DISERTASI

REPRODUKSI SIMBOLIK INOM DALAM STRUKTUR BUDAYA ORANG DANI DI LEMBAH BALIEM, JAYAWIJAYA

INOM SYMBOLIC REPRODUCTION IN DANINESE CULTURAL STRUCTURE IN BALIEM VALLEY, JAYAWIJAYA

Disampaikan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mendapatkan Gelar Doktor Pada Program Studi Antropologi

Oleh : GERDHA K.I. NUMBERY P0900312405

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS HASANUDDIN Makassar, 2018

KATA PENGANTAR

Puji syukur yang tak terhingga kupanjatkan kepada Tuhan Allah atas anugrah dan pertolonganNya menyertai perjalanan studi hingga di akhir penulisan disertasi ini. Disertasi yang berjudul Reproduksi Simbolik Inom Dalam Struktur Budaya orang Dani Di Lembah Baliem, Jayawijaya telah menjadi suatu karya studi yang dicapai dengan perjuangan yang panjang dan menjadi suatu pengalaman berharga dalam mermaknai proses perjalanan hidup saya. .Ketika memulai studi di Program Pascasarjana FISIP Unhas ini, berbagai tahapan telah dilalui, kuliah tatap muka, penulisan proposal, ujian kualifikasi, ujian proposal, hasil penelitian dan penulisan naskah disertasi merupakan suatu proses tuntutan kegiatan akedemik yang ketat, berbagai tantangan dan suka-duka pun menjadi bagian dalam proses ini namun semuanya dapat dilalui dengan baik. Untuk itu pertama-tama saya memberi apresiasi kepada teman-teman seperjuanganku, mahasiswa S3 antropologi Unhas angkatan 2012 yang telah dipromosikan gelar doktoralnya, Pa Yahya, Pa Laode, Pa Asyer, Ibu Ivon dan Ibu Yuli, terima kasih untuk kebersamaannya, telah berbagi pengetahuan dan memberikan motivasi untuk menyelesaikan studi ini. Penyelesaian disertasi ini tentunya tidak berarti sama sekali jika hanya mengandalkan kemampuan diri sendiri. Lewat pertolongan Tuhan bantuan dari berbagai pihak telah memberikan dukungan yang optimal. Untuk itu pada kesempatan ini, ungkapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya penulis menyampaikan kepada : Bapak Prof. Dr. H Pawennari Hijjang, MA selaku Promotor dan Bapak Dr. Johoszua R. Mansoben, MA dan Dr. Munsi Lampe, MA selaku Ko-Promotor, yang penuh kesabaran dan ketulusan hati telah meluangkan waktu membimbing penulis dalam menyelesaikan disertasi ini. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga kepada Tim Penguji/Penilai, Bapak Prof. Mahmud Tang, MA, Bapak Prof. Dr. M. Yamin Sani, MS, Bapak Dr.

v

Enos Rumansara, M.Si dan Bapak Dr. Tasrifin Tahara, M.Si yang dengan penuh kesabaran dan ketulusan hati telah meluangkan waktu memberikan bimbingan dan saran yang konstruktif untuk menyempurkan disertasi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada para dosen atas bimbingan dan pengetahuan yang diberikan selama mengikuti perkuliahan di Program S3 Antropologi FISIP Unhas. Kepada Bapak Prof. Hamka Naping, MA, Bapak Prof.Dr. Supriadi Hamdat, MA, Ibu Prof. Nurul Ilmi Idrus, Ph.D, Prof Dr. Darmawan Salman, M.Si, Bapak Prof. Dr. Dadang Ahmad Suriatmiharja, M.Eng, Dr. Moh. Basir, MA, dan Dr. Anshar, M.Si Demikian capaian ini menjadi bagian dari dukungan struktural dan kepedulian empatik banyak pihak dan berkenan penulis menyampaikan ucapan terima kasih.: 1. Rektor Universitas Hasanuddin Makassar, Prof. Dr. Dwia Ariestina Pulubuhu, MA yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi di Universitas kebanggaan kita bersama. 2. Direkturr Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin beserta asisten Direktur I, II, dan III. 3. Dekan FISIP Universitas Hasanuddin, Bapak Prof. Dr. Andi Alimuddin Unde, M.Si 4. Ketua Program Studi S3 Antropologi FISIP Universitas Hasanuddin, Bapak Prof. Dr. H. Pawenarri Hijjang, MA, selaku Ketua Tim Promotor ku, yang selalu mengkomunikasikan hal-hal berkaitan dengan proses perkuliahanku. 5. Bapak-Ibu staf administrasi yang telah melayani ku sepanjang proses penyelesaian studi ini; bapak Muhammad Idris, Bapak Irman Dardy, Bapak Yunus, Ibu Muassirah, Ibu Kasmawati, Ibu Darma, Ibu Ima, Ibu Rosmina dan Bapak Ismail. Tak lupa juga, kepada Bapak Andi Lukman yang menyisihkan waktu menfasilitasi pengurusan jurnal. 6. Rektor Universitas Cenderawasih , Dr. Onesimus Sahuleka, SH, MH yang telah memberikan kesempatan dan dorongan kepada

vi

penulis untuk melanjutkan studi pada jenjang S3 di Universitas Hasanuddin Makassar. 7. Dekan FISIP Uncen Bapak Dr. Septinus Saa, M.Si yang telah memberikan izin untuk melanjutkan Studi S3 di Universitas Hasanuddin Makassar. 8. Ketua Jurusan Antropologi Uncen dan rekan-rekan sekerja, Ibu Dr. Marlina Flasy, Bapak Dr. S. Abdi Frank, M.Si, Bapak Drs. Frans Apomfires, M.Si, Bapak Andi Rumbiak, M.Si, Bapak Agus Samori, M.Si, Bapak Agus Wenehen, M.Hum, Bapak Dr. Akmad Kadir, M.Hum, Ibu Dr. Ivonne Poli, M.Si,Ibu Dr.Lenny Manalip, M.Si, dan Adik Emillie Mansoben, Christin Sanggenafa dan Simson M, yang senantiasa memotivasi saya dalam menyelesaikan studi ini. 9. Bupati Kabupaten Jayawijaya, Bapak John Wempi Wetipo yang telah memberikan rekomendasi untuk melaksanakan penelitian di wilayah Lembah Baliem. 10. Kepala Distrik Kurulu, Bapak Yuda Dabi, S.Sos yang telah memberikan izin melaksanakan penelitian di Kurulu, Jayawijaya. 11. Pengelolah kampung wisata Sompaima, Bapak Yonas Mabel, Bapak Ananias Mabel dan warga kampung Jiwika Bapak N. Sorabut, Kepala kampung Jiwika Ibu H. Logo dan Sekretaris Kampung Jiwika Bapak Daven Dabi. Bapak dan Ibu Liberius Mabel, Bapak dan Ibu Linus Oaigai dan warga Kurulu yang telah melayani penulis selama melaksanakan penelitian. 12. Adik Niko Asso dan Selvi Yeimo, sebagai rekan kerja selama melaksanakan penelitian di Kurulu. Keterlibatan adik berdua sangat membantu penulis dalam proses pengumpulan data di lapangan. Akhirnya kebahagian ini juga merupakan bagian dari refleksi pengorbanan orang-orang yang telah menyatu dalam kehidupan penulis Peran dan dukungan dari orang-orang tercinta, yaitu orang tuaku, bapa tersayang Alex Numberi (Alm), dan mama tersayang F Wanenda yang senantiasa mendoakan perjalanan studi ini. Kaka tersayang (Alm), Seppy

vii

Numberi yang tidak sempat menyaksikan kebahagiaanku. Kedua adik ku, Mama Beth, Om Yes dan juga Mama Len, terima kasih banyak untuk bantuan doa dan dukungannya selama proses studi ini. Keponakan- keponakan ku, kaka Apin, Yen, Etos, terima kasih telah meringankan tanggung jawab ku yang ku tinggalkan selama mengikuti pendidikan ini. Untuk suamiku tercinta Frits Y Mambrasar, terima kasih banyak untuk kesabaran dan pengorbanannya. Kedua anakku tercinta, Laura Virginia Mambrasar dan Emmanuel Mambrasar, terima kasih untuk pengertiannya telah memberikan kesempatan kepada mama untuk melanjutkan studi ini. Akhirnya atas segala bantuan dari semua pihak yang telah diberikan kepada saya, kiranya Tuhan Sumber Berkat senantiasa menyertai dan memberkati kehidupan bapak/ibu. Amin.

Makassar, 23 Januari 2018

Gerdha K. I. Numbery

viii

ix

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ………………………………………………….. i HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………… ii ABSTRAK …………………………………………………………….. iii ABSTRACT …………………………………………………………... iv KATA PENGANTAR ………………………………………………… v DAFTAR ISI ………………………………………………………….. ix DAFTAR TABEL …………………………………………………….. xii DAFTAR GAMBAR ………………………………………………….. xiii

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………… 1 1.1 Latar Belakang Masalah ……………………….. 1 1.2 Masalah Penelitian ……………………………... 15 1.3 Pertanyaan Penelitian ………………………….. 18 1.4 Tujuan Penelitian ……………………………….. 18 1.5 Manfaat Penelitian …………………………….. 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEP …. 21 2.1 Tinjauan Pustaka ……………………………….. 21 2.1.1 Penelitian Sebelumnya ………………………… 21 2.1.2 Kajian Penelitian Perubahan dan Buku Teks .. 28 2.2 Kerangka Konsep ………………………………. 30 2.2.1 Struktur Budaya ………………………………… 30 2.2.2 Simbol ……………………………………………. 36 2.2.3 Reproduksi Kebudayaan ………………………. 39 2.2.4 Habitus dan Arena dari Bourdieu …………….. 42

ix

BAB III PROSES PENELITIAN ………………………………….. 48 3.1 Setting Penelitian ……………………………….. 48 3.2 Jenis Penelitin …………………………………... 49 3.3 Subyek Penelitian ………………………………. 51 3.4 Lokasi Penelitian ………………………………... 52 3.5 Waktu Penelitian ………………………………... 53 3.6 Teknik Pengumpulan Data …………………….. 53 3.7 Analisa Data …………………………………….. 56 3.8 Pengalaman Peneliti …………………………… 57

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN …………………….. 61 4.1 Lokasi dan Lingkungan Alam …………………. 61 4.2 Demografi ……………………………………….. 68 4.3 Sejarah Asal-Usul Orang Dani ………………... 73 4.4 Beberapa Aspek Budaya Orang Dani ………... 79 4.4.1 Pola Pemukiman Tradisonal …………………... 79 4.4.2 Sistem Mata Pencaharian Hidup ……………… 94 4.4.3 Sistem Kekerabatan ……………………………. 102 4.4.4 Sistem Perkawinan ……………………………... 114 4.4.5 Sistem Kepemimpinan …………………………. 120 4.4.6 Sistem Perang …………………………………... 126 4.4.7 Sistem Religi …………………………………….. 129

BAB V INOM : KEBERADAAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN 146 DALAM STRUKTUR BUDAYA ORANG DANI ………... 5.1 Struktur Simbolik Dunia Laki-laki dan Perempuan dalam Kebudayaan Orang Dani … 147 5.1.1 Ruang Kosmologi ………………………………. 147 5.1.2 Ruang Silimo ……………………………………. 157 5.1.3 Ruang Berladang Tradisonal ………………….. 164 5.1.4 Kelompok Klen Senior …………………………. 170

x

5.1.5 Kepemimpinan Adat ……………………………. 174 5.1.6 Benda-benda Perang …………………………... 179 5.2 Transformasi Budaya Orang Dani Melalui Struktur Inom ……………………………………. 185

BAB VI PERJUMPAAN DENGAN ORANG LUAR DAN 194 PERUBAHAN STRUKTUR BUDAYA ORANG DANI … 6.1 Aksesibilitas Dunia Luar : Perjumpaan Awal Orang Dani Dengan Dunia Luar ……………… 195 6.1.1 Ekspedisi Bangsa Eropa Dan Pertemuannya Dengan Orang Dani ……………………………. 196 6.1.2 Kontak Intensif Orang Dani Lewat Missionaris dan Lembaga Pemerintahan Belanda ……….. 204 6.1.3 Integrasi Orang Papua (Orang Dani) ke Negara Kesatuan Republik Indonesia ……….. 210 6.2 Kompleksitas Budaya : Dinamika Realita Kehidupan Orang Dani Dalam Konteks Perubahan Struktur Budaya …………………… 220 6.2.1 Silimo Hingga Rumah Modern : Bentuk Dan Pola Hunian Masyarakat Dani ………………… 221 6.2.2 Berladang Tradisonal dan Usaha Ekonomi Produktif …………………………………………. 261

BAB VII REPRODUKSI SIMBOLIK INOM : MEMAHAMI KEBERADAAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DALAM STRUKTUR BUDAYA ORANG DANI ………………….. 270 7.1 Ranah “Silimo” ………………………………….. 272 7.1.1 Honai Tamu ……………………………………... 277 7.1.2 Pondok Cenderamata ………………………….. 281 7.1.3 Pilamo Rumah Sehat …………………………... 283 7.1.4 Silimo Modern …………………………………… 285

xi

7.2 Ranah Ekonomi ………………………………… 287 7.2.1 Kebun Kopi ……………………………………… 288 7.2.2 Sawah Padi ……………………………………… 289

BAB VIII KESIMPULAN …………………………………………….. 294

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………. 298 GLOSARI ………………………………………………………………... 305

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1 Jumlah Kampung dan Luas Wilayah Berdasarkan Persebaran Distrik di Kabupaten Jayawijaya ………… 65 Tabel 4.2 Jumlah Penduduk dan Kepala Keluarga Berdasarkan Persebaran Distrik di Kabupaten Jayawijaya ………… 69 Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Menurut Pembagian Kampung di Distrik Kurulu …………………………………………….. 70 Tabel 4.4 Pengelompokan Klen-klen Berdasarkan Paroh Waiya dan Wita ………………………………………………….. 111 Tabel 5.1 Transformasi Fenomena Budaya dengan Struktur Inom ………………………………………………………. 186 Tabel 5.2 Transformasi Struktur Lahir ……………………………. 189

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 4.1 Peta Kabupaten Jayawijaya ……………………… 63

Gambar 4.2 Satuan Wilayah Komunitas Tradisonal Orang Dani di Lembah Baliem …………………………… 81 Gambar 4.3 Penataan Silimo : Pemukiman Tradisonal Orang Dani …………………………………………………. 87 Gambar 4.4 Kelompok Kekerabatan Orang Dani Baliem di Kurulu ……………………………………………….. 114 Gambar 5.1 Struktur di Balik Simbol Kosmologi ………………. 156

Gambar 5.2 Denah Silimo : Kompleks Tempat Tinggal Orang Dani …………………………………………………. 158 Gambar 5.3 Struktur di Balik Bentuk Silimo …………………… 163

Gambar 5.4 Struktur di Balik Kebun Tradisonal ………………. 169

Gambar 5.5 Struktur di Balik Kelompok Klen Senior …………. 173

Gambar 5.6 Struktur di Balik Kepemimpinan Adat ……………. 178

Gambar 5.7 Struktur di Balik Jenis Benda Perang ……………. 184

Gambar 5.8 Struktur Segitiga Inom Dalam Budaya Orang Dani 189

Gambar 6.1 Bentuk dan Posisi Pilamo dalam Silimo ………… 227

Gambar 6.2 Bentuk dan Posisi Ebe-ai, Hunila dan Wamdabu di dalam Silimo …………………………………….. 228 Gambar 6.3 Honai Tamu : Unit Bangunan Baru dalam Silimo di Kampung Sompaima, Kurulu ………………….. 234 Gambar 6.4 Ruang Honai Tamu pada Silimo Masyarakat …… 235

xiii

Gambar 6.5 Menggoreng dan Menghaluskan Kopi :Aktifitas Baru Laki-laki Dani di Kurulu ……………………... 236 Gambar 6.6 Hasil Olahan Kopi Arabika di Kampung Sompaima, Kurulu …………………………………. 237 Gambar 6.7 Pondok cendramata dalam Silimo di Kampung Sompaima, Kurulu …………………………………. 238 Gambar 6.8 Rumah ‘Sehat’ : Bentuk Pilamo Baru dalam Silimo Modifikasi di Kampung Kumima, Kurulu … 241 Gambar 6.9 Suasana dalam Pilamo Baru di Kampung Kumima, Kurulu ……………………………………. 242 Gambar 6.10 Hunila : Bentuk Dapur Baru pada Silimo ……….. 242

Gambar 6.11 Rumah Papan : Bentuk Rumah Modern di kampung Jiwika, Kurulu …………………………… 248 Gambar 6.12 Rumah Modern : Rumah Guru SD YPPK St Antonius di Kurulu …………………………………. 251 Gmbar 6.13 Rumah Modern : Pola Hunian Keluarga Batih Poligini Sebagai Bentuk Adaptasi di Lingkungan Sosial Budaya yang Baru ………………………… 254 Gambar 6.14 Dapur Tradisonal (Hunila) di Halaman Belakang Rumah Batu ………………………………………… 256 Gambar 6.15 Halaman Tengah (Bakte) ………………………… 25 7

Gambar 6.16 Kebun (Okutlu) dan Pagar (Leget) ………………. 257

Gambar 6.17 Sawah : Aktivitas Baru Laki-laki Dani ……………. 265

Gambar 6.18 Hasil Sawah siap dipanen ………………………… 265

Gambar 6.19 Mesin Olahan Batu Batu ………………………….. 268

Gambar 6.20 Hasil Olahan Batu Bata yang Siap Dijual ……….. 268

xiv

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Memulai karya ini terlintas dalam pikiran penulis tentang beberapa kutipan dari informan lokal (asal kebudayaan Dani Lembah) yang tercatat rapi dalam dokumen penelitian penulis terdahulu1. Di antaranya ada kutipan sebagai berikut :

“laki-laki sekarang tu…sudah malas bikin kebun, banyak kebun yang rusak, pagar kebun juga rusak; dorang (mereka/laki-laki orang Dani) itu suka jalan-jalan ke kota saja…., ada juga honai-honai yang sudah lama dan rusak, mereka lihat-lihat saja, mereka malas perbaiki; baru sekarang ini, orang senang buat rumah sehat saja tapi kalau orang- orang tua marah, baru mereka mau kerja honai…, mereka itu bukan lagi orang yang simpan adat” ( AD, Jiwika September 2009).

Begitu juga kutipan lainnya,

“anak…, kalau mama tidak pakai noken itu…, nanti mama malu karena orang-orang akan bicara mama. Mama-mama di sini itu kalau sudah kawin harus pakai noken. Kalau pakai noken itu, mama-mama yang tahu kerja (rajin kerja). Tapi yang tidak pakai noken begitu tuh…, macam anak-anak bujang ka…, atau seperti laki-laki dorang….” (MO, Pasar Jibama,18 September 2009).

Kutipan tersebut menjelaskan bahwa pandangan-pandangan tersebut bagi orang Dani2 di Lembah Baliem telah terbentuk dalam kebudayaannya

1 Penelitian : HIV-AIDS, ARV dan Stigma Pada Perempuan Asal Dani Di Kabupaten Jayawijaya, Papua.Kersama Univercity of Victoria Canada dengan Pusat Studi Kependudukan Uncen, September s/d Oktober 2009. 2 Orang Dani ” yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah sebutan yang dipakai untuk menamakan penduduk asli Lembah Baliem (Koentjaraningrat, 1993 : 270).Nama “Dani” sebagai sebuah suku diberikan oleh orang luar padab tahap-tahap sebuah ekspedisi gabungan Amerika dan Belanda pada tahun 1926 pimpinan M.W. Steiiling. Arti nama ini tidak begitu jelas, namun catatan yang dikutip oleh Le Roux, mengatakan bahwa ‘Dani’ berasal dari Bahasa Moni, yakni ‘Ndani’ (Heider, 1970:303). Secara geografis, suku

1 dan merupakan pengalaman sejarah yang panjang. Seorang laki-laki Dani yang telah dewasa bertugas di antaranya membuat pagar silimo3 atau pagar kebun atau juga membangun dan memperbaiki silimo (rumah) yang rusak. Jika hal tersebut tidak tampak pada laki-laki Dani maka mereka dengan mudah dilabelkan sebagai “orang yang tidak lagi menjalankan adat” atau dalam kehidupan kesehariannya, tidak menjalankan norma- norma atau nilai-nilai budayanya. Hal yang sama pula diperuntukkan bagi beberapa masyarakat Dani yang tidak lagi tinggal dalam pemukiman tradisonal (silimo) tetapi memilih menempati rumah sehat (rumah modern yang dibangun dengan standar kesehatan) baik di kampungnya maupun di kota .

Secara adat, silimo (rumah) tidak hanya berfungsi sebagai tempat berlindung saja tetapi lebih kepada fungsi-fungsi budaya seperti aktivitas sosial, ekonomi dan religi. Dalam suatu silimo lah seseorang mendapatkan pengalaman akan hidup baik, seperti nilai kebersamaan yang terjalin lewat tiga dimensi relasi antara para leluhur, alam dan kehidupan sesama

bangsa ini berada di tengah-tengah daerah Pegunungan Jayawijaya, tepatnya di Kabupaten Jayawijaya. Walaupun nama suku bangsa ini secara kultur dipakai juga untuk menyebut penduduk asli Papua yang tersebar luas di beberapa lokasi yaitu Kabupaten Puncak Jaya, Lani Jaya, Puncak, Tolikara, dan Mimika. 3 Istilah “silimo” merujuk pada suatu bangunan tradisonal yang berfungsi sebagai tempat tinggal keluarga inti poligami dan atau keluarga luas virilokal.Silimo terdiri dari beberapa unit bangunan 1) pilamo, simbol kepala manusia sebagai rumah khusus laki-laki dewasa; 2). ebe-ai, simbol tangan kanan sebagai rumah khusus perempuan dan anak laki-laki yang masih kecil; hunila, simbol tangan kiri sebagai bangunan khusus yang berfungsi sebagai dapur dan tempat berkumpul sanak kerabat. Wamaila berfungsi sebagai kandang babi.

2 penghuni silimo tersebut (Mulait dan Alua, 2003:54). Keberadaan silimo dalam kebudayaan orang Dani dijelaskanan oleh M.Junus Melalato bahwa

“silimo adalah pola pemukiman yang terdiri dari sejumlah unit bangunan dan unsur-unsur lingkungannya. Pemukiman tersebut mewujudkan suatu struktur yang berpola dan dilandasi pengetahuan budaya, sebagai pengalaman selama rentang perjalanan panjang sejarah kehidupan mereka. Pengetahuan budaya itu bermuatan unsur-unsur sistem budaya misalnya, sistem pengetahuan, sistem kepercayaan, sistem nilai dengan berbagai norma” (Melalatoa, 1997:12).

Sebaliknya kutipan ke-2 dialamatkan kepada kelompok perempuan khususnya perempuan yang telah menikah (mama-mama asal Dani).

Pandangan kebudayaan Orang Dani, perempuan yang giat dan rajin bekerja dan bertanggung-jawab kepada keluarga disimbolkan dengan“noken” atau “su”. Seorang perempuan yang telah berkeluarga

(menjadi seorang istri/mama) harus memiliki beberapa noken dan selalu dikenakannya saat beraktifitas. Menurut Karl Heider, bahwa :

women use the nets constantly for carrying babies, garden produce, or small pigs. But the “su” is much more than just a device for transport. women wear nets constantly; only rarely, in the privacy of their own houses or a deserted garden, does a women take off her nets (Heider K, 1970 :249).

Perempuan menggunakan noken untuk mendukung pekerjaannya, seperti menggendong bayi, mengangkut hasil kebun, atau anak babi. Jadi, semakin banyak jumlah noken yang digantung pada kepalanya, memberi simbol bahwa perempuan tersebut adalah pekerja keras, rajin, ulet dan terhormat dalam keluarga dan masyarakatnya. Sebaliknya, perempuan

(mama) yang tidak memiliki noken dan juga tidak menggunakannya akan dilabelkan dengan istilah“ pamalas kerja, miskin (tidak punya kebun atau

3 ternak babi), mandul, bodoh, tidak tahu kerja urus keluarga…, bahkan sering dipertanyakan status mereka, “ kamu masih bujang ka…? kamu ini laki-laki ka….? kenapa tidak pakai noken….?”. Bagi perempuan Dani, stigma ini tidak boleh diperuntukkan bagi dirinya. Sebaliknya, stigma tersebut harus dihindari dan inilah yang mendorong seorang perempuan

Dani (mama) lebih ulet dalam pekerjaannya dan bertanggung jawab kepada keluarganya.

Memahami ke-2 kutipan di atas, ternyata tampak bahwa kebudayaan orang Dani saat ini tidak lagi berada secara utuh dalam jalur tradisonalnya.

Kutipan tersebut memperlihat adanya dikotomi dalam kebudayaan orang

Dani. Terdapat beberapa isu budaya yang sangat kontras dalam realita kehidupan masyarakat Dani. Isyu “ orang Dani yang menyimpan

(menjalakan) adat dan yang tidak menjalankan adat; isyu laki-laki Dani yang tahu bekerja di kebun/silmo dan laki-laki yang suka jalan-jalan ke kota, isyu orang Dani yang memilih tinggal di silimo dan yang memilih tinggal di rumah sehat; isyu perempuan adat adalah perempuan yang memakai beberapa helai noken di kepala dan perempuan yang tidak memakai noken di kepala, dan sebagainya. Berbagai isyu tersebut menggambarkan konteks ke-kini-an kehidupan orang Dani di Lembah

Baliem. Isyu tersebut merupakan narasi-narasi kecil dari berbagai fenomena budaya lainnya yang menjelaskan bagaimana keberadaan laki- laki dan perempuan Dani secara tradisi telah tertata dalam struktur budayanya dan di sisi lain bagaimana keberadaannya di saat masyarakat

4

Dani yang hidup dan harus berinteraksi dengan berbagai perubahan dalam lingkungan sosial budayanya.

Berbicara mengenai keberadaan laki-laki dan perempuan Dani secara tradisonal telah dijelaskan banyak oleh penelitian awal4. Inti dari keberadaan hidup laki-laki dan perempuan Dani dalam kehidupan sehari- hari adalah membentuk kehidupan bersama. Kebersamaan adalah nilai budaya yang tertata dalam sejumlah pola hidup bersama orang Dani. Nilai ini merupakan pendalaman hidup para leluhur yang diwariskan secara turun-temurun melalui sistem pengetahuan, pandangan hidup dan berbagai mitologi (mite Naruekul). Oleh Niko Lokobal (2003 : 148) mengungkapkan bahwa :

“Nilai kebersamaan secara nyata dapat terlihat dalam pola hidup masyarakat sehari-hari seperti, hidup bersama dalam satu rumah tidur (honai dan ebe-ai), dapur (hunila) tanpa dibatasi oleh tembok-tembok pemisah. Mereka (laki-laki dan perempuan) bersama-sama membuka kebun baru secara besar-besaran, membuat pagar bersama-sama dan mengolah tanah bersama-sama pula. Kebersamaan juga diungkapkan melalui makan bersama dalam satu noken, yakni noken ibu, bersama-sama memasak makanan dari satu tungku api. Pada waktu makan, mereka berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil dalam bentuk lingkaran”.

Bagi orang Dani (Lembah Balim), hidup bersama adalah baik (ineluk opakima hano) atau hidup yang baik adalah hidup bersama. Hidup bersama menjadi pusat perhatian seluruh masyarakat sehingga seluruh

4 Beberapa penelitian awal di antaranya adalah :The Dugum Dani (1970) oleh Karl Heider; Masyarakat Dani di Pegunungan Tengah (1993) oleh Koetjaraningrat; Etnografi Kesehatan pada masyarakat Dani di Lembah Baliem (1993) oleh Peneliti Antropologi UI; Silimo : Produk Peradaban Tua di Irian (1993) oleh Melalatoa, J; Penataan Ruang Silimo Berdasarkan Kebudayaan Dani (1996) oleh : Hartati, T.C; Ubi Jalar dan Babi Dalam Kehidupan Orang Dani (1996) oleh Jarona,A; dan kumpulan artikel dan dalam buku Nilai- Nilai Hidup Masyarakat Hubula di Lembah Baliem Papua (2003) oleh Nico Lokobal dkk.

5 aktifitas hidup dikerahkan dan semua manusia berpartisipasi demi membangun hidup bersama yang lebih baik.

Pemahaman masyarakat akan nilai kebersamaan yang diuraikan di atas tidaklah disadari bahwa sebenarnya keberadaannya (laki-laki dan perempuan) telah memperlihatkan adanya ketertataan (order) dan keterulangan (regularities) yang terpolakan sehingga tanpa disadari pula telah membentuk suatu struktur yang tetap dan setiap saat struktur tersebut bisa ditransformasikan dari satu fenomena budaya ke fenomena budaya lainnya.

Seperti dalam kajian Numbery G (2007)5 tentang struktur budaya

Orang Dani yang dikaji melalui analisis strukturalisme Levi-Strauss. Inom6 sebagai struktur budaya Orang Dani dipahami sebagai model-model yang dibuat oleh ahli antropologi (peneliti) untuk memahami dan menjelaskan gejala kebudayaan yang dianalisisnya, yang tidak ada kaitannya dengan fenomena empiris kebudayaan Orang Dani. Struktur “inom” adalah acuan dari pola berpikir orang Dani mengenai “nilai kebersamaan” (Numbery G,

2007 : 189). Struktur ini tertata dalam berbagai fenomena kebudayaan orang Dani, seperti pada 1) tataran silimo adat, 2) tataran silimo

5 Tesis S2 Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2007. Berjudul, “ Struktur Budaya Orang Dani, Di Kampung Jiwika, Kurulu” (Suatu Kajian Strukturalisme Lévi-Strauss).

6 Secara numerial, inom berarti angka 3 (tiga) atau jumlah yang lebih dari angka tiga, dan memiliki makna “ikut dengan/ikut beserta” “bersama” (Myron B, 1994 :98-99).

6 masyarakat, 3) tataran sistem berladang, 4) tataran kelompok klen senior,

5) tataran kepemimpinan adat, 6) tataran klasifikasi benda-benda perang,

7) tataran upacara-upacara adat. Dalam kajian strukturalisme setiap tataran tersebut dianalogikan sebagai “kalimat” atau rangkaian tanda dari masyarakat Dani sebagai pendukung budaya tersebut dan dilakukan secara tidak disadari. Masing-masing tataran dari fenomena budaya Orang

Dani menampilkan fakta-fakta empirik yang terdiri dari 3 (tiga) elemen

(unsur). Misalnya, silimo adat sebagai “kalimat” terdiri dari rangkaian tanda atau elemen-elemen. Elemen tersebut adalah 1) elemen silimo bulan, 2) elemen silimo matahari, 3) elemen silimo bintang. Begitu juga fenomena budaya lainnya yang terdiri dari rangkaian elemen. Elemen tersebut kemudian disusun berdasarkan relasi-relasi yang ada menurut rangkaian sintagmatik dan paradigmatik sehingga dapat ditemukan makna yang terkandung dalam fenomena budaya orang Dani tersebut. Makna yang dimaksud adalah ditemukannya suatu model atau struktur yang sifatnya

“tetap” (struktur inom) yang seolah-olah ada di balik budaya Orang Dani.

Struktur inilah yang dikatakan sebagai struktur dalam (deep structure) dari berbagai simbol dan proses simbolisasi fenomena budaya yang diteliti.

Sebaliknya struktur luar (surface structure) adalah relasi-relasi antara elemen yang dibuat atau dibangun berdasarkan ciri-ciri luar atau ciri-ciri empiris dari relasi-relasi tersebut. Relasi-relasi yang dibangun memperlihatkan adanya relasi oposisi biner secara gender, bentuk aktivitas, ukuran/jumlah, waktu, sifat, tujuan, peran, fungsi dan lain-lain.

7

Struktur inom yang terlihat pada setiap fenomena sosial budaya tersebut mempelihatkan oposisi biner secara gender yaitu laki-laki dan perempuan.

Seperti yang terlihat pada ruang kosmologi, laki-laki disimbolkan sebagai bulan (fungsi pelindung), dan perempuan disimbolkan sebagai matahari

(pemberi kesuburan). Simbolisasi ini ditransformasi kemudian ke dalam beberapa aspek budaya seperti pada struktur ruang pengorganisasian masyarakat.

Struktur yang menampilkan relasi-relasi antara oposisi biner laki-laki dan perempuan dalam berbagai fenomena budaya adalah model kajian struktulisme Lévi-Strauss dalam memaknai “kebudayaan” sebagai sistem konsepsi yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Pemahaman kebudayaan secara struktural di atas, dapat dipahami juga lewat konsep kebudayaan yang dijelaskan Geertz (Abdullah, 2006:1), bahwa kebudayaan itu merupakan pola dari pengertian-pengertian atau makna-makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol dan ditrasmisikan secara historis. Dikatakan juga bahwa kebudayaan merupakan sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk simbolik yang dengan cara ini manusia dapat berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikapnya terhadap kehidupan. Pengertian kebudayaan seperti ini dalam terminologi Abdullah

(2006:9) disebut kebudayaan generik, kebudayaan merupakan pedoman yang diturunkan atau diwariskan. Konsep kebudayaan seperti ini menempatkan kebudayaan sebagai sistem simbol yang dibatasi wilayah

8 dan masyarakat pendukungnya dan pada kondisi tertentu harus berhadapan dengan suatu realita sosial yang baru yaitu realita masyarakat yang semakin terintegrasi.

Oleh Talal Asad (Bachtiar:1997), konsep kebudayaan demikian (oleh

Geertz) menggambarkan hubungan antara simbol-simbol budaya dan kehidupan sosial sebagai suatu "hubungan satu arah" di mana simbol- simbol budaya menginformasikan, mempengaruhi dan membentuk kehidupan sosial. Dengan melihat simbol-simbol budaya sebagai sesuatu yang sui generis (terbentuk dengan sendirinya), sama sekali tidak ditunjukkan dalam konsep ini bagaimana simbol-simbol budaya atau nilai- nilai budaya dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman manusia dalam kehidupan sehari-hari. Kebudayaan itu tidak hanya menjadi pedoman dalam praktek kehidupan orang Dani tetapi juga kebudayaan itu harus dikonstruksi kembali karena keberadaannya tergantung pada praktik para pelakunya yang berada pada konteks sosial tertentu, yang sudah pasti mempunyai kepentingan tertentu.

Realita kehidupan masyarakat Dani saat ini memperlihatkan adanya pergeseran kebudayaan dan juga memunculkan kompleksitas budaya pastilah berimplikasi terhadap pemahaman kebudayaan masyarakat Dani.

Dinamika kehidupan masyarakat Dani diawali saat masuknya para misionaris dan pemerintahan Belanda tahun 1926 hingga tahun 1962

(Alua, 2003 :3). Proses tersebut berlanjut saat kehadiran pemerintah

Indonesia selama 1970-1980. Kota Wamena mulai difasiltasi dengan

9 sarana pendidikan, perumahan rakyat, pos-pos kecamatan, sarana transportasi, rumah sakit dan sebagainya, lewat program pembangunan yang disebut task force7. Akhir tahun 1990 penerapan model pembangunan bottom up8 mulai terlihat pada usaha LIPI-TTG yang bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Irian Jaya dan Pemda

Jayawijaya.

Hingga 2001, dengan diberlakukannya Undang-Undang Otonomi

Khusus No.21 Tahun 2001 untuk Provinsi Papua, maka terbukalah berbagai peluang bagi masyarakat Papua untuk berkembang dalam berbagai bidang. Berbagai kebijakan pemerintah dalam proses pembangunan tidaklah mudah dan cepat untuk diterima langsung oleh masyarakat. Banyak hambatan yang datangnya dari aspek sosial budaya masyarakat setempat. Sebaliknya perubahan terus berjalan dan secara perlahan perubahan itu dapat diterima oleh masyarakat.

Faktor mobilisasi masyarakat Dani dan juga alasan bermigrasi telah mendorong berbagai perubahan, walaupun perubahan itu bisa jadi bermakna suatu kemajuan dalam bidang kebudayaan (Abdullah, 2006:3).

Perkembangan informasi dan komunikasi terhadap unsur-unsur

7 Program yang didanai Depertemen HAMKAM dan dikelolah oleh pimpinan ABRI di tingkat Provinsi.Program ini tidak berjalan baik, terkesan ada unsur paksaan.Contohnya, masyarakat Dani diharuskan menempati sebuah rumah yang dihuni oleh satu keluarga inti. Ini bertentangan dengan budaya Orang Dani yang mengenal kesatuan hidup terkecil dalam bentuk bentuk keluarga luas virilokal dan atau keluarga inti poligami (Koentjaraningrat:1994). Begitu juga dengan adanya pemaksaan dibuangnya koteka (penutup penis) serta menggantikannya dengan pakaian 8 Model pembangunan yang melibatkan pihak perencana, agen dan masyarakat yang dijadikan sasaran pembangunan bersama-sama merancang dan memikirkan pembangunan yang diperlukan oleh masyarakat (Sairin,2002:258).

10 kebudayaan orang Dani pun bukan hanya mengalami penyesuaian, tetapi juga dengan mudah ditemukan di berbagai tempat di luar batas-batas geografis kebudayaan Orang Dani. Tampak masyarakat Dani yang terlibat dalam berbagai kepentingan tidak lagi berinteraksi dalam lingkungan fisik dan kebudayaannya saja tetapi mereka lebih memilih meninggalkan daerah asalnya dan membangun interaksi dengan lingkungan budayanya yang baru. Faktor pendidikan, pekerjaan, ekonomi dan politik lebih mendorong mereka memilih ke luar dari lingkungan asalnya. Kondisi ini mendorong kebudayaan dengan mudah dinegosiasikan dalam keseluruhan interaksi sosia. Selanjutnya dalam terminologi Abdullah (2006:5) disebut kebudayaan diferensial. Kebudayaan bukan suatu warisan yang turun- temurun dibagi bersama atau dipraktikkan secara kolektif, tetapi kebudayaan lebih bersifat situasional yang keberadaannya tergantung pada karakter kekuasaan dan hubungan-hubungan yang berubah-ubah dari waktu ke waktu (Abdullah, 2006:10).

Melihat kondisi kebudayaan orang Dani saat ini maka kajian Inom, sebagai struktur budaya orang Dani ala Strukturalis Lévi Strauss, perlu dikaji ulang. Menurut ahli atau pemikir post strukturalisme seperti Anthony

Gidens dan Pierre Felix Bourdieu menolak ide-ide yang dibangun oleh para strukturalis (Lévi-Strauss). Menurut Bourdieu, perspektif struktural hanya memusatkan perhatiannya pada struktur objektif dan mengabaikan proses konstruksi sosial yang digunakan untuk mempersepsi, memikirkan dan mengkonstruksi struktur-struktur itu dan selanjutnya mulai bertindak

11 atas dasar tersebut. Para strukturalis (obyektivis) mengabaikan agensi atau agen. Untuk itu Bourdieu memusatkan perhatiannya kepada “praktik” yang dilihatnya sebagai akibat dari hubungan dialektis antara struktur dengan agen. Menurutnya praktik tidak ditentukan secara objektif dan bukan pula produk dari kehendak bebas tetapi perlu melakukan refleksi atas minatnya pada dialektika antara struktur dengan cara orang mengkonstruksi realitas sosial.

Seperti yang diungkapkan oleh Asad tentang kelemahan pendekatan interpretatif maka kajian struktur budaya “inom” dengan pendekatan strukturalisme Lévi-Strauss juga memiliki kelemahan yaitu tidak dijelaskannya bagaimana manusia sebagai “subyek” (agen) dapat ikut membentuk simbol-simbol budaya atau nilai-nilai budaya. Di sinilah

Bourdieu menjelaskan hal ini dengan mengatakan bahwa di antara manusia dan kebudayaannya terdapat suatu proses interaksi secara terus- menerus di mana manusia mencoba mengolah dan mengkonstruksi simbol-simbol budaya demi “kepentingan”-nya dalam kondisi sosial, ekonomi dan politik tertentu. Usaha-usaha manusia untuk mengkonstruksi simbol atau nilai-nilai budaya inilah yang disebut “praktik” oleh Bourdieu.

Dalam konteks ini Bourdieu lebih memilih pandangan yang lebih strukturalis tanpa kehilangan perhatiannya terhadap agen.

Gambaran kehidupan orang Dani yang dahulu diwarnai oleh simbol- simbol dalam pemukiman tradisonal (silimo), kini telah mengalami pergeseran baik dalam bentuk, tata letak dan juga fungsinya. Kebun-kebun

12 tradisonal yang ada di tanah datar, lereng gunung maupun halaman silimo yang hanya ditumbuhi tanaman tradisonal (ubi jalar, buah merah, pisang, dan lain-lain) kini sudah tampak tanaman-tanaman baru dengan berbagai varietas. Perubahan tidak hanya muncul lewat berbagai kebijakan dan masuknya berbagai program pemerintah saja, melainkan juga adanya perubahan tatanan masyarakat, tepatnya perubahan tersebut juga mempengaruhi sikap, perilaku bahkan pola berpikir masyarakat setempat.

Perubahan ini mengakibatkan dunia kebudayaan orang Dani, semakin terintegrasi ke dalam tatanan modern dan ini menyebabkan batas-batas kebudayaan mencair akibat arus orang, barang, informasi, ide-ide, dan nilai-nilai yang semakin lancar, padat, dan intensif.

Dihadapkan pada kedua kebudayaan itu (kebudayaan generik dan diferensial) maka sering orang Dani mengalami kebingungan yang membawanya pada ketegangan-ketegangan sosio-kultural, seperti yang penulis kutip dari 2 orang informan lokal terdahulu. Orang Dani bingung antara mempertahankan dan mengikuti kebudayaan generik dan/atau turut serta dalam kebudayaan diferensial yang mengalami banyak perubahan dalam waktu yang singkat.

Dalam situasi seperti ini, orang Dani sedang menciptakan dualisme dalam kebudayaannya. Di satu sisi mereka hidup dan berada dalam ruang budaya yang tertata dalam berbagai norma-norma dan nilai-nilai budaya dalam lingkungan keluarga maupun lingkaran sosial budaya masyarakat

Dani tetapi di sisi lain mereka juga berinteraksi dan berusaha beradaptasi

13 dengan lingkungannya baru (perubahan dari luar). Dalam dua keadaan yang kontras ini muncul pertanyaan penulis terhadap eksistensi orang

Dani dalam menghadapi dua kondisi yang kontradiktif tersebut.

Oleh Raymond William, dalam bukunya yang berjudul “Culture” bahwa upaya orang dalam mempertahankan keberadaannya diperlukan apa yang disebut “reproduksi”. Reproduksi dipahami sebagai bentuk perubahan dalam upaya eksistensi. Di dalam glossary of sociological terms-school of Sociology and Anthropology, yang dikutip oleh Bilton

(1996) mendefinisikan sebagai suatu proses transmisi norma-norma dan nilai-nilai budaya yang masih eksis dari generasi ke generasi. Reproduksi kebudayaan merujuk pada mekanisme untuk keberlangsungan dan eksistensi dari pengalaman-pengalaman budaya terdahulu. Hal ini berarti bahwa di satu sisi bentuk tradisi masih dipertahankan namun di sisi lain kebutuhan-kebutuhan lain juga diakomodir.

Melalui konsep reproduksi kebudayaan tersebut, penulis merasa perlu mengkaji ulang struktur budaya “inom” yang pernah dilakukan melalui pendekatan strukturalisme Lévi-Strauss. Hal ini dilakukan dengan memperhatikan kondisi kehidupan masyarakat dan kebudayaan orang

Dani saat ini yang telah mengalami pergeseran budaya. Untuk itu, teori

“praksis” adalah pilihan penulis untuk mengkonstruksi simbol-simbol budaya dalam struktur inom. Bourdieu menggambarkan bahwa hubungan timbal-balik di antara struktur inom ( struktur obyektif) direproduksi secara terus menerus dalam praksis para pelaku (laki-laki dan perempuan) yang

14 menempati posisi-posisi struktur inom tersebut. Dalam proses ini, para pelaku mengartikulasikan dan mengapropriasikan simbol-simbol budaya yang terdapat dalam struktur obyektif sebagai tindakan strategis dalam konteks sosial tertentu.

Simbol-simbol yang direproduksi dalam struktur inom adalah simbol- simbol yang menduduki setiap posisi dalam arena sosial atau lebih khusus dalam kajian ini adalah simbol-simbol yang berkaitan dengan keberadaan laki-laki dan perempuan dalam struktur inom. Gambaran kompleksitas budaya orang Dani memperlihatkan simbol-simbol budaya secara generik yang menandai laki-laki dan perempuan perlu dimaknai kembali sehubungan dengn perubahan pola pikir dan perilaku dari para pelaku yang berada dalam struktur inom tersebut. Dalam pendekatan interpretatif dari Geertz konsep “kebudayaan” biasanya diekspresikan sebagai suatu sistem simbol. Oleh sebab itu dalam konteks ini istilah yang tepat digunakan dalam upaya mereproduksi kebudayaan ini adalah penulis menggunakan istilah reproduksi simbolik. Untuk itu kajian ini dilakukan untuk mengetahui apa saja simbol-simbol atau nilai-nilai budaya dan bagaimana simbol-simbol tersebut direproduksi dalam struktur inom.

1.2. Masalah Penelitian

Berdasarkan pemaparan di atas maka saya mencoba mengkaji kembali struktur budaya orang Dani yang pernah dikaji dengan pisau analisis strukturalisme Lévi-Strauss. Dalam kajian ini, saya lebih berfokus melihat simbol-simbol budaya yang memaknai keberadaan laki-laki dan

15 perempuan Dani pada 3 (tiga) fenomena budaya dalam struktur budaya orang Dani. Isyu laki-laki dan perempuan dalam struktur budaya orang

Dani yang dikaji secara strukturalisme Lévi-Strauss merupakan simbol- simbol budaya yang beroposisi biner dan membentuk sistem relasi dalam setiap rangkaian tanda (kalimat) sehingga menghasil makna budaya yang tetap pada setiap tataran fenomena budaya yang terbentuk dalam struktur budaya orang Dani. Simbol-simbol budaya yang ada pada setiap fenomena budaya selalu terdiri atas 3 (tiga) unsur atau elemen budaya (inom) dan masing-masing elemen bercirikan laki-laki daan perempuan.

Selanjutnya dengan berkaca pada narasi-narasi kecil dari masyarakat seperti yang dipaparkan di atas maka saya menempatkannya sebagai bentuk permasalahan yang ada dalam struktur budaya orang Dani. Orang

Dani kini dihadapkan pada pilihan mempertahankan kebudayaannya ataukah bernegosiasi dalam lingkungan sosial budaya yang baru. Upaya orang dalam mempertahankan keberadaannya diperlukan apa yang disebut “reproduksi”. Reproduksi dipahami sebagai bentuk perubahan dalam upaya eksistensi. Pengertian yang mengacu pada suatu proses transmisi norma-norma dan nilai-nilai budaya yang masih eksis dari generasi ke generasi. Reproduksi kebudayaan merujuk pada mekanisme untuk keberlangsungan dan eksistensi dari pengalaman-pengalaman budaya terdahulu. Hal ini berarti bahwa di satu sisi bentuk tradisi masih dipertahankan, namun di sisi lain kebutuhan-kebutuhan lain juga diakomodir.

16

Untuk itu dalam penelitian ini saya menggunakan perspektif postmodern-poststruktural untuk membaca kembali permasalahan dalam struktur inom orang Dani. Menurut Giddens (1984), struktur bukanlah nama dari totalitas gejala, bukan kode tersembunyi sebagaimana dilihat kaum strukturalisme, dan bukan pula kerangka keterkaitan bagian-bagian dari suatu totalitas seperti dilihat kaum fungsionalisme. Struktur adalah aturan

(rules) dan sumberdaya (resources) yang terbentuk dari dan membentuk perulangan praktik sosial (Herry-Proyono, 2002).

Melalui teori “praksis” dari Bourdieu saya mecoba mengkonstruksi simbol-simbol budaya baru dalam struktur inom. Mengikuti Bourdieu digambarkan bahwa hubungan timbal-balik di antara struktur inom ( struktur obyektif) direproduksi secara terus menerus dalam praksis para pelaku (laki-laki dan perempuan) yang menempati posisi-posisi struktur inom tersebut. Dalam proses ini, para pelaku mengartikulasikan dan mengapropriasikan simbol-simbol budaya yang terdapat dalam struktur obyektif sebagai tindakan strategis dalam konteks sosial tertentu.

Simbol-simbol yang direproduksi dalam struktur inom adalah simbol- simbol yang menduduki setiap posisi dalam arena sosial atau lebih khusus dalam kajian ini adalah simbol-simbol yang berkaitan dengan keberadaan laki-laki dan perempuan dalam struktur inom. Gambaran kompleksitas budaya orang Dani memperlihatkan simbol-simbol budaya secara generik yang menandai laki-laki dan perempuan perlu dimaknai kembali sehubungan dengan perubahan pola pikir dan perilaku dari para pelaku

17 yang berada dalam struktur inom tersebut. Untuk itu kajian ini dilakukan untuk mengetahui apa saja simbol-simbol atau nilai-nilai budaya dan bagaimana simbol-simbol tersebut direproduksi dalam struktur inom.

1.3. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian masalah penelitian di atas, maka peneliti akan merumuskan beberapa pertanyaan operasional sebagai berikut :

1. Bagaimana keberadaan perempuan dan laki-laki yang tersimbolkan

dalam struktur inom?

2. Bagaimana kompleksitas budaya dalam dinamika realitas kehidupan

masyarakat Dani pada konteks struktur inom?

3. Bagaimana simbol-simbol yang memaknai keberadaan laki-laki dan

perempuan Dani direproduksi dalam konteks dinamika struktur

simbolik?

1.4. Tujuan Penelitian :

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mendeskripsikan keberadaan perempuan dan laki-laki yang

tersimbolkan dalam struktur inom.

2. Menganalisis unsur-unsur yang menjadi rangkaian kompleksitas

budaya dari realitas kehidupan Masyarakat Dani dalam konteks struktur

inom.

3. Menganalisis reproduksi simbol-simbol yang memaknai keberadaan

laki-laki dan perempuan Dani dalam konteks dinamika struktur simbolik.

18

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini akan dirumuskan secara teoritis dan praktis.

1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memiliki tiga

manfaat sebagai berikut :

1) Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah wawasan pembaca

dalam memahami kajian-kajian struktural dan kajian-kajian pasca

struktural sebagai bentuk memaknai simbol-simbol budaya baru

dalam ruang sosial baru seperti yang terlihat pada struktur budaya

‘inom dan upaya menemukan simbol-simbol baru dalam proses

reproduksi simbolik.

2) Diharapkankan kajian ini dapat membantu pembaca untuk

memahami secara rinci implikasi dari proses modernisasi,

globalisasi dan perubahan kebudayaan dalam masyarakat terhadap

kajian-kajian kebudayaan yang dikonstruksi melalui teori-teori dan

pendekatan pasca struktural.

3) Diharapkan hasil penelitian ini juga dapat memberikan sumbangan

analisis bagi perkembangan dunia teori struktural Levi Strauss, teori

interpretative simbolik dan juga pengembangan dunia paradigma

ilmu pengetahuan khususnya paradigma pasca struktural.

4) Diharapkan juga dari hasil penelitian ini dapat menjadi bahan studi

komparatif bagi peneliti-peneliti lain yang mengkaji makna budaya

lewat proses reproduksi simbolik pada berbagai fenomena budaya.

19

2. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat

sebagai berikut :

Penelitiaan ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada

masyarakat dan para agen perubahan baik pihak pemerintah maupun

pihak swasta bahwa lewat dinamika kehidupan masyarakat Dani,

keberadaan laki-laki dan perempuan tidaklah bersifat statis seperti yang

terbentuk dan diwariskan secara turun-temurun dalam budaya lokalnya.

Sebaliknya dalam konteks dinamika perubahan tersebut maka

kebudayaan Dani dapat dikontruksi untuk kepentingan tertentu bagi

masyarakat dan pemerintah.

20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEPTUAL

2.1 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka pada penelitian ini dilakukan melalui penelusuran beberapa hasil penelitian orang Dani terdahulu, beberapa kajian tentang perubahan masyarakat dan buku teks. Penelitian kebudayaan orang Dani saat ini merupakan salah satu kajian penelitian untuk menganalisis masyarakat dan kebudayaan dalam konteks perubahan tepatnya pada masyarakat Dani Lembah Baliem di Distrik Kurulu dan mengungkapkan simbol-simbol budaya baru yang direproduksi dalam struktur budaya masyarakat Dani. Untuk itu saya menggunakan kajian penelitian yang berhubungan dengan permasalahan di atas, yang dapat diuraikan sebagai berikut :

2.1.1 Penelitian Sebelumnya

Beberapa kajian kebudayaan orang Dani yang berkaitan dengan penelitian ini antara lain : pertama, karya penelitian oleh Heider Karl yang berjudul, “The Dugum Dani” (1970). Kajian etnografi ini mendeskripsikan tradisi Masyarakat Dani Lembah Baliem yang diuraikan secara holistik.

Lewat karya ini saya lebih berfokus pada deskripsi tentang mitologi, kosmologi dan organisasi sosial masyarakat Dani, yang mana aspek- aspek kebudayaan tersebut merupakan bagian dari kajian penelitian saya.

Walaupun ketiga aspek tersebut penulis kaji kembali dalam penelitian ini

22 namun terdapat perbedaan. Kajian Heider lebih bersifat deskripsi- etnografis, sebaliknya penelitian saya bersifat postmodern-poststruktural dengan melibatkan emansipatoris dalam menelusuri kebiasaan-kebiasaan

(praktik) individu (laki-laki dan perempuan Dani) yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, dengan menginterpretasikan terjadinya fenomena- fenomena perubahan dalam proses reproduksi simbol-simbol budaya inom.

Kedua, melalui pendekatan yang sama (deskripsi-etnografis) dengan Heider Karl (1970), Koentjaraningrat dalam artikel “Masyarakat

Dani di Pegunungan Jayawijaya Irian Jaya (1993) menggambarkan kehidupan orang Dani dari sisi sosial budayanya seperti sistem berladang, pola pemukiman tradisonal (silimo), padangan hidup, dan sistem kekerabatan. Berbeda dengan penelitian penulis, aspek-aspek kebudayaan yang sama dikaji ulang untuk menemukan dan memaknai simbol-simbol keberadaan laki-laki dan perempuan Dani dalam struktur budaya inom. Fokus penelitian ini berimplikasi pada pendekatan yang berbeda dengan ke-2 kajian di atas yaitu pendekatan post-struktural.

Ketiga, kajian lainnya yang berkaitan dengan penelitian saya berasal dari Lokobal A. Niko (2003) secara khusus mengkaji, “Keberadaan

Perempuan dan Laki-laki pada Suku Dani”. Dikatakan bahwa dunia perempuan Dani berkisar pada aktivitas keseharian pada ebe-ai (rumah perempuan), hunila (dapur), lalekenma (kandang babi) dan hipirimkama

(kebun ubi jalar). Sebaliknya aktivitas laki-laki selalu berkaitan dengan

23 keamanan atau memberi perlindungan kepada istri dan anggota keluarga lainnya. Lokobal juga menyebutkan adanya pembagian kerja di antara laki-laki dan perempuan Dani baik dari sisi ekonomi, hubungan sosial, religi dan pendidikan anak. Berbeda dengan kajian Lokabal, penelitian ini juga mengkaji keberadaan laki-laki dan perempuan Dani dalam konteks struktur budaya inom (struktur obyektif) selanjutnya menginterpretasikan simbol-simbol budaya baru yang dikonstruksi masyarakat lewat proses interaksi masyarakat dengan agen perubahan.

Keempat, kajian yang mirip dengan penelitian saya yaitu silimo dan perubahan bentuk dan tata ruang yang pernah dikaji oleh Agusto (1996) yaitu pengembangan honai contoh di Lembah Baliem.. Kajian ini mengarah pada usaha perbaikan kualitas silimo sebagai pemukiman tradisonal. Faktor kesehatan menjadi pertimbangan adanya perbaikan tata ruang pemukiman. Konsep konstruksional silimo yang ditawarkan menurut pandangan etiknya adalah sehat dan dapat menciptakan suasana “home sweet home” bagi pemilik. Perbedaan penelitian Agusto dengan saya terletak pada masyarakat dalam menyikapi proses perubahan melalui negosiasi budaya antara tradisi orang Dani yang telah mapan dengan berbagai bentuk budaya baru yang ditawarkan. Tentunya hal ini terkait dengan tujuan penelitian yaitu menemukan bentuk-bentuk reproduksi simbolik dalam ruang silimo.

24

Kelima, kajian lainnya yang berfokus pada pemukiman tradisonal orang Dani juga dikemukakan melalui Hartati (1995) dan Melalatoa (1997).

Kedua kajian ini memiliki keterkaitan dengan penelitian saya, yaitu mengkaji simbol-simbol budaya yang terbentuk dalam silimo. Dalam penelitian ini saya memanfaatkan data dari kedua kajian tersebut untuk melengkapi hasil penelitian ini. Melalui tesisnya Hartati yang berjudul

“Penataan Ruang Silimo Berdasarkan Kebudayaan Orang Dani” ia berusaha menggali aspek kognitif mengenai masalah penataan ruang silimo. Aspek kognitif ini sangat terkait dengan sistem budaya, di mana keseluruhan konsep, gagasan, nilai budaya, kepercayaan dan keyakinan mengenai apa yang dianggap masyarakat bernilai, berharga, penting dalam hidup dapatlah berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan masyarakat yang bersangkutan.

Berbeda dengan kajian-kajian di atas, Hartati mencoba untuk tidak membanding-bandingkan unsur baik-buruk atau benar-salah menurut pandangan etik. Tetapi dengan pandangan emiknya ia mencoba menjelaskan unsur-unsur tersebut berdasarkan sistem budaya Orang

Dani. Penelitian dengan model etnosains ini berpijak pada konsep sistem budaya. Aturan-aturan budaya dalam menata ruang bangunan serta dipadukan dengan kaidah fungsional bangunan terhadap lingkungan alam setempat membuat penelitian ini yang secara relatif utuh telah memperlihatkan makna-makna yang ada di balik suatu silimo.

25

Penelitian Hartati diperjelas kembali oleh tulisan etnografi dari

Melalatoa (1997). Melalato mengemukakan bahwa silimo merupakan gambaran adanya tingkat kemampuan teknologi Orang Dani. Bentuk dan struktur ruang silimo merupakan hasil tanggapan aktif mereka terhadap lingkungan alam yang berhawa dingin dan sering dilanda amukan angin kencang. Unit-unit bangunan dan tata letak silimo diwujudkan berdasarkan sistem sosial masyarakat Dani. Melalatoa menjelaskan juga bahwa muatan sistem keyakinan yang melekat pada tiga silimo asal di Watlangku menyangkut konflik (perang, kesuburan dan perdamaian. Ketiga silimo tersebut sebagai perwujudkan dari alam semesta yang disebut “silimo matahari”, “silimo bulan” dan “silimo bintang”. Pemilik ketiga silimo ini adalah klen Mabel, klen Dabi dan klen Logo. Tiga muatan sistem keyakinan ini merupakan satu sistem yang saling terkait. Konflik tidak terlepas dari budaya perang. Keyakinan adanya perang akan menyebabkan kesuburan.

Walaupun kedua kajian tersebut (Hartati dan Melalatoa) membahas tema yang sama (simbol dan makna unit-unit silimo) dengan penelitian saya namun jelas di sini terdapat perbedaan dalam perspektif yang digunakan untuk memahami fenomena budaya ini (silimo). Dengan berpijak pada kajian etnosains atau antropologi kognitif, Hartati dan

Melalatoa mengungkapkan bagaimana orang Dani memandang, menjelaskan dan menggambarkan tata hidup mereka sendiri serta menerangkan keteraturan dunia tempat hidup. Sebalikanya saya

26 memandang masyarakat Dani sebagai masyarakat yang dinamis memperlihatkan bahwa ada pergeseran budaya terhadap keteraturan dunia tempat hidupnya (silimo). Dalam konteks perubahan masyarakat

Dani beriteraksi terus-menerus dengan simbol-simbol keberadaan laki-laki dan perempuan yang tertata dalam ruang silimo, di mana manusia

"kepentingan"-nya. Respon terhadap proses tersebut menunjukkan bentuk-bentuk reproduksi simbolik dalam struktur budaya orang Dani.

Keenam, karya penelitian tentang budaya orang Dani pernah juga dilakukan dengan pendekatan antropologi yang berbeda. Dengan pendekatan Strukturalisme Lévi-Strauss Numbery (2007) menemukan bahwa makna budaya Orang Dani dapat dipahami lewat struktur inom.

Struktur Inom sebagai struktur dalam diperoleh budaya Orang Dani dipahami sebagai model-model yang dibuat oleh ahli antropologi (peneliti) untuk memahami dan menjelaskan gejala kebudayaan yang dianalisinya, yang tidak ada kaitannya dengan fenomena empiris kebudayaan Orang

Dani. Struktur ini tertata dalam berbagai fenomena kebudayaan orang

Dani, seperti pada 1) tataran silimo adat, 2) tataran silimo masyarakat, 3) tataran sistem berladang, 4) tataran kelompok klen senior, 5) tataran kepemimpinan adat, 6) tataran klasifikasi benda-benda perang, 7) tataran upacara-upacara adat. Masing-masing tataran dari fenomena budaya

Orang Dani menampilkan fakta-fakta empirik yang terdiri dari 3 (tiga) elemen (unsur), misalnya, silimo adat sebagai “kalimat” terdiri dari rangkaian tanda atau elemen-elemen. Elemen tersebut adalah 1) elemen

27 silimo bulan, 2) elemen silimo matahari, 3) elemen silimo bintang. Begitu juga fenomena budaya lainnya .Elemen-elemen tersebut kemudian disusun berdasarkan relasi-relasi yang ada menurut rangkaian sintagmatik dan paradigmatik sehingga dapat ditemukan makna yang terkandung dalam fenomena budaya Orang Dani tersebut. Makna yang dimaksud adalah ditemukannya suatu model atau struktur yang sifatnya “tetap”

(struktur inom) yang seolah-olah ada dibalik realita kehidupan Orang Dani.

Berbeda dengan kajian di atas penelitian ini memandang bahwa poses dinamika masyarakat Dani saat ini bahwa kebudayaannya mengalami berbagai pergeseran yang berdampak pada munculnya simbol-simbol baru dalam struktur inom yang diuraikan di atas. Dengan menggunakan pendekatan interpretatif simbolik, penelitian ini dilakukan untuk memahami fenomena budaya dan berusaha mencari dan menemukan makna-makna simbolik dalam struktur budaya Orang Dani.

2.1.2 Tinjauan Penelitian Tentang Perubahan dan Buku Teks

Pertama, Ermansyah, suatu artikel yang terbit tahun 2005 berjudul “

Ethnoscape : Nuansa Baru Untuk Etnografi di Dalam Antropologi. Dalam artikel ini, diuraikan oleh Ermansyah bahwa kajian tentang mobiilitas tidak hanya harus dipahami dari faktor pendorong dan penarik, konsekuensi ekonomi maupun kontribusi yang diberikan terhadap daerah asal.

Mobilitas dapat dipahami melalui sudut pandang ethoscape. Kajian ini memberikan pemahaman baru tentang konteks sosial budaya yang berubah dan memiliki corak masyarakat yang beragam dengan sistem

28 nilai dan model ekspresi yang berbeda. Kajian ini juga memberikan pemahaman tentang resistensi suatu kebudayaan yang diwujudkan melalui proses reproduksi kebudayaan dan perubahan bentuk-bentuk kebudayaan di dalam lingkungan kebudayaan yang berbeda.

Kedua, Titis S. Pitana (2010) dalam tulisannya “ Reproduksi Simbolik

Arsitektur Tradisonal Jawa : Memahami Ruang Hidup Material Manusia

Jawa” kajian ini memperlihatkan bahwa usaha dan perancangan arsitektur dalam upayanya menciptakan ruang hidup material manusia tidak dapat lepas dari nilai dan norma yang berlaku dalam budayanya. Manusia Jawa selalu mempertahankan keasliannya,menempatkan pengaruh kebudayaan lainyang sesuai dan dapat diterima hanya sebagai pengkayaan. Pengaruh adanya interaksi dengan lingkungan luar menjadikan nilai dan norma tradisonal yang bersifat generic telah dinegosiasikan secara terus menerus dan mengalami suatu reproduksi.

Ketiga, Suatu jurnal disertasi dari Risma M. Sinaga (2014) yang berjudul : “Revitalisasi Tradisi : Strategi Mengubah Stigma Kajian Pill

Pesenggiri Dalam Budaya Lampung. Kajian ini menjelaskan tentang strategi Ulun Lampung dalammerevitalisasi nilai PillPesenggiri sebagai modal budaya.Penelitian ini menemukan bahwa reproduksi Pill Pesenggiri adalah bentuk resistensi terhadap ketidaksetaraan dengan pendatang, pengakuan dan dihargai sebagai etnik lokal.

Keempat, sebuah jurnal yang ditulis oleh Isa Ansari (2014) berjudul,

Konstruksi dan Reproduksi Simbolik Tradisi Jawa Dalam Pertunjukan

29

Teater Remaja di Kota Solo. Kajian menjelaskan bahwa proses rekonstruksi tradisi Jawa dalam pertunjukan teater terjadi melalui dua cara yaitu cara menegosiasikan bentuk dan makna tradisonal. Dalam istilah lain bahwa pergerakan negosiasi tersebut berada dalam ruang simbolik dan ruang makna. Ruang simbolik dapat dilihat dari tekstur pertunjukan yang dihadirkan dalam suatu pertunjukan yakni dialog, mood (suasana) dan spectacle. Dalam ruang makna terjadi negosiasi terhadap nilai, norma, ide dan keyakinan terhadap tradisi.

2.2. Kerangka Konsep

2.2.1. Struktur Budaya

Pada dasarnya manusia hidup berkelompok dan mengembangkan kebudayaannya adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya agar dapat bertahan hidup dalam lingkungannya. Berbagai kebudayaan yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat memiliki ciri-ciri pokok, salah satunya adalah bahwa kebudayaan itu berstruktur.

Jika dikatakan bahwa kebudayaan itu berstruktur maka kebudayaan itu terdiri atau tersusun atas unsur-unsur universal hingga unsur-unsur kebudayaan yang paling kecil. Oleh Ralph Linton (Ihromi, 1994:18) menyebutkan bahwa kebudayaan terdiri dari unsur-unsur kebudayaan seperti, cultural universal dapat dijabarkan ke dalam cultural activity atau aktivitas kebudayaan. Di bawah aktivitas kebudayaan dijabarkan ke dalam trait-complex dan di bawah trait-complex dijabarkan ke unsur-unsur yang kecil yaitu traits, dan selanjutnya unsur yang terkecil yang tak dapat

30 dijelaskan lagi yang disebut items. Kebudayaan sebagai struktur tidak hanya terdiri dari rangkaian unsur atau komponen kebudayaan saja, melainkan setiap unsur-unsur kebudayaan yang membentuk bangunan kebudayaan (struktur budaya) haruslah saling berkaitan (sistem relasi) dan membentuk kesatuan yang utuh atau terintegrasi.

Melalui konsep kebudayaan sebagai struktur tersebut dapat membantu menemukan sub-sub unsur budaya sebagai rangkaian elemen yang membentuk suatu unsur kebudayaan serta memahami bagaimana kebudayaan orang Dani di Lembah Baliem sebagai suatu struktur yang terdiri atas sejumlah unsur budaya universal hingga unsur kebudayaan yang paling kecil (items) tersebut saling berelasi satu sama lainnya dan membentuk suatu sistem. Seperti yang terlihat pada kajian ini, gambaran kebudayaan orang Dani secara struktur tertata dalam berbagai unsur kebudayaan universal seperti sistem pengetahuan (kosmologi), sistem organisasi sosial (pemukiman tradisonal), sistem mata pencaharian hidup

(berladang), sistem kekerabatan (kelompok-kelompok kekerabatan) dan sebagainya. Masing-masing unsur kebudayaan tersebut masih terbagi lagi ke dalam unsur-unsur kecil lainnya seperti unsur pemukiman tradisonal terbagi dalam aspek material (pilamo,ebe-ai, mokarai), tindakan budaya

(pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan) dan juga gagasan budaya (norma-norma, keyakinan, dan sebagainya) yang mengatur tingkah laku individu dalam kesatuan hidup masyarakat Dani. Semua unsur tersebut merupakan suatu sistem relasi yang membentuk struktur

31 budaya orang Dani. Pemahaman konsep kebudayaan sebagai struktur seperti ini selanjutnya menjadi landasan untuk menganalisa struktur budaya orang Dani melalui pendekatan strukturalisme Lévi-Strauss.

Lévi-Strauss memandang budaya pada hakekatnya sama seperti bahasa. Budaya adalah sistem simbolik atau konfigurasi sistem perlambangan. Untuk memahami suatu perangkat lambang (simbol) budaya tertentu, orang harus lebih dulu melihatnya dalam sistem keseluruhan tempat sistem perlambangan itu menjadi bagian. Dalam memahami gejala budaya sebagai sesuatu yang bersifat simbolik itu, Lévi-

Strauss lebih memperhatikan pola-pola formal, bagaimana unsur-unsur simbol saling terkait secara logis untuk membentuk sistem keseluruhan dan tidak mempermasalahan arti lambang secara empirik (Kaplan &

Manner, 2002:239).

Struktur adalah sistem relasi-relasi (Ahimsa-Putra, 2001:61). Ada dua macam struktur dalam analisa struktural yaitu struktur lahir (surface structure) dan struktur batin (deep structure). Struktur lahir adalah relasi- relasi antar unsur yang dapat kita buat atau bangun berdasarkan ciri-ciri luar atau ciri-ciri empiris dari relasi-relasi tersebut. Struktur batin adalah susunan tertentu yang kita bangun berdasarkan atas struktur luar yang telah berhasil kita buat, namun tidak selalu tampak pada sisi empiris dari fenomena yang kita pelajari (Ahimsa-Putra, 2001:61-62). Struktur batin bersifat tidak disadari karena berada dalam tataran ketidaksadaran, sementara struktur lahir berada dalam ranah kesadaran. Struktur dalam

32 tidak menyebabkan struktur luar tetapi bertransformasi menjadi struktur lahir (Amhimsa-Putra,2001:68).

Melalui pendekatan strukturalisme Levi-Strauss maka struktur budaya orang Dani yang dikaji untuk menemukan makna budaya. Struktur budaya orang Dani dibangun atas beberapa fenomena budaya seperti 1) tataran kosmologi; 2) tataran silimo 3) tataran sistem berladang, 4) tataran kelompok klen senior, 5) tataran kepemimpinan adat, 6) tataran klasifikasi benda-benda perang.

Setiap tataran budaya dianalogikan sebagai “kalimat” atau rangkaian tanda dari masyarakat Dani sebagai pendukung budaya tersebut dan dilakukan secara tidak disadari. Masing-masing tataran dari fenomena budaya orang Dani menampilkan fakta-fakta empirik yang terdiri dari 3

(tiga) elemen (unsur). Seperti pada tataran kosmologi sebagai “kalimat” terdiri dari rangkaian tanda atau elemen-elemen yaitu : 1) elemen bulan,

2) elemen matahari, 3) elemen bintang. Begitu juga fenomena budaya lainnya yang terdiri dari rangkaian elemen. Elemen tersebut kemudian disusun berdasarkan relasi-relasi yang ada menurut rangkaian sintagmatik dan paradigmatik sehingga dapat ditemukan makna yang terkandung dalam fenomena budaya orang Dani tersebut. Makna yang dimaksud adalah ditemukannya suatu model atau struktur yang sifatnya “tetap”

(struktur inom) yang seolah-olah ada di balik budaya orang Dani. Struktur inilah yang dikatakan sebagai struktur dalam (deep structure) dari berbagai simbol dan proses simbolisasi fenomena budaya yang diteliti.

33

Sebaliknya struktur luar (surface structure) adalah relasi-relasi antara elemen yang dibuat atau dibangun berdasarkan ciri-ciri luar atau ciri-ciri empiris dari relasi-relasi tersebut. Relasi-relasi yang dibangun memperlihatkan adanya relasi oposisi biner secara gender, bentuk aktivitas, ukuran/jumlah, waktu, sifat, tujuan, peran, fungsi dan lain-lain.

Struktur inom yang terlihat pada setiap fenomena sosial budaya tersebut mempelihatkan oposisi biner secara gender yaitu laki-laki dan perempuan.

Seperti yang terlihat pada ruang kosmologi, laki-laki disimbolkan sebagai bulan (fungsi pelindung), dan perempuan disimbolkan sebagai matahari

(pemberi kesuburan). Simbolisasi ini ditransformasi kemudian ke dalam beberapa aspek budaya seperti pada struktur ruang pengorganisasian masyarakat.

Berkaitan dengan fokus penelitian ini yaitu menemukan dan memahami bentuk-bentuk reproduksi simbolik inom dalam struktur budaya orang Dani maka oleh Bourdieu (1977) bahwa proses ini membutuhkan adanya keterlibatan “subyek” dalam proses konstruksi budaya sangatlah dominan. Subyek sebagai partisipan tidak hanya dibentuk oleh kebudayaan melainkan mereka (partisipan) dalam kelompoknya secara aktif membentuk kebudayaannya. Kebudayaan tidak hanya dilihat secara empiris tetapi juga secara historis memperhatikan proses pembentukannya. Menurut Bourdieu juga bahwa dalam ruang sosial ini individu dengan habitusnya berhubungan dengan individu lain menghasilkan tindakan-tindakan sesuai dengan ranah dan modal yang

34 dimilikinya. Melalui berbagai tindakan tersebut individu-individun mencoba mengembangkan strategi tertentu, mengolah dan mengkonstruksi simbol- simbol budaya tertentu demi kepentingannya.

Pemahaman struktur dari ahli-ahli poststruktural ini berbeda dengan strukturalisme Levi-Strauss. Menurut Giddens (1984), struktur bukanlah nama dari totalitas gejala, bukan kode tersembunyi sebagaimana dilihat kaum strukturalisme, dan bukan pula kerangka keterkaitan bagian-bagian dari suatu totalitas seperti dilihat kaum fungsionalisme. Struktur adalah aturan (rules) dan sumberdaya (resources) yang terbentuk dari dan membentuk perulangan praktik sosial (Herry-Proyono, 2002). Struktur tidak hanya dilihat sebagai sesuatu yang mengekang (constraining) namun juga memberdayakan (enabling). Struktur bukanlah benda

(nothing) melainkan skemata yang tampil dalam praktik-praktik sosial

(Giddens, 1984). Sebagai skemata, maka struktur mirip dengan pedoman yang menjadi prinsip bagi praktik-praktik sosial di berbagai ruang dan waktu, namun sebaliknya, skemata yang mirip aturan ini juga menjadi sarana (medium) bagi berlangsungnya praktik sosial (Herry- Prijono,

2002).

Demikian konsep struktur dari ahli-ahli poststruktural ini (Bourdiu dan

Giddens) dapat membantu memahami bagaimana kelompok laki-laki dan perempuan Dani sebagai agen atau subyek dan struktur atau antar habitus berhubungan dengan individu lainnya menghasilkan tindakan- tindakan sesuai dengan ranah dan modal yang dimilikinya.

35

2.2.2 Simbol

Secara etimologi simbol berasal dari kata symbollein (Yunani) yang artinya bertemu. Kata symbollein kemudian diartikan lebih luas lagi menjadi kata kerja symbola yang artinya tanda yang mengidentifikasi dengan membandingkan atau mencocokan sesuatu kepada bagian yang telah ada (Meliono-Budianto, 2004 : 40).

Simbol adalah objek, kejadian, bunyi bicara, atau bentuk-bentuk tertulis yang diberi makna oleh manusia Bentuk primer dari simbolisasi oleh manusia adalah melalui bahasa. Tetapi manusia juga berkomunikasi dengan menggunakan tanda dan simbol dalam lukisan, tarian, musik, arsitektur, mimik wajah, gerak-gerik, postur tubuh, perhiasan, pakaian, ritus, agama, kekerabatan, nasionalitas, tata ruang. Sebuah simbol dari perspektif Saussurean adalah sejenis tanda di mana hubungan antara penanda dan petanda seakan-akan bersifat arbitrer. Saussure menerangkan sebagai berikut : “Salah satu karakter dari simbol adalah bahwa simbol tak benar-benar arbitrer. Hal ini bukanlah tak beralasan karena ada ketidaksempurnaan ikatan alamiah antara penanda dan petanda. Simbol keadilan yang berupa sebuah timbangan tak dapat digantikan oleh simbol lainnya seperti kendaraan (kereta) misalnya”

(Berger Arthur :2005:23). Sebuah simbol adalah sesuatu yang memiliki signifikansi dan resonasi kebudayaan. Simbol tersebut memiliki kemampuan untuk mempengaruhi dan juga memiliki makna yang dalam.

36

Seperti pendapat Ahimsa Putra (2002:2) bahwa simbol adalah segala sesuatu yang dimaknai. Definisi ini secara emplisit mengatakan bahwa makna simbol tidaklah terdapat pada simbol itu sendiri. Makna diberikan oleh yang menggunakan simbol, yakni manusia. Jadi definisi tersebut memberikan posisi utama pada manusia, karena hanya manusia yang dapat memberikan makna tersebut.

Proses pemberian makna terhadap fenomena-fenomena budaya selalu dikaitkan dengan konsep simbol (symbol) dan tanda (sign) karena berbagai fenomena budaya dapat ditanggapi sebagai sistem atau rangkaian tanda dan simbol yang memiliki makna.atau lebih tepat diberi makna pada tataran yang disadari maupun tak disadari oleh pelakunya.

Simbol lebih dilihat sebagai, yang mempunyai makna referensial (acuan), yang mengaciu pada sesuatu yang lain. Sementara tanda pada dasarnya tidak mengacu pada apa, dia” tidak bermakna” tetapi memiliki “nilai” yang lahir jika berada pada konteksnya. Tanpa konteks tanda tidak bermakna apa-apa, sementara simbol masih bermakna walaupun konteksnya tidak ada, walau kita tidak tahu konteks apa yang diacunya pada saat itu

(Ahimsa Putra, 2001).

Lebih lanjut dikatakan Ahimsa Putra (2002) bahwa kebudayaan pada dasarnya adalah perangkat simbol dan tanda. Konsep ini sesuai dengan filosofis tentang hakekat manusia yakni animal symbolicum serta kenyataan bahwa manusia mampu melakukan penandaan. Oleh Ahimsa

Putra, “simbol” dan “tanda” disatukan dalam sebuah konsep Tanda (Sign)

37 maka kebudayaan harus didefinisikan sebagai perangkat tanda yang dimiliki lewat proses belajar dalam kehidupan suatu masyarakat dan digunakan oleh manusia untuk menghadapi lingkungannya.

Perangkat tanda ini mengikuti pandangan umum yang dipakai antropologi dan dinyatakan secara eksplisit oleh Koentjaraningrat yaitu mencakup 3 (tiga) macam kenyataan atau realita yakni : (1) budaya materi

(material culture) yang merupakan hasil perilaku dan tindakan manusia;

(2) pola-pola perilaku (behavioral culture) yang berupa perilaku-perilaku yang mirip dan berulang kali terlihat; dan (3) pengetahuan (ideational culture) yang mencakup di dalamnya nilai-nilai, pandangan hidup, sistem kepercayaan, norma, aturan dan sebagainya. Dari penjelasan tersebut secara operasional, konsep simbol dan tanda dapat dijabarkan ke dalam 3 jenis yaitu : (1) simbol dan tanda berbentuk budaya materi; (2) simbol dan tanda yang berbentuk pola-pola perilaku; dan (3) simbol dan tanda yang berbentuk pengetahuan.

Melalui konsep simbol tersebut, saya mencoba menafsir dan memahami munculnya simbol-simbol baru yang dikonstruksi para agen

(laki-laki dan perempuan Dani) dan memahami adanya kecenderungan pembentukan struktur simbol yang baru dalam realita kehidupan masyarakat Dani. Kondisi di mana terdapat ruang-ruang pembentukan struktur simbol yang baru ini dapat dikatakan sebagai proses reproduksi kebudayaan atau reproduksi simbolik dalam struktur inom Dani.

38

2.2.3 Reproduksi Kebudayaan

Di dalam glossary of sosiological terms- School of Sociology and

Anthropology, yang dikutip oleh Bilton (1996) bahwa reproduksi kebudayaan adalah suatu proses transmisi norma-norma dan nilai-nilai budaya yang masih eksis dari generasi ke generasi. Reproduksi kebudayaan merujuk pada mekanisme untuk keberlangsungan dan eksistensi dari pengalaman-pengalaman budaya terdahulu. Hal ini berarti di satu sisi bentuk tradisi masih dipertahankan namun di sisi lain kebutuhan-kebutuhan saat ini juga diakomodir (Ina Ansari, 2014 :33)

Proses reproduksi kebudayaan merupakan proses aktif yang menegaskan keberadaannya dalam kehidupan sosial sehingga mengharuskan adanya adaptasi bagi kelompok yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda. Proses semacam ini merupakan proses sosial budaya yang penting karena menyangkut dua hal. Pertama, pada tataran masyarakat akan terlihat proses dominasi dan subordinasi budaya terjadi secara dinamis yang memungkinkan kita menjelaskan dinamika kebudayaan secara mendalam. Kedua, pada tataran individual akan dapat diamati proses resistensi di dalam reproduksi identitas budaya sekelompok orang di dalam konteks sosial budaya tertentu. Proses adaptasi ini berkaitan dengan dua aspek, yakni ekspresi kebudayaan dan pemberian makna akan tindakan-tindakan individual. Dengan kata lain hal ini berkaitan dengan cara individu atau kelompok orang dapat

39 mempertahankan identitasnya sebagai suatu etnis di dalam lingkungan sosial budaya yang berbeda.

Reproduksi kebudayaan dilatarbelakangi oleh perubahan wilayah tempat tinggal, latar belakang sosial, latar belakang kebudayaan, yang pada akhirnya akan memberikan warna bagi identitas kelompok dan identitas kesukubangsaan (Abdullah, 2001). Perubahan tersebut sejalan dengan mobilitas yang dilakukan manusia yang kini kian mencolok sejak abad ke 20.

Mobilitas sosial membuat lingkungan sosial budaya setiap orang berubah-ubah sehingga setiap orang sering kali dihadapkan pada nilai- nilai baru yang mengharuskan setiap orang menyesuaikan diri secara terus menerus. Dengan demikian terdapat dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, terjadi adaptasi cultural para pendatang dengan kebudayaan tempat ia bermukim, yang menyangkut adapatasi nilai dan praktik kehidupan secara umum. Kebuadayaan lokal menjadi kekuatan baru yang memperkenalkan nilai-nilai kepada pendatang, meskipun tak sepenuhnya memiliki daya paksa. Namun, proses reproduksi kebudayaan lokal, menjadi pusat orientasi nilai suatu masyarakat dan mempengaruhi mode ekspresi diri setiap orang. Kedua, proses pembentukan identitas individual yang dapat mengacu kepada nilai-nilai kebudayaan asalnya.

Bahkan mampu ikut memproduksi kebudayaan asalnya di tempat yang baru. Sehingga dalam hal ini kebudayaan disebut sebagai imagined values yang berfungsi dalam pikiran setiap orang sebagi pendukung dan

40 yang mempertahankan kebudayaan itu meskipun seseorang berada diluar lingkungan kebudayaannya.

Dalam buku yang berjudul “ Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan” yang ditulis oleh Irwan Abdullah (2006) olehnya ingin mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada yang berhenti, semuanya berjalan dan mengalami perubahan termasuk masalah kebudayaan. Karena alasan itulah maka penelitian antropologi pun hendaknya tidak berhenti atau kehilangan objek daya tariknya. Pemosisian kebudayaan sebagai simbol yang mengandung empat persoalan penting sebagai fokus kajian buku ini. Pertama, tentang batas-batas dari ruang budaya yang mempengaruhi pembentukan simbol dan makna yang diwariskan. Berbagai bentuk ekspresi kebudayaan dalam hal ini berada dalam wilayah kebudayaan yang batas-batasnya mengalami pergeseran yang dinamis. Kedua, batas-batas dari kebudayaan tersebut yang menentukan konstruksi makna dipengaruhi oleh hubungan kekuasaan yang melibatkan sejumlah aktor. Makna dalam hal ini dibangun dan bahkan diubah dalam suatu ruang dengan serangkaian pilihan nilai dan kepentingan yang dimiliki oleh masing- masing aktor atau agen dengan tingkat kekuasaan yang berbeda. Ketiga, pola hubungan kekuasaan ini kemudian menghasilkan identitas kelompok dan kelembagaan yang menjadikannya realitas objektif dan menentukan cara pandang antar kelompok. Keempat, identitas yang terbentuk melalui serangkaian simbol selain diterima juga menjadi objek pembicaraan, perdebatan, dan gugatan yang menegaskan perubahan yang mendasar

41 dalam batas-batas kebudayaan. Sifat relatif bukan saja menjadi bagian dari ruang negosiasi atas berlakunya suatu nilai dan praktik, tetapi juga menjadi titik penting bagi perubahan masyarakat secara mendasar di mana makna-makna mengalami pergeseran dari waktu ke waktu menuju suatu arah yang bersifat debatable dan kontestatif. (Geertz, 1973, 89).

Dalam bagian selanjutnya ia mengatakan bahwa kebudayaan adalah merupakan sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk simbolik, yang dengan cara ini manusia dapat berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikapnya terhadap kehidupan (Geertz, 1973, h. 89). Dari pernyataan Geertz di atas dapat disimpulkan bahwa kebudayaan akan selalu mengalami perubahan seiring dengan perubahan cara pandang perubahan manusia itu sendiri akibat perubahan lingkungan.

2.2.4 Habitus dan Arena Dari Bourdieu

Memahami realita sosial masyarakat Dani di Lembah Baliem saat ini adalah tepat untuk mempertemukan dua perspektif (objektivisme dan subjektivisme) yang selama ini bertolak belakang. Seperti kajian awal saya tentang “struktur budaya orang Dani dengan pendekatan strukturalisme

Levi-Strauss merupakan kajian dengan pendekatan objektivisme tanpa melibatkan perspektif subjektivisme. Menurut Bourdieu, pendekatan objektivisme menyakini bahwa dunia sosial dibentuk oleh hubungan- hubungan yang berada di luar kekuasaan dan kesadaran individu, belumlah lengkap jika tidak melibatkan pendekatan subjektivisme yang

42 meyakini bahwa pengetahuan tentang dunia sosial didasarkan pada pengalaman atau persepsi individu. Kedua pendekatan ini diperlukan untuk memahami dialektika di antara keduanya. Oleh Bourdieu, proses dialektika ini menghasilkan praktik sosial dan untuk mendialektikakan keduanya Bourdieu merumuskan konsep habitus, arena dan modal

(Bourdieu, 2010 : xiii-xvii).

2.2.4.1 Habitus

Habitus adalah struktur mental atau kognitif yang dengannya orang berhubungan dengan dunia social. Orang dibekali dengan serangkaian skema terinternalisasi yang mereka gunakan untuk mempersepsi, memahami, mengapresiasi, dan mengevaluasi dunia sosial. Habitus diperoleh sebagai akibat dari ditempatinya posisi sosial dalam waktu yang panjang, sehingga habitus bervariasi pada sifat posisi seseorang di dunia tersebut. Jadi, habitus antara orang satu dengan orang lain tidak sama.

Begitu juga habitus dapat bertahan lama dan dapat pula berubah yakni dipengaruhi oleh arena. Habitus menghasilkan dan dihasilkan oleh dunia sosial. Di satu sisi , habitus menstrukturkan struktur artinya, habitus adalah struktur yang menstrukturkan dunia sosial. Di sisi lain, habitus adalah struktur yang terstrukturkan artinya, bahwa habitus adalah struktur yang distrukturkan oleh dunia sosial. Dengan istilah lain Bourdieu menggambarkan habitus sebagai “ dialektika internalisasi eksternalisasi dan eksternalisasi internalisasi (Ritzer & Goodman, 2012:581)

43

Praktik inilah yang menghubungkan antara habitus dengan dunia sosial. Di satu sisi, melalui praktik inilah habitus diciptakan, di sisi lain habitus adalah akibat dari praktik yang diciptakan dunia sosial. Bourdieu mengemukakan fungsi mediasi praktik ini ketika mendefinisikan habitus sebagai sistem disposisi yang terstrukturkan dan menstrukturkan yang dibangun oleh praktik dan secara konstan ditujukan pada fungsi- fungsi praktik. Habitus sekadar menyarankan apa yang seharusnya dipikirkan orang dan apa yang seharusnya mereka pilih untuk dilakukan. Habitus memberikan prinsip yang digunakan orang untuk memilih strategi yang akan mereka gunakan di dunia sosial. Habitus bekerja sebagai struktur, namun orang tidak sekadar merespon secara mekanis terhadapnya atau terhadapa struktur eksternal yang beroperasi padanya. Bagi Bourdieu habitus adalah faktor penting yang berkontribusi untuk reproduksi sosial karena merupakan pusat untuk menghasilkan dan mengatur praktik yang membentuk kehidupan sosial (Ritzer & Goodman, 2012:449).

2.2.4.2 Modal (Capital)

Usaha Bourdieu dalam menjadikan struktur dan agensi sebagai dualitas, selain tidak bisa dilepaskan dari konsepnya tentang habitus, juga konsepnya tentang modal berkaitan erat dengan konsep habitus.

Menurutnya ada empat macam modal, yaitu (1) modal sosial (hubungan- hubungan sosial yang memungkinkan seseorang bermobilisasi demi kepentingan sendiri); (2) modal kultural/budaya (modal informasi, pendidikan, keterampilan dll.), (3) modal simbolis (agama, kharisma dll.)

44 dan (4) modal ekonomi (uang, harta benda, kepemilikan dll). Modal-modal tersebut tidak bersikap tertutup, memungkinkan antara modal satu dengan modal lainnya saling bersentuhan, menegasi, menghadirkan modal lainnya.

Dalam keterkaitannya dengan habitus, modal memiliki peran yang penting. Dalam diri seseorang, modal selalu hadir bersamaan dengan habitus. Agen selalu berusaha untuk kreatif, memetakan strategi untuk mengimprovisasi. Di sinilah empat modal tersebut mempunyai posisi yang penting, menjadi bagian dari pergulatan agensi. Bourdieu menganggap bahwa modal memainkan peranan yang penting, karena modallah yang memungkinkan orang untuk mengendalikan orang untuk mengendalikan nasibnya sendiri maupun nasib orang lain (Ritzer & Goodman, 2012:583).

2.2.4.3 Arena (Field)

Arena adalah tempat bercengkramanya habitus-habitus yang di dalamnya terdapat berbagai perjuangan dan maneuver antar habitus dalam memperebutkan makna, sumber daya, mengungguli, mencari pengakuan, memosisikan diri dsb. Arena dapat dilihat dalam beberapa ruang simbolik baik level makro seperti negara, dunia Agama, ekonomi, maupun level mikro seperti : partai politik, Warung Apresiasi Seni dan sebagainya Semuanya adalah arena perjuangan antara habitus dengan habitus lainnya. Agensi ketika menghadapi arena tertentu harus mengetahui kode-kode dan aturan yang sudah berkembang di dalamnya.

45

Arena lebih bersifat relasional ketimbang struktural. Arena adalah jaringan hubungan antar posisi obyektif di dalamnya. Keberadaan hubungan ini terlepas dari kesadaran dan kemauan individu. Arena bukanlah interaksi atau ikatan lingkungan bukanlah intersubyektif antara individu. Penghuni posisi mungkin agen individual atau lembaga, dan penghuni posisi ini dikendalikan oleh struktur lingkungan.

Arena menurut Pierre Bourdie adalah jaringan relasi antar posisi subyektif yang keberadaan relasi-relasi ini terpisah dari kesadaran dan kehendak individu. Relasi tersebut, bukan intersubyektif antar individu yang menduduki posisi, bisa jadi harapan agen atau institusi itu terhambat oleh struktur arena itu sendiri. Bourdiue melihat arena sebagai lahan pertempuran dimana arena juga merupakan arena perjuangan yang menopang dan mengarahkan strategi yang digunakan oleh orang-orang yang menduduki posisi ini untuk berupaya baik individu maupun kolektif, mengamankan atau meningkatkan posisi mereka dan menerapkan prinsip hierarkisasi yang paling cocok untuk produk mereka (Ritzer & Goodman,

2012:582).

Lewat ketiga konsep ini, saya mencoba memahami cara kerja habitus dari setiap individu dalam melakukan kreasi-kreasi yang pada saat bersamaan berhadapan dengan ranah sosisl silimo atau struktur ruang silimo dan ranah aktivitas ekonomi. Ada kecenderungan habitus individu sebagai struktur bertindak menghasilkan struktur yang baru ruang

46 sosial yang baru, seperti yang tampak pada struktur simbol-simbol budaya yang ada dalam ruang silimo dan aktifitas ekonomi masyarakat Dani.

47

BAB III

PROSES PENELITIAN

3.1 Setting Penelitian

Penelitian ini merupakan kajian ilmu yang tidak terlepas dari penelitian awa, yaitu kajian terhadap struktur budaya inom pada orang

Dani di Kurulu dengan pendekatan strukturalisme Levi-Struss. Sebagai masyarakat yang dinamis, tentunya mengalami berbagai proses perubahan

Untuk itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apa saja simbol-simbol atau nilai-nilai budaya dan bagaimana simbol-simbol tersebut direproduksi dalam struktur inom dalam konteks dinamika kehidupan masyarakat Dani.

Proses penelitian ini saya lakukan melalui 2 (dua) tahap yaitu, pertama adalah studi kepustakaan yaitu suatu tahapan yang saya lakukan sebelum saya mengumpulkan data di lapangan..Saya memulai tahapan ini dengan mengumpulkan sejumlah data sekunder baik di kabupaten maupun di tingkat distrik. Selain itu proses mereview berbagai artikel, buku-buku teks, dan laporan hasil penelitian yang relevan dengan model penelitian yang saya lakukan. Selanjutnya masuk ke tahap kedua yaitu studi lapangan yang saya lakukan pada masyarakat Dani yang berada distrik

Kurulu Lembah Baliem Jayawijaya. Saya mengawali kegiatan penelitian ini dengan mengajukan surat izin penelitian dari Pascasarjana Universitas

Hasanuddin Makassar kepada Kepala Pemerintahan Daerah Kabupaten

Jayawijaya di Wamena. Setelah mendapatkan rekomendasi dari Pemda

48 kabupaten, selanjutnya saya melapor dan menjelaskan maksud dan rencana penelitian saya di Kurulu. Pengumpulan data di lapangan saya awali dengan melakukan observasi dan pemetaan terhadap kampung- kampung yang telah mengalami pergeseran kebudayaan sehingga saya dapat mengidentifikasi tema-tema budaya dalam struktur budaya inom yang akan dikaji kembali berkaitan dengan konteks perubahan yang dialami oleh masyarakat. Hasil identifikasi tersebut, saya memutuskan untuk mengkaji kembali 2 fenomena budaya yaitu, 1) fenomena budaya dalam ruang silimo; 2) fenomena budaya berladang tradisonal atau aktivitas ekonomi; Dari ke-2 tema yang dipilih maka langkah selanjutnya saya menentukan informan kunci, yaitu bapak Yonas Mabel (YM) yang berperan sebagai salah satu Pengelola Mumi, juga sebagai fungsionaris adat kesuburan. Selanjutnya informan lainnya bertambah sesuai dengan tema-tema budaya yang menjadi fokus penelitian ini. Selanjunya saya melakukan penelitian yang diawali tanggal 20 November 2014 dan dilanjutkan kembali tanggal 13 April 2015 sampai 20 Juni 2015.

3.2 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang lebih berfokus pada masalah proses dan makna. Jenis penelitian ini dianggap cocok untuk menemukan dan memahami proses dinamika masyarakat Dani yang sedang mengalami pergeseran budaya dan peneliti berusaha menafsir simbol-simbol baru yang muncul akibat pergeseran budaya tersebut. Untuk menjaring data

49 hingga proses analisa data, saya menggunakan strategi penelitian kebudayaan dengan metode pendekatan interpretatif (interpretatif simbolik). Lewat pendekatan ini, struktur inom sebagai budaya Orang Dani menampilkan fakta-fakta empiris ( yang dianalogikan sebagai kata-kata atau bahasa) sebagai teks kebudayaan (Endraswara, 2003:123-124).

Prinsip utama dari pendekatan ini adalah melihat fenomena budaya

Orang Dani saat kini sebagai suatu teks. Tujuan peneliti di sini adalah

“membaca” dan “memahami” struktur budaya Orang Dani (inom) dalam kaitannya dengan proses dinamika masyarakat saat kini. Peneliti berusaha menafsir dan mengungkapkan makna fenomena simbolik di balik struktur inom. Peneliti juga menghadirkan kembali simbol-simbol baru dan memahami makna dari proses realitas kehidupan masyarakat Dani. Oleh sebab itu pendekatan lain yang digunakan adalah pendekatan pasca strukturalisme dan cultural studies, sehingga menuntut pilihan pendekatan yang mampu mengakomodasi secara tepat. Pendekatan pasca strukturalis, yang terobsesi menolak ide tentang struktur stabil yang melandasi makna melalui pasangan oposisi biner hitam-putih, benar-salah, baik-buruk.

Makna tidak lagi hanya dibatasi pada teks, kata, atau kalimat tertentu tetapi juga harus dilihat bagaimana hubungan antar teks intertekstualitas (Baker,

2005: 19). Terutama pasca strukturalis yang dikedepankan Pierre Bourdieu dalam membaca pratek budaya individu dan komunitas sosial yang melarutkan pembagian antara perspektif objektif dan subjektif dalam ilmu sosial, lalu mendialogkan secara aktif melalui penggunaan konsep-konsep

50 seperti habitus, ranah, dan modal. Melalui teori prakteknya, Bourdieu menegaskankan bahwa praktik (tindakan budaya) merupakan produk dari relasi antara habitus dan ranah sebagai produk sejarah. Pada saat yang sama habitus dan ranah merupakan produk dari medan daya-daya yang ada dalam masyarakat dengan dukungan perangkat “modal” yang dimilikinya (Baker, 2005: 20-21).

3.3 Subyek Penelitian

Subyek penelitian adalah masyarakat Dani yang menempati daerah

Lembah Baliem, tepatnya masyarakat Distrik Kurulu. Terpilihnya distrik ini dianggap sebagai lokasi yang berdekatan dengan daerah ibukota kabupaten dan dinilai sebagai distrik yang tingkat mobilitas penduduknya tinggi serta tampak interaksi timbal-balik masyarakat dengan kebudayaan baru telah berdampak pada pergeseran beberapa unsur kebudayaan.

Penentuan subyek penelitian dilakukan dengan model seleksi komprehensif, yaitu seleksi berdasarkan kasus, tahap dan unsur yang relevan (Endraswara, 2003:52). Prosedur penentuan subyek penelitian dalam rangka pengumpulan data berkaitan dengan tema-tema budaya yang dibangun dalam struktur inom, yaitu 1) kosmologi, 2) ruang hidup silimo dan 3) aktivitas berladang. Subyek penelitian adalah representatif dari masing-masing tema budaya. Mereka adalah 1) tokoh-tokoh adat, dan anggota keluarga sebagai penghuni suatu silimo baik laki-laki atau perempuan dewasa; 2) penghuni atau pernah sebagai penghuni silimo masyarakat, laki-laki atau perempuan dewasa; 3) petani/peladang kebun

51 tradisonal maupun modern; laki-laki atau perempuan dewasa; 4) pemimpin/anggota keluarga dari klen senior baik laki-laki maupun perempuan dewasa;

Subyek penelitian juga dilakukan dengan model seleksi dengan perbandingan antar kasus (Endraswara, 2003:52). Model ini dipilih peneliti untuk mendapat data perbandingan dari informan yang dikategori berada dalam kasus budaya Orang Dani yang masih asli dan informan yang berada dalam kasus budaya Orang Dani yang telah berubah. Berkaitan dengan model ini, peneliti menentukan informan berdasarkan 2 tema budaya seperti yang disebutkan di atas. Model ini bisa dilakukan juga dengan teknik snow ball sampling (Idrus M, 2002:92).

3.4 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di distrik Kurulu serta beberapa kampung yang berdekatan dengan distrik ini seperti kampung Pisugi (daerah Pike).

Jayawijaya. Alasan utama memilih lokasi tersebut karena penelitian ini merupakan penelitian lanjutan terhadap masyarakat dan fenomena budayanya yang sama dengan kajian awal. Perbedaannya hanya pada penggunaan perspektif, yaitu perspektif poststruktural yang digunakan pada penelitian ini.

Ada beberapa kampung utama yang menjadi pusat penelitian ini di distrik Kurulu yaitu (1) kampung Jiwika, sebagai kota distrik; (2) kampung

Sompaima, sebagai kampung wisata; (3) daerah Pike sebagai kampung yang mengembangkan tanaman padi; dan juga beberapa lokasi di sekitar

52 kota Wamena yang menjadi pemukiman orang asli Kurulu. Lokasi-lokasi tersebut menjadi tujuan saya untuk melihat bagaimana proses dinamika masyarakat dalam mengakses berbagai perubahan dari luar yang memiliki kecenderungan terhadap pembentukan ruang-ruang baru atau simbol- simbol budaya baru dalam struktur budaya orang Dani.

3.5 Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan dalam 2 (tahap) yaitu tahap pertama dilaksanakan pada bulan November hingga Desember 2014. Pada tahap ini saya menetap bersama warga di Kurulu dan melakukan pengumpulan data khususnya mengindentifikasi bentuk-bentuk perubahan sosial budaya dalam masyarakat; selanjutnya pada tahap kedua, berlangsung bulan April hingga Juni 2015. Pada tahap ini, saya telah mendapatkan gambaran mengenai informan yang terlibat dalam berbagai bentuk perubahan sosial budaya dan lewat informan tersebut, peneliti melakukan wawancara dan observasi terhadap berbagai aktivitas, perilaku dan gaya hidup mereka dalam kehidupan sehari-hari.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

3.6.1 Studi Kepustakaan

Pengumpulan data dilakukan melalui beberapa teknik yaitu pertama saya mengumpulkan data lewat studi kepustakaan. Lewat teknik ini saya berhasil mengumpulkan data yang relevan dengan tema penelitian.

Sejumlah data yang diharapkan adalah, 1) data yang berhubungan dengan

53

Kebudayaan Orang Dani dan juga perubahan sosial dan budaya yang terjadi dalam kehidupan msyarakat Dani; 2) lewat teknik ini saya memperoleh literatur-literatur dalam bentuk jurnal, artikel atau buku teks yang berkaitan dengan model penelitian poststrukturalisme atau konstruktivisme budaya (reproduksi simbolik) serta hasil-hasil penelitian lainnya yang berhubungan dengan makna simbolik. Sejumlah referensi yang terkumpul saya peroleh dengan mengunjungi perpustakaan lembaga pendidikan dan juga bisa dilakukan dengan cara download melalui internet.

3.6.2 Pengamatan (Observation)

Pengamatan dilakukan untuk mengetahui realitas kehidupan atau proses kehidupan masyarakat Dani yang sedang berlangsung. Teknik ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang unsur-unsur budaya yang membentuk struktur budaya orang Dani, dan juga mengamati perubahan- perubahan dalam struktur budaya seperti bentuk-bentuk budaya baru atau simbol-simbol budaya baru. Pengamatan juga dilakukan pada pola tindakan atau perilaku individu terhadap bentuk-bentuk budaya baru.

Pengamatan berfokuskan pada fenomena budaya yang menjadi elemen-elemen empirik dalam proses pembentuk struktur inom. Pertama, saya lakukan pengamatan terhadap lingkungan silimo sebagai tempat tinggal masyarakat. Bagaimana keadaan dari sisi bentuk, posisi dan suasana hidup masyarakat dalam silimo tersebut. Kedua, saya juga akan mengamati kondisi kebun-kebun tradisonal dan juga kebun-kebun baru sebagai kontak dengan pemerintah. Ketiga, peneliti juga akan mengamati

54 aktivitas sehari-hari dari kelompok laki-laki dan perempuan Dani yang terlibat dalam beberapa aktivitas sosial budaya yang baru. Dari hasil pengamatan tersebut, saya mengembangkannya dalam bentuk pertanyaan pada saat berwaawancara dengan informan.

3.6.3 Wawancara Mendalam (Indeepth Interview)

Selain observasi sebagai teknik pengumpulan data di lapangan, saya juga melakukan wawancara mendalam dengan beberapa informan.

Waancara ini dilakukan terkait dengan realita hidup masyarakat Dani, siapa yang terlibat dalam proses pembentukan budaya atau simbol baru, bagaimana persepsi mereka tentang penerimaaan simbol-simbol baru dan bagaimana sikap mereka terhadap perubahan yang terjadi dalam struktur budaya mereka. Proses wawancara dilakukan dengan menggunakan daftar wawancara sejumlah daftar pertanyaan atau pedoman penelitian.

Proses ini didukung juga lewat perekaman suara untuk merekam hasil wawancara saya dengan informan. Untuk itu perlu terlebih dahulu saya menginformasikan tujuan dan menjelaskan proses peliputan data lewat perekaman, dan bentuk wawancara. Selain perekaman suara saat berwawancara, proses pengambilan gambar (foto) yang berkaitan dengan topil penelitian ini juga saya lakukan dengan memohon ijin terlebih dahulu.

Proses wawancara saya awali dengan mewawancarai informan kunci, selanjutnya saya mendapatkan gambaran tentang informan lainnya yang dapat memberikan data sesuai dengan subyek penelitian ini. Mereka adalah Para fungsionaris adat, Pegawai Pemerintahan Distrik dan

55 kampung dan informan-informan yang mengetahui dan paham dengan topik penelitian ini.yaitu masalah sekitar kebudayaan mereka seperti pola pemukiman tradisonal/modern; Bentuk-bentuk kebun/ladang dan juga aktivitas ekonomi lainnya; relasi-relasi sosial terbangun dalam silimo, kampung dan juga respon subyek simbol-simbol budaya yang terdapat dalam struktur budayanya. Wawancara mendalam juga dilakukan untuk mendapatkan data yang berkaitan dengan ruang-ruang baru yang ditempati laki-laki dan perempuan dalam struktur kehidupannya serta respon atau sikap mereka terhadap pembentukan ruang-ruang baru tersebut.

3.7. Analisa Data

Analisa data dilakukan peneliti lewat pengkajian proses pengumpulan data di lapangan yaitu pengkajian data wawancara, hasil pengamatan, dokumen lain yang telah terkumpul selama penelitian lapangan. Prosess ini sebenarnya telah berjalan saat pengumpulan data di lapangan (melalui wawancara dan observasi). Catatan lapangan berupa laporan harian, laporan ringkas perlu diberikan analisa atau interpretasi. Di sini peneliti peneliti sudah mencoba menghubung-hubungkan informasi atau data dari berbagai informan. Informasi tesebut disusun dan kemudian dibuat suatu kesimpulan. Model analisa data dalam penelitian ini menggunakan model analisa maju bertahan yang diajukan oleh Spradley. (Idrus M, 2009:152)

Peneliti mengalisis hasil wawancara dan observasi pastisipasi. Analisa ini dikaitkan dengan realita hidup masyarakat (subyek), simbol dan makna

56 yang disampaikan informan. Peneliti harus menandai bentuk-bentuk budaya baru dan menafsir simbol-simbol budaya serta mengidentifikasikannya. Langka selanjutnya, peneliti membuat analisis domain. Analisa domain dilakukan dengan membuat istilah pencakup dari apa yang dinyatakan informan. Istilah tersebut harus memiliki hubungan semantik yang jelas. Sebelum masuk pada analisa taksonomi, ada pertanyaan-pertanyaan structural yang perlu diajukan untuk melengkapi pertanyaan deskripstif. Setelah pertanyaan tersebut diajukan dan terasa sudah cukup lengkap, maka peneliti mulai membuat analisis taksonomik.

.Tahap selanjutnya adalah membuat analisis komponen. Analisa ini telah saya lakukan ketika hingga selesai dari lapangan. Hal ini untuk menghindari manakala ada hal-hal yang masih perlu ditambah, segera dilakukan wawancara ulang kepada informan. Puncak dari analisa ini adalah menemukan tema-tema budaya.

3.8. Pengalaman Penelitian

Penelitian etnografi dengan pendekatan post-struktural yang dilakukan pada penelitian ini merupakan model penelitian yang baru bagi peneliti. Sehingga dalam proses penelitian yang dilalui lewat 2 tahapan yaitu pertama pada tahap pengumpulan bahan dan pemahaman referensi yang terkait dengan fokus atau permasalahan penelitian dan kedua pengumpulan data di lapangan menurut peneliti terdapat beberapa masalah yang sempat menghambat jadwal penelitian hingga penulisan naskah disertasi ini.

57

Saya sebagai peneliti yang belum familiar dengan pendekatan yang digunakan ini adalah menjadi suatu tantangan yang harus dihadapi.

Pengalaman peneliti mengumpulkan bahan bacaan, baik buku teks, artikel atau penelitian awal yang terkait pesrpektif dalam tulisan ini sempat mengalami kendala. Beberapa perpusatakaan yang dikunjungi baik di

Jayapura maupun Makassar tidak begitu banyak menyediakan referensi yang terkait dengan fokus penelitian ini. Ada beberapa literatur yang saya peroleh tetapi lebih banyak mengarah pada kajian post-struktural yang bersifat kajian linguistik dan kesusastraan. Beberapa bacaan lainnya, lebih mengarah pada politik identitas suatu masyarakat.

Sebagai suatu kajian yang memperbincangkan dua perspektif yang berbeda yaitu perspektif objektif dari pendekatan strukturalisme Levi-

Strauss dan perspeptif subyektif atau pendekatan post struktural (Teori

Praksis Bourdiue) menurut saya cukup menguras pikiran, tenaga dan waktu. Tetapi secara perlahan-lahan lewat pembimbingan Tim Promotor, ada pintu keluar yang membawa saya untuk bisa memahami permasalahan penelitian ini. Beberapa artikel dari jurnal ilmiah, karya diserta S3 dari Dr Tasrifin Tahara, M.Si pun sangat membantu saya.

Pengalaman penelitian berikut yang saya alami adalah pada saat terjun ke lapangan. Mulanya, sebagai peneliti yang sudah beberapa kali mengadakan penelitian pada masyarakat di lokasi yang sama, yaitu masyarakat Kurulu merasa tidak canggung lagi hadir di tengah-tengah masyarakat. Sepintas saya berpikir bahwa, lokasi penelitian ini mudah

58 dijangkau karena dekat dengan kota, pasti saya akan mudah mendapatkan data karena beberapa informan yang saya sudah mengenalnya dengan sangat baik, terpikir juga bahwa pasti data sekunder yang tersedia di distrik atau kabupaten dapat saya peroleh dengan mudah dan sebagainya.

Ternyata yang saya pikirkan tersebut, tidaklah demikian. Pada saat turun lokasi penelitian bulan Oktober hingga November 2014, akses menuju

Kurulu dari kota Wamena tertutup selama beberapa hari karena ada insiden kecelakaan warga Tolikara yang berujung pada peristiwa kematian putra asli Kurulu (Bapak Y Mabel) yang menjabat sebagai Kapolsek

Kurulu. Penyelesaian konflik ini menyita waktu yang lama sehingga, jadwal penelitian saya di lokasi Kurulu tidak berjalan efektif. Hal yang sama terjadi pula di bulan Februari hingga Maret 2015, lewat peristiwa meninggalnya

Bapak Musa Mabel sebagai putra adat Kurulu sekaligus konseptor pemekaran kabupaten Okika di daerah sekitar Kurulu. Menurut warga, kematiannya dinilai tidak wajar sehingga menimbulkan amarah warga yang berujung pada penutupan jalan trans antara kabupaten di Kurulu. Begitu juga timbulnya konflik warga di Tolikara di hari Idul Fitri tahun 2015 berdampak kepada proses penelitian saya.

Hal lainnya yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah adanya pertanyaan dari seorang PNS di Pemda Jayawijaya saat saya mengurus surat ijin penelitian, “ibu, mengapa penelitian di Kurulu? Sudah banyak orang yang meneliti di situ, pasti yang ditulis tentang adat-adat mereka itu saja”. Pertanyaan ini menjadi masukan untuk saya agar

59 menyiapkan strategi penelitian agar tidak terkesan membosankan bagi masyarakat. Selanjutnya, hal lain yang yang menjadi kendala di lapangan adalah kurang tersedianya data sekunder di kantor-kantor pemerintahan yang ada di distrik Kurulu.

Pengalaman peneliti sewaktu pengumpulan data, peneliti dibantu oleh dua orang asisten yang masing-masing adalah warga asli daerah Lembah

Baliem, sehingga dengan mudah peneliti dapat berinteraksi atau berwawancara dengan para informan. Namun dalam setiap proses wawancara dan pengamatan, peneliti berusaha untuk memahami dan menafsir setiap fenomena budaya yang tampak dalam kehidupan masyarakat. Pengalaman peneliti selama melaksanakan penelitian lapangan adalah proses menjelaskan, menafsir, dan memahami setiap fenomena budaya atau setiap simbol budaya yang tampak dalam kehidupan masyarakat. Proses ini sempat harus dilakukan secara berulang kali bersama dengan informan untuk memperolah makna budaya yang bukan muncul dari peneliti saya tetapi juga makna budaya yang diperoleh dari penjelaskan informan atau masyarakat lokal. Sering untuk mencocokkan penjelasan informan yang berbeda-beda terhadap fenomena budaya yang sama di lapangan membutuhkan ketelitian dan kesabaran peneliti untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Demikian beberapa catatan pengalaman peneliti saat mengadakan penelitian disertasi ini.

.

60

61

BAB IV

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

4.1. Lokasi Dan Lingkungan Alam

Jayawijaya merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Papua.

Kabupaten yang beribu kota di Wamena ini terletak di Lembah Baliem.

Dalam literatur asing Lembah Baliem sering disebut Lembah Agung

(Grand Valley). Kabupaten Jayawijaya dibentuk berdasarkan Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 1969, tentang pembentukan Provinsi Otonom

Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat.

Berdasarkan pada Undang-undang tersebut, Kabupaten Jayawijaya terletak pada garis meridian 137°12'-141°00' Bujur Timur, dan 3°2'-5°12'

Lintang Selatan, yang memiliki daratan seluas 52.916 km², merupakan satu-satunya kabupaten di Provinsi Irian Barat (pada saat itu) yang wilayahnya tidak bersentuhan dengan bibir pantai. Kondisi wilayahnya yang sebagian besar bergunung-gunung, lebih dikenal orang dengan sebutan “daerah pegunungan Jayawijaya”.

Mengingat luasnya wilayah ini maka pada tahun 2002 oleh pemerintah pusat berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk mengupayakan pemekaran wilayah. Berdasarkan Undang-Undang

Nomor 26 Tahun 2002 maka terbentuk tiga kabupaten baru yaitu

Kabupaten Tolikara dengan ibukota Karubaga, Kabupaten Pegunungan

Bintang dengan ibukota Oksibil, dan Kabupaten Yahukimo dengan ibukota Dekai. Sementara Kabupaten Jayawijaya sebagai kabupaten

61

induk tetap beribu kota di Wamena Lembah Balim.

Pemekaran kabupaten tahap kedua dilakukan pada tahun 2008, yaitu pemekaran dari wilayah Kabupaten Jayawijaya dan sebagian wilayah kabupaten pemekaran pertama. Dimekarkan empat kabupaten baru yang diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri RI pada tanggal 12

Juni 2008 di Wamena. Keempat kabupaten yang baru dimekarkan adalah Kabupaten Mamberamo Tengah1, Kabupaten Yalimo2, kabupaten

Lani Jaya3 dan Kabupaten Nduga.

Setelah pemekaran letak geografis kabupaten ini berada pada garis meridian 138o30’ – 139o40’ Bujur Timur dan 3o45’ – 4o20’ Lintang

Selatan yang memiliki daratan seluas 13.925,31 km2. Kabupaten ini berbatasan dengan kabupaten Membramo Tengah, Kabupaten Yalimo, dan Kabupaten Tolikara disebelah utara. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Nduga dan Kabupaten Yahukimo, sedangkan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Yahukimo dan Yalimo.

Sebelah barat adalah Kabupaten Nduga dan Kabupaten Lanny Jaya.

Sejak tahun 2011 kabupaten ini terbagi menjadi 40 distrik atau kecamatan.

1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang pemekaran Kabupaten Mamberamo Tengah dengan ibukota Kobakma. 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang pemekaran Kabupaten Yalimo, dengan ibukota Elelim. 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang pemekaran Kabupaten Lanny Jaya, dengan ibukota Tiom.

62

Gambar 4.1 Peta Kabupaten Jayawijaya

Sumber : Kabupaten Jayawijaya Dalam Angka (BPS), 2016.

Topografi dan Iklim. Kabupaten Jayawijaya berada di hamparan

Lembah Baliem, sebuah lembah aluvial yang terbentang pada areal ketinggian 1500-2000m di atas permukaan laut. Temperatur udara bervariasi antara 14,5°C sampai dengan 24,5°C. Dalam setahun rata- rata curah hujan adalah 1.900 mm dan dalam sebulan terdapat kurang lebih 16 hari hujan. Musim kemarau dan musim penghujan sulit dibedakan. Bulan Maret adalah bulan dengan curah hujan terbesar, sedangkan curah hujan terendah ditemukan pada bulan Juli.

Lembah Baliem dikelilingi oleh Pegunungan Jayawijaya yang terkenal karena puncak-puncak salju abadinya, antara lain: Puncak

Trikora (4.750 m), Puncak Mandala (4.700 m) dan Puncak Yamin (4.595 m). Pegunungan ini amat menarik wisatawan dan peneliti Ilmu

63

Pengetahuan Alam karena puncaknya yang selalu ditutupi salju walaupun berada di kawasan tropis. Lereng pegunungan yang terjal dan lembah sungai yang sempit dan curam menjadi ciri khas pegunungan ini.

Cekungan lembah sungai yang cukup luas terdapat hanya di Lembah

Baliem Barat dan Lembah Baliem Timur (Wamena). Vegetasi alam hutan tropis basah di dataran rendah memberi peluang pada hutan iklim sedang berkembang cepat di lembah ini. Ekosistem hutan pegunungan berkembang di daerah ketinggian 1.550 meter di atas permukaan laut.

Ekosistem hutan pegunungan berkembang di daerah berketinggian

2000-2500m, yang luasnya dan waktu ke waktu semakin sempit karena digunakan untuk kepentingan berladang ubi jalar. Selain itu adanya penebangan beberapa pohon yang dimanfaatkan untuk bahan pembuatan rumah (pilamo, ebe-ai), kandang babi, pagar silimo, kayu bakar (memasak dan membakar mayat), dan pembangunan fisik desa maupun kota yang sedang berkembang. Kondisi ini secara perlahan- lahan mengubah hutan primer di sekitar daerah pegunungan menjadi hutan-hutan sekunder yang didominasi oleh tumbuhan alang-alang.

Daerah Lembah Balim yang didominasi oleh hutan-hutan sekunder memiliki tanah yang cukup subur untuk pengembangan pertanian, di mana tampak adanya hamparan areal-areal kebun ubi jalar dan sayur- sayuran bersamaan dengan terkonsentrasinya penduduk pada masing- masing silimo atau o’ ukul.

64

Administratif. Kabupaten dengan wilayah seluas 13.925, 31 km2

(Jayawijaya dalam angka, 2014) ini, tercatat bahwa di tahun 2011 wilayah Kabupaten Jayawijaya terjadi pemekaran Daerah Otonomi

Khusus yang menghasilkan 40 distrik/kecamatan yang terdiri dari 4

Kelurahan dan 328 Kampung/desa. Berikut table 4.1 yang menjelaskan jumlah kampung dan luasnya berdasarkan persebaran distrik.

Tabel 4.1 Jumlah Kampung dan Luas Wilayah Berdasarkan Persebaran Distrik

No. Nama Distrik Jumlah Luas (Ha) Kelurahan/Kampung 1. Wamena 11 24.931 2. Trikora 6 19.007 3. Napua 9 24.664 4. Walaik 5 17.633 5. Wouma 7 24.309 6. Hubikosi 11 54.790 7. Hubikiak 8 54.170 8. Pelebaga 13 51.418 9. Ibele 10 33.313 10. Tailarek 8 32.079 11. Walelagama 6 41.233 12. Itlay Hisage 9 49.895 13. Siepkosi 9 35.472 14. Kurulu 12 49.233 15. Usilimo 10 32.158 16. Wita Waya 5 21.724 17. Libarek 5 21.323 18. Wadangku 5 21.990

65

19. Pisugi 7 33.603 20. Yalengga 11 68.906 21. Koragi 5 46.594 22. Bolakme 12 42.907 23. Tagime 11 40.626 24. Molagalame 6 22.867 25. Tagineri 9 29.159 26. Asologaima 10 18.237 27. Silo Karno Doga 8 30.975 28. Pyramid 10 29.718 29. Muliama 12 33.783 30. Wollo 8 33.967 31. Bugi 8 46.383 32. Bpiri 7 34.812 33. Asolokobal 9 37.551 34. Walesi 7 25.021 35. Asotipo 10 31.957 36. Maima 7 18.861 37. Musatfak 10 99.485 38. Wame 4 16.816 39. Popugoba 4 16.030 40 Wesaput 8 24.931 Jumlah 1.392.531 332

Sumber : Kabupaten Jayawijaya Dalam Angka (BPS), 2014

Distrik Kurulu. Berkaitan dengan metode penelitian ini, maka

Kurulu merupakan lokasi yang dipilih saya sebagai lokasi penelitian.

Distrik yang menjadi wilayah penelitian ini terletak di sebelah utara

Lembah Balim, posisinya melintang dari timur ke barat. Secara geografis. distrik ini terbentang pada garis lintang 03045' – 04000' LS dan pada garis

66

bujur 138050' – 139015' BT. Batas wilayah distrik ini secara administratif, di sebelah barat berbatasan dengan distrik Asologaima dan distrik Kelila, di sebelah timur berbatasan dengan distrik Kurima (kabupaten

Yahukimo) sedangkan di sebelah selatan berbatasan dengan distrik

Wamena dan di sebelah utara berbatasan distrik Bokondini (kabupaten

Tolikara).

Sampai dengan akhir 2011, wilayah yang memiliki luas 1.066 km2 atau 106.600 ha, terbagi dalam 12 kampung/desa. Sebagian besar kampung berada di daerah dataran seperti Kampung Jiwika, Wagawaga,

Milima, Abusa, Hompama, Wenabubaga, Pabuma, Korma, Eragama, dan sisanya berada di daerah perbukitan dan pegunungan antara lain, kampung Wosiala, Watlangku dan Kumima.

Kampung Jiwika merupakan wilayah ibu kota Distrik Kurulu.

Kampung yang berada di daerah dataran dengan tanah yang cukup subur ini memiliki luas kira-kira 71 km2 atau 7.100 ha. Sebagian dari wilayah kampung ini masih dikombinasikan dengan tanah yang tandus, terutama di bagian utara yang berbatasan dengan kampung Watlangku, dan ada juga daerah berada di bagian selatan atau pinggiran sungai

Balim. Ada dua buah anak sungai yang berasal dari pegunungan bagian utara kampung Jiwika, yaitu sungai Besagae yang mengalir di sebelah timur dan sungai Sompan di sebelah barat. Kedua anak sungai ini mengalir ke dataran melewati kebun-kebun ubi jalar dan perkampungan penduduk dan selanjutnya bermuara ke sungai Balim. Secara alami ke

67

dua sungai yang mengapit kampung Jiwika ini dijadikan sebagai menjadi batas wilayah dengan kampong-kampung sekitamya.

Batas wilayah kampung Jiwika secara administratif berbatasan dengan kampung Watlangku di sebelah utara, kampung Eragama di sebelah selatan, kampung Wenabubaga di sebelah timur, dan kampung

Wagawaga di sebelah barat. Jiwika, sebagai suatu kampung dan sekaligus sebagai “kota distrik Kurulu” tentunya tidak hanya dihuni oleh perkampungan-perkampungan masyarakat Dani, tetapi juga sudah terdapat bangunan-bangunan seperti, kantor distrik, puskesmas, gedung sekolah (SD, SLTP, SMU), rumah dokter, koperasi, gereja, penginapan dan lain sebagaimya.

Transportasi menuju Distrik Kurulu ditempuh dengan angkutan darat. Jarak kota Wamena ke distrik ini kira-kira 15 km dengan waktu tempuh selama 20-45 menit.

4.2 Demografi

Berdasarkan data statistik (BPS) jumlah penduduk Kabupaten

Jayawijaya dari hasil registrasi penduduk pada tahun 2014 sebesar

203.085 jiwa. Jumlah tersebut tersebar di seluruh wilayah distrik yang ada di Kabupaten Jayawijaya. Persebaran penduduk terbanyak terdapat di Distrik Wamena yaitu sejumlah 44.209 jiwa (22,77 %). sedangkan jumlah penduduk terkecil terdapat di Distrik Koragi sebanyak 780 Jiwa

(0,38 %). Keseluruhan jumlah penduduk dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

68

Tabel 4.2 Jumlah Penduduk dan Kepala Keluarga Berdasarkan Persebaran Distrik

No Distrik Jumlah Penduduk Jumlah Kepala Keluarga / KK 1. Wamena 44.209 11.052 2. Trikora 5.667 1.417 3. Napua 2.681 670 4. Walaik 3.635 909 5. Wouma 3.305 826 6.. Hubikosi 7.299 1.825 7. Hubikiak 6.924 1.731 8. Pelebaga 6.414 1.604 9. Ibele 7.660 1.915 10. Tailarek 2.925 731 11. Walelagama 1.830 458 12. Itlay Hisage 6.254 1.564 13. Siepkosi 3.496 874 14. Kurulu 9.162 2.291 15. Usilimo 5.503 1.376 16. Wita Waya 2.736 684 17. Libarek 2.085 521 18. Wadangku 2.113 528 19. Pisugi 4.015 1.004 20. Yalengga 1.545 386 21. Koragi 780 195 22. Bolakme 2.305 576 23. Tagime 2.058 515 24. Molagalame 1.237 309 25. Tagineri 1.831 458 26. Asologaima 8.257 2.064 27. Silo Karno Doga 10.491 2.623 28. Pyramid 12.236 3.059 29. Muliama 7.891 1.973 30. Wollo 1.194 299 31. Bugi 829 207 32. Bpiri 1.154 289 33. Asolokobal 3.274 819 34. Walesi 2.660 665 35. Asotipo 4.768 1.192 36. Maima 5.195 1.299 37. Musatfak 7.467 1.867

69

38. Wame 39. Popugoba 40 Wesaput Jayawijaya 203.085 50.771

Sumber :Kabupaten Jayawijaya Dalam Angka (BPS) dan diolah oleh pokja PPSP 2015

Khusus bagi orang Dani Lembah terbagi ke dalam tiga kelompok yaitu, 1) Orang Dani Lembah Balim Atas, yaitu mereka yang tinggal di wilayah Pyramid, Wosi dan Tagi di utara Lembah Balim; 2) Orang Dani

Lembah Balim Tengah, yaitu mereka yang tinggal di Tulem, Kurulu,

Wamena dan Pugima; 3) Orang Dani Lembah Balim Bawah, yaitu mereka yang tinggal di daerah Hitigima, Kurima, Tagma,dan Pasema di bagian sempit Lembah Balim Selatan (Bangun,1991 dalam Tim Peneliti

Antropologi UI, 2003).

Penduduk Distrik Kurulu tinggal menyebar di dalam 12 kampung.

Monografi Distrik Kurulu tahun 2015 menunjukkan bahwa penduduk

Distrik Kurulu berjumlah 9.162 dari 2.291 kepala keluarga. Jumlah tersebut terdiri dari 4.127 orang laki-laki dan 5.035 orang perempuan.

Berikut di bawah ini tabel 4.3, yang menguraikan jumlah penduduk

Kurulu yang tersebar pada 12 kampung.

Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Menurut Pembagian Kampung di Distrik Kurulu

No. Nama Kampung Jumlah Penduduk Jumlah Jumlah Kepala Penduduk Keluarga/KK Laki-laki Perempuan 1. Jiwika 425 595 1.020 266 2. Waga-waga 629 649 1.298 311 3. Milima 263 318 581 218 4. Abusa 320 345 665 147

70

5. Kumima 366 392 758 162 6. Eragama 242 356 598 133 7. Obia 306 383 689 245 8. Mebagaima 170 258 428 72 9. Umpakalo 415 572 987 228 10. Iyantik 337 451 788 207 11. Hompama 187 199 386 64 12. Utkola 449 517 966 238 Jumlah 4127 5035 9.162 2.291 Sumber : Kantor Distrik Kurulu, 2015

Sebagian besar warga penduduk yang menempati distrik ini adalah penduduk asli orang Dani. Warga pendatang seperti orang Jawa,

Sulawesi, Sumatra dan NTT maupun orang Papua lainnya (Biak, Serui,

Jayapura, Merauke, Sorong dan lain-lain) lebih banyak menempati sekitar Jiwika sebagai ibu kota distrik. Mereka pada umumnya bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil, Guru, Polisi, TNI, Pedagang, Buruh dan juga sebagai petugas gereja seperti Pastor, Pendeta atau Penginjil.

Sejumlah penduduk yang menempati kampung Jiwika (1.020 orang) juga tersebar di 12 wilayah kampung. Kampung-karnpung tersebut tidak hanya terbentuk karena faktor kekerabatan tetapi juga secara administratif, kampung tersebut merupakan bagian dari wilayah kampung. Kampung Jiwika adalah pusat Distrik Kurulu merupakan kampung yang terbesar jumlah penduduknya. Penduduk asli orang Dani bermata-pencaharian bertani, ada juga sebagai PNS di kantor Distrik

Kurulu bahkan dinas-dinas otonom di Pemda kabupaten Jayawijaya dan kabupaten pemekaran sekitar Jayawijaya. Selain itu ada juga ada juga berprofesi TNI Angkatan Darat, Perawat, Guru, Pedagang dan

Pengusaha.

71

Mata pencaharian berkebun dan beternak adalah dua pekerjaan pokok yang dilakukan penduduk Dani secara bersama. Hasil produksi tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan makan keluarga setiap hari, tetapi juga untuk kepentingan kebutuhan lainnya (misalnya untuk kepentingan upacara adat). Secara adat, kedua pekerjaan ini sudah lama dikejakan oleh nenek moyangnya dan selanjutnya diwariskan kepada generasi sekarang. Walaupun ada terjadi perubahan dalam jenis tanaman yang diusahakan dan alat yang digunakan tetapi tidaklah menggeser unsur-unsur lama namun terjadi penambahan unsur-unsur yang baru atau dikatakan unsur lama dan unsur baru berjalan berdampingan (Yarona, 1996:59).

Seiring dengan proses pembangunan maka terlihat adanya peranan pihak swasta dan pernerintah yang turut memperkenalkan unsur-unsur baru baik dalam bidang pendidikan maupun agama. Diperkenalkannya agama Nasrani oleh pihak Misionaris Katolik dan Zending Protestan di daerah Jayawijaya sudah berlangsung sejak awal 1950-an. Daerah

Kurulu merupakan daerah dominan penganut agama Katolik. Walaupun demikian praktek-praktek agama tradisional (upacara-upacara keagamaan) tetap dijalankan bersamaan dengan agama baru (Katolik dan Protestan). Agama Islam dan lainnya dianut oleh orang luar Papua yang bertugas ke daerah ini.

Orang Dani (Kurulu) sebagai penganut Katolik, masih melaksanakan ritual-ritual yang berhubungan dengan adat-istiadatnya.

72

Kontak orang Dani dengan dunia luar telah menampakan adanya unsur- unsur baru, namun unsur tersebut tidak mudah menggeserkan nilai-nilai lama yang dianggap sakral dan menjadi dasar hidup mereka.

4.2. Sejarah dan Asal-Usul Orang Dani.

Ada temuan arkeologis terdekat dari suatu kelompok yang memiliki ciri-ciri yang hampir sama dengan orang Dani Lembah dapat dijadikan dasar untuk menganalisis masalah tersebut. Ada juga beberapa lukisan prasejarah yang juga yang ditemukan pada dinding gua batu di kampung

Pugima dan daerah Dugum. Selain itu penjelasan mengenai ekspedisi awal yang pernah dilakukan oleh para missionaris dan pernerintah

Belanda maupun Indonesia merupakan gambaran awal adanya kontak orang Dani dengan dunia luar. Beberapa cerita sejarah mengenai asal- usul orang Dani Lembah Balim diwariskan secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya dapat juga dijadikan dasar untuk mengkaji masalah tersebut.

Beberapa temuan arkeologis terdekat untuk mengetahui sejarah orang Dani Lembah telah diketahui bahwa sejarah orang Dani Lembah berasal dari daerah Papua (PNG) bagian timur. Sekitar 800 km ke arah timur dan Lembah Balim memperlihatkan bahwa penduduk di daerah itu telah merambah daerah dataran tinggi kira-kira 24.000 tahun

SM dan sejak 7.000 tahun SM, mereka telah mengembangkan sistem pertanian dan pemeliharaan babi (Melalatoa,1993 :12). Tak dapat diragukan lagi walaupun temuan ini berjarak ratusan kilometer dari

73

daerah hidup orang Dani namun telah terbukti bahwa daerah Lembah

Balim sudah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu. Adanya kesamaan ciri kebudayaan seperti pertanian ubi jalar dan peternakan babi telah memperjelas temuan di atas.

Heider (1979:32), memperkirakan bahwa pada masa lalu orang

Dani pernah menetap di bagian kaki pegunungan. Mereka berburu burung dan binatang berkantung serta meramu sagu. Mereka mulai menanam pisang, ubi manis, talas dan ubi rambat yang dapat tumbuh di daerah yang lebih tinggi. Saat itu mereka telah mampu memanfaatkan daerah Lembah Balim dan sekitarnya sebagai daerah pertanian hingga ketinggian 1.600 meter di atas permukaan laut (Melalatoa, 1993:12).

Terbukti saat ini, orang Dani Lembah masih terus mengembangkan pola pertanian menetap, serta sistem beternak babi. Kebiasaan meramu sagu pun sudah lama dilakukan oleh orang Dani Balim (terutama anggota kerabat klen Logo-Mabel di kampung Jiwika) yang menetap di daerah dataran rendah Pass Valley, sebagian hutannya ditumbuhi sagu atau sebelah utara Pass Valley dekat daerah aliran sungai Mamberamo

(Yarona,1996:34).

Temuan arkeologis lainnya adalah ditemukannya lukisan-lukisan sederhana pada dinding gua di Pugima Distrik Wamena dan juga di pegunungan Dutabut di daerah Dugum Kurulu. Ke dua dinding gua terdapat lukisan cap lengan manusia dengan jari terpotong, babi dan panah, figur wanita dengan vulva (bentuk alat kelamin wanita), laki-laki,

74

beberapa pohon dan binatang melata (Yarona,1996:34). Diperkirakan lukisan tersebut digunakan untuk kepentingan upacara (terutama upacara kesuburan yang bertujuan mendapatkan hasil buruan maupun ternak dan pertanian yang melimpah). Patung wanita dan vulva yang ditemukan di daerah Dugum Lembah Balim dianggap sebagai simbol alam dan manusia (wanita) yang subur karena telah menciptakan dan membentuk manusia serta alam dan segala isinya (Yarona,1996:34-35).

Berbagai temuan yang disebut di atas, masih tetap mengisahkan teka-teki mengenai asal-usul orang Dani. Keadaan ini semakin tidak jelas, karena tidak adanya tradisi tulisan di kalangan penduduk Lembah

Balim. Segala bentuk kejadian seperti mitologilah yang disampaikan secara lisan dari satu generasi kepada generasi hingga saat ini.

Mitologi tentang asal-usul orang Dani Lembah yang bermukim di daerah Kurulu dikaitkan dengan musibah yang pernah dialami yaitu peristiwa air bah. Musibah ini memusnahkan alam semesta dengan segala isinya. Dalam peristiwa tersebut ada seorang tokoh (diidentikan dengan tokoh nabi Nuh dalam kitab suci Alkitab) yang selamat dari musibah tersebut. Selanjutnya ia melanjutkan keturunannya (termasuk orang Dani Lembah) hingga sekarang ini. Tokoh inilah yang kemudian dianggap sebagai penerus keturunan orang Dani Lembah. Keturunan selanjutnya bernama Wamena, yang dianggap sebagai nenek moyang pertama dari kelompok-kelompok masyarakat yang mendiami wilayah

Lembah Balim termasuk kelompok klen Logo-Mabel.

75

Informasi lain mengenal kelompok Logo-Mabel bahwa kelompok ini berasal dari keturunan Kur yang pertama kali yang mendiami

Watlangku, yang terletak antara 10-15 km sebelah utara kota Distrik

Kurulu (Jiwika). Kur berasal dari keturunan klen Mabel yang kemudian menurunkan Daoke Mabel sebagai kepala suku adat atau kepala suku umum di wilayah Kurulu atau konfederasi Logo-Mabel dan menetap secara adat di kampung Jiwika sekarang ini Kur sebagai penerus keturunan klen Mabel juga menurunkan atau membentuk kelompok- kelompok klen lainnya yang tersebar pada wilayah konfederasi tersebut di atas.

Mitos Naruekul. Mitos yang berhubungan dengan persebaran manusia (orang Dani Lembah) ke seluruh wilayah Lembah Balim adalah mitos “Naruekul”. Berdasarkan mitos ini, orang Dani menyadari bahwa kehidupannya bermula dari suatu tempat pemukiman pertama di kampung Watlangku. Saat itu sejumlah klen masih hidup dalam suasana penuh kedamaian tanpa dikuasai oleh klen yang lain. Dalam suasana tersebut muncullah seorang lelaki yang bernama “Naruekur”.

Menurut cerita Mulait dan Alua, pada masa hidupnya Naruekul sering mengadakan perjalanan dari suatu kampung ke kampung lainnya bahkan juga dari satu daerah ke daerah lainnya. Sosok Naruekul semakin dikenal banyak orang. Penampilannya yang sedikit berbeda dengan semua orang di tempat itu membangkitkan rasa ketakutan terhadapnya. Mereka kuatir terhadap kehidupan berada di bawah

76

kekuasaannya.

Pada suatu ketika beberapa klen secara rahasia berunding untuk melakukan pembunuhan terhadap diri Naruekul. Beberapa waktu kemudian Naruekul dibunuh dan meninggal. Secara rahasia jenazahnya dipotong-potong dan setiap klen yang melakukan pemotongan mengambil bagiannya masing-masing. Berita tentang kejadian ini tersiar ke mana-mana lalu datanglah orang dan berbagai penjuru saling berebut dan merampas potongan tubuh Naruekul yang tersisa. Ada juga kelompok klen yang tidak mendapat potongan tubuh tersebut. Potongan tubuh Naruekul selanjutnya dibawa pulang dan disembunyikan di kampung sebagai milik pribadi.

Suatu hari, Naruekul4 menampakkan dirinya kepada sekelompok orang yang berjalan melintasi tempat pembunuhannya. Dalam suasana ketakutan, Naruekul memperkenalkan dirinya sebagai seorang yang pernah hidup, lalu dibunuh dan potongan tubuhnya yang telah disembunyikan orang sebagai milik pribadinya. Muncullah penyesalan karena ternyata orang yang dibunuh, bukanlah pribadi seperti yang dibayangkan semula tetapi dia adalah orang yang baik dan tidak

4 Saat Naruekul menampakan diri, dia menyampaikan pesan atau janji sebagai berikut : “ beritahulah kepala semua klen yang merebut bagian tubuhku, bahwa : a). janganlah apa yang diambil disembunyikan sebagai milik pribadi, melainkan dijadikan itu sebagai milik bersama klen; b). bagian tubuhku yang telah direbutkan haruslah dinamakan “kaneke”, yang artinya engkau punya buah hati atau engkau punya buah tubuh; c). bagian tubuhku akan menjadi sumber hidupmu dsn sumber hidup keturunanmu untuuk sepanjang masa; d). bagian tubuhku akan menjadi kaneke dan kaneke akan menjadi sumber inspirasi; e). setiap klen akan terpecah belah akibat perselisihan di antara klen-klen dan setiap klen akan membentuk kaneke (Mulait dan Alua, 2007:57)

77

bersalah.

Akibatnya tejadilah konflik fisik (perkelahian) di antara warga yang akhirnya menyebabkan mereka berpisah atau menyebar ke seluruh wilayah di lembah dan pegunungan Jayawijaya. Berdasarkan pesan

Naruekul maka bagian-bagian tertentu dan anggota tubuh orang yang terbunuh itu dibagi-bagikan di antara mereka dan kemudian dijadikan sebagai dasar dalam pengelompokan masyarakat dengan membangun honai adat5 masing-masing sebagai tempat penyimpanan benda tersebut yang nantinya merupakan bagian dari kaneke6.

Secara keseluruhan pesan dan janji Naruekul mengingatkan kepada warga masyarakatnya bahwa kehidupan perlu ditata dan diorganisasi. Kehidupan bukanlah milik pribadi seseorang, kehidupan adalah milik bersama semua orang. Dengan demikian hidup yang baik adalah hidup bersama. Demi menjalin relasi dengan sesama manusia, seorang Dani Balim berpandangan bahwa semua berasal dari satu kaneke yaitu berasal dari satu tubuh Naruekul, dan dipandang sebagai ibu yang membagikan dirinya. Kematian Naruekul menggambarkan rohnya yang sedang berbaring. Dari pusara tubuhnya, mengalir

5 Honai Adat adalah sejenis rumah laki-laki yang khusus menyimpab benda-benda adat (sacral) milik kelompok klen tertentu dalam sebuah perkampungan inti yang selalu menjadi acuan bagi para anggota klen untuk mewujudkan/menyatakan identitas mereka (Yarona,1996:82) 6 Kaneke adalah kumpulan dari benda-benda adat yang diidentikan dengan adat itu sendiri (pengertian umum) atau sejenis batu yang disakralkan karena mengandung mana dan merupakan inti atau dasar kehidupan orang Dani Lembah Balim (pengertian khusus) (ibid).

78

tumpahan darah ke tanah dan menumbuhkan berbagai tanaman7 yang memenuhi kebutuhan hidup manusia seperti ubi jalar, pisang dan lain- lain. Alam dan manusia merupakan satu kesatuan sebagaimana alam dihidupkan oleh tumpahan darah Naruekul dan masing-masing manusia adalah bagian dari tubuh Naruekul. Simbol ini mengajak manusia Dani untuk harus memandang alam sebagai sesama.

4.3. Beberapa Aspek Budaya Orang Dani

4.3.1. Pola Pemukiman Tradisional.

Berbicara mengenai pola pemukiman tradisional orang Dani selalu dikaitkan dengan falsafah orang Dani, bahwa “hidup bersama adalah baik” terutama dengan sesama manusia (akuni inom hanorogo). Bagi orang Dani, hidup bersama dengan sesamanya (orang Dani) nampak dalam beberapa satuan wilayah komunitas tradisional, yaitu 1). pola hidup bersama dalam aliansi yang disebut o-agum8; 2). pola hidup

7 Beberapa jenis tanaman yang diyakini sebagai penjelmaaan dari tubuh Naruekul adalah : 1). Hipere nesok-okut, artinya ubi jalar tumitku; hipere ekempalek, artinya ubi jalar gumpalan darahnya; hipere ab ella, artinya ubi jalar dahinya (pria); 2). El tellu, yaitu tebu berwarna merah tua dari darah Naruekul; 3). Saikh, yaitu buah merah juga dari darah Naruekul; 4). Haki Tob, yaitu sejenis pisang dari jantung Naruekul (Mulait dan Alua, 2003:58) 8 O-agum atau aliansi adalah pola komunitas tradisonal orang Dani yang secara geografis berada suatu wilayah tertentu yang ckup luas. Lembah Balim memiliki sejumlah aliansi misalnya, aliansi Mukoko di kota Wamena, aliansi Hubikiak di sebelah barat kota Wamena, aliansi Aso-Lokobal di sebelah barat Lembah Balim, aliansi Kurulu di sebelah utara kota Wamena dan lain-lain. Secara politik-teritorial, kebersamaan dalam aliansi dibangun berdasarkan kesatuan dalam peperangan. Kesatuan ini tampak dari sejumlah konfederasi yang ada dalam suatu aliansi. Ditinjau dari segi sosial, pola hidup bersama dalam suatu aliansi lebih bersifat semu. Hal ini terlihat dari aktivitas sehari-hari yang mengungkapkan nilai kebersamaan tidak begitu tampak setiap orang dalam batas aliansi memandang satu sama lainnya sebagai “akuni yoma meke/akuni nit meke” artinya orang dari sini atau orang dalam, orang kita; dan memandang orang dari aliansi lain sebagai musuh, orang luar atau orang lain. Ungkapan-ungkapan ini lebih dimengerti dalam konteks perang ketimbang kebersamaan dalam segala aktivitas hidup sehari-hari. Fungsi eksternal dari suatu

79

bersama dalam konfederasi yang disebut inukul-oak9; 3). pola hidup bersama dalam perkampungan yang disebut o-ukul; 4). pola hidup bersama dalam unit kampung yang disebut silimo.

Distrik Kurulu yang berada di wilayah Lembah Balim, dahulu merupakan daerah kesatuan dari aliansi Kurulu. Wilayah aliansi Kurulu terdiri dari beberapa kesatuan konfederasi (inukul-oak), diantaranya konfederasi Kosi-Alua, Wililhiman-Walalua, dan Logo-Mabel. Kampung

Jiwika dan Watlangku merupakan bagian wilayah konfederasi Logo-

Mabel. Sebagai wilayah konfederasi Logo-Mabel, Jiwika terbentuk dari

10 perkampungan (o-ukul) dan setiap perkampungan terdiri dari 3-5 unit perkampungan (silimo). Seperti yang tampak pada perkampungan

Jibima, terdiri dari 3 silimo yaitu silimo Wosi Mabel, silimo Lilike Dabi dan silimo Halial Dabi. O-ukul (perkampungan) dan Silimo (unit perkampungan) merupakan pola permukiman tradisional orang Dani yang cukup efektif untuk merangkul kebersamaan anggota warganya dalam menata aktivitas kehidupan sehari-hari. Setiap anggota yang menempati suatu silimo memiliki tugas dan tanggung jawab dalam kelangsungan hidupnya sehari-hari. (diuraikan dalam bab sistem kekerabatan). Gambaran mengenai satuan wilayah komunitas tradisional

aliansi adalah untuk memelihara suatu kekuatan dalam berperang, sedangkan fungsi internalnya adalah tampak pada gabungan konfedarasi adalam usaha pengorganisasian pesta-pesta adat yang besar (wam ebeako) demi pemeliharaan solidaritas dalam suatu aliansi (Mulait, 2003:22-23) 9 Kesatuan hidup bersama dalam inukul-oak didasarkan pada beberapa prinsip utama, yaitu 1). Eak-aburi, yakni garis keturunan patrilineal atau patrilineage; 2). Prinsip ukul- oak atau patriklen; 3). Prinsip ebe atau patrimoety. Penjelasan ketiga prinsip ini dapat dilihat selanjutnya dalam sub bab sistem kekerabatan (Mulait, 2003:24-25).

80

masyarakat Dani dapat dilihat pada gambar 4.2 di bawah.

Gambar 4.2

Satuan Wilayah Komunitas Tradisional Orang Dani di Lembah Baliem

Orang Dani Lembah Baliem

Aliansi… Aliansi…. Aliansi Kurulu

..… .…

Konfederasi….. Konfederasi Dabi-Mabel

Kampung….. Kampung Pabima

Silimo….. Silimo Lilike Dabi

Silimo merupakan istilah untuk menyebut pemukiman tradisional orang Dani. Orang Dani pada konfederasi Logo-Mabel atau Dabi-Mabel mengkategorikan silimo dalam dua jenis, yaitu 1) silimo adat atau biasa disebut “honai adat” dan, 2) silimo masyarakat. Kedua silimo ini memiliki arsitektur yang sama, perbedaannya hanya terlihat pada jumlah, isi, sifat dan fungsinya. Jumlah silimo adat pada suatu konfederasi hanyalah 3

(tiga) buah, yaitu silimo adat kesuburan, silimo adat perang dan silimo adat perdamaian. Ketiga silimo adat bersifat sakral karena ini menyimpan benda-benda suci yang akan dimanfaatkan pada upacara- upacara adat. Berbeda dengan silimo adat adalah silimo masyarakat.

81

Silimo masyarakat adalah silimo yang berfungsi sebagai tempat tinggal masyarakat penghuninya. Silimo ini berada dalam satu kampung (o ukul) jumlahnya dapat berkisar antara 4 sampai 5 bangunan silimo. Salah satu dari silimo masyarakat dalam o ukul dianggap sebagai silimo adat tingkat ukul yang disebut “kanekela “ atau silimo yang menyimpan benda sakral (kaneke) dari nenek moyang mereka.

4.4.1.1 Silimo Adat

Berbicara mengenai silimo sebagai pemukiman tradisional orang

Dani di Lembah Balim, selalu terkait dengan asal-mula terbentuknya tiga honai10 adat. Kampung Watlangku yang terletak di daerah perbukitan yang dilalui jalan trans Wamena-Senggi (Keerom) ke arah Pass Valley, sebagai kampung yang khas di antara kampung lainnya di distrik Kurulu.

Desa ini menyimpan benda-benda pusaka yang dianggap sakral. Di kampung Watlangku terdapat tiga silimo adat yang diyakini sebagai tempat cikal bakal dan asal mula dari orang Dani masa kini. Ketiga silimo adat itu adalah silimo adat milik klen Logo, Silimo adat klen Mabel dan silimo adat klen Dabi. Silimo-silimo ini dianggap sebagai perwujudan alam semesta, dan disebut sebagai silimo bulan, silimo matahari dan silimo bintang. Berkaitan dengan nama dari tiga bentuk silimo adat

10 Istilah honai memiliki makna yang sama dengan pilamo, yang berarti rumah laki-laki. Honai atau pilamo merupakan salah satu bangunan yang ditempatkan dalam unit perkampungan (silimo). Tidak semua semua honai dapat menyimpan benda pusaka (kaneke) hanya honai tertentulah yang berhak menyimpan benda pusaka (kaneke). Kepemilikan kaneke oleh suatuklen tertentu telah diatur menurut adat. Honai atau pilamo yang menyimpan kaneke disebut sebagai honai adat atau silimo adat.

82

tersebut, bagi orang Dani telah lama meyakini ketiga benda kosmologi itu sebagai simbol yang dapat memberikan ciri-ciri tertentu untuk memahami sosok manusia Dani.

Kosmologi orang Dani menjelaskan bahwa, ‘bulan’ diartikan sebagai seorang laki-laki. Tidak ada istilah khusus untuk menyebut

‘bulan’ namun ada beberapa istilah untuk menyebutkan perbedaan sesuai siklusnya, seperti ape goto : ‘bulan sabit’; da : ‘setengah bulan’; dugi : ‘bulan purnama’; duk oak : 'bulan yang menciut'; oak a sik : ‘bulan berakhir’. Orang Dani, biasanya menguraikan siklus bulan tersebut, seperti ‘bulan muda atau bulan baru’ sampai ‘bulan tua’. Berjalannya

“bulan” mengikuti suatu alur yang serupa dengan “matahari”. Menurut mereka, “bulan” melintasi di bawah langit dan duduk di sebelah barat selanjutnya dia kembali melalui atas langit di sebelah timur (Heider,

1970:211).

Berbeda dengan 'bulan', istilah orang Dani untuk menyebut

`matahari', yaitu mo. 'Matahari" dilambangkan sebagai seorang perempuan yang 'luar biasa'. Dia berambut panjang, memakai rok perempuan yang sudah nikah, tetapi juga dia membawa suatu tombak dan memakai asesoris laki-laki. Hal ini memberi arti bahwa “matahari” dilambangkan sebagai seorang perempuan dewasa yang sudah menikah tetapi dia juga menyandang perlengkapan perang laki-laki. Orang Dani meyakini “matahari” sebagai ninakoja yang artinya ‘Ibu kita’. Menurut mereka, sepanjang hari “matahan” berjalan melintasi di bawah langit dan

83

pada saat terbenam, dia (matahari) duduk di atas suatu dabul (rumput kering yang diletakan di atas latai rumah) dan menyelidiki kembali langkah-langkahnya selama melintasi langit sampai masuk rumahnya

(ebe-ai)(Heider, 1970:210).

Mengenal ‘bintang’ orang Dani tidak mengelompokkan secara tegas bintang-bintang dalam rangkaiannya dan tidak tampak pula perhatian mereka terhadap bintang-bintang tersebut. Mungkin ada pertimbangan bahwa orang Dani tidak biasa menghabiskan waktu mereka pada malam hari di luar rumah mereka kecuali pada bulan purnama ketika bintang tidak kelihatan. Sebaliknya jika saat malam yang cerah dengan banyak bintang, biasanya malam terasa dingin dan saat itu orang Dani tinggal di dalam rumah. Berbeda jika ada pembakaran jenazah, biasanya setengah jam sebelum fajar menyingsing, beberapa pemuda menjaga tempat-tempat yang dicurigai biasanya ada bahaya dari hantu (roh-roh orang meninggal). Kurangnya perhatian orang Dani terhadap bintang juga karena alasan geografisnya. Berbeda dengan masyarakat yang tinggal di sekitar atau dikelilingi laut, mereka memanfaatkan posisi bintang pada malam hari saat mengarungi lautan.

Bagi orang Dani yang tinggal di kelilingi gunung, tidak memanfaatkan ilmu bintang sebagai penunjuk arah dalam berpergian. Walaupun demikian, bintang dan juga planet lainnya dapat memberikan makna dalam budaya orang Dani. Bagi orang Dani bintang dan planet dikelompokkan menjadi satu. Bintang-bintang yang besar disebut wap

84

dan mereka adalah kepala-kepala atau pemimpin tentunya ‘dia’ adalah seorang lelaki yang dianggap penting atau yang biasa disebut ap gogtek

(big man). Bintang-bintang dan planet lainnya, secara umum disebut husakal. Mereka tidak memiliki arti khusus. Orang Dani menyebut, suatu bintang jatuh disebut husakal idako (idako, “yang sedang dilahirkan”)

(Heider, 1970:209).

Berkaitan dengan ketiga simbol kosmologis tersebut maka orang

Dani meyakini silimo ‘bulan’ melambangkan perang, silimo ‘matahari’ melambangkan kesuburan dan silimo ‘bintang’ melambangkan perdamaian/penyembuhan. Perang, kesuburan dan perdamaian merupakan tiga fenomena yang selalu dilalui masyarakat Dani untuk mempertahankan kehidupannya. Jika ada masalah yang berkaitan dengan ketiga fenomena tersebut, haruslah diadakan musyawarah di kampung Watlangku. Musyawarah tersebut dilakukan di setiap silimo adat sesuai dengan masalah yang dihadapi. Di sini juga, pusaka adat disimpan dan sebagai tempat orang Dani berdoa, agar dikaruniai kesuburan, konflik terselesaikan dan perdamaian tercapai. Setiap lima tahun sekali orang Dani berkumpul dan menyelenggarakan upacara adat secara besar-besaran. Hingga sekarang warga dari ketiga klen besar

Dani yaitu Logo, Mabel dan Dabi11 berkewajiban menjaga dan memelihara ketiga silimo tersebut.

11 Klen Dabi sebagai salah satu klen besar tetapi posisinya yang ada dalam kelompok waiya berimplisit bahwa klen Dabi adalah bagian dari klen Logo.

85

Keberadaan ketiga silimo adat di watlangku juga tampak pada masyarakat Dani di kampung Jiwika. Tiga klen besar (Logo, Mabel dan

Dabi) yang menempati kampung Jiwika, dianggap sebagai klen pemilik silimo adat tersebut. Klen Logo yang menempati kampung (o-ukul)

Satnokoma membentuk silimo adat perang, klen Mabel yang menempati kampung Jiwika membentuk silimo adat kesuburan dan klen Dabi yang menempati kampung Peago membentuk silimo adat perdamaian/ penyembuhan.

4.4.1.2 Silimo Masyarakat

Silimo sebagai model penataan ruang pemukiman tradisi orang

Dani, dibangun berdasarkan sejarah asal-usulnya. Dijelaskan bahwa suatu silimo didirikan dan ditata menurut pengetahuan budaya masyarakat berdasarkan mitos Naruekul. Jika diperhatikan, silimo ini pada dasarnya mirip bentuk tubuh manusia yang sedang berbaring.

Tentu hal ini dikaitkan dengan posisi terbunuhnya Naruekul, dipotong secara terpisah antara kepala dan badan (tangan kiri, tangan kanan) dan juga kakinya.

Diceritakan bahwa sesuai dengan pesan Naruekul maka anggota- anggota klen mengumpulkan kembali potongan tubuh Naruekul menjadi milik bersama suatu klen. Potongan tubuh yang menjadi milik bersama klen inilah yang menjadi dasar terbentuk kehidupan bersama dalam suatu silimo yang terdiri dari kepala, badan (tangan kiri dan kanan) dan kaki. Begitu juga beberapa tanaman yang ada di kebun silimo (okutlu)

86

dianggap sebagai jelmaan tubuh Naruekul (Mulait dan Alua, 2003).

Silimo yang terbentuk berdasarkan mitos Naruekul terdiri dari beberapa unit bangunan serta perangkatnya. Setiap unit bangunan berada pada tata letak tertentu dan dengan fungsi tersendiri pula. Gambar 4.3 di bawah ini adalah model penataan ruang silimo yang tampak pada umumnya dalam masyakarat Dani.

Gambar 4.3 Penataan Silimo Orang Dani

HAKILOMA WALOLOGET BAKTE PILAMO

WALOLOGET

EBE-AI OKUTLU h HUNILA

BAKTE h EBE-AI

WILIKIN

EBE-AI

WALOLOGET WAMDABU

HAKILOMA MOKARAI LALEKENMA

87

Berdasarkan gambar di atas maka kompleks bangunan silimo yang ada di Jiwika terdiri atas beberapa unit bangunan beserta perangkat lainnya.

Masing-masing unit bangunan berada pada tata letak tertentu dengan fungsi tersendiri. Kompleks bangunan tersebut terdiri atas unsur-unsur unit bangunan yang dinamakan pilamo “rumah laki-laki”, ebe-ae “rumah perempuan”, dapur (hunila) dan kandang babi (wamdabu); dan pintu pagar (mokarai).

Pilamo merupakan sebuah bangunan yang terletak pada salah satu pucuk oval, tepatnya pada garis lurus dengan pintu pagar (mokarai) pada pucuk oval yang lain. Bentuk atapnya menyerupal silinder, bagian tengahnya disanggah 4 tiang besar. Garis tengah berkisar 5-6 meter.

Dinding bawah adalah deretan belahan kayo diikat rapat secara vertikal.

Lantai bawah tidak merapat ke tanah, tetapi ada lantai yang disanggah sejumlah tiang, sehingga ada kolong setinggi ½ meter. Ruang bangunan bawah (agaroba) ada pintu berukuran 50 cm dan tinggi 75 cm tanpa daun pintu. Lantai bawah ini ada lobang (hola ape) sebagai jalan naik ke lantai atas atau loteng (warbigke). Lantai bagian atas berfungsi sebagai tempat tidur dan lantai bagian bawah berfungsi sebagai tempat istirahat, berkumpul, bercerita dengan sesama tamu laki-laki dan kalangan kerabat, teman tetangga sedangkan tamu perempuan biasanya akan diterima di dapur.

Pada lantai bawah ada tungku (wulukin) tempat membuat api untuk menghangatkan ruangan. Ada sebuah lemari kecil (hessik) berhadapan

88

dengan pintu pilamo dan juga berhadapan dengan pintu pagar (mokarai).

Lemari ini sebagai tempat menyimpan benda pusaka seperti ye (batu kecil pipih yang menjadi inti kekuatan kaneke). Batu ini menjadi sumber potensi mewujudkan kesuburan bagi manusia, tanaman dan hewan.

Benda sakral lain adalah kapak batu, panah (sige), kalung, kulit kerang, kantong kulit kayu. Benda-benda ini tidak boleh dilihat oleh sembarang orang. Ke dua ruangan yang ada dalam pilimo ini tidak terdapat fentilasi atau jendela. Bahan bangunan ini diperoleh dari alam sekitarnya. Jumlah pilamo dalam sebuah silimo, hanyalah satu dan bangunan tersebut ukurannya lebih besar bila dibanding dengan bangunan lainnya.

Penghuni pilamo adalah sejumlah lelaki dewasa, baik yang sudah dan belum berkeluarga maupun anak-anak yang sudah diinisiasikan.

Anak laki-laki yang masih balita diharuskan tidur bersama ibunya.

Seorang perempuan dilarang masuk dalam pilamo, karena dianggap dapat mendatangkan bencana. Pilamo sebagai rumah laki-laki diatur sesuai sejarah masa lalu, dimana perang suku masih sering terjadi dan kaum laki-laki mendapat tugas menjaga keamanan, keselamatan dan kewaspadaan dalam silimonya. Dalam pilamo inilah, mereka selalu berkomunikasi untuk mengatur strategi berperang dalam menghadapi musuh. Ruang pilamo juga difungsikan sebagai tempat sosialisasi terhadap generasi muda dalam hal mendapatkan pendidikan tentang perang maupun tugas dan tanggung jawab sebagai laki-laki di dalam sukunya. Pilamo yang bersimbolkan ‘kepala manusia’ (laki-laki) dianggap

89

sebagai unsur tubuh yang penting, haruslah dihormati, karena statusnya tinggi. ‘Kepala’ sebagai wadah tempat tersimpannya otak, yang menghasilkan pikiran dan strategis dalam menata kehidupan anggota kelompoknya dalam menghadapi tantangan yang muncul dari lingkungan alam atau lingkungan sosialnya (Melalatoa, 1997:19).

Ebe-ae atau rumah perempuan terletak di salah satu sisi oval yang memanjang tepatnya, di sebelah kanan dari pilamo. Ebe-ai yang bersimbolkan tangan kanan manusia, memiliki bentuk dan bahan serta pola ruang yang sama dengan pilamo. Hanya saja ukurannya lebih kecil dan tidak ada lemari kecil. Ruangan ebe-ai yang terdiri dari dua lantai.

Pada lantai bawah (agoroba) terdapat tungku untuk menghangatkan tubuh (atau dalam keadaan mendesak dipakai untuk memasak), dan juga difungsikan untuk menyimpan alat-alat masak, pakaian, alat-alat pertanian seperti sege dan tugal. Sekarang sudah banyak dijumpai alat- alat pertanian baru seperti sekop, cangkul, sabit dan sebagainya. Lantai atas dipergunakan secara khusus yaitu untuk tidur. Biasanya suami dan penghuni ebe-ai, kalau ingin memenuhi kebutuhan biologisnya, ia datang ke dalam ebe-ai dan memilih istrinya, seperti si A, B, dan seterusnya pada waktu yang berlainnya. Pengaturan ruangan yang ada di ebe-ai ini cukup sederhana dan sesuai dengan kebutuhan masing-masing penghuni.

Penghuni suatu ebe-ai adalah para keluarga batih yang terdiri dari kaum perempuan (istri), anak laki-laki yang masih balita, anak gadis dan

90

anak perempuan lain yang masih ada hubungan kerabat dengan kepala silimo. Jumlah ebe-ae dalam silimo berbeda, tergantung pada jumlah keluarga inti, jumlah istri dari kepala silimo atau jumlah kerabat wanita lain yang berdiam dalam satu silimo.

Dapur (hunila) dan kandang babi (wamdabu) merupakan dua unit bangunnan yang terletak di sebelah kiri pilamo atau berhadapan dengan ebe-ae. Ke dua bangunan ini dibangun memanjang dan sejajar ebe-ai dan dipisahkan oleh halaman. Antara kandang dan dapur dibatasi dengan Dinding. Bentuk ruang dapur memanjang dan tidak disekat.

Dalam ruang berderet tungku (wilikin); jumlahnya sesuai dengan jumlah istri dan kerabat wanita tertentu misalnya orang tua atau mertua.

Hunila yang berfungsi sebagai tempat memasak dan berkumpul untuk makan maupun menerima tamu baik wanita maupun laki-laki, juga difungsikan sebagai tempat menyemayangkan jenazah sambil menunggu persiapan upacara perabuan. Setiap istri diberi kesempatan secara bergilir dalam mengurus dan menyiapkan makanan untuk suaminya. Begitu juga dengan pembagian pekerjaan lainnya secara adil, sehingga pekerjaan yang berat dapat dikerjakan bersama tanpa keluh kesah dan rasa iri di antara sesama istri. Di tempat inilah sering terjadi interaksi sesama anggota keluarga maupun kerabat lainnya. Ibu-ibu sambil memasak dan saling menceritakan pengalamannya kepada suami, anak-anaknya dan kerabat lainnya.

Wamdabu atau kandang babi biasanya dibuat di samping dapur.

91

Kandang ini bentuknya memanjang empat persegi panjang dengan diberi sekat. Jumlah pintu masuk babi disesuaikan dengan jumlah istri atau wanita tua penghuni ebe-ai. Setiap istri dibebani menternak babi minimal jumlahnya tiga-empat ekor. Posisi ruang wamdabu yang dekat dengan ebe-ai, tentunya lebih efektif bagi para wanita untuk memudahkan pekerjaannya dalam hal pemberian makanan kepada hewan peliharaannya. Pada dasarnya makanan yang diberikan kepada babi dimasak terlebih dahulu. Perhatian para wanita dalam merawat ternak babi merupakan keberhasilannya dalam mengangangkat status suaminya.

Mokarai atau pintu masuk. letaknya sejajar dengan rumah laki-laki

(pilamo). Antara rumah laki-laki (pilamo), rumah perempuan (ebe-ai), dapur (hunila) dan kandang babi (wamdabu) dihubungkan dengan pagar yang terbuat dari belahan-belahan kayu yang tersusun rapi. Pagar itu disebut “leget obapogut”. Selain pagar yang menghubungkan satu bangunan dengan bangunan lainnya dalam suatu silimo, ada juga pagar luar yang mengelilingi silimo tersebut. Bagian ujung dari ke dua lapis pagar tersebutlah membentuk mokarai. Mokarai sebagai pintu utama masuk silimo berukuran agak tinggi dan beratap, bentuknya persis seperti gapura-gapura yang dikembangkan di kota Wamena saat sekarang.

92

Pada halaman kompleks silimo12, orang Dani membuat suatu lubang disebut bakte. Bakte yang berfungsi sebagai kolam masak ini, disediakan di sudut halaman, sering dekat antara pilamo dan hunila atau pilamo dengan ebe-ai. Ada pula bakte khusus di belakang pilamo jika silimo yang dibentuk adalah silimo kanekela (silimo yang ada kaneke) atau wimaila (rumah pusat perang). Bakte yang biasanya sedalam 0,5 –

1 meter ini dipakai untuk bakar batu (cara masak tradisional orang Dani).

Makanan yang dimasak adalah daging babi, ubi jalar (hipere) dan sayur ubi jalar (hipereka). Biasanya dimasak pada saat upacara-upacara penting seperti pesta babi, kelahiran, perkawinan, kematian, dan juga upacara kesuburan serta upacara gangguan roh orang mati (mogat). Ada juga bakte yang disediakan di halaman bagian tengah dari silimo. Bakte ini berfungsi untuk pembakaran jenazah.

Konsepsi budaya masyarakat terhadap arah dan letak bangunan rumah dalam setiap silimo menggambarkan apa yang menjadi perhatian atau tugas dari setiap anggota dalam suatu silimo berdasarkan jenis kelamin. Seperti yang telah dikatakan di atas bahwa letak rumah laki-laki yang sejajar dengan pintu masuk silimo menunjukan tugas dan tanggung jawab laki-laki sebagai penjaga keamanan serta mengamati setiap gerak-gerik orang luar yang keluar-masuk silimo. Begitu juga rumah

12 Halaman bagian dalam silimo atau sili sering digunakan untuk upacara-upacara adat, sedangkan halaman bagian luar (belakang atau samping rumah) yang disebut okutlu, diamanfaatkan untuk menanam pisang, tebu, buah pandan, tembakau dan ubi jalar.

93

perempuan yang menghadap ke dapur dan kandang babi menunjukan apa yang menjadi perhatian atau tanggung jawab para wanita, yaitu memasak dan memelihara babi.

4.4.2 Sistem Mata Pencaharian Hidup

4.4.2.1 Bercocok Tanam

Mata pencaharian hidup orang Dani yang utama adalah bercocok tanam, artinya orang Dani memenuhi kebutuhan makan sebagai kebutuhan pokok sehari-hari melalui hasil bercocok tanam. Kebun-kebun mereka tidak hanya dikerjakan di daerah dataran Lembah Balim saja, tetapi juga di daerah-daerah yang tinggi dilereng-lereng gunung yang curam, terurus dengan baik. Pekerjaan ini dikerjakan sepanjang tahun.

Dahulu alat-alat yang digunakan sangat sederhana, tetapi sekarang mereka telah menggunakan alat-alat modern seperti parang, kapak besi, cangkul, sekop dan sebagainya.

Orang Dani mengenal sistem pembagian kerja antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Biasanya laki-laki melakukan pekerjaan yang berat dari kaum perempuan, seperti pekerjaan menebang pohon, membersihkan lahan, mendirikan pagar dan membuat beden. Sebaliknya kaum perempuan melakukan kegiatan seperti menanam, menyirami dan merawat tanaman sampai memanen hasil.

Tanah yang dikerjakan untuk sebuah kebun biasanya dikuasai oleh satu atau lebih kelompok kekerabatan yang secara khusus bergabung dalam usaha pertanian. Ada kalanya juga, tanah tersebut dikuasai oleh

94

satu kelompok kekerabatan. Tanah yang berada di bawah hak ulayat kelompok-kelompok serupa itu mempunyai batas-batas yang tegas yang ditandai oleh sungai, jurang, bukit atau unsur alam lainnya. Anggota- anggota kelompok kerabat berhak memakai bagian-bagian yang belum atau tidak dipakai anggota lain asalkan ia memberitahukan kepada kepala kelompoknya (kain). Kalau tanah itu ditinggalkannya maka anggota yang lain dari kelompoknya dapat mengguunakannya tanpa membayar apa-apa, walaupun kadang-kadang ia dapat memberikan seekor babi sebagai gantinya, terutama jika tanah tersebut tergolong tanah yang mereka anggap berharga. Tanah juga dapat “dibeli” dari kelompok kerabat lain, misalnya tanah yang telah digarap orang lain dengan cara menyerahkan hasil panen ubi yang pertama kepada kepala kelompok kerabat tersebut, atau kepada penggarap sebelumnya.

Cara bercocok tanam orang Dani adalah dengan sistem berpindah.

Tanah digarap selama beberapa musim tanam, dan apabila tanah itu telah “lelah” karena kehabisan zat-zatnya, tanah itu ditinggalkan.

Kemudian dibuka sebidang tanah yang baru. Tanah yang telah ditinggalkan itu kemudian memperoleh kesempatan untuk menjadi subur kembali (Koentjaraningrat, 1994:261).

Aktifitas bercocok tanam bagi orang Dani, dilalui lewat beberapa tahapan. Masing-masing tahapan tersebut adalah sebagai berikut

:Pertama,adalah persiapan membuka kebun baru. Diawali oleh seorang kepala suku menunjukkan letak lokasi baru untuk bercocok tanam.

95

Pembukaan lahan baru oleh seorang kepala suku harus memperhatikan hal-hal yang telah diatur secara adat yaitu menentukan lokasi yang tepat menurut kepemilikan hak ulayat kelompok kekerabatan. Lokasi yang sudah ditentukan harus disampaikan kepada pihak lain untuk memastikan bahwa lokasi tersebut benar menjadi miliknya. Jika tidak ada tuntutan pihak lain terhadap pemilihan lokasi kebun maka perencanaan kegiatan akan berlanjut pada tahapan berikutnya.

Sebaliknya jika ada tuntutan atas lokasi tersebut maka akan diperlukan pembuktian terhadap kepemilikan lokasi tersebut. Jika masalah telah selesai maka kepala suku akan mengarahkan kelompoknya untuk masuk pada tahap berikutnya.

Kedua, mengundang kelompok warganya untuk berpartisipasi dalam membuka kebun baru. Pada tahap ini kepala suku atau ketua kelompok memberitahukan sekaligus mengundang setiap orang untuk terlibat dalam pembukaan kebun baru. Keterlibatan warga dalam kebun baru, sangat tergantung pada hal-hal sebagai berikut : 1). Kemampuan seorang juru bicara dalam meyakinkan warganya tentang potensi lahan baru; 2). Tersedianya bahan makanan selama kegiatan penebangan pohon hingga menanam bibit. Syarat ini berpengaruh terhadap pengakuan status sosial seorang kepala sukuoleh warganya; 3).

Kesuburan tanah dan luas lahan menjadi pertimbangan untuk mendapatkan hasil yang baik dan melimpah.

Ketiga, yaitu kegiatan di lokasi kebun. Kegiatan ini terdiri dari : 1).

96

Yabu jigkwy, yaitu kegiatan menebang pohon, belukar dan memotong rumput. Pekerjaan ini adalah tugas kaum lelaki dengan menggunakan parang dan kapak; 2). Sementara menunggu keringnya pepohonan yang ditebang, kaum lelaki melakukan pemagaran mengelilingi lahan yang telah tandus. Pagar terbuat dari belahan-belahan kayu bulat yang disusun (jagat) dan diapit dengan potongan kayu-kayu bulat yang ditanam kira-kira setengah meter ke dalam tanah (neget). Pekerjaan membuat pagar kebun maupun pagar silimo adalah tugas kaum laki-laki.

Kaum perempuan juga ikut terlibat aktif dalam tahapan ini lewat cara menyiapkan makanan bagi kaum lelaki yang sedang melakukan aktifitas tersebut. Pembuatan pagar tersebut dimaksudkan untuk menghindari masuknya babi ke dalam kebun. Pagar tersebut dapat digunakan selama

1-2 tahun. Berbeda dengan pagar silimo yang dapat dimanfaatkan selama 3-4 tahun. Orang Dani juga mengenal sistem irigasi dan kebun- kebun mereka seringkali tampak dikelilingi dan dipotong-potong oleh parit-parit kecil yang mereka buat dengan menggunakan kapak, tongkat tugal, atau dengan mengeruk tanahnya dengan menggunakan tangan saja.

Keempat, Pembakaran daun dan ranting-ranting kayu. Setelah batang, cabang, dahan, daun-daun dan belukar yang dipotong-potong menjadi kering, seluruhnya dibakar Pekerjaan ini dilakukan oleh para lelaki. Beberapa minggu kemudian, apabila tanah telah menjadi dingin kembali, para wanita mulai mulai turut mengambil bagian dalam kegiatan

97

bercocok tanam. Mereka membawa pulang kayu arang dan membersihkan lahan. Setelah lahan bersih, kepala suku atau pimpinan kelompok membagi-bagikan beberapa bidang tanah sesuai jumlah kepala keluarga dalam kelompok bertani tersebut.

Kelima, Kegiatan menanam yang dilakukan oleh kaum perempuan.

Sebelumnya oleh para pria menggunakan tongkat tugal untuk mengangkat gumpalan-gumpalan tanah, yang oleh para wanita dihancurkan dengan tugal atau dengan tangan saja. Kaum perempuan yang biasanya terdiri dari Ibu, istri, para saudara perempuan dan anak perempuan pemakai kebun. Tiap anggota keluarga diberi tanggung jawab atas sebagian dari kebun yang harus mereka tanami, pelihara dan juga panen sendiri. Tanaman yang terpenting adalah ubi jalar.

Keenam, adalah tahap menyiangi kebun. Tahap ini dilakukan oleh kaum perempuan, dengan cara memangkas ranting-ranting ubi jalar dengan maksud agar tidak terjadi pengumbian yang lebih kecil.

Tumbuhan liar yang ada di sekitar tanaman tersebut dicabut dan diletakan di pinggiran lading.

Ketujuh, adalah tahap penggalian ubi jalar. Kegiatan ini adalah tahap panen hasil. Biasanyamemakan waktu rata-rata 6 bulan. Menurut orang Dani bahwa semakin tinggi letak lokasi perladangan, maka semakin lama jarak waktu untuk menanam. Orang Dani mengenal tanaman yang lebih tua untuk dipanen melalui ranting dan di daunnya yang telah menguning. Jika tanaman telah menampakan ciri-ciri seperti

98

itu maka kaum wanita membuka tanaman dengan menggunakan tugal.

Orang Dani mempunyai kebiasaan menanam di satu ladang selama tiga kali, kemudian ditinggalkan.

Selain hipere (ubi jalar) sebagai makanan pokok, orang Dani juga mereka menanam talas/keladi atau hom, sejenis ubi jalar yang tumbuh pada lilitan kayu atau pain/uwi, pisang atau haki. Ada juga jenis sayur- sayuran yang ditanam, seperti bayam asli atau kibi, ketimun berkulit kuning atau kiln, sayur Jilin atau soa, kacang buncis atau wenali dan heleken, sayur kol, wortel, tomat dan labu. Di antara tanaman-tanaman ini juga ditanam tembakau atau hanum dan tebu atau el, sehingga kebun atau ladang orang Dani dapat diidentikkan dengan kebun tumpang sari.

Semua yang ditanam sebagian besar untuk dikonsumsi keluarga

(terutama ubi jalar), selebihnya dijual ke pasar untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya seperti garam, minyak goreng, rokok dan lain sebagainya.

Keseluruhan jenis tanaman yang disebutkan, tidaklah ditanam dalam suatu lokasi ladang yang sama. Menurut Heider, ada 3 (tiga) tipe kebun (ladang) utama pada orang Dani di Lembah Balim, 1) kebun- kebun yang berada di lereng gunung (wen yabu); 2) kebun yang berada di halaman belakang silimo (okutlu); 3) kebun-kebun di bagian rendah dan datar (wen leget); Dari tiga tipe kebun yang disebutkan ini, kebun yang berada di tanah datar merupakan kebun yang dikerjakan secara tetap. Bagi orang Dani (khususnya kampung Jiwika dan Watlangku

99

memiliki dan mengerjakan kebun dengan ke tiga tipe tersebut (1970:33).

Pertama, adalah kebun yang berada di lereng gunung atau wen yabu memiliki parit kecil dan kurang dalam serta diberi pagar yang mengelilingi seluruh bagian kebun. Pada kebun ini, lebih banyak dikhususkan untuk tanaman keladi dan ketimun daripada tanaman ubi jalar. Tipe kebun ini berada di luar pemukiman masyarakat. Menurut masyarakat, biasanya ubi jalar yang ditanam di lereng gunung menghasilkan buah yang kecil sehingga ubi tersebut biasanya diperuntukan untuk pakan ternak babi.

Kedua, adalah tipe kebun yang berada di dalam silimo. Kebun ini berada tepat di belakang rumah perempuan (ebe-ai) atau belakang dapur (hunch). Secara umum orang Dani menyebut jenis kebun keluarga ini dengan sebutkan okutlu. Kebun yang berada di halaman belakang rumah, tepatnya di antara pagar dalam dan pagar luar ini tidak memiliki parit dan dimanfaatkan untuk menanam jenis tanaman seperti pisang, tebu, tembakau dan ubi jalar tetapi hanya dimanfaat daunnya sebagai sayuran. Oleh Heider, kebun yang berada dalam pekarangan silimo ini terdiri dari 1). hagiloma, lahan untuk menanam pisang, tebu, ubi jalar dan tabu; 2). maikmo, kebun di halaman belakang rumah antara pagar dalam dan pagar luar. yang ditanami keladi, tembakau dan tabu manis (Heider,

1979:36).

Ketiga, adalah jenis kebun yang dikerjakan di dataran rendah atau wen leget, memiliki parit yang dalam ( 40-50 cm dan lebar 40 cm) atau

100

beririgasi. Parit ini berfungsi untuk menyalurkan air hujan jika berlebihan sehingga tidak terjadi banjir (khususnya untuk daerah yang agak rendah). Selain berfungsi menyuplai air untuk ladang, parit ini juga berfungsi menghasilkan pupuk13 untuk ladang yang akan ditanam.

Kebun ini dibuat di area yang luas dan berada di luar kampung. Ada beberapa kelok-kelok seperti pematang, yang disebut dom ake artinya ekor gunung. Luas kebun ini berkisar 25 -100 meter. Jenis tanaman yang diusahakan di kebun ini adalah ubi jalar (ubi manis). Ada juga tanaman tembakau tetapi sangat jarang. Saat sekarang kebun yang berada di dataran rendah ini juga dimanfaatkan untuk menanam jenis sayur- sayuran seperti bayam asli atau kibi, ketimun berkulit kuning atau kiln, sayur lilin atau soa, kacang buncis atau wenali dan heleken, sayur kol, wortel, tomat dan labu.

Ke tiga jenis kebun ini diklasifikasikan Heider dengan memperhatikan topografi tanah. Masyarakat Dani mengerjakan ladang- ladangnya di atas tanah kepemilikannya sendiri. Tanah perladangan biasanya dikuasai oleh satu kelompok klen atau beberapa kelompok klen gabungan. Batas-batas hak ulayat dari tiap klen biasanya ditandai oleh suatu unsur alam, misalnya sungai, gunung atau jurang. Para anggota

13 Pupuk yang dimaksud adalah pupuk alamiah, yang berasal dari semak-semak (sejenis rumput alang-alang), setelah ditebang dari bakal ladang, direndam dalam parit untuk beberapa lama. Setelah membusuk dan bercampur dengan lumpur. Kompos ini disebar di bidang bakal lahan untuk beberapa saat lagi. Setelah kompos ini menyatu dengan tanah, maka tanah garapan dibalik setebal 10-20 cm dengan tugal atau sekop. Setelah selesai pekerjaan ini, maka lahan siap ditanam (Prayogo, 1996:85)

101

kelompok klen berhak memakai bagian lahan yang belum atau tidak dipakai anggota lain, asalnya memberitahukan pemimpin klen terlebih dahulu.

Menurut informan, tidak semua warga masyarakat memiliki lahan- lahan kebun pada daerah lereng gunung dan tanah dataran. Bagi anggota klen yang memiliki hak ulayat di daerah lereng gunung, maka ia dapat mengerjakan kebun di lahan tersebut, begitu juga sebaliknya dengan kepemilikan lahan di tanah datar. Walaupun demikian dengan adanya sistem perkawinan eksogami moiety maka para istri yang dahulu yang tidak memiliki lahan di lereng gunung dapat mengerjakan kebun di lereng gunung milik kerabat suaminya. Begitu juga pemanfaatkan lahan- lahan kebun di tanah datar yang dapat dikerjakan oleh kerabat istri. Bagi orang Dani, seorang istri atau satu kelurga batih harus memiliki dua sampai tiga lahan kebun, baik lahan kebun yang berada di lereng gunung maupun di tanah datar. Oleh sebab itu, sepanjang pengamatan di lokasi penelitian tampak seorang istri atau seorang peladang selalu mempunyai dua atau paling banyak tiga lokasi ladang yang dikerjakan dengan sistem rotasi.

4.4.3. Sistem Kekerabatan

4.4.3.1. Hubungan Garis Keturunan

Hubungan garis keturunan atau hubungan kekerabatan orang Dani di Lembah Balim didasarkan pada prinsip patrilineal (eak-aburi).

Patrilineal adalah sistem pengusutan garis keturunan melalui beberapa

102

generasi pria kepada satu leluhur pria. Leluhur pria yang mewarisi garis keturunan patrilineal dipandang orang Dani sebagai ninopa (moyang kami) yang mewarisi garis keturuanan hingga kini. Nama-nama dari nenek moyang dalam beberapa generasi biasanya masih diingat

(walaupun ada yang dirahasiakan), namun umumnya tidak dikenal lagi karena melewati sejumlah generasi (di atas 4 atau 5 generasi). Usaha orang Dani untuk memelihara realisasi patrilineal ini, antara lain dengan menggunakan nama “klen” (ukul : kepala) atau patriklen dan “moiety”

(ebe : badan ) atau patrimoiety dari ayah, yang juga diwarisi setiap ayah dari leluhur pertamanya.

Keanggotaan dalam sistem patrilineal ini bertingkat-tingkat. Ada kesatuan rumah tangga keluarga inti poligami atau keluarga luas yang hidup bersama dalam suatu silimo. Ada juga kesatuan klen (klen kecil) yang merupakan gabungan dari beberapa silimo dalam suatu o-ukul dan kesatuan pasangan klen (klen besar) yang terbentuk dari beberapa ukul- oak dalam suatu wilayah konfederasi. Kelompok yang lebih besar keanggotaannya adalah paroh masyarakat atau moiety (ebe). Desa

Jiwika di Distrik Kurulu, merupakan wilayah konfederasi Logo-Mabel yang berapa dalam kesatuan klen patrilineal (patriklen) dan juga klen patrimoiety. Kesatuan-kesatuan ini terealisir dalam suatu silimo dan ukul- oak.

4.4.3.2. Kelompok-kelompok Kekerabatan

Berdasarkan deskripsi di atas (hubungan garis keturunan), terlihat

103

bahwa keseluruhan anggota masyarakat Dani yang menempati wilayah

Logo-Mabel di Desa Jiwika terdiri atas kelompok-kelompok kekerabatan.

Kelompok tersebut adalah : 1). Silimo : gabungan keluarga inti-, 2). Ukul :

Klen Patrilineal; c). Ebe : Patrimoiety

Silimo : Gabungan Keluarga Inti. Silimo dapat disrtikan sebagai suatu kelompok kekerabatan yang terdiri dari gabungan keluarga inti atau rumah tangga yang berdiam dalam satu pekarangan yang dikelilingi oleh pagar atau sill. Sebagai kelompok kekerabatan yang paling kecil dan sederhana secara nyata kesatuan sosial ini menampakkan berbagai pola perilaku dan tindakan Behari-hari dari anggota masyarakatnya.

Kelompok kekerabatan ini berada dalam satu wilayah oukul (kampung).

Jumlah anggota kerabat yang hidup dalam satu silimo dapat diperkirakan sekitar 10-60 orang bahkan mungkin bisa lebih. Banyaknya keluarga inti dalam suatu silimo sulit ditentukan berdasarkan jumlah tempat perapian atau tungku (wulikin) yang ada dalam satu dapur, atau banyaknya rumah perempuan (ebe-ai) karena keluarga-keluarga inti orang Dani Balim dominan menganut sistem perkawinan poligami.

Keluarga Dani yang menempati suatu silimo diatur berdasarkan hubungan kekerabatan yang bersifat patrilineal, dengan pola keluarga luas (extended family) virilokal. Mereka biasanya mempunyai nama klen atau fain yang sama. Silimo Yang ditempatinya diberi nama menurut nama klen (fam) kepalanya yang sekaligus sebagai kepala keluarga, misalnya silimo Wosi Mabel, Yaparik Dabi, Dauke Mabel dan

104

sebagainyanya. Setiap keluarga inti dapat menghidupi anggota keluarganya masing-masing dalam sebuah dapur yang berbentuk memanjang secara bersama-sama. Seperti dalam silimo Wosi Mabel, ia mempunyai tiga orang istri, yang masing-masing menempati tiga rumah perempuan (ebe-ai). Banyaknya rumah perempuan tergantung dari jumlah istri dari kepala silimo, kemudian istri dari laki-laki lain yang bukan kepala silimo, bergabung di dalam rumah perempuan tersebut.

Silimo yang ditempati terdapat dua sampai tiga generasi dalam satu garis patrilineal dan terdiri dari 5-8 keluarga inti. Bentuk dan jumlah keluarga inti dalam silimo tersebut bervariasi, hanya sebagian kecil saja keluarga inti yang bersifat monogami sedangkan sebagian besar bentuk keluarga inti dengan istri lebih dari satu orang atau poligami. Bentuk keluarga inti yang pada umumnya bersifat poligami erat sekali kaitannya dengan penimbunan harta kekayaan berupa hasil kebun, ternak, dan alat-alat pembayaran tradisional (ye : kapak batu; yerak : kalung kerang, dan su : noken) yang dapat digunakan untuk kepentingan upacara adat guna menaikan gengsi atau status sosial seseorang. Silimo sebagai kesatuan sosial yang menampakkan pola perilaku dan tindakan sehari- hari dari para anggotanya memperlihatkan adanya pembagian kerja yang teratur. Pembagian kerja antara anggota keluarga jelas berbeda sesuai dengan jenis kelamin. Para pria sebagai penghuni pilamo (rumah laki- laki) pada setup pagi dan sore atau malam hari melakukan kegiatan yang berbeda. Saat sore dan malam hari laki-laki tinggal dalam pilamo. Sambil

105

menunggu hidangan makan malam, mereka bercerita atau mendiskusikan kegiatan yang sudah dilakukan pada siang hari dan merencanakan kegiatan esok harinya. Ada kalanya mereka mengunjungi ibu dan anak-anaknya dalam hunila (dapur) yang berfungsi sebagai rumah pertemuan seluruh anggota keluarga silimo.Setelah makan, segera mereka pergi ke pilamo untuk tidur. Dalam waktu tertentu, mereka juga bertugas menjaga warga dalam silimonya dari gangguan pencuri dan tukang sihir atau mogat. Pagi hari, setelah makan (namun tidak selalu) kaum lelaki menyiapkan perlengkapan kerja. Sekitar pukul

08.00 sampai sore hari 16.00 WIT mereka berada di ladang, membantu dan mengawasi para istri yang sedang bekerja. Pekerjaan ini dilakukan, jika mereka tidak terlibat dalam urusan adat (masalah perzinahan atau pencurian) di kampung. Dahulu, jika dalam suasana perang, mereka harus waspadai dengan perlengkapan perangnya guna melindungi diri dan menjaga perempuan yang sedang berada di kebun. Selanjutnya pada petang hari, para lelaki kembali ke rumah sambil memikul kayu bakar untuk kebutuhan keluarga. Mereka mempunyai cukup waktu untuk saling mengunjungi di antara sesama kerabat dan bercerita hingga larut malam.

Aktivitas perempuan (istri-istri) sehari-hari dapat dilihat dalam lingkungan silimo dan juga di luar silimo (ladang dan pasar). Dalam silimonya, perempuan memiliki peranan yang cukup penting dalam kelangsungan hidup seluruh penghuni silimo baik manusia, tanaman dan

106

babi. Saat pagi hari seorang perempuan bangun dari tidurnya, ia memberikan kehidupan bagi seluruh penghuni silimo tersebut. Sebagai seorang istri yang mempunyai bayibertugas menyusui bayi sambil menyiapkan makanan bagi anggota keluarganya bersama wanita-wanita lainnya, misalnya membelah kayu bakar dan menyalahkannya untuk membakar hasil kebun dan kemudian disajikan kepada suami dan anak- anak. Kegiatan ini dilakukan juga pada sore harinya. Perempuan juga bertugas menyiapkan dan memberi makan ternak babi pada pagi hari maupun pada sore hari (memasukkan ke kandang pada sore hari maupun mengeluarkan dari kandang pada pagi hari). Aktivitas perempuan lainnya dilakukan di luar silimo. Kira-kira pukul 08.00 pagi hari, perempuan keluar menuju kebun baru untuk menanam, merawat, dan menyiangi rumput. Kini pada hari-hari tertentu mereka berjualan ke pasar di kota Wamena. Kemudian agak siang mereka menuju kebun tua untuk menggali ubi jalar secukupnya bagi keluarga dan ternak. Dalam perjalanan pulang, mereka mencuci hasil galiannya (ubi jalar) serta mencari kayu bakar dan rumput untuk memasaknya sebagai santapan malam. Saat malam hari, mereka meluangkan waktu untuk berkumpul dan saling mengunjungi. Kunjungan mereka terbatas pada jalur kekerabatan menurut suami atau orang tuanya. Beberapa perempuan

(istri-istri), duduk bersama dalam hunila dan bercerita seputar pengalaman mereka di hari itu. Mereka juga merencanakan kegiatan selanjutnya yang akan dikerjakan keesokan harinya. Ibu-ibu (istri-istri)

107

yang tua menceritakan pengalamannya dan mendorong ibu (Istri-istri) mudanya untuk giat bekerja dalam mendukung serta menaikkan status suaminya. Pada malam-malam tertentu (tidak setiap malam), seorang istri harus mempersiapkan diri dan tempat untuk menerima kunjungan suaminya dalam memenuhi kebutuhan biologisnya. Sementara perempuan lain yang serumah harus menyingkir ke rumah yang lain.

Perempuanlah yang mengatur dan membagi makanan sehari-hari untuk keluarga dan ternaknya. Pekerjaan ini merupakan bagian dari kehidupan, seorang perempuan Dani. Mereka tidak dapat betah dalam keluarga jika tidak bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dapat menunjang keberadaannya sebagai perempuan Dani. Pekerjaan- pekerjaan rutin itu merupakan identitas dirinya. Mereka merasa menjadi seorang ibu bagi keluarga dan klennya. Perempuan memberikan sumbangan yang paling menentukan bagi kelangsungan hidup manusia, ternak, relasi dengan leluhur dan relasi dengan alam sesama (Lokobal.,

2003:143).

Anggota kerabat lainnya sebagai penghuni silimo adalah anak- anak. Peranan dan kewajiban anak dalam suatu rumah tangga mulai tampak semenjak anak itu berusis 10-12 tahun. Peranan mereka terlihat dalam hal membantu orang tua, terutama ibunya. Bersama ibunya, seorang anak laki-laki maupun perempuan membantu memelihara babi.

Mereka membuka dan menutup kandang babi serta memberi makan pada pagi dan sore hari. Selain itu mereka juga membantu mengangkut

108

hasil kebun atau hasil hutannya. Saat sekarang pekerjaan ini dilakukan di luar waktu sekolah.

Ukul : Klen Patrilineal. Kelompok kekerabatan yang lebih besar dari keluarga luas yang menempati satu silimo adalah kelompok kekerabatan yang memperhitungkan garis keturunan patrilineal, artinya melalui para warga prianya sampai enam atau tujuh keturunan. Nama nenek moyang kelompok biasanya masih diingat dan rohnya masih dihormati lewat upacara. Istilah untuk menyebut kelompok ini adalah, ukul yang berarti

‘kepala’, ‘bulu’ atau ‘asal’. Kelompok ukul masih dibedakan lagi menjadi dua bagian yaitu klen kecil atau minimal klen (ukul-oak) dan klen besar atau maksimal klen (inukul-oak). Berdasarkan sejarah terbentuknya klen, maka klen Logo, klen Mabel dan klen Dabi dianggap lebih senior dari klen-klen lain. Faktor senioritas ikut menentukan dan mempengaruhui sistem kepemimpinan tradisional. Terlihat, kepala suku adat/umum dijabat oleh klen Mabel, kepala suku adat perang dijabat oleh klen Logo, kepala suku adat kesuburan dijabat lagi oleh klen Mabel dan kepala suku adat perdamaian/penyembuhan dijabat oleh klen Dabi. Daerah Kurulu yang dikuasai suku besar Logo-Mabel, merupakan klen besar (inukul- oak). Dalam klen besar terdapat sejumlah klen lain seperti Dabi, Himan,

Wilil, Marian, Alua, Wetipo, Wantik, Walila, Sorabut, Kossi, dan Wetipo.

Sejumlah klen yang telah disebutkan di atas dapat menelusuri keanggotaan kerabatnya sebatas keturunan dari empat atau lima generasi. Mereka dapat disebut sebagai suatu klen kecil (ukul-oak). Ada

109

kalanya di dalam klen kecil ini terdapat sejumlah individu yang bukan merupakan kerabat atas hubungan genealogi, melainkan berasal dari klen-klen yang sudah hampir punah, sehingga mereka menggabungkan diri dengan klen lainnya masih hidup dan kuat (Koentjaraningrat

1970:23). Mereka hidup dalam sejumlah silimo, namun dalam waktu tertentu mereka bekerja sama untuk kepentingan melaksanakan berbagai upacara adat.

Di atas klen kecil terdapat inukul-oak, yaitu klen besar yang merupakan gabungan klen kecil, namun anggotanya sudah tidak dapat lagi menelusuri hubungan darah mereka karena angkatannya sudah terlalu jauh ke atas. Mereka juga hidup tersebar di Lembah Balim dan sekitamya, dan merasa terikat dalam hubungan klen besar ini hanya atas dasar kesamaan adat dan ikatan marga. (Koentjaraningrat 1970:24)

Desa Jiwika terdapat beberapa gabungan klen atau pasangan klen yang disebut klen besar atau oleh orang Dani Balim dengan istilah inukul-oak.

Gabungan klen tersebut misalnya, Logo-Mabel, Dabi-Mabel, Logo-

Wetipo, Wantik-Walela, Wilil-Himan, Kosi Alua, Wetipo-Alua, Wantik-

Sorabut dan Wetipo-Alua. Gabungan klen tersebut tidak hanya berada di wilayah Jiwika tetapi ada juga yang tersebar di sekitar Distrik Kurulu bahkan di sekitar Lembah Balim. Pasangan pasangan klen di atas membentuk satu kelompok inukul-oak ( konfederasi) yang dipimpin oleh

Klen Logo-Mabel. Pasangan klen ini tersebar dalam daerah tertentu

(inukul-oak) dan membentuk perkampungan-perkampungan (ukul-oak)

110

yang di dalamnya terdiri dari beberapa unit kampung (silimo).

Ebe : Patrimoiety. Kelompok kekerabatan yang lebih besar lagi dari inukul-oak adalah ebe. Istilah ebe menunjukan kepada dua bagian besar dari kelompok manusia menurut garis keturunan (ayah) dan bersifat eksogami dalam masyarakat Dani Balim. Masyarakat Baliem menamakannya waiya dan wita. Orang Dani Baliem di Desa Jiwika atau konfederasi Logo-Mabel terdiri dari beberapa klen (seperti yang telah disebutkan di atas). Klen tersebut kemudian dikelompokan dalam dua kelompok besar atau dalam paroh/moiety masyarakat Waiya dan Wita dapat disusun dalam tabel 4.4 di bawah ini

Tabel 4.4 Pengelompokan Klen-klen Berdasarkan Paroh Waiya dan Wita EBE (MOIETY)

WAIYA : WITA :

Logo Mabel

Dabi Mabel

Wilil Himan

Alua Kosi

Alua Wetipo

Wantik Walela

Sorabut Wantik Logo Wetipo Logo Welela

Penggolongan klen-klen ke dalam dua kelompok besar ini, menunjukan bahwa masyarakat Dani secara keseluruhan seolah-olah

111

dibagi menjadi dua paroh. Setiap klen dalam pasangan waiya dan wita mempunyai fungsi adat, yaitu salah satu klen dari pasangan itu berkedudukan “di serambi” sedangkan yang lain berkedudukan “di dapur”. Seperti pasangan klen Logo-Mabel, klen Logo mengurus hal-hal keluar seperti peraturan tentang tanah dan peggunaan tanah sedangkan klen Mabel bertugas mengurus kesuburan. Selain itu setiap klen dari pasangan juga mempunyai lambang tertentu. Klen Logo, Dabi, Wilil, dan lainnya dalam kelompok Waiya melambangkan unsur maskulin (laki-laki) sebaliknya klen Mabel, Himan, Kossi, dan lainnya dalam kelompok Wita melambangkan unsur feminim (perempuan). Keduanya hidup saling berdampingan, saling melengkapi, saling membutuhkan sebagai satu belahan yang tak terpisahkan. Kehadiran yang satu melengkapi yang lainnya sehingga keduanya merupakan inti Dani; kebutuhan hidup.

Prinsip ebe dipandang sebagai pasangan suami-istri (agum-age) atau ibu-ayah (agosa-apose). Secara kultur pengelompokan dua. paroh

(waiya-wita) ini menjadi dasar bagi setiap anggota masyarakat untuk berinteraksi satu sama lainnya, khusunya dalam hal perkawinan.

Penjelasan tentang aturan perkawinan ini akan dibahas pada sub bab tersendiri.

Hubungan anggota klen dalam dua paroh yang berbeda ini juga tergambar dalam kebersamaan hidup mereka dalam pola tempat tinggal.

Di dalam desa anggota klen yang sama tidak tinggal mengelompok tetapi tersebar sesuai dengan ukul-ukul atau silimo-silimo yang ada, tetapi

112

masih dalam batas wilayah konfederasi mereka. Terbentuknya beberapa silimo menjadi satu kampung selalu menggambarkan adanya prinsip dan peranan moiety misalnya, kampung Pulkeima, terdiri dari tiga silimo yang dikepalat oleh Wosi Mabel, Lilike Dabi dan Halial Dabi menggambarkan adanya pasangan moiety Dabi-Mabel atau silimo-silimo di kampung

Pabima yang dikepalai oleh Yilon Mabel, Abapuk Logo dan Obiliak

Marian menggambarkan adanya pasangan klen Logo-Mabel. Ada juga dalam satu kampung yang dihuni oleh tiga klen sesuai dengan pasangan kawin yang ada, antara lain : Klen Logo dan klen Dabi kawin dengan klen

Mabel atau klen Surabut dan klen Alua kawin dengan klen Marian, atau klen Alua kawin dengan klen Wetipo dan klen Kosi. Pasangan-pasangan ini kadang-kadang menjadi dasar dalam pembentukan kampung di wilayah Kurulu sehingga satu kampung didiami oleh salah satu klen besar seperti klen besar Logo-Mabel/Dabi-Mabel, klen besar Surabut-

Marian/Alua-Marian, klen besar Alua-Wetipo/Alua-Kosi dan lain sebagainya (Yarona, 1996:98).

Secara implisit uraian tentang kelompok kekerabatan di atas tampak berkedudukan dalam suatu daerah konfederasi (inukul-oak) seperti yang tampak pada konfederasi Logo-Mabel. Niko Lokobal memberikan beberapa ciri yang mewarnai kelompok inukul-oak ini.

Antara lain, kelompok ini menyadari bahwa mereka berasal dari satu nenek moyang dan memiliki suatu areal tanah atau wilayah tertentu

(yang sebenarnya milik kelompok patrilineal tertentu). Di atas tanah

113

tersebut tersebar sejumlah klen kecil (Dabi, Wilil, Himan, dan sebagainnya) dan mempunyai seorang pemimpin (ap kain). Di sekitar wilayah ini juga dibangun suatu pusat perkampungan inukul-oak yang disebut dengan Silimo Adat. Di pusat perkampungan itu ditempatkan kaneke milik klen, di dalam satu pilamo (rumah laki-laki). Kelompok ini juga memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan ritus kaneke. Akhimya bila diamati, kelompok-kelompok kekerabatan yang dibicarakan di atas dapat terlihat dalam gambar 4.4 sebagai berikut :

Gambar 4.4 Kelompok Kekerabatan Orang Dani Balim di Kurulu

ORANG DANI DI LEMBAH BALIEM

L

Moiety : Moiety : WAIYA WITA

Klen Klen LOGO Klen MABEL Klen lainnya,… lainnya,… .

4.4.4. Sistem Perkawinan

Menurut orang Dani, perkawinan bukanlah hanya suatu peristiwa yang harus dilalui oleh manusia untuk tujuan pembentukan kelompok keturunan. Perkawinan juga adalah suatu bentuk pengakuan masyarakat untuk memberikan hak dan kewajibannya dalam berbagai peristiwa kehidupan yang akan dihadapinya kelak. Lewat perkawinan, seorang

114

perempuan (calon istri) mendapatkan pengakuan atas keberadaan dan kemampuannya dalam mengangkat status seami dan keluarganya.

Orang Dani menganggap perempuan adalah simbol kesuburan hidup dan kekuatan yang dijadikan oleh laki-laki sebagai tempat berpijak bagi seluruh kaum kerabatnya. Perempuan adalah penerus dan perawat kehidupan. Adanya pandangan tersebut terlihat pada saat ritus perkawinan biasanya ada wejangan-wejangan dari seorang ibu kepada anak perempuannya, seperti terungkap di bawah ini :

“…semoga engkau menjadi sumber kehidupan dan kesuburan; semoga dari semoga engkau me *adi sumber kehidupan dan kesuburan, tanganmu menetes lemak kehidupan; semoga engkau menjadi ibu keluarga dan masyakarkat; semoga engkau masuk ke dalam rangkulan leluhur suamimu. Tunduklah kepada suamimu, hormatilah dia, tetapi jangan engkau menyerah, teguhlah pendirianmu!" (Lokobal, 2003)

Perkawinan suami-istri haruslah dihormati, terutama soal hubungan intim suami-istri. Ada aturan adat yang mengatur bahwa hubungan intim seami-istri selayaknya dilakukan di dalam rumah (ebe-ai) dan hubungan tersebut haruslah pada malam hari. Anak-anak remaja dan pemuda yang belum menikah sangat dilarang melakukan hubungan seks, karena seks dipandang “berdaya panas”. Akibatnva akan mengganggu pertumbuhan badan, kecerdasan, keberanian, kesuksesan dan melemahkan gairah hidup (Lokobal, 2003).

Perkawinan yang dianggap ideal bagi orang Dani adalah adanya suatu hubungan perkawinan yang menganut sistem exogami moiety, artinya anggota dan salah satu kelompok klen atau klen-klen dalam satu

115

moiety tidak boleh saling mengawini. Misalnya, orang dari klen Logo haruslah menikah dengan dengan orang dari klen Mabel, Himan, Kosi,

Wetipo, Walela dan seterusnya; atau dari klen Mabel haruslah menikah dengan orang dari klen Logo, Dabi, Wilil dan lainnya. Sebaliknya ada larangan bagi klen Logo untuk menikah dengan orang dari klen Dabi,

Wilil, Wantik, dan begitu pula klen Mabel di larang menikah dengan klen

Himan, Kosi, Wetipo, dan seterusnya.

Norma exogami moiety jarang sekali dilanggar. Setiap orang sudah mengenal klen-klen mana yang bisa dikawini. Jika ada hubungan perkawinan yang melanggar aturan, hal ini dianggap sebagai hubungan perzinahan, yang disebut pawi atau eloali (hubungan seks dengan induknya sendiri atau pokoknya sendiri). Hubungan ini dianggap sebagai perbuatan sumbang atau incest. Perbuatan tabu yang biasanya disebut orang Dani wusa akan berdampak pada sanksi-sanksi yang bersifat supernatural (Heider, 1970:73).

Cara pemilihan jodoh bagi orang Dani di Jiwika Kurulu pada umumnya masih ditentukan oleh orang tua. Orang tua biasanya menganjurkan agar perkawinan dilakukan ke dalam klen ibunya. Ada kalanya pemilihan jodoh itu dilakukan sendiri oleh anak namun tetap melalui persetujuan orang tua. Seorang anak menyadari hal ini, karena nantinya orang tua dan kerabatnya akan bertanggung jawab untuk menyelesaikan pembayaran mas kawin.

Keluarga adalah satuan sosial dan ekonomi yang terdiri dari

116

seorang suami dan seorang istri sebagai orang tua dari anak-anak mereka. Akan tetapi ada juga keluarga yang terbentuk karena perkawinan poligini sehingga terdapat kemungkinan suatu keluarga dapat terdiri dari seorang suami dengan lebih dani istri dan anak-anak dari istri-istrinya. Perkawinan poligami (poligini) merupakan bentuk perkawinan yang lazim pada orang Dani. Ada pandangan bahwa hidup yang bersifat kooperatif adalah penting dalam budaya orang Dani dan ini diwujudkan pula dalam sistem perkawinan orang Dani. Bila suatu keluarga terdiri atas beberapa istri maka pada saat kekurangan atau kesulitan, selalu ada ibu lain yang akan membantu. Misalnya bila satu istri meninggal, ada istri lain yang mengambil alih urusan anak-anak; atau bila istri yang satu mandul ada istri lain yang dapat melahirkan anak bagi keluarga. Bentuk perkawinan ini (poligini) tidak selamanya berjalan lancar tetapi ada pula masalah-masalah yang muncul. Misalnya pertikaian antar istri, beban keluarga bertambah berat, ketidakseimbangan perhatian suami terhadap para istri dan anak-anak.

Kesemuanya ini dapat menyebabkan longgarya ikatan perkawinan.

Walaupun demikian perkawinan poligini tetap berlaku sampai sekarang.

Di samping perkawinan poligini, bentuk perkawinan monogami juga nampak dalam kehidupan orang Dani. Perkawinan monogami mulai dipraktekan sejak masuknya pengaruh agama /missionaris (Lokobal,

2003).

He Yokal : Upacara Perkawinan. Upacara perkawinan pada budaya

117

orang Dani lebih terpusat pada pengantin perempuan, sedangkan laki- laki tidak hadir secara langsung dalam upacara tersebut. Upacara perkawinan yang disebut heyokal ( he : perempuan; yokal : busana perempuan / rok orang dewasa yang sudah menikah) secara tegas nampak adanya perhatian yang lebih kepada pengantin wanita. Hal ini terlihat dalam rangkaian upacara bahwa para pengantin wanita selain pergantisn busana, mereka juga dihadiahkan sejumlah harta seperti noken. Pada akhir upacara ini, pengantin wanita diarak keluar dari rumah orang tuanya menuju rumah pengantin laki-laki dengan diiringi tari-tarian yang meriah. Pengantin laki-laki tidak diperlakukan secara istimewa, ia tinggal di rumahnya bersama kerabat untuk menerima calon istrinya atau ada pula pengantin pria yang merasa malu lalu ia menghindar dari rumahnya.

Biasanya sebelum upacara perkawinan, orang tua dari kedua belah pihak saling memberikan makanan. Pihak laki-laki memberikan daging babi kepada ibu si gadis. Jika keluarga gadis menyetujui, mereka akan membalas dengan pemberian ubi jalar. Selanjutnya, orang tua laki-laki akan melamar si gadis lewat saudara laki-lakinya. Pada acara lamaran ini akan ditentukan besarnya maskawin kepada si pemuda. Satu bulan sebelum upacara perkawinan, mas kawin tersebut dibayar kepada pihak si gadis. Upacara perkawinan atau he yokal akan berlangsung dalam 2 tahap yaitu 1). pemotongan sali (busana gadis); 2). pelepasan.

Upacara pemotongan Sali. Pada upacara ini, busana gadis atau sali

118

yang dipakai oleh pengantin wanita dipotong atau ditanggalkan dan diganti oleh yokal (busana wanita yang telah nikah). Upacara ini hanya dihadiri oleh kaum ibu dan para wanita dan dilaksanakan di sebuah dapur umum. Ibu-ibu yang melakukan pemotongan sali didasarkan menurut peranan suami atau saudara laki-laki dalam silimo adatnya.

Sebelumnya ibu-ibu dan para wanita berdiri mengelilingi si pengantin dan seorang ibu yang dituakan menanggalkan sali. Saat itu pula suara ibu- ibu terdengar serentak, "wuuu .... warogo seweldakhigi" artinya : kami telah menentang, kami telah membunuh dan sekarang menjadi dasar bumi. Ungkapan ini diperuntukan kepada kaneke sebagai simbol penghormatan terhadap leluhur.

Upacara Pelepasan. Setelah memakai busana yokal, pihak calon suami datang dalam satu kelompok ke rumah pengatin wanita sambil menyanyi dan menari-nari. Mereka datang untuk menjemput si pengantin melalui upacara pelepasan yang diadakan oleh orang tuanya. Setelah itu pihak laki-laki memberikan alat pembuah api dan sege (tongkat) kepada pengantin perempuan untuk menanam pisang di halaman rumahnya.

Sanak saudara dari pihak laki-laki mengantarkan si pengantin ke rumah suaminya. Kedatangan disambut oleh kaum kerabat dengan acara makan daging babi yang diterima dari orang tua perempuan. Sepotong diberikan kepada paman dari sang suami. Jamuan makan ini menandakan si istri masuk ke dalam lingkungan si suami dan dikukuhkan sebagai suami istri.

119

4.4.5 Sistem Kepemimpinan

Sistem kepemimpinan orang Dani menganut sistem politik Big Man.

Oleh Mansoben, J.R (1995:145) menerjemhkan Big Man dengan istilah

“Orang Kuat” (The Strong Man) atau “Pria Berwibawa”. Salah satu ciri yang menonjol dari sistem politik Big Man adalah tidak mengenal sistem kepemimpinan yang bersifat hirarkis dan birokrtis.

Suku-suku bangsa di Papua yang menganut sistem kepemimpinan jenis ini biasanya memberikan penamaan sesuai dengan bahasa yang digunakannya. Orang Dani menyebut tipologi kepemimpinan trdisonal

Big Man dengan istilah Kain. Istilah Kain mengandung pengertian “kuat”,

“berani” “pandai”, “terhormat” bagi seorang laki-laki. Berlawanan dengan istilah Kain adalah Gebu, yang berarti “lemah”, “penakut”, “bodoh”, “hina” dn sebagainya.Sistem kepemimpinan Kain yang dikenal orang Dani pada dasarnya diurutkan berdasarkan kesatuan-kesatuan sosial yang ada dalam interaksi sosial mereka.

Kepemimpinan Masyarakat

Pola kepemimpinan tradisional orang Dani Lembah di Distrik Kurulu diwamai oleh kepemimpinan masyarakat. Secara struktur, bentuk kepemimpinan ini bertingkat yaitu : 1). kepemimpinan tingkat silimo; 2). kepemimpinan tingkat ukul; 3). kepemimpinan tingkat suku atau konfederasi.

Ap waregma silimo : Kepemimpinan Tingkat Silimo. Kepemimpinan tingkat silimo atau kepala silimo disebut “ap waregma silimo” biasanya

120

dipegang oleh seorang laki-laki yang sudah berumur tetapi belum pikun.

Ia masih mampu mengatur dan membereskan urusan-urusan yang ada dalam satu halaman rumah tangga (silimo). Urusan-urusan itu menyangkut kegiatan pemeliharaan kebun halaman, pemeliharaan babi, melerai pertengkaran antar warga keluarga luas, pengasuhan dan pendidikan anak, bercocok tanam, berburu dan sebagainya

(Koentjaraningrat :1994).

O'araweregma : Kepemimpinan Tingkat Ukul. Kepemimpinan yang mencakup beberapa kumpulan silimo atau ukul disebut o'araweregma atau kepala kampung. Pada tingkat klen kecil yang bersifat lokal atau ukul lokal, seorang pemimpin biasanya berumur di atas 50 tahun dan ia bertanggung jawab atas segala hal sekitar rumah keramat pusat milik ukul. Ia yang merencanakan waktu pelaksanaan upacara, ia jugalah yang memutuskan serta memecahkan pertengkaran antarwarga.

Pemimpin ini juga harus mampu menghimpun orang-orang dari ukul-nya sendiri dan dari ukul-ukul lain untuk turut dalam suatu serangan balasan, serta melakukan penculikan atau pembunuhan terhadap kelompok lain.

Walaupun seorang pemimpin pada tingkat pasangan ukul atau pasangan klen memiliki tugas yang sama dengan pemimpin ukul lokal (klen) yaitu mengajak warga ukul untuk memulai suatu serangan dalam peperangan namun dalam kehidupan sehari-hari ia tidak memiliki banyak kekuasaan dan tugas. Seorang pemimipin setingkat pasangan ukul biasanya memang tengah memperjuangkan kedudukan yang lebih tinggi, yaitu

121

kedudukan sebagai pemimpin konfederasi (Koentjaraningrat :1994).

Ap kain : Kepemimpinan Tingkat Suku atau Konfederasi. Seorang pemimpin tingkat konfederasi atau biasanya disebut ap kain , memiliki kekuasaan untuk memberi tanda dimulainya suatu perang atau suatu upacara pesta babi. Tetapi suatu perang yang dilakukan, tidak dipimpin langsung oleh pemimpin konfederasi melainkan oleh pemimpin perang yang disebut wim metek atau ap metek. Begitu juga berlangsung suatu pesta babi tidak dipimpin oleh pemimpin konfederasi melainkan pemimpin adat kesuburan yang disebut ap horeg (Koentraraningrat

:1994). Tinggi rendahnya tingkat kepemimpinan serta batas-batas tanggung jawab dalam struktur kepemimpinan orang Dani tidak tampak secara jelas dan tegas. Secara struktur, kepemimipinan ini terbangun berdasarkan sistern kekerabatan.

Adanya klen-klen tertentu serta kelompok-kelompok kekerabatan turut memunculkan sosok seorang pemimpin dalam suatu kelompok.

Seperti yang telah dikatakan di atas, kepemimpinan dimulai dari tingkat silimo dan meluas ke organisasi yang lebih besar yakni perkampungan

(ukul), kelompok atau pasangan kampung (pasangan klen) dan konfederasi hingga aliansi. Berkaitan dengan kapasitas seorang pemimpin dalam melaksanakan tugasnya menurut Ngadimin Stefanus, bahwa kepemimpinan orang Dani Lembah dari tingkat silimo hingga tingkat aliansi bersifat informal. Eksistensi politik yang paling nyata dalam aktivitas sehari-hari adalah nampak pada pemimpin silimo. Pemimpin di

122

tingkat perkampungan hingga tingkat aliansi bersifat insidental dan temporer, berdasarkan masalah dan situasi yang mereka hadapi bersama pada suatu saat tertentu (Ngadimin, 1994:82).

Kampung Jiwika yang merupakan wilayah konfederasi Logo-Mabel, secara adat memiliki seorang ap kain. Jabatan ini berada di tangan seseorang yang berasal dan klen Mabel, yaitu Dauke Mabel, anak dari

Kurelu Mabel yang telah meninggal tahun 1981. Selain kepemimpinan ap kain, terdapat pula beberapa kepala klen-klen atau gabungan

(konfederasi ) klen dari paroh waiya dan wita antara lain : gabungan klen

Wilil-Himan, dikepalai oleh Hinet Wilil; gabungan klen Logo Weitipo, dikepalai oleh Ahubaga Weitipo; gabungan klen Weitipo Alua, dikepalai oleh Ikifalok Alua dan sebagainya.

Kepemimpinan Adat

Dari segi fungsi, pada tingkat aliansi dan atau konfederasi terdapat dua orang kepala adat yang bukan merupakan kepala suku (ap kain).

Kepala adat tersebut adalah (1). Kepala adat perang ; dan (2) kepala adat kesuburan. Berkaitan dengan fungsi kepemimpinan kepala adat tersebut, Yarona menjelaskan bahwa orang Dani Lembah di konfederasi

Logo-Mabel mengenal dua lapisan sosial yaitu lapisan atas yang diduduki oleh kepala suku adat/umum atau Ap kain. Seorang Ap kain membawahi kepala-kepala adat yang terdiri dari : 1). kepala adat perang atau Ap Metek; 2). kepala adat kesuburan atau Ap Horeg; dan 3). kepala adat perdamaian/penyembuhan atau Ap Ubaleg; sedangkan lapisan

123

bawah diduduki oleh orang kebanyakan atau orang biasa (Yarona,

1996:106-107).

Ap Metek : Kepala Adat Perang. Ap metek atau kepala adat perang berfungsi atau memainkan peranannya pada saat berperang. Tugas dan tanggung jawabnya adalah menghadapi musuh di saat berperang.

Sebagai kepada adat perang ia memiliki satu rumah adat perang yang disebut wim aila. Sebagai fungsionaris perang, ap meteg dan anggotanya berkewajiban merawat dan memelihara wim aila. Di dalam wim aila ada tersimpan ap warek, yang disejajarkan dengan kaneke.

Pada konfederasi Logo-Mabel, klen yang berperan Sebagai ap meteg adalah berasal dan klen Logo dan sekarang dijabat oleh Heri Logo. Klen

Logo adalah klen yang berasal dan paroh waiya yang bersimbolkan laki- laki.

Ap Horeg : Kepala Adat Kesuburan. Sama seperti ap metek, seorang ap horeg atau kepala adat kesuburan menjalankan fungsinya pada saat-saat tertentu. Fungsinya sebagai penyelenggara upacara kesuburan, seperti upacara inisissi, (ap waiya), dan upacara perkawinan

(he yokal). Sebagai penyelenggara, ap horeg harus berdiskusi dengan kepala adat lainnya. Ia juga menyiapkan segala sesuatu yang akan diperlukan saat upacara tersebut. Upacara kesuburan yang biasanya berlangsung 5 tahun sekali dilakukan secara bersamaan di tiga silimo adat. Upacara yang hanya dihadiri oleh lelaki dewasa dipimpin oleh setiap kepada silimo adat dan berlangsung di samping kanan bangunan

124

silimo adat. Kepala adat kesuburan memiliki tanggung jawab untuk memelihara benda sakral kaneke dalam silimo adat kesuburan. Di

Jiwika, kepala adat kesuburan dijabat oleh klen Mabel yang berasal dari paroh wita yang bersimbolkan perempuan. Menurut seorang informan

(E.Weitipo) bahwa saat kini peranan kepala adat kesuburan dijalankan oleh Musanima Mabel.

Ap Ubaleg : Kepala Adat Perdamaian/Penyembuhan. Tugas dan fungsinya adalah bersama-sama dengan ap meteg menyelenggarakan pesta kemenangan atau perdamaian. Sama halnya dengan ap meteg, aktifitasnya ke luar (terhadap kelompok musuh), ap ubaleg pun demikian tetapi yang dimaksud dengan musuh di sini adalah roh-roh orang meninggal (baik karena sakit maupun karena perang). Ap ubaleg tidak memiliki benda sakral yang khusus (seperti apwarek atau aik mall pada yang disimpan oleh ap meteg dan ap horeg) ia hanyalah menyimpan kaneke, sebagai simbol nenek moyangnya dalam silimo adatnya. Pada saat pesta raga babi, ap ubaleg melakukan upacara ye waginin yaitu upacara untuk mengganti kerugian yang diderita kaum kerabat para korban perang. Ap Ubaleg juga berfungsi dalam upacara-upacara penyembuhan. Kepala adat perdamaian/penyembuhan pada konfederasi

Logo-Mabel dijabat oleh klen Dabi yang berasal dari paroh waiya (laki- laki). Menurut seorang informan (E.Weltipo) bahwa, saat kini Agus Dabi yang memegang fungsi kepala adat Perdamaian /penyembuhan.

Peranan seorang pemimpin tradisional yang menonjol makin nyata

125

dalam kaitannya dengan kepemilikan benda-benda pusaka yang dianggap sebagai benda-benda sakral (benda suci). Sehubungan dengan fungsi seorang kepala adat, maka ada dua bentuk benda sakral yaitu, 1). ap warek,sebagai benda sacralyang berkaitan dengan aktifitas perang; dan 2). kaneke , sebagai benda sakral yang berkaistan dengan aktifitas kesuburan (kesuburan tanaman, ternak dan manusia). Kepala adat perang dan perdamaian bertanggung jawab, untuk memelihara benda sakral ap warek dalam honal adat perang, begitu juga kepala adat kesuburan memiliki tanggung jawab untuk memelihara benda sakral kaneke dalam honai adat kesuburan. Kedua benda sakral ini merupakan sumber kekuatan hidup orang Dani. Silimo adat Logo dan silimo adat

Dabi merupakan silimo tempat menyimpan kaneke yang berhubungan dengan adat dan upacara perang yaitu ap warek; sedangkan silimo adat

Mabel sebagai tempat menyimpan kaneke yang berhubungan dengan upacara-upacara kesuburan, di antaranya upacara perkawinan, upacara inisissi, upacara pembukaan ladang. Silimo-silimo adat ini juga sebagai tempat permusyawaratan rahasis dan penyelesaisn perselisihan.

4.4.6. Sistem Perang

Walaupun saat ini sistem perang dalam kehidupan orang Dani sudah tidak tampak lagi, namun nilai dan makna dari perang ini masih terlihat dalam bentuk konflik atau pertengkaran yang nantinya dapat melibatkan kelompok kerabat dalam klen, atau gabungan-gabungan klen. Dahulu, kehidupan orang Dani masih diwarnai dengan perang.

126

Perang yang terjadi di masa lalu sebagai akibat adanya kekerasan dan kejahatan seperti pencurian dan pemerkosaan wanita, pembunuhan, pencurian babi, tuduhan melakukan sihir, pertikaian mengenai hak atas tanah dan sebagainya. Secara adat, perang ini melibatkan kelompok masyarakat. Bila dipandang dari sisi kelompok masyarakat yang terlibat dalam perang maka dapat dibedakan dalam dua kategon yaitu, 1) Wim uma wim ( perang dalam rumah) dan 2) Win aloka (atau perang tua atau perang abadi).

Win uma wim adalah jenis peperangan yang terjadi antara dua konfederasi saling berdekatan (konfederasi tetangga) dalam satu aliansi.

Mulanya kedua konfederasi ini membangun hubungan damai (kawan) bukan sebagai hubungan musuh. Hubungan kawan antara konfederasi ini bisa retak dan bermusuhan karena adanya beberapa faktor seperti : masalah pencurian babi, pelecehan seksual dan atau adanya kawin lari.

Jenis peperangan ini juga terjadi antara dua konfederasi yang memang secara adat saling bermusuhan dan berada dalam satu aliansi namun menurut Mulait, hubungan bermusuhan antara dua konfederasi ini hanyalah bersifat sementara. Berbeda dengan wim aloka.

Berbeda dengan win aloka atau perang tua/perang abadi. Jenis peperangan ini dilakukan oleh konfederasi tertentu dengan konfederasi lain dari aliansi musuh. Tidak semua konfederasi dari dua aliansi yang saling bermusuhan ini terlibat dalam peperangan, namun tidak menutup kemungkinan untuk konfederasi lainnya dalam aliansi yang sama untuk

127

turut membantu bila diperlukan tambahan pasukan. Tindakan perang yang terjadi akibat masalah-masalah tersebut, dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu 1) Perang tak resmi yang biasa disebut permusuhan yang berlarut-larut; 2) perang resmi atau perang dengan pertempuran

(wim).

Pertama, adalah permusuhan yang berlarut-larut atau pennusuhan tidak resmi yang dapat terjadi antara individu, klen atau gabungan dari klen-klen dari satu konfederasi. Permusuhan seperti ini dapat berupa pertengkaran antar gerombolan, pembunuhan, pembakaran dan sebagainya, tetapi tidak berupa rangkaian kerang-kerang (yerak) dan batu-batu berharga yang berbentuk bulat dan pipih (ye). Benda berharga yang bersifat kongkrit ini diberikan sebagai ganti rugi kepada kaum kerabat para korban perang. Menurut informan, benda-benda tersebut haruslah diberikan agar roh korban yang meninggal tidak menyeret korban lain lagi saat berperang. Upacara ini diadakan bersamaan dengan upacara pesta babi besar. (Koentjaraningrat,1993:287) Dalam kehidupan orang Dani, berperang telah berakar dalam sistem religinya dan merupakan kegiatan yang suci yang diwajibkan nenek moyang mereka. Apabila tidak ada perang maka segala hal seperti bercocok tanam, berburu, berdagang dan sebagainya akan mengalami kemunduran.

128

4.4.7. Sistem Religi

Orang Dani di Lembah Balim menyakini akan pentingnya kehidupan pada saat ia masih hidup, untuk itu perlu adanya keseimbangan antara alam dan sesamanya. Konsepsi ini didorong oleh adanya keyakinan akan adanya kekuatan-kekuatan supernatural yang selalu dapat mempengaruhi kehidupannya. Adanya anggapan ini membuat mereka selalu berhati-hati dalam hidup dan berusaha mendekati kekuatan- kekuatan tersebut dengan berbagai cara, di antaranya melalui ritual- ritual. Penjelasan tentang kekuatan-kekuatan supernatural dan ritual- ritual penting yang dilakukan oleh orang Dani akan diuraikan ke dalam beberapa bagian, yaitu : 1. kepercayaan terhadap roh; 2. kepercayaan terhadap benda-benda sakral; 3. kepercayaan terhadap tempat-tempat sakral; dan 4. ritual-ritual.

Kepercayaan Terhadap Roh

Menurut konsepsi budaya orang Dani bahwa “roh” berada di sekitar tempat tinggal manusia. Roh yang dikenal oleh orang Dani adalah roh yang berasal dari 1). Pencipta manusia dan segala isi alam (Walhowak),

2). roh orang mati (mogat) yang terdiri dari roh nenek moyang dan roh sanak saudara yang baru meninggal.

Walhowak atau roh Pencipta manusia dan alam sekitarnya diyakini orang Dani di Kurulu lewat mitos Naruekul. Orang Dani percaya bahwa tokoh Nat-uekul bukanlah manusia biasa tetapi dia adalah Walhowak.

Seperti yang telah dijelaskan pada bab II tentang mitos Naruekul bahwa

129

tujuan kehadiran Naruekul ke bumi orang Dani adalah untuk menata kembali kehidupan orang Dani yang telah retak dan hidup dalam ketidakseimbangan. Orang Dani memiliki keyakinan bahwa Naruekul yang pernah dibunuh telah memberikan dirinya kepada banyak orang dan tubuhnya yang terbagi dalam setiap klen melambangkan kebersamaan semua orang Balim dan secara konkrit terungkap dalam pola hidup silimo. Alam dan manusia merupakan satu kesatuan sebagaimana alam dihidupkan oleh darah Naruekul dan masing-masing manusia adalah baglan dari Naruekul maka manusia akan memandang alam sebagai sesama. Penghormatan manusia Dani terhadap Naruekul sebagai Walhowak dilakukan lewat ritus-ritus penyucian kaneke. Kaneke yang berasal dari potongan tubuh Naruekul hingga kini di simpan di tiga silimo adat yang ada di Watlangku.

Mogat atau roh orang mati adalah berasal dari roh-roh nenek moyang dan roh kerabatnya yang meninggal lebih dulu. Nenek moyang mereka adalah manusia-manusia yang nyata yang pernah mereka kenal

(walaupun Samar-Samar), yang menurunkan mereka melalui garis keturunan patrilineal 3 atau 4 angkatan di atas mereka. Lambang dari nenek moyang itu adalah batu-batu keramat berbentuk kapak lonjong yang terasah licin dan disebut kaneke. Kaneke disimpan dalam salah satu pilamo dalam kampungnya. Kaneke sebagai benda sakral tidak boleh diperlakukan sembarang hanya waktu-waktu saat upacara adat, kaneke dikeluarkan untuk disucikan. Simbol kehadiran nenek moyang

130

dapat diwujudkan dalam bentuk binatang tertentu. Misalnya, mall atau burung hantu dianggap sebagai penjelmaan dari seorang yang berasal dari suku Mabel, yang karena bertengkar dengan warganya ia meninggalkan honai adatnya di Watlangku. Burung ini dapat memberikan kabar kepada seseorang tentang keadaan kerabatnya yang sedang sakit atau meninggal dunia. Daging burung ini dianggap wusa mente atau tabu.

Orang Dani percaya bahwa mogat atau roh orang meninggal akan berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya dan dapat memberikan kebaikan maupun dapat menjadi penyebab berbagai malapetaka bagi manusia

Kematian manusia, penyakit pada babi, kegagalan panen adalah bentuk malapetaka yang sering dipercayai sebagai ulah dari mogat. Sebaliknya, mogat dapat pula membantu memberikan kemenangan dalam berperang. Misalnya, jika ada peperangan lewat suatu upacara mogat dikirim lebih dulu ke wilayah musuh untuk memilih siapa yang akan menjadi korban di saat perang nanti. Mogat juga dapat menjadi pemandu dalam perang. Ia berada di garis depan sebuah peperangan dan membantu memberi tanda peringatan dan dapat pula membunuh pihak musuh. Agar para mogat tidak menimbulkan malapetaka maka haruslah diberikan persembahan baik ketika diadakan pesta maupun pada hari- hari biasa. Hal ini terlihat pada saat kepala silimo makan di pilamo, mereka yakin pada saat itu pula para mogat turun dan turut makan bersamanya (Tim Peneliti Antropologi U1,1993).

131

Kepercayaan Terhadap Benda-Benda Sakral

Ada kepercayaan orang Dani di Lembah Balim khusunya Logo-

Mabel bahwa ada benda-benda tertentu yang sifatnya sakral. Benda- benda tersebut secara religius berkaitan dengan dunia roh (seperti yang dijelaskan di atas). Secara fungsional ada 3 jenis benda sakral yang berpengaruh dalam kehidupan orang Dani yaitu, 1). Ap warek; 2).

Kaneke, dan 3). Sege jilik.

Obyek ap warek bagi orang Dani mempunyai perilaku religius untuk mencapai suatu kebahagisan di segala bidang kehidupan. Pengertian ap warek (ap : “laki-laki dewasa” dan warek : “sudah meninggal”) dikaitkan dengan aktivitas perang tidaklah hanya bermakna, seorang laki-laki yang meninggal saat berperang tetapi maknanya adalah bentuk simbolis dari kematian seseorang yang dimiliki oleh pembunuh. Simbol ap warek yang dimiliki oleh konfederasi atau aliansi pembunuh biasanya berupa potongan rambut si korban (yang dismbil langsung setelah dibunuh), atau panah yang kenah pertama di tubuh korban, sejumlah perhiasan yang diambil dari si korban ketika dibunuh. Benda-benda ini menjadi milik aliansi pembunuh sebagai piagam kemenangan perang

(Alua,2003). Ap warek sebagai benda sakral hanya boleh disimpan di rumah perang atau wim aila (wim aila milik konfederasi atau aliansi).

Wim aila sebagai tempat disimpannya ap warek, dijaga dan dirawat oleh. suatu klen tertentu. Fungsi utama dari benda ini adalah keperluan perang. Orang Dani berkeyakinan bahwa penempatan ap warek yang

132

sesuai dengan aturan adat atau petunjuk nenek moyang akan berdampak baik bagi pemegang ap warek seperti terhindar dari penyakit, kesuburan tanaman dan ternak. Sebailknya untuk mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, orang Balim berusaha menekan amarah para arwah musuh lewat ritual-ritual menjelang suatu perang yang dilakukan di wim aila.

Orang Dani memperlakukan kaneke sebagai benda pusaka yang memiliki kekuatan hidup. Kaneke (kain : “kepala adat, raja atau raksasa”) dan (eken: isi, hati) yang bermakna hati atau diri dari seorang kepala suku atau raja atau raksasa, bersumber dan tokoh mitos “Narueku” yang terbunuh di masa lampau. Tokoh ini disebut sebagai walhowak

(pencipta). Jadi kaneke adalah lambang dan penampakan dari obyek yang tidak tampak yang disebut “orang abadi” atau walhowak. Kaneke hanya boleh disimpan di pilamo (khusus kaneke dari Naruekul, menurut orang Dani berada di 3 silimo adat). Kaneke tersebut berupa batu pipih yang disebut habo. Bentuknya hampir sama dengan je (kapak batu yang digunakan sebagai alat tukar), tetapi kaneke memiliki nilai sakral dan tidak pernah diperlihatkan pada umum. Pada beberapa upacara

(upacara kesuburan) benda tersebut dikeluarkan dari pilamo, dibuka bungkusnya dan dilumuri minyak babi dengan maksuk membersihkan atau menyucikan benda tersebut. Kaneke diyakini sebagai benda suci pemberian leluhur yang dapat mendatangkan kesuburan. Orang Dani percaya, jika terjadi bencana alam seperti tanah longsor atau gempa

133

bumi hal itu disebabkan karena letak kaneke yang terdapat di Watlangku berada dalam posisi miring atau jika terjadi banjir, mereka beranggapan bahwa bencana tersebut merupakan akibat dari bocornya pilamo adat yang ada di tempat tersebut.

Benda lainnya yang dipercayai oleh orang Dani sebagai benda yang memiliki kekuatan supernatural adalah sege jilik. Sege jilik adalah panah yang dibungkus dengan daun alang-alang atau siluk eka dan biasanya ditancapkan pada tiang pagar pintu masuk silimo sebagai simbol untuk mengusir arwah orang yang baru meninggal atau menolak arwah-arwah musuh yang hendak datang mengambil korban lainnya.

Menurut keyakinan orang Dani arwah orang yang meninggal dapat mengganggu kehidupan kaum kerabat yang ditinggalkan dengan mendatangkan malapetaka misalnya, berkurangnya hasil panen ubi jalar, tidak berkembang ternak babi dengan baik, berbagai penyakit yang diderita masyarakat dan sebagainya.

Sege jilik tidak selamanya berada di pintu pagar silimo. Jika suatu upacara pembakaran jenazah telah selesai dan abu jenazah hendak diantarkan ke waakunmo maka bersamaa dengan itu sege jilik juga dipindahkan ke wakunmo. Kebiasaan orang Dani memindahkan abu jenazah dan sege jilik ke wakunmo dilakukan pada tengah malam atau menjelang dini hari. Menurut informan, ada beberapa pantangan yang harus dilalui saat mengantarkan benda ini antara lain, para pengantar benda tersebut tidak boleh berbicara, makan atau memotong kayu jika

134

hal ini terjadi akan menimbulkan kematian anggota kerabat yang lain.

Kadang kala sege jilik tidak dipindahkan oleh penghuni silimo ke wakunmo dengan alasan untuk menolak para mogat, namun jika dalam silimo tersebut ada anggota kerabat yang sakit atau ternak babi yang mati maka diduga ada hubungannya dengan sege jilik tersebut. Para penghuni silimo selanjutnya memindahkan sege jilik tersebut ke wakunmo.

Kepercayaan Terhadap Tempat Sakral

Selain adanya kepercayaan terhadap roh-roh orang mati (mogat) dan benda-benda sakral, orang Dani juga menyakini adanya tempat- tempat tertentu yang dianggap sebagai tempat sakral. Tempat-tempat sakral itu adalah wakunmo, oak leget dan waloleget.

Wakunmo adalah tempat keramat yang berfungsi sebagai makam atau kuburan abu dan tulang. Wakunmo berada di luar silimo dan berada di suatu tempat yang telah ditetapkan secara adat. Pada aliansi Kurulu atau konfederasi Logo-Mabel, wakunmo berada di Pulkhewaga.

Wakunmo (wakun : ‘sesuatu yang terlarang’, ‘yang suci’ dan ‘rahasia’; mo : kata penunjuk tempat) adalah menyangkut tempat yang berupa gua, batu, pohon, atau pondok kecil yang dipandang sebagai tempat keramat; yakni gerbang peralihan hidup atau pintu masuk ke dunia orang mati, yaitu tu magatma (Mulait, 2003). Wakunmo sebagai tempat berkumpulnya mogat haruslah dijaga agar tetap bersih. Menurut keyakinan orang Dani jika Wakunmo itu tidak terawat dengan bersih

135

maka, para mogat tidak mau tinggal di tempat tersebut dan akhirnya mereka memilih kembali tinggal dengan kerabatnya yang masih hidup di silimo-nya. Ada kepercayaan masyarakat jika mogat kembali tinggal di silimo maka akan membawa malapetaka bagi penghuni silimo tersebut.

Selain wakunmo ada lokasi-lokasi tertentu dalam silimo yang dianggap sebagai tempat sakral. Lokasi tersebut adalah waloleget.

Waloleget (walo : ular; leget : pagar) adalah suatu petak kecil yang dibangun di belakang pilamo yang ada kaneke (pilamo adat). Petak yang berukuran panjang dan lebar kira-kira 30 cm ini didirikan dengan kayu dan tali khusus dari gunung. Bagian tengahnya ditancapkan tiang kecil dan ujungnya ditempatkan lumut khusus dari gunung. Tujuannya sebagai jalan atau pintu masuk dan keluarnya para arwah leluhur atau nenek moyang ke dalam pilamo adat. Waloleget juga berfungsi sebagai tempat untuk melindungi diri dari ancaman roh-roh jahat. Waloleget sebagai tempat atau lokasi yang sakral dalam silimo adat sangat dilarang bagi kaum perempuan untuk masuk ke tempat tersebut. Sekitar waloleget dan pilimo adat inilah biasanya para kepala adat melakukan upacara, kesuburan.

Di dalam silimo ini juga, khususnya di belakang ebe-ai dan hunila

(jarang terlihat) dibangun juga petak kecil yang ukurannya sama namun fungsinya berbeda. Petak kecil ini adalah oak leget (oak : tulang; leget : pagar). Oak leget berfungsi sebagai kuburan, di mana abu dan tulang belukang jenazah yang dikremasikan ditempatkan di oak leget setelah

136

hari ketiga sejak pembakaran jenazah.

Upacara-upacara Adat

Elak Kabelhatek : Upacara Perang. Upacara perang biasanya dilakukan di wim aila, tempat diletakannya ap warek dan aik mali

(kaneke). Tujuan dilaksanakan upacara ini adalah mengirim arwah leluburnya (arwah panglima perang) ke pihak musuh untuk memilih korban pada peperangan keesokan harinya. Dengan menggunakan benda-benda sakral (aik mali/kaneke) yang berbentuk batu-batu halus berwama hitam. Tiga batu diikat dengan tali dan didirikan dalam wim aila dan tiga lainnya terbaring dan diarahkan kepada musuh. Batu-batu ini, merupakan batu peringatan akan leluhur yang telah mati terbunuh dalam perang terdahulu. Upacara yang dilaksanakan sehari sebelum berperang ini, biasanya dilakukan pada malam hari. Sebelumnya pada siang hari, telah dilakukan upacara penyucian benda-benda sakral tersebut.

Pemimpin upacara menyampaikan kepada para leluhur, adanya ketidaksuburan pada tanaman ubi dan hewan babi. Seekor babi dipanah, dan dan seekor babi lainnya dibaringkan di atas daun dan diarahkan ke pihak musuh. Selanjutkan para pria yang hadir meletakan tangannya di atas babi itu sambil berkata, “jadilah gemuk”. Artinya, semoga para anggota keluarga musuh yang dahulu sudah dibunuh, sekarang juga akan dibunuh.

Menjelang malam batu-batu sakral diolesi dengan lemak babi sambil berkata, “berhati-hatilah, buka mata, ada musuh”. Begitu juga,

137

semua anak panah, tulang-tulang rahang babi yang ada dalam wimaila diminyaki. Setelah upacara ini, dilarang ada orang bekerja di kebun, sebab tanah dinyatakan tidak boleh dicemari. Keesokan harinya, berangkatlah orang-orang ke medan pertempuran. Para pengendah perang membawa seberkas rumput dan sebuah tas jaring yang berisi ap warek dan disimpan di pos pengintai (Boelaars,1986).

Adanya keterlibatan para arwah leluhur dalam berperang dapatlah dikatakan bahwa sistem perang yang tampak pada budaya orang Dani, bukanlah hanya konflik yang terjadi di antara 2 kelompok manusia yang

Baling bermusuhan tetapi lebih dari itu adalah permusuhan kosmologis antara para arwah leluhur dari kedua kelompok musuh tersebut. Orang

Dani percaya bahwa ap warek dapat mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan jika para pemilik menata, merawat dan menempatkan menurut ketentuan-ketentuan adat. Sebaliknya, jika tidak diperhatikan dan melanggar aturan adat maka akan mendatangkan malapetaka.

Untuk itu, wimaila sebagai tempat disimpannya ap warek haruslah sesuai dengan aturan adat yang berasal dari para leluhur. Pemilik, pengurus dan penanggung jawab suatu wimaila juga berdasarkan garis keturunan langsung dari seorang leluhur.

Suatu wimaila biasanya dimiliki oleh suatu sub konfederasi atau suatu konfederasi (klen besar) atau suatu wimaila dimiliki oleh gabungan beberapa o’ukul (kampung). Ada kelompok klen tertentu yang telah ditetapkan sebagai pemelihara dan penanggung jawab, semua ap warek.

138

Jika, ada klen tertentu (bukan penanggung jawab ap warek) yang memperoleh ap warek dalam suatu perang, maka ketika usai perang dalam suatu ritus penempatan ap warek, ia harus menyerahkan ap warek itu kepada kelompok klen penanggungjawab. Penanggung jawab biasanya terdiri dari beberapa o-ukul atau satu (sub) konfederasi. Secara religius, keseluruhan anggota warga dalam lingkungan tersebut menyebut dirinya, “kelompok wimaila “. Kesatuan kelompok wimaila bisa retak pada suatu saat dan bisa bermusuhan sementara (uma silimeke, musuh dalam rumah), namun suatu ketika bisa bersatu lagi bila dihadapkan pada suatu ancaman yang lebih besar. Jika dalam sistem religi orang Dani menempatkan ap warek sebagai benda sakral yang berkaitan dengan perang adat, maka kaneka sebagai benda sakral terpenting sangat dihormati kedudukannya sebagai wujud nyata kehadiran leluhurnya yang dapat memberi kesuburan dalam berbagai hal.

Wam Pilamo : Upacara Kesuburan. Kaneke merupakan benda sakral terpenting dalam setiap aspek kehidupan orang Dani. Jika, kaneke tidak terawat dengan baik maka akan mendatangkan malapetaka terhadap warga pemilik kaneke tersebut. Malapetaka tersebut dapat berupa kesakitan dan kematian pada orang Dani, bahkan kondisi di mana ubi jalar dan babi tidak berkembang dengan baik (tidak subur).

Hal ini bisa terjadi terus-menerus dalam rentang waktu.3-5 tahun.

Keadaan seperti itu mendorong tokoh-tokoh adat (pemimpin perang,

139

pemimpin kesuburan dan pemimpin perdamaian/ penyembuhan) mengambil inisistif untuk mengadakan upacara kesuburan (wam pilamo) di beberapa silimo adat (pilamo adat). Pelaksanaan upacara di konfederasi Logo-Mabel, secara bersamaan pada tiga silimo adat di kampung Satnokoma, Jiwika, dan Peago.

Tujuan dilaksanakan upacara kesuburan adalah untuk membersihkan dan menyucikan tanaman, ternak babi dan manusia supaya dapat berkembang dengan baik. Upacara yang dilaksanakan pada siang hari ini, hanya dihadiri oleh para lelaki dewasa dan dipimpin oleh setiap pemimpin adat. Upacara ini diselenggarakan di samping kanan bangunan pilamo adat, bukan di halaman silimo seperti upacara- upacara lainnya. Babi disiapkan oleh masing-masing pemimpin silimo adat dan upacara diawali dengan menyembelih babi tersebut. Darah dan lemak dari babi yang dipotong digunakan untuk mengoleh kaneke atau batu sakral milik kelompok klen sebagai simbol kesuburan atau penyucian terhadap kesalahan yang menjadi penyebab malapetaka tersebut. Setelah itu daging babi yang dipotong untuk kepentingan upacara dimasak dengan cara bakar batu bersama ubi jalar untuk dimakan oleh kepala silimo adat dan kepala-kepala silimo yang ada hubungan sejarah dengan silimo adat tersebut.

Upacara kesuburan ini dilaksanakan guna menormalkan kembali kehidupan yang terganggu (kesakitan, kematian, ketidaksuburan tanaman dan hewan). Bagi orang Dani upacara ini penting agar rencana

140

menyukseskan upacara perkawinan sebagai bagian dari upacara perta babi (ebe ako) yang telah direncanakan dapat berjalan dengan baik.

Mereka yakin bahwa setelah upacara kesuburan arwah-arwah leluhur akan mendengar dan mengabulkan permintaan mereka. Selanjutnya saat menjelang upacara pesta babi yang biasanya dirayakan 5 tahun sekali, sudah tersedia produksi ternak babi dan ubi jalar yang mencukupi dan juga tersedianya perempuan usia nikah.

Sama seperti ap warek yang disimpan dan dipelihara oleh pemilik dan penanggung jawab yang telah ditetapkan secara adat dan kelompok ini dinamakan oleh Mulait (2003), kelompok wimaila maka kaneke pun demikian. Kaneke sebagai batu sakral yang diyakini pemberian leluhur tidaklah dimiliki secara pribadi tetapi adalah milik bersama kelompok klen. Setiap, tiga atau empat generasi dari satu leluhur memiliki kaneke.

Kelompok yang memiliki kaneke ini menyimpan di silimo adat. Oleh

Mulait, menamakan tempat menyimpan kaneke tersebut dengan istilah

“kanekela”. Fungsi lain dari kanekela adalah sebagai wadah yang mempersatukan kelompok klen dan membentuk komunitas hidup bersama. Kelompok yang memiliki suatu kaneke dan bertanggung jawab langsung dengan kaneke tersebut di sebut “kelompok kanekela”. Suatu kelompok kanekela berada pada tingkat kampung (o-ukul) dan generasi ke lima dari keturunan yang sama bisa membentuk kanekela baru.

Namun di atas pecahan kanekela tersebut, selalu ada satu kanekela yang lebih besar dan dapat merangkul semua sub-subnya. Kanekela

141

tersebut berada pada tingkat sub konfederasi atau konfederasi (inukul- oak) (Mulait, 2003).

Upacara Perdamaian/Penyembuhan. Orang Dani percaya bahwa ketika seseorang meninggal karena kesakitan atau terbunuh saat berperang, hal itu disebabkan karena campur tangan mogat. Mogat yang menyebabkan kematian orang tersebut selalu meminta balasan atau tuntutan atas kematiaannya. Bila berkaitan dengan perang, tuntutan yang berupa ganti rugi itu haruslah berupa nyawa ganti nyawa (musuh) dalam suatu perang adat. Atau ada juga tuntutan ganti rugi berupa pemberian benda-benda berharga kepada keluarga korban saat anggotanya ada yang terbunuh di medan pertempuran.

Ye waginin : Upacara Perdamaian. Ada satu acara terpenting dalam rangkaian upacara perdamaian yaitu upacara ye waginin.

Maksud upacara ini adalah untuk mengganti kerugian yang diderita kaum kerabat para korban perang. Bagi orang Dani, istilah “ganti rugi” memiliki makna yang sama dengan “perdamaian”. Damai dengan cara ganti rugi hanya berlaku dalam kelompok. Pentingnya acara ini, untuk membangun kembali keretakan relasi antara keluarga korban dan warga konfederasinya. Benda-benda yang dijadikan sebagai ganti-rugi adalah berupa barang-barang berharga seperti kantung jaring (suu); anyaman kerang (yerak); kapan batu lonjong (ye) dan babl (wam). Hal ini perlu dilakukan agar korban perang (mogat) tersebut tidak akan mengganggu kehidupan warganya yang masih hidup. Tuntutan ganti-rugi ini, haruslah

142

dipenuhi untuk memulihkan kembali relasi yang rusak atau dapat disebut proses perdamaian telah terlaksana. Bila perdamaian tercipta maka tampaklah keseimbangan hidup di antara kelompok musuh maupun anggota kerabatnya.

Molalek : Upacara Penyembuhan. Menurut orang Dani, suatu penyakit yang disebabkan karena ulah para mogat harus disembuhkan lewat upacara penyembuhan. Upacara penyembuhan yang bertujuan mengusir roh-roh jahat yang mengganggu atau menyebabkan tubuh manusia sakit biasanya dilaksanakan di halaman tengah pada silimo- nya. Upacara yang diikuti oleh seluruh warga silimo itu dipimpin oleh seorang dukun (vatvale). Pihak keluarga menyiapkan seekor babi yang akan digunakan dalam upacara tersebut. Babi tersebut disembelih dan diambil darahnya dan kemudian dioleskan ke bagian tubuh orang yang sakit sambil membacakan doa. Kemudian babi tersebut dipotong-potong dagingnya dan dimasak dengan cara bakar batu bersama ubi jalar.

Selanjutnya dimakan bersama oleh kerabat yang hadir dalam upacara tersebut.

Ada juga bentuk upacara penyembuhan yang disebabkan bukan karena ulah mogat melainkan karena menyalahi aturan adat. Misalnya, melakukan berzinah dengan seanggota moiety. Proses penyembuhan terhadap orang yang melakukan perzinahan dengan anggota kerabat se- moiety disebut pawi atau eloali. Upacara ini diawali dengan pengakuan atas segala salah dosa dari si pelaku (orang yang sakit) terhadap

143

seorang dukun penyembuh (varvale) dan dilanjutkan dengan upacara pertobatan yang disebut ima usiliogi. Orang yang melakukan pelanggaran berdiri sambil membuka kaki mengkuti posisi belahan kayu sambil vatvale melewatkan api pada celah kaki yang diikuti dengan pembacaan doa. Upacara ini diakhiri dengan acara bakar batu seekor babi dan ubi jalar untuk dimakan secara bersama-sama oleh kaum kerabat yang hadir.

Sama seperti kelompok wimaila dan kanekela sebagai wadah kesatuan yang mengikat dan mempersatukan seluruh warganya, wakunmo juga dalam tradisi orang Dani sebagai suatu wadah yang membentuk seluruh warganya dalam batas ritus-ritus kematian. Secara religius wadah ini disebut kelompok wakunmo. Tentunya ritus kematian ada hubungan dengan suatu penyakit yang tak tersembuhkan atau seseorang yang meninggal dalam suatu peperangan. Menurut Mulait, kelompok keagamaan yang lebih besar dari pada kanekela dan wimaila adalah kelompok wakunmo. Kelompok wakunmo adalah kelompok yang, keanggotaanya terdiri beberapa kanekela dalam satu konfederasi dan sejumlah konfedarsi lainnya dalam satu aliansi. Wakunmo pada aliansi

Kurulu terdapat di daerah Pulkhewaga. Dalam kelompok wakunmo nampak kebersamaan di antara para anggotanya. Mereka menghayati kebersamaannya dengan leluhur, roh-roh atau arwah-arwah, alam sekitar dan sesama manusia. Kesatuan hidup dalam kelompok ini bersifat sementara (sewaktu-waktu), terutama bila mengadakan upacara-

144

upacara adat / keagamaan. Kelompok ini mirip dengan kelompok o-agum

(aliansi), hanya saja kelompok aliansi lebih mengurus hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sosial-politik (Mulait, 2003).

145

146

BAB V

INOM : KEBERADAAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN

DALAM STRUKTUR BUDAYA ORANG DANI

Bab ini akan menguraikan 2 (dua) hal pokok yang menjadi inti dalam mengkaji kebudayaan lewat kacamata strukturalisme, dalam hal ini adalah kajian budaya orang Dani dengan pendekatan strukturalisme ala

Lévi-Strauss yang pernah dikaji penulis (Numbery G, 2007). Dua hal pokok tersebut adalah pertama, seperti apa struktur simbolik dunia laki- laki dan perempuan dalam kebudayaan orang Dani? Kedua, apakah struktur tersebut mengalami transformasi dari suatu fenomena budaya ke fenomena budaya lainnya? Pada struktur simbolik akan memperlihatkan elemen-elemen budaya yang menghadirkan simbol-simbol laki-laki dan perempuan dalam tradisi kebudayaan orang Dani. Elemen yang tersimbolkan tersebut merupakan data empirik yang oleh Lévi-Strauss disebut dengan istilah ‘struktur lahir’ atau ‘struktur permukaan’ (surface structure)¹. Pada struktur lahir tampak realitas budaya orang Dani yang terbentuk atas 3 (tiga) elemen budaya dan bersifat statis. Struktur yang

¹ Lewat analisa strukturalisme Lévi-Strauss, setiap elemen budaya akan ditelaah untuk menemukan relasi-relasi di antara elemen tersebut. Relasi-relasi tersebut akan membentuk struktur dan struktur tersebut merupakan model yang berhasil dibangun dan dapat digunakan untuk memahami kebudayaan orang Dani. Namun pada tulisan bab ini, penulis lebih membahas bagaimana elemen-elemen budaya sebagai simbol-simbol inom memperlihatkan adanya relasi gender laki-laki dan perempuan yang tersimbolkan dalam struktur budayanya.

146 bersifat triadik ini terdiri atas 2 (dua) elemen atau simbol budaya yang terwujud berdasarkan prinsip dualistik, tetapi setiap bentuk dualisme diisi dengan suatu model elemen budaya yang berfungsi sebagai penghubung dan sifatnya sebagai simbol budaya yang berciri ganda. Model struktur yang dualistik ini dibangun oleh sistem-sistem relasi yang bersifat oposisi binari.

Secara struktural, setiap fenomena budaya terbentuk atas 3 (tiga) elemen dan ketiga elemen tersebut memiliki sistem relasi. Salah satu relasi yang selalu tampak dan akan dibahas dalam tulisan ini adalah relasi gender (laki-laki dan perempuan). Relasi gender ini tidak hanya menjadi ciri atau fakta empirik di antara elemen-elemen budaya tetapi juga menjadi simbol-simbol budaya yang selalu mengalami transformasi dari fenomena budaya yang satu ke fenomena budaya lainnya. Beberapa fenomena budaya yang akan diuraikan dalam bab ini adalah sebagai berikut : 1). Ruang Kosmologi; 2) Ruang Silimo; 3) Ruang Berladang; 4)

Kelompok Klen Senior; 5) Kepemimpinan Adat; dan 6) Benda-benda

Perang.

5.1 Struktur Simbolik Dunia Laki-laki Dan Perempuan Dalam

Kebudayaan Orang Dani

5.1.1 Ruang Kosmologi

Kosmologi adalah ilmu yang mempelajari struktur dan sejarah alam semesta. Secara khusus ilmu ini berhubungan dengan asal mula dan evolusi dari suatu obyek. Oleh Christian Wolfl, istilah kosmologi dipakai

147 untuk menggambarkan keteraturan dan harmoni pergerakan benda- benda langit. Menurut Anthon Bakker, manusia secara objektif tidak hanya merupakan bagian dari dunia saja, tetapi manusia mengetahui dirinya dari korelasinya dengan yang lain, yang dihayati dalam dunia. Ini berarti bahwa refleksi manusia atas dirinya sendiri secara kongkret dan menyeluruh merupakan refleksi atas dunianya (Anshory, N, 2008:256).

Penjelasan selanjutnya disimpulkan dalam kamus online Mirriaml

Websteran bahwa kosmologi adalah a theory or doctrine describing the national order of the universe². Kosmologi berhubungan erat dengan sifat natural manusia yang ingin dapat mengontrol keadaan di sekitarnya.hal- hal yang kemudian berada di luar kontrol manusia tidak dibiarkan membuat manusia bingung dan takut, tetapi kemudian dapat dijelaskan melalui mitos-mitos.

Orang Dani memandang dunianya sebagai suatu “alam semesta yang hidup”. Oleh Boelaars (1986:120), pandangan orang Dani tentang dunianya sebagai alam semesta yang hidup ini ibarat seorang ibu-asal yang menampakan diri paling jelas sebagai “matahari”. Seputar alam kehidupan dipercayai bahwa matahari merupakan penjelmaan dari leluhur yang senantiasa mengawasi gerak langkah mereka. Seluruh alam semesta itu ibarat seorang ibu yang menampakkan dirinya paling jelas sebagai matahari.

² !http : // www.merriaml Webster.com/dictionary/cosmology!

148

Sebelum masuk agama Nasrani, orang Dani percaya bahwa langit dan bumi pada mulanya terletak berdampingan seperti dua belah tangan, sedangkan manusia hidup bersama hewan dan tumbuh-tumbuhan di dalam sebuah lubang besar di bumi ini. Manusia pertama bernama

Nakmturi yang membuat sebuah guntur yang ledakan bunyi berhasil memisahkan langit dan bumi. Sejak peristiwa itulah bumi dan langit masing-masing merupakan planet yang terpisah. Pada awal terjadi pemisahan antara planet bumi dan langit, maka matahari mengantarkan para penghuni planet bumi dan hidup bersama mereka di Seima

(Apulakma) dengan perantaraan gunung-gunung tinggi di daerah pegunungan tengah.

Diceritakan bahwa pada awalnya matahari hidup tentram dan bahagia bersama manusia di Seima, sayangnya kedamaiaan itu tidak kekal ketika suatu saat terjadi suatu peristiwa perkelahian antara warga di

Seima. Sejak itu matahari pergi ke langit dan menetap di sana dan tidak lagi memperdulikan bumi dan huniannya, namun sebagai tanda kasih sayangnya terhadap bumi dan segala isinya, matahari memberikan sinarnya ke bumi.

Dari pandangan tersebut maka diketahui bahwa orang Dani secara tradisonal memiliki pengetahuan tentang benda-benda langit yakni bulan, matahari dan bintang. menjelaskan bahwa, ‘bulan’ diartikan sebagai seorang laki-laki. Seperti yang diuraikan pada bab IV, ‘bulan’ adalah simbol sosok laki-laki (dewasa) Dani. Seperti ‘bulan’ yang beraktifitas

149 pada malam hari dapat dikorelasikan dengan aktifitas utama dan sekaligus tanggung jawab laki-laki dewasa sebagai penghuni pilamo di malam hari yaitu menjaga dan melindungi anggota silimo-nya dari gangguan mogat atau roh musuh yang meninggal saat berperang

(Heider, 1970:211).

Sebaliknya ‘matahari’ (mo) adalah simbol seorang perempuan dewasa atau diibaratkan sebagai ‘seorang ibu’. Pada waktu panen pertama sebuah kebun baru, mereka menyisihkan beberapa ubi yang besar untuk matahari. Ini biasanya dilakukan dalam sebuah ritual adat., yaitu ritual kesuburan. Di perkampungan Watlangku, terdapat batu-batu matahari, konon bahwa batu tersebut berasal dari matahari. Secara berkala mereka mempersembahkan seekor anak babi untuk matahari.

Mereka yakin bahwa pada malam hari, matahari kembali ke rumahnya di suatu lembah tertentu. Matahari dipandang sebagai seorang wanita, namun dipandang juga sebagai perlengkapan perang bagi laki-laki.

Dikisahkan bahwa pada mulanya langit dan bumi terletak berdampingan, namun manusia pertama yaitu Nakmaturi yang serakah, menciptakan guntur dan memisahkan langit dari bumi. Meski demikian, matahari masih tetap bersama manusia. Semuanya menikmati perdamaian. Diceritakan dalam suasana damai tersebut, muncul suatu waktu di mana timbul pertengkaran di antara manusia. Matahari pun menarik diri, pergi ke langit dan tidak menghiraukan manusia lagi. Dia hanya memandang manusia dari atas (langit).

150

Lewat simbol ini seorang perempuan beraktifitas setiap hari seperti sistem kerja matahari. Setiap pagi hari hingga sore, seorang perempuan

Dani bekerja untuk menghidupi anggota kerabatnya.Orang Dani meyakini

‘matahari’ sebagai ninakoja yang artinya ‘Ibu kita’. Menurut mereka, sepanjang hari “matahan” berjalan melintasi di bawah langit dan pada saat terbenam, dia (matahari) duduk di atas suatu dabul (rumput kering yang diletakan di atas lantai rumah) dan menyelidiki kembali langkah- langkahnya selama melintasi langit sampai masuk rumahnya (ebe-ai)

(Heider, 1970:210).

Mengenai ‘bintang’, orang Dani tidak mengelompokkan secara tegas bintang-bintang dalam rangkaiannya dan tidak tampak pula perhatian mereka terhadap bintang-bintang tersebut. Mungkin ada pertimbangan bahwa orang Dani tidak biasa menghabiskan waktu mereka pada malam hari di luar rumah mereka, kecuali pada bulan purnama ketika bintang tidak kelihatan. Sebaliknya jika saat malam yang cerah dengan banyak bintang, biasanya malam terasa dingin dan saat itu orang Dani tinggal di dalam rumah. Berbeda jika ada pembakaran jenazah, biasanya setengah jam sebelum fajar menyingsing, beberapa pemuda menjaga tempat- tempat yang dicurigai biasanya ada bahaya dari hantu (roh-roh orang meninggal). Kurangnya perhatian orang Dani terhadap bintang juga karena alasan geografisnya. Berbeda dengan masyarakat yang tinggal di sekitar atau di kelilingi laut, mereka memanfaatkan posisi bintang pada malam hari saat mengarungi lautan. Bagi orang Dani yang tinggal di

151 kelilingi gunung, tidak memanfaatkan ilmu bintang sebagai penunjuk arah dalam berpergian. Walaupun demikian, bintang dan juga planet lainnya dapat memberikan makna dalam budaya orang Dani. Bagi orang Dani bintang dan planet dikelompokkan menjadi satu. Bintang-bintang yang besar disebut wap dan mereka adalah kepala-kepala atau pemimpin, tentunya ‘dia’ adalah seorang lelaki yang dianggap penting atau yang biasa disebut ap gogtek (big man). Bintang-bintang dan planet lainnya, secara umum disebut husakal. Mereka tidak memiliki arti khusus.Orang

Dani menyebut, suatu bintang jatuh disebut husakal idako (idako, “yang sedang dilahirkan”) (Heider, 1970:209).

Sistem pengetahuan kosmologi ini kemudian dipakai untuk memahami keberadaan 3 (tiga) buah silimo adat yang terdapat pada wilayah konfederasi Logo Mabel di distrik Kurulu. Pertama, silimo adat yang terdapat di kampung Satnokoma adalah silimo bulan. Silimo adat ini milik kelompok klen laki-laki ( berasal dari paroh waiya). Berkaitan dengan sistem kekerabatan dan kepemimpinan orang Dani, maka klen Logo adalah salah satu klen senior yang memegang fungsi kepemimpinan adat perang. Klen Logo adalah pemilik silimo bulan yang diyakini masyarakat

Dani sebagai silimo adat perang. Kedua, silimo adat yang terdapat di kampung Jiwika adalah silimo matahari. Silimo ini milik kelompok klen perempuan (wita). Berkaitan dengan pembagian klen dalam dua paroh, maka klen Mabel adalah kelompok klen perempuan (wita) dan dianggap sebagai klen senior. Begitu juga dalam fungsi kepemimpinan adat

152 kesuburan orang Dani pada Konfederasi Logo-Mabel dipegang oleh klen

Mabel. Dari penjelasan ini maka klen Mabel adalah pemilik silimo matahari, yang diyakini sebagai silimo adat kesuburan.

Silimo adat yang ketiga adalah silimo bintang yang dimiliki kelompok klen laki-laki (waiya). Suatu ‘bintang’ dalam ukuran besar selalu disimbolkan sebagai seorang laki-laki ‘besar’ atau ‘penting’ (ap gogtek), yaitu seorang pemimpin. Berkaitan dengan tiga klen pemilik tiga silimo adat maka klen Dabi sebagai kelompok klen paroh waiya dan sekaligus sebagai pemimpin fungsi adat perdamaian adalah pemilik silimo bintang yang diyakini sebagai silimo adat perdamaian .‘Bintang’ sebagai benda angkasa yang aktifitasnya sama dengan ‘bulan’ pada malam hari dapat dikorelasikan dengan tugas utama laki-laki pada malam hari.

Lewat deskripsi tersebut dapat dijelaskan keberadaan laki-laki dan perempuan Dani yang digambarkan dalam struktur budaya Dani seperti yang dikajian Numbery G (2007 : 119-123). Pada tataran ini terdapat tiga elemen sebagai simbol kosmologi orang Dani. Ketiga simbol itu adalah 1) bulan; 2) matahari; dan 3) bintang. Secara struktural ketiga benda kosmologi ini dapat dikategori ke dalam dua bagian berdasarkan relasi gender yaitu 2 (dua) benda kosmologi sebagai simbol laki-laki yaitu elemen ‘bulan’ dan elemen ‘bintang’; dan 1 (satu) benda kosmologi sebagai simbol perempuan yaitu elemen ‘matahari’. Ketiga benda kosmologi tersebut memiliki makna dan kedudukan yang penting dalam kebudayaan Dani. Hal ini tampak jelas dengan direpresentasikannya

153 simbol-simbol kosmologi tersebut dengan dibangunkannya 3 (tiga) silimo adat dan ditempatkan pada klen-klen yang secara adat memiliki fungsi dan tugas dalam bidang politik (perang), kesuburan dan perdamaian.

Masing-masing silimo adat tersebut adalah 1) silimo adat perang; 2) silimo adat kesuburan; dan 3) silimo adat perdamaian. Ke-tiga silimo ini dapat dikategorikan menjadi dua bagian berdasarkan kepemilikan. Ada 2

(dua) silimo adat milik klen laki-laki (paroh waiya) yaitu, silimo adat perang dan silimo adat perdamaian dan 1 (satu) silimo adat milik klen perempuan ( paroh wita) yaitu, silimo adat kesuburan.

Dalam kajian terdahulu (Numbery G, 2007 : 119-123) uraian tersebut dapat dijelaskan dengan skema sebagai berikut :

laki-laki bulan silimo adat perang gender (waiya) (kepemilikan) bintang silimo adat perdamaian perempuan (wita) matahari silimo adat kesuburan

Ketiga benda kosmologi tersebut dapat dijelaskan dengan relasi oposisi biner yaitu relasi oposisi laki-laki dan perempuan dan juga oposisi paroh waiya (paroh laki-laki) dan paroh wita (paroh perempuan). Oposisi biner tersebut terbentuk berdasarkan data empirik bahwa menurut sistem kepercayaan dan keyakinan orang Dani menjelaskan bahwa aktivitas dan peran dari kaum laki-laki dewasa dan perempuan dikorelasikan dengan sistem kerja benda-benda alam tersebut. ‘Bulan’ dan ‘bintang’ adalah simbol laki-laki. Peran utama dan terpenting dari laki-laki dewasa

154 adalah tugas-tugas yang berkaitan dengan keamanan anggota warga silimonya. Seperti ‘bulan’ dan ‘bintang’ yang menerangi bumi dan isinya saat malam hari, demikian pula sistem kepercayaan orang Dani bahwa laki-lakilah yang bertanggung jawab melindungi anggota keluarganya saat malam hari. Malam hari diyakini sebagai waktu yang berbahaya akan datangnya serangan ‘musuh’ maupun gangguan dari roh-roh orang yang telah meninggal (mogat). Sebaliknya, perempuan yang disimbolkan dengan ‘matahari’ memiliki tanggung jawab memberi kesejahteraan kepada semua anggota penghuni silimo, tidak hanya manusia tetapi juga babi sebagai hewan peliharaan mereka dan juga menjaga kebun-kebun yang ada di sekitar halaman silimo maupun yang berada di luar silimo.

Perempuan bekerja mengikuti perjalanan matahari. Saat pagi hari hingga sore matahari memberikan cahaya menyinari seluruh isi bumi, begitu pula seorang perempuan Dani bekerja dari pagi hingga sore hari untuk memberikan penghidupan kepada anggota warga silimo. Simbolisasi dalam alam kosmologi ini mempertegas adanya ruang dan waktu yang memberi tanggung jawab kepada seorang laki-laki dan perempuan.

Dari penjelasan antara relasi perempuan dan laki-laki tersebut dapatlah dibuat struktur yang ada di balik simbol-simbol kosmologi tersebut. Pertama adalah menempatkan unsur-unsur kosmologi yang dimiliki klen perempuan (wita) dan milik klen laki-laki (waiya) ke dalam suatu kutub yang berlawanan. Unsur-unsur tersebut adalah ‘matahari’ pada kutub wita (perempuan) serta ‘bulan’ dan ‘bintang’ pada kutub waiya

155

(laki-laki). Kedua, menempatkan lagi pada unsur ‘bulan’ dan ‘bintang’ secara berlawanan pada kutub lainnya, sehingga tampak seperti gambar di bawah :

wita (matahari)

waiya bulan bintang (bulan - bintang)

Kedua kutub yang saling beroposisi ini dapat digabungkan dan digambarkan menjadi suatu model. Penggabungan dua oposisi biner ini merupakan struktur di balik relasi antar ke tiga simbol kosmologi. Struktur tersebut tampak pada gambar 5.1 di bawah :

Gambar 5.1 Struktur Di Balik Simbol Kosmologi Matahari (-)

(+) (-) Bulan (+) Bintang Keterangan : (+) = persamaan (-) = perbedaan

Struktur pada gambar 5.1 terbentuk berdasarkan sistem relasi di antara tiga elemen, yaitu ‘matahari’, ‘bulan’ dan ‘bintang’. Ada persamaan dan perbedan relasi di antara ke tiga elemen tersebut. Antara elemen

156

‘bulan’ dan ‘bintang’ ada persamaan antara relasi gender dan waktu beraktivitas, sedangkan perbedaan terlihat pada relasi bentuk dan ukuran. Sebaliknya elemen ‘matahari’ dan ‘bulan’ memiliki persamaan pada relasi bentuk dan ukuran, sedangkan perbedaannya terlihat pada gender dan waktu beraktivitas. Antara ‘matahar’i dan ‘bintang’ tidak tampak adanya persamaan, melainkan perbedaan.

5.1.2 Ruang Silimo

Bentuk dan penataan ruang silimo pada dasarnya sama dengan silimo adat seperti yang disebutkan di atas. Perbedaannya hanyalah pada isi dan fungsi³ dari silimo-silimo tersebut. Seperti yang telah dijelaskan bahwa suatu silimo didirikan dan ditata menurut pengetahuan budaya mereka yang didasarkan atas mitos Naruekul. Jika diperhatikan bentuk silimo tersebut pada dasarnya adalah bentuk tubuh manusia yang sedang berbaring. Tentu hal ini dikaitkan dengan posisi terbunuhnya Naruekul, yang dipotong secara terpisah antara kepala dan badan ( tangan kiri, tangan kanan) dan kakinya. Dikatakan bahwa seluruh potongan anggota tubuhnya diambil sebagai dasar kehidupan mereka selanjutnya. Dari peristiwa inilah, setiap klen mulai menyebar dan mendirikan tempat pemukiman mereka yang disebut silimo.

³ Isi dari suatu silimo adat adalah benda-benda sacral yang berhubungan dengan perang dan kesuburan dan fungsinya sebagai tempat pelaksanaan upacara yang berhubungan dengan perang dan kesuburan.Berbeda dengan silimo masyarakat yang hanya berfungsi sebagai tempat tinggal dan pusat aktivitas yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.

157

Berkaitan dengan pengetahuan budaya orang Dani, suatu silimo yang dibangun terdiri dari beberapa unit bangunan yang berbentuk oval dan memiliki fungsi masing-masing. Silimo yang berbentuk tubuh (ebe) manusia itu terdiri dari 3 (tiga) bagian yaitu : 1) kepala, 2) badan, 3) kaki.

Posisi tubuh manusia (ebe) Naruekul, yang diwujudkan kembali lewat suatu silimo masyarakat dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 5.2 Denah : Kompleks Tempat Tingga Orang Dani (Silimo)

Kepala

Badan

Kaki

Bagian ‘kepala’ atau ukul dari bentuk silimo adalah unit bangunan pilamo (rumah laki-laki). Bangunan ini terletak di atas atau pucuk oval, tepatnya pada garis lurus dengan pintu pagar (mokarai). Bentuk atapnya menyerupai silinder, bagian tengahnya disanggah 4 (empat) tiang besar.

Ada dua ruangan yaitu lantai bawah dan lantai atas. Ada juga sebuah

158 lemari kecil (hessik) berhadapan dengan pintu pilamo dan juga berhadapan dengan pintu pagar (mokarai). Lemari kotak ini sebagai tempat menyimpan benda pusaka seperti ye (batu pipih yang menjadi inti kekuatan kaneke). Batu ini menjadi sumber potensi memujudkan kesuburan bagi manusia, tanaman dan hewan (ternak babi).

Setiap silimo hanya terdiri dari satu pilamo. Hal ini sesuai dengan keyakinan orang Dani bahwa hanya ada satu kepala yaitu, kepala rumah tangga. Kehidupan anggota kerabat dalam silimo diatur dan dipimpin oleh kepala silimo tersebut. Penghuni pilamo yang adalah para lelaki dewasa dalam kehidupan sehari-hari melakukan pekerjaannya yang berhubungan dengan religi dan menjaga keamanan seluruh penghuni silimo. Posisi pilamo yang berhdapan tegak lurus dengan pintu pagar berimplikasi pada tugas lelaki dewasa dalam mengawasi situasi sekitar silimo.Terutama pada malam hari, seorang kepala silimo selalu mengunjungi seluruh anggota kerabatnya dan memastikan mereka dalam keadaan aman. Pada waktu tertentu (peperangan atau pembakaran jenazah) sering para lelaki menghabiskan malamnya untuk menjaga dan melindungi angggota seisi silimo-nya.

Bagian kedua dari bentuk silimo adalah ‘badan’ (ebe). Bagian ini terdiri dari beberapa unit bangunan yaitu, ebe-ai (rumah perempuan), hunila (dapur) dan wamdabu (kandang babi). Ebe-ai (rumah perempuan) memiliki simbol tangan kanan perempuan. Secara implisit kaum perempuan penghuni silimo memiliki tugas untuk memelihara bahkan

159 menghidupi seluruh penghuni silimo. Baik pekerjaan dalam silimo maupun di luar silimo (berladang). Seperti matahari, saat pagi muncul dengan sinarnya memberi pengharapan adanya kehidupan begitu juga seorang perempuan ketika bangun di pagi hari memulai aktifitas memasak, memberi makan (manusia maupun ternak babi), merawat anak dan suaminya, merawat ternak dan kebunnya, semuanya adalah dalam rangka memberi kehidupan. Hingga malam tiba, matahari pulang ke rumahnya di sebelah barat, begitu juga seorang perempuan (istri) pulang dan masuk ke dalam ebe-ai nya. Selain ebe-ai, bangunan lainnya yang termasuk bagian badan adalah hunila (dapur) dan wamdabu (kandang babi). Ke-dua unit bangunan ini bersimbolkan tangan kiri seorang perempuan. Dari fungsi dapur ini maka setiap istri diberi kesempatan secara bergilir dalam mengurus dan menyiapkan makanan untuk suaminya. Begitu juga dengan pembagian pekerjaan lainnya secara adil, sehingga pekerjaan yang berat dapat dikerjakan bersama tanpa keluh kesah dan tanpa rasa iri di antara sesama istri. Adanya kandang babi memberi tugas tersendiri bagi seorang istri. Setiap istri beternak babi minimal jumlahnya tiga sampai empat ekor. Posisi hunila dan wamdabu yang dekat dengan ebe-ai, tentunya lebih efektif bagi para wanita untuk memudahkan pekerjaannya dalam hal pemberian makanan kepada suami dan anak-anaknya juga kepada hewan peliharaannya.

Bagian ke tiga dari bentuk silimo adalah ‘kaki’ (aie). Bagian silimo yang bersimbolkan ‘kaki’ adalah mokarai (pintu pagar dari silimo). Setiap

160 silimo satu pintu masuk atau pintu gerbang yang disebut ‘mokarai’.

Mokarai terletak berhadapan dengan rumah laki-laki (pilamo). Posisi berhadapan antara pilamo dan mokarai memperlihatkan adanya tugas dan tanggung jawab yang sama oleh para lelaki yaitu menjaga keamanan serta memberi perlindungan kepada seluruh penghuni silimo. Mokarai sebagai pintu utama masuk silimo berukuran agak tinggi dan beratap, bentuknya persis seperti sebuah gapura.

Uraian di atas dapat memperlihatkan keberadaan laki-laki dan perempuan Dani dalam struktur ruang silimo. Seperti yang dikaji Numbery

G (2007 : 128-130) memperlihatkan bahwa pada tataran ini tampak lagi tiga elemen yang membentuk suatu bangunan silimo, yaitu 1). bagian kepala, 2) bagian badan, dan 3) kaki. Ketiga bagian bangunan itu dapat dikategorikan lagi ke dalam dua bagian berdasarkan peran penghuni silimo, yaitu, 1) bagian bangunan yang merupakan peran perempuan adalah ‘badan’; dan 2) bagian bangunan lainnya yang merupakan peran laki-laki adalah ‘kepala’ dan ‘kaki’. Uraian ini dapat dijelaskan dengan skema sebagai berikut :

perempuan badan ebe-ai, hunila, wandabu peran penghuni kepala pilamo silimo laki-laki kaki mokarai

Ketiga bangunan silimo ini selanjutnya dapat dijelaskan dengan oposisi biner. Selain relasi oposisi biner yang berkaitan dengan peran gender

161 yaitu perempuan dan laki-laki sebagai penghuni silimo, ada juga berdasarkan fungsi bangunan dan waktu beraktivitas. Elemen ‘badan’ dan

‘kepala’ berfungsi sebagai tempat hunian anggota silimo, sedangkan elemen ‘kaki’ tidak berfungsi sebagai tempat hunian. Waktu aktivitas untuk elemen ‘kepala’ dan ‘kaki’ lebih dominan pada malam hari sedangkan elemen ‘badan’ beraktivitas pada siang hari.

Lewat penjelasan di atas maka dapat diungkapkan kembali struktur yang ada di balik bangunan silimo. Pertama, adalah menempatkan unsur- unsur dari bentuk silimo yang merupakan peran laki-laki ke dalam suatu kutub yang berlawanan. Unsur-unsur tersebut adalah ‘badan’ pada kutub peran perempuan serta ‘kepala’ dan ‘kaki’ pada kutub peran laki-laki.

Kedua, menempatkan lagi unsur ‘kepala’ dan ‘kaki’ secara berlawanan pada kutub lainnya, sehingga akan terlihat seperti gambar di bawah ini.

Perempuan (badan)

Laki-laki kepala kaki (kepala - kaki)

Jika kedua kutub yang beroposisi ini digabungkan akan membentuk suatu model. Model yang terbentuk dari penggabungan dua oposisi berpasangan ini merupakan struktur di balik relasi antar ketiga simbol silimo. Struktur tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

162

Gambar 5.3 Struktur Di Balik Bentuk Silimo Badan (-)

(+) (-) Kepala Kaki (+) Keterangan : (+) = persamaan (-) = perbedaan

Ada sistem relasi yang terlihat di balik struktur pada bentuk silimo masyarakat. Antara elemen ‘kepala’ dan ‘kaki’ ada persamaan pada relasi peran dan waktu beraktivitas, sedangkan perbedaan terlihat pada relasi fungsi kedua elemen tersebut sebagai tempat hunian. Persamaan pada elemen ‘badan’ dan ‘kepala’ tampak pada relasi fungsi kedua elemen tersebut sebagai tempat hunian. Sedangkan perbedaannya terlihat pada relasi peran gender dan waktu beraktivitas. Sebaliknya elemen ‘badan’ dan ‘kaki’ tidaklah tampak adanya persamaan melainkan adanya perbedaan pada tiga keadaan atau ciri (peran, fungsi dan waktu beraktivitas). Relasi-relasi tersebut membentu suatu struktur yang sama seperti relasi pada struktuk kosmologi. Dari uraian ini dapat dilihat adanya persamaan relasi sebagai berikut :

Matahari : Bulan : Bintang : : Badan : Kepala : Kaki

Artinya, relasi antara ‘matahari’ dibanding dengan ‘bulan’ dibanding

‘bintang’ adalah seperti relasi antara ‘badan’ dibanding dengan ‘kepala’ dibanding ‘kaki’.

163

5.1.3 Ruang Berladang Tradisonal

Orang Dani terkenal sangat ulet dalam hal bercocok tanam.

Bercocok tanam di ladang merupakan salah satu sumber kehidupan orang Dani. Tanaman utamanya adalah ubi jalar (hipere). Selain hipere ada juga ubi talas, pisang dan berbagai jenis saturan. Begitu juga dengan tanaman tembakau dan tebu yang biasa diselingi di antara tanaman- tanaman tersebut. Menurut Heider, ada 3 (tiga) tipe kebun yaitu 1) berada di lereng gunung (wen yabu); 2) kebun yang berada di halaman belakang silimo (okutlu); 3) kebun-kebun di bagian rendah dan datar (wen leget);

Pertama adalah kebun yang berada di lereng gunung atau wen yabu memiliki parit kecil dan kurang dalam serta diberi pagar yang mengelilingi seluruh bagian kebun. Pada kebun ini lebih banyak dikhususkan untuk tanaman keladi dan ketimun daripada tanaman ubi jalar. Tipe kebun ini berada di luar pemukiman masyarakat. Menurut masyarakat, biasanya ubi jalar yang ditanam di lereng gunung menghasilkan buah yang kecil sehingga ubi tersebut biasanya diperuntukan untuk pakan ternak babi.

Kedua adalah tipe kebun yang berada di dalam silimo. Kebun ini berada tepat di belakang rumah perempuan (ebe-ai) atau belakang dapur

(hunila). Secara umum orang Dani menyebut jenis kebun keluarga ini dengan sebutkan okutlu. Kebun yang berada di halaman belakang rumah, tepatnya di antara pagar dalam dan pagar luar ini tidak memiliki parit dan dimanfaatkan untuk menanam jenis tanaman seperti pisang, tebu, tembakau dan ubi jalar tetapi hanya dimanfaat daunnya sebagai sayuran.

164

Oleh Heider, kebun yang berada dalam pekarangan silimo ini terdiri dari

1). hagiloma, lahan untuk menanam pisang, tebu, ubi jalar dan tabu; 2). maikmo, kebun di halaman belakang rumah antara pagar dalam dan pagar luar. yang ditanami keladi, tembakau dan labu manis (Heider,

1979:36).

Ketiga adalah jenis kebun yang dikerjakan di dataran rendah atau wen leget, memiliki parit yang dalam ( 40-50 cm dan lebar 40 cm) atau beririgasi. Parit ini berfungsi untuk menyalurkan air hujan jika berlebihan sehingga tidak terjadi banjir (khususnya untuk daerah yang agak rendah).

Selain fungsi suplai air untuk ladang, parit ini juga berfungsi menghasilkan pupuk untuk ladang yang akan ditanam. Kebun ini dibuat di area yang luas dan berada di luar kampung. Ada beberapa kelok-kelok seperti pematang yang disebut dom ake artinya ekor gunung. Luas kebun ini berkisar 25-100 meter. Jenis tanaman yang diusahakan di kebun ini adalah ubi jalar (ubi manis). Ada juga tanaman tembakau tetapi sangat jarang. Saat sekarang kebun yang berada di dataran rendah ini juga dimanfaatkan untuk menanam jenis sayur-sayuran seperti bayam asli atau kibi, ketimun berkulit kuning atau kiln, sayur lilin atau soa, kacang buncis atau wenali dan heleken, sayur kol, wortel, tomat dan labu.

Ke tiga jenis kebun ini diklasifikasikan Heider dengan memperhatikan topografi tanah. Masyarakat Dani mengerjakan ladang- ladangnya di atas tanah kepemilikannya sendiri. Tanah perladangan biasanya dikuasai oleh satu kelompok klen atau beberapa kelompok klen

165 gabungan. Batas-batas hal ulayat dari tiap klen biasanya ditandai oleh suatu unsur alam, misalnya sungai, gunung atau jarang. Para anggota kelompok klen berhak memakai bagian lahan yang belum atau tidak dipakai anggota lain, asalnya memberitahukan pemimpin klen terlebih dahulu.

Menurut informan, tidak semua warga masyarakat memiliki lahan- lahan kebun pada daerah lereng gunung dan tanah dataran. Bagi anggota klen yang memiliki hak ulayat di daerah lereng gunung, maka ia dapat mengerjakan kebun di lahan tersebut, begitu juga sebaliknya dengan kepemilikan lahan di tanah datar. Walaupun demikian dengan adanya sistem perkawinan eksogami moiety maka para istri yang dahulu yang tidak memiliki lahan di lereng gunung dapat mengerjakan kebun di lereng gunung milik kerabat suaminya. Begitu juga pemanfaatkan lahan-lahan kebun di tanah datar yang dapat dikerjakan oleh kerabat istri. Bagi orang

Dani, seorang istri atau satu keluarga batih harus memiliki dua sampai tiga lahan kebun, baik lahan kebun yang berada di lereng gunung maupun di tanah datar. Oleh sebab itu, sepanjang pengamatan di lokasi penelitian tampak seorang istri atau seorang peladang selalu mempunyai dua atau paling banyak tiga lokasi ladang yang dikerjakan dengan sistem rotasi.

Berdasarkan kajian terdahulu, Numbery G, (2007 : 131-134) memperlihatkan juga bagaimana peran laki-laki dan perempuan Dani dalam struktur ruang budaya ini. Seperti yang tampak pada deskripsi ini

166 bahwa secara empirik memperlihtkan tiga eleman pada tipe kebun atau ladang, yaitu 1) kebun di lereng gunung (wen yabu); 2) kebun di dalam silimo (okutlu). 3). kebun di dataaran rendah (wen leget). Berdasarkan lokasi atau keberadaan ketiga kebun ini maka dapat dikategorikan dalam dua bagian, yaitu 1) kebun yang berada dalam silimo dan kebun yang berada di luar silimo. Kebun yang berada di luar silimo masih dibedakan lagi ke dalam dua lokasi yaitu kebun di lereng bukit (wen yabu) dan kebun di dataran rendah (wen leget). Penjelasan ini dapat dijelaskan dengan skema sebagaai berikut :

dalam silimo okutlu (kebun di dalam silimo) Posisi (perempuan) Kebun wen yabu (kebun di lereng gunung) luar silimo (laki-laki) wen leget (kebun di tanah datar) Ada relasi oposisi biner yang terlihat pada ketiga jenis kebun ini.

Selain relasi oposisi pada posisi kebun yang berada di dalam silimo dan di luar silimo. ada juga relasi oposisi biner berdasarkan gender, bentuk fisik kebun dan jenis tanaman yang dibutuhhkan. Elemen okutlu adalah tipe kebun yang tidak memiliki parit dan kebun ini menjadi tanggung jawab perempuan. sedangkan wen yabu dan wen leget adalah tipe kebun yang memiliki parit. Kedua tipe kebun ini menjadi tanggung jawab laki- laki. Jika dilihat berdasarkan jenis tanaman utama maka, wen leget dalah kebun yang khusus untuk tanaman ubi jalar sebagai jenis tanaman

167 utama, sedangkan pada okutlu dan wen yabu, ubi jalar bukanlah tanaman utama.

Berdasarkan ciri-ciri ketiga kebun tersebut maka dapat diungkap lagi struktur yang ada dii balik tipe berladang atau berkebun orang Dani.

Pertama, adalah menempatkan unsur-unsur kebun orang Dani berdasarkan posisi kebun dan gender, yaitu kebun di dalam silimo

(okutlu) dan kebun di luar silimo. Kedua posisi kebun ini ditempatkan pada kutub yang berlawanan. Kedua, adalah posisi kebun di luar silimo ditempatkan dalam kutub yang berbeda dan saling berlawanan pula, yaitu menempatkan lagi unsur wen yabu dan wen leget secara berlawanan pada kutub tersebut, sehingga dapat terlihat seperti gambar di bawah ini :

Dalam Silimo Okutlu (Perempuan)

Luar Silimo wen yabun wen leget (Laki-laki)

Kedua kutub yang beroposisi ini kemudian digabungkan lagi sehingga membentuk suatu model. Model yang terbentuk dari penggabungan dua oposisi berpaasangan ini sama seperti model kedua tataran di atas yaitu memiliki struktur di balik relasi antar ketiga jenis kebun tradisonal. Struktur tersebut dapat terlihat pada gambar di bawah ini :

168

Gambar 5.4 Struktur Di Balik Kebun Tradisonal Okutlu (-)

(+) (-)

Wen Yabu Wen Leget (+) Keterangan : (+) = persamaan (-) = perbedaan

Gambar struktur di atas terbentuk berdasarkan sistem relasi di antara 3 (tiga) elemen yaitu, okutlu, wen yabu dan wen leget. Ada persamaan dan perbedaan relasi di antara ketiga elemen tersebut. Antara wen yabu dan wen leget ada persamaan pada relasi posisi kebun yaitu berada di luar silimo; persamaan relasi lainnya adalah bentuk fisik kebun yang memiliki parit sedangkan perbedaannya terlihat pada relasi jenis tanaman utama. Sebaliknya, okutlu dan wen yabu ada persamaan pada relasi jenis tanaman utama yaitu bukan tanaman ubi jalar sebagai prioritas sedangkan perbedaannya terlihat pada relasi posisi kedua kebun dan bentuk fisik kebun. Berbeda dengan elemen okutlu dan wen leget tidaklah tampak adanya persamaan melainkan adanya perbedaan pada tiga ciri tersebut. Pola-pola relasi yang terjalin dan membentuk struktur di atas memiliki persamaan relasi pada struktur bentuk silimo masyarakat.

Persamaan relasi-relasi tersebut dapat dilihat sebagai berikut :

Badan : Kepala : Kaki : : Okutlu : Wen Yabu : Wen Leget

169

Artinya, relasi antara ‘badan’ dibanding dengan kepala’ dibanding dengan

‘kaki’ adalah seperti relasi antara ‘okutlu’ dibanding dengan ‘wen yabu’ dibanding dengan ‘wen leget’.

5.1.4 Kelompok Klen Senior

Dari deskripsi sistem kekerabatan orang Dani pada bab IV di atas, memperlihatkan adanya pembagian kelompok kekerabatan yang didasarkan pada prinsip patriklen dan patrimoiety. Pembagian klen-klen dan pengelompokan klen dalam paroh masyarakat didasarkan pada prinsip patrilineal. Pada masyarakat konfederasi Logo-Mabel atau pada masyarakat kampung Jiwika Distrik Kurulu, terdapat sejumlah klen yaitu,

Logo, Mabel, Dabi, Himan, Wilil, Marian, Alua, Wetipo. Wantik, Sorabut, dan Kossy. Keseluruhan klen-klen ini kemudian dikelompokkan lagi menjadi dua paroh (ebe) yaitu paroh (waiya) dan parah (wita). Ada tiga klen utama dan dianggap berpengaruh dalam kehidupan orang Dani khususnya pada konfederasi Logo-Mabel. Ketiga klen itu adalah klen

Logo, klen Mabel dan klen Dabi.

Klen Logo adalah klen senior dari paroh waiya. Klen Logo sebagai paroh waiya melambangkan ‘laki-laki’. Sebagai ‘laki-laki’ klen ini berkedudukan di ‘serambi’ atau dapat dikatakan memiliki tugas adat yang berhubungan dengan masalah-masalah “keluar” (misalnya pembagian tanah atau pemanfaatan tanah adat adat). Klen Logo dianggap sebagai klen yang kuat dan keanggotaannya berada dalam jumlah yang besar bila dibanding dengan klen-klen lainnya dalam parohnya.

170

Klen Mabel juga termasuk dalam kategori klen senior pada konfederasi Logo-Mabel. Berbeda dengan klen Logo, klen Mabel adalah klen yang termasuk dalam paroh wita. Sebagai klen wita, klen ini melambangkan klen ‘perempuan’. Sebagai klen perempuan, klen ini berkedudukan di “dapur” atau tugas dan tanggung jawab klen ini adalah mengurus masalah-masalah yang bersifat “ke dalam” misalnya mempersiapkan dan mengkoordinir jalannya upacara-upacara yang berhubungan dengan adat seperti upacara kesuburan. Sama seperti klen

Logo, klen Mabel juga dianggap sebagai klen yang terkuat dan memiliki jumlah anggota yang banyak jika dibanding dengan klen lain dalam parohannya.

Klen Dabi sama dengan klen Logo, termasuk dalam paroh waiya.

Sebagai klen yang memiliki kesamaan lambang yaitu sebagai klen laki- laki, klen Dabi juga melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang sifatnya sama dengan klen Logo. Klen Dabi sebagai klen yang berada di

“serambi” atau melaksanakan tugas yang sifatnya “ke luar”. Pada dasarnya klen ini melaksanakan sebagian tugas yang menjadi bagian klen Logo, yaitu menyelesaikan masalah-masalah sosial seperti penyelesaian sengketa, pembayaran denda atau ganti rugi dan sebagainya. Klen Dabi sebagai bagian dari klen Logo, memiliki anggota yang jumlahnya kurang dari klen Logo dan klen ini juga sifatnya bukan senior bila dibanding dengan dengan kedua klen di atas (Logo dan

Mabel).

171

Keberadaan laki-laki dan perempuan Dani dapat dijelaskan dalam struktur budaya orang Dani seperti yang pernah dikaji oleh Numbery G

(2007 : 135-139) Berdasarkan kajian tersebut memperlihatkan bahwa secara empirik ruang budaya ini terdapat 3 (tiga) elemen atau simbol budaya pada kelompok klen senior, yaitu 1) klen Mabel; 2) klen Logo; dan

3) klen Dabi. Ketiga klen ini berada dalam dua paroh masyarakat Dani.

Klen Mabel termasuk dalam paroh wita sedangkan klen Logo dan Dabi termasuk dalam paroh waiya. Penjelasan ini dapat dijelaskan dengan skema sebagai berikut :

Wita Mabel (Perempuan) Klen Paroh Logo (Ebe) Waiya (Laki-laki) Dabi Ketiga klen tersebut dapat dijelaskan dengan relasi oposisi biner.

Selain relasi oposisi biner yang berkaitan dengan jenis paroh (moiety), wita dan waiya ada juga yang berkaitan dengan jumlah anggota dan sifat dari aktivitasnya. Elemen Mabel dan Logo berada dalam ciri keanggotaan yang jumlahnya lebih besar bila dibanding dengan klen Dabi. Sifat aktivitas dari klen Logo dan Dabi berkaitan dengan masalah yang melibatkan pihak dari luar konfederasinya sedangkan aktivitas klen Mabel berkaitan dengan masalah yang bersifat ke dalam masyarakatnya.

Penjelasan ini dapat dipakai untuk mengungkapkan struktur yang ada di balik kelompok klen tersebut. Unsur klen yang termasuk dalam

172 paroh wita dan paroh waiya ditempatkan dalam suatu kutub yang berlawanan. Unsur-unsur tersebut adalah klen Mabel pada kutub wita sebaliknya klen Logo dan klen Dabi pada kutub waiya. Selanjutnya unsur

Logo dan Dabi kembali ditempatkan lagi pada kutub yang lain yang saling berlawanan, sehingga akan terlihat seperti gambar di bawah ini :

wita Mabel (perempuan)

waiya Logo Dabi (laki-laki)

Sama seperti beberapa tataran di atas, kedua kutub yang beroposisi ini kemudian digabungkan lagi sehingga membentuk suatu model. Model yang termasuk dari penggabungan dua oposisi berpasangan ini memiliki struktur di balik relasi antara ketiga kelompok klen senior. Struktur tersebut dapat dilihat pada gambar 5.5 di bawah ini :

Gambar 5.5 Struktur Di Balik Kelompok Klen Senior Mabel (-)

(+) (-) Logo Dabi (+) Keterangan : (+) = persamaan (-) = perbedaan

173

Relasi yang terlihat di balik struktur kelompok klen senior antara elemen ‘Logo’ dan ‘Dabi’ adalah adanya persamaan pada relasi kelompok parah dan sifat aktivitasnya sedangkan perbedaannya terlihat pada jumlah keanggotaannya. Persamaan pada elemen ‘Mabel’ dan ‘Logo’ tampak pada relasi jumlah keanggotaannya, sedangkan perbedaannya terlihat pada kategori kelompok paroh dan sasaran aktivitasnya.

Sebalikya elemen ‘Mabel’ dan ‘Dabi’ tidaklah tampak adanya persamaan melainkan adanya perbedaan pada ke-3 keadaan atau ciri-ciri tersebut.

Relasi-relasi tersebut membentuk suatu struktur yang sama seperti relasi pada struktur jenis ladang tradisonal. Dari uraian ini dapat dilihat adanya relasi sebagai berikut :

Okutlu : Wen Yabu : Wen Leget : : Mabel : Logo : Dabi

Artinya, relasi antara okutlu dibanding dengan wen yabu dibanding dengan wen leget adalah seperti relasi antar Mabel dibanding dengan

Logo dibanding dengan Dabi.

5.1.5 Kepemimpinan Adat

Dalam suatu konfederasi dipimpin oleh seorang kepala suku atau kepala konfederasi yang disebut “ap kain”. Seorang ap kain memiliki wewenang untuk member tanda berlngsungnya suatu perang atau upacara kesuburan atau upacara pesta babi yang biasanya dilakukan dalam lima tahun sekali. Dalam pelaksanaannya secara fungsional seorang ap kain dibantu oleh pemimpin-pemimpin adat yang bertugas secara langsung dalam upacara-upacara adat tersebut. Pemimpin-

174 pemimpin itu memiliki peran dalam masalah perang, kesuburan dan perdamaian atau penyembuhan.

Ap Meteg adalah sebutan untuk seorang kepala adat perang. Tugas dan fungsi seorang ap meteg adalah mengkoordinir hal-hal yang berhubungan dengan aktivitas perang. Ia bertanggung jawab dalam persiapan, pelaksanaan hingga berakhiran suatu perang. Seorang ap meteg, memiliki satu honai perang yang disebut wim aila. Sebagai fungsionaris perang, ap meteg dan anggotanya berkewajiban merawat dan memelihara wim aila. Di dalam wim aila ada tersimpan ap warek, yang disejajarkan dengan kaneke. Pada konfederasi Logo-Mabel, klen yang berperan sebagai ap meteg adalah berasal dari klen Logo. Klen

Logo adalah klen yang berasal dari paroh waiya yang bersimbolkan klen laki-laki.

Berbeda dengan ap meteg, seorang kepala adat kesuburan yang biasa disebut ap horeg memiliki tugas dan fungsi sebagai penyelenggara upacara-upacara kesuburan, seperti upacara inisiasi (ap waiya) dan upacara perkawinan (he yokal). Dilihat pada tugas-tugas ap horeg maka dapat dikatakan bahwa lingkungan kerjanya berada pada lingkungan masyarakatnya (kawan). Sebagai penyelenggara upacara kesuburan, ap horeg harus berdiskusi dengan kepala adat lainnya. Ia juga menyiapkan segala sesuatu yang akan diperlukan saat upacara tersebut. Upacara kesuburan yang biasanya berlaangsung 5 (lima) tahun sekali dilakukan secara bersamaan di tiga silimo adat. Pemimpin adat ini juga memiliki

175 sebuah honai adat kesuburan yang disebut dengan istilah “kanekela”.

Bersama dengan anggotanya, ap horeg memelihara dan merawat honai adatnya. Di dalam kanekela ini tersimpan benda sakral yang disebut kaneke. Pada konfederasi Logo-Mabel, kepala adat kesuburan dijabat oleh klen Mabel yang berasal dari paroh wita sebagai klen perempuan.

Pemimpin adat yang ketiga adalah kepala adat perdamaian atau penyembuhan yang disebut dengan istilah ap ubaleg. Tugas dan fungsi seorang ap ubaleg adalah bersama-sama dengan ap meteg menyelenggarakan pesta kemenangan atau perdamaian. Sama halnya dengan ap meteg, jangkauan kerja seorang ap ubaleg adalah melaksanakan tugas atau aktivitasnya yang bersifat keluar masyarakatnya ( kelompok musuh). Yang dimaaksud dengan kelompok musuh di sini adalah roh-roh (arwah) orang meninggal (baik meninggal karena sakit maupun meninggal di medan perang). Ap ubaleg tidak memiliki benda sakral yang khusus ( seperti ap warek atau aik mali seperti yang disimpan oleh ap meteg dan ap horeg ) tetapi ia hanyalah menyimpan kaneke sebagai simbol keberadaan atau kehadiran nenek moyangnya atau leluhurnya dalam silimo adatnya. Kepala adat perdamaian atau penyembuhan pada konfederasi Logo-Mabel dijabat oleh klen Dabi yang berasal dari paroh waiya sebagai simbol klen laki- laki.

Pada tataran ini terdapat 3 (tiga) elemen yang berhubungan dengan kepemimpinan adat orang Dani. Masing-masing elemen itu adalah, 1) ap

176 meteg; 2) ap horeg; dan 3) ap ubaleg. Ketiga elemen ini aakan ditelaah untuk menemukan relasi-relasi dalm usaha menemukaan struktur. Ketiga pemimpin adat tersebut berasal dari tiga klen yang terbagi dalam dua paroh masyarakat. Ap horeg yang dijabat oleh klen Mabel berasal dari paroh wita sedangkan ap meteg dan ap ubaleg dijabat oleh klen Logo dan

Dabi yang berasal dari paroh waiya. Penjelasan ini dapat digambarkan dengan skema, sebagai berikut :

wita ap horeg (kepala adat kesuburan) paroh (Perempuan) (ebe) ap metek (kepala adat perang) waiya (Laki-Laki) ap ubaleg (kepala adat perdamaian / peyembuhan.

Ketiga kepala adat tersebut dapat dijelaskan lagi dengan relasi oposisi biner. Selain relasi yang berkaitan dengan kategori kelompok paroh, wita dan waiya; ada juga relasi yang berkaitan dengan tugas fungsi (aktivitas utama) dan kepemilikan benda sakral yang khusus dari setiap kepala adat. Elemen ap meteg dan ap ubaleg memiliki aktivitas utama dengan kelompok musuh sedangkan ap horeg sasaran aktivitasnya ke dalam masyakatnya (kelompok kawan). Mengenai kepemilikan benda sakral yang diperoleh dari aktivitasnya adalah ap meteg dan ap horeg memiliki benda sakral tersbut yang disebut ap warek dan aik mali (kaneke) sedangkan ap ubaleg tidak memiliki benda tersebut.

Dari uraian di atas, dapat pula dipahami keberadaan laki-laki dan perempuan Dani dalam struktur budaya. Keberadaan tersebut didipakai

177 untuk mengungkapkan struktur yang ada di balik kepemimpinan adat orang Dani seperti yang diuraikan oleh Numbery G (2007 : 140-144).

Unsur ap horeg yang termasuk dalam kelompok paroh wita ditempatkan dalam suatu kutub yang berlawanan dengan unsur ap horeg dan ap ubaleg. Selanjutnya unsur ap meteg dan ap ubaleg ditempatkan kembali lagi pada kutub yang lain yang saling berlawanan, sehingga akan terlihat seperti gambar di bawah ini :

wita Ap Horeg

waiya Ap Metek Ap Ubaleg

Sama seperti beberapa tataran di atas, kedua kutub yang beroposisi ini kemudian digabungkan lagi sehingga membentuk suatu model. Model yang terbentuk dari penggabungan dua oposisi berpasangan ini memiliki struktur di balik relasi antar ketiga kepemimpinan adat. Struktur tersebut dapat terlihat pada gambar 5.6 di bawah ini :

Gambar 5.6 Struktur Di Balik Kepemimpinan Adat

Ap Horeg (-)

(+) (-) Ap Metek Ap Ubaleg (+) Keterangan : (+) = persamaan (-) = perbedaan

178

Struktur pada gambar 5.6, terbentuk berdasarkan sistem relasi di antara ketiga elemen yaitu ap horeg, ap metek dan ap ubaleg. Relasi yang terlihat di balik struktur kepemimpinan adat antara ap metek dan ap ubaleg adalah adanya persamaan pada relasi kategori kelompok paroh yang sama (waiya) dan sasaran aktivitasnya sedangkan perbedaannya terlihat pada kepemilikan benda sakral. Persamaan pada elemen ap horeg dan ap metek tampak pada adanya kepemilikan benda sakral sedangkan perbedaannya terlihat pada kategori kelompok paroh yang berbeda dan sasaran aktivitasnya. Sebaliknya, elemen ap horeg dan ap ubaleg tidaklah tampak adanya persamaan melainkan adanya perbedaan pada tiga keadaan atau ciri tersebut. Relasi-relasi tersebut membentuk suatu struktur yang sama seperti relasi pada struktur kelompok klen senior. Dari uraian ini dapat dilihat adanya relasi sebagai berikut :

Mabel : Logo : Dabi : : Ap Horeg : Ap Metek : Ap Ubaleg

Artinya, relasi antara Mabel dibanding dengan Logo dibanding dengan

Dabi adalah seperti relasi antara Ap Horeg dibanding dengan Ap Metek dibanding dengan Ap Ubaleg.

5.1.6 Benda-Benda Perang

Orang Dani percaya bahwa suatu perang haruslah terjadi untuk memulihkan ketidakseimbangan hidup di antara kehidupan masyarakatnya. Berkaitan dengan itu maka tujuan dilakukannya suatu perang adalah untuk mendapatkan simbol-simbol kekuatan musuh baik berupa benda-benda milik korban maupun roh-roh (arwah) dari korban

179 yang meninggal (ap warek dan aik mali) yang berfungsi sebagai simbol kemenangan dan kekuatan dalam berperang dan juga simbol kesuburan dalam berbagai aspek kehidupan manusia Dani. Selain itu ada juga benda-benda yang tidak bersifat sakral tetapi memiliki nilai sosial dan ekonomi. Benda ini dianggap berharga karena berfungsi sebagai pemersatu dua anggota kerabat yang hubungan agar tidak terganggu akibat munculnya perang, yaitu anggota kerabat yang masih hidup setelah berakhirnya perang dan kerabat lain yang salah seorangnya menjadi korban di medan pertempuran. Anggota kerabat yang masih hidup haruslah memberi atau membayar dengan benda-benda berharga seperti kapak batu (ye), noken (su) dan lainnya kepada keluarga korban pada saat upacara perdamian. Dalam kajian terdahulu (Numbery G, 2007

) maka terlihat bahwa ada tiga jenis benda yang diperlukaan saat berlangsungnya upacara - upacara seputar persiapan hingga selesainya perang. Benda-benda tersebut adalah ap warek, kaneke (aik mali) dan benda berharga.

Ap warek adalah salah satu benda yang harus diperoleh dalam suatu perang dan benda ini juga merupakan tujuan akhir dari suatu peperangan. Ap warek sebagai benda sakral yang dimiliki oleh suatu konfederasi atau aliansi haruslah ditempatkan pada satu pusat strategi perang yang disebut honai perang atau wim aila. Ap warek sebagai simbol kemenangan yang dimiliki oleh konfederasi atau aliansi pembunuh adalah berupa benda-benda kongkrit seperti potongan rambut si korban,

180 panah, tombak atau noken dan sejumlah perhiasan lainnya yang menjadi milik si korban. Ap warek sebagai representasi musuh diambil sebagai kekuatan. Dalam ritual-ritual perang, pihak pemegang ap warek selalu berusaha menekan kekuatan dan amukan dari arwah musuh yang telah mereka bunuh. Ritual ini biasanya dilakukan di dalam honai perang (wim aila) di mana ap warek tersebut disimpan.

Sementara itu dari pihak si korban atau yang dibunuh di medan perang, simbol arwah si korban tidak disebut ap warek melainkan aik mali yang artinya ‘gigi runcing siap terkam’. Arwah si korban (terutama panglima perang) yang ditempatkan dalam jajaran kaneke (batu halus sebagai sumber hidup). Di dalam honai kesuburan (kanekela), aik mali atau kaneke sebaagai benda sakral disimpan dan dijadikan sebagai kekuaatan. Dalam ritul-ritual kesuburan arwah-arwah tersebut disembah dengan tujuan mempererat hubungan baik di antara saudara-saudaranya yng masih hidup. Terlebih dari itu untuk tujuan perang, arwah-arwah tersebut dipuja dengan maksud untuk membujuk atau mengajak arwah tersebut agar dapat membantu mereka dalam menekan kekuatan musuh atau melemahkan kekuatan musuh saat perang nanti.

Perang yang bersifat resmi dan dilakukan berdasarkan adat merupakan pertempuran-pertempuran terbuka yang berlangsung antara dua front. Pertempuran ini biasanya berhenti setelah beberapa hari dan diakhiri dengan pertemuan-pertemuan perdamaian antara dua kelompok yang disertai dengan banyak upacara dan pesta. Setiap pihak

181 melaksanakan pesta perdamaian secara terpisah selama beberapa hari dengan melakukan tari kemenangan. Selain pesta tari, konfederasi yang baru selesai berperang melakukan upacara ye weganin untuk menghibur kaum kerabat dari para korban perang. Pada upacara ini diberikan benda- benda adat yang sifatnya tidak sakral tetapi berharga nilainya karena memiliki nilai ekonomi dan sosial di antara kedua kerabat tersebut.

Benda-benda itu seperti kantong jaring atau noken (su), rangkaian kerang-kerangan (yerak) dan batu-batu berharga yang berbentuk bulat dan pipih (ye). Benda berharga ini diberikan sebagai ganti rugi kepada kaum kerabat para korban perang. Menurut informan, benda-benda tersebut haruslah diberikan agar arwah atau roh yang korban yang meninggal tidak menyeret korban lain lagi saat berperang. Upacara ini diadakan bersamaan dengan upacara pesta babi besar (Koentjaraningrat,

1993 : 287).

Dari uraian di atas, memperlihatkan juga bagaimana keberadaan laki-laki dan permpuan Dani yang disimbolkan lewat benda-benda tersebut membentuk suatu struktur. Seperti yang dikutip lewat kajian

Numbery G (2007:145-156) bahwa pada tataran ini ada elemen-elemen yang berhubungan dengan benda-benda perang, yaitu 1) ap warek; 2) kaneke (aik mali); dan 3) benda berharga. Selanjutnya ketiga elemen ini akan diteleeh lagi untuk menemukan relasi-relasi yang dapat digunakan untuk membentuk suatu struktur. Ketiga benda tersebut yang diperoleh lewat rangkaian peristiwa perang dapat dikategorikan berdasarkan asal

182 benda tersebut. Dalam rangkaian peristiwa perang, ap warek dan benda berharga berasal dari luar keluarga korban. Sebaliknya kaneke atau aik mali adalah benda sakral yang diperoleh dari korban yang adalah anggota masyarakat dari dalam konfederasi yang sama. Penjelasan ini dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut :

dalam kaneke (aik mali) asal benda ap warek perang luar benda berharga

Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan lagi dengan relasi oposisi biner. Selain relasi oposisi biner berdasarkan asal benda yaitu dari kelompok dalam (kawan) dan kelompok luar (musuh); ada relasi yang lain berkaitan juga dengan benda-benda perang tersebut, yaitu sifat, proses dan tujuan dari kepemilikan benda-benda tersebut. Elemen kaneke (aik mali) dan ap warek adalah benda-benda adat yang bersifat sakral, sedangkan benda berharga tidak bersifat sakral. Dalam proses kepemilikannya, ap warek dan kaneke (aik mali) diambil sebagai kekuatan sedangkan benda berharga diberikan sebagai ganti rugi.

Selanjutnya tujuan kepemilikan ap warek dan benda berharga untuk menekan roh korban agar tidak mendatangkan bencana sedangkan kepemilikan kaneke (aik mali) bertujuan untuk mendesak roh korban untuk memberikan bantuan dalam melawan serangan musuh.

183

Dari uraian relaasi oposisi biner di atas, selanjutnya dapat dipakai untuk mengungkapkan struktur yang ada di balik benda-benda perang.

Elemen kaneke (aik mali) yang berasal dari dalam kelompoknya ditempatkan pada suatu kutub yang berlawanan dengan elemen ap warek dan benda berharga yang berasal dari luar kelompoknya. Selanjutnya elemen ap warek dan benda berharga ditempatkan kembali lagi pada kutub lain yang saling berlawanan, sehingga dapat terlihat pada gambar di bawah ini :

Dalam Kelompok (Kaneke/Aik Mali)

Luar Kelompok Ap Warek Benda berharga

Kedua kutub yang beroposisi ini kemudian digabungkan lagi sehingga membentuk suatu model. Model yang terbentuk dari penggabungan dua oposisi berpasangan ini sama seperti model beberapa tataran di atas, seperti yang terlihat pada gambar 5.7 ini.

Gambar 5.7 Struktur Di Balik Jenis Benda Perang Kaneke (Aik Mali) (-)

(+) (-) Ap Warek Benda Berharga (+) Keterangan : (+) = persamaan (-) = perbedaan

184

Struktur pada gambar 5.7 terbentuk berdasarkan relasi-relasi dari ketiga elemen di atas. Relasi yang terlihat dibalik struktur jenis benda perang adalah antara eleman ap warek dan benda berharga ada persamaan pada relasi asal dan tujuan benda perang, sedangkan perbedaannya terlihat pada sifat benda dan proses kepemilikannya.

Persamaan antara elemen kaneke (aik mali) dan ap warek tampak pada relasi sifat benda dan proses kepemilikannya. Sebaliknya elemen kaneke

(aik mali) dan benda berharga tidaklah tampak adanya persamaan melainkan adanya perbedaan pada 4 keadaan (ciri) tersebut. Pola-pola relasi yang terjadi dan membentuk struktur di atas memiliki persamaan relasi pada struktur kepemimpinan adat. Persamaan relasi-relasi tersebut dapat dilihat sebagai berikut :

Ap Horeg : Ap Metek : Ap Ubaleg : :

Kanene (Aik Mali) : Ap Warek : Benda Berharga

Artinya, relasi antara ap horeg dibanding dengan ap metek dibanding dengan ap ubaleg adalah seperti relasi antar kaneke (aik mali) dibanding dengan ap warek dibanding dengan benda berharga.

5.2 Transformasi Budaya Orang Dani Melalui Struktur Inom

Lewat kajian awal (Numbery, 2007 : 157-164) memperlihatkan bahwa dalam struktur budaya orang Dani yang menempatkan beberapa tataran fenomena budaya orang Dani secara empirik telah memperlihatkan adanya struktur-struktur pada setiap fenomena. Struktur tersebut dapat dikatkan sebagai struktur ‘lahir’ atau struktur permukaan.

185

Struktur permukaan itu dapat di-othak-athik sedemikian rupa sehingga dapat ditempatkan berbagai struktur lahir tersebut dalam sebuah untaian struktur yang memperlihatkan transformasi-transformasi atau alih rupa yang dialami yang dialami oleh struktur tersebut (Ahimsa Putra,

2002b:12). Fenomena-fenomena budaya yang memperlihatkan alih rupa struktur dapat terlihat seperti pada ruang kosmologi adalah matahari, bulan dan bintang; ruang silimo adalah badan, kepala dan kaki; sistem berladang adalah okutlu, wen yabu dan wen leget. Struktur ini tampak pula pada fenomena budaya klen-klen senior yaitu Mabel, Logo dan Dabi; kepemimpinan adat adalah ap horeg, ap metek dan ap ubaleg; dan fenomena budaya pada benda-benda perang strukturnya adalah kaneke, ap warek dan benda-benda berharga. Berbagai fenomena budaya dengan struktur di atas telah memperlihatkan adanya transformasi secara empirik. Proses transformasi tersebut dapat dibaca lewat tabel 5.1 di bawah ini.

Tabel 5.1 Transformasi Fenomena Budaya dengan Struktur “Inom”

Fenomena Budaya Unsur-unsur “Inom”

Ruang Kosmologi : matahari, bulan, bintang Ruang Silimo : badan, kepala, kaki Ruang Berladang/Berkebun : okutlu, wen yabu, wen leget Kategori Klen Senior : Logo, Mabel, Dabi Kategori Kepemimpinan Adat : ap Horeg, ap Metek, ap Ubaleg Kategori Benda-benda Perang : kaneke, ap warek, benda berharga

186

Dalam kajian struktural Lévi-Strauss, transformasi atau alih rupa yang bersifat empiris ini, belumlah menunjukkan deep structure. struktur dalam dari berbagai simbol fenomena budaya di atas. Untuk menemukan struktur dalam maka perlu trasformasi tersebut dikaji secara hubungan sintagmatig dan hubungan paradigmatig. Dalam proses transformasi ini akan terlihat pola-pola relasi pada fenomena-fenomena budaya yang berbeda cukupannya. Pola-pola relasi tersebut akan memperlihatkan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan pada konfederasi strukturalnya.

Untuk menganalisis lebih lanjut rangkaian transformasi pada budaya orang Dani dapat dikaji melalui hubungan sintagmatig. Melalui hubungan ini keseluruhan fenomena budaya akan beralih rupa (bertransformasi) dari struktur fenomena yang satu ke struktur fenomena yang lain.

Berdasarkan tabel di atas, dapat terlihat transformasi budaya orang Dani melalui hubungan sintagmatig. Lewat hubungan ini dapat dikatakan bahwa, dalam tataran ruang kosmologi terdiri dari matahari, bulan dan bintang. Orang Dani juga mengategorikan unit-unit bangunan dalam silimo-nya ke dalam 3 (tiga) ruang utama yaitu badan, kepala dan kaki.

Ruang berladang atau berkebun orang Dani terdiri dari okutlu, wen yabu dan wen leget. Dalam sistem kekerabatan orang Dani, terdapat 3 (tiga) kategori klen yang dianggap sebagai klen-klen senior yaitu, Mabel, Logo dan Dabi. Berdasarkan fungsi adat, maka orang Dani mengkategorikan kepemimpinan adatnya ke dalam 3 macam yaitu, ap horeg, ap metek dan

187 ap ubaleg. Ada juga benda-benda yang berkaitan dan memegang peranan penting dalam proses berperang yaitu, kaneke, ap warek dan benda berharga.

Berdasarkan hubungan sintagmatik di atas, tampak adanya keterulangan-keterulangan (regulatities) dalam berbagai fenomena budaya orang Dani melalui suatu konfigurasi struktural berganti menjadi suatu konfigurasi struktural yang lainnya. Hal ini dapat terlihat bahwa struktur pada ruang kosmologi yang terdiri dari matahari, bulan dan bintang berkonfigurasi ke struktur pada ruang silimo, yaitu badan, kepala dan kaki. Hal yang sama terlihat pada struktur pada ruang berladang atau berkebun orang Dani yang terdiri dari okutlu, wen yabu dan wen leget berkonfigurasi ke struktur pada kategori klen-klen senior yaitu,

Mabel,Logo dan Dabi. Begitu juga dengan struktur yang lainnya seperti struktur pada kepemimpinan adat yang terdiri dari ap horeg, ap metek dan ap ubeleg berkonfederasi ke struktur kategori benda-benda perang yang terdiri dari kaneke, ap warek dan benda-benda berharga.

Berdasarkan rangkaian fenomena di atas yang terlihat pada tabel di atas, maka akan ditampilkan lagi unsur-unsur dari setiap fenomena yang dapat disusun sehingga akan menampilkan suatu homologi dalam rangkaian transformasi yang ada di antara fenomena-fenomena tersebut.

Menurut Ahimsa-Putra (2002b), “hubungan antara fenomena inilah yang dimaksud sebagai hubungan transformasional logis. Artinya, hubungan seperti ini tidak ada pada tataran empiris tetapi ada pada tataran logika,

188 pemikiran”. Tampilan homologi dalam rangkaian transformasi yang ada di antara fenomena-fenomena tersebut dapat tersusun sebagai berikut : ruang kosmologi orang Dani terdiri dari matahari, bulan dan bintang.

Ruang silimo terdiri dari bagian bagian badan, kepala dan kaki. Ruang berladang tradisonal orang Dani terdiri dari okutlu, wen yabu dan wen leget. Kategori klen senior dalam masyarakat Dani adalah, Mabel, Logo dan Dabi. Kategori kepemimpinan adat orang Dani terdiri dari ap horeg, ap metek dan ap ubaleg. Benda-benda budaya yang diperoleh melalui sistem perang adalah kaneke, ap warek dan benda-benda berharga.

Susunan secara sintagmatik ini, apabila kemudian ditampilkan lagi dalam rangkaian yang paradigmatik, maka akan terlihat alih rupa (transformasi) yang terjadi seperti pada tabel 5.2 di bawah ini.

Tabel 5.2 Transformasi Struktur Lahir

Fenomena Budaya Unsur-unsur “Inom”

Ruang Kosmologi : matahari bulan bintang ǀ ǀ ǀ Ruang Silimo : badan kepala, kaki ǀ ǀ ǀ Ruang Berladang/Berkebun : okutlu wen yabu wen leget ǀ ǀ ǀ Kategori Klen Senior : Logo, Mabel, Dabi ǀ ǀ ǀ Kategori Kepemimpinan Adat : ap Horeg ap Metek ap Ubaleg ǀ ǀ ǀ Kategori Benda Perang : kaneke ap warek benda berharga

189

Berdasarkan tabel di atas, keseluruhan rangkaian fenomena budaya bersama unsur-unsur inom-nya akan dibaca secara sintagmatik atau mendatar kemudian akan dibandingkan secara paradigmatik atau vertikal.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada ruang kosmologi matahari dibanding dengan kosmologi bulan dibanding dengan kosmologi bintang adalah sama seperti bentuk badan silimo, dibanding dengan bentuk kepala silimo, dibanding dengan bentuk kaki silimo. Artinya, persamaan pada fenomena bukanlah terletak pada isi melainkan pada relasi antara fenomena pada tataran yang berbeda. Menurut Ahimsa-Putra (2002b) bahwa, “dalam analisa struktural isi sudah tidak ada lagii karena isi ditentukan oleh relasi. Jadi, yang ada adalah relasi atau dengan kata lain, isi adalah relasi itu sendiri”.

Analisa struktural pada budaya orang Dani lewat rangkaian transformasi fenomena budaya di atas telah memperlihatkan adanya

“persamaan relasi” atau persamaan pada struktur inom pada berbagai tataran yang berbeda. Adanya persamaan relasi atau persamaan struktur pada tataran budaya yang berbeda ini, dapat dikatakan bahwa ada suatu struktur tertentu yang seolh-olah ada di balik berbagai fenomena budaya tersebut. Struktur tersebut bersifat “tetap”, “diam” dan tidak mengalami perubahan sama sekali, Struktur inilah yang disebut deep structure, struktur dalam atau struktur batin dari berbagai simbol dalam budaya orang Dani. Struktur yang ada di balik fenomena budaya orang Dani, semuannya berada dalam suatu sistem klasifikasi “serba tiga”. Model

190 serba tiga tersebut terbentuk dari 3 (tiga) elemen yang terdiri dari dua elemen dasar yang saling beroposisi yaitu elemen “A” dan elemen “B”.

Elemen “C” yang muncul kemudian selalu berada dalam ruang elemen

“B”, artinya elemen B dan C memiliki persamaan pada ciri-ciri tertentu tetapi juga elemen C memiliki perbedaan pada ciri-ciri lain yang sekaligus menjadi unsur yang beroposisi dengan elemen A dan elemen B. Adanya sistem relasi di antara ke-tiga elemen tersebut-lah yang membentuk suatu

“ struktur” dengan model segitiga. Gambar struktur segitiga tersebut akan tampak seperti di bawah ini.

Gambar 5.8 Struktur Segitiga “Inom” Dalam Budaya Orang Dani

A

B C

Struktur inilah yang terbentuk dalam fenomena budaya yang terlihat pda sistem pengetahuan dan keyakinan orang Dani dalam memaahami ruang kosmologi, bentuk dan penataan ruang silimo, sistem berladang atau berkebun, kategori klen-klen senior dalam sistem organisasi sosial dan sistem kekerabatannya, begitu juga sistem kepemimpinan adat serta kategori benda-benda yang dianggap penting dalam mendukung proses perang adat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa posisi “A” bisa ditempati oleh elemen-elemen : matahari, badan,

191 okutlu, Mabel, ap horeg, dan kaneke. Posisi “B” bisa ditempati oleh elemen-elemen : bulan, kepala, wen yabu, Logo, ap metek dan ap warek.

Begitu juga dengan posisi C dapat ditempati oleh elemen-elemen : bintang, kaki, wen leget, Dabi, ap ubaleg dan benda berharga.

Struktuk serba tiga yang ada di balik fenomena budaya orang Dani di atas ternyata merupakan acuan dari pola berpikir orang Dani mengenai

“nilai kebersamaan”. Hal ini dapat dikaitkan dengan pendapat ahli linguistik Myron Bromley bahwa bahasa-bahasa dari rumpun bahasa

Baliem tidak memiliki angka-angka yang melebihi angka tiga, sehingga cara menghitungnya memakai kesepuluh jari, tangan, lengan, kepala dan tangan sebelah sampai angka 27 (dua puluh tujuh). Misalnya bahasa

Lembah Agung (Grand Valley) yang dipakai oleh suku bangsa yang menempati Lembah Balim yaitu orang Dani Lembah, memiliki dua kata untuk istilah “bersama” yaitu eperek (untuk dua orang) dan inom yaitu

“bersama” (untuk tiga orang atau lebih banyak) (Myron B, 1994:98-99).

Kata “bersama” memiliki nilai yang penting dalam kehidupan orang

Dani. Dalam mitos Naruekul (tokoh mitologi) kata “bersama” dipakai dalam pesan yang diberikan saat dia terangkat ke langit, “…jadilah kaneke ini sebagai milik bersama dan bukan milik pribadi”. Pesan inilah yang menjadi dasar bahwa setiap peristiwa kehidupan manusia Dani haruslah memiliki nilai “kebersamaan”. Mulait dan Alua, menjelaskan juga bahwa kebersamaan adalah inti dari kebutuhan hidup orang Dani. Hidup bersama adalah baik, haruslah utuh dan sempurna. Kebersamaan

192 haruslah dimiliki untuk melengkapi yang lainnya, kebersamaan haruslah dimiliki untuk saling membutuhkan dan juga untuk hidup berdampingan (

Mulait T dan Alua A, 2003:54).

Berkaitan dengan nilai makna “bersama” itu maka struktur yang tergambar dalam setiap fenomena budaya orang Dani terbentuk berdasarkan konsep “bersama” karena terdiri eperek (dua elemen dasar) dan selanjutnya terpecah ke dalam tiga (inom) elemen yang memiliki relasi-relasi yang berhubungan satu sama lainnya.

193

194

BAB VI

PERJUMPAAN DENGAN ORANG LUAR DAN PERUBAHAN

STRUKTUR BUDAYA ORANG DANI

Bab ini akan menguraikan realitas hidup masyarakat Dani Lembah di distrik Kurulu atau secara adat masyarakat Dani dalam kesatuan wilayah konfederasi (inukul-oak) Logo-Mabel. Berbeda dengan bab sebelumnya

(bab V) diuraikan tentang realitas hidup masyarakat Dani Lembah di Kurulu yang hidup dalam lingkungan sosial budayanya dan memahami kebudayaan sebagai sistem pengetahuan dalam berinteraksi dengan lingkungan sosial maupun lingkungan alamnya. Kebudayaan sebagai blue print dalam menjalankan kehidupannya.

Realitas hidup masyarakat Dani yang akan dibahas di bab ini adalah suatu kenyataan di mana suatu masyarakat dan kebudayaan tidak dapat terhindar dari adanya suatu perubahan. Proses perubahan yang tampak ini memperlihatkan bahwa dalam perjalanan sejarah masyarakat Dani terjadi gerak budaya atau dinamika kebudayaan dalam kehidupan masyarakat

Dani. Lewat dinamika kebudayaan terjadi perubahan kebudayaan yang terjadi lewat proses akulturasi. Perubahan yang bersifat akulturasi, disebabkan adanya kontak budaya langsung saat orang Dani berinteraksi dengan kebudayaan asing, tetapi ada kecenderungan juga pada kasus tertentu seperti ekologis, demografis, modifikasi sebagai akibat pergeseran kebudayaan dan juga karena keterlambatan kebudayaan.

194

Masyarakat Dani dalam suatu masa tertentu pernah dianggap sebagai masyarakat yang statis yaitu masyarakat yang belum mendapat pengaruh dari luar, belum ada perubahan ataupun kalau ada perubahan itu hanyalah sedikit sekali dan prosesnya berjalan lambat. Sebaliknya dalam periode tertentu terutama di era otonomi khusus, ada banyak kesempatan dan peluang untuk masyarakat Dani untuk maju. Atas nama “keperpihakan pada orang asli penduduk” maka orang Papua (orang Dani) berusaha mendapatkan dan menerima serta mengembangkan potensinya lewat arus perubahan itu. Untuk mendapat gambaran mengenai realita hidup masyakarat Dani saat ini maka bab ini akan diuraikan dalam 2 (dua) bagian yaitu (1) Aksesibilitas dunia luar sebagai bentuk perjumpaan awal orang

Dani dengan dunia luar; (2) Kompleksitas budaya sebagai gambaran dari realita kehidupan orang Dani dalam perubahan sosial.

6.1 Aksesibilitas Dunia Luar : Perjumpaan Awal Orang Dani Dengan

Dunia Luar.

Perjumpaan manusia dengan dunia luar sangatlah ditentukan kondisi geografi wilayah yang hendak dituju. Begitu juga topografi wilayah yang bervariasi sangatlah ikut berpengaruh terhadap aksesibilitas wilayah tersebut. Secara geografis, wilayah Papua juga memiliki medan-medan yang sulit dijangkau. suku-suku bangsa yang berada di daerah pesisir pulau Papua lebih dahulu diakses oleh para penjelajah, misionaris/zendeling dari Eropa, dibanding dengan suku-suku yang berada di daerah pegunungan.

195

Sejarah mencatat bahwa pulau Papua sudah ditemukan sejak tahun

1512 lewat kedatangan seorang pelaut Portugal bernama Antonio d’ Abreu di sebelah barat pulau Papua. Selanjutnya tahun 1526, seorang kapten kapal bernama Jorge de Mennes yang berlabuh di Teluk Cenderawasih.

Sejarah lain juga menjelaskan bahwa pada tahun 1545, seorang kapten kapal penjelajah Spayol, Ynigo Ortiz de Retes bersama rombongannya berlayar dan singgah di wilayah muara sungai Mamberamo. Walaupun tahun-tahun tersebut merupakan bentuk awal perjumpaan orang Papua dengan dunia luar namun bagi orang Dani tidaklah demikian. Lokasi keberadaan orang Dani terletak pada zona pegunungan tinggi, diselingi beberapa bukit terjal, lereng-lereng gunung serta lembah-lembah. Kondisi demikian mengakibatkan manusia di masa lalu mengalami kesulitan untuk mengakses daerah tersebut bahkan sebaliknya turut membatasi gerak orang Dani untuk mengakses dunia luar. Berikut di bawah ini akan diuraikan beberapa bentuk pertemuan dunia luar dalam menjangkau lokasi keberadaan orang Dani di Pegunugan Tengah Pulau Papua.

6.1.1 Ekspedisi Bangsa Eropa dan Pertemuannya Dengan Orang Dani

Jauh sebelum Misionaris pertama membuka pos penginjilannya di

Wamena pada tahun 1954, ada sejumlah ekspedisi yang telah berhasil menjangkaun daerah di mana keberadaan orang Dani itu bermukim. Oleh

Mansoben (1995:137) menjelaskan bahwa :

Kontak pertama dengan orang asing (Bangsa Eropa) terjadi pada tahun 1909, ketika suatu ekspedisi yang bernama Zuid Nieuw Guinea expeditie, dibawa pimpinan Lorentz, melalui pantai selatan (melalui

196

daerah Asmat) mengunjungi daerah penduduk yang mendiami daerah selatan lembah Baliem. Kontak pertama ini kemudian disusul oleh dua ekspedisi; lain juga daerah yang sama, masing-masing terdiri dari satu expedisi militer pada tahun 1911 dan satunya lagi adalah expedisi lanjutan dari tahun 1909, terjadi pada tahuun 1912-1913.

Lewat laporan Le Roux yang berjudul, The Mountain Papuans of New

Guinea and Their Habitut tahun 1948 terdapat 44 ekspedisi dilakukan di pedalaman West New Guinea dan 6 di antaranya adalah perjumpaan para ekspedisi dengan orang Dani (Heider K, 1970:302). Oleh Alua Agus, membagi perjalanan para ekspedisi tersebut dalam 3 bagian yaitu, 1. ekspedisi Lorentz 1909 hingga Striling 1926; 2. ekspedisi Archbold 1938-

1939; dan 3. jatuhnya pesawat Dakota milik Angkatan Udara Amerika,

1945 di Wusilimo.

Pertama, Ekspedisi Lorentz, 1909 hingga Stirling, 1926. Tim ekspedisi pertama yang menjumpai orang Dani di bagian selatan dari

Lembah Baliem adalah ekspedisi militer Belanda yang dipimpin oleh seorang berkebangsaan Belanda, yaitu H.A. Lorentz. Ekspedisi yang dilakukan di akhir tahun 1909 sampai awal 1910 adalah ekspedisi yang dilakukan untuk mencapai Puncak Wehelmina, yang sekarang dikenal dengan sebutan . Dalam perjalanannya mereka bertemu dengan orang Pesegem, nama yang mirip dengan marga Hesegem di

Lembah Baliem bagian bawah dan di Lembah Kilugi. Kelompok ekspedisi ini lalu membangun suatu base camp dan tiinggal beberapa hari bersama orang Pesegem selama mereka mengadakan perjalanan ke Puncak

Welhelmina (Heider K, 1970:302).

197

Selanjutnya pada tahun 1912 hingga 1913, ekspedisi yang dipimpin oleh Kapten A.Franssen Herderschee dan dibantu dengan beberapa orang

Pesegem kembali mengadakan perjalanan yang sama menuju Puncak

Welhelmina. Salah satu anggota tim, L.A Snell tinggal di kampung orang

Pesegem selama tiga minggu dan mengadakan penelitian tentang bahasa dan kebudayaan dari orang Dani Lembah bagian selatan (orang Pesegem)

(Heider K, 1970:302). Tahun 1920, suatu ekspedisi yang dipimpin Van

Overeem juga untuk mencapai Puncak Wehelmina dari bagian utara. Dari perjalanan ini mereka berhasil mencapai bagian barat suku Dani yaitu

Swart Valley yang kini menjadi wilayah Karubaga, kabupaten Tolikara.

Penduduk di lembah ini dinamakan Oeringoep atau Timorini. Beberapa ahli menetap di sini selama tujuh minggu dan mengadakan penelitiannya

(Heider K, 1970 : 302). Tahun 1921, suatu ekspedisi ilmiah yang dipimpin oleh J.A.G. Kremer mengadakan perjalanan dengan rute yang sama yaitu mencapai Puncak Trikora. Perjalnan ekspedisi Kremer untuk mencapai

Puncak Welhelmina dilakukan dari bagian utara. Ditemukan beberapa kelompok suku bangsa Dani di bagian barat termasuk penduduk di Swart

Valley. Salah satu anggota dari tim ekspedisi Kremer adalah Paul Wirtz, seorang ahli etnologi (antropologi budaya) asal Swiss yang selama dua minggu melakukan studi etnologinya. Paul Wirtz adalah pakar pertama di bidangnya yang ikut ke pulau Nieuw-Guinea. Wirz ingin menelitii budaya

Papua di lembah Toli (yang diberi nama Lembah–Swart oleh ekspedisi).

Tulisan Wirz tentang kehidupan penduduk Papua di lembah pegunungan

198

tinggi merupakan studi pertama tentang budaya kawasan pegunungan

Salah satu kesimpulannya adalah adanya hubungan antara orang Dani di

Swart Valley dengan orang Pesegem di bagian selatan Lembah Baliem

(Heider K, 1970 : 302-303).

Tahun 1926, dilakukan ekspedisi ilmiah gabungan para ahli Belanda dan Amerika yang dipimpin M.W. Strirling. Dari hulu sungai Nogolo atau sungai Rouffaer, mereka bertemu dengan kelompok penduduk Dani Barat di antaranya suku Dem dan Moni. Le Roux, dalam laporan ekspedisi tersebut, muncullah pertama kali nama suku bangsa Dani dari bahasa

Moni, yakni “Ndani” (Heider K, 1970 : 303).

Kedua, Ekspedisi Archbold, 1938-1939. Beberapa ekspedisi yang dilakukan lebih awal, dikatakan belumlah mencapai dan menemukan

Lembah Baliem. Lembah Baliem barulah ditemukan secara kebetulan oleh seorang peneliti asal Amerika Richard Archbold, saat melakukan penerbangan di atas lembah dengan pesawat terbang airnya PBY

Catalina 2 bernama Guba II.

Pada tahun 1938, Archbold yang adalah pakar ilmu hewan dan filantropis membiayai dan memimpin tiga ekspedisi ilmu hayat ke New-

Guinea. Ekspedisinya yang ketiga dan yang paling ambisius dilaksanakan antara bulan April 1938 dan bulan Mei 1939 dan diarahkan pada penelitian di sisi utara Pegunungan Nassau (kini Pegunungan Jayawijaya) di pegunungan tengah. Daerah penelusurannya terbentang dari puncak gunung Wilhelmina (Puncak Trikora) sampai sungai Idenburg (anak sungai

199

Memberamo yang sekarang disebut Taritatu) dimana fokus penelitiannya adalah terhadap vegetasi mulai dari tumbuh-tumbuhan di atas permukaan laut sampai di daerah-daerah pada ketinggian 4000 meter.

Selama perjalanannya Richard Archbold menggunakan pesawat terbang air yang dapat mendarat di atas permukaan danau dan sungai. Hal ini dilakukannya demi memperlancar penyediaan kebutuhan ekspedisi selain untuk melakukan pemotretan dari udara. Pada salah satu penerbangan pengintaian Archbold melihat dari udara suatu kawasan dengan ladang-ladang pertanian dan kebun-kebun yang tersusun rapi di samping kampung-kampung. Setelah penemuan kawasan tersebut maka

Lembaga Museum of Natural History dari Amerika bersama dengan

Archbold menyelenggarakan suatu ekspedisi ke kawasan ini yang merupakan ekspedisinya yang ke-empat.

Ekspedisi ini mempunyai dua titik awal, yang pertama adalah danau yang terletak berdekatan dengan sungai Hablifuri di Meervlakte yang kemudian dinamakan “Danau Archbold” dan kedua adalah “Danau

Habbema”, yang terletak pada ketinggian 3225 meter di atas permukaan air dekat puncak Wilhelmina sebelah barat Lembah Baliem. Untuk ekspedisi ini dia membentuk tim dan tim ini bekerjasama dengan

Pemerintah Belanda, yang terdiri dari 56 perwira dan sejumlah prajurit serta 72 orang Dayak dari Kalimantan sebagai pemikul barang. Tepatnya tanggal 23 Juni 1938, untuk pertama kalinya Archbold dari udara melalui jendela pesawat Guba melihat ada lembah besar, yang kemudian diberi

200

nama “Grand Valley” (Lembah Agung). Lembah Baliem ini ditemukan saat penerbangan mereka dari base camp di sungai Idenburg (Mamberamo) menuju danau Habema. Walaupun pesawatnya tidak mendarat di Habema, tetapi mereka sempat melakukan survey melalui udara. Pendarataan di

Habema baru dilakukan tanggal 15 Juli 1938. Saat berada di Habema, tim ekspedisi dikunjungi dua orang pria Dani, mereka tampak bersahabat dan tidak takut dengan orang kulit putih itu. Salah seorang membawa noken yang di dalamnya berisi kampak besi, yang kemungkinan diperolehnya dari salah satu ekspedisi di bagian barat Lembah Baliem menuju Puncak

Welhelmina. Diduga kemudian bahwa dua orang tersebut berasal dari lembah besar, yaitu Lembah Ibele (Alua A, 2003:4).

Tanggal 19 Juli 1938, tiba para pemukim danau Habema, yakni

Kapten Teerink, Ricaardson, seorang sersan, empat orang tentara dan seorang juru masak. Mereka membawa serta segala perlengkapan “camp”, untuk mendirikan “base camp” dan persediaan bahan makanan untuk tiga bulan ke depan. Setelah base camp di Habema didirikan maka usaha- usaha untuk mencapai Lembah Besar segera dilakukan. Segera dibentuk dua kelompok, yang pertama dipimpin oleh Kapten Teerink. Kelompok kedua, dipimpin Letnan Van Arcken.

Tanggal 25 Juli 1938, Letnan Van Arcken dan rombongannya berangkat dari “base camp Idenburg” (Mamberamo). Mereka diterbangkan ke Kadie Meer dan berjalan kaki menuju “Grand Valley” atau Lembah

Agung. Selanjutnya tanggal 1 Agustus 1938, Kapten Teerink dan

201

rombongannya dari Habema berangkat menuju Lembah besar. Mereka memasuki lembah besar melalui Lembah Ibele atau Pelebaga.

Pertengahan bulan Agustus, kedua kelompok tersebut bertemu di Grand

Valley bagian barat. Selanjutnya bulan Oktober 1938, dibangun lagi base camp dipinggir sungai Ibele. Kedatangan para ekspedisi ini disambut oleh masyarakat dengan pesta dansa dan pemotongan hewan babi. November

1938, didirikan lagi base camp di Grand Valley tepatnya di Minimo. Hingga memasuki Desember 1938, mereka tinggal di Minimo dan melakukan penelitian etnografi.

Ketiga, Jatuhnya Pesawat Dakota di Wosilimo, Mei 1945. Untuk kepentingan perang Dunia II, Jendral D.Mac Arthur berencana membuat suatu landasan pacu di pedalaman New Guinea untuk melawan Jepang.

Dalam usaha penjajakan itu, seorang Mayor Angkatan Udara Amerika,

Myron J. Grimes bersama George Lait dan Harry E. Patterson mencapai

Lembah Baliem. George Lait dan Harry Paterson memberi julukan lembah itu dengan sebutan “Sanggri-La” (Firdaus). Lewat penerbangan merekalah mulai disebarluaskan lewat foto-foto dan media masa mengenai daerah baru yang disebut Sanggri-La tersebut.

Akhir Perang Dunia II 1945, sebuah pesawat terbang milik Angkatan

Udara Amerika Serikat mengudara dari basis di Hollandia (Jayapura) untuk melakukan misi penerbangan (dikenal dengan nama ‘Penerbangan

Shangrila). Pesawat yang membawa 21 penumpang semuanya tentara

202

Amerika dan seorang perawat yaitu Korporal Margaret ‘Suzy’ Hastings dari

Women’s Army Corps (WAC).

Tanggal 13 Mei 1945, pesawat jenis Dakota tersebut menabrak dinding gunung di kampung Wasilimo tepatnya di balik gunung daerah

Pass Valley. Kecelakaan tersebut menewakan para pilot dan beberapa penumpang. Dua orang tentara laki-laki yang selamat yaitu Letnan John

McCellum dan Sersan Kenneth Decker dan seorang perawat wanita,

Margareth Hasting. Selama berada di Lembah Baliem, segala bantuan bahan makanan, pakaian, alat tidur serta alat-alat elektronik diterjunkan. Di saat itulah mereka bertiga membuat foto, film dan membuat laporan mengenai peristiwa kecelakaan dan keadaan masyarakat Dani.

Setelah bertahan hidup selama 47 hari di dalam hutan rimba, mereka ditemukan oleh sembilan paratrooper asal Filipina yang tengah mencari tempat cocok untuk dijadikan landasan pendaratan bagi pesawat terbang glider. Operasi penyelamatan yang luar biasa ini terjadi pada tanggal 2 Juli

1945 dan berita kecelakaan hingga dievakuasi diliput majalah-majalah di

Amerika seperti Life dan Reader’s Digest lengkap dengan foto-foto.

Korporal Margareth Hasting mengabadikan semua pengalamannya dalam suatu karya yang berjudul,”Lost Horozon.. Masyarakat Dani yang belum pernah berjumpa dengan orang luar, tentu tercengang melihat prajurit militer dengan pesawat glider mereka..

Berbagai berita tentang ekpedisi Archbold 1938-1939 dan kecelakaan pesawat Dakota tersebut (1945) yang disebarluaskan melalui media massa

203

itu kemudian memberikan gambaran tentang keberadaan orang Dani di

Lembah Baliem. Sebagai dampak dari hal tersebut maka berbagai lembaga baik pemerintah, swasta, lembaga keagamaan berusaha dengan berbagai cara untuk memasuki Lembah Baliem.

6.1.2 Kontak Intensif Orang Dani Lewat Missionaris dan Lembaga

Pemerintahan Belanda

Kontak bangsa Eropa dengan penduduk Lembah Baliem telah terjadi pada dekade pertama abad 20, tetapi saat itu belum dibuka pos-pos pelayanan baik oleh pihak pemerintah maupun swasta, termasuk pihak

Misionaris dan Zendeling. Kontak intensif barulah terjadi sejak tahun 1954, lewat kedatangan para missionaris CAMA (Christian And Missionary

Alliance). Penerbangan perdana oleh pilot Albert J. Lewis bersama

Pendeta E.Mickelson, Liyd van Stone dan seorang Gembala asal Paniai,

Elisa Gobay bersama keluarganya. Pesawat mereka mendarat di kali

Baliem, kampung Minimo wilayah Hitigima1. Menurut Hitt, bahwa Lloyd van

Stone adalah salah seorang anggota CAMA yang pertama kali mendarat di sungai Baliem dengan pesawat jenis cattalina (pantoon plane) pada tanggal 20 April 1954 mengemukakan sebagai berikut :

On that day a missionary expedition made initial flight into Grand Valley of the Baliem River. A beach head was established in what some of the missionaries called the Canibal Valley of Dutch New Guinea. Entry into the hidden valley, isolated for centuries from the rest of the world, represented along-forward step in the grand of the

1 Lokasi pendaratan pesawat ini, tepatnya di lokasi yang sama ketika ekspediai Richrd Archbold mendirikan base capm di Minimo, Hitigima Baliem pada bulan November 1938 (Alua A, 2003:12) 204

Christian And Missonary Alliance to bring Christianity to the Stone Age cannibals of interior New Guinea (Hitt :1962 :16).

Selanjutnya pesawat yang sama kembali ke Sentani dan membawa

Tim missionaris lainnya. Tanggal 21 April 1954, rombongan missionaris kedua yang terdiri dari Pendeta Myron Bromly2 dan 2 orang Kristen lainnya yaitu Adrian dan Topituma tiba di Lembah Baliem . Kurang lebih pada waktu yang sama Pastor Kamerrer dan Moses Kilangin3 juga berangkat dari Lembah Swart menuju Baliem. Setelah pos pelayanan pertama dibangun di Hitigima maka tahun-tahun berikutnya CAMA mulai membuka pos-pos pelayanan4.lainnya di sekitar Lembah Baliem.

Tahun 1956, Pendeta Myron Bromley membuka pos pelayanan di daerah Pyramid dan kemudian berkembang menjadi Sekolah Teologia

Atas (STA). Sekolah ini sering digunakan sebagai tempat diadakannya konferensi-konferensi gereja dari Misi bersangkutan di seluruh Irian Jaya

(sekarang Papua). Setelah Bromley, perintis pekaraban Injil di daerah ini disusul dengan datangnya para missionaris lain dari berbagai organisasi gereja yang ada di luar negeri (Eropa, Amerika, Canada dan ). Di antaranya RBMU (Region Beyond Missionary Union), TEAM (The

2 Selain sebagai Pendeta Missionaris dari CAMA, Myron Bromley juga adalah seorang ahli linguistik dan pernah menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Dani. 3 Moses Kilangin adalah seorang Aumungme yang terkenal akan pekerjaannya pada Misi di daerah Amungme. 4 Untuk memudahkan pelayanannya maka dibukalah pos pertama berserta lapangan terbang di Hitigima dan kemudian pos pelayanan berikutnya di Pyramid pada tahun 1956. Tahun 1957, CAMA membuka pos-pos Tulem, Seinma dan Wolo. Pada tahun 1958, dibuka lagi pos-pos di Pugima dan Ibele dan tahun 1960, dibuka pos pelayanan missionaris di Sinagma, Wamena (Alua A, 2003:12) 205

Evangelical Alliance Mission), juga pekabar-pekabar dari Gereja Katholik

Roma temasuk pemerintah Belanda.

Ketika kedatangan beberapa Pendeta Nasrani dari Amerika Serikat tepatnya dari organisasi penyiaran agama CAMA (Christian And

Missionary Alliance), keberadaan orang Dani masih hidup terpencil dari dunia luar. Mereka pada waktu itu masih menggunakan alat batu yang sama bentuknya seperti yang oleh ahli prasejarah diperkirakan berasal dari

Kala Neolitik sehingga mereka seakan-akan masih berada dalam Zaman

Batu Neolitik. Para pendeta itu kemudian mendirikan beberapa pusat penyiaran/pos pelayanan di bagian selatan Lembah Baliem, di daerah konfederasi Aso-Lokobal. Dengan kehadiran para pendeta itu sebagian orang Dani tiba-tiba dihadapan pada dunia luar yang diwakili orang-orang bule, yang cara hidupnya dilengkapi peralatan yang serba modern, dari yang berukuran kecil yang dipakai sehari-hari, sampai pesawat terbang yang mereka gunakan sebagai alat transportasi untuk keluar masuk

Lembah Baliem.

Pada bulan Januari 1958, seorang pastor dari orde Fransiskan bernama Arie Bokdijk, melakukan perjalanan orientasi ke Lembah Baliem.

Bulan Pebruari beliau kembali ke Baliem bersama uskup Rudolf Staverman untuk mendirikan pos Misi pertama.

Tujuan kedatangan missionaris dari berbagai aliran gereja itu adalah untuk mendidik dan mengajarkan agama Kristen kepada orang Dani dan kelompok-kelompok suku lain yang berada di Lembah Baliem dan

206

sekitarnya yang ketika itu masih hidup dalam dunia animisme. Bersamaan dengan kedatangan para missionaris tersebut, dibangunlah beberapa landasan pesawat yang dapat didarati oleh pesawat jenis Cessna milik missi gereja Protestan MAF (Mission Aviation Fellowship) dan misi gereja

Katolik (AMA) guna kelancaran tugas gereja maupun pemerintah5.

Kehadiran missi dan zending di daerah Jayawijaya terus menampakan hasil. Beberapa daerah tertentu disepakati sebagai daerah pelayanan. Misalnya, daerah pegunungan sebelah barat (Dani Barat) merupakan daerah pelayanan Gereja Protestan (Gereja Kemah Injil

Indonesia) atau GKII dari Canada dan Gereja Baptis Indonesia (GBI) dari

Australia. Selanjutnya daerah pegunungan sebelah timur (atau daerah orang Yali) merupakan daerah pelayanan Gereja Kristen Injili (GKI) dari

Eropa (Jerman dan Belanda), sedangkan daerah Lembah Baliem sebagian besar merupkan daerah pelayanan Gereja Katolik dari Eropa (Belanda dan

Roma). Kunjungan para missionaris ke daerah ini sekaligus membantu membuka isolasi daerah dan memperlancar proses akulturasi yang menyebabkan orang Dari Balim lambat laun beralih dari kehidupan zaman batu ke zaman besi (Yarona, 1996:37).

Dua tahun sebelum masuknya misionaris Katolik di Baliem, tepatnya tahun 1956 rombongan pertama pejabat pemerintah tiba dengan mendarat di lapangan terbang Hitigima yang dibuka oleh CAMA. Yang menjabat sebagai Kepala Pemerintahan Belanda adalah tuan Frts Veldkamp,

5 Sejak masuknya para missionaris 1954, masuklah juga Pemerintahan Belanda.

207

seorang pemuda berumur 24 tahun. Dia mendirikan suatu pos pemerintah yang diberi nama Wamena di atas lahan kosong di tengah daerah permukiman suku-suku. . Pos Wamena lambat-laun berkembang menjadi pusat di daerah lembah tersebut.

Salah satu tugas utama Veldkamp adalah membangun sebuah bandara udara yang besar dimana pesawat Dakota berpenumpang marinir dapat mendarat. Gubernur Jan Van Baal khawatir Veldkamp seorang diri tidak sanggup mengakhiri perang antar suku Dani yang masih hidup dalam

Zaman Batu. Pada tahun 1958 Rolph Gonzales yang berumur 26 tahun diangkat untuk menggantikan Veldkamp sebagai kepala pemerintah setempat di wilayah lembah. Dia ditugaskan melanjutkan pembangunan bandara udara agar lembah dapat dibuka kepada dunia luar. Gonzales menjadi terkenal karena sikap tegasnya sehingga dia diberi julukan

‘Godselve’ (Tuhan sendiri),dan ‘Gunsalvo’ suatu (letusan senjata api). Dari pusat Wamena kemudian dibangunkan jaringan jalan beraspal.

Pekerjaan para missonaris dan zending terus berlanjut, di samping pengaruh pemerintah Belanda dengan dibukanya pos pertama di Wamena tahun 1959. Untuk mempermudah jangkauan pelayanan pemerintah

Belanda ke daerah lainnya, dibangunlah jalan-jalan yang menghubungkan pos yang satu dengan lainnya. Setelah penyebaran agama Nasrani, tahapan perubahan besar yang dialami oleh orang Dani adalah masuknya pemerintah Republik Indonesia menggantikan Pemerintah Belanda di Irian

Jaya (sekarang Papua). Kehadiran missionaris selama 9 tahun telah

208

berhasil membuka daerah-daerah terisolir dan sekaligus mengkristenkan sejumlah orang Dani, terutama penduduk di sekitar Wamena. Proses pengkristenan orang Dani melalui pendekatan yang berbeda antara Kristen

Protestan dan Katolik mewujudkan orang Dani menjadi dua golongan6.

Penggolongan ini berdasarkan watak dari proses perubahan kebudayaan pada orang Dani. Pihak orang Dani yang beragama Kristen Protestan mengalami perubahan sosial budayanya secara dratis. Nilai-nilai dan kebiasaan hidup yang tidak sejalan dengan ajaran Kristen haruslah dilepaskan sebagai konsekwensi penerimaan agama tersebut. Di pihak lain, orang Dani penganut Kristen Katolik mengalami proses perubahan yang berjalan lambat dan lebih resisten terhadap pengaruh-pengaruh dan nilai-nilai baru yang terjadi hingga sekarang.

Selain itu kekuasaan pemerintah Belanda selama 7-9 tahun juga berdampak pada pembukaan isolasi fisik daerah ini. Terutama dibangunnya bandar udara di Wamena dan beberapa lapangan terbang, berukuran kecil di kecamatan-kecamatan (sekarang disebut distrik) tertentu di pelosok terpencil Jayawijaya. Kontak dengan dunia luar menjadi lebih merata ketika pemerintah Belanda pada tahun 1956 mendirikan pos pemerintahan di Wamena, yang dilengkapi dengan lapangan terbang yang dapat didarati pesawat-pesawat sebesar Dakota, dan ketika organisasi penyiaran agama Katolik Minne-broeders Franciskanen membuka pusat

6 Dua golongan orang Dani tersebut adalah orang Dani Barat yang dominan penganut Kristen Protestan dan golongan Dani Lembah (Baliem) sebagai penganut Kristen Katolik.

209

kegiatannya di Wamena dua tahun berikutnya (1958). Pembangunan kota kecil Wamena dan adanya sekolah dasar yang dibangun oleh Missi Katolik telah membawa orang-orang daerah sekitar wamena, yaitu anggota- anggota konfederasi Mukoko, Hubi-Kiak, Ohena, Witaya, Itlai-Haluk, Siep

Kosi, Siep Elosak, Logo-Mabel dan sebagainya langsung ke dalam arus kehidupan masa kini. Berbagai akibat yang baik, tetapi juga yang buruk telah ditimbulkan oleh proses yang cepat itu.

Tentu kehadiran pihak missionaris dan pemerintahan Belanda merupakan permulaan yang menentukan perkembangan selanjutnya setelah Irian Jaya (Papua) menjadi bagian dari kekuasaan wilayah

Republik Indonesia.

6.1.3 Integrasi Orang Papua (Orang Dani) ke Negara Kesatuan

Republik Indonesia

Kehadiran Pemerintah Belanda yang berkuasa di Lembah Baliem, dengan mendirikan pos pemerintahannya di sekitar areal landasan terbang, tidaklah berjalan lama. Melalui proses penandatangan dokumen

Pepera pada tahun 1969, Irian Barat kembali ke Pemerintah Republik

Indonesia, sehingga Pemerintah Belanda segera meninggalkan Irian Barat

(Papua).

Selanjutnya di tahun 1969, Jayawijaya tepatnya di Lembah Baliem dibentuk menjadi salah satu kabupaten di Irian Barat. Pendirian Kabupaten

Jayawijaya berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969, tentang pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten

210

Otonom di Provinsi Irian Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1969 Nomor 47, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 2907). Berdasarkan pada Undang-undang tersebut, Kabupaten

Jayawijaya merupakan satu-satunya Kabupaten di Provinsi Irian Barat

(pada saat itu) yang wilayahnya tidak bersentuhan dengan bibir pantai.

Setelah pemerintah Belanda menyerahkan kekuasaanya atas Irian Jaya kepada pemerintah Indonesia tahun 1963 maka kegiatan pembanguanan di Lembah Balim mulai dilakukan. Penduduk asli lembah Baliem adalah suku Dani yang terkenal sebagai petani yang terampil dengan menggunakan kapak batu, alat pengikis, pisau yang terbuat dari tulang bianatang, bambu atau tombak kayu dan tongkat galian. Setelah

Pemerintahan Belanda mendirikan kota Wamena maka agama katolik masuk dan daerah ini berkembang. Masyarakat sudah mulai diperkenalkan dengan alat-alat pertananian yang baru seperti kapak dan parang dari besi, alat menggempurkan tanah, sekop, dan juga beberapa jenis tanaman baru, seperti sayur-sayuran (kol, wortel, sawi putih kentang, ketimun. lbu siambawang) dan juga tanaman kopi Sarana penghubung dari Kota

Wamena ke kabupaten dan distrik lain adalah lewat transportasi udara juga telah dibangun oleh Pemerintahan Belanda dan para Lembaga Misionris..

Beberapa kota kecamatan di daerah ini sudah dapat dihubungkan dengan jalan darat dengan menggunakan kendaraan bermotor roda dua dan empat saat itu.

Kegiatan pembangunan yang dilakukan bermula dari adanya Kepres.

211

No. 75 tahun 1969 tentang Pembentukan Satuan Tugas Pembangunan

Masyarakat Pedalaman Irian Jaya. Program ini dikenal dengan sebutan

'task force'7 yang mengembangkan bentuk-bentuk pertanian baru di

Lembah Balim. Lewat program ini, terlihat adanya pembangunan perumahan dan dilanjutkan dengan operasi koteka (penutup penis) yang bertujuan untuk menghilangkan pemakaian koteka dan menggantikannya dengan pakaian berbahan tekstil. Selain itu, pemerintah membangun rumah-rumah tinggal warga yang disebut rumah sehat8. Rumah yang dibangun tersebut diharap bisa ditempati satu keluarga batih. Rumah yang berbentuk persegi empat ini, tidak dihuni oleh masyarakat Dani, karena bagi mereka rumah tersebut bertentangan dengan adat kebudayaan yang mereka pegang. Rumah sebagai tempat tinggal adalah rumah yang bukan milik keluarga inti tetapi rumah milik keluarga luas, yang terdiri dari beberapa unit bangunan lainnya yang saling terkait dan memiliki nilai sosial, budaya dan religi masyarakat setempat. Itulah sebabnya, masyarakat menolak berbagai program pembangunan saat itu. Model pembangunan lewat program tersebut disadari kurang bermanfaat.

Kelemahannya adalah sifat pembangunan yang lebih banyak memberi tanpa melibatkan penduduk setempat.

Akhirnya, dikembangkan pembangunan yang lebih mendasar berupa

7 Program ini didanai, Departemen HAMKAM dan dikelolah oleh pimpinnan ABRI di tingkat Provinsi. 8 Bagi orang Dani, keluarga inti bukanlah merupakan kesatuan yang menempati satu rumah (satu pemukiman) melainkan keluarga luas (Koentjaraningrat, 1994)

212

peningkatan sarana pendidikan, transportasi, kesehatan dan perekonomian. Seperti terlihat, adanya kerjasama pemerintah dengan pihak missionaris lewat bidang pendidikan. Awal 1970-an dibukalah pendidikan tingkat dasar (SD). Pada pertengahan tahun itu juga dibuka sekolah lanjutan tingkat pertama (SMP) dan Sekolah Guru Bawah (SGB) yang setingkat dengan SLTP. Selanjutnya disusul dengan dibukanya sekolah lanjutan tingkat atas (SPG Tiom) dan juga Sekolah Menengah

Lanjutan Atas (SMA) di Wamena tahun 1978. Kenyataan sekarang, berbagai pembangunan yang muncul juga menimbulkan berbagai konsekuensi. Salah satunya adalah adanya usaha pemberontakan dari

Organisasi Papua Merdeka (OPM). Kelompok ini menginginkan wilayah

Papua menjadi suatu negara yang terpisah dari Republik Indonesia.

(Bangun,1991 dalam Tim Peneliti Antropologi UI, 2003).

Sejak masuknya Pemerintahan Belanda tahun 1956 hingga peralihan pemerintahan ke Negara Indonesia tercatat oleh Koentjaraningrat beberapa akibat yang baik dan buruk yang timbul oleh proses pertemuan orang Dani dengan dunia luar (pemerintahan Belanda dan Indonesia).

Dikatakan bahwa :

…akibat-akibat baik dari proses tersebut antara lain : (1) lenyaplah kanibalisme (adat makan daging manusia) pada orang Dani di Lembah Baliem bagian selatan mulai dari sungai Aikhe kea rah selatan (di sebelah utara daerah Mukoko adat kanibalisme tidak ada, atau mungkin sudah tidak dilakukan lagi pada waktu orang asing tiba di daerah itu); (2) berkurangnya perang di daerah konfederasi- konfederasi di sekitar Wamena; (3) berkembangnya kebiasaan penduduk sekitar Wamena untuk mengenakan pakaian, paling tidak apabila mereka pergi ke kota; (4) hilangnya adat memotong ruas jari pada saat berkabung; (5) timbulnya pengertian akan arti dari

213

kegunaan uang; (6) tumbuhnya kesadaran akan kewarganegaraan dari suatu masyarakat yang luas daripada kelompoknya sendiri, yang antara lain tampak dengan makin seringnya mereka mengadukan pertengkaran-pertengkaran kepada pihak berwajib dan tidak lagi berupaya menyelesaikannya sendiri; (7) munculnya gejala yang penting bagi hubungan antara berbagai penduduk Irian Jaya, dengan adanya perkawinan antara wanita-wanita Dani dengan anggota- anggota polisi, guru atau pegawai putera Irian jaya yang berasal dari daerah-daerah lain, dan sebagainya (Koentjaraningrat, 1993 : 290- 291).

Sebaliknya, akibat-akibat buruk diuraikan oleh Anwas Iskandar9

(dalam Koentjaraningrat 1993 : 291) adalah : (1) terlanjut telah berkembangnya sikap merendah pada masyarakat apabila mereka berhadapan dengan pejabat, mirip sikap seorang kuli terhadap majikannya;

(2) timbulnya suatu golongan orang-orang (termasuk anak-anak) canggung, yang telah mengalami pengaruh akibat kontak dengan dunia luar dan telah mengenyam pendidikan formal, walaupun hanya sangat minimal; mereka mulai merasa dirinya lebih tinggi daripada warga masyarakat lainnya, akan tetapi belum cukup matang untuk dapat hidup dengan kekuatan sendiri dalam masyarakat yang baru; (3) timbulnya perpecahan antara penduduk, sesuai dengan garis-garis yang sejajar dengan garis persaingan antara dua organisasi penyiaran agama Nasrani, yakni Franciskan (Katolik) dan Cama (Protestan) di samping suatu kelompok lain, yaitu penduduk yang sama sekali masih “kafir” atau belum dinasranikan.

9 Anwas Iskandar melaporkan dalam hasil penelitiannya bersama Tim Survey Percontohan Universitas Cenderawasih di Lembah Baliem pada yahun 1964. 214

Akhir tahun 1990, oleh pemerintah pusat dan daerah (provinsi Irian

Jaya dan kabupaten Jayawijaya) mulai menerapkan berbagai program pembangunan bagi masyarakat Dani dengan menerapkan model pembangunan bottom up10. Pembangunan dengan pendekatan ini terlihat pada usaha LIPI-TTG yang bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Irian

Jaya dn Pemda Tingkat II Jayawijaya di awal tahun 1990. Pembangunan di awali dengan berbagai penelitian tentang “ Aspek-aspek Sosial Budaya

Orang Dani di Lembah Baliem11 yang mulai dilakukan sejak tahun 1989.

Disadari bahwa aspek sosial budaya merupakan faktor penghambat yang kuat di samping masalah teknis lainnya. Sejumlah nilai budaya perlu dipahami secara baik dalam rangka menyelaraskannya dalam setiap program pembangunan.

Salah satu program pembangunan yang dilaksanakan setelah melakukan berbagai kajian sosial budaya masyarakat Dani Lembah Baliem adalah pengembangan padi sawah di desa Tulem, Siep Kosi dan Aikima.

Awal program ini berjalan lancar, namun tampak masih ada masyarakat yang belum mau mengusahakan penanaman padi sawah bahkan tidak jarang terlihat pada beberapa bidang sawah tersebut dijadikan sebagai

10 Suatu pendekatan atau model pembangunan dengan cara melibatkan pihak perencana, agen dan masyarakat yang dijadikan sasaran pembangunan bersama-sama merancang dan memikirkan pembangunan yang diperlukan oleh masyarakat (Sairin, 2001:258) 11 Penelitian ini terbagi dalam beberapa bagian yaitu. 1) Usaha Inventarisasi Tata Nilai dan Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Baliem yang berada di sekitar Jalan Trans Wamena- Senggi (Jayapura); 2) Kehidupan Sosial Budaya Suku dani di Lembah Baliem; 3) Kepemimpinan/Stabilitas Politik di Lembah Baliem; 4) Inventarisasi Flora-Fauna di Lembah Baliem dan masalah-masalahnya;5) Introduksi Teknologi Baru di Lembah Baliem.

215

tempat pemeliharaan ikan dan bahkan ada kolam yang tidak dimanfaatkan.

Begitu juga beberapa pembangunan silimo percontohan yang dibangun di beberapa desa seperti Kama, Kilimason, Wouma dan Wesaput tidak ditempati oleh satu keluarga luas. Walaupun demikian, silimo tersebut dimanfaatkan sebagai asrama bagi pelajar yang berasal dari berbagai kampung dan hendak melanjutkan sekolah di kota Wamena.

. Tahun 2001 orang Papua (khususnya orang Dani) memasuki tahapan bersejarah dalam sistem pemerintahan Indonesia. Provinsii Papua diberi suatu kebijakan yang disebut dengan Istilah “ otonomi “ dalam

Otonomi Khusus Papua diartikan sebagai kebebasan12 bagi rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri, sekaligus pula berarti kebebasan untuk berpemerintahan sendiri dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam Papua untuk kemakmuran rakyat Papua.

Adapun masalah yang melatarbelakangi lahirnya kebijakan Otonomi

Khusus13 oleh Pemerintah Pusat kepada Provinsi Papua, menurut Tim

12 Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar- besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial-budaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yangmemadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategy ipembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua, melestarikan budaya serta lingkungan alam Papua, yang tercermin melalui perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua, lambang daerah dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerahsebagai bentuk aktualisasi jati diri rakyat Papua dan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat, adat, masyarakat adat, dan hukum adat. 13 Tahun 1999, Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yang memberikan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga sendiri, namun dalam perjalanannya undang-undang 216

Asistensi Otsus Papua (Sumule, 2002: 39-40) berawal dari belum berhasilnya pemerintah Jakarta memberikan kesejahteraan, kemakmuran, dan pengakuan terhadap hak-hak dasar rakyat Papua. Kondisi masyarakat

Papua dalam bidang pendidikan, ekonomi, kebudayaan dan sosial politik masih memprihatinkan. Sebagian di antara mereka masih hidup seperti di zaman batu. Selain itu, persoalan persoalan mendasar seperti pelanggaran hak-hak asasi manusia dan pengingkaran terhadap hak kesejahteraan rakyat papua masih juga belum diselesaikan secara adil dan bermartabat

(Maniagasi, 2001: 65).

Keadaan ini telah mengakibatkan munculnya berbagai ketidakpuasan yang tersebar di seluruh tanah Papua dan diekspresikan dalam bermacam bentuk. Banyak diantara ekspresi tersebut dihadapi pemerintah pusat dengan cara-cara kekerasan bahkan tidak jarang menggunakan kekuatan militer secara berlebihan. Puncaknya adalah semakin banyaknya rakyat

Papua ingin melepaskan diri dari NKRI sebagai suatu alternatif memperbaiki kesejahteraan.

Sejak tahun 2001 hingga sekarang merupakan babak baru bagi orang

Papua khususnya orang Dani untuk tampil sebagai pemimpin dan menata masa kini untuk mensiasati masa yang akan datang. Dalam hal

tersebut dianggap belum mampu mengakomodasikan kekhasan budaya dan adat istiadat masyarakat Papua baik dalam pengelolaan pemerintahan maupun pembangunan di wilayah Papua. Akhirnya pada Tahun 2001 Pemerintah Pusat mengeluarkan kebijakan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

217

membangunan masyarakat untuk menyediakan sumber daya manusia yang berkualitas maka oleh Pemda membuka peluang bagi putra-putri

Dani melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Hingga saat ini terbukti tingginya arus mobilisasi dan migrasi warga usia sekolah yang bepergian ke luar kota Wamena untuk melanjutkan sekolah di tingkat

Lanjutan Atas (SMU maunpun SMK) maupun melanjutkan ke sekolah- sekolah Perguruan Tinggi baik yang ada di Jayapura sebagai ibu kota provinsi maupun ke luar Papua (Sulawesi, Jawa, Sumatera). Dalam kurun waktu 5 sampai 15 terakhir ini, banyak sudah putra-putri Dani yang telah berhasil menyelesaikan pendidikannya dan kembali menduduki mengabdikan dirinya pada bidang.

Wilayah kebudayaan Dani terbagi-bagi dalam batas-batas administrasi pemerintahan dengan nomenklatur ayang menggunakan nama sesuai lokasi kebudayaan Dani. Babakan Otonomi Khusus dan pemekaran menjadi jalan masuk untuk menjawab berbagai permasalahan masyarakat yang selama ini belum terjangkau selama ini. Tahun 2002, kabupaten ini dimekarkan menjadi empat kabupaten; Kabupaten

Jayawijaya, Yahukimo, Pegunungan Bintang, dan Tolikara. Lewat proses ini semakin memperkecil dan mempermudah jangkauan kerja Pemda

Jayawijaya. Selanjutnya tahun 2008, Pemda Jayawijaya melakukan pemekaran lagi dari kabupaten induk melahirkan 4 kabupaten definitif yaitu

Kabupaten Lani Jaya, Kabupaten Mamberamo Tengah, Kabupaten Yalimo dan Kabupaten Nduga.

218

Dari seluruh proses tersebut terlihat bahwa di satu sisi menggambarkan kemampuan adaptasi orang Dani terhadap perubahan lingkungan yang terjadi karena proses modernisasi. Pembangunan sebagai agen perubahan memetakan orang Dani ke dalam empat golongan.

Menurut Itlay dan Hilapok yang dikutip Nomensen (2009:159) bahwa reaksi-reaksi orang Dani terhadap pembangunan dibedakan dalam empat golongan yaitu : (1) golongan masyarakat konservatif, yaitu kelompok generasi tua yang memegang teguh nilai-nilai dan tradisi lama sebagai warisan leluhur orang Dani. Kelompok ini melihat pembangunan dan modernisasi sebagai virus yang menyerang dan memusnahkan tata adat- istiadat; (2) golongan masyarakat partisipatif, yaitu kelompok orang Dani yang kebanyakan terdiri dari orang-orang muda dan merupakan generasi menengah yang paham bahwa pembangunan adalah sebuah proses manusiawi. Kelompok ini sungguh memahami tujuan dan maksud pembangunan; (3) golongan masyarakat yang apatis, yaitu kelompok yang telah mengetahui tujuan dan maksud pembangunan, tetapi bersikap acuh tak acuh karena tidak memiliki kemampuan intelektual, lemah ekonominya dan tidak memiliki ketrampilan; (4) golongan masyarakat pasif, yaitu kelompok yang tidak mau berusaha untuk menta masa depan, karena merasa bahwa apa yang dimilikinya sekarang (berupa tanah, hutan, kebun hipere dan sebagainya) cukup untuk hari ini dan menjanjikan untuk masa yang akan datang.

219

6.2 Kompleksitas Budaya : Dinamika Realita Kehidupan Orang Dani

Dalam Konteks Perubahan Struktur Budaya

Perjalanan sejarah orang Dani menunjukkan bahwa mereka bukan suatu suku bangsa yang tertutup terhadap dunia luar. Masuknya dan diterimanya bangsa Eropa lewat Pemerintahan Belanda, lembaga-lembaga

Keagamaan (Misionaris dan Zendeling) hingga Pemerintahan Indonesia saat ini membuktikan bahwa mereka telah menerima berbagai perubahan dalam lingkungan sosial budayanya. Walaupun masyarakat Dani yang terkenal sebagai suku bangsa yang masih mempertahankan tradisi budayanya tetapi mereka juga cukup selektif terhadap masuknya perubahan-perubahan tersebut. Perubahan yang terjadi dalam masyarakat adalah perubahan yang direncanakan yaitu lewat lembaga-lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga swasta (NGO). Ada pula perubahan yang terjadi karena faktor mobilitas dan migrasi masyarakat keluar dari lingkungan tempat tinggal yang lama.

Untuk itu pada sub bab ini, akan diuraikan realita hidup masyarakat

Dani saat, yang tentunya penulis membatasi pada aspek-aspek budaya yang ada keterkaitan dengan isi dari kajian ini. Adapun kompleksitas budaya orang Dani, dibagi dalam beberapa bagian yaitu : 1) Silimo dan rumah modern sebagai bentuk dan pola hunian masyarakat; 2) Berladang tradisonal dan usaha ekonomi produktif; 3) Lembaga-lembaga masyarakat.

220

6.2.1 Silimo Hingga Rumah Modern : Bentuk dan Pola Hunian

Masyarakat Dani

Masyarakat Dani dalam melangsungkan kehidupannya di mulai dari dalam keluarganya yang terbentuk lewat perkawinan baik monogami maupun poligini dan juga membangun dan menata hubungan kekeluargaan lewat tindakan budaya dalam lingkungan sosialnya. Salah satu wadah dimana keluarga itu melangsungkan hubungan sosial adalah dalam suatu tempat hunian. Silimo bahkan rumah-rumah modern adalah bentu hunian masyarakat yang terkecil. Silimo dan rumah modern yang dimaksud di sini adalah bentuk-bentuk bangunan, model penataannya yang berfungsi sebagai tempat tinggal manusia dan semua yang berkaitan dengan aktivitas hidup manusia dalam di lingkungan kehidupan masyarakat Dani. Berdasarkan data penelitian baik melalui observasi maupun wawancara, ternyata kehidupan orang Dani yang berkaitan dengan rumah dan pola pemukimannya saat ini dapat dikatakan cukup kompleks, baik bila dikaji dari sisi bentuk bangunan, perilaku sosial dari penghuninya maupun ide-ide, gagasan atau pengetahuan sebagai sistem nilai budaya yang mendasari adanya pemilihan bentuk-bentuk bangunan tersebut.

Munculnya kompleksitas budaya pada aspek ini tentunya berkaitan dengan arus perubahan sosial budaya dalam lingkungan orang Dani.

Realita masyarakat Dani saat ini memperlihatkan adanya kompleksitas budaya dalam aspek ini. Kompleksitas ini menciptakan masyarakat Dani

221

terbagi-bagi dalam beberapa golongan, yaitu golongan tradisonal, golongan semi modern dan golongan modern.

Golongan masyarakat tradisonal pada umumnya adalah masyarakat

Dani yang masih menetap di kampung halamannya tepatnya beberapa kampung yang ada di distrik Kurulu. Masyarakat ini masih mempertahankan nilai-nilai tradisi yang diwariskan leluhurnya dalam membangun dan menata ruang pemukimannya. Pengetahuan lokal, keyakinan dan pandangan hidup diterapkan dalam menata bentuk, dan posisi serta fungsi dari unit-unit pemukimannya. Lokasi pemukiman tradisonal ini pada umumnya terletak kira-kira lebih dari 100 meter atau agak berjauhan dari badan jalan raya, bahkan kadangkala suatu silimo atau pemukiman tradisonal tersebut tidak tampak terlihat karena tertutup atau dikelilingi oleh beberapa pepohonan.

Berbeda dengan masyarakat Dani yang dikategori masyarakat semi modern adalah masyarakat yang menetap di wilayah adatnya distrik

Kurulu, hidup dalam kesatuan masyarakat adat dengan menjalankan tradisinya tetapi mereka juga mengakui bahwa mereka tidak dapat menghindar dari berbagai perubahan yang masuk ke dalam lingkungan kehidupannya. Seperti hidup di dua alam, di satu sisi mereka masih mempertahankan kebudayaan tetapi di sisi lain mereka juga menerima perubahan lewat masuknya program-program pemerintah. Masyarakat kategori ini memperlihatkan bahwa adanya penerimaan unsur-unsur baru dalam pola pemukimannya, seperti adanya bentuk baru, tambahan unit

222

bangunan lain dalam silimo, atau juga perubahan posisi pada unit bangunan.

Sebaliknya, masyarakat Dani yang dikategori masyarakat modern adalah masyarakat Dani yang tingkat mobilisasinya tinggi dan juga sebagian masyarakatnya telah bermigrasi karena faktor ekonomi, pekerjaan dan pendidikan. Melalui faktor tersebut memperlihatkan pola hidup yang berbeda dengan masyarakat tradisonal maupun semi modern.

Masyarakat tipe ini tidak lagi tinggal dalam silimo. Mereka tinggal dalam rumah modern, yaitu jenis rumah hunian warga yang secara fisik berbeda dengan rumah tradisonal (silimo). Orang Dani lebih suka menyebut jenis rumah ini dengan beberapa istilah seperti, “rumah sehat”, atau “rumah batu” atau “rumah papan”. Jenis rumah tersebut ada yang dibangun dengan dana warga sendiri dan atau dibangun dengan bantuan pemerintah lewat dana program Respek dan ada juga warga yang menempati rumah-rumah dinas yang disediakan oleh pemerintah.

Pemilihan rumah modern sebagai tempat hunian oleh warga adalah suatu bentuk penerimaan budaya baru. Ada beberapa warga yang masih tinggal di dalam lingkungan asalnya (budayanya) tetapi ada juga yang memilih tinggal di luar lingkungan asalnya. Mereka bekerja dan berinteraksi dengan lingkungan yang baru. Berada dalam lingkungan baru inilah yang nantinya ikut mempengaruhi mereka untuk menerima nilai-nilai baru dan juga mengadaptasikan nilai-nilai budayanya sebagai bentuk mempertahankan eksistensinya pada lingkungan tersebut.

223

Perubahan yang terlihat pada pola hunian masyarakat ini merupakan suatu proses evolusi budaya, yang tentunya akan berdampak pada nilai- nilai budaya masyarakat Dani. Untuk mendapat gambaran tentang kompleksitas budaya dalam aspek ini dapat dijelaskan di bawah ini..

Pertama, Silimo Dan Pola Pemukiman Tradisonal. Perjalanan memasuki beberapa perkampungan di distrik Kurulu yang hanya menempuh jarak 20-40 menit dengan kendaran beroda empat dari kota

Wamen maka masih terlihat pemukiman-pemukiman tradisonal (silimo) berada mengelompok berdasarkan kesatuan masyarakat adat (ukul).

Bangunan rumah (silimo) sebagai bentuk pemukiman tradisonal ini masih dapat ditemukaan juga di lingkungan adat konfederasi Logo-Mabel, di distrik Kurulu, Jayawijaya hingga saat ini. Faktor lingkungan alam mempengaruhi bangunan silimo dan letak pemukiman orang Dani.

Sebagian pemukiman terletak di lereng-lereng gunung, seperti kampung

Satnokoma, dan sebagian lagi terletak di tanah datar seperti kampung

Mebagaima. Letak kedua pola pemukiman ini tidak berpengaruh terhadap lokasi kebun sebab dalam sistem kepemilikan tanah di kalangan orang

Dani dikuasai oleh pemimpin ap kain dan diperuntukan orang banyak. Dari hasil pengamatan, terlihat bahwa pemukiman di tanah datar dapat membuka kebun di lereng-lereng gunung dan di tanah datar. Sebaliknya pemukiman di lereng gunung dapat membuka kebun di tanah datar dan juga di lereng-lereng gunung.

224

Secara tradisonal orang Dani hidup mengelompok dalam pemukiman tradisonal yang disebut silimo. Seperti yang diurikan di bab IV dan V dalam tulisan ini, di dalam setiap silimo terdapat satu bangunan pilamo (rumah laki-laki), satu atau beberapa bangunan ebe ai (rumah istri/kaum perempuan), satu buah bangunan panjang hunila (dapur) dan satu bangunan yang difungsikan sebagai kandang babi, wam aela atau wamdabu. Sebuah silimo dikelilingi dengan pagar kayu yang disebut leget.

Ada juga macam leget yaitu 1) leget (pagar dalam) yang mengelilingi antara rumah laki-laki, rumah perempuan, dapur dan kandang babi. Pagar ini tidak setinggi pagar luar; dan 2) leget (pagar luar) yang mengelilingi silimo. Pada masyarakat yang masih hidup tradisonal, mereka masih mempertahankan bentuk dan fungsi dari masing-masing bangunan. Seperti seorang informan Bapak YM di kampung Sompaima, Kurulu mengatakan :

“….. silimo kami masih bentuk yang asli, seperti yang dulu leluhur tinggal. Ada satu pilamo, dalam pilamo ini ada satu buah lonteng yang biasanya kami pakai untuk tidur, juga ada tempat khusus untuk menyimpan benda-benda sakral seperti anak panah, busur, batu-batu halus, kapak batu, dan jimat. Tapi benda-benda sakral ini, kami biasanya letakan di sudut loteng, yang kami sebut, khakok. Lantai bawah, biasa kami pakai untuk duduk bersama, bercerita tentang masalah-masalah kami. Tapi lantai bawah ini juga kami lebih senang pakai untuk tidut, karena ada tungku api yang biasanya pada malam hari untuk menghangatkan tubuh. Pilamo ini hanya ada satu pintu kecil, kami ada 7 orang yang biasa tidur dalam pilamo.(Sompaima, 23 November 2014)

Menurut Bapak YM juga bahwa, dalam pilamo yang bentuknya melingkar itu, berdampak pada posisi tidur mereka di malam hari. Posisi tidur menyerupai jari-jari sepeda di mana posisi kaki saling bertemu di sekitr tiang utama pilamo. Posisi tersebut dimaksudkan agar semua orang tidur

225

dalam pilamo mendapatkan kehangatan yang merata dari tungku api

(wulikin) dan alasan lain adalah agar kaum pria dapat terjaga secara bersama bergerak bila ada serangan mendadak pada malam hari.

Jadi fungsi pilamo secara tradisonal sebagai rumah laki-laki, adalah tempat mengobrol kaum lelaki, tempat beristrirahat pada malam hari dan juga tempat menyimpan benda-benda sakral. Bagian belakang dari pilamo ini, ada diletakan bangunan petak kecil bernama waloleget, yang berfungsi sebagai jalan masuk arwah para leluhur ke dalam pilamo, agar penghuninya dilindungi dari ancaman roh-roh jahat. Di sampingnya ada kolam masak bila ada pesta adat sakral. Bangunan pilamo, dan sekitar pilamo, seperti bagian belakang (waloleget) dan samping yang ada kolam masak merupakan tempat-tempat sakral sehingga kaum perempuan dan anak-anak kecil dilarang berada atau melewati tempat tersebut.

Pilamo yang berbentuk cendawan memiliki satu pintu dan terletak di tengah antara ebe-ai dan hunila dan mengarah ke pintu pagar silimo yaitu mokorai. Bangunan pilamo dalam sebuah silimo hanya berjumlah satu saja. Pilamo yang disimbolkan dengan kepala manusia (ukul), unsur tubuh yang sangat penting yang harus dihormati karena statusnya lebih tinggi.

Kepala sebagai wadah tempat tersimpannya otak yang menghasilkan pikiran atau strategi dalam menata kehidupan anggota kelompoknya dalam menghadari tantangan yang muncul dari lingkungan alam atau lingkungan sosialnya. Bagian belakang pilamo dan samping dari ebe-ai dan hunila terdapat kebun (hakiloma). Jenis tanaman dalam tersebut adalah berbagai

226

jenis pisang, pohon pandan merah (buah merah) dan jenis tanaman sayuran lainnya. Untuk melindungi jenis tanaman tersebut, dibuat pagar dalam seperti yang terlihat di gambar 6.1 di bawah ini

Gambar 6.1 Bentuk dan Posisi Pilamo dalam Silimo

Selain pilamo, ebe-ai (rumah perempuan) juga bangunan tradisonal di dalam silimo yang berfungsi sebagai tempat tinggal istri dan kaum perempuan lainnya seperti adik perempuan dari suami, adik perempuan dari sang istri, ibu dari suami, ibu dari istri dan wanita lainnya yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan pemilik ebe-ai. serta anak- anak yang masih kecil. Banyaknya ebe-ai tergantung dari jumlah istri dari seorang kepala silimo. Ukuran ebe-ai, biasanya agak kecil dari sebuah pilamo. Selain berfungsi sebagai rumah khusus kaum perempuan juga merupakan rumah khusus untuk suami istri untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Orang Dani masih percaya bahwa, seorang perempuan baik istri maupun kaum perempuan lainya tidak boleh masuk dalam pilamo atau

227

melewati waloleget dan kolam masak upacara adat yang terletak di samping pilamo. Menurut Mama NS bahwa :

“…kita perempuan tidak boleh masuk dalam pilamo atau jalan-jalan di belakang pilamo. Itu adalah tempat-tempat yang dilarang bagi kita. Kalau, mama jalan atau masuk pilamo nanti, mama punya anak tidak sehat. Mama juga nanti sakit-sakit. Perempuan yang belum kawin nanti bisa mandul. Itu dulu mama dengar dari nenek-nenek dorang…” (Jiwika, 21 November 2014)

Posisi ebe-ai berhadapan dengan hunila (dapur) dan bagian belakang ebe-ai terdapat kebun (okutlu) dan bagian kiri atau kanan biasanya terdapat wamdabu (kandang babi). Semua letak bangunan yang berada seputar ebe-ai memberi petunjuk sebagai peran utama perempuan dalam suatu silimo yaitu, memasak, memberi makan anggota silimo, menanam dan merawat kebun dan memelihara ternak babi. Bentuk dan letak bangunan ebe-ai seperti terlihat kompleks pemukiman (silimo) milik Bapak

Yohanes Mabel di kampung Sompaima, Kurulu dapat dilihat pada gambar

6.2 di bawah ini :

Gambar 6.2. Bentuk dan Posisi Ebe-ai, Hunila dan Wamdabu dalam Silimo

228

Baik Pilamo maupun ebe-ai, menyerupai cendawan yang dalam bahasa Dani disebut omkhong (bulat). Pandangan orang Dani bahwa bentuk bangunan yang bulat ini adalah simbol dari dari pusat kehidupan manusia. Semua materi bangunan terdiri dari bahan lokal, yaitu kayu bulat, kayu belahan, rotan, alang-alang dan rumput. Kayu bulat untuk tiang utama dari bangunan pilamo dan ebe-ai, sedangkan katu belahan untuk dinding kedua bangunan tersebut. Rotan sebagai tali pengikat dan rumput diletakan pada lantai sebagai alas tidur sekaligus dengan penghangat.

Pilamo dan ebe-ai tidak berjendela ataupun berventilasi. Menurut kepercayaan orang Dani dahulu, tidak adanya jendela dan ventilasi dalam bangunan tersebut adalah untuk mencegah masuknya roh-roh jahat yang dapat menyebabkan penyakit bahkan adanya kematian. Namun, ada juga yang menyadari bahwa maksud dari tidak berjendela dan berventilasi pada bangunan tempat tinggalnya adalah untuk mengurangi atau menghindari udara dingin yang masuk ke dalam rumah terutama pada malam hari.

Pembangunan suatu silimo (pilamo, ebe-ai, hunilai, wamdabu dan sebagainya) biasanya dilakukan secara bergotong-royong dengan pembagian tugas berdasarkan jenis kelamin. Kaum pria dan wanita ikut terlibat dalam perencanaan sampai kegiatan pembangunan. Kaum pria mempunyai tugas menyiapkan semua bahan bangunan dan melakukan kegiatan pembangunan fisik. Sedangkan kaum wanita menyiapkan makan bersama selama proses pembangunan berlangsung. Selama kegiatan tersebut kaum wanita dapat makan bersama dengan kaum pria di sekitar

229

tempat berlangsungnya kegiatan.

Kondisi pemukiman yang masih tradisonal ini memperlihatkan bahwa masyarakat Dani sebagai penghuni silimo sebenarnya masih terikat akan sistem nilai budaya yang mengarahkan mereka untuk menentukan sikap mereka terhadap berbagai pilihan dalam realita kehidupannya. Seperti yang diungkapkan oleh seorang informan di kampung Jiwika bahwa :

“….banyak silimo di kampung ini yang masih dipertahankan dan memang masih digunakan oleh pemiliknya. Kami tidak bisa meninggalkan silimo kami, karena silimo itu menyimpan pesan-pesan dan leluhur kami. Ada benda-benda adat yang kami simpan dalam pilamo, dan tidak bisa disimpan di sembarang tempat. Orang-orang tua bilang kalau kita tinggal di rumah sehat nanti di mana tempat kita harus menyimpan benda-benda leluhur kami…, karena dalam upacara adat biasanya leluhur datang berkunjung kami di dalam pilamo, tidak di tempat yang lain.” (Bpk AM, Jiwika 21 November 2014)

Kutipan tersebut di atas menjelaskan bahwa ada alasan sebagian masyarakat Dani yang menolak meninggalkan atau merubah bentuk rumah mereka karena alasan fungsi religi dari bangunan silimo. Selain itu, bentuk dan penataan unit -unit tersebut sangat terkait dengan peran-peran sosial dari penghuni, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Sehubungan dengan pola penataan unit-unit bangunan secara tradisonal, dikatakan oleh

Mulait dan Alua (2003 : 93-94) bahwa :

“…konstruksi bangunan dari bagian-bagian silimo merupakan ungkapan dari segudang nilai-nilai kehidupan masyarakat Baliem. Kalau bentuk berubah berarti berubah pula nilai-nilai (falsafah) kehidupan, sebab bentuk yang kelihatan merupakan ungkapan dari nilai yang tak kelihatan. Bentuk adalah simbol dari yang disimbolkan yang tak kelihatan. Bagi kami, pegembangan dan perubahan bentuk silimo perlu demi kemajuan dan kesejahteraan. Apa yang tidak baik bagi kemajuan dapat dihilangkan atau dirubah tetapi yang perlu dipertahankan adalah bentuk dan pola konstruksi silimo beserta

230

bagian-bagiannya yaitu bentuk bulat dari rumah tidur, bentuk dapur panjang, bentuk tungku api dan kolam masak yang berbentuk bulat yang mana jika hal-hal ini dihilangkan akan lenyap pula nilai-nilai dasarnya”.

Dikatakan demikian oleh Mulait dan Alua karena bagi orang Dani silimo itu bukan hanya berfungsi sebagai tempat hunian tetapi lebih dari itu sebagai kesatuan sosial yang mengatur pola perilaku dan tindakan budaya dalam berbagai aktifitas oleh para anggotanya. Seperti terlihat pada pembagian unit hunian berdasarkan jenis kelamin serta posisi hunian dengan beberapa unit bangunan yang ada dalam silimo.

Berbeda dengan pandangan di atas terdapat gejala masyarakat yang bersifat insidentil. Lewat hasil wawancara dan obeservasi lapangan beberapa laki-laki dewasa tinggal dalam silimo tradisonal ini, cenderung tidak lagi menjalankan tugasnya ( tugas keamanan istri dan anak-anak di rumah, kebun dan pasar) karena mereka terlibat dalam beberapa pekerjaan kampung lewat program Respek, PNPM Mandiri, atau program pemberdayaan masyarakat kampung lewat KUBE (Kelompok Usaha

Bersama) di bidang peternakan, pertanian, dan juga usaha industri rumah tangga. Walaupun mereka masih tinggal dan mempertahankan tradisi dalam silimo-nya tetapi mereka juga mulai bergeser aktifitasnya dari aktivitas tradisonal ke aktifitas baru sebagai bentuk intervensi pemerintah.

Jadi dapat dikatakan bahwa mereka yang masih mempertahankan bangunan silimo sebagai tempat pemukiman mereka bukanlah masyarakat yang sama sekali menolak perubahan. Ada bentuk-bentuk budaya baru yang telah diterima seperti wujud aktifitas sosial dan wujud kebudayaan

231

materi seperti pakaian berbahan tekstil, alat-alat bercocok tanam, alat-alat memasak, benda-benda elektronik, aliran listrik sebagai alat penerangan di malam hari dan lain-lain. Tentu dengan masuk dan diterimanya unsur- unsur kebudayaan baru akan berdampak pula pada pola perilaku masyarakat. Kutipan hasil wawancara dengan seorang ibu yang tinggal dalam silimo milik Bapak YM di Sompaima, Kurulu mengatakan bahwa :

“…..bapak sekarang tidak ikut lagi ke kebun. Kalau kebun pertama dibuka boleh.., bapak ikut bantu. Tapi sekarang tidak lagi. Bapa tinggal di honai saja, atau pergi ketemu saudara ka…, lalu cerita- cerita. Dulu boleh bapak ikut kebun, bisa bantu tapi biasa juga hanya duduk cerita baru mama kerja, kalau ke pasar jual sayur juga bapa ikut. kalau dulu pulang dari kebun bapak bantu pikul kayu bakar. Tapi sekarang tidak, mereka malas bantu kerja. Bapak dengan anak-anak muda di sini biasa bantu orang distrik pasang lampu (listrik), buat kopi untuk dijual, buat madu dan jual di pasar…” (Ibu YD, Sompaima, 11 April 2015)

Kutipan di atas menjelaskan bahwa saat ini, ada lelaki dewasa sudah diperkenalkan dengan aktivitas baru. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem penataan silimo tradisonal saat tidak mempengaruhi bentuk aktivitas baru bagi kaum lelaki. Ada kecenderungan perubahan perilaku juga terlihat pada bentuk silimo sebagai pemukiman tradisonal yang telah dimodifikasi untuk kepentingan dan tujuan tertentu. Untuk jenis silimo ini, akan dijelaskan pada point kedua di bawah ini.

Kedua, Silimo Modifikasi. Pada lokasi penelitian ini ada juga terlihat beberapa silimo yang bentuk, posisi dan fungsi unit bangunannya masih terlihat dalam bentuk yang asli tetapi ada bagian yang sudah terjadi perubahan. Perubahan tersebut adalah 1) adanya penambahan unit bangunan baru yang difungsikan oleh pemilik silimo sebagai bentuk

232

intervensi lembaga pemerintah atau pihak swasta dalam kehidupan masyarakat; 2) ada juga terlihat beberapa unit bangunan silimo yang mengalami perubahan dari bentuk yang asli walaupun fungsi dan posisi letaknya masih mengikuti aturan adat yang berlaku; 3) terlihat juga masyarakat yang memiliki dua hunian sekaligus yaitu silimo sebagai hunian tradisonal dan rumah ‘sehat’14. Ada juga masyarakat yang memilih tinggal di rumah sehat atau rumah modern yang dibangun sendiri.

Walaupun demikian, mereka tetap memiliki dan mengenal dengan persis letak silimo atau honai-honai tradisonal mereka sebagai kesadarannya akan identitas budayanya. Berikut di bawah ini akan dijelaskan beberapa bentuk silimo yang dimodifikasi.

Unit bangunan baru dalam silimo. Di antara silimo-silimo tradisonal masyarakat di Jiwika Kurulu, ada silimo masyarakat yang mulai mengalami sedikit perubahan. Seperti yang terlihat pada silimo Bapak Yonas Mabel di

Jiwika Kurulu. Bersama saudaranya Bapak Yonas yang juga sebagai pengelolah mumi menata kembali silimo-nya. Terlihat ada perubahan dengan penambahan satu unit bangunan honai dengan model yang baru.

Honai yang berdaun pintu ini sebagai bangunan pertama terletak di samping pintu masuk (mokarai). Bangunan ini sebagai bentuk intervensi

14 Model rumah dengan standar kesehatan yaitu berjendela, berventilasi dan berdaun pintu. Rumah ini dibangun di sepanjang jalan raya menuju Kurulu hingga Watlangku. Rumah yang dirancang untuk satu keluarga inti adalah bentuk intervensi pemerintah Indonesia lewat dinas sosial dan dinas kesehatan yang dibangun tahun 1980-an.

233

pemerintah daerah yaitu Dinas Pariwisata Kabupaten Jayawijaya dalam rangka mempromosikan budaya Dani. Keberadaan “mummi” wim motog

Mabel di silimo ini mengundang para tamu atau turis. Bangunan baru,

“honai tamu” ini sebagai tempat menerima tamu. Penambahan honai baru ini juga menghadirkan pola perilaku dan pola berpikir yang baru sebagai salah satu bentuk strategi pengelola dan penghuni silimo dalam merespon perubahan yang terjadi. Tradisi masyarakat Dani dipertahankan tetapi mereka juga beradaptasi dengan kebutuhan tamu. Menurut Bapak Yonas

Mabel, para wisatawan yang datang biasanya adalah orang-orang pemerintahan yang daerah pusat atau dari luar Papua. Ada juga kunjungan wisatawan dari luar negeri. Biasanya ramai jika menjelang even festival

Budaya Lembah Baliem yang dilaksanakan setiap bulan Agustus setiap tahun.

Gambar 6.3 Honai Tamu : Unit Bangunan Baru dalam Silimo di Kampung Sompaima, Kurulu

234

Pemandangan dalam honai baru (honai tamu) terlihat berbeda dengan pilamo (rumah laki-laki) dan ebe-ai (rumah perempuan). Dalam honai tamu ada ditempatkan beberapa kursi dan meja untuk tamu, lantai honai diberi karpet plastik dan alat-alat rumah tangga lainnya yang dibiasanya dipakai saat menjamu tamu. Honai tamu tersebut sebagai unsur budaya baru dapat diterima menjadi unit tambahan dalam kompleks silimo tersebut melalui proses negosiasi antara masyarakat pewari budaya Dani dengan pemerintah daerah sebagai agen pembaharu yang menawarkan produk-produk budaya baru dalam lingkungan masyarakat Dani.

Gambar 6.4

Ruangan Honai Tamu pada Silimo Masyarakat di Kampung Sompaima, Kurulu

Para tamu yang datang mengunjungi mumi di silimo ini juga biasanya dijamu dengan minuman kopi asli dari kampung Jiwika Kurulu.

Pohon kopi yang tumbuh di belakang silimo sering dipanen warganya dan diolah secara tradisonal oleh mereka sendiri. Jenis tanaman kopi di kurulu 235

diperkenalkan pertama kali oleh pemerintah Belanda dan kemudian dilanjutnya oleh Dinas Pertanian dan Perkebunan kabupaten Jayawijaya pada tahun 1963 adalah jenis kopi arabika. Suatu perubahan yang terlihat pada diri kaum lelaki Kurulu adalah beralihnya tugas merawat tanaman, memanen, memasak hingga menghidangkan makanan/minumaan yang dilakukan oleh para lelaki saat ini. Pekerjaan ini tidak biasa tampak dalam tradisi kebudayaan orang Dani. Secara adat perempunlah yang bertugas menanam, merawat, memanen hingga memasak dan menghidangkan makanan bagi anggota kerabat dalam silimo-nya.

Gambar 6.5 Menggoreng dan Menghaluskan Kopi : Aktivitas Baru Laki-laki Dani di Kurulu

Namun saat ini hal yang berbeda tampak di Kurulu . Seiring dengan diterimanya jenis tanaman baru hingga pengolahannya maka sesorang lelaki bisa terlibat dalam hal tersebut. Seperti terlihat gambar 6.5 di atas tampak Bapak Yonas Mabel yang sehari-hari mengumpulkan biji kopi, lalu

236

digoreng/digongseng selanjutnya ditumbuk atau dihaluskan dengan alat tradional Hasilnya dari bubuk kopi bisa dinikmati langsung oleh para pengunjung dan ada juga yang dikemas dalam plastik dan dijual kepada para pengunjung/tamu silimo, per-bungkus Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah).

Gambar 6.6 Hasil Olahan Kopi Arabika di Kampung Sompaima, Kurulu

Dalam lokasi silimo ini juga ada semacam stand atau ruangan kecil beratap tetapi tanpa dinding. Tempat ini dimanfaatkan untuk memajang hasil buah tangan (handcraff) dari para warga. Jenisnya bermacam- macam, ada berbagai noken (su), hiasan leher (kalung dari rangkaian butir manik), hiasan tangan (gelang dari anyaman kulit pohon), botol buah labu yang diawetkan sebagai tempat menyimpan air, buah labu berbentuk panjang dipakai sebagai penutup penis (koteka/holim) dan lain-lain. Benda- benda yang biasanya dijadikan cenderamata ini biasanya dijual kepada pengunjung.

Dengan adanya pondok cenderamata tersebut maka para ibu ataupun 237

bapak dan juga anak-anak muda sering menghabiskan waktunya untuk menyiapkan benda tersebut. Jika dahulu para ibu hanya bekerja dikebun atau dalam silimo saja, kini dengan adanya kunjungan wisata ke lokasi mumi atau beberapa lokasi cagar budaya maka para warga mulai mencari aktifitas baru yang bisa mendatangkan uang. Seperti mengkreasikan potensi lokal menjadi benda-benda yang memiliki nilai komersial. Benda- benda yang dulu secara adat dianggap sebaga benda berharga, atau benda-benda sakral saat ini dijadikan sebagai benda komersial.

Gambar 6.7 Pondok cendramata dalam Silimo di Kampung Sompaima, Kurulu

Masyarakat yang tinggal di kampung Sompaima dan kampung sekitarnya biasanya terlibat juga secara spontan jika ada kunjungan wisatawan. Mareka yang terlibat itu adalah anak-anak dan para perempuan dewasa yang berubah penampilan seketika dengan berkonstum dan berdandan ala tradisonal. Perempuan dan anak-anak perempuan

238

menggunakan rok dari anyaman rumput (yokal dan sali) dan menggunakan noken (su) di kepala sedangkan anak laki-laki menggunakan koteka

Mereka berperan sebagai guide (pemandu tamu) dan menganta ke silimo untuk melihat mumi atau kehidupan warga dalam silimo tersebut.

Perubahan busana modern ke tradisonal juga merupakan salah satu bentuk strategi mereka untuk mengomunikasikan diri mereka sebagai pewaris leluhur dalam kebudayaan suku Dani yang hingga saat ini masih dilestarikan. Suatu fenomena yang sebenarnya sudah tidak tampak dalam kehidupan sehari-hari tetapi untuk kebutuhan pariwisata maka mereka dapat berperan kembali seperti dalam gambaran kehidupan tradisonal.

Di sini aspek komersial sebenarnya telah merubah perilaku dan pola pikir (mind set) masyarkat Dani. Mereka yang telah memilih hidup dalam dunia modern, tiba-tiba bisa kembali ke dunia tradisonal hanya untuk mendapatkan uang. Aspek komersial ini membuat sebagian kehidupan masyarakat suku Dani berubah. Anak anak kecil dan wanita terbiasa mengantar tamu ke dalam pemukiman dengan meminta upah. Dengan berpenampilan ala tradisonal menjadi modal untuk mendapatkan uang, karena wisataan yang datang sering ingin berfoto dengan mereka. Mereka jadi terbiasa dan hafal dengan jepretan kamera. Setiap jepretan kamera adalah uang bagi mereka.

Perubahan Bentuk Dalam Silimo. Saat ini ada beberapa kampung di

Kurulu yang memperlihatkan bahwa dalam proses perubahan yang sedang dialami, ikut mempengaruhi pola berpikir mereka dalam memilih dan

239

menata kembali unit-unit bangunan silimo-nya. Masyarakat Dani yang sedang mengalami proses perubahan mereka sering dihadapkan pada pilihan. Mereka sangat paham dan dapat memisahkan antara dengan hal- hal yang berada dalam lingkaran budaya Dani dan hal-hal baru yang berasal dari luar kebudayaannya. Untuk itu ada strategi menegosiasikan dunia mereka sehubungan dengan dua lingkaran budaya yang berbeda tersebut. Jika salah satu aspek budayanya sudah bersentuhan dengan budaya baru maka secara perlahan akan mempengaruhi perilaku dan pola berpikir masyarakat untuk menata ulang aspek-budaya tersebut. Seperti dalam aspek pemukiman tradisonal tampak bahwa masyarakat memetakan aktifitas yang berhubungan dengan pemerintah atau kelompok dari luar maka aktifitas tersebut dilakukan di rumah sehat/rumah modern sebaliknya hal-hal yang berkaitan dengan lingkaran adat dan melibatkan para tokoh adat, biasannya dilakukan di silimo (pilamo).

Seperti yang terlihat di kampung Kumima Kurulu. Terdapat satu unit silimo, tetapi unit-unit tersebut tidak memperlihatkan lagi nilai-nilai budaya orang Dani seutuhnya. Dalam kompleks silimo tersebut terdapat satu buah rumah sehat atau rumah modern yang sudah agak tua umurnya. Rumah tersebut adalah representatif sebuah pilamo karena ditempati oleh para lelaki dan difungsikan juga untuk menerima tamu dari luar

(pemerintah/swasta). Rumah tersebut biasa disebut sebagai pilamo rumah sehat atau pilamo baru.

240

Gambar 6.8 Rumah ‘Sehat’ : Bentuk Pilamo Baru dalam Silimo Modifikasi di Kampung Kumima, Kurulu.

Selain pilamo baru, ada juga dua rumah perempuan (ebe-ai) yang terletak di belakang sebelah kiri, dan juga satu dapur (hunila) dan kandang babi di bagian belakang sebelah kanan dan kebun okutlu di belakang hunila dan ebe-ai . Menurut Bapak Dabi pemilik silimo tersebut bahwa :

“….silimo ini memang telah berubah bentuknya, tapi kami masih tetap mempertahankan bentuk aslinya (sebelah kanan dari silimo-nya kira- kira 20 meter jaraknya terdapat satu bangunan silimo yang tertata secara tradisonal). Silimo di sebelah itu ditempati oleh orang-orang tua kami. Sedangkan kami tinggal di sini (silimo modifikasi). Bangunan silimo ini bentuknya ada perubahan. Ada rumah sehat yang terletak di depan ini, adalah rumah bantuan pemerintah. Rumah ini kami pakai untuk menerima tamu-tamu juga tempat berkumpulnya anggota-anggota kelompok tani dan kelompok ternak yang ada di kampung kami. bagian belakang ada dapur panjang, biasanya mama kumpul, mereka masak dan kita makan bersama, di situ juga tempat untuk beristirahat (Kumima, 26 November 2014).

241

Gambar 6.9 Suasana dalam Pilamo Baru di Kampung Kumima, Kurulu

Perubahan pada bentuk silimo juga dapat terlihat pada silimo oleh bapak L Oagai di Distrik Pisugi (salah satu distrik pemekaran dari Distrik

Kurulu). Rumah tinggal berbentuk rumah sehat/rumah modern. Namun mereka juga memiliki silimo sebagai bentuk pemukiman tradisonal. Pola menataannya masih mengikuti sistem pengetahuan dan nilai keyakinan budaya Dani, namun ada perubahan pada bentuk dan bahan bangunan yang digunakan. Seperti yang terlihat pada gambar 6.9 di bawah ini.

Gambar 6.10 Hunila : Bentuk Dapur Baru pada Silimo

242

Dalam kompleks silimo ini terdapat dua rumah perempuan (ebe-ai) dan sebuah silimo. Menurut ibu L. Oaigai, silimo ini ditempati oleh mertuanya beserta kedua istrinya. Dapur tersebut tidak hanya berfungsi untuk memasak tetapi juga sebagai tempat menyimpan alat-alat masak, bahan makanan (selain ubi jalar, ada juga beras hasil panen dari sawahnya). Dapur yang berdaun pintu dan beratap seng ini dipilih karena, penghuni silimo ini, sering meninggalkan silimo-nya dan pergi tinggal beberapa lama di kampung lamanya. Oleh sebab itu dibangun dapur tersebut dengan alasan keamanan alat-alat dapur dan juga bahan makanan.

Perubahan pada bentuk dapur tersebut dibangun dengan bantuan dana Respek tahun 2013. Walaupun bentuknya berubah tetapi fungsi dan posisi unit-unit bangunan masih ditata sesui dengan aturan budaya orang

Dani. Perubahan bentuk pada dapur tersebut biasanya disertai juga dengan perubahan pola perilaku dan pol pikir penghuni silimo tersebut.

Bangunan dapur (hunila) pada budaya orang Dani, tidak memiliki daun pintu, apalagi terlihat dalam kondisi terkunci. Pintu-pintu pada umumnya kecil dan rendah kecuali pintu gerbang yang relatif tinggi namun agak sempit. Biasanya orang masuk keluar pintu dengan posisi jongkok atau membungkuk. Memang hanya bisa ditutup kalau semua orang keluar rumah. Menurut Mulait,T dan Alua, A (2003:91) bahwa, “tutup pintu bukan berarti berarti pintu dalam keadaan terkunci. Selalu dipasang “pintu hidup”, yaitu pintu yang dapat dibuka dan ditutup oleh siapa saja. Ini adalah inti

243

dari simbol ‘keterbukaan’. Namun dengan alasan yang disampaikan di atas, tampak ada perubahan pandangan dan pola pikir pemilik dapur terhadap makna dan nilai-nilai budaya yang ditata selama ini dalam kehidupan bersama di dalam suatu silimo.

Perubahan bentuk dapur pada penataan silimo di atas, juga menjadi bagian dari perubahan-perubahan sosial budaya yang dialami oleh Bapak

L. Oaigai bersama istrinya. Mereka tinggal di pinggiran jembatan sungai

Pike. Tinggal di dalam rumah ‘sehat’ dan bersama 2 orang adik laki-laki.

Pola hidupnya tentu berbeda dengan sebagian keluarga yang masih hidup di silimo-silimo tradisonal. Bapak L. Oaigai pernah mengikuti Program

Pelatihan Mekanik otomotif pada tahun 2009 di Malang Jawa Timur.

Sehingga selain bekerja sebagai petani sawah di kampungnya ia juga mengembangkan ketrampilannya yang diperolah saat magang lalui saat ia kembali ke daerahnya. Rumah ‘sehat’ yang ditempatinya saat ini, tidak hanya berfungsi sebagai tempat hunian anggota keluarganya saja tetapi juga sebagai tempat ia bekerja. Berikut di bawah ini kutipan wawancara dengan Bapak LO bahwa :

“ sekarang kami tinggal di rumah sehat yang kami bangun sendiri dengan bantuan pemerintah lewat program Respek tahun 2011. Kami memilih tinggal di rumah ini karena merasa cocok. Kami juga punya honai adat, yang tidak jauh dari rumah kami ini. Kalau kami ada acara adat atau mau kumpul dengan orang tua kami, maka kami bisa mengunjungi honai adat kami. kalau di rumah ini biasanya, teman- teman atau saudara-saudara saya dan istri biasanya datang dan tinggal dengan kami di sini. Di rumah ini, biasanya saya kerja memperbaiki barang elektronik yang rusak seperti televisi atau radio dan juga servis motor (Pike, 19 April 2015).

Gambaran hidup Bapak Dabi dan LO di atas, memjelaskan bahwa

244

pada dasarnya mereka telah menerima sentuhan perubahan dalam tradisi budayanya. Mereka tingga masing-masing di rumah ‘sehat’ yang dibangunnya lewat bantuan pemerintah. Mereka memilih tinggal di rumah tersebut karena ada aktifitas-aktifitas sosial yang melibatkan masyarakat luar dan juga alasan pekerjaannya yang baru.

Masyarakat yang sudah menerima masuknya perubahan secara perlahan-lahan mulai mengubah pola hidup mereka. Ada strategi budaya yang coba diterapkan agar tidak kehilangan identitasnya. Seperti beberapa warga mencoba memilih, membagi dan menempatkan fungsi-fungsi sosial budayanya pada bangunan silimo atau rumah sehat/rumah semi modern.

Ketiga, Rumah Modern15. Saat ini masyarakat Dani yang menetap di lingkungan daerah kebudayaannya yaitu di Kurulu sudah terlihat beberapa pemukiman warga asli Dani yang telah memilih tinggal di rumah modern ataupun yang masih dikategori semi modern. Dari hasil wawancara dan pengamatan di lokasi penelitian, warga yang sudah memilih tinggal di rumah modern adalah anggota warga yang telah memiliki pekerjaan tetap seperti Pegawai Negeri Sipil di salah satu Pemda kabupaten induk

Jayawijaya ataupun kabupaten-kabupaten pemekaran di sekitar

Pegunungan Jayawijaya. Ada juga rumah modern yang dimiliki oleh anggota-anggota legislatif di kabupaten Jayawijaya ataupun di provinsi

15 Rumah Modern yang dimaksud di sini adalah istilah yang biasa dipakai oleh informan (masyarakat) saat penelitian ini dilakukan. Informan menyebut “rumah modern atau rumah sehat” adalah semua bentuk rumah yang secara fisik berbeda dengan rumah tradisonal orang Dani (silimo). Orang Dani yang berada di Kurulu, biasanya menyebut dengan istilah, “rumah sehat”. Berbeda dengan di daerah kota (Wamena) mereka menyebut dengan istilah, “rumah modern”.

245

Papua. Selain rumah tersebut yang berada di daerah Kurulu, ada juga beberapa kepala keluarga asal Kurulu yang menetap di daerah kota

Wamena. Mereka adalah warga yang bekerja sebagai guru, perawat, anggota TNI, Polri dan anggota legislatif serta pengusaha. Mereka yang berada di daerah perkotaan (Wamena) telah memilih untuk tinggal di rumah modern. Sebagian warga membangun rumah sendiri tetapi ada juga menempati rumah-rumah dinas.

Sama seperti beberapa pandangan orang Dani yang disampaikan di atas bahwa setiap orang Dani pasti mengetahui dan menyadari keberadaan hidup mereka saat ini tidak terlepas dari akar budayanya.

Artinya, bahwa walaupun mereka telah menempati rumah-rumah modern tetapi mereka masih memiliki hubungan dengan lingkungan asalnya, yaitu masih dimilikinya silimo sebagai bentuk keterikatan sosial budaya kerabatnya. Silimo yang berada di kampungnya, ditempati oleh anggota kerabatnya lain, di mana pada saat tertentu mereka kembali berkumpul di dalam lingkungan kampungnya. Berikut di bawah ini akan diuraikan gambaran dari kompleksitas budaya yang tampak pada warga Dani yang menempati rumah modern. Gambaran ini akan di bagi dalam 2 (dua) bagian yaitu, pertama, rumah modern yang berada di Kurulu dan kedua, rumah modern yang berada di daerah kota Wamena.

Pertama, Gambaran Rumah Modern di Kurulu. Ada beberapa rumah modern yang biasa disebut warga Kurulu dengan sebutan “rumah sehat” atau “rumah batu” atau juga “rumah papan”, istilah ini tergantung model

246

rumah yang pernah disediakan oleh pemerintah lewat dinas sosial dan kesehatan, atau rumah warga yang dibangun dengan fondasi berbahan batu dan rumah berdinding papan. Jiwika sebagai kota distrik adalah daerah yang dapat dilihat jenis bangunan tersebut. Beberapa informan memberi penjelasan bahwa, pada umumnya warga di sini juga menginginkan rumah model baru tersebut tetapi masalah dana, keinginannya belum dapat terwujud. Adapun alasan warga memilih tinggal di rumah modern, seperti yang diungkapkan oleh bapak DM di Jiwika, bahwa :

“sebelum bapa menikah, bapa tinggal bersama orang tua di kampung Jiwika. Kami tinggal di silimo milik orang tua dalam satu keluarga besar. Setelah kawin, mama (istri) bersama anak-anak kami tinggal di rumah papan yang dibangun di depan jalan distrik kampung Jiwika. Istri pertama dari Serui, dan sekarang bapa kawin lagi, istri dari Jawa. Bapa bangun satu rumah papan lagi untuk istri ke-2 (letaknya tidak jauh dari rumah pertama, kira-kira 50 meter dari rumah pertama). Rumah ini juga di pakai untuk berjualan (kios). Saya kerja di sipil koramil di Kurulu ini. Saya memilih rumah ini karena, ke-2 istri tidak terbiasa tinggal di silimo (Jiwika, 25 April 2015).

Rumah papan yang di pilih bapak DM merupakan bentuk rumah sehat atau rumah modern yang memiliki konstruksi yang berbeda dengan tempat huniannya yang lama (silimo). Bentuk bangunan ini sama dengan rumah lama yang dibangun untuk istrinya pertama yang berasal dari Serui

(kabupaten Kepulauan Yapen). Kedua bangunan tersebut adalah bentuk adaptasinya terhadap kedua istrinya yang memiliki perbedaan budaya dengannya. Dari hasil wawancara dan pengamatan di lapangan, kedua rumah tersebut tidak dilengkapi oleh pagar tradisonal, tidak memiliki halaman/pekarangan yang dijadikan kebun, begitu juga kandang babi.

247

Berbeda dengan beberapa rumah modern yang dimiliki warga Dani lainnya, yang selalu dalam bangunan tersebut ada dilengkapai pagar, kebun rumah dan juga kandang babi.

Implikasi dari gambaran rumah seperti ini adalah muncul tugas/ aktifitas baru dalam keluarga. Laki-laki tidak hanya bertugas secara keamanan tetapi juga ikut bersama perempuan terlibat dalam memberi kesejahteraan keluarganya. Perempuan (ibu) tidak bekerja di kebun melainkan membuka usaha warung atau kios sembako untuk menghidupi keluarganya. Bapak DM yang seharian adalah pegawai sipil pada koramil daKurulu, sehabis kerja menghabiskan waktu dengan keluarganya atau warga lainnya dalam kampung. Berikut di bawah ini gambar 6.10 adalah gambaran bentuk rumah bapak DM bersama keluarganya.

Gambar 6.11 Rumah Papan : Bentuk Rumah Modern di kampung Jiwika, Kurulu

.

248

Gambar rumah di atas, adalah rumah ke dua yang baru dibangun.

Menurut Bapak DM rumah tersebut dibangun untuk tempat tinggalnya bersama ke-dua istri dan anak-anaknya. Namun, saat ini ia baru bisa menyelesaikan satu bagian rumah untuk istri keduanya (seperti yang tampak di sebelah kiri dari gambar tersebut). Bagian kanan dari bangunan tersebut masih dalam bentuk kerangka rumah yang nantinya akan diselesaikan dan akan ditempati oleh istri pertama dan anak-anaknya. Oleh

Bapak DM walaupun tinggal di rumah papan yang berbeda dengan tradisi budayanya namun keinginannya untuk mengumpulkan semua anggota keluarganya batihnya dalam suatu bangunan hunian adalah dasar dari nilai budaya hidup bersama yang diwariskan leluhurnya kepadanya seperti yang nampak pada kehidupan bersama dalam suatu silimo.

Berbeda dengan bapak DM, Ibu HL yang adalah kepala kampung

Yiwika juga tinggal di rumah papan yang dibangun oleh keluarganya. Ibu

HL lebih memilih tinggal di rumah tersebut karena alasan pekerjaannya. Di rumah tersebut dia dapat bertemu dengan tamu, dia dapat mengerjakan pekerjaan kantornya dan juga dapat difungsikan sebagai tempat menyimpan segala sesuatu yang berhubungan dengan tugasnya. Seperti yang dikatakan oleh Ibu HL bahwa :

“ kalau tinggal di silimo, kami perempuan punya rumah (ebe-ai) itu hanya dipakai untuk tidur saja. Ruangannya kecil, tidak bisa menyimpan barang-barang yang selalu kami butuhkan sehari-hari dalam pekerjaan kita. Kalau di rumah papan ini, bisa ada lemari, kursi dan meja dan bisa dipakai untuk menerima tamu atau tempat untuk berdiskusi” (Jiwika, 20 April 2015).

249

Walaupun tinggal di rumah modern tetapi masih terlihat unsur tradisonal yang melekat pada setiap bangunan yaitu dilengkapi dengan pagar kayu yang di bagian atas ditutupi rerumputan. Menurut Ibu HL bahwa , setiap rumah, atau silimo bahkan kebun-kebun haruslah dipagari. Adanya pagar rumah tidaklah membatasi ruang berinteraksi dengan kerabatnya. Seperti rumah ibu HL yang di depan silimo keluarganya dibatasi dengan pagar namun ia tetap berinteraksi dengan dengan kerabatnya yang bermukim di silimo tersebut. Ibu HL selain berperan sebagai kepala kampung Yiwika menggantikan suaminya yang telah meninggal, ia juga sam seperti kaum perempuan Dani lainnya, adalah juga mempunyai kebun di sekitar rumahnya (okutlu) dan juga kebun-kebun keluarga yang di berada di luar halaman rumahnya. Bersama saudara dan kerabat lainnya biasanya membantunya dalam merawat hingga memanen hasil kebunnya. Begitu juga katanya, ia juga memiliki ternak babi tetapi sering ternak tersebut dirawat oleh anggota kerabatnya.

Seorang ibu yang berprofesi sebagai guru SD YPPK St. Antonius di

Yiwika juga mengatakan bahwa dia memilih tinggal di rumah dinasnya yang dibangun oleh yayasan karena alasan pekerjaannya. Dalam satu keluarga batih, ibu dan suami serta anak-anaknya tinggal dalam rumah tersebut. Mereka yang menempati rumah tersebut pada dasar telah banyak menerima perubahan. Sering berpergian ke luar Wamena seperti ke

Jayapura untuk melanjutkan studinya ke jenjang sarjana ikut mendorongnya menerima berbagai perubahan. Begitu juga anak-anaknya

250

yang melanjutkan studi di Uncen Jayapura. Perubahan-perubahan tersebut nantinya akan mempengaruhi gaya hidupnya. Seperti saat berkunjung ke rumahnya, terdengar suara tape dengan lagu-lagu pop daerah Papua.

Suasana ini jarang terdengan bila berada di beberapa perkampungan bahkan di daerah kota distrik. Beberapa alat elektronik lainnya juga terlihat seperti televisi dan VCD. Alat -alat dapur juga cukup bervariasi. Hal seperti ini jarang terlihat pada warga yang menempati silimo. Berikut di bawah ini gambar rumah tersebut

Gambar 6.12 Rumah Modern : Rumah Guru SD YPPK St. Antonius di Kurulu

Terlihat bangunan rumah berdinding papan dengan berjendela dan ventilasi biasa disebut warga dengan istilah “rumah sehat” sebagai simbol penerimaan unsur budaya baru namun dibalik itu terlihat juga unsur tradisonal yaitu adanya pagar kayu dengan pintu atau gapura masuk yang ditata secara tradiosnal pula. Pagar dan pintu masuk tersebut adalah salah

251

satu unsur atau bagian terpenting dalam suatu silimo yang disimbolkan sebagai kaki manusia. Di depan pintu masuk tersebut terlihat adanya meja ukuran kecil yang biasanya dipakai untuk berjualan beberapa jenis makanan (kue, buah-buahan) atau rokok.

Jelas terlihat bahwa motivasi warga menempati rumah modern karena terdapat dalam diri mereka berbagai sentuhan perubahan. Perubahan untuk beradaptasi dengan lingkungan pekerjaan yang baru, dan atau beradaptasi dengan lingkungan sosial yang baru dan juga beradaptasi dengan berbagai arus modernisasi yang dapat mempertemukan seseorang atau masyarakat dengan bentuk-bentuk kebudayaan materi yang tidak hanya memiliki nilai fungsi tetapi juga tersirat makna simbolik bagi seseorang yang berhasil memilikinya.

Kedua, Gambaran Rumah Modern di Wamena. Orang Kurulu tidak hanya bermukim di lingkungan asalnya (Kurulu) tetapi mereka juga ada yang menetap di Wamena. Memang jarak kedua wilayah tersebut tidaklah berjauhan, hanya dengan jarak tempuh kira-kira 30 menit jika ditempuh kendaraan. Namun berada pada lingkungan yang baru dan berhadapan dengan berbagai masyarakat dengan berbagai latar belakang sosial budaya dan kepentingan yang berbeda akan mempengaruhi seseorang atau kelompok masyarakat untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan baru tersebut.

Dari hasil penelitian terlihat bahwa ada beberapa rumah modern atau yang lebih dikenal dengan istilah “rumah batu” atau “rumah papan” milik

252

warga Kurulu yang telah hidup dan menetap di Wamena. Mereka ini adalah masyarakat yang secara budaya masih dapat dikatakan sebagai hidup dalam lingkaran kebudayaan generik-nya. Namun faktor mobilitasasi warga yang tinggi serta dampak dari proses mobilisasi tersebut menyebabkan mereka batas-batas sosial dan kebudayaannya telah mengabur karena mereka hidup di tempat yang baru dengan latar sosial budaya yang berbeda. Dalam kondisi ini mereka tidak serta merta meninggalkan kebudayaan generik-nya, di satu sisi keberadaannya di lingkungan yang baru mengharuskan-nya untuk menyesuaikan diri secara terus menerus agar dapat menjadi bagian dari sistem sosial budaya yang baru.

Sebaliknya di sisi yang lain identitas asal yang telah menjadi bagian sejarah kehidupannya tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Bahkan, kebudayaan asal menjadi pedoman dalam kehidupan di tempat dengan lingkungan sosial budaya yang baru.

Salah satu data yang dapat memperlihatkan kondisi yang disebutkan di atas adalah dapat di terlihat dalam kehidupan Bapak LM. Bersama keluarganya dari perkawinan poligini, mereka bermukim dan tinggal dalam sebuah rumah batu yang dibangunnya tahun 2007. Bapak LMl adalah seorang sarjana, alumni FISIP Uncen tahun 2002 bekerja sebagai PNS di kabupaten Yalimo. Sebelumnya, sempat menjadi anggota legislatif kabupten Jayawijya selama satu periode. Istri pertama dan kedua adalah perempun Dani asal lembah Baliem yang juga telah menyandang gelas

253

keserjanaannya. Bersama ke-7 orang anaknya, bapak LM dank e-2 istrinya tinggal dalam rumah batu tersebut.

Sebagai orang Dani asal Kurulu, yang frekwensi mobilitasnya tinggi serta pernah bermigrasi ke Jayapura untuk menempuh kuliah pastilah telah banyak beradaptasi dengan nilai budaya baru, dan bentuk-bentuk ekspresi diri yang berbeda pula. Hal ini dapat diperlihatkannya lewat konstruksi rumah batu-nya sebagai mode ekspresi diri terhadap kebudayaannya di lingkungan yang baru. Tepat di jalan JB Wenas, rumah tersebut dibangun.

Konstruksi bangunannya serta penataan lingkungan rumahnya telah merepresentasikan nilai-nilai kebudayaan generik-nya. Seperti terlihat pada gambar rumah tersebut di bawah ini.

Gambar 6.13 Rumah Modern : Pola Hunian Keluarga Batih Poligini Sebagai Bentuk Adaptasi di Lingkungan Sosial Budaya yang Baru

Tampak pada gambar 6.12 di atas adalah bentuk rumah batu yang di miliki keluara bapak LM. Konstruksi bangunan rumah tersebut terdiri dari 3

254

bagian yaitu bagian pertama adalah rumah laki-laki. Bagian ini adalah milik suami sebagai kepala keluarga, fungsinya hampir sama seperti bangunan pilamo dalam suatu pemukiman tradisonal orang Dani (silimo). Pada bangunan ini difungsikan Bapak LM untuk bekerja dan berdiskusi atau rapat dengan kerabat atau rekan kerja dan juga sebagai tempat menerima tamu-tamunya. Bangunan ini juga difungsikan sebagai kantor Yayasannya yang bergerak dalam Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat. Selain itu juga dijadikan sebagai sekretariat Pemekaran wilayah kabupaten baru yaitu kabupaten “Okika” yang berpusat di Kurulu. Dari ruangan ini dia dapat berkunjung ke rumah kedua istrinya yang berada pada sisi kiri dan kanan dari rumah utamanya. Bentuk rumah laki-laki (kepala keluarga) lebih besar dibanding dari rumah perempuan (istri). Hal ini sama seperti konsep bangunan pilamo dan ebe-ai pada suatu silimo. Namun dalam pada bangunan rumah batu ini, konstruksinya berbeda, ide dan gagasan pemilik rumah menatanya sama seperti bentuk rumah sehat lainnya. Artinya, masing-masing rumah perempuan (istri) terdiri dari ruang tamu, dua kamar tidur, ruang makan dan ruang keluarga dan dilengkapi dapur dan kamar mandi (WC). Pada bangunan ini juga terdapat satu dapur tradisonal

(hunila) yang bentuknya panjang dan terletak di bagian belakang rumah batu tersebut. Penataan model bangunan seperti ini berimplikasi pada pemanfaatan ruang dengan pembagian peran-peran dan jenis aktifitas yang telah dipetakan berdasarkan dikotomi tradisonal dan modern. Seperti terlihat dapur, ada dapur yang menjadi bagian dari konstruksi rumah batu

255

yang dimanfaatkan untuk mengolah bahan makanan yang cara modern.

Sebaliknya dapur tradisonal (hunila) yang berada secara terpisah dari bangunan rumah batu tersebut. Hunila tersebut dibagi dua ruang yang diberi dinding papan. Masing-masing istri mengelolah dapurnya untuk kebutuhan keluarganya. Menurut salah saorang istri (WM), dapur (hunila) tersebut biasanya dipakai untuk membakar ubi jalar (hipere) yang biasanya dikonsumsi kerabatnya atau untuk mengantisipasi berkurangnya minyak tanah yang dipakai sebagai bahan bakar untuk mengolah makanan di dapur rumah batunya. Hunila ini juga biasa di pakai untuk mengolah bahan makanan untuk ternak babi yang dipeliharanya. Berikut di bawah ini adalah gambar hunila yang merupakan di halaman rumah keluaraga Bapak LM.

Gambar 6.14

Dapur Tradisonal (Hunila) di Halaman Belakang Rumah Batu

Ciri-ciri lain dari unsur silimo yang diadopsi ke dalam bangunan ini adalah halaman tengah silimo (bakte) yang biasanya sebagai tempat upacara atau tempat berkumpulnya keluarga dalam acara-acara khusus

256

(makan bersama, rapat/musyawarah). Bangunan ini terletak di sebelah kiri dari bagian depan rumah batu ini. Begitu juga ada terdapat kebun (okutlu) di depan rumah yang ditanami ubi jalar dan jagung. Kebun ini tidak hanya dikelolah oleh para istri tetapi biasa dikerjakan juga oleh kaum perempuan lainnya yang memiliki hubungan keluarga, seperti saudara sepupuh, mertua, saudara perempuan dari ayahnya dan ibunya dan saudara perempuan dari suaminya. Hasil panen kebun tersebut biasanya untuk dikonsumsi keluarga sendiri.

Gambar 6.15 Gambar 6.16 Halaman Tengah (Bakte) Kebun (Okutlu) dan Pagar (Leget)

Menurut Bapak LM bahwa rumah ini adalah proses perwujudan impiannya dalam mengumpulkan seluruh anggota keluarga batihnya. Salah satu nilai budaya yang diwariskan oleh leluhur kami adalah membangun kebersamaan di antara anggota kerabat dalam keluarga batih dan keluarga luas dalam suatu hunian (silimo). Sebelumnya, kedua istri dan keluarganya tinggal dalam rumah yang terpisah, setelah cukup dana maka rumah 257

tersebut dibangun dan keluarganya dapat hidup bersama. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang istrinya Ibu RM bahwa :

“…. kami orang Dani Lembah sudah diajarkan oleh leluhur kami untuk tinggal dan hidup bersama. Kalau dulu dalam tradisi kita tinggal dalam satu silimo. Semua istri-istri disatukan tidak tinggal terpisah dalam silimo yang lain. Seorang suami bertanggung jawab untuk mengumpulkan istri dan anak-anak dan hidup bersama. Suami bertanggung jawab menjaga dan melindungi anggota keluarganya, oleh karena itu sebagai bentuk tanggung jawabnya adalah memberi perlindungan dan keamanan dalam rumah tempat tinggalnya, atau di sekitar kebun-kebun tempat kerja istri dan anak-anaknya. Karena itu, bapak bangun rumah ini untuk kita hidup bersama-sama.” (RM, Wamena, 23 April 2015)

Implikasi dari bentuk tersebut adalah ada aktivitas atau peran dari anggota keluarga yang masih menjalankan aktivitas tradisonal dan ada juga aktivitas-aktivitas baru. Masyarakat dengan mudah memetakan peran- perannya sesuai dengan bentuk-bentuk aktivitas. Aktivitas yang berhubungan dengan peran laki-laki dilakukan di rumah laki-laki yaitu ruang yang dihuni oleh Bapak LM selaku kepala keluarga sebaliknya, aktivitas yang berhubungan dengan peran perempuan (istri) biasanya dilakukan di ruang hunian istri dan anak-anak yang terletak di sebelah kiri dan kanan dari ruang laki-laki. Ke-2 istri selain memiliki aktivitas tradisonal seperti berkebun dan beternak babi yang biasanya juga dikerjakan oleh kerabatnya, mereka berdua juga punyai bentuk aktivitas yang baru. Istri ke-

2 yaitu Ibu RM daalah seorang sarjana ekonomi, ia bekerja adalah sebagai

Pegawai Negeri Sipil di kabupaten Yalimo.

Berbeda dengan ibu RM, ibu MM (istri ke-2) adalah seorang sarjana sosial yang kesehariannya ia mengelolah usaha cetak batu bata yang

258

biasanya dijual kepada masyarakat atau dibutuhkan oleh beberapa CV yang menjalankan proyek-proyek pembangunan di kota Wamena. Ibu MM juga memiliki suatu badan usaha yaitu CV yang berkategori greet 2, yang menangani proyek atau kegiatan pemerintah di bawah jumlah 1 milyar rupiah. CV yang bernama “Wiolani” ini didirikannya pada tahun 2005.

Hingga kini CV tersebut masih diberjalan dibawah pimpinannya. Dalam menjalankan usahanya ini, dia juga mempekerjakan beberapa karyawan laki-laki maupun perempuan terutama dalam memproduksi batu bata.

Walaupun ke-2 istrinya mempunyai pekerjaan yang mapan tetapi bapak LM, tetap memiliki tanggung jawab sebagai kepala keluarga untuk menjamin kesejahteran keluarganya. Pekerjaannya sebagai PNS di kabupaten Yilimo mengharuskannya untuk tidak menetap setiap saat dengan keluargnya. Jika ada waktu libur, atau ada urusan pekerjaan di kota Wamena maka ia dapat bertemu dan berkumpul dengan keluarganya.

Seperti yang diungkapkan bapak LM di bawah ini :

“…kalau dulu sebelum jadi Pegawai, kami tinggal bersama di Wamena tetapi setelah saya kerja di Yalimo sejak tahun 2009, keluarga dari istri pertama tinggal di Wamena, di rumah ini (rumah batu). Istri kedua, kerja juga di Yalimo, kami tinggal bersama. Walaupun terpisah, tetapi dalam seminggu atau sebulan biasa saya bertemu dengan anak-anak dan istri. Karena kami punya kendaraan sendiri, sehingga dapat mudah bolak-balik Wamena dan tempat tugas. Kalau tidak sempat pulang, saya selalu telpon mengecek keberadaan keluarga, pekerjaan dan usaha dari istri. Biasanya kalau ada masalah, saya langsung pulang ke Wamena. Saya harus kerja karena harus bertanggung jawab untuk keluarga, walaupun istri ada punya penghasilan. Kami orang Dani di sini, bukan hidup untuk anak istri saja tetapi juga untuk keluarga besar, jadi perlu kerja” (Wamena, 27 November 2014)

259

Dalam struktur msyarakat Dani di Kurulu, LB adalah salah seorang keturunan langsung dari kepala suku besar Dani, yang saat ini dijabat oleh

Bapak Yali Mabel. Mereka adalah keturunan langsung dari seorang Wim motok Mabel16, leluhur orang Dani yang diawetkan dan dijadikan mumi.

Dalam kehidupan sehari-hari, mereka bertanggungjawab akan segala aktifitas masyarakat yang berkaitan dengan “kesuburan”. Oleh sebab itu,

Bapak LM, selalu memperlihatkan loyalitasnya kepada warganya dalam hal-hal yang berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat.

Berbeda dengan konstruksi bangunan rumah batu dari bapak LM, seorang bapak asal Kurulu, yaitu HD adalah Pegawai Negeri Sipil di kantor bupati Jayawijaya. Ia memiliki keluarga dari perkawinan poligini, tetapi kedua istrinya tidak tidak bersama. Istri pertama bersama 2 orang anaknya tinggal di rumah lama atau rumah pertama milik suaminya. Konstruksi rumah modern, yang terdiri dari ruang tamu, ruang keluarga dan 2 kamar tidur dan dapur merupakan pilihan tempat tinggalnya sewaktu berada di

Wamena. Istri pertama juga seorang PNS. Suaminya sekarang tinggal dengan istri ke-2 di kompleks perumahan Pemda di Wamena. Walaupun demikian suaminya masih bertanggung jawab atas kedua istri dan keluarganya. Seperti yang dikatakan oleh bapak HD bahwa :

16 Dari keturunannya ini, juga ada seorang Mabel yang terkenal dalam medan perang, yaitu Kur Mabel. Sebagai pemimpin dari aliansi Kurulu yang pada masanya, aliansi ini diperkuat oleh 11 pasangan klen, suatu jumlah yang paling besar bila dibanding dengan aliansi lainnya di Lembah Baliem. Salah satu konfederasi dari aliansi ini yang terkuat dan jumlah warganya besar adalah konfederasi Logo-Mabel (Koentjaraningrat 2003:272)

260

“….kedua istri tidak mau tinggal bersama, istri pertama tinggal di rumah dinas saya yang pertama, sedangkan saya tinggal bersama istri kedua di rumah dinasnya. Istri saya kerja di Pemda juga. Walaupun, kami terpisah tetapi saya selalu berkunjung ke rumah istri pertama. Untuk memastikan keadaannya, untuk mengecek kebutuhan anak-anak. Saya diberi fasilitas kantor, mobil untuk membantu pekerjaan saya, sehingga dengan mudah saya berkunjung ke rumah istri dan anak-anak..” (Wamena, 17 April 2015)

Ada juga beberapa warga Dani asal Kurulu, yang tinggal dan menetap di Wamena. Mereka ada yang berprofesi sebagai guru di SMU,

Perawat di Rumah Sakit Daerah, PNS di Pemda, Pensiunan tentara, anggota legislatif di kabupaten Jayawijaya. Pada umumnya, mereka tinggal di rumah dinas yang disiapkan oleh pemerintah. Berdasarkan data penelitian, mereka adalah keluarga batih monogami. Rumah yang ditempati adalah bentuk rumah modern seperti beberapa keluarga yang sudah disebutkan di atas. Mereka yang menempati rumah-rumah tersebut pada umumnya sudah diperkenalkan dengan barang-barang modern seperti alat-alat dapur, barang-barang elektronik, hingga memiliki kendaraan pribadi maupun kendaraan dinas baik roda dua maunpun kendaraan roda empat. Perilaku dan pola berpikirpun berubah. Mereka bekerja tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan makan-minum sehari-hari tetapi sebagian dana dari penghasilannya disisihkan utuk kebutuhan anak- anaknya yang besekolah atau berkuliah di Jayapura bahkan di luar Papua.

6.2.2 Berladang Tradisonal dan Usaha Ekonomi Produktif

Berkebun atau berladang tradisonal merupakan mata pencaharian hidup orang Dani yang dapat kita temukan hingga saat ini. Aktivitas ini merupakan seperangkat sistem pengetahuan dan tindakan masyarakat

261

telah berlangsung lama dan diwariskan secara turun temurun oleh leluhurnya. Seperti yang telah dijelaskan di bab sebelumnya bahwa, kebun-kebun tradisonal mereka yang ditumbuhi oleh berbagai jenis ubi jalar. Seorang istri biasanya mengerjakan 2 hingga 3 lahan kebun, yang biasanya mereka sebut “kebun baru”, untuk lahan kebun yang baru di buka atau ditanam dan “kebun tua”, lahan kebun yang sudah siap dipanen.

Untuk masing-masing kebun dikerjakan bersama anggota kerabat keluarga batih atau keluarga luas. Sistem pembagian kerja dalam berkebun atau berladang dibagi berdasarkan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan).

Untuk penjelasan ini dapat dibaca pada bab IV. Tugas laki-laki secara tradisonal tampak pada saat kebun baru mulai dibuka. Laki-laki yang dinilai memiliki kemampuan untuk menebang pohon, membuat pagar dan parit biasanya mengerjakan semuanya diawal pengerjaan kebun. Perempuan mulai pekerjaannya pada tahap penanaman, perawatan hingga memanen hasil kebun. Sepanjang perempuan (istri) menjalankan tugasnya di kebun, laki-laki (suami) biasanya menemani atau menjaga istrinya. Perbedaan atau pembagian tugas seperti ini merupakan tradisi masyarakat yang berasal mitologi “Naruekul” dan sistem pengetahuan kosmologi dari telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Dani hingga saat ini. Menurut mitologi tersebut, dari tubuh “Naruekul” yang dibunuh oleh kelompok laki- laki telah menjelma menjadi beberapa tanaman tradisonal seperti ubi jalar, tebu merah, buah merah, dan pisang, serta matahari dipahami sebagai lemak Naruekul yang terpancar ke langit, dan jadilah matahari. (Mulait dan

262

Alua, 2003 : 57-58). Pandangan terhadap mitos tersebut, yang mengharuskan perempuan untuk untuk mengerjakan tugas-tugas tersebut. karena perempuan simbol kesuburan. Berbeda dengan laki-laki, dalam pandangan kosmologi, mereke berperan dalam hal-hal yang berhubungan dengan keamanan warganya serta melaksanakan ritual-ritual.

Kondisi masyarakat Dani saat ini mulai berubah. Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa dihilangkankan “budaya perang” serta hadirnya lembaga-lembaga keamanan dan keagamaan di tengah-tengah masyarakat menyebabkan tugas laki-laki mengalami “kekosongan”.

Mereka hanya terlibat aktif saat kebun mulai dibuka yaitu membuat pagar dan parit, setelah itu selama perempuan mengerjakan tugasnya, laki-laki

(suami) tidak lagi ikut membantu. Begitu juga saat memanen dan membawa hasil panen untuk dijual di pasar, laki-laki tidak terlibat dalam aktivitas tersebut. Tidak terlibatnya laki-laki (suami) dalam aktivitas tersebut, disadari oleh perempuan (istri) sebagai konsekuensi budaya yang diterima oleh perempuan. Perempuan (istri) harus bekerja, agar mereka terhindar dari istilah kepu atau gepu yaitu stigma masyarakat diberikan bagi perempun yang malas kerja kebun, bodoh, miskin. Mereka tetap harus bekerja kebun dan merawat ternak babi, dan menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi untuk menghidupkan anggota keluarganya dan terlebih dari itu untuk memberikan atau meningkatkan “status” atau “kehormatan” suaminya. Ada juga ungkapan-ungkapan tradisonal yang turut yang mendorong perempuan untuk terus bekerja dalam mensejahterakan

263

keluarganya yaitu, hipit (perempuan sebagai sandaran hidup); inomaken

(perempuan sebagai akar yang menopang); dan inamukareke (perempuan adalah daya, kekuatan hidup). Ungkapan tersebut menambah ketabahan dan terus perjuang dalam memberi kehidupan keluarganya.

Bagi laki-laki Dani saat ini, yang tidak sering terlibat dalam aktivitas tersebut menganggap salah dan melanggar adat jika mereka melakukan aktivitas berladang tradisonal. Kehidupan mereka telah diatur oleh budaya bahwa urusan-urusan yang berkaitan dengan perang dan ritual perdamaian/penyembuhan merupakan tugas laki-laki. Sebaliknya, urusan kesuburan adalah urusan perempuan. Prinsip inilah yang dipegang dan dijalankan oleh laki-laki (suami) dan perempuan (istri)

Namun dengan masuknya berbagai perubahan dalam kehidupan masyarakat Dani maka terlihat adanya perubahandalam pola pikir dan perilaku masyarakat. Perubahan-perubahan yang berkaitan dengan aktivitas berladang dapat dilihat dengan diperkenalkannya pola bercocok tanam padi. Aktivitas bersawah, terutama sawah rawa pertama kali diperkenalkan oleh petani asal Toraja pada tahun 1976. Selanjutnya, hingga tahun 1984, beberapa orang Dani terutama laki-laki mulai aktif dalam mengerjakan sawah tersebut. Hingga kini, banyak laki-laki (suami) yang terlibat dalam kelompok-kelompok kerja tani yang mengerjakan sawah.

264

Gambar 6.17 Gambar 6.18 Sawah : Aktivitas baru Laki-laki Hasil Sawah siap dipanen Dani

Keterlibatan laki-laki (suami) dalam aktivitas bersawah ini diungkapkan oleh Bapak LO bahwa :

“…laki-laki di sini banyak yang tidak punya pekerjaan tetap, ada beberapa yang sudah jadi PNS, atau anggota DPR, tentara dan polisi juga tapi karena mereka sudah sekolah tinggi. Sedangkan yang tidak kerja ini bukan karena mereka malas, tapi pekerjaan yang ada dalam kampung ini sudah diatur oleh nenek moyang, kita tidak boleh sembarang langgar, karena nanti ada sangsi adatnya. Tapi sekarang ada penanaman padi ini, maka kami laki-laki bekerja sama membuka sawah-sawah, kita juga bisa menanam bersama istri dan anak-anak perempuan hingga sampai padi sudah masak, kami semua rame- rema potong dan bawah giling di rumah penggilingan padi. kami bisa lakukan ini karena tanaman padi ini adalah tanaman baru yang masuk dalam lingkungan kami, jadi kami berani untuk kerja.” (Pike, 22 April 2015)

Kutipan di atas menjelaskn bahwa saat ini, laki-laki Dani sudah mulai terlibat dalam aktivitas bercocok tanam. Mereka terlibat langsung dalam mengerjakan kolam sawah, menanam, merawat hingga memanen.

Aktivitas bersawah yang dilakukan ini dikerjakan dalam bentuk kelompok- kelompok kerja tani yang dibentuk dan langsung ditangani oleh Dinas

265

Pertanian di kabupaten Jayawijaya. Menurut Ibu LO, biasanya hasil panen dijual dan hasilnya dibagi rata kepada anggota-anggota kelompok tersebut.

Ada jenis berkebun lainnya yang dilakaukan oleh laki-laki juga, seperti menanam dan merawat tanaman kopi, hingga mengolahnya menjadi serbuk kopi. Pekerjaan ini dilakukan oleh laki-laki seperti yang terlihat di silimo bapak YM. Menurut Bapak YM, kopi adalah tanaman baru sehingga ia bisa terlibat langsung dalam pengolah tanaman kopi tersebut.

Sebaliknya, perempuan tidak terlibat. Namun jika, laki-laki (suami) meminta atau mengijinkan mereka untuk terlibat, biasanya mereka bisa turut melaksanakannya. Budidaya kopi di Kurulu, khususnya di kampung Waga- waga merupakan salah satu bentuk intervensi pembangunan lewat program pemerintah yaitu Pemberdayaan Masyarakat Kampung. Lewat program tersebut, tahun 2007 pemeritah mendirikan pabrik penggilingan kopi. Adanya program tersebut, agar dapat memperbaiki kesejahteraan rakyat.

Bentuk keterlibatan laki-laki (suami) dalam bercocok tanam juga, diuangkapkan oleh bapak Isay Itlay . Bahwa pada tahun 2007, ia mulai mengembangkan budidaya buah naga yang semula hanya 10 bibit pohon, namun sekarang sudah berkembang hingga 500 pohon dan 1500 lagi masih dalam pembibitan. Menurutnya, usaha budidaya buah naga tersebut dilakukan lewat program Dana Respek dan Bangdes yang diterima langsung oleh masyarakat desa Siep kosi.

266

Secara tradisonal, laki-laki memiliki tugas dan peran yang bersifat ekternal dan berlangsung dalam ruang publik, hal ini lah yang memungkinkan laki-laki- dengan mudah mengakses program-program dari pemerintah. Menurut ibu Dabi di kampung Kumima, Kurulu, bahwa :

“…ada beberapa cara untuk mendapat program pengembangan ekonomi masyarakat dari luar (pemerintah atau swasta) tapi kami perempuan tidak bisa lakukan itu, kami biasa dengar dari laki-laki saja, karena laki-laki yang biasa bertemu dengan pemerintah. Kalau ada program untuk kami perempuan maka kami akan kerjakan seperti yang sekarang ini kami lakukan. kami bentuk kelompok kerja petani perempuan, kami tanam kacang tanah, kami juga diajarkan cara pembuat selei kacang. Hasil kami jual dan uangnya kami simpan di Bank BRI. Biasanya, uang tersebut kami pakai untuk modal lagi membuat kebun kacang yang baru bagi kelompok mama-mama yang lain. Kami sudah mendapatkan manfaatnya, untuk biaya sekolah anak dan belanja barang-barang kebutuhan rumah tangga kami”. (Kumima, 28 November 2014)

Kutipan di atas memperlihatkan peran laki-laki yang biasa mengadakan kontak dengan orang luar (pemerintah) untuk membangun hubungan/kerja sama. Perempuan (istri) secara tradisonal, berperan dalam tugas-tugas domestik dan bersifat internal. Oleh sebab itu, mereka lebih masih banyak terlibat dalam aktivitas budaya seperti berkebun tradisonal atau beternak hewan babi.

Berbeda dengan beberapa perempuan Dani lainnya, tidak hanya mengelolah kebun tradisonal tetapi mereka sudah memiliki pekerjaan forman lainnya seperti Pegawai Negeri Sipil di Pemda Kabupaten

Jayawijaya, ada yang berprofesi sebagai guru, perawat, bahkan juga pengusaha. Seperti yang tampak pada ke-2 istri dari bapak LM, yang diuraikan di atas. Sebagai seorang pengusaha batu bata, ia masih tetap

267

mengerjakan aktivitas berladang tradisonal dan memelihara ternak babi.

Hal ini terlihat pada halaman depan rumahnya yang dijadikan kebun ubi jalar.

Gambar 6.19 Gambar 6.20 Mesin Olahan Batu Bata Hasil Olahan Batu Bata yang siap dijual

Gambar di atas menjelaskan bahwa aktivitas sehari-hari ibu MM (istri LM) adalah mengordinir karyawannya untuk memperoduksi batu bata. Selain pekerjan tersebut, ibu MM juga mengelolah CV-nya. (Penjelasan tersebut ada di sub bab, Rumah Modern di bab VI). Perempuan Dani biasanya tidak hanya mengerjakan satu jenis pekerjaan, tetapi bisa lebih dari 2 jenis pekerjaan. Artinya bahwa jika mereka sudah memiliki pekerjaan tetap sebagai PNS atau pengusaha tetapi aktivitas adat lainnya bisanya masih dilakukan. Hal ini yang biasanya diungkapkan dalam istilah, humi-humiat, artinya perempuan, ya tetap perempuan. Perempuan harus menunjukan ketaatan dan ketekunannya dalam lingkaran adat. Harus menyesuaikan diri terhadap status dan peranan laki-laki (suami), hal ini dapat terlihat jelas jika

268

suami memiliki atau menduduki peran tertentu dalh struktur adat. Seperti yang terlihat pada bapak LM yang saat ini berperang sebagai fungsionaris atau pemegang adat kesuburan dalam struktur adat orang Dani.

269

BAB VII

REPRODUKSI SIMBOLIK INOM : MEMAHAMI

KEBERADAAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DALAM

STRUKTUR BUDAYA ORANG DANI

Jauh sebelum adanya kontak orang Dani terhadap dunia luar, masyarakat Dani hidup berdasarkan tatanan budayanya. Tatanan budaya yang tampak dalam struktur budaya orang Dani memperlihatkan adanya nilai kebersamaan antara laki-laki dan perempuan Dani sebagai pendukung kebudayaannya. Antara laki-laki dan perempuan mengetahui dengan persis peran dan posisi sosialnya dalam hidup bermasyarakat.

Peran dan posisi antara laki-laki dan perempuan Dani juga dapat dipahami lewat simbol-simbol budaya yang bersifat materi, atau berbentuk pola tindakan bahkan juga simbol-simbol yang berkaitan dengan unsur- unsur non materi seperti nilai-nilai budaya, keyakinan, norma-norma, pandangan hidup dan sebagainya. Simbol-simbol tersebut membentuk struktur dalam ruang-ruang budaya masyarakat Dani.

Simbol-simbol tersebut menjadi penanda dan pembeda antara laki- laki dan perempuan Dani dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

Menurut Alua A (2003), perbedaan peran atau posisi laki-laki dan perempuan dalam kebudayaan Dani sebenarnya tidak berdampak negatif bagi salah satu pihak melainkan menjadi kekuatan untuk saling mengisi,

270 saling melengkapi, saling berbagi dan sebagainya dan bertujuan menciptakan keharmonisan dalam hidup berkelompok.

Belakangan kondisi ini mulai berubah. Pergeseran budaya dalam kehidupan masyarakat Dani di Lembah (Kurulu) mulai tampak sejak adanya kontak dengan dunia luar (para missionaris Eropa dan

Pemerintahan Belanda) hingga kehadiran Pemerintah Indonesia sejak tahun 1963 hingga kini. Praktek-praktek budaya yang bertolak belakang dengan kehidupan masyarakat dilarang oleh pemerintah dan lembaga gereja, contohnya seperti “perang adat” yang dilakukan dalam kelompok- kelompok adat yang ditetapkan sebagai musuh abadi. Selanjutnya dalam proses pembangunan, terbukanya jalur transportasi dan masuknya arus informasi berdampak pada munculnya simbol-simbol baru dalam struktur budaya orang Dani. Menurut Bourdiue (1977), dalam proses konstruksi budaya atau pembentukan simbol-simbol baru dalam masyarakat maka keterlibatan si “subyek” sangatlah dominan. Dalam konteks ini, bukan saja simbol-simbol budaya yang membentuk partisipan (laki-laki dan perempuan Dani) melainkan partisipan secara aktif membentuk kebudayaannya. Kondisi ini yang saya sebutkan dengan “reproduksi simbolik inom terhadap struktur-struktur ruang budaya yang ditempati laki- laki dan perempuan Dani.

Lewat kerangka pemikiran Bourdieu mengenai practice, kajian reproduksi simbolik inom ini dilakukan untuk memahami ruang sosial dimana individu laki-laki dan perempuan saling berinteraksi dan

271 menghasilkan tindakan-tindakan sesuai dengan ranah dan modal yang dimiliki. Ranah sosial silimo dan ranah aktivitas ekonomi adalah fokus saya melihat bagaimana agen dan struktur atau habitusnya dan ranah terdapat suatu proses dialektika secara terus-menerus.

7.1 Ranah Sosial Silimo

Silimo sebagai model hunian tradisonal masyarakat Dani telah terbentuk sekian lama dan diwariskan secara turun-temurun dalam perjalanan sejarah kehidupan orang Dani. Terbentuknya silimo tersebut berdasarkan mitologi “naruekul”, seorang tokoh yang pernah hidup dalam sejarah orang Dani (penjelasan mitos tersebut dapat dibaca di bab IV).

Mithos tersebut selanjutnya menjadi dasar masyarakat membentuk dan menata silimo tersebut. Kebiasaan-kebiasaan individu yang tercermin dalam silimo dapat diasumsikan sebagai habitus.

Kebiasaan-kebiasaan yang berlangsung dalam penataan pola hunian bagi anggota keluarga, bentuk, posisi unit bangunan serta fungsinya diwariskan turun-temurun oleh leluhurnya. Kebiasaan- kebiasaan tersebut berisi sejumlah aturan, keyakinan, kepercayaan, nilai- nilai budaya yang menjadi blue print dalam melangsungkan kehidupan bersama dalam silimo. Berdasarkan fungsi bangunan dalam kesatuan unit ruang yang ada dalam kompleks silimo maka terdapat 3 bagian bangunan yaitu,1) kepala (pilamo) dan 2) kaki (mokarai) sebagai simbol keberadaan laki-laki; 3) badan (ebe-ai, hunila, wam dabu) sebagai simbol keberadaan perempuan.

272

Pilamo, adalah rumah khusus laki-laki yang disimbolkan sebagai ukul yang berarti kepala manusia (laki-laki). Dalam ruang silimo jumlah pilamo hanyalah satu tidak boleh lebih, Sama seperti kepala manusia. Dalam pilamo laki-laki berkumpul, merundingkan sesuatu, atau menghasilkan pikiran atau strategi dalam menata kehidupan anggota kelompoknya dalam menghadapi tantangan yang muncul dari lingkungan alam atau lingkungan sosialnya. Pilamo sebagai produk budaya yang menghadirkan simbol-simbol kekuatan laki-laki, kesakralan dan penghormatan terhadap leluhurnya. Perempuan tidak boleh bersentuhan dengan hal-hal yang ada di sekitar pilamo. Sebaliknya laki-laki juga tidak boleh mengerjakan apa yang menjadi tugas perempuan secara tradisi. Jika terjadi laki-laki mengerjakan pekerjaan perempuan seperti masak hipere, menggendong anak dengan noken atau memikul kayu bakar dikatakan akan berdampak buruk terhadap kehidupan laki-laki. Kekuatan dan keberanian laki-laki akan hilang. Perempuan sadar akan hal tersebut sehingga perempuan tidak mengijinkan laki-laki (suami) untuk mengerjakan hal-hal tersebut.

Perempuan (istri) juga tidak boleh masuk dalam pilamo atau sekitar halaman belakang pilamo, tempat keberadaan roh-roh leluhur. Tempat tersebut dianggap sakral dan tabu bagi perempuan. Dari dalam pilamo seperti yang diuraikan dalam ranah kosmologi, bahwa laki-laki mengawasi semua penghuni silimo. Mereka menjaga dan melindungi warganya saat di silimo maupun di kebun-kebun tempat istrinya bekerja.

273

Mokarai adalah pintu gerbang (pintu pagar) yang posisinya berhadapan langsung dengan pilamo. Mokarai ini menghubungan pagar luar (leget) yang mengelilingi silimo. Mokarai disimbolkan sebagai “kaki manusia”, yang berimplikasi pada tugas laki-laki, yaitu menjaga dan melindungi anggota warganya dalam silimo terhadap serangan musuh, baik musuh saat berperang maupun musuh yang yang dimaksudkan dengan gangguan roh-roh jahat (mogat).

Ebe atau badan manusia. Ebe terdiri ebe-ai, hunila, wamdabu dan okutlu merupakan simbol-simbol keberadaan perempuan. Bangunan atau ruang-ruang tersebut berimplikasi pada tugas-tugas perempuan. Ebe-ai adalah rumah khusus perempuan disimbolkan sebagai tangan kanan, artinya perempuan (istri) berperan dalam membantu suami serta menigkatkan status suami. Sedangkan hunila, wamdabu dan okutlu disimbolkan sebagai tangan kiri adalah bangunan atau ruang beraktifitasnya perempuan (istri) dalam mempertahankan hidup keluarga dan memperolah status dari banyaknya jumlah ternak. Penjelasan bagian ini dapat dibaca pada bab IV.

Masih berkaitan dengan keberadaan silimo ini, ada suatu konsep masyarakat yang terbangun dari sistem keyakinan dan sistem pengetahuan lokal masyarakat tentang keberadaan alam kosmologi.

Memahami sistem pengetahuan kosmologi orang Dani kita mendapat gambaran tentang peran dan tanggung jawab seorang laki-laki dan perempuan Dani. Secara tradisonal pengetahuan kosmologi orang Dani

274 memahami bulan dan bintang sebagai sosok laki-laki. Sebaliknya, matahari sebagai sosok perempuan.

Bulan sebagai simbol laki-laki. laki-laki memiliki tugas-tugas dalam bidang keamanan dan bidang religi (sistem kepercayan lokal). Berkaitan dengan tugas tersebut maka laki-laki harus dapat memperlihatkan peran dan tanggung jawabnya melindungi warganya dalam silimo atau dalam kampung (o ukul) atau konfederasinya dari ancaman serangan musuh

(musuh dalam berperang) dan musuh dalam arti “mogat” yaitu roh-roh jahat atau roh-roh orang meninggal terutama roh-toh dari kelompok musuh.

Dalam sistem pengetahuan kosmologi dan kepercayaan orang Dani, bahwa bulan dalam waktu-waktu tertentu memancarkan cahayanya dan saat itulah kaum lelaki biasanya menghabiskan waktu semalam untuk mengobrol, sambil berjaga-jaga, jika sewaktu-waktu ada ancaman dari musuh. Ini adalah tugas utama dari kaum lelaki memberi jaminan keamanan kepada anggota keluarganya. Tugas lelaki dalam memberi jaminan keamanan juga dilakukan pada siang hari saat istri-istrinya berkebun, biasanya mereka menemani selama berkebun. Tugas seperti ini terlihat juga pada saat istri-istri pergi ke kota, berjualan hasil kebunnya biasanya ditemani suaminya. Ini dapat diartikan juga sebagai fungsi keamanan yang diberikan suami kepada istrinya.

Bintang, juga disimbolkan sebagai laki-laki. Ada keyakinan orang

Dani bahwa di antara bintang-bintang yang bertaburan di langit atas, ada

275 salah satu bintang yang lebih besar dan ini dianggapnya sebagai “ap gotheg” atau seorang pemimpin. Salah satu kreteria seorang pemimpin dalam kebudayaan orang Dani di Kurulu adalah mempunyai pengaruh dan kemampuan tertentu yang besar dalam masyarakat , dalam terminology antropologi biasanya disebut dengan istilah “bigman”, jika seorang lelaki memiliki kemampuan dalam perang maka ia dapat dipilih menjadi seorang

“bigman war” (pemimpin dalam perang).

Matahari adalah sosok perempuan. Seperti yang dijelaskan bahwa tugas perempuan adalah bekerja dan bertanggungjawab memberi kesejahteraan dan penghidupan bagi anggota keluarganya. Seperti matahari, seorang perempuan bekerja dalam silimo, mengurus ternak babi, memeriksa kebun, merawat dan memanen hasil dari pagi, siang hingga sore kembali dalam silimo-nya. Perempuan (istri) tidak hanya bekerja untuk menghidupi keluarganya saja, tetapi juga menciptakan

“status” atau “prestise” dalam masyarakatnya. Keberhasilan perempuan dapat dilihat pada jumlah noken yang dipikul. Noken sebagai dompet perempuan adalah lambang kesuburan atau simbol keberhasilan seorang perempuan dalam dunia usahanya.

Pemahaman orang Dani sebagai pewaris budaya patriarki, meletakan posisi laki-laki seperti bulan dan bintang pada kedudukan yang tinggi. Lelaki memiliki peranan yang penting yaitu dalam bidang keamanan dan religi (sakral). Peranan dan tugas laki-laki ini didukung oleh kemampuan yang dikonstruksi masyarakat dan terekam dalam budayanya

276 bahwa laki-laki itu sosok manusia yang kuat secara fisik, berani, pintar, memiliki kemampuan mengendalikan kekuatan magik/kemampuan spiritual, mampu berdiplomasi, berelasi dengan dunia luar. Berdasarkan pada berbagai kemampuan tersebut maka secara struktur tradisonal dipetakan bahwa peran-peran atau pekerjaan yang sifatnya ekternal atau dalam ruang publik menjadi tugas laki-laki. Sebaliknya, peran-peran atau pekerjaan yang sifatnya internal atau dalam ruang domestik menjadi tugas perempuan.

Kondisi masyarakat Dani saat ini khususnya yang tampak dalam ranah sosial “silimo” memperlihatkan adanya pergeseran budaya orang

Dani. Ada perubahan pola-pola interaksi antar agen (laki-laki dan perempuan) yang menempati posisi-posisi dalam ranah sosial “silimo”.

Simbol-simbol baru sebagai hasil konstruksi budaya tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut di bawah ini.

7.1.1 Honai Tamu

Memasuki kampung sompaima Kurulu terdapat hunian tradisonal

(silimo). Silimo ini milik bapak Yonas Mabel yang selanjutnya saya menyebut bapak YM. Silimo bapak YM adalah silimo yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan mummi Wim Motok Mabel. Tampak silimo ini masih tertata secara tradisonal. Terdapat satu pilamo (rumah laki-laki) yang berhadapan langsung dengan mokarai ( pintu masuk ). Dari sisi kanan pilamo berjejer 4 buah ebe-ai (rumah perempuan) dan sisi kiri pilamo terdapat hunila (dapur). Pada samping dapur terdapat wamdabu

277

(kandang babi). Keseluruhan unit bangunan tersebut adalah rangkaian bangunan yang tertata menurut aturan budaya orang Dani.

Dari deretan bangunan tersebut ada terlihat juga satu bangunan yang tidak lazim berada di dalam kompleks silimo. Bangunan tersebut berbentuk honai tetapi berbeda ukuran dan berdaun-pintu. Dalam honai tersebut terdapat peralatan elektronik, perabot rumah tangga seperti kursi dan meja dan alat-alat masak elektronik dan wadah piring dan gelas.

Bangunan ini pun terletak di deretan bangunan ebe-ai. Kata Bapak YM, bangunan itu bernama, honai tamu tetapi ada juga yang menyebut ap hunila yang artinya “dapur laki-laki”. Selanjutnya Bapak YM menjelaskan kepada kami (saya dan 2 orang teman) katanya :

“….ada yang menyebut ap hunila atau dapur laki-kaki karena di honai ini kami (laki-laki) yang biasanya melayani tamu yang datang berkunjung. Honai ini punya kami laki-laki, karena kami laki-laki yang biasa terima tamu. Kalau mama-mama atau perempuan, biasa berdiri di luar atau duduk di dapur kalau ada tamu mereka terima di dapur. Tapi kalau kami (laki-laki) perlu bantuan mama, nanti kami minta mereka” (YM, 17 April 2015).

Sambil kami bercerita, bapak YM mengambil biji kopi dan menuju ke dapur utama (hunila) lalu menggoreng biji kopi yang selanjutnya dihaluskan dan dimasak untuk kami minum bersama. Saya memperhatikan dengan penuh rasa tanya, karena tidak biasanya laki-laki

Dani yang tinggal dalam silimo tradisonal bisa melakukan aktivitas seperti itu. Lalu saya bertanya tentang hal tersebut dan jawab bapak YM demikian :

“…kalau masak seperti ini (kopi) atau masak nasi bisa kerjakan tapi kalau masak hipere (ubi jalar) tidak boleh itu mama (perempuan)

278

yang kerjakan. Karena itu sudah diatur oleh adat. Sama seperti pakai noken di kepala juga tidak boleh, nanti kita laki-laki tidak kuat atau sakit-sakit”. (YM 17 April 2015)

Di dalam honai tamu tersebut mereka kaum bapak dan anak-anak laki-laki menerima kami, bercerita sambil menikmati kopi yang dihidangkan oleh Bapak YM. Tampak di rumah perempuan agak sepi, tetapi ada seorang perempuan yang sedang menjemur pakaian di pagar dalam dan lainnya kata Bapak YM, mereka sedang berkebun. Selanjutnya

Bapak YM menjelaskan tentang kondisi pilamo yang mereka tempati.

Menurutnya, pilamo hanya dimanfaatkan pada malam hari jika hendak tidur tetapi juga sebagai tempat mengobrol dengan para orang tua.

Mereka (laki-laki) juga memanfaatkan ruang pilamo sebagai tempat menyimpan benda-benda leluhur.

Perjalanan dan pertemuan saya dengan bapak YM menjelaskan bahwa ada pergeseran budaya dalam struktur ruang silimo. Simbol keberadaan laki-laki di pilamo dikonstruksi kembali lewat kehadiran honai tamu. Kehadiran honai tamu dalam struktur ruang silimo merupakan bentuk reproduksi simbolik dalam struktur inom. Tindakan laki-laki dalam mengelolah dan mempresepsikan honai tamu sebagai ruang sosial baru dianggap sebagai suatu kondisi yang wajar. Di sini habitus laki-laki dan modal yang dimiliki diperjuangkan untuk menghasilkan struktur yang baru dalam kehidupan sosialnya atau ranah sosial silimo.

Hadirnya honai tamu sebagai bentuk interaksi masyarakat dengan kebudayaan baru, maka masyarakat menegosiasikan simbol-simbol baru

279 dalam rangka kepentingan-nya (laki-laki) . Kehadiran honai tamu tersebut, sebagai bentuk strategi laki-laki untuk mengisi “kekosongan” peran laki- laki tidak tampak lagi seiring dengan dilarangkan “budaya perang”. Honai tamu ini juga sebagai bentuk strategi laki-laki untuk mendominasi peran- peran domestic yang selama ini menjadi tugas perempuan. agar tetap dapat memperlihatkan eksistensinya dalam realita kehidupan sosial masyarakat Dani. Di sini terlihat bahwa masyarkat Dani (laki-laki) mampu mengolah tatanan nilai budaya atau simbol budaya untuk kepentingan- nya. Jika pilamo tradisonal memiliki nilai kesakralan, maka honai tamu sebagai representasi pilamo dalam kebudayaan baru memiliki nilai-nilai profan.

Honai tamu berfungsi untuk menerima tamu-tamu yang datang mengunjungi silimo tradisonal. Secara tradisi, orang Dani memetakan tugas-tugas laki-laki dan perempuan dalam sisi yang berbeda. Laki-laki berperan dengan semua aktivitas publik dan yang bersifat ekternal sedangkan perempuan sebaliknya, berperan dalam aktivitas domestik dan bersifat internal. Sifat dan jangkauan kerja laki-laki dan perempuan sebagai agen dalam struktur obyektif ini merupakan modal simbolik dimiliki agen untuk berjuang bersama habitus dalam ranah sosial “silimo”.

Lewat proses reproduksi simbolik “pilamo”, orang Dani (laki-laki) melakukan penyegaran atas nilai-nilai budaya atau simbol-simbol budaya orang Dani yang “sempat” hilang dihasilkan kembali dalam konteks keseharian. Aktivitas keseharian ini merupakan pratik yang dalam

280 pengertin Bourdieu adalah rangkaian artikulsi habitus yang membentuk dan sekaligus menghidupkan identitas laki-laki yang disimbolkan dengan pilamo dalam struktur “inom”. Terciptanya praktik yang didorong oleh habitus tertentu oleh agen (laki-laki) tersebut merupakan proses reproduksi simbolik dalam struktur obyektif. Reproduksi ini berlangsung dalam kehidupan sehari-hari sehingga prosesnya berlangsung di luar kesadaran agen (laki-laki). Artinya, dalam konteks ini agen tidak melakukan refleksi dan evalusi atas keseluruhan tradisinya sebelum bertindak. Pratik berlangsung sebagai kebiasaan dari kehidupan sehari- hari agen (laki-laki).

7.1.2 Pondok Cenderamata

Masih berada dalam silimo yang sama yaitu silimo milik bapak YM, saya memperhatikan seorang ibu yang masuk ke dalam silimo sambil mengendong anaknya berjalan menuju suatu tempat di sudut bangunan pilimo. Perempuan setengah baya berdiri dan mengaitkan tali noken yang ditangannya di salah satu ruas kayu. Tempat di mana perempuan itu mengaitkan nokennya merupakan unit bangunan baru dalam struktur ruang silimo. Saya pun menuju tempat tersebut dan bercerita ringan dengan perempuan tersebut. Menurutnya, dia berasal dari kampung sebelah (kampung Jiwika) sering menjual hasil rajutan noken-nya di silimo bapak YM. Selanjutnya dia bercerita tentang kesehariannya, katanya :

“…kami perempuan di sini biasanya setiap hari kerja di kebun, kalau ada hasil kebun kami bawah ke pasar di kota (pasar Jibama) untuk jual. Sayur ubi jalar, kol, sawi putih, pisang, ubi jalar adalah jenis tanaman yang biasa kami jual di kota. Mama juga buat noken,

281

benang beli di pasar. Kalau selesai kerja kebun atau masak, mama kerja noken, ada juga mama bawa benang noken ke pasar. Kalau duduk jualan mama juga buat noken. Kami perempuan di sini harus tahu buat noken. Kalau dulu noken kami pakai untuk adat. Untuk hadiah kepada keluarga yang berduka, atau untuk anak perempuan yang mau menikah atau juga pakai untuk bayar denda. Sampai sekarang masih juga tapi banyak orang tidak buat noken biasanya mereka beli saja. Mama biasa buat noken untuk anak sekolah, untuk orang kerja juga noken yang besar untuk isi hasil kebun atau gendong anak bayi. Noken yang kecil untuk hape atau isi pinang atau rokok harganya 50 ribu rupiah, kalau untuk isi buku anak sekolah atau orang kantor 100 ribu sampe 200 ribu, yang paling besar 300 sampe 500 ribu rupiah. Sekarang ini mama selalu jual di sini saja (silimo bapak YM) karena selalu ada orang dari kota yang datang ke sini mereka selalu beli noken. Iya setiap hari pasti mama ada buat noken, karena di sini banyak yang datang dan senang beli noken.(Mama Sorabut, 17 April 2015)

Menurut Bapak Ananias Mabel (AM) salah seorang pengelolah silimo tersebut bahwa, unit bangunan baru sebagai tempat digelarnya barang- barang seni atau kerajinan tangan sebagai cendramata pengunjung tersebut disediakan bagi masyarakat yang ingin menjual benda-benda budaya tersebut kepada pengunjung. Diceritakan lagi oleh bapak AM bahwa :

“…tempat ini (pondok jualan cendramata) sebenarnya secara tradisi kami punya adat juga menyimpan benda-benda budaya tersebut dalam suatu tempat khusus di dalam pilamo. Benda-benda tersebut adalah benda-benda sakral milik anggota kerabat atau leluhur kami yang telah meninggal. Benda-benda terdiri dari kapak batu (ye) anak panah (sige), ikat kepala, kalung dari kerang-kerangan, yang diletakan dalam noken dan disimpan di rak kecil (hessik) dalam pilamo, posisinya berada tepat di tengah pilamo yang berhadapan dengan pintu, halaman dan mokarai (pintu gerbang). Dulu benda- benda tersebut tidak sembarang dijual, tapi sekarang masyarakat buat sendiri untuk dijual. Laki-laki biasanya buat koteka, panah, ikat kepala, gelang tangan untuk dijual. Kalau perempuan biasanya buat berbagai macam noken.

282

Benda-benda yang dijual adalah benda-benda yang berkaitan dengan identitasnya. Setiap tamu atau pengunjung yang datang biasanya membeli kerajinan tangan masyrakat Dani tersebut. Dari pertemuan saya dengan Mama Sorabut dan Bapak AM memperlihatkan adanya realita baru dalam struktur ruang silimo. Simbol-simbol dominan dari ruang silimo telah ditambah dengan struktur baru yaitu pondok cendramata. Struktur atau simbol baru ini adalah bentuk reproduksi simbolik inom dari struktur pilamo (hessik) dinegosiasikan masyarakat sebagai pondok cendramata yang tentunya memilki nilai makna yang berbeda . Hessik yang terdapat silimo adalah bersifat sakral, sebaliknya, benda-benda yang terdapat pondok cendramata adalah benda-benda yang memiliki nilai ekonomis.

Dalam ranah ini kemudian laki-laki dan perempuan yang menempati posisi-posisinya mengembangkan habitus-nya yaitu struktur tindakan untuk tetap memperjuangkan posisinya.

7.1.3 Pilamo Rumah Sehat

Dalam perjalanan ke kampung Kumima, saya menjumpai sebuah pola hunian silimo yang menempatkan rumah sehat sebagai bagian dari unit bangunan silimo. Rumah tersebut difungsikan seperti pilamo dalam struktur ruang silimo secara tradisonal. Bangunan rumah tersebut adalah bentuk intervensi pembangunan dalam lingkungan kompleks silimo.

Berkaitan dengan interaksi masyarakat dengan aktivitas baru dalam pemerintahan atau pihak swasta maka masyarakat menempatkan rumah sehat tersebut sebagai representasi pilamo dalam kebudayaan baru.

283

Rumah sehat yang difungsikan sebagai pilamo modern, adalah bentuk negosiasi budaya tradisonal dengan bentuk-bentuk aktivitas yang masuk sebagai produk kebudayaan baru. Menurut Bapak MD seperti yang diuraikan di Bab VI bahwa, ia memilih merubah pilamo tradisonal menjadi pilamo modern yang disebut selanjutnya dengan “pilamo rumah sehat” karena menurutnya tugas-tugas yang diebannya terasa efektif dijalankan di pilamo rumah sehat. Aktifitas baru sebagai koordinator dalam kelompok-kelompok kerja tani dan kelompok kerja perternakan membentuk dan mendorongnya selalu membangun relasi atau jaringan kerja dengan pihak luar baik pemerintah, gereja maupun lembaga- lembaga swasta.

Pilamo rumah sehat adalah simbol keberadaan laki-laki. Simbol yang mempertegaskan aktifitas baru muncul menggantikan peran tradisonal laki-laki yang “gemar” berperang, aktivitas baru yang menggantikan peran-peran religius lewat ritual-ritual kepada leluhur yang biasanya dilakukan di pilamo. Seiring dengan perubahan peran tersebut tanpa disadari, masyarakat (laki-laki) mereproduksi simbol-simbol ke-laki- laki-annya dalam bentuk budaya yang baru. Dengan modal simbolik, yaitu peran laki-laki di ruang publik dan juga modal sosial yaitu membangun jaringan sosail dengan pemerintah, agama dan LSM maka agen (laki-laki) mampu merebut sumber daya untuk menciptakan keberadaannya supaya tetap survive dalam masyarakatnya. Pilamo sebagai simbol laki-laki yang memiliki nilai-nilai kesakralan kini direproduksi sebagai pilamo modern

284 yang bersifat profan tetapi tanpa disadari merupakan bentuk strategi laki- laki untuk mendominasi berbagai bentuk sumber daya dalam ruang sosial baru. Simbol pilamo yang direproduksi dalam bentuk pilamo rumah sehat adalah adalah proses yang berlangsung di luar kesadaran agen (laki-laki) karena agen (laki-laki) tidak terlebih dahulu mengevaluasi keseluruhan tradisinya sebelum bertindak. Makna baru yang tersirat di balik reproduksi simbolik tersebut adalah menciptakan simbol-simbol “kekuasaan” laki-laki dalam ranah sosialnya.

7.1.4 Silimo Modern

Ada bentuk yang lain dalam pola hunian orang Dani Kurulu. Seperti yang dilihat pada salah satu bentuk rumah moden milik warga Dani Kurulu yang tinggal di kota Wamena. Silimo ber-gaya modern bersumber dari habitus pemilik yang sekian lama telah terinteraksi secara terus-menerus dalam kehidupan sosialnya. Silimo ber-gaya modern yang selanjutnya disebut “ silimo rumah batu” merupakan bentuk kompleksitas budaya yang bersifat internal. Artinya, kompleksits budaya yang tercermin dalam silimo rumah batu ini adalah dibangun atas kemampuan ekonomi pemilik dan keberadaan silimo oleh pemiliknya sebenarnya tidak memunculkan nilai- nilai tradisinya sepenuhnya. Silimo ini muncul sebagai bentuk negosiasi nilai-nilai tradisi dengan gaya hidup masyarakat kota sebagai bentuk kebudayaan baru yang diterima (penjelasan tentang ini dapat dibaca di bab VI)..

285

Silimo rumah batu adalah proses reproduksi simbolik dari simbol- simbol silimo tradisonal. Konstruksi bangunan yang menghadirkan simbol-simbol “inom” dalam struktur budaya orang adalah bentuk strategi pemilik rumah untuk tetap beradaptasi dengan perubahan di lingkungan budaya yang baru tanpa meninggalkan nilai-nilai budayanya. Letak pilamo dan ebe-ai menunjukan nilai kebersamaan dann nilai relasi yang terbangun dalam ranah sosial tersebut. Dalam ranah tersebut, terlihat posisi-posisi laki-laki dan perempuan yang menempati struktur tersebut beraktivitas terus menerus dengan berdasarkan habitusnya. Pilamo modern dalam konteks ini merupakan posisi yang ditempati oleh laki-laki

/suami sedangkan ebe-ai modern ditempati oleh (perempuan/istri bersama anak-anaknya.

Implikasi dari model silimo rumah batu tersebut adalah mencairnya nilai-nilai tradisi dan digantikan dengan bentuk-bentuk baru dalam upaya mempertahankan keberadaan hidupnya. Perubahan pada bangunan ini, adalah fungsi pilamo modern yang menggantikan fungsi pilamo trdisonal.

Seperti yang diuraikan di bab VI bahwa, pilamo modern yang dimiliki bapak LM berfungsi sebagai ruang sekretariat pemekaran kabupaten

Okika, sebagai kantor yayasan dan juga sebagai tempat berdiskusi rekan- rekan kerjanya adalah simbol “perjuangannya” agar tetap survive dalam ranah sosialnya. Dalam mengembangkan habitus tertentu yakni struktur tindakan pribadi dalam posisinya, ia dilengkapi dengan sumber daya atau modal. Suami memiliki modal budaya (akademik), sebagai seorang

286 sarjana ia memperolah akses sebagai PNS, sebelumnya, sebagai anggota legislatif.; selain modal budaya, modal sosial dan modal simbolik juga mendukungnya untuk berjuang dalam ranah sosial-nya. Modal sosial yaitu mempunyai jaringan dengan pemerintah, gereja, partai politik tertentu, organisasi kemasyarakat sehiingga arus informasi dengan mudah diakses; modal simbolik yang dimilikinya adalah sebagai seorang

“fungsionaris adat” orang Dani Kurulu, keturunan langsung dari kepala suku Mabel di Kurulu dan jelas modal ekonomi yang dimilikinya dari dunia kerjanya (PNS) dan sumber ekonomi dari ke-2 istrinya, yang berkerja sbagai PNS dan yang lain sebagai pengusaha batu bata, atau mengelolah

CV-nya sendiri. Begitu juga ke-2 istrinya juga memiliki kualitas yang hampir sama dengan suami (laki-laki) juga menempati posisi simbol perempuan, dengan kualitas (modal) yang dimilikinya mereka ikut berjuang untuk mempertahankan keberadaannya dalam ranah sosialnya.

7.2 Ranah Ekonomi

Secara tradisi masyarakat Dani masih memegang nilai-nilai budaya yang mengatur hubungan kerja antara laki-laki dan perempun dalam beberapa aktivitas budayanya. Hal ini terlihat pada aktivitas ekonomi pada sistem berladang tradisonal. Walaupun secara tradisonal, tugas-tugas mereka tidak secara langsung berhubungan dengan aktivitas berladang/berkebun (ekonomi). Namun dengan “hilangnya” tradisi perang maka tugas dan peran laki-laki pun terlihat “hilang” atau mengalami

“kekosongan”. Sementara perempuan tetap berada di jalur adat yaitu

287 mengerjakan kebun-kebun ubi jalar, disamping jenis tanaman lainnya seperti sayur-sayuran, pisang dan lainnya.

Sebagai bentuk intervensi pemerintah lewat program budidaya tanaman baru maka laki-laki (agen) mulai hadir dan teterlibatan laki-laki dalam aktivitas tersebut adalah bentuk perjuangan laki-laki untuk dapat survive dalam posisinya di tengah-tengah masyarakat.

7.2.1. Kebun Kopi

Berjalan memasuki beberapa kampung di Kurulu, seperti kampung

Satnokoma, Waga-waga dan Sompaima, terlibat beberapa tanaman kopi.

Waga-waga adalah kampung yang memiliki lahan kopi luas ( 5 hektar), berbeda dengan yang ada di saompaima dan satnokoma. Ketika bertemu dengan bapak YM di Sompaima, ia bercerita bahwa :

“ tanaman kopi yang ada di halaman belakang silimonya tidak seluas yang dimiliki bapak Mirian di Waga-waga. Hanya berkisar 20 pohon saja. Kebun kopi ini saya dan beberapa anak laki-laki yang biasa mengelolahnya. Kami bersihkan ranting, memetik kopi hingga mengeringkankan dan menggoreng dan selanjutnya menghaluskan kopi secara tradisonal. Pekerjaan ini hanya kami laki-laki yang mengerjakan, kalau perempuan biasanya mengerjakan kebun ubi jalar dan sayuran saya. Setiap hari saya mengumpulkan biji kopi yang telah masak, setelah banyak kemudian di sangria/digoreng. Dulu kami tidak bekerja seperti ini, kami laki-laki Dani hanya selalu membantu istri bukan kebun baru, buat pagar dan juga bantu buatkan parit. Setelah pemerintah datang memperlihatkan tanaman kopi bagi kami dan membagi tanaman tersebut, lalu kami merwatnya hingga sekarang. Perempuan tidak biasa bantu kami, tapin kalau kami minta tolong, mereka mau membantu.

Dalam struktur budaya orang Dani, telah terbagi dengan jelas pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Jika ada yang melakukan sesuatu tidak biasa atau tidak lazim dalam lingkungan masyarakat mereka akan

288 disindir. Ada sindiran atau teguran kepada laki-laki yang berperilaku seperti perempuan seperti : “hebe he aa? Artinya “kamu ini perempuan kah? Atau sindiran kepada perempuan yang berperilaku seperti laki-laki,

“hebe apa aa? Artinya, “kamu ini laki-laki kah? Sindiran ini adalah teguran keras bagi mereka karena semua laki-laki dan perempuan telah diatur dengan tegas jalur adat antara laki-laki dan perempuan. Oleh sebab itu, apa yang sejak awal dikerjakan oleh laki-laki tidak bisa dikerjakan oleh perempuan begitu juga sebaliknya. Bapak YM, sebagai petani dan pengelolah kopi di Kurulu memperjelas bahwa terjadi reproduksi simbolik pada struktur simbol inom. Habitus individu (laki-laki) sebagai struktur tindakannya menciptakan arena baru sebagai sesuatu yang bermakna.

7.2.2 Sawah Padi

Pemandangan berbeda jika memasuki distrik Kurulu, adalah menikmati hamparan sawah rawa padi, mulai dari pinggiran kali Pike hingga kampung-kampung di Kurulu. Sawah padi diperkenalkan oleh migran Toraja sekitar tahun 1986. Selanjutnya oleh pemerintah mengajak masyarakat untuk mengembangkan tanaman padi karena kondisi alamnya mendukung untuk pengembangan padi sawah tersebut.

Di pinggiran kali Pike terdapat beberapa petak sawah. Menurut Ibu

L.Oagai bahwa, sawah-sawah yang terdapat di pinggiran Pike ini dikelolah secara kelompok. Ada 3 kelompok tani, namun yang dominan mengerjakan sawah tersebut adalah para laki-laki. Tetapi kadang juga

289 dibantu para wanita terutama pada waktu musim menanam. Seperti yang dikatakan ibu L Oagai bahwa :

“… dulu sejak tanaman padi diberikan oleh kantor pertanian, mereka sudah bentuk kelompok-kelompok tani. Hampir kelompok laki-laki, kalau kami perempuan juga bekerja tetapi kami buat kebun-kebun ubi jalar, sayur di dekat sawah-sawah yang mereka buat. Memang untuk laki-laki, karena orang piker, laki-laki itu biasa kerja saat bukan kebun baru saja, setelah itu mereka tidak kerja bantu istri lagi. Mereka hanya duduk-duduk cerita, atau jalan-jalan ke pasar ka…atau kunjungi kelurga. Jadi, pemerintah membantu laki-laki mengerjakan sawah, ada penyuluhan dari pegawai sampai, saat panen dan giling juga diajarkan. Laki-laki ada yang rajin tapi ada juga yang malas. Katanya kerja sawah lebih berat dari kerja kebun. Kebun satu kali kerja kita bisa tunggu hasilnya, karena perempuan yang tanam sampai panen, tapi kalau sawah ini harus rawat dari tanam sampai panen, siang hari harus usir burung, malam hari harus usir tikus. Jadi biasa mereka juga minta tolong perempuan (istri untuk bantu.(L Oaigai, 6 Desember 2014).

Hingga masa panen laki-laki terus mengerjakan bersama-sama dalam kelompoknya. Ada satu mesin penggiling padi di kampung ini, dan juga disediakan koperasi masyarakat. Setiap kelompok yang panen hasil paginya dan masukkan ke rumah penggilingan pagi dilakukan bersama.

Hasil dari panen tersebut dijual ke koperasi dan hasilnya dibagi rata di antara anggota kempok.

Dari penjelasan di atas, tampak bahwa dalam struktur budaya orang Dani terjadi pembentukan struktur ruang yang baru dalam struktur budaya Dani. Pembentukan struktur baru tersebut dapat dikatakan sebagai proses reproduksi kebudayaan atau reproduksi simbol-simbol budaya dalam struktur budaya orang Dani. Tentu ada habitus individu yang berasal dari lingkungan budayanya tetapi juga habitus yang muncul

290 sebagai hasil interaksi dengan dunia luar membentuk struktur baru dalam tindakannya.

Dalam ranah ekonomi ini dapat dipahami bahwa ada keberlangsungan individu dalam beradaptasi dengan struktur yang baru.

Tugas laki-laki yang secara tradisi berhubungan dengan tanggung jawab keamanan yaitu melindungi keluarga dari serangan musuh dan gangguan roh-roh jahat kini beralih kepada tanggung jawab yang berhubungan dengan kesehatan, pendidikan anak atau ekonomi rumah tangga. Dalam tugas dan tanggung jawab tersebut, tampak ada peralihan tugas-tugas yang dulu dijalankan oleh perempuan (istri) kini sudah mulai dilakukan oleh laki-laki (suami). Hal ini dapat terjadi karena lelaki sekarang sudah memiliki sumber-sumber ekonomi berupa gaji bulanan bagi seorang PNS

(modal ekonomi). Berbeda dengan kehidupan tradisonal, dimana lelaki tidak banyak terlibat dalam aktivitas ekonomi yang mendatangkan uang.

Walaupun laki-laki juga membantu perempuan dalam proses berladang tetapi tugas-tugas lelaki hanya yang berkaitan dengan pekerjaan yang yang dianggap berat dan bahaya bagi keselamatan perempuan seperti, menebang pohon dan membuat pagar kebun.

Pada umumnya lelaki Dani berusaha dengan berbagai kemampuannya untuk menjadi seperti bintang yang besar, yang mampu memberi cahaya bagi warganya. dalam kondisi seperti inilah, masyarakat akan mengakuinya sebagai bos atau bigman. Untuk itulah, saat ini ada strategi-strategi budaya bahkan juga strategi budaya tersebut

291 dinegosiasikan dengan budaya baru untuk mendapatkan atau mempertahankan penghargaan bos atau big man tersebut. Salah satu strategi budaya yang dilakukan dalam tradisi budaya orang Dani adalah memberikan tugas kepada istri untuk berkebun dan beternak babi, dalam jumlah yang lebih dari 2, ada istilah kebun baru, kebun tua, kebun pekarangan yang letaknya di lereng gunung dan daerah dataran. Kebun- kebun ini setiap hari harus dirawat. Jumlah kebun dan ternak yang banyak tidak hanya untuk dikonsumsi keluarga tetapi juga dibagikan sebagai hadiah kepada warga. Secara simbolik keberhasilan seorang istri yang kebun dan ternak babinya akan menaikkan status/prestise suaminya. Oleh sebab itu ada istilah dalam bahasa Dani seperti hipit (perempuan sebagai sandaran hidup), inomaken (perempuan sebagai akar penopang) dan juga inamukareke (perempuan adalah daya, kekuatan hidup). Istilah-istilah ini memiliki makna positif, tetapi dibalik itu perempuan memikul tanggung jawab yang besar dalam keluarganya.

Kondisi sekarang perempuan tidak hanya bekerja di kebun atau di sekitar silimo saja. Sifat internal dan keterbatasan ruang kerja secara tradisonal (domestik) kini telah berubah. Ada bentuk pekerjaan baru yang disandang oleh perempuan, seperti PNS, Guru, Perawat,

Pengusaha, Anggota Legislatif. Walaupun demikian sering terdengan ungkapan istilah budaya yang diperuntukan ”humi humiat” yang berarti

“perempuan ya, tetap perempuan”. Penjelasan dari ungkapan ini adalah bahwa biarpun seorang perempuaan telah menamatkan suatu jenjang

292 pendidikannya, mereka tidak dapat menolak keharusan untuk tunduk dan menyesuaikan diri dengan status dan peran laki-laki terutama kalau suaminya mempunyai peranan penting dalam struktur adat (Lokobal,

2003:168). Ketaatan perempuan ditunjukan melalui ketekunan dan kerajinan dalam mengerjakan kebun dan memelihara ternak babi demikian kepentingan adat di lingkungan suaminya. Pejelasan ini dapat dilihat pada kasus keluarga Bapak LM yang dijelaskan di bab VI, bahwa kedua istrinya selain memiliki pekerjaan sebagai PNS dan Pengusaha batu bata serta mengelola CV-nya tetapi mereka juga memperlihatkan ketekunannya dalam mendukung peran suaminya dalam struktur adat. Suaminya, bapak

LM adalah fungsionaris adat kesuburan dalam struktur adat orang Dani.

293

294

BAB VIII

KESIMPULAN

Memahami masyarakat dan kebudayaan orang Dani saat ini, tidak lagi berfokus pada kajian-kajian ilmu yang membatasi ruang lingkup pada tataran kebudayaan generik, yakni kebudayaan berupa konsepsi atau sistem nilai-budaya yang diwariskan secara turun temurun dan dipakai untuk menata menuntun manusia dalam berinterasi dengan lingkungnya.

Beberapa kajian awal tentang masyatakat dan kebudayaan Dani yang pernah dilakukan memperlihatkan bahwa masyarakat Dani yang adalah masyarakat homogen dan menjalankan aktivitas kehidupannya berdasarkan nilai-nilai budaya yang diwariskan leluhurnya.

Tulisan ini merupakan kajian ulang terhadap kajian strukturalisme

Levi-Stauss yang dipakai sebagai pendekatan untuk membaca kebudayaan orang Dani. Sehubungan dengan arus perubahan yang masuk dalam kehidupan orang Dani maka kajian struktur “inom” perlu dikaji kembali untuk menemukan simbol-simbol baru dan pemaknaan kembali tentang kebudayaan orang Dani.

Masyarakat Dani tidaklah hidup statis, berbagai proses perubahan sosial dan budaya yang masuk dalam kehidupan masyarakat Dani menyebabkan munculnya kompleksitas budaya. Kompleksitas budaya tersebut dapat digambarkan dalam ruang “silimo” dan ruang ekonomi

Berdasarkan sumber munculnya kompleksitas budaya masyarakat Dani

294

maka dikatakan terdapat dua macam yaitu 1) kompleksitas budaya masyarakat Dani yang bersifat eksternal dan 2) kompleksitas budaya masyarakat Dani yang bersifat internal. Kompleksitas budaya yang bersifat eksternal yaitu bentuk-bentuk program pemerintah dan swasta sebagai kekuatan dalam pembentukan simbol dan makna baru dalam tatanan hidup masyarakat Dani. Sedangkan kompleksitas budaya yang bersifat internal adalah bentuk-bentuk gaya hidup individu yang didukung dengan kemampuan ekonomi individu, dan faktor lingkungan lainnya yang mempengaruhi nilai-nilai budaya atau simbol-simbol budaya yang berkaitan dengan ketiga bidang ruang budaya yang dalam dalam struktur “inom”.

Kompleksitas budaya yang terjadi dalam ruang silimo memperlihatkan adanya berbegi bentuk/ukuran dan posisi dalam bentuk silimo maupun bentuk hunian baru (rumah modern). Kompleksitas ini ikut mempengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat. Begitu juga kompleksitas budaya dalam aktifitas ekonomi masyarakat baik secara tradisonal maupun aktifitas ekonomi modern. Berhadapan dengan bentuk-bentuk budaya baru yang masuk dalam kehidupan masyarakat Dani mendorong masyarakat untuk tetap mempertahankan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat.

Upaya orang mempertahankan keberadaannya dalam kajian culture diperlukan apa yang disebut reproduksi. Reproduksi dipahami sebagai bentuk perubahan dalam upaya eksistensi. Reproduksi yang dimaksud dalam kajian ini adalah reproduksi simbolik terhadap simbol-simbol inom yang terbangun dalam struktur “inom” yang pernah dikaji secara

295

strukturalisme Levi-Strauss. Melalui teori “praktik” oleh Bourdieu maka proses reproduksi simbolik ini dapat ditemukan. Melalui sistem relasi antara habitus dan modal dari struktur subyektif terhadap ranah sosial

(silimo, aktivitas ekonomi dan kelembagaan lokal) sebagai struktur objektif maka tampak dari relasi tersebut menghadirkan simbol-simbol baru sebagai bentuk negosiasi atau strategi agen untuk mempertahankan keberadaannya. Hadirnya nilai-nilai baru atau simbol-simbol baru tersebut yang oleh penulis disebut dengan reproduksi simbolik dalam struktur

“inom” orang Dani.

Reproduksi simbolik yang terjadi dalam struktur “inom” yaitu terjadi dalam ranah silimo yaitu, muncul simbol-simbol sebagai bentuk kekuasaan laki-laki yaitu simbol honai tamu, simbol pilamo rumah sehat, pilamo modern. Ketiga simbol ini muncul atau dihadirkan kembali dalam upaya mempertahankan keberadaan laki-laki dalam kehidupan masyarakat.

Keberadaan laki-laki yang disimbolkan dengan pilamo dalam satuan silimo tradisonal, kini direproduksi dengan simbol-simbol baru tersebut. Begitu juga reproduksi simbol yang terjadi dalam ranah aktivitas ekonomi. Modal simbolik dan modal sosial yang dimiliki agen (laki-laki) serta habitus yang bersumber dari nilai-nilai budaya dan pengetahuan masyarakat tentang program-program pemerintah mendorong laki-laki untuk mengisi kembali aktivitas-nya pernah dianggap hilang lewat keterlibatan laki-laki dalam aktivitas ekonomi berladang yang baru seperti petani kopi dan petani sawah padi. Reproduksi simbolik dalam struktur “inom” ini terjadi dengan

296

dihadirkannya kembali simbol-simbol baru atau nili-nilai baru dalam struktur budaya orang Dani. Simbol-simbol tersebut adalah bentuk-bentuk budidaya ekonomi masyarakat. Dalam ranah ini laki-laki berjuang merebut sumber daya tersebut untuk kepentingannya atau untuk tetap dapat mempertahankan keberadaannya dalam lingkungan masyarakat.

Dalam proses kerja dengan pendekatan pasca strukturalisme dari

Bourdieu tampak bahwa habitus dan modal yang dimiliki agen (laki-laki dan perempun) dalam struktur “inom” berperan membentuk kehidupan sosial (struktur obyektif) namun di sisi lain habitus juga dibentuk oleh kehidupan sosial (struktur obyektif). Jadi dalam teori ini ada penekanan dalam proses dialektika struktur subyektif dan struktur obyektif.

297

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdullah, I, 2006 , Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaaan, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Ahimsa-Putra, H.S, 1997, Lévi-Strauss Empu Antropologi Struktural, Oktovio Paz : Lkis, Yogyakarta. ------, 2002, Tanda, Simbol, Budaya dan Ilmu Budaya. Makalah dalam Ceramah Kebudayaan di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Alua, A, 2003a, Sejarah Kontak Orang Dani dengan Dunia Luar, Agus Alua (ed) : Nilai-nilai Hidup Masyarakat Hubula di Lembah Baliem Papua, hal 1-20, Biro penelitian STFT Fajar Timur, Jayapura. ------, 2003b, Ap Warek Menurut Kepercayaan Masyarakat Baliem, Alua Agus (ed) : Nilai-nilai Hidup Masyarakat Hubula di Lembah Baliem Papua, hal. 101-130, Biro penelitian STFT Fajar Timur, Jayapura. Bachtiar Alam, 1998.Globalisasi dan Perubahan Kebudayaan : Perspektif Teori Antropologi, Jurnal Antropologi Indonesia, 56, Universitas Indonesia, Jakarta. Baker, Chris, 2005, Cultural Studies “Teori dan Praktek” (Cetakan ke-2), Penerbit Kreasi Wacana, Yogyakarta. Berger Arthur Asa, 2005, Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, Suatu Pengantar Semiotika, Penerbit Tiara Wacara, Yogyakarta. Boelaars, J, 1986, Manusia Irian Dahulu, Sekarang, Masa Depan, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta. Bourdiue Pierre, 1977, Outline Theory of Practice, Cambriidge University Press. ------, 1991 Language and Symbolic Power, Cambridge, Massachusett : Harvard University Press. ------, 2010, Arena Produksi Kultural : Sebuah Kajian Sosiologi Budaya, Penerbit Kreasi Wacana, Yogyakarta.

298

Bromley, M, 1993a, Dasar Kehidupan : Sedikit Mengenai Religi di Baliem Selatan, Susanto-Sunario, A (ed) : Kebudayaan Jayawijaya Dalam Pembangunan Bangsa, hal. 61-69, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. ------, 1993b, Peranan Bahasa Daerah Dalam Pembangunan, Susanto-Sunario A, (ed) : Kebudayaan Jayawijaya dalam Pembangunan Bangsa, hal.97-106, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Creswell John, W, 2010, Research Design Pendekatan Kulitatif, Kuantitatif dan Mixed, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Darmajana, R, D, 1996a, Menghadiri Upacara Kematian “Wareka Lowuk” Masyarakat Baliem, Susanto-Sunario A, (ed) : Pembangunan Masyarakat Pedesaan, Suatu Telaah Analitis Masyarakat Wamena Irian Jaya hal.65-76, Pustaka Sinar Harapan LIPI, Jakarta ------, 1996b, Introduksi Teknologi Pertanian Pada Pengembangan Wilayah Pedesaan Wamena, Susanto-Sunario A, (ed) : Pembangunan Masyarakat Pedesaan, Suatu Telaah Analitis Masyarakat Wamena Irian Jaya hal.155-163, Pustaka Sinar Harapan LIPI, Jakarta. Dhavamony, M, 1995, Fenomenologi Agama, Penerbit Kanisius : Yogyakarta Dumatubun, A, E, 1994, Integrasi Masyarakat Dani Barat Dalam Pembangunan, Masinambow, E dan Haenan, P (ed) : Kebudayaan Dan Pembangunan Di Irian Jaya, hal.134-148, LIPI-RUL, Jakarta. Endraswara, S, 2003, Metodologi Penelitian Kebudayaan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Garna, Judistira K, 1996. Ilmu-ilmu Sosial Dasar-Konsep, Posisi, Bandung Program Pascasarjana Universitas Padjajaran. Geertz, Clifford. 1992. Agama dan Kebudayaan, Kanisius : Yogyakarta.

299

Glossary of Sociological Terms, 1997. School of Sciology and Anthropology, University of Canterbury, New Zealand. Hartati, T, C, 1996, Penataan Ruang Silimo Berdasarkan Kebudayaan Dani, Tesis Magister Antropologi Universitas Indonesia, Jakarta. Haryatmoko, 2008, Sekolah, Alat Reproduksi Kesenjangan Sosial, dalam Basis, No. 07-08, Tahun ke-57, halaman 16. Heider, K.G, 1970, The Dugum Dani : A people Culture in the Highlands of West New Guinea, Chicago : Vilking Fun Publication Anthropology New York : Harper and Row. ------, 1979, Grand Valley Dani, Peaceful Warriors , Holt, Rinehatt and Winston, United States of America. Herry Priyono, 2002, Anthony Giddens : Suatu Pengantar, Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta. Hilapok, Benny dan Simeon Itlay, 1994. Kepribadian dan Kebudayaan Orang Balim dalam buku Kebudayaan Jayawijaya Dalam Pembangunan Bangsa, ed. Astrid S Susanto-Sunario, Pustaka Sinar Harapan, LIPI : Jakarta. Hitt, Russell T, 1962. Cannibal Valley, Michigan. Zandervan Publishing House : Grand Rapids Hoed, Benny H, 2014. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya.Depok : Komunitas Bambu. Idrus Muhammad, 2009, Metode Penelitian Ilmu Sosial, Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif edisi kedua, Penerbit Erlangga, Jakarta. Ina Ansari, 2014, Konstruksi dan Reproduksi Simbolik Tradisi Jawa Dalam Pertujunjukan Teater Remaja di Kota Solo, Asintha, Jurnal Penelitian Seni Budaya, Vol.6 no1 Juni. Ismu Tribowo, 1996, Pembinaan Masyarakat Pedesaan Wamena dalam Pembuatan Sistim Irigasi yang Sederhana untuk Persawahan, Susanto-Sunario A, (ed) : Pembangunan Masyarakat Pedesaan, Suatu Telaah Analitis Masyarakat Wamena Irian Jaya hal.164-169, Pustaka Sinar Harapan LIPI, Jakarta.

300

Iskandar, Anwas 1964. Irian Barat Pembangunan Suku Mukoko, Proyek Penerbit Sekretriat Koordinator Urusan Irian Barat : Jayapura Itlay, S dan Hilapok, B, 1993, Kepribadian dan Kebudayaan Orang Baliem, Susanto-Sunario, A (ed) : Kebudayaan Jayawijaya dalam Pembangunan Bangsa, hal.20-40, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Jarona, A, 1996, Ubi Jalar dan Babi Dalam Kehidupan Orang Baliem : Kajian Antropologi Mengenai Kebiasaan Makan, Tesis Magistes Antropologi Universitas Indonesia, Jakarta. Jenkins, Richard, 2004, Membaca Pikiran Pierre Bourdieu, Penerbit Kreasi Wacana : Yogyakarta. Kafiar, M, 1993, Etai : Salah Satu Unsur Kesenian Tradisonal Jayawijaya, Susanto-Sunario, A (ed) : Kebudayaan Jayawijaya dalam Pembangunan Bangsa, hal.122-129, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Kaplan, D dan Manners, A, 2002, Teori Kebudayaan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Keesing, Roger, 1999, Antropologi Budaya ; Suatu Perspektif Kontemporer. Jilid 1 dan 2. Alih Bahasa oleh Samuel Gunawan dan R.G. Soekadijo, Erlangga, Jakarta. Koentjaraningrat, 1993, Masyarakat Terasing di Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. ------, 1994, Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk, Penerbit Djambatan, Jakarta. Lévi-Strauss, C, 1963, Structural Anthropology, Basis Book, Inc, Publishers, New York. Lokobal, N, 1993, Nilai-nilai Hidup Baik dalam Penghayatan Manusia Balim, Susanto-Sunario, A (ed) : Kebudayaan Jayawijaya dalam Pembangunan Bangsa, hal.41-60, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

301

------, 2003, Keberadaan dan Peranan Perempuan dan Laki-laki Pada Suku Dani di Irian jaya., Agus Alua (ed) : Nilai-nilai Hidup Masyarakat Hubula di Lembah Baliem Papua, hal.53-100 Biro Penelitian STFT Fajar Timur, Jayapura. Mach Zdzislaw, 1993, Symbols, Conflict, and Identity, Essay in Political Anthropology, Published by State University of New York Press. Mansoben Johszua, 1995. Sistem Politik Tradisonal di Irian Jaya, Jakarta : LIPI RUL. ------, 1999. Arti Sebuah Nama : Papua Nederlands Nieuw Guinea dan Irian Jaya, Jayapura : Universitas Cenderawasih. Mambraku, N, 2010, Adapta Maryaeni, 2005, Metode Penelitian Kebudayaan, Penerbit PT. Bumi Aksara, Jakarta. Melalatoa, J, M, 1997, Silimo : Produk Peradaban Tua di Irian, Melalatoa (ed) : Sistem Budaya Indonesia, hal.11-24, Penerbit PT.Pamator, Jakarta. Mulai, T, 2003, Beberapa Pola Komunitas Tradisonal di Lembah Baliem, Agus Alua (ed) : Nilai-nilai Hidup Masyarkat Hubula di Lembah Baliem Papua, hal. 21-52, Biro Penelitian STFT Fajar Timur, Jayapura. Mulait, T dan Alua,A, 2003, Pola Konstruksi Silimo dan Nilai-Nilai Hidup baik di Lembah Baliem, Agus Alua (ed) : Nilai-nilai Hidup Masyarkat Hubula di Lembah Baliem Papua, hal.133-176, Biro Penelitian STFT Fajar Timur, Jayapura. Ngadimin, S, 1993, Sistem Kepemimpinan Tradisonal Suku Baliem, Susanto-Sunario, A (ed) : Kebudayaan Jayawijaya dalam Pembangunan Bangsa, hal.41-60, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Numbery, G, 1995. Peran Laki-laki dan Perempuan Terhadap Perawatan Anak, dalam Laporan Penelitian Kesehatan Anak dan Ibu Hamil

302

Dalam Lingkungan Sosial Budaya Lembah Baliem, Proyek WATCH, Jayawijaya. ------, 2007. Struktur Budaya Orang Dani, Di kampung Jiwika Distrik Kurulu Jayawijaya (Suatu Kajian Strukturalisme Lévi- Strauss) Tesis, S2 Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta. ------, 2010. HIV, AIDS, ARV dan Stigma Pada Perempuan Asal Dani Di Kabupaten Jayawijaya Papua, Laporan Penelitian kerjasama Univercity of Victoria Canada dengan Pusat Studi Kependudukan Uncen, Jayapura. Patty, S, A, 1994. Penduduk Dani Barat dan Pembangunan, Masinambow, E dan Haenan, P (ed) : Kebudayaan Dan Pembangunan Di Irian Jaya, hal.111-133, LIPI-RUL, Jakarta. Peyon, Ibrahim, 2012. Struktur Sosial dan Kekerabatan Orang Yali, Penerbit PT. Kreatama, Jakarta. PIP, Jones, 2010. Pengantar Teori-Teori Sosial, Dari Teori Fungsionalisme Hingga Postmodernisme, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta. Pierre Bourdieu (terjemahan Yudi Santoso, 2010, Arena Produksi Kultural : Sebuah Kajian Sosiologi Budaya, Penerbit Kreasi Wacana : Yogyakarta. Ritzer, George dan Good Douglas J, (terjemahan Nurhadi), 2012, Teori Sosiologi : Dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutahir Teori Sosiologi Postmodern, Penerbit Kreasi Kencana : Yogyakarta. Roembiak, M, D, E, 1993. Kebudayaan Dani Barat, Etnografi Irian Jaya : Panduan Sosial Budaya, hal.211-262, Kelompok Peneliti Etnografi Irian Jaya kerjasama Bappeda Provinsi Irian Jaya. Saifuddin, A, F, 2005. Antropologi Kontemporer Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, Prenada Media, Jakarta.

303

Sairin, S, 2002. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia, Perspektif Antropologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Savitri, D,W,I,K,R, 1996. Relasi Sosial di Pasar Tradisonal Silimo Sinakma, Susanto-Sunario A, (ed) : Pembangunan Masyarakat Pedesaan, Suatu Telaah Analitis Masyarakat Wamena Irian Jaya hal.45-64, Pustaka Sinar Harapan LIPI, Jakarta. Sumule, Agus (ed) 2003, Mencari Jalan Tengah Otonomi Khusus Papua, Penerbit Gramedia : Jakarta Susanto-Sunario,A (ed), 1993. Kebudayaan Jayawijaya Dalam Pembangunan Bangsa, Pustaka Sinar Harapan : Jakarta. ______, 1996. Pembangunan Masyarakat Pedesaan, Suatu Telaah Analitis Masyarakat Wamena, Irian Jaya, Pustaka Sinar Harapan : LIPI Jakarta. Tim Peneliti Antropologi UI, 1993, Etnografi Kesehatan Masyarakat Dani di Kecamatan Kurulu Kabupaten Jayawijaya, Program Studi Antropologi Universitas Indonesia, Jakarta. Wetipo, Y, 2003, Pendekatan Kepemimpinan Tradisonal Orang Dani Dalam Mewujudkan Masyarakat Partisipatif, Tesis S2 pada Ilmu- Ilmu Sosial Bidang Kajian Ilmu Pemerintahan Universitas Padjajaran, Bandung. Williams Raymond, 1981. Culture. Glasgow : Fontana Paperbacks. Wiraman I,B, 2011, Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma, Penerbit Kencana Prenada Media Group, Jakarta. W.M, Agusto, 1996, Pengembangan Honai Contoh di Lembah Baliem, Susanto-Sunario A, (ed) : Pembangunan Masyarakat Pedesaan, Suatu Telaah Analitis Masyarakat Wamena Irian Jaya hal.193-204, Pustaka Sinar Harapan LIPI, Jakarta.

304

GLOSARI

Akuni Yoma Meke : orang dari sana atau orang luar atau musuh. Suatu ungkapan yang ditujukan kepada kelompok orang yang berasal dari suatu konfederasi atau aliansi perang.

Akuni Nit Meke : orang dari sini atau orang dalam atau kawan. Ungkapan ini lebih dimengerti dalam konteks perang ketimbang kebersamaan dalam berbagai aktivitas sehari-hari.

Agaroba : Ruang bangunan bawah dalam suatu pilamo dan ebe-ai, terdapat pintu berukuran 50 cm dan tinggi 75 cm tanpa daun pintu. Agaroba pilamo berfungsi sebagai tempat istirahat, berkumpul, bercerita dengan sesama tamu laki-laki dari kalangan kerabat, teman tetangga sedangkan tamu perempuan biasanya akan diterima di dapur.

Asso-Lokobal : Nama salah satu aliansi (o-agum) dalam sistem perang adat orang Dani di Wamena. Aliansi ini beranggotakan mayoritas klen Asso dan Lokobal.

Bakte : Kolam tempat masak yang berada di halaman tengah silimo. Khusus untuk silimo yang memiliki honai atau pilamo adat maka terdapat bakte pada bagian belakang pilamo. Bakte tersebut berfungsi saat dilakukan upacara adat.

Dabi-Mabel : Nama salah satu konfederasi (inukul-oak) dalam sistem perang adat di Wamena. Konfederasi ini merupakan anggota dari aliansi Kurulu yang mayoritas anggotanya berasal dari klen Dabi dan Mabel.

Eak-Aburi : . Prinsip patrilineal yaitu sistem pengusutan garis keturunan melalui beberapa generasi pria kepada satu leluhur pria. Leluhur pria

305

yang mewarisi garis keturunan patrilineal dipandang orang Dani sebagai ninopa (moyang kami) yang mewarisi garis keturuanan hingga kini. Nama-nama dari nenek moyang dalam beberapa generasi biasanya masih diingat (walaupun ada yang dirahasiakan), namun umumnya tidak dikenal lagi karena melewati sejumlah generasi (di atas 4 atau 5 generasi).

Ebe : Orang Dani Lembah mengartikan sebagai “tubuh” atau “badan” manusia. Selanjutnya dipakai untuk menunjukan kepada dua bagian besar kelompok masyarakat menurut garis keturunan patrilineal dan bersifat eksogami. Kedua bagian kelompok masyarakat tersebut adalah kelompok wita (perempuan) dan waiya (laki-laki)

Ebe-ai : Rumah perempuan (istri dan anak-anak yang masih kecil) yang berada dalam kompleks silimo. Ebe-ai adalah bangunan yang bersimbolkan tangan kanan seorang perempuan atau istri.

El Tellu : Tanaman Tebu berwarna merah tua . Tanaman ini dipercaya masyarakat Dani sebagai jelmaan dari tubuh Naruekul yaitu darah Naruekul;

Hagiloma : Lahan untuk menanam pisang, tebu, ubi jalar dan tabu yang berada di dalam silimo.

Haki Top : Jenis tanaman pisang . Tanaman yang dipercaya sebagai jelmaan tubuh Naruekul yaitu jantung Naruekul .

Hesik : Lemari kecil yang berada dalam pilamo (rumah laki-laki) berada pada dinding pilamo yang berhadapan langsung dengan pintu pilamo dan pintu silimo. Lemari ini sebagai tempat menyimpan benda pusaka seperti ye (batu pipih) Benda sakral lain adalah kapak batu, panah (sige), kalung, kulit kerang, kantong kulit kayu. Benda-benda ini tidak boleh dilihat oleh sembarang orang.

306

Hipere : Ubi jalar ; Hipereka : Daun ubi jalar.

Hipere ab ella : Jenis ubi jalar . Tanaman yang dipercaya sebagai jelmaan tubuh Naruekul yaitu bagian dahi (pria).

Hipere ekempalek : Jenis tanaman ubi jalar yang diyakini sebagai gumpalan darah dari Naruekul.

Hipere nesok-okut : Jenis ubi jalar yang diyakini masyarakat Dani sebagai bagian tumit dari Naruekul.

Hipirimkama : kebun ubi jalar.

Honai : Rumah laki-laki, bagi orang Kurulu sering menyebut rumah laki- laki dengan istilah pilamo.

Honai Adat : Honai Adat adalah sejenis rumah laki-laki yang khusus menyimpab benda-benda adat (sakral) milik kelompok klen tertentu dalam sebuah perkampungan inti yang selalu menjadi acuan bagi para anggota klen untuk mewujudkan/menyatakan identitas mereka (Yarona,1996:82)

Hunila : salah satu unit bangunan dalam kompleks silimo yang berfungsi sebagai tempat memasak dan berkumpulnya anggota keluarga. Hunila, disimbolkan tangan kiri dari seorang perempuan atau istri.

Inom : Secara numerial, inom berarti angka 3 (tiga) atau jumlah yang lebih dari angka tiga, dan memiliki makna “bersama” atau “ikut dengan” (Myron B, 1994 :98-99). Istilah ini selanjutnya dipakai

Inukul Oak : Klen besar yaitu kelompok kekerabatan yang berasal dari satu garis keturunan yang sama berdasarkan prinsip eksogam moeity dengan jumlah anggota yang besar. . Kelompok ini membentuk kesatuan dalam berperang yaitu konfederasi.

307

Kaneke : kumpulan dari benda-benda adat yang diidentikan dengan adat itu sendiri (pengertian umum) atau sejenis batu yang disakralkan karena mengandung manna dan merupakan inti atau dasar kehidupan orang Dani Lembah Balim (pengertian khusus). Kaneke adalah simbol kesuburan.

Kur : Nama pepimpin perang pada aliansi Kurulu.

Logo-Mabel : Nama salah satu konfederasi (inukul-oak) dalam sistem perang adat di Wamena. Konfederasi ini merupakan anggota dari aliansi Kurulu yang mayoritas anggotanya berasal dari klen Logo dan Mabel.

Lalekenma : halaman/tempat bermain ternak babi.

Leget : Pagar luar. Pagar yang didirikan mengelilingi suatu bangunan silimo.

Leget Obapogut : Pagar dalam. Pagar yang mengelilingi antara rumah laki-laki, rumah perempuan, dapur dan kandang babi. Pagar ini tidak setinggi pagar luar (leget).

Maikmo : Kebun di halaman belakang rumah antara pagar dalam dan pagar luar. yang ditanami keladi, tembakau dan tabu manis.

Mogat : Roh-roh orang mati.

Mokarai : Pintu masuk (gapura) silimo.

Naruekul : Tokoh Mitologi orang Dani Lembah Baliem (Kurulu)

O’ Agum : O-agum atau aliansi adalah pola komunitas tradisonal orang Dani yang secara geografis berada suatu wilayah tertentu yang cukup luas. Misalnya aliansi Kurulu di sebelah utara kota Wamena.

308

Secara politik-teritorial, kebersamaan dalam aliansi dibangun berdasarkan kesatuan dalam peperangan. Kesatuan ini tampak dari sejumlah konfederasi yang ada dalam suatu aliansi. Ditinjau dari segi sosial, pola hidup bersama dalam suatu aliansi lebih bersifat semu.

Okutlu : Kebun dalam silimo.

O’ Ukul : Bentuk perkampungan tradisonal masyarakat Dani yang terdiri dari gabungan beberapa bangunan silimo (3-6 silimo)

Pilamo : Salah satu unit bangunan dalam kompleks silimo yang difungsikan sebagai rumah laki-laki dewasa. Bangunan ini bersimbolkan kepala manusia ((laki-laki)

Silimo : merujuk pada suatu bangunan tradisonal yang berfungsi sebagai tempat tinggal keluarga inti poligami dan atau keluarga luas virilokal. Silimo terdiri dari beberapa unit bangunan 1) pilamo, simbol kepala manusia sebagai rumah khusus laki-laki dewasa; 2). Ebe-ai, simbol tangan kanan sebagai rumah khusus perempuan dan anak laki-laki yang masih kecil; hunila, simbol tangan kiri sebagai bangunan khusus yang berfungsi sebagai dapur dan tempat berkumpul sanak kerabat. Wamaila berfungsi sebagai kandang babi, dan diberi pagar yang mengelilingi seluruh bangunan tersebut dan diberi satu pintu masuk (mokarai) yang disimbolkan sebagai kaki manusia.

Siluk : Ikatan ilalang yang disusun dan diikat rapi pada rangka atap rumah laki-laki (pilamo) dan rumah perempuan (ebe-ai).

Su : Noken atau tas berjaring yang digunakan perempuan untuk mendukung aktivitasnya sehari-hari.

Tugal : tongkat kayu sebagai alat pertanian tradisonal yang dipakai perempuan untuk menghancurkan tanah.

309

Ukul : kepala manusia (laki-laki) Dalam konsteks silimo, pilamo disimbolkan sebagai kepala manusia (ukul).

Ukul Oak : kelompok kekerabatan yang berasal dari satu garis keturunan (patrilineage). Hubungan antar anggotanya masih dapat ditelusuri karena berada dalam jumlah yang kecil atau biasa disebut klen kecil

Wam aila : istilah ini sama artinya dengan wamdabu yaitu kandang babi atau suatu lokasi dalam silimo yang difungsikan sebagai tempat pemeliharaan babi.

Wam Ebeako : Upacara besar atau pesta raya. Dalam upacara tersebut ada rangkaian ritual seperti upacara perkawinan dan upacara inisiasi bagi laki-laki.

Watlangku : Nama tempat atau kampung asal orang Dani Kurulu.

Wen Yabu : Kebun yang berada di lereng gunung.

Wen Leget : Kebun yang dikerjakan di tanah datar.

Wulikin : Tungku api yang berada di dapur untuk memasak dan juga dalam rumah laki-laki atau rumah perempuan untuk menghangatkan tubuh pada malam hari.

Yabu jigkwy : Kegiatan menebang pohon, belukar dan memotong rumput yang dilakukan oleh laki-laki saat awal mengerjakan kebun.

Ye : batu kecil pipih yang menjadi inti kekuatan kaneke. Batu ini menjadi sumber potensi mewujudkan kesuburan bagi manusia, tanaman dan hewan.

310

311