RISALAH-RISALAH FIKIH HAJI YUSUF : RESPONS ULAMA PADERI TERHADAP TANTANGAN SOSIAL KEAGAMAAN DI AKHIR ABAD XIX

Tesis

Oleh : NOFRIZAL NIM. 21141200100071

Pembimbing : Dr. M. Adib Misbachul Islam, M.Hum

Konsentrasi Filologi Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2017

KATA PENGANTAR ا ﱠﻟﺮ ِﺣ ْ ِﻤ ﱠﺎﻟﺮ ْﺣﻤﻨِﺎﻟﻠ ِﺒِ ْﺴ ِﻢ

Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan penulis kesempatan, kesabaran dan keistiqamahan sehingga dapat menyelesaikan Tesis ini. Shalawat dan salam penulis mohonkan kepada Allah SWT agar senantiasa disampaikan-Nya ke haribaan Nabi Muhammad S.A.W. yang dengan jiwa dan raganya mendakwahkan Islam hingga dapat kita rasakan keindahan ajarannya sampai sekarang. Tesis yang berada di hadapan pembaca ini berjudul “Risalah-RisalahFikih Haji Yusuf: Respons Ulama Paderi Terhadap Tantangan Sosial Keagamaan di Minangkabau Akhir Abad XIX”. Cukup banyak kendala yang penulis hadapi dalam proses pengerjaan tesis ini, namun ungkapan syukur dan rasa bahagia lebih memenuhi jiwa ini karena telah dapat menyelesaikan tugas akhir dalam jenjang pendidikan Strata Dua (S@2) ini. Serta penulis tak lupa meminta maaf apabila di dalam penulisan tesis ini ada yang kurang berkenan dihati pembaca, kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan. Dengan selesainya penulisan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi bantuan, bimbingan, saran, motivasi, dan do’a. Khususnya pada pihak-pihak di bawah ini : 1. Pertama, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., beserta jajarannya. Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA., kemudian kepada Prof. Didin Saepuddin, MA selaku ketua Program Doktor, dan kepada Dr. JM. Muslimin, MA selaku ketua Program Magister. 2. Kedua, Bapak Prof. Dr. Oman Fathurahman, M. Hum., beliau adalah guru penulis. Suatu kesyukuran bagi penulis atas kesediaan beliau memberikan bimbingan. 3. Ketiga, Bapak Dr. M. Adib Misbachul Islam, M.Hum., selaku pembimbing tesis penulis. Beliau telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan wejangan mengenai tesis penulis. Beliau juga selalu memberikan semangat untuk terus mencari dan menggali ide-ide untuk menulis dan menuntaskan tesis ini. 4. KepadaBapak Prof. Dr. SukronKamil, MA selakupenguji 1 dalamUjianPendahuluanTesisdanUjianTesispenulis. Terimakasihatasinspirasidanmotivasinya Prof. 5. Kepada Bapak Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA selaku penguji 2 dalam Ujian Pendahuluan Tesis dan Ujian Tesis penulis. Ataskemurahanhatibeliaupenulisucapkanterimakasih. 6. Seterusnya kepada segenap civitas akademika Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Bapak dan Ibu dosen yang telah membuka wawasan intelektual penulis, di antaranya ialah Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA,Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Prof. Dr. Suwito, MA, Prof.

i

Dr. Atho’ Mudzhar, MPSD, Prof. Dr. Oman Fathurahman, M.Hum, Prof. Dr. Andi Faisal Bakti, Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Fakih, MA, Prof. Dr. HusniRahim, Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA, Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, Prof. Dr. Said Agil Husin al-Munawwar, Prof. Dr. Komauddin Hidayat, MA,Prof. Dr. Iik Mansurnoor, MA, Prof. Dr. Ahmad Rodoni, MM,Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, MSi, Alm. Prof. Dr. Dr. MK. Tajuddin, S.And,Dr. Ahmad Dardiri, MA, Dr. Muhbib Abdul Wahab, MA, Dr. Fuad Djabali, MA,Dr. Yusuf Rahman, MA,Dr. Ayang Utriza. Semogailmudanpengalaman yang diberikan bermanfaatbagipenulis, danmenjadimatarantaikebaikankedepanhendaknya. Amin.Selanjutnya kepada seluruh staf dan karyawan Sekolah Pascasarjana yang telah memberikan pelayanan semaksimal mungkin. 7. Kepada guru-guru dansahabat-sahabatpenulis, yang telah memberikan arahan. Ust. Yusri Akhimuddin, MA. Hum., Buk Yanti Mulia Roza, MA. Insya Allah beliau berdua akan segera menyelesaikan studi Doktoralnya. Ramadiva M. Akhyar, Bang Syarif, A Fahmi,Aspiyah Kasdini, Defi Hasnah, Aditya Waldi, Umriadi, Mega, Mas Bayu, Kang Aceng Aum, Mas Ali Wafa’, Bu Ipah, Bu Tri, Adeni, Sani n Wardah, Bang Adriansyah, Bang Yasir, Hanafi, Bang Munif, Uda Oka Pratama. Saudara-saudara seperantauan, yang salingmenyemangatidalamstudiini, Ferki Ahmad Marlion, Khairul Amri, Tiara Sri Wulandari, Ica FebriaMulyani, Fandi A.M,SeptianDwittes, dankawan-kawan yang taktersebutkansatu-persatu. Ucapan terima kasih yang paling utama teruntuk kepada kedua orang tua penulis. rasa hormat penulis sampaikan untuk Apak dan Amak tersayang, Mawardi dan Harliati. Didikan dan do’a dari keduanya menjadi kunci kekuatan penulis dalam menempuh lika-liku pendidikan. Untuk Apak dan Amak karya ini ananda persembahkan. Terakhir, penulis menyadari bahwa dalam tesis ini masih terdapat banyak kekurangan. Maka dari itu, penulis membuka diri bagi masukan berupa kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca demi perbaikan diri penulis. Penulis berharap bahwa tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, terutama dalam bidang kajian filologi. A<<<n ya Rabb al-‘Alami>n.

Bambu Apus, September 2017

Penulis,

NOFRIZAL

ii

Abstrak

Perang Paderi sangat terkenal sebagai gerbang awal bagi pergerakan melawan penjajah di seluruh wilayah Nusantara yang di kuasai kolonial Belanda. Sejatinya, Paderi dalam mempropagandakan ide-ide pembaharuannya menggunakan dua model pemikiran, yaitu: revolusioner, yang didalangi oleh Haji Miskin dan Tuanku Nan Renceh hingga generasi Tuanku Imam Bonjol yang terkenal itu. Mereka mempropagandakan pemikiran keagamaannya cenderung dengan penaklukan dan kekerasan. Di lain pihak, Tuanku Nan Tuo Koto Tuo, yang notabenenya merupakan tokoh pertama Paderi lebih suka mempropagandakan pemikiran keagamaannya dengan jalan moderat, dengan pendekatan persuasif melalui lisan dan tulisan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa terjadi dinamika pemikiran keagamaan Paderi di Minangkabau pada paroh akhir abad XIX, walaupun kalah dalam peperangan fisik melawan Belanda. Adapun cita-cita Paderi untuk memurnikan dan mengadakan pembaharuan Islam dalam masyarakat Minangkabau telah terwujud dan tetap berlanjut. Terbukti dalam penerapan peraturan nikah dan waris yang islami tetap terlaksana. Penelitian ini mendukung beberapa kesimpulan yang dinyatakan oleh; (1) Adrianus, Kaum Padri dan Pemikiran Keagamaan di Minangkabau (1991). Adrianus mengatakan bahwa dalam lapangan Syari’ah, dengan pengertian fikih, kaum Paderi lebih mengarah kepada reaktualisasi. Artinya mengembalikan ajaran agama kepada pengamalan ajaran Islam yang sebenarnya, karena ajaran agama (pengamalan ibadah dan muamalah lainnya) banyak yang dimanipulasi oleh masyarakat. (2) M.C. Ricklefs, Sejarah Modern 1200-2004 (2005), Ricklefs berpendapat bahwa Paderi telah membawa perhatian masyarakat yang kuat terhadap Islam ortodoks, dimana peranan Islam sebagai bagian dari keseluruhan perangkat peraturan yang mengatur masyarakat Minangkabau menjadi bertambah besar. Melalui penelitian ini, penulis membahas masalah nikah dan waris di Minangkabau pasca kekalahan Paderi paroh akhir abad XIX, melalui penelaahan terhadap sumber utama Naskah Risalah-Risalah Fikih Haji Yusuf. Pembacaan sumber dilakukan dengan menggunakan pendekatan filologi dan pendekatan historis atau sejarah. Pendekatan filologi digunakan untuk mendeskripsikan naskah, menyajikan edisi kritis dan mengungkapkan isi teks tentang nikah dan waris. Pendekatan sejarah sosial-intelektual untuk mengelaborasi setiap rangkaian perjuangan Paderi di akhir kekalahannya abad XIX, serta melihat perubahan orientasi keagamaan masyarakat Minangkabau dari corak sufiyah bercampur menuju corak syariah atau fiqhiyah, terutama dalam konteks nikah dan waris.

Kata Kunci : Paderi, Minangkabau, Nikah, Waris, Revolusioner, Moderat, Filologi.

iii

Abstract

The Paderi War has been known as a starting point for the anti-colonial movement throughout the archipelago which at that time was dominated by the Dutch. In propagating his reforming ideas, Paderi used two models of thoughts: the revolutionary model and the moderate one. The revolutionary model was led by Haji Miskin and Tuanku Nan Renceh to the well-known Tuanku Imam Bonjol. These leaders proliferated their religious thoughts by the medium of conquest and violence. On the other hand, the moderate model was led by Tuanku Nan Tuo Koto Tuo, who was notably the first Paderi figure employed a persuasive approach through speeches and writings.

This study concludes that despite the lost in the battle against Dutch, there was a dynamic of Paderi’s religious thoughts in Minangkabau in the second half of the nineteenth century. Paderi’s goals of purifying and reforming Islam in Minangkabau society has been realized and kept continuing, which can be seen in the implementation of marriage and inheritance regulations.

This research supports the findings by Adrianus, ‘Padri and Religious Thought in Minangkabau’ (1991). Adrianus concluded that in the field of shariah within the understanding of fiqh, the Paderis movement was a form of reactualization. Reactualization means restoring the religious teachings of Islam to its origin, as some teachings of religion (the practice of worship and other muamalat) were manipulated by the community. This study also agrees with M.C. Ricklefs, ‘History of Modern Indonesia 1200-2004’ (2005). Ricklefs argued that Paderi has brought strong public attention to orthodox Islam, in which the role of Islam as a part of Minangkabau sets of rules has grown.

This research discusses the issue of marriage and inheritance in Minangkabau after the Paderi’s setback in the second half of the nineteenth century. The study employed a literature study by reviewing of the main scripture namely Manuscripts of the Jurisprudence of Haji Yusuf. The review was conducted through philological approach and historical approach.

The philological approach was utilized to describe the manuscripts, to present the critical editions and to reveal the contents of texts on marriage and inheritance. The social-intellectual and historical approach was to elaborate each series of Paderi’s struggle in the end of the nineteenth century, and to explore the changes of religious orientation by from sufiyah and adat towards sharia or fiqhiyah, especially in the context of marriage and inheritance.

Key words: Paderi, Minangkabau, marriage, inheritance, revolutionary, moderate, philology

v

اﻟﻤﻠﺨﺺ

اﺷﺘ ﺮت ﺣﺮب "ﺑﺎدري" ﺑﻨﻘﻄﺔ ﺑﺪا ﺔ اﻟﺜﻮرة ﻋﻠﻰ اﺣﺘﻼل اﻟﻤﺴﺘﻌﻤﺮ ﻦ ﻓﻲ ﺟﻤ ﻊ اﻷرﺧﺒ ﻞ اﻟﺘﻲ ﻗﺪ اﺳﺘﻮﻟﻰ ﻋﻠ ﺎ ﻣﻤﻠﻜﺔ ªﻮﻟﻨﺪا. وﻗﺪ اﺳﺘﺨﺪم ﻗﻮم "ﺑﺎدري" ﻧﻮﻋ ﻦ ﻣﻦ اﻷﺳﻠﻮب ﻓﻲ دﻋﺎ ﺘ ﻢ وªﻤﺎ "اﻟﺤﺮﻛﺔ اﻟﺜﻮر ﺔ" اﻟﺘﻲ ªﻲ اﺳﺘﺨﺪام اﻟﻘﻮة واﻟﺴﻼح ﺮأﺳ ﺎ أﻋﻼم "ﺑﺎدري" ﻛﺎﻟﺤﺎج ﻣﺴﻜ ﻦ (Haji Miskin) وﺗﻮاﻧﻜﻮ ﻧﺎن ر ﺘﺸ Tuanku) (Nan Renceh وﺗﻮاﻧﻜﻮ إﻣﺎم ﺑﻮﻧﺠﻮل (Tuanku (Imam Bonjol) اﻟﻤﺸ ﻮر، و"اﻟﺤﺮﻛﺔ اﻟ ﺪ ﺌﺔ" اﻟﺘﻲ ªﻲ اﺳﺘﺨﺪام اﻷﻟﺴﻨﺔ واﻟﻜﺘﺎﺑﺔ ﻓﻲ ﻧﺸﺮ دﻋﺎ ﺘ ﻢ. وªﺬا اﻟﺒﺤﺚ أﺛﺒﺖ أن أﻓﻜﺎر "ﺑﺎدري" ﻛﺎﻧﺖ ﺛﺎﺑﺘﺔ ﻣﺘﺮﺳﺨﺔ ﻓﻲ ﻣﺠﺘﻤﻊ ﻣ ﻨﺎﻧﻐﻜﺎﺑﻮ ﻓﻲ ﻧ ﺎ ﺔ اﻟﻘﺮن اﻟﺘﺎﺳﻊ ﻋﺸﺮ اﻟﻤ ﻼدي وإن ﻛﺎﻧﻮا ﻣﻐﻠﻮﺑ ﻦ ﻓﻲ اﻟﺤﺮب ﻣﻊ ﺟ ﻮش ﻣﻤﻠﻜﺔ ªﻮﻟﻨﺪا. وأﻣﺎ أªﺪاف ﻗﻮم "ﺑﺎدري" ﻓﻲ ﺗﻨﻘ ﺔ اﻟﺪ ﻦ واﻟﺘﺠﺪ ﺪ اﻟﺪ ﻨﻲ ﻓﻲ ﻣﺠﺘﻤﻊ ﻣ ﻨﺎﻧﻌﻜﺎﺑﻮ ª ﻓﻼ ﺰال ﻣﺴﺘﻤﺮا ﻟﻤﺎ رأ ﻨﺎ ﻓﻲ ﺗﻄﺒ ﻖ أﺣﻜﺎم اﻟﻤﻮار ﺚ اﻹﺳﻼﻣ ﺔ ﻓﻲ ﻣﺠﺘﻤﻊ ﻣ ﻨﺎﻧﻌﻜﺎﺑﻮ. ﻓ ﺬا اﻟﺒﺤﺚ واﻓﻖ ﻋﻠﻰ رأي أدر ﺎﻧﻮس (Adrianus) (1991) اﻟﻘﺎﺋﻞ ﺑﺄن ﻗﻮم "ﺑﺎدري" ﻓﻲ ﻣﺴﺄﻟﺔ اﻷﺣﻜﺎم اﻟﺸﺮﻋ ﺔ ﻤ ﻠﻮن إﻟﻰ إﻋﺎدة ﺗﺤﻘ ﻖ اﻟﺘﻌﺎﻟ ﻢ اﻟﺪ ﻨ ﺔ وªﻲ ﺗﻌﻨﻲ " اﻟﺮﺟﻮع إﻟﻰ اﻟﺘﻌﺎﻟ ﻢ اﻹﺳﻼﻣ ﺔ اﻟﺼﺎﻓ ﺔ اﻟﺼﺤ ﺤﺔ ﻷن اﻹﺳﻼم (ﻓﻲ ﻧﻈﺮ ﺑﺎدري) ﻗﺪ ﻟﺤﻘ اﻟﺘﻐ ﺮ واﻟﺘﺒﺪ ﻞ واﻟﺰ ﺎدة واﻟﻨﻘﺼﺎن ﻣﻦ ﻗﺒﻞ اﻟﻤﺠﺘﻤﻊ. وواﻓﻖ ªﺬا اﻟﺒﺤﺚ ﻋﻠﻰ رأي ر ﻜﻠ ﻔﺲ (M. C. Ricklefs) (2005) اﻟﻘﺎﺋﻞ ﺑﺄن ﻗﻮم "ﺑﺎدري" ﻗﺪ ﺣﻤﻠﻮا أﻧﻈﺎر اﻟﻨﺎس إﻟﻰ ا اﻹﺳﻼم اﻟﺨﺎﻟﺺ اﻟﻨﻘﻲ (أرﺛﻮذﻛﺲ) ﺣ ﺚ أن ﻟﻺﺳﻼم دورا ªﺎﻣﺎ ﻓﻲ ﺗﻨﻈ ﻢ ﻣﺠﺘﻤﻊ ﻣ ﻨﺎﻧﻐﻜﺎﺑﻮ ﻓ ﻨﻤﻮ ﻣﺠﺘﻤﻊ ﻣ ﻨﺎﻧﻐﻜﺎﺑﻮ ﺑ . ﻓﻔﻲ ªﺬا اﻟﺒﺤﺚ أراد اﻟﻜﺎﺗﺐ أن ﺒﺤﺚ ﻓﻲ أﺣﻜﺎم اﻟﻤﻮار ﺚ ﻓﻲ ﻣﺠﺘﻤﻊ ﻣ ﻨﺎﻧﻐﻜﺎﺑﻮ ﺑﻌﺪ ªﺰ ﻤﺔ ﺟ ﺶ "ﺑﺎدري" ﻣﻦ ﺟ ﻮش ﻣﻤﻠﻜﺔ ªﻮﻟﻨﺪا ﻓﻲ ﻧ ﺎ ﺔ اﻟﻘﺮن اﻟﺘﺎﺳﻊ ا ﻋﺸﺮ اﻟﻤ ﻼدي، وذﻟﻚ ﻋﻦ طﺮ ﻖ اﻟﺒﺤﺚ واﻟﺘﺤﻘ ﻖ ﻓﻲ ﻣﺨﻄﻮطﺎت ﻓﻘ اﻟﺤﺎج ﻮﺳﻒ ﺑﺎﺳﺘﺨﺪام ﻖﻧﻈﺮ ﺔ ﻋﻠﻢ ﺗﺤﻘ (Phylology) واﻟﺘﺎر ﺦ. أﻣﺎ اﺳﺘﺨﺪام اﻟﻜﺎﺗﺐ ﻧﻈﺮ ﺔ ﻋﻠﻢ ﺗﺤﻘ ﻖ(Phylology) ﻓﻲ ﺗﺤﻠ ﻞ اﻟﻤﺨﻄﻮط وﺗﻘﺪ ﻤ وإظ ﺎر ﻣﻀﻤﻮن اﻟﻤﺨﻄﻮط ﻓﻲ أﺣﻜﺎم اﻟﻤﻮار ﺚ، وأﻣﺎ اﺳﺘﺨﺪام اﻟﻜﺎﺗﺐ ﻧﻈﺮ ﺔ ﻋﻠﻢ اﻟﺘﺎر ﺦ ﻟﻠﺒﺤﺚ اﻟﺪﻗ ﻖ ﻓﻲ ﺗﺴﻠﺴﻞ اﻟﻮﻗﺎﺋﻊ ا وﺣﺮﻛﺎت ﻗﻮم "ﺑﺎدري" ﻓﻲ ﻧ ﺎ ﺔ اﻟﻘﺮن اﻟﺘﺎﺳﻊ ﻋﺸﺮ اﻟﻤ ﻼدي ﻣﻊ اﻟﻨﻈﺮ اﻟﺪﻗ ﻖ ﻓﻲ ﺗﺤﻮ ﻞ اﺗﺠﺎه ﻣﺠﺘﻤﻊ ﻣ ﻨﺎﻧﻐﻜﺎﺑﻮ ﻣﻦ اﻟﺼﻮﻓ ﺔ إﻟﻰ اﻟﻔﻘ ﺔ، ﺧﺼﻮﺻﺎ ﻓﻲ ﻣﺴﺄﻟﺔ أﺣﻜﺎم اﻟﻤﻮار ﺚ.

اﻟﻜﻠﻤﺎت اﻟﻤﻔﺘﺎﺣ ﺔ: ﺑﺎدري، ﻣ ﻨﺎﻧﻐﻜﺎﺑﻮ، اﻟﻤﻮار ﺚ، اﻟﺤﺮﻛﺔ اﻟﺜﻮر ﺔ، اﻟﺤﺮﻛﺔ اﻟ ﺪ ﺌﺔ، ﻋﻠﻢ ﺗﺤﻘ ﻖ . .

vii

Daftar Isi

Kata Pengantar ………………….………………………………………………… i Abstrak Bahasa Indonesia ….…..……………………………………………..… iii Abstrak Bahasa Inggris .………………………………...…………………...... … v Abstrak Bahasa Arab ….……………………………………………..………..… vii Daftar Isi ………………….….………………………………………………….. ix Pedoman Transliterassi Arab-Latin ……………...………………………...….... xi

Bab I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah …………………………………………….. 1 B. Identifikasi Masalah ….….……………..……...... ……………...... 12 C. Perumusan dan Batasan Masalah ….….………...... ……………...... 13 D. Tujuan Penelitian ………………………………………...………….. 13 E. Manfaat Penelitian ………………………………………...…...... 13 F. Tinjauan Kepustakaan ………………………………..…….…...... 14 G. Metodologi Penelitian …………………………………….……...... 17 H. Sistematika Penelitian ……………………………...…………...…... 19

Bab II :LANDASAN TEORI A. Teori Filologi ……………………….………………. …….………. 21 B. Sejarah Sosial Intelektual ………...... …. 25 C. Tantangan dan Perubahan Sosial ………...... …. 29

Bab III : MINANGKABAU PADA MASA REVOLUSI PADERI A. Posisi Kaum Adat di Kerajaan Minangkabau Darat ....…...... 33 B. Model Propaganda Keagamaan Paderi di Tanah Datar …………… 39 C. Tokoh-tokoh Paderi ....…...... 45 D. Persatuan Kaum Adat dan Paderi Melawan Kolonial Belanda ...…. 58

Bab IV: NASKAH RISALAH-RISALAH HAJI YUSUF A. Deskripsi Naskah ……………………………………………...... 71 B. Biografi Pengarang Matan dan Penulis Syarah Risalah-Risalah Haji Yusuf ……………………………………………………………….. 72 C. Ulama-ulama yang Menjadi Rujukan Dalam Penulisan Risalah-Risalah Haji Yusuf …...…………………………………………………..….. 76

Bab V : EDISI TEKS IDHA>H AL-BA>B LIMURI>D AN-NIKA>H BI AS-SAWAB DAN TEKS GHA>YAH AT-TAQRI>B FI> AL-ARATH WA AT-TA’SI>B A. Pengantar Edisi ……………………………….…………………… 79 B. Pertanggungjawaban Edisi ………….……….…………………… 81 C. Edisi Teks …………………………………….…………………… 82 a. Teks Idha>h al-Ba>b Limuri>d an-Nika>h bi as-Sawab ……....…… 82 b. Teks Gha>yah at-Taqri>b fi> al-Arath wa at-Ta’si>b ……...... …… 107

ix

Bab VI: RISALAH-RISALAH HAJI YUSUF DALAM DINAMIKA INTELEKTUAL PADERI A. Sumbangan Pemikiran Paderi Terhadap Nikah dan Waris di Minangkabau Akhir Abad XIX ………………….…………...…... 139 B. Metode, Aktifitas, dan Objek Dakwah Paderi …………………….. 142 C. Lahirnya Paderi Generasi Akhir…………………………………… 144

Bab VII : PENUTUP A. Kesimpulan……………………………………...…...... 147 B. Saran……………………………………...…...... 148

Daftar Pustaka ……………………….………………………………………… 151 Glosarium ………………….…………………………………………………… 159 Indeks ………………….…………….………………………………………… 161 Lampiran-Lampiran Biodata Penulis

x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Naskah kuno atau manuskrip1, selanjutnya disebut naskah, merupakan salah satu bentuk khazanah budaya, yang mengandung teks tertulis mengenai berbagai informasi, pemikiran, pengetahuan, sejarah, adat istiadat, serta perilaku masyarakat masa lalu.2 Naskah ditulis di atas kertas yang sangat rentan dengan kerusakan akibat perubahan suhu cuaca. Selain itu, yang paling memprihatinkan adalah orang-orang yang tidak mengerti akan pentingnya sebuah naskah. Dengan ketidaktahuannya itu, naskah bukan hanya dianggap sebagai suatu barang yang usang, lebih dari itu mereka menganggapnya sebagai barang yang tidak berguna,3 bahkan yang sering ditemukan itu adalah fenomena sebagian orang menganggap naskah itu sebagai benda yang keramat dan penuh dengan mistik sehingga diletakkan di atas loteng tanpa membolehkan siapapun melihat dan menyentuhnya hingga banyak dari naskah itu yang berlobang dimakan rayap dan binatang pemakan kertas lainnya.4 Naskah merupakan salah satu sumber primer paling autentik yang dapat mendekatkan jarak antara masa lalu dan masa kini. Naskah menjanjikan sebuah ‘jalan pintas’ istimewa (privileged shortcut acces) untuk mengetahui khazanah intelektual dan sejarah sosial kehidupan masyarakat masa lalu, asalkan tahu cara

1 Dalam konteks filologi Indonesia, kata “naskah” dan “manuskrip” dipakai dalam pengertian yang sama, yakni merujuk pada dokumen yang didalamnya terdapat teks tulisan tangan, baik berbahan kertas (kebanyakan kertas Eropa), dawulang (kertas lokal dari daun saeh), lontar (kertas lokal dari daun lontar), bambu, dan lainnya. Lihat. Oman Fathurahman, Filologi Indonesia Teori dan Metode (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), 23. 2 Oman Fathurahman, Filologi Indonesia Teori dan Metode (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), 6. 3 Chairullah, “Naskah Ijazah dan Silsilah Tarekat: Kajian Terhadap Transmisi Tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah di Minangkabau” Tesis Pengkajian Islam Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014, 1. 4 Fenomena seperti ini penulis alami sendiri dalam keluarga penulis, yang mana di loteng rumah kami terdapat beberapa naskah yang ditulis dalam aksara Arab Melayu, namun dalam kondisi yang tidak utuh. Asal mula penulis mengetahui keberadaan naskah tersebut adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah filologi di STAIN Batusangkar tahun 2013 silam, dimana mahasiswa PBA ’10 waktu itu dituntut untuk menemukan sebuah naskah kuno, dan setelah penulis tanyakan kepada kakek (nama beliau Jahar Dt. Tan Ameh, yang mana beliau adalah cucu dari seorang alim di kampung kami, yaitu Datuk Buya Kuri, yang mana Dt. Buya Kuri ini pernah belajar selama 7 tahun di surau Inyiak Jaho, Tambangan, Padang Panjang) ternyata di loteng kami ada menyimpan naskah kuno tulisan tangan tersebut. Sebagai tambahan, beliaulah orang yang pertama kali mengenalkan baca tulis Arab Melayu kepada penulis, karena buku-buku bacaan beliau kebanyakan dalam bahasa Arab Melayu.

1

membaca dan menafsirkannya.5 Naskah sebagai hasil budaya, peninggalan tertulis dari generasi di masa lampau, disebut oleh beberapa pakar mempunyai otentitas, orisinilitas dan validitas.6 Sumber naskah tentu saja hanya dapat diacu apabila sumber itu telah dilestarikan--pasti banyak yang telah hilang. Pelestarian naskah, di luar faktor kecelakaan, tergantung apakah ada orang yang menaruh minat pada naskah itu, baik dari penduduk setempat yang menganggapnya relevan ataupun berguna, maupun dari pihak penjajah yang menganggapnya patut disimpan untuk alasan praktis atau ilmiah. Kadang-kadang pemilik aslinya merasa tidak membutuhkannya lagi atau tidak mampu menggunakannya lagi, maka naskah itu dikumpulkan atau dibeli oleh orang Eropa; dan sering sarjana Eropa memesan salinan naskah yang ingin mereka miliki, dan dengan demikian naskah itu tersimpan di perpustakaan masyarakat terpelajar, atau, nantinya, universitas di Indonesia maupun di luar negeri.7 Melalui naskah tersebut, para cendekiawan di abad-abad silam mentransmisikan ilmu pengetahuan dan mewariskannya kepada generasi ke generasi. Oleh karenanya pantas dikatakan bahwa naskah telah memainkan peran krusial dalam keberlanjutan budaya dan peradaban. Para pengarang naskah, ulama misalnya, telah mengambil posisi penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Dapat dikatakan naskah ialah sebuah cermin, tempat berkaca kepada masa lalu; menakar masa-masa silam, untuk mengukur masa kini. Nusantara merupakan kawasan yang memiliki perbendaharaan naskah yang luar biasa banyaknya. Dari hasil inventarisasi dan katalogisasi yang telah dilakukan, naskah-naskah tersebut banyak tersimpan di berbagai pusat penyimpanan dokumentasi ilmiah, dalam dan luar negeri. Sebagiannya lagi, dengan jumlah yang tidak dapat ditaksir, masih berada di tangan perorangan; tersimpan sebagai warisan keluarga yang turun temurun, dan tidak pernah terjamah.8 Naskah memiliki peran penting bagi bangsa Indonesia (dulunya Nusantara). Ia dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi bangsa. Sebagai contoh, istilah Pancasila yang menjadi dasar negara dan Bhineka Tunggal Ika yang merupakan semboyan negara diambil dari teks Kakawin Sutasoma. Andaikata naskah lontar tersebut tidak pernah terbaca, mungkin kita tidak pernah mendengar istilah-istilah sakti tersebut. Namun, kandungan naskah Nusantara tidak selalu hanya berkaitan dengan kesusastraan, tetapi juga mencakup tema-tema politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama, obat-obatan, mitologi, sejarah, hukum, keagamaan, dan lain-lain.9

5 Fathurahman, Filologi Indonesia Teori dan Metode, 27. 6 Fuad Jabali, “Manuskrip dan Orisinalitas Penelitian.” Jurnal Lektur Keagamaan Vol. 8, No. 1 (Juni 2010), 1-28. 7 S.O. Robson, Prinsip-Prinsip Filologi Indonesia, penerjemah, Kentjanawati Gunawan (Jakarta: RUL, 1994), 3. 8 Panuti Sudjiman, Filologi Melayu: Kumpulan Karangan (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1995), 46. 9 Nindya Noegraha, “pengantar” dalam Jurnal Manuskrip Nusantara, Vol. 3, No. 1, (2012), iv.

2

Di antara berbagai kategori naskah Nusantara, naskah keislaman merupakan salah satu kategori naskah yang jumlahnya relatif banyak.10 Melalui tradisi Islam ini, masyarakat Melayu-Nusantara mulai memiliki kebiasaan untuk mencatatkan berbagai pemikiran dan hal penting lainnya dengan menggunakan tulisan jawi (Bahasa Melayu dengan aksara Arab) atau Pegon (Bahasa Jawa dan Sunda dengan aksara Arab), atau bahasa lokal lainnya, di samping tentunya dengan bahasa Arab itu sendiri.11 Melihat keterkaitan antara Islam dengan dunia pernaskahan Nusantara seperti dijelaskan tersebut, maka dapat dipastikan bahwa naskah jelas merupakan salah satu elemen terpenting Islam, bahkan aneka kehidupan sosial sehari-hari, karena di dalamnya terkandung teks-teks lama yang mencerminkan adanya pertemuan budaya, sosial, politik dan intelektual antara budaya lokal dan Islam dalam suatu wilayah tertentu. Dengan demikian, penelitian atasnya akan memperkaya wacana lokal Islam (Islamic local discourse) di Indonesia khususnya, dan Asia Tenggara pada umumnya.12 Minangkabau merupakan salah satu daerah di Nusantara yang mempunyai khazanah naskah keagamaan yang cukup kaya, mempunyai tradisi keilmuan yang kompleks. Mulai dari sosok ulama, surau sebagai wadah pendidikan keislaman, urang-urang siak sebagai penuntut hingga transmisi keilmuan lewat penulisan dan penyalinan manuskrip. Tradisi keilmuan itu mengalami dinamika beragam sesuai fase-fase tiap periode.13 Namun hanya sebagian kecil saja dari naskah di Minangkabau ini yang baru terdeteksi keberadaanya apalagi yang sudah dikaji. Sementara yang masih tersebar dan tersimpan di tangan pribadi atau masyarakat ada dalam jumlah yang sangat besar yang tentunya mendapatkan perawatan yang kurang baik, bahkan sebagian besarnya masih disakralkan dan hanya boleh disentuh dan dibuka pada saat tertentu dan oleh orang tertentu setelah memenuhi syarat-syarat tertentu. Kepemilikan naskah oleh sebagian masyarakat Minangkabau masih dianggap sebagai simbol kelas dan status sosial.14 Di antara naskah-naskah kuno yang terdapat di Minangkabau itu adalah naskah Risalah-Risalah Fikih Haji Yusuf, di dalamnya membicarakan tentang masalah fikih, khususnya pada tema perkawinan, talak dan waris. Risalah-Risalah Fikih Haji Yusuf ini ditulis oleh Haji Yusuf, menggunakan bahasa Arab dan bahasa Melayu dengan aksara Arab Melayu/Jawi, yang ditulis pada tahun 1287 H/1870 M. Naskah Risalah-Risalah Fikih Haji Yusuf ini memuat beberapa teks, pertama: teks Idhah al-Ba>b Limuri>d an-Nika>h bi as-Sawa>b, tentang masalah nikah, yang ia susun/himpunkan daripada Minha>j al-Tha>>libi>n karya al-‘A>riff billah Muhyiddi>n an-Nawawi, Fathu al-Wahha>b karya Syaikh al-Islam Zakariyya> al-

10 Fathurahman, Filologi Indonesia Teori dan Metode, 7. 11 Oman Fathurahman, dkk, Filologi dan Islam Indonesia (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, 2010),101. 12 Fathurahman, dkk, Filologi dan Islam Indonesia, 102. 13 Choirul Fuad Yusuf, dkk, Kajian Teks Kontemporer dan Klasik (Jakarta: Puslibang Lektur dan Khazanah Keagamaan, 2013), 41-42. 14 Sofyan Hadi, “al-Manhal al-‘Adhbi: Kajian Tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah di Minangkabau” Tesis Pengkajian Islam Konsentrasi Filologi Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, 1.

3

Ansha>ri, Tuhfah al-Muhta>j karya ‘Allamah Syiha>buddi>n Ahmad ibnu Hajar, Niha>yah karya al-Muhaqqiq Shiha>buddin Muhammad ar-Ramly, dan lainnya. Kedua: teks Gha>yah at-Taqri>b fi> al-Arath wa at-Ta’si>b, yang ia tulis sebagai syarah atau penjelasan terhadap Risalah an-Naqar karya Daud ibn Abdullah, yang bermanhaj Ahlussunnah wal Jama’ah dalam bingkai mazhab Imam Syafi’i.15 Slogan “kembali kepada syariat” yang dikumandangkan oleh Tuanku Nan Tuo16, adalah tuntutan kaum Paderi, Tuanku Nan Tuo sangat serius untuk menunjukkan kepada murid-muridnya – terutama mereka yang lebih tertarik kepada hal-hal keduniaan – tentang kegagalan masyarakat Minangkabau dalam mengikuti ajaran Islam, karena banyak diantara mereka yang tidak hanya meremehkan kewajiban Islam, tetapi bahkan melakukan perbuatan-perbuatan haram, seperti perkosaan, pembunuhan, perampokan, penjualan anggota keluarga demi kepentingan hawa nafsu keduniaan. Untuk itu, ia mulai memfokuskan pengajarannya dengan melihat kembali berbagai praktik yang islami dan tidak islami di kalangan penduduk Minangkabau.17 Hal ini bisa kita mengerti karena Tuanku Nan Tuo atau Tuanku Koto Tuo merupakan ulama utama dalam kajian fikih pada masa itu.18 Selanjutnya, gerakan Paderi ini mulai menguat setelah Tuanku Imam Bonjol, seorang ulama dari lembah Alahan Panjang – Bonjol, memegang posisi sentral dalam perjuangan gerakan ini. Tuanku Imam Bonjol dengan segala kharisma dan kesuksesannya mampu menyebarkan gerakan ini di pedalaman Minangkabau. Nyaris di wilayah Tigo Luhak, jantung kebudayaan Minangkabau, ia mempunyai pengaruh yang kuat. Selain di Minangkabau, Paderi juga melebarkan pengaruhnya hingga ke tanah Batak, khususnya Mandailing.19 Dengan pengaruhnya itu dapat dikatakan bahwa Paderi menjadi salah satu kekuatan yang mengakar pada syariat di awal abad XIX. Perjuangan ini menemukan momentum ketika terjadi perang antara Paderi versus Golongan Adat yang dimotori oleh Belanda, dimana Kaum Adat disini adalah mereka yang merasa terusik dengan gerakan Paderi,20 hingga terjadilah revolusi

15 Haji Yusuf, [Idhah al-Ba>b Limuri>d an-Nika>h bi as-Sawa>b]. Naskah yang terdapat di Surau Tanjung Batang Kapeh, Sumbar. Sekarang telah ada edisi digitalnya dalam Database Naskah Surau, dengan Nama Gambar Digital EAP144_DMMCS_BK_15, 33. 16 Tuanku Nan Tuo merupakan tokoh pertama dalam gerakan Paderi. Untuk biografi Tuanku Nan Tuo, lihat Adrianus, “Kaum Padri dan Pemikiran Keagamaan di Minangkabau” Disertasi Fakultas Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1991, 126-129. 17 Azyumardi Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Tradisi dan Modernisasi terj. Iding Rasyidin (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2003), 69. 18 Christine Dobbin, “Tuanku Imam Bondjol, (1772-1864)”, Indonesia, No. 13 (Apr., 1972), 7, http://www.jstor.org/stable/3350680 (Accessed: 25-02-2016 04:16 UTC). 19 Donald J. Tugby, “The Social Function of Mahr in Upper Mandailing, Sumatra”, American Anthropologist, New Series, Vol. 61, No. 4 (Aug., 1959), 631, http://www.jstor.org/stable/667151 (Accessed: 11-02-2016 03:04 UTC). 20 Adrianus, “Kaum Padri dan Pemikiran Keagamaan di Minangkabau” Disertasi Fakultas Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1991, 149. Lihat juga Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional, 77.

4

Minangkabau, dengan Paderi sebagai pemeran utama dalam perang melawan pemerintahan kolonial,21 bahkan Tuanku Imam Bonjol juga sering digambarkan sebagai penyeru jihad pertama di Asia Tenggara.22 Bagi kaum Paderi, kembali kepada syari’ah itu adalah melaksanakan ajaran Islam sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan Hadits. Sejatinya dalam menjalankan prinsip ini kaum Paderi terbagi kepada dua kelompok. Pertama, kelompok Tuanku Nan Tuo23, Fakih Shaghir24 dengan kawan-kawannya. Kedua, kelompok Haji Miskin25, Tuanku Nan Renceh26, Tuanku Imam Bonjol27 dan kawan-kawannya yang sepaham. Pengelompokan ini dilakukan karena kedua kelompok tersebut mempunyai beberapa pemikiran dan cara bertindak yang sulit dipadukan. Sebagaimana dikenal, Tuanku Nan Tuo dan Fakih Shaghir adalah tokoh moderat, dimana Tuanku Nan Tuo ini lebih suka pada model dakwah yang lemah lembut dan persuasif.28 Sedangkan Haji Miskin dan Tuanku Nan Renceh merupakan tokoh revolusioner.29 Sebagai basis bagi terlaksananya ajaran Islam yang lain, maka tuntutan utama yang dilakukan Paderi adalah pelaksanaan shalat lima waktu dan empat pelaksanaan rukun Islam lainnya, bahkan dikatakan bahwa salah seorang murid

21 Audrey R. Kahin, “The 1927 Communist Uprising in Sumatra: A Reapprasial”, Indonesia, No. 62 (Oct., 1996), 20, http://www.jstor.org/stable/3351390 (Accessed: 25-02- 2016 04:12 UTC). 22 Jeffrey Hadler, “A Historiography of Violence and the Secular State in Indonesia: Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History”, The Journal of Asian Studies, Vol. 67, No. 3 (Aug., 2008), 972, http://www.jstor.org/stable/3712335 (Accessed: 11-02- 2016 03:03). 23 Biografi Tuanku Nan Tuo akan penulis ulas pada bab III halaman 45-46. 24 Biografi Fakih Shaghir akan penulis ulas pada bab III halaman 47-48. 25 Haji Miskin dilahirkan di Pandai Sikek, Bukittinggi pada tahun 1778. Nama aslinya tidak dikenal, sedangkan Miskin adalah nama panggilannya sebagai penisbahan dari kehidupannya yang sangat sederhana yakni miskin. Hal ini disebabkan semenjak kecil, ia telahlazim di panggil si Miskin, sehingga setelah dewasa, oang lupa menelusui nama sebenarnya. Lebih lanjut baca Adrianus, “Kaum Padri dan Pemikiran Keagamaan di Minangkabau”, 139-141. 26 Tuanku Nan Renceh dilahirkan pada tahun 1772 dan meninggal dunia pada tahun 1832 disaat kaum Paderi sangat membutuhkannya. Ia berasal dari Bansa Kamang, Bukittinggi. Lebih lanjut baca Adrianus, “Kaum Padri dan Pemikiran Keagamaan di Minangkabau”, 130-133. 27 Tuanku Imam Bonjol dilahirkan di Tanjung Bungo, Alahan Panjang, Bonjol, Pasaman pada tahun 1772. Nama kecilnya adalah Muhammad Syahab, bapaknya bernama Bayanuddin, seorang guru agama yang berasal dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota, sedangkan ibunya bernama Hamatun adik Syeikh Usman dari Arab. Panggilan Tuanku Imam yang melekat pada dirinya disebabkan ketokohannya yang selalu berdiri di barisan depan baik dalam urusan agama maupun dalam urusan sosial-kemasyarakatan. Bonjol merupakan penisbahan dari kota kelahirannya. Lebih lanjut baca Adrianus, “Kaum Padri dan Pemikiran Keagamaan di Minangkabau”, 146-150. 28 Christine Dobbin, “Tuanku Imam Bondjol, (1772-1864)”, Indonesia, No. 13 (Apr., 1972), 7, http://www.jstor.org/stable/3350680 (Accessed: 25-02-2016 04:16 UTC). 29 Adrianus, “Kaum Padri dan Pemikiran Keagamaan di Minangkabau”, 174.

5

Tuanku Nan Tuo yang termasyhur, Syaikh Jalaluddin, telah mendirikan surau di Koto Lawas dalam rangka mengajarkan beberapa aspek hukum Islam lainnya. Di antaranya adalah masalah jual-beli, pernikahan dan faraid, serta masalah makanan dan minuman.30 Dalam masalah Nikah –Fasakh misalnya, oleh karena sempitnya faham ulama bertaklid, maka selama ini sangatlah sempit hak yang diberikan kepada perempuan. Hukuman Nusyuz, yaitu durhaka, selalu ditimpakan kepada seorang perempuan yang tidak menerima baik perlakuan suaminya yang menganiayanya. Misalnya, seorang laki-laki mudah saja menuduh istri durhaka, sebab itu tidaklah wajib dinafkahi lagi, baik nafkah lahir maupun nafkah bathin.31 Dalam sistim pewarisan, hukum adat menyebutkan bahwa harta pusaka dari mamak harus diturunkan kepada kemenakan, baik yang berupa benda maupun bukan, sedang menurut hukum faraid Islam harta peninggalan seorang lelaki (sebagai ayah) harus diturunkan kepada anak, selain istreri, ibu-bapak, nenek, saudara dan paman.32 Banyak ayat dalam al-Qur’an yang menuntun kita dalam masalah waris ini, diantaranya: Q.S Annisa’ 11;

( öNà2ω»s9÷rr& þ’Îû ª!$# ÞOä3ŠÏ¹qム4 Èû÷üu‹sVRW{$# Åeáym ã@÷VÏB Ì•x.©%#Ï9 Èû÷ütGt^øO$# s-öqsù [ä!$|¡ÎS £`ä. bÎ*sù bÎ)ur ( x8t•s? $tB $sVè=èO £`ßgn=sù ß#óÁÏiZ9$# $ygn=sù Zoy‰Ïmºur ôMtR%x. 7‰Ïnºur Èe@ä3Ï9 Ïm÷ƒuqt/L{ur 4 bÎ) x8t•s? $£JÏB â¨ß‰•¡9$# $yJåk÷]ÏiB `ä3tƒ óO©9 bÎ*sù 4 Ó$s!ur ¼çms9 tb%x. çn#uqt/r& ÿ¼çmrOÍ‘urur Ó$s!ur ¼ã&©! ÿ¼ã&s! tb%x. bÎ*sù 4 ß]è=›W9$# ÏmÏiBT|sù .`ÏB 4 â¨ß‰•¡9$# ÏmÏiBT|sù ×ouq÷zÎ) ÷rr& !$pkÍ5 ÓÅ»qム7p§‹Ï¹ur ω÷èt/ öNä.ät!$t/#uä 3 AûøïyŠ öNßg•ƒr& tbrâ‘ô‰s? Ÿw öNä.ät!$oYö/r&ur šÆÏiB ZpŸÒƒÌ•sù 4 $YèøÿtR ö/ä3s9 Ü>t•ø%r&

30 Adrianus, “Kaum Padri dan Pemikiran Keagamaan di Minangkabau”, 264. 31 Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup Dr. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatra (Jakarta: Umminida, 1982), 121-122. 32 Dalam beberapa pertemuan antara Kaum Adat dan Kaum Agama di Bukit Marapalam, masalah waris ini juga dibicarakan, namun belum mendapatkan penyelesaian yang memuaskan kedua pihak. Pada pertengahan abad ke-20, tepatnya pada tahun 1952 di Bukittinggi diadakan kongres Kaum Adat dan Kaum Agama untuk membicarakan masalahyang sama. Hasilnya ialah kesepakatan bersama, bahwa harta-pusaka-tinggi merupakan harta musabalah bagi suku yang bersangkutan untuk dimanfa’atkan bersama, tetapi tidak menjadi milik para anggota suku. Sedang harta pencaharian harus diatur menurut hukum faraidh Islam (Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1990- 1942, hal 22).

6

$¸JŠÎ=tã tb%x. ©!$# ¨bÎ) 3 «!$# ÇÊÊÈ $VJŠÅ3ym

Artinya: Allah berwasiat (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu bapak, bagian masing- masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut diatas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya (Tentang) orang tuamu dan anak- anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.33 Pada zaman Paderi, pelaksanaan shalat lima waktu dan empat rukun Islam lainnya sebagai tuntutan utama mereka, ini tergambar dalam penuturan berikut; “Adapun yang baik sebalah Tuanku-tuanku Paderi ialah mendirikan sembahyang dan mendatangkan zakat dan puasa pada bulan Ramadhan, dan naik haji atas kuasa, dan berbaiki mesjid dan berbaiki labuh tepian, dan memakai rupa pakaian yang halal, dan menyuruhkan orang menuntup ilmu, dan berniaga. Adapun sekalian yang jahat daripada Tuanku Paderi menyiar membakar, dan menyahkan orang dalam kampungnya, dan memunuh orang dangan tidak hak, yaitu memunuh orang yang cerdik cendaki, sebab ber’udu atau khianat, dan merabut dan merampas, dan mengambil perempuan yang bersuami, dan menikahkan perempuan yang tidak sekupu dangan tidak relanya, dan menawan orang dan berjual dia, dan bepergundi tawanan, dan mehinakan orang yang mulia2, dan mehinakan orang tuha, dan me ngatakan kafir orang beriman, dan mencala dia.”34

Namun oleh sebagian pengamat, kontradiksi atau konflik antara adat dan Islam pada faktanya terjadi karena sistem matrilineal yang dianut masyarakat Minangkabau,35 dan lebih rinci Hazairin berpendapat, bahwa konflik yang terjadi

33 Al-Hidayah : Al-Qur’an Tafsir Perkata Tajwid Kode Angka, Penyunting Tafsir. Arif Fakhrudin, Siti Irhamah (Tangerang Selatan: PT. Kalim, 2010), 79. 34 Jeffrey Hadler, “A Historiography of Violence, 987. 35 Tsuyoshi Kato, “Change and Continuity in the Minangkabau Matrilineal System”, Indonesia, No. 25 (Apr., 1978), 1, http://www.jstor.org/stable/3350964 (Accessed: 25-02-2016 04:27 UTC).

7

pada masa Paderi itu bukanlah konflik antara agama dan adat, tetapi lebih kepada pemahaman fikih yang berbenturan dengan situasi lokal setempat.36 Dalam garis besarnya, gerakan Paderi dalam batas tertentu mengikuti tujuan yang sama seperti Wahabi, yaitu mengendalikan amalan Islam setempat dari khurafat paganisme (yang berhubungan dengan kepercayaan primitif yang menyembah roh atau kekuatan ghaib). Beberapa orang haji Minangkabau yang memimpin gerakan Paderi mungkin sekali pernah belajar di Mekkah ketika gerakan Wahabi mulai melancarkan aksi-aksinya.37 Dalam waktu yang sama, pada pelaksanaan haji tahun 1237 H/1822 M, banyak negara yang terpengaruh oleh gerakan Wahabi ini, seperti halnya yang dibawa oleh Sayyid Ahmad dan Mir Nithar ‘Ali, yang juga mengumandangkan penegakan Syariat Allah SWT di Bengal.38 Namun, sebagaimana yang dikatakan oleh Adrianus, bahwa setelah dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap kitab-kitab yang diajarkan di surau-surau Paderi, di dalam pengajaran ilmu Syari’ah, guru-guru (tuanku-tuanku) Paderi berpegang kepada beberapa kitab sesuai dengan bidang kajiannya. Dalam masalah yang menyangkut dengan hukum, kitab fikih yang dipakai adalah kitab Minhaj al- Thalibin karangan Abu Zakariya Yahya ibn Syaraf al-Nawawi (w. 676 H/1277 M), di bidang tafsir, kitab pegangan yang masyhur adalah Tafsir Jalalain,39 dimana pengarang kitab ini adalah juga penganut mazhab Syafi’i. akan tetapi guru yang mengajar, biasanya mencukupkan pegangan mereka pada buku-buku (kitab-kitab) yang ditulis kemudian sebagai pengganti atau komentar dari pemikiran Syafi’i. Umpamanya kitab al-Tuhfat oleh Ibnu Hajar al-Haitami (w. 1565 M) dan al- Nihayat oleh al-Ramly (w. 1596 M) merupakan komentar dari kitab Minhaj al- Thalibin. Dengan demikian mazhab Syafi’ilah yang dianut oleh kaum Paderi di Minangkabau.40 Setelah Tuanku Imam Bonjol ditangkap 28 Oktober 1837 dan benteng pertahanan Bonjol telah dihancurkan Belanda sebelumnya (16 April 1837), perjuangan kaum Paderi dilanjutkan oleh Tuanku Tambusai. Namun pada 28 Desember 1838 benteng Dalu-Dalu yang dipertahankannya jatuh ke tangan Belanda, setelah Belanda lebih dahulu menghancurkan sisa-sisa kaum Paderi di Solok pada bulan April 1838. Dengan demikian secara teoritis tamatlah riwayat kaum Paderi, akan tetapi secara faktual perjuangan kaum Paderi, walaupun tidak melalui angkat senjata secara resmi, tetap berlanjut, terutama propaganda

36 Taufik Abdullah, “Adat and Islam: An Examination of Conflict in Minangkabau”, Indonesia, No. 2 (Oct., 1966), 22, http://www.jstor.org/stable/3350753 (Accessed: 25-02-2016 04:28 UTC). 37 Elizabeth E. Graves, Asal-Usul Elite Minangkabau Modern – Respons terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX terj. Novi Andri dkk, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), 47. 38 S. Q. Fatimi, “Review”, Islamic Studies, Vol. 6, No. 2 (June 1967), 201, http://www.jstor.org/stable/20832878 (Accessed: 25-02-2016 04:17 UTC). 39 Tafsir ini ditulis oleh Jalal al-Din al-Mahally (w. 864 H/1460 M) dan Jalal al- Din Abd al-Rahman ibn Abu Bakar al-Suyuthy (w. 911 H/1505 M). 40 Adrianus, “Kaum Padri dan Pemikiran Keagamaan di Minangkabau”, 247.

8

keagamaan dan pemikirannya. Ini terbukti, pada puluhan tahun kemudian (1860) lahir generasi terakhir Paderi yakni Ahmad Khatib.41 Ketika perang usai, tampaknya kaum Paderi memang tidak berhasil dalam mengubah secara substantif struktur politik dan sosial Minangkabau. Namun demikian, gerakan Paderi berhasil memperkuat kecenderungan terhadap Islam yang lebih berorientasi syariat dalam masyarakat Minangkabau.42 Paderi telah membawa perhatian masyarakat yang kuat terhadap Islam ortodoks. Di dalam perimbangan yang berubah-ubah antara adat dan Islam, maka peranan Islam sebagai bagian dari keseluruhan perangkat peraturan yang mengatur masyarakat Minangkabau menjadi bertambah besar.43 Karena memang perang Paderi itu pada hakekatnya adalah perjuangan dan propaganda pemurnian ajaran Islam dari segala unsur yang berlawanan dengannya. Oleh karena itu tepat bila dikatakan, walaupun secara fisik, Belanda berhasil melumpuhkan perjuangan Paderi dan gerakannya pun ”terhenti di tengah jalan” dengan usainya perang itu, bahwa misi dan keinginan untuk membersihkan Islam dari segala ajaran yang menyimpang tidaklah akan hilang ditelan masa begitu saja dikalangan orang Minangkabau.44 Menurut pandangan Taufik Abdullah, dampak yang paling berarti dari episode Paderi adalah adanya asimilasi yang telah terjadi antara ajaran Islam dan Adat Minangkabau sebagai pola perilaku ideal.45 Sebagaimana dikatakan oleh Sulaiman Ar-Rasuli dalam pidatonya, bahwa ada beberapa hal penting yang dihasilkan dari kesepakatan antara kaum Paderi dan kaum Adat pasca Paderi ini. Pertama, penghulu-penghulu tetap menjadi raja, titahnya didengar dan perintahnya dilaksanakan. Kedua, alim-ulama menjadi suluh bendang dalam , hidup tempat bertanya. Ketiga, hukum adat yang sejalan dengan agama disebut adat nan kawi dan yang tidak sejaln dengan agama disebut adat jahiliyah. Keempat, adat yang tidak sejalan dengan agama akan dimasukkan ke tanah yang lekang, dihanyutkan ke air yang hilir. Kelima, hukum yang harus (mubah) di dalam agama, tetapi tidak sejalan dengan adat, tidak akan dipakai, seperti kawin dalam suku yang sama dan sepayung. Keenam, hukum agama yang telah diakui oleh adat akan menguatkannya, dinamai syarak yang lazim yaitu mazhab Syafi’i, umpamanya nikah berwali, anak seperintah bapak. Ketujuh, alim-ulama tidak berhak melakukan hukum, tetapi berhak memberikan memberikan keterangan kepada penghulu. Kedelapan, penghulu-penghulu tidak berhak menjalankan hukum sebelum menerima penerangan dari ulama. Kesembilan, menetapkan bunyi pepatah: Syarak mangato, adat mamakai, Minangkabau bertubuh adat, berjiwa

41 Adrianus, “Kaum Padri dan Pemikiran Keagamaan di Minangkabau”, 314. 42 Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional, 79. 43 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004,terj. Satrio Wahono dkk, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005), 305. 44 Adrianus, “Kaum Padri dan Pemikiran Keagamaan di Minangkabau”,315. 45 Taufik Abdullah, Sejarah dan Masyarakat, Lintasan Historis Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), 119.

9

syarak, penghulu-penghulu selaku juru bantu, alim-ulama selaku kemudi, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.46 Penulis memang tidak meragukan kesimpulan Taufik Abdullah ini, karena memang seperti itulah yang disampaikan oleh penulis-penulis tentang Paderi ataupun Minangkabau secara umum, misalnya Hamka,47 Schrieke,48 Dobbin,49 Azra,50 Adrianus.51 Namun sebagaimana yang telah dikatakan, bahwa kaum Paderi pada hakikatnya terdiri dari dua corak dalam mengimplementasikan pemikiran mereka, yaitu moderat dan revolusioner, dan adalah yang berperang dengan kaum adat serta Belanda itu kebanyakan mereka yang dari pengikut kaum Paderi yang berhaluan revolusioner ini.52 Maka sejatinya langkah Paderi yang revolusioner inilah yang terhenti di tangan Belanda itu, sedangkan yang menempuh jalan moderat masih terus melanjutkan propagandanya dalam bentuk tulisan dan pengajaran agama Islam di surau-surau. Dengan ditemukannya Risalah-Risalah Fikih Haji Yusuf ini akan meyakinkan kita semua bahwa kaum Paderi belum berakhir, hanya saja mereka mencari jalan lain dalam mewujudkan cita-citanya, yaitu memurnikan ajaran Islam melalui tulisan, walaupun hal itu dilakukan oleh seorang yang kurang terkenal seperti Haji Yusuf asal Lima Kaum ini.53 Risalah-Risalah Fikih Haji Yusuf ini membahas salah satu hal yang paling krusial pertentangannya di Minangkabau itu sendiri, yaitu masalah

46 Pidato Sulaiman Arrasuli sebagai dikutip Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1973), 238-239. 47 Hamka, Ayahku, 14-20. 48 B. J. O. Schrieke, Pergolakan Agama di Sumatera Barat: Sebuah Sumbangan Bibliografi, terj. S. Poerbakawatja, (Jakarta: Bhratara, 1973), 10-28. 49 Christine Dobbin, Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra 1784-1847 (London: Curzon Press, 1983), 92. 50 Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional, 79-80. 51 Adrianus, “Kaum Padri dan Pemikiran Keagamaan di Minangkabau”, 315-316. 52 Tokoh “revolusioner” dalam tubuh Paderi itu dimulai dari Tuanku Nan Renceh dan Haji Miskin sampai pada generasi Tuanku Imam Bonjol dan pengikutnya. Mereka disebut revolusioner karena ingin menegakkan ajaran Islam yang ketat sesegera mungkin di Minangkabau dengan praksis gerakannya yang radikal. Ini bermula dari Tuanku Nan Renceh yang tidak senang dengan dukungan yang tidak penuh dari Tuanku Nan Tuo. Lebih lanjut baca: Azra,Surau: Pendidikan Islam Tradisional, 72-75. 53 Karena memang tokoh Paderi itu tidak bisa kita hitung banyak jumlahnya, dan kebanyakan tokoh-tokoh Paderi yang ada dalam catatan sejarah itu adalah mereka yang ada dalam predikat ulama “revolusioner” bukan yang “moderat”, dan kebanyakan mereka yang menempuh jalan moderat, walaupun merupakan angkatan pertama dari gerakan Paderi sekalipun namun tetaplah mereka kurang terkenal. Sebut saja Tuanku Sami’, nama lengkapnya adalah Ahmad Jalaluddin dan pada waktu mudanya bergelar Fakih Shaghir. Jalaluddin adalah seorang tokoh Paderi yang kurang dikenal, karena sikapnya yang lunak dan tidak menyetujui melakukan tindakan kekerasan dalam menjalankan syari’at agama. Lebih lanjut lihat: Mahmud Yusuf, “Majalah Al-Imam Singapura: Suatu Studi mengenai Pembaharuan Pemikiran dalam Islam” Tesis Fakultas Pascasarjan Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1987, 73.

10

nikah/perkawinan, dan waris.54 Waris merupakan salah satu ajaran Islam yang sangat susah diterapkan pada masyarakat Minangkabau kala itu, terbukti dengan adanya kecaman terhadap masalah waris di Minangkabau ini oleh tokoh Paderi generasi akhir, yaitu Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.55 Maka akan sangat penting posisinya dengan ditemukan kitab fikih yang tidak bercampur dengan nuansa adat Minangkabau yang bertentangan dengan Islam itu, seperti yang terdapat dalam kitab Risalah-Risalah Fikih Haji Yusuf ini. Sehingga akan memperkuat keyakinan kita bahwa dari segi aspek pemikiran, kaum Paderi tidak pernah kalah – setidaknya sampai akhir abad 19 M - dan selalu mempropagandakan pemurnian ajaran Islam atau yang lebih dikenal dengan ungkapan kembali kepada syariah. Risalah-Risalah Fikih Haji Yusuf yang selama ini belum terjamah oleh akademisi dan sejarawan begitu menarik untuk diteliti. Hal ini dimungkinkan karena terdapat informasi penting dan unik yang memberikan gambaran lain dari episode Paderi yang terkenal itu. Informasi itu cenderung berbeda dengan pengetahuan umum tentang kaum Paderi yang tersebar selama ini. Secara umum Risalah-Risalah Fikih Haji Yusuf tersebut mempunyai pola yang persis sama dengan apa yang diperjuangkan oleh kaum Paderi, sama-sama bermanhaj Ahlussunnah wal Jama’ah dalam bingkai mazhab Imam Syafi’i. Pengarang dan penulis naskah, Daud ibn Abdillah dan Haji Yusuf, juga mengutip pendapat mujtahid dalam kitab-kitab yang menjadi rujukan kaum Paderi, seperti Abu Zakarya Yahya ibn Syaraf al-Nawawi dengan kitab Minhaj al-Thalibin-nya, Ibn Hajar al-Haitami dengan kitab al-Tuhfat-nya, dan al-Ramly dengan al-Nihayat- nya.56 jadi tak pelak lagi bahwa Haji Yusuf asal Lima Kaum ini merupakan salah satu tokoh dari kaum Paderi sebelum generasi akhir muncul dalam diri Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.57 Sementara dari aspek filologi, kitab ini harus segera mendapat perhatian, karena usianya sudah ratusan tahun, dan lagi kitab ini masih dalam bentuk manuskrip dengan aksara dan bahasa yang oleh orang kebanyakan di masa sekarang sulit dimengerti. Adapun penjelasan tentang masalah nikah dan waris pasca Paderi ini sangat penting, karena jarang sekali ditemukan bukti yang

54 Waris di dalam adat Minangkabau adalah menurut keturunan ibu (matrilineal). Baca: Nanang Subekti, Membangun Masa Depan Minangkabau dari Perspektif Hak Asasi Manusia (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2007), 7. lihat juga Hamka, Ayahku, 9. 55 Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi muncul kepermukaan hampir seabad setelah Perang Paderi, beliau menginspirasi banyak murid-muridnya asal Minangkabau dalam menentang amalan Tarekat dan Pewarisan harta di Minangkabau. Lihat Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia, 40. Lihat juga Yasrul Huda, Islamic Law versus Adat: Debates about Inheritance Law and the Rise of Capitalism in Minangkabau (Leiden: Leiden University, 2003), 35-37. 56 Haji Yusuf, [Idhah al-Ba>b Limuri>d an-Nika>h bi as-Sawa>b] 2-4. 57 Untuk biografi beliau lihat, Hamka, Ayahku, 271.

11

menguatkan kesuksesan pemurnian ajaran Islam seperti ini pasca Paderi.58 Hasil dari penelitian naskah seperti ini merupakan sumbangan pikiran yang sangat berarti, terlebih dalam rangka memperkenalkan buah pikiran para pendahulu itu, sehingga dapat dikenal dan diketahui oleh generasi-generasi berikut.59 Untuk kelancaran penelitian ini, penulis telah melacak dan menginventarisasi Risalah-Risalah Fikih Haji Yusuf yang masih berupa manuskrip tersebut. Karena tahap kedua dalam penelitian filologi adalah melakukan inventarisasi naskah, yang dimaksudkan sebagai upaya secermat-cermatnya dan semaksimal mungkin untuk menelusuri dan mencatat keberadaan naskah yang memuat salinan dari teks yang akan kita kaji.60 Sebagaimana pembacaan penulis terhadap sumber-sumber yang ada mengenai gerakan Paderi maupun sumber-sumber rujukan tentang perkawinan dan pewarisan di Minangkabau, belum satupun ditemui penelitian yang menjadikan Risalah-Risalah Fikih Haji Yusuf ini sebagai sumber rujukan utama. Padahal kitab ini bisa dikatakan penting untuk mengetahui dinamika yang melingkupi gerakan Paderi di penghujung masanya, maupun sebagai tambahan khazanah keilmuan tentang perkawinan, dan pewarisan di Minangkabau. Berdasarkan paparan di atas, jelas bahwa Risalah-Risalah Fikih Haji Yusuf penting untuk diteliti lebih lanjut, karena terkait dengan dinamika yang melingkupi sebuah gerakan yang sangat berarti bagi masyarakat Minangkabau, yaitu gerakan Paderi, bahkan disebut-sebut juga merupakan awal dari rasa Nasionalisme Indonesia.61 Hal ini semakin menarik jika penelaahan terhadap isi Risalah-Risalah Fikih Haji Yusuf tersebut dikaji dengan memperhatikan ranah sosial keagamaan di Minangkabau di saat teks tersebut ditulis pada era kemunduran gerakan Paderi di paruh terakhir abad XIX.

B. Identifikasi Masalah

58 Masyarakat masih saja belum menjalankan agama Islam secara baik.Rupanya hati masyarakat tidak bisa dipaksa dengan jalan perang atau kekerasan. Kenyataan ini terbukti dengan adanya penduduk negeri yang tak dapat menerima aturan, walaupun kelihatan di permukaan, kaum Paderi telah menguasai masyarakat, namun setelah Paderi kalah mereka mulai minum tuak kembali, menyabung ayam digelar kembali, dan secara diam-diam masyarakat tetap terpecah belah. Lihat B. J. O. Schrieke, Pergolakan Agama di Sumatera Barat: Sebuah Sumbangan Bibliografi, terj. S. Poerbakawatja. (Jakarta: Bhratara, 1973), 22-25. Lihat juga: Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional, 78. 59 Nabilah Lubis, Naskah Teks dan Metode Penelitian Filologi (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang & Diklat Departemen Agama RI, 2007), 27. 60 Fathurahman, Filologi Indonesia, 74. 61 Hamka mengatakan bahwasannya Minangkabau itu negeri yang dikenal karena kaum Paderinya, kaum Mudanya dan segala macam cabang pertaliannya.Dan gerakan kebangunan Agama Islam di Minangkabau, membawa pengaruh bukan sedikit ke Malaya, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan lain-lain, dan tidak pula dapat disangkal bahwasannya gerakan kebangunan Islam itu adalah pula termasuk salah satu bahan yang teramat penting di dalam menimbulkan Nasionalisme Indonesia. Hamka,Ayahku, Pendahuluan. Baca juga L. Stoddard, The New Word of Islam, terj. Muljadi Djojomartono (et al), (Jakarta: 1966), 297-298.

12

Berdasarkan latar belakang di atas, maka identifikasi masalah dalam penelitian ini ialah : Pertama, edisi teks Idhah al-Ba>b Limuri>d an-Nika>h bi as- Sawa>b dan edisi teks Gha>yah at-Taqri>b fi> al-Arath wa at-Ta’si>b, yang terdapat dalam naskah Risalah-Risalah Fikih Haji Yusuf. Kedua, bagaimanakah posisi dan pengaruh Paderi di Minangkabau akhir abad XIX. Ketiga, bagaimanakah model propaganda Paderi di paroh akhir abad XIX. Keempat, bagaimanakah pemahaman tentang nikah menurut Paderi berdasarkan teks yang terdapat dalam naskah Risalah-Risalah Fikih Haji Yusuf. Kelima, bagaimanakah pemahaman tentang Talak menurut Paderi berdasarkan teks yang terdapat dalam naskah Risalah- Risalah Fikih Haji Yusuf. Keenam, bagaimanakah pemahaman tentang waris menurut Paderi berdasarkan teks yang terdapat dalam naskah Risalah-Risalah Fikih Haji Yusuf. Kedelapan, bagaimanakah posisi Islam di tengah adat Minangkabau pasca kekalahan Paderi di paroh akhir abad XIX.

C. Perumusan dan Batasan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah-masalah pokok dalam penelitian ini adalah tentang edisi teks Idhah al-Ba>b Limuri>d an-Nika>h bi as- Sawa>b dan edisi teks Gha>yah at-Taqri>b fi> al-Arath wa at-Ta’si>b, yang terdapat dalam naskah Risalah-Risalah Fikih Haji Yusuf, dan Paderi dengan nikah dan waris di Minangkabau. Namun untuk mempermudah dan lebih fokusnya penelitian ini, maka permasalahan akan dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah penyajian teks-teks yang terdapat dalam naskah Risalah- Risalah Fikih Haji Yusuf, yaitu teks Idhah al-Ba>b Limuri>d an-Nika>h bi as- Sawa>b dan teks Gha>yah at-Taqri>b fi> al-Arath wa at-Ta’si>b ? 2. Bagaimanakah pemahaman Paderi tentang nikah dan waris serta cara mendakwahkannya berdasarkan teks teks Idhah al-Ba>b Limuri>d an-Nika>h bi as-Sawa>b dan teks Gha>yah at-Taqri>b fi> al-Arath wa at-Ta’si>b ? 3. Bagaimanakah posisi Islam di tengah adat Minangkabau akhir abad XIX ? Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka batasan masalah penelitian ini adalah edisi teks Idhah al-Ba>b Limuri>d an-Nika>h bi as-Sawa>b dan edisi teks Gha>yah at-Taqri>b fi> al-Arath wa at-Ta’si>b, yang terdapat dalam naskah Risalah-Risalah Fikih Haji Yusuf dan model dakwah Paderi pasca kekalahannya di paroh akhir abad XIX, yang mencakup pendiriannya dalam masalah nikah dan waris di Minangkabau akhir abad XIX. D. Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah-masalah pokok diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk menghadirkan edisi teks Idhah al-Ba>b Limuri>d an-Nika>h bi as-Sawa>b dan edisi teks Gha>yah at-Taqri>b fi> al-Arath wa at-Ta’si>b, yang terdapat dalam naskah Risalah-Risalah Fikih Haji Yusuf, dan menjelaskan tentang model propaganda Paderi pasca kekalahannya di paroh akhir abad XIX. Penelitian ini secara rinci memiliki tujuan sebagai berikut:

13

1. Menyajikan edisi teks-teks yang terdapat dalam naskah Risalah-Risalah Fikih Haji Yusuf, yaitu teks Idhah al-Ba>b Limuri>d an-Nika>h bi as-Sawa>b dan teks Gha>yah at-Taqri>b fi> al-Arath wa at-Ta’si>b. 2. Menggambarkan keadaan kaum Paderi pasca kekalahannya di paroh akhir abad XIX, dan menjelaskan pemahaman Paderi tentang nikah dan waris serta model dakwah keagamaan paderi kala itu. 3. Menjelaskan posisi agama Islam di tengah adat Minangkabau pasca kekalahan Paderi di paroh akhir abad XIX.

E. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah: 1. Dapat menyelamatkan sebagian dari salah satu naskah karya ulama Minangkabau secara khusus, dan umumnya Nusantara dalam bentuk suntingan teks dan analisis. 2. Dapat menambah kontribusi ilmiah bagi penelitian yang telah ada tentang gerakan Paderi dan pembaharuan Islam di Minangkabau, serta sumbangan pemikiran dan ajaran yang berkembang pada masa lalu bahkan hingga kini di wilayah Nusantara.

F. Tinjauan Kepustakaan Sejauh penelusuran penulis, belum ditemukan penelitian tentang pemikiran Paderi dalam bidang fikih, khususnya dalam masalah nikah dan waris. Sampai saat ini belum ditemui penelitian khusus terhadap naskah-naskah yang memberikan informasi mengenai episode-episode terakhir setelah kekalahan Paderi di tangan Belanda, dan kaitannya dengan prospek kelanjutan penerapan hukum nikah dan waris di Minangkabau. Sungguhpun demikian, dalam beberapa dasawarsa terakhir, studi tentang Islam di Minangkabau kelihatannya sudah mulai banyak yang melakukannya, maupun yang terkait dengan pembaharuan Islam yang dilancarkan kaum Paderi di awal abad XIX. Adapun kajian dan penelitian tentang Kaum Paderi, antara lain: Elizabeth E. Graves dengan judul disertasinya The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule in the Nineteenth Century.62 Karya Graves ini merupakan sumbangan yang sangat berharga, terutama untuk mengisi pengetahuan kita yang selama ini amat terbatas tentang masyarakat Minangkabau pada abad ke-19, khususnya mengenai interaksi Minangkabau dengan kekuatan politik dan ekonomi Belanda,63 selain tentunya pembaharuan pendidikan pada abad 19 di

62 Sekarang disertasi Elizabeth E. Graves ini telah diterbitkan dalam edisi Bahasa Indonesia.Elizabeth E. Graves, Asal-Usul Elite Minangkabau Modern – Respons terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX.alih bahasa Novi Andri dkk (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007). 63 Graves, Asal-Usul Elite Minangkabau Modern, ix.

14

Minangkabau.64 Melalui karyanya ini, Graves bermaksud memberikan analisis tentang reaksi bumiputra terhadap kekuasaan kolonial Belanda di Minangkabau, khususnya berkenaan dengan perkembangan abad ke-19, saat kekuasaan Belanda mulai mantap di Sumatera. Namun sumber data yang digunakannya kebanyakan berasal dari arsip Belanda, yang notabenenya kurang memahami Islam dari perangkat-perangkat hukum dan ajarannya. Oleh sebab itu, ia jelas tidak menyentuh masalah pewarisan di akhir abad XIX seperti yang menjadi objek penelitian penulis ini. Di sisi lain, Christine Dobbin melalui hasil penelitiannya, Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy, Central Sumatra 1784-1847, juga mengangkat tema disekitaran Minangkabau, yang dikhususkannya dengan memandang dari sudut perubahan sosial dan perkembangan ekonomi masyarakat Minangkabau pada abad XIX. Karena pokok pembahasannya adalah dari sudut ini, maka kesimpulannya tentu yang berhubungan dengan itu. Lagi pula Dobbin membatasi kajiannya pada rentang waktu 1784-1847 M, sedangkan konteks kajian penulis berlatar dari tahun permulaan Paderi hingga ke generasi akhir Paderi di penghujung abad ke XIX. Selanjutnya, dalam penelitian Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942,65 menekankan analisa tentang peranan politik organisasi Islam. Lagi pula kajiannya untuk waktu abad XX (1900-1942). Karenanya, tidak begitu menyentuh permasalahan Paderi. Sama halnya dengan karya klasik Taufik Abdullah yang berjudul Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatera (1927-1933), merupakan gerakan pembaharuan kaum Muda di Minangkabau (Sumatera Barat) yang diawali dengan munculnya sekolah- sekolah sebagai wadah dan perpanjangan tangan kaum Muda di bidang politik. Kecuali itu, kajiannya juga dalam rentangan waktu abad XX. begitu juga halnya dengan sebuah karya Azra, The Rise and Decline of the Minangkabau Surau: A Traditional Islamic Educational Institution in during the Dutch Colonial Period,66 dimana kajiannya tentang Minangkabau lebih banyak di tumpahkannya pada surau sebagai bangunan peninggalan kebudayaan masyarakat setempat sebelum datangnya Islam, dan segera menemukan jati dirinya setelah masuknya Islam, yakni sebagai tempat belajar mangaji Al-Qur’an, belajar agama, tempat upacara-upacara yang berkaitan dengan agama, tempat suluk, tempat berkumpul dan berapat, tempat penginapan musafir, tempat berkasidah/bergambus,

64 Graves, Asal-Usul Elite Minangkabau Modern,151-240. 65 Buku ini merupakan disertasinya pada Universitas Cornell, Amerika Serikat, yang kemudian diterbitkan sebagai Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900- 1942 (Jakarta: LP3ES, 1982). 66 Buku ini semula merupakan Tesis MA-nya pada Department of Middle Eastern Languages and Cultures, Columbia University, New York, 1988, setelah beberapa waktu lamanya, akhirnya diterbitkan sebagai Azyumardi Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, terj. Iding Rasyidin (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2003).

15

dan lainnya.67 Walaupun surau, lanjut Azra, masih bertahan hingga gerakan Paderi dan peperangan panjangnya menyerang surau dan tarekat-tarekatnya.68 Namun tetap saja pembahasan Paderi hanya selayang pandang saja. sama halnya dengan Deliar Noer dan Taufik Abdullah, Azra menyinggung Paderi di kurun akhir abad XIX hanya sambil lalu saja. Selanjutnya pembahasan masalah perkawinan/nikah dan waris dapat ditemukan penjelasannya dalam beberapa buku dan penelitian, diantaranya: kita setidaknya bisa menyebut Peunoh Daly (1982), yang menulis disertasi berjudul ‘Hukum Nikah, Talak Rujuk, Hadanah dan Nafkah dalam Naskah Mir’at At-Tullab Karya Syeikh Abdur Rauf Singkel: Suatu Perbandingan Hukum Islam Menurut Ahlus Sunnah Wal Jam’ah. Dimana korpus utama disertasinya tersebut adalah naskah keagamaan hasil karya tulis seorang ulama Melayu Nusantara terkemuka, yakni Abdurrauf ibn Ali al-Jawi al-Sinkili, atau yang dalam disertasi di atas disebut sebagai Abdurrauf Singkel.69 Akan tetapi Peunoh Daly ini tidak melakukan telaah filologis melalui suntingan teks (tahqiq), melainkan memanfaatkan sumber primer naskah untuk kajian hukum Islam yang menjadi minat utamanya.70 Dalam penelitian ini, Peunoh Daly mengatakan bahwa masalah-masalah perkawinan yang dikembangkan pembahasannya di sini ialah yang pokok-pokok masalahnya terdapat dalam naskah Mir’at At-Tullab bagian nikah, talak, rujuk, nafkah dan hadanah, seperti tercantum dalam bagian ikhtisar naskah Mir’at At-Tullab.71 Th.W. Juynboll dengan judul, Handleiding tot de kennis van De Mohammedansche Wet volges de leer der Sjafitische School (Pedoman untuk pengetahuan Hukum Islam berdasarkan ajaran mazhab Syafi’i), cetakan pertama tahun 1930. Di dalamnya dibicarakan mengenai Al-Qur’an, hadits, fiqih, usul fiqih, syari’ah, shalat dan shalat-shalat ritual, shalat wajib dan sunat, zakat, puasa dan lain-lain, haji, kebiasaan keagamaan dan kewajiban hidup perkawinan, hukum perkawinan, hak keluarga dan hak perorangan, hak perwakilan, hak pewarisan, hukum perdagangan dan perjanjian dan lain-lain, kewajiban hukum dan sanksi hukum, dan terakhir mengenai aturan-aturan yang mempunyai sifat-sifat politik.72 Akhir-akhir ini, Apria Putra menulis tesis dengan judul Naskah Catatan Haji Rasul: Dinamika Intelektual Kaum Muda Minangkabau Awal Abad XX.73 yang sebelumnya telah didahului juga oleh, M. Sanusi Latief dan Burhanuddin,

67 Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional, 9. 68 Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional, 80. 69 Fathurahman dkk, Filologi dan Islam Indonesia, 106. 70 Fathurahman, Filologi Indonesia: Teori dan Metode, 58. 71 Peunoh Daly,”Hukum Nikah, Talak, Rujuk, Hadanah dan Nafkah Kerabat dalam Naskah Mir’at al-Tullab Karya Abd Al-Rauf Sinkel: Suatu studi perbandingan Hukum Islam menurut Ahlussunnah” Disertasi Fakultas Syari’at Institut Agama Islam Negeri Al- Jami’ah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah Jakarta, 1982, 498. 72 Th.W. Juynboll, dalam Uka Tjandrasasmita, Kajian Naskah-naskah Klasik, 103. 73 Apria Putra, “Naskah Catatan Haji Rasul: Dinamika Intelektual Kaum Muda Minangkabau Awal Abad XX”, Tesis Pengkajian Islam Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014, 25-27.

16

masing-masing menulis disertasi dengan judul Gerakan Kaum Tua di Minangkabau (1907-1969)74 dan Sumatera Thawalib Dalam Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam di Sumatera Barat. Ketiga studi diatas adalah kajian abad XX. mereka membicarakan Paderi dan abad XIX hanya selayang pandang saja. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dengan kaum Paderi sebagai sebuah gerakan pembaharuan keagamaan yang pertama kali muncul di Minangkabau, maupun mengenai nikah dan waris, maka dapat dikemukakan posisi tesis ini untuk mengisi kekurangan mengenai aspek-aspek yang masih kurang tergali selama ini dari gerakan Paderi yang bersumber dari naskah yang ditulis oeh Haji Yusuf asal Lima Kaum ini, yang tak lain adalah Risalah-Risalah Fikih Haji Yusuf. Dan tentunya penelitian-penelitian yang tersebut diatas, tidak dapat tidak, akan memperkaya dan merupakan khazanah yang penting untuk bahan bandingan studi ini. Kekhususan penelitian ini terletak pada model penerapan hukum nikah dan waris di penghujung kekuasaan Paderi yang ditinjau dari sudut pemikiran dalam Islam dan pendekatan sejarah sosial-intelektual. G. Metodologi Penelitian Ketepatan penggunaan metodologi dalam sebuah penelitian adalah suatu keharusan. Penggunaan metode yang tepat akan menghasilkan temuan yang tepat. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini meliputi jenis dan, sumber data, teknik pengumpulan, analisis dan interpretasi data.75 Ditinjau dari jenisnya, penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research), yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan macam-macam material yang terdapat di ruang perpustakaan, seperti buku-buku, naskah-naskah, catatan, majalah, kisah sejarah, dokumen-dokumen, dan lain-lain.76 Khususnya penelitian kepustakaan dengan menggunakan pendekatan filologi. Pendekatan filologi dilakukan untuk memperlakukan sumber data dalam bentuk naskah dengan langkah kerja seperti inventarisasi, deskripsi, perbandingan. Kemudian dilanjutkan dengan edisi teks Idhah al-Ba>b Limuri>d an-Nika>h bi as-Sawa>b dan edisi teks Gha>yah at-Taqri>b fi> al- Arath wa at-Ta’si>b, yang terdapat dalam naskah Risalah-Risalah Fikih Haji Yusuf ini. Risalah-Risalah Fikih Haji Yusuf diperlakukan sebagai naskah tunggal (codex unicus). Sejauh kegiatan inventarisasi yang penulis lakukan terhadap naskah lain, baik itu melalui katalog naskah, buku-buku yang mengupas naskah Risalah-Risalah Fikih Haji Yusuf ini, koleksi museum maupun masyarakat, tidak/belum ditemukan varian lain dari Risalah-Risalah Fikih Haji Yusuf. Karena

74 M. Sanusi Latief, “Gerakan Kaum Tua di Minangkabau”, Disertasi pada IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1988, 280. 75 Yusri Akhimuddin, “Naskah-naskah Gempa: Perspektif Orang Melayu Minangkabau Tentang Gempa Bumi” Tesis Pengkajian Islam Konsentrasi Filologi Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 22. 76 Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial (Bandung: Mandar Maju, 1996), 43.

17

itu Risalah-Risalah Fikih Haji Yusuf yang berasal dari Surau Tanjung Batang Kapeh ini menjadi satu-satunya sumber yang dijadikan obyek penelitian ini. Apabila peneliti hanya menemukan satu naskah untuk teks yang ingin diedit, maka hanya terdapat dua pilihan, yaitu: mengadakan edisi diplomatik atau eidsi standar.77 Pertama, edisi diplomatik, yaitu menerbitkan suatu naskah yang seteliti-telitinya tanpa mengadakan perubahan. Dalam bentuknya yang paling sempurna, edisi diplomatik dapat diproduksi dengan fotografi, disebut pula “faksimile”. Metode diplomatik ini dianggap paling murni karena tidak ada hasil penambahan oleh editornya.78 Dengan demikian edisi diplomatik tidak bertujuan untuk menghadirkan teks yang memiliki bacaan terbaik (best reading), melainkan untuk menyajikan teks apa adanya. Kedua, edisi kritis, berbeda dengan edisi diplomatik, edisi kritis adalah hasil olah penyunting yang menginginkan terbentuknya sebuah teks dengan kualitas bacaan yang terbaik (best reading). Dalam penerapan metode ini, seorang penyunting tidak akan membiarkan sebuah naskah ‘apa adanya’, terutama jika terdapat bagian-bagian yang menurut keyakinan penulis tidak patut, atau menyimpang dari kaedah-kaedah bahasa yang diyakini.79 Sungguhpun demikian yang harus diingat bahwa editor harus bertanggungjawab terhadap semua perbaikan atau penafsiran yang diadakan, dan harus menyebutkan sumbernya, apakah berdasarkan kaidah gramatika, atau fakta sejarah, dan sebagainya.80 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kritis dalam penyuntingan teks yang terdapat dalam naskah Risalah-Risalah Fikih Haji Yusuf. Kata-kata yang dipandang keliru akan dibetulkan dengan memberi catatan kaki. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pembaca menelaah teks dan memahaminya secara lebih mudah dan cepat. Dalam teks sebuah naskah umumnya terdapat banyak kata dan istilah yang mungkin mengganggu pembaca, oleh karenanya perlu diberi penjelasan lebih lanjut mengenai kata-kata dan istilah tersebut.

Adapun langkah kerja yang akan dilakukan adalah: 1. Inventarisasi naskah yaitu mengidentifikasi keberadaan naskah yang mempunyai teks sekorpus.81 Yang dimaksudkan sebagai upaya secermat- cermatnya dan semaksimal mungkin untuk menelusuri dan mencatat keberadaan naskah yang memuat salinan dari teks yang akan kita kaji.82 Dengan cara menelusuri keberadaan naskah lain melalui katalogus naskah, tempat- tempat penyimpanan naskah yang diduga memiliki koleksi naskah-naskah yang sama, serta penelusuran terhadap naskah yang masih berada di tangan masyarakat.

77 Nabilah, Naskah Teks dan Metode Penelitian Filologi, 101. 78 Uka Tjandrasasmita, Kajian Naskah-naskah Klasik, 27. 79 Fathurahman dkk, Filologi dan Islam Indonesia, 21. 80 Nabilah, Naskah Teks dan Metode Penelitian Filologi, 101. 81 Robson, Prinsip-Prinsip Filologi Indonesia, 22. 82 Fathurahman, Filologi Indonesia: Teori dan Metode,74.

18

2. Pemerian (deskripsi) naskah yaitu menyajikan informasi tentang fisik naskah yang menjadi objek penelitian.Yakni melakukan identifikasi, baik terhadap kondisi fisik naskah, isi teks, maupun identitas kepengarangan dan kepenyalinannya dengan tujuan untuk menghasilkan sebuah deskripsi naskah dan teks secara utuh.83

3. Deskripsi isi yaitu mengungkapkan isi kandungan teks. hal ini bertujuan agar pembaca bisa memahami isi kandungan teks Idhah al-Ba>b Limuri>d an-Nika>h bi as-Sawa>b dan edisi teks Gha>yah at-Taqri>b fi> al-Arath wa at-Ta’si>b, yang terdapat dalam naskah Risalah-Risalah Fikih Haji Yusuf, atau minimal mendapat gambaran tentang sekelumit isi pembahasannya.

4. Suntingan teks, yaitu upaya memberi penjelasan dan membebaskan teks dari segala kesalahan agar teks dapat dipahami dengan jelas. Atau dengan kata lain menyiapkan teks yang bisa dibaca dan dipahami oleh khalayak luas.84

5. Analisis yaitu mengelaborasi lebih jauh isi dan kandungan teks Idhah al-Ba>b Limuri>d an-Nika>h bi as-Sawa>b dan edisi teks Gha>yah at-Taqri>b fi> al-Arath wa at-Ta’si>b, yang terdapat dalam naskah Risalah-Risalah Fikih Haji Yusuf dan melakukan kontekstualisasi.

Penulis menggunakan pendekatan filologi untuk mendeskripsikan naskah, menyajikan edisi kritis dan mengungkapkan isi teks tentang nikah dan waris. Sedangkan pendekatatan sejarah sosial-intelektual penulis gunakan sebagai “pisau“ analisis terhadap isi naskah Risalah-Risalah Fikih Haji Yusuf, penulis juga merujuk kepada beberapa naskah mengenai masalah-masalah yang terkait dengan pembahasan, yaitu masalah perkawinan/nikah dan waris. Karena fokus pembahasan dalam penelitian ini adalah tentang konsep nikah dan waris oleh Haji Yusuf pada tahun 1870 M di Minangkabau, maka penelitian ini akan ditempatkan dalam konteks keislaman paroh akhir abad XIX di Minangkabau yang meliputi pembicaraan tentang agenda pemurnian Islam dan kembalinya agama yang Syari’ah (Fikih) oleh para pemurni dari kaum Paderi. Untuk melakukan analisis dan kontekstualisasi terhadap teks yang terdapat dalam naskah Risalah-Risalah Fikih Haji Yusuf, maka akan digunakan sejarah sosial- intelektual, yaitu sebuah kajian atau analisis terhadap faktor-faktor bahkan ranah- ranah sosial yang mempengaruhi terjadinya peristiwa-peristiwa sejarah itu sendiri.85 Pendekatan sejarah sosial-intelektual akan menjadi alat untuk mengeksplorasi teks naskah dalam penelitian ini, sehingga informasi yang terdapat

83 Fathurahman, Filologi Indonesia: Teori dan Metode, 77. 84 Fathurahman, Filologi Indonesia: Teori dan Metode, 88. 85 Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002), 4.

19

dalam naskah Risalah-Risalah Fikih Haji Yusuf bisa ditempatkan dalam konteks yang tepat. Penempatan Risalah-Risalah Fikih Haji Yusuf dalam sosial-intelektual dapat dipahami dari pengaruh yang telah ditancapkan Paderi di kancah Minangkabau, bahkan juga Nusantara. Dinamika perubahan orientasi keagamaan dari yang Ma’rifah/Tarekat kepada yang berorientasi Syari’ah/Fiqhiyah/Fiqih menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan sosial tersebut, yang menjadikannya sebagai salah satu faktor penentu sejarah Islam di Nusantara.

H. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penelitian ini terdiri dari : Bab I merupakan pendahuluan, pada bab ini akan dijelaskan tentang latar belakang pentingnya kajian terhadap naskah Risalah-Risalah Fikih Haji Yusuf secara khusus, dan menghubungkannya dengan perkembangan orientasi kaeagamaan ke arah Islam Fiqhiyah di Nusantara secara umum. Dalam bagian ini juga dijelaskan beberapa rumusan yang bersifat teoritis dan metodologis seperti, latar belakang masalah, identifikasi masalah, perumusan dan batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan kepustakaan, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Bab II berisi landasan teori. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori filologi dan sejarah sosial-intelektual serta teori tantangan dan perubahan sosial. Filologi digunakan untuk mengungkap atau menghasilkan suntingan teks, sedangkan sejarah sosial-intelektual, tantangan dan perubahan sosial adalah untuk mengekplorasi dan menempatkan teks berdasarkan konteksnya. Bab III disini penulis akan memaparkan tentang keadaan masyarakat Minangkabau pada masa revolusi Paderi. Dalam bab ini akan dibahas poin-poin bahasan mencakup posisi kaum adat di kerajaan Minangkabau, kita akan melihat bagaimana posisi Rajo Tigo Selo itu dalam kenyataan yang terjadi di masyarakat. Penulis juga akan memaparkan model propaganda keagamaan yang dilancarkan Paderi di Tanah Datar, selanjutnya persatuan kaum adat dan Paderi yang berimbas pada koalisi mereka dalam melawan kolonial Belanda. Bab IV pada bagian ini penulis akan memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan naskah, baik itu dari aspek fisik naskah, biografi penulis naskah, dan semua hal yang berkaitan dengan naskah Risalah-Risalah Fikih Haji Yusuf. Bab V pada bab ini penulis akan menyajikan edisi teks Idhah al-Ba>b Limuri>d an-Nika>h bi as-Sawa>b dan edisi teks Gha>yah at-Taqri>b fi> al-Arath wa at- Ta’si>b, yang terdapat dalam naskah Risalah-Risalah Fikih Haji Yusuf. Bab ini terdiri dari pengantar edisi, mencakup hal-hal yang perlu diperhatikan dalam edisi teks tersebut, kemudian dilanjutkan dengan memaparkan pertanggungjawaban edisi dan edisi teks. Bab VI pembahasan pada bab ini boleh dibilang sebagai bab inti kedua, adapun yang akan dibahas disini adalah Sumbangan pemikiran Paderi terhadap masyarakat Minangkabau akhir abad XIX, Metode, Aktifitas, dan Objek Dakwah Paderi, dan juga akan kita ulas mengenai lahirnya Paderi generasi akhir.

20

Bab VII adalah penutup yang berisi kesimpulan untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan penelitian dan saran-saran kepada pihak-pihak yang berkaitan dengan penelitian ini.

21