KELUAR DARI EKSTREMISME Delapan Kisah “Hijrah” Dari Kekerasan Menuju Binadamai
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
KELUAR DARI EKSTREMISME Delapan Kisah “Hijrah” Dari Kekerasan Menuju Binadamai Editor: Ihsan Ali-Fauzi & Dyah Ayu Kartika Kontributor: Ali Nur Sahid Fini Rubianti Husni Mubarok Sri Lestari Wahyuningroem Zainal Abidin Bagir Irsyad Rafsadie Jacky Manuputty KELUAR DARI EKSTREMISME Delapan Kisah “Hijrah” Dari Kekerasan Menuju Binadamai Editor: Ihsan Ali-Fauzi & Dyah Ayu Kartika Kontributor: Ali Nur Sahid Fini Rubianti Husni Mubarok Sri Lestari Wahyuningroem Zainal Abidin Bagir Irsyad Rafsadie Jacky Manuputty PUSAD Paramadina, 2018 Keluar dari Ekstrimisme: Delapan Kisah “Hijrah” Dari Kekerasan Menuju Binadamai Penyunting: Ihsan Ali-Fauzi & Dyah Ayu Kartika Tata Letak: Muhammad Agung Saputro Diterbitkan oleh Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta didukung dalam rangka kerjasama UNDP-PPIM UIN Jakarta melalui Proyek CONVEY. Alamat Penerbit: Bona Indah Plaza Blok A2 No. B11 Jl. Karang Tengah Raya, Jakarta 12440 Telp. 0815 1166 6075 http://paramadina-pusad.or.id ISBN 978-979-772-059-9 Pengantar Penerbit Belakangan ini cukup banyak riset dan dokumentasi di lakukan di Indonesia tentang bagaimana orang menjadi radikal, eks tremis, bahkan teroris. Tapi masih sangat jarang riset dibuat ten tang proses kebalikannya: bagaimana dan mengapa orang ber henti dari menjadi radikal, ekstremis, teroris. Hal ini patut disayangkan, karena sebagaimana proses r adikali sasi bisa dipelajari, demikian juga proses deradikalisasi. Inilah proses yang dalam buku ini kami sebut “transformasi per sonal” atau “hijrah” dari ekstremisme menuju binadamai. Ada delapan kisah hijrah yang disampaikan dalam buku ini. Mereka mencakup mantan tentara anak di Maluku, mantan te rorisjihadis di Poso, pembangun rekonsiliasi antara pihakpi hak yang berseberangan terkait peristiwa 1965 di Jawa dan Nusa Tenggara Timur, dan mantan korban/pelaku konflik kekerasan di Ambon dan Aceh. Ketika Indonesia masih diganggu berbagai jenis ekstre mis me, sangat penting bagi bangsa ini untuk mendengar dan bela jar dari pengalaman mereka. Bukankah kita harus belajar dari vi Keluar dari Ekstremisme sejarah dan, seperti kata pepatah, sebaiknya tidak jatuh dua kali ke dalam lubang yang sama? Dengan selesainya pekerjaan ini, kami ingin mengucapkan terimakasih pertamatama kepada semua tokoh yang kisah me reka ditampilkan di sini. Merekalah aktor pemeran utama dalam buku ini. Tanpa dukungan mereka, pekerjaan ini bahkan tidak mungkin dimulai. Kami juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada para kontributor yang sudah susah dan payah mewawancarai narasumber mereka dan menuliskannya di sini. Mereka semua, baik yang laki maupun perempuan, adalah pemeran pembantu terbaik yang selalu dapat diandalkan, di musim panas atau hu jan. Akhirnya, atas nama PUSAD Paramadina, kami ingin me ngucapkan terima kasih kepada Pusat Pengkajian Islam dan Ma syarakat (PPIM), Universitas Islam Negeri (UIN), Jakarta. Atas kepercayaan merekalah, bersama UNDP dan Convey, PUSAD Paramadina dapat mengerjakan amaliyat ini. Semoga kerjakerja kita ini ada gunanya. Amin. Jakarta, 10 Februari 2017 Ihsan AliFauzi Daftar Isi Pengantar Penerbit iii Pendahuluan: Keluar dari Ekstremisme: Biografi “Hijrah” dari Kekerasan Ihsan Ali-Fauzi 1 Bab I: Dari Tarian Perang ke Tarian Damai: Transformasi Ronald Regang, Mantan Tentara Anak Maluku Jacky Manuputty 17 Bab II: “Jalan Pulang” menurut Mantan Teroris Jihadis: Kekerasan dan Binadamai di Poso, Sulawesi Tengah Ihsan Ali-Fauzi 55 Bab III: Dari Korban ke Pembela Hak-hak Asasi Manusia: Pengalaman Transformasi Pendeta Palti Panjaitan Husni Mubarok 87 Bab IV: Inong Balee Mencari Keadilan: Chairun Nisah di antara Perjuangan Politik dan Perjuangan Perempuan Sri Lestari Wahyuningroem 117 viii Keluar dari Ekstremisme Bab V: Dari Perakit Bom ke Perekat Perdamaian: Mengenal Baihajar Tualeka dari Tanah Ambon Fini Rubianti 147 Bab VI: Tawaran “Rekonsiliasi Kultural”: Imam Aziz dan Upaya Membangun Jembatan antara NU dan PKI Ali Nur Sahid 173 Bab VII: “Penyembuhan” untuk Berdamai dengan Masa Lalu: Mery Kolimon dan Upaya Membawa Gereja Bertransformasi Sri Lestari Wahyuningroem 203 Bab VIII: Pagi Bakalae, Malam Bakubae: Dialektika Transformasi Jacky Manuputty Irsyad Rafsadi e 233 Penutup: Pelajaran dari Delapan Kisah “Hijrah” Zainal Abidin Bagir 265 Tentang Penulis 277 Pendahuluan Keluar dari Ekstremisme: “Hijrah” dari Kekerasan Menuju Binadamai Ihsan Ali-Fauzi Sudah cukup banyak riset dilakukan mengenai bagaimana orang menjadi ekstremis (radikal, bahkan teroris) di Indonesia, tapi masih sangat jarang riset dibuat mengenai proses kebalikannya: mengapa dan bagaimana orang berhenti dari menjadi ekstremis. Meminjam Garfinkel (2007), inilah proses yang disebut “trans formasi personal” dari seorang ekstremis menjadi pengecam nya. Dalam buku ini, kami ingin menyebutnya proses “hijrah” dari kekerasan (ekstremis) menuju binadamai. Dalam soal kelangkaan ini, Indonesia tidak perlu terlalu ke cewa, karena kecenderungan umum di dunia juga demikian: orang lebih suka mempelajari proses radikalisasi daripada deradikali sasi, seperti juga banyak lembaga studi perdamaian anehnya lebih suka mendalami tema-tema terkait konflik ke kerasan dan perang ketimbang kerjasama. Kita sering berlaku tidak adil sejak dalam pikiran: kita ingin orangorang berhenti dari menjadi radikal atau ekstremis, tapi yang kita amati dan pelajari lebih banyak bagaimana orang justru tumbuh menjadi radikal atau ekstremis. 2 Pendahuluan Kelangkaan di atas sangat disayangkan sedikitnya karena tiga alasan yang saling terkait. Pertama, seperti ditunjukkan banyak literatur tentang deradikalisasi belakangan ini (Horgan, 2009; Bjørgo, 2009; Ashour, 2009), kita sebenarnya dapat mempelajari secara ilmiah bagaimana orang tidak lagi atau berhenti menja di radikal (artinya: berhenti menggunakan caracara kekerasan dalam memperjuangkan kepentingan) atau teroris. Meskipun kompleks, dua faktor utama sering disebut menyebabkan orang berhenti dari menjadi radikal/teroris/ekstremis: (1) dorongan dari dalam untuk keluar (push factors) seperti kekecewaan kepa da pemimpin, ideologi atau metode dan taktik yang digunakan kelompok atau jaringan, perasaan sudah tidak cocok berada di dalam kelompok/jaringan, makin kuatnya upayaupaya pence gahan oleh pihak keamanan, dan lainnya; dan (2) tarikan dari luar (pull factors) seperti persepsi yang makin positif mengenai pesaing atau lawan, pertimbangan mengenai masa depan karir atau keluarga, dan lainnya (lihat Bjørgo, 2009). Literatur deradikalisasi dan binadamai juga menunjukkan, dalam banyak kasus, faktorfaktor utama di atas saling mem per kuat satu sama lain, yang bekerja saling memperkuat dalam satu lingkaran yang saling memperkokoh (enforcement loops) (Hwang, 2016). Misalnya, kekecewaan atas penggunaan tak tiktaktik teror oleh organisasi atau pimpinan organisasi diperko koh oleh pandangan yang makin kuat tumbuh bahwa penggu naan aksiaksi kekerasan bersifat kontraproduktif bagi citacita organisasi. Atau, kekecewaan atas taktik atau pemimpin orga nisasi makin mendorong seseorang untuk keluar dari organisasi tersebut karena terbukanya hubunganhubungan baru dengan pihakpihak lain di luar organisasi. Selain itu, semua biasanya berlangsung dalam proses “pencarian” yang panjang dan sepi. Berkaca dari kasus-kasus ekstremisme agama, Garfinkel me- nyatakan, “[p]erubahan dari ekstremis agama menjadi pejuang Keluar dari Ekstremisme 3 perdamaian bisa jadi merupakan satu transformasi spiritual, semacam konversi agama” (2007: 11). Kedua, mengetahui faktorfaktor di atas akan membantu kita di dalam memfasilitasi lebih jauh atau mendorong lebih banyak orang yang sudah masuk ke dalam kelompok/jaringan radikal/ teroris untuk keluar dari situ. Hal ini tentu tidak berlangsung dengan mudah, apalagi niscaya, dan sangat tergantung pada sepenting apa posisi masingmasing orang radikal/teroris da lam kelompok/jaringannya dan alasanalasan apa yang men dorongnya untuk pertama kali bergabung. Tetapi umumnya disepakati bahwa mereka yang keterlibatannya didorong oleh alasanalasan yang nonideologis (dendam, ikutikutan, solida ritas kepada teman atau saudara, atau ekonomi) dan berada di dalam posisi yang kurang ideologis atau sama sekali nonideolo gis dalam gerakan/jaringan (hanya barisan pendukung atau pengelola media sosial, misalnya) akan lebih mudah keluar dari kelompok/jaringan (lihat Bjørgo dan Horgan, 2009; Karnavian, 2010). Ketiga, advokasi atau kampanye antiradikalisme, anti ekstre misme atau antiterorisme, atau juga kontra ketiganya, akan berlangsung lebih efektif jika hal itu dilakukan dengan memper lihatkan bagaimana mereka yang sudah mengalami transformasi personal di atas menceritakan proses yang mereka alami sendiri kepada publik (Garfinkel, 2007), apalagi jika hal ini dilakukan melalui sarana audiovisual seperti yang dicontohkan duet Imam Ashafa dan Pastor James Wuye dari Nigeria dalam The Imam and the Pastor (AliFauzi dan Agustina, 2017). Demi kian, karena hal ini akan jauh lebih menyentuh dan membekas, serta jauh lebih mudah dicerna publik luas dibanding deskripsi orang lain mengenainya. Dengan mempertimbangkan berbagai latar belakang di atas, 4 Pendahuluan buku ini dimaksudkan untuk mulai mengatasi kelangkaan kita dalam dokumentasi mengenai transformasi personal atau hijrah seseorang dari kekerasan ekstremis menuju upayaupaya bina damai. Ada delapan orang yang biografinya kami tampilkan di sini: (1) Ronald Regang (mantan tentara anak di Maluku, lakila ki, Kristen); (2) Arifuddin Lako (mantan korban/pelaku konflik kekerasan Poso, lakilaki, Muslim);