simbolik Clifford Geertz)”. 2017, Vol. 01 No.01

Pratiwi, CA. “Harai: Telaah Konsep Religi Koentjaraningrat”. 2017, Japanology

Vol.5 No.2

Sunarto. “Shamanisme: Fenomena Religius dalam Seni Pertunjukan

Nusantara”.2013, Harmonia Vol.13 No.2

Skripsi

Ashari, Anne Resfanda Sepenty Rinal. “Nyirep Udan Dalam Acara Pernikahan

Masyarakat Dusun Damarsi, Mojoanyar, Mojokerto: (Tinjauan Perspektif

106

Universitas Sumatera Utara

Teori Konstruksi Social Perter Ludwig Berger Dan Thomas Luckman)”.

Skripsi. Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan

Ampel, Surabaya, 2018.

Nurfitriyanti. “Kepercayaan Masyarakat Terhadap Pawang Hujan Di Desa

Kedaburapat Kecamatan Rangsangbaratkabupaten Kepulauan Meranti

Ditinjau Dari Aqidah Islam”. Skripsi. Fakultas Ushuluddin Universitas

Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, Pekanbaru, 2012.

Artikel di Internet

Widad, Nurul. “Sistem Religi dan Kepercayaan”.

https://www.google.com/amp/s/www.kompasiana.com/amp/nurulwidad/si

stem-relihi-dan-kepercayaan_54f759b9a33311d2338b46a5(Diakses 12

Mei 2014)

107

Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN

Dokumentasi Penelitian Lapangan

(foto penulis dengan pengguna jasa pawang hujan) (foto penulis dengan pawang hujan)

(foto proses pembuatan hisap sempelang/rokok terbuat dari daun jagung kering)

108

Universitas Sumatera Utara

(foto pawang meminta rokok)

(foto pemesanan jasa pawang hujan)

(foto memberikan daun sirih yang sudah didoakan guna untuk memulihkan tamu yang ingin ikut dirasuki oleh leluhur)

(foto pawang saat gerakan tarian seperti meloncat-loncat)

109

Universitas Sumatera Utara