ISSN 1907—1787 MEDAN BAHASA JURNAL ILMIAH KEBAHASAAN Volume 6, No. 2, Edisi Desember 2012

Penanggung Jawab: Amir Mahmud • Pemimpin Redaksi: Awaludin Rusiandi • Sekretaris Redaksi: Ai Siti Rohmah • Penyunting Ahli: Achmad Effendi Kadarisman (Etnolinguistik/Universitas Negeri Malang), Kisyani-Laksono (Dialektologi/Universitas Negeri Surabaya) • Penyunting Pelaksana: Anang Santosa, Khoiru Ummatin, Arif Izzak, Hero Patrianto • Mitra Bestari: Tri Mastoyo Jati K. (Tata Bahasa/Universitas Gadjah Mada), Ni Ketut Mirahayuni (Analisis Wacana/Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya) • Juru Atak: Punjul Sungkari • Distribusi: Rahmidi

Penerbit Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Alamat Redaksi Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur Jalan Siwalanpanji II/1, Buduran, Sidoarjo 61252 Telepon/Faksimile (031) 8051752 Pos-el: [email protected]

Jurnal Medan Bahasa terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember. Jurnal ini berisi tulisan ilmiah berupa hasil penelitian, kajian dan aplikasi teori, gagasan konseptual, serta resensi buku dengan wilayah kajian kebahasaan.

Redaksi jurnal Medan Bahasa mengundang para pakar, dosen, guru, dan peneliti bahasa untuk menulis artikel ilmiah yang berkaitan dengan masalah kebahasaan. Naskah yang masuk disunting secara anonim oleh penyunting ahli. Untuk keseragaman format, penyunting pelaksana berhak melakukan perubahan tanpa mengubah isi tulisan.

ISSN 1907—1787

PRAKATA

Jurnal Medan Bahasa Volume 6, Edisi Desember 2012, menyajikan sepuluh artikel hasil penelitian dan kajian. Artikel-artikel yang dimuat dalam edisi ini didominasi oleh penelitian atau kajian terhadap bahasa daerah; tujuh artikel meneliti atau mengkaji bahasa daerah, dua artikel melibatkan bahasa asing, dan satu artikel mengkaji penggunaan bahasa di ranah elektronik. Artikel pertama berjudul “Derivasi Transposisional pada Kategori Verba Denominal dalam Bahasa Osing” ditulis oleh Asrumi. Artikel ini bertujuan mengungkapkan afiks-afiks derivasi transposisional sebagai pembentuk kategori verba denominal dan proses derivasi afiks derivasi transposisional pembentuk kategori verba denominal dalam bahasa Osing. Dari analisis data, Asrumi menemukan bahwa ada delapan belas afiks pembentuk kategori verba denominal dalam bahasa Osing. Yani Paryono menulis artikel berjudul “Karakteristik Morfofonemik pada Konfiksasi Bahasa Jawa Dialek Banyumas”. Melalui artikel ini, Yani Paryono ingin mendeskripsikan karakteristik morfofonemik pada konfiksasi bahasa Jawa Dialek Banyumas dengan menggunakan teori struktural. Melalui analisis yang telah dilakukan ditemukan adanya perubahan fonem dan pemunculan fonem baru yang tidak pernah dijumpai dalam bahasa Jawa standar. Artikel selanjutnya ditulis oleh Hero Patrianto. Dalam artikelnya yang berjudul “Penerjemahan Makna Subjek: Analisis terhadap Struktur Modus Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia”, Hero Patrianto berusaha memerikan penerjemahan makna interpersonal subjek melalui analisis kontrastif fungsional terhadap struktur modus kalimat bahasa Inggris dan kalimat bahasa Indonesia. Hasilnya, penerjemahan makna interpersonal subjek dipengaruhi oleh dimensi sosial, sistem pronomina, gender, konteks, serta struktur bahasa. Muna Riswati berupaya menentukan tingkat tutur bahasa Jawa di lereng Gunung Merapi melalui artikel berjudul “Variasi Tingkat Tutur Bahasa Jawa di Wilayah Lereng Merapi: Tinjauan Sosiodialektologi”. Penelitiannya menghasilkan empat temuan. Pertama, bentuk ngoko lebih dominan daripada bentuk krama. Kedua, bentuk krama yang digunakan tidak sesuai dengan bahasa Jawa standar. Ketiga, tingkat tutur dapat dikenali dari kosakata, pronomina personal, dan imbuhan. Keempat, terbatasnya kosakata bentuk krama penduduk desa memengaruhi ketidaktepatan bahasa Jawa yang digunakan. Dede Hasanudin berupaya menyelelidiki penggunaan bahasa elektronik di dunia maya. Melalui artikel berjudul “Fenomena Penggunaan Bahasa Tulis di Dunia Maya”, Hasanudin berusaha membuktikan bahwa penyingkatan kata tidak menganggu jalannya komunikasi tulis. Hasanudin menyimpulkan bahwa komunikasi tulis dalam pesan singkat, dalam jejaring sosial (facebook), maupun dalam Chatting sebenarnya memiliki pola yang hampir sama, yaitu menyingkat kata, menggunakan variasi angka dengan huruf, menggunakan tanda-tanda baca yang tidak perlu dalam rangkaian kalimat, menulis huruf besan dan kecil dalam satu kalimat. W. Hendrosaputro dan Wakit Abdullah menulis artikel berjudul “Kearifan Lokal dalam Bahasa dan Budaya Jawa Orang Samin di Kabupaten Blora: Kajian Etnolinguistik”. Artikel tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan kearifan lokal dalam bahasa Jawa dan kebudayaan masyarakat Samin dari sudut pandang etnolinguistik. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa kearifan lokal dalam bahasa jawa dan kebudayaan masyarakat Samin dipengaruhi oleh agama masyarakatn Samin, kepercayaan kepada Tuhan, tradisi sikep, cara pandang mereka tentang pendidikan, sistem pertanian, masalah i ekonomi, pernikahan, khitan, kematian, perdagangan, kebiasaan sehari-hari, dan berbagai hal yang mereka lakukan. Artikel berjudul “Kearifan Lokal Cara Memanfaatkan Lingkungan Alam yang Tecermin dalam Ekspresi Verbal dan Nonverbal Nelayan di Pesisir Selatan Kebumen: Kajian Etnolinguistik” merupakan penelitian etnolinguistik yang bertujuan mendeskripsikan kearifan lokal yang tecermin dalam ekspresi verbal dan nonverbal nelayan dalam memanfaatkan lingkungan alam di pesisir selatan Kebumen. Penelitian yang dilakukan Wakit Abdullah, Edi Subroto, dan Inyo Yos Fernandz ini menemukan bahwa cara nelayan yang mencerminkan kearifan hidup mereka meliputi kearifan spiritual, kearifan kultural, kearifan ekonomis, kearifan geografis, kearifan retensi, kearifan teknis, dan kearifan harapan. Kearifan nelayan yang tecermin dalam ekspresi verbal dan nonverbal tersebut dapat mencerminkan pola pikir, pandangan hidup, dan pandangan terhadap dunianya di pesisir selatan Kebumen. Zhang Huiye menulis artikel berjudul “Karakteristik Fitur-Fitur Pragmatik dalam Tipe-Tipe Kalimat Bahasa Mandarin”. Artikel tersebut bertuuan mendeskripsikan perbedaan-perbedaan tipe-tipe kalimat dalam bahasa Mandarin dan juga karakteristik fitur-fitur pragmatik dalam pemakaian tipe-tipe kalimat bahasa Mandarin, baik secara eksplisit maupun implisit. Dalam penelitiannya, Zhang Huiye menemukan bahwa karakteristik fitur-fitur pragmatik dalam bahasa Mandarin memiliki kekhasan tersendiri yang berbeda dengan bahasa-bahasa lain di dunia. Maria Magdalena Sinta Wardani berupaya memaparkan analisis proses morfologis bahasa Keo yang berupa reduplikasi dalam artikel berjudul “Reduplikasi Morfemis dalam Bahasa Keo”. Dengan menggunakan teori kaidah pembentukan kata Morris Halle, Wardani menyimpulkan bahwa reduplikasi terjadi dalam morfem yang terdiri atas satu atau dua silabel, terdapat bentuk perulangan penuh dengan kaidah {Stem + R}, reduplikasi memiliki banyak makna. Artikel berjudul “Medan Makna Leksem Verba Ombe ‘Minum” dalam Bahasa Jawa” bertujuan mendeskripsikan leksem-leksem verba yang mengandung konsep makna ombe ‘minum’ dalam bahasa Jawa dan juga kekontrasannya. Melalui analisi medan makna, Dwi Sutana, penulis artikel, menemukan lima belas leksem yang mengandung konsep makna ombe ‘minum’. Leksem-leksem tersebut diklasifikasikan dan dideskripsikan berdasar teori analisis komponen.

Redaksi

ii ISSN 1907—1787

DAFTAR ISI

Prakata

Daftar Isi

Abstrak

Derivasi Transposisional pada Kategori Verba Denominal dalam Bahasa Osing 133 Asrumi

Karakteristik Morfofonemik pada Konfiksasi Bahasa Jawa Dialek Banyumas 151 Yani Paryono

Penerjemahan Makna Subjek: Analisis terhadap Struktur Modus Bahasa Inggris 165 dan Bahasa Indonesia Hero Patrianto

Variasi Tingkat Tutur Bahasa Jawa di Wilayah Lereng Merapi: Tinjauan 179 Sosiodialektologi Muna Riswati

Fenomena Penggunaan Bahasa Tulis di Dunia Maya 195 Dede Hasanudin

Kearifan Lokal dalam Bahasa dan Budaya Jawa Orang Samin di Kabupaten 207 Blora: Kajian Etnolinguistik W. Hendrosaputro, Wakit Abdullah

Kearifan Lokal Cara Memanfaatkan Lingkungan Alam yang Tercermin Dalam 223 Ekspresi Verbal dan Nonverbal Nelayan di Pesisir Selatan Kebumen: Kajian Etnolinguistik Wakit Abdullah, Edi Subroto, Inyo Yos Fernandez

Karakteristik Fitur-Fitur Pragmatik dalam Tipe-Tipe Kalimat Bahasa Mandarin 235 Zhang Huiye

Reduplikasi Morfemis dalam Bahasa Keo 243 Maria Magdalena Sinta Wardani

Medan Makna Leksem Verba Ombe ‘Minum’ dalam Bahasa Jawa 253 Dwi Sutana

iii iv MEDAN BAHASA ISSN 1907—1787 Vol. 6, No. 2, Edisi Desember, 2012 Kata-kata kunci bersumber dari artikel. Abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin

Asrumi (Universitas Jember) Derivasi Transposisional pada Kategori Verba Denominal dalam Bahasa Osing Medan Bahasa, Vol. 6, No. 2, Edisi Desember, 2012, hlm. 133—150

Derivasi transposisional kategori verba denominal merupakan derivasi kategori verba yang diturunkan dari dasar nomina yang telah dilekati afiks sehingga mengubah makna leksikal dan status kategorial katanya. Untuk itu dapat diketahui (1) afiks-afiks derivasi transposisional sebagai pembentuk kategori verba denominal dan (2) proses derivasi afiks derivasi transposisional pembentuk kategori verba denominal dalam bahasa Osing melalui metode distribusional (agih) dan padan referensial. Hasilnya dapat dikatakan bahwa afiks pembentuk kategori verba denominal dalam bahasa Osing terdapat 18 afiks, yakni: (1) afiks {di-}, (2) afiks {N-i}, (3) afiks {di-i}, (4) afiks {N-akən}, (5) afiks {di-akən}, (6) afiks {- i}, (7) {-nↄ}, (8) afiks {sUn-}, (9) afiks {rikↄ/sirↄ-}, (10) afiks {-ↄnↄ}, menurunkan verba transitif (Vtrans), sedangkan afiks derivasi (11) {kə-}, (12) afiks {mə-}, (13) afiks {-an}, (14) afiks {-əm-}, (15) afiks {kə-an}, (16) afiks {-əl-}, (17) afiks nasal {N-}, dan (18) afiks {- ən}.

Yani Paryono (Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur) Karakteristik Morfofonemik pada Konfiksasi Bahasa Jawa Dialek Banyumas Medan Bahasa, Vol. 6, No. 2, Edisi Desember, 2012, hlm. 151—163

Penelitian bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik morfofonemik pada konfiksasi bahasa Jawa Dialek Banyumas. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori struktural dan pendekatan deskriptif kualitatif. Untuk menganalisis data digunakan pendekatan sinkronis yaitu pendekatan analisis bahasa yang menggunakan prinsip kesezamanan atau kesesaatan sebagai pegangannya. Sumber data adalah tuturan dalam berbagai peristiwa tutur alami di Kabupaten Banyumas. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode simak dan cakap. Keunikan yang ditemukan dalam proses morfofonemik pada konfiksasi /tak-/ yang menyebabkan peristiwa fonemis adalah berupa perubahan fonem /a/ menjadi fonem // dan pemunculan fonem baru // pada konfiks /tak--na/ sehingga bervariasi dengan /tak—na/, /tak—ena/, /tek—na/ atau /tek—ena/. Hal ini tidak pernah dijumpai dalam bahasa Jawa standar.

v MEDAN BAHASA ISSN 1907—1787 Vol. 6, No. 2, Edisi Desember, 2012 Kata-kata kunci bersumber dari artikel. Abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin

Hero Patrianto (Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur) Penerjemahan Makna Subjek: Analisis terhadap Struktur Modus Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia Medan Bahasa, Vol. 6, No. 2, Edisi Desember, 2012, hlm. 165—177

Penelitian ini bertujuan untuk memerikan penerjemahan makna interpersonal subjek melalui analisis struktur modus teks sumber dan teks sasaran. Data penelitian ini adalah kalimat dalam bahasa Inggris (teks sumber) dan bahasa Indonesia (teks sasaran) yang dikumpulkan dari sumber data berupa buku berjudul Language and Power (teks sumber) karya Norman Fairclough serta terjemahannya dalam bahasa Indonesia yang berjudul Language and Power: Relasi Bahasa Kekuasaan, dan Ideologi (teks sasaran) yang diterjemahkan oleh Indah Rohmani. Berdasarkan analisis kontrastif fungsional terhadap struktur modus teks sumber dan teks sasaran, didapatkan hasil sebagai berikut. Penerjemahan makna interpersonal subjek dipengaruhi oleh dimensi sosial, sistem pronomina (seperti pronomina takbernyawa it), gender, konteks, serta struktur bahasa (seperti dummy subject ‘subjek silih).

Muna Riswati (Universitas Sebelas Maret Surakarta) Variasi Tingkat Tutur Bahasa Jawa di Wilayah Lereng Merapi: Tinjauan Sosiodialektologi Medan Bahasa, Vol. 6, No. 2, Edisi Desember, 2012, hlm. 179—192

Penelitian ini bertuuan untuk menentukan tingkat tutur bahasa Jawa di lereng Gunung Merapi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Subjek penelitian ini adalah penutur asli bahasa Jawa di lereng Merapi yang memenuhi persyaratan tertentu. Pengumpulan data menggunakan daftar berisi 829 pertanyaan kosakata Swadesh yang dikembangkan Bernd Nothofer dan 75 pertanyaan berupa kalimat. Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, penggunaan bentuk ngoko oleh pengguna bahasa Jawa di lereng Merapi lebih dominan dibandingkan bentuk krama. Kedua, penggunaan bentuk krama tidak sesuai dengan tingkat tutur dalam bahasa Jawa standar; penutur cenderung menggunakan bentuk madya dan krama desa. Ketiga, tingkat tutur bisa ditandai dari kosakata, pronomina personal, dan imbuhan. Keempat, pengaruh dari ketidaktepatan penggunaan bahasa Jawa adalah bahwa penutur merupakan penduduk desa yang kosakata bentuk kramanya terbatas.

vi MEDAN BAHASA ISSN 1907—1787 Vol. 6, No. 2, Edisi Desember, 2012 Kata-kata kunci bersumber dari artikel. Abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin

Dede Hasanudin Fenomena Penggunaan Bahasa Tulis di Dunia Maya Medan Bahasa, Vol. 6, No. 2, Edisi Desember, 2012, hlm. 195—205

Dalam penelitian ini, penulis bertujuan untuk membuktikan bahwa dengan penyingkatan kata, komunikasi tertulis dapat tetap berjalan secara baik. Ada 3 hal yang dapat penulis klasifikasikan, yaitu (1) komunikasi tulis dengan media telepon genggam (pesan singkat) dan (2) komunikasi tulis dalam jejaring sosial (facebook), dan (3) komunikasi tulis dalam chatting di MIG 33. Komunikasi tulis dengan pesan singkat, dapat penulis klasifikasikan lagi menjadi (1) pesan singkat yang menggunakan penyingkatan kata, (2) gabungan antara penggunakan huruf, singkatan kata, dan angka. Kedua-duanya penulis uraikan dalam konsep kewacanaan untuk mencari rangkaian komunikasi yang utuh dari awal sampai akhir. Komunikasi tulis dalam pesan singkat, dalam jejaring sosial (facebook), maupun dalam Chatting sebenarnya memiliki pola yang hampir sama, yaitu menyingkat kata, menggunakan variasi angka dengan huruf, mengunakan tanda-tanda baca yang tidak perlu dalam rangkaian kalimat, menulis huruf besar dan huruf kecil dalam satu kalimat.

W. Hendrosaputro, Wakit Abdullah (Universitas Sebelas Maret Surakarta) Kearifan Lokal dalam Bahasa dan Budaya Jawa Orang Samin di Kabupaten Blora: Kajian Etnolinguistik Medan Bahasa, Vol. 6, No. 2, Edisi Desember, 2012, hlm. 207—221

Tujuan dari penelitian ini untuk mendeskripsikan kearifan lokal dalam bahasa Jawa dan kebudayaan masyarakat Samin dari sudut pandang etnolinguistik. Penelitian ini menggunakan teknik observasi partisipasi. Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan analisis data tunggal dalam bentuk deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi aktif, wawancara mendalam, studi dokumen dan pustaka, serta model triangulasi. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kearifan lokal dalam bahasa Jawa dan kebudayaan masyarakat Samin dipengaruhi oleh agama masyarakat Samin, kepercayaan kepada Tuhan, tradisi sikep, cara pandang mereka tentang pendidikan, sistem pertanian, masalah ekonomi, pernikahan, khitan, kematian, perdagangan, kebiasaan sehari-hari, dan berbagai hal yang mereka lakukan sehari-hari.

vii MEDAN BAHASA ISSN 1907—1787 Vol. 6, No. 2, Edisi Desember, 2012 Kata-kata kunci bersumber dari artikel. Abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin

Wakit Abdullah, Edi Subroto, Inyo Yos Fernandez (Universitas Sebelas Maret Surakarta) Kearifan Lokal Cara Memanfaatkan Lingkungan Alam yang Tercermin Dalam Ekspresi Verbal dan Nonverbal Nelayan di Pesisir Selatan Kebumen: Kajian Etnolinguistik Medan Bahasa, Vol. 6, No. 2, Edisi Desember, 2012, hlm. 223—234

Penelitian etnolinguistik ini bertujuan untuk mendeskripsikan kearifan lokal yang tercermin dalam ekspresi verbal dan nonverbal nelayan dalam memanfaatkan lingkungan alam di pesisir selatan Kebumen. Kajian deskriptif kualitatif dan eksploratif ini menggunakan pendekatan etnosains. Data dikumpulkan dengan teknik wawancara mendalam dan observasi partisipasi dalam metode etnografi. Data dianalisis dengan model etnosains dengan memanfaatkan analisis taksonomi, analisis komponensial, dan analisis domain. Hasil penelitian ini memaparkan pemanfaatan lingkungan alam guna memperoleh kesejahteraan hidup berdasarkan petunjuk (guideline) leluhurnya. Cara nelayan yang mencerminkan kearifan hidupnya tersebut meliputi kearifan spiritual, kearifan kultural, kearifan ekonomis, kearifan geografis, kearifan retensi, kearifan teknis, dan kearifan harapan. Kearifan nelayan yang tercermin dalam ekspresi verbal dan nonverbal tersebut dapat mencerminkan pola pikir, pandangan hidup, dan pandangan terhadap dunianya di pesisir selatan Kebumen.

Zhang Huiye (Universitas Yunnan) Karakteristik Fitur-Fitur Pragmatik dalam Tipe-Tipe Kalimat Bahasa Mandarin Medan Bahasa, Vol. 6, No. 2, Edisi Desember, 2012, hlm. 235—242

Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan perbedaan tipe-tipe kalimat dalam bahasa Mandarin dan juga karakteristik fitur-fitur pragmatik dalam pemakaian tipe-tipe kalimat bahasa Mandarin, baik secara tersurat (explicit) maupun secara tersirat (implicit). Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pragmatik yang dikemukakan oleh Katz. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ciri-ciri atau karakteristik fitur-fitur pragmatik dalam bahasa Mandarin memiliki kekhasan tersendiri yang berbeda dari bahasa-bahasa lain di dunia. Dalam tipe-tipe kalimat bahasa Mandarin, tipe kalimat interogatif mempunyai kata tanya yang letaknya tidak di awal kalimat tetapi di akhir kalimat tanya. Dibandingkan Bahasa Mandarin, dalam bahasa Indonesia letak kata tanya biasanya pada awal kalimat. Adapun kalimat deklaratif dan kalimat imperatif dapat pula mengandung tindak tutur perlokusi selain ilokusi dan lokusi. Tindak tutur lokusi dan ilokusi tetap mempunyai fungsi yang berlaku umum dengan maksud yang sesuai dengan isi pembicaraan sesuai dengan struktur gramatika dalam bahasa Mandarin.

viii MEDAN BAHASA ISSN 1907—1787 Vol. 6, No. 2, Edisi Desember, 2012 Kata-kata kunci bersumber dari artikel. Abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin

Maria Magdalena Sinta Wardani (Universitas Flores) Reduplikasi Morfemis dalam Bahasa Keo Medan Bahasa, Vol. 6, No. 2, Edisi Desember, 2012, hlm. 243—252

Makalah ini memaparkan analisis proses morfologis bahasa Keo yang berupa reduplikasi. Teori yang digunakan untuk mencari kaidah reduplikasi adalah teori kaidah pembentukan kata menurut Morris Halle. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik cakap semuka yang digunakan saat mewawancarai informan dan merekam folklor. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode agih dan disajikan dalam bentuk uraian. Dari hasil analisis data jadi dalam morfem dapat disimpulkan bahwa reduplikasi terjadi dalam morfem yang terdiri atas satu silabel maupun dua silabel, adanya bentuk perulangan penuh dengan kaidah {Stem + R}, dan reduplikasi memiliki banyak makna, yakni yang artinya ‘banyak’, yang dilakukan dengan cara yang ‘sungguh-sungguh’ (intensif), dilakukan dengan ‘tidak sungguh-sungguh’ (deintensif), dilakukan ‘berulang- ulang’ (frekuentif), bermakna ‘menerangkan tindakan’, dan bermakna ‘kumpulan’.

Dwi Sutana (Kantor Bahasa Provinsi Kepulauan Riau) Medan Makna Leksem Verba Ombe ‘Minum’ dalam Bahasa Jawa Medan Bahasa, Vol. 6, No. 2, Edisi Desember, 2012, hlm. 253—262

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan leksem-leksem verba yang mengandung konsep makna ombe ‘minum’ dalam bahasa Jawa dan juga kekontrasannya. Teori yang digunakan adalah teori medan makna. Penelitian ini menggunaan metode deskriptif sinkronik dengan menerapkan metode simak atau observasi, metode intuisi, dan metode elisitasi. Data yang telah diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode padan dan metode agih. Sumber data terdiri atas sumber tulis dan sumber lisan. Dari analisis komponen makna tersebut dapat ditemukan 15 leksem yang mengadung konsep makna ombe ‘minum’. Persamaan dan perbedaan leksem-leksem itu dapat dilihat di dalam tabel. Leksem-leksem itu diklasifikasikan dan dideskripsikan berdasar teori analisis komponen.

ix MEDAN BAHASA ISSN 1907—1787 Vol. 6, No. 2, Edition December, 2012 Key words are extracted from articles. Abstract may be reproduced without permission

Asrumi (Jember University) Transpositional Derivation of Denominal Verb Category in Medan Bahasa, Vol. 6, No. 2, Edition December, 2012, p. 133—150

The transpositional derivation of denominal verb category is a derivation of verb category was derivate from noun and affix until to change lexical meaning and word category. For the understand of derivational transpositional affix as forming verb category of denominal and the process of derivation verb denominal affix transpositional was used of distributional and padan referencial method. The result can be said that the forming of denominal verb category at Osing language are 18 affix: (1){di-}, (2) {N-i}, (3) {di-i}, (4) {N- akən}, (5) {di-akən}, (6) {-i}, (7) {-nↄ}, (8) {sUn-}, (9) {rikↄ/sirↄ-}, (10) {-ↄnↄ}, the down the transitive verb (Vtrans), then afixs (11) {kə-}, (12) {mə-}, (13) {-an}, (14) {-əm-}, (15) {kə-an}, (16) {-əl-}, the down the intransitive verb (V intrans), and then (17) affix nasal {N-}, and (18) affix {-ən} the down the transitive and intransitive verb (Vtrans and Vintrans).

Yani Paryono (Language Office of East ) Morphophonemic Characteristics of Confixation in the Banyumas Dialect of Medan Bahasa, Vol. 6, No. 2, Edition December, 2012, p. 151—163

This study aims to describe the morphophonemic characteristics of confixation in the Banyumas Dialect of Javanese. It uses the structural theory and descriptive-qualitative approach. To analyze the data, this study uses synchronic approach, studying a language phenomenon at point in time, not historically. The source of data are utterances from various natural speech events in the Regency of Banyumas. The data were collected by using observation and interview mehods. The uniqueness found in the morphophonemic process in the confixation /tak-na/ causing phonemic event in the form of the change of phoneme /a/ to phoneme // and the emergence of new phoneme // in the confix /tak- -na/ so that varying with /tak—na/, /tak—ena/, /tek—na/ or /tek—na/. This phenomenon has never been found in standard Javanese.

x MEDAN BAHASA ISSN 1907—1787 Vol. 6, No. 2, Edition December, 2012 Key words are extracted from articles. Abstract may be reproduced without permission

Hero Patrianto (Language Office of ) The Translation of the Meaning of Subject: An Analysis on Mood Structure of English and Bahasa Indonesia Medan Bahasa, Vol. 6, No. 2, Edition December, 2012, p. 165—177

This research is aimed at describing the translation of subject’s interpersonal meaning by analyzing the mood structures of source and target texts. The research data are sentences in the source (English) an target (Indonesian) texts collected from sources of data, Language and Power (source text) written by Norman Fairclough and its translation version in Indonesian, Language and Power: Relasi Bahasa Kekuasaan, dan Ideologi (target text), translated by Indah Rohmani. Through functional contrastive analysis to the mood structures of source and target texts, it is found that the translation of interpersonal meaning of subject is influenced by social dimension, pronoun system (i.e. impersonal pronoun it), gender, context, and language structure (i.e. dummy subject).

Muna Riswati (Sebelas Maret University, Surakarta) Morphophonemic Characteristics of Confixation in the Banyumas Dialect of Javanese: Sociodialectology Study Medan Bahasa, Vol. 6, No. 2, Edition December, 2012, p. 179—192

This study aims to determine the usage level Java language in slopes Merapi. This research using descriptive method. The subject of this study were native speakers of Javanese on the slopes of Merapi complying specific qualification. Data collection used a list of 829 questions that Swadesh vocabulary developed by Bernd Nothofer and 75 sentences. The results of this study are as follows. First, the use of the Java language level on the slopes of Merapi is ngoko form more dominant than the krama form. Second, the use of the krama form is not appropriate with the standard speech levels in Javanese, speakers tend to use the madya and krama desa forms. Third, the level can be marked by vocabularies, personal pronouns, and affixes. Fourth, the influence of inaccuracies in the use of the Javaese language is that the speakers are villagers who understand limited vocabularies of krama forms.

xi MEDAN BAHASA ISSN 1907—1787 Vol. 6, No. 2, Edition December, 2012 Key words are extracted from articles. Abstract may be reproduced without permission

Dede Hasanudin The Phenomenon of Written Language Use in Internet Medan Bahasa, Vol. 6, No. 2, Edition December, 2012, p. 195--205

In this study, the writer aims to proove that by abbreviating words, written communication can still run well. There are three items that the writer is able to classify, namely (1) written communication in cellular phone (short messages), (3) written communication in sosial network (Facebook), and (3) written communication in Chatting in MIG 33. Written communication in short messages can be subclassified into (1) short messages using abbreviated words and (2) combination of letters, abbreviated words, and number. Both are explained in the concept of discourse untuk find a whole communication sequence from beginning to end. Written communication in short messages, social network (Facebook), or Chatting actually almost have the same patterns, namely abbreviating words, using variation fo numbers and letters, using unnecessary punctuation marks in series of sentences, writing upper and lower cases in a sentence.

W. Hendrosaputro, Wakit Abdullah (Sebelas Maret University, Surakarta) Local Wisdom in and Culture of Samin People in the Regency of Blora: A Linguistic Study Medan Bahasa, Vol. 6, No. 2, Edition December, 2012, p. 207—221

This research is aimed at describing the local wisdom of Javanese and Samin’s culture from the ethnolinguistics point of view. The research uses participative-observation technique. The data were analyzed by single data analysis in the form of qualitative descriptive. The data were collected by using active observation, deep interview, librarian study, and triangulation model. From the analysis, it can be found that the local wisdom in Javanese and Samin’s culture is affected by Samin’s religion, their belief in God, sikep tradition, their view toward education, agriculture system, economic problem, marriage, circumsition, death, trade, daily habit, and their other daily activities.

xii MEDAN BAHASA ISSN 1907—1787 Vol. 6, No. 2, Edition December, 2012 Key words are extracted from articles. Abstract may be reproduced without permission

Wakit Abdullah, Edi Subroto, Inyo Yos Fernandez (Sebelas Maret University, Surakarta) The Local Wisdom of Using the Environment Reflected from Verbal and Nonverbal Expressions of Fishermen in the Southern Coast of Kebumen: An Ethnolinguistic Study Medan Bahasa, Vol. 6, No. 2, Edition December, 2012, p. 223—234

This ethnolinguistic research aims to describe the local wisdoms showed in verbal and nonverbal expressions of fishermen in taking the advantages of the environment in the southern coast of Kebumen. This descriptive and explorative qualitative research was based on ethnoscience approach. The data were collected through depth interviews and participant observation in ethnography method. The data were analyzed by using ethno science model with taxonomic analysis, componential analysis, and domain analyses. The results of this research describe the advantages of the natural environment in order to obtain welfare based on the ancestors’ instructions (guidelines). They are spiritual wisdom, cultural wisdom, economic wisdom, geographical wisdom, retention wisdom, technical wisdom, and the wisdom of hope. The fisherman’s wisdom that reflected on their verbal and non verbal expression may express their mindset, way of life, and their view towards the south coast of Kebumen.

Zhang Huiye (Yunnan Nationalities University) The Characteristics of Pragmatic Features of Sentence Types in Mandarin Medan Bahasa, Vol. 6, No. 2, Edition December, 2012, p. 235—242

This paper aims to describe the different types of sentences in Mandarin and also characteristic of pragmatic features in the use of Chinese sentence types, either expressed (explicit) or implied (implicit). The theory used is a pragmatic theory proposed by Katz. The results showed that the characteristics of the pragmatic features in Mandarin has a uniqueness that is different from other languages in the world. Types of sentences in Chinese, interrogative sentence type have asked said that it's not at the beginning but at the end of sentences or questions. Compared to Chinese, lies the question words usually at the beginning of the sentence. The declarative sentences and imperative sentences may also contain a speech act perlocution than ilocution, and locutions. Speech act of locution and ilocutions still have generally function with the intent to suit the content of the conversation according to the grammatical structure in Mandarin.

xiii MEDAN BAHASA ISSN 1907—1787 Vol. 6, No. 2, Edition December, 2012 Key words are extracted from articles. Abstract may be reproduced without permission

Maria Magdalena Sinta Wardani (Flores University) Morphemic Reduplication of Keo Language Medan Bahasa, Vol. 6, No. 2, Edition December, 2012, p. 243—252

This paper describes the process of morphological analysis in the form of reduplication of Keo language. The theory used to find the reduplication rules is Morris Halle’s theory. The technique used in this study is interview technique. It is used to interview informants and record folklore. The data obtained were analyzed using distributional method and presented in the form of descriptions. From the analysis of the data, it can be concluded that the morpheme reduplication occurs in the morpheme consisting of one syllable or two syllables, there are full form of looping rules {Stem + R}, and reduplication has many meanings, namely 'many' which is performed ‘intensively’, ‘deintensively’, ‘frequenly’, ' explaining action', and 'collection'.

Dwi Sutana (Language Office of Kepulauan Riau) The Semantic Field of Verb Lexeme Ombe ‘Drink” in Javanese Medan Bahasa, Vol. 6, No. 2, Edition December, 2012, p. 253—262

The aim of this article is to describe verb lexemes which contains the concept of ombe 'drink' in Javanese and the differences. The theory used is the semantic theory. This research uses descriptive-synchronic method by applying observation method, intuition method, and the method of elicitation. The data was analyzed using distributional method. The sources of data consist of written and oral sources. From the component analysis of the meanings, it was found that 15 lexemes have similar concept of ombe 'drink'. Similarities and differences of the lexemes, can be seen in the table. The lexemes were classified and described based on the theory of component analysis.

xiv DERIVASI TRANSPOSISIONAL PADA KATEGORI VERBA DENOMINAL DALAM BAHASA OSING (Transpositional Derivation of Denominal Verb Category in Osing Language)

Asrumi

Universitas Jember Jalan Kalimantan No. 37, Jember Pos-el: [email protected]

Abstrak

Derivasi transposisional kategori verba denominal merupakan derivasi kategori verba yang diturunkan dari dasar nomina yang telah dilekati afiks sehingga mengubah makna leksikal dan status kategorial katanya. Untuk itu dapat diketahui (1) afiks-afiks derivasi transposisional sebagai pembentuk kategori verba denominal dan (2) proses derivasi afiks derivasi transposisional pembentuk kategori verba denominal dalam bahasa Osing melalui metode distribusional (agih) dan padan referensial. Hasilnya dapat dikatakan bahwa afiks pembentuk kategori verba denominal dalam bahasa Osing terdapat 18 afiks, yakni: (1) afiks {di-}, (2) afiks {N-i}, (3) afiks {di-i}, (4) afiks {N-akən}, (5) afiks {di-akən}, (6) afiks {-i}, (7) {-nↄ}, (8) afiks {sUn-}, (9) afiks {rikↄ/sirↄ-}, (10) afiks {-ↄnↄ}, menurunkan verba transitif (Vtrans), sedangkan afiks derivasi (11) {kə-}, (12) afiks {mə- }, (13) afiks {-an}, (14) afiks {-əm-}, (15) afiks {kə-an}, (16) afiks {-əl-}, (17) afiks nasal {N-}, dan (18) afiks {-ən}.

Kata-Kata Kunci : derivasi verba, denominal, proses, Osing.

Abstract

The transpositional derivation of denominal verb category is a derivation of verb category was derivate from noun and affix until to change lexical meaning and word category. For the understand of derivational transpositional affix as forming verb category of denominal and the process of derivation verb denominal affix transpositional was used of distributional and padan referencial method. The result can be said that the forming of denominal verb category at Osing language are 18 affix: (1){di-}, (2) {N-i}, (3) {di-i}, (4) {N- akən}, (5) {di-akən}, (6) {-i}, (7) {-nↄ}, (8) {sUn-}, (9) {rikↄ/sirↄ-}, (10) {- ↄnↄ}, the down the transitive verb (Vtrans), then afixs (11) {kə-}, (12) {mə-}, (13) {-an}, (14) {-əm-}, (15) {kə-an}, (16) {-əl-}, the down the intransitive verb (V intrans), and then (17) affix nasal {N-}, and (18) affix {-ən} the down the transitive and intransitive verb (Vtrans and Vintrans).

Keywords: verb derivation, denominal, process, Osing.

133 PENDAHULUAN morfologi infleksi dan (b) morfologi Derivasi merupakan salah satu bagian leksikal (derivasional). Bauer (1983:73) morfologi yang terdapat dalam setiap juga membagi morfologi atas derivasi bahasa. Derivasi pada suatu bahasa ini dan infleksi. Derivasi menghasilkan penting diketahui dalam upaya melihat bentuk kata (kata gramatikal dari pengkategorian kelas kata serta leksem). keajegan proses morfologi yang terdapat Sebagai sebuah leksem, verba dalam bahasa tertentu. Dalam kaitan ini merupakan semua kata yang termasuk (Harris, 1962) menyatakan bahwa dalam proses word (Nida, 1989:181— dengan mengetahui sistem suatu bahasa 186), yakni kata yang menyatakan akan dapat dilakukan pendeskripsian proses atau tindakan, baik tindakan fisik kategori kata dan proses pembentukan maupun mental. Hal ini sejalan dengan kata turunan yang terdapat dalam pendapat Warriner (1965:9 dalam bahasa tertentu, termasuk dalam bahasa Sunoto, dkk, 1984:7) bahwa action verbs Osing di Kabupaten Banyuwangi, Jawa may express either physical or mental Timur. action. Misalnya, turu ‘tidur’, macUl Derivasi merupakan proses ‘mencangkul’, mikIr ‘berpikir, dan wərUh morfemis yang mengubah identitas ‘tahu’. leksikal sebuah kata yang mengalami Verba dapat berupa verba dasar proses tersebut. Proses morfemis yang (misalnya turu ‘tidur) dan dapat pula mengubah identitas leksikal sebuah kata berupa verba jadian atau turunan ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu (misalnya macUl ‘mencangkul’). Kategori (1) derivasi yang berupa proses verba jadian atau turunan dalam bahasa morfemis yang mengubah identitas Osing dapat diturunkan atau diderivasi leksikal (makna leksikal) yang disertai dari dasar nomina (denominal) melalui dengan perubahan status kategorial kata morfologi derivasi afiksasi, reduplikasi, atau yang disebut derivasi dan pemajemukan. Derivasi kategori transposisional dan (2) derivasi yang verba denominal melalui afiksasi dapat berupa proses morfemis yang mengubah berupa derivasi transposisional, yakni identitas leksikal tanpa disertai proses penurunan kata yang mengubah perubahan status kategorial kata yang kategori kata (dari nomina menjadi disebut derivasi taktransposisional verba) dan sekaligus mengubah makna (Hockett, 1958:243; Keraf, 1980:185). leksikalnya (dari makna nomina menjadi Dalam morfologi yang makna verba). membicarakan proses pembentukan Secara sintaksis, verba yang kata terdapat istilah morfologi berfungsi sebagai predikat merupakan derivasional dan morfologi inflektional sentra kalimat atau klausa. Secara yang sangat kontras. Hal ini sejalan semantik (meaning), verba tersebut dengan pendapat Yule (1996:77). dibedakan atas (1) verba aksi (verba Derivasi berhubungan dengan perbuatan), (2) verba proses, (3) verba morfologi dan proses morfologi. aksi-proses (verba tindakan), dan (4) Morfologi dibedakan atas: (1) proses verba statis (verba keadaan) (Chafe, infleksional dan (2) proses word- 1970:95—104). Elson & Pickett formation yang dipisahkan atas (a) (1969:20) menyatakan bahwa proses derivasi dan (b) proses komposisi berdasarkan voice (relations participant (pemajemukan) (Lyons, 1968). and action), yakni ditinjau dari jenis Sementara Matthews (1974) dan Bauer hubungan verba sebagai pengisi P (1983:34) membagi morfologi dalam (a) dengan kategori tertentu pengisi S 134 (Sudaryanto, 1991:76), verba dibedakan denominal dalam bahasa Osing atas verba (1) aktif, (2) pasif, (3) berkaitan dengan afiks-afiks derivasi refleksif, (4) kausatif, (5) resiprokal, (6) pembentuk verba. Oleh karena itu, transitif, (7) intransitif, dan (8) tujuan dalam penulisan artikel ini adalah benefaktif. Selain itu, Robins (1983) mengungkapkan (1) afiks-afiks derivasi menyatakan bahwa dalam konteks transposisional sebagai pembentuk kalimat, verba memiliki beberapa makna kategori verba denominal dan (2) proses tambahan, yakni repetitif, kaustif, derivasi afiks derivasi transposisional intensif, resiprokal, habituatif, intensif, pembentuk kategori verba denominal disengaja (inadversatif), tak disengaja dalam bahasa Osing. Dalam penyelesaian (adversatif) pada turunan sebagai hasil masalah ini digunakan metode agih atau proses derivasi. metode distribusional dan metode Kategori verba jadian dapat padan referensial (Sudaryanto, diturunkan atau diderivasi dari dasar 1993:15). Teknik analisis yang nomina (denominal), dari dasar verba digunakan adalah teknik urai, teknik (deverbal), dari dasar ajektival oposisi dua-dua (teknik biner), teknik (deajektival), dan sebagainya. Kategori ganti, teknik perluas, dan teknik verba jadian yang diturunkan atau parafrase. Namun, untuk membatasi diderivasi dari dasar nomina pembahasan, hanya analisis dengan (denominal) merupakan salah satu teknik urai yang dipaparkan dalam verba yang produktif dalam bahasa artikel ini. Osing. Dengan diungkapkannya kedua Nomina atau kata benda sebagai permasalahan tersebut di atas secara dasar pembentukan verba melalui teoritis bermanfaat bagi peneliti bahasa afiksasi merupakan kata yang mengacu Osing untuk mengkaji sistem penurunan pada benda. Selain itu, nomina (noun) kata dari perspektif morfologi derivasi tersebut merupakan kata penanda, yakni dan juga bermanfaat untuk penataan nama person, tempat, pengertian, dan kembali kata-kata dalam kamus bahasa living creature Osing. Selain itu, secara praktis dapat (http://en.wikipedia.org/wiki/verb). digunakan penuturnya untuk lebih Anton M. Moeliono (peny. 1988:152) cermat dalam menggunakan verba menyatakan bahwa kata benda tersebut afiksasi. Dan, bagi guru dan penulis buku dalam bahasa Indonesia, secara pelajaran bahasa Osing, tulisan ini dapat semantik merupakan kata yang bermanfaat untuk menjelaskan tata mengacu pada manusia, binatang, benda, bahasa bahasa Osing secara cermat dan konsep atau pengertian. Dari segi kepada siswa tentang fenomena sintaksis, kata benda atau nomina penurunan kata yang teramalkan memiliki ciri-ciri sebagai berikut. (predictable), teratur, otomatis, dan Pertama, cenderung menduduki subjek, fenomena penurunan kata yang bersifat objek, atau pelengkap. Kedua, tidak tidak otomatis dan memiliki keanehan dapat dijadikan bentuk ingkar dengan semantik dalam proses derivasi atau kata tidak, tetapi dapat menggunakan penulisan cerita-cerita tradisional lokal bentuk pengingkar dengan kata bukan. dalam bahasa Osing yang mudah dibaca Ketiga, biasanya dapat diikuti oleh dan mudah ditangkap maknanya dengan ajektiva, baik secara langsung maupun memperhatikan penurunan verba. dengan perantaraan kata yang. Dalam morfologi derivasi melalui afiksasi, derivasi kategori verba 135 HASIL DAN PEMBAHASAN verba. Berikut uraian proses derivasi Afiks-Afiks Derivasi Transposisional afiks-afiks derivasi transposisional Pembentuk Kategori Verba dalam pembentukan kategori verba Denominal dalam Bahasa Osing denominal dalam bahasa Osing. Kategori verba bahasa Osing yang diturunkan dari dasar nomina Proses Derivasi Afiks Derivasi (denominal) berupa verba transitif dan Transposisional dalam intransitif melalui proses derivasi Pembentukan Kategori Verba transposisional, yakni derivasi yang Denominal dalam Bahasa Osing mengubah kelas kata dan makna leksikalnya. Proses derivasi Proses Derivasi: Afiks derivasi nasal transposisional pada verba dari dasar {N-} + N  VTrans (VTindakan) dan nomina (denominal) ini menggunakan VIntrans Aktif (Vkeadaan 18 afiks, yakni: (1) afiks {di-}, (2) afiks resiprokatif dan Adversatif dan {N-i}, (3) afiks {di-i}, (4) afiks {N-akən}, Perbuatan Adversatif) (5) afiks {di-akən}, (6) afiks {-i}, (7) {-n Pengimbuhan afiks nasal {N-} pada (8) afiks {sUn-}, (9) afiks {rik -}, dasar N (nomina) dapat menurunkan (10) afiks {- Vtrans. Secara semantis Vtrans tersebut transitif (Vtrans), sedangkan afiks merupakan V yang bermakna tindakan derivasi (11) {kə-}, (12) afiks {mə-}, (13) atau Vaksi-proses. Dikatakan Vtindakan afiks {-an}, (14) afiks {-əm-}, (15) afiks atau aksi-proses karena secara sintaksis {kə-an}, dan (16) afiks {-əl-} Vtrans tersebut mewajibkan hadirnya menurunkan verba intransitif (Vintrans). agen dan pasien. Agen diisi oleh N/FN Khusus afiks derivasi nasal {N-}dan afiks yang berfitur bernyawa yang {-ən}dapat menurunkan Vtrans dan mempunyai kekuatan dan kemapuan Vintrans. Berikut penjelasan proses untuk melakukan tindakan. Pasien (O) derivasi pada verba bahasa Osing yang yang diisi oleh N/FN yang berfitur atau diturunkan dari dasar nomina bermakna pasien (objektif, lokatif, (denominal) yang berupa verba transitif benefaktif). Selain itu, afiks derivasi nasal (Vtrans) dan verba intransitif (Vintrans). {N-} yang melekat pada dasar N dapat Afiks-afiks derivasi transposisional menurunkan Vintrans yang bermakna tersebut di atas selain mampu keadaan, yang terlihat pada kalimat- mengubah kategori kata atau kelas kata kalimat berikut. juga mampu mengubah makna leksikal dari makna nomina menjadi makna

1) IsUn njↄlↄ iwak nIng banyu. [esUn ňjyↄlↄ iwak nIŋ byaňu] ‘Saya menjaring ikan di sungai’ S P O KET

2) DhukUn ikau nyantht perawan-perawan ning desanisUn. [DukUn ikau ňant pərawan-pərawan nIŋ desↄnIsUn] ‘Dukun itu mengguna-gunai para gadis di desa saya’ S P O KET

3) Anak sIng ol ngəlawan wↄng tuwyk. [anak sIŋ ol ŋəlawan wↄŋ tuwyk] ‘Anak tidak boleh melawan orang tua’ 136 S P O

4) Lawang umyah ikau njyəbrd dhywk. [lawaŋ umyah ňjyəbrd ywk]

S P KET

5) Lare-lare padhyo muyeb sekat mau [lare-lare pↄyↄ muyəb səkat mau] ‘Anak-anak bergurau sejak tadi’ S P KET

Vtrans ňjyↄlↄ, ňanTt, dan keadaan resiprokatif karena adanya ŋəlawan pada contoh (1—3) merupakan tuntutan hadirnya fungsi S yang diisi Vtrans tidakan (aksi-proses) aktif yang oleh N/FN yang berperan pengrasa dan diturunkan dari afiks derivasi nasal {N-} mengandung makna tindakan saling, dan dasar nomina jyↄlↄ, sant, dan yakni pronomina persona lare-lare. lawan. Dikatakan Vtrans tindakan (aksi- proses) aktif karena dapat diketahui Proses Derivasi: Afiks Derivasi {di-} + adanya tuntutan hadirnya agen yang N  V Transitif (V Tindakan Pasif) mengisi S yang berkategori N/FN yang Pengimbuhan afiks {di-} pada dasar N berfitur bernyawa atau manusia, yakni dapat menurunkan Vtrans. Secara pronomina persona esUn, ukUn ikau, semantis Vtrans tersebut merupakan V anak, dan pasien yang berkategori N/FN yang bermakna tindakan atau Vaksi- yang mengisi O yang bermakna pasien proses pasif. Dikatakan Vtindakan atau (objektif dan lokatif), yakni iwak nIŋ aksi-proses pasif karena secara sintaksis byaňu, pərawan-pərawan nIŋ desↄnIsUn, Vtrans tersebut mewajibkan hadirnya dan wↄng tuwyk. Selin itu, afiks derivasi pasien dan agen. Pasien sebagai S yang nasal {N-} yang melekat pada N juga diisi oleh N/FN berfitur ± manusia yang dapat menurunkan Vintrans keadaan. menderita akibat dikenai tindakan oleh Verba ňjyəbrd pada contoh (4) agen atau pelaku yang berfungsi sebagai merupakan verba intransitif (Vintrans) objek (O) yang diisi oleh N/FN yang keadaan adversatif yang menuntut berfitur + manusia, + bernyawa, yang hadirnya fungsi S yang diisi oleh N/FN memiliki kemampuan dan kekuatan yang berfitur pengrasa dan tiba-tiba untuk melakukan tindakan, yang terlihat serta tidak disengaja, yakni lawaŋ pada kalimat-kalimat berikut. umyah. Verba muyəb pada contoh (5) merupakan verba intransitif (Vintrans)

6) Kang Tohir disihir dulure. [kaŋ tↄhIr disihIr dulure] ‘Kak Tohir disihir saudaranya’ S P O

7) Rina disanthet wong lanang ikau. [rina disant wↄŋ lanaŋ ikau] ‘Rina diguna-guna orang laki-laki itu’ S P O

8) Epoh-epoh mentah ikau disengkep plastik ambi apak. 137 [epↄh- epↄh məntah itu disəŋkəp plastik ambi apak] ‘Mangga mentah itu ditutup plastik oleh ayah’ S P O2 O1

Verba disihIr, disant, dan disəŋkəp untuk alat atau instrumental dalam pada contoh (6-8) merupakan Vtrans melakukan tindakan oleh O2, yakni dan Vbitrans tindakan (aksi proses) pasif nomina plastik. yang diturunkan dari afiks dervasi {di-} dan dasar nomina (N): sihIr, sant, dan Proses Derivasi: Afiks Derivasi {N-i} + səŋkəp. Dikatakan Vtrans tindakan (aksi- N  V Transitif (V Tindakan Aktif proses) pasif karena dapat diketahui Intensif) adanya tuntutan atau mewajibkan Pengimbuhan afiks derivasi {N-i} pada hadirnya pasien yang mengisi S dan agen dasar N dapat menurunkan Vtrans. yang mengisi O. Pasien yang mengisi S Secara semantis Vtrans tersebut tersebut dapat berkategori N/FN yang merupakan V yang bermakna tindakan berfitur ± manusia, ± bernyawa yang atau Vaksi-proses benefaktif intensif. berperan sebagai (pasien-objektif), Dikatakan Vtindakan atau aksi-proses yakni: kang tↄhir, rina, dan əpoh-əpoh benefaktif intensif karena secara məntah ikau yang telah dikenai tindakan sintaksis Vtrans tersebut mewajibkan oleh agen. Agen yang mengisi O hadirnya agen dan pasien. Agen sebagai berkategori N/FN berfitur manusia, S yang diisi oleh N/FN berfitur + bernyawa yang berperan sebagai agen manusia, + bernyawa, yang bermakna atau pelaku yang memiliki kemampuan tambahan ‘dengan intensitas berkali-kali dan kemauan melakukan tindakan, atau intensif’ yang memiliki kemampuan yakni dulure, wↄŋ lanaŋ ikau, dan apak. dan kekuatan untuk melakukan Khusus Vtrans tindakan pasif disəŋkəp tindakan. Pasien sebagai (O) diisi oleh pada contoh (8) merupakan Vbitransitif N/FN yang berfitur ± manusia, ± atau dwitransitif karena selain mampu bernyawa, yang berperan sebagai pasien menghadirkan pasien dan agen, juga (objektif, lokatif, dan direktif), yang mewajibkan hadirnya fungsi pelengkap terlihat pada kalimat-kalimat berikut. (PEL) yang diisi oleh N/FN yang berfitur benda, lentur yang dapat digunakan

9) Dhukun ikau njyapani selametan sawah [DUkUn ikau ňjyↄpↄni səlamətan sawah]

S P O

10) Emak mayungik kakang. [əmak mayuŋik kakaŋ] ‘Ibu memayungi kakak’ S P O

Verba ňjyↄpↄni dan mayuŋik pada mewajibkan hadirnya agen dan pasien contoh (9—10) merupakan Vtrans dengan intensitas tindakan berkali-kali. tindakan aktif intensif yang diturunkan Agen sebagai S diisi oleh N/FN yang dari afiks derivasi {N-i} dan dasar N, berfitur + bernyawa, + manusia yang yakni: jyↄpↄ dan payUŋ. Dikatakan Vtrans memiliki kemapuan dan kekuatan untuk tindakan aktif intensif karena melakukan tindakan dengan intensitas 138 berkali-kali, yakni pronomina persona atau Vaksi-proses pasif intensif. DukUn ikau dan Emak. Pasien sebagai O Dikatakan Vtindakan atau aksi-proses diisi oleh N/FN yang berfitur ± manusia, pasif intensif karena secara sintaksis ± bernyawa yang berperan sebagai Vtrans tersebut mewajibkan hadirnya pasien-objektif, yakni səlamətan sawah pasien dan agen. Pasien (pasien- dan kakaŋ. objektif) sebagai S yang diisi oleh N/FN berfitur ± bernyawa, ± manusia yang Proses Derivasi: Afiks Derivasi {di-i} + dikenai tindakan oleh agen atau pelaku. N  V Transitif (VTindakan Pasif Agen sebagai O diisi oleh N/FN yang Intensif) berfitur + manusia, yang berperan Pengimbuhan afiks derivasi {di-i} pada sebagai pelaku tindakan, yang terlihat dasar N dapat menurunkan Vtrans. pada kalimat-kalimat berikut. Secara semantis Vtrans tersebut merupakan V yang bermakna tindakan

11) Selametan sawah dijyapani ambi dhukun ikau. [səlamətan sawah dijyↄpↄni ambi ukUn itu] ‘Selamatan sawah didoai oleh dukun itu’ S P O

12) Kakang dipayungi emak. [kakaŋ dipayuŋi əmak ] ‘Kakak dipayungi ibu’ S P O

Verba dijyↄpↄni dan dipayuŋi pada Proses Derivasi: Afiks Derivasi {N- contoh (11—12) merupakan Vtrans akən} +N  V Transitif (V Tindakan tindakan pasif intensif (terus-menerus) Aktif) yang diturunkan dari afiks derivasi {di-i} Pengimbuhan afiks derivasi {N-akən} dan dasar N, yakni: jyↄpↄ dan payuŋ. pada dasar N dapat menurunkan Vtrans. Dikatakan Vtrans tindakan pasif intensif Secara semantis Vtrans tersebut karena mewajibkan hadirnya pasien dan bermakna tindakan atau Vaksi-proses agen. Pasien (pasien-objektif) sebagai S aktif benefaktif. Dikatakan Vtindakan diisi oleh N/FN yang berfitur ± atau aksi-proses aktif benefaktif karena bernyawa, ± manusia yang dikenai secara sintaksis Vtrans tersebut tindakan terus-menerus, yakni mewajibkan hadirnya agen dan pasien. səlamətan sawah dan kakaŋ. Agen yang Agen sebagai S yang diisi oleh N/FN berfungsi sebagai O diisi oleh N/FN yang berfitur + manusia, + bernyawa, yang berfitur + manusia, + bernyawa yang berperan sebagai pelaku tindakan. berperan sebagai pelaku tindakan pasif Pasien sebagai O diisi oleh N/FN yang intensif, yakni: UkUn dan əmak yang berfitur + manusia, yang berperan memiliki kemampuan dan kekuatan sebagai pasien-objektif, yang terlihat untuk melakukan tindakan secara terus- pada kalimat-kalimat berikut. menerus.

13) Anake njowokaken basa medurok. [anake ňjↄwↄkakәn b s mәdurᴐ?] ‘Anaknya menjawakan bahasa Madura’ S P O 139 14) Paman maculaken sawahe anang. [paman macUlakәn sawae anaŋ] ‘Paman mencangkulkan sawahnya kakek’ S P O

Verba ňjↄwↄkakәn, dan macUlakәn Proses Derivasi: Afiks Derivasi {di- pada contoh (13—14) merupakan akən} + N  V Transitif (V Tindakan Vtrans tindakan aktif yang diturunkan Pasif) dari afiks derivasi {N-akən} dan dasar N, Pengimbuhan afiks derivasi {di-akən} yakni: jyↄwↄ, dan pacul. Dikatakan Vtrans pada dasar N dapat menurunkan Vtrans tindakan aktif benefaktif karena (Vekatrans dan Vbitrans). Secara mewajibkan hadirnya agen dan pasien. semantis Vtrans tersebut merupakan V Agen sebagai S diisi oleh N/FN yang yang bermakna tindakan atau Vaksi- berfitur + bernyawa, + manusia yang proses pasif. Dikatakan Vtindakan atau memiliki kemampuan dan kekuatan aksi-proses pasif karena secara sintaksis untuk melakukan tindakan untuk orang Vtrans tersebut mewajibkan hadirnya lain, yakni anake dan paman . Pasien pasien dan agen. Pasien (objektif, lokatif, yang berfungsi sebagai O diisi oleh N/FN benefaktif) sebagai S yang diisi oleh yang berfitur ± manusia, ± bernyawa N/FN berfitur ± bernyawa, ± manusia yang berperan sebagai pasien (pasien- yang dikenai tindakan oleh agen atau objektif), yakni, basa medurok pada (13) pelaku. Agen sebagai O diisi oleh N/FN dan sawahe anang pada (14. yang berfitur + manusia, yang berperan sebagai pelaku tindakan, yang terlihat pada kalimat-kalimat berikut.

15) Cangkeme? lare cilik ikau dibeselaken kain ambi byapake. [caŋkәme lare cilik ikau dibsәlakәn kain ambi byapake] ‘Mulut anak kecil itu disumpal kain oleh ayahnya’ S P O2 O1

16) Sak gelas kopi ambi gedhyang goring diidhyangaken ambi uwak wadon [sak gyәlas kᴐpi ambi gyәyaŋgᴐrŋ diiyaŋakәn ambi uwak wadᴐn] ‘Satu gelas kopi dengan pisang goreng dihidangkan oleh bude’ S P O

17) Watuke diidokaken. [watuke diidᴐkakәn] ‘Batuknya diludahkan’ S P

Verba diiyaŋakәn pada contoh dasar N, yakni besel. Dikatakan Vtrans (16) dan diidᴐkakәn (17) merupakan (ekatrans) tindakan pasif karena Vekatrans tindakan pasif yang mewajibkan hadirnya pasien dan agen diturunkan dari afiks derivasi {di-akən} dan dikatakan Vbitrans tindakan pasif dan dasar N, yakni: iyaŋan dan idu. karena mewajibkan hadirnya pasien, Verba dibsәlakәn pada contoh (15) agen, dan (tujuan atau alat). Pasien merupakan Vbitrans tindakan pasif yang (pasien-objektif) pada Vekatrans sebagai diturunkan afiks {di-akən} dan dari S diisi oleh N/FN yang berfitur + benda, - bernyawa yang dikenai tindakan yang 140 berperan sebagai pasien (objektif), yakni Proses Derivasi: Afiks Derivasi {-i} + N sak gyәlas kᴐpi ambi gyәyaŋ gᴐrŋ dan  V Transitif (V Tindakan Pasif pasien (benefaktif), yakni watuke Imperatif Intensitas) sedangkan pada Vbitrans, S diisi oleh Pengimbuhan afiks derivasi {-i} pada N/FN yang berfitur ± manusia, ± dasar N dapat menurunkan Vtrans. bernyawa yang berperan sebagai pasien Secara semantis Vtrans tersebut (pasientif-objektif), yakni: caŋkәme lare merupakan V yang bermakna tindakan cilik ikau (15). Agen pada Vtrans atau Vaksi-proses pasif imperatif (ekatrans) yang berfungsi sebagai O diisi intensitas. Dikatakan Vtindakan atau oleh N/FN yang berfitur + manusia, + aksi-proses pasif imperatif intensitas bernyawa yang berperan sebagai pelaku karena secara sintaksis Vtrans tersebut tindakan, yakni uwak wadᴐn (16) dan mewajibkan hadirnya pasien dan agen. dirinya sendiri (zero) (17) yang memiliki Pasien (pasien-objektif) sebagai S yang kemampuan dan kekuatan untuk diisi oleh N/FN berfitur ± bernyawa, ± melakukan tindakan sedangkan pada manusia yang dikenai tindakan perintah Vbitrans, O1 diisi oleh N/FN yang oleh agen atau pelaku secara terus- berfitur + manusia, + bernyawa yang menerus. Agen sebagai O diisi oleh N/FN berperan sebagai pelaku tindakan, yakni yang berfitur + manusia, yang berperan byapake (15) dan O2 diisi oleh N/FN sebagai pelaku tindakan yang telah yang berfitur + benda, - bernyawa, yakni dilesapkan, yang terlihat pada kalimat- kain (15) yang berperan sebagai alat kalimat berikut. (instrumental).

18) Wong sak kampong santhEtai kabyeh’. [wᴐŋ sak kampuaŋ santai kabyh] ‘Orang satu kampung silahkan diguna-gunai semua’ S P

19) Pecutai byaen, sapi ikau. [ pәcUtai byan, sapi ikau] ‘Silahkan dipecuti saja, sapi itu’ P S

Verba santai dan pәcUtai pada bernyawa yang berperan sebagai pelaku contoh (18—19) merupakan Vtrans yang memiliki kemampuan dan tindakan pasif imperatif intensitas yang kekuatan untuk melakukan tindakan diturunkan dari afiks derivasi {-i} dan perintah dari lawan bicara secara terus- dasar N, yakni: sant dan pәcUt. menerus, yakni nomina rikᴐ yang telah Dikatakan Vtrans tindakan pasif dilesapkan (Ø). Hal ini terjadi karena imperatif intensitas karena mewajibkan verba santai, dan pecUtai, secara hadirnya pasien dan agen. Pasien semantik sama maknanya dengan rikᴐ sebagai S diisi oleh N/FN yang berfitur ± santai dan rikᴐ pәcUtai yang artinya manusia, ± bernyawa, yang berperan sama dengan disantai ambi rikᴐ * dan sebagai (pasien-objektif) yang dikenai dipәcUtai ambi rikᴐ *, namun dua tindakan dengan intensitas berkali-kali, bentukan yang terakhir tidak berterima yakni: wᴐŋ sak kampuaŋ dan sapi ikau. karena tidak gramatikal. Agen yang berfungsi sebagai O diisi oleh N/FN yang berfitur + manusia, + 141 Proses Derivasi: Afiks Derivasi {-nↄ} + objektif) sebagai S yang diisi oleh N/FN N  V Transitif (V Tindakan Pasif berfitur ± bernyawa, ± manusia, + benda Imperatif) yang dikenai tindakan perintah oleh Pengimbuhan afiks derivasi {-n agen atau pelaku. Agen sebagai O diisi dasar N dapat menurunkan Vtrans yang oleh N/FN yang berfitur + manusia, yang secara semantis merupakan V yang berperan sebagai pelaku tindakan yang bermakna tindakan atau Vaksi-proses telah dilesapkan, yang terlihat pada pasif imperatif. Dikatakan Vtindakan kalimat-kalimat berikut. atau aksi-proses pasif imperatif karena secara sintaksis mewajibkan hadirnya pasien dan agen. Pasien (pasien-

20) Isun gyendhingno lagu umbul-umbul Blambyangan. [esUn gyәnyIŋnᴐ lagu umbUl-umbUl lambyaŋan] ‘Saya nyanyikanlah lagu umbul-umbul blambangan’ KET P S

21) Paculno sawahe apak [pacUlnᴐ sawae apak] ‘Cangkulkan sawah bapak’ P S

22) Singkepno lawang ngarep ikau! [siŋkәpnᴐ lawaŋ ŋarəp ikau] ‘tutupkan pintu depan itu’ P S

Verba gyәnyIŋnᴐ, pacUlnᴐ, dan gyәnyIŋnᴐ, pacUlnᴐ, dan siŋkәpnᴐ, siŋkәpnᴐ pada contoh (20—22) secara semantik sama dengan rikᴐ merupakan Vtrans tindakan pasif gyәnyIŋnᴐ, rikᴐ pacUlnᴐ, dan rikᴐ imperatif yang diturunkan dari afiks siŋkәpnᴐ yang artinya sama dengan derivasi {-n digyәnyIŋnᴐ ambi rikᴐ *, dipacUlnᴐ ambi gyәnyIŋ, pacUl, dan siŋkәp. Dikatakan rikᴐ *, dan disiŋkәpnᴐ ambi rikᴐ *, namun Vtrans tindakan pasif imperatif karena 3 bentukan yang terakhir tidak mewajibkan hadirnya pasien dan agen. berterima karena tidak gramatikal. Pasien sebagai S diisi oleh N/FN yang berfitur ± manusia, ± bernyawa, yang Proses Derivasi: Afiks Derivasi {sUn-} berperan sebagai pasien-objektif yang + N  V Transitif (V Tindakan Pasif) dikenai tindakan perintah, yakni: lagu Pengimbuhan afiks derivasi { sUn-} pada umbUl-umbUl blambyaŋan, sawahe dasar N dapat menurunkan Vtrans yang apak, dan lawaŋ ŋarəp ikau . Agen yang secara semantis merupakan V yang berfungsi sebagai O diisi oleh N/FN yang bermakna tindakan atau Vaksi-proses berfitur + manusia, + bernyawa yang pasif. Dikatakan Vtindakan atau aksi- berperan sebagai pelaku yang memiliki proses pasif karena secara sintaksis kemampuan dan kekuatan untuk mewajibkan hadirnya pasien dan agen. melakukan tindakan perintah dari lawan Pasien (pasien-objektif) sebagai S yang bicara, yakni nomina rikᴐ yang telah diisi oleh N/FN berfitur benda yang dilesapkan (Ø). Hal ini terjadi karena dikenai tindakan agen atau pelaku. Agen Vtrans tindakan pasif imperatif sebagai O diisi oleh N/FN yang berfitur + 142 manusia, yang berperan sebagai pelaku terlihat pada kalimat-kalimat berikut. tindakan yang telah dilesapkan, yang

23) Parine sunrabuk isuk-isuk mau. [parine sUnrabUk isuk-isuk mau] ‘Padinya saya pupuk pagi tadi’ S P KET

24) Rambute adhik wis sungyaru. [rambute aIk wIs sUngyaru] ‘Rambut adik sudah saya sisir’ S P

Verba sUnrabuk dan sUngyaru pada terakhir tidak berterima karena tidak contoh (23—24) merupakan Vtrans gramatikal. tindakan pasif yang diturunkan dari afiks derivasi {sUn-} dan dasar N, yakni: Proses Derivasi: Afiks Derivasi {sirↄ-} rabuk dan gyaru. Dikatakan Vtrans +N  V Transitif (V Tindakan Pasif tindakan pasif karena mewajibkan Imperatif) hadirnya pasien dan agen. Pasien Pengimbuhan afiks derivasi {sir -} pada sebagai S diisi oleh N/FN yang berfitur dasar N dapat menurunkan Vtrans yang +benda, + tidak bernyawa, yang secara semantis merupakan V yang berperan sebagai (pasien-objektif) yang bermakna tindakan atau Vaksi-proses dikenai tindakan, yakni, parine dan pasif imperatif. Dikatakan Vtindakan rambute aik. Agen yang berfungsi atau aksi-proses pasif imperatif karena sebagai O diisi oleh N/FN yang berfitur + secara sintaksis mewajibkan hadirnya manusia, + bernyawa yang berperan pasien dan agen. Pasien (pasien- sebagai pelaku yang memiliki objektif) sebagai S yang diisi oleh N/FN kemampuan dan kekuatan untuk berfitur benda yang disertai milik yang melakukan tindakan dengan alat seperti dikenai tindakan agen atau pelaku. Agen pada bentuk dasarnya, yakni nomina sUn sebagai O diisi oleh N/FN yang berfitur + (isun) yang telah dilesapkan karena telah manusia, yang berperan sebagai pelaku menjadi satu dengan verbanya. Hal ini tindakan atas perintah pembicara yang terjadi karena Vtrans tindakan pasif telah dilesapkan karena telah menjadi sUnrabUk dan sUngyaru, secara satu dengan verbanya, yang terlihat semantik memiliki informasi yang sama pada kalimat-kalimat berikut. dengan dirabUk ambi esUn*, dan digyaru ambi esUn*, namun dua bentukan yang

25) Parine sirorabuk wih. [parine sirↄrabUk wIh] ‘Padinya kamu pupuk ’ S P

26) Rambute adhik sirogyaru wih. [rambute aDIk sirↄgyaru wIh] ‘Rambut adik silahkan kamu sisir’ S P

143 Verba sirↄrabUk dan sirↄgyaru pada bentukan yang terakhir tidak berterima contoh (25—26) merupakan Vtrans karena tidak gramatikal. tindakan pasif imperatif yang diturunkan dari afiks derivasi {sir -} dan Proses Derivasi: Afiks Derivasi {kə-} dasar N, yakni: rabUk dan gyaru. +N  V Intransitif (V Keadaan Dikatakan Vtrans tindakan pasif Adversatif) imperatif karena mewajibkan hadirnya Pengimbuhan afiks derivasi {kə-} pada pasien dan agen. Pasien sebagai S diisi dasar N dapat menurunkan Vintrans oleh N/FN yang berfitur benda yang yang secara semantis merupakan V yang disertai milik yang berperan sebagai bermakna keadaan pasif adversatif pasien-objektif yang dikenai tindakan (tidak disengaja). Dikatakan Vkeadaan agen, yakni, parine dan rambute aIk. pasif adversatif karena secara sintaksis Agen yang berfungsi sebagai O diisi oleh mewajibkan hadirnya agen dan N/FN yang berfitur + manusia, + komplemen. Agen yang berfungsi bernyawa yang berperan sebagai pelaku sebagai S yang diisi oleh N/FN yang yang memiliki kemampuan dan berfitur ± manusia, ± bernyawa yang kekuatan untuk melakukan tindakan berperan sebagai pasien (pasien- dengan alat seperti pada bentuk objektif) yang bermakna tambahan dasarnya atas perintah pembicara, yakni sebagai ‘pengrasa’ yang merasakan nomina sirↄ ‘kamu’ yang telah kejadian yang tidak disengaja dan tidak dilesapkan (Ø). Hal ini terjadi karena diduga. Komplemen yang berfungsi Vtrans tindakan pasif sirↄrabUk dan sebagai KET diisi oleh frase keterangan sirↄgyaru, secara semantik sama yang berfitur tempat atau lokasi informasinya dengan dirabUk ambi sirↄ* kejadian, yang terlihat pada kalimat- dan digyaru ambi sirↄ*, namun dua kalimat berikut.

27) Sikile hang kiwo kejelowok ning jyurang. [sikile haŋ kiwᴐ kәjәlᴐwᴐk nIŋ jyuraŋ] ‘Kaki yang kiri terperosok di jurang’ S P KET

28) Kertas ikau sing sengojo kegunting. [kәrtas ikau sIŋ sәŋᴐjᴐ kәguntIŋ] ‘Kertas itu tidak sengaja tergunting’ S P

Verba kәjәlᴐwᴐk dan kәguntIŋ pada bernyawa yang berperan sebagai pasien contoh (27—28) merupakan Vintrans (pasien-objektif) yang bermakna pasif yang bermakna pasif keadaan tambahan sebagai ‘pengrasa’ yang adversatif yang diturunkan dari afiks merasakan keadaan yang tidak disengaja derivasi {kə} dan dasar N, yakni: jәlᴐwᴐk (adversatif) dan tiba-tiba terjadi, yakni dan guntIŋ. Dikatakan Vintrans pasif sikile haŋ kiwᴐ dan kertas ikau. keadaan adversatif karena mewajibkan Komplemen yang berfungsi sebagai KET hadirnya agen dan (boleh ada dan boleh diisi oleh frase depan atau frase juga tidak) atas hadirnya pasien sebagai keterangan yang berfitur ± manusia, ± komplemen yang berfungsi sebagai KET. bernyawa, yang menunjukkan makna Agen yang berfungsi sebagai S diisi oleh tempat atau lokatif, yakni nIŋ jyuraŋ N/FN yang berfitur ± manusia, ± pada (27). 144 berfitur semantis + manusia, + Proses Derivasi: Afiks Derivasi {mə-} bernyawa yang berperan sebagai pelaku +N  V Intransitif: Semitransitif atau aktor perbuatan yang memiliki (VPerbuatan Aktif ) kemampuan untuk melakukan Pengimbuhan afiks derivasi {mə-} yang perbuatan. Pasien yang berfungsi juga dapat berupa morfem {mər-} pada sebagai keterangan (KET) diisi oleh dasar N dapat menurunkan Vintrans N/FN/F Ket. yang berfitur semantis ± (semitransitif) yang secara semantis manusia, ± bernyawa, yang berperan merupakan V yang bermakna perbuatan sebagai (pasien-lokatif), seperti yang aktif. Dikatakan Vperbuatan aktif terlihat pada kalimat-kalimat berikut. karena secara sintaksis mewajibkan hadirnya agen dan pasien. Agen yang berfungsi sebagai S yang diisi oleh N/FN

29) Isun mergyuru ambi mbok Lina. [esUn mәrgyuru ambi mbᴐk Lina] ‘Saya berguru kepada kak Lina’ S P KET

30) Wong ikau merdhukun sampe gyaduk Mangir. [wᴐŋ ikau mәrukUn sampe gyadUk maŋIr] ‘Orang itu mencari jasa dukun sampai dengan desa Mangir’ S P KET

31) Apak medhyayoh ning umyahe Pak Lurah. [apak mәyayᴐh nIŋ umyae pak lurah] ‘Ayah bertamu di rumahnya Pak Lurah’ S P KET

Verba mәrgyuru, mәrUkUn, dan Lina, sampe gyadUk maŋIr, dan nIŋ mәyayᴐh pada contoh (29—31) umyae pak lurah. merupakan Vintrans (semitransitif) aktif yang bermakna perbuatan yang Proses Derivasi: Afiks Derivasi {ən-} diturunkan dari afiks derivasi {mə/ mər- +N  V Intransitif (V Keadaan } dan dasar N, yakni: gyuru, UkUn, dan Posesif) dan VTrans (VTindakan Pasif yayᴐh. Dikatakan Vintrans perbuatan Imperatif) aktif karena mewajibkan hadirnya agen Pengimbuhan afiks derivasi {-ən} pada dan komplemen. Agen yang berfungsi dasar N dapat menurunkan Vintrans dan sebagai S diisi oleh N/FN yang berfitur + Vtrans yang secara semantis merupakan manusia, + bernyawa yang berperan V yang bermakna keadaan posesif dan sebagai pelaku atau aktor perbuatan Vtrans yang bermakna tindakan pasif yang memiliki kemampuan untuk imperatif. Dikatakan Vkeadaan posesif melakukan perbuatan, yakni esUn, wᴐŋ karena secara sintaksis mewajibkan ikau, dan apak. Komplemen yang hadirnya pasien (pasien-objektif) yang berfungsi sebagai KET diisi oleh frase berfungsi sebagai S yang diisi oleh N/FN depan/frase keterangan yang berfitur yang berfitur + manusia atau anggota semantis ± manusia, ± bernyawa, yang tubuh manusia yang bermakna ‘posesif’ berperan sebagai lokatif, yakni mbᴐk yang berperan sebagai pengrasa atas keadaan pada verba tersebut. Dikatakan

145 Vtindakan pasif imperatif karena berfungsi sebagai O diisi oleh N/FN yang mewajibkan hadirnya pasien dan agen. berfitur + manusia yang berperan Pasien yang berfungsi sebagai S yang sebagai pelaku yang melakukan diisi oleh N/FN berfitur semantis + tindakan perintah dari lawan bicara, benda milik manusia yang berperan yang terlihat pada kalimat-kalimat sebagai pasien (pasien-objektif) atau berikut. yang dikenai tindakan dan agen yang

32) Sikile lare ikau byarengen. [ sikile lare ikau byarŋәn] ‘Kaki anak itu berborok’ S P

33) Gledhegane ceten [glygane ctәn] ‘gerobaknya catlah’ S P

Verba byarŋәn pada contoh (32) informasi dengan rik ct atau dict ambi merupakan Vintrans yang bermakna rik *. Bentukan yang bertanda bintang keadaan yang diturunkan dari afiks (*) tersebut merupakan bentuk yang derivasi {-ən} dan dasar N, yakni: byarŋ. tidak berterima karena tidak gramatikal. Dikatakan Vintrans keadaan karena mewajibkan hadirnya pasien yang Proses Derivasi: Afiks Derivasi {-an} berfungsi sebagai S yang diisi oleh N/FN +N  V Intransitif (VPerbuatan Aktif yang berfitur manusia yang bermakna Reflektif ) ‘pengrasa’ atau posesif yang merasakan Pengimbuhan afiks derivasi {-an} pada keadaan, yakni Sikile lare ikau. Selain itu, dasar N dapat menurunkan Vintrans verba ctәn pada contoh (33) yang secara semantis merupakan V yang merupakan Vtrans yang bermakna bermakna perbuatan (aksi) aktif tindakan pasif imperatif yang reflektif. Dikatakan Vperbuatan aktif diturunkan dari dasar nomina (N), yakni reflektif karena secara sintaksis cEt. Dikatakan Vtrans tindakan pasif mewajibkan hadirnya agen dan imperatif karena mewajibkan hadirnya komplemen. Agen yang berfungsi pasien dan agen. Pasien yang berfungsi sebagai S yang diisi oleh N/FN yang sebagai S yang diisi oleh N/FN yang berfitur + manusia, + bernyawa yang berfitur + benda yang dapat dikenai berperan sebagai pelaku atau aktor tindakan pelaku atas perintah lawan perbuatan yang memiliki kemampuan bicara, yakni glygane . Agen yang untuk melakukan perbuatan terhadap berfungsi sebagai O diisi oleh N/FN yang dirinya sendiri. Artinya bahwa sebagai berfitur + manusia, + bernyawa yang perbuatan reflektif terlihat adanya berperan sebagai pelaku atau aktor pelaku perbuatan dan objeknya sama, perbuatan yang memiliki kemampuan yakni dirinya sendiri. Komplemen yang untuk melakukan perbuatan, yakni rik berfungsi sebagai PEL diisi oleh ‘kamu’ yang telah dilesapkan, namun N/FN/Adj. berfitur + benda, yang dimarkahi oleh afiks {-ən} yang sudah tergolong jenis dari nomina pada dasar menyatu pada verba tersebut, yakni Vperbuatan tersebut, yang terlihat pada ctәn. Hal ini karena memiliki kesamaan kalimat-kalimat berikut.

146 34) Apak saruŋan mergo arep sholat. [apak saruŋan mәrgᴐ arәp sᴐlat] ‘Ayah memakai sarung karena akan bersembahyang’ S P KET

35) Adhik klambian putih. [aIk klambiyan putIh] ‘adik berbaju putih’. S P PEL

Verba saruŋan dan klambiyan pada Proses Derivasi: Afiks Derivasi {-ↄnↄ} contoh (34—35) merupakan Vintrans +N  V Transitif (VTindakan Pasif yang bermakna perbuatan reflektif yang Imperatif Intensif ) diturunkan dari afiks derivasi {-an} dan Pengimbuhan afiks derivasi {- dasar N, yakni: saruŋ dan klambi. dasar N dapat menurunkan Vtrans yang Dikatakan Vintrans perbuatan reflektif secara semantis merupakan V yang karena mewajibkan hadirnya agen dan bermakna tindakan pasif imperatif boleh ada boleh juga tidak adanya intensif. Dikatakan Vtindakan pasif komplemen. Agen yang berfungsi imperatif intensif karena mewajibkan sebagai S yang diisi oleh N/FN yang hadirnya pasien dan agen. Pasien yang berfitur +manusia, + bernyawa yang berfungsi sebagai S yang diisi oleh N/FN berperan sebagai aktor atau pelaku berfitur semantis ± manusia, ± bernyawa perbuatan pada dirinya sendiri, yakni yang berperan sebagai pasien (pasien- apak dan aIk. Komplemen yang objektif) atau yang dikenai tindakan dan berfungsi sebagai PEL yang diisi oleh agen yang berfungsi sebagai O diisi oleh N/FN/Adj. yang berfitur +benda yang N/FN yang berfitur + manusia yang tergolong jenis dari nomina pada dasar berperan sebagai pelaku yang Vperbuatan tersebut, yakni putIh pada melakukan tindakan perintah (dari (35). Keberadaan KET, yakni mәrgᴐ arәp lawan bicara), yakni rikᴐ yang telah sᴐlat pada contoh (34) tidak wajib dilesapkan yang terlihat pada kalimat- adanya. kalimat berikut.

36) Anake kәmulᴐnᴐ [anake kәmulᴐnᴐ] ‘anaknya silahkan diselimuti’ S P

37) Parine rabukono. [parine rabUkᴐnᴐ] ‘Padinya silahkan dipupuk’ S P

Verba kәmulᴐnᴐ dan rabUkᴐnᴐ pada Pasien yang berfungsi sebagai S yang contoh (36—37) merupakan Vtrans diisi oleh N/FN yang berfitur ± manusia, yang bermakna tindakan pasif imperatif ± bernyawa yang berperan sebagai intensif yang diturunkan dari afiks pasien-objektif yang dikenai tindakan derivasi {- kәmUl pelaku secara terus-menerus, yakni dan rabUk. Dikatakan Vtrans tindakan anake dan parine. Agen yang berfungsi pasif imperatif intensif karena sebagai O diisi oleh N/FN yang berfitur + mewajibkan hadirnya pasien dan agen. manusia yang berperan sebagai aktor 147 atau pelaku tindakan yang dalam hal ini Proses Derivasi: Afiks Derivasi {-əm-} telah dilesapkan, yakni rikᴐ dari lawan +N  V Intransitif (Vkeadaan Pasif bicara yang memiliki kemampuan untuk Adversatif) melakukan tindakan perintah dari lawan Pengimbuhan afiks derivasi {-əm-} pada bicara dengan intensitas berkali-kali dasar N dapat menurunkan Vintrans (intensif). Hal ini dapat diketahui dengan yang secara semantis bermakna keadaan pengembangan atau perluasan verba pasif adversatif Dikatakan Vkeadaan kәmulᴐnᴐ menjadi rikᴐ kemuli atau pasif karena mewajibkan hadirnya agen. dikәmUli ambi rikᴐ * dan rabUkᴐnᴐ Agen yang berfungsi sebagai S yang diisi diperluas menjadi rikᴐ rabuki atau oleh N/FN berfitur semantis ± manusia, dirabuki ambi rikᴐ*. Kedua bentukan ± bernyawa yang berperan sebagai yang bertanda bintang (*) tersebut pasien (pasien-objektif) yang bermakna merupakan bentukan yang tidak ‘pengrasa’, yakni yang merasakan berterima karena tidak gramatikal. keadaan, seperti yang terlihat pada kalimat-kalimat berikut.

38) Aspale kemeringet. [aspale kәmәriŋәt] ‘Aspalnya berkeringat’ S P

39) Radione kemeresek. [radiyone kәmәrəsək] ‘Radionya berbunyi kresek-kresek’ S P

Verba kәmәriŋәt dan kәmәrəsək Proses Derivasi: Afiks Derivasi {kə- pada contoh (38—39) merupakan an} +N  V Intransitif (V Keadaan Vintrans pasif yang bermakna keadaan Pasif Reflektif Adverstif) adversatif yang diturunkan dari afiks Pengimbuhan afiks derivasi {kə-an} derivasi {-əm-} dan dasar N, yakni: pada dasar N dapat menurunkan kәriŋәt dan kәrəsək. Dikatakan Vintrans Vintrans yang secara semantis pasif keadaan adversatif karena bermakna keadaan pasif adversatif. mewajibkan hadirnya agen. Agen yang Dikatakan Vkeadaan pasif reflektif berfungsi sebagai S diisi oleh N/FN yang adversatif karena mewajibkan hadirnya berfitur ± manusia, ± bernyawa yang agen. Agen yang berfungsi sebagai S berperan sebagai pasien (pasien- yang diisi oleh N/FN berfitur semantis ± objektif) yang bermakna tambahan manusia, ± bernyawa yang berperan sebagai ‘pengrasa’ yang merasakan sebagai pasien (pasien-objektif) yang keadaan yang tidak disengaja bermakna ‘pengrasa’, yakni yang (adversatif) dan tiba-tiba terjadi, yakni merasakan keadaan yang tidak disengaja aspale dan radiyone. (tiba-tiba), seperti yang terlihat pada kalimat-kalimat berikut

40) Apak keudyanan. [apak kəudyanan] ‘Bapak kehujanan’ S P

148 41) Umyah isun kebyanjiran [umyah esUn kəbyanjiran] ‘Rumah saya kebanjiran’ S P

Verba kəudyanan dan kəbyanjiran Proses Derivasi: Afiks {-əl-} + N  pada contoh (40—41) merupakan Vintrans (V Keadaan Aktif Posesif) Vintrans pasif yang bermakna keadaan Pengimbuhan afiks derivasi {-əl-} pada pasif reflektif adversatif yang diturunkan dasar nomina (N) dapat menurunkan dari afiks derivasi {kə-an} dan dasar N, Vintrans. Secara semantis Vintrans yakni: udyan dan byanjir. Dikatakan tersebut merupakan V yang bermakna Vintrans keadaan pasif reflektif keadaan posesif. Dikatakan Vkeadaan adversatif karena mewajibkan hadirnya posesif karena secara sintaksis Vintrans agen. Agen yang berfungsi sebagai S diisi tersebut mewajibkan hadirnya oleh N/FN yang berfitur ± manusia, ± Pengalam dan komplemen. Pengalam bernyawa yang berperan sebagai pasien sebagai S yang diisi oleh N/FN berfitur + (pasien-objektif) yang bermakna benda yang mengalami bentuk/keadaan. tambahan sebagai ‘pengrasa’, yang Komplemen sebagai KET diisi oleh merasakan keadaan yang tidak disengaja Ket/Fket, berfitur - manusia, yang (adversatif) dan tiba-tiba terjadi, yakni berperan sebagai komplemen, yang apak dan Umyah esUn. terlihat pada kalimat-kalimat berikut.

42) Klambine adon gyelarit koyo kuwung. [klambine adↄn gyəlarIt kↄyↄ kuwUŋ ] ‘Bajunya nenek bergores/bercorak seperti pelangi’ S P KET

Verba gyəlarIt ‘bercorak’ pada {di-}, (2) afiks {N-i}, (3) afiks {di-i}, (4) contoh (42) merupakan Vintrans: afiks {N-akən}, (5) afiks {di-akən}, (6) semitransitif aktif yang bermakna afiks {-i}, (7) {-n -}, (9) keadaan yang diturunkan dari afiks afiks {rik -}, (10) afiks {- derivasi {-əl-} dan dasar N, yakni: gyarIt menurunkan verba transitif (Vtrans), ‘gores/corak’. Dikatakan Vsemitransitif sedangkan afiks derivasi (11) {kə-}, (12) aktif keadaan karena mewajibkan afiks {mə-}, (13) afiks {-an}, (14) afiks {- hadirnya agen dan komplemen. Agen əm-}, (15) afiks {kə-an}, (16) afiks {-əl-} yang berfungsi sebagai S diisi oleh N/FN menurunkan verba intransitif (Vintrans), yang berfitur ± manusia, ± bernyawa dan (17) afiks nasal {N-}, dan (18) afiks yang berperan sebagai pengalam, yang {-ən} menurunkan verba transitif dan memiliki keadaan, yakni klambine intransitif. adↄn. Komplemen yang berfungsi Dalam proses derivasi sebagai KET diisi oleh N/FN yang transposisional pada verba denominal berfitur + benda yang bermakna tiruan dalam bahasa Osing, setiap afiks derivasi atau emitasi, yakni kↄyↄ kuwUŋ. yang melekat pada N akan menghasilkan Vtrans yang bermakna tindakan aktif, SIMPULAN tindakan pasif, tindakan aktif intensif, Berdasarkan uraian di atas dapat tindakan pasif intensif, tindakan pasif dikatakan bahwa afiks pembentuk imperatif intensif, tindakan pasif kategori verba denominal dalam bahasa imperatif dan Vintrans yang bermakna: Osing terdapat 18 afiks, yakni: (1) afiks keadaan adversatif, keadaan 149 resiprokatif, perbuatan adversatif, ------. 1993. Metode dan Aneka Teknik perbuatan aktif, keadaan poseif, Analisis Bahasa, Pengantar perbuatan aktif reflektif, keadaan pasif Penelitian Wahana Kebudayaan adversatif, keadaan pasif reflektif secara Linguistik. Yogyakarta: Duta adversatif , dan Vkeadaan aktif posesif. Wacana University Press. Sunoto, dkk. 1984. Sistem Morfologi Kata DAFTAR PUSTAKA Kerja Bahasa Jawa Dialek Anton Moeliono. 1988. Tata Bahasa Banyuwangi. Surabaya: Depdikbud Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Jawa Timur. Balai Pustaka. Yule, George. 1996. The Study of Bauer, Lauri. 1983. English Word Language, (second edition). Formation. Cambridge: Cambridge Cambridge: Cambridge University. University Press. Chafe, Wallace L. 1970. Meaning and the Structure of Language. Chicago and London: The University of Chicago Press. Elson, Benjamin dan Velma Pickett. 1969. An Introduction to Morphology and Syntax. California: Summer Institute of Linguistics. Harris, Zelling. 1962. String Analysis of Sentence Structure. The Hague: Mouton. Hockett. Charles F. 1958. A Course in Modern Linguistics. New York: The Macmillan Company. Keraf, Gorys. 1980. Tata Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia. Lyons, John. 1968. Language and Linguistics an Introduction. Cambridge: Cambridge University Press. Matthews, F.H. 1974. Morphology, An Introduction to the Theory of Word- Structure. Cambridge: Cambridge University Press. Nida. Eugene A. 1989. Morphology, The Descriptive Analysis of Words. Michigan: Ann Arbor University of Michigan Press. Seppo, Kittila. 2007. Transitive Verb. http://en.wikipedia.org/wiki/Trasit ive verb. Sudaryanto, peny. 1991. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

150 KARAKTERISTIK MORFOFONEMIK PADA KONFIKSASI BAHASA JAWA DIALEK BANYUMAS (Morphophonemic Characteristics of Confixation in the Banyumas Dialect of Javanese)

Yani Paryono

Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur Jalan Siwalanpanji, Buduran, Sidoarjo Pos-el : [email protected]

Abstrak

Penelitian bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik morfofonemik pada konfiksasi bahasa Jawa Dialek Banyumas. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori struktural dan pendekatan deskriptif kualitatif. Untuk menganalisis data digunakan pendekatan sinkronis yaitu pendekatan analisis bahasa yang menggunakan prinsip kesezamanan atau kesesaatan sebagai pegangannya. Sumber data adalah tuturan dalam berbagai peristiwa tutur alami di Kabupaten Banyumas. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode simak dan cakap. Keunikan yang ditemukan dalam proses morfofonemik pada konfiksasi /tak-na/ yang menyebabkan peristiwa fonemis adalah berupa perubahan fonem /a/ menjadi fonem // dan pemunculan fonem baru // pada konfiks /tak-- na/ sehingga bervariasi dengan /tak—na/, /tak—ena/, /tek—na/ atau /tek—ena/. Hal ini tidak pernah dijumpai dalam bahasa Jawa standar.

Kata-Kata Kunci : morfofonemik, proses morfemis, peristiwa fonemis.

Abstract

This study aims to describe the morphophonemic characteristics of confixation in the Banyumas Dialect of Javanese. It uses the structural theory and descriptive-qualitative approach. To analyze the data, this study uses synchronic approach, studying a language phenomenon at point in time, not historically. The source of data are utterances from various natural speech events in the Regency of Banyumas. The data were collected by using observation and interview mehods. The uniqueness found in the morphophonemic process in the confixation /tak-na/ causing phonemic event in the form of the change of phoneme /a/ to phoneme // and the emergence of new phoneme // in the confix /tak--na/ so that varying with /tak—na/, /tak—ena/, /tek—na/ or /tek—na/. This phenomenon has never been found in standard Javanese.

Keywords: morphophonemic, morphemic process, phonemic event

151 PENDAHULUAN Fonem konsonan /d/ pada kata babat Latar Belakang ‘tebas’ diucapkan [babhad] sedangkan Salah satu karakteristik bahasa Jawa dalam dialek standar diucapkan Dialek Banyumas yang cukup menarik [bhabhat]. Kata endhog ’telur’ diucapkan adalah memiliki beberapa kekhasan tata ] sedangkan dalam bahasa Jawa bunyi yang berbeda dengan bahasa Jawa standar [ Kata bapak ‘bapak’ standar. Dialek Banyumas memiliki diucapkan [bhapak] sedangkan dalam enam fonem vokal yaitu: /a/, /o/, /u/, /i/, dialek standar [bapa]. /e/ dan // dan 22 fonem konsonan, Kekhasan lain yang menarik pada yakni /p/, /b/, /c/, /w/, /m/, /t/, //, /d/, dialek Banyumas menurut Paryono3 //, /n/, /n/, /s/, /l/, /j/, /ñ/, /r/, /y/, /k/, adalah memiliki silabe (suku kata) yang /g/, //, /h/, dan /v/. Sebagai satu dialek, lebih panjang jika dibandingkan dengan fonem dialek Banyumas dialek standar , seperti pada kata tenan memperlihatkan kekhasan. Kekhasan [tәnan], menjadi temenan [tәmәnan] fonem itu dapat dibagi dua, yaitu dalam dialek Banyumas yang bermakna kekhasan fonem vokal dan kekhasan sesungguhnya. Kata gemiyèn fonem konsonan. ‘dahulu’dalam dialek standar diucapkan Kekhasan fonem vokal dialek [mbhiyεn/ bhiyεn] sedangkan dalam Banyumas yaitu pada pelafalan [,[i], dalam dialek Banyumas menjadi [u]. Fonem /a/ yang berposisi pada suku [ghәmiyεn]. ultima terbuka diucapkan [a], tetapi Berkenaan dengan fenomena pada bahasa Jawa standar diucapkan [], tersebut, penulis termotivasi untuk misalnya kata lara’sakit’ diucapkan mengungkap karakteristik [lara] sedangkan dalam bahasa Jawa morfofonemik pada konfiksasi bahasa standar diucapkan []. Fonem /i/ yang Jawa Dialek Banyumas. berposisi pada suku ultima tertutup diucapkan [i], tetapi pada bahasa Jawa Rumusan Masalah standar diucapkan [], misalnya pada Berdasarkan latar belakang di atas, pitik’anak ayam’ dalam bahasa Jawa penulis dapat merumuskan masalah standar diucapkan [pit] sedangkan penelitian sebagai berikut. dalam dialek Banyumas diucapkan Bagaimanakah karakteristik [pitik]. Adapun fonem /u/ yang berposisi morfofonemik yang terjadi pada pada suku ultima tertutup diucapkan [u], kofiksasi bahasa Jawa Dialek Banyumas? tetapi pada bahasa Jawa standar diucapkan [], misalnya pada kata abuh Tujuan Penelitian diucapkan [abhuh] ’bengkak’ sedangkan Tujuan penelitian ini sesuai dengan h rumusan masalah adalah dalam Jawa standar diucapkan [ab h]. Kekhasan fonem konsonan yang mendeskripsikan karakteristik dimiliki dialek Banyumas, diantaranya morfofonemik pada konfiksasi bahasa Jawa Dialek Banyumas terlihat pada fonem [b], [d] , [g], [k], dan [ jika dikontraskan dengan bahasa Manfaat Penelitian Jawa standar, fonem itu bervariasi Ada dua manfaat yang diharapkan dapat dengan [p], [t], [k], [?], dan [Ø]. Fonem diperoleh dari penelitian ini, yaitu konsonan ‘bau mulut’ atau /b/ ababé manfaat teoretis dan manfaat praktis. ‘udara yang keluar dari mulut’ Manfaat teoretis, hasil penelitian ini diucapkan [] sedangkan dalam  diharapkan bermanfaat bagi bahasa Jawa Jawa standar [ab ape]. pengembangan ilmu pengetahuan yang 152 berhubungan dengan bidang bahasa, Banyumas merupakan hasil kontak terutama dalam bidang fonologi dan antarbudaya lokal yang terjadi sejak morfologi (morfofonemik bahasa Jawa masa akhir Majapahit sampai sekarang dialek Banyumas). Berkaitan dengan (Poedjosoedarmo, 1982:5). upaya pengembangan bahasa, penelitian Bahasa Jawa Dialek Banyumas juga ini diharapkan dapat memperkaya merupakan salah satu dialek regional khazanah penelitian bahasa Indonesia, bahasa Jawa atau bagian dari variasi khususnya dalam pengkodifikasian bahasa Jawa. Variasi bahasa dari segi bahasa Jawa ragam tulis. Adapun penuturnya didasarkan pada siapa yang manfaat praktis dalam penelitian ini menggunakan bahasa yaitu, di mana adalah berkaitan dengan upaya tinggalnya, bagaimana kedudukan pemasyarakatan bahasa, hasil penelitian sosialnya di dalam masyarakat, apa jenis ini dapat dijadikan bahan pertimbangan kelaminnya, dan kapan bahasa itu dalam penyusunan rencana digunakan (Rokhman, 2003:61). pembelajaran muatan lokal bahasa Jawa Pemakaian bahasa Jawa dialek Dialek Banyumas. Berkaitan dengan Banyumas meliputi wilayah Karesidenan pengajaran, hasil penelitian ini dapat Banyumas, sebagian Karesidenan dijadikan rujukan para guru dalam Pekalongan, dan sebagian barat pembelajaran di sekolah-sekolah dasar Karesidenan Kedu. Pada sisi barat daya di Kabupaten Banyumas sebagai bahan wilayah pemakaiannya dibatasi oleh rujukan dan sumber diskusi untuk mata Kabupaten Cilacap, pada sisi barat laut kuliah bahasa daerah pada Jurusan dibatasi oleh Kabupaten Tegal, pada sisi Bahasa dan Sastra Indonesia. timur laut dibatasi oleh sebagian Kabupaten Pekalongan, dan pada sisi TEORI tenggara dibatasi oleh Kabupaten Bahasa Jawa Dialek Banyumas Kebumen. Bahasa Jawa Dialek Banyumas oleh Bahasa Jawa Dialek Banyumas sebagian besar masyarakat penutur memiliki enam fonem vokal yaitu: /a/, Jawa sering dinamakan bahasa /o/, /u/, /i/, /e/ dan // (Adisomarto dkk. Banyumasan atau bahasa Ngapak- 1981; Supardo 1999:74). Keenam fonem ngapak. Bahasa Dialek Banyumas me- vokal dialek Banyumas tidak jauh rupakan salah satu identitas budaya berbeda dengan bahasa Jawa standar yang hidup di perbatasan budaya Jawa yang juga terdiri atas enam vokal dan Sunda. Penelitian yang dilakukan (Ekowardono, 1988:90). Perbedaannya Esser (1927—1929) menunjukkan terletak pada sistem ucap. Keenam adanya kosakata Dialek Banyumas yang vokal dialek Banyumas beserta berasal dari bahasa Jawa Kuno, Jawa alofonnya dapat digambarkan dalam Pertengahan, bahasa Sunda Kuno, dan Bagan 1. bahasa Sunda. Bahasa Jawa Dialek

153 Bagan 1 Variasi Fonem Vokal dalam Dialek Banyumas

[i] [u] Tinggi [I] [U]

Sedang

[e] [o]

Rendah [a] [] []

Bagan 2 Klasifikasi Konsonan Dialek Banyumas

Labial Dental Retrofleks Palatal Velar Glotal Hambat Intensif P T  c k Tidak B D  j g Intensif Nasal M N  ñ  Sibilan V S H Likuida l r Semivokal W y

Konsonan dalam bahasa Jawa Pertama, peristiwa fonemis sebagai Dialek Banyumas memiliki 22 fonem. akibat proses morfemis. Kedua, proses Konsonan tersebut meliputi /p/, /b/, /w/, morfemis sebagai penyebab timbulnya /m/, /t/, //, /d/,//, /n/, /n/, /s/, /l/, /c/, peristiwa fonemis yang saling berkaitan /j/, /ñ/, /r/, /y/,/k/, /g/,//, /h/, dan /v/. satu sama lain. Proses morfemis Menurut Wedhawati, 2006: 74) merupakan pertemuan morfem dengan klasifikasi konsonan dalam bahasa Jawa morfem, sedangkan peristiwa fonemis Dialek Banyumas dapat digambarkan dipandang sebagai proses perubahan dalam Bagan 2. fonem akibat pertemuan morfem dengan morfem. Dengan kata lain, Morfofonemik menurut Uhlenbeck5, hal tersebut Kajian Morfofonemik Bahasa Jawa Dialek merupakan proses perubahan fonem Banyumas berada dalam tataran akibat proses morfemis. fonologi dan morfologi. Proses Menurut Verhaar6, morfofonemik morfofonemik adalah peristiwa dapat terjadi pada proses pengimbuhan berubahnya wujud morfemis dalam atau pengafiksan, pengklitikan, suatu proses morfologis, baik afiksasi, pemajemukan, dan reduplikasi. Verhaar7 reduplikasi, komposisi, maupun juga menyatakan bahwa proses modifikasi intern. Menurut Adipitoyo4, morfemis yang sering terjadi pada kajian morfofonemik pada ilmu bahasa hampir setiap bahasa adalah afiksasi, memiliki dua konsep dasar teori. klitiksasi, reduplikasi, komposisi, dan

154 modifikasi intern. Pernyataan ada pada untuk sebelah kanannya secara hampir setiap bahasa itu dalam hal ini bersamaan atau sekaligus. Pakar lain, dipandang lebih dari itu. Artinya, bukan Ramlan menyebutnya dengan istilah saja pada bahasa, tetapi pada dialek simulfiks yaitu afiks terpisah atau suatu bahasa pun ada. Proses morfemis simulfiks yang melekat secara bersama- yang menjadi bahasan utama dalam sama dan mendukung satu fungsi di penelitian ini adalah afiksasi dan bagian muka bentuk dasar dan modifikasi intern. sebagiannya terletak di belakangnya (Ramlan, 1980:34). Konfiksasi Dari kelima pakar di atas dapat Konfiksasi merupakan proses disimpulkan bahwa konsep konfiksasi pembentukan kata melalui merupakan gabungan prefiks dan sufiks penggabungan konfiks dan bentuk yang menempel pada bentuk dasar dasar. Konfiks merupakan afiks yang secara serentak atau bersamaan. Proses terdiri atas dua unsur, satu di muka konfiksasi dalam bahasa Jawa Dialek bentuk dasar dan satu di belakang Banyumas tidak terlalu banyak terjadi. bentuk dasar dan berfungsi sebagai satu Contoh konfiks yang menggabungkan morfem terbagi. Konfiks harus ambifiks {N-/–i}, {ke-/-an} dan {pe-/-an} dibedakan dengan kombinasi afiks dengan morfem dasarnya dapat diamati karena konfiks merupakan satu morfem seperti berikut ini. dengan satu makna gramatikal (Kridalaksana, 2007:28—29). Dengan METODE demikian dapat dikatakan bahwa Penelitian ini menggunakan pendekatan keberadaan prefiks dan sufiks melekat kualitatif deskriptif. Metode kualitatif secara serentak pada kata dasar. Hal itu dipilih dalam tahap ini, antara lain, sesuai dengan pendapat Alwi karena penelitian ini menggunakan dkk.(2000:32) yang menyatakan bahwa peneliti sebagai alat pengumpul data konfiksasi merupakan gabungan prefiks utama dan data yang dikumpulkan dan sufiks yang membentuk satu berupa leksikon bahasa Jawa Dialek kesatuan yang diimbuhkan secara Banyumas. serentak pada kata dasar. Istilah Data penelitian ini berupa data konfiksasi di atas juga senada dengan primer leksikon-leksikon bahasa Jawa pendapat Chaer (1994:197) yang Dialek Banyumas yang berjumlah 125 menyatakan bahwa konfiksasi adalah dari 650 data yang dikumpulkan pada afiks yang berupa morfem terbagi, yang Juni—Juli 2009. Sumber data dalam bagian pertama berposisi pada awal penelitian ini adalah informan yang bentuk dasar, dan bagian yang kedua berjumlah lima belas orang. Informan berposisi pada akhir bentuk dasar. berupa penutur asli bahasa Jawa Dialek Kedua bagian dari afiks itu dianggap Banyumas yang mampu memberikan sebagai satu kesatuan, dan data-data peristiwa fonemis akibat pengimbuhannya dilakukan sekaligus, proses morfemis bahasa Jawa Dialek tidak ada yang lebih dahulu dan tidak Banyumas. Informan yang dipilih ada yang lebih kemudian. berjumlah lima belas orang yang berasal Hal senada juga dikatakan Verhaar, dari Kabupaten Banyumas dengan 2001:110—111) bahwa konfiks atau kriteria, yaitu (1) penutur asli bahasa simulfiks, atau ambifiks, atau sirkumfiks Jawa dialek Banyumas yang tinggal di merupakan imbuhan untuk sebagian di Banyumas; (2) dewasa (tidak terlalu sebelah kiri kata dasar dan sebagian muda dan tidak terlalu tua); (3) tidak 155 meninggalkan tempat asal lebih dari dua pengodean. Pemilahan dan pengodean tahun; (4) sehat fisik dan mental; (5) data ini dilakukan dengan bantuan kartu tidak memunyai cacat bicara; (6) data, setiap kartu data dua sampai lima bersedia menjadi informan; dan (7) data. Pemilahan dan pengodean memunyai sifat terbuka dan tidak dimaksudkan untuk mudah tersinggung. mengidentifikasikan bentuk-bentuk Teknik pengumpulan data menurut peristiwa fonemis dalam proses Sudaryanto11 dengan menggunakan morfemis bahasa Jawa Dialek Banyumas. metode simak dan cakap. Metode simak yakni penyimakan penggunaan bahasa. c. Menganalisis data Metode cakap berupa percakapan dan Peneliti setelah mereduksi data kontak antara peneliti selaku peneliti kemudian menganalisis berdasarkan dan penutur selaku narasumber atau bentuk-bentuk peristiwa fonemis dalam informan. proses morfemis. Dalam analisis data, Teknik analisis data menurut peneliti mencoba untuk memberikan Moleong12 berarti mengategorisasikan, informasi bentuk-bentuk peristiwa memanipulasikan, dan meringkas data fonemis dalam proses morfemis yang untuk memperoleh jawaban bagi disertai interpretasi peneliti terhadap pertanyaan penelitian. Kegunaan analisis perubahan yang terjadi dalam proses data adalah mereduksi data menjadi morfemis tersebut dalam bentuk perwujudan yang dapat dipahami dan deskripsi. ditafsirkan dengan cara tertentu hingga relasi masalah penelitian dapat ditelaah d. Menyimpulkan serta diuji. Penyimpulan dapat dilakukan setelah Peneliti dalam menganalisis data peneliti menganalisis dan menggunakan tahap-tahap sebagai menginterpretasikan data-data berikut. peristiwa fonemis dalam proses a. Memproses rekaman dan catatan morfemis sebagai jawaban rumusan lapangan. masalah dalam penelitian ini. Data mentah yang telah direkam kemudian ditranskripkan ke dalam HASIL DAN PEMBAHASAN lembar transkrip yang dipadukan Karakteristik Morfofonemik pada dengan catatan lapangan supaya data Proses Konfiksasi yang diperoleh menjadi lengkap. Lembar Karakteristik morfofonemik pada transkrip tersebut berupa leksikon- konfiksasi bahasa Jawa Dialek Banyumas leksikon bahasa Jawa Dialek Banyumas secara umum dapat dilihat dari yang mengandung peristiwa fonemis peristiwa perubahan fonem akibat dan proses morfemis yang dihasilkan gabungan prefiks dan sufiks yang narasumber ataupun informan saat menempel pada bentuk dasar secara melakukan interaksi dengan lawan serentak atau bersamaan. Konfiksasi tuturnya. dalam bahasa bahasa Jawa Dialek Banyumas terjadi dengan b. Mereduksi data menggabungkan konfiks /N—i/, /ke— Reduksi data yaitu kegiatan analisis data an/, dan /pe—an/ dengan morfem dengan cara menyusun data dalam dasarnya. Proses morfofonemik dengan satuan-satuan sesuai dengan rumusan konfiksasi dapat dijelaskan sebagai masalah. Penyusunan satuan-satuan berikut. tersebut menggunakan pemilahan dan 156 Karakter Morfofonemik pada Proses [ ‘mengajukan’  Konfiksasi / N--i/ ‘membuat jelek’ nggulani Karakteristik morfofonemik pada proses [memberi gula’, nglemesi konfiksasi /N--i/ yang bergabung [dan ngrugeni dengan bentuk dasar tertentu dalam [ ’merugikan’ . Proses morfemis bahasa Jawa Dialek Banyumas dapat pada data di atas mengalami peristiwa menimbulkan peristiwa fonemis berupa fonemis berupa pemunculan konsonan 1) pemunculan fonem // disertai nasal dorso-velar // sehingga konfiks penghilangan fonem /k/ dan perubahan /N—i/ bervariasi dengan /ng—ni/ bila fonem /i/ dan /e/ menjadi fonem //, melekat pada bentuk dasar yang fonem /u/ menjadi fonem //, dan 2) berawal vokal /g/, /k/, /l/, /r/ dan pemunculan fonem /m/ yang disertai berakhir vokal. Bila bentuk dasar yang penghilangan fonem /p/ dan /w/ dengan berawal konsonan hambat letup dorso- perubahan fonem /i/ dan /e/ menjadi velar /k/ melekat pada konfiks tersebut, fonem //, fonem /o/ dan /u/ menjadi fonem /k/ tersebut hilang. Selanjutnya fonem //. Kedua peristiwa fonemis itu bila bentuk dasar itu berakhir /i/ atau dapat dijelaskan sebagai berikut. /e/, fonem /i/ atau // akan bervariasi dengan //, jika bentuk dasar itu 1) Pemunculan fonem // disertai berakhir fonem /u/ atau /o/, fonem /u/ penghilangan fonem /k/ dan atau /o/ akan bervariasi dengan //. perubahan fonem /i/ dan /e/ menjadi fonem //, fonem /u/ menjadi fonem 2) Pemunculan fonem /m/ yang // disertai penghilangan fonem /p/ dan /w/ dengan perubahan fonem /i/ Morfofonemik pemunculan fonem dan /e/ menjadi fonem //, fonem // disertai penghilangan fonem /k/ dan /o/ dan /u/ menjadi fonem //. perubahan fonem /i/ dan /e/ menjadi Karakter morfofonemik pada fonem //, fonem /u/ menjadi fonem // proses konfiksasi /N—i/ yang dalam proses konfiksasi /N—i/ yang bergabung dengan bentuk dasar dapat bergabung dengan bentuk dasar dapat menyebabkan peristiwa fonemis berupa diamati pada data contoh pemunculan fonem /m/ yang disertai  /N—i/ + aju : ngajoni penghilangan fonem /p/ dan /w/ [ dengan perubahan fonem /i/ dan /e/ b) /N—i/ + ala : ngalani menjadi fonem //, fonem /o/ dan /u/  menjadi fonem //. Data tersebut dapat c) /N--i/ + gula : nggulani diamati pada contoh:  d) /N--i/ + lemes: nglemesi a) /N—i/ + banyu : mbanyoni  ] ‘memberi air’; e) /N--i/ + rugi : ngrugeni b) /N—i/ + bodho : mbodhoni [ [] ‘membodohi’; c) /N—i/ + bruwun: mbruwuni Data tersebut memperlihatkan [], ‘memetiki daun’; morfofonemik pada proses konfiksasi d) /N—i/ + padu : madoni [] /N—i/ yang bergabung dengan bentuk ‘bersilat lidah’; dan dasar  ‘aju’,  ’jelek’,  ‘gula’, e) /N—i/ + wani : waneni [w] ‘  ‘lemas’, rugi ’rugi’ menjadi  memberanikan’

157 Data-data tersebut memperlihatkan g) /ke—an/ + dhuwur: kedhuwuran morfofonemik pada proses gabungan [k ‘ketinggian’; dan konfiks /N—i/ dengan bentuk dasar h) /ke—en/ + dhuwur : kedhuwuren  ‘air’, bodho ‘bodoh’, bruwun’ [k ‘ketinggian’. memetik sayur’, pdu ‘bersilat lidah’, wani ‘berani’ menjadi Proses morfofonemik pada  ‘memberi air’, konfiksasi /ke—an/ atau /ke—en/ yang mbodhoni [] ‘membodohi’, bergabung dengan bentuk dasar bnget mbruwuni [] ‘memetiki daun’, ‘sangat’ menjadi  [ madoni [] ‘bersilat lidah’ dan ‘terlalu’ atau  maneni [] ‘ memberanikan’. [terlalu’. Bentuk dasar  Dalam proses morfofonemik tersebut ‘kenyang’ bila dilekati konfiks /ke—an/ terjadi peristiwa fonemis berupa atau /ke—en/ menjadi pemunculan konsonan nasal bilabial [k‘kekenyangan’ /m/ pada konfiks /N—i/ sehingga atau  bervariasi dengan konfiks /m—ni/. [k‘kekenyangan’. Bentuk Variasi konfiks /m—i/ terjadi bila dasar seneng ‘senang’ bila dilekati konfiks /N—i/ melekat dengan bentuk konfiks tersebut menjadi keseneng n dasar yang berawal /b/, /p/, /w/ dan [ ‘kesenangan’ atau berakhir vokal. Bila bentuk dasar itu kesenengen [ ‘kesenangan’. berawal /p/ dan /w/, fonem /p/ dan Demikian halnya bentuk dasar dhuwur /w/ itu hilang. Selanjutnya bila bentuk ‘tinggi’yang diikuti konfiks /ke—an/ dasar itu berakhir dengan fonem /i/ dan atau /ke—en/ akan menjadi /e/, fonem /i/ dan /e/ akan bervariasi kedhuwuran [k‘ketinggian’ dengan //, sedangkan bila bentuk atau kedhuwuren [k dasar berakhir /o/ atau /u/, fonem /o/ ‘ketinggian’. Proses morfofonemik pada atau /u/ akan bervariasi dengan // data-data di atas tidak mengalami peristiwa fonemis. Konfiks /ke—an/ Karakteristik Morfofonemik pada akan tetap berwujud /ke—an/ atau Proses Konfiksasi /ke—an/ /ke—en/ bila melekat pada bentuk Karakter morfofonemik pada proses dasar yang berawal dan berakhir konfiksasi /ke—an/ yang bergabung konsonan. dengan bentuk dasar yang berawal dan Morfofonemik pada proses berakhir konsonan tidak selalu konfiksasi /ke—an/ yang bergabung menimbulkan perisitiwa fonemik seperti dengan bentuk dasar selain pada data di pada contoh: atas dapat berupa 1) penghilangan fonem /a/, pemunculan konsonan nasal a) /ke—an/ + banget : kebangetan apiko-alveolar /n/ yang disertai [k ‘terlalu’; perubahan /a/ menjadi fonem //, b) /ke—en/ + banget : kebangeten perubahan /i/, /e/ menjadi fonem //, [k‘terlalu’; fonem /u/, /o/ menjadi fonem //; 2) c) /ke—an/ + wareg : kewaregan penghilangan fonem //; dan 3) [k‘kekenyangan’; penghilangan fonem // dan d) /ke—en/ + wareg : kewaregen pemunculan konsonan nasal [k‘kekenyangan’; apikoalveolar /n/ yang disertai e) /ke—an/ + seneng: kesenengan perubahan /a/ menjadi fonem //. [ks ‘kesenangan’; f) /ke—en/ + seneng : kesenengen Ketiga proses morfofonemik tersebut [ks ‘kesenangan’; dapat dijelaskan sebagai berikut. 158 1) Penghilangan fonem /a/, keseron [kataukeseronen pemunculan konsonan nasal apiko- [kterlalu keras’. Proses alveolar /n/ yang disertai perubahan morfofonemik pada data di atas /a/ menjadi fonem //, perubahan memperlihatkan terjadinya peristiwa /i/, /e/ menjadi fonem //, fonem fonemis. Peristiwa fonemis tersebut /u/, /o/ menjadi fonem // berupa penghilangan fonem /a/ dan Karakter morfofonemik pada proses pemunculan pemunculan konsonan konfiksasi /ke—an/ yang bergabung nasal apiko-alveolar /n/ yang disertai dengan bentuk dasar berupa perubahan /a/ menjadi fonem //. penghilangan fonem /a/, pemunculan Peristiwa fonemis itu menimbulkan konsonan nasal apiko-alveolar /n/ yang konfiks /ke—an/ bervariasi dengan disertai perubahan /a/ menjadi fonem konfiks /ke—n/ atau /ke—nen/. Variasi //, perubahan /i/, /e/ menjadi fonem konfiks /ke—n/ atau /ke—nen/ dapat //, fonem /u/, /o/ menjadi fonem // terwujud bila konfiks /ke-an/ atau dapat diamati pada contoh: /ke—en/ melekat pada bentuk dasar yang berawal konsonan dan berakhir a) /ke—an/ + dawa : kedawan vokal. Bila bentuk dasar itu berakhir /i/ [k dan /e/ , kedua fonem itu akan menjadi b) /ke—an/ +dawa : kedawanen fonem //, sedangkan bila bentuk dasar [k; itu berakhir /u/ atau /o/ akan menjadi c) /ke—an/ + gedhe : kegedhen fonem //. [k d) /ke--an/ + gedhe : 2) Penghilangan fonem / / kegedhenen[k’terlalu  besar’; Karakteristik morfofonemik pada proses e) /ke—an/ + lemu : kelemon konfiksasi /ke—an/ yang bergabung [kterlalu gemuk; dengan bentuk dasar berupa f) /ke—an/ + lemu : kelemonen penghilangan fonem // dapat diamati [k'terlalu gemuk"; pada contoh: g) /ke—an/ + seru : keseron [k; dan  /ke—an/ + adoh : kadohen h) /ke—an/ + seru : keseronen [ [k  /ke—an/ + atos : katosen [; Data-data tersebut memperlihatkan  /ke—an/ + apik : kapiken [ proses morfofonemik pada konfiksasi [; /ke—an/ yang melekat pada bentuk  /ke—an/ + empuk: kempuken dasar d‘panjang’ akan menjadi k  /ke—an/ + enak : kenaken kedatau kedawanen [k k terlalu panjang’. Bentuk   /ke—an/ + ompol: kompolen dasar gedhe ‘besar’ yang dilekati konfiks k’terkena ompol’; /ke—an/ akan menjadi kegedhen  /ke—an/ + udan : kudanen [katau kegedhenen [kudan [kterlalu besar’. Bentuk dasar  ‘lemu’gemuk’ akan menjadi kelemon Morfofonemik pada proses [katau kelemonen konfiksasi /ke—an/ atau /ke—en/ yang [k’kegemukan’. Demikian bergabung dengan bentuk dasar doh halnya bentuk dasar seru ‘keras’ bila ‘jauh’,  ‘keras’, apik’, empuk dilekati konfiks /ke—an/ akan menjadi ‘empuk’,  ‘enak’, ompol ‘ompol’, dan 159 hujan’ menjadi ‘cantik’, jelek’, ijo ‘hijau’, ili ‘alir’, dan terlalu isi ‘isi menjadi  [kamban jauh[terlalu ‘terlalu lebar’, kayonen [kay ‘ terlalu kerasterlalu apik’, ayu’, nen [kalan ‘ terlalu jelek’, kempuken [kalu kijonen [kijnn] ‘terlalu hijau’, kilenen empuk[k‘terlalu enak’, [kilnn]‘teraliri’ dan kisenen [kis kompolen ‘terisi’. Proses morfofonemik data-data [kan kudanen di atas menyebabkan peristiwa fonemis [kudan terkena hujanProses berupa penghilangan fonem // dan morfofonemik pada data-data di atas pemunculan konsonan nasal apiko- menyebabkan peristiwa fonemis berupa alveolar /n/ yang disertai perubahan /a/ penghilangan fonem // pada konfiks menjadi fonem //. Peristiwa fonemis /ke—an/ sehingga menyebabkan variasi itu menimbulkan variasi konfiks /ke— /k—en/. Variasi /k—en/ dapat an/ atau /ke—en/ dengan /k—nen/. terwujud bila melekat pada bentuk Variasi /k—nen/ dapat terwujud bila dasar yang berawal vokal dan berakhir melekat pada bentuk dasar yang konsonan. berawal dan berakhir vokal seperti pada data di atas. 3) Penghilangan fonem // dan pemunculan konsonan nasal apiko- Karakteristik Morfofonemik pada alveolar /n/ yang disertai perubahan /a/ Proses Konfiksasi /pe—an/ menjadi fonem // Karakter morfofonemik pada proses Karakter morfofonemik pada proses konfiksasi /pe—an/ yang bergabung konfiksasi /ke—an/ yang bergabung dengan bentuk dasar tidak selalu dengan bentuk dasar berupa menimbulkan peristiwa fonemis. Hal itu penghilangan fonem // dan dapat terjadi bila konfiksasi /pe—an/ pemunculan konsonan nasal apiko- melekat pada bentuk dasar yang alveolar /n/ yang disertai perubahan /a/ berawal dan berakhir konsonan. Data itu menjadi fonem // dapat diamati pada dapat diamati pada contoh: contoh a) /pe—an/ + labuh : pelabuhan a) /ke—an/ + amba : kambanen [p; [kamban ‘terlalu lebar’ b) /pe—an/ + gunung : pegunungan b) /ke—an/ + ayu : kayonen [kay [ppegunungan’ ‘ terlalu ayu’; c) /pe—an/ + latar : pelataran c) /ke—an/ + ala : kalanen [kalan ‘ [p terlalu jelek’ d) /pe—an/ + rewang : perewangan d) /ke—an/ + ijo : kijonen [kijnn] ‘ [; dan terlalu hijau’; e) /pe—an/ + guyub: peguyuban e) /ke—an/ + ili : kilenen [p [kilnn]‘teraliri’; dan f) /ke—an/ + isi : kisenen [kis ‘ Kelima data proses morfofonemik terisi’. di atas memperlihatkan karakter konfiks /pe—an/ yang melekat pada bentuk Keenam data di atas dasar lbuh ‘turun ke bawah’, gwe memperlihatkan karakteristik ‘buat’, gunung ‘gunung’, lr ‘halaman’, morfofonemik proses konfiksasi / ke— rewng ‘bantu’, guyub ‘rukun’ menjadi an/ atau /ke—en/ yang bergabung pelbuhn dengan bentuk dasar  ‘lebar’, yu [ppelabuhan’,pegunungn 160 [p pegunungan’, peln [p‘pembelian’, peturon [p pn ‘tempat tidur’, dan perugen [p [ppembantudan ‘ganti rugi’. Proses morfofonemik dapat peguyubn menyebabkan peristiwa fonemis berupa pkerukunanProses perubahan fonem pada bentuk dasar morfofonemik di atas tidak yang berakhir /o/ atau /u/ akan menyebabkan peristiwa fonemis menjadi fonem / dan perubahan sehingga konfiks /pe—an/ tetap fonem pada bentuk dasar itu berakhir terealisasi /pe—an/ bila melekat pada /e/ atau /i/ akan menjadi fonem //. bentuk dasar yang berawal dan Konfiks /pe—an/ akan bervariasi /pe— berakhir konsonan. n/ atau /pe—an/ bila melekat pada Morfofonemik pada proses bentuk dasar yang berawal konsonan konfiksasi /pe—an/ yang bergabung dan berakhir vokal. dengan bentuk dasar dapat berupa 1) perubahan fonem /o/, /u/ menjadi 2) Perubahan // menjadi fonem // fonem //, fonem /i/, // menjadi fonem Morfofonemik pada proses konfiksasi //; 2) perubahan // menjadi fonem /pe—an/ yang bergabung dengan //; dan 3) pemunculan semivokal bentuk dasar berupa perubahan // bilabial /w/. Ketiga peristiwa fonemis itu menjadi fonem // dapat diamati pada dapat dijelaskan sebagi berikut. contoh: 1) Perubahan fonem /o/, /u/ menjadi fonem //, fonem /i/, // menjadi a) /pe—an/ + adu : padunan fonem // [padnan]’tempat beradu’; Morfofonemik pada proses konfiksasi b) /pe—an/ + adus : padusan /pe—an/ yang bergabung dengan [padsan]‘pemandian’; bentuk dasar berupa perubahan fonem c) /pe—an/ + angon : pangonan /o/, /u/ menjadi fonem //, fonem /i/, [pengembalaan’; d) /pe—an/ + enak : penakan // menjadi fonem // dapat diamati [p‘ bahagia’; dan pada contoh: e) /pe—an/ + etung : petungan [p‘hitungan’ a) /pe—an/ + ngilo : pengilon [p ‘cermin’; Morfofonemik pada konfiksasi b) /pe—an/ + sangu : pesangon [pn]‘pesangon’; /pe—an/ yang bergabung dengan c) pe—an/ + tuku : petukon [p bentuk dasar du ‘adu’, dus ‘mandi’, ‘pembelian’; ngon’ menggembala’, enk ‘enak’, dan d) /pe—an/ + turu : peturon [p etung ‘hitung’ menjadi pn ‘tempat tidur’; dan [padnan]’ tempat beradu’, pn e) /pe—an/ +rugi :perugen [p [padsan]‘pemandian’, pngonn ‘ganti rugi’. [pa‘ pengembalaan’,  [p‘ bahagia’ dan Kelima data di atas memperlihatkan ’hitungan’. Proses proses morfofonemik pada konfiksasi morfofonemik di atas menyebabkan /pe—an/ yang bergabung dengan peristiwa fonemis berupa perubahan bentuk dasar ngilo ‘bercermin’, sngu fonem /e/ menjadi fonem //. Dengan ‘bekal’, tuku’ beli’, turu ‘tidur’, dan rugi demikian konfiks /pe—an/ akan ‘rugi menjadi pengilon [p ‘cermin’, bervariasi dengan /p—an/ bila melekat pesngon [psan] ‘pesangon’, petukon

161 pada bentuk dasar yang berawal vokal dan /e/ menjadi fonem //, fonem /o/ dan berakhir konsonan. dan /u/ menjadi fonem //. Morfofonemik pada proses 3) Pemunculan semivokal bilabial /w/ konfiksasi /ke—an/ yang bergabung Morfofonemik pada proses konfiksasi dengan bentuk dasar selain pada data di /pe—an/ yang bergabung dengan atas dapat berupa 1) penghilangan bentuk dasar beruapa pemunculan fonem /a/, pemunculan konsonan nasal semivokal bilabial /w/ dapat diamati apiko-alveolar /n/ yang disertai pada contoh: perubahan /a/ menjadi fonem //, perubahan /i/, /e/ menjadi fonem //, a) /pe—an/ + ijo : pengijowan fonem /u/, /o/ menjadi fonem //; 2) [p‘penghijauan’; penghilangan fonem //; dan 3) b) /pe—an/ + bodho : pembodhowan penghilangan fonem // dan  ‘pembodohan’   pemunculan konsonan nasal apiko- c) /pe—an/ + buku : alveolar /n/ yang disertai perubahan /a/ pembukuwan[ ‘pembukuan’ menjadi fonem //. Morfofonemik pada proses Ketiga data di atas memperlihatkan konfiksasi /pe—an/ yang bergabung proses morfofonemik pada konfiksasi dengan bentuk dasar dapat berupa 1) /pe—an/ yang bergabung dengan perubahan fonem /o/, /u/ menjadi bentuk dasar ijo ‘hijau’, bodho’bodoh’, fonem //, fonem /i/, // menjadi fonem buku ‘buku’, menjadi //; 2) perubahan // menjadi fonem p[p ‘penghijauan’, //; dan 3) pemunculan semivokal  bilabial /w/ ‘pembodohan’ dan  DAFTAR PUSTAKA ‘pembukuan’. Proses morfofonemik di Adipitoyo, Sugeng, dkk. 1995/1996. atas menyebabkan peristiwa fonemis "Morfofonemik Bahasa Jawa Dialek berupa pemunculan semivokal bilabial Surabaya". Laporan /w/ pada konfiks /pe—an/ sehingga Penelitian.Proyek Pembinaan bervariasi dengan /pa—wan/, /pe— Bahasa dan Sastra Indonesia dan wan/, /paN—wan/ atau /peN—wan/. Daerah Jawa Timur. Kantor Wilayah Variasi tersebut dapat terealisasi bila Provinsi Jawa Timur. Departemen melekat pada bentuk dasar yang Pendidikan dan Kebudayaan. berakhir dengan /o/ atau /u/, /oh/ atau Adisumarto, Mukidi. 1981. Geografi /uh/ disertai penghilangan fonem /h/. Dialek Bahasa Jawa Banyumas. Laporan Penelitian. Balai Penelitian SIMPULAN Bahasa Yogyakarta, Yogyakarta. Morfofonemik pada Proses Konfiksasi Alwi, Hasan, et.al. 2000. Tata Bahasa Morfofonemik pada proses konfiksasi Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: /N—i/ yang bergabung dengan bentuk Balai Pustaka. dasar berupa 1) pemunculan fonem // Kridalaksana, Harimurti. 2007. disertai penghilangan fonem /k/ dan Pembentukan Kata dalam Bahasa perubahan fonem /i/ dan /e/ menjadi Indonesia. Gramedia: Jakarta. fonem //, fonem /u/ menjadi fonem Maleong, Lexy J. 2001. Metodologi //, dan 2) pemunculan fonem /m/ Penelitian Kualitatif. Bandung. PT yang disertai penghilangan fonem /p/ remaja Rosdakarya. dan /w/ dengan perubahan fonem /i/ 162 Parera, J.D. 1988. Morfologi. Jakarta: Gramedia. Paryono, Yani. 2008. Morfofonemik Bahasa Jawa Dialek Banyumas. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik, Bagian Kedua: Metode dan Teknik Pengumpulan Data. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Supardo, Susilo. 1999. Sapaan Bahasa Jawa Dialek Banyumas: Disertasi. Program Pascasarjana,Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Suwaji, dkk. 1981. Geografi Dialek Banyumas. Laporan Penelitian. Balai Bahasa Yogyakarta, Yogyakarta. Uhlenbeck, E.M. 1978. Studies in Javanese Morphology. Den Haag: M. Nijhoff. Verhaar, J.W.M. 1988. Pengantar Linguistik I. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Verhaar, J.W.M. 2001. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Wardhaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Basil Blackwell Ltd.

163 164 PENERJEMAHAN MAKNA SUBJEK: ANALISIS TERHADAP STRUKTUR MODUS BAHASA INGGRIS DAN BAHASA INDONESIA (The Translation of the Meaning of Subject: An Analysis on Mood Structure of English and Bahasa Indonesia )

Hero Patrianto

Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur Jalan Siwalanpanji, Buduran, Sidoarjo Pos-el: [email protected]

Abstract

This research is aimed at describing the translation of subject’s interpersonal meaning by analyzing the mood structures of source and target texts. The research data are sentences in the source (English) an target (Indonesian) texts collected from sources of data, Language and Power (source text) written by Norman Fairclough and its translation version in Indonesian, Language and Power: Relasi Bahasa Kekuasaan, dan Ideologi (target text), translated by Indah Rohmani. Through functional contrastive analysis to the mood structures of source and target texts, it is found that the translation of interpersonal meaning of subject is influenced by social dimension, pronoun system (i.e. impersonal pronoun it), gender, context, and language structure (i.e. dummy subject).

Keywords: subject, interpersonal meaning, mood structure.

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk memerikan penerjemahan makna interpersonal subjek melalui analisis struktur modus teks sumber dan teks sasaran. Data penelitian ini adalah kalimat dalam bahasa Inggris (teks sumber) dan bahasa Indonesia (teks sasaran) yang dikumpulkan dari sumber data berupa buku berjudul Language and Power (teks sumber) karya Norman Fairclough serta terjemahannya dalam bahasa Indonesia yang berjudul Language and Power: Relasi Bahasa Kekuasaan, dan Ideologi (teks sasaran) yang diterjemahkan oleh Indah Rohmani. Berdasarkan analisis kontrastif fungsional terhadap struktur modus teks sumber dan teks sasaran, didapatkan hasil sebagai berikut. Penerjemahan makna interpersonal subjek dipengaruhi oleh dimensi sosial, sistem pronomina (seperti pronomina takbernyawa it), gender, konteks, serta struktur bahasa (seperti dummy subject ‘subjek silih).

Kata-Kata Kunci: subjek, makna interpersonal, struktur modus.

165 PENDAHULUAN memahami teks tersebut guna Ada sebuah unsur yang menempati memindahkan maknanya ke dalam posisi utama dalam penerjemahan, yaitu langue tertentu lainnya. Konsumen ‘teks’. Bahkan, teks merupakan salah tertentu tersebut disebut ‘penerjemah’. satu unsur yang menentukan dalam Penerjemah itu kemudian akan proses penerjemahan (Neubert dan merealisasikan makna yang telah ia Shreve, 1992:5). Machali (2009:26) pahami dari teks sumber ke dalam teks berpendapat bahwa “Melalui kegiatan baru yang disebut teks sasaran; dalam penerjemahan, seorang penerjemah hal ini, sang penerjemah beralih dari menyampaikan kembali isi sebuah teks konsumen teks sumber menjadi dalam bahasa lain”. Sebuah proses produsen teks sasaran. penerjemahan akan didahului dengan Meskipun proses penerjemahan keberadaan sebuah teks tertentu yang melibatkan—dalam waktu yang berbeda sudah ada terlebih dahulu, yang disebut tentunya—dua macam teks, teks sumber teks sumber. Sebagai sebuah teks, teks dan teks sasaran, sebenarnya makna sumber telah memiliki segala aspek yang sedang ditransfer atau dialihkan diskursus yang dibutuhkannya untuk merupakan makna dari sebuah teks eksis. Ia telah memiliki maknanya utama (selanjutnya disebut teks). Makna sendiri; makna yang dimaksud oleh sang teks merupakan makna yang ditangkap produsen dan sekaligus makna yang oleh sang penerjemah dan kemudian (diharapkan produsen) akan ditangkap dialihkan dan diejawantahkan ke dalam oleh konsumen, dalam sebuah lingkup langue lain. Teks sebagai pusat dari dan batas-batas tertentu, suatu langue sebuah proses penerjemahan dapat tertentu. Teks sumber ini kemudian dijelaskan oleh Gambar 1.1 yang dikutip dimaknai oleh seorang konsumen dan diterjemahkan dari Newmark tertentu yang bertujuan untuk (1988:4).

Gambar 1-1 Dinamika Penerjemahan

166 Dalam dinamika penerjemahan, bahasa dianggap sebagai teks apabila ia seorang penerjemah harus tetap memiliki makna sehingga dapat berpegang teguh pada makna teks yang dipahami, sebaliknya ia dianggap non- berhasil dia tangkap dari teks sumber, teks apabila tidak memiliki makna. dan berupaya keras mencegah Setiap teks merupakan rekaman makna pembiasan makna akibat aspek-aspek yang dibuat dalam sebuah konteks dari budaya atau bahasa sasaran tertentu (Eggins, op.cit.:11). sembari tetap berupaya Makna yang terkandung dalam mengakomodasinya. Sang penerjemah, sebuah teks bukanlah makna tunggal. kata Machali (op.cit.), harus menciptakan Sebuah teks mengandung sejumlah “jembatan makna” untuk mengantarkan makna yang dipilih oleh penutur/penulis makna teks yang dimaksud oleh sesuai dengan maksud dan tujuannya, produsen teks sumber ke pembaca teks serta konteks budaya dan situasi yang sasaran. melingkupi si penutur/penulis dalam Makna menjadi pusat dari segala menggunakan bahasa. Sebuah teks kegiatan kebahasaan—karena itu, mengandung tiga makna sekaligus, yakni termasuk kegiatan penerjemahan. makna ideasional, interpersonal, dan Fungsi bahasa adalah menghasilkan tekstual (Halliday, 1994; Halliday dan makna (Eggins, 2004:3). Menurut Matthiessen, 2004). Makna ideasional Halliday (1994:xvii), bahasa merupakan merupakan makna tentang ‘gagasan’, sistem penghasil makna (meaning- yakni isi atau proposisi dari sebuah making system): sebuah sistem semantik realisasi bahasa (teks). Makna ini yang diwujudkan atau direalisasikan merupakan representasi dari peristiwa- dalam sistem tatabahasa. Dalam peristiwa dalam pengalaman manusia, menyelenggarakan peristiwa baik internal maupun eksternal. Makna kebahasaan, pengguna bahasa tidak interpersonal merupakan makna semata-mata sedang bertukar kata atau tentang interaksi sosial. Makna ini struktur, tetapi mereka sebenarnya merepresentasikan hubungan sosial sedang bertukar atau menegosiasikan antara penutur/penulis dengan makna. Makna merupakan komponen pendengar/pembaca. Makna tekstual yang ingin disampaikan—atau mungkin berkaitan dengan pengorganisasian tidak ingin disampaikan—oleh seorang informasi dari pesan-pesan yang ada penutur/penulis dan yang ingin—atau dalam sebuah teks. Makna tekstual mungkin tidak ingin—ditangkap oleh ditentukan oleh cara informasi- seorang pendengar/pembaca. Halliday informasi tersebut ditata atau diurutkan (1994:xvii) menegaskan bahwa bahasa sehingga menghasilkan koherensi. merupakan sistem penghasil makna. Sebuah teks juga Kata dan struktur merupakan merepresentasikan makna komponen yang bergabung dalam interpersonal, interaksi sosial yang ingin sistem tatabahasa dianggapnya (ibid.) dibangun atau dipertahankan oleh sebagai sistem yang merealisasikan seorang penutur/penulis. Melalui teks makna sehingga memungkinkan tersebut, seorang penutur/penulis pertukaran makna terjadi di antara memutuskan peran atau posisinya serta partisipan sebuah komunikasi peran atau posisi pendengar/pembaca kebahasaan. Perbedaan antara teks dan teks yang dia hasilkan. Hubungan sosial non-teks pun ditentukan oleh dalam teks dapat dilihat dari fungsi tutur keberadaan makna. Sebuah realisasi yang terdapat dalam sebuah teks. 167 Halliday (Halliday, 1994:69; Halliday dan menarik untuk dianalisis dan Matthiessen, 2004:109) merumuskan dideskripsikan dan sebuah penelitian. empat fungsi tutur, yakni tawaran, Penelitian ini secara kontrastif akan perintah, pernyataan, dan pertanyaan. menjelaskan cara pengalihan dan Lebih lanjut Halliday (Halliday, 1994; pengejawantahan makna interpersonal Halliday dan Matthiessen, 2004) dalam dua bahasa (atau lebih) yang menjelaskan bahwa makna berbeda. Secara khusus, penelitian ini interpersonal diejawantahkan dalam melibatkan bahasa Inggris sebagai struktur modus (mood). bahasa teks-teks sumber dan bahasa Dalam proses penerjemahan, Indonesia sebagai bahasa teks-teks makna interpersonal menjadi lebih sasaran. Selain itu, penelitian ini juga rumit, karena menghasilkan teks baru, dapat menyediakan sandaran untuk teks sasaran. Teks sasaran ini menilai keberhasilan sebuah melibatkan penutur/penulis dan penerjemahan dalam domain realisasi pendengar/pembaca baru. makna interpersonal dalam teks sasaran. Penutur/penulis baru adalah sang Tujuan utama penelitian ini adalah penerjemah yang awalnya adalah sebagai berikut memerikan persamaan pendengar/pembaca dari teks sumber. dan perbedaan makna interpersonal Sementara itu, pendengar/pembaca melalui analisis kontrastif terhadap baru adalah para konsumen hasil struktur modus teks sumber berbahasa penerjemahan, yakni teks baru yang Inggris dan teks sasaran berbahasa dihasilkan oleh penerjemah. Indonesia. Untuk membatasi Seperti yang sudah dijelaskan pembahasan, makalah ini hanya akan sebelumnya, sebuah penerjemahan yang mendiskusikan penerjemahan makna berhasil dinilai dari sampai atau subjek. tidaknya makna—dalam hal ini dibatasi pada makna interpersonal—teks TEORI sumber kepada pendengar/pembaca Kajian Penerjemahan teks sasaran. Ini artinya, bahwa, Sebuah teori penerjemahan akan penerjemah harus mampu menangkap berpengaruh dalam praktik interaksi sosial yang dikehendaki oleh penerjemahan. Begitu pula sebaliknya, penutur/penulis teks sumber. Dalam praktik penerjemahan akan selalu terjemahannya, dia harus mampu menyumbangkan hal-hal baru dalam menyampaikan peran atau posisi sosial teori penerjemahan. Karena si produsen teks sumber dan peran atau penerjemahan merupakan komunikasi, posisi sosial konsumennya, termasuk kajian penerjemahan melibatkan konsumen yang mengonsumsi teks beragam disiplin yang terkait dengan sasaran. Dengan kata lain, makna komunikasi, termasuk sastra, sosiologi, interpersonal yang sampai kepada sejarah, ilmu komunikasi, dan konsumen teks sasaran hendaknya sama sebagainya. Namun, Sorvali (1996:1) dengan makna interpersonal yang mengatakan bahwa disiplin yang paling sampai kepada konsumen teks sumber. dekat dengan kajian penerjemahan Mengingat rumitnya penyampaian adalah linguistik. Oleh sebab itu, analisis makna interpersonal dalam linguistik cenderung sering sekali penerjemahan, hal ihwal mengenai terlibat dalam kajian penerjemahan pengalihan dan pengejawantahan meskipun mungkin adakalanya makna interpersonal dalam penitikberatan sebuah kajian penerjemahan menjadi masalah yang penerjemahan bersangkut-paut dengan 168 disiplin selain linguistik. Oleh sebab itu, konstituen yang menjadi referensi atau penelitian penerjemahan kali ini juga diterima atau ditolaknya sebuah melibatkan secara ketat disiplin proposisi. Subjek adalah hal yang linguistik. dibicarakan oleh penutur. Elemen ini yang dibebani tanggung jawab oleh Makna Interpersonal dan Struktur penutur untuk menentukan validitas Modus sesuatu yang dikatakan oleh penutur. Linguistik fungsional sistemik Subjek adalah konstituen bertanggung (selanjutnya, LFS) digambarkan sebagai jawab atas fungsi sebuah klausa sebagai sebuah pendekatan fungsional-semantik peristiwa interaktif. terhadap bahasa (Eggins, 1994:2). LFS mendeskripsikan bahwa bahasa METODE membawa tiga macam makna yang Penelitian ini merupakan penelitian disebut ‘metafungsi’ (metafunction): deskriptif kualitatif. Dalam sebuah eksperiensial (experiential), penelitian deskriptif, seorang peneliti interpersonal (interpersonal), dan tidak menerapkan paradigma tepat’ atau tektual (textual). ‘tidak tepat’ (Wray et.al:1998). Penelitian Makna interpersonal merupakan ini bersifat kualitatif karena bertujuan representasi dari interaksi antara untuk mengidentifikasi dan memerikan penutur/penulis dengan karakteristik atau kualitas sebuah pendengar/pembaca. Dengan bahasa, fenomena bahasa (Rasinger, 2010). orang-orang saling bertukar informasi Sebuah penelitian kualitatif serta menegosiasikan peran-peran mengutamakan penyajian dan sosial. Bahasa digunakan untuk penjelasan pola-pola yang ada dalam melakukan transaksi antara sebuah fenomena kebahasaan tinimbang penutur/penulis dengan jumlah atau kuantitasnya. Selain itu, pendengar/pembaca (Halliday dan salah satu ciri penelitian kualitatif adalah Matthiessen, 2004:59) untuk menganggap teks atau wacana sebagai menciptakan hubungan sosial (Halliday, data (Baxter, 2010). Kata-kata, bukannya 1994:36). Dalam sebuah interaksi angka-angka, merupakan data utama kebahasaan, sebuah hubungan sosial dalam penelitian kualitatif. Data tertentu sedang dinegosiasikan antara penelitian ini adalah klausa-klausa penutur/penulis dan berbahasa Inggris dan berbahasa pendengar/pembaca. Melalui bahasa, Indonesia dari buku berjudul Language manusia mampu mengambil peran dan and Power (Norman Fairclough, 1989) mengekpresikan serta memahami dan buku terjemahannya Language and perasaan, sikap, dan penilaian (Bloor Power: Relasi Bahasa, Kekuasaan, dan dan Bloor, 2004:9). Makna Ideologi (penerj. Indah Rohmani, 2003). interpersonal, makna tentang peran dan Analisis data yang dipakai adalah hubungan antarpengguna bahasa analisis deskriptif kualitatif. Metode direalisasikan dalam struktur modus analisis data yang digunakan dalam dalam sistem tatabahasa. Struktur penelitian ini adalah metode agih, modus terdiri atas dua komponen metode padan intralingual, dan metode utama, MODUS (MOOD) dan RESIDU analisis kontrastif fungsional. Metode (RESIDUE) (Halliday, 1994; Halliday dan agih adalah metode analisis data yang Matthiessen, 2004). Konstituen- menggunakan bahasa sebagai konstituen pembentuk MODUS adalah penentunya. Metode padan intralingual subjek dan finit. Subjek merupakan adalah metode yang menghubung- 169 bandingkan unsur-unsur dalam bahasa. pronomina yang digunakan dalam Metode analisis konstrastif fungsional ragam akrab, sedangkan pronominal adalah metode analisis konstrastif yang saya digunakan dalam ragam resmi atau berbasiskan makna dan proses semiosis biasa (Kamus Besar Bahasa Indonesia (Chesterman:1998). Karena berbasiskan Edisi Empat). Penggunaan pronomina makna dan proses semioses, metode saya bisa diasumsikan sebagai upaya analisis ini sejalan dengan teori linguistik penerjemah untuk menjaga keformalan fungsional sistemik yang diterapkan teks—buku Language and Power adalah dalam penelitian ini. sebuah buku teori. Sebenarnya penerjemah bisa saja dianggap berhasil HASIL DAN PEMBAHASAN mengalihkan dan mengejawantahkan Dalam LFS, subjek merupakan makna pronominal orang pertama konstituen wajib dalam struktur MODUS tunggal dengan memiliki aku sebagai (MOOD). Konstituen ini dianggap subjek. Namun, ditilik dari keberhasilan bertanggung jawab atas fungsi sebuah teks sasaran dalam memasuki konteks klausa sebagai peristiwa interaktif. budaya bahasa Indonesia, pemilihan Umumnya, dalam bahasa Inggris, subjek pronominal aku bisa dianggap direalisasikan oleh kelompok nominal— mencederai keformalan teks. Jadi, saya, LFS cenderung menggunakan istilah alih-alih aku, dipilih atas dasar kelompok kata (word group) untuk keberterimaan teks sasaran oleh kumpulan kata yang dalam budaya pembaca teks sasaran. Hal ini juga linguistik lebih lazim disebut frasa, menentukan penerjemahan pronomina sehingga ada kelompok nominal alih-alih orang kedua you. Perhatikan klausa- frasa nominal, kelompok verbal alih-alih klausa berikut. frasa verbal, dan seterusnya. Perhatikan klausa-klausa dari teks sumber dan (Sumber) sasaran berikut. […] you do not simply ‘decode’ an utterance, […] (Sumber) I shall also say something about views of (Sasaran) language in recent social theory. […] anda tidak perlu ‘menguraikan’ suatu ujaran secara sederhana […] (Sasaran) Saya juga harus mengatakan sesuatu Dalam bahasa Indonesia, tentang pandangan bahasa terhadap pronomina (orang pertama tunggal) teori sosial yang baru. saya berpasangan dengan pronominal (orang kedua tunggal) anda, sedangkan Secara umum, makna subjek yang aku berpasangan dengan kamu atau berupa pronomina dan nama jenis engkau. Penggunaan saya sebagai subjek dalam bahasa Inggris dan bahasa dalam klausa-klausa berbahasa Indonesia tidak tidak banyak berbeda. Di Indonesia tersebut juga bisa dikaitkan sini, mungkin yang perlu dibahas sedikit dengan ideologi buku Language and terperinci adalah makna subjek I dan Power sendiri. Fairclough dalam buku subjek aku. Bahasa Inggris tidak tersebut (halaman 15) mengatakan mengenal strata sosial dalam bahwa penggunaan pronomina orang penggunaan pronomina. Dalam bahasa pertama tunggal tersebut memang Indonesia, pronomina orang pertama dilakukan dengan sengaja sebagai tunggal diejawantahkan oleh aku dan tindakan untuk menghindari saya. Pronomina aku merupakan penyamaran identitas penulis, seperti 170 yang terjadi dalam tradisi tulisan-tulisan khusus, tidak memiliki padanan akademis. Dalam bahasa Indonesia, langsung untuk pronomina tersebut. penggunaan pronomina orang pertama Umumnya pronomina tersebut tunggal untuk menyebut penulis dalam dipadankan dengan pronomina orang tulisan akademis juga masih belum ketiga tunggal ia atau dia atau terlalu lazim. Tulisan-tulisan akademis determinator itu atau ini. Tampaknya, berbahasa Indonesia masih cenderung penerjemah buku Language and Power menggunakan kata penulis atau menganggap bahwa mengejawantahkan pronomina orang pertama jamak makna it dengan ia, dia, itu, atau ini tidak eksklusif kami. Pengalihan dan dapat mengalihkan dan pengejawantahan makna subjek I— mengejawantahkan makna it dalam dalam bahasa Norman Fairclough, bukan klausa-klausa tersebut dengan baik bahasa orang lain yang menjadi contoh sehingga dia lebih memilih dalam bukunya—menjadi saya dalam menggunakan kelompok nomina yang bahasa Indonesia juga dapat dipandang dihubungkan dengan konteks endoforis, sebagai persetujuan penerjemah akan baik dengan menggunakan determinator pandangan ideologis Norman Fairclough sebagai pemarkah nomina, seperti ini tersebut. dalam hal ini maupun dengan Pembicaraan mengenai pengalihan mengulang nama jenis yang dirujuk oleh dan pengejawantahan makna subjek it seperti dalam praktek sosial. Secara yang berupa pronominal tidak hanya interpersonal, pengejawantahan makna terkait dengan dimensi sosial, tetapi juga it menjadi hal ini dan praktik sosial dengan ada tidaknya padanan “satu memunculkan perbedaan makna subjek. lawan satu” seperti yang sudah Penggunaan pronomina it sebagai disinggung sebelumnya. Perhatikan subjek menandakan bahwa entitas yang klausa-klausa berikut. diwakili oleh pronomina it merupakan sebuah objek konkret. Sementara itu, (Sumber) frasa nomina hal ini dan praktek sosial It is because the relationship between jelas-jelas merupakan sebuah objek discourse and social structures is abstrak. Bisa dikatakan bahwa dialectical in this way […] penerjemah ingin mempertahankan keabstrakan entitas yang digantikan oleh (Sasaran) pronomina it dalam teks sumber dan Hal ini karena hubungan antara diskursus dan struktur-struktur sosial menganggap bahwa mengejawantahkan bersifat dialektis dalam cara ini […] makna it dengan pronominan ia, dia, itu, atau ini justru akan merusak (Sumber) keabstrakan objek yang menjadi subjek […] and it changes reality. tersebut. Pengalihan dan pengejawantahan (Sasaran) pronominal orang pertama jamak we ke […] dan praktek sosial mengubah dalam bahasa Indonesia juga perlu realita. memperhatikan konteks. Dalam bahasa Inggris, pronominal orang pertama Subjek it diterjemahkan menjadi jamak, baik yang eksklusif maupun subjek hal ini dan praktek sosial. inklusif, sama-sama diejawantahkan Pronomina merupakan pronominal it oleh pronominal we. Sementara dalam yang merujuk pada objek atau benda bahasa Indonesia, makna pronominal takbernyawa. Bahasa Indonesia, secara orang pertama jamak eksklusif 171 diejawantahkan oleh kami, sedangkan yang inklusif diejawantahkan oleh kita. (Sasaran) Perhatikan klausa-klausa berikut. […] bagaimana dia sama sekali tidak terkesan dengan otoritas sekolah […] (Sumber) We find levels of structuring of language (Sumber) above […] […] she is ‘one of them’

(Sasaran) (Sasaran) Kita akan temukan tingkatan-tingkatan […] ia merupakan salah satu bagian struktur […] dari mereka Subjek dan , masing-masing Subjek we diterjemahkan ke dalam he she dipadankan dengan subjek dan . bahasa Indonesia menjadi subjek kita dia ia pada. Makna pronomina orang pertama Pronomina orang ketiga tunggal maskulin dalam bahasa Inggris jamak we yang tidak memiliki makna he (eks/in)-klusif dialihkan dan diterjemahkan menjadi pronominal orang ketiga tunggal . Gender dari diejawantahkan menjadi kita, dia dia pronomina orang pertama jamak hanya bisa diidentifikasi secara inklusif. Bisa diasumsikan bahwa endoforis; pada teks, ada kata seorang , sehingga dapat diidentifikasi pemilihan kita disebabkan oleh pemuda pemahaman penerjemah terhadap teks dengan jelas bahwa dia bergender sumber. Penerjemah mungkin saja maskulin. Sementara itu, pronomina ia tidak bisa merepresentasikan makna menganggap bahwa we yang ada dalam teks merupakan pronomina orang feminin dari she karena dalam teks sama pertama jamak yang memiliki makna sekali tidak didapatkan petunjuk inklusif; penerjemah mungkin mengenai gender dari ia. Akan tetapi, mengidentifikasi bahwa penulis teks pengalihan dan pengejawantahan he sumber, berdasarkan konteks endoforis atau she menjadi dia atau ia bisa saja (dan mungkin eksoforis), juga ingin menjadi kelebihan dalam bahasa melibatkan pembaca saat menggunakan Indonesia, terutama dalam penerjemahan pronomina we. Akan tetapi, mungkin Language and Power bukti endoforis yang paling nyata adalah yang dianggap sebagai buku teori bahasa pernyataan Norman Fairclough sendiri kritis. Bahasa tidak memiliki pronomina orang ketiga tunggal yang netral dalam buku Language and Power pada halaman 15 yang mengatakan bahwa terhadap gender. Untuk merealisasikan makna pronomina orang ketiga tunggal ‘we’ yang terdapat dalam buku tersebut adalah pronomina orang pertama jamak yang mencakupi kedua gender tersebut, inklusif. seorang pengguna bahasa Inggris Makna gender dalam bahasa Inggris umumnya menggunakan ungkapan he juga menjadi tantangan dalam saja. Beberapa pihak yang merasa pengalihan dan pengejawantahan terganggu dengan ungkapan tersebut, pronomina bahasa Inggris ke dalam yang jelas masih bergender maskulin, bahasa Indonesia. Perhatikan klausa- memilih menggunakan ungkapan he or klausa berikut. she. Fairclough dalam buku Language and Power justru cenderung (Sumber) menggunakan ungkapan she sebagai […] how unimpressed he is with school pronomina. Perhatikan contoh pertama authority […] penggunaan she yang ditemukan pada 172 bagian dari sebuah paragraf di bab VI put it above. This involves matching the buku Language and Power berikut. text with one of a repertoire of schemata, or representations of This chapter continues with the characteristic patterns of organization presentation of a procedure for critical associated with different types of discourse analysis; Chapter 5 dealt with discourse. Once an interpreter has the stage of description, and we now decided she is involved in a telephone move on to the stages of interpretation conversation, for example, she knows and explanation, which will be she can expect particular things to discussed in that order. The chapter happen in a particular order (greetings, will conclude with some points about establishing a conversational topic, the relationship of the analyst to the changing topics, closing off the discourse she is analysing. Let us begin conversation, farewells). (hal. 144) by briegly returning to the relationship between the three stages, which was Pronomina she (bercetak tebal) sketched out in Chapter 2, as a way of merujuk pada an interpreter yang sama both refreshing readers’ memories, and sekali tidak bisa diidentifikasi makna emphasizing the shortcomings of gendernya. Bisa diasumsikan bahwa description alone. (hal. 140) pemilihan she mungkin saja dilakukan oleh Norman Fairclough sebagai upaya Pada baris ke-5, terdapat mendobrak kelaziman yang telah lama pronomina orang ketiga tunggal berlaku dalam bahasa Inggris— bergender feminin she (bercetak tebal). mengungkapkan pronomina orang Pronomina tersebut merupakan ketiga tunggal yang netral gender ungkapan yang merujuk pada the analyst dengan pronomina orang ketiga tunggal (bergaris bawah). Nama jenis the analyst bergender maskulin. Dia bisa saja dan pronomina she membentuk dianggap ingin mengubah kebiasaan hubungan ko-referensi anaforis (lihat tersebut dengan menggunakan Brown dan Yule, 1996:191—192); pronomina orang ketiga tunggal maksudnya, identitas she telah bergender feminin untuk dijelaskan sebelumnya oleh sebuah mengungkapkan makna pronominal unsur endoforis (dalam teks) yang orang ketiga tunggal yang gender netral. muncul sebelum she muncul. Dengan Berdasarkan hal itu, dapat dikatakan kata lain, seharusnya, dalam topik bahwa, pronomina dia atau ia lebih pembicaraan mengenai gender ini, berhasil mengakomodasi keinginan status she, maskulin atau feminin, sudah Fairclough, mengungkapkan makna dapat ditangkap dari unsur endoforis pronominal orang ketiga tunggal netral sebelumnya, the analyst. Akan tetapi, gender dengan pronomina orang ketiga seperti yang terlihat, the analyst tunggal yang benar-benar netral gender. merupakan nama jenis yang tidak Perhatikan versi terjemahan dari contoh memiliki makna gender, sehingga status kedua penggunaan she. maskulin dan feminin dari the analyst sebenarnya tidak bisa ditangkap. Berikut Struktur teks dan poin. Interpretasi ini adalah contoh kedua penggunaan she struktur teks pada tingkatan keempat dalam buku Language and Power. adalah bagian dari cara bagaimana keseluruhan teks saling mendukung, Text structure and ‘point’. Interpretation yang menjadi suatu koherensi teks of text structure at level four is a matter global seperti yang saya sebut tadi di of working out how a whole text hangs atas. Teks ini melibatkan keserasian together, a text’s global coherence as I teks dengan satu daftar skemata atau 173 perwakilan pola karakteristik kesatuan untuk bisa menjadi subjek. Dalam yang bertalian dengan tipe-tipe bahasa Inggris, there dianggap sebagai diskursus yang berbeda. Sekali seorang dummy subject atau, dalam bahasa penafsir memutuskan untuk terlibat Indonesia, disebut subjek silih (lihat dalam percakapan dalam telepon, Kridalaksana, 2008:221). Subjek silih misalnya, tahu bahwa dapat dia dia tidak memilih makna semantis tertentu; mengharapkan sesuatu terjadi pada tatanan tertentu (ucapan salam, subjek ini hanya memenuhi tuntutan menciptakan topik yang seru, kaidah sintaksis dalam bahasa Inggris. mengubah topik, mengakhiri Makna subjek ini ditentukan oleh unsur percakapan, salam perpisahan). (hal. lain di belakangnya (postposition). Dari 163) Gambar 1-3 dapat dilihat bahwa, subjek pada klausa yang berbahasa Inggris Nama jenis seorang penafsir adalah there…many existing approaches. (bergaris bawah) tidak memiliki gender. Kata there dalam struktur transitivitas Nama jenis tersebut kemudian dianggap partisipan dari proses direpresentasikan, selanjutnya, dengan eksitensial (baca Halliday dan pronomina dia (bercetak tebal) yang Mathiessen, 2004), sebuah proses yang merupakan pronomina orang ketiga merealisasikan makna keberadaan. Kata tunggal netral gender. there diperlukan oleh many existing Dilihat dari posisi subjek dalam approaches untuk menyatakan makna struktur modus, dari seluruh contoh keberadaan atau eksistensi tersebut. klausa yang telah disajikan dapat dilihat Dengan kata lain, untuk menyatakan bahwa posisi subjek biasanya di awal makna eksistensi, subjek many existing klausa, baik dalam klausa berbahasa approaches memerlukan there yang Inggris maupun berbahasa Indonesia. terletak di depan, sebelum finit. Gambar 1-1 dan Gambar 1-2 Sementara itu, makna keberadaan atau menunjukkan posisi subjek dalam eksistensi dalam bahasa Indonesia struktur modus sebuah klausa. Akan cukup diejawantahkan dengan verba tetapi, tidak semua subjek dapat ada atau terdapat sebagai predikat yang dipertahankan posisinya saat diletakkan di awal klausa sehingga diterjemahkan. Perhatikan struktur subjek berada di belakang predikat. modus pada Gambar 1-3. Bentuk klausa seperti disebut bentuk Pada klausa yang berbahasa Inggris, inversi (Alwi et al., 2003:363; kata there yang berada di awal klausa Kridalaksana, 2008:96). Selain there, it (dan seharusnya bisa menjadi subjek) juga bisa menjadi subjek silih. ternyata tidak dapat berdiri sendiri Perhatikan Gambar 1-4.

(Sumber) you do simply decode an utterance not you can only officiate at a church service it [changes] reality we [find] levels of structuring of language she is one of them S F Ketmod P [F/P] Kol Kint Ket

174 Gambar 1-1 Posisi subjek dalam struktur modus klausa bahasa Inggris

(Sasaran) anda tidak perlu menguraikan suatu secara ujaran sederhana anda hanya akan dapat mengatur layanan gereja praktek mengubah realita sosial kita akan temukan tingkatan- tingkatan struktur ia merupakan salah satu bagian dari mereka S F Ketmod F F P O Pel Ket

Gambar 1-2 Posisi subjek dalam struktur modus klausa bahasa Indonesia

(Sumber) there are many existing approaches there is a coherent connection F S

(Sasaran) ada banyak pendekatan kajian bahasa yang muncul ada hubungan koherensi P S

Gambar 1-3 There sebagai subjek silih

(Sumber) It Is also noticeable that there is no acknowledgement F Ketkonj Kint S

(Sasaran) juga dapat kita lihat bahwa tidak ada tanggapan serius Ketkonj F S P O

Gambar 1-4 It sebagai subjek silih

175 Pada Gambar 1-4, juga terlihat sasaran, pronomina kita menjadikan perbedaan subjek dalam klausa yang objek pelaku menjadi jelas; artinya bisa berbahasa Inggris dengan yang dilihat dijelas yang harus bertanggung berbahasa Indonesia. Klausa yang jawab atas predikat lihat. Hal ini secara berbahasa Inggris memiliki subjek silih interpersonal berbeda dengan teks it. Subjek silih ini tidak memiliki makna sumber yang sama sekali tidak tertentu. Makna subjek tersebut mengisyaratkan adanya pelaku. dijelaskan oleh klausa yang dinominalkan dengan penggunaan kata SIMPULAN that. Oleh sebab itu, subjek dari klausa Pengalihan dan pengejawantahan tersebut adalah it..that there is no pronomina mendapatkan pengaruh dari acknowledgement. Adjektiva noticeable dimensi sosial. Misalnya, penerjemahan dianggap sebagai sebuah komplemen makna pronomina I menjadi saya dan intensif karena merupakan komplemen you menjadi Anda yang mengesankan langsung dari finit is yang merupakan keresmian teks. Penerjemahan makna verba be. Jika diparafrasekan, klausa bisa subjek yang berupa pronominal juga saja menjadi that there is no terkait dengan ada tidaknya padanan acknowledgement is noticeable. “satu lawan satu”, misalnya pronomina it Penggunaan subjek silih it biasanya yang dialihkan dan diejawantahkan dilakukan untuk menggantikan dalam bentuk nomina umum (seperti, kedudukan subjek yang terlalu panjang. hal ini) atau nama jenis (seperti praktek Ketika diterjemahkan ke dalam bahasa sosial). Pengalihan dan pengejawantahan Indonesia, ada dua hal yang cukup pronominal orang pertama jamak we ke menarik ditilik dari struktur modus, dalam bahasa Indonesia juga perlu yaitu penggunaan bentuk pasif dan memperhatikan konteks; penentuan kemunculan subjek kita. Penggunaan makna eksklusif atau inklusif dari we bentuk pasif menyebabkan subjek tidak hanya bisa diperhatikan dari konteks lagi berada di awal kalimat sehingga untuk mengalihkan dan struktur modus (beserta makna) tentu mengejawantahkannya menjadi kami akan berubah. Kekosongan subjek atau kita. Gender juga memiliki menjadikan kosongnya unsur yang pengaruh penting dalam mengalihkan bertanggung jawab terhadap sebuah dan mengejawantahkan makna subjek proposisi (yakni subjek). Dalam teks pronomina. Pronomina dia atau ia, bahasa Inggris, yang bertanggung jawab kecuali secara kontekstual, tidak bisa adalah subjek silih it, meskipun merepresentasikan makna pronomina identitasnya dijelaskan secara kataforis. maskulin he atau feminin she. Namun, Dalam teks terjemahan berbahasa pengalihan dan pengejawantahan he Indonesia, kosongnya subjek atau she menjadi dia atau ia yang netral menjadikan hilangnya unsur yang harus gender bisa saja menjadi kelebihan bertanggung jawab terhadap sebuah dalam bahasa Indonesia untuk proposisi. Kemunculan subjek kita menunjukkan makna kesetaraan gender cukup mengejutkan karena subjek ini dalam mengungkapkan pronomina tidak ditemukan dalam klausa sumber orang ketiga bernyawa yang netral (klausa yang berbahasa Inggris). Dalam gender. Posisi subjek dalam struktur bahasa Indonesia terdapat tiga macam modus bahasa Inggris dan bahasa konstruksi pasif, salah satunya memiliki Indonesia, secara umum, memiliki pola subjek penderita+objek kesamaan, yakni berposisi di awal pelaku+kata kerja dasar. Dalam teks klausa. Namun, untuk subjek silih 176 (dummy subject), posisi subjek pada Neubert, Albrecht, dan Gregory M. struktur modus bahasa Inggris dan Shreve. 1992. Translation as Text. bahasa Indonesia memiliki perbedaan. Kent: Kent State University Press. Subjek silih there, yang bisa menjadi Newmark, Peter. 1988. A Textbook of subjek sehingga subjek bisa berada di Translation. New Jersey: Prentice awal, hanya bisa dialihkan dan Hall International, Ltd. diejawantahkan menjadi verba ada Rasinger, Sebastian M. 2010. sehingga memunculkan klausa inversi “Quantitative Methods: Concepts, (posisi predikat mendahului subjek) Frameworks and Issues”. Dalam Dalam Lia Litosseliti (ed.) Research DAFTAR PUSTAKA Methods in Linguistics. London: Alwi, Hasan, Soenjono Dardjowidjojo, Continuum. Hans Lapoliwa, Anton M. Moeliono. Wray, Alison, Kate Trott, Ailen Bloomer, 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Shirley Reay, and Chris Butler. 1998. Indonesia. Edisi ketiga Jakarta: Balai Projects in Linguistics: A Practical Pustaka Guide to Researching Language. Baxter, Judith. 2010. “Discourse-Analytic London: Edward Arnold. Approaches to Text and Talk”. Dalam Lia Litosseliti (ed.) Research Sumber data Methods in Linguistics. London: Fairclough, Norman. 1989. Language Continuum. and Power. New York: Longman Inc. Brown, Gillian, George Yule. 1996. Fairclough, Norman. 2003. Language Analisis Wacana. Diterjemahkan and Power: Relasi Bahasa , oleh I. Soetikno dari Discourse Kekuasaan dan Ideologi. Analysis. Jakarta: PT Gramedia Diterjemahkan oleh Indah Rohmani Pustaka Utama dari Language and Power. Malang: Chesterman Andrew. 1998. Contrastive Boyan Publishing. Functional Analysis. Amsterdam: John Benjamins Eggins Suzanne. 2004. An Introduction to Systemic Functional Linguistics. Edisi Kedua. London: Continuum. Halliday, M.A.K. 1994. An Introduction to Functional Grammar. Edisi Kedua. London: Edward Arnold. Halliday, M.A.K, dan Christian Matthiessen. 2004. An Introduction to Functional Grammar. Edisi Ketiga. London: Hodder Arnold Hatim, Basil dan Ian Mason. 1997. The Translator as Communicator. London: Routledge. Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Edisi keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Machali, Rochayah. 2009. Pedoman bagi Penerjemah. Bandung: Penerbit Kaifa. 177 178 VARIASI TINGKAT TUTUR BAHASA JAWA DI WILAYAH LERENG MERAPI: TINJAUAN SOSIODIALEKTOLOGI (Morphophonemic Characteristics of Confixation in the Banyumas Dialect of Javanese: Sociodialectology Study)

Muna Riswati

Universitas Sebelas Maret Jalan Ir. Sutami No. 36-A, Surakarta Pos-el: [email protected]

Abstract

This study aims to determine the usage level Java language in slopes Merapi. This research using descriptive method. The subject of this study were native speakers of Javanese on the slopes of Merapi complying specific qualification. Data collection used a list of 829 questions that Swadesh vocabulary developed by Bernd Nothofer and 75 sentences. The results of this study are as follows. First, the use of the Java language level on the slopes of Merapi is ngoko form more dominant than the krama form. Second, the use of the krama form is not appropriate with the standard speech levels in Javanese, speakers tend to use the madya and krama desa forms. Third, the level can be marked by vocabularies, personal pronouns, and affixes. Fourth, the influence of inaccuracies in the use of the Javaese language is that the speakers are villagers who understand limited vocabularies of krama forms.

Keywords: speech level, Javanese, sociodialectology

Abstrak

Penelitian ini bertuuan untuk menentukan tingkat tutur bahasa Jawa di lereng Gunung Merapi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Subjek penelitian ini adalah penutur asli bahasa Jawa di lereng Merapi yang memenuhi persyaratan tertentu. Pengumpulan data menggunakan daftar berisi 829 pertanyaan kosakata Swadesh yang dikembangkan Bernd Nothofer dan 75 pertanyaan berupa kalimat. Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, penggunaan bentuk ngoko oleh pengguna bahasa Jawa di lereng Merapi lebih dominan dibandingkan bentuk krama. Kedua, penggunaan bentuk krama tidak sesuai dengan tingkat tutur dalam bahasa Jawa standar; penutur cenderung menggunakan bentuk madya dan krama desa. Ketiga, tingkat tutur bisa ditandai dari kosakata, pronomina personal, dan imbuhan. Keempat, pengaruh dari ketidaktepatan penggunaan bahasa Jawa adalah bahwa penutur merupakan penduduk desa yang kosakata bentuk kramanya terbatas.

Kata-Kata Kunci: tingkat tutur, bahasa Jawa, sosiodialektologi

179 PENDAHULUAN terjadi kesalahan pemilihan kosakata Lereng Merapi berada di wilayah Jateng yang bercampur antara kata ngoko, dan DIY. Posisi lereng sisi selatan berada madya dan krama. Contoh tingkat tutur dalam administrasi Kabupaten Sleman, bahasa Jawa Lereng Merapi (BJLM) yang Daerah Istimewa Yogyakarta, dan dianggap krama penuturnya adalah nek sisanya berada dalam wilayah Provinsi kulo teng peken ajeng tumbas gendis. Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Magelang ‘Kalau saya ke pasar, saya akan membeli di sisi barat, Kabupaten Boyolali di sisi gula’, kosakata yang digunakan dalam utara dan timur, serta Kabupaten kalimat tersebut terdiri atas ngoko, Klaten di sisi tenggara. Pada penelitian madya, dan krama. Adapun tutur krama ini ditentukan daerah penelitian (DP) yang benar adalah menawi kulo lereng Merapi dari empat wilayah dhateng peken, kulo badhe mundhut kabupaten dari Jateng dan DIY yang gendis. Ketidaksesuaian bahasa Jawa terletak dengan jarak tempuh ke gunung baku (BJB) dapat menimbulkan variasi Merapi yang paling dekat. Desa-desa tertentu dalam bidang sosiodialektologi, tersebut adalah Desa Wanalelo Dari alasan-alasan tersebut, (Magelang) adalah DP 1, Desa Kepuh penelitian ini bertujuan untuk Harjo (Sleman) adalah DP 2, Desa Bale mendeskripsikan tingkat tutur BJLM. Rante (Klaten) adalah DP 3, dan Desa Bentuk tingkat tutur tersebut dilihat dari Jerakah (Boyolali) adalah DP 4. penggunaan ragam kosakata, kata ganti Secara geografis desa tersebut pronomina, dan imbuhan yang secara adalah desa yang memiliki sedikit akses morfologis dapat menentukan tingkat keluar daerah karena jarak tempuh ke tutur yang digunakan. pusat kota jauh. Didukung pula mata pencaharian mayoritas penduduk METODE adalah berternak dan bertani sayuran Secara metodologis, penelitian ini yang kesehariannya hanya berada di menggunakan metode deskriptif wilayah tersebut. Namun, semenjak sinkronis kualitatif dengan pendekatan erupsi Merapi seperti tahun 2010 lalu, sosiodialektologis. Objek penelitian ini dari tanggal 26 Oktober 2010—5 adalah tuturan bahasa Jawa (BJ) yang November 2010. Penduduk lereng dipakai oleh penutur dan penduduk Merapi masih bertempat tinggal di asli atau sekurang-kurangnya telah hunian sementara atau shelter-shelter tinggal di wilayah lereng Merapi yang didirikan oleh relawan. Sejak selama dua puluh tahun lebih. Populasi erupsi sampai saat ini, daerah lereng penelitian adalah semua tuturan BJ Merapi masih menjadi pusat perhatian dengan aspek-aspeknya di wilayah bagi relawan, donatur atau bahkan Lereng Merapi. Adapun sampel mahasiswa yang sedang melakukan penelitian ini meliputi tuturan BJ pada Kuliah Kerja Nyata (KKN) atau sebagai daftar tanya yang telah ditentukan, tempat penelitian setelah erupsi. yang dipakai oleh delapan orang Banyaknya pendatang wilayah Lereng informan dengan dua orang di setiap DP. Merapi tersebut memungkinkan adanya Informan utama terdiri atas satu orang perkembangan bahasa. dan informan pembanding satu orang. Menilik perkembangan masyarakat Adapun syarat sampel informan yang saat ini, bahasa krama yang digunakan di dipilih adalah penduduk yang memenuhi masyarakat Jawa sudah tidak memenuhi kriteria sebagai informan berdasar pada kaidah yang benar. Penutur jika variabel pekerjaan, usia, pendidikan, menggunakan bahasa Jawa krama status sosial dan kesehatan. 180 Alat penelitian ini berupa daftar oleh anggapan penutur pertama dan pertanyaan kebahasaan yang relasinya dengan yang diajak bicara atau ditujukan kepada informan untuk penutur kedua. Relasi-relasi bisa menjaring data kebahasaan BJ, baik tersebut bersifat akrab, sedang, jauh, ngoko maupun krama yang meliputi menaik, atau mendatar (Dwiharjo, kosakata, frase, dan kalimat. Daftar 1990:1). pertanyaan kebahasaan yang diajukan Berdasarkan definisi tersebut dapat kepada informan didasarkan pada disimpulkan pengertian tingkat tutur kosakata dasar atau leksikon yang yaitu suatu sistem tingkatan yang teratur telah ditentukan oleh Bernd Nothofer dalam suatu bahasa, yang dengan kadar kemudian dimodifikasi oleh Kisyani kesopanan tertentu untuk menunjukkan (2009) yang merupakan pengembangan hormat penutur kepada mitra tutur dari daftar kata Swadesh khususnya maupun suatu yang dituturkannya. untuk penelitian dialek. Metode yang Tingkatan-tingkatan yang dimak- dipergunakan dalam tahap sud dapat berupa tingkatan tinggi, penyediaan data adalah metode cakap. menengah, dan rendah. Semakin tinggi Adapun teknik yang dipergunakan tingkatan yang digunakan menun- dalam metode cakap, yaitu teknik cakap jukkan semakin tinggi tingkat keso- semuka dan teknik catat. Selain metode panan, tingkat hormat terhadap mitra cakap juga dipergunakan metode sadap tutur dan yang dituturkan. Sebaliknya, dengan teknik yakni teknik sadap dan semakin rendah tingkat yang digunakan teknik rekam. semakin rendah pula tingkat kesopanan Pada tahap analisis data dan peng-hormatannya kepada mitra pemakaian BJLM ini digunakan tutur maupun yang dituturkan. metode padan (Sudaryanto, 1993:22) dengan aneka tekniknya yang Klasifikasi Tingkat Tutur Bahasa disesuaikan dengan karakter data yang Jawa diperoleh dengan tujuan penelitian yaitu Oleh kebanyakan orang tingkat tutur penggunaan tingkat tutur di Lereng bahasa Jawa sering hanya dibedakan Merapi. menjadi dua bagian, yaitu tingkat ngoko dan tingkat basa. Tingkat ngoko adalah TEORI tingkat yang biasa digunakan. Tingkat Pengertian Tingkat Tutur basa identik dengan krama. Kedua Menurut Soepomo Poedjosoedarmo, tingkat tutur ini dibedakan atas unsur tingkat tutur adalah suatu sistem kode morfologi, sintaksis, dan kosakata penyampaian rasa kesopanan yang di sebagai dasar pembentukan tuturan dalamnya terkandung vokabuler, aturan dapat disebut ngoko atau krama. sintaksis, atau morfologis. Dapat Menurut Ki Padmosusastro, tingkat tutur dikatakan juga bahwa tingkat tutur dibedakan menjadi tujuh tingkatan yaitu merupakan kode penyampaian rasa basa ngoko, basa krama, basa madya, sopan yang bertujuan untuk krama desa, krama inggil, basa kedhaton, menghormati orang yang diajak dan basa kasar. Dari beberapa tingkatan bertutur, atau menghormat pada apa- itu dibagi- bagi lagi menurut kriteria apa yang dituturkan (Poedjosoedarmo, tertentu, seperti dalam Sudaryanto 1979). (1989:98). Adapun dasar pokok untuk Istilah tingkat tutur (speech level) membedakannya adalah a) yang merupakan variasi bahasa yang berbicara, b) yang diajak bicara, dan c) perbedaan-perbedaannya ditentukan yang dibicarakan, pertimbangan lainnya 181 dengan melihat wujud kata-kata yang kesopanan dalam macam tingkat tutur dipakai (Sudaryanto, 1989:99). terdapat beberapa hal sebagai Tingkat tutur ngoko sering dibagi penentunya yaitu kosa kata, aturan- menjadi dua bagian, yaitu ngoko lugu, aturan morfologi, aturan sintaksis, dan dan ngoko andhap. Ngoko biasanya aturan fonologi. digunakan dengan orang-orang yang Selain itu, menurut Sudaryanto sudah akrab, baik tua atau muda (1989), konsep pembeda terjadinya apalagi dari golongan sebaya dalam tingkat tutur dalam bahasa Jawa dapat hal umur, atau keadaan sosial lainnya. dilihat dari dua hal penting yaitu, Ragam ini mencerminkan rasa tidak hubungan antara tiga komponen tutur berjarak antara penutur dengan mitra dalam pertuturan, meliputi yang tuturnya. berbicara, yang diajak bicara, dan yang Tingkat tutur krama adalah tingkat dibicarakan, kemudian dapat dilihat dari tutur yang memancarkan arti sopan wujud kosakatanya. santun. Ragam krama sering menunjukkan adanya rasa segan dari HASIL DAN PEMBAHASAN penutur terhadap mitra tuturya. Penanda Lingual Tingkat Tutur di Biasanya digunakan oleh orang ber- BJLM status rendah lebih rendah kepada orang Penanda tingkat tutur dapat yang berstatus lebih tinggi, baik dalam direalisasikan dalam bentuk leksikon, hal umur, atau kedudukan sosial lainnya. morfem, maupun konstruksi kalimat. Tingkat tutur madya merupakan Dalam bentuk leksikon disebut sebagai tingkat tutur tengah-tengah antara penanda leksikal, morfem-morfem ngoko dan krama. menurut sebagai penanda morfologis, dan Poedjosoedarmo (1984) tingkat madya konstruksi kalimat sebagai penanda bermula dari tingkat tutur krama, tetapi sintaksis. Adapun penanda bahasa mengalami tiga proses perkem-bangan, yang mendukung penjenisan tingkat yaitu kolokialisasi (informalisasi), tutur dalam BJLM yaitu (1) pilihan penurunan tingkat, dan ruralisasi. ragam kata, (2) pemilihan ragam Tingkat tutur krama desa imbuhan, (3) penanda ragam kata ganti merupakan tingkat tutur yang sering orang (pronomina) yang meliputi kata digunakan oleh orang pedesaan yang ganti diri, kata ganti milik, (4) komposisi kurang mengetahui bahasa. Munculnya ragam kosakata dan imbuhan dalam bentuk-bentuk tuturan krama desa setiap tingkat tutur. Adapun dilatarbelakangi oleh tujuan menjaga pendeskripsiannya adalah sebagai kesopanan berbahasa. Kondisi berikut. kemunculan kata yang agak teratur tentang pembentukan ngoko ke krama Ragam Kosa Kata disepadankan dengan pembentukan Ragam kosakata BJLM berdasarkan data krama menjadi hiperkrama (inggil). dapat diklasifikasikan menjadi (1) ngoko, Minat penutur menggunakan kosakata (2) krama, (3) madya. yang demikian dirasakannya cocok untuk mempertahankan kesantunan Tingkat Tutur Ngoko bahasanya selayaknya dalam berbahasa Kosakata ngoko merupakan induk dari krama yang sesungguhnya. semua kosakata bahasa Jawa. Kosakata selain ngoko dapat ditelusuri Aspek-Aspek Penanda Tingkat Tutur padanannya dalam bentuk ngoko. Sistem kode untuk menyampaikan rasa Jumlah kosakata ngoko lebih lengkap 182 dibandingkan dengan kosakata lain. yang menjelaskan bahwa informan lebih Selain itu ngoko lebih dikuasai oleh banyak menguasai bahasa Jawa ngoko informan dari pada bentuk krama. Hal dari 829 kosakata yang ditanyakan. tersebut dapat diketahui pada Tabel 1,

Tabel 1 Presentase Penguasaan Ngoko BJLM

DP Jumlah kosakata ngoko Jumlah kosakata Presentase 1 812 17 97,9 % 2 824 5 99,3 % 3 809 20 97,5 % 4 816 13 98,4 %

Berdasarkan tabel di atas, mengurangi rasa hormat kepada penguasaan bahasa Jawa ragam ngoko seseorang. Tingkat tutur ngoko lebih dikuasai oleh informan di BJLM. menunjukkan kesederajatan para Hal ini dikarenakan kosakata ngoko penutur. Dengan kata lain tingkat tutur digunakan sebagai tingkat tutur ngoko ngoko bersifat egaliter. Tingkat tutur oleh semua penutur tanpa melihat ngoko di lereng Merapi tidak seluruhnya status seseorang. Selain itu, tingkat berasal dari bahasa Jawa namun ada tutur ngoko merupakan alat komunikasi beberapa kata bahasa Indonesia sehari-hari. sebagai penanda ngoko dalam Penggunaan tingkat tutur ngoko bahasa Jawa meskipun kadang terjadi ini bertujuan untuk keakraban tanpa perbedaan fonologi.

Tabel 2 Contoh Bahasa Ngoko dari Bahasa Indonesia

Glos DP 1 DP 2 DP 3 DP 4 rotan rOtan njalIn* njalIn* aren arEn arEn arEn arEn melinjo mlinjo* m|linjo m|linjo mlinjo* belimbing blimbiG* b|limbiG b|limbiG blimbiG* anak ana? ana? le, ana?* ana? tangan taGan taGan taGan taGan angin aGIn aGIn barat* aGIn kamar kamar kamar kamar turOn* tongkat ber- toGkat t|k|n, ut|k* toGkat t|k|n* Keterangan: * bahasa Jawa ngoko

Berdasarkan tabel di atas mempertahankan istilah asli bahasa penggunaan kosakata bahasa Indonesia Jawa adalah DP 4. Secara geografis DP 4 digunakan dalam tuturan ngoko di adalah DP di Lereng Merapi-Merbabu BJLM. Dari beberapa kosakata bagian utara yang wilayahnya terpencil tersebut DP yang masih dari pada DP yang lain. Jadi, istilah asli 183 bahasa Jawa masih banyak yang perasaan segan seseorang terhadap dituturkan. Kosa kata bahasa Indonesia orang lain, karena orang lain tersebut tersebut diserap ke dalam bahasa ngoko merupakan orang yang belum dikenal, ada yang secara utuh dan ada yang atau berpangkat atau priyayi, mengalami perubahan dengan berwibawa, dan lain-lain. Dengan kata perbedaan fonologi baik melalui proses lain, tingkat tutur krama digunakan penghilangan fonem atau penyingkatan untuk menunjukkan rasa hormat kata. Seperti ‘melinjo’ menjadi [ kepada diri orang yang ditunjuk. Tidak semua penutur BJLM menguasai tingkat Tingkat Tutur Krama tutur ini dengan baik. Adapun Tingkat tutur krama adalah tingkat yang presentase penguasaan tingkat tutur mencerminkan arti penuh sopan santun. krama dapat dilihat pada tabel berikut. Tingkat ini menandakan adanya Tabel 3 Presentase Penguasaan Krama BJLM

Jumlah Krama yang Jumlah krama yang DP Presentase diketahui tidak diketahui

1 812 17 97,9% 2 340 489 41,0% 3 476 353 57,4% 4 803 26 96,8%

Berdasarkan tabel di atas macam kosa kata dari berbagai tingkat penguasaan tingkat tutur ke empat tutur. Adapun bagian tingkat tutur DP berbeda- beda. Bahasa krama yang dianggap krama BJLM terdiri dari pada DP 1 lebih tinggi daripada DP 4, tingkat tutur berikut. DP 4 lebih tinggi daripada DP 3, dan DP 2 lebih rendah dari semua DP. Pada DP Tingkat Tutur Madya 2 dan 3 mengasai krama rendah hal ini Tingkat tutur madya adalah tingkat dikarenakan pada DP tersebut lebih tutur menengah antara krama dan mudah dijangkau daerahnya dari pada ngoko yang biasa digunakan untuk di DP 1 dan 4. Hal ini dapat menjadi menunjukkan perasaan sopan yang salah satu faktor rendahnya sedang-sedang saja. Penguasaan penguasaan krama karna penuturnya tingkat tutur madya BJLM yang sudah terbuka dengan perkembangan dianggap sebagai tingkat tutur krama bahasa. disebabkan minimnya pemahaman Pemakaian tingkat tutur krama kosakata krama, sehingga bentuk kosa BJLM cukup terbatas. Keterbatasan itu kata madya dianggap sebagai bentuk disebabkan karena tingkat tutur krama krama. Contoh kosa kata madya yang tidak digunakan dalam percakapan dianggap krama di lereng Merapi. sehari-hari di Lereng Merapi. Selain itu, minimnya kosa kata krama penutur BJLM . Maka kosa kata yang mereka anggap krama terdapat bermacam-

184 Tabel 4 Kosa Kata Madya yang dianggap Krama di Lereng Merapi

Glos Madya Krama

ke (kata depan)  (DP 1, 2, 3)  (DP 4)

di (kata depan)  (DP 1,3, 4)  (DP 4)

membeli  (DP1, 3, 4)  (DP 2)

membawa  

Berdasarkan tabel di atas, terjadinya kosa kata krama desa di BJLM menunjukkan bahwa dari empat DP di dibentuk melalui sebagai berikut. Lereng Merapi lebih dominan 1. Kosa kata ngoko dengan proses menggunakan tingkat tutur madya dari yang salah. Kesalahan ini pada krama. Karena setiap satu glos dikarenakan ketidakpahaman penutur dituturkan madya lebih dari 2 DP, tentang keteraturan sistem perubahan maka tingkat tutur madya BJLM yang dari kosa kata ngoko menjadi krama. dianggap krama lebih mendominasi. Jadi kosakata ngoko di-krama-krama- kan karena ketidaktahuan kosa kata Tingkat Tutur Krama Desa krama. Proses ini disebut Krama desa adalah ragam krama yang pengkramaan. Contoh BJLM krama bukan semestinya, digunakan oleh deso yang berasal dari ngoko adalah orang- orang desa yang kurang paham sebagai berikut. terhadap kosakata krama. Proses

Tabel 5 Kosa Kata Krama Desa dari Ngoko di Lereng Merapi

Glos Krama desa ngoko Keterangan

takut   

dua puluh dua   

sebelas əə   musim    kemarau senja   

Kata ‘takut’ dalam bahasa Jawa halus seperti miyos ‘keluar’, pados ngoko adalah wedi yang mempunyai ‘mencari’ 'rasaDemikian juga pada padanan krama 'takut' di DP 1, 2 katadanmerupakan Timbulnya kata [ 3,4 bentuk krama ngokoyang dimaksud sebagai padanan wedi dalam dinetralisasikan seperti bentuk krama bentuk krama proses kelambanan dengan mensejajarkan bentuk krama adanya bentuk {-os} yang menyatakan pada bilangan [siji] dan [loro],yaitu 185 əsehingga menjadi kata [dirasa halus dengan [əə mengubahnya menjadi [ Meskipun kata tersebut tidak berterima di BJB.Kata ngoko [] dikramakan 2. Dibentuk dari dasar krama (hiperkrama) menjadi [yang dianggap halus adanya bentuk {–en}. Begitu juga pada

Tabel 6 Kosa Kata Krama Desa dari Krama di Lereng Merapi

Glos Krama desa Krama Keterangan nama    makan   

semua   

dulu   

besok   

Berdasarkan bentuk krama [], itu kata ganti juga disebut pronomina. [na], [benjapada suku ultima Kata ganti dibagi menjadi tiga macam berbunyi vokal terbuka berubah yaitu kata ganti persona, kata ganti menjadi bunyi /i/ yang dirasa lebih penunjuk, dan kata ganti penanya. Kata halus. Pada kata [rumiyIn] disingkat ganti persona atau orang menjadi pokok pembahasan karena memiliki hubungan menjadi [sedangkan erat sebagai penunjuk tingkat tutur. kata berubah  BJLM memiliki variasi penggunaan kata menjadikarena bunyi ultima ganti. Adapun perbedaan penggunaan tertutup dirasa lebih halus. kata ganti ngoko dan krama pada masing-masing DP dapat dilihat pada Kata Ganti tabel berikut. Kata ganti dalam bahasa Jawa disebut sebagai tembung sesulih. Kata ganti adalah bentuk yang digunakan untuk menggantikan nomina lain. Oleh karena

Tabel 7 Kata Ganti Persona Pertama BJLM Ngoko dan Krama DP DP DP DP Glos 1 2 3 4 ngoko krama ngoko krama ngoko krama ngoko krama saya        

186   ə    kami   ə       

   kita         

Berdasarkan tabel data kata ganti leksikal adalah ‘badan’. Jadi, bentuk BJLM ngoko dan krama glos saya adalah [ merupakan sekumpulan kata ganti orang pertama ngoko [aku] orang yang penuturnya terdapat dalam digunakan di semua DP, begitu juga kumpulan tersebut, karena glos ini bentuk krama menunjukkan kata ganti bentuk pertama [ Dalam yang bersifat jamak. Adapun bentuk tingkat tutur, jenis kata ganti ini ikut krama, DP 1 masih mempertahankan berpengaruh dalam pemilihan tuturan. bentuk ngokonya, DP 2 menggunakan Kata ganti persona pertama sering bentuk [yang dikenal dengan disebut aku (ngoko) dalam bahasa Jawa, bentuk krama, DP 3 tidak mengenal bentuk sehingga kata aku sering menunjukkan krama, sedangkan DP 4 menggunakan keakuan seorang penutur. Sedangkan əə kata kulo adalah krama, biasa digunakan Pada glos kita pada DP 1 dan 2 baik dalam ragam madya, krama mensejajarkan atau menyamakan kata maupun krama inggil. Kata kulo sendiri ganti antara kita dan kami. Terbukti dapat juga difungsikan sebagai kata data keduanya adalah sama khusus jawaban kalau diundang. [DP1,DP Glos bentuk pada semua kami ngoko 2. Sedangkan DP 3 menggunakan [ DP menggunakan penyebutan yang sama yang mengadopsi dari bahasa Indonesia yaitu dengan berian [pada yaitu [kita] dan tidak mengenal bentuk DP 2,3,4 dan [DP 1. krama. DP 4 mensejajarkan antara saya Penyebutan dengan kita, karena bentuk keduanya [merupakan sama-sama menggunakan kata [ bentuk penyingkatan dari bentuk Adanya penampahan sufiks –e menunjukkan kepemilikan. Penggunaan awak secara

Tabel 8 Kata Ganti Persona Kedua BJLM Ngoko dan Krama DP DP DP DP Glos ngoko1 krama ngoko 2 krama ngoko3 krama ngoko 4 krama    kamu      əə   

187 kamu         sekali        ə an  

Glos kamu merupakan kata ganti əəbersifat persona bentuk kedua. Kata ganti sejajar dalam bahasa krama, kedua bentuk ngoko yaitu [ sedangkan dalam krama inggil biasanya digunakan di semua DP, perbedaan dirangkaikan dengan kata dalem menjadi fonologi tersebut tidak mempengaruhi sampeyan dalem atau panjenengan dalem tingkat tuturan. Kata ganti ini tidak .Glos kamu sekalian merupakan bentuk mungkin dirangkaikan dengan kosa-kata kata ganti kedua bentuk jamak. Pada yang lebih halus dari ngoko dalam bentuk ngoko DP 1,2,3,4 menggunakan membentuk tuturan. Sedangkan bentuk [dengan krama terjadi perbedaan leksikon yaitu penambahanKata  penggunaan [di DP 1,3,4, menunjukkan 'sekalian'. Demikian juga, DP 2, pada bentuk krama, DP 1,2,3,4 danəə menggunakan bentuk krama yang tepat yaitu  hanyalah bentuk penyingkatan dari [ bentuk əəPenggunaan

Tabel 9 Kata Ganti Persona Ketiga BJLM Ngoko dan Krama D D D D Glos ngokoP krama ngoko P krama ngokoP krama ngoko P krama 1 2 3 4 dia,    belia         u     mereka        

Glos dia, beliau merupakan kata kademen’ (ngoko) dan ‘Niko kasrepen’ ganti persona bentuk ke tiga bersifat (krama) yang artinya ‘Dia kedinginan’. tunggal. Bentuk ngoko pada DP 1 DP 2 dan 3 menggunakan kata ganti menggunakan [[ dalam sesuai dengan BJB. DP 4 menggunakan bahasa baku digunakan sebagai [sebagai kata ganti persona pronomina sebagai penunjuk jarak yang bentuk ketiga jamak. Hal ini menggambarkan posisi penutur jauh mengartikan bahwa DP 4 dengan hal yang ditunjukkan. Berarti DP mensejajarkan [kata ganti 1 mensajajarkan kata ganti kae sebagai persona bentuk kedua dalam bahasa kata ganti penunjuk persona orang Jawa Baku dengan kata ganti persona ketiga dengan kata ganti demonstratif bentuk ketiga tunggal. Adapun bentuk substantif yaitu penunjuk jarak jauh. krama pada masing-masing DP, Contoh dalam kalimat DP 1‘Kae berdasarkan data disesuaikan dengan

188 ngokonya. DP 1 dengan [bentuk dengan menceritakan orang ketiga krama dari kae yang merupakan bentuk dengan kata []. pendek dari meniko. Sedangkan DP 2, 3, Imbuhan dan 4 menggunakan imbuhan –ipun Secara morfologis penanda bentuk pada masing-masing kata ganti persona jenis tingkat tutur BJLM terlihat dalam ketiga yang dilekatinya yang berarti pembentukan kata. Pembentukan kata menunjukkan bentuk persona ketiga yang dimaksud adalah pembentukan tunggal. dengan imbuhan. Dalam bahasa Jawa Kata ganti mereka BJLM di DP 1 standar dikenal imbuhan dan menggunakan [ sebagai kata ngoko  krama. Masing-masing imbuhan ganti persona ketiga jamak dan dalam tersebut mampu menyesuaikan diri bentuk kramanya adalah [ dalam lingkungannya. Dalam BJLM Pada DP 2 mensajajarkan kata genti terdapat imbuhan yang sama dengan persona ketiga jamak dengan tunggal. bahasa Jawa baku atau standar yang Kemudian bentuk krama adanya dapat menentukan ragam tingkat tutur. penambahan menjadi Imbuhan yang menentukan tingkat [DP 3 menggunakan kata tutur di BJLM adalah. ganti bentuk ketiga jamak dengan [adanya penambahan -e dari Awalan {tak-} kata ganti bentuk ketiga tunggal. Adapun Awalan {tak-}merupakan variasi dari bentuk kramanya DP 3 tidak mengenal. {dak-} yang berfungsi membentuk kata DP 4 menggunakan kata ganti persona kerja pasif, menyatakan makna bentuk ketiga jamak dengan [kata perbuatan yang dilakukan oleh orang ini dalam BJB berarti ‘teman’. Dengan pertama tunggal (Wedhawati, dkk, menyebutkan kata [] berarti 2001:87). Contoh data. penutur adalah sebagai pencerita,

1) Pangot kuwi arep taksileh (ngoko) Lading iku ajeng kulo sambut (krama) ‘Pisau itu akan saya pinjam’ (DP 1)

2) Lading kuwi arek takjileh (ngoko) Lading meniko bade kulo ampil (krama) ‘Pisau itu akan saya pinjam’ (DP 2)

3) Lading kuwi ameh taksileh (ngoko) Lading meniko bade kulo sambut (krama) ‘Pisau itu akan saya pinjam’ (DP 3)

4) Pangot kuwi arep taksileh (ngoko) Kulo bade nyambut pangot niku. (krama) ‘Pisau itu akan saya pinjam’ (DP 4)

Awalan {tak-} pada semua DP ngoko lugu atau ngoko andhap. Dalam hanya dipakai dalam ragam ngoko baik bentuk krama digantikan kata kulo. Kulo 189 berdiri sendiri sebagai kata yang kata kerja pasif dalam bahasa Jawa. mengawali suatu kata. Awalan {ko-} dan variasinya digunakan bila pelaku adalah orang kedua baik Awalan {ko-} tunggal atau jamak dengan kedudukan Awalan {ko-} mempunyai variasi {tok-}, fungsi yang sama (Wedhawati, dkk, {kok-}, dan {mbok-} yang membentuk 2001:90). Contoh data.

5) Wit gedang kokpikul. (ngoko) Wit pisang sampeyan beto. (krama) ‘Pohon pisang kau pikul’ (DP 1)

6) Wit gedang tokpikul. (ngoko) Wit gedang njenengan pikul. (krama) ‘Pohon pisang kau pikul’ (DP 2)

Kedua data tersebut menunjukkan Awalan {di-} digunakan apabila pelaku bahwa awalam {tok-} dan {kok} beragam tindakan adalah orang ketiga, baik ngoko, oleh karena itu dipakai dalam tunggal maupun jamak. Awalan ini ragam ngoko. Dalam ragam krama {tok-} memiliki varian bentuk {dipun-} dan dan {kok} digantikan kata sampeyan dan termasuk verba pasif (Wedhawati, njenengan (panjenengan) yang 2001:84). BJLM awalan {di-} sering mengawali suatu kata. digunakan pada ragam ngoko, dan {dipun-} adalah krama. Awalan {di-}

7) Kae diundang nong gon ngantene tonggone. (ngoko) Kiyambake dipunaturi wonten ngantenane tanggane. (krama) ‘Dia diundang ke acara perkawinan tetangga’ (DP 1)

8) De’e diundang neng gon acara nikahane tonggo. (ngoko) Kiyambaipun dipunundang wonten adicoro semahipun (krama) tetanggi. ‘Dia diundang ke acara perkawinan tetangga’. (DP 2)

Akhiran {-(k)ake} beragam ngoko dan krama, dipakai Imbuhan {-ake} mempunyai variasi dalam ragam tutur ngoko dan ragam bentuk. Variasi akhiran ini ditemukan tutur krama. Dua yang terakhir adalah bentuk {-ake, -ken, -ke, -aken}. Dua madya. Namun, bentuk madya dalam bentuk pertama masing-masing BJLM dianggap bentuk krama.

9) Aku arep ngedekake omah anyar (ngoko) Kulo ajeng njumenengaken griyo enggal (krama) ‘Kami akan mendirikan rumah baru’ (DP 1)

10) Kito nuroke ana iki mergo loro. (ngoko)

190 Kito kedah nilemaken lare meniko amargi gerah. (krama) ‘Kami harus menidurkan anak ini karena sakit’ (DP 2)

11) Awakke dewe arep ngedekke omah anyar. (ngoko) Kulo bade ngedekaken griyo ingkang enggal. (krama) ‘Kami akan mendirikan rumah baru’ (DP 4)

Berdasarkan data, fonem akhir Akhiran {-e} mempunyai alomorf, bentuk dasar yang diikuti ada dua tergantung pada fonem akhir bentuk macam, masing-masing dapat berbentuk dasar yang dilekatinya, atau pada tingkat ngoko dan krama. Apabila fonem akhir tutur yang digunakan. Variasi itu adalah bentuk dasar tertutup konsonan dipakai {-e}, {-ne}, {-ipun}, {-nipun}. {-e} dan {- {-ake}, {-ke} dan {-aken}. ne} sama-sama dalam bentuk ngoko. {- ipun} dan {- nipun} merupakan bentuk Akhiran {-e} krama.

12) Piye carane nggawe jangan lodeh? (ngoko) Piye caranipun damel jangan lodeh? (krama) ‘Bagaimana cara membuat sayur lodeh?’ (DP 1)

13) Pitike meh ngendok. (ngoko) Ayamipun pun ajeng nigan. (krama) ‘Ayamnya hampir bertelur’ (DP 1)

14) Sikile gringgingen (ngoko) Sukunipun gringgingen (krama) ‘Kakinya kesemutan’ (DP 2)

Berdasarkan data akhiran ngoko {- Pada bentuk krama, juga dapat e}, dapat ditentukan penggunaan ditentukan penggunaan alomorf {-e} alomorfnya yaitu jika fonem akhir yaitu jika fonem kata dasar yang diikuti bentuk dasar adalah konsonan maka adalah konsonan maka menggunakan diikuti akhiran {-e} dan diikuti imbuhan imbuhan {-ipun} (data 11), dan jika kata {-ne} jika fonem akhir kata dasarnya dasar yang diikuti adalah vokel makan vokal. Akhiran {-e} mempunyai makna menggunakan imbuhan {-nipun} (data ‘milik orang ketiga’ seperti dalam data 12). Berdasarkan macam imbuhan BJLM (11). Makna yang lain dapat dibuat tabel bentuk imbuhan yang menyatakan‘makna tertentu’ yaitu pada mempengaruhi tingkat tutur BJLM. data (10).

191 Tabel 10 Imbuhan Ngoko dan Krama BJLM

Variasi imbuhan Imbuhan Keterangan ngoko krama

Dalam bahasa krama berubah awalan {dak-} {tak-} - menjadi kulo

Dalam bahasa krama berubah awalan {ko-} {tok-}, {kok-}, - menjadi sampeyan, njenengan, panjenengan

awalan {di-} {di-} {dipun-}

akhiran {-(k)ake} {ake}, {-ke} {-ken}, {-aken}

akhiran {-e} {-e}, {-ne}, {-ipun}, {-nipun}.

SIMPULAN dalam kepegawaian atau keturunan Pamakaian tingkat tutur BJLM dapat bangsawan atau orang yang ditentukan dari ragam kosa kata yang berpangkat. Mereka bermata digunakan baik ngoko ataupun krama. pencaharian sebagai petani dan Pemakaian kosa kata tingkat tutur peternak, krama di Lereng Merapi yang krama BJLM menggunakan bentuk berkembang pun adalah tingkat madya ngoko, madya, krama, dan krama desa dan krama desa. yang terjadi netralisasi, sehingga pemakaian tingkat tutur tidak DAFTAR PUSTAKA beraturan jika dibandingkan dengan Ayatrohaedi 1979. Dialektologi: Sebuah BJB. Namun, bagi penutur BJLM bentuk Pengantar. Jakarta: Pusat madya dan krama desa menjadi krama Pembinaan dan Pengembangan substandardi desa yang sudah dapat Bahasa, Departemen Pendidikan digunakan sebagai penunjukkan kata dan Kebudayaan. santun atau penghormatan terhadap Dwiharjo, Maryono. 1990. “Tingkat tutur lawan tutur. Penentu tingkat tutur krama dalam bahasa Jawa sebagai Bentuk juga dapat dilihat dari kata ganti persona Sopan dan Santun Berbahasa.” yang digunakan oleh penutur, selain itu Makalah Sarasehan 31 Januari dapat dilihat dari imbuhan yang 1990. Surakarta: Lembaga digunakan dengan proses morfologis.Hal Javanologi. yang mempengarui penggunaan tingkat ------. 1997. Bentuk Krama dalam tutur BJLM di Lereng Merapi, selain Bahasa Jawa. Makalah Kongres faktor geografis, penutur merupakan Laksono, Kisyani & Savitri, Agusniar orang desa yang menganggap status Dian. 2009. Dialektologi. Surabaya: sosialnya tidak tinggi karena mereka Unesa University Press. bukan bangsawan, berpangkat tinggi Linguistik Nasional di Surabaya oleh

192 MLI. Poedjosoedarmo, Soepomo. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. ------. 1984. Pengantar Sosiolinguistik. (Naskah). ------, dan Ambar Pujiyatno. 2005. Variasi Dialek Bahasa Jawa Di Kabupaten Kebumen (Kajian Sosiodialektologi). Jurnal Leksika Vol. 2, No.1, Perbruari 2008: 15—25 Ramlan, M. 1987. Ilmu Bahasa Indonesia Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: CV. Kartono. Samsuri. 1982. Analisa Bahasa. Jakarta: Erlangga. Sudaryanto. 1989. Pemanfaatan Potensi Bahasa. Yogyakarta: Kanisius. ------. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. ------. 2001. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana Press. Wedhawati, dkk. 2001. Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas.

193 194 FENOMENA PENGGUNAAN BAHASA TULIS DI DUNIA MAYA (The Phenomenon of Written Language Use in Internet)

Dede Hasanudin

Abstract

Dalam penelitian ini, penulis bertujuan untuk membuktikan bahwa dengan penyingkatan kata, komunikasi tertulis dapat tetap berjalan secara baik. Ada 3 hal yang dapat penulis klasifikasikan, yaitu (1) komunikasi tulis dengan media telepon genggam (pesan singkat) dan (2) komunikasi tulis dalam jejaring sosial (facebook), dan (3) komunikasi tulis dalam chatting di MIG 33. Komunikasi tulis dengan pesan singkat, dapat penulis klasifikasikan lagi menjadi (1) pesan singkat yang menggunakan penyingkatan kata, (2) gabungan antara penggunakan huruf, singkatan kata, dan angka. Kedua-duanya penulis uraikan dalam konsep kewacanaan untuk mencari rangkaian komunikasi yang utuh dari awal sampai akhir. Komunikasi tulis dalam pesan singkat, dalam jejaring sosial (facebook), maupun dalam Chatting sebenarnya memiliki pola yang hampir sama, yaitu menyingkat kata, menggunakan variasi angka dengan huruf, mengunakan tanda-tanda baca yang tidak perlu dalam rangkaian kalimat, menulis huruf besar dan huruf kecil dalam satu kalimat.

Kata-Kata Kunci: bahasa tulis, dunia maya.

Abstract

In this study, the writer aims to proove that by abbreviating words, written communication can still run well. There are three items that the writer is able to classify, namely (1) written communication in cellular phone (short messages), (3) written communication in sosial network (Facebook), and (3) written communication in Chatting in MIG 33. Written communication in short messages can be subclassified into (1) short messages using abbreviated words and (2) combination of letters, abbreviated words, and number. Both are explained in the concept of discourse untuk find a whole communication sequence from beginning to end. Written communication in short messages, social network (Facebook), or Chatting actually almost have the same patterns, namely abbreviating words, using variation fo numbers and letters, using unnecessary punctuation marks in series of sentences, writing upper and lower cases in a sentence.

Keywords: written language, internet

195 PENDAHULUAN cermat, dan terkesan serampangan, Bahasa memiliki peran penting bagi khususnya dalam dunia maya. kehidupan manusia. Dalam Perkembangan teknologi begitu pemakaiannya bahasa Indonesia sangat cepat dan dahsyat, manusia mencari beragam, keragaman tersebut dapat bagaimana cara berkomunikasi yang disebabkan oleh berbagai faktor cepat, murah dan praktis. Hanya dalam tergantung kebutuhan dan tujuan orang hitungan detik, mereka dapat terhubung berkomunikasi. Lazimnya orang ke seluruh penjuru dunia tanpa batas berkomunikasi secara lisan dan ruang dan waktu.Inilah yang dinamakan tertulis.Dalam berbahasa lisan kita dunia maya. Fasilitas yang memanjakan langsung bisa berhadapan dengan lawan manusia untuk beranjang sana bicara kita, atau melalui berbagai media kapanpun, dimanapun dan siapapun seperti telepon, telepon genggam, asalkan memiliki media yang ataupun tele conference.Dalam dibutuhkan agar terkoneksi ke berbagai berbahasa lisan, kita bisa berbahasa penjuru dunia tersebut. Setidaknya ada dengan mentaati kaidah bahasa yang beberapa cara yang dapat dilakukan berlaku, ataupun bisa menggunakan manusia untuk berkomunikasi secara berbagai ragam bahasa tergantung tulis dalam dunia maya. Misalnya kebutuhan dan dengan siapa kita dengan menggunakan surat elektronik, berbicara serta dalam situasi dan kondisi jejaring sosial seperti facebook, twitter, yang bagaimana. Demikian pula halnya frends tetter, dan banyak jejaring sosial dalam berbahasa tulis, kita bisa yang bermunculan akhir-akhir ini seiring menggunakan bahasa Indonesia yang dengan kebutuhan manusia. Jauh baik dan benar, ataupun menggunakan sebelum itu, manusia juga sudah terlebih ragam bahasa sesuai dengan kebutuhan dahulu berkomunikasi tertulis lewat masing-masing. Intinya baik telepon genggam, dengan menggunakan berkomunikasi lisan maupun tertulis short message service (pesan singkat). harus terjadi kesepahaman antara Komunikasi tertulis dalam dunia pembicara dengan lawan bicara, dan masa sangat berbeda dengan antara penulis dengan pembaca agar komunikasi yang biasa kita lakukan komunikasi dapat terjalin secara baik. selama ini. Dalam dunia maya manusia Sebenarnya penggunaan bahasa mencari kepraktisan dalam tulis harus lebih cermat dan teliti, agar menggunakan kalimat, hal ini pembaca dapat memahami rangkaian disebabkan karena keterbatasan ruang, kalimat secara runtut dari awal sampai dan keterbatasan karakter kata.Sehingga akhir. Hal ini disebabkan karena pihak sering sekali bermunculan penyingkatan yang diajak berkomunikasi tidak kata. berhadap-hadapan secara langsung Kebiasaan seperti di atas, ternyata Untuk menjamin keefektifan menjamur ke berbagai lapisan penyampaian pesan, fungsi-fungsi masyarakat, walaupun pertama diawali gramatikal seperti subjek, predikat, dan oleh kalangan remaja yang sering kita objek , dan hubungan diantara fungsi itu dengar dengan isitilah ABG (Anak Baru harus lengkap dan nyata agar tidak Gede) serta anak muda yang selalu terjadi salah interpretasi. Namun tampil progresif, inovatif, dan berbeda berdasarkan kenyataan sekarang dengan kalangan lainnya. Tidak jarang dengan majunya perkembangan ilmu kita temukan penyingkatan kata seperti pengetahuan dan teknologi, bahasa gw, mo, blg, thq, skrg otw, , bkp, ke tulisan tidaklah digunakan lagi secara rmh y.se7. yang disusun menjadi sebuah 196 kalimat. (gue mau bilang terima kasih, bahasa itu, dapat dijadikan sebagai alat sekarang on the way sama bapak ke komunikasi, maka harus memenuhi rumah you, setuju. Atau seperti “y, t’rah standar kewacanaan. De Beunggrande km pi g mslh k” (yah terserah kamu, dan Dressler mengemukakan tujuh tetapi tidak ada masalah kan). standar kewacanaan yaitu: 1) Fenomena seperti di atas, dapat kita keterpaduan, 2) keruntutan, 3) jumpai dalam komunikasi tertulis lewat keintensionalan, 4) keberterimaan, 5) pesan singkat dan facebook.Persoalan keinformatifan, 6) kesituasionalan, 7) yang muncul adalah apakah komunikasi keintertektualitasan. Keterpaduan ini dapat berjalan dengan baik, apakah adalah ketergantungan antara unsur- masing-masing pihak dapat memahami unsur yang membentuk wacana. Unsur- pesan-pesan yang disampaikan, sehinga unsur bahasa baik kata maupun kalimat tidak terjadi salah interpretasi.Hal inilah yang dibaca maupun atau didengar yang menjadi fokus pembahasan saling tergantung dan membentuk penulis, untuk membuktikan bahwa rangkaian. Dressler (1981:3) dengan penyingkatan kata seperti di menyatakan bahwa saling tergantung itu atas, komunikasi tertulis dapat tetap menyebabkan pembaca atau pendengar berjalan secara baik. Ada 2 hal yang akan dapat menginterpretasikan rangkaian penulis uraiakan dalam pembahasan ini, itu tanpa mengalami kesulitan. yaitu (1) komunikasi tulis dengan media Keruntutan adalah konfigurasi telepon genggam (pesan singkat) dan (2) konsep dan relasi di balik teks secara komunikasi tulis dalam jejaring sosial lahiriah. Relasi konsep itu mengangkat (facebook), dan (3) komunikasi tulis hubungan sebab akibat, waktu, dalam chatting di MIG 33. Komunikasi perbuatan, lokusi, pelaku, objek tulis dengan pesan singkat, penulis perbuatan, tujuan dan pengetahuan uraikan lagi menjadi (1) pesan singkat tentang dunia. Konsep adalah yang menggunakan penyingkatan kata, konfigurasi pengetahuan, yang terbagi (2) gabungan antara penggunakan dalam konsep utama, dan konsep huruf, singkatan kata, dan angka.Kedua- sekunder. Konsep utama mencakup duanya penulis uraikan dalam konsep objek, situasi, kejadian dan tindakan. kewacanaan untuk mencari rangkaian Sementara yang termasuk dalam konsep komunikasi yang utuh dari awal sampai sekunder adalah keadaan, pelaku, sikap, akhir. hubungan, atribut, lokasi, bentuk, bagian, sebab, alasan, maksud dan lain TEORI sebagainya. Dalam menganalisis wacana, penulis Keintensionalan berkaitan dengan menggunakan tiga teori, yaitu teori sikap penulis atau pembaca. Sikap standar kewacanaan oleh de penulis atau pembaca ini memanfaatkan Beunggrande dan Dressler, teori keterpaduan dan keruntutan untuk kerjasama Grice, dan teori Dell hyme’s memperoduksi wacana. Dalam wacana yang terkenal dengan taksonomi percakapan, misalnya yang dapat komunikasi. ditangkap oleh pendengar atau pembaca Dalam berkomunikasi secara adalah keruntutan informasinya, dan tertulis, variasi bahasa sering digunakan bahan keterkaitan unsur-unsur oleh pengguna bahasa, baik yang standar bahasanya. Dengan keruntutan dan maupun yang tidak standar. Biasanya keterpaduan itu, penulis atau pembicara kita temukan dalam bentuk berita, dapat mengemukakan tujuan. pengumuman atau iklan. Agar variasi Keberterimaan berkaitan dengan sikap 197 pembaca atau pendengar dalam relevan dengan wacana adalah teori memahami wacana. Pembaca atau kerjasama. Konsep sentral pragmatik pendengar memanfaatkan keterpaduan Grice adalah makna penutur (speaking dan keruntutan dalam rangka meaning) dan prinsip kerjasama memahami maksud pembicara atau (cooperative principle). penulis. Seperangkat peristiwa atau Makna penutur tidak hanya kejadian akan membentuk keterpaduan menyangkut perbedaan antara dua jenis dan keruntutan hanya apabila peristiwa makna yaitu antara makna semantik dan atau kejadian itu relevan dengan makna pragmatik, akan juga makna yang pembaca atau pendengar. Pemerolehan bersumber pada maksud penyapa pengetahuan akan kejadian atau (penutur) dalam berkomunikasi. peristiwa dilandasi oleh kerjasama Selanjutnya Grice memisahkan antara antara pembicara/penulis dan makna nonnatural dan makna natural. pendengar/pembaca. Hanya dengan Makna nonnatural ditafsirkan sebagai cara demikian tujuan atau maksud makna yang sepadan dengan maksud pembicara/penulis dapat dicapai. komunikasi. Sementara makna natural Keinformatifan berkaitan dengan adalah makna yang dikandung oleh apakah sebuah wacana (teks) satuan lingual misalnya kata, frasa, atau diharapkan atau tidak diharapkan, kalimat. apakah diketahui atau tidak diketahui, Grice (1975) mengungkapkan kejadian-kejadian atau peristiwa yang bahwa di dalam prinsip kerjasama, disajikan dalam teks itu diharapkan atau seorang pembicara atau penulis harus tidak diharapkan, diketahui atau tidak memenuhi empat maksim. Maksim diketahui oleh pembaca/pendengar. adalah prinsip yang harus ditaati oleh Kesituasionalan suatu teks ditunjukkan peserta pertuturan dalam berinteraksi oleh relevansi suatu teks terhadap baik secara tekstual maupun situasi atau kejadian kejadian. Tentu saja interpersonal dalam upaya melancarkan sebagaimana aspek standar kewacanaan proses komunikasi. Prinsip prinsip yang lain, kesituasionalan dikaitkan kerjasama yang dimaksud adalah 1) dengan kejadian yang dinyatakan maksim kuantitas, 2) maksim kualitas, 3) dengan keterpaduan dan keruntutannya. maksim relevansi dan 4) maksim Teks itu memiliki keinformatifan yang pelaksanaan. tinggi (Dessler, 1981:163). Dalam hal taksonimi Hymes(1972) Keintertekstualan dimaksudkan mengajukan suatu metode untuk bahwa urutan ujaran dihubungkan oleh menentukan peristiwa komunikasi. bentuk atau makna ke rangkaian ujaran Komponen-komponen komunikasi yang lain, biasanya ujaran yang disingkat menjadi Speaking. Analisis mendahului dan mengikutinya. komunikasi dapat dilakukan dengan Sebenarnya keintertekstualan lebih menerapkan konsep-konsep unit-unit menitikberatkan pada suatu standar komunikasi, yaitu : S: setting: waktu, wacana yang mengacu pada wacana tempat dan kondisi fisik yang lain. Scene: buku, terutama buku teks. imbangan psikologis pada setting. Grice (1957) yang kita kenal dengan (catatan setting dapat diganti, misalnya pengenalan pendekatan pragmatik. dari formal ke tidakformalan). P: Konsep pendekatan pragmatik yang Participants : penutur atau pengirim, E: diperkenalkan meliputi tiga hal, yaitu Ends: maksud dan tujuan. A: Act makna, konteks dan komunikasi. Salah sequences : bentuk dan isi pesan. K: satu jenis pendekatan pragmatik yang Keys: nada percakapan, serius atau 198 santai. I: instrumentalities: saluruan, memang penuh dengan singkatan mulai tulisan,telegrqaf, dialek, bahasa baku. N: dan kamu di singkat jadi u, pakai lama norma interaksi, norma intepretasi, dan dengan gpl dan sebagainya (seperti G : genre: cerita atau iklan, dsb. singkatan bahasa gaul). Tujuan adalah untuk mempercepat penulisan dan HASIL DAN PEMBAHASAN menghemat karakter karena Menulis adalah suatu kegiatan untuk ketersediaan ruang. Dengan kondisi di menciptakan suatu komunikasi antara atas diharapkan pesan bisa cepat dua belah pihak dengan menggunakan sampai. Namun, terkadang singkatan- aksara.Aksara ini harus memiliki makna singkatan itu membuat orang susah agar dapat dipahami oleh kedua belah untuk membaca dan memahaminnya. pihak.Kegiatan menulis berkembang Dikhawatirkan orang bisa menjadi salah sangat pesat sesuai dengan paham. perkembangan zaman.Laju Bahasa tulis dalam pesan singkat perkembangan teknologi informasi juga yang digunakan di kalangan remaja turut mempengaruhi perkembangan sangat berbeda, tidak mengikuti kaidah kegiatan menulis. Hal tersebut dapt yang baku, yaitu berbahasa tulis secara dilihat lewat berbagai sarana, contohnya baik dan benar. Salah satu syarat bahasa melalui media internet (email, blog, yang baik benar adalah pemakaian website, chat, dan lain-lain) bahasa yang mengikuti kaidah yang Salah satu aspek menulis yang dibakukan atau dianggap bakudalam memanfaatkan laju perkembangan pemanfaatan ragam yang tepat dan teknologi informasi adalah dengan sms serasi menurut golongan penutur dan (short message services). Bentuk sms saat jenis pemakaian bahasa. Bahasa remaja ini semakin beragam, yakni meliputi cenderung memilih ragam santai percampuran bahasa (antara bahasa sehingga tidak terlalu baku (kaku). Indonesia dengan bahasa daerah & Ketidakbakuan tersebut tercermin antara bahasa Indonesia dengan bahasa dalam kosa kata, struktur kalimat dan asing), penyingkatan dalam penulisan, intonasi. Pola semacam ini merupakan penggunaan angka sebagai pengganti bahasa tulis sehari-hari yang kita jumpai huruf, serta penggunaan tanda baca yang dalam pesan singkat, baik di Jakarta tidak semestinya. Akibatnya, pemakaian maupun di berbagai penjuru Indonesia. kosakata bahasa asing, penciptaan istilah Bahkan tak jarang kaum orang tua pun baru secara semena, perluasan makna melakukan hal yang sama. kosakata, dan sebagainya tidak dapat dihindari. Bahasa Tulis dalam Pesan Singkat Pengunaan bahasa tulisan dalam Sesuai dengan apa yang penulis telpon genggam atau handphone, kemukakan di bagian pendahuluan, lebihdikenal dengan istilah short berikut akan penulis kemukakan message service (sms), merupakan beberapa contoh bahasa tulis dalam terobosan baru untuk menyampaikan pesan singkat berupa penyingkatan kata. pesan, informasi secara ringkas dan cepat. Pengunaan bahasa secara tertulis Dwi :Nis, ad d rmh ga ? dalam short message service (sms) Anis: ad, mang na pa ? umumnya pendek-pendek, dan Dwi : we k rmh km y …. terputus-putus. Anis: ok, tmbn km mo k rmh gw, ad pa ? Bahasa sms atau yang sudah kita Dwi : we ad prlu, nnti we crtain y …. Anis: oh gtu , ok we tngu d rmh. istilahkan dengan pesan singkat, 199 Percakapan di atas adalah wacana Mus : ka ‘ ot6 pnh cr!t lox k4’ un4 tu yang memiliki rangkaian kalimat yang 16h tua, tp pnd!em lox ka’ot6 dx nanya utuh seperti di bawah ini. dul 9!2, cu5n tu che y9 muz tau, iy che k4t Dwi :Nis, ada di rumah engga ? n4 krudun9an n4 1o5 prnh l!at oxxx Anis: ada, emang kenapa ? Indah : sblm’y mus pmh tlp gag.. .mus Dwi : guwe ke rumah kamu …. gi pain? Anis: oke, tumben kamu mau ke rumah Mus : 60r0” tlfn ka’. ..nO n4j4 dx puny.. gue ada apa ? .19 ntn tv, 6ru ptz ne...5ch jom6lo. Dwi : guwe ada perlu, nanti guwe ..hehehe ceritain ya Indah: ouh, br ptz y..kok bs?...iy tuh kk Anis: oh begitu, oke guwe tunggu di km gi nyblin bgt. .gmna kluarga rumah. dkmpng? Mus : ka’ot6 sr!n9 cr!t n4 tt9 un4...5rh!n j4 ka’...lOm 9! Ntn tv Perhatikan juga pesan singkat di n!...alhm...she4, oh bawah ini : n4 95n ka’ t9z n4 dh slsa !Lom? Indah: gagjd nganalisis bhs jawa abs ka Sry bgt k ddt jd bgn, bsk krj y ka, smngt indh gag ngerti...kpn ptz’y? ka spya nk jbtn. Amn qu sht ka, kk Mus : sm!99u y9 lalu. . .ny6l!n 69tz dh. gmn ?u pst kk dh tdr y, sry y, udh dh Indah: ya udh Mo gthu mngkin mang swt drm ja. mus m dy blmjdh sbr y...

Pesan di atas, adalah wacana yang Percakapan di atas, adalah berupa memiliki rangkaian kalimat yang utuh pesan singkat yang memiliki wacana sebagai berikut. utuh sebagai berikut.

Sory banget Ka Didat jadi bangun.Besok Mus : oh, emangnya sekarang di bogor kerja ya kak, semangat Ka supaya naik apa gimana? Yang mus tau perasaannya jabatan.Amin. Aku sehat aja Kak, Kakak ke bagaimana ? Uh pasti Kakak sudah kak indah ..kak otib tidak bermaksud tidur ya, sory ya, sudah deh sweat gitu kok. Mus tahu dia itu sayang dream saja. banget sama kak indah… Selanjutnya akan penulis Indah: sekarang kak indah ada dirumah kemukakan pesan singkat dengan tadi kak otib membahas soal bogor jadi menggunakan variasi huruf, singkatan kak dan angka. indah agak kesal saja. .mus kenal sama orangnya nggak? Mus : Oo..3mX n4 Ka’imnd4h cXrnX d Mus : enggak kenal. . .gimana orangnya 690R p4 95n??..n4 MyuZ tau pRasa4n kayak apa mau minta fotonya tapi yang n4 dikirimin fotonya kak indah. ka’ind4h…… ka’ ot6 9x 6’mksd 9!2 kox Indah: ouh , tidak kenal ya. . .dulu kak mus tau dy syn9 69tz 5 ka’ind4h otib pernah cerita nggak tentang una?? Indah: skrg ka indah da drmli td ka otb Mus : kak otib pernah cerita kalau kak ngbhs soal bgor jd ka indh agk ksl j..mus una itu lebih tua tapi pendiem kalau knl kak otib sm orng’y gag? enggak nanya dia nggak bakal nanya Mus : dx knl. . .95n or9 n4, kyx 4p,5u duluan gitu. . .Cuma itu yang mus tahu, mint fot n4 tp y9 d krm fot n4 ka’ind4h iya sih yang mus tahu katanya Indah : ouh, gag knl y. . .dl ka otb prnh kerudungan, mus aja belum pernah cnita gag tntng una?? lihat 200 orangnya. Mus : seminggu yang lalu nyebelin Indah : sebelumnya mus pemah telpon banget kak... nggak. . .mus lagi apa? Indah: ya sudah kalau gitu mungkin Mus : boro-boro telpon kak. . memang mus sama dia belumjodoh .nomernya saja tidak punya. . .lagi sabar ya... nonton tv nih... . baru putus masih jomblo hehehe. Percakapan dalam Jejaring Sosial Indah: ouh, baru putus ya. Kok bisa?. (Facebook) ..iya tuh kak kamu lagi nyebelin banget. Penggunaan bahasa tulisan dalam gimana keluarga di kampong ? bahasa facebook yang ada pada status Mus : kak otib sering ya cerita tentang umumnya pendek-pendek, terputus- una. . . marahin saja kak belum lagi nonton tv putus, berupa penyingkatan- nih.. alhamdulillah sehat. Oh, ya gimana penyingkatan, pencampuran bahasa, kak tugasnya sudah selesai belum? menggunakan tanda baca, angka, dan Indah: tidak jadi nganalisis bahasa menghilangkan fungsi-fungsi kalimat( jawa abis kak indah nggak ngerti. . dilenyapkan) , khususnya di kalangan .kapan remaja yang lebih sering menggunakan putusnya? bahasa tulis dalam status di facebook. Berikut lampirannya:

201 202 Percakapan di atas, memiliki wacana Jupe itu Tiwi Gecan : utuh seperti di bawah ini : Okelah kalau begitu. . . senin saya coba.. Izha Like Orange : Jupe itu Tiwi Gecan : Selamat berjuang ya, semoga sukses! Lagi pusing, belum dapat surat izin …. Jupe itu Tiwi Gecan : Izha Like Orange : Terima kasih yah … Surat apa sih ? Izha Like Orange : Jupe itu Tiwi Gecan : Baiklah kalau begitu,, hehehe. Surat untuk PPL …. Izha Like Orange : Percakapan (chatting) di MIG 33 Lah memangnay harus sudah buat ya ? Situs ini sudah sangat terkenal di Jupe itu Tiwi Gecan : kalangan anak muda.Walaupun pada Iya… karena sekolah yang saya ingin kenyataannya orang tua suka tempati minta surat dari kampus. -. .tapi memanfaatkan situs ini. Biasanya sepertinya lama, ngomong-ngomong di mereka menggunakan Yahoo sekolah kamu memangnya tidak minta? Messengger atau YM, karena situs ini Izha Like Orange : merupakan situs yang bisa Minta sih,,, tapi santai saja lah. Saya sudah kenal sama guru-gurunya. menggunakan web cam dan headset oleh Jupe itu Tiwi Gecan : para penggunaanya. Berikut adalah Waahh. ..asik itu, kalau saya takutnya percakapan Dini dan salah satu ada anak kampus lain yang ingin PPL temannya yang bernama Ken. disitu juga... Izha Like Orange : rifky_thea : Askum kasian sekali kamu,, niepuspitasari : ws.. ya sudah minta permohonan dari rifky_thea: Lam ken,ku ken , nak mana kampus biar didulukan khusus niepuspitasari: nak tng...u nak mn? kelompok kamu! rifky_thea: Tng.mana? Ku krwg niepuspitasari: pakem..ouhh krwng. rifky_thea: Pakem kaya rem aja

203 niepuspitasari: pasar kemis rifky_thea: Lam kenal,aku ken anak mksudnya... mana rifky_thea: Owh.tanggerang ya niepuspitasari: anak Tangerang … niepuspitasari: y... kamu anak mana? rifky_thea: Kojauh ngajarnya di jaktim rifky_thea: Tangerang mana? Aku anak niepuspitasari: kan kuliahnya di psr Kerawang rebo... niepuspitasari: Pasar Kemis, .ouhh niepuspitasari : dpt skulnya djaktim Kerawang . rifky_thea: Owh.pasar rebo cililitan gt rifky_thea: Pakem kaya rem aja rifky_thea: Owh.msh honor ya niepuspitasari: Pasar Kemis niepuspitasari: blm krja...msh kul.bsok mksudnya... tuh PPL. rifky_thea: Owh.Tanggerang ya rifky_thea: Owh.kirain kul bil gw niepuspitasari: ya….. niepuspitasari: mo’y c githu...tp repot. rifky_thea: Kok jauh ngajarnya di Jaktim rifky_thea: Owh.takut ga ke uber niepuspitasari: kan kuliahnya di Pasar waktunya ya Rebo ... niepuspitasari: y... niepuspitasari : dpt sekolahnys di niepuspitasari: cz kacian bokap n Jaktim kk...scra mreka yg ngebiayain. rifky_thea: Owh.Pasar Rebo Cililitan rifky_ythea: Mgja tercapai apa yg gitu dicita2 in rifky_thea: Owh.masih honor ya niepuspitasari: amien... niepuspitasari: blm kerja...masih kuliah rifky_thea: Km kos pa blk tiap hr? besok tuh PPL. niepuspitasari: tnggal di rhm sdr... rifky_thea: Owh.kirain kuliah sambil rifky_thea: Pp tiap hr donk gawe niepuspitasari: gag...hm sdr da yg dkt niepuspitasari: maunya sih gitu tapi kmpus.jd tinggal dstu... repot. rifky_thea: Owh.add ya biar bnyk fiend rifky_thea: Owh.takut engga ke uber rifky_thea: Terima addnya ya waktunya ya niepuspitasari: y...tuajg y.hehehe... niepuspitasari: ya... rifky_thea: Ciapa din niepuspitasari: karena kasihan bapak dan kakak secara mereka yg niepuspitasari: drum ngebiayain. rifky_thea : Owh. Blum tua lah 23 mah rifky_ythea: semoga saja tercapai apa niepuspitasari: ih.tua bg dni... yang dicita-citain rifky_thea: Cm bd 2 thn ma km niepuspitasari: amien... niepuspitasari: tau j... rifky_thea: Kamu kos apa balik tiap rifky_thea : Ya tau lah . hari? niepuspitasari : ouh...dpkir. niepuspitasari: tinggal di rumah rifky_thea: Ga juja.ku kan sehati jd tau saudara ... lah rifky_thea: Pulang pergi tiap hari dong niepuspitasari: cpk dh... niepuspitasari: enggak rumah saudara rifky_thea: Ku lep dulu ya gy tanggung ada yang dekat kampusjadi tinggal gw disitu... niepuspitasari : y. .slhkan. rifky_thea: Owh.aku tambah ya biar rifky_thea : Makasi banyak friend rifky_thea: Terima tambahan temen ku Percakapan di atas memiliki wacana niepuspitasari: y...tua juga ya.hehehe... utuh sebagai berikut. rifky_thea: siap din

rifky_thea : Assslamualaikum niepuspitasari: dirimu niepuspitasari : waalaikumsalam rifky_thea : Owh. Belum tua lah 23 mah 204 niepuspitasari: ih.tua banget bagi dini... penelitian. Banyak manfaat yang akan rifky_thea: Cuma beda 2 tahun sama kita peroleh, yaitu dapat mengetahui kamu berbagai variasi bahasa, agar kita niepuspitasari: tau aja... menjadi tahu bahwa bahasa seperti yang rifky_thea : Ya tau lah . telah penulis uraikan di atas niepuspitasari : ouh...dipikir. dipergunakan dalam komunikasi tulis rifky_thea: Ga juga aku kan sehati jadi tau lah sehari-hari oleh masyarakat di surat niepuspitasari: capek deh... elektronik, facebook, Chatting. rifky_thea: aku lep dulu ya lagi Harapan penulis, apa yang telah tanggung gawe diuraikan di atas dapat dijadikan niepuspitasari : y. .silahkan. perenungan bahwa bahasa komunikasi rifky_thea : terima kasih. tulis sudah berkembang pesat sesuai dengan kreativitas dan kemampuan SIMPULAN seseorang untuk menciptakan hal-hal Komunikasi tulis dalam pesan singkat, yang baru. dalam jejaring sosial (facebook), maupun dalam Chatting. Sebenarnya hampir DAFTAR PUSTAKA memiliki pola yang sama, yaitu Badudu, J.S. 1989. Inilah Bahasa menyingkat kata, menggunakan variasi Indonesia yang Benar.Jakarta: PT. angka dengan huruf, mengunakan tanda- Gramedia. tanda baca yang tidak perlu dalam Chaer, Abdul. . 2004. Sosiolinguistik: rangkaian kalimat, menulis huruf besar Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka dan huruf kecil dalam satu kalimat. Cipta. Komunikasi tulis dalam pesan Chaer, Abdul. dan Leonie Agustina. 2004. sngkat, dalam jejaring sosial (facebook), Sosiolinguistik.Jakarta : Rineka Cipta. maupun dalam Catting, dapat berjalan de Beaugrande, Robert and Wolfgang baik dan lancar apabila kedua belah Dressler. 1986. Introduction to Text pihak saling memahami simbol-simbol Linguistics. ataupun tanda-tanda baca yang London : Longman. dipergunakan.Walaupun berbagai Heym’s, A. 1984. To Word Ethnographies bentuk yang dituliskan, namun kedua of Comunication:Harnunds Woroth, belah pihak dapat berkomunikasi tulis Pnyslin. dengan baik.Ini berarti bahwa pola-pola Moeliono, Anton. 1988. Tata Bahasa yang dipergunakan sudah merupakan Baku Indonesia. Departemen kesepakan bersama antara para Pendidikan dan pengguna. Kebudayaan: Perum Balai Pustaka. Dengan melihat percakapan sebagai ------, 1991.Santun Bahasa.Jakarta: PT. sebuah kesatuan yang utuh, kita dapat Gramedia Pustaka Utama. menyimpulkan bahwa ketiga model Lubis, A Hamid. 1993. Analisis Wacana percakapan dalam bahasa tulis yang Pragmatik. Bandung: Angkasa. telah dibahas di atas, memenuhi kriteria Wardhaugh, Ronald. 1989. An sebagai sebuah wacana.Hal ini dapat Introduction to Sociolinguitics. dibuktikan dengan adanya komunikasi Oxford: Basil yang tetap berjalan walaupun Blackwell. mengggunakan pola-pola yang http://idshvoong.com./internet-end- bermacam-macam. technologies/websites/1918499- Pembahasan ini sangat menarik pengertian facebook/. untuk dikaji lebih jauh menjadi sebuah

205 206 KEARIFAN LOKAL DALAM BAHASA DAN BUDAYA JAWA ORANG SAMIN DI KABUPATEN BLORA: KAJIAN ETNOLINGUISTIK (Local Wisdom in Javanese Language and Culture of Samin People in the Regency of Blora: A Linguistic Study)

W. Hendrosaputro dan Wakit Abdullah

Universitas Sebelas Maret Surakarta Jalan Ir. Sutami No. 36-A, Surakarta Pos-el: [email protected]

Abstract

This research is aimed at describing the local wisdom of Javanese and Samin’s culture from the ethnolinguistics point of view. The research uses participative-observation technique. The data were analyzed by single data analysis in the form of qualitative descriptive. The data were collected by using active observation, deep interview, librarian study, and triangulation model. From the analysis, it can be found that the local wisdom in Javanese and Samin’s culture is affected by Samin’s religion, their belief in God, sikep tradition, their view toward education, agriculture system, economic problem, marriage, circumsition, death, trade, daily habit, and their other daily activities.

Keywords: local wisdom, Javanese language, Javanese culture, Samin people, ethnolinguistics.

Tujuan dari penelitian ini untuk mendeskripsikan kearifan lokal dalam bahasa Jawa dan kebudayaan masyarakat Samin dari sudut pandang etnolinguistik. Penelitian ini menggunakan teknik observasi partisipasi. Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan analisis data tunggal dalam bentuk deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi aktif, wawancara mendalam, studi dokumen dan pustaka, serta model triangulasi. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kearifan lokal dalam bahasa Jawa dan kebudayaan masyarakat Samin dipengaruhi oleh agama masyarakat Samin, kepercayaan kepada Tuhan, tradisi sikep, cara pandang mereka tentang pendidikan, sistem pertanian, masalah ekonomi, pernikahan, khitan, kematian, perdagangan, kebiasaan sehari-hari, dan berbagai hal yang mereka lakukan sehari-hari.

Kata-Kata Kunci: kearifan lokal, bahasa Jawa, budaya Jawa, masyarakat Samin, etnolinguistik

207 PENDAHULUAN telah banyak dibicarakan para ahli. Bahasa dan budaya Jawa orang Samin di Menurut Hutomo (1985:4—5) Kabupaten Blora secara alami memiliki masyarakat Samin terbentuk dari berbagai kekhasan, terutama bahasa dan munculnya seorang tokoh bernama asli budaya Jawa yang menunjukkan R. Kohar yang lahir di Desa Plosokediren, kearifan lokal (local wisdom) orang Kecamatan Randublatung, Kabupaten Samin yang dikaji dari perspektif Blora pada tahun 1859, anak dari etnolinguistik. Bahasa dan budaya Jawa seorang bangsawan bernama R. orang Samin tersebut dapat menjadi Surowijoyo (atau kemudian disebut pintu masuk untuk menguak pola-pikir, Samin Sepuh). Agar lebih merakyat pandangan hidup (way of life) dan nama dari R. Kohar diganti menjadi pandangan terhadap dunianya (world nama Samin, dan setelah menjadi guru view) yang dimungkinkan kebatinan (dalam masyarakat Jawa mencerminkan berbagai cara orang pengaruh guru kebatinan atau Samin Blora untuk menyikapi kehidupan paranormal amat kuat) nama itu sehari-harinya. Adapun aktivitas lingual- dilengkapi dengan Surosentiko, sehingga kultural terlihat dalam aktivitas menjadi Samin Surosentiko dan bergelar berbahasa dan peristiwa budaya yang Panembahan Suryongalam sebagai dimiliki itu secara etnolinguistik dapat persembahan dari para murid- dicermati untuk menguak nilai-nilai muridnya. Oleh pengikut saminisme kearifan lokal yang dimiliki. Adanya mereka menyebutnya Ki (Kyai) Samin aktivitas lingual-kultural dalam setiap Surosentiko atau Ki (Kyai) peristiwa budayanya tersebut dapat Saminsurontiko. Sebagai guru kebatinan diidentifikasi dari sisi latar belakang apa Ki Saminsurontiko menciptakan istilah- yang membuatnya demikian, meliputi istilah khusus dalam bahasa Jawa apa saja kearifan lokal yang mereka komunitas Samin yang dapat miliki itu yang teraktualisasikan dalam mencerminkan dan memperkaya bahasa dan budaya Jawa mereka secara aktualisasi bahasa dan budaya Jawa khas yang mencermikan cara berpikir mereka di Blora, dan persebaran atau pola-pikirnya, cara memandang aktualisasi bahasa dan budaya Jawa yang dunia (world view), dan memperlihatkan berciri khas orang Samin tersebut pandangan hidupnya (way of life). dimungkinkan bersifat sporadis di Dengan adanya karakteristik bahasa dan wilayah Blora, bahkan dapat meluas ke budaya Jawa yang sejenis itu, maka daerah lainnya karena dibawa oleh para terdapat kearifan lokal dalam bahasa pengikutnya. Bahkan di wilayah lain dan budaya Jawa orang Samin di seperti Madiun (Wakit, 1996) dan Pati, Kabupaten Blora yang secara potensial Bojonegoro, Ngawi, Grobogan (Wakit, unsur kebahasaannya dalam aktualisasi 2007; 2008). budaya Jawa mereka perlu (2) Secara geografis wilayah mendapatkan perhatian dalam bentuk Kabupaten Blora berbatasan dengan penelitian. wilayah Kabupaten Pati dan Rembang di Perlunya kajian terhadap kearifan sebelah utara, Kabupaten Bojonegoro di lokal dalam bahasa Jawa orang Samin di sebelah timur, Kabupaten Ngawi di Kabupaten Blora berdasarkan sebelah selatan, dan Kabupaten pertimbangan (1) Secara historis di Grobogan di sebelah barat. Di samping Blora hidup masyarakat Samin yang itu Blora sebagai daerah aktualisasi memiliki latar belakang sejarah yang bahasa dan budaya masyarakat Jawa di menarik perhatian untuk diteliti dan Blora, termasuk orang Samin terdiri dari 208 tanah kapur yang membentang panjang yaitu Wakit dan Lestari (2004) tentang di barisan pegunungan Kendeng, daerah BJ masyarakat Samin di Kabupaten Blora hutan, pertanian yang sebagian tandus. yang mendapat pengaruh BJ Pesisir, Dengan adanya kondisi yang demikian Supadmi (l988) telah menulis tentang itu, dimungkinkan dapat mempengaruhi Karakteristik Makna Tutur Orang Samin: aktualisasi bahasa dan budaya Jawa, Sebuah Studi Sosiolinguistik; Sadihutomo khususnya dalam lingkup orang Samin (l983) tentang Bahasa dan Sastra Lisan di Blora. Dengan demikian bahasa dan Orang Samin, (l985) Prawoto (l972) budaya Jawa orang Samin di wilayah menulis tentang Sejarah, Adat-istiadat Blora memiliki karakteristik kearifan Samin Daerah Kabupaten Blora. Pustaka lokal tersendiri sebagai batas antara lainnya dalam penelusuran yang telah bahasa dan budaya Jawa pengaruh dilakukan belum ditemukan. pesisir utara Jawa dengan bahasa dan Berdasarkan alasan tersebut, maka budaya Jawa Surakarta (tercermin kearifan lokal dalam bahasa dan budaya dalam data kebahasaan) (Wakit, 1998; orang Samin di Kabupaten Blora layak 1999). untuk dikaji secara ilmiah secara khusus (3) Secara linguistik ditemukan dan mendalam.Berdasarkan uraian di aktualitas bahasa Jawa dalam budaya atas, permasalahan penelitian yang orang Samin, data-data yang dimaksud dibahas yaitu latar belakang apa yang antara lain unsur leksikal agama mempengaruhi kearifan lokal dalam ‘ageman, alat kelamin, senjata laki-laki’, bahasa Jawa Samin itu dari kacamata wong sikep ‘bersetubuh’ yang maknanya etnolinguistik, apa sajakah jenis-jenis lebih dekat dengan masalah biologis kearifan lokal yang terdapat dalam (sikep merupakan akronim dari isine wis bahasa Jawa Samin itu, dan jangkep ‘sudah sempurna isinya/ bagaimanakah perbedaan kearifan lokal ilmunya’), karena dalam bahasa dan dalam bahasa Jawa Samin dengan budaya Jawa lainnya (termasuk bahasa bahasa Jawa pada umumnya (terutama dan budaya Blora pada umumnya) tidak bahasa standar. dijumpai bentuk tersebut. Secara gramatik unsur leksikal agama ’ageman, TEORI gaman/ senjata laki-laki’ dan wong sikep Kajian Teoretis ‘bersetubuh’ maknanya dalam BJSa Kearifan lokal (local genius) (Quaritch seperti tersebut, sedangkan dalam BJ Wales dalam Poespowardojo, 1986:30; lainnya dipahami bahwa kata agama Rahyono, 2009:7—9) merumuskan bermakna ‘agama’ dan wong sikep tidak bahwa lokal genius sebagai “the sum of diketahui maknanya karena bentuk the cultural characteristics which the vast tersebut tidak dikenal dalam bahasa dan majority of a people have in common as a budaya Jawa Blora dan bahasa dan result of their experiences in early life”. budaya Jawa seperti di Surakarta. Pokok-pokok pikiran yang terkandung (4) Secara ilmiah kajian tentang dalam definisi tersebut meliputi (i) ciri- bahasa dan budaya Jawa Kabupaten ciri budaya, (ii) sekelompokmanusia Blora umumnya dan bahasa dan budaya sebagai pemilik budaya, serta (iii) Jawa orang Samin khususnya dalam pengalaman hidup yang menghasilkan bidang linguistik masih minim sekali. ciri-ciri budaya tersebut. Local genius Adapun informasi yang dapat dijangkau (Poespowardojo,1986:33) memiliki terhadap kajian tentang BJBl antara lain ketahanan terhadap unsur-unsur yang ditemukan karya ilmiah yang berupa datang dari luar dan mampu penelitian awal BJBl (termasuk BJSa), berkembang untuk masa-masa 209 mendatang. Kepribadian masyarakat memajukan dan mempertahankan ditentukan oleh kekuatan dan praktik-praktik budaya dan struktur kemampuan local genius dalam sosial (Foley, 1997:3). Data yang dipakai menghadapi kekuatan dari luar. Jika dalam linguistik antropologis berupa local genius hilang atau musnah kosa-kata, frase, struktur kalimat, kepribadian bangsapun memudar. bentuk-bentuk kalimat, register, dan Faktor-faktor yang menjadi sejenisnya. Melalui data yang berupa pembelajaran dan pemelajaran kearifan fakta kebahasaan akan diperoleh dan lokal meiliki posisi yang strategis seperti ditafsirkan informasi-informasi penting (i) kearifan lokal merupakan pembentuk mengenai sistem pengetahuan yang identitas yang inheren sejak lahir, (ii) terkandung di dalamnya (Foley, kearifan lokal bukan keasingan bagi 2001:3—5). pemiliknya, (iii) keterlibatan emosional Bahasa merupakan manifestasi masyarakat dalam penghayatan kearifan terpenting dari kehidupan mental lokal kuat, (iv) pemelajaran kearifan penuturnya dan sebagai dasar lokal tidak memerlukan pemaksaan, (v) pengklasifikasian pengalaman. Karena kearifan lokal mampu menumbuhkan bahasa dapat merefleksikan pola pikir harga diri dan percaya diri, (vi) kearifan yang terkait dengan sistem pengetahuan lokal mampu meningkatkan martabat manusia. Bahasa dan budaya sebagai bangsa dan negara. Dalam hal ini produk yang hakiki dari manusia bagaimanakah dengan kearifan lokal memiliki korelasi yang erat. Selain itu, dalam bahasa Jawa orang Samin? tidak terabaikan pula keterkaitannya Subroto (2003:7) setelah dengan perkembangan waktu, mengkritisi pendapat para ahli lainnya, perbedaan tempat, komunitas, sistem mengemukakan bahwa kajian kekerabatan, pengaruh kebiasaan etnik, etnolinguistik berkaitan dengan kepercayaan, etika berbahasa, dan adat hipotesis “Sapir-Whorf”, yang disebut istiadat (Sibarani, 2004). Dalam bahasa pula sebagai relativitas bahasa (linguistic inilah tersimpan nama-nama berbagai relativity) dari pikiran Boas. Hipotesis benda yang ada dalam lingkungan tersebut menyatakan bahwa bahasa manusia, sebab melalui proses ini manusia membentuk atau manusia lantas dapat “menciptakan” mempengaruhi persepsi manusia akan keteraturan dalam persepsinya atas realitas lingkungannya atau bahasa lingkungan. manusia mempengaruhi lingkungan Sehubungan dengan kasus ranah dalam memproses dan membuat budaya dinyatakan bahwa “kerangka kategori-kategori realitas di sekitarnya klasifikasi yang merupakan suatu (Samson, 1980:81). Lebih lanjut struktur ini mencerminkan struktur dijelaskan bahwa etnolinguistik juga yang ada di balik berbagai istilah yang disebut linguistik antropologi ada dalam ranah budaya dari suatu (anthropological linguistics) merupakan komunitas masyarakat tertentu, dan hal kajian bahasa dan budaya sebagai sub- ini berarti juga mencerminkan struktur bidang utama dari antropologi (Duranti, yang ada dalam pemikiran manusia 1997:2). Di samping itu, dijelaskan walaupun belum atau merupakan bahwa pengertian etnolinguistik keseluruhan struktur” (Ahimsa-Putra, (anthropological linguistics) yaitu cabang 1997). linguistik yang menaruh perhatian terhadap posisi bahasa dalam konteks sosial dan budaya yang lebih luas untuk 210 Kajian Pustaka (2004) meneliti tentang Bahasa Jawa di Supadmi (1988) telah menulis tentang Kabupaten Blora (Kajian Geografi Karakteristik Makna Tutur Orang Samin: Dialek); Wakit Abdullah dan Sri Lestari Sebuah Studi Sosiolinguistik; Sadihutomo Handayani (2008) meneliti tentang (1970) menulis tentang Masyarakat Bahasa Jawa Masyarakat Samin di Samin (Suatau Tinjauan Strukturil), Kabupaten Blora. Pustaka lainnya dalam (1972) tentang Kronologis Sejarah penelusuran yang telah dilakukan belum Gerakan Samin, (1980) tentang ditemukan. Karya ilmiah tersebut tidak Masyarakat Samin di Jawa Timur, (1983) mungkin dideskripsikan dalam proposal tentang Bahasa dan Sastra Lisan Orang ini karena terbatasnya halaman. Samin, (1985) tentang Samin Surosentiko dan Ajaran-ajarannya; Benda dan METODE Castles (1969) telah menulis tentang The Ragam dan strategi penelitian Samin Movement; Dekker dan Nyoman ditentukan oleh beberapa hal, yaitu (1) (1970) menulis tentang Masyarakat cara pelaksanaan, (2) tujuan, (3) Samin: Suatu Tinjauan Sosiokulturil; pendekatan, (4) bidang ilmu, (5) tempat, Giap (l968) telah menulis tentang “The (6) variabel, (7) model analisis datanya. Samin Movement in Java, Complementary Cara pelaksanaannya mengunakan Remark”; King (1973) menulis tentang ragam penelitian aksi (action research) Some Observation on the Samin atau (observasi partisipasi). Berdasarkan Movement of North-Central Java; Korver tujuan yang hendak dicapai, penelitian (1976) menulis tentang The Samin ini merupakan penelitian eksploratif, Movement and Millenarisme; Mulder yaitu ingin mendapatkan sebab-sebab (1974) membahas tentang Saminisme munculnya kearifan lokal dalam bahasa and Budhism: A Note on Field Visit to a Jawa Samin yang bersifat unik. Samin Community; Prawoto (1972) Penelitian ini menggunakan pendekatan menulis tentang Sejarah, Adat-istiadat cross sectional, yaitu pendekatan Samin Daerah Kabupaten Blora; terhadap kasus perilaku masyarakat dari Sastroatmojo menulis tentang Gerakan etnolinguistik. Saminisme: Siapakah Mereka?; Variabel yang digunakan dalam Widiyanto (1983) menulis tentang penelitian ini yaitu variabel yang ada Samin Surosentiko dan Konteksnya; sekarang, terutama kearifan lokal dalam Anderson (1977) menulis tentang bahasa Jawa orang Samin. Oleh karena Millenarianism and The Saminist datanya berupa data kualitatif (data Movement; Shiraishi (1990) menulis verbal dan data praktikal berdasarkan tentang Dangir’s Testimony: Saminism kearifan lokal setempat), maka analisis Reconsideret; Martin Muntadhim (tt) datanya menggunakan analisis data menulis tentang Geger Samin; Wakit kasus tunggal dalam bentuk penyajian Abdullah (2000) menulis tentang Samin, deskriptif kualitatif. Nyamin dan Saminisme, Wakit Abdullah Teknik pengumpulan datanya (2002) meneliti tentang Tradisi Sikep berupa observasi partisipatif, Masyarakat Samin dan Pengaruhnya wawancara mendalam (indepht terhadap Kehidupan Sosial-ekonominya interviewing) dengan pedoman di Kabupaten Blora; Titi Mumfangati, wawancara, studi dokumen serta dkk. (2004) meneliti tentang Kearifan pustaka. Informan diperoleh Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin menggunakan teknik purposive sampling Kabupaten Blora Propinsi Jawa Tengah; dengan model snowball sampling Dyah Padmaningsih dan Wakit Abdullah (Sutopo, 1984:54). Untuk mendapatkan 211 validitas data di samping dilakukan purwa. Samin sebagai petani lugu dan kritik sumber (eksternal dan internal) orang desa di Plosokediren (Koentjaraningrat, 1977:79—84), juga Randublatung Blora bukan sebagai menggunakan model triangulasi petani miskin, karena dia memiliki (sumber, metode, teori, peneliti) garapan tanah sawah 3 bahu, tanah (Moleong, 1989:112).Penelitian ini ladang 1 bahu dan sapi 6 ekor (Benda menggunakan analisis data kualitatif dan Castles, 1969: 210; Hutomo: dengan melakukan reduksi data, 1996:14). penyajian data, penarikan Agar lebih merakyat nama dari R. simpulan/verifikasi (Moleong, 1989: Kohar diganti menjadi nama Samin, 112). Hasilnya disajikan secara teks- karena nama Samin di samping lebih naratif dengan analisis interaktif melalui terkesan merakyat dan sebagai orang proses bentuk siklus (terus-menerus) kebanyakan atau orang awam, unsur (Sutopo, 1986:86—88). Apabila leksikal samin mereka pahami berasal penentuan simpulan kurang mantap, dari sami-sami ‘sesama, biasa, awam, maka peneliti mencari data lagi guna umum, jelata, rakyat kecil’ dan bukan penyempurnaan kesimpulan. bangsawan lagi. Ketika dia setelah menjadi guru kebatinan (dalam HASIL DAN PEMBAHASAN masyarakat Jawa pengaruh guru Sejarah Singkat Orang Samin dan kebatinan atau paranormal amat kuat) Pengikutnya nama itu dilengkapi dengan Surosentiko, Orang Samin (Hutomo, 1985:4—5) sehingga nama lengkapnya menjadi terbentuk dari munculnya seorang Samin Surosentiko dan kemudian tokoh bernama asli R. Kohar yang lahir bergelar Panembahan Suryongalam di Desa Plosokediren, Kecamatan sebagai persembahan dari para murid- Randublatung, Kabupaten Blora pada muridnya. Oleh pengikut saminisme tahun 1859, anak dari seorang mereka menyebutnya Ki (Kyai) Samin bangsawan keturunan dari Raden Surosentiko atau Ki (Kyai) Kusumaningayu (Raden Saminsurontiko. Kusumawinahyu) Adipati Sumoroto Ketika Samin Surosentiko berumur (sekarang Tulungagung) bernama R. 31 tahun, tepatnya pada tahun 1890 dia Surowijoyo (atau kemudian disebut mulai menyebarkan ajarannya. Pada Samin Sepuh). Surowijoyo menurut awalnya mereka mendapatkan pengikut kisahnya dikenal sebagai seorang dari orang-orang sekitar di desanya, bromocorah ‘penjahat’ di wilayah lambat laut meluas sampai ke luar desa, Bojonegoro, tetapi hasilnya dibagi- bahkan sampai ke luar Kabupaten Blora, bagikan untuk kepentingan rakyat kecil setelah menjalani perilaku spiritual yang miskin dan tertindas oleh penjajah tapabrata ‘bertapa’ dia mendapatkan Belanda dan kaki tangannya (Hutomo, wahyu yang dia sebut kitab Kalimasada. 1996). Surowijoyo memiliki lima anak Setelah masuk tahun 1907 pengikut laki-laki semua, jika menurut etunge Samin jumlahnya mencapai 3000 orang ‘hitungnya, jumlah urutannya’ ada lima, Samin. Pada tanggal 1 Maret 1907 sedangkan Samin sebagai anak kedua. tersiar kabar pengikut saminisme akan Akibat dari anak urut nomor kedua ini mengadakan perlawanan terhadap oleh para pengikutnya dia penjajah Belanda beserta kaki dipersonifikasikan seperti Bimasena tangannya, maka ketika ada salah satu (Werkudara) dalam keluarga Pandawa pengikut Samin di Kedungtuban Blora sebagai bagian mitos dari wayang yang sedang melaksanakan slametan 212 ‘selamatan’ semua yang hadir ditangkapi simpangi ‘berbuatlah sabar dan oleh petugas Kontrolir Belanda. Saat itu tawakal jangan sampai dengki, Samin sedang ada acara di Rembang jangan sampai riyak/ pamer kepada sehingga tidak bisa hadir dalam acara sesame, jangan sampai saling selamatan itu. Namun demikian akibat mencuri (tanaman milik orang lain), dari peristiwa itu Samin diinterogasi mencopet dan mencuri (binatang bersama delapan orang pengikutnya dan atau barang), apalagi mengambil kemudia mereka dibuang ke Pada atau mencuri binatang/ barang Sumatra Barat. Beberapa waktu (dengan sadar itu bukan miliknya), kemudian Samin meninggal dunia di apa menginginkan barang (yang sana dalam status tahanan pemerintah bukan haknya), menemukan barang Belanda pada tahun 1914. di jalan saja saya hindari (untuk mengambil/ menyembunyikan)’ 4 Pokok-pokok Ajaran Orang Samin (4) Wong urip kudu ngerti uripe, sebab Samin Surosentiko sebagai guru urip siji digawa salawase ‘orang kebatinan sangat besar pengaruhnya hidup harus bisa memahami (tugas) terhadap pengikutnya. Dia selalu kehidupannya, karena hidup satu memberikan sesorah ‘cermah ‘roh satu (pemberian Tuhan)’ untuk menyampaikan ajaran’ yang mereka selamanya’ (mereka memiliki paham yakini dengan cara sesorah ‘ceramah’ itu, reinkarnasi ‘hidup kembali’. karena kebanyakan dari pengikut Samin (5) Wong enom mati uripe titip sing urip, buta huruf tidak dapat baca tulis akibat bayi uda nangis nger niku suksma dari penentangannya terhadap sekolah ketemu raga, dadi mulane wong niku formal pemerintah Belanda waktu itu mboten mati, nek ninggal (Hutomo, 1996; Wakit dan Lestari, sandhangan (raga) niku nggih, kedah 2008). Adapun yang termasuk dari sabar trokal sing diarah turune, dadi okok-pokok ajaran samin (saminisme) ora mati nanging kumpul sing urip, meliputi hal-hal berikut, yaitu: apik wong salawase sapisan dadi wong, salawase dadi wong ‘(jika) (1) Agama iku gaman, Adam pangucape, orang muda meninggal, hidupnya man gaman lanang ‘agama itu (roh) dititipkan yang masih hidup senjata (kelamin laki-laki), (yang baru lahir), bayi yang masih mereferensikan sosok (Nabi) Adam telanjang menangis “nger” itu (laki-laki), yang disebut senjata itu (menandakan) bertemunya suksma/ (kelamin) laki-laki’. roh dan raga/ badan, maka orng itu (2) Aja drengki srei, tukar padu, dahpen, tidak meninggal, kalau meninggalkan kemeren, aja kutil jumput, bedhog jasad/ raganya itu ya, harus sabar nyolong ‘jangan iri dengki, dan tawakal (mengingat) demi bertengkar, memiliki sifat suka iri, (mendoakan) keturunannya (agar jangan mencopet/ menjambret, masuk ke jasad yang baik), jadi tidak mencuri binatang (bedhog) dan meninggal tetapi menyatu dengan mencuri barang (nyolong)’. yang masih hidup, (jika) menjadi (3) Sabar trokal empun ngantos srei, orang selalu berbuat baik, selamanya empun ngantos riyo sapadha, empun akan menjadi (menyatu dengan) ngantos pek-pinepek, kutil jumput orang baik’. bedhog nyolong, napa malih bedhog (6) Pangucap saka lima bundhelane ana colong, napa milik barang, nemu pitu (Leksikon pada angka pitu barang teng dalan mawon kula merupakan bagian dari pesan 213 simbolis pitutur ‘ajaran’ Samin atau orang Samin Tuhan disebutnya sebagai inti ajaran Samin. Jika mereka Gusti Allah, Hyang Widi. Namun mentaati pitutur ‘ajaran Samin” demikian karena dipengaruhi oleh maka akan mendapatkan konsep maujud (harus nampak) yang keselamatan hidup/ kebaikan hidup menunjukkan pada fisik bendawi yang dengan sami-sami ‘sesama’.) lan serba materi, maka bagi mereka pangucap saka sanga bundhelane menyebut Tuhan dengan Gusti Allah ana pitu ‘(ibaratnya) berbicara dari kang katon (Allah yang nampak) dan angka lima terikat/ intinya pada referensinya bagi keyakinan dan angka tujuh, dan berbicara dari sepiritualitas mereka adalah orang tua angka sembilan terikat/ intinya pada mereka dengan sebutan Mak – Yung angka tujuh’. Angka 7 (tujuh) maksudnya ‘bapak dan ibu’. Semua merupakan isyarat atau simbol perintah dan ajarannya harus diikuti dan bahwa manusia dalam berbicara ditaati, jika telah mengikuti kehendak harus hati-hati dan menjaga apa orang tua (taat kepada Mak-Yung) yang akan keluar dari mulud. dipandangnya sudah memiliki amalan Agama Sikep (amalan yang sudah Latar Belakang yang Mempengaruhi sempurna, karena isine wis jangkep Kearifan Lokal dalam Bahasa Jawa ‘isinya sudah sempurna’). Nilai Orang Samin dari Kacamata kejujuran, kesetiaan terhadap guru, Etnolinguistik orang tua, sedululur njero ‘saudara Aspek lingual-kultural dalam setiap dalam (sesama Samin) dan njaba ‘luar peristiwa budaya mereka itu dapat (selain orang Samin)’ dapat dicontoh diidentifikasi dari sisi latar belakang oleh kalangan masyarakat di luar Samin. sejarah masa lampau, kearifan lokal yang (3) Terkait dengan konsep pendidikan, mereka miliki itu teraktualisasikan orang Samin tidak boleh mengikuti dalam bahasa dan budaya Jawa mereka pendidikan formal milik pemerintah secara khas yang mencermikan cara penjajah Belanda. Akibatnya sekian pola-pikirnya, cara memandang dunia generasi di masyarakat Samin benar- (world view), dan memperlihatkan benar tidak pernah mengenyam pandangan hidupnya (way of life) dan pendidikan formal pada umumnya. pola pikir yang mereka miliki. Samin yang menekankan setiap anak Di samping itu, latar belakang Samin harus mbangun miturut ‘taat pada kearifan lokal dalam bahasa dan budaya bapak-ibu’, menyebabkan mereka Jawa orang Samin dari kacamata menuruti setiap perintah dan larangan etnolinguistik berhubungan erat dengan orang tua harus diikuti, karena orang tua (1) pengertian agama Samin/ agama dianggap Gusti Allah kang katon ‘tuhan Adam/ agama sikep dari sudut pandang yang nampak’. (4) Bagi mereka hidup linguistik, spiritualistis, etnolinguistik bertani sebagi profesi turun-temurun yang mengarah pada sudut pandang yang dipandang mulia, dan secara politik. Pengertian Agama Adam yaitu konseptual keberadaan sawah ladang pengertian sebuah keyakinan yang garapannya, yaitu tanah pusaka atau didasarkan atas pandangan bahwa tanah warisan dari nenek-moyangnya. Samin mengajarkan keyakinan semua Tanah garapan berupa sawah lading nabi itu laki-laki seperti nabi Adam. yang mereka tanami padi itu ibaratnya Adam sebagai nabi yang pertama memelihara secara mulia Dewi Sri dianggap sebagai “pemilik” agama itu. (sebagai istri Dewa Wisnu) sebagai Dewi (2) Terkait konsep Tuhan, bagi mereka Padi. Adapun setiap hasil panen padi, 214 mereka membagi atau merdhil / mredhi/ bunga/ anakan’ dalam rangka mrail ‘membagi’ menjadi empat bagian, melaksanakan ajaran Samin, sapadha- yaitu pari ‘pagi’ untuk makan, biaya padha/ sesami ‘sesama’ di atas untuk garap, opah penggarap, untuk sanak- tidak saling menyakiti, membebani, sedulur ‘saudara’ dalam bentuk iuran merepotkan dengan cara seperti itu. sosial seperti buwuh/jagong/sumbangan Mereka harus padha ngentheng-enthengi ‘menghadiri hajatan’. (5) Samin ‘saling membantu’. (7) Tentang memandang masalah ekonomi, dalam perkawinan merupakan prosesi kultural arti managemen kebutuhan sehari-hari dan spiritual turun-temurun seiring yang meliputi untuk konsumsi makan, dengan keyakinannya terhadap agama untuk sandang, untuk balewisma Adam atau agama Samin atau agama (rumah) serta untuk peran sosial Sikep. Secara spiritual konsep hidup (sumbangan kepada pemerintah atau Samin tentang pernikahan terungkap kepada sanak kerabat) sangat “wiwit njeng Nabi Adam, agama Adam diperhatikan menurut konsep hidup dan agamane wong-lanang, Dam damele rabi, tradisi yang berlaku bagi komunitas man gaman gamane wong lanang” (laki- mereka. Maksudnya, ketika untuk laki, kelamin laki-laki) ‘sejak nabi Adam, makan sehari-hari sudah cukup itu agama Adam (aturan, tradisi, perilaku) artinya uripe wis wareg ‘hidupnya sudah yang ahrus dikuti para laki-laki, Dam kenyang’, tentang rumah tinggal wis (Adam/ laki-laki) secara alami/ fitroh duwe iyup-iyup kanggo awak lan ingon- melamar/ menjalakan kawin/ ingone ‘sudah punya rumah untuk mengawini, man (dari kata gaman/ dirinya dan hewan piaraannya’, tentang kekuatan, iman/ percaya) pegangannya/ sandang wis rapet kanggo awak ‘sudah kekuatannya laki-laki/ lajer ‘penurun rapat untuk menutupi badan’, tentang trah’. Adapun prosesi untuk perkawinan sumbangan kepada pemerintah mereka didahului dengan ngenger ‘mengabdi’ akan memberikan apa yang mereka kepada calon mertua sebelum menikahi mampu berikan dengan segala ujudnya, anaknya’. Ada dua cara, yaitu secara duwe klapa ya klapa, duwe wedhus ya tertutup/ diam-diam dan terbuka. wedhus ‘punya kelapa ya diberikan Secara tertutup si laki-laki calon kelapa, punya kambing ya diberikan pengantin datang ke ruamah orang tua kambing’, termasuk kepada sanak- wanita untuk minta pekerjaan apa saja, saudaranya. (6) Mereka menolak profesi sedangkan secara terbuka si laki-laki dagang, karena berdagang dengan datang ke rumah wanita meminta ijin mengambil untung dipandangnya kepada bapaknya ingin mendekati sebagai perilaku penipuan kepada wanita yang dituju. Tentang berapa lama sesama sedulur (saudara), baik sedulur si laki-laki tersebut ngenger ‘mengabdi’ njero (saudara dalam/ sesama Samin) berapa lama laki-laki dapat maupun sedulur njaba (saudara luar/ menundukkan hati wanita pujaannya itu orang luar Samin). Bertentangan dengan dan dapat dilanjutkan dengan perilaku konsep lila-legawa ‘ikhlas’, sapadha- urip-rukun ‘hubungan sex sebelum padha/ sami-sami/ samin ‘sesama, orang menikah’ untuk menguji mau atau awam, masyarakat kecil, rendahan’. tidaknya si wanita pujaan hati tadi untuk Masalah pinjam-meminjam, mereka dikawini. Kalau ternyata si wanita itu memiliki konsep utang saberuk bali tidak mau diajak urip-rukun tersebut, saberuk ora kena luwih ‘pinjam satu maka si laki-laki yang ngenger memiliki takar dikembalikan satu takar tidak dua pilihan, yaitu segera mengakhiri boleh dilebihkan (pengembaliaannya/ masa ngengernya atau melanjutkan 215 untuk jangka waktu yang tidak ada Bagi mereka orang Samin konsep untuk batasnya (seikhlasnya), sehingga dapat menjadi orang yang suci lahir batinnya menundukkan hati wanita itu. Secara sudah termasuk golongan wong sikep kultural dan spiritual, kemudian si laki- (isine wis jangkep)‘orang yang sudah laki menghadap calon mertua dengan sempurna isinya’, karena terpenuhi mengucapkan “jengen (umum jeneng) hasrat fisik maupun psikis, terpenuhi kula lanang pangaran ……, mpun kalakon kebutuhan rohani dan ragawinya, nglakoni urip-rukun kalih wong-wedok kebutuhan lahir dan batinnya. (9) Orang pangaran …, sawise manut apa sing Samin memandang masalah kematian dikarepake” ‘saya laki-laki bernama……, secara sepiritual berbeda dengan orang sudah melaksanakan hubungan sex Jawa pada umumnya. Jika masyarakat dengan perempuan bernama ……, Jawa umumnya memahami kematian itu setelah itu (saya) mengikuti kehendak tercermin dalam ungkapan wangsul selanjutnya’. Jikalau sudah dalam kondisi wonten ing pangayunaning pangeran demikian pihak wanita segera ‘pulang keharibaan Tuhann’, atau menyiapkan segala sesuatunya untuk wangsul dhateng jaman kalanggengan menjemput hari pernikahan yang telah ‘pulang ke jaman keabadian’, atau murud disepakati kedua belah pihak. Untuk ing kasedan jati ‘menuju kepada kalangan orang Samin yang asli/ kematian yang sesungguhnya’, atau sangkak/sangkal prosesi pernikahannya mulih marang mula-bukane ‘pulang ke pada jaman dulu dilaksanakan di depan asalnya’, atau wis tumekaning janji kepala desa/ petinggi, atau sering ‘sudah sampai batas waktu hidupnya’, disebut/ dipanggil dengan sebutan Nggi atau wis sumare ‘sudah meninggal/ tidur saja. Ketika upacara perkawinan akan, abadi’, dan seterusnya. Artinya setelah sedang dan setelah berlangsung macam- mati orang Jawa umumnya memahami ragam perakat sesaji disiapkan ya sudah mati tidak akan kembali lagi di dipersembahakan kepada gusti ingkang dunia atau hidup lagi disekitar kita. maha agung ‘Tuhan yang maha tinggi’ Orang Samin memandang kematian itu untuk memperoleh sebuah keadaan disebutnya dengan istilah salin- yang aman tenteram tidak kurang suatu sandhangan ‘ganti pakaian/ wujud/ apa. Inti dari prosesi tersebut mereka fisik/ jasad’. Ketika orang Samin menyebutnya dengan brokohan (dalam meninggal, maka mereka memahami bahasa umum barokahan atau akan hidup lagi/ lahir lagi menitis berkahan), baik untuk perkawinan, (reinkarnasi) dalam wujud di sekitarnya. kelahiran, khitanan, upacara yang Apabila semasa hidupnya berperilaku bersangkutan dengan pertanian. (8) baik maka dia akan menjelma/ lahir lagi Khitanan juga dianut oleh masyarakat dalam bentuk anak manusia (masuk Samin dipahami sebagai tradisi Jawa surga). Jikalau semasa hidupnya penuh turun-temurun yang telah dilakukan dengan perbuatan buruk dan jahat, oleh para leluhurnya untuk memperoleh maka mereka akan lahir lagi dalam suci lahir. Mereka menyebutnya dengan bentuk binatang piaraan atau yang selam (secara etimologis dari proses suci lainnya (masuk neraka). Oleh karena itu, “pengislaman” secara fisik). Mereka juga secara spiritual seperti sebagian dari mengenal istilah tetak, toreh, kitan orang Jawa pada umumnya dengan ciri- (khitan), tetapi yang populer bagi ciri demikian dikelompokkan pada mereka istilah toreh atau selam tersebut. kelompok Islam abangan atau kejawen. Khitan wajib secara moral, kultural dan Namun juga tidak dapat begitu saja bahkan sampai pada derajat spiritual. disamakan dengan mereka, karena 216 orang Samin jelas berbeda dari mereka. “bodoh” dan ketinggalan perkembangan Itulah yang disebut dengan Agama jaman. Bagi mereka ketika mengikuti Adam/ Agama Samin/ Agama Sikep itu. kehendak orang tua (taat kepada Mak- (10) Perilaku dagang dan pedagang bagi Yung) dipandangnya sudah memiliki masyarakat Samin sesuai dengan prinsip amalan Agama Sikep (amalan yang sepiritual dan sosial-ekonominya sudah sempurna, karena isine wis dipandang negatif. Hal itu bertentangan jangkep ‘isinya sudah sempurna’). Sisi dengan ajaran Samin tentang watak dan positifnya, mereka memiliki loyalitas perilaku yang harus lila-legawa ‘ikhlas’, tinggi terhadap orang tua (termasuk nyilEh saktompo bali saktompo ‘pinjam Guru Kebatian Samin), sehingga nilai satu takaran, kembali juga satu takaran’, kejujuran, kesetiaan terhadap guru, apa wae yen ana sanak-sedulur butOh orang tua, sedululur njero ‘saudara kudu diwenehke ‘apa saja ketika ada dalam (sesama Samin) dan njaba ‘luar sanak-saudara butuh maka harus (selain orang Samin)’ dapat dicontoh diberikan’, adanya konsep predhilan oleh kalangan masyarakat di luar Samin. ‘bagi’ dalam hasil pertanian dan ternak (2) Kearifan lokal Orang Samin dalam yang dimiliki orang Samin, yaitu untuk memahami tradisi sebagai pengikut makan, untuk upah (bawOn), untuk tradisi sikep, karena mengikuti Agama biaya garap, untuk sanak saudara (biaya Sikep, karena memiliki amalan Agama bersosial kemasyarakatan). (12) Istilah- Sikep, yaitu amalan yang dipahami istilah yang terkait dengan tradisi Samin sudah sempurna, karena isine wis pada awalnya dimaksudkan untuk jangkep ‘isinya sudah sempurna’. strategi dan proteksi diri menghadapi Mereka penganut tradisi sikep dapat penjajah dan orang luar Samin. dikelompokkan meliputi Samin Sangkak (Samin Sangkal ‘samin kolot’) dan Samin Jenis-jenis Kearifan Lokal yang Lugu ‘kebanyan seperti orang Blora’. Terdapat dalam Bahasa Jawa Orang Samin Sangkak (atau Samin Sangkal) Samin merupakan keluarga Samin dalam/ inti Kearifan lokal Orang Samin meliputi (1) yang bersifat fanatik/ banyak Orang Samin dalam memahami konsep menyangkal/ membantah orang di luar Tuhan mereka menyebut Tuhan dengan Samin. Sementara Samin Lugu yaitu Gusti Allah kang katon (Allah yang mereka yang sehari-harinya sebenarnya nampak) dan referensinya bagi orang Samin tetapi perilaku kulturalnya keyakinan dan sepiritualitas mereka seperti orang Blora kebanyakan. (3) adalah orang tua mereka dengan Kearifan lokal Orang Samin terkait sebutan Mak – Yung maksudnya ‘bapak bahasa dalam tradisi Samin. Tradisi dan ibu’. Mak – Yung maksudnya ‘bapak Samin dalam pelaksanaannya juga dan ibu’ dianggap Tuhan yang nampak, menggunakan bahasa Jawa, tetapi maka semua perintah dan ajarannya bahasa Jawa yang telah dimodifikasi harus diikuti dan ditaati. Dalam hal ini struktur dan maknanya secara kultural mengakibatkan adanya hal yang positif sesuai dengan kemauan budaya (local dan yang negatif dalam kehidupan genius) mereka sebagai upaya untuk mereka. Pengaruh ajaran Samin adanya melakukan proteksi diri dan konsep Tuhan yang demikian kuat itu, “mengasingkan diri” dari orang Jawa ketika mereka tidak diijinkan orang tua kebanyakan dulu dianggap sebagai kaki untuk sekolah formal (dianngap sekolah tangan Belanda dan terutama dari ke sekolah penjajah Belanda yang jahat penjajah Belanda. Bahasa Jawa mereka dan bengis) berakibat mereka menjadi yang telah dimodifikasi sesuai tuntutan 217 kulturalnya tersebut memiliki motivasi pemerintah atau kepada sanak kerabat) yang bersifat politis melalui jalur sangat diperhatikan menurut konsep kultural atau jalur halus dan tidak frontal hidup dan tradisi yang berlaku bagi (berhadapan langsung) terkait unsure komunitas mereka. Maksudnya, ketika fonetis, morfologis, sintaksis, leksikal, uripe wis wareg ‘hidupnya sudah makna cultural mereka. (4) Kearifan kenyang’, duwe iyup-iyup kanggo awak lokal terkait pandangan orang Samin lan ingon-ingone ‘sudah punya rumah tentang masalah pendidikan tidak mau untuk dirinya dan hewan piaraannya’, masuk pendidikan formal Belanda (awal tentang sandang wis rapet kanggo awak merdeka juga tidak mau masuk sekolah ‘sudah rapat untuk menutupi badan’, pemerintah). Bagi mereka taat kepada tentang sumbangan kepada pemerintah Mak-Yung sudah cukup untuk menjadi mereka akan memberikan apa yang orang yang sempurna atau menjadi mereka mampu berikan dengan segala wong sikep ‘orang yang isinya sudah ujudnya, duwe klapa ya klapa, duwe sempurna’. (5) Kearifan lokal terkait wedhus ya wedhus ‘punya kelapa ya pandangan orang Samin tentang diberikan kelapa, punya kambing ya masalah pertanian, mereka diberikan kambing’, termasuk kepada menggantungkan hidup dalam bidang sanak-saudaranya. (7) Kearifan lokal pertanian di tanah ladang, sawah, mbahu terkait pandangan orang Samin tentang (menggarap tanah perhutani yang akan masalah perkawinan seperti terungkap ditanami jati), termasuk berternak dalam “wiwit njeng Nabi Adam, agama (kambing, itik, ayam, lembu, kerbau, Adam agamane wong-lanang, Dam dsb.), ngrencek ‘mencari kayu bakar di damele rabi, man gaman gamane wong hutan sekitar mereka hidup’. Garapan lanang” (laki-laki, kelamin laki-laki) berupa sawah ladang yang mereka ‘sejak nabi Adam, agama Adam (aturan, tanami padi itu ibaratnya memelihara tradisi, perilaku) yang ahrus dikuti para secara mulia Dewi Sri (sebagai istri Dewa laki-laki, Dam (Adam/ laki-laki) secara Wisnu) sebagai Dewi Padi, maka alami/ fitroh melamar/ menjalakan penghormatan pada hasil panen padi kawin/ mengawini, man (dari kata sangat spesifik. Sebagai simbol Dewi Sri gaman/ kekuatan, iman/ percaya) itu mereka membuat boneka padi yang pegangannya/ kekuatannya laki-laki/ mereka sebut dengan manten pari lajer ‘penurun trah’. Inti dari prosesi ‘manten padi’ dengan diberikan harum- tersebut mereka menyebutnya dengan haruman bunga seperlunya. Adapun brokohan (dalam bahasa umum setiap hasil panen padi, mereka barokahan atau berkahan), baik untuk membagi atau merdhil / mredhi/ mrail perkawinan, kelahiran, khitanan, ‘membagi’ menjadi empat bagian, yaitu upacara yang bersangkutan dengan pari ‘pagi’ untuk makan, biaya garap, pertanian. (8) Kearifan lokal terkait opah penggarap, untuk sanak-sedulur pandangan orang Samin tentang ‘saudara’ dalam bentuk iuran sosial masalah khitanan. Bagi mereka usia seperti buwuh/ jagong/ sumbangan khitan tidak ada patokan yang standar, ‘menghadiri hajatan’. (6) Kearifan lokal karena tergantung kemauan dan terkait pandangan orang Samin tentang kesanggupan anak beserta situasi masalah ekonomi, dalam arti ekonomi orang tua saat itu. Kadang ada managemen kebutuhan sehari-hari yang usia lebih baru bisa berkhitan, karena meliputi untuk konsumsi makan, untuk faktor yang melingkupi mereka. Hal itu sandang, untuk balewisma (rumah) serta berhubungan dengan ajaran Samin yang untuk peran sosial (sumbangan kepada mengharuskan para pengikutnya untuk 218 menjadi orang yang suci lahir-batinnya. neraka. (10) Kearifan lokal terkait Bagi mereka orang Samin konsep untuk pandangan orang Samin tentang menjadi orang yang suci lahir batinnya masalah perdagangan dipandang negatif. tersebut dengan berpegang pada watak Hal itu bertentangan dengan ajaran dan perilaku lila-legawa ‘ikhlas lahir- Samin tentang watak dan perilaku yang batin, bersih lahir-batin’ menurut harus lila-legawa ‘ikhlas’, nyilEh standar konsep mereka. Dengan kondisi saktompo bali saktompo ‘pinjam satu bersih lahir-batinnya tersebut dalam takaran, kembali juga satu takaran’, apa menjalankan agama Adam/ agama wae yen ana sanak-sedulur butOh kudu Samin/ agama Sikep, disebutnya isine diwenehke ‘apa saja ketika ada sanak- wis jangkep ‘isinya sudah sempurna’ saudara butuh maka harus diberikan’, atau sudah termasuk golongan wong adanya konsep predhilan ‘bagi’ dalam sikep (isine wis jangkep)‘orang yang hasil pertanian dan ternak yang dimiliki sudah sempurna isinya’, karena orang Samin, yaitu untuk makan, untuk terpenuhi hasrat fisik maupun psikis, upah (bawOn), untuk biaya garap, untuk terpenuhi kebutuhan rohani dan sanak saudara (biaya bersosial ragawinya, kebutuhan lahir dan kemasyarakatan). Dengan prinsip batinnya. (9) Kearifan lokal terkait orang kehidupan seperti itu mereka menjadi Samin mereka memahamai kematian kelompok yang kurang dinamis berbeda dengan orang Jawa pada perekonomiannya, baik dari tataran umumnya. Jika masyarakat Jawa modal maupun praktikal hasilnya. (11) umumnya memahami kematian itu Kearifan lokal orang Samin yang wangsul wonten ing pangayunaning tercermin dalam istilah-istilah tradisi pangeran ‘pulang keharibaan Tuhann’, terkait dengan kategori dan ekspresi atau wangsul dhateng jaman dalam bahasa dan budaya Samin. (12) kalanggengan ‘pulang ke jaman Kearifan Lokal orang Samin terkait keabadian’, atau murud ing kasedan jati hubungan perilaku orang Samin dengan ‘menuju kepada kematian yang bahasa dan budaya Jawa yang sesungguhnya’, atau mulih marang mula- digunakan. bukane ‘pulang ke asalnya’, atau wis tumekaning janji ‘sudah sampai batas Perbedaan Kearifan Lokal dalam waktu hidupnya’, atau wis sumare ‘sudah Bahasa Jawa Samin dengan Bahasa meninggal/ tidur abadi’, dan seterusnya. Jawa pada Umumnya (terutama Orang Samin memandang kematian Surakarta) sebagai salin-sandhangan ‘ganti Kearifan lokal orang Samin yang pakaian/ wujud/ fisik/ jasad’. Ketika tercermin dalam ciri-ciri secara dialektal orang Samin meninggal, maka mereka bahasa Jawa Samin tidak terlepas dari memahami akan hidup lagi/ lahir lagi kondisi umum bahasa Jawa. Adapun dari menitis (reinkarnasi) dalam wujud di sudut pandang pemakaian lokal bahasa sekitarnya. Apabila semasa hidupnya Jawa, bahasa Jawa Samin secara berperilaku baik maka dia akan potensial memiliki variasi-variasi lingual. menjelma/ lahir lagi dalam bentuk anak Berdasarkan pemilahan dialek yang ada manusia. Jikalau semasa hidupnya dalam bahasa Jawa tersebut, bahasa penuh dengan perbuatan buruk dan Jawa Samin menunjukkan ciri-ciri dialek jahat, maka mereka akan lahir lagi dalam pesisir utara Jawa. Antara lain (1) secara bentuk binatang piaraan atau yang fonologis, dominannya vokal /E/ dari lainnya. Hal itu juga menyangkut pada /I/ dan /O/ dari pada /U/, (2) pemahaman mereka tentang surga dan secara leksikal, dominannya partikel 219 penekan lEh dari pada /lah/ dan /tO/, ditandai oleh fonetis [Oh], [Eh], morfem (3) secara dialektal, unsur leksikal {-êm} (bahasa Jawa umum {-mu}), dan tertentu yang menunjukkan ciri-ciri partikel /lEh/. Secara keseluruhan dialek bahasa Jawa pesisir, (4) secara bahasa Jawa Samin yang tercermin morfologis, terdapatnya unsur dalam unsur fonologis, morfologis, morfologis enklitik {–em} dalam bahasa leksikal, dialektal, kalimat susun balik Jawa Samin (dalam bahasa Surakarta {– sebagai strategi dan proteksi diri dari mu}), (5) dan secara etnolinguistik, orang luar Samin. terdapat unsur leksikal yang memiliki Kearifan lokal orang Samin meliputi makna kultural tertentu dalam bahasa kearifan kultural (cultural wisdom), Jawa Samin. kearifan spiritual (spiritual wisdom), Berdasarkan data-data yang telah kearifan ekonomi (economic wisdom), ditemukan, karakteristik kearifan lokal kearifan sosial (social wisdom), dan orang Samin yang tercermin dalam kearifan strategis (strategic wisdom) bahasa Jawa Samin apabila orang Samin. dibandingkan dengan bahasa Jawa pada umumnya (terutama bahasa Jawa DAFTAR PUSTAKA Surakarta), menunjukkan adanya Abdullah, Wakit dkk., l992. Pengaruh perbedaan-perbedaan. Pengembangan Pariwisata terhadap Nilai Budaya Jawa di Kodya SIMPULAN Surakarta, Surakarta: Fakultas Sebagai penutup hasil penelitian ini Sastra Universitas Sebelas Maret, dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal Dana dari DP3M Dirjen Dikti. orang Samin meliputi terkait agama ------. l998, Masyarakat Samin dan Samin, pemahaman tentang Tuhan, Modernisasi. Surakarta: Fakultas tradisi sikep, pandangan mereka Sastra Universitas Sebelas Maret. terhadap pendidikan, perrtanian, ------, 2002, “Masyarakat Samin di masalah ekonomi, perkawinan, khitan, Kabupaten Blora: Studi Kasus kematian, perdagangan, perilaku sehari- tentang Tradisi Sikep dan hari, dan istilah-istilah yang mereka pilih Hubungannya dengan Perilaku dalam aktivitas hidup. Sosial Ekonomi”, Laporan Penelitian Jenis kearifan lokal orang Samin Dasar, Surakarta: Fakultas Sastra meliputi pilihannya terhadap Tuhan Universitas Sebelas Maret. yang disembah, kebiasaan hidup dalam ------. 2008, “Bahasa Jawa Dialek Orang konsep tradisi sikep, makna bahasa yang Samin di Kabupaten Blora”, Laporan dimiliki, pemahaman mereka terhadap Penelitian Fundamental, Surakarta: pendidikan, konsep pertanian, Universitas Sebelas Maret. perekonomian, perkawinan, kematian, Arikunto, Suharsimi. l993, Prosedur khitan, perdagangan, penciptaan istilah Penelitian Suatu Pendekatan khusus Samin, pedoman perilaku Samin. Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Perbedaan kearifan lokal dalam Benda, H. dan Castles, L. l969. The Samin bahasa dan budaya Jawa orang Samin Movement, BKI deel 125, 2e dengan bahasa Jawa pada umumnya Alvevering. ‘s-Gravenhage. Martinus terdapat dalam istilah terkait tradisi dan Nijhoff. semantik kultural orang Samin. Giap, The Siauw. l968. “The Terutama dilihat secara nyata yang ada SaminMovement in Java, dalam bahasa Jawa Samin yang Complementary Remarks Revus du bercirikan dialek pesisir utara Jawa 220 sut-Est”, Asiatique et l’Eztreme Prawoto, Poer Adhi. l972, “Sejarah Adat- Orient, No.2 (l967), No.l (l968). istiadat Samin Daerah Kabupaten Hutomo, Suripan Sadi. l970. Masyarakat Blora”, Panjebar Semangat, No. l4, Samin (Sebuah Tinjauan Th. 39, l0 April l972, Surabaya. Sosiokulturil). Surabaya: Kantor Rahyono, F.X., 2009, Kearifan Budaya Pembinaan Permusiuman dalam Kata, Jakarta: Wedatama Perwakilan Surabaya. Widyasastra. ------. l972, “Masyarakat Samin ing Shiraishi. l990. Dangir’sTestimony: Daerah Ngraho”, Panjebar Saminism Reconsidered. Cornell Semangat, No. ll, Th. 38, l7 Maret Program. l972. Surabaya. Supadmi, l988, Karakteristik Makna ------. l972, “Kronologi Sejarah Gerakan Tutur Orang Samin: Sebuah Studi Samin”, Panjebar Semangat, No. l7, Sosiolinguistik, Skripsi. Surakarta: Th. 38, 2 Oktober l972. Surabaya. Fakultas Sastra Universitas Sebelas ------. dkk., l980, Masyarakat Samin di Maret. Jawa Timur (Sebuah Fiasibility Sutopo, HB., l986, Metode Penelitian Study), Jakarta: Proyek Sasono Kualitatif, Surakarta: Universitas Budaya Jakarta Departemen Sebelas Maret Press. Pendidikan dan Kebudayaan. ------. l983, “Bahasa dan Sastra Lisan Orang Samin”, Basis, No.l, TH.XXXII, Januari l983. Yogyakarta. ------. 985, “Samin Surosentiko dan Ajaran-ajarannya”, Basis, No.1&2, Januari-Pebruari l985. Yogyakarta.King, Victor T. l973, “Some Observation on the Samin Movement of North-Central Java”, BKI, deel 129, 4e Aflevering, s- Gravenhage, Martinus Nijhoff. Korver, A. Pivtor E., l976, “The Movement and Millenarianisme”, BKI, deel 132, 2e-3e Aflevering, s- Gravenhage, Martinus Nijhoff. Moleong, Lexy J. l989, Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya. Mulder, Niels. l974, “Saminisme and Budhisme: A Note on Field Visit to a Samin Community”, Asian Quarterly, A Journal From Europe, No.3. Mumfangati, Titi, Gatut Murniatmo, I.W. Pantja Sunjata, Sri Sumarsih, Endah Susilantini, Christriyati Ariani, 2004, Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten Blora Propinsi Jawa Tengah, Yogyakarta: Kemenbudpar Jarahnitra Yogyakarta. 221 222 KEARIFAN LOKAL CARA MEMANFAATKAN LINGKUNGAN ALAM YANG TERCERMIN DALAM EKSPRESI VERBAL DAN NONVERBAL NELAYAN DI PESISIR SELATAN KEBUMEN: KAJIAN ETNOLINGUISTIK (The Local Wisdom of Using the Environment Reflected from Verbal and Nonverbal Expressions of Fishermen in the Southern Coast of Kebumen: An Ethnolinguistic Study)

Wakit Abdullah, Edi Subroto, Inyo Yos Fernandez

Universitas Sebelas Maret Surakarta Jalan Ir. Sutami No. 36-A, Surakarta Pos-el: [email protected]

Abstract

This ethnolinguistic research aims to describe the local wisdoms showed in verbal and nonverbal expressions of fishermen in taking the advantages of the environment in the southern coast of Kebumen. This descriptive and explorative qualitative research was based on ethnoscience approach. The data were collected through depth interviews and participant observation in ethnography method. The data were analyzed by using ethno science model with taxonomic analysis, componential analysis, and domain analyses. The results of this research describe the advantages of the natural environment in order to obtain welfare based on the ancestors’ instructions (guidelines). They are spiritual wisdom, cultural wisdom, economic wisdom, geographical wisdom, retention wisdom, technical wisdom, and the wisdom of hope. The fisherman’s wisdom that reflected on their verbal and non verbal expression may express their mindset, way of life, and their view towards the south coast of Kebumen.

Keywords: local wisdom, verbal and nonverbal expression, ethnolinguistics study.

Abstrak

Penelitian etnolinguistik ini bertujuan untuk mendeskripsikan kearifan lokal yang tercermin dalam ekspresi verbal dan nonverbal nelayan dalam memanfaatkan lingkungan alam di pesisir selatan Kebumen. Kajian deskriptif kualitatif dan eksploratif ini menggunakan pendekatan etnosains. Data dikumpulkan dengan teknik wawancara mendalam dan observasi partisipasi dalam metode etnografi. Data dianalisis dengan model etnosains dengan memanfaatkan analisis taksonomi, analisis komponensial, dan analisis domain. Hasil penelitian ini memaparkan pemanfaatan lingkungan alam guna memperoleh kesejahteraan hidup berdasarkan petunjuk (guideline) leluhurnya. Cara nelayan yang mencerminkan kearifan hidupnya tersebut meliputi kearifan spiritual, kearifan kultural, kearifan ekonomis, kearifan geografis, kearifan retensi, kearifan teknis, dan kearifan harapan. Kearifan nelayan yang tercermin dalam ekspresi verbal dan nonverbal tersebut dapat mencerminkan pola pikir, pandangan hidup, dan pandangan terhadap dunianya di pesisir selatan Kebumen.

Kata-Kata Kunci: kearifan lokal, ekspresi verbal dan nonverbal, kajian etnolinguistik.

223 PENDAHULUAN paralel dengan panen gede ‘panen raya’. Penelitian ini mengkaji kearifan lokal Upacara ritual petani sedekah-bumi nelayan yang tercermin dalam ekspresi dialihkan ketika melaut menjadi verbal dan nonverbal cara sedekah-laut, sementara istilah pranata memanfaatkan lingkungan alam di mangsa, paceklik dan panen gedhe pesisir selatan Kebumen dari perspektif dipengaruhi tradisi agraris. kajian etnolinguistik. Berangkat dari Hasil penelitian sebelumnya di realitas bahwa secara alami masyarakat Kebumen misalnya Kajian Geografi di pesisir selatan Kebumen memiliki Dialek Bahasa Jawa Tengah bagian barat lingkungan alam yang memberikan karya Nothofer (1989); Kajian Dialek kesempatan untuk hidup dengan Kebumen (Sudiro, 1986); Kajian Bahasa berbagai pilihan mata pencaharian. Jawa Kebumen (Priyadi, 2005); Kajian Misalnya lahan yang subur untuk Sosiodialek Kebumen (Pujiyatno, 2007); bertani, dekat laut untuk menjadi Wakit (2009) telah melaksanakan nelayan, pohon kelapa subur dalam penelitian di desa Karangrejo, Tegalsari, lahan yang luas dan jumlah yang banyak Ngampelsari, Munggu, dan untuk minuman segar, bumbu dapur, Karanggadung di Kecamatan Petanahan dan gula kelapa, di samping banyaknya Kabupaten Kebumen. Oleh karena itu rerumputan dan dedaunan untuk makan permasalahan ini belum pernah dikaji ternak berbagai peternak. Oleh karena oleh peneliti. Di samping itu kajian itu mata pencaharian tersebut tentang nelayan yang telah dilakukan terekspresikan selain cakar-bumi seperti oleh Mubyarto (1984) mengkaji ‘menggarap sawah ladang’, penderes Nelayan dan Kemiskinan; Kepas (1987) ‘menyadap nira dari manggar ’bunga membahas Pengelolaan dan Pola kelapa’ untuk bahan gula Jawa/gula Perubahan Kawasan Pantai Utara Jawa: klapa ‘gula kelapa’, open-open ‘beternak’ Studi Kasus Penelitian Agronomi; juga mlebu ‘melaut’ sebagai nelayan. Herawati (1995) mengkaji Sistem Sebagai nelayan semula hanya Teknologi Masyarakat Nelayan di merupakan mata pencaharian Pekalongan; Sumintarsih, dkk. (2005) sampingan, tetapi lama-lama meneliti Nelayan di Madura Jawa Timur; berkembang menjadi mata pencaharian Suyami, dkk. (2005) meneliti Nelayan di utama bagi sebagian mereka, meskipun Jepara Jawa Tengah; Syarifuddin (2008) nenek-moyangnya di Kebumen sejak mengkaji Mantra Nelayan Bajo; awal sebagai petani yang memiliki Fernandez (2009) mengkaji Kategori ketergantungan pada lahan ulayat dan Ekspresi Linguistik dalam Bahasa warisan leluhur yang sarat dengan Jawa sebagai Cermin Kearifan Lokal kearifan lokal. Hal tersebut seperti Penuturnya: Kajian Etnolinguistik pada terekam dalam ekspresi verbal dan Masyarakat Petani dan Nelayan. Oleh nonverbalnya yang menunjukkan bahwa karena itu permasalahan nelayan pilihan hidup sebagai petani tidak Kebumen ini belum pernah dikaji oleh tergantikan sepenuhnya dengan peneliti. kehidupan sebagai nelayan. Bahkan Oleh karena itu penelitian ini pandangan budaya agraris dalam dilaksanakan agar dapat menjelaskan perilaku verbal dan non verbal yang kearifan lokal nelayan yang tercermin mempengaruhi nelayan, misalnya dalam ekspresi verbal dan nonverbal pranata mangsa ‘kalender musim’, cara memanfaatkan lingkungan alam di upacara ritual seperti sesaji bumi pesisir selatan Kebumen dari perspektif ‘syukuran pascapanen’ bagi petani yang kajian etnolinguistik, karena karya 224 ilmiah sebelumnya belum ada yang Natasuwan (2000a, 2000b; juga Na membahas topic tersebut, dengan Talang, 2001 dalam Komothip), sampel desa di Kecamatan Petanahan, menyatakan local wisdom as knowledge Klirong, dan Ayah di Kebumen. based on the experiences of people that is Pemilihan lokasi penelitian di Kabupaten handed down over the generations, Kebumen berdasarkan asumsi bahwa sometimes by those who my be seen as daerah ini termasuk wilayah yang village philosophers. This knowledge is memiliki prototipe petani (dan nelayan) used as a guideline for people’s daily asli Jawa, sebagaimana diinformasikan activities in relations with their families, dalam kajian terdahulu (Nothofer, their neighbors, and other people in the 1989). Secara sosiokultural terkait village and with surroundings ’kearifan pandangan kolektif masyarakat nelayan lokal adalah pengetahuan berdasarkan seperti terangkum dalam ekspresi pengalaman masyarakat yang turun- verbal saben nelayan mesthi petani, temurun dari generasi ke generasi nanging saben petani durung mesthi berikutnya yang dapat juga dianggap nelayan ‘setiap nelayan tentu juga petani, sebagai filosofi pedesaan. Pengetahuan tetapi setiap petani belum tentu ini digunakan untuk pedoman aktivitas nelayan’. Setara dengan ekspresi verbal sehari-hari dalam berhubungan dengan itu bahwa saben penderes mesthi petani, keluarga, tetangga, dan masyarakat lain nanging saben petani durung mesthi dengan lingkungan sekitarnya’. Adapun penderes ‘setiap penderes tentu petani, etnolinguistik (anthropological tetapi setiap petani belum tentu linguistics) yaitu cabang linguistik yang penderes. Di balik ekspresi verbal menaruh perhatian terhadap posisi tersebut terkandung makna bahwa mata bahasa dalam konteks sosial dan budaya pencaharian utama mereka pada yang lebih luas untuk memajukan dan awalnya petani. Oleh karena proses mempertahankan praktek-praktek transformasi dan difersifikasi mata budaya dan struktur sosial (Foley, pencaharian sebagai solusi untuk 1997:3). menghadapi anomali musim dan pertumbuhan demografis, maka pilihan METODE itu sarat dengan kearifan lokal untuk Metode penelitian ini bersifat deskriptif- mencapai kesejahteraan hidup. kualitatif memanfaatkan metode Pelaksanaan penelitian ini etnografi dengan model analisis sasarannya mengkaji kearifan lokal etnosains (ethnoscience) atau The New nelayan yang tercermin dalam ekspresi Ethnography atau Cognitive verbal dan nonverbal cara Anthropology (Spradley, 1997:19). memanfaatkan lingkungan alam di Secara rinci metode etnografi baru pesisir selatan Kebumen dari perspektif (etnosains) menurut Spradley (1997:57) kajian etnolinguistik untuk menguak tersebut meliputi tahapan 12 langkah pandangan hidup (way of life), pola pikir, alur penelitian maju bertahap dan pandangan dunia (world view) (Developmental Research Process)1. mereka. Kearifan lokal dipahami sebagai 1 yaitu (1) menetapkan informan, (2) mewancarai “perangkat” pengetahuan dan praktik- informan (dengan memberikan pertanyaan- praktik yang dapat digunakan untuk pertanyaan), (3) membuat catatan etnografis, (4) mengajukan pertanyaan deskriptif, (5) melakukan menyelesaikan persoalan yang dihadapi analisis wawancara etnografis, (6) membuat dengan cara yang baik dan benar analisis domain, (7) mengajukan pertanyaan (Ahimsa, 2007:17). Lebih lanjut struktural, (8) membuat analisis taksonomik, (9) mengajukan pertanyaan kontras, (10) membuat 225 Menyesuaikan kepentingan penelitian simak/ teknik pencermatan, teknik ini data verbal dan nonverbal dianalisis cakap, teknik catat, dan teknik rekam dengan metode penelitian etnografi, (Subroto, 1992; Sudaryanto, 1993), khususnya dengan model analisis dilengkapi dengan identitas tentang etnossains (yaitu analisis taksonomi, sumbernya siapa, kapan, tentang apa, di analisis komponensial, dan analisis mana diarsipkan secara lengkap dan domain) yang relevan dengan analisis jelas untuk memudahkan analisis data berdasarkan tema-tema budaya. dengan model analisis etnosains Sementara data tertentu memanfaatkan (analisis taksonomi, komponensial, metode penelitian linguistik (Subroto, domain). Kemudian wawancara kepada 1992; Sudaryanto, 1993). informan terpilih dengan teknik Data primer meliputi (1) data lisan wawancara mendalam (in-depht- berupa folklor, upacara ritual, mantra, interviewing). Hal itu untuk menyiapkan doa tradisi nelayan; (2) informasi data kearifan lokal sebagai bahan penting dari informan terpilih; (3) data analisis dengan model etnosains, praktikal, meliputi praktik sebelum, saat terutama dari langkah analisis dan sesudah mlebu ‘melaut’ untuk taksonomi, komponensial, dan domain menangkap ikan. Data sekunder, (Spradley, 1997), yang relevan dengan meliputi (1) catatan tentang leksikon analisis berdasarkan tema-tema budaya. bahasa Jawa mereka ketika sebagai Secara teknis dilakukan dengan teknik petani, nelayan, peternak dan penderes. rekam (kamera digital, tape-recorder); Sumber data primer meliputi (1) folklor, teknik catat untuk produk budaya dongeng, tuturan tetap mereka sehari- berupa berbagai jenis unit-unit lingual; hari, dan sejenisnya, (2) nara sumber teknik simak untuk memperoleh data (research person)2, (3) peristiwa budaya berupa perilaku verbal dan nonverbal, (aktivitas nelayan, upacara ritual sebagai upacara ritual; dan teknik cakap untuk petani, nelayan, peternak, penderes). menanyakan hal-hal yang belum jelas Sumber data sekunder/sumber tertulis, tentang data penelitian dengan segala meliputi (1) catatan penting, (2) artikel, makna budaya yang ada. Validitas data (3) buku, (4) majalah, (5) koran, (6) tersebut ditempuh dengan teknik laporan penelitian, (7) dokumen, dan (8) triangulasi (triangulation), reviu arsip penting lainnya. Teknik informan kunci (key informant review) pengumpulan data dengan observasi dan member check (Sutopo, 2006: 92), partisipasi. Teknik observasi partisipasi macamnya meliputi (a) triangulasi data yang didahului penetapan dan (data triangulation), (b) triangulasi wawancara dengan informan terpilih peneliti (investigator triangulation), (c) sambil membuat catatan etnografis, triangulasi metodologis (methodological pertanyaan deskriptif, pertanyaan triangulation), (d) triangulasi teoretis struktural, dan pertanyaan kontras (theoretical triangulation). Data (Spradley, 1997:87,99,157,201). penelitian dianalisis dengan metode Pertanyaan deskriptif, struktural, dan etnolinguistik dengan memanfaatkan kontras itu disertai dengan teknik metode penelitian etnografi, khususnya model analisis etnossains (meliputi analisis komponen makna, (11) menemukan tema- analisis domain, taksonomi, dan tema budaya, (12) menulis sebuah etnografi. komponensial) (Spradley, 1997:120, 2 Informan terpilih yang dimaksud dengan lima kriteria sebagai persyaratan minimal, yaitu (1) 139, 175, 229) yang relevan dengan enkulturasi penuh, (2) keterlibatan langsung, (3) analisis berdasarkan tema-tema budaya. suasana budaya yang tidak dikenal, (4) waktu yang Di samping itu, teknik analisisnya secara cukup, dan (5) non-analitis (Spradley, 1997: 61). 226 empiris dengan metode rekonstruksi Negara Bang Kulon. Sebelum muncul atas fenomena yang tercermin dalam nama Kebumen di kawasan Manca ekspresi verbal dan nonverbal cara Negara Bang Kulon itu sudah terdapat nelayan memanfaatkan lingkungan alam nama kekuasaan Kademangan Panjer di di pesisir selatan Kebumen untuk bawah Mataram Islam Panembahan memformulasikan aktualitas berbagai Senopati, kurang lebih tahun 1584 M. kearifan lokal nelayan secara Selanjutnya diceritakan bahwa cucu komprehensif. Penyajian hasil analisis Panembahan Senopati Mataram Islam data penelitian dengan metode formal yang bernama Ki Madusena, anak hasil yaitu perumusan dengan tanda dan perkawinan antara K.R. Pembayun lambang-lambang; dan metode informal (anak sulung Panembahan Senapati) yaitu metode penyajian hasil analisis dengan Ki Ageng Mangir Wanabaya VI data dengan menggunakan kata-kata (penguasa tanah perdikan di Mangir, biasa agar mudah dipahami Mataram), karena situasi politik Ki (Sudaryanto, 1993: 145). Madusena disembunyikan di Karanglo. Ki Madusena pada tahun 1606 M. HASIL DAN PEMBAHASAN menikah dengan Dewi Majati dan Letak Geografis Kabupaten Kebumen berputra Ki Bagus Badranala, Secara astronomis letak Kabupaten selanjutnya dia menjadi murid Sunan Kebumen di antara 7°—8° Lintang Geseng di Gunung Geyong. Selatan dan 109°—110° Bujur Timur. Singkat cerita, pada saat Sultan Secara administratif kabupaten tersebut Agung dari Mataram Islam menyerang terbagi dalam 22 wilayah Kecamatan Batavia (1628—1629) untuk dan 460 Desa/ Kelurahan. Secara memperkuat pertahanan sang raja geografis di sebelah barat berbatasan membuat lumbung pangan dijalur dengan Kabupaten Cilacap dan perjalanan bala-tentaranya, dan Ki Bagus Kabupaten Banyumas, sebelah timur Badranala membantu ikut dengan Kabupaten Purworejo, sebelah mengumpulkan pangan dari rakyat desa utara dengan Kabupaten Banjarnegara dengan cara membeli. Pada tahun 1627 dan Kabupaten Wonosobo, dan sebelah prajurit Mataram memanfaatkan selatan berbatasan dengan Samudera lumbung pangan milik Ki Bagus Indonesia/ Samudera Hindia (sumber Badranala itu, kemudian tempat itu Pemkab Kebumen, 2009). diberi nama Panjer. Seorang utusan dari Mataram yang bernama Ki Suwarna Sejarah Kabupaten Kebumen bertugas mengurusi logistik pasukan Menurut berbagai sumber yang ada, Mataram ke Panjer, dan akhirnya Ki yaitu informan terpilih menjelaskan Suwarna diangkat menjadi bupati di bahwa secara administratif dan Panjer. Sementara Ki Bagus Badranala geografis wilayah yang disebut Kebumen sebagai cucu Panembahan Senapati yang dahulunya merupakan bagian dari berkarakter kesatriya diangkat menjadi kekuasaan Mataram Islam. Struktur prajurit Mataram mendapat tugas wilayah kekuasaan Mataram Islam dikirim ke Batavia untuk mengawal meliputi Negara Agung, Kutha Negara logistik pasukan Mataram. ‘pusat kekuasaan’, Manca Negara Pada saat berkuasa (1613—1645) ‘wilayah lain’, Wilayah Bang Wetan selama 32 tahun raja Sultan Agung ‘wilayah bagian timur’ dan Wilayah Bang Hanyakra Kusuma Kalifatullah Sayidin Kulon ‘wilayah bagian barat’. Kebumen Panatagama dapat mencapai jaman dalam hal ini termasuk wilayah Manca keemamasannya. Dia telah menetapkan 227 dasar ideologi negara bernama Sastra (1) Kearifan spiritual, yaitu cara Gendhing3 di samping diwujudkan dalam nelayan memanfaatkan lingkungan bentuk Paugeran Nagari (Undang- alam agar tidak kena gangguan gaib undang Negara), struktur pemerintahan tercermin dalam ekspresi verbalnya dan wilayah negara di atur lengkap, dengan cara mbekteni angkatan perang yang kuat pada saat itu, ‘menghormati’, ngawekani memiliki lembaga tinggi negara yang ‘mengetahui adanya’ dan ekspresi berfungsi sebagai penasehat raja disebut nonverbalnya dengan memberi parampara ‘sumber rujukan’, sesaji kepada sosok gaib Ratu anggotanya dari kerabat raja yang Selatan. Apabila masih gangguan berusia tua, ulama, dan tokoh biasanya mengunakan mantra, doa, masyarakat. Raja senantiasa atau gaman ‘pusaka’ untuk berkonsultasi ke lembaga itu sebelum penawarnya. Mereka meyakini di bertindak. Sementara ada kerabat raja sepanjang pesisir selatan Kebumen yang juga ulama anggota dari di tempat nelayan mencari nafkah Parampara itu bernama Ki Bumidirja. ada penunggunya4. Penunggu Ketika Sultan Agung wafat, Ki Bumidirja tersebut diekspresikan secara verbal tidak sejalan dengan Amangkurat Rara Kidul dan secara variatif di pengganti Sultan Agung, karena dia beberapa tempat diekspresikan bekerja sama dengan VOC (Verenigde berbeda-beda. Untuk menetralisir Oost-Indische Compagnie ‘kongsi dagang tempat tersebut mereka Belanda di Hindi Timur’), kemudian Ki memperhatikan gaib dengan Bumidirja mengasingkan diri ke barat upacara ritual seperti sedekah-laut arah Panjer. Ki Bumidirja menyamar ‘sesaji-laut’ dan sedekah-bumi ‘sesaji- menjadi Kyai Bumi/ Ki Bumi agar tidak bumi’ sebagai persembahan; di diketahui Amangkurat, kemudian samping membaca mantra dan doa tempatnya di sebut Ka-bumi-an atau Ke- yang dilaksanakan di daratan dan di bumi-an selanjutnya secara fonetis lautan untuk memperoleh dilafalkan menjadi Kebumen, dan kesejahteraan, keselamatan, menjadi cikal-bakal Kabupaten ketenangan batin sesuai pesan Kebumen sekarang. leluhur. Sedekah laut dengan berbagai ubarampe ‘perangkat sesaji’ Kearifan Lokal yang Tercermin dalam sesuai pesan leluhur dan Ratu Kidul5, Ekspresi Verbal dan Nonverbal misalnya kupat-lepet ‘kupat dan Nelayan sebagai Cara untuk lepet’ memiliki makna kultural. Memanfaatkan Lingkungan Alam di Kupat akronim dari ngaku lepat Pesisir Selatan Kebumen ‘merasa bersalah’, dengan ritual itu Kearifan lokal yang tercermin dalam mereka minta maaf dan berharap ekspresi verbal dan nonverbal kearifan slamet ‘selamat’. Adapun lepet nelayan sebagai cara untuk dipahami berkolokasi dengan bentuk memanfaatkan lingkungan alam di dan makna lepat ‘salah’. Kearifan pesisir selatan Kebumen meliputi lainnya njabel ‘memetik’ padi dari berikut. 4 Infrorman Nasimin (54 tahun), Darmuji (76 tahun), Sarpin Muhtadi (58 tahun), Misdam (43 tahun), Kebumen, Jawa tengah, Indonesia). 5 Rara Kidul secara variatif di beberapa tempat ada personifikasi wanita Nyai Rara Kidul, Ibu Ratu, mBok Ratu, 3 Santajaya, Nyi Ronggeng, Dewi Sulastri, Ratu Pembayun, Sastra Gendhing antara lain berisi tentang Retna Suidha, Dewi Sulasih,dan personifikasi laki-laki Ki ajaran filsafat sosial (Damardjati Supadjar, 2001) Bandayuda, Ki Singayuda, Ki Bajul Putih, Ki Bagussetu). 228 sawah sebagian dibentuk boneka petani belum tentu penderes. Di diperlakukan layaknya Dewi Sri balik ekspresi verbal tersebut ‘Dewi Kemakmuran’ kemudian di terkandung makna bahwa mata simpan di lumbung disertai daun pencaharian utama mereka pada tawa, watu, dan kacang panjang. awalnya sebagai petani. Daun tawa dengan maksud padinya (3) Kearifan ekonomis, misalnya agar dingin atau tawa ‘menyebabkan tercermin dalam transformasi mata ayem’, watu ‘batu, kerat, kuat’ pencaharian dari petani ke nelayan, menyebabkan awet, dan kacang sehingga statusnya menjadi tani- dawa ‘kacang panjang’ menyebabkan nelayan atau sebaliknya nelayan-tani. awet, dawa ‘panjang’ bisa cukup (a) Ketika di darat di samping sampai musim panen berikutnya. menanam pari-gaga di sawah- (2) Kearifan kultural, yaitu kearifan ladang, mereka juga memanfaatkan dipraktikkan nelayan untuk lahan berpasir yang tandus melestarikan tradisi leluhur dengan kemudian diubah menjadi lahan cara mengulang setiap tahun, seperti produktif dengan cara ditaburi lemon mengadakan sedekah-laut ‘sesaji- ‘pupuk’ dari tlepong ‘kotoran sapi’ laut’ pada hari Selasa Kliwon bulan dan cemendhil ‘kotoran kambing’ Sura atau Sapar (tahun Jawa) untuk yang seimbang untuk menanam menghormati Ratu Kidul ‘Ratu Laut gandhul kalifornia ‘pepaya Selatan Jawa’ agar mendapatkan kalifornia’, tiris ‘bibit kelapa’, dan keselamatan. Sementara sedekah- berbagai sayuran lainnya. bumi ‘sesaji-bumi’ dilaksanakan (b) Mereka memanfaatkan potensi setiap tahun pada hari Selasa Kliwon lahan yang ada di sekitarnya, di bulan Sura atau Sapar (tahun Jawa) daratan untuk cakar bumi ‘bercocok untuk menghormati tanam’ sebagai petani, penderes dan mimang/dhanyang ‘penunggu peternak, maupun di lautan sebagai tempat tertentu’ ketika sebagai nelayan darat ‘mancing dan petani agar mendapatkan menjaring ikan dari daratan’ keselamatan hidup. Demikian pula maupun sebagai nelayan mlebu nelayan mengikuti arahan tradisi ‘melaut mencari ikan di tengah leluhur untuk mendirikan rumah lautan dengan perahu’. Profil mereka mengahadap ke selatan dengan sebagai masyarakat yang memiliki maksud tidak ngingkuri kesempatan di darat maupun di laut ‘membelakangi Ratu Selatan’, karena menyebabkan semua pilihan mata di samping takut kasedhak ‘kena pencaharian dijalani sebagai salah karma’ juga mengikuti tradisi satu strategi untuk mengatasi leluhur. Di samping itu, kultur persoalan nafkah hidup akibat mereka tercermin dalam ekspresi anomali musim yang ekstrem, verbal saben nelayan mesthi petani, pertumbuhan demografis dan nanging saben petani durung mesthi arahan pemegang otoritas setempat. nelayan ‘setiap nelayan tentu juga Tercermin dalam ekspresi verbalnya petani, tetapi setiap petani belum nyong ndi sing ana boga dioyik tebane tentu nelayan’, setara dengan asil ulih bena urip ‘saya (akan) ke ekspresi verbal itu saben penderes mana yang ada bahan makan dikejar mesthi petani, nanging saben petani durung mesthi penderes ‘setiap penderes tentu petani, tetapi setiap 229 tempat mendapat hasil agar (bisa) ‘kerja bakti/ gotong-royong’8. hidup’6. Mereka tidak risau dengan berapa (4) Kearifan geografis, misalnya lahan lama rob ‘banjir’ berlangsung, berpasir ditimbuni lemon ‘pupuk’ tercermin dalam ekspresi verbalnya agar mengandung humus dan bisa saya suwe iwak saya gedhe saya menanam tanaman atau pohon agar larang regane ‘semakin lama ikan tidak terkena abrasi. semakin besar semakin mahal (a) Untuk mengatasi abrasi agar air harganya’. Mereka mengetahui laut tidak mengikis pantai selatan paling lama rob sekitar 3 bulan, Kebumen, caranya dengan menanam seusia ikan harus segera di panen. pohon seperti klaraside, buah Kearifan ini juga termasuk kearifan nyamplung, tiris ‘bibit kelapa’ (cikal), ekonomi nelayan untuk memenuhi pandan, dan berbagai nafkah keluarga dimusim yang rerumpumputan seperti depleng, ekstrim. kemangian, pulutan, puyengan, (5) Kearifan teknis, misalnya cara rumput gajah. Prinsipnya tercermin nelayan di pesisir selatan Kebumen dalam ekspresi verbalnya lemah untuk menghadapi persoalan teknis mbluju kebak ledhu, udan kanginan mengidentifikasi gelombang laut, gampang growang ‘tanah berpasir, memilih jaring untuk ikan yang besar (terkena) hujan dan tiupan angin maupun yang kecil, memperbaiki mudah tergerus’, maka perlu laputan perahu, belajar menguasi perahu di sabarang wit ‘tanaman berbagai tengah laut ketika gelombag besar. pohon’7 dengan mengadakan Oleh karena pengalaman teknisnya gerakan reboisasi di sana. kurang mereka belajar ke nelayan (b) Ketika sawah ladangnya lain seperti di Cilacap yang tergenang rob ‘banjir’, caranya dipandang lebih tua umurnya dan mereka menaburi bibit ikan tawar, lebih banyak pengalaman melaut. seperti ikan bawal, mujaer, nila, lele, (6) Kearifan harapan, misalnya nelayan udang. Modalnya bersifat kolektif, menyadari hidupnya di peisisir pembagian hasilnya ditentukan selatan Kebumen, ketika daratan saham yang telah dikeluarkan, sedang paceklik maka laut menjadi tercermin dalam ekspresi verbalnya harapan baru untuk mencari nafkah. unggahmu pira udhunmu pira Apabila nafkah dari melaut sebagai ‘sahammu berapa, hasilmu nelayan dan dari darat sebagai mendapat berapa’. Cara petani sedang tidak menguntungkan, memanfaatkan musibah rob menjadi karena gelombang besar dan hama berkah baru dengan ditaburi tanaman sedang menyerang berbagai benih ikan tersebut sebagai tanamannya, maka pilihan lainnya kearifan nelayan menghadapi yaitu menderes ‘menyadap getah lingkungan alam. Prinsipnya manggar (bunga kelapa)’ dan memelihara gisik ‘sawah yang beternak menjadi alternatif harapan terlanda rob ‘banjir’ dengan kerigan lainnya, agar nafkah keluarga tetap dapat terpenuhi.

6 Infrorman Nasimin (54 tahun, Munggu, Petanahan, Kebumen, Indonesia) 7 Informan Pak Barjo (46 tahun), Pak Sarpin (58 8 Informan Pak Dirun (46 tahun, Munggu, tahun), Kebumen, Jawa Tengah Indonesia. Petanahan, Kebumen, Indonesia) 230 Aspek Sosiokultural yang keseimbangan alam dan spiritual untuk Memepengaruhi Ranah Tani-nelayan tetap tahu diri dengan memberikan ganti dan Nelayan-tani di Pesisir Selatan aweh bebana gula-klapa ‘memberi ganti Kebumen gula-kelapa’, tetapi tidak mau aweh jiwa- Aspek sosiokultural yang raga ‘memberikan jiwa-raga’. Makna mempengaruhi nelayan tercermin dalam kulturalnya secara matematis mereka makna kultural ekspresi verbal dan menyadari melaut ke samudera itu nonverbalnya. Misalnya makna kultural mengambil “milik” Dewa Samudra upacara ritualnya ketika sebagai tani- dengan meminta dukungan Dewa Bumi nelayan untuk mengormati Dewaning yang tetap disebutnya, sehingga mereka Samudra ‘dewa laut’ yang diekspresikan dengan memberi gula-klapa hasil dari Ratu Kidul dan nelayan-tani untuk darat sebagai gantinya, dengan harapan menghormati Dewi Sri sebagai Dewi jiwa-raganya tidak menjadi korban/ Kemakmuran atau mimang/dhanyang gantinya yang berarti selamat. ‘penunggu tempat tertentu’. Semua itu Mantra ketika menjaring ikan, dijalani agar hasil melaut tetap banyak, seperti nyong jala sira ora lunga, nyong tanaman mereka selamat dari hama (a)doh sangka darat, mara sapalilah sira, dalam siklus musim tanam yang sedang nyong butuhaken sapira kancanira kabeh berjalan mengikuti pranata mangsa gak ana sing kari, dadi-dadi kabeh wis ‘astronomi, perhitungan musim’ serta ngerti arep dadi siji kersaning Hyang pengelolaan hasil panennya sesuai Widi artinya ‘akan saya jaring kamu dengan perhitungan awal. Aktualitasnya (ikan) jangan pergi, saya jauh dari darat, antara lain tercermin dalam makna mendekatlah dengan suka rela, saya kultural ekspresi verbal mantra ketika butuhkan berapa temanmu semua mau melaut, misalnya Dewaning bumi jangan ada yang tertinggal, jadi-jadi dewaning samudra, nunut mangan semua sudah tahu akan berkumpul jadi sapalilahe, nyong mung aweh bebana satu atas ijin Tuhan’. Makna kulturalnya gula-klapa emoh jiwa-raga, slameta memberikan ilustrasi bahwa permintaan mangkat lan mulihe nyong rina lan nelayan kepada para ikan agar wengine, slamet-slamet kersaning Allah mengikuti harapannya untuk ditangkap artinya ‘Dewanya bumi dan Dewanya semuanya dan ikan agar menurut atas laut, numpang mencari rizki seikhlasnya, kesadarannya sendiri. Di samping itu saya hanya mau memberi ganti berupa menggambarkan bahwa “ikan” maupun gula-klapa, tetapi tidak mau kehilangan “Dewaning samudra” diperlakukan jiwa-raga, semoga saya selamat dengan “hormat”, yaitu terungkap seberangkat dan sepulangnya serta dengan kata sira ‘kamu’ kepada ikan. setiap malam dan siangnya, semoga Dalam perlakuan yang demikian itu selamat karena Allah’. Makna kultural secara semantik leksikon sira yang yang terkandung dalam mantra tersebut digunakan kepada ikan memiliki makna mmenunjukkan pola-pikir dan ideosinkresi (ideosyncresy)9 yang seolah- pandangan dunianya bahwa daratan dan olah ikan diperlakukan layaknya lautan itu ada yang menunggu yaitu manusia, karena nelayan menyadari Dewaning Bumi dan Dewaning Samudra, ketergantungan nafkahnya untuk tetapi dari semua itu berada dalam mendapatkan ikan di lautan dan kekuasaan Allah, maka dengan harapan kepercayaan akan perlindungan Dewa slamet-slamet kersaning Allah ‘selamat karena Allah’. Secara filosofis 9 Ideosinkresi (ideosyncresy) yaitu makna yang diberikan mencerminkan cara mereka menjaga secara istimewa dan mengandung keanehan (Echols dan Shadily, 1996: 310). 231 Samudera terhadap mereka dari padi, mantranya nyongn nandur Dewi Sri kekhawatiran akan ancaman Santajaya ana kene, mbabar pari sakethi sak terhadap keselamatan nelayan di pesisir palilahe Hyang Widhi, subur-subur dadi laut selatan Kebumen pada waktu siang makmur ‘saya menanam Dewi Sri ada di dan malam. sini, menabur sejumput padi, seijin Ekspresi verbal dan nonverbal tani- Tuhan, subur-subur menjadi makmur’. nelayan maupun nelayan-tani Mantra jabel ‘memanen’ padi, ekspresi menunjukkan proses transformasi yang verbalnya nyong mboyong Dewi Sri mencerminkan kearifan lokal nelayan, maring kadhatone dadi pari nguripi yaitu cara alami yang dipilih untuk mbarkahi sabumi ‘aku membawa Dewi mencapai kesejahteraan hidup, sekaligus Sri ke dalam istananya, menjadi beras mencerminkan pandangan hidup (way yang menghidupi seluruh bumi’. Dalam of life), pandangan dunia (world view), dunia nelayan memiliki mantra sebagai pola-pikir sebagai sistem pengetahuan penyerta aktivitas non verbal sebagai (cognition system) nelayan di pesisir berikut. ‘Dewaning bumi dewaning selatan Kebumen. Dengan demikian samudra, nunut mangan sapalilahe, nelayan berusaha untuk berlaku sopan- nyong mung aweh bebana gula klapa santun di lautan bahkan “bekti” emoh jiwa raga, slameta mangkat lan ‘menghargai’ dan menyadari akan mulih nyong rina lan wengine slamet- ketergantungan hidupnya terhadap slamet kersaning Allah’ artinya ‘Dewanya nafkah dari hasil laut, di samping di bumi dan Dewanya laut, numpang darat sebagai petani. Sementara laut mencari rizki seikhlasnya, saya hanya dengan segala jenis komunitas ikannya mau memberi ganti berupa gula kelapa, ada yang menguasai, di situlah muncul tetapi tidak mau jiwa raga, semoga saya pemikiran untuk minta ijin dan doa selamat seberangkat dan sepulangnya keselamatan, sedekah-laut ‘sesaji laut’ serta setiap malam dan siangnya, dengan cara turun dari perahu di tengah semoga selamat karena Allah. laut sebagai bagian dari upacara Sedangkan ekspresi nonverbalnya ritualnya. tercermin dalam upacara ritualnya, misalnya sedekah bumi dan sedekah laut Ekspresi Verbal dan Nonverbal yang ekspresi nonverbalnya mencerminkan Mencerminkan Pola pikir, Pandangan pola piker, pandangan hidup dan Hidup, dan Pandangan terhadap pandangan terhadap dunianya. Dunia Masyarakat Nelayan di Pesisir Perangkat sesaji didoakan sebagai Selatan Kebumen ucapan syukur kepada Tuhan atas Melalui ekspresi verbal dan nonverbal berkah panen padi bagi petani dan hasil masyarakat tani-nelayan dan nelayan- melaut bagi nelayan. Perangkat sesaji tani di pesisir selatan Kebumen dapat tersebut memiliki empat manfaat, yaitu disimak pola pikir, pandangan hidup dan ekspresi nonverbal lengkap dengan pandangan terhadap dunianya. Ekspresi ekspresi verbalnya tentang nonverbal (upacara ritual, perangkat persembahan kepada Tuhan, kepada sesaji) selalu diikuti ekspresi verbalnya penguasa laut, penguasa darat, dan (istilah-istilah) dan maknanya dapat untuk sesama. Dengan maksud memiliki dianalisis berdasarkan konteks bahasa keseimbangan antara makro kosmos dan budayanya. Misalnya wiwit dan mikro kosmos, horisontal dan ’menanam’ dan saat jabel ‘memanen’ vertical, dan sebagai mayarakat Jawa padi mencerminkan ranah petani. yang religius masih memiliki rasa Ekspresi verbal petani wiwit ‘menanam’ solidaritas antar sesama, saling berbagi, 232 dan bergotong- royong. Di samping itu Bebasa, Saloka, Pepindhan dan juga mencerminkan pola pikirnya, Sanepa”, Laporan Penelitian, karena dengan mantra tersebut nelayan- Surakarta: Program Pascasarjana tani menabur benih padi dan nelayan Universitas Sebelas Maret. melaut berharap bisa memetik hasil Fernandez, Inyo Yos, 2008, “Kategori lebih banyak karena ijin Tuhan. dan Ekspresi Linguistik dalam Filosofinya karena berkah Tuhan semua Bahasa Jawa sebagai Cermin titahnya atas usaha tani-nelayan dan Kearifan Lokal Penuturnya: Kajian nelayan-tani akan cukup menghidupi. Etnolinguistik pada Masyarakat Pandangan terhadap dunianya sebagai Petani dan Nelayan”, dalam Kajian tani-nelayan dan nelayan-tani harus Linguistik dan Sastra Vol.20 No.2, memanfaatkan lingkungan lautan Desember 2008: 166-177. maupun daratan di pesisir selatan Foley, W. A. 1997. Anthropological Kebumen untuk kehidupannya. Linguistics An Introduction. University of Sydney: Blackwell SIMPULAN Publishers. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan Herawati, Isni. 1997. “Nelayan Rawa bahwa kearifan lokal yang Pening: Studi Kasus Pencari Ikan”. mencerminkan cara nelayan untuk dalam Laporan Penelitian Jarahnitra memanfaatkan lingkungan alam di Yogyakarta, No.012/P/1997, ISSN pesisir selatan Kebumen untuk 0854/3178. memperoleh kesejahteraan hidup Mubyarto. 1984. Nelayan dan berdasarkan petunjuk (guideline) Kemiskinan: Studi Antropologi leluhurnya, meliputi cara yang Ekonomi. Jakarta: C.V. Rajawali. mencerminkan (1) kearifan spiritual, (2) Nothofer, B. 1989. „Tinjauan Sinkronis kearifan kultural, (3) kearifan ekonomis, dan Diakronis Dialek-dialek Bahasa (4) kearifan geografis, (5) kearifan Jawa di Jawa Barat dan Jawa Tengah teknis, dan (6) kearifan harapan nelayan. Bagian Barat“. Makalah. Pusat Studi Kearifan nelayan yang tercermin dalam Bahasa-bahasa Asia Tenggara- ekspresi verbal dan nonverbalnya Pasifik. Yogyakarta: Fakultas Sastra tersebut dapat mencerminkan pola pikir, Universitas Gadjah Mada, tanggal 8 pandangan hidup, dan pandangan Desember 1990. terhadap dunianya di pesisir selatan Pujiyatno, Ambar. 2007. Variasi Dialek Kebumen yang dipengaruhi oleh konteks Bahasa Jawa di Kabupaten Kebumen sosiokultural bahasa dan budaya Jawa (Kajian Sosiodialektologi). Tesis S-2. pesisir selatan Kebumen di mana Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana nelayan berada. Universitas Gadjah Mada. Spradley, James P. 1997. The DAFTAR PUSTAKA Ethnographic Interview. Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2007. Diterjemahkan oleh Misbah Zulfa Ilmuwan Budaya dan Revitalisasi Alizabeth dengan Judul Metode Kearifan Lokal. Tantangan Teoretis Etnografi, Yogyakarta: Tiara dan Metodologis. Pidato Ilmiah Dies Wacana. Natalis FIB UGM ke 62 di Sudiro, Samid. 1986. Bahasa Jawa di Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Kabupaten Kebumen dalam Mada University Press. Soedarsono (ed.). Kesenian, Bahasa Edi Subroto, D., dkk., 2003, “Kajian dan Folklor Jawa. Yogyakarta: Etnolinguistik Terhadap Paribasan, Proyek Penelitian dan Pengkajian 233 Kebudayaan Nusantara, Ditjen Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sumintarsih, Salamun, Sukeri, Christyati Ariani. 2005. Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Nelayan Madura. Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisonal. Suyami, Ambar Adriyanto, Sumardi, Isni Herawati, Siti Munawaroh. 2005. Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Nelayan Jepara Jawa Tengah. Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisonal. Syarifuddin. 2008. Mantra Nelayan Bajo: Cermin Pikiran Kolektif Orang Bajo di Sumbawa. Disertasi. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Tim, 2009, “Penetapan Hari Jadi Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Kebumen”, Diktat, Kebumen: Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Kebumen. Wakit Abdullah dan M.V. Hartini. 2009. “Bahasa dan Budaya Jawa Nelayan di Pesisir Selatan Kabupaten Kebumen Ditinjau dari Perpektif Etnolinguistik”. Hasil Survey. Nopember-Desember 2009. Surakarta: Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.

234 KARAKTERISTIK FITUR-FITUR PRAGMATIK DALAM TIPE-TIPE KALIMAT BAHASA MANDARIN (The Characteristics of Pragmatic Features of Sentence Types in Mandarin )

Zhang Huiye10

Yunnan Nationalities University 134 Yi Er Yi Avenue, Kunning, China

Abstract

This paper aims to describe the different types of sentences in Mandarin and also characteristic of pragmatic features in the use of Chinese sentence types, either expressed (explicit) or implied (implicit). The theory used in this study is a pragmatic theory proposed by Katz. The results showed that the traits or characteristics of the pragmatic features in Mandarin has a uniqueness that is different from other languages in the world. Types of sentences in Chinese, interrogative sentence type have asked said that it's not at the beginning but at the end of sentences or questions. Compared to Chinese, Indonesian language lies the question words usually at the beginning of the sentence. The declarative sentences and imperative sentences may also contain a speech act perlocution than ilocution, and locutions. Speech act of locution and ilocutions still have generally function with the intent to suit the content of the conversation according to the grammatical structure in Mandarin

Keywords: pragmatic, Chinese sentences, proposition

Abstrak

Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan perbedaan tipe-tipe kalimat dalam bahasa Mandarin dan juga karakteristik fitur-fitur pragmatik dalam pemakaian tipe-tipe kalimat bahasa Mandarin, baik secara tersurat (explicit) maupun secara tersirat (implicit). Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pragmatik yang dikemukakan oleh Katz. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ciri-ciri atau karakteristik fitur-fitur pragmatik dalam bahasa Mandarin memiliki kekhasan tersendiri yang berbeda dari bahasa-bahasa lain di dunia. Dalam tipe-tipe kalimat bahasa Mandarin, tipe kalimat interogatif mempunyai kata tanya yang letaknya tidak di awal kalimat tetapi di akhir kalimat tanya. Dibandingkan Bahasa Mandarin, dalam bahasa Indonesia letak kata tanya biasanya pada awal kalimat. Adapun kalimat deklaratif dan kalimat imperatif dapat pula mengandung tindak tutur perlokusi selain ilokusi dan lokusi. Tindak tutur lokusi dan ilokusi tetap mempunyai fungsi yang berlaku umum dengan maksud yang sesuai dengan isi pembicaraan sesuai dengan struktur gramatika dalam bahasa Mandarin

Kata-Kata Kunci: pragmatik, kalimat bahasa Cina,, proposisi

10 School of Southeast Asia and South Asia Languages and Cultures, Yunnan Nationalities University, Kunning, Yunnan, China 235 PENDAHULUAN pertama, terdapat rangkaian kata huān Pada waktu liburan yang lalu, ketika yíng guāng lín yang secara harafiah pulang ke kota kelahiran saya, Kunming berarti ‘menyambut kedatangan’ atau Provinsi Yunnan, saya bersama dengan dimaksudkan untuk mengucapkan beberapa teman berkunjung ke sebuah ‘selamat datang’. Sapaan itu seringkali restoran yang ada di sana. Ketika diucapkan juga oleh para penerima tamu memasuki ruangan restoran itu, seorang (receptionist) atau bahkan biasa tertulis pelayan menyambut kami dengan pada permadani yang terhampar di sapaan awal yang hangat dalam bahasa depan pintu masuk. Mandarin berupa kalimat berikut. Kalimat dalam contoh 2) berbentuk kalimat tanya karena mengandung kata 1) Gè wèi, huān yíng guāng lín! tanya shén me yang bermakna ’apa’. ‘setiap orang, menyambut Dalam pola urutan kalimat, kata tanya kedatangan (Anda sekalian)’ ‘apa’ biasanya terletak di bagian akhir ‘Saudari-saudari yang terhormat, kalimat dalam bahasa Mandarin. Jika kami ucapkan selamat datang! dibandingkan, letak kata tanya dalam 2) Wǒ kě yǐ bāng nín zuò shén me ne? bahasa Indonesia biasanya terdapat ‘saya dapat bantu Anda melakukan apa (part.)’ pada bagian awal “Apa yang dapat kami ‘Apa yang saya dapat bantu (Anda)?’ bantu?”. Kata tanya apa dalam bahasa 3) Jīn tiān de tè sè cài shì mù guā jī. Indonesia, menurut Ramlan (1985), ‘hari ini (part.) spesial makanan biasanya digunakan untuk menanyakan adalah papaya ayam’ benda, tumbuh-tumbuhan, dan hewan. ‘(Menu) makanan yang spesial pada Di dalam contoh kalimat (2), ‘apa’ di hari ini adalah ayam dengan bumbu dalam bahasa Mandarin menanyakan papaya.’ hal-hal ‘yang dibendakan’ (yaitu ‘sesuatu 4) Nà biān qǐng zuò ! yang dapat kami bantu’ (konsep ‘sana sebelah silakan duduk (part.)’ abstrak). Hal itu diungkapkan oleh ‘Silakan duduk di sebelah sana!’ pelayan, karena belum diketahui juga apa yang diinginkan oleh para tamu. Satu per satu keempat kalimat itu Namun, konsep itu tidak memberi disampaikan dengan sopan oleh pelayan tambahan informasi, pun kepada para restoran itu, dengan maksud agar kami tamu karena hanya bersifat basa-basi merasa senang sejak awal di restoran itu saja. dan mau menikmati pelayanannya Kalimat dalam contoh 3) adalah untuk makan di sana. Seperti biasanya, kalimat berita positif. Menurut Ramlan mendengar tuturan itu, kami semuanya (2005), “Kalimat berita biasanya merasa senang dan puas atas pelayanan berfungsi untuk memberitahukan di awal kunjungan itu. sesuatu kepada orang lain sehingga Kalimat-kalimat yang disampaikan tanggapan yang diharapkan berupa itu memiliki tipe yang berbeda-beda. perhatian seperti tercermin pada Dalam contoh 1) kalimat diucapkan pandangan mata bertujuan memberi dalam bentuk kalimat deklaratif yang perhatian.” Para tamu mungkin lebih mengadung arti ‘mempersilakan’. Kata suka masuk ke restoran itu karena di gè wèi dalam bahasa Mandarin berarti sana terkenal menu makanan khusus ‘setiap orang’. Tuturan itu biasa yaitu mù guā jī ‘ayam bumbu papaya’. diucapkan sebagai sapaan untuk Demikian pula, kalimat dalam contoh 4 mengawali pelayanan, baik di restoran, merupakan kalimat imperatif karena hotel, atau supermarket. Demikian juga, kalimat “persilaan” seperti itu termasuk pada bagian terakhir dari kalimat 236 kalimat imperatif. Informasi ini secara (‘Teori pragmatik, sebagai kontras tersirat menyatakan bahwa para tamu (terhadap teori semantik) tidak akan dilayani para pelayan dalam tahap menjelaskan sesuatu secara tersurat selanjutnya. berkaitan dengan struktur konstruksi- Berdasarkan contoh-contoh di atas, konstruksi struktur linguistik atau alat- alat gramatikal atau relasi gramatikal. tampak bahwa komunikasi memerlukan Apa yang dijelaskan adalah sejumlah alat gramatikal dalam tipe menyelaraskan tuturan suatu kalimat kalimat yang beragam. Tipe-tipe kalimat dengan tipe-tipe semantik. Teori yang mewujudkan ujaran dalam bahasa pragmatik itu secara tersurat Mandarin cukup rumit, walaupun menjelaskan alasan para penutur dan ungkapan itu merupakan tuturan lisan pendengar dalam melancarkan korelasi sehari-hari. Karena itu, pembentukan dalam suatu konteks kalimat, yaitu kalimat-kalimat tersebut cenderung hal tuturan suatu kalimat dengan sebuah yang mudah, meskipun perlu digunakan proposisi’). sesuai dengan situasinya. Berdasarkan situasi itu terbentuk karakteristik fitur- Menurut Leech (1983), pragmatik fitur pragmatik dalam tipe-tipe kalimat adalah studi penggunaan bahasa dalam bahasa Mandarin seperti dijelaskan di komunikasi. Secara lebih spesifik atas. dinyatakan bahwa pragmatik adalah Dengan demikian, dalam mengkaji cabang linguistik yang mengkaji bentuk, pragmatik perlu dipahami karakteristik makna, fungsi ujaran dalam konteks fitur-fitur tipe-tipe kalimat bahasa penggunaannya. Selain mengkaji bentuk, Mandarin. Makalah ini bertujuan untuk makna, dan fungsi ujaran, pragmatik mendeskripsikan perbedaan tipe-tipe juga mengkaji tindak tutur yang kalimat dalam bahasa Mandarin, selain berhubungan sangat erat dengan fungsi menjelaskan karakteristik fitur-fitur ujaran. Yang dimaksud dengan tindak pragmatik dalam pemakaian tipe-tipe tutur dalam hal itu adalah perilaku kalimat bahasa Mandarin, baik secara verbal ketika pertanyaan diajukan, atau tersurat (explicit) maupun secara ketika menyampaikan pernyataan, tersirat (implicit). menolak atau menerima tawaran Dalam beberapa pustaka yang (Gunarwan, 1994). menguraikan pragmatik dijelaskan Selanjutnya, dalam pustaka lain konsep teoretis pragmatik sebagai yang menguraikan konsep pragmatik, berikut. Katz (1977 melalui Mühlhäusler, Austin (1971) menjelaskan bahwa 1990) menjelaskan konsep pragmatik tindak tutur dapat dibagi menjadi 3 jenis sebagai berikut. yaitu tindak tutur lokusioner, ilokusioner, dan perlokusioner yang disebut juga “Pragmatic theories, in contrast (to sebagai lokusi, ilokusi, dan perlokusi. semantic theories), do nothing to Lokusi merupakan tindak tutur yang explicate the structure of linguistic menyatakan makna kata sesuai dengan constructions or gramatical properties makna leksikalnya dan menyatakan or relations. What they do is assign makna gramatikal sesuai dengan unsur- sentence tokens to semantic types. unsur pembentuk struktur sintaksisnya. They explicate the reasoning of Ilokusi adalah tindak tutur dengan speakers and hearers in working out maksud yang berbeda dengan makna the correlation in a context of a gramatikal yang menyangkut maksud, sentence token with a proposition.” fungsi atau daya ujaran. Adapun perlokusi merujuk pada tindak tutur

237 yang membawa efek untuk dilaksanakan Apa yang disampaikan penutur oleh pendengarnya (Austin, 1997, diharapkan dapat memperoleh Gunarwan, 1994). tanggapan dari pihak yang dituju tuturan itu. TEORI Pandangan Ramlan tersebut juga Kalimat Imperatif Berimplikasi diuraikan oleh Zhu De-xi (1983) secara Pragmatik dalam Bahasa Mandarin khusus mengenai bahasa Mandarin. Menurut Ramlan (2005), dalam bahasa Dinyatakan bahwa kalimat imperatif Indonesia berdasarkan fungsinya dalam atau kalimat suruh dalam bahasa hubungan situasi, kalimat imperatif atau Mandarin dapat dibedakan atas dua kalimat suruh dimaksudkan sebagai golongan sebagai berikut. ujaran yang diucapkan penutur dan 1). Kalimat imperatif berimplikasi positif mengharapkan agar pihak yang disuruh 2). Kalimat imperatif berimplikasi melakukan tindakan orang yang negatif menyuruh. Dengan demikian, lokusi yang diharapkan pihak penutur dapat Karena dalam bahasa Mandarin, terpenuhi. Lebih lanjut, lokusi yang kalimat imperatif berimplikasi positif disampaikan penutur dalam kalimat diungkapkan baik dengan kalimat suruh imperatif sesuai dengan strukturnya yang sebenarnya, maupun kalimat dapat digolongkan menjadi empat persilaan atau kalimat ajakan secara golongan, yaitu: eksplisit dan secara implisit untuk 1). Kalimat suruh yang sebenarnya mengungkapkan apa yang diharapkan 2). Kalimat persilaan penutur. Dengan demikian, 3). Kalimat ajakan pembagiannya dapat dilihat sebagai 4). Kalimat larangan berikut.

1). Kalimat suruh yang sebenarnya 2). Kalimat persilahan kalimat imperatif berimplikasi positif 3). Kalimat ajakan 4). Kalimat larangan kalimat imperatif berimplikasi negatif

HASIL DAN PEMBAHASAN ‘tolong me-kan itu buah (KP) buku Kalimat Imperatif Berimplikasi ambil ke sini!’ Positif dalam Bahasa Mandarin Dalam bahasa Mandarin, kalimat suruh ‘Tolong ambilkan buku itu ke sini!’ yang sebenarnya berarti bahwa seseorang benar-benar perlu meminta Dalam contoh di atas, dapat diamati tolong kepada orang lain karena dia bahwa penutur meminta tolong benar-benar tidak mampu melakukan mengambilkan buku itu. Namun, dalam hal tertentu. Contoh tuturan tersebut kalimat ini, pihak yang diminta tolong dapat dilihat sebagai berikut. biasanya termasuk kata ganti orang kedua, walaupun di kalimat tidak (5) qǐng bǎ nà běn shū ná guò lái! muncul pronomina.

238 (6) qǐng bǎ chuāng hù guān qǐ lái! subjek kalimat imperatif dapat menjadi ‘tolong me-kan jendela tutup’ kalimat deklaratif dengan perubahan ‘Tolong tutupkan jendala ini!’ partikel yang sesuai.

Dalam contoh di atas, memperlihatkan (7b) wǒ (tā, tā men) hěn kuài zǒu le. bahwa penutur minta tolong agar ‘saya (dia, mereka) sangat cepat jendela itu ditutup karena mungkin di pergi le (pemarkah kala).’ luar sedang turun salju sehingga terasa ‘Saya (dia, mereka) akan segera dingin sekali. Mungkin juga di luar pergi. ’ sangat ramai, sehingga penutur tidak dapat berkonsentrasi belajar. Dengan Kalimat imperatif pada contoh demikian, ujaran yang dituturkan dapat kalimat (8) berikut ini mengandung diikuti oleh mitra bicaranya. suruhan secara eksplisit. Contoh-contoh di atas, yaitu kalimat (5) dan kalimat (6) yang diungkapkan (8) qǐng nǐ bǎ yī fú jiǎn qǐ lái! dalam tuturan itu tidak menyatakan ‘tolong kau me-kan baju angkat’ maksud secara implisit, tetapi secara ‘Tolong angkat baju di lantai itu! ’ eksplisit. Secara eksplisit berarti secara tersurat, sedangkan secara implisit Dalam kalimat (8), situasi tuturan berarti secara tersirat. berbeda dengan kalimat sebelumnya Dalam bahasa Mandarin, penutur karena dipengaruhi pula oleh intonasi dapat juga memakai bentuk jamak orang tuturan yang berbeda. Seorang ayah, pertama. Dalam situasi tutur ini, semua misalnya, menyuruh anaknya yang pendengar termasuk disertakan seperti sedang asyik bermain tetapi tidak peduli di dalam contoh berikut. pada baju yang jatuh di lantai. Reaksi ayah ini muncul karena ketidakpuasan. Namun, ketika dituturkan kalimat ini (7) Zán men kuài zǒu ba! ‘kita cepat pergi (Part).’ dengan pelan-pelan, diharapkan ‘Mari kita pergi cepat-cepat!’ anaknya akan bereaksi positif. Situasi (7a) Ni men gan kuai qu ba! tutur dalam kalimat ini dibentuk dengan ‘kalian cepat pergi (Part)’ pemakaian kata “tolong”, walaupun ‘Pergilah (kalian) cepat-cepat.’ tidak bermaksud untuk meminta tolong secara eksplisit melainkan secara Kata ganti orang pertama jamak implisit. “kita” dalam kalimat (7) dipakai sebagai subjek kalimat dengan alasan yang Kalimat Imperatif Berimplikasi berbeda dari kalimat (7a) yang fungsi Negatif subjeknya diisi oleh orang kedua jamak. Dalam bahasa Mandarin, kalimat Kalimat (7) adalah kalimat imperatif imperatif dapat berimplikasi negatif yang berisi ajakan di mana penutur seperti berikut. terlibat bersama yang diajak bicara. Adapun kalimat imperatif (7a) berisi (9) nǐ béng guǎn. suruhan agar yang diajak bicara ‘kamu jangan mengurus (hal ini). melakukan sesuatu. ‘ Jangan urus hal ini! ’ Perlu dicatat bahwa jika diganti (10) nǐ bú yào zài yì! fungsi subjek dengan orang pertama ‘kamu jangan peduli’ tunggal “saya”, orang ketiga tunggal ‘Jangan kamu peduli!’ “dia”, atau ketiga jamak “mereka”, maka dalam contoh kalimat (7b) berikut, 239 Kalimat dalam contoh 9 dan 10 berbeda dengan pola intonasi kalimat mengandung arti imperatif negatif yang berita atau imperatif. menghendaki subjek tidak melakukan Seperti halnya dalam bahasa- sesuatu atau bereaksi negatif. Oleh bahasa Barat atau bahasa Indonesia, karena itu, fungsi subjek diisi oleh kata bahasa Mandarin pun memiliki kata-kata ganti orang kedua tunggal atau jamak. tanya yang mempunyai makna menanyakan waktu (when), sesuatu Kalimat Deklaratif dalam Bahasa benda (what), tempat (where), alasan Mandarin (why), siapa (who), dan bagaimana Sesuai dengan situasi tutur, kalimat (how). Akan tetapi, dalam urutan berita atau kalimat deklaratif berfungsi beruntun posisi kata-kata tanya itu untuk memberitahukan sesuatu kepada dalam setiap bahasa tempatnya seseorang sehingga memberi tanggapan berbeda-beda. Misalnya, urutan kata- atas yang diharapkan penutur berupa kata tanya dalam bahasa Mandarin perhatian seperti tercermin misalnya letaknya berbeda dengan yang terdapat pada pandangan mata yang dalam kalimat tanya dalam bahasa menunjukkan adanya perhatian Indonesia. Sebagai contoh perhatikan (Ramlan, 2005). Menurut Ramlan, kalimat tanya dalam bahasa Mandarin kalimat deklaratif merupakan kalimat berikut. yang hanya ingin diberitahukan penutur kepada seorang, yang berkenaan dengan (13) Ní hé shí néng dào dá xué xiào? situasi yang ada. Dalam bahasa ‘kau bagaimana sampai kampus? ’ Mandarin, fungsi kalimat deklaratif sama ‘Bagaimana kau sampai ke juga dengan kalimat dalam bahasa kampus?’ Indonesia, seperti dalam contoh-contoh (14) Ní zhèng zài zuò shén me? ‘kau lagi melakukan apa?’ berikut. ‘Apa yang sedang kau lakukan?’ (15) Nǐ xiàn zài yào qù nǎ li? (11) jīn tiān Dani yào qù Malioboro gòu ‘kau sekarang akan ke mana?’ wù. ‘Ke mana kau akan pergi sekarang?’ ‘hari ini akan ke Malioboro (16) Ni wèi shén me bú gào sù wǒ? berbelanja’ ‘kau mengapa tidak beritahukan ‘Hari ini Dani akan berbelanja ke saya?’ Malioboro.’ ‘Mengapa kau tidak beritahukan (12) xià zhōu yǒu qī zhōng kǎo shì. saya? ‘depan minggu ada semester tengah (17) Zhàn zài nà lǐ de nà rén shì shuí? ujian’ ‘berdiri di sana (Part.) itu orang ‘Pada minggu depan ada ujian adalah siapa’ tengah semester.’ ‘Siapa yang berdiri di sana itu?’

Contoh 11—12 di atas, penutur Dalam contoh-contoh kalimat 13 mau memberitahukan pada suatu waktu sampai 17 di atas, pada umumnya kata Dani akan melakukan sesuatu, yaitu tanya dalam bahasa Mandarin terletak “berbelanja”. pada bagian kalimat yang terakhir, kecuali pada kalimat (13) dan (16). Kalimat Tanya dalam Bahasa Biasanya, kalau diucapkan kata tanya Mandarin pada bagian terakhir dari kalimat- Kalimat tanya yang berfungsi kalimat itu ditandai dengan intonasi menanyakan sesuatu dalam bahasa yang naik. Mandarin memiliki pola intonasi yang 240 Tipe-tipe Kalimat Bercirikan Fitur- fitur Pragmatik dalam Bahasa (20) kě lián mǔ qīn dú zì zhù zài Mandarin zhè lǐ? Tipe-tipe kalimat bahasa Mandarin ‘tega hati ibu sendiri tinggal di sini.’ seperti diuraikan di atas meliputi tipe ‘Tega hatikah kamu melihat Ibu tinggal kalimat deklaratif, imperatif, dan sendirian di sini?’ interogatif. Setiap tipe kalimat tersebut dapat membentuk kalimat dengan ciri- Kalimat dalam contoh (20) ciri pragmatik. Sebagai contoh kalimat merupakan kalimat interogatif yang deklaratif dalam bahasa Mandarin yang diucapkan seorang ibu dalam situasi mengandung jenis tindak tutur perlokusi tutur sedih karena anaknya akan pergi seperti dalam contoh berikut. meninggalkan ibunya di tempat asalnya ketika anak itu mau pergi jauh. Kalimat itu diucapkan sebagai tindak tutur (18) “wǒ yǐ jīng hěn cháng shí jiān méi chī béi jīng kǎo yā le.” perlokusi supaya anaknya tidak ‘”saya sudah sangat lama waktu meninggalkan dirinya untuk pergi ke tidak makan Peking bebek tempat yang jauh. Dengan demikian, Edi xiān shēng shuō. kalimat interogatif pun seperti juga Edi Pak bilang.” kalimat dekleratif dan kalimat inperatif, “Sudah lama saya tidak makan dapat mengandung karakteristik fitur- bebek Peking.” kata Pak Edi. fitur pragmatik dalam bahasa Mandarin.

Kalimat di atas dituturkan Pak Edi SIMPULAN yang sudah pernah pergi ke Peking Ciri-ciri atau karakteristik fitur-fitur kepada mahasiswa yang baru saja pragmatik dalam bahasa Mandarin pulang dari Peking. Tuturan itu memiliki kekhasan tersendiri yang mempunyai maksud bahwa Pak Edi berbeda dari bahasa-bahasa lain di pernah makan bebek Peking waktu di dunia, termasuk berbeda dari bahasa Peking China. Beliau bangga pernah Indonesia. Dalam tipe-tipe kalimat menikmati makanan yang enak dan bahasa Mandarin, tipe kalimat terkenal di negera China. interogatif mempunyai kata tanya yang letaknya tidak di awal kalimat tetapi di (19) rú guó gǎn nǐ qù zhāi nà yuán akhir kalimat tanya. Dibandingkan zi lǐ de huā. Bahasa Mandarin, dalam bahasa ‘jika berani kamu pergi petik itu Indonesia letak kata tanya biasanya pada taman bunga.’ ‘Petik bunga di taman itu jika awal kalimat. Adapun kalimat deklaratif berani.’ dan kalimat imperatif dapat pula mengandung tindak tutur perlokusi Kalimat dalam contoh (19) selain ilokusi dan lokusi. Tindak tutur mengandung arti melarang seseorang lokusi dan ilokusi tetap mempunyai melakukan tindakan yang dilarang oleh fungsi yang berlaku umum dengan penutur dalam kalimat imperatif. maksud yang sesuai dengan isi Kalimat itu juga berarti sebuah pembicaraan sesuai dengan struktur tantangan untuk lawan bicara gramatika dalam bahasa Mandarin. menghadapi risiko jika melanggar. Selain itu, dalam kalimat interogatif tindak tutur perlokusi juga dapat diamati seperti dalam contoh berikut.

241 DAFTAR PUSTAKA Austin, J.L. 1955. How to Do Things With Words. New York: Oxford University Press. Katz, J.J. 1977. Propositional Structure and Illocutionary Acts. New York: Crowell. Mühlhäusler, Peter & Harré, Rom. 1990. Pronouns & People: The Linguistic construction of social and personal identity. Oxford: Basil Blackwell Ltd. Kridalaksana, Harimurti. “Sintaksis Fungsional”. Dalam Kridalaksana, 2002. Struktur, Kategori, dan Fungsi dalam Teori Sintaksis. Jakarta: Universitas Katolik Atma Jaya. Kridalaksana,Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Lyons, John. 1978. Semantics: Volume I & II. Cambridge: Cambridge University Press. Mey, Jacob L. 1994. Pragmatics: An Introduction. Blackwell: Oxford Uk & Cambridge Usa. Ramlan, M. 1985. Tata Bahasa Indonesia: Penggolongan Kata. Yogyakarta: Andi Offset. ------. 2005. Ilmu Bahasa Indonesia Sintaksis. Yogyakarta: CV.Karyono Sgall. Petr, via, Edited by Jacob L. Mey. 1986. The Meaning of the Sentence in Its Semantic and PragmaticAspects. D. Reidel Publishing Company Zhu De-Xi. 1980. Xiandai Hanyu Yufa Yanjiu. Beijing: Shangwu Inshuguan. Zhu De-Xi. 2005. Yufa Jiangyi. Beijing: Shangwu Inshuguan.

242 REDUPLIKASI MORFEMIS DALAM BAHASA KEO (Morphemic Reduplication of Keo Language)

Maria Magdalena Sinta Wardani

Universitas Flores Jalan Soekarno No. 6—8, Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur Pos-el: [email protected]

Abstract

This paper describes the process of morphological analysis in the form of reduplication of Keo language. The theory used to find the reduplication rules is Morris Halle’s theory. The technique used in this study is interview technique. It is used to interview informants and record folklore. The data obtained were analyzed using distributional method and presented in the form of descriptions. From the analysis of the data, it can be concluded that the morpheme reduplication occurs in the morpheme consisting of one syllable or two syllables, there are full form of looping rules {Stem + R}, and reduplication has many meanings, namely 'many' which is performed ‘intensively’, ‘deintensively’, ‘frequenly’, ' explaining action', and 'collection'.

Keywords: morphemic reduplication, Keo language

Abstrak

Makalah ini memaparkan analisis proses morfologis bahasa Keo yang berupa reduplikasi. Teori yang digunakan untuk mencari kaidah reduplikasi adalah teori kaidah pembentukan kata menurut Morris Halle. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik cakap semuka yang digunakan saat mewawancarai informan dan merekam folklor. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode agih dan disajikan dalam bentuk uraian. Dari hasil analisis data jadi dalam morfem dapat disimpulkan bahwa reduplikasi terjadi dalam morfem yang terdiri atas satu silabel maupun dua silabel, adanya bentuk perulangan penuh dengan kaidah {Stem + R}, dan reduplikasi memiliki banyak makna, yakni yang artinya ‘banyak’, yang dilakukan dengan cara yang ‘sungguh-sungguh’ (intensif), dilakukan dengan ‘tidak sungguh- sungguh’ (deintensif), dilakukan ‘berulang-ulang’ (frekuentif), bermakna ‘menerangkan tindakan’, dan bermakna ‘kumpulan’.

Kata-Kata Kunci: reduplikasi morfemis, bahasa Keo.

243 PENDAHULUAN itu, dari pengamatan dapatlah Kajian morfologi tak bisa lepas dari dikemukakan dua petunjuk dalam pembicaraan mengenai proses menentukan bentuk dasar bagi kata morfologis, yakni proses yang mengubah ulang, yakni: (1) pengulangan pada leksem menjadi kata. Proses morfologis umumnya tidak mengubah golongan mencakup derivasi zero, afiksasi, kata. Kecuali pengulangan dengan {se-/- abreviasi (pemendekan), komposisi } dalam Bahasa Indonesia; (2) bentuk (pemajemukan), derivasi balik, dan dasar selalu berupa satuan yang reduplikasi (Kridalaksana, 2008:202). terdapat dalam penggunaan bahasa. Reduplikasi, sebagai salah satu bentuk Keo memiliki wilayah penggunaan proses morfologis oleh Laurie Bauer yang mencakup kabupaten Keo, yakni di dijelaskan sebagai penggunaan suatu Flores Tengah bagian selatan, Ngada bagian dari bentuk dasar (yang mungkin bagian timur, Nage bagian selatan, merupakan bentuk dasar sepenuhnya) Kecamatan Mauponggo dan Nangaroro. lebih dari sekali dalam suatu kata. Bahasa Keo dituturkan oleh kurang lebih Sementara Verhaar (2008:152—153) 40.000 penutur. Bahasa Keo termasuk menyatakan bahwa reduplikasi adalah rumpun Austronesia, khususnya Melayu proses morfemis yang mengulangi Polinesia (SIL, 2006:101). Stephanus bentuk dasar atau sebagian dari bentuk Djawanai (2008) telah menulis buku dasar tersebut. Reduplikasi dapat berjudul Grammar of Ngadha Language dibedakan menjadi reduplikasi penuh Flores Nusa Tenggara Timur. Sayangnya, seperti dalam meja-meja atau dalam bukunya ia hanya menguraikan reduplikasi parsial seperti dalam lelaki mengenai sistem fonologi, pola kalimat, dan pepatah. Reduplikasi memiliki dua partikel, dan pola frasa. Sementara itu, jenis, yaitu paradigmatis dan pembahasan pada tataran morfologi derivasional. Contoh menarik dari justru tidak dilakukan. Padahal, bahasa perbedaan ini ditemukan dalam Ngada dan bahasa Keo sama-sama reduplikasi bahasa Indonesia. Meja-meja digunakan oleh etnis Ngada-Lio termasuk proses paradigmatis, tetapi (http://www.EjaNando.com). kuda-kuda atau mata-mata adalah Penulis merasa tertarik dengan proses derivasional karena kebetulan topik ini karena kajian ini belum pernah bentuk yang direduplikasi memiliki dilakukan sebelumnya. Selain itu, ada makna yang berbeda dari bentuk kemungkinan bahasa Keo termasuk tipe dasarnya. root language. Oleh karenanya, kecil Ramlan (1983:55—59), kemungkinan adanya proses morfologis menyatakan bahwa proses pengulangan dalam bahasa Keo. Namun demikian, atau reduplikasi ialah pengulangan melalui penjaringan data, tampak satuan gramatik, baik seluruhnya adanya reduplikasi sebagai proses maupun sebagiannya, baik dengan morfologis bahasa Keo. Hal inilah yang variasi fonem maupun tidak. Hasil kemudian mendorong pemilihan topik. pengulangan itu di sini disebut kata Dalam makalah ini hendak dilakukan ulang, sedangkan satuan yang diulang analisis proses morfologis berupa merupakan bentuk dasar. Menurutnya, reduplikasi pada bahasa Keo. Agar ada beberapa cara untuk menentukan pembahasan dan analisis data tidak reduplikasi, misalnya dari deretan terlalu luas, maka analisis proses morfologik dapat ditentukan bahwa morfologis hanya dibatasi pada analisis sesungguhnya tidak ada satuan yang reduplikasi morfemis dalam bahasa Keo. lebih kecil dari kata-kata tersebut. Selain Dalam reduplikasi morfemis, terjadi 244 perubahan makna gramatikal atas linguistik pada umumnya, dan studi leksem yang diulang sehingga terjadilah morfologi pada khususnya. satuan yang bersifat kata (Kridalaksana, 1989:89). Dengan demikian, analisis TEORI reduplikasi dalam tataran fonologi dan Secara spesifik, teori yang digunakan sintaksis tidak dilakukan. Deskripsi untuk mencari kaidah reduplikasi adalah proses morfologis reduplikasi dalam teori kaidah pembentukan kata menurut bahasa Keo ini diharapkan dapat Morris Halle (1973:8) seperti dijelaskan memberikan manfaat bagi studi dalam gambar 1.1.

Gambar 1.1

METODE Selanjutnya, morfem tersebut Dalam tahapan strategisnya, metode ditambahkan bentuk R (reduplikasi) linguistik dibedakan atas tiga tahap, penuh kata dasarnya hingga didapatkan yaitu penyediaan data, analisis data, dan bentuk {mera-mera}. Bentuk ini penyajian hasil analisis data kemudian mengalami proses filter (Sudaryanto, 1993:5—7). Pada tahap dengan penuturnya sebagai penyaring penyediaan data, teknik cakap semuka dan terbukti berterima dalam bahasa diterapkan mewawancarai informan dan Keo. Dalam tahap berikutnya ditemukan merekam folklor daerah penutur. makna hasil reduplikasi tersebut, yakni Sementara itu, metode yang digunakan ‘duduk-duduk’. Dalam tataran sintaksis, untuk menganalisis data adalah metode bentuk tersebut berterima seperti agih. Karena penelitian ini bersifat termuat dalam teks folklore. Tahap kualitatif, hasil-hasil pengamatan perlu terakhir, bentuk reduplikasi tersebut ditafsirkan dalam bentuk uraian tanpa dilihat dalam kaidah fonologis yang menyebutkan jumlah atau menghitung menunjukkan bahwa reduplikasi penuh kekerapan kemunculan. Analisis data dengan dua silabel terdapat dalam dalam penelitian ini disajikan dalam bahasa Keo. Jadi, dapat disimpulkan bentuk uraian. bahwa bentuk {mera-mera} merupakan bentuk ulang dari morfem {mera}. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Bentuk {mera-mera} 2. Bentuk {kewi-kewi} Morfem {mera} yang artinya ‘duduk’ Morfem {kewi} yang artinya ‘sentil’ menjadi input proses reduplikasi. menjadi input proses reduplikasi. 245 Selanjutnya, morfem tersebut ditambahkan bentuk R (reduplikasi) ditambahkan bentuk R (reduplikasi) penuh kata dasarnya hingga didapatkan penuh kata dasarnya hingga didapatkan bentuk {mbana-mbana}. Bentuk ini bentuk {kewi-kewi}. Bentuk ini kemudian mengalami proses filter kemudian mengalami proses filter dengan penuturnya sebagai penyaring dengan penuturnya sebagai penyaring dan terbukti berterima dalam bahasa dan terbukti berterima dalam bahasa Keo. Dalam tahap berikutnya ditemukan Keo. Dalam tahap berikutnya ditemukan makna hasil reduplikasi tersebut, yakni makna hasil reduplikasi tersebut, yakni ‘jalan-jalan’. Dalam tataran sintaksis, ‘sentil-sentil’. Dalam tataran sintaksis, bentuk tersebut berterima seperti bentuk tersebut berterima seperti termuat dalam teks folklore. Tahap termuat dalam teks folklore. Tahap terakhir, bentuk reduplikasi tersebut terakhir, bentuk reduplikasi tersebut dilihat dalam kaidah fonologis yang dilihat dalam kaidah fonologis yang menunjukkan bahwa reduplikasi penuh menunjukkan bahwa reduplikasi penuh dengan dua silabel terdapat dalam dengan dua silabel terdapat dalam bahasa Keo. Jadi, dapat disimpulkan bahasa Keo. Jadi, dapat disimpulkan bahwa bentuk {mbana-mbana} bahwa bentuk {kewi-kewi} merupakan merupakan bentuk ulang dari morfem bentuk ulang dari morfem {kewi}. {mbana}.

3. Bentuk {mawe-mawe} 5. Bentuk {bale-bale} Morfem {mawe} yang artinya ‘pelan’ Morfem {bale} yang artinya ‘putar’ menjadi input proses reduplikasi. menjadi input proses reduplikasi. Selanjutnya, morfem tersebut Selanjutnya, morfem tersebut ditambahkan bentuk R (reduplikasi) ditambahkan bentuk R (reduplikasi) penuh kata dasarnya hingga didapatkan penuh kata dasarnya hingga didapatkan bentuk {mawe-mawe}. Bentuk ini bentuk {bale-bale}. Bentuk ini kemudian kemudian mengalami proses filter mengalami proses filter dengan dengan penuturnya sebagai penyaring penuturnya sebagai penyaring dan dan terbukti berterima dalam bahasa terbukti berterima dalam bahasa Keo. Keo. Dalam tahap berikutnya ditemukan Dalam tahap berikutnya ditemukan makna hasil reduplikasi tersebut, yakni makna hasil reduplikasi tersebut, yakni ‘pelan-pelan’. Dalam tataran sintaksis, ‘berputar-putar’. Dalam tataran bentuk tersebut berterima seperti sintaksis, bentuk tersebut berterima termuat dalam teks folklore. Tahap seperti termuat dalam teks folklore. terakhir, bentuk reduplikasi tersebut Tahap terakhir, bentuk reduplikasi dilihat dalam kaidah fonologis yang tersebut dilihat dalam kaidah fonologis menunjukkan bahwa reduplikasi penuh yang menunjukkan bahwa reduplikasi dengan dua silabel terdapat dalam penuh dengan dua silabel terdapat bahasa Keo. Jadi, dapat disimpulkan dalam bahasa Keo. Jadi, dapat bahwa bentuk {mawe-mawe} disimpulkan bahwa bentuk {bale-bale} merupakan bentuk ulang dari morfem merupakan bentuk ulang dari morfem {mera}. {bale}.

4. Bentuk {mbana-mbana} 6. Bentuk {e-e} Morfem {mbana} yang artinya ‘jalan’ Morfem {e} yang artinya ‘ingat’ menjadi menjadi input proses reduplikasi. input proses reduplikasi. Selanjutnya, Selanjutnya, morfem tersebut morfem tersebut ditambahkan bentuk R 246 (reduplikasi) penuh hingga didapatkan bentuk {ana-ana}. Bentuk ini kemudian bentuk {e-e}. Bentuk ini kemudian mengalami proses filter dengan mengalami proses filter dengan penuturnya sebagai penyaring dan penuturnya sebagai penyaring dan terbukti berterima dalam bahasa Keo. terbukti berterima dalam bahasa Keo. Dalam tahap berikutnya ditemukan Dalam tahap berikutnya ditemukan makna hasil reduplikasi tersebut, yakni makna hasil reduplikasi tersebut, yakni ‘anak-anak’. Dalam tataran sintaksis, ‘ingat-ingat’. Dalam tataran sintaksis, bentuk tersebut berterima seperti bentuk tersebut berterima seperti termuat dalam teks folklore. Tahap termuat dalam teks folklore. Tahap terakhir, bentuk reduplikasi tersebut terakhir, bentuk reduplikasi tersebut dilihat dalam kaidah fonologis yang dilihat dalam kaidah fonologis yang menunjukkan bahwa reduplikasi penuh menunjukkan bahwa reduplikasi penuh dengan dua silabel terdapat dalam dengan satu silabel terdapat dalam bahasa Keo. Jadi, dapat disimpulkan bahasa Keo. Jadi, dapat disimpulkan bahwa bentuk {ana-ana} merupakan bahwa bentuk {e-e} merupakan bentuk bentuk ulang dari morfem {ana}. ulang dari morfem {e}. 9. Bentuk {woe-woe} 7. Bentuk {ngolo-ngolo} Morfem {woe} yang artinya ‘teman’ Morfem {ngolo} yang artinya ‘bujuk’ menjadi input proses reduplikasi. menjadi input proses reduplikasi. Selanjutnya, morfem tersebut Selanjutnya, morfem tersebut ditambahkan bentuk R (reduplikasi) ditambahkan bentuk R (reduplikasi) penuh kata dasarnya hingga didapatkan penuh kata dasarnya hingga didapatkan bentuk {woe-woe}. Bentuk ini kemudian bentuk {ngolo-ngolo}. Bentuk ini mengalami proses filter dengan kemudian mengalami proses filter penuturnya sebagai penyaring dan dengan penuturnya sebagai penyaring terbukti berterima dalam bahasa Keo. dan terbukti berterima dalam bahasa Dalam tahap berikutnya ditemukan Keo. Dalam tahap berikutnya ditemukan makna hasil reduplikasi tersebut, yakni makna hasil reduplikasi tersebut, yakni ‘teman-teman’. Dalam tataran sintaksis, ‘membujuk-bujuk’. Dalam tataran bentuk tersebut berterima seperti sintaksis, bentuk tersebut berterima termuat dalam teks folklore. Tahap seperti termuat dalam teks folklore. terakhir, bentuk reduplikasi tersebut Tahap terakhir, bentuk reduplikasi dilihat dalam kaidah fonologis yang tersebut dilihat dalam kaidah fonologis menunjukkan bahwa reduplikasi penuh yang menunjukkan bahwa reduplikasi dengan dua silabel terdapat dalam penuh dengan dua silabel terdapat bahasa Keo. Jadi, dapat disimpulkan dalam bahasa Keo. Jadi, dapat bahwa bentuk {woe-woe} merupakan disimpulkan bahwa bentuk {ngolo- bentuk ulang dari morfem {woe}. ngolo} merupakan bentuk ulang dari morfem {ngolo}. 10. Bentuk {pesa-pesa} Morfem {pesa} yang artinya ‘bukan’ 8. Bentuk {ana-ana} menjadi input proses reduplikasi. Morfem {ana} yang artinya ‘anak’ Selanjutnya, morfem tersebut menjadi input proses reduplikasi. ditambahkan bentuk R (reduplikasi) Selanjutnya, morfem tersebut penuh kata dasarnya hingga didapatkan ditambahkan bentuk R (reduplikasi) bentuk {pesa-pesa}. Bentuk ini penuh kata dasarnya hingga didapatkan kemudian mengalami proses filter 247 dengan penuturnya sebagai penyaring Keo. Dalam tahap berikutnya ditemukan dan terbukti berterima dalam bahasa makna hasil reduplikasi tersebut, yakni Keo. Dalam tahap berikutnya ditemukan ‘sampai bersih’. Dalam tataran sintaksis, makna hasil reduplikasi tersebut, yakni bentuk tersebut berterima seperti ‘yang lain-lain’. Dalam tataran sintaksis, termuat dalam teks folklore. Tahap bentuk tersebut berterima seperti terakhir, bentuk reduplikasi tersebut termuat dalam teks folklore. Tahap dilihat dalam kaidah fonologis yang terakhir, bentuk reduplikasi tersebut menunjukkan bahwa reduplikasi penuh dilihat dalam kaidah fonologis yang dengan dua silabel terdapat dalam menunjukkan bahwa reduplikasi penuh bahasa Keo. Jadi, dapat disimpulkan dengan dua silabel terdapat dalam bahwa bentuk {masa-masa} merupakan bahasa Keo. Jadi, dapat disimpulkan bentuk ulang dari morfem {masa}. bahwa bentuk {pesa-pesa} merupakan bentuk ulang dari morfem {pesa}. 13. {da’e-da’e} Morfem {da’e} yang artinya ‘belum’ 11. Bentuk {tero-tero} menjadi input proses reduplikasi. Morfem {tero} yang artinya ‘terus’ Selanjutnya, morfem tersebut menjadi input proses reduplikasi. ditambahkan bentuk R (reduplikasi) Selanjutnya, morfem tersebut penuh kata dasarnya hingga didapatkan ditambahkan bentuk R (reduplikasi) bentuk {da’e-da’e}. Bentuk ini kemudian penuh kata dasarnya hingga didapatkan mengalami proses filter dengan bentuk {tero-tero}. Bentuk ini kemudian penuturnya sebagai penyaring dan mengalami proses filter dengan terbukti berterima dalam bahasa Keo. penuturnya sebagai penyaring dan Dalam tahap berikutnya ditemukan terbukti berterima dalam bahasa Keo. makna hasil reduplikasi tersebut, yakni Dalam tahap berikutnya ditemukan ‘belum-belum’. Dalam tataran sintaksis, makna hasil reduplikasi tersebut, yakni bentuk tersebut berterima seperti ‘terus menerus’. Dalam tataran sintaksis, termuat dalam teks folklore. Tahap bentuk tersebut berterima seperti terakhir, bentuk reduplikasi tersebut termuat dalam teks folklore. Tahap dilihat dalam kaidah fonologis yang terakhir, bentuk reduplikasi tersebut menunjukkan bahwa reduplikasi penuh dilihat dalam kaidah fonologis yang dengan dua silabel terdapat dalam menunjukkan bahwa reduplikasi penuh bahasa Keo. Jadi, dapat disimpulkan dengan dua silabel terdapat dalam bahwa bentuk {da’e-da’e} merupakan bahasa Keo. Jadi, dapat disimpulkan bentuk ulang dari morfem {da’e}. bahwa bentuk {tero-tero} merupakan bentuk ulang dari morfem {tero}. 14. Bentuk {embu-embu} Morfem {embu} yang artinya ‘orang 12. Bentuk { masa-masa} yang sudah tua’ menjadi input proses Morfem {masa} yang artinya ‘bersih’ reduplikasi. Selanjutnya, morfem menjadi input proses reduplikasi. tersebut ditambahkan bentuk R Selanjutnya, morfem tersebut (reduplikasi) penuh kata dasarnya ditambahkan bentuk R (reduplikasi) hingga didapatkan bentuk {embu- penuh kata dasarnya hingga didapatkan embu}. Bentuk ini kemudian mengalami bentuk {masa-masa}. Bentuk ini proses filter dengan penuturnya sebagai kemudian mengalami proses filter penyaring dan terbukti berterima dalam dengan penuturnya sebagai penyaring bahasa Keo. Dalam tahap berikutnya dan terbukti berterima dalam bahasa ditemukan makna hasil reduplikasi 248 tersebut, yakni ‘orang-orang yang sudah ‘sejak awal’. Dalam tataran sintaksis, tua’. Dalam tataran sintaksis, bentuk bentuk tersebut berterima seperti tersebut berterima seperti termuat termuat dalam teks folklore. Tahap dalam teks folklore. Tahap terakhir, terakhir, bentuk reduplikasi tersebut bentuk reduplikasi tersebut dilihat dilihat dalam kaidah fonologis yang dalam kaidah fonologis yang menunjukkan bahwa reduplikasi penuh menunjukkan bahwa reduplikasi penuh dengan dua silabel terdapat dalam dengan dua silabel terdapat dalam bahasa Keo. Jadi, dapat disimpulkan bahasa Keo. Jadi, dapat disimpulkan bahwa bentuk {doe-doe} merupakan bahwa bentuk {embu-embu} merupakan bentuk ulang dari morfem {doe}. bentuk ulang dari morfem {embu}. 17. Bentuk {pawe-pawe} 15. Bentuk { noa-noa } Morfem {pawe} yang artinya ‘sifat baik’ Morfem {noa} yang artinya ‘gampang’ menjadi input proses reduplikasi. menjadi input proses reduplikasi. Selanjutnya, morfem tersebut Selanjutnya, morfem tersebut ditambahkan bentuk R (reduplikasi) ditambahkan bentuk R (reduplikasi) penuh kata dasarnya hingga didapatkan penuh kata dasarnya hingga didapatkan bentuk {pawe-pawe}. Bentuk ini bentuk {noa-noa}. Bentuk ini kemudian kemudian mengalami proses filter mengalami proses filter dengan dengan penuturnya sebagai penyaring penuturnya sebagai penyaring dan dan terbukti berterima dalam bahasa terbukti berterima dalam bahasa Keo. Keo. Dalam tahap berikutnya ditemukan Dalam tahap berikutnya ditemukan makna hasil reduplikasi tersebut, yakni makna hasil reduplikasi tersebut, yakni ‘baik-baik’. Dalam tataran sintaksis, ‘gampang-gampang’. Dalam tataran bentuk tersebut berterima seperti sintaksis, bentuk tersebut berterima termuat dalam teks folklore. Tahap seperti termuat dalam teks folklore. terakhir, bentuk reduplikasi tersebut Tahap terakhir, bentuk reduplikasi dilihat dalam kaidah fonologis yang tersebut dilihat dalam kaidah fonologis menunjukkan bahwa reduplikasi penuh yang menunjukkan bahwa reduplikasi dengan dua silabel terdapat dalam penuh dengan dua silabel terdapat bahasa Keo. Jadi, dapat disimpulkan dalam bahasa Keo. Jadi, dapat bahwa bentuk {pawe-pawe} merupakan disimpulkan bahwa bentuk {noa-noa} bentuk ulang dari morfem {pawe}. merupakan bentuk ulang dari morfem {noa}. 18. Bentuk {ri’a-ri’a} Morfem {ri’a} yang artinya ‘baik’ menjadi 16. Bentuk {doe-doe} input proses reduplikasi. Selanjutnya, Morfem {doe} yang artinya ‘awal’ morfem tersebut ditambahkan bentuk R menjadi input proses reduplikasi. (reduplikasi) penuh kata dasarnya Selanjutnya, morfem tersebut hingga didapatkan bentuk {ri’a-ri’a}. ditambahkan bentuk R (reduplikasi) Bentuk ini kemudian mengalami proses penuh kata dasarnya hingga didapatkan filter dengan penuturnya sebagai bentuk {doe-doe}. Bentuk ini kemudian penyaring dan terbukti berterima dalam mengalami proses filter dengan bahasa Keo. Dalam tahap berikutnya penuturnya sebagai penyaring dan ditemukan makna hasil reduplikasi terbukti berterima dalam bahasa Keo. tersebut, yakni ‘keadaan yang baik-baik’. Dalam tahap berikutnya ditemukan Dalam tataran sintaksis, bentuk tersebut makna hasil reduplikasi tersebut, yakni berterima seperti termuat dalam teks 249 folklore. Tahap terakhir, bentuk reduplikasi tersebut dilihat dalam Makna Reduplikasi kaidah fonologis yang menunjukkan 1. Makna Perulangan Bentuk Dasar bahwa reduplikasi penuh dengan dua Nomina silabel terdapat dalam bahasa Keo. Jadi, a) Perulangan dengan bentuk dasar dapat disimpulkan bahwa bentuk {ri’a- kata benda membentuk kata benda ri’a} merupakan bentuk ulang dari jamak yang artinya banyak. morfem {ri’a}. Contoh:

{ana} ‘anak’ {ana-ana} ‘anak-anak’ {woe} ‘teman’ {woe-woe} ‘teman-teman’ {embu} ‘orang yang tua’ {embu-embu} ‘orang-orang yang sudah tua’

2. Makna Perulangan Bentuk Dasar bermakna keadaan atau sifat yang Adjektiva banyak. a) Perulangan dengan bentuk dasar Contoh: adjektiva membentuk kata sifat yang

{pawe} ‘sifat yang baik’ {pawe-pawe} ‘sifat yang baik-baik’ {noa} ‘gampang’ {noa-noa} ‘gampang-gampang’ b) Perulangan dengan bentuk dasar Contoh: adjektiva membentuk kata adverbia yang bermakna dilakukan dengan cara sungguh-sungguh (intensif). {mawe} ‘pelan’ {mawe-mawe} ‘pelan-pelan’ c) Perulangan dengan bentuk dasar Contoh: adjektiva membentuk adverbia yang bermakna menerangkan tindakan.

{masa} ‘bersih’ {masa-masa} ‘hingga bersih’

3. Makna Perulangan Bentuk Dasar bermakna dilakukan dengan tidak Verba sungguh-sungguh (deintensif). a) Perulangan dengan bentuk dasar Contoh: verba membentuk kata kerja yang

{mera} ‘duduk’ {mera-mera} ‘duduk-duduk’ {mbana} ‘jalan’ {mbana-mbana} ‘jalan-jalan’ b) Perulangan dengan bentuk dasar bermakna dilakukan dengan verba membentuk kata kerja yang sungguh-sungguh (intensif). Contoh: 250 {e} ‘ingat’ {e-e} ‘mengingat-ingat’ {ngolo} ‘bujuk’ {ngolo-ngolo} ‘membujuk-bujuk’

Perulangan dengan bentuk dasar verba Contoh: membentuk kata kerja yang bermakna dilakukan berulang-ulang (frekuentif).

{kewi} ‘sentil’ {kewi-kewi} ‘sentil-sentil’ {bale} ‘berputar’ {bale-bale} ‘berputar-putar’

4. Makna Perulangan Bentuk Dasar bermakna dilakukan berulang-ulang Adverbia (frekuentif). a) Perulangan dengan bentuk dasar Contoh: adverbia membentuk adverbia yang

{da’e} ‘belum’ {da’e-da’e} ‘belum-belum’ {tero} ‘terus’ {tero-tero} ‘terus menerus’ b) Perulangan dengan bentuk dasar bermakna dilakukan dengan adverbia membentuk adverbia yang sungguh-sungguh (intensif). Contoh:

{doe} ‘awal’ {doe-doe} ‘sejak awal’ c) Perulangan dengan bentuk dasar Contoh: adverbia membentuk adverbia yang bermakna kumpulan.

{pesa} ‘lain’ {pesa-pesa} ‘yang lain-lain’

SIMPULAN Dari hasil analisis data dapat DAFTAR PUSTAKA disimpulkan beberapa hal. Pertama, Bauer, Laurie. 1988. Introducing reduplikasi dapat terjadi dalam morfem Linguistic Morphology. Edinburgh: yang terdiri dari satu silabel maupun Edinburgh University Press. dua silabel. Kedua, semua data yang terkumpul menunjukkan bentuk Djawanai, Stephanus. 2008. Grammar of perulangan penuh dalam bahasa Keo, Ngadha Language Flores Nusa dengan kaidah {Stem + R}. Ketiga, Tenggara Timur. Yogyakarta: reduplikasi memiliki banyak makna, Paradigma Indonesia. yakni yang artinya ‘banyak’, yang dilakukan dengan cara yang ‘sungguh- Harimurti, Kridalaksana. 2008. Kamus sungguh’ (intensif), dilakukan dengan Linguistik. Jakarta: Gramedia. ‘tidak sungguh-sungguh’ (deintensif), dilakukan ‘berulang-ulang’ (frekuentif), Harimurti, Kridalaksana. 1989. bermakna ‘menerangkan tindakan’, dan Pembentukan Kata dalam Bahasa bermakna ‘kumpulan’. 251 Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Ramlan, M. 1983. Ilmu Bahasa Indonesia Morfologi: Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: CV Karyono.

SIL International. 2006. Bahasa-bahasa di Indonesia. Jakarta: SIL Iternational.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Verhar, J.W.M. 2004. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

SUMBER INTERNET

(http://www.EjaNando.com)

252 MEDAN MAKNA LEKSEM VERBA OMBE ‘MINUM’ DALAM BAHASA JAWA (The Semantic Field of Verb Lexeme Ombe ‘Drink” in Javanese)

Dwi Sutana

Kantor Bahasa Kepulauan Riau Jalan Kamboja 72, RT02/RW05 Tanjungpinang 29112

Abstract

The aim of this article is to describe verb lexemes which contains the concept of ombe 'drink' in Javanese and the differences. The theory used is the semantic theory. This research uses descriptive-synchronic method by applying observation method, intuition method, and the method of elicitation. The data was analyzed using distributional method. The sources of data consist of written and oral sources. From the component analysis of the meanings, it was found that 15 lexemes have similar concept of ombe 'drink'. Similarities and differences of the lexemes, can be seen in the table. The lexemes were classified and described based on the theory of component analysis.

Keywords: hyponim, meaning component, lexem, ombe ‘drink’

Abstrak

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan leksem-leksem verba yang mengandung konsep makna ombe ‘minum’ dalam bahasa Jawa dan juga kekontrasannya. Teori yang digunakan adalah teori medan makna. Penelitian ini menggunaan metode deskriptif sinkronik dengan menerapkan metode simak atau observasi, metode intuisi, dan metode elisitasi. Data yang telah diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode padan dan metode agih. Sumber data terdiri atas sumber tulis dan sumber lisan. Dari analisis komponen makna tersebut dapat ditemukan 15 leksem yang mengadung konsep makna ombe ‘minum’. Persamaan dan perbedaan leksem-leksem itu dapat dilihat di dalam tabel. Leksem-leksem itu diklasifikasikan dan dideskripsikan berdasar teori analisis komponen.

Kata-Kata Kunci: hiponim, komponen makna, leksem, verba, ombe ‘minum’

253 PENDAHULUAN makna beranggapan bahwa semua Leksem yang berkategori verba dalam leksem dalam sebuah bahasa bahasa Jawa jika digolong-golongkan sebenarnya tersusun dalam sebuah mempunyai bermacam-macam tipe. struktur seperti halnya fonem, morfem, Setiap tipe leksem verba itu akan maupun kalimat (Trier dalam memiliki sejumlah anggota leksem Wedhawati, 1993; Lehrer, 1974:15—41; verba. Salah satu leksem verba sebagai Lyons, 1977:250—261). Struktur makna tipe-tipe berikut memilik makna umum itu tersusun karena setiap leksem, pada (generik), sedangkan leksem verba- dasarnya, selalu berhubungan dengan verba lainnya sebagai anggota memiliki leksem lain. Hubungan itu, secara makna khusus (spesifik). Leksem verba mendasar dapat bersifat “persesuaian” yang menjadi tipe dengan anggota- atau “pertentangan”. Setiap jenis anggotanya itu memiliki relasi makna hubungan dapat diperinci lagi generik-spesifik atau inklusi (Nida), berdasarkan keeratan atau 1975:15-21), atau lebih umum kelonggarannya (Lyons, 1977:252). dinamakan dengan istilah hiponimi. Pada penelitian ini sifat hubungan yang Anggota tipe leksem verba tertentu dikaji ialah hubungan hiponimi atau yang memiliki makna spesifik itu dapat hubungan peliputan, yaitu salah satu dicari komponen maknanya dengan jenis hubungan dalam hubungan teknik analisis komponen makna (Nida, persesuaian. 1975:33), yaitu dengan cara mencari Kajian hubungan peliputan ini komponen makna pembeda. Dengan mengikuti dua kerangka pikir utama, cara itu dapat ditemukan makna khusus yaitu analisis komponen dan konfigurasi setiap anggota tipe anggota leksem leksem. Kerangka pikir pertama, yaitu verba. analisis komponen dilakukan untuk Makalah ini mengemukakan hasil mendeskripsikan makna leksem secara analisis komponen makna anggota cermat berdasarkan komponen- leksem verba ombe ‘minum’ dalam komponen maknanya. Dalam hubungan bahasa Jawa. Hal ini dilakukan untuk itu, komponen makna dipilah ke dalam menemukan makna spesifik setiap komponen generik dan komponen leksem verba ombe ‘minum’. Dengan spesifiknya. Komponen generik adalah ditemukan makna spesifik itu, dapatlah komponen yang dimiliki oleh dengan mudah didefinisikan makna sekelompok leksem. Sebagai penanda setiap leksem verba ombe ‘minum’. kebersamaan, komponen generik Tujuan makalah ini mengarah pada (1) berfungsi untuk menyatukan leksem- terinventarisasinya leksem-leksem leksem ke dalam sebuah medan atau verba dalam bahasa Jawa yang submedan makna. Selain sebagai mengandung makna ombe ‘minum’; (2) penyatu, komponen generik juga terdeskripsikannya kekontrasan leksem- berfungsi untuk menentukan leksem leksem verba bahasa Jawa yang superordinat dari sebuah medan. mengandung makna ombe ‘minum’. Leksem superordinat adalah leksem yang hanya memuat komponen generik TEORI (bandingkan Lyons, 1977:291; Crystal, Penelitian ini bersifat semantik 1991:336—337). Leksem superordinat hiponimik. Sesuai dengan sifat kajian membawahkan semua leksem dari yang hiponimik, teori yang digunakan sebuah medan atau submedan. Jika tidak ekletik. Pertama teori medan makna direalisasikan dalam sebuah leksem, atau medan leksikal. Terori medan leksem superordinat ditandai dengan 254 zero () yang dilengkapi dengan Keberadaan komponen opsional komponen generik yang dituliskan di dan irasional menjadi tak terhindarkan dalam tanda petik (Crystal, 1991:386; mengingat sifat analisis komponen ialah Wedhawati:1990:46). Berbeda dengan analisis yang tidak bersifat atomik, komponen generik, komponen spesifik kontrastif. Dengan kata lain, analisis adalah komponen yang hanya dimiliki selalu memperhatikan tata oleh leksem tertentu. Komponen spesifik hubungannya dengan leksem lain yang berfungsi membedakan makna sebuah juga tercakup dalam medan atau leksem dari leksem lain yang berada submedan itu. Dari sisi lain, keberadaan dalam medan atau submedan yang komponen spesifik sebuah leksem sama. sering menjadi bersifat tak relevan Pada analisis komponen, untuk terhadap leksem lain (bandingkan menentukan komponen generik Lehrer, 1975:59; Lyons, 1977:323— maupun spesifik, dimanfaatkan 325). beberapa penanda. Penanda dimaksudkan untuk menandai sifat METODE keberadaan komponen pada sebuah Penelitian ini menggunaan metode leksem. Jika memengaruhi definisi, deskriptif sinkronik. Sehubungan komponen disebut “relevan”. Sebaliknya, dengan itu, dilaksanakan tiga langkah jika tak memengaruhi definisi, kerja, yaitu (1) pengumpulan data, (2) komponen disebut “tak relevan”. analisis, dan (3) laporan hasil analisis. Komponen relevan terbagi menjadi dua, Pada langkah pengumpulan data yaitu yang bersifat wajib dan yang digunakan tiga metode, yaitu metode bersifat ingkar. Komponen wajib adalah simak atau observasi, metode intuisi, komponen yang harus dimiliki oleh dan metode elisitasi (Lehrer, 1974:5-6; sebuah leksem karena merupakan unsur Sudaryanto, 1993). Penerapan metode makna dari leksem bersangkutan. simak dan intuisi ditindaklanjuti teknik Komponen wajib ditandai dengan tanda catat. Pelaksanaan metode simak + (plus). Komponen ingkar adalah diwujudkan dengan mendengarkan dan komponen yang tidak dimiliki oleh memperhatikan berbagai penggunaan sebuah leksem karena bukan BJ. Tercakup ke dalam pengertian itu, merupakan unsur makna dari leksem yaitu pencarian data dari kamus. bersangkutan. Komponen ingkar Data yang diperoleh kemudian dicatat ke ditandai dengan tanda – (minus). Seperti dalam kartu data. Data yang sudah komponen relevan, komponen tak dicatat ke dalam kartu data selanjutnya relevan juga terbagi dua, yaitu yang dikelompok-kelompokkan berdasar bersifat “opsional” atau manasuka dan komponen generiknya. Melengkapi yang bersifat “irasional”. Komponen penggunaan metode simak, diterapkan opsional adalah komponen yang boleh metode intuisi. Metode intuisi digunakan ada dan boleh tidak ada pada sebuah mengingat peneliti juga merupakan leksem. Komponen opsional ditandai penutur bahasa Jawa. Metode intuisi dengan tanda 0 (nol). Komponen digunakan untuk mengantisipasi adanya irasional adalah komponen yang tidak data belum terinventaris ke dalam mungkin terdapat pada sebuah leksem. kamus atau belum ditemukan dalam Komponen irasional ditandai dengan pertuturan amatan. Leksem-leksem tanda * (bintang). Komponen opsional yang secara intuitif dianggap leksem maupun irasional bukan merupakan atau verba yang mengandung makna unsur makna dari sebuah leksem. ombe ‘minum’ tidak begitu saja 255 dimasukkan sebagai data. Leksem- ialah berbagai media massa cetak leksem itu diujicobakan ke penutur berbahasa Jawa. bahasa yang lain demi kesahihannya. Untuk melengkapi sumber tulis, Mengakhiri penerapan kedua metode dimanfaatkan sumber lisan. Sumber pengumpulan data itu, diterapkan lisan berupa berbagai bentuk metode elisitasi. Metode ini digunakan percakapan berbahasa Jawa yang untuk memvalidasi data yang dirasa ditemukan di lingkungan peneliti. kurang meyakinkan. Penerapannya dengan mengujikan leksem ke penutur HASIL DAN PEMBAHASAN lain atau ke informan yang kepekaan Leksem-leksem verba yang mengandung berbahasa Jawanya lebih jika makna ombe ‘minum’ dalam bahasa dibandingkan penutur pada umumnya. Jawa terdiri atas dua bentuk, yaitu Pada tahap pengolahan data bentuk dasar atau asal dan bentuk digunakan metode padan dan metode turunan. Bentuk dasar atau asal yang agih (band. Sudaryanto, 2001). Metode sudah berupa kata yang mengandung padan, yang berupa padan referensial, makna tanpa mendapat imbuhan atau digunakan untuk menentukan apakah mengalami proses afiksasi, sedangkan bentuk-bentuk yang berbeda dengan bentuk turunan sudah mengalami referen yang juga berbeda merupakan proses afiksasi yang berfrefiks N. Berikut leksem-leksem tersendiri atau leksem-leksem verba yang mengandung merupakan variasi gramatikal dari makna ombe ‘minum’. leksem yang sama karena proses morfemis tertentu. Penerapan metode 1. cecep ’cerap’, agih, melalui teknik perluasan dan 2. kokop ’kokop’, parafrasa, digunakan untuk memastikan 3. sruput ’minum’, ada tidaknya komponen makna tertentu 4. uyup ’minum’, pada sebuah leksem. Pada bagian lain, 5. langga ’gogok’, penerapan dua teknik itu berkaitan 6. cucrup ’cerap’, dengan pencarian konteks yang 7. cucup ’cerap’, mewadahi penggunaan sebuah leksem. 8. inum ’minum’, Data dijaring, terutama, dari sumber 9. mimik ’minum’, tulis. Karena kamus diandaikan 10. serot ’sedot’, menyimpan pengetahuan leksikon yang 11. ngedhot ’mengedot’, lebih lengkap dibandingkan daya simpan 12. ngempong ’mengempong’, orang per orang, pada penelitian ini 13. nusu ’menyusu’, kamus dijadikan sebagai sumber utama 14. sesep ’serap’, dan (Basiroh, 1992:11). Kamus yang 15. ombe. dimanfaatkan meliputi Baoesastra Djawa (Poerwadarminta, 1939), Kekhasan komponen dan makna setiap Bausastra Jawa-Indonesia leksem itu dapat dilihat pada Tabel 1 (Prawiroatmojo, 1981). Selain kamus, berikut. juga dimanfaatkan sebagai sumber tulis

256 Tabel 1 : Medan Makna Ombe ’Minum’

257 258 Berdasarkan Tabel tersebut di atas, ’mengempong’, nusu ’menyusu’, dan dapat diketahui makna dari leksem- sesep ’serap’ leksem anggota medan makna ombe (2) Leksem cecep ’cerap’ ’minum’. Pemaknaan diawali dengan Leksem cecep ’cerap’ secara definisi komponen makna atau definisi metabahasa, memuat komponen metabahasa. Bertolak dari pemahaman makna +MENGGUNAKAN BIBIR; komponen itu, selanjutnya leksem +BIBIR MENEMPEL LANGSUNG didefinisi secara gramatikal. Berikut PADA OBJEK; +BIBIR MENEMPEL definisi makna setiap leksem anggota LANGSUNG PADA MEDIA; +OBJEK medan makna ombe ’minum’. DISARING; + OBJEK DIHISAP; + (1) Leksem ombe ’minum’ OBJEK MASUK MULUT; WUJUD Leksem ombe ’minum’ secara OBJEK TEH TUBRUK. Berdasarkan metabahasa, memuat komponen komponen-komponen makna itu, makna +MENGGUNAKAN MULUT; makna leksem cecep ’cerap’ +OBJEK MASUK MULUT; +WUJUD dirumuskan menjadi ’minum OBJEK CAIR. Sesuai dengan dengan cara menyaring sedikit demi terbatasnya komponen yang bersifat sedikit yang objeknya berupa teh diagnostik, leksem ombe ’minum’ tubruk. ditetapkan sebagai superordinat. (3) Leksem kokop ’kokop’ Sebagai superordinat, leksem ombe Leksem kokop ’kokop’, secara ’minum’ bermakna ’memasukan metabahasa, memuat komponen cairan ke dalam mulut’. Sebagai makna +MENGGUNAKAN BIBIR; superordinat leksem ombe ’minum’ +BIBIR MENEMPEL LANGSUNG memiliki hiponim, yaitu cecep ’cerap’, PADA OBJEK; +OBJEK DIHISAP; kokop ’kokop’, sruput ’minum’, uyup +OBJEK MASUK MULUT; +OBJEK ’minum’, langga ’gogok’, cucrup CAIR; + MEDIA LEBAR (PIRING, ’cerap’, cucup ’cerap’, inum ’minum’, BASKOM, EMBER, DANAU). mimik ’minum’, serot ’sedot’, ngedhot Berdasarkan komponen-komponen ’mengedot’, ngempong makna itu, makna leksem kokop ’kokop’ dirumuskan menjadi ’minum 259 dengan cara menempelkan bibir Leksem langga ’minum’, secara pada objek yang medianya lebar’. metabahasa, memuat komponen (4) Leksem sruput ’minum’ makna +MENGGUNAKAN Leksem sruput ’minum’, secara TENGGOROKAN; +OBJEK DITUANG; metabahasa, memuat komponen +OBJEK CAIR; +BENTUK MEDIA makna +MENGGUNAKAN BIBIR; LANCIP; + WUJUD MEDIA KENDI, +BIBIR MENEMPEL LANGSUNG CEREK; PELAKU ORANG DEWASA. PADA MEDIA; +OBJEK MASUK Berdasarkan komponen-komponen SEDIKIT-DEMI SEDIKIT; +OBJEK makna itu, makna leksem langga DIHISAP; +OBJEK MASUK MULUT; ’minum’ dirumuskan menjadi +OBJEK PANAS; +OBJEK CAIR; ’minum dengan cara menuangkan air +BERSUARA WAJAR. Berdasarkan ke tenggorokan’. komponen-komponen makna itu, (8) Leksem cucrup ’cerap’ makna leksem sruput ’minum’ Leksem cucrup ’cerap’, secara dirumuskan menjadi ’minum sedikit metabahasa, memuat komponen demi sedikit karena panas dengan makna +MENGGUNAKAN MULUT; cara menempelkan bibir pada +BIBIR MENEMPEL LANGSUNG media’. PADA OBJEK; +OBJEK MASUK (5) Leksem uyup ’minum’ SEDIKIT DEMI SEDIKIT; +OBJEK Leksem uyup ’minum’, secara DIHISAP; +OBJEK MASUK MULUT; metabahasa, memuat komponen +OBJEK GEL; +VOLUME SUARA makna +MENGGUNAKAN BIBIR; WAJAR. Berdasarkan komponen- +BIBIR MENEMPEL LANGSUNG komponen makna itu, makna leksem PADA MEDIA; +OBJEK DIHISAP; cucrup ’cerap’ dirumuskan menjadi +OBJEK DITUAGKAN; + OBJEK ’menghisap dengan cara MASUK MULUT; +OBJEK CAIR; menempelkan mulut pada objek +MEDIA LEBAR. Berdasarkan yang berupa gel’. komponen-komponen makna itu, (9) Leksem cucup ’cerap’ makna leksem uyup ’minum’ Leksem cucup ’cerap’, secara dirumuskan menjadi ’minum dengan metabahasa, memuat komponen cara menuangkan air pada bibir yang makna +MENGGUNAKAN MULUT; ditempelkan pada media’. +BIBIR MENEMPEL LANGSUNG (6) Leksem serot ’sedot’ PADA MEDIA; +OBJEK DIHISAP; Leksem serot ’sedot’, secara +OBJEK MASUK MULUT; +OBJEK metabahasa, memuat komponen CAIR; +BENTUK MEDIA LANCIP. makna +MENGGUNAKAN BIBIR; Berdasarkan komponen-komponen +BIBIR MENEMPEL LANGSUNG makna itu, makna leksem cucup PADA MEDIA; +OBJEK DIHISAP; ’cerap’ dirumuskan menjadi ’minum +OBJEK MASUK LEWAT SEDOTAN; dengan cara menempelkan bibir +OBJEK MASUK MULUT; +OBJEK pada media yang berbentuk lancip’. CAIR; +MEDIA SEDOTAN. (10) Leksem inum ’minum’ Berdasarkan komponen-komponen Leksem inum ’minum’, secara makna itu, makna leksem serot metabahasa, memuat komponen ’sedot’ dirumuskan menjadi ’minum makna +MENGGUNAKAN MULUT; dengan cara menempelkan bibir +OBJEK DITUANGKAN; +OBJEK pada media yang berupa sedotan’. MINUMAN KERAS. Berdasarkan (7) Leksem langga ’gogok’ komponen-komponen makna itu, makna leksem inum ’minum’ 260 dirumuskan menjadi ’minum yang SUSU IBU; +PELAKU BAYI ATAU objeknya berupa minuman keras’. ANAK-ANAK. Berdasarkan (11) Leksem mik ’minum’ komponen-komponen makna itu, Leksem mik ’minum’, secara makna leksem nusu ’menyusu’ metabahasa, memuat komponen dirumuskan menjadi bermakna makna +MENGGUNAKAN MULUT; ’minum susu dengan media puting +OBJEK DITUANGKAN; +OBJEK susu ibu’. MASUK MULUT; +OBJEK CAIR; (15) Leksem sesep ’serap’ +PELAKU ANAK-ANAK. Berdasarkan Leksem sesep ’cerap’, secara komponen-komponen makna itu, metabahasa, memuat komponen makna leksem mik ’minum’ makna +MENGGUNAKAN MULUT; dirumuskan menjadi ’minum yang +OBJEK DIHISAP; +OBJEK MASUK dilakukan oleh anak-anak’. MULUT; +WUJUD OBJEK TEBU. (12) Leksem ngedhot ’mengedot’ Berdasarkan komponen- Leksem ngedhot ’mengedot’, secara komponen makna itu, makna metabahasa, memuat komponen leksem sesep ’cerap’ dirumuskan makna +MENGGUNAKAN MULUT; menjadi ’minum dengan cara +BIBIR MENEMPEL LANGSUNG menghisap cairan yang objeknya PADA MEDIA; +OBJEK DIHISAP; berupa tebu’. +OBJEK MASUK MULUT; +WUJUD OBJEK CAIR ATAU SUSU; +WUJUD SIMPULAN MEDIA DOT; +PELAKU ANAK-ANAK. Leksem-leksem verba yang mengandung Berdasarkan komponen-komponen kosep makna ombe ’minum’ dalam makna itu, makna leksem ngedhot bahasa Jawa yang dapat ditemukan, ’mengedot’ dirumuskan menjadi yaitu ombe ‘minum’, cecep ‘cerap’, kokop ’minum dengan media dot’. ‘kokop’, sruput ‘minum’, uyup ‘minum’, (13) Leksem ngempong ’mengempong’ langga ‘gogok’, cucrup ‘cerap’, cucup Leksem ngempong ’mengempong’, ‘cerap’, inum ‘minum’, mik ‘minum’, serot secara metabahasa, memuat ‘sedot’, ngedhot ‘mengedot’, ngempong komponen makna +MENGGUNAKAN ‘mengempong’, nusu ‘menyusu’, dan MULUT; +BIBIR MENEMPEL sesep ‘serap’. Leksem-leksem tersebut, LANGSUNG PADA MEDIA; +OBJEK memiliki makna yang spesifik. Makna DIHISAP; +OBJEK TIDAK ADA; yang lebih spesifik itu dapat dicari +WUJUD MEDIA KEMPONG; dengan teknik analisis komponen makna. +PELAKU ANAK-ANAK. Berdasarkan Teknik itu, dipakai untuk menentukan komponen-komponen makna itu, komponen makna pembeda. makna leksem ngempong Dengan ditemukan komponen ’mengempong’ dirumuskan menjadi makna pembeda itu maka dapat disusun ’memasukkan dan menghisap definisi makna setiap leksem yang kempongan di dalam mulut’. mengandung makna konsep ombe (14) Leksem nusu ’menyusu’ ‘minum’. Definisi makna sangat Leksem nusu ’menyusu’, secara bermanfaat sebagai masukan entri atau metabahasa, memuat komponen lema dan glos dalam penyusunan kamus makna +MENGGUNAKAN MULUT; bahasa Jawa. +BIBIR MENEMPEL LANGSUNG Berdasarkan leksem-leksem PADA MEDIA; +OBJEK DIHISAP; anggotanya, konfigurasi (bagan +OBJEK MASUK MULUT; +OBJEK hiponimi) medan makna ombe ’ngombe’ SUSU; +WUJUD MEDIA PUTING 261 dapat digambarkan bagan sebagai berikut.

Bagan Konfigurasi Leksem Medan Makna Ombe ’Minum’

DAFTAR PUSTAKA Sudaryanto. 1993. Metode Linguistik Basiroh, Umi. 1992. ”Telaah Baru dalam Bagian Pertama Ke Arah Memahami Tata Hubungan Leksikal Metode Linguistik. Yogyakarta: Kehiponiman dan Kemeroniman” Gadjah Mada University Press. (Tesis). Jakarta: Fakultas Pascasarsana, Universitas Wedhawati, dkk. 1990. Tipe-Tipe Indonesia. Semantik Verba Bahasa Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan Lehrer, A. 1974. Semantic Field and dan Kebudayaan. Lexical Strukture. Amsterdam: Nort- Holand Publisihing Commpany. Wedhawati. 1993. ”Trier dan Teori Medan Makna” dalam Widyaparwa Lyons, John.1977. Semantics. Volume I Nomor 41, Oktober. Yogyakarta: and Land II. Cambridge University Balai Penelitian Bahasa. Press. Nida, Eugene. 1975. Componential Analysis of Meaning: Introduction to Semantics Structure. The Hague Mouton.

Poerwadarminta, W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: J.B. Wolters.

Prawiroatmojo, S. 1981. Bausastra Jawa—Indonesia Jilid I dan II. Jakarta: Gunung Agung.

262