Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013

PEMBICARAAN RINGKAS PUISI-PUISI SUBAGIO SASTROWARDOYO

Zen Hae Bahasa dan Sastra IKIP Universitas Negeri [email protected]

Abstrak Tulisan ini mencoba membahas kembali segi-segi terpenting puisi Subagio Sastrowardoyo. Pada mulanya ia mencoba mendudukkan Subagio dalam peta sastra Indonesia modern seraya membandingkannya dengan pendahulu dan kawan-kawan penyair segenerasinya. Dalam perbandingan ini tampak perbedaan dan ciri-ciri penting Subagio, terutama lagi sumbangannya pada puisi Indonesia hari ini. Yakni dengan memperkenalkan kembali―puisi esai” (essay poem/essayistic poetry) yang sudah lebih dulu tumbuh dalam khazanah sastra asing. Dalam jenis ini puisi Subagio tampak sebagai upaya berpikir yang tak habis-habisnya, yang lebih menonjolkan yang abstrak ketimbang yang indrawi, yang prosais daripada yang puitis. Sebagai puisi yang prosais puisi-puisi Subagio tampak bukan sekadar penceritaan kembali akan khazanah tertentu, misalnya mitologi perwayangan, tetapi subversi terhadap kisah asalnya. Di bagian lain, puisi Subagio juga menunjukkan wataknya sebagai puisi simbolis yang kuat, di samping mencoba merumuskan kembali puisi di dalam puisi (ars poetica), sebuah cara untuk menyajikan ironi terhadap puisi dan jalan kepenyairan yang dipilihnya. Kata kunci: Subagio, puisi esai, prosais, subversi Abstract This paper attempts to discuss the return of the most important aspects of poetry Subagio Sastrowardoyo. At first he tried to sit Subagio in modern map by comparing with predecessor and fellow poet of his generation. In this comparison, its difference and important characteristics are found, especially their contribution to today‘s Indonesian that is by reintroducing “poetic essays” (essay poem/essayistic poetry) which had already been growing in the treasures of foreign literature. In Subagio‘s type, poetry is seen as an attempt to think the endless, which further underline abstract rather than the sensory which is prosaic rather than poetic. As prosaic poem, Subagio seems not merely retelling certain treasures, such as puppetry mythology, but the subversion of the origin story. In other parts, Subagio‘s poetry also shows his character as a strong symbolic poetry and also trying to reformulate the poems in the poetry (Ars Poetica) as a way to present poetry and irony in his chosen style of writing poems. Keywords: Subagio, essayistic poetry, prose writer, subversion

Pendahuluan suara sendiri” (Sani,1997:3). Orientasi budaya Lewat esainya yang berjudul “Orientasi ini tentu saja lebih luwes ketimbang apa yang Budaya Chairil Anwar” Subagio Sastrowardoyo pernah menjadi sikap generasi Pujangga Baru. telah menyatakan bahwa Chairil Anwar Meskipun Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dan penyair-penyair segenerasinya tidak sebagai juru bicara angkatan ini menganjurkan melihat perbedaan Timur dan Barat, karena bangsa Indonesia yang sedang bangkit ini yang hendak dituju adalah humanisme yang harus memilih Barat sebagai orientasi budaya, universal. Atau sebagaimana ditegaskan dalam sanggahan yang menganjurkan sebuah “Surat Kepercayaan Gelanggang (1950), esai sintesis budaya Timur dan Barat, terutama pendek Asrul Sani yang kerap dianggap sebagai yang dianjurkan Sanoesi Pane, juga tak kalah manifesto Angkatan 45, jika ada “kebudayaan kerasnya. Di bidang kesusastraan, misalnya, Indonesia” maka itu adalah kebudayaan yang generasi Pujangga Baru mengamalkan soneta ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai sebagai bentuk baru yang diimpor dari Barat rangsang suara yang disebabkan suara-suara (Belanda), tetapi itu sebenarnya hanyalah yang dilontarkan dari segala sudut dunia yang modernisasi bentuk pantun yang tumbuh dalam kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk khazanah sastra Melayu tradisional. Paradoks

87 Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013 itu oleh Chairil Anwar dibereskan dengan mereguk seluruhnya sari pati kebudayaan Hidup di negeri ini seperti di dalam kampung Di mana setiap orang ingin Barat atau dunia. Masalahnya adalah manakah bikin peraturan mengenai lalulintas Barat itu? Di bagian lain esainya Subagio di gang, jaga malam dan daftar diri di menegaskan, Dalam kenyataannya tinjauan kemantren hidupnya berpangkal pada dunia budaya Barat Di mana setiap orang ingin bersuara dengan lingkaran geografi Eropah Barat dan berbincang tentang susila, politik dengan Negeri Belanda sebagai pusatnya dan agama seperti soal-soal yang dikuasai. (Sastrowardoyo,1980:34). Di mana setiap orang ingin jadi hakim Kritik ini sedikit-banyak berlaku juga dan mengeroyok keluarga berdansa, untuk Subagio selaku penyair dan kritikus sastra. orang asing dan borjuis yang menyendiri. Meski baru muncul pada paruh kedua dasawarsa Di mana tukang jamu disambut dengan 1950-an, orientasi budayanya sebenarnya masih hangat, dengan perhatian dan tawanya. merupakan lanjutan dari orientasi budaya Di mana ocehan di jalan lebih berharga Dari renungan tenang di kamar. STA dan Chairil Anwar jika bukan gabungan Di mana curiga lebih mendalam dari cinta keduanya. Ia adalah laskar terakhir Angkatan dan percaya. 45 yang muncul setelah zaman revolusi. Usianya dua tahun lebih muda dari Chairil Kalau aku pergi ke luar negeri, dik Karena aku ingin merdeka dan Anwar, dan satu tahu lebih tua dari Pramoedya menemukan diri” (Sastrowardoyo, 1995: Ananta Toer, tapi ia baru menerbitkan buku 12). puisi pertamanya Simfoni pada 1957, delapan tahun setelah kematian Chairil dan penerbitan Dalam puisi ini “negeri ini” bisa novel pertama Pramoedya Perburuan. Di tahun mengacu kepada negara mana pun di dunia penerbitan buku puisi pertama Subagio itu, ini, tetapi kita tahu ada sejumlah penanda terbit pula buku puisi pertama Rendra Ballada yang khas Indonesia, seperti “tukang jamu”, Orang-Orang Tercinta. Setahun sebelumnya “kemantren”, “jaga malam”, dan sejumlah terbit buku puisi Cari Muatan karya kebiasaan buruk lainnya. Dengan begitu kita (bersama Sobron Aidit dan S.M. Ardan) dan bisa membangun sebuah penafsiran bahwa Pesta, pada 1958 terbit buku puisi pertama si aku menolak sejumlah kebiasaan buruk di Ramadhan K.H. Priangan Si Jelita. negeri ini, Indonesia, yang membuatnya tersiksa Sebagai laskar terakhir Angkatan 45, sebagai individu. Ia merindukan “luar negeri”, Subagiolah yang jelas-jelas meneruskan sembari sangat mungkin negeri di Eropa atau Amerika meluaskan orientasi budaya Chairil Anwar. Jika Utara, tempat setiap hak asasi individu dijamin Subagio mendakwa Chairil hanya berpusat di oleh hukum sehingga setiap orang “merdeka” Negeri Belanda, ia ingin orientasi itu kepada dan “menemukan diri” sendiri. dunia yang lebih luas lagi, negeri (-negeri) Pendirian ini segera menempatkan asing yang anonim, yang merupakan wilayah Subagio sebagai “lawan” dari hampir semua pembebasan dan penemuan diri, lawan utama kawan-kawan segerasinya. Ia penyair yang jelas- dari negeri yang tiranik dan kampungan— jelas tidak melayani ambisi kembali ke kampung pun ke Afrika Selatan, Perjanjian Lama, dan halaman yang permai sekaligus ringsek, apalagi hikayat Seribu Satu Malam. Seperti dalam puisi kembali kepada rakyat banyak ketika Revolusi “Kampung” yang saya kutip lengkap berikut Agustus 1945 diangggap gagal dan beraksi ini: kembalinya kebudayaan feodal dan imperialis, karena itu mesti diganti dengan kebudayaan “Kalau aku pergi ke luar negeri, dik Karena hawa di sini sudah pengap oleh yang lebih demokratis, kebudayaan rakyat, pikiran-pikiran beku. sebagaimana dinyatakan oleh kaum Kiri lewat

88 Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013

Mukadimah Lekra 1950. Hanya gagak yang mengakak malam hari Jika Rendra, lewat larik-larik puisi yang Dan siang terbang mengitari bangkai ditata dengan tertib dengan permainan rima pertapa yang terbunuh dekat kuil. yang terjaga serupa nyanyian, memperkenalkan Dewa telah mati di tepi-tepi ini balada tentang kematian pahlawan dan Hanya ular yang mendesir dekat sumber pecundang di antara warna-warni alam yang Lalu minum dari mulut pelacur yang tersenyum dengan bayang cerah, maka Subagio menyajikan kematian sendiri. dewa-dewa dan kemustahilan “manusia utama” di dunia seakan hanya keabadian sorga yang Bumi ini perempuan jalang bisa menebusnya. Jika Ajip Rosidi dipandang yang menarik laki-laki jantan dan pertapa ke rawa-rawa mesum ini memulai puisi-puisi sosial yang merekam dan membunuhnya pagi hari” kegetiran hidup di Jakarta sekaligus merindukan (Sastrowardoyo, 1995: 14). kampung yang indah-permai nun di balik kabut, maka Subagio membiarkan kota-kota jahanam Puisi ini menampakkan setidaknya dua itu bernama dan tak bernama, dan kalaupun ada ciri yang menonjol. Pertama, ia menggunakan kampung, itulah kampung yang membelenggu bentuk puisi empat seuntai (kuatrin) dengan manusia dan membuatnya penuh kepalsuan. setengah hati. Hanya lariknya yang berjumlah Jika Ramadhan K.H. dengan puisi yang ringkas empat, sementara permainan rima akhir pada larik dan ketat pada rima, menampilkan dibiarkan sang penyair agak bebas (bandingkan kontras yang tinggi antara keindahan tanah dengan puisinya “Adam dan Firdaus”). Hanya Priangan dan kehancuran akibat perang bait pertama yang tampak tertib (aaab), dua saudara, maka Subagio dengan penataan larik bait berikutnya dibiarkan lepas. Bunyi “i” di yang lebih bebas dan hanya sesekali bermain akhir larik, yang tegas maupun yang samar, rima, membiarkan latar puisinya tampak hitam, masih menyarankan suasana yang lirih-perih. purba, rusak, penuh darah dan dosa. Sementara dari hubungan antar-baitnya ia Latar yang memualkan, situasi yang tampak menunjukkan bentuk yang saling tanpa harapan, manusia yang terombang- berkaitan. Jika bait pertama menegaskan ambing antara sorga dan dunia, adalah kematian dewa di rawa, kecuali burung gagak pemandangan umum di dalam puisi-puisi yang menandai telah berlangsungnya kematian Subagio Sastrowardoyo. Di dalamnya manusia itu, maka di bait kedua ia kuatkan situasi menjadi makhluk yang “salah tempat” setelah kematian itu. Pada bait ketiga ditegaskan lagi terusir dari sorga dan tak bisa kembali lagi ke bahwa perempuan jalang adalah sinonim dari Taman Firdaus. Sementara fungsinya sebagai pelacur sekaligus metafora untuk dunia yang wakil Tuhan di bumi telah dibatalkan. Ia bukan membunuh sisa-sisa laskar terakhir, lelaki jantan hanya mesti menangggung derita dan kesepian dan petapa, di pagi hari. sejak kejatuhannya hingga hari akhir, tetapi juga Kedua, suasana maut puisi ini tampak lebih menjelma makhluk haus darah. Dalam puisinya kelam dan menyakitkan ketimbang suasana “Dewa Telah Mati” yang menjadi pembuka puisi-puisi Chairil Anwar. Pada sejumlah puisi kumpulan Simfoni, Subagio menegaskan Chairil (misalnya “1943”, “Aku Berkisar Antara kematian yang lengkap- lengkapnya. Bukan Mereka”, dan “Malam”) dunia yang hancur lebur hanya dewa, tetapi juga lelaki jantan dan pertapa, itu tampak historis, Jakarta di masa revolusi, lambang dari manusia yang mau menempuh sisa-sisa derita bom atom dan Perang Dunia pelbagai risiko dan manusia yang mencari Kedua, dan upaya manusia untuk bertahan kesejatian hidup seraya mendamba sorga. dari ancaman maut itu terasa revolusioner. Saya kutip lengkap: Sementara pada puisi Subagio kehancurleburan “Tak ada dewa di rawa-rawa ini tampak mitologis dan permanen. Ironis dan

89 Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013 tanpa harapan sama-sekali. perenungan filosofis. (Kelak, kecenderungan Kuatnya tema kematian masih kita ini menguat dalam puisi-puisi Goenawan bisa kita temukan dalam puisi-puisi Subagio Mohamad). Kehendak untuk berpikir yang kemudian, bahkan hingga puisi-puisi menggiring puisi-puisi Subagio lebih banyak ke terakhirnya sebelum ia berpulang—pokok wilayah prosa, dan pelan-pelan meninggalkan soal yang juga telah menjadi perhatian Chairil watak puisi liris yang tampak dominan dalam di masa sebelumnya. Tetapi dalam konteks panorama puisi Indonesia modern. Apa yang kemunculannya, puisi-puisi Subagio menjadi dinyatakan Subagio tampaknya dekat dengan semacam suara sumbang bagi kerumunan apa yang terjadi pada puisi-puisi Polandia puisi yang berambisi menggerakkan orang modern. Dalam pengantarnya untuk kumpulan banyak dan mengumandangkan optimisme, di puisi pilihan Wislawa Szymborska, Czeslaw tengah karut-marut Indonesia akibat revolusi Milosz, penyair Polandia pemenang Hadiah dan perang saudara. Dengan pesimisme Nobel 1980, menegaskan bahwa puisi-puisi itu sebenarnya ia menempatkan manusia Polandia, termasuk Szymborska di dalamnya, (penyair) pada posisinya yang wajar. Manusia telah menjadi “meditasi eksistensial”, dengan yang menetapkan pilihan sikapnya, di tengah meninggalkan puisi murni dan memulai arus pendapat dan kecenderungan umum di wacana yang selalu tampak prosaic masyarakat. Baginya kesusastraan harus bersifat (Szymborska, 2001: 3). “individuil” Dengan individualitas ini pula ia Sebagaimana ditunjukkan Milosz membawa puisi Indonesia modern kepada dalam puisi-puisi Szymborska gejala ini salah tahap yang penting: puisi sebagai renungan satunya tampil lewat kecenderungan puisi yang filosofis. Ia sendiri pernah menyebut puisinya bergerak bolak-balik antara puisi dan esai. sebagai semacam―pengentalan pandangan Bedanya adalah jika puisi-puisi Szymborska yang filsafat”. Dalam suratnya kepada H.B. tampak penuh ironi dan humor, maka puisi- Jassin, kritikus sastra sekaligus redaktur Mimbar puisi Subagio menegaskan ironi dan sindiran Indonesia yang mengulas Simfoni, Subagio tetapi tanpa humor sama sekali. menegaskan seperti ini: Abstrak, Indrawi, Naratif “Bagiku, kesusastraan, lebih lagi Kehendak untuk menyampaikan puisinya, harus berupa filsafat, yang lahir dari kepenuhan pribadi manusia, pemikiran (filsafat dan lain-lain) pada akhirnya filsafat yang berupa pengentalan dan menempatkan puisi-puisi Subagio selalu pengendapan pengalaman jasmaniah dalam ketegangan antara “yang abstrak” dan dan rohaniah. Dan sumber galian “yang indrawi”. Pertentangan itu dalam skala pengalaman-pengalaman itu adalah di dalam alam bawahsadar, daerah gelap yang sederhana berlangsung antara hasrat rahasia itu tetapi kaya akan air hayat, menyatakan konsep lewat kata benda abstrak sumber kesadaran yang cerah tentang atau kata sifat dan mendedahkan aneka bentuk jagat, manusia dan Tuhan” (dalam citraan yang bisa diserap kelima indra kita Sastrowardoyo, 1971: 50). (terutama penglihatan dan pendengaran), yang karenanya puisi bisa sampai kepada pembaca Pernyataan semacam ini tentu saja hanya dalam kesemestaan tubuhnya. Dalam puisi- sebatas pernyataan, dan tidak bisa menjadi puisi Subagio yang berambisi melancarkan kritik pedoman yang kokoh untuk menelaah puisi- sosial, ketegangan ini tampak memenangkan puisi seorang penyair. Tetapi bagian ini cukup apa yang abstrak, dan mengesampingkan aneka menegaskan di mana posisi kepenyairan jenis citraan. Tetapi, dalam konteks ini Subagio Subagio Sastrowardoyo. Bagi saya dialah sungguh tidak ambil pusing. Sebab baginya penyair Indonesia modern yang secara kespontanan dan kejujuran jauh lebih penting sadar menjadikan puisinya sebagai medan sebagai esensi puisi, ketimbang menata puisi ke

90 Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013 dalam larik-larik yang tertib dan menyuarakan Juga kehormatan bagi manusia dan kemerduan rima. keturunan. Atau kita menyerah saja kepada kehinaan Puisi “Daerah Perbatasan” (yang menjadi dan hidup tak berarti. judul buku puisi kedua Subagio dan terbit Lebih baik mati. pada 1970) memperlihatkan bagaimana hasrat Mati lebih mulia membuat pernyataan dan menggelontorkan dan kekal daripada seribu tahun terbelenggu dalam penyesalan. pikiran itu menuntut sebanyak mungkin Karena itu kita tetap di pos penjagaan pemakaian kata-kata benda abstrak atau kata atau menyusup di lorong-lorong kota sifat (perbatasan, kebimbangan, keputusan, pedalaman merdeka, kemerdekaan, keselamatan, bahagia, dengan pestol di pinggang dan bedil di tangan. kehormatan, keturunan, kehinaan… tak (Sepagi tadi sudah jatuh korban.) kurang 22 di bagian I, 30 di bagian II, dan Hidup menuntut pertaruhan, dan 10 di bagian III). Kata-kata itu pada dirinya kematian hanya sendiri adalah hasil abstraksi mengenai keadaan menjamin kita menang. Tetapkan hati. atau nasib manusia. Dengan bentuknya itu ia Tak boleh lagi ada kebimbangan di tengah telah mengunci konsep tentang sesuai dan kelaliman terus mengancam. tak mungkin diuraikan dalam puisi, kecuali Taruhannya hanya mati” (Sastrowardoyo, menyerahkannya kepada penafsiran pembaca. 1980: 19). Bandingkan, misalnya, dengan puisi “Tentang Kemerdekaan” (1953) karya Toto Sudarto Dalam bagian ini, sebagaimana bagian Bachtiar yang mencoba menguraikan atau II dan III, pemakaian kata-kata abstrak yang merinci pengertian kemerdekaan itu dalam ekstensif membuat puisi itu tampak seperti teks tiga larik: “Kemerdekaan ialah tanah air dan laut pidato. Jika larik-lariknya diketik bersambung semua suara/ Jangan takut kepadanya// Kemerdekaan terus, tanpa penataan tipografi, ia sungguh tak ialah tanah air penyair dan pengembara/ Jangan takut beda dengan teks pidato seorang komandan kepadanya// Kemerdekaan ialah cinta salih yang perang di depan anggota pasukannya yang mesra/ Bawalah daku kepadanya”(Bachtiar, 1977: cemas dan terancam oleh maut. Dengan 24). Dengan cara begini pembaca mendapatkan penataan tipografi seperti ini memang masih bukan hanya batasan tetapi juga uraian dari tampak permainan rima akhir. Bahkan jika 12 konsep yang dimaksud. Sementara dalam puisi larik pertama dibagi menjadi masing-masing Subagio pemahaman pembaca akan konsep- empat larik, akan tampak permainan rima konsep itu sudah dianggap final, pembaca akhir (abab, aaab, abbb) sebagaimana dalam dianggap paham akan apa yang dimaksudkan kuatrin. Namun, hanya permainan rima yang penyair. mempertahankan kadar kepuisian dalam puisi Sebab yang memang disasar adalah ini. Selebihnya adalah rentetan pernyataan pemahaman langsung pendengar atau pembaca pikiran, semburan kata-kata benda abstrak kepada isi atau pesan puisi itu. Setelah itu adalah yang ingin menggugah khalayak pendengarnya. sikap si pendengar/pembaca akan pesan yang Jika ada majas perbandingan itulah yang disampaikan. Saya kutipkan bagian I: tampak pada larik 9—11: “Lebih baik mati. Mati lebih mulia/dan kekal daripada seribu tahun/ “Kita selalu berada di daerah perbatasan terbelenggu dalam penyesalan” Majas perbandingan antara menang dan mati. yang diambil Subagio sebagai tampikan atau Tak boleh lagi ada kebimbangan memilih keputusan: permainan terhadap pernyataan Chairil Anwar Adakah kita mau merdeka atau dijajah yang amat terkenal, yang diambil dari larik lagi. terakhir puisi “Aku” atau “Semangat”: “Aku Kemerdekaan berarti keselamatan dan mau hidup seribu tahun lagi”. bahagia, Sementara puisi “Manusia Pertama di

91 Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013

Angkasa Luar” memperlihatkan bagaimana sendiri (Sastrowardoyo, 1980: 12). kehendak untuk berpikir dan membuat Yang cukup menarik adalah pernyataan di pernyataan itu sebenarnya bisa berlangsung dua larik terakhir itu: “Bunda,/Jangan membiarkan dalam bentuk yang prosais, tetapi di dalamnya aku sendiri.” Pernyataan ini tentu saja menyadap masih kita temukan permainan citraan dan tenaganya dari kalimat Yesus ketika disalibkan: penataan bunyi yang cukup tertib dan merdu. “Eli, eli, lama sabakhtani.” Kalimat ratapan Puisi ini terdiri atas dua bait (bait kesatu 38 ini juga menegaskan permainan lambang larik, bait kedua dua larik) yang menghadirkan yang selama ini dijalankan Subagio. Bunda di seorang angkasawan sebagai manusia-ilmuwan sini bermakna ganda. Ibu sebagai orang tua yang kesepian di angkasa luar. Di awal si subjek- yang melahirkan anak, juga perlambang dari lirik sudah menyatakan posisinya bahwa ―aku bumi. Pernyataan yang membenarkan konsep telah sampai pada tepi/darimana aku tak mungkin lagi “Ibu bumi” dalam antropologi, sebagaimana kembali.” Sebuah pernyataan yang berimplikasi ditegaskan Subagio dalam di larik akhir puisi pada nasibnya di kemudian hari. Suasananya “Parasu Rama: “Bumi adalah ibuku”. Apakah memang monokromatik, tetapi dibangun itu berarti dengan penerbangan ke angkasa dengan permainan rima akhir yang cukup sedap: luar ini sang angkasawan ini kembali kepada ― “Aku kini melayang di tengah ruang/Di mana tak ayah langit”, sebagaimana Muhammad mikraj terpisah malam dan siang./Hanya lautan yang hampa dan Yesus naik ke langit? Bisa jadi. Jadi, siapa dilingkung cemerlang bintang. Bumi tenggelam dan dia selama ini sebenarnya? Manusia biasa atau langit makin jauh mengawang.” Suasana seperti jelmaan bidadari? Apa sebenarnya fungsi ini membuat tenang, mengenyangkan, tetapi ilmu pengetahuan bagi manusia? Membuat sebaliknya menyebabkan rindu. Itulah satu jenis manusia makin sejahtera, beradab, atau bisa perasaan yang tidak intelektualistis dan tidak juga melayani hasrat manusia sorgawi? masuk wilayah sains, jika bukan pernyataan Hasrat untuk menyampaikan pemikiran seorang melankolis. Tapi itulah yang membuat dalam puisi-puisi Subagio juga bisa berbanding ia menjadi manusiawi, rindu kepada segala yang lurus dengan hasrat bercerita. Di samping ada di bumi: anak-istrinya, ibunya, barang- mengerjakan puisi lirik, Subagio menjalankan barangnya, pergantian cuaca, dan seterusnya. puisi naratif—sebagaimana ia juga menulis Yang dicita kemudian adalah puisi, “Berilah aku sejumlah cerita pendek dan diterbitkan dalam satu kata puisi/daripada seribu rumus ilmu yang Kejantanan di Sumbing. Jika puisi lirik terasa penuh janji/yang menyebabkan aku terlontar kini memadatkan ujaran atau suasana tertentu, jauh dari bumi/yang kukasih”. dengan pola-pola kuatrin yang nyaris tetap, maka Soalnya kemudian, kepada siapa ia puisi naratif menguraikan atau mencairkannya meminta puisi? Kepada penyair yang berada di hingga sampai pada batas tertentu kita luar puisi itu atau kepada sanak-keluarga di dalam mendapatkan semacam bayangan kisah, dengan puisi itu tapi bukan penyair? Puisi jenis apa? larik-larik yang kadang dibiarkan bergerak Bagaimana pula mengirimkannya? Permintaan sesuai tuntutan kisah. Itulah yang dilakukan ini pada akhirnya memang tidak menuntut Subagio jika ia berhadapan dengan peristiwa pemenuhan, hanya untuk menegaskan nasib keseharian yang menarik hati, atau fragmen tragis seorang angkasawan, kaum intelektual, Perjanjian Lama dan mitologi pewayangan yang mencapai puncak prestasi tertinggi, yang membuatnya terangsang. Puisi “Manusia tetapi merasa kesepian, terpisah dari bumi, Pertama di Angkasa Luar” sedikit banyak sanak-keluarga, puisi. Prestasi yang terus- mengandung bayangan kisah—sebagaimana menerus menjauhkan dirinya dari segala yang puisi “Drama Penyaliban dalam Satu Adegan”, ada di bumi tadi: “Aku makin jauh, makin jauh/ “Parasu Rama”, “Salju”, “Sayap Patah”, Dari bumi yang kukasih. Hari makin sepi/Makin “Kayal Arjuna”, “Hari dan Hara”, “Perempuan gemuruh”.// Bunda,/Jangan membiarkan aku yang Berumah Dekat Pantai”, “Petualang”, dan

92 Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013

“Mata Penyair”, sekadar menyebut beberapa yang sejati yang lurus datang dari perasaan serta judul. bayangan batinnya”, tulis Subagio. Sudah menjadi rahasia umum, kisah- kisah yang telah menjadi pengetahuan masyarakat Lambang dan Permainannya tertentu, dari yang zaman kuno hingga masa Arjuna dalam puisi “Kayal Arjuna” telah kini, seperti Adam dan Hawa di Firdaus atau menjadi lambang dari kemurnian perasaan tokoh-tokoh pewayangan, telah merangsang dan insting manusia. Sementara Adam adalah para penulis fiksi dan penyair dari pelbagai lambang dari nasib manusia malang, manusia negeri dan generasi. Pada puisi naratif yang yang terlempar ke bumi, atau Sita melambangkan bersumber dari kisah-kisah ini hampir selalu keberanian dan pertaruhan perempuan dalam berlaku rumus “penceritaan kembali” atau menentukan pilihan hidupnya meski itu “penulisan ulang” yang membuat “kisah” harus ditebus oleh kematian. Adapun kulit kedua selalu bergerak sebagai alternatif, bahkan bawang melambang- kan tubuh manusia yang subversi terhadap kisah sumbernya. Misalnya rusak dan habis diperkuda oleh dunia. Semua puisi― “Kayal” Arjuna berikut ini: ini adalah bagian dari proyek Subagio dalam memainkan lambang dan metafora dalam puisi- “tanpa sekali puisinya. Dalam tataran ini, Subagio sebenarnya melangkah ke medan Kuru hanya dibayangkan saja rupa lawannya berdiri dalam barisan penyair simbolis yang di dalam angan-angan mengeksplorasi beberapa lambang penting dan ditusuknya dengan dan bersifat sangat pribadi. Dalam puisi-puisi pedang jantung dan perutnya simbolis memang ada pertautan yang erat sehingga keluar darah dan ususnya dan terang terdengar teriak aduh antara sensibilitas manusia dengan fenomena dan rubuhnya ke tanah alam. Penyair menunjukkan perasaannya, atau lelaki itu terbunuh dari jauh perasaan manusia yang tengah diceritakannya —bagaimana melepaskan dendam birahi? dalam puisi, dengan mengambil perumpamaan lihat, ditegangkan pikirannya di kening terkenang kekasih dari alam sekitar. Itulah mengapa puisi-puisi mukanya bersimbah peluh simbolis cenderung mengeksploitasi pelbagai tubuhnya menggeliat dan mengerang anasir alam (manusia, binatang, tumbuhan) dan dari alat jantannya untuk menyatakan apa yang menjadi suara si mengalir air mani seperti di dalam mimpi” (Sastrowardoyo, subjek-lirik. Dalam kasus ini puisi adalah hutan 1975: 88). simbol “forest of symbols” (Baudelaire, 1982: 15), tempat manusia (pembaca) bertamasya Fragmen seperti ini, mungkin, tidak menyadap aneka makna. Tapi, bagaimanakah pernah ada dalam wiracarita Mahabharata, itu terjadi? Bagaimana lambang itu muncul dan tetapi Subagio berhasil membangun kisah baru apa pula kaitannya dengan lambang lainnya? dengan memanfaatkan mitos kesaktian Arjuna Bagaimana pula ia mempengaruhi struktur sebagai satria penengah Pandawa. Puisi ini puisi? tampak subversif, tetapi kreativitas seperti ini Pada akhirnya, lambang adalah selalu dimungkinkan. Dengan ini sebenarnya sebentuk metafora juga, yang dengannya Subagio ingin menyasar sesuatu yang lain, hal seseorang menyatakan sesuatu dengan yang pernah dikatakan dalam sebuah esainya cara membandingkannya dengan sesuatu “Mengapa Saya Menulis Sajak” (Sastrowardoyo, yang lain, sebab pada sesuatu yang lain itu 1975: 109). Bahwa tokoh-tokoh mitologi seperti terdapat kesamaan karakter dengan apa yang itu berbeda dari manusia modern yang banyak ingin dikatakan. Dengan membandingkan, pertimbangan moral dan hukum. “Mereka sebenarnya, seseorang tengah meluaskan berbicara dan berlaku sesuai dengan desakan karakter atau mencari ciri-ciri umum yang menonjol dari sesuatu yang dimaksudkan dan

93 Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013 ditemukan persamaannya dengan apa yang mulanya menggoda dan menarik ―laki-laki ada pada pihak lain. Perbandingannya bukan jantan” (petualang, pemburu dunia) dan lagi manusia dengan manusia, tetapi manusia “pertapa” (orang salih, pemburu akhirat), dengan binatang, tumbuhan, benda mati, atau lantar membunuh mereka. Tetapi yang dibunuh sebaliknya. Ia juga mencoba membandingkan bukan hanya manusia, tetapi juga dewa sebagai sesuatu yang abstrak dengan yang indrawi. Jika kekuatan ilahiah, penguasa manusia. Dengan “cinta yang sederhana” dianggap terlalu abstrak, terbunuhnya sang dewa, maka hanya tinggal maka ia perlu dibandingkan dengan sesuatu bumi yang menarik sekaligus kejam ini yang yang lebih nyata. Misalnya, dengan “kata”, tersisa. Artinya, sebenarnya, tidak ada lagi yang tetapi dengan kata yang apa? Seorang penyair tersisa di bumi. Hanya ada binatang (gagak, ular) seperti menurunkan yang berkuasa di antara bangkai, sebagaimana penjelasannya, ―dengan kata yang tak sempat tergambar dalam rekonstruksi prasejarah. diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya Puisi ini dengan caranya sendiri telah abu (Damono,1994:91). Kita bisa menarik membalik mitos penciptaan sekaligus melejitkan kesimpulan, cinta yang sederhana adalah cinta ironi. Adam, manusia yang memiliki kekuatan yang tetap rahasia, tak terkatakan, yang kelak ilahiah itu sebenarnya tidak berdaya di atas melenyapkan “pecinta” demi menghadirkan bumi yang kejam ini. Ia bukan lagi wakil Tuhan dan membesarkan si “tercinta”. Artinya, ia di bumi, tetapi korban dari bumi yang ganas. pasrah sekaligus tulus, tanpa pamrih, tapi juga Jika bumi dipercaya sebagai perempuan, puisi fatal. ini juga membongkar mitos yang selama ini Kesimpulan itu baru bisa didapat setelah dilembagakan bahwa manusia (laki-laki) yang pembaca merinci apa saja yang menjadi diturunkan dari langit akan menguasai bumi, karakteristik lambang tersebut. Karena itu, memperkudanya sesuai keinginannya, seperti dalam menangkap makna sebuah metafora/ terekam dalam puisi “Adam dan Firdaus”. lambang amatlah perlu meneliti atau mencermati Tetapi di sini ia telah kalah, justru di pagi hari, apa-apa yang menjadi karakteristik si lambang. saat yang selama ini dianggap sebagai mulainya Memang, ada kemungkinan meleset. Artinya, hari baru, masa tumbuhnya pelbagai harapan apa yang dicobajadikan lambang berbeda hidup. dengan makna yang dimaksudkan. Menurut Permainan lambang dalam puisi “Dewa kritikus I.A. Richards, selalu ada tegangan Telah Mati” tampak bertingkat dan gerakannya antara kata yang menjadi “wahana” (vehicle) mengikat seluruh struktur puisi. Dalam dengan makna yang sebenarnya (tenor), antara permainan yang lebih sederhana dan singkat, yang tertulis dan yang tersembunyi di baliknya ia memancarkan makna yang tak kalah luasnya. (Preminger,1993:1268). Sesuatu yang dikatakan Seperti dalam puisi “Kayon” berikut ini: akan tampil dengan segala keajaibannya sebelum akhirnya kita menemukan apa yang “pohon purba —di tengah hutan merah tua— sebenarnya di baliknya. Di mana ia bersembunyi tahu akan makna dunia maka diam dan bagaimana rupanya, tugas pembacalah tak bicara” (Sastrowardoyo,1975: 88) menemukannya. Puisi Subagio Sastrowardoyo ”Dewa Dengan struktur yang memadat serupa Telah Mati” yang telah saya kutip di atas, haiku, puisi ini memberikan kepada pembaca memainkan lambang dan metafora yang tantangan penafsiran yang luas sekali. Kayon, sangat dekat dengan Perjanjian Lama. Yakni, yang biasa dipakai untuk pertunjukkan wayang Taman Eden, Eva, dan Ular. “Pelacur” kulit, adalah lambang yang mujarab untuk atau “perempuan jalang” adalah lambang dari menggambarkan kesemestaan pengetahuan bumi yang penuh dosa dan ancaman maut tentang alam dan manusia. Ia tidak mewartakan (rawa-rawa mesum, ular). Ia pelacur yang pada

94 Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013 hal-hal di dalamnya dengan perincian, tetapi Kalau saban malam aku lama terbangun: cukup diam saja dan menampilkan dirinya hidup ini makin mengikat dan mengurung. Apakah arti sajak ini: apa adanya. Kali ini, rahasia sungguh tidak Piaraan anggrek tricolor di rumah atau membutuhkan kata untuk menyingkapnya. pelarian kecut ke hari akhir? Biarkan mereka yang mencari makna yang melakukannya. Ah, sajak ini, Mengingatkan aku kepada langit dan Permainan lambang seperti ini, dalam mega. puisi-puisi Subagio, bisa diperluas hingga kepada Sajak ini mengingatkan kepada kisah dan yang lain lagi, tetapi kepentingannya nyaris keabadian. tetap. Bahwa seluruh alam isi alam semesta ini Sajak ini melupakan aku kepada pisau dan tali. adalah perlambang yang bisa digunakan oleh Sajak ini melupakan kepada bunuh diri” penyair, sepanjang ia punya keterampilan yang (Sastrowardoyo,1995: 6). cukup untuk memainkan majas perbandingan dan asosiasi antara makna yang ingin dicapai Jika puisi itu tampak sebagai otokritik dengan lambang yang dipakai. Kebutuhan untuk puisi, puisi “Mata Penyair” justru ini hampir mutlak. Sebab tanpa lambang atau menegaskan betapa istimewanya penyair dan metafora, tak akan lahir puisi. alangkah berbahayanya jika salah memahami penyair dan puisi. Jika masyarakat miskin dan Batas Puisi, Ironi Hidup kelaparan yang tidak paham puisi, tidak mengerti Kita telah mendapatkan banyak permainan makna di dalamnya, mencoba sekali puisi tentang puisi (ars poetica). Itulah merebut kemerdekaan penyair itu, maka akan pernyataan penyair tentang bagaimana puisi tampak kepedihan dan kedunguan yang tak ditulis dan rumusan pribadi tentang puisi itu bertepi. Apalagi memaknai secara harfiah “Mata sendiri. Subagio mengerjakan beberapa puisi Penyair” yang katanya bisa mengubah “butiran yang di dalamnya menyinggung apa itu puisi pasir yang tercecer dari karung menjadi emas di dan bagaimana menciptakannya. Tetapi lebih jalan”. “Biji mata penyair” adalah organ tubuh dari itu ia justru mengukur daya tahan puisi, yang biasa saja, tetapi “Mata Penyair” adalah keunggulan sekaligus kekurangannya, jika ia alat yang teramat istimewa untuk melihat apa- dibandingkan dengan soal-soal lain di dalam apa yang tidak bisa dilihat manusia kebanyakan. kehidupan manusia. Pada batas inilah watak puisi Maka gerombolan orang miskin yang kelaparan Subagio sebagai medan ironi muncul sangat dan gusar mengorek, merebus, dan memakan meyakinkan. Baginya puisi punya batas dan “biji mata penyair” dan tidak terjadi apa-apa. karena itu ia menjadi wajar dan menyenangkan, Tetapi sebaliknya, tanpa “biji mata” sang dan karena itu pula ia menumbuhkan cinta yang penyair justru melihat “semua begitu indah. terus-menerus dan menunda seorang penyair Begitu indahnya.” Saya kutipkan dua bait untuk bunuh diri. Puisi “Sajak” menyatakannya terakhir: begini: “Tetapi rakyat yang putusasa tidak “Apakah arti sajak ini peduli. Mereka renggut mata penyair Kalau anak semalam batuk-batuk, dari lubang matanya, dan lewat kedua bau vicks dan kayuputih bola matanya mereka melihat dunia melekat di kelambu. sekelilingnya. Tetapi pasir yang tercecer Kalau istri terus mengeluh tidak menjadi emas. Mereka menjadi tentang kurang tidur, tentang kecewa dan merebus dan melahap kedua gajiku yang tekor buat bola mata itu. Dan tidak terjadi apa-apa. bayar dokter, bujang dan makan sehari. Kalau terbayang pantalon Penyair yang buta itu duduk di sudah sebulan sobek tak terjahit. jendela dan tertawa menghadap ke Apakah arti sajak ini kota. Tanpa mata dilihatnya semua

95 Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013

begitu indahnya. Begitu indahnya!” Simphoni” dalam Simphoni Jakarta: (Sastrowardoyo, 1995: 133). Pustaka Jaya. ______. 1975. Keroncong Motinggo. Jakarta: Tegangan antara puisi dan penyair atau Pustaka Jaya. puisi dan khalayaknya memang bagian yang ______.1980. Daerah Perbatasan. Jakarta: Balai menjadi perhatian Subagio, bukan hanya Pustaka. dalam puisi-puisinya, tetapi juga dalam sejumlah ______.1995. Dan Kematian Makin Akrab. esainya. Baginya, ada perbedaan mencolok Jakarta: Grasindo. antara penyair bakat alam dengan penyair yang Szymborska, Wislawa. 2001. Miracle Fair: Selected menggunakan intelektualisme dalam bekerja. Poems, terjemahan Joanna Trzeciak. Sampai pada tahap ini, baru Subagiolah yang New York: WW Norton & Company. sejak awal menegaskan betapa pentingnya intelektualisme dalam puisi. Soal yang bukan hanya ia anjurkan kepada penyair lain, tetapi ia amalkan dalam puisi. puisinya. Dan itu telah menjebak dirinya dalam ketegangan yang tak habis-habisnya antara memadatkan dan menguraikan ungkapan, antara menggunakan abstraksi dengan mengedepankan pengindraan, antara memeluk dengan teguh puisi dan mengesampingkannya. Soal yang hampir tidak menjadi perhatian Chairil Anwar, sosok yang darinya Subagio mengambil ilham dan memantapkan posisinya dalam khazanah sastra Indonesia modern.

Daftar Pustaka Alex Preminger dan TVF Brogan, ed., 1993. The New Princeton Encyclopedia of Poetry and Poetics. New Jersey: Princeton University Press. Anders, Jaroslaw. 2009. Between Fire and Sleep: Essay on Modern Polish Poetry and Prose. New Haven and London: Yale University Press. Bachtiar, Toto Sudarto. 1977. Suara. Jakarta: Balai Pustaka. Baudelaire, Charles. 1982. Les Fleurs du Mal, terjemahan Richard Howard. Boston: David R Godin Publisher. Damono, Sapardi Djoko. 1994. Hujan Bulan Juni. Jakarta: Grasindo. Mohamad, Goenawan. 2003. Kesusastraan dan Kekuasaaan. Jakarta: Pustaka Firdaus. Sani, Asrul. 1950. Surat Kepercayaan Gelanggang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sastrowardoyo, Subagio. 1971. “Catatan tentang

96