Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013 PEMBICARAAN RINGKAS PUISI-PUISI SUBAGIO SASTROWARDOYO Zen Hae Bahasa dan Sastra IKIP Universitas Negeri Jakarta [email protected] Abstrak Tulisan ini mencoba membahas kembali segi-segi terpenting puisi Subagio Sastrowardoyo. Pada mulanya ia mencoba mendudukkan Subagio dalam peta sastra Indonesia modern seraya membandingkannya dengan pendahulu dan kawan-kawan penyair segenerasinya. Dalam perbandingan ini tampak perbedaan dan ciri-ciri penting Subagio, terutama lagi sumbangannya pada puisi Indonesia hari ini. Yakni dengan memperkenalkan kembali―puisi esai” (essay poem/essayistic poetry) yang sudah lebih dulu tumbuh dalam khazanah sastra asing. Dalam jenis ini puisi Subagio tampak sebagai upaya berpikir yang tak habis-habisnya, yang lebih menonjolkan yang abstrak ketimbang yang indrawi, yang prosais daripada yang puitis. Sebagai puisi yang prosais puisi-puisi Subagio tampak bukan sekadar penceritaan kembali akan khazanah tertentu, misalnya mitologi perwayangan, tetapi subversi terhadap kisah asalnya. Di bagian lain, puisi Subagio juga menunjukkan wataknya sebagai puisi simbolis yang kuat, di samping mencoba merumuskan kembali puisi di dalam puisi (ars poetica), sebuah cara untuk menyajikan ironi terhadap puisi dan jalan kepenyairan yang dipilihnya. Kata kunci: Subagio, puisi esai, prosais, subversi Abstract This paper attempts to discuss the return of the most important aspects of poetry Subagio Sastrowardoyo. At first he tried to sit Subagio in modern Indonesian literature map by comparing with predecessor and fellow poet of his generation. In this comparison, its difference and important characteristics are found, especially their contribution to today‘s Indonesian that is by reintroducing “poetic essays” (essay poem/essayistic poetry) which had already been growing in the treasures of foreign literature. In Subagio‘s type, poetry is seen as an attempt to think the endless, which further underline abstract rather than the sensory which is prosaic rather than poetic. As prosaic poem, Subagio seems not merely retelling certain treasures, such as puppetry mythology, but the subversion of the origin story. In other parts, Subagio‘s poetry also shows his character as a strong symbolic poetry and also trying to reformulate the poems in the poetry (Ars Poetica) as a way to present poetry and irony in his chosen style of writing poems. Keywords: Subagio, essayistic poetry, prose writer, subversion Pendahuluan suara sendiri” (Sani,1997:3). Orientasi budaya Lewat esainya yang berjudul “Orientasi ini tentu saja lebih luwes ketimbang apa yang Budaya Chairil Anwar” Subagio Sastrowardoyo pernah menjadi sikap generasi Pujangga Baru. telah menyatakan bahwa Chairil Anwar Meskipun Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dan penyair-penyair segenerasinya tidak sebagai juru bicara angkatan ini menganjurkan melihat perbedaan Timur dan Barat, karena bangsa Indonesia yang sedang bangkit ini yang hendak dituju adalah humanisme yang harus memilih Barat sebagai orientasi budaya, universal. Atau sebagaimana ditegaskan dalam sanggahan yang menganjurkan sebuah “Surat Kepercayaan Gelanggang (1950), esai sintesis budaya Timur dan Barat, terutama pendek Asrul Sani yang kerap dianggap sebagai yang dianjurkan Sanoesi Pane, juga tak kalah manifesto Angkatan 45, jika ada “kebudayaan kerasnya. Di bidang kesusastraan, misalnya, Indonesia” maka itu adalah kebudayaan yang generasi Pujangga Baru mengamalkan soneta ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai sebagai bentuk baru yang diimpor dari Barat rangsang suara yang disebabkan suara-suara (Belanda), tetapi itu sebenarnya hanyalah yang dilontarkan dari segala sudut dunia yang modernisasi bentuk pantun yang tumbuh dalam kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk khazanah sastra Melayu tradisional. Paradoks 87 Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013 itu oleh Chairil Anwar dibereskan dengan mereguk seluruhnya sari pati kebudayaan Hidup di negeri ini seperti di dalam kampung Di mana setiap orang ingin Barat atau dunia. Masalahnya adalah manakah bikin peraturan mengenai lalulintas Barat itu? Di bagian lain esainya Subagio di gang, jaga malam dan daftar diri di menegaskan, Dalam kenyataannya tinjauan kemantren hidupnya berpangkal pada dunia budaya Barat Di mana setiap orang ingin bersuara dengan lingkaran geografi Eropah Barat dan berbincang tentang susila, politik dengan Negeri Belanda sebagai pusatnya dan agama seperti soal-soal yang dikuasai. (Sastrowardoyo,1980:34). Di mana setiap orang ingin jadi hakim Kritik ini sedikit-banyak berlaku juga dan mengeroyok keluarga berdansa, untuk Subagio selaku penyair dan kritikus sastra. orang asing dan borjuis yang menyendiri. Meski baru muncul pada paruh kedua dasawarsa Di mana tukang jamu disambut dengan 1950-an, orientasi budayanya sebenarnya masih hangat, dengan perhatian dan tawanya. merupakan lanjutan dari orientasi budaya Di mana ocehan di jalan lebih berharga Dari renungan tenang di kamar. STA dan Chairil Anwar jika bukan gabungan Di mana curiga lebih mendalam dari cinta keduanya. Ia adalah laskar terakhir Angkatan dan percaya. 45 yang muncul setelah zaman revolusi. Usianya dua tahun lebih muda dari Chairil Kalau aku pergi ke luar negeri, dik Karena aku ingin merdeka dan Anwar, dan satu tahu lebih tua dari Pramoedya menemukan diri” (Sastrowardoyo, 1995: Ananta Toer, tapi ia baru menerbitkan buku 12). puisi pertamanya Simfoni pada 1957, delapan tahun setelah kematian Chairil dan penerbitan Dalam puisi ini “negeri ini” bisa novel pertama Pramoedya Perburuan. Di tahun mengacu kepada negara mana pun di dunia penerbitan buku puisi pertama Subagio itu, ini, tetapi kita tahu ada sejumlah penanda terbit pula buku puisi pertama Rendra Ballada yang khas Indonesia, seperti “tukang jamu”, Orang-Orang Tercinta. Setahun sebelumnya “kemantren”, “jaga malam”, dan sejumlah terbit buku puisi Cari Muatan karya Ajip Rosidi kebiasaan buruk lainnya. Dengan begitu kita (bersama Sobron Aidit dan S.M. Ardan) dan bisa membangun sebuah penafsiran bahwa Pesta, pada 1958 terbit buku puisi pertama si aku menolak sejumlah kebiasaan buruk di Ramadhan K.H. Priangan Si Jelita. negeri ini, Indonesia, yang membuatnya tersiksa Sebagai laskar terakhir Angkatan 45, sebagai individu. Ia merindukan “luar negeri”, Subagiolah yang jelas-jelas meneruskan sembari sangat mungkin negeri di Eropa atau Amerika meluaskan orientasi budaya Chairil Anwar. Jika Utara, tempat setiap hak asasi individu dijamin Subagio mendakwa Chairil hanya berpusat di oleh hukum sehingga setiap orang “merdeka” Negeri Belanda, ia ingin orientasi itu kepada dan “menemukan diri” sendiri. dunia yang lebih luas lagi, negeri (-negeri) Pendirian ini segera menempatkan asing yang anonim, yang merupakan wilayah Subagio sebagai “lawan” dari hampir semua pembebasan dan penemuan diri, lawan utama kawan-kawan segerasinya. Ia penyair yang jelas- dari negeri yang tiranik dan kampungan— jelas tidak melayani ambisi kembali ke kampung pun ke Afrika Selatan, Perjanjian Lama, dan halaman yang permai sekaligus ringsek, apalagi hikayat Seribu Satu Malam. Seperti dalam puisi kembali kepada rakyat banyak ketika Revolusi “Kampung” yang saya kutip lengkap berikut Agustus 1945 diangggap gagal dan beraksi ini: kembalinya kebudayaan feodal dan imperialis, karena itu mesti diganti dengan kebudayaan “Kalau aku pergi ke luar negeri, dik Karena hawa di sini sudah pengap oleh yang lebih demokratis, kebudayaan rakyat, pikiran-pikiran beku. sebagaimana dinyatakan oleh kaum Kiri lewat 88 Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013 Mukadimah Lekra 1950. Hanya gagak yang mengakak malam hari Jika Rendra, lewat larik-larik puisi yang Dan siang terbang mengitari bangkai ditata dengan tertib dengan permainan rima pertapa yang terbunuh dekat kuil. yang terjaga serupa nyanyian, memperkenalkan Dewa telah mati di tepi-tepi ini balada tentang kematian pahlawan dan Hanya ular yang mendesir dekat sumber pecundang di antara warna-warni alam yang Lalu minum dari mulut pelacur yang tersenyum dengan bayang cerah, maka Subagio menyajikan kematian sendiri. dewa-dewa dan kemustahilan “manusia utama” di dunia seakan hanya keabadian sorga yang Bumi ini perempuan jalang bisa menebusnya. Jika Ajip Rosidi dipandang yang menarik laki-laki jantan dan pertapa ke rawa-rawa mesum ini memulai puisi-puisi sosial yang merekam dan membunuhnya pagi hari” kegetiran hidup di Jakarta sekaligus merindukan (Sastrowardoyo, 1995: 14). kampung yang indah-permai nun di balik kabut, maka Subagio membiarkan kota-kota jahanam Puisi ini menampakkan setidaknya dua itu bernama dan tak bernama, dan kalaupun ada ciri yang menonjol. Pertama, ia menggunakan kampung, itulah kampung yang membelenggu bentuk puisi empat seuntai (kuatrin) dengan manusia dan membuatnya penuh kepalsuan. setengah hati. Hanya lariknya yang berjumlah Jika Ramadhan K.H. dengan puisi yang ringkas empat, sementara permainan rima akhir pada larik dan ketat pada rima, menampilkan dibiarkan sang penyair agak bebas (bandingkan kontras yang tinggi antara keindahan tanah dengan puisinya “Adam dan Firdaus”). Hanya Priangan dan kehancuran akibat perang bait pertama yang tampak tertib (aaab), dua saudara, maka Subagio dengan penataan larik bait berikutnya dibiarkan lepas. Bunyi “i” di yang lebih bebas dan hanya sesekali bermain akhir larik, yang tegas maupun yang samar, rima, membiarkan latar puisinya tampak hitam, masih menyarankan suasana yang lirih-perih. purba, rusak, penuh darah dan dosa. Sementara dari hubungan antar-baitnya ia Latar yang memualkan, situasi yang tampak menunjukkan bentuk yang saling tanpa harapan, manusia yang