TEOLOGI PERDAMAIAN DALAM JAMAAH TABLIGH DI AMBON

Disertasi Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor Dalam Bidang Pemikiran

Oleh: Baco Sarluf NIM. 31161200000160

Pembimbing

Pembimbing I : Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Fakih, MA Pembimbing II : Prof. Dr. Amany Burhanuddin Lubis, MA

Konsentrasi Pemikiran Islam Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2019/1441

KATA PENGANTAR

Sanjungan dan pujian yang tak terhingga penulis ungkapkan sebagai rasa syukur kepada SWT. Tuhan semesta alam. Dengan inayah-Nya jualah penulisan buku ini dapat diselesaikan. Begitu pula, shalawat dan salam dihaturkan baginda Nabi Muhammad Saw., keluarga, sahabat, dan para pengikut beliau sampai hari Akhir Jaman. Buku ini semula merupakan hasil dari penelitian penulis untuk disertasi doktor pada Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul yang diambil pada saat itu adalah “Teologi Perdamaian dalam Jamaah Tabligh di Ambon”. Penulis harus akui bahwa banyak pihak telah turut ambil bagian menyumbangkan jasa mereka dalam penyelesain buku ini. Sampai dengan saat ini dan juga seterusnya penulis masih tetap mengharapkan bantuan pertolongan dari siapa saja atau pihak mana pun, terutama untuk perbaikan dan penyerpunaan isi buku ini lebih jauh lagi. Pada kesempatan ini pula penulis perlu sekali menyatakan terima kasih yang tak terhingga kepada para promotor yang telah banyak memberikan bimbingan selama penelitian. Mereka-mereka itu ialah Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Fakih, M.A., dan Prof. Dr. Amany Burhanuddin Lubis, M.A., masing- masing sebagai promotor I dan II. Tak lupa juga penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada promotor I sebelumnya, yaitu Prof. Dr. Yunan Yusuf, M.A., yang karena telah sampai pada masa purna baktinya di lembaga ini, terpaksa harus mengambil sikap mengundurkan diri dari pembimbingan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada para penguji, baik pada saat ujian pendahuluan maupun ujian promosi. Mereka adalah Prof. Dr. Jamhari Makruf, M.A., Prof. Dr. H. Dedi Djubaedi, M.Ag., Prof. Dr. Iik Arifin Mansurnoor, M.A., dan Prof. Dr. Sukron Kamil, M.A. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada pihak lembaga di mana penulis mengabdikan diri sebagai dosen, yaitu Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon. Lembaga ini, selama berada di bawah kepemimpinan rektor-rektor Prof. Dr. H. Dedi Djubaedi, M.Ag., dan Dr. H. Hasbollah Toisuta, M.Ag., tak henti-hentinya memberikan bantuan, baik moril maupun materi. Lembaga yang juga mendapat ucapan terima kasih adalah Fakultas Ushuluddin Dan Dakwah. Unit ini beserta seluruh stafnya dan rekan kerja lainnya, selama di bawah kepemimpinan dekan- dekannya, yaitu Dr. Hasan Lauselang, M.Ag., Dr. Ismail Tuanany, M.M., Dr. Achmad Mujadid Naya, M.Pd., dan Dr. Ye Husen Assagaf, M.Fil.I., banyak pula memberikan bantuannya. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada lembaga SPS Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Lembaga ini telah menjadi tempat terbaik selama penulis menimba ilmu. Berikut seluruh stafnya, terutama sekali para direkturnya, yaitu Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A., Prof. Dr. Masykuri Abdillah, M.A., dan Prof. Dr. Jamhari Makruf, M.A. Lagi, ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada semua ahli keluarga penulis sendiri, yaitu kedua Almarhumani Ayahanda Abdurrahman Sarluf dan Ibunda Siti Aminah Tjiu, yang telah berjasa melahirkan, mendidik dan mengasuh serta membesarkan penulis. Begitu juga terima kasih kepada kedua istri tercinta, i

Korsin Latuconsina, S.Ag.M.Pd.I dan Iasha Khairunnisa Karepesina, S.H.I serta semua anak, yaitu Ruslan Abdurraziq Sarluf, S.H., Nurul Hasanah Sarluf, Nurul Mardhiyah Sarluf dan Muhammad Rafif Sarluf. Para orang tua mertua penulis, kedua Almarhumani Muhammad Qasim Latuconsina dan Siti Hajar Karepesina serta Drs. H. Idris Karepesina dan Siti Hajar Latuconsina, S. Ag. Termasuk semua saudara-saudara kandung dan saudara-saudara ipar. Ucapan terima kasih kepada Saudaraku Adam Rahayaan, S.Ag.,M.Si beserta seluruh keluarga besarnya. Haruslah penulis akui bahwa mereka pun telah banyak memberikan bantuan moril maupun materil. Ucapan terima kasih juga para pimpinan dan staf pada Pusat Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan SPS Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Pada kedua lembaga ini penulis dapat temukan reverensi-reverensi berharga untuk pemenuhan data-data penelitian. Akhirnya, semua pihak yang turut serta membantu penulis. Tak dapat disebutkan lagi mereka. Hanya doa tulus dan ikhlas yang boleh penulis panjatkan kepada Allah SWT. semoga dibalas dengan kebaikan setimpal dari Allah SWT.

Jakarta, 25 Oktober 2020

Penulis,

Baco Sarluf

ii

ABSTRAK

TEOLOGI PERDAMAIAN DALAM JAMAAH TABLIGH DI AMBON

Nama : H. Baco Sarluf NIM : 31161200000160

Disertasi ini menunjukkan bahwa secara teologi perdamaian berdasar pada absolutisme. Absolutisme itu sendiri merupakan bentuk ideal sebuah kelompok dan kepentingannya. Sedangkan, perdamaian adalah model gerakan bagaimana sebuah kelompok mengupayakan perwujudan absolutisme dalam kehidupan nyata dalam rangka penegasan eksistensi diri dan kepentingannya. Melalui kepercayaan bersama terhadap absolutisme individu-individu dapat mengintegrasikan diri secara damai ke dalam satu kesatuan kelompok. Jadi, kelompok yang bersatu merupakan hasil atau bentuk kongkrit dari perdamaian. Kelompok modernis Islam, melalui absolutisme “Semua kebenaran (agama) adalah relatif”, mengklaim pluralisme agama sebagai satu-satunya paham yang benar. Sementara, dengan mengabsolutkan pemahaman mengenai Islam versi masing-masing, kelompok-kelompok fundamentalisme Islam saling menglaim diri sebagai yang benar. Klaim kebenaran (truth claim) terhadap absolutisme versi masing-masing kelompok, di satu pihak dapat menciptakan perdamain internal kelompok. Tetapi, dengan pihak lain, selalu tersedia kecenderungan untuk terjadinya konflik. Jamaah Tabligh, dalam dakwah-dakwah mereka, hanya berdasar pada makna obyektif ayat Al-Qur’an maupun hadis. Melalui makna tersebut, mereka dapat mengemukakan absolutisme universal Islam, yang dengan itu perdamaian universal dapat dibangun. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif-eksploratif. Adapun metode pendekatan yang digunakan adalah teologi, yang kemudian diperkaya dengan pendekatan-pendekatan lain, seperti filsafat, sosiologi, sejarah dan ilmu dakwah. Sumber utama penelitian berasal dari lapangan (field research), yang kemudian, lebih diperkaya lagi dengan kajian kepustakaan (library research). Langkah-langkah untuk mendapatkan hasil yang maksimal, selama penelitian dilakukan proses menganalisa data, reduksi data, penyajian data. Proses terakhir adalah penarikan kesimpulan/verifikasi data dengan menggunakan model interaktif. Penelitian ini dilakukan di Ambon dengan menghabiskan waktu selama lima tahun, dimulai dari tahun 2014 sampai dengan 2019. Sementara lokasi penelitian difokuskan di Desa Batu Merah, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon. Kata-kata kunci : Absolutisme, perdamaian, kelompok/masyarakat.

v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI iii TRANSLITERASI iv ABSTRAK v DAFTAR ISI vi DAFTAR PETA Peta I : Maluku Utara dan Maluku Tengah 44 Peta II : Kota Ambon 46 DAFTAR TABEL Tabel I : Jumlah Kecamatan di Pulau Ambon 45 Tabel 2 : Jumlah Penduduk Maluku Berdasarkan Kabupaten/Kota Di Propinsi Maluku pada tahun 2005, 2006, dan 2007 47 Tabel 3 : Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin 1990 – 2011 48 Tabel 4 : Banyaknya Penduduk Berdasarkan Agama di Kota Ambon 49 Tabel 5 : Banyaknya Sarana Peribadatan di Kota Ambon 49 Tabel 6 : Nama-nama Soa dan Matarumah di Negeri Batumerah 70 Tabel 7 : Tingkat Pendidikan Masyarakat di Negeri Batumerah 72 Tabel 8 : Berbagai Jenis Pekerjaan Warga di Negeri Batumerah 72

BAB I PENDAHULUAN 1 A Latar Belakang Masalah 1 B Permasalahan 10 C Tujuan Penelitian 12 D Manfaat Penelitian 12 E Kajian Riset Sebelumnya 12 F Metodologi Penelitian 16 G Tehnik Analisa Data 19 H Sistematika Pembahasan 20

BAB II DISKURSUS TEOLOGI PERDAMAIAN 22 A Pengertian Perdamaian Secara Teologi 22 B Konflik, Perdamaian Dan Pembentukan Kelompok 25 C Perdamaian Versus Teologi Kelompok 28 D Perdamaian Versus Teologi Universal 34

BAB III STRUKTUR MASYARAKAT KOTA AMBON 41 A Sekilas Tentang Kota Ambon 41 B Peta Geografis, Demografis, Iklim Dan Sistem Pemerintahan 43 C Agama 53 D Pertumbuhan Penduduk, Konflik Dan Perdamaian 53 E Profil Singkat Negeri Batumerah 69 F Markaz Dakwah Jamaah Tabligh 73

vi

G Sejarah Masuk Dan Berkembang Jamaah Tabligh Di Ambon 76

BAB IV PERDAMAIAN DALAM PERSPEKTIF JAMAAH TABLIGH A Kekuasaan Allah 85 B Status Alam 90 C Kebesaran Allah 94 D Muhammad Rasul Allah 97 E Pandangan Terhadap Kehidupan Akhirat 102 F Ayat Al-Qur”an Dan Hadis Tentang la ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah 107

BAB V UPAYA PERDAMAIAN JAMAAH TABLIGH DI AMBON A Infrastruktur Masyarakat Islam Universal 114 B Kepentingan Allah Sebagai Dasar Perdamaian 120 C Upaya Membangun Perdamaian 140 D Bentuk Suprastruktur Masyarakat Islam Universal 145 E Pengorganisasian 153 F Sikap Jamaah Tabligh Terhadap Konflik Ambon 161

BAB VI P E N U T U P A Kesimpulan 165 B Temuan Disertasi Dan Saran 166

DAFTAR PUSTAKA 168 Lampiran : Fatwa MUI tentang Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme

vii

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH Sampai dengan saat ini aksi-aksi kekerasan massa masih terus saja berlangsung. Dalam skala yang lebih luas tentu saja aksi-aksi tersebut mengancam kehidupan masyarakat dunia. Sayang sekali, sebagian dari aksi-aksi tersebut justru dikontribusikan oleh gerakan-gerakan fundamentalis yang mengatas-namakan agama. Gerakan Zionis Yahudi, yang pada tanggal 14 Mei 1948 berhasil mengonsentrasikan dirinya ke dalam sebuah negara bernama Israel, telah selalu menjadi masalah bagi umat Islam, terutama bagi bangsa Palestina maupun bangsa Arab secara keseluruhan. Padahal, pendiriannya bermasalah. di mana didirikannya negara itu, sebagaimana diketahui, merupakan bagian dari kepemilikan bangsa Palestina yang dicaploknya secara tidak sah. Akibatnya, peperangan antara kedua bangsa itu pun tak terhindarkan. Pada tahun 1949 telah dimulai peperangan yang pada kali pertama itu saja telah menyebabkan banyak warga sipil Palestina, sampai mencapai 700.000 orang, terpaksa harus mengungsi keluar. Hingga saat ini belum juga terlihat bahwa situasi konflik antara keduanya akan mereda. Dalam waktu-waktu tertentu, eskalasi konflik, bahkan meletus lebih hebat daripada sebelumnya. Dengan terkonsentrasinya konflik pada wilayah-wilayah pemukiman penduduk Palestina, tentu saja bangsa ini yang paling dirugikan, baik dari segi korban jiwa maupun kerusakan materi. Kampung halaman, rumah, sekolah, masjid, dan tempat-tempat usaha untuk mempertahankan hidup mengalami kehancuran besar-besaran.1 Hal yang berlaku juga terhadap minoritas muslim Rohingya. Konflik yang telah dimulai pada tahun 2012 semakin diperparah oleh adanya sentimen agama yang dilancarkan Asosiasi Biksu Muda dan Asosiasi Biksu Mrauk Oo. Kelompok-kelompok Budhis, dengan dibantu junta militer Myanmar, melakukan pembantaian besar-besaran terhadap kaum muslimin. Korban jiwa meninggal dunia telah melebihi dari 3.000 orang. Sementara, lebih dari 80.000 orang lainnya terpaksa mengungsi keluar, ke dan ke negara-negara tetangga lainnya, termasuk Indonesia. Sebagaimana halnya di Palestina, konflik juga dipusatkan pada wilayah-wilayah pemukiman muslimin, yang mengakibatkan jatuhnya korban pada komunitas ini saja. Perkampungan beserta sekolah, masjid dan tempat-tempat usaha atau pusat-pusat perekonomian mengalami kehancuran besar- besaran.2 Di Indonesia pun tak kalah seru dengan konflik-konflik yang mengatasnamakan agama. Beberapa di antaranya saja yang perlu disebutkan, dimulai dari Posso, Sulawesi Tengah. Konflik antar umat Islam dan Kristen berlangsung dahsyat dalam tiga fase. Fase pertama berlangsung pada bulan Desember 1998. Fase kedua berlangsung pada bulan April 2000. Fase ketiga, yang

1Ardi Yansyah, “Awal Sebab Berdirinya Negara Israel”, dalam https://www.kompasiana.com. Dikutip pada tanggal 28 Nopember 2017. 2Buyung Sutan Muhlis, “Sejarah Pembantaian Terhadap Muslim Rohingya (Bagian I)”, dalam https://www. Kicknews. Today. Dikutip pada tanggal 31 Oktober 2017. 2 merupakan fase terbesar, berlangsung pada bulan Mei dan berlanjut sampai pada bulan Juni 2000. Konflik baru mereda setelah dilakukan perjanjian Malino pada tanggal 20 Desember 2001. Catatan mengenai korban jiwa agak simpang siur. Ada yang menyebutkan korban meninggal sebanyak 500 orang, ada lagi yang menyebutkan 1.000 orang, bahkan ada yang sampai menyebutkan 2000 orang. Dari versi pemerintah sendiri tercatat 557 jiwa meninggal, 384 terluka, 7.932 rumah hancur, serta 510 fasilitas umum rusak dibakar massa.3 Konflik berikutnya, yang lebih dahsyat lagi, adalah yang terjadi pada Propinsi Maluku dan Maluku Utara. Tahun-tahun sepanjang dari 1999 sampai dengan 2002 merupakan masa-masa berlangsungnya konflik secara masif. Di samping mengakibatkan kerusakan materi yang tidak sedikit, korban jiwa meninggal sampai mencapai 10.000 orang. Suatu jumlah yang cukup fantastis.4 Pada tanggal 12 Oktober 2002 dunia dikejutkan dengan bom yang meledak di Bali. Pengeboman yang disasarkan khusus terhadap orang-orang Amerika dan Australia yang sedang berada di tempat hiburan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa meninggal dunia sebanyak 202 jiwa. Kemudian, pada tanggal 1 Oktober 2005, terjadi lagi di Bali pengeboman, yang sasarannya masih terhadap obyek yang sama, tempat hiburan. Korban jiwa meninggal dunia sebanyak 23 orang. Sebelumnya, di Jakarta sudah terjadi secara berturut-turut pengeboman terhadap beberapa tempat. Bom Bursa Efek Jakarta pada tanggal 14 September 2000, bom Plaza Atrium pada tanggal 1 Agustus 2001, dilanjutkan dengan bom JW Marriot pada tanggal 5 Agustus 2003. Untung sekali bahwa kesemua insiden itu tidak sampai mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Tetapi pada Bom Kuningan yang terjadi pada tanggal 9 September 2004 sempat mengakibatkan korban jiwa meninggal, yaitu sebanyak 9 atau, bahkan sampai 11 orang. Konflik meningkat ke level internasional. Beberapa saja di antaranya yang perlu disebutkan. Pada tanggal 11 September 2001 dunia dikejutkan dengan pengeboman menara kembar World Trade Centre (WTC) di kota New York, Amerika Serikat. Cukup besar, karena di samping kerusakan hebat pada kedua gedung tersebut, korban jiwa meninggal sampai mencapai 3.000 orang.5 Sementara,

3Lihat, Kerusuhan Posso dalam Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas, dalam https://id. M. Wikipedia.org > wiki. Dikutip pada tanggal 21 Agustus 2019, jam 12.00 WIB. 4Untuk penjelasan lebih jauh mengenai konflik Maluku, lihat: Husen Assagaf, “Toleransi Kehidupan Beragama”, Hasil Penelitian yang dipersiapkan untuk Disertasi Doktor pada Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016; Rustam, Kastor, Fakta, Data dan Analisa Konspirasi RMS dan Kristen Menghancurkan Umat Muslim di Ambon-Maluku. Yogyakarta: Wihdah Press, 2000; I.O. Nanulatu, Timbulnya Militerisme Ambon Sebagai Suatu Persoalan Politik, Sosial, Ekonomi. Jakarta: Bhratara, 1966; Husni Putuhena, Buku Putih Seri 2 Konspirasi RMS dalam Kerusuhan Ambon dan Lease, Gerakan Penghancuran Islam untuk Merebut Sebuah Kekuasaan di Bumi Siwa-Lima 1950-2000, Ambon; Samuel Waileruny, Membongkar Konspirasi di Balik Konflik Maluku. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2001. 5Tidak ada bukti yang jelas, sampai dengan saat ini, mengenai siapa yang harus bertanggung jawab dalam peristiwa ini. Tuduhan dari pemerintah Amerika Serikat terhadap kelompok Al-Qaeda pimpinan Usamah Bin Laden sama sekali tidak berdasar pada satu bukti 3 di Paris pada tanggal 7 Januari 2015, terjadi juga penyerangan bersenjata oleh sekelompok orang terhadap kantor majalah Charlie Hebdo. Penyerangan itu dipicu oleh tulisan penghinaan terhadap Nabi Muhammad Saw. yang dimuat di dalam majalah tersebut. Akibat penyerangan itu, korban jiwa meninggal sebanyak 12 orang, sementara 10 lainnya mengalami luka-luka. Terakhir untuk disebutkan juga adalah konflik yang ditimbulkan dari usaha mendirikan negara Islam oleh kelompok yang menamakan dirinya Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS). Gerakan yang dilancarkan oleh fundamentalis Islam terbesar abad ini telah mengakibatkan korban jiwa meninggal mencapai lebih dari 6.500 orang.6 Bertolak dari beberapa catatan kelam sejarah agama-agama di atas, pertanyaan yang tentu saja penting untuk diajukan adalah mengenai bagaimana mengatasi dan menyelesaikan konflik-konflik tersebut? Mengapa sampai bisa agama dijadikan dasar bagi terjadinya konflik? Bagaimana cara memahami agama oleh mereka yang menciptakan konflik itu? Bagaimana pula cara memahami agama yang membawa kepada perdamaian? Terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut, tampil dua kelompok gerakan keagamaan untuk memberikan jawaban dengan cara masing- masing. Kelompok pertama dikenal dengan nama modernis Islam dan kelompok kedua adalah fundamentalis Islam.7

apa pun. Sebagian kalangan justru menuduh, dilihat dari cara gedung itu meledak dan runtuh seketika begitu ditabrak pesawat, bahwa bom telah dipasang terlebih dulu dan diledakkan bersamaan ketika pesawat menabrak gedung. Sebab, kalau pesawat saja tak mungkin bisa sedemikian hebat meledak seperti itu. Bertolak dari keanehan-keanehan itulah Dr. Zakir Naik menuduh bahwa itu semua adalah konspirasi orang dalam Gedung Putih. Lihat, https://www.youtube.com/watch?v=gvYMXyjEn88. Dr. Zakir Naik ― Manipulasi Penghancuran WTC 11 September. 6Dalam tulisannya, Mayjen TNI (Purn) Ari Suyono, yang ditujukan kepada Barat menulis, “Buat Media Mainstream yang Gagal Paham”. Sang Jenderal bertanya, “Siapa yang disebut teroris itu, yang pasti buka Islam! Dalam sejarah dunia, banyak manusia yang tidak berdosa telah menjadi korban pembunuhan secara brutal, di antaranya oleh: Joseph Stalin membunuh lebih dari 20 juta orang, termasuk 14,5 juta orang yang mati kelaparan, Mao Tse Tsung membunuh 14-20 juta orang, Benito Mussolini membunuh 400.000 orang, Ashoka dalam pertempuran Kalinga membunuh 100.000 ribu orang, embargo yang dilakukan George Bush di Irak mengakibatkan 500 anak tewas. Begitu pula dalam PD I 17 juta orang mati, PD II 50-55 juta orang mati, Bom Atom Nagasaki 200.000 orang mati, Perang Vietnam 5 juta orang mati, Perang Bosnia/Kosovo 500.000 lebih orang mati, Perang di Irak 12 juta orang mati, Perang Kamboja 3 juta orang mati dan sekian ribu orang telah mati juga di perang- perang Afghanistan, Irak, Burma, Palestina, itu semua dilakukan oleh non-muslim. Lihat, https://www.konfrontasi.com/content/politik/mayjen-tni-purn-ari-suyono-siapa-teroris-itu- yang-pasti-bukan-islam-kenapa-byk-media Group. Dikutip tanggal 25 Nopember 2019. 7Menggunakan model pembagian yang digunakan William Montgomery Watt (1909-2006), yang dimaksud dengan modernis Islam adalah mereka yang mengambil sikap liberal dalam hal pengembangan pemikiran keagamaan. Mereka menghargai dan mengakui pandangan Barat sebagai sumber pemikiran. Bahkan, dalam beberapa hal, membenarkan kritikan Barat terhadap Islam. Lebih jauh lagi, dalam upaya pencarian dan pengembangan jati diri baru, pemikiran mereka lebih diselaraskan dengan nilai-nilai Barat. Kebalikan dari kelompok ini adalah fundamentalis Islam. Dalam upaya mengembangkan jati diri muslim, kelompok ini lebih kepada mengambil sikap konservatis. Sehingga tampak upaya mereka 4

Menurut kelompok modernis Islam, konflik-konflik antar agama bersumber dari sikap merasa paling benar sendiri dari para pemeluk sebuah agama. Padahal, klaim kebenaran (truth claim) seperti itulah yang melahirkan sikap fundamentalis yang kemudian berujung kepada timbulnya radikalisme.8 Untuk meminimalisir, atau bahkan menghilangkannya sama sekali, kelompok modernis mengajukan paham pluralisme agama.9 Pikiran pokok dalam paham ini menuntut kepada setiap orang agar tidak boleh merasa benar sendiri dengan keyakinan agamanya. Kebenaran tidak tunggal. Kebenaran tersebar dalam berbagai agama dengan porsi-porsi yang berbeda. Setiap orang, di samping mengakui kebenaran agamanya, hendaknya mengakui juga kebenaran agama lain.10 “Jika ada orang bersikap eksklusif dan

dapat dilihat sebagai suatu bentuk pembedaan diri dari Barat, sekaligus untuk menjawab tantangan Barat. Dalam pandangan mereka, Barat adalah ancaman besar. Kehadirannya hanya untuk membawa umat Islam kepada degradasi jati diri. Islam adalah agama yang sudah sempurna. Kemunduran umat Islam terjadi karena kelemahan sendiri sebagai akibat dari adanya sikap menjauhkan diri dari Islam. Keadaan ini hanya akan bisa diperbaiki bila umat Islam mau kembali lagi kepada ajaran Islam yang sejati. Lihat, William Montgomery Watt, Islamic Fundamentalism and Modernity (London and New York: Routledge, 1988), h. 62. 8Tuduhan kelompok modernis Islam memang ada bukti historisnya. Penjajahan bangsa Barat terhadap bangsa Timur, yang karena itu telah menimbulkan reaksi berupa perlawanan bersenjata, mengakibatkan terjadinya kekacauan berkepanjangan. Perang yang menguras tenaga, uang, harta, tenaga dan jiwa adalah karena dimotori oleh pihak gereja (Paus dan petinggi-petinggi gereja). Pada tanggal 4 Mei 1493, Paus Alexander VI sebagai pemegang otoritas tertinggi Gereja Katolik Roma telah memberikan mandat melalui bulla (maklumat) kepada Portugis dan Spanyol untuk menyebarkan injil dan iman Kristen kepada penduduk-penduduk lain. Mandat itu mengandung penyataan tegas bahwa di luar Kristen tidak ada keselamatan (extra eclesiam nulla salus). Kedua negara itu kemudian melaksanakan pengembangan tiga misi pokok, yaitu berdagang, menaklukkan wilayah dan menyebarkan agama atau biasa diistilahkan dengan Gospel, Gold dan Glory. Lihat, Olaf Schumann, “Cristian-Muslim Encounter in Indonesia”, dalam Yvonne Yazbeck Haddad (eds), Cristian Muslim Encounters (Gainesville: University Press of Florida, 1988), 285-287. 9Hamid Fahmy Zarkasy mengumpulkan pengertian dari beberapa kamus. Dia dapati bahwa Pluralisme bermakna dua hal: Pertama, pengakuan terhadap kualitas majemuk atau toleransi terhadap kemajemukan. Kedua, doktrin yang berisi: a) Pengakuan terhadap kemajemukan prinsip tertinggi, b) Pernyataan tidak ada jalan untuk menyatakan kebenaran yang tunggal atau kebenaran satu-satunya tentang suatu masalah, c) Ancaman bahwa tidak ada pendapat yang benar atau pendapat bahwa semua pendapat itu sama benarnya, d) Teori yang seirama dengan relativisme dan sikap curiga terhadap kebenaran (truth), e) Pandangan bahwa di sana tidak ada pendapat yang benar atau pendapat bahwa semua sama benarnya, Misykat: Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi dan Islam, (Jakarta: Hasil Kerjasama INSIST dan MIUMI, 2012), 137-138. 10Salah satu tokoh penting dalam hal ini adalah John Hick. Menurut keyakinannya kebenaran adalah relatif. Hanya Tuhan yang absolut. Pengenalan manusia terhadap-Nya bersifat relatif. Agama-agama merupakan kebenaran-kebanaran Tuhan dan setiap agama memiliki kesetaraan yang sama dengan agama yang lain dalam hal membawa kebenaran. Pada poros dari semua kebenaran tersebut terdapat Kebenaran Absolut (Tuhan). Tinjajaun kritis, seperti yang dilakukan Hamid Fahmy Zarkasy, menunjukkan bahwa Hick melakukan semacam Revolusi Copernicus dengan cara memindahkan pusat gravitasi 5 merasa paling benar sendiri, maka dia adalah orang yang paling munafik,” demikian, tegas Raimundo Panikkar.11 Tentu saja pandangan mereka itu langsung mendapat tanggapan keras dari kelompok fundamentalis Islam. Pikiran kelompok modernis dianggap mencederai keyakinan Islam sebagai satu-satunya kebenaran. Mewakili fundamentalis Islam, Majelis Ulama Indonesia (MUI) segera saja mengeluarkan fatwa. Pada tanggal 29 Juli 2005 dikeluarkanlah keputusan berupa Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 7 / MUNAS VII / MUI / II / 2005, yang mengharamkan pluralisme.12 (Fatwa itu juga mengharamkan dua agenda pembaruan mereka lainnya, yaitu liberalisme13 dan sekularisme).14 Selanjutnya, MUI menyatakan sikap tegas terhadap kelompok modernis Islam dengan pernyataan-pernyataan, sebagai berikut: 1. Pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. 2. Umat Islam haram mengikuti paham pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama. 3. Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampuradukkan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain. 4. Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap

teologi dari agama-agama kepada Tuhan. Jika sebelumnya orang-orang beragama memandang setiap agama sebagai pusat yang dikelilingi Tuhan, kini Tuhanlah yang dikelilingi agama-agama. Itu berarti, agama boleh banyak tetapi Tuhan adalah satu. Lihat, Hamid, Misykat, 142. 11Raimundo Panikkar, The Intra- Religious Dialogue (New York: Paulist, 1978), 20. 12Dalam pandangan MUI, sebagaimana dinyatakan dalam keputusannya pada ayat 1, pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. Padahal menurut MUI mengakui kenyataan, sebagaimana pada keputusan pada ayat 2, pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan. Untuk lebih jelas, lihat juga Fatwa MUI pada bagian lampiran disertasi ini. 13Dalam pandangan MUI, sebagaimana dinyatakan dalam keputusannya pada ayat 3, liberalisme agama adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur’an & Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yangg bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata. Lihat juga Fatwa MUI pada bagian lampiran disertasi ini. 14Dalam pandangan MUI, sebagaimana dinyatakan dalam keputusannya pada ayat 4, sekularisme agama adalah memisahkan urusan dunia dari agama; agama hanya digunakan untuk mengatur hu-bungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial. Untuk lebih jelas, lihat Fatwa MUI pada bagian lampiran disertasi ini. 6

melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan.15 Bertolak dari fatwa MUI di atas, kelompok modernis melakukan tanggapan balik. Intinya, menolak fatwa MUI. Komentar-komentar mereka dihimpun oleh Budhy Munawar-Rachman dalam buku yang berjudul Reorientasi Pembaruan Islam, Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme: Paradigma Baru Pembaruan Islam di Indonesia. Salah satu komentarnya dalam buku tersebut bernada sangat provokatif, “Fatwa MUI mengganggu keharmonisan beragama”.16 Dari fatwa MUI dan dari tanggapan balik kelompok modernis Islam terhadap fatwa tersebut, menunjukkan bahwa cara penyelesaian konflik kelompok modernis memang bermasalah. Menegakkan perdamaian dengan cara meredusir keyakinan kelompok lain justru mengundang terjadinya konflik baru. Itu yang tidak disadari mereka. Kenyataannya, mereka yang memancing terjadinya konflik. Secara terus- menerus mereka melancarkan serangan terhadap keyakinan orang beragama. Kemudian pula, bila dilihat dari cara mempertahankan keyakinan (akan kebenaran paham mereka), ternyata kelompok modernis Islam juga berdasar pada suatu sikap fundamental. Untuk mengungkap aspek fundamental pemahaman kelompok modernis, perlu dilakukan tinjauan historis yang kemudian lebih dipertajam dengan suatu analisa secara teologis, terhadap pluralisma agama. Paham dengan pengertiannya yang bermacam-macam ini, pada awalnya hanya sekedar menganjurkan toleransi17 antar pengikut agama yang berbeda-beda. Pada perkembangan selanjutnya, toleransi dalam pluralisme mengalami perubahan tensi daripada saling menghargai dan menghormati antar pemeluk agama menjadi pengakuan akan kebenaran agama-agama. Perubahan ini didasarkan atas pandangan bahwa kebenaran tidak tunggal. Semua agama sampai dengan saat ini masih merupakan kebenaran-kebenaran Tuhan. Hal itu karena wahyu Tuhan yang turun ke dalam konteks ruang dan waktu tertentu serta melalui media kebudayaan dan adat- istiadat suatu bangsa tentu saja sudah tidak bisa lagi membawa kebenaran Tuhan dengan seutuhnya.18 Mereka kemudian mengemukakan semboyan yang berbunyi: “Semua kebenaran (agama) adalah relatif”.

15Untuk lebih jelas, lihat Fatwa MUI pada bagian lampiran disertasi ini. 16Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam, Sekularisme, Libealisme dan Pluralisme: Paradigma Baru Islam di Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat [LSAF] bekerjasama dengan Paramadina, 2010), 345. 17Toleransi, berasal dari kata “tolerare” (dari bahasa Latin), berarti sabar dan menahan diri. Toleransi juga dimaknai sebagai sikap saling menghormati dan menghargai antar kelompok atau antar individu dalam masyarakat. Dengan sikap ini, diskriminasi terhadap kelompok lain dalam sebuah masyarakat, dapat dihindari. Lihat, Toleransi – Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, dalam, https://id.m.wikipedia.org > wiki > Dikutip pada tanggal 9 September 2019, jam 10:30 WIT. 18Teologi yang dikembangkan dalam pluralisme agama terdiri dari dua aliran besar. Pertama, teologi global (global theology) atau disebut juga teologi dunia (world theology) yang diperkenalkan oleh John Hick. Menurutnya, kebenaran itu relatif, yang absolut hanya Tuhan. Manusia tidak pernah mampu memahami Tuhan. Apa yang dipahaminya hanya bersifat relatif. Kedua, teologi yang berdasarkan pada kesatuan agama-agama, dikembangkan oleh Frithjof Schuon. Tokoh yang terakhir ini melihat agama memiliki dua aspek: eksoterik 7

Semboyan di atas kontradiktif. Di satu pihak menolak absolutisme, tetapi di pihak lain, mengabsolutkan kekeyakinan mereka tentang relatifisme. Maksudnya, menganggap bahwa setiap kebenaran, apa pun bentuknya, pasti bersifat relatif. Jadi, relatifisme menjadi kebenaran absolut yang secara universal melingkupi semua agama. Agama-agama mengmbil posisi sebagai kebenaran-kebenaran relatif, sehingga tampak sebagai aliran-aliran kecil dalam pluralisme. Tuhan dalam pluralisme adalah satu. Hanya saja cara memahami Tuhan dalam agama-agama yang berbeda, menjadikan antar agama yang satu dengan yang lainnya berbeda juga. Sikap menolak atau tidak mau mengakui adanya klaim kebenaran dari paham lain telah menjadikan pluralisme di Barat, dari semenjak awal kelahirannya memunculkan sejumlah permasalahan serius dalam kehidupan sosial masyarakat Barat. Pluralisme dianggap sebagai tandingan kebenaran Kristen. Kelahirannya hanya untuk menggugat secara langsung relevansi Kristen dan keyakinan Kristen sebagai kebenaran agama tertinggi. Penghinaan terhadap klaim kebenaran Kristen dilancarkan secara terus-menerus oleh kelompok humanis ateis sampai dengan abad dua puluh ini.19 Sebaliknya, usaha-usaha yang dilakukan kelompok fundamentalis Islam saat ini justru tidak menjadikan Islam sebagai kebenaran mutlak-universal, melainkan menjadi plural. Memang setiap orang Islam hanya mengakui Islam saja sebagai yang benar. Begitu pula, doktri Islam tentang perdamaian diyakini dapat menciptakan tatanan dunia yang damai dan aman secara universal. Tetapi saat ini, pertanyaan yang paling mendasar adalah Islam yang mana. Ada banyak ragam pandangan tentang ajaran Islam yang tak dapat dipersatukan begitu saja, walaupun pokok persoalannya sama. Di Indonesia, sebagaimana dikemukakan Arskal Salim, partai- partai Islam gagal mempersatukan pembicaraan mengenai syari’at Islam. Perbedaan yang terus-menerus dipertentangkan tentang makna atau maksud dari kata syariah dan istilahnya telah memunculkan perdebatan yang berkepanjangan tentang syariah yang mana, penafsiran dan pandangan siapa tentang syariah yang akan diterapkan.20 Demikian pula halnya dengan perbedaan-perbedaan yang ditimbulkan oleh gerakan- gerakan mendirikan khilafah Islamiah dari kelompok-kelompok fundamentalis Islam, seperti misalnya ISIS, HTI, FPI dan yang lainnya. Akhir-akhir ini persoalan khilafah Islamiyah sedang ramai-ramainya mencuat dengan cara yang sangat mengesankan. Tetapi, antara satu dengan yang lainnya, memperlihatkan konsep yang berlainan, yang karenanya tidak bisa mempersatukan mereka. Di Ambon suasana pluralis ditimbulkan juga oleh beberapa kelompok fundamentalis Islam. Dua di antaranya, yang sama-sama mengambil jalur politik sebagai jalan pergerakan misi mereka, perlu disebutkan di sini. Kedua kelompok tersebut adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

dan esoterik. Pada tataran eksoterik, agama-agama mempunyai Tuhan, teologi dan ajaran yang berbeda-beda. Pada tataran esoterik agama-agama menyatu pada Tuhan yang sama, abstrak dan tak terbatas. Lihat, Hamid Fahmy Zarkasy, Misykat, 142-143. 19Dalam Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat, 149 20Lihat, Arskal Salim, “Which and Whose Shari’a?: Historical and Political Perspectives on Legal Articulation of Islam in Indonesia”, dalam Jurnal Indo-Islamika, Volume II, Nomor 1, 2012/1433, 31-41. 8

Walaupun berdasar pada ortodoksi Islam, meyakini Islam sebagai satu-satunya agama yang benar, tetap saja mereka berada pada jalan pemahaman dan pergerakan yang berbeda-beda. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang telah dibubarkan pemerintah RI beberapa waktu lalu,21 mengambil bentuk sebagai gerakan Islam politik, walaupun tidak sampai mendirikan partai politik. Tujuan utama gerakan mereka adalah mendirikan sistem pemerintahan khilafah Islamiyah universal untuk menggantikan segala bentuk sistem yang lain.22 Dalam keyakinan mereka, sistem pemerintahan selain khilafah tidak akan bisa menyelesaikan berbagai persoalan umat Islam. Ideologi-ideologi Barat seperti kapitalisme dan demokrasi justru membawa umat terlempar keluar dari ajaran Islam. Terhadap demokrasi, walaupun pada dasarnya ditegakkan di atas kedaulatan dan kekuasaan rakyat, ia tak lebih dari suatu bentuk akumulasi kepentingan kelompok tertentu yang berhasil mencapai posisi mayoritas dalam suatu negara. Akan menjadi suatu masalah bila posisi mayoritas itu didominasi oleh orang-orang yang tidak benar. Arti dari nama Hizbut tahrir ialah “Partai Pembebasan”. Maksudnya, membebaskan manusia dari segala bentuk atau sistem kufur dan syirik. Hal itu karena dulu para sahabat Nabi Muhammad Saw. telah mendatangi berbagai kelompok manusia di berbagai penjuru dunia untuk membebaskan mereka dari kedua hal tersebut.23 Sikap yang membenarkan pemahaman sendiri tercermin dalam pernyataan “pelaksanaan hudud dianggap sah hanya apabila dilaksanakan oleh seorang khalifah”.24 Sudah tentu khalifah yang dimaksud adalah seperti yang dipahami dan berasal dari kelompok mereka. Begitu pula identifikasi kufur dan syirik dikenakan kepada semua sistem atau pun orang lain yang berada diluar mereka. Kebetulan pada saat ini sedang tumbuh gerakan-gerakan menegakkan khilafah Islamiyah yang lain, HTI sedikitpun tidak tertarik untuk mau bergabung dan membentuk suatu kesatuan gerakan.25

21Pencabutan status badan hukum itu berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan HTI. Dengan adanya pencabutan SK Badan Hukum HTI, maka ormas tersebut dinyatakan bubar sesuai dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 Pasal 80A. Artikel ini dapat dilihat pada Kompas.com dengan judul "HTI Resmi Dibubarkan Pemerintah". Lihat, https://nasional.kompas.com/read/2017/07/19/10180761/hti-resmi-dibubarkan- pemerintah. Penulis : Ambaranie Nadia Kemala Movanita. 22Lihat, Masdar Hilmy, “Akar-Akar Transnasionalisme Islam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)”,dalam Jurnal ISLAMICA, Volume 6, Nomor 1, September2011, 1-11. 23Hasil wawancara dengan Munawir Umakaapa, Koordinator Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) wilayah pulau Ambon, pada tanggal 12 Februari 2014. 24Hafidz Abdurrahman, “Sahkah Pelaksanaan Hudud Bukan oleh Khalifah”, dalam Al-Wa’ie, Nomor 163, Tahun XIV, 1-31 Maret 2014, 43-45. 25TEMPO.CO, Banjarmasin pada MINGGU, 24 JANUARI 2016 | 15:50 WIB. dengan judul berita “HTI: Kami Berjuang demi Khilafah, tapi Beda dengan ISIS” - Anggota Lajnah Tsaqofiah DPP Hizbut Tahrir Indonesia, M. Shiddiq Al-Jawi, mengakui memiliki konsep perjuangan khilafah yang sama dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Namun Al-Jawi menegaskan, HTI punya sudut pandang berbeda menuju konsep negara khilafah tersebut. ISIS, ia membandingkan, berjuang lewat jihad dan peperangan untuk menegakkan khilafah. “HTI menegakkan khilafah tidak dengan perang atau jihad, tapi dakwah. Rasulullah (Nabi Muhammad) mendirikan negara Islam pertama di Madinah dengan cara dakwah. Kami 9

Lain halnya dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Walaupun menempuh jalur politik juga dalam memperjuangkan penegakan pemerintahan yang berdasar atas Syari’at Islam di Indonesia, tetap berada pada posisi yang berseberangan dengan HTI. Bila gerakan HTI bercorak transnasional dan berada di luar sistem demokrasi perpolitikan Indonesia, PKS justru menempatkan diri sebagai salah satu partai politik nasional dan menerima dengan hati terbuka sistem pemerintahan demokrasi Indonesia. Bagi mereka, apa pun bentuk suatu negara dan sistem pemerintahan, sama sekali bukan persoalan. Karena yang diperjuangkan adalah penegakkan syari’at Islam dalam pemerintahan. Jalan untuk itu dimulai dengan memenangkan terlebih dulu suara mayoritas dalam pemilihan umum, baru kemudian diangkat penguasa yang benar-benar muslim. Dialah penguasa yang sepenuhnya akan bertanggung jawab terhadap penerapan syari’at Islam.26 Sudah tentu, penguasa Islam yang dimaksud adalah berasal dari kelompok mereka, walaupun saat ini harapan tersebut belum bisa terwujud. Masih dalam proses. Dari penjelasan-penjelasan di atas tampak bahwa setiap paham mengandung di dalamnya dua aspek sekaligus, yaitu aspek absolutisme dan relatifisme. Melalui pendekatan secara induktifis,27 tampak bahwa kelompok modernis Islam, walaupun gigih mengampanyekan relatifisme agama-agama, pada akhirnya berujung juga pada absolutisme, yaitu absolutisme sempit kelompok yang berkeyakinan bahwa relatifisme adalah kebenaran universal. Sebaliknya, dengan pendekatan secara deduktifis28 tampak bahwa fundamentalisme Islam, walaupun bertolak dari keyakinan akan absolutisme universal Islam, pada akhirnya berujung pada timbulnya berbagai relatifisme, yakni relatifisme aliran-aliran dalam Islam. Karena absolutisme, kedua kelompok dapat menciptakan kompromi internal, yang karenanya perdamaian internal kelompok dapat diciptakan. Tetapi, karena aspek relatifisme dalam masing-masing paham, menjadikan mereka tidak bisa

(HTI) ada kejelasan konsep tentang khilafah ini,” ujar Al-Jawi setelah mengisi diskusi bertema “Islam tanpa Teror: Jalan Penegakan Syariah dan Khilafah” di Banjarmasin, Sabtu, 23 Januari 2016. Menurut Al-Jawi, HTI belum menemukan kejelasan konsep khilafah yang diperjuangkan ISIS. Konsep khilafah yang dia maksud semacam konstitusi negara, pendidikan, dan sistem politik yang gamblang. Adapun HTI, Al-Jawi mengklaim, mengantongi konsep khilafah secara detail, seperti dasar negara khilafah. 26Hasil wawancara dengan Husen Maswara, salah seorang Murabbi PKS di Ambon, pada tanggal 9 Mei 2014. 27Penalaran induktif adalah cara menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus- kasus yang bersifat khusus. Contoh: Kebenaran Islam adalah relatif Kebenaran Kristen adalah relatif Kebenaran Hindu adalah relatif Kebenaran Budha adalah relatif Kesimpulan: semua kebenaran agama adalah relatif 28 Penalaran deduktif adalah cara menarik kesimpulan yang bersifat khusus dari kasus yang bersifat umum. Contoh: Islam adalah kebenaran mutlak HTI adalah kebenaran Islam Maka, HT adalah kebenaran mutlak 10 mewujudkan perdamaian secara universal. Dengan kelompok lain, selalu terbuka peluang untuk terjadinya konflik. Penjelasan di atas, sekaligus mengungkap adanya suatu kenyataan lain, yang secara fundamental, menjadi penyebab terciptanya perdamaian secara internal kelompok dan konflik eksternal dengan kelompok lain yaitu, misi penegasan eksistensi kelompok dan kepentingannya. Kedua hal inilah yang mendasari semua proses konflik dan perdamaian yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tersebut. Absolutisme paham dari sebuah kelompok mengandung kedua hal tersebut dan dipertahankan berdasarkan pada kedua hal tersebut. Sehingga, mempertahankan absolutisme paham sama dengan mempertahankan eksistensi kelompok dan kepentingannya. Kiranya, tergambar sudah bahwa penelitian ini akan mengungkap usaha-usaha perdamaian Jamaah Tabligh (JT). Walaupun, di satu pihak keyakinan dan tindakan- tindakan praktis mereka terlihat sebagai fundamentalis Islam, tetapi di pihak lain pikiran dan sikap mereka dapat menciptakan perdamaian dan menerima semua perbedaan tanpa perlu mempertentangkannya. Absolutisme yang mendasari usaha perbaikan umat diklaim mereka sebagai upaya untuk menegaskan ketuhanan Allah dan kepentingan abadi-Nya, bukan kelompok. Ini tentunya yang membedakan mereka dengan kedua kelompok di atas yang hanya memperjuangkan penegasan eksistensi kelompok dan kepentingannya semata. Dengan berbuat demikian, di samping menghindarkan mereka dari menciptakan kelompok, JT justru perlahan- lahan sedang membangun kesatuan umat berskala global universal, lintas mazhab, budaya dan bangsa (nasionalisme). Cara berdakwah demikian, dilakukan di semua tempat dalam segala keadaannya, bahkan juga ketika Ambon sedang hangat- hangatnya dilanda kerusuhan. 29 Penelitian ini menarik karena mengungkap suatu gerakan dakwah yang bersikap fundamentalis tetapi mendamaikan secara universal. Sepanjang diketahui, sampai saat ini belum ada satu pun penelitian yang telah melakukannya.

B. PERMASALAHAN (1) Identifikasi Masalah Perdebatan antara dua kelompok (modernis Islam dan fundamentalis Islam) sebagaimana telah dijelaskan di atas, memperlihatkan suatu kenyataan yang menarik, yang dapat diidentifikasi, sebagai berikut: 1. Dari perdebatan-perdebatan yang dikembangkan mereka tampak bahwa setiap paham memiliki sekaligus dua aspek, yaitu aspek absolutisme dan relatifisme. Dua aspek ini, ternyata, menjadi faktor utama dalam menentukan terjadinya perdamaian maupun konflik. Aspek absolutisme berperan merekatkan individu-individu yang berkecenderungan pada kesamaan paham kepada suatu kondisi perdamaian yang selanjutnya

29Penulis sempat menyaksikan langsung pertemuan (ijtima’) sedunia yang dilakukan di Bangladesh pada 6-9 Januari 2001. Dalam pertemuan itu, telah hadir lebih-kurang tujuh juta orang yang berasal dari 250 negara di dunia. Dalam beragam ras, tradisi, budaya, dan mazhab fiqh, mereka bisa dipersatukan dalam satu pemahaman dan gerakan. 11

direalisasikan lagi ke dalam suatu bentuk kesatuan kelompok. Tetapi aspek relatifismenya menyebabkan individu-individu yang berbeda paham terkonsentrasi ke dalam kelompok lain. Dari situ, potensi untuk terjadinya konflik selalu dalam kemungkinan yang terbuka. 2. Dalam upaya mewujudkan perdamaian, kedua kelompok sama-sama terobsesi untuk menjadikan dunia supaya hanya dalam satu kepahaman saja seraya mengingkari adanya kepahaman lain. Kelompok modernis Islam, melalui pluralisme agamanya, hanya mengakui relatifisme dan mengabsolutkannya sebagai satu-satunya kebenaran. Hal itu jelas dalam semboyan mereka “Semua kebenaran adalah relatif”. Sementara para fundamentalis Islam meyakini bahwa hanya ada satu saja yang absolut, yaitu Islam. Hanya karena ada berbagai paham mengenai Islam, maka sudah tentu ada berbagai kelompok fundamentalis dalam Islam, yang mana masing-masing meyakini bahwa hanya pahamnya yang benar. 3. Melalui absolutisme paham perdamaian internal kelompok dapat diwujudkan dan dengan absolutisme itu pula pahamnya didesakkan kepada semua orang agar sepaham denganya. Dalam upaya tersebut terkadang dengan saling menyalahkan, mengafirkan bahkan, dengan cara-cara radikalisme. Kelompok modernis Islam megambil radikalisme lembut, kelompok fundamentalisme mengambil radikalisme keras. 4. Suatu kenyataan menarik lain, yang akan dijelaskan nanti dalam disertasi ini juga adalah mengenai adanya kepentingan kelompok yang menentukan suatu kelompok bagaimana cara mereka memahami, merasa, berpikir, meyakini dan bertindak. Sudah tentu, kepentingan yang berbeda-berbeda akan menjadikan kelompok-kelompok sulit untuk mewujudkan perdamaian universal. 5. Jamaah Tabligh tampak sebagai sebuah gerakan fundamentalisme Islam. Absolutisme Islam yang ditawarkannya sepenuhnya terlepas dari aspek kepentingan kelompok, melainkan aspek kepentingan Allah. Absolutisme yang bersifat universal itu dapat menciptakan perdamaian universal dan membentuk kesatuan umat Islam universal dengan tetap memelihara berbagai perbedaan paham dalam Islam. 6. Penjelasan tentang absolutisme membawa kepada persoalan perdamaian dan perdamaian yang dimaksudkan dalam disertasi ini adalah yang wujud sebagai sebuah bentuk kesatuan kelompok. Bukan dalam pengertian sekedar sebagai suatu kondisi damai atau tidak adanya konflik. Dengan demikian, ada perdamaian versi kepentingan kelompok dan ada perdamaian versi kepentingan Allah yang melahirkan masyarakat Islam universal. Demikianlah, sejumlah poin penting yang dapat dilihat sebagai identifikasi masalah dari disertasi ini.

(2) Rumusan Masalah Dari penjelasan latar belakang masalah, yang kemudian dibuatkan beberapa identifikasi masalahnya di atas, kiranya rumusan masalah pokok dari disertasi ini 12 dapat disebutkan, sebagai berikut : Bagaimanakah teologi perdamaian dalam Jamaah Tabligh di Ambon. Bertolak dari rumusan pokok masalah di atas, permasalahan penelitian dari disertasi ini kemudian dipecah menjadi tiga, yang boleh diungkapkan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan, sebagai berikut: 1. Bagaimana perdebatan masyarakat akademik tentang perdamaian? 2. Bagaimana pula perspektif JT mengenai masalah yang sama? 3. Bagaimana peran JT di Ambon menegakkan perdamaian?

(3) Batasan Masalah Dari penjelasan tiga masalah pokok, sebagaimana disebutkan di atas, maka pembahasan disertasi ini akan dibatasi pada pandangan JT di Ambon tentang teologi perdamaian dan upaya mereka untuk menegakkannya?

C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah : 1. Untuk mengungkap perdebatan masyarakat akademik tentang teologi perdamaian 2. Untuk mengungkap teologi perdamaian Jamaah Tabligh 3. Untuk mengungkap upaya mereka membangun perdamaian universal berdasarkan kebenaran fundamental-universal

D. MANFAAT PENELITIAN Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat, sebagai berikut: 1. Memberikan kontribusi ilmiah, dalam hal pengembangan doktrin-doktrin fundamental keagamaan namun, dengan cara yang menyejukan, mendamaikan dan menyatukan. 2. Memahami bagaimana Jamaah Tabligh mengaplikasikan peran iman dan kebenaran Islam dalam usaha membangun perdamaian, persatuan dan persaudaraan. 3. Menjembatani barbagai teologi sektarian yang berkecenderungan kuat kepada pembentukan politik identitas yang mengandung potensi konflik. 4. Memberikan acuan bagi para pengembangan atau pun para praktisi yang terlibat dalam usaha-usaha perdamaian dan persatuan masyarakat dengan tetap mempertahankan kebenaran Islam. 5. Memberikan tanggung jawab kepada setiap orang agar aktif mengambil bagian dalam usaha-usaha membangun perdamaian, kesatuan dan persatuan masyarakat tanpa harus mengorbankan kebenaran fundamental.

E. KAJIAN RISET SEBELUMNYA Kajian tentang Jamaah Tabligh sudah banyak dilakukan. Beberapa di antaranya perlu dikemukakan di sini. Yusron Razak menyusun disertasi untuk program Doktor (S3)nya pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2008 dengan judul “Jamaah Tabligh: Ajaran dan 13

Dakwahnya”. Dengna menggunakan pendekatan ilmu dakwah yang diperkuat analisa atas isi (content analisist), hasil penelitiannya menunjukkan ketidak tepatan tiga peneliti terdahulu, masing-masing: Mumtaz Ahmad, menyebutkan Jamaah Tabligh sebagai gerakan fundamentalisme Islam, Abdul Aziz menyebutkan Jamaah Tabligh sebagai gerakan fundamentalis yang damai dan Jan Ali menyebut Jamaah Tabligh sebagai gerakan Islam revivalis. Yusron ingin memperkuat bahkan mengembangkan kesimpulan Barbara D. Metcalf yang menyebutkan Jamaah Tabligh sebagai gerakan tradisionalis. Ia menemukan bahwa Jamaah Tabligh merupakan gerakan Islam tradisionalis-transnasional. Ciri transnasional itu merupakan aspek dari tradisional dalam Jamaah Tabligh yang telah dikembangkan hingga melampaui batas-batas negara. Ia juga menyinggung tentang penerapan sekularisme yang disetujui oleh Jamaah Tabligh di negara Bangladesh di bawah kepemimpinan presiden Shekh Mujib-ur Rahman (periode 1971-1975). Persetujuan itu sepenuhnya berkaitan dengan distingsi yang dibuat Jamaah Tabligh antara urusan dīn dan dunya.30 Sejauh yang dia lakukan dalam penelitiannya itu, Yusron sedikit pun tidak membahas teologi perdamaian dalam Jamaah tabligh. Bertentangan dengan hasil penelitian Yusron Razak, Yoginder Sikand, melalui penelitiannya, justru memperlihatkan Jamaah Tabligh sebagai salah satu gerakan umat Islam India paling modernis. Bangkitnya Jamaah Tabligh pada 1920- an oleh Maulana Muhammad Ilyas (1885-1944) merupakan suatu fenomena menarik. Kebangkitan itu dapat dilihat sebagai suatu bentuk tanggapan terhadap pendudukan kolonialis Inggeris di satu pihak dan persaingan jumlah antara elit-elit Hindu yang mayoritas dan elit muslim yang minoritas. Gerakan yang dilakukan oleh Maulana Ilyas dan Jamah Tablighnya telah mengarah kepada suatu bentuk pemahaman baru Islam. Gerakan itu juga berhasil membentuk identitas komunitas muslim dalam batas-batas yang diakui. Dengan mengkritik praktek-praktek sufisme yang “tidak Islami” dan menekankan pentingnya Shari’ah Maulana Ilyas telah membantu menggembleng lebih jauh proses pendefenisian ulang identitas muslim di tengah pengaruh kuat Hinduisme. Pembaruan sufisme yang dilakukan oleh Maulana Ilyas dan Jamaah Tablighnya menimbulkan konsekwensi penting lebih jauh berupa desentralisasi otoritas keagamaan sufisme dalam hal wasilah. Shaikh sufi ditransformasikan menjadi guru yang mengajarkan shari’ah kepada para pengikutnya. Sufi ideal adalah bukan orang yang hengkang dari dunia untuk mengejar maqām mistis dan transendental, melainkan orang yang aktif bekerja di dunia untuk merealisasikan kehendak Tuhan di muka bumi. Dengan menerima secara kritis terhadap segala yang ditimbulkan modernitas, penolakannya terhadap masalah-masalah ikhtilāfiyah memungkinkan para pengikutnya melakukan penyesuaian pragmatis terhadap tantangan dan prospek hidup di bawah kekuasaan negara non-muslim, termasuk menerima, dalam konteks

30Yusron Razak, “Jamaah Tabligh: Ajaran dan dakwahnya”, disertasi pada Sekolah Pascasarjana Universiitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. 14 praktis, prinsip sekularisme. Dalam tulisan ini Sikand juga tidak menyinggung sama sekali teologi perdamaian Jamaah Tabligh.31 Dalam bukunya yang lain yang berjudul The Origins and Development of the Tabligh Jama’at (1920-2000), A Cross-Country Comparative Study, Yoginder Sikand menjelaskan sejarah pertumbuhan dan perkembangan Jamaah Tabligh di Pakistan, Bangladesh dan Inggris. Ulasan terjauh mengenai Jamaah Tabligh berkaitan dengan pengaruh yang ditimbulkannya sehingga menempatkannya sebagai gerakan yang paling populer di dunia saat ini. Di sini pun tidak mencantum penjelasan apa pun mengenai teologi perdamaian Jamaah Tabligh. Sejarahwan Barbara D. Metcalf menyumbang dua buku mengenai Jamaah Tabligh. Dalam buku yang berjudul Islamic Contestations, Essays on Muslim in India and Pakistan, Metcalf lebih menyoroti sisi kelemah-lembutan Jamaah tabligh yang dalam pandangannya merupakan gerakan dakwah Islamiah yang damai.32 Dalam Living Hadith in the Tablighi Jama’at, setelah mengkaji kitab rujukan utama Jamaah Tabligh, Fadhail al-A’mal karangan Maulana Muhammad Zakaria, ia menyimpulkan bahwa kehidupan Jamaah Tabligh merupakan suatu upaya menginternalisasikan makna tekstual hadith.33 Kedua tulisannya itu tidak pula menyinggung teologi perdamaian Jamaah Tabligh. Kamaruzzaman Bustaman-Ahmad, dalam makalah ilmiahnya yang berjudul Faith on the Move: Inside of the Ijtimā’ of Jamā’ah Tablīgh in Pekan Baru menyoroti aspek spirit dan ritual Jamā’ah Tablīgh dalam ijtimā’. Maksud diadakannya ijtimā’ adalah untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya anggota untuk diajak khurūj. Aspek lain yang disoroti adalah peran para Maulāna yang berasal dari India, Pakistan dan Bangladesh dalam ijtim̄ a’. Tampak bagi para anggota Jamaah Tabligh, Mawlāna adalah penghubung dengan Tuhan dalam hal kepentingan mereka.34 Dalam makalah ilmiahnya yang berjudul Gender, Tabligh and the “Docile Agent”: the Politics of Faith and Embodiment among the Tabligh Jama’at Alexander Horstmann menyoroti peran perempuan pada komunitas Jamaah Tabligh di beberapa wilayah Asia. Horstmann menemukan bahwa di wilayah Thailand Selatan, khususnya di Nakhonsrithammarat dan Songkhla, kaum perempuan memegang peran yang penting dalam pengembangan dakwah. Di tangan perempuan alih transformasi nilai-nilai ajaran Islam berjalan efektif dari satu generasi ke genarasi berikutnya. Kaum perempuan dapat mempertahankan moralitas, ketaatan, dan kesalehan sebuah keluarga. Mereka juga diposisikan sebagai bertugas hanya di

31Yoginder Sikand, Sufisme Pembaru Jamaah Tabligh, dalam Martin van Bruinessen dan Julia Day Howell “Urban Sufism” (Jakarta: PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bekerja sama dengan Raja Grafindo Persada, 2008), 221-251. 32Barbara D. MetcalfIslamic Contestations, Essays on Muslim in India and Pakistan(New York: Oxford University, Press, 2004). 33Barbara D. Metcalf, “Living Hadith in the Tablighi Jama’at”, dalam The Journal of Asian Studies 52, no. 3, Agustus, 2003, 584-608. 34Kamaruzzaman Bustaman-Ahmad, “Faith on the Move: Inside of the Ijtimā’ of Jamā’ah Tablīgh in Pekan Baru”, dalam Studia Islamika, Indonesian Journal for Islamic Studies, Volume 18, nomor 3, 2011, 493-492 15 dalam rumah, bukan di ruang-ruang publik. Menurutnya, dari sisi ini Jama’ah Tabligh terlihat ambiguitasnya.35 Alex Alexiev dalam tulisannya yang berjudul : Jihad's Stealthy Legions, pada awal tulisannya menjelaskan Jamaah Tabligh sebagai gerakan yang lembut. Dengan menghindari diskusi terbuka tentang politik, Jamaah Tabligh telah memproyeksikan citra dirinya sebagai gerakan yang tidak mengancam. Akibatnya, akademisi cenderung menggambarkan Jamaah Tabligh sebagai gerakan apolitis dengan penekanan pada renungan keimanan pribadi, introspeksi, dan pengembangan spiritual. Gaya hidup yang keras dan egaliter dari misionaris Tabligh dan berdiri pada prinsip mereka untuk menangani penyakit-penyakit sosial menyebabkan banyak pengamat luar menganggap bahwa kelompok tersebut memiliki pengaruh positif pada masyarakat. Pada akhirnya, dengan berdasarkan laporan dari beberapa Badan Intelijen, seperti Amerika, Perancis, Pakistan dan Inggeris, Alexiev menilai Jamaah Tabligh sebagai gerakan terorisme terselubung. Ada dugaan kuat bahwa gerakan terorisme internasional melakukan penyusupan ke dalam Jamaah Tabligh untuk melakukan perekrutan anggota. 36 Abdul Aziz dalam bukunya Varian-Varian Fundamentalisme Islam di Indonesia, sekedar menjelaskan Jamaah Tabligh sebagai salah bentuk fundamentalisme yang sedang berkembang di Indonesia.37 Samsu Rizal Panggabean, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam juga masih seputar menjelaskan sejarah kelahiran dan perkembangan Jamaah Tabligh yang ditambah dengan sedikit penjelasan mengenai doktrin-doktrin Jamaah Tabligh yang dikenal dengan nama Enam Sifat Sahabat.38 Dalam website “www.angelfire.com” Jamaah tabligh dikelompokkan ke dalam gerakan fundamentalisme, karena memiliki kemiripan dalam hal interpretasi literalis terhadap kitab suci dan juga bekerja untuk kebangkitan Islam murni. Namun sangat berbeda dalam banyak aspek lainnya, di antaranya karena menghindari aktifitas politik.39 Dari kalangan Jama’ah Tabligh juga menulis buku, di antaranya An Nadhr M. Ishaq Shahab, Khurūj Fī Sabīl li Allāh, Musthafa Sayani, Mudzakarah Iman & Amal Shalih, Maulana Muhammad Manshur, Keutamaan Masturah, Usaha Dakwah di Kalangan Wanita Sesuai Contoh Rasul, Shahabah & Shahabiyah, Andi Abdurrahman Ahmad As-Sirbuny menulis tiga jilid dengan judul Kupas Tuntas

35Alexander Horstmann, “Gender, Tabligh and the “Docile Agent”: the Politics of Faith and Embodiment among the Tabligh Jama’at”, dalam Studia Islamika, Indonesian Journal for Islamic Studies, Volume 16, number 1, 2009, 107-125. 36Alex Alexiev, Tablighi Jamaat: Jihad's Stealthy Legions http://www.meforum.org/ 686/tablighi-jamaat-jihads-stealthy-legions 37Abdul Aziz, Varian-Varian Fundamentalisme Islam di Indonesia (Jakarta: Diva Pustaka, 2004). 38Samsu Rizal Panggabean, “Organisasi dan Gerakan Islam”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Dinamika Masa Kini (Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, 2002), jilid VI, 95-97. 39Historical Background of Islamic Fundamentalism, http://www.angelfire. com /az/rescon/islfnd.html. 16

Jamaah Tabligh. Kesemua buku ini tak satu pun yang membahas teologi perdamaian Jama’ah Tabligh. Dari beberapa referensi di atas terlihat bahwa perhatian mereka lebih kepada dakwah Jamaah Tabligh dan permasalahannya. Belum terlihat sama sekali mengenai usaha membangun perdamaian dan kesatuan masyarakat. Di samping itu pula, kesemua penjelasan di atas tidak juga mengungkap teologi yang dikembangkan Jamaah Tabligh, yang karena itu gerakan mereka dapat dipandang sebagai suatu gerakan pembaruan dalam bidang teologi. Penelitian ini, mengambil fokus pada upaya pengembangan aspek fundamental ajaran Islam yang oleh Jamaah Tabligh telah meningkat ke tataran perdamaian berskala global-universal. Penelitian ini merupakan suatu hal yang baru, sehingga perlu mendapat perhatian positif. Diharapkan, dengan penelitian ini dapat membawa kita kepada pentingnya menjaga kesatuan masyarakat dengan tetap melaksanakan usaha-usaha pembaruan secara damai.

F. METODOLOGI PENELITIAN 1. Tipe dan Jenis Penelitian serta Tehnik Pengumpulan Data Tipe penelitian ini adalah deskriptif-eksploratif. Dengan tipe ini, tujuan penelitian adalah menggali secara luas bagaimana pola gerakan Jamaah Tabligh mengembalikan umat kepada aqidah yang benar, dengan berorintasi pada mewujudkan masyarakat yang damai dan bersatu. Adapun jenis penelitian ini bersifat kualitatif. Pengumpulan data secara kualitatif dilakukan melalui observasi (pengamatan) dan wawancara mendalam (indepth interview). Jenis ini dilakukan untuk menggali informasi secara luas dan mendalam serta didukung oleh data yang memadai mengenai bagaimana pola gerakan Jamaah Tabligh dalam membangun masyarakat. Dalam mengambil data wawancara peneliti menggunakan tehnik semi terstruktur. Tehnik ini digunakan dengan terlebih dulu dibuatkan pedoman wawancara baru kemudian diperdalam dengan serentetan pertanyaan untuk mengorek keterangan lebih lanjut. Berkaitan dengan pengamatan (observasi), peneliti mengambil peran langsung sebagai observer yang berperan penuh sebagai orang dalam (insider). Dalam banyak kasus peneliti menampilkan diri sebagai “pemain”. Cara dimaksudkan untuk mengakses yang diperlukan bagi penelitian ini.40 Agar lebih efektif cara ini dilengkapi dengan format atau blangko pengamatan sebagai instrumen. Format yang disusun berisi item-item tentang kejadian atau tingkah laku yang digambarkan akan terjadi.41 Metode dokumentasi diperlukan untuk mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda, dan sebagainya.42 Dengan demikian, ada dua jenis data, data

40 Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial, 168-169. 41Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), 270-273. 42Suharsimi Arikunto, Prosedur, . 274. 17 primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh melalui wawancara dan observasi. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen-dokumen dan informasi yang tersedia pada instansi atau lembaga tertentu.

2. Metode Pendekatan Pendekatan terhadap obyek studi yang multi dimensi, tidak cukup hanya satu. Diperlukan lebih agar obyek dapat terungkap dengan lebih jelas, yaitu dengan pendekatan interdisipliner ilmu-ilmu. Dengan demikian, penelitian ini akan melibatkan beberapa pendekatan, sebagai berikut:

2.1. Pendekatan teologi Eka Darmaputra, seperti yang dikutip Imam Suprayogo, menjelaskan bahwa pendekatan teologis merupakan suatu upaya merumuskan iman dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Ia berkaitan dengan upaya pengkajian, penghayatan (internalisasi), dan perwujudan (aktualisasi) nilai-nilai iman (ketuhanan) dalam memecahkan masalah-masalah kemanusiaan.43 Suatu kenyataan bahwa gerakan- gerakan perubahan dan pembaruan sosial yang disebutkan dalam penelitian ini semuanya berdasar pada suatu kepercayaan. Dengan menganalisa kepercayaan, masing-masing semangat dari gerakan-gerakan tersebut dapat dipahami. Berkaitan dengan obyek studi penelitian ini, buku yang menjadi rujukan utama dalam membahas tentang pandangan ketuhanan atau teologi dalam Jamaah Tabligh adalah yang berjudul Khuru Fi Sabilillah, Sarana Tarbiyah Ummat Untuk Membentuk Sifat Imaniyyah. Buku ini disusun oleh An Nadhar M. Ishaq Shahab.

2.2. Pendekatan Ilmu Dakwah Pendekatan ini digunakan untuk melihat sampai sejauh mana pesan-pesan dakwah JT. dapat merespon kondisi umat Islam. Untuk itu tema-tema pembicaraan JT. akan diukur berdasarkan fungsi-fungsi dakwah, sebagai berikut: a. Dakwah sebagai Ajakan atau Seruan. Dengan fungsi ini, akan terlihat bagaimana kemampuan JT dalam mengajak dan sampai sejauh mana ajakannya mau diamalkan. Bagaimana juga JT mampu menempatkan dirinya ketika berhadapan dengan tingkat kemampuan pemahaman orang diajak itu. b. Dakwah sebagai Proses Komunikasi. Dengan fungsi ini seorang JT dituntut mengoptimalkan kemampuannya menyampaikan pesan-pesan dakwahnya kepada orang lain. Komunikasi menghendaki terjadi transformasi dalam bentuk internalisasi Iman dan Islam, pengamalan, pentadrisan ajaran Islam, serta perubahan sikap, perilaku dan keyakinan. c. Dakwah sebagai Pembebasan. Pembebasan yang dimaksud meliputi pembebasan dari kebodohan, kemalasan, pembelengguan tradisi, kemusyrikan, kekafiran, ketergantungan terhadap alam, dan sebagainya.

43Imam Suprayogo (et.all), Metodologi Penelitian Sosial Agama (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), 58. 18

d. Dakwah sebagai Penyelamatan. Dengan fungsi ini akan dideskriptifkan bagaimana JT melakukan tindakan penyelamatan dari kesalahan, dosa, kemaksiatan dan semua perbuatan mungkar. e. Dakwah sebagai proses membangun peradaban. Dengan fungsi ini akan terlihat bagaimana JT memerankan dirinya sebagai khalifah Allah dalam upaya membangun perdaban yang Islami.44 Di dalam buku yang disebutkan di atas, Jamaah Tabligh telah menggariskan pedoman dakwah mereka yang disebut 28 Ushul-Ushul Dakwah. Agar lebih jelas, di sini disebutkan, sebagai berikut: I. Empat Hal yang Diperbanyak 1. Dakwah ilā Allāh 2. Ta’līm wa ta’l 3. Zikr wa al-‘ibādah 4. Khidmah II. Empat Hal yang Dikurangi 1. Makan dan minum 2. Tidur dan istirahat 3. Keluar dari masjid 4. Pembicaraan dan perbuatan sia-sia III. Empat Hal yang Dijaga 1. Taat kepada amir selama amir taat kepada Allah dan Rasul-Nya 2. Mendahulukan amal ijtima’ daripada amal infiradi 3. Kehormatan masjid 4. Sabar dan tahan uji IV. Empat Hal yang Harus Ditinggalkan 1. Mengharap kepada makhluk 2. Meminta kepada makhluk 3. Boros dan mubazir 4. Memakai barang orang lain tanpa izin V. Empath Hal yang Tidak Boleh Disentuh 1. Politik, baik dalam negeri maupun luar negeri 2. Khilafiyah (Perbedaan pendapat mengenai masalah fiqh) 3. Membicarakan aib seseorang atau masyarakat 4. Meminta sumbangan dan membicarakan status sosial (pangkat/jabatan) VI. Empat Hal (Pilar-pilar Agama) yang Didekati 1. Ulama 2. Ahli Zikir 3. Penulis kitab 4. Juru dakwah VII. Empat Hal yang Dijauhi 1. Merendahkan 2. Mengkritik 3. Menolak

44H. Sukriyanto, “Filsafat Dakwah”, dalam Andy Darmawan (ed.), Metodologi Ilmu Dakwah, (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 2002), 24-38 19

4. Membanding-bandingkan45.

2.3. Pendekatan Filsafat. Pendekatan filsafat digunakan untuk melihat persoalan-persoalan yang melingkupi pengalaman manusia menjadi pengalaman religius, dan membahas bahasa yang digunakan orang beriman ketika membicarakan keyakinan mereka.46

2.4. Pendekatan Sejarah Pendekatan sejarah dalam penelitian ini digunakan sebagai metode, bukan materinya. Hal itu karena, sebuah peristiwa, gerakan atau pun pemikiran tidak tiba- tiba muncul begitu saja dari ruang hampa. Ada faktor-faktor dalam situasi kesejarahan yang menjadi pemicu bagi kemunculannya. Menurut Ibn Khaldun, sebagaimana dikutip Imam Suprayogo dan Tobroni, tujuan dari digunakannya analisis sejarah adalah untuk menemukan kebenaran tentang bagaimana dan mengapa peristiwa-peristiwa penting terjadi. Tolfsen menambahkan bahwa perlu sekali dilakukan rekonstruksi proses genesis, perubahan dan perkembangan. Dengan cara demikian manusia dapat dipahami secara kesejarahan. Melalui analisis sejarah juga dapat diketahui bahwa tindakan-tindakan dan pikiran-pikiran seorang tokoh didorong oleh keinginan-keinginan dan tekanan-tekanan yang muncul dari dirinya sendiri (faktor internal) dan dorongan dan tekanan dari luar (faktor eksternal).47

F. TEHNIK ANALISA DATA Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa data kualitatif, mengikuti pedoman yang diberikan oleh Imam Suprayogo dan Tobroni. Dalam buku yang berjudul Metodologi Penelitian Sosial Agama, keduanya menyebut langkah-langkah yang harus dilakukan dalam penelitian, meliputi proses analisa selama pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan akhirnya menarik kesimpulan/verifikasi data. dengan menggunakan model interaktif. Dalam penjelasan analisa data dalam penelitian kualitatif merupakan sebuah proses yang berlangsung selama proses penelitian itu sendiri, baik sebelum, pada saat maupun sesudah penelitian di lapangan selesai.48 Adapun analisis konten/isi digunakan sejauh yang menyangkut dengan tema-tema pembicaraan JT.

G. SISTEMATIKA PEMBAHASAN Data-data yang telah dikumpulkan dianalisis berdasarkan pada metodologi yang telah dijelaskan rancangan pada pembahasan tadi. Seluruh data tersebut akan dibahas ke dalam lima bab, sebagai berikut:

45 Lihat, M. Ishaq Shahab, Khuruj fi Sabilillah…, 89-90 46Rob Fisher, “Pendekatan Filsafat”, dalam Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, (Jogjakarta: LkiS, 2002), 155. 47Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Peneltian Sosial-Agama (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), 65-67. 48Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2003), 191-200. 20

Bab I, berisi penjelasan latar belakang masalah, sebagaimana yang tertuang dalam pendahuluan. Kemudian dilanjutkan dengan permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan diakhiri dengan sistematika penulisan. Bab II, berjudul “Diskurusus Teologi Perdamaian”, berkaitan dengan pengertian perdamaian secara kamus maupun secara teologi. Dari perdebatan masyarakat akademik tampak bahwa perdamaian mengimplikasikan pernyataan akan eksistensi diri dan kepentingannya. Perdamaian versi kelompok berakar pada konflik, secara demikian perdamaian tidak lain dari penegasan eksistensi kelompok dan kepentingannya. Perdamaian demikian, membawa dalam dirinya potensi konflik. Adapun perdamaian universal, karena merupakan pernyataan eksistensi Allah dan kepentingan-Nya, membawa kepada persatuan, persaudaraan dan perdamaian universal. Bab III, berjudul “Struktur Masyarakat Ambon”, menjelaskan tentang profil kota Ambon sebagai lokasi penelitian. Melalui pendekatan sejarah terungkap bahwa upaya-upaya perdamaian di kota merupakan suatu proses panjang dalam rangkaian sejarah dari masa purba sampai dengan saat ini. Struktur sosial masyarakat Ambon dibangun dari akar-akar konflik. Karena itu perdamaian yang ada saat ini, tidak lain dari pernyataan eksistensi diri dan kepentingannya. Pada bagian ini juga dijelaskan tentang sejarah masuk dan berkembangnya dakwah Jamaah Tabligh di Ambon. Penjelasan ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana Jamaah Tabligh turut mengambil peran dalam menegakkan perdamaian. Bab IV, merupakan bab analisa, berjudul “Karakteristik Teologi Perdamaian JT.” Dalam bab ini dianalisa beberapa poin penting menyangkut dengan ketuhanan Allah dan kepentingan-Nya yang merupakan dasar bagi Teologi Perdamaian JT. Pembahasan tentang ketuhanan Allah dipahami JT berdasarkan aspek obyektif- transenden-Nya. Sedangkan pembahasan tentang kepentingan-Nya berdasar pada apa yang mereka namakan Enam Sifat Sahabat Nabi Saw. yang terdiri dari keyakinan akan kalimat thayyibah lā ilāha illā Allāh Muhammad Rasul Allāh, s̩ alāh al-khushu’ wa al-khud̩ u', ’ilm ma'a dhikr, ikrām al-muslimīn, tas̩ h̩ īh̩ al-niyah, dan khurūj fi sabīl li Allāh. Bila, pembahasan tentang ketuhanan Allah bertumpu pada aspek obyektif-Nya, maka pembahasan tentang kepentingan-Nya bertumpu pada makna obyektif wahyu dan fad̩ ā’il al-a'māl Enam Sifat Sahabat. Bab V, masih merupakan bab analisa berjudul “Usaha Mewujudkan Perdamaian”. Dalam bab ini JT membuat suatu pembedaan penting antara kepentingan Allah/kepntinga Islam (KA/KI) dan kepentingan Umat Islam (KUI). Pembedaan itu memudahkan mereka menetapkan tujuan dakwah hanya pada hal yang pokok dalam agama yang kemudian menciptakan perdamaian, dan kemudian mereka menetapkan dakwah sebagai maksud hidup. Untuk menunjang gerakan dakwah mereka, maka disusunlah sistem pengorganisasian mulai dari musyawarah, kepemimpinan, pembelajaran atau ta’lim dan pertemuan (Ijtima’) yang berimplikasi pada pembentukan masyarakat Islam universal. Bab VI, merupakan penutup yang berisi tentang diskusi, kesimpulan, temuan penelitian dan saran. Pada akhirnya disebutkan juga kekurangan penelitian dari disertasi ini. Peneliti kemudian merekomendasikan, agar ada lagi penelitian lanjutan. 21

Akhirnya, perlu disebutkan juga sekian pustaka yang menjadi rukujukan dalam penyusanan disertasi ini. 21

BAB II DISKURSUS TEOLOGI PERDAMAIAN Pengantar singkat bab ini menjelaskan perdamaian secara teologi, bahwa ia berdasar pada suatu absolutisme. Sementara, relatifisme berpotensi menciptakan konflik. Sehingga, baik pluralisme agama maupun fundamentalisme Islam, sama- sama berkemampuan menciptakan perdamaian dan juga konflik karena kandungan absolutisme dan relativisme dalam kedua paham itu. Perdamaian yang dimaksud dari dua kelompok di atas adalah perdamaian internal kelompok berkat aspek absolutisme eksklusif yang terdapat pada masing-masing paham. Absolutisme eksklusif memiliki kemampuan mengompromikan dan merangkul individu-individu yang sepaham ke dalam satu kesatuan kelompok. Sebaliknya, aspek relatifisme berkecenderungan menciptakan konflik antar satu kelompok dengan kelompok lain karena perbedaan paham yang diciptakannya. Hanya ketika absolutisme dilepas dari konteks kelompok, dan menjadi absolutisme universal, barulah perdamaian universal dapat ditegakkan. Pluralisme agama diusung oleh kelompok modernis Islam dan fundamentalisme Islam diusung olek kelompok fundamentalis Islam. Sementara absolutisme universal diusung oleh Jamaah Tabligh (JT), yang pembahasannya akan dikemukakan pada bab IV dan V. Di sini hanya teorinya saja. Menurut kelompok modernis Islam, konflik-konflik yang terjadi antar pemeluk agama, berawal dari klaim kebenaran para pemeluknya terhadap agamanya. Seseorang yang merasa benar sendiri dengan agamanya, cenderung menyalahkan, bahkan kemudian menyerang kelompok pemeluk agama lain. Untuk itu, absolutisme paham dan keyakinan terhadap pahamnya harus segera didekonstruksi. Dengan menggunakan pendekatan teologi inklusif nampak bagi mereka semua kebenaran adalah relatif. Pandangan tentang relatifisme kelompok modernis langsung ditanggapi keras kelompok lain, yaitu kelompok fundamentalisme Islam. Bagi kelompok terakhir ini, absolutisme justru diperlukan. Ia merupakan syarat utama adanya kebenaran dan sekaligus syarat utama adanya kelompok yang meyakininya. Tanpa absolutisme tak mungkin sebuah kebenaran dan kelompoknya dipertahankan. Gagasan tentang relatifisme oleh mereka dianggap hanya untuk menghujat keyakinan akan kebenaran paham beserta keberadaan kelompoknya sekalian. Adanya reaksi dari kelompok fundamentalis Islam itu, sekaligus menunjukkan bahwa gagasan tentang relatifisme justru menciptakan konflik. Karena itu boleh dibilang, proyek besar untuk mewujudkan perdamaian universal dari kelompok modernis Islam, gagal. Kelompok modernis memang keliru. Secara tidak sadar, sebenarnya mereka pun berdasar pada suatu absolutisme, yaitu absolutisme pluralisme agama. Di dalam paham ini dinyatakan, menurut mereka, “Semua kebenaran agama adalah relatif”. Dengan kata “semua” berarti, tidak ada yang tidak relatif. Berarti, pernyataan yang menyatakan kenyataan yang sebenarnya, bahwa semua kebenaran adalah relatif, tidak relatif, melainkan benar-benar absolut. Dengan itu dapat dipahami bahwa tujuan mereka menegakkan perdamaian dilakukan dengan cara terlebih dulu menghapus semua bentuk absolutisme supaya yang absolut satu-satunya hanya pluralisme saja? Karena kalau ada dua atau lebih absolutisme, maka akan selalu terjadi pertentangan. 22

Hal yang sama terjadi pula pada setiap kelompok fundamentalis dalam Islam. Masing-masing fundamentalisme merasa sebagai pemegang absolutisme Islam yang sebenarnya. Dengan secara demikian, masing-masing kelompok memang dapat menciptakan perdamaian, tetapi di internal kelompoknya saja. Dengan kelompok fundamentalis Islam lain, apalagi dengan kelompok modernis, selalu tersedia sikap untuk berkonflik. Para fundamentalis pun berkeyakinan sama seperti halnya kelompok modernis Islam, bahwa apabila seluruh dunia sudah menganut absolutisme persis seperti yang dianut mereka, maka dunia pun akan damai. Dengan sudut pandang ini terungkap, bahwa gerakan-gerakan transnasionalisme dari kelompok-kelompok tersebut, untuk mewujudkan perdamaian adalah dengan cara menghapus semua paham lain supaya yang eksis hanya pahamnya saja. Jalan yang ditempuh beberapa kelompok fundamentalis Islam, justru dengan kekerasan. Kiranya dapat dipahami bahwa letak kegagalan untuk mewujudkan perdamaian universal, baik oleh modernis maupun fundamentalis, adalah karena aspek relatifisme masing-masing mereka. Dalam hal ini, para fundamentalis Islam tidak menyadari bahwa dilihat dari segi eksternal, pemahaman masing-masing mereka mengenai Islam bersifat relatif. Ada kelompok fundamentalis Islam lain yang meyakini absolutisme Islam juga, tentunya menurut versinya. Sampai dengan saat ini pun sesama mereka belum juga menemukan kesepakatan universal mengenai absolutisme Islam yang bagaimana. Masing-masing masih tetap berbeda pada jalannya sendiri-sendiri. Hal yang demikian, sama terjadi pula pada kelompok modernis Islam. Dalam upaya mewujudkan perdamaian, mereka sama sekali menampakkan sikap tidak toleran terhadap perbedaan yang ditunjukkan oleh kelompok lain, dalam hal ini kelompok fundamentalis Islam. Sikap mereka menjadi reaktif, provokatif dan ofensif begitu berhadapan dengan setiap bentuk fundamentalisme Islam. Seruan keterbukaan sikap, toleransi, dan pengakuan akan pluralitas keyakinan sama sekali tidak terbukti. Sehingga harus disimpulkan bahwa gagasan mereka tentang perdamaian, akhirnya berubah menjadi doktrin yang hanya untuk membenarkan diri sendiri dan menyalahkan yang lain. Akan tampak juga pada pembahasan-pembahasan selanjutnya, bahwa doktrin tentang perdamaian yang disusun suatu kelompok adalah untuk menegaskan eksistensi kelompok dan demi mendukung kepentingannya. Fungsi memperdamaikan dapat berperan dengan baik hanya dalam batas-batas kepentingan internal kelompoknya semata, tidak dengan yang lain. Selanjutnya, teologi perdamaian versi kelompok-kelompok dapat dilihat juga sebagai suatu bentuk kultus, yaitu kultus terhadap kelompoknya. Sementara, untuk menciptakan perdamaian universal, sebuah teologi harus disterilkan dari segala bentuk absolutisme sempit yang mencerminkan kepentingan sesaat kelompok. Ia harus berdasar pada absolutisme universal yang membawa kepentingan abadi Allah yang juga bersifat universal. Persoalannya, bagaimanakah merumuskan teologi yang demikian? Berdasar pada absolutisme yang bagaimanakah teologi perdamaian universal itu? Bagaimanakah teologi itu mempersatukan kelompok-kelompok dalam satu kesatuan baru? Bagaimanakah nasib berbagai paham pada kelompok- kelompok? Apakah semua aspek relatifisme akan dihilangkan? Bagaimana pula dengan nasib bangsa-bangsa yang ada saat ini? Apakah keberadaan mereka pun akan 23 dihilangkan untuk selanjutnya dilebur menjadi satu paham dalam satu kelompok masyarakat saja?

A. PENGERTIAN PERDAMAIAN SECARA TEOLOGI Kata perdamaian dan maknanya telah dikonstruk oleh berbagai bangsa di dunia ke dalam berbagai bahasa yang berbeda-beda. Demikian pula halnya dengan suku-suku yang ada di Indonesia. Bangsa Jerman, misalnya, menyebut perdamaian dengan kata friede, Bangladesh menyebutnya shanti, Indonesia menyebutnya damai, Inggeris menyebut peace, Arab menyebut salam, demikian seterusnya dengan bangsa-bangsa lain. Sementara suku-suku yang ada di Indonesia, seperti suku Jawa menyebut rukun, suku Kalimantan Barat menyebut haru sumanga,1 dan suku Ambon menyebut bakubae atau bakudamae. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia terdapat uraian derivatifnya. Kata “perdamaian” berasal dari kata damai, yang berarti tidak ada perang atau tidak ada permusuhan. Berdamai artinya menghentikan perang dengan keinginan dari kedua belah pihak yang berperang atau bermusuhan, atau bisa juga berarti mengakhiri permusuhan. Mendamaikan artinya mengusahakan agar berdamai sehingga pihak-pihak yang bertikai mengakhiri pertikaian. Sedangkan perdamaian berarti hal, cara, hasil, atau proses kerja berdamai; dihentikannya permusuhan dan peperangan.2 Penjelasan berdasarkan kamus di atas baru sekedar memperlihatkan perdamaian sebagai suatu kondisi di mana tidak ada konflik. Belum memperlihatkan bentuk konkritnya berupa sebuah masyarakat yang satu. Tinjauan secara teologis menunjukkan bahwa perdamaian eksis pada dua level yang berbeda. Pada level tertinggi, perdamaian berkaitan secara langsung dengan kedirian Allah. Ia adalah salah satu dari 99 karakter-Nya yang dipanggil dengan sebutan al-Salām (Yang Maha mendamaikan atau Yang Maha menyelamatkan). Memang, Allah adalah Zat Yang Maha Damai dan Maha menyelamatkan. Pada level terendah, perdamaian juga merupakan karakter dasar manusia. Perdamaian, baik bagi Allah maupun manusia, sama-sama mengindikasikan dua hal: penegasan eksistensi diri dan kepentingannya. Dalam al-Qur’an djelaskan, ketika Allah menegaskan eksistensi-Nya sebagai Zat Yang Esa, dengan serta merta menegaskan pula sekian karakteristik-Nya yang lain. Penegasan tentang eksistensi dan karakteristik-Nya, yang mana al-Salām merupakan salah satu karakteristik-Nya, merupakan doktrin fundamental dalam Islam. Penjelasan Allah mengenai diri-Nya sendiri dan kepentingan-Nya, sepenuhnya dengan menggunakan makna obyektif (akan dijelaskan di bawah, apa yang dimaksud dengan makna obyektif), yang karena itu kebenaran ayat-ayat Kitab Suci berada pada tingkatan absolut. Absolutisme pada makna obyektif merupakan landasan fundamental bagi perwujudan perdamaian universal Islam. Dalam ayat Al- Qur’an berikut ini, Allah SWT. menjelaskan diri-Nya dan kepentingan-Nya dalam makna obyektif. Silahkan disimak:

1Lihat, penjelasan Novri Susan, pada Pengantar Sosiologi, 127-128. 2J.S. Badudu dan Sutan Muhammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), 305. 24

“Dialah Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Maharaja (al-Mālik) Yang Mahasuci (al-Quddus), Yang Mahasejahtera (al-Salām), Yang Menjaga Keamanan (al-Mu’min), Pemelihara Keselamatan (al-Muhaimin), Yang Mahaperkasa (al-‘Aziz), Yang Mahakuasa (al-Jabbār), Yang Memiliki segala Keagungan (al-Mutakabbir). Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. Al-Hashr [59]: 23).3 Dalam menafsirkan ayat al-Qur’an di atas, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa Allah SWT. menegaskan diri-Nya sebagai Zat yang wajib wujud-Nya dengan beberapa sifat-Nya yang mulia, yang dapat dipahami, sebagai berikut: Dia Allah Yang tiada Tuhan selain Dia. Dia adalah al-Malik Maha Pemilik segala sesuatu dengan sebenarnya lagi Maha Raja, al-Quddūs Maha Suci dari segala kekurangan dan segala yang tidak pantas, al-Salām Maha Damai dan sejahtera, al-Mu’min Maha mengaruniakan keamanan, al-Muhaimin Maha memelihara dan Maha mengawasi, al-‘Aziz Maha Agung, al-Jabbār Maha Perkasa, al-Mutakabbir Maha Tinggi, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Khusus mengenai karakter al-Salām Allah, Shihab mengutip pendapat dua ulama besar, yaitu Ibn al-‘Arabi dan Al- Ghazali. Dalam pandangan ulama yang pertama, al-Salām bermakna, Allah adalah Zat Yang Maha menghindarkan semua makhluk dari penganiayaan-Nya. Sementara ulama kedua memahaminya sebagai Zat yang sama sekali terhindar dari segala aib dan kekurangan, dan juga dalam perbuatan-Nya, Allah SWT. terhindar dari segala kejahatan dan keburukan. Allah adalah satu-satu-Nya sumber keselamatan dan perdamaian. Tidak ada yang bisa menghindar dari keburukan dan aib yang diraih yang terdapat di dunia ini kecuali dengan merujuk kepada-Nya dan bersumber dari- Nya. Penegasan tentang eksistensi Allah dengan sekian karakter-Nya yang mulia itu dimaksudkan untuk menggugah manusia supaya mau melaksanakan kepentingan- Nya, yakni melaksanakan ketaatan kepada-Nya seraya menghindar dari keingkaran dan kelalaian kepada-Nya.4 Sebagaimana halnya Allah, manusia pun meyelenggarakan perdamaian adalah untuk mempertegas eksistensi diri (individu maupun kelompok) dan tuntutan untuk memenuhi kepentingannya. Upaya yang, semenjak dari masa purba itu, dimulai dari bagaimana menemukan sakralitas dan ideal kebahagiaan hidupnya. Makna-makna sakral memang diperlukan dalam rangka mengintegrasikan diri individu dalam suatu kesatuan kelompok. Sakralitas itu sendiri dihasilkan dari pertanyaan eksistensial yang secara terus-menerus dilakukan untuk mendapatkan jawaban mengenai siapa dirinya di tengah jagat raya yang luas. Usaha untuk mendapatkan makna-makna sakral dan kebahagiaan hidupnya terus-menerus diproses selama hidup dalam berbagai tindakan lain. Semua itu dilakukan dalam rangka menemukan bentuk penyelamatan diri dari segala marabahaya dan juga untuk memenuhi berbagai tuntutan kepentingannya hidupnya. Semua usaha itu, kemudian berubah menjadi pengalaman, menumpuk dalam pikiran dan membentuk pengetahuan yang matang yang diyakini dapat difungsikan sebagai mode of peace atau cara-cara menegakkan

3Al-Qur’anul Karim Dan Terjemahnya, Kementrian Agama RI, 2010, 548 4M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2003), 135-140 25 perdamaian.5 Pengalaman dan pengetahuan spesifik kelompok kemudian dikembangkan sampai menjadi sebuah teologi. Sudah tentu, karena pengalaman antar kelompok berbeda-beda, menjadikan rumusan teologi perdamaian di antara mereka juga berbeda. Dari penjelasan secara singkat di atas, kiranya sudah bisa memberikan pemahaman, bahwa yang dimaksud dengan teologi perdamaian adalah sebuah teologi yang berdasar pada suatu absolutisme, yang mana melalui absolutisme itu, diri atau kelompok menegaskan eksistensi dan kepentingannya. Karena ada dua bentuk penegasan diri dan kepentingannya, yakni Allah dan manusia, maka ada dua bentuk teologi yang, masing-masing mengusung makna perdamaian dalam porsi yang berbeda. Teologi yang mengusung penegasan eksistensi diri Allah dan kepentingan-Nya, oleh disertasi ini, disebut sebagai teologi perdamaian univesal. Sementara, yang satunya lagi disebut dengan teologi kelompok.

B. KONFLIK, PERDAMAIAN DAN PEMBENTUKAN KELOMPOK Penjelasan pada level manusia memperlihatkan bahwa bentuk sebuah perdamaian tidak terlepaskan dari bentuk konkritnya, yaitu kelompok. Perdamaian pada level manusia itu sendiri, di dalam proses reifikasinya menjadi kelompok, tak bisa dilepaskan dari pemahaman kelompok itu mengenai konflik.6 Akan tampak bahwa keduanya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses pembentukan kelompok.7 Ibarat sekeping mata uang, konflik dan perdamaian merupakan kedua belah sisi dari sebuah kelompok. Itu berarti, kelompok tanpa konflik atau sebaliknya, tanpa perdamaian adalah tak mungkin. Sementara, konflik dan

5Novri Susan, Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), 125-126. 6Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, konflik berarti percekcokan; perselisihan; pertentangan; ketegangan atau pertentangan di dalam cerita rekaan atau drama (pertentangan antara dua kekuatan, pertentangan dalam diri satu tokoh, pertentangan antara dua tokoh, dan sebagainya); secara batiniah, konflik muncul dalam bentuk pertentangan antara dua gagasan atau lebih atau antar keinginan untuk menguasai diri sehingga mempengaruhi tingkah laku; dalam kebudayaan, konflik dimaknai sebagai persaingan antara dua masyarakat sosial yang mempunyai kebudayaan hampir sama; dalam bidang sosial konflik muncul dalam bentuk pertentangan antar anggota masyarakat yang bersifat menyeluruh dalam kehidupan. https://kbbi.web.id/konflik. Dikutip pada tanggal 11 Agustus 2018. 7Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) di mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik terjadi oleh karena perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi sosial. Perbedaan-perbedaan tersebut di antaranya berkaitan dengan perbedaan ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik menjadi suatu situasi yang wajar dalam setiap masyarakat. Suatu fakta yang tak terbantahkan bahwa masyarakat manapun di dunia ini pernah mengalami konflik. Sehingga, sesungguhnya konflik tidak akan bisa dihilangkan kecuali dengan cara menghilangkan masyarakat. https://id.wikipedia.org/wiki/ Konflik. Dikutip pada tanggal 11 Agustus. 26 perdamaian tak bisa terlaksana kecuali di dalam kelompok. Konflik, perdamaian dan kelompok merupakan tiga kesatuan yang tak terpisahkan. Sosiolog muslim dari periode klasik, Abu Zayd 'Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun al-Hadrami atau yang biasa dipanggil dengan Ibn Khaldun (1332-1406), mendapati bahwa dalam diri manusia terdapat semacam sifat animal power. Sifat ini menjadikan manusia cenderung kepada penggunaan kekerasan sebagai cara dalam memenuhi kepentingan hidupnya. Sedangkan Charles Darwin (1809-1882) melihat bahwa di alam terdapat suatu jenis hukum yang dinamakannya survival of the fittest. Hukum ini bekerja untuk melakukan seleksi secara alamiah terhadap segala bentuk kehidupan makhluk hidup. Yang lolos dalam seleksi akan tetap eksis dan hidup, sementara yang tidak lolos seleksi akan punah dengan sendirinya.8 Filsuf lain lagi yang agak sistematis menguraikan fikirannya adalah Thomas Hobbes (1588-1679). Dalam fikirnya manusia itu layak disebut sebagai homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi yang lain). Dinamakannya demikian, karena manusia cenderung menggunakan kekerasan terhadap orang lain setiap kali ia berusaha untuk memenuhi tuntutan kepentingannya. Tetapi dia sadar, jika kekerasan digunakan secara terus-menerus justru dia sendiri yang akan punah. Olehnya itu harus dibuat kesepakatan dengan orang lain. Dari hasil kesepakatan itu ditetapkanlah aturan-aturan yang akan menjamin terselenggaranya pengelolaan persaingan dan konflik. Tetapi penyelenggaraan dan pengelolaan membutuhkan pembentukan sebuah lembaga yang akan diberi wewenang penuh untuk menjaga dan melaksanakan aturan-aturan itu. Lembaga itulah yang disebut dengan negara. Di dalam negara kekerasan tidak serta merta hilang. Hanya saja negara mempunyai wewenang penuh untuk mengelola persaingan dan konflik sehingga perdamaian dapat terwujud. Itu berarti, menurut Hobbes, kekerasan adalah raison d’etre bagi terbentuknya negara, yang mana di dalamnya perdamaian dikelola.9 Dapat dipahami bahwa negara adalah hasil akhir dari upaya manusia untuk mempertahankan eksistensinya dan pemenuhan kepentingannya. Secara sangat mengesankan sejarah pembentukan masyarakat Islam pun memperlihatkan kenyataan yang sama. Penjelasan mengenai upaya diri atau kelompok untuk mempertegaskan eksistensi dan kepentingannya dapat membantu ketika membaca kembali sejarah Islam klasik. Ketika kekuasaan umat Islam semakin berkembang dan meluas ke wilayah-wilayah baru, bertemulah mereka dengan kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki beragam budaya dan kepercayaan. Pertemuan itu rupanya memunculkan sejumlah persoalan baru yang belum pernah ditemukan pada masa-masa sebelumnya. Dari segi teologi, di antara yang menjadi persoalan krusial saat itu, adalah yang ditimbulkan dari sekte-sekte dan budaya-budaya lama. Mereka mempersoalkan tentang kepercayaan Islam mengenai transendensi Tuhan. Sebagai diketahui, demikian Hassan Hanafi, Islam adalah suatu kekuatan sosial-politik baru yang memperoleh sukses besar dalam berbagai pertempuran tetapi mendapat serangan dari belakang dari segi doktrin dan sistem kepercayaan. Untuk menghadapi serangan-serangan tersebut segera saja

8 Novri Susan, Pengantar Sosiologi Konflik, 115 9 Novri Susan, Pengantar Sosiologi Konflik, 115-116. 27 sebuah kerangka konseptual disusun berdasar atas keadaan-keadaan, bahasa dan kategori-kategori pada saat itu. Pertentangan dengan kepercayaan-kepercayaa lama, memang dilihat sebagai suatu bentuk dialektika kata-kata. Akan tetapi, dialektika tersebut sekaligus menyingkap dialektika yang sebenarnya dari pertentangan antara Islam, sebagai suatu kekuatan sosial dan politik baru yang sedang bangkit dan membesar, berhadapan dengan kekuatan-kekuatan sosial dan politik lama, seperti Persia, Romawi dan Yahudi. Kerangka konseptual yang di susun kembali berdasarkan situasi saat itu, di samping berhasil mempertahankan doktrin transendensi Tuhan Islam, juga berhasil mempertahankan kelanjutan kekuasaan politik umatnya sebagai suatu kekuatan sosial-politik baru, menggantikan kekuasaan lama yang perlahan-perlahan sedang menuju kepada kehancurannya.10 Memasuki masa moderen keadaan menjadi berbalik. Invasi militer Barat terhadap dunia Islam berdampak pada kejatuhan mereka ke dalam jurang penjajahan. Situasi itu menuntut supaya segera disusun kembali suatu kerangka konseptual dalam rangka, bukan untuk mendapatkan kehidupan abadi, tetapi bagaimana agar Islam bangkit lagi dan meraih kemerdekaan dan kejayaannya yang hilang.11 Invasi militer Barat berlanjut kepada bukan hanya penjajahan fisik. Barat datang dengan membawa serta ideologi-ideologi totaliter mereka, seperti demokrasi, sosialisme, komunisme, dan sebagainya, dan membenturkannya dengan Islam. Benturan itu, berakibat pada timbul perasaan inferior dalam diri umat Islam. Jalan untuk keluar dari situasi itu adalah memerdekakan diri dan mendirikan sebuah negara. Bagi kelompok fundamentalis Islam, negara yang mau dibentuk itu haruslah sebuah negara Islam. Apalagi, menurut mereka, Islam bukan hanya sekedar agama, seperti halnya agama-agama Kristen, Hindu, Budha, dan lain sebagainya, yang mengandung aspek ibadah saja. Islam meliputi setiap aspek kehidupan, ibadah, budaya, ekonomi, sosial, politik dan pemerintahan. Jadi, negara Islam merupakan hasil rumusan ulang kerangka konseptual kepercayaan untuk diperhadapkan dengan ideologi-ideologi totaliter Barat di atas.12 Yang menarik, kemerdekaan memang

10Hassan Hanafi, From Dogma to Revolution dalam “Islam in the Modern World, Volume II: Tradition, Revolution and Culture” (Cairo: Dar Kebaa Bookshop, 2000), 124. 11 Hassan Hanafi, From Dogma…, 124 12 Nurcholish Madjid berpendapat bahwa ditinjau dari proses sejarah dan perkembangan pemikiran, timbulnya gagasan negara Islam adalah bersumber dari sikap apologetis umat Islam. Ada dua hal yang menjadi alasan munculnya sikap apologetis. Pertama, ideologi- ideologi Barat yang cenderung bersifat menyeluruh terhadap setiap aspek kehidupan manusia seperti ekonomi, politik, sosial dan budaya, menjadi pemicu bagi bangiktnya ideologi politik umat Islam dan dengan demikian membawa kepada gagasan negara Islam. Dalam pandangan para penggagas negara Islam, Islam bukan sekedar agama, seperti halnya agama-agama lain. Islam adalah al-din, yang cakupan ajarannya meliputi semua aspek kehidupan manusia, seperti halnya ideologi-ideologi totaliter Barat itu. Kedua, apologi umat Islam juga dipicu oleh faktor legalisme Islam. Faktor legalisme dalam Islam merupakan kelanjutan dari fiqihisme. Fiqih adalah kodifikasi hukum yang dibuat oleh ulama abad kedua dan ketiga hijriyah untuk memenuhi kebutuhan umat akan sistem dan pemerintahan negara. Karena dengan sering disebut juga sebagai syari’at Umat Islam mau menunjukkan bahwa Islam memiliki atura-aturan dan hukum-hukum yang 28 berhasil diraih dan negara Islam juga bisa ditegakkan ‒walaupun tidak semua negeri muslim demikian. Tetapi setelah itu umat Islam sudah berada pada situasi yang tidak mungkin lagi bisa dipersatukan. Kepentingan nasional yang berbeda-beda mengakibatkan terpecahnya umat Islam ke dalam sekian negara bangsa. Agaknya, para penggagas negara Islam tidak sempat menyadari bahwa kepercayaan kelompok yang mendasari pendirian negara Islam berakibat pada perpecahan masyarakat Islam universal kepada sekian negara bangsa. Itu artinya, telah terjadi pergeseran paradigma perdamaian dari berskala universal kepada skala lokal-nasional. Dapat dikatakan bahwa perdamaian nasional memang nampak, tetapi pada setiap negara tersimpan potensi konflik yang sewaktu-waktu bisa muncul dalam bentuk perang antar sesama negara Islam. Negara-negara Islam yang ada saat ini dapat dilihat sebagai satuan-satuan terpisah. Di dalamnya konflik dan perdamaian dikelola dalam rangka mempertegas eksistensi kelompok umat Islam dan kepentingan pernegara nasional saja. Dengan kata lain, institusi negara yang bersifat nasionalis, menjalankan roda pemerintahan demi pemenuhan kepentingan nasional semata.

C. PERDAMAIAN VERSI TEOLOGI KELOMPOK Apa yang telah disinggung di atas mengenai perdamaian akan lebih dipertajam lagi di sini. Tampak bahwa pemahaman perdamaian versi kelompok tak bisa dilepaskan dari pemahaman kelompok mengenai konflik. Dalam proses perdamaian, potensi untuk terjadinya konflik pun include di dalamnya. Keduanya saling melengkapi, sehingga unsur konflik menentukan pemahaman seseorang atau suatu kelompok mengenai perdamaian. Pembahasan pada sub bab ini sebagian besar lebih ditekankan pada perdamaian versi kelompok. Suatu analisa teologi diperlukan agar dapat mengungkap akar permasalahan dengan seksama. Sebagaimana diketahui, pada beberapa dekade terakhir ini kepercayaan- kepercayaan kelompok dalam Islam semakin marak berkembang. Yang paling mengesankan dari semuanya adalah yang diperkenalkan oleh kelompok fundamentalis Islam dan kelompok modernis Islam. Mengenai fundamentalis Islam, misi gerakan untuk mendirikan negara Islam masih tetap hidup dan menjadi cita-cita yang terus diperjuangkan. Apalagi karena ideologi-ideologi Barat dianggap gagal mewujudkan misi-misi kemanusiaan bagi umat Islam.13 Sepak terjang gerakan

lengkap, selain dari yang dimiliki ideologi-ideologi Barat. Lihat, Arief Mudatsir Mandan, Islam Dan Nasionalisme Sebuah Tinjauan Teoritis Dan Empiris, dalam, “Islam, Nasionalisme dan Masa Depan Negara Bangsa Indonesia (Jakarta: Fraksi PPP MPR [2009- 2014], 2011), 115-19. 13Hassan Hanafi menyebutkan bahwa ada tujuh faktor yang menjadi penyebab bangkitnya fundamentalisme Islam moderen, yaitu: 1. Kegagalan ideologi-ideologi modernisasi kontemporer, 2. Kegagalan liberalisme Barat, 3. Kegagalan sosialisme negara, 4. Kegagalan Marxisme Tradisional, 5. Kegagalan ritualisme kesukuan, 6. Konfrontasi budaya: Kompleks superioritas dan inferioritas, dan 7. Penemuan kekuatan-kekuatan asli. Untuk penjelasan lebih jauh, lihat : Hassan Hanafi, Origin of Modern Conservatism and Islamic Fundamentalism, dalam “Islam in the Modern World: Tradition, Revolution, and Culture”, II (Cairo: Dar Kebaa Bookshop, 1995), 11- 25. 29 mereka, sebagaimana telah disebutkan pada bab pendahuluan, dalam rangka mempertegas eksistensi kelompok dan kepentingannya, terasa cukup kuat dan telah pula menimbulkan sekian keresahan yang luar biasa, baik pada skala lokal nasional maupun Internasional.14 Keyakinan akan keuniversalan ajaran Islam, termasuk doktrin perdamaiannya, berubah menjadi bentuk-bentuk eksklusifisme. Untuk membendung arogansi teologi eksklusif fundamentalisme Islam, kelompok modernis Islam mengajukan teologi inklusif.15 Pikiran-pikiran mereka terakumulasi ke dalam paham yang saat ini popular dengan nama pluralisme Agama.

14Sebenarnya terorisme yang dilakukan oleh kelompok fundamentalis Islam terlalu dibesar-besarkan, sehingga kemudian orang-orang dibuat lupa bahwa terorisme terbesar dalam sejarah dunia, ternyata yang diciptakan oleh orang-orang Kristen. Sebenarnya pula, terorisme yang diciptakan oleh kelompok muslim itu tidak lahir secara tiba-tiba begitu saja. Ia tidak lain dari tanggapan yang muncul sebagai akibat dari ketidakadilan Barat terhadap umat Islam. Ketika ditanya wartawan tentang terorisme dalam Islam, Pierre Vogel, seorang Dai asal Jerman, langsung menunjuk dengan rinci sekian tindakan teror besar yang pernah dilakukan pihak Kristen, sebagai berikut: 1. Perang dunia Pertama 17 juta orang tewas disebabkan oleh non-muslim 2. Perang Dunia Kedua 50-55 juta orang tewas disebabkan oleh non-muslim 3. Nagasaki bom atom 200 ribu orang tewas disebabkan oleh non-muslim 4. Perang di Vietnam lebih dari 5 juta orang tewas disebabkan oleh non-muslim 5. Perang di Bosnia/Kosovo lebih dari 500 orang tewas disebabkan oleh non-muslim 6. Perang di Irak (sejauh ini) lebih dari 1,2 juta orang tewas disebabkan oleh non- muslim 7. Kekacauan di Afghanistan dan Burma juga disebabkan oleh non-muslim 8. Terbunuhnya 20 juta penduduk asli Australia disebabkan oleh non-muslim 9. Lebih dari 100 juta jiwa suku Indian kulit merah terbunuh, yang mana mereka merupakan penduduk asli benua Amerika. Pelakunya adalah non muslim 10. Tindakan perbudakan terhadap kurang lebih 180 juta jiwa orang Afrika dan 88 % dari mereka akhirnya meninggal dunia dan mayatnya dibuang ke laut samudra dilakukan oleh non-muslim. Semua itu tidak dilakukan oleh kaum muslimin. Sebelumnya, kamu harus tentukan apa defenisi terorisme dengan tepat. Jika suatu kesalahan dilakukan oleh non-muslim hal itu hanya disebut sebagai tindakan kriminal. Akan tetapi, ketika kesalahan yang sama dilakukan oleh seorang muslim ia langsung divonis teroris. Maka dari itu, janganlah kamu membandingkan sesuatu dengan standar ganda. Dengan begitu, akan kamu ketahui siapa teroris yang sesungguhnya. Lihat, https://www.youtube.com/watch?v=ZynkvA2M3eo. Lihat juga, https://www.youtube.com/watch?v=fXi7sPR4On8 15Menurut pemahaman kelompok pengusung pluralisme agama, seorang yang merasa agamanya saja yang benar akan mudah menyalahkan agama orang lain. Merasa benar sendiri merupakan sumber konflik, yang bukan saja antar umat beragama, melainkan juga antar sesama pemeluk sebuah agama yang berbeda dalam aliran pemikiran atau mazhab teologi. Hal itu didukung oleh fakta-fakta sejarah semua agama. Pengakuan dari Ketua GPM Maluku Pdt. John Ruhulessin, bahwa dalam sejarah Kristen pernah terjadi perang internal karena persoalan teologi. Lihat, Husen Assagaf, “Toleransi Kehidupan Umat Beragama”, Sementara dalam Islam, antara lain dapat disebutkan bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan ISIS ditujukan bukan hanya untuk orang di luar Islam, tetapi termasuk oran Islam sendiri. Hal itu karena mereka memaksakan agar semua orang Islam harus bergabung dengan mereka. 30

Maksud utama dari paham itu adalah untuk menyelesaikan persoalan konflik antar agama dalam konteks global. Dengan menggunakan pendekatan teologi inklusif, tampak bagi mereka, bahwa ternyata kebenaran tidak tunggal. Kebenaran tersebar dalam semua agama dan menjadi milik semua keyakinan. Memang kebenaran bersifat sempurna dan menyeluruh, tetapi secara parsial terreflesikan pada tradisi-tradisi yang ada.16 Setiap tradisi mengandung kebenaran tertentu, tetapi dalam porsi yang bersifat relatif, tidak lagi mutlak dan absolut. Diana L. Eck, dalam bukunya yang berjudul From Diversity to Pluralism, mengatakan, “Setiap agama mengandung porsi kebenaran.” Secara singkat seluruh pemikiran pluralisme agama terkandung dalam pernyataan semua kebenaran (agama) adalah relatif. Persoalannya, bila kebenaran bersifat menyeluruh dan menjadi milik semua orang, lintas agama, budaya, dan tradisi, maka mengapa mereka gagal menciptakan perdamaian universal dan gagal pula menciptakan masyarakat dunia yang bersatu. Yang terjadi justru penciptaan kelompok yang berakibat pada terjadinya konflik antar kelompok? Agar lebih komprehensif penjelasan dimulai dengan pengertian pluralisme, dan kemudian sejarah munncul dan berkembangnya. Beberapa pemikiran penting (dari dari beberapa tokohnya) saja yang akan disampaikan. Hal itu karena dianggap sudah memadai untuk mendatangkan pemahaman yang lengkap mengenai paham ini. Pluralisme agama dapat dipahami sebagai suatu sikap atau kebijakan mengenai keragaman sistem kepercayaan agama yang ada secara bersama dalam masyarakat. Hal ini dapat mengindikasikan adanya satu atau beberapa hal. Budhy Munawar-Rahman telah mengumpulkan beberapa pengertian mengenainya. Di sini akan dikutipkan kembali, sebagai berikut:17 Pluralisme adalah nama bagi suatu pandangan dunia (worldview). Dalam pandangan itu, suatu agama bukan merupakan sumber kebenaran tunggal dan eksklusif. Terdapat pengakuan bahwa setidaknya terdapat beberapa kebenaran dan nilai-nilai yang benar ada pada keseluruhan agama yang ada. Pluralisme juga dapat dilihat sebagai konsep yang mengakui dua atau lebih agama, yang mana mereka saling mengklaim kebenaran eksklusif dan sama-sama merasa valid. Ini dapat dianggap sebagai bentuk toleransi yang baik. Pemahaman yang berdasar pada klaim eksklusif agama yang berbeda akan berubah, setelah dilakukan pendekatan yang lebih jauh. Akan terjadi variasi kebenaran universal yang telah diajarkan sejak dahulu kala. Ini disebut perennialisme atau tradisionalisme. Pluralisme merupakan istilah yang bersinonim dengan istilah ekumenisme. Istilah yang terakhir ini mengacu kepada adanya dukungan terhadap beberapa tingkat kesatuan, kerjasama, dalam rangka meningkatkan pemahaman antar agama yang berbeda. Bisa juga dipahami sebagi suatu bentuk denominasi dalam satu agama. Menurut para pengusungnya, karena pluralitas agama dan kepercayaan dalam masyarakat merupakan kenyataan, maka pluralisme menjadi suatu keharusan. Pengembangan pluralisme dalam masyarakat akan memungkinkan terjadinya

16 Ahmad Khairul Fata, “Menguak Islam Eksklusif yang Toleran”, 15. 17Budhy Munawar-Rahman, Reorientasi Pembaruan Islam, 525-526. 31 kerukunan dan kedamaian, bukan konflik.18 Kata mereka selanjutnya, secara sendiri- sendiri agama-agama sudah tidak mampu lagi menghadapi persoalan-persoalan kehidupan moderen, maka diperlukan suatu bentuk baru persekutuan agama- agama.19 Pada tingkat yang sangat ekstrim seorang tokoh pluralisme moderen, Raimundo Panikkar, sampai berkata, “Saat ini, bila ada orang bersikap eksklusif dan merasa paling benar sendiri, maka dia adalah orang yang paling munafik.”20 Beberapa pernyataan yang baru saja dikutip, langsung menunjukkan apa yang telah disebutkan di atas, bahwa upaya perdamaian yang dilakukan kelompok modernis, termasuk fundamentalis, adalah berdasar pada upaya penegasan eksistensi kelompok dan kepentingannya. Pemahaman perdamaian yang berdasarkan dua hal tersebut cenderung menciptakan konflik baru. Tidaklah berlebihan, kalau dikatakan, bahwa perdamaian dibuat supaya terjadi lagi konflik baru. Pada penjelasan secara historis berikut akan tampak upaya besar para pluralis untuk perdamaian, tetapi pada akhirnya berujung pada pembenaran diri sendiri dan kepetingannya serta penafian kelompok lain. Tokoh yang pertama kali merancang gagasan perdamaian ala pluralisme bolehlah dimulai dari Protagoras. Tokoh besar dari kelompok Sophist Yunani kuno itu hidup pada kira-kira pertengahan abad ke-5 SM. Dalam upaya mengembangkan paham Humanismenya, Protagoras mendudukkan manusia sebagai tolok-ukur utama kebenaran. Dia berkata: “Manusia adalah standar satu-satunya bagi segala sesuatu.”21 Maka, janganlah membenarkan ataupun menyalahkan, bila terdapat salah satu dari dua atau lebih pendapat yang berbeda. Perbedaan yang diciptakan itu telah menghilangkan kebenaran obyektif.22 Di sini sudah nampak tindakan meredusir kebenaran yang lain untuk membenarkan kebenaran sendiri, yaitu kebenaran sikap tidak memihak kepada satu pun dari kebenaran yang ada. Tetapi, secara tidak sadar, dia sendiri justru sedang menyatakan suatu bentuk kebenaran baru yang sifatnya absolut, setelah menolak semua kebenaran lain yang dia anggap relatif. Dapat dipahami pula bahwa Protagoras kelihatannya sedang menyatakan perang total kepada semua bentuk kebenaran, agar dengan itu perdamaian dapat ditegakkan, yaitu dengan cara berkonflik dengan yang lain. Demikianlah, kesan pertama dari ciri khas pluralisme agama yang telah ditampakkan oleh Protagoras. Ciri khas ini akan menjiwai semua bentuk pluralisme, seperti yang akan dijelaskan di bawah. Keragaman kebenaran, seperti yang digambarkan di atas, baru sekedar memperlihatkan kenyataan obyektif. Belum nampak suatu upaya teologi untuk membentuk kelompok. Situasi di mana dibiarkan berkembang begitu saja bentuk- bentuk kebenaran bisa membawa masyarakat kepada situasi konflik. Apalagi bila telah muncul saling berkompetisi di antara mereka dalam memperebutkan pengaruh. Jalan keluar dari ancaman konflik, yang paling mungkin untuk dilakukan, adalah

18Budhy Munawar-Rahman, Reorientasi Pembaruan Islam, 528. 19Th. Sumartana, “Menuju Dialog Antar Iman”, dalam Dialog : Kritik dan Identitas Agama (Jogjakarta: Interfidei, 1993), xxvi. 20Raimundo Panikkar, The Intra- Religious Dialogue (New York: Paulist, 1978), 20. 21 Lihat, Bertrand Russel, History of Western Philosophy (London: Routledge, 1946), 9. 22 Bertrand Russel, History of Western Philosophy, 94. 32 merumuskan sebuah agama bersama atau “Public Religion”. Diharapkan dengan itu, kesatuan semua kelompok dapat dibentuk. Agama bersama merupakan titik temu dari semua kepercayaan agama yang ada. Ia dihasilkan dari persamaan-persamaan mendasar yang terdapat pada semua agama. Dua contoh kasus agama bersama dari dua negara perlu disebutkan, yaitu Indonesia dan Amerika Serikat. Sejarah mencatat bahwa dari mulai proses sampai dengan terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) perdebatan mengenai bagaimana bentuk negara Indonesia berjalan cukup alot. Kalangan Islam menghendaki Islamisasi negera (khilafah Islamiyah) dengan penerapan hukum Islam bagi para pemeluknya. Sebaliknya, aspirasi dari radikalis sekuler tidak menghendaki Indonesia didominasi oleh agama tertentu.23 Sampai dengan pelaksanaan Pemilihan Umum tahun 1959, perdebatan kedua kelompok masih terus berlangsung alot. Dari hasil pemungutan suara, 263 setuju kembali ke UUD 1945. Sementara suara dari kalangan Islam yang menghendaki agar anak kalimat “Ketuhanan dengan menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluknya” dimasukkan kembali ke dalam sila pertama Pancasila, hanya bisa memperoleh 203. Itu berarti, kedua kelompok tidak bisa mengambil keputusan. Karena menurut UUDS 1950 suatu UUD baru bisa dianggap sah jika disetujui oleh 2/3 suara. Pemerintah melihat kondisi ini sebagai tidak sehat dan berbahaya. Sebagai Kepala Negara, Presiden Soekarno (1901–1970) pada 5 Juli 1959 segera mengeluarkan dekrit. Isinya antara lain kembali UUD 1945 dan pembubaran konstituante. Dekrit itu sekaligus menandai dimulainya era baru sistem politik Demokrasi Terpimpin24 dengan Soekarno sebagai Kepala Negara pemegang kekuasaan politik yang sangat besar. Banyak kalangan merasa sangat tidak puas. Tindakannya itu, oleh Mohammad Hatta, dinilai sebagai telah bertentangan dengan asas demokrasi. Sementara Gubernur Sumatra Utara, SM Amin, melihatnya lebih jauh lagi, yaitu sebagai suatu bentuk kudeta.25 Sampai dengan masa Orde Baru ketegangan kepentingan antara kelompok nasionalis dan Islam masih saja berlanjut. Presiden Soeharto (1921– 2008) kemudian mengambil langkah strategis, yaitu dengan membawa semua kelompok kepada penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal.26 Soeharto boleh dikata berhasil. Kedua kelompok tidak lagi berkonflik. Dengan keberhasilannya itu, Soeharto dapat menempatkan dirinya menjadi penguasa otoriter rezim Orde Baru dengan masa kekuasaan berlangsung selama 32 tahun. Masa kekuasaan yang begitu panjang diraihnya itu karena dia mampu menjadikan Pancasila sebagai sebuah ideologi yang dapat menyediakan prinsip-prinsip dasar (core values) untuk mempertemukan (common denominator) berbagai keyakinan dan pandangan hidup. Tidak berlebihan

23Yudi Latif, “Islam dan Nasionalisme: Menuju Rekonsiliasi,” dalam, Islam, Nasionalisme, & Masa Depan Negara Bangsa Indonesia ( Jakarta: Fraksi PPP MPR RI [2009-2014], 2011), 341. 24Arief Mudatsir Mandan, Islam dan Nasionalisme, 135 25Arief Mudatsir Mandan, Islam dan Nasionalisme, 136. 26Arief Mudatsir Mandan, Islam dan Nasionalisme, 139 33 bila Yudi Latif menyebut Pancasila sebagai agama sipil (civic religion) masyarakat Indonesia.27 Pada masa awal pertumbuhannya, negara baru Amerika Serikat pun diperhadapkan dengan sekian persoalan krusial: perbedaan keyakian, agama, ras, warna kulit, suku, dan lain sebagainya. Bila tidak segera dipersatukan, semua bisa berubah menjadi konflik. Bapak pendiri negara Amerika Benjamin Franklin (1706- 1790) segera juga mengambil langkah strategis. Langkah itu ialah menyusun sebuah agama bersama (Public Religion). Agama ini dihasilkan dengan cara memadukan elemen-elemen dasar semua agama. Bagi Franklin sendiri, agama publik merupakan alat politik untuk menjalankan kekuasaannya.28 Sama seperti kedua presiden di Indonesia, Franklin pun semakin memantapkan posisinya sebagai penguasa negara Amerika dengan keberhasilannya menciptakan agama bersama. Gagasan tentang agama bersama berlanjut ke tingkatan lebih tinggi, ke tingkatan dunia global. Perintis pertama pemikiran teologi global itu adalah Wilfred Cantwell Smith (1916–2000). Pikirannya benar-benar terobsesi untuk bagaimana merubah masyarakat dunia yang baru saja tumbuh menjadi sebuah komunitas dunia dengan satu keyakinan.29 Dari hasil analisanya terhadap kebenaran agama-agama dia dapati bahwa apa yang dinamakan agama (sebagai kata benda) ternyata hanya merupakan sebuah gejala moderen. Agama yang ada saat ini tiada lain dari hasil proses reifikasi yang telah berlangsung semenjak dua setengah abad terakhir. Perkembangan ini justru menimbulkan kekaburan, karena antara satu agama dengan yang lainnya saling bertentangan. Sebenarnya tidak ada yang namanya esensi agama. Yang ada hanyalah sifat berupa sekumpulan tradisi, seperti tradisi Hindu, Kristen, Yahudi, Islam, komunis, dan tradisi-tradisi lainnya. Tradisi-tradisi itu dibangun berdasarkan pada iman yang sangat pribadi yang terdapat dalam hati semua orang. Seorang yang beragama Kristen, Muslim, Hindu, Yahudi, komunis, bahkan atheis sekalipun pasti memiliki iman ini. Penemuannya akan iman yang sangat pribadi memungkinkannya untuk berkesimpulan, bahwa tidak ada perbedaan keimanan antara orang-orang lantaran perbedaan tradisi.30 Di kemudian hari John Hick (1922-2012) melanjutkan bahwa iman yang sangat pribadi itu mengambil bentuk yang beragam dalam konteks tradisi-tradisi historis yang beragam. Dalam diri manusia, iman itu wujud sebagai akibat dari respon manusia terhadap Realitas Absolut. Dalam hal ini semua manusia sama, apakah ia beragama Hindu, Kristen, Islam, Yahudi maupun yang lainnya. Respon itu mengangkat sedikit demi sedikit seorang manusia kepada realitas ketuhanan. Jadi, jalan menuju Realitas Absolut tidak tunggal, melainkan plural. Ia mengambil banyak

27Yudi Latif, “Islam dan Nasionalisme: Menuju Rekonsiliasi,” dalam, Islam, Nasionalisme, & Masa Depan Negara Bangsa Indonesia, ( Jakarta: Fraksi PPP MPR RI [2009-2014], 2011), 343-344. 28Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama (Jakarta: Perspektif, 2005), 58. 29Wilfred Cantwell Smith, The Meaning and End of Religion (London: SPCK, [1962], 1978), 8. 30Wilfred Cantwell Smith, The Meaning and End of Religion. Penjelasan selengkapnya mengenai dua istilah ini terdapat di dalam bab 6 dan bab 7. 34 bentuk dalam beragam tradisi. Tetapi, pada akhirnya, semua menuju kepada Yang Satu juga.31 Penjelasan secara historis di atas menunjukkan bahwa teologi perdamaian yang dikembangkan para pluralis adalah bertolak dari pemahaman mereka mengenai konflik. Karena tujuan konflik adalah untuk memenangkan kepentingan sendiri, maka teologi perdamaian kelompok pun dapat dipahami sebagai suatu bentuk pembenaran diri sendiri dan penafian kelompok lain. Penekanan utama pada penegasan eksistensi kelompok dan kepentingannya, jelas berpengaruh langsung terhadap warna sebuah pandangan ketuhanan. Tidaklah salah bila Emile Durkheim (1858-1917) berkata: “Tuhan adalah ekspresi batin dari kepentingan kelompok yang disakralkan.”32 Antara kelompok dengan kepentingan- nya serta dengan pandangan ketuhanannya saling berkait membentuk satu kesatuan sistem teologi. Berdasar pada perbedaan kepentingan, Hassan Hanafi (1935- ….) lantas menyimpulkan bahwa setiap kelompok sosial dalam masyarakat membaca kepentingan-kepentingannya sendiri dan mempertahankannya dalam sistem kepercayaannya. Itulah yang dinamakan teologi.33 Letak kegagalan, baik pada kelompok modernis Islam maupun fundamentalis Islam, adalah karena mereka belum sampai pada perumusan doktrin teologi dengan tingkat kebenaran yang absolut. Absolutisme yang mereka dengung-dengungkan baru sebatas pada kebenaran subyektif kelompok. Seluruh penjelasan hanya bertolak dari upaya penegasan eksistensi kelompok dan kepentingannya. Penjelasan yang hanya membawa unsur subyektifitas kelompok sudah tentu tidak bisa menampung makna yang sifatnya absolut. Padahal, absolutisme merupakan dasar terlaksananya perdamaian universal. Terdapat kecenderungan kuat juga, baik pada fundamentalisme maupun pluralisme, bahwa perdamaian universal yang mereka upayakan itu akan bisa diwujudkan apabila semua orang sudah sama sepaham dengan apa yang mereka pahami. Dalam rangka itulah keduanya sama-sama mengambil sikap sebagai fundamentalis, dan dengan demikian mereka melakukan

31John Hick, Religious Pluralism, dalam Whaling, Frank (ed.), “The World’s Religious Traditions : Current Perspektives in Religious Studies (Edinburg: T & T. Clark, 1984), 148. 32Bandingkan dengan pemikiran Emile Durkheim (1858-1917) mengenai Totem. Menurut Durkheim, manusia perorangan mendapati diri individunya dalam kondisi lemah. Ia merasa tidak akan bisa mempertahankan hidup secara sendiri. Karena itu, orang lain dibutuhkan, maka dibentuklah kelompok-kelompok masyarakat. Kini masyarakat, dalam pandangannya, adalah sesuatu yang lebih unggul darinya, baik fisik maupun moral. Kagum akan keunggulan masyarakat membawanya kepada pemujaan. Sistem pemujaan yang ia ciptakan dirumuskannya ke dalam bentuk sebuah simbol sosial yang kemudian disembahnya sebagai totem. Jadi, totem adalah proyeksi pengalaman sosialnya sekaligus sebagai sarana pengungkapan simbolis kehidupan kolektif dari masyarakatnya. Tampak sekali, penyembahan kepada totem tidak lain dari penyembahan kepada diri sendiri. Artinya, masyarakat mempertuhankan diri sendiri dan kemudian menyembahnya. Lihat penjelasan tentang Emile Durkheim, pada: Louis Leahy, Manusia di Hadapan Allah I, Masalah Ketuhanan Dewasa Ini (Jogjakarta: Kanisius, 1982), 44-45. 33Hanafi, From Dogma…, 125 35 upaya-upaya perubahan dengan cara-cara yang radikal. Bedanya, yang satu radikal keras, yang lain radikalis lembut.

D. PERDAMAIAN VERSI TEOLOGI UNIVERSAL Pada penjelasan di atas sudah sekilas disinggung sedikit mengenai teologi perdamaian universal, yaitu sebuah teologi yang berdasar pada absolutisme. Disinggung juga bahwa implikasi dari kebenaran absolut adalah terwujudnya perdamaian universal, yang bentuk konkritnya adalah masyarakat universal. Di sini akan diperinci lagi pembahasannya. Pertanyaannya, bagaimana merumuskan sebuah doktrin teologi dengan tingkat kebenarannya yang absolut? Apa yang menjadi bahan-bahannya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, pembahasan dimulai dengan penjelasan mengenai makna obyektif ayat Kitab Suci, yakni Al-Qur’an. Makna obyektif adalah makna yang belum mengalami proses penafsiran manusia. Ia adalah makna sebagaimana adanya yang datang langsung dari Allah SWT. Walaupun disampaikan ke dalam berbagai bahasa manusia, maknanya tetap bersifat obyektif, dan karena itu kebenarannya bersifat absolut. Melalui makna obyektif itulah, Allah SWT. mengomunikasikan penjelasan-Nya tentang eksistensi diri-Nya dan kepentingan abadi-Nya. Manusia secara universal ―lintas agama, bahasa, bangsa, budaya dan tradisi― pun dapat memahaminya seperti mana yang dikehendaki-Nya. Hal itu, karena secara logika, bagaimana mungkin Allah SWT. mengomunikasikan sesuatu yang berkaitan dengan Diri dan kepentingan-Nya yang tidak dapat dicerna akal manusia secara tepat dan dalam kebersamaan (antara manusia dengan manusia dan antara manusia secara keseluruhan dengan Allah). Dapat dipahami bahwa makna obyektif adalah suatu bentuk pertemuan antara Allah dan manusia dalam kesepahaman makna secara absolut. Ketika Allah menyatakan diri-Nya sebagai Zat Yang Esa, maka makna esa pada pernyataan-Nya itu dipahami oleh manusia secara universal, demikian pula Allah. Begitu pula terhadap doktrin dasar Islam tidak ada tuhan selain Allah (lā ilāha illā Allāh), adalah benar-benar obyektif. Tak ada pertentangan. Orang lain tidak bisa memahami lain, yang karenanya menjadi relatif. Dengan secara demikianlah, Nabi Muhammad Saw., diperintahkan Allah untuk menyeru seluruh manusia. Orang-orang Yahudi dan Nasrani, yang menglaim diri sebagai penganut agama samawi, pun diseru kepada keesaan Allah. Seruan-seruan itu semua berdasar dan menggunakan makna obyektif. Dalam ayat Al-Qur’an berikut, seruan itu disampaikan: “Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahl Al-Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama yang lain tuhan- tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling, maka katakanlah (kepada mereka), “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang muslim” (QS Ali Imran [3]: 64)34 Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi), dan rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai Tuhan selain Allah, dan (juga) Al-Masih putra Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada

34Kementrian Agama RI, Al-Qur’anul Karim Dan Terjemahnya, 2010, 58. 36

Tuhan selain Dia. Mahasuci Dia dari apa yang mereka persekutukan (QS. Al- Tawbah [9] : 3135 Pada ayat di atas Allah SWT. memerintahkan kepada Nabi Muhammad Saw. untuk berdialog dengan kaum Yahudi dan Nasrani. Dialog dilakukan secara adil dalam mencari asas-asas persamaan dari ajaran semua rasul dan juga kitab suci-kitab suci yang diturunkan kepada mereka, yaitu Taurat dan Injil. Melalui Nabi Muhammad Saw. juga Allah SWT memerintahkan kepada kepada kaum-kaum itu untuk tidak melakukan penyembahan kepada yang selain-Nya. Seruan Nabi Muhammad Saw. kepada mereka adalah berdasar pada klaim kebenaran yang dimilikinya secara istimewa. Sementara kedua kaum itu dipandang sebagai sedang berada pada posisi keyakinan yang sangat lemah. Pada ayat sebelumnya, bahkan dijelaskan bahwa saking kuat keyakinannya pada kemutlakan makna keesaan Allah, Nabi Muhammad Saw. sampai berani menantang mereka untuk bermubahalah. Tetapi rupanya, kedua kaum itu tidak berani. Itu karena keyakinan mereka tentang Allah telah terdistorsi oleh subyektifisme masing-masing mereka.36 Yahudi menafsirkannya sebagai orang-orang alim (ahbār) dan Nasrani menafsirkannya sebagai rahib-rahib (ruḩbān). Dalam sejarah, agaknya pemahaman yang melahirkan subyektifisme mengenai keesaan Allah tidak khas kasus Yahudi dan Nasrani. Umat Islam pun melakukannya, hanya saja dalam batas-batas yang dapat dipertanggungjawabkan secara akidah. Bahkan, penafsiran terhadap keesaan Allah merupakan salah satu prestasi besar Umat Islam. Penafsiran mereka berdampak pada lahirnya disiplin- disiplin rasionalisme dalam Islam dengan karakterisiknya yang tersendiri, yang sekaligus menandai kebangkitan dan kejayaan peradaban Islam. Harun Nasution (1919-1998), sebagaimana dikutip kembali M. Qasim Mathar, menjelaskan bahwa doktrin tentang keesaan Allah yang menduduki posisi sentral dalam ajaran Islam, sedikitpun tidak menimbulkan masalah. Dalam aspeknya yang obyektif itu ia, bahkan diakui oleh semua agama. Masalah mulai muncul ketika ada upaya untuk menafsirkannya. Di sini aspek subyektifitas muncul. Dalam Islam sendiri terdapat empat versi pemahaman subyektif terhadap doktrin tersebut. Pertama, kaum syariat, seperti mana umumnya orang Islam, memahaminya dalam bentuk pengakuan akan keesaan-Nya dalam hal penyembahan, meminta ampun, rezeki, pertolongan dan sebagainya. Kedua, kaum mutakallimin, dalam hal ini Mu’tazilah, memahami keesaan-Nya dengan cara menolak segala bentuk penyifatan kepada-Nya. Menurut mereka, pemberian sifat kepada-Nya adalah merusak kemurnian tauhid. Kata-kata seperti al-Rahmān, al-Rahi̱ m, al-‘Ali̱ m, al-'Azi̱ z dan seterusnya dipahami sebagai bukan sifat-sifat Allah, melainkan keadaan atau nama. Ketiga, kaum filosof mentauhidkan Allah dengan cara membuang segala hal yang dapat memberikan arti banyak kepada-Nya. Pemahaman bahwa Allah berhubungan dengan makhluk dapat membawa kepada timbulnya arti banyak pada-Nya. Al-Farabi, misalnya, akhirnya sampai pada suatu pendirian bahwa Allah Yang Maha Esa berkontemplasi hanya pada diri-Nya sendiri, dan melalui kontemplasi inilah alam ini wujud dan diatur.

35Kementrian Agama RI, Al-Qur’anul Karim Dan Terjemahnya, 2010, 180. 36 Lihat, H. Bustami A. Gani (dkk), Al-Qur’an Dan Tafsirnya (Jakarta : Universitas Islam Indonesia, 1995), 594 37

Keempat, kaum sufi, dalam rangka mentauhidkan Allah, menggambarkan hubungan-Nya dengan alam seperti hubungan wujud dengan bayangannya dalam cermin. Itu artinya wujud Allah hanya satu, semua yang lainnya adalah bayangan. Dengan cara pandang seperti ini, sufi merasa dapat mencapai situasi penyatuan dengan Allah dimana saat itu dirinya dirasakan telah fana.37 Karakteristik pemahaman subyektif seperti yang disebutkan di atas, memang sah-sah saja. Tetapi untuk diaplikasikan menjadi doktrin teologi perdamaian universal, agaknya tidak efektif. Aspek universalismenya sudah hilang. Untuk mengembalikan umat Islam kepada kesatuan universal, pertama-tama pemaknaan terhadapnya harus dikembalikan kepada pemahaman secara obyektif. Barulah absolutisme yang menjadi dasar terbentuknya masyarakat Islam universal ditemukan. Karena, “Kesatuan masyarakat,” demikian Hassan Hanafi, “Merupakan refleksi dari keesaan Allah.”38 Adapun hukum-hukum Allah, yang merupakan kepentingan abadi Allah, juga memiliki makna obyektif dan subyektif. Selama masih berada pada tataran obyektif, hukum-hukum Allah berada pada tingkat kebenaran absolut dan berlaku universal. Upaya penafsiran terhadapnyalah yang kemudian memunculkan makna-makan relatifnya. Beberapa contoh kasus, di antaranya seperti yang dikemukakan M. Quraish Shihab, perlu dikemukakan, misalnya mengenai kata malam dan nikah. Semua orang di mana pun di dunia ini, di waktu kapan saja, tentu tahu apa arti malam, dan umat Islam sendiri, di mana pun mereka berada, paham terhadap perintah Al-Qur’an : “…kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam” (QS. Al- Baqarah [2]: 187). Kata malam maupun perintah melanjutkan puasa sampai malam pada ayat itu dapat dipahami secara obyektif dan secara universal. Dalam makna yang demikian absolut itulah Allah SWT. memerintahkan umat Islam untuk melaksanakan puasa. Tapi, karena sebuah perintah mesti dilaksanakan dan bagaimana melaksanakannya dengan benar, penafsiran terhadap sang ayat pun dilaksanakan. Dari situ kemudian, muncul makna subyektif ayat yang bersifat relatif. Shihab menjelaskan bahwa kata malam di kalangan ulama telah menimbulkan perbedaan paham. Apakah maknanya gelap ataukah terbenamnya matahari kendati masih ada mega merah sehingga belum gelap. Dalam hal ini, ulama terbagi menjadi dua kelompok, ada yang memahaminya dengan makna yang pertama, dan yang lainnya lagi memahaminya dengan makna kedua. Bagi yang memahami malam dengan makna gelap akan melanjutkan terus puasanya sampai situasi betul-betul telah menjadi gelap. Tetapi, bagi yang memahami malam sebagai terbenam matahari, segera melaksanakan berbuka puasa kendati masih terlihat mega merah dan belum gelap. Begitu pula dengan kata nikah, terutama yang terdapat dalam QS. Al-Nisā’ (4) : 22, yang mana pada ayat itu Allah SWT. berfirman : “Janganlah menikahi siapa yang telah dinikahi ayah kamu.” Di sini pun terjadi perbedaan pemahaman di kalangan para ulama. Imam Syafi’i dan Imam Malik yang memahami kata nikah dalam makna akad nikah yang sahih membolehkan seorang anak lelaki menikahi perempuan, yang mana perempuan itu baru saja melakukan

37 Lihat, M. Qasim Mathar, Utak-Atiklah Keimananmu, dalam, "Sejarah, Teologi dan Etika Agama-Agama (Jogjakarta: Dian/Iinterfidei, 2005), xvii. 38Hanafi, The Revolution…, 185 38 hubungan perzinahan dengan ayah si anak lelaki tadi. Sementara Imam Abu Hanifah, yang memahami kata nikah dalam pengertian hubungan sex secara mutlak, baik dalam bentuk akad yang sah maupun tidak, mengharamkan jenis pernikahan tersebut.39 Di atas, disebutkan bahwa dalam makna obyektif kesepahaman makna antara Allah dan manusia bertemu. Itu berarti, makna obyektif ayat Al-Qur’an, dapat dilihat sekaligus sebagai pusat rohani manusia. Di pusat itu menemukan pikiran Allah sebagaimana adanya pada tingkat kebenarannya yang absolut. Kesetiaan manusia kepada absolutisme yang demikian, di mana Allah ditemukan, sama dengan kesetian manusia kepada dirinya sendiri. Masyarakat yang mendasarkan dirinya pada absolutisme selanjutnya menemukan kenyataan sebagai satu kesatuan universal. Absolutisme itu, kemudian menampilkan dirinya ke dalam berbagai perubahan. Manusia menangkapnya sebagai tanda-tanda pikiran Allah dan menggunakannya untuk kemaslahatan kehidupannya. Dengan cara demikian, peradaban dan kebudayan mereka, berkembang.40 Perdamaian universal tidak bisa didasarkan kepada kepentingan sesaat seperti yang dicanangkan kelompok fundamentalis dan modernis Islam, melainkan pada sesuatu yang obyektif, absolut, abadi dan universal. Hanya pada tingkat absolut makna esa yang terkandung dalam ayat Kitab Suci menjadi jaminan kuat untuk ditegakkannya perdamaian universal.

39Di dalam Islam upaya penafsiran terhadap wahyu memang harus dilakukan, karena wahyu al-Qur’an adalah kumpulan kehendak Allah yang harus diwujudkan dalam kehidupan umatnya. Upaya tersebut pada akhirnya memunculkan berbagai makna subyektif yang karenanya muncul mazhab-mazhab dalam Islam. M. Quraish Shihab mencatat faktor- faktor penyebab munculnya beragam penafsiran terhadap al-Qur’an, sebagai berikut: Pertama, adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan kondisi sosial budaya masyarakat, serta kecenderungan pribadi masing-masing. Kedua, perbedaan pendapat muncul justru dari teks al-Qur’an sendiri dan penilaian terhadap keabsahan sunnah Nabi Muhammad Saw. Dari al-Qur’an itu sendiri karena pemahaman terhadap ayat-ayatnya bisa dalam bentuk makna hakiki atau pun makna majazi/metafora. Ketiga, perbedaan pendapat karena ada atau tidak adanya penyisipan kata atau kalimat dalam ayat atau hadis. Keempat, perbedaan pendapat juga muncul, terutama terhadap umat sekarang ini, karena tidak ada orang yang memiliki otoritas tunggal seperti Rasulullah Saw. terhadap para sahabatnya dahulu. Untuk penjelasan lebih lengkap silahkan lihat, M. Quraish Shihab, Islam Yang Saya Anut: Dasar-Dasar Ajaran Islam (Ciputat: Lentera Hati, 2018), 3-30. 40Bandingkan dengan Muhammad Iqbal (1877-1938). Dalam bukunya yang monumental, The Roconstruction of Religious Thought in Islam, dia berkata: “Islam, as a polity, is only a practical means of making this principal a living factor in the intellectual and emotional life mankind. It demands loyalty to God, not to thrones. And since God is the ultimate spiritual basis of all life, loyalty to God virtually amounts to man’s loyalty to his own ideal nature. The basis of all life, as conceived by Islam, is eternal and reveals itself in variety and change. A society based on such a conception of Reality must reconcile, in its life, the categories of permanence and change. It must posses eternal principles to regulate its collective life, fot the eternal gives us a foothold in the world of perpetual change. But eternal principles when they are understood to exclude all possibilities of change which, according to to the , is one of the greatest ‘signs’ of God, tend to immobilize what is essentially mobile in its nature.” Iqbal, The Reconstruction…, 147-148. 39

Dengan demikian, teologi kelompok karena bertolak dari upaya mempertegas eksistensi kelompok dan kepentingannya, melahirkan sistem kepercayaan kelompok. Sedangkan teologi perdamaian, karena dimulai dari Allah dan demi pelaksanaan kepentingan-Nya, melahirkan kepercayaan universal. Syarat bagi terwujudnya persatuan dan perdamaian universal ada pada kepercayaan universal. Sejarah mencatat, ketika telah berada di Madinah ‒dalam sejarah Islam dikenal sebagai fase pembentukan masyarakat Islam‒ Nabi Muhammad Saw. mulai menegakkan dan melakukan pemberlakuan hukum, baik yang berkaitan dengan hidup individu maupun dengan masyarakat. Dalam pelaksanaan itu, Nabi Muhammad Saw. mendasarkan dirinya, di samping pada Al-Qur’an juga pada pendapatnya sendiri (di bawah bimbingan Allah). Sahabat-sahabatnya yang hidup semasa dengan beliau Saw. kemudian, apabila hendak menetapkan suatu keputusan hukum, juga mendasarkan pendapatnya pada Al-Qur’an, pada sunnah/hadis Nabi Muhammad Saw., dan pada pendapatnya sendiri. Tentunya, keputusan hukum yang ditetapkan sahabat itu tidak lagi universal, melainkan sudah berada pada posisi partikular, sesuai dengan konteks ruang dan waktu di mana sang sahabat berada.41 Akhirnya, seluruh pembentukan ajaran Islam mencapai tahap kesempurnaan tepat pada masa menjelang wafat Nabi Muhammad Saw. Kesempurnaan ajaran Islam, telah ditata sedemikian rupa sehingga mendapatkan bentuknya yang dapat diberlakukan secara universal, berlaku sepanjang jaman dan di tempat manapun. Jadi, Al-Qur’an, demikian Azyumardi Azra menjelaskan, sebagian ayatnya mengandung ajaran tentang tauhid/teologi, tapi tidak lantas dikatakan sebagai kitab tauhid/teologi, sebagian ayatnya mengandung penjelasan tentang ibadah/muamalah, tidak juga dikatakan kitab fiqh, demikian pula dengan ayat-ayatnya yang terkait dengan sejarah, tidak bisa juga dikatakan sebagai kitab sejarah, dan seterusnya dengan bidang-bidang keilmuan lain. Ketika masyarakat Islam semakin berkembang, seiring dengan perkembangan dan perluasan wilayahnya ke berbagai belahan dunia yang lain, muncullah persoalan-persoalan baru yang belum pernah ada pada masa-masa sebelumnya. Pada saat itu dirasakan sekali kebutuhan terhadap keputusan-keputusan hukum baru terkait dengan persoalan-persoalan tersebut. Para sarjana muslim, terutama pada abad kedua dan ketiga Hijriah, segera saja melakukan upaya ijtihad untuk menemukan jawabannya. Upaya itu dapat dilihat sebagai suatu bentuk perincian dan pengelaborasian yang bersifat partikular. Bila Al-Qur’an atau syari’ah dilihat sebagai dalil dasar, maka fiqh, misalnya, dapat dilihat sebagai prosedur tetap (protap), atau SOP (standard operating prosedur), atau pentunjuk pelaksanaan

41Ketika menjelaskan persoalan ijtihad dalam Islam, Muhammad Iqbal mengutip suatu contoh kasus yang paling mengesankan adalah pada saat Mu’az bin Jabal ditunjuk menjadi gubernur Yaman. Pada saat pelepasannya, Nabi Muhammad Saw. bertanya kepada Mu’az bagaimana ia akan menyelesaikan sebuah persoalan, kalau nanti dihadapkan kepadanya. Mu’az menjawab, “Saya akan menjalankan hukum berdasarkan Al-Qur’an.” Nabi Saw. bertanya lagi, “Bagaimana kamu memutuskannya bila tak kau dapati dalam Al-Qur’an.” “Saya akan menyelesaikannya berdasarkan petunjuk hadis Nabi.” Kalaupun dalam hadis- hadis tak kau jumpai, bagaimana.” Saya akan berusaha berdasarkan pertimbangan saya sendiri.” Iqbal, The Reconstruction, 155. 40

(juklak) atau juga petunjuk teknis (juknis), demikian penjelasan Azra, dengan menggunakan istilah-istilah birokrasi pemerintahan.42 Setelah melewati penjelasan-penjelasan di atas tampak bagaimana pandangan teologi perdamaian mengenai perbedaan paham dalam Islam. Bahwa sepanjang perbedaan itu muncul sebagai upaya untuk menjelaskan ketuhanan Allah, seperti yang dilakukan oleh empat disiplin ilmu keislaman (Syari’at, teologi, filsafat dan tasawuf), maka hal itu sah saja. Begitu pula dengan masalah kepentingan Allah yang kemudian menjadi sebab bagi munculnya mazahab-mazhab fiqh. Seluruh perbedaan paham itu dapat dilihat sebagai upaya manusia untuk menangkap pikiran total Allah dalam skala terbatas pikiran manusia. Hal itu sekaligus untuk membuktikan bahwa “Kehadiran total Yang Maha Tak Terbatas, “demikian Muhammad Iqbal (1877- 1938) “dalam gerakan pengetahuanlah yang berpikir terbatas itu sangat mungkin adanya.”43 Ini berbeda ketika kelompok-kelompok membawa kepentingan mereka ke tataran teologi sebagai suatu upaya mendapatkan lejitimasi. Setiap kelompok sosial dalam masyarakat, demikian Hasaan Hanafi membaca kepentingan- kepentingannya sendiri dan mempertahankannya dalam sistem kepercayaannya.44 Teologi perdamaian membawa kepada persatuan, sementara teologi kelompok membawa kepada perseteruan.

42Azyumardi Azra, Agama Sebagai Realitas Historis (1), dalam, “Resonansi, Harian Umum Republika”, tanggal 9 Agustus 2018. 43Iqbal, The Reconstruction…, 9 44Hanafi, From Dogma…, 125 41

BAB III STRUKTUR MASYARAKAT AMBON

Struktur masyarakat Ambon yang ada saat ini tidak terlepas dari sejarah panjang konflik dan perdamaian yang telah berlangsung sejak jaman pra sejarah. Karena itu untuk lebih memahami karakter masyarakat Ambon saat ini perlu terlebih dulu memahami sejarah konflik dan perdamaiannya. Akan tampak bahwa konflik dan upaya penyelenggaraan perdamaian berdasarkan pada upaya penegasan eksistensi diri/kelompok dan pemenuhan atau tuntutan kepentingannya. Dari penjelasan tentang sejarah konflik dan perdamaian, tergambar bahwa baik penganut Kristen maupun Islam tampak sebagai kelompok-kelompok. Tentunya sebagai kelompok, upaya penegasan eksistensi diri/kelompok dan pemenuhan kepentingannya juga berbeda. Tampak juga bagaimana kecenderungan kelompok ikut bermain dibalik upaya perdamaian itu.

A. SEKILAS TENTANG AMBON Ambon biasa disebut oleh anak negeri1 sendiri dengan tambahan nama julukan “manise”. Manise berarti manis, indah, bagus, cantik, dan baik. Akhiran “e” (dengan sedikit dipanjangkan bunyinya) yang diletakkan pada akhir setiap kata sifat, berarti, paling, sangat, atau terlalu. Jadi, Ambon Manise berarti Ambon yang sangat indah, bagus, dan cantik. Maksud indah dan bagus adalah alamnya. Tapi apabila termasuk orangnya juga, barangkali agak kontradiktif. Karena nama mengandung makna, sementara fakta menunjukkan lain. Peristiwa konflik massa, yang terjadi secara massif beberapa tahun yang lalu (antara 1999 sampai dengan awal 2004), jelas membuyarkan semuanya. Tetapi dari ungkapan “habis gelap terbitlah terang” semua berharap kenangan pahit masa lalu tidak akan terulang lagi dan “pengalaman adalah pelajaran yang sangat berharga”, demikian bunyi ungkapan lainnya, berarti orang Ambon berjanji untuk selalu damai. Untuk menandai berakhirnya konflik yang telah begitu banyak memakan korban jiwa dan kehancuran kampung, rumah, dan harta benda, maka pada tanggal 25 Nopember 2009, secara simbolis Presiden RI, DR. H.

1 Pengertian Anak Negeri atau Anak Adat pada orang Ambon dan Maluku pada umumnya adalah seorang seorang asli pribumi (indigeneous) yang memiliki hak dan kewajiban adat dan budaya. Samuel Waileruny merinci bahwa hak dan kewajiban itu berkaitan dengan suatu komunitas atau masyarakat, yang padanya terdapat hal-hal, sebagai berikut: (1) menempati suatu wilayah teritorial tertentu. Yang dimaksud dengan pengertian wilayah adalah semua yang meliputi rumah, pekarangan, meti (bagian tanah atau pasir yang kering di tepi pantai pada saat air laut sedang surut), saaru ( wilayah delta di tepi pantai), kebun, hutan, baik yang pernah atau bekas dikelola (aong) maupun yang belum sama sekali (ewang). (2) terdapat nilai bersama yang hidup dalam masyarakat secara turun temurun, (3) terdapat hak dan kewajiban baik secara individu maupun kelompok. Lihat, Semuel Waileruny, Membongkar Konspirasi di Balik Konflik Maluku (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2001), 101 42

Susilo Bambang Yudoyono, meresmikan berdirinya monument Gong Perdamaian Dunia.2

Gambar I. Monumen Gong Perdamaian Dunia yang ke-39, dibuat untuk mem- peringati kerusuhan Maluku/Ambon Tahun 1999-2002, terletak di kota Ambon.3 Dengan diletakkannya monumen Gong Perdamaian Dunia di kota Ambon, diharapkan persoalan konflik yang sering terjadi dan proses perdamaian telah selesai. Untuk selanjutnya, Ambon diharapkan damai, selamanya. Semua berharap begitu. Memang proses perdamaian yang disebabkan karena konflik di Ambon memiliki latar belakang sejarah yang panjang. Perdamaian yang berdasarkan pada penegasan eksistensi diri dan kepentingan kelompok ini telah dimulai sejak jaman pra-sejarah. Agaknya, perdamaian dengan makna ini bukan khas terjadi di Ambon. Di mana-mana juga begitu. Bedanya hanya pada ukurannya saja. Ada yang berskala lokal, regional dan, bahkan internasional. Sekutu telah melancarkan serangkaian peperangan sehingga menimbulkan kekacauan besar dalam kehidupan masyarakat Eropa. Dalam propaganda-propaganda yang selalu dikumandangkannya, Sekutu menyebut Perang Besar di Eropa sebagai "perang untuk mengakhiri segala perang." Kenyataannya, setelah memenangkan peperangan, Perjanjian 'Damai' Versailles yang dihasilkannya hanya untuk membuka jalan lebih luas lagi untuk terjadinya Perang Dunia II. Sebelum kemenangan Sekutu, Bolshevik telah lebih dulu menjanjikan kepada rakyat Rusia "damai, tanah, dan roti". Meskipun mengakhiri perang melawan Blok Sentral yang membawa bencana, Vladimir Lenin (1870-1924), kemudian melakukan pembantaian besar-besaran terhadap jutaan rakyat dalam rangka konsolidasi kekuatan. Penggantinya, Josef Stalin (1878-1953) melangkah lebih jauh dengan menciptakan horor yang luar biasa kepada rakyat Rusia. Kegagalan-kegagalan yang disebutkan ini menunjukkan bahwa perdamaian tidak bisa ditegakkan dengan perang.4 Tetapi perdamaian dibuat untuk mengakhiri perang, itu jelas. Dengan kata lain, perdamaian hanyalah akibat dari peristiwa yang menyebabkannya (konflik, peperangan atau pun bentuk-bentuk kekacauan lainnya). Sumbangan pemikiran bagi tegaknya perdamaian di Ambon telah pula dilakukan. Salah satunya adalah buku yang berjudul “Membongkar Konspirasi

2Pada tanggal 15 Nopember 2009, gong perdamaian dunia tiba di Ambon, diangkut dengan pesawat hercules milik TNI dan diterima langsung oleh Gubernur Maluku K.A. Ralahalu. Gong ini diletakkan pada monumennya di tengah Kota Ambon. Pada tanggal 23 Nopember 2009 Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono meresmikannya. Lihat, http://www.pii-maluku.com. 3 Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Gong_Perdamaian_Dunia 4 Lihat, https://id.wikipedia.org/wiki/Damai.

43 dibalik Konflik Maluku”. Buku ini ditulis oleh anak negeri Ambon sendiri, Semuel Waileruny. Tetapi, saksikanlah, pikiran yang mendasari penyusunan buku ini adalah perdamaian dengan makna seperti yang baru disebutkan. Thamrin Ely, yang juga anak negeri Ambon, pun mengungkap kekecewaanya. Seperti yang terungkap dalam kata pengantar untuk cetakan IInya, Ely menulis, “Semmy (nick name) belum membongkar apa-apa.” Selama konflik berlangsung, Ely menuduh Semy terlibat langsung sebagai tokoh kunci dalam gerakan-gerakan yang dilakukan oleh Tim Pengacara Gereja dan terutama lagi dalam Front Kedaulatan Maluku untuk Republik Maluku Selatan (RMS). Itu tidak disinggungnya sama sekali. Artinya, ada fakta yang Semmy senagaja tidak ungkapkan, terutama tentang aktifitas dia di dalam dua institusi penting tersebut. Dia malah terobsesi untuk mengunkap siapa dalang lain di balik konflik Maluku, yang menurutnya, itu adalah ulah Pemerintah Pusat NKRI, TNI dan Polri. Berkaitan dengan pengertian perdamaian yang hendak dia kembangkan, Semmy melakukan, paling kurang tiga kekeliruan. Pertama menyamakan pengertian damai dengan perdamaian. Kedua, menyebutkan teori tabula rasanya (jiwa manusia ketika lahir seperti kertas putih bersih) John Locke kepada Jean Jacques Rousseau. Ketiga, akibat dari kekeliruan yang pertama, yakni menyamakan makna damai dengan makna perdamaian, Semmy lupa atau sengaja lupa, bahwa teori-teori kontrak sosial Hobbes, Locke dan Rousseau, adalah berdasar pada latar belakang sejarah konflik sosial di dalam masyarakat mereka. Pemikiran mereka dapat dilihat sebagai sebuah tawaran konsep atau solusi untuk tegaknya perdamaian.5 Sebelum masuk ke sejarah konflik dan proses perdamaian di Ambon, berikut akan dijelaskan profil Kota Ambon sebagai, wilayah penelitian

B. PETA GEOGRAFIS, DEMOGRAFIS, IKLIM DAN SISTEM PEMERINTAHAN KOTA AMBON

1. Peta Geografis Kota Ambon berada pada wilayah pulau Ambon bagian timur, dinamakan dengan istilah Jazirah Leitimur (Lihat gambar Peta II). Bagian barat, yang sebagiannya masih menjadi bagian dari wilayah kabupaten Maluku Tengah, dinamakan Jazirah Leihitu. 6 Secara geografis kota Ambon berada pada posisi 3°— 4° Lintang Selatan dan 128°— 129° Bujur Timur, dengan luas mencapai 377 km².

5Lihat bukunya, Membongkar Konspirasi di Balik Konflik Maluku (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 20110, 36-37. 6 Upaya-upaya pemekaran wilayah, melepaskan Jazirah Lehitu dari dekapan Kabupaten Maluku Tengah, masih menjadi perdebatan antara pihak-pihak yang, pertama, tetap mempertahankan kepemilikan Kabupaten Maluku Tengah, kedua masuk menjadi bagian dari kota Ambon, dan ketiga pihak yang bahkan, menghendaki untuk berdiri sendiri menjadi kabupaten baru. Melihat tensi kepentingan antara ketiga kubu, agaknya, jalan masih terlalu panjang untuk bisa sampai ke salah satu di antara tiga titik di atas. Perputaran arus antar kepentingan politik terlalu kuat. Sulit mengambil keputusan yang menentukan yang merupakan sebuah pilihan terbaik. Bila tidak dikelola dengan bijaksana, persoalan ini pun sewaktu-waktu dapat meledak menjadi sebuah konflik baru. 44

Wilayah-wilayah perbatasan di sebelah Utara, Selatan, Timur dan Barat semuanya merupakan wilayah Kabupaten Maluku Tengah. 7 Otomatis, kota Ambon berada dalam pelukan Kabupaten Maluku Tengah (Lihat: Peta I). Dalam wilayah seluas itu, kota Ambon meletakkan pembagian wilayahnya menjadi lima kecamatan. Satu per satu dijelaskan secara rinci, sebagai berikut:

(1) Kecamatan Nusaniwe Kecamatan Nusaniwe mengambil bagian selatan kota Ambon dan menempati wilayah yang luasnya 8.834.30 Ha. Komposisi pemerintahan kecamatan atas-bawah meliputi 5 desa dan 8 kelurahan. 5 desa tersebut adalah Desa Latuhalat, Desa Silale, Desa Nusaniwe, Desa Eri dan Desa Amahusu. Sementara 8 kelurahan adalah Kelurahan Nusaniwe, Kelurahan Benteng, Kelurahan Wainitu, Kelurahan Kudamati, Kelurahan Mangga Dua, Kelurahan Urimessing, Kelurahan Waihaong, dan Kelurahan Silale. Dari keseluruhan desa dan kelurahan terkandung 5 dusun, 79 rukun warga (RW) dan 286 rukun tetangga (RT).

Peta I: Maluku Utara dan Maluku Tengah

Keterangan Gambar: Pulau Ambon berada dalam lingkaran wilayah orange dalam dekapan Pulau Seram.

(2) Kecamatan Sirimau Kecamatan Sirimau menempati bagin tengah kota Ambon. Luas wilayahnya mencapai 8.681.32 Ha. Komposisi pemerintahan kecamatan atas-bawah meliputi 4

7 Badan Perencanaan Pembangunan Kota (BAPPEKOT) Kota Ambon, Profil Kota Ambon, 6. 45 desa dan 10 kelurahan. 4 desa tersebut adalah Desa Soya, Desa Batu Merah, Desa Hatiwe Kecil dan Desa Galala. Adapun pemerintahan kelurahan yang berjumlah 10 terdiri dari Kelurahan Waihoka, Kelurahan Karang Panjang, Kelurahan Batu Meja, Kelurahan Batu Gajah, Kelurahan Ahusen, Kelurahan Hunipopu, Kelurahan Uritetu, Kelurahan Rijali, Kelurahan Amantelu. Dari keseluruhan desa dan kelurahan terkandung 92 rukun warga (RW) dan 350 rukun tetangga (RT).

(3) Kecamatan Teluk Ambon Kecamatan Teluk Ambon menempati wilayah bagian Utara kota Ambon, luasnya 9.368.00 Ha. Di dalam kecamatan ini terdapat 7 desa dan 1 kelurahan. Desa- desa dan kelurahan itu adalah Desa Laha, Desa Tawiri, Desa Hative Besar, Desa Wayame, Desa Rumah Tiga, Desa Poka, dan Desa Hunut/Durian Patah dan Kelurahan Tihu. Keseluruhan desa dan kelurahan membawahi 57 rukun warga (RW) dan 195 rukun tetangga (RT).

(4) Kecamatan Teluk Ambon Baguala Kecamatan Teluk Ambon Baguala berada pada bgian Timur kota Ambon. Luas wilayahnya adalah 4.011.00 Ha. Seluruh desa dalam kecamatan ini berjumlah 6 dan hanya 1 kelurahan. Desa dan kelurahan itu adalah Desa Nania, Desa Negeri Lama, Desa Passo, Desa Lateri, Desa Halong, dan Desa Latta dan Kelurahan Waiheru. Desa dan kelurahan pada Kecamatan Teluk Ambon Baguala memiliki 49 rukun warga (RW) dan 184 rukun tetangga (RT).

Tabel I. Jumlah kecamatan di kota Ambon No Kecamatan Desa Kelurahan Dusun Rukun Rukun Warga Tetangga 1 2 3 4 5 6 7 1. Sirimau 4 10 - 92 350 2. Nusaniwe 5 8 3 79 286 3. Teluk Ambon 7 1 - 57 195 4. Tel.Ambon 6 1 - 49 184 Baguala 5. Leitimur Selatan 8 - - 19 53 Jumlah 30 20 3 296 1.086 Sumber Data : Bagian Pemerintahan Kantor Walikota Ambon, tahun 2017.

(5) Kecamatan Leitimur Selatan Kecamatan Leitimur Selatan berada pada bagian tenggara kota Ambon. Luas wilayahnya adalah 5.050.00 Ha. Kecamatan terkecil ini hanya memiliki 8 desa, tidak ada kelurahan. Desa-desa itu adalah Desa Naku, Desa Kilang, Desa Hukurilla, Desa Ema, Desa Hatalae, Desa Hutumuri, Desa Rutong, dan Desa Leahari. Terdapat 19 46 rukun warga (RW) dan 53 rukun tetangga (RT).8 Untuk lebih jelasnya perhatikan tabel 1, di atas:9 Peta II. Pulau Ambon

Keterangan Gambar: Kota Ambon berada pada wilayah Jazirah Leitimur.

2. Demografis Perhitungan terhadap jumlah penduduk kota Ambon telah dilaksanakan pada abad ke-16 M. Ahli demografi Belanda, Ch. van Fraassen, bahkan telah berhasil menyusun daftar kependudukan di kota Ambon dan beberapa wilayah disekitarnya. Dari hasil perhitungannya saat itu, tampak bahwa jumlah penduduk kota Ambon mengalami pasang-surut. Pada tahun 1629 penduduk telah sampai pada jumlah 22.700 orang, tahun 1700 turun sedikit menjadi 21.700 orang, tahun 1770 turun lagi menjadi 20.000 orang. Pada tahun 1834 terjadi peningkatan yang cukup signifikan, mencapai jumlah 31.008. Tahun 1846 turun sedikit lagi yaitu 29.073 orang. Tahun 1854 naik lagi menjadi 31.510 orang. Tahun 1882 turun lagi yaitu 20.380 orang. Pada tahun 1930 terjadi peningkatan dua kali lipat yaitu 62.506 orang. Dari catatan tersebut terlihat bahwa kenaikan rata-rata setiap tahun adalah 1,5 %. 10 Setelah Indonesia merdeka perhitungan dilanjutkan, walaupun tidak pada setiap tahun. Data yang sempat dihimpun adalah bahwa pada tahun 1970 berjumlah 78.548 orang dan pada tahun 1977 sudah menjadi 94.713 orang.11 Dari penjelasan angka-angka di atas, tergambar bahwa penduduk kota Ambon dari abad ke-17 sampai dengan abad ke-19 tidak menunjukkan adanya kenaikan. Bahkan, pada beberapa tahun terjadi penurunan. Kuat dugaan, pada masa-masa itu terjadi pergolakan-pergolakan berupa peperangan dengan Portugis yang kemudian dilanjutkan lagi dengan Belanda. Dalam situasi demikian, bukan hanya tidak terjadi migrasi dari luar, tetapi banyak anak negeri sendiri yang meninggal karena perjuangan membela negerinya. Pertambahan penduduk yang signifikan baru terjadi

8Lihat, Hasil Survey Tata Guna Tanah tahun 1980, Kota Ambon Dalam Angka 2012, 7-8. 9Badan Pusat Statistik Kota Ambon, Kota Ambon Dalam Angka 2012,44-45. 10 Ch.F. van Fraassen, Ambon Rapport (Leiden, 1972), h.2-3. Lihat juga R.Z. Leirissa, Jhon Pattikaihatu, M. Soenjata Kartadarmadja, Sejarah Sosial di Daerah Maluku (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan : Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek-Proyek dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Sejarah Sosial di Daerah Maluku, 1983), 18-19. 11Kantor Statistik Provinsi Maluku, Maluku Dalam Angka 1979, 32 47 setelah Indonesia merdeka. Secara demikian, Kota Ambon baru dapat berbenah diri dengan baik. Pembangunan fisik mulai berjalan. Penyediaan lapangan kerja yang lebih luas dibuka. Hal ini tentunya menimbulkan daya tarik bagi para migran dan investor untuk masuk ke Ambon. Terbukti, pada dekade 1971-1981 terjadi pertumbuhan penduduk kota Ambon yang luar biasa, sampai mencapai 11,18 %. Seperempat abad berlalu, yakni pada tahun 2005, 2006 dan 2007 barulah dilakukan lagi perhitungan penduduk. Proses perhitungan meliputi semua wilayah kabupaten/kota yang berada di Propinsi Maluku. Dari hasil perhitungan tersebut Kabupaten Maluku Tengah menduduki urutan teratas, disusul kota Ambon, kemudian berturut-turut diikuti oleh Maluku Tenggara Barat, Seram Bagian Barat, Maluku Tenggara, Seram Bagian Timur, Pulau Buru, dan Aru. Tabel 2 di bawah ini, perlu dicermati.12

Tabel 2: Jumlah Penduduk Maluku Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku pada tahun 2005, 2006, dan 2007

KABUPATEN/KOTA TAHUN KET 2005 2006 2007 1 2 3 4 5 6 1. Maluku Tengah 341,835 355,548 398,136 2. Ambon 262,967 263,146 271,972 3. 160,062 162,343 162,634 Maluku Tenggara Barat 4. 148,788 158,175 158,619 Seram Bagian Barat 5. Maluku Tenggara 147,182 150,160 153,198 6. Buru 136,361 139,465 143,310 7. Seram Bagian Timur 79,425 80,123 271,972 8. 73, 516 76,625 79,865 Aru 9 M a l u k u 1,350,136 1 385,585 1.450,433

Sumber Data: Maluku dalam Angka 2008

Ada hal menarik yang perlu dicermati dari data pada tabel 3 di atas. Pada tahun 1998 tercatat jumlah penduduk kota Ambon adalah 314.417 jiwa. Memasuki tahun berikutnya, tahun 1999, terjadi konflik massal. Jumlah penduduk kota Ambon turun drastis menjadi 265.830 jiwa. Konflik menyebabkan banyak penduduk, yang asal-usulnya dari luar Ambon, melakukan eksodus dan kembali tempat asal mereka, seperti dari Jawa, Sulawesi, Sumatra, dan lain-lain. Penurunan juga disebabkan karena anak negeri Ambon banyak juga yang meninggal. Jadi konflik itu telah mempengaruhi jumlah penduduk sekitar 48.587 jiwa.13 Tetapi, setelah itu perlahan-

12Kantor Statistik Provinsi Maluku, Maluku Dalam Angka 2008, 32. 13M. Husni Putuhena, Buku Putih Tragedi Kemanusiaan dalam Kerusuhan Maluku : Sebuah Propesi Ulang Sejarah Masa Lalu (Ambon-Maluku : LEMM, 1999), 184-185. 48 lahan terjadi peningkatan yang terus bertambah. Pada tahun 2011 telah sampai mencapai 340.427 jiwa. Pada tahun itu, masih terjadi sekali lagi konflik, walapun demikian penduduk yang berasal dari luar kembali terus ke Kota Ambon. Para pendatang dari luar Ambon, umumnya berprofesi sebagai pengusaha atau pedagang. Dalam pandangan mereka, Ambon merupakan ladang usaha yang baik. Sedikit konflik tidak menciutkan mereka untuk melakukan tindakan eksodus. Ketika ditanyakan mengenai masalah ini, seorang pendatang yang berasal dari Sumatera mengemukakan pandangannya, sebagai berikut: “Orang Ambon punya selera tinggi. Kalau lagi punya uang semangat berbelanjanya naik dan tidak tanggung-tanggung. Di tempat asal kami orang berbelanja masih pikir-pikir. Di Ambon, tidak pakai pikir-pikir.14

Tabel 3 : Jumlah Penduduk menurut Jenis Kelamin di Kota Ambon, 1990- 2011 Tahun Laki-laki Perempuan Jumlah (1) (2) (3) (4) 1990 141 033 134 855 275 888 1991 141 408 135 926 277 334 1992 142 375 137 128 279 503 1993 143 107 138 637 281 744 1994 143 886 139 941 283 827 1995 145 493 140 982 286 475 1996 154 048 154 696 308 744 1997 155 151 155 770 310 921 1998 157 723 157 694 314 417 (1) (2) (3) (4) 1999 135 851 129 979 265 830 2000 104 709 104 594 209 303 2001 111 164 109 824 220 988 2002 117 367 115 952 233 319 2003 122 729 122 161 244 890 2004 129 583 128 191 257 774 2005 132 322 130 645 262 967 2006 132 152 130 994 263 146 2007 136 140 135 832 271 972 2008 141 387 139 908 281 293 2009 142 791 142 018 284 809 2010 165 926 165 328 331 254 2011 167 448 172 979 340 427 Sumber Data : Badan Pusat Statistik Kota Ambon, tahun 2017.15

14 Hasil wawancara dengan Hasan, pengusaha warung Padang, pada tanggal 20 Desember 2015. 15Badan Pusat Statistik, Kota Ambon Dalam Angka 2012, 58. 49

Komposisi penduduk Kota Ambon bila dilihat berdasarkan agama, terdapat lima macam penganut, walaupun tentunya agama-agama Islam, Protestan dan Katolik menduduki posisi mayoritas. Data yang tertera di bawah ini memuat para penganut agama berdasarkan wilayah kecamatan. Perhitungan yang dibuat antara tahun 2007- 2011. Perhatikan pada tabel 3 di atas :16 Pada tabel 3 tercatat penduduk kota Ambon pada tahun 1988 telah mencapai jumlah 314.417 jiwa. Tetapi karena adanya konflik jumlah jiwa berkurang sehingga tersisa 265.830 jiwa. Terjadi pengurangan sebesar 48.587 jiwa, suatu angka yang cukup fantastis. Pada tabel berikut (tabel 4) telah terjadi kenaikan sampai dengan angka 271.972 dan meningkat terus sampai dengan angka 310 683 pada tahun 2011. Pada tabel di atas terlihat angka yang tidak seimbang antara setiap kecamatan. Penyebaran penduduk dengan latar belakang agama tidak merata. Pada kecamatan Nusaniwe jumlah umat Islam hanya sebesar 27. 813 jiwa. Pada kecamatan Teluk Ambon dan kecamatan Leitimur Selatan bahkan tidak ada sama sekali. Sementara pada kecamatan Sirimau jumlah umat Islam mencapai angka 66. 965.

Tabel 4 : Banyaknya Penduduk/Umat Beragama di Kota Ambon Menurut Kecamatan, 2007-2011

Kecamatan Islam Kristen Kristen Hindu Budha Jumlah Protestan Khatolik (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Nusaniwe 27. 813 45. 231 4. 954 *) *) 77.998 Sirimau 66. 965 52. 897 5. 853 *) *) 125.715 Teluk - 15. 206 2. 540 *) *) 17.746 Ambon T.A. 33. 237 40. 786 7. 365 *) *) 81.388 Baguala Leitimur - 6. 988 - *) *) 6.988 Selatan Ambon 2011 128 015 161 108 20 712 481 367 310 683

2010 125 868 161 066 19 990 *) *) 306 924

2009 122 184 161 055 19 920 438 340 303 937

2008 111 557 152 253 17 601 197 534 282 132

2007 106 703 147 279 17 687 197 106 271 972

Keterangan : *) data tidak tersedia Sumber Data : Kantor Kementrian Agama Kota Ambon, tahun 2015.

16Kantor Kementrian Agama Kota Ambon, Kota Ambon Dalam Angka, 2012. 50

Sebelum tahun 1999 atau sebelum konflik penyebaran penduduk dengan latar belakang agama merata ada pada semua kecamatan. Konflik menyebabkan konsentrasi penduduk pada titik-titik tertentu berdasarkan agama. Segregasi yang demikian tidak terlalu kondusif untuk terpeliharanya perdamaian dalam jangka panjang.17

3. Iklim Iklim pulau Ambon berada pada iklim laut tropis. Dengan dikelilingi oleh lautan secara keseluruhan, pulau Ambon mengalami dua musim utamanya, barat atau utara dan musim timur atau tenggara. Musim barat berlangsung dari bulan Desember sampai dengan bulan Maret. Sedangkan musim Timur berlangsung dari bulan Mei sampai dengan bulan Oktober. Pergantian antar musim diselingi dengan musim pancaroba. Kelembaban udara di kota Ambon rata-rata di atas 80 % per tahun dan mencapai derajat tertinggi, yaitu 87,4 % pada bulan Mei dan terendah 81,3 % pada bulan Februari. Curah hujan tertinggi bisa mencapai 597 Mm. terjadi pada bulan Juni, sedangkan curah hujan terendah adalah 88 Mm., berlangsung pada bulan September.18 Akhir-akhir ini pergantian musim berjalan tidak selalu konstan. Apa pun penyebab, orang Ambon biasa berkelakar dengan mengatakan, “Dunia so mo kiamat.” Pada tahun 2012 dan 2013 terjadi curah hujan yang berlebihan mengakibatkan banjir dan terjadinya tanah longsor. Pada tahun 2013 sempat dicatat terjadinya bencana tanah longsor di wilayah pemukiman Mangga Dua, menimbulkan korban jiwa meninggal 8 orang. Sementara sepanjang tahun 2015 terjadi musim panas. Perjalanan musim yang tidak konstan ini berpengaruh besar terhadap peningkatan dan penurunan debit air sungai-sungai di kota Ambon.19 Sungai Air Besar, misalnya, yang melewati tepat di tengah areal kampus IAIN Ambon sudah sangat menurun debit airnya. 20 Hal itu karena, sebagaimana pantauan peneliti,

17 Lihat, Subair, (dkk), Segregasi Pemukiman Berdasarkan Agama : Solusi Atau Ancaman ? Pendekatan Sosiologis Filosofis Atas Interaksi sosial Antara Orang Islam dan Orang Kristen Pasca Konflik 1999-2004 di Kota Ambon, cet., I., (Yogjakarta : Grha Guru, 2008). 18Badan Perencanaan Pembangunan Kota (BAPPEKOT) Kota Ambon, Profil Kota Ambon, 6. 19Sungai Batu Gantung, melewati wilayah-wilayah Batu Gantung, dan Kelurahan Waihaong; Sungai Batu Merah melewati Kelurahan Karang Panjang dan Desa Batu Merah, Sungai Waytomu mengalir melewati Kelurahan Karang Panjang dan Uritetu, sungai Batu Gajah menelusuri Kelurahan Batu Gajah, Kelurahan Honipopu, Kelurahan Ahusen dan Kelurahan Urimessing, sungai Air Besar mengalir melewati pusat kampus IAIN Ambon dan berakhir di pantai Galala, dan sungai Air Putri yang bersumber langsung di tengah kelurahan Wainitu. 20Kampus yang dijuluki sebagai “Kampus Hijau” ini mestinya merupakan sebuah perguruan tinggi dengan pemandangan alamnya yang paling indah. Betapa tidak, lokasinya berada pada ketinggian, dengan dikelilingi oleh bukit-bukit dan hutan serta dikelilingi oleh aliran sungai Air Besar. Ketika berkunjung pada tahun 2013 untuk menyampaikan kuliah umum, Ir. Jusuf Kalla mengaguminya. Kata beliau, “Saya kira IAIN Ambon merupakan kampus yang tertinggi di dunia.” 51 kawasan hutan dan gunung di seputaran kampus yang menjadi sumber air, sedang mengalami proses penggundulan secara intensif. Para warga masyarakat yang bermukim di sekitar kampus menjadikan hutan dan gunung sebagai areal perkebunan. Padahal kawasan tersebut telah ditetapkan oleh Pemkot Ambon sebagai kawasan hutan lindung. Kepada pihak Lembaga IAIN Ambon juga disarankan untuk tidak lagi melakukan aktifitas pembangunan, dalam arti menambah gedung-gedung baru. Lembaga IAIN menerima saran tersebut. Tetapi, lain halnya dengan warga masyarakat. Mereka tetap melanjutkan aktifitas mereka, bahkan menambah dan memperluas areal-areal perkebunan. Apa yang mereka lakukan, terkesan dibiarkan. Keadaan demikian tentunya menjadi sangat membahayakan kehidupan warga sendiri. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan, karena ketika terjadi hujan lebat pada tahun 2013, sungai Air Besar meluap menjadi banjir dan menimbulkan bencana. Kerusakan terjadi pada perumahan penduduk di sekitar wilayah kampus, termasuk rumah-rumah kost para mahasiswa. Untung sekali, tidak terjadi korban jiwa. Hanya mengakibatkan terjadinya pengungsian tempat tinggal dari beberapa orang mahasiswa IAIN Ambon. Penjelasan tentang kondisi dan perkembangan kehidupan manusia serta kondisi perubahan iklim merupakan tantangan yang harus dibenahi oleh setiap pemegang kendali pemerintahan. Sebagai pemimpin ia harus mempertegas dirinya untuk melihat sejauh mana kemampuannya dalam mengelola kekuasaan. Kemaslahatan hidup masyarakat harus menjadi prioritas utama program pembangunannya. Perkembangan kehidupan manusia di kota Ambon dan sekitarnya penuh dengan gejolak sosial, yang karena itu Ambon menduduki posisi teratas dalam hal konflik-konflik sosial. Berikutnya, penjelasan tentang perubahan iklim mengindikasikan bahwa Ambon pun sama dengan daerah-daerah lain. Tingkat kerusakan lingkungan sudah cukup tinggi. Contoh kasusnya adalah pada hutan lindung di sekitar wilayah kampus IAIN Ambon. Ini juga yang harus menjadi perhatian setiap pemegang kekuasaan.

4. Sistem Administrasi dan Pemerintahan Sebagaimana halnya sebuah daerah pemerintahan tingkat kota, pengelolaan administrasi pemerintahan yang sistematis dan bertanggung jawab sangat diperlukan. Dalam rangka itulah masyarakat kota Ambon selalu aktif melaksanakan pemilihan kepala daerah, walaupun di saat sedang hebatnya konflik berlangsung. Dari semenjak awal berlangsungnya konflik sampai dengan ini, masyarakat kota Ambon telah suskses melaksakan empat kali pilkada. Untuk menjaga keseimbangan komunikasi antara dua komunitas komposisi pasangan calon yang akan dipilih harus terdiri dari Islam-Kristen. Pemerintahan saat ini (periode 2016-2021) dipegang oleh Richard Louhenapessy dan Syarif Hadler. Slogan mereka “Ambon bersih di siang hari dan terang di malam hari” telah dilaksanakan, walaupun hasilnya belum maksimal. Persoalan kesadaran masyarakat juga menjadi faktor bahwa program- program pembangunan kadangkala menjadi terhambat. Perlu juga disebutkan bahwa penyelengaraan dan tata kelola administrasi pemerintahan kota Ambon mengacu kepada beberapa Undang-Undang, sebagai berikut: 52

1. UU No.5/1974, tentang bidang organisasi pemerintahan daerah. 2. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 362 Tahun 1977 tentang pola organisasi pemerintahan daerah dan wilayah. 3. Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 118 Tahun 1991 tanggal 28 Desember 1991 tentang data wilayah administrasi pemerintahan di Indonesia.21 4. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Berdasarkan pada sumber–sumber hukum di atas Pemerintah kota Ambon telah menetapkan Peraturan Daerah untuk mengatur kelembagaan pemerintah kota Ambon. Kelembagaan kelembagaan yang diatur dalam Peraturan Daerah tersebut, menghasilkan lembaga-lembaga, sebagai berikut: 14 Dinas, 5 Badan, 3 Kantor, 3 Asisten dengan membawahi 8 bagian serta Sekretariat DPRD. Keseluruhan lembaga yang berada di dalam pemerintahan Kota Ambon terdiri dari:

14 Dinas Kota Ambon, terdiri dari: (1) Dinas Pendidikan dan Olah Raga, (2) Dinas Kesehatan, (3) Dinas Pekerjaan Umum, (4) Dinas Tata Kota, Kebersihan dan Pengendalian Dampak Lingkungan, (5) Dinas Kehutanan, Pertanian dan Peternakan, (6) Dinas Koperasi dan UKM, (7) Dinas Perindustrian dan Perdagangan, (8) Dinas Tenaga Kerja, (9) Dinas Kelautan dan Perikanan, (10) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, (11) Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, (12) Dinas Pendapatan Kota, (13) Dinas Perhubungan, (14) Dinas Sosial. 4 Badan terdiri dari: (1) Badan Perencanaan Pembangunan Kota, (2) Badan Pengelola Keuangan Kota, (3) Badan Kepegawaian Kota, (4) Badan Kesejahteraan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Masyarakat. Kantor-Kantor terdiri dari : (1) Kantor Satuan Polisi Pamong Praja, (2) Kantor Satuan Pemadam Kebakaran, (3) Kantor Pengelolahan Data Elektronik.

Bagian-Bagian yaitu ;

21Departemen Pertahanan Republik Indonesia, Sejarah Maluku, 135-136. 53

(1) Bagian Umum dan Perlengkapan, (2) Bagian Humas dan Protokoler, (3) Bagian Pemerintahan, (4) Bagian Organisasi, (5) Bagian Hukum, (6) Bagian Kesejahteraan Rakyat, (7) Bagian Arsip dan Tata Usaha Pimpinan, (8) Bagian Perekonomian. 22 C. AGAMA Secara umum, orang Ambon menganut dua agama besar, Islam dan Kristen/Protestan. Agama lain pun ada, seperti Hindu dan Budha, tetapi dalam prosentasi yang sangat kecil. Ketika konflik berkecamuk dua pengikut agama ini yang paling berperan. Akibatnya, yang paling merasakan dampak negatifnya adalah juga pengikut kedua agama ini. Saat ini, perbaikan-perbaikan dalam bidang kehidupan keagamaan terus digalakkan. Masjid dan gereja mulai dibangun kembali dan memperlihatkan kesemarakan dengan kegiatan-kegiatan keagamaan. walaupun memang persoalan belum sepenuhnya pulih kembali. Sebagai bukti dari apa yang baru saja disebutkan, tabel 5 di bawah ini akan memperlihatkan berapa jumlah rumah ibadah orang Ambon saat ini.23

Tabel 5 : Banyaknya Sarana Peribadatan di Kota Ambon Menurut Kecamatan, 2007-2011. Kecamatan Masjid Mus Gereja Gereja Kapel Pura Vihara halla Protestan Katholik (1) (2) (4) (5) (6) (7) (8) (9) Nusaniwe 13 9 91 4 4 1 1 Sirimau 81 13 86 3 7 1 - Teluk 5 - 31 6 2 - - Ambon T.A. Baguala 5 13 50 3 - - - Leitimur - - 9 - - - - Selatan Jumlah 104 35 547 16 13 2 1 Sumber Data : Kantor Kementrian Agama Kota Ambon, Pofil Kota Ambon 2012.

D. PERTUMBUHAN PENDUDUK: KONFLIK, DAN PROSES PERDAMAIAN 1. Tahap Pertama, Konflik-Perdamaian Antar Soa yang Melahirkan Komunitas Hena/Aman

Sejarah pertumbuhan dan perkembangan masyarakat di Ambon tidak terlepas dari dua proses, peperangan dan perdamaian. Melalui dialektika dari dua proses

22 Lihat Badan Perencanaan Pembangunan Kota (BAPPEKOT) Kota Ambon, Profil Kota Ambon, 22-24. 23Kantor Kementrian Agama Kota Ambon, Profil Kota Ambon, 2012, 142-143. 54 tersebut pembentukan persekutuan dan kekerabatan ikut pula berkembang dari bentuknya yang kecil sampai kepada bentuknya yang besar seperti sekarang ini. Orang Ambon yang ada sekarang ini berasal-usul dari campuran berbagai suku. Proses imigrasi mereka ke Ambon sudah terjadi semenjak jaman prasejarah. Gelombang imigrasi pertama datang dari Austro-Melanesia dan Proto-Melayu. 24 Memasuki jaman sejarah gelombang imigrasi terjadi lagi dan kali ini lebih banyak. Kelompok-kelompok pendatang pada periode kedua ini berasal dari berbagai daerah di nusantara: kelompok Tuni berasal dari pulau Seram, kelompok Wakan dari kepulauan Banda dan Kei, kelompok Moni dari Halmahera, Ternate dan Tidore, serta kelompok Mahu dari Tuban di pulau Jawa.25 Seperti umumnya di Maluku, awal pemukiman orang Ambon dimulai di wilayah-wilayah pedalaman atau pegunungan. Pemilihan wilayah-wilayah tersebut bedasarkan pada pertimbangan keamanan. Ancaman serangan tiba-tiba dari kelompok lain sewaktu-waktu dapat terjadi. 26 Masyarakat awal itu hidup dalam bentuk gabungan kelompok-kelompok kecil yang secara genealogis bersifat patrilineal. Dalam istilah adat dan budaya orang Ambon, kelompok-kelompok itu dikenal dengan nama rumatau atau lumatau. Satu rumahtau dipimpin oleh sorang kepala, disebut kepala rumatau. Antara satu rumatau dengan yang lainnya merupakan kelompok-kelompok tertutup yang hidup terpisah-pisah. Persaingan dan perebutan lahan hidup antar rumatau menciptakan ketegangan yang terus-menerus. Akibatnya, peperangan antar rumatau seringkali terjadi dan menimbulkan jatuhnya korban jiwa. Seperti yang dikatakan Thomas Hobbes (1588-1679), kesadaran untuk menghentikan konflik pun muncul demi mencegah kemusnahan. Untuk memperkuat basis rumatau dan mempertahankan eksistensi mereka, antar rumatau melakukan kontrak sosial yang kemudian menghasilkan kelompok baru yang lebih besar, namanya soa. Pembentukan soa berakibat kepada terbentuknya suatu basis wilayah territorial yang lebih luas dari sekedar yang dimiliki oleh rumatau dahulu. Wilayah dimana soa berada disebut soa juga dan kepala wilyahnya disebut kepala soa. Jadi, soa adalah nama persekutuan genealogis sekaligus nama wilayahnya. Tetapi, pembentukan soa tidak dengan sendirinya mengakhiri konflik. Ancaman peperangan tetap masih terbuka oleh karena adanya soa-soa lain. Beberapa soa kemudian bersepakat melakukan lagi kontrak sosial, yang kemudian dari situ terbentuk persekutuan yang lebih besar, disebut hena atau aman. Ketika bangsa Belanda tiba dan hendak memberlakukan sistem pemerintahan imperialismenya, semua penduduk hena atau aman terlebih dulu dipaksa turun di wilayah-wilayah sepanjang pesisir pantai. Mereka dibagi-bagi ke dalam wilayah- wilayah teritorial yang terpisah-pisah antara satu dengan yang lain. Nama hena/aman digantikan menjadi negeri. Di setiap negeri diangkat sorang yang mengepalainya, diberi gelar sebagai raja. Hena/aman sebagai tempat tinggal asal di hutan atau di

24 J.A. Pattikayhatu, sejarah Daerah Maluku, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Propinsi Maluku, 1993,7. 25Subair (et.all), Segregasi Pemukiman Berdasarkan Agama: Solusi atau Ancaman? (Jogjakarta : Grha Guru, 2008), 103-104. 26J.A. Pattikayhatu (et.all), Sejarah Daerah Maluku, 18. 55 gunung yang telah ditinggalkan itu dikenang dengan nama negeri lama. Dengan dipecahnya hena ke dalam dua atau lebih negeri berdampak besar untuk menurunkan kekuatan mereka. Sekarang hena menjadi lemah. Itu adalah cara Belanda menerapkan strategi politik pecah-belah (devide et empera)nya. Pemecahan itu berdampak lebih jauh lagi, negeri-negeri itu pun akhirnya melupakan asal-usul mereka, padahal tadinya mereka satu. Cara ini memang efektif, terbukti sampai sekarang konflik antar negeri sering terjadi. Sebagai kepala negeri, raja memegang 3 kekuasaan sekaligus, yaitu kepala pemerintahan, kepala adat dan kepala peradilan. Fungsi kepala pemerintahan adalah sebagaimana umumnya kekuasaan seorang raja. Itu adalah kepemimpinan tertinggi dalam suatu wilayah kekuasaan. Adapun tugasnya sebagai kepala adat sewaktu- waktu nampak ketika dilaksanakannya prosesi-prosesi ritual adat. Sedangkan pada kasus-kasus peradilan, raja adalah hakim tinggi negeri.27 Sebagai kepala negeri, raja membutuhkan seperangkat alat pemerintah yang akan membantunya dalam menjalankan roda kekuasaan. Untuk menghadapi ancaman serangan dari luar atau kelompok lain, masyarakat harus dapat disatukan di bawah satu komando umum. Untuk itu diperlukan seorang panglima perang. Orang Ambon menyebutnya kapitan. Sebagai panglima perang, kapitan dipandang lebih unggul dalam hal keberanian, kebal terhadap senjata tajam, dan cakap mengatur strategi perang. Kapitan juga memiliki kemampuan menghadapi dan menangkis serangan musuh, bukan hanya dalam bentuk perang terbuka, tetapi juga penyerangan dengan menggunakan ilmu hitam (black magic). Raja juga membutuhkan seorang penasehat. Dialah yang disebut dengan gelar mauwen. Sebagai penasehat raja, mauwen bertanggung jawab dalam bidang keagamaan, adat, memimpin upacara- upacara adat dan proses kerja perdukunan. 28 Bila kapitan memiliki kemampuan menangkis serangan musuh dalam bentuk ilmu hitam (black magic), maka mauwen memiliki kemampuan berkomunikasi dengan dunia gaib, yakni roh-roh para leluhur. Melalui komunikasi itu mauwen dapat menangkap informasi-informasi penting, berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya merupakan marabahaya. Sang mauwen kemudian menyarankan untuk dibuatkan segala persiapan untuk mengantisipasi terjadi serangan musuh.29 Karena hutan merupakan sumber utama penghasilan, yang darinya sebuah negeri mendapatkan sumber kehidupan, ia harus dijaga dari segala tindakan yang tidak bertanggung jawab. Untuk itu, sebuah lembaga khusus diadakan, namanya kewang. Ia bertanggung jawab dalam hal pengawasan hutan. Lembaga kewang dikepalai oleh seorang yang bergelar latu kewano. Tugas latu kewano dan lembaga kewang adalah mengawasi, menjaga batas-batas wilayah, hasil-hasil hutan dan laut dalam seluruh area territorial petuanan negeri. 30 Dalam melaksanakan tugasnya, sewaktu-waktu latu kewano dapat menyegel (sasi) hutan ataupun laut dalam jangka

27Subair (et.all), Segregasi Pemukiman Berdasarkan Agama, 108. 28Tim Peneliti Balai Kajian sejarah, 2004, Sejarah dan Nilai TradisionalAmbon, Ambon : Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Balai Kajian sejarah dan Nilai TradisionalAmbon, 26. 29Lihat, Subair, Segregasi Pemukiman Berdasarkan Agama, 110-111. 30J.A. Pattikayhatu, Sejarah Daerah Maluku, 23. 56 waktu tertentu. Hal itu akan dilakukan bila dirasa perlu untuk memaksimalkan hasil hutan maupun laut. Setelah disasi, hutan atau pun tidak boleh dimasuki sampai pada waktu yang telah ditentukan. Dengan cara begitu kelestarian alam dan sumber- sumber kehidupan masyarakat dapat terpelihara. Semua jabatan adat tersebut dipegang oleh rumahtau-rumahtau tertentu dan diwarisi secara turun-temurun. Dari penjelasan di atas nampak bahwa pemegang peranan penting dari semua jabatan di atas adalah raja sebagai kepala negeri, kepala soa dan latu kewano (kepala kewang). Dengan dibantu oleh seorang marinyo (juru bicara raja) pejabat-pejabat ini membentuk satu kesatuan lembaga eksekutif negeri yang disebut saniri raja-patti. Untuk lebih memperlancar sekaligus mengawasi pelaksanaan pemerintahan negeri dibentuklah lembaga saniri lengkap, yaitu lembaga yang terdiri dari saniri raja-patti, ditambah dengan kapitan, kepala adat, (mauweng) dan tuan tanah (amanupunyo). Lembaga saniri lengkap adalah pemegang kekuasaan legislatif negeri. Adapun yang menjadi lembaga tertinggi negeri adalah Saniri Besar, meliputi Saniri Raja Patti, Saniri Lengkap, Kepala-kepala Keluarga dan semua orang laki-laki dewasa. Saniri Besar bersidang setahun sekali. Dalam kondisi yang mendesak sidang bisa dilakukan kapan saja. Dengan mengambil tempat di baileu (gedung musyawarah) persidangan Saniri Besar dapat dilihat sebagai suatu bentuk demokrasi langsung dan bersifat terbuka. Struktur kekuasaan adat, sebagaimana dijelaskan di atas, dapat dengan baik melakukan upaya-upaya konsolidasi internal negeri, sehingga baik kamtibmas maupun pertahanan dan keamanan negeri dapat terpelihara. Tetapi untuk menjaga dan mempertahankan integrasi serta perdamaian, masyarakat memerlukan sebuah kepercayaan. Telah dijelaskan pada bab II bahwa fungsi penting perdamaian yang berdasar pada kepercayaan kelompok adalah mempertegas eksistensi diri dan membela kepentingannya. Jauh sebelum datangnya dua agama besar, Islam dan Kristen, orang Ambon telah memiliki kepercayaan asli dalam bentuk animisme dan dinamisme. Pada perkembangan selanjutnya terjadi peralihan obyek sesembahan, dari bentuk kepercayaan primitif menjadi percaya kepada Kuasa yang diyakini sebagai pencipta segala sesuatu.31 Masyarakat Ambon menyebut Kuasa itu dengan nama Upu Lanite (Tuhan Langit). Menurut Hasbollah Toisuta bila orang Ambon menyebut Upu Lanite, maka yang dimaksud adalah Tuhan yang sama yang

31Kepercayaan-kepercayaan pada masyarakat primitif cenderung berkembang, seiring dengan perkembangan masyarakatnya. Pada tahap pertama, kepercayaan tampak dalam bentuk yang paling bersahaja. Para ahli sepakat bahwa pada tahap yang paling dini dari sejarah manusia itu kepercayaan berbentuk animisme. Manusia menaruh keyakinannya kepada roh-roh yang mendiami benda-benda yang berada di alam sekitarnya. Pada tahap kedua, manusia meyakini bahwa fenomena dan peristiwa di alam digerakkan kekuatan- kekuatan dalam bentuk jiwa-jiwa. Pada tahap ketiga, kepercayaan didasarkan pada person- person dewa. Dalam pandangan mereka dewa-dewa itu membentuk susunan dan hirarki kekuasaan, sehingga ada dewa tertinggi yang mengatasi dewa-dewa lainnya. Pada tahap keempat, manusia mulai percaya satu dewa. Di sini manusia sudah berada diambang kepercayaan monoteisme, yang merupakan tingkat evolusi terakhir perkembangan kepercayaan. Lihat, Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi (Jakarta : UI, 1987), 49-50. 57 disebutkan oleh orang Islam dan Kristen dengan nama Allah.32 Tetapi, dengan Upu Lanite bukan berarti bahwa orang Ambon telah sampai pada konsep satu tuhan seperti yang diyakini oleh Islam (tauhid). Karena, seperti yang dijelaskan oleh Frank L. Cooley, orang Ambon pribumi masih mengakui adanya dewa bumi juga yang mereka sebut lapai, umi, ume (bumi). Dalam penggunaan sehari-hari, sering nama kedua Kuasa itu disebutkan serangkai dalam ungkapan lanite-lapai atau umi-lanite. 33 Kepercayaan ganda tersebut mengindikasikan bahwa alam semesta dilihat sebagai dua lingkungan terpisah, masing-masing dikuasai oleh dua kekuatan yang berbeda. Upu lanite (tuhan langit) menguasai alam atas dan upu ume/upu tele (tuhan bumi ) menguasai bumi dan lingkungan kehidupan manusia. Kosmogoni yang bersifat dualisme itu, sampai dengan saat ini masih berpengaruh dalam keyakinan orang Ambon. Setelah masuk ke dalam Islam, kosmogoni itu tidak lantas hilang, bahkan ditransformasikan kepada mensakralkan masjid dan bagian-bagiannya. Hal itu tampak, misalnya pada saat dan cara mereka membangun masjid. Dalam kepercayaan mereka, masjid dan bagian-bagian tertentu darinya bukan sekedar benda biasa. Ada makna khusus yang dikandungnya. Misalnya, tiang alif (puncak masjid yang berbentuk tiang dimana diletakkan simbol bulan dan bintang), memiliki makna penting. Ia berkedudukan sebagai penghubung (mediator) antara orang yang sedang melaksanakan shalat dengan Allah. Yang dimaksud dengan alif adalah huruf pertama pada lafaz Allah. Jadi, ia adalah alif Allah. Muadzin yang akan mengumandangkan adzan diharuskan terlebih dulu berdiri di tengah-tengah masjid tepat dibawah dan sejajar dengan tiang alif. Posisi itu harus tepat. Karena diyakini suara adzannya akan langsung menuju Allah, tidak demikian bila posisinya di tempat yang lain. Pensakralan kepada tiang alif berimplikasi kepada pengkultusan 12 orang tukang yang mengerjakannya. Mereka adalah orang-orang yang dipandang memiliki kemampuan lebih. Dalam kaitannya dengan pembuatan atau pembangunan masjid, orang lain sama sekali tidak diperkenankan. Oleh karena kemampuan mereka itulah, maka posisi mereka di dalam masjid sangat dihormati. Tempat mereka adalah pada shaf depan. Tidak boleh sama sekali ditempati orang lain. Pelanggaran terhadap hal ini akan berakibat fatal berupa kutukan (kuawalat) dan bisa membawa kepada kematian. 34 Melalui penelitian yang mendalam, terungkap bahwa terjadinya pensakralan terhadap masjid dan bagian-bagiannya adalah karena masjid merupakan simbolisasi diri manusia. Melihat masjid sama dengan melihat diri manusia. Tiang alif adalah simbol kemaluan laki-laki. Qubah masjid adalah simbol dari perut perempuan. Lubang di puncak qubah untuk diletakkan (dimasukkan) pangkal tiang alif adalah kemaluan perempuan. Pertemuan antara tiang alif dan qubahnya melalui lubang itu dimaknai sebagai pertemuan antar kemaluan laki-laki dan kemaluan perempuan. Pintu bagian depan masjid adalah simbolisasi dari pintu rahim ibu. Sehingga, pada kampung-kampung tertentu, pintu masjid hanya satu, yaitu pada bagian depannya

32 Hasbollah Toisuta, Konflik dan Intetegrasi Masyarakat Maluku (1945-2002) Suatu Kajian Dengan Pendekatan Historis dan Religio-Politik (Disertasi), 51. 33Frank L. Cooley, Mimbar dan Tahta ; Hubungan Lembaga-Lembaga Keagamaan dan Pemerintahan di Maluku Tengah (cet., I, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1987), 326. 34Baco Sarluf, “Masjid sebagai Lembaga Adat”, 75. 58 saja. Karena pintu rahim juga satu. Memasuki masjid diibaratkan dengan memasuki alam kandungan ibu (rahim). Maka, selama berada di dalam masjid adab dan tatakrama masjid harus dijaga, bukan semata-mata karena kedudukannya sebagai rumah ibadah. Tetapi karena ia adalah simbol manusia. Dalam pandangan orang Ambon negeri tempat tinggal adalah miniatur dari alam bawah (bumi), yang dilawankan dengan alam atas (langit). Masjid adalah pusat bumi, yang dalam sebuah negeri ditempatkan tepat di tengah perkampungan. Rumah-rumah adat, seperti rumah raja, baileo (tempat pertemuan) dan rumah imam, mengambil posisi pada lingkaran seputar masjid, begitu seterusnya dengan rumah- rumah penduduk lainnya. Proses membangunan negeri sama dengan proses penciptaan alam semesta. Penghubung antara alam atas dengan alam bawah adalah pada tiang alif. Dengan fungsinya yang demikian, tiang alif sekaligus berkedudukan sebagai poros dunia/alam semesta. Karena itu, masjid yang berkedudukan di tengah- tengah negeri dilihat sebagai berkedudukan di pusat dunia.35 Dapat dibayangkan, betapa sakralnya tiang alif itu. Dalam dirinya terletak tiga fungsi sekaligus: alif Allah, poros dunia, dan simbol kemaluan laki-laki. Karena kesakralannya itu masjid berfungsi, bukan hanya sebagai rumah ibadah, tetapi juga sebagai sarana yang mengintegrasikan masyarakat sebuah negeri menjadi satu kesatuan sosial yang solid. Dia adalah masyarakat yang memiliki kecenderungan kuat terhadap ego kampungisme. Dapat dipahami juga bahwa perdamaian yang dapat terbina di sini adalah hanya pada level lokal negeri saja atau dengan ungkapan lain, perdamaian versi kelompok setingkat negeri. Sempit sekali. Pensakralan kepada masjid dan bagian-bagiannya,36 sebagaimana disebutkan di atas, berimplikasi kepada pembentukan stratifikasi sosial di dalam jamaah masjid. 12 tukang masjid yang dikultuskan ditempatkan pada shaf terdepan. Posisi mereka tidak boleh diduduki orang lain. Dengan demikian, masjid pada setiap negeri, terdapat dua kekuasaan, yaitu kekuasaan penyelenggaraan kepercayaan adat, dipegang oleh 12 tukang masjid dan kekuasaan penyelenggaraan ibadah, dipegang oleh imam masjid bersama perangkat yang lain.

35Baco Sarluf, “Masjid Sebagai Lembaga Adat”, 70-75. 36 Dalam Islam pensakralan dan pengkultusan boleh hanya kepada Allah, tidak kepada yang lain. Kultus kepada yang lain bukan hanya bertentangan dengan prinsip tauhid, tetapi juga bertentangan prinsip kesetaraan sesama manusia. Prinsip tauhid yang diaplikasikan dengan baik akan memungkinkan dibukanya ruang yang luas untuk tegaknya persaudaraan, persamaan dan pembebasan. Persaudaraan yang dibangun di atas keesaan Tuhan dapat dengan baik mengganti ikatan karena kesatuan suku. Ia menciptakan kesamaan universal antara sesama individu dalam kedudukan sederajat dalam suatu masyarakat dan menjadi prasyarat bagi persatuan semua individu dalam satu pendirian dan keyakinan. Ketundukan kepada-Nya juga berimplikasi pada pembebasan manusia dari segala bentuk tirani kekuasaan yang memperbudak. Lihat, Hassan Hanafi, Revolusi Transendensi dalam masyarakat egalitarian Agama, Ideologi dan Pembangunan Trj. Shonhaji Sholeh (Jakarta : P3M, 1991), h. 122-135. 59

2. Tahap Kedua, Konflik-Perdamaian antar Hena/Aman yang Melahirkan Persekutuan Pata-Siwa dan Pata-Lima

Dengan terbentuknya hena/aman, yang oleh penjajah Belanda kemudian dipecah-pecah menjadi negeri-negeri, tidak juga dapat mengakhiri konflik. Memang Belanda menghendaki demikian. Antar sesama anak negeri Ambon masih terus menciptakan konflik. Sejarah konflik-perdamaian, bahkan meningkat ke skala yang lebih besar. Padahal, tadinya mereka berasal dari satu hena/aman. Lebih jauh lagi, di antara penduduk dari dua atau lebih negeri itu sudah juga menjalin hubungan kekerabatan melalui proses kawin-mawin, tetap saja tidak terlalu menimbulkan pengaruh baik. Konflik berjalan terus. Sekali waktu meluas dan membesar dan menimbulkan kerugian, berupa korban jiwa dan kehancuran harta benda, menjadi bertambah besar lagi. Kenyataan itu, dengan sendirinya, memaksa orang Ambon untuk kembali melanjutkan kontrak-sosial. Dalam skala yang lebih luas lagi, yaitu antar negeri-negeri, kontrak sosial itu melahirkan persekutuan besar yang disebut dengan pata-siwa dan pata-lima.37 Sesuai dengan namanya, pata-siwa berarti persekutuan dari sembilan negeri dan pata-lima adalah persekutuan lima-negeri. Jadi, ada dua bentuk persekutuan, yang satu merupakan gabungan dari sembilan negeri, satunya lagi adalah gabungan dari lima negeri. Bentuk-bentuk persekutuan ini merupakan suatu kenyataan umum yang ada diseluruh wilayah propinsi Maluku, Maluku Tenggara dan Maluku Utara. Di Maluku Utara dikenal nama Uli-Siwa dan Uli-Lima, sedangkan di Maluku Tenggara adalah Ur-Siu dan Lor-Lim.38

3. Tahap Ketiga, Konflik-Perdamaian antar Pemeluk Agama (Islam-Kristen) yang Melahirkan Bentuk Kekerabatan Pela dan Gandong

Dengan masuknya bangsa penjajah, Portugis dan Belanda, peperangan- peperangan di Ambon memasuki babak baru, dari perang antar negeri atau pata-siwa dan pata-lima, menjadi perang agama (Islam-Kristen). Sebagai diketahui, pada abad XV M. para penyiar Islam yang berprofesi ganda sebagai pedagang tiba ke Ambon. Mereka, terutama berasal dari Gresik, yang ketika itu telah menjadi pusat penyebaran Islam untuk wilayah Jawa Timur. Seiring dengan keruntuhan kerajaan Majapahit, para penyiar Islam semakin meningkatkan aktifitas dakwah sampai dapat menjangkau wilayah-wilayah timur nusantara. Negeri pertama yang dikunjungi di Ambon adalah Hitu. Proses masuknya Islam di Hitu yang kemudian menjadikan Hitu Islam, adalah secara damai. Secara perlahan-lahan, Islam menampakkan pengaruhnya, seperti pada bidang-bidang politik, pemerintahan, pendidikan, perdagangan, hukum adat, bahasa, seni dan budaya. Pada bidang politik dan pemerintahan Islam bahkan menunjukkan prestasinya yang luar biasa. Berdirilah Kerajaan Islam di Hitu. Dengan

37 Baco Sarluf, “Masjid Sebagai Lembaga Adat Pada Negeri Hila Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah (Suatu Tinjauan Teologi)”, Tesis pada Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, tahun 2007, 40. 38Lihat, Pattikayhatu (et.all), Sejarah Daerah Maluku, h. 20-21 60 berdirinya kerajaan Islam, bidang-bidang lain pun secara perlahan-lahan ikut menerima pengaruh Islam. Bahasa dan tulisan Arab mulai digunakan dalam literatur- literatur orang Ambon dan sekaligus memperkaya kosa kata dan pengetahuan mereka. Sebagai salah satu bukti, kata maluku (berasal dari kata malik—muluuk yang berarti raja) kemudian dijadikan sebagai nama propinsi. Masjid-masjid terus bermunculan menunjukkan bahwa wilayah-wilayah lain di pulau Ambon dan sekitarnya ikut berproses menjadi Islam. Pada akhir tahun 1511 M. bangsa Portugis mulai memasuki Ambon. Kebetulan, suasana kehidupan sesama umat Islam sedang tidak harmonis. Raja-raja antar negeri-negeri Islam sedang dalam persaingan meraih hegemoni kekuasan yang lebih besar. Portugis dengan cepat dapat membaca situasi. Hal itu adalah peluang untuk menancapkan pengaruhnya. Dia mulai dengan taktik politik devide et empera dalam persoalan politik pemerintahan negeri. Bersamaan dengan itu pula misi penyiaran Injil dilaksanakan dan berhasil mengkristenkan penduduk pribumi yang telah beragama Islam, terutama yang berada di jazirah Leitimur. 39 Setalah mengkristenkan mereka, politik devide et emperanya diterapkan. Akibatnya, terjadi pertentangan antara dua kawasan tersebut, Jazirah Leihitu yang Islam dan Jazirah Leitimur yang Kristen. Tetapi kemudian kedua kawasan itu juga melakukan sikap permusuhan balik kepada Portugis, sehingga terciptalah kondisi pertentangan segi tiga: antara rakyat di kawasan Jazirah Leihitu dengan rakyat di kawasan Jazirah Leitimur, di satu pihak dan antara rakyat di kedua kawasan itu dengan Portugis di pihak lain. Kondisi tersebut berdampak sangat buruk bagi pelaksanaan misi penyebaran Injilnya. Misi Injil Portugis gagal.40 Misi penyiaran Injil baru menampakan hasilnya dengan melalui Citade Amboina. Rakyat Leihitu mulai membuka diri untuk menerima agama Kristen. Loji pertama portugis didirikan di Leihitu dan sebagian negeri berhasil dikristenkan, terutama sebagian kecil rakyat di Negeri Hila. Gereja pun dibangun dan dicatat dalam sejarah sebagai gereja pertama di Ambon, bahkan Maluku secara keseluruhan.41 Untuk meningkatkan lagi misi penyiaran Injil, pada tahun 1546 M. didatangkan dari Malaka seorang paderi Katolik. Dia bernama Fransiscus Xaverius. Hila dijadikan sebagai sentral penyebaran Katolik Roma ke daerah-daerah lain di pulau Ambon dan di sekitarnya.42 Bagi orang Hitu, Portugis jelas merupakan ancaman, baik kepada agama, budaya, keamanan, ekonomi, politik, pemerintahan, eksistensi maupun integrasi. Peperangan pun menjadi tak terhindarkan. Akibatnya, Portugis terusir dari Jazirah Leihitu. Misi penginjilan dilanjutkan di Jazirah Leitimur. Kota Ambon dipilih sebagai pusat kegiatan dan berhasil mengkristenkan orang Islam Ambon dalam jumlah besar.43

39Lihat, Muller Kruger, Sejarah Gereja di Indonesia,(Jakarta : BPK, 1959), 20. 40I.O. Nanulaitta, Timbulnya Militerisme Ambon, (Jakarta : Bhratara, 1966), 5. 41 Gereja ini dianggap sebagai sebagai gereja tertua di Maluku.Tetapi pada saat kerusuhan Ambon beberapa waktu yang lalu gereja ini telah dibakarpasukan perang Islam. Penduduk negeri Hila yang Kristen itu pun ikut terusir keluar dari Hila. Sekarang tidak ada lagi tanda-tanda maupun orang Kristen di negeri Hila. 42J.A. Pattikayhatu, Sejarah Daerah Maluku, 59-60 43J.A. Pattikayhatu, Sejarah Daerah Maluku, 59-60. 61

Pada tahun 1605 M. Belanda tiba di Ambon. Melihat kenyataan bahwa Portugis telah lebih dulu tiba, Belanda segera mengatur siasat. Pertama-tama ia menawarkan diri untk kerja sama dengan Leihitu. Tawaran diterima. Kerja sama dilaksanakan yaitu menggempur Portugis. Setelah berhasil mengusir Portugis, kekuasaan atas kota Ambon berpindah tangan kepada Belanda. Sama seperti Portugis, Belanda pun melaksanakan misi dagang dan pengkristenan secara bersamaan. Orang-orang Ambon yang telah beragama Katolik Roma dialihkan kepada Protestan. Para paderi Katolik yang sedang melaksanakan tugas, oleh Gubernur Belanda di Ambon, Frederik de Hotman, diusir keluar dari Ambon. Belanda sukses besar. Banyak orang Ambon diprotestankan, meninggalkan agama Katolik Roma. 44 Bahkan, lebih jauh, misi protestanisasi Belanda berhasil sampai pada orang-orang Ambon yang telah beragama Islam. Tetapi, beberapa negeri di Jazirah Leihitu seperti Wakal, Hitu, Mamala, Morela, Liang, Tulehu, Tengah- Tengah dan yang lainnya tetap bertahan dengan Islam. Pada akhirnya, segala tindakan Belanda pun berujung pada timbulnya perlawanan dari umat Islam. Peperangan pun tidak terhindarkan. Dalam pada itu, negeri-negeri yang telah dikristenkan, tidak serta merta memutuskan hubungan kekerabatan dengan negeri-negeri Islam. Terkenang dan rindu akan masa-masa ketika masih Islam, di samping adanya pertalian darah atau hubungan kekerabatan sedarah, mendorong mereka kepada pembentukan kekerabatan. Hubungan ini, kemudian dikenal dengan nama pela dan gandong,45 yaitu hubungan kekerabatan berdasarkan asal-usul kekeluargaan. Ia terbentuk dari dua negeri yang berbeda agama, Islam dan Kristen.46 Sebenarnya, tradisi membangun pela telah dilaksanakan jauh sebelum datangnya kedua agama besar tersebut. Pela memiliki akar historis dalam hubungannya dengan pelaksanaan tradisi kakehan, yakni tradisi berburu kepala manusia oleh masyarakat-masyarakat pedalaman pada masa dulu. Permusuhan kepada kelompok lain dilampiaskan dengan berburu kepala dari orang yang dimusuhi. Untuk mengakhir permusuhan maka dibuatlah perjanjian persaudaraan dan bersepakat untuk tidak lagi saling menyerang, bahkan harus saling melindungi. Ikatan perjanjian itu kemudian memposisikan kedua belah pihak dalam hubungan kekerabatan yang dinamakan pela.47 Di Ambon dan juga di Maluku Tengah, pela dijadikan sebagai lembaga adat. Ia dibangun di atas dasar kepentingan bersama di bidang sosial dan ekonomi. Ini melibatkan hubungan timbal yang berkaitan dengan kemaslahatan kerja orang banyak, seperti: renovasi baileo (rumah adat), gereja dan masjid.48

44 Lihat, Muller Kruger, Sejarah Gereja di Indonesia...., h. 29 45 Samuel Waileruny, Membongkar Konspirasi di Balik Konflik Maluku, (Jakarta: Pustaka Obor, 2001), h. 87-88 46F.L. Cooley, Altar and Throne in Central Moluccan Societies, Ph.D. Thesis. Yale University, 1961, 263 47Frank L. Cooley, F.L. Cooley, Altar and Throne, 107. 48Tri Ratnawati, “In Search of Harmony in Moluccas : A Political History Aproach”, dalam Communal Conflicts in Contemporary Indonesia. Jakarta : IAIN Syarif Hidayatullah- KAS (Konrad Adenauer Stiftung, 2002). 62

Dalam membangun hubungan-hubungan kekerabatan tersebut dapat dikatakan bahwa hampir setiap negeri terikat pada hubungan pela, setidaknya satu negeri dengan negeri lainnya. Mereka melakukan kesepakatan yang mengikat antara dua atau lebih negeri untuk saling membantu satu sama lain dalam kondisi-kondisi tertentu. Pela dapat dilihat sebagai suatu bentuk yang sangat formal dari suatu kerjasama yang sangat dihormati oleh pihak-pihak yang terkait dengannya. Ia ditegakkan dengan sanksi-sanksi yang kuat serta ditempatkan dalam bingkai hukum adat.49 Terdapat dua bentuk pela, yaitu yang dikenal dengan "pela keras" dan "pela lunak". Bentuk yang pertama, karena berasal dari dua saudara sedarah, perkawinan antar keduanya terlarang sama sekali, secara keras. Sementara bentuk yang kedua, tidak terdapat larangan tersebut. Perkawinan antara keduanya dibolehkan.50 Bentuk yang pertama disebut dengan istilah gandong dan yang kedua disebut dengan pela saja. Pela keras juga dapat terjadi dalam bentuk ikatan yang erat/kuat berdasarkan sumpah setia antara kedua pihak yang bertikai. Ada berbagai istilah yang digunakan untuk menyebut pela jenis ini, yaitu pela tuni (pela asli), pela sejati, atau kadang disebut juga pela batu karang. Terbentuknya pela keras biasanya karena peperangan antar klan atau negeri. Perdamaian dilakukan melalui perjanjian atau sumpah untuk membentuk pela. Upacara mengangkat sumpah disertai dengan saling meminum darah kedua pihak yang berkonflik. Tetesan darah dari jari tangan yang dilukai atau darah hewan tertentu dicampurkan dengan sopi (minuman keras khas Maluku) lalu diminum bersama.51 Dengan mengangkat sumpah, perjanjian damai dalam sistem pela tidak lagi sekedar sebuah perjanjian perdamaian yang sifatnya artifisial. Ia telah dialihkan atau ditransformasikan ke dalam kepercayaan dan menjadi keyakinan bersama. Artinya, perdamaian yang berdasarkan kepercayaan kelompok Sebagai sebuah kepercayaan, pela dan gandong menuntut seperangkat aturan yang tegas, diantaranya adalah, sebagaimana telah disebutkan di atas, larangan kawin-mawin antara kedua belah pihak.52 Aturan lainnya adalah penghalalan semua hasil hutan dan laut di antara kedua belah pihak. Orang dari negeri yang satu boleh makan hasil hutan dan laut milik negeri lain tanpa harus memberitahukan terlebih dulu. Tegasnya, “Konstruksi sosial pela, telah mengantar anak negeri untuk melakukan hubungan-hubungan yang melampaui batas-batas negeri, batas-batas

49F.L. Cooley, Altar and Throne, 107. 50Lihat, D. Bartels, Guarding the Invisible Mountain :Intervillage Alliances, Religious Syncretism and Ethic Identity Among Ambonese Christians and Moslems in the Moluccas, Ph.D. Thesis, Cornell University Press, 1970, 320-325 51J.A. Pattikayhattu, Budaya Pela dan Gandong di Maluku Tengah (Ambon : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pattimura, 2005), 13. Lihat Josep Antonius dan Hasbollah Assel (ed), Menggali Sejarah dan Kearifan Lokal Maluku (Jakarta : Cahaya Peneleng, 2012), 42. Lihat F. Sahusilawane, Sejarah Lahirnya Pela dan Gandong Antar Negeri-Negeri di Pulau Ambon Dalam Laporan Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional Ambon, 27. 52Salah satu bentuk larangan ini terdapat di dalam masyarakat di Negeri Batu Merah (Islam) dan Negeri Passo (Kristen). Larangan terjadinya kawin-mawin bukan karena kedua negeri tersebut berbeda agama, tetapi karena adanya hubungan pela antara keduanya. Lihat, Husen Assagaf, Toleransi Kehidupan Umat Beragama, 175. 63 pulau, batas-batas kultur, bahkan batas-batas agama, dan sebagainya.”53 Atas dasar pela dan gandong negeri Islam membantu negeri Kristen membangun gereja. Demikian pun negeri Kristen akan menyumbang tenaga dan bahan-bahan material untuk pembangunan masjid. Saat-saat di mana sedang melaksanakan kerja sama seperti begini tak ada lagi batas-batas halal dan haram. Bila negeri muslim sedang berpuasa di bulan Ramadhan, kebun dan isi hutan pun sementara disasi (disegel). Bersamaan dengan itu datang kerabat pela atau gandongnya, maka sasi buah-buahan tidak berlaku bagi mereka.54 Dengan demikian, pela adalah suatu bentuk perdamaian yang disakralkan setelah ia mengalami tranformasi menjadi sebuah kepercayaan bersama antara kedua belah pihak yang berbeda agama. Salahkah, bila dikatakan bahwa pela adalah agama baru orang Ambon? Akhirnya, harus dicatat kembali bahwa pembentukan pata-siwa dan pata-lima maupun pela dan gandong merupakan bentuk-bentuk perdamaian orang Ambon. Ia dibangun atas dasar kerja sama beberapa negeri dalam rangka menggalang kekuatan bersama dan mempertahankan eksistensi mereka dari kepunahan akibat peperangan- peperangan yang selalu terjadi. 55 Pela dan gandong juga telah secara efektif meredam gejolak yang mungkin terjadi akibat dari politik devide et empera yang diwariskan penjajah Eropa semenjak abad XVI. Sebagai diketahui praktek penjajahan Belanda selama 300 tahun bukan hanya untuk memonopoli bidang perdagangan. Mereka juga berhasil mengkristenkan hampir sekitar setengah dari penduduk Maluku. Akibatnya, masyarakat Maluku dibagi menurut garis agama, secara geografis dan sosial. Kenyataannya, Pela dan Gandong dapat mempertahankan hubungan bilateral dalam bidang sosial tradisional dan pengalaman identitas budaya masyarakat Maluku sampai dengan tahun 1970-an.56

4. Tahap Keempat, Konflik-Perdamaian antar Pemeluk Kedua Agama (Islam- Kristen) akibat konflik 1999

Memasuki awal tahun 1999, tepatnya pada hari Rabu tanggal 19 Januari, bara yang tersimpan selama ini dalam sekam mendapatkan momentumnya untuk muncul ke permukaan, meledak hebat dalam bentuk konflik sosial. Saat itu umat Islam masih dalam suasana berbahagia merayakan hari kedua Hari Raya Idul Fitri 1999. Korban jiwa berjatuhan bersamaan dengan kehancuran harta benda serta tempat pemukiman. Berbagai analisa dibuat untuk mengungkap siapa dalangnya dan apa motifnya. Pihak pemerintah RI, para peneliti/penulis nasional dan anak negeri Ambon yang muslim sepakat bahwa RMS (Republik Maluku Selatan) berada di balik semua itu. RMSlah yang menjadi aktor intelektualnya. Abdul Qadir Djaelani,

53Semuel Waileruny, Membongkar Konspirasi, 137. 54 J.E. Lokollo (dkk), Seri Budaya Pela-Gandong dari Pulau Ambon, Ambon : Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, 1997, 2. 55 Hasil wawancara dengan Usman Thalib, Sejarawan Maluku dari Universitas Pattimura Ambon, pada tanggal 28 September 2014. 56Rohaiza Ahmad Asi (et.all) “Konflik dan kekerasan di Maluku: Penyelesaian dan Pendekatan Pengelolaan”, dalam, Pengelolaan Konflik di Indonesia – Sebuah Analisis Konflik di Maluku, Papua dan Poso, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Current Asia dan the Centre for Humanitarian Dialogue, Juni 2011, 15-16. 64 dengan melihat saat awal dimulainya konflik, yakni hari Raya ‘Id al-Fitri, menuding langsung pihak Kristen sebagai pelaku utama. Dia menulis: “Untuk itu maka pada hari Selasa, 19 Januari 1999, jam 11.00, tatkala ummat Islam selesai melaksanakan shalat Idul Fitri 1419 H. dengan serentak ummat Kristen menyerang dan membunuh ummat Islam. Dikarenakan dalam keadaan sangat minoritas dan suasana Idul Fitri, ummat Islam Ambon tidak berdaya untuk melawan serangan ummat Kristen, kecuali lari menyelamatkan diri.”57 Rukmi menuding para simpatisan RMS atau mereka yang masih tertanam keyakinan akan ideologi RMS memengaruhi para pemuda untuk mendukung perjuangan mereka.58 Dua anak negeri Ambon, Husni Putuhena dan Rustam Kastor, ikut memperkuat pendapat para peneliti di atas. Husni menulis: Kerusuhan di Maluku merupakan konspirasi RMS (Republik Maluku Selatan) untuk mewujudkan sebuah negara Kristen yang berdaulat sebagai pengejawantahan dari gerakan Oikumene yang dibangun Kolonial Belanda pada pemulaan abad XX. Perwujudan negara Kristen di Maluku merupakan tindak lanjut dari pernyataan Gereja Kristen dalam sebuah Sinode pada tanggal 6 September 1936 (Gereja Protestan Maluku). Terjadinya Idul Fitri berdarah tanggal 19 Januari 1999 bagi umat Kristen dan pemerintah RMS serta tokoh Gereja menjadi sebuah catatan khusus untuk menyusun kekuatan sehingga memasuki milenium baru dapat direalisasi cita-cita Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Frederik William Inderburg melalui Kristining Politik untuk membangun negara Kristen Maluku yang merdeka berdasarkan ajaran Kristen. Maka tidak dapat diingkari lagi bahwa kerusuhan di Maluku merupakan sebuah konspirasi RMS dan Koalisi Gereja Kristen untuk menghancurkan Islam di Maluku.59 Rustam Kastor dengan agak lebih rinci dan luas mengungkap fakta dan data, menulis, sebagai berikut: RMS adalah negara boneka ciptaan Belanda agar memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia….Kebencian ummat Kristen terlihat dalam bentuk kekejaman pemerintahan RMS yang pejabatnya dan angkatan perangnya 99,9% beragama Kristen. Korban kekejaman RMS persis sebagaimana yang diderita Ummat Islam dalam tragedi Idul Fitri Berdarah ini….Oleh karena itu marilah kita melihat RMS ini dalam korelasi yang lebih besar dan luas, berkaitan dengan kondisi nasional dan internsional di mana upaya menghancurkan kemajuan Islam dimotori oleh Lobby Kristen Internasional.60

57 Abdul Qadir Djaelani, Agama dan Separatisme Menjadi Landasan Konflik Maluku dan Posso (Jakarta: Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah, 2001), 5. 58 Rukmi, Apa dan Siapa RMS (Republik Maluku Selatan) (Jakarta: Timpani Publishing, 2006), 51. 59 Husni Putuhena, Buku Putih Seri 2 Konspirasi RMS dalam Kerusuhan Ambon dan Lease, Gerakan Penghancuran Islam untuk Merebut Sebuah Kekuasaan di Bumi Siwa-Lima 1950-2000, Ambon, 63. 60 Rustam Kastor, Fakta, Data dan Analisa Konspirasi RMS dan Kristen Menghancurkan Umat Muslim di Ambon-Maluku (Yogyakarta: Wihdah Press, 2000), 53. 65

Sebagai suatu upaya pembelaan diri, tokoh penting di dalam Tim Pengacara Gereja-Gereja di Maluku dan Front Kedaulatan Maluku untuk Republik Maluku Selatan (FKM RMS), Semuel Waileruny bukannya membantah dan atau menjawab tuduhan para peneliti di atas. Ia malah mengalihkan perhatian. Bahwa konflik Ambon terjadi adalah karena dikonspirasi oleh Pemerintah RI, bersama TNI dan Polri. Dengan berdasarkan pada teori-teori konflik sosial para pakar sosiologi (Dahrendorf, Maurice Duferger, Alfian, Charles Tilly) Semuel mendesak pemerintah untuk bertanggung jawab.61 Konflik terjadi karena semata-mata sudah diatur dari pusat Jakarta. 62 “Konflik selalu bersumber dari pusat-pusat kekuasaan untuk kepentingan kekuasaan itu, dan kekuasaan berperan sebagai biang konflik dan alat penindas.” 63 Adalah aneh bahwa dalam bukunya tak ada satu pun kata yang keluar darinya menyinggung atau menyalahkan umat Islam. Dari beberapa kutipan di atas dan ditambah lagi dengan beberapa referensi dari sumber-sumber lain, dapat disimpulkan bahwa penyebab konflik dapat digali dari akar-akarnya, yang secara garis besar ada tiga. Pertama, warisan politik penjajah Belanda yang membagi masyarakat Maluku berdasarkan garis agama. Kedua, misi Kristenisasi yang telah dimulai pada masa penjajahan Belanda64 yang kemudian melahirkan ideologi separatis RMS untuk mendirikan negara sendiri, terpisah dari NKRI serta melanjutkan misi kristenisasi.65 Ketiga, kebijakan politik pemerintahan Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto dirasa mengorbankan kepentingan sosial dan politik pihak Kristen Maluku. Rohaiza Ahmad Asi, melaporkan, sebagai berikut: “Maluku mengalami banyak perubahan sosial selama kepemerintahan Soeharto. Hubungan damai antara Kristen dan Muslim yang terlihat hanyalah lapisan luarnya saja. Penjajahan Belanda mengakibatkan orang Kristen diberi akses yang lebih besar dalam pendidikan dan posisi politik, sedangkan Muslim menjadi mayoritas pedagang dan pebisnis. Menyusul kebijakan pemerintah untuk transmigrasi yang dimulai pada 1950-an, migrasi sukarela dari Bugis, Buton dan Makassar yang bertumbuh pada 1970-an, penduduk Maluku yang Muslim makin bertambah. Pada 1990, Soeharto mendirikan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) sebagai alat untuk mengamankan dukungan politik dari kelompok Islam ketika kekuasaannya atas militer memudar. Soeharto menggunakan ICMI sebagai penyeimbang terhadap militer. ICMI menjadi sumber yang penting bagi perorangan untuk jabatan pemerintahan yang penting, termasuk di Maluku. Pada 1992, M. Akib

61 Semuel Waileruny, Membongkar Konspirasi, 151, 236-242. 62 Semuel Waileruny, Membongkar Konspirasi, 157. 63 Semuel Waileruny, Membongkar Konspirasi, 248. 64 Bandingkan dengan butir ke-10 Perjanjian Malino II: Untuk menjaga hubungan dan harmonisasi seluruh masyarakat, pemeluk agama Islam dan Kristen maka segala upaya dan usaha dakwah harus tetap menjunjung tinggi undang-undang dan ketentuan lain tanpa pemaksaan. 65 Bandingkan dengan butir 6 Perjanjian Malino II: Untuk melaksanakan seluruh ketentuan hukum, maka perlu dibentuk tim investigasi independen nasional untuk mengusut tuntas peristiwa 19 Januari 1999, Front Kedaulatan Maluku, Kristen RMS, Laskar Jihad, Laskar Kristus, dan pengalihan agama secara paksa. 66

Latuconsina, direktur ICMI di Maluku diangkat menjadi gubernur. Beliau adalah orang Maluku pertama dan orang sipil pertama yang memegang jabatan tersebut, yang biasanya selalu ditempati oleh pejabat militer dari Jawa. Pada 1996, semua bupati di provinsi adalah Muslim. Perubahan ini membuat kesal penduduk Kristen dan lebih lagi membagi Maluku ke dalam garis agama.” 66 Dengan tidak memperpanjang perdebatan mengenai siapa pelaku yang harus bertanggung jawab, konflik Maluku telah merenggut hampir 5.000 (lima ribu) jiwa dari tahun 1999 sampai 2002 dan mengakibatkan terjadinya pengungsian sepertiga dari penduduknya. 67 Sementara menurut catatan Kodam VI Pattimura Maluku, secara keseluruhan korban tewas sebanyak 9000 (Sembilan ribu) jiwa. 68 Cukup fantastis, hanya dalam waktu 3 tahun konflik telah mengakibatkan jatuhnya korban jiwa meninggal sebegitu besar. Demikianlah, maka kesadaran bersama untuk mengakhiri konflik segera muncul. Melalui upaya-upaya yang intens upaya perdamaian pun dilakukan. Pemerintahan RI dibawah kepemimpinan Presiden Megawati Soekarno Putri segera menunjuk Menko Kesra Jusuf Kalla untuk memfasilitasi kedua pihak. Maka, diadakanlah pertemuan di Malino, Sulawesi Selatan. Pertemuan yang dilaksanakan pada tanggal 12 Februari 2002 berhasil menetapkan suatu perjanjian damai yang dikenal nama Perjanjian Malino II. Butir-butir perjanjian itu dapat dilihat, sebagai berikut: 1. Mengakhiri semua bentuk konflik dan perselisihan. 2. Menegakkan supremasi hukum secara adil dan tidak memihak. Karena itu, aparat harus bertindak profesional dalam menjalankan tugasnya. 3. Menolak segala bentuk gerakan separatis termasuk Republik Maluku Selatan. 4. Sebagai bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka bagi semua orang berhak untuk berada dan berusaha di wilayah Maluku dengan meperhatikan budaya setempat. 5. Segala bentuk organisasi, satuan kelompok atau laskar bersenjata tanpa ijin di Maluku dilarang dan harus menyerahkan senjata atau dilucuti dan diambil tindakan sesuai hukum yang berlaku. Bagi pihak-pihak luar yang mengacaukan Maluku, wajib meninggalkan Maluku. 6. Untuk melaksanakan seluruh ketentuan hukum, maka perlu dibentuk tim investigasi independen nasional untuk mengusut tuntas peristiwa 19 Januari 1999, Front Kedaulatan Maluku, Kristen RMS, Laskar Jihad, Laskar Kristus, dan pengalihan agama secara paksa. 7. Mengembalikan pengungsi secara bertahap ke tempat semula sebelum konflik. 8. Pemerintah akan membantu masyarakat merehabilitasi sarana ekonomi dan sarana umum seperti fasilitas pendidikan, kesehatan dan agama serta perumahan rakyat agar masa depan seluruh rakyat Maluku dapat maju

66 Rohaiza Ahmad Asi, “Konflik dan kekerasan di Maluku,” 16-17. 67 Rohaiza Ahmad Asi, “Konflik dan kekerasan di Maluku,” 15. 68 Lihat, http://kodam16pattimura.mil.id/pages/read/9-Konflik-Komunal-Maluku. 67

kembali dan keluar dari kesulitan. Sejalan dengan itu, segala bentuk pembatasan ruang gerak penduduk dibuka sehingga kehidupan ekonomi dan sosial berjalan dengan baik. 9. Dalam upaya menjaga ketertiban dan keamanan seluruh wilayah dan masyarakat diharapkan adanya kekompakan dan ketegasan untuk TNI/Polri sesuai fungsi dan tugasnya. Sejalan dengan itu, segala fasilitas TNI segera dibangun kembali dan dikembalikan fungsinya. 10. Untuk menjaga hubungan dan harmonisasi seluruh masyarakat, pemeluk agama Islam dan Kristen maka segala upaya dan usaha dakwah harus tetap menjunjung tinggi undang-undang dan ketentuan lain tanpa pemaksaan. 11. Mendukung rehabilitasi khususnya Universitas Pattimura dengan prinsip untuk kemajuan bersama. Karena itu, rekruitmen dan kebijakan lainnya dijalankan secara terbuka dengan prinsip keadilan dan tetap memenuhi syarat keadilan. Perjanjian ini kami buat dengan tulus dengan tekad menjalankannya secara konsekuen dan konsisten. Bagi pihak-pihak yang melanggar dan tidak menjalankan perjanjian ini akan diproses secara hukum. Tindak lanjut perjanjian ini akan dijalankan degan agenda serta rencana sebagai berikut: I. Komisi Kemananan dan Penegakan Hukum, II. Komisi Sosial Ekonomi Perjanjian ini dibuat dan ditandatangani di Malino, 12 Februari 2002.69 Peneliti tidak bermaksud untuk mengangkat atau mentransformasikan Perjanjian Malino II menjadi kepercayaan bersama atau membawanya ke tingkat perjanjian seperti pela, tetapi usaha perdamaian yang tidak melibatkan masyarakat akar rumput (grass root) atau pun perjanjian damai yang tidak menyentuh kesadaran umum semua pihak dalam semua lapisan masyarakat adalah semu. Konflik akan terus berlanjut. Terbukti, pada masa-masa pasca-konflik atau setelah diadakannya Perjanjian Malino II 2002, terjadi beberapa insiden secara beruntun. Mengikuti perkembangan sampai dengan tahun 2011, The Habibie Center secara cermat mencatat bahwa telah terjadi 191 insiden yang mengakibatkan 50 orang tewas, 389 cedera, dan 394 bangunan rusak.70 Pada akhir September 2011 konflik Islam-Kristen terjadi lagi dan hampir saja menjadi besar. Persoalan dipicu oleh tewasnya seorang sopir ojek di Kelurahan Kuda Mati (wilayah Kristen). Korban sendiri berasal dari Kelurahan Waihaong (wilayah Islam). Berdasarkan Laporan Badan Intelijen Kodam VI Pattimura Maluku, konflik itu mengakibatkan tujuh orang tewas dan puluhan rumah rusak.71 The Habibie Center lebih merinci dan menyebutkan jumlah yang agak lebih besar bahwa jumlah yang tewas sebanyak 10 orang, 160 cedera dan 302 bangunan rusak.72

69 http://www.oocities.org/waai67/malino15022002.htm. Lihat juga http: //labholonk. blogspot. co.id/2008/05/perjanjian-damai-maluku-di-malino.html 70 The Habibie Center, “Peta Kekerasan di Indonesia (September-Desember 2012) dan Isu-Isu Penting Sepanjang Tahun 2012”, dalam, Kajian Perdamaian dan kebijakan The Habibie Center, Edisi 03/April 2013, 12 71 http://kodam16pattimura.mil.id/pages/read/9-Konflik-Komunal-Maluku. 72 The Habibie Center, “Peta Kekerasan di Indonesia”, 13. 68

Dalam sepanjang tahun 2012, konflik lebih seru lagi dan memperlihatkan tensi dan eskalasi yang mencengangkan. Lembaga yang disebutkan terakhir itu mencatat beberapa laporan penting dengan menyebutkan motif-motif dari sekian konflik yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Berkaitan dengan Propinsi Maluku, dapat disebutkan sebagai berikut. Sepanjang tahun 2012 terjadi 327 insiden kekerasan. Akibatnya, 60 orang tewas, 395 cedera, dan 418 bangunan rusak. Seperdua (50%) dari insiden tersebut adalah karena persoalan kriminalitas dan separohnya (46 %) lagi karena konflik. Korban jiwa yang diakibatkan konflik sebanyak 37 (62%) orang tewas , 271 (69%) cedera dan 405 (97%) bangunan rusak. Penyebabnya adalah berkaitan dengan perebutan lahan tambang emas, masalah identitas etnik dan agama. Tambang emas Gunung Botak Pulau Buru, dalam sepanjang periode Mei-Desember 2012, mengakibatkan 11 kali terjadi konflik dan menewaskan 20 orang serta 31 cedera. Penyebab lain terjadinya konflik juga adalah persoalan batas tanah. Sebelumnya, yakni pada bulan Februari 2012, sengketa mengenai peresmian rumah adat di Negeri Pelauw Kecamatan Pulau Haruku Kabupaten Maluku Tengah, mengakibatkan 6 orang tewas, 24 cedera, dan 300 bangunan rusak. Pindah ke Kota Ambon, persoalan yang menjadi sumber sengketa di antaranya adalah mengenai kepemilikan sebidang tanah di kompleks Warasia Desa Batu Merah. Tidak ada korban jiwa, tetapi perlu segera diselesaikan supaya tidak berlanjut menjadi besar. Masih dalam bulan Februari 2012, terjadi sembilan insiden barkaitan dengan isu antar agama. Akibatnya, satu tewas, 54 cedera dan sekian bangunan rusak. Berikutnya, tanggal 15 bulan Mei 2012 berhubung dengan peringatan hari Pattimura terjadi bentrok dalam arak-arakan pawai obor Pattimura. Insiden berlanjut dengan pelemparan mobil penumpang umum angkutan kota (angkot) yang disusul dengan dengan perkelahian pemuda di Terminal Mardika. Di bulan Juni terjadi lagi insiden berupa penemuan dan pelemparan bom. Pada bulan Oktober, peledakkan bom di Terminal B Kecamatan Nusaniwe. Pada bulan Desember terjadi bentrokan antar warga Air Salobar (Kristen) dengan warga Pohon Mangga (Islam). Berkat kesigapan aparat keamanan untuk bergerak cepat dan kepedulian para tokoh agama untuk turun langsung menjumpai umatnya seperti yang dilakukan oleh Sinode GPM pasca bentrokkan pawai obor, konflik dapat diredam.73 Setelah menyaksikan laporan di atas tampak begitu mudah konflik diciptakan. Sementara saat ini relokasi pemukinan penduduk secara segregasi atau dibangun berdasarkan agama. Segregasi pemukiman yang demikian itu hanyalah untuk memelihara terus perasaan dendam yang tidak bisa pupus begitu saja. Subair, peneliti dari IAIN Ambon, bertanya: Segregasi Pemukiman Berdasarkan Agama: Solusi atau Ancaman?74 Upaya-upaya perdamaian memang gencar dilaksanakan. Tetapi merealisasikan poin (7) perjanjian Malino II: “Mengembalikan pengungsi secara bertahap ke tempat semula sebelum konflik”, memang tidak mudah. Agaknya sejarah konflik-perdamaian turut menjadi kontributor pembentukan kesatuan watak dalam pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Ambon sampai dengan saat ini.

73 The Habibie Center, “Peta Kekerasan di Indonesia”, 13. 74 Subair (et.all), Segregasi Pemukiman Berdasarkan Agama: Solusi atau Ancaman? (Jogjakarta: Grha Guru, 2008). 69

E. PROFIL SINGKAT NEGERI BATU MERAH 1. Sejarah Terbentuknya Negeri Batu Merah Sebagaimana telah disebutkan pada bab I. Pendahuluan, penelitian ini dilakukan di Negeri Batu Merah. Olehnya itu, dirasa perlu menjelaskan profil Negeri Batu Merah sejauh yang menyangkut dengan kepentingan penelitian. Negeri Batu Merah merupakan salah satu dari 4 desa yang ada di Kecamatan Sirimau Kota Ambon (lihat tabel I). Letaknya tepat berada di pusat kota (pada peta II di atas tidak terbaca karena berada persis di tengah kota pada wilayah yang diberi warna merah tua). Bagian baratnya berakhir pada tepian laut Teluk Ambon. Pada bagian ini, dari pagi sampai sore hari, merupakan tempat yang sangat ramai dengan kesibukan bongkar muat kapal dan perahu yang datang dan yang akan pergi. Sementara pada sore akan menjadi pemandangan yang indah untuk melihat bagaimana matahari saat pulang ke peraduannya. Bagian timur merupakan wilayah pegunungan, di mana pada salah satu kaki gunung tersembul mata air Sungai Air Besar. Apabila ditelusuri seterusnya wilayah pegunungan tersebut akan bertemu dengan perbatasan Negeri Rutong/Hutumuri. Melewati Sungai Batu Merah pada bagian selatannya akan bertemu dan masuk ke dalam pusat perbelanjaan Kota Ambon. Sementara bagian utaranya berbatasan dengan Sungai Wairuhu, Negeri Halong. Jadi, luas seluruh wilayahnya adalah 6000 Ha. 75 Dari penjelasan sekilas di atas, desa ini tampak dipenuhi dengan banyak karunia. Bila dikelola secara professional akan mendatangkan kesejahteraan yang melimpah buat warganya. Pada masa konflik Negeri Batu Merah berjasa besar buat umat Islam. Kehidupan tetap berjalan seperti biasanya. Ia merupakan wilayah yang aman untuk semua jenis transaksi. Sumber logistik umat Islam ada di negeri ini sampai dengan saat ini. Sejarah Negeri Batu Merah, seperti halnya semua desa di Ambon, berawal dari pegunungan, yang disebut dengan nama negeri lama. Beberapa desa, yang sekarang terpisah-pisah dan menjadi bagian dari pemerintahan Kecamatan Sirimau, dulunya merupakan satu negeri yang utuh dan sama-sama menempati negeri lama. Tetapi para penjajah, baik Portugis maupun Belanda, punya kepentingan untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Melalui politik devide et impera keutuhan mereka dapat dipecah-pecah. Negeri lama dibuat menjadi beberapa desa yang berdiri secara terpisah antara satu dengan yang lain. Dengan begitu, pemberontakan- pemberontakan yang tadinya gencar dapat dilumpuhkan dan program-program kolonialisme dapat dijalankan, termasuk misi kristenisasi. Negeri lama dipecah menjadi dua, Soya Atas (Tua) dan Soya Bawah (sekarang namanya menjadi Belakang Soya). Soya Atas (Tua) terdiri dari negeri-negeri Uritetu, Ahusen, dan Amantelu. Setelah dihilangkan statusnya sebagai negeri, ketiganya dileburkan ke dalam dan menjadi bagian dari soa-soa Negeri Soya Atas (Tua). 76 Portugis

75 Letak geografisnya dapat dijelaskan secara singkat, sebagai berikut: sebelah Timur berbatasan dengan Negeri Rutong/Hutumuri, sebelah Barat berbatasan dengan Laut Teluk Ambon, sebelah utara berbatasan dengan kali/sungai Wairuhu (Negeri Halong), dan sebelah selatan dengan kali wai/sungai Batu Merah. Luas seluruh wilayahnya sekitar 6.000 Ha. Kantor Pemerintahan Negeri Batu Merah, Profil Negeri Batu Merah ( Ambon, 2010), 1. 76 John. A. Pattikayhatu, Sejarah Asal-Usul dan Terbentuknya Negeri-Negeri di Pulau Ambon, 49. 70 kemudian menurunkan ketiga negeri tersebut ke tepi pantai dan membentuk pemukiman baru yang sekarang bernama Negeri Batu Merah. Maksud diturunkan ke pantai, di samping untuk memisahkan mereka dari induk Negeri Soya Atas, juga untuk dipekerjakan pada pembangunan benteng pertahanan Portugis, Benteng Paranggis. Ketika Belanda datang dan berhasil mengalahkan Portugis, benteng ini dirubah namanya menjadi Victoria.77 Setelah dipecah-pecah oleh Portugis beberapa negeri dikristenkan (sebagai penganut Katolik). Proses pengkristenan (diprotestankan) kemudian dilanjutkan lagi oleh Belanda. Yang tetap bertahan dengan Islam hanya Negeri Batu Merah. Dalam pengamatan peneliti, sampai sekarang, efek dari politik devide et empera masih meninggalkan pengaruhnya. Persoalan status kepemilikan atas tanah-tanah tertentu di wilayah negeri Batu Merah masih menjadi perdebatan dengan Negeri Soya Atas. Persoalan ini seolah menjadi bahaya laten, yang setiap saat dapat meledak menjadi konflik antar negeri.

2. Sistem Pemerintahan Adat Negeri Batu Merah Pemimpin tertinggi negeri-negeri adat di Maluku dinamakan raja. Dia bertanggung jawab terhadap semua penyelenggaran sistem pemerintahan adat sebuah negeri. Jabatan raja, sebagaimana halnya jabatan-jabatan adat lain seperti imam, panglima perang (kapitan), dan kepala-kepala soa, dipegang secara turun- temurun oleh satu matarumah tertentu.

Tabel 6 : Nama-Nama Soa dan Matarumah di Negeri Batu Merah No. Nama Soa/Matarumah Berasal Dari Keterangan 1. Hatala Ahusen - 2. Hunsou Ahusen - 3. Tuhutelu Ahusen - 4. Masawai Uritetu - 5. Makatita Uritetu - 6. Lebeharia Uritetu - 7. Lato Uritetu - 8. Ehi Amantelu - 9. Lating Amantelu - 9. Mamang Luhu Seram Barat 10. Lisaholet Luhu Seram Barat 11. Waliulu Luhu Seram Barat 12. Suhu Pulau Buano - 13. Nurlete Pulau Buano - 14. Warang Huamual Seram Barat 15. Tahalua Eti Seram Barat Sumber data: Kantor Pemerintahan Negeri Batu Merah, Profil Negeri Batu Merah, 2015

77Husen Assagaf, “Toleransi Kehidupan Umat Beragama”, 204. 71

Di negeri Batu Merah, keluarga pewaris pemangku jabatan raja dikenal dengan nama matarumah parentah. Salah satunya adalah matarumah Hatala. Sementara Matarumah lain pernah menduduki jabatan raja juga adalah matarumah Nurlette dan matarumah Tahalua. Dalam keseluruhannya Negeri Batu Merah memiliki 16 matarumah/soa. Untuk lebih jelas, lihat tabel 6 di atas.78

3. Demografi, Pekerjaan, Pendidikan dan Kegamaan Letak Negeri Batu Merah sangat strategis, yakni di tengah Kota Ambon. Hal itu yang memungkinkan warganya mudah melakukan akses ke berbagai pusat perbelanjaan dan tempat pekerjaan. Di samping itu segala jenis usaha pun mudah untuk dikembangkan. Berbagai fasilitas umum pun tersedia, seperti tiga buah puskesmas, satu buah rumah sakit, pasar tradisional, satu buah Hypermart, puluhan mini market dan ratusan toko, pelabuhan laut, terminal mobil angkutan umum dari luar kota, sarana olah raga, dan lain sebagainya. Dari segi kependudukan, Negeri Batu Merah merupakan wilayah pemukiman padat penduduk. Lonjakan pertumbuhan penduduk yang sangat pesat terjadi pada saat berlangsungnya konflik. Itu karena banyak pengungsi muslim masuk berlindung dan setelah berakhirnya konflik tidak keluar lagi, menetap terus sampai sekarang. Saat ini penduduk Negeri Batu Merah, di samping terdiri dari anak negeri, merupakan campuran berbagai etnis lokal maupun dari wilayah lain di Indonesia. Mereka semua mendapatkan tempat yang aman untuk melakukan berbagai aktifitas. Dari data sensus penduduk Negeri Batu Merah tahun 2010, dapat diketahui penduduk laki-laki berjumlah 23.193 jiwa dan perempuan berjumlah 23.033 jiwa. Jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 10.662 dan jumlah Kepala Keluarga (KK) miskin sebanyak 978 KK. Keseluruhan Kepala Keluarga (KK) berjumlah 11.640 KK.79 Perkembangan bidang pendidikan pun sangat bagus. Lembaga-lembaga pendidikan, mulai dari TK/RA sampai dengan perguruan tinggi, bertebaran di seluruh pelosok negerinya. Dari hasil penelusuran peneliti terdapat 5 buah TK/RA, 17 SD/MI, 6 SMP/Mts, 5 SMA/MA dan 3 Perguruan Tinggi. Sementara tingkat pendidikan warganya bervariatif, mulai dari tingkat dasar sampai dengan lulusan perguruan tinggi.80 Untuk lebih jelas, lihat tabel 7 pada halaman berikut. Dari tingkat pendidikan yang bervariatif ditambah dengan penduduk yang berasal dari berbagai etnis memungkinkan penduduk Negeri Batu Merah mengambil peran dalam berbagai bidang kehidupan. Untuk mendukung kehidupan sehari-hari, mereka (anak negeri maupun pendatang) berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil, pegawai swasta, TNI, Polri, pengusaha, pedagang pasar, sopir mobil, nelayan dan lain sebagainya. Tentang pekerjaan masyarakat Negeri Batu Merah dapat dilihat pada tabel 8, 81 pada halaman berikut:

78Kantor Pemerintahan Negeri Batu Merah, Profil Negeri Batu Merah, 2010, 4. Lihat John. A. Pattikayhatu, Sejarah Asal-Usul dan Terbentuknya Negeri-Negeri di Pulau Ambon, 50. 79Kantor Pemerintahan Negeri Batu Merah, Profil Negeri Batu Merah, 1. 80Kantor Pemerintahan Negeri Batu Merah, Profil Negeri Batu Merah, 3. 81Kantor Pemerintahan Negeri Batu Merah, Profil Negeri Batu Merah, 4-5. 72

Tabel 7 : Tingkat Pendidikan Masyarakat di Negeri Batu Merah

No Tingkat Pendidikan Jumlah 1. Belum Sekolah 2.806 2. Tidak Pernah Sekolah (usia 7-45) 51 3. SD (tidak tamat/selesai) 872 4. SD/ sederajat 2.683 5. SLTP/sederajat 2.736 6. SLTA/sederajat 4.328 7. Diploma I (D-I) 127 8. Diploma II (D-II) 235 9. Diploma III (D-III) - 10. Sarjana (S-1) 1.764 11. Pascasarjana (S-2) 235 12. Pascasarjana (S-3) 45 Total 15.753 Sumber data: Kantor Pemerintahan Negeri Batu Merah, Profil Negeri Batu Merah, 2015.

Tabel 8 : Berbagai Jenis Pekerjaan Masyarakat Negeri Batu Merah No Jenis Mata Pencaharian Jumlah 1. Pegawai Negeri Sipil (PNS) 3.062 2. TNI/Polri 757 3. Pengrajin Kulit Mutiara/Kerang 120 4. Pedagang 2.123 5. Penjahit 98 6. Tukang Batu 158 7. Tukang Kayu 142 8. Peternak 52 9. Nelayan 178 10. Montir 58 11. Dokter 4 12. Sopir mobil 285 13. Pengemudi becak 160 14. Buruh/swasta 1.324 15. Pengusaha 1.681 Total 10.202 Sumber data: Kantor Pemerintahan Negeri Batu Merah, Profil Negeri Batu Merah, 2015

Dari segi keagamaan penduduk Negeri Batu Merah mayoritas muslim. Memang, pada saat berlangsungnya konflik penduduk yang beragama Kristen mengungsi ke tempat lain. Tetapi, saat ini wilayah di Negeri Batu Merah menjadi tempat yang aman bagi pemeluk agama Kristen, walaupun masih terkonsentrasi pada satu wilayah tertentu, yakni pada dusun Ahuru. Penduduk Negeri Batu Merah yang 73 beragama Islam berjumlah 49.696 jiwa. Untuk melaksanakan aktifitas ibadah sehari- hari umat Islam Negeri Batu Merah telah membangun masjid sebanyak 36 buah ditambah dengan 5 buah mushalla. Sementara penduduk yang beragama Kristen Katholik berjumlah 530 orang. Untuk pelaksanaan ibadah mereka pun sudah membangun 1 buah gereja dan untuk pengembangan bidang pendidikan mereka membangun sebuah yayasan dengan satu buah sekolah dasar.82

F. MARKAZ DAKWAH JAMAAH TABLIGH Akhirnya, perlu digambarkan mengenai gerakan dakwah Jamaah Tabligh (JT), yang saat ini bertempat di Negeri Batu Merah. Gerakan mengeluarkan maupun menerima Jamaah ke dan dari seluruh kawasan (lokal, regional, maupun manca negara) dikendalikan di masjid al-Istikhlash, Markaz Dakwah Jamaah Tabligh. Masjid ini dimiliki secara permanen daripada sebelumnya JT hanya menggunakan masjid yang telah dibangun oleh masyarakat. Penggunaan secara bersama-sama memang tidak kondusif untuk memaksimalkan kerja dakwah. Perbedaan mendasar dalam memahami fungsi masjid menjadikan JT harus berpindah-pindah Markaz (masjid yang dijadikan sentral kegiatan dakwah) sebanyak enam kali. 83 Dengan menjadikan masjid sebagai markaz dakwah, di satu pihak JT merasa telah memfungsikan masjid sebagaimana halnya Nabi Muhamamad Saw. dan para khulafa al-rāsyidīn memfungsikannya. Di pihak lain markaz berbeda dengan masjid-masjid lain (masjid adat dan masjid modern). Sebelum menjelaskan fungsi masjid sebagai markaz/pusat dakwah perlu dijelaskan dua jenis masjid yang baru saja disebutkan. Masjid-masjid yang dimiliki oleh negeri-negeri muslim dikelola secara adat. Petugas-petugas masjid dijabat berdasarkan hukum adat. Imam, khatib, muadzin dan marbot dijabat oleh matarumah-matarumah tertentu yang kemudian diwariskan secara turun-temurun. 84 Karena berdasarkan pewarisan, kualitas keilmuan dan kefahaman agama para pejabat adat tersebut tidak dipersoalkan. Akibatnya, masjid berfungsi bukan hanya sebagai tempat ibadah tetapi juga sebagai lembaga adat untuk menyelengggarakan upacara-upacara adat. Pemasangan kubah masjid dan tiang alif, pelantikan raja beserta pejabat-pejabat pembantu raja, pelantikan imam beserta pembantu imam merupakan upacara-upacara adat yang diselenggarakan dengan meriah di masjid. 85 Penguasaan dan pengelolaan masjid secara adat menjadikan masjid-masjid adat di negeri-negeri di Ambon antara satu dengan yang lainnya merupakan lembaga-lembaga adat yang terpisah-pisah. Jamaah masjid dikelompokkan berdasarkan masyarakat adat. Di samping masjid adat terdapat pula masjid yang dikelola secara modern. Masjid modern nampak sebagai sebuah organisasi dengan sistem kepungurusan serta administrasinya yang modern. Untuk terselenggaranya pengelolaan masjid

82Kantor Pemerintahan Negeri Batu Merah, Profil Negeri Batu Merah, 6-7. 83 Markaz merupakan tempat berhimpun atau tempat pertemuan untuk menyelaraskan kerja-kerja dakwah dan tabligh, membentuk serta mengeluarkan jamaah di jalan Allah. Lihat, Muhammad Manshur Nomani, Riwayat Hidup Syaikh Maulana Ilyas Rah.A: Mengagas dan Mengembangkan Usaha Dakwah Rasulullah Saw. (Bandung: Zaadul Ma’aad, 1978), 228. 84Lihat, Husen Assagaf, “Toleransi Kehidupan Umat Beragama”, 204 85Baco Sarluf, Masjid Sebagai Lembaga Adat, 78. 74 disusunlah sebuah kepengurusan berdasarkan hasil musyawarah jamaah masjid. Nama kepengurusan masjid adalah Dewan Kemakmura Masjid (DKM). Dewan ini bertugas selama suatu periode tertentu. Setelah itu, dimusyawarahkan lagi untuk membentuk kepengurusan berikutnya. Ketua DKM menduduki kepemimpinan tertinggi. Dalam menjalankan tugasnya ia dibantu oleh bidang-bidang. Imam, khatib, muadzin dan marbot berada dalam satu bidang, yaitu bidang peribadatan. Mereka bertanggung jawab kepada Ketua DKM. Untuk memakmurkan masjid Kepengurusan DKM mengadakan rapat utnuk membahas program-program pemberdayaan masjid. Penyelenggaraan masjid secara modern yang demikian pun menjadikan masjid yang satu dengan yang lain terpisah secara kelembagaan. Masjid adat maupun modern menjadikan umat terpecah-pecah ke dalam sistem pengelolaan masjid yang terpisah-pisah. Dalam sejarah perkembangan Islam, begitu sampai di Madinah, Nabi Muhammad Saw. langsung mengajak para sahabatnya pertama-tama membangun masjid, bukan benteng pertahanan. Nabi Saw. pun setelah itu tinggal di sebuah rumah yang sangat sederhana di samping masjid. Tidak dibangun istana untuknya. Kepentingan Nabi Saw. terhadap masjid adalah untuk menggembleng iman para sahabatnya. Setelah dirasa cukup barulah Allah SWT. menurunkan wahyu-wahyu yang berkaitan dengan persoalan-persoalan hukum. Karena kesiapan iman mereka, para sahabat siap juga menerima seluruh perintah-perintah Allah dan Rasulnya Saw.86 Di samping sukses menggembleng pribadi-pribadi para sahabatnya, Nabi Muhammad Saw juga sukses membentuk umat yang kuat. Kekuatan umat pertama itu tidak terletak pada tersedianya sarana-sarana fisik, seperti rumah sakit, organisasi pemerintahan, persenjataan yang lengkap, dan sebagainya. Kekuatan mereka ada pada dua hal, iman yang kuat dan persaudaraan yang kuat. Nabi Muhammad Saw. berhasil mempersatukan kaum Muhajirin yang datang dari Makkah dengan kaum Anshar yang ada di Madinah. Untuk mengikis habis egoisme pribadi serta sentimen sukuisme Nabi Muhammad Saw. mewajibkan semua laki-laki untuk shalat lima waktu secara berjamaah di masjid. Dengan adanya kebersamaan dalam ‘Ubūdiyyah, maka perbedaan status sosial seseorang menjadi tak bermakna lagi. 87 Semua manusia di hadapan Allah adalah sama. Yang membedakan satu dengan yang lainnya adalah karena perbedaan ketakwaan kepada-Nya.88 Menurut JT untuk mengembalikan umat Islam kepada kehidupan seperti mana dulu para sahabat, masjid harus diaktifkan selama 1x24 jam. Artinya, secara full time masjid harus terbuka untuk menerima jamaah yang akan menyelenggarakan empat amalan Masjid Nabawi, yaitu: (1) dakwah ilā Allāh, (2) ta’līm wa ta’lūm, (3) ibadah

86 Lihat, An Nadhr M. Ishaq Shahab, Khurūj Fī Sabīl Lī Allāh, 143. Lihat juga, Musthafa Sayani, Mudzakarah Iman & Amal Shalih, 201. 87 Musthafa Sayani, Mudzakarah Iman & Amal Shalih, 201-202. َﺎ أَ ﱡ َﺎ ا ﱠﻟﻨﺎ ُس إِ ﱠﻧﺎ َﺧ َﻠ ْﻘﻨَ ُﺎﻛﻢ ِّﻣﻦ ذَ َﻛ ٍﺮ َوأُﻧﺜَﻰ َو َﺟﻌَ ْﻠﻨَ ُﺎﻛ ْﻢ ُﺷﻌُﻮﺑﺎً َو َﻗﺒَﺎﺋِ َﻞ ِﻟﺘَﻌَﺎ َرﻓُﻮا إِ ﱠن أَ ْﻛ َﺮ َﻣ ُﻜ ْﻢ ِﻋﻨﺪَ ا ﱠﻟﻠ ِ أَ ْﺗﻘَ ُﺎﻛ ْﻢ 88

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.” QS al-Hujurat (49): 13. 75 dan dzikir, (4) khidmah.89 Dari empat amalan tersebut masjid telah diberi tempat untuk pelaksanaan ajaran Islam secara lebih luas, tidak sekedar pelaksanaan shalat. Seorang JT, dalam bayānnya, menegaskan: “Masjid-masjid jangan kalah dari tempat-tempat maksiat. Masak karaoke buka selama sehari semalam. Masjid hanya pada lima waktu. Mau shalat, buka. Selesai shalat tutup lagi. Apakah kita masih mengharapkan rahmat Allah turun kepada kita dengan cara buka-tutup masjid sebanyak lima kali saja? Buka ini masjid sekali saja dan jangan tutup lagi untuk selamanya! Bikin amalan siang- malam, insya Allah umat akan mendapatkan kejayaan kembali seperti dulu para sahabat telah berjaya.” Untuk mencapai target sebagaimana yang dijelaskan di atas Masjid al-Istikhlash secara rutin mengadakan dua bentuk perhimpunan, yaitu ijtimā’90 dan jord. Dalam perhimpunan yang pertama semua orang Islam diundang untuk hadir. Perhimpunan ini rutin dibuat seminggu sekali yaitu pada setiap malam Jum’at. Ahbab (panggilan untuk anggota JT) menyebut malam Jum’at dengan istilah malam ijtima’ atau malam Sabgozari. Ijtimā’ besar dibuat setahun sekali. Bila ijtimā’ mingguan malam Jum’at hanya bisa menghadirkan orang Islam dalam satu kawasan (Kabupaten atau kota), maka ijtimā’ tahunan menghadirkan orang-orang dari berbagai kabupaten atau propinsi. Dalam kedua ijtimā’ ahbab saling mengajak, baik jamaah dari masjidnya maupun siapa saja yang sempat dia temui. Adapun Jord adalah perhimpunan yang dikhususkan hanya untuk ahbab.91 Masjid al-Istikhlash melaksanakan ijtimā’ dan Jord rutin setiap tahun. Dalam kedua perhimpunan itu orang-orang ditasykil (diajak) keluar di jalan Allah. 92 Melalui pengiriman jamaah-jamaah dakwah Masjid al-Istikhlash membuka jaringan dengan semua masjid di seluruh di dunia. Jamaah-jamaah yang dikirim, sebagaimana akan dijelaskan pada pembahasan yang akan datang, membawa misi yang sama. Masjid al-Istikhlash nampak sebagai pusat dakwah untuk seluruh dunia. Berada di Masjid al-Istikhlash sama dengan berada di pusat dakwah dunia. Pada pembahasan yang akan datang akan dibahas sistem pengelolaan masjid berdasarkan tertib dakwah JT. Dengan pemahaman seperti di atas JT, dalam upayanya memakmurkan masjid, menghilangkan semua bentuk pengorganisasian masjid. Tidak ada kepengurusan masjid. Yang ada adalah bagaimana memakmurkan masjid dengan kegiatan dakwah. Dengan memfokuskan perhatian pada dakwah masjid, di samping akan makmur dengan empat amalan di atas juga akan menjadi penghubung dengan semua masjid yang ada di dunia.

89 Empat poin tersebut merupakan bagian pertama dari 20 ushul dakwah JT. Lihat, An Nadhr M. Ishaq Shahab, Khurūj Fī Sabīl Lī Allāh, 89-90. 90Bandingkan dengan Kamaruzzaman Bustaman-Ahmad, “Faith on the Move: Inside the Ijtimā’ of Jamā’ah Tablīgh in Pekan Baru”, dalam Studia Islamika, Indonesian Journal For Islamic Studies, Volume 18, Number 3, 2011, 467-468. 91 Muhamamad Manshur Nomani, Riwayat Hidup Syaikh Maulana Ilyas Rah.A., 228. 92 Bandingkan dengan, Kamaruzzaman Bustaman-Ahmad, “Faith on the Move: Inside the Ijtimā’ of Jamā’ah Tablīgh in Pekan Baru”, 467-468. 76

G. SEJARAH MASUK DAN BERKEMBANG JAMAAH TABLIGH DI AMBON 1. Sejarah Masuk Jamaah Tabligh pertama kali memasuki Ambon pada tahun 1987. Jamaah tersebut dikirim dari Jakarta dibawah pimpinan amirnya (pimpinan jamaah bergerak) bernama DR. Nur. Ikut dalam jamaah tersebut anggota sebanyak delapan orang. Lama masa kunjungan di Ambon adalah 40 hari dan belum menampakkan pengaruh apa pun.93 Di lihat dari angka tahun masuknya itu, menunjukkan bahwa Kota Ambon termasuk yang paling terlambat dalam hal perkembangan dakwah JT. Padahal 35 tahun sebelumnya, yakni tahun 1952, Jakarta telah didatangi satu Jamaah dari Bangladesh, dibawa pimpinan Miaji Isa. Kedatangan jamaah pertama itu memang tidak segera menampakkan hasil. Sampai dengan tahun 1974 baru terlihat aktifitas dakwah di Jakarta yang ditandai dengan ditetapkannya Masjid Jami’ Kebon Jeruk, Jakarta Pusat, sebagai Markaz Indonesia.94 Pada tahun 1986 Ambon memang pernah kedatangan satu jamaah dari Makassar. Tetapi mereka sekedar singgah transit beberapa jam dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Banda Naira, Kabupaten Maluku Tengah. Amir jamaahnya adalah Kamaluddin memang putra Banda Naira. Saat itu dia masih berstatus sebagai mahasiswa pada Universitas Hasanuddin Makassar. Bertepatan dengan masa liburan semester dia manfaatkan dengan memimpin satu jamaah ke tempat kelahirannya. Dua tahun kemudian, Kamaluddin datang lagi dengan membawa satu jamaah, singgah transit sebentar di Ambon dan terus ke Banda Naira juga. Dalam dua kali kunjungannya, Kamaluddin berhasil menciptakan kesan yang baik. Beberapa orang Banda Naira dapat diikutsertakan dalam dakwah JT. Mereka ini adalah para perintis yang melanjutkan terus dakwah, walaupun Kamaluddin telah kembali pulang ke Makassar. Jadi, Banda Naira yang lebih dulu menerima pengaruh dan memulai usaha dakwah.95 Pada tahun 1992 satu Jamaah dikirim lagi dari Jakarta ke Ambon. Jamaah yang juga mengambil masa 40 hari ini dipimpin langsung oleh seorang putra Ambon kediaman Jakarta, Muhammad Nur Talaohu. Kehadiran jamaah kedua ini mulai mendapat perhatian orang Ambon. Beberapa orang berhasil diikutsertakan selama masa pergerakan di Kota Ambon. Bahkan kepulangannya ke Jakarta Jamaah dapat membawa serta dua orang Ambon. Mereka adalah Abdurrahman Difinubun dan Arsyad Rumadan. Orang yang pertama, setelah melanjutkan dakwah di Jakarta selama 40 hari, diharuskan untuk kembali pulang ke Ambon. Berhubung karena saat itu dia juga masih berstatus sebagai mahasiswa IAIN Ambon. Adapun Arsyad Rumadan memantapkan dirinya untuk menetap di Jakarta. Yang bersangkutan

93Hasil wawancara dengan M. Said Marasabessy, Penanggung Jawab Dakwah JT pada Halakah Salahutu, pada tangga 23 Mei 2014 di Ambon. 94 Ahmad Syafi’i Mufid, Perkembangan Paham Keagamaan Transnasional di Indonesia, 149. 95Hasil wawancara dengan Kamaluddin, Penanggung Jawab Dakwah JT pada Halakah Nusaniwe, pada tanggal 15 September 2012. 77 karena memiliki kefasihan dan suara yang bagus dalam pembacaan Al-Qur’an sempat diangkat menjadi imam rawatib di Markaz Kebun Jeruk.96 Satu tahun kemudian, yaitu pada tahun 1993, Sang Putra Ambon, Muhammad Nur Talaohu pulang kampung ke Ambon. Ia, yang pada waktu itu adalah seorang pegawai negeri sipil (PNS) pada Kantor Wilayah Departemen Kehakiman Propinsi DKI, dimutasikan atas permintaan sendiri ke Kantor Wilayah Departemen Kehakiman Propinsi Maluku di Ambon. Keinginan pulang ke Ambon muncul setelah melihat kondisi Ambon setahun lalu. Dalam pandangannya Ambon begitu jauh tertinggal dalam dakwah. Itulah yang membuat hatinya mengambil keputusan untuk melanjutkan kerja di Ambon. Perkembangan dakwah JT di Ambon mengalami peningkatan setelah mengikuti arahan-arahan Muhammad Nur Talaohu.97 Walaupun demikian, ia bukanlah tokoh sentral. Beberapa orang lagi akan disebutkan di bawah yang punya peran besar dalam memajukan usaha dakwah JT di Ambon. Begitu tiba di Ambon, Muhammad Nur Talaohu, segera menghubungi satu persatu orang-orang yang pernah ikut denganya maupun yang pernah ikut dengan jamaah lain. Ia mengajak untuk mengaktifkan dakwah. Beberapa di antara mereka menyatakan kesediaannya. Mereka sepakat untuk melanjutkan pertemuan di Masjid Jami’ Ambon. Dalam pertemuan pertama itu, disepakati juga bahwa Masjid Jami’ yang terletak di jalan Masjid Raya, Kelurahan Silale, sebagai sebagai markaz. 98 Pertemuan itu juga menyepakati bahwa setiap hari Senin sore selepas shalat maghrib

96Hasil wawancara dengan Abd. Al-Rahman Difinubun, tanggal 21 September 2012 di Masjid Al-Burhan, Air kuning. 97 Dari apa yang dilakukan Muhammad Nur Talaohu sepertinya mengungkap kembali ingatan tentang para juru dakwah pada masa-masa awal penyebaran Islam di Wilayah Nusantara dulu. Pandangan yang umum disepakati adalah bahwa para da’i dulu umumnya berprofesi ganda, sebagai pedagang sekaligus sebagai juru dakwah. Jadi, berdagang sambil berdakwah. Profesi utama adalah berdagang, berdakwah adalah menempel. Pandangan ini, secara tidak sadar, telah mereduksi peran pokok para da’i. Menurut hemat peneliti, tinjauan ulang terhadap sejarah harus dilakukan. Karena pandangan yang demikian bertolak belakang dengan semangat yang luar biasa dari para da’i. Dalam melakukan perobahan harus total mencurahkan semangat. Bagaimana mungkin seorang yang dalam pikirannya masih memperhitungkan untung atau rugi hasil usaha dagangnya dapat begitu kuat melakukan pengabdian sepenuh hati terhadap perbaikan moral spiritual. Yang sebenarnya adalah mereka melakukan tugas pokok berdakwah. Berdagang hanya untuk menunjang kebutuhan sehari-hari, seperti makan dan minum. 98Masjid Jami’ Ambon didirikan oleh imam besar Ambon, H. Abdul Qadir Hatala, pada tahun 1860 M. Pada tahun 1898 M, dilakukan perluasan masjid. Tahun 1933 kota Ambon dilanda banjir besar, Masjid ini mengalami kerusakan Berat. Tiga tahun kemudian, yakni pada tahun 1936,dimulailah perenovasianbentuk masjid dan baru selesai pada tahun 1940.Masjid menjadi lebih besar.Tahun 1942 terjadi kebakaran disekitar masjid, namun masjid selamat dari bencana tersebut.Pada waktu perang dunia II, tepatnya tahun 1944, masjid ini menjadi sasaran pengeboman sekutu, namun sekali lagi masjid ini selamat dan tetap utuh. Tahun 2004 masjid ini direnovasi dengan melakukan penggantian lantai, atap, menara, dan kubahtanpa merubah bentuk aslinya.Masjid menjadi semakin indah dengan tetap mempertahankan ciri klasiknya. Lihat, http://wisatasejarah.wordpress.com/ 2009/ 09/ 30/masjid-jami-kota-ambon.

78 akan diadakan musyawarah rutin mingguan. Pengurus masjid segera dihubungi dan diminta kesediaannya untuk menerima JT. dan mereka menerima. Pertemuan- pertemuan pun dilaksanakan. Dalam beberapa kali pertemuan Muhammad Nur Talaohu selalu mengambil peran sebagai amir musyawarah. Ini sekaligus memosisikan dia sebagai amair jamaah bukan hanya untuk Kota Ambon melainkan seluruh Maluku. Di masjid Jami’ jamaah pertama terbentuk dan dikeluarkan dalam lingkup kota Ambon. Walaupun masa keluar hanya tiga hari, namun dianggap sebagai suatu bentuk penegasan akan eksistensi dakwah JT di Ambon. Untuk selanjutnya, setiap pekan, pada setiap hari Jum’at pagi jamaah tiga hari dikeluarkan secara rutin. Ambon mulai terlihat tanda-tanda kehidupan dakwah JT. Melihat pada intensitas pengeluaran jamaah tiga hari, Muhammad Nur mulai menyuarakan untuk meningkatkan masa keluar menjadi 40 hari. Pada waktu itu Jakarta sudah rutin mengadakan ijtima’ (pertemuan umum) tahunan. Dalam ijtima’ tersebut orang-orang dari berbagai daerah diundang untuk hadir. Muhammad Nur Talaohu melihat ijtima’ Jakarta sebagai suatu kesempatan untuk membentuk jamaah 40 hari. Dalam setiap musyawarah mingguan ia selalu menekankan hal itu. Beberapa anggota JT mulai menyambut baik seruannya dan menyatakan kesediaannya. Akhirnya, tiga jamaah 40 hari terbentuk dan dikirim untuk menghadiri ijtima’ Jakarta. Dengan hadirnya tiga jamaah dari Ambon, yang kemudian dikeluarkan di pulau Jawa, Ambon dianggap sudah layak untuk ditetapkan sebagai salah satu sentral dakwah JT yang otonom di Maluku. Ketika Ambon menyampaikan keinginannya untuk mengadakan ijtima’ juga, Jakarta langsung menyetujui. Maka, pada tahun 1995 diadakanlah ijtima’ pertama di Ambon dan sukses. Tiga sampai empat jamaah untuk masa 40 hari berhasil dikeluarkan. Dalam ijtima’ tersebut hadir para senior dakwah dari Jakarta sebanyak lima orang, satu jamaah dari Mesir dan satu jamaah lagi dari Pakistan masing-masing dengan jumlah anggota sebanyak enam orang ditambah lagi dengan orang-orang dari jamaah masjid Jami’, tokoh- tokoh masyarakat, serta beberapa ulama kota Ambon ikut pula meramaikan ijtima’ pertama tersebut. Sebagaimana halnya sebuah gerakan, pada masa awal pertumbuhan dan perkembangannya, akan mengalami proses penyesuaian dengan lingkungan pertamanya. Proses penyesuaian itu banyak kali berhadapan dengan hal yang tidak enak, baik dari lingkungan tempat ia tumbuh maupun sebaliknya. Demikian pula halnya dengan JT, yang sejak awal kedatangannya, dianggap asing. Penampilan para aktifis JT dengan berjubah, sorban, dan janggut yang dibiarkan tumbuh bebas merupakan hal yang tidak biasa pada saat itu. Lagi pula, dengan mengambil masjid sebagai tempat kegiatan selama beberapa hari, oleh orang setempat dirasakan sangat meresahkan. Tumpukan barang-barang bawaan seperti tas pakaian, alas tidur, peralatan masak serta kegiatan makan dan tidur di masjid sering kali dijadikan alasan untuk menolak kehadiran JT. Berhadapan dengan sikap penolakan tersebut, ironisnya, JT hadir di suatu tempat justru untuk mengajak orang-orang kepada apa mereka tolak itu, yaitu keluar (khurūj fī Sabīl li Allāh). Nampak bahwa sasaran dakwah JT. tidak sampai pada bagaimana umat Islam dapat melaksanakan ajaran-ajaran agama semata, seperti salat, puasa, zakat, haji dan yang lainnya. Lebih dari itu JT menghendaki agar umat Islam, di samping harus 79 mengamalkan ajaran-ajaran agama tersebut, harus juga menjadi juru dakwah. Dalam pandangan JT. dakwah telah menjadi tanggung utama umat Islam secara keseluruhan, bukan hanya tanggung jawab kalangan tertentu saja (ulama, kiyai atau ustaz). Jadi, ulama, ilmuan, masyarakat awam, pejabat dan rakyat biasa harus terlibat dalam gerakan dakwah. JT sangat menyadari bahwa persoalan-persoalan khilafiyah yang terkandung di dalam amalan-amalan seperti tersebut di atas, seringkali menjadi pemicu bagi timbulnya pertentangan antar sesama umat Islam. Dalam pada itu, gerakan-gerakan dakwah telah bermunculan dengan warna-warna yang berbeda. Penekanan misi dakwah pada salah cabang ajaran Islam menjadikan mereka sulit dipersatukan. Massa Umat Islam ikut terbawa-bawa pada perbedaan-perbedaan yang ditimbulkan. Ada gerakan yang mendasarkan dakwahnya pada kepentingan memahami Islam secara tekstual semata. Yang lain lagi memfokuskan pada aspek esotoris Islam. Ada lagi yang mendasarkan dakwahnya pada persoalan politik-pemerintahan. Mereka bercita-cita untuk menegakkan pemerintahan yang islami. Perbedaan dan pertentangan masih terus berlanjut walaupun sama-sama memiliki cita-cita dan tujuan yang sama. Dalam hal yang terakhir ini terdapat banyak partai Islam. Dalam hal ini, dakwah JT tidak bermaksud menghilangkan masalah-masalah khilafiyah. Tidak akan juga menempatkan diri sebagai lawan bagi gerakan-gerakan dakwah tersebut. JT memahami bahwa perbedaan-perbedaan tersebut merupakan suatu keniscayaan yang harus ada dan tak perlu segera dihilangkan. Menurut JT, bila umat Islam mau memfokuskan perhatiannya pada perbaikan hal yang paling sentral dalam agama, yaitu keimanan, maka persatuan umat akan tercipta, persoalan khilafiyah menjadi sesuatu yang wajar adanya. Usaha untuk mencapai keimanan yang sempurna dan persatuan umat adalah dengan melibatkan diri ke dalam kerja dakwah dalam bentuk khurūj fī sabīl lī Allāh. Tantangan semakin berat ketika situasi yang diciptakan pemerintah saat itu sangat tidak mendukung. Melalui aparat keamanan, TNI dan Polri, rezim Orde Baru pimpinan Soeharto bersikap sangat represif. Pemerintah mencurigai JT sebagai gerakan Islam radikal untuk mendirikan negara Islam. Akibatnya, beberapa kali para aktifis dakwah JT harus berhadapan dengan pihak aparat keamanan untuk diinterogasi dan diperintahkan supaya menghentikan kegiatan.99 Kalangan terdidik, seperti ulama pun menampakkan sikap yang sama. Bahwa mengartikan jihad sebatas khuruj merupakan suatu bentuk pendistorsian ajaran agama. Lagi pula, cara-cara berdakwah, seperti yang dipraktekkan selama masa khuruj, sama sekali tidak ada penjelasannya dalam kitab-kitab fiqh standar manapun. Rasa ketidaksukaan semakin meluas, baik di kalangan jamaah masjid Jami’ maupun masyarakat sekitarnya. Semua persoalan yang disebutkan di atas menyebabkan JT tidak bisa bertahan lama di masjid Jami’. Tidak lama setelah pelaksanaan ijtima’, JT mohon pamit untuk pindah ke Masjid Assalamah di Air Salobar. Jaraknya sekitar 5 kilo meter dari masjid Jami’ kearah Selatan pulau Ambon. Di tengah berbagai tekanan tersebut, beberapa orang JT justru menunjukkan sikap solid dan konsisten. Sikap-sikap yang demikian itu justru menampakkan

99Hasil wawancara dengan Abd. Al-Rahman difinubun, tokoh senior dalam dakwah JT, pada tanggal 21 September 2012, di Masjid Al-Burhan Ambon. 80 wujud JT semakin jelas. Dilihat dari status sosial, para perintis awal memang tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang punya pengaruh, baik di masyarakat maupun di pemerintahan. Terlepas dari Muhammad Nur Talaohu yang adalah seorang Kepala Bagian Tata Usaha pada Kantor Wilayah Departemen Kehakiman Propinsi Maluku, adalah Muhammad Nur Ibrahim yang hanya seorang pedagang yang baru mulai menanjak usaha dagangnya. Kesungguhan perjuangannya dalam dakwah tidak tanggung-tanggung. Ia terlihat seringkali membantu keuangan teman- teman yang kekurangan bekal perjalanan. Padahal saat itu dia sendiri juga akan keluar berdakwah. Sekali waktu ia bermaksud akan keluar untuk berdakwah untuk masa 40 hari. Pada saat itu istrinya sedang hamil tua dan sedang pula menunggu saat-saat persalinannya. Ia tetap saja keluar. Di lain waktu usaha perdagangannya lagi mengalami sedikit masalah dan memerlukannya untuk turun tangan secara langsung. Karena sudah berniat untuk keluar, ia tetap keluar. Persoalan dagangnya diserahkan kepada anak buahnya saja. Di tengah berkecamuknya kerusuhan massal Ambon 1999, ia sementara keluar berdakwah selama 4 bulan di tiga negara utama pusat dakwah (India, Pakistan dan Bangladesh). Kampung Batu Gantung Waringin, tempat tinggalnya, berada pada daerah perbatasan dengan wilayah pemukiman kaum Kristiani. Ketika kampung itu diserang dan dibakar, rumah dan seluruh hartanya ikut terbakar. Bersamaan dengan itu pula pasar Mardika diserang dan dibakar. Sekian toko, termasuk tokonya, terbakar. Istri dan anak-anaknya yang berjumlah 8 orang mengungsi. Setelah kembali dari perjalanan dakwah barulah ia mengetahui harta dan keluarganya baru saja mengalami korban kerusuhan. Ia kumpulkan kembali sisa-sisa modalnya dan berusaha kembali. Dalam waktu yang tidak terlalu lama ia telah berdiri lagi sebagai seorang pedagang besar. Seperti akan jelas nanti bahwa pembangunan markaz Tabligh yang permanen saat ini, hampir sepenuhnya dibiayai olehnya. Biaya pembangunan itu seluruhnya lebih dari Rp. 1,5 M. Ketka ditanya pendapatnya mengenai iman, dia menegaskan, “Iman yang sempurna tidak terkesan oleh suasana dan keadaan.”100 Ada lagi seorang mahasiswa IAIN Ambon, namanya Aziz Kusnadi. Perkenalannya dengan JT telah dimulai semenjak awal kedatangan JT di Ambon. Setelah itu ia terus-menerus melibatkan diri dalam dakwah. Terlihat seolah-olah ia sudah tidak peduli lagi dengan pendidikannya. Orang tuanya resah. Dosennya pun sudah menasehatinya. Ia tetap saja aktif, bahkan sempat meloloskan diri berangkat ke Negara India dan Pakistan selama lebih 4 bulan. Kembali dari perjalanan dakwahnya di dua negara tersebut barulah ia selesaikan pendidikannya. Tetapi ia sudah tidak tertarik lagi menggunakan ijazahnya untuk melamar pekerjaan. Maksudnya supaya lebih fokus kepada kerja dakwah. Sampai dengan saat ini ia hidup sangat sederhana. Bersama dengan seorang istri serta 6 orang anaknya ia tinggal dalam rumah papan berukuran 5x5 m. Anggota JT yang paling tua bernama Darwis Latar. Ketika pertama kali terjun dalam dakwah usianya telah mencapai enam puluh tahun. Itulah sebabnya, ia biasa

100Hasil wawancara, dengan M. Nur Ibrahim, Penanggung Jawab JT di Ambon, pada tanggal 12 Juni 2014, di Ambon. 81 disapa dengan sebutan Tete (panggilan untuk kakek bagi orang Ambon). Pekerjaan sehari-hari adalah berjualan kecil-kecil beberapa bumbu masak. Karena persoalan ekonomi ia tidak bisa melaksanakan shalat secara kontinyu. Kebanyakan hari- harinya ia habiskan di pasar. JT-lah yang kemudian membuatnya berubah secara drastis. Dia mulai mengenakan gamis panjang sampai ke lutut, berkopiah putih atau sekali waktu bersorban. Janggutnya dibiarkan tumbuh lebat. Kini, Tete Darwis yang berkulit agak gelap bernampilan seperti seoorang kiyai. Dalam banyak kali pengiriman jamaah, baik 3 hari, 40 hari, 4 bulan atau bahkan 6 bulan, Tete Darwis dipercayakan sebagai amir jamaah. Ketika sedang melaksanakan tugas-tugas dakwah Tete Darwis bertugas memimpin musyawarah dan terkadang juga memandu jalannya muzakarah. Pada saat-saat yang demikian itu, terlihat seolah-olah ia sedang membahas masalah-masalah agama. Hal itu juga yang menjadi salah satu alasan kritik masyarakat bahwa orang-orang JT tidak punya ilmu tetapi berani menguraikan persoalan-persoalan agama. Sebenarnya tidak demikian. Seperti akan terlihat pada pembahasan selanjutnya, masalah-masalah yang berkaitan dengan masail fiqhiyah tidak dibahas di dalam JT kecuali bila dalam suatu jamaah ada seorang alim. Yang dimuzakarahkan selama masa keluar (khuruj) itu hanyalah mengenai adab sehari-hari dalam sunnah Nabi Muhammad Saw., seperti adab makan, adab tidur, adab istinja serta adab-adab lainnya. Demikianlah kemampuan JT mengangkat seorang anggota masyarakat biasa pada posisi penanggung jawab sebuah gerakan. Ketiga orang yang baru saja dijelaskan di atas ditambah dengan Muhammad Nur Talaohu pada perkembangan selanjutnya dipercayakan Markaz Kebun Jeruk Jakarta untuk memandu gerakan JT di Ambon dan Maluku. Dakwah JT di Ambon semakin hidup setelah beberapa aktifis mahasiswa seperti Kamaluddin, M. Said Marasabessy, Abu Daud, M. Taib Kelian, Abdurrahman Difinubun ikut bergabung. Kini masjid Assalamah Air Salobar menjadi semakin ramai dikunjungi. Masjid Assalamah Air salobar terlihat sangat sibuk dengan kegiatan-kegiatan keagamaan. Beberapa kegiatan besar sempat pula dilakukan di masjid ini. Rombongan-rombongan dakwah mulai dikirim secara teratur, walaupun pada saat itu hanya baru 3 hari setiap bulan. Rombongan dakwah yang bisa keluar selama 40 hari hanya bisa dilakukan dalam setahun. Adapaun untuk 4 bulan baru pada tingkat perorangan. Dalam waktu-waktu tertentu datang pula Jamaah dari luar negeri. Beberapa negara yang pernah mengirim rombongan dakwahnya ke Ambon di antaranya dari Pakistan, India, Bangladesh, Mesir, Arab Saudi, Australia, Belanda dan Inggeris. Setelah berjalan beberapa lama terasa bahwa masjid Assalamah sudah tidak bisa maksimal menampung kegiatan JT. Untuk kegiatan ijtima’ yang bisa dihadiri oleh lebih kurang 500 orang masjid terasa sangat kecil. Lagi pula fasilitas-fasilitas pendukung kegiatan, seperti bak penampung air, kamar mandi dan kakus serta gudang tempat penyimpanan barang-barang, sangat tidak memadai. Muhammad Nur Talaohu dan beberapa aktifis dakwah kemudian mencari masjid lain yang dianggap layak menghandel semua kegiatan. Dalam pencarian itu, mereka menemukan sebuah 82 masjid yang berada di dusun Oli, 101 Negeri Hitu. Jaraknya dengan Kota Ambon sekitar 25 km. Masjid Oli agak kecil, luas bangunannya hanya 7 x 7 m persegi, tetapi memiliki pekarangan yang luas, 1 ha. jadi layak untuk menampung jamaah dalam jumlah besar. Walaupun jauh dari pusat kota, pertemuan-pertemuan rutin mingguan malam Jum’at dihadiri oleh cukup banyak aktifis JT. Pada bulan Oktober 1998 dilaksanakan lagi ijtima’. Beberapa propinsi ikut ambil bagian dalam kegiatan ini, diantaranya dari Maluku, Maluku Utara, dan Irian Jaya serta 3 orang penanggung jawab dari Kebun Jeruk, Jakarta. Rupanya ini adalah ijtima’ pertama dan terakhir dan sekaligus merupakan pesta perpisahan dengan masjid Oli. Karena beberapa bulan kemudian, yakni pada tanggal 19 Januari 1999 pecah kerusuhan Maluku. Kegiatan dakwah bukan hanya tidak bisa dilaksanakan di Oli, tetapi Ambon dan Maluku secara keseluruhan mengalami kemacetan. Hampir setahun dakwah JT di Ambon lumpuh total. Jamaah dari luar tidak bisa masuk ke Ambon, begitupun jamaah dari Ambon tidak bisa keluar. Exodus besar-besaran warga muslim pendatang menyertakan juga lebih kurang 500 orang anggota JT. Semenjak saat itu kota Ambon dalam keadaan mencekam. Setiap hari yang terjadi adalah tindakan saling menyerang antar kedua komunitas, Islam dan Kristen. Penyerangan-penyerangan berakibat pada jatuhnya korban jiwa dan harta. Pembunuhan dan pembakaran terjadi di mana-mana. Keberadaan aparat keamanan —TNI dan Polri— bisa lebih sedikit meredam situasi yang bergejolak. Tetapi sewaktu-waktu meledak lagi dalam skala yang lebih besar. Kondisi awal itu tidak bisa dikendalikan dengan baik, karena aparat keamanan lokal terpecah menjadi dua kubu berdasarkan agama yang dianut. Perpecahan itu semakin memperparah situasi.102 Dalam keadaan demikian, Muhammad Nur Ibrahim memperlihatkan dedikasinya yang tinggi. Di tengah berkecamuknya peperangan, ia bergerak kepada siapa saja yang bisa dijumpainya. Satu atau dua orang para aktifis JT. diajak untuk melakukan pertemuan. Usahanya membuahkan hasil. Beberapa anggota JT bersedia untuk aktif kembali. Sebagai langkah awal, mereka sepakat bertemu di masjid Nurul Huda di Jalan Baru yang berjarak sekitar 100 meter dari Masjid Jami’ Ambon.

101 Masjid ini didirikan oleh sebuah organisasi pemuda yang bergerak di bidang dakwah, yaitu Pemuda Pelaksana Dakwah Islamiah (PPDI) Maluku. Organisasi ini bubar pada tahun 1984. Ditambah lagi dengan letaknya cukup jauh dari pusat kota, masjid ini tidak lagi terurus. Muhammad Nur Talaohu dan beberapa orang temannya mencoba menghubungi para aktifisnya dan berhasil menjumpai mantan wakil ketuanya, Arsyad Rahawarin. Setelah mengemukakan maksud dan tujuan, Arsyad mengijinkan JT untuk melakukan kegiatan. Masjid Oli secara resmi ditempati pada bulan Februari 1998. 102 Hari ini Kamis tanggal 1 Juni 2000, situasi di Ambon kembali tegang. Terjadi konsentrasi massa Kristen sejak pagi di dekat RS GPM Ambon, yang kemudian disambut pula dengan konsentrasi massa Islam di masjid Al Fatah. Pihak Kristen mulai memancing emosi orang Islam. Siasat mereka berhasil, massa Islam merengsek maju menuju RS. GPM. yang langsung dimanfaatkan oleh sniper dari aparat pro Kristen untuk menembak. Dua orang Islam meninggal dan puluhan lainnya luka-luka. Lihat, “Kumpulan Artikel Mengenai Peristiwa Ambon”, http://media.isnet.org/ambon/LJKronologis.html.

83

Kompleks Jalan Baru adalah suatu kawasan yang pada mulanya merupakan pemukiman campuran antara Islam dan Kristen. Dengan terjadinya kerusuhan, pihak Kristen menyingkir. Jalan Baru kemudian sepenuhnya menjadi pemukiman muslim. Tetapi karena letaknya di wilayah perbatasan -hanya dipisahkan oleh jalan raya- warga Jalan Baru masih merasa terancam untuk diserang. Dengan demikian, sikap terbuka jamaah masjid Nurul Huda untuk menerima kehadiran JT dapat dipahami. Penampilan mereka dengan berpakaian jubah dan sorban dapat dilihat pula sebagai suatu bentuk show of force umat Islam terhadap pihak Kristen. Dari masjid ini dakwah dan tabligh mulai berjalan kembali seperti biasa. Pengiriman rombongan- rombongan dakwah, baik dalam pulau Ambon maupun ke luar daerah tetap berjalan seperti biasa.

84

BAB IV PERDAMAIAN DALAM PERSPEKTIF JAMAAH TABLIGH

Diskursus perdamaian, secara teologi, pada bab I dan II menunjukkan bahwa perdamaian berdasar pada suatu absolutisme. Upaya-upaya perdamaian dari kelompok-kelompok kepentingan dianggap gagal. Kegagalan mendasar mereka terletak pada tidak terumuskannya doktrin perdamaian dalam suatu bentuk absolutisme universal. Yang mereka rumuskan baru sebatas absolutisme sempit berdasarkan pada upaya penegasan eksistensi kelompok dan kepentingan mereka. Akibatnya, masyarakat digiring ke dalam berbagai kepentingan untuk kemudian dibawa pada posisi saling berhadap-hadapan. Jamaah Tabligh (JT), sebagaimana nampak dalam upaya mereka membangun masyarakat, berdasar pada absolutisme universal Islam. Absolutisme itu didapatkan melalui pendekatan secara obyektif terhadap ayat-ayat Kitab Suci (Al-Qur’an dan hadis). Melalui pendekatan obyektif mereka dapat menunjukkan bahwa Kitab Suci dan juga hadis, tiada lain merupakan cara Allah SWT. menegaskan ketuhanan-Nya dan kepentingan Abadi-Nya. Dengan kata lain, penjelasan Allah tentang ketuhanan dan kepentingan-Nya, bila dipahami secara obyektif, memiliki tingkat kebenaran absolut-universal. Kebenaran absolut universal yang demikian itulah yang bisa dijadikan dasar sesungguhnya bagi pembentukan masyarakat Islam universal. Itu berarti, dakwah yang hanya menampilkan makna obyektif ayat Kitab Suci, dapat dilihat sebagai dakwah untuk menegaskan ketuhanan Allah dan kepentingan abadi- Nya semata. Untuk lebih memaksimalkan misi perdamaian mereka, penerapan makna obyektif dikenakan hanya pada ayat Al-Qur’an dan hadis tentang fad̩ ā’il al-a'māl (keutamaan beramal) semata. Itu pun hanya yang berkaitan dengan apa yang mereka istilahkan Enam Sifat Sahabat Nabi Muhammad Saw. (selanjutnya, disingkat Enam Sifat). Enam Sifat itu ialah yakin kepada kalimat thayyibah lā ilāha illā Allāh Muhammad Rasul Allāh, s̩ alāh al-khushu’ wa al-khud̩ u', ’ilm ma'a dhikr, ikrām al- muslimīn, tas̩ h̩ īh̩ al-niyah, dan khurūj fi sabīl li Allāh. Dengan kata lain, JT mengajak umat Islam untuk mengamalkan Enam Sifat hanya dengan mengemukakan fad̩ ā’il al-a'mālnya dalam maknanya yang obyektif. Melalui makna obyektif, JT dapat menunjukkan bahwa kebenaran Enam Sifat merupakan kebenaran absolut- universal Islam. Enam Sifat, menurut JT merupakan kerangka sempurna kehidupan para sahabat Nabi Muhammad Saw., baik dalam membangun agama maupun masyarakat. Kesemua sahabat memilikinya secara bersama sebagai karakter umum dalam diri mereka, walaupun dalam pengekspresiannya masing-masing memperlihatkan warna dan tensi yang berbeda-beda. Tampak, Enam Sifat disamping merupakan enam doktrin utama ajaran Islam, juga adalah enam tiang penyangga bangunan dan kesatuan masyarakat Islam. Melalui cara memahami seperti itu, JT dapat menunjukkan bahwa sebagai sebuah agama, Islam memiliki dua aspek yang tak terpisahkan satu sama lainnya, yaitu aspek agama (dīn) dan aspek hidup kemasyarakatan. Aspek yang pertama dari agama mereka namakan kepentingan Allah (KA), dan aspek yang kedua mereka namakan kepentingan Umat Islam (KUI). 85

Aspek pertama bersifat abadi, absolut dan universal. Ia datang langsung dari Allah sebagaimana adanya. Selanjutnya, berdasar pada aspek pertama, JT melakukan proses internalisasi ke dalam diri hingga menjadi kepercayaan, yang kemudian mereka namakan sebagai KUI. Pada aspek yang terakhir ini, agama nampak sebagai suatu kepentingan manusia. Sebagaimana akan dijelaskan pada bab V, proses itu sama sekali tidak lantas menjadikannya relatif. Sifat absolutnya, keabadiannya dan universalitasnya tetap dapat dipertahankan hingga menjadi kepercayaan bersama. Proses internalisasi yang ditunjukkan JT menunjukkan bahwa ternyata ada bentuk lain mengenai bagaimana cara manusia melakukan pemhaman terhadap Kitab Suci mereka yang hasilnya bukan merupakan ilmu atau pengetahuan, tetapi kepercayaan. Ini tentunya yang membedakan mereka dengan kelompok-kelompok lain, yang mana demi mempertegas eksistensi dan kepentingan mereka, menafsirkan Kitab Suci. Akibatnya, hasil penafsiran menjadi berbeda antara satu kelompok dengan kelompok lain. Penekanan pada JT pada KA, menunjukkan bahwa mereka memiliki perpektif tersendiri mengenai perdamaian. Untuk keperluan teknis, pembahasan tentang Enam Sifat dibagi menjadi dua. Pada bab IV ini, pembahasan difokuskan pada persoalan perspektif JT tentang perdamaian. Dasar perspektif mereka terkandung dalam sifat pertama, lā ilāha illā Allāh Muhammad Rasul Allāh. Pada bab berikut, yakni bab V, pembahasan difokuskan pada bagaimana peran JT mewujudkan perdamaian.

A. KEKUASAAN ALLAH Pembicaraan JT mengenai ketuhanan Allah sepenuhnya bersifat fungsional.1 Pembicaraan yang bersifat teoritis, sangat dihindari, terlepas dari kenyataan bahwa umumnya mereka sama sekali tidak berlatar pendidikan agama. Cukuplah diyakini bahwa Allah itu Esa dan berkuasa. Tujuannya adalah agar manusia individu maupun kolektif menjadi baik dan benar, juga supaya upaya perdamaian pada tataran universal bisa terwujud. Dua istilah sentral yang membentuk perspektif JT tentang perdamaian adalah pada kekuasaan Allah dan kebesaran-Nya. Istilah pertama mengacu kepada aspek

1Al-Qur’an, menurut Fazlur Rahman (1919-1998), sepenuhnya fungsional. Sebagai sebuah kitab petunjuk yang berfungsi membimbing manusia, Al-Qur’an menghindari penjelasan teoritis tentang Tuhan, bahkan bersikap negatif sekali terhadapnya. Memang beberapa ayatnya, secara sepintas, terkesan bersifat teoritis, ketika berbicara tentang Tuhan/Allah, kosmologi, manusia dan sebagainya. Tetapi hal itu semua hendaklah dilihat dalam kerangka kitab petunjuk, bukan kitab teoritis. Tujuan pokok Al-Quran adalah membimbing manusia kepada jalan yang benar. Sehingga walaupun Tuhan/Allah disebutkan lebih dari enam ribu kali (selain dari nama-nama-Nya yang indah atau Al-Asmā Al-Husnā), tetapi sama sekali tidak boleh boleh dilihat sebagai penjelasan teoritis tentang hakikat-Nya. Semua penjelasan itu dimaksudkan agar manusia dapat bertindak benar demi menciptakan kehidupannya sendiri menjadi lebih baik. Dengan cara demikian, dan dengan mengamalkan ajarannya, manusia dapat mencapai tujuan hidupnya. Jadi, sebenarnya penjelasan Al-Qur’an tentang Allah pada akhirnya kembali kepada manusia juga. Fazlur Rahman, “The Qur’anic Concept of God, the Universe and Man”, dalam, Islamic Studies, jilid VI, Nomor 1, 1967, h. 1. 86 transendensi Allah yang nampak di alam. Sedangkan, istilah kedua merupakan akibat yang muncul di hati berupa keyakinan. Akibat itu adalah hasil persepsi terhadap kekuasaan Allah. Pembahasan dimulai dari istilah pertama. Pembahasan tentang istilah kedua itu, menyusul. Kata-kata esa, kuasa, maupun yang lainnya yang berkaitan dengan Allah dapat dipahami secara obyektif dan karenanya memiliki tingkat kebenaran absolut dan universal. Dalam al-Qur’an pun demikian, yaitu ketika manusia diseru kepada kebenaran universal Islam, Allah menunjukkan diri-Nya dengan aspek-Nya yang obyektif-transenden. Kata yang digunakan untuk maksud itu ialah kata Rabb, bukan kata Ilāh,2 yang merupakan aspek sukyektif-Nya. Dua ayat Al-Qur’an di bawah ini menegaskan-Nya, sebagai berikut: Sungguh (agama tauhid) inilah agama kamu, agama yang satu, dan Aku adalah Rabmu, maka sembahlah Aku (QS. Al-Anbiyā’ [21]: 92).3 Dan sungguh, (agama tauhid) inilah agama kamu, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalal kepada-Ku (QS. Al-Mu’minūn: [23]: 52).4 Pada kedua ayat di atas, Allah menjelaskan bahwa inti dari agama-Nya berpokok kepada keesaan Allah (tauhid). Walaupun para Nabi dan Rasul telah diutus kepada bangsa-bangsa yang berbeda-beda, tetapi inti dari misi atau tugas utama mereka adalah satu. Berdasar pada kesatuan pokok ajaran para Nabi itu, maka keseluruhan manusia pada berbagai jaman dan tempat sebenarnya merupakan umat yang satu atau satu keluarga besar yang diikat oleh keimanan yang satu. Umat Islam yang sampai dengan saat ini masih berpegang pada agama tauhid, mestinya lebih bisa menjaga persatuan, ketimbang harus direpotkan dengan perbedaan-perbedaan paham, yang pada akhirnya bisa mengancam persatuan dan persaudaraan kolektifitas mereka. 5 Penegasan terhadap aspek obyektif ketuhanan Allah, oleh JT diungkapkan dengan menggunakan aspek kekuasaan-Nya yang berlaku secara universal di alam. Hal itu dimaksudkan untuk menimbulkan, secara sistematis, peredusian kesakralan kekuasaan apa pun selain kekuasaan-Nya. Peredusian berimplikasi secara berkelanjutan terhadap hilangnya kesakralan alam/lingkungan beserta hukum-hukum atau pun kondisi-kondisi alamiah yang berlaku padanya. Akibatnya, alam dalam setiap saatnya, berada pada statusnya seperti yang dikehendaki-Nya. Dalam hal ini, ketika menyaksikan hal-hal yang dianggap luar biasa, kata-kata yang selalu terlontar dari mulut JT adalah “Allah Kuasa, makhluk tak kuasa. Dunia sementara, akhirat selamanya. Kejayaan ada di dalam agama.” Menurut mereka, kerusakan-kerusakan yang terjadi dalam kehidupan manusia saat ini adalah karena lemahnya iman dan kurangnya amal saleh. Apabila orang Islam sekarang memiliki iman dan amal saleh yang sempurna, maka Allah SWT. akan memberikan pertolongan kepeda mereka seperti mana pertolongan yang diberikan kepada nabi-nabi dari bani Israel dan kaumnya.

2Penjelasan selengkapnya mengenai ilah, lihat: Frithjof Schuon, Islam and The Perennial Philosophy (World of Islam Festival Publishing, tth.), h. 44. 3Kementerian Agama RI, Al-Qur’anul Karim Dan Terjemahnya, 2010, 330. 4Kementerian Agama RI, Al-Qur’anul Karim Dan Terjemahnya, 2010, 345. 5Lihat H, Bustomi, A. Gani (et.all), Al-Qur’an Dan Tafsirnya, 329. 87

Kekuasaan Allah yang dimaksudkan JT adalah lima kekuasaan-Nya yang meliputi kekuasaan mencipta, mengatur, memelihara, memberi rizki, dan mencipta keadaan-keadaan. Dalam bayannya, Cecep Firdaus menjelaskan pengertian kelima kekuasaan Allah tersebut, sebagai berikut: “Allah adalah pencipta satu-satunya. Dalam melaksanakan penciptaan, Allah tidak butuh kepada bantuan atau pun pertolongan siapa pun. Allah hanya cukup berfirman, ‘terjadi!’, maka terjadilah apa yang Allah kehendaki. Setelah Allah mencipta, Allah pula yang menguasai semua ciptaannya. Tidak ada sesuatu apa pun yang berada di luar kuasa Allah. Di samping menguasai, Allah pula yang memelihara semua ciptaan-Nya, tanpa kecuali, sehingga semua berjalan sesuai dengan kehendak-Nya. Allah yang memelihara langit, sehingga tegak tanpa tiang. Allah yang memelihara perjalanan matahari, bulan, bumi, planet-planet dan semua benda angkasa, sehingga semuanya berjalan pada jalurnya masing-masing. Matahari berjalan pada jalurnya, bulan berjalan pada jalurnya, bumi dan planet-planet berjalan pada jalurnya masing- masing sehingga tidak terjadi tabrakan antara satu dengan yang lain. Allah juga yang memberi rizki kepada semua makhluk-Nya, mulai dari malaikat, jin, setan, manusia, hewan dan tumbuhan. Tidak berkurang sedikit pun khazanah Allah, walaupun setiap hari semua makhluk-Nya diberi rizki. Allah juga yang mencipta keadaan-keadaan, keadaan panas, dingin, keadaan perang, damai, keadaan harga pasar, mahal dan murah. Naik dan turun harga barang bukan karena banyak dan sedikit permintaan. Tidak. Allah yang mencipta dan menentukan semuanya.”6 Di dalam beberapa ayat Al-Qur’an, persoalan kekuasaan Allah, bahkan dinyatakan secara gamblang dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan menantang, yang ditujukan kepada orang-orang kafir. Jawaban-jawaban mereka terhadap pertanyaan- pertanyaan itu ternyata merupakan pengakuan bahwa memang Allah adalah realitas obyektif-transendens. Beberapa ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan hal itu dapat disebutkan, sebagai berikut: Dan jika kamu tanyakan kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Pastilah mereka akan menjawab, “Semuanya diciptakan oleh Yang Mahaperkasa, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Zukhruf [43]: 9).7 Dan jika engkau bertanya kepada mereka, siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab, Allah, jadi bagaimana mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah) (QS. Al-Zukhruf [43]: 87).8 Dan jika engkau bertanya kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” Pasti mereka akan menjawab, “Allah.” Maka mengapa mereka bisa dipalingkan (dari kebenaran).” (QS. Al-‘Ankabut [29]:61).9 Dan jika kamu bertanya kepada mereka, “Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu dengan (air) itu dihidupkannya bumi yang

6Bayan disampaikan pada ijtima’ Maluku, pada tanggal 23 Desember 2013, jam 10 : 45 WIT 7Kementerian Agama RI, Al-Qur’anul Karim Dan Terjemahnya, 2010, 489 8Kementerian Agama RI, Al-Qur’anul Karim Dan Terjemahnya, 2010, 495. 9Kementerian Agama RI, Al-Qur’anul Karim Dan Terjemahnya, 2010, 403. 88

sudah mati?” Pasti mereka akan menjawab, “Allah.” Katakanlah, “Segala puji bagi Allah,” tetapi kebanyakan mereka tidak mengerti. (QS, Al-‘Ankabut [29]: 63).10 Dari ayat-ayat di atas, tampak bahwa orang-orang kafir sekalipun mengakui Allah sebagai Pencipta dan Penguasa semuanya ‒menurunkan hujan, memberi kehidupan, menentukan kematian, mengatur perjalanan matahari, bulan dan bumi, dan memberi rizki kepada sekalian makhluk. Hal itu menunjukkan bahwa aspek kekuasaan Allah menduduki posisi sentral dalam kepercayaan universal. Dalam makna obyektifnya, semua orang tentu paham apa makna menurunkan hujan, memberi kehidupan, menentukan kematian, mengatur perjalanan matahari, bulan dan bumi, dan memberi rizki kepada sekalian makhluk. Kepercayaan tersebut tidak merupakan hasil rumusan teologis konvensional yang berasal dari pengalaman- pengalaman kontemporer sebuah kelompok masyarakat. Tetapi, ia merupakan hasil dari persepsi mereka terhadap Realitas Transenden yang muncul di alam. Sebenarnya, kalau manusia mau bersikap terbuka untuk menerimanya, maka kebenaran-kebenaran universal itu sangat efektif terhadap sebuah proses perubahan. Itulah sebabnya, ketika orang-orang kafir menyatakan pengakuan mereka mengenai kekuasaan Allah sebagai Zat Pencipta, Penguasa dan Pemelihara atas segala sesuatu, Al-Qur’an dengan segera mempertanyakan kembali keyakinan mereka dengan kata- kata : “Bagaimana mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)”, “Maka mengapa mereka bisa dipalingkan (dari kebenaran)”. atau dengan pernyataan “Tetapi kebanyakan mereka tidak mengerti”. Pengakuan akan perubahan yang dapat ditimbulkan oleh kebenaran universal dalam agama pun dinyatakan oleh Alfred North Whitehead (1861-1947). Seperti yang dikutip kembali oleh Muhammad Iqbal, Whitehead berkata, “Agama dari segi doktrinalnya merupakan sistem kebenaran-kebenaran umum yang berpengaruh mentransformasikan karakter manusia apabila dipegang teguh dengan tulus dan dipahami dengan jeli.”11 Tetapi, kebanyakan manusia menutup diri dan cenderung kepada kepentingan ego-ego rendah dan sektoral, sehingga kebenaran universal itu menjadi sulit untuk terumuskan dengan baik. Akibatnya, proses transformasi kepada kebaikan dan perdamaian universal pun menjadi sulit untuk direalisasikan. Hal itu tampak, sebagaimana telah disebutkan berkali-kali, pada kelompok-kelompok kepentingan dalam Islam. Dalam dakwah-dakwah mereka, JT membicarakan ketuhanan Allah dengan menggunakan aspek kekuasaan-Nya, dimaksudkan untuk menimbulkan dua dampak penting dalam diri manusia. Dampak yang pertama adalah terbentuknya persatuan melalui persamaan kepercayaan, bahwa Allah satu-satu-Nya Penguasa di alam. Dampak yang kedua adalah tereduksinya segala bentuk kesan yang bisa timbul di hati oleh karena adanya hal-hal yang sifatnya konvensional (simbol, budaya, adat istiadat, lingkungan sosial, subyektifitas pribadi, ego sektoral, dan sebagainya). Pereduksian atau bahkan penghilangan sama sekali kesan-kesan dari hal-hal tersebut adalah supaya mereka tidak sampai menjadi kepercayaan. Tetapi berdasarkan pada kekuasaan Allah juga, maka hal-hal yang sifatnya sementara, mewujud. Dengan kata

10Kementerian Agama RI, Al-Qur’anul Karim Dan Terjemahnya, 2010, 403. 11Muhammad Iqbal, The Reconstruction, 2. 89 lain, Allah berkuasa secara mutlak yang karenanya segala sesuatu mewujud. “Manusia tak punya satu kuasa apa pun, bahkan terhadap dirinya sendiri,” kata Muhammad Nur Ibrahim, salah seorang tokoh senior JT, “Yang dia punya hanyalah nafsu.”12 JT membagi kekuasaan Allah ke dalam tiga tingkatan. Tingkatan pertama, Kekuasaan Allah yang nampak melalui hukum sebab-akibat. Kekuasaan mencipta, menguasai, mengatur, memelihara, memberi rizki, mencipta situasi dan keadaan dilaksanakan oleh Allah dengan perantaraan hukum sebab-akibat. Tingkatan kedua, Kekuasaan Allah nampak melalui hukum yang bertentangan dengan hukum sebab- akibat. Tingkatan ketiga, kekuasaan Allah nampak tanpa melalui hukum sebab- akibat. Tokoh senior lain, seperti Aziz Kusnadi, mengatakan dalam bayannya: “Allah berkuasa memberi rizki dengan cara apa saja sesuai dengan kehendak-Nya. Allah memberi rizki kepada makhluk-Nya dengan perantaraan asbab, bertentangan dengan asbab, bahkan tanpa asbab sama sekali. Seorang pedagang berdagang. Dari hasil daganganya dia dapatkan rizki. Dagangan adalah asbab, tetapi rizki dari Allah, bukan dari dagangan. Seorang petani bekerja di kebun, dari hasil usahanya itu dia dapatkan rizki. Rizki dari Allah hanya saja melalui asbab, bukan asbab yang beri dia rizki. Bila Allah mau, Allah akan beri rizki dengan cara yang bertentangan dengan hukum sebab akibat. Siti Maryam hari-hari hanya beribadah dan berzikir, tetapi Allah beri dia rizki dari hasil ibadahnya itu. Rizkinya diperoleh dengan cara yang bertentangan dengan hukum sebab akibat. Allah bahkan memberi rizki, walaupun seseorang tidak punya asbab sama sekali. Suatu ketika Nabi Musa as, bertanya kepada Allah, “Ya Allah, bagaimana Engkau memberi rizki kepada makhluk-Mu. Maka Allah perintahkan, ‘Pukul batu itu,’ Begitu dipukul, batu pecah ternyata ada batu lagi di dalam. Dipukul lagi, pecah, ada batu lagi di di dalam. Dipukul lagi, pecah, ada batu lagi di dalam. Dipukul lagi pecah, ternyata terdapat seekor ulat kecil sedang mengunyah daun hijau yang segar sambil berkata, “Subẖ̱̩ āna man yarānī, subhāna man yasma’unī, subhāna man yanz̩ urunī, subhaāna man yarzuqunī.”13 Apa yang dijelaskan di atas memang berdampak pada persatuan dan perdamaian dan menimbulkan efeknya pada perubahan keyakinan, pemahaman dan tindakan atau perilaku. Jumlah pengikut JT pun mengalami peningkatan secara sangat signifikan. Dari hari ke hari pertambahan jumlah pengikut mereka semakin meningkat, melingkupi semua wilayah di seluruh negara di dunia. Sehingga boleh juga disepakati bahwa saat ini JT telah menjadi kelompok umat Islam di dunia internasional. Tetapi faktor minimnya pengetahuan agama (kebanyakan mereka tidak berlatar pendidikan agama, bahkan banyak yang hanya tamatan sekolah dasar), sehingga seringkali menjadikan anggota JT salah memahami kekuasaan Allah. Penjelasan-penjelasan mereka terlihat sebagai tidak proporsional, dan bahkan serampangan. Agar lebih jelas, dua contoh kasus perlu dikemukakan. Suatu ketika,

12Hasil wawancara dengan Muhammad Nur Ibrahim, Anggota Syuro Maluku, pada tanggal 14 Juli 2014, jam 16 : 15 WIT. 13Hasil wawancara dengan Abdul Aziz, Penanggung Jawab Markaz Ambon, pada tanggal 12 Juli 2014, pada jam 19.16 WIT. 90 dalam sebuah group WA, disampaikan sebuah video singkat yang menceritakan keadaan seorang gadis remaja yang sudah meninggal dunia. Semasa hidupnya gadis itu dikenal sebagai seorang yang shalehah, sehingga seharusnya ia tinggal menikmati saja kesenangan di dalam kuburnya. Tetapi, suara-suara rintihan dan jeritan kesakitan yang berasal dari tetangga kuburnya yang di sebelah membuat dia tidak nyaman. Tetangganya itu disiksa sebagai akibat dari semasa hidupnya tidak melaksanakan shalat. Kepada ayahnya melalui mimpi, gadis itu datang dan meminta agar segera dipindahkan menjauh dari sisi tetangganya. Kubur gadis itu pun dibongkar dan mayatnya dipindahkan ke tempat lain. Video itu mendapat tanggapan yang berbeda yang kemudian menimbulkan perdebatan di antara mereka. Seorang anggota JT menanggapi dengan mengemukakan pertanyaan mengenai ada atau tidaknya dalil dari Al-Qur’an atau hadis yang menjelaskan peristiwa seperti dalam video itu. Dia bertanya, “Mungkinkah orang yang sudah meninggal dunia masih bisa mendengar suara-suara yang berasal dari kubur yang disebelah?” Salah seorang teman yang lain, dengan spontan, menjawab, “Allah kuasa berbuat apa saja menurut kehendaknya.” Tentu saja teman yang bertanya tadi tidak puas dengan jawaban seperti itu, yang kemudian menimbulkan perdebatan yang agak seru sesama mereka. Kasus lain lagi yang lebih tragis adalah berakibat kematian terhadap salah seorang dari mereka. Ceritanya begini. Seorang anggota JT terindikasi mengidap beberapa gangguan kesehatan yang cukup akut seperti tekanan darah tinggi (hypertensi), asam urat dan beberapa penyakit lain. Sesuai saran dokter, anggota itu dilarang meminum kopi. Suatu ketika dia dipergoki anaknya sedang membuat kopi untuk hendak diminumnya. Saran sang anak kepadanya agar tidak melanjutkan meminum kopi. Tetapi dengan lantang anggota JT itu menjawab, “Allah kuasa makhluk tak kuasa, Yang memberi sakit Allah, yang menyembuhkan juga Allah.” Kopi pun diminum, selang beberapa menit kemudian, anggota JT itu jatuh terkapar. Dia segera dibawa ke rumah sakit, tetapi nyawanya tidak tertolong. Begitu tiba di rumah sakit, meninggal.

B. STATUS ALAM Melanjutkan pemahaman tentang kekuasaan Allah, JT memandang bahwa status alam dengan segala hukum serta sifat yang berlaku padanya tidak merupakan suatu kenyataan tetap. Setiap saat Allah SWT. berkuasa menunjukkan kekuasaan- Nya untuk melakukan perubahan apa pun menurut kehendak-Nya. Kadangkala perubahan dikehendaki Allah, tetapi dimulai dengan dan berdasarkan pada perbuatan-perbuatan manusia. Bila perbuatan manusia baik, maka Allah SWT. akan menurunkan kepeutusan-Nya yang baik yang dapat merubah situasi alam yang buruk menjadi baik. Demikian pula sebaliknya. Olehnya itu, JT memberikan perhatian yang besar kepada persoalan perbaikan manusia, ketimbang perbaikan dunia empirik. Mereka selalu mengulang-ulang adagium “Allah Kuasa, makhluk kuasa,” pada setiap kali berhadapan dengan realitas empirik, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Dalam bayannya, Aziz Kusnadi menjelaskan persoalan itu, sebagai berikut: “Ketika Nabi Saw. dan Malaikat Jibril telah berada di antara langit dan bumi (pada waktu peristiwa Isra’ dan Mi’raj), Nabi Saw. melihat ada sesuatu 91

yang naik dari bumi menuju ke langit dan ada sesuatu yang turun dari langit menuju ke bumi. Nabi Saw. kemudian bertanya: “Wahai Jibril, gerangan apakah yang naik ke langit itu dan apakah pula yang turun itu?” Jibril as. menjawab: “Yang naik itu adalah amalan-amalan manusia dan yang turun itu adalah keputusan-keputusan Allah.” Kalaulah amalan manusia di bumi baik, maka amalan yang baik itu akan menyebabkan turunnya rahmat Allah. Kehidupan manusia menjadi sejahtera. Tetapi, kalau amalan manusia buruk, maka yang turun adalah keputusan-keputusan Allah berupa musibah dan bencana. Kehidupan manusia menjadi susah. Maka yang terpenting bagi kita adalah memperbaiki iman dan amal. Sehingga, walaupun kita tinggal di dalam istana yang megah, tetapi karena iman dan amal kita rusak, maka Allah akan buat keputusan berupa musibah bagi kita. Kita akan hancur walaupun sedang berada di tengah kemegahan dunia yang kita miliki. Sebaliknya, walaupun kita tinggal di gubuk, tanahnya pun gersang. Tidak ada sesuatu pun yang bisa tumbuh, tetapi karena iman dan amal kita baik, Allah datangkan kebaikan- kebaikan bagi kehidupan kita.”14 Pertolongan Allah yang diharapkan kedatangannya untuk mengeluarkan manusia dari permasalahan diistilahkan JT dengan nusrah al-ghaibiyah. Pertolongan Allah yang datang secara ghaibiyah itu akan menggantikan pemberlakuan hukum alam zhahir (hukum sebab-akibat) kepada pemberlakuan hukum alam ghaib (niz̩ ām al-ghaibiyah). Oleh JT situasi itu, sebagaimana akan dijelaskan nanti, dinamakan dengan asbab fitrah.15 Api yang mestinya membakar berubah menjadi tidak membakar dan menyelamatkan, bahkan memberikan kesejahteraan. Air yang mestinya menenggelamkan berubah menjadi tidak menenggelamkan dan menyelamatkan.16 Kisah yang kemudian mereka favoritkan dan diulang-ulang secara terus-menerus dalam setiap penyampaian dakwah (bayan) adalah mengenai Nabi

14Bayan Maghrib, disampaikan pada malam Ijtima’ (malam Jum’at) di Markaz Propinsi di Ambon, pada tanggal 15 September 2016, jam 17:15 WIT. 15An Nadhr, Khuruj Fi Sabilillah, 104, 16Dalam sejarah kebudayaan Islam klasik, persoalan ini pun telah menjadi perhatian utama para filosof muslim. Perdebatan sengit antara Al-Ghazali dan Ibn Rusyd, menunjukan bahwa persoalan hukum sebab-akibat di alam termasuk kepada ajarran fundamental Islam. Al-Ghazali, berdasarkan pada Kekuasaan Mutlak Allah tidak mengakui adanya hukum sebab-akibat di alam. Menurutnya, Allah bertindak langsung terhadap sesuatu pada setiap peristiwa. Allah yang menciptakan api dan Allah pula yang menciptakan sifat panas atau membakar. Penciptaan api merupakan peristiwa tersendiri. Begitu pun, penciptaan sifat panas tersendiri, tidak harus dengan api. Bila dikehendaki-Nya akan dicabut sifat membakar, sehingga api tidak bisa lagi membakar. Menurut Ibn Rusyd, hukum sebab-sebab akibat merupakan ketetapan yang berlaku di alam. Segala sesuatu yang terjadi alam tidak bisa dilepas pisahkan dari hukum itu. Jadi, kalau sudah ditetapkan api itu membakar, selamanya api membakar. Kalau suatu ketika api tidak membakar, maka pasti ada perubahan pada sebab. Dengan perubahan pada sebab berubah pula akibat. Lihat, Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1987). 92

Ibrahim as. dan Nabi Musa as.17 Menurut versi yang mereka sering sampaikan bahwa Nabi Ibrahim sedari kecil dididik langsung oleh Allah SWT. mengenai perkara iman, sehingga karenanya keyakinannya menjadi sangat kuat. Dia sudah tidak lagi terkesan oleh suasana dan keadaan. Dalam kondisi yang demikian, dia datang dan menjumpai raja Namruj dan rakyatnya, mempersalahkan keyakinan mereka dan mengajak mereka untuk kembali kepada agama tauhid. Ajakan Nabi Ibrahim as. justru menimbulkan kemarahan Namruz dan rakyatnya. Akibatnya, Nabi Ibrahim dihukum dengan cara dicemplungkan ke dalam api. Terpanggang dalam api yang bergejolak, sedikit pun tidak menjadikan dia terkesan dengan situasi tersebut. Dia malah mengonsentrasikan perhatian sepenuhnya kepada Allah, tidak berpaling sedikit pun hatinya kepada makhluk untuk meminta pertolongan. Ketika datang tawaran pertolongan dari malaikat hujan dan juga malaikat angin, dia hanya berkata ‘cukup bagiku Allah, kalian makhluk dan aku tidak membutuhkan makhluk.’ Sampai pun pada makhluk yang paling kecil seperti burung pipit yang turut pula menawarkan jasanya, walaupun hanya dengan setitik air di paruhnya. Nabi Ibrahim pun menjawab ‘cukup bagiku Allah, engkau makhluk dan aku tidak membutuhkan makhluk. Karena kebergantungan yang kuat kepada Allah, api dapat ditundukan dan berbalik menjadi memberikan pelayanan kepada Ibrahim as. Sehelai rambutnya pun tidak terbakar. Api yang biasanya membakar, berubah menjadi berkhidmat dan melayani Nabi Ibrahim. Justru, di dalam api Allah memberikan kejayaan kepada Nabi Ibrahim. Sementara bagi Namruz, walaupun di tengah kemegahan dunia, dihancurkan Allah. Begitu pula dengan istrinya, Siti Hajar dan anaknya Ismail, dilindungi oleh Allah SWT. dari ganasnya padang pasir yang kering lagi tandus. Dari tempat yang tidak ada tanda-tanda kehidupan itu Allah kuasa mengeluarkan yang namanya air zam-zam untuk keperluan hidup mereka. Padang pasir yang ganas justru berubah menjadi memberikan kesejahteraan. Kisah berikutnya, yang menjadi rujukan pembicaraan mereka adalah mengenai Nabi Musa as. Ia adalah seorang yang semula sangat yakin akan manfaat tongkatnya. Allah lalu memanggilnya ke bukit Thursina untuk memberikan pendidikan iman. Setelah memperkenalkan diri-Nya, Allah Yang Maha Tahu bertanya yang sasarannya adalah kepada hati Nabi Musa, “Apa yang ada di tanganmu?” Nabi Musa menjawab, “Tongkat ya Allah. Dengan tongkat ini aku pergunakan untuk memikul barang, menggiring domba-domba keluar dan pulang ke kandang, mengambil dedaunan yang tinggi dan kalau sudah lelah bekerja boleh juga aku jadikan sebagai tempat bersandar.” Tampak, Allah mengajukan satu pertanyaan dan Nabi Musa malah memberi empat jawaban. Lalu Allah berfirman, “Lemparkan tongkat itu,” begitu Nabi Musa as. melemparkannya seketika itu juga tongkatnya berubah menjadi ular besar yang seolah-olah siap menelan Nabi Musa as. Ia menjadi ketakutan dan bersiap-siap untuk lari. Tetapi Allah justru memerintahkan Musa as untuk menangkap ular itu. Walaupun dalam keadaan merasa sangat takut, tetapi karena adanya ketaatan yang tinggi kepada Allah dipegang juga ular itu. Seketika itu

17Kisah-kisah yang sering dikemukakan JT. kebanyakan tak dapat dilacak sumbernya. Ada kemungkinan kisah-kisah itu dirubah menurut versi mereka sepanjang mendukung gagasan mereka. 93 juga ular berubah menjadi tongkat lagi. Dari situ Nabi Musa menjadi sangat yakin bahwa tongkat yang selama ini memberi manfaat boleh saja Allah merubahnya menjadi sesuatu yang mendatangkan mudharat, yaitu dengan merubahnya menjadi ular. Sebaliknya, ular yang diyakininya memberikan mudharat Allah boleh merubahnya juga, sehingga menjadi sesuatu yang mendatangkan manfaat, yaitu tongkat. Ini menunjukkan bahwa manfaat dan mudarat datang dari Allah, bukan tongkat atau pun ular. Setelah mendapatkan keyakinan yang sebenarnya, fungsi tongkatnya, bahkan dilipatgandakan oleh Allah SWT. melampaui fungsi-fungsinya semula: bila dipukul ke laut, laut terbelah dan membentuk jalan yang luas, dipukul ke batu keluar 12 mata air untuk 12 suku Bani Israil, dan bila dilemparkan ke hadapan para tukang sihir Fir’aun berubah menjadi ular yang sangat besar dan menelan semua ular para tukang sihirnya. JT yakin bahwa Allah berbuat apa saja menurut kehendak-Nya.”18 Sebaliknya, kaum Saba yang telah dianugerahi oleh Allah kemakmuran yang luar biasa berupa perkebunan yang subur. Tetapi karena ketidaktaatan mereka kepada Allah, kemakmuran dicabut dan digantikan dengan bencana. Demikian pula kaum Tsamud, yang telah berhasil membangun peradaban besar. Gunung-gunung batu dipahat untuk dibentuk menjadi hunian-hunian yang nyaman dan aman. Tetapi karena ketidak taatan mereka juga, akhirnya peradaban besar yang telah dibangun dengan susah payah itu dihancurkan dengan seketika bersama-sama dengan mereka semuanya. JT sangat yakin bahwa kondisi-kondisi yang dialami manusia sampai dengan saat ini ditentukan oleh Allah berdasarkan pada perbuatan manusia. Perbuatan itu sendiri ditentukan oleh keadaan hatinya. Bila hatinya baik perbuatan manusia pun

18Hasil wawancara dengan Taib Kelian, Penanggung Jawab Mahalla Sin Alauddin Kebun Cengkih, pada tanggal 14 Juli 2014. Kisah ini pun termuat di dalam QS Taha (20): 9- 21. Terjemahan secara agak bebas, sebagai berikut: “Apakah telah sampai kepadamu, wahai Muhammad, kisah Musa? Ketika ia melihat api, lalu berkatalah ia kepada keluarganya: ‘Tinggalah kamu di sini, sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit daripadanya kepadamu atau aku akan mendapat petunjuk di tempat api itu.’ Maka, ketika didatangi tempat itu tiba-tiba ia dipanggil: “Hai Musa, sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu, sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa. Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan yang hak selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku. Sesungguhnya hari kiamat itu akan datang. Aku merahasiakan waktunya supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan. Maka, sekali-kali janganlah kamu dipalingkan daripadanya oleh orang-orang yang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu jadi binasa.” “Apakah itu yang di tangan kananmu, wahai Musa?” Berkata Musa: “Ini adalah tongkatku, aku bertelekan kepadanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.” Allah berfirman: “Lemparkan ia, hai Musa!” Lalu dilemparkanlah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula.” 94 akan menjadi baik dan alam pun ikut menjadi baik. Bila hati manusia rusak perbuatan manusia pun menjadi rusak dan alam pun ikut menjadi rusak. Dengan cara pandang seperti itu JT kemudian lebih memfokuskan dakwah mereka kepada persoalan hati, ketimbang persoalan pembangunan dan perbaikan lahiriah sarana- sarana fisik. Dalam dakwah atau bayan-bayan mereka pembahasan tentang kekuasaan Allah dan status alam selalu menjadi perhatian pertama sebelum melanjutkan ke pokok-pokok kepercayaan yang lain. Perhatian kepada tema pokok keimanan (kekuasaan Allah) merupakan bentuk penegasan tentang misi besar perjuangan mereka: membumikan kepercayaan universal dalam rangka menegakkan perdamaian universal.

C. KEBESARAN ALLAH Pada pembahasan tentang Kekuasaan Allah, Allah dilihat sebagai realitas transenden yang nampak di alam dan menentukan status alam. Semua manusia, tanpa kecuali pada berbagai agama atau budaya, mengakuinya sebagai realitas obyektif. Pada Kebesaran Allah, Allah yang sama muncul di dalam hati dan menjadi kepercayaan seseorang. Persoalan pada orang kafir adalah, walaupun mereka menerima aspek kekuasaan Allah sebagai suatu kenyataan obyektif di alam, tetapi itu tidak lantas membuat mereka mau menerima kebesaran Allah sebagai kepercayaan. Mereka masih mencampuradukkan kepercayaan mereka, di samping kepada Allah juga kepada banyak hal lain. Itulah sebabnya, Al-Qur’an mempertanyakan sikap mereka itu dengan pertanyaan-pertanyaan, seperti: “Bagaimana mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)”, “Maka, mengapa mereka bisa dipalingkan (dari kebenaran)”. atau dengan pernyataan “Tetapi kebanyakan mereka tidak mengerti”.19 Dalam menghadapi mereka, JT tidak langsung mendakwahkan kebesaran Allah. Dalam beberapa kali perjumpaan dengan mereka, JT hanya berkata: “Perdalam lagi pengetahuanmu mengenai kebenaran.” Hal itu dimaksudkan agar tidak sampai menimbulkan resistance di antara mereka. “Saat ini,” kata mereka, “Yang paling utama adalah dakwah kita kepada umat Islam. Kalau sudah baik ini umat, maka umat-umat yang lain akan tertarik dengan sendirinya kepada Islam.” Kebesaran, sesuai dengan arti kamusnya, adalah sifat (keadaan) besar.20 Sedangkan yang dimaksud oleh JT adalah sifat membesarkan sesuatu kesan yang masuk di dalam hati. Kesan itu bersumber dari suatu realitas yang ada di luar diri manusia. Melalui proses internalisasi kesan itu masuk ke dalam hati dan ditransformasikan menjadi kepercayaan. Hasil dari transformasi itu, kemudian membentuk kepercayaan seseorang, bahwa suatu realitas dapat memberikan manfaat atau pun mudharat bagi diri dan kehidupannya. Bila seseorang telah meyakini kebesaran Allah, maka keyakinannya itu dengan sendirinya akan mempengaruhinya dalam berpikir, berperasaan, berbuat dan menentukan persepsi dia terhadap realitas

19Untuk penjelasan lebih jauh, lihat tafsir Ibn Kasir, tentang ayat QS. Al-Zukhruf [43]: 87, dan QS. Al-‘Ankabut [29]:61. 20Lihat pengertian kebesaran dalam https://kbbi.web.id > kebesaran. 95 yang ada di hadapannya. Bisa saja seseorang membesarkan diri,21 bapak, anak, saudara, istri, keluarga, harta kekayaan, perdagangan, rumah, atau apa saja yang dia anggap bisa memberikan manfaat kepada kehidupannya. Keyakinan kepada kebesaran sesuatu selain Allah akan melencengkan perjuangan yang semestinya kepada Allah dan rasul-Nya, menjadi kepada yang selain-Nya.22 Untuk mengetahui dengan lebih jelas bagaimana JT memahami pengertian kebesaran, Cecep Firdaus menjelaskannya, sebagai berikut: “Manusia selalu berkata bahwa rumah ini milik saya, mobil ini milik saya, anak ini milik saya, pekerjaan ini milik saya, dan seterusnya. Tetapi, ketika diajak untuk keluar berdakwah, dia beralasan saya punya rumah, mobil, anak, istri, pekerjaan, bagaimana saya bisa keluar untuk tinggalkan mereka. Kalau kamu merasa kamu yang punya, mestinya kamu yang menguasai mereka. Kamu bisa pergi saja berjuang. Bukannya mereka yang menguasai kamu, yang menjadikan kamu tidak bisa pergi...” Makna kebesaran juga kepada sesuatu yang menimbulkan rasa takut, karena dianggap mendatangkan mudharat kepada diri dan kehidupannya. Bencana alam, penyakit, senjata, racun, musuh, orang jahat, dan sebagainya biasa menimbulkan rasa takut dalam diri seseorang. Dengan demikian, yang dimaksud dengan kebesaran Allah adalah sifat membesarkan Allah di dalam hati, sehingga tidak ada lagi kesan kebesaran apa pun kepada makhluk atau dunia. Hanya Allah Yang Besar, yang lain kecil, bahkan tidak ada. Dasar pikiran mereka itu terkandung di dalam kalimat tauhid lā ilāha illa Allāh. Kalimat Suci yang menjadi dasar utama ajaran Islam ini diartikan sebagai tiada tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya kecuali Allah. Di samping arti, JT juga menetapkan tujuan yang harus dicapai oleh seseorang melalui kalimat itu, yaitu mengeluarkan segala bentuk keyakinan akan kebesaran makhluk dari dalam hati dan memasukkan hanya keyakinan akan kebesaran Allah ke dalam hati.23 Proses (mengeluarkan-memasukkan) keyakinan ini merupakan pokok kerja dakwah JT dalam upaya membangun perdamaian, yang pembahasannya akan disampaikan pada bab berikutnya.

21Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-Nya, dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya? Maka siapakah yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat)? Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (QS. Al-Jās̩ iyah [45]: 23). Kementerian Agama RI, Al- Qur’an Dan Terjemahnya, 2010, h. 501. 22Katakanlah, “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri- istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. QS. Al-Tawbah (9): 24. Lihat, Kementerian Agama RI, Al-Qur’anul Karim Dan Terjemahnya, 2010. 23Maulana Muhammad Manshur, Keutamaan Masturah, Usaha Dakwah di Kalangan Wanita Sesuai Contoh Rasul, Shahabat & Shahabiyah (Bandung: Pustaka Ramdhan, 2010), 30. 96

Dengan Kebesaran Allah, JT tidak lantas bermaksud menghilangkan semua tanggung jawab seseorang kepada anak, keluarga, harta atau kekuasaan yang dimilikinya. Tetapi hendaknya segala sesuatu itu dikuasai dan diatur tanpa harus merasa bergantung kepadanya. “Hiduplah di dunia seperti seorang tukang parkir, “demikian mereka sering mengatakan, “Walaupun menguasai banyak kenderaan, tetapi sama sekali merasa tidak memiliki. Apabila masuk kenderaan satu, dia bertugas mengaturnya, begitu terus sampai parkiran itu penuh dengan kendaraan. Hatinya tetap biasa saja. Tidak bergembira sedikitpun dengan banyaknya kenderaan yang berada dalam penguasaannya. Begitu pula ketika kendaraan satu demi satu dikeluarkan dari parkiran sampai habis dia pun tidak harus merasa kehilangan. Sikapnya, biasa saja, tidak stress karena kepergian mobil-mobil itu.” Untuk menghilangkan kesan akan kebesaran makhluk di hati JT sampai menghilangkan kesan tentang sifat atau kualitas yang dimiliki makhluk atau benda. Hal itu seperti yang dijelaskan oleh Mahmud, seorang senior JT di Ambon. Dalam bayannya, Mahmud menjelaskan: Allah yang menciptakan air, kemudian Allah letakkan manfaat dan mudharat pada air. Allah letakkan manfaat pada air, sehingga dengan meminum air dahaga kita hilang, dengan air para ibu mengolah makanan, dengan air tumbuhan dihidupkan, dengan air pula kapal bisa berlayar. Tetapi Allah juga meletakkan mudharat, sehingga air bisa mendatangkan musibah bagi manusia. Allah turunkan hujan sebagai rahmat bagi makhluk-Nya, tetapi dengan hujan pula Allah adakan banjir dan menghancurkan sebuah negeri. Allah menciptakan udara untuk kehidupan makhluk- makhluk-Nya. Tetapi dengan udara yang bergerak kencang kehidupan makhluk dihancurkan. Allah ciptakan tanah yang darinya manusia dapat mengambil banyak manfaat. Tetapi dengan tanah sebuah peradaban besar dihancurkan seketika.” Dalam muzakarahnya, Ridwan Al-Bram, menjelaskan pokok-pokok Kekuasaan Allah, sebagai berikut: “Untuk mengadakan sesuatu kadangkala Allah menggunakan Asbab, kadangkala tidak perlu kepada asbab. Allah menyembuhkan seseorang dari sakitnya, bisa dengan obat bisa pula tanpa obat. Sementara obat untuk bisa menyembuhkan berhajat kepada Allah. Lā ilāha illā Allāh.24 Apabila Allah menghendaki untuk membakar sesuatu, Allah boleh gunakan api, boleh juga dengan tanpa api. Sebaliknya, api membakar berhajat kepada Allah, lā ilāha illā Allāh.”25 Dari pembahasan tentang kekuasaan Allah, status alam semesta dan segala hukum yang ada padanya nampak sebagai berada dalam ketergantungan sepenuhnya kepada Allah. Tetapi kemudian manusia pun mendapat kemuliaan dapat mengambil bagian dalam perubahan statusnya. Setiap saat dalam perubahan seperti yang dikehendaki Allah, bergantung kepada amalan manusia. Kesan-kesan manfaat dan mudharat yang terdapat padanya bukan dari dirinya tetapi dari Allah. Sementara pembahasan tentang kebesaran Allah menjadikan manusia harus melepaskan ego

24Hasil wawancara dengan Mahmud, penanggung Jawab As-Syifa’ Desa Batumerah, pada tanggal 1 Agustus 2014, pada jam 10.16 WIT. 25Hasil wawancara dengan Ridwan Al-Bram, Penanggung Jawab Mahallah Baiturrahman Desa Batumerah, pada tanggal 10 Juni 2014, pada jam 10.16 WIT. 97 rendahnya dan menjadikan kehendak Allah berkuasa dalam dirinya. Dia menjadi orang yang yakin bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah dasar kuasa dan kehendak Allah. Dengan doktrin teologi perdamaian, JT sebenarnya telah menempatkan dirinya sebagai penghubung antara mereka dengan Allah di satu pihak dan antar mereka dengan keseluruhan umat Islam di pihak lain. Dengan kata lain, melalui kepercayaan universal JT mengajak manusia kepada perubahan-perubahan dengan tetap menjaga perdamaian. Ajakan kepada kepercayaan universal ini sekaligus mengakhiri kepercayaan-kepercayaan sektarian yang dikembangkan oleh kelompok- kelompok dalam Islam. Dari penjelasan tentang kebesaran Allah, seperti yang dipahamai JT di atas, tidak lantas menjadikan doktrin ketuhanan mereka menjadi berwarna kelompok. Aspek obyektifitas-transenndensi Tuhan, seperti yang dicirikan Hassan Hanafi ―non-antropomorfis, inpersonal, rasional, universal, non-teologis, non-sektarian, dan sebagainya― tetap dapat dipertahankan.26 Dalam banyak kali kesempatan, masih ada juga anggota JT yang lain, gagal memahami penjelasan ilmiah mengenai kebesaran Allah. Sering sekali, semangat keimanan yang menggebu-gebu menggantikan peran akal sehat, dan dengan demikian beberapa diantara mereka terbukti memahami fenomena alam secara sempit. Sebagai contoh kasus, pada tanggal 26 September 2019, Ambon mengalami kejadian gempa bumi sebesar 6,8 SR. Korban yang timbul berupa kematian, kehancuran harta, rumah dan kampung tempat tinggal, cukup banyak. Beberapa orang mencoba menjelaskan secara ilmiah bagaiman proses terjadi gempa. Tetapi, yang lain kemudian menanggapi dengan pernyataan, “Gempa bumi dan musibah lainnya itu, adalah bentuk teguran dari Allah, itu murni datangnya dari Allah sebagai ujian bagi kita, bukan karena lempengan atau patahan bumi yang bergerak.” Sikap yang demikian, bisa terjadi karena lemah semangat untuk mengembangkan wawasan dengan cara membaca atau belajar lagi. Banyak dari mereka lebih disibukkan dengan dakwah ketimbang meningkatkan pengetahuan. Padahal keimanan dalam Islam tidak sebatas yakin begitu saja, tetapi perlu pada pengembangan wawasan kelimuan, agar kualitas iman lebih bisa ditingkatkan lagi ke tingkatan yang lebih tinggi.

D. MUHAMMAD RASULULLAH Pembahasan tentang Muhammad Rasulullah termasuk ke dalam dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pembahasan tentang ketuhanan Allah. Pada pembahasan tentang kekuasaan Allah, Allah ditegaskan sebagai Realitas obyektif yang menampakkan kekuasaan-Nya secara absolut di alam. Status alam, kemudian menjadi tertentukan sepenuhnya oleh kekuasaan-Nya. Alam berada pada statusnya sebagai locus kekuasaan Allah. Sehingga kalimat lā ilāha illā Allāh dimaknai sebagai tiada satu pun kekuasaan di alam melainkan kekuasaan Allah semata. Sejalan dengan pengertian kekuasaan Allah seperti itu, seseorang dituntut untuk meyakini kebesaran Allah, yaitu dengan cara mengeluarkan segala bentuk

26Hassan Hanafi, The Revolution of the Transcendence, dalam, “Islam in the Modern World II: Tradition, Revolution and Culture”, (Cairo: Dar Kebaa Bookshop, 1995), h. 100. 98 keyakinan kepada dunia/makhluk dari dalam hatinya dan memasukkan ke dalam hati keyakinan hanya kepada Allah. Pada pembahasan tentang kekuasaan Allah, Allah nampak sebagai Tuhan yang obyektif dan transenden. Sedangkan, pada kebesaran Allah, Allah yang sama muncul sebagai imanen dan karenanya juga subyektif. Adapun pada Muhammad Rasūl Allāh, sebagaimana akan dijelaskan, bermakna bahwa keyakinan seseorang yang sempurna kepada Allah akan melahirkan perbuatan-perbuatan yang tiada lain merupakan perwujudan perbuatan Allah. Allah menampakkan perbuatan-Nya secara sempurna dalam diri seorang hamba yang sempurna keyakinannya kepada Allah. Perbuatan-perbuatan hamba itu, dapat dilihat sepenuhnya sebagai perbuatan- perbuatan Allah. Dalam hal ini, hamba yang dimaksud adalah Nabi Muhammad Saw., dan perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan Nabi Muhammad Saw. yang kemudian mengambil bentuk sebagai Sunnah al-Nabi/al-Rasūl.27 Sejalan dengan yang dijelaskan di atas, JT memahami bahwa semua yang berkaitan dengan Muhammad Rasūlullāh, baik berupa perkataan, perbuatan dan sikapnya merupakan cara atau jalan satu-satunya untuk menuju dan bertemu Allah.28 Menurut JT, sebagaimana dalam kalimat lā ilāha illā Allāh terdapat aspek penolakan (nāfi) terhadap tuhan-tuhan palsu dan ada aspek penegasan (ithbat) kepada Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang harus disembah, maka dalam Muhammad Rasul Allāh pun terdapat aspek nāfi-ithbat. Pada aspek nāfi seorang muslim menolak cara- cara atau jalan apa pun yang semula dianggap dapat membawa dia untuk kembali kepada Allah. Sedangkan, pada aspek ithbat seorang muslim yakin bahwa hanya dengan mengikuti cara yang dicontohkan Nabi Muhammad Saw. seseorang dipastikan akan bertemu Allah.29 JT meyakini bahwa totalitas penyerahan diri kepada Allah dimaknai sebagai penyerahan diri secara total kepada-Nya melalui Sunnah Nabi Saw. Seorang anggota JT bernama Sanusi Abdurrahman pernah diminta istrinya untuk mencukur jenggot. Menanggapi permintaan istrinya, Sanusi berkata: “Lebih baik potong leher daripada potong jenggot.”

27Bandingkan dengan penjelasan Frithjof Schuon mengenai dua kalimat syahadat: “Persaksian Islam mengenai tidak ada Tuhan kecuali Allah, secara metafisis, mempunyai makna obyektif yaitu adanya kejelasan, sekaligus juga pemisahan, antara yang Nyata dan yang khayal atau antara Yang Mutlak dan yang relatif. Makna subyektifnya adalah perbedaan ruhaniah antara yang lahir dan keduniawian dengan Yang Batin dan Ilahiah. Dalam hal ini Tuhan yang obyektif dan transenden muncul sebagai imanen dan karenanya juga subyektif. Tetapi, dalam pengertian transpersonal, subyek tersebut bukan ego manusia melainkan akal murni, dengan ego yang telah disucikan tidak lebih dari seperti jalan masuk. Agar menyeluruh, doktrin itu masih memerlukan suatu dimensi penyatu, yang diungkapkan dalam Islam melalui Persaksian Kedua bahwa “Yang terpuji (Muhammad) adalah Utusan Tuhan (Yang Esa)” mengandung arti bahwa yang relatif, selama ia mewujudkan Yang Mutlak, tidak lain adalah Yang Mutlak itu sendiri; dan menurut penerapan subyektif, yang lahir, dunia, tidak lain dari Yang Batin, yaitu Diri. Frithjof Schuon, Islam and The Perennial Philosophy (World of Islam Festival Publishing, tth), h. 44. 28 Maulana Muhammad Manshur, Keutamaan Masturah, 31 29Wawancara dengan Mahmud, Penanggung Jawab Dakwah, Khalaqah Sirimau II, pada tanggal 23 Jui 2016. 99

Pemahaman terhadap maksud yang demikian itu merupakan konsistensi dari pengakuan kepada Allah sebagai satu-satunya sesembahan (lā ilāha illā Allāh). Dalam pengakuan tersebut, seorang hamba mengeluarkan keyakinan akan kebesaran makhluk dari hatinya dan memasukkan keyakinan akan kebesaran Allah ke dalam hati. Gambaran yang masih abstrak itu kemudian dikongkritkan dalam Muhammad Rasulullah. Sekarang, seluruh ekspresi keyakinannya tersalurkan melalui bentuk Sunnah Muhammad Rasulullah, sampai pada tingkat dimana kepribadian Nabi Saw. menggantikan semuanya secara total. JT merinci totalitas Sunnah Nabi Saw. yang harus wujud dalam diri setiap orang menjadi tiga bentuk. Pertama, sunnah shurah, yaitu bentuk zhahir atau tampilan luar Nabi Saw. seperti memanjangkan jenggot dan merapikan kumis, selalu menutup kepala dengan kopiah yang tidak hanya di dalam shalat tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari, kemana-mana selalu berpakaian jubah. Bahkan, ketika sudah memasuki usia 40 tahun, berjalan dengan memegang tongkat. Kepada orang yang belum menghidupkan Sunnah shurah, seorang JT memandangnya dengan kata-kata: “Tidak ada wajah Nabi di dalam dirimu.” Kedua, sunnah shirah yaitu perilaku hidup Nabi Muhammad Saw. yang harus dijalani setiap muslim, sehingga seluruh aktifitas hidup sehari-hari, mulai dari ibadah sampai pada persoalan mengurus mu’amalah dan mu’asyarah, dari keluar sampai masuk kembali, dari bangun tidur sampai tidur kembali, makan, minum, dan sebagainya adalah dalam rangka untuk mewujudkan Sunnah dalam diri. Ketiga, Sunnah sarirah, yaitu pikir dan keprihatinan serta perjuangan selama hidup Nabi Muhammad Saw. untuk membawa manusia kepada kebenaran agar terselamatkan di dunia dan akhirat. Sunnah yang ketiga inilah yang disebut dengan dakwah yang menjadi tema sentral pembahasan disertasi ini. Dari penjelasan tadi, Sunnah Nabi Saw. bagi JT adalah hidup, jalan hidup, dan tujuan hidup. Sehingga tujuan penciptaan jin dan manusia oleh Allah, sebagaimana firman- Nya, yaitu: Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada- Ku (QS. Al-D̩ āriyah [51]: 56)30 dipahami sebagai tujuan untuk menegakkan sunnah dalam sepanjang hidup. Penjelasan tentang kekuasaan Allah, status alam, kebesaran Allah dan keimanan kepada Muhammad Rasul Allāh oleh JT dirumuskan kembali dalam kerangka Sunnah, yang kemudian melahirkan pokok-pokok kepercayaan, sebagai berikut:

1. Al-Asbāb Al-D̩ ulumah. Dari kepercayaan kepada kekuasaan Allah yang kemudian menentukan status alam JT percaya bahwa semua usaha yang berkaitan dengan urusan dunia disebut dengan al-asbāb al-d̩ ulumah. Maksudnya, usaha yang tak pasti untuk mendapatkan hasilnya. Perdagangan, pertanian, melaksanakan sebuah proyek pembangunan dan sebagainya, tidak selamanya mendatangkan keuntungan atau pun kerugian. Untung, menang, rugi, musibah, bencana, dan sebagainya sepenuhnya ditentukan oleh Allah. Di atas ketidak pastian itu, JT meletakkan tujuan yang pasti, yang diyakini akan mendatangkan keuntungan yang sebenarnya. Berdagang, bertani, dan sebagainya

30Kementerian Agama RI, Al-Qur’anul Karim Dan Terjemahnya, 2010, 523. 100 hanyalah sarana untuk menghidupkan Sunnah Nabi Saw. Sehingga, seorang yang berdagang bukan lagi bermaksud mencari keuntungan atau laba materi semata. Tetapi, yang lebih dipentingkan adalah menghidupkan Sunnah di dalam perdagangannya. Dia yakin bahwa pahala akhirat lebih besar nilainya dari sekedar keuntungan dunia. JT selalu mengulang-ulang hadis yang mana Nabi Muhammad Saw, bersabda: “Pedagang yang jujur dan amanah akan bersama para nabi, shiddiqin, dan syuhada.” (HR. Al-Tirmizi).

2. Al-Asbāb Al-Fit̩ rah, Al-Asbāb Al-Fit̩ rah ialah ketetapan Allah yang terdapat pada alam ini yang juga diistilahkan dengan Sunnah Allah. Dalam hal ini Allah SWT. berkuasa melakukan perubahan kembali terhadap apa yang telah ditetapkan-Nya. Api ditetapkan memiliki sifat panas dan membakar. Saat yang lain Allah boleh saja merubahnya sampai api tidak lagi memiliki kemampuan memanaskan atau membakar. Air ditetapkan memiliki sifat menenggelamkan. Dengan sekehendaknya, Allah merubahnya, sehingga air tidak lagi menenggelamkan. Status alam yang demikian itu, oleh JT digunakan sebagai momen penting untuk menerapkan secara totalitas Sunnah Nabi Saw. di dalam diri. Hal itu, berdampak besar kepada cara melihat, memahami, merasa dan bertindak, sedemikian rupa sehingga keegoan pribadi dalam diri seseorang tergantikan oleh ego Nabi Saw. Dia memulai cara berbicara, berpikir, merasa, bertindak, dan berpersepsi, bahkan melihat pun berdasarkan kerangka Sunnah yang terstruktur dalam pribadi seorang muslim. Seorang JT sering mengulang-ulang perkataan, yang menurut mereka berasal dari Abu Bakar Shiddiq r.a.: “Seandainya Nabi katakan bahwa tembok ini hitam, saya pun percaya bahwa tembok ini hitam.” Dalam kasus lain, Nabi Muhammad Saw. menunjuk jauh ke pinggiran kota Madinah, mengenai seorang perempuan yang sedang berjalan memasuki kota itu. Menurut penegasan Nabi Muhammad Saw. perempuan itu ada membawa sepucuk surat yang sifatnya sangat rahasia. Beliau memerintah Ali bin Abi Thalib r.a. untuk menyita surat itu. Ali ra. pun pergi mencari perempuan itu dan menemukannya di pinggiran kota, tepat seperti yang dikatakan Nabi Muhammad Saw. kepadanya. “Serahkan surat yang kau bawa itu kepadaku.” Perempuan itu mengelak. Tentu saja ‘Ali ra. tidak peduli dengan ucapan perempuan itu. Dia lebih percaya ucapan Nabi Muhammad Saw. Ali lalu mengancam akan melucuti pakaian perempuan itu jika dia terus mengelak. Takut dengan ancaman, dari dalam gulungan rambutnya, perempuan itu mengeluarkan sepucuk surat dan menyerahkannya kepada Ali ra. Demikianlah, cara para sahabat mengimani Nabi Muhammad Saw. Mereka menggantikan keegoan pribadi mereka dengan keegoan Muhammad Saw. Dari penjelasan di atas, tampak bahwa kekuasaan Allah, kebesaran Allah dan status alam mendapatkan bentuknya dalam diri seorang muslim melalui kerangka Muhammad Saw. Kerangka itu terstruktur dalam kepribadiannya dan berpengaruh dalam menentukan status alam. Kisah yang berkaitan dengan hal ini adalah mengenai Khalifah ‘Umar bin Khattab ra. Setalah pasukan yang dikomandai Amr bin ‘Ash menaklukkan Mesir, terungkaplah kebiasaan aneh penduduk setempat. Berkaitan dengan menyusutnya air sungai Nil dalam waktu-waktu tertentu pada setiap tahun, mereka biasa melakukan ritual upacara dengan cara mengorbankan 101 seorang gadis ke dalam sungai. Ketika dilaporkan, khalifah ‘Umar ra. segera menulis sepucuk surat yang ditujukan kepada Sungai Nil, memerintahkannya agar tidak lagi menyusut. Setelah surat khalifah itu dilemparkan ke dalam sungai, untuk selanjutnya sungai tidak lagi menyusut. Kisah lain lagi, masih mengenai khalifah ‘Umar ra., adalah ketika ia mengatasi banjir lahar panas gunung api yang meletus. Sambil menyerahkan sorbannya kepada Tamim Dari ra. Khalifah memerintahkannya untuk menghalau lahar supaya kembali masuk ke dalam kawah.

3. Al-Asbāb Al-Mutlaq, Asbab yang ketiga ini ialah ketetapan Allah yang bersifat pasti berupa akibat yang berlaku selamanya. Allah SWT. telah menetapkan keselamatan dan kebahagiaan yang berlaku selamanya di surga bagi mereka yang beriman dan beramal shaleh. Sebaliknya, bagi mereka yang ingkar terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya, ditetapkan bagi mereka kesengsaraan selamanya di akhirat (neraka). Ketetapan Allah yang bersifat pasti ini ditanggapi dengan menghidupkan Sunnah Nabi Saw. dalam sepanjang waktu hidupnya. JT yakin Sunnah Nabi Saw., dari yang terkecil sampai pada yang besar, pun tidak akan berubah, walaupun situasi sudah berubah. Mereka sering bersenandung, “Satu Sunnah Nabi Saw. yang terkecil sekalipun, merupakan jalan ke surga.” Dalam kaitan ini mereka sering mengisahkan sebuah peristiwa, di mana Nabi Muhammad Saw. bersama para sahabatnya sedang dalam perjalanan bersama. Di depan mereka, ada sebatang pohon yang salah satu cabangnya menjuntai ke bawah, sangat rendah. Melewati di bawah cabang itu Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya yang berbadan tinggi merunduk agar tidak menanduk cabang itu. Tetapi, ada seseorang sahabat yang berbadan pendek, ikut merunduk pula. Padahal cabang itu tidak sampai mengganggunya kalaupun dia tidak merunduk. Tubuh sahabat itu sudah cukup pendek. Melihat tindakannya itu, sahabat yang lain menyelutuk, “Mengapa kamu merunduk Juga.” Sahabat itu menjawab, “Aku merunduk bukan karena cabang itu, tetapi kulihat Nabi Saw. merunduk, saya pun merunduk. Menariknya, jauh setelah Nabi Saw. wafat dan pohon itu pun sudah tidak ada, si sahabat tadi kalau lewat di situ masih juga merunduk. Kata dia, “Dulu di sini, Nabi Saw. pernah merunduk, maka sekarang pun aku merunduk.” Menurut JT, sahabat percaya bahwa merunduknya Nabi Saw. itu adalah jalan menuju surga. Bukan persoalan cabang pohon. Begitu pun menggosok gigi dengan miswak juga merupakan cara Nabi Saw. menunjukkan jalan untuk masuk surga. Padahal saat ini sudah ada alat gosok gigi yang bagus. Bagi JT mengamalkan Islam tidak hanya berpegang pada nilai-nilai saja, tetapi bentuk-bentuk seperti yang diperlihatkan Nabi Muhammad Saw. juga harus diikuti. Semua yang diperlihatkannya diyakini merupakan jalan, yang apabila diikuti akan membawa sampai ke tujuan. Melepaskan bentuk dan mengambil nilai saja, berarti mengganti bentuk Sunnah dengan bentuk lain. Padahal, maksud memegang Sunnah adalah untuk mengekang kendali nafsu yang cenderung membawa manusia keluar dari centrumnya (pusat spiritualnya). Berkaitan dengan ini, Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Tidak sempurna iman seseorang sehingga ia menyandarkan hawa nafsunya kepada agama yang saya bawa.” 102

JT membagi sunnah menjadi dua, Yaitu Sunnah ‘Ubudiyah dan Sunnah Yaumiyah. Sunnah yang pertama berkaitan dengan praktek pelaksanaan ibadah. Ini masuk dalam wilayah khilafiyah. Pada sunnah ini JT mengembalikan setiap orang dengan kebebasan sepenuhnya untuk mengamalkan agama sesuai mazhabnya. Di sinilah tampak keragaman dalam cara beribadah. Pada masjid-masjid yang telah berkembang menjadi sentral kegiatan dakwah akan tampak keragaman tersebut, misalnya pada pelaksanaan shalat. Orang-orang yang berjumlah ribuan itu memperlihatkan cara-cara shalat yang beragam, sehingga dalam satu shaf terdapat berbagai bermacam mazhab, seperti pada cara mengankat tangan pada takbiratul ihram, bersedekap atau meletakkan tangan di dada, duduk pada tahiyat akhir, dan membaca doa qunut pada shalat subuh. Dalam salah satu ceramahnya, salah seorang Penanggung Jawab Dakwah Ambon M. Nur Talaohu, memberikan penjelasan, sebagai berikut: “Mengenai perbedaan dalam mengamalkan agama, janganlah dipersoalkan. Dengan membiarkan setiap orang beribadah menurut pemahaman mazhabnya, maka akan terlihat sunnah Nabi Saw. muncul secara lengkap. Tampak bahwa Islam itu luas. Tetapi bila dibatasi pada satu mazhab saja, maka Islam dipersempit.”31 Mengenai sunnah yang kedua, sunnah yaumiyah atau sunnah yang berkaitan dengan praktek hidup sehari-hari, JT lebih memperlihatkan keseragaman. Hal itu tampak, ketika makan, tidur, cara berpakaian, memelihara janggut, dan sebagainya. Keseragaman dalam mempraktekkan sunnah ini membuat masyarakat kota Ambon dengan cepat dapat mengidentifikasi mana anggota JT dan mana yang bukan. Padahal sebelumnya belum pernah mengenalnya. Pihak aparat keamanan pun tidak akan salah tangkap bila ada terjadi penggerebekan terhadap gerakan teroris.32

E. PANDANGAN TERHADAP KEHIDUPAN AKHIRAT Salah satu aspek terpenting dalam teologi perdamaian JT adalah keimanan terhadap Hari Akhir. Hal itu karena, ia menjadi tolok-ukur besar atau kecilnya kebesaran Allah di hati seseorang dan selanjutnya, menyemangati perwujudan Sunnah Nabi Muhammad Saw. di dalam diri seseorang. Jadi, walaupun tidak ada penjelasan teoritis secara khusus, keimanan kepada hari Akhir menjiwai seluruh

31Bayan Maghrib, di Markaz Ambon, pada tanggal 22 Desember 2013. 32Mahmud, Penanggung Jawab Dakwah pada Mahalla Asy-Syifa’ menceritakan pengalaman menariknya, “Pada tanggal 30 Juli 2003 terjadi penyerangan oleh kelompok Mujahidin terhadap pos Brimob yang sedang melaksanakan tugas jaga di desa Loki Kecamatan Huamual Kabupaten Seram Bagian Barat. Dalam penyerangan itu 6 anggota Brimob tewas. Pencarian pun dilakukan dan diketahui pelaku melarikan diri ke Ambon dan bersembunyi pada rumah seorang warga di wilayah Kebun Cengkeh di Kota Ambon. Pada sekitar jam 21.00 WIT. lokasi tersebut dikepung dan gerebek. Saya kebetulan lewat di lokasi penggerebekan di hadapan mereka hendak pulang ke rumah, tetapi tidak dicegat, bahkan dipersilahkan lewat secara baik-baik. Padahal ketika itu saya berpakaian jubah dan mengenakan kopiah putih. Jadi, secara zahir penampilan saya tidak beda dengan kelompok Mujahidin.” 103 doktrin teologi perdamaian JT. Persoalannya, bagaimana mengukur kedalaman keimanan akan hari Akhir dalam diri? JT mengukur keimanan seseorang akan Hari Akhir melalui kegiatan khurūj fi sabīl li Allāh (keluar berdakwah di jalan Allah) dan pengamalan Sunnah Nabi Muhammad Saw. Pembahasan tentang khurūj fi sabīl li Allāh selengkapnya akan disampaikan pada bab V. Berkaitan dengan tema pokok sub-bab ini, di sini disampaikan hanya sepintas.

1. Khurūj fi sabīl li Allāh Telah dijelaskan bahwa implikasi dari kekuasaan Allah adalah tertentukannya status alam. Sedangkan, implikasi dari keyakinan akan Kebesaran Allah adalah berubahnya keyakinan seseorang dari yakin kepada makhluk untuk yakin hanya kepada Allah, penjelasannya telah dikemukakan di atas. Indikator kebesaran Allah adalah kecenderungan hati kepada kehidupan akhirat. Seorang JT biasa mengumandangkan perasaannya tentang Kebesaran Allah dengan kata-kata: “Allah kuasa, makhluk tak kuasa, dunia sementara, akhirat selamanya.” Empat kata terakhir (dunia sementara, akhirat selamanya) menjadi bukti sekaligus indikator mengenai Kebesaran Allah di dalam hati. Menurut JT kalau seseorang telah memiliki keyakinan tersebut, maka ketergantungan dirinya kepada makhluk atau dunia semakin berkurang, pada tingkat tertingginya akan hilang kesan kebesaran dunia di hati. Bersamaan dengan itu pula kecenderungan kepada kehidupan akhirat akan semakin besar. Jadi, keyakinan akan kebesaran Allah berkembang naik berbanding terbalik dengan semakin menurunnya kecenderungan kepada hidup duniawi. Untuk mendorong kepada kehidupan ukhrawi itu, JT sering berkata, “Zuhudlah terhadap dunia dan cintailah kehidupan akhirat.” Dasar dari cara pandang tersebut, yang mana JT sering mengutipnya, adalah dialog antara Nabi Muhammad Saw. dengan Zaid bin Haritsah, sebagai berikut: “Di suatu pagi Nabi Muhammad Saw. berpapasan dengan Zaid bin Haritsah. Nabi Saw. bertanya kepadanya: ‘Bagaimana keadaanmu Zaid di pagi ini?’ Zaid berkata, ‘Aku dalam keadaan sungguh-sungguh beriman, ya Rasulullah!’ ‘Wahai Zaid, perhatikan kata-katamu, harus bisa dibuktikan.’ ‘Wahai Rasulullah, aku merasa sudah tidak betah hidup di dunia. Kalau aku berada di waktu pagi, aku ingin segera berada di waktu sore. Kalau aku berada di waktu sore, aku ingin segera berada di waktu pagi. Dan aku melihat seolah- olah penduduk neraka sedang bergeliat-geliat disiksa dan aku melihat juga seolah-olah penduduk sorga sedang bersilaturahmi satu-sama lain.’ ‘Wahai Zaid, sungguh engkau telah melihat dengan benar, maka pertahankanlah.’ Maka, Zaid pun memohon, ‘Kalau begitu, ya Rasulullah doakanlah agar aku mati syahid,’ maka Rasulullah Saw. pun mendoakannya. Begitu ada seruan, ‘Wahai kuda-kuda Allah, persiapkanlah dirimu!’ Zaid pun yang pertama kali mendaftarkan diri untuk berjihad. Ketika kemudian dia mati sebagai syahid, ibunya datang menghadap Rasulullah Saw. dan bertanya, ‘Wahai rasulullah, bagaimanakah keadaan Zaid, kalau dia berada di dalam sorga aku bahagia, tetapi kalau selain dari itu akan menyesal seumur hidup.’ Rasulullah bersabda: ‘Zaid berada di dalam sorga dan sorganya di dalam sorga lagi.’ Mendengar 104

penegasan Rasulullah Saw. ibu Zaid pun berkata, ‘Untung-untung wahai anakku.”33 Dapat dipahami dari hadis di atas bahwa puncak tertinggi yang dapat dicapai orang beriman adalah kecintaan sepenuhnya kepada Hari Akhir. Hal itu ditunjukkan dengan semangat untuk berjihad dan mati syahid. Oleh JT, sebagaimana akan tampak nanti pada pembahasannya di bab V, jihad yang dimaksud adalah berdakwah dengan cara khurūj fi sabīl li Allāh (keluar di jalan Allah), dan mati syahid dialihpahamkan kepada sikap menepati ketentuan waktu khurūj bila tiba saatnya. Kadangkala pula waktu khurūj datang atau ditentukan begitu saja tanpa harus berdasar pada jadwalnya. Inilah saat-saat yang terberat bagi kebanyakan JT. Mereka harus meninggalkan semua tanggung jawab, demi memenuhi panggilan berdakwah. Tetapi, saat yang begitu berat bisa diatasi dengan ingatan kepada Hari Akhir. JT di Ambon telah mengalami situasi sulit, terutama sekali pada saat sedang sengit-sengitnya terjadinya konflik. Sambutan terhadap seruan jihad ditunjukkan dengan cara menggabungkan diri ke dalam rombongan-rombongan dakwah yang akan berangkat ‒keluar dari kampung halaman, meninggalkan rumah, keluarga dan pekerjaan untuk berdakwah‒ baik di dalam kawasan kota atau pun pulau Ambon, atau propinsi-propinsi lain di Indonesia, bahkan keluar negeri sekalipun. Keengganan seseorang untuk khurūj menunjukkan bahwa kebesaran dunia di hatinya masih terlalu kuat bersarang. Kalau sudah demikian, anggota JT yang lain biasa menyindir orang itu dengan kata-kata, “Hei, saudara. Jangan terlalu terkesan dengan dunia.” Sudah tentu cara yang dilakukan JT bukan tanpa masalah. Apalagi situasi di Ambon saat itu sedang terjadi konflik. Umat Islam sedang sangat memerlukan jumlah orang yang lebih banyak lagi untuk menghadapi kelompok penyerang Kristen, JT malah mengajak banyak orang Islam untuk khurūj (keluar) dari Ambon. Kelompok yang paling memanfaatkan situasi ini untuk menyudutkan JT adalah Salafi Wahhabi. Hasutan kebencian terhadap JT ditebarkan di mana-mana melalui ceramah dan khutbah Jum’at. Tetapi, justru bagi JT, upaya Wahhabi itu pun dapat dilihat sebagai ujian. Untuk menghadapi serangan Wahhabi, senior-senior JT hanya berkata kepada sesama anggota, “Jangan terkesan dengan makhluk. Allah Kuasa, makhluk tak kuasa, dunia sementara, akhirat selamanya.” Tampak, integritas diri yang sempurna ditunjukkan melalui keyakinan akan kebesaran Allah dan keimnan kepada hari Akhir. Karenanya, dakwah JT dapat terus berjalan dengan damai. Hujatan-hujatan Wahhabi tidak sampai pada menimbulkan konflik baru dalam tubuh umat Islam sendiri.

2. Mengamalkan Sunnah Nabi Muhammad Saw. Bila kesempurnaan keimanan akan hari Akhir merupakan bukti kesempurnaan keyakinan akan kebesaran Allah, maka dengan Sunnah Nabi Saw. keimanan kepada hari Akhir merupakan penguat dan juga dikuatkan. Jadi, keduanya saling

33Sengaja tak disebutkan sumber pengambilan hadisnya, karena yang menjadi fokus perhatian adalah agar lebih jernih memahami pikiran-pikiran JT, bukan pada shahih atau tidaknya sumber yang mereka ambil itu.

105 memerlukan untuk saling menguatkan. Keimanan yang kuat kepada hari Akhir sangat membantu seseorang dalam memberi kekuatan bagi batinnya untuk mengamalkan Sunnah. Tanpa keimanan kepada hari Akhir, Sunnah hanyalah suatu bentuk atau kerangka tanpa jiwa. Begitu pun, Sunnah diperlukan untuk memboboti pandangan seseorang tentang kehidupan akhirat. Selanjutnya, bukti bahwa Sunnah telah menjiwai hidup seseorang secara mendalam adalah kuatnya keimanan kepada hari Akhir. Demikianlah, hubungan saling menguatkan secara mutualisme simbiosis antara Sunnah-keimanan kepada hari Akhir. Kuatnya keimanan kepada Hari Akhir ditunjukkan dengan konsistensi yang tinggi terhadap Sunnah. Bagi JT konsistensi itu ditunjukkan dengan memegang teguh tiga bentuk Sunnah (s̩ ūrah, sīrah, dan sarīrah) secara sekaligus. Terhadap Sunnah s̩ ūrah, misalnya, JT lebih mempertahankan bentuknya ketimbang hanya sekedar memegang makna semata. Di sini nampak bahwa bagi kebanyakan orang Islam belum siap sepenuhnya memegang bentuk lahiriah (s̩ ūrah) Sunnah. Mereka lebih cenderung berpegang kepada maknanya saja. Artinya, sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islami, maka mereka merasa bahwa sudah cukup menjalankan Sunnah. Berbeda dengan JT, menerima Sunnah haruslah total. Bukan hanya maknanya saja tetapi juga bentuknya. Sebagai misal, berpakaian bagi kaum laki-laki dengan model sempurna adalah berjubah dan bersorban, minimal kopiah putih, yang diekspresikan dalam setiap momen. Bagi perempuan adalah berjubah, bercadar dan warna pakaian adalah hitam. Begitu juga dengan menyikat gigi, yang dipahami JT tidak sebatas membersihkan saja, tapi yang terpenting adalah melaksanakan sunnahnya melalui penggunaan miswak. Bila ditambah dengan dua Sunnah yang lain (sīrah, dan sarīrah), maka kehidupan dengan segala hukum alamiahnya hanyalah sarana bagi JT untuk menerapkan Sunnah. Demikianlah, keimanan kepada Akhirat merupakan sumber kekuatan yang besar dalam mengamalkan Sunnah secara total. Ia adalah jiwa Sunnah. Tetapi Sunnah juga berperan membentuk cara pandang atau paradigma berpikir bagaimana seorang beriman memandang masa depan (hari Akhir) itu. Karena itu, apa pun yang dilakukan di dunia ini adalah dalam rangka memproyeksikan masa depan. Sepanjang menjadi penghalang, sebaiknya ditinggalkan. Dari situlah timbul suatu sikap dan cara hidup yang berdasar pada keyakinan bahwa sifat dunia ini hanyalah sementara, tidak perlu serius. Haji Yahya, dalam bayannya, mengatakan: ”Dunia inikan sementara. Jadi, kalau bangun rumah, rumah sementara. Tapi, kebanyakan kita cara berpikirnya adalah hidup ini panjang. Maka, kalau dia bangun rumah, rumah permanen, megah lagi. Padahal, hidup ini berjalan menuju akhir, bukan jalan terus. Besok atau lusa semua kita ini akan mati. Rumah yang mewah, ditinggalkan atau dia yang duluan tinggalkan kita. Istri yang kita cintai, ditinggalkan, atau dia yang duluan tinggalkan kita….semua begitu. Kita yang duluan atau dia yang duluan tinggalkan kita. Kita tidak belajar dari cara bagaimana Nabi Muhammad Saw. membangun hidupnya. Rumahnya, sederhana sekali. Atapnya dari daun kurma, dinding rumah dari pelepah pohon kurma. Tikar alas tidurnya dari daun kurma. Bantal tidurnya dari kulit hewan. Sehingga, bangun dari tidur, kelihatan bekas-bekar tikar dan 106

bantal di tubuh dan pipinya. Mengapa demikian, karena semua akan ditinggalkan. Jadi, karena akan ditinggalkan, tidak usah mewah-mewah.” Kutipan di atas memperlihatkan bagaimana Sunnah membentuk paradigma tentang kehidupan akhirat. Dari paradigma itu, JT dapat menjelaskan pemahaman mereka mengenai ungkapan terkenal: “Beramallah untuk kehidupan duniamu seolah- olah kamu akan hidup selamanya, dan beramallah untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok pagi.” Menurut JT, ungkapan itu barmakna bahwa untuk urusan dunia manusia tidak perlu tergesa-gesa. Waktu hidup di dunia seolah-olah sangat panjang. Kalau sekarang sudah ada kesempatan untuk bangun rumah, silahkan dilaksanakan. Kalau belum ada, tidak perlu risau, supaya tidak sampai mengambil jalan yang salah. Masih ada waktu besok, bulan depan, tahun depan, 10 tahun, atau bahkan 100 atau 1000 tahun. Tetapi untuk akhirat tidak boleh ditunda- tunda. Besok pagi sudah akan mati. Segera harus dilaksanakan. Dari penjelasan di atas, tampak bahwa perspektif perdamaian JT, pertama- tama, bertolak dari tindakan desakralisasi terhadap semua yang namanya makhluk/dunia dan kemudian melakukan sakralisasi hanya kepada Allah. Dari proses desakralisasi-sakralisasi itu, Allah tampak sebagai satu-satunya eksistensi dan kekuasaan. Seluruh proses kehidupan dilihat sebagai berawal dari Allah dan akhirnya, kembali kepada Allah. Dengan perspektif perdamaian yang demikian, teologi perdamaian JT dapat ditempatkan pada tingkatan kebenaran absolut dengan nilai universalime. Agar menyeluruh, doktrin itu masih memerlukan suatu dimensi penyatu, yaitu pelaksanaan Sunnah Nabi Muhammad Saw. dalam diri dan kehidupan setiap muslim. Sunnah Nabi Saw itu, secara keseluruhan dilihat sebagai perbuatan- perbuatan Allah. Allah menampakkan perbuatan-Nya (di dalam Sunnah) agar manusia menggunakannya sebagai jalan kembali untuk bertemu Allah. Berbeda halnya dengan teologi-teologi perdamaian kelompok, yang berawal dari upaya penegasan eksistensi kelompok dan berakhir pada kepentingan kelompok. Teologi perdamaian universal (seperti yang dikemukakan JT) berdasar pada absolutisme universal dan berimplikasi pada menciptakan perdamaian universal. Teologi perdamaian kelompok, karena berdasar pada absolutisme sempit kelompok, melahirkan fanatisme kelompok dan berimplikasi pada perdamaian internal kelompok, tetapi berkecenderungan atau berpotensi menimbulkan konflik dengan kelompok lain. Seluruh kerja dakwah JT diorientasikan kepada kejayaan kehidupan akhirat. Itulah sebabanya, secara intitusional, JT tidak melibatkan diri ke dalam persoalan- persoalan praktis yang berkaitan dengan kebutuhan umat Islam seperti, berpolitik, melakukan pengabdian pada bidang pendidikan, kesehatan atau pun ekonomi. Tidak seperti organisasi-organisasi massa umat Islam yang lain, NU, Muhammadiyah, PKS atau yang lainnya, JT sama sekali tidak punya yayasan pendidikan, rumah sakit, atau lembaga keuangan apa pun. Yang ada saat ini adalah yang dikelola oleh person atau yayasan yang telah terbentuk jauh sebelum mereka ikut terlibat dalam gerakan dakwah JT. Dengan menghindari diri dari terlibat dalam urusan-urusan yang berkaitan dengan kebutuhan umat Islam, JT dapat berjalan aman tanpa harus menimbulkan gesekan-gesekan dengan organisasi-organisasi tersebut. Agaknya, ini menarik. Di satu pihak, menghindar dari persoalan-persoalan yang menjadi kebutuhan umat, tetapi justru untuk membangun masyarakat, dengan level universal. 107

F. AYAT AL-QUR’AN DAN HADIS TENTANG LA ILAHA ILLA ALLAH MUHAMMAD RASULULLAH SAW.

Di bawah ini akan dikemukakan beberapa ayat Al-Qur’an dan hadis fad̩ ā’il al- a'māl tentang kalimat thayyibah lā ilāha illā Allāh Muhammad Rasūl Allāh. JT selalu membacakannya dalam setiap dakwah, baik untuk kalangan mereka sendiri maupun untuk masyarakat Islam secara umum. Bagi JT, keutamaan atau faḍīlah dari suatu amal dimaksudkan untuk pembentukan karakter pribadi setiap muslim, yaitu seperti yang dimiliki para sahabat Nabi Saw., Perubahan karakter dicapai setelah dilakukan proses transformasi menjadi kepercayaan. Dalam pengertian lain dapat dikatakan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an atau pun hadis Nabi Saw. yang menjelaskan tentang keutamaan lā ilāha illa Allāh Muhammad Rasūl Allāh, diupayakan terinternalisasi ke dalam diri sehingga menjadi karakter seseorang. JT. memang mengidolakan para sahabat Nabi Saw., terlepas dari adanya kekurangan juga dalam diri mereka. Bagi JT, mereka adalah model sempurna untuk ditiru, selamanya. JT sering berkata, “Kalau dalam urusan dunia, jangan tengok ke belakang. Itu kemunduran namanya. Tengoknya harus ke depan, supaya maju. Tapi, kalau dalam urusan agama, tengoknya harus ke belakang, ke kehidupan para sahabat r.a.hum. Itu baru namanya kemajuan. Karena kita semua yang datang belakang ini belum dijamin berhasil seperti mana para sahabat. Sementara, mereka para sahabat sudah diakui secara langsung oleh Allah dan Rasul-Nya.” Jadi masa lalu yang gemilang di letakkan kembali di depan sebagi model yang harus diteladani.

1. Ayat Al-Qur’an dan Hadis fad̩ ā’il al-a'māl tentang lā ilāha illā Allāh Dalam pelaksanaan dakwah ayat dan hadis disampaikan dengan cara dibaca, tidak ditafsirkan atau dimaknai secara kontekstual. Hal itu dimaksudkan untuk menjaga keobyektifitasnya.34 Di bawah ini akan disebutkan beberapa ayat dan hadis, sebagai berikut:

Allah berfirman:

َو َﻣﺎ أَ ْر َﺳ ْﻠﻧَﺎ ِﻣ ْن َﻗ ْﺑ ِﻠ َك ِﻣ ْن َرﺳُ ٍول إِ ﱠﻻ ﻧُو ِﺣﻲ ِإ َﻟ ْ ِ أَ ﱠﻧ ُ َﻻ إِ َﻟ َ ِإ ﱠﻻ أَﻧَﺎ َﻓ ْﺎﻋﺑُ ِدُون

Artinya: “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu (wahai Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya tidak ada yang berhak disembah selain Aku, maka menyembahlah kalian kepada-Ku.” QS. Al-Anbiya (21): 25.35 Allah berfirman:

34Seluruh ayat dan hadis terangkum dalam sebuah kitab, yang oleh pengarangnya, Maulana Muhammad Zakariya al-Kandhahlawi, diberi judul “fad̩ ā’il al-a'māl” (Bandung, Pustaka Ramadhan, tth). 35Kementerian Agama RI, Al-Qur’anul Karim Dan Terjemahnya, 2010, h. 324. 108

إِ ﱠﻧ َﻤﺎ ا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣﻨُﻮ َن ا ﱠﻟ ِﺬ َﻦ إِذَا ذُ ِﻛ َﺮ ا ﱠﻟﻠ ُ َو ِﺟ َﻠ ْﺖ ﻗُﻠُﻮﺑُ ُ ْﻢ َوإِذَا ﺗُ ِﻠ َ ْﺖ َ ﺎﻋ َﻠ ْ ِ ْﻢ آ َﺎﺗُ ُ زَ ادَﺗْ ُ ْﻢ إِ َﻤ ًﺎﻧ َ نو َﻋ َﻠﻰ َرﺑِّ ِ ْﻢ َﺘَ َﻮ ﱠﻛﻠُﻮ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hatinya, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal.” QS. Al-Anfal (8): 2.36

Allah berfirman: َﻓﺄَ ﱠﻣﺎ ا ﱠﻟ ِذ َن آ َﻣﻧُوا ﺑِ ﱠﺎﻟﻠ ِ َوا ْﻋﺗَ َﺻ ُﻣوا ﺑِ ِ َﻓ َﺳ ُ ْد ِﺧﻠُ ُ ْم ﻓِﻲ َر ْﺣ َﻣ ٍﺔ ِﻣ ْﻧ ُ َو َﻓ ْﺿ ٍل َ و َ ْ ِد ِ ْ م إِ َﻟ ْ ِ ِﺻ َر ًاطﺎ ُﻣ ْﺳﺗَ ِﻘ ًﻣﺎ Artinya: “Adapun orang-orang yang beriman dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya, niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya dan limpahan karunia-Nya, dan menunjukkan mereka ke jalan yang lurus untuk sampai kepada-Nya.” (QS. Al-Nisa’ [4]: 175)37 Hadis Nabi Muhammad Saw.: Dari Abu Hurairah r.a., berkata, Rasulullah Saw. bersabda, “Iman itu mempunyai 70 cabang lebih, yang tertinggi darinya ialah kalimat la ilaha illa Allah dan yang paling rendah adalah mebuang duri dari jalan, dan malu adalah salah satu cabang dari iman.”38 Dari Abu Dzar r.a. berkata, Rasulullah Saw. bersabda, tidaklah seorang hamba Allah yang mengucapkan lā ilāha illa Allāh kemudian mati dengan kalimat itu melainkan ia pasti akan memasuki surga.” Saya bertanya, “Walaupun ia berzina dan mencuri?” Beliau menjawab, “Walaupun ia berzina dan mencuri.” Saya bertanya lagi, “Walaupun ia berzina dan mencuri.?” Beliau menegaskan, “ Walaupun ia berzina dan mencuri, walaupun Abu Dzar tidak menghendaki (tetap hal itu akan terjadi).”39 Dari Anas r.a., berkata (dalam hadis yang panjang), bahwa Nabi Saw. bersabda, “Akan keluar dari neraka orang yang pernah mengucapkan kalimat lā ilāha illa Allāh, dan dalam hatinya ada kebaikan (iman) walaupun sebesar biji jawawut. Kemudian akan keluar dari neraka orang yang pernah mengucapkan kalimat lā ilāha illa Allāh, dan dalam hatinya terdapat kebaikan (iman) sebejar biji gandum. Kemudian akan keluar dari neraka orang yang pernah mengucapkan kalimat lā ilāha illa Allāh dan dalam hatinya terdapat kebaikan (iman) walaupun hanya seberat zarrah (debu).”40 Dari Abbas bin Abdul Muthalib r.a. berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda, ‘Akan merasakan kelezatan iman siapa yang ridha

36Kementerian Agama RI, Al-Qur’anul Karim Dan Terjemahnya, 2010, 177. 37Kementerian Agama RI, Al-Qur’anul Karim Dan Terjemahnya, 2010, 105. 38HR. Muslim, bab penjelasan jumlah cabang-cabang iman… nomor 153. 39HR. Bukhari, Bab Pakaian Putih, hadis nomor 5827. 40HR. Bukhari, Bab Firman Allah SWT., hadis nomor 7410. 109

Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad Saw. sebagai utusan Allah.”41

2. Cara menginternalisasikan Sifat Lā ilāha illa Allāh di dalam Diri. Seluruh penjelasan di atas, mulai dari kekuasaan Allah, status alam, kebesaran Allah, serta ayat Al-Qur’an maupun hadis mengenai fad̩ īlah-al-‘amal dari lā ilāha illa Allāh harus menjadi kepercayaan, yaitu dengan cara diinternalisasikan ke dalam hati. Menurut JT penghalang terbesar untuk terjadinya proses internalisasi itu adalah karena adanya penghalang di hati yang disebut dengan kebesaran makhluk. Maka, kebesaran makhluk itu harus dikeluarkan, yang oleh JT diproses melalui tiga tahapan. Pertama, membentuk majelis muzakarah ‒tak jadi soal berapa banyak orang‒ yang di dalamnya dimuzakarahkan hal-hal yang berkaitan dengan kebesaran Allah. Muzakarah dipimpin oleh seorang senior dan tidak harus seorang yang ‘ālim dalam masalah agama. Karena yang dimuzakarahkan juga bukan masalah-masalah fiqh (masā’il fiqhiyah). Muzakarah dilakukan berulang-ulang sampai dirasa peserta majelis sudah hafal dan paham. Kedua, selesai dari muzakarah, dibentuklah rombongan kecil, terdiri dari tiga atau sampai dengan delapan orang. Tugas rombongan itu adalah untuk mendakwahkan apa yang dimuzakarahkan tadi. Setiap anggota didoktrin untuk melakukannya dengan tidak perlu memandang siapa orangnya. Juga tidak perlu memandang siapa yang akan dijumpai untuk didakwahi. Boleh dibilang, inilah tahap yang paling berat bila dibandingkan dengan tahap yang lain. Orang yang baru ikut biasanya kurang percaya diri. Melihat hal itu, seorang yang sudah berpengalaman dengan sangat bijaksana langsung memberi semangat lagi, dengan kata-kata, “Allah Kuasa, makhluk tak kuasa.” Masalah kurang percaya diri itu muncul karena adanya kebesaran makhluk di hati. Kebesaran makhluk itulah yang hendak dikeluarkan. Seringkali terjadi orang yang berdakwah adalah awam dalam masalah agama atau hanya orang biasa di mata masyarakat. Sementara yang akan dijumpai adalah orang yang mempunyai kedudukan terhormat di masyarakat (ulama, pejabat, orang kaya, dan sebagainya). Tetapi, terkesan dengan kebesaran dunia yang dimiliki oleh orang-orang terhormat itu merupakan kebesaran makhluk bagi si awam atau si orang biasa. Ada juga, orang yang berdakwah adalah seorang yang terpandang di masyarakat karena status sosial tinggi yang dimilikinya. Terkesan dengan kebesaran yang dimilikinya merupakan kebesaran makhluk bagi dia. Seluruh kebesaran makhluk itu akan dikeluarkan dengan cara menjumpai orang-orang untuk berdakwah kepada mereka. Pokok-pokok pembicaraan yang disampaikan dalam limit waktu yang sangat singkat itu ‒berkisar antara 2 sampai 3 menit‒ meliputi empat hal yaitu, yakin akan kalimat lā ilāha illā Allāh Muhammad Rasūl Allāh, kuatkan persaudaraan sesama muslim, laksanakan amal-amal shaleh untuk persiapan kehidupan akhirat dan ajak untuk segera mengamalkannya. Dakwah dengan cara begini, ternyata efektif untuk melakukan proses transformasi, sebagaimana yang dimaksud. Setelah daripada itu mereka merasakan

41HR. Muslim, Bab Dalil yang Menyatakan Bahwa Orang yang Ridha Allah sebagai Rabbnya…., hadis nomor 151. 110 adanya perubahan pandangan hidup, keyakinan, sikap dan perilaku dan terjadi peningkatan iman dan amal-amal ibadah. Ketiga, senantiasa berdoa kepada Allah agar diberi pemahaman mengenai hakikat kalimat lā ilāha illā Allāh kepada diri sendiri, keluarga dan umat secara keseluruhan. Doa ini selalu dilakukan setiap kali akan turun menjumpai masyarakat. Seorang di antara mereka berdoa yang lain mengaminkannya. Sebagaimana akan dijelaskan lebih jauh pada pembahasan-pembahasan berikutnya, bahwa dengan menjadikan diri-sendiri sebagai sasaran utama perjuangan, JT telah menunjukkan suatu model baru gerakan pembaharuan dalam Islam. Berbeda dengan gerakan-gerakan lain, mereka memfokuskan perubahan pada diri sendiri, seperti halnya kaum sufi. Tetapi berbeda dengan kaum sufi, gerakan mereka berdampak besar terhadap perubahan masyarakat Islam secara universal, yang implikasi praktisnya akan disebutkan kemudian. Uniknya lagi, gerakan pembaharuan mereka berjalan damai.

3. Ayat Al-Qur’an dan Hadis fad̩ ā’il al-a'māl tentang Muhammad Rasulullah Saw.

Firman Allah SWT:

ﻗُ ْﻞ أَ ِط ﻌُﻮا ا ﱠﻟﻠ َ َوا ﱠﻟﺮﺳُﻮ َل َﻓﺈِ ْن ﺗَ َﻮ ﱠﻟ ْﻮا َﻓﺈِ ﱠن ا ﱠﻟﻠ َ ﻻ ُ ِﺤ ﱡﺐ ا ْﻟ َﻜﺎﻓِ ِﺮ َﻦ

Artinya: Katakanlah: “Taatilah Allah dan rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” QS. Ali Imran (3): 32.42 Allah berfirman: َ و َﻣﺎ ُﻣ َﺣ ﱠﻣ ٌد إِ ﱠﻻ َرﺳُ ٌول َﻗ ْد َﺧ َﻠ ْت ِﻣ ْن َﻗ ْﺑ ِ ﻠِ اﻟ ﱡرﺳُ ُل أَ َﻓﺈ ِ ْ ن َﻣﺎ َت أَ ْو ﻗُﺗِ َل ا ْﻧ َﻘ َﻠ ْﺑﺗُ ْم َﻋ َﻠﻰ أَ ْﻋ َﻘ ﺎﺑِ ُﻛ ْم ن َ و َﻣ ْن َ ْﻧ َﻘ ِﻠ ْب َﻋ َﻠﻰ َﻋ ِﻘﺑَ ْ ِ َﻓ َﻠ ْن َ ُﺿ ﱠر ا ﱠﻟﻠ َ َ ﺷْﺋًﺎ َو َﺳ َ ْﺟ ِزي ا ﱠﻟﻠ ُ ا ﱠﻟﺷ ِﺎﻛ ِر َن. و Artinya: “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” QS. Ali Imran (3): 144.43 Allah berfirman: ﺗِﻠ َ ُﺣدُودُ اﻟﻠ ِہ َو َﻣن ﱡ ِطﻊِ اﻟﻠ َہ َو َرﺳُو َﻟہ ُد ِﺧﻠہُ َﺟﻧ ٍت ﺗَﺟ ِر ِﻣن ﺗَﺣﺗِ َﮩﺎ ا َﻻﻧﮩ ُر ِﺧﻠ ِد َن ﻓِ َﮩﺎ َو ذ ِﻟ َ ا َﻟﻔ ُوز اﻟﻌَ ِظ م ُ◌

42 Kementerian Agama RI, Al-Qur’anul Karim Dan Terjemahnya, 2010, 54. 43 Kementerian Agama RI, Al-Qur’anul Karim Dan Terjemahnya, 2010, 68 111

Artinya: (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam sorga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan yang besar.” QS. An Nisa (4): 13.44 Hadith Nabi Muhammad Saw. Dari Abu Hurairah r.a., sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda, “Semua umatku akan masuk sorga, kecuali yang enggan.” (Para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah! Siapakah yang enggan?” Beliau menjawab, “Siapa yang taat kepadaku, maka ia masuk sorga, dan siapa yang ingkar kepadaku, maka sesungguhnya dialah yang enggan!”45 Dari Anas bin Malik r.a., berkata, “Rasulullah Saw. telah bersabda padaku, ‘Wahai anakku, jika kamu mampu menahan hatimu dari rasa dengki kepada seseorang pada pagi hari hingga sore hari, maka lakukanlah!’ Kemudian beliau bersabda lagi kepadaku, “Wahai anakku, yang demikian itu adalah sunnahku. Barangsiapa menghidupkan sunnahku, sungguh dia cinta kepadaku dan barangsiapa yang mencintaiku, akan bersamaku dalam surga.”46

4. Cara Mengiternalisasikan Sunnah ke dalam Diri. Sebagaimana telah dikatakan bahwa sunnah Nabi Saw. adalah model sempurna bagi kehidupan seorang muslim. Melalui sunnah Nabi Saw. kehidupan yang islami akan wujud kembali secara lengkap dan sempurna dalam kehidupan umatnya bila setiap orang Islam mau mengamalkannya. JT sering membayangkan bahwa apabila umat Islam dapat mewujudkan perikehidupan Nabi Saw. dalam kehidupan sehari-harinya, maka seolah-olah Nabi Saw. hidup kembali bersama mereka. Karena itu JT. kemudian merekomendasikan agar Umat Islam mau berusaha menggantikan karakter kediraian mereka dengan karakter Nabi Saw. melalui tiga cara. Pertama, menginternalisasikan sunnah ke dalam diri adalah dengan cara seperti Nabi Muhammad Saw. mempraktekkannya. Dengan secara demikian, bentuk-bentuk Sunnah seperti yang telah dijelaskan di atas wujud secara maksimal di dalam diri seseorang. Kedua, membentuk kelompok muzakarah. Kelompok itu dipandu oleh seorang anggota JT, lebih diutamakan seorang senior. Dalam muzakarah dijelaskan semua yang berkaitan dengan perilaku Nabi Muhammad Saw. dalam kehidupan sehari-harinya. Untuk membentuknya menjadi kesadaran, maka setiap orang akan menyampaikan lagi apa yang telah dimuzakarahkan itu kepada orang lain. Cara ini merupakan yang terberat. Perjumpaan-perjumpaan itu hampir tidak mengenal situasi-situasi khusus seperti, saat orang sedang sibuk, santai, bermain, bermain kartu atau berjudi sekalipun. Orang yang dijumpai pun tidak dibatasi, yang berilmu maupun awam. Penyesuaian hanya pada cara menyampaikan dengan pembicara yang akan menyampaikannya. Pembicaraan yang disampaikan juga bukan menyinggung situasi-situasi khusus tersebut. Walaupun orang-orang yang dijumpai itu sedang melakukan suatu

44 Kementerian Agama RI, Al-Qur’anul Karim Dan Terjemahnya, 2010, h. 79 45HR. Bukhari, Bab Mengikuti Sunnah-Sunnah Rasulullah Saw., hadis nomor 728. 46HR. Tirmizi, Bab Perintah Agar Berpegang Teguh Pada Sunnah, hadis nomor 2678. 112 kesalahan, misalnya bermain judi. JT tidak langsung menohok dengan mengatakan, “Ini haram, itu dosa, ini perbuatan orang kafir,” apalagi mengatakan, “Kalian akan masuk neraka.” Tetapi JT mengajak untuk kembali kepada Sunnah dengan menyampaikan ayat Al-Qur’an atau hadis fad̩ ā’il al-a'mālnya. Seringkali penyampaian ayat atau hadis tidak secara redaksional, hanya maknanya saja. Untuk lebih jelas, perhatikan salah satu contoh pembicaraan tentang pentingnya Sunnah bagi seorang muslim, disampaikan kepada sekelompok orang yang sedang bermain judi, sebagai berikut: Assalamu’alaikum, saudara-saudaraku yang dirahmati Allah. Kita umat Islam adalah umat yang dimuliakan Allah, dibandingkan dengan umat-umat terdahulu. Umur kita singkat, tetapi mendapat bobot amal yang besar. Sekali beramal sudah bisa mendapat pahala berkali-kali lipat. Sekali mengucapkan salawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam kita mendapatkan sepuluh salawat dari Allah kepada kita. Nah, kita sudah bisa bayangkan berapa banyak kebaikan yang akan kita dapatkan dari 10 kali salawat. Kalau kita ucapkan lebih banyak lagi, akan lebih banyak lagi kebaikan yang akan kita peroleh. Sementara, untuk mendapatkan seratus ribu rupiah di dunia ini, misalnya kita bisa bekerja satu hari penuh. Untuk mendapatkan kebaikan di akhirat kita boleh hanya dengan duduk-duduk sambil mengucapkannya, maka kebaikan yang banyak akan kita dapatkan. Nah, saudara-saudara sekalian, di masjid kami lagi buatkan majelis muzakarah, kalian semua kami ajak.” Kutipan di atas memperlihatkan kemampuan JT mengatasi kasus perjudian dengan cara mengajak kepada fad̩ īlah-al-‘amal dari salawatan. Fadhilah itu sendiri bersifat obyektif dan universal, tidak berkaitan sama sekali dengan kasus-kasus kontemporer tertentu. JT menghadirkan yang abadi-universal dalam kesementaraan agar dengan itu yang sementara melebur ke dalam keabadian. Peleburan itu berjalan dengan damai, karena nihil dari kepentingan-kepentingan kelompok yang bersifat sesaat. Itu adalah penegasan ketuhanan Allah (fad̩ īlah-al-‘amal) yang dapat dimasuki pada setiap saat melalui cetakan Muhammad Saw. Dengan cara demikian JT telah berjasa melakukan suatu model baru pembaruan tanpa harus menimbulkan konflik. Obyektifitas ketuhanan Allah dijamin mampu menciptakan perdamaian universal. Tahap ketiga adalah berdoa kepada Allah agar ditanamkan hakikat Muhammad Rasulullah di dalam diri, keluarga dan umat seluruhnya. Di sini JT menampakkan lagi kepentingan mereka yang bersifat universal. Karena doa mereka bukan untuk kepentingan kelompok. Ajakan kepada makna obyektif ayat dapat dipahami secara sepenuhnya sebagai ajakan yang murni hanya kepada Allah, dalam rangka menegaskan eksistensi dan keesaan-Nya. Melalui makna obyektif pula, keesaan Allah dapat dijadikan sebagai sebuah perspektif bagaimana cara umat Islam memandang berbagai persoalan kemanusiaan. Mereka sering berargumen: “Bila masyarakat Arab jahiliyah dulu melakukan kemaksiatan karena kebodohan, maka manusia sekarang melakukannya karena lemahnya iman kepada Allah. Akibat dari lemahnya iman, banyak orang Islam melakukan kemaksiatan sambil tertawa. Olehnya itu, tugas kita sekarang adalah mengembalikan manusia kepada keimanan yang benar, kepada 113

Allah.” JT bukan hanya berhasil dalam hal ini, tetapi juga menunjukkan jalan dan cara bagaimana menjadikan keesaan Allah sebagai kepercayaan bersama. Dengan berdasar pada penegasan eksistensi Allah, JT berhasil menghilangkan fanatisme kelompok. Setelah membahas perspektif perdamaian menurut JT, pada bab berikutnya adalah bagaimana JT mengupayakan perwujudan perdamaian. Jika pada ketuhanan Allah JT membentuk perspektif mengenai perdamaian, maka upaya mewujudkan perdamaian melalui kepentingan-Nya. Artinya, Allah berkepentingan mewujudkan perdamaian bagi manusia menurut pandangan-Nya. Tampak juga dalam hal ini, JT menggunakan makna obyektif ayat Kitab Suci untuk mewujudkannya seperti yang dikehendak-Nya. Ini berarti, manusia adalah pelaksana dari apa yang dikehendaki- Nya. Jika memang demikian, bagaimana bentuk konkrit perdamaian Allah itu, yang implikasinya adalah masyarakat Islam universal. Bagaimanakah sistem pemerintahannya? Bagaimana dengan keragaman pemahaman kegamaan? Bagimana pula nasib negara-negara bangsa yang ada saat ini?

114

BAB V

PERANAN JAMAAH TABLIGH DI AMBON TERHADAP PERDAMAIAN

Kata perdamaian seperti yang tertera pada redaksi judul di atas menunjukkan bahwa perdamaian yang diusahakan JT bersifat universal. Dengan pengertiannya yang sedemikian luas itu, tergambar betapa beratnya tuntutan akan sebuah tanggung jawab yang harus dilaksanakan. Padahal, mereka baru berjumlah sekelompok orang yang menempati salah satu bagian terkecil di dunia ini. Pertanyaannya, bagaimana JT di Ambon memahami perdamaian? Bagaimana mereka mempergunakan kemampuan terbatas untuk menjalankan peran sebesar itu? Sampai dengan saat ini, sejauh mana pula keberhasilan yang telah dicapai mereka? Pada pembahasan yang lalu telah disebutkan bahwa perdamaian yang dimaksud dalam disertasi ini tidak sebatas pada terciptanya suatu suasana tenang atau tidak adanya konflik. Lebih jauh, perdamaian yang dimaksudkan adalah terwujudnya sebuah masyarakat Islam universal, dalam satu kesatuan keyakinan, pemahaman, perbuatan/kerja dan tujuan. Untuk membangun masyarakat dengan model yang demikian itu, JT mulai dari membangun tiang-tiang penyangga utamanya berupa kebenaran absolut dalam Islam. Caranya ialah dengan mendakwahkannya. Kebenaran absolut yang dimaksudkan mereka adalah enam prinsip dasar dari ajaran Islam atau apa yang mereka istilahkan sendiri dengan Enam Sifat Sahabat Nabi Muhammad Saw., yaitu lā ilāha illā Allāh Muhammad Rasul Allāh, al-s̩ alāh al-khushu’ wa al-khud̩ u', ’ilm ma'a dhikr, ikrām al-muslimīn, tas̩ h̩ īh̩ al-niyah, dan khurūj fi sabīl li Allāh. Pembahasan pada bab ini akan menganalisa sampai sejauh mana peran JT membangun perdamaian dengan cara memberi pemahaman kepada masyarakat mengenai Enam Sifat Sahabat Nabi Saw. dengan tingkat kebenarannya yang absolut. Sebelum dilanjutkan lebih jauh perlu dijelaskan lebih dulu pandangan mereka tentang masyarakat. Pembahasan dimulai dengan menjelaskan apa yang dianggap sebagai infrastruktur masyarakat Islam universal dan kemudian juga bagaimana membangun suprastrukturnya. Sebuah analisa tentang efektifitas model perdamaian JT akan disampaikan pembahasannya pada akhir bab ini.

A. INFRASTRUKTUR MASYARAKAT ISLAM UNIVERSAL Perspektif perdamaian JT berdasar pada ketuhanan Allah. Itu sudah dijelaskan pada bab sebelumnya. Sementara, upaya untuk mewujudkan perdamaian adalah berdasar pada upaya untuk mewujudkan kepentingan Allah dalam kehidupan masyarakat. Terwujudnya perdamaian merupakan implikasi dari upaya mewujudkan kepentingan Allah ke dalam kehidupan setiap orang Islam. Bentuk konkrit dari perdamaian yang diupayakan JT itu adalah diwujudkannya masyarakat Islam dalam satu kesatuan prinsip secara universal. Masyarakat itu sendiri dimaknai JT sebagai orang-orang, dalam skala yang luas, yang memiliki kesamaan keyakinan, pemahaman, perbuatan/kerja dan tujuan yang hendak dicapai. Walaupun demikian, pengertian skala yang luas tidak dimaksudkan untuk menghilangkan sama sekali perbedaan-perbedaan spesifik, yang tentu saja ada pada berbagai kelompok 115 masyarakat atau bangsa yang di ada dunia ini. Hal-hal spesifik, seperti perbedaan mazhab, perasaan kebangsaan (nasionalisme), budaya, dan tradisi tetap dipertahankan dan dilestarikan, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam. Tetapi, di atas semua itu, prinsip-prinsip kesamaan yang mempersatukan secara universal, sebagaimana disebutkan di atas, merupakan karakter umum masyarakat. Sebagaimana halnya masyarakat pada umumnya, bentuk masyarakat Islam universal yang diupayakan JT pun terdiri dari aspek infrastruktur dan suprastrukturnya. Akan tampak bahwa JT mempunyai pandangan tersendiri dan karena itu pula upaya tersendiri untuk mewujudkannya. Sebagai pembanding untuk hal yang sama perlu dikemukakan pemikiran Karl Marx (1818-1883). Secara singkat dapat dikatakan bahwa menurut Marx, materi atau ekonomi merupakan infrastruktur masyarakat. Sedangkan suprastrukturnya adalah semua gejala lebih tinggi dalam masyarakat, seperti hukum, ilmu, filsafat, budaya dan agama. Sebagai infrastruktur, materi atau ekonomi memainkan peran menentukan terhadap perubahan suprastrktur masyarakat. Maju atau mundurnya suprastruktur sangat ditentukan oleh maju atau mundurnya infrastruktur. Untuk melakukan suatu perubahan pada masyarakat harus dimulai dari perubahan infrastruktur. Marx juga mengatakan bahwa perpecahan dan pertentangan dalam masyarakat terjadi oleh karena adanya segolongan orang tertentu yang menguasai secara sepihak materi atau ekonomi. Supaya masyarakat dapat dipersatukan dan hidup dalam kedamaian, maka sumber hajat hidup masyarakat itu harus direbut dan kemudian diserahkan kembali kepada masyarakat untuk jadikan sebagai milik bersama. Perebutan itu adalah dengan jalan revolusi. Aktor revolusi adalah kelompok masyarakat yang tertindas.1 Jadi, menurut Marx perdamaian dapat dicapai lewat sebuah proses revolusi untuk memperebutkan materi atau ekonomi yang merupakan kepentingan bersama masyarakat. Revolusi itu tentu saja dalam bentuk konflik. Itu berarti, untuk mencapai perdamaian prosesnya adalah dengan menciptakan konflik sebagai cara atau jalan. Apa yang dipahami Marx di atas, memiliki kesamaan prinsip dengan kelompok-kelompok kepentingan, sebagaimana halnya kelompok modernis dan fundamentalis. Bedanya, bila Marx bertumpu pada materi atau ekonomi, maka kelompok-kelompok kepentingan bertumpu pada kebenaran yang dianggap absolut. Mereka berdua pun melakukan konflik untuk menghilangkan pengaruh absolutisme- absolutisme yang lain agar yang tetap tinggal hanya absolutismenya saja. JT mengambil sikap berlawanan dengan Marx maupun dengan kedua kelompok di atas. Bagi JT, kepentingan Allah (KA) adalah mendasar dalam kehidupan. Ia menjadi sumber bagi semua tindakan manusia. Upaya membangun masyarakat universalnya adalah dengan meletakkan KA sebagai infrastruktur masyarakat. Itu berarti, masyarakat yang diupayakan pembentukannya adalah berdasar pada KA, bukan pada materi atau ekonomi atau juga paham

1Untuk penjelasan lebih jauh mengenai materialisme dialektika Karl Marx, lihat Irzum Farihah, Fisafat Materialisme Karl Marx (Epistimologi Dialectical and Historical Materialism), dalam “Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan”, Volume 3, No. 2, Desember 2015. Lihat juga, Kees Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Jogjakarta, Kanisius, 1986), 79-82. 116 kekelompokkan, yang mana semuanya mencerminkan kepentingan sebuah kelompok atau bangsa. Dengan meletakkan KA sebagai infrastruktur, perwujudan masyarakat universal menjadi dimungkinkan. Untuk memahami apa yang dimaksudkan dengan KA, perlu dijelaskan terlebih dulu pembedaan yang dibuat dengan kepentingan Umat Islam (KUI). Istilah pertama (KA) mengacu kepada doktrin-doktrin dasar ajaran Islam. Dalam rangka membangun perdamaian, doktrin-doktrin dasar itu dirumuskan kembali menjadi hanya enam pokok yang disebut dengan Enam Sifat Sahabat Nabi Muhammad Saw. (selanjutnya, disingkat Enam Sifat). Sedangkan, yang dimaksud dengan kepentingan Umat Islam (KUI) adalah semua kebutuhan akan sarana-sarana, yang dengannya umat Islam dapat melaksanakan KA dengan nyaman. Karena itu, kedudukan KUI dalam Islam hanyalah penunjang, bukan pokok. KUI mengambil bentuk sebagai aspek materialisme masyarakat. Sedangkan KA yang merupakan pokok ajaran Islam, mengambil bentuk sebagai aspek spiritual masyarakat, yang oleh JT diproses sampai menjadi kepercayaan. Muhammad Iqbal (1877-1938), dalam hal ini, lebih jauh menjelaskannya dalam bukunya yang terkenal dengan judul The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Supaya jelas, di sini secara lengkap akan dikutip kembali pandangannya, sebagai berikut: “Islam, is a polity, is only a practical means of making this principle a living factor in the intellectual and emotional life of mankind. It demand loyalty to God, not to thrones. And since God is the ultimate spiritual basis of all life, loyalty to God virtually amounts to man’s loyalty to his own ideal. The ultimate spiritual basis all of life, as conceived by Islam is eternal and reveals it self in variety and change. A society based on such a conception of Reality must reconcile, in its life, the categories of permanent and change. It must possess eternal principle to regulate its collective life, for the eternal gives us a foothold in the world of perpetual change.2 Dari kutipan di atas, dapat dipahami bahwa menurut Iqbal, Islam menghendaki agar ajarannya dapat ditransformasikan ke dalam diri manusia sampai menjadi kepercayaan. Islam telah menetapkan kesetiaan manusia kepada Tuhan, bukan kepada materi atau kekuasaan. Tuhan itu sendiri merupakan dasar spiritual tertinggi dari segala bentuk kehidupan. Maka, ketaatan manusia kepada Tuhan sama dengan ketaatan manusia kepada cita-cita tertigginya sendiri. Kepentingan Tuhan, yang merupakan dasar-dasar spiritual tertinggi itu, bersifat kekal dan menampakkan

2Mohammad Iqbal, The Reconstuction of Religious Thought in Islam (New Delhy: Kitab Bhavan, 1998). 147-148. (Islam sebagai institusi merupakan suatu cara praktis yang akan membuat prinsip ini menjadi faktor yang menentukan dalam fikiran dan perasaan manusia. Islam menetapkan kesetiaan itu pada Tuhan, bukan kepada mahkota. Dan selama Tuhan yang menjadi dasar spiritual tertinggi dari segala kehidupan, maka kesetiaan kepada Tuhan itulah pada dasarnya berarti kesetiaan manusia kepada cita-citanya sendiri. Dasar- dasar spiritual tertinggi menurut Islam, bersifat kekal dan menampakkan diri dalam keanekaragaman dan perubahan. Suatu masyarakat yang didasarkan pada konsep realitas demikian dalam kehidupannya harus mendamaikan kategori-kategori antara yang permanen dan yang relatif. Realitas masyarakat yang demikian itu harus memiliki prinsip-prinsip abadi untuk mengatur kehidupan secara kolektif, sebab keabadian itu memberikan tempat yang aman bagi kita dalam dunia yang selalu berubah secara terus-menerus). 117 diri dalam keanekaragaman dan perubahan. Masyarakat yang didasarkan pada kepercayaan yang demikian akan mampu mendamaikan kategori-kategori antara yang permanen dan yang relatif yang senantiasa dalam perubahan. Hanya dengan prinsip-prinsip abadi itu manusia dapat mengatur kehidupan kolektifnya di tengah berbagai perubahan secara terus-menerus. Penggunaan kata kepentingan untuk Allah berbeda maknanya secara mendasar dengan makna kepentingan jika digunakan untuk manusia. Untuk yang pertama, makna kata kepentingan bersifat mutlak, karena berkaitan dengan dasar keyakinan (al-‘aqidah) dalam Islam. Tetapi, ketika bersentuhan dengan manusia, kata kepentingan bersifat sekunder atau pun sekedar keperluan.3 Dengan mengaitkan agama sebagai kepentingan Allah, mengindikasikan bahwa kewajiban-kewajiban agama menuntut untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia sebagai sesuatu yang urgen dalam kehidupan manusia. Itu artinya, Allah menghendaki agar kepentingan-Nya ditransformasikan hingga diwujudkan menjadi kepentingan manusia. Berbagai kewajiban yang terkandung dalam KA, misalnya adalah shalat, puasa, zakat, haji, termasuk juga ilmu dan hukum-hukum agama. Adapun KUI, sebagaimana telah dikatakan di atas, adalah kebutuhan akan sarana-sarana yang dapat menunjang terlaksananya KA. Ia bukan merupakan bagian pokok dari agama. Sehingga tanpa KA, KUI hanya merupakan bagian dari kebutuhan kehidupan sekuler. KUI dapat mengambil bentuk sebagai masjid, sekolah, lembaga-lembaga hukum, ekonomi dan lembaga-lemabaga ekonominya, lembaga negara, dan sebagainya. Dengan cara pandang seperti ini, KUI diposisikan sebagai aspek suprastruktur masyarakat. Agar lebih jelas, perlu dilihat bagaimana JT memosisikan KA dan KUI dalam agama dengan gambaran sebuah bagan atau pohon. Berturut- turut, yang berkedukan sebagai akar dari pohon agama adalah iman. Ibadah mengambil bentuk sebagai batang. Cabang-cabangnya adalah mu’asyarat (hubungan-hubungan sosial). Sedangkan ranting-rantingnya adalah semua yang berkaitan dengan kerja-kerja mu’amalat yang sifatnya ekonomis. Adapun akhlak dapat dilihat sebagai bunga dan buah daripada agama. “Apabila iman bagus,’’ demikian seperti yang sering dikatakan mereka, “ibadah akan bagus. Ibadah bagus, mu’asyarat dan mu’amalah akan bagus, yang selanjutnya akhlak pun akan bagus.

3Makna kepentingan, seperti yang dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bersifat sekunder, tidak substantif, berarti keperluan. Ia berasal dari kata penting1/pen·ting/ a 1 utama; pokok: perkara --; 2 sangat berharga (berguna): pelajaran itu -- bagi anak-anak; 3 mempunyai posisi yang menentukan (dalam pemerintahan, perusahaan, dan sebagainya seperti pejabat atau direktur): dia orang -- di negaranya; mementingkan/me·men·ting·/ v 1 lebih mengutamakan: ada pula negara yang ~ perluasan wilayah daripada pembangunan dalam negeri; 2 mengutamakan; mendahulukan: ~ diri sendiri; ~ golongannya; terpenting/ ter·pen·ting/ v paling penting; paling utama; paling perlu: pelaku-pelaku yang ~ berhasil diamankan; kepentingan/ke·pen·ting·an/ n 1 keperluan; kebutuhan: mendahulukan ~ umum; 2. interes; berkepentingan/ber·ke·pen·ting·an/ v mempunyai kepentingan; mempunyai keperluan (urusan): Lihat, https://kbbi.web.id/penting. 118

Tetapi, kalau iman rusak, semua jadi rusak”4 Karena iman berkedudukan di hati, maka peran hati sama dengan peran iman dalam memberikan pengaruh positif terhadap semua perilaku manusia.5 Tujuan utama manusia diciptakan, menururt Islam, adalah untuk beribadah,6 maka tuntutan untuk merealisasikan KA tentunya lebih substantif ketimbang pemenuhan tuntutan KUI. Seseorang atau pun suatu kelompok masyarakat dapat saja melaksanakan shalat tanpa harus memiliki masjid terlebih dulu, mengeluarkan zakat tanpa harus melalui sebuah badan amil zakat atau yayasan, melaksanakan pendidikan dan pengajaran tanpa harus di gedung sekolah, melaksanakan ibadah haji di Makkah tanpa harus dengan berkenderaan. Bahkan, dapat melaksanakan aturan atau hukum Islam serta hubungan-hubungan sosial yang lebih luas tanpa harus melalui sebuah organisasi, partai atau bahkan sebuah negara sekali pun. Dengan pembedaan tersebut, secara institusional JT memosisikan dirinya hanyalah untuk memperjuangkan (mendakwahkan) KA. Upaya untuk mendirikan masyarakat Islam universal dilakukan dengan meletakkan KA terlebih dulu sebagai infrastrukturnya. Upaya itu tentunya tidak perlu kepada sebuah lembaga formal semacam organisasi, partai ataupun, apalagi negara. Walaupun, tentunya perlu pada sistem kerja yang terorganisir. Adapun KUI, bagi JT tidak menjadi bagian dalam program dakwah, tetapi tidak juga membatasi pribadi-pribadinya atau orang lain untuk mengadakan dan menyelenggarakan bidang-bidang kehidupan yang berkaitan dengan KUI. Lembaga-lembaga pelayanan jasa, sekolah-sekolah dan sebagainya dikelola oleh masing-masing orang. Menjadi salah satu karyawan di lembaga- lembaga tersebut merupakan hak pribadi setiap orang. Tidak ada hubungan secara struktural dengan JT sebagai sebuah institusi dakwah. Dalam dakwah-dakwah mereka, hal-hal ini pun tidak pernah dibicarakan, tidak membicarakan dan merencanakan berdirinya, apalagi sebuah negara ideal. JT idak pula mempersoalkan sistem pemerintahan atau pun bentuk sebuah negara. Tidak juga menyalahkan apalagi mengharamkan pihak-pihak yang sedang mengupayakan pendirian negara Islam/khilafah Islamiyah. Dalam ushul-ushul dakwah, persoalan-persoalan itu telah ditegaskan untuk tidak dibicarakan.7

4Hasil wawancara dengan Mahmud, Penanggung Jawab Mahalla As-Syifa’ Air Kuning Ambon, pada tanggal 12 Mei 2019. 5Dalam sebuah hadis yang cukup popular, Nabi Muhammad Saw. bersabda: “…Ketahuilah, bahwa dalam setiap tubuh mannusia terdapat segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, maka baiklah seluruh badannya. Namun jika segumpal daging itu rusak, maka rusaklah seluruh badannya. Ketahuilah, gumpalan daging itu adalah hati.” Lihat, hadis nomor 2996, pada kitab Pengairan, bab mengambil yang halal dan meninggalkan yang haram. 6Allah SWT. Berfirman: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Al-Dhariat [51] : 56). Lihat, Kementerian Agama RI, Al- Qur’anul Karim Dan Terjemahnya, 2010, 523. 7Dalam Ushul-Ushul dakwah disebutkan empat hal yang tidak boleh disentuh, sebagai berikut: 1. Politik, baik dalam negeri maupun luar negeri 2. Khilafiyah atau perbedaan pendapat dalam fiqh 3. Membicarakan aib seseorang atau suatu masyarakat 119

Sejalan dengan pandangan Nurcholish Madjid (1939-2005) tentang sekularisasi, agaknya JT dapat dikategorikan demikian. Mereka betul-betul menempatkan hal-hal yang semestinya merupakan masalah agama dan tidak mencampurkannya dengan masalah-masalah yang memang merupakan urusan dunia.8 Dalam Ushul-ushul dakwah JT, yang dibicarakn dan diusahakan hanya empat hal yaitu: 1. Dakwah ilā Allāh, 2. Ta’lim wa ta’lūm, 3. Zikr wa al-‘Ibādah, 4. Khidmah. Pembicaraan tentang dunia selama khuruj merupakan sesuatu yang sangat tabu. Walaupun demikian JT sama sekali tidak sedang menganut dan menyebarkan, apalagi menerapkan sekularisme dalam kehidupan mereka.9 Dalam segala aspek kehidupan, mereka bahkan berusaha untuk meniru secara total kehidupan Nabi Muhammad Saw., yang mereka anggap semuanya adalah ibadah, mulai dari cara Nabi Saw. makan, minum, menggosok gigi, masuk kamar mandi, berdagang sampai pada cara shalat dan ibadah-ibadah lainnya, dan sebagainya. Dari penjelasan di atas, yang dapat dipahami dari JT, bahwa bagi persoalan bentuk-bentuk kehidupan dunia diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing pihak untuk menentukan sendiri pilihannya. Secara institusi JT tidak ikut campur dan tidak juga membatasi pilihan pada satu bentuk saja. Mendirikan dan mengelola pendidikan, mengusahakan suatu perdagangan ataupun yang lainnya sepenuhnya merupakan hak privat seseorang. Tetapi bila di atas bentuk yang sedemikian beragam dapat diselenggarakan kehidupan agama, maka bentuk-bentuk seperti itu diperlukan. Itulah sebabnya, JT sangat keras melarang seseorang untuk berhenti dari pekerjaan dunianya hanya karena ia mau memusatkan perhatian kepada dakwah. Beberapa contoh kasus perlu dikemukan, dan yang ini berkaitan dengan profesi seseorang sebagi artis atau penyanyi. Sudah tentu JT sangat membatasi seorang anggotanya untuk terjun ke dunia tersebut. Kedua bidang itu juga dipandang dengan perasaan jijik. Tetapi bagi mereka yang dari semula sudah aktif di bidang-bidang tersebut justru dianjurkan untuk tetap melanjutkannya. Tidak boleh keluar. Hal itu dimaksudkan agar dengan profesi tersebut mereka bisa menjangkau lebih banyak lagi orang-orang dalam dakwah. Dalam hal ini, dua orang sebagai contoh yang dapat disebutkan misalnya Bangun Sugito atau, yang lebih dikenal dengan nama panggilan Gito Rolis dan juga Derry Sulaiman, serta beberapa yang lainnya. Pemahaman tentang KA dan pembedaannya daripada KUI, bertolak dari pemahaman tentang makna obyektif dan makna subyektif ayat al-Qur’an/hadis. Seperti telah dijelaskan, makna obyektif adalah makna seperti yang dikehendaki Allah yang ditangkap oleh manusia dalam pengertian mutlak universal. Sedangkan penafsiran manusia terhadap ayat itu dapat dikatakan sebagai hasil kolaborasi dari apa yang dikehendaki Allah dengan kemampuan pemahaman manusia terhadap sebuah ayat. Tentunya maknanya telah menjadi relatif. Berkaitan dengan persoalan ideologi, teologi, atau pun politik, sedikit banyak mengandung unsur kepentingan

4. Meminta sumbangan dan membicarakan status sosial (pangkat dan jabatan) seseorang. Lihat, M. Ishaq Shahab, Khuruj fi Sabilillah…., 90 8Lihat kembali buku Nurcholish Madjid, Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1989) 9Lihat kembali buku Nurcholish Madjid, Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1989) 120 manusianya. Berdasarkan makna-makna obyektif ayat/hadis JT melaksanakan dakwahnya dan dengan demikian dapat dikatakan bahwa dakwah mereka semata- mata untuk mewujudkan KA. Ini tentunya membedakan mereka dengan kelompok- kelompok pergerakan Islam yang lain, seperti fundamentalisme Islam, pluralisme agama dan yang lainnya, yang mana pertama-tama mereka menetapkan kepentingan terlebih dulu, baru kemudian menafsirkan ayat/hadis untuk mendukung kepentingan mereka. Akibatnya, bila kepentingan berbeda, pemahaman terhadap ayat juga berbeda dan dengan demikian antar kepentingan menjadi sulit untuk dipertemukan.10 Dengan pembedaan yang dibuat mengenai makna obyektif dan subyektif, terjaddilah proses desakralisasi bentuk atau mazhab. Dengan cara itu pula JT berhasil menggusur fanatisme golongan, kelompok atau pun nasionalisme dalam sistem kerja mereka.

B. KEPENTNGAN ALLAH SEBAGAI DASAR PERDAMAIAN Pembahasan pada sub-bab ini, mulai masuk pada bagaimana peran JT dalam membagun perdamaian. Peran pertama, yang mereka lakukan, adalah membentuk dasar-dasar pikiran yang kuat pada doktrin perdamaiannya. Sebenarnya, tujuan utama dakwah JT bukan secara langsung kepada perdamaian, tetapi kepada KA. Hanya saja, JT yakin bahwa dengan terwujudnya KA ke dalam diri hingga menjadi kepercayaan, maka perdamaian menjadi mungkin diwujudkan. Jadi, kepercayaan kepada KA merupakan dasar teologi perdamaian mereka. Ini tentunya berbeda dengan yang lain, yang mana dasar teologi perdamaiannya, adalah kepentingan kelompok. Untuk membersihkan teologi dari warna kelompok, maka doktrinnya harus berdasar pada makna obyektif. Ayat-ayat Kitab Suci yang menjadi rujukan doktrin tersebut harus dipahami dengan pendekatan obyektif, bukan subyektif. Dengan pendekatan obyektif kebenaran absolut doktrin dapat dipertahankan. Dari kebenaran absolut-universal terbentuklah perdamaian, secara universal pula. Tetapi, agar bisa difungsikan, maka terlebih dulu makna kebenaran absolut diinternalisasikan ke dalam diri supaya menjadi kepercayaan. Dengan cara demikian, baru fungsi mengikat untuk membentuk kesatuan masyarakat dapat terlaksanakan.11 Maksud menjadikan KA sebagai kepercayaan adalah supaya menjadikannya sebagai infrastruktur. Jadi, infrastruktur masyarakat yang dimaksudkan JT itu berupa kepercayaan, yakni kepercayaan terhadap absolutisme kebenaran KA.12 Di sinilah

10Lihat kembali penjelasan Arskal Salim tentang perbedaan pandangan mengenai syari’ah oleh partai-partai Islam di Indonesia. Salim, “Which and Whose Shari’a? Historical and Political Perpectives on Legal Articulation of Islam in Indonesia”, dalam jurnal Indo- Islamika, Volume II, Nomor , 2012/1433, h. 41-41. 11Kepercayaan itu sendiri dapat dimaknai sebagai bentuk ekspresi rohaniah manusia terhadap sesuatu yang dianggap sakral. Ia melahirkan tata hubungan antara manusia dengan yang disakralkan itu dalam bentuk peribadatan. Melalui nilai-nilai yang dihasilkannya yang kemudian melembaga ke dalam tradisi, kepercayaan dapat menjalankan fungsinya sebagai pengikat kesatuan sosial masyarakat. Lihat, Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama,,,, h. 33. 12Sebenarnya Karl Marx pun memiliki kepercayaan tersendiri mengenai materi. Ketika ditetapkannya sebagai infrastruktur masyarakat, Marx telah memposisikan materi 121 terlihat kemampuan mereka menciptakan perdamaian, yang mana internalisasi yang mereka lakukan tidak sampai menghasilkan kepercayaan subyektif kelompok yang mencerminkan kepentingan kelompok. Akan terlihat bahwa internalisasi yang mereka lakukan adalah menghasilkan kepercayaan universal. KA yang ditetapkan sebagai infrastruktur masyarakat Islam universal ada lima, yaitu al-s̩ alāh al-khushu’ wa al-khud̩ u', ’ilm ma'a dhikr, ikrām al-muslimīn, tas̩ h̩ īh̩ al-niyah, dan khurūj fi sabīl li Allāh. Dengan sifat pertama (lā ilāha illā Allāh Muhammad Rasul Allāh) sebagai pokoknya, kesemuanya menjadi Enam Sifat. Berkaitan dengan tema utama bab ini, pembahasan difokuskan pada bagaimana cara JT membangun perdamaian dari dasar, yakni dengan meletakan KA sebagai infrastruktur.

1. Al-Ṣalāh al-Khusyū’ wa al-Khuḍū’ a. Pengertian Shalat Semua penjelasn tentang KA dimulai dari artinya. Dengan merunut pada arti harfiah s̩ alāh al-khushū’ wa al-khuḍū’, nampak bahwa, kata-kata s̩ alāh diartikan sebagai hubungan langsung antara hamba dengan Tuhannya, khushū’ berarti konsentrasi, dan khud̩ ū artinya tertib. Al-S̩ alāh al-khushū’ wa al-khuḍū’ artinya, shalat dengan konsentrasi batin, merendahkan diri di hadapan Allah ikut cara Rasulullah Saw. Melanjutkan semangat lā ilāha illā Allāh (mengeluarkan kebesaran makhluk dari dalam dan memasukkan kebesaran Allah ke dalam hati) shalat dimaknai sebagai cara bagaimana seseorang memutuskan hubungan ketergantungan kepada makhluk supaya dapat bergantung sepenuhnya kepada Allah. Dalam kerangka pemahaman yang demikian, sang hamba diperintahkan “... mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat,” QS. Al-Baqarah (2): 4513 untuk segala bentuk persoalannya, walaupun hanya untuk keperluan sepele, seperti garam masak. “Jangan minta kepada makhluk, mintalah kepada Allah. Makhluk dhaif, Allah Kuasa," demikian, JT selalu berkata. Dunia dengan segala hukum sebab-akibatnya memang tidak ditinggalkan. Anggota-anggota JT tetap bekerja mencari nafkah seperti biasanya. Tetapi mereka yakin bahwa orang yang telah mencapai tingkatan shalat yang khusyu’ akan mengalihkan perhatiannya dari dunia. Jadi, walaupun tetap berada di dalam dunia dalam kesehariannya, dunia tidak lagi menjadi faktor penentu tujuan hidupnya. JT yakin bahwa apabila selalu konsisten dengan shalat (konsisten waktu, dilaksanakan dengan berjamaah di masjid) semua persoalan manusia dapat diselesaikan. Allah akan melengkapi hukum sebab-akibat di alam melalui qudrah-Nya. Dukungan terhadap keyakinan ini dikembangkan dari kisah-kisah kehidupan para sahabat r.a. hum. Seperti yang sering dikisahkan JT dalam dakwah, seorang sahabat kehabisan makanan di rumahnya. Kepada istrinya ia katakan akan pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat dua rakaat. Melalui shalatnya, ia akan memohon agar Allah

sebagai kepercayaan dengan memiliki sifat-sifat yang dipercayai oleh orang beragama sebagai milik Tuhan, seperti sifat-sifat abadi, kemandirian berdaulat, tak terbatas, dan sebagainya. Lihat, Louis Leahy, Manusia di Hadapan Tuhan (Jogjakarta: Kanisius, 1998). 13Kementerian Agama RI, Al-Qur’anul Karim Dan Terkjemahnya, 2010, 7. 122 memberikan makanan kepada mereka. Setelah shalat ia kembali ke rumah. Ternyata, tidak ditemukan sesuatu apa pun berupa makanan. Sahabat itu berpikir, mungkin ada yang kurang dalam shalatnya tadi. Ia pun kembali ke masjid untuk lebih khusyu lagi. Setelah itu, ia kembali ke rumah, keadaannya masih seperti tadi. Ia masih merasa bahwa shalatnya ada kekurangan. Ia kembali lagi ke masjid untuk lebih khusyu’ lagi. Setelah itu, ia kembali ke rumah dan didapati gilingan gandumnya sedang berputar sendiri. Dari putaran itu ia melihat butiran-butiran gandum sedang keluar berjatuhan dari sekeliling celah-celahnya. Segera saja ia cepat-cepat mengambil wadah untuk menampungnya. Gilingan gandum masih berputar terus, sehingga seluruh wadah apa saja yang ada di rumahnya telah penuh dengan gandum. Penasaran dengan cara bagaimana gandum keluar dari celah bawah gilingan tersebut, ia pun merunduk hendak melihat. Tetapi, tiba-tiba saja gilingan gandum tersebut berhenti berputar, dan tidak ada lagi yang mengalir keluar. Hal itu kemudian disampaikan kepada Rasulullah Saw., “Seandainya engkau tidak mencoba untuk melihatnya, niscaya gilingan gandum itu akan berputar terus sampai hari Kiamat.” Ada banyak lagi kisah seperti di atas, yang dijadikan sebagai rujukan, ketika mendakwahkan pentingnya shalat. Hal itu menunjukkan bahwa JT percaya shalat sebagai cara mengangkat seorang hamba ke atas (kepada Allah). Di samping itu, shalat juga memiliki kekuatan untuk menimbulkan perubahan internal dalam jiwa, dan dari ketergantungan kepada makhluk untuk bergantung hanya kepada Allah. Seorang senior JT, yang bernama Kamaluddin, berkata: “Jika shalat belum dapat menyelesaikan permasalahan kita di dunia, bagaimana dengan shalat kita hari ini akan dapat menyelesaikan permasalahan kita di kubur dan di akhirat nanti.”14 b. Tujuan Shalat JT memahami tujuan dilaksanakan shalat adalah supaya setiap sifat-sifat ketaatan kepada Allah ketika melaksanakan shalat dibawa ke dalam kehidupan sehari-hari. Melalui takbīrah al-ihrām seorang hamba mengecilkan dunia/makhluk dan membesarkan Allah, maka di luar shalat pun, yakni di dalam kehidupan sehari hendaknya hamba itu selalu membesarkan Allah dalam setiap saat dan keadaan; di dalam shalat hamba membaca Al-Qur’an dan berzikir, menutup aurat dengan sempurna, menundukkan pandangan, taat kepada imam dalam setiap gerakan, menegur imam yang apabila keliru bacaannya atau pun gerakannya dengan cara yang santun (mengucapkan subh̩ āna Allāh), meluruskan shaf dan menjaga kekompokkan dalam setiap gerakan shalat, dan akhirnya mengucapkan salam, maka diluar shalat pun hendaknya sifat dan perilaku demikian terbawa-bawa, yaitu ke dalam kehidupan.15 Perasaan akan kebesaran Allah yang terbawa keluar shalat dapat manjadi jaminan bagi kestabilan jiwanya sehingga tetap utuh, tidak terpengaruh oleh

14Hasil wawancara dengan Kamaluddin, Penanggung Jawab Mahalla Al-Huda jalan Baru Ambon, pada tanggal 29 Mei 2014. 15 Dalam hal ini Allah berfirman dalam QS Al-‘Ankabūt (29): 46: ”Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Lihat, Kementerian Agama RI, Al- Qur’anul Karim Dan Terjemahnya, 2010, 401. 123 permainan-permainan dunia yang terus berubah-ubah.16 Dari penjelasan tentang tujuannya, dapat dipahami bahwa shalat berimplikasi positif terhadap pembangunan kesatuan hidup bermasyarakat. Kedekatan kepada Tuhan merupakan syarat bagi kesatuan dan kedamaian sosial. Bagi JT, pelajaran tentang perdamaian yang terkandung di dalam shalat hendaknya dapat diimplementasikan ke dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas. Dari arti dan tujuan shalat sudah terlihat bahwa JT memposisikan shalat sebagai kepercayaan. c. Ayat Al-Qur’an dan Hadis Fad̩ ā’il al-a'māl Shalat Sebagaimana disebutkan di atas, JT tidak mengusahakan perdamaian secara langsung. Yang diusahakan mereka adalah mendakwahkan KA. Beberapa ayat Al- Qur’an dan hadis yang akan disebutkan di bawah ini pun, sama sekali tidak berkaitan secara langsung dengan perdamaian. Tetapi, dengan mendakwahkan KA sampai menjadi kepercayaan bersama atau menjadi infrastruktur masyarakat, dengan sendirinya akan berimplikasi kepada perdamaian. Untuk itu, makna obyektif dari ayat Al-Qur’an dan hadis fad̩ ā’il al-a'māl saja yang disampaikan. JT yakin bahwa dengan cara ini, konflik bisa dihindarkan dan perdamaian akan terwujud. Berikut ini akan dikemukakan beberapa ayat dan hadis berdasarkan tema-tema penting shalat, yang selalu dikumandangkan JT, sebagai berikut: Kedudukan Shalat dalam Agama dan Fungsi Sosialnya dalam Al-Qur’an Firman Allah SWT.

ُ اﺗْ ُل َﻣﺎ أو ِﺣ َﻲ إِ َﻟ َْك ِﻣ َن ا ْﻟ ِﻛﺗَﺎ ِب َوأَﻗِ ِم ا ﱠﻟﺻ َﻼةَ إِ ﱠن ا ﱠﻟﺻ َﻼةَ ﺗَ ْﻧ َﻰ َﻋ ِن ا ْﻟ َﻔ ْﺣ َﺷﺎ ِء َوا ْﻟ ُﻣ ْﻧ َﻛ ِر إ َو َﻟ ِذ ْﻛ ُر ا ﱠﻟﻠ ِ أَ ْﻛ َﺑ ُر َوا ﱠﻟﻠ ُ َ ْﻌ َﻠ ُم َﻣﺎ ﺗَ ْﺻﻧَﻌُ َون. Artinya: Artinya: Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. QS. Al-‘Angkabut (29): 45.17 Firman Allah SWT. إِ ﱠن ا ﱠﻟ ِذ َن آ َﻣﻧُوا َو َﻋ ِﻣﻠُوا ا ﱠﻟﺻ ِﺎﻟ َﺣﺎ ِت َوأَ َﻗ ُﺎﻣوا ا ﱠﻟﺻ َﻼةَ َوآﺗَ ُوا اﻟ ﱠز َﻛﺎةَ َﻟ ُ ْم أَ ْﺟ ُر ªُ ْم ِﻋ ْﻧ َد إ َرﺑِّ ِ ْم َو َﻻ ﺧ َْو ٌف َﻋ َﻠ ْ ِ ْم َو َﻻ ªُ ْم َ ْﺣزَ ﻧُ َون.

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal-amal shalih, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di

16“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia diitimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang- orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap menjaga shalatnya,” QS. Al-Ma’ārij (70): 19-23. Lihat, Kementerian Agama RI, Al-Qur’anul Karim Dan Terjemahnya, 2010, 569. 17Kementererian Agama RI, Al-Qur’anul Karim Dan Terjemahnya, 2010, 401. 124

sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” QS. Al-Baqarah (2): 277.18 Firman Allah SWT: ﻗُ ْل ِﻟ ِﻌﺑَﺎ ِد َي ا ﱠﻟ ِذ َن آ َﻣ ُﻧوا ُ ِﻘ ُﻣوا ا ﱠﻟﺻ َﻼةَ َو ُ ْﻧ ِﻔﻘُوا ِﻣ ﱠﻣﺎ َرزَ ْﻗﻧَﺎ ªُ ْم ِﺳ را َو َﻋ َﻼﻧِ َ ًﺔ ِﻣ ْن َﻗﺑ ِْل ْ أَ ْن َﺄﺗِ َﻲ َ ْو ٌم َﻻ ﺑَ ْ ٌﻊ ﻓِ ِ َو َﻻ ِﺧ َﻼ ٌل. Artinya: “Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman, “Hendaklah mereka mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada hari itu yang pada hari itu tidak ada jual beli dan persahabatan.”19 QS. Ibrahim (14): 31. Hadis Nabi Muhammad Saw. Hadis-hadis Yang Menjelaskan tentang Kedudukan Shalat di dalam Agama dan Fungsi Sosialnya, sebagai berikut: Dari Ibnu ‘Umar r. huma berkata, Rasulullah Saw. bersabda, “Islam didirikan di atas lima tiang: bersaksi bahwa tiada yang berhak disembah selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, menunaikan haji, dan berpuasa pada bulan Ramadhan.”20 Dari Ubadah bin Shamit r.a. berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda, ‘Lima kali shalat telah difardhukan oleh Allah ‘Azza Wajalla. Barangsiapa menyempurnakan wudhunya, mengerjakan shalatnya tepat pada waktunya, menyempurnakan ruku’nya dan kekhusyu’annya, maka untuknya Allah berjanji akan mengampuninya. Namun barangsiapa tidak mengerjakan (shalatnya seperti demikian), maka tidak ada janji Allah baginya, jika Allah menghendaki, Dia mengampuninya, dan jika Allah menghendaki, Dia mengazabnya.”21 Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda, “Shalat fardhu yang lima waktu, shalat Jum’at hingga Jum’at berikutnya, dan puasa Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya adalah penghapus bagi dosa-dosa yang dilakukan di antaranya, selama ia menjauhi dosa-dosa besar.”22 Hadis tentang Kepentingan Azan dan Shalat Berjamaah Dari Jabi r.a. berkata, “Aku dengan Nabi Saw. bersabda, ‘Sesungguhnya apabila syetan mendengar azan, maka ia pergi hingga ke Rauha (sebuah tempat di kota Madinah).’ Sulaiman Rahimahullah (yang meriwayatkan hadis ini dari Jabir r.a.) berkata, ‘Saya bertanya kepada Jabir tentang Rauha, ia menjawab bahwa jaraknya 36 mil dari Madinah.”23 Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Nabi Saw. bersabda, “Apabila diserukan azan untuk shalat, maka syetan lari sambil terkentut-kentut

18 Kementererian Agama RI, Al-Qur’anul Karim Dan Terjemahnya, 2010, 47. 19Kementerian Agama RI, Al-Qur’anul Karim Dan Terjemahnya, 2010, 259. 20HR. Bukhari, Bab Doamu adalah Imanmu…, hadis nomor 8. 21HR. Abu Dawud, Bab Menjaga Shalat-Shalat Fardhu, hadis nomor 425. 22 HR. Muslim, Bab Shalat Lima Waktu, hadis nomor 552. 23HR. Musli, Bab Keutamaan Azan, hadis nomor 854. 125

sehingga ia tidak mendengar suara azan itu; apabila azan telah selesai, maka syetan datang lagi. Apabila iqamat untuk shalat dikumandangkan, maka ia pun berlari; apabila iqamat telah selesai, maka ia pun datang lagi untuk membisikkan sesuatu ke dalam hati orang-orang (yang sedang shalat). Kepada orang itu syetan mengatakan, ‘Ingatlah ini, ingatlah itu!’ Ia mengingatkan sesuatu yang tidak diingat orang itu sebelumnya, sehingga orang (yang sedang shalat itu) menjadi ragu, tidak tahu berapa rakaat shalat yang telah dilakukannya.”24 Dari Utsman bin Affan r.a. berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda, ‘Barangsiapa berwudhu untuk shalat dan menyempurnakan wudhunya, kemudian ia berjalan menuju shalat fardhu, lalu ia shalat bersama orang-orang atau berjamaah di masjid, maka Allah akan mengampuni dosa- dosanya.”25 Dari Buraidah r.a. dari Nabi Saw., beliau bersabda, “Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berjalan ke masjid pada malam yang gelap gulita dengan cahaya yang sempurna pada hari kiamat.”26 Dari Abu Dzar r.a. sesungguhnya Nabi Saw. keluar pada musim dingin, sedang daun-daun berguguran. Beliau Saw. mengambil dua batang ranting pohon, hingga daun-daunnya berguguran, lalu Beliau bersabda padaku, “Hai Abu Dzar!” Aku menjawab, “Labbaik, ya Rasulullah!” Beliau bersabda, “Sesungguhnya apabila seorang muslim mengerjakan shalat semata-mata karena Allah, maka dosa-dosanya akan berguguran sebagaimana daun-daun berguguran dari pohon ini.”27 Kepentingan Shalat Sunnat dan Shalat Nafilah Dari Abu Umamah r.a. berkata, Nabi Saw. bersabda, “Allah SWT. tidak mengaruniakan sesuatu yang lebih utama kepada seorang hamba daripada taufik untuk mengerjakan shalat dua rakaat. Sesungguhnya kebaikan akan dicurahkan ke atas seorang hamba selama ia sibuk dalam shalatnya. Dan tidaklah hamba-hamba Allah mendekati Allah ‘Azza Wajalla dengan sesuatu yang sebanding dengan apa yang keluar dari-Nya. Berkata Abu Nadhr, “Sesuatu itu maksudnya al-Qur’an.”28 Dari Aisyah r.ha. dari Nabi Saw., beliau bersabda mengenai dua rakaat shalat sunnat sebelum ketika terbit fajar, “Sungguh dua rakaat shalat sunnat ini lebih aku sukai daripada seluruh dunia.”29 Dari Abdullah bin Saib r.a. sesungguhnya Rasulullah Saw. mengerjakan shalat empat rakaat setelah tergelincir matahari sebelum shalat Zhuhur, dan Beliau bersabda, “Sesungguhnya ini adalah saat dimana pintu-

24HR. Muslim, Bab Keutamaan Azan…, hadis nomor 859. 25HR. Muslim, Bab Keutamaan Wudhu’ dan Shalat Setelahnya, hadis nomor 549. 26HR. Abu Dawud, dalam, Maulana Muhammad Yusuf Al-Kandhalawi, Muntakhab Ahadis (Bandung: Pustaka Ramadhan, 2007), 181. 27 HR. Ahmad V/179. 28HR. Tirmizi, dalam bab Hamba-Hamba Allah Tidak Dapat Mendekati Allah Dengan Sesuatu Pun Kecuali Dengan Apa yang Datang Darinya. Hadis nomor 2911. 29HR. Muslim, bab sangat dianjurkan dua rakaat shalat sunnat fajar….Hadis nomor 1689. 126

pintu langit dibuka dan aku ingin agar amal-amal kebaikanku naik ke langit pada saat ini (dan dikabulkan oleh Allah).”30 c. Proses Internalisasikan Shalat ke dalam Diri Proses internalisasi shalat menjadi kepercayaan dapat dilihat sebagai upaya JT mewujudkan perdamaian. Bagi JT shalat bukan hanya suatu bentuk hubungan hamba dengan Tuhan, melainkan juga dengan sesama manusia dalam sebuah jamaah yang kompak, rapat dan lurus shafnya. Kesempurnaan hubungan vertikal-horisontal ini dapat terlaksana sepenuhnya bila syarat waktu, tempat dan caranya terpenuhi. Syarat waktu artinya tepat pada awal waktu, tempatnya di masjid dan dilaksanakan dengan cara berjamaah. Ketiga persyaratan ini berimplikasi langsung kepada persatuan. Waktu, tempat dan berjamaah, di satu pihak, merupakan syarat kesempurnaan shalat di hadapan Allah. Di pihak lain, itu juga merupakan capaian tertinggi kesempurnaan umat Islam di dunia. Gambaran kejayaan umat Islam selalu ditegaskan dalam bayan-bayan, seperti misalnya ketika mereka menjelaskan kepentingan berjamaah pada shalat subuh: “Apabila shalat shubuh berjamaah telah semakmur shalat Jum’at, itu pertanda umat telah kembali kepada kejayaannya seperti mana dulu para shahabat r.a.hum.” Beberapa ayat Al-Qur’an dan hadis yang disebutkan di atas disampaikan dengan tingkat kebenaran absolut-universal, yaitu dengan hanya berdasar pada makna obyetifnya. Dalam maknanya yang demikian itu, tentu semua umat Islam memahaminya. Tetapi untuk meletakkannya sebagai infrastruktur masyarakat, maka perlu dilakukan upaya transformasi, yaitu dengan menjadikannya sebagai kepercayaan. Proses transformasi menjadi kepercayaan adalah dengan cara menginternalisasikannya ke dalam hati, melalui tiga cara. Pertama, melalui dakwah. Oleh JT dakwah dimaknai sebagai ungkapan pernyataan akan lā ilāha illa Allāh di hadapan segenap manusia sebagai makhluk. Penegasan manusia sebagai makhluk maksudnya adalah agar jangan sampai dakwah tidak dilaksanakan, atau terhalang karena terkesan dengan kebesaran dunia yang dimiliki, baik oleh orang yang berdakwah itu sendiri maupun oleh orang yang akan didakwahi. Kebesaran- kebesaran itu bisa berupa jabatan, kekuasaan, status sosial, harta atau karena kejahatan/kezalimannya. Doktrin tauhid menghendaki supaya tidak boleh ada suatu kebesaran apa pun dihati manusia kecuali kebesaran Allah semata. Jadi, persoalan yang harus diselesaikan terlebih dulu adalah diri orang yang berdakwah, yaitu dengan cara mengeluarkan kebesaran makhluk yang ada di hatinya. Dengan demikian, mendakwahkan umat kepada shalat adalah sama dengan mendakwahkan umat kepada lā ilāha illā Allāh dan Muhammad Rasūl Allāh. Orang lain yang dijumpai hanyalah momen untuk dilaksanakannya komunikasi dakwah itu. Supaya shalat dilaksanakan dengan mencapai tiga syarat di atas, maka sebelum pelaksanaan shalat, JT melakukan kunjungan-kunjungan, menjumpai orang-orang Islam, untuk diajak ke masjid. Dengan semakin banyak orang Islam melakukan shalat, menunjukkan bahwa persatuan kaum muslimin semakin baik.

30HR. Tirmizi, katanya, “Hadis Abdullah bin Saib adalah hadis hasan gharib, bab shalat ketika zawal, hadis nomor 478. Al-Jami’ush Shahih yaitu Sunan Tirmizi. 127

Dakwah JT kepada shalat, sepanjang dalam pengamatan peneliti, hanya dengan mengemukakan fad̩ ā’il al-a'māl. Untuk lebih jelasnya, dapat diperhatikan kutipan di bawah ini mengenai bagaimana bahasa dakwah JT ketika menjumpai orang-orang, sebagai berikut “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillah, kita semua bersaudara karena kita punya Tuhan dan nabi yang sama yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Nabi Muhammad Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Sebagaimana kita ketahui, hidup di dunia hanya sementara, tapi Allah punya maksud yang besar untuk menciptakan kita ke dunia, yaitu untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah yang terpenting dalam agama ini adalah shalat. Apabila kita menjaga shalat lima waktu dengan baik, Allah SWT. akan mengaruniakan kepada kita kehidupan yang baik di dunia, dan di akhirat kita akan dimasukkan ke dalam surga. Kebetulan waktu maghrib sudah dekat, saya mengajak saudara-saudaraku sekalian untuk sekarang sama-sama ke masjid.” Dakwah dengan cara demikian, dapat dilihat sebagai suatu upaya JT membangun perdamaian. Kedua, dakwah dengan cara demikian berdampak kepada pembentukan kepercayaan individual. Hal itu karena, sebagaimana telah dijelaskan, mendakwahi orang dengan cara menjumpainya langsung di tempatnya adalah untuk mengeluarkan kebesaran makhluk dari hati dan memasukkan kebesaran Allah di hati pendakwah itu sendiri. Dengan terbentuknya keyakinan akan kebesaran Allah, shalat meningkatkan fungsinnya dari sekedar sebuah bentuk ibadah menjadi membentuk kepercayaan. Jadi, ayat dan hadis fad̩ ā’il al-a'māl yang masih dalam makna obyektifnya ditransformasikan hingga menjadi kepercayaan. Demikianlah, cara JT meletakan shalat sebagai KA dan sebagai infrastruktur.

2. ‘Ilmu Ma’a Dhikr (Ilmu Yang Disertai Dengan Zikir Kepada Allah) a. Arti dan Tujuan ‘Ilm Ma’a Dhikir JT melihat ilmu dan dzikir sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Ibarat satu keping mata uang dengan kedua belah sisi yang berbeda, tetapi saling memberi nilai untuk kemudian difungsikan sebagai satu alat tukar. Secara harfiah, JT mengartikan ilmu sebagai pengetahuan, sedangkan dzikir sebagai ingat kepada Allah. Yang dimaksud dengan ilmu hanyalah yang berkaitan dengan ilmu-ilmu agama saja, baik yang tercantum dalam Al-Qur’an maupun hadis. Adapun yang berkaitan dengan kedokteran, pertanian, ekonomi, dan seterusnya dinamakan saja pengetahuan, bukan ilmu. Fungsi ilmu adalah untuk mengetahui kepentingan-kepentingan Allah pada setiap saat dan pada setiap tempat. Sedangkan fungsi dzikir adalah untuk mengingat Allah sebagaimana agungnya Allah. Menurut JT dalam setiap saat dan pada setiap tempat terdapat berbagai kepentingan Allah yang mesti ditunaikan. Ketika matahari terbit di waktu fajar, ketika matahari berada sejajar di atas kepala, ketika sudah sangat condong ke arah barat, ketika matahari terbenam dan ketika matahari hilang di ufuk barat, semua hanyalah tanda untuk manusia menunaikan KA. Begitu pun ketika berada di rumah atau tempat tinggal, di tempat kerja, di pasar atau dalam berbagai bentuk hubungan dengan sesama manusia, terdapat berbagai KA yang mesti diketahui dan dilaksanakan. 128

Bertolak dari pengertian ilmu dan dzikir, JT menetapkan tujuan ‘ilmu ma’a dhikr, yaitu untuk mengetahui kehendak-kehendak Allah pada setiap saat dan keadaan dengan menghadirkan keagungan Allah di dalam hati. Kepentingan Allah adalah tuntutan-Nya yang harus dipenuhi oleh setiap diri dalam setiap saat dan di mana pun berada. Dalam pelaksanaannya, hendaklah diboboti dengan dzikir. Sehingga setiap bentuk ilmu adalah untuk berdzikir. Ilmu yang tidak sertai zikir hanya akan melahirkan kelalaian. Bisa saja seseorang berilmu banyak, tetapi ketiadaan dzikir mengakibatkan ketiadaan kekuatan untuk mengamalkan ilmunya. Dia mungkin mengetahui sesuatu sebagai kebenaran atau sesuatu sebagai kebatilan, tetapi tidak ada kekuatan untuk melaksanakan kebenaran dan tidak ada kekuatan pula untuk meninggalkan kebatilan. Zikir berperan sebagai ruh ilmu, yang dengannya, ilmu menjadi hidup dalam setiap saat kehidupan seseorang, di mana pun dia berada. Zikir menjadikan setiap ilmu, sekecil apa pun, sebagai bentuk-bentuk zikir. Dalam pengertian lain, orang yang berilmu akan memanfaatkan ilmunya untuk berzikir dalam setiap perkataan dan perbuatan. Semakin banyak ilmunya akan semakin banyak pula zikirnya sampai pada tingkat dimana semua ilmunya adalah zikir yang wujud dalam perbuatannya. Menurut JT orang yang sudah sampai pada tingkat kesatuan ‘ilmu ma’a dhikr yang demikian, “Apabila melihat wajahnya, kita teringat akan Allah, mendengar pembicaraannya bertambah ilmu kita dan melihat akhlak dan perbuatannya teringat akan kampung akhirat.”31 b. Ayat al-Qur’an dan hadis Fad̩ ā’il al-a'māl ‘Ilmu Ma’a Dhikr Berikut di bawah dicantumkan beberapa ayat Al-Qur’an dan hadis mengenai fad̩ ā’il ‘ilmu ma’a dhikr. Dalam setiap kali dakwah JT, ayat dan hadis itu disampaikan dengan cara dibacakan. Diharapkan dengan itu timbul dorongan bagi setiap orang untuk mempelajari ilmu dan bertindak seperti yang dikehendaki-Nya. Penyampaian dengan cara hanya membaca memang dimaksudkan JT untuk terjadinya proses transformasi menjadi kepercayaan, terutama bagi yang membaca itu sendiri. Olehnya itu, selalu ayat dan hadis yang itu juga yang diulang-ulang pembacaannya dalam setiap kegiatan dakwah mereka. Ketika ada pertanyaan: “Mengapa hanya dibaca, tidak ada penjelasannya?” Maka, dijawab, “Kami hanya menyampaikan persis seperti apa yang disampaikan Allah kepada Nabi Muhammad Saw. Bila dijelaskan, maka orang lain pun sudah memiliki pemahaman yang bisa saja berbeda. Dengan cara itu kami merasa bisa menghindari perdebatan.” Dengan cara hanya membaca, JT kelihatannya sedang membawa umat Islam ke makna obyektif-universal. Di antara ayat dan hadis yang bisa dikemukakan adalah sebagai berikut: Firman Allah SWT. َﻛ َﻣﺎ أَ ْر َﺳ ْﻠ َﻧﺎ ﻓِ ُﻛ ْم َرﺳُو ًﻻ ِﻣ ْﻧ ُﻛ ْم َﺗْﻠُو َﻋ َﻠ ْ ُﻛ ْم آ َﺎﺗِ َﻧﺎ َو ُزَ ِّﻛ ُﻛ ْم َو ُﻌَ ِّﻠ ُﻣ ُﻛ ُم ا ْﻟ ِﻛﺗَﺎ َب َوا ْﻟ ِﺣ ْﻛ َﻣ َﺔ َو ُﻌَ ِّﻠ ُﻣ ُﻛ ْم َﻣﺎ َﻟ ْم ﺗَ ُﻛوﻧُوا ﺗَ ْﻌ َﻠ ُﻣ َون.

31Hasil wawancara dengan Mahmud, Penanggung Jawab Mahalla Asy-Syifa, Air Kuning Kota Ambon, pada tanggal 23 Agustus 2014. 129

Artinya: Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu dengan menetapkan arah kiblatmu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah (As Sunah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. QS. Al-Baqarah (2): 151.32 Firman Allah SWT.

َ و َﻟ ْﻮ َﻻ َﻓ ْﻀ ُﻞ ا ﱠﻟﻠ ِ َﻋ َﻠ ْ َﻚ َو َر ْﺣ َﻤﺘُ ُ َﻟ َ ﱠﻤ ْﺖ َطﺎﺋِ َﻔﺔٌ ِﻣ ْﻨ ُ ْﻢ أَ ْن ُ ِﻀﻠﱡﻮ َك َو َﻣﺎ ُ ِﻀ ﱡﻠﻮ َن إِ ﱠﻻ أَ ْﻧﻔ ُ َ ﺴُ ْﻢ و َ و َﻣﺎ َ ُﻀ ﱡﺮوﻧَ َﻚ ِﻣ ْﻦ َﺷ ْﻲ ٍء َوأَ ْﻧ َ ﺰ َل ا ﱠﻟﻠ ُ َﻋ َﻠ ْ َﻚ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ َب َوا ْﻟ ِﺤ ْﻜ َﻤ َﺔ َو َﻋ ﱠﻠ َﻤ َﻚ َﻣﺎ َﻟ ْﻢ ﺗَ ُﻜ ْﻦ ﺗَ ْﻌ َﻠﻢُ َو َﻛﺎ َن َﻓ ْﻀ ُﻞ ا ﱠﻟﻠ ِ َﻋ َﻠ ْ َﻚ َﻋ ِﻈ ًﻤﺎ

Artinya: Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikitpun kepadamu. Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu. QS. An Nisa (4): 113.33 Firman Allah SWT. َ وﺗِ ْﻠ َﻚ ا ْﻷﻣﺜَﺎ ُل ﻧَ ْﻀ ِﺮﺑُ َﺎ ِﻟ ﱠﻠﻨﺎ ِس َو َﻣﺎ َ ْﻌ ِﻘﻠُ َﺎ إِﻻ ا ْﻟﻌَ ِﺎﻟ ُﻤﻮ َن و Artinya: Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu. QS. Al- ‘Angkabut (29): 43.34 Hadis Nabi Muhammad Saw. Dari Abu Musa r.a., dari Nabi Saw., beliau bersabda: “Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutus aku untuk menyampaikannya adalah seperti hujan lebat jatuh ke bumi. Sebagian dari bumi itu subur menyerap air, menumbuhsuburkan tanam-tanaman dan rumput-rumput yang banyak. Ada pula tanah yang keras, tidak dapat menyerap air sehingga tergenang. Maka dengannya Allah memberi manfaat kepada manusia. Mereka dapat minum darinya dan memberi minum (binatang ternak dan sebagainya), dan untuk bercocok tanam. Dan ada pula hujan yang jatuh ke bagian lain, yaitu di atas tanah (berlapis batu) yang tidak menampung air dan tidak pula menumbuhkan rumput. Begitulah perumpamaan orang yang belajar agama (menuntut ilmu), yang mau memanfaatkan apa yang aku disuruh Allah menyampaikannya, yaitu mempelajari dan mengajarkannya; dan begitu pula perumpamaan orang

32Kementerian Agama RI, Al-Qur’anul Karim Dan Terjemahnya, 2010, 17. 33Kementerian Agama RI, Al-Qur’anul Karim Dan Terjemahnya, 2010, 96. 34Kementerian Agama RI, Al-Qur’anul Karim Dan Terjemahnya, 2010, 401. 130

yang tidak mau memikirkan dan tidak dan tidak mau menerima petunjuk Allah yang aku diutus untuk menyampaikannya.”35 Dari Uqbah bin Amir r.a. menceritakan, “Rasulullah Saw. keluar (menemui kami) ketika kami sedang berada di Shuffah, lalu beliau bertanya, ‘Siapa di antara kamu yang suka pergi setiap hari ke Buth-han atau ‘Aqiq (nama dua buah pasar di Madinah), lalu pulang dengan membawa dua ekor unta betina yang besar punuknya tanpa melakukan suatu dosa (misalnya dengan cara mencuri) atau memutuskan silaturahmi (misalnya bertengkar dengan pemiliknya)?’ Kami menjawab, ‘Wahai Rasululllah, kami semua menyukai hal itu.’ Beliau bersbda, ‘Mengapa tidak pergi seseorang di antara kamu ke masjid di pagi hari untuk belajar atau membaca dua ayat dari Kitab Allah ‘Azza wajalla, demikian itu lebih baik baginya daripada mendapatkan dua ekor unta betina; tiga ayat lebih baik daripada tiga ekor unta betina; empat ayat lebih baik daripada empat ekor unta betina, dan seterusnya menurut jumlah yang sama dari unta.?”36 Dari Mu’awiyah r.a. berkata, “Aku mendengar Nabi Saw. bersbda, ‘Siapa yang dikehendaki oleh Allah (untuk diberi) kebaikan, maka memberinya kefahaman agama. Aku hanyalah pembagi, dan Allah-lah yang memberi.”37 Firman Allah SWT. tentang Keutamaan Dzikr َﻓﺎ ْذ ُﻛ ُﺮوﻧِﻲ أَ ْذ ُﻛ ْﺮ ُﻛ ْﻢ َو ا ْﺷ ُﻜ ُﺮوا ِﻟﻲ َوﻻ ﺗَ ْﻜﻔُ ُﺮ ِون ا Artinya: Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. QS. Al-Baqarah (2): 152.38 َ ووا ﱠﻟ ِذ َن إِ َذا َﻓﻌَﻠُوا َﻓ ِﺎﺣ َﺷ ًﺔ أَ ْو َظ َﻠ ُﻣوا أَ ْﻧﻔُ َ ﺳُ ْم َذ َﻛ ُروا ا ﱠﻟﻠ َ َﻓ ْﺎﺳﺗَ ْﻐ َﻔ ُروا ِﻟذُﻧُ ﺑِ ِ ْم َو َﻣ ْن َ ْﻐ ِﻔ ُر اﻟ ﱡذ ُﻧ َوب إِ ﱠﻻ ا ﱠﻟﻠ ُ َو َﻟ ْم ُ ِﺻ ﱡروا َﻋ َﻠﻰ َﻣﺎ َﻓﻌَﻠُوا َو ªُ ْم َ ْﻌ َﻠ ُﻣ َون. Artinya Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. QS. Ali Imran (3): 135.39 Firman Allah:

َﺎ أَ ﱡ َﺎ ا ﱠﻟﻧﺎ ُس َﻗ ْد َﺟﺎ َءﺗْ ُﻛ ْم َﻣ ْو ِﻋ َظﺔٌ ِﻣ ْن َرﺑِّ ُﻛ ْم َو ِﺷ َﻔﺎ ٌء ِﻟ َﻣﺎ ﻓِﻲ ا ﱡﻟﺻ ِدُور َو ªُدًى َو َر ْﺣ َﻣﺔٌ ِﻟ ْﻠ ُﻣ ْؤ ِﻣﻧِ َن

35HR. Bukhari, Bab Keutamaan Orang ‘Alim dan Mengajarkan ‘Ilmunya, hadis nomor 79. 36 HR. Muslim, Bab Keutamaan Membaca Al-Qur’an, hadis nomor 1873. 37 HR. Bukhari, Bab Siapa Yang Dikehendaki Oleh Allah Untuk Diberi Kebaikan, hadis nomor 71. 38Kementerian Agama RI, Al-Qur’anul Karim Dan Terjemahnya, 2010, 17. 39Kementerian Agama RI, Al-Qur’anul Karim Dan Terjemahnya, 2010, 67. 131

Artinya: Artinya: Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. QS. Yunus (10): 57-58.40 Hadis Nabi Muhammad Saw. Dari Abu Hurairah r.a. berkata, “Nabi Saw bersabda (dalam Hadis Qudsi) bahwa Allah SWT. berfirman, ‘Aku mengikuti sangkaan hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersamanya apabila ia mengingat-Ku. Jika ia mengingati-Ku di dalam hatinya, maka Aku mengingat ia dalam hati-Ku, dan jika ia menyebut Aku di dalam majelis, maka Aku menyebut ia dalam majelis yang lebih dari majelis mereka (yaitu majelis para malikat). Jika hamba-Ku mendekati Aku satu hasta, maka Aku mendekatinya satu depa, jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku datang padanya dengan berlari.”41 Dari Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat-malaikat yang selalu berkeliling ke jalan-jalan untuk mencari ahli-ahli zikir. Apabila mereka mendapati suatu kaum yang sedang berzikir kepada Allah, maka mereka saling memanggil satu sama lain, ‘Marilah menuju kepada yang kalian cari!’ Kemudian mereka menaungi majelais itu dengan sayap-sayap mereka (bershaf-shaf) hingga ke langit dunia. Lalu Allah ‘Azza wajalla bertanya pada mereka, padahal Dia lebih mengetahui daripada mereka, ‘Apa yang diucapkan hamba-hamba-Ku?” Para malaikat menjawab, ‘Mereka sedang membaca tasbih, takbir, tahmid, dan sedang menyanjung-Mu.’ Allah ‘Azza wajalla bertanya, ‘Apakah mereka pernah melihat Aku?’ Para malaikat menjawab, ‘Tidak, demi Allah, mereka belum pernah melihat-Mu.’ Allah bertanya lagi, ‘Bagaimana seandainya mereka pernah melihat Aku?’ Malaikat menajwab, ‘Seandainya mereka pernah melihat-Mu, maka mereka akan bersungguh-sungguh lagi beribadah kepada-Mu, lebih bersungguh-sungguh memuliakan-Mu, dan lebih banyak lagi bertasbih kepada-Mu.’ Allah bertanya, ‘Apa yang mereka minta?’ Malaikat menjawab, ‘Mereka meminta pada-Mu surga.’ Allah bertanya lagi, ‘Apakah mereka pernah melihat surga?’ Malaikat menjawab, ‘Tidak, demi Allah, mereka belum pernah melihat surga itu.’ Kemudian Allah bertanya pada mereka, ‘Bagaimana seandainya mereka pernah melihatnya?’ Malaikat menjawab, ‘Seandainya mereka pernah melihatnya, pastilah mereka lebih kuat keinginan untuk memasukinya, lebih giat lagi mencarinya, dan lebih besar lagi semangat untuk mendapatkannya.’ Kemudian Allah bertanya, ‘Dari apakah mereka berlindung?’ Malaikat menjawab, ‘Mereka berlindung dari neraka.’ Allah bertanya, ‘Apakah mereka pernah melihat neraka itu?’ Malaikat menjawab, ‘Tidak, demi Allah! Wahai Rabbku, mereka belum pernah melihatnya.’ Allah bertanya, ‘Bagaimana seandainya mereka pernah melihatnya?’ Maikat menjawab, ‘Seandainya mereka pernah melihatnya,

40 Kementerian Agama RI, Al-Qur’anul Karim Dan Terjemahnya, 2010, 215. 41 HR. Bukhari, Bab Firman Allah SWT., “Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya.” QS. Ali Imran (3): 28-VI/2694. 132

pastilah mereka akan lebih jauh lagi lari darinya dan lebih takut lagi padanya.’ Kemudian Allah berfirman, ‘Aku angkat kalian sebagai saksi bahwa sesungguhnya Aku telah mengampuni mereka.’ Salah satu malaikat berkata, ‘Di antara mereka ada si fulan yang bukan dari kelompok mereka, ia datang ke majelis itu hanya untuk keperluan pribadi.’Allah berfirman, ‘Mereka adalah peserta majelis yang tidak akan merugi siapa yang duduk bersama mereka.”42 c. Cara Menginternalisasikan ‘Ilm Ma’a Dhikr Dalam rangka membangun perdamaian serta menghindari konflik, terlebih dulu JT membagi ilmu menjadi dua, yaitu ilmu faḍāil dan ilmu masāil. Pembagian itu didasarkan pada dua cara memahami ayat Al-Qur’an maupun hadis, yaitu pemahaman berdasarkan pada makna obyektif dan makna subyektif. Dua cara pemahaman yang berdampak pada dua proses internalisasi yang berbeda, yang kemudian menghasilkan dua bentuk transformasi yang juga berbeda. Sebagaimana akan dijelaskan lebih jauh, ilmu faḍāil akan bertranformasi menjadi kepercayaan, sedangkan ilmu masāil bertransformasi menjadi kecakapan intelektual seorang ulama. Agaknya, pembagian seperti ini merupakan sesuatu yang khas dalam JT ketika melaksanakan proses belajar-mengajar. Ilmu faḍāil43 adalah ilmu yang berkaitan dengan keutamaan-keutamaan mengamalkan suatu amal-ibadah. Materi pokoknya adalah semua ayat Al-Qur’an dan hadis yang berkaitan dengan faḍā’il a’māl. Contohnya, semua ayat dan hadis mengenai faḍā’il a’māl dari Enam Sifat yang disebutkan dalam disertasi ini adalah ilmu faḍā’il. Cara belajarnya adalah cukup dengan hanya membaca atau mendengar pembacaan ayat Al-Qur’an dan hadis tentang faḍā’il a’māl. Hal itu menunjukkan bahwa ilmu ini tidak perlu kepada suatu lembaga pendidikan formal untuk dilakukan proses belajar-mengajarnya. Target akhir yang hendak dicapai juga bukan pada sekedar pemahaman, tetapi kepercayaan. Melalui ilmu faḍāil inilah JT dapat mempertahankan ayat Al-Qur’an dan hadis tentang KA dalam makna obyektifnya, yang dengan itu pula, kandungan makna Islam pada tataran kebenaran absolutnya dapat juga dipertahankan. Adapun, ilmu masāil adalah ilmu yang membahas tentang persoalan- persoalan hukum (masāil fiqhiyah) dalam Islam. Ilmu masāil merupakan hasil pemahaman para ulama terhadap makna obyektif ayat Al-Qura’an dan hadis. Dari hasil pemahaman mereka muncullah makna subyektif menurut seorang ulama. Kadangkala hasil pemahaman mereka mengandung kecenderungan tertentu yang mencerminkan gaya berpikir seorang ulama. Pemahaman yang berbeda-beda itu

42HR. Bukhari, Bab Keutamaan Berzikir Kepada Allah ‘Azza wajalla, hadis nomor 6408. 43JT membedakan pengertian fad̩ īlah dan farīd̩ ah. Kata yang pertama bermakna kepentingan Allah, qad̩ a dan qadar, penciptaan dan hikmah, ilmu dan taufik, serta tulisan- Nya di Lauh al-Mahfūz. Sedangkan, kata yang kedua bermakna perintah dan kepentingan Allah, qad̩ a dan qadar, penciptaan dan hikmah, ilmu dan taufik, serta tulisan-Nya di Lauh al- Mahfūz. Lihat, An-Nadhr M. Ishaq Shahab, khurūj fī sabīl li Allāh, h. 102. 133 kemudian melahirkan berbagai mazhab fiqh dalam Islam.44 Secara institusi, JT tak mencampuri persoalan-persoalan yang dibahas dalam masāil fiqhiyah. Dengan sikapnya ini JT dapat memosisikan dirinya pada titik aman di antara berbagai kecenderungan pertentangan dan perdebatan dengan kelompok umat Islam yang lain. Melalui proses belajar-mengajar di lembaga-lembaga pendidikan formal, ilmu masāil fiqhiyah melahirkan kecakapan intelektual pada segelintir orang. Proses untuk mendapatkannya adalah dengan ketekunan tingkat tinggi serta menghabiskan uang, tenaga dan waktu yang tidak sedikit. Intinya, internalisasi ‘ilmu masāil melalui proses belajar menghasilkan kecakapan intelektual seorang ulama. Penyelenggaranya ada pada lembaga-lembaga pendidikan formal di bawah tanggung jawab orang-orang yang punya keahlian di bidang itu.45 Adapun proses internalisasi ‘ilm fadāil, di samping yang sudah disebutkan di atas, adalah juga dengan melalui dakwah. Dalam hal ini JT tidak membuat klasifikasi. Semua orang Islam bisa melaksanakannya dan harus. Dakwah dilaksanakan dengan cara berkelompok maupun sendiri-sendiri. Yang biasa dilakukan JT adalah dengan terlebih dulu membentuk sebuah kelompok, terdiri dari paling sedikit tiga orang atau 10 – 12 orang. Kelompok itu dibagi dua. Sebagian orang berdiam di dalam masjid sambil mendengarkan pembacaan kitab fadāil al- a’māl. Sebagian yang lain keluar menjumpai orang-orang untuk diajak ke masjid dan duduk majlis ta’lim fadāil al-a’māl. Proses internalisasi dengan cara demikian, apabila dilakukan berulang-ulang, ternyata cukup efektif untuk menimbulkan efek transformasi di dalam diri, yaitu ‘ilm fadāil berubah menjadi kepercayaan. Orang itu akhirnya dianggap memiliki sifat ālim al-fadāil. Menurut JT orang yang telah memiliki sifat ālim al-fadāil berarti dia telah memiliki semangat mengamalkan agama yang kuat. Dengan demikian ta’lim fadāil al-a’māl dimaksudkan untuk menyuntikkan ruh agama dalam diri. Bila dibuatkan permisalan dengan kenderaan, maka ‘ilm al-fadāil diibaratkan sebagai roda belakang. Fungsinya sebagai pendorong. Untuk mengarahkan kendaraan supaya berjalan di jalan yang benar, dibutuhkan roda depan, yaitu ilmu masāil. Ilmu yang terakhir ini akan memberikan seperangkat pengetahuan tentang mana yang wajib, sunnah, makruh, halal, haram, dan sebagainya.

44Mengenai gaya atau model berpikir para ulama, sehingga menghasilkan model- model pemahaman terhadap al-Qur’an dan hadis, lihat: Shihab, Islam Yang Saya Anut…, h. 3-30 45JT membedakan pengertian dakwah dengan pengajaran. Berdakwah artinya mengajak, mengajak kepada amal agama, seperti mengajak orang untuk melaksanakan shalat, berpuasa Ramadhan, membaca Al-Qur’an, dan sebagainya. Tentang bagaimana kaifiatnya, itu adalah urusan orang yang ahli dalam ilmu agama. Karena itu, anak kecil atau orang awam sekalipun boleh berdakwah. Pengajaran adalah proses memberikan pemahaman atau alih-transfer ilmu kepada orang lain. Misalnya, tentang bagaimana cara shalat yang benar, siapa yang dimaksud dengan musafir dan bagaimana pelaksanaan shalat baginya, ini adalah tugas ulama, ustaz dan guru agama (Penjelasan disampaikan pada Bayan Maghrib oleh Mufti Lutfi Al-Banjari di masjid Al-Fatah Ambon pada tanggal 25 Juli 2015). 134

Bila seorang hanya punya ilmu faḍāil, berarti ia sudah punya kekuatan untuk beramal. Hanya saja, amalnya belum berdasar pada ilmu, sehingga akan terjadi banyak kesalahan bahkan mungkin juga kesesatan-kesesatan dalam beramal. Sebaliknya, bila seorang hanya menguasai ilmu masāil, maka dia sudah punya kecerdasan untuk menjelaskan banyak hal mengenai agama, hanya saja tidak ada kekuatan dalam dirinya untuk mengamalkannya. Agaknya, banyak anggota JT telah benar dalam semangat, tetapi kekurangan dalam pengetahuan. Kesalahan-kesalahan dalam mengamalkan agama banyak kali dilakukan oleh sebagian JT yang tidak memiliki ilmu agama yang memadai. Tetapi suatu hal menggembirakan akhir-akhir ini telah banyak pesantren yang ambil bagian dalam dakwah JT. Sebaliknya, lembaga-lembaga pendidikan telah berhasil mencetak banyak orang pintar, tetapi lemah dalam pengamalan. “Satu perkara yang mencengangkan,” demikian keheranan Maulana Ilyas, “Seorang lulusan pendidikan tinggi agama tidak berjenggot.” Menurut JT hal itu karena kurang penguasaannya akan ilmu faḍāil. Terobsesi untuk menimbulkan kekuatan dalam mengamalkan agama, JT menjadikan ta’lim fad̩ ā’il al-a'māl digencarkan. Program ta’limnya dibuatkan mulai dari jadwal harian, mingguan dan tiga bulanan. Dalam program ta’lim diundang banyak orang hadir. Berbagai kalangan dengan berbagai latar belakang pendidikan/pemahaman dapat duduk bersama dalam satu majelis untuk mendengarkan pembacaan kitab fad̩ ā’il al-a'māl. Pendekatan dengan ‘ilm al-fad̩ ā’il dan ‘ilm al-masā’il terhadap suatu ayat Al- Qur’an atau pun hadis ternyata, melahirkan bentuk pemahaman yang berbeda. Dengan ‘ilm al-fad̩ ā’il makna obyektif dapat mempertahankan. Kebenaran absolutnya juga tetap terjaga. Proses internalisasi ke dalam diri hingga bertransformasi menjadi kepercayaan sama sekali tidak menghilangkan absolutismenya. Masyarakat tetap mempercayainya sebagai kebenaran absolut, yang dengan demikian menjadi kepercayaan bersama. Demikianlah peran JT dalam membangun perdamaian. Dengan cara itu, JT menegakkan infrastruktur masyarakat. Sedangkan, pendekatan dengan ‘ilm al-masā’il terhadap ayat Al-Qur’an maupun hadis yang sama, melahirkan keragaman pemahaman. Setiap mazhab punya metode yang relatif berbeda antara dengan yang lainnya. Jelas, perdamaian universal tidak akan bisa ditegakkan dengan pemahaman yang berbeda-beda. Tetapi, sesuatu hal yang posisitif, ‘ilm al-masā’il merangsang pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Bermunculan berbagai warna pemahaman mengenai Islam yang kemudian memperkaya khazanah ilmu pengetahuan Islam. Menghadapi kenyataan ini, sikap JT adalah menerima semuanya dan melarang dilakukan perdebatan.46

46Dalam 28 Ushul Dakwah JT, terdapat 4 hal yang tidak boleh disentuh, yaitu: 1. Politik, baik dalam negeri maupun luar negeri 2. Khilafiyah (Perbedaan pendapat mengenai masalah fiqh) 3. Membicarakan aib seseorang atau masyarakat 4. Meminta sumbangan dan membicarakan status sosial (pangkat/jabatan). 135

3. Ikrām Al-Muslimīn a. Arti dan Tujuan Arti harfiah dari ikrām al-muslimīn ialah memuliakan sesama saudara muslim. Tujuannya adalah agar setiap muslim memenuhi hak sesama saudaranya tanpa mengharapkan haknya akan ditunaikan. JT membagi sifat ikrām menjadi dua. Ikrām yang terendah adalah berlaku sabar dan tidak mau merepotkan orang lain dalam berbagai hal kehidupan. Ikrām yang tertinggi adalah mengajak orang lain untuk taat kepada Allah SWT. Menurut JT, apabila seseorang muslim sudah mencapai tingkat ithar (mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingannya sendiri) dalam berikrām, maka Allah SWT.akan selesaikan semua masalahnya. Dukungan terhadap sikap ikrām diperoleh dari kisah-kisah kehidupan para sahabat Nabi Muhammad Saw. Dua kisah di bawah ini akan menujukkan bagaimana JT memproyekkan sifat ikrām dalam kerja dakwah sebagaimana para sahabat telah memiliki sifat ikrām dengan ithar tingkat tinggi. Diberitakan bahwa Nabi Muhammad Saw. di suatu ketika tengah bersama para sahabatnya, datanglah seseorang mengadukan kondisinya yang sedang susah lagi lapar. Mendengar pengaduannya, Nabi Saw. segera menyuruh seseorang untuk pergi ke rumahnya menanyakan barangkali ada sesuatu makanan yang bisa diberikan kepada orang ini. Sahabat yang diperintahkan pun pergi, tetapi kembali dengan laporan bahwa di rumah Nabi Muhammad Saw. sedang tidak ada sesuatu makanan apa pun. Beliau segera berbalik menghadap para sahabatnya yang lain dan menanyakan, barangkali ada yang bisa membantunya melayani tamunya malam ini. Seorang sahabat dari kalangan Anshar dengan spontan menyahut, “Wahai Rasulullah, sayalah yang akan menjamunya.” Orang yang mengadu tadi diserahkan kepada sahabat Anshar itu dan diajak kerumahnya. Sampai di rumah, kepadanya istrinya dia berbisik, “Lihatlah orang ini, dia adalah tamu Rasulullah Saw. Kita harus melayaninya dengan sebaik-baiknya. Keluarkan semua makanan, jangan ada yang tersisa sedikit pun.” Istrinya menjawab,”Demi Allah! Sebenarnya tidak cukup persediaan makanan malam ini, kecuali hanya sedikit untuk anak kita saja.” Mendengar penjelasan istrinya yang demikian, ia justru menginstruksikan supaya menidurkan semua anak mereka dengan tidak usah memberi makan. Jadi, malam itu, semua anggota keluarga harus rela berlapar-lapar demi menghormati sang tamu. Supaya acara penghormatan dapat berjalan rapi tanpa menampakkan kekurangan mereka, sahabat Anshar itu juga menginstruksikan kepada istrinya agar mematikan lampu, manakala ia dan tamunya telah berada di meja makan. Sementara dalam keadaan gelap, sahabat Anshar mempersilahkan tamunya makan. Sang tamu tidak mengetahui sedikitpun bahwa sebenarnya sahabat Anshar itu pun tak kebagian makanan, dan hanya berpura-pura makan saja. Sampai akhirnya, acara makan selesai, istrinya pun selesai memperbaiki lampu dan menyalakannya. Atas pengorbanan yang luar biasa itu, Allah SWT. pun berkenan menurunkan wahyu 136 untuk memuji keluarga Anshar itu. Dia berfirman : “Dan mereka mengutamakan (Muhajirin) atas diri mereka sendiri, walaupun mereka dalam kesusahan.”47 Suatu peristiwa luar biasa lain juga mengenai pengorbanan para sahabat Nabi Muhammad Saw. adalah seperti yang terjadi di perang Yarmuk. Walaupun situasi lagi sangat kritis, para sahabat masih lebih mengutamakan saudaranya ketimbang dirinya sendiri. Cerita mengenai peristiwa pengorbanan mereka itu, begini. Sahabat yang bernama Abu Jahm bin Huzaifah ikut dalam perang Yarmuk sebagai prajurit tempur. Di tengah kegentingan yang luar biasa itu tiba-tiba dia teringat kepada saudara sepupunya. Dengan membawa sedikit air, dia pun mencarinya. Abu Jahm akhirnya menemukan saudaranya tengah berada di garis terdepan pertempuran sudah dalam keadaan sudah terluka parah. Abu Jahm segera memberikan pertolongan. Tetapi baru saja dia hendak memberinya air, tidak jauh dari mereka berdua, terdengar suara rintihan kesakitan lain dari seorang prajurit yang juga terluka parah. Saudara sepupunya memberi isyarat agar air itu segera dibawa ke prajurit tersebut. Abu Jahm pun beranjak ke prajurit itu, rupanya dia adalah Hisyam bin Abi al-‘Ash. Begitu air hendak diberikan kepada Hisyam, terdengar lagi rintihan kesakitan dari prajurit lain yang juga terluka parah. Hisyam pun memberi isyarat agar air itu dibawa ke prajurit yang merintih itu. Baru saja dia mendekat, prajurit itu keburu meninggal dunia. Abu Jahm akhirnya kembali ke Hisyam, tetapi ternyata Hisyam juga sudah meninggal. Abu Jahm pun kembali ke saudara sepupunya, ternyata dia juga sudah meninggal. Jadi, mereka semua meninggal dengan tanpa sempat mereguk setitik air pun. Kalau dibayangkan, betapa pun para sahabat itu lebih mengutamakan saudaranya ketimbang dirinya sendiri.48 b. Ayat Al-Qur’an dan Hadis Fad̩ ā’il al-a'māl tentang Ikrām Al-Muslimīn Firman Allah SWT.

َ وﺗَﻌَﺎ َوﻧُﻮا َﻋ َﻠﻰ ا ْﻟﺒِ ِّﺮ َواﻟﺘﱠ ْﻘ َﻮى َو َﻻ ﺗَﻌَﺎ َوﻧُﻮا َﻋ َﻠﻰ ا ْ ِﻹﺛْ ِﻢ َ اوا ْﻟﻌُﺪْ َو ِان َو اﺗﱠﻘُﻮا ا ﱠﻟﻠ َ إِ ﱠن ﱠﻟﻠ َﺷ ِﺪ ﺪُا ْﻟ ِﻌ َﻘﺎ ِب

Artinya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. Al-Maidah [5]: 2.49

َﻓ ﱠﺎﻟ ِﺬ َﻦ آ َﻣﻨُﻮا ﺑِ ِ َو َﻋ ﱠﺰ ُروهُ َوﻧَ َﺼ ُﺮوهُ َواﺗﱠﺒَﻌُﻮا ا ﱡﻟﻨﻮ َر ا ﱠﻟ ِﺬي أُ ْﻧ ِﺰ َل َﻣﻌَ ُ أُو َﻟﺌِ َﻚ ªُ ُﻢ ا ْﻟ ُﻤ ْﻔ ِﻠ ُﺤﻮن ◌

47Maulana Muhammad Zakariyya al-Kandhalawi, “Hikayat Sahabat”, dalam, Kitab Fadhail A.mal, (Bandung: Pustaka Ramadhan, 2001), h. 828-829 48Al-Kandhalawi, “Hikayat Sahabat”, …h. 832. 49Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya. 137

Adapun orang-orang yang beriman kepadanya (Nabi Muhammad Saw), memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Al-A’raf [7]: 157).50 َ وا ْﺧ ِﻔ ْض َﻟ ُ َﻣﺎ َﺟﻧَﺎ َح اﻟ ﱡذ ِّل ِﻣ َن اﻟ ﱠر ْﺣ َﻣ ِﺔ َوﻗُ ْل َر ِّب ْار َﺣ ْﻣ ُ َﻣﺎ َﻛ َﻣﺎ َر ﱠﺑ َﺎﻧِﻲ َﺻ ِﻐ ًرا. “Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih saying dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil. (QS. Al-Isra’[17]: 24).51 Hadis Nabi Muhammad Saw. “Dari Anas ra. berkata; Rasulullah Saw. bersabda: “Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim (aniaya) dan yang dizalimi”. Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, jelas kami paham menolong orang yang dizalimi, tapi bagaimana kami harus menolong orang yang berbuat zalim?” Beliau bersabda: “Pegang tangannya (agar tidak berbuat zalim).”52 “Dari Abu Hurairah ra. dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Barang siapa memudahkan satu kesulitan dari saudaranya sesama muslim di dunia, maka Allah akan memudahkan baginya kesulitan di dunia dan di akhirat. Dan barang siapa menutupi aib saudaranya sesama muslim, maka Allah kan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat, dan Allah akan selalu menolong seorang hamba selama hamba tersebut mau menolong saudaranya.”53 Dari ibnu ‘Umar ra. berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Barang siapa ingin dikabulkan doanya dan dihilangkan kesusahannya, hendaklah ia meringankan beban orang yang kesusahan.”54 Dari Anas ra. bahwa dia ditanya mengenai upah tukang bekam, dia menjawab: “Abu Thalhah pernah membekam Rasulullah Saw. lalu beliau memberinya dua sha’ makanan dan menyarankan supaya meringankan beban hamba sahayanya….”55 d. Proses Internalisasi Ikrām al-muslimīn merupakan KA dengan dua aspek, yaitu aspek ketuhanan dan aspek kemanusaan. Disebut sebagai aspek ketuhanan, karena ikrām al-muslimīn merupakan perintah Allah dan Sunnah Rasulullah Saw. yang harus dilaksanakan. Melaksanakan apa yang diperintah Allah dan Rasul-Nya adalah dalam rangka memenuhi tuntutan KA, tetapi prosesnya melalui ikrām al-muslimīn sampai pada

50Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya. 51Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya. 52Bukhari, hadis nomor 2264, dalam kitab: Perbuatan-perbuatan zalim dan Merampok, bab: Tolonglah Saudaramu baik yang Zalim atau yang dizalimi. 53Ahmad, hadis nomor 10260, dalam kitab: Sisa Musnad Sahabat yang banyak meriwayatkan hadis, bab: Musnad Abu Hurairah Radliyallahu ‘Anhu. 54Ahmad, hadis nomor 4519, dalam kitab: Musnad Sahabat yang banyak meriwayatkan hadis, bab: Musnad Abdullah bin ‘Umar bin Khattab Radliyallahu ta’ala ‘Anhuma. 55Bukhari, hadis nomor 5263, dalam kitab: Pengobatan, bab: Bekam dari penyakit. 138 tahap di mana ego individual, keluarga atau kelompok (ashabiyah) dihilangkan sama sekali. Itulah aspek kemanusiaan. Jalan yang ditunjukkan JT adalah dengan cara memenuhi hak-hak sesama saudara muslim yang lain, tanpa mengharapkan balasan atau supaya haknya ditunaikan.56

4. Ikhlāṣ al-Niyah a. Arti dan Tujuan dari ikhlāṣ al-niyah Ikhlāṣ al-niyah diartikan sebagai meluruskan, memperbaiki, dan membersihkan niat pada saat akan beramal, sedang beramal, maupun sesudah beramal. Tujuannya adalah supaya dalam beramal semata-mata karena Allah, bukan kepada yang lain. Beramal yang ikhlas adalah dengan menafikan segala kepentingan yang lain kecuali semata-mata kepada KA. Tanda seseorang itu ikhlas adalah tidak tahu bahwa ia ikhlas. Seumpama seorang yang sedang tidur, tidak merasakan lagi tidurnya. Ia sudah sampai pada tingkat di mana tidak merasakan apa pun, bahkan dirinya sendiri. Jika masih merasa bahwa ia sedang tidur, hakikatnya ia belum tidur. Tidur adalah hilangnya segala perasaan. Tetapi, berbeda dengan tidur yang tidak merasakan apa-apa, ikhlas justru merasakan Allah. Jadi, yang hilang dari dalam ikhlas adalah perasaan akan eksistensi diri dan hanya merasakan Allah. Untuk mencapai derajat keikhlasan tertinggi maka yang pertama kali diperhatikan sebelum beramal adalah niat baik. Semakin banyak niat baik dalam ketaatan akan semakin banyak pahala yang didapatkan. Sebaliknya, dengan niat tidak baik, ketataatan bisa berubah menjadi kemaksiatan. Semantara, kemaksiatan tidak bisa berubah menjadi ketaatan, walaupun niatnya baik. Kemaksiatan adalah kemaksiatan, direkayasa bagaimana pun tetap kemaksiatan. Bahkan karena niat, kemaksiatan kecil berubah menjadi dosa besar.57 b. Ayat al-Qur’an dan Hadis Fad̩ ā’il al-A'māl Ikhlaṣ al-Niyah Untuk mendorong orang kepada keikhlasan, dalam dakwahnya JT mengemukakan ayat al-Qur’an dan hadis yang berkaitan dengan keikhlasan. Biasanya yang dikemukakan, sebagai berikut: Ayat-ayat Al-Qur’an ﺑَ َﻠﻰ َﻣ ْﻦ أَ ْﺳﻠَ َﻢ َو ْﺟ َ ُ ِﻟ ﱠﻠ ِ َو ªُ َﻮ ُﻣ ْﺤ ِﺴ ٌﻦ َﻓ َﻠ ُ أَ ْﺟ ُﺮهُ ِﻋ ْﻨﺪَ َرﺑِّ ِ َو ﻻ َﺧ ْﻮ ٌف َﻋ َﻠ ْ ِ ْﻢ َوﻻ ªُﻢ َ ْﺤ َﺰﻧُﻮ َن Artinya (Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. QS. Al-Baqarah (2): 112.58

56 Secara rinci hak-hak sesama muslim diuraikan dalam buku, An Nadhr M. Ishaq Shahab, Khurūj fī Sabīl li Allāh, h. 130-132. 57An Nadhr M. Ishaq Shahab, Khurūj fī Sabīl li Allāh, h. 133-135 58Kementerian Agama RI, Al-Qur’anul Karim Dan Teremahnya, 2010, 16. 139

َ و َﻣﺎ َﻛﺎ َ ن ِﻟﻨَ ْﻔ ٍﺲ أَ ْن ﺗَ ُﻤﻮ َ ت إِﻻ ﺑِ ﺈِ ذْ ِ ن ا ﱠﻟﻠ ِ ِﻛﺘَﺎ ﺑًﺎ ُﻣ َﺆ ﱠﺟﻼ َو َﻣ ْﻦ ُ ِﺮ ْد ﺛَﻮا َ ب اﻟﺪ ﱡ ْﻧ َﺎ ﻧُ ْﺆﺗِ ِ ِﻣ ْﻨ َﺎ َو َﻣ ْﻦ ُ ِﺮ ْد ﺛَ َﻮ َاب ا ِﻵﺧ َﺮةِ ﻧُ ْﺆﺗِ ِ ِﻣ ْﻨ َﺎ َو َﺳﻨَ ْﺠ ِﺰي ا ﱠﻟﺸ ِﺎﻛ ِﺮ َﻦ Artinya: Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. QS. Ali Imran (3): 145.59

َ ﺎﻟ ْﻦ َﻨَ َ ل ا ﱠﻟﻠ َ ﻟُ ُﺤﻮ ُﻣ َﺎ َوﻻ ِ د َﻣﺎ ُ ؤ ªَﺎ َو َﻟ ِﻜ ْﻦ َﻨَﺎ ﻟُ ُ ا ﻟﺘﱠ ْﻘ َﻮى ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ َﻛ ﺬَ ِﻟ َﻚ َﺳ ﱠﺨ َﺮ ªَﺎ َﻟ ُﻜ ْﻢ ِﻟﺘُ َﻜﺒِّ ُﺮوا ا ﱠﻟﻠ َ َﻋ َﻠﻰ َﻣﺎ ªَﺪَا ُﻛ ْﻢ َوﺑَ ِّﺸ ِﺮ ا ْﻟ ُﻤ ْﺤ ِﺴﻨِ َﻦ Artinya: Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang- orang yang berbuat baik. QS. Al-Haj (22): 37.60 Hadis Rasulullah Saw. Dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah Saw. bersabda, “Allah SWT. tidak memandang kepada rupa (penampilan)mu dan hartamu, tetapi Allah memandang kepada hatimu dan amal perbuatanmu.”61 Dari Abu Hrairah ra. berkata, Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya manusia itu hanya akan dibangkitkan sesuai dengan niat mereka.”62 Dari Abu Umamah Al-Bahili ra. berkata, Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amal, kecuali yang dilakukan dengan ikhlas, dan semata-mata mengharap keridhaan-Nya.”63 c. Proses Internalisasi Ikhlāṣ al-Niyah Proses internalisasi ikhlāṣ al-niyah adalah dengan cara mengoreksi setiap kecenderungan hati, sebelum, sedang maupun sesudah beramal. Cara yang lain juga, yang selalu dilakukan pada saat keluar dakwah (khuruj) adalah melakukan pekerjaan-pekerjaan rendah, seperti menyapu, cuci piring, memasak, melayani teman/tamu makan, membersihkan got dan kamar mandi, dan sebagainya. Dalam dakwah, JT agaknya tidak terlalu mempersoalkan kesahihan sebuah dalil (maksudnya, dalil hadis). Asalkan mendukung maksud pembicaraan mereka, hadis yang masih dipersoalkan kesahihannya, pun digunakan. Kebanyakan dari

59Kementerian Agama RI, Al-Qur’anul Karim Dan Teremahnya, 2010, 68. 60Kementerian Agama RI, Al-Qur’anul Karim Dan Teremahnya, 2010, 336. 61HR. Muslim, Bab Haram Menzalimi Seorang Muslim…, hadis nomor 6543. 62 HR. Ibnu Majah, Bab Niat, hadis nomor 4229. 63 HR. Nasai, Bab Orang yang Berperang Karena Ingin Mendapat Upah dan Ingin Disebut-Sebut (Sebagai Pahlawan), hadis nomor 3142. 140 mereka pun tidak tepat dalam menyampaikan maknanya. Itu karena mereka berasal dari kelompok masyarakat yang awam mengenai perkara agama. Penjelasan tentang kesemua KA di atas menunjukkan bahwa doktrin teologi perdamaian dalam JT berdasar pada kebenaran absolut Islam. Absolutisme yang demikianlah yang dijadikan sebagai dasar yang kuat untuk membangun perdamaian universal. Pada pembahasan di bawah, akan dijelaskan bagaiman JT membangun perdamaian berdasarkan pada teologi perdamaian mereka.

C. UPAYA MEMBANGUN PERDAMAIAN Penjelasan JT secara obyektif tentang KA dengan hanya mengemukakan fad̩ ā’il al-a'mālnya bisa mengatasi persoalan pertentangan paham yang kerap terjadi di dalam kehidupan kaum muslimin. Pendekatan yang mereka lakukan itu berhasil mempertahankan absolutisme Islam secara universal. Hal itu dibuktikan dengan pergerakan mereka kemana-mana tempat di seluruh penjuru dunia, dapat merangkul jutaan manusia dalam satu kerja dengan kesamaan pemahaman, keyakinan dan tujuan. Pembahasan berikut adalah mengenai bagaimana JT mengupayakan perdamaian berdasarkan absolutisme Islam sebagaimana termuat dalam lima KA. Perdamaian yang dimaksudkan adalah penyebaran KA dengan cara mendakwahkannya. Melaksanakan dakwah merupakan bagian kelima dari pelaksanaan KA. JT menyebut pelaksanaan dakwahnya dengan istilah khurūj fī sabīl li Allāh (selanjutnya, disingkat khurūj). Pengertian secara harfiah dari istilah tersebut adalah meluangkan waktu beberapa saat di jalan Allah (untuk mengajak orang kepada agama Allah). Dalam prakteknya, JT melaksanakan kegiatan khurūj untuk tidak hanya sebatas media informasi atau media penyampaian pesan-pesan agama buat umat. Bagi JT, yang terpenting lagi adalah pembentukan kepercayaan. Jadi, perubahan dalam diri orang yang berdakwah itu sendiri yang menjadi target utamanya. JT menganggap bahwa khurūj dianggap berhasil bila terjadi perubahan, dari tidak baik menjadi baik, dalam diri orang yang melaksanakannya. Terhadap orang lain, apakah dia tertarik untuk mau melakukan perubahan atau tidak, itu persoalan kedua. Senior- senior JT sering menekankan, “Jangan lihat hasil, lihatlah diri kita sendiri, berubah atau tidak.” Tujuan khurūj, sebagaimana yang mereka pahami, adalah untuk meluruskan kesalahanpahaman manusia bahwa sebenarnya diri, harta dan waktu adalah milik Allah. Tujuan khurūj seperti yang dirumuskan ini ternyata, merupakan bentuk praktis dari penafsiran mereka mengenai kalimat tauhid (lā ilāha illlā Allāh), yaitu untuk mengeluarkan dari dalam hati keyakinan kepada makhluk dan memasukkan ke dalam hati keyakinan hanya kepada Allah. Mengenai persoalan ini, lebih jauh, Mahmud menjelaskan: “Semua rukun Islam punya bentuknya. Coba lihat shalat, bentuknya adalah takbir, berdiri, ruku’ sujud, duduk dan memberi salam; puasa adalah menahan diri dari makan, minum dan hubungan suami-istri; zakat adalah mengeluarkan sebagian dari harta kita; haji adalah perjalanan ke Tanah Suci; 141

nah, syahadat atau rukun Islam yang pertama, bentuknya adalah dakwah atau khurūj. Jadi, khurūj untuk menegakkan bentuk syahadat.”64 Untuk mencapai tujuan di atas JT merancang program khurūj menjadi dua bentuk gerakan, yaitu gerakan dakwah ‘amal maqāmi dan dakwah ‘amal intiqāli. Bentuk pertama adalah dakwah di lingkungan tempat tinggal sendiri. Sedangkan bentuk kedua, adalah berdakwah dengan cara khurūj ke lingkungan tempat tinggal lain, baik di daerah sendiri maupun daerah lain. Dakwah ‘amal maqāmi, terbagi lagi menjadi dua, yaitu dakwah 2,5 jam dan jaula. Dinamakan dakwah 2,3 jam karena merupakan target waktu minimal seseorang harus diggunakan untuk berdakwah. Dakwah ini dimulai di masjid dengan terlebih dulu membentuk satu atau dua kelompok kecil. Personilanya antara dua sampai empat orang. Bentuk prakteknya berupa kunjungan silaturahmi ke rumah- rumah orang Islam. Dakwah selama 2,5 jam dilakukan setiap hari, kapan saja sesuai dengan ketersediaan waktu seseorang. Biasanya dimulai setiap selesai shalat maghrib atau ‘Isya. Caranya adalah dengan membentuk sebuah kelompok kecil, yang terdiri dari dua sampai empat orang. Maksud kedatangan kelompok ini adalah untuk membicarakan mengenai pentingnya melaksanakan dakwah, yang menurut JT merupakan tanggung jawab semua orang Islam, tanpa kecuali. Dari kunjungan- kunjungan yang secara kontinyu dilakukan, berakibat pada perkembangan dakwah JT. Satu atau dua orang yang dikunjungi itu kemudian menyatakan bersedia untuk ikut dalam khurūj. Jamaah-jamaah secara terus-menerus dibentuk dan dikirim untuk khurūj ke daerah-daerah lain. Semakin banyak orang yang ikut, semakin banyak pula jamaah yang dikirim. Demikianlah, cara JT membangun perdamaian dengan mengikutsertakan orang sebanyak-banyak untuk masuk ke dalam KA. Kelompok yang dibentuk untuk melaksanakan dakwah 2,5 jam terdiri dari orang-orang dengan latar belakang pendidikan dan status sosial yang berbeda-beda. Isi pembicaraan selama dalam kunjungan tersebut hanya berkaitan dengan tema- tema penting dari Enam Sifat. Pembicaraan bisa berjalan lancar karena yang disampaikan hanyalah fad̩ ā’il al-a'mālnya saja. Di sampaing itu pula, kerangka pembicaraan tidak bolah beluar dari batasan seperti yang disebutkan dalam 28 ushul dakwah.65

64Hasil wawancara dengan Mahmud, Penanggung Jawab Mahalla As-Syifa’ Air Kuning Ambon, pada tanggal 25 Mei 2017. 65 28 Ushul-Ushul Dakwah I. Empat Hal yang Diperbanyak 1. Dakwah ilā Allāh 2. Ta’līm wa ta’l 3. Zikr wa al-‘ibādah 4. Khidmah II. Empat Hal yang Dikurangi 1. Makan dan minum 2. Tidur dan istirahat 3. Keluar dari masjid 4. Pembicaraan dan perbuatan sia-sia III. Empat Hal yang Dijaga 142

Dakwah 2,5 jam dapat dilihat sebagai suatu bentuk ijtihad JT dalam berdakwah. Dakwah-dakwah konvensional meletakkan tokoh-tokoh agama pada posisi sentral dalam masyarakat. Mereka berperan sebagai narasumber atau rujukan utama dalam berbagai persoalan agama. Posisi mereka dalam kehidupan sosial berada di titik tengah. Masyakatlah yang bergerak ke titik tersebut untuk mengambil berbagai tawaran atau solusi terhadap segala persoalan mereka. JT melakukan pembalikan. Tokoh kunci dalam agama tidak lagi terpusat hanya pada orang-orang tertentu. Tetapi, melebar ke berbagai orang dengan tingkat kapasitan pengetahuan yang beragam. Pembicaraan tentang ilmu fad̩ ā’il al-a'māl oleh JT pun boleh dilakukan siapa saja. Ilmu itu tidak memerlukan proses belajar secara berjenjang dengan memerlukan waktu yang lama. Penyebarannya ke masyarakat adalah dengan cara mendatangi atau menjumpai langsung masyarakat di tempatnya. Bukan berpusat pada satu tempat dan tempat itu yang harus didatangi. Walaupun demikian, JT tidak bermaksud menghapus peran para tokoh agama sebagai orang yang punya kemampuan lebih dalam persoalan masā’il al-fiqhiyah. Mereka tetap dibutuhkan. Hanya saja, persoalan dalam agama bukan yang berkaitan dengan aspek intelektual saja. Yang paling pokok juga adalah masalah kepercayaan, yang oleh JT bersumber dari ilmu fad̩ ā’il al-a'māl. Persoalan intelektual berkecenderungan untuk menimbulkan perbedaan, oleh karena adanya perbedaan penafsiran terhadap sebuah dalil, ayat Al-Qur’an maupun hadis. Sementara, masalah kepercayaan, yang bersumber dari ilmu fad̩ ā’il al-a'māl berkecendurangan mempersatukan.

1. Taat kepada amir selama amir taat kepada Allah dan Rasul-Nya 2. Mendahulukan amal ijtima’ daripada amal infiradi 3. Kehormatan masjid 4. Sabar dan tahan uji IV. Empat Hal yang Harus Ditinggalkan 1. Mengharap kepada makhluk 2. Meminta kepada makhluk 3. Boros dan mubazir 4. Memakai barang orang lain tanpa izin V. Empath Hal yang Tidak Boleh Disentuh 5. Politik, baik dalam negeri maupun luar negeri 6. Khilafiyah (Perbedaan pendapat mengenai masalah fiqh) 7. Membicarakan aib seseorang atau masyarakat 8. Meminta sumbangan dan membicarakan status sosial (pangkat/jabatan) VI. Empath Hal (Pilar-pilar Agama) yang Didekati 1. Ulama 2. Ahli Zikir 3. Penulis kitab 4. Juru dakwah VII. Empat Hal yang Dijauhi 1. Merendahkan 2. Mengkritik 3. Menolak 4. Membanding-bandingkan. Lihat, M. Ishaq Shahab, Khuruj fi Sabilillah…, h. 89-90. 143

Suatu keunikan lain dalam dakwah JT juga adalah jaula. Sepanjang dalam pengamatan peneliti, belum ada satu pun gerakan dakwah yang melaksanakannya. Secara harfiah, kata jaula bermakna keliling-keliling, yaitu kegiatan berjalan mengelilingi daerah seputaran masjid untuk menjumpai umat Islam, baik yang berada di rumah-rumah, yang sedang santai sendirian atau yang lagi kumpul berkelompok di pinggir jalan, sedang bermain, bekerja dan sebagainya. Tujuan dilaksanakan jaula adalah untuk mengekalkan hidayah yang ada dalam diri dan mengusahakan turunnya hidayah ke seluruh alam. Berbeda dengan dakwah 2,5 jam, jamaah jaula menjumpai orang-orang hanya di luar rumah, maksudnya tidak sampai masuk ke dalam rumah. Alasannya, supaya tidak terjadi dialog yang panjang dengan orang yang dikunjungi, yang akhirnya menyita waktu jaula. Target jaula adalah menjumpai sebanyak mungkin orang dalam kisaran waktu antara 30 - 45 menit. Bila dakwah 2,5 jam dilaksanakan setiap hari, maka jaula dilaksanakan hanya seminggu sekali. Jumlah orang yang berjaula berkisar antara 3 sampai 12 orang, dengan pembagian tugas masing-masing. Ada yang bertugas sebagai amir jamaah, penunjuk jalan, mutakallim atau juru bicara dan selebihnya sebagai ma’mur atau orang yang meramaikan. Tugas amir adalah memimpin dan bertanggung jawab terhadap kekompakan jamaah, mulai dari awal keluar sampai dengan berakhirnya. Posisinya pada saat berjaula adalah di belakang jamaah. Hal itu untuk memungkinkan dia mengontrol jamaah dengan lebih maksimal. Kontrol yang dilakukannya terhadap jamaah cukup hanya dengan mngucapkan tasbih subhāna Allāh apabila ada anggota jaula yang melakukan kesalahan. Ucapan tasbih amir memberi kesempatan kepada setiap orang untuk masing-masing mengoreksi diri sendiri. Karena, tidak ada pembetulan terhadap pribadi yang melakukan kesalahan secara langsung. Semua orang akan tersadar dengan sendirinya bila mendengan ucapan tasbih amir. Hanya saja bila kesalahan telah berulang kali dilakukan oleh orang yang sama, barulah ada jeda waktu sebentar untuk dilakukan pembetulan. Setelah itu, jamaah melanjutkan kembali jaula mereka. Bila kesalahan masih terulang lagi, maka amir berhak menghentikan kegiatan jaula dan menarik pulang jamaah ke masjid. Dalam jamaah harus ada seorang yang bertindak juga sebagai penunjuk jalan. JT menyebutnya dalil. Dia adalah orang yang paham dengan situasi orang-orang di komplek. Ini penting, agar jamaah dapat menyesuaikan diri atau sikap ketika berbicara. Dalil dapat menentukan dengan jelas dan tepat mana orang yang sudah rajin ke masjid dan mana yang belum. Mana orang alim, mana pula yang awam. Mana pejabat, mana rakyat biasa, demikian seterusnya. Hanya sebatas itu tugasnya. Adapaun, agar maksud kedatangan jamaah dapat dipahami oleh orang yang dijumpai, maka jamaah perlu kepada seorang juru bicara. JT menyebutnya mutakallim. Dalam perjumpaan itu, mutakallim hanya menyampaikan empat hal pokok mengenai KA, sebagai berikut: Pertama, keimanan kepada ketuhanan Allah dan kerasulan Muhammad Saw., kedua persaudaran Islam, ketiga ingatkan tentang kehidupan akhirat dan supaya segera persiapkan bekal amal shaleh, keempat ajak ke masjid untuk melaksnakan shalat, sekalian untuk mendengarkan ceramah (bayan). Jelasnya, pembicaraan mutakallim seperti yang dikutip di bahwah ini: 144

“Assalamu’alaikum….Kami satu jamaah datang dari masjid untuk bersilaturahmi. Kita semua bersaudara, kita punya kalimat yang agung yang mempersatukan kita, yaitu kalimat tauhid lā ilā ha illā Allāh Muhammad Rasūl Allāh. Kehidupan dunia ini sementara, berkisar antara 50. 60, atau 70 tahuan, bisa lebih, bisa juga kurang. Setelah itu, kita meninggalkan dunia dengan tidak membawa sesuatu apa pun. Yang kita bawa hanya iman dan amal shaleh. Sekarang di masjid kami sedang buatkan majelis pembicaraan tentang pentingnya iman dan amal shaleh. Kami ajak saudara agar bersama- sama ke masjid untuk mendengarkan pembicaraan tersebut.”66 Dalam setiap situasi, Dakwah JT diperhadapkan kepada orang-orang yang berbeda-beda karakter dan status sosialnya. Seperti itu, sikap JT tidak boleh berubah. Apakah seseorang itu sedang duduk-duduk saja atau sedang bermain judi sekali pun, pembicaraan mutakallim hanya yang itu-itu saja. Dalam contoh kutipan di atas pembicaraan mutakallim berkaitan dengan KA, bukan kepentingan yang lain. Kalaupun ada ayat al-Qur’an dan hadis yang disisipkan dalam penyampaian mutakallim, maka hanya yang berkaitan dengan fad̩ ā’il al-a'māl dan dalam makna obyektifnya saja. Dalam perjumpaan-perjumpaan tersebut tidak juga dianjurkan untuk dilakukan dialog antara jamaah dengan orang yang dijumpai. Seluruh pembicaraan disampaikan apa adanya tanpa ada kesan pemaksaan atau pun menyalahkan. Pertanyaan yang mungkin bisa saja muncul, akan dijawab seadanya dan secara singkat. Setelah itu, jamaah melanjutkan kembali perjalanan jaulanya. Petugas berikutnya adalah ma’mūr atau orang yang meramaikan program jaula. Jumlah mereka boleh lebih dari satu orang. Walaupun demikian, terdapat juga tugas penting yang harus dilaksanakan selama jaula dijalankan, yaitu berzikir. Demikian pula, bila dari jaula ada orang yang berhasil diajak untuk ikut ke masjid, maka ma’mur bertugas untuk mengantarnya. Setelah itu, dia akan kembali bergabung dengan jamaah untuk menyelesaikan jaula sampai akhirnya tiba waktu shalat. Bila sudah demikian, jamaah pun dihentikan oleh amir untuk arahkan kembali ke masjid. Bagi JT, jaula menduduki posisi sentral dalam seluruh gerakan dakwah mereka, atau seperti dalam pandang mereka, sebagai tulang punggung dakwah. Tanpa jaula dakwah tak bermakna apa pun. Sementara dakwah itu sendiri adalah tulang punggung agama. Dengan berjaula dakwah ditegakkan dan dengan berdakwah agama berkembang. Sasaran jaula adalah hati sendiri, walaupun tampak pembicaraan ditujukan kepada orang lain. Menurut JT pula, jaula merupakan bentuk kerja dakwah yang dilakukan oleh semua nabi. Begitu menerima wahyu, nabi-nabi langsung berjaula, menjumpai manusia dan mendakwahkan mereka kepada ketuhanan Allah, lā ilā ha illā Allāh. Pada fase Makkah Nabi Muhammad Saw., yang dibantu beberapa sahabatnya yang mula-mula masuk Islam, berdakwah di antaranya dengan cara berjaula. Di Madinah jaula tidak dilaksanakan lagi. Perjuangan mendakwahkan Islam lebih kepada pengembangan keluar, yaitu dengan mengirim jamaah-jamaah para sahabat untuk mengajarkan Islam kepada suku-suku yang baru masuk Islam atau juga dalam

66Hasil wawancara dengan Mahmud, Penanggung Jawab Mahallah Sirimau II Kota Ambon, pada tanggal 12 Mei 2018 145 bentuk jihad (perang suci). Agaknya, dakwah ‘amal maqāmi yang dilakukan JT berdasar pada jaula-jaula Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya ketika masih berada di Makkah. Dakwah ‘amal intiqali atau yang lebih popular dengan istilah khurūj fi sabīl li Allāh merupakan program pengembangan keluar untuk menjumpai berbagai macam orang di berbagai belahan dunia. JT melaksanakannya berdasarkan pada dan dengan ketentuan waktu-waktunya, yaitu 40 hari, 4 bulan, 6 bulan atau sampai 1 tahun. Untuk saat ini di kota Ambon, JT belum berhasil membentuk jamaah 6 bulan dan 1 tahun. Waktu terpanjang yang bisa dicapai mereka hanya baru sampai pada 4 bulan. Walaupun demikian, dari segi jangkauan kerja, JT di Ambon telah mencapai semua kawasan pada semua propinsi di Indonesia. Sedangkan pengiriman jamaah ke luar negeri telah mencapai hampir semua negara di kawasan Asia tenggara, beberapa negara yang berada di kawasan Anak Benua India seperti India, Pakistan dan Bangladesh, beberapa negara di Timur Tengah dan satu negara di Eropa, yaitu Suriname. Kegiatan khurūj dapat dilihat sebagai suatu upaya melepaskan ketergantungan seseorang dari lingkungan tempat tinggal sehari-hari. Dia dapat sepenuhnya memfokuskan perhatiannya pada upaya internalisasi KA ke dalam diri. Kegiatan- kegiatan selama khurūj adalah seperti mana kegiatan-kegiatan dakwah ‘amal maqāmi, yaitu dakwah 2,5 jam, jaula dan ta’lim. Melalui khurūj program-program dakwah di mahalla (masjid yang telah melaksanakan amal dakwah) disebarkan ke masjid lain. Dengan pergerakan dari satu masjid ke masjid lain amal dakwah tersebar dan masjid-masjid lain pun akan menghidupkan ‘amal maqāmi. Bila masa khurūj adalah 40 hari, maka sekitar 13 masjid akan dimasuki. Bila masa khurūj empat bulan, maka masjid yang akan dimasuki mencapai 36 buah atau lebih. Saat ini, setiap hari ribuan jamaah dikeluarkan, sehingga kerja dakwah JT telah merata di seluruh dunia. Di setiap negara telah terdapat markaz-markaz dakwah.67

D. BENTUK SUPRASTRUKTUR MASYARAKAT ISLAM UNIVERSAL Dengan tersebarnya dakwah infrastruktur masyarakat terbentuk. Untuk mengkoordinir supaya dakwah tetap berjalan dibentuklah beberapa lembaga, mulai dari masjid, rumah sampai dengan markaz. Lembaga-lembaga tersebut dapat dilihat sebagai bentuk suprastruktur masyarakat.

1. Mahallah (Masjid Komplek) Setiap masjid yang berada di komplek tempat tinggal dinamakan dengan mahallah. Dinamakan demikian, karena JT memfungsikannya bukan hanya sebagai tempat ibadah sehari-hari, tetapi juga sebagai pusat kegiatan dakwah yang bukan hanya untuk masyarakat setempat tetapi juga untuk umat Islam seluruh dunia. Walaupun demikian, tidak semua masjid bisa disebut mahallah. Hanya yang sudah aktif dengan dakwah saja yang disebut dengan mahallah. Dengan kata lain,

67Mengenai alamat markaz-markaz di dalam negeri maupun luar negeri, lihat lampiran.

146 mahallah-mahallah adalah sentral-sentral dakwah yang terdapat di setiap tempat yang tersebar di seluruh dunia. Tugas mahallah adalah menyelenggarakan dakwah di komplek tempat tinggal, mengirim jamaah ke seluruh dunia dan menerima berbagai jamaah dari seluruh dunia serta mengkoordinir pelaksanaan dakwah di rumah-rumah di seputar masjid mahallah. Dakwah di mahallah berupa penyelenggaraan terhadap 4 program pokoknya, yaitu dakwah ilā Allāh, ta’līm wa ta’lūm, dhikr wa al-‘ibādah dan khidmah. Untuk melaksanakan keempat program dakwah tersebut. JT mengorganisirnya lewat musyawarah harian, yakni musyawarah yang dilaksanakan setiap hari. Waktu pelaksanaan musyawarah ditetapkan berdasarkan hasil musyawarah mahallah. Umumnya mahallah-mahallah di Ambon mengambil waktu untuk musyawarah setelah shalat shubuh. Waktu itu merupakan akhir dari semua rangkaian dakwah yang dilaksanakan hari kemarin, sekaligus merupakan awal waktu untuk hari ini. Di hari kemarin, dari pagi sampai malam, merupakan waktu untuk pelaksanaan 4 program dakwah. Pagi hari ini adalah adalah waktu dimulainya lagi program dakwah sampai malam. Begitu seterusnya. Agenda musyawarah adalah melaporkan dan mengevaluasi pelaksanaan dakwah hari kemarin supaya hari ini dilanjutkan lagi. Tidak ada hal baru dalam agenda musyawarah. Program kerja sudah dipaketkan. Tinggal melaksanakannya saja. Musyawarah hanya untuk membahas permasalahan yang muncul yang bisa menghambat kerja supaya dicarikan jalan keluarnya. Walaupun dakwah bagi JT lebih ditujukan kepada perubahan diri sendiri, ketimbang perubahan diri orang lain. Tetapi, dengan meluaskan gerakan ke seluruh alam, maka dakwah menjadi berkembang. Banyak orang menjadi tertarik untuk bergabung. Di sinilah letak tanggung jawab sebuah mahallah, yang bukan hanya pada wilayahnya sendiri, tetapi bahkan juga ke seluruh alam. Untuk terlaksananya program khurūj, mahallah kemudian mempersiapkan jamaahnya. Bila telah terdapat delapan sampai dua belas orang dan telah sampai juga waktu untuk khuruj, maka mahalla segera memberangkatkan jamaahnya. Bila yang baru siap kurang dari delapan orang, maka boleh mahalla meminta tambahan anggota dari mahallah lain supaya lengkap. Waktu untuk saatnya khurūj perlu diperhatikan agar tidak terlewatkan. Konsistensi dengan waktu dalam dakwah adalah mendasar. Ia berkaitan dengan persoalan keyakinan pribadi dan dasar terbentuknya kesatuan masyarakat Islam secara keseluruhan. Pemahaman JT tentang waktu seperti itu berdasar pada peristiwa Ka’ab bin Malik.68

68Sebagai diketahui, Ka’ab adalah sahabat Nabi Muhammad Saw. Ia pernah sekali tidak sempat menyertakan dirinya untuk berperang di Tabuk bersama Nabi Muhammad Saw. dan kaum muslimin. Akibatnya, dia dikucilkan Rasulullah Saw. dari kehidupan masyarakat, bahkan sampai dikucilkan dari keluarganya sendiri, yakni istri dan annak-anaknya. Kisah selengkapnya mengenai pengucilan Ka’ab bin Malik, terdapat dalam beberapa kitab hadits. Di sini, hadisnya telah diringkas, dengan meninggalkan bagian-bagian kalimat yang tidak berkaitan dengan konteks pembahasan. Bunyi hadisnya, begini. Abdullah bin Ka’ab bin Malik (dia anak yang menuntun Ka’ab ketika telah buta) berkata: Saya telah mendengar Ka’ab bin Malik menceritakan dalam hadisnya ketika meninggalkan Perang Tabuk dari Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam. Ka’ab bin Malik berkata; saya belum pernah tidak mengikut sertai Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam selain perang Tabuk…. 147

Waktu memang tak tentu pada bulan tertentu. Hanya saja bila telah diputuskan, maka harus konsisten dengan keputusan itu. Nanti pada tahun depan, waktunya pada bulan itu juga. Dengan demikian, dalam setahun masa 40 hari untuk khuruj ditunaikan pada waktu yang telah ditentukan. Daerah yang menjadi tujuan khuruj diputuskan melalui musyawarah mahallah. Tentunya dengan mempertimbangkan kemampuan jamaah (fisik, materil, ilmu atau pengalaman). Saat-saat ketika akan bergerak untuk khuruj dirasakan oleh anggota-anggota JT sebagai sesuatu yang sangat berat. Berbagai kepentingan, baik yang berkaitan dengan diri, keluarga, pekerjaan, maupun tangung jawab lainnya menjadi tantangan untuk ditinggalkan. Pada saat-saat seperti inilah acapkali JT mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak. Mereka dianggap melalaikan tanggung jawab mengurus keluarga dan pekerjaan. Tampak, JT telah memfungsikan masjid sebagai lembaga pembinaan dan pembentukan masyarakat Islam universal. Sementara, selama ini masjid digunakan hanya sebagai sarana ibadah dan ditambah sedikit dengan beberapa pembinaan lain. Tetapi, seluruh pembinaan itu tampak sebagai bersifat lokal pada satu wilayah semata. Belum terpikirkan oleh umat Islam bagaimana memfungsikan masjid sebagai sebuah lembaga yang cakupannya meliputi seluruh alam. Akibatnya, masjid- masjid berjalan sendiri-sendiri. Antara yang satu dengan yang lainnya terpisahkan oleh kepentingannya masing-masing.

Ka’ab bin Malik berkata; tatkala sampai kabar bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam sedang pulang dari Tabuk, maka kesedihanku mulai datang….Pada pagi hari Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam datang, dan adalah kebiasaan beliau jika datang dari sebuah perjalanan, beliau datang ke masjid lalu shalat dua rakaat dan duduk menunggu orang-orang…saya menjumpai beliau. Ketika saya mengucapkan salam kepada beliau, beliau menjawabnya dengan senyuman orang yang marah…. Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam melarang kaum muslimin untuk berbicara kepada kami tiga orang yang tidak ikut beliau berperang dan orang-orang menghindari kami….Hal itu berjalan sampai lima puluh malam. Dua orang temanku, mereka berdua tinggal di rumah dan duduk dalam keadaan menangis…ketika telah lewat empat puluh hari dari lima puluh hari yang ada, ada utusan Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam mendatangiku dan berkata; Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam menyuruhmu agar kau meninggalkan istrimu…lalu saya katakan kepada istriku; ‘Pulanglah kepada keluargamu dan tinggallah bersama mereka, sampai Allah memutuskan perkara ini…. Lalu saya shalat shubuh pada malam yang ke lima puluh di rumahku. Tatkala saya sedang duduk pada telah yang disebutkan Allah Tabaraka wa Ta’ala, jiwaku sudah sangat sempit juga bumi yang luas sudah terasa sangat sempit, tiba-tiba saya mendengar orang berteriak dan sangat dekat, di atas gunung Sala’. Dia berteriak dengan suara yang sangat tinggi, ‘Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah.’…Rasulullah Shallallhu’alaihiwasallam mengumumkan dengan diterimanya taubat dari allah Tabaraka Wa Ta’ala kepada kami pada Shalat Shubuh. Lihat teks hadis selengkapnya pada kitab Musnad Penduduk Makkah dari Imam Ahmad, bab hadits Ka’ab bin Malik Al-Anshari Radliyallahu ta’ala anhu, hadits nomor 15229. 148

2. Rumah Pandangan yang sudah umum dianut oleh orang Islam ialah bahwa rumah bukan hanya sebagai tempat tinggal atau bernaung bagi sebuah keluarga, tetapi juga sebagai tempat melaksanakan ibadah seperti shalat, puasa, mengeluarkan zakat, membaca al-Qur’an, berzikir dan sebagainya. Bagi JT pandangan tentang fungsi rumah seperti itu, tak cukup kuat untuk dijadikan sebagai fondasi bagi masyarakat yang sedang dibentuknya. Itu baru sekedar berfungsi dalam skala yang terbatas hanya bagi sebuah keluarga. Suatu kenyataan lain, yang menjadi perhatian serius JT juga, sehingga dakwah harus dimulai dari rumah, adalah adanya kesalehan individual dari seorang anggota keluarga, yang mana kesalehannya itu tidak memberikan efek posisitf kepada anggota keluarga secara keseluruhan. Taruhlah, yang saleh itu ayah. Maka, kesalehan ayah tidak serta merta berpengaruh positif kepada anggota keluarganya yang lain. Akibatnya, ibu dan terutama anak-anak akan tumbuh dalam keadaan tidak mengenal agama. Dari situasi ketiadaan amal agama dalam rumah akan memunculkan empat hal destruktif, dan dengan demikian menjadi penghalang bagi terwujudnya masyarakat Islam universal. Hal-hal destruktif itu adalah, sebagai berikut: 1. Bioskop. Rumah akan menjadi tempat pelaksanaan hiburan, seperti musik, film dan sebagainya. 2. Restauran dan karaoke. Rumah menjadi tempat pertemuan untuk kegiatan- kegiatan yang sifatnya hura-hura. 3. Museum. Rumah menjadi tempat menampung barang-barang hiasan atau antik. 4. Hotel. Rumah dibangun dengan indah dan megah untuk hanya sebagai tempat menginap. Menurut JT membangun masyarakat Islam harus dimulai dengan membangun suasana agama dalam rumah secara bersamaan. Sebagai basis mayarakat sudah tentu rumah menempati posisi yang sangat strategis. Bila setiap orang (ayah, ibu, anak- anak, kakek, nenek, termasuk pembantu serta kerabat keluarga lainnya) berasal dari rumah yang baik, maka masyarakat dengan sendirinya akan menjadi baik pula. Olehnya itu, rumah-rumah harus dikelola dengan program-program dakwah secara maksimal. Istri, anak-anak, laki-laki dan perempuan harus dilibatkan semuanya. Persoalannya, bagaimana hal itu akan dilaksanakan? Apakah setiap orang atau setiap rumah bisa melaksanakannya? Bukankah kerja dakwah memerlukan kecakapan- kecakapan pengetahuan atau ilmu yang memadai? Demikianlah, sekian pertanyaan yang boleh dimunculkan, untuk melihat bagaimana JT mulai membangun basis dakwah dari rumah?69

69Situs yang diberi nama al-Manhaj, Berjalan di atas Manhaj as-Salafus-Shalih, membuat tanggapan terhadap JT yang dianggap berdakwah dengan tidak punya ilmu. Situs tersebut kemudian mengutip pernyataan Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah Bin Baz, ketika ditanya mengenai hukum khuruj bersama Jamaah Tabligh, menjawab : “Bismillah walhamdulillah, amma ba’du : Sesungguhnya Jamaah Tabligh, mereka tidak mempunyai ilmu dan pemahaman dalam masalah-masalah akidah, maka tidak boleh keluar (khuruj) bersama mereka, kecuali bagi orang yang memiliki ilmu dan 149

Program dakwah JT secara garis besar berkisar kepada empat hal: 1. Dakwah ilā Allāh, 2. Ta’līm wa ta’lūm, 3. Zikr wa al-‘Ibādah, 4. Khidmah. Bertolak dari empat program dakwah seperti ini, seorang ayah akan berperan sebagai pemimpin dakwah dari lembaga dakwah yang namanya rumah. Selanjutnya, seluruh proses kerja dalam sebuah rumah tangga disesuaikan dengan empat program kerja dakwah di atas. Pembahasan dimulai dakwah ilā Allāh. Yang dimaksud dengan dakwah ilā Allāh adalah semua pembicaraan yang berkaitan dengan kekuasaan dan kebesaran Allah. Bentuk dakwah ini dilaksanakan di antaranya dengan cara muzakarah, yaitu dengan membicarakan sifat pertama dari Enam Sifat (kekuasaan Allah dan kebesaran-Nya) secara berulang-ulang. Untuk memulainya, ayah mengajak semua anggota keluarganya. Mereka akan duduk membentuk lingkaran supaya menjadi sebuah majelis. Ayah yang memimpin dan kemudian meminta kepada istri atau anak untuk mengulang kembali apa yang baru saja disampaikannya. Waktu dan tempat untuk muzakarah ditetapkan melalui musyawarah bersama. Sebagai kepala keluarga, ayah yang memulai memimpin musyawarah. Besok, anak laki-laki yang sudah aqil baligh yang akan menggantikan memimpin musyawarah. Tempat untuk bermusyawarah sebaiknya di ruang tengah. Sedangkan waktu pelaksanaannya biasanya setelah shalat ‘Isya. Waktu itu dianggap tepat karena semua aktifitas yang lain telah dilaksanakan. Sekali ditetapkan waktu, seterusnya dipertahankan demikian, kecuali ada suatu masalah lain yang menghalangi. Tetapi setelah itu, kembali lagi kepada waktunya. Dalam bermuzakarah tidak disarankan untuk dilakukan penjelasan lebih jauh. Cukup dengan menyebutkan pokok- pokoknya. Karena yang ingin dituju bukan hanya pemahaman, tetapi timbulnya keyakinan di hati. Jadi, muzakarah dapat dilihat sebagai suatu bentuk zikir kepada Allah. Dengan cara demikian, akan terbentuk keyakinan yang ditunjukkan dengan rasa kebergantungan (al-tawakkal) kepada Allah. Keluarga yang sudah sampai pada tingkat keyakinan seperti itu akan dengan ikhlas melepaskan ayahnya bila saatnya nanti akan meninggalkan rumah untuk khuruj. Saat itu istri dan anak-anak akan bersikap teguh. Ayah, yang biasanya sebagai tempat bergantung dari semua persoalan, untuk sementara tidak berada bersama mereka. Satu rangkaian dengan kegiatan muzakarah adalah ta’līm wa ta’lūm (yang diartikan dengan belajar dan mengajar). Walaupun dalam istilah tersebut ada kata mengajar, tetapi sama sekali tidak ada bentuk atau proses pengajaran seperti seorang guru atau ulama mengajarkan ilmunya kepada peserta didiknya. Cara pelaksanannya adalah seorang membacakan sebuah kitab dan yang lain mendengarkannya. Kitab yang menjadi rujukan utama hanyalah yang berisi ayat al-Qur’an dan hadis tentang

pemahaman tentang akidah yang benar yang dipegang teguh oleh ahli sunnah wal jamaah, sehingga ia membimbing, dan menasehati mereka, serta bekerja sama dengan mereka dalam kebaikan, karena mereka gesit dalam beramal, akan tetapi mereka butuh penamahan ilmu dan butuh kepada orang yang akan memahamkan mereka dari kalangan ulama-ulama tauhid dan sunnah. Semoga Allah menganugerahkan kepada semua akan pemahaman dalam agama dan konsekwen di atasnya.” Lihat, https://almanhaj.or.id/1081-hukum-khuruj-keluar-bersama-jamaah-tabligh.html

150 fad̩ ā’il al-a'māl. Tidak boleh dengan kitab yang membahas persoalan-persoalan hukum (masāil al-fiqhiyah), pembahasan ilmiah, atau yang lainnya. Pembaca kitab dianjurkan berganti-ganti setiap hari dan boleh kaum wanita yang membacanya. Dalam pembacaan pun disarankan untuk tidak dilakukan penjelasan ulang terhadap apa yang dibacakan. Cukup dibaca saja. Yang lain harus tekun mendengarkannya. Dengan cara demikian, makna obyektif ayat al-Qur’an dan hadis dapat dipertahankan.70 Dalam pelaksanaannya, seringkali kegiatan ini tidak berjalan mulus. Kadangkala diawali dengan ketidaksetujuan dari sebagian anggota keluarga, entah dari istri atau anak. Hal itu bisa berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Untuk menghadapi situasi seperti itu sang ayah atau anak laki-laki, yang kebetulan telah ikut lebih dulu, disarankan untuk bersikap sabar. Bila tidak ada yang mau ikut, maka ayah atau anak laki-laki saja yang melaksanakannya. Cara dan waktunya juga seterusnya begitu, setiap hari. Sambil berharap, suatu saat nanti semua anggota keluarga akan ikut juga melaksanakannya. Poin ketiga dari pelaksanaan dakwah di rumah adalah zhikr wa al-‘ibādah. Ini adalah hasil dari dua bentuk kegiatan di atas. Artinya, kalau dakwah dan ta’lim dilakukan di rumah, anggota keluarga akan melaksanakan kegiatan zhikr wa al- ‘ibādah. Rumah mulai hidup dengan suasana agama. Bentuk ketiga ini tidak merupakan amalan bersama. Masing-masing anggota keluarga boleh melaksanakannya secara sendiri-sendiri, menurut waktu-waktu yang ditetapkannya sendiri. Terakhir, khidmah atau saling melayani antar sesama anggota keluarga. Pelayanan dilaksanakan sesuai dengan status masing-masing anggota dalam keluarga. Ayah adalah pemimpin dalam keluarga. Melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan statusnya. Ibu dan anak pun demikian. Bila sebuah keluarga sudah sampai pada tahap demikian, itu berarti rumah mereka sudah siap menjadi pondasi untuk ditegakkannya masyarakat Islam universal. Dakwah dilaksanakan tidak hanya di rumah masing-masing keluarga. Dalam rangka membangun masyarakat Islam universal, JT membuka rumah mereka untuk menerima kedatangan jamaah-jamaah dakwah dari berbagai kawasan, baik dari kawasan sendiri maupun dari kawasan-kawasan lain, bahkan dari manca negara. “Rumah saya sudah kedatangan jamaah dari berbagai tempat. Dari Ambon, dari Jawa, dari negara lain, seperti Bangladesh dan Srilangka juga sudah.” Kata Mahmud. Jamaah yang datang terdiri pasangan-pasangan suami-istri. JT menyebutnya dengan istilah jamaah masṭurah (dari bahasa Arab, masṭurah artinya tertutup). Dinamakan demikian, karena kaum wanitanya bercadar dengan mengenakan pakaian berwarna hitam atau warna gelap yang menutupi tubuh secara kesulurahan. Jumlah mereka antara empat sampai enam pasang. Tidak boleh lebih agar tidak berdesak-desakan ketika berada di sebuah rumah. Program dakwah masturah berjalan selama dua atau tiga hari di satu rumah. Sementara, lamanya mereka dalam khuruj adalah berdasarkan pada ketentuan pokok waktunya, yaitu 3 hari, 7 hari, 15 hari dan 40 hari. Khuruj tiga hari dilaksanakan

70Hasil wawancara dengan Mahmud, Penanggung Jawab Mahallah Sirimau II Kota Ambon, pada tanggal 12 Mei 2018. 151 setiap tiga bulan. Setelah 3 hari 3 kali ditingkatkan menjadi 15 hari. Begitu seterusnya. Setelah 15 hari tiga kali ditingkatkan menjadi 40 hari. Adapun untuk 7 hari merupakan pilihan tidak terikat. Kapan ada waktu luang boleh dilaksanakan. Selama 3 hari kegiatan yang dilakukan adalah melaksanakan 4 program dakwah, sebagaimana telah disebutkan dan dijelaskan di atas. Di samping itu ada lagi ditambah dengan muzakarah mengenai adab-adab sunnah Nabi Saw. sehari- hari, seperti adab makan, minum tidur, bersuci, adab berkeluarga dan sebagainya. Bila ada di antara peserta yang mempunyai cukup ilmu di bidang fiqh, dia boleh meningkatkan muzakarah dengan menyampaikan tata cara pelaksanaan shalat, puasa, zakat dan sebagainya. Pada pelaksanaan program dakwah masṱurah, penempatan kaum suami terpisah dari para istrinya. Suami melaksanakan program dakwah di masjid. Para istri melaksanakan programnya hanya di rumah. Para suami berdakwah dengan menjumpai orang-orang di sekitar lingkungan masjid. Para istri berdakwah dengan cara mengundang kaum wanita yang tinggal di sekitarnya untuk datang ke rumah di mana mereka berada. Undangan disampaikan oleh kaum suami jamaah masṱurah kepada suami-suami para tetangga di masjid. Program-program dakwah jamaah masturah dilaksanakan berdasarkan hasil musyawarah para suami di masjid. Jadi kegiatan para istri dikoordinir langsung oleh suami-suami mereka, mulai dari petugas yang memimpin muzakarah, pembaca kitab ta’lim, sampai pada petugas masak. Selama 3 hari itu pula, semua kegiatan sehari- hari di rumah itu disatukan dengan kegiatan dakwah jamaah masturah. Dengan hadirnya jamaah masṭurah di satu rumah, maka terbuka peluang untuk dilakukannya dakwah yang lebih luas kepada kaum wanita. Mereka yang tinggal bertetangga akan diundang untuk mengikuti dakwah. Dalam kesempatan itu, sekaligus diperkenalkan kepada mereka mengenai tanggung jawab dakwah yang bukan hanya kaum lelaki saja. Arti penting kaum wanita dalam dakwah oleh JT digambarkan seperti burung dengan dua sayapnya. Kalau sebelah sayapnya saja yang mengepak burung tak bisa terbang. Begitu pula, kalau hanya lelaki saja yang berdakwah, agama pun tidak bisa berkembang maju. Dengan melibatkan kaum wanita dakwah akan berkembang pesat, karena dua kekuatan bekerja sama secara bersama-sama. JT memberi contoh dengan mengajukan kisah-kisah perjuangan dakwah para nabi. Para nabi yang dibantu oleh istri-istri lebih sukses dalam perjuangan, ketimbang yang tidak mendapat bantuan atau sokongan para istri. Nabi-nabi seperti Ibrahim as., Musa as., dan terkahir Nabi Muhammad Saw., berhasil mendapat pengikut yang banyak. Istri- istri mereka ikut ambil bagian dalam perjuangan. Berbeda halnya dengan nabi-nabi seperti Nuh as., dan Luth as. Kedua nabi ini mendapat pengikut yang sangat sedikit. Istri-istri mereka bukan hanya tidak membantu, malahan turut menjadi penentang. Demikianlah posisi wanita kerja dakwah JT dan posisi rumah sebagai pusat dakwah untuk seluruh alam. Dalam pelaksanaan dakwah JT mendudukkan fungsi kerja yang agak berbeda antara kaum lelaki dan wanita. Kerja lelaki adalah membangun dan mengembangkan supaya menjadi tersebar dan besar. Sedangkan kaum wanita bertugas membentuk dan mendudukkan pondasi dakwah di rumah. Bila rumah-rumah kuat dengan dakwah, maka agama masyarakat akan menjadi kuat dengan sendirinya. Sebaliknya, 152 bila rumah tak kuat, agama masyarakat pun tak kuat. Walaupun nampak semarak dengan perayaan-perayaan keagamaan. Dalam hal ini, pandangan Mahmud menarik untuk disimak, sebagai berikut: “Seorang ayah taat, tapi istri dan anak-anaknya tidak taat, maka agama hanya sampai di dimuka pintu, tidak sampai masuk agama ke dalam rumah. Akibatnya, dalam rumah tidak ada suasana agama. Tidak ada pelaksanaan shalat, tidak terdengar pula bacaan Qur’an. Istri dan anak sibuk dengan urusan masing yang tidak ada hubungan dengan pengamalan agama.”71 Dari penjelasan di atas, nampak bahwa JT telah menempat rumah sebagai sebuah lembaga dakwah yang terpenting dengan kaum wanita sebagai penanggung jawabnya.

3. Markaz Dakwah Salah satu lembaga penting juga dalam kerja dakwah JT adalah markaz. Ia adalah sebuah masjid di satu kawasan yang dijadikan sebagai pusat dakwah dari beberapa masjid di kawasan itu. Pergerakan dakwah dikontrol atau dikendalikan dari markaz. JT mengenal tingkat-tingkatannya. Yang terendah berada di kecamatan. Dinamakan markaz khalaqah. Di atas markaz khalakah terdapat markaz propinsi. Di atasnya lagi markaz Indonesia, letaknya di Jakarta. Yang tertinggi sekali adalah markaz dunia. Letaknya di Nizamuddin, New Delhi, India. Syarat untuk dijadikan markaz khalakah, di satu khalaqah sudah terdapat delapan sampai dua belas mahallah. Pembagian wilayah khalaqah tidak harus mengikuti pembagian wilayah administratif pemerintahan. Karena JT di Ambon meletakkan sampai 3 markaz khalaqah pada satu kecamatan. Sebagai misal, di kecamatan Sirimau di kota Ambon, terdapat tiga markaz khalaqah, yaitu markaz khalaqah Sirimau I, markaz khalaqah Sirimau II, dan markaz khalaqah Batu Merah. Di kecamatan-kecamatan lain terdapat hanya satu markaz khalaqah. Perkembangan khalaqah bergantung sepenuhnya pada tingkat perkembangan mahallah. Semakin cepat tumbuh mahallah-mahallah baru akan semakin cepat pula terbentuk markaz khalaqah baru. Markaz khalaqah tidaklah permanen menetap pada satu mahallah. Ia selalu berpindah-berpindah dari satu mahallah ke mahallah lain. Perpindahannya didasarkan pada pertimbangan strategis bagi sebuah mahallah. Bila dirasa perlu untuk mengaktifkan sebuah masjid supaya cepat menjadi sebuah mahallah, maka markaz khalaqah boleh ditempatkan di situ. Posisinya di suatu mahallah tidak lama. Dua, atau sampai empat bulan dipindahkan lagi. Tugas markaz khalaqah adalah mengontrol kerja mahallah-mahallah dan pergerakan jamaah-jamaah yang sedang khurūj di wilayah khalakahnya. Semua permasalahan yang timbul oleh karena pergerakan jamaah-jamaah akan dibawa ke pembahasannya di markaz khalaqah. Sebagaimana halnya mahallah, markaz khalaqah tidak mempunyai pucuk pimpinan tetap. Yang ada hanya pemimpin musyawarah, namanya amir musyawarah yang diangkat hanya untuk memimpin sekali musyawarah. Selesai musyawarah selesai pula jabatan amirnya. Untuk selanjutnya diangkat lagi amir baru pada

71Hasil wawancara dengan Mahmud, Penanggung Jawab Mahallah Sirimau II Kota Ambon, pada tanggal 12 Mei 2018. 153 pelaksanaan musyawarah minggu berikutnya. Jadi, musyawarah dilaksanakan seminggu sekali dengan amir baru lagi. Musyawarah dilaksanakan untuk mengetahui dan mengontrol perkembangan dakwah di mahallah. Semua yang terjadi di mahallah dilaporkan ke markaz khalaqah dan hasil perkembangan dakwah di khalaqah dilaporkan ke markaz propinsi. Hasil perkembangan dakwah di markaz-markaz propinsi dilaporkan ke markaz Indonesia di Jakarta. Hasil perkembangan dakwah dari seluruh negara dilaporkan ke markaz dunia di India. Berdasarkan laporan-laporan dari berbagai markaz dari berbagai negara, markaz dunia di India melakukan evaluasi, mengkaji dan kemudian memberikan arahan-arahan kerja. Arahan-arahan dari markaz dunia kemudian disampaikan ke markaz Indonesia, selanjutnya ke Markaz propinsi, baru kemudian ke markaz khalaqah. Selanjutnya, mahalla yang bertindak merealisasikannya. Tugas markaz propinsi di Ambon adalah memantau, mengkoordinir, mengevaluasi hasil kerja mahallah. Bila ada jamaah yang akan khuruj untuk masa 40 hari atau 4 bulan, jamaah itu diarahkan ke markaz Ambon untuk diberi pengarahan kerja. Markaz propinsi melakukan semua pengontrolan melalui musyawarah-musyawarah secara kontinyu, mulai dari musyawarah mingguan, dua bulanan dan tahunan. Sedangkan pelaksana dakwah yang sebenarnya ada pada mahallah. Posisinya dalam dakwah adalah sebagai pangkal sekaligus puncak. Tampak, universalisme dakwah dimulai dari lembaga terkecil, yang namanya mahallah.

E. PENGORGANISASIAN Pada awal pembahasan, sudah singgung tentang KA dan KUI. Pembahasan itu dengan sendirinya memunculkan persoalan tentang kepemimpinan. Pertanyaannya, kepemimpinan yang bagaimanakah yang akan menyelenggarakan KA dan juga KUI? Siapa sajakah yang boleh menjadi pemimpin dalam sebuah masyarakat Islam untuk persoalan KA dan KUI? Apakah dalam hal ini agama menjadi syarat bagi seorang pemimpin? Dari perspektif KUI dapatkah seorang non-muslim menjadi pemimpin dalam masyarakat yang mayoritas penduduknya muslim? Dapatkah keduanya dilaksanakan secara serentak tanpa perlu dilakukan pemisahan? Dengan melakukan pembedaan antara KA dan KUI, tampak bahwa JT sedang berupaya menawarkan suatu cara pandang baru mengenai hubungan antara agama dan negara. Pada bagian ini akan dianalisa konsekwensi-konsekwensi praktis yang boleh muncul apabila KA yang menjadi tujuan utama dibentuknya masyarakat.

1. Model Kepemimpinan Sebagai diketahui, KA merupakan wilayah murni agama yang kemudian menjadi prioritas utama tujuan hidup seorang muslim. Atas dasar itu, otomatis agama menjadi syarat utama dalam proses pengangkatan seorang pemimpin. Artinya, sang calon haruslah benar-benar seorang yang beragama Islam. Praktis, seorang non-muslim sama sekali tidak diperkenankan menjadi pemimpin dalam masyarakat yang orientasi kehidupannya pada KA. Tetapi, dari perspektif KUI, apakah JT dapat menerima seorang non-muslim menjadi pemimpin di masyarakat 154 yang mayoritas muslim? Dalam hal ini, tampaknya JT tidak konsisten dengan cara pandang yang mereka buat. Walaupun dalam persoalan KUI, pemimpin pun haruslah seorang muslim. “Seburuk-buruk apa pun seorang muslim,” demikian, tegas Harun, “masih lebih baik dia dari pada seorang kafir yang baik. Karena orang muslim yang buruk, walaupun di akhirat masuk neraka, tetapi nanti akan dimasukkan juga ke dalam sorga. Sementara, orang kafir yang baik, kalau mati masuknya ke neraka selamanya.” “Tidak mungkin saya meninggalkan saudara saya, “kata Mahmud lebih jauh, “Hanya karena persoalan dunia.” Maksudnya, dia akan tetap memilih pemimpin yang beragama Islam, walaupun kadar keislamannya sangat rendah. Rupanya, dari perspektif KUI, emosi keagamaan masih menjadi faktor penentu dalam pengangkatan seorang pemimpin. Padahal, secara teologis, hal itu dimungkinkan. Selanjutnya, Harun menegaskan: “Memang saya di kantor tetap loyal kepada pemimpin saya yang kafir. Itu hanya karena tuntutan pekerjaan saja. Di hati nurani saya tetap berpihak kepada pemimpin yang muslim.”72 Pembedaan wilayah antara KA dan KUI berdampak pada cara pandang JT terhadap sejarah Islam. Menurut mereka, kepemimpinan yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw. (571-632 M.) dan kemudian para Khalifah Rasyidahnnya dapat dilihat sepenuhnya sebagai suatu bentuk penyelenggaraan KA. Ketika masih berada di Mekkah Nabi Muhammad Saw. telah menampilkan dirinya sebagai pemimpin kaum beriman. Pada saat jumlah mereka yang masih sangat sedikit sudah terbentuk ikatan solidaritas di antara mereka berdasarkan pengakuan mereka kepada kenabian Muhammad Saw. Pengakuan itu sudah termasuk bagian dari ajaran pokok Islam atau KA. Dengan cara demikian Nabi Muhammad Saw. (571-632 M.) berhasil dengan baik menanamkan doktrin-doktrin dasar Islam -seperti ketauhidan, keimanan kepada yang ghaib, takdir dan persaudaraan- dalam kehidupan para sahabatnya itu. Saat itu masih belum terlihat adanya suatu wadah defenitif, selain rumah al-Arqam, sebagai tempat berhimpun dan pembinaan mereka. Setelah lebih kurang 13 tahun berdakwah di Makkah, pada bulan Juni tahun 622 M. Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya melakukan perpindahan (hijrah) ke Madinah. Perpindahan ini merupakan suatu langkah penting, karena Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya seketika dapat berubah dari hanya sebuah kelompok kecil menjadi sebuah masyarakat besar dan kuat yang dikenal dengan nama ummah. Di Madinah Nabi Muhammad Saw. membangun sebuah masyarakat beriman yang jika dilihat dari segi persyaratan-persyaratannya -seperti wilayah, pemerintahan, pemimpin, rakyat, dan hukumdan undang-undang- memang layak untuk disebut sebagai sebuah negara. Tetapi, orientasi pemerintahan yang dibuat Nabi Muhammad Saw. bukan untuk berdirinya sebuah kekuasaan duniawi, melainkan dalam rangka pengabdian kepada agama. Untuk semua persoalan saat itu masjid menjadi sebuah lembaga satu-satunya. Di situ Nabi Muhammad Saw. dan para sahabat berhimpun dan membahas persoalan-persoalan yang sepenuhnya dilihat sebagai persoalan KA. Belum terlihat adanya lembaga-lembaga negara/pemerintah, sosial, pendidikan, keuangan dan ekonomi, seperti yang ada saat ini.

72Hasil wawancara dengan Harun, penanggung jawab mahallah Mujiburrahman Tanah Rata, pada tanggal 25 Maret 2019. 155

Sesudah Nabi Muhammad Saw. wafat, kepemimpinan umat Islam dilanjutkan oleh para Khalifah Rasyidahnya. Walaupun cara pengangkatan empat khalifahnya berbeda antara satu dengan yang lain, orientasi pemerintahan tidak berubah. KA tetap masih menjadi fokus utama penyelenggaraan pemerintahan dan menjadi tujuan adanya negara.73 Perubahan mendasar baru terjadi kemudian, setelah Muawiyah bin Abi Sufyan (602-680) naik mengambil alih kekuasaan. Itu terjadi pada tahun 661 M. Ia dengan segera melakukan perubahan mendasar. Sistem pemerintahan khilafah digantikannya dengan sistem pemerintahan kerajaan. Dia sendiri menetapkan dirinya sebagai raja. Dalam sejarah Islam dialah raja pertama bagi masyarakat Islam. Kekuasaan pemerintahan dipegang secara sepenuhnya, dan setelah itu diwariskannya secara turun-temurun kepada keturunan-keturunannya yang selanjutnya. Dengan perubahan sistem pemerintahan itu berubah pula orientasi pemerintahan, dari menyelenggarakan KA kepada menyelenggarakan KUI. Bila pada masa Nabi Muhammad Saw. dan para khalifah rasyidahnya KA adalah tujuan, maka pada masanya KUI (negara dan pemerintahan) adalah tujuan. Akibatnya, urusan KA atau ibadah terlepas dan terlempar dari urusan utama negara atau pemerintah kepada umat. Pusat pemerintahan yang pada masa Nabi Muhammad Saw dan al-khulafā al-rāshidin, berada di masjid berpindah ke istananya. Pada saat penandatanganan perjanjian damai dengan Hasan bin Ali (624-670) pada tahun 40 H. Muawiyah sendiri berkata : “Aku tidak memerangi kalian supaya kalian shalat, haji, berpuasa atau membayar zakat. Kalian sendiri dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan itu. Tujuanku berperang adalah untuk berkuasa atas kalian.”74 Menurut JT75, semenjak dirubah oleh Muawiyah untuk seterusnya sampai dengan saat ini ‒dengan sedikit perkecualian kepada kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz‒ praktis tidak pernah ada lagi suatu pemerintahan atau negara yang menempatkan KA sebagai tujuan. Dengan kata lain, tidak ada satu pun negara yang

73JT membuat pembedaan antara dua bentuk pemerintahan tersebut. Pertama, pemerintahan yang dipegang oleh Nabi Muhammad Saw. yang kemudian diteruskan oleh para khalifah rasyidahnya adalah berdasar di atas sistem Nubuwah. Tugas utama pemerintahan ini adalah berusaha untuk mendatangkan qudrat Allah SWT. sebesar-besarnya ke dalam kehidupan manusia dengan cara mengajak manusia kepada ketaatan. Untuk bisa memancing turunnya qudrat Allah SWT. sang pemimpin harus terlebih dulu menghadirkan sebesar-besarnya di dalam dirinya sifat-sifat mulia, seperti sabar, tawadhu’, tawakal, qana’ah dan lain-lain. Cara untuk menghadirkan sifat-sifat mulia tersebut adalah dengan bersikap istiqamah dalam setiap amal dan perjuangan di jalan Allah. Kedua, pemerintahan yang berdasar pada sistem hukumah atau kekuasaan (dipegang oleh raja, sultan, presiden, dan sebagainya) adalah berorientasi kepada kepentingan diri atau kelompoknya saja. Ciri-ciri pemerintahan dengan sistem hukumah adalah mengajak manusia kepada selain Allah. Kekuasaan ini diperoleh dengan cara menghimpun kekuatan rakyat sebenyak-banyaknya untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar bagi diri dan kelompoknya. Lihat, M. Ishaq Shahab, Khuruj fi Sabilillah…., 19-20 74 Muhammad Hasan Qadrdan Qaramaliki, terj. Al-Qur’an dan Sekularisme (Agama dan Politik di antara Penglaman Religius dan Falsafah Kenabian), (Jakarta: Sadra, 2011), 19. 75Hasil wawancara dengan Mahmud, Peanngung Jawab Khalaqah Sirimau II, Kota Ambon, pada tanggal 12 Mei 2018. 156 berdasar pada KA. Semua pemerintahan yang dipegang oleh umat Islam berorintasi kepada KUI. Sebagaimana telah dikatakan di atas bahwa apa yang dilakukan JT dapat dilihat sebagai suatu tindakan sekularisasi, yakni memisahkan persoalan KA dari KUI. Tetapi tidak lantas persoalan KA, karena sifatnya spiritual, harus dilepaskan dari suatu bentuk kelembagaan, seperti yang dipahami Nurcholish Majid (1939-2005). Persoalan spiritual tidak harus melulu bersifat pribadi. Ia bisa dibawa ke wilayah empirik, menjadi sebuah lembaga, untuk kemudian mengalami proses sosialisasi dalam sejarah. Hal itu dikarenakan peran KA sangat penting bagi sebuah perubahan. Dengan kata lain, KA berperan dalam suatu proses berinteraksi dalam kehidupan masyarakat dalam rangka perbaikan. Karena dapat dibawa ke dalam sebuah lembaga, KA memerlukan kepemimpinan untuk pengaturannya secara kolektif. Bila Nabi Muhammad Saw. menampilkan dirinya sebagai seorang yang harus diikuti kehendaknya, tetapi tidak demikian dengan para khalifah rasyidahnya. Sebagai pengganti Nabi Muhammad Saw. dalam hal kepemimpinan umat, mereka hanya tinggal melanjutkan saja KA yang telah dibantuk dengan sempurna oleh Nabi Muhammmad Saw. Posisi mereka hanya sebatas melaksanakan fungsi integrasi agar umat dapat diarahkan kepada satu tujuan, yaitu mewujudkan KA ke dalam kehidupan manusia. Menurut JT, apa yang dilakukan mereka saat ini adalah melanjutkan kembali pola yang dibentuk oleh Nabi Muhammad Saw. dan para khalifah rasyidahnya. Proses keberlanjutan peran itu dibentuk ke dalam program dakwah atau khuruj. Menurut mereka pula, pemerintahan yang dipegang oleh Nabi Saw. dan para khalifahnya adalah semata-mata untuk menyelenggarakan dakwah. Bertolak dari pembedaan antara KA dengan KUI, jelas bahwa pandangan JT tentang negara berbeda dengan kelompok fundamentalis Islam di satu pihak dan kelompok pluralis agama di pihak lain. Tokoh fundamentalis Islam seperti Abu al- A’la al-Maududi, berdasarkan makna kata “khalifah” yang berarti pengganti, memahami bahwa kepemimpinan umat Islam setelah Nabi Muhammad Saw. adalah khalifah atau pengganti Nabi Muhammad Saw. Sehingga mulai dari pemerintahan para Khalifah Rasyidah, kemudian Bani Umayah (661-750) sampai dengan Bani Abbasiyah (750-1258) disebut dengan khilafah. Sistem khilafah berdasar pada pandangan tersendiri yang berbeda dengan sistem pemerintahan demokrasi Barat. Berseberangan dengan al-Maududi adalah pemikir pluralisme dari Indonesia, Nurcholish Madjid. Bertolak dari pembedaan yang ia buat antara agama dan negara, menolak konsep negara Islam. Negara merupakan salah satu segi kehidupan duniawi dengan dimensi rasional dan kolektif (sifatnya, KUI). Sementara agama merupakan segi kehidupan lain dengan dimensi spiritual dan pribadi (sifatnya, KA). Walaupun memang antara negara dan agama tidak dapat dipisahkan, tetapi pendekatan antara keduanya jelas berbeda. Tidak mungkin, dengan pendekatan spiritual, sebuah negara bisa masuk dan mengatur aspek batin individu. Karena itu, tidak wajar memberi label agama pada negara. Lebih lanjut, karena Islam menolak segala bentuk lembaga kekuasaan rohani (rahbaniyyah), maka tindakan yang mengarah kepada kekuasaan rohani manusia merupakan suatu bentuk penuhanan kepada selain Allah (shirik).76

76Lihat, Arief Mudatsir Mandan, Islam dan Nasionalisme…,115-119. 157

Tetapi JT, berdasarkan pemahamannya atas KA, bertindak lebih jauh untuk melakukan pelembagaan terhadap aspek spiritual atau agama. Nurcholish Madjid agaknya melupakan sejarah bahwa pelembagaan agama sudah dibuat oleh Nabi Muhammad Saw. sendiri dan kemudian para khalifah rasyidahnya. Memandang agama hanya sebatas aspek spiritual dan pribadi jelas melepaskan agama dari tanggung jawab sosialnya. Demikian pun al-Maududi, karena belum sempat membedakan persoalan KA dengan KUI, keliru pula merumuskan negara Islam/khilafah. Akibatnya, ia menyebut dua bentuk kekuasaan kerajaan Bani Umayah dan Bani Abbasiyah sebagai khilafah pula. Padahal dengan jelas sekali mereka telah meninggalkan orientasi pemerintahan Islam yang diwariskan Nabi Muhammad Saw. kepada para khalifah rasyidahnya. Dengan melakukan pembedaan antara KA dan KUI, pandangan dan gerakan JT dapat dilihat sebagai suatu bentuk jalan tengah di antara dua pandangan ekstrim di atas. Dari penjelasan di atas, tampak bahwa penekanan JT pada KA dalam gerakan dakwah mereka berdampak pada desakralisasi lembaga dan juga kepemimpinan. Desakralisasi lembaga berdampak pada terjadinya sekularisasi. Dalam pandangan JT, lembaga-lembaga yang berkaitan dengan kepentingan umat tidak merupakan sesuatu yang suci. Ia sepenuhnya masuk ke dalam wilayah profan, sehingga tidak perlu disakralkan. Dalam hal ini, JT berbeda dengan kelompok fundamentalis Islam. Kelompok yang terakhir ini, dalam upaya merealisasikan kepentingan mereka, memasukkan lembaga ke dalam persoalan agama dan kemudian berupaya mencapai justifikasinya dalam ayat al-Qur’an. Tentunya, apa yang mereka lakukan berdampak pada mensakralkan apa yang seharusnya tidak boleh disakralkan. Itulah sebabnya, seorang Achmad Mustafa Bisri sampai mengungkapkan kekesalannya terhadap mereka, sebagai berikut: “Adalah terlalu berani membawa ayat-ayat dan sunnah Rasul SAW. untuk kepentingan politik praktis. Itu merupakan pelecehan dan sekaligus membuat umat bingung. Lihatlah, tokoh partai ini menggunakan ayat dan hadis ini untuk mendukung partainya. Apa ini tidak membingungkan masyarakat? Bila kemudian, dengan menggunakan sabda Allah dan Rasul-Nya, masyarakat awam meyakininya sebagai kebenaran mutlak, apa tidak terjadi sikap memutlak- mutlakan antar pendukung partai? Kalau tidak mengerti politik, mbok sudah, rela saja tidak usah berpolitik, daripada membawa-bawa agama. Apakah tokoh- tokoh yang suka membawa-bawa ayat dan hadis itu tidak memikirkan akibatnya di dunia maupun di akhirat kelak? Bagaimana kalau masing-masing pendukung yang awam itu meyakini bahwa mendukung partainya sama dengan mendukung agama dan memperjuangkan partainya sama dengan jihad fi sabilillah?”77 Desakralisasi juga terjadi terjadi kepada kepemimpinan, yang berdampak pada tersingkirnya kepentingan pribadi atau kelompok. Karena dasar gerakan adalah KA, maka hubungan-hubungan sosial meluas tanpa batas.

77Lihat, Achmad Mustafa Bisri, dalam https://jagokata.com/kata-bijak/dari- achmad_mustafa_bisri.html. Dikutip pada tanggal 10 Maret 2019, jam 10.30 WIB. 158

2. Kepemimpinan dan Pengorganisasian Kepemimpinan dalam JT bersifat kolektif, disebut dengan istilah majelis syuro. Saat ini di Ambon jumlah anggota majelis syuro berjumlah 17 orang. Pembentukan majelis syuro dan pengangkatan anggota-anggotanya merupakan wewenang dan penunjukkan majelis syuro pusat di Kebun Jeruk, Jakarta. Hanya saja nama-nama calon syuro ditetapkan berdasarkan usulan dari Ambon. Daerah-daerah lain di Indonesia pun demikian. Mereka yang masuk menjadi anggota tidak berdasarkan kriteria khusus. Hanya saja faktor umur, banyak pengalaman khurūj, istiqamah dalam amalan dan selalu menghadiri musyawarah pada tingkat daerah, pusat maupun dunia, menjadi faktor-faktor pendukung dalam penilaian. Anggota-anggota syuro disapa dengan panggilan syuro, bukan amir, khalifah, ketua atau pun istilah-istilah lain dalam suatu sistem kepemimpinan. Dari semua itu, hanya kata amir yang sering digunakan terutama ketika seseorang menjadi pemimpin musyawarah, pemimpin jamaah yang lagi khuruj, penanggung jawab suatu bidang khusus seperti penanggung jawab dapur, keamanan, dan bidang-bidang khusus lainnya. Misalnya, amir musyawarah, amir jamaah khuruj, amir keamanan, dan sebagainya. Penghindaran penggunaan kata amir dalam JT dikarenakan tidak dikenal pimpinan tunggal. Istilah amir hanya digunakan untuk pemimpin JT tingkat dunia yang berkedudukan di Nizamuddin, yang saat ini dipegang oleh Maulana Muhammad Saad. 78 Untuk Ambon, syuro-syuro itu ialah Muhammad Nur Talaohu, Muhammad Nur Ibrahim, Abdul Aziz Kusnadi, Kamaluddin, Salim, Muhammad Taib Kelian, Harun, Burhanuddin, Abdul Halim, Ramdhan, Abu Daud, Husein, Arham Kobi, dan seterusnya sampai yang ke-17. Mereka semua dtunjuk langsung dari markaz Indonesia di Jakarta. Tidak ada acara upacara pelantikan dan tidak ada pula periodisasi. Mereka akan menduduki majelis syuro sampai mati. Majelis syuro yang tertinggi dalam sebuah negara terletak di ibu kota negara. Untuk Indonesia letaknya di Jakarta, tepatnya di masjid Jami’ Kebun Jeruk, Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat. Di bawah majelis syuro propinsi, terdapat terdapat kepemimpinan dalam markaz khalakah dan kemudian lagi mahallah. Kedua lembaga ini dan juga lembaga tertinggi dunia di India tidak mengenal majelis syuro. Dalam kepemimpinan majelis syuro tidak ada sistem senioritas. Semua anggota syuro berkedudukan sama dalam hal tugas dan tanggung jawab. Walaupun demikian, banyak kali terjadi, karena faktor usia dan pengalaman dalam dakwah, yang lebih tua usia yang lebih banyak mendominasi pelaksanaan musyawarah, ketimbang yang lebih muda. Untuk hal seperti itu, anggota-anggota syuro yang lebih muda biasanya mengambil sikap mengalah.

78“Sikap JT untuk menggunakan istilah seperti amir atau khalifah adalah untuk menghindari persoalan teologis. Karena dalam pandangan JT seorang khalifah atau amir adalah seorang yang menduduki posisi sakral dalam kepemimpinan umat. Merupakan kewajiban bagi semua orang Islam untuk taat kepadanya dengan cara membaitanya terlebih dulu.” Hasil wawancara dengan Mahmud, Penanggung Jawab Mahallah Sirimau II Kota Ambon, pada tanggal 12 Mei 2018. 159

3. Lembaga Musyawarah Misi besar JT untuk mewujudkan perdamaian menyeluruh, adalah dengan dakwah. Mereka menyeru semua orang Islam untuk mau mengambil bagian dalam kerja dakwah secara bersama-sama. Semua orang, apa pun profesi atau pun status sosialnya (petani, pegawai, pedagang, nelayan, pejabat, rakyat biasa, penguasa, pengusaha, dan lain sebagainya) harus terlibat. Untuk menghimpun kembali orang- orang yang pernah khurūj, yang baru ikut aktif, yang yunior maupun senior, maka dibuatkanlah musyawarah. Jadi, musyawarah adalah suatu bentuk konsolidasi umat Islam dalam rangka untuk menyatukan pikir, hati dan tindakan. Tidak ada hal-hal baru (innovation) dalam musyawarah. Yang dibcarakan adalah bagaimana semua anggota JT dapat merapatkan barisan dan juga supaya semua program khurūj dapat terlaksana. Pada pembahasan berikut akan diuraikan semua pelaksanaan musyawarah mulai dari tingkat mahallah sampai ke tingkat markaz propinsi. Musyawarah mahallah dipimpin oleh seorang amir. Ia diangkat untuk hanya memimpin musyawarah yang dilaksanakan setiap hari. Hasil musyawarah tinggal dilaksanakan. Selesai musyawarah, selesai juga jabatan amirnya. Besok dipilih lagi amir baru. Karena tugasnya hanya untuk memimpin musyawarah, maka, dinamakan amir musyawarah. Bukan amir mahallah. Amir musyawarah diambil dari para anggota yang ada di mahallah. Di atas musyawarah mahallah terdapat musyawarah khalaqah. Sebagaimana halnya mahallah, juga tidak ada amir khalaqah (tingkat kecamatan). Musyawarah khalaqah dilaksanakan untuk mengontrol permasalahan di mahallah-mahallah dan pergerakan jamaah-jamaah yang sedang khurūj di wilayah khalaqah. Adapaun pengangkatan amir musyawarah pada markaz propinsi adalah musyawarah para anggota syuro. Hal itu berlaku, bahkan sampai pada amir Indonesia di tingkat pusat, di Jakarta. Sebagaimana biasanya, untuk memulai musyawarah pertama-tama akan diangkat seorang amir. Pengangkatannya melalui musyawarah para syuro saja. Ia juga menjadi amir musyarah hanya untuk sekali kegiatan. Selesai dari musyawarah, amir musyawarah propinsi tersebut kembali menjadi anggota biasa yang sudah tidak punya keistimewaan apa-apa lagi. Untuk musyawarah berikut diangkat lagi amir baru. Demikian seterusnya begitu. Dengan posisi syuro secara demikian menunjukkan bahwa kepemimpinan dalam JT bukan berdasarkan pada suatu bentuk kekuasaan (hukumah) apa pun, termasuk kekuasaan yang biasa berlaku dalam masyarakat tradisional yang berlandaskan “kekudusan”. Hasil-hasil kesepakatan musyawarah ditaati dan dilaksanakan berdasarkan keimanan kepada Allah dan atas dasar petunjuk Sunnah Nabi Muhammad Saw. “Taat kepada amir sama dengan taat kepada Rasulullah Saw. dan taat kepada Rasulullah sama dengan taat kepada Allah SWT. Kalau amir yang nampak saja tidak ditaati, bagaimana pula Allah Yang Ghaib. Jadi, belajar menjadi taat kepada Allah dan Rasul-Nya dengan cara membiasakan diri taat kepada amir.”79 Tidak ada musyawarah yang sifatnya rahasia. Semua pembicaraan dibuatkan terbuka untuk umum agar bisa dihadiri oleh umat Islam sebanyak mungkin. Pada

79Hasil wawancara dengan Mahmud, Penanggung Jawab Mahallah Sirimau II Kota Ambon, pada tanggal 12 Mei 2018. 160 pelaksanaan musyawarah besar tahunan (seperti pada tanggal 2 – 4 Desember 2018 lalu) undangan kepada semua umat Islam disebarkan ke semua masjid di kota Ambon. Acara dibuka oleh Ketua MUI Propinsi Maluku, DR. Abdullah Latuapo, M.Pd.I. Karena pembahasan musyawarah hanya berkisar pada KA semua orang dimintakan menyampaikan pikiran tentang bagaimana agar kerja dakwah bisa dimaksimalkan. Karena ini adalah musyawarah untuk menyukseskan pelaksanaan KA, maka tidak boleh ada unsur kepentingan pribadi, kelompok, termasuk persoalan KUI. Biasanya untuk menghindari hal-hal tersebut amir musyawarah akan meminta seorang peserta musyawarah untuk menyampaikan tertib-tertib musyawarah begitu musyawarah dimulai. Secara lisan, orang itu akan menyampaikannya, di antaranya, ialah: 1. Setiap orang hendaknya menyadari bahwa ini adalah musyawarah agama. Setiap hal yang berkaitan dengan dengan urusan dunia atau pun kepentingan kelompok agar dihindari. 2. Setiap peserta musyawarah agar mengajukan usul, dimulai dari peserta yang paling kanan kemudian berikutnya sampai terakhir. 3. Tidak boleh saling memotong pembicaraan, saling mendukung pendapat atau pun saling menolak. Usul disampaikan langsung pada pokok masalahnya. 4. Dalam menyampaikan usul tidak boleh ada unsur pemaksaan agar amir dan jamaah menerima usulnya, misalnya dengan menggunakan kata “seandainya”, “jika”, kalau bisa usul saya diterima”, dan sebagainya. 5. Kalau usul diterima hendaknya beristighfar, khawatir apa yang diusulkan membawa mudharat. Kalau usul ditolak, hendaknya mengucapkan “Alhamdulillah”, karena telah terlepaskan dari beban usulnya sendiri. 6. Tidak diperkenankan menyusun rencana terlebih dulu antar beberapa orang terhadap apa yang akan diusulkan. Begitu pula setelah selesai musyawarah, tidak boleh lagi ada pembicaraan lanjutan di luar musywarah. Hendaknya setiap orang menerima hasil musyawarah dengan ikhlas, walaupun apa yang diusulkan tidak ditetapkan menjadi putusan musyawarah. Musyawarah dapat dilihat sebagai suatu cara atau sistem pengelolaan organisasi (istilah organisasi tidak tepat disematkan kepada JT karena tidak memenuhi syarat- syarat sebagai sebuah organisasi) berkaitan dengan jamaah yang akan dan sedang khurūj serta perkembangan dakwah pada masjid-masjid. Hal itu berlaku bukan hanya di Ambon, tetapi juga di seluruh wilayah Indonesia, bahkan di seluruh dunia. JT di Ambon telah mengirim jamaah-jamaah ke berbagai wilayah di Indonesia dan ke berbagai negara. Begitu pula, JT Ambon telah menerima jamaah-jamaah dari berbagai daerah dalam negeri maupun dari berbagai negara. Dengan berbuat demikian markaz dakwah di Ambon telah memposisikan diri sebagai pusat dakwah untuk seluruh dunia. Sebenarnya semua markaz daerah di mana pun demikian. Jadi, berada di markaz dakwah seolah sedang berada di pusat dakwah dunia. Dapat disepakati bahwa saat ini JT adalah sebuah gerakan dakwah umat Islam terbesar di dunia, barangkali juga untuk semua pergerakan agama-agama lain. Sejak pertama kali dibentuk oleh Syaikh Maulana Muhammad Ilyas (1885-1944 M.) pada tahun 1932 M., JT telah merambah dan mendirikan pusat-pusat kegiatan 161

(markaz)nya di lebih dari 150 negara di dunia.80 Dengan memfokuskan pembicaraan dakwah kepada hanya empat hal81 seraya menghindari diri dari 4 hal yang lain,82 JT lebih berpeluang untuk melenggang bebas kemana dan kapan saja. JT bahkan, telah sampai membangun beberapa markaz dakwahnya di Israel, suatu hal yang barangkali sulit dibuat oleh pergerakan dakwah yang lain.83 Sumber motivasi JT untuk bergerak terletak pada keyakinan mereka akan sifat Kebesaran Allah. Keyakinan terhadap sifat Allah itu menduduki posisi sentral dalam teologi perdamaian JT.

F. SIKAP JAMAAH TABLIGH TERHADAP KONFLIK AMBON Terobsesi oleh tujuan yang lebih besar, dalam berdakwah, JT tidak merubah metode dan tema pembicaraan, baik pada saat damai maupun konflik. Dakwah dilaksanakan sebagaimana biasanya, yaitu dengan memfokuskan pembicaraan tentang KA. Tidak menyinggung sedikit pun tentang persoalan konflik.

80Ibnu Burdah, Bishwa Ijtema dan Pesona Jamaah Tabligh, dalam, “detiknews”, Kamis 18 Januari 2018 81Empat hal utama yang harus diperbanyak dalam pembicaraan dakwah JT adalah: 1. Mengajak untuk taat kepada Allah (Dakwah ilā Allah) 2. Belajar dan mengajar (Ta’līm wa ta’lūm) 3. Zikir dan ibadah (Dzikir wa al-ibādah) 4. Saling melayani (Khidmah). Selengkapnya, lihat: An Nadhr M. Ishaq Shahab, Khuruj Fi Sabilillah Sarana Tarbiyah Ummat Untuk Membentuk Sifat Imaniyyah (Bandung: Al-Ishlah Pers, 1432 H.), 101-142 82 Empat hal yang tidak boleh disentuh, adalah: 1. Politik dalam negeri maupun luar negeri 2. Khilāfiyyah (perbedaan pendapat masāil al-fiqhiyyah) 3. Membicarakan aib seseorang maupun masyarakat 4. Meminta sumbangan dan membicarakan status sosial seseorang. Lihat: An Nadhr, Khuruj, 101-142 83Pada tahun 2003 satu jemaah dari Malaysia yang di utus ke india, berjumpa dengan satu jemaah dari Israel. Pada kesempatan itu, terjadi dialog yang menarik. Dalam dialog itu sempat Jamaah Malaysia melontarkan pertanyaan mengenai bagaimanakah usaha dakwah dan tabligh bisa berlangsung di negara Israel secara terbuka, bahkan sampai berhasil membentuk empat markas dakwah di sana, sedangkan orang Arab di Palestina sedang diancam dan disiksa dengan keras oleh orang Israel? “Orang Yahudi juga Perlu Hidayah,” Jawab mereka, ”Orang Yahudi adalah pakar dalam soal kitab samawi termasuk Al-Quran dan Al-Hadits Nabi. Mereka tahu yang mana benar dan yang mana salah dan mereka tahu usaha Agama yang mana mendapat bantuan Allah SWT dan yang tidak memperolehinya. Maka mereka tidak berani mengganggu orang-orang yang membuat usaha dakwah dan tabligh. Mengganggu orang-orang ini bermakna menarik azab Allah SWT dan bala-Nya ke atas mereka sendiri. Sebab itulah mereka dibiarkan bebas. Sedangkan pergerakan lain yang radikal diberantas dan disiksa habis-habisan. Orang Yahudi tahu bahwa cara mereka salah dan tiada bantuan Allah SWT bersama mereka itu”. Lihat, https://imanyakin.wordpress.com/ 2014/02/13/kebenaran-usaha-dakwah-dan-tabligh-diakui-zionis-israel/. Lihat juga, https: //salafytobat. wordpress. com/tag/jamaah-tabligh-ditakuti-israel-dengan-menyebutnya-the- monster-of-islam/. Lihat juga, http: //ahbab-indonesia.blogspot.com/2014/04/bagaimana- usaha-dakwah-tabligh.html 162

Ketidakterlibatan mereka secara langsung dengan konflik berdasarkan pada cara pandang mereka tentang KA dan KUI. Menurut mereka, konflik Ambon bukan konflik agama. Ia sepenuhnya dapat dilihat sebagai konflik kepentingan antara pihak Muslim dan Kristen. Hasil wawancara tokoh-tokoh kedua agama yang dihimpun oleh Husen Assagaf pun menyatakan demikian. Mereka bahkan berpandangan bahwa agama telah dijadikan sebagai alat untuk memparah situasi. Ketua Majelis Ulama (MUI) Maluku, Idris Toekan, berkata: “Dari berbagai diskusi-diskusi yang di bangun MUI Maluku bahwa konflik di Ambon-Maluku bukan konflik agama, tetapi agama dijadikan sebagai isu provokasi umat dalam berkonflik. Mereka mengetahui masyarakat Islam dan Kristen di Ambon-Maluku sangat ta’at atau fanatik terhadap agamanya, sehingga isu agama dimasukkan dalam areal konflik supaya semakin kuat dan luas wilayah konfliknya. Kita mengetahui bahwa jihad dalam pandangan Islam bukan saja perang tapi bersungguh-sungguh dalam melakukan suatu pekerjaan. Kita sadar bahwa lembaga-lembaga agama seperti MUI Maluku tidak memiliki peranan yang kuat dalam pembimbingan umat dalam pemahaman terhadap doktrin agama dalam membangun peradaban bersama antar umat beragama di Ambon.84 Sejalan dengan apa yang dikatakan ketua MUI Maluku di atas, Ketua Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM), Pdt John Ruhulessin pun berkata demikian, sebagai berikut: “Konflik di Ambon-Maluku bukan konflik agama apalagi dikaitkan dengan Perang Salib (crusade). Konsep Perang Salib ini hanya dikenal dalam perdebatan teologi Kristen dan memang diakui sebagai suatu peristiwa dalam sejarah Kristen dan tidak ada kaitannya dengan konflik di Ambon. Tetapi konflik di Ambon memang diakui adanya mobilisasi atas nama agama. Oleh karena itu, perlu ada pemahaman kembali terhadap doktrin dan idiologi agama sebab doktrin agama sangat mempengaruhi prilaku umat dalam menjalankan ajaran agamanya bisa saja keluar dari ajaran kitab sucinya. Misalnya dalam Mathius ayat 8 yakni Panggilan Agung dalam misionaris Kristen dan Kristenisasi perlu diterjamahkan kembali dan GPM dalam 10-20 tahun terakhir merubah pola pemikirannya dalam dialog-dilaog terbuka antar saudara-saudara kita yang Muslim untuk membangun kebersamaan dan toleransi di Ambon-Maluku.”85 Selama berkecamuk konflik, JT mengambil sikap defensive di tempat tinggal masing-masing. Bila ada penyerangan dari pihak Kristen, barulah JT mengambil tindakan sekedar membela diri. Masalah menjadi sangat serius ketika pada bulan April tahun 2000 Laskar Jihad Ahlus Sunnah Wal Jamaah (LJAWJ) Salafi Wahabi tiba di Ambon. Sikap JT yang demikian itu dianggap oleh mereka sebagai tindakan tidak mau peduli terhadap negeri sendiri. Pada saat yang bersamaan JT tetap konsisten dengan metode dakwah mereka yaitu mengajak orang Islam untuk khurūj (keluar), baik dalam kawasan Pulau Ambon maupun keluar dari Ambon. Sementara saat itu. LJAWJ dengan sungguh-sungguh sedang mengajak orang-orang Islam dari

84Husen Assagaf, “Toleransi Kehidupan Umat Beragama,” 4. 85Husen Assagaf, “Toleransi Kehidupan Umat Beragama,” 5. 163 berbagai daerah di Indonesia datang ke Ambon untuk berjihad. Dua metode dakwah yang benar-benar berseberangan. Perbedaan metode dakwah itu benar-benar dimanfaatkan untuk memprovokasi masyarakat supaya tidak menerima dakwah JT. Pertengkaran pun tak terhindarkan. Hanya saja JT bersikap lebih banyak mengalah, sehingga masalah tidak berkembang menjadi besar. Dengan memanfaatkan dukungan umat Islam, kelompok LJAWJ menghasut umat agar bersama-sama menentang gerakan JT. Walaupun umat Islam tidak termakan hasutan, tetapi paling kurang sebagian besar masjid di kota Ambon dapat diblokir mereka. Akibatnya, gerakan JT menjadi sangat terbatas. Memang aneh sekali, bukannya bagaimana menjaga perasaan sesama umat Islam untuk menghadapi musuh bersama, mereka malah menciptakan musuh dari dalam umat Islam sendiri. Tetapi, akhirnya, keadaan pun menjadi membaik. Pada bulan Oktober 2002 LJAWJ dibubarkan. Pada Selasa, 22 Oktober 2002 mereka ditarik dari Ambon untuk dipulangkan ke Jawa.86 Dalam pada itu eskalasi konflik mulai menurun, keadaan pun semakin kondusif. Masjid-masjid yang tadinya diblokir, satu demi satu membuka pintu untuk menerima kembali kehadiran JT. Dalam suasana yang demikian itu JT mulai melakukan beberapa perkumpulan besar berskala regional. Rombongan-rombongan

86 Harian Umum Suara Merdeka, Perekat Komunitas Jawa Tengah, tanggal 22 Oktober 2002, dengan judul berita “Kedatangan Laskar Jihad Aman”, memberitakan, sebagai berikut: Kedatangan ratusan anggota Laskar Jihad di Pelabuhan Tanjung Perak terlihat aman-aman saja. Itu berbeda dari saat keberangkatan mereka pada dua tahun lalu. Berita kedatangan sebagian anggota Laskar Jihad asal Jatim, Jateng, dan Yogyakarta memang tidak banyak diketahui pengunjung Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Selain itu tidak ada penyambutan khusus. Yang ada hanya para koordinator daerah asal anggota Laskar Jihad tersebut. Hanya sebagian kecil anggota keluarga yang menjemput mereka di pelabuhan. Tak ada kesedihan di wajah mereka. Yang ada justru tawa ceria. Salah satu keluarga asal Manukian Surabaya, Soetomo dan istrinya yang akan menjemput anaknya Deni (21) banyak mengumbar senyum. Para kamerawan dilarang mengambil gambar anggota laskar Jihad, sekalipun gambar bus yang akan membawa mereka pulang ke kampung halamannya. Dalam kesempatan lain, Yoyok Wahyu Nugroho mengatakan, dirinya yang lulusan SMA 8 Surabaya tahun 1989 adalah mantan Komandan Kompi Laskar Jihad Sektor STAIN Ambon yang membawahkan 200 anggota selama periode Mei 2000-Januari 2001. Dia menambahkan, di Jatim ada empat korban dari laskar yang meninggalkan istri, satu di antaranya asal Surabaya. Namun, lagi-lagi Yoyok keberatan menyebutkan alamatnya. Para janda dan korban cacat itu, kata dia, menjadi tanggung jawab rekan-rekannya di Surabaya. Janda tiga anak asal Surabaya itu misalnya, kini dibuatkan rumah di sebuah pondok pesantren di Jatim. Dengan cara itu kehidupan dan kebutuhan pendidikan mereka dipenuhi. Lebih dari itu, dia bisa terus mengikuti taklim (pengajian) yang kami kembangkan. Rombongan Laskar Jihad diangkut Kapal Dorolondo yang tiba di pelabuhan pada pukul 12.30 WIB. Ratusan polisi dan keamanan pelabuhan disiagakan. Polisi dipimpin Kapolres Tanjung Perak AKBP Endro Wardoyo memeriksa barang-barang bawaan mereka. Hasilnya, dari kardus dan tas mereka, polisi cuma menemukan pakaian dan bahan makanan, seperti gula dan beras. Tak satu pun senjata tajam atau bahan berbahaya ditemukan. Kapolda Jatim Irjen Pol Drs Sutanto menyambut baik kepulangan Laskar Jihad. Kata Sutanto, masyarakat tak perlu mencurigai mereka macam-macam. (jo-69e) 164 dakwah dikeluarkan secara teratur dan berjumlah besar. Beberapa lembaga pemerintah seperti STAIN Ambon dan Lanud Pattimura, memberikan kepercayaan untuk membina mahasiswa dan anggota-anggotanya. Kini JT sudah membangun sebuah masjid sebagai sentral kegiatan dakwah yang berlokasi di Air Kuning Desa Batumerah Kecamatan Sirimau-Kota Ambon. Dari situ, pengiriman maupun penerimaan jamaah ke dan dari berbagai tempat, lokal, nasional dan manca negara, dapat diatur dengan baik. Masjid yang menjadi markaz JT itu diberi nama Al- Istikhlash. Sikap tidak mau melibatkan diri secara aktif ke dalam peperangan, bukan karena JT bersikap membuka diri kepada non-muslim. Bagi JT, mereka tetap orang kafir. Hanya saja kekafiran mereka sama sekali bukanlah sebuah alasan untuk dilakukannya penyerangan terhadap mereka. Alasan untuk tidak dilaksanakan penyerangan adalah karena sampai dengan saat ini umat Islam belum begitu bersungguh-sungguh melakukan komunikasi (dakwah) dengan mereka secara langsung. “Bagaimana kita akan memerangi mereka, sementara kita sendiri belum pernah mendakwahi mereka. Merupakan suatu kesalahan adalah memerangi orang yang belum pernah didakwahi.” Mereka juga berkata,”Tujuan utama dakwah kita adalah untuk orang Islam, belum kepada orang kafir. Apalah artinya kita mengajak orang kafir masuk Islam, sementara orang Islam sendiri banyak yang belum mengamalkan agamanya. ” Setelah melewati masa-masa konflik, terjadi segregasi pemukiman penduduk antara komunitas muslim dan kristiani. Kebanyakan wilayah pemukiman menjadi terpisah. Hal itu menyebabkan komunikasi hari-hari antar kedua komunitas tersebut menjadi terputus. Komunikasi baru berjalan kembali hanya ketika ada hubungan bisnis (muamalah), baik di kantor maupun di pasar. Dalam kondisi yang demikian, JT lebih memantapkan sikap mereka hanya kepada kaum muslimin saja.

165

BAB VI

PENUTUP

A. KESIMPULAN Kajian perdamaian dari berbagai kelompok kepentingan (disertasi ini memunculkan tiga kelompok, yaitu modernis Islam, fundamentalis Islam dan Jamaah Tabligh) menemukan sejumlah kenyataan menarik, sebagai berikut: 1. Perdamaian berdasar pada suatu absolutisme. Kelompok modernis Islam, melalui paham pluralisme agama, menyatakan bahwa semua kebenaran bersifat relatif. Maksud dari pernyataan itu ialah supaya tidak boleh ada satu orang pun yang merasa benar sendiri atau melakukan klaim kebenaran (truth claim) dengan agamanya. Pikir mereka, klaim kebenaran (truth claim) yang bersumber dari suatu absolutisme, akan berujung pada tindakan-tindakan radikalisme, seperti menyalahkan atau bahkan menyerang pihak lain yang berbeda keyakinan. Untuk menghilangkan radikalisme, maka absolutisme dulu yang perlu dihilangkan, baru perdamaian bisa terwujud. Mereka lupa bahwa dengan menyatakan “Semua kebenaran adalah relatif” sebenarnya mereka sedang melakukan tindakan mengabsolutkan relatifisme sebagai kebenaran universal. Jadi, mereka justru sedang memunculkan absolutisme baru, yang dengan itu, memang bisa menyatukan internal kelompok mereka dalam suatu perdamaian yang terbatas. Tetapi, dengan kelompok lain yang berbeda keyakinan, justru berbalik menyalahkan dan menyerang. Tampak, pernyataan “Semua kebenaran adalah relatif” adalah suatu pernyataan perang kepada semua kelompok selain mereka. Melalui analisa teologis, terungkap juga bahwa dibalik absolutisme yang mereka anut itu, terkandung upaya teologi untuk menegaskan eksistensi kelompok dan kepentingan mereka semata. Begitu pun dengan kelompok fundamentalis Islam. Melalui tindakan mengabsolutkan Islam sebagai satu-satunya kebenaran, mereka berharap dapat menyatukan semua orang Islam dalam sebuah perdamaian. Persoalannya, absolutisme Islam yang mana. Ada banyak varian absolutisme Islam sesuai dengan banyaknya varian kelompok fundamentalis dalam Islam. Masing-masing kelompok mengklaim telah mengusung absolutisme Islam yang sebenarnya. Padahal, semua absolutisme dari para fundamentalis Islam juga merupakan upaya masing-masing kelompok untuk menegaskan eksistensi kelompok dan kepentingannya saja. Alih-alih menciptakan perdamaian, sesama mereka sendiri sulit untuk berdamai. 2. Kedua kelompok, baik modernis maupun fundamentalis, gagal. Kecuali, bila salah satu dari mereka dapat mencapai level universal. Jalan untuk mencapai level tersebut adalah dengan tindakan radikalisme, menyingkirkan segala bentuk absolutisme yang lain, supaya yang eksis hanya absolutisme kelompoknya saja. Kelompok modernis Islam mengambil bentuk radikalisme lembut, dan kelompok fundamentalis Islam mengambil radikalisme keras. 166

2. Jamaah Tabligh sebagai suatu gerakan dakwah transnasional pun sedang melakukan upaya, yang secara tak langsung, berimplikasi pada perdamaian. Upaya sebenarnya adalah menegaskan ketuhanan Allah dan mewujudkan kepentingan-Nya dalam kehidupan kaum muslimin. Sebagaimana halnya kelompok fundamentalis Islam, JT juga berdasar pada absolutisme Islam. Tetapi, berbeda dengan kelompok tersebut yang secara subyektif menegaskan absolutisme berdasarkan pada kepentingan kelompoknya, Jamaah Tabligh mempertahankan absolutisme Islam berdasar pada makna obyektif ayat Al- Qur’an dan hadis. Dengan pendekatan obyektif, terungkap bahwa ternyata ayat Al-Qur’an dan hadis tiada lain merupakan pernyataan Allah tentang ketuhanan-Nya dan kepentingan abadi-Nya. Dengan kata lain, penjelasan Allah dalam Kitab Suci tentang ketuhanan dan kepentingan Abadi-Nya, bila dipahami secara obyektif memiliki makna dengan tingkat kebenaran absolut. Absolutisme universal ini dijadikan sebagai dasar dalam membangun perdamaian universal, yang wujud konkritnya berupa masyarakat universal. 3. Dalam upayanya membangun perdamaian, pertama-tama JT membedakan antara kepentingan Allah (KA) dengan kepentingan umat Islam (KUI). Secara institusi JT menyatakan diri untuk tidak terlibat ke dalam persoalan KUI. Fokus perhatiannya adalah KA, yaitu bagaiman mentranformasikan KA menjadi kepercayaan. Melalui program khurūj fi sabīl li Allāh proses transformasi itu dilaksanakan. Dengan meluaskan gerakan khurūj ke wilayah- wilayah terjauh JT saat ini telah dapat membangun masyarakat dalam skala universal. Terobsesi oleh keinginan untuk mewujudkan teologi perdamaian universal, JT di Ambon terabaikan dari peran-peran perdamaian dalam masyarakat. Selama konflik Ambon, JT memang tidak melibatkan diri dalam penyerangan- penyerangan. Tetapi juga tidak ikut aktif dalam upaya-upaya perdamaian yang sedang dilakukan oleh masyarakat Ambon.

B. TEMUAN DISERTASI DAN SARAN 1. Dari hasil kajian analitis terhadap doktrin teologi perdamaian versi kelompok-kelompok (pluralisme maupun fundamentalisme) ditemukan bahwa ia disusun dengan berlatar belakang konflik antar kelompok. Karena itu, walaupun mengusung tema perdamaian, tetapi include dengan upaya penegasan eksistensi kelompok dan kepentingannya. Setiap kelompok membaca kepentingannya sendiri dan mempertahankannya dalam sistem kepercayaan. Teologi yang demikian berkecenderungan menimbulkan konflik. Teologi perdamaian kelompok tampak sekaligus sebagai teologi konflik antar kelompok. Saran, supaya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan pemikiran keagamaan di satu pihak, dan pihak lain dapat juga dimanfaatkan untuk menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan saat ini, seperti keterasingan, kehilangan pedoman hidup, hidup materialistis, konflik antar kelompok, dan sebagainya, maka paradigmanya harus dirubah dari membaca kepentingan kelompok sendiri kepada membaca kepentingan Allah. Dengan cara demikian akan muncul beragam pemikiran teologi yang 167

memperkaya khazanah pengetahuan, tetapi semuanya membawa pesan-pesan ketuhanan demi kemaslahatan hidup manusia. 2. Ditemukan bahwa kelompok-kelompok tak bisa eksis dan tak bisa pula memperjuangkan kepentingannya kecuali melalui sebuah lembaga. Dalam konteks itu teologi disusun dalam rangka melijitimasi eksistensi lembaga dan kepentingannya. Cara ini membawa kepada beberapa implikasi penting. Pertama, lembaga disakralkan. Ayat-ayat Kitab Suci dimanipulasi demi mengukuhkan eksistensi lembaga dan kepentingannya. Kedua, eksistensi lembaga menjadi sangat bergantung pada kemampuan daya tahan teologi dari kritik. Ketiga, membuka peluang untuk terjadinya perang antar sistem teologi dari kelompok-kelompok yang sedang saling berebut pengaruh dan simpatisan. Olehnya itu, disarankan supaya, pertama dilakukan sekularisasi terhadap lembaga. Dengan cara demikian lembaga tidak lagi menjadi sesuatu yang harus disakralkan. Kedua, hilangkan teologi kelompok, sehingga eksistensi lembaga dan kepentingannya menjadi bergantung kepada kemampuan manajemen, bukan lagi kepada kekuatan sistem teologi. Ketiga, jadikan persaingan antar lembaga sebagai ajang kompetisi yang sehat. Sehingga lembaga dapat berfungsi dan menjadi sarana pembinaan umat dalam pengertian dan ruang lingkup yang luas. Bukan untuk kepentingan kelompok saja. 3. Akibat dari penyebaran KA oleh dakwah JT, ditemukan bentuk masyarakat Islam universal. Dalam situasi itu, posisi negara bangsa berada di dalam rangkulan masyarakat Islam. Alasan keberadaan (rasion d’etre) masyarakat Islam adalah KA. Sedangkan alasan keberadaan (rasion d’etre) negara bangsa adalah eksistensi bangsa dan kepentingannya. Artinya, sama seperti hubungan kelompok dengan lembaganya, sebuah bangsa beserta kepentingannya tak akan bisa eksis kalau bukan di dalam negara. Jadi, negara diperlukan agar eksistensi bangsa dapat dipertahankan dan kepentingannya dapat dilaksanakan. Sekarang, eksistensi dan kepentingan bangsa telah berpindah menjadi eksistensi dan kepentingan negara. Untuk melanggengkan bangsa sebagai sebuah negara ideologi dibentuk. Ia adalah ideologi pemersatu bangsa. Hal ini membawa kepada beberapa konsekwensi. Pertama, ideologi disakralkan. Ia dipercaya mampu memberi perlindungan kepada negara. Karena itu, mengganggu ideologi sama dengan mengganggu negara, dan mengganggu negara sama dengan mengganggu bangsa, Kedua, ideologi menjadi alat pengikat kesatuan sosial-politik bangsa, yang karenanya bangsa itu terpisah dari bangsa-bangsa lain, baik dari segi geografi, ideologi, politik dan perasaan kebangsaan (nasionalisme), walaupun agama antar bangsa- bangsa bisa saja sama. Sementara pemersatu masyarakat Islam adalah agama atau KA. Ia melintasi semua yang menjadi milik suatu bangsa (empat hal yang disebutkan di atas). 168

DAFTAR PUSTAKA

A. Referensi Yang berasal dari buku

Al-Qur’an Al-Karim

Abdul Aziz,Varian-Varian Fundamentalisme Islam di Indonesia, Jakarta: Diva Pustaka, 2004. ------,Chiefdom Madinah, Salah Paham Negara Islam, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2011.

Ahmad Alavi, Iftitas, “Muqaddimah”, dalam Muhammad Zakariyya, Penderitaan Umat dan Perasaan Ummat dan Serta Cara Mengatasinya (Bandung: Pustaka Ramadhan, tth)

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta, 2010.

Ashik Ali, Jan, “Islamic Revivalism: A Study of the Tablighi Jama’at ini Sydney”, P.hd disertasi, University of NewSouth Wales, 2006.

Assagaf, Husen, “Toleransi Kehidupan Beragama”, Hasil Penelitian yang dipersiapkan untuk Disertasi Doktor pada Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016

Ayoub, Mahmoud M., The Crisis of Muslim History, Akar-Akar Krisis Politik dalam Sejarah Muslim, Bandung : Mizan, 2004.

Azra, Azyumardi, Menuju Masyarakat Madani : Gagasan, Fakta dan Tantangan, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2001.

Badudu, J,S., dan Sutan Muhammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001.

Bakhtiar, Amsal, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.

Bertens, Kees, Ringkasan Sejarah Filsafat. Jogjakarta: Kanisius, 1998.

Bowering, Gerhard, “The Heritage of Sufism: Classical Persian Sufism from its Origin to Rumi.” Diterjemahkan oleh Gafna Raizha Wahyudi dengan judul Sufisme Persia dan Gagasan Tentang Waktu, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003.

169

Cooley, Frank L., Mimbar dan Tahta ; Hubungan Lembaga-Lembaga Keagamaan dan Pemerintahan di Maluku Tengah (cet., I, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1987

Duncan, Ronald, (ed.), Selected Writings of Mahatma Gandhi. London, Glasgow: Fontana/Collins, [1951] 2nd impression 1973.

Al-Faruqi, Ismail, R., Islam and Culture. Diterjemahkan oleh Yustiono dengan judul ‘Islam dan Kebudyaan’, Bandung : Mizan, 1989.

Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, (Penyunting: Taufik Adnan Amal), Bandung: Mizan, 1989

Fisher, Rob, “Pendekatan Filsafat”, dalam Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, Jogjakarta: LkiS, 2002. . H. Bustami A. Gani (et.al ), Al-Qur’an Dan Tafsirnya Jakarta : Universitas Islam Indonesia, 1995

Hodgson, Marshall, G.S., The Venture of Islam, Conscience and History in a World Civilization The Classical Age of Islam. Chicago: The University of Chicago Press, 1984

H. Sukriyanto, “Filsafat Dakwah”, dalam Andy Darmawan (ed.), Metodologi Ilmu Dakwah, Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 2002.

Huxley, Aldous, The Perennial Philosophy. London: Fontana Books, [1946] 3rd Impression 1961.

Iqbal, Mohammad, The Reconstruction of Religious Thought In Islam, New Delhi : Kitab Bhavan, 1998.

Al-Kandhalawi, Maulana Muhammad Yusuf, Muntakhab Ahadis. Bandung: Pustaka Ramadhan, 2007

Kastor, Rustam, Fakta, Data dan Analisa Konspirasi RMS dan Kristen Menghancurkan Umat Muslim di Ambon-Maluku. Yogyakarta: Wihdah Press, 2000.

Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam. Yogyakarta: IRCiSoD, 2018.

Kurzman, Charles, Liberal Islam, A Sourcebook, New York, Oxford: Oxford University Press, 1998.

170

Kutoyo, Sutrisno (dkk), Sejarah Daerah Maluku, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, 1977.

Leahy S.J., Louis, Kosmos, Manusia dan Allah, Jogjakarta: Kanisius, 1986.

Lokollo, J.E., (et.al),Seri Budaya Pela-Gandong dari Pulau Ambon, Ambon : Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, 1997.

Malik Thoha, Anis, Tren Pluralisme Agama Jakarta: Perspektif, 2005.

Manshur, Muhammad, Maulana, Keutamaan Masturah Usaha Dakwah di Kalangan Wanita Sesuai Contoh Rasul, Shahabat & Shahabiah (Bandung: Pustaka Ramadhan, 2010.

Madjid, Nurcholish, ”Warisan Intelektual Muslim”, dalam Khazanah Intelektual Muslim. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.

Manshur, Maulana Muhammad, Keutamaan Masturah, Usaha Dakwah di Kalangan Wanita Sesuai Contoh Rasul, Shahabat dan Shahabiyah. Bandung: Pustaka Ramadhan, 2010.

Metcalf, Barabara D.,Islamic Contestations, Essays on Muslim in India and Pakistan, New York: Oxford University Press, 2004.

M. Ishaq Shahab, An-Nadhr, Khurūj Fi̠ Sabi̠ l li Allāh. Bandung: Al-Ishlah Press, tth.

Muhammad ‘Ilyas, Maulana “Malfuzhat Hadratji”, dalam A. Abdurrahman Ahmad Assirbuny, Malfuzhat Tiga Hadratji. Cirebon: Pustaka Nabawi, 2012.

Munawar-Rachman, Budhy, “Reorientasi Pembaruan Islam, sekularisme, liberalisme, danpluralismeParadigma Baru Islam di Indonesia, Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat [LSAF] bekerja sama dengan Paramadina, 2010.

Mu’nis, Husain, The Great Nights : 24 Malam Yang Mengubah Dunia Islam. Terj. Ismail Ba’adillah, Jakarta: Ufuk Press, 2009.

Mutahhari, Murtaza, Fundamentals of Islamic Thought : God, Man, the Universe, The United States of America: Mizan Press, Berkeley, 1985.

Madjid, Nurcholish, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung : Mizan, 1988.

Mas’ud, Muhammad Khalid, (ed.) Travellers in Faith, Studies of Tablighi Jama’at as a Transnational Islam for Faith Renewal, Leiden: Brill, 2000. 171

Miles, Matthew B. dan A. Michael Hubarman, Analisis Kualitatif. Jakarta : UI Press, 1992.

Muzhar, Atho, “Kebijakan Negara dan Pemberdayaan Lembaga dan Pimpinan Agamadalam Rangka Keharmonisan Hubungan Antar Umat Beragama,” dalam Muhaimin AG (ed.), Damai di Dunia Damai Untuk Semua Perspektif Berbagai Agama (Jakarta: Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, 2004

Nanulatu, I.O. Timbulnya Militerisme Ambon Sebagai Suatu Persoalan Politik, Sosial, Ekonomi. Jakarta: Bhratara, 1966.

Nasr, Seyyed Hossein, Knowledge and the Sacred. Lahore: Suhail Academy, 1998.

New Catholic Encyclopedia. New York: Mcgraw-Hill, 1967.

Nomani, Manshur, Muhammad, Riwayat Hidup Syaikh Maulana Ilyas Rah.A.:Menggagas dan Mengembangkan Usaha Dakwah Rasulullah saw. Terj. Abu Sayyid Akmal. Bandung: Zaadul Ma’aad, 1978.

Panikkar, Raimundo, The Intra- Religious Dialogue. New York: Paulist, 1978.

Panggabean, Samsu Rizal, “Organisasi dan Gerakan Islam”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Dinamika Masa Kini, Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, 2002, jilid VI.

Pattikayhatu, J.A., (et.al), Sejarah Daerah Maluku, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Propinsi Maluku, 1993.

Petrus, L. Tjahjadi, Simon, tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan, dari Descartes Sampai Whithead, Yogyakarta: Kanisius, 2011.

Putuhena, Husni, Buku Putih Seri 2 Konspirasi RMS dalam Kerusuhan Ambon dan Lease, Gerakan Penghancuran Islam untuk Merebut Sebuah Kekuasaan di Bumi Siwa-Lima 1950-2000, Ambon.

Rahman, Fazlur, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, Bandung : Mizan, 1989.

Sayani, Musthafa, Muzakarah Iman Amal Shalih. Bandung: Pustaka Ramadhan, 2006

172

Schiller F.C.S., “Humanism,” dalam James Hasting (ed.), Encyclopedia of Religion and Etics (Edinburgh: T. & T. Clark [1913], fourth impression 1959), volume VI.

Schumann, Olaf “Cristian-Muslim Encounter in Indonesia”, dalam Yvonne Yazbeck Hadda (eds), Cristian Muslim Encounters. Gainesville: University Press of Florida, 1988.

Shahab, An Nadhr M. Ishaq, Khuruj Fi Sabilillah, Sarana Tarbiyah Ummat untuk Membentuk Sifat Imaniyah, Bandung: Pustaka Al-Ishlah, 1422/2001.

Shihab, M. Quraish, Islam Yang Saya Anut: Dasar-Dasar Ajaran Islam (Ciputat: Lentera Hati, 2018

------, Tafsir Al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Jakarta: Lentera Hati, 2003

Sikand, Yoginder, The Origins and Development of the Tabligh Jama’at (1920- 2000), A Cross-Country Comparative Study. New Delhi: Orient Longman, 2002.

Susan, Novri, Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009

Smith, Wilfred Cantwell, The Meaning and End of Religion. London: SPCK, [1962], 1978.

Sjazali, Munawir, Islam dan Tata Negara.Jakarta: UI Press, 1990.

Subair (et.al), Segregasi Pemukiman Berdasarkan Agama: Solusi atau Ancaman? Jogjakarta : Grha Guru, 2008.

Subarino, “Kepemimpinan Integratif: Sebuah Kajian Teori,” dalam Jurnal Manajemen Pendidikan, Nomor 01, Th. VII/April/2011.

Suprayogo, Imam, (et.al), Metodologi Penelitian Sosial Agama, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001.

Thalib, Ja’far Umar, Laskar Jihad Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Mempelopori Perlawanan Terhadap Kedurjanaan Hegemoni Salibis-Zionis International di Indonesia (Yogyakarta: FKAWJ, 2001.

Thung Ju Lan, “Program Manajemen dan Transformasi Konflik LIPI”, dalam Dewi Fortuna Anwar (dkk), Konflik Kekerasan Internal. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2006

173

Tim Peneliti Balai Kajian sejarah, 2004, Sejarah dan Nilai TradisionalAmbon, Ambon : Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Balai Kajian sejarah dan Nilai TradisionalAmbon

Tjokrowinoto, Moeljarto, Pembangunan, Dilema dan Tantangan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1966.

Toisuta, Hasbollah, Konflik dan Intetegrasi Masyarakat Maluku (1945-2002) Suatu Kajian Dengan Pendekatan Historis dan Religio-Politik (Disertasi), Yogjakarta : PPs UIN Yogjakarta, 2009.

Trimingham, J. Spencer, The Sufi Orders in Islam, New York: Oxford University Press, 1973.

Waileruny, Samuel, Membongkar Konspirasi di Balik Konflik Maluku. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2001.

Whaling, Frank, “Pendekatan Teologis”, dalam Peter Connolly (ed.), (terj.) Aneka Pendekatan Studi Agama (Jogjakarta: LKiS, 2002), 313-315.

Zarkasyi, Hamid Fahmy, Misykat, Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam, Jakarta: Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations [INSISTS] bekerja sama dengan Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia [MIUMI], 2012.

B. Referensi yang Berasal dari Hasil-Hasil Wawancara

Hasil wawancara dengan Kamaluddin, Penanggung Jawab Dakwah JT pada Halakah Nusaniwe, pada tanggal 15 September 2012, di Ambon.

Hasil wawancara dengan Abd. Al-Rahman difinubun, tokoh senior dalam dakwah JT, pada tanggal 21 September 2012, di Masjid Al-Burhan Ambon.

Hasil wawancara dengan Husen Maswara, Wakil Imam Masjid Amal Shaleh Kebun Cengkeh, pada tanggal 11 Juli 2013, di Ambon.

Hasil wawancara dengan Azhar, anggota JT Mahalla As-Syifa Air Kuning Ambon, pada tanggal 7 Mei 2014, di Ambon.

Hasil wawancara dengan M. Said Marasabessy, Penanggung Jawab JT Halakah Salahutu, pada tangga 23 Mei 2014 di Ambon.

Hasil wawancara, dengan M. Nur Ibrahim, Penanggung Jawab JT di Ambon, pada tanggal 12 Juni 2014, di Ambon.

174

Hasil wawancara dengan Taib Kelian, Penanggung Jawab Mahalla Sin Alauddin Kebun Cengkih, pada tanggal 14 Juli 2014.

Hasil wawancara dengan Ridwan Al-Bram, Penanggung Jawab Mahallah Baiturrahman Desa Batumerah, pada tanggal 10 Juni 2014.

Hasil wawancara dengan Hasan, pengusaha warung Padang, pada tanggal 20 Desember 2015.

Hasil wawancara dengan Mahmud, Penanggung Jawab Mahalla As-Syifa’, pada tanggal 25 Maret 2016, di Ambon.

Hasil wawancara dengan Mahmud, Penanggung Jawab Mahalla As-Syifa, pada tanggal 25 Maret 2016, di Ambon.

Hasil wawancara dengan Mahmud, Penanggung Jawab Mahalla As-Syifa, pada tanggal 25 Maret 2016, di Ambon.

C. Referensi Yang Berasal dari Jurnal/Makalah/Koran Abd A’la,“The Genealogy of Muslim Radicalism in Indonesia: A Study of the Roots and Characteristic of the Padri Movement”,dalam, Journal of Indonesian Islam, Vol. 02, Number 02, December 2008.

Abdullah, Taufik, “Nasionalisme dan Islam dalam Dinamika Sejarah Bangsa”, Makalah untuk buku Islam, Nasionalisme & Masa Depan Negara Bangsa Indonesia. Cet I. Diterbitkan oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI FPPP MPR RI (2009-2014), 2011.

Abdul Jalil, “Teologi Wirausaha”, dalam, Islamica, Vol. 6, No. 2, Maret 2012

Abdul Chalik, “Religion and Lokal Politics: Exploring the Study of Subcultures and the Political Participation of East Java NU Elities in the Post-New Order Era, dalam, Journal of Indonesian Islam, Vol. 04, Number 01, June 2010.

Abdurrahman, Hafidz, “Sahkah Pelaksanaan Hudud Bukan oleh Khalifah”, dalam Al-Wa’ie, Nomor 163, Tahun XIV, 1-31 Maret 2014,

Abu Bakar, Wan, “Islam dan Nasionalisme Bagai Dua Sisi Mata Uang yang Tak Terpisahkan”, Makalah untuk buku Islam, Nasionalisme & Masa Depan Negara Bangsa Indonesia. Cet I. Diterbitkan oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI FPPP MPR RI (2009- 2014), 2011.

Abu Amr, Ziyad, Islamic Fundamentalism, C:\Users\TOSHIBA C640\AppData\ Local\Temp\The Jerusalem Fund.pdf. 175

Abu Zahiya, “Shi’ah Gerakan Tafkiri”, dalam Jurnal Islamia, Vol. III, No.1, April 2013.

Adnan Amal, Taufik, “Fazlur Rahman dan Usaha-Usaha Neomodernisme Islam Dewasa Ini,” dalam, Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, Bandung: Mizan, 1989.

Ahmad Asi, Rohaiza, (et.al) “Konflik dan kekerasan di Maluku: Penyelesaian dan Pendekatan Pengelolaan”, dalam, Pengelolaan Konflik di Indonesia – Sebuah Analisis Konflik di Maluku, Papua dan Poso, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Current Asia dan the Centre for Humanitarian Dialogue, Juni 2011.

Ajawaila, Jacob W, Orang Ambon dan Perubahan Kebudayaan dalam; Antropologi Indonesia, , No. 61, Th.XXIV, 2000.

Akbar, Patrialis, “Islam dan nasionalisme: Tinjauan Hukum Kebangsaan”, Makalah untuk buku Islam, Nasionalisme & Masa Depan Negara Bangsa Indonesia. Cet I. Diterbitkan oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI FPPP MPR RI (2009-2014), 2011.

Akh. Muzakki, Islamisme dan Politisasi Agama Model PKS dalam Pilpres 2009”, dalam, Islamica, Vol. 5, No. 1, September 2010.

Alexief, Alex, “Tablighi Jamaat: Jihad's Stealthy Legions”, dalam Forum Promoting American Interest, Winter 2005, Volume 12, Number 1

Ali, Muhammad, “Confrontation and Reconciliation: Muslim Voices of Maluku Conflict (1999-2002), dalam, Journal of Indonesian Islam, Vol. 1, Number 02, December 2007.

Ali, Ibrahim, Haidar, “Menelusuri Sejarah dan Makna Fundamentalisme”, dalam Build a Free Website of Your Own On Tripod.

Asnawiyah, “Maqam dan Ahwal: Makna dan Hakikatnya Dalam Pendakian Menuju Tuhan”, dalam, Substantia, Volume 16, Nomor 1, April 2014

Aulia Rahman, Arif, Akulturasi Islam dan Budaya Masyarakat Lereng Merapi Yogjakarta Sebuah Kajian Literatur, Dalam Jurnal Indo-Islamika, Vol.I, nomor 2, 2012/1443, SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

Azra, Azyumardi, “Islam, Demokrasi dan Sekularisme: Pergulatan Islam Politik di Indonesia Masa-Pasca Soeharto”, makalah untuk buku Islam, Nasionalisme & Masa Depan Negara Bangsa Indonesia. Cet I. Diterbitkan oleh Fraksi 176

Partai Persatuan Pembangunan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI FPPP MPR RI (2009-2014), 2011.

------, Agama Sebagai Realitas Historis (1), dalam, “Resonansi”, Harian Umum Republika, tanggal 9 Agustus 2018.

Baidhawy, Zakiyuddin, “The Problem of Multiculturalism: Radicalism Mainstreaming through Religious Preaching in Surakarta, dalam, Journal of Indonesian Islam, Vol. 04, Number 02, December 2010

Biyanto, ‘Muhammadiyah dan Problema Hubungan Agama-Budaya, dalam, Islamica, Vol. 5, No. 1, September 2010.

Blankinship, Yahya, Khalid, “Parity of Muslim and Western Concepts of Just War”, dalam, The Muslim World, Vol. 101, Number 3, July 2011.

Bustaman-Ahmad, Kamaruzzaman, “Faith on the Move: Inside of the Ijtimā’ of Jamā’ah Tablīgh in Pekan Baru”, dalam Studia Islamika, Indonesian Journal for Islamic Studies, Volume 18, nomor 3, 2011

Caha, Omer (et.all), Religion and Ethnicity in the Construction of Official Ideology in Republican Turkey, dalam, The Muslim World, Vol. 100, Number 1, January 2010.

Damanuri, Aji, “Muslim Diaspora dalam Isu Identitas, Gender dan Terorisme, dalam, Islamica, Vol. 6, No. 2, Maret 2012

Effendy, Bahtiar, “Integrasi Nasional di Antara Sistem Demokrasi dan Otoriter di Indonesia”, makalah untuk buku Islam, Nasionalisme & Masa Depan Negara Bangsa Indonesia. Cet I. Diterbitkan oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI FPPP MPR RI (2009- 2014), 2011.

------, “Wawasan Al-Qur’an Tentang Masyarakat madani: Menuju Terbentuknya Negara- Bangsa Yang Modern”. Dalam, Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Vol. 1, No. 2, 1999.

Esposito, John L., Islam and Muslim Politics, dalam John L. Esposito, (ed.), “Voicees of Resurgent Islam”, (New York: Oxford Universitiy, 1983

Farihah, Irzum, Fisafat Materialisme Karl Marx (Epistimologi Dialectical and Historical Materialism), dalam “Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan”, Volume 3, No. 2, Desember 2015.

Fauziyah, Yayuk, “Ulama Perempuan dan Dekonstruksi Fiqih Patriarkis”, dalam, Islamica, Vol. 5, No. 1, September 2010. 177

Fawaizul Umam, “Menimbang Gagasan Farid Esack tentang Solidaritas Lintas Agama”, dalam, Islamica, Vol. 5, No. 1, September 2010.

Fazlur Rahman, The Quranic consept of God, The Universe and Man, dalam, Islamic Studies, Jilid VI, Nomor 1, 1967.

Hakim, Lukman, “Pancasila: Pergumulan Islam dan Nasionalisme”, makalah untuk buku Islam, Nasionalisme & Masa Depan Negara Bangsa Indonesia.Cet I. Diterbitkan oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI FPPP MPR RI (2009-2014), 2011.

Hanafi, Hassan, Origin of Modern Conservatism and Islamic Fundamentalism, dalam “Islam in the Modern World: Tradition, Revolution, and Culture”, II, Cairo: Dar Kebaa Bookshop, 2000.

------From Dogma to Revolution dalam “Islam in the Modern World, Volume II: Tradition, Revolution and Culture” Cairo: Dar Kebaa Bookshop, 2000.

Hanapi, Mohd. Shukri, “The Wasatiyyah (Moderation) Concept in Islamic Epistemology: A Case Study of its Implementation in Malaysia”, dalam International Journal of Humanities and Social Science, Vol. 4, No. 9(1); July 2014.

Hasib, Khalili, “Telaah Atas Konsep Tauhid Shi’ah”, dalam Jurnal Islamia, Vol. III, No. 1, April 2013.

Hick, John, Religious Pluralism, dalam Whaling, Frank (ed.), “The World’s Religious Traditions : Current Perspektives in Religious Studies. Edinburg: T & T. Clark, 1984.

Hilmy, Masdar, “Akar-Akar Transnasionalisme Islam Hizbut Tahrir Indonesia”, dalam, Islamica, Vol. 6, No. I, September 2011.

Horstmann, Alexander, “Gender, Tabligh and the “Docile Agent”: the Politics of Faith and Embodiment among the Tabligh Jama’at”, dalam Studia Islamika, Indonesian Journal for Islamic Studies, Volume 16, number 1, 2009

Howell, Julia, “Sufism on the Silver Screen: Indonesian Innovations in Islamic Televangelism”, dalam, Journal of Indonesian Islam, Vol. 02, Number 02, December 2008.

Husaini, Adian,”Shi’ah Hakekat Kebencian dan Kedamaian”,dalam Jurnal Islamia, Vol. III, No.1, April 2013. 178 http://www.republika.co.id/berita/jurnal-haji/video-jurnal-haji/15/09/25/nv7034216- video-wawancara-kesaksian-insiden-mina http://www.republika.co.id/berita/jurnal-haji/berita-jurnal-haji /15/09/27/nvc77a318- tiga-kamera-ini-bisa-jadi-bukti-benar-tidaknya-jamaah--penyebab- insiden-mina https://kbbi.web.id > kekuasaan.

Ibnu Burdah, Bishwa Ijtema dan Pesona Jamaah Tabligh, dalam, “detiknews”, Kamis 18 Januari 2018

Ismatullah, Deddy, “Islam dan Nasionalisme”, makalah untuk buku Islam, Nasionalisme & Masa Depan Negara Bangsa Indonesia. Cet I. Diterbitkan oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI FPPP MPR RI (2009-2014), 2011.

Jabbour, Nabeel T., Islamic Fundamentalism : Implications for Missionshttp: //www.ijfm.org/ PDFs_IJFM/11_2_PDFs/ 06_Jabbour.pdf. Dikutip pada Tanggal 21 Juli 2013.

Jatmika, Sidik, “Warisan Kejayaan Madinah bagi Pengembangan Kajian Ilmu Sosial dan Politik”, dalam, Jurnal Hubungan Internasional, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, VOL. 1 NO. 2 / OKTOBER 2012

Khairul Fata, Ahmad, “Menguak Islam Eksklusif yang Toleran”, dalam, Islamica, Vol. 6, No. I, September 2011.

Khairun Niyam, “The Discourse of Muslim Intellectuals and ‘Ulamā in Indonesia: A Historical Overview, dalam, Journal of Indonesian Islam, Vol. 04, Number 02, December 2010.

Khairul Fata, Ahmad, “Menguak Islam Eksklusif yang Toleran”, dalam Islamica, Volume 6,Nomor 1 September 2011.

Khan, M.A. Muqtedar, American and the Rediscovery of America’s Sacred Ground, http://www.ijtihad.org/Khanchapter.pdf. Dikutip pada Tanggal 21 Juli 2013.

Kurzman, Charles, Liberal Islam, A Soucebook, New York, Oxford: Oxford University Press, 1998.

Latif, Yudi, “Islam dan Nasionalisme: Menuju Rekonsiliasi”, makalah untuk buku Islam, Nasionalisme & Masa Depan Negara Bangsa Indonesia. Cet I. 179

Diterbitkan oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI FPPP MPR RI (2009-2014), 2011.

Lawrence, Bruce B., “The Late Shaikh Osama bin Laden: A Religious Profile of al- Qaeda’s Deceased Poster Child”, dalam, The Muslim World, Vol. 101, Number 3, July 2011.

Lipton, G.A., “Secular Sufism: Neoliberalism, Ethnoracism, and the Reformation of the Muslim Other”, dalam, The Muslim World, Vol. 101, Number 3, July 2011.

Maarif, Syafii, Ahmad, “Muhammad Iqbal dan Suara Kemanusiaan dari Timur”. Prolog untuk buku terjemahan Muhammad Iqbal, Reconstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, Jogjakarta: Jalasutra, 2002

Madjid, Nurcholish, “Demokrasi, Demokratisasi dan Opsisi”, dalam, Jurnal Dialog PeradabandanTitik-Temu, Vol. 3, No. 2, Januari-Juni, 2011.

------, “Kebebasan, Kepartaian, danDemokrasi” dalamJurnal Dialog PeradabanTitik-Temu”volume 5, nomor 2, Januari-Juni 2013.

Mathar, M. Qasim, Utak-Atiklah Keimananmu, dalam, "Sejarah, Teologi dan Etika Agama-Agama. Jogjakarta: Dian/Iinterfidei, 2005

Mudatsir Mandan, Arief, “Islam dan Nasionalisme: Sebuah Tinjauan Teoritis dan Empiris”, makalah untuk buku Islam, Nasionalisme & Masa Depan Negara Bangsa Indonesia. Cet I. Diterbitkan oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI FPPP MPR RI (2009- 2014), 2011.

Metcalf, Barabara D.,“Living Hadith in the Tablighi Jama’at”, dalam The Journal of Asian Studies 52, no. 3, Agustus, 2003.

MM. Billah, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Negara dan Hak Asasi Manusia, dalam, Titik-Temu, Vol. 3, No. 2, Januari-Juni, 2011.

Mohd Mazuki, Azyati Azhani, “Application of The Wasatiyyah Concept To The Formation of the Medina Charter”, dalam, ©International Journal of West Asian Studies,1 EISSN: 2180-4788 Vol. 5 No. 2 (pp 1-15) DOI: 10.5895/ijwas.2013.07

Moh. Sholehuddin, “Ideologi Religio-Politik Gerakan Salafi Laskar Jihad Indonesia”, dalam Jurnal Review Politik, Volume 03, Nomor 01, Juni 2013.

Monoarfa, Suharso, “Salim, Islam dan Nasionalisme”, makalah untuk buku Islam, Nasionalisme & Masa Depan Negara Bangsa Indonesia. Cet I. Diterbitkan 180

oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI FPPP MPR RI (2009-2014), 2011.

Wan Kamal Mujani, “The Wasatiyyah (Moderation) Concept: Its Implementation In Malaysia”, dalam, Mediterranean Journal of Social Sciences MCSER Publishing, Rome-Italy, Vol 6 No 4 S2 July 2015.

Wikandaru, Reno dan Budhi Cahyo, Landasan Ontologi Sosialisme, Jurnal Filsafat Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Vol 26, No 1, Agustus 2016,

Mujiburrahman, “Indonesian Muslim in the Public Sphere: A Review of Several Studies, dalam, Journal of Indonesian Islam, Vol. 1, Number 02, December 2007.

Munawar-Rachman, Budhy, “Filsafat Bahasa dan Pengalaman Religius”. Dalam jurnal Ulumul Qur’an, Vol, IV, 1991.

Musa, Ali Masykur, “Merajut Benang Merah Islam-Nasionalisme: Memperkuat Basis Konsesus Nasional”, makalah untuk buku Islam, Nasionalisme & Masa Depan Negara Bangsa Indonesia. Cet I. Diterbitkan oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI FPPP MPR RI (2009-2014), 2011.

Muslih, Khalid, “Konsep Wilayatul Faqih”, dalam Jurnal Islamia, Vol. III, No. 1, April 2013.

Naharong, Abdul Muis, “Jihad dalam Pandangan Muhammad ‘Abd al-Salam Faraj”, dalam, Islamica, Vol. 5, No. 1, September 2010.

Noer, Kautsar Azhari, “Agama Langit Versus Agama Bumi”, dalam, Titik-Temu, Vol. 3, No. 2, Januari-Juni, 2011

Noor, Sihabuddin, “Politik Islam: dari Konsepsi ke Ragam Pemahaman”, makalah untuk buku Islam, Nasionalisme & Masa Depan Negara Bangsa Indonesia. Cet I. Diterbitkan oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI FPPP MPR RI (2009-2014), 2011.

Primamorista, Agung. “Meluruskan Kerancuan Istilah Fundamentalisme Islam", dalam, http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/islam/gapai/Fundamentalisme.html.

Al-Qurtuby, Sumanto, “In Search of Socio-Historical Roots of ’s Islamist Terrorism, With Special Reference to an Indonesian Experience”, dalam Journal of Indonesian Islam, Vol. 04, Number 02, December 2010

181

Rahardjo, M. Dawam, “Islam dan Demokrasi”, dalam, Titik-Temu, Vol. 3, No. 2, Januari-Juni, 2011

Rajab, Kahirunnas dan Wan Muhammad Fariq, “Psychology of Qadak and Qadar”, dalam, Jurnal Hadhari, 6 (1), Penerbit UKM Press, 2014.

RE Elson, “Islam, Islamism, the Nation, and the Early Indonesian Nationalist Movement”, dalam, Journal of Indonesian Islam, Vol. 1, Number 02, December 2007.

Riyadi, Abdul Kadir, “Charles J. Adams Antara Reduksionisme dan Anti- Reduksionisme dalam Kajian Agama, dalam, Islamica, Vol. 5, No. 1, September 2010.

Rofiah, Nur, Gerakan Sekularisasi di Turki, dalam jurnal Al-Burhan, Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an, 2011.

Said Ali, As’ad, Negara, Agama dan Partai Agama, makalah untuk buku Islam, Nasionalisme & Masa Depan Negara Bangsa Indonesia. Cet I. Diterbitkan oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI FPPP MPR RI (2009-2014), 2011.

Saifuddin, Hakim, Lukman, “Pijakan Konstitusional dalam Menata Agama dan Nasionalisme”, makalah untuk buku Islam, Nasionalisme & Masa Depan Negara Bangsa Indonesia. Cet I. Diterbitkan oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI FPPP MPR RI (2009- 2014), 2011.

Salim, Arskal, “Which and Whose Shari’a?: Historical and Political Perspectives on Legal Articulation of Islam in Indonesia”, dalam Jurnal Indo-Islamika, Volume II, Nomor 1, 2012/1433.

Salim, Fahmi, “Tafsir Al-Qur’an dalam Pemikiran Shi’ah Imamiyah: Antara Ta’wil Batini dan Tahrif Tanzili”, dalam Jurnal Islamia, Vol. III, No.1, April 2013.

Schumann, Olaf, “Jihad for Whom? The Radicalization of Religion as a Response to Political Oppression: From Turkish to Indonesian Islam”, dalam, Journal of Indonesian Islam, Vol. 02, Number 02, December 2008.

Sikand, Yoginder, “The Reformist Sufism of the Tablighi Jamaat: The Case of the Meos of Mewat India”,In Martin van Bruinessen dan Julia Day Howell , ed. Sufism and the Modern in Islam. New York: I.B. Tauris, 2007.

Santoso, Purwo, “In The Name of Democracy: Commoditization of Religions by Political Parties in Indonesia, dalam, Journal of Indonesian Islam, Vol. 04, Number 01, June 2010. 182

Sarluf, Baco, “Masjid Sebagai Lembaga Adat Pada Negeri Hila Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah (Suatu Tinjauan Teologi)”, Tesis pada Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, tahun 2007

Siradj, Said Aqiel, “Tauhid dalam Perspektif Tasawuf”, dalam, Islamica, Vol. 5, No. 1, September 2010.

Sirry, Mun’im, “Secularazation in the Mind of Muslim Reformist: A Case Study of Nurcholish Madjid and Fouad Zakaria, dalam, Journal of Indonesian Islam, Vol. 1, Number 02, December 2007.

------, “The Public Expression of Tradisional Islam: the Pesantren and Civil Society in Post-Suharto Indonesia, dalam, The Muslim World, Vol. 100, Number 1, January 2010.

Subair, (dkk), Segregasi Pemukiman Berdasarkan Agama : Solusi Atau Ancaman ? Pendekatan Sosiologis Filosofis Atas Interaksi sosial Antara Orang Islam dan Orang Kristen Pasca Konflik 1999-2004 di Kota Ambon, cet., I., Yogjakarta : Grha Guru, 2008.

Sulastomo, “Islam dan Nasionalisme: Tinjauan Historis Untuk Masa Depan”, makalah untuk buku Islam, Nasionalisme & Masa Depan Negara Bangsa Indonesia. Cet I. Diterbitkan oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI FPPP MPR RI (2009-2014), 2011.

Suprihatiningsih, “Spiritualitas Gerakan Radikalisme Islam di Indonesia”, http://www.academia.edu/11614334/

Susanto, Arif, “Reformasi Syari’ah Sebagai jalan Menuju Penghargaan Hak Asasi Manusia”, dalam, Titik-Temu, Vol. 3, No. 2, Januari-Juni, 2011.

------, “Antara Rasionalitas Sekuler dan Artikulasi Keagamaan (Peranan Agama dalam Ruang Publik Menurut Jurgen Habermas,” dalam, Titik-Temu, Jurnal Dialog Peradaban, volume 5, nomor 2, Januari-Juni 2013.

Thahir, A. Halil, “Dari Nalar Literalis-Normatif Menuju Nalar Kontekstualis- Historis dalam Studi Islam”, dalam, Islamica, Vol. 5, No. 1, September 2010.

Talhami, Hashem, Ghada, “The Legitimacy of the Reformer: The Neo-Cons and Arab and Muslim Women”, dalam, The Muslim World, Vol. 101, Number 3, July 2011.

183

Tantowi, Ali, “The Quest of Indonesian Muslim Identity: Debate on Veiling from the 1920s to 1940, dalam, Journal of Indonesian Islam, Vol. 04, Number 01, June 2010.

Th. Sumartana, “Menuju Dialog Antar Iman”, dalam Dialog : Kritik dan Identitas Agama. Jogjakarta: Interfidei, 1993.

The Habibie Center, “Peta Kekerasan di Indonesia (September-Desember 2012) dan Isu-Isu Penting Sepanjang Tahun 2012”, dalam, Kajian Perdamaian dan kebijakan The Habibie Center, Edisi 03/April 2013

Weismann, Itzchak, “Fundamentalisme Sufi Antara India dan Timur Tengah”, dalam Urban Sufism, Martin van Bruinessen dan Julia Day Howell (editor) (Jakarta: Rajawali Pers, 2008) ------, “Democratic Fundamentalism? The Practice and Discourse of the Muslim Brothers in Syria”, dalam, The Muslim World, Vol. 100, Number 1, January 2010.

Winter, Tim, “America as a Jihad State: Middle Eastern Perceptions of Modern American Theopolitics”, dalam, The Muslim World, Vol. 101, Number 3, July 2011.

Yani, Ahmad, “Sinergi Islam dan Negara Indonesia”, makalah untuk buku Islam, Nasionalisme & Masa Depan Negara Bangsa Indonesia. Cet I. Diterbitkan oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI FPPP MPR RI (2009-2014), 2011.

Yuliantoro, Nur Rachmat, Islam Fundamentalis dan Politik Luar Negeri AS, http://rachmat.staff.ugm.ac.id/artikel/islam-fund.pdf.

Yusuf, Maulana Muhammad, “Sawanih Hadratji”, dalam, A. Abdurrahman Ahmad Assirbuny, Malfuzhat Tiga Hadratji. Depok: Pustaka Nabaw, 2012

------, “Tazkiratul Hadratji”, dalam, A. Abdurrahman Ahmad Assirbuny, Malfuzhat Tiga Hadratji. Depok: Pustaka Nabaw, 2012

Zainul Hamdi, Ahmad, “Klaim Religious Authority dalam Konflik Sunni-Syi’i Sampang madura, dalam, Islamica, Vol. 6, No. 2, Maret 2012

Zarkasyi, Fahmy, Hamid, “The Rise of Islamic Religious-Political Movement in Indonesia: The Background, Present Situation and Future”, dalam, Journal of Indonesian Islam, Vol. 02, Number 02, December 2008.

Zarkasyi, Fathullah, Amal, “Dhāt dan Sifah dalam Konsep Tauhid Mu’tazilah”, dalam, Islamica, Vol. 5, No. 1, September 2010. 184

Zuhri, Syaifudin, “The Changing Paradigm of Indonesian Jihadist Movement: From al-‘Aduww al-Qari̠b to al-‘Aduww al-Ba’i̠ d, dalam, Journal of Indonesian Islam, Vol. 04, Number 02, December 2010

D. Website

Abdul Wahab, Muhbib, “Ummatan Wasathan”, dalam, http://www.republika.co.id/ berita/dunia-islam/ hikmah/ 14/03/16/n2ib6i-ummatan-wasathan, Ahad, 16 Maret 2014, 09:06 WIB

Alexiev, Alex, Tablighi Jamaat: Jihad's Stealthy Legions, http://www.meforum.org/686/tablighi-jamaat-jihads-stealthy-legions. https://jagokata.com/kata-bijak/dari-achmad_mustafa_bisri.html

Elahi, Manzoor, “Social Contract Theory by Hobbes, Locke and Rousseau”, dalam, http://www. academia.edu / 3138759/ Social Contract _ Theory by Hobbes Locke_and_Rousseau

Historical Background of Islamic Fundamentalism, http: //www.angelfire.com/az/rescon/islfnd.html. http://kodam16pattimura.mil.id/pages/read/9-Konflik-Komunal-Maluku. http://video.tempo.co/read/2016/01/15/4011/Jakarta-Diserang-Serangkaian-Aksin Terorism. http://internasional.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/16/01/31 /o1to4f384-isis-bertanggung-jawab-atas-ledakan-di-damaskus https://id.wikipedia.org/wiki/Damai

Susilo, Basis, “Teoori Kontrak Sosial dari Hobbes, Locke dan Rousseau”, dalam, http://www.radhitisme.com/2009/02/teori-kontrak-sosial-dari-hobbes- locke.html.

Secularrism Defined, http://www.imsc.res.in/~jayaram/ Articles/ lfrontline/node1.html.

S.M. Ikram, “Sir Sayyid Ahmad Khan”, http://www.britannica.com /biography/Sayyid-Ahmad-Khan.

Taylor, Sunsara, U.S. Imperialism, Islamic Fundamentalism…and the Need for Another Way,http://www.revcom.us/a/091/iso-polemic-en.html, June 10, 2007.