TRADISI LISAN PASAMBAHAN MANJAPUIK MARAPULAI DALAM KONTEKS UPACARA ADAT PERKAWINAN MINANGKABAU DI SUNGAI GARINGGING, PARIAMAN
DISERTASI
OLEH
SRIMAHARANI TANJUNG NIM: 138107006 PROGRAM DOKTOR (S3) LINGUISTIK
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
TRADISI LISAN PASAMBAHAN MANJAPUIK MARAPULAI DALAM KONTEKS UPACARA ADAT PERKAWINAN MINANGKABAU DI SUNGAI GARINGGING, PARIAMAN
DISERTASI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor dalam Program Doktor Linguistik pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara di bawah pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. untuk dipertahankan di hadapan sidang Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara
Oleh
SRIMAHARANI TANJUNG NIM: 138107006 PROGRAM DOKTOR (S3) Linguistik
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Diuji pada Ujian Disertasi Terbuka (Promosi) Tanggal: 25 Januari 2019
PANITIA PENGUJI DISERTASI Pemimpin Sidang: Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. (Rektor USU) Ketua : Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. (USU Medan) Anggota : Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. (USU Medan) Dr. Muhammad Takari, M.Hum. (USU Medan) Prof. Robert Sibarani, M.S. (USU Medan) Dr. Eddy Setia, M.Ed. TESP. (USU Medan) Dr. Mulyadi, M.Hum. (USU Medan) Prof. Dr. Oktavianus, M.Hum. (UNAND)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
TRADISI LISAN PASAMBAHAN MANJAPUIK MARAPULAI DALAM KONTEKS UPACARA ADAT PERKAWINAN MINANGKABAU DI SUNGAI GARINGGING, PARIAMAN
ABSTRAK Penelitian ini berkaitan dengan tradisi manjapuik marapulai pada adat perkawinan Minangkabau. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bentuk performansi, kearifan lokal, serta model revitalisasi dari tradisi manjapuik marapulai. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis Wacana Kritis yang dikemukan oleh Van Dijk (1987),Semiotik oleh Charles Sanders Pierce 1982, fungsi oleh Malinowski (1987) dan performansi yang dikemukan oleh Ruth Finnegan (1992). Metode penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Untuk mendapatkan informasi yang diperlukan, peneliti mengumpulkan data lapangan yang berada di Kecamatan Sungai Geringing, Kabupaten Pariaman dengan menggunakan teknik observasi non parsipatori dan wawancara mendalam kepada 7 (tujuh) orang informan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa performansi tradisi lisan manjapuik marapulai merupakan prosesi menjemput pengantin laki-laki yang umumnya dilaksanakan setelah akad nikah yang dilakukan oleh utusan keluarga pengantin perempuan yang datang secara adat. Kegiatan ini berlangsung dengan melakukan sambah yang dilakukan oleh utusan atau juru bicara dari kedua belah pihak keluarga yang tidak terlepas dari unsur teks, ko-teks dan konteks. Makna tradisi manjapuik marapulai ini adalah penghargaan yang diberikan oleh keluarga anak daro kepada keluarga marapulai. Fungsinya adalah (1) untuk menaikkan harkat dan martabat urang sumando sebagai, (2) untuk menghibur dalam rangka membesarkan hati keluarga marapulai yang ditinggalkan, (3) untuk mempersatukan kedua keluarga, (4) sebagai bukti dari pengakuan masyarakat terhadap status sosial, dan (5) bagi keluarga anak daro adalah sebagai pembuktian gengsi sosial. Nilai yang terdapat dalam tradisi ini adalah: nilai etika, estetika dan kepercayaan, dan norma yang terdapat adalah: agama, kesopanan, kesusilaan dan hukum adat. Maksim kesantunan yang terdapat pada tradisi ini adalah: kebijaksanaan, penerimaan, kemurahan, kerendahan hati, kecocokan dan kesimpatian. Dalam rangka untuk merevitalisasi tradisi pasambahan manjapuik marapulai ini dapat dilakukan melalui tiga (3) tahapan, yakni: mengaktifkan, mengelola dan mewariskan. Mengaktifkan dilakukan dengan cara mensosialisasikan budaya Minangkabau melalui pendidikan, memfungsikan kembali proses tradisi, dan membentuk organisasi kepemudaan. Mengelola dapat dilakukan dengan cara mengelola waktu pelatihan, mempromosikan, dan mengikutsertakan pemuda dalam rangkaian acara. Mewariskan dapat dilakukan melalui penyiaran radio, penayangan acara adat di Televisi lokal, pemasangan iklan cinta budaya dan melakukan inventarisasi.
Kata kunci: Tradisi Lisan, Pasambahan, Manjapuik marapulai, Minangkabau
i
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
THE ORAL TRADITION OF MANJAPUIK MARAPULAI IN CONTEXT OF MINANGKABAU WEDDING CEREMONY IN SUNGAI GARINGGING, PARIAMAN
ABSTRACT
The research pertains to the tradition of manjapuik marapulai in Minangkabau wedding ceremonial. The purpose of this research is to describe the performance, local wisdom and revitalization of manjapuik marapulai tradition. Theories which are used in this research are: Critical discourse analysis by Van Dijk (1987), Semiotics by Charles Sanders Pierce (1982), Fungsionalism by Malinowski (1987) and Performance by Ruth Finnegan (1992). This research is qualitative descriptive. To gather some information needed, the researcher collects the field data which is found in Kecamatan Sungai Geringging, Kabupaten Pariaman by using observation technique and in depth interview to sevent (7) informants. The result of the research shows that the oral tradition of manjapuik marapulai performance is a kind of prosession to pick up the groom where generally held after the marriage contract (akad nikah) has done. This performance takes place by doing sambah (speech) that performed by the spokesman from each family. The pasambahan can not be separated from three elements important point, such as: text, co-text, and context. The meaning of manjapuik marapulai tradition is an awards given by the bride‟s family to the groom‟s family. Meanwhile, the function of manjapuik marapulai tradition are (1) as a way to increase the dignity of urang sumando as a comer in their wife‟s family, (2) as a way to hearten the groom‟s family left behind. (3) as a way to unite both family, (4) as an evidence of society recognition of social status, and the last (5) to bride‟s family is as an evidence social prestige. The value in this tradition are: ethic, esthetic, and belief, while the norms are: religion, courtesy, decency, and customary law. In order to revitalize of manjapuik marapulai tradition, it can be done by 3 stages, they are: activating, managing, and in heritance. Activating can be done by socialize the Minangkabau culture through education, to re-function the process of tradition, and to create the youth organization. Managing can be done by setting up the training schedule, promoting and to invite the youth in series of custom event. Heritance can be done by using radio broadcasting, television show: traditional event, framing the “love culture” ads, and inventory.
Keywords: oral tradition, pasambahan, manjapuik marapulai, Minangkabau.
ii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR
Dengan Nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Puji dan syukur tiada terhingga penulis panjatkan kepada Allah SWT atas semua rahmat, berkah dan kesehatan yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini. Untuk itu penulis ucapkan rasa syukur Kehadirat-Nya seraya mengucapkan puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Dengan selesainya penulisan disertasi ini yang merupakan salah satu persyaratan akademik guna memperoleh gelar Doktor dalam Program Studi Lingusitik Universitas Sumatera Utara (USU). Adapun Judul yang diangkat dalam disertasi ini adalah “Tradisi Lisan Pasambahan Manjapuik Marapulai dalam Konteks Upacara Adat Perkawinan Minangkabau di Sungai Garingging, Pariaman”. Dengan selesainya penulisan disertasi ini, ucapan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu baik dalam proses penelitian maupun selama proses penulisan. Ucapan terimakasih ini penulis sampaikan kepada: 1. Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D., yang telah meluangkan banyak waktu dan memberikan banyak masukan serta motivasi baik dalam penyelesaian disertasi ini maupun dalam mendalami proses keilmuan selama kuliah. 2. Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si., yang telah memberikan motivasi dan arahan selama proses penyelesaian disertasi. 3. Bapak Dr. Muhammad Takari, M.Hum., yang telah memberikan motivasi dan arahan selama proses penyelesaian disertasi. 4. Bapak Prof. Runtung Sitepu, M.Hum., sebagai Rektor Universitas sumatera Utara. 5. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S., sebagai Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas sumatera Utara yang telah memberikan persetujuan untuk melaksanakan siding disertasi terbuka (promosi).
iii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
6. Bapak Prof. Robert Sibarani, M.S, sebagai Direktur Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Ketua Asosiasi Tradisi Lisan Sumatera Utara dan juga sebagai Penguji yang telah memberikan saran dan kritikan dalam penulisan disertasi ini ke arah yang lebih baik. 7. Bapak Dr. Eddy Setia, M.Ed. TESP., sebagai Ketua Program Studi Doktor Linguistik (S3) Fakultas Ilmu Budaya Universita Sumatera Utara dan penguji yang telah memberikan motivasi dan saran dalam penulisan disertasi ini. 8. Bapak Dr. Mulyadi, M.Hum., sebagai Sekretaris Program studi Doktor Linguistik (S3) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara dan juga sebagai penguji yang telah memberikan banyak masukan dan dorongan dalam penyelesaian disertasi ini. 9. Bapak Prof. Dr. Oktavianus, M.Hum. sebagai Penguji Luar Komisi yang telah memberikan masukan dalam penyelesaian disertasi ini. 10. Bapak dan Ibu dosen pada Program Studi Doktor Lingusitik (S3) Fakultas Ilmu Budaya Universitas sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya selama masa studi. 11. Seluruh staf administrasi dan perpustakaan Program Studi Doktor Linguistik (S3) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara atas bantuan yang diberikan selama masa studi dan penulisan disertasi. 12. Ayah (alm) H. Jamiuddin Tanjung, Ibu Hj. Syamsiar Marbun, seluruh kakak dan abang; Rosmawar Tanjung, Rosliana Tanjung, Ida Syafitri Tanjung, Lili Andriani Tanjung, Laila Novriyanti Tanjung, Hasrat Syah Putra Tanjung, Elvi Ardiana Tanjung, dan Dian Puspita Tanjung yang menjadi inspirator untuk tetap semangat dalam menyelesaikan studi. 13. Suami tercinta Burt Reynold Khairil Ramadhan Harahap dan anak- anak; Dio Rey Pratama Harahap, Nabila Aira Kireyni Harahap, dan Dhika Prawira Harahap yang telah memotivasi dan mendampingi selama proses penelitian, penyelesaian studi dan disertasi.
iv
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
14. Seluruh teman-teman Angkatan 2013 yang telah memberikan semangat dan motivasi selama masa perkuliahan dan penyelesaian disertasi. 15. DIRJEN DIKTI Kementrian Riset dan Pendidikan Tinggi yang telah memberikan beasiswa BPPS untuk masa studi 2013 sampai dengan 2016. 16. Bapak Prof. Dian Armanto, M.Pd., M.A., M.Sc., Ph.D., sebagai Kordinator kopertis Wilayah I Sumatera Utara yang telah memberikan izin dan tugas belajar pada Program Studi Doktor (S3) Linguistik Universitas Sumatera Utara. 17. Bapak H. Syahrul Hadi Lubis, sebagai Pimpinan Yayasan Al-Iman Padangsidimpuan yang telah memberikan izin dalam penyelesaian studi. 18. Bapak Drs. H. Mhd. Nau Ritonga, M.M sebagai Rektor Institut Pendidikan Tapanuli Selatan yang telah memberikan izin dalam penyelesaian studi. 19. Seluruh Civitas Akademika Institut Pendidikan Tapanuli Selatan yang senantiasa memberikan motivasi dalam penyelesaian masa studi. 20. Kepada seluruh informan yang telah meluangkan waktu dan memberikan banyak informasi yang diperlukan selama penelitian. 21. Ibu Prof. Dr. Pudentia MPSS, sebagai Ketua Asosiasi Tradisi Lisan Pusat yang memberikan inspirasi penelitian di bidang tradisi lisan.
Medan, Januari 2019
Srimaharani Tanjung
v
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RIWAYAT HIDUP
IDENTITAS DIRI Nama : Srimaharani Tanjung Tempat dan Tanggal Lahir : Sibolga, 6 Desember 1984 Jenis Kelamin : Perempuan Status Perkawinan : Kawin Agama : Islam Perguruan Tinggi : Institut Pendidikan Tapanuli Selatan Alamat : Jl. Batang Ayumi Jae. Padangsidimpuan Kab. Tapanuli Selatan Unit Kerja : Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Program Studi Bahasa Inggris Jabatan Fungsional : Asisten Ahli Alamat Rumah : Kalangan, Kecamatan Pandan. Kabupaten Tapanuli Tengah. Alamat Surel : [email protected]
PENDIDIKAN Tahun Program Pendidikan Perguruan Tinggi Jurusan/ Program Lulus Studi 1996 SD Negeri Pandan - - 1999 MTs Negeri - - Sibolga 2002 SMK Nasional - - Padang 2007 S1 Universitas Bung Pendidikan Bahasa Hatta Padang Inggris 2010 S2 Universitas Negeri Linguistik Terapan Medan Bahasa Inggris 2018 S3 Universitas Linguistik Sumatera Utara
vi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENGAJARAN 2010 – 2011 Dosen Luar Biasa Fakultas Ilmu Pendidikan Al-Wasliyah Rantau Perapat 2011- sekarang Dosen Tetap Yayasan Institut Pendidikan Tapanuli Selatan (IPTS) Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris.
PUBLIKASI No Jurnal/ Prosiding Tahun
1 „Gender dalam Mengekspresikan Kesantunan‟ pada 2015 Prosiding Konferensi Nasional Pasca Sarjana Program Linguistik ke-1, Universitas Sumatera Utara
2 „Manjapuik Marapulai sebagai Tradisi Minangkabau, 2016 Sumatera Barat‟ pada Prosiding Konferensi Nasional Pasca Sarjana Program Linguistik ke-2, Universitas Sumatera Utara
3 „The Tradition of Manjapuik Marapulai in Minangkabau Culture‟ pada International Conference on Language and 2018 Literature (ICLL)
4 „The Tourismn Management Based Culture through the Pasambahan show in Pariaman, West Sumatera‟ pada 2018 International Conference on Natural Resources and Development Sustainable
5 „Revitalization of Manjapuik Marapulai Tradition in Minangkabau Marriage Costums‟ pada International 2018 Journal
vii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...... i ABSTRACT ...... ii KATA PENGANTAR ...... iii RIWAYAT HIDUP ...... vi DAFTAR ISI ...... viii DAFTAR BAGAN ...... xi DAFTAR TABEL ...... xii DAFTAR GAMBAR ...... xiii DAFTAR LAMPIRAN ...... xiv
BAB I PENDAHULUAN ...... 1 1.1 Latar Belakang ...... 1 1.2 Rumusan Masalah ...... 8 1.3 Tujuan Penelitian ...... 9 1.4 Manfaat Penelitian ...... 9 1.5 Penjelasan Istilah ...... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...... 13 2.1 PendekatanAntropolinguistik ...... 13 2.1.1 Performansi ...... 17 2.1.2 Teks ...... 19 2.1.3 Ko-Teks ...... 20 2.1.4 Konteks ...... 22 2.2 Tradisi Lisan ...... 24 2.2.1 Falsafah Masyarakat Minangkabau ...... 30 2.2.2 Perkawinan Adat Minangkabau ...... 36 2.2.3 Upacara Manjapuik Marapulai Adat Perkawinan Minangkabau di Pariaman ...... 44 2.2.3.1 Makna dan Fungsi Tradisi Manjapuik Marapulai 46 2.2.3.2 Norma dan Nilai Tradisi Manjapuik Marapulai .. 48 2.2.4 Pasambahan (Pidato Adat) ...... 50 2.3 Kajian Teori ...... 52 2.3.1 Analisis Wacana Kritis ...... 52 2.3.2 Semiotik ...... 56 2.3.3 Fungsi ...... 58 2.4 Kearifan Lokal ...... 59 2.5 Revitalisasi Tradisi lisan Manjapuik Marapulai pada Upacara Perkawinan Adat Pariaman ...... 62 2.6 Kajian yang Relevan 64 2.7 Kerangka Konsep ...... 68
viii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB III METODE PENELITIAN ...... 70 3.1 Metode Penelitian ...... 70 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ...... 73 3.3 Sumber Data ...... 74 3.4 Metode Pengumpulan Data ...... 76 3.5 Metode Analisis Data ...... 81 3.6 Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ...... 83
BAB IV GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN DI KECAMATAN SUNGAI GERINGGING ...... 86 4.1. Deskripsi Latar penelitian ...... 86 4.1.1 Provinsi Sumatera Barat ...... 86 4.1.2 Kabupaten Pariaman ...... 99 4.1.3 Kecamatan Sungai Geringging ...... 91 4.1.3.1 Penduduk dan Mata pencarian ...... 93 4.1.3.2 Adat dan Agama ...... 197 4.1.3.3 Struktur Sosial, Kekerabatan, dan Perkawinan ...... 100
BAB V PEMBAHASAN DAN TEMUAN PENELITIAN ...... 108 5.1 Performansi ...... 108 5.1.1 Bentuk Komunikasi ...... 109 5.1.2 Partisipan ...... 120 5.1.3 Bahan atau Alat yang digunakan ...... 126 5.1.4 Pelaksanaan Acara Manjapuik Marapulai ...... 129 5.2 Analisis Teks, Koteks dan Konteks ...... 138 5.2.1 Analisis Teks pada Pasambahan Manjapuik Marapulai .... 138 5.2.1.1 Struktur Makro (Tema) ...... 138 5.2.1.2 Struktur Alur (Superstruktur) ...... 139 5.2.1.3 Struktur Mikro ...... 147 5.2.2 Analisis Koteks pada Pasambahan Manjapuik Marapulai 152 5.2.2.1 Paralinguistik atau Suprasegmental153 5.2.2.2 Penjagaan Jarak (Proksemik)……… ...... 155 5.2.2.3 Unsur Material ...... 155 5.2.3 Analisis Konteks ...... 161 5.2.3.1 Konteks Budaya ...... 161 5.2.3.2 Konteks Sosial ...... 162 5.2.3.3 Konteks Situasi ...... 164 5.2.3.4 Konteks Ideologi ...... 165
BAB VI KEARIFAN LOKAL DAN TRADISI MANJAPUIK MARAPULAI ADAT PERKAWINAN ADAT MINANGKABAU ...... 167 6.1 Makna dan Fungsi Tradisi Manjapuik Marapulai ...... 167 6.1.1 Makna Tradisi Manjapuik Marapulai 167 6.1.2 Fungsi Tradisi Manjapuik Marapulai 172
ix
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
6.2 Nilai dan Norma Tradisi Manjapuik Marapulai ...... 179 6.2.1 Nilai Tradisi Manjapuik Marapulai ...... 179 6.2.1.1 Nilai Etika ...... 183 6.2.1.2 Nilai Estetika ...... 186 6.2.1.3 Nilai Kepercayaan ...... 191 6.3 Norma Tradisi Manjapuik Marapulai ...... 192 6.3.1 Norma Agama ...... 198 6.3.2 Norma Kesopanan ...... 201 6.3.3 Norma Kebiasaan ...... 203 6.4 Kearifan Lokal Tradisi Manjapuik Marapulai ...... 204 6.4.1 Kesopansantunan ………… ...... 206 6.4.2 Gotong Royong ...... 211 6.4.3 Musyawarah dan Mufakat ...... 213 6.4.4 Kesetiakawanan Sosial ...... 216 6.4.5 Rasa Syukur ...... 219
BAB VII MODEL REVITALISASI TRADISI MANJAPUIK MARAPULAI ADAT PERKAWINAN MINANGKABAU ..... 222
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN ...... 231 8.1 Simpulan ...... 231 8.2 Saran ...... 234
DAFTAR PUSTAKA ...... 236 DAFTAR ISTILAH ...... 243 LAMPIRAN ...... 246
x
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR BAGAN
No Judul Halaman
1 Kerangka Konsep 69 2 Sumber Data 76 3 Metode Pengumpulan Data 80 4 Alur Analisis Miles and Huberman 83 5 Triangulasi 85 6 Makna dan Fungsi Tradisi Manjapuik Marapulai di Minangkabau 179 7 Nilai dan Norma Tradisi Manjapuik Marapulai di Minangkabau 205 8 Model Revitalisasi Tradisi Manjapuik Marapulai Upacara Adat Perkawinan Minangkabau 230
xi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR TABEL
No Judul Halaman
1 Kearifan Lokal dalam Tradisi Manjapuik Marapulai Adat Perkawinan Minangkabau 220
xii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR GAMBAR
NO Judul Halaman 1 Peta Administrasi Provinsi Sumatera Barat 89 2 Peta Administrasi Kabupaten Pariaman 90 3 PetaKecamatan Sungai Geringging 93 4 Marapulai 121 5 Juru Bicara Anak Daro 123 6 Juru Bicara Marapulai 123 7 Orangtua Marapulai 124 8 Mamak marapulai dan Anak Daro 125 9 Etek, Saudara, Kerabat dan Tetangga Marapulai 125 10 Dua orang Pasumandan 126 11 Makanan dalam Tradisi Manjapuik Marapulai 160 12 Sirih dalam Carano 188 13 Baju Sapatagak 189 14 Taplak 189 15 Tabir 190 16 Pasumandan 191
xiii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR LAMPIRAN
No JUDUL Halaman
1 Identitas Informan 246 2 Daftar Pertanyaan Wawancara 247 3 Alur Pasambahan Tradisi Manjapuik Marapulai 249
xiv
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tradisi lisan merupakan warisan budaya nenek moyang yang merefleksikan karakter masyarakat pendukung tradisi tersebut. Signifikansi tradisi lisan dalam kehidupan manusia terbukti dari pemanfaatannya selama beberapa generasi secara turun temurun untuk menata kehidupan social budayasecara arif. Tradisi lisan tidak sekadar mencerminkan kehidupan budaya suatu kelompok masyarakat, penggalian nilai-nilai moral dalam tradisi lisan membawa fungsi sebagai pengendali perilaku manusia. Tataran ini menggambarkan fungsi tradisi lisan sebagai sarana pendidikan karakter yang berbasis pengetahuan dan kearifan lokal. Selain itu, masyarakat menjadikan tradisi lisan sebagai wadah untuk menyampaikan pesan-pesan dan nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai
“hukum” tak tertulis dan sumber pengetahuan.
Masyarakat Minagkabau memiliki tradisi Pasambahan yang mengandung muatan normatif yang dijadikan oleh masyarakat sebagai acuan dalam melaksanakan beberapa kegiatan sosial sebagai masyarakat yang berbudaya.
Pasambahan tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat
Minangkabau sejak ratusan tahun yang lalu.
Pasambahan memiliki perannya tersendiri dalam pelaksanaan prosesi adat, khususnya upacara manjapuik marapulai. Hal ini sesuai dengan ciri yang ada pada masyarakat Minangkabau dalam bertindak tutur dan berkomunikasi.
1
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pemilihan kata-kata yang digunakan pada saat berkomunikasi bagi masyarakat
Minangkabau, mencerminkan perilaku, sudut pandang atau pemikiran, dan keyakinan yang dianut oleh penuturnya. Selain itu, kata-kata yang digunakan pada saat berkomunikasi juga mengacu pada objek, peristiwa, dan segala sesuatu yang bersifat simbolik dan metaforik. Bahasa yang digunakan dalam proses pasambahan manjapuik marapulai bukanlah bahasa yang dipakai sehari- hari oleh masyarakat Minangkabau melainkan dengan menggunakan bahasa kiasan atau metafora. Metafora merupakan ungkapan kebahasaan yang membandingkan suatu benda dengan benda yang lainnya. Metafora sebagai bentuk kreatif makna dalam bahasa berkaitan dengan tuturan manusia yang memiliki kecenderungan untuk mempengaruhi emosi penutur dan lawan tuturnya. Dengan demikian, hal ini mencerminkan bahwa metafora tidak hanya menyangkut dengan bahasa saja melainkan menyangkut juga dengan kebudayaan dan cara berfikir manusia atau bahkan merupakan pandangan seseorang dalam komunitas masyarakat.
Dalam melakukan pasambahan, setiap orang yang melakukan sambah dituntut untuk saling menghargai dan menghormati pendapat atau maksud dari mitra tuturnya. Hal ini dilakukan adalah untuk meminimalisir apabila terdapat perbedaan pendapat antara kedua belah pihak yang bertutur. Dengan menggunakan bahasa kiasan artinya seseorang tetap akan merasa dihargai dalam prosesi acara yang berlangsung. Adapun bentuk kiasan atau metafora dapat terlihat adalah seperti, “Maaf dimintak sapuluah jari, karano lah rasah angku tagak mananti, maklumlah bajalan indak sadang salangkah, jalan
2
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
babelok bakeh lalu” (Maaf dengan sepuluh jari, karena tuan sudah berdiri menanti, maklum saja perjalanan kami bukan selangkah, jalan berbelok yang harus dilalui) hal ini berisi maksud permintaan maaf yang disampaikan oleh juru bicara anak daro yang kedatangan rombongannya telah dinanti oleh keluarga marapulai. Komunikasi seperti yang dikemukakan ini merupakan contoh komunikasi yang diutarakan secara tidak langsung yang mengandung unsur-unsur ungkapan dengan maksud permintaan maaf. Bentuk kiasan ini dilakukan dalam rangka untuk menjaga kesopanan bertutur dalam menyampaikan pikiran dan maksud kepada orang lain atau mitra tuturnya.
Hal ini sejalan dengan landasan bahasa Minangkabau yang memiliki empat variasi tutur, disebut dengan kato nan ampek. Kato nan ampek menurut
Navis (1984: 101-102) merupakan bagian dari langgam kata, yaitu semacam tata karma berbicara sehari-hari antara sesama masyarakat dalam melakukan interaksi komunikasi sesuai dengan status sosial yang dimiliki oleh masing- masing mereka. Kato nan ampek terdiri atas: (1) kato mandaki, (2) kato manurun, (3) kato mandata, dan (4) kato malereang. Penggunaan tuturan berdasarkan kato nan ampek sejalan dengan kesantunan. Penutur yang mampu menggunakan bahasa sesuai dengan kondisi yang ada dikategorikan sebagai orang yang paham akan tutur. Sebaliknya, orang yang tidak mampu menggunakan kato nan ampek dengan tepat sesuai kondisi kebahasaan yang umumnya digunakan oleh seorang Minangkabau dalam bertutur akan dianggap sebagai orang yang tidak beradat.
3
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Masyarakat Minangkabau merupakan salah satu masyarakat matrilineal yang terbesar di dunia selain India, (Amir, 2011). Sistem matrilokal bagi masyarakat Minangkabau artinya marapulai atau suami bermukim di daerah sekitar pusat kediaman kaum istri. Sehingga suami tetap dianggap sebagai pendatang atau tamu terhormat. Namun demikian suami dituntut untuk mampu bergaul dengan kerabat istri.
Bagi perjaka Pariaman, perkawinan merupakan suatu prosesi yang mengharukan, rasa sedih dan rasa gembira. Kondisi ini disebut dengan prosesi turun janjang dalam rangka upacara manjapuik atau japuik. Dalam hal ini pihak marapulai selalu yang dihantarkan pihak keluarganya ke rumah istri yang sebelumnya keluarga pihak istri datang untuk menjemput marapulai secara adat dan secara adat pula dihantar secara bersama-sama oleh pihak marapulai dan keluarga istri untuk menetap di rumah istrinya. Suku Minangkabau wajib memakai kekerabatan matrilineal yaitu mengambil pesukuan dari garis ibu dan nasab keturunan dari ayah, oleh karena itu dikenal adanya dunsanak
(persaudaraan dari keluarga ibu) dan adanya bako (persaudaraan dari keluarga ayah).
Menurut Amir (2011:9), sistem kekerabatan matrilineal memiliki tiga unsur dominan yaitu: a) garis keturunan menurut garis ibu, b) perkawinan harus dengan kelompok lain, di luar kelompok sendiri yang sekarang dikenal dengan istilah eksogami matrilineal, dan c) ibu memegang peranan sentral dalam pendidikan, pengamanan kekayaan, dan kesejahteraan keluarga. Eksogami matrilineal merupakan istilah dari disiplin Antropologi. Eksogami atau
4
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
eksogamus adalah perkawinan yang mewajibkan seseorang kawin di luar klen atau marganya.
Adat perkawinan manjapuik marapulai yang merupakan salah satu bagian yang paling penting dalam seluruh rangkaian acara perkawinan adat
Minangkabau di daerah Pariaman. Acara manjapuik marapulai dilakukan setelah akad nikah yang umumnya dilaksanakan di mesjid, tetapi setelah akad nikah dilaksanakan marapulai tersebut tidak dapat mendatangi rumah istrinya sebelum dijemput ke rumah marapulai untuk menetap di kediaman istri sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku.
Adat perkawinan manjapuik marapulai lazimnya dilaksanakan dengan datangnya pihak keluarga anak daro dengan membawa bingkisan adat yang menandakan datangnya secara beradat ke rumah marapulai. Rombongan utusan dari keluarga anak daro datang untuk menjemput marapulai sambil membawa perlengkapan. Setelah prosesi sambah manyambah dan mengutarakan maksud kedatangan, barang-barang kemudian diserahkan, selanjutnya marapulai beserta rombongan secara bersama-sama berangkat menuju ke kediaman anak daro.
Pada prosesi sambah manyambah inilah terjadi interaksi komunikasi dari kedua belah pihak. Umumnya masyarakat Minangkabau cenderung menyatakan maksud secara tidak langsung. Dalam komunikasi digunakan ungkapan-ungkapan yang maksud dari ungkapan-ungkapan tersebut sama- sama dapat dimengerti oleh penutur maupun oleh penerima.
Namun demikian seiring berjalannya waktu, tradisi manjapuik marapulai seakan-akan tergerus oleh perkembangan arus zaman. Hal ini
5
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
disebabkan semakin banyak masyarakat yang tidak lagi menganggap bahwa adat itu merupakan suatu keharusan. Kondisi ini ditandai dengan banyaknya pemuda Minangkabau yang meninggalkan kampung halamannya untuk mencari pekerjaan demi keberlangsungan hidupnya. Hal ini disebabkan oleh “budaya merantau.” Budaya ini adalah salah satu budaya yang memang ada pada sifat orang Minangkabau dan ini juga dilakukan oleh pemuda Minangkabau, sehingga pemahaman terhadap adat bukan lagi dianggap penting dan menjadi sebuah keharusan. Selain itu, berbaurnya masyarakat Minangkabau asli dengan masyarakat di luar Minangkabau itu sendiri, seperti Melayu, Madailing,
Angkola, dan suku lainnya menjadikan adat tersebut bercampur ataupun mengemasnya menjadi lebih sederhana sesuai dengan kesepakatan antara dua keluarga yang melaksanakan acara. Situasi seperti ini akan menjadikan makna adat dalam tradisi tersebut berkurang atau bahkan hilang sama sekali.
Berkurangnya nilai sebuah tradisi dalam manjapuik marapulai ditandai dengan berkurangnya pelaksanaan prosesi adat tersebut khususnya pasambahan karena masyarakat lebih mementingkan nilai nominal yang diberikan kepada calon mempelai laki-laki atau disebut juga dengan uang japuik dibanding dengan melaksanakan adat secara utuh . Hal ini dapat tergambar pada saat mereka melakukan pasambahan. Jika dahulu yang melakukan pasambahan dilaksanakan oleh beberapa orang dari masing-masing pihak dan dilangsungkan dalam waktu yang relatif panjang, maka sekarang umumnya hanya dilaksanakan oleh satu orang juru bicara saja perwakilan dari masing-masing pihak baik itu dari pihak anak daro maupun marapulai dan juga dilaksanakan dengan waktu
6
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
yang relatif singkat. Apabila kondisi ini terus terlaksana, secara tidak langsung pasambahan pada acara manjapuik marapulai akan hilang dan akan digantikan dengan manghanta uang japuik saja. Apabila hal ini terus dibiarkan dan terlaksana tentu akan memiliki dampak yang tidak baik terhadap pelaku-pelaku adat dan masyarakat Minangkabau. Oleh karena itu dari situasi yang penulis jabarkan di atas perlu dicari solusinya sehingga pelaksanaan manjapuik marapulai terlaksana sesuai dengan ketentuan adat yang telah ditetapkan sebelumnya, karena pada dasarnya Minangkabau terkenal dengan adatnya yang kuat dari zaman dahulu sampai sekarang, yaitu adat adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Adaik yang berarti adat, kultur/ budaya, sandi yang berarti asas/ landasan, syarak yang berarti syariat Islam atau agama Islam, dan kitabullah yang berarti Al-Quran dan Sunah Nabi Muhammad SAW. Melalui ajaran adat ini tumbuh kondisi kehidupan adat yang dinamis dan kreatif sehingga dapat menangkap isyarat yang terkandung dari ajaran Islam.
1.2 Rumusan Masalah
Masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah bentuk performansi, teks, ko-teks, dan konteks dari
tradisi pasambahan manjapuik marapulai pada upacara adat
perkawinan Minangkabau di Pariaman?
2. Bagaimanakah kearifan lokal tradisi pasambahan manjapuik marapulai
pada upacara perkawinan adat Pariaman?
7
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3. Bagaimanakah model revitalisasi tradisi manjapuik marapulai pada
upacara perkawinan adat Pariaman?
1.3 Tujuan Penelitian
Merujuk pada latar belakang dan rumusan masalah penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan dan menganalisis bentuk performansi, teks, ko-teks,
dan konteks tradisi manjapuik marapulai pada upacara perkawinan adat
Pariaman.
2. Menemukan kearifan lokal tradisi pasambahan manjapuik marapulai
pada upacara perkawinan adat pariaman.
3. Membuat model revitalisasi prosesi tradisi manjapuik marapulai pada
upacara perkawinan adat Pariaman.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Sebagai upaya untuk memperkaya kajian tradisi lisan dan
memberikan sumbangan teoritis dan metodologis Kajian Tradisi
Lisan (KTL) bagi peneliti tradisi lisan.
2. Sebagai upaya untuk memperkaya kajian linguistik pada umumnya
dan kajian tradisi lisan yang terdapat pada tradisi manjapuik
marapulai.
3. Sebagai bahan acuan bagi para peneliti yang memokuskan pada
kajian tradisi lisan dan kajian linguistik pada sosiolinguistik
8
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4. Sebagai upaya lanjutan untuk melestarikan adat istiadat, budaya
yang mulai ditinggalkan komunitas pemakainya, sehingga dapat
terjaga nilai-nilai adat dan budaya.
5. Sebagai upaya pelestarian budaya Minangkabau yang dapat
digunakan oleh pemerintah Kabupaten Pariaman .
1.5 Penjelasan Istilah
Pada tulisan ini digunakan istilah-istilah yang memiliki makna yang
berbeda dengan ilmu di luar linguistik, oleh karena itu penjelasan istilah pada
peneltitian ini dimaksudkan agar ada persepsi yang sama mengenai istilah yang
digunakan. Penggunaan istilah tersebut sesuai dengan konsep istilah pada
bidang linguistik, istilah tersebut yaitu:
1) Tradisi Lisan adalah berbagai ilmu pengetahuan dan adat istiadat yang
secara turun temurun disampaikan secara lisan. Tradisi Lisan menurut
Sibarani (2012: 47) adalah kegiatan budaya tradisional yang terdapat pada
komunitas yang diwariskan secara turun temurun melalui media lisan dari
satu generasi ke generasi berikutnya berupa kata-kata lisan (verbal) maupun
bukan lisan (non-verbal).
2) Adat Minangkabau adalah kebiasaan yang berlaku menurut masyarakat adat
atau peraturan tentang tingkah laku menurut masyarakat Minangkabau biasa
dalam bertingkah laku. Jadi di dalamnya termuat peraturan-peraturan hukum
yang melingkupi dan mengatur hidup bersama (Amir, 2011:1).
3) Pasambahan adalah pidato adat yang dipergunakan dalam upacara adat
yang tersusun, teratur dan berirama, serta dikaitkan dengan tambo dan asal
9
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
usul dengan menyatakan maksud, rasa hormat, tanda kebesaran, dan tanda
kemuliaan (Djamaris, 2002: 51)
4) Manjapuik marapulai adalah prosesi menjemput pengantin laki-laki yang
umumnya dilakukan setelah akad nikah yang dilakukan oleh utusan
keluarga pengantin perempuan yang datang secara adat dengan membawa
bingkisan-bingkisan adat sesuai dengan kesepakatan dari kedua belah pihak
(Amir, 2011:16).
5) Performansi menurut Finnegan (1992:91) adalah suatu peristiwa
komunikasi yang memiliki dimensi proses komunikasi yang bermuatan
sosial, budaya dan estetika. Selanjutnya, performansi dalam tradisi lisan
dibedakan atas dua, yaitu: (1) performansi yang ditampilkan dihadapan
audiens, sesuai dengan kondisi tertentu dengan maksud sebagai hiburan, dan
(2) dimanfaatkan untuk tujuan sakral. Performansi juga melibatkan unsur
performer atau orang yang melakukan pertunjukan, audiens dan partisipan
atau orang yang terlibat dalam pertunjukan, media atau sarana dan prasarana
yang digunakan, serta verbal dan material (Finnegan, 1992:91).
6) Teks adalah Teks merupakan suatu kesatuan bahasa yang memiliki bentuk
dan isi baik lisan maupun tulisan yang disampaikan oleh seorang pengirim
kepada penerima. Van Dijk (1985) menyebutkan bahwa ada tiga
kerangka struktur teks, yakni struktur makro, superstruktur, dan struktur
mikro. Struktur makro yaitu makna global atau umum dari suatu teks yang
dapat dipahami dengan melihat topik atau tema dari suatu teks.
Superstruktur atau struktur alur adalah kerangka suatu teks yang mencakup
10
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
struktur dan elemen teks dalam pembentukan teks secara utuh. Struktur
mikro adalah struktur teks secara linguistik teoretis, mencakup tataran
bunyi, kata, kalimat, wacana, makna, dan gaya bahasa.
7) Ko-teks adalah Tanda-tanda yang menyertai teks tersebut yang berfungsi
untuk memperjelas pesan atau makna dari sebuah teks. Ko-teks dapat dibagi
atas: paralinguistik, kinetik, proksemik, dan unsur material. (Sibarani, 2012:
312-331) Paralinguistik atau suprasegmental selalu berdampingan dengan
teks sebagai tanda verbal yang tidak dapat dipisahkan dari teks tradisi lisan.
Kinetik adalah Gerak isyarat tidak dapat terpisahkan dari teks verbal dalam
tindak komunikasi. Proksemik adalah Sikap dan penjagaan jarak antara
pembicara dan pendengar sebelum dan ketika sedang terjadi komunikasi
Selanjutnya, unsur material adalah unsur-unsur yang mendampingi teks
dalam sebuah komunikasi verbal .
8) Konteks adalah teks yang menyertai teks lain. Halliday dan Hasan (1977)
menyatakan bahwa ada dua jenis konteks, yaitu konteks budaya dan situasi.
Pertama, Konteks budaya melahirkan berbagai jenis teks yang digunakan
oleh masyarakat untuk berkomunikasi. Kedua, konteks situasi yaitu konteks
yang mempengaruhi pilihan penutur bahasa, seperti: bahan, hubungan
penyapa dengan yang disapa, dan komunikasi yang digunakan.
9) Antropolinguistik adalah ilmu yang mempelajari manusia dan kebudayaan
secara menyeluruh. Di satu pihak manusia adalah pencipta kebudayaan,
dipihak lain kebudayaan yang menciptakan manusia sesuai dengan
lingkungannya. Dengan demikian terjalin hubungan timbal balik yang
11
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sangat erat dan padu antara manusia dan kebudayaan. Melalui pendekatan
antropologi linguistik, kita mencermati apa yang dilakukan orang dengan
bahasa dan ujaran-ujaran yang diproduksi; diam dan gesture dihubungkan
dengan konteks pemunculannya (Duranti, 2001:1). Jadi, dapat dikatakan
pendekatannya melalui performance, indexcality, dan participation.
“Antropological linguistics is that sub-field of linguistics which is concern
with the place of language in its wider social and cultural context, its role in
forging and sustaining cultural practices and social structures. As such, it
may be seen to overlap with another sub-field with a similar domain,
sociolinguistics, and in practice this may indeed be so (Foley, 1997:3).
10) Revitalisasi kebudayaan menurut Sibarani (2012: 292) merupakan sebuah
proses memberdayakan pelaku tradisi lisan dan pendukung tradisi lisan
dalam mengelola dan menghasilkan tradisi lisan yang baik. Sejalan dengan
pendapat di atas revitalisasi tradisi lisan pada upacara perkawinan adat
Pariaman dikonseptualisasikan telah terjadi pergeseran tradisi lisan tersebut
dalam kehidupan masyarakat. Maka, sebagai upaya revitalisasi perlu
dilakukan proses pemeliharaan tradisi lisan pada upacara perkawinan adat
Pariaman sehingga tidak terjadi kehilangan tradisi lisan.
12
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengantar
Bab ini diawali dengan kajian mengenai konsep yang digunakan dalam penelitian. Konsep ini bertujuan agar dapat memberikan pemahaman bagi penulis ataupun pembaca agar tidak muncul pemahaman yang salah dalam menafsirkan tradisi manjapuik marapulai ini. Selanjutnya, kajian diarahkan kepada landasan teori yang digunakan yang berkaitan dengan penelitian, kemudian, penulis mengarahkan penelitian ini dengan kajian hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian penulis.
2.1.1 Pendekatan Antropolinguistik
Antropologi merupakan ilmu yang mempelajari manusia dan kebudayaan secara menyeluruh. Di satu sisi manusia adalah pencipta kebudayaan, sementara dilain sisi kebudayaan yang “menciptakan” manusia sesuai dengan lingkungannya. Dengan demikian, terjalin hubungan timbal balik yang sangat erat antara manusia dan kebudayaannya. Dalam kebudayaan, bahasa menduduki tempat yang unik. Selain sebagai unsur kebudayaan, bahasa juga berfungsi sebagai sarana yang paling penting dalam proses pewarisan, dan pengembangan kebudayaan.
Cakupan kajian yang berkaitan dengan bahasa sangat luas, karena bahasa mencakup hampir diseluruh aspek kehidupan manusia. Dengan kata lain linguistik dapat memperlihatkan adanya pergerakan menuju kajian yang bersifat multidisplin, salah satunya adalah kajian antropologi linguistik.
13
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Antropologi linguistik adalah ilmu yang mengkaji pemakaian bahasa dalam konteks sosial dan budaya yang luas serta adanya peran bahasa dalam mengembangkan dan mempertahankan aktifitas budaya. Pada dasarnya terdapat beberapa istilah untuk kajian ini, seperti: linguistik antropologi, linguistik budaya, dan antropolinguistik yang keseluruhan istilah ini mengacu pada kajian yang sama. Foley (1997:1) mendefenisikan linguistik antropologi sebagai bidang bawahan linguistik yang berkaitan dengan tempat bahasa dalam konteks sosial dan budaya yang lebih luas, serta perannya dalam membentuk dan mempertahankan praktek budaya dan struktur sosial.
Fokus kajian Antropolinguistik, menurut Duranti (1997:15) terletak pada tiga pembahasan utama yaitu performansi (performance), indeksikalitas
(indexicality), dan partisipasi (participation). Performansi merupakan bagian dari sistem komunikasi yang selalu dipergunakan seiring komunikasi verbal untuk menghasilkan bentuk retorika yang indah. Indeksikalitas merupakan suatu mekanisme di dalam antropolinguistik yang berfungsi untuk mengindentifikasi pemaknaan objek berdasarkan hubungan spasial dan temporal dari objek terkait.
Sedangkan partisipasi merupakan suatu konsep yang menyatakan bahwa berbahasa atau berbicara merupakan suatu kegiatan yang mencakup berbagai aspek yang saling terkait seperti kemampuan mempergunakan suara sehingga dapat berpartisipasi dalam suatu interaksi sosial untuk menyentuk hal-hal yang sebelumnya berada di luar jangkauan pemikiran, baik yang bersifat nyata ataupun fiksi.
14
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Dalam mengkaji penggunaan bahasa, Duranti (1977: 14) menyatakan bahwa antropolinguistik memegang dan menerapkan tiga parameter, yakni (1) keterhubungan (interconnection), (2) kebernilaian (valuability), dan (3) keberlanjutan (continuity). Keterhubungan itu mungkin hubungan linier yang secara vertikal atau hubungan formal yang secara horizontal. Hubungan formal berkenaan dengan struktur bahasa atau teks dengan konteks (situasi, budaya, sosial, ideologi) dan ko-teks (paralinguistik, gerak-isyarat, unsur-unsur material) yang berkenaan dengan bahasa dan proses berbahasa, sedangkan hubungan linier berkenaan dengan struktur alur seperti performansi.
Kebernilaian memperlihatkan makna atau fungsi, sampai ke nilai atau norma, serta akhirnya sampai pada kearifan lokal aspek-aspek yang diteliti.
Keberlanjutan memperlihatkan keadaan objek yang diteliti termasuk nilai budayanya dan pewarisannya pada generasi berikutnya (Sibarani, 2014: 319).
Sibarani (2012: 303) mendefenisikan antropolinguistik sebagai sebuah studi bahasa dalam rangka kerja antropologi, studi kebudayaan dalam kerja linguistik, dan studi aspek kehidupan manusia dalam kerangka kerja bersama antropologi dan linguistik.
15
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Model Analisis Antropolinguistik dapat digambarkan sebagai berikut:
TRADISI LISAN
BENTUK ISI
TEKS, KO-TEKS DAN NILAI DAN NORMA KONTEKS (Fungsi dan Makna) (Struktur, Elemen, dan Kondisi)
REVITALISASI (Menghidupkan kembali, Pengelolaan, Pewarisan)
PEMBANGUNAN KARAKTER IDENTITAS KEDAMAIAN DAN KESEJAHTERAAN BANGSA
(Sibarani, 2012: 214)
Kajian antropolinguistik memiliki keterkaitan yang erat terhadap tradisi lisan. Hal ini bermula dari unsur-unsur verbal yang didapati pada tradisi lisan yang kemudian berlangsung pada unsur non-verbal. Kedua unsur tersebut dapat dijelaskan melalui struktur teks, koteks, dan konteks dalam bentuk pemahaman performansi tradisi lisan.
Ketiga unsur di atas merupakan sebuah keterikatan yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya dan juga menjadi karakteristik sebuah wacana dalam tradisi lisan. Wacana dalam tradisi lisan tidak hanya membahas mengenai teks, tetapi juga tentang ko-teks dan konteks. Sibarani (2012: 311).
16
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.1.1.1 Performansi
Performansi adalah kunci dasar dari sebuah aksi yang dilakukan oleh manusia dan budayanya. Berbagai konsep dan gagasan mengenai performansi timbul di kalangan komunitas antropolinguistik.
Performansi merupakan tindakan atau perilaku manusia yang menggambarkan adanya pesan yang disampaikan sebagai sebuah bentuk komunikasi. Roman Jakobson dalam Duranti (1977:15) menyatakan bahwa perilaku manusia sebagai gambaran komunikasi juga disebut dengan fungsi puitis sebuah komunikasi (poetic function of speech). Performansi menjadi suatu sistem komunikasi dalam kehidupan manusia dan dapat ditemukan dalam setiap perilaku. Maka dapat dinyatakan bahwa pesan yang disampaikan tidak selamanya dilakukan melalui komunikasi verbal, namun juga non-verbal.
Performansi adalah bagian dari sistem komunikasi yang selalu dipergunakan seiring komunikasi verbal untuk menghasilkan bentuk retorika yang indah.
Finnegan (1992: 91) menyatakan bahwa performansi adalah suatu peristiwa komunikasi yang memiliki dimensi proses komunikasi yang bermuatan sosial, budaya dan estetika. Selanjutnya, performansi dalam tradisi lisan dibedakan atas dua, yaitu: (1) performansi yang ditampilkan dihadapan audiens, sesuai dengan kondisi tertentu dengan maksud sebagai hiburan, dan (2) dimanfaatkan untuk tujuan sakral. Performansi juga melibatkan unsur performer atau orang-orang yang terlibat yang melakukan pertunjukan, audiens dan partisipan atau orang yang terlibat dalam pertunjukan, media atau sarana dan prasarana yang digunakan, serta verbal dan material.
17
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Selanjutnya, sejalan dengan konsep performansi yang dinyatakan oleh
Finnegan, Bauman (1986) juga menggambarkan bahwa performansi merupakan suatu bentuk atau model bahasa, yaitu cara seseorang menyampaikan perasaan, fikiran dan pandangan melalui media bahasa. Bauman
(1977) menyatakan bahwa untuk memaknai sebuah seni verbal di dalam komunikasi, teks tulisan dengan segala komponen kebahasaan tidak begitu diperlukan sebab performansi itu sendiri merupakan ranah seni verbal yang valid yang dapat menggambarkan makna sebuah komunikasi melalui pelakonan. Hal ini sejalan dengan pandangan para ahli antropolinguistik dan folklore American yang menyatakan bahwa segala bentuk ekspresi lisan dan juga seni verbal lebih mudah diwujudkan melalui performansi dibanding melalui teks tulis.
Dalam kajian sastra dan tradisi lisan, struktur performansi mencakup beberapa faktor situasi antara lain: 1. Lingkungan sosial, 2. Status dan identitas masyarakat terkait, 3. Pola interaksi sosial, 4. Aspek ungkapan, 5. Konvensi dalam pemaknaan konteks, 6. Peristiwa politis, dan 7. Latar belakang sejarah terbentuknya peristiwa performansi tersebut (Bauman, 1977:87).
Dalam penelitian ini penulis mendiskripsikan performansi manjapuik marapulai beserta komponen-komponen yang menyertai pada saat acara manjapuik marapulai tersebut berlangsung. Finnegan (1992:97) menyatakan bahwa komponen utama dalam sebuah performansi adalah partisipan, yaitu pelaku dan audiens. Peneliti mendeskripsikan pelaksanaan acara manjapuik marapulai yang diawali dengan mengumpulkan ninik mamak, sumando dan
18
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
urang mudo di rumah pengantin wanita untuk kemudian berangkat bersama- sama ke kediaman pengantin laki-laki sampai kembali ke rumah anak daro.
2.1.1.2 Teks
Teks merupakan suatu kesatuan bahasa yang memiliki bentuk dan isi baik lisan maupun tulisan yang disampaikan oleh seorang pengirim kepada penerima. Konsep teks yang digunakan untuk mengkaji tradisi manjapuik marapulai ini adalah struktur wacana yang dikemukakan oleh Van Dijk
(1985) yang disesuaikan dengan teks tradisi lisan. Van Dijk (1985) menyebutkan bahwa ada tiga kerangka struktur teks, yakni struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro. Struktur makro yaitu makna global atau umum dari suatu teks yang dapat dipahami dengan melihat topik atau tema dari suatu teks. Tema teks bukan hanya isi, tetapi juga sisi tertentu dari suatu peristiwa. Itulah alasannya teks tidak dapat dipisahkan dari konteks. Dengan kata lain, analisis struktur makro dalam teks tradisi lisan merupakan analisis teks yang dipadukan dengan koteks dan konteksnya untuk memperoleh gagasan inti atau tema sentral. Superstruktur atau struktur alur adalah kerangka suatu teks yang mencakup struktur dan elemen teks dalam pembentukan teks secara utuh. Sebuah teks termasuk teks tradisi lisan secara garis besar tersusun atas tiga elemen, yaitu pendahuluan, bagian tengah, dan penutup. Kajian struktur alur tradisi lisan akan menghasikan skema tradisi lisan mulai dari permulaan, bagian tengah, dan penutup. Struktur mikro adalah struktur teks secara linguistik teoretis, mencakup tataran bunyi, kata, kalimat, wacana, makna, dan gaya bahasa. Tataran tersebut dapat dipilih sesuai dengan
19
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kebutuhan analisis dan sesuai dengan karakteristik teks tradisi lisan yang dikaji
(Sibarani, 2012:3 16).
Dalam penelitian ini, yang merupakan teks adalah kata-kata dan kalimat yang diucapkan oleh pelaku yang diteliti, dalam hal ini orang- orang yang memberi kata-kata dalam pasambahan. Kata-kata dalam pasambahan ini dilakukan bersahut-sahutan antara kedua belah pihak dengan menggunakan bahasa daerah, yakni bahasa Minangkabau, karena acara itu merupakan acara adat. Agar mudah dipahami, bahasa daerah tersebut harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia terlebih dahulu. Hal ini dilakukan karena bahasa daerah tidak semuanya dapat diterjemahkan secara harfiah kedalam Bahasa Indonesia apalagi mengingat kalimat yang diutarakan dalam pasambahan tersebut banyak menggunakan kata-kata kiasan, seperti: pepatah, petitih, mamang, dan sebagainya.
Hal ini sejalan dengan pendapat Navis (1984: 255-256) yang menyatakan bahwa dalam pidato persembahan akan selalu diucapkan pepatah- petitih. Bahasa daerah memiliki nilai-nilai yang luhur yang tidak dapat diartikan sewenang-wenang. Disinilah perlunya teks lisan tersebut ditranskripkan ke dalam bentuk tulisan terlebih dahulu agar dapat dianalisis dengan mudah.
2.1.1.3 Ko-teks
Dalam terjadinya sebuah komunikasi teks digunakan sebagai tanda verbal yang pada umumnya teks tersebut didampingi oleh tanda lain yang secara bersama-sama dengan teks itu. Begitu juga dalam teks tradisi lisan, ada
20
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
tanda-tanda lain yang menyertinya secara bersama-sama yang memegang peranan penting dalam praktek wacana tradisi lisan. Tanda-tanda yang menyertai teks tersebut disebut sebagai ko-teks yang berfungsi untuk memperjelas pesan atau makna dari sebuah teks. Ko-teks dapat dibagi atas: paralinguistik, kinetik, proksemik, dan unsur material. (Sibarani, 2012: 312-
331)
Paralinguistik atau suprasegmental selalu berdampingan dengan teks sebagai tanda verbal yang tidak dapat dipisahkan dari teks tradisi lisan. Unsur- unsur paralinguistik ini adalah: intonasi, aksen, jeda dan tekanan. Selanjutnya, dalam kajian lanjutan peranan paralinguistik ini akan semakin penting apabila teks tersebut dinyanyikan atau memiliki irama sebagaimana tradisi lisan pada umumnya. Dalam hal ini bantuan fonetik sangat penting untuk merumuskan unsur-unsur paralinguistik dlam teks tradisi lisan.
Dalam tradisi lisan, gerak isyarat tidak dapat terpisahkan dari teks verbal dalam tindak komunikasi. Gerak isyarat ini dikaji dalam bidang illmu Kinetik.
Dalam melakonkan tradisi lisan, gerak isyarat sangat berperan penting karena ciri dari tradisi lisan adalah kegiatan, peristiwa, atau pertunjukan.
Lain halnya dengan kinetik, sikap dan penjagaan jarak antara pembicara dan pendengar sebelum dan ketika sedang terjadi komunikasi diatur dalam bidang proksemik. Dari penjagaan jarak para pelaku dengan penonton dapat terlihat opisisi antar pelaku yang menggambarkan peran masing-masing, seperti: raja-rakyat, pimpinan-bawahan, majikan-pembantu dan sebagainya.
21
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Proksemik ini memberikan kontribusi dan memperkaya makna dalam tradisi lisan.
Selanjutnya, unsur material. Dalam sebuah komunikasi verbal seperti dalam tradisi lisan unsur material juga selalu mendampingi teks. Unsur material yang sering digunakan dalam tradisi lisan ini dapat berupa perangkat pakaian dengan gayanya, penggunaan warna dengan ragam pilihannya, penataan lokasi dengan dekorasinya, dan penggunaan berbagai properti dengan fungsinya.
Keseluruhan dari unsur material ini perlu dikaji secara semiotik untuk menambah pemahaman makna tradisi lisan (Sibarani, 2012:322-323).
2.1.1.4 Konteks
Pemaknaan dari sebuah teks tradisi lisan sangat tergantung pada konteks dan ko-teksnya. Dalam analsisis antropolinguistik beranggapan ada beberapa jenis konteks yang perlu dipertimbangkan dalam pemahan ungkapan termasuk teks tradisi lisan. Pemilihan konteks sangat tergantung pada ragam ungkapan atau teks yang dikaji.
Halliday dan Hasan (1977) menyatakan bahwa ada dua jenis konteks, yaitu konteks budaya dan situasi. Pertama, Konteks budaya melahirkan berbagai jenis teks yang digunakan oleh masyarakat untuk berkomunikasi.
Kedua, konteks situasi yaitu konteks yang mempengaruhi pilihan penutur bahasa, seperti: bahan, hubungan penyapa dengan yang disapa, dan komunikasi yang digunakan. Konteks budaya yaitu mengacu pada tujuan budaya yang menggunakan sebuah teks, konteks sosial yaitu mengacu pada faktor-faktor sosial yang memengaruhi sebuah teks, konteks situasi yaitu mengacu pada
22
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
waktu, tempat, dan cara penggunaan teks, dan konteks ideologi yaitu mengacu pada kekuasaan atau kekuatan apa yang memengaruhi dan mendominasi sebuah teks.
Sementara itu, sebuah teks tradisi lisan akan berbeda makna, maksud dan fungsinya adalah tergantung pada perbedaan konteksnya. Ada beberapa jenis konteks yang perlu dipertimbangkan dalam pemahaman ungkapan termasuk teks tradisi lisan. Pemilihan konteks ini sangat bergantung pada ragam ungkapan atau teks yang dikaji. Untuk memahami makna, maksud, pesan, dan fungsi dalam kajian tradisi lisan, konteks budaya, konteks, sosial, konteks situasi, dan konteks ideologi yang perlu dikaji. Konteks ini juga diperlukan untuk memahami nilai dan norma budaya yang terdapat dalam tradisi lisan serta memahami kearifan lokal yang diterapkan untuk menata kehidupan sosialnya
(Sibarani, 2012:324).
Keseluruhan dari jenis konteks yang telah dijelaskan sebelumnya perlu dikaji untuk memahami makna, maksud, pesan, dan fungsi dari tradisi lisan yang kemudian diperlukan untuk memahami nilai dan norma budaya yang terdapat pada tradisi lisan serta memahami kearifan lokal yang digunakan untuk menata kehidupan sosialnya.
Dalam penelitian ini dikaji tentang konteks budaya dan konteks situasi.
Dimana konteks budaya bertujuan untuk melihat tujuan budaya yang terdapat dalam tradisi manjapuik marapulai, dan konteks situasi untuk melihat waktu, tempat dan cara pelaksanaan tradisi manjapuik marapulai.
23
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.1.2 Tradisi Lisan
Tradisi budaya atau tradisi lisan termasuk kandungannya seperti makna dan fungsi, nilai dan norma-norma budaya adalah dunia ingatan dan dunia simpanan yang diwariskan secara turun temurun. Sibarani (2012:1) menyebutkan tradisi lisan sebagai upaya mengingat masa lalu dengan menggali tradisi masa lalu dan mempersiapkan masa kini untuk masa depan. Mengingat masa lalu berarti menggali tradisi masa lalu, mengidentifikasi kehidupan masa lalu, memilah-milah nilai tradisi masa lalu itu dan kemudian memetik hal-hal yang bernilai dalam tradisi masa lalu.
Tradisi lisan merupakan suatu bentuk ekspresi masyarakat pada masa lalu yang muncul dalam bentuk lisan. Sepanjang sejarahnya manusia selalu berkomunikasi dan berekspresi sebagai salah satu manifestasi diri dan kelompok sosialnya. Ekspresi lisan merupakan satu-satunya sarana yang paling efektif untuk maksud-maksud tersebut, karena pada masa itu belum dikenal tulisan. Cerita dan berbagai bentuk yang kini dikenal sebagai hasil kesusastraan pun diekspresikan secara lisan, misalnya dengan cara diceritakan ataupun dinyanyikan secara keras dihadapan sekolompok masyarakat pendukungnya pada waktu-waktu tertentu yang dilakukan oleh tukang cerita (Nurgiyantoro,
2005: 163-164)
Djuweng dalam Pudentia (2008: 169-170) memandang tradisi lisan sebagai tradisi yang memiliki filsafat, sejarah, nilai moral, etika, religius, hukum adat, struktur dan organisasi sosial, sastra dan estetika. Lebih jauh
Djuweng memandang bahwa tradisi lisan yang diturunkan dari generasi ke
24
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
generasi dalam kehidupan sehari-hari, pemikiran perkataan, dan perilaku secara individu dan kelompok adalah implementasi senyatanya dari teks-teks lisan tersebut.
Warisan budaya amat berharga dan penting dalam pembentukan identitas dan karakter bangsa sebagai Intangible Cultural Heritage (ICH).
UNESCO yang dikukuhkan dalam konvensi tanggal 16 Oktober 2003 menyebutkan salah satu unsur penting dalam ICH adalah tradisi lisan (Pudentia
2010).
Finnegan (1992:6) menyatakan bahwa tradisi adalah tradisi yang lebih spesifik lisan atau dari mulut yang ditandai dengan lisan, tidak ditulis, milik orang atau rakyat, fundamental dan dihargai serta diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Finnegan (1992:5) mendefenisikan lisan sebagai kata-kata yang diucapkan dengan mulut terucap secara verbal. Finnegan (1992) juga mengkontraskan lisan dengan segala sesuatu yang tidak verbal atau tidak didasarkan pada kata-kata, sehingga lisan dapat memenuhi syarat secara umum yang menekankan perbedaan antara bentuk tertulis dan lisan.
25
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Selanjutnya Finnegan (1992:7) menjelaskan,
“Oral tradition conceals similar ambiguities, with the apparently more specific „oral‟ infact complicating it even further. The addition of oral often implies that the tradition in question is in some way 1. Verbal or 2. Non- written (not necessarily the same thing) sometimes also or alternatively 3. Belonging to the „people‟ or the „folk‟ usually with the connotation of non- educated, non-elite, and/or 4. Fundamental and valued, often supposedly transmitted over generation, perhaps the community or „folk‟ rather than conscious individual action.
Pendapat Finnegan ini menjelaskan tentang pengertian tradisi lisan yang memiliki makna yang ambigu yang dapat dirumuskan kepada empat komponen, yaitu verbal, tidak tertulis, dimiliki oleh kelompok masyarakat serta memiliki nilai yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Kemudian, untuk meluruskan makna yang ambigu dalam pengertian tradisi lisan ini, Finnegan (1992:8) menuliskan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan tradisi lisan tersebut, yaitu:
1. Apakah tradisi lisan tersebut merupakan sesuatu yang baru atau yang
lama?
2. Apakah tradisi lisan tersebut dibagikan oleh masyarakat atau kelompok,
dan, jika tidak, siapa yang mengkontrol dan menggunakannya dan dalam
situasi seperti apa?
3. Apakah istilah tradisi secara evaluative dikaji oleh semua orang,
kelompok tertentu, pemuka adat tertentu dan peneliti?
4. Apakah tradisi tersebut merupakan sebuah proses atau produk?
26
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
5. Jika tradisi lisan adalah sebuah produk, apakah dilakukan melalui
generasi atau untuk waktu yang singkat, bagaimana ini dilakukan dan
oleh siapa dan mengapa?
6. Seberapa jauh tradisi lisan tersebut mengkristal dan seberapa jauh tradisi
lisan ini direkontruksi oleh peneliti?
7. Apakah tradisi dilakukan dalam bentuk yang berbeda melalui media,
versi atau genre? Apakah tradisi tersebut menjadi lebih baik
dibandingkan dengan tradisi secara umum?
Realitas di masyarakat, para penutur dan komunitas tradisi lisan semakin berkurang. Hal ini akibat proses pewarisan secara alamiah tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sementara perubahan kebudayaan berjalan dengan cepat. Dihadapkan pada kenyataan ini, satu-satunya yang penting dalam upaya menjaga tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan pada masa sekarang dan yang akan datang adalah perubahan dalam sistem pewarisannya.
Sebagai sumber sistem pewarisan yang membentuk identitas etnik, perlu dilakukan pengelolaan tradisi seperti: perlindungan, preservasi, dan revitalisasi tradisi. Tradisi lisan janganlah dilihat sebagai barang antik yang harus diawetkan, yang beku, yang berasal dari masa lalu dan tidak pernah
„boleh‟ berubah yang kemudian diagungkan dan diabadikan. Sudut pandang seperti ini akan mengangkat tradisi, khususnya tradisi lisan seperti yang telah diungkapkan, sehingga sejarah kegemilangan masa lalunya saja, tanpa dapat mengaktualkannya dalam situasi masa kini.
27
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Tradisi lisan itu sendiri dapat dilihat sebagai suatu peristiwa budaya atau sebagai suatu bentuk kebudayaan yang diciptakan kembali (invented culture) untuk dimanfaatkan, dikembangkan, dan dilestarikan sebagai suatu bentuk kebudayaan, yang karena suatu alasan tertentu perlu dijaga dari kepunahannya. Menggali dan mengembangkan potensi tradisi lisan, termasuk perlindungan kekayaan intelektual budaya Indonesia, melalui penelitian yang terstruktur dan berkelanjutan.
Sibarani (2012:214) menyatakan bahwa tradisi lisan sebagai sebuah kajian yang berkaitan erat dengan bahasa memiliki bentuk dan isi. Dimana bentuk sebuah tradisi lisan itu terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: teks, koteks, dan konteks. Teks dalam hal ini berkaitan dengan objek penelitian berupa bahasa yang mengarah kepada pelaksanaan tradisi lisan yang memiliki struktur teks, yaitu struktur alur, makro, mikro. Teks dalam hal ini berhubungan dengan unsur-unsur lain yang mendampingi teks tersebut dan ko-teks ini berbentuk, proksemik, paralinguistik, dan kinetik. Konteks merupakan latar belakang terjadinya suatu peristiwa budaya. Selain bentuk, sebuah tradisi lisan juga harus memiliki isi yang di dalamnya mencakup
Vansina (1961:1) menyatakan bahwa tradisi lisan adalah, “oral traditions are historical sources of special nature. Their special nature derives from the fact that they are „unwritten‟ sources couched in a form suitable for oral transmission and theor preservation depends on the powers of memory of successive generations of human beings.” Pernyataan ini dapat diartikan bahwa tradisi lisan merupakan sumber sejarah yang bersifat khusus. Sifat khususnya
28
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
berasal dari fakta bahwa sifat khusus itu adalah sumber „tidak tertulis‟ yang ditulis dalam bentuk yang sesuai untuk transmisi lisan dan bahwa pelestarian mereka tergantung pada kekuatan memori dari generasi mendatang.
Sumber utama kajiannya adalah penutur, pembawa atau nara sumber pemilik tradisi lisan yang diteliti yang meliputi masyarakat pemilik atau pendukung yang berkaitan. Di samping tradisi dan narasumber utamanya yang masih hidup atau merupakan living traditions, ingatan kolektif yang tersimpan dalam masyarakat dan tradisi tersebut (memory traditions) juga dimasukkan dalam kategori tradisi lisan.
Pada tradisi lisan tidak dapat dipisahkan antara produk budaya dan masyarakat sebagai komunitasnya. Keduanya sangat tergantung satu sama lain.
Tanpa masyarakat pendukungnya, tradisi tidak akan pernah dapat dihadirkan apalagi diteruskan. Sebaliknya, tanpa tradisi, masyarakat pemiliknya akan kehilangan identitas kemanusiaannya dan kehilangan banyak hal penting, khususnya pengetahuan tradisional, kearifan lokal, dan nilai-nilai yang pernah menghidupi dan sudah menyatu pada komunitas tersebut.
Memahami nilai-nilai tersebut dengan baik, maka perlu dilakukan perbandingan dengan fakta pada konteks tradisi lisan agar unsur nilai tradisi yang ada pada tradisi tersebut dapat diretas, sehingga nilai tradisi lisan dapat diterima setiap orang, walaupun menurut apresiasi setiap orang nilai tersebut dapat berbeda-beda. Hal ini sejalan dengan pendapat Sibarani (2012: 26) bahwa tradisi lisan merupakan cerminan dari kebudayaan dan sejarah perkembangan masyarakatnya. Hal ini ditandai oleh beragam informasi yang diperoleh dari
29
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
tradisi lisan bukan hanya fungsi estetis, pragmatis, dan etisnya tetapi juga aspek historisnya.
Penegasan pentingnya memahami bahasa tradisi lisan pada upacara adat istiadat sebagai warisan budaya, disebabkan bahasa yang digunakan pada tradisi lisan mengandung nilai-nilai filosofis adat yang tercermin pada budaya adat, kekerabatan, norma-norma, nilai-nilai estetis serta nilai-nilai lainnya.
Dihadapkan pada kenyataan ini, satu-satunya yang penting dalam upaya menjaga tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan pada masa sekarang dan yang akan datang adalah dengan melakukan perubahan dalam sistem pewarisannya. Sistem pewarisan pembentukan identitas, maka perlu dilakukan pengelolaan tradisi seperti: pelindungan, preservasi, dan revitalisasi tradisi lisan.
2.1.2.1.Falsafah Masyarakat Minangkabau
Adat dalam masyarakat Minangkabau memiliki peran penting dalam mengatur pola, tingkah laku yang menjadi kebiasaan mereka sehari-hari. Adat dalam pengertiannya adalah pedoman atau patokan dalam bertingkah laku, bersikap, berbicara, bergaul dan cara berpakaian masyarakat Minangkabau.
Adat Minangkabau yang dinamis menempatkan raso (hati) dan pareso (akal, logika) sebagai hasil dari falsafah, alam takambang jadi guru. Sumber nilai dan pandangan hidup masyarakat Minangkabau yang melandasi tatanan hidup berinteraksi antar sesama, dan antar masyarakat dan alam sekitar.
Minangkabau yang terkenal dengan adatnya yang kuat dari zaman dahulu sampai sekarang, yaitu adat adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Adaik yang berarti adat, kultur/ budaya, sandi yang berarti asas/
30
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
landasan, Syarak yang berarti syariat atau ajaran Agama Islam, dan Kitabullah yang berarti Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Melalui ajaran adat ini tumbuh kondisi kehidupan adat yang dinamis dan kreatif sehingga dapat menangkap isyarat yang terkandung dari ajaran Islam. Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato, adat mamakai, alam takambang manjadi guru merupakan tiga unsur penting dalam menyelesaikan persoalan dunia dan akhirat. Bila ketiga tolak ukur ini dijadikan sebagai ukuran, maka barulah merupakan falsafah yang utuh.
Menurut Amir, (2011: 189-190) Adat Minangkabau terbagi kepada 4 bagian desebut adaik nan ampek (adat yang empat) yaitu adaik nan sabana adaik, adaik nan diadaikkan (adat yang di adatkan), adaik nan taradaik (adat yang teradat), adaik istiadaik (adat istiadat).
1. Adaik nan Sabana Adaik (Adat yang sebenarnya adat)
Adaik nan sabana adaik (adat yang sebenarnya adat) merupakan adat yang paling utama yang tidak dapat dirubah sampai kapanpun dia merupakan harga mati bagi seluruh masyarakat Minangkabau, tidaklah bisa dikatakan dia orang Minangkabau apabila tidak melaksanakan Adat ini dan akan dikeluarkan dia dari orang Minangkabau apabila meninggalkan adat ini, adat ini yang paling perinsip adalah bahwa seorang Minangkabau wajib beragama Islam dan akan hilang Minangkabaunya apabila keluar dari agama Islam.
Apa yang dikatakan dengan adat yang sebenar adat ini adalah segala hikmah yang diterima dari Nabi Muhammad SAW berdasarkan pada firman- firman Allah SWT dalam kitab sucinya, yaitu Al-qur‟an. Adapun salah satu
31
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
firman Allah SWT yang menjadi pedoman dalam adaik nan sabana adaik ini adalah sebagai berikut:
Artinya:
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur‟an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (Q.S. Fushilat ayat 53)
Berdasarkan firman-firman Allah SWT yang terdapat dalam kitab suci
Al-Qur‟an inilah diperoleh sumber-sumber adat yang sebenar adat, seperti yang tertulis dalam pepatah berikut ini:
Adat nan sabana adat adat yang sebenarnya adat Indak lapuak dek hujan tidak lapuk kena hujan Indak lakang dek paneh tidak lekang kena panas Kok dicabuik indak nyo mati kalau dicabut tidak mati Kok diasak indaknyo layua kalau digeser tidak layu
2. Adaik nan diadaikkan (adat yang di adatkan)
Adat ini adalah sebuah aturan yang telah disepakati dan diundangkan dalam tatanan Adat Minangkabau dari zaman dulu melalui sebuah pengkajian dan penelitian yang amat dalam dan sempurna oleh para nenek moyang orang
Minangkabau di zaman dulu, contohnya yang paling perinsip dalam adat ini adalah adalah orang Minangkabau wajib memakai kekerabatan matrilineal yaitu
32
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
mengambil pesukuan dari garis ibu dan nasab keturunan dari ayah, makanya ada dunsanak (persaudaraan dari keluarga ibu) dan adanya bako (persaudaraan dari keluarga ayah), memilih dan atau menetapkan Penghulu suku dan Ninik mamak dari garis persaudaraan badunsanak berdasarkan dari ampek suku asal atau empat suku asal, yaitu Koto, Piliang, Bodi, dan Caniago atau berdasarkan pecahan suku nan ampek tersebut, menetapkan dan memelihara harta pusaka tinggi yang tidak bisa diwariskan kepada siapa pun kecuali diambil manfaatnya untuk anak kemenakan, seperti sawah, ladang, hutan, pandam pakuburan, rumah gadang, dan lain-lain.
Adat yang diadatkan ini disusun berdasarkan adat yang sebenar adat yang didukung oleh kesepakatan para pemuka adat pada zaman dulu. Pada waktu itu pula ditetapkan bahwa susunan adat ini harus diterima oleh seluruh anak kemenakan dan tidak boleh diubah. Kalaupun harus diubah, maka yang berhak mengubahnya adalah pemuka adat yang menyusun dan menyepakati pada pertama kali. dengan demikian, pada zaman sekarang ini adat yang diadatkan harus diterima oleh generasi karena tidak mungkin untuk diubah lagi, karena para pemuka adat yang menyusun dan yang berhak untuk mengubahnya sudah tidak ada lagi, seperti yang tertulis pada pepatah berikut ini:
Adaik nan diadaikkan adat yang diadatkan Kok dicabuik mati kalau dicabut mati Kok diasak layua kalau digeser layu
Arti dari pepatah ini adalah jika ada pihak yang mencoba untuk menghapus atau mengubahnya akan menimbulkan mudharat kepada orangnya.
33
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Dan jika adat yang diadatkan ini dihapus atau diubah maka akan menghacurkan adat Minangkabau.
Kedua adat di atas disebut adaik nan babuhua mati atau Adat yang diikat mati dan inilah disebut dengan adat, adat yang sudah menjadi sebuah ketetapan dan keputusan berdasarkan kajian dan musyawarah yang menjadi kesepakatan bersama antara tokoh Agama, tokoh Adat dan cadiak pandai di ranah Minang, adat ini tidak boleh diubah-ubah lagi oleh siapapun, sampai kapanpun, sehingga ia disebut nan indak lakang dek paneh nan indak lapuak dek hujan, dibubuik indaknyo layua dianjak indaknyo mati atau yang tidak lekang kena panas dan tidak lapuk kena hujan, dipindah tidak layu dicabut tidak mati.
Kedua adat ini juga sama di seluruh daerah dalam seluruh wilayah adat
Minangkabau tidak boleh ada perbedaan karena inilah yang mendasari adat
Minangkabau itu sendiri yang membuat keistimewaan dan perbedaannya dari adat-adat lain yang ada di dunia.
3. Adaik nan Taradaik (adat yang teradat)
Adat ini adanya karena sudah teradat dari zaman dahulu. Adat ini adalah ragam budaya di beberapa daerah di Minangkabau yang tidak sama masing masing daerah, adat ini juga disebut dalam istilah adaik salingka nagari (adat selingkar nagari). Adat ini mengatur tatanan hidup bermasyarakat dalam suatu nagari dan interaksi antara satu suku dan suku lainnya dalam nagari itu yang disesuaikan dengan kultur di daerah itu sendiri, namun tetap harus mengacu kepada ajaran agama Islam. Dengan demikian adat yang teradat ini belum tentu
34
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sama pada nagari yang satu dengan nagari yang lainnya, seperti pada pepatah berikut ini:
Adaik sapanjang jalan adat sepanjang jalan Cupak sapanjang batuang cupak sepanjang bambu Lain lubuak lain ikannyo lain lubuk lain ikannya Lain padang lain bilalangnyo lain padang lain belalangnya Lain nagari lain adaiknyo lain nagari lain adatnya
Adat ini merupakan kesepakatan bersama antara penguhulu ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai, bundo kanduang dan pemuda dalam suatu nagari di Minangkabau, yang disesuaikan dengan perkembangan zaman yang memakai etika-etika dasar adat Minangkabau namun tetap dilandasi dengan ajaran Agama Islam.
4. Adaik Istiadaik (Adat istiadat)
Adat istiadat adalah kebiasaan yang berlaku di tengah komunitas masyarakat umum atau setempat, seperti acara yang bersifat seremonial atau tingkah laku pergaulan yang bila dilakukan akan dianggap baik dan bila tidak dilakukan tidak apa-apa. Adat ini adalah merupakan ragam adat dalam pelaksanaan silaturrahim, berkomunikasi, berintegrasi, bersosialisasi dalam masyarakat suatu nagari di Minangkabau seperti acara pinang meminang, pesta perkawinan dan lain-lain. Adat istiadat ini tidak sama dalam wilayah di
Minangkabau, disetiap daerah ada saja perbedaannya namun tetap harus mengacu kepada ajaran Agama Islam.
35
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Kedua adat yang terakhir ini disebut Adaik nan babuhua sintak atau adat yang tidak diikat mati dan inilah yang disebut dengan istiadat, karena ia tidak diikat mati maka ia boleh dirubah kapan saja diperlukan melalui kesepakatan penghulu ninik mamak, alaim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang dan pemuda yang disesuaikan dengan perkembangan zaman namun acuannya adalah sepanjang tidak melanggar ajaran adat dan ajaran agama Islam, sehingga disebut dalam pepatah adat maso batuka musim baganti, sakali aie gadang sakali tapian baranjak.
2.1.2.2 Perkawinan Adat Minangkabau
Merujuk pada falsafah masyarakat Minangkabau antara adat dan agama
Islam di Minangkabau membawa konsekuensi tersendiri. Ajaran agama Islam menjadi pedoman dasar dalam mengatur kehidupan masyarakat Minangkabau dalam berperilaku terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.
Manusia dalam perjalanan hidupnya melalui tingkat dan masa-masa tertentu yang dapat disebut sebagai siklus kehidupan. Siklus kehidupan ini dapat dibagi menjadi: masa anak-anak, masa remaja, masa perkawinan, dan masa usia senja. Setiap peralihan dari satu masa ke masa lainnya merupakan masa kritis dalam kehidupan manusia itu sendiri. Salah satu masa peralihan yang paling penting dalam adat Minangkabau adalah saat memasuki masa perkawinan.
Dalam sebuah perkawinan masyarakat Minangkabau ajaran agama
Islam menjadi landasan utamanya. Perkawinan adalah sebuah perjanjian perikatan antara seorang laki-laki dan perempuan, dalam hal ini perkawinan merupakan perjanjian yang sakral untuk membentuk sebuah keluarga yang
36
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
rukun dan damai. Hal ini telah diisyaratkan dalam Al-Qur‟an dalam surat Ar-
Rum ayat 21, sebagai berikut:
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar- benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir [ QS. Ar Rum: 21]
Dengan demikian agama Islam memandang perkawinan sebagai hal yang baik yang dilakukan oleh masyarakat, karena perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin yang sah menurut ajaran agama Islam.
Dalam melaksanakan perkawinan menurut ajaran agama Islam, sebuah perkawinan akan dianggap sah apabila memenuhi rukun nikah.
Rukun nikah adalah hal-hal yang harus dipenuhi agar pernikahan yang dilaksanakan menjadi sah. Adapun hal-hal yang harus dipenuhi dalam rukun nikah ini adalah: adanya calon isteri, calon suami, wali nikah, dua orang saksi dan sighat atau ijab kabul.
Pada masyarakat Minangkabau, masa perkawinan merupakan masa awal bagi seseorang untuk melepaskan dirinya dari lingkungan kelompok keluarganya dan mulai membentuk kelompok kecil miliknya sendiri yang secara rohaniah tidak lepas dari pengaruh kelompok hidupnya semula. Dengan
37
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
demikian sebuah perkawinan dapat dikatakan sebagai proses awal dari pemekaran sebuah kelompok.
Perkawinan memiliki fungsi sebagai berikut:
1. Sebagai sarana legalisasi hubungan seksual antara seorang pria dengan
seorang wanita dipandang dari sudut adat, agama, dan hukum atau
undang-undang Negara.
2. Penentuan hak dan kewajiban serta perlindungan atas suami, isteri, dan
anak-anak.
3. Memenuhi kebutuhan manusia akan teman hidup dan status sosial
terutama untuk memperoleh ketentraman batin.
4. Memelihara kelangsungan hidup kekerabatan dan menghindari
kepunahan.
Ketentuan adat sejalan dengan ketentuan agama dalam mengatur hidup dan kehidupan masyarakat Minangkabau tidak dapat diabaikan khususnya dalam pelaksanaan perkawinan. Kedua ketentuan tersebut harus dipelajari dan dilaksanakan serasi, seiring, dan sejalan. Apabila terdapat ketimpangan ataupun pelanggaran terhadap kedua ketentuan tersebut dalam perkawinan akan membawa konsekuensi tersendiri secara berkelanjutan pada keturunan.
Masyarakat adat dan agama dapat memberikan sanksi sosial berupa pengucilan dan pengasingan dari pergaulan masyarakat Minangkabau. Oleh karena itu masyarakat Minangkabau selalu berusaha memenuhi semua syarat perkawinan yang lazim di Minangkabau.
38
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Adapun syarat-syarat perkawinan masyarakat Minangkabau sesuai dengan pernyataan Sukmasari (1983), yaitu:
1. Kedua calon mempelai harus beragama Islam.
2. Kedua calon mempelai tidak sedarah atau tidak berasal dari suku yang
sama, kecuali apabila kesamaan suku berasal dari nagari yang berbeda.
3. Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai orang
tua dari kedua belah pihak.
4. Calon suami atau marapulai harus sudah mempunyai sumber
penghasilan untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya.
Menurut ahli antropologi pada abad ke-19, Wilken (dalam Amir,
2011:8) menyatakan bahwa manusia hidup dari keluarga batih yaitu keluarga inti yang terdiri dari, ayah, ibu dan anak-anaknya yang menyadari bahwa hubungan ibu dan anaknya adalah sebagai satu kelompok keluarga, sehingga terjadilah adat eksogomi atau perkawinan dengan pihak luar. Hal tersebut untuk menghindari terjadinya perkawinan dengan pihak dalam. Inilah yang berkembang menjadi garis keturunan ibu yang disebut dengan matriarkat atau matrilineal atau ibu yang berkuasa. Selanjutnya, menurut Amir (2011:9), sistem kekerabatan matrilineal memiliki tiga unsur dominan yaitu: a) garis keturunan menurut garis ibu, b) perkawinan harus dengan kelompok lain, di luar kelompok sendiri yang sekarang dikenal dengan istilah eksogami matrilineal, c) Ibu memegang peranan sentral dalam pendidikan, pengamanan kekayaan, dan kesejahteraan keluarga.
39
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sistem matrilokal bagi masyarakat Minangkabau bahwa marapulai atau suami bermukim di daerah sekitar pusat kediaman kaum istri sehingga suami tetap dianggap sebagai pendatang atau tamu terhormat. Oleh karena itu suami dituntut untuk mampu bergaul dengan baik dengan keluarga istri.
Mengingat hal ini berdasarkan pada kemampuan suami untuk beradaptasi dengan keluarga istri, posisinya cukup dramatis dan mudah untuk disingkirkan.
Pada dasarnya prosesi pernikahan adat Pariaman terdiri atas beberapa tahapan. Secara garis besar dapat dilihat sebagai berikut: manyilau, maminang, batimbang tando, akad nikah, manjapuik, baralek, dan manjalang.
1. Manyilau
Umumnya manyilau digagasi oleh kerabat pihak perempuan. Bila seorang gadis dipandang telah tiba masanya untuk berumahtangga, mulailah kerabatnya melihat-lihat atau mendengar jejaka yang sudah memasuki usia dewasa dan siap untuk beristri dan kira-kira cocok dengan anak gadis mereka.
Manyilau merupakan penjajakan pertama sebagai permulaan dari rangkaian tatacara pelaksanaan pernikahan. Sesuai dengan sistem kekerabatan di
Minangkabau, pihak keluarga wanita mendatangi pihak keluarga pria. Lazimnya pihak keluarga yang datang membawa buah tangan berupa kue atau buah- buahan sesuai dengan sopan santun budaya Timur. Pada awalnya beberapa wanita yang berpengalaman diutus untuk mencari tahu apakah pemuda yang dituju berminat untuk menikah dan cocok dengan si gadis. Prosesi bisa berlangsung beberapa kali perundingan sampai tercapai sebuah kesepakatan dari kedua belah pihak keluarga. Dalam hal perundingan ini juga dibahas salah
40
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
satunya yaitu mengenai uang jemputan yang harus disanggupi oleh pihak keluarga calon anak daro.
2. Maminang
Keluarga calon mempelai wanita mendatangi keluarga calon mempelai pria untuk meminang. Utusan diketuai oleh mamak si gadis. Namun, sebelum acara pinangan resmi disampaikan, beberapa orang utusan telah pergi bolak- balik ke rumah calon marapulai untuk merundingkan waktu dan cara pinangan yang akan dilaksanakan nantinya. Mamak yang datang untuk meminang itu ditemani oleh beberapa orang laki-laki dan perempuan. Sementara itu, pihak yang menanti pinangan dalam hal ini pihak calon marapulai telah bersiap melakukan pinangan dengan ditemani oleh mamak.
Kepastian hasil dalam meminang ini belum bisa diambil. Pihak laki-laki harus merundingkannya kembali dengan semua kerabat. Beberapa hari berikutnya pihak perempuan akan mengirimkan lagi utusan untuk menanyakan kapan harinya pihak perempuan bisa diterima kembali untuk mendengar keputusan. Pada hari yang telah disepakati sebelumnya, acara pinangan ini pihak calon pengantin perempuan datang secara resmi ke rumah orang tua calon marapulai lengkap dengan sirih dan pinang di dalam carano (wadah tempat sirih). Membawa carano adalah persyaratan adat yang harus dilaksanakan karena hal ini mengandung makna yang dalam menurut adat.
Acara maminang biasanya dilaksanakan pada malam hari. Mereka yang datang diterima oleh para mamak dan urang tuo (orang tua yang paham adat) dari pihak keluarga laki-laki. Acara maminang berlangsung dalam bentuk
41
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pasambahan atau pidato adat dalam rangka mengungkap ajaran adat yang berkaitan dengan perkawinan.
3. Batimbang tando
Bila pinangan telah diterima, tahapan selanjutnya adalah menentukan kapan waktunya pertunangan akan dilaksanakan. Hari pertunangan biasanya disebut dengan batimbang tando, yaitu pertukaran tanda bahwa kedua belah pihak telah berjanji untuk menjodohkan anak kemenakan mereka dan tidak dapat diputuskan secara sepihak. Acara melibatkan orang tua dan mamak dari kedua belah pihak. Rombongan keluarga calon mempelai wanita datang dengan membawa sirih pinang lengkap disusun dalam carano. Menyuguhkan sirih diawal pertemuan dengan harapan apabila ada kekurangan atau kejanggalan tidak akan menjadi gunjingan. Sebaliknya, hal-hal yang manis dalam pertemuan akan melekat dan diingat selamanya. Tata caranya diawali dengan juru bicara keluarga wanita yang menyuguhkan sirih lengkap untuk dicicipi oleh keluarga pihak laki-laki sebagai tanda persembahan. Juru bicara menyampaikan maksud resmi. Jika diterima berlanjut dengan bertukar tanda ikatan masing-masing.
Selanjutnya berunding mengenai tata cara akad nikah dan penjemputan calon marapulai.
4. Manjapuik marapulai
Manjapuik marapulai adalah salah satu acara adat yang penting dalam seluruh rangkaian acara perkawinan menurut adat Minangkabau. Acara manjapuik marapulai dilaksanakan setelah akad nikah, artinya marapulai
42
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
setelah melangsungkan akad nikah tidaklah langsung menetap di rumah istri melainkan pulang ke rumah orangtuanya dan akan mendatangi rumah istri setelah diadakan acara bajapuik. Acara manjapuik marapulai adakalanya dilakukan pada malam hari dan adakalanya pada siang hari yakni sebelum acara baralek. Tidak ada aturan khusus yang mengatur kapan sebaiknya waktu penjemputan akan dilakukan, melainkan hal ini tergantung dari kesepakatan anatara kedua belah pihak.
5. Baralek
Baralek merupakan acara puncak dari keseluruhan rangkaian upacara perkawinan. Baralek ini boleh dilaksanakan boleh juga tidak, karena dengan adanya batimbang tando, secara adat sudah diakui dan secara agama sudah selesaikan dengan akad nikah. Namun demikian pada umumnya, baralek tetap dilaksanakan walaupun dengan sederhana. Baralek dianggap sebagai pemberitahuan secara resmi kepada masyarakat. Dimana masyarakat diundang untuk menghadiri alek tersebut. Masyarakat akan dijamu dengan makanan dan minuman serta dihibur dengan adanya musik tradisional maupun modern.
Marapulai dan anak daro disandingkan atau didudukkan di pelaminan yang telah dihias dengan sedemikian rupa.
6. Manjalang
Manjalang atau Menjelang artinya berkunjung. Manjalang dilakukan setelah baralek di rumah anak daro. Acara manjalang dilaksanakan secara
43
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
bervariasi, ada yang dilaksanakan disore hari setelah baralek, ada yang sehari dan dua hari setelah baralek, semua tergantung dari kesepakatan sebelumnya.
Manjalang ini dilakukan anak daro dan marapulai beserta rombongannya lengkap dengan membawa makanan. Pihak keluarga marapulai telah menanti di rumah. Diwaktu pamit kembali ke rumahnya, anak daro akan menerima berbagai hadiah dari keluarga pihak suaminya, berupa perhiasan, pakaian, dan sebagainya. Setelah acara pemberian hadiah selesai maka anak daro kembali ke rumahnya beserta rombongannya.
2.1.2.3 Upacara Manjapuik Marapulai Adat Perkawinan Minangkabau di
Pariaman
Upacara manjapuik marapulai merupakan salah satu dari rangkaian acara perkawinan yang harus dilalui masyarakat Pariaman selain manyilau, maminang, batimbang tando, akad nikah, manjapuik, baralek, dan manjalang.
Tradisi manjapuik marapulai adat Minangkabau dari masa ke masa mengalami transformasi perubahan sesuai dengan zaman. Kehidupan sebuah tradisi pada dasarnya berada pada proses transformasi itu. Dalam hal ini kemampuan penyesuaian tradisi budaya atau tradisi lisan dengan konteks modernisasi merupakan kedinamisan dari sebuah tradisi.
Tradisi manjapuik marapulai adat Minangkabau pada upacara perkawinan adat Pariaman menggunakan unsur-unsur kelisanan. Proses kelisanan tercermin dalam aturan-aturan komposisi lisan yang bertahan teguh dalam berbagai komposisi tertulis sepanjang zaman. Dalam lingkungan lisan diperlukan pengekalan satuan-satuan rima, dan irama yang ditandai dalam
44
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ungkapan, peribahasa atau pepatah petitih sehingga warisan lisan itu tetap hidup dalam ingatan masyarakat Minangkabau.
Manjapuik marapulai ini dilakukan oleh keluarga dari pihak istri yaitu urang sumando dengan membawa bingkisan adat sebagai penjemput marapulai.
Bingkisan adat yang dibawa untuk menjemput marapulai umumnya berbeda setiap nagari. Untuk daerah Pariaman bingkisan yang dibawa adalah: sirih dalam carano, pakaian pengantin lengkap dari kepala sampai kaki, serta makanan. Sementara itu, di rumah marapulai dilakukan persiapan untuk menanti utusan yang akan menjemput marapulai.
Setibanya utusan pihak istri ke rumah marapulai terjadilah dialog atau alur pasambahan mengenai maksud kedatangan mereka. Akan tetapi, pihak marapulai belum memperpanjang pembicaraan ke tahap selanjutnya sebelum tamu menyantap hidangan yang telah disajikan. Hal ini sesuai dengan pepatah
Minangkabau yaitu barundiang salapeh makan artinya berunding setelah makan. Maka hidanganpun disajikan di tengah-tengah acara.
Selepas menyantap hidangan, secara resmi pihak utusan anak daro menyampaikan maksudnya dengan pasambahan (pidato) yang disampaikan melalui kiasan-kiasan. Pasambahan ini dilaksanakan secara bertahap. Diawali dengan pasambahan mengenai menyatakan diri mereka sebagai utusan yang membawa kiriman dan meminta agar kiriman itu diterima. Selanjutnya pasambahan mengenai maksud kedatangan utusan itu sebenarnya.
Acara manjapuik marapulai ini sebenarnya memerlukan waktu yang panjang karena pasambahan dilakukan secara sahut menyahut yang
45
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
disampaikan dari kedua belah pihak. Dalam hal ini, kedua belah pihak harus menunjukkan bahwa pihak yang diwakilinya adalah bukan sembarang orang tetapi yang mempunyai dan menyandang adat tinggi yang ditunjukkan melalui pasambahan yang bermutu tinggi. Inti dari pasambahan itu adalah maksud kedatangan utusan adalah untuk manjapuik marapulai agar dapat dibawa ke rumah anak daro untuk disandingkan di pelaminan.
2.1.2.4 Pasambahan
Pasambahan dalam adat masyarakat Minangkabau sering juga disebut sebagai pidato adat dalam bahasa Indonesia. Pasambahan merupakan pernyataan hormat dan khidmat terhadap orang yang patut dihormati dan di muliakan. Pasambahan ini umum terjadi di setiap acara masyarakat, seperti upacara kematian, upacara pengangkatan atau pengukuhan penghulu, upacara pemberian gelar, dan upacara perkawinan. Di dalam pasambahan digunakan bahasa yang halus dan berkualitas tinggi yang syarat akan perumpamaan dan nilai-nilai budaya. Pasambahan sebagai salah satu sastra lisan di Minangkabau, kekhasan dan keindahannya akan tercermin pada pilihan kata, pengulangan bunyi, ungkapan-ungkapan, kiasan-kiasan, dan peribahasa yang sering diselipkan dalam melakukan pasambahan tersebut. Djamaris (2002:51) menyatakan bahwa pasambahan atau pidato adat adalah pidato yang dipergunakan dalam upacara adat yang tersusun, teratur dan berirama, serta dikaitkan dengan tambo dan asal usul dengan menyatakan maksud, rasa hormat, tanda kebesaran, dan tanda kemuliaan.
46
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pasambahan manjapuik marapulai adalah pidato adat yang disampaikan dalam upacara perkawinan yaitu pada saat keluarga pengantin wanita mendatangi keluarga pengantin laki-laki untuk menjemputnya dengan maksud meminta izin kepada keluarga pengantin laki-laki agar pengantin tersebut diizinkan tinggal di rumah keluarga pengantin perempuan. Pada situasi tersebut terjadi dialog yang panjang antara juru bicara kedua belah pihak yang saling bersahutan.
Selanjutnya, Djamaris (2002: 51) menyatakan struktur pasambahan terdiri atas:
1. Struktur pasambahan si pangka (tuan rumah) terdiri atas:
pembukaan kata, pernyataan sembah, penyampaian maksud,
mengakhiri sembah, penegasan, dan penangguhan sementara.
2. Struktur pasambahan si alek (tamu) terdiri atas: pembukaan kata,
pernyataan sembah, penyampaian maksud, penegasan, jawaban
persembahan dan mengakhiri sembah, dan penyesuaian.
Pasambahan sebagai ciri masyarakat Minangkabau mencerminkan nilai yang dijadikan sebagai panutan bagi kehidupan masyarakat yang dikenal sebagai nilai budaya Minangkabau. Menurut Djamaris (2002: 64) nilai yang menonjol dalam pasambahan, adalah sebagai berikut; (1) nilai kerendahan hati.
Ini terlihat dari awal pasambahan. Juru sambah tuan rumah menyapa tamu satu persatu dengan menyebut gelar adatnya. Hal ini ditandai sebagai semua tamu dihargai tuan rumah, (2) nilai musyawarah. Musyawarah digunakan untuk
47
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
memutuskan juru sambah yang akan menjadi juru bicara serta jawaban yang akan disampaikan oleh juru sambah, (3) nilai ketelitian dan kecermatan. Dalam hal ini, seorang juru sambah harus teliti dan cermat dalam mendengarkan yang disampaikan oleh juru sambah lawan bicaranya, (4) nilai ketaatan dan kepatuhan terhadap adat yang berlaku. Dalam pasambahan segala sesuatu yang dilakukan harus sesuai dengan adat yang berlaku. Salah satu pokok permintaan dapat disetujui apabila permintaan tersebut sesuai dengan adat yang berlaku.
2.1.3 Makna dan Fungsi
Makna dan fungsi memiliki tempatnya sendiri di dalam sebuah tradisi.
Dalam sebuah tradisi terkandung makna-makna yang dapat dimengerti secara langsung maupun makna yang berupa simbolis yang memerlukan kesadaran manusia untuk menafsirkannya, dan untuk mengetahui makna yang terdapat dalam sebuah tradisi tersebut maka diperlukan analisis terhadap tanda yang terdapat di dalamnya. Geertz (1992: 5) meyakini bahwa kebudayaan terdiri atas simbol-simbol pembawa makna dan untuk menganalisisnya diperlukan semiotik sebagai ilmu yang bersifat interpretatif.
Semiotik merupakan suatu kajian yang mengkaji tentang bagaimana sebuah tanda-tanda memperesentasikan ide, keadaan, situasi, perasaan dan kondisi diluar tanda itu sendiri. Semiotik juga bertujuan untuk mengetahui makna yang terkandung dalam sebuah tanda ataupun dapat menafsirkan makna tersebut sehingga diketahui bagaimana seorang komunikator mengkontruksi pesan yang disampaikan.
48
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Konsep pemaknaan ini tidak terlepas dari nilai-nilai ideologis tertentu serta konsep kultural yang menjadi ranah pemikiran masyarakat dimana simbol tersebut diciptakan. Hal ini sejalan dengan teori segitiga makna atau triangle meaning yang dikemukan oleh Pierce yang terdiri dari tiga elemen utama, yaitu: sign, object dan interpretant. Sign atau tanda adalah suatu pesan yang menurut fisik dapat ditangkap oleh panca indera, yang muncul dari kesepakatan dan sebab akibat dari sebuah objek yang menjadi rujukan dari tanda tersebut. sementara itu, interpretant atau pengguna tanda adalah konsep yang konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya kesuatu makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.
Sementara itu dalam mengkaji fungsi sebuah tradisi prinsip fungsional yang dikembangkan oleh Teori fungsionalisme Malinowski (dalam Endraswara,
2008:124-125) menyatakan bahwa budaya itu berfungsi apabila dikaitkan dengan kebutuhan dasar manusia. Malinowski juga beranggapan bahwa fungsi dari unsur-unsur kebudayaan digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan naluri manusia serta kebutuhan dari budaya itu sendiri. Kebutuhan akan naluri manusia adalah seperti kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari, seperti: makan, minum, kebutuhan akan hiburan dan lain sebagainya.
Berkaitan dengan makna dan fungsi yang telah dijelaskan sebelumnya apabila dikaitkan dengan tradisi manjapuik maparulai dapat di tafsirkan bahwa makna yang terdiri atas sign, objek dan interperetant dapat terlihat dari beberapa persyaratan yang lazim dipenuhi oleh anak daro adalah dengan
49
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pemberian uang japuik. Uang japuik ini lah yang menjadi syarat utama dalam melaksanakan sebuah acara penjemputan marapulai atau dikenal dengan istilah manjapuik marapulai. Sementara itu tradisi manjapuik marapulai memiliki fungsi yang penting dalam kehidupan sosial masyarakat sehingga fungsi-fungsi tersebut dapat bertahan dalam kehidupan sosial masyarakat.
2.1.4 Nilai dan Norma
Nilai merupakan sesuatu yang berguna dan baik yang dicita-citakan dan dianggap penting oleh setiap masyarakat. Sesuatu yang dikatakan dengan memiliki sebuah nilai, apabila sesuatu tersebut mempunyai kegunaan, kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Nilai merupakan suatu hal yang dianggap baik atau buruk bagi kehidupan. Nilai merupakan sesuatu yang abstrak, namun sesuatu tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat.
Pandangan bahwa nilai subjektif sifatnya antara lain dianut oleh Bertens
(1993:140-141), yang menyatakan bahwa nilai berperanan dalam suasana apresiasi atau penilaian dan akibatnya suatu objek akan dinilai secara berbeda oleh berbagai orang. Adapun jenis-jenis nilai adalah sebagai berikut: nilai budaya, nilai moral, nilai agama, nilai politik, nilai sosial, nilai ekonomi, nilai sosial, nilai sosial, nilai solidaritas dan lain sebagainya.
Norma dalam masyarakat merupakan perwujudan nilai, ukuran baik atau buruk yang dipakai sebagai pengarah, pedoman, pendorong perbuatan manusia di dalam kehidupan bersama. Norma dalam sebuah tradisi umumnya merupakan sebuah kesepakatan yang mengatur sesuatu itu baik atau tidak untuk dilakukan.
Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Peursen (1988:44) bahwa
50
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
norma merupakan perwujudan aktif dari nilai. Kata norma berasal dari bahasa belanda yaitu norm yang berarti patokan, atau pedoman, atau pokok kaidah.
Widjaja (1985: 168) menyatakan bahwa norma adalah petunjuk tingkah laku yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan alas an dan motivasi tertentu dengan disertai sanksi. Sanksi adalah ancaman atau akibat yang akan diterima apabila norma tidak dilakukan.
Sehingga dapat disimpulkan pengertian norma adalah kaidah yang menjadi sebuah petunjuk, pedoman bagi seseorang dalam melakukan sebuah tindakan atau tidak melakukan sebuah tindakan, serta bertingkah laku dalam kehidupan di lingkungan masyarakat, seperti: norma kesopanan, norma hukum, serta norma agama.
Norma merupakan wujud nyata dari beberapa nilai-nilai sosial yang berada dikehidupan bermasyarakat yang berbudaya, yang memiliki seperangkat aturan, serta berbagai kaidah, baik itu secara tertulis maupun tidak. Norma- norma tersebut berfungsi sebagai pengatur kehidupan setiap manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Norma merupakan alat agar dapat mengatur orang- orang agar melakukan perbuatan yang diletakkan atas dasar keyakinan serta pada beberapa sikap tertentu. Norma ada kaitannya dengan kerjasama yang terjadi dalam sebuah kelompok atau untuk mengatur setiap perbuatan pada masing-masing anggotanya agar dapat mencapai dan menjunjung nilai-nilai yang telah diyakini secara bersama-sama.
51
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.1.5 Kajian Teori
2.1.5.1 Analisis Wacana Kritis
Istilah analisis wacana merupakan istilah umum yang dipakai dalam banyak disiplin ilmu dengan berbagai pengertian, meskipun pada dasarnya analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai bahasa atau pemakaian bahasa. Wacana merupakan kesatuan makna antar bagian di dalam suatu bangun bahasa. Dengan kesatuan makna, wacana dapat dilihat sebagai suatu bangun bahasa yang utuh karena setiap bagian di dalam wacana itu berhubungan secara padu.
Van Dijk (1987) menyatakan bahwa sebuah wacana dapat dikaji secara kritis. Analisis yang dimaksud adalah analisis yang berkaitan dengan aspek- aspek yang mempengaruhi wacana secara lebih dalam dan menyeluruh, baik secara struktur maupun maknanya. Selanjutnya Van Dijk menjelaskan struktur sosial, dominasi, dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dapat mempengaruhi sebuah teks.
Menurut van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati. Di sini harus dilihat juga bagaimana suatu teks diproduksi. Proses produksi itu melibatkan suatu proses yang disebut sebagai kognisi sosial. Teks dibentuk dalam suatu praktik diskursus, suatu praktik wacana. Di sini ada dua bagian, yaitu teks yang mikro yang merepresentasikan suatu topik permasalahan dalam berita, dan elemen besar berupa struktur sosial.
52
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Van Dijk membuat suatu jembatan yang menghubungkan elemen besar berupa struktur sosial tersebut dengan elemen wacana yang mikro dengan sebuah dimensi yang dinamakan kognisi sosial.
Dalam buku Aims of Critical Discourse Analysis (1987), Van Dijk memberikan pengertian analisis wacana sebagai:
“Critical discourse analysis has become the general label for a study of text and talk, emerging from critical linguistics, critical semiotics, and in general from socio-politically conscious and oppositional way of investigating langusge, discourse, and communication. And in the case of many fields, approaches, and subdiciplines in languages and discourse studies, however, it is not easy precisely delimit the special prinsciples, practices, aims, theories of CDA.”
Dalam analisis wacana model Van Dijk melihat bagaimana struktur sosial, dominasi dan kelompok kekuasan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kognisi atau pikiran serta kesadaran dapat membentuk dan berpengaruh terhadap teks tertentu. Wacana model Van Dijk digambarkan memiliki tiga dimensi pokok, yaitu teks, kognisi sosial dan konteks sosial.
Dengan menggabungkan ketiga dimensi ini maka dapat diperoleh satu kesatuan analisis.
Wacana digambarkan oleh Van Dijk sebagai sesuatu yang memiliki tiga dimensi. Ketiga dimensi tersebut adalah teks, kognisi sosial, dan konteks sosial.
Pada hakikatnya, analisis model Van Dijk ini adalah dengan menggabungkan ke tiga dimensi wacana menjadi satu kesatuan analisis. Teks ditelaah secara aspek
53
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
strukturnya dan strategi wacana dipakai adalah untuk menyajikan tema. Kognisi sosial ditelaah melalui proses produksi teks yang melibatkan kognisi individu.
Berkaitan dengan struktur wacana, Van Dijk (1985) membaginya menjadi tiga bagian, yaitu struktur makro, struktur alur dan struktur mikro.
1. Struktur makro adalah tema global yang terdapat pada sebuah teks yang
dapat diamati dari topik atau tema yang diangkat. Struktur makro ini
memberikan informasi penting dan memiliki peran yang penting pula
dalam membangun sebuah kesadaran sosial. Topik direpresentasikan ke
dalam suatu atau beberapa kalimat yang merupakan gagasan utama/ide
pokok wacana. Topik juga dikatakan sebagai “semantic
macrostructure”. Makrostruktur dikatakan sebagai semantik karena
topik atau tema yang terdapat pada sebuah teks akan berhadapan dengan
makna dan referensi.
2. Struktur alur adalah kerangka sebuah sebuah teks. Pada struktur alur ini
van Dijk menggambarkannya sebagai sebuah kesatuan yang koheren dan
padu. Artinya, apa yang diungkap dalam struktur alur yang pertama akan
diikuti dan didukung oleh bagian-bagian lain dalam sebuah wacana.
Struktur alur mengorganisasikan topik dengan cara menyusun kalimat
atau unit-unitnya berdasarkan urutan. Teks atau wacana umumnya
mempunyai skema atau alur dari pendahuluan sampai akhir. Alur
tersebut menunjukkan bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan
diurutkan sehingga membentuk kesatuan arti.
54
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3. Struktur mikro adalah struktur pemaknaan wacana yang dapat diamati
dengan menganalisis kata, frasa, kalimat, proposisi, paragraph dan
makna sebuah wacana.
Meskipun terdiri atas berbagai elemen, semua elemen tersebut merupakan satu kesatuan, saling berhubungan dan mendukung satu sama lainnya. Makna global dari suatu teks (tema) didukung oleh kerangka teks dan baru kemudian pilihan kata dan kalimat yang dipakai.
2.1.5.2 Semiotik
Perkembangan pola pikir manusia merupakan suatu bentuk perkembangan yang mendasari terbentuknya sebuah pemahaman yang merujuk pada terbentuknya sebuah makna. Secara umum, semiotik merupakan ilmu yang mengkaji bagaimana tanda-tanda dapat merepresentasikan benda, ide, keadaan, situasi, perasaan dan kondisi di luar tanda-tanda itu sendiri.
Bagi Charles Sanders Pierce (1982) prinsip mendasar sifat tanda adalah sifat representatif atau interpretatif. Sifat representatif tanda memiliki arti bahwa tanda merupakan sesuatu yang lain, sedangkan sifat interpretatif berarti bahwa tanda tersebut memberikan peluang bagi interpretasi bergantung pada pemakai dan penerimanya.
Semiotika memiliki tiga kategori kajian, yaitu:
a. Tanda itu sendiri, kajian tentang beberapa tanda yang berbeda, cara-cara
tanda yang berbeda tersebut dalam menyampaikan makna dan cara tanda
terkait dengan manusia yang menggunakannya.
55
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
b. Sistem atau kode, kajian yang mencakup cara berbagai kode yang
dikembangkan guna memenuhi kebutuhan masyarakat atau budaya
c. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja bergantung pada
penggunaan kode dan tanda.
Teori Semiotika yang dikemukan oleh Charles Sanders Pierce disebut sebagai Ground Theory, hal ini disebabkan karena ide dan gagasannya yang bersifat menyeluruh, deskripsi struktural dari semua penandaan. Teori semiotik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori yang dikembangkan oleh
Charles Sanders Pierce (1982). Pierce merumuskan teori segitiga makna yang dikenal dengan triadic yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni:
1. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh
panca indera dan merupakan sesuatu yang merujuk atau
merepresentasikan hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut
Pierce terdiri dari simbol atau tanda yang muncul dari kesepakatan, ikon
atau tanda yang muncul dari perwakilan fisik, dan indeks atau tanda
yang muncul dari hubungan sebab akibat.
2. Objek atau acuan adalah merupakan konteks sosial yang menjadi
referensi dari sebuah tanda atau sesuatu yang dirujuk oleh tanda.
3. Interpretant atau pengguna tanda konsep pemikiran dari orang yang
menggunakan tanda dan menurunkannya kesuatu makna tertentu atau
makna yang ada dalam fikiran seseorang tentang objek yang dirujuk
oleh sebuah tanda.
56
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.1.5.3 Fungsi
Teori fungsionalisme yang dikemukakan oleh Malinowski (1987) menyatakan bahwa budaya itu berfungsi apabila dikaitkan dengan kebutuhan dasar manusia. Malinowski juga beranggapan bahwa fungsi dari unsur-unsur kebudayaan digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan naluri manusia serta kebutuhan terhadap budaya itu sendiri. Kebutuhan akan naluri manusia seperti kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari, seperti: makan, minum, kebutuhan akan hiburan dan lain sebagainya.
Malinowski (1987) berpendapat bahwa pada dasarnya kebutuhan setiap manusia itu sama, baik itu kebutuhan yang bersifat biologis maupun yang bersifat psikologis dan kebudayaan pada dasarnya adalah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Kondisi pemenuhan kebutuhan tidak terlepas dari sebuah proses ke arah kontruksi nilai-nilai yang terdapat dan telah disepakati bersama dalam sebuah komunitas masyarakat dan dari nilai-nilai tersebut pada akhirnya akan bermuara pada pembentukan tindakan yang terlembagakan dan dapat dimaknai sendiri oleh masyarakat tersebut yang pada akhirnya akan memunculkan sebuah tradisi.
Kebutuhan semua masyarakat merupakan kepentingan para anggota masyarakatnya. Kebutuhan dasar inilah yang menuntut standarisasi tertentu dari sebuah perilaku yang ada dalam suatu komunitas masyarakat, oleh karena itu kebudayaan berperan untuk membentuk cara berfikir, bertindak, dan merasakan yang mana semua itu diperoleh melalui pengalaman dan proses belajar.
57
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Selanjutnya Malinowski membagi konsep fungsi dalam melihat kebudayaan, yaitu:
1. Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan biologis, seperti kebutuhan
akan pangan dan prokreasi,
2. Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan instrumental, seperti
kebutuhan akan hukum dan pendidikan,
3. Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan integratif, seperti agama
dan kesenian.
Dalam konsep fungsionalisme yang dikemukakan oleh Malinowski dijelaskan beberapa unsur kebutuhan pokok manusia yang terlembagakan dalam kebudayaan dan berfungsi untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok manusia, seperti: kebutuhan akan gizi (nutrition), berkembang biak
(reproduction), kenyamanan (body comfort), keamanan (safety), rekreasi
(relaxation), pergerakan (movement), dan pertumbuhan (growth).
2.1.6 Kearifan Lokal
Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat atau local wisdom atau pengetahuan setempat local knowledge atau kecerdasan setempat local genious.
58
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Kearifan (wisdom) dan lokal adalah dua kata yang sebenarnya memiliki arti sendiri-sendiri. Kearifan adalah sebuah kata sifat yang melekat pada karakter diri seseorang, yang memiliki arti sebagai pribadi yang arif dan bijaksana. Sedangkan lokal adalah kondisi sebuah tempat atau sebuah daerah.
Kearifan lokal maknanya sangatlah luas, karena menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan tata nilai, kebiasaan, tradisi, budaya maupun agama, yang menjadi aturan dan kesepakatan komunitas (lokalitas) yang harus dilaksanakan.
Oleh sebab itu, kearifan lokal bisa juga dimaknai sebagai gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, memiliki nilai baik dan tertanam serta diikuti oleh setiap anggota masyarakatnya.
Sibarani (2012: 112-113) menyatakan bahwa kearifan lokal dapat digolongkan menjadi dua pengertian, yaitu yang pertama, “kearifan lokal adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai- nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat.”
Pada pengertian yang pertama ini dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal lebih menekankan pada kebijaksanaan atau kearifan untuk menata kehidupan sosial yang berasaskan pada nilai budaya yang luhur. Pengertian yang kedua,
“kearifan lokal adalah nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif maupun bijaksana.”
Pengertian yang kedua ini dapat diartikan bahwa kearifan lokal dipandang sebagai nilai budaya yang digunakan untuk kehidupan sosial masyarakat.
Definisi kearifan lokal dapat diartikan sebagai nilai-nilai budaya yang baik dalam suatu komunitas masyarakat. Untuk mengetahui suatu kearifan lokal
59
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
yang terdapat pada suatu wilayah maka kita harus memahami nilai-nilai budaya yang baik yang terdapat pada daerah tersebut yang dilakukan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Budaya gotong royong dan saling menghormati adalah contoh kecil dari sebuah kearifan lokal. Kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai kebijaksanaan atau nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya lokal berupa petatah-petitih, semboyan hidup, dan tradisi lisan manjapuik marapulai pada upacara perkawinan adat Pariaman, sehingga pada tradisi lisan tersebut mengandung unsur-unsur kearifan lokal.
Menghargai nilai-nilai kearifan lokal sesungguhnya merupakan suatu upaya yang terstruktur dalam mengoptimalkan atau memaksimalkan cultural identity, yaitu suatu identitas atau kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan sebuah bangsa mampu untuk menyerap dan mengolah kebudayaan daerah sesuai dengan watak dan identitas budaya setempat yang telah berlangsung secara turun temurun dari generasi ke generasi.
Kearifan lokal selalu dijadikan pedoman atau acuan oleh masyarakat dalam bertindak atau berperilaku dalam praksis kehidupannya. Setiap masyarakat diharapkan mampu untuk mengembangkan kearifan lokal sesuai dengan kondisi lingkungan sosialnya maupun lingkungan alamnya serta sistem pengetahuan adat istiadat yang dimilikinya. Kearifan lokal (local wisdom) merupakan bagian dari sistem budaya yang biasanya yang mengatur hubungan sosial kemasyarakatan.
60
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.1.7 Revitalisasi Tradisi Lisan Manjapuik marapulai pada Upacara Perkawinan Adat Pariaman
Pergeseran tradisi lisan upacara perkawinan terjadi bila suatu komunitas secara kolektif meninggalkan kebiasaan-kebiasan tradisi yang sebelumnya telah berlangsung dari satu generasi dengan generasi lain. Tradisi yang mulai ditinggalkan komunitasnya dalam kehidupan sehari-hari perlu dilakukan tindakan dan upaya pencegahan agar tradisi lisan yang selama ini berlangsung di masyarakat guyub tutur dalam bentuk merevitalisasi tradisi lisan tersebut.
Pentingnya merevitalisasi tradisi lisan sebagai upaya pentransmisian dari satu generasi ke generasi lainnya dalam bentuk revitalisasi secara berkesinambungan. Untuk mempertahankan kesinambungan tersebut peneliti tradisi lisan perlu membuat model revitalisasi untuk menghidupkan kembali tradisi tersebut serta memfungsikan nilai dan norma budaya dalam komunitas tersebut Sibarani (2012: 292).
Sejalan dengan pendapat di atas revitalisasi tradisi lisan pada upacara perkawinan Minangkabau dikonseptualisasikan telah terjadi pergeseran tradisi lisan tersebut dalam kehidupan masyarakat. Maka, sebagai upaya revitalisasi perlu dilakukan proses pemeliharaan tradisi lisan pada upacara perkawinan
Minangkabau sehingga tidak terjadi kehilangan tradisi lisan.
Romaine (1995:40) menyatakan bahwa perlunya dilakukan sebuah revitalisasi adalah karena ada 10 faktor penyebabnya, seperti:
1. Kekuatan secara kuantitatif antara kelompok mayoritas dengan
kelompok minoritas;
2. Kelas sosial;
61
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3. Latar belakang agama dan pendidikan;
4. Pola perkampungan/ kemasyarakatan;
5. Kesetiaan terhadap tanah air atau tanah kelahiran;
6. Derajat kesamaan antara bahasa mayoritas dan bahasa minoritas;
7. Luas perkawinan campuran;
8. Sikap mayoritas dan minoritas;
9. Kebijakan pemerintah terhadap pengawasan bahasa dan pendidikan
bahasa;
10. Pola-pola penggunaan bahasa.
Faktor-faktor yang memenentukan vitalitas budaya dan adat mengalami kepunahan, sebagai indikator keterancaman dalam proses revitalisasi menurut
Grenoble dan Whaley (2006:18) yang diadaptasi dari Whaley (2003), Kinkade
(1991), dan Wurm (1998) kategori keterancaman adalah:
1) Aman, suatu tradisi dianggap aman ketika generasi masih menggunakan
tradisi dalam kehidupan sehari-hari,
2) Beresiko, apabila suatu tradisi digunakan oleh orang yang jumlahnya
terbatas di wilayah yang sama,
3) Hilang, adat dan budaya yang pemakaiannya semakin menurun jumlah
guyub tutur, sehingga proses regenerasi komunitas pemakai adat dan
tradisi dari satu generasi ke generasi berikutnya semakin berkurang
bahkan hilang,
62
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4) Sekarat, dikatakan hampir mati apabila pengguna adat semakin
menurun jumlah penutur tradisi lisan, sehingga tidak lagi di turunkan ke
generasi berikutnya,
5) Hampir punah, bila pengguna guyub tutur hanya sebagian kecil yang
menggunakan, dan
6) Punah, bila suatu adat dan budaya, yang tidak lagi memiliki penutur
asli maka, adat dan budaya tersebut akan punah.
2.1.8 Kajian yang Relevan
Penelitian yang mengkaji tentang tradisi manjapuik marapulai
sebenarnya telah ada yang melakukannya namun, penelitian tersebut
berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan. Pada penelitian ini
penulis menggunakan pendekatan analisis teori Van Dijk (1985) untuk
melihat tradisi tersebut dari sudut pandang kajian tradisi lisan.
Pada sub-bab kajian yang relevan ini, penulis menemukan
beberapa penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan judul penelitian
penulis, diantaranya: (1) Penelitian yang berjudul Bundo Kanduang nan
Gadang Basa Batuah: Kajian talempong Bundo dalam Upacara Maanta
Padi Saratuih di Nagari Singkarak, Minangkabau oleh Wilma Sriwulan
(2014). penelitian mengkaji tentang upacara persembahan hasil panen
yang dilakukan oleh induak bako dan perempuan-perempuan bako
(saudara perempuan ayah) dalam rangkaian tradisi perkawinan anak
pisangnya (anak saudara laki-laki dari seorang perempuan). Dalam
acara ini induk bako menjemput anak pisang dengan membawanya ke
63
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
rumah bako dan kemudian mengantarkan kembali dengan arak-arakan
maanta padi saratuih dengan menggunakan talempong bundo yang
masih dijunjung tinggi oleh masyarakat sekitar. Relevansi penelitian
yang dikaji oleh Wilma dalam penelitian ini adalah sebagai informasi
yang berkaitan dengan wujud nyata seorang perempuan dalam acara
adat, salah sati diantaranya adalah tentang perkawinan.
Penelitian lain yang mengkaji tentang budaya Minangkabau
adalah penelitian yang dilakukan oleh Isman (2014) dengan judul
Tradisi Batagak Panghulu di Minangkabau. Penelitian ini memaparkan
dan menganalisis performansi acara batagak pangulu di Minangkabau
serta menemukan unsur-unsur yang terdapat pada tradisi tersebut
diantaranya, teks, ko-teks dan konteks serta menemukan nilai-nilai dan
norma-norma yang terdapat pada tradisi tersebut. Dalam hal ini
peneliti juga membuat model revitalisasi tradisi batagak pangulu yang
dilakukan melalalui musyawarah dan gotong royong yang dilakukan
secara bersama-sama. Penelitian Isman memberikan kontribusi
terhadap penelitian ini dalam kajian teori dan metode penelitian. Secara
teoritis penelitian ini menggunakan beberapa teori diantaranya
Performansi, dan secara metodologi menggunakan metode kualitatif.
Selanjutnya Kajian penelitian “Komunikasi Simbolik dalam Upacara
Pernikahan Manjapuik marapulai yang ditulis oleh Lubis (2017). Penilitian ini mendeskripsikan simbol-simbol bahasa kiasan yang digunakan dalam upacara pernikahan manjapuik marapulai di Kabupaten Tanah Datar. Ada bebepara hal
64
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
yang menarik dalam penelitian ini, yaitu simbol yang terdapat dalam bahasa kiasan, makna yang terdapat dalam bahasa kiasan, makna yang mengandung nilai agama, dan makna yang mengandung ideologi.
Kajian penelitian tentang “Perempuan dan Modernitas: Perubahan Adat
Perkawinan Minangkabau pada Abad ke 20” yang ditulis oleh Selvi Mahat Putri
(2015). Penelitian ini mengkaji tentang pengaruh modernisasi terhadap perempuan Minangkabau dalah hal perkawinan. Pada penelitian ini dikaji dua poin penting, yang pertama: mengenai perempuan minangkabau yang memandang modernisasi dapat merubah situasi khususnya dalam hal perkawinan, artinya perempuan memiliki andil dalam perubahan yang terjadi tersebut. Yang kedua, kemajuan era telah membuat perempuan memiliki posisi, peran, dan kedudukan yang penting dalam hal perkawinan.
Selain disertasi dan tesis, penulis juga mengambil beberapa referensi lainnya dari jurnal yang berkaitan dengan penelitian penulis, diantaranya: Jurnal yang berjudul Konstruksi Makna bajapuik pada Pernikahan bagi Perempuan
Pariaman di Kecamatan Pasir Penyu yang ditulis oleh Bunga Moeleca. Pada jurnal ini penulis mengkaji mengenai motif perempuan Pariaman menggunakan adat bajapuik, pengetahuan dan pengalaman mereka, serta nilai yang terkandung dalam tradisi pernikahan bagi perempuan Pariaman.
Selanjutnya Jurnal “Tindak Tutur Direktif dalam Pidato Pasambahan
Adat dalam Upacara Adat Manjapuik marapulai Kabupaten Solok Sumatera
Barat. Jurnal ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang tindak tutur direktif yang terdapat dalam pasamabahan manjapuik marapulai. Hasil penelitian ini
65
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
menunjukkan bahwa pasambahan dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu pihak si pangka dan pihak si alek. Pasambahan dilakukan secara berbalas dengan menggunakan bahasa kiasan. Tuturan direktif digunakan dalam pasambahan ini, diantaranya: permintaan, pertanyaan, perizinan, perintah dan nasihat. Keseluruhan dari tuturan direktif ini disampaikan melalui bahasa kiasan sebagai wujud dari budaya Minangkabau.
Selanjutnya jurnal yang ditulis oleh Bunga Moeleca (2012) dengan judul
Kontruksi Makna Bajapuik pada Pernikahan bagi Perempuan Pariaman di
Kecamatan Pasir Penyu. Jurnal ini mengkaji tentang motif perempuan Pariaman dalam menggunakan adat manjapuik marapulai, pengetahuan dan pengalaman mereka, serta nilai yang terkandung dalam tradisi pernikahan yang dilakukan oleh perempuan Minang di Pariaman.
“Dualitas Praktik Perkawinan Minangkabau” ditulis oleh Zainal Arifin
(2009). Jurnal ini mengkaji tentang perkawinan Minangkabau yang dipandang dari dua sisi. Dituliskan bahwa penikahan tidak hanya ditentukan oleh norma adat tetapi juga dipengaruhi oleh adanya unsur politik perkawinan yang dilakukan oleh aktor dan kelompok sosial yang akan menjalin perkawinan tersebut dengan adat dan merekontruksi tekanan adat yang disebabkan oleh beberapa faktor dengan memasukkan unsur-unsur politik perkawinan.
Penelitian-penelitian di atas memberikan sumbangan teoritis dan metodologis pada penelitian tradisi manjapuik marapulai pada upacara perkawinan adat Minangkabau di Kecamatan Sungai Geringging kabupaten
Pariaman serta memberikan wawasan dalam mengkaji nilai-nilai tradisi lisan
66
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
yang terkandung pada upacara adat perkawinan Minangkabau di Nagari Sungai
Geringging, Pariaman yang masih kental dengan adat dan tradisinya dan masih berlangsung hingga pada masa sekarang ini.
2.1.9 Kerangka Konsep
Kerangka konsep ini diawali dengan mengkaji objek penelitian yaitu tradisi manjapuik marapulai pada upacara perkawinan adat Minangkabau.
Penulis menganalisis tradisi manjapuik marapulai ini berdasarkan rumusan masalah, yaitu: performansi tradisi manjapuik marapulai, kearifan lokal, dan revitalisasi. Rumusan masalah yang telah ditentukan dan dianalisis dengan menggunakan teori dan pendekatan yang relevan. Performansi tradisi manjapuik marapulai diadopsi dan dianalisis berdasarkan teori dari Finnegan (1992). Teks pasambahan dianalisis dengan Analisis Wacana Kritis dari Van Dijk (1987)
Kearifan lokal dianalisis berdasarkan pemikiran Robert sibarani (2012), dan revitalisasi dianalisis berdasarkan pemikiran dari Romaine (1995) dan Robert
Sibarani (2012).
Untuk lebih jelasnya, kerangka konsep dapat dilihat pada bagan berikut ini:
67
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Tradisi Lisan Pasambahan Manjapuik marapulai pada Upacara Perkawinan Adat Minangkabau
Analisis Wacana Tradisi Lisan Kritis
Struktur Makro Bentuk Isi Struktur Alur Performansi Struktur Mikro Teks, Ko-teks Nilai dan Norma dan Konteks Makna dan Fungsi
Kearifan Lokal
Revitalisasi Tradisi Manjapuik Marapulai
Bagan 2.1 Kerangka Konsep
68
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pengantar
Bab ini mendeskripsikan metode yang digunakan dalam penelitian ini, yang yang mencakup: metode penelitian, lokasi dan waktu penelitian, sumber data penelitian, serta metode yang digunakan dalam mengumpulkan dan menganalis data.
3.1.1 Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif model interaktif, dengan menggunakan metode deskriptif yaitu data pengamatan secara alamiah aktifitas tradisi lisan manjapuik marapulai pada upacara perkawinan adat Pariaman, sehingga diperoleh pendeskripsian tradisi manjapuik marapulai pada upacara perkawinan adat
Pariaman yang sebenarnya.
Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi mengenai gejala sosial, yaitu keadaan atau fenomena secara alamiah dan apa adanya ketika penelitian dilakukan.
Pendekatan kualitatif yang dilakukan pada penelitian ini, bertujuan untuk mendapatkan informasi dari informan kunci dengan menggunakan metode wawancara dan pengamatan, mengumpulkan data primer dan data skunder.
Penggunaan metode kualitatif dan pemanfaatan teori tuturan lisan Held
(2005:136) menjelaskan, "The main focus of empirical methods is
69
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
beginning to move in a qualitative direction: together with the criteria of speech-act theory this seems to guarantee the greatest success in researching politeness.”
Untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini secara mendalam, penulis menggunakan pendekatan model analisis antropolinguistik yang penulis sesuaikan dengan data penelitian, yaitu: tradisi manjapuik marapulai di Nagari Sungai Geringging, Kabupaten Pariaman. Menurut
Sibarani (2012: 304-305) model analisis antropolinguistik ini sesuai untuk penelitian yang mengkaji tentang tradisi, karena semua unsur baik unsur verbal dan non-verbal sebuah tradisi itu dapat diwujudkan melalui teks, ko- teks, dan konteks sehingga keseluruhan perwujudan tersebut dapat membentuk sebuah pemahaman tradisi lisan.
Penelitian ini mendeskripsikan tradisi manjapuik marapulai pada upacara perkawinan adat pariaman yang menjawab rumusan masalah pertama yaitu: pelaksanaan tradisi lisan manjapuik marapulai pada upacara perkawinan adat pariaman dilihat dari unsur yang ada yang ada didalamnya, yakni pada teks, ko-teks, dan konteks. Unsur teks yang diteliti adalah teks pasambahan yang meliputi struktur makro, superstruktur (struktur alur), struktur mikro kognisi sosial, dan analisis sosial. Pada unsur ko-teks, penulis mendeskripsikan intonasi dan benda material yang digunakan pada saat acara berlangsung. Sementara itu, unsur konteksnya penulis mendeskripsikan konteks budaya, sosial, situasi dan ideologi.
70
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Hasil analisis data dijelaskan dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang dilakukan sejalan dengan pendapat Sudaryanto (1993) yang menyatakan bahwa, dengan menggunakan teknik-teknik survey sosial seperti: wawancara terstruktur dan wawancara tak terstruktur dan daftar pertanyaan yang tersusun, observasi terstruktur, analisis isi, dan analisis data formal dan sebagainya.
Penelitian kualitatif juga berkaitan dengan pengamatan berpartisipasi, wawancara terstruktur dan wawancara tak terstruktur, kelompok-kelompok fokus, telaah teks-teks kualitatif, dan teknik analisis kegiatan tradisi lisan yang dituliskan dalam bentuk teks.
Proses siklus pengumpulan data dan analisis data sampai kepada tahap penyajian hasil penelitian serta penarikan kesimpulan dapat dilihat seperti pada bagan berikut ini:
Pengumpulan Data Penyajian Data
Kesimpulan Kondensasi Data data
Bagan 3.3 Analisis Data Model Interaktif Miles and Huberman (2014:14)
3.1.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Provinsi Sumatera Barat, tepatnya di daerah
Kecamatan Sungai Geringging Kabupaten Pariaman. Penelitian ini dilaksanakan
71
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pada masyarakat sungai geringging yang mendiami 4 (empat) nagari, yaitu:
Nagari Sungai Sirah Kuranji Hulu, Nagari Batu Gadang Kuranji Hulu, Nagari
Kuranji Hulu, dan Nagari Malai III Koto. Menurut pemuka masyarakat setempat, ke empat Nagari tersebut memiliki dan masih mempertahankan adat yang berlaku. Masing-masing Nagari juga memiliki latar adat yang sama dan masyarakatnya juga masih memiliki hubungan keturunan dan kekerabatan yang terpelihara dengan baik sampai sekarang ini. Dengan demikian peneliti dapat memperoleh data yang diharapkan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini.
Pada tanggal 20-23 Oktober 2017, penulis melakukan survei awal yakni mencari informasi mengenai tradisi manjapuik yang masih dipertahankan di wilayah Kabupaten Pariaman. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 2-3
Desember 2017, yakni pada tanggal 2 Desember 2017 dilaksanakan akad nikah dan pada tanggal 3 Desember 2017 dilaksanakan resepsi perkawinan. Tanggal
4-6 Desember 2017, penulis melakukan wawancara kepada informan dan orang- orang yang terkait langsung pada proses acara manjapuik marapulai, serta ninik mamak dari keluarga kedua belah pihak.
Pada 8-10 Desember 2017, penulis melakukan wawancara dengan pemuka adat atau tokoh adat dan orang-orang yang berwenang untuk memberikan informasi mengenai adat yang terdapat di Kecamatan Sungai
Geringging.
72
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3.1.3 Sumber Data
Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Menurut Indriantoro dan Supomo (2014: 146) menyatakan bahwa, data primer merupakan data yang dikumpulkan oleh peneliti secara langsung dari sumbernya. Data primer secara khusus dikumpulkan oleh peneliti untuk menjawab pertanyaan penelitian. Data primer dapat berupa opini subjek (orang) secara individual atau kelompok, hasil observasi terhadap suatu benda atau kejadian atau peristiwa. Sumber data primer pada penelitian ini diperoleh langsung ketika pelaksanaan upacara perkawinan adat yang dilakukan oleh pasangan yang bernama Satria Perdana, S.Pd dan DR. Suci Nurul Hidayati pada tanggal 3 Desember 2017 yang beralamat di Jalan Raya Sungai Geringging.
Dalam hal ini tradisi lisan manjapuik marapulai pada upacara perkawinan adat
Pariaman sebagai wadah berlangsungnya upacara adat perkawinan tersebut dapat tergambar dengan jelas melalui rekaman video, sehingga gerakan dan suara yang dihasilkan dapat diamati dengan seksama. Kemudian, Alur pasambahan yang disampaikan secara lisan oleh juru bicara kedua belah pihak juga dijadikan sebagai data primer. Data primer juga didapat dengan mengambil data dari informan kunci yaitu pelaku adat seperti: panghulu, ninik mamak, bundo kanduang, dan orang yang memahami adat manjapuik marapulai pada upacara perkawinan adat Pariaman.
Informan dalam penelitian ini ditentukan dengan teknik snowball sampling. Lee dan Berg (2003:5) menyatakan strategi dasar dalam snowball dimulai dengan menetapkan informan kunci dan mengadakan interview secara
73
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
bertahap atau berproses, kepada informan kunci tersebut diminta arahan, saran, petunjuk tentang siapa sebaiknya informan berikutnya yang menurutnya memiliki pengetahuan, pengalaman dan informasi yang dicari. Selanjutnya, penentuan informan berikutnya dilakukan dengan tekhnik yang sama, sehingga jumlah informan akan bertambah. Demikian pula hal yang sama dilakukan pada penelitian ini, peneliti tidak menentukan informan melainkan tergantung dari informasi yang diberikan oleh informan kunci dan tergantung dari data yang tersedia dilapangan.
Data sekunder adalah data yang telah tersedia dalam bentuk teks, gambar dan suara. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang disebutkan oleh
Iskandar (2009:117) bahwa data sekunder merupakan data yang telah tersedia dan dapat diperoleh oleh peneliti dengan cara membaca, melihat dan mendengarkan. Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan dan selebihnya merupakan data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Sejalan dengan pendapat di atas Heritage (1988) kajian analisis percakapan memerlukan data yang muncul secara alamiah, dalam hal ini sumber data utama adalah tradisi lisan upacara perkawinan adat pariaman yang direkam dengan handycam dan dicatat. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Hutchby dan Wooffitt (1994) data yang dianalisis adalah data yang direkam dan ditranskripsikan, kemudian dilengkapi dengan pengambilan foto.
Sumber data primer penelitian ini terdiri dari dua jenis, yakni: data yang diperoleh ketika upacara adat perkawinan berlangsung dalam bentuk tradisi lisan dan wawancara dengan informan kunci yaitu dengan pemuka adat, pelaku
74
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
adat, dan tokoh masyarakat, sedangkan sumber data sekunder pada penelitian ini adalah yang berkaitan dengan dokumen, informasi yang diperoleh dari media lain seperti internet, koran dan majalah.
Sumber Data Penelitian
Data primer Data sekunder
Acara Wawancara Dokumen, Naskah (Teks
Manjapuik dengan 5 Orang Pasambahan), Internet, Data Marapulai Informan Statistic dan Hasil-Hasil
Diskusi
Bagan 3.1 Sumber Data
3.1.4 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data, menurut Usman (2009:69) dikerjakan dengan live dokumentasi, yakni pengambilan data yang diperoleh melalui rekaman langsung meliputi tiga dimensi dasar yaitu ruang, pelaku, dan kegiatan dan dua dimensi tambahan yaitu: objek dan perasaan. Ruang adalah tempat yang dapat dilihat dari penampilan fisiknya, pelaku merujuk kepada semua orang yang terlibat dalam acara yang berlangsung, dan kegiatan berlaku kepada apa yang dilakukan orang-orang tersebut pada acara yang berlangsung. Objek terkait dengan orang yang terdapat ditempat tersebut yang menjadi sasaran dari pelaku,
75
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dan perasaan adalah emosi yang dirasakan dan dinyatakan oleh pelaku dan objek yang hadir ditempat tersebut.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Observasi
Observasi yang dilakukan adalah untuk memperoleh atau melihat
secara sistematis mengenai gambaran kehidupan sosial masyarakat
Kecamatan Sungai Geringging dalam melaksanakan tradisi manjapuik
marapulai.
Observasi adalah pengamatan yang dilakukan secara langsung.
Iskandar (2009:121) menyatakan bahwa kegiatan observasi meliputi
melakukan pengamatan, pencatatan secara sistemik kejadian-kejadian,
perilaku, objek-objek yang dilihat dan hal-hal lain yang sedang
dilakukan. Observasi bertujuan untuk mengumpulkan data dan bahan-
bahan dari upacara perkawinan adat yang berkaitan dengan objek yang
diteliti. Di dalam observasi, pengobservasian tidak memanipulasi data
dan juga menstimulasi subjeknya.
Dalam hal melakukan observasi, peneliti tradisi lisan juga harus
melihat dan mengamati tradisi yang dilaksanakan sebagai objek kajian
penelitiannya secara empiris dengan menggunakan pancaindera.
Penelitian pada tradisi manjapuik marapulai ini menggunakan
teknik observasi partisipatoris yang bersifat pasif atau observasi non
partisipatoris atau observasi non-intervensionism. Adapun hal-hal yang
penulis lakukan dalam observasi partisipatoris pasif dalam penelitian ini
76
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
yaitu penulis tidak terlibat langsung dengan aktivitas sumber data
melainkan hanya sekedar melakukan pengamatan jalannya acara
manjapuik marapulai yang dilakukan mulai dari kediaman anak daro
sampai marapulai yang dijemput tiba di rumah anak daro.
Alat bantu yang digunakan dalam melakukan observasi ini
adalah handycam dan handphone. Kedua alat ini difungsikan sebagai
media perekam jalannya acara manjapuik marapulai, yang hasil datanya
dapat dilihat dan didengar dalam bentuk vidio dan gambar.
2. Wawancara
Wawancara merupakan tekhnik pengumpulan data kualitatif
dengan menggunakan instrument pedoman wawancara. Wawancara
yang dilakukan oleh penulis adalah dengan subjek penelitian yang
terbatas, yaitu dalam hal ini adalah informan penelitian. Pemilihan
informan dalam penelitian ini penulis lakukan sesuai dengan konsep
Spradley (1985) bahwa informan dalam sebuah penelitian hendaklah
memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Mereka yang menguasai atau memahami masalah yang diteliti
2. Mereka yang sedang terlibat pada kegiatan yang sedang diteliti
3. Mereka yang tidak cenderung menyampaikan informasi hasil
kemasannya sendiri
4. Mereka yang mempunyai waktu yang memadai untuk dimintai
informasi
77
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
5. Mereka yang awalnya merasa asing dengan peneliti sehingga
menjadi tertarik untuk dijadikan sebagai guru atau narasumber.
Berdasarkan kriteria di atas, penulis menemukan dan menentukan beberapa orang informan yang dapat memberikan informasi yang penulis butuhkan dalam penelitian ini, yaitu: panghulu, ninik mamak, bundo kanduang, dan orang yang memahami adat manjapuik marapulai. (Data terlampir)
Moleong (2007) mendefinisikan wawancara sebagai suatu percakapan dalam maksud tertentu dan dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interview) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewer) yang memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan wawancara yang mendalam (depth interview) tak terstruktur dengan informan untuk menggali informasi yang berhubungan dengan upacara perkawinan adat pariaman, sehingga didapat upacara perkawinan adat Pariaman yang cukup akurat dan jelas adanya. Untuk wawancara tidak terstruktur penulis telah menyiapkan rangkaian pertanyaan sebanyak dua puluh (20) item yang jawabannya diserahkan sepenuhnya kepada pengetahuan orang yang diwawancarai, dalam hal ini ditujukan kepada tujuh (7) orang informan.
78
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3. Studi Dokumentasi
Arikunto (2006:132) menyatakan bahwa teknik dokumentasi
merupakan pencarian data yang dilakukan mengenai hal yang berupa
catatan, traskrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat,
agenda dan sebagainya. Dalam hal ini penulis menggali informasi yang
berhubungan dengan data penduduk dan hal-hal yang berkaitan dengan
masyarakat setempat. Dalam penelitian ini penulis mendapatkan data
statistik kependudukan yang dapat memberikan informasi mengenai
system kependudukan yang ada di lingkungan masyarakat Kabupaten
Padang Pariaman.
4. Metode penelusuran data online.
Menurut Bungin (2007:125), pengumpulan data secara online
memerlukan pemahaman teknologi informasi komunikasi. Hal ini
disebabkan data yang akan ditemukan harus dilacak dengan perangkat
teknologi informasi komunikasi. Berdasarkan kemampuan pengaksesan
perangkat teknologi ini dilakukan pencarian dari google ke berbagai
situs penyedia data online. Dari google pengaksesan diarahkan ke media
sosial penyedia data online yang dapat diunduh secara bebas yang
berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.
79
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Metode Pengumpulan Data
Data primer Data sekunder
Observasi Wawancara Studi Penelusuran
Dokumentasi Data Online
Bagan 3.2 Metode Pengumpulan Data
3.1.5 Metode Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum terjun ke lapangan,selama pelaksanaan di lapangan dan setelah penelitian di lapangan.
Data peneltian ini diperoleh dari hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi.
Analisis data dilakukan dengan cara mengorganisasi data yang diperoleh kedalam sebuah kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, menganalisis data yang penting, menyusun atau menyajikan data yang sesuai dengan penelitian dan membuat sebuah kesimpulan agar mudah untuk dipahami.
Dari data yang telah diperoleh penulis menggunakan tekhnik analisis data oleh Miles dan Huberman (1992). Menurut Miles dan Huberman (1992) aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya jenuh.
Aktivitas dalam menganalisis data kualitatif yaitu:
80
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1. Kondensasi Data
Kondensasi data merujuk pada proses menyeleksi, memfokuskan,
menyederhanakan, mengabtraksi, dan mentransformasi data yang
terdapat pada catatan lapangan maupun transkrip dalam penelitian. Hal
ini dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Selecting
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah semua kegiatan
yang terlaksana dalam acara manjapuik marapulai yang
didokumentasikan melalui handycam dan handphone sebagai data
primer serta hasil catatan alur pasambahan dan hasil rekaman
wawancara. Sementara itu untuk data sekunder penulis
mengumpulkan informasi dari data statistik, penelusuran data on-
line, naskah-naskah alur pasambahan yang penulis peroleh dari
salah informan, serta hasil-hasil diskusi yang telah dilaksanakan
sebelum dan sesudah pelaksanaan acara manjapuik marapulai.
b. Focusing
Data yang diperoleh peneliti di lapangan melalui wawancara,
observasi dan dokumentasi difokuskan dengan cara merangkum
dan memilih data pada hal-hal yang sesuai dengan tujuan
penelitian. Data yang telah dikumpulkan kemudian dipilih untuk
lebih spesifik untuk menjawab masalah yang terdapat dalam
penelitian ini, yaitu: data yang berhubungan dengan performansi,
data yang berhubungan dengan kearifan lokal, dan data yang
81
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
berhubungan dengan model revitalisasi tradisi manjapuik
marapulai.
c. Abstracting
Pada tahap ini peneliti memfokuskan data dengan cara memilah-
milah, mengkategorikan, dan membuat catatan abtraksi dari
catatan lapangan, wawancara dan dokumentasi. Pada langkah ini
peneliti membuat rangkuman inti, proses, dan pernyataan-
pernyataan yang berkaitan dengan data penelitian. Pada tahap ini,
dapat diartikan bahwa data yang telah terkumpul dapat dievaluasi
dengan baik khususnya yang berkaitan dengan kualitas dan
kecukupan data. Dalam penelitian ini penulis mendengar dan
membaca keseluruhan rekaman data yaitu vidio tradisi manjapuik
marapulai, mencatat bagian-bagian penting yang dibutuhkan yang
memuat nilai budaya, kearifan lokal yang terdapat didalamnya
d. Transforming
Selanjutnya, tahap ini adalah proses penyederhanaan yang
dilakukan melalui ringkasan, uraian singkat yang dibuat dalam
bentuk tabel.
2. Penyajian data
Penyajian data dilakukan setelah data telah selesai dikondensasi. Data
yang disajikan adalah keseluruhan rangkaian acara manjapuik marapulai
dalam bentuk teks naratif yang disajikan secara sistematis atau simultan
82
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sehingga data yang telah diproleh dapat menjawab masalah yang diteliti.
Dalam hal ini penulis mengungkapkan dan menganalisis nilai budaya,
kearifan lokal yang terdapat di dalam tradisi manjapuik marapulai.
3. Penarikan kesimpulan atau verifikasi
Langkah terakhir dalam analisis data kualitatif adalah penarikan
kesimpulan dari verifikasi dalam bentuk deskriptif.
3.1.6 Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Keabsahan data merupakan konsep penting yang diperbaharui dari konsep kesahihan dan keterandalan. Penelitian merupakan kerja ilmiah, untuk melakukan penelitian ini dituntut untuk dilkakukan secara objektivitas. Untuk memenuhi kriteria ini dalam penelitian kesahihan dan keterandalan harus dipenuhi agar tidak dipertanyakan tingkat keilmiahannya.
Dalam hal ini triangulasi perlu dilakukan. Triangulasi adalah tekhnik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan sebagai pembanding terhadap suatu data. Hal ini dilakukan untuk mengecek ulang derajat kepercayaan atau informasi yang diperoleh.
Dalam penelitian ini, penulis melakukan pengecekan keabsahan hasil penelitian yang dilakukan serta membahasnya dengan informan kunci. Dalam hal ini penulis mendiskusikan kembali dengan informan kunci untuk mendapatkan gambaran yang jelas sehingga penulis dapat mendeskripsikannya sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku. Triangulasi adalah tekhnik
83
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk pengecekan ulang atau sebagai pembanding terhadap suatu data.
Moleong (2001) menyatakan bahwa penelitian yang menggunakan tekhnik triangulasi dalam pemeriksaan melalui sumbernya artinya membandingkan atau mengecek kembali derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda.
Dalam penelitian ini penulis cenderung menggunakan wawancara mendalam kepada beberapa informan setelah acara manjapuik marapulai berakhir dan setelah melaksanakan pesta perkawinan. Hal ini dilakukan karena pertimbangan penulis terhadap kesiapan dari informan untuk memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini.
Triangulasi Wawancara
Dokumentasi
Bagan 3.3 Triangulasi
84
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB IV
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN DI
KECAMATAN SUNGAI GERINGGING
4.1 Pengantar
Bab ini menguraikan gambaran umum masyarakat di Kecamatan Sungai
Geringging. Deskripsi latar penelitian di jelaskan agar dapat memberikan pemaham bagi pembaca sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan. Lokasi daerah penelitian difokuskan pada Kabupaten Pariaman Kecamatan Sungai
Geringging.
4.1.1 Provinsi Sumatera Barat
Secara geografis dan kultur historis wilayah Minangkabau dibagi menjadi tiga (3) bagian, yaitu: daerah pasisia, darek, dan rantau. Daerah pasisia meliputi daerah sepanjang pantai sebelah barat pulau Sumatera yang memanjang dari barat laut ke tenggara. Jadi daerah ini dimulai dari daerah perbatasan Minangkabau dengan daerah Bengkulu, yaitu Muko-muko, sampai ke perbatasan Minangkabau yaitu daerah Tapanuli bagian selatan. Daerah pasisia disebut juga sebagai kota dagang. Dalam sejarah dikatakan wilayah pasisia adalah wilayah yang tidak subur, sehingga berdagang adalah mata pencarian mayoritas penduduknya. Lebih jauh dijelaskan bahwa berdagang keliling dimulai oleh masyarakat pasisia sejak terjadinya hubungan dengan luar negeri terutama dengan saudagar dari Gujarat (India) dan Timur Tengah.
Hubungan ini berjalan tidak hanya sebatas perdagangan saja melainkan
85
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
terjadinya hubungan agama yang mana Gujarat yang mayoritas penganut agama
Hindu dan Timur tengah adalah penganut agama Islam. Dengan demikian wilayah Sumatera Barat adalah kawasan peradaban Islam pertama.
Daerah darek disebut juga dengan luhak nan tigo, meliputi daerah luhak
Tanah Datar, yaitu: daerah Kabupaten Tanah Datar sekarang, meliputi: Sawah
Lunto Sijunjung dan Solok, Luhak Agam, yaitu terdiri dari Ampek-Ampek
Angkek, Lawang Nan Tigo Balai, dan nagari sekeliling Danau Maninjau, dan luhak Limapuluh Kota adalah daerah yang terletak di sepanjang Batang
Sinamar, daerah sekitar Gunung Sago bagian utara dan barat, seiliran Batang
Lampasi dan Batang Agam, bahkan sampai ke Sipisak Pisau Anyuik
(Pekanbaru). Luhak nan tigo adalah kelompok Nagari yang dinaungi oleh satu unit teritorial politik yang mandiri di bawah Dewan Panghulu Nagari dan tidak mewakili kekuasaan raja. Masing-masing luhak mempunyai peraturan dan adat kebiasaan tersendiri yang dapat membedakannya dengan luhak yang lain.
Daerah rantau merupakan tempat merantau orang-orang dahulu. Dari luhak nan tigo mereka pergi ke daerah lain dan membuat nagari baru di sana.
Disana mereka memakai adat yang mereka pakai pada saat mereka berada di daerah asalnya. Umumnya daerah ini berada di sepanjang aliran sungai dan bermuara ketimur, ke Selat Malaka, bahkan termasuk Rantau Nan Sambilan
(Negeri Sembilan, Malaysia). Daerah rantau Minangkabau dikenal juga dengan sebutan Rantau nan tujuah Jurai, yaitu: Rantau Kampar, Kuantan, Xii Koto,
Cati Nan Batigo, Negeri Sembilan, Tiku Pariaman, dan Pasaman. Namun, daerah Tiku Pariaman dan Pasaman dikenal juga sebagai daerah pasisie.
86
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Secara administratif, provinsi sumatera barat mempunyai 14 (empat belas) kabupaten dan kota, yaitu: Kabupaten Agam, Tanah datar, Pesisir
Selatan, Pasaman, Solok, Pariaman, Sawah Lunto Sijunjung, 50 Kota, dan
Padang Pariaman, Kota Padang, Solok, Sawah Lunto, Payakumbuh, Padang
Panjang, dan Bukit Tinggi. Batas-batas Provinsi yang berbatasan dengan
Provinsi Sumatera Barat adalah sebelah barat berbatasan dengan Samudra
Hindia, sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara, sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Bengkulu dan Jambi, dan sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Riau.
Minangkabau secara administratif adalah Provinsi Sumatera Barat.
Daerah ini terletak 1° Lintang Utara 3° Lintang selatan dan 98°-102° Bujur
Timur yang dilewati oleh garis khatulistiwa. Berikut peta Provinsi Sumatera
Barat.
Gambr 4.1 Peta Administratif Provinsi Sumatera Barat
87
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4.1.2 Kabupaten Pariaman
Kabupaten Pariaman adalah salah satu Kabupaten yang terdapat di
Provinsi Sumatera Barat. Posisi astronomis Kabupaten Padang Pariaman yang terletak antara 0°11' – 0°49' Lintang Selatan dan 98°36' – 100°28' Bujur Timur, dengan luas wilayah sekitar 1.328,79 km² dan panjang garis pantai 60,50 km².
Luas daratan daerah ini setara dengan 3,15 persen dari luas daratan wilayah
Provinsi Sumatera Barat. Padang Pariaman merupakan Kabupaten dengan luas wilayah terkecil di Provinsi Sumatera Barat. Berbanding terbalik dengan luas wilayah Kabupaten Pariaman dahulunya, kabupaten ini pernah memiliki luas wilayah terbesar di Sumatera Barat dikenal dengan istilah Piaman Laweh atau
Pariaman Luas, sebelum diperluasnya Kota Padang pada tahun 1980 dengan memasukan sebagian wilayah dari kabupaten ini, serta dimekarkannya
Kabupaten Kepulauan Mentawai pada tahun 1999 dan Kota Pariaman pada tahun 2002.
Dilihat dari topografi wilayah, Kabupaten Pariaman terdiri dari wilayah daratan pada daratan Pulau Sumatera dan 6 pulau-pulau kecil, dengan 40 % daratan rendah yaitu pada bagian barat yang mengarah ke pantai. Daerah dataran rendah terdapat di sebelah barat yang terhampar sepanjang pantai dengan ketinggian antara 0-10 meter di atas permukaan laut, serta 60% daerah bagian timur yang merupakan daerah bergelombang sampai ke Bukit Barisan.
Daerah bukit bergelombang terdapat di sebelah timur dengan ketinggian 10-
1000 meter di atas permukaan laut.
88
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Gambar 4.2 Peta administratif Kabupaten Pariaman Sumber https://www.google.com/
Kabupaten Padang Pariaman terdiri dari 17 kecamatan, yaitu:
Kecamatan Batang Anai, Kecamatan Lubuk Alung, Kecamatan Sintuk Toboh
Gadang, Kecamatan 2 x 11 Enam Lingkung, Kecamatan Enam Lingkung,
Kecamatan 2 x 11 Kayu Tanam, Kecamatan Nan Sabaris, Kecamatan Ulakan
Tapakis, Kecamatan VII Koto Sungai Sarik, Kecamatan Patamuan, Kecamatan
Padang Sago, Kecamatan V Koto Kampung Dalam, Kecamatan V Koto Timur,
Kecamatan Sungai Limau, Kecamatan Batang Gasan, Kecamatan Sungai
Geringging, Kecamatan IV Koto Aur Malintang, 103 Nagari, dan 593 Korong.
Kecamatan 2 x 11 Kayu Tanam merupakan wilayah kecamatan yang paling luas, yakni 228,70 km², sedangkan Kecamatan Sintuk Toboh Gadang memiliki luas wilayah kecamatan terkecil, yakni 25,56 km². Dari 17 kecamatan yang terdapat di Kabupaten Pariaman jumlah penduduknya adalah sebanyak 408.612 yang terdiri dari 92.845 kepala rumah tangga. Adapun rata-rata mata pencarian
89
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
penduduk pariaman adalah sebagai nelayan, petani, PNS, pedagang, karyawan kantor dan penyedia jasa layanan.
4.1.3 Kecamatan Sungai Geringging
Kecamatan Sungai Geringging merupakan salah satu diantara 17
Kecamatan yang ada di Padang Pariaman, posisi astronomi Kecamatan Sungai
Geringging terletak antara 1000 07' 00 Bujur Timur dan 00 33' 00" Lintang
Selatan, dengan luas wilayah sekitar 99,35 km2, luas daratan kecamatan ini setara dengan 7,48 persen dari luar daratan wilayah Padang Pariaman.
Batas-batas wilayah Kecamatan Sungai Geringging adalah sebagai berikut:
- Sebelah Barat berbatas dengan Kecamatan Batang Gasan dan Kecamatan
Sungai Limau
- Sebelah Timur berbatas dengan Kecamatan V Koto Kampung Dalam
- Sebelah Utara berbatas dengan Kecamatan IV Koto Aur Malintang
- Sebelah Selatan berbatas dengan Kecamatan Sungai Limau
Kecamatan Sungai Geringging yang mempunyai luas wilayah sekitar
99.35 km2. Kecamatan Sungai Geringging terdiri dari 4 nagari. Dari 4 nagari tersebut, Nagari Sungai Sirah Kuranji Hulu merupakan nagari yang memiliki wilayah paling luas, yakni 35,70 km2 atau sekitar 36 persen dari total wilayah
Kecamatan Sungai Geringging. Sedangkan Nagari Batu Gadang Kuranji Hulu memiliki luas nagari yang paling kecil dibandingkan nagari lainnya, yakni
17,08 km2 atau sekirat 17 persen dari total wilayah Kecamatan Sungai
Geringging. Nagari Kuranji Hulu yang memiliki luas wilayah sekitar 27,94
90
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
km2 merupakan wilayah yang memiliki wilayah terluas kedua setelah Nagari
Sungai Sirah Kuranji Hulu. Sedangkan Nagari Malai III Koto memiliki luas wilayah terkecil kedua yakni sekitar 18,63 km2, setelah Nagari Batu Gadang.
Jumlah penduduk di Kecamatan Sungai Geringging adalah 27.871 yang terdiri atas 7231 jumlah rumah tangga.
Gambar 4.3 Peta Kecamatan Sungai Geringging (sumber https://www.google.com)
4.1.3.1 Penduduk dan Mata Pencarian Kecamatan Sungai Geringging
Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik
Kabupaten Padang Pariaman Tahun 2017, penduduk Kecamatan Sungai
Geringging yang dipilih sebagai lokasi penelitian ini berjumlah lebih kurang
27.871 orang, berasal dari 7321 jumlah kepala keluarga. Dengan demikian setiap keluarga rata-rata mempunyai anggota sebanyak 4 orang. Penduduk
Kecamatan Sungai Geringging masih bersifat homogen, terdiri dari orang-orang
91
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
yang masih berhubungan kekerabatan, satu suku bangsa, yaitu suku
Minangkabau.
Menurut informasi dari pemuka masyarakat yang ada di lapangan, tidak satupun rumah atau keluarga yang ada di Kecamatan Sungai Geringging yang jumlah anggotanya masih utuh menurut keadaan yang sesungguhnya, kecuali keluarga-keluarga baru. Keluarga-keluarga baru yang dimaksud di sini adalah keluarga yang masih berusia produktif yaitu usia antara 20-40 tahun. Dengan demikian dapat dikatakan setiap rumah atau keluarga rata-rata ada 1-2 orang yang merantau, dan jika diperkirakan jumlahnya terdapat paling sedikit 2000 orang yang berada di daerah perantauan, seperti: Padang, Pekanbaru, Jawa dan bahkan sampai ke Malaysia.
Para perantau, terutama perantau bolak-balik juga membawa dampak terhadap perubahan kebudayaan dalam arti luas. Perubahan yang dimaksud terutama adalah perubahan wawasan atau pandangan anggota masyarakat dalam melihat dunianya dan dunia sekitarnya. Hal itu disebabkan karena terjadinya penularan pengetahuan dan pengalaman dari para perantau kepada anggota masyarakat yang menetap dikampung. Interaksi sosial para perantau dengan berbagai etnis di daerah lain menyebabkan terjadinya saling pengaruh, hal-hal yang bersifat praktis dan efisien cenderung untuk diadopsi dan ditiru.
Dalam hal perkawinan misalnya, kesederhanaan prosedur dan tata cara dalam perkawinan menjadi sesuatu yang wajar dan mudah untuk ditiru, karena ditempat asalnya prosedur, tata cara, dan syarat perkawinan itu dapat dikatakan sangat kompleks dan berbelit-belit. Pengadopsian ini berdampak pada
92
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
penyederhanaan dan bervariasinya tata cara, prosedur, dan persyaratan perkawinan. Dampaknya secara praktis adalah bahwa pada masa sekarang tata cara dan prosedur perkawinan menjadi bervariasi, tidak sama persis dengan tata cara dan prosedur perkawinan pada masa lalu.
Dampak lain dari merantau terhadap perubahan kebudayaan adalah semakin beragamnya mata pencarian penduduk. Mata pencarian hidup penduduk Kecamatan Sungai Geringging yang menetap di kampung beraneka ragam, tetapi mata pencarian hidup yang pokok dari sebagian besar penduduk adalah bertani, terutama bertanam padi di sawah, jagung, papaya, dan pisang di ladang, serta berkebun kelapa.
Karena bertambahnya jumlah penduduk, tuntutan kebutuhan hidup sudah semakin tinggi dan kompleks, hasil pertanian sudah tidak mencukupi lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup, penduduk Masyarakat di Kecamatan Sungai Geringging pada umumnya mempunyai mata pencarian hidup tambahan atau sebagai sampingan, tetapi mata pencarian tambahan itu hasilnya tidak selalu lebih kecil dari mata pencarian pokok, kadang kala jauh lebih besar dibanding dengan hasil dari mata pencarian pokok. Namun demikian penduduk yang bertani tetap mengatakan bahwa pekerjaan selain bertani adalah pencarian tambahan atau sampingan. Mata pencarian hidup tambahan yang banyak menjadi pilihan bagi penduduk adalah: 1) Berdagang mulai dari pedagang kecil-kecilan di depan rumah, berjualan makanan, membuka warung nasi, sampai menjadi pedagang kelas menegah di pasar tradisional dan di kota kabupaten, 2) Menjadi tukang
93
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
mulai dari tukang bangunan, tukang jahit, tukang pangkas, sampai dengan tukang beruk, 3) Menjadi pengrajin, mulai dari pembuat barang-barang kerajinan dari bahan rerumputan, pandan, dan bambu, menyulam, membordir, sampai pada pengrajin perak dan emas yang hasil kerajinan mereka selama ini selalu dipasarkan di berbagai kota besar di Indonesia.
Selain mata pencarian hidup yang disebutkan sebelumnya, sebagian kecil dari penduduk berprofesi sebagai pengusaha (bidang jasa, kontraktor), sebagai pegawai (negeri, swasta, dan TNI-POLRI), sebagai supir, montir, kondektur, dan buruh angkat. Penduduk Kecamatan Sungai Geringging termasuk orang-orang yang rajin dan sabar, dan tahan dalam berusaha tidak cepat putus asa.
Penduduk Kecamatan Sungai Geringging mempunyai tingkat mobilitas yang tinggi, tidak suka memadakan atau hanya mencukupkan usaha pada satu bidang tertentu saja, sehingga hampir tidak ditemui orang-orang miskin di dalam masyarakatnya. Hal ini terlihat dari kondisi rumah tempat tinggal penduduk yang umumnya berada dalam kondisi baik, kontruksi rumah pada umumnya permanen dan semi permanen. Pondok dan gubuk hanya didapati di daerah persawahan dan perladangan, namun pondok dan gubuk ini bukan sebagai tempat tinggal melainkan sebagai tempat istirahat atau tempat menyimpan alat pertanian saja.
94
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4.1.3.2 Adat dan Agama di Kecamatan Sungai Geringging
Penduduk Kecamatan Sungai Geringging adalah pendukung kebudayaan Minangkabau dan seperti orang Minangkabau lainnya penduduk setempat adalah penganut ajaran agama Islam. Menurut mereka adat dan agama itu adalah pedoman hidup yang selaras, sesuai dengan pepatah adat yang mengatakan adaik basandi syarak syarak basandi adaik (adat bersendi syarak dan syarak bersendi adat). yang dimaksud syarak adalah agama, yaitu agama
Islam. Maksud pepatah di atas adalah bahwa antara ajaran adat dan ajaran agama saling melengkapi dan menyempurnakan.
Dalam perkembangan kemudian, dengan semakin mengakarnya pengaruh ajaran agama Islam dalam pemikiran penduduk setempat, ajaran agama Islam semakin berpengaruh dalam kehidupan masyarakat sehari-harinya dibanding dengan ajaran adat. Ungkapan adat sebagian tertulis di atas juga ikut mengalami perubahan, sehingga berbunyi: adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah (adat bersendi syara, syara bersendi kitabullah). Syarak adalah agama Islam dan kitabullah adalah Al-Quran. Maksudnya adalah bahwa segala sesuatu yang akan dilakukan berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat harus mengacu pada ajaran agama yang bersumber pada kitab suci Al-Quran.
Dalam kehidupan sehari-hari, adat dan agama secara bersama-sama sekaligus menjadi pedoman hidup. Ajaran agama adalah pedoman pokok.
Ajaran agama menjadi sumber dari sistem nilai budaya yang menjadi pedoman, penentu arah, dan oreintasi dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Kitab suci
Al-Quran merupakan sumber dari nilai-nilai, norma-norma, ataupun aturan-
95
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
aturan untuk berperilaku dan bertindak, dalam membina hubungan antar sesama manusia, sedangkan adat melaksanakan apa yang telah diajarkan dan difatwakan oleh ajaran agama yang seperti dikatakan pepatah berikut ini: syarak mangato adaik mamakai (syarak mengatakan adat yang memakai), dengan arti bahwa agama yang menyatakan atau menentukan dasar-dasar atau aturan yang berdasarkan Al-Quran, sedangkan adat mengaplikasikannya, melaksanakan atau memakainya.
Pada masa sekarang, dalam menghadapi segala sesuatu yang ditemui dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari penduduk Kecamatan Sungai
Geringging utamanya berpedoman kepada aturan agama, dan pelaksanaannya jatuh secara adat. Dalam konteks perkawinan ajaran agama dijadikan pedoman utama tanpa mengabaikan aturan-aturan adat, misalnya tentang syarat perkawinan, pemberian atau pembayaran mahar dari laki-laki kepada perempuan adalah sesuatu yang utama dan wajib hukumnya, dan secara adat berlaku pula uang japutan dari pihak keluarga calon pengantin perempuan kepada laki-laki. Adapun syarat dalam perkawinan masyarakat Minangkabau yang dipedomani dari kitab suci Al-Quran adalah aturan mengenai mahar, hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat An-nisa Ayat 4: َوآٓتُوا ال ِنّ َس َاء َص ُدقَ ِ ِاِت َّ ن ِ ِْن َ ًَل فَا ْن ِط ْ َْب لَ ُ ُْك َع ْ ن َ َْش ٍء ِمنْ ُو نَْف ًسا فَ ُ ُُك ُوه ى َِنيئًا َم ِريئًا )٤( ِ
Artinya:
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
96
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Selain itu, penduduk Kecamatan Sungai Geringging, sebagaimana orang-orang Minangkabau lainnya juga menyebut kebudayaan mereka sebagai adat. Menurut masyarakat setempat bahwa adat adalah aturan yang dijadikan pedoman dalam berbuat, berperilaku, bertindak, bahkan juga sebagai sebuah pedoman bagi mereka untuk tidak berbuat dan tidak bertindak.
Jika disimak segala sesuatu yang mereka ungkapkan, semuanya adalah gambaran mengenai pengertian dan pemahaman mereka mengenai adat, semua yang dikemukakan itu adalah hal-hal yang berkaitan dengan aturan-aturan tentang sopan santun dalam kehidupan sehari-hari. Mereka mengetahui dan memahami bahwa segala sesuatu yang akan diperbuat ada pedomannya yang mereka sebut sebagai aturan, yaitu: nilai-nilai, norma-norma, dan hukum- hukum yang bersumber dari ajaran Al-Quran.
4.1.3.3 Struktur Sosial, Kekerabatan, dan Perkawinan di Kecamatan
Sungai Geringging
Struktur sosial masyarakat Kecamatan Sungai Geringging terutama sebelum terjadinya proses akulturasi dengan kebudayaan Islam, pada dasarnya sama dengan struktur sosial masyarakat di tempat asalnya, yaitu darek (pusat kebudayaan Minangkabau) karena orang Kecamatan Sungai Geringging adalah sebagian masyarakat minangkabau yang pindah dari wilayah darek ke wilayah pasisie dalam rangka mencari lahan pertanian pada masa yang lalu.
Setelah berlangsungnya proses akulturasi kebudayaan Islam dengan kebudayaan setempat terjadilah perubahan sosial dan kondisi. Hal ini
97
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
berdampak pada munculnya perbedaan struktur sosial antara masyarakat setempat dengan masyarakat ditempat asal yaitu darek. Perbedaan masyarakat
Kecamatan Sungai Geringging dengan masyarakat nagari-nagari lain di
Minangkabau pada masa sekarang adalah seperti uraian berikut ini.
Pertama, dalam masyarakat Kecamatan Sungai Geringging dikenal adanya golongan bangsawan dan bukan bangsawan meskipun pada masa sekarang sudah mengalami perubahan artinya golongan bangsawan itu tidak mengemuka lagi karena peran sosialnya yang menurun. Kedua, di samping adanya pewarisan gelar dari mamak kepada kemenakan sebagaimana yang berlaku pada masyarakat Minangkabau pada umumnya. Pada masyarakat
Kecamatan Sungai Geringging dikenal sistem pewarisan gelar (kebangsawanan) dari bapak kepada putranya. Sistem pewarisan gelar dari bapak kepada anak laki-lakinya adalah pengaruh kebudayaan Islam. Gelar-gelar kebangsawanan itu adalah: sidi, bagindo, dan sutan. Ketiga, dalam masyarakat Kecamatan Sungai
Geringging berlaku manjapuik dengan uang japutan dalam perkawinan, sementara adat itu tidak berlaku pada masyarakat Minangkabau lainnya diluar
Kabupaten Pariaman. Ketiga perbedaan yang disebutkan sebelumnya muncul setelah terjadinya proses akulturasi antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan setempat.
Susunan masyarakat Kecamatan Sungai Geringging pada dasarnya sama dengan susunan masyarakat di nagari-nagari lain di Minangkabau pada umumnya, yakni berdasarkan pada pembagian penduduk dalam suku-suku.
Pembagian dalam suku-suku itu sangat berpengaruh dan menentukan terhadap
98
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sistem sosial hubungan-hubungan sosial karena suku merupakan satu kesatuan geneologis yang diagungkan oleh orang masyarakat Minangkabau.
Dengan munculnya golongan sosial baru atas pengaruh kebudayaan
Islam, yaitu golongan sosial yang kemudian dikenal dengan gelar sidi, bagindo, dan sutan, dan dalam perkembangan selanjutnya dianggap sebagai golongan bangsawan, struktur sosial masyarakat Kecamatan Sungai Geringging mengalami perubahan. Golongan sosial baru ini mendapat kedudukan terhormat dalam masyarakat setempat. Bahkan pada masa tertentu setelah semakin besarnya pengaruh agama Islam dalam kehidupan masyarakat, golongan sosial ini menempati status sosial yang sejajar, bahkan dalam perkembangan terakhir lebih tinggi dari pada keturunan raja dan pimpinan suku-suku atau para penghulu (datuk).
Golongan sosial baru ini dihormati dalam masyarakat adalah karena mereka dianggap sebagai orang-orang yang memiliki pengetahuan yang luas dibidang agama dan juga orang-orang kaya yang menguasai sebagian besar sistem ekonomi dalam masyarakat.
Golongan sosial baru yang disebutkan di atas tidak muncul dengan tiba-tiba, melainkan melalui proses yang panjang. Mereka bukan orang asing atau para pendatang, tetapi sebagian dari penduduk setempat yang dapat dengan cepat menyesuaikan diri dengan perkembangan, yaitu melalui interaksi dengan para pendatang yang pada umumnya adalah pedagang dari luar, khususnya dari aceh. Perlu ditegaskan disini, bahwa golongan sosial baru itu adalah orang- orang setempat yang dapat menerima dan menyesuaikan diri dengan cepat
99
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dengan perubahan yang terjadi. Artinya, mereka adalah orang-orang yang hidup bersuku-suku, berkampung-kampung, berdatuk, dan bermamak seperti anggota masyarakat Kecamatan Sungai Geringging lainnya.
Setelah agama Islam semakin berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat, maka terjadi perubahan atau lebih tepatnya penambahan unsur- unsur baru dalam kebudayaan tetapi tanpa menghilangkan unsur-unsur yang telah hadir sebelumnya (inkrepentasi). Keseluruhan dari situasi ini berdampak pada perubahan sosial pada masyarakat. Jika sebelumnya hanya ada sistem pewarisan gelar dari mamak kepada kemakan yaitu gelar datuk, maka setelah pengaruh Islam semakin besar muncul, sistem pewarisan gelar menjadi dari bapak kepada anak laki-lakinya tanpa menghilangkan sistem yang telah ada jauh sebelumnya. Artinya, kedua sistem gelar ini berjalan secara bersama-sama tanpa menimbulkan dampak sosial apapun yang dapat merugikan penganut dari masing-masing sistem yang ada.
Golongan sosial baru yang dijelaskan di atas lama kelamaan dianggap sebagai golongan bangsawan dalam masyarakat. Dalam konteks perkawinan dalam rangka peningkatan status sosial bagi orang-orang biasa atau bukan dari kalangan bangsawan, orang dari golongan bangsawan ini diperlakukan sebagai orang-orang jemputan. Situasi ini bermakna dalam perkawinan mereka yang berasal dari golongan bangsawan ini dijemput dengan uang jeputan sebagai penghargaan atas status sosial yang lebih tinggi yang dimilikinya.
Kondisi yang demikian ini terjadi dalam usaha orang-orang biasa meningkatkan status sosialnya, dengan jemputan orang bangsawan tersebut
100
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
status sosial keluarga mereka diharapkan akan terangkat, dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut akan mendapatkan gelar kebangsawanan seperti gelar yang dimiliki oleh bapaknya, yaitu gelar sidi, bagindo atau sutan, sehingga menjemput orang yang berasal dari golongan bangsawan dalam perkawinan menjadi suatu kebiasaan dalam masyarakat setempat. Dengan adanya kondisi yang demikian ini maka lahirlah istilah manjapuik marapulai.
Masyarakat Kecamatan Sungai Geringging hidup dengan bersuku, berkampung dan berkaum. Setiap suku terdiri atas beberapa kampung (kaum), setiap kampung terdiri atas beberapa paruik, dan setiap paruik terdiri atas beberapa keluarga inti. Setiap kelompok sosial, mulai dari suku sampai kepada keluarga inti masing-masing mempunyai pimpinan, sama dengan halnya pada masyarakat Minangkabau pada umumnya di wilayah Sumatera Barat.
Di Kecamatan Sungai Geringging terdapat beberapa suku, dengan demikian ada pula beberapa penghulu suku atau datuk suku. Keberadaan suku tersebut berkaitan erat dengan proses kedatangan penduduk setempat dari daerah asalnya di wilayah darek pada masa lalu, artinya mereka bukan menciptakan nama suku baru melainkan membawa suku mereka di waktu mereka pindah ke wilayah pasisie.
Menurut beberapa sumber baik sumber lisan dan tertulis, didapati bahwa pada awalnya terdapat empat jenis suku saja, yaitu: koto, piliang, bodi, dan caniago. Setiap suku dikepalai oleh seorang penghulu atau datuk yang disebut dengan penghulu suku. Di nagari-nagari tertentu, misalnya di Kecamatan
Sungai Geringging penghulu suku disebut dengan penghulu pucuak.
101
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pembagian dalam suku-suku pada awalnya dimaksudkan untuk mengatur masalah perkawinan, agar keturunan-keturunan mereka dapat saling mengawini dan melarang berlakunya endogami yaitu perkawinan antar laki-laki dan perempuan yang sesuku. Hidup bersuku sekaligus merupakan dasar dari ketentuan tentang eksogami dan tabuincest, yaitu setiap orang seharusnya kawin dengan orang yang berada di luar sukunya dan tidak dibenarkan kawin sesuku. Hal ini dapat dipercaya sebagai orang yang bertalian darah atau memiliki hubungan kekerabatan yang cukup dekat.Sebuah kampung terdiri dari beberapa paruik, dan setiap paruik dikepalai oleh seorang laki-laki tertua pada paruik tersebut yang disebut sebagai tungganai. Paruik adalah orang-orang yang tinggal dalam satu rumah gadang yang terdiri atas nenek, anak-anak perempuannya, anak laki-lakinya yang belum menikah dan cucu-cucunya yang berasal dari anak-anak perempuannya. Kesatuan kelompok kecil ini disebut dengan samandeh. Adapun urutan geneologis dalam suku Minangkabau adalah: samandeh, saparuik, sakampuang, dan sasuku.
Pada masa sekarang ini seorang ayah dalam sebuah keluarga bertanggung jawab penuh terhadap anak-anak dan isterinya, terhadap pendidikan dan masa depan keluarganya. Dualisme kepemimpinan (antara ayah dan mamak) pada sebuah keluarga hampir sudah tidak ada lagi, meskipun seorang ayah sesuai dengan sistem matrilineal yang dianut masih tetap bersuku menurut suku ibunya masih dan tetap menjadi anggota suku ibunya, dan anak-anaknya tidak termasuk kedalam suku ayahnya.
102
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Ayah, ibu dan anak-anak pada masa sekarang adalah merupakan kesatuan keluarga inti. Seorang ayah dimasa sekarang adalah pimpinan penuh atau kepala keluarga. Kenyataan yang ditemui di lapangan menunjukkan bahwa perbedaan suku antara ayah, isteri dan anak-anaknya tidak merupakan faktor terbentuknya keluarga batih, yaitu anak-anaknya harus menjadi anggota suku dari suaminya.
Jika pada masa lampau kepentingan suatu keluarga diurus oleh seorang laki-laki dewasa dari pihak isteri (mamak), maka pada masa sekarang kondisi itu mengalami perubahan. Seperti terbukti dalam masyarakat Kecamatan Sungai
Geringging bahwa kepentingan sebuah keluarga dewasa ini diurus oleh seorang ayah. Hal ini terjadi adalah karena semakin kuatnya ikatan emosional antara ayah, ibu dan anak dalam keluarga.
Prinsip utama dalam perkawinan di Kecamatan Sungai Geringging adalah eksogami atau perkawinan di luar suku. Perkawinan dengan orang sesuku dianggap sebagai perkawinan yang melanggar adat atau tabu. Orang yang melakukannya akan mendapatkan sanksi secara adat yaitu dibuang secara sepanjang adat, diusir, tidak dibenarkan lagi tinggal di nagarinya. Hal itu disebabkan karena orang-orang sesuku dipercaya berasal dari nenek yang sama.
Prinsip utama dalam perkawinan eksogami pada masyarakat setempat sebetulnya merupakan suatu kondisi yang berpotensi dalam hal terjadinya perubahan pada adat perkawinan manjapuik dengan uang jemputan. Dengan aturan eksogami membuka peluang untuk kawin dengan orang-orang yang bukan hanya di luar suku saja melainkan juga bisa juga kawin dengan orang yang berlainan desa, nagari, daerah, bahkan dengan etnis dan suku bangsa lain.
103
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Perkawinan antara dua orang yang berbeda daerah, etnis, dan bangsa tentu akan melibatkan dua kebudayaan yang berbeda dalam arti akan terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak berkenaan dengan adat perkawinan yang akan dilaksanakan. Dalam kenyataan sosial yang terjadi di Kecamatan Sungai
Geringging, kondisi yang dikemukakan di atas sudah sering terjadi. Jika pihak laki-laki berasal dari daerah lain yang berbeda adat, maka keluarga perempuan yang berasal dari Kecamatan Sungai Geringging biasanya akan melakukan pendekatan kepada pihak laki-laki apakah akan memakai adat manjapuik atau tidak. Adat perkawinan dalam masyarakat pihak calon pengantin laiki-laki tidak mengenal adat manjapuik maka pihak keluarga perempuan biasanya akan menyesuaikan dengan adat yang berlaku di tempat asal laki-laki. Sebaliknya, jika pihak laki-laki yang berasal dari Kecamatan Sungai Geringging dan calon pengantin wanita berasal dari daerah lain, masyarakat setempat cenderung menawarkan adat mereka terlebih dahulu pada pihak keluarga perempuan.
104
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB V
PERFORMANSI TRADISI MANJAPUIK MARAPULAI ADAT
PERKAWINAN MINANGKABAU
5.1 Pengantar
Bab ini diawali dengan menguaraikan performasi yang terdapat dalam tradisi manjapuik marapulai yang dapat dideskripsikan menjadi empat (4) bagian utama, yaitu: bentuk komunikasi, partisipan, alat atau bahan yang digunakan serta pelaksanaan upacara manjapuik marapulai. Selanjutnya, bahasan dilanjutkan dengan menguraikan teks, ko-teks dan konteks
5.1.1 Performansi
Performansi merupakan suatu proses komunikasi yang bermuatan sosial, budaya dan estetika. Sesuai dengan pernyataan Finnegan (1992: 91) bahwa performansi dapat dibedakan atas dua (2) jenis, yaitu: performansi yang ditampilkan dihadapan audiens dengan maksud sebagai hiburan, dan performansi yang ditampilkan dan dimanfaatkan untuk tujuan sakral.
Performansi manjapuik marapulai ini dapat dikategorikan kepada jenis performansi yang kedua yakni, performansi yang dimanfaatkan untuk tujuan yang sakral dengan melibatkan audiens dan partisipan, media atau sarana yang digunakan, serta verbal dan material yang terdapat di dalam acara tersebut.
Performansi sakral manjapuik marapulai dalam upacara adat perkawinan Minangkabau di Sungai Garingging Pariaman dideskripsikan ke dalam empat (4) bagian, yaitu: (1) Bentuk komunikasi, (2) Partisipan; Pelaku
105
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dan audiens, (3) Bahan atau alat yang digunakan, dan (4) Pelaksanaan acara manjapuik marapulai. Berikut ini dijelaskan uraian masing-masing unsur yang terdapat dalam performansi pada acara manjapuik marapaulai.
5.1.1.1 Bentuk Komunikasi
Unsur terpenting dalam sebuah performansi adalah komunikasi. Pada tradisi manjapuik marapulai ini tidak terlepas dari peristiwa komunikasi yang terjadi antara seseorang dengan orang yang lain. Dalam hal ini proses komunikasi yang terjadi dilakukan oleh juru bicara dari masing-masing perwakilan baik itu dari keluarga anak daro maupun marapulai. Bentuk komunikasi yang disampaikan pada acara manjapuik marapulai ini bukanlah bentuk komunikasi sebagaimana dilakukan sehari-hari, melainkan disampaikan dalam bentuk komunikasi yang estetik dan bernilai kultural.
Proses komunikasi yang terjadi diwujudkan dalam bentuk pasambahan yang dilakukan yaitu melalui komunikasi dua arah, antara juru bicara anak daro dan juru bicara marapulai yang dilakukan secara sambung menyambung.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa pasambahan adalah pidato adat yang digunakan dalam acara adat yang tersusun, teratur dan berirama serta isinya dikaitkan dengan tambo dan asal-usul dengan menyatakan maksud, rasa hormat, tanda kebesaran, dan tanda kemuliaan. Pasambahan juga merupakan pernyataan hormat dan khidmat kepada orang-orang dimuliakan dan dihormati. Umumnya juru bicara yang melakukan dialog pasambahan ini menyampaikan kata-katanya dengan penuh hormat dan dijawab dengan cara yang hormat pula. Untuk melakukan pasambahan ini digunakan suatu varian
106
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
bahasa Minang tertentu yang mempunyai format yang baku. Format pasambahan ini penuh dengan kata-kata bijak dan klasik, pepatah petitih, mamang, dan dapat pula berupa pantun. Bahasa pasambahan ini dapat berbeda dalam variasi dan penggunaan kata-katanya, namun secara umum dapat dikatakan ada suatu format yang standar bagi seluruh Minangkabau.
Bentuk komunikasi pasambahan manjapuik marapulai ini, digariskan penentuan peran dari masing-masing pihak dalam setiap pembicaraannya dengan alur yang dilakukan oleh dua orang juru bicara yaitu juru bicara utusan anak daro atau si alek dan juru bicara utusan marapulai atau si pangka. Si alek adalah tamu atau sebagai pemohon, dalam hal ini si alek yang mengajukan maksud dan tujuan kedatangannya. Sementara itu, si pangka adalah sebagai tuan rumah yang menerima permohonan dan memiliki kewenangan dalam legalitas pelaksanaan acara tersebut.
Adapun struktur pasambahan yang terjadi dalam acara manjapuik marapulai adalah sebagai berikut:
1. Struktur Pasambahan si alek
a. Pembukaan Kata
(1) Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh.
(U)da Nang, kok sungguahpun da Nang Abang , jika sungguhpun abang
maimbau, artie sagalo salam mamilih jo mananti. memanggil,artinya segala salam memilih dan menanti
Sungguah di ambo tarabiak parundiangan ko,
107
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sungguh di saya terbit perundingan ini,
lah saiyo samufakek lo kami yang datang dari sudah seiya semufakat pula kami
Parawik tadi. nama tempat
„Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh. Segala salam kami sampaikan kepada abang yang telah menanti kami. Walaupun perundingan ini datangnya dari saya, kami telah sepakat untuk menghadiri undangan yang telah disampaikan.‟
Maksud dari pembukaan kata dalam pasambahan manjapuik marapulai dimulai oleh juru bicara anak daro (si alek) dengan mengucapkan salam. Selanjutnya juru bicara menyatakan kedatangan mereka adalah sesuai dengan panggilan yang di sampaikan oleh keluarga marapulai, dan adapun sesampainya mereka di kediaman marapulai adalah merupakan kesepakatan yang telah mereka rundingkan sebelumnya di kediaman anak daro. b. Pernyataan Sembah
(2) Rila jo maaf ambo mintak , salam dek dimuliakan. Rela dan maaf saya minta, karena
Sungguhpun da Nang surang nan dihadang Sungguhpun abang seorang yang
jo sambah, disabuik namo bapujikan gala. Dengan sembah, disebut nama berpujikan gelar.
Sambah ambo sambah data.
108
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sembah saya sembah datar.
Dari ujuang tarui ka pangka, dari tangah tarui ka tapi. ujung terus ke pangkal, tengah terus ke tepi.
Maantakan sambah kabakeh da Nang. Mengantarkan sembah kepada abang
Kok sambah manyambah ka disabuik ambo Jika sembah menyembah akan disebut saya lah bakiro urang. sudah seperti orang.
Baa tata siriah jo pinang, siriah sakapuah Bagaimana sirih dan pinang, sirih sekapur nan alun masak. yang belum
Dek karano labiah capek kaki lah ringan tangan, Oleh karena lebih cepat lah anak mudo matah nan di mudiak manganta siriah ka muda mentah yang mudik mengantar sirih ke gagang nyo, mangukua pinang ka tampuanyo nya, mengukur ke tampuknya mancukia nan lai. Mencungkil yang ada.
Ka pasa nan rami lalu dibalian kampia sirih. Ke pasar yang ramai lalu dibelikan kampil sirih.
Kampiah siriah di tapi dianta ka tangah, Kampil sirih tepi diantar ke tengah, ka hadapan angku-angku, ninik mamak, iman katik, ke orang tua, pemuka adat, tokoh agama
109
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pegawai-pegawai, urang sumando, sarato jo Pegawai, ipar, serta dengan
pemuda.
„Saya memohon maaf dan menyampaikan salam kepada seluruh yang hadir di sini. Walaupun abang saja yang akan disembah, yang saya sebutkan nama dan gelarnya. Sembah saya ini sembah datar, artinya dari ujung terus ke pangkal, dari tengah terus ke tepi, mengantarkan sembah kepada abang. Jika sembah menyembah yang ingin di sampaikan, selayaknya sirih dan pinang yang ditata, sekapur sirih yang belum masak. Dengan maksud anak muda seperti saya yang belum memiliki pengalaman mengantarkan kampil sirih yang ada di tepi diantar ke tengah kehadapan orang tua, pemuka adat, pemuka agama, pegawai- pegawai dan pemuda.‟
Maksud dari pernyataan sembah ini adalah juru bicara anak daro menyampaikan rasa hormatnya kepada keluarga besar marapulai yang telah hadir di dalam ruangan tersebut. Rasa hormat tersebut disampaikan dengan memberikan seperangkat sirih yang telah ditata pada carano kemudian carano tersebut diberikan kepada orang-orang yang patut diberikan sembah, dalam hal ini diberikan kepada angku-angku, ninik mamak, imam katik, pegawai-pegawai dan pemuda. c. Penyampaian Maksud
(3) Umumnya sigalo silang sipangka karajo nan bapokok Umumnya segala sipangkal kerja yang berpokok
khususnya kapado sanak famili nan mananti, kepada keluarga yang menanti,
melalui permintaan malah kami da Yon bahkan abang
110
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kok siriah di cabiak pinang digatok sada dibaliak jika sirih sobek diketok kapur sirih dioles gambia di putuih santuang di jujuik dimasaan siriah gambir putus penuh di jujut dimasakkan sirih kami sakapua. sekapur.
Surang lah habih sakapuih elok bana. Seorang sudah habis sekapur baik benar.
Dima ado angek sinan api padam dee. Dimana ada hangat disitu api padam olehnya.
Kini ko da Yon, ambo taaway loh ini abang , saya terpegang pula rancana nan ka ampek, rencana yang ke empat, artie dek nan ka ampek ko tujuan jo mukasuik, artinya karena yang ke empat ini tujuan dan maksud,
tujuan jo mukasuik kami nan datang dari dan maksud yang
Padang bibiriak tadi kamari artie tuk manapeki Nama tempat kemari artinya untuk menepati padang nan diukua janji nan diarek tanah yang diukur yang diikat baa kato-kato urang, rimbun rampak karambia seperti kata-kata orang, berdahan kelapa
Pagai, ditanam sutan di ateh munggu, nama daerah, gelar orang minang atas bukit kecil bulan tampak janji, lah sampai kami , sudah
manapeki janji nan dulu. menepati janji yang dahulu.
111
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Kalau janji nan dulu artie manjapuik marapulai yang dahulu artinya menjemput pengantin (lk)
nan banamo Satria Perdana, nak kami nikahkan beko yang bernama Satria Perdana, hendak kami nanti
jo sanak kamanakan kami nan di mudiak banamo dengan kemenakan yang di mudik bernama
Suci Nurul Hidayati.
Sagalo pajanjian karam buatan kito nan dulu Segala perjanjian kita yang dulu
tu lah dibantang. Itu telah
„Umumnya pekerjaan yang memerlukan musyawarah, khususnya kepada keluarga yang telah menunggu. Dengan permintaan inilah kami bang, kalau sirih dikoyak, pinang dipecahkan, kapur sirih dioles hendaknya diterima. Walaupun hanya satu orang yang memakannya, bagi kami tidak masalah. Sekarang ini bang, saya sudah berencana ingin menyampaikan rencana yang ke empat, artinya karena yang keempat ini adalah tujuan dan maksud, maka tujuan dan maksud kami yang datang dari Padang Babirik tadi kemari adalah untuk menepati janji. Seperti kata- kata orang, rimbun dahan kelapa Pagai, ditanam sutan di atas bukit, bulan telah nampak, janji telah sampai, maka kami menepati janji yang dahulu. Kalau janji yang dahulu adalah untuk menjemput marapulai yang bernama Satria Perdana yang kemudian nantinya akan kami nikahkan dengan keponakan kami yang bernama Suci Nurul Hidayati. Menurut saya janji kita yang duhulu sudah jelas adanya.‟
Dari pasambahan untuk menyatakan maksud ini, juru bicara anak
daro menyampaikan maksud kedatangan mereka adalah untuk menepati
janji yang telah disepakati jauh hari sebelumnya, dalam hal ini adalah
untuk menjemput marapulai dan nantinya akan disandingkan dengan
anak kemenakan mereka pada pesta perkawinan mereka yang diadakan
di kediaman anak daro. Dalam pasambahan menyatakan maksud ini
112
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
juru bicara anak daro menguatkan maksud kedatangan mereka dengan menyebutkan nama marapulai yang mereka jemput. d. Penegasan
(4) Kok dicaliak tampak, diesek taraso, Jika dilihat , diraba terasa,
tulah bantuake da Nang. Itulah bentuknya bang
Kok pintak buliah kandak balaku, Jika pintak boleh kehendak berlaku,
sungguahpun marapulai nan ambo japuik sungguhpun pengantin (lk) yang saya jemput
cukuik jo urang mudo jo urang mampu cukup dengan orang muda dengan orang mampu
lai samo sekali jo sumandane. ada sama dengan sumandannya (pendamping).
„Sesuatu yang berwujud akan nampak jika dilihat, akan terasa jika diraba, begitulah bentuknya bang. Jika diizinkan untuk meminta dan berkehendak, marapulai yang saya jemput ini cukup hanya dengan orang muda dan orang mampu serta sumandannya saja.‟
Dalam penegasan ini juru bicara anak daro menyampaikan keinginan mereka adalah unutuk menjemput marapulai cukup dengan mereka yang hadir di ruangan tersebut. e. Mengakhiri Sembah
(5) Tulah da Nang sapanjang kito tadi Begitulah bang sepanjang kita
barundiang, ambo mungkin mudo matah, berunding, saya muda mentah,
113
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
mungkin ado giweh jo hilafah salah ambo jo sanggah. ada sikap dan perbuatan saya juga
Maklumlah awak nan hidup ko dak ado nan kita yang ini tidak ada yang
tapapuronoh. Sempurna.
Indak ado gadiang nan dak ratak. Tidak ada gading yang tidak retak.
Baa kecek-kecek urang, kami ateh namo rombongan Seperti kata-kata orang, kami atas nama nan datang dari Padang Babiriak tadi, yang datang dari nama tempat
mamintak badunsanak di siko rila jo maaf yang meminta keluarga sini rela juga sabasar basarnyo tantang giwah jo gaweh sebesar-besarnya tentang sikap dan perbuatan
jo kato nan ampek, juga kata yang empat, banang nan limo tadorong gading dek gajah. Benang yang lima terdorong gading karena
Tantu maaf ambo bapilar ka nan satu. Tentu saya berpilar kepada yang
Nan ka duo kito enjeng babuhua aia.
Yang ke dua kita bawa berikat air.
114
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
„Sepanjang kita berunding tadi bang, saya mungkin belum memiliki banyak pengalaman, mungkin ada sikap dan perbuatan saya yang tidak berkenan, maklumlah kita yang hidup ini tidak ada yang sempurna. Tak ada gading yang tak retak, seperti kata-kata orang. Kami atas nama rombongan yang datang dari Padang Babirik tadi, meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada keluarga di sini apabila kami berkata tidak sesuai dengan kata yang empat kepada seluruh yang hadir di sini. Tentu saja dalam hal ini maaf saya hanya berpilar kepada yang satu, yaitu kepada Allah SWT dengan tujuan agar silaturahim tetap terjalin.‟
Maksud dari pasambahan mengakhiri sembah ini adalah untuk meminta maaf apabila ada kata dan perbuatan yang tidak berkenan oleh tuan rumah. Permintaan maaf ini didasari kepada kato nan ampek, artinya dalam melakukan komunikasi seseorang harus mengetahui latar belakang lawan bicaranya dalam hal ini banang nan limo, yaitu ninik mamak, imam katik, urang sumando, pegawai dan pemuda.
f. Penyesuaian
(6) Tarimo kasih banyak da Nang lah Terima kasih bang sudah
samo–samo balapangan. Sama-sama dilapangkan.
Di situ dek banyak karajo, tantu kami Di situ karena pekerjaan, tentu
mungkin ka pai ka mudiak lai, akan pergi ke mudik lagi,
tuak maagih kaba dusanak yang di mudiak, untuk memberi kabar keluarga yang mudik,
115
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ka urang nan tibo jo rombongan.
Kepada orang yang tiba dengan
„Terima kasih banyak bang. Karena di sana banyak pekerjaan, oleh karena itu kami mungkin akan kembali ke pulang, untuk menyampaikan kabar kepada keluarga yang ada di sana, serta kepada orang-orang yang datang.‟
Maksud pasambahan penyesuaian ini adalah untuk mengakhiri
sembah dengan mengucapkan terima kasih karena pihak tuan rumah
yang telah mengabulkan permintaan mereka untuk membawa
marapulai menuju ke kediaman anak daro. Dalam hal ini juru bicara
anak daro menyampaikan bahwa mereka ingin kembali ke kediaman
anak daro untuk menyampaikan kabar, agar keluarga yang mereka yang
telah menunggu dapat mempersiapkan hal-hal yang berkaitan dengan
penyambutan marapulai.
2. Struktur Pasambahan Si Pangka
Pasambahan si pangka adalah pasambahan yang dilakukan oleh
tuan rumah dalam menyambut dan membalas kata-kata pasambahan
yang dilakukan oleh juru bicara anak daro. Adapun struktur
pasambahan si pangka adalaah sebagai berikut:
a. Pembukaan oleh Tuan Rumah
116
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(7) Artie dimulai baitu, di partamo dak? Artinya begitu, di pertama kan?
Lakuang ka batinjau, kalam ka basigi, Lekung akan ditinjau, gelap akan dilihat,
tantang silang sipangka. Tentang sipangkal.
Baa tadi lah tabaokan dek si Jon tapak itiak. Sebagaimana telah dibawakan oleh nama sembah
Tapak itiak tantu yo bateh nagari bapaga. Sembah tentulah batas daerah berpagar.
Bapaga langsuang bajam gadang. Berpagar langsung berjam gadang.
Dalam barek jo balabiah cupak jo gantang Dalam berat juga berlebih takaran beras oleh gantang
tantu di lingkung adaik jo pasuko. Tentu di lingkungan adat dan pusaka.
Anao jo sigai, siriah basusun yang ka dikambuik. Enau dan tangga, sirih bersusun akan dianyam menjadi tas.
Nan tungga kete, kato ka bajawek indak ka Yang tunggal kecil, kata akan dijawab tidak akan.
babalikan. Dikembalikan.
„Artinya dimulai dari yang pertama kan? tikungan yang dilihat, gelap yang dilihat, semua adalah tentang pekerjaan yang memerlukan musyawarah. Seperti sembah yang telah disampaikan oleh si Jon. Sembah artinya tentang batas negeri yang berpagar. Berpagar langsung ada jam besarnya. Berat dan lebhnya takaran beras tentu hanya sebatas lingkungan adat dan pusaka saja yang mengetahuinya. Sirih yang telah disusun, tentu kata yang telah disampaikan tidak akan ditarik kembali.‟
117
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Dalam pasambahan ini juru bicara marapulai akan membuka sembah dengan menjawab sembah yang sebelumnya telah dibuka oleh juru bicara anak daro.
b. Pernyataan Sembah
(8) Tantang jo sambah Jon di ciek kaduo, Tentang dengan sembah di satu kedua,
lah baduo duduak basimpuah baselo kala barundiang, sudah berdua duduk bersimpuh bersila berunding,
waktupun tasusun, jadi tarenjeang tangan siko taangkek waktupun tersusun, terangkat tangan disini terangkat
sambah. sembah.
„sembah yang dilakukan si Jon tadi sudah saya diterima. Sekarang saya yang kan memberikan sembah kembali kepada si Jon. Selanjutnya kita duduk bersila untuk berunding.‟
Pernyataan sembah dilakukan oleh juru bicara marapulai untuk
membalas sembah yang telah dilakukan sebelumnya oleh juru bicara
anak daro. Dengan mengangkat tangan duduk bersimpuh, sembah
ditujukan kepada keluarga besar anak daro yang datang ke kediaman
marapulai. c. Penyampaian Maksud
(9) Baa kecek urang pasia badanga tantu ombak Seperti kata orang pantai terdengar tentu
ka bacaliak atau carito dikamukokan dulu Jon akan dilihat cerita dikemukakan
118
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
atau rundiang kito baok dulu? runding kita bawa
Kito tadi taruian se bajalan bacapek Kita teruskan saja berjalan dengan cepat kaki se kini. Kaki saja
Yang partamo tantu masak bamakan. pertama tentu dimakan.
Nan kaduo masak dimangka masak jo parundiangan. yang kedua mengkal dengan perundingan.
Kok dari ambo bantuik itu Jon, siriah dicabik, Jika saya bentuk sirih disobek
pinang digatok sadah dipalih tantu santuang Pinang diketok, kapur sirih dioles tentu penuh dijujuik. Dijujut.
Siriah dak ka mungkin ka hijau lai do Jon. Sirih tidak akan akan lagi kan
Nan pinang dak ka kuniang do, sadah dak Yang tidak akan kuning kan, kapur sirih tidak rupo coklat. seperti
Dak ka coklat lai sadah, tak lupo jo Tidak akan lagi kapur sirih, tidak lupa dengan putiahe. putihnya.
tantu di dalam ko kandak ka baagian, tentu di ini kehendak akan diberikan, pintak tantu iyo bapalakuan. Pinta tentu iya dilakukan.
119
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Nan bana lah mambaok banang bana, Yang benarlah membawa benang benar,
bandiang luruih nan ka bapiliah. Berbanding lurus yang akan dipilih.
„Seperti kata orang, pasir yang di dengar tentu ombak yang harus dilihat. Apakah cerita kita dulu Jon atau runding ini yang kita dahulukan? Kita teruskan sajalah runding kita ini. Yang pertama tentu kalau masak di makan. Yang ke dua masak karena perundingan. Kalau pendapat saya begini Jon, sirih di koyak, pinang di hancurkan, kapur sirih di oles, tentu saja sirih akan dimakan. Sirih tidak mungkin akan hijau lagi, yang pinang tidak akan mungkin kuning lagi, karena kapur sirih sudah berwarna coklat. Tentu saja dalam hal ini keinginan akan saya kabulkan. Hal yang benar tentu saja akan membawa yang benar juga tentu karena kita berpilar kepada yang satu.‟
Dalam hal ini juru bicara marapulai menyampaikan maksudnya adalah dalam rangka permintaan yang telah diajukan sebelumnya oleh utusan atau juru bicara anak daro, yaitu bermaksud ingin membawa marapulai ke kediaman anak daro. Pada pasambahan ini terlihat bahwa sirih merupakan media yang dijadikan sebagai penyampai maksud oleh kedua orang juru bicara.
d. Mengakhiri Sembah
(10) Tinggi batang anao kok lareh, pohon enau jika condong,
jauah jalan lamo kok sampai. Jauh lama akan sampai.
Agak talalai ambo mamulangan kato, lalai saya memulangkan kata,
rila jo maaf ambo mohonkan. Rela dan saya mohonkan.
120
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
„Pohon enau yang tinggi akan tumbang juga, jauh berjalan akan lama sampainya. Untuk itu apabila ada kata yang tidak berkenan, saya mohon dimaafkan.‟
Dalam pasambahan mengakhiri sembah juru bicara marapulai menyampaikan permintaan permintaan maafnya apabila dalam penyampaian kata atau dalam menjawab kata ada hal-hal yang kurang berkenan dari lawan bicaranya.
e. Penegasan dan Penangguhan Sementara
(11) Lah masak kue si Jon, Sudah
sado yang simpel jelah kandak, semua sederhana sajalah kehendak,
karano kito dak banyakkan? karena kita tidak
Minumlah aia tu dulu diak, beko kito sambuang. air itu dik, nanti kita sambung.
Di ciek ka duo lah baku nan tigo tantu Dari satu ke dua sudah yang tiga tentu
ado mukasuk. Ada maksud.
Baa kecek urang bukan daun taleh sajo Seperti kata orang, daun talas saja
daun bacampua jo daun talang, daun bercampur dengan daun talang,
121
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
bukan dusanak ambo yang bisa kami sajo bukan keluarga saja saja
basuo bajalanglah Jon. bertemu disalamkan
„Kami sudah mengerti maksudnya, semua yang sederhana saja yang kita lakukan, karena kita yang hadir di sini tidak banyak. Minumlah air itu dulu dik, nanti runding ini akan kita sambung kembali. Kalau satu ke dua sudah beku, yang ke tiga tentu ada maksud. Seperti kata orang, bukan daun talas saja yang bercampur dengan daun talang, artinya saya juga ingin memberitahukan kabar baik ini kepada keluarga besar saya.‟
Dalam pasambahan mengakhiri sembah ini, juru bicara
marapulai menegaskan bahwa mereka sudah bersedia apabila
marapulai dibawa oleh utusan anak daro. Dalam hal ini ditegaskan
dengan kalimat lah masak kue si Jon, artinya permintaan oleh juru
bicara anak daro telah dikabulkan. Selanjutnya kalimat “Ba a kecek
urang bukan daun kanan sajo daun bacampua jo daun talang
bukan dusanak ambo yang bisa kami sajo gadang basuo bajalang”
bermakna bahwa juru bicara marapulai harus menyampaikan kabar
ini kepada keluarga besar mereka. Dalam hal ini adalah untuk
bersama-sama pergi mengantarkan marapulai ke kediaman anak
daro.
5.1.2 Partisipan
Komponen utama yang terdapat dalam performansi adalah partisipan, yang di dalamnya terdapat unsur pelaku dan audiens. Begitu juga halnya dengan
122
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
upacara manjapuik marapulai ini, kedua unsur tersebut, yaitu pelaku dan audiens juga ditemukan. Pelaku adalah orang yang melakukan pertunjukan dan audiens adalah orang yang terlibat dalam pertunjukan tersebut.
Pada upacara manjapuik marapulai terdapat tiga (3) orang pelaku yang terlibat langsung dalam acara manjapuik marapulai, diantaranya adalah: (1)
Marapulai (2) Juru bicara Anak daro, dan (3) Juru bicara marapulai.
1. Marapulai
Pengantin laki-laki atau marapulai dalam hal ini adalah orang yang di
jemput secara adat oleh rombongan keluarga anak daro untuk
dinikahkan dan disandingkan di pesta perkawinan yang diadakan di
kediaman anak daro. Marapulai nanti akan tinggal dengan istrinya
dikediaman anak daro dan dia tetap dipandang sebagai seorang
pendatang. Istilah seorang pendatang dalam bahasa Minangkabau
disebut dengan urang sumando.
123
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Gambar 5.1 Marapulai
2. Juru Bicara
Peranan seorang juru bicara dalam acara manjapuik marapulai sangat
penting. Juru bicara adalah orang yang dipercayakan dan dianggap
memiliki kemampuan dan wawasan yang luas dalam adat. seorang juru
bicara juga harus cakap dan mahir dalam berkata-kata untuk
menyampaikan maksud yang dilakukan melalui bahasa kiasan, seperti:
mamang, pepatah, pantun, dan peribahasa. Juru bicara yang diutus oleh
masing-masing pihak bukanlah berasal dari masyarakat biasa.
Umumnya, mereka yang menjadi juru bicara utusan keluarga adalah
mereka yang memiliki kualitas bahasa yang baik, karena semakin mahir
mereka dalam menggunakan bahasa berarti menunjukkan kualitas
utusan keluarga yang diwakilinya juga baik.
124
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Seorang juru bicara masing-masing utusan keluarga adalah mereka yang menjadi pendatang pada keluarga yang diwakilinya, istilah ini disebut sebagai urang sumando. a. Juru bicara Anak daro
Juru bicara anak daro merupakan utusan dari pihak keluarga anak
daro atau pengantin wanita. Dalam melakukan pasambahan, juru
bicara anak daro akan memulai pasambahannya dengan salam,
menyatakan kedatangan mereka, menyatakan maksud kedatangan
mereka dan meminta izin untuk membawa marapulai.
Gambar 5.2 Juru Bicara Anak daro
b. Juru Bicara Marapulai
Peran dari seorang juru bicara marapulai tidak kalah pentingnya
dengan peran seorang juru bicara anak daro. Juru bicara marapulai
akan menyambut kedatangan rombongan utusan anak daro dan akan
membalas pasambahan yang dilakukan oleh juru bicara anak daro.
125
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Gambar 5.3 Juru Bicara Marapulai
Tradisi manjapuik marapulai tidak hanya melibatkan marapulai dan dua orang juru bicara sebagai pelaku, namun juga memerlukan audiens utama, yaitu:
1. Kedua orang tua marapulai
Gambar 5.4 Orangtua Marapulai
2. Mamak marapulai
126
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3. Etek marapulai
4. Saudara laki-laki dan saudara perempuan marapulai
5. Kerabat keluarga marapulai
6. Teman-teman marapulai
7. Tetangga keluarga marapulai
8. Mamak anak daro
9. Etek anak daro
10. Kerabat keluarga anak daro
11. Tetangga keluarga anak daro
12. dua orang pasumandan.
Gambar 5.5. Mamak Marapulai dan Anak daro
127
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Gambar 5.6 Etek, Saudara, Kerabat dan Tetangga Marapulai
Gambar 5.7 Dua orang Pasumandan
5.1.3 Bahan atau Alat yang Digunakan
Finnegan (1992) menyatakan bahwa dalam penelitian tradisi lisan satu hal yang harus diperhatikan oleh seorang peneliti dalam performansi adalah
128
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
aspek bahan atau alat yang digunakan selama pelaksanaan acara berlangsung.
Dengan demikian, maka dalam melaksanakan upacara adat manjapuik marapulai dibutuhkan beberapa alat atau bahan yang wajib untuk di bawa dan ada selama proses acara tersebut. adapun alat yang digunakan adalah: sirih dalam carano, ameh dan uang japuik, baju sapatagak, dan makanan serta minuman.
1. Sirih dalam carano
Carano sebagai wadah yang diisi dengan kelengkapan sirih,
pinang, gambir, kapur sirih dan dulamak atau kain penutup carano.
Keberadaan carano dalam acara manjapuik marapulai ini menandakan
kedatangan rombongan utusan anak daro adalah secara adat. Carano
juga melambangkan kemuliaan bagi kaum wanita dan juga sebagai
lambang kekerabatan di Minangkabau. Sirih dan pinang langkok adalah
sebagai sebuah media komunikasi yang memiliki nilai tersendiri. Hal ini
terlihat dari fungsinya dimana sirih langkok ini adalah sebagai cara
penyampaian keinginan sehingga secara halus komunikasi tersebut dapat
berjalan dengan baik. Dalam acara manjapuik marapulai ketika sirih
sudah diketengahkan berarti perundingan ataupun keinginan dari utusan
anak daro akan disampaikan.
2. Baju Sapatagak
Pada umumnya baju sapatagak dibawa menggunakan baki. Baju
sapatagak adalah seperangkat pakaian yang akan digunakan marapulai
mulai dari tutup kepala sampai alas kakinya, yaitu: kopiah atau peci
129
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
berwarna hitam, baju jas berwarna hitam, kemeja berwarna putih, ikat
pinggang, celana berwarna hitam dan sepatu berwarna hitam. Arti warna
hitam dalam adat Minangkabau adalah sebagai lambang kepemimpinan
dan tahan tempa atau kuat dengan ujian apapun, dalam hal ini warna
hitam melambangkan jiwa kepemimpinan marapulai dalam membentuk
sebuah keluarga baru yang nantinya marapulai tersebut akan menjadi
kepala keluarga di keluarga kecilnya. (baca Amir: 2011:xxii)
3. Uang
Uang yang dibawa dalam manjapuik marapulai ini disebut
dengan uang japuik atau uang jemput. Uang japuik adalah sejumlah
uang tertentu yang diberikan oleh orang tua anak daro kepada orang tua
marapulai. Uang japuik selain berfungsi sebagai persyaratan
perkawinan juga merupakan wujud sebuah penghargaan yang
ditunjukkan oleh keluarga anak daro kepada seluruh keluarga besar
marapulai.
4. Emas atau ameh
Emas yang dibawa oleh rombongan anak daro pada saat
manjapuik marapulai merupakan benda yang dibawa untuk
mendampingi jumlah uang japuik yang sudah di rundingkan
sebelumnya.
5. Makanan
Untuk melakukan penyambutan sialek atau rombongan untusan
anak daro, tuan rumah sudah menyiapkan hidangan dan menyajikan
130
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
berbagai macam makanan di tengah-tengah ruang tamu dimana
rombongan utusan anak daro dan keluarga marapulai telah duduk
membentuk persegi mengikut sesuai dengan bentuk ruangan. Hidangan
ini disajikan ketika pihak sipangka atau keluarga marapulai akan
menjawab permintaan dari utusan anak daro.
5.1.4 Pelaksanaan Acara Manjapuik Marapulai
Acara Manjapuik marapulai dilaksanakan pada hari Senin, 3 Desember
2018, tetapi pada malam sebelumnya pihak keluarga anak daro telah memberitahu kepada keluarga marapulai bahwa utusan anak daro akan datang pada pukul 9.00 WIB pagi hari. Pada hari itu seluruh anggota keluarga berkumpul dan duduk bersama di ruang tamu untuk berunding mengenai apa yang harus dilakukan dalam melaksanakan proses manjapuik marapulai tersebut. Anggota keluarga yang berkumpul dalam acara persiapan ini adalah seluruh keluarga besar dan orang- orang yang pantas secara adat, seperti: mamak, ninik mamak, kapalo mudo, urang sumando, dan pasumandan.
Sebelum pelaksanaan dilakukan, seluruh anggota keluarga dihidangkan berbagai macam makanan untuk disantap oleh keluarga sebelum berangkat ke rumah marapulai. Setelah menyantap hidangan yang disajikan, Pada saat yang bersamaan ibu anak daro mengeluarkan benda-benda yang akan dibawa oleh utusan di hadapan seluruh anggota keluarga, dan menjelaskan kepada utusan bahwa barang- barang tersebut merupakan kesepakatan dari kedua belah pihak keluarga pengantin.
131
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Benda-benda yang harus dibawa adalah sejumlah uang, emas, carano yang berisi seperangkat sirih yang ditempatkan dalam carano, baki atau talam yang di dalamnya terdapat baju sapatagak yang terdiri dari kopiah, jas, ikat pinggang, dan sepatu. Kemudian salah satu utusan memeriksa kembali benda yang akan dibawa, dan menghitung ulang jumlah uang dan emas. Setelah dilakukan penghitungan uang yang dibawa adalah sejumlah dua puluh lima juta rupiah (Rp. 25.000.000) dan emas seberat 10 ameh atau setara dengan 25 gram yang kemudian uang dan emas ini dibungkus rapi dengan sapu tangan.
Setelah semua benda-benda tersebut tertata dengan rapi, barulah anggota keluarga berembuk untuk memutuskan siapa-siapa saja yang akan menjadi juru bicara pada pelaksanaan manjapuik marapulai. Dalam mengutus suatu rombongan untuk berkunjung kepada keluarga lain untuk menyampaikan hajat keluarga, dalam hal ini adalah untuk menjemput marapulai harus ada yang ditunjuk atau dituakan untuk memimpin rombongan sebagai kepala rombongan atau sebagai kepala pimpinan. Pimpinan inilah yang akan menjadi juru bicara dan menjadi pemandu bagi keseluruhan pengikutnya atau rombongannya tersebut. Orang yang menjadi juru bicara adalah orang yang dianggap layak dan paham mengenai adat istiadat serta memiliki kedudukan yang hampir sejajar dengan pimpinan dari keluarga yang hendak dikunjungi.
Menjadi seorang juru bicara bukanlah perkara mudah. Tidak semua orang dalam sebuah keluarga tersebut mampu untuk menjadi seorang juru bicara. Untuk menjadi seorang juru bicara, dibutuhkan keahlian khusus dalam melakukannya. Setelah melalui perundingan, didapatlah kesepakatan bahwa
132
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
yang menjadi juru bicara pada rombongan yang akan menjemput marapulai adalah katuo mudo yang bernama Bapak John Hendri.
Setelah kesepakan diperoleh, selanjutnya mereka secara bersama-sama memanjatkan doa kepada Allah SWT agar mereka selamat sampai tujuan dan diberikan kemudahan dalam melaksanakan proses manjapuik marapulai sampai mereka kembali ke tempat asal. Seluruh anggota keluarga yang menjadi utusan kemudian bersiap untuk berangkat ke kediaman marapulai. Mobil digunakan sebagai transportasi yang mengangkut rombongan utusan manjapuik marapulai.
Beberapa orang utusan membawa benda yang harus dibawa ke dalam mobil dan beberapa orang lainnya langsung masuk ke dalam mobil yang lainnya.
Setibanya rombongan di depan pintu rumah, rombongan tidak langsung masuk ke dalam rumah, melainkan harus menunggu keluarga yang lain tiba untuk berkumpul di halaman rumah marapulai. Setelah semua utusan berkumpul di halaman rumah marapulai, tuan rumah (sipangka) juga telah bersiap dan menunggu untuk mempersilahkan seluruh utusan anak daro yang datang untuk masuk ke dalam rumah. Ketika utusan memasuki rumah marapulai, salam diucapkan kepada seluruh orang yang berada di dalam rumah tersebut. Utusan yang membawa baki yang berisi baju sapatagak langsung memberikannya kepada keluarga yang berhak menerima baki tersebut.
Bersamaan dengan proses tersebut, pihak keluarga marapulai mempersilahkan rombongan utusan untuk duduk dipermadani yang telah dibentangkan sebelumnya. Setelah beberapa saat, dan dirasa semua rombongan utusan anak daro telah memasuki rumah dan duduk di dalam acara tersebut, yang menjadi
133
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
juru bicara kemudian berbisik kepada salah satu keluarga marapulai untuk bertanya, kepada siapa dia seharusnya menghaturkan sambah, agar tidak ada yang terlewatkan. Pertanyaan berbisik ini merupakan tata tertib yang harus dilaksanakan, agar sambah yang akan ditujukan itu jatuh kepada orang yang tepat, artinya mereka adalah orang yang memang memiliki keahlian yang sepadan untuk menjawab kata secara alur pasambahan. Sebab jika tidak dihaturkan kepada orang yang tepat, maka ini secara tidak langsung akan membuat malu dan canggung orang yang dituju dan bahkan dapat menimbulkan perasaan kurang nyaman dihati tuan rumah. Sambah yang dihaturkan seharusnya ditujukan kepada orang tua marapulai, urang sumando, kapalo mudo dan sanak famili yang hadir pada acara tersebut.
Selanjutnya utusan anak daro melakukan sambah pembuka kato. Dalam sambah pambuka kato ini utusan menyampaikan rasa terimakasih atas penyambutan yang baik dan ramah dalam menyambut kedatangan mereka dan dilanjutkan dengan sambah yang menyatakan bahwa mereka yang datang adalah utusan keluarga anak daro yang datang secara beradat dan mereka datang sesuai dengan janji yang telah disepakati jauh hari sebelumnya.
Kemudian utusan akan bertanya apakah dia sudah dibenarkan untuk menyampaikan maksud sebenarnya dari kedatangan mereka. Yang dapat terlihat dari sepenggal pasambahan berikut:
(12) Jikok ado yang takana di hati, nan tailan-ilan di mato, Jika ada teringat yang terlintas mata,
alah kok buliah kami katangahan? Sudah boleh ketengahkan?
134
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
„jika ada maksud kami, apakah kami sudah boleh menyampaikannya?‟
Maksud dari pernyataan di atas bermakna meminta persetujuan untuk mengutarakan atau menyampaikan maksud kedatangan mereka ke kediaman marapulai.
Adapun tujuan mereka datang adalah untuk menepati janji yaitu menjemput marapulai dan menyerahkan uang japuik kepada keluarga marapulai. Hal ini terlihat dari sepenggal pasambahan yang dilakukan, yaitu:
(13) Kampia siriah di tapi dianta ka tangah kahadapan Kampi sirih tepi diantar ke tengah kehadapan
angku-angku, ninik mamak, imam katik, pegawai pegawai, orang tua, pemuka adat, pemuka agama,
urang sumando, sarato jo pemuda. ipar, serta dengan pemuda.
„Kampi sirih yang ada di tepi kami antar ke tengah kehadapan orang tua, pemuka adat, pemuka agama, pegawai ipar serta pemuda.‟
Pernyataan diatas ditandai dengan kampi sirih yang memiliki makna untuk menyampaikan sembah kepada keluarga besar marapulai yang hadir di ruangan tersebut. Selain untuk menyapaikan sembah sirih juga digunakan sebagai media untuk menyatakan maksud kedatangan mereka.
Bersamaan dengan pasambahan ini, uang japuik yang di tempatkan dalam saputangan yang disusun rapi diberikan kepada utusan marapulai untuk diperiksa atau dihitung ulang kembali jumlah uang yang diberikan. Setelah
135
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
jumlah uang dan emas yang dihitung sesuai dengan kesepakatan, kemudian uang dan emas tersebut diperlihatkan kepada angku-angku dan ninik mamak yang berada di sekitar juru bicara marapulai untuk diperiksa kembali. Setelah mereka memeriksanya barulah sejumlah uang dan emas tersebut diberikan kembali kepada juru bicara untuk disimpan dan ditempatkan berdekatan dengan baki yang berisi baju sapatak. Pasambahan ini akan terus berlangsung sampai kesepakatan diperoleh.
Selanjutnya, Setelah sambah pembuka kato dari utusan anak daro, maka sambah dari marapulai juga dilakukan, hal ini dilakukan adalah untuk membalas sambah yang dilakukan utusan anak daro yang menyatakan maksud dan tujuan mereka datang ke kediaman marapulai. Tetapi sebelum pihak marapulai menjawab permintaan dari utusan anak daro, sebelumnya tuan rumah menyiapkan hidangan dan menyajikan berbagai macam makanan di tengah-tengah ruang tamu dimana rombongan utusan anak daro dan keluarga marapulai telah duduk membentuk persegi mengikut berdasarkan bentuk ruangan. Adapun hidangan yang disajikan adalah: nasi, rendang, gulai ayam, sayur-sayuran, kue bolu, lepat inti, kerupuk, buah semangka dan air putih.
Semua hidangan tersebut ditata dengan rapi di atas taplak yang dibentang panjang di tengah. Taplak ini terbuat dari kain berwarna putih yang setiap sisinya terdapat bordiran panjang berwarna yang tidak terputus. Selanjutnya utusan pihak marapulai mempersilahkan rombongan utusan anak daro untuk menyantap hidangan yang telah disajikan dihadapan mereka. Hal ini terlihat
136
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dari pasambahan yang dilakukan oleh juru bicara marapulai seperti dibawah ini:
(14) Minumlah aia sagalo nan talatak karano kito istirahat. Minumlah air segala yang terletak, karena kita
Beko kandak ambo agiah, pintak bapalakuan sagalo Nanti kehendak saya berikan, pinta dilakukan segala
nan dapek. yang dapat.
„Minumlah air dan semua yang sudah disajikan, karena kita istirahat sebentar. Nanti keinginan dan permintaan yang disampaikan akan saya kabulkan.‟ Setelah rombongan kedua belah pihak menyantap hidangan, utusan pihak keluarga marapulai membersihkan taplak yang dibentang tadi dari piring dan semua yang tidak digunakan lagi untuk dibawa ke dapur untuk dibersihkan.
Setelah taplak dibersihkan yang tersisa adalah kue dan buah serta air putih.
Bersamaan dengan itu sebagian yang menghadiri acara manjapuik marapulai tersebut bercengkrama dengan orang-orang yang ada sisi kiri dan kanannya karena acara pasambahan belum dilanjutkan.
Selang beberapa saat kemudian acara sambah manyambah kembali dilanjutkan. Sambah ini di awali oleh juru bicara anak daro. Pasambahan kali ini disampaikan adalah untuk menegaskan bahwa kedatangan mereka adalah untuk menjemput marapulai dan berniat untuk membawa marapulai agar dapat disandingkan di perhelatan pesta perkawinan di rumah anak daro. Hal ini terlihat dari pasambahan yang disampaikan sebagai berikut:
137
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(15) Tujuan jo mukasuik kami nan datang dari Tujuan dan maksud yang
padang bibiriak tadi kamari artie tuk manapeki Nama tempat kemari artinya untuk menepati
padang nan diukua janji nan diarek tanah yang diukur janji yang diikat
baa kato-kato urang, rimbun rampak karambia seperti kata-kata orang, rimbun berdahan kelapa
Pagai, ditanam sutan di ateh munggu, nama daerah, ditanam gelar orang Minang atas bukit kecil
bulan tampak janji, lah sampai kami bulan tampak janji, sudah sampai kami
manapeki janji nan dulu. menepati yang dulu.
Kalau janji nan dulu artie manjapuik marapulai yang artinya menjemput pengantin (lk)
nan banamo Satria Perdana, nak kami nikahkan beko yang bernama Satria Perdana, hendak nanti
jo sanak kamanakan kami nan di mudiak banamo dengan sanak kemenakan yang mudik bernama
Suci Nurul Hidayati. .
„Tujuan dan maksud kami yang datang dari Padang Babirik tadi kemari adalah untuk menepati janji. Seperti kata-kata orang, rimbun dahan kelapa pagai, ditanam sutan di atas bukit, bulan telah nampak, janji telah sampai. Kami menepati janji yang dulu yaitu untuk menjemput marapulai yang bernama Satria Perdana yang kemudian nantinya akan kami nikahkan dengan keponakan kami yang bernama Suci Nurul Hidayati.‟
Setelah pasambahan yang menegaskan keinginan utusan anak daro untuk membawa marapulai disampaikan, juru bicara marapulai kemudian
138
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
berembuk dengan angku-angku dan ninik mamak yang ada di sebelahnya untuk dapat memberikan keputusan. Setelah keputusan diperoleh barulah sambah kemudian disampaikan, diantaranya sebagai berikut:
(16) Namoe kandak ka baagiah, pintak ka balakuan. Namanya kehendak akan diberikan, pinta akan dilakukan.
Janji nan babuek, padang nan maukua. Janji yang dibuat, tanah yang mengukur.
„kami akan mengabulkan permintaan yang telah disampaikan sebelumnya.‟
Dari sepenggal pasambahan itu dapat disimpulkan bahwa juru bicara marapulai memberikan izin untuk membawa marapulai ke kediaman anak daro untuk disandingkan di pesta perkawinan mereka.
Setelah itu baki yang berisi baju sapatagak dibawa ke kamar marapulai untuk dipakaikan kepada marapulai. Pada saat yang bersamaan, juru bicara marapulai menyampaikan agar rombongan anak daro menunggu marapulai untuk dipakaikan baju sapatagak. Hal itu dapat tergambar dari sepenggal pasambahan yang disampaikan oleh juru bicara marapulai.
(17) Pitih nan babilang, ameh nan babongkah. Mananti si jon Uang yang berjumlah, emas yang berbongkah. Menanti
sabanta lu Jon. sebentar dulu
„tunggu sebentar dulu Jon.‟
Setelah marapulai selesai memakai baju sapatagaknya dan telah selesai mempersiapkan hal-hal yang dianggap penting lainnya, maka marapulai diantarkan ke ruang tamu untuk bertemu dengan rombongan utusan anak daro
139
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
agar bersama-sama melangkahkan kaki ke pintu dan berdiri bersama di halaman rumah.
Selanjutnya ketika seluruh rombongan dari kedua belah pihak berdiri dan berkumpul bersama di teras rumah, salah seorang utusan pihak marapulai berdiri di belakang untuk membacakan doa selamat dan bersalawat menggunakan microphone. Setelah doa selamat dan salawat diucapkan, kemudian marapulai bersalaman dan berpelukan dengan kedua orangtuanya sambil meminta maaf dan restu agar kehidupannya kelak tidak ada masalah apapun nantinya. Setelah bersalaman dengan kedua orang tua, selanjutnya marapulai bersalaman dengan saudara-saudaranya dan dilanjutkan dengan seluruh keluarga besarnya. Setelah acara melepas marapulai dengan salawat dan doa barulah marapulai beserta rombongan keluarganya berangkat menuju kediaman anak daro untuk melaksanakan pesta perkawinannya.
5.1.2 Analisis Teks, Ko-teks dan Konteks
5.1.2.1 Analisis Teks pada Pasambahan Manjapuik Marapulai
Dalam acara manjapuik marapulai pada upacara adat perkawinan
Minangkabau, digunakan pasambahan atau pidato adat. Peneliti menggunakan teori analisis wacana Van Dijk (1985), yaitu berkaitan dengan analisis struktur makro, superstruktur dan struktur mikro.
5.1.2.1.1 Struktur Makro (Tema)
Struktur makro merupakan teks yang berhubungan dengan tema-tema pada sebuah teks. Pasambahan ini merupakan pidato adat yang disampaikan melalui ungkapan-ungkapan yang dilakukan secara santun untuk menyatakan
140
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
maksud dan keinginan secara tidak langsung kepada keluarga marapulai. Pada bahasa Minangkabau kesantunan itu akan muncul apabila penyampaian maksud dan keinginan disampaikan secara tidak langsung dan dengan menggunakan ungkapan-ungkapan yang mengandung peribahasa dan ungkapan lainnya.
Apalagi acara manjapuik marapulai ini merupakan acara adat yang pelaku pasambahannya bukanlah sembarang orang, melainkan orang-orang yang beradat dan memahami adat Minangkabau. Sehingga sudah seharusnya penyampaian pasambahan ini dilakukan juga secara adat. Tema dari pasambahan ini adalah mengenai perundingan atau kesepakatan untuk menjemput marapulai dan kesepakatan dalam menunaikan janji yang telah dirundingkan jauh hari sebelumnya. Namun, dari keseluruhan isi teks pasambahan itu berakhir dengan sebuah keputusan untuk membawa marapulai ke kediaman anak daro untuk disandingkan di pesta perkawinannya. Seperti:
(18) tujuan jo mukasuik kami nan datang dari tujuan dan maksud kami yang datang dari
Padang bibiriak tadi kamari artie tuk manapeki Nama tempat tadi kemari artinya untuk menepati
padang nan diukua janji nan diarek tanah yang diukur janji yang diikat
baa kato-kato urang, rimbun rampak karambia seperti kata-kata orang, rimbun berdahan kelapa
pagai, ditanam sutan di ateh munggu, nama daerah, ditanam gelar orang Minang di atas bukit kecil
bulan tampak janji, lah sampai kami bulan tampak janji, sudah sampai kami
141
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
manapeki janji nan dulu. menepati janji yang dahulu.
Kalau janji nan dulu artie manjapuik marapulai Kalau janji yang dahulu artinya menjemput pengantin (lk)
nan banamo Satria Perdana, nak kami nikahkan beko yang bernama Satria Perdana, hendak kami nikahkan nanti
jo sanak kamanakan kami nan dimudiak banamo dengan anak kemenakan kami yang di mudik bernama
Suci Nurul Hidayati. Suci Nurul Hidayati.
„Tujuan dan maksud kami yang datang dari Padang Babirik tadi kemari artinya adalah untuk menepati janji. Seperti kata-kata orang, rimbun dahan kelapa pagai, ditanam sutan di atas bukit, bulan telah nampak, janji telah sampai. Kami menepati janji yang dahulu. Kalau janji yang dahulu adalah untuk menjemput marapulai yang bernama Satria Perdana yang kemudian nantinya akan kami nikahkan dengan keluarga keponakan kami yang di mudik yang bernama Suci Nurul Hidayati.‟
5.1.2.1.2 Superstruktur (Struktur Alur)
Berdasarkan teori Van Dijk (1985) menyatakan bahwa superstruktur yang terdapat dalam teks secara garis besar terbagi atas tiga elemen, yaitu: pendahuluan, bagian tengah, dan penutup. Dalam penelitian ini penulis membagi struktur alur pasambahan dalam acara manjapuik marapulai dibagi atas 3 bagian, yaitu: pembuka, isi dan penutup.
a. Pendahuluan
Pada bagian pembuka ini, teks disampaikan oleh juru bicara anak
daro diawali dengan mengucapkan salam dan berdoa mengucapkan
142
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
syukur kehadirat Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW sebagai junjungan umat Islam. Serta mengucapkan puji syukur karena telah diberikan kesehatan dan kemudahan untuk melaksanakan acara manjapuik marapulai.
Selanjutnya, salam dan hormat juga disampaikan kepada kedua orang tua marapulai, urang sumando, kapalo mudo, dan sanak famili karena telah bersedia menunggu dan menyambut kedatangan rombongan dengan baik dan ramah.
(19) Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh.
Da Nang, kok sungguahpun da Nang Abang jika sungguhpun
maimbau, artie sagalo salam mamilih jo mananti. memanggil,artinya segala salam memilih dan menanti
Sungguah di ambo tarabiak parundiangan ko, Sungguh saya muncul perundingan ini,
lah saiyo samufakek lo kami yang datang dari sudah seiya semufakat pula kami yang datang dari
Parawik tadi. nama tempat tadi
Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh. Segala salam kami sampaikan kepada abang yang telah menanti kami. Walaupun perundingan ini datangnya dari saya, kami telah sepakat untuk menghadiri undangan yang telah disampaikan.‟
143
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Selanjutnya adalah pasambahan untuk menyuguhkan sirih adat sebagai pembuka kata.
(20) Kok sirieh mintak dicabiak, kok pinang mintak digatok, Jika sirih minta di sobek, jika pinang minta di ketok
kok gambia mintak dikupia, kok sada mintak dipalik. Jika gambir minta dicuil, jika kapur sirih minta dioles
Karajo nan bapokok, silang nan bapangka. Kerja yang bermodal, silang yang berpangkal.
„kami memberikan sirih ini dengan tujuan agar dapat menyampaikan maksud kedatangan kami.‟
Sepenggal pasambahan di atas disampaikan pada saat ingin menyatakan maksud bahwa mereka datang secara beradat. Sirih yang di tempatkan dalam carano memiliki fungsi sebagai simbol komunikasi dalam masyarakat Minangkabau yang sesuai dengan ajaran adat dan berlandaskan syariat agama Islam. Komunikasi yang baik disimbolkan melalui sirih untuk menghormati semua orang-orang yang terlibat dalam acara tersebut.
Selanjutnya adalah Pasambahan menyatakan bahwa mereka adalah utusan resmi mewakili pihak keluarga anak daro yang diutus untuk menjemput marapulai. Hal ini tergambar pada sepenggal pasambahan berikut:
(21) Kami ateh namo disuruah disarayo dek urang sumando Kami atas nama disuruh diminta oleh ipar
suku tanjuang, manjapuik anak kamanakan baliau suku nama suku, menjemput anak kemenakan beliau
nan banamo Satria Perdana.
144
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
yang bernama Satria Perdana (nama).
„Kami atas nama yang disuruh oleh keluarga kami suku Tanjung adalah untuk menjemput anak kemanakan beliau yang bernama Satria Perdana.‟
b. Isi
Pada bagian isi, teks juga disampaikan oleh juru bicara anak daro.
Dalam hal ini juru bicara anak daro menyampaikan maksud dan tujuan
kedatangan mereka adalah untuk menyerahkan uang japuik dan ameh
yang sudah diminta. Sebelumnya penyerahan dari uang japuik dan
ameh ini dirundingkan pada saat acara batimbang tando yang sudah
dilakukan jauh hari sebelumnya. Hal ini Nampak pada sepenggal
pasambahan seperti dibawah ini:
(22) Sapanjang parundiangan ka tangah, dari satu sampe ka duo, Sepanjang perundingan ke tengah, dari satu sampai ke dua,
duo sampe ka tigo. Dua sampai ke tiga.
Ibarek urang naik janjang, tantu satingkek ka satingke. Ibarat orang naik tangga, tentu setingkat ke setingkat.
Kini ko ambo tapak tingkek nan ka tigo. Sekarang ini saya pijak tingkat yang ke tiga.
Artie tantang duo perkaro tadi, kok nan partamo tantang Artinya tentang dua perkara tadi, jika yang pertama tentang
pambuka kato, da yon lah balapangan. pembuka kata, sebutan (lk) nama sudah dilapangkan.
145
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Kok ka hilie tantu rimboe, ka mudiak tantu hulue. Jika ke hilir tentu rimbanya, ke mudik tentu hulunya.
Nan ka duo tantang saracik sambah lah bakarilahan yang ke dua tentang sebuah sembah sudah rela
Pulo tarimo baliak.
Pula terima kembali.
„Sepanjang perundingan ini, dari satu sampai ke dua, dua sampai ke tiga. Ibarat orang naik tangga tentulah setingkat demi setingkat. Sekarang ini saya melangkah ke tingkat yang ketiga. Artinya tentang tentang dua perkara tadi, jika yang pertama tentang pembuka kata, abang sudah melapangkan. Jika ke hilir tentu rimbanya, ke mudik tentu hulunya. Dalam hal ini tentang sembah yang disampaikan hendaknya kita sama-sama saling mengikhlaskan ‟
Setelah uang dan ameh diserahkan dan diperiksa oleh utusan marapulai, dan sesuai dengan jumlah yang diinginkan, barulah sambah berikutnya adalah untuk menyampaikan maksud bahwa kedatangan mereka dilakukan secara adat karena mereka adalah orang yang menjunjung tinggi nilai adat dan akan menjemput marapulai juga dengan menggunakan adat. Hal ini dapat dilihat melalui sepenggal teks pasambahan berikut ini:
(23) Kok talatak putiak dulu di bawah kumpulan tali, Jika terletak putik dulu
takalo maso nan dulu, tigo limbago nan tajadi. Ketika masa yang tiga lembaga yang terjadi.
Jiko yang partamo basa jo basi, ka duo sambah, ka tigo jika pertama dan ke dua sembah, ke tiga
siriah jo pinang.
146
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sirih dan pinang.
„Dalam hal ini adalah yang pertama basa dan basi, ke dua sembah menyembah, ke tiga sirih dan pinang.‟
(24) Pasia badanga, ombak batele. Pasir didengar, dilihat.
Mamak urang mamintak awak mangecek, awak lapangan Paman orang meminta saya berbicara, saya beri
Jalan kapatang iko. kemarin ini
„Pasir didengar ombak yang dilihat. Paman orang meminta saya sebagai juru bicara dan saya menyetujuinya.‟
(25) Kilek baliung lah ka kaki, kilek camin lah ka muko. Kilat beliung sudah ke kilat cermin sudah ke wajah.
Adat lah kami isi, limbago lah kami tuang. Adat sudah kami isi, lembaga sudah
Tapi kami ateh namo disuruah disarayo. atas nama disuruh diminta.
dek urang sumando suku tanjuang manjapuik anak Oleh ipar suku tanjung menjemput
kamanakan beliau untuak ka jadi urang sumando kemenakan beliau untuk akan jadi ipar
disuku tanjuang disuku tanjung.
„Kilat beliung sudah ke kaki, kilat cermin sudah ke wajah. Kami atas nama yang disuruh oleh orang sumando suku tanjung untuk menjemput anak kemanakan mereka agar dapat menjadi orang sumando disuku tanjung.‟
147
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Setelah pasambahan permintaan itu disampaikan oleh juru bicara anak daro, kemudian sambah berbalas yang disampaikan oleh juru bicara marapulai. Pihak sipangka atau pihak marapulai yang dalam hal ini diwakili oleh juru bicaranya, tidak serta merta memberikan jawaban secara langsung melainkan mempersilahkan untuk menyantap hidangan yang telah disajikan dihadapan orang yang terlibat dari kedua belah pihak, seperti yang terdapat dalam penggalan pasambahan berikut ini:
(26) Baa kecek urang Babiriak, di Sipendi merah Seperti kata orang nama tempat, nama tempat merah
sago, baiak budi yo baso. sagu, baik budi ya sikap.
Dek sagalo yang nampak namoe tantu kilek baliung Karena segala namanya tentu kilat beliung
lah ka kaki, kilek camin lah ka muko. Sudah ke kaki, kilat cermin sudah ke wajah.
Nan diambo baitu pulo minumlah aia sagalo nan talatak, yang saya begitu pula, air segala yang terletak,
karano kito istirahat. karena kita istirahat.
Beko kandak nan ambo agiah, pintak bapalakuan sagalo Nanti kehendak yang saya beri, pinta dilakukan segala
nan dapek. yang dapat.
„Seperti kata orang Babirik di Sipendi merah sagu, baik budi adalah sikap. Karena segala yang nampak namanya, tentu kilat beliung sudah ke kaki, kilat cermin sudah ke wajah. Minumlah air dan segala yang terhidang, karena kita akan istirahat.‟
148
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
c. Penutup
Bagian teks penutup ini lazimnya disampaikan setelah keluarga dari
kedua belah pihak menyantap hidangan yang disajikan sebelumnya.
Selanjutnya juru bicara anak daro mengawali sambah dengan maksud
untuk menegaskan kembali kepada keluarga marapulai bahwa
kedatangan mereka adalah untuk menjemput marapulai untuk kemudian
disandingkan nanti di perhelatan pesta perkawinan mereka di rumah
anak daro.
Adapun sepenggal sambah tersebut adalah sebagai berikut:
(27) Tujuan jo mukasuik kami nan datang dari tujuan dan maksud kami yang datang dari
Padang bibiriak tadi kamari artie tuk manapeki Nama tempat kemari artinya untuk menepati
padang nan diukua janji nan diarek tanah yang diukur janji yang diikat
baa kato-kato urang, rimbun rampak karambia seperti kata-kata orang, rimbun berdahan kelapa
pagai, ditanam sutan di ateh munggu, nama daerah, ditanam gelar orang Minang di atas bukit kecil
bulan tampak janji, lah sampai kami bulan tampak sudah sampai kami
manapeki janji nan dulu. menepati yang
Kalau janji nan dulu artie manjapuik marapulai Kalau janji yang dahulu artinya menjemput pengantin (lk)
nan banamo Satria Perdana, nak kami nikahkan beko yang bernama Satria Perdana, hendak nanti
149
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
jo sanak kamanakan kami nan di mudiak banamo dengan sanak kemenakan yang di mudik bernama
Suci Nurul Hidayati.
Sagalo pajanjian karam buatan kito nan dulu tu lah Segala perjanjian karam buatan kita yang dulu itu telah
dibantang, kok dicaliak tampak diesek taraso tulah dibentang, jika dilihat tampak, diraba terasa itulah
bantuaknyo, kok pintak buliah kandak balaku. bentuknya, Jika pinta boleh kehendak berlaku.
„Tujuan dan maksud kami yang datang dari Padang Babirik tadi kemari artinya adalah untuk menepati janji. Seperti kata-kata orang, rimbun dahan kelapa pagai, ditanam sutan di atas bukit, bulan telah nampak, janji telah sampai. Kami menepati janji yang dahulu. Kalau janji yang dahulu adalah untuk menjemput marapulai yang bernama Satria Perdana yang kemudian nantinya akan kami nikahkan dengan keluarga keponakan kami yang di mudik yang bernama Suci Nurul Hidayati. Segala perjanjian karam buatan kita yang dulu itu sudah dikedepankan, jika di lihat Nampak diraba terasa, seperti itulah bentuknya.‟
Dalam hal memberikan jawaban atas permintaan oleh pihak anak daro, juru bicara marapulai selanjutnya berembuk untuk memberi keputusan dan menyampaikannya melalui sambah berikut ini:
(28) Kok dek ciek, kaduo lah baku bantuak nan tigo. Jika karena satu, ke dua sudah beku bentuk yang ke tiga
Kito pacik arek taguah kajang nan kito buek. Kita pegang kuat teguh tegang yang kita buat.
Nan ka duo tantu daun kanari sajo nan sarupo jo Yang ke dua tentu daun kenari saja yang sama dengan
150
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
daun talang, bukan si jon kamari sajo sadang daun talang, bukan sebutan nama kemari saja sedang
mukasuik ka manjalang. bermaksud akan mengunjungi.
A nan kini ko anak awak ka bajapuik, nan ambo apa yang sekarang ini anak saya akan dijemput, yang saya
kito jo ayah induak lapeh anak tantu lapeh bana indak kita dengan ayah ibu lepas anak tentu lepas benar tidak.
nan ambo sangaik. yang saya sangat.
Namoe kandak ka baagiah pintak ka bapalakuan. Namanya kehendak akan diberikan pinta akan dilakukan.
janji babue, padang nan maukua. Janji dibuat, padang yang mengukur.
Lah tabaok di si Jon kini, tantu diliek tampak, Sudah terbawa oleh sebutan nama, tentu dilihat tampak,
diesek taraso. Diraba terasa.
„Jika bentuk pertama dan kedua sudah baku, maka bentuk yang ke tiga harus kita pegang kuat dan teguh. Yang kedua, tentu daun kenari saja yang sama dengan daun talang. Artinya, bukan si Jon saja yang berniat ingin datang kemari. Sekarang ini terjadi adalah anak saya akan dijemput dan tentu saja kami selaku ayah dan ibu akan melepasnya, tetapi tidak lepas sepenuhnya. Tentu saja saya akan menepati janji, anak saya sudah boleh dibawa.‟
Selanjutnya mempersilahkan utusan anak daro untuk menunggu, karena marapulai bersiap untuk memakai baju sapatagak yang diberikan sebelumnya dan menyiapkan hal-hal lainnya yang ingin dibawa. Situasi ini disampaikan melalui sambah sebagai berikut:
151
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(29) Pitih nan babilang Uang yang berjumlah
Ameh nan babongkah Emas yang berbongkah
Mananti si jon sabanta lu Jon. Menanti sebentar dulu
Selanjutnya sambah permintaan maaf yang disampaikan oleh juru bicara anak daro atas perkataan ataupun perbuatan tingkah laku yang ada apabila ada yang tidak berkenan oleh tuan rumah, sebagai berikut:
(30) ambo mungkin mudo matah, saya mungkin muda mentah,
mungkin ado giweh jo hilafah salah ambo jo sanggah. ada sikap dan perbuatan salah saya juga sanggah.
Maklumlah awak nan hidup ko dak ado nan kita yang hidup ini tidak ada yang
tapapuronoh. Sempurna.
Indak ado gadiang nan dak ratak. Tidak ada yang tidak retak.
Baa kecek-kecek urang, kami ateh namo rombongan Seperti kata-kata orang, atas nama
nan datang dari Padang Babiriak tadi, yang nama tempat
mamintak badunsanak di siko rila jo maaf yang
152
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
meminta keluarga di sini rela juga maaf yang
sabasar basarnyo tantang giwah jo gaweh sebesar-besarnya tentang sikap dan perbuatan
jo kato nan ampek, juga kata yang empat,
banang nan limo tadorong gading dek gajah. Benang yang lima terdorong gading oleh gajah.
Tantu maaf ambo bapilar ka nan satu. Tentu maaf saya berpilar kepada yang satu.
Nan ka duo kito enjeng babuhua aia.
Yang ke dua kita bawa berikat air.
„Sepanjang kita berunding tadi bang, saya mungkin belum memiliki banyak pengalaman, mungkin ada sikap dan perbuatan saya yang tidak berkenan, maklumlah kita yang hidup ini tidak ada yang sempurna. Tak ada gading yang tak retak, seperti kata-kata orang. Kami atas nama rombongan yang datang dari Padang Babirik tadi, meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada keluarga yang disini apabila terdapat kata yang tidak sesuai dengan kata yang empat kepada seluruh yang hadir di sini. Tentu maaf saya berpilar kepada yang satu agar silaturahim tetap terjalin.‟
Selanjutnya, pasambahan ditutup oleh juru bicara anak daro memohon untuk kembali ke rumah anak daro, sebagai berikut:
(31) Di situ dek banyak karajo, tantu kami Di situ karena banyak pekerjaan, tentu kami
mungkin ka pai ka mudiak lai, akan pergi ke mudik lagi,
tuak maagih kaba dusanak yang di mudiak, untuk memberi kabar keluarg a yang di mudik,
153
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ka urang nan tibo jo rombongan.
Kepada orang yang tiba dengan rombongan.
„Terima kasih banyak bang, karena di sana banyak pekerjaan, tentu kami mungkin akan pulang, untuk menyampaikan kabar kepada keluarga yang ada di sana, serta kepada orang yang datang dengan rombongan.‟
5.1.2.1.3 Struktur Mikro
Struktur mikro adalah struktur teks secara linguistik, hal ini mencakup tataran bahasa seperti: bunyi, kata, kalimat, wacana, makna, maksud, gaya bahasa dan bahasa kiasan. Adapun dalam penelitian ini, penulis membahas dari unsur bahasa kiasan yang digunakan dalam pasambahan manjapuik marapulai. Unsur bahasa kiasan yang ditemukan dalam pasambahan manjapuik marapulai adalah: pantun, peribahasa, mamang dan pepatah.
a. Pantun
Pantun adalah senandung atau puisi rakyat yang terdiri dari empat baris
dan diberi nada. Menurut Almudra (2005) untuk memberikan defenisi
pantun secara verbal sangat sulit, karena dapat menyebabkan pantun
terbatas dan mengalami pereduksian. Oleh karena itu, untuk memberikan
defenisi pantun yang sebenarnya adalah dengan mempertimbangkan lima
(5) hal, yakni sebagai berikut: aspek fisik, nilai yang dikandung, fungsi
atau kegunaannya, keluasan penggunaannya, dan konteks sosial
budayanya. Dengan mempertimbangkan kelima hal tersebut, maka dapat
memunculkan kesadaran bahwa pantun bukan hanya sekedar bait saja
154
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
melainkan juga merupakan hasil dari tradisi oral masyarakat yang mengandung nilai-nilai luhur.
Pantun dikatakan berasal dari bahasa Minangkabau yang artinya sebagai pembimbing atau penasihat yang berasaskan pada sastra lisan dalam pengucapan pepatah yang marak digunakan dalam masyarakat tersebut.
Sehingga pada saat sekarang ini pantun sering digunakan dalam acara perkawinan ataupun sebagai pembuka dan penutup bicara dalam acara adat.
Menurut Sinar (2011), pantun didefinisikan bukan hanya secara fisiki tetapi juga maknawinya. Pantun merupakan seni berkomunikasi bahasa lisan dan tulis yang mengungkapkan fikiran maupun perasaan yang tertuang dalam rangkaian kata yang singkat dan padat dengan rima yang tetap antara sampiran dan isi, sebagai pengalaman konkret masyarakat akan dunia mereka, cermin keluhuran nilai-nilai, sikap, karakter, fungsi, makna aspek sosio kultural, dan ilmu pengetahuan alam yang mengandung nasihat, petuah, pesan, dakwah, falsafah hidup, norma, tunjuk ajar, panduan, dan penuntun untuk memberi pencerahan dan pendidikan kepada masyarakat.
Adapun ciri-ciri sebuah pantun adalah: (1) setiap barisnya dibentuk dengan jumlah kata minimal 4 buah, (2) jumlah baris dalam satu baitnya minimal dua baris untuk pantun kilat dan 4 baris untuk pantun biasa dan pantun berkait, (3) pola pantun merujuk kepada sajak akhir vertikal, dengan pola a-a, a-a-a-a, a-a-b-b, dan a-b-a-b (4) untuk pantun kilat baris pertama sebagai sampiran dan baris kedua sebagai isi, (5) untuk pantun biasa baris
155
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pertama dan kedua sebagai sampiran dan baris ketiga dan keempat sebagai isi.
Dalam buku redaksi Balai Pustaka dijelaskan bahwa pantun dapat digolongkan sebagai berikut: (1) Pantun anak-anak, (2) pantun orang muda
(3) pantun orang tua. Dari ketiga jenis pantun yang disebutkan sebelumnya, pantun yang terdapat dalam pasambahan manjapuik marapulai dapat digolongkan ke dalam pantun orang tua. Karena dalam pantun orang tua dibagi lagi ke dalam tiga jenis yaitu: pantun nasihat, pantun adat, dan pantun agama.
Dalam teks pasambahan manjapuik marapulai, ditemukan dua buah pantun, yaitu:
(32) Kampuang paneh kampuang takuruang Dibaliak kampuang sungai rotan Hujan paneh dapek balinduang Sukar dak kama kiro-kiro dihadokkan.‟
Kampung panas kampung terkurung Dibalik kampung sungai rotan Hujan panas dapat berlindung
Sulit hendak kemana dihadapkan
Pantun ini ditemukan dalam pasambahan pada saat juru bicara
anak daro untuk mengutarakan maksud agar dapat memulai
perundingan mengenai kedatangan mereka adalah untuk menjemput
156
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
marapulai. Dilihat dari fisiknya. Pantun ini berciri 4 baris dan
dikategorikan sebagai pantun biasa dengan pola a-b-a-b.
(32) „Tantang padi merah Tantang padi putiah Tantang disambah Jo kampiah siriah.‟
Tentang padi merah tentang padi putih Tentang disembah dengan kampih sirih
Selanjutnya pada pantun ini, hanya terdiri dari dua baris dan
pantun ini disebut sebagai pantun kilat dengan pola a-a. Pantun ini
ditemukan pada saat juru bicara anak daro bermaksud untuk menjemput
marapulai dengan mengetengahkan adat sesuai dengan bait kedua yaitu
tantang disambah jo kampia sirih. Sirih disimbolkan sebagai adat,
sehingga maksud dari isi pantun ini adalah untuk menjemput marapulai
yang dilakukan secara adat.
b. Mamang
Mamang adalah kias yang mengandung arti sebagai pegangan hidup,
sebagai suruhan, anjuran dan larangan. Navis (1984:259) menjelaskan
bahwa mamangan yang lazim juga disebut sebagai mamang adalah kalimat
yang mengandung arti sebagai pegangan hidup, sebagai suruhan, anjuran,
dan larangan. Bentuk kalimat mamang adalah berupa dua bagian yang
masing-masing terdiri dari dua sampai empat buah suku kata.
(33) Panjang nan bakarek, singkek nan kito pakai yang dipotong, pendek yang kita
„sebuah pekerjaan yang dapat dilakukan secara singkat.‟
157
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(34) Silang bapangka, karajo bapokok berpangkal, kerja bermodal
„Setiap pekerjaan itu pasti ada alasan yang mendasarinya.‟
(35) Japuik tabaok, anta sampai Jemput terbawa, mengantar
„apa yang telah diminta seharus diberikan.‟ c. Pepatah
Bentuk pokok kalimat pepatah terdiri dari dua buah kalimat. Navis
(1984:256) menyatakan bahwa tiap-tiap kalimat terdiri dari dua buah kata.
Kalimat pertama sebenarnya telah selesai tetapi didampingi anak kalimat
kedua sebagai penyempurna, sehingga kedua bagian kalimat tersebut
menjadi sebuah kalimat yang utuh. Dilihat dari sifatnya, bagian kedua
sebagai kalimat penyempurna itu dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
penyempurna yang sejajar, penyempurna yang menyilang, dan
penyempurna yang berlawanan.
(36) Padang nan baukua, janji nan diarek Tanah yang diukur, yang diikat
„tanah yang diukur,janji yang diikat.‟
Dari pepatah ini, dapat dilihat dua kata yang disandingkan yaitu antara
baukua dan diarek. Baukua atau diukur dan diarek atau diikat. Jika dapat
diartikan kedua kata yang terdapat dalam pasambahan manjapuik ini
seperti direntangkan dan dirapatkan. Jika dilihat dari sifat pepatahnya,
penyempurnaan ini masuk kepada jenis penyempurna yang berlawanan.
(37) Diliek tampak diesek taraso Dilihat diraba terasa
158
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
„Dilihat nampak diraba terasa.‟
Makna yang terkandung dalam pepatah ini adalah sebuah pekerjaan
harus ada hasilnya. Dilihat dari sifat pepatahnya, penyempurnaan ini masuk
kepada jenis penyempurna yang sejajar. Jika dianalogikan antara tampak
dan taraso. Kedua kata ini sama-sama memiliki fungsi untuk mendampingi
panca indra yang digunakan dalam pepatah ini.
(38) Kalam disigi, lakuang ditinjau Gelap dilihat, lekung
„gelap yang dilihat, lenkung yang dilihat.‟
Jika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia adalah gelap disigi (melihat
dengan hati-hati) lekung ditinjau. Maksud dari pepatah ini adalah keadaan
tempat yang gelap berarti tidak bisa melihat dengan jelas dan lekung berarti
seseorang tidak bisa untuk melihat apa yang ada setelah lekung itu
berakhir. Sementara disigi dan ditinjau adalah dua buah kata yang
mengartikan cara melihat yang sama cermatnya. Jadi, jika dilihat dari sifat
pepatahnya, penyempurnaan ini masuk kepada jenis penyempurna sejajar.
5.1.2.2 Analisis Ko-teks pada Pasambahan Manjapuik Marapulai
Ko-teks merupakan bagian penting dalam memberikan pemaknaan dalam teks tradisi lisan. Ko-teks terdiri atas paralinguistic (suprasegmental), kinetic (gerak isyarat), proksemik (penjagaan jarak), dan unsur material atau benda yang digunakan. Berikut adalah unsur-unsur ko-teks yang terdapat pada tradisi manjapuik marapulai.
159
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
5.1.2.2.1 Paralinguistik atau Suprasegmental
Unsur paralinguistik dalam pasambahan ini terlihat pada intonasi, jeda dan penekanan yang muncul saat pasambahan ini dilakukan. Penekanan vokal terlihat pada saat adanya penegasan untuk memastikan atau memberikan kesempatan kepada salah satu pihak untuk berfikir. Intonasi adalah kerjasama antara nada, tekanan, durasi dan perhentian-perhentian yang menyertai suatu tutur dari awal hingga perhentian yang terakhir (Gorys Keraf, 1991). Jadi unsur yang terpenting dalam intonasi adalah tekanan, nada, durasi dan perhentian yang masuk ke dalam unsur suprasegmental.
Intonasi yang ditemukan dalam pasambahan manjapuik marapulai adalah sebagai berikut: a. Tekanan
Tekanan adalah unsur suprasegmental yang ditandai dengan
keras atau lembutnya sebuah ujaran. Tekanan yang terdapat dalam
pasambahan manjapuik marapulai ini umumnya terdapat di akhir
kalimat sehingga di akhir kalimat yang disampaikan suara menjadi lebih
tinggi, sebagai berikut:
A yang diparundiangan dek ambo Kiniko dek karano dari jauah kami lah datang Dakeklah bajawek salam Lah babaok kajorong kadudukan Kok arah kajaleh lapeh Paluah dikaniangpun alah kariang Rokok sabatanglah habih pulo
160
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
b. Durasi Jenis unsur suprasegmental yang satu ini berkaitan dengan
panjang pendeknya waktu yang deperlukan untuk mengucapkan sebuah
segmen. Pada pasambahan manjapuik marapulai ini dapat ditemukan
bahwa ketika juru bicara mengucapkan hal yang dirasa biasa saja atau
bukan sebuah penegasan, maka durasi yang digunakan dalam
penyampaian dilakukan dengan cepat, sementara ketika mereka
berusaha untuk menegaskan maksud, mereka berusaha untuk
menyampaikannya dengan lambat dan tegas.
Dek karano disitu banyak karajo… tantu kami mungkin ka pai ka mudiak lai.. c. Perhentian atau jeda
Perhentian atau jeda berkenaan dengan hentian bunyi dalam arus
ujar. Jeda dapat bersifat penuh atau sementara. Jeda dapat ditandai
dengan: (1) jeda antar kata dalam frase diberi tanda (/), (2) jeda antar
frase dalam klausa diberi tanda (//), (3) jeda antar kalimat dalam wacana
diberi tanda (#). Dalam pasambahan manjapuik marapulai, ditemukan
beberapa jeda yang mewakili dari:
Baru ka ado nan takana dihati// takilek-kilek difikiran//dak nampak manyabuik kato nan bana//manampuah jalan nan luruih//malaba tujuan jo mukasuik//satu lah bulek kato //ka disabuik ganok// ka duo balun// sakian rundiang dulu dayon a#
5.1.2.2.2 Penjagaan Jarak (Proksemic)
161
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Unsur lain yang terdapat dalam acara manjapuik marapulai adalah proksemik atau penjagaan jarak. Dalam proses tersebut, sialek ataupun rombongan untusan anak daro mengambil posisi duduk bersila di tempat yang telah disediakan oleh pihak sipangka, Begitu juga keluarga besar marapulai menempati posisi duduk yang telah disediakan. Seluruh mereka yang ada di sana duduk bersama dan membentuk persegi sesuai dengan bentuk ruangan dimana acara manjapuik marapulai dilaksanakan. Utusan pihak sipangka dan pihak sialek duduk saling berhadapan, dengan posisi jarak yang tidak terlalu jauh, agar kedua utusan ini secara lebih lugas dapat menyampaikan maksud dan tujuannya melalui pasambahan dan masing-masing mereka dapat mendengar isi sambah yang disampaikan dengan baik dan jelas agar tidak ada yang tersilap.
5.1.2.2.3 Unsur Material
Material yang mendampingi teks pada saat manjapuik marapulai berlangsung adalah: Baju Sapatagak (pakaian marapulai lengkap dari tutup kepala sampai alas kaki), uang, emas, sirih dalam carano, kain pembungkus uang dan emas, makanan. Keseluruhan unsur yang telah disebutkan sebelumnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Baju Sapatagak
Pada umumnya baju sapatagak dibawa menggunakan baki. Baju
sapatagak adalah seperangkat pakaian yang akan digunakan marapulai
mulai dari tutup kepala sampai alas kakinya, yaitu: kopiah atau peci
berwarna hitam, baju jas berwarna hitam, kemeja berwarna putih, ikat
pinggang, celana berwarna hitam dan sepatu berwarna hitam. Amir
162
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(2011:xxii) menyatakan bahwa arti dan warna dalam adat Minangkabau
khususnya untuk warna hitam adalah sebagai lambang kepemimpinan
dan tahan tempa atau kuat dengan ujian apapun, dalam hal ini warna
hitam melambangkan jiwa kepemimpinan marapulai dalam membentuk
sebuah keluarga baru yang nantinya marapulai tersebut akan menjadi
kepala keluarga di keluarga kecilnya.
Navis mengatakan (1984:205), ”apabila pakaian marapulai yang
dibawa itu adalah pinjaman atau sewaan, maka pendampingnya adalah
sepasang sepatu.” Sesuai dengan pendapat yang dikemukakan
sebelumnya, yang pada saat ini sering terjadi adalah pakaian marapulai
umumnya adalah pakaian sewaan yang nantinya tentu akan
dikembalikan lagi kepada pemiliknya. Hal ini tidak akan mengurangi
nilai yang terkandung di dalamnya. Intinya adalah di dalam baki tersebut
harus ada benda yang akan menjadi milik marapulai dan akan
digunakan olehnya untuk seumur hidup, bisa saja benda tersebut seperti:
sepatu, kopiah ataupun kemeja yang berwarna putih.
2. Uang
Uang yang dibawa dalam manjapuik marapulai ini disebut
dengan uang japuik atau uang jemput. Uang japuik adalah sejumlah
uang tertentu yang diberikan oleh orang tua anak daro kepada orang tua
marapulai. Uang japuik selain berfungsi sebagai persyaratan
perkawinan juga merupakan wujud sebuah penghargaan yang
163
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ditunjukkan oleh keluarga anak daro kepada seluruh keluarga besar
marapulai.
Umumnya mengenai uang japuik tidak ada ketentuan khusus
untuk menentukan jumlah nominal yang akan diberikan, semua
tergantung dari kesepakatan dari keluarga kedua belah pihak. Namun
demikian lazimnya sekarang ini, besar atau kecilnya uang japuik yang
diberikan itu tergantung dari status sosial, gelar kesarjanaan dan
pekerjaan yang dimiliki marapulai yang akan dijemput tersebut.
Dalam acara manjapuik marapulai ini, utusan rombongan anak
daro membawa sejumlah uang yaitu sejumlah dua puluh lima juta
rupiah (Rp. 25.000.000). Uang tersebut dibungkus dengan rapi
menggunakan kain atau saputangan. Jumlah nominal yang diberikan ini
adalah berdasarkan kesepakatan yang telah dirundingkan sebelumnya
dengan segala pertimbangan-pertimbangan yang menyertai pemikiran
dari kedua belah pihak. Perundingan ini telah dilakukan dengan keluarga
marapulai pada saat acara batimbang tando.
3. Emas atau ameh
Emas yang dibawa pada saat manjapuik marapulai merupakan
benda yang dibawa untuk mendampingi jumlah uang japuik yang sudah
di rundingkan sebelumnya. Pada acara manjapuik marapulai ini emas
yang dibawa adalah seberat 10 ameh atau setara dengan 25 gram.
Fungsinya sama juga halnya dengan jumlah uang yang diberikan yaitu
164
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sebagai syarat perkawinan menurut adat juga sebagai wujud
penghargaan yang ditunjukkan oleh keluarga anak daro.
4. Sirih dalam carano
Carano merupakan sebuah wadah yang diisi dengan
kelengkapan sirih, pinang, gambir, kapur sirih dan dulamak atau kain
penutup carano. Keberadaan carano dalam acara manjapuik marapulai
ini menandakan kedatangan rombongan utusan anak daro adalah secara
adat. Carano juga melambangkan kemuliaan bagi kaum wanita dan juga
sebagai lambang kekerabatan di Minangkabau. Sirih dan pinang langkok
adalah sebagai sebuah media komunikasi yang memiliki nilai tersendiri.
Hal ini terlihat dari fungsinya dimana sirih langkok ini adalah sebagai
cara penyampaian keinginan sehingga secara halus komunikasi tersebut
dapat berjalan dengan baik.
Dalam acara manjapuik marapulai ketika sirih sudah
diketengahkan berarti perundingan ataupun keinginan dari utusan anak
daro akan disampaikan. Dalam hal ini, maksud kedatangan mereka
adalah datang secara adat untuk menjemput marapulai untuk nantinya
disandingkan di pesta perkawinan mereka yang dilaksanakan di
kediaman anak daro.
5. Makanan
Untuk melakukan penyambutan sialek atau rombongan untusan
anak daro, tuan rumah sebelumnya telah menyiapkan hidangan dan
akan menyajikan berbagai macam makanan di tengah-tengah ruang tamu
165
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dimana rombongan utusan anak daro dan keluarga marapulai telah duduk membentuk persegi mengikut sesuai dengan bentuk ruangan.
Hidangan ini akan disajikan ketika pihak sipangka atau keluarga marapulai akan menjawab permintaan dari utusan anak daro. Adapun hidangan yang di sajikan adalah: nasi, rendang, gulai ayam, sayur- sayuran, kue bolu, lepat inti, kerupuk, buah semangka dan air putih.
Semua hidangan tersebut ditata dengan rapi diatas taplak yang dibentang panjang ditengah. Taplak ini terbuat dari kain berwarna putih yang setiap sisinya terdapat bordiran panjang yang tidak terputus.
Gambar 5.8 Makanan pada Tradisi Manjapuik Marapulai
Makna dari menyantap hidangan ini adalah sebagai bentuk rasa suka cita dengan kedatangan rombongan anak daro, juga sebagai sebuah bentuk penyambutan dan perwujudan rasa hormat atas kedatangan tamu, serta sebagai wujud dari cara untuk mencairkan suasana yang sebelumnya terlaksana dengan formal dan beku. Selain ketiga fungsi yang telah disebutkan sebelumnya, fungsi yang keempat adalah sebagai
166
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
salah satu cara untuk memberikan kesempatan kepada sipangka atau
keluarga marapulai untuk berfikir dan berunding dalam hal memberikan
jawaban kepada utusan anak daro, apakah keinginan utusan anak daro
dikabulkan atau tidak.
5.1.2.3 Analisis Konteks
Analisis konteks difokuskan kepada konteks budaya, sosial, situasi, dan ideologi. Keempat konteks tersebut dianalisis berdasarkan interpretasi oleh peneliti dengan tetap memperhatikan dan mempertimbangkan keterangan dan informasi yang diberikan oleh para informan. Konteks budaya mengacu pada tujuan budaya yang menggunakan sebuah teks. Konteks sosial mengacu kepada faktor sosial yang memengaruhi atau menggunakan teks. Konteks situasi mengacu pada waktu, tempat dan cara penggunaan teks. Konteks yang terakhir adalah konteks ideologi yang mengacu kepada kekuatan apa yang memengaruhi dan mendominasi sebuah teks.
5.1.2.3.1 Konteks Budaya
Konteks budaya dalam tradisi manjapuik marapulai ini merupakan tradisi yang memang sudah berjalan dari dahulu sampai sekarang. Pasambahan ini dilakukan untuk mengutarakan maksud dan tujuan yang dilakukan secara adat dan disampaikan dengan santun melalui bahasa secara tidak langsung dalam bentuk kiasan-kiasan. kiasan ini dapat berupa, pantun, pepatah, dan mamang.
167
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Hal ini sejalan dengan falsafah orang Minangkabau yang tujuan utamanya adalah untuk mengatur pola hidup, tingkah laku orang Minangkabau sesuai dengan adat yang berlaku dan sesuai dengan ajaran agama Islam. Hal ini dikatakan adalah karena syarat utama untuk menjadi orang minangkabau adalah dengan beragama Islam. Hal ini juga sesuai dengan falsafah adat Minangkabau yang pertama yaitu: Adaik nan sabana Adaik atau Adat yang sebenarnya adat.
Adat ini merupakan adat yang paling utama yang tidak dapat diubah sampai kapanpun dan merupakan harga mati bagi seluruh masyarakat Minangkabau, seseorang bukanlah orang Minangkabau apabila tidak melaksanakan adat ini dan akan dikeluarkan dari orang Minangkabau apabila meninggalkan adat ini.
Adat ini adalah adat yang paling prinsip, prinsip dalam artian mengatur hubungan manusia dengan tuhannya, yaitu bahwa orang Minangkabau wajib beragama Islam dan akan hilang Minangkabaunya apabila keluar dari agama
Islam.
5.1.2.3.2 Konteks Sosial
Sebuah perkawinan akan menimbulkan sebuah hubungan yang baru tidak saja antara pribadi yang bersangkutan yaitu antara marapulai dan anak daro, tetapi juga antara keluarga besar kedua belah pihak. Tujuan diadakannya acara manjapuik marapulai ini adalah untuk memenuhi tuntutan adat, karena dalam perkawinan adat Minangkabau, antara agama, adat dan hukum harus sejalan, selaras dan serasi.
168
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Perkawinan yang dilakukan secara agama adalah dengan melaksanakan akad nikah dan memenuhi segala rukun nikah yang diwajibkan berdasarkan agama Islam, yaitu: mempelai wanita, mempelai pria, wali, dua orang saksi dan shighat atau ijab Kabul. Perkawinan yang dilakukan secara hukum adalah dengan memenuhi segala peryaratan administrasi yang dilaksanakan di kantor
Urusan Agama (KUA). Perkawinan yang dilakukan secara adat adalah dengan memenuhi segala tahapan-tahapan adat perkawinan, mulai dari manyilau, meminang, batimbang tando, akad nikah, manjapuik, baralek dan manjalang.
Manjapuik marapulai, adalah salah satu yang wajib harus dilaksanakan dalam kehidupan sosial masyarakat pariaman, khususnya di Kecamatan Sungai
Geringging.
Dengan adanya pelaksanaan tradisi manjapuik marapulai ini berarti bahwa kedua pengantin, yaitu anak daro dan marapulai tersebut dapat berterima dan dapat diakui di dalam kehidupan bermasyarakat Kabupaten
Pariaman, karena mereka telah melaksanakan akad nikah dan juga telah menjalankan persyaratan adat yang semestinya, yang sesuai dengan ajaran agama Islam dan sah di mata hukum.
Makna manjapuik marapulai itu sendiri memberi kesan kepada masyarakat yang berada di sekitar keluarga kedua belah pihak. Hal ini bermaksud bahwa dengan dijemputnya seorang marapulai yang ditandai dengan nilai nominal rupiah dan emas menandakan bahwa mereka adalah orang yang bermartabat dan memiliki status sosialnya tersendiri. Bagi masyarakat
Minangkabau di Pariaman, pandangan mengenai besar kecilnya persyaratan
169
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
manjapuik marapulai ini mengisyaratkan status sosialnya. Semakin tinggi uang jemputan yang diberikan bermakna bagi marapulai bahwa mereka adalah orang yang memiliki status sosial yang tinggi, yang ditandai dengan harta yang dimiliki, pekerjaan yang dimiliki, gelar pendidikan, dan gelar adat yang diperoleh. Bagi keluarga anak daro itu sendiri bermakna bahwa mereka juga memiliki status sosial yang tinggi dengan menyanggupi persyaratan yang diajukan oleh marapulai. Begitu juga halnya dengan, semakin rendah uang jemputan berarti mereka yang menikah ini adalah orang yang memiliki status sosial rendah.
5.1.2.3.3 Konteks Situasi
Konteks situasi berkenaan dengan kondisi dan pelaksanaan acara manjapuik marapulai di Kecamatan Sungai Geringging, Pariaman ini dilaksanakan setelah akad nikah, namun begitu tidak ada aturan khusus mengenai pelaksanaan perkawinan, semua adalah tergantung dari kesepakatan antara kedua belah pihak yang telah berunding ditahapan-tahapan sebelumnya.
Di Kecamatan Sungai Geringging-Pariaman, ada beberapa kasus dimana sebagian masyarakat melaksanakan acara manjapuik marapulai itu sebelum akad nikah. Kedua situasi ini sama-sama dapat diterima di masyarakat tergantung atas kesepakatan bersama yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang melaksanakan perkawinan.
Pelaksanaan manjapuik marapulai dilaksanakan di kediaman marapulai. yaitu pada hari senin tanggal 3 Desember 2017. Sebelumnya pada hari Minggu, tanggal 2 Desember 2017 telah dilaksanakan akad nikah di Musholla di dekat
170
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kediaman anak daro. Pelaksanaan ini terjadi karena sudah ada kesepakatan dirundingkan jauh hari sebelumnya, yaitu pada saat acara batimbang tando.
Tempat penyelenggaraan acara manjapuik marapulai tidak memerlukan dekorasi yang rumit untuk menyambut tamu dan melakukan pasambahan.
Semua di tata dengan sederhana tanpa menghilangkan unsur tradisi yang terdapat di dalam acara tersebut. hanya terdapat permadani sebagai alas duduk dan tabir sebagai penutup dinding.
Rombongan anak daro dan tuan rumah duduk bersila membetuk segi empat mengikuti bentuk ruangan yang ada. Masing-masing juru bicara perwakilan dari kedua pihak keluarga duduk berhadapan satu sama lainnya. Hal ini bertujuan agar kedua rang juru bicara dapat dengan leluasa menyampaikan pasambahannya dengan ekspresif dan langsung menatap kepada lawan bicaranya.
Setelah proses pasambahan berlangsung, selanjutnya diadakan jamuan makan kepada para rombongan utusan anak daro. Makanan disajikan di tengah- tengah ruangan dengan aneka pilihan lauk pauk yang diletakkan di atas piring.
Kemudian mereka akan memakan makanannya apabila tuan rumah sudah mempersilahkan hidangannya untuk disantap, seperti berikut ini:
(39) Nak ilia ka batang aia, mudiak ka Paua Hendak ilir ke sungai, mudik ke nama tempat
kamba, basimpang jalan ka Pariaman. Kembar, bersimpang ke
Minumlah aia nan diisi, santoklah nasi nan ka tangah, Air yang diisi,makanlah yang ke tengah,
171
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
nak sanang hati si pokok si pangkalan. Biar senang
„Minum dan makanlah hidangan yang telah disajikan, agar hati menjadi kami senang.‟
5.1.2.3.4 Konteks ideologi
Secara ideologis acara manjapuik marapulai ini telah dilaksanakan secara turun temurun sejak dari zaman nenek moyang dahulunya dan memang diwajibkan bagi anak daro untuk menjemput marapulainya dengan sejumlah uang dan emas. Uang jemputan ini tidak sama halnya dengan mahar yang diberikan. Karena mahar tetap diberikan oleh marapulai kepada anak daro untuk memenuhi syarat nikah yang diwajibkan dalam ajaran agama Islam.
Dalam perkawinan adat Minangkabau khususnya pada perkawinan yang ada di
Kecamatan Sungai Geringging, anak daro diwajibkan memberikan uang jemputan atau uang japuik yaitu berupa uang dan emas sebagai syarat perkawinan menurut adat yang harus ditunaikan. Ideologi dalam sejarah
Minangkabau di Kabupaten Pariaman ini sedikit banyaknya telah mengalami disfusi kebudayaan yang berasal dari wilayah Gujarat, India. Hal ini ditandai dengan banyaknya tradisi India yang diadopsi yang pelaksanaannya sama persis dengan tradisi yang ada di Minangkabau salah satu di antaranya adalah tradisi manjapuik marapulai.
172
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB VI
KEARIFAN LOKAL DALAM TRADISI MANJAPUIK MARAPULAI
ADAT PERKAWINAN MINANGKABAU
6.1 Pengantar
Bab ini menjawab rumusan masalah penelitian yang kedua yaitu
“Bagaimanakah isi tradisi yang terdapat pada tradisi pasambahan manjapuik marapulai pada upacara perkawinan adat pariaman?” Lapisan isi tradisi manjapuik marapulai dalam upacara adat perkawinan Minangkabau di
Kecamatan Sungai Geringging, Pariaman. Bab ini mendeskripsikan unsur-unsur yang berkaitan dengan kearifan lokal, dimulai dari makna dan fungsi, nilai dan norma, yang terdapat pada tradisi manjapuik marapulai di Kecamatan Sungai
Geringging, Pariaman.
6.1.1 Makna dan Fungsi Tradisi Manjapuik Marapulai
6.1.1.1 Makna Tradisi Manjapuik Marapulai
Acara manjapuik marapulai menurut informan yang penulis wawancarai sebelumnya mengatakan bahwa dilakukan sesuai dengan falsafah masyarakat Minangkabau yang masuk ke dalam kategori adaik nan taradaik.
Adat ini juga disebut dengan istilah adaik salingka nagari atau adat selingkar daerah. Adat ini mengatur tatanan hidup bermasyarakat dalam suatu nagari dan mengatur interaksinya antara satu suku dan suku yang lain dalam nagari tersebut yang disesuaikan dengan kultur didaerah itu sendiri. Namun demikian adat ini tetap harus mengacu kepada pedoman ajaran agama Islam. Adat ini
173
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
merupakan hasil kesepakatan bersama antara penguhulu, ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai, bundo kanduang dan rang mudo dalam suatu nagari yang terdapat di Minangkabau. Adat ini juga disesuaikan dengan perkembangan zaman serta memakai etika-etika dasar adat Minangkabau namun acuannya tetap dilandasi atas ajaran agama Islam.
Mengacu kepada pengertian adaik nan taradaik, yaitu adat yang dirumuskan berdasarkan musyawarah dan mufakat oleh para panghulu dalam suatu nagari pada masa lalu, maka adat manjapuik marapulai berarti juga merupakan hasil rumusan pemuka adat pada masa lalu.
Adat ini tidak berlaku di seluruh wilayah kebudayaan Minangkabau yang terdapat di Provinsi Sumatera Barat. Hanya saja, berbeda dengan adaik nan taradaik lain yang hanya berlaku pada suatu nagari saja atau selingkar nagari tertentu saja di luar nagari yang bersangkutan tidak berlaku lagi. Adat manjapuik marapulai ini berlaku umum di nagari-nagari dalam Kabupaten
Pariaman. Hampir semua nagari melaksanakan adat ini, hanya ada beberapa nagari saja yang tidak melaksanakannya dengan kuat, yaitu nagari-nagari yang berdekatan dengan wilayah Luhak yang meliputi sebagian nagari dalam kecamatan 2 x 11 VI Lingkung yang letaknya berbatasan dengan Luhak Tanah
Datar yang terletak di wilayah Kabupaten Tanah Datar.
Sebagai adat yang tergolong ke dalam adaik nan taradaik atau termasuk ke dalam kategori adat yang bisa dan dapat diubah atau adaik nan babuhua sintak (adat yang tidak diikat mati) artinya karena ia tidak diikat mati maka ia boleh diubah kapan saja diperlukan melalui kesepakatan penghulu,
174
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai, bundo kanduang dan rang mudo yang disesuaikan dengan perkembangan zaman, namun acuannya adalah sepanjang tidak melanggar ajaran adat dan ajaran agama Islam. Adat ini disebutkan dalam pepatah adat, yaitu maso batuka musim baganti, sakali aie gadang sakali tapian baranjak (masa bertukar musim berganti, sekali air besar sekali tepian berubah).
Maksud dari istilah adaik nan babuhua sintak dalam perubahan adat manjapuik marapulai adalah sesuatu hal yang sangat dimungkinkan terjadi menurut adat
Minangkabau.
Upacara adat manjapuik marapulai merupakan salah satu acara yang terdapat dalam rangkaian perkawinan adat Minangkabau selain banyak rangkaian lainnya yang harus dilakukan dalam proses perkawinan. Manjapuik marapulai merupakan acara dimana marapulai dijemput secara adat oleh rombongan utusan anak daro dengan membawa segala persyaratan yang telah dirundingkan dan disepakati jauh hari sebelumnya, yaitu pada saat acara batimbang tando. Adapun persyaratan yang lazim dipenuhi oleh anak daro adalah pemberian uang japuik dan ameh.
Uang japuik adalah sejumlah uang tertentu yang diberikan oleh pihak orang tua anak daro kepada marapulai dan keluarganya dalam rangka melaksanakan perkawinan. Uang japuik ini selain bermakna sebagai persyaratan perkawinan juga sebagai penghargaan yang diberikan oleh keluarga anak daro kepada keluarga marapulai.
Putiah kapeh buliah diliek Putiah hati bakaadaan
175
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Artinya adalah putih kapas dapat dilihat, putih hati berkeadaan. Makna dalam peribahasa tersebut adalah pemberian uang jemputan yang diberi oleh keluarga anak daro harus dilihat sebagai bukti dari keikhlasan, kejernihan, dan bersihnya hati dari sebuah kesungguhan dan penghargaan yang tulus yang diwujudkan melalui benda yang diberikan.
Dalam praktiknya, uang japuik tidaklah ditentukan berapa banyak jumlahnya atau tidak ada ketentuan khusus yang mengatur mengenai hal tersebut karena semua terserah kepada kesanggupan pihak anak daro dengan segala pertimbangannya. Namun yang lazim di masyarakat adalah besar atau kecilnya uang japuik tersebut sering dikaitkan dengan tinggi rendahnya penghargaan kepada marapulai dan keluarganya dan sekaligus juga sebagai alat ukur yang dipakai oleh anggota masyarakat lainnya untuk melihat dan menilai tingkat kemampuan keluarga anak daro secara ekonomis.
Seorang marapulai dan keluarganya akan merasa sangat bangga apabila uang japuik yang diberikan kepadanya dengan jumlah relatif yang cukup besar.
Kondisi yang demikian dianggap sebagai suatu pertanda bahwa marapulai dan keluarga mereka sangat dihargai, dan keluarga mereka adalah keluarga yang bermartabat, baik dari sisi ekonominya maupun dari derajat yang dimiliki. Oleh karena itu, pendidikan, pekerjaan, dan gelar yang dimiliki seorang marapulai akan menentukan tinggi atau rendah uang jemputan yang akan diberikan oleh anak daro. Semakin tinggi tingkat pendidikan, pekerjaan, dan gelar yang dimiliki maka akan semakin tinggi pula nilai uang jemputan yang akan diterimanya. Sebaliknya, semakin rendah tingkat pendidikan, pekerjaan dan
176
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
gelar yang dimiliki juga akan menentukan rendahnya uang jemputan yang akan diterimanya. Pada zaman sekarang ini, nilai uang jemputan memiliki standarnya masing-masing. Apabila calon marapulai adalah orang yang berasal dari kalangan biasa, biasanya dia dijemput dengan uang senilai 5.000.000 Rupiah, sedangkan bila calon marapulai memiliki gelar pendidikan dan pekerjaan seperti: sarjana, guru, dokter, maka calon marapulai ini akan dijemput dengan uang senilai 25.000.000 rupiah sampai dengan 55.000.000 Rupiah. Sedangkan untuk gelar yang dimilikinya seperti sidi, bagindo atau sutan akan menambah lagi jumlah nominal yang akan diterimanya.
Demikian juga halnya dengan pihak keluarga anak daro, mereka juga akan merasa bangga jika mereka mampu untuk memberikan sejumlah uang japuik yang relatif cukup besar, karena mereka percaya bahwa kenyataan itu akan dianggap oleh anggota masyarakat yang lainnya sebagai salah satu indikator bahwa keluarga mereka adalah keluarga bermartabat dan mampu secara ekonomi, dan bukanlah keluarga yang berasal dari ekonomi sedang ataupun rendah.
6.1.1.2 Fungsi Tradisi Manjapuik Marapulai
Berdasarkan teori fungsionalisme yang di kemukakan oleh Malinowski
(dalam Endraswara, 2008:124-125) dalam penelitian yang penulis lakukan ini yaitu mengenai tradisi manjapuik marapulai, penulis menemukan fungsi yang terdapat pada tradisi manjapuik marapulai.
Pada dasarnya setiap manusia memiliki kebutuhannya masing-masing, baik itu kebutuhan biologis maupun kebutuhan psikologis dan di sinilah peran
177
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kebudayaan yang pada dasarnya adalah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia tersebut. Dalam tradisi manjapuik marapulai, fungsi utamanya adalah untuk pemenuhan kebutuhan manusia yang dilandasi atas dua kategori yaitu biologis dan psikologis, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Sebagai cara untuk menaikkan harkat urang sumando sebagai pendatang
di kediaman kaum isteri.
Di samping menganut sistem eksogami dalam perkawinan, adat
Minangkabau juga menganut paham yang dalam istilah antropologi
disebut dengan sistem matrilokal, yaitu menetapkan bahwa marapulai
atau suami bermukim atau menetap di sekitar pusat kediaman kaum
kerabat isteri, atau di dalam lingkungan kekerabatan isteri. Namun
demikian status persukuan marapulai atau suami tidak akan berubah
menjadi status pesukuan isterinya tetapi tetap memakai pesukuan dari
ibunya. Status marapulai dalam lingkungan kekerabatan isterinya
adalah dianggap sebagai tamu terhormat, dan tetap dianggap sebagai
pendatang.
Sebagai pendatang kedudukannya sering digambarkan secara
dramatis ibarat “abu diateh tungku” yang memiliki makna sangat lemah
dan sangat mudah untuk disingkirkan. Namun sebaliknya dapat juga
diartikan bahwa suami haruslah sangat berhati-hati dalam menempatkan
dirinya di lingkungan kerabat isterinya, sehingga suami dituntut untuk
dapat dengan mudah bergaul dengan isteri dan keluarga isterinya dengan
sebaik-baiknya.
178
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pepatah Minang mengatur upacara ini sebagai berikut:
Sigai mancari anau, anau tatap sigai baranjak datang dek bajapuik pai jo baanta ayam putiah tabang, siang basuluah matohari bagalanggang mato rang banyak
Artinya, Tangga mencari enau, enau tetap tangga berpindah.
Datang karena dijemput, pergi dengan diantar. Bagai ayam putih
terbang. Siang bersuluh matahari bergelanggang disaksikan mata orang
banyak.
Maksud dari pepatah diatas adalah bahwa dalam setiap
perkawinan adat Minangkabau, semua laki-laki yang diantar ke rumah
isterinya, dengan dijemput oleh keluarga isterinya secara adat dan
diantar pula bersama-sama oleh keluarga marapulai secara adat pula.
Maka sejak itu suami yang menetap dirumah atau di kampung halaman
isterinya disebut sebagai urang sumando.
2. Sebagai cara untuk menghibur dalam rangka membesarkan hati keluarga
marapulai yang akan ditinggalkan.
Orang tua dan saudara marapulai umumnya melepas marapulai
dengan perasaan bahagia dan sedih yang bercampur menjadi satu.
Namun perasaan sedih adalah perasaan yang paling tidak bisa mereka
hindarkan dan sembunyikan. Perasaan ini selalu mereka ungkapkan
dengan tangisan atau bahkan ratapan yang mereka tujukan kepada
marapulai karena takut akan kehilangan. Bagi jejaka Minangkabau
perkawinan adalah sesuatu yang sangat menyedihkan bagi keluarga
179
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
mereka, karena perkawinan dalam fikiran mereka ibarat seperti melepas orang yang sudah mati untuk dibawa ke perkuburan atau seperti melepas keluarga yang akan pergi merantau atau melaksanakan haji ke Mekah.
Melepas seseorang yang telah mati memiliki arti bahwa orang yang pergi tersebut tidak akan penah kembali lagi dan nantinya keluarga yang ditinggalkan tidak akan pernah melihat kembali orang yang telah pergi tersebut. Orang yang pergi meninggalkan kampung halaman untuk pergi merantau diartikan sebagai orang yang akan pergi jauh dan belum tentu kembali dalam waktu yang dekat, sehingga situasi ini dapat diartikan sebagai orang yang pergi jauh untuk waktu yang lama. Begitu juga halnya dengan orang yang melaksanakan ibadah haji adalah orang yang pergi jauh untuk waktu yang cukup lama dan takut tidak akan kembali dalam waktu dekat karena sesuatu hal, sehingga pergi menunaikan ibadah haji adalah peristiwa yang sangat mengharukan. Dari ketiga situasi yang disebutkan sebelumnya, perkawinan menurut adat
Minangkabau adalah kondisi yang menyedihkan dan mengharukan bagi keluarga marapulai, karena ketika anak dan saudara mereka akan menikah seolah-olah marapulai mungkin akan melupakan orang tua dan saudaranya sendiri setelah menikah. Menurut keluarga yang ditinggalkan setelah menikah marapulai akan menjadi hak milik isterinya serta keluarga besar isterinya dan sudah seharusnya suami lebih mementingkan hal-hal yang berhubungan dengan isteri dan keluarga besarnya dibanding dengan keluarga kandung marapulai itu sendiri.
180
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3. Sebagai cara untuk mempersatukan keluarga yang berbeda dari kedua
belah pihak.
Pernikahan menjadi hal yang paling penting dalam fase
kehidupan manusia. Tahapan ini adalah bagian dari jenjang kebutuhan
hidup seorang manusia. Bukan saja hanya dilihat dari sisi biologisnya,
tetapi dilihat juga dari aspek lainnya seperti tujuan untuk meneruskan
keturunan serta aspek ekonomi dan lain sebagainya. Perkawinan adalah
suatu bentuk penyatuan antara seorang pria dan wanita yang masing-
masing mereka memiliki perbedaan baik yang berasal dari diri sendiri
maupun pengaruh lingkungan sekitar saat belum menikah, salah satu
diantaranya adalah dengan berbeda latar belakang kehidupan.
Marapulai dan anak daro adalah merupakan dua orang manusia
yang berasal dari keluarga yang berbeda apabila dilihat dari asal usul
mereka. Artinya, mereka tumbuh dan dibesarkan dari pengajaran dan
lingkungan yang berbeda pula. Di sinilah fungsi acara manjapuik
marapulai ini sebagai wadah untuk menyatukan dua keluarga yang
berbeda tadi. Artinya, masing-masing keluarga sedikit banyaknya akan
mengetahui keluarga besar dari kedua belah pihak.
4. Bagi keluarga marapulai, sebagai bukti dari pengakuan atau
pembenaran masyarakat terhadap status sosial.
Masyarakat Sungai Geringging merupakan masyarakat yang
masih kuat memegang teguh aturan adat dalam setiap aspek
kehidupannya termasuk mengenai adat manjapuik marapulai. Tanpa
181
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
mengenal status sosial mampu atau tidak mampu, seorang wanita yang
akan menikah pasti akan menjalankan adat manjapuik ini tanpa
terkecuali. Manjapuik marapulai bukan hanya sekedar menjemput saja
untuk dibawa, melainkan juga ada beberapa syarat yang harus
dipenuhinya, diantaranya adalah uang japuik.
Bagi keluarga marapulai pemberian uang japuik merupakan hak
yang memang harus mereka terima. Semakin tinggi gelar ataupun
pekerjaan yang dimiliki seorang marapulai, maka akan semakin tinggi
juga nilai nominal yang akan diterimanya. Begitu juga, semakin rendah
gelar ataupun pekerjaan yang dimiliki marapulai, maka akan semakin
rendah juga nilai nominal yang akan diterimanya. Pada dasarnya tidak
ada aturan khusus yang mengatur mengenai hal yang berkaitan dengan
uang japuik tersebut. Situasi ini merupakan hal yang lazim dan
berkembang di tengah-tengah komunitas masyarakat. Sehingga, dengan
adanya uang japuik serta tata cara manjapuik marapulai tersebut
merupakan sebuah bukti pembenaran bahwa marapulai yang dijemput
adalah marapulai yang memiliki status sosialnya tersendiri, baik itu
yang berstatus sosial tinggi ataupun berstatus sosial rendah.
5. Bagi keluarga anak daro, adalah sebagai pembuktian gengsi sosial.
Dalam praktiknya, uang japuik tidaklah ditentukan jumlahnya
atau tidak ada ketentuan khusus yang mengatur mengenai jumlah
pemberian uang japuik tersebut. Besar kecilnya uang japuik yang
diberikan semuanya akan diserahkan atas kesanggupan dari pihak anak
182
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
daro dengan segala pertimbangan yang ada pada mereka dan keluarga marapulai. Namun yang lazim pada pandangan masyarakat yaitu mengenai besar atau kecilnya uang japuik tersebut sering sekali mereka kaitkan dengan tinggi rendahnya penghargaan kepada marapulai dan keluarganya serta sekaligus juga sebagai alat ukur yang dipakai oleh anggota masyarakat untuk melihat dan menilai tingkat kemampuan keluarga anak daro dilihat dari sisi ekonomis keluarganya.
Seorang marapulai dan keluarganya akan merasa bangga jika uang japuik yang diberikan kepadanya adalah dengan jumlah yang relatif cukup besar. Kondisi yang demikian ini dianggap sebagai suatu pertanda di masyarakat bahwa marapulai dan keluarga mereka adalah keluarga yang terpandang dan bermartabat sehingga mereka akan sangat dihargai. Demikian juga pihak keluarga anak daro, mereka juga akan merasa sangat bangga jika mampu untuk memberikan uang japuik yang relatif besar, karena dengan memberikan jumlah uang japuik yang relatif besar menandakan kesanggupan mereka secara finansial. Kenyataan itu akan dianggap oleh anggota masyarakat yang lain sebagai salah satu indikator bahwa keluarga mereka adalah keluarga yang bermartabat, mampu secara ekonomi, dan bukan keluarga yang berasal dari ekonomi rendah.
183
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Makna dan Fungsi Tradisi Manjapuik marapulai di Minangkabau
Makna Tradisi Manjapuik marapulai Fungsi Tradisi Manjapuik di Minangkabau marapulai di Minangkabau 1. Sebagai cara untuk menaikkan harkat urang sumando sebagai Perwujudan penghargaan yang pendatang di kediaman isteri diberikan oleh keluarga anak daro 2. Sebagai cara untuk menghibur kepada keluarga marapulai. dalam rangka membesarkan hati keluarga marapulai yang akan ditinggalkan 3. Sebagai cara untuk mempersatukan keluarga yang berbeda dari kedua belah pihak. 4. Bagi keluarga marapulai, sebagai bukti dari pengakuan atau pembenaran masyarakat terhadap status sosial 5. Bagi keluarga anak daro, adalah
sebagai pembuktian gengsi sosial.
Bagan 6.1 Makna dan Fungsi Tradisi Manjapuik Marapulai Di Minangkabau
6.1.2 Nilai dan Norma Tradisi Manjapuik marapulai
6.1.2.1 Nilai Tradisi Manjapuik marapulai
Nilai merupakan sesuatu yang berguna dan baik yang dicita-citakan dan dianggap penting oleh setiap masyarakat. Sesuatu yang dikatakan dengan memiliki sebuah nilai, apabila sesuatu tersebut mempunyai kegunaan, kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Nilai merupakan suatu hal yang dianggap baik atau buruk bagi kehidupan. Nilai merupakan sesuatu yang abstrak, namun sesuatu tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat.
184
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Setiap manusia yang sadar akan kehidupannya dapat dipastikan dia adalah orang yang memiliki keyakinan dan pengharapan terhadap sesuatu dalam kehidupannya. Seberapa kuatnya keyakinan dan pengharapan itu akan menyatu dalam kehidupannya. Apa yang diyakini olehnya dan apa yang dicita- citakannya sebagai sesuatu yang hal yang memiliki nilai. Sesuatu itu akan bernilai, karena di dalamnya telah mengandung unsur-unsur yang memiliki kemampuan sebuah kualitas. Kemampuan atau kualitas tersebut ada bukan karena persetujuan, ataupun tanggapan dari subjek lain yang menilainya.
Kemampuan atau kualitas itu akan mengakibatkan seseorang menyakini dan berpengharapan atasnya. Berpengharapan, dimaksudkan sebagai usaha untuk memiliki, mencapai, dan menghayati, misalnya sebuah kebenaran, keindahan, dan kebaikan.
Menilai berarti menimbang yaitu kegiatan yang menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain (sebagai standar), untuk selanjutnya mengambil keputusan. Keputusan itu dapat menyatakan: berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, indah atau tidak indah, baik atau tidak baik dan seterusnya.
Menurut Moehadjir dan Cholisin (1989:25), nilai pada dasarnya disebut sebagai standar penuntun dalam menentukan sesuatu itu baik, indah, berharga atau tidak.
Frondizi (1963:1-2) mengemukakan bahwa aksiologi adalah cabang filsafat yang berusaha menjawab pertanyaan, apakah sesuatu itu dikatakan bernilai karena memang benar-benar bernilai, atau apakah sesuatu itu karena dinilai maka menjadi bernilai? Di antara para ahli terdapat perbedaan pendapat
185
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sifat nilai dari sesuatu, yaitu pendapat yang mengatakan nilai itu bersifat subjekstif dan nilai itu bersifat objektif.
Pengertian nilai itu bersifat subjektif artinya bahwa nilai dari suatu objek itu tergantung dari subjek yang menilainya. Sebagai contoh, pohon kelapa yang batangnya condong disuatu pantai, sangat mungkin memiliki nilai bagi seorang seniman, tetapi tidak akan bernilai sama sekali bagi seorang pedagang kayu bangunan. Contoh lainnya adalah, sebuah bangunan tua warisan zaman Belanda yang sudah keropos sangat mungkin memiliki nilai bagi sejarawan, tapi tidak demikian halnya bagi orang lain.
Pandangan bahwa nilai subjektif sifatnya antara lain dianut oleh Bertens
(1993:140-141), yang menyatakan bahwa nilai berperanan dalam suasana apresiasi atau penilaian dan akibatnya suatu objek akan dinilai secara berbeda oleh berbagai orang. Untuk memahami tentang nilai, ia membandingkan dengan fakta. Bertens (1993) mengilustrasikan dengan objek peristiwa letusan sebuah gunung pada suatu saat tertentu. Hal ini dapat dipandang sabagai sebuah fakta, yang oleh para ahli dapat digambarkan secara objektif. Misalnya para ahli dapat mengukur tingginya awan panas yang keluar dari kawah, kekuatan gempa yang menyertai letusan itu, jangka waktu antara setiap letusan dan sebagainya.
Selanjutnya bersamaan dengan itu, objek peristiwa letusan tersebut dapat dipandang sebagai nilai. Sedangkan, bagi wartawan, foto dari sebuah peristiwa letusan gunung tersebut merupakan sebuah kesempatan emas untuk mengabadikan kejadian yang langka dan tidak mudah disaksikan oleh setiap orang. Sementara bagi petani disekitarnya, letusan gunung dan debu panasnya
186
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
menerjang tanaman petani yang hasilnya hampir dipanen, dan peristiwa itu dipandang sebagai sebuah musibah.
Berdasarkan dari penjelasan dan ilustrasi di atas dapat penulis simpulkan bahwa nilai adalah sebuah kondisi atau kualitas dari sebuah benda atau suatu kegiatan yang membuat eksistensinya, kepemilikannya, atau upaya untuk mengejarnya menjadi sesuatu yang didambakan oleh setiap individu di masyarakat. Nilai tidak terlalu bersifat subjektif, karena nilai tersebut tetap mengacu kepada konteks sosial yang membentuk sebuah individu dan akan dipengaruhi oleh nilai tersebut.
Sejalan dengan beberapa pendapat yang penulis ungkapkan sebelumnya, sangat penting bagi penulis untuk menguraikan nilai-nilai yang terdapat dalam tradisi manjapuik marapulai pada perkawinan adat Minangkabau di Sungai
Geringging, Pariaman. Adapun nilai-nilai yang penulis temukan diantaranya adalah: nilai etika, nilai estetika dan nilai kepercayaan.
6.1.2.1.1 Nilai Etika
Nilai etika adalah nilai yang mengkaji tentang sikap seorang
manusia dalam bertindak dan berperilaku dengan mempertimbangkan
segala akibat mengenai baik dan buruknya atas perilaku manusia
tersebut.
Etika dalam bahasa Yunani kuno “ethos” yang berarti timbul
kebiasaan, perasaan batin serta kecenderungan batin untuk melakukan
187
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sesuatu. Secara umum biasanya etika disebut juga sebagai tindakan, perilaku, ataupun tingkah laku. Etika menjadi sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia, baik pada diri seorang individu, keluarga, masyarakat, agama maupun bangsa. Etika pada dasarnya merupakan penerapan nilai tetang baik atau buruk yang berfungsi kaidah tingkah laku yang berhubungan dengan individu lainnya, sebagai ekspektasi oleh masyarakat terhadap seorang individu sesuai dengan status dan peranannya dan etika berfungsi sebagai pedoman bagi setiap individu dalam melaksanakan proses sosialnya. Dengan kata lain, etika berhubungan dengan upaya untuk menentukan tingkah laku seorang individu.
Penulis menemukan beberapa nilai etika yang muncul dalam tradisi manjapuik marapulai ini yang mereka ataupun individu yang terlibat dalam acara tersebut tunjukkan dari sikap dan perilaku mereka pada saat acara berlangsung, diantaranya:
1. Rombongan anak daro menunggu di halaman rumah dan tidak
akan masuk ke dalam rumah marapulai sebelum tuan rumah
(sipangka) mempersilahkan mereka untuk masuk ke dalam
rumah. Adapun nilai yang dapat diambil dari sikap ini adalah
kesopanan. Seseorang akan dianggap tidak sopan apabila masuk
kerumah orang lain tanpa izin. Lazimnya dimasyarakat,
seseorang yang masuk ke rumah orang lain tanpa izin sama
188
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
seperti seorang pencuri yang diartikan sebagai orang yang tidak
bermartabat.
2. Rombongan anak daro sebelum melewati pintu rumah
marapulai selalu mengucapkan salam. Salam sangat dianjurkan
dalam agama Islam, hal ini dilakukan agar dapat mendoakan dan
mendapatkan kebaikan dalam salam tersebut serta dapat saling
mencintai sesama muslim. Salam diartikan sebagai sebuah
keselamatan, dan keselamatan ini ditujukan kepada orang yang
punya rumah dan seluruh keluarga yang hadir di ruangan
tersebut, agar mereka selalu hidup dalam keberkahan dan selalu
di rahmati oleh Allah SWT.
3. Menyampaikan rasa hormat kepada tuan rumah.
Rasa hormat ini ditunjukkan melalui panggilan hormat yaitu
dengan menyebutkan gelar orang-orang yang patut diberikan
rasa hormat, seperti: sidi, bagindo atau sutan.
4. Menyampaikan maksud dengan santun
Dalam hal ini, utusan anak daro menyampaikan maksud
kedatangan mereka melalui pasambahan. Pasambahan ini
disampaikan melalui kiasan-kiasan (kieh). Menurut orang
Minangkabau bahasa itu akan dinilai santun apabila dia
menyatakan maksud dan tujuannya melalui bahasa secara tidak
langsung, dalam hal ini yaitu melalui kiasan, dan ini terbukti
189
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dalam acara manjapuik marapulai. Penulis tidak menemukan
satu kalimatpun yang tidak menggunakan kiasan, semua alur
pasambahan disampaikan melalui kiasan-kiasan, baik itu dari
pihak sipangka maupun sialek.
5. Tidak memberikan keputusan atas pemikiran sendiri
Hal ini tercermin pada saat juru bicara marapulai memberikan
keputusan mengenai boleh atau tidaknya marapulai dibawa. Juru
bicara tersebut tidak serta merta memberikan izin berdasarkan
hasil pemikirannya sendiri, melainkan melalui hasil rundingan
dengan seluruh keluarga besar marapulai yang hadir pada acara
tersebut.
6. Menggunakan Variasi tutur yaitu kato nan ampek
Penggunaan tuturan berdasarkan kato nan ampek yaitu kato
mandaki, kato manurun, kato mandata dan kato malereang
sejalan dengan kesantunan. Seseorang yang mampu memenuhi
kondisi yang telah tertulis dalam kato nan ampek dikategorikan
sebagai orang yang tau di nan ampek atau dianggap sebagai
orang yang memiliki perilaku yang santun, karena dalam kato
nan ampek sudah jelas tergambar pilihan-pilihan kebahasaan
bagaimana seorang Minangkabau itu idealnya dalam bertutur dan
tau di nan ampek mengkondisikan seseorang untuk dapat
berperilaku santun sesuai dengan norma masyarakat yang ada.
190
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
6.12.1.2 Nilai Estetika
Estetika dapat diartikan sebagai teori tentang keindahan atau seni. Estetika berkaitan dengan nilai-nilai jelek (tidak indah). Nilai estetika berarti nilai tentang keindahan. Keindahan dapat diberi makna secara luas, sempit dan estetik murni, yaitu: (a) Secara luas, keindahan mengandung nilai kebaikan. Bahwa segala sesuatu yang baik termasuk yang abstrak maupun nyata yang mengandung ide kebaikan adalah indah. Keindahan dalam arti luas meliputi banyak hal, seperti watak yang indah, hukum yang indah, ilmu yang indah dan kebajikan yang indah. Indah dalam arti luas mencakup hampir seluruh yang ada. Apakah merupakan hasil seni, alam moral, dan intelektual, (b) Secara sempit, yaitu indah yang terbatas pada lingkup persepsi penglihatan (bentuk dan warna), (c) Secara estetik murni, menyangkut pengalaman estetik seseorang dalam hubungannya dan segala sesuatu yang diresapinya melalui penglihatan, pendengaran, perasaan, yang semuanya dapat menimbulkan anggapan indah.
Jika estetika dibandingkan dengan etika, maka etika berkaitan dengan nilai yang berkaitan dengan baik dan buruk, sedangkan estetika adalah hal yang berkaitan dengan indah dan jelek. Sesuatu estetik berarti memenuhi unsur keindahan (secara estetik murni maupun secara sempit, baik dalam bentuk warna, garis kata, ataupun nada). Budaya estetik berarti budaya itu mengandung unsur keindahan.
191
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Dalam tradisi manjapuik marapulai ini, penulis menemukan beberapa hal yang berkaitan dengan nilai estetika, diantaranya:
1. Penataan sirih dalam carano
Carano adalah sebuah wadah yang umumnya digunakan dalam
setiap acara adat. carano memiliki bentuk yang khas yang
terbuat dari logam yang memiliki warna keemasan dan memiliki
motif hiasan di sekelilingnya. Pemakaian carano dan
kelengkapannya berfungsi sebagai lambang persembahan untuk
menunjukkan rasa hormat dalam upacara adat. seperangkat sirih
akan disusun dengan rapi di dalam carano dan kemudian carano
akan ditutup dengan dulamak. Dulamak adalah alas penutup
carano yang umumnya berwarna merah maupun hitam yang
memiliki bordir dari benang emas. Seperti pada gambar dibawah
ini:
Gambar 6.1 Sirih dalam Carano
192
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2. Penataan uang japuik dan emas
Uang japuik adalah sejumlah uang yang diberikan kepada
marapulai berikut syarat lainnya. Uang japuik dan emas ini
dibungkus dalam saputangan atau kain berwarna merah sehingga
jumlah uang tersebut tidak langsung ditunjukkan kepada
keluarga marapulai.
3. Penataan baju sapatagak dalam baki
Baju sapatagak yakni pakaian lengkap marapulai yang diberikan
oleh anak daro dari tutup kepala sampai alas kaki. Seperangkat
pakaian ini disusun dengan rapi diatas baki yang memiliki
diameter lebar sehingga dapat menampung seperangkat pakaian
ini.
Gambar 6.2 Baju Sapatagak
4. Makanan yang disajikan
Makanan yang disajikan dihadapan tamu dari kedua belah pihak
bukanlah disusun hanya sekedar saja, tetapi di susun dengan rapi
193
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
di atas taplak, yaitu kain yang berwarna putih yang setiap sisinya
terdapat bordiran berbentuk bunga dengan tidak terputus.
Gambar 6.3 Taplak
5. Penataan Ruangan
Ruangan tempat menyambut rombongan utusan anak daro
dibuat dengan selapang mungkin, sehingga benda-benda yang
dulunya ada di ruangan tersebut disingkarkan untuk sementara
waktu agar ruangan terlihat kosong, sehingga ruangan tersebut
dapat diduduki oleh banyak orang. Dinding pada ruangan
tersebut ditutup dengan menggunakan kain berwarna warni yang
bermotif. Umumnya warna yang digunakan adalah warna hijau,
kuning, dan merah yang disulam dengan menggunakan benang
emas yang disebut dengan tabir.
194
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Gambar 6.4 Tabir
6. Pakaian Pasumandan
Pasumandan adalah perempuan muda yang sudah menikah yang
akan mendampingi marapulai dari sisi kiri dan kanannya sampai
ke kediaman anak daro. Kedua pasumandan ini akan
menggunakan pakaian baju kuruang bersulam benang emas dan
mengenakan kain belapak dan juga suntiang kecil atau tanduak
yang menghiasi kepalanya. Namun karena sekarang perempuan
Minangkabau yang telah menikah sudah seharusnya memakai
jilbab, sehingga pemakaian sunting ini dapat diganti dengan
jilbab saja. Baju kuruang adalah pakaian perempuan
Minangkabau yang bentuknya longgar. Dapat dilihat seperti
gambar yang ada dibawah ini:
195
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Gambar 6.5 Pasumandan
6.1.2.1.3 Nilai Kepercayaan
Manusia memerlukan suatu untuk kepercayaan. Kepercayaan itu akan melahirkan tata nilai guna menopang hidup dan budayanya.
Sikap tanpa percaya atau ragu yang sempurna tidak mungkin dapat terjadi. Namun demikian, selain kepercayaan itu dianut karena kebutuhan dalam waktu yang sama juga harus merupakan kebenaran.
Demikian pula cara kepercayaan itu harus pula benar. Menganut kepercayaan yang salah bukan saja tidak dikehendaki akan tetapi bahkan berbahaya. Disebabkan kepercayaan itu diperlukan, maka dalam kenyataan kita temui bentuk-bentuk kepercayaan yang beraneka ragam di kalangan masyarakat. Di samping itu masing-masing bentuk kepercayaan mungkin mengandung unsur-unsur kebenaran dan kepalsuan yang bercampur baur.
Sekalipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa kepercayaan itulah yang melahirkan nilai-nilai. Nilai-nilai yang lahir tersebut kemudian melembaga dalam tradisi-tradisi yang diwariskan
196
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
secara turun temurun dan mengikat setiap anggota masyarakat yang
mendukungnya. Tidak terlepas dari tradisi manjapuik marapulai yang
ada di Pariaman, nilai kepercayaan juga terdapat di dalamnya. Nilai
kepercayaan ini diwujudkan dengan adanya dan tetap berlangsungnya
tradisi manjapuik marapulai ini di Kecamatan Sungai Garingging,
Pariaman sampai sekarang. Tradisi ini tetap dipertahankan dengan
segala nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
6.1.2.2 Norma Tradisi Manjapuik marapulai
Pada dasarnya norma ada, muncul, berkembang dan bertahan dalam setiap kehidupan bermasyarakat. Manusia adalah makhluk sosial yang selalu memerlukan kehadiran orang lain untuk keberlangsungan dan kebertahanan hidup mereka. Agar kehidupan dapat berjalan dengan teratur dan terarah, maka setiap manusia membutuhkan berbagai aturan tertentu yang belum tentu semua orang mampu untuk melakukan setiap perbuatan dengan sesuka hatinya.
Apabila keinginan yang dimiliki oleh seseorang dipaksakan kepada orang yang lain, maka secara tidak langsung akan mengakibatkan benturan dengan keinginan dari pihak lain. Agar mendapatkan kenyamanan dan keteraturan dalam hidup bersama-sama, maka manusia memerlukan sebuah kesepakatan mengenai hal yang boleh untuk dilakukan, hal-hal yang berhubungan dengan sebaiknya yang harus dilakukan, serta hal-hal yang tidak boleh sama sekali untuk dilakukan kepada orang lain. Kesepakatan tersebut yang menjadi cikal bakal yang menjadi lahirnya sebuah norma.
197
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Kata norma berasal dari bahasa belanda yaitu norm yang berarti patokan, atau pedoman, atau pokok kaidah. Sehingga dapat disimpulkan pengertian norma adalah kaidah yang menjadi sebuah petunjuk, pedoman bagi seseorang dalam melakukan sebuah tindakan atau tidak melakukan sebuah tindakan, serta bertingkah laku dalam kehidupan di lingkungan masyarakat, seperti: norma kesopanan, norma hukum, serta norma agama.
Norma merupakan wujud nyata dari beberapa nilai-nilai sosial yang berada dikehidupan bermasyarakat yang berbudaya, yang memiliki seperangkat aturan, serta berbagai kaidah, baik itu secara tertulis maupun tidak. Norma- norma tersebut berfungsi sebagai pengatur kehidupan setiap manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Di dalam fungsi norma tersebut terkandung beberapa petunjuk dan aturan kehidupan tentang sebuah tindakan itu benar atau salah, yang harus dipatuhi dan dipedomani setiap warga sebagai anggota dalam sebuah masyarakat. Apabila norma-norma tersebut dilanggar, orang yang melakukan tindakan tersebut akan diberikan sanksi oleh masyarakat yang lainnya.
Norma merupakan alat agar dapat mengatur orang-orang agar melakukan perbuatan yang diletakkan atas dasar keyakinan serta pada beberapa sikap tertentu. Norma ada kaitannya dengan kerjasama yang terjadi dalam sebuah kelompok atau untuk mengatur setiap perbuatan pada masing-masing anggotanya agar dapat mencapai dan menjunjung nilai-nilai yang telah diyakini secara bersama-sama.
Ada beberapa macam norma yang berlaku di lingkungan masyarakat, antara lain:
198
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1. Norma Agama
Norma agama adalah peraturan atau pedoman hidup yang berisi
perintah-perintah, larangan-larangan, dan anjuran-anjuran yang berasal
dari Tuhan yang Maha Esa. Norma agama bersumber dari Tuhan yang
dimuat dalam kitab suci agama tertentu dan dalam kelisanan yang
diwariskan. Dalam norma agama diwajibkan untuk menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan dan keimanan dalam kehidupan sehari-hari
sesuai dengan perintah dan menjauhi segala larangannya untuk
mencapai kebahagiaan baik yang ada di dunia maupun yang ada di
akhirat nanti. Apabila dalam melanggar norma agama maka akan diberi
sanksi dan hukuman yang bersifat dunia atau di akhirat nanti. Sanksi dan
hukuman yang diterima di dunia adalah depresi, goncangan jiwa
maupun perang batin hati nurani. Sedangkan sanksi dan hukuman di
akhirat kelak adalah berupa siksaan, jika terdapat banyak dosa dari
pelanggaran-pelanggaran yang diperbuat melampaui dari amalan
perbuatan selama didunia. Hal hal yang berkaitan dengan perbuatan dosa
dan sanksinya di akhirat semua dijelaskan dalam kitab suci masing-
masing agama.
2. Norma Kesusilaan
Norma kesusilaan adalah peraturan sosial yang berasal dari hati nurani
yang menciptakan perilaku serta akhlak, sehingga seseorang dapat
membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik. Norma
kesusilaan adalah norma yang hadir dalam wujud tidak tertulis
199
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dikarenakan pelaksanaannya dikerjakan berdasarkan hati nurani. Setiap
orang harus memiliki norma kesusilaan yang dibawanya sejak lahir dan
setiap orang yang melakukan pelanggaran atas norma kesusilaan
tersebut, maka orang tersebut dapat digolongkan sebagai orang yang
tidak memiliki moral atau asusila. Norma kesusilaan tersebut harus
diimplementasikan dalam berinteraksi dengan anggota masyarakat yang
lainnya. Setiap orang diwajibkan untuk berperilaku baik agar tidak
melakukan kesalahan yang dapat merusak sifat baik seseorang. Jika
dalam norma agama ditemukan istilah dosa, maka di dalam norma
kesusilaan akan ada penyesalan atas pelanggaran norma kesusilaan yang
diperbuatnya, selain sanksi yang diberikan oleh masyarakat dalam
lingkungannya seperti: pengucilan dan sanksi sosial lainnya.
3. Norma Kesopanan
Pengertian norma kesopanan atau norma sopan santun, tata karma, adat
istiadat yaitu peraturan yang muncul dari hasil pergaulan. Norma
kesopanan bersifat relatif yang artinya apa yang dianggap sebagai norma
kesopanan berbeda di berbagai tempat, lingkungan, atau waktu. Secara
umum, kesopanan yaitu peraturan sosial yang mengarah pada hal yang
berhubungan dengan cara seseorang bertingkah laku wajar dalam
kehidupan bermasyarakat. Norma kesopanan merupakan norma yang
muncul dan diwujudkan oleh masyarakat itu sendiri dalam mengatur
pergaulan menjadi masing-masing anggota masyarakat untuk saling
hormat menghormati. Dasar dari sebuah norma kesopanan yaitu
200
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kepantasan, kepatutan, atau kebiasaan yang berlaku dalam sebuah
masyarakat. Sumber norma kesopanan muncul dari pergaulan atau
pelaku adat yang berlaku dalam masyarakat, namun norma kesopanan
ini tidaklah sama antara masyarakat yang satu dengan masyarakat
lainnya. Norma kesopanan berkaitan dengan adat-adat ketimuran yang
menjadi dasar kehidupan, tetapi sayangnya karena hanya sekedar norma
maka pelanggarannya tidak berdampak hukum, melainkan hanya
sekedar sanksi sosial saja yang berlaku dalam masyarakat tersebut.
4. Norma Hukum
Norma hukum merupakan salah satu dari beberapa norma dalam
kehidupan bermasyarakat. Norma ini wujudnya berbeda dengan norma
lainnya, seperti norma kesopanan, kesusilaan, dan norma agama.
Perbedaan terletak pada sifatnya yang memaksa setiap anggota
masyarakat. Norma hukum adalah peraturan yang dibuat oleh negara
dan berlakunya dipertahankan dengan paksaan oleh alat-alat negara
seperti: polisi, jaksa, hakim, dan sebagainya yang memiliki kewenangan
dalam hukum. Tanpa adanya norma hukum, norma yang lainnya tidak
akan berjalan dengan efektif. Sifat norma hukum yang tidak dimiliki
oleh norma yang lain adalah sifatnya yang memaksa dan memiliki
sanksi yang tegas dalam bentuk hukuman. Norma hukum bersifat
lahiriah tidak bersifat batiniah, artinya kondisi batin seseorang tidak
akan dikenai tindakan hukum.
5. Norma Kebiasaan
201
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Norma kebiasaan adalah suatu bentuk perbuatan yang dilakukan secara
terus menerus dan berulang-ulang dengan bentuk yang sama, secara
sadar dengan tujuan yang jelas dan dianggap baik dan benar. Norma
kebiasaan dapat juga diartikan sebagai norma yang keberadaannya
dalam masyarakat dapat berterima sebagai sebuah bentuk aturan yang
mengikat setiap anggotanya walaupun tidak ditetapkan dalam peraturan
pemerintah. Umumnya kebiasaan ini sering disetarakan dengan adat
istiadat. Adat istiadat merupakan kebiasaan-kebiasaan sosial yang telah
lama ada dan berkembang dalam sebuah masyarakat. Adapun sanksi
yang diperoleh apabila seorang anggota masyarakat tidak melaksanakan
norma kebiasaan ini adalah bentuk pengucilan, dikeluarkan sebagai
anggota masyarakat, atau harus memenuhi persyaratan tertentu sesuai
dengan keputusan pemuka adat yang berlaku dalam masyarakat tersebut.
Dari penjelasan mengenai norma yang telah penulis paparkan sebelumnya, penulis menemukan beberapa macam norma dalam tradisi manjapuik marapulai, diantaranya sebagai berikut: norma agama, norma kesopanan, dan norma kebiasaan.
6.1.2.1Norma Agama
Sekalipun tradisi manjapuik marapulai ini tidak ada dalam aturan ajaran agama Islam, tetapi tradisi ini tetap hidup dan berkembang secara umum di
Kabupaten Pariaman khususnya Kecamatan Sungai Geringging yang mayoritas masyarakatnya adalah penganut ajaran agama Islam. Hal ini disebabkan karena budaya yang telah mereka jalankan dari tahun ketahun merupakan warisan dari
202
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
nenek moyang mereka sejak dari zaman dahulu kala. Adapun yang dapat penulis jelaskan mengenai norma agama yang terdapat dalam tradisi manjapuik marapulai ini adalah sebagai berikut:
1. Pengucapan salam
Salam diucapkan oleh rombongan utusan anak daro ketika hendak
masuk ke dalam rumah marapulai. Salam diartikan sebagai sebuah
keselamatan dan kesejahteraan. Keselamatan dan kesejahteraan ini
ditujukan kepada keluarga marapulai dan seluruh orang yang berada di
rumah tersebut sebagai bentuk ucapan yang disertai dengan doa kepada
yang maha kuasa, yaitu Allah SWT.
Adapun salam yang diucapkan adalah ucapan seperti:
Assalamuailaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Terjemahan:
Semoga kedamaian, rahmat, dan juga berkat dari Allah dilimpahkan kepadamu.
2. Berdoa
Hal yang tidak boleh terlewatkan dalam setiap acara apapun adalah doa,
karena doa merupakan salah satu media penyampaian keinginan kepada
Allah SWT agar mendapat rahmat dan hidayah-Nya sebagai umat-Nya.
Dalam tradisi manjapuik marapulai ini doa juga dipanjatkan kepada
Allah SWT agar pekerjaan yang mereka lakukan mendapat berkah dan
pahala dari Allah SWT, serta keinginan agar marapulai dan anak daro
203
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah, yaitu
menjadi keluarga yang berbahagia dunia dan akhirat. Keluarga yang
sakinah adalah keluarga yang membina atau membangun sebuah rumah
tangga yang penuh kedamaian, ketentraman, ketenangan, dan selalu
berbahagia. Sementara itu, keluarga yang mawaddah memiliki arti
keluarga yang saling mencintai baik di saat suka maupun duka. Yang
terakhir adalah keluarga yang warrahmah, yaitu keluarga yang selalu
diberikan kedamaian, ketentraman, selalu penuh dengan cinta dan kasih
sayang.
3. Bersalawat
Salawat merupakan pujian atau kemuliaan yang ditujukan kepada Nabi
Muhammad SAW seperti halnya doa ataupun dzikir kepada Allah SWT.
Salawat, jika datangnya dari Allah kepada-Nya, maka bermakna rahmat
dan keridhaan. Jika dari malaikat berarti permohonan ampun. Apabila
dari ummatnya berarti bermakna sebagai sanjungan dan pengharapan
agar rahmat dan keridhaan Allah dikekalkan. Adapun salawat yang
diucapkan pada acara manjapuik marapulai ini adalah dengan tujuan
agar kedua pengantin tersebut senantiasa mendapatkan cinta dari
Rasullullah SAW, sehingga di dalam hatinya hadir segala kebaikan-
kebaikan yang melahirkan cinta, maka dengan hadirnya cinta dari
Rasulullah ini bermakna akan semakin bertambahrasa cinta dan rasa
rindu kepada Allah SWT yang akan menguasai seluruh hatinya untuk
menjalankan segala perintah Allah dengan sebaik-baiknya.
204
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
6.1.2.2 Norma Kesopanan
Masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan. Interaksi akan terjadi antara individu satu dengan individu lainnya, individu satu dengan masyarakatnya. Untuk memperoleh sebuah keharmonisan dalam berinteraksi ini perlu adanya tata karma, etika, sopan santun yang menjadi pegangan bersama dan sudah merupakan norma- norma yang harus dipatuhi dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Sejalan dengan pengertian norma kesopanan yaitu peraturan yang muncul dari hasil pergaulan yang mengarah pada hal yang berhubungan dengan cara seseorang bertingkah laku wajar dalam kehidupan bermasyarakat, maka dalam tradisi manjapuik marapulai ini penulis juga menemukan norma kesopanan di dalamnya, yaitu:
1. Adanya permintaan maaf
Permintaan maaf ini muncul pada saat juru bicara anak daro akan
memulai pasambahannya dihadapan seluruh orang yang terlibat dari
kedua belah pihak. Hal ini disampaikan kepada keluarga marapulai
apabila dalam memulai pasambahannya, ada orang-orang yang
berpengaruh dalam keluarga tersebut, seperti: ninik-mamak yang tidak
disebutkan secara tidak sengaja. Sehingga permintaan maaf yang
disampaikan di awal pasambahan akan dapat meminimalisir rasa
ketidaksopanan.
205
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2. Berkata dengan santun
Sudah seharusnya maksud dan keinginan disampaikan dengan cara yang
santun agar komunikasi dua arah dapat terjalin dengan harmonis. Begitu
juga halnya yang terdapat dalam acara manjapuik marapulai ini, juru
bicara dari kedua belah pihak menyampaikan maksud dan keinginannya
dengan santun, agar tidak ada pihak yang merasa tersinggung ataupun
merasa terancam dengan penyampaian maksud dan keinginan yang telah
disampaikan tadi.
3. Penjagaan sikap dan perilaku.
Tradisi Manjapuik marapulai merupakan acara adat yang memerlukan
pelaku adat dan orang-orang tertentu saja yang didalamnya, seperti Ninik
mamak, urang sumando dan kapalo mudo. Ninik mamak, urang
sumando dan kapalo mudo ini adalah orang orang yang dihormati
dikeluarganya, sehingga untuk terciptanya sebuah keharmonisan dalam
acara tersebut perlu dilakukan penjagaan sikap dan perilaku yang baik
dan wajar, seperti: tidak berkata sembarangan, tidak keluar masuk
ruangan, tidak mengambil makanan sebelum dipersilahkan oleh yang
punya rumah serta mengetahui kapan kesempatan giliran berbicara
dalam penyampaian pasambahan.
206
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
6.1.2.3Norma Kebiasaan
Norma kebiasaan dapat disetarakan dengan adat istiadat. Adat istiadat merupakan kebiasaan-kebiasaan sosial yang telah lama ada dan berkembang dalam sebuah masyarakat. Dari pengertian norma istiadat yang telah penulis jelaskan sebelumnya, dalam acara manjapuik ini, penulis menemukan beberapa perilaku yang masuk pada kategori norma kebiasaan, di antaranya:
1. Perundingan dalam memutuskan sesuatu.
Hal ini terlihat pada saat persiapan manjapuik marapulai yang ditandai
dengan adanya (a) musyawarah dalam keluarga anak daro untuk
berunding mengenai apa yang harus dilakukan dalam acara manjapuik
marapulai serta memutuskan siapa-siapa saja yang akan menjadi juru
bicara anak daro, (b) ketika alur pasambahan terjadi untuk menjawab
permintaan utusan anak daro yaitu membawa marapulai, juru bicara
marapulai tidak memutuskannya sendiri, melainkan berunding dengan
keluarganya sebelum memberi keputusan.
2. Memenuhi persyaratan yang diinginkan
Dalam perkawinan adat Minangkabau, persyaratan menjadi hal mutlak
yang harus dipenuhi oleh anak daro. Persyaratan ini sudah dibicarakan
jauh hari sebelumnya, yaitu pada saat tahapan maminang atau
batimbang tando. Adapun hal yang wajib untuk diberikan oleh anak
daro kepada marapulai adalah uang japuik dan persyaratan lainnya.
Berkaitan dengan hal ini, pemberian uang japuik dan persyaratan
lainnya ini adalah hal yang sudah menjadi kebiasaan di tengah-tengah
207
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
masyarakat Minangkabau di Sungai Geringging, Pariaman dari zaman
dahulu sampai sekarang masih ada dan terlaksana dengan baik.
3. Gotong Royong
Di Kabupaten Pariaman dan sekitarnya, masih terlihat aktivitas royong
yang dilakukan oleh masyarakat, apabila ada salah satu anggota
masyarakatnya yang mengadakan acara, misalnya acara perkawinan.
Aktivitas gotong royong juga penulis temukan dalam acara manjapuik
marapulai ini, diantaranya terlihat di kediaman marapulai. Disana
tampak aktivitas memasak yang dilakukan oleh keluarga marapulai
dibantu dengan tetangga yang berada di sekitar kediaman marapulai.
Hal lainnya yang penulis temukan adalah pada saat mengantarkan
marapulai ke kediaman anak daro, disana terlihat banyaknya warga
tetangga di sekitar rumah yang turut mengantarkan marapulai ke pesta
perkawinan yang dilaksanakan di rumah anak daro. Dari banyaknya
jumlah orang yang mengantarkan marapulai, ada anggapan bahwa
marapulai berasal dari keluarga yang berbaur baik dengan masyarakat
lain di lingkungannya.
Dalam tradisi manjapuik marapulai pada adat perkawinan Minangkabau di Kecamatan Sungai Geringging, Kabupaten Pariaman, ditemukan nilai yang terdapat pada tradisi tersebut diantaranya: nilai etika, nilai estetika dan nilai kepercayaan. Sedangkan norma yang terdapat pada tradisi tersebut adalah norma agama, norma kesopanan dan norma kebiasaan. Nilai dan norma tersebut dapat dilihat pada bagan berikut ini:
208
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Nilai dan Norma pada Tradisi Manjapuik marapulai Adat Perkawinan Minangkabau di Sungai Garingging
Nilai Tradisi Manjapuik Norma Tradisi Manjapuik marapulai marapulai
1. Nilai Etika, 1. Norma Agama 2. Nilai Estetika , 2. Norma Kesopanan 3. Nilai Kepercayaan 3. Norma Kebiasaan
Bagan 6.2
Nilai dan Norma Tradisi Manjapuik marapulai Adat Perkawinan Minangkabau
6.1.3 Kearifan Lokal Tradisi Manjapuik Marapulai
Setelah penulis menganalisis tentang makna dan fungsi serta nilai dan norma, selanjutnya penulis akan menganalisis mengenai kearifan lokal yang terdapat pada tradisi manjapuik marapulai. Kearifan lokal (local wisdom) merupakan bagian dari sebuah sistem budaya yang biasanya mengatur hubungan sosial dalam kemasyarakatan. Adapun kearifan lokal dari tradisi manjapuik marapulai adat perkawinan Minangkabau di Kecamatan Sungai
Garingging, Kabupaten Pariaman adalah kesantunan, gotong royong,
209
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
musyawarah dan mufakat, kesetiakawanan sosial dan rasa syukur. Gambaran kearifan lokal ini dapat dilihat pada bagan berikut ini:
Kearifan Lokal Tradisi Manjapuik marapulai
Kesopansantunan Gotong Musyawarah Kesetiakawanan Rasa syukur royong dan mufakat sosial
Bagan 6.3 Kearifan Lokal Tradisi Manjapuik marapulai
6.1.3.1 Kesopansantunan
Kesopansantunan merupakan sebuah tingkah laku yang mencerminkan sikap diri seseorang atau diri sendiri terhadap orang lain dengan tujuan untuk menghargai dan menghormati orang lain dalam bersikap dan berperilaku.
Kesopansantunan sangat erat hubungannya dengan norma-norma yang berlaku di lingkungan masyarakat.
Kesopansantunan sering juga disebut sebagai etika yang telah menjadi bagian dalam kehidupan manusia. Kesopansantunan dalam masyarakat minangkabau sudah merupakan sebuah persyaratan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, dimanapun dan dalam waktu apapun juga. Dalam proses sosialisasi, masyarakat Minangkabau dari kecil sudah diajarkan kesopansantunan seperti jika sesorang memberikan sesuatu hendaklah diterima dengan tangan kanan dengan mengucapkan kata terima kasih. Orang tua sejak
210
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kecil telah mengajarkan cara minum, menyapa, memberi hormat, berbicara, berpakaian, bersikap dan lain sebagainya. Akhirnya perilaku orang
Minangkabau terbentuk menjadi sebuah kebiasaan, tanpa disadari mengapa harus berbuat yang demikian itu. Adapun kesopansantunan lahir karena adanya interaksi antara individu maupun dengan masyarakat.
Kesopansantunan dalam masyarakat Minangkabau yang semula berlaku dalam lingkungan terbatas, kemudian akan merambat kelingkungan masyarakat yang lebih luas dan akhirnya diterima sebagai suatu kesapakatan bersama dalam masyarakat tanpa tertulis. Sesuai dengan perkembangan waktu tanpa disadari muncul kesepakatan yang tersaring dalam lingkungan masyarakat setempat dan masyarakat pada wilayah tertentu. Orang Minangkabau sebagai suatu lingkungan masyarakat tertentu dan mempunyai wilayah adat tersendiri, maka tata karma atau kesopansantunan yang memiliki ciri-ciri tersendiri yang dapat membedakan dengan tata karma pada masyarakat daerah lainnya.
Kesopansantunan yang berlaku pada masyarakat tertentu belum tentu berterima oleh masyarakat lainnya, karena kesopansantunan tersebut didukung oleh masyarakat yang saling berbeda kondisi dan latar belakang kehidupan sosial budayanya. Oleh karena itu, harus disadari suatu sikap yang mengatakan orang lain atau adat lain tidak sopan adalah hal yang keliru.
Kesopansantunan sangat diperlukan dalam hal berinteraksi dan bergaul di lingkungan sosial bermasyarakat dengan berbagai karakter yang berbeda- beda agar tercipta sebuah kerukunan dalam berperilaku. Untuk bersosialisasi antar individu perlu adanya aturan dan dengan melihat kesopansantunan
211
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
seseorang, seseorang dapat mengetahui baik atau buruknya perilaku orang tersebut.
Seorang individu dalam masyarakat Minangkabau tidak terlepas dari penilaian masyarakat Minangkabau lainnya. Baiknya penilaian seorang individu dari masyarakat lainnya tidak terlepas dari tingkah laku dan perbuatan yang dilakukannya. Oleh sebab itu seseorang harus berbuat dan berperilaku sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati bersama. Apabila menyimpang dari kesepakatan yang menjadi panutan bersama dianggap tidak memiliki kesopansantunan bahkan dapat dikatakan tidak beradat.
Adat Minangkabau mengutamakan kesopansantunan dalam setiap pergaulan. Budi pekerti yang tinggi menjadi salah satu ukuran martabat bagi seseorang dalam bersikap dan berperilaku. Etika menjadi salah satu sifat yang harus dimiliki oleh setiap individu Minangkabau. Adat Minangkabau sejak berabad-abad yang lalu telah memastikan bahwa bila moralitas suatu bangsa sudah rusak, maka dapat dipastikan suatu waktu yang akan datang bangsa itu akan binasa, akan hancur lebur ditelan sejarah. Adat Minangkabau telah mengatur dengan jelas mengenai kesopansantunan dalam setiap pergaulan dan masyarakat Minangkabau hanya tinggal mengamalkannya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan sebelumnya. Budi pekerti merupakan salah satu sifat yang dinilai sangat tinggi oleh adat Minangkabau. Selain budi pekerti, rasa malu dan sopan santun juga termasuk kedalam sifat-sifat yang diwajibkan yang harus dimiliki oleh masyarakat Minangkabau. Sebuah pepatah Minang menyebutkannya sebagai berikut:
212
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Dek ribuik rabahlah padi Karena ribut rebahlah padi Di cupak Datuak Tumangguang Di cupak Datuk Tumenggung Hiduik kok tak babudi Hidup jika tak berbudi Duduak tagak kamari cangguang Duduk berdiri serba canggung Rarak kaliki dek binalu Gugur pepaya karena benalu Tumbuah sarumpun ditapi tabek Tumbuh serumpun di tepi tebat (kolam) Kalau habih raso jo malu Kalau habis rasa dan malu Bak kayu lungga pangabek Bagaikan kayu longgar pengikat
Kehidupan yang aman dan damai merupakan sebuah situasi yang menjadi idaman adat Minangkabau. Untuk menciptakan sebuah kondisi yang aman dan damai, maka selalu diupayakan untuk menghindari kemungkinan timbulnya perselisihan dalam pergaulan. Budi pekerti yang baik, sopan santun, basa basi dalam pergaulan sehari-hari diyakini akan menjauhkan seseorang dari kemungkinan timbulnya sengketa dan selisih paham antar individu.
Untuk menciptakan hubungan yang baik antar individu Minangkabau, perlu bagi seseorang untuk memperhatikan adab dalam berbicara. Salah satu acuan yang dapat dipedomani adalah adab dalam berbicara di Minangkabau yang dikenal dengan “kato nan ampek” yaitu adab berbicara dibedakan atas empat (ampek) jenis lawan komunikasi kita, sebagai berikut:(1) kato mandaki:
Kata dan adab yang digunakan bila kita berkomunikasi dengan orang yang lebih tua atau dituakan dan lebih dihormati karena jabatan dan kedudukannya, (2)
213
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kato mandata: Kata dan adab yang digunakan bila kita berkomunikasi dengan teman sebaya atau rekan kerja, (3) kato malereang: Kata dan adab yang digunakan bila kita berkomunikasi dengan orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan kita dan keluarga seperti ipar, besan, sumando, mamak rumah, dan (4) kato manurun: Kata dan adab yang digunakan bila kita berkomunikasi dengan orang yang lebih muda ataupun kepada bawahan, hal ini tergambar dari pepatah Minangkabau sebagai berikut:
Nan tuo dihormati yang tua dihormati Samo gadang ajak bakawan seusia ajak berkawan Nan ketek disayangi yang kecil disayangi Salah ka manusia minta maaf salah kepada manusia minta maaf Salah ka Tuhan minta ampun salah kepada Tuhan minta ampun
Pada tradisi manjapuik marapulai, kesopansantunan jelas terlihat dan diwujudkan oleh kedua belah pihak. Salah satu di antaranya adalah mengenai adab dalam berbicara. Hal ini jelas diwujudkan oleh kedua belah pihak, karena masing-masing juru bicara berbicara dengan santun sesuai dengan adab berbicara kato nan ampek yang mereka pedomani dalam hal ini. Maksud dan keinginan disampaikan dengan cara yang santun agar komunikasi dua arah dapat terjalin dengan harmonis, agar tidak ada pihak yang merasa tersinggung, merasa tidak enak hati ataupun merasa terancam dengan penyampaian maksud dan keinginan yang disampaikan sebelumnya.
Selain memperhatikan adab dalam berbicara, mereka juga memperhatikan dan menjaga sikap selama pelaksanaan acara manjapuik marapulai berlangsung, seperti: tidak berkata sembarangan, tidak keluar masuk
214
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ruangan, tidak mengambil makanan sebelum dipersilahkan oleh yang punya rumah serta mengetahui giliran berbicara dalam penyampaian pasambahan.
6.1.3.2 Gotong Royong
Gotong royong adalah wujud dari sebuah proses dalam hal berinteraksi sesama manusia. Sudah menjadi kodratnya, manusia tidak dapat hidup sendiri melainkan manusia membutuhkan bantuan orang lain, oleh karena itu manusia disebut sebagai makhluk sosial. Masyarakat Minangkabau juga mengenal istilah gotong royong. Dalam masyarakat Minangkabau semua tugas menjadi tanggung jawab bersama, sifat gotong royong menjadi sebuah keharusan, saling menunjang dan saling membantu merupakan sebuah kewajiban. Kehidupan antara anggota kaum saling membantu dan saling dukung mendukung dalam hal kebaikan. Hal ini tertulis dalam pepatah minangkabau, sebagai berikut:
Nan barek samo dipikue yang berat sama dipikul Nan ringan samo dijinjiang yang ringan sama dijinjing Ka bukik samo mandaki ke bukit sama mendaki Ka lurah samo manurun ke lurah sama menurun Nan ado samo dimakan yang ada sama dimakan
Keikutsertaan masyarakat Minangkabau dalam kehidupan sosial bermasyarakat terlihat dari ada dan terciptanya sebuah keakraban dengan para tetangga. Apabila diantara tetangga ada yang mengalami musibah tetangga lainnya tidak segan-segan untuk datang membantu seperti melayat apabila ada peristiwa kematian, membesuk apabila ada tetangga yang sedang sakit, ataupun mengunjungi tetangga yang sedang ditimpa musibah oleh sebab yang lainnya.
Begitu juga hal nya apabila ada tetangga yang sedang melaksanakan hajat
215
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ataupun alek, seperti membantu dan menghadiri acara pernikahan, ataupun acara hajat yang lainnya.
Di Kabupaten Pariaman dan sekitarnya, aktivitas gotong royong masih jelas terlihat dan diwujudkan oleh masyarakat. Aktivitas gotong royong juga penulis temukan dalam pesta perkawinan adat Minangkabau. Hal ini penulis temukan sebelum acara manjapuik marapulai dilangsungkan. Di kediaman anak daro telah terlihat aktivitas masak-memasak yang dilakukan oleh ibu-ibu yang ada di sekitar kediaman anak daro. Masing-masing ibu-ibu tersebut datang dan saling bantu-membantu untuk memasak hidangan pada saat acara alek berlangsung. Kegiatan ini dilakukan secara bersama-sama dalam porsi yang besar dan membutuhkan tenaga yang cukup besar pula, sehingga dengan dikerjakan secara bersama-sama dapat diselesaikan dengan waktu yang relatif singkat.
Selanjutnya, kegiatan gotong royong juga terlihat di kediaman marapulai. Di sana tampak aktivitas memasak yang dilakukan oleh keluarga marapulai dibantu dengan tetangga yang berada di sekitar kediaman marapulai.
Hal lainnya yang penulis temukan adalah pada saat mengantarkan marapulai ke kediaman anak daro, di sana juga terlihat banyaknya warga tetangga di sekitar rumah yang turut mengantarkan marapulai ke pesta perkawinan yang dilaksanakan di rumah anak daro.
6.1.3.3 Musyawarah dan Mufakat
Menghadapi suatu masalah atau suatu pekerjaan akan selalu didapati perbedaan pandangan dan pendirian antara orang yang satu dengan orang yang
216
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
lainnya, seperti pepatah berikut ini kapalo samo hitam pikiran ba lain-lain atau kepala sama hitam pikiran berbeda-beda. Perbedaan pendapat semacam ini adalah sangat lumrah dan demokratis, namun jika hal ini dibiarkan berkelanjutan maka akan berakibat masalah itu tidak pernah akan selesai dan pekerjaan akan terkatung-katung. Oleh karena itu harus dicari jalan keluar dari tiap-tiap masalah yang ditemui. Jalan keluar yang ditunjukkan oleh adat
Minangkabau adalah dengan melakukan musyawarah untuk mufakat, bukan musyawarah untuk melanjutkan pertengkaran dan perselisihan. Musyawarah adalah proses pembahasan suatu persoalan dengan maksud mencapai keputusan bersama. Mufakat adalah kesepakatan yang dihasilkan setelah melakukan proses pembahasan dan perundingan bersama. Jadi musyawarah mufakat dapat diartikan sebagai sebuah proses membahas persoalan secara bersama demi mencapai kesepakatan bersama. Musyawarah mufakat dilakukan sebagai cara untuk menghindari pemungutan suara yang menghasilkan kelompok minoritas dan mayoritas. Pepatah adat menggambarkan proses pengambilan keputusan sebagai berikut ini:
Bulek aie dek pambuluah bulat air karena pembuluh Bulek kato dek mufakat bulat kata karena mufakat Bulek nak bulieh digolongkan bulat agar dapat digelindingkan Picak nak bulieh dilayangkan pipih agar dapat dilayangkan
Setiap individu Minangkabau disarankan untuk selalu menjaga hubungan dengan lingkungannya. Adat minang tidak terlalu memuja kemandirian (privacy) sesuai dengan ajaran individualism dari negara luar. Adat
Minangkabau mengajarkan supaya membiasakan untuk selalu berembuk dengan
217
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
lingkungan kendatipun menyangkut masalah pribadi. Dengan demikian adat mendorong orang Minangkabau lebih mengutamakan “kebersamaan” kendatipun menyangkut urusan pribadi. Sekalipun seorang Minangkabau menduduki posisi sebagai penguasa seperti dalam kedudukan mamak rumah atau pun Penghulu tetapi keputusan tidak bisa diambil secara sepihak saja melainkan harus berdasarkan perundingan yang melibatkan beberapa orang lain. Adat
Minangkabau akan selalu mencoba untuk memelihara komunikasi dengan cara berdialog, karena dengan cara itu segala masalah akan selalu dapat dipecahkan melalui musyawarah.
Dalam hal musyawarah dan mufakat yang terdapat dalam acara manjapuik marapulai jelas tergambar dari kedua belah pihak, baik pihak anak daro maupun marapulai. Pada keluarga anak daro proses musyawarah dan mufakat terlihat pada saat mereka berunding pada saat melakukan persiapan menjemput marapulai dan menentukan orang-orang yang akan menjadi juru bicara pada saat melakukan pasambahan nantinya di kediaman marapulai.
Oleh karena itu orang yang ditunjuk sebagai juru bicara adalah orang yang berwenang mewakili keluarga dan orang yang arif dan bijaksana sepanjang dalam pengertian adat, seperti tergambar dari pepatah berikut ini:
Nan tau condong kamaimpok Orang yang tahu pohon condong akan menimpa Nan tau lantiang ka mangana i Yang tahu lentur yang akan mengena Nan tau jo baso basi Yang tahu basa basi Tau dibayang jo kato sampai Tahu dengan wujud kata Alun bakilek lah bakalam Belum terlihat sudah maklum Salayang ikan dalam aie Selayang ikan dalam air
218
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lah jaleh jantan batinonyo Yang sudah tahu jenis jantan atau betinanya
Pada keluarga marapulai, musyawarah dan mufakat jelas terlihat pada saat juru bicara marapulai memutuskan boleh atau tidaknya marapulai dibawa ke kediaman anak daro. Juru bicara berunding dengan beberapa orang yang dianggap pantas dalam keluarga marapulai tersebut.
6.1.3.4 Kesetiakawanan Sosial
Rasa kebersamaan timbul dari dalam diri seseorang yang saling membutuhkan orang lain. Dengan kebersamaan yang terjaga, akan muncul perasaan saling memahami antara satu dengan yang lainnya. Jika hal tersebut berlangsung secara terus menerus akan memunculkan adanya perasaan berhubungan secara erat kepada seseorang tersebut atau disebut dengan kesetiakawanan. Kesetiakawanan sosial adalah nilai, sikap dan perilaku suatu masyarakat yang dilandasi atas pengertian, kesadaran, tanggung jawab, kesetaraan, dan partisipasi sosial untuk mengatasi dan menanggulangi berbagai macam masalah sosial yang ada dimasyarakat sesuai dengan kemampuan masing-masing atas rasa kebersamaaan, kegotongroyongan, kekeluargaan dan kerelaan berkorban tanpa balas jasa.
Kesetiakawanan sosial (solidaritas sosial) adalah perasaan seseorang yang bersumber dari dalam diri seseorang dimulai dengan adanya rasa cinta kepada kehidupan bersama sehingga diwujudkan dengan amal nyata berupa pengorbanan dan kesediaan menjaga, membela, maupun melindungi terhadap kehidupan bersama. Kesetiakawanan sosial adalah ciri atau sifat yang berangkat
219
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dari sikap dan perilaku untuk bersimpati dan berempati kepada orang lain. Rasa simpati dapat terjalin dengan baik apabila setiap individu saling mengenal dan mendalami. Jika seseorang memiliki rasa simpati kepada orang lain, maka rasa simpati itupun akan diperolehnya dari orang lain. Sebaliknya, rasa empati dapat terjalin dari seseorang, tanpa harus orang lain berempati kepada orang tersebut.
Rasa kekeluargaan masyarakat Minangkabau yang muncul antar tetangga menjadikan rasa kesetiakawanan sosial ini sebagai sebuah sarana untuk membantu antara satu keluarga dengan kelurga yang lain dalam satu lingukngan msyarakat. Kekeluargaan berarti suatu kondisi yang berhubungan dengan
Keluarga. Kekeluargaan dalam berbagai istilah dapat disamakan sebagai persaudaraan, kolektifisme, dan komunalisme. Masyarakat Minangkabau menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan di lingkungan masyarakat sosial. Hal ini diwujudkan melalui suasana kehidupan sosial yang terjalin antara anggota- anggota suatu kelompok sosial, dimana setiap orang merasa berkerabat dengan yang lain, mempunyai hubungan persaudaraan, hubungan kekerabatan (kinship).
Polanya melebihi pertemanan dengan berazaskan prinsip solidaritas, dan nilai kesetiakawanan. Kesetiakwanan adalah rasa yang sifatnya dianjurkan dalam adat, seperti pepatah berikut ini:
Bajalan paliharo kaki Berjalan pelihara kaki Bakato peliharo lidah Berkata pelihara lidah Kaki tataruang inai padahannya Kaki tertarung inai imbuhannya Lidah tataruang ameh padanannyo Lidah tertarung emas imbuhannya Bajalan salangkah madok suruik Berjalan selangkah lihat kebelakang Kato sepatah dipikiri Kata sepatah dipikirkan Nan elok diawak katuju diurang Yang baik menurut kita juga disukai oranglain
220
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lamak dek awak lamak dek urang Yang enak menurut kita juga enak menurut orang lain Sakik dek awak sakik dek urang Jika sakit bagi kita juga sakit bagi orang lain
Dalam tradisi manjapauik marapulai di Kecamatan Sungai Geringging,
Kabupaten Pariaman terlihat jelas rasa kesetiakawanan sosial yang terjalin di antara masyarakatnya. Rasa kekeluargaan yang tinggi di antara mereka terlihat pada uang japuik yang diberikan. Uang japuik yang diberikan kepada keluarga marapulai bukanlah uang dari kedua orang tua anak daro saja melainkan disana juga ada uang yang dikumpulkan dari saudara-saudara dekat kedua orang tua anak daro. Artinya, uang japuik tersebut dikumpulkan dari sumbangan keluarga besar baik.
Selanjutnya, dalam hal manjapuik marapulai, keluarga yang ikut sebagai bagian dari rombongan penjemput marapulai juga dapat dinilai sebagai bagian dari rasa kesetiakawanan karena mereka telah bersedia untuk meninggalkan urusan pribadi mereka seperti pekerjaan ataupun urusan lainnya serta meminjamkan kendaraannya untuk digunakan sebagai transportasi untuk menjemput marapulai.
6.1.3.5 Rasa Syukur
Rasa syukur merupakan suatu wujud dari perasaan yang bahagia yang muncul ketika seseorang sedang membutuhkan sesuatu atau bahkan sedang dalam keadaan cukup menerima pemberian atau perolehan dari orang lain sehingga orang tersebut merasa tercukupi atau memperoleh kelebihan. Dampak
221
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dari rasa syukur dapat berkembang menjadi sebuah reaksi ataupun tanggapan yang berwujud menjadi sebuah sikap, oleh karena itu rasa syukur yang muncul pada diri seseorang akan dapat memberikan motivasi ataupun mendorong seseorang dalam berperilaku.
Rasa syukur masyarakat Minangkabau merupakan sebuah wujud dari pengakuan seseorang terhadap adanya pihak lain ataupun sumber yang turut andil atas nikmat dan kebahagiaan yang diterima dan oleh sebab itu rasa syukur tersebut dapat mendorong seseorang untuk memberikan pujian atau memberikan ucapan rasa terimakasih kepada pihak yang telah berbuat baik.
Adapun rasa syukur yang ditujukan kepada Allah SWT adalah sebagai bentuk sebuah pengakuan atas kenikmatan yang diberikan oleh Allah SWT.
Sebagai balasan atas nikmat yang diberikan maka manusia diharapkan untuk taat kepada Allah SWT. Adapun perwujudan dari bentuk rasa syukur itu dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu dengan hati, lidah dan anggota tubuh.
Bersyukur dengan hati akan membuat seseorang merasakan keberadaan nikmat itu ada pada dirinya sehingga dia tidak akan lupa kepada Allah SWT sebagai pemberi nikmat tersebut. Bersyukur dengan lidah dapat diwujudkan dengan menyanjung dan memuji Allah SWT atas nikmat yang telah diberikan dengan penuh rasa cinta serta menyebut-nyebut nikmat tersebut sebagai bentuk pengakuan atas karuniaNya. Bersyukur dengan anggota tubuh yaitu dengan sujud dihadapan Allah dengan meletakkan anggota tubuhnya diringi dengan berbagai macam dzikir seperti bersyukur, tasbih, doa dan mohon ampunan.
222
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pada tradisi manjapuik marapulai ini wujud rasa syukur dapat terlihat dari bentuk-bentuk yang muncul dengan mengatasnamakan Allah SWT sebagai pemberi nikmat kepada umat manusia. Hal ini dapat terlihat yaitu pada saat pengucapan salam, do‟a dan salawat yang dilakukan. Semua ini merupakan perwujudan rasa syukur yang tiada terhingga dari mereka kepada Allah SWT sebagai Maha Pencipta dalam melaksanakan acara manjapuik marapulai.
Berdasarkan analisis data yang telah dipaparkan sebelumnya, kearifan lokal pada tradisi manjapuik marapulai dalam upacara adat perkawinan
Minangkabau dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 6.2 Kearifan Lokal Tradisi Manjapuik Marapulai
Makna dan Fungsi Makna Fungsi Penghargaan yang diberikan 1. Sebagai cara untuk oleh keluarga anak daro menaikkan harkat urang kepada keluarga marapulai. sumando sebagai pendatang di kediaman isteri 2. Sebagai cara untuk penghibur dalam rangka membesarkan hati keluarga marapulai yang akan ditinggalkan 3. Sebagai cara untuk mempersatukan keluarga yang berbeda dari kedua belah pihak. 4. Bagi keluarga marapulai, sebagai bukti dari pengakuan atau pembenaran masyarakat
223
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
terhadap status sosial 5. Bagi keluarga anak daro, adalah sebagai pembuktian gengsi sosial.
Nilai dan Norma Nilai Norma 1. Etika 1. Agama 2. Estetika 2. Kesopanan 3. kepercayaan 3. Kebiasaan
Kearifan Lokal 1. Kesantunan 2. Gotong royong 3. Musyawarah dan Mufakat 4. Kesetiakawanan sosial 5. Rasa syukur
224
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB VII MODEL REVITALISASI TRADISI MANJAPUIK MARAPULAI ADAT
PERKAWINAN MINANGKABAU
Revitalisasi merupakan sebuah proses, cara, ataupun perbuatan untuk menghidupkan atau menggiatkan kembali berbagai program kegiatan apapun pada suatu komunitas masyarakat yang sebelumnya kurang berdaya.
Revitalisasi juga dapat diartikan sebagai cara untuk membangkitkan kembali vitalitas. Sebenarnya revitalisasi berarti menjadikan suatu atau perbuatan menjadi vital, sedangkan kata vital mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan manusia.
Dalam hal merevitalisasi budaya langkah-langkah yang nyata harus ditempuh untuk mempertahankan kebudayaan itu agar tetap hidup ditengah- tengah komunitas masyarakat sekalipun harus menentang perkembangan arus zaman yang semakin lama akan semakin meninggalkan identitas aslinya. Tidak menutup kemungkinan dengan adanya pengaruh budaya barat atau budaya luar yang semakin lama semakin sering dijumpai pada acara-acara kemasyarakatan, salah satu diantaranya adalah dalam hal perkawinan.
Kemerosotan budaya lokal dapat dipengaruhi oleh pola pikir masyarakat yang beranggapan bahwa budaya barat atau budaya luar adalah budaya modern yang harus diikuti agar masyarakat tersebut dapat dianggap menjadi orang yang memiliki perilaku modern dan tidak berperilaku kuno. Namun apabila pola pikir semacam ini terus dibiarkan maka secara tidak langsung akan menutup
225
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kemungkinan adanya kemunduran atau bahkan kepunahan budaya lokal itu sendiri.
Di sinilah pentingnya peran revitalisasi dalam membangkitkan gairah budaya agar budaya tersebut dapat bertahan dari satu generasi kegenerasi selanjutnya. Selama budaya tersebut dapat dipertahankan oleh masyarakat maka seberapa besarpun pengaruh budaya luar akan sulit merubah bahkan untuk mempengaruhi budaya lokal itu sendiri.
Revitalisasi yang diajukan dalam penelitian tradisi manjapuik marapulai berkaitan erat merevitalisasi pemahaman nilai-nilai moral yang telah lama diselenggarakan berdasarkan aturan-aturan yang bersumber dari ajaran- ajaran adat masyarakat setempat. Pemahaman nilai moral manjapuik marapulai terhadap falsafah masyarakat Minangkabau menjadi acuan dasar dan pedoman untuk mengatur kehidupan masyarakat Minangkabau dalam berperilaku sehari- harinya pada masa yang akan datang. Untuk mengajukan revitalisasi diperlukan pengetahuan secara jelas apakah sifat dasar dari adat orang Minang itu sudah sesuai dengan pepatah adat sebagai berikut:
Adat babuhue sintak Adat berbuhul sentak
Syarak babuhue mati syariat berbuhul mati
Buhue artinya simpul atau ikatan, sedangkan sintak artinya mudah dilonggarkan atau dikencangkan. Buhue sintak artinya ikatan adat merupakan suatu ikatan yang dapat dibuka untuk menerima perkembangan baru yang sesuai
226
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dengan pertimbangan ataupun logika orang Minangkabau berdasarakan musyawarah dan mufakat pemuka adat, seperti: ninik mamak, panghulu, cerdik pandai, budo kanduang dan pemuda. Sebaliknya dapat pula dikencangkan atau diketatkan terhadap sesuatu aturan adat yang mulai longgar.
Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa adat Minangkabau mempunyai sifat fleksibel yang mengatur segala perilaku adat di masyarakatnya. Syarak dapat diartikan sebagai ajaran agama Islam atau syariat Islam. Babuhue mati artinya ikatan dengan simpul mati. Dalam hal syarak nan bubuhue mati ini adalah ajaran agama Islam merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh setiap warga Minangkabau dan dilakukan revitalisasi untuk menghidupkan dan mengaktifkan penguatan landasan agama.
Empat tingkatan adat dalam falsfah masyarakat Minangkabau, yaitu (1) adat nan sabana adat, (2) adat nan diadatkan. Kedua adat ini memiliki sifat mutlak tidak boleh diubah sampai kapanpun. (3) adat nan taradat, dan (4) adat istiadat. Kedua adat ini memiliki sifat dapat diubah, ditambah ataupun dikurangi oleh pemuka adat berdasarkan hasil musyawarah. Tradisi manjapuik marapulai ini dapat digolongkan kepada jenis adat adat nan taradat, karena adat nan taradat ini mengenai aturan yang disusun berdasarkan hasil musyawarah mufakat pemuka adat di tiap-tiap nagari di wilayah Sumatera
Barat. Artinya, aturan pelaksanaan perkawinan di setiap nagari akan berbeda dari satu nagari dengan nagari lainnya. Tradisi manjapuik marapulai ini dapat dilihat di Kabupaten Pariaman, belum tentu dapat ditemukan di Kabupaten
227
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pasaman, karena tradisi ini bersifat adat salingkar nagari maka tidak seluruh wilayah nagari di Provinsi Sumatera Barat melaksanakan tradisi atau mempertahankan tradisi ini sesuai dengan kesepakatan pemuka adat yang dilakukan melalui musyawarah dan mufakat.
Dari hasil penelitian ini diajukan revitalisasi untuk kemajuan masa depan tradisi manjapuik marapulai yang mencakup tiga hal penting, yaitu: penghidupan atau pengaktifan kembali tradisi manjapuik marapulai, pengelolaan tradisi manjapuik marapulai, dan sistem pewarisan tradisi manjapuik marapulai.
Keseluruhan cara dari model revitalisasi yang diajukan pada tradisi manjapuik marapulai adat perkawinan Minangkabau, dapat dilihat pada bagan berikut ini:
228
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Model Revitalisasi Tradisi Manjapuik marapulai Adat Perkawinan Minangkabau
Menghidupkan / Mengelola Mewariskan mengaktifkan
1. Mensosialisasikan 1. Mengelola waktu 1. Penyiaran radio budaya Minangkabau pelatihan bagi anggota mengenai adat dan melalui pendidikan organisasi kepemudaan budaya Minangkabau 2. Memfungsikan 2. Mempromosikan kepada 2. Penayangan acara adat kembali proses tradisi masyarakat mengenai melalui manjapuik marapulai 3. Mengikutsertakan pemuda media televisi lokal 3. Membentuk organisasi dalam acara perkawinan 3. Pemasangan iklan- kepemudaan khususnya acara iklan cinta budaya manjapuik marapulai Minangkabau 4. Melakukan Bagan 7.1 inventarisasi
Model Revitalisasi Tradisi Manjapuik marapulai Upacara Adat Perkawinan Minangkabau
7.1 Penghidupan atau Pengaktifan Kembali.
Komponen yang pertama ini diperuntukkan bagi tradisi lisan yang telah punah atau sudah tidak berfungsi sama sekali di komunitas masyarakat untuk dihidupkan kembali, sedangkan pengaktifan diartikan sebagai tradisi lisan yang masih hidup tetapi tidak difungsikan lagi sebagai bagian dari kehidupan masyarakat untuk diaktifkan kembali. Dalam hal merevitalisasi tradisi manjapuik marapulai di Kecamatan Sungai Garingging, tradisi ini masih tetap
229
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
hidup dan dilangsungkan dari sejak dulu sampai sekarang, hanya saja ada terdapat sedikit perbedaan dalam proses menjalankan tradisi tersebut tidak seperti dulu, yaitu memakan waktu yang cukup panjang sedangkan sekarang lebih mengutamakan keefisienan waktu yang relatif singkat.
Untuk merevitalisasi tradisi manjapuik marapulai, berkaitan dengan komponen yang pertama ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya:
1. Mensosialisasikan budaya Minangkabau melalui pendidikan
Pendidikan adalah salah satu cara untuk mengenalkan budaya
Minangkabau kepada masyarakatnya sedari dini, yaitu dimulai pada
tingkatan Sekolah Dasar. Salah satu mata pelajaran di tingkat Sekolah
Dasar berbasis muatan lokal, yaitu “Budaya Alam Minangkabau” atau
disingkat dengan BAM. Pada tingkat pendidikan ini dapat dimasukkan
sedikit mengenai kebudayaan yang terdapat pada Minangkabau, di
antaranya mengenai pepatah, ajaran moral Minangkabau dan lain
sebagainya.
2. Memfungsikan kembali proses tradisi manjapuik marapulai
Pada beberapa kasus di beberapa wilayah pariaman adanya perubahan
pandangan dimasyarakat yang lebih mementingkan uang japuik
dibanding proses penjemputan marapulai secara adat. Perubahan
pandangan ini menjadikan proses manjapuik marapulai itu hanya
sekedar mengantarkan uang japuik serta persyaratan lain, tanpa
230
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
menjadikan pasambahan menjadi suatu keharusan. Disinilah peran
pemuka adat stempat untuk meluruskan dan memfungsikan kembali
pandangan yang seharusnya tentang tradisi manjapuik marapulai ini.
3. Membentuk organisasi kepemudaan
Organisasi kepemudaan ini dimaksudkan untuk menanamkan jiwa cinta
budaya Minangkabau, salah satu diantaranya adalah mengenai
pasambahan dan tata caranya. Banyak pemuda Minangkabau yang tidak
mengerti kebudayaannya, mereka hanya berfokus kepada pendidikan
dan pekerjaan saja. Sulit dibayangkan apabila ini dilakukan oleh setiap
pemuda, tentu tidak akan ada lagi pewarisan tradisi, khususnya
pasambahan. Padahal pasambahan ini perlu dilakukan dalam acara-
acara adat. Di sinilah peran penting organisasi kepemudaan, yang
memberikan pelatihan salah satunya tentang pasambahan adat, karena
pada dasarnya pasambahan ini tidak akan datang sendiri tanpa harus
dipelajari, melainkan harus dipelajari dan dibiasakan.
8.2 Pengelolaan
Komponen yang kedua ini berkaitan dengan kebutuhan masyarakat khususnya yang mengatur tentang tradisi lisan dalam sebuah komunitas masyarakat pada saat sekarang ini. Untuk merevitalisasi tradisi manjapuik marapulai, berkaitan dengan komponen yang kedua ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya:
231
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1. Mengelola waktu pelatihan untuk anggota organisasi kepemudaan
Untuk menanamkan jiwa yang disiplin memang sulit untuk dilakukan,
tetapi apabila ada kerjasama antara pemuda, orang tua, dan pembina
maka akan dapat menumbuhkan pribadi yang disiplin pada diri pemuda
anggota organisasi. Pengelolaan waktu yang tepat sehingga tidak
mengganggu aktivitas belajar ataupun bekerja menjadi sebuah prioritas
sehingga tujuan organisasi tersebut dapat berjalan sebagaimana
mestinya.
2. Mempromosikan kepada masyarakat
Masyarakat adalah orang yang membutuhkan agar tradisi tersebut tetap
hidup ditengah-tengah komunitas masyarakat. Untuk mempromosikan
budaya, khususnya mengenai pasambahan ini dapat dilakukan dengan
mengadakan lomba-lomba yang berkaitan dengan adat, diantaranya
mengenai pasambahan. Serta mengikut sertakan organisasi pemuda
dalam acara adat di lingkungan masyarakat. Dengan memberdayakan
organisasi kepemudaan ini diharapkan mampu untuk mengenalkan dan
mempertahankan keberlangsungan adat di tengah-tengah masyarakat.
3. Mengikutsertakan pemuda dalam acara perkawinan, khususnya dalam
acara manjapuik marapulai.
Umumnya yang terjadi dalam acara manjapuik marapulai adalah bahwa
yang berada di dalam ruangan acara tersebut adalah orang-orang tua,
sementara anak-anak muda (pemuda) lebih memilih untuk duduk di luar
232
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ruangan. Kondisi semacam ini harus diubah, karena dengan
mengikutsertakan mereka di dalam ruangan, maka secara tidak langsung
akan berpengaruh kepada pengetahuan mereka. Sedikit banyaknya
mereka akan tahu mengenai tata cara proses pelaksanaan manjapuik
marapulai serta melihat dan menyaksikan alur pasambahan yang terjadi
pada acara tersebut.
7.3 Sistem Pewarisan Tradisi Lisan.
Komponen yang ketiga ini berkaitan dengan sistem pewarisan terhadap tradisi lisan dalam lingkungan masyarakat sosial. Untuk merevitalisasi tradisi manjapuik marapulai, berkaitan dengan komponen yang ketiga ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya:
1. Penyiaran radio mengenai adat dan budaya Minangkabau.
2. Penanyangan acara adat melalui media televisi lokal.
3. Pemasangan iklan-iklan cinta budaya Minangkabau.
Ketiga cara yang penulis sebutkan di atas berkaitan dengan cara
pewarisan yang dapat dilihat oleh khalayak ramai sebagai pemakai
budaya dalam suatu komunitas masyarakat dalam hal ini adalah
masyarakat Minangkabau yang dilakukan secara konsisten atau
berkesinambungan.
4. Melakukan inventarisasi.
Cara pewarisan tradisi lisan bagian ke empat ini berkaitan dengan
pencatatan atau pengumpulan data tentang proses melaksanakan tradisi
233
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
manjapauik marapulai, sehingga data tersebut dapat dikumpulkan dan disimpan dengan baik sebagai arsip budaya.
234
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN
8.1 Simpulan Dari paparan data mengenai tradisi manjapuik marapulai upacara adat perkawinan Minangkabau di Kecamatan Sungai Geringging, Kabupaten Padang
Pariaman yang telah penulis uraikan pada bab sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Performansi upacara Manjapuik marapulai yang dilaksanakan di
Kecamatan Sungai Gerinngging secara teks menggunakan pasambahan
atau pidato adat yang dilakukan oleh dua orang utusan masing-masing
keluarga. Pada pasambahan yang dilakukan dapat dilihat struktur teks,
yaitu struktur makro, struktur alur dan struktur mikro. Dalam
memberikan pemaknaan dalam teks tradisi lisan, unsur ko-teks juga
ditemukan, seperti: unsur supra segmental, proksemik, dan unsur
material. Sementara itu, secara konteks tradisi manjapuik marapulai di
Pariaman dilakukan sesuai dengan konteks budaya, social, situasi dan
ideologi.
2. Tradisi manjapuik marapulai merupakan warisan budaya yang
mempunyai nilai-nilai budaya yang harus dipertahankan di antaranya
adalah kearifan lokal. Kearifan lokal (local wisdom) merupakan bagian
dari sebuah sistem budaya yang biasanya mengatur hubungan sosial
dalam kemasyarakatan. Adapun kearifan lokal dari tradisi manjapuik
marapulai adat perkawinan Minangkabau di Kecamatan Sungai
Geringging, Kabupaten Padang Pariaman adalah kesantunan, gotong
235
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
royong, musyawarah dan mufakat, kesetiakawanan sosial dan rasa
syukur. Masyarakat Minangkabau dalam berkomunikasi selalu
menggunakan variasi tutur yang umum dijadikan sebagai landasan
bertutur. Kearifan dan kepandaian seseorang dalam memilih dan
memilah bahasa yang digunakan berdasarkan landasan yaitu kato nan
ampek menjadi sebuah tolak ukur dari tingkat kedewasaan, kearifan dan
kematangan seseorang.
3. Tradisi manjapuik marapulai berkaitan erat dengan pemahaman nilai-
nilai moral yang diselenggarakan berdasarkan aturan-aturan yang
bersumber dari ajaran-ajaran adat masyarakat setempat. Sesuai dengan
falsafah masyarakat Minangkabau yang menjadi acuan dasar dan
pedoman yang mengatur kehidupan masyarakat Minangkabau dalam
berperilaku sehari-harinya. Model revitalisasi pada tradisi manjapuik
marapulai dapat digolongkan kepada tiga komponen, yaitu:
mengaktifkan, mengelola, dan mewariskan. Berkaitan dengan komponen
pertama dapat dilakukan dengan cara: mensosialisasikan budaya
Minangkabau melalui pendidikan, Memfungsikan kembali proses tradisi
manjapuik marapulai, dan membentuk organisasi kepemudaan.
Selanjutnya untuk komponen kedua dapat dilakukan dengan cara:
Mengelola waktu pelatihan untuk anggota organisasi kepemudaan,
Mempromosikan kepada masyarakat, dan Mengikutsertakan pemuda
dalam acara perkawinan, khususnya dalam acara manjapuik marapulai.
Komponen yang terakhir dapat dilakukan yaitu dengan cara: melalui
236
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
penyiaran radio mengenai adat dan budaya Minangkabau, melalui
penanyangan acara adat melalui media televisi lokal, melakukan
pemasangan iklan-iklan cinta budaya Minangkabau dan melakukan
inventarisasi. Dengan catatan demi keberlangsungan pewarisan budaya
minangkabau tersebut harus selalu dilakukan secara konsisten dan
berkesinambungan atau berkelanjutan.
8.2 Saran
Melihat derasnya arus perkembangan zaman yang banyak terpengaruh oleh arus kebarat-baratan bukan tidak menutup kemungkinan budaya lokal akan hilang sedikit demi sedikit. Pola pikir masyarakat yang menjadikan budaya luar adalah budaya yang modern dan budaya lokal adalah budaya kuno semakin meninggalkan identitas budaya tersebut. Peran dan upaya peneliti mengungkap penelitian ini dilakukan dengan harapan agar kehidupan dan keberlangsungan budaya tradisi manjapuik marapulai pada adat perkawinan Minangkabau dapat bertahan dan berlangsung dari masa ke masa.
Setelah melakukan penelitian diperlukan saran demi keberlangsungan tradisi ini, di antaranya:
1. Fungsi dasar tradisi manjapuik marapulai sebaiknya harus dilaksanakan
dengan sesuai tahapan-tahapan yang ada, seperti pasambahan, bukan
hanya mementingkan nilai nominal yang diberikan.
2. Pemuda selaku pewaris budaya harus lebih digiatkan lagi dalam
mempelajari dan melaksanakan budaya manjapuik marapulai agar
tradisi tetap berlanjut sampai ke generasi selanjutnya.
237
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3. Pemuka adat hendaknya menyalurkan ilmu dan kemampuan yang
mereka miliki untuk memberikan pelatihan kepada pemuda selaku
pewaris budaya
4. Pemerintah dapat melestarikan kebudayaan melalui pengusulan Hak
Kekayaan Intelektual (HAKI) kepada Menteri Hukum dan HAM agar
dapat memberikan motivasi kepada masyarakat untuk dapat terus
berkarya dan memberikan perlindungan atas intelektual yang dimiliki
oleh masyarakat.
5. Peneliti selanjutnya diharapkan agar dapat memperdalam hasil
penelitian ini untuk melakukan penelitian yang lebih sempurna.
238
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR PUSTAKA
Almudra, Mahyudin dan Efendi Tenas. 2005. Pantun Melayu. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, Amir, M.S, 2011. Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang. Jakarta: Citra Harta Prima. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Balai Pustaka. 2005. Pantun Melayu (Cetakan XV). Jakarta. Bayraktaroglu, Arm dan Sifianou, Maria. Linguistic Politeness Across Boundaries: The Case of Greek and Turkish. Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins Publishing Company.
Bertens, K. 1993. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Brown, P. and Levinson, S.C. 1978. Universal in Language Usage: Politeness Phenomenon. Cambridge: Cambridge University Press. Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif (Komunikasi, Ekonomi, kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya). Jakarta: Predana Media Grup. Diradjo, Ibrahim Dt. Sanggoeno. 2014. Tambo Alam Minangkabau: Tatanan Warisan Nenek Moyang Orang Minang. Bukit Tinggi: Buku Alam Minangkabau. Djamaris, Edwar. 2002. Pengantar Sastra Lisan Minangkabau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. New York: Cambridge University Press.
Duranti, Alessandro. 2001. Linguistic Anthropology, A Reader. Blackwell Publisher.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta: Media Persindo.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara. Finnegan, Ruth. 1992. Oral Tradition and Verbal Arts: a Guide to Research Practices. London and New York: Routledge.
Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction. UK: Blackwell Publisher
Frondizi, Risieri. 1963. What is Value?. New Haven: Open Court Publishing. Grenoble, L. A. & Whaley, L. J. 2006. Saving Languages: An Introduction to Language Revitalization. New York: Cambridge University Press. Halliday, Max & Ruqaiya Hasan. 1977. Language, Text, and Context. Melbourne: Deakin University Press.
239
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Held, Gudrun. 2005. Politeness in Linguistic research: Politeness in Language. Richard Watts, Sachiko Ide, Konrad Ehlich (ed). New York: Mouton de Gruyter. Heritage, J. 1988. Current Development in Conversation Analysis dalam D. Roger & P. Bull (Eds.), Conversation (21-47). Clevedon, England: Multylingual Matters.
Husaini, Usman. 2009. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara
Ian Hutchby and RobinWooffitt. 1998. Conversation Analysis: Principles, Practices, & Application.USA: Polite Press Iskandar. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Gaung Persada Press.
Keraf, Gorys. 1991. Linguistik Bandingan. Gramedia:Jakarta.
Lofland, John and lyn H. Lofland. 1984. Analyzing Social Setting: A guide to Qualitative Observation And Analysis. Belmen Cal: Wadsworth Publishing Company.
Miles, Matthew B and Michael A. Huberman.1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-metode Terbaru (Tjetjep Rohendi Rohidi Penerjemah) Jakarta: Universitas Indonesia Press Moleong, Lexy J. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Navis, A.A. 1984. Alam Terkembang jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Press. Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak, Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjahmada University Press. Pudentia. 2008. Ketika Peneliti Harus “Bercerita” tentang Tradisi Lisan. Dalam Pudentia (Ed) Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan. Reiter, Rosina Marquez. 2000. Linguistic Politeness in Britain and Uruguay: A contrastive Study of Request and Apologies. Philadelphia: John Benjamins Pub. Co. Romaine, Suzanne. 1995, Bilingualism (Second Edition) Oxford: Blackwell.
Rustono. 1999. Pokok-pokok Pragmatik. Semarang: CV. IKIP Semarang Press. Schriffin, D. 1994. Approaches to Discourse. Cambridge, MA: Blackwell Publishers. Sibarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal: Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta: ATL .
240
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sinar, Tengku Silvana. 2011. Kearifan Lokal Pantun Perkawinan Melayu Batubara. Medan USU Press.
Soenardjati, M. dan Cholisin. 1989. Konsep Dasar pendidikan Moral Pancasila. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta. Spradley, James P. 1980. Doing Participants Observation. Participants Observation. New York: Holt Rinehart and Winston. Sudaryanto, 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sukmasari, Fiony. 1983. Perkawinan Adat Minangkabau. Jakarta: Karya Indah. Van Dijk, T. 1961. Introduction: The Role of Discourse Analysis of Society. London: Academic Press. Vansina, Jan. 1961. De La Tradition Orale. Terjemahan oleh H.M. Wright. Oral Tradition: A stuy in Hostirical Methodology. London: Routledge& Kegan Paul. Watts, Richard J., Sachiko Ide, dan Konrad Ehlich. 2005. Introduction Politeness in Language. Richard Watts, Sachiko Ide, Konrad Ehlich (ed). New York: Mouton de Gruyter.
241
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sumber Hasil Penelitian Isman, Muhammad. 2017. Tradisi Batagak Pangulu di Minangkabau: Studi di Nagari Piobang, Kecamatan Payakumbuh, Kabupaten Lima Puluh Kota. Disertasi. Napitupulu, Selviana. 2013. Marhata dalam Upacara Adat Perkawinan Batak Toba. Disertasi. Sibarani, Tomson. 2008. Tindak Tutur dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Batak Toba. Tesis. Sriwulan, Wilma. 2014. Bundo Kanduang nan Gadang Basa Batuah: Kajian Talempong Bundo dalam Upacara Maanta Padi Saratuih di Nagari Singkarak, Minangkabau. Disertasi
242
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sumber Jurnal Arifin, Zainal. 2009. Dualitas Praktik Perkawinan Minangkabau. Humaniora Vol.21 hal. 150-161 Arifin, Zainal. 2013. Bundo Kanduang; (Hanya) Pemimpin di Rumah (Gadang). Antropologi Indonesia Vol. 34. No.2 hal 124-134. Moeleca, Bunga. 2015. Konstruksi Makna “Bajapuik” pada Pernikahan bagi Perempuan Pariaman di kecamatan Pasir Penyu. Jom FISIP Vol.2 No. 1 hal 1-14. Rozelin, Diana. 2011. Nilai Budaya dalam Ungkapan Minangkabau; Kajian Persfektif Antropologi Linguistik Karya Oktavianus. Nazharat Vol. X No. 21 hal. 105-124 Sibarani, Robert. 2015. Pendekatan Antropinguistik Terhadap kajian Tradisi Lisan. Ditulis oleh Robert Sibarani. RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 1 No. 1.
243
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sumber Daring
https://www.google.co.id Peta Provinsi Sumatera Barat https://www.google.co.id Peta Kabupaten Pariaman https://www.google.co.id Peta Kecamatan Sungai Geringging
244
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR ISTILAH
NO KATA ARTI
1 Adaik Adat 2 Aie air 3 Alek Pesta 4 Alim ulama Orang yang pandai dan memiliki pengetahuan yang luas dalam agama islam 5 Anak daro Pengantin perempuan 6 Baganti Berganti 7 Baju sapatagak Seperangkat pakaian yang digunakan marapulai dari kepala sampai ujung kaki 8 Baranjak Bergeser 9 Batuka Bertukar 10 Batimbang tando Acara tunangan, dalam hal ini adalah pertukaran tanda bahwa kedua belah pihak keluarga telah sepakat untuk meneruskan ketahapan selanjutnya. 11 Bundo kanduang Perempuan yang menjadi pimpinan dalam suatu keluarga 12 Bubuik Pindah 13 Buhua Ikatan 14 Cadiak pandai Orang yang dianggap pandai dan berwawasan luas 15 Carano Wadah tempat seperangkat sirih yang terbuat dari logam berwarna emas 16 Cupak Takaran beras 17 Darek Darat atau daerah asli Minangkabau 18 Dek Karena 19 Dianjak Dibuang 20 Dulamak Alas yang terbuat dari kain yang digunakan sebagai penutup sirih dalam carano 21 Eksogami matrilineal Perkawinan yang mewajibkan seseorang untuk kawin di luar klen atau sukunya. 22 Gadang Besar 23 Indak Tidak 24 Kato nan ampek Kata yang empat 25 Kato mandaki Kata mendaki: bertutur kepada orang yang lebih tua atau memiliki status sosial yang lebih tinggi 26 Kato malereang Kata melereng: bertutur kepada orang yang disegani, dalam hal ini adalah orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan karena perkawinan 27 Kato manurun Kata menurun: bertutur kepada orang yang lebih muda atau memiliki status sosial yang lebih rendah
245
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
28 Kato mandata Kata mendatar: bertutur kepada orang yang seusia. 29 Kapalo mudo Orang yang ditunjuk sebagai kepala rombongan untuk menjemput marapulai 30 Kinship Kekerabatan 31 Kolektifisme Paham yang lebih mementingkankebersamaan di dalam kelompok 32 Komunalisme Paham yang lebih mementingkan kelompok 33 Mamak rumah Laki-laki yang dituakan dalam rumah. 34 Mamakai Memakai 35 Maminang Meminang, dalam hal ini pihak keluarga perempuan akan datang kepada keluarga jejaka untuk meminta apakah bersedia menikah dengan anak kemanakannya (perempuan). 36 Mangato Berkata 37 Manjadi Menjadi 38 Manghanta Menghantar 39 Manjalang Berkunjung, dalam hal ini pengantin yang telah sah menjadi suami isteri akan berkunjung ke rumah orang tua marapulai dengan membawa makanan. 40 Manjapuik Menjemput 41 Marapulai Pengantin laki-laki 42 Maso Masa 43 Matrilineal Mengambil aris keturunan dari ibu 44 Matrilokal Suami bermukin di kediaman isteri 45 Manyilau Mencari tahu, dalam hal ini dengan melakukan penjajakan kepada jejaka yang sudah memasuki usia pernikahan 46 Musim Musim 47 Nagari Desa 48 Nan Yang 49 Ninik mamak Beberapa orang panghulu yang berasal dari bebarapa kaum atau klan yang ada dalam suku- suku Minangkabau 50 Pandam pakuburan Tanah kuburan (area pemakaman) 51 Paneh Panas 52 Panghulu Pemangku adat yang memiliki gelar 53 Pasambahan Pidato adat 54 Pasisia Pesisir atau daerah sepanjang pantai 55 Pasumandan Perempuan yang mendampingi marapulai ketika mendatangi kediaman anak daro 56 Performansi Bentuk suatu kegiatan 57 Rantau Perantauan 58 Rumah gadang Rumah besar 59 Sakali Sekali
246
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
60 Sambah Pernyataan hormat yang disampaikan dlam sebuah upacara adat 61 Sandi Asas 62 Si alek Tamu yang datang dalam acara 63 Si pangka Tuan rumah yang menyambut tamu 64 Sintak Mati 65 Sirih Daun yang digunakan sebagai pembuka kata 66 Solidaritas Perasaan setia kawan 67 Suku Pembagian kelompok pada masyarakat Minangkabau yang diambil dari garis keturunan ibu. 68 Syarak Syariat 69 Tabir Kain bermotif dan bersulam emas yang memiliki variasi warna yang digunakan untuk menutup dinding. 70 Takambang Terkembang 71 Tapian Tepian (tempat mandi di sungai) 72 Taplak Alas yang terbuat dari kain yang dibentangkan untuk menempatkan makanan 73 Turun janjang Turun tangga, artinya seseorang yang keluar dari rumah untuk tinggal di rumah orang lain (isteri) 74 Uang japuik Uang yang diberikan oleh keluarga pengantin perempuan kepada pengantin laki-laki
247
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 1 IDENTITAS INFORMAN
1. Nama : Zaimansyur Anis Umur : 51 Tahun Pekerjaan : PNS Alamat : Jalan Durian Lilin
2. Nama : Syarif Abdullah Umur : 61 Tahun Pekerjaan : Petani Alamat : Jalan Raya Sungai Geringging
3. Nama : Jon Hendri Umur : 47 Tahun Pekerjaan : Petani (Kepala Lingkungan) Alamat : Jalan Raya Sungai Geringging
4. Nama : Julius Umur : 47 Tahun Pekerjaan : Guru SMP Alamat : Durian Lilin
5. Nama : Maihizarni Jambak Umur : 50 Tahun Perkerjaan : Ibu Rumah Tangga Alamat : Raya Malai
248
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 2
Daftar Pertanyaan Wawancara
1. Mengapa masyarakat di Sungai Geringging ini melaksanakan tradisi manjapuik marapulai? 2. Apa yang dilakukan jika tradisi ini tidak dilaksanakan? 3. Bagaimana bentuk tradisi manjapuik marapulai dulu nya dan sekarang? Apakah terdapat banyak perbedaan? 4. Bagaimana jika yang menikah ini adalah pasangan yang berbeda suku, daerah? Apakah tradisi ini masih dilakukan? 5. Apabila warga minang yang menikah tidak berada di Pariaman, apakah tradisi manjapuik marapulai ini tetap diberlakukan? 6. Kapan tradisi manjapuik marapulai ini umumnya dilakukan? 7. Biasanya manjapuik marapulai ini dilakukan oleh siapa saja? Dan apa peran masing-masing yang datang? 8. Apakah manjapuik marapulai ini dapat dilakukan hanya dengan membawa uang saja? Bagaimana dengan bingkisan yang lainnya? 9. Apakah pasambahan ini hanya dilakukan di acara manjapuik marapulai saja? Bagaimana dengan tahapan acara perkawinan lainnya? 10. Apakah tradisi manjapuik marapulai ini telah mengalami perubahan? Jika iya, di bagian mananya? 11. Siapakah yang berhak untuk melakukan pasambahan ini? 12. Apakah pasambahan yang dilakukan selalu sama dalam setiap acara manjapuik marapulai? 13. Apakah anak muda diikut sertakan dalam acara manjapuik marapulai ini? Apa fungsi mereka? 14. Bagaimana sikap mereka (anak muda) dalam menyaksikan acara manjapuik marapulai tersebut? 15. Apakah setiap pemuda Minangkabau mampu untuk melakukan pasambahan ini?
249
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
16. Bagaimana cara menarik minat pemuda untuk mampu melakukan pasambahan ini? 17. Menurut bapak/ ibu apakah yang seharusnya dilakukan agar tradisi ini tidak mengalami perubahan? 18. Apakah pemuka adat memiliki peran dalam sistem pewarisan tradisi ini? Apa yang telah dilakukan oleh mereka? 19. Menurut bapak/ ibu sebaiknya apa yang harus kita lakukan agar tradisi manjapuik marapulai ini tidak mengalami perubahan kearah yang lebih instan dan praktis? 20. Apakah langkah-langkah yang harus dilakukan agar tradisi ini tetap terus berjalan?
250
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 3 Alur Pasambahan Tradisi Manjapuik Marapulai
Si alek Jadilah da nang, Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh, Si pangka sungguah pun da nang, Si alek Da yon, da yon.. Danang.. kok sungguah pun da nang nan maimbau artie sagalo salam mamilih jo mananti sungguah diambo tarabiak parundiangan kolah saiyo samufakek lo kami yang datang dari parawak tadi Si pangka Bana Si alek Iyo ambo maanta sampai kokindak tabilang pano galak pabilang sagalo ko parundingan, rila jomaaf ambo mintak salam dek Si pangka dimuliakan. Si alek Iyo… Manuruik pasa nan biaso da yon biaso bukik tumpuan kabuik, lurah tumpuan aia, pantai labuhan ombak, kato dibanakan parundiangan diikuikkan. Di Parundiangan rundiang ka dakek da yon yang di parundiangan di ambo kini ko dek karena dari jauah kami lah datang, dakek lah bajawek salam, lah babaok ka jorong ka dudukan. kok arah ka jelah lapeh paluah dikaniang pun lah kariang, rokok sabatanglah habih pulo. Ba a kiniko dayon di gisi-gisi nan basamuik dek iyo pasediti dek jauh balampiah, barek ka nan ringan sampe karajo nan barangsua. Si pangka Bana Si alek Baru ka ado yang takana dihati takilek-kilek dipikiran, dek manyabuik kato nan bana manampuah jalan nan luruih malaba tujuan jo makasuik. Satulah bulek kato ka disabuik ganok kaduo balun, sakian rundiang dulu dayon ah…. Si pangka Baitu..? Si alek Yo… da yon Si pangka Artie dimulai baitu, di partamo dak…? Si alek Iyo.. Si pangka Lakuang ko batinju kalam ka basigi, tantang silang si pangka Si alek Iyo.. Si pangka Ba a tadilah tabaokan dek si jon tapak itiak, Si alek Iyo Si pangka Tapak itiak Si alek Yo Si pangka Tantu yo bateh nagari bapaga Si alek Batuah Si pangka Bapaga langsuang ba jam gadang Si alek Iyo Si pangka Dalam barek jo balabiah cupak jo gantang tantu di lingkung adaik jo pasuko Si alek Iyo Si pangka Anao jo komerek siriah basusun yang ka di kambuik nan tungga ketek
251
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kato kabajawek indak ka babalikan. Si alek Iyo Si pangka Diambo bantuak itu lo, tantang jo lakuang sahinggo kato dak cukuik kito cukuikan jo dek karano lah jaleh bapicik di ambo Si alek Batuah Si pangka Gunuang tutuik dek kabuik Si alek Iyo Si pangka sungguah pun dek itu tantang lakuang ko batinjau kalam basigi. nan ambo memutuihan di dalam ko kan bantuak itu saikua kan panjang, sakarekkan panjang jon? Si alek Iyo Si pangka dak ka ambo tinjau di dalam ko do kato dak cukuik yo dek e cu Si alek iyo Si pangka Ko namo e matilah tantu kubua e, hilang tantu muaro lah e lah ah..ah lah jaleh muaro e hilang tantu kubua e, sampelah tantang yang kaduo Si alek Yo Si pangka Yang kaduo, saikua kan panjang, sakarek kan banyak Si alek Yo Si pangka Alah sampai hati, lah sanang hati si jon? Si alek Sampai da nang Si pangka Bana Si alek ba a rupoe dek pintak lah buliah kandak laku sajuah hati sanang juo loh bakato lah ha Si pangka yo Si alek da yon ah.. kok ado dak ambo tambah lo baliak.. da yon Si pangka yo Si alek dayon jo ambo imbau artie ko tadi tantang tabukak kato dek dayon alah balapangan baa rupo kini da yon, ado jo yang takana dihati takilek-kilek difikiran, takkalo kito ka barundiang da yon diparapek di pasamo di muko medan basijilih di lingkung adaik jo pusako jikok manuruik sarancaknyo kan yo dak tabaokan sapanjang taratik manjilid baleh lo.. nak Si pangka bana Si alek kok taratik kalo samo kito pakai ko malah rupoe tantang itu dibuek. Lah manlucuik nan duo taangkuik palo sapuluah di angkek tangan sambah manyambah, di namuahan di sinan rundiang mako kelok, baa kini da yon sarik batenggang dek nan indak suko bagalisau lah sampai kato dari kami ka baitu basuo juo dek undang-undang mangatuon kampuang paneh, kampuang takuruang di baliak kampung sungai rotan, hujan paneh dapek balinduang sukar dak kama kiro-kiro di adokkan. nan kini da yon kato sajo nan ka ambo anta sampai parundingan sajo yang ka ambo sabuik ba a tahantak di ringan tangan wakato kito barundiang barek sumbayang kok waktu kok makan ko, katiko dima kiniko dima kini kok lai ka balaluan. Sakian dulu da jon a. Si pangka yo jon.. baciek kaduo laluan, kadua lalu batu e
252
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Si alek iyo Si pangka dek bajalan nan salakuang sampe mancancang sapokok putuih Si alek yo Si pangka di dalam tu tantu dak basurang, ado mamak urang ciek lai yang tabaok di ambo siko ncu Si alek yo Si pangka di ciek kaduo ko kaduo ncu tantang sambah bana ncu, ba a pandapek ncu, ncu? (………….tidak jelas) ambo pulang ka pangka e ncu, jon? main Si alek capek se kito jon ? Si pangka Yo da yon tantang jo sambah jon di ciek kaduo, lah baduo duduak basimpuah baselo katak barundiang waktu pun ta susun jadi tarenjeang tangan siko taangkek sambah Si alek yo Si pangka siko rundiang mangko bahelo Si alek yo Si pangka mahelo dek nan salasai manyuruak di nan tanang aia janiah.. landai Si alek yo Si pangka barabuik..rundiang kaja manutuik kapalo siko bana mangko tanang Si alek yo Si pangka kito baok bana ko kito kabek jo lah jon? Si alek Yo Si pangka tantang kampuang parek kampuang takuruang ka tigo kampuang sabananyo Si alek yo Si pangka hujan jo paneh dek si jon tampek balinduang suko nan kamano suku kito simpan babaik sumbayang waktu makan wak katiko Si alek yo Si pangka sagitu jon Si alek yo Si pangka sinan kito baokkan Si alek yo.. sampai da nang Si pangka sampai Si alek artie alah baagiah kandek ambo yoh ? Si pangka bana Si alek samo-samo kito pulangan ka nan tau dek karano iyo bana dayon...lapeh...lapa sato dimintak sado dapek sato bakandak sado buliah, artie diambo dak pakai sambah di da yon dak lo basambah samo-samo kito pulangan se ka nan tau da yon ah., barundiang ambo sabanta da yon ah (….berunding…..) Si pangka (menyiapkan makanan) Si alek ee da yon yo jon sapanjang barundiangan batangah da yon ah dari satu sampe kaduo, duo sampe katigo ibarek urang naik janjang tantu satingkek ka
253
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
satingkek kiniko ambo tapak tingkek nan katigo artie tantang duo perkaro tadi ko nan partama tantang pambuka kato ka dayon lah balapangan kok ka hilie tantu rimboe, kamudiak tantu hulue, yang kaduo tantang saracik sambah lah bakarilahan pulo tarimo baliak, ba a lai kini da yon kok talakak putiang dulu di bawah kumpulan kali takalok maso nan dulu tigo timbago nan tajadi Si pangka bana Si alek kok nan partamo baso jo basi, kaduo sambah manyambah , katigo siriah jo pinang Si pangka bana Si alek basa jo basi kabasabuik dari jauah kami lah datang, dakek lah bajawek salam lah tabaok ka jorong ka duduakan Si pangka bana Si alek kok sambah manyambah ka disabuik ambo lah bakiro urang... baa tata siriah jo pinang siriah sakapuah nan alun masak. dek karano labiah capek kakilah ringan tangan anak mudo matah na di mudiak manganta siriah ka gagang nyo mangukua pinang ka tampuanyo mancukia nan lai. ka pasa nan rami lalu dibalian kampia sirih. Kampiah siriah di tapi dianta katangah, kahadapan angku-angku ninik mamak, iman katik, pegawai-pegawai, urang sumando, sarato jo pemuda. Umumnya sigalo silang sipangka karajo nan bapokok khususnya kapado sanak famili nan mananti, melalui permintaan malah kami da yon kok siriah di cabiak pinang digatok sada di baliah gambia di putuih santuang di jujuih dimasaan siriah kami sakapua. Surang lah habih sakapuih elok bana dima ela angek sinan api padam de e sakian rundiang dulu dayon Si pangka jon Si alek yo dayon Si pangka ba a kecek urang pasia badanga tantu ombak ka bacaliak atau carito dikamukokan dulu jon atau rundiang kito baok dulu? Si alek artie... diambo batarimo suko jo nyo da yon Si pangka bantuak itu batarimo suku? Si alek Yo Si pangka kito tadi taruian se bajalan bacapek kaki sekini Si alek yo Si pangka artie tantang padi merah tadi tantang padi putuih tadi Si alek yo Si pangka tantang di sambah jo kampiah siriah Si alek yo Si pangka ba a disanak tasurulah nan mudo matah dek si jon Si alek yo Si pangka pai anak ambiak sirih ka gagang malapeh pinang ka tampuak siriah dapek pinang tabaok mangko dilimo jo dunsanak nan mudo menbanta mamutiah lai bantiang masuk kalamuan... manuju pulau kasan siriah baguluang baguntiang talatak jalan ka ranun batadah batetampah balingka jo air dek pinang Si alek yo
254
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Si pangka barek iliah kan sawah dihilia mudiakkan sawah balolong maniti di pamatang panjang Si alek yo Si pangka aia mangganang dalam peti manantang nan tampak nan yang tajadi Si alek iyo Si pangka ba a dek si jon bajalan ba buah hati malenggang babuah tangan mambaok siriah salangkok kok dah cukuik beko..... salasai jon Si alek yo Si pangka nan kadua tantu tantang siriah masak tigo parkaro Si alek yo Si pangka yang partamo tantu masak bamakan nan kaduo masak dimangka masak jo parundiangan kok dari ambo bantuik itu jon Si alek yo Si pangka siriah dicabik pinang digatok sadah di palih tantu sentu di jujuik. siriah dah ka mungkin ka hijau lai do jon Si alek yo Si pangka nan pinang da ka kuniang do Si alek bana Si pangka sadah dak rupo coklat Si alek yo Si pangka dak ka coklat lai sadah tak lupo jo putiah e yo tantu didalam ko kandak ka ba agian pintak tantu iyo bapalakuan Si alek bana Si pangka nan bana ah mambaok banang bana, bandiang luruih nan kabapiliah Si alek yo Si pangka kito kabek lah bana ko tapi nan istirahat kito sabanta nak baiyo ambo jo apak surang lai ko a Si alek sampai da yon a Si pangka bana…. di ambo buliah pintak buliah kandak ka balaku insya allah kabalapangan (…… memeriksa……) ncu.... pasia badanga ombak batele ncu.... mamak urang mamintah awak mangecek awak lapangan jalan kapatang iko. Iko dek tantu dek karano ado adiak-adiak urang nan turun ka itu. Baa jon? Si alek yo da yon Si pangka dek karana pasia longah sumbah... ateh ombak lah bacaliak tantu tantang dek siriah tadi Si alek yo Si pangka a kato awak tadi, koq siriah bacabiak, pinang digatok, sentul dijujuik, tantang masak siriah tantu iyo tigo perkaro. Tasuruah nan tadulu tadi. Si alek Yo Si pangka Diambo ateh lah bacalik jon, baa diulang kato tadi tantang jo sambah kandak ka ambo agia pintak bapalakuan Si alek Hmmm Si pangka kok balakuan di ambo tantu lah ambo caliak Si alek yo
255
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Si pangka di ambo dak bajadi tanjuang babalik jalan dak baliku do jon Si alek yo Si pangka dek karano lah sagalo, artie ibaraik tabang buruang kama dek si jon. kok tabang dek sanjo bakambang baiyo tabang bagaluah dek siko tantu si jon di ambo maraso lalu sarempah sarimbun sacukuik salangkok e kok santiang tantu kito bileh lamak kito tau e Si alek yo Si pangka kok dah cukuip lah umpamo cukuik Si alek bana Si pangka kalau manuruik ambo taimbau si jon sekali di ambo sifek kapalo mudo namoe Si alek yo Si pangka gunuang tumpuan dek kabuik tagak batanang gadang bakalambuak muko pase kelo p nilian? Tapi kok gadang namoe dek sinan basuluh dek batinggi ka kelo batambak banyak Si alek iyo Si pangka yo helo pusek jalo dek si jon namo e Si alek yo Si pangka nan taimbo diambo siko si jon tantu sipek raso mudo lalu nan datang tantu pa ibo mananti Si alek yo Si pangka kasiah datang, sayang nan mananti Si alek yo Si pangka kok datang dek siriah si jon, diambo dak ado siriah do. Nan ado diambo kok rokok ambo agak sabatang. Kok alah habiy nan sabatang elok bana. Nan kato beko kandak ka baagiah. Pintak tu balakuan. Tantang jo siriah tadi. Masak tigo perkaro. Pinang….. saincek, saikua, sabuah, kan bantuak itu nak nyo? Si alek Yo Si pangka Alah masak siriah si jon ko mah. Si alek Alah masak Si pangka bana Si alek artie dek siriah alah masak tantang parkaro kok siriah lah tibo siriah mananti dek kini dek dayon siriah tibo rokok mananti siriah kami lah siriah da yon, rokok da yon rokok kami Si pangka yo tu jon Si alek yo kito pulang artie dek lah masak parundiangan ko ah tarimo kasih banyak da Si pangka yo kok namo e marengek kito palih manitih kito tuai Si alek a yo a Si pangka kok dah bisa jo talapak tangan tantu jo ...... jon Si alek yo tu, tarimo kasih banyak da Si pangka lah masak kue si jon, sado yang simpel je lah kandek karano kito dak banyakkan. Minumlah aia tu dulu diak Si alek yo Si pangka beko kito sambuang diciek kaduo lah baku nan tigo tantu ado
256
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
mukasuk ba a kecek urang bukan daun kanan sajo daun bacampua jo daun talang bukan dusanah ambo yang bisa kami sajo gadang basuo bajalang lah jon Si alek yo da yon Si pangka ba a kecek urang buriah disipendi merah sajo baiak budi yo basi dek sagalo yang nampak namoe tantu kilek galiung lah bakaki, kilek caminlah kamuko. Nan diambo baitu pulo minumlah aia sagalo nan talatah dek karano kito istirahat beko kan ambo agiah pintak bapalakuan sagalo nan dapek. (……Makan…….) (….. selepas makan) Si alek Mati tantu rimboe hilang tantu mati tantu kubue hilang tantu rimboe Si pangka Bana Si alek kiniko dayon ambo tawiah loh rancana nan ka ampek artie dek na ka ampek ho tujuan jo mukasuik, tujuan jo mukasuik kami nan datang dari padang bibiriak tadi kamari artie tuk manapeki padang nan di ukua janji nan diarek baa lato-kato urang rimbun rampak karambiak pagai ditanam sutan diateh munggu, bulan tampak janji lah sampai kami manapeki janji nan dulu Si pangka bana Si alek kalau kalau janji nan dulu artie manjapuik marapulai nan banamo sudarno Si pangka Satria Perdana Si alek Satria Perdana nak kami nikahkan beko jo sanak kamanakan kami nan dimudiak banamo suci nurul hidayati sagalo pajanjian karam buatan kito nan dulu tu lah dibantang kok di caliak tampak diesek taraso tulah bantuaknyo e danang kok pintakbuliah kandak balaku sungguah pun marapulai nan ambo japuk cukuik jo urang mudo jo urang mampu lai samo sekali jo sumandan e, sakian dulu danang. Si pangka baitu jon Si alek Yo Si pangka Kok dek ciek ka duo lah baku bantuak nan tigo kito pacik arek taguah kajang nan kito buek. Si alek Yo Si pangka nan kaduo tantu bahkan daun kanari sajo dek sarupo jo daun talang Si alek yo Si pangka Bukan si jon kamari sajo sadang mukasuik ka manjalang (menangis). A nan kiniko yo anak awak kabajapuik jon nan ambo kito jo ayah induak lapeh anak tantu lapeh bana indak nan ambo sangaik. Namoe kandak ka baagiah pintak kabalakuan janji buek padang na maukua jon Si alek Yo Si pangka sayang jo anak sapanjang jalan jon mungkin anak si jon kabantuak itu lo nantinyo nan kaduo sagala nan tabuek wakatu itu janji nan dipadang padang nan bakua, lah tabaok di sijon kini tantu diliek tampak di esek taraso jon
257
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Si alek yo Si pangka kok panjang gadang jo pendek e dari kalam lah tabuek dari kini lah ambo caliak. Ka sia ambo ka baiyo, siapo nan ikuik alun tibo lai. Jadi kok balapangan kini namoe jon den sijon la tabaok hari kini tabaok marapulai jo induak – induak sakali hari kini. Si alek Yo Si pangka Diambo bantuak itu lo jon sagalo dak bapanjang etong lambek namoe karajo si jon banyak disitu ambo pasingke se lah kiniko ambo caliakan ka induak e tantang jo nan tabuek buatan sewa sagalo macam jo jas sipatu ala di dalam ko jon? Si alek Yo Si pangka tapi dek karajo ko anu dek induak silahkan caliak dulu ba a kecek urang tantu ameh babilang Si alek yo Si pangka pitih nan babilang ameh han ba bongkah mananti si jon sabanta tu jon. insyaallah pintak kok buliah kandak kabalaku Taruiahan jo lai ef. Yo bantuak itu lo jon lambek lago lai ka manang dek karano sakali dayung di angkuah duo tigo pulau talampaui Si alek Yo Si pangka hari kini la tibo urang sumando Si alek yo Si pangka kato urang sumandan, mananti agak beko sabanta dek karano kito barek bajalan bantuak samuik bairiang Si alek yo Si pangka nak tau lo disitu jo panjang pendek e lai ba mamak lai ba apak nyo ka mananti lah si jon tantang jo kiro bataguah janji batapek yo lah batapeki kini sagalo kandak ba agiah pintak ka bapalakuan lah cocok kito ko mah alah ambo caliak jatuah perasaan jo nan lun bacaliak lah cukuik mah Si alek artie Si pangka Lah buliah kito baok marapulai tapi manunggu si jon sagalo andan jo sumandan mungkin manueh dak sakali ameh mancancang dak sakali putih nan namoe awak pakai sumandan tantu bakal bakameh nyo dulu artie jo sumandan kok balun lakek bana bapakaian tak nan lakoh ujuang karatan simpang hari kini taak tabaok Si alek bana Si pangka Anak ambo turun jo salawek kini ko jon dek karano tukang salawek lah di siko. alah ba panuah yo han ampek kandak si jon mah lah sanang hati si jon tu? Si alek yo lah artie lah balapangan kandak labuliah pintak balaku. Tu lah da nang sapanjang kito tadi barundiang, ambo mungkin mudo matah mungkin ado giweh jo hilafah salah ambo jo sanggah maklumlah awak nan hidupko dak ado nan taparonoh indak ado gadiang han dak ratak, baa kecek-kecek urang kami ateh namoe rombongan nan datang dari padang babiriak tadi, mamintak badunsanak disisko kira jo maaf
258
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
yang sabasar basarnyo tantang giwah jo gaweh jon kato nan ampek banang nan limo tadorong gading dek gajah. Tantu maaf ambo bapilar ka nan satu. Nan ka duo kito enjeng babuhua aia Si pangka yo Si alek tantu kito tabang jo angin lalu. Diambo bantuak itu lo, datang dak ta sonsong duduak dak duduak pado tampek e indak tasalam dek sanak nan lain hari kini kito putih hati baka dan putuih kapek bacaliakan tantu kito pulangan ka nan satu. Dek kalau manuruik ambo mukasuik sampai jama lah pacah jon lah sabana pacah. tarimokasih banyak danang ak lah samo – samo balapangan. Si pangka Tu lah dek karano sinan karajo banyak ka di awai Si alek di situ dek banyak karajo tantu kami ka ma...mungkin ka pai ka mudiak lai tuak maagih kaba dusanak yang dimudiak Si pangka jadi Si alek ka urang nan tibo jo rombongan Si pangka bantuak itu lah jon sagalo nan talatak kilek baliung kaki kurek kini marasago bayok unde indak baso kinyamlah caguik lah aia agak sadaguak surang, sagalo nan talatak. Kilek baliung nan ka kaki kulek camin nan ka muko. Awal e dek sijon dek karano rancak bongka lah sauah, kalo tambuak ka mampan ambo capek jao ambo bueknyo. Pacik nahkudo di awak mato ambo kini ko dek si jon paciek kok dipaciakan kini ko kito dah manunggu halabai do. Si alek dan si Bismillahirrahmanirrahim pangka
259
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA