Saya kagum atas perjalanan hidup dan karir saudara Prof. Dr. , Drs. Firdaus Syam, M.A. S.H. yang ditungakan dalam buku ini yang menggambarkan kesuksesan melewati riak-riak besar dan kecil dari zaman Pak Harto, Pak Habibie, Pak Gus Dur dan Presiden Megawati. Selain menjabat sebagai pimpinan partai politik yang menampung inspirasi dan aspirasi rakyat, beliau juga menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan HAM. Buku ini menggambarkan pikiran dan perjalanan hidupnya, kami mengharap- kan buku ini bisa dimanfaatkan sebagai bahan pembacaan, penelaahan dan pengembangan pikiran dalam mengarungi samudera kehidupan baik dalam ilmu, pengabdian kepada bangsa dan negara, serta ketaatan pada agama, hukum dan perundang-undangan. H.Soetardjo Soerjogoeritno, B. Sc. Wakil Ketua DPR RI/Korpol

Yusril Ihza Mahendra merupakan salah satu tokoh yang turut mewarnai pentas

politik . Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, perjalanan hidup PERJALANAN HIDUPPEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK yang dilaluinya tentu saja layak dijadikan objek dokumentasi sejarah sebagaimana tercermin dalam buku ini, sehingga sebagian diri kita bisa mengambil pelajaran dari

setiap sisi kebaikan dan kelebihan yang dimilikinya. MAHENDRA YUSRIL IHZA K.H. Ahmad Hasyim Muzadi Ketua Umum PBNU

Memahami gaya kepemimpinan dan visi politik Yusril Ihza Mahendra mengingatkan kita pada sosok tokoh modernis Islam Agus Salim dan . Mereka mampu mengkombinasikan antara politik dan ideologi yang membangun inspirasi umat dengan jalan kenegarawanan yang menggali (kedalam) konsep ideologi islam, prinsip demokrasi, konsistensi dan kesederhanaan. Yusril Ihza Mahendra adalah sosok pribadi bak ombak tenang yang lebih bersandar kepada prinsip “dasar” kedalam “Sebuah idealita”. Ia tak berkutat pada kalkulasi politik semasa-tindakan politiknya berupaya menjadikan investasi umat islam dalam “pertarungan politik ke depan.” Mampukah ia menjawab tantangan dan mengayuh biduk perahu NKRI ini? Peluang dan kemungkinan itu terpulang padanya sebagai pelaku sejarah “Indonesia Baru”.

Jl. Cendrawasih Raya A27/4 Pondok Safari Indah Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan - 15223 Phone/WA: 0811 9882 118 / 021-731 4567 E-mail : [email protected], Web : indocamp.id ISBN 978-623-252-931-1 (PDF) YUSRIL IHZA MAHENDRA Perjalanan Hidup, Pemikiran dan Tindakan Politik

Drs. Firdaus Syam, MA, Ph.D YUSRIL IHZA MAHENDRA Perjalanan Hidup, Pemikiran dan Tindakan Politik

Penulis : Penyunting Naskah : Wakhid Nur Efendi Penataletak : IrengDrs. Firdaus Halimun Syam, MA, Ph.D Foto Sampul : Biro Humas dan Hubungan Luar Negeri Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI (Dudi Hendra Budi) Koordinator Tim : Hersan Mulyatno Cetakan Pertama : Oktober 2003 Cetakan Kedua : JuliG. 202 Diterbitkan : 0 Jl. Cendrawasih Raya A27/4 Pondok Safari Indah Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan - 15223 Phone/WA: 0811 9882 118 / 021-731 4567 E-mail: [email protected], Web: indocamp.id ISBN: 978-623-252-914-4 ISBN: 978-623-252-931-1 (PDF)

Anggota IKAPI DKI Hak Penerbitan ada pada © Hak cipta dilindungi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagian atau seluruh isi tanpa izin Penerbit

Hak Cipta © Drs. Firdaus Syam, MA, Ph.D

Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta (1) Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). ii+ hal : 20,5 x 29cm (2) Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h, untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaima na dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g, untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (4) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). iii “Pemimpin sejati hanya lahir karena kuatnya keyakinan yang bersandar pada nurani dan cinta akan ruang kemerdekaan”

Firdaus Syam

Dalam Ridho-Mu Ya Allah

Mamah, ibundaku, atas doa, air mata dan peluh Yang melangkah di atas titian jembatan emas kehidupan Allahu yarham, Apa, ayahanda, yang berkenang nasihat dan tauladan dan buah hatiku, Afina Putri Fatimah Amanda, Adinda Zahra Ayufi Ramadhani, Ananda Nabila Syahida Firdaus, Yuli, istriku yang setia mendampingiku, Adalah tempat saya mendapatkan kesabaran dan tantangan

Terima kasih iv Daftar Isi

DAFTAR ISI iv KATA PENGANTAR vii

BAB 1 PENDAHULUAN  Latar Belakang dan Permasalahan 1

BAB 2 PERJALANAN HIDUP: SOSIALISASI BUDAYA POLITIK  Desa Kelahiran 11  Masa Kecil di Keluarga: Bersikap Toleran, Disiplin, dan Berpegang kepada Agama 16  Masa Pendidikan Sekolah 20  Masa Pendidikan di Universitas 27  Bergelayut dengan Tokoh Masyumi Demi Mengabdi untuk Perjuangan Islam 30  Bapak dan Ibu Idris H Zainal serta Kehidupan Keluarga Yusril Ihza Mahendra 36  Sebagai Penulis Pidato Soeharto 43  Yusril Ihza Mahendra dan Partai Bulan Bintang 45

BAB 3 GERAKAN MODERNIS ISLAM – LINTASAN ISLAM POLITIK DI INDONESIA (1900-1965)  Asal-Usul Definisi dan Aliran Pemikiran 55  Gerakan Modernis Islam Pada Masa Kolonial Belanda (1900-1942) 74 v  : K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Mas Mansur 97  Persatuan Islam (Persis): A.H. Hassan dan DR. Mohammad Natsir 111  Sumatera Thawalib dan Partai Muslimin Indonesia (Permi): Syekh H. Karim Amrullah dan Rahmah 131  Jamiat Khair (al-Jami’yyat al-Khairiyyah): Para Sayyid dan bukan Sayyid 136  Madrasah Al-Irsyad (Jammiyatul Islaam wa Al Irsyaad Al Arabiyyah): Ahmad Soorkatti 138  Partai Islam Indonesia (PII): Sukiman, Raden Wiwoho dan KH. Mas Mansur 140  Masa Pendudukan Jepang (1942-1945) 146  Masa Awal Kemerdekaan (1945-1950) 154  Masa Demokrasi Parlementer (1950-1959) 168  Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) 178

BAB 4 PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 : DALAM SISTEM ORDE BARU (1966-1998)  1966-1973: KONSOLIDASI DUA KEKUATAN 189  1973-1985: POLA INTERAKSI SIMBIOTIK 204  Mohammad Natsir dan Pemerintahan Soeharto 211  Nurcholish Madjid dan Neo-Modernismenya 219  POLA INTEGRASI SIMBIOTIK : 1985-1998 236  Pemikiran dan Tindakan Politiknya 246  Hari-Hari yang Melelahkan dan Detik-detik yang Menegangkan 275 vi BAB 5 PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 2 : DALAM REFORMASI POLITIK INDONESIA BARU (1998-2002)  Yusril Ihza Mahendra: Pemikiran dan Tindakan Politiknya 298  Yusril Ihza Mahendra: Poros Tengah dan Pencalonannya sebagai Presiden 299  Membangun Sistem dan Amandemen Konstitusi 302  Mengenai Peranan Sosial Politik Militer 306  Perjuangan Syariat Islam dalam Amandemen Konstitusi 308  Federasi atau Kesatuan 311  Islam, Penegakan Hak Asasi Manusia dan Implementasi Pelanggar HAM 314

BAB 6 BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU: ANALISIS DAN KESIMPULAN PEMIKIRAN DAN PERILAKU POLITIK YUSRIL IHZA MAHENDRA  Pra-Kemerdekaan 321  Pasca-Kemerdekaan 327  Pemikiran Dan Perilaku Politik Yusril Ihza Mahendra 331  Masa Pemerintahan Orde Baru 332  Masa Reformasi Indonesia Baru 343

FOTO DOKUMENTASI 352 RUJUKAN 364 INDEKS 384 TENTANG PENULIS 394 vii Kata Pengantar

MEMAHAMI pemikiran seorang tokoh adalah menangkap spectrum pergulatan pemikiran yang terjalin secara berkelindan dari puncak nilai nilai yang mempengaruhi pergulatan, perbenturan, persentuhan, dan konvergensinya dari hasil perenungan pemikiran serta perantauan batin serta pengalamannya. Tak ada yang steril dari gagasan yang ditawarkan serta penggugatan yang dikemukakan sebagai wujud kegelisahan sekaligus obsesi yang dirasakan. Namun bagi penulis selalu berupaya menangkap, memahami apa yang dapat dirumuskan dari pemikiran tokoh ini, adalah orisinalitas serta relevansinya dengan tantangan jaman yang dihadapi, maupun aktualisasinya menjawab persoalan kini dan masa depan dalam kehidupan masyarakat serta fenomena politik kenegaraan di Indonesia khususnya, serta denyut nadi dari arus globalisasi yang dirasakan dewasa ini. Demikian pula dalam memahami sosok tokoh elit islam dari basis kultural modernis islam. Tokoh ini bukan saja memiliki kekuatan intelektualitas yang disegani, akan tetapi juga integritas, keberanian serta ketajamannya dalam meramu, merakit nilai nilai islam yang diperjuangkannya dalam kehidupan kemasyarakatan juga pergulatan pemikiran maupun tindakan politiknya dalam kehidupan politik kenegaraan dalam denyut nadi bangsa Indonesia. Fakta, data, metode, maupun pembahasan serta kesimpulan analisis dalam buku ini, dapat memberikan pencerahan sekaligus pengayaan buat para pembaca, apa, siapa serta bagaimana tokoh ini mampu mengkritisi sekaligus memberi solusi jawaban bagi kepentingan keumatan khususnya serta bangsa Indonesia secara pendekatan akademis dari apa yang dapat dirumuskan oleh penulis. viii Buku ini sangat baik utuk dimiliki bukan saja sebagai buku ajar bagi disiplin kajian politik, kesejarahan serta sosial budaya. Hal lain juga sangat berguna bagi kalangan peraktisi, aktivis, maupun para peneliti dalam mencari, mendapatkan temuannya apa yang dimiliki dan dipahami tentang pemikiran sekaligus sepakterjang sang tokoh ini. Dengan terus berkembangnya era digital terhadap dunia literasi, karya ini akan memiliki jangkauan lebih luas dan kompleks untuk dapat dinikmati dekaligus dipahami. Buat penulis, sangatlah menyadari "tiada gading yang tak retak" dalam berkarya sekaligus mempersembahkan karya tulis dalam bentuk buku yang diterbitkan secara pisik dan digital. Semoga terbitnya buku ini memperkaya khasanah dunia literasi di Indonesia serta peradaban buku ilmiah. Demikian pengantar dari penulis, terimakasih dan selamat untuk menikmati isinya.

Jakarta, ... Penulis.

Drs. Firdaus Syam, MA, Ph.D Yusril Ihza Mahendra dengan pakaian resmi.

PENDAHULUAN 1

Pendahuluan11 LATAR BELAKANG DAN PERMASALAHAN111

UKU ini membahas pemikiran elit politik Islam modernis di Indonesia dalam era baru yang dikenal dengan sebutan B era reformasi Indonesia.1 Tokoh modernis Islam tersebut 1 Istilah reformasi berasal dari bahasa Inggris yaitu reformation, yang ternyata istilah ini pada mulanya dipakai dalam suatu gerakan yang dicanangkan oleh Marthin Luther, tokoh yang melahirkan Protestan. Ada tiga hal dari reformasi yang diperjuangkan Luther, yaitu: pertama, dalam upaya, perjuangan serta kemandirian, dia tidak mau bergantung pada gereja, Roma maupun Paus; kedua, dengan mempertebal Nasional- isme, dia tidak sudi terhadap ketentuan bahwa Kardinal harus orang Italia, sebab orang Jerman juga pintar; ketiga, pemerataan pembangunan, karena elit dalam misi- onaris hidup bermewah-mewah, sementara rakyat di sekitarnya miskin. Namun demikian menurut Fachry Ali reformasi yang dimaksudkan di sini lebih bersifat sosial politik yang juga berlangsung di berbagai negara dalam keterkaitannya dengan adanya sebuah pemerintahan yang dianggap otoriter lalu diganti dengan sebuah pemerintahan baru atau reform government. Lihat Lukman Hakiem (pnyt.), Reformasi dalam Stag- nasi, Jakarta, Yayasan Al-Mukmin, 2001, hlm. 25-30. Menurut Yusril Ihza Mahendra reformasi itu berarti kembali ke jiwa dan semangat serta maksud kita mendirikan negara sejak zaman perjuangan menegakkan kemerdekaan, lihat Kawiyan (pnyt), Mem- bangun Indonesia yang Demokratis dan Berkeadilan: Gagasan, Pemikiran dan Sikap Politik Yusril Ihza Mahendra, Jakarta, Global Publika, 2000, hlm.40. 2 YUSRIL IHZA MAHENDRA

telah tampil sebagai calon presiden Republik Indonesia yang ke- empat pada Pemilihan Umum 1999, ini merupakan pemilihan umum pertama di era reformasi politik pascaruntuhnya peme- rintahan Orde Baru di bawah kekuasaan Presiden Soeharto sela- ma 32 tahun. Tokoh modernis Islam yang dimaksudkan adalah Prof. Dr.Yusril Ihza Mahendra. Dia adalah pakar hukum tata ne- gara, juga ketua Partai Bulan Bintang (PBB) dan dalam pemerin- tahan nasional diberi kepercayaan sebagai Menteri untuk urusan Hukum dan Perundang-Undangan yang kemudian diubah menja- di Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Tokoh yang memainkan peranan penting pada jatuhnya Soe- harto dari tampuk kekuasaan ini, masa mudanya adalah seorang tokoh penentang kepemimpinan Soeharto, namun sejak tahun 1994 berada dalam lingkar pusat birokrasi pemerintahan pusat yang diperbantukan di Sekretariat Negara, khususnya untuk menjadi penulis/penyusun pidato (speech writer) Presiden Soe- harto saat itu. Melalui sarana itu, Yusril Ihza Mahendra memba- ngun nuansa baru terhadap arah dan isi pidato dengan nuansa Islami dan menekankan misi maupun makna apa yang menjadi perhatian bangsa. Peranannya mengingatkan kita dalam sejarah pemikiran politik Indonesia lama kepada tokoh Ronggowarsito, yang “mendekatkan jarak” kepada pusat kekuasaan demi suatu perubahan, dan ini dibuktikannya secara lugas-berani dengan mengutarakan pandangannya di hadapan Soeharto agar pemim- pin Orde Baru itu berhenti sebagai presiden.2 Yusril Ihza Mahendra adalah seorang guru besar (profesor) bidang hukum tata negara yang dibesarkan dalam lingkungan

2 Meskipun sudah didesak demonstrasi para mahasiswa, Soeharto tetap bersikeras untuk tidak mau mundur dari jabatannya sebagai presiden, namun dalam pertemuan dengan sembilan tokoh di Istana Negara pada 19 Mei pagi, Yusril Ihza Mahendra kembali mendesak agar Soeharto segera turun dari tampuk presiden. Saat itu ia menegaskan kepada Soeharto, “Pak ini sudah nggak bisa ditawar lagi, rakyat sudah menghendaki Bapak berhenti, ini tuntutan rakyat, bagaimana jika ini dibiarkan.” Mendapat desakan seperti itu, Pak Harto mengatakan, “Ya sudahlah, kalau begitu saya berhenti.” Usai pertemuan, tokoh cendekiawan Nurcholish Madjid mengatakan bahawa Yusril Ihza Mahendra ini “orang gila,” berani-beraninya mendikte presiden, lihat Kawiyan, ibid hlm.2. PENDAHULUAN 3

keluarga Muslim yang taat, berpaham modernis dan berasal dari lingkungan keluarga Masyumi. Ia juga anggota dan aktif dalam organisasi Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), sebuah organisasi dakwah yang didirikan oleh para tokoh Masyumi di bawah pimpinan Mohammad Natsir. Organisasi dakwah ini di- bangun para tokoh nasionalis Islam dari kalangan modernis se- telah mereka melihat tidak memungkinkannya Partai Masyumi dihidupkan kembali, oleh karena itu organisasi ini didirikan un- tuk melanjutkan cita-cita Masyumi, yaitu berpolitik melalui jalur dakwah. Yusril Ihza Mahendra banyak berguru kepada mantan Perdana Menteri RI tersebut dan pada masa studi di universitas dia aktif sebagai anggota dan aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Indonesia), organisasi mahasiswa terbesar dan militan di Indone- sia3 dan saat ini adalah ketua Partai Bulan Bintang (PBB), sebuah partai yang berasaskan Islam, terbuka. Jatuhnya kekuasaan Soeharto berbarengan dengan bubarnya pemerintah Orde Baru, sehingga zaman reformasi pun muncul yang ditandai oleh beberapa keadaan: pertama, tumbuhnya bu- daya politik baru yang demokratis, terbuka untuk mengemukakan pendapat serta pemulihan hak asasi yang pada masa lalu dimati- kan atau dilarang. Ini menjadi tuntutan masyarakat dari berbagai lapisan dan latar belakang sosial seperti mahasiswa, kalangan cendekiawan, profesional, praktisi, kelompok wanita, buruh dan bahkan di kalangan militer yang sebelumnya tabu menjadi anggo- ta suatu partai politik. Tuntutan untuk penumbuhan budaya politik baru itu berimpli- kasi kepada pengkajian ulang atas masalah-masalah mendasar, yakni, perlunya segera diadakan pemilihan umum (pemilu) de- ngan perundang-undangan pemilihan yang baru, amandemen

3 HMI, perhimpunan di mana bernaung para mahasiswa Islam yang afiliasinya lebih berorientasi kepada Islam modernis, ini didirikan oleh kalangan pemuda Muslim terpelajar antara lain adalah Alm. Prof Lafran Pane, Alm. Dahlan Ranuwihardjo dan Letjen Achmad Tirto Sudiro, nama yang disebut terakhir ini pernah menjabat sebagai ketua ICMI. HMI berdiri pada masa awal revolusi kemerdekaan RI, yakni pada 5 Februari 1947. Para anggotanya memiliki andil besar dalam mempertahankan kemerdekaan RI, meruntuhkan Orde Lama dan Orde Baru. 4 YUSRIL IHZA MAHENDRA

konstitusi negara (UUD 1945) atas sejumlah pasal seperti perso- alan pembatasan masa berlakunya kekuasaan lembaga kepre- sidenan, dan perlu diperkuatnya peranan lembaga-lembaga nega- ra lainnya. Pencabutan penetapan satu-satunya asas dalam kehi- dupan berorganisasi, pada sisi lain adanya tuntutan mengenai pemberlakuan syariat Islam dalam konstitusi. Hal ini juga ter- masuk dihilangkannya sosialisasi internalisasi dan institusionali- sasi Pancasila melalui penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), dihapuskannya budaya KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), persoalan hubungan pemerintahan pusat dengan daerah yang tidak seimbang agar segera diperbaiki de- ngan pengembangan jumlah wilayah provinsi dan perluasan daerah otonomi, terabaikannya hak asasi, ketidakadilan peme- rataan ekonomi sosial dan ketidakpastian hukum serta per- undang-undangan yang semua itu bermuara pada krisis pemerin- tahan dan krisis kepemimpinan. Hal Ini hanya mungkin bisa diatasi dan segera diperbaiki dengan membentuk pemerintahan yang baru. Kedua, tokoh-tokoh Islam yang kritis, teguh pendirian dan militan di masa Orde Baru dicurigai sebagai anti-Pancasila, akibatnya mereka mengalami marjinalisasi peranan pada pusat kekuasaan dan politik strategis. Pada era reformasi ini Yusril Ihza Mahendra menjadi salah satu tokoh penting yang turut tam- pil mewarnai dan menentukan arah reformasi seperti meng- upayakan agenda-agenda penting dalam sidang parlemen dan kerja sama partai politik berbasis Islam ke dalam poros tengah (middle wing) saat penentuan pemilihan Presiden keempat hasil pemilu 1999, di mana mereka tampil selaku inisiator terbentuk- nya poros tengah tersebut. Bersama anggota fraksi partainya dia dengan gigih mampu meyakinkan para anggota parlemen dan te- lah mengundang reaksi yang mencerahkan dari masyarakat luas ketika menuntut pemilihan ketua DPR secara terbuka dengan argumen agar tumbuh budaya politik yang benar-benar demo- kratis. Pada saat pencalonan Presiden dia mampu “mengecohkan” lawan politik dalam membaca peta kekuatan di parlemen bagi PENDAHULUAN 5

penentuan siapa yang akan menjadi Presiden, dengan strategi yang mengesankan. Yusril adalah sosok pribadi yang memilih sikap kooperatif tetapi tegas dalam pendirian, terbukti dalam mendampingi Soeharto saat kejatuhannya, ia berhasil menyusun naskah pidato Presiden dengan nuansa yang berbeda dan ia pula yang mengusulkan agar Soeharto berhenti sebagai presiden. Demikian pula dalam pemerintahan Presiden , dengan berpegang pada sistem konstitusi, ia dengan tegas menolak dan menentang pencabutan TAP MPRS No. XXV Tahun 1966 mengenai pelarangan ajaran Marxisme dan Komunisme yang diusulkan oleh presiden.4 Memasuki milenium ketiga, perkembangan ke arah pemben- tukan negara Indonesia menemukan fase baru. Pada awal abad kedua puluh kalangan Islam modernis mempelopori pergerakan nasional untuk mengusir penjajah. Tuntutan organisasi modern seperti Sarikat Islam, Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persis, ini kemudian membidani lahirnya tokoh elit Islam Indonesia antara lain H.O.S. Tjokroaminoto, H. Agus Salim, K.H. Ahmad Dahlan, H. Mas Mansur, A. Hassan, dan Mohammad Natsir. Mereka me- lakukan reformasi untuk membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu penindasan dan kesewenangan penguasa kolonial masa itu serta berjuang menuju kemerdekaan Indonesia dengan tidak melepaskan tujuannya sebagai seorang Muslim dan tegaknya ke- muliaan agama Islam di Nusantara ini. Kalangan modernis memi- liki peranan sangat besar dalam membuka wacana orang Islam di Indonesia dan bagi mereka ibadah di dalam ajaran Islam tidak boleh dilepaskan dengan persoalan kemasyarakatan karena agama tidak terlepas dari persoalan politik. Kalangan modernis

4 Mengenai penolakan dan penentangan Yusril Ihza Mahendra atas usulan Presiden Abdurrahman Wahid untuk mencabut dasar hukum pelarangan ajaran Komunis di negara Indonesia dapat dilihat dalam dua hal: pertama, secara ideologis paham itu bertentangan dengan ajaran Islam dan secara politik paham itu sangat berseberangan dengan semangat serta prinsip-prinsip paham demokratis yang anti absolutisme maupun otoriterianisme yang ini dipertahankan dalan pemerintahan dan paham komunis; kedua, dari segi hukum resmi, usulan pencabutan dasar hukum tersebut adalah tidak tepat, karena semestinya aspirasi itu harus dilakukan melalui anggota parlemen dan lembaga parlemen. 6 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Islam, terutama pandangan Mohammad Natsir yang dikemuka- kan melalui tulisan-tulisannya sangat mewarnai peta bumi politik Islam di masa pergerakan nasional, awal kemerdekaan dan ketika perdebatan politik di sidang konstituante di tahun-tahun 1950- an. Peranan kalangan modernis Islam mengalami masa surut keti- ka masa sistem Demokrasi Terpimpin-Orde Lama diberlakukan dari tahun 1959 sampai 1965. Di bawah kekuasaan Soekarno yang diktator, Partai Masyumi dilarang dan tokoh-tokohnya seperti Mohammad Natsir, Hamka, Mohammad Roem, Prawoto, Syaf- ruddin Prawiranegara, Isa Ansyari, Kasman Singodimejo dan lain- nya dipenjarakan. Demikian pula pada masa pemerintahan Orde Baru yang dimulai tahun 1966 sampai 1998 di bawah kepemimpin- an Soeharto, dengan landasan ideologi yang sama seperti masa Orde Lama yaitu Pancasila dan UUD 1945, masa ini pun partai Islam tidak boleh berdiri dan para tokoh dan pelanjut perjuangan Masyumi mengalami masa-masa sukar untuk terlibat bebas dalam politik. Seperti pada awal abad kedua puluh, pada awal abad milenium ketiga ini kalangan modernis Islam kembali tampil dengan waca- na dan pencerahan politik bangsa, persoalan konstitusi dan ideo- logi diperdebatkan kembali; masalah persatuan, demokrasi, perlunya keadilan, soal toleransi-kemajemukan, masalah hubung- an agama dengan negara kembali mengemuka. Perdebatan politik antara kelompok Nasionalis Islam dan kelompok Nasionalis Seku- ler muncul kembali ke permukaan politik. Hal ini terlihat jelas saat reformasi politik berlangsung baik dalam aktivitas kampanye selama masa sidang parlemen maupun di dalam wacana politik masyarakat. Ada nuansa perjuangan kehidupan politik yang sama antara kalangan modernis Islam pada masa awal memasuki abad ke-20 hingga kemerdekaan dengan kalangan Islam modernis ke- tika reformasi memasuki abad ke-21, sebagaimana yang dimak- lumi; “bahwa peranan golongan pemikir yang biasanya dari ka- langan elit dan tokoh-tokoh sangat besar pengaruhnya terhadap proses perkembangan masyarakat” (SP Varma 1992: 503), karena itu ketika mempelajari kehidupan dan pemikiran seorang tokoh PENDAHULUAN 7

nasional, ini dapat mendekatkan kita kepada gerak langkah seja- rah yang sebenarnya, dan juga lebih memahami pergumulan manusia dengan zamannya (Alfian 1980). Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki sistem tata hu- bungan sosial tersendiri yang dirumuskan sesuai dengan kondisi sosial–budaya dan realitas sosial masyarakatnya. Sebagai suatu sistem sosial, kehidupannya mempunyai sifat majemuk, kemaje- mukan sistem sosial masyarakat Indonesia ini di antaranya ditun- jukkan oleh keanekaragaman keyakinan agama warga negaranya (Nasikun 1987). Komunitas pemeluk agama Islam merupakan komunitas terbesar di Indonesia dan secara bersama atau indi- vidual memiliki sistem tindakan dan sistem hubungan sosial yang tersusun dalam institusi syariah sebagai norma hukum. Institu- si syariah atau norma hukum Islam disusun berdasarkan ajaran Islam yang tercantum dalam Alquran dan Sunnah Rasul. Menurut sensus penduduk tahun 1980 (Biro Pusat Statistik 1984) jumlah pemeluk agama Islam meliputi 87,1 persen. Pemeluk Islam yang sering disebut umat Islam atau umat merupakan subsistem ma- syarakat Indonesia5 karena “setiap golongan dan gerakan sosial dalam suatu masyarakat akan menyusun tata hubungan ber- dasarkan anggapan dasarnya” (Soedjito 1986). Pada skala politik nasional, Mohammad Natsir melihat adanya keterkaitan antara agama dan negara, demikian pula Deliar Noer memandang bahwa Islam meliputi dua aspek yakni agama dan masyarakat politik. Islam tidak memisahkan persoalan rohani dan dunia melainkan mencakup dua segi hukum syariat Islam yang mengatur perhubungan manusia dengan sesamanya (Deliar Noer 1982). A. Rahman Zainuddin melihat bahwa Islam mengem- ban suatu bentuk yang ideal di tengah-tengah masyarakat (Miriam Budiardjo 1986:189), sementara Nurcholish Madjid dan Munawir Sadzali menolak keterkaitan agama dan negara. Kedua orang itu berpendapat bahwa injeksi politik dalam lingkungan

5 Abdul Munir Mulkhan, Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Ummat Islam 1965- 1987 dalam Perspektif Sosiologis, Jakarta, Rajawali Press, 1989, hlm.2-3. 8 YUSRIL IHZA MAHENDRA

agama telah merusak citra agama itu sendiri, ajaran Islam se- harusnya mengatur politik tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, elit dan penguasa politik mengeksploitasi orang dan konsep Is- lam untuk kepentingan mereka. Hasilnya bukanlah politik yang terbimbing oleh moral agama, tetapi agama dimanipulasi untuk memobilisasi massa agar menerimanya guna melayani tujuan se- saat partai politik (Dale F. Eickelman, James Piscatori 1996: 68). Reformasi politik telah memungkinkan kalangan Islam mo- dernis untuk dapat mengambil peranan lebih besar pada dunia politik dan pendirian partai politik yang berasaskan Islam. Oleh sebab itu Yusril Ihza Mahendra tidak hanya memiliki peranan penting untuk turut mewarnai bagaimana proses reformasi politik di Indonesia itu menentukan bentuk dan pilihannya di masa men- datang tetapi juga ia “dituntut” memiliki komitmen yang kuat bagi pentingnya Islam secara politik diperjuangkan dan memberi isi atau pemaknaan reformasi di bidang kehidupan politik kene- garaan. Berdasarkan rumusan masalah itu maka posisi penyelidikan ini lebih ditekankan dan difokuskan pada, pertama, pandangan atau pemikiran dari tokoh tersebut yang berhubungan dengan orientasi politik menyangkut visi, misi dan persepsi atas per- soalan-persoalan yang menonjol dalam membangun reformasi politik; kedua, upaya mempresentasikan nilai-nilai Islam dan sikap politik tokoh itu terhadap arah dan isi reformasi merupakan titik pandang yang penting untuk dilihat dari tokoh tersebut; ketiga, adakah implikasi teori yang sebelumnya telah dikemuka- kan baik yang berkaitan dengan pertumbuhan Islam politik di kalangan gerakan modernis Islam di Indonesia maupun dalam kasus melihat pemikiran dan perilaku politiknya. Ketiga perma- salahan itu diharapkan dapat memberikan rumusan teoretik baru di mana tokoh modernis itu harus diletakkan kepada tipologi pe- mikiran dan perilaku politiknya, adakah dalam dirinya meng- alami pergeseran, pertautan atau persesuaian, atau sebaliknya memiliki penguatan yang signifikan. Apa yang dikemukakannya mengenai pandangan-pandangan politik, masalah reformasi kehi- PENDAHULUAN 9

dupan kenegaraan, peranan Islam dalam kaitannya dengan politik kenegaraan dari tokoh ini yang mencerminkan kecenderungan berbeda? Yusril Ihza Mahendra memiliki latar belakang pemahaman ke- islaman dari akar sosial budaya Islam yang cukup kuat, tetapi pada tingkat mempersepsikan nilai-nilai fundamental ke dalam perjuangan politik terlihat ada kekhususan atau perbedaan diban- dingkan dengan tokoh reformis dari kalangan modernis Islam lainnya, ini tercermin dari sikap politiknya. Hal ini karena adanya korelasi antara nilai-nilai dasar dan pengalamannya dengan situ- asi budaya politik yang terjadi. Permasalahannya, pertama, apa yang nampak dari tokoh modernis ini dalam hubungan dengan pemikiran dan perilaku politik serta apa yang menyebabkannya seperti itu; kedua, mengapa tokoh yang berlatar belakang dari kultur Islam politik-modernis ini memunculkan pandangan re- formasi politik yang berbeda bila dibandingkan elit politik Islam modernis lainnya. 10 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Yusril Ihza Mahendra bersama istri dan kedua putranya PERJALANAN HIDUP 11

Perjalanan Hidup: Sosialisasi222 Budaya Politik Yusril Ihza Mahendra

SOSIALISASI BUDAYA POLITIK

Desa Kelahiran

ESA Lalang, Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung, Provinsi Bangka Belitung (BABEL) adalah tempat Yusril D Ihza Mahendra lahir dan dibesarkan. Belitung adalah se- buah pulau1 yang letaknya sebelah Timur Laut Pulau Sumatera

1 Pulau Belitung, bila ditelusuri asal-muasalnya lebih bersifat legenda. Dari riwayat orang tua dan orang Barat menceritakan bahwa asal mulanya dari sepotong tanah Bali (Pulau Bali di kawasan Indonesia bagian timur yang cukup jauh letaknya dari letak Pulau Belitung itu sendiri) yang berpisah dan kemudian terdampar ke sini menjadi 12 YUSRIL IHZA MAHENDRA

bagian Selatan, dan2 pada peta dunia Pulau Belitung dikenal de- ngan nama Billiton yang bergaris tengah Timur-Barat lebih-ku- rang 79 Km dan garis tengah Utara-Selatan lebih kurang 77 Km.3 Luas Kabupaten Belitung adalah 4.800,600 Km2, terdiri 67 buah desa dan dua kelurahan dengan jumlah penduduk 211.117 jiwa yang terdiri 107.835 jiwa laki-laki dan 103.282 perempuan.4 Akti- vitas dan usaha terbesar penduduk di daerah ini bergerak di bi- dang perkebunan dan pertambangan, sebaliknya sangat kecil yang bergerak di bidang perikanan.5 Dalam hal pengaruh mo- dernisasi, masyarakat di sini jauh sebelum memasuki alam merde- ka telah menikmati listrik dari maskapai Penambangan Timah Belanda yang pada waktu itu memiliki pusat listrik tenaga disel yang terbesar di Asia Tenggara, aktivitas ini dari tahun 1861,

Pulau Billitong, asal kata dari Bali-Potong berdasarkan terjemahan C. de Groot, kemudian oleh orang Barat disebut Belitoeng. Ini kemudian berubah lagi dengan nama Billiton, sebutan orang Barat, Lihat K.A.H. Abd. Hamidi, Sejarah Poelau Blitong: Asal Oesoel Poelau Blitong, hlm. 1. tulisan dalam bentuk diktat yang berbahasa Melayu, tanpa tahun dan penerbit. 2 Pada masa sebelum Reformasi, pulau ini menjadi bagian dari wilayah Provinsi Sumatera bagian Selatan (Sumsel) dengan pusat pemerintahan di kota Palembang, tetapi sekarang setelah berpisah, ia beribukota di Tanjung Pinang yang letaknya di Pulau Bangka. Pulau Belitung sendiri termasuk wilayah kabupaten dengan pusat pemerintahannya di kota Tanjung Pandan, sebuah kota di tepi pantai dengan daerah pelabuhan yang cukup strategis untuk menuju ke berbagai wilayah seperti Malaka melalui Selat Gaspar, Pulau Batam dan Singapura di sebelah Barat laut, Kepulauan Natuna dengan Laut Cina Selatan di bagian Utara, Selat Karimata di bagian Timur, serta di selatan berbatasan dengan Laut Jawa serta berseberangan dengan wilayah pantai dari provinsi Sumatera Selatan dengan potensi kawasan utamanya adalah aktivitas di bidang perdagangan, pelayaran, perikanan serta pariwisata. 3 Di samping itu masih ada pulau-pulau besar lainnya seperti Pulau Seliu, Mendanau, Nadu, Batu Dindang, dengan alamnya yang beriklim tropis, pulau-pulau ini sudah dikenal sejak abad ke-17, orang-orang Barat datang ke sini dan menemukan Timah sebagai kekayaan alam pulau ini. Dalam sejarahnya di sini juga tempat sarang Lanun (Bajak laut), sampai kini kuburan kaum pembajak masih ada yaitu di daerah Sungai Kubu. Wawancara dengan Edy Sahaya, tanggal 25 Juni 2002. 4 Ibid, hlm. 21, 22, 36. 5 Penduduk di sini telah demikian heterogen, yang terbesar adalah etnis Melayu, kemudian ada etnis lainnya yaitu Aceh, Bugis, Jawa, Sunda, Minang, Buton, Madura, Bawean, dan suku Laut, adapun mengenai orang asing yang bermukim di sini adalah Cina, Pakistan, serta India, bahkan cukup banyak warga negara asing yang menetap di sini, ini menandakan masyarakat Belitung walaupun mayoritas etnis Melayu dan kuat dengan agama Islamnya, mereka selalu siap menerima (terbuka). Wawancara dengan H. Abubakar Syamsuddin, anggota DPRD dan Ketua Partai Bulan Bintang DPC Kabupaten Belitung. Wawancara tanggal 25 Juni 2002. PERJALANAN HIDUP 13

sampai memasuki alam kemerdekaan hingga Perusahaan Timah tersebut resmi terhenti operasinya sekitar tahun 1990-an.6 Mengenai pola sistem keluarga, masyarakat Belitung berpola patrilinial. Kedatangan Islam di sini berbarengan dengan armada Chengho dari Cina pada Oktober tahun 1425,7sedangkan orang Barat yakni bangsa Belanda datang ke Belitung dengan melakukan penambangan timah sekitar tahun 1850-an yang beroperasi di Kota Tanjung Pandan dan Manggar.8 Pertambangan timah ini telah mempengaruhi kehidupan masyarakat terutama di Kecamatan Manggar, sehingga sebagian masyarakatnya ber- gerak di bidang teknik. Dalam hal kepemimpinan sosial, tokoh informal terutama ulama, kiai memiliki pengaruh dan peranan yang besar,9 walaupun ajaran Islam yang dianut penduduk di sini sebagian juga terkena pengaruh “sinkretik” yang berasal dari bu- daya masyarakat setempat dan percaya pada dukun.10 Islam sema-

6 Wawancara dengan pengamat sosial budaya masyarakat Belitung yaitu Rosihan Sahip, di Tanjung Pandan, tanggal 20 Mei 2002. 7 Sejarah Pulau Belitung itu memiliki raja dan kerajaan, yang menguasai wilayah ini adalah raja yang bernama Dipati Tjakra Diningrat yang masih keturunan dari Kerajaan Majapahit yang pada sekitar abad ke-15 Pulau ini dikuasai oleh Kiai Roromenggo keturunan lain Dipati Cakra Diningrat. Lihat K.A.H. Abd. Hamidy, Ibid, hlm. 6. 8 Pada masa Kolonial Belanda, VOC, di Belitung, masyarakat di bawah kekuasaan para Adipati, masyarakat di sini juga telah beragama Islam, wawancara dengan Edy Sahaya, seorang penduduk pendatang yang lahir di Tanjung Pandan namun memiliki keturunan Ambon, pernah menjadi karyawan penambangan timah, kini menjadi anggota DPRD, ia juga seorang pengusaha yang bergerak di bidang pengembangan restoran, menetap di Tanjung Pandan. Wawancara dilakukan pada tanggal 25 Juni 2002. 9 Dapat dikatakan bagi masyarakat di sini, acara seremonial belum dianggap dimulai bila belum datang tokoh informal, sehingga perspektif keislaman sangatlah penting untuk mengukur seseorang dalam perannya di tengah masyarakat, selain harus diiringi pula dengan memiliki kemampuan fisik (power). 10 Sebagai contoh bentuk seremonial Moros tahunan, suatu kebiasaan seremonial masyarakat Belitung sebagai wujud terima kasih kepada Tuhan, pelaksanaan ritual dipimpin oleh dukun dengan mistik yang dicampur ajaran Islam, ini dengan membawa sesajen untuk dibawa ke hutan untuk membuka hutan baru, dilaksanakannya panenan, ini telah ada jauh sebelum ajaran Islam masuk, contoh lain adalah untuk berobat bagi kesembuhan seseorang, masih ada yang menggunakan mistik seperti diberi tanda merah di kepala orang yang sakit. Maka tidak heran bila di kalangan penduduk Belitung yang beragama Islam, ada yang tidak sholat tetapi “berpantang” makan barang haram dan tidak mau masuk agama lain. Wawancara dengan Rosihan Sahip, seorang asli Belitung, pengamat sosial budaya masyarakat Belitung, wawancara dilakukan di Tanjung Pandan, tanggal 20 Mei 2002. 14 YUSRIL IHZA MAHENDRA

kin kuat dengan munculnya kalangan Ahlusunnah waljamaah yang bersifat tradisional, tetapi dalam perkembangan selanjut- nya, pengaruh kalangan modernis cukup kuat dengan masuknya Persarikatan Muhammadiyah melalui aktivitas yang lebih ter- organisasi. Kalangan Modernis Islam lebih kuat karena mendapat dukungan dari kalangan muda yang telah mengenyam pendidikan formal,11 selain itu sebagaimana kebiasaan masyarakat “seberang “(luar Jawa), dalam masyarakat Belitung filsafat merantau men- cari ilmu adalah jauh lebih penting dari sekedar uang yang kita dapat. Ini terjadi setelah kedatangan kolonial dan nampaknya ini menjadi nilai pembanding karena terjadi persentuhan budaya di antara masyarakat pendatang dengan masyarakat setempat. Hal ini dapat dilihat lagi pada adanya perbedaan masyarakat yang menetap di wilayah pantai seperti yang ada di Manggar yang lebih terbuka dan intens dalam bersentuhan dengan orang “dari luar” dibanding masyarakat setempat. Ada pembelahan yang mem- bedakan masyarakat di sini, yaitu di antara masyarakat yang menetap di Belitung bagian Barat dengan masyarakat yang menetap di bagian Timur,12 pengaruh yang menonjol berkaitan dengan ajaran Islam ini berasal dari paham modernis Islam, yang terlihat dengan berdirinya lembaga pendidikan Islam bercorak modernis dan banyaknya orang Belitung pergi ke Pulau Jawa un- tuk menambah pengetahuan agama dari paham modernis Islam. Tokoh Islam yang menonjol seperti Kemas Rosyad, yang berasal

11 Dalam kehidupan sosial keluarga, masyarakat Belitung memiliki nilai-nilai budaya yang masih berlaku seperti peringatan dan larangan, pesan moral atau berupa pantangan seperti, “jangan berhujan-hujan ketemu hantu nanti,” atau “nggak sedang, artinya yang sedang saja jangan berlebihan.” Wawancara dengan Edy Sihaya, anggota DPRD dari Partai Bulan Bintang, ia banyak mendapat dukungan dari kalangan Gereja (Kristen) karena melalui pendekatan etnis yaitu Ambon, wawancara pada tanggal 25 Juni 2002. 12 Dalam persoalan kepemimpinan, masyarakat Belitung Timur lebih dipengaruhi tokoh informal dibanding masyarakat Belitung Barat, hal ini disebabkan karena masyarakat Belitung Timur masa lalu di Tanjung Pandan yang kini menjadi kota, telah bercokol tiga kekuatan politik yaitu Kerajaan Cakraningrat yang berakhir tahun 1930-an, kolonial Belanda dan penguasa pertambangan Timah, sementara di bagian Timur termasuk wilayah Manggar tidak terlalu kuat tersentuh oleh tiga kekuatan tadi, maka perkembangan Islam lebih menonjol. PERJALANAN HIDUP 15

dari Palembang, mendirikan pendidikan Nurul Iman; ada pula sejumlah Sayyid yang berasal dari Jakarta di tahun 1931-an.13 Kecamatan Manggar bagian dari Kabupaten Belitung, terletak di bagian Timur dari pulau ini, berjarak sekitar 87, 5 km dari kota Tanjung Pandan. Di daerah ini mayoritas penduduknya ber- agama Islam dan umumnya hidup mereka dari aktivitas nelayan dan buruh pertambangan, ini adalah bagian terbesar dari aktivi- tas kehidupan masyarakat, selebihnya kalangan pedagang, buruh perkebunan, pengrajin pengangkutan dan nelayan tradisional.14 Berbilang daerah lainnya di wilayah Nusantara masa itu sebenar- nya kehidupan masyarakat di sini sudah cukup maju baik dalam mengenal teknologi modern, kelayakan kehidupan ekonomi mau- pun kesadaran pentingnya pendidikan. Banyaknya pendatang yang menetap di daerah ini, kemudian persentuhan budaya luar (Barat) dengan budaya setempat serta perkembangan ajaran Is- lam, telah mendorong masyarakatnya untuk keluar “menjelajah” kebudayaan dunia luar yang luas; ini yang kemudian juga mendo- rong kedua orang tua Yusril Ihza Mahendra dari Kampung La- lang, sebuah desa dengan jarak lebih kurang 3 km dari pusat pemerintahan Kecamatan Manggar ke arah Barat, telah memiliki pandangan untuk menanamkan kemajuan melalui pendidikan ilmu pengetahuan dan agama, maupun cara hidup yang dikem- bangkan di lingkungan keluarga mereka. Keluarga Bapak Idrus dan Ibu Rurseha Sandon dengan tekun, keras dan sabar mendidik kesebelas anaknya, yang satu di

13 Jika melihat peta politik pada masa Reformasi, kalangan modernis Islam melalui Partai Bulan Bintang yang memiliki keinginan melanjutkan tradisi Masyumi telah memenangkan suara terbanyak dalam pemilu 1999. Perpaduan di antara kultural Islam modernis dan semangat kedaerahan semakin mengemuka terbukti akan tuntutan politik masyarakat Pulau ini bersama masyarakat Pulau Bangka untuk melepaskan diri dari Provinsi Sumatera bagian selatan dan membentuk provinsi tersendiri. Dengan Edy Sahaya, wawancara tanggal 25 Juni 2002. Menurut H. Abu Bakar kemenangan PBB dalam Pemilu 1999 yang sangat demokratis itu telah mengulangi sejarah ketika Pemilu 1955 yang dikenal sangat demokratis juga dimenangkan oleh Partai Islam Masyumi. Partai Masyumi dengan PNI sama kuat, masing-masing mendapatkan 5 kursi di DPRD. H. Abu Bakar adalah ketua di Majelis Syuro Partai Bulan Bintang Cabang Kabupaten Belitung, juga kini menjadi Wakil Ketua DPRD Kabupaten Belitung, wawancara tanggal 25 Juni 2002 di Tanjung Pandan, Belitung. 14 Sumber; Data Monografi Kecamatan Manggar, 2001. 16 YUSRIL IHZA MAHENDRA

antaranya, Yusril lIhza Mahendra, kini berhasil tampil sebagai tokoh politik nasional dengan usia yang relatif masih muda. Ia cukup disegani dan memiliki andil terhadap perubahan penting yang terjadi di negara Republik Indonesia baik pada masa men- jelang Reformasi sampai setelah kini ikut memiliki peranan po- litik melalui partai yang dipimpinnya, yaitu Partai Bulan Bintang.

Masa Kecil di Tengah Keluarga: Bersikap Toleran, Disiplin, dan Berpegang kepada Agama

USRIL Ihza Mahendra.15 “Yusril masa kecil,” anak yang la- hir di Kampung Lalang, Manggar pada 5 Februari 1956, ada- Y lah anak yang pendiam, berbicara secukupnya dan buatnya orang berbicara dengan “dua kali pun” sudah cukup, satu kali dia sudah mendengar. Ia anak seorang naib, penghulu yang juga Ke- pala Kantor Urusan Agama (KUA) di daerahnya pada masa tahun 1960 sampai 1970-an. Abahnya bernama Idris.16 Yusril kecil ge- mar belajar dan bermain, usai aktivitas di sekolah dan mengaji agama, yang biasanya berakhir ba’da Zuhur17 akan dilanjutkannya

15 Kata Ihza merupakan kependekan dari Idris Haji Zainal Ahmad, ia penggabungan dari nama bapak dan kakek Yusril. Kata ini juga menjelaskan orang tua dari Haji Zainal Ahmad (kakeknya) bernama Thayeb, di atas Thayeb nampaknya asal keturunan kami dari “luar Belitung”, ada kemungkinan keluarga dari pihak ayah berasal dari kalangan bangsawan- raja Melayu Kerajaan Johor, tetapi mereka “memberontak” terhadap sistem feodal kehidupan raja, ini diperkuat dengan penjelasannya bahwa Haji Zainal itu memiliki naskah-naskah Melayu Kerajaan Johor, ini berkaitan dengan Kesultanan Johor sekarang, karena kami memiliki kakek dari pihak bapak yang kini menetap di wilayah itu. “Ada kesan mereka tidak puas dengan aristokrasi dan ingin menjadi ulama,” namun demikian mereka tidak menggelapkan sejarah, ungkapnya. Wawancara dengan Yusril Ihza Mahendra di rumah dinas, Jl. Widyachandra I, Kebayoran Baru, Jakarta, tanggal 8 Juni 2002. 16 Abah yang rajin berdakwah menyampaikan ajaran Islam secara benar, namun kedudukan yang cukup terpandang dari bapaknya tidak menjadikannya sombong atau anak yang bikin masalah. Abah merupakan panggilan dari Yusril dan saudara-saudaranya kepada ayahanda. 17 Di sini ia tidak hanya sekadar bermain, melainkan turut membantu menarik perahu (kater) untuk menurunkan ikan dan ini mendapatkan upah berupa ikan segar yang dibawa pulang ke rumah untuk dimasak dan dinikmati. PERJALANAN HIDUP 17

dengan pergi ke pantai.18 Bila hari Ahad (libur) masa tidak ada aktivitas di sekolah, ia pergi memanjat kelapa atas suruhan orang dengan mendapatkan imbalan sekadarnya atau kelapa dari kebun kakeknya yang kemudian dibawa ke rumah, membantu uma19 memarut kelapa itu untuk dibuat minyak dan dijual. 20 Masa kecil bersama saudaranya bukanlah sebagai anak-anak di kampung pada umumnya di mana dalam tradisi masyarakat di negeri ini pola hubungan anak dengan orangtua bersifat hierar- kis, sebaliknya dalam interaksi Yusril dengan orangtuanya sangat ditanamkan untuk mau dan berani mengemukakan pendapat, ber- diskusi, berdebat berkaitan dengan persoalan sehari-hari sampai kepada persoalan politik. Pola pendidikan dengan interaksi yang dinamis itulah yang dikembangkan abah dan uma di tengah ke- hidupan keluarga mereka itu, Yusril Ihza Mahendra mengenai hal ini menjelaskan: Selain kami dibiasakan berdiskusi, Abah selalu ber- langganan harian seperti Pedoman, Abadi, Suluh Marhaen, Panji Masyarakat,21 serta buku-buku yang dikirim dari kota Medan dan Bandung, dan Abah menyisihkan uang untuk itu melalui paket pos. Abah juga memiliki teman-teman untuk bertukar pikiran;

18 “Sebenarnya saya sewaktu pergi ke pantai banyak bergaul dengan nelayan, selain mandi di laut dan bermain bola, juga kemudian saya belajar memahami kehidupan yang keras dan keinginan untuk merantau,” ini diungkapkannya dalam wawancara dengannya, tanggal 8 Juni 2002. 19 Uma merupakan panggilan dari Yusril Ihza Mahendra dan saudara-saudaranya kepada Ibu. 20 Waktu itu orang tua Yusril Ihza Mahendra baru memiliki tiga orang anak, pindah dari rumah ini ke tempat kakek dan neneknya di kampung Skip, dan tahun 1957, mereka pindah ke kota Tanjung Pandan, ini dikarenakan Abah mendapatkan tugas serta aktivitas di kantor urusan agama sebagai kepala di kota ini. Jumlah anak pun bertambah menjadi delapan orang, baru kemudian pada tahun 1961, kembali ke desa Manggar yang anaknya sudah bertambah menjadi sebelas orang. Wawancara dengan Ibu Rurseha Sandon (Orang tua dari Yusril Ihza Mahendra) kini telah berusia 69 tahun, di rumahnya, di Kampung Lalang, Manggar, tanggal 22 Mei 2002. 21 Masing-masing harian itu memiliki aliran atau warna dengan misi politik yang berbeda, seperti harian Pedoman, ini lebih berkiblat ke paham Sosialis; sedangkan Panji Masyarakat dan Kiblat bersifat membawa kepentingan dan misi kalangan Islam Modernis; dan Marhaen merupakan media yang menjadi corong kalangan Nasionalis pendukung Soekarno. 18 YUSRIL IHZA MAHENDRA

ada aktivis partai, ada pastor orang Belanda yang bernama Cornellis Yacobus Heztman, seorang guru di perusahaan tambang timah sejak masa kolonial Be- landa. Abah dengan mereka sering berdiskusi mengenai masalah budaya, agama, bahasa walaupun ia beragama Kristen, tetapi sangat baik dan selain wawasannya yang luas, mereka suka berbicara dengan bahasa Arab/ Ibrani, demikian pula ada yang berasal dari kalangan PNI dan PKI.22 Sikap toleransi Abah sangat dirasakannya dalam cara pandang melihat persoalan terutama yang berkait dengan masalah agama, betapapun dalam kehidupan sehari-hari orientasi bapaknya kepada Islam sangatlah kuat.23 Walaupun sang Bapak bertumpu kepada paham Islam modernis tetapi bila bersama melakukan sholat berjamaah pada waktu teraweh, dilaksanakannya dengan 23 rakaat, berbeda ketika ia sendiri hanya 11 rakaat, selanjutnya Yusril Ihza Mahendra bertutur: Suatu ketika terjadi musim kemarau yang panjang, ini sekitar tahun 1962-1967, air di kampung kami telah sangat sukar, sampai ada ibu-ibu yang bertengkar karena soal air. Suatu saat diadakanlah sholat Istisqo (sholat meminta turun hujan) dan Abah yang menjadi Imam, anehnya orang suku Laut dan orang Cina ikut

22 Yang kami pahami, bahwa Bapak sangat toleran, mau bergaul, memang orientasi Islamnya sangat luar biasa, ia berdakwah dan berpolitik. Ia banyak bercerita mengenai tokoh Islam modernis, terutama dari kalangan Partai Masyumi seperti, Mohammad Natsir, Burhanuddin Harahap, Hamka, dan Safruddin Prawiranegara. Wawancara dengan Yusril Ihza Mahendra, di rumah dinas di Jalan Widyachandra II, tanggal 8 Juni 2002. 23 Mengenai persoalan ritual sekalipun, tidak memasalahkan cara Islam tradisional, secara politik orientasinya adalah modernis. Ia pernah mentahlilkan dan mentalkinkan orang. Jika sendiri, bapak sholat tidak pakai qunut, tetapi jika berjamaah ia pakai qunut. Saya sholat taraweh delapan rakaat, setelah bapak meninggal. Cara bapak ini pernah ditentang masyarakat, ketika itu dari kumpulan orang Bawean, bukan dari kalangan etnis Melayu atau masyarakat Belitung asli, ini melalui perdebatan di masjid, walaupun keadaan itu tidak sampai menghilangkan rasa hormat dan rasa persaudaraan di antara mereka. Wawancara dengan Yusril Ihza Mahendra, di rumah dinas, Jl. Widyachandra II, Kebayoran Baru, Jakarta, 8 Juni 2002. PERJALANAN HIDUP 19

sholat, kecuali para pengikut Partai Komunis Indone- sia (PKI) pada waktu itu. Orang suku Laut membawa ayam dan kambing, juga anjing, yang diikat seolah-olah ikut sholat, ini dilakukan pada waktu siang hari di lapangan Qurban, kampung Arab, tak lama hujan itu turun diawali mendung, esoknya mulai sering terjadi hujan, waktu itu usia saya sekitar tujuh tahun.24 Yusril mendapatkan didikan agama langsung dari kedua orang- tuanya, mereka dibiasakan sholat berjamaah, yaitu sholat subuh, maghrib dan isya, kalau tidak di masjid, ini dilakukan di rumah dan Bapak yang menjadi imam, dan semua dibiasakan bangun jam empat subuh, dan Bapak maupun Uma memberi contoh langsung. Usai sholat berjamaah, mengaji dengan diwuruk (dipandu) oleh Uma, kadang juga Bapak bila ia sedang tidak sibuk, sebab ayahnya lebih banyak di masjid dan hanya sewaktu-waktu mengajar. Setelah semua itu selesai baru kakak beradik itu bekerja dengan pembagian tugas: ada yang menanak nasi, mengepel rumah, membereskan rumah, mencuci piring dan pakaian serta mem- bersihkan rumah, semuanya dikerjakan dengan berbagi aktivitas di antara kakak beradik itu. Ini pekerjaan yang harus dilakukannya secara rutin, karena keluarga mereka tidak ada pembantu, sebab itu pula dalam rumah yang sederhana dengan penghuni sebanyak lima belas orang tidak ada “kata lain” selain saling membahu dengan pengawasan disiplin Bapak Idrus dan Uma Rurseha.25 Masalah etika, akhlak adalah hal penting yang harus ditaati oleh Yusril dan saudara-saudaranya, bapak dan emak menanamkan akhlak untuk berpegang kepada agama serta tatakrama (norma, etika, dan kebiasaan) seperti, jika ada tamu seseorang, tidak boleh ikut nimbrung (bergabung), dan mengucapkan salam bila menerima tamu lalu dipesilahkan duduk, baru setelah itu ditanyakan maksud

24 Wawancara dengan Yusril Ihza Mahendra, tanggal 8 Juni 2002. 25 Memang di keluarga kami dididik demokratis, boleh mengemukakan pendapat secara terbuka, sifat kami bersaudara memang pendiam, demikian pula Yusril dari kecil ia pendiam, ini mungkin karena faktor psikologis di mana keluarga kami pada masa- masa itu-ditahun 1950-1960-an merupakan keluarga miskin. 20 YUSRIL IHZA MAHENDRA

kedatangannya.26 Untuk Yusril, aktivitas membantu orangtua bukan hanya sekadar mengerjakan pekerjaan di rumah atau pergi ke ladang dan hutan untuk mencari kayu bakar, memetik kelapa atau ke pantai untuk sekadar mengail rizki dari kapal nelayan yang baru pulang melaut; bahkan di kala masih usia remaja belia, dialah yang dipilih bapak untuk menemani keluar-masuk penjara semata-mata untuk menemani berdakwah. Abah demikian gigih menyebarkan ajaran Islam tanpa melihat latar belakang orang yang dihampirinya, termasuk menaburkan maslahat kepada para penghuni penjara. Di usia remaja itu pula Yusril Ihza Mahendra telah menjadi seorang aktivis yaitu ber- gabung dengan Kesatuan Aksi Para Pelajar Indonesia (KAPPI) untuk mengganyang kelompok Komunis di tahun 1960-an. Ia di- percaya sebagai sekretaris untuk cabang Manggar, ia dilatih un- tuk mengenal dunia nyata, dimulai dengan dikenalkan tentang tokoh-tokoh politik terutama dari kalangan Masyumi.27

Masa Pendidikan Sekolah

ASA mulai pendidikan merupakan”jendela” pertama untuk memahami interaksi yang telah terpolakan dalam sebuah M institusi sosial. Dan dunia pendidikan memiliki norma, ka-

26 Pada malam hari lepas mengerjakan aktivitas seperti sholat, mengaji, belajar, membereskan pekerjaan rumah, maka Uma Rurseha akan memeriksa saru-persatu kamar anak-anaknya., apakah mereka semua berada di rumah. Ia mendidik Yusril dan saudaranya untuk selalu mau berkomunikasi dengan hati; “semua itu dikembalikan kepada hati, dan hati itu raja,” tutur emaknya, namun ruang kehidupan sangat dipengaruhi masa dan zamannya. Pada masa lalu godaan kepada anak-anak belum sedahsyat sekarang apalagi suasana di kampung; karena itu ada dua belahan generasi dari anak-anaknya yang harus berbeda cara nendidik anak-anak. Untuk anak yang pertama sampai nomor tujuh dalam hal belajar memang dimandirikan, Abah sama Emak hanya mengarahkan, tetapi dari anak nomor delapan sampai nomor 11 kehidupan di masa 1980-an menuntut Ibu Rurseha untuk memberi perhatian langsung dalam hal belajar. 27 Buku-buku seperti tulisan Prof. DR. Hamka mengenai Pelajaran Agama Islam serta karya sastranya, tulisan-tulisan Mohammad Natsir serta mengenai dirinya, tulisan mengenai Soekarno, Tan Malaka, selain pengetahuan lainnya dari media cetak semisal surat kabar. PERJALANAN HIDUP 21

idah, maupun etika yang tentu agak berbeda dengan lingkungan sosial pada umumnya, setidaknya apa yang disebut dengan ling- kungan pendidikan di mana transformasi pengetahuan adalah hal pokok dan dikembangkan dalam proses komunikasi di antara para pelaku di sekitar lingkungan itu. Yusril sangatlah berdisiplin dalam sekolah, dalam belajar sa- ngat memperhatikan apa yang sedang disampaikan oleh gurunya, dan apa yang pernah dibicarakan dengan Abah di rumah khusus- nya mengenai permasalahan agama sering ditanyakan kembali di ruang kelas pelajaran. Ketika di kelas ia duduk di bangku bagi- an tengah, artinya tidak minat ambil kursi paling depan dan seba- liknya juga tidak tertarik untuk ambil kursi paling belakang. Ia memiliki wawasan lebih luas dibandingkan kawan sekelasnya. Ia juga memiliki sikap dermawan dan suka memimpin teman- temannya, karena itu dia pernah menjadi ketua kelas di seko- lahnya. Ada yang menonjol dalam soal keingintahuan itu, sikap kritisnya sering radikal dalam bertanya atau menanggapi, ia me- miliki perbedaan dibandingkan dengan kawannya dalam mem- buat pertanyaan, mengkritisi persoalan atau merespons hal itu, sementara di luar sekolah ia termasuk anak yang dikenal sangat dermawan.28 Dalam perkembangan kemudian di sekolah dasar itu ia tidak puas, lalu ia pindah ke sekolah lainnya29 yang kemu-

28 Selain ia anak yang senang bertanya dengan semangat dan keingintahuan yang besar, pribadinya termasuk anak yang kalem-pemdiam serta bersikap hati-hati dan sangat terbuka. Di luar sekolah kedermawanannya itu nampak terlihat ia tidak segan, bahkan sering membantu guru dengan datang ke rumah untuk membantu membelah kayu bakar, ini dilakukan biasanya pada hari krida dan tidak meminta imbalan atau meng- harapkan imbalan (upah). Dikemukakan oleh Yudono Sukardi, yang lahir pada 29 Agustus 1942, merupakan gurunya pada masa Yusril Ihza mengikuti pendidikan di tingkat Sekolah Dasar, gurunya itu juga mengemukakan mengenai kebaikan budi Yusril ketika ia telah menjadi Menteri, dikirimkan surat kepadanya. Ini dilakukan oleh Yudono Sukardi semata ingin melihat muridnya bagaimana bersikap sebagai tokoh, yang saat surat dilayangkan sedang ramainya pencalonan Yusril Ihza Mahendra sebagai Presiden Republik Indonesia ke-4. Saat itu Yudono Sukardi juga sebagai ketua panitia pembangunan Masjid di Kampungnya di Tanjung Pinang, ternyata Yusril Ihza merespons isi surat yng ditulis bekas gurunya itu. Wawancara dengan penulis di tempat tinggalnya Jalan Al-Falah Qorib, No. 12, desa Tanjung Pandan, Kecamatan Tanjung Pandan, Belitung, tanggal 20 Mei 2002. 29 Menurut penjelasan adiknya yang bernama Yuslaini Ihza, Yusril memang pernah tidak puas bersekolah ketika di Sekolah Dasar, waktu itu ia secara diam-diam tanpa 22 YUSRIL IHZA MAHENDRA

dian berhasil meraih juara bukan hanya di sekolah tetapi se- kabupaten Belitung, dijelaskan oleh Emaknya, “perbedaan Yusril Ihza Mahendra dibandingkan sau- dara-saudaranya adalah selain semangat belajar yang tinggi, juga belajar agama sangat disiplin bahkan sampai ia naik ke sekolah pada tingkat berikutnya, saya memiliki pandangan ‘semoga’ ia menjadi bahagia dan cukup”30 Kelebihan yang dimiliki anak ini dibandingkan dengan saudara-saudaranya diceritakan pula oleh abahnya kepada Bapak Salman Yahya, seorang teman dalam perjuangan politik di Partai Masyumi yang juga guru Yusril Ihza Mahendra sewaktu masih di sekolah Madrasah, dikemukakannya: Ayahanda Yusril Ihza Mahendra yaitu Bapak Idrus Haji Zainal bercerita dengan penuh harapan bahwa Yusril memiliki IQ (kemampuan inteligensia) yang baik, dan mudah-mudahan tercapai apa yang dicitakan, ka- rena punya kelebihan dibanding saudara lainnya. Saya juga mendengar teman sejawat yaitu guru di Sekolah Menengah Atas tempat Yusril Ihza Mahendra belajar; bahwa suatu ketika guru itu selesai menulis pertanyaan di papan tulis, Yusril Ihza Mahendra sudah sudah sele- sai menjawab, ini juga diceritakan anak saya yang sekelas dengannya bernama Syamsurizal.31 Masa Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Mene- ngah Atas (SMA), adalah masa di mana anak-anak pasangan Abah Idrus Haji Zainal dan Uma Rurseha Sandon dididik untuk mandi- ri, ketika itu kehidupan dunia pendidikan mereka belumlah mu-

sepengetahuan Abah dan Uma melakukan pindah sekolah dari sekolah Dasar Negeri 2 ke Sekolah Dasar Negeri 5, karena Sekolah Dasar sebelumnya kurang berprestasi. 30 Wawancara dengan Uma Rurseha Sandon, tanggal 22 Mei 2002. 31 Wawancara dengan SalmanYahya, ia adalah teman seperjuangan dengan Abah Idrus Haji Zainal (Orangtua Yusril) di Partai Masyumi cabang Manggar. Mereka sangat aktif ketika di tahun 1950-an. Salman Yahya juga pernah menjadi guru semasa Yusri lIhza Mahendra mengaji di sekolah Madrasah di kampung Lalang, kini Bapak Salman Yahya duduk di Majelis Pertimbangan Partai Bulan Bintang wilayah Manggar, wawancara pada tanggal 22 Mei 2002. PERJALANAN HIDUP 23

dah. Mereka kesulitan mendapatkan paket buku, upaya Abah un- tuk menjawab keperluan anak-anaknya itu dilakukan melalui pa- ket pos. Yusril Ihza Mahendra bersama abangnya Yusfi Ihza32 membuka warung keperluan sehari-hari, dengan modal yang di- kumpulkan dari gaji kakaknya yang saat itu telah bekerja di Per- usahaan Negara Timah (PN Timah). Kedai kecil itu diberi nama “Yus Brothers”.33 Semasa di sekolah menengah, kecemerlangan Yusril semakin terlihat, dalam kepemimpinan ia terpilih sebagai ketua Organi- sasi Siswa Intra Sekolah (Ketua OSIS), ini dialami baik di masa SMP maupun SMA. Dalam bidang pelajaran juga unggul. Ia sa- ngat akrab dengan teman-teman karena kecerdasan dan keak- raban di tengah kelompok, ia mampu meyakinkan atau menerang- kan, dirinya nampak memiliki keserbabisaan.34 Suatu ketika ada Kepala Sekolah, yang juga guru, yang tidak jujur, kemudian ia bersama-sama temannya berjuang untuk mengadakan sidang guna membicarakan mengenai hal itu, dan

32 Yusfi Ihza, kakaknya Yusril Ihza Mahendra, sebenarnya dalam persoalan kemampuan ilmu tidak kalah dengan adiknya itu. Ia pernah diterima di perguruan tinggi bergengsi, Universitas Gajah Mada (UGM), tetapi karena pertimbangan keadaan saudara- saudaranya dan orang tua, sebagai salah satu tulang punggung adik-adiknya, maka diurungkan untuk melanjutkan pendidikan itu dan lebih memilih buka warung dan bekerja. Menurut Yusfi, “saya pernah mendirikan warung itu semata-mata mengajarkan kepada adik saya Yusril Ihza dan lainnya, agar jangan terpaku untuk kerja di perusahaan Timah, karena itu kami buat warung, dan konsumen berasal dari pegawai perusahaan tersebut, wawancara dengan Yusfi dan Yuslaini, tanggal 24 Mei 2002. 33 Yusril Ihza membantu sebagai pelayan kedai kecil itu di pagi hari, dan sore hari ia sekolah di SMA Perkib. Masuk sekolah jam 17.00 dan usai jam 21.00, waktu itu sekolah ini masih menumpang di gedung sekolah dasar Perusahaan Negara Timah. Ia mendapatkan imbalan sebesar sepuluh ribu rupiah, ini terjadi sebelum tahun 1976. Selain itu, kadang ia pergi ke pantai yang berpasir putih yang berjarak hanya sekitar 1 kilometer dari rumahnya, untuk membantu menarik kapal nelayan dan membereskan ikan-ikan dari hasil nelayan melaut. Suatu ketika pernah uang yang disisihkannya untuk ditabung dibelikan sebuah baju berwarna merah untuk adiknya yang bernama Yuslaini, wawancara dengan Yuslaini Ihza yang kini bertugas sebagai guru Sekolah Dasar di Tanjung Pandan, tanggal 21 Mei 2002. 34 Apabila guru menerangkan pelajaran, Yusril Ihza langsung mengerti, selain kritis, ia lebih suka membaca buku serta tekun dan sangat cerdas, mengenai pribadinya ia tidak suka menyinggung orang lain apalagi yang berkaitan dengan perasaan. 24 YUSRIL IHZA MAHENDRA

mengusulkan supaya Kepala Sekolah tersebut diganti, dan ini ternyata berhasil. Hal lain yang menarik bagi teman-temannya adalah Yusril sangat hafal dengan pasal-pasal yang tercantum dalam UUD1945, ia rajin membaca dan di rumahnya banyak buku-buku politik. Sebenarnya ia telah berpolitik dengan me- mimpin perkumpulan pelajar, ia juga terkenal pandai berpidato, karena itu orang satu sekolahan mengenal dirinya.35 Mengenai belajar Silat dan belajar bahasa Cina, ia mengemukakan: Saya belajar bela diri Silat dengan Bapak Mirhan (orang Belitung) dari kawasan Belitung Barat, di Desa Mambalong, akan tetapi, lama-lama tidak dapat mengikuti, karena banyak “mistik” seperti tenaga dalam, karena itu saya tidak tertarik lagi, hal ini mungkin pengaruh bacaan (Pelajaran agama Islam) dari Abah saya yang memiliki pandangan rasional. Saya belajar bahasa Cina, juga bahasa Arab, Belanda dan Inggris, tetapi memang agak serius belajar bahasa Cina, karena orang Cina di Belitung banyak, demikian juga belajar bahasa Inggris,36 ini menunjang karena masyarakat Belitung berinteraksi dengan orang Barat sudah cukup lama. Mengenai saya berteman dengan Fransiscus seorang Cina Katholik teman Sekolah

Wawancara dengan Rahman Uka, teman sekolah masa SMP dan SMA masa akhir 1960-an dan awal tahun 1970-an. Wawancara di rumah tempat ia duduk di Kampung Arang, Desa Manggar, tanggal 22 Mei 2002. Menurut Yusfi Ihza, bahwa Yusril Ihza memang pernah di test IQ nya, memang ia di atas rata-rata. 35 Suatu ketika teman satu sekolahnya bermain bola basket, kemudian terjadi keributan karena terjadi benturan keras di antara Yusril Ihza dengan salah seorang kawan yang turut permainan), atas kejadian itu ia dengan jiwa besar mau meminta maaf, seraya berkata; “untuk apa kita ribut,” sela Yusril. Jadi betapapun ia memiliki keahlian bela diri silat, baginya itu bukanlah untuk jago-jagoan, itu semata untuk kesihatan– menjaga stamina. Kawan-kawan Yusril Ihza masa itu di antaranya adalah Fransiscus, Nitchin Lukas, Sulaeman, dan menurut cerita kawannya ini, masyarakat di sini senang dengan pribadinya sejak masa kecil karena perilakunya yang baik, wawancara dengan Immanuel A.G, tanggal 24 Mei 2002. 36 Yusril Ihza Mahendra untuk melancarkan bahasa Inggrisnya di masa sekolah itu, menyempatkan diri berkenalan dengan orang “bule” dari Amerika, bernama Erich, seorang Geolog yang bekerja di Belitung atas nama UNDP, perkenalan itu kata Yusril Ihza, “saya manfaatkan untuk melancarkan bahasa dan disiplin kerja,” wawancara dengan Yusril Ihza, tanggal 8 Juni 2002. PERJALANAN HIDUP 25

menengah sampai sekarang, karena saya sangat suka dengan kultur Cina yang serius, tekun, dinamis, saya banyak belajar dari mereka, dan dari pengalaman itu saya tidak mudah dipengaruhi orang, bahkan begitu seriusnya saya mempelajari bahasa Cina dan kehidupannya, sampai saya pernah menunggu jenazah selama 2-3 hari.37 Sesungguhnya Yusril Ihza Mahendra di masa Sekolah mene- ngah itu adalah murid yang jenius, tegas dan keras hati, jika ia punya keinginan jalan “apa pun” dikejar tanpa kenal putus asa. 38 Ia sangat sederhana, tetapi jika berpakaian sangat rapi dan bergaya. Ia juga pandai menghimpun kelompok melalui pengajian “Assalam,” dan pada masa SMP pernah ikut Musabaqoh Tilawatil (MTQ) dengan meraih juara sekecamatan Manggar. Ke- mampuannya berbicara, berpidato dan berargumentasi itu sema- kin mantap karena diperkaya dengan buku-buku seperti karya Prof. DR. Hamka, Mohammad Natsir, juga filosof Ibnu Khaldun.39 Suatu ketika ia mengkritik gurunya yang bernama Bapak Saman Aliza, dikemukakannya: “Pak Saman jika mengajar jangan bawa buku, tidak enak dipandang pelajar, anak Sekolah Dasar kelas tiga pun dapat melakukan itu” ’katanya pula, “cara tersebut membuat murid bosan belajar, tetapi Pak Saman tidak marah, malah ia suka.”40 Dalam bidang seni drama ia aktif tampil dalam aktivitas

37 Wawancara dengan Yusril Ihza Mahendra, di rumah dinas, Jalan Widya Chandra II, tanggal 8 Juni 2002. 38 Sejak kelas tahun pertama di sekolah, ia memiliki penampilan yang agak lain, rambutnya panjang. Seorang guru bernama A.S. Samad Aliza pernah menegurnya dengan melarang berambut panjang, tetapi Yusril Ihza menolak dengan mengatakan, “Nabi Muhammad juga rambutnya panjang, “ lalu gurunya itu berkata, “apa Anda pernah bertemu?” dijawabnya, “yah tidak, ini kan menurut analisis.” “Salah satu tempat belajarnya bila usai sekolah adalah dengan pergi ke Masjid dekat sekolahan, yaitu Masjid P.N. Timah, di sana ia selesaikan aktivitas atau pekerjaan sekolahan itu,” cerita Bapak Saman Aliza dalam satu wawancara dengan penulis. 39 Buku yang paling berkesan buat Yusril Ihza pada waktu itu ialah Kenang-kenangan Hidup, yang dikarang oleh Prof. DR. Hamka, “Saya terinspirasi untuk ingin maju dan merantau,” selain itu ucapnya, “Saya kagum dengan Bapak Mohammad Natsir tokoh Partai Mayumi dari buku yang saya baca, serta dari tokoh-tokoh Masyumi di Manggar,” wawancara dengan Yusril Ihza Mahendra, tanggal 8 Juni 2002. 40 Pada waktu itu juga ada seorang guru yang memberikan pelajaran bahasa Indonesia, 26 YUSRIL IHZA MAHENDRA

dunia teater drama selain suka bermain gitar. Dalam suatu acara ia pernah tampil sebagai aktor drama yang mengisahkan perjuangan perang di Ambarawa yang mengisahkan bagian dari para pejuang Republik melawan tentara penjajah Belanda.41 Yusril aktif di kesatuan Aksi Para Pelajar di Belitung yang pada saat itu perkumpulan ini didominasi kalangan perkumpulan Pelajar Islam Indonesia yang lebih dikenal dengan PII, dari ka- langan Partai Nasionalis Indonesia juga ikut bergabung tetapi tidaklah banyak, untuk jabatan ketuanya adalah Saudara Ardi Soma dan pendirinya saudara Emil Anwar yang berasal dari Mi- nangkabau, ini terjadi sekitar tahun 1968. Ia aktif bersama kakak- nya Yusfi Ihza dan mereka mengetahui perkumpulan ini dari siaran radio.42 Di keluarga proses sosialisasi politik telah berjalan karena Abah dan Uma selain taat beragama mereka aktif di Partai Masyumi dan suasana politik pada waktu itu di Desa Manggar cukup dinamis dan hangat dalam persaingan di antara partai- partai politik yang berpengaruh yaitu Partai Masyumi, PKI dan PNI (ASU).

bernama Bapak Idrus Sani, saat itu terjadi perdebatan di kelas berkaitan dengan diskusi mengenai sastra sosial. Guru itu kemudian marah kepada Yusril Ihza sehingga rapor bahasa Indonesia dan Tata Bahasanya merah. Kepala Sekolah Bapak Saman Aliza sempat memanggil guru itu, Yusril Ihza memiliki kesan bahwa Bapak Idrus itu tidak membaca apa yang dikemukakannya secara utuh, ini diungkapkan ketika penulis melakukan wawancara dengannya pada tanggal 8 Juni 2002. 41 Bapak Agus Bachtiar pernah menjadi Kepala Sekolah di SMA PERKIB tempat Yusril mengikuti pendidikan sekolah menengahnya, Pencak Silat di kampungnya semasa remaja itu, juga sangat membantunya ketika merantau ke Jakarta untuk kuliah di Universitas Indonesia, menjadikannya sebagai pelatih olah raga bela diri Tapak Suci di Masjid Agung Al-Azhar, wawancara dengannya, tanggal 20 Mei 2002. Selain itu pada masa Yusril Ihza duduk di SMA ia sering memainkan gitar, biola untuk konser, tentu kini sudah ditinggalkan dan lupa, “sebagai gantinya saya mendengarkan musik klasik, keroncong,” ungkapnya, “selain senang musik orkestra,” lihat Kawiyan (Pnyt.), Membangun Indonesia yang Demokratis Berkeadilan, Globalpublik, Jakarta, 2000, hlm. 177-178. 42 Ardi Soma, seorang pelajar Universitas Sriwijaya Palembang, pernah berbeda pendapat dengan Yusril ketika masih aktif di perkumpulan KAPPI, menurut Yusril Ihza, perselisihan karena Ardi Soma mendorong KAPPI untuk masuk , sebuah perkumpulan politik yang mengendalikan pemerintahan pada masa itu, sedangkan Yusril Ihza lebih berpihak kepada Partai Parmusi, Ardi Soma kini aktif di Partai Bulan Bintang sebagai Wakil Ketua Dewan Pimpinan Wilayah untuk Bangka Belitung. Hasil wawancara dengan Yusril Ihza Mahendra, 8 Juni 2002. PERJALANAN HIDUP 27

Masa Pendidikan di Universitas

USRIL Ihza Mahendra yang menyebut dirinya Melayu Is- lam, ketika datang ke Jakarta ia sempat tidur di Masjid Y Agung Al-Azhar Kebayoran Baru, suatu kawasan elit di Ja- karta Selatan. Sewaktu ia akan berangkat merantau ke kota besar di Pulau Jawa ini Uma berpesan: “Menetap di Masjid, mengajar mengaji,” waktu itu Yusril Ihza Mahendra mengikuti ujian untuk penerimaan mahasiswa di Universitas.43 Selama merantau di Ja- karta ia berkirim surat kepada orang tua dan sanak famili di kampung, tetapi isinya bukan keluhan melainkan lebih kepada menyampaikan ide-pendapat bagaimana caranya ia mendapat tambahan uang.44 Awal mula di Jakarta ia menetap di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan pada keluarga yang masih memiliki hubungan famili de- ngan abahnya yaitu Bapak Mudjono,45 kemudian pindah ke asra- ma mahasiswa. Ia berkenalan dengan seorang anak tentara yang sama-sama dari tanah Sumatera tepatnya dari Aceh, yaitu Ghazi

43 Yusril Ihza Mahendra mengikuti tes di sejumlah universitas iaitu Universitas Indone- sia, Sekolah Tinggi Publisistik (Kini IIS), dan Akademi Teater Jakarta di Ikatan Kesenian Jakarta (IKJ), di ketiga pendidikan itu ia diterima. Di Ikatan Kesenian Jakarta sewaktu dilakukan tes untuk akting, ia menempati peringkat ketiga, sampai akhirnya ia sempat membina pergaulan dengan para seniman dan artis, namun seperti ungkapannya bahwa ia urungkan untuk melakukan pilihan ke bidang ini, karena masuk teater bertentangan prinsip dengan “kata hati”, apalagi melihat pergaulan di sekitar mereka. Dipilihnya memasuki Universitas Indonesia, selain ini lebih bergengsi, iurannya pun lebih murah. Wawancara dengan Uma Rurseha Sandon (Ibunda Yusril Ihza) di Kampung Ilalang, desa Manggar, tanggal 22 Mei 2002. 44 Salah satu yang ia lakukan selain aktif di perkumpulan pemuda masjid dan pengajian, Yusril menjadi pelatih Pencak Silat di Masjid Agung Al-Azhar saat ia baru menetap sepekan di tempat ini, bekal ilmu yang didapat ketika masih di kampung, tentu dengan aktivitas ini ia mendapatkan sejumlah uang. Yusril Ihza sempat ikut beternak ayam membantu pemilik rumah tempat ia menumpang, kemudian belajar menyetir mobil, ia membantu menjualkan telor untuk dikirim ke pasar, ia menetap di sini sekitar setahun. Ini dikemukakan oleh adiknya Yuslaini Ihza. “Sementara itu ketika ia pulang ke kampung, maka bila ada Radio, Jam milik saudaranya, yah dibawa, sebagian iuran kuliah juga saya bantu: mungkin batin saya dekat,” sela Yusfi Ihza, “dia suka bertanya walalupun kini ia telah menjadi seorang Profesor,” ungkap Yusfi Ihza, wawancara dengannya, tanggal 24 Mei 2002. 45 Wawancara dengan Uma Rurseha Sandon, ibunda Yusril Ihza, di Kampung Lalang, Desa Manggar, tanggal 22 Mei 2002. 28 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Husein, mereka bersahabat tidak saja di kampus tetapi juga sama- sama aktivis dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), oeganisasi ekstrakampus yang bercorak Islam Modernis, dan perkumpulan ini selain berpengaruh kuat di kampus-kampus juga sangat di- segani. Banyak tokoh nasional pada masa sekarang ini semasa mahasiswanya memiliki latar belakang aktivis dari dan pernah menjadi anggota dan tokoh perkumpulan mahasiswa ini. Kede- katan dengan Yusril Ihza Mahendra menurut Ghazi tidak hanya sebatas di asrama dan dalam aktivitas kemahasiswaan, melain- kan juga dalam hal sama-sama punya pacar. “Yusril Ihza Mahen- dra itu romantis dan puritan,” ungkap Ghazi.46 Mereka suka sholat bersama di kompleks Daksinapati dengan “pusrohnya.”47 Seorang tokoh Islam yang militan dan dekat dengan para pemuda Islam mengemukakan bahwa Yusril Ihza Mahendra, mahasiswa

46 Ghazi Hussein menceritakan, kami bersahabat dengan Yusril Ihza, sama-sama tinggal di asrama Universitas Indonesia dan motto anak-anak sastra waktu itu adalah, “Buku, Pesta dan Cinta.” Yusril Ihza punya kekasih dari universitas ini, asal Jawa, pelajar dari Fakultas Sastra, dan Yusril Ihza juga pernah kuliah di bidang Filsafat di Fakultas Sastra. Ia nampaknya serius menyenangi mahasiswi itu dengan karakternya yang Romantis serta Puritan, karena itu tidak heran bila ia tidak mau menyentuh kulit kekasihnya. Ia konsisten melaksanakan Akhlak Islam, mungkin dalam bercinta seperti “Amor” penuh kasih sayang dan etis, selain itu orang tua gadis itu adalah dari kalangan keluarga ekonomi the have, pacarnya itu anak seorang perwira militer purnawirawan. Saya dengan Yusril Ihza Mahendra sering naik pespa pergi jalan-jalan atau pergi menemui mahasiswi, saya menyenangi kakak pacarnya dari Fakultas Kedokteran Gigi, ini sekitar tahun 1978-1979, namun tali kasih Yusril Ihza dengan mahasiswi ini tidak berlanjut, nampaknya ia agak sedih dalam kenangan ini. Mereka sempat berjumpa lagi ketika acara pertemuan alumni, saat Yusril Ihza Mahendra sebagai Asisten di Sekretariat Negara, juga ketika acara Promosi Guru Besar sebagai Profesor bidang Hukum Tata Negara dan pada acara buka puasa Ramadhan tahun 2000, waktui itu Yusril Ihza Mahendra telah menjadi menteri. Ini hasil wawancara denga Ghazi Hussein, ia seoarng Pimpinan Redaksi Aceh Pos dan juga bekerja sebagai dosen di universitas. Wawancara dilakukan tanggal 13 Juni 2002. 47 Istilah Pusroh adalah kependekan dari Pusat Rokhani, ini sering digunakan sebenarnya dalam kalangan Angkatan Bersenjata dalam melakukan pembinaan rokhani Islam kepada para prajurit, ini kemudian dijadikan “kode” atau sandi bagi kalangan mahasiswa universitas yang memiliki basis dan komitmen kepada aktivitas dakwah Islam di Universitas Indonesia. Pada masa itu, di kalangan mahasiswa di lingkungan kampus yang menetap di Daksinapati di Rawamangun pun memiliki perilaku bermacam-macam: ada yang hobi menonton, ada yang senang berseronok di kedai- kantin, ada yang suka berjudi, juga ada yang suka menterjemahkan buku ke bahasa asing, ini sering disebut si Broer, dan ada juga yang lebih suka membaca buku ini, yang dijuluki “Sintaro” alias “sinting separo,” ,kelompok yang terakhir ini dekat dengan Yusril Ihza Mahendra, wawancara dengan Gazhi Hussein, tanggal 13, Juni 2002. PERJALANAN HIDUP 29

UI yang senang pakai celana jeans itu memang cerdas, sopan, pandai berteman dan suka berdiskusi yang membuatnya disukai tidak hanya oleh mahasiswa, tetapi juga tokoh Islam seperti Mo- hammad Natsir yang menganggapnya sebagai kader.48 Di lingkungan universitas ia berkecimpung dan “berenang” dalam arus gerakan pemuda dan pelajar, termasuk para pemuda Islam di Jakarta, terutama yang ada di Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru dan Masjid At-Taqwa Universitas Indonesia di Rawamangun. Pada tahun 1978-1979, di Jakarta sedang terjadi aksi para mahasiswa atas kebijakan pemerintah yang selama ini dianggap tidak “bersih”, mereka menuntut Soeharto turun, ketika itu organisasi resmi mahasiswa yaitu Dewan Mahasiswa dibubar- kan melalui kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daud Yusuf yang dikenal dengan Konsep Normalisasi Kehidupan Kam- pus (NKK). Para pimpinan mahasiswa ditangkapi dan dan ditahan yang dikenal dengan istilah “Kampus kuning”. Yusril Ihza Mahen- dra tampil sebagai kandidat dalam pilihan ketua Dewan Maha- siswa dan ia berhasil terpilih sebagai Ketua Majelis Perwakilan Mahasiswa (MPM) Universitas Indonesia di tahun 1978-1979. Ia pernah ikut membakar patung Soeharto di halaman kampus Salemba, akibatnya ia ditangkap,49 dan mengenai peristiwa ini Yusril mengemukakan, “saya berkesimpulan bahwa Pak Harto (maksudnya Soeharto) tidak dapat dilawan.”50 Pergulatan hidup di kota besar seperti Jakarta, apalagi ia dari kampung nan jauh, membuat Yusril Ihza Mahendra yang haus ilmu dan memerlukan bertahan hidup ini tak segan dan malu untuk menjadi kondektur bus kota seperti Ajiwirya dan Orien. Karena itu keprihatinan hidup, kesederhanaan dan semangat tidak menjadikan dirinya rendah diri atau malu dalam mendekati

48 Ahmad Soemargono adalah Ketua Komite Internasional untuk Solidaritas Dunia Is- lam (KISDI), Ketua Gerakan Persaudaraan Muslim Indonesia (GPMI) dan salah seorang Wakil Dewan Pimpinan Pusat Partai Bulan Bintang, dalam Mingguan Berita Mistik, Maret 1999, hlm.7. 49 Ia juga dianggap terlibat peristiwa berdarah Tanjung Priuk di tahun 1984, dan dikejar- kejar oleh tentara dan polisi, Tempo, dipetik dari hasil wawancara, 9 November 1998. 50 Lihat Kawiyan, Ibid, hlm. 162. 30 YUSRIL IHZA MAHENDRA

dan mereguk ilmu baik di universitas maupun dari para tokoh ternama, khususnya dari kalangan elit Partai Masyumi. Pada tahun 1983, ia meraih gelar kesarjanaannya di bidang Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia. Selanjutnya se- telah ia mengabdi sebagai dosen di Universitas Indonesia yang diiringi kiprahnya kepada kepentingan umat Islam melalui per- kumpulan atau persarikatan Islam modernis, ia melanjutkan pen- didikannya untuk program Master (Pasca Sarjana) bidang hukum dan ilmu pengetahuan Islam di universitas yang sama pada tahun 1984. Ia melanjutkan pendidikan ke Graduate Scholl of Humani- ties and Social Studies, University of Punjab di India pada tahun 1985. Sekembali dari tanah India anak muda yang tidak banyak bicara selain hanya point-point tertentu saja, kata orang Belitung ada “tika” ada saatnya, namanya kemudian ditambah dengan nama tambahan Mahendra (nama aslinya Yusril Ihza).51

Bergelayut dengan Tokoh Masyumi Demi Mengabdi untuk Perjuangan Islam

ENGAN tanpa ragu, serta kemauan yang besar, Yusril Ihza Mahendra mendekati dan bersilaturahmi kepada para pe- D juang Islam, khususnya para tokoh Masyumi, dahulu sema- sa masih di kampung ia sering mendengar dari Abah mengenai kegigihan para tokoh Masyumi dalam berpegang kepada prinsip dan hidupnya yang penuh kesederhanaan. Dunia yang melegenda itu, kini ingin dia arungi dalam dunia yang nyata, bertemu dan

51 Nama tambahan Mahendra, ia dapatkan ketika kuliah di Punjab, ini bukan dari keluarganya menurut keterangan dari hasil wawancara dengan Yuslaini Ihza pada tanggal 20-21 Mei 2002. Nama ini berasal dari India, diambil dari seorang Persia, menurut Syawaluddin seorang anggota DPRD daerah Belitung. Yusril Ihza Mahendra sendiri menjelaskan, nama ini awalnya tidak terlalu serius, ini ketika di Pakistan sedang mengambil program master melalui Riset, “Mahendra itu berbau Hindia, maknanya ini lebih kepada Cendekiawan,” ungkapnya, hasil wawancara dengannya, 8 Juni 2002. PERJALANAN HIDUP 31

bersentuhan pikiran, intelektualitas dan pengalaman dengan me- reka serta meraup prinsip sejati yang dimilikinya. Yusril Ihza Mahendra mengakui mengenai pengaruh dari pemikiran para tokoh Masyumi ini, dikemukakannya: Saya akui sejak kecil saya hidup di keluarga Masyumi, saya dididik Natsir, Mohammad Roem, dan Syafruddin Prawiranegara, dan Ayah saya seorang kepala Kantor Agama Kecamatan di Belitung, jadi tidak serta merta pikiran saya mudah diubah orang lain. Proses sosialisasi yang sudah saya jalani cukup panjang. Dalam hidup, saya selalu memegang filosofi Islam… 52 Ia kemudian menjalani hubungan yang hangat dengan tokoh terkemuka Masyumi.53 Pertama berkenalan dengan Prof. DR. Oesman Raliby,54 ketika Yusril Ihza Mahendra memasuki Uni- versitas Indonesia tahun 1976, pada masa tahun pertama telah mulai mendampingi Profesor itu jika diajak untuk berceramah agama,55 dan membantu aktivitas lainnya56 Prof. Oesman Raliby kemudian memperkenalkan Yusril Ihza Mahendra dengan

52 Tabloid Abadi, No. 28/ tahun I, 20-26 Mei 1999. 53 Yudi Pramuka, Ibid, hlm. 35. 54 Prof. DR. Oesman Raliby bekerja sebagai dosen di Universitas Indonesia, Universitas Asyafiiyah, pernah sebagai Rektor, juga di Univesitas Ibnu Khaldun, SESKOAD Bandung memberikan subjek Psychowar atau perang urat syaraf yang kini menjadi ilmu komunikasi massa. Di Fakultas Hukum, Ekonomi dan Ilmu-Imu Sosial mengajar mengenai Studi Islamica, ia wafat pada usia 81tahun. 55 Suatu saat Prof. Oesman Raliby pernah berkata, “kalau Ayah tidak ada, buku-buku ini serahkan kepada Yusril Ihza Mahendra,” ia juga menginginkan kelak anak muda itu menjadi negarawan, bukan politisi, karena itu diberinya pemahaman agama yang baik. Pernah juga suatu masa Yusril Ihza Mahendra dilarang menginap di asrama mahasiswa karena terlibat pembakaran patung Soeharto, maka Prof. Oesman Raliby turut memikirkan tempat anak muda ini di mana dapat berteduh, semua ini agar jangan kehilangan jejak, sampai akhirnya Yusril dititipkan untuk menetap di rumah salah seorang anggota pengajian dari Masjid Al-Azhar, yaitu di rumah Ibu Ida Zakaria. Wawancara dengan Rosina Raliby, puteri dari Profesor Oesman Raliby, tokoh Masyumi dan Guru Besar dari Universitas Indonesia, di mana Yusril Ihza Mahendra menjadi anak dididiknya, serta “anak” yang dididik untuk menjadi harapan sebagai negarawan, wawancara dengannya, 6 Juni 2002. 56 Menurut Rosina Raliby yang juga pelajar di Fakultas Hukum UI, bila di hari Ahad Yusril Ihza Mahendra kadang diminta Prof. Oesman Raliby untuk membersihkan rak 32 YUSRIL IHZA MAHENDRA

sahabat seperjuangannya, berangkat dengan menggunakan Bajaj menuju Masjid Al-Munawar di Kampung Bali, Tanah Abang, Ja- karta Pusat. Diperkenalkan dengan Mohammad Natsir serta tokoh Masyumi lainnya yang secara bersamaan ada saat itu, dan sejak perkenalan itu, ia mulai aktif pada sebuah perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum serta organisasi nirlaba Dewan Dak- wah Islamiah Indonesia (DDII) yang dipimpin tokoh Masyumi itu. Ia juga diajak dan dilibatkan ketika DDII mendirikan lembaga LIPPM sebagai peneliti, salah satu hasil penelitiannya berhu- bungan dengan Pancasila. Kedekatan ini menumbuhkan pada diri Yusril kepada proses transformasi style Pak Natsir, baik pemikir- an maupun gaya kepemimpinannya.57 Sebagai ilustrasi proses transformasi itu dapat dipahami melalui penjelasan Ramlan Marjoened sebagai berikut: Bila ada tamu datang ke Pak Natsir, beliau sua sampai ke pintu dan diantar sampai di pintu, ini ada dalam diri Yusril Ihza Mahendra, bila Pak Natsir ingin

buku, ini dilakukannya seharian dari pagi hingga petang, Yusril Ihza Mahendra tak pernah mengeluh, juga jika datang ke rumah tokoh Masyumi ini, ia menunggu di luar rumah-tdak mau masuk rumah bila Prof. Oesman Raliby belum keluar, suatu ketika saat Yusril Ihza memberikan pelajaran sebagai Asisten Prof. Raliby, ada mahasiswi yang mengomentari; “wah asisten Pak Oesman Raliby ganteng-ganteng ngurusin agama”, ciri khasnya kalau sudah garuk kepala ‘bukan karena gatal’ berarti ada beban. Yusril Ihza Mahendra ketika ada kesukaran untuk tempat menetap karena keterlibatan masalah politik, dikenalkan kepada Ibu Ida Zakaria, seorang anggota pengajian kaum ibu di masjid Agung AL-Azhar, di Cilandak, ini masa sebelum tahun 1980-an, menurut Rosihan Sahip, seorang pengamat sosial dan budaya mengenai masyarakat Belitung mengatakan bahwa style atau gaya masyarakat Belitung Timur (termasuk desa Manggar tempat kelahiran Yusril Ihza Mahendra) terpengaruh dengan lingkungan maskapai penambangan Belanda. Gaya masyarakat Belitung Timur yang terkesan “agak sombong” ini dapat dilihat dari gaya Yusril Ihza Mahendra, Muaz dan Darmansyah. Pendapat yang sama ini juga dikemukakan oleh Syawaluddin anggota DPRD dari Belitung, yang mengatakan bahwa “Pribadi Yusril Ihza Mahendra itu cermin orang Belitung.” 57 Prof. DR. Rasyidi memberi penilaian bahwa dalam diri Yusril Ihza Mahendra itu telah terjadi transformasi style Pak Natsir, baik pemikiran maupun gaya kepemimpinannya. Ini dikemukakan Ramlan Mardjoened, seorang anggota Partai Bulan Bintang yang telah lama aktif di Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII) serta pernah menetap di rumah Pak Natsir, ia kelahiran kampung Antibar, Kecamatan Membawa, Pontianak, Kalimantan pada 10 Juli 1943. Masa mudanya aktif di perkumpulan PII duduk di Pengurus Besar dan KAPPI di tahun 1969-1973, wawancara dengannya pada 6 Juni 2002. PERJALANAN HIDUP 33

memberi uang, beliau berupaya merogoh kantong ingin memberi, demikian pula Yusril Ihza Mahendra. Sikap toleransinya sangat tinggi (tidak menyalahkan orang lain), dia dengar pendapat orang, ada kesamaan Pak Natsir dengan Yusril Ihza Mahendra, mereka me- miliki empati yang tinggi. Ada contoh yang aktual, ke- tika Partai Bulan Bintang mengeluarkan pernyataan masalah teroris yang intinya Amerika Serikat jahat, setelah dikoordinasikan kepada Yusril Ihza Mahendra yang saat itu selaku Menteri Luar Negeri ad.Interim, ia tidak marah walau sebelumnya tidak dikoordinasi- kan, jadi dia hormati garis perjuangan Partai Bulan Bintang.58 Yusril Ihza Mahendra di Universitas Indonesia pada masa mahasiswa selain sebagai asisten Prof. DR. Oesman Raliby seorang tokoh Masyumi, juga menjadi asisten Prof. DR. Ismail Sunny, seorang tokoh Persarikatan Muhammadiyah untuk subjek kuliah Hukum Tata Negara. Pandangan Prof. DR. Ismail Suny tentang Yusril Ihza Mahendra adalah: Dia ketika masih sebagai mahasiswa di Universi- tas Indonesia, adalah anak muda yang rajin yang mau belajar dan melanjutkan pelajaran, hal lain darinya sangat berminat mendalami Partai Masyumi, ke- uangan yang sukar banyak dibantu oleh tokoh Masyu- mi, di antaranya oleh Pak Natsir, dan untuk menjadi asisten pengajar merupakan orang pilihan, dan Yusril Ihza Mahendra terpilih untuk itu. Ia sering berdiskusi dengan saya, seorang Muslim dengan background Is- lam Modernis, salah satu pertimbangan juga mengapa ia diangkat oleh saya sebagai asisten dosen waktu itu, karena saya dengar desas-desus, bahwa Yusril Ihza Mahendra akan diskors (nyaris). Pandangan saya

58 Ini dijelaskan Ramlan Mardjoened dalam wawancara di kantor DDII, Kramat Raya, tanggal 6 Juni 2002. 34 YUSRIL IHZA MAHENDRA

mengenai sikapnya memberhentikan Soeharto berda- sarkan Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945, ia memin- ta pendapat saya, dan saya setuju.59 Yusril Ihza Mahendra pernah diperintahkan oleh Mohammad Natsir untuk menulis sejarah Masyumi, ini sekitar tahun 1980- an. Ia sangat berminat tinggi, cerdas dan menguasai apa yang dimaksud dengan modernis Islam itu, bila Dr. Mohammad Natsir sebagai guru politik maka Prof Dr Oesman Raliby sebagai guru dalam persoalan pengetahuan agama Islam.60 Salah satu karya hasil penelitiannya mengenai Masyumi, Yusril Ihza Mahendra telah menyelesaikan sebuah karya berupa tulisan monumental yang kemudian menjadi tesis untuk meraih Ph.D. dari Universiti Sains Malaysia di tahun 1993 yang bertajuk Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Studi tentang Partai Masyumi di Indonesia dan Partai Jami’at Islam di Pakistan yang diterbitkan Paramadina, tahun 1999. Mengapa ia menulis tesis mengenai ini dan bagaimana mencurahkan rasa hormatnya kepada Mohammad Natsir, maka ia mengemukakan:

59 Prof. DR. Ismail Suny, merupakan guru Besar bidang Hukum Tata Negara dari Univer- sitas Indonesia yang sangat kritis terhadap persoalan-persoalan tersebut, dan Yusril Ihza Mahendra merupakan salah seorang mahasiswanya. Ia juga pernah menjadi salah seorang Pimpinan Pusat Muhammadiyah di era tahun 1970-1980-an. Prof. DR Ismail Suny orang yang turut mempromosikan Yusril Ihza Mahendra untuk kemudian menjadi dosen di universitas ini. Wawancara dengannya pada 7 Juni 2002. Mengenai sikap demokrat para tokoh Masyumi dalam sejarah politik, pernah terjadi ketika pencalonan ketua umum Partai Masyumi yaitu Mohammad Natsir bersaing dengan Sukiman dan dimenangkan Natsir, tetapi Sukiman juga tetap bersedia duduk memegang kursi salah satu pimpinan Masyumi. A.R. Baswedan dari Partai Arab Indonesia, adalah sahabat Mohammad Natsir, namun mereka biasa berdebat-saling bertentangan, tetapi ketika Mohammad Natsir dipercayai menduduki kursi Perdana Menteri di tahun 1950, A.R. Baswedan menjadi Menteri Muda Penerangan. Demikian pula pada tahun 1970-an pada awalnya kalangan Masyumi tidak setuju didirikan Majelis Ulama Indonesia, tetapi Prof. DR. Hamka dilepas untuk berjuang di Majelis itu, berbeda dengan M.Z Muttaqin yang tidak pernah menemui Mohammad Natsir, sebaliknya Hassan Basri yang berjuang membela umat, dan ia selalu berkomunikasi dengan tokoh kharismatik Masyumi ini. 60 Hal ini dikemukakan H. Solaiman anggota Masyumi yang kini menjadi Ketua Majelis Syuro Dewan Pimpinan Pusat Partai Bulan Bintang. Ia juga Wakil Ketua Dewan Dakwah Islamiah Indonesia, kelahiran Morotai, Maluku Utara, yang kini telah berusia 76 tahun. Ia pernah menjadi Sekretaris Menteri Penerangan pada tahun 1950-an, anggota parlemen tahun 1955, pendiri Parmusi, pernah bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan sebagai anggota Majelis Pertimbangan Partai. Ia adalah salah seorang pendiri Partai Bulan Bintang. PERJALANAN HIDUP 35

Guna mengenang Allahu Yarham Dr. Mohammad Natsir, 17 Juli 1908-6 Februari 1993, bekas ketua Par- tai Masyumi dan Perdana Menteri yang telah menjadi kajian ini (hlm. ii), kajian ini dipilih, menurutnya ku- run waktu 1940-1960, sepanjang pengetahuan dari sumber-sumber informasi yang tersedia, hanya terda- pat tiga partai yang berpengaruh secara luas di dunia Islam, iaitu Muslim League di Pakistan, Partai Masyu- mi di Indonesia dan Partai Istiqlal di Maroko. Dalam periode yang sama ada dua partai fundmentalis yang juga berpengaruh luas, yaitu Ikhwanul Muslim di Mesir dan Jama’at Islami di Pakistan.61 Karya tesis yang menjadi tulisan yang disebarluaskan ini telah memberikan gambaran ke depan atau perspektif mengenai Is- lam dan politik Islam khususnya kalangan modernis Partai Masyumi secara lebih jelas, gamblang dan teruji secara akademis.62 Hal ini sangat penting terutama bagi kalangan muda generasi Islam yang tidak mengalami masa kejayaan Partai ini di era 1950-an dan bagaimana para tokoh partai dengan teguh dan tegar berjuang untuk mengangkat harga diri (marwah) Is- lam dalam pentas politik negara yang penuh tantangan, onak dan duri pada masa itu. Dinamika pahit getir dan manisnya partai yang menjadi kebanggaan umat Islam ini harus berakhir dengan “penyingkiran” tokoh-tokohnya dalam arena politik formal secara tidak “fair” baik pada masa Orde Lama maupun di masa Orde Baru. Masa ini merupakan titik awal perjalanan sejarah umat Islam di Indonesia yang mengalami marjinalisasi politik, peranan Islam politik tidak lagi memiliki otonomi selain karena faktor

61 Lihat Yudi Pramuko, Ibid, hlm. 26. 62 Sehari menjelang Idhul Fitri 1413 Hijrah, laki-laki yang jangkung kurus itu mendarat di bandara Soekarno-Hatta, Jakarta dari Universiti Sains Malaysia, dialah alumni Universitas Indonesia, berusia 37 tahun ketika itu telah meraih gelar Doktor Falsafah bidang Politik, dan lima tahun kemudian tepatnya 1998, ia meraih Profesor-Guru Besar bidang Hukum Tata Negara, dan keanggotaannya itu menjadikan ia pernah menjadi dosen tamu di Hamburg. 36 YUSRIL IHZA MAHENDRA

bingkai demokrasi politik yang dibangun oleh kekuasaan adalah demokrasi “semu” yang lebih menempatkan kekuasaan politik identik dengan penguasa politik dengan kelompok pendukungnya sebagai penentu jalannya sebuah sistem politik dan kehidupan politik itu sendiri. Budaya politik ini jelas tidak akan seiring seja- lan dengan kalangan Islam dari Partai Masyumi yang sangat menjunjung citra demokrasi yang “fair,” jujur, penuh kesederha- naan serta berpegang pada prinsip-prinsip ideologis yang di- anutnya.

Bapak dan Ibu Idris H Zainal serta Kehidupan Keluarga Yusril Ihza Mahendra

DRIS H. Zainal adalah nama ayah dari Yusril Ihza Mahendra, sehari-hari dipanggil dengan sebutan Abah oleh anak-anaknya. I Ia lahir di desa Manggar, Belitung Timur, 20 Juli 1917. Ia menggali serta mendalami masalah agama melalui pendidikan formal di Institut pendidikan Islam yang mengajarkan 14 bahasa dan pelajaran agama. Abah sangat fasih dalam berbahasa Belanda, Arab dan Jepang, adapun para guru yang memberikan ilmu di Institut itu orang-orang dari luar Belitung, khususnya dari Palembang, Jawa Barat dan Minangkabau dengan sistem pendidikan umum namun berorientasi ke Islam. Lingkungan sosial Abah sebenarnya tradisional, ini terbukti karena ayahnya H. Zainal banyak menyimpan buku-buku Islam “klasik”, buku dan kitab Jalalain, ia juga sangat intens untuk membaca buku-buku melalui suatu pendidikan “campuran” modern Belanda dengan Islam. Ini kemudian membentuk perantauan pemikiran ke arah yang modern, sikap modernis itu memang diterima dari Institut Islam tempat ia menggali ilmu pengetahuan. Para gurunya ba- nyak yang melanjutkan pendidikan di salah satu lembaga pendidikan yang cukup terkenal di kalangan modernis Islam pada masa itu, di antaranya adalah pendidikan Islam Jamiatul Khair PERJALANAN HIDUP 37

di Jakarta.63 Abah Idris juga pernah menduduki jabatan sebagai Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Desa Manggar, Belitung Timur, letaknya di Kampung Lalang, dekat dengan Sekolah Dasar Negeri 5 tempat Yusril Ihza masa kecil bersekolah, dengan kedudukan sebagai pegawai negeri.64 Pribadi Abah Idris sangat menghargai sekecil apapun sebuah bantuan,65 ia memiliki disiplin yang tinggi, jujur, keras keinginan, dan selalu memohon agar anaknya menjadi anak yang cerdas.66 Abah Idris yang asli dari suku Melayu di mana akarnya menurut Yusril Ihza berasal dari Johor Semenanjung Malaysia,67 sikap ke-

63 Sebagaimana diketahui Institut Pendidikan Jamiatul Khair dipimpin seorang ulama dari keturunan Arab yang berpikir modernis, bernama Syekh Akhmad Soorkatti. Kader- kader Institut Islam yang kemudian melanjutkan pendidikan ke tempat ini di antaranya adalah Ali Haji Musa dan Bujang Rifi, sedang Abah Idris sendiri bergabung dengan Partai Masyumi, sebuah Partai Islam yang bercorak modernis saat itu. Wawancara dengan Rosihan Sahip, seorang pengamat masalah-masalah sosial budaya mengenai masyarakat Belitung. 64 Tentu dapat dipastikan status sebagai pegawai negeri masa itu yang bergaji kecil, bahkan menurut Uma Nurseha Sandon, sering gaji yang diterima suaminya sangat terlambat, karena masa itu sarana komunikasi masih sangat sukar, kadang setelah lepas tiga bulan gaji itu baru dapat diterima. Keadaan ini merelakan kehidupan keluarga Abah Idris harus dengan cara yang sangat sederhana. Abah sering diminta untuk memberikan pengajian-ceramah, khotbah, yang disampaikan umumnya berhubungan dengan persoalan sehari-hari yaitu masalah Tauhid, dan akhlak. Dalam mengambil sumber materi agama banyak mengambil sumber dari kalangan ulama modernis seperti Prof. DR. Hamka. Ini dikemukakan H. Abu Bakar yang merupakan teman seperjuangan baik karena sama-sama sebagai pegawai di Kantor Urusan Agama, juga karena keduanya aktif di Partai Masyumi. Demikian juga Yudono Sukardi yang pernah mengajar Yusril Ihza pada masa di Sekolah Dasar, telah menceritakan hal yang sama. 65 Mengenai hal ini Rosihan Sahip memberikan kesan pengalamannya tentang ayah Yusril Ihza; ketika Yuslih Ihza (Kakak Yusril Ihza) menginap di rumah karena akan melakukan tes untuk masuk menjadi pegawai di perusahaan Penambangan Timah, ini sekitar tahun 1977-1978. Sepekan setelah itu Abah Idris datang hanya sekedar untuk mengucapkan terimakasih, ketika itu ia sudah menanggung dua anaknya yang merantau ke Pulau Jawa, yaitu Yusmin di Bandung dan Yusril Ihza di Jakarta, keduanya sedang mengikuti pendidikan di perguruan tinggi negeri yang tentunya sangat berat, ini memerlukan ongkos yang cukup besar. 66 Menurut H. Abu Bakar, teman yang menaruh hormat atas orang tua Yusril Ihza ini, bahwa H. Idris pernah mengalami peristiwa Lailaul Qadar, ketika ia menjalankan aktivitas di Kantor Urusan Agama Tanjung Pandan, sehingga ia semakin yakin bahwa kelak Yusril Ihza akan sukses. H. Idris bersikap keras dalam kaitannya dengan perintah ajaran agama, ia juga selalu mengemukakan apa adanya. 67 Sebenarnya sebutan Ihza kependekan dari Idris Haji Zainal Ahmad, Zainal Ahmad merupakan orang tua dari Abah Idris, di atasnya lagi adalah Thayeb, nah di atas itu 38 YUSRIL IHZA MAHENDRA

ras keinginan yang dimaksud dari diri beliau artinya selalu me- ngemukakan apa adanya.68 Tetapi menurut teman seperjuangan dalam berdakwah dan aktif sebagai pengurus Partai Masyumi Cabang Desa Manggar pada masa itu, sifatnya dalam mengamalkan agama sangatlah arif, tidak kaku, semisal pada saat melaksanakan sholat taraweh ia sangat fleksibel, demikian pula bila memasuki sa’ban, ia turut melaksanakan selamatan, memberi contoh teladan merupakan hal utama yang dilakukannya kepada anak-anak dengan bersikap toleransi.69 Ia sering juga memberikan pengajian dan cera- mah di Lembaga Pemasyarakatan dengan menyampaikan pengaji- an mengenai akhlak dan Tauhid, dan masa Yusril Ihza masih berusia sekitar empat tahun, ia sudah mulai diajak dengan dibonceng meng- gunakan sepeda. Bila Abah Idris menghadiri rapat di kantor atau ada pertemuan, ia berbicara dengan suara lantang serta keras pendirian.70 Abah Idris memiliki pendirian politik yang sangat

berada “di luar Belitung.” Menurut Yusril Ihza, ada kemungkinan keluarganya “memberontak” terhadap feodalisme Raja-Raja Melayu, sebab di rumah Haji Zainal tersimpan naskah-naskah Melayu Kerajaan Johor, ini berkaitan dengan Kesultanan Johor sekarang, karena mereka memiliki kakek pihak Abah yang duduk di Johor. Menurut Yusril Ihza ada kesan bahwa mereka tidak puas dengan aristokrasi dan ingin menjadi ulama tetapi mereka (kakek) tidak menggelapkan sejarah ini, berbeda dengan Abah yang tidak suka diceritakan masalah tesebut. 68 Pak Salman Yahya, di sekolah lebih akrab dipanggil Pak Na’man, adalah teman seper- juangan Abah Idris di masa kejayaan Partai Masyumi di tahun 1950-an. Pada waktu itu Abah sebagai bendahara, Pak Na’man selaku sekretaris, sedangkan ketua Partai Masyumi di desa ini adalah Bapak Hasan Ali. Dalam membina pendidikan Islam di Desa Manggar, Kampung Lalang, Pak Na’man adalah guru anaknya, yaitu Yusril Ihza dan Yusron Ihza pada masa keduanya masih berada di bangku Sekolah Dasar serta Madrasah. Ini hasil wawancara di kampung Lalang, 22 Mei 2002. 69 Sejak kami kecil Abah melatih anak keenam dari sebelas bersaudara ini untuk selalu aktif berorganisasi, kenang Yusril Ihza, bahwasanya Abah sendiri-lah yang memberikan dorongan kepadanya untuk masuk ke perkumpulan KAPPI Rayon Belitung, selain juga aktif di desanya. 70 Abah Idris, bila dilihat bentuk wajahnya memang ada keturunan Arab-India, menurut H. Abu Bakar, dan suatu ketika pergi bersamanya ke Palembang, karena ada pertemu- an untuk membicarakan masalah Undang-undang pernikahan, waktu itu mengikuti penataran, dia membawa batu (batu biasa ke dalam rapat), “saya tanyakan” untuk apa? ia diam “wajahnya agak muram”. Pernah juga suatu ketika saya mendapatkan jodoh, kemudian diceritakan kepada beliau, lalu ia berpantun dengan bahasa Melayu Belitung yang bunyinya, ‘Lama-lama ndak ngelepat-sekali ngelepat batik daun simpur, lama-lama ndak dapat- sekali dapat biak pancur, artinya: lama tidak dapat, sekali dapat batik dari daun simpur, lama-lama nggak dapat-sekali dapat anak Pan- cur,” ini sebuah ungkapan yang menurut H. Abu Bakar, ia sangat menghargai siapa pun dan sebesar apapun yang diperbuatnya. PERJALANAN HIDUP 39

berwibawa, berpengetahuan cukup tinggi serta berpegang kepada moral. Pada tahun 1968, Prof. DR. Hamka ke Belitung, ini digunakan Abah Idris untuk banyak berdiskusi mengenai persoalan politik Masyumi. Menurut Yusril Ihza, Abah tidak aktif di Muhammadiyah tetapi aktif di Partai Masyumi, dan sangat rajin membeli buku dengan menitip kepada kawan terutama buku-buku terbitan Bulan Bintang,71 ia juga sangat intens menceritakan sejarah Masyumi72 Menutup akhir kehidupannya, Abah Idris wafat pada bulan November 1987, ketika anaknya ini telah mulai “mengepakkan sayap” cita-cita kehidupannya, telah bertugas sebagai dosen dan juga pendakwah untuk kemajuan syiar Islam sambil mereguk ilmu dan pengalaman dari para tokoh Masyumi yang sangat dikagumi ayahandanya itu. Ibu Hajah Rurseha Sandon,73 yang biasa dipanggil dengan sebutan uma adalah ibunda Yusril Ihza Mahendra, ia lahir di Desa Gantung, tidak jauh dari Desa Manggar pada 14 Juli 1929, kini ia telah berusia 74 tahun.74 Pada masa masih jayanya Partai Masyumi, Uma juga aktif

71 Ia membeli buku-buku terbitan Bulan-Bntang yang berafiliasi kepada Partai Masyumi, selain itu juga dari terbitan Al-Maarif di Bandung, sert buku Pelajaran Agama Islam karangan Prof. Dr. Hamka. 72 Yusfi Ihza (Kakaknya Yusril Ihza nomor tiga) bercerita bahwa urusan rumah tangga dari memasak sampai mencuci, membersihkan rumah, bahkan sampai cara memakai dasi serta pentingnya menjaga nama baik keluarga sangat ditekankan oleh Abah. Abah juga sering bercerita mengenai sejarah Partai Masyumi, masih ingat cerita Yuslaini; bahwa ketika kecil buku-buku bergambar Partai Bulan-Bintang dilarang pada era rezim Soekarno, tetapi Abah tetap menyimpan di bawah lantai papan, ini sekitar tahun 1960- an. Yusfi Ihza merupakan kakak yang memiliki andil besar yang turut mendorong Yusril Ihza untuk maju sejak di bangku sekolah menengah, pada masa ini ia suka mendampingi Yusril Ihza, jika diperlukan. Ia pernah bekerja di PN Timah di bagian personalia sampai perusahaan itu bubar. Kini ia berwiraswasta bergerak di bidang pertanian lada, wawancara dengannya di Kampung Lalang, Manggar, 24 Mei 2002. 73 Menurut Yusril Ihza Mahendra memang nama-nama dari pihak Uma agak ‘aneh’ seperti saudara lainnya ada yang bernama Mala dan Yuzali, ini hasil wawancara dengannya. 74 Mengenai asal leluhur dari pihak orang tua perempuan Yusril Ihza ini memang masih simpang siur untuk kepastian daerahnya, ada yang mengatakan di Padang, tetapi berdasarkan pengakuan Uma bahwa ia memiliki leluhur itu dari daerah Bukittinggi. Adapun kenapa Uma sampai di Bengkulu adalah, diceritakan bahwa ibu dari neneknya Uma pernah menjelaskan suatu ketika ada peperangan Lanun (Perompak=bajak laut yang merampok penduduk), maka ibu dari nenek Uma menyelamatkan diri dengan pergi jauh menggunakan kapal dan terdampar di Belitung, kemudian kawin dengan orang sini, maka lahirlah nenek. Wawancara dengan Uma, di Kampung Lalang, Desa Manggar, 22 Mei 2002. 40 YUSRIL IHZA MAHENDRA

di perkumpulan Partai bidang perempuan yang tergabung dalam Per- kumpulan Muslimat, anak (afiliasi) dari Partai Masyumi. Kehidupan ekonomi keluarga yang sangat terbatas, apalagi Abah seorang pegawai negeri yang tentu upahnya sangat kecil ditambah beban keluarga yang cukup besar (anak ada sebelas orang), semuanya ada lima belas orang di dalam rumah Keluarga Abah Idris, maka sebagai Ibu yang mengerti keadaan suami, ia turut bertanggung jawab membantu menopang ekonomi keluarga dengan membuat kue untuk dijual.75 Sedang kakek Yusril Ihza dari pihak ibu lahir pada tahun 1901, dan bekerja di Perusahaan Timah pada zaman kolonial Belanda di bagian bengkel bubut. Pengalaman di dunia tekniknya sangatlah banyak, seperti pernah memasang rel kereta api yang kini berpusat di stasiun Jatinegara, Jakarta, itu terjadi tahun 1917, yang saat itu sepeda telah masuk Belitung. Untuk dapat bersekolah di HIS Tanjung Pandan, kakek dan nenek Yusril Ihza pada masa belia harus berjalan kaki lebih dari 90 km dari Kampung Genting Desa Manggar.76 Kakeknya bukanlah seorang aktifis Islam, hanya seorang ahli teknik dengan pendidikan Belanda, kemudian menjadi instruktur teknis Institut Teknologi Bandung di tahun 1918. Ia turut membantu membuat rel kereta api dari Jakarta kota sampai Kota Malang di Jawa Timur dan jembatan kereta api Manggarai di Jakarta merupakan hasil karyanya.77 Berbeda dengan sang kakek, ia sangat peduli kepada aga- ma Islam, bahkan termasuk keras dalam soal beragama dan beribadah itu. Dari sinilah darah kecintaan kepada agama dan umat mengalir pada Yusril Ihza Mahendra, diluaskan dengan mendapatkan sosial- isasi dari Abah Idris, kemudian diperkaya ketika di sekolah, selanjutnya diperkokoh saat ia “bergelayut “dengan para tokoh

75 Untuk tetap dapat bertahan apa yang menjadi keinginan bersama, di antara sesama keluarga dan saudara saling menopang, kakaknya turut membantu dengan membiayai ongkos Yusril Ihza sekolah, juga kakaknya Yusfi Ihza dan Yuslim Ihza yang telah bekerja juga turut membantu. 76 Mereka harus menerobos hutan, dan pada masa itu mereka hanya bersekolah di hari Sabtu dan Ahad, diakui mereka itu adalah petualang, bahkan kakeknya pernah dikirim perusahaan Timah untuk bermain bola sepak ke Singapura, selain pernah mengenyam pendidikan di Technische Bandung yang kini menjadi Institut Teknologi Bandung. 77 Kakek dari pihak Uma memang orang teknik, karena itu perhatian kepada politik dan keagamaan nyaris tidak ada, ia lebih tertarik dalam soal teknik. PERJALANAN HIDUP 41

Masyumi di Jakarta.78 Tahun 1983, Yusril Ihza Mahendra, anak Melayu dari Belitung di usianya ke-27 tahun, telah memasuki kehidupan baru, melak- sanakan pernikahan dengan perempuan pilihannya yang berna- ma Kessy Sukaesih, gadis Melayu Betawi yang berusia 22 tahun. Kini Yusril Ihza (45 tahun) dan istrinya Kessy (40 tahun),79 telah dikaruniai empat orang putra. Menurut istrinya, selain cerdas dan pandai, jiwa mandiri yang dimiliki Yusril inilah yang mem- buat Kessy tertarik sekitar 22 tahun yang lalu, ketika dia masih sekolah di SMA IV, Jakarta. Ia tertarik untuk menjalin hubungan yang serius dengan seorang mahasiswa Universitas Indonesia yang ketika itu berada di tingkat IV masa pendidikannya.80 Kini jiwa mandiri itu perlu berbagi rasa, karenanya dengan segala kesibukan suaminya, sangatlah ditekankan betapa pentingnya pengertian keluarga besar (dari kedua pihak), di antaranya bila dalam menyampaikan permasalahan keluarga tidak seluruhnya langsung harus kepada suaminya, cukup diungkapkan kepada

78 Lihat Yudi Pramuko, Ibid, hlm. 35. Soal ini dijelaskan baik oleh Yuslaini Ihza, maupun Ihza Mahendra dalam suatu wawancara dengan penulis pada 22 Mei dan 8 Juni 2002. Dari nenek Yusril Ihza selalu mendapatkan nasehat seperti, “menyeberanglah lautan, kalau tidak berani menyeberang tidak akan mendapat tanah tepi,” mengenai berinteraksi dengan orang lain nenek berpesan: “baik pade, jahat jangan sekali,” artinya dengan orang menjaga sikap bahwa terlalu baik akan tidak menghargai kita. 79 Mereka telah dianugerahi Allah Swt. empat orang anak yaitu Yuri Kemal Fadhullah, Zakenia Khairunnisa, Meilany dan Ali Reza. Buat Yusril Ihza Mahendra, pengalaman semasa kecil saat bersama Abah yang kerap mengajaknya berjalan-jalan, sungguh sangat berbekas dalam jiwa sepanjang hidupnya, mengajak berjalan-jalan, diikutkan untuk menyaksikan Yusril Ihza ketika akan diwawancarai oleh media televisi, pergi ke studio saat ia akan melakukan rekaman dan wawancara langsung atau ada acara seminar serta berbagai pertemuan, ini disediakan waktu untuk membawa anak-anaknya. Menurutnya ini sebagai bentuk sosialisasi pendidikan yang efektif, menghubungkan dengan pemahaman aktifisme pergerakan Islam dan pembelaan kepada orang lemah telah ditumbuhkan sejak kecil. Ada waktunya juga Yusril Ihza mandi bersama anak-anaknya sebagai ungkapan kedekatan pada hari libur, ini juga dimanfaatkan untuk bersama keluarga, tetapi inipun harus dikurangi karena kesibukan di Partai, lihat Matra, petikan wawancara, No. 18, November, 1999, dalam Kawiyan, Ibid, hlm. 88-89. 80 Di mata istrinya Yusril Ihza seorang yang luar biasa sabar, pandai dan pendiam, ia tidak pernah marah, apalagi membentak, ia juga tidak suka bergosip, suka berbicara sesuatu yang bermanfaat, karena itu ia lebih memilih diam bila tidak ada sesuatu yang perlu dibahas. Yusril Ihza juga sangat memberi perhatian kepada keluarga, kadang pekerjaan”domestik” ia kerjakan dengan senang, Ibid, hlm. 38-40. 42 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Kessy (nama panggilan istri). Hal ini dilakukan semenjak Yusril Ihza menduduki kursi kementerian.81 Hal lain yang juga penting adalah menjaga kesehatan dan ini sebenarnya telah dilakukan sejak masih menetap di kampungnya di desa Manggar, Pulau Be- litung.82 Yusril Ihza Mahendra bersifat “wajar” dalam memba- ngun hubungan dan pergaulan, ada nuansa wajah yang serius tetapi berpenampilan menawan “handsome,” dan berkesan “acuh” dalam komunikasi pembicaraan, terlepas dari semua itu yang je- las ia pribadi yang menyenangkan dalam pergaulan serta pekerja keras83 Memang rahasia, hidup, perjuangan dan perjalanan karir sese- orang terkadang misteri datangnya, hanya tanda-tanda, isyarat, yang mungkin dapat dinilai, diukur dan menjadi kesimpulan akan kemanakah dan menjadi apa seseorang itu dalam pusaran pergu- latan hidup yang penuh risiko persaingan dan jatuh bangun. Yusril Ihza Mahendra setelah menikah lalu menyelesaikan jenjang pen- didikan akademis tertinggi; dan pergulatannya untuk belajar telah meraih buah anugerah Yang Kuasa, menyelesaikan pendidikan Doktor Falsafah dari Universiti Sains Malaysia (USM) di usia ma- sih belia 42 tahun. Karir dan prestasi sebagai sebuah amanah telah mulai bersinar bagaikan “bintang cemerlang.” Setelah bertugas sebagai dosen ia dipercayai sebagai peneliti di Pusat Penelitian dan Pelayanan Informasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik

81 Lihat Yudi Pramuko, Ibid, hlm. 38-40. 82 Sewaktu di kampung, Yusril Ihza telah terbiasa menikmati ikan laut yang segar, karena itu di tengah kesibukan acara kenegaraan yang padat, istrinya selalu menyediakan “obat kampung” berupa akar-akaran untuk menghilangkan kembung perutnya, selain disiapkan vitamin, madu, serta makanan siang di kantor dari rumah. Ia selalu berolahraga dan menyiapkan tidur yang cukup sekitar 4-5 jam; “saya tidur jam dua belas malam, kemudian bangun jam lima pagi,” ujar Yusril Ihza. Kadang disempatkan pergi ke Muara Angke, membeli ikan segar untuk dinikmati, bila perlu langsung dibakar, paling tidak dua minggu sekali. Lihat Kawiyan, Ibid, hlm. 174-175, juga dalam Yudi Pramuko, Ibid, hlm. 43. 83 Untuk menghadapi persoalan-persoalan kenegaraan dalam suatu persidangan atau rapat, segala sesuatunya telah dipersiapkan sebelum hal itu akan disampaikan, makanya sebagaimana ungkapannya; “saya tidak pernah merasa capek atau tegang, saya memang sibuk, tetapi dalam persidangan justru saya tertawa…” selain itu menurut Yusril, membaca buku dengan cepat dengan teknik “tertentu”, ini memungkinkannya dapat menyelesaikan tesis atau Disertasi Doktornya dalam waktu dua tahun dengan membaca 499 judul buku. Lihat Kawiyan, Ibid, hlm. 174-177. PERJALANAN HIDUP 43

Indonesia, kemudian sebagai sekretaris bidang khusus Menteri Sekretariat Negara Republik Indonesia di paruh akhir pemerin- tahan Soeharto, berlanjut sebagai asmen Sekretariat Negara Urus- an Khusus masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie, Menteri Kehakiman dan Perundang-Undangan pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahaman Wahid dan berlanjut saat ini sebagai Men- teri Kehakiman dan Hak Asasi manusia di pemerintahan Mega- wati. Kini ia menjadi Ketua Partai Bulan Bintang yang bercita- cita melanjutkan tradisi kejayaan Masyumi, namun Partainya be- lumlah meraih prestasi sebagaimana Partai Islam Masyumi di masa lalu. Jalan pendakian itu nampaknya masih harus dilalui dengan syarat akan tantangan yang pahit dan asin, dan memang lorong misteri kehidupan itu akan selalu mengiringi di antara keinginan dan kehidupan itu sendiri.

Sebagai Penulis Pidato Soeharto

AHUN 1995, Yusril Ihza Mahendra melalui Menteri Sek- retariat Negara Moerdiono telah diberi kepercayaan untuk T diperbantukan sebagai Asisten bidang Khusus, yaitu menyu- sun naskah pidato (speech writer) Presiden Soeharto, suatu saat ia (dengan memakai dasi) pergi bersilaturahmi ke rumah Prof DR. Oesman Raliby. Gurunya bertanya, “kerja dimana?” Jawab- nya, “di Sekneg membantu menulis pidato Presiden Soeharto,” sambil melanjutkan ucapannya, “bukankah dahulu Bapak juga menjadi penulis pidato Presiden Soekarno bersama Bapak Mo- hammad Natsir.” Prof DR. Oesman Raliby adalah guru tempat Yusril Ihza Mahendra mereguk ilmu dan berharap kepada anak muda ini kelak melanjutkan tradisi kepemimpinan Mohammad Natsir.84 Dengan posisi seperti ini lalu apa yang dilakukan Yusril Ihza Mahendra selaku Asisten Khusus, tidak lain adalah jika Pre- siden datang pada suatu acara peresmian ia akan diperintahkan

84 Wawancara dengan Rosina Raliby, 8 Juni 2002. 44 YUSRIL IHZA MAHENDRA

berbicara seperti yang dikehendaki penyelenggara aktivitas.85 Menurut Yusrill Ihza Mahendra, mereka sangat tahu diri saya (maksudnya Presiden Soeharto) soalnya dia selalu menuding saya sebagai orangnya Natsir (tokoh Masyumi). Sebagai seorang yang baru dengan latar belakang (back ground) dari dunia pendidikan universitas dan kemudian memasuki dunia birokrasi, setidaknya membawa suatu perubahan dalam suasana kerja dan pola hu- bungan manajemen yang dikembangkan, apalagi ia seorang yang masih muda dan potensial.86 Ini tidak berarti tidak ada tantangan, kesabaran Yusril Ihza Mahendra memang patut dihargai ketika awal penugasannya di Sekretariat Negara, selama satu tahun penugasannya ia belum memiliki kedudukan resmi, “masih men- jadi orang pengganti” Bapak Narto87 (orang lama di jabatan itu), namun ia tetap semangat bekerja, setiap aktivitas penyusunan konsep pidato dikerjakannya, baginya ini suatu pengorbanan perjuangan dan pengalaman, ia tidak mudah putus asa.88 Selama ia beraktivitas sebagai penulis naskah pidato Presiden selama tiga tahun, ia telah mengonsep naskah sebanyak lebih dari 204 naskah pidato Presiden Soeharto. Semua ini dilaluinya dengan jiwa yang lapang dan semangat mengerjakan aktivitas itu secara

85 Sebenarnya pointers-nya telah ada pada Yusril Ihza, setelah diformat, Asisten Khusus akan memikirkan; memasukkan kritik, termasuk apa maunya penyelenggara, baru diserahkan ke Menteri Sekretariat Negara yang kemudian akan dikoreksi. Pernah suatu ketika Presiden Soeharto menyebut dirinya Ronggowarsito. Petikan hasil wawancara Matra, Edisi November 1988 dalam Kawiyan, Ibid, hlm. 67-70. 86 Sebelumnya seorang Asisten itu tidak bertukar pikiran kepada para stafnya, hanya sebatas mengerjakan hal yang bersifat teknis saja. Namun hal itu menjadi berbeda ketika peranan posisi asisten dipegang Yusril Ihza, ia lebih terbuka, lugas, tak banyak kata bersayap dalam menuangkan konsep pidato presiden, dengan nuansa Islami yang lebih kuat dalam pesan. 87 Ketika masa Menteri Sekretariat Moerdiono, Yusril Ihza membantu Asisten bidang Penelitian dan Pengembangan, waktu itu masih dijabat Bapak Narto, saat Akbar Tanjung sebagai Menteri Sekretariat Negara, maka Yusril Ihza diangkat sebagai Asisten Khusus, wawancara dengan Slamet Widodo, staf di jabatan itu. 88 Dalam melaksanakan aktivitasnya, Yusril Ihza sangatlah teliti, bersahaja dan hal yang tidak prinsip diserahkan kepada staf, ia juga selalu mengajak mendiskusikan untuk konsep yang sedang disiapkan. Prinsipnya adalah tidak mempersukar suatu masalah, lebih kepada pemecahan masalah, dalam hal pekerjaan ia mau berkorban dan memperhatikan kepada teman-teman dalam lingkungan pekerjaannya, tidak pernah marah, egaliter, empati serta memilik prinsip kuat ditambah dengan pengetahuan agama yang cukup luas. Wawancara dengan Rosihan Sahip, pengamat sosial budaya masyarakat Belitung, 20 Mei 2002. PERJALANAN HIDUP 45

profesional, filosofi hidupnya adalah, “Jika melihat kemungkaran cegahlah dengan tanganmu, jika tidak dapat, kamu diam,” maka pada saat saya masuk ke dalam lingkaran kekuasaan, saya men- coba mencegah kemungkaran dengan tulisan yang kemudian disampaikan oleh mulut Presiden Soeharto, saya mencoba mengendalikannya dari belakang hingga membuat Soeharto terjebak.”89

Yusril Ihza Mahendra dan Partai Bulan Bintang

PAYA untuk merumuskan dan mendirikan sebuah partai politik Islam pada dasarnya telah dirintis sejak tahun 1998, Uketika Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI) didirikan pada 1 Agustus 1998, bertepatan dengan 16 Dzulhijjah 1419 Hijriah, ke- mudian dikembangkan menjadi Badan Kordinasi Umat Islam (BKUI) yang didirikan pada 28 April 1998, bertepatan dengan 1 Muharram 1419 Hijriah. Ini kemudian berlanjut dengan kesepa- katan bulat pada tarikh 23 Rabi’ul Awal 1419 Hijriah, bertepatan dengan 17 Juli 1998, yang mengikrarkan berdirinya Partai Bulan Bintang.90 Yusril Ihza Mahendra kembali mengenang peristiwa penting di era reformasi kehidupan politik di Indonesia, ketika mendapat telepon dari Anwar Haryono, Ketua Dewan Dakwah Islamiah Indonesia, kontak itu masuk di tengah berlangsungnya suatu upaya yang demikian “alot” dari berbagai pihak untuk menggabungkan dua “tokoh muda” Islam, dan Yusril Ihza Mahendra ke dalam garis perjuangan yang seirama, yakni Partai Bulan Bintang yang berasaskan Islam.91 Akan tetapi

89 Tabloid Abadi, No. 28, tahun I, 20-26 Mei 1999. Lihat juga Kawiyan, Ibid, hlm. 21-22. 90 Ramlan Mardjoened, Pendidikan Politik Membangun Demokrasi di Era Reformasi, Jakarta, DPP PBB, 2001, hlm. 1. 91 “Saudara Yusril,” ujar Anwar Haryono serius, “Pak Amien Rais sudah datang dan perkembangan sudah mencapai 90 persen, Al-hamdulillah, Pak Amien Rais menjadi Ketua Partai, dan bagaimana kalau Saudara menjadi Sekretaris Jenderal Partai Bulan Bintang.” Tanpa ragu-ragu Yusril Ihza menjawab, “Kalau semua orang menerima Insya Allah akan saya terima.” 46 YUSRIL IHZA MAHENDRA

sejarah berkata lain dan bergerak ke arah yang tidak dapat di- duga, Amien Rais mengundurkan diri, ini menyebabkan keputus- an Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang adalah Yusril Ihza Mahendra. Tidaklah sedikit kalangan umat Islam yang terkejut dan tidak menduga terhadap kegagalan memadukan kedua tokoh tersebut, karena itu harapan besar umat Islam akan “Dwi-Tung- gal” itu belum berhasil92 Ia menjelaskan mengenai hal ini: Memang ada inti perbedaan di antara kami, saya ingin membentuk Partai yang berasaskan Islam sementara Pak Amien Rais ingin membentuk Partai yang multiagama, multietnis…Pak Amien bilang PBB platformanya kekecilan, ibarat baju yang sesak dipakai, memang saya katakan bahwa PBB ini Partai tertutup, soalnya tidak ada di dunia ini Partai yang sesungguhnya terbuka, semua Partai itu aliran, kalau tidak ada aliran, orang tak membuat Partai.93 Bagi Yusril Ihza Mahendra simbol “Bulan Bintang” di masa lalu pernah digunakan Partai Masyumi, sebuah Partai politik umat Islam yang pada mulanya dimaksudkan akan menjadi satu- satunya Partai politik Islam di Indonesia, pada saat Partai ini diumumkan berdirinya pada 11 November 1945.94 Sebenarnya keterlibatan Yusril Ihza Mahendra dalam Partai bukan semata karena hasrat atau keinginan pribadi untuk tampil dalam politik dengan menggunakan Partai sebagai alat perju- angan, ia masuk dan terlibat lebih didasarkan amanah dari

92 Yudi Pramuko, Ibid, hlm. 164. 93 Tempo, hasil wawancara, 9 November, 1998. 94 Benang merah sejarah, cita-cita dan hubungan emosional adalah tetap menjadi pertimbangan mereka untuk mendukung berdirinya Partai Bulan Bintang, baik secara individu maupun yang mewakili organisasi massa Islam yang berhimpun dalam badan koordinasi itu, dengan tekad Partai akan dipimpin kalangan muda yang bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Ia menegaskan dalam pidatonya bahwa Partai ini akan berjuang untuk menegakkan sistem, sebab jika seseorang yang baik berada dalam sistem yang rusak, akan menjadi tak berdaya sebagai seorang yang baik, sebaliknya orang yang jelek hidup dalam sistem yang baik, dia akan dipaksa menjadi baik oleh sistem, dan prinsip Partai Bulan Bintang adalah umathan wasathan, umat yang pertengahan. Dikutip dari pidato Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Bulan Bintang, Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra. S.H. M.A , dalam acara deklarasi Partai tersebut, 26 Juli 1998. PERJALANAN HIDUP 47

dukungan banyak orang, termasuk kalangan tokoh Masyumi yang masih hidup seperti DR. Anwar Haryono, orang yang sangat dekat dengan Mohammad Natsir. Ini dikemukakannya sewaktu ber- bicara dalam sambutan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas I) Partai Bulan Bintang.95 Mengenai pencalonannya sebagai pre- siden, ini dilakukan sebagai upaya menumbuhkan satu kultur politik yang benar-benar demokratis dalam tubuh Partai, karena itu setiap aspirasi harus dikembalikan kembali ke cabang-cabang Partai agar semangat kebersamaan, egaliter atau tasamuh benar- benar terwujud, yang jelas menurutnya ia tidak pernah mencalon- kan diri.96 Mengenai motivasi masuk Partai menurut pandangan- nya adalah: Saya katakan bahwa sekadar untuk diketahui, bagi saya memimpin Partai bukan suatu kenikmatan, melainkan suatu beban tanggung jawab, memimpin Partai itu sungguh berat, fitnahnya banyak, intriknya banyak, sehingga harus banyak bersabar. Saya juga mengemuka- kan janganlah Partai itu dijadikan alat kepentingan pribadi. Saya berprinsip janganlah lama-lama seseorang berada dalam pucuk pimpinan Partai karena dapat menimbulkan ekses yakni kedudukan itu menjadi identik dengan pribadinya, saya tidak berniat lama-lama memimpin Partai… sebagai Partai demokratis, tentu siapa saja boleh mencalonkan diri dalam menduduki jabatan dalam Partai.97 Dalam suasana demokratis yang demikian bebas, sebuah opini berkembang mengenai istilah Partai yang inklusif atau terbuka dengan Partai yang eksklusif atau tertutup. Perbedaan PAN dengan PBB, salah satunya dalam konteks seperti itu yang kemudian berkembang, adalah bagaimana pertalian Islam yang

95 Ia dalam musyawarah itu meminta kejelasan kembali sehubungan pencalonannya sebagai presiden, ini dilakukan sebagai upaya menumbuhkan satu kultur politik yang benar-benar demokratis dalam tubuh Partai, dengan mengembalikan aspirasi kepada cabang-cabang Partai, dan yang jelas ia tidak pernah mencalonkan diri. Ibid. 96 Kawiyan (Ed.), Ibid, hlm. 26. 97 Rakyat Merdeka, 6 Juli 1999. 48 YUSRIL IHZA MAHENDRA

rahmathan lil’alamin dengan sifat Partai tersebut, dan bagai- mana aturan sebuah Partai dalam melakukan rekrutmen anggo- tanya. Yusril Ihza Mahendra dalam sebuah pidatonya mengemu- kakan bagian yang penting ini: Sebenarnya syarat menjadi anggota Partai Bulan Bintang (PBB) adalah laki-laki dan perempuan, warga negara Indonesia, berumur 17 tahun atau pernah me- nikah, dengan demikian tidak ada persyaratan bahwa untuk menjadi anggota Partai ini harus beragama Is- lam.98 Mereka yang bukan beragama Islam tetapi se- tuju dengan dasar perjuangan dan cita-cita Partai ini dipersilakan menjadi anggota, insya Allah Partai Bulan Bintang merupakan Partai Islam yang berprin- sip ummathan wasathan, umat yang pertengahan. Partai ini bersifat moderat dalam berpolitik dan mem- buka pintu yang seluas-luasnya untuk bekerja sama dengan golongan-golongan, kekuatan-kekuatan, serta komponen bangsa yang lain.99 Pernyataan Ketua Umum PBB, memberikan penjelasan secara pendekatan teologis, bahwa sifat Islam yang rahmathan lil’alamin itu pada dasarnya adalah membawa makna kebaikan bagi semua umat manusia, tanpa memilih dan memilah perbedaan serta latar belakang manusia itu. Sedangkan konsep umathan wasathan, yang berarti “pertengahan”, adalah memberikan semangat serta makna keseimbangan, keadilan dalam menempatkan jarak sosial maupun politik. Dus, penggunaan identitas, simbol, asas, bukan-

98 Yusril Ihza Mahendra mengajak dengan membuka wacana mengenai sebuah kepartaian, di negara-negara lain,di Jerman ada Partai Kristen Demokrat yang berulang kali memerintah negara Jerman, dan juga dari kalangan Muslimin Jerman menjadi anggota Partai Kristen Demokratik. Demikian pula bahwa Partai Bulan Bintang ini menerima anggota yang bukan Islam, selama mereka setuju dan mereka sepakat menerima Dasar dan Tujuan Partai Bulan Bintang, lihat Ramlan Mardjoened, Pendidikan Politik Membangun Demokrasi di Era Reformasi, Jakarta, DPP PBB, tth, hlm. 4. 99 Dikutip dari pidato Ketua Umum Partai Bulan Bintang Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra S.H., M.A, dalam acara Deklarasi Partai, 26 Juli 1998. Lihat juga dalam Anggaran Rumah Tangga Partai Bulan Bintang mengenai Bab I (Keanggotaan), Pasal 1 mengenai persyaratan keanggotaan, Hasil Muktamar Partai Bulan Bintang, Jakarta, DPP PBB, 2000, hlm. 33 PERJALANAN HIDUP 49

lah menjadi ukuran sebuah Partai itu “inklusif atau eksklusif”,100 mengenai bahwa Partai ini banyak mengambil inspirasi dari Partai Masyumi di masa lalu, dikatakannya sebagai berikut: …memang benar Partai ini mengambil banyak aspirasi dari Masyumi dan kemudian belajar dari pengalaman- pengalaman Masyumi. Masyumi lahir dari ide besar yakni Islamic Modernization…Selama dua belas tahun Pak Natsir saya anggap sebagai mentor politik, dan dari beliaulah saya mengenal para pemikir Islam.101 Sikap demokratis itu dibuktikan dalam lingkungan organisasi Partai ini, saudara ketua umum sangat memberikan kepercayaan kepada rekan pucuk pimpinan PBB, sedangkan ia lebih berkonsentrasi di pemerintahan sebagai menteri; dan terhadap keputusan DPP, ia konsisten.102 Hal lain berhubungan dengan sifat Partai yang terbuka kepada siapa pun, ini dibuktikannya dalam suatu kampanye di daerah Manado103 Sulawesi Utara. Walikota Manado pada saat itu minta

100Yusril Ihza Mahendra mengakui secara jujur bahwa ia sendiri banyak belajar dari Mohammad Natsir di tahun 1978, ketika para tokoh Masyumi mendirikan sebuah lembaga Islam untuk penelitian dan pengembangan yang kemudian lebih dikenal dengan LIPPM, Yusril Ihza aktif di sini yang memungkinkannya dapat saling bertukar pikiran dengan tokoh Masyumi itu, ketika Yusril Ihza Mahendra menghadiri pertemuan ke Masjid Al-Furqon di kawasan Kramat Raya, Jakarta Pusat yang di masa lalu merupakan Kantor resmi dari Pimpinan Pusat Partai Masyumi. Pada waktu ia memberikan sambutannya, ia mengatakan: “Saya akan melanjutkan apa yang telah dilakukan bapak-bapak kita (maksudnya para tokoh Masyumi terdahulu). Saya tidak membawa orang-orang saya dalam departemen saya (maksudnya departemen yang dipimpinnya), ini setelah dilantik di istana, langsung ia ke Masjid Al-Furqon. Betapapun dalam rapat Partai memutuskan untuk mengambil staf ahli dari kalangan Partai namun keinginan Partai sampai kini tidak direalisir karena konsistensi dia. Wawancara dengan Ramlan Mardjoened, seorang pengurusi DPP PBB dan aktivis DDII Jabatan di mana Masjid Al-Furqon berada. 101Tempo, 9 November 1998. 102Menurut Ramlan Mardjoened, dalam perkembangan politik dewasa ini ada empat Partai yang ingin bergabung ke PBB yaitu Partai Masyumi, Partai KAMI, Partai Persatuan, Partai Sarikat Islam 1905, sedangkan PNU, PKU dan PUI baru mendekati. Pertimbangan Partai-partai ini dikarenakan PBB konsisten memperjuangkan Islam serta melihat pribadi anggota PBB di parlemen yang lurus tanpa komitmen. Mengenai rencana fusi atau aliansi ini, Yusril Ihza Mahendra menyerahkan sepenuhnya kepada forum, hal ini semakin memperlihatkan perilaku kepemimpinan yang demokratis, hasil wawancara dengannya, 6 Juni 2002. 103Suatu kampanye di daerah Manado, Sulawesi Utara, pada waktu itu dihadiri Walikota yang pada saat itu dia minta diundang oleh Dewan Pimpinan Wilayah-dengan 50 YUSRIL IHZA MAHENDRA

diundang Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Sulawesi Utara, bukan sebagai Walikota, melainkan karena dia simpatik. Walikota itu berkomentar, “Selama menit pertama sampai terakhir pidato ketua umum berisi ilmu,” padahal Walikota itu tidak beragama Islam, contoh lain adalah sejumlah orang Cina Belitung yang ikut kampanye di Pontianak, Jambi, Palembang, Medan dengan memakai ikat kepala PBB, berkampanye untuk PBB karena pribadi Yusril Ihza Mahendra serta asal kelahirannya dari Belitung.104 Dalam masalah kepemimpinan, ia bersikap konsisten bahwa se- seorang itu diberi kepercayaan karena profesionalismenya, keahli- annya, serta jenjang karirnya,105 ia lebih cenderung sebagai “pemi- kir” dibanding pelaksana, dan humanities, contoh yang dapat dilihat ketika ia sebagai ketua Partai mengatakan, “PBB jika tidak menang bubar saja,” ini sebenarnya lebih menunjukkan sebagai akademisi dan negarawan bukan sebagai politisi. Ghazi Husein seorang pimpinan redaksi salah satu harian di Jakarta berkomentar: Seorang warga negara Jepang yang bernama Naka- jima berusia 70-an yang berperanan sebagai broker untuk politik, ekonomi dan sosial bagi urusan Aceh melalui komisi independen tindak kekerasan Aceh, mengatakan,

kedudukan bukan sebagai Walikota melainkan karena simpatik. Walikota itu berkomentar; “selama menit pertama sampai akhir pidato Saudara Ketua Umum berisi ilmu,” padahal Walikota itu tidak beragama Islam. Contoh yang lain adalah ada sejumlah orang Cina Belitung ikut berkampanye untuk PBB karena pribadi Yusril Ihza Mahendra serta asal kelahirannya dari Belitung. 104Wawancara dengan salah seorang aktifis Partai PBB di tingkat Pusat (Nasional) Saudara Ramlan Mardjoened, 6 Juni 2002. 105Ini nampak ketika dalam kasus Ramli Hutabarat S.H, MH, ia bukan dari Partai PBB, tetapi dari Partai Islam PPP, Yusril Ihza kenal baik dengannya, dan sama-sama mengembangkan karir sebagai dosen bidang Hukum serta praktisi Hukum. Ia dipromosikan untuk kenaikan kedudukan (di tingkat kementerian), namun itu pun tetap ditangguhkan karena persyaratan administrasi untuk mencapai kedudukan itu belum terpenuhi. Adapun pelajaran yang dapat diambil dari Bapak Mohammad Nasir adalah ketika menjadi Perdana Menteri, ia didatangi oleh anggota Masyumi dari daerah, orang itu bertanya Masyumi dapat apa? Jawab Pak Natsir, “oh kalau ini yang dituntut kepada saya, saya letakkan kedudukan ini karena saya ini sebagai Perdana Menteri Negara, bukan Perdana Menteri Masyumi. Menurut Ramlan Mardjoenet, soal ini sering disampaikan dalam tausyiah oleh K.H. Rusyad Nurdin serta keluarga besar Dewan Dakwah–Keluarga Bulan Bintang, bahwa Yusril Ihza Mahendra itu anaknya Mohammad Natsir secara”Ideologis”, bukan secara biologis. PERJALANAN HIDUP 51

“saya kenal Mohammad Natsir, dan dekat dengannya, Yusril Ihza Mahendra itu reinkarnasi Mohammad Natsir. Karena itu ia tokoh masa depan Indonesia.”106 Partai Bulan Bintang yang dipimpin Yusril Ihza Mahendra sangat konsisten dalam memperjuangkan syariat Islam agar masuk ke dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia melalui perjuangan Amandemen UUD 1945, ini dibuktikan dalam sidang tahunan dari sejak Sidang MPR tahun 1999, sampai berakhirnya pembahasan Amandemen UUD 1945, sebagai sebuah kostitusi baru di tahun 2002, bersama dengan Partai Islam lainnya yaitu PPP dan PDU.107 Namun PBB yang hanya memiliki 14 kursi (2%) bersama PPP yang memiliki kursi 70 (10%) tidak memungkinkan dan belum behasil meyakinkan anggota DPR untuk menyetujui Amandemen UUD 1945 berkaitan dengan perjuangan Piagam Jakarta atau syariat Islam, khususnya mengenai Pasal 29 ayat (1) dengan rumusan dari usulan Fraksi Partai Bulan Bintang di DPR.108 Struktur organisasi Partai Bulan Bintang meliputi Majelis Syuro, yaitu Majelis Musyawarah yang terdiri dari para sesepuh,

106Wawancara dengan Ghazi Husein, Pimpinan Redaksi harian Aceh Pos, 13 Juni 2002. 107Partai ini juga secara terencana sedang memepersiapkan perumusan hukum yang berperspektif Islam seiring dengan masalah hukum di lingkungan kementerian kehakiman yang dibawahi Yusril Ihza Mahendra. Menurut Yusril PBB di masa depan akan menjadi Partai Islam modern dalam pengertian mampu mengaktualisasikan nilai- nilai Islam dalam konteks sebuah masyarakat dan negara modern Indonesia dengan segala problematika yang dihadapi dan berbeda dengan problema negara lain. Partai ini di usia yang masih “seumur jagung” telah menghadapi berbagai masalah internal Partai termasuk tuduhan yang diarahkan kepada Saudara Ketua Umum Partai, tetapi secara perlahan dan pasti ia berhasil keluar dari tekanan, ini dilakukan melalui penjelasan dan bukti bahwa ternyata tuduhan itu tidaklah benar. Berbeda dengan pandangan Prof. Dr. Ismail Suny yang mengemukakan perjuangan mengangkat Piagam Jakarta untuk dibahas dalam Amandemen UUD 45 sebenarnya hanya masalah taktis saja, saat ini tidak tepat sebab bila anggota parlemen dari Partai Islam dikumpulkan, juga belum dapat mencapai kemenangan, kecuali dalam pemilu mendatang akan ada perubahan, ini dapat dibicarakan lagi. Mengenai Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra, kedua tokoh itu memang dapat mewarisi Masyumi, tetapi banyak yang menyesal terhadap Partai terbuka yang didirikan Amien Rais. Wawancara dengannya, 7 Juli 2002. 108 Isu berupa tuduhan bahwa ia diberi rumah oleh Soeharto (mantan Presiden RI), tetapi ini semua telah dijelaskan Yusril Ihza yang berhasil meyakinkan masyarakat mengenai ketidakbenaran fitnah tersebut, lihat Tabloid Abadi, No. 28, Tahun I, 20-26 Mei 1999. Lihat juga Kawiyan, Membangun Indonesia yang Demokratis dan Berkeadilan, Globalpublika, Jakarta, 2001, hlm. 20. 52 YUSRIL IHZA MAHENDRA

para ulama dan cendekiawan; kemudian Dewan Pimpinan Pusat, yang terdiri dari Ketua Umum, Wakil Ketua Umum, Ketua-Ketua, Sekretaris Jenderal dan Wakil-wakilnya, Bendahara Umum dan Wakil-Wakilnya, Departemen, Seksi dan Badan Otonom. Susunan personalia Dewan Pimpinan Pusat Partai Bulan Bintang periode 2000-20005 adalah berdasarkan hasil muktamar I Partai Bulan Bintang yang diselenggarakan pada bulan Mei 2000. Yusril Ihza Mahendra terpilih sebagai Ketua Umum Partai dengan didam- pingi 3 Wakil Ketua umum, 10 para Ketua, Sekretaris Jenderal dengan 10 para Wakil Sekretaris jenderal, dilengkapi dengan Sesepuh dalam Majelis Syuro, ahli Pleno, dan 20 Departemen- Departemen.109 Kemudian struktur Dewan Pimpinan Pusat dilengkapi sejumlah Badan Khusus dan Badan Otonom,110 ada tiga Badan Khusus, yaitu Bulan Sabit Merah, KAPPU dan Lit- bang; dan juga tiga Badan Otonom, yaitu Muslimat Bulan Bin- tang, Pemuda Bulan Bintang serta Brigade Hizbullah. Suatu organisasi politik tentu juga memiliki asas, tujuan, visi dan misi dari suatu yang akan diperjuangkannya serta sebagai landasan dan arah ke depan mengenai apa yang akan menjadi cita-cita politik Partai itu. Anggaran Dasar Partai Bulan Bintang ini dimulai dengan Muqaddimah dan berlanjut dengan petikan ayat dari Alquran mengenai hakikat manusia diciptakan dan hidup di muka bumi ini, mengenai Asas dan tujuan Partai dijelaskan sebagai berikut:

109Mereka yang memegang kedudukan di Jabatan DPP PBB diantaranya: K.H. Rusyad Nurdin, Prof. H. Anton Timur Djaelani (sesepuh), H. Mohammad Soleiman dan K.H. Syachrodji Bisri (Majelis Syuro), Ahmad Sumargono, S.E, Sahar El Hasan (Wakil Ketua), DR. Rifyal Ka’bah, Hamdan Zoelva SH (Ketua-wakil), MS. Kaban, S.E, Ramlan Mardjoened (Sekretaris dan wakil sekretaris jenderal), Bahrudin Tjahjo (Bendahara), Ida M. Natsir, Darmansyah Husein (anggota Pleno) Mengenai susunan pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Bulan Bintang dapat dilihat dalam bagian lampiran, berdasarkan Surat Keputusan (SK) PP/001/2000, dalam Hasil Muktamar I Partai Bulan Bintang, Jakarta, DPP PBB, 2000, hlm.131. 110Badan Khusus adalah kelembagaan khusus yang mempunyai hierarki struktur secara nasional, menangani suatu program strategis yang bersifat monumental dan bertanggung jawab langsung kepada Ketua Umum/Ketua, sedangkan Badan otonom adalah kelembagaan mandiri yang dibentuk dan bertanggung jawab pada musyawarah yang diatur oleh pedoman Dasar dan Rumah Tangga yang tidak berteentangan dengan AD /ART Partai, lihat Hasil Muktamar I, Ibid, hlm. 42 dan 43. PERJALANAN HIDUP 53

Pasal 3, Partai ini berasaskan Islam; Pasal 4 Tujuan: (1) Tujuan umum didirikan Partai adalah; (a) mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945; (b) Mengembangkan kehidupan demokrasi dengan menjun- jung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tujuan Khusus didirikannya Partai ini adalah untuk mewujudkan masyarakat yang beriman, bertakwa, adil dan makmur yang diridhoi Allah Swt.111 Islam, cita-cita nasional, demokrasi, merupakan landasan sekaligus format yang akan dibangun Partai Bulan Bintang untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sebenarnya.112 Mengenai Visi dan Misi Partai, ini diatur dalam Program Umum Perjuangan Partai yang penjelasannya sebagai berikut: Visi Partai: Terwujudnya Kehidupan Masyarakat Indonesia yang Islami. Misi Partai: Membangun masyarakat dan bangsa Indonesia yang maju mandiri, berkepribadian tinggi, berkeadilan, demokratis dan turut menciptakan perdamaian dunia berdasarkan nilai-nilai Islam.113 Dengan demikian Partai Bulan Bintang menawarkan sebuah platform perjuangan yang mengombinasikan dan mengintegrasi- kan antara keislaman dan keindonesiaan. Upaya membumikan ajaran Islam dalam konteks kehidupan dalam pengertian luas, diwujudkan dengan upaya politiknya yang demikian gigih untuk memperjuangkan syariat Islam di dalam amandemen konstitusi.

111Ibid, hlm. 24-26. 112Islam tidak hanya sebagai keyakinan yang mengatur hubungan manusia dengan Pencipta, melainkan juga sebagai asas bagaimana masyarakat, bangsa dan negara itu harus dibangun guna pencapaian cita-citanya, sedangkan demokrasi itu merupakan sebuah proses yang selalu dibangun dalam melakukan dan pencapaian keinginan aspirasi, artikulasi, sosialisasi, internalisasi serta komunikasi politik, pedoman kepada petunjuk Islam yang hanief dengan prinsip syariat. Lihat Tafsir Asas Partai Bulan Bintang, Ibid, hlm. 72-79. 113Lihat Progam Umum Perjuangan Partai, Ibid, hlm. 84. 54 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Yusril Ihza Mahendra penerus semangat Masyumi Lewat Partai Bulan Bintang GERAKAN MODERNIS ISLAM 55

Gerakan Modernis Islam Lintasan333 Islam Politik di Indonesia (1900-1965)

ASAL-USUL, DEFINISI DAN ALIRAN PEMIKIRAN

ETIDAKNYA ada dua hal yang terkandung pada istilah ge- rakan modernisme yang berhubungan dengan agama Islam, S yaitu: kandungan pertama ialah memberikan suatu pesan atau isyarat sejarah bahwa ada suatu tuntutan serta kekuatan dari para pemikir, anggota maupun tokoh Islam di masa lalu un- tuk mengembalikan ajaran Islam yang kini telah menyebar ke berbagai pelosok dunia, di tengah keragaman budaya dan plural- isme masyarakat, khususnya pada saat umat Islam dan ajarannya mencapai puncak kemandekan atau jumud (stagnant). Ini disadari mereka agar pengamalan ajaran Islam dikembalikan kepada 56 YUSRIL IHZA MAHENDRA

kemurniannya (originality) terhadap interpretasi dan praktek ke- hidupan sehari-hari di kalangan umat. Kandungan kedua adalah, gerakan modernisasi Islam adalah suatu paham sekaligus metode yang memberikan pencerahan bagi umat Islam mengenai adanya hubungan erat antara ruh ajaran agama itu dengan kemajuan atau perubahan (modernization) peradaban manusia. Menurut pandangan pelopor gerakan Islam modernis, kemajuan maupun perubahan umat Islam hanya mungkin dan pasti diperoleh bila dasar Alquran dan Hadis dilaksanakan, diinterpretasi dan ditafsirkan dalam kehidupan manusia dengan kekuatan akal, yang dikenal dalam terminologi Islam sebagai menggunakan kemampuan nalar (ijtihad) untuk menjawab berbagai persoalan umat manusia. Ijtihad yang dilakukan terus-menerus sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman merupakan misi penting yang dilakukan pemikir, anggota dan tokoh gerakan Islam modernis, yang perkembangannya dimulai pada pertengahan abad kedelapan belas yang dipelopori oleh gerakan Wahhabi dari Jazirah Arab serta Pan- Islamisme yang datang dari wilayah Asia selatan. Pada awal abad kedua puluh di wilayah Nusantara khususnya Indonesia, gerakan ini telah menyadarkan umat Islam untuk bangkit dan ini menggem- parkan kaum penjajah, karena gerakan Islam modernis tidak hanya melakukan koreksi terhadap tata aturan dan cara memandang bahwa kegiatan keagamaan itu hanya bersifat ibadah atau ritual, melainkan juga mendorong pemerdekaan umat secara menyeluruh dari belenggu penjajahan yang telah berlangsung lama. Apa yang perlu dijelaskan di awal uraian ini memberikan gam- baran mengenai gerakan Islam modernis di wilayah Nusantara termasuk Indonesia yang tidak semata meluruskan ajaran agama Islam yang telah menyimpang, tetapi juga membawa misi pembe- basan dari kemerosotan yang dihadapi umat Islam. Dengan demi- kian gerakan modernisme Islam merupakan suatu fenomena pem- baruan keagamaan, sosial, budaya, dan politik, namun penyesuai- an-penyesuaian dalam pemikiran dan penerapan selalu memadu- kan antara Alquran, Hadis dengan kekuatan intelektualitas manusia secara harmonis. GERAKAN MODERNIS ISLAM 57

Modernisme, semula diartikan untuk aliran keagamaan yang melakukan penafsiran terhadap doktrin agama Kristen guna menyesuaikannya dengan pemikiran modern.1 Istilah ini selanjutnya digunakan sarjana orientalis dan pakar ilmu sosial

1 Modernism, artikel dalam The Encyclopedia Americana. International edition, 1979, vol. 19. Manifestasi modernisme pertama kali nampak di Inggris pada abad ke-18 yang dikenal dengan masa revolusi industri. Modernisme suatu masyarakat ialah suatu proses transformasi, suatu perubahan masyarakat dalam segala aspeknya. Ilmu pengetahuan memegang modal yang amat penting dalam memahami dan memperbaiki berfungsinya masyarakat modern. Suatu masyarakat modern dengan spesialisasi fungsi-fungsinya di semua bidang kehidupan biasanya memerlukan pendidikan dan latihan yang lama, dan tidak mungkin ada tanpa suatu sistem pendidikan yang luas. Tumbuh dan lestarinya masyarakat modern juga tergantung kepada perkembangan tertentu dalam kebudayaan, yakni terkait dengan kepercayaan sistem nilai dan norma, selain ada penghargaan yang positif terhadap perubahan di bidang kehidupan tertentu. Dalam proses modernisasi masyarakat berarti kita memilih satu gejala yang berubah bersama-sama dengan jalannya modernisasi masyarakat, lihat J.W. Scholl, “Moderni- sasi”, dalam R.G. Soekardijo (terj.), Gramedia, Jakarta, 1984, hlm 1-5. Sedang menurut Nurcholish Madjid, pengertian yang sederhana dari modernisasi adalah hampir identik dengan rasionalisasi. Modernisasi berarti proses perombakan dari pola berpikir dan tata kerja lama yang tidak rasional, kepada pola berpikir dan tata kerja baru yang rasional. Bagi seorang Muslim, dalam menetapkan penilaian tentang modernisasi ju- ga harus berorientasi kepada nilai-nilai utama Islam. Modernisasi itu suatu keharusan, malah kewajiban mutlak. Modernisasi merupakan pelaksanaan perintah dan ajaran Tuhan Yang Maha Esa, lihat Nurcholish Madjid, Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan, Bandung, Mizan, 1987, hlm.172. Sementara Yusril Ihza Mahendra yang menjelaskan modernisme dalam Islam menganggap bahwa ajaran Islam hanya mengatur hal-hal yang bersifat kemasyarakatan (muamalah) pada prinsip-prinsip yang berlaku (universal) sementara secara detil (Alquran dan Sunnah) dianggap belum mengaturnya. Karenanya kaum modernis menganggap ada peluang yang terbuka untuk menafsirkan sesuai dengan kondisi dan perkembangan masyarakat. Mereka melihat ada unsur-unsur universal yang dapat dijumpai pada semua bentuk masayarakat. Aliran modernis lebih melihat kepada hal-hal yang bersifat prinsip, misal di zaman Nabi penegakan suatu pemerintahan hanya didasarkan kepada prinsip-prinsip yang bersifat universal (keadilan, amanah, musyawarah, dan lain-lain) yang harus diterapkan bukan dalam struktur yang bersifat verbal kelembagaan, lihat Yusril Ihza Mahendra, “Modernisme dan Fundamentalisme sebagai Gejala Politik,” dalam Sabar Sitanggang at. all, (Ed.), Catatan Kritis dan Percikan Pemikiran Yusril Ihza Mahendra, Bulan Bintang, Jakarta, hlm.200. Ernest Gellner berpendapat bahwa di antara tiga agama Monoteis Yahudi, Kristen dan Islam, baginya Islam-lah yang paling dekat kepada modernitas, disebabkan karena ajarannya tentang universalisme, skripturalisme (yang mengajarkan bahwa kitab suci dapat dibaca dan dipahami oleh siapa saja, bukan monopoli kelas tertentu dalam hierarki keagamaan, mendorong tradisi baca tulis, liter- acy), egalitarianisme spiritual yang meluaskan partisipasi yang disebut participatory democracy, dan mengajarkan sistematika rasional kehidupan sosial, lihat Ernest Gellner, Muslim Society, Cambridge University Press, Cambridge, 1981, hlm 7, lihat juga dalam Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta, 1992, hlm. 468-469. 58 YUSRIL IHZA MAHENDRA

maupun kemanusiaan di Barat untuk melihat kecenderungan pemikiran yang dijumpai di wilayah lain seperti halnya di kawas- an Asia dan peradaban Timur lainnya. Kemudian mereka mene- rapkannya untuk mengamati pemikiran keagamaan yang tumbuh di kalangan masyarakat Muslim di benua Asia dan Afrika. Sebe- narnya bila kita mengkaji lebih ke belakang dari perkembangan sejarah pemikiran Islam di masa lampau, Ibnu Taimiyah (1263- 1328), seorang filosof dari Damaskus, Syiria, telah mengawalinya dengan menempatkan perhatian terhadap berbagai masalah ke- manusiaan serta sosiologisnya. Ia mengenalkan konsep ijtihad yang tetap terbuka, bahkan tidak akan pernah tertutup. Di antara pemikiran itu menyangkut masalah politik keagamaan (Assiyasah was syar’iyyah). Mengenai beberapa pokok pandangan Ibnu Taimiyah dapat dikemukakan bahwa kunci untuk memahami Islam adalah melalui Alquran dan Sunah Rasul, kemudian ijtihad sebagai upaya memahami Islam dari sumbernya secara langsung. Dalam diskursus teoretik mengenai istilah modernisme, para penulis tidak hanya memiliki perbedaan dalam menggunakan is- tilah, melainkan juga istilah yang sama sering pula didefinisikan dengan maksud yang berbeda. Istilah “modernisme” sering juga diganti dengan istilah-istilah seperti”reformism,” “reawakening,” renaissance dan renewal.”2 Kaum modernis yang berbahasa Arab dan Urdu lebih suka memakai istilah “tajdid”, ishlah atau salaf” untuk menyebut diri mereka sendiri. Namun kelompok lain dari kalangan umat Islam yang kurang simpati dengan kaum modernis menyebut mereka “al-muslim al–mugharrah (Muslim yang “terbaratkan”) atau golongan “ghazwul fikri” (pemikiran yang se- sat). Kaum modernis di Indonesia dan Malaysia pada umumnya menggunakan dua istilah yaitu “kaum muda” dan “kaum pembaru.” Kedua istilah ini digunakan dalam konteks reaksi terhadap paham “kaum tua” atau “kaum kolot”, yaitu paham kaum tradisional.3

2 Haris Dekmejian, Islam in Revolution: Fundamentalism in the Arabs World, Syiracus, Syiracus University Press, 1982, hlm. 95. 3 Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, Jakarta, Uminda Press, 1982, hlm. 95. GERAKAN MODERNIS ISLAM 59

Sedangkan yang dimaksud gerakan modernisme Islam ialah me- reka yang mempunyai organisasi yang lebih teratur yaitu ke- pemimpinan yang tidak bersifat personal (pribadi) dan diperoleh melalui seleksi yang lebih bersifat lugas.4 Kata harakhah (gerakan) menurut etimologi bahasa Arab diambil dari akar kata attaharuk yang artinya bergerak. Istilah tersebut berarti kelompok orang atau suatu gerakan yang mempunyai suatu target tertentu dan mereka berusaha bergerak serta berupaya untuk mencapainya.5 Aktivitas gerakan dapat dilakukan oleh individu atau dapat pula dijadikan sebagai bentuk aktifitas yang bersifat jamaah, yaitu sekumpulan orang atau kelompok yang mempunyai pemimpin dan memiliki metode, strategi dan cara dakwah tertentu.6 Modernisme sebagai aliran pemikiran keagamaan melakukan penafsiran terhadap doktrin agama sehingga tidak bertentangan dengan spirit zaman, khususnya yang terdapat dan dijumpai da- lam masyarakat lain yang lebih maju.7 Modernisme menekankan suatu upaya “purifikasi agama” serta “kemerdekaan berpikir.” Selain itu modernisme merupakan paham yang bertujuan untuk memurnikan Islam dengan cara membangun umat Islam untuk kembali kepada Alquran dan Sunnah yang shahih.8 Modernisme juga suatu upaya dari tokoh, pakar, ahli-ahli Muslim untuk me- lakukan harmonisasi antara agama dengan apa yang dirasakan sebagai pengaruh modernisasi dari Barat serta westernisasi terhadap dunia Islam. Dalam konteks kebudayaan, ini dilakukan oleh mereka dengan menafsirkan dari dasar-dasar doktrin agar selaras dengan semangat zaman.9 Bassam Tibi memusatkan

4 Deliar Noer, Membincangkan Tokoh-tokoh Bangsa, Bandung, Mizan, 2001, hlm. 22. 5 M.Fachry, Multi Partai Menuju Kehidupan Islam, Jakarta, Taghyir Press, 2002, hlm. 4. 6 Dalam soal aktifitas gerakan individu misalnya seperti Jamaluddin Al-Afgani, sedangkan dalam bentuk kelompok, jamaah aktivitas yang dilakukan oleh suatu perkumpulan atau perserikatan atau organisasi seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir, Jamaah Tabligh di Pakistan, Organisasi Muhammadiyah di Indonesia. Gerakan inipun ada yang bersifat sosial atau politik atau kombinasi dari keduanya. 7 H.E. Chehabi, Iranian Politics and Islamic Modernism;The Liberation Movement of Iran under Shah and Khomeini, London, I.B. Touris and Co. Ltd, 1989, hlm. 26. 8 A.Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Jakarta, Rajawali Press, 1988. 9 Fazlur Rahman, Islam and Modernity: an Intellectual Transformation, Chicago, The University of Chicago Press, 1988, hlm. 215-216. 60 YUSRIL IHZA MAHENDRA

perhatiannya pada bidang modernisasi sebagai “akulturasi bu- daya.” Tibi melihat bahwa kaum modernis merupakan kelompok orang-orang yang melakukan integrasi ilmu serta teknologi mod- ern ke dalam Islam, namun berusaha menghindari berbagai kon- sekuensi negatif terhadap penerapannya, karena itu kaum mo- dernis melakukan sintesis antara prinsip-prinsip keruhanian dan moral Islam dengan sains dan teknologi, untuk mengelakkan aki- bat negatif itu.10 Hamilton Gibb berpendapat bahwa modernisme Islam yang telah dikenal luas dalam kajian terdahulu menurutnya lebih menitikberatkan kepada ciri apologetic, ciri ini ditandai de- ngan sikap pembelaan terhadap Islam dari beraneka tantangan yang muncul dari kalangan kolonial maupun misionaris Kristen. Apologia, menurutnya dilakukan sebagai usaha untuk memperli- hatkan “keunggulan” Islam terhadap peradaban Barat.11 Wilfred C. Smith nampaknya sependapat dengan pandangan Gibb di atas, namun ia lebih mengemukakan ciri “romantisme,” menurutnya, ini dapat dilihat dari cara mengemukakan zaman kegemilangan peradaban Islam masa lampau. Dalih apologetik yang sering dike- mukakan kaum modernis adalah, kemunduran Islam bukan dise- babkan kesalahan doktrin agama itu melainkan kesalahan pada penganutnya dan puncak kesalahan itu karena kaum Muslimin sendiri telah meninggalkan agamanya.12 Fazlur Rahman, Deliar Noer dan Mukti Ali melihat karakteristik menonjol dari modernis Islam pada keharusan ijtihad. Khususnya dalam masalah kema- syarakatan (muamalah) serta penolakannya terhadap sikap kebekuan (jumud) atau mengikuti sesuatu tanpa pengetahuan (taklid).13 Berbeda dengan ketiga orang itu, Ahmad Hassan menu- lis bahwa modernisme adalah aliran pemikiran keagamaan yang

10 Bassam Tibi, Technological Age, Salt Lake City, The University of Utah Press, 1988, hlm. 143. 11 Hamilton A.R..Gibb, Modern Trends in Islam, Chicago, The Chicago University Press, 1977, hlm. 68. 12 Wilfred C. Smith, Modern Islam in India: A Social Analysis, New York, Russel and Russel, 1946, hlm. 12. 13 Fazlur Rahaman, Ibid. hlm. 164. Lihat juga Deliar Noer, Gerakan Modernis Islam di Indonesia 1900- 1942, Jakarta, LP3ES, 1980, hlm. 7. Lihat juga A. Mukti Ali, Ibid. hlm. 259. GERAKAN MODERNIS ISLAM 61

memakai pendekatan rasional untuk menafsirkan Islam dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan zaman, ini berarti penekanan lebih kepada kemampuan ajaran Islam di tengah masyarakat untuk beradaptasi secara benar.14 Nurcholish Madjid berpandangan bahwa kaum modernis me- mandang Islam sebagai “jalan tengah” dari kecenderungan eks- trem yang terdapat dalam agama-agama dan paham lain. Alquran sendiri, menurut penafsiran kaum modernis, telah menegaskan bahwa kaum Muslim merupakan umat pertengahan (umathan an –wasathan) dan umat terbaik (khayr-u ummah) yang ditonjolkan oleh Tuhan di hadapan umat yang lain. Berdasarkan “jalan tengah” dan “umat terbaik” itulah modernisme memandang doktrin yang khususnya bidang muamalah bersifat terbuka. Mereka berpegang pada salah satu hadis Nabi yang mengibaratkan kebijaksanaan (hikmah) sebagai “harta kekayaan orang beriman yang hilang” sehingga di mana pun kaum Muslim menemukan hikmah itu, mereka berhak untuk mengambilnya. Inilah yang mendorong kaum modernis agar senantiasa bersikap terbuka dan beradaptasi dengan berbagai penemuan, sistem, metode atau apa saja yang berasal dari khasanah peradaban lain sepanjang itu semua membawa manfaat terhadap kehidupan keduniaan mereka. 15 Binder maupun Ahmad Hassan menambahkan satu lagi ciri modernisme yaitu penafsirannya terhadap konsep konsensus (ijma). Ijma merupakan bagian penerapan hukum Islam setelah Alquran dan hadis, di samping itu ada analog (qiyas), dan hal- hal yang bersifat kepentingan umum (mashalih mursalah). Kon- sensus para sahabat Nabi, ahli fikih (fuqoha) maupun kesepa- katan dengan suara bulat untuk menetapkan status hukum suatu persoalan yang tidak jelas ketentuannya dalam teks syariah, se- cara tradisional dipahami sebagai ijma. Kaum modernis menurut kedua sarjana tadi, menafsirkan ijma sebagai “konsensus

14 Ahmad Hassan, The Doctrine of Ijma in Islam, Islamabad, Islamic Research Institute, 1976, hlm. 226-227. 15 Nurcholish Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban, Jakarta, Yayasan wakaf Paramadina, 1992, hlm. 197. 62 YUSRIL IHZA MAHENDRA

mayoritas kaum Muslim”, atau wakil-wakil mereka pada satu tempat dan masa tertentu dalam menerapkan dasar-dasar doktrin di bidang muamalah. Binder menyebutnya sebagai ijma modernisme sedangkan Mohammad Iqbal dan Ali Jinah menyebut sebagai konsep “demokrasi Islam”. 16 Kaum modernis menunjukkan toleransinya yang lebih besar untuk membolehkan institusi-institusi sekuler (secular institution) bergerak dengan kebebasan yang lebih besar dari ketentuan- ketentuan kecil dalam ajaran agama yang menghalanginya asal saja tidak ada ketentuan agama yang jelas-jelas melarang atau mengu- tuknya.17 Khusus di bidang doktrin sosial, alasan tentang mo- dernisasi dan manfaat abadi ajaran dan hukum Islam ditekankan lebih kuat.18 Masalah ini pada awalnya menarik minat kajian orientalis, tokoh-tokoh besar kalangan ini seperti H.A.R. Gibb, Wil- fred C. Smith, Charles C. Adams, Gustave E. von Grunebaum dan Ignaz Golziher berpandangan bahwa modernisasi dan westernisasi yang terjadi dalam masyarakat Muslim dikenalkan melalui kolonialisme dan imperialisme. Pada sisi lain, pelopor modernisme di dunia Islam, seperti Sayyid Jamal Al-Din Al Afghani, Syekh Muhammad Abduh dan Sayyid Ahmad Khan merupakan tokoh- tokoh Muslim yang pernah menimba ilmu pengetahuan baik secara langsung atau tidak dari sumber-sumber Barat. Pemahaman mereka terhadap falsafah, teori politik, sains dan teknologi Barat menyadarkan mereka bahwa masyarakat Muslim pada umumnya tertinggal bila dibandingkan masyarakat di Barat, apalagi penghujung abad kesembilan belas sebagian besar kawasan dunia Islam jatuh ke tangan kolonialisme dan imperialisme Barat yang datang dari benua Eropa, seperti Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Portugis dan Italia. Oleh karena itu, pelopor-pelopor modernisme berusaha untuk memodernisasikan masyarakat mereka

16 Leonard Binder, Religion and Politics in Pakistan, Barkeley and Los Angeles, The University of California Press, 1961, hlm. 69. Lihat juga Ahmad Hassan, Ibid, Islamabad, Islamic Research Institute, 1976, hlm. 197. 17 Cliffor Gertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta, Pustaka Jaya, 1989, hlm. 208. 18 Ibid, hlm. 216. GERAKAN MODERNIS ISLAM 63

melalui berbagai cara, antara lain dengan melakukan pembaruan pemahaman terhadap doktrin, pembaruan sosial, dan pendidikan, serta memperbarui cara-cara perjuangan politik untuk membebaskan diri dari kekuasaan penjajah dari Eropa itu. 19 Pendapat para orientalis bahwa asal-usul modernisme adalah “reaksi” dan “apologia” terhadap modernisasi dan westernisasi sangat terasa dalam kajian-kajian ilmiah yang dilakukan sarjana- sarjana sosial dan kemanusiaan pada akhir-akhir ini. Sarjana yang dapat digolongkan dalam kelompok itu adalah Hamid Srour, Leonard Binder, Nikki R. Keddie, John Esposito, Edward Morti- mer dan Harun Nasution. Hamid Srour menganalisis asal-usul modernisme Islam dengan menggunakan kerangka teori kebuda- yaan dari Arnold Toynbee, yaitu konsep “zeolot” dan “herodion.” Zeolot adalah sikap yang bertitik tolak dari keyakinan bahwa cara terbaik untuk menghadapi tantangan dari luar, dalam hal ini ka- um penjajah, adalah dengan memperkuat kekuasaan yang sudah dimiliki untuk melawan tantangan yang datang dari luar itu. Herodian, adalah sebaliknya, cara terbaik untuk melawan tan- tangan yang datang dari luar, adalah menguasai rahasia kekuatan lawan dan menggunakannya untuk menghadapi mereka. Srour menafsirkan asal-usul modernisme sebagai gabungan dari reaksi “zeolot” dan “herodian” itu. “Mengalahkan Barat” harus dilakukan dengan menggunakan rahasia kekuatan Barat itu sendiri, karena itu “rahasia” mereka seperti rasionalisme, sains, teknologi dan sistem organisasi harus dikuasai umat Islam.20

19 Pembahasan tentang tokoh-tokoh itu, lihat antara lain; Ellie Kedouri, Afghani and Abduh: Essays on Religious Activism, London, 1966; Muhammad el Bahy, al fikr al- Islami al-hadits wa silatuhu bi al-istimar al gharbi, Kaherak t.t; Jim Blijon, Religious Reform of Sayyid Ahmad Khan, Lahore, Sh. Muhammad Ashraf; 1952; Nikki R. Keddie, Islamic Response to Imperialism, Barkeley and Los Angeles,The University of Califor- nia Press, 1986; juga Sayyid Jamal Al-Din al-Afghani, Barkeley and Los Angeles, Uni- versity of California Press, 1972. 20 Hamid Srour, Diet Staat-und Geselschats Theorie bei Sayed Gamal al-Din al Afghani, Brisgau, 1977, hlm. 18; Nikkie R. Keddie, “Ideology, Society and the State in Past Colonial Muslim Societies” dalam Fred Holliday dan Hamzah Allavi (Ed), State and Ideology in Middleeast Pakistan, London, 1980, hlm. 127; Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam, hlm. 11-14; Edward Mortimer, Fit and Power: the Politics of Islam, Lon- don, Faber and Faber, 1982,bab 4. 64 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Kalangan yang bukan orientalis seperti Deliar Noer dan Che- habi tidak melihat modernisme sebagai gabungan zeolot dan herodian, melainkan Herodian semata. Zeolot, menurut Chenabi, melakukan fundamentalisme, bukan modernisme.21 Deliar Noer menafsirkan bahwa apa yang diambil dari Barat, dan juga dari misionaris Kristen hanyalah metode-metode, sedangkan jiwa dan semangat berasal dari Islam itu sendiri. Modernisme lahir karena tokoh-tokoh yang mempeloporinya percaya bahwa ajaran Islam adalah abadi dan universal, oleh karena itu kapanpun ia senan- tiasa modern, dan persoalan keduniaan yang diajarkan Islam adalah elastis dan fleksibel. Keyakinan inilah yang menurut De- liar Noer menjadi faktor utama munculnya modernisme, dan Deliar Noer tidak menafikan adanya faktor eksternal seperti reak- si terhadap tradisionalisme, aktivitas misionaris Kristen yang demikian gencar dan perlawanan terhadap kolonialisme.22 Robert. N. Bellah berpendapat, bahwa asal-usul modernisme Islam harus dikembalikan kepada watak doktrin Islam itu sendiri. Bagi Bellah watak doktrin Islam itu sendiri adalah “modern”, karena ia bersi- fat terbuka serta senantiasa mendorong perubahan ke arah yang progresif. Berbagai gagasan politik modern seperti demokrasi, persamaan dan pemerintahan yang bertanggung jawab dan baru dikenal pada masa modern, sebenarnya gagasan yang telah ada dalam Islam serta dipraktekkan dalam tradisi awal Islam. Karena itu gagasan kaum modernis seperti demokrasi Islam dan negara Islam, tidaklah secara implisit harus dilihat sebagai “apologia” untuk menunjukkan keunggulan Islam terhadap Barat, melain- kan pemahaman yang harus dikaitkan dengan doktrin dan tradisi awal Islam itu sendiri.23 Kajian mengenai modernisasi masyarakat Melayu di Kepu- lauan Nusantara yang dilakukan Syed Naquib al-Attas mendu- kung pandangan Bellah tersebut di atas. Masyarakat Melayu di

21 Arnold. J. Toybee, “Islam, the west, and future,“ artikel dalam bukunya Civilization on Trial, 1948, hlm. 193, 198. 22 H.E. Chehabi, Ibid. hlm. 26-27. 23 Robert.N. Bellah, “Islamic Tradition and Problem of Modernization,” dalam Robert. N. Bellah (Ed.) Beyond Belief, New York, Harper and Ror, 1976, hlm. 150-151. GERAKAN MODERNIS ISLAM 65

kawasan ini, demikian menurut al-Attas, telah memasuki alam modern semenjak kedatangan Islam. Ia menolak pendapat bebe- rapa sarjana Barat bahwa masyarakat Melayu baru mengenal modernisasi setelah mereka dijajah bangsa-bangsa Eropa. Seba- liknya kedatangan Islam ke kawasan ini, menurut al-Attas, telah mengubah “mentalitas” rakyat dari kebudayaan yang bertumpu pada seni dan mistisisme menuju kebudayaan bercorak rasional serta intelektual berdasarkan semangat ke-Esaan Tuhan (Tau- hid). Hal ini mengantarkan masyarakat Melayu-Indonesia mema- suki alam modern seperti terlihat dalam khazanah bahasa, pemikiran, keagamaan dan intelektual serta mengubah orientasi mereka dari alam dongeng dan takhayul menuju alam kenyata- an.24 Pandangan bahwa asal-usul modernisme bersumber dari doktrin dan tradisi Islam, dianut juga oleh Hamid Enayat dan Nurcholish Madjid. Enayat melihat bahwa rasionalisme dan ke- hendak bebas (free will) sebagai salah satu ciri utama modernis- me Islam, berasal dari doktrin Islam sendiri, di samping penga- ruh dari kalangan “rasionalis” Islam Mu’tazilah pada abad kedela- pan dan kesembilan Masehi. 25 Terobosan ijtihad telah mampu membakar kembali api se- mangat pembaruan para pemikir Islam untuk merebut kembali harga diri (maruah) umat di tengah percaturan dan konflik peradaban Timur dengan Barat. Muhammad bin Abdul Wahhab, Syekh Jamalluddin Al-Afgani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho, Hassan al-Banna, Sayyid Qutb dan Muhammad Qutb, adalah para pengembang pemikiran hingga pelaksana (im- plementator) di bidang pendidikan dan aksi politik. Kepeloporan para pemikir dan tokoh di atas, yang akhirnya mampu menerobos wilayah Asia dan kemudian Indonesia ini dapat dilihat dengan berdirinya organisasi/perkumpulan atau perserikatan Islam di masa sebelum kemerdekaan yang dikenal juga sebagai masa

24 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, Bandung, Mizan, 1991. 25 Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought: The Response of the Shi’i and Sunni Muslim to the Twentieth Ceentury, London, The Mc. Million Press Ltd, 1982, hlm. 8. Lihat juga Nurcholish Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban, hlm. xxiii-xxvii. 66 YUSRIL IHZA MAHENDRA

pergerakan nasional.26 Berbagai pandangan Muhammad bin Abdul Wahhab, seorang pembaru pemahaman Islam dari Jazirah Arab, tempat berawalnya ajaran Islam yang dibawa para Rasul, mendapat dukungan sepe- nuhnya dari raja Arab Saudi. Gerakan pemikirannya merupakan kelanjutan dan penjabaran dari berbagai pandangan pokok Ibnu Taimiyah. Adapun mengenai gerakan utama dari kaum Wahhabi ini meliputi (1) membersihkan paham dan pengamalan Islam dari berbagai bid’ah dan khurafat; (2) menentang pengkeramatan dan pengkultusan Nabi Muhammad Saw, pengkeramatan kuburan dan menentang gelar “wali” terhadap para ulama.27 Ini terjadi pada pertengahan abad kedelapan belas, di mana munculnya ge- rakan pembaruan (modernization) Islam di Jazirah Arab dipimpin oleh golongan Wahhabi. Pada dasarnya golongan ini ingin mengembalikan kemurnian ajaran agama Islam terutama masalah Tauhid, selain itu mereka juga menyerukan jihad kepada kaum kafir (kolonial). Mereka ber- mazhab Sunni dari pengikut mazhab Hambali versi Ibnu Taimi- yah. Nama “Wahhabiyah” diberikan lawan-lawannya yang kemu- dian dipakai orang-orang Eropa, sementara pendirinya sendiri menamakannya “Muwahiddin” (Unitarian, pengikut Tauhid) dan sistemnya adalah “Muhammadan” (isyarat yang dapat ditunjuk- kan kepada pendirinya sendiri maupun Nabi Muhammad Saw). Gerakan ini mendapat dukungan dari keluarga Saud yang memi- liki ambisi menduduki tahta dengan cara menaklukkan negeri- negeri di bawah khilafah, dan dalam waktu yang relatif tidak lama seluruh Jazirah Arab dapat ditaklukkannya dengan mem- bangun kerajaan yang sekarang dikenal dengan sebutan Arab Saudi. Maka terjadilah pembagian peranan, di mana peranan dan kewenangan politik berada pada kekuasaan Ibnu Saud, sedangkan urusan agama Islam diserahkan kepada Wahhabi. Paham ini kemudian memperluas pengaruhnya dengan melaku-

26 Abdul Munir Mulkhan, Warisan Intelektual K.H. Ahmad Dahlan dan Amal Muhammadiyah, Persatuan, Yogyakarta, 1990, hlm. 36. 27 Abdul Munir Mulkhan, Ibid. hlm. 20. GERAKAN MODERNIS ISLAM 67

kan penyebaran gerakan sampai keluar Jazirah, yaitu Afghani- stan dan Indonesia, demikan pula di India, aliran ini digerakkan oleh Sayyid Ahmad Syahid (1781-1831). Di Indonesia pengaruh- nya cukup besar, seperti yang tampak pada kaum Paderi (gerakan pemurnian ajaran Islam di wilayah Sumatera Barat yang berha- dapan dengan kaum adat) dengan tokohnya Tuanku Imam Bonjol dan kemudian wujudnya di wilayah ini lebih kepada gerakan pembaruan melalui dunia pendidikan dan sosial;28 kemudian per- serikatan Muhammadiyah yang lahir di Yogyakarta, Jawa Te- ngah, yang dipelopori K.H. Ahmad Dahlan, berhadapan dengan kalangan “Islam kolot” dan “kaum Abangan” yang dimulai di wi- layah Kauman Yogyakarta; Persis (Persatuan Islam) yang lahir di Bandung di bawah kepeloporan sang guru Ahmad Hassan serta tokoh muda asal Minangkabau, Sumatera Barat yang saat itu ia mulai dikenal sebagai Muhammad Natsir. Mengenai gerakan ini, masih ada yang lainnya yang belum dijelaskan dan akan dike- mukakan dalam pembahasan kemudian. Jamalluddin al-Afghani (1835-1897), adalah seorang perjuang dan mengupayakan pembebasan negeri-negeri Islam dari kolonialisme Eropa. Ia lahir di Asadabad Afghanistan, tetapi banyak menghabiskan waktunya di Timur Tengah. Pemikiran dan usaha yang paling menonjol adalah keberhasilannya mem- bangkitkan kesadaran sejarah dan politik dunia Islam yang pada masa itu jatuh ke dalam kemunduran dan penaklukan oleh bang- sa–bangsa dari Eropa, tidak terkecuali baik di Asia maupun di Afrika. Menurut pandangannya, kepemimpinan Islam di tengah percaturan dunia dan sejarah sebagai kunci pembuka problema, dapat diwujudkan dengan mengamalkan Islam secara murni dan dengan memberi penjelasan nilai dan kaidah Islam secara rasio- nal, bahwa umat Islam harus memegang kekuasaan politik dan melakukan kontrol sosial. Adanya kemerdekaan serta meng- gunakan kemerdekaan rasional adalah bagian terpenting dari teori sosial, politik dan kepemimpinan Jamaluddin al-Afghani.29

28 M. Fachry, Multi Partai dalam Kehidupan Islam, Taghyir, Jakarta, 2002, hlm. 45. 29 Abdul Munir Mulkhan, Warisan…, Ibid,. hlm. 39-40. 68 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Pada akhir abad kesembilan belas sampai awal abad kedua puluh itu Pan-Islamisme tampil, dan al-Afghani yang disebut pula al- Irani di dalam menyebarkan ide-idenya selalu berpindah-pindah dari Iran, Afghanistan, India, Hijaz, Mesir, Turki, Perancis, Ing- gris dan Rusia. Afghani dan muridnya Muhammad Abduh berusaha mendekatkan peradaban Barat dengan Islam dengan cara menampilkan nash-nash syara dengan peradaban serta perundang-undangan Barat. Abduh sendiri mengajarkan buku peradaban Barat karya dari Francois Jizo di Al-Azhar.30 Afghani tidak dapat mencurahkan seluruh energi intelektualnya untuk pembaruan pemikiran Islam, karena tenaganya begitu terpecah untuk melawan imperialisme sebagai musuh ekstrem serta melawan kejumudan di kalangan umat yang sedang mengalami kemerosotan dikarenakan adanya penyimpangan-penyimpangan yang mengakibatkan umat hampir “pikun” secara intelektual. Gagasan-gagasan serta terobosan pemikiran Afghani ini kemu- dian dirumuskan muridnya Syekh Muhammad Abduh secara sistematis, dan untuk perkembangan Islam modernis di Indone- sia, maka rumusan-rumusan pemikiran Abduh inilah yang banyak berpengaruh, sekalipun yang berhasil dituangkan belum tentu selalu bersifat utuh. Pengaruh lebih dominan dari pikiran Abduh yang sifatnya nonmazhab serta semangat kembali ke sumber Is- lam yang paling otentik, “kembali kepada Alquran dan Sunnah Rasul” dalam bentuk gagasan-gagasan dan teori pemikiran yang tajam dan utuh tidak sekedar pemamah, tampaknya masih perlu digalakkan di Indonesia.31 Syekh Muhammad Abduh, berbeda dengan gurunya, ia menyu- sun teori aktualisasi dan realisasi Islam, bukan dengan terlebih dahulu merebut kekuasaan politik dan melakukan kontrol sosial. Pandangannya adalah bahwa untuk melaksanakan konsep, hal pertama yang harus dilakukan dunia Islam adalah dengan menya- darkan kembali kepada kemampuan dan kebebasan pemikiran

30 M. Fachry, Ibid, hlm. 46. 31 Ahmad Syafi’i Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung, Mizan, 1995, hlm. 117. GERAKAN MODERNIS ISLAM 69

rasional manusia. Dengan membangkitkan semangat berpikir melalui pendidikan dengan mengembangkan semangat ijtihad sebagaimana penerobosan Ibnu Taimiyah,32 berarti sikap kebe- kuan berpikir dengan menganggap pintu ijtihad telah tertutup dan mentalitas yang bersifat fatalisme atau paham yang menye- rah kepada keadaan harus dibuang jauh-jauh dari pola pikir setiap Muslim. Pernyataannya bahwa “al-Islamu mahjuubun bil muslimien” yang identik dengan kecemerlangan sebutannya, me- rupakan konsep filosofisnya tentang perlunya peningkatan kemampuan pemikiran rasional manusia dalam suasana merdeka dan bebas-kreatif untuk memperoleh hidayah dan memahami nilai-nilai ajaran Islam. Karya Muhammad Abduh yang terkenal, Risalah Tauhid, berbicara antara lain mengenai semangat ber- pendidikan, pemikiran rasional, bebas dan ijtihad, yang di kemudian hari kecenderungan tulisan Abduh adalah menyajikan nilai-nilai Islam dalam suatu bahasan filosofis agar dapat memasuki kawasan percaturan pemikiran modern yang bersifat intelektual.33 Gerakan Islam modern yang mulai berpengaruh dan dikenal di Indonesia dan kemudian merambah ke masyarakat, pada awal- nya dibawa oleh para ulama serta pelajar yang pulang dari tanah suci serta negeri Timur Tengah. Sejak itu mulai berdirilah per- kumpulan-perkumpulan atau perserikatan maupun organisasi, awalnya masih dalam bentuk kumpulan pengajian kecil (small group) atau disebut pula halaqah-halaqah yang lambat-laun ber- kembang dalam bentuk organisasi yang modern. Orientasi yang dikembangkan kalangan Islam modern ini awalnya lebih bersifat dakwah dan pendidikan dengan membuka sekolah-sekolah yang memadukan ilmu pengetahuan dunia dengan ajaran agama. Per- tumbuhannya yang pesat yang disertai oleh tuntutan dan tantang- an, terutama dari kaum penjajah yang membawa misi Kristen, pemurtadan serta penguasaan politik dengan penindasan melalui penjajahan itu, membuat gerakan modern Islam kemudian

32 Abdul Munir Mulkhan, Warisan…, Ibid, hlm. 40. 33 Ibid, hlm. 41. 70 YUSRIL IHZA MAHENDRA

mengembangkan misi pembaruannya pada wilayah sosial, politik serta perlawanan ideologis terhadap kolonial. Perserikatan-per- serikatan Islam modern pada awalnya secara semarak tumbuh di Sumatera Barat dan Jawa, dan kemudian baru berkembang ke pulau-pulau lain di Nusantara termasuk ke Semenanjung Malaysia.34 Islam di Indonesia telah berubah, bahwa di hampir setiap desa dan kota khususnya di Jawa terdapat satu kelompok pengajian, sering kali tinggal di tempat yang terpisah, umumnya terdiri dari pedagang kecil dan petani yang agak kaya yang tidak lagi meng- anggap Islam sebagai ilmu mistik, melainkan suatu agama yang unik, eksklusifis dan universalis. Agama ini menuntut pengikut- nya penyerahan total kepada Tuhan yang satu dan mengabdi pada perjuangan abadi melawan mereka yang tiada percaya.35 Di tanah

34 Di Indonesia tumbuhnya gerakan modernisme Islam secara demikian penuh semangat dilatarbelakangi oleh tiga macam tantangan: pertama, kekuatan kolonial Belanda; kedua, penetrasi agama Kristen; ketiga, perjuangan ke arah kemajuan, umumnya di kalangan bangsa-bangsa Asia lainnya. Pembaruan atau modernisasi Islam ditandai dengan, pertama, golongan ini berpendapat bahwa ajaran-ajaran harus dikembalikan kepada Alquran dan Hadis; ini merupakan sumber pokok dari pemikiran dan cita-cita mereka. Pintu ijtihad masih terbuka untuk selama-lamanya dan menolak taklid. Is- lam mempunyai sifat-sifat yang tidak menjadi usang karena berlalunya zaman dan tidak asing dengan perbedaan tempat, dengan kata lain Islam mempunyai sifat-sifat yang terus modern; kedua, ijtihad golongan modernis memberi penghormatan kepada pendapat dan bukan kepada orang; ketiga, pembicaraan-pembicaraan mengenai Is- lam tidak lagi terbatas kepada lembaga-lembaga tertentu seperti pesantren, surau, masjid, melainkan meluas hingga ruangan film-cinema dan tanah lapang. Melalui organisasi-organisasi, golongan Islam modernis merupakan kekuatan sosial terorganisir yang bergerak dalam skala nasional, bukan lagi skala lokal; keempat, golongan modernis sangat membuka diri untuk menjadikan organisasi-organisasi dan cara-cara pengajaran serta cita-cita pikiran yang dibawa kaum pendatang dan penjajah; juga cara-cara yang dipergunakan oleh misi Kristen asal tidak bertentangan dengan dasar-dasar Islam; kelima, gerakan modernis setidaknya telah berhasil untuk sebagian dalam menghambat “emansipasi” kalangan yang mendapat pendidikan Barat. Emansipasi adalah suatu istilah dari Snouck Hurgronje yang tujuannya untuk mengasingkan mereka dari ajaran Islam. Dalam usaha menghambat emansipasi ini, tokoh yang berjasa di balik kegiatan ini adalah Hadji Agus Salim, yang membimbing aktifitas Jong Islamieten Bond; keenam, awalnya kalangan modernis hanya mencurahkan perhatiannya pada agama, tetapi akhirnya perhatian diperluas ke bidang sosial dan politik. Alquran dan hadis bukan hanya sumber ajaran agama semata, melainkan juga sumber pemikiran politik dan sosial, lihat Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, Jakarta, Yayasan Risalah, 1983, hlm. 181-184. 35 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta, Pustaka jaya, 1989. GERAKAN MODERNIS ISLAM 71

Jawa misalnya, lahirlah perkumpulan modernis yang dimulai dengan berdirinya Serikat Dagang Islam (SDI) tahun1911 di Sura- karta, Jawa Tengah yang dipelopori K.H. Samanhudi. Perserikat- an ini awalnya bergerak di bidang perdagangan untuk mengang- kat martabat pedagang Muslim (pribumi) yang harus bersaing dengan etnis Cina. Serikat Dagang Islam setelah setahun kemudi- an diubah menjadi Serikat Islam atau SI (1912), tampil sebagai ketuanya ialah H.O.S. Tjokroaminoto, kemudian pada tahun 1929, organisasi ini diubah menjadi partai politik, yaitu Partai Serikat Islam Indonesia (PSII). Tjokroaminoto, seorang priyayi Jawa yang Islamis, adalah seorang demagog (ahli pidato) dan ketika itu menjadi simbol kekuatan kaum pribumi di Tanah Air. Ia seorang yang kharismatik dan kemampuan berbicaranya yang luar biasa menarik para tokoh muda pergerakan untuk menimba ilmu ke- padanya. Tjokro memiliki tiga orang murid yang kemudian tampil dengan warna ideologi yang sangat berbeda, bahkan ada yang sama sekali bertentangan, Soekarno, Kartosuwiryo dan Alimin. Soekarno seorang Muslim tetapi menempatkan dirinya menjadi tokoh nasionalis sekuler atau netral agama dengan paham Nasionalismenya. Kartosuwiryo salah seorang ketua PSII yang kelak karena berseberangan arah dengan pimpinan organisasi, maka di masa pascakemerdekaan ia menginginkan berdirinya Negara Islam dengan cara mengangkat senjata, yang dikenal dengan pemberontakan DI/TII (pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia). Alimin yang awalnya juga anggota PSII, yang kemudian dipecat karena melawan kebijakan partai, memisahkan diri darinya untuk menjadi seorang komunis dan tampil di kemudian hari sebagai salah seorang tokoh PKI (Partai Komunis Indonesia). Partai Serikat Islam Indonesia, yang per- tumbuhannya dinahkodai Tjokroaminoto (orang Jawa) dan H. Agus Salim (orang Sumatera), dalam kesejarahannya organisasi ini mengalami “pasang-surut” perjuangan dan akhirnya meng- alami penurunan pengaruh. Perserikatan Muhammadiyah lahir di Yogyakarta, sebuah daerah yang termasuk wilayah kekuasaan Mataram, sebuah 72 YUSRIL IHZA MAHENDRA

kerajaan Islam terbesar di Jawa pada masa lalu dan sampai kini pengaruh Islamnya masih kuat di kalangan kehidupan Istana, meskipun Islam yang hadir bersifat sinkretis, yaitu pencampuran Islam dengan mistik budaya Jawa. Organisasi ini berdiri pada 1912, dipelopori oleh K.H. Ahmad Dahlan, ulama yang pernah bermukim di Timur Tengah serta bergaul rapat dengan ulama modernis di tanah Minangkabau, Sumatera Barat. Organisasi ini yang pada mulanya hanya mengembangkan dakwah dan pendi- dikan Islam modern di wilayah karesidenan Surakarta, kini telah menyebar ke seluruh wilayah Nusantara. Para tokohnya menem- patkan misi organisasi ini pada bidang dakwah, pendidikan dan sosial, tetapi secara individu mereka aktif berpolitik dan berdiri di belakang perjuangan kaum modernis. Dapat disebutkan sejum- lah anggota Muhammadiyah seperti K.H. Mas Mansur, pimpinan Muhammadiyah yang kritis terhadap persoalan mengenai agama dan Nasionalisme, ia menjadi salah satu tokoh empat serangkai Indonesia di masa pendudukan Jepang di Tanah Air (1942-1945);36 K.H. Bagus Hadikusumo, salah seorang perumus UUD 1945 dan Pancasila; Prawoto, Mohammad Roem, Jarnawi Hadikusumo, yang kemudian menjadi tokoh Masyumi, sebuah partai politik Islam yang berkiprah dari masa awal kemerdekaan hingga ber- akhirnya masa Demokrasi Parlementer (1945-1959). Muhammad- iyah turut membidani lahirnya Partai Masyumi serta menjadi anggota istimewa dalam beberapa waktu. Pada masa kemerdeka- an banyak tokoh Muhammadiyah duduk di pimpinan tinggi peme- rintahan, bahkan Soekarno (Presiden RI pertama dan salah satu bapak pendiri Republik) adalah anggota organisasi ini. Kemudian Soeharto (Presiden RI kedua, tokoh pendiri Orde Baru) juga kelu- arga Muhammadiyah. Selain itu Mohammad Amien Rais (tokoh reformasi yang melengserkan Soeharto dari tampuk kekuasaan) dengan sikapnya yang kritis adalah bekas pucuk pimpinan Muhammadiyah.

36 Empat serangkai itu adalah Soekarno, Mohammad Hatta, K.H. Mas Mansur dan Ki Hajar Dewantara yang dianggap oleh pemerintah militer Jepang yang menduduki Indonesia dapat menjadi wakil rakyat Indonesia dalam memecahkan persoalan- persoalan politik dan Tanah Air Indonesia. GERAKAN MODERNIS ISLAM 73

Persatuan Islam (Persis) berdiri pada tahun 1932 di kota Ban- dung, Jawa Barat, setelah organisasi Muhamadiyah. Tokohnya Ahmad Hassan bukan berasal dari pribumi Melayu sebagaimana halnya kebanyakan tokoh modernis Islam lain pada umumnya, melainkan berasal dari India. Sedangkan muridnya, Mohammad Natsir, adalah putra pribumi Melayu yang berasal dari Minang- kabau Sumatera Barat. Mohammad Natsir sendiri, selain aktif berdakwah sejak dari masa penjajahan, masa awal kemerdekaan dan Demokrasi Parlementer (1945-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1965), hingga masa Demokrasi Pancasila yang disebut pula dengan Orde Baru (1966-1993), adalah pimpinan Masyumi, dan pernah menduduki kursi Perdana Menteri Republik Indonesia pada tahun 1950-1951. Sementara Ahmad Hassan yang menjadi gurunya sangat puritan dan fundamentalis dalam menerapkan Islam di bidang pendidikan dan dakwah, sebaliknya, Mohammad Natsir lebih konsentrasi dalam dunia politik dengan perjuangan, bagaimana menegakkan Islam dalam kehidupan bernegara. Kalangan ini menurut Geertz, cenderung menitikberatkan hubungannya dengan Tuhan dalam hal kerja keras dan penentu- an nasib sendiri. Selain itu, kelompok modernis juga cenderung memberi tekanan pada aspek instrumental agama serta sangat memperhatikan tingkah laku keagamaan, dengan rujukan umum kepada Alquran dan hadits yang ditafsirkan secara bebas, serta nampak sangat kuat dalam hal penafsiran moral dan sosialnya.37 Organisasi modern lainnya adalah Jamiat Khair yang berdiri pada tahun 1905, Al–Irsyad yang berdiri pada tahun 1913 di Jakarta, adapun yang lahir di Sumatera Barat adalah Sumatera Thawalib, yang berdiri di Padang Panjang pada tahun 1918, Permi (Persatu- an Muslimin Indonesia) yang berdiri pada tahun 1930, juga berdiri partai Politik PII (Partai Islam Indonesia), pada tahun 1938, yang diketuai DR. Sukiman. Hal ihwal mengenai organisasi dan peranan tokohnya akan dijelaskan lebih lanjut.

37 Mengenai hal ini lebih lanjut dapat dilihat dalam tulisan Clifford Geertz, Abangan, Santri,Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta, Pustaka Jaya, 1989. 74 YUSRIL IHZA MAHENDRA

GERAKAN MODERNIS ISLAM PADA MASA KOLONIAL BELANDA (1900-1942)

Sarikat Dagang Islam (SDI), Sarikat Islam (SI) dan Partai Sarikat Islam Indonesia (SII): HOS Tjokroaminoto dan Agus Salim

ARIKAT DAGANG SLAM (SDI), berdiri pada tahun 1911 di kota Solo, dipelopori K.H. Samanhudi, adalah sebuah organi- S sasi Islam yang bergerak di bidang perdagangan. Latar belakang berdirinya organisasi ini dikarenakan, pertama, adanya persaingan yang meningkat di dalam perdagangan terutama ba- tik dengan kaum Cina serta sikap “superioritas” orang-orang Cina terhadap pribumi dengan berhasilnya revolusi di Cina; kedua, dirasakan adanya tekanan dari masyarakat pribumi di Solo, yakni dari kalangan bangsawan. Tujuan Sarikat Dagang Islam bila dilihat dalam anggaran dasar adalah membantu orang Islam dan rakyat di kampung-kampung untuk dapat mencapai kesatuan pendapat agar mereka dapat bergaul dengan saudara sebangsa yang beragama Islam sehingga tidak terjadi perbedaan, saling membantu serta menjadikan negeri mereka besar. Organisasi ini sempat diskors Residen Belanda di Solo 12 Agustus 1912, namun selepas dua pekan kemudian skors itu dicabut, dan SDI pada 10 September 1912, berubah menjadi Serikat Islam (SI) dengan Tjokroaminoto terpilih sebagai ketuanya38 Perubahan nama menyebabkan perluasan aktivitas, ia tidak hanya bergerak di bidang perdagangan tetapi juga bidang dak- wah, pendidikan, sosial dan politik. Menurut Deliar Noer, organi- sasi ini adalah yang pertama yang bergerak di bidang politik. Tujuan di AD/ART (Angggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga) adalah:

38 M. Fachry, Ibid, hlm, 7. GERAKAN MODERNIS ISLAM 75

(1) Memajukan semangat dagang di kalangan bumiputera; (2) memberikan bantuan kepada para anggota perkumpulan yang mendapat kesulitan; (3) memajukan pendidikan rohani dan kepentingan mate- rial bumiputera dan juga membantu meningkatkan kedudukan bumiputera; (4) menghilangkan salah pengertian mengenai agama Islam dalam memajukan kehidupan keagamaan tersebut; (5) menempuh segala macam cara dan menggunakan semua jalan yang diperkenankan dan tidak bertentangan dengan ketenteraman umum serta adat-istiadat yang baik.39 “Gerakan politik Islam di Indonesia adalah bercorak demokrat- is antiotoriter…bila dilihat dari perspektif sejarah kontemporer Indonesia, dan dengan lahirnya Sarikat Islam, Islamlah sebenar- nya pelopor utama dalam gerakan politik yang bercorak nasion- al.”40 SI sudah sejak dini mempelopori tegaknya prinsip syura dalam organisasinya, dan melalui syura inilah pada tahun 1912, unsur-unsur Marxis diasingkan dari partai karena dipandang su- dah tidak lagi mewakili aspirasi politik Islam secara menyeluruh, apalagi Marxisme jelas-jelas membela filsafat historis mate- rialisme.Unsur-unsur Marxisme itu kemudian dikeluarkan dari SI melalui kongres. Mengenai latar belakang pendidikan H.O.S. Tjokroaminoto, beliau berpendidikan menengah dan mengambil kursus-kursus malam. Ia masuk menjadi anggota organisasi ini semata karena keberaniannya sehingga kalangan pendiri SI di Solo masa itu meminta kesediaannya untuk memimpin organisasi Sarikat Islam. Pengetahuan yang dimilikinya sangatlah bersifat praktis, tidak menjurus pada sesuatu yang mendalam; ia juga seorang demagog yang mampu memainkan perasaan maupun tingkah laku orang; pandangannya dan latar belakang kehidupannya adalah seorang anggota anak-anak wayang. Kesenangan kepada dunia wayang telah tumbuh sejak kecil hingga menjadi pimpinan SI, yang tetap di-

39 Ibid, hlm. 8. 40 Ahmad Syafi’i Maarif, Peta Bumi…, hlm. 112. 76 YUSRIL IHZA MAHENDRA

lakoninya dengan menonton wayang terus-menerus, diceritakan sejak ia masih tinggal di kota Surabaya-Jawa Timur, selalu meluangkan masa untuk datang ke kota Solo-Jawa Tengah hanya untuk menonton wayang di Taman Sriwedari. Sarikat Islam di bawah pimpinannya pada mulanya sangat ko- operatif terhadap pemerintah Belanda sampai kira-kira pada 1916, pemimpin-pemimpin SI dan terutama Tjokroaminoto sendiri me- nampakkan perjuangan yang revolusioner tetapi didasarkan kepada sikap mempercayai pemerintah penjajah. Pandangan seperti itu dapat diperkuat juga dengan duduknya pucuk pimpinan organisasi Sarikat Islam ini sebagai anggota “Dewan Rakyat” hasil bentukan pemerintah kolonial Belanda (Volksraad). Namun demikian dalam perkembangan selanjutnya pemerintah penjajah melakukan penahanan terhadap diri Tjokroaminoto pada tahun 1921-1922, dalam hubungan dengan peristiwa SI Afdeling B di daerah Garut (1919). Kepercayaan organisasi ini mulai menipis terhadap peme- rintah jajahan dan tuntutan SI hanya mungkin pulih bila Tjokroaminoto diangkat kembali sebagai anggota Dewan Rakyat mewakili organisasinya. Akibat dari sikap penentangannya itu pada tahun 1924 Serikat Islam mulai menjalankan politik nonkooperatif.41 Masa ini sebagaimana dikemukakan Kahin dalam Nationalism dan Revolution in Indonesia, Islam telah dijadikan senjata ideologis (ideo- logical weapon) untuk melakukan perlawanan terhadap kaum kolonial. Karena itu tidaklah mengherankan bilamana perkumpulan yang berbasis Islam semacam SDI (Sarikat Dagang Islam), gerakan massa pertama yang terorganisir secara politik, dianggap sebagai asal mula berdirinya Nasionalisme dan sikap yang radikal itu telah menyebabkannya harus menghadapi tantangan yang demikian kuat dari pemerintah penjajah Belanda serta kalangan priyayi, sebab bagi para priyayi gerakan nasionalis Islam itu telah menyerang kepen- tingan dan hak-hak istimewa mereka.”42

41 Ibid. 42 George Mc. Turnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia, Ithaca, N.Y: Cornell University Press, 1970, hlm. 67-68. Ini dikutip dalam Nurcholish Madjid, Is- lam dalam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung , Mizan, 1987, hlm. 84. GERAKAN MODERNIS ISLAM 77

Sarikat Islam berubah menjadi Partai Sarekat Islam (PSI) pada tahun 1923, tetapi dalam kongresnya di Madiun pada 1929, ber- ubah menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Pada tahun 1939, dalam tubuh PSII terjadi kemelut yang menimbulkan perpe- cahan anggota dalam tubuh organisasi ini, sehingga lahirlah par- tai-partai kecil seperti PSII Abukusno, PSII Kartosuwiryo, Partai Islam Indonesia (PII) pimpinan Dr. Soekiman dan Barisan Penya- dar pimpinan H. Agus Salim. Sebagaimana telah dijelaskan di awal pembicaraan mengenai organisasi ini, terhadap pemerintah Hindia Belanda sendiri SI menyatakan kesetiaan namun ketika memasuki pelosok pedesaan organisasi ini sering bentrok dengan orang-orang yang berpihak kepada Belanda maupun mereka yang tidak menyukai kehadir- annya seperti kalangan Priyayi. Idenburg, Gubernur Jenderal Be- landa waktu itu, sangat berhati-hati dalam mendukung keberada- an SI. Ia baru memberikan dukungan resmi pada tahun 1913, itu pun hanya mengakui organisasi tersebut sebagai suatu kumpulan cabang-cabang yang otonom saja dan bukan sebagai suatu organi- sasi nasional yang dikendalikan dari markas besarnya (Centraal Sarekat Islam-CSI). Pada saat itu ideolog puncaknya di bidang politik adalah H.O.S. Tjokroaminoto dari Jawa dan H. Agus Salim dari Minangkabau. Mereka akan mengalami masa kejayaan yang agak panjang jika tidak cepat digerogoti oleh Marxisme, yang menjadi pesaing ideologi terberat bagi Islam waktu itu. Islam yang tidak punya koneksi politik global pada masa itu membuat PSI cukup kewalahan menghadapi aksi dan penetrasi Marxisme ke dalam organisasinya yang memang gencar dan sistematis, semen- tara Tjokroaminoto, H. Agus Salim ditambah Abdoel Moeis lebih bersifat defensif dalam menghadapi isu-isu politik yang dilancarkan Semaun, Darsono dan Alimin serta kalangan “kiri” lainnya.43 Masuknya komunisme dalam organisasi ini dimulai sejak kedatangan seorang Belanda, agen Komintern (Komunis Internasional) dari Cina yang bernama Sneevliet pada tahun 1913,

43 Ahmad Syafi’i Maa’rif, Peta Bumi Intelektualisme…, hlm. 1995 78 YUSRIL IHZA MAHENDRA

dengan nama samaran G. Marling. Ia mendirikan Indische Sociaal Demokratische Vereeniging (ISDV) di Surabaya tahun 1915-1916. Pengaruh organisasi kiri ini semakin besar dan mendapatkan dukungan dari anggota SI kelompok kiri terutama ketika Semaun menjabat pimpinan cabang Sarikat Islam di , dan Sari- kat Islam cabang ini menentang dan menyerang Tjokroaminoto dengan tuduhan sebagai kapitalis. Tahun 1920 mulai timbul kon- flik di antara SI dengan PKI, dan pada bulan November 1920, surat kabar PKI menerbitkan tesis-tesis Leninisme mengenai masalah nasional dan penjajahan seperti kecaman-kecamannya terhadap Pan-Islamisme. Dengan gencarnya Semaun melakukan infiltrasi ideologi Marxisme, maka SI akhirnya terpecah ke dalam dua kubu, yaitu SI putih (asli) dan SI Merah (komunis) yang berganti menjadi Sarikat Rakyat di bawah payung PKI. SI sendiri dipengaruhi oleh ajaran Pan-Islamisme yang dibawa Agus Salim, seorang yang semula merupakan agen Belanda yang mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB) namun kemudian berbalik mendukung organisasi ini. Anggota SI yang berhaluan komunis dinyatakan keluar dari keanggotaan, akibatnya semenjak konflik tersebut pengaruh SI semakin berkurang. Tahun 1933, Sukiman dipecat dari SI (saat itu berubah menjadi Partai Sarikat Islam Indonesia [PSII]), kemudian ia berkongsi dengan Partai Islam Indonesia (PII). Perkembangan PSII selanjutnya adalah muncul- nya perseteruan antara H. Agus Salim dengan ketua PSII Abi- kusno Tjokrosujoso pada tahun 1936, Agus Salim akhirnya juga memisahkan diri dan membentuk Partai Penyadar bersama Mohammad Roem. Pada tahun 1939, timbul lagi pertikaian antara Kartosuwiryo dengan Abikusno karena Kartosuwiryo menilai bahwa PSII telah meninggalkan politik nonkooperatif dengan pemerintah Belanda, oleh sebab itu Kartosuwiryo mendirikan Komite Pertahanan Kebenaran.44 Memang Tjokroaminoto dan H. Agus Salim pada tahun 1920-an sudah mulai memperlihatkan ketidakmampuan mereka untuk menjaga keutuhan perjuangan kelompok (Islam), dan masalahnya pun pada waktu itu sebenar-

44 M.Fachry, Ibid, hlm. 59. GERAKAN MODERNIS ISLAM 79

nya bersifat sangat pribadi yang berkait dengan sistem pergantian kepemimpinan yang seharusnya dapat berjalan dengan semesti- nya tanpa kecurigaan terhadap pengganti maupun kerelaan pihak yang digantikan.45 Mengenai hubungan kelompok Islam nasionalis dengan kelompok Islam sekuler atau netral agama pada masa pergerakan nasional, pada awalnya Sarekat Islam di bawah pimpinan Tjok- roaminoto dan H. Agus Salim dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dipimpin muridnya, Soekarno, telah menjalin hubung- an yang akrab. Soekarno adalah “anak kandung” dan “murid” Sarikat Islam sebelum memimpin PNI, sedangkan Tjokroaminoto adalah bapak asuh, guru dan juga mertua dari pimpinan PNI itu. Bahkan di dalam suatu rapat Sarekat Islam di Pekalongan tahun 1927, ketika Soekarno hadir ia tampil untuk mengusulkan agar semua kalangan pergerakan dan tokoh-tokoh politik mem- bentuk federasi partai-partai politik agar nantinya tercipta kekuatan nasional dalam menghadapi kekuasaan kolonial. Usul Soekarno itu mendapat sambutan dari seluruh peserta pertemuan organisasi Sarekat Islam,46 tak terkecuali Tjokroaminoto dengan menjelaskan seperti di bawah ini: “Sambutan dari pemimpin golongan Islam berwi- bawa dan berpengaruh besar inilah yang mendorong terbentuknya suatu panitia pembentukan federasi perhimpunan politik kebangsaan itu. Panitia ini ter- diri dari Soekarno wakil dari PNI, dan Dr. Sukiman Wiryosandjoyo dari PSI. Dalam waktu singkat panitia ini berhasil merencanakan anggaran dasar federasi tersebut, yang kemudian dikirim kepada semua partai politik yang ada di Indonesia. Kemudian tidak lama setelah persetujuan tercapai, dan pada bulan Desem- ber tahun itu juga (1927) suatu rapat pembentukan federasi partai-partai politik diadakan di Bandung, di mana dengan segera pembentukan Permufakatan 45 Deliar Noer, Membincangkan Tokoh…, hlm. 292. 46 Ahmad Suhelmi, Soekarno versus Natsir…, hlm. 37 80 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) disetujui”.47 Badan federasi ini tidak berumur panjang sebab beberapa seng- keta antara kalangan SI dan kalangan nasionalis sekuler di mana Panitia yang dibentuk itu mengalami perpecahan yang bermuara pada “pemutusan hubungan” antara Sarikat Islam dengan ka- langan nasionalis sekuler. Menurut Deliar Noer pemutusan itu disebabkan oleh beberapa hal; pertama, berkait dengan partai politik, yaitu apakah partai yang kooperasi itu dapat bekerjasama dengan partai yang nonkooperasi dalam tubuh badan federasi; kedua, Sarekat Islam berpendapat bahwa itu tidak mungkin; ketiga, Sarekat Islam melihat posisinya dalam federasi menjadi lemah, karena adanya ketentuan bahwa semua anggota mempu- nyai suara sama, terlepas dari soal jumlah dan kekuatan anggota masing-masing,48 dari sinilah mulai timbul ketidakpuasan dan kekecewaan tokoh-tokoh Sarekat Islam terhadap Soekarno dan PNI-nya. Persoalan ini nampaknya semakin meluas dengan memasuki kepada persoalan penting berkaitan dengan perten- tangan “ideologi”, yakni masalah Islam “versus” Nasionalisme. Mengenai Islam “versus” Nasionalisme, kalangan Islam merasa bahwa tidaklah tepat menghadapkan atau membandingkan Nasi- onalisme dengan ajaran Islam, Islam adalah agama ( yang bersifat abadi) sedangkan Nasionalisme adalah Ideologi (yang bersifat temporal), Tjokroaminoto mengemukakan: “Islam sepertujuh rambut pun tidak menghalangi dan merintangi kejadian dan kemajuan Nasionalisme yang sejati, tetapi memajukan dia.49 Nasionalisme yang dimajukan Islam bukannya ‘eng’ Nasionalisme (yang sempit) dan berbahaya, tetapi…yang menuntut kepada Sosialisme berdasar Islam yakni Sosialisme

47 Ali Sostroamidjojo, Tonggak-Tonggak di Perjalananku, Jakarta, P.T. Kinta, 1974, hlm. 92. 48 Deliar Noer, Gerakan Modernis Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta, LP3ES, 1982, hlm. 272. 49 Deliar Noer, Pengantar ke Pemikrian Politik (edisi baru), Jakarta, Rajawali Press, 1983, hlm.167. GERAKAN MODERNIS ISLAM 81

yang menghendaki mono-Humanisme (persatuan manusia) yang dikuasai satu Yang Mahakuasa, Allah SWT, dengan lantaran (melalui) hukum-hukum yang sudah dipermaklumkan kepada utusan-Nya nabi penutup Muhammad Saw.”50 Penghinaan kalangan nasionalis sekuler terhadap ajaran Is- lam tidak berhenti sampai di sini. Misalnya berita di harian Soe- ara Oemoem yang diorganisasi kelompok kajian Indonesia, yang umumnya berlatar belakang pendidikan Barat. Dalam penerbitan tahun 1930, terjadi penghinaan dari penulis Homo Sum yang intinya menjelaskan perbandingan naik haji ke Mekah dengan pembuangan kaum tahanan politik ke Digul (Irian Barat-kini Papua), yang menganggap ibadah haji hanya”membuang-buang waktu saja.” Sukiman Wirjosandjojo, seorang tokoh Sarikat Is- lam menyangkal hal itu dengan menulis artikel khususnya “Tan- tangan terhadap agama Islam”, dalam surat kabar Pembela Is- lam (Oktober 1930). Dalam artikelnya Sukiman menilai tidak tepat membandingkan hal itu, sebab yang pergi haji itu karena ikhlas hatinya untuk memenuhi perintah Islam, sedang pergi ke Digul karena terpaksa. Artikel ini menurut Sukiman menunjuk- kan sikap anti-Islam.51 Tahun 1918 terjadi peristiwa Djawi Hisworo yang sempat menghebohkan umat Islam. Djawi Hisworo, sebuah harian yang terbit di kota Solo telah memuat artikel Martodharsono dan Djojo- dikromo pada 11 Januari 1918. Kedua penulis menghina Nabi Muhammad Saw dengan mengatakan bahwa beliau adalah seorang pemabuk dan pengisap candu, hal ini menimbulkan reaksi yang yang keras terhadap penulis dan dewan redaksi Djawi Hisworo.52 Luapan emosional umat Islam ini dalam bentuk yang lain terekspresi dalam wujud tentara Kanjeng Nabi Muhammad (1918) yang diorganisasi

50 Deliar Noer, Gerakan Modernis…, hlm. 268. 51 Lihat Sukiman Wirjosandjojo,” Tantangan terhadap agama Islam,” dalam Hamzah (Ed.), Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, Malang, Jakarta, LP2LPM, 1984, hlm. 17. 52 Deliar Noer, Ibid, hlm. 143. 82 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Sarikat Islam. Kelompok ini bertujuan mencari persatuan lahir dan batin antara segenap kaum Muslimin terutama sekali yang tinggal di Hindia Belanda untuk “menjaga serta melindungi kehormatan agama Islam, kehormatan Nabi Muhammad SAW, kehormatan kaum Muslimin,” dan juga menggerakkan orang-orang Islam di tanah air agar bereaksi marah terhadap artikel Djawi Hisworo itu.53 Kemudian diadakanlah rapat-rapat raksasa untuk menuntut penulis tersebut, sehingga mulailah tumbuh perasaan umat–nonumat yang memunculkan terjadinya pertarungan sosial, ini menyebabkan kaum Muslimin mendefinisikan diri sebagai umat dan memisahkan diri dari yang nonumat.54 Dalam bidang sosial, partai-partai Islam itu dapat bekerjasama dengan sesamanya dan dengan organisasi sosial Islam dalam bentuk federasi Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). Namun dalam bidang politik tampaknya mereka bergerak sendiri-sendiri. Hal ini tampak ketika Gabungan Politik Indonesia (GAPI) di- dirikan pada tahun 1939, PSII hanya bersedia masuk setelah men- dapat jaminan bahwa PSII Penyadar pimpinan H. Agus Salim tidak diajak serta. PII (Partai Islam Indonesia) bergabung ke GAPI tanpa keberadaan pihak PSII dan hubungan di antara keduanya dingin saja walau tidak bermusuhan, sementara itu Komite Kebenaran dari Kartosuwiryo berada di luar GAPI serta MIAI. Ketika GAPI menyusun suatu memorandum mengenai kon- stitusi Indonesia di masa depan, MIAI menyatakan bahwa dalam menyokong rencana GAPI,55 ia sangat mengharapkan agar Kepala Negara Indonesia haruslah beragama Islam, dan dua pertiga anggota kabinet terdiri dari orang Islam. Usulan lainnya adalah suatu departemen agama hendaklah berdiri dan bendera merah putih harus disertai lambang bulan sabit bintang. Kalangan netral agama atau sekuler menentang kepemimpinan mereka yang berorientasi pada Islam.

53 Ibid. 54 Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, Yogyakarta, Shalahuddin Press, 1985, hlm. 22. 55 Deliar Noer, Deliar Noer, Islam di Pentas…, hlm. 6. GERAKAN MODERNIS ISLAM 83

Tantangan kepemimpinan SI di dalam gerakan nasional terus berlanjut. Mereka ditantang oleh kalangan netral agama atau nasionalis sekuler di bawah pimpinan Soekarno, pada tahun 1930- an tantangan itu dilanjutkan Partai Indonesia (Partindo), kemu- dian Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) dan Partai Indonesia Raya (Parindra), yang menyebabkan semakin luasnya perpecahan di kalangan Islam. Yang menjadi catatan penting adalah saat menghadapi arus perlawanan komunis di mana Tjokroaminoto sebagai puncak pimpinan Partai seakan membiarkan perten- tangan di antara Abdoel Moeis dan Salim di satu pihak berha- dapan dengan Semaun dan Darsono yang komunis, di pihak lain Kedua tokoh terakhir menghendaki organisasi ini menjadi “me- rah.” Pendapat Tjokroaminoto mengenai batilnya komunisme itu baru dikemukakannya pada tahun 1923, dua tahun setelah kongres SI pada 1921, dengan mengadakan disiplin organisasi terhadap orang-orang PKI. Dalam kaitan ini Moeis yang sangat kecewa mengundurkan diri dari pimpinan SI sekitar tahun 1923 karena sikap abai Tjokroaminoto selaku pucuk pimpinan organi- sasi ini.56 Padahal ketika tahun 1921, saat konflik antara kelom- pok “SI merah” lawan “SI putih” anggota partai ini sudah menca- pai dua juta orang pada tingkat nasional.57 Gerakan Islam Modernis ini telah memulai beberapa reformasi, seperti menyelenggarakan sholat bersama di lapangan dan bukan di Masjid pada hari lebaran dan hari Maulid Nabi, mereka juga tidak hanya menerjemahan khotbah Jumat tetapi juga juga men- terjemahkan Alquran, menganjurkan penggunaan semua kitab hukum empat mazhab dalam memutuskan hukum dan tidak ha- nya mendasarkan kepada kitab hukum Syafi’i saja. Mereka meng- kritik pengadaan slametan atau kenduri sebagai suatu pengham- buran sia-sia, menyerang upacara abangan dalam soal kematian kecuali memandikan, memberi kafan dan menguburkan mayat, praktek seperti mengucapkan niat di dalam bacaan sebelum sho-

56 Deliar Noer, Membincangkan..., hlm. 287. 57 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Pustak Jaya, Jakarta, 1989, hlm. 189. 84 YUSRIL IHZA MAHENDRA

lat sebagai heterodoks,58 dan pada sisi yang lain apa yang mereka lakukan adalah membawa Alquran agar benar-benar tertanam di bumi.”59 Mengenai Tjokroaminoto, di samping sosok demagog, ahli pidato yang hebat dan bersemangat, memang pandai juga menjaga kedudukan sebagai ketua, menjaga “keseimbangan” di antara me- reka yang berselisih pendapat adalah kelihaiannya. Sikap Tjokro- aminoto itu mungkin dipengaruhi suasana keinginan mencipta- kan persatuan, karena sejak Soekarno muncul ke arena perjuang- an politik segera terdapat usaha-usaha untuk mempersatukan gerakan yang ada, maka sikapnya seakan menjaga agar kepemim- pinannya dapat diterima dalam lingkungan persatuan nasional.60 Sikap “wait and see” nya sangat terlihat dalam pertikaian yang ada baik di kalangan Islam maupun kalangan luas. Mundurnya pengaruh Tjoroaminoto pada tahun 1920-an juga disebabkan kare- na masalah pribadi; yaitu soal tingkah laku sang istri, selain da- lam mengelola keuangan. Keadaan keuangan organisasi tidak beres, tidak ada kejelasan mengenai penggunaan walaupun sebe- narnya usaha memperoleh uang itu cukup banyak. Hal lain adalah pengetahuan mengenai agama pun diperolehnya secara ber- angsur-angsur ketika ia beraktivitas di organisasi yang ia pimpin, sementara pengetahuan bahasanya tidak kuat, kecuali bahasa Belanda. Ia tidak mengerti bahasa Arab sama sekali. Sebagai pemimpin yang mewakili gerakan Islam yang begitu besar, ia ti- dak mengikuti secara penuh dalam persidangan permusya- waratan pada suatu konferensi di Mekah pada tahun 1926. 61 Pada tahun 1927, SI melakukan disiplin partai terhadap ang- gotanya yang berada di Muhammadiyah, seperti masa sebelumnya yang dilakukan kepada anggotanya yang berafiliasi kepada komunis atau Partai Komunis, juga ini dilakukan terhadap Persa- tuan Islam (Persis) di Bandung sekitar tahun 1930. Masalah pribadi

58 Ibid, hlm. 189. 59 Ibid, hlm. 190. 60 Deliar Noer, Membincangkan Tokoh…, hlm. 288. 61 Ibid, hlm. 286-290. GERAKAN MODERNIS ISLAM 85

dijadikan SI sebagai masalah partai, seperti kasus Dr. Sukiman yang dipecat dari SI dalam kongres partai tahun 1933, dengan menuntut Dr. Sukiman dan kawan-kawan untuk datang ke kongres serta minta maaf di depan Majlis Tahkim kepada Tjokroaminoto serta diumumkan dalam harian Oetoesan Indonesia.62 Meninggalnya Tjokroaminoto tahun 1934, menempatkan H. Agus Salim duduk di dalam dewan partai, dan kepemimpinan partai dipercayakan kepada Abikusno Tjokrosujoso, seorang sau- dara Tjokroaminoto, dan pada tahun 1936 H. Agus Salim dipecat dari partai setelah turut memimpin partai selama 20 tahun de- ngan tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk melakukan penyelesaian dengan musyawarah. Ada yang berpandangan ini persoalan persaingan atau kompetisi dalam pimpinan partai, semenjak itu Partai Serikat Islam sebagai sebuah partai telah menjadi partai keluarga almarhum Tjokroaminoto.63 Sarikat Islam yang telah menggunakan konsep bangsa dalam pengertian antaretnis dan bebas dari rasa kedaerahan ini telah membuka jalan ke arah pembentukan Nasionalisme dan merupa- kan bibit persatuan Indonesia. Dalam organisasi ini orang merasa berada dan menemukan wadah persaudaraan di antara kaum senasib di tanah air yang telah dapat dipertautkan, karena itu atas dasar kenyataan ini kalangan Islam merasa tidak melihat adanya alasan yang kuat jika cinta tanah air saja menjadi landas- an persatuan tanpa melandaskan diri dengan agama. Mereka beranggapan bahwa Islam sesungguhnya lebih sesuai untuk dija- dikan dasar dan landasan persatuan untuk membangun bangsa (Taufik Abdullah, 1991: 241).64 Agus Salim, sang “ideolog” Sarikat Islam, lahir di Ranah

62 Ibid, hlm. 63 Jika kita melihat pada masa kemerdekaan, ini bertambah jelas pada tahun 1950-an sesudah partai ini berdiri kembali (1947), PSII dipimpin Abikusno dan kedua anak Tjokroaminoto yaitu Anwar dan Harsono, walaupun Abikusno sendiri dipecat dari partai tahun 1953, lihat Deliar Noer dalam bukunya Membincangkan Anak-anak Bangsa. 64 Dwi Purwoko, “Islam dan Negara: Sebuah Wacana Sejarah” dalam Dwi Purwoko (et.all), Negara Islam, Depok, Permata Artistika, 2001, hlm. 8. 86 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Minang tepatnya di kota Gadang, Bukit Tinggi-Sumatera Barat pada 8 Oktober 1884, anak dari seorang jaksa yang bekerja di Medan-Sumatera Utara. Salim (panggilan lain dari Agus Salim) dilahirkan di tengah-tengah keluarga Islam yang taat, walaupun kota tempat kelahirannya sebuah desa yang penduduknya meng- utamakan pendidikan Barat baik untuk laki-laki maupun perem- puan, karena itu tidak mengherankan bila orang di sini sehari- hari memiliki kefasihan dalam menggunakan bahasa Belanda se- lain bahasa Minang itu sendiri. Aktivitas pekerjaan mereka le- bih suka menjadi pegawai pemerintahan dibandingkan bekerja sebagai petani atau pedagang, demikian pula gaya hidup dan cara berpikir merekapun lebih “modern” jika dibanding dengan pen- duduk daerah lainnya, dan dalam catatan sejarah di daerah ini telah banyak lahir tokoh-tokoh politik dan inteligensia yang ber- kesempatan menikmati sistem pendidikan Eropa. Salim pada usia 7 tahun, dimasukkan ke sekolah dasar ELS (Europeesche Lagere School) di kota Bukit Tinggi, lepas dari sini ia merantau ke Batavia (kini kota Jakarta) di tanah Jawa tahun 1989 dan tahun 1902. Di sini ia telah menamatkan pendidikan HBS (Hogere Burgelijke School) dengan gemilang sebagai pelajar cemerlang. Menurut gurunya, Agus Salim kelak akan menjadi seorang pemimpin bagi bangsa Indonesia (Suhatmo, 1955), kece- merlangan otaknya ini dikagumi Raden Ajeng Kartini, yang mengemukakannya: “kami tertarik sekali kepada anak muda ini, namanya Salim, yang dalam tahun ini mengikuti ujian peng- habisan sekolah H.B.S. Anak muda ini ingin sekali pergi ke Belan- da untuk menjadi dokter, sayang sekali keadaan keuangannya tidak memungkinkan karena pendapatan ayahnya tidak cukup (Muchtar, 1954).65 Pada usia 21 tahun, Salim merantau ke

65 Lihat cuplikan dari surat Raden Ajeng Kartini kepada Ny. Abendanon mengenai Agus Salim pada 24 Juli 1903, tulisan Kusnariati Muchtar dalam Tujuh Puluh Tahun Agus Salim, 1954. Raden Ajeng Kartini merupakan perempuan tokoh nasional masa penjajahan Belanda yang memperjuangkan kemajuan dan hak-hak martabat kaum wanita yang ketika itu masih dikungkung adat-istiadat yang “menindas”. Lihat Sumiarti Ali, “Negara Islam dalam perspektif H. Agus Salim,” dalam Dwi Purwanto (et. all), Negara Islam, Depok, Permata Artistika, 2001, hlm. 97-98. GERAKAN MODERNIS ISLAM 87

Indragiri untuk bekerja pada kongsi pertambangan selama 1905- 1906. Pada tahun 1906, ia berangkat menuju Jeddah, kota di Timur Tengah dan bekerja sebagai konsulat Belanda sampai tahun 1911. Selama berada di Jeddah, Salim mempelajari agama Islam lebih dalam sambil melaksanakan ibadah haji dan bertemu dengan pamannya Syekh Ahmad Khotib yang dikenal sebagai se- orang ulama besar pada masa itu, dan masa itulah Salim belajar pengetahuan agama dan berbagai masalah agama Islam (Solichin Salam, 1961). Ia kembali ke tanah air dengan membawa penge- tahuan Islam yang sangat luas dan mendalam dengan penguasaan bahasa Arab yang fasih. Salim memberikan pandangannya mengenai keadaan Islam di Indonesia pada masa itu: “bahwa umat Islam Indonesia mundur karena salah memahami atau menaf- sirkan ajaran-ajaran Islam.” Ia kemudian bekerja di Jawatan Pekerjaan Umum (Bon Burgerlijke Openbare Worker) di Jakarta (1911-1912), kemudian ia kembali ke kampung halamannya. Pada tahun 1912-1915, Salim merintis meletakkan dasar pendidikan modern yang dikembangkannya, yaitu HIS di kota Gadang. Dalam kongres PSII pada tahun 1930 di Yogyakarta, Agus Salim terpilih menjadi salah satu ketua partai dan pada tahun itu juga ia dikirim ke Jenewa. Tahun 1932, Ia memimpin kongres Al-Islam di Malang, Jawa Timur bersama-sama Tjokroaminoto. Pada kongres PSII di Malang Agus Salim terpilih menjadi ketua dewan partai namun tak lama kemudian ia dikeluarkan dari partai karena dianggap menjadi “pesaing,” Ia kemudian men- dirikan Partai Penyadar. Salim aktif juga di dunia pers: pada tahun 1920-an ia menjadi redaktur untuk bahasa Melayu pada Balai Pustaka, pernah menjadi redaksi dari De Inlandsche Evlute pada tahun 1917, kemudian redaktur Neraca pada tahun 1920 di Jakarta. Bersama Tjokroaminoto mereka menerbitkan harian Fajar Asia pada 1927-1930, serta redaktur majalah Mustika yang terbit di Yogyakarta pada tahun 1931-1932. Tulisan Salim sangat tajam dan menarik, Mohammad Hatta mengemukakan: “untuk saya yang bersekolah di Padang pada masa itu, buah pena Salim yang tajam itu dengan kata-katanya menarik minat pembaca, 88 YUSRIL IHZA MAHENDRA

sehingga menjadikan saya seorang yang gemar membaca surat kabar Neraca. Pada tahun 1923, Agus Salim menjadi anggota Volksraad sampai tahun 1925, yang bersamaan pada waktu itu ia memimpin harian Hindia Baru.66 Agus Salim adalah pejuang yang sangat bersahaja, ia pernah menyewa satu kamar di daerah Pasar Baru, kemudian di Jatine- gara, Jakarta, menetap dengan anaknya di sini. Di kamar yang seperti itu ia menerima anak-anak muda dari Jong Islamieten Bond (JIB) yang di kemudian hari para muridnya ini menjadi tokoh dan pemimpin nasional, seperti Mohammad Roem, Kasman Singodimedjo, Jusuf Wibisono, Sjamsurizal, Sarjan, Sudjono Har- djosudiro (nama yang terakhir di kemudian hari menjadi menan- tunya). Mereka semua menjadi bagian rumah tangga Salim, dan karena ia seorang yang tidak memiliki cukup uang maka untuk aktifitas ini ongkosnya ditangani secara bersama dari para mu- ridnya. Ada dua hal yang penting menurut Deliar Noer mengenai pengaruh pemikiran dan kepemimpinan Agus Salim yaitu pening- katan kecerdasan disertai pandangan melihat masalah dari sudut Islam dan hidup dengan zuhud.67 Sesungguhnya H. Agus Salim menghormati pikiran dan diri Imam AL-Ghazali, contohnya yang terkenal adalah cara hidup yang sederhana serta rela menghadapi kesukaran tanpa penyesalan karena bertahan pada keyakinan- nya, namun dalam pemikiran dan sikapnya lebih sejalan dengan ulama seperti Ibnu Taimiyah (1263-1328) yang tetap bertahan pada pendiriannya sungguhpun ini berarti tetap berada dalam penjara hingga akhir hayat daripada menyesuaikan diri dengan kehendak penguasa.68 Memang ajaran Ibnu Taimiyah lebih di- kenal pada kalangan Modernis Islam Indonesia, mulanya melalui tulisan Abduh yang dipengaruhi Ibnu Taimiyah ini.69 H. Agus Salim menilai dalam harian Hindia Baroe awal tahun 1925, bahwa

66 Ibid, hlm. 97-110. 67 Deliar Noer, Membincangkan…, hlm. 236. 68 S.D. Gotein, Studie in Islam and Instutitions, Leiden, E.J. Brill, 1966, terutama, “Atti- tude towards Government in Islam and Judaism,” hlm. 197-213 dan “the Mentality of the Middle Class in Medieval Islam,” hlm 242-252. 69 Deliar Noer, Partai Islam…, hlm 14. GERAKAN MODERNIS ISLAM 89

Islam datang ke Nusantara ini sebagai kekuatan pembebas yang positif dan konstruktif, agama ini yang mengajarkan prinsip persamaan, persatuan di kalangan rakyat sekalipun benteng-ben- teng feodalisme yang sudah mengakar tidak dapat dirobohkannya secara tuntas. Konstribusi Islam dalam kalimat Salim adalah, “persatuan dibawanya, persamaan dididiknya, derajat orang ba- nyak diangkatnya tinggi, sesungguhnya sukar sangat meroboh- kan pagar-pagar pembagian kasta bawaan agama dulu itu.”70 Agus Salim, seorang genie, jenius.71 Ia dapat menggariskan ha- luan atau arah ke mana SI secara tegas harus bersikap terutama ketika menghadapi tekanan dari kalangan komunis dan nasionalis sekuler ketika pergerakan perjuangan rakyat Indonesia akan diwarnai dengan tiada bersandar pada dalil-dalil ajaran agama. Sebaliknya ia menjelaskan alasan-alasannya dengan landasan agama Islam secara lengkap, baik dengan dalil Alquran, hadis maupun riwayat-riwayat Nabi Muhammad Saw. Ia sangat loyal pada kawan seperjuangannya hingga sedemikan rupa, kadang- kadang kelemahan kawan pun dibelanya, misalnya, sampai akhir hayatnya dari mulutnya tidak pernah keluar mengenai kele- mahan-kelemahan Tjokroaminoto. Pada masa itu, ia termasuk seorang di antara sedikit manusia Indonesia yang dapat menye- lesaikan studi HBS-nya (sekolah setingkat SMU, berbahasa Be- landa), selain menguasai bahasa Arab yang fasih, dan pengalam- annya selaku konsulat Belanda di Arab selama empat tahun.72 Penguasaan ilmu dan keteladanan serta kesederhanaan dan penuh keramahan menyebabkan orang suka berkunjung kepada- nya. Dengan kecendekiawanan yang tinggi itu menyebabkan ia cepat menanjak dalam pimpinan, serta latar belakang pendidikan Baratnya memudahkannya untuk berdialog dengan anak-anak muda yang bersekolah Barat tersebut.73

70 Tanzil (Ed.) , Seratus Tahun Haji Agus Salim, Jakarta, Sinar Harapan, 1984, hlm. 293. 71 Dr. M. Amir, seorang anggota ilmu jiwa pernah mengadakan analisis tentang Agus Salim, yang berkesimpulan bahwa beliau memang salah seorang genie, genius. Lihat Deliar Noer, Membincangkan Tokoh-tokoh Bangsa, hlm. 285. 72 Deliar Noer, Membincangkan…, Ibid, hlm. 285. 73 Ibid, hlm. 325. 90 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Setelah peristiwa Djawi Hisworo, datang lagi peristiwa majalah Timbul.74 Majalah yang terbit sebulan dua kali ini menyerang beberapa pemuda Sarekat Islam, terutama Agus Salim. Majalah kalangan nasionalis sekuler ini dalam salah satu artikelnya menuduh dengan kalimat sebagai berikut: “…Bahwa PSI telah jatuh di bawah pengaruh se- orang tenaga petualang seperti H. Agus Salim, bahwa organisasi rakyat yang asalnya CSI (Centraal Sarekat Islam) telah menjadi partai pendeta (ulama) yang te- lah mencecerkan kepentingan sosial dan ekonomi rakyat untuk persoalan agama; bahwa ia (PSI) menja- lankan aksi Pan-Islam secara demikian rupa, bahwa ini bukannya memperkuat aksi persatuan nasional, melainkan malah menempatkannya dalam bahaya.”75 Dinyatakan pula oleh harian Timboel bahwa Agus Salim adalah antek Procurrer General (Jaksa Agung) pemerintah Belanda. Se- mua tuduhan Timboel ini ditolak Sarikat Islam termasuk Agus Salim itu, sementara Mr. Singgih bersikeras bahwa tuduhannya itu benar.76 Dalam suatu pertemuan di Yogyakarta yang diseleng- garakan Sarekat Islam, diadakanlah usaha “rekonsiliasi” antara Agus Salim dan Mr. Singgih. Ternyata Mr. Singgih tidak dapat membuktikan tuduhannya dan Agus Salim dianggap sebagai “pemenang”. 77 Pada saat perdebatan itu terjadi (1927), peranan Sarikat Islam sebagai organisasi politik umat Islam mulai memu- dar, tahun itu Sarekat Islam tidak lagi dominan sebagaimana sebelumnya. Merosotnya dominasi kepemimpinan Sarekat Islam disebabkan faktor eksternal dan internal yang dihadapi organisasi tersebut.78 Faktor eksternal adalah lahirnya Partai Nasional In-

74 Soetomo saat itu adalah ketua Surabaya Studie Club, suatu kumpulan kalangan terpelajar yang cukup berpengaruh, ia juga mantan pemimpin Budi Utomo. Lihat Ahmad Suhelmi, Soekarno Versus Natsir…, hlm. 35. 75 Majalah Timboel ini berbahasa Belanda, terbit pada tahun 1927, dipimpin Mr. Singgih, seorang nasionalis sekuler, Ibid. hlm. 35. 76 Ibid. 77 Ahmad Suhelmi, Soekarno…, hlm. 36. 78 John Bastian & H.J. Benda, A History of Modern Southeast Asia, Sidney, Prentice Hall of Australia Pty ltd, 1977, hlm. 104. GERAKAN MODERNIS ISLAM 91

donesia (PNI) pada 4 Juli 1927. Kelahiran organisasi sekuler yang dipimpin Soekarno yang kaharismatik ini berhasil membentuk basis kekuatan di kalangan rakyat dan dalam waktu dua tahun PNI memiliki lebih dari 10 ribu anggota.79 Agus Salim, sebenarnya semenjak 1925 telah memberikan peringatan kepada rakyat (terutama Sarekat Islam ) agar selalu hati-hati dan waspada terhadap propaganda dari kelompok nasi- onalis sekuler dan kalangan anti-Islam. Agus Salim secara tegas mengemukakan pikirannya bahwa umat Islam tidak diperke- nankan menjadi “cinta bangsa”, bila itu menjadi tempat “menyem- bah berhala”, dikemukakan dalam tulisannya: “Cinta kebangsaan, karena nama kebangsaan dan riwayat kebangsaan, nyata hanyalah buah bibir yang tak berfaedah untuk rakyat kebanyakan, hanya men- jadi dasar untuk “ komedi bourgeois”. Cinta bangsa yang mementingkan nasib rakyat sebangsa, sebanyak yang terlebih melarat…, yang menghendaki persama- an dalam sebangsa segala golongan…yang dengan persamaan hak menuju masalah umum…yang meng- utamakan orang sebangsa daripada kebangsaan, cinta bangsa inilah yang sesungguhnya menghendaki ke- merdekaan bangsa segenapnya, untuk keselamatan dan kesejahteraan rakyat sebangsa kalian, karena kewajiban kepada sesama manusia yang sama ber- tanah air kenegeri yang satu inilah cinta bangsa yang menjadi asas Sarikat Islam sebangsa, tetapi tidak mengangkat kebangsaan menjadi berhala tempat mengembang dan memuja.”80 Agus Salim memandang bahwa baginya yang sesuai dengan ajaran agama Islam mengenai bangsa adalah bahwa rasa kebang- saan itu sendiri harus didasarkan pada orientasi yang berjiwa egaliter dengan tetap tunduk pada semangat Tauhid, artinya

79 George Mc. T. Kahin, Nationalism…, hlm. 91. 80 Deliar Noer, Gerakan…,Ibid, hlm. 271-275. 92 YUSRIL IHZA MAHENDRA

kebangsaan yang merupakan kesadaran hidup bersatu di dalam solidaritas karena rasa senasib dan cita-cita tidak membolehkan hal demikian menjadi segala-galanya demi bangsa itu sendiri me- lainkan bahwa semua kesadaran, keinsyafan untuk hidup ber- sama dalam satu tanah air harus ditujukan untuk persamaan hak-derajat menuju kesejahteraan bersama dengan didasarkan atas keyakinan (Tauhid) dan bukan pemberhalaan pada yang lain. Dalam aritikel yang ditulisnya tahun 1928, Agus Salim menyata- kan bahwa penghambaan manusia kepada berhala tanah air ternyata telah menciptakan kekayaan, kemegahan, kebesaran, dan kemudian terjadi saling membusukkan, menghinakan, meru- sakkan tanah air serta tidak memperdulikan hak dan keadilan di kalangan bangsa-bangsa dunia. “…inilah bahayanya, kita menghamba dan membudak kepada ‘Ibu Pertiwi’ yang menjadi tanah air kita itu…”81 Lebih lanjut Agus Salim mengemukakan: “…maka sebagai dalam tiap-tiap hal yang mengenai dunia kita, demikian juga dalam cinta tanah air, kita mesti menunjukkan cita-cita kepada yang lebih tinggi daripada segala benda dan rupa dunia, yaitu kepada hak, keadilan dan keutamaan yang batasnya dan ukurannya telah ditentukan Allah SWT…Cinta tanah air, agama, karena Allah ta’ala dan menurut perintah Allah semata-mata….”82 Menurutnya cinta kebangsaan yang sebenarnya hanya mung- kin apabila berorientasi kepada cita-cita yang lebih tinggi yaitu keadilan, keutamaan dan hak yang batas ukurannya hanya Allah Ta’ala, maksudnya harus dengan dasar perintah-perintah yang ada dalam ajaran yang diwahyukan Tuhan itu sendiri, bukan karena keinginan hawa nafsu manusia semata. Karena itu “niat” menjadi hal yang penting bagi manusia, yang menurut Agus Salim segala sikap hidup dan perbuatan hendaklah didasarkan akan hal itu. Ia

81 Ibid, hlm. 274-275. 82 Agus Salim, “Cinta Bangsa dan Tanah Air,” dalam Panitia buku peringatan, Seratus Tahun Haji Agus Salim, Jakarta, 1984, hlm. 345. GERAKAN MODERNIS ISLAM 93

memberi contoh dengan mendasarkan pada ayat suci Alquran yang meneladankan Nabi Ibrahim ketika beliau mencintai tanah air tempat turunannya hidup dengan membaktikan kepada Allah seperti dikemukakan dalam QS. 14: 37. Menurutnya di antara golongan yang membedakan nasionalis sekuler dengan nasionalis Islam adalah dalam soal “asas dan niat” walaupun sama-sama mengemukakan kebaikan nasionalisme.83 Pada tahun 1911 HOS Tjokroaminoto (1882-1934) dan H. Agus Salim (1884-1954) dalam batasan tertentu mengemukakan gagasan mereka yang berpangkal tolak dari Islam, yang dengan demikian menolak kalangan nasionalis yang netral agama dan antiagama (komunis) bahwa Islam ketinggalan zaman. Menghadapi kalangan komunis Agus Salim mengemukakan bahwa keadilan sosial telah diperjuangkan Nabi sejak berabad- abad yang lalu. Kepada kalangan nasionalis sekuler ia memper- ingatkan bahwa Nasionalisme saja mudah jatuh pada imperialis- me dan kolonialisme seperti yang berkembang di Negara Barat dan yang dirasakan bangsa Indonesia dengan derita, karena itu cinta ini hendaklah berdasarkan pada kebaktian pada Allah SWT, Tuhan Maha Esa.84 Ia menjelaskan dengan mengajak kita untuk melihat bagaimana nasionalisme yang dibangun bangsa Eropa telah menghancurkan mereka sendiri dengan menunjukkan peperangan yang timbul yang semua dilakukan atas nama Nasi- onalisme.85 Agus Salim juga mengkritik pernyataan Soekarno mengenai Nasionalisme, Islam dan Marxisme harus bekerjasama demi mewujudnya persatuan bangsa, menurutnya paham Soekar- no yang terlalu memuliakan tanah air terhadap segalanya akan melunturkan keyakinan Tauhid,86 bahkan Agus Salim menyebut

83 Deliar Noer, Pengantar …, Ibid, hlm. 171. 84 Deliar Noer, Gerakan, Ibid, hlm. 138-140, 123. 85 Soekarno dari kalangan nasionalis netral agama atau sekuler telah menanggapi pandangan itu ,baik yang dari Tjokroaminoto maupun Agus Salim yang intinya Nasionalisme yang dikemukakannya tidak sama dengan yang berasal dari Barat lihat Soekarno, Dibawah bendera revolusi, jilid I,khas mengenai Nasionalisme, Islam dan Marxisme, Jakarta, Panitia penerbit, 1954, Ibid, hlm. 112. 86 Surmiati Ali, Negarra…, Dalam Dwi Purwoko (et.all), Negara..., Ibid, hlm. 112-113. 94 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Nasionalisme Soekarno itu bagai mengikuti jejak Nasionalisme Barat yang akhirnya merambah dan ekspansif dengan menguasai Negara lain.87 Cinta tanah air mestinya seperti rasa cinta kepada hak, keadilan dan keutamaan sesuai dengan ukuran pengabdian kepada Allah sebagai cermin keimanan. Mengenai hubungan agama dan Negara, pada dasarnya agama tidak dapat dipisahkan dari Negara, negara menurut Agus Salim sebagai alat untuk merealisasikan tujuan Islam,88 dan untuk mem- bangun sebuah Negara Islam perlunya dibangun fondasi yang kokoh (religio intellectual) terlebih dahulu.89 Agus Salim juga ber- bicara mengenai sosialisme, tentu paham sosialisme yang dimaksud bukanlah sebagaimana sosialisme pada umumnya yang dibangun di Barat yang semata berpedoman pada kekuatan kolektivitas belaka dengan berdasar pada hukum dan perasaan manusia. Bagi Agus Salim, ide-ide mengenai Sosialisme Islam adalah sebagai jawaban atas sistem pemerintahan kolonial yang imperialis dan kapitalis. Nabi Muhammad Saw sendiri yang diutus Tuhan untuk mengembangkan Islam di atas dunia ini sudah sejak 12 abad lebih dahulu daripada Marx dalam mengajarkan Sosialisme. Perbeda- annya, Sosialisme Marx anti-Tuhan sedangkan Sosialisme yang ia pelajari selama ini diperkaya dengan apa yang dipelajari di Jeddah. Menurut Salim, Sosialisme diperintahkan Allah SWT, sedangkan ajaran Marx untuk mencapai sosialisme lain coraknya dan sudah tentu ajaran itu menyesatkan orang Islam.90 Fenomena Agus Salim dalam kancah pergerakan dan pergo- lakan perjuangan bangsa Indonesia di tanah air memberikan satu apresiasi yang besar kepadanya dengan menjadikannya

87 Deliar Noer, Membincangkan, Ibid, hlm. 27. 88 Pasal ini pernah ditanyakan Syafi’i Maarif ketika mewawancarai Mohammad Natsir pada tarikh November 1983., menurut nya;” Pandangan H. Agus Salim tentang Negara yang hendak ditegakkan , Haji Agus Salim bertanya, apakah seperti Kartosuwiryo? Masyumi menjawab tidak, tidak bagi Masyumi Negara adalah alat untuk merealisasikan tujuan Islam (Syafi’i Maarif , 115). 89 Sumiarti Ali, Ibid, hlm. 118. 90 Ibid, hlm. 110-111 GERAKAN MODERNIS ISLAM 95

sebagai “bapak kaum intelektual Muslim Modern Indonesia.” Harry J. Benda menyebut Agus Salim sebagai “Grand Old Man dari gerakan Indonesia dan pemimpin veteran Islam Indone- sia.”91 Tokoh-tokoh intelektual Muslim yang setelah kemerde- kaan tampil sebagai pemimpin nasional dari kalangan Mo- dernis seperti Mohammad Natsir, Roem, Kasman Singodimejo dan Sukiman adalah hasil bentukan Salim yang sangat gemilang terutama melalui Jong Islamieten Bond yang didiri- kannya pada tahun 1925. Agus Salim memberikan kebebasan kepada muridnya untuk melakukan pilihan di mana wilayah perjuangan Islam dan politik akan dijalankannya, ia tidak meminta apalagi memaksakan murid-muridnya untuk meng- ikuti jejak organisasi tempat di mana ia melibatkan diri yaitu di Sarekat Islam atau di Partai Penyadar, sebagai misal, Mo- hammad Natsir bergiat di Persis (Persatuan Islam),92 Kasman lebih giat di Muhammadiyah dan Sukiman dengan Mohamad Roem di PII. Agus Salim lebih mewariskan watak kejujuran, intelektualisme Islam, percaya pada diri sendiri, kecakapan mengurus negara, kesetiaan pada prinsip perjuangan, kese- derhanaan dan rasa tanggung jawab yang cukup tinggi terhadap nasib bangsa dan negara, serta tidak menderita split personality93 Dalam penilaian Hamka, Agus Salim kedu- dukannya sama dengan reformis Islam Mohammad Abduh; seorang nasionalis sejati, perpaduan antara intelektualitas, kesederhanaan dan kematangan berpolitik, pemikir dan politisi Islam yang melampaui zamannya. “H. Agus Salim manusia yang sama dengan lebih sejuta manusia,” kata Hamka selan- jutnya “…mengingatkan kita akan seorang pujangga, seorang

91 Lihat Hary.J. Benda, The Cressent and the Rising Sun; Indonesia Under the Japanse Occupation 1942-1945, hlm. xi. 92 Munculnya intelektual seperti Mohammad Natsir lebih banyak dibentuk dari H. Agus Salim daripada Persis, sekalipun pengaruh cara berfikir A. Hassan dalam paham agama cukup berbekas pada dirinya, lihat Ahmad Syafi’i Maarif, Peta Bumi …, Ibid., Bandung, Mizan, 1995, hlm. 105. 93 Ahmad Syafi’I Maarif, Peta bumi…, hlm. 103. 96 YUSRIL IHZA MAHENDRA

filosof, seorang wartawan, seorang orator, seorang politikus, seorang pemimpin rakyat dan seorang ulama.”94 Soekarno mengatakan, “The grand old man H. Agus Salim adalah seorang intelektual di mana saya pernah meneguk air yang diberikan olehnya, sambil meleset di bawah kakinya…, guru saya di bi- dang Sosialisme dan politik internasional” (Tamar Jaya, 1954). HOS Tjokroaminoto dan H. Agus Salim merupakan “Dwi- tunggal” atau “Dua serangkai” tokoh umat dan tokoh nasional di era pergerakan nasional, pembebas dan perintis kesadaran bang- sa Indonesia untuk membangun kesatuan guna mengangkat harkat martabat orang-orang Indonesia serta harga diri (maruah) agama Islam. Tidak heran bila Tjokroaminoto disebut sebagai heru Tjokro (Tjakra) dari Tanjung Putih, bagi masyarakat Jawa dipercayai sebagai “Ratu adil”95 untuk perubahan suatu zaman “kali yuga- zaman penuh gonjang-ganjing atau kekacauan” kepada zaman pem- bebasan, kemerdekaan dan kejayaan. Agus Salim merupakan sosok manusia yang membawa “obor pencerahan” bagi masyarakat In- donesia yang ingin maju dan menjunjung tradisi keilmuan, mengajak bangsa ini untuk berlandas pada semangat intelek- tualitas dalam memahami serta melakukan perubahan sosial, dengan berpihak pada prinsip keyakinan dan memberi keteladan- an mengenai makna pemihakan pada kehidupan yang sederhana sehingga julukan Grand old man adalah sangat tepat. Yang jelas dua sosok manusia itu telah memberikan wacana dan sekaligus mempraktekkan perlunya merambah perjuangan yang berat ter- sebut dengan menghimpun kekuatan ke dalam suatu wadah per- kumpulan yang terorganisasi dengan organisasi yang Modern, sebab dalam menatap zaman, zaman telah berubah dan zaman menuntut akan hal tersebut.

94 Sumiarti Ali, Ibid, hlm. 96. 95 Ratu adil, merupakan konsep sekaligus keyakinan orang-orang Jawa, bahawa dizaman yang penuh dengan ketidak pastian, jaman kekacauan yang penuh denga “goro-goro”- huru-hara-kegelapan, ada masa akan datang sosok manusia yang akang menyelamatkan dunia dan orang ramai. Konsep ini mirip dengan apa yang dikenal didalam ajaran agama Islam iaitu” al- Imam Mahdi” terutama dikalangan penganut Syiah, atau “ Mesianis” dikalangan penganut Al-Kitab. GERAKAN MODERNIS ISLAM 97

Muhammadiyah: K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Mas Mansur

ERSERIKATAN ini didirikan di Yogyakarta pada 18 Novem- ber 1912 dan sebagai tokoh pendirinya adalah K.H. Ahmad P Dahlan.96 Organisasi ini beraktivitas pada bidang dakwah dan sosial kemasyarakatan. Penyebab kelahirannya karena ke- prihatinan melihat kondisi umat Islam Indonesia yang dilanda kemusyrikan, bid’ah dan khurafat serta keadaan kebodohan di kalangan umat, juga penindasan yang dilakukan kolonial Be- landa. Kehadiran organisasi ini untuk menumbuhkan keperca- yaan dan kebanggaan beragama kaum Muslim Hindia Belanda. Pandangan Ahmad Dahlan banyak dipengaruhi pemikiran-pemi- kiran dari tanah Arab seperti paham Wahhabi dan Rasyid Ridha yang merupakan murid dari Muhammad Abduh. Tujuan organi- sasi ini adalah menyebarkan ajaran Rasulullah terhadap pendu- duk pribumi di wilayah Karesidenan Yogyakarta serta memaju- kan hal-hal keislaman kepada anggotanya.97 Organisasi ini juga berjuang untuk pembaruan serta pemurnian ajaran Islam seperti yang dianjurkan Muhammad Abduh dengan pengikutnya di Mesir. Muhammadiyah kuat pengaruhnya di kalangan perkotaan dan masyarakat pedagang98 Ahmad Dahlan mendirikan organisasi ini setelah kembali dari menunaikan ibadah haji di tanah suci Mekah,99 tak lama setelah lahirnya Serikat Islam. Menurut Geertz

96 Berdirinya organisasi Muhammadiyah ini atas saran yang diajukan murid-muridnya dan beberpa anggota Budi Utomo. Budi Utomo didirikan di Jakarta tarikh 20 Mei 1908 dengan pendiri DR. Wahidin Sudirohusodo dan beberapa pelajar sekolah dokter. Organisasi ini awalnya mempunyai sifat-sifat Jawa, baru pada tahun 1930 membuka pintunya untuk orang-orang yang berasal dari luar Jawa. Lihat Deliar Noer, Gerakan…, hlm. 84. 97 M. Fachry,Multi parti…, Ibid, hlm. 9. 98 Herbert Fetih &Lance Castle, Pemikirn Politik Indonesia 1945-1965, Jakarta, LP3ES, hlm. 196. 99 Deliar Noer menjelaskan; Ahmad Dahlan telah kenal tulisan-tulisan Abduh . Diceritakan bahawa pada suatu kali Dahlan dan Soorkatti duduk berhadap-hadapan di dalam sebuah gerbong kereta api di Jawa tanpa menganl satu sama lain. Untuk menghabiskan waktunya Dahlan pada waktu itu membaca Tafsir al-Manar dari Abduh dan hal ini sangat menarik perhatian Sookatti yang tidak menyangka seorang pribumi dapat membaca kitab yang sangat ilmiah itu, lihat, Gerkan modernis Islam 1900-1942, Jakarta, LP 3ES, 1982, hlm. 85. 98 YUSRIL IHZA MAHENDRA

(1989), organisasi konservatif lahir untuk melawan apa yang me- reka anggap sebagai penyimpangan yang berbahaya dari doktrin Islam zaman pertengahan atas program-program kelompok Mo- dernis ini, namun dengan mengesampingkan hal-hal yang detil, bahwa akhirnya muncul juga jemaah kaum yang benar-benar ber- iman yang disebut orang-orang Islam ini tidak terhindarkan lagi. Sebenarnya sebelum pendirian organisasi ini Kyai Haji Ahmad Dahlan telah lebih dulu menciptakan kondisi di kampung Ka- uman-Yogyakarta dengan suatu usaha nonformal dalam bentuk pengajian. Ide-ide pembaruan yang diperolehnya dari Timur Te- ngah tersebut memunculkan sosialisasi nilai di dalam dirinya, pemikiran ini kemudian diimplementasikannya dalam rangka un- tuk merombak kondisi orang-orang ramai saat itu, bahkan pendi- rian Muhammadiyah dianggap sebagai “perpanjangan tangan” pembaruan di Timur Tengah yang sedang gencar dilakukan Wahhabi serta gerakan Pan-Islamisme yang diprakarsai al-Af- ghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha (Fachry: 2002). Sejak organisasi persarikatan Muhammadiyah mengajukan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1912 sampai de- ngan tahun 1986, terdapat enam rumusan tujuan Muhammad- iyah dengan mengalami lima kali perubahan, yaitu dua kali pada masa penjajahan Belanda, sekali pada masa penjajahan Jepang dan tiga kali pada masa kemerdekaan. Menurut Abdul Munir Mul- khan (1990), perubahan itu nampaknya lebih kepada pertimbang- an situasi dan kondisi eksternal saat itu. Dengan bersumber pada Alquran dan Sunnah, Ketuhanan Yang Maha Esa berinti Tauhid, yang merupakan simpul keimanan terhadap Allah SWT maka maksud dan tujuan Muhammadiyah hasil keputusan muktamar ke 41 terpapar sebagai berikut: “Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan mak- mur yang diridhoi Allah subhanahu wata’ala”100

100Abdul Munir Mulkhan, Warisan intelektual K.H. Aham Dahlan dan Muhammadiyah, Persatuan, Yogyakarta, 1990, hlm. 56-57. GERAKAN MODERNIS ISLAM 99

Nama Muhammadiyah, diambil dari nama nabi dan rasul terakhir yaitu Muhammad Saw. Penambahan huruf Arab “ya” dan “ta” bermakna pembangsaan atau identifikasi dari orang- orang yang berusaha mengidentifikasi dirinya atau membangun dirinya sebagai pengikut, penerus dan pelanjut perjuangan dakwah rasul dalam membina kehidupan manusia yang Islami. Secara harfiah, Muhammadiyah adalah orang yang termasuk dalam golongan Muhammad Saw.101 Pada awal berdiri, organisasi ini terbatas untuk wilayah Yogyakarta, sebuah wilayah karesidenan pada masa itu, tetapi perkembangan dakwah yang maju pada tahun 1921, peme- rintah Belanda mengizinkan memperluas gerakan ini ke seluruh wilayah di seluruh Jawa. Tahun 1822 batas wilayah aktivitasnya menerobos wilayah kekuasaan Belanda di Hindia Belanda, dan perkembangan Muhammadiyah kemudian meluas baik secara struktural vertikal dan perluasan gerak fungsional horisontal dengan berdirinya berbagai amal usaha dan badan haji. Tahun 1921 berdirinya badan haji bagi orang Islam Indo- nesia ini kemudian memberi inspirasi pada pembentukan direktorat di departemen agama, yakni adanya dirjen bimas Islam dan urusan haji. Muhammadiyah juga mendirikan bangunan khusus untuk dipakai kaum wanita di Indonesia yang namanya kini meluas digunakan di Indonesia yaitu Mushola, ini dimulai pada tahun yang sama. Pada tahun 1922, satu tahun sebelum pendiri organisasi Muhammadiyah wafat, perserikatan ini membangun 8 jenis sekolah dengan 73 orang guru dan 1.019 orang pelajar.102 Organisasi Muhammadiyah melakukan aktifitas umumnya dengan bijaksana dan tidak melakukan tindakan yang mengundang kekerasan atau perlawanan keras. Para pendirinya berupaya untuk tidak bersifat reaktif terhadap

101 Ibid, hlm. 57. 102 Sekolah itu terdiri; Opleiding Scgool di Magelang, Kweeck School di Magelang dan Purworedjo, Normal School di Blitar, N.B.S. di Bandung, Algemeene Midelbare Scholl di Surabaya, T.S. di Yogyakarta, sekolah guru di Kota gede, Hoogere Kweeck School di Purworejo. Lihat Abdul Munir Mulkhan, Warisan intelektual…, hlm. 72-74. 100 YUSRIL IHZA MAHENDRA

mereka yang melakukan serangan atau celaan kepada cara organisasi ini yang dianggap berlawanan dengan ajaran Islam; jalan edukatif dan persuasif lebih merupakan ciri organisasi ini. Secara umum kalangan ini lebih toleran terhadap lawan walaupun di internal organisasi baik secara kelembagaan maupun secara personal disiplin mereka tinggi. Bantuan dari pemerintah Hindia Belanda kepada organisasi ini untuk menerima subsidi yang dibiayakan pada pembinaan sekolah acap dilihat secara kritis dan sinis dari banyak pihak termasuk kalangan nasionalis yang netral agama bahkan dari kalangan Islam sendiri (Deliar Noer, 1987). Tetapi perlu dipahami sikap kooperatif itu tidak mengurangi institusi yang ada di dalam organisasi ini untuk menanamkan ruh jihad kepada anggotanya dalam melawan kesewenangan dan penindasan, yang selalu dikobarkan terus.103 Bagi organisasi, merumuskan ketentuan- ketentuan hukum dari ajaran moral Alquran yang kita istilahkan dengan ijtihad yang menjadi karakteristik utama semua gerakan tajdid sepanjang sejarah Islam mendapat perhatian khusus. Kerja tajdid di sini bermakna kerja penyegaran yang terus-menerus bagi pemahaman dan persepsi kita terhadap Alquran dan Sunnah dalam sorotan perspektif sejarah. Tujuan strategis Muhammadiyah jangka panjang menurut Syafi’i Maarif ialah pembentukan suatu “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” di Indonesia. Organisasi Muhammadiyah pernah terlibat secara langsung dengan kegiatan politik walau organisasi ini wilayah kegiatannya lebih kepada arena sosial kemasyarakatan, dakwah dan agama, tetapi sejak partai Islam berdiri, yakni Serikat Islam Indonesia pada tahun 1911-1912, Muhammadiyah menjadi pendukung par- tai tersebut, bahkan beberapa anggotanya menjadi pimpinan di Serikat Islam. Dalam hubungan dengan gerakan nasional, hampir seluruh anggota pimpinan pendiri Muhammadiyah adalah anggo- ta Boedi Oetomo termasuk K.H.Ahmad Dahlan (Noer, 1982, 1987). Tahun 1945, ketika partai politik Islam Masyumi berdiri, Muham-

103 Ahmad Syafi’I Ma’arif, Peta bumi…, hlm. 234. GERAKAN MODERNIS ISLAM 101

madiyah segera menjadi anggota istimewa bersama beberapa organisasi Islam lainnya (Noer, 1987). Dalam perkembangannya di masa pergerakan ini, seiring dengan semakin meluasnya penga- ruh serta aktivitas organisasi sampai keluar keresidenan Yogya- karta, maka rumusan mengenai maksud dan tujuan organisasi berubah yaitu, “memajukan dan menggembirakan pelajaran aga- ma Islam di Hindia Belanda serta memajukan dan menggembira- kan kehidupan seiring kemajuan agama Islam kepada para anggo- tanya”. Sasaran dakwah ada dua bidang yakni, perseorangan dan masyarakat (orang ramai). Dakwah Islam berupa pembaruan pe- mahaman Islam dengan mengembalikan kepada ajaran Islam yang asli-murni serta kepada orang yang belum Islam. Sedangkan untuk masyarakat berupa perbaikan dan bimbingan serta per- ingatan untuk menegakkan maupun menjunjung tinggi agama Islam dalam kehidupan pribadi (perseorangan) dan masyarakat melalui pendidikan, sosial kemasyarakatan serta tabligh Islam (Fachry 2002:10). Kehadiran organisasi ini dengan usaha “pemur- nian” Islam mendapatkan reaksi keras dari golongan ulama “tra- disional” Jawa. Para ulama ini kemudian mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926, jadi NU didirikan bukan atas dasar amar ma’ruf nahi munkar ataupun untuk menghadapi imperialisme Barat.104 Muhammadiyah banyak berjasa bagi pembinaan keislaman di Indonesia seperti pemberantasan syirik, melakukan penyesuaian arah kiblat, meningkatkan pendidikan dan kesejahteraan umat, serta usaha-usahanya dalam menghambat Kristenisasi. Aktifitas nonpolitik yang dijalankan dengan menerima bantuan dari peme- rintah Belanda telah menimbulkan perpecahan dengan Sarikat Islam yang nonkooperatif, padahal sebagian anggotanya juga aktif di Sarikat Islam. Maka disiplin partai yang dilakukan SI sebagai- mana telah penulis kemukakan di bagian sebelumnya menyebab- kan anggota-anggota SI yang dari Muhammadiyah keluar. Tetapi keadaan ini tidak mengendurkan semangat organisasi Muham- madiyah, konsistensi kepada dasar berdirinya, gaya maupun pen-

104M.Fachry, Ibid, hlm. 60. 102 YUSRIL IHZA MAHENDRA

dekatan dan fokus kegiatan yang sangat menentukan perseri- katan ini untuk maju di kemudian hari. Faktor yang tidak kalah penting adalah menyangkut peranan pemimpin Muhammadiyah karena peranan mereka menjadi sangat berarti terhadap kelang- sungan organisasi yang penuh onak dan duri perjuangan. Untuk itu uraian lebih lanjut, perlu penulis kemukakan tokoh yang sa- ngat berperan untuk kemajuan organisasi ini. K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923), nama ini diperoleh pada saat beliau menunaikan ibadah haji di Mekah. Nama aslinya adalah Mu- hammad Darwis, nama ini sebagai pemberi orangtuanya. Ia di- lahirkan di Kauman Yogyakarta pada tahun 1868 dan wafat pada 1923 ketika berusia 55 tahun. Ayahnya adalah Kyai Haji Abubakar yang menjadi imam dan khatib masjid Kraton Yogyakarta Hadiningrat. Jika dilihat dari garis keturunan, kyai ini memiliki hubungan darah dengan Maulana Malik Ibrahim; penyebar agama Islam di Jawa Timur sekitar abad ke-15 Masehi. Adalah Kyai Abubakar putra Kyai Haji Sulaiman anak laki-laki Kyai Murtadho. Kyai Murtadho sendiri adalah putra Kyai Ilyas. Dari Kyai Ilyas inilah Kyai Ahmad Dahlan mempunyai hubungan darah dengan Maulana Malik Ibrahim. Karena Kyai Ilyas adalah putra Kidemang juru kapindo, anak dari Kidemang juru kapisan. Kidemang juru kapisan adalah putra dari Maulana Sulaiman yang juga dikenal sebagai Ki Ageng Gribig sedang Ki Ageng Gribig adalah putra Maulana Fadlullah, selanjutnya Maulana Fadlullah adalah putra Maulana Ainul Yaqin cucu Maulana Ibrahim dari putranya yang bernama Maulana Ishaq.105 Latar belakang pendidikan pendiri Muhammadiyah ini tidak pernah memasuki sekolah secara formal, pengetahuan yang didapat berasal secara otodidak sedangkan kemampuan membaca dan menulis diperoleh dari belajar kepada Ayahanda, sahabat dan saudara iparnya. Ketika dewasa, Muhammad Dahlan belajar ilmu fiqih kepada Kyai Haji Muham- mad Shaleh, ilmu nahwu kepada Kyai Haji Muhsin, Kyai Haji Abdul Hamid mengajarkan ilmu falaq, adapun ilmu hadis dipelajarinya dari Kyai Mahfud dan Syekh Khayyar. Beliau juga belajar qiroatul 105Abdul Munir Mulkhan, Warisan…, Ibid, hlm. 61. GERAKAN MODERNIS ISLAM 103

Quran kepada Syekh Amien dan Syekh Hasan. Pada usia 22 tahun (1890) menunaikan ibadah haji, yang kemudian belajar pada gurunya Imam Syafe’i Sayyid Bakir Syantha. Saat itulah nama Muhammad Darwis diganti menjadi Ahmad Dahlan. Sekembali haji pada 1892, ia pernah berdagang dengan modal 500 golden, tetapi karena perhatian beliau tidak terpusat pada dagang, uang sebanyak itu habis untuk membeli buku dan kitab. Tahun 1903, kedua kalinya Kyai menunaikan ibadah haji bersama putranya Siraj Dahlan yang berusia 13 tahun, sempat bermukim di Mekah selama 1,5 tahun untuk belajar ilmu fiqih dengan Kyai Mahmud Termas, ilmu hadis kepada Sayyid Baabussijil dan Mufti Syafi’i (Syekh Ahmad Khatib). Dalam kehidupan berumah tangga, ia mulai menikah pada ta- hun 1889 saat berusia 24 tahun, dengan menikahi putri dari Kyai Haji Fadhil bernama Siti Walidah yang di kemudian hari dikenal dengan Nyai Haji Dahlan dan dari pernikahan ini mereka di- karuniai 6 orang anak,106 dan kyai Ahmad Dahlan sendiri memiliki 6 orang saudara laki-laki dan beberapa istri.107 Dalam soal akidah Kyai Ahmad Dahlan sejalan dengan pan- dangan pemikiran ulama salaf (Mulkhan, 1990), menurutnya ber- agama itu adalah berkarya dan berbuat sesuatu, melakukan tin- dakan sesuai dengan pedoman Alquran dan Sunnah. Karena itu ia mulai melaksanakan cita-citanya itu secara nyata dengan meng- ubah arah kiblat yang sebenarnya (sebelumnya arah sholat biasa- nya ke Barat). Pada saat yang bersamaan ia mulai mengorganisasi kawan-kawannya di daerah Kauman untuk melakukan pekerjaan

106Ke-6 orang anak itu adalah; Johannah (putri, lahir 1890), Siraj Dahlan (putra, lahir 1898), Siti Busro (putrid, lahir 1903), Siti Aisyah (putrid, lahir 1905), Irfan Dahlan (putra, lahir 1905-kembaran), Siti Zuharah (putrid terakhir, lahir 1908), Ibid, hlm. 62. 107Saudara K.H. Ahmad Dahlan iaitu; Nyai Khotib Harun, Nyai Muchsin 9dikenal juga dengan Nyai Lurah Achmad Nur), Nyai Haji Muhammad Shaleh, Nyai Haji Abdurrahman, Nyai Haji Muhammad Faqih, Muihammad Basir yangmerupakan satu- satunya saudara laki-laki, K. H. Ahmad Dahlan sendiri merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara. Adapun Istri K.H. Ahmad Dahlan iaitu; Siti Walidah, Janda Haji Abdullah yang memperoleh seorang anak bernama R. Duri, janda Nyai Rum memperoleh seorang anak yang meninggal semasa bayi, janda nyai Aisyah memperoleh seorang anak yang diberi nama Dandanah, Janda Nyai Sholihah tanpa dikaruniai anak. Ibid, hlm. 62. 104 YUSRIL IHZA MAHENDRA

suka rela dalam memperbaiki jalan-jalan dan parit-parit.108 Dalam upaya mengubah arah kiblat kepada arah sebenarnya di Masjid Sultan Yogyakarta beliau mengalami kegagalan, maka dari itu ia membangun langgarnya sendiri dengan meletakkan arah kiblat yang tepat, tetapi perubahan itu tidak disenangi penghulu Kyai Haji Mohammad Halil dengan perintah untuk membinasakan lang- gar itu. Hampir putus asa dan berkeinginan untuk meninggalkan kota kelahirannya, keadaan ini teratasi berkat seorang keluarga- nya dengan membangunkan untuknya sebuah langgar yang lain, dan Ahmad Dahlan dapat mengajarkan serta mempraktekkan aga- ma menurut keyakinannya.109 Baginya, orang yang beragama adalah orang yang menghadapkan jiwa dan hidupnya hanya kepada Allah SWT semata, yang dibuktikan dengan tindakan dan perbuatan seperti rela berkorban baik harta benda miliknya dan dirinya, serta bekerja dalam kehidupan untuk yang Mahakuasa. Kemampuan penalaran (akal pikiran) untuk memahami Alquran dan Sunnah dari keduanya akan ditemukan dalam kaidah hukum yang eksplisit dan ini diperlukan kemampuan penggunaan daya pikir melalui ijma serta qiyas. Di sinilah diperlukan ilmu mantiq (logika). K.H. Ahmad Dahlan mengemukakan, “mati adalah bahaya, akan tetapi lupa kepada kematian merupakan bahaya yang jauh lebih besar dari kematian itu sendiri.” Sebab itu menurut Ahmad Dahlan perlu ditanamkan ghirah dan gerak hati untuk maju dengan landasan moral serta ikhlas dalam beramal. Sedangkan kunci untuk menuju kemajuan umat Islam ialah dengan pemahaman terhadap berbagai ilmu pengetahuan yang sedang berkembang di tengah kehidupan masyarakat. Beliau berpesan, “menjadilah insinyur, guru, meester dan kembalilah berjuang dalam Muhammadiyah.”110 Makna pembaruan yang diperkenalkan

108Deliar Noer memberikan penjelasan untuk pemahaman yang lebih bermakna mengenai soal ini, ia mengemukakan; perubahan-perubahan ini, walaupun bagi kita sekarang mungkin sangat kecil ertinya, tetapi ini memperlihatkan kesadaran Dahlan mengenai perlunya membuang kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik dn yang menurut pendpatnya memang tidak sesuai dengan Islam, lihat Deliar Noer dlam Gerakan Modern Islam…, hlm.85. 109Ibid. 110Mulkhan, Ibid, hlm. 64-65. GERAKAN MODERNIS ISLAM 105

K.H. Ahmad Dahlan tidak semata mengambil dari Abduh, ia mampu menguraikan persoalan bagaimana kemajuan Islam dibangun dengan belajar dari mana saja sejauh itu membawa kemaslahatan umat Islam di tanah air ini. Sebagai bukti dapatlah disebutkan seperti pendirian PKU (Pusat Kesehatan Umum), Aisyiah dan kepanduan Hizbul Wathan, yang awalnya melihat cara- cara yang dipakai misionaris Kristen untuk dijadikan contoh. Kegiatan amal sholeh secara ikhlas memang telah dilakukan di kalangan umat, tetapi kegiatan pemberian amal untuk fakir- miskin, pengumpulan zakat, bantuan kepada anak yatim-piatu masih dilakukan secara sendiri-sendiri, tidak secara terorganisasi. K.H. Ahmad Dahlan mulai mempelopori dengan pengorganisasian secara lebih terencana dengan penyediaan sarana-sarana untuk pemberian pelayanan sosial bagi umat secara permanen dan dimodernisasikan sesuai kemajuan ilmu pengetahuan, bukan bersifat tradisi. Gerakan kepanduan Muhammadiyah yang dikenal dengan Hizbul Wathan yang dibentuk pada tahun 1918, dirintis sendiri oleh K.H. Ahmad Dahlan setelah memperoleh soal kepanduan dari seorang guru Muhammadiyah yang mengajar di kota Solo ketika melihat latihan-latihan kepanduan misi Kristen di alun-alun (tanah lapang) Mangkunegaran. Ia melihat manfaat organisasi ini dengan ditambahkan kegiatan agama yang tujuannya untuk mempersiapkan mereka pada saat dewasa ketika bergabung dengan Muhammadiyah.111 K.H. Ahmad Dahlan, sebagaimana halnya para Modernis Islam yang bangkit di kawasan Asia (khususnya di India dan Pakistan) pada periode awal seperti Sir Ahmad Khan, Syed Ameer Ali, Muhammad Iqbal, dan Muhammad Ali Jinnah, rumusan pembaru- an mereka berangkat dari pendekatan sosiologis yang berbasis Islami serta berorientasi keumatan melalui aktualisasi ajaran Is- lam secara konkret, ditata dalam operasional yang modern dengan bersumber kepada prinsip Alquran dan Sunnah. Seperti halnya K.H. Ahmad Dahlan, pemimpin-pemimpin Islam dan ulama Indo- nesia mulai banyak pergi mengunjungi Timur Tengah (Arab dan

111Deliar Noer, Ibid, hlm. 91-92. 106 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Mesir) pada saat menunaikan ibadah haji, kemudian mereka melakukan tukar informasi mengenai berbagai persoalan Islam yang ada di tanah air masing-masing, melakukan dialog intensif dengan mengembangkan konsepsi pembaruan tersebut di negerinya. Pembaruan itupun bagai pulang ke negeri dan rumah- nya sendiri, usaha pendiri Muhammadiyah di bidang pendidikan, sesungguhnya tidak sendiri karena para sahabatnya ketika belajar di Mekah al-Mukarramah juga merintis pendidikan tersebut baik seperti Syekh Ahmad Khatib dan Haji Rasul di Sumatera. Organisasi Muhammadiyah yang berdiri 8 Dzulhijjah 1330 H/ 13 November 1912 dengan nota pengantar 20 Desember 1912, sekitar tahun 1908 telah mendirikan sekolah (formal) yang per- tama yakni madrasah ibtidaiyah (setingkat sekolah dasar) di ru- mah sendiri sempit dengan ukuran 2,5 x 6 meter dengan penge- lolaan secara modern dan mempergunakan metode dan kurikulum baru. Murid pertama sekolah ini hanya 6 orang dan setengah ta- hun kemudian mencapai 20 orang. Sebelumnya sepulang dari menunaikan ibadah haji pada tahun 1905, K.H. Ahmad Dahlan telah mendirikan “pondok” yang lebih tepat disebut dengan asra- ma pemondokan untuk menampung para pelajar dari luar yang belajar di kota Yogyakarta. Pada tahun 1914, ia mendirikan per- kumpulan kaum ibu. Awalnya diberi nama Apatresna, kemudian diubah menjadi Aisyiyah pada tahun 1920.112 Deliar Noer menje- laskan bahwa tahun 1920, tahun perluasan bagi organisasi Muhammadiyah, keberadaan organisasi ini mulai dirasakan man- faatnya bagi umat Islam di Indonesia. Dalam beberapa tempat kehadiran pedagang Minangkabau yang merupakan hasil gerakan pembaruan di Sumatera Barat adalah bantuan yang sangat ber- harga bagi Muhammadiyah. Nurul Islam di Pekalongan telah ber- ubah menjadi Cabang Muhammadiyah, Fakih Hasyim, ulama Mi- nang dan seorang pedagang di Surabaya telah memperkenalkan pemikiran-pemikiran pembaruan ini di kota Surabaya sendiri. Kyai Haji Mas Mansur yang di kemudian hari menjadi pimpinan tertinggi Muhammadiyah mendirikan organisasi di kota ini de-

112Mulkhan, Ibid, hlm. 70-72. GERAKAN MODERNIS ISLAM 107

ngan mendapatkan tanah yang subur di kalangan pengikut Fakih Hasyim. Sedang cabang pertama di luar Jawa didirikan di Mi- nangkabau oleh Haji Rasul yang sangat tertarik dengan kegiatan organisasi Muhammadiyah saat ia berkunjung ke Jawa pada tahun 1925. Cabang Muhammadiyah yang pertama di Sumatera sebenarnya menurut Hamka didirikan di Medan, tetapi cabang ini berumur pendek.113 Dalam tahun 1927 Muhammadiyah men- dirikan cabang di Bengkulu, Banjarmasin dan Amuntai, sedang tahun 1929 pengaruhnya tersebar ke Aceh dan Makasar. Para mubaligh dikirim ke daerah tersebut dari Jawa atau dari Minang- kabau untuk menyebar cita-cita Muhammadiyah.114 Pandangan pemikiran K.H. Ahmad Dahlan berkaitan dengan misi dakwah Muhammadiyah ke depan adalah perlunya menempuh metode kaderisasi dengan jalan melakukan binaan secara langsung pada generasi muda guna menyiapkan fungsionaris gerakan. Ini dimulai dengan pendirian perkumpulan kepanduan Hizbul Wathan dan Fathul Asra Miftahus Sa’adah (yang tidak tertampung di Hizbul Wathan), umumnya anggota pengajian ini para remaja yang kurang terbina akhlak dan mentalnya. Penanaman semangat ijtihad menjadi penting pula di tengah para anggota organisasi ini, semua itu dilakukan untuk menghadapi perubahan dan perkembangan dunia modern agar tidak bersikap fatalis dan taklid di kalangan umat Is- lam. Menurut K.H. Ahmad Dahlan, “rakyat kecil, kaum miskin, para hartawan dan para intelektual merupakan medan dan sasaran gerakan dakwah Muhammadiyah.”115 Karena itu pelanjut kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan yakni K.H. A.R. Fachruddin mengatakan bahwa apa yang dikerjakan116 K.H. Ahmad Dahlan sepanjang kepemimpinannya di organisasi Muhammadiyah adalah, meluruskan Tauhid, meluruskan cara beribadat dan meluruskan apa yang bernama muamalah; hubungan antara sesama manusia

113Mulkhan, Ibid, hlm. 70-72. 114Hamka, Ayahku, Ibid, hlm. 120. lihat juga dalam Deliar Noer, Ibid, hlm. 88. 115A.S. Sutan Mansur, ketua umum Muhammadiyah dari 1950-1959, dimasa mudanya banyak berbuat untuk menyebarkan organisasi ini di Aceh dan Kalimantan. Lihat Deliar Noer, Ibid, hlm. 89-95. 116Mulkhan, Ibid, hlm.65. 108 YUSRIL IHZA MAHENDRA

hendaknya benar-benar menerapkan tuntutan-tuntutan Islam. K.H. Mas Mansur (1896-1946), adalah salah seorang yang per- nah memegang pimpinan puncak di Muhammadiyah setelah K.H. Ahmad Dahlan. Beliau datang dari latar belakang pendidikan tra- disionalis, baik yang ada di tanah air maupun ketika bermukim di Timur Tengah. Ia berhasrat kuat untuk mengubah cara berpikir dan beragama umat yang dinilainya telah banyak tercampur de- ngan tradisi yang tidak bersumber dari Islam. Perbedaan dari kedua tokoh puncak Muhammadiyah ini adalah bahwa Kyai Ah- mad Dahlan tidak mewariskan karya tulis sedangkan K.H. Mas Mansur memilikinya meskipun sedikit dan mempelopori pendiri- an klub studi Islam yang diberi nama Taswirul Afkar. Pada usia dua belas tahun tepatnya pada tahun 1908, ia dikirim ke Mekah sebagai pilihan lain dari sekolah Belanda dengan berguru kepada ulama Arab Syekh Muhammad Khayyah, serta ulama dari Jawa seperti Syekh Ahmad Khatib. Selama di sana ia banyak berke- nalan dengan pemuda yang kelak menjadi para pemimpin di tanah air seperti K.H. Abdul Halim yang di kemudian hari menjadi pe- mimpin dari Persarikatan Ulama Majalengka, K.H. Abdul Wahab Hasbullah yang menjadi sahabat seperjuangan di kota Surabaya dan pendorong organisasi Nahdatul Ulama (Noer 1982: 80). Empat tahun selepas ia belajar di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, beliau mengunjungi sejumlah negeri Islam di Afrika Utara di antaranya pendidikan Islam Shanggit, sebuah sekolah terkenal di gurun Sahara di selatan kota Tripoli, Libya tahun 1915. Dalam usia lima belas tahun ia kembali ke tanah air dengan menetap di kota Surabaya dan bergabung dengan organisasi Sarikat Islam dan dipercaya untuk menduduki pimpinan sentral persarikatan itu. Ia kemudian berkenalan dan berdiskusi dengan K.H. Ahmad Dahlan. Tertarik dengan Muhammadiyah, ia kemudian menyata- kan diri sebagai anggota bersama K.H. Fakih Hasyim, seorang ulama asal Minangkabau, lalu mereka mendirikan cabang perse- rikatan Muhammadiyah pada 1 November 1921, di Surabaya (Noer 1982: 247). Ia aktif juga di Sarikat Islam (SI). Puncak karir K.H. Mas Mansur adalah terpilih sebagai Ketua Umum Pimpinan GERAKAN MODERNIS ISLAM 109

Pusat (PP) Muhammadiyah dalam kongres yang ke-26 di kota Yogyakarta.117 Tahun 1926 di usia 30 tahun, K.H. Mas Mansur terpilih sebagai ketua Muktamar Alam Islam Far’ul Al-Hindi Al- Syarqi (Mahis) sebuah federasi organisasi atau perkumpulan-per- kumpulan Islam yang ada di masa itu dan sebagai Sekretaris Jen- deral adalah H. Agus Salim. Pada tahun itu ia telah pula terpilih sebaga ketua Haji Organisatie Hindia (HOH) dan bersama-sama dengan HOS Tjokroaminoto, ia terpilih mewakili Indonesia se- bagai delegasi Muktamar Alam Islamy di Mekah. K.H. Mas Man- sur turut memprakarsai berdirinya Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) sekaligus duduk sebagai salah satu pimpinannya. Pada tahun 1938, ketika memegang kedudukan Ketua Muhammadiyah, bersama Dr. Soekiman Wirjosanjojo dan Wiwoho, mereka ber- juang melawan Belanda dan ketika ditangkap dalam keadaan sakit. Di dalam status tahanan itulah K.H. Mas Mansur meng- embuskan napas terakhir, tepatnya 25 April 1946.118 Tiga hal penting dari pemikiran K.H. Mas Mansur yang ber- hubungan dengan kehidupan politik dan masyarakat zaman itu: berjuang membebaskan umat dari belenggu kejumudan (stag- nant); kebodohan; serta kemiskinan. Selepas dari keadaan itu, ia memperjuangkan umat untuk dipersatukan dan diarahkan guna mencapai kehidupan masyarakat yang bebas dan mandiri. Pemi- kiran lainnya adalah membangkitkan kesadaran kebangsaan de- ngan cara menanamkan rasa cinta tanah air. Ia menyoroti perso- alan kemunduran umat, yang menurutnya ini disebabkan oleh empat hal, yaitu: iman yang tipis, tidak memiliki kecerdasan, para pemimpin hanya pandai bicara, serta syiar agama yang sangat kurang, dan nampaknya ia sangat terpengaruh kuat dari pemikir- an modernis dari Mesir Mohammad Abduh serta Jamalluddin Al-Afghani dan Syekh Mohammad Rasyid Ridho.119 117Ibid. 118K.H. Mas Mansur tampil karena suara muktamar menghendaki agar Muhammadiyah dipimpin seorang muda yang progresif. Saat terpilih usia K.H. Mas Mansur adalah 41 tahun, lihat Djarnawi Hadikusumo, Matahari-matahari Muhammadiyah dari K.H. Ahmad Dahlan sampai K.H. Mas MANSUR, Yogyakarta, Peratuan (t.t), hlm. 39-42. 119Muhammad Hasyim, Pemikiran Mas Mansur; kemajuan bangsa dan Nasionalisme dalam Dwi Purwoko (et.all), Negara Islam, Depok, Permata Artistika, 2001, hlm. 18-24. 110 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Mengenai persatuan dan cinta tanah air (Nasionalisme), K.H. Mas Mansur mengemukakan: Perintah-perintah agama Islam untuk menyam- bung persaudaraan, memberi maaf kepada teman yang berbuat kesalahan, menghargai diri, saling mengun- jungi, memberi salam, tolong-menolong satu kepada yang lain…, ini semuanya kalau kita selidiki illat atau hikmahnya, tentulah perkara-perkara tersebut adalah perkara yang mendatangkan kepada persatuan.120 Pada tahun 1939, bersama pemimpin Islam lainnya seperti Abi- kusno, M. Husni Thamrin, Sanusi Pane dan nasionalis lainnya, Dr. Sam Ratulangie, mendirikan Gabungan Politik Indonesia (GAPI) Ia terpilih sebagai ketua akan tetapi dengan alasan tidak dapat membagi waktunya, ditolaknya kepercayaan itu. Mengenai persoalan yang berkenaan dengan cinta tanah air yang saat itu sedang terjadi perdebatan hangat di kalangan tokoh pergerakan nasional, khususnya kalangan Islam dengan kalangan sekuler, K.H. Mas Mansur mengemukakan: Tiap jiwa mempunyai ruh, dan tiap ruh itu bertanah air pada jiwanya, tidak ubahnya ruh saya juga bertanah air kepada jiwa dan badan saya, dan kewajiban bagi saya untuk menjaganya, memeliharanya, mencintainya kepada tanah air yang bertempat kepada jiwa saya. Orang yang mengendalikan cinta tanah air itu termasuk kepada iman adalah tidak benar…, agama Islam tidak bertanah air, tetapi kaum Muslimin bertanah air, agama Islam tidak berkebangsaan, tetapi kaum Musliminnya berbangsa-bangsa menurut tempat dan daerahnya.121 K.H. Mas Mansur mengemukakan pandangan pula mengenai ba- gaimana umat Islam mampu keluar dari tantangan berat yang di- hadapi agar dapat bangkit dari kemunduran, kebodohan serta ke- kalahan dari penindasan kaum penjajah. Empat prasyarat untuk

120Ibid, hlm. 26-28 121Ibid, hlm. 36-37 GERAKAN MODERNIS ISLAM 111

mampu keluar dari semua itu adalah kembali ke Alquran dan meng- amalkan ayat-ayatnya, tidak hanya dibaca semata tetapi dilak- sanakan, serta perlu perpaduan kaum ulama dengan kaum terpelajar untuk bekerjasama dalam membela agama Tuhan (Islam). K.H. Mas Mansur telah meninggalkan jejak perjuangan yang sa- ngat luar biasa peranannya dalam kazanah pentas politik Indonesia serta dakwah agama Islam melalui perserikatan Muhammadiyah. Pada tingkat nasional, ia dengan usianya yang masih muda belia, telah ditempatkan sebagai pemimpin nasional yang masuk dalam “empat serangkai pemimpin bangsa” bersama dengan Soekarno, Mohammad Hatta dan Ki Hajar Dewantara pada masa pendudukan Jepang. Pemikirannya yang luas membuatnya sangat disegani di tengah para elit agama maupun elit politik pada masa itu, hal itu dapat dibuktikan dengan pemberian kepercayaan memegang pucuk pimpinan di sejumlah organisasi, baik organisasi keagamaan maupun organisasi politik yang mewakili berbagai perkumpulan dan organisasi pergerakan dan berjuang demi kemerdekaan tanah air Indonesia. Pemerintah pendudukan Jepang menyadari akan pengaruhnya yang sangat besar, karena itu ia dipilih untuk mewakili kalangan Islam untuk turut serta memikirkan bangsanya. Namun di usia yang masih muda, ia telah dipanggil-Nya, wafat dalam keadaan masih dalam tahanan sebagai sahid.

Persatuan Islam (Persis): A.H. Hassan dan DR. Mohammad Natsir

EBUAH perkumpulan bernama Persatuan Islam didirikan 17 September 1923 (1342 H), di Kota Bandung, Jawa Barat. Pendiri S organisasi yang bergerak di bidang sosial, pendidikan dan keagamaan ini adalah K.H. M. Zamzam (1894-1952) dan H. Muham- mad Yunus, dua orang saudagar asal Palembang. Pengambilan nama organisasi dengan sebutan tersebut menurut tafsir qanun asasi diilhami oleh Alquran dalam surat Ali Imran ayat 103, dan hadis 112 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Nabi yang berbunyi: “Kekuasaan Allah beserta jamaah.”122 Namun dalam perkembangannya, pengaruh kepemimpinan serta pemikiran lebih kuat datang dari seorang guru yang bernama A. Hassan, yang dengan kepemimpinannya Persis tumbuh dengan sifat yang militan dan puritan.123 Tujuan organisasi Persis adalah mengamalkan Is- lam yang seutuhnya dalam segi kehidupan anggotanya dalam masyarakat dan menempatkan kaum Muslimin pada ajaran aqidah dan syariat yang murni berdasarkan Alquran dan Assunnah, melalui programnya yang meliputi: (1) mengembalikan Muslimin kepada kepemimpinan Alquran dan Assunah; (2) membasmi bid’ah, khurafat dan takhayul, taklid, syirik dalam kalangan umat; (4) memperluas tersiarnya tabligh dan dakwah Islam ke segenap lapisan masyarakat; (5) mendirikan madrasah atau pesantren untuk mendidik putra-putri muslim dengan dasar Alquran dan Assunah.124 Daerah Periangan mulai mendapatkan pengaruh dari gerakan Mo- dernis Islam dengan berdirinya Persis (Persatuan Islam). Walaupun sebenarnya Serikat Islam telah memasuki kota ini sejak tahun 1913, Bandung nampaknya agak lambat memulai pembaruan dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Tulisan-tulisan A. Hassan yang tajam dilandasi dasar rujukan yang kuat dari kitab Alquran, serta hadis- hadis sahih. Ia bukan seorang pribumi asli (Melayu-Sunda), melainkan seorang keturunan India yang lahir di Singapura pada tahun 1887.125 Pengaruh kalangan Persis itu sendiri tersebar sampai ke Semenanjung Malaysia, yaitu ke Perlis, sebuah Negara bagian yang berbatasan

122M. Fachry, Ibid, hlm. 12. 123Herbert Feith & Lance Castle, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, Jakarta, LP3ES, 1988, hlm. 196. 124M. Fachry, Ibid. 125A. Hassan berasal dari keluarga campuran, Indonesia dan India. Ayahnya bernama Sinna Vappu Maricar, adalah seorang penulis dan seorang anggota dalam Islam serta kesusastraan Tamil. Ibu Hassan berasal dari keluarga sederhana di Surabaya, lihat Deliar Noer, Gerakan…, Ibid, hlm. 97-98. Mengenai riwayat hidup A. Hassan, lihat Federsfield, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia, Ithaca, Cornell University Press, 1970, hlm. 13-14. H.Endang Syaifuddin Anshari dan Syafiq A. Mugni, A. Hassan Wajah dan Wijhah Seorang Mujtahid, Bangil; F.A. al-Muslimun, 1980, hlm. 17-20. Lihat juga, Deliar Noer, Gerakan…, Ibid, hlm. 97-200. GERAKAN MODERNIS ISLAM 113

dengan Muangthai di bagian utara Semenanjung. A. Hassan dalam mengembangkan serta menyampaikan misi dakwahnya telah mener- bitkan sendiri kumpulan tulisannya. Penerbitan yang dilakukannya itu disambut baik almarhum Syekh Haji Abu Bakar Asy’ari, yang pernah mengetuai sekolah agama di Arau, Perlis dan juga imam be- sar Masjid Ja’mi di Kangar Perlis,126 sementara di kalangan intelektual Indonesia, pemikiran Persis tersebar melalui tulisan serta aktivitas Mohammad Natsir, murid dari A. Hassan. Bahkan ketika Soekarno dibuang oleh pemerintah Hindia Belanda di Endeh Flores, Nusa Tenggara Barat, ia pun melakukan surat-menyurat dengan ulama Persis ini sebagai tempat merujuk untuk lebih memahami kandungan ajaran Islam, selain melakukan polemik yang cukup tajam. Kalangan Persis, khususnya A. Hassan sangat menyukai adanya debat atau pertemuan terbuka mengenai Islam, dan ini sering dilakukan kalangan Persis masa itu baik melalui tulisan-tulisan maupun per- debatan secara langsung atau pertemuan di hadapan para jamaah, terutama sekali dengan kalangan tradisional Islam, serta kalangan nasionalis sekuler. Menurut Federsfield, salah satu ciri organisasi Modernis ini se- telah dipimpin A. Hassan, sifatnya sangat militan di dalam mem- bela prinsip-prinsip Islam. Ia menggolongkan Persatuan Islam (Persis) sebagai organisasi Muslim yang fundamentalis, memiliki kesamaan prinsip dengan Ikhwanul Muslimun di Mesir dan Jamaat Islami di Pakistan. Seperti halnya kedua organisasi pergerakan Islam di atas (Sarikat Islam dan Muhammadiyah), Persis juga me- nolak konsep negara sekuler, negara bangsa (nation state) serta menghendaki negara dan masyarakat yang dibentuk untuk meng- implementasikan konsep-konsep nilai Islam; dan hukum keagama- an Islam yang sangat dominan dalam pandangan sosial politik organisasi, muncul sebagai ideologi.127 Melalui aktivitas tabligh,

126Ini merupakan hasil wawancara Deliar Noer dengan Syed Hassan bin Syed Mohammad kepala sekolah menengah al-diniyah di Arau, Perlis, 17 Januari , 1972; Ustad Abdul Rahman Ismail Imam Masjid Kangar Perlis, 16 januari 1972; Haji Saleh bin Haji Usman, Mufti Perlis, 18 Januari 1972. 127Federsfield, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia, Ithaca, Cornell University Press, 1970, hlm. 11. 114 YUSRIL IHZA MAHENDRA

penerbitan pamplet, majalah, buku dan pendirian institusi-institusi pendidikan lainnya, Persatuan Islam berusaha menyebarkan dasar-dasar pemikirannya (ideologi Persis) yang radikal, dan peranan muridnya Mohammad Natsir sebagai juru bicara pada saat itu sekaligus anggota redaksi majalah Pembela Islam128 menjadi demikian sangat penting. Mohammad Natsir selaku redaksi ma- jalah itu, telah memperkokoh organisasi dalam posisinya meng- hadapi ancaman eksternal Kerstening politiek129 Ini dilancarkan kalangan misionaris dan zending Kristen yang didukung pe- merintah kolonial Belanda, sehingga umat Islam ketika itu meng- hadapi dua lawan: kolonial dan misi Kristen. A. Hassan dalam menanggapi seruan Nasionalisme yang dike- mukakan Soekarno, menyamakan paham kebangsaan (Nasional- isme) dengan Ashabiyyah yaitu semangat kesukuan (Spirit of the clan) yang menuntut anggota suku setia kepada rasa kesukuan (Phi- lip. K. Hitti, 1960: 27).130 Dikemukakan oleh A. Hassan, “mendirikan vereniging (perkumpulan kebangsaan), mengajak orang pada kebangsaan, menolong partai kebangsaan itu, dilarang agama Is- lam”.131 Masuk partai nasional berarti meninggalkan Islam, sebab jelas dasar-dasar Nasionalisme bertentangan dengan agama Islam, serta dasar pergerakan kebangsaan menuju kepada membuang undang-undang Allah Swt dan Rasul-Nya dan mengganti dengan hukum bikinan manusia.132 A. Hassan secara prinsip menyinggung masalah cinta tanah air dengan menandaskan bahwa pada dasar- nya tidak ada larangan agama untuk mencintai bangsa dan tanah air, agama tidak menghalangi seseorang mencintai segala sesuatu bahkan tanah dan pasir yang ada di negerinya, hanya janganlah dibawa-bawa agama dalam urusan yang agama tidak jadi urusan.133

128“Pembela Islam” (1929-1935) adalah majalah tengah bulanan yang diterbitkan tokoh- tokoh Persis di Bandung. Majalah ini kemudian dilarang penguasa karena dianggap menyerang Kristen, lihat Ahmad Suhelmi, Soekarno versus Natsir…, Ibid, hlm. 27. 129Lihat Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta, LP3ES, 1985, hlm. 16-38. 130Philip K. Hitti, History of the Arabs, London, Macmillian and Co. Ltd, 1960, hlm. 27. 131 A. Hassan, “Soal Jawab,” dalam G F Pijper, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950, Tujimah dan Jessi .A. (terj.), Jakarta, UI Press, 1984, hlm. 132-133. 132A. Hassan, Islam dan Kebangsaan, LPP Persis, Bangil, 1984, hlm. 24. 133Ibid, hlm. 42. GERAKAN MODERNIS ISLAM 115

Di kalangan nasionalis sekuler terdapat keyakinan bahwa pengalaman sejarah (history) dan kehendak hidup bersama, dapat dijadikan dasar ideologi perjuangan bangsa, kalangan ini diilhami dari pemikiran Ernest Renan mengenai pengertian bangsa (na- tion). Renan dalam satu tulisannya mengemukakan tentang pem- bentukan bangsa, menurutnya bangsa adalah “suatu asas rohani, yang timbul dari keadaan-keadaan historis yang tersusun secara mendalam.”134 Terbentuknya asas rohani itu tidaklah cukup de- ngan ras, bahasa, agama atau kepentingan bersama saja, yang lebih penting menurut Renan keinginan untuk hidup bersama dan pemujaan nenek moyang adalah (ibadat) paling sah; nenek moyang kita seperti diri kita sekarang ini.135 Jadi bangsa itu suatu solidaritas besar yang meminta korban banyak, dan bersedia untuk memberikan korban itu lagi,136 persoalannya apakah nasi- onalisme di Indonesia berangkat sejauh itu? Ahmad Syafi’i Maarif berpandangan bahwa “Nasionalisme Indonesia seperti halnya Nasionalisme Asia lainnya, untuk meminjam Nehru, adalah manifestasi “perasaan anti” (anti feeling) terhadap dominasi politik, militer, ekonomi asing.137 Bahkan kajian dari Kahin mengenai tumbuhnya nasionalisme di Indonesia, menegaskan: Salah satu faktor yang paling penting menyokong berkembangnya Nasionalisme yang menyatu ialah tingginya tingkat homogenitas keagamaan Islam…, agama Islam bukan saja sekAdar tali pengikat bersama, sesungguhnyalah Islam telah menjadi semacam simbol kesatuan kelompok untuk melawan infiltrasi dan penindasan dari mereka yang agamanya lain.138 Kalangan Nasionalis seperti Soekarno yang netral agama kemudian berkomunikasi dengan kalangan Islam fundamentalis

134Ernest Renan, Apakah Bangsa itu? (terj.), Sunaryo, Jakarta, Erlangga, 1968, hlm. 34. 135Ibid, hlm. 35. 136Ibid, hlm. 36, bandingkanlah dengan tulisan Hans Kons, The ideology of Nationalism, Toronto, The Mc Millan Company, 1969. 137Ahmad Syafi,’i Maarif, Peta Bumi…, hlm. 116. 138 George Mc. T. Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia, Ithaca, Cornell Uni- versity, 1970, hlm. 37. 116 YUSRIL IHZA MAHENDRA

A. Hassan. Selain mereka berpolemik mengenai masalah perhu- bungan agama dengan Negara, Soekarno juga banyak menanyakan (belajar) mengenai Islam, bahkan melalui surat-menyurat, ia me- muji muridnya A. Hassan yang masih muda yaitu Mohammad Natsir.139 Soekarno, bekas pemimpin Partai Nasional (Partindo) selama mengalami pembuangan (1934-1938) di Flores dan Beng- kulu (1938-1942), setelah ia melihat aktivitas yang tiada menge- nal lelah dari kalangan misi Kristen terutama Katolik untuk men- dapatkan pengikut-pengikut yang taat di kalangan orang-orang yang ditahan serta di kalangan rakyat Flores, nampaknya memulai mengarahkan perhatiannya terhadap soal-soal hidup dalam pengertian agama yang mendalam, soal-soal rohaniah, khususnya mengkaji Islam secara serius melalui komunikasi surat-menyurat dengan tokoh Persis A. Hassan. A. Hassan banyak mengirimkan bahan-bahan bacaan kepada orang yang sedang dalam pembuangan itu, dan Soekarno sendiri mengaku, ia mengalami perubahan jiwa dan sikap terhadap Islam seperti dikemukakannya: …dari jiwa yang Islamnya hanya meraba-raba sahaja menjadi jiwa yang Islamnya yakin, dari jiwa yang mengetahui adanya Tuhan tetapi belum mengenal Tuhan, menjadi jiwa yang sehari-hari berhadapan dengan Dia, dari jiwa yang banyak falsafah ke-Tuhanan tetapi belum mengamalkannya itu menjadi jiwa sehari- hari menyembah kepada-Nya.140 Soekarno yang dalam pembuangannya selanjutnya di Bengkulu menjadi anggota Muhammadiyah,141 mulai menulis mengenai ma- salah-masalah Islam, masalah yang menyebabkan kemunduran Islam dan anjuran perbaikannya. Salah satu tulisannya adalah Rethinking Islam. 139Ketika Soekarno berada dalam pembuangan di Flores, dia mengirimkan sepucuk surat kepada A. Hassan, ia memuji Natsir (Mohammad Natsir) dalam aktifitasnya di dalam Persatuan Islam. Lihat surat Soekarno No. 2 dan no. 9 dalam Soekarno, Surat-surat Islam dari Endeh, Bandung, Persatuan Islam, 1936. 140Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I, Jakarta, Panitia Penerbit, 1959, hlm. 342. Lihat juga Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, Jakarata, Rajawali Press, 1983, hlm. 187-188. 141Deliar Noer, Pemikiran…, Ibid, hlm. 188-189. GERAKAN MODERNIS ISLAM 117

Sebuah aktivitas yang penting dalam rangka aktivitas pen- didikan Persis ini adalah lembaga pendidikan Islam, sebuah pro- yek yang dilancarkan anggota muda Mohammad Natsir, dengan mendirikan beberapa buah sekolah: Taman kanak-kanak (Tadika), HIS (keduanya tahun 1930), MULO (1931) dan sebuah sekolah guru (1932). Inisiatif Mohammad Natsir ini merupakan jawaban terhadap tuntutan berbagai pihak, termasuk mereka yang mengambil pelajaran privat dengan melihat telah berdirinya sekolah swasta di Bandung di mana pelajaran agama Islam tidak diajarkan, selain sebuah pesantren yang didirikan Persis di Bandung pada tahun 1936, untuk membentuk kader-kader, usaha ini merupakan inisiatifnya. Pesantren ini kemudian dipindahkan ke Bangil-Jawa Timur, ketika sang guru (A. Hassan) pindah ke sana dengan membawa 25 dari 40 murid dari Bandung. Persis juga mencetak majalah al-Fatwa pada tahun 1931 yang berbahasa Indonesia dengan dicetak memakai huruf Jawi, yang beredar hingga ke Sumatra dan Kalimantan. Selain itu mereka mencetak pamflet, brosur dan buku yang isinya membahas soal agama, la- poran mengenai perdebatan yang dilakukan Persis dengan pihak lain, kemudian majalah al-Ihsan yang menggantikan Pembela Islam pada tahun 1935, ini semua akhirnya terhenti ketika Jepang masuk di Indonesia.142 Mengenai murid A. Hassan yaitu Mohammad Natsir yang memiliki peranan cukup besar terhadap lebih dikenalnya pemikiran- pemikiran dan misi Persis serta peranannya yang sangat menonjol dalam membincangkan masalah Nasionalisme, masalah hubungan agama dan negara, soal kepemimpinan pemerintahan dan mengenai bentuk negara yang akan didirikan kelak, terutama polemiknya dengan pemimpin pergerakan dari kalangan Nasionalis netral agama atau sekuler, akan penulis kemukakan lebih lanjut. Cita-cita politik keislaman pada periode ini yang ditulis oleh Mohammad Natsir (1908-1993) adalah responsnya terhadap

142Pelajar-pelajar dari sekolah menengah dan sekolah guru Persis harus mengikuti disiplin yang ketat. dalam penerimaan, mereka harus membaca syahadah dan mengambil sumpah…, Ibid, hlm. 101. 118 YUSRIL IHZA MAHENDRA

kalangan nasionalis netral agama (nasionalis sekuler), yang di- pelopori PNI dengan pendukungnya seperti Soekarno, Tjipto Mangunkusumo. Kota Bandung merupakan salah satu basis uta- ma kekuatan PNI, dan Natsir sebagai aktivis Persis yang ber- mukim di sini, sering mengunjungi aktifitas propaganda kalangan radikal tersebut. Cita-cita kalangan radikal PNI seperti yang dipropagandakan Soekarno merupakan daya tarik bagi Moham- mad Natsir, tetapi kadang-kadang ejekan-ejekan terhadap aturan agama Islam ini menyadarkan bahwa gerakan kebangsaan yang dipelopori Soekarno dan kawan-kawan mengandung bibit keben- cian dan memandang enteng kepada Islam (Puar,1978:7). Tokoh ini lahir di Alahan Panjang-Sumatera Barat pada 17 Juli 1908 dari seorang ayah bernama Idris Sutan Saripado dan ibu bernama Khadijah. Desa di tanah ranah Minang ini telah mengenal gema dari pengaruh dan gagasan pembaruan Islam, dan di kota ini telah dikenal suatu norma berupa fokway,143 yang berfungsi mensosialisasikan seorang anak agar belajar hidup mandiri dan menghayati nilai-nilai dasar Islam yaitu kebiasaan di surau-surau.144 Kebiasaan-kebiasaan ini dialami Natsir pada saat usianya delapan tahun, dalam usia yang relatif muda, ia telah mengalami sosialisasi nilai-nilai Islam. Hal lain juga disebabkan kuatnya pengaruh gagasan Modernis Islam. Faktor lainnya ber- kait dengan milleu, yakni lingkungan sosio-kultural di mana Natsir berada pada masa kanak-kanak, yang bisa menjelaskan perbedaan dengan milleu kalangan pergerakan nasionalis sekuler Jawa seperti Soekarno. Pendidikan formal Natsir dimulai pada usia delapan tahun, ketika memasuki HIS ia tidak tinggal dengan orangtua, tetapi dengan pamannya, yakni HIS Adabiyah partikelir yang didirikan

143Koentjaraningrat mendefinisikan “folkways” sebagai norma-norma yang kurang berat sehingga apabila dilanggar tidak ada akibat yang panjang selain hanyan tertawaan, ejekan atau pergunjingan saja dari orang ramai, lihat, Pengantar Antropologi, Jakarta, Aksara, 1980, hlm. 221. 144Di Minangkabau, surau-surau sebagai tempat latihan keagamaan, terbentuk karena adanya proses Islamisasi yang berkaitan dengan aspek-aspek politik, perdagangan dan keagamaan. Peranan pesantren (surau) sangat besar di Minangkabau, Taufiq GERAKAN MODERNIS ISLAM 119

pada 23 Agustus 1915, oleh Haji Abdullah Ahmad. Beliau adalah salah seorang ternama di kalangan pembaharu di kota Padang. Ia kemudian pindah ke HIS dengan sistem sepenuhnya Barat (Be- landa) di kota Solok dengan menetap di rumah Haji Musa, yang pagi hari ia sekolah di HIS, sore belajar di Madrasah Diniyah dan malam hari mengaji,145 Ini fase awal Natsir berinteraksi de- ngan sistem Kolonial,146 di HIS Solok pendidikannya menjunjung tinggi etika kerja, ulet, dedikasi, memiliki integritas dan teguh memegang prinsip hidup. Natsir kemudian menamatkan pendidikan HIS tahun 1923, melanjutkan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di kota Padang. Masa itu siapa saja yang dapat melanjutkan studi ke MULO adalah pelajar yang me- miliki kelebihan dibanding orang lain. Aktivitas yang penting dicatat pada kajiannya di MULO adalah anggota dalam kepan- duan (Scout) Natipij dari JIB (Jong Islamieten Bond = Perkum- pulan Pelajar Islam). JIB cabang Padang waktu itu diketuai Sanusi Pane yang terkenal sebagai sastrawan Indonesia. JIB147 memberikan latihan kepemimpinan dan kesadaran politik, dan banyak pemimpin nasional tumbuh dari sini seperti Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Yoesoef Wibisono.148 Ia menamatkan pendidikan di MULO pada tahun 1927.149 Tahun 1927, setelah menyelesaikan pendidikan dari MULO di Padang, Sumatera Barat, ia merantau ke tanah Periangan, Jawa Barat, tepatnya di kota Bandung. Ia melanjutkan kajian formal ke AMS (Algemene Middlebare School), dari sini ia mulai me- nekuni pengetahuan Barat dengan mempelajari sejarah Islam,

Abdullah & S. Siddique (Ed.), Islam and Society in Southeast Asian, Singapure, Insti- tute of South East Asian Studies, 1986, hlm. 85. 145Ensiklopedi Islam, 1993, Jilid 4, hlm. 21. 146Ahmad Suhelmy, Soekarno versus Natsir, Jakarta, Darul Fallah, 1999, hlm. 22. 147JIB merupakan organisasi atau perkumpulan muslim Indonesia yang Modernis, lihat C.van Dijk, Darul Islam Sebuah Pemberontakan, Jakarta, Grafiti Press, 1983, hlm. 17. 148Yusuf Abdullah Puar, Mohammad Natsir: Kenang-kenangan Hidup dan Perjuangan, Jakarta, Pustaka Antara, 1978, hlm.7. Lihat juga dalam Ahmad Suhelmy, Soekarno versus Natsir, hlm. 23. 149George Mc T. Kahin, “Mohammad Natsir (1908-1993): sebuah Kenangan,” dalam Anwar Haryono, M. Natsir: Sumbangan dan Pemikirannya untuk Indonesia, Jakarta, Media Dakwah, 1995, hlm. 51 120 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Romawi, Yunani dan Eropa, melalui buku-buku berbahasa Arab, Perancis dan Latin.150 Pada usianya 21 tahun, Natsir telah menguasai lima bahasa asing (Belanda, Arab, Inggris, Perancis dan Latin), dan dua bahasa daerah (Minangkabau dan Sunda). Penguasaannya atas bahasa memungkinkan Natsir melakukan penjelajahan intelektual yang nyaris tanpa batas dan membentuknya menjadi manusia kosmopolitan. Peristiwa yang mengesankan Natsir pada saat kajiannya di AMS adalah ketika ia merasa berhasil mengungkapkan keburukan sistem kerja dalam pabrik gula di Jawa yang dikemukakannya dalam makalah di hadapan teman-teman dan guru Belandanya, dan inilah perlawanan awalnya terhadap sistem kolonial.151 Natsir tertarik memilih sekolah ini, karena membuka jurusan western classic, kepala sekolahnya Van Bessem, sangat dekat dengan Natsir. Ia seringkali memberikan buku-buku bernuansa politik dan mendiskusikan isi buku tersebut betapapun pada tahun 1927 pemerintah kolonial melakukan larangan keras terhadap segala bentuk pertemuan sebagai akibat dari terjadinya pemberontakan PKI pada tahun tersebut. Siapakah guru Natsir? Mohammad Natsir tidak hanya belajar dan berdebat serta mengamati apa yang telah dilaluinya semasa di kampung dalam lingkungan tradisi Minangkabau dengan se- mangat keislaman yang berpadu dengan élan petualangan. Peng- alaman di lingkungan pendidikan formal dan berkomunikasi de- ngan guru yang membawa budaya Barat, dirangkai untuk menye- lami suasana tanah Priangan Jawa Barat dengan kota Bandung yang penuh kehalusan serta ramah, interaksinya dengan kalang- an nasionalis sekuler, semua itu menjadi kazanah dalam proses pembentukan dirinya. Apa yang terpenting dari pergulatan dan proses sosialisasi, ia memiliki banyak kesempatan dan peluang untuk menggali pengetahuan dan mengolahnya. Abikusno Tjok- rosujoso (pemimpin Sarekat Islam), dan Dr. Sukiman yang

150Ahmad Suhelmy, Soekarno…, Ibid. 151Yusuf Abdullah Puar, Ibid, hlm. 24. GERAKAN MODERNIS ISLAM 121

berlatar pendidikan Barat,152 kemudian A. Hassan dan Agus Salim, kesemuanya merupakan guru Natsir. Pemikiran Natsir juga dipengaruhi Syekh Akhmad Soorkatti pendiri al-Irsyad dan terutama dengan A. Hassan, Natsir sering berdiskusi tentang agama dan politik. A. Hassan juga memberi buku tafsir al-Furqon atau tafsir Holy Qur’an karya Muhammad Ali,153 dan dalam pandangan Natsir, A. Hassan tidak sekedar ulama, tetapi dapat mengembangkan kepribadian seseorang.154 Pemikiran Natsir juga sangat dipengaruhi Mohammad Abduh, ia terkesan dengan tafsir dan penjelasan Mohammad Abduh bahwa Islam merupakan satu sistem sosial. Tafsir tersebut lebih lanjut menjelaskan bahwa etika Islam pada dasarnya menentang penjajahan, dan menegakkan kejayaan Islam bukan hanya melalui pemurnian ajaran Islam semata, melainkan juga memahami ilmu pengetahuan Barat.155 Natsir mempunyai perhatian terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Barat. Dalam usia sekitar 21 tahun, ia telah menekuni peradaban Islam, Romawi, Yunani dan Eropa melalui buku-buku berbahasa Arab, Perancis, Latin serta Eropa.156 Hal lain, terjun dalam kancah politik tanpa bekal pengetahuan politik tidak hanya naïf, tapi juga sama artinya dengan hara-kiri politik, kenyataan ini membuat Natsir semakin tekun melahap buku-buku politik dan mulai tekun mengikuti pidato-pidato pemimpin-pemimpin politik ketika itu. Diikuti dan diperhatikannya pidato dan gerakan Haji Agus Salim, Tjipto Mangunkusumo dan tokoh lainnya.157

152Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jamaat e-Islam (Pakistan), Jakarta, Paramadina, 1999, hlm. 145-146. 153Mohammad Natsir, “Politik melalui jalur dakwah,” dalam Memoir Senarai Kiprah Sejarah, Jakarta, Grafiti Press, 1993, hlm. 82 154Berita Buana, 17 Juli 1978. 155George Mc T. Kahin, “Mohammad Natsir (1900-1993): Sebuah Kenangan,” dalam Anwar Haryono (et.all), M. Natsir Sumbangan dan Pemikirannya untuk Indonesia, Jakarta, Media Dakwah, 1995, hlm. 54-55. 156 Ahmad Suhelmy, Soekarno versus, Ibid, hlm. 23-24, lihat juga Dwi Purwoko, Negara…, Ibid, hlm. 75. 157Yusuf Abdullah Puar, Ibid, hlm. 15. 122 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Minat terhadap politik serta keprihatinannya terhadap pengaruh-pengaruh Barat di kalangan kaum terpelajar, misalnya di AMS, ini bangkit ketika ia melihat banyak pemuda Muslim menampakkan corak berpikir dan bergaul kebarat-baratan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Keadaan ini membuatnya untuk aktif lagi dalam organisasi JIB cabang Bandung yang didirikan oleh Haji Agus Salim, Wiwoho Poerbohadidjojo dan Sjamsuridjal pada tahun 1928. Ia masuk kembali setelah setahun di AMS. Natsir juga merasakan bagaimana besarnya pengaruh buku-buku Barat berbahasa Inggris, Belanda dan lainnya.158 Dengan aktif- nya Natsir di lembaga intra (Kern Lichaam)159 JIB, ia berusaha melakukan pendekatan dan menumbuhkan simpati di kalangan kaum terpelajar terhadap Islam dan organisasi JIB.160 Natsir tetap aktif dalam JIB sampai ia menyelesaikan kajiannya di AMS pada tahun 1930. Ia dengan keras mengecam pikiran-pikiran Soekarno pada tahun 1930-an. Natsir seakan bertindak sebagai wakil dari golongan Islam yang pikiran serta sikapnya selama tiga dekade terakhir dalam periode penjajahan Belanda, ingin mengembalikan citra yang mendasar mengenai Islam (Noer, 1982). Perdebatan ideologi terpenting masa pergerakan nasional berkaitan dengan masalah dasar perjuangan. Kelompok nasionalis menyatakan bah- wa dasar perjuangan mereka melawan kolonial adalah nasi- onalisme Indonesia, sebaliknya kelompok Islam seperti A. Hassan, H. Agus Salim dan Natsir, mempersoalkan hal ini. Mereka berpen- dapat bahwa Islamlah yang pantas menjadi dasar perjuangan,161 Mengenai Nasionalisme, Natsir mengemukakan pandangan bahwa Islamlah yang menjadi warisan pusaka sejarah dan pelopor Nasionalisme di Indonesia, lebih lanjut dikemukakannya: 158Ibid, hlm. 18. 159Lembaga intra (Kern lichaam) JIB didirikan tahun 1927. Anggota lembaga ini terdiri dari mereka yang dianggap banyak mengetahui mengenai Islam dan mereka inilah yang merencanakan dan mengusahakan aktifitas-aktifitas yang lebih memberikan bantuan pengetahuannya antara JIB dengan organisasi Islam lainnya yang ada pada masa itu. Lihat, Panitia 75 tahun Kasman, Hidup dan Perjuangan Kasman Singodimedjo, Jakarta, Bulan Bintang, 1982, hlm. 29. 160Lebih lengkap mengenai JIB, lihat Ahmad Suhelmi, Soekarno…, Ibid, hlm. 25. 161Taufik Abdullah (Ed), Islam dan Masyarakat Sebuah Pantulan Sejarah, Jakarta, LP3ES, 1987, hlm. 19. GERAKAN MODERNIS ISLAM 123

Bertahun-tahun sebelum pemakaian kata Nasi- onalisme Indonesia, pada waktu berbagai organisasi seperti Budi Utomo, Pasundan, Jong Sumatera Bond dan sebagainya membatasi anggotanya pada suku bangsa bersangkutan masing-masing, pergerakan- pergerakan yang berdasarkan kepada Allah semata- mata, sudah lama mempunyai ikatan kebangsaan In- donesia,…(yaitu ikatan yang disebut Renan cita-cita yang kukuh hendak hidup dan mati bersama)…, semasa itulah, Partai Sarikat Islam dan Muhammad- iyah sudah mempunyai anggota beratusan ribu, mem- punyai cabang seluruh Indonesia162 Baginya kemerdekaan Indonesia tidak lain untuk kemerde- kaan Islam, agar berlaku peraturan dan susunan Islam untuk keselamatan dan keutamaan umat Islam khususnya, serta segala makhluk Allah pada umumnya. Ia pesimis dengan kalangan netral agama terhadap Islam, dikatakannya, “pergerakan yang berdasarkan kebangsaan tidak akan ambil pusing, apakah penduduk Muslim Indo- nesia yang banyaknya mencapai 85 persen (85%) dari jumlah yang ada menjadi murtad; bertukar agama, Kristen boleh, Teosofi bagus, Budha masa bodoh (Noer 1982: 281), tujuan yang diinginkan kaum netral agama (sekuler) adalah terwujudnya kemerdekaan bangsa, bagi umat Islam, ini belumlah cukup, karena “umat Islam terus berjuang tanpa henti selama (negeri) belum berdasarkan dan diatur menurut susunan hukum kenegaraan Islam.” Dengan pernyataan ini sebenarnya Natsir mempersoalkan masalah dasar Negara kelak ketika Indonesia merdeka” (Noer 1982: 297).

162Deliar Noer, Gerakan..., Ibid, hlm. 281. 124 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Islam sebagai agama yang sempurna pada prinsipnya tidak mengenal pemisahan agama dengan Negara,163 ide Natsir selalu didasarkan pada dalil Alquran, terutama Surat al-Hujurat yang mengakui eksistensi bangsa-bangsa, tetapi menolak Nasionalisme sempit yang mengarah kepada ashabiyah. Soal kebangsaan merupakan sesuatu yang fitrah dan alami, namun menurut Natsir ide universalis Islam harus menjadi nafas pada paham kebang- saan,164 mengenai “tanah air” dalam artikelnya, dikemukakan, “Dan janganlah ia lupa, bahwa tanah airnya sendiri itu seba- hagian dari tanah air agamanya, dan wajib ia sungguh-sungguh untuk menjadikan kemajuan tanah airnya sendiri itu, sebagai wasilah (perantaraan) untuk tanah dunia Islam.”165 Agama melarang mengurus suatu negeri atau mengajak orang lain untuk mengurusnya dengan asas kebangsaan tanpa mengambil aturan Islam (seperti di Turki dan Irak), mencintai tanah air dan menyatukannya dengan aturan Islam adalah tindakan terpuji, ungkap Natsir.166 Tulisan Natsir yang terbit tahun 1932, berjudul Risalah debat kebangsaan, menunjukkan gagasan Natsir untuk mendamaikan ide-ide universal Islam dan ide-ide kebangsaan itu sendiri.167 Tahun 1932, Natsir berdebat dengan H. Muchtar Lutfi dari Persatuan Muslim Indonesia yang berpusat di Sumatera Tengah. Lutfi menggunakan dua asas dalam organisasinya yakni Islam dan kebangsaan, yang menurut Natsir tidak perlu,168 pandang-

163Tampaknya penafsiran Natsir relevan dengan pandangan H.A.R. Gibb yang mengatakan pentingnya arti santri secara politis pada dasarnya berasal dari kenyataan bahwa dalam Islam batas antara agama dan politik tipis sekali. Islam adalah agama maupun cara kehidupan yang sempurna, lihat H.A.R. Gibb, Modern Trends in Islam, Chicago, The Chicago University Press, 1977. 164Anwar Haryono (et.all), Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1996, hlm. 61. 165Majalah Al-Lisan, no. 51, hlm. 41. Memang dalam pandangan nasionalis Islam, cinta tanah air saja tidaklah tepat. Apalagi kalangan nasionalis sekuler merujuk pada tipe pra-Islam seperti masa kejayaan Majapahit, konsep ini akan mengurangi arti pentingnya Islam dan dianggap sebagai konsep jahiliyah (pra- Islam) yang tidak cocok lagi dengan perkembangan. 166Majalah Al-Lisan, no. 48, 5 Juni 1940, hlm. 19. 167Dalam buku tersebut berisi debat tiga pihak, yakni: Natsir, A. Hassan melawan Mochtar Lutfi seorang pemimpin Permi. 168Anwar Haryono, Ibid, hlm. 15. GERAKAN MODERNIS ISLAM 125

annya relevan dengan pandangan Persis maupun Muhammadiyah, bahwa cinta tanah air dan bangsa merupakan fitrah dan Islam memupuk ini dengan sendirinya. Negara sebagai alat, hukum untuk menjamin dan membentuk masyarakat yang diidam-idamkan, maka mutlak diperlukan adanya kekuatan eksekutif atau pelaksana, kekuatan eksekutif tersebut adalah negara. Menurut Natsir di sini pentingnya lembaga negara sebagai alat untuk menerapkan hukum-hukum yang telah ada, dan pikiran seperti ini nampaknya menguasai pandangan Natsir terhadap pelaksanaan syariat atau hukum-hukum Islam di dalam masyarakat dengan menekankan pendekatan legal formal, maksudnya perlu ada kekuasaan memaksa yang sah dan diakui keberadaannya yang diperlukan untuk dalam batas-batas tertentu untuk memaksa individu agar taat dan patuh pada hukum-hukum yang telah ditetapkan.169 Alasan Natsir bahwa Islam harus menja- di bagian integral dari kenegaraan itu sendiri bukan tanpa dasar, bahkan landasan yang diambil dari Alquran itu menurutnya sebagai dasar ideologi. Dasar pijak nash itu ialah, “Tidak aku ciptakan Jin dan Manusia melainkan untuk mengabdi pada-Ku.170 Berarti manusia itu hamba Allah, dan untuk mencapai predikat “hamba Allah” tersebut Allah memberikan aturan pada manusia, yang dijelaskannya: Aturan atau cara kita berhubungan dengan Tuhan yang menjadikan kita, dan cara kita berhubungan dengan sesama manusia. Di antara aturan-aturan yang berhubungan dengan muamalah sesama makhluk itu berupa hak dan kewajiban seseorang terhadap masyarakat, dan hak serta kewajiban masyarakat terhadap seseorang. Yang akhir ini tak lebih dan tak kurang adalah yang kini dinamakan dengan urusan kenegaraan.171

169Suhelmy, Soekarno..., Ibid, hlm. 82. 170Alquran (QS. 51: 56) 171Mohammad Natsir, Capita Selecta, Jakarta, Bulan Bintang, 1973, hlm. 436. 126 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Apa yang dapat dipahami dari pandangan Natsir adalah memberikan satu pijakan bahwa orang Islam itu mempunyai falsafah hidup, satu ideologi sebagaimana juga orang Kristen mempunyai satu falsafah hidup. Jika kita membicarakan urusan agama dengan Negara, ada satu yang tidak boleh dilupakan dalam konteks ajaran Islam, sebab dalam pengertian Islam yang dinamakan agama itu bukan hanya yang disebut peribadatan dalam istilah sehari-hari se- perti shalat dan puasa misalnya, melainkan juga meliputi semua kaidah-kaidah, hudud-hudud dalam muamalah, dalam masyarakat menurut garis-garis yang telah ditetapkan Islam.172 Dengan demi- kian agama sebagai kekuatan dunia merupakan suatu yang mutlak bagi Alquran,173 sebab hanya dengan itulah aturan-aturan dan ajar- an-ajarannya dapat dilaksanakan dalam kehidupan nyata, dan Natsir membela prinsip peraturan agama dan negara174 Mengenai kepala negara yang penting adalah agamanya, sifatnya, tabiatnya, akhlak dan kecakapannya untuk memegang kekuasaan yang diberikan kepadanya, jadi bukanlah bangsa dan keturunannya ataupun semata-mata intelektualnya saja.175 Mengenai pemerintahan Islam dan toleransi, Natsir mengemukakan hukum Allah dan rasul mengenai pemerintahan: ada yang haram, ada yang makruh dan ada juga yang Sunnah. Hukuman bagi yang melanggar larangan itu juga sudah tercantum dalam Alquran dan hadis. Bila ada yang belum diatur, sedangkan penyelesaiannya tidak tercantum dalam kedua sumber tersebut, boleh ditafsirkan dengan akal pikiran asal tidak bertentangan dengan sumber hukum Islam yang ada. Dengan demikian perlu

172Mohammad Nasir, Islam sebagai Dasar Negara, Jakarta, Media Dakwah, 2000, hlm. 3-4. 173Fazlul Rahman mengemukakan, “bila Alquran hanya menyajikan sebuah ayat saja mengenai puasa, sementara hampir sepertiga dari seluruh Alquran diperuntukkan untuk membangun suatu mesin kekuasaan yang efektif demi melindungi kepentingan- kepentingan dan daerah-daerah kekuasaan Muslim.” Lihat “The Islamic Concept of State” dalam John J. Donohue and John L Esposito (ed), Islam in Transition: Muslim Perspective, New York, Oxford University Press, 1982, hlm. 268. Lihat juga Ahmad Syafi’i Maarif, Peta Bumi…, hlm. 163. 174Mohammad Natsir, “Agama dan Negara,” dalam M. Isa Anshari, Falsafah Perjuangan Islam, Medan, Syaiful, 1951, hlm. 262, 267- 268. 175Ibid, hlm. 442, 448. GERAKAN MODERNIS ISLAM 127

upaya untuk melakukan ijtihad ajaran Islam untuk menghadapi perubahan dan tantangan zaman.176 Tetapi segala sesuatu yang ber- gerak dan berubah harus mempunyai dasar yang tetap, mempunyai apa yang disebut point of reference, titik tolak itu adalah agama. Sedangkan masalah toleransi, Natsir memberikan penjelasan lebih lanjut sebagai berikut: Dan takkan ada apa-apa keberatannya bagi pendu- duk yang bukan beragama Islam kalau dalam Negara itu berlaku hukum-hukum Islam dalam aturan muama- lah, karena peraturan-peraturan itu tidak akan berten- tangan dengan agama mereka, lantaran dalam agama mereka memang tidak ada peraturan yang bersangkut- an dengan hal-hal semacam itu. Dengan berlakunya un- dang-undang Islam agama mereka tidak akan tergang- gu, tidak akan rusak dan tidak akan kurang suatu apa.177 Toleransi Islam dalam pandangan Natsir, membuka ruang dan suasana yang seluas-luasnya untuk konfrontasi ide-ide dan pemi- kiran-pemikiran. Toleransi tanpa konfrontasi sesungguhnya bukanlah toleransi yang kita maksud, itu hanya berarti menge- lakkan persoalan, sehingga sangatlah diperlukan konfrontasi da- lam suasana toleran, agar perbenturan ide-ide dan pemikiran yang kita ajukan masing-masing, sampai kepada suatu kebenaran.178 Mengenai asas Islam, demokrasi dan keadilan, bagi Natsir merupakan suatu prinsip. Asas Islam merupakan hal yang hakiki untuk dapat meraih kemerdekaan, kebaikan, rasa cinta kepada umat Islam maupun orang Indonesia atau orang asing sekalipun. Natsir lebih lanjut menjelaskan:

176Majalah Al-Lisan, no. 35 Maret, 1939, hlm. 10, no. 48, 5 Juni 1940, hlm.19, lihat dalam Deliar Noer, Gerakan Modernis Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta, LP3ES, 1982. Lihat juga Islam di Pentas Politik Nasional, lihat juga Pengantar Pemikiran Politik (pengarang yang sama). 177Mohammad Natsir, Capita…, Ibid, hlm. 491. Lihat juga Thohir Luth, M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya, Jakarta, Gema Insani, Press, 1999, hlm. 118. 178Mohammad Natsir, Islam sebagai…, Ibid, hlm. 49. 128 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Kami kaum Muslimin mencinta kaum Muslimin di Indonesia maupun orang Indonesia atau orang asing, dan kami bekerja…, mencari kemerdekaan dan keba- ikan untuk Indonesia dengan asas Islam, agama Al- lah. Kami salahkan orang Islam masuk di perkum- pulan-perkumpulan yang tidak berasaskan Islam, kerana memang dilarang Allah dan Rasulnya179 Mengenai demokrasi, prinsip musyawarah dalam Islam menurut Natsir nampaknya tidak selalu identik dengan asas demokrasi. Is- lam anti-istibdad (despotisme), anti-absolutisme dan kesewenang-we- nangan, akan tetapi ini tidak berarti bahwa dalam pemerintahan Is- lam semua urusan tersebut diserahkan kepada keputusan musyawa- rah majelis syura. Dalam parlemen negara Islam yang hanya dibenarkan untuk dimusyarawarahkan adalah tata cara pelaksana- an Islam (syariat Islam), tetapi bukan dasar pemerintahannya. Natsir meyakini demokrasi itu baik, akan tetapi sistem kenegaraan Islam tidaklah mengandalkan semua urusannya kepada instrumen demo- krasi. Dengan tegas pula Natsir mengemukakan bahwa “Islam adalah suatu pengertian, suatu paham, suatu begrip sendiri yang mempunyai sifat-sifat sendiri pula, Islam tak usah demokrasi 101 persen (101 %),bukan pula otokrasi 100 persen (100%), Islam itu yah Islam.180 Namun demikian demokrasi adalah hal yang utama, menurutnya, karena dalam suatu sistem demokrasi Islam akan berhasil, melalui sistem ini mereka mempunyai kesempatan membuat peraturan- peraturan hukum yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Ia menyetujui demokrasi, sebab mengajarkan dasar-dasar yang kondusif untuk tumbuhnya sistem pemerintahan yang demokratis. Islam juga merupakan agama yang mampu mengharmoniskan prinsip-prinsip hablunminan-nas mengenai syura dengan elemen-elemen demokrasi modern yang berasal dari kebiasaan Eropa dan mengaplikasikan konsep semacam itu dalam masyarakat Indonesia yang majemuk.181

179Majalah Al-Lisan, no. 51 September, 1940, hlm. 42. dalam Dwi Purwoko, Ibid, hlm. 89. 180Mohammad Natsir, Capita …, Ibid, hlm. 452-453. 181Natsir memang seorang demokrat sejati, sebab pada masa 1950-an melalui partai yang dipimpinnya, Masyumi, secara konsisten ia mengkritik Soekarno yang dalam menjalankan pemerntahan, tindakannya mengarah kepada kediktatoran. Ini juga GERAKAN MODERNIS ISLAM 129

Natsir juga sangat menekankan pentingnya keadilan dalam kehidupan bernegara. Dalam penegakan aspek keadilan, Natsir berpendirian sesuai dengan ajaran agama Islam, yakni mereka yang bukan Islam, wajib dilindungi dan mempunyai persamaan di depan hukum Islam. Islam tidak membedakan famili, kaum, maupun suku bangsa dan agama di depan hukum, dengan demikian Islam mewajibkan kaum Muslimin untuk membela hak-hak orang-orang yang berbeda agama di bawah naungan pemerintahan mereka.182 Dapat kita amati, pemikiran Natsir (A. Muchlis) mengenai masalah yang ia angkat di masa pergerakan seperti masalah Nasionalisme, soal hubungan agama dengan Negara, asas negara, persoalan demokrasi dan keadilan di era tahun 1930-1940-an, me- rupakan hal yang sangat prinsip dalam membangun Negara serta pemerintahan. Keadaan ini, disebabkan dan dipengaruhi faktor situasi dan reaksi yang harus direspons, faktor situasi menyang- kut pertarungan ideologis yang memang saat itu demikian kuat dikarenakan adanya tuntutan untuk menuju Indonesia yang mer- deka, sehingga perdebatan tersebut berhubungan dengan persiap- an menuju kemerdekaan itu sendiri. Mengenai faktor reaksi, ini berhubungan dengan tumbuhnya berbagai paham atau aliran politik yang cukup banyak dan tarik-menarik sebagai konsekuensi keadaan geopolitik Indonesia yang demikian terbuka untuk menyerap berbagai perkembangan aliran politik di dunia. Ini menuntut sebuah self defensive untuk setiap pengikut, pendukung dari tiap-tiap kekuatan politik dengan aliran politik yang dianut- nya. Tjokroaminoto, H. Agus Salim, Ahmad Dahlan, H. Mas Man- sur A. Hassan dan Mohammad Natsir merupakan elit Islam yang berpengaruh dan intelektual yang secara representatif mewakili umat Islam untuk menegemukakan posisi Islam dalam meman- dang masalah kenegaraan dan politik tanah air. Secara substansi dan historis perdebatan di antara kalangan nasionalis Islam yang

dikemukakan Yusril Ihza Mahendra, Modernisme, Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jamaat I-Islami (Paki- stan), Jakarta, Paramadina, 1999, hlm. 8. 182Majalah Al-Lisan, no. 50, 5 September, 1940, hlm. 40 dalam Dwi Purwoko, Ibid., hlm. 91. 130 YUSRIL IHZA MAHENDRA

diwakili Natsir khususnya dengan kalangan nasionalis netral agama yang diwakili Soekarno mencerminkan konfigurasi aliran politik besar di Indonesia pada masa itu, bahkan proyeksi politik Indonesia di masa akan datang. Jika Natsir memegang prinsip dasar bahwa agama adalah bagian integral dari Negara itu sendi- ri, sebaliknya Soekarno dari kalangan netral agama nampaknya tidak menghendaki Islam menjadi suatu bentuk kekuatan politik yang dominan dalam percaturan politik.183 Rona dinamika politik pada masa itu tidak hanya diwarnai per- debatan d i antara pendukung aliran Islam dengan aliran nasi- onalis sekuler secara hitam-putih, masa itu juga ada paham lain dengan segala keragamannya, seperti pandangan H. Agus Salim mengenai sosialisme yang berbasis Islam atau pandangan sosialisme Mohammad Hatta yang lebih melihat demokrasi di Indonesia merupakan perpaduan antara konsep semangat tradisi masyarakat desa di Indonesia dengan kasanah Islam dan paham liberalis Barat. Sementara itu Tan Malaka tampil dengan sosialisme yang dianggap membawa warna pemikiran Trotsky, kemudian Syahrir, Alisyahbana, Sumitro dengan sosialisme Baratnya yang lebih dikenal sebagai sosialisme utopis atau sosialisme demokrat, kadang disebut pula sebagai “sosialisme putih”, sedangkan Alimin, Darsono dan Semaun membawa paham sosialisme komunis yang sering disebut sebagai “sosialisme merah” atau sosialisme radikal. Pengaruh luar dan geopolitik Indonesia memang memungkinkan bertemunya aliran politik itu, tetapi nampaknya alur utama (mainstream) yang paling kuat adalah Islam versus Nasionalisme sekuler.

183Ini terbukti di masa kemerdekaan, dalam soal pembentukan konstitusi Negara di awal kemerdekaan, masa penghujung demokrasi parlementer, ketika era demokrasi terpimpin, peristiwa penting dan krisis politik pada masa itu yang seharusnya dikembalikan pemecahannya dengan secara demokratis yang harus melibatkan mereka yang secara representatif diakui mewakili rakyat Indonesia, ternyata dikalahkan Soekarno yang dengan sekehendaknya sendiri telah mengatasnamakan rakyat melalui harapan-harapan dan jargon revolusi belum selesai, maka peristiwa pembahasan dasar Negara di dalam rapat PPKI, sikapnya terhadap sidang Konstituante yang kontra- produktif dan interventif, pembubaran partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan penegakan demokrasi terpimpin dengan memperkenalkan “sebuah rumah kartu ideologi“ adalah bukti suatu pemaksaan kehendak dari diri Soekarno terhadap pembentukan bangsa (nation building) dan kehidupan kenegaraan. GERAKAN MODERNIS ISLAM 131

Sumatera Thawalib dan Partai Muslimin Indonesia (Permi): Syekh H. Karim Amrullah dan Rahmah

RANG-ORANG di Minangkabau terdiri dari sejumlah republik atau negeri-negeri, pemerintahan ini dibentuk O sesuai dengan tradisi kelompok-kelompok kepala suku keluarga, dengan sistem keluarga berdasarkan matriarchat,184 di mana harta benda dan keturunan diperhitungkan melalui garis ibu dan bukan garis bapak, sehingga yang berkuasa atas seluruh kelompok keluarga adalah saudara laki-laki seorang wanita bukan suaminya.185 Pada permulaan abad kedua puluh lahirnya gerakan pembaruan Islam yang dipelopori kaum muda di daerah ini masih menghadapi tantangan kuatnya tradisi, umpamanya dalam soal hukum warisan yang telah mendapat pengaturan dalam faraidh, dicampuri peraturan yang berasal dari kebiasaan masyarakat matrilineal, selain itu, dalam tarekat banyak dari kalangan tradisionalis mengerjakan cara-cara yang mendekati perbuatan syirik, seperti menghormati keramat-keramat, membe- rikan sesajen kepada arwah si mati, mempergunakan ajimat yang pada intinya telah mengaburkan kepercayaan Tauhid.186 Menurut Mahmud Yunus, awal timbulnya aliran pembaharu Islam ini di- sebabkan oleh beredarnya buku yang mengecam ulama yang mela- rang berdiri waktu membaca Maulid Nabi (waktu membaca marhaban) dan melarang membaca niat sholat (ushalli)187 Penulis buku tersebut adalah Syekh Ahmad Khatib. Beliau juga menolak dua macam kebiasaan, yakni sangat menentang tarikat Naqsa- bandiah, suatu aliran mistik Islam yang dipelopori Muhammad Naqsabandi yang sangat dipraktekkan pada masa itu dan

184B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies: Selected Writings, Amsterdam, W. van Houve Ltd, 1955, vol. I, hlm. 95. 185Hildred Geertz, Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia, (terj), A. Rachman Zainuddin, Jakarta, Pulser Press, 1981, hlm. 73. 186Deliar Noer, Pengantar…, Ibid, hlm. 179. 187Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Hidayah Agung, 1982, hlm. 91. 132 YUSRIL IHZA MAHENDRA

menentang peraturan-peraturan adat mengenai hal waris.188 Ge- rakan pembaharu Islam ini didukung ulama lainnya seperti Syekh Jamil Jambek, Syekh Ibrahim Musa Parabek, Syekh Thaher Jalaluddin, Thaib Umar dan Haji Rasul.189 Organisasi yang berdiri dengan semangat pembaruan Islam adalah Sumatera Thawalib, yang didirikan di Padang Panjang, Sumatera Barat dengan pen- dirinya Syekh Haji Abdul Karim Amrullah. Persarikatan ini ber- gerak di bidang pendidikan, tetapi ketika masuknya paham komu- nis, aktivitas politik akhirnya tidak dapat pula dihindari di ka- langan para anggota, ini menyebabkan gerak dan aktivitas politik para guru dan pelajar Thawalib dibatasi. Pada tahun 1929, Thawalib memperluas anggotanya pada semua bekas pelajar dan guru yang tidak lagi memiliki kaitan langsung dengan institusi pendidikan tersebut dalam hal ini para alumninya. Organisasi ini kemudian berubah menjadi organisasi dengan nama Persatuan Muslimin Indonesia (Permi). Organisasi Thawalib telah memberikan berbagai pengaruh besar di bidang pendidikan di Sumatera Barat, antara lain gerakan ini telah mempelopori pener- bitan media massa dengan didirikannya penerbitan al-Munir.190 Persatuan Muslimin Indonesia (Permi), merupakan partai politik di Sumatera Barat yang pertama didirikan (tahun 1930-an). Sementara itu Syekh Haji Karim Amrullah yang lebih dikenal dengan Haji Rasul, telah banyak mengadakan perjalanan di luar daerahnya untuk membawa missi dakwah pemurnian ajaran Is- lam. Yang terpenting di antaranya adalah kepergiannya ke Ma- laya (1916)191 dan ke Jawa (1917). Dalam kunjungannya ke Jawa, ia mengadakan pertemuan dengan pemimpin-pemimpin Sarekat Islam dan Muhammadiyah. Dialah yang memperkenalkan Muhammadiyah di Minangkabau pada tahun 1925, yang segera

188Deliar Noer, Gerakan…, Ibid, hlm. 91. 189Hamka, Ibid. 190M. Fachry, Multy…, Ibid, hlm. 2007. 191Menurut Hamka dalam Ayahku, Haji Rasul tidak disenangi Sultan-Sultan di Malaya, serta guru-guru agama di sana karena keterikatan guru-guru ini kepada kebiasaan- kebiasaan tradisional. Lihat Deliar Noer, Gerakan Modernis Islam di Indonesia 1900- 1942, Jakarta, LP3ES, 1982, hlm. 45. GERAKAN MODERNIS ISLAM 133

dengan cepat meluas pengaruhnya, dan dari daerah inilah kemu- dian organisasi Muhammadiyah mendapatkan propagandis yang gigih untuk berdakwah ke berbagai pulau-pulau di Nusantara. Di Sumatera propagandis itu memperkenalkan pemikiran modernis Islam ke Aceh, Tapak Tuan, Sumatera Tengah bagian timur dan Bengkulu. Ke Sulawesi di Makasar mereka mendirikan institusi pendidikan yang dipelopori Zaini Dahlan, seorang lulusan dari Thawalib. Hamka dan Zainal Abidin Ahmad, dua orang lulusan Thawalib, mendirikan penerbitan majalah Pedoman Masyarakat dan Panji Islam di Medan yang pada tahun 1930-an mempunyai penyebaran yang sangat luas di seluruh Nusantara. Perkembangan yang menarik adalah bahwaThawalib juga men- dirikan pendidikan untuk kalangan pelajar puteri. Zainuddin La- bai, mendirikan sekolah Diniyah Putri tahun 1915, awalnya adalah perkembangan dari surau di Jembatan Besi, dengan menyerap model pendidikan yang dilakukan sekolah pemerintah yang dikenal ko-edukasi pada tahun 1922, saat mana 15 buah sekolah dengan nama yang sama didirikan di daerah Minangkabau. Adapun tekan- an pelajarannya meliputi ilmu pengetahuan umum, yaitu sejarah (sejarah Islam), ilmu bumi, berhitung serta berbagai bahasa, walaupun demikian pelajaran agama mendapat tempat yang pen- ting di institusi pendidikan ini. Pelajar diniyah ini juga disaring dengan “seleksi”. Labai meninggal pada tahun 1924 (masih sangat muda dengan usia 34 tahun), Rahmah adik yang termuda, lahir di Padang Panjang pada 13 Desember 1900, melanjutkan warisan kakaknya. Rahmah pada 1 November 1923, mendirikan sebuah sekolah khusus puteri yaitu al-Madrasah al-Diniyah (sekolah aga- ma), mulanya terdapat 71 orang pelajar yang kebanyakan terdiri dari ibu rumah tangga yang masih muda. Pada tahun 1924, sekolah itu mulai dibuat kelas-kelas dengan dilengkapi peralatan, dan pada tahun 1925 gedung ini juga dipergunakan sebagai asrama yang dihuni sekitar 60 orang pelajar. Pada tahun 1937, sebuah sekolah guru untuk puteri telah didirikan pula yaitu al-Kulliyat al- Mualimat al-Islamiyah.192

192Ibid, hlm. 62-64. 134 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Pengaruh politik mulai masuk di sekolah puteri yang dipimpin Rahmah. Ini dimulai dari seorang guru Diniyah bernama Rasuna Said, yang mengemukakan dalam setiap pelajaran yang ia berikan maupun dalam pembicaraan-pembicaraan yang bersifat pribadi dengan para pelajar mengenai pentingnya politik dan perlunya partisipasi pelajar di dalamnya. Rasuna Said sendiri merupakan salah satu dari guru yang mendapat pengaruh kesadaran politik dari Permi, sekitar tahun 1930-an. Pandangan Rasuna Said memang bertentangan dengan Rahmah sebagai pendiri sekaligus kepala sekolah, Rahmah berpendapat bahwa pelajaran agama itu lebih penting dari pelajaran apa pun. Pada akhirnya persilangan arah itu menyebabkan Rasuna Said menarik diri dan pindah ke kota Padang, sementara itu Institusi pendidikan yang didirikan Rahmah ini juga mendapat “tekanan” dari pengurus Permi untuk meletakkan semua sekolah golongan pembaharu di Minangkabau di bawah naungan organisasi ini, namun sekolah Diniyah tidak setuju dengan keputusan ini dan menolak pengawasan Permi. Di sekolah binaan Rahmah ini pelajarnya semakin banyak, sepan- jang tahun 1930-an, mereka berasal dari negeri-negeri yang jauh seperti Yogyakarta, Lombok, Ternate, Halmahera, Sulawesi dan Malaya. Tahun 1935 Diniyah puteri membuka cabangnya di Jakarta dengan membina tiga buah sekolah dengan bantuan dari beberapa pedagang yang berasal dari Minangkabau, serta tamatan dari institusi pendidikan agama di Padang Panjang. Pada masa inilah jumlah pelajar Diniyah puteri mencapai 400 orang, dan puncaknya pada tahun 1941 yang mencapai 500 pelajar193 Haji Rasul juga memiliki peranan besar untuk pengembangan kemajuan agama dan ilmu pengetahuan bagi orang ramai di Mi- nangkabau, ia menjadi penasehat persatuan guru-guru agama Is- lam pada tahun 1920-an; ia memberikan bantuannya pada usaha mendirikan sekolah Normal Islam di Padang pada tahun 1931; ia menentang Komunisme dengan sangat gigih pada tahun 1920-an194

193Ibid, hlm. 65. 194Ulama-ulama pembaharu umumnya sangat antikomunis bukan karena sikap golongan komunis terhadap pemerintah kolonial Belanda, melainkan kerana komunis melihat agama sebagai musuh, seperti tidak mempercayai adanya Tuhan, merusak hubungan keluarga, GERAKAN MODERNIS ISLAM 135

dan menyerang ordonansi guru pada tahun 1928 serta ordonansi sekolah liar pada tahun 1932. Haji Rasul juga sering berkeliling da- ri tahun 1929 sampai tahun 1939 ke seluruh daerah Sumatera un- tuk menyampaikan buah pikiran dan ajaran-ajarannya. Tahun 1941, ia ditahan pemerintah Belanda dan dibuang ke Sukabumi dengan alasan bahwa kewibawaan dan kekuasaan pemerintah serta peraturan adat tidak dapat berfungsi bila masih tinggal di daerah- nya. Haji Rasul kemudian meninggal di Jakarta pada 2 Juni 1945.195 Permi didirikan pada tahun 1930 atas prakarsa Haji Ilyas Yakub dengan dibantu H. Muhtar Lutfi yang kembali dari Mesir pada tahun 1931 Keduanya sama-sama pernah belajar di Mesir, dan ketika ma- sih bermukim di Mesir, mereka aktif pada organisasi politik yang ada di sana. Dengan mengambil pengalaman di Mesir, dari pengamat- annya terhadap pertentangan antara Sarekat Islam (SI) dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) mengenai kebangsaan dan Islam, per- tentangan ini kemudian menjadi latar belakang lahirnya pemikiran politik mereka. Pandangan pemikiran politik mereka berdasarkan keislaman dan kebangsaan, dengan ideologi politiknya adalah Islam mulia dan Indonesia sentosa via Indonesia merdeka. Permi diharapkan sebagai suatu partai yang dapat menampung aspirasi umat Islam di Sumatera, tetapi kenyataannya respons suara politik mereka dianggap terlalu keras dan radikal oleh pemerintah kolonial. Para pemimpinnya kemudian ditangkap dan dibuang penguasa pemerintah Belanda ke Digul Irian, mereka adalah H. Ilyas Yakub, Muchtar Lutfi, Jalalludin Thalib. Adapun anggota wanitanya yang ditangkap karena pidato-pidato mereka yang dianggap sangat radikal adalah Fatimah Hatta, Ratnasari, Rasuna Said, Rasimah Ismail yang dipenjara di Semarang, Jawa Tengah, selama 9 bulan. Organisasi ini atas pertimbangan para anggotanya, pada tahun 1936 dibubarkan.

mengesampingkan hukum nikah serta hak milik yang ini semua sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Haji Rasul sendiri merasa kecewa karena adanya sokongan dari anggotanya terhadap aktifitas Datuk Batutah seorang guru yang kuat pengaruh komunisnya, sehingga Haji Rasul meninggalkan Thawalib Padang Panjang. Sementara persatuan guru-guru agama Islam mengambil keputusan untuk menolak Komunisme dan menyatakan ajaran Komunisme bertentangan dengan Islam. Lihat Deliar Noer, Gerakan…, Ibid., hlm. 38-39. 195Ibid, hlm. 45-46. 136 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Jamiat Khair (al-Jami’yyat al-Khairiyyah)ah): Para Sayyid dan bukan Sayyid

AMIATUL Khair (al-Jami’yyat al-Khairiyyah) berdiri pada tahun 1905 di Jakarta. Pendirinya adalah Sayyid Muhammad J al-Fakhir bin Abdurrahman al-Mansyur, Sayyid Muhammad bin Abdullah bin Syihab, Sayyid Idrush bin Ahmad bin Syihab, dan Sayyid Syehan bin Syihab. Pendiri Jami’at Khair adalah or- ang-orang Arab, dan organisasi ini merupakan organisasi sosial yang khususnya bergerak di bidang pendidikan, pembangunan pendidikan dimulai dengan pendirian sekolah dasar yang tidak hanya mengajarkan materi keislaman, namun juga materi penge- tahuan umum. Di masa kolonial Belanda, orang Arab tidak dapat disamakan de- ngan orang asing lainnya seperti orang Cina dan Eropa, di mata or- ang pribumi, selain mereka memiliki kesamaan agama (Islam) dengan pribumi, mereka juga orang-orang yang berasal dari ibu-ibu Indone- sia, berbicara dengan bahasa ibu mereka, kadang-kadang tanpa mengetahui bahasa Arab, mereka juga memiliki kebiasaan-kebiasaan Indonesia, terutama mereka yang tidak termasuk golongan Sayid.196 Lambat laun di dalam perjalanan sejarahnya di tanah Nusantara, mereka ini lambat laun menjadi orang Indonesia, seperti yang dicer- minkan dengan berdirinya Partai Arab Indonesia (PAI), dan pem- baruan yang dilakukan masyarakat Arab berpengaruh kepada masya- rakat pribumi.197 Mereka banyak memiliki hubungan dengan pendu- duk tidak hanya di kota, tetapi juga di desa dengan peranan sebagai pedagang, selain berpartisipasi untuk mengembangkan dakwah Is- lam di tanah air. Namun sebagai Orang Arab, mereka tetap memiliki minat untuk berkomunikasi mengenai perkembangan di Timur Tengah atau negeri Arab lainnya, karena itu mereka berlangganan

196Sayid untuk lelaki dan Syarifah untuk wanita, mengaku turunan Nabi Muhammad melalui anaknya Fatimah. 197Partai Arab Indonesia (PAI) didirikan di kota Semarang, Jawa Tengah pada 5 Oktober 1934, atas inisiatif A.R. Baswedan. Partai ini menentang Belanda, dan terdiri dari orang- orang Arab yang mengakui Indonesia sebagai tanah air mereka. Dalam tahun 1946 Baswedan menjabat Menteri Muda Penerangan. Lihat Deliar Noer, Gerakan…, Ibid, hlm. 66. GERAKAN MODERNIS ISLAM 137

bermacam-macam harian dan majalah yang ditebitkan di berbagai kota di seperti Istambul, Kairo dan Beirut, atau melalui teman-teman mereka di Singapura, di antara penerbitan ini ialah al-Urwat al- Wutsqa yang diterbitkan di Paris pada tahun 1884 melalui kedua tokoh pembaharu yaitu Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh.198 Sekolah dasar Jamiat Khair didirikan tahun 1905, kurikulum dan kelas-kelasnya terorganisasi. Bahasa yang digunakan untuk ber- komunikasi adalah bahasa Indonesia atau bahasa Melayu, dan me- mang ini telah menjadi bahasa lingua franca di kalangan anak-anak Arab, selain anak-anak Arab yang sekolah di sini, terdapat pula anak-anak dari berbagai daerah di Indonesia. Pada bulan Oktober 1911, datang tiga orang guru yang bergabung yaitu Syekh Ahmad Soorkatti dari Sudan Afrika, Syekh Muhammad Thaib dari Maroko dan Syekh Muhammad Abdul Hamid dari Mekah. Soorkatti memainkan peranan penting dalam penyebaran pemikiran- pemikiran baru di lingkungan masyarakat Islam di Indonesia, dibanding kedua pendatang lainnya, bahkan Thaib tidak lama menetap di Indonesia, ia kembali ke negerinya pada tahun 1913. Hamid segera pindah ke kota Bogor, Jawa Barat di sebuah sekolah dengan nama Jamiat Khair juga tetapi sekolah ini bukan cabang dari Jamiat Khair yang ada di Jakarta, yang diawali dengan kira- kira 70 orang pelajar, dan dengan perkembangan yang lambat. Pada tahun 1915, dengan pelajarnya tercatat 1.000 orang, Jamiat Khair merupakan satu-satunya organisasi orang-orang Arab yang mempunyai ide pembaruan dengan mendirikan sekolah melalui cara- cara yang setidaknya telah “modern” baik kurikulum maupun fasilitasnya, dengan mendapatkan pengakuan resmi (legal) dari pemerintahan kolonial pada 11 Agustus 1915. Kemunduran telah terjadi, hal tersebut disebabkan organisasi ini telah merasa cepat puas dengan prestasi yang telah dicapai. 199

198Van den Berg berpendapat bahwa al-Jawaib dari Istambul mempunyai “kecenderungan ke arah Pan-Islamisme”, mencatat banyak langganan di kepulauan Indonesia, dan menambahkan bahwa majalah-majalah lainnya”sangat kurang mutunya dari al- Jawaib”. Lihat Deliar Noer, Gerakan…, Ibid, hlm. 67. 199Ibid, hlm. 71. 138 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Puncak dari kemundurannya adalah organisasi ini mengalami perpecahan yang disebabkan kemunculan dua golongan yaitu Sayyid dan non-Sayyid. Golongan Sayyid merasa status sosial mereka lebih tinggi sehingga kalangan non-Sayyid dan pribumi harus memberikan penghormatan lebih pada mereka. Akhirnya golongan Sayyid berpisah dengan mendirikan institusi Al-Maktab al Daimi yang meregistrasi seluruh Sayyid yang ada di Indonesia 200 Ahmad Soorkatti merupakan guru dari organisasi ini dan tem- pat untuk meminta fatwa. Fatwa yang dikemukakannya antara lain pada tahun 1913, ketika ia dalam satu pertemuan menekan- kan bahwa Islam memperjuangkan persamaan sesama Muslim dan tidak mengakui kedudukan yang mendiskriminasikan ber- bagai kalangan yang disebabkan oleh darah turunan, harta atau- pun pangkat. Ia dilahirkan di Dunggula, Sudan pada tahun 1872, dari lingkungan keluarga yang taat. Pergi ke Mekah dan menetap selama sebelas tahun dengan belajar antara lain kepada Syekh Muhammad bin Yusuf al-Khayyat, seorang Syekh yang kemudian menetap di Malaya dan sering mengunjungi Sumatera Utara. Ia mengenal tulisan-tulisan Abduh dan majalah al-Manar, dan ia tiba di Jakarta tahun 1911, tetapi kemudian meninggalkan Jamiat Khair dan membuka sekolahnya sendiri di rumahnya dan kemudi- an bergabung dengan al-Irsyad pada tahun 1943.201

Madrasah Al-Irsyad (Jammiyatul Islaam wa Al Irsyaad Al Arabiyyah)ah): Ahmad Soorkatti

ELAHIRAN organisasi ini pada tahun 1913, dan mendapatkan pengakuan pada 11 Agustus 1915 dari pemerintahan kolonial, K sebenarnya merupakan reaksi ketidaksepahaman orang-orang 200Golongan Sayyid mendirikan al-Alawiyah dalam bagian kedua tahun 1920-an, dan segera semua sekolah Jamiat Khair berada di bawah naungannya. Di Jakarta, organisasi ini juga mengawasi sebuah rumah yatim yatu, di samping institusi yang bernama al-Maktab al-Daimi. Lihat Deliar Noer, Ibid, hlm. 71. 201 Deliar Noer, Ibid, hlm. 73-74. GERAKAN MODERNIS ISLAM 139

peranakan Arab yang bukan bergelar Sayyid. Mereka umumnya para pedagang dari organisasi Jamiyat Khair dengan pengaruh pemikiran yang kebanyakan berasal dari fatwa Ahmad Soorkatti. Aktivitas pokok organisasi ini juga di bidang pendidikan, termasuk menyelenggarakan kebiasaan atau adat-istiadat Arab menurut ajaran Islam, selain itu menyebarkan pengetahuan agama, bahasa Arab dan bahasa lainnya. Di masa kolonial Al-Irsyad mampu berkembang pesat karena sikapnya yang liberal serta akomodatif kepada pemerintah, penekanan materi pelajaran lebih menekankan Tauhid, fiqih, dan sejarah yang sesuai dengan tulisan Muhammad Abduh. Anggota yang ikut di dalam organisasi ini selain orang Arab juga kalangan pribumi, dan organisasi ini pernah ikut kongres Al-Islam pada tahun 1920. Kemudian mereka bergabung dengan satu federasi untuk per- kumpulan Islam di Indonesia yang dikenal dengan Majelis Islam A’la Indonesia pada tahun 1937. Sifatnya yang lebih terbuka mendo- rong organisasi ini untuk dapat bekerja sama dengan perkumpulan Islam lainnya seperti Sarikat Islam dan Muhammadiyah serta Per- sis, dan pengikut Al Irsyad justru menekankan persamaan antara manusia.202 Aktifitasnya Al-Irsyad nampak lebih enerjik dan me- miliki vitalitas dibandingkan Jamiat Khair, hal ini terlihat dengan pendirian cabang-cabangnya di bandar-bandar lain di Jawa serta Cirebon, Tegal, Pekalongan, Surabaya dan Lawang dan mereka men- dirikan sekolah-sekolah, umumnya tingkat rendah. Pada tahun 1930- an cabang Surabaya mendirikan sekolah guru dua tahun dan sebuah sekolah dasar tingkat rendah berbahasa Belanda Schakel School. Sementara sekolah Al-Irsyad di Jakarta banyak jenisnya, ada seko- lah tingkat dasar, sekolah guru, serta ada bagian takhassus; dengan pelajaran 2 tahun, pelajar dapat mengadakan spesialisasi untuk bi- dang agama, pendidikan, atau bahasa. Al-Irsyad juga memperguna- kan tabligh serta pertemuan-pertemuan sebagai cara untuk menyebarkan pahamnya selain menerbitkan buku dan pamflet- pamflet. Para anggotanya betapapun hanya bergerak di bidang pendidikan, anggota-anggota dari perkumpulan ini sangat simpatik dengan kalangan pergerakan kemerdekaan.203 202Deliar Noer, Partai Islam…, Ibid., hlm. 12. 203Deliar Noer, Gerakan…, Ibid., hlm. 75-77. 140 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Partai Islam Indonesia (PII): Sukiman, Raden Wiwoho dan KH. Mas Mansur

ERKUMPULAN politik ini didirikan pada 4 Desember 1938 yang diketuai R. Wiwoho, ia pernah menjadi ketua umum P Jong Islamieten Bond (JIB) serta pernah juga menjadi ang- gota Volkstraad atau Dewan Rakyat yang dibentuk pemerintah kolonial Belanda. Pengelola dan anggota partai merupakan ga- bungan dari anggota perkumpulan Sarikat Islam dengan per- sarikatan Muhammadiyah, dan sebenarnya kehadiran partai politik ini dilatarbelakangi fenomena kemelut politik dalam tubuh Sarekat Islam,204 yakni skorsing yang dijatuhkan terhadap Suki- man dan lainnya dalam Sarikat Islam pada tahun 1933 hingga menyebabkan banyak kecaman dari sebagian media di Indone- sia.205 Maka cabang-cabang yang tidak menyetujui keputusan tersebut membentuk suatu panitia yang bernama Persatuan Is- lam Indonesia,206 dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa

204M. Fachry, Ibid. 205Keputusan ini “sangat keras, di luar kewajaran dan tidak adil, kata Bintang Timur, 13 Maret 1933, harian ini mengemukakan pada 19 Maret 1933, bahwa partai dengan demikian menggantungkan dirinya pada Tjokroaminoto. Harian SinarDeli dari Medan, yang sering mengemukakan pendapat-pendapat Permi, menyebut ini sebagai suatu “skandal“ (dikutip Utusan Indonesia, 8 Maret 1933). Sarekat Islam Solo minta kepada Majelis Tahkim 9 Maret 1933 (saat kongres sedang berjalan) untuk mengubah keputusannya. Cabang partai ini melahirkan keinginan untuk persatuan di antara kedua kedua fraksi dalam kepemimpinan partai (Utusan Indonesia, 13 Maret 1933). Cabang Malang mendesak untuk mencabut keputusan itu, dan mengancam untuk memutuskan hubungan dengan pimpinan pusat (Utusan Indonesia, 15 Maret 1933). Di samping itu cabang itu juga mendesak agar Martodiredjo dikeluarkan dari PSII. Tuntutan yang sama dilahirkan cabang Pare yang mendesak penyelesaian pertikaian Sukiman-Tjokroaminoto melalui suatu juri, dengan tambahan bahwa mereka yang diputuskan bersalah harus meminta maaf dan ini dianggap sebagai hukuman yang terberat yang dapat dilaksanakan (Utusan Indonesia, 25 Maret 1933). Cabang Makasar menuntut agar keputusan kongres dibawa kepada referendum semua cabang. bila Lajnah Tanfidziah menolak memenuhi tuntutan ini, cabang Makasar mengatakan akan melepaskan diri dari pimpinan pusat (Utusan Indonesia, 3 Mei 1933) Cabang Yogyakarta terpecah menjadi dua. Di sini Suryopranoto membukakan rahasia penggunaan uang secara tidak dapat dipertanggungjawabkan yang dilakukan pemimpin Partai-Laznah Tanfidziah. Ia juga mengatakan bahwa tekanan Salim dan Tjokroaminoto pada kongres didasarkan pertimbangan-pertimbangan pribadi (Utusan Indonesia, 5 Mei 1933). Lihat Deliar Noer, Gerakan…., Ibid., hlm. 175. 206Cirebon, Teluk Betung, Pare, Solo, Sukabumi, Tasikmalaya, Garut dan Pekalongan, Ibid. GERAKAN MODERNIS ISLAM 141

pertentangan yang keras dalam tubuh Sarekat Islam merupakan permulaan dari suatu muara tumbuhnya kekuatan politik baru dari kalangan Modernis akibat perbedaan dan tindakan politik sepihak. Sukiman, Wali Alfatah, serta beberapa orang pemimpin Mu- hammadiyah, termasuk ketua umumnya Kyai Haji Mas Mansur bersama-sama mengusulkan kepada Sarekat Islam agar meng- ubah politik Hijrahnya, karena pendapat politik semacam itu hanya suatu langkah taktis dan bukan suatu prinsip yang tidak dapat diubah. Karena itu pula mereka memutuskan pada 4 Desember 1938 untuk mendirikan Partai Islam Indonesia (PII), dengan ketuanya Raden Wiwoho, seorang yang pernah meme- gang pucuk pimpinan Jong Islamieten Bond (JIB), serta anggota Volkstraad. Dipilihnya Wiwoho nampaknya didasarkan atas belum terlibatnya yang bersangkutan kepada persengketaan di masa lalu, selain itu ia juga dianggap pemimpin muda yang baru punya nama.207 Di dalam kelengkapan unsur pengurusan, ang- gota-anggota Muhammadiyah menguasai pimpinan pusat partai baru ini, Namun demikian di daerah Priangan cabang-cabangnya dipimpin dari kalangan Persis,208 dan di Sumatera partai ini men- dapat dukungan dari bekas anggota Permi. Partisipasi Mas Man- sur sendiri selaku pucuk pimpinan Pusat Muhammadiyah, menimbulkan perdebatan di antara anggota organisasi itu, bebe- rapa di antaranya lebih suka melihat Muhammadiyah mengambil sikap netral terhadap partai-partai itu, walaupun sebuah rapat dari Majelis Tanwir Muhammadiyah pada tahun 1939, meng- izinkan Mas Mansur duduk di dalam kepengurusan pusat PII.209 Pada tahun 1940 PII baru menyusun program partai yang disetujui di kongres pertamanya yang diadakan di Yogyakarta, di antara program yang diperjuangkan adalah Partai Islam In-

207Dalam tahun 1940-an, Sukiman menggantikan Wiwoho sebagai ketua, sedangkan Wiwoho menjadi wakil ketua. 208Persatuan Islam (Persis) memberikan kedudukan kepada Mohammad Natsir untuk mengetuai cabang PII di Bandung. 209Deliar Noer, Gerakan…, Ibid., hlm. 176-177. 142 YUSRIL IHZA MAHENDRA

donesia menghendaki negara kesatuan yang bersifat demokratis. Partai ini menghendaki Indonesianisasi struktur birokrasi peme- rintahan, perluasan hak-hak politik, kemerdekaan berbicara, mengeluarkan pendapat dan berpikir serta kebebasan pers; dalam bidang agama PII menuntut penghapusan semua subsidi untuk semua agama; dalam bidang ekonomi PII menuntut penghapusan berbagai macam pajak yang memberatkan rakyat, penyerahan perusahaan penting pada negara dan melindungi perusahaan pri- bumi dari persaingan dan tekanan perusahaan multinasional asing. PII bersikap kooperatif dalam perjuangan politiknya untuk mencapai kemerdekaan. PII juga menjalin kerja sama dengan par- tai dan organisasi politik seperti GAPI, MIAI dan Majelis Rakyat Indonesia (MRI).210 Perhatian awalnya hanya kepada persoalan praktis seperti tuntutan Indonesia berparlemen yang memang mendapat sokongan serta menuntut perhatian yang lebih praktis kepada perkembangan yang pesat dari berdirinya cabang-cabang di Jawa, Sumatera, Kalimantan serta Sulawesi.211 Akibat pecah- nya Perang Pasifik, politik Hindia Belanda berubah, berbagai aktivitas politik partai dihentikan, termasuk PII, pemimpin- pemimpinnya ditangkap atas tuduhan bersimpati pada Jepang, Pada hari Jepang melancarkan serangan ke Hawaii pada 8 Desember 1941, tiga orang pimpinan PII, termasuk Ahmad Kasmat, Haji Faried Ma’ruf dann Haji Kahar Muzzakir ditangkap Belanda dengan tuduhan bersimpati dengan musuh, yaitu Jepang.212 Jauh sebelum tentara Jepang datang, sebenarnya pada tahun 1937, di kalangan perkumpulan Islam telah bediri Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), ini menjadi “payung” bernaungnya organi- sasi-organisasi Islam yang banyak itu. Mulanya hanya 7 organi- sasi yang bergabung ke MIAI,213 kemudian pada tahun 1941,

210M.Fachry, Ibid., hlm. 2002. 211Deliar Noer, Ibid., hlm. 178 212Ibid. 213Ini termasuk Sarikat Islam, Muhammadiyah, al-Irsyad (Solo), Persyarikatan Ulama (Majalengka), Al-Irsyad (Surabaya), Hidayatul Islamiyah (Banyuwangi) dan al- Khairiyah (Surabaya). GERAKAN MODERNIS ISLAM 143

anggotanya naik menjadi 21 organisasi.214 Pertemuan diseleng- garakan secara bersama dari tiap-tiap pihak melalui bidang sosial dan menjadi kebiasaan pada akhir masa jajahan Belanda,215 tetapi dalam bidang politik kalangan Islam tidak berhasil bersatu seperti yang dijumpai sebelum tahun 1920, konflik yang terjadi justru bukan di antara tradisional dan modernis, melainkan di antara kalangan modernis sendiri. MIAI, merupakan federasi dari sejum- lah organisasi Islam, federasi ini diprakarsai K.H. Mas Mansur dari Muhammadiyah, K.H. Muhammad Dahlan dan K.H. Wahab Hasbullah dari Nahdlatul Ulama (NU) serta Wondomiseno, yang didirikan pada 21 September 1937 di Surabaya. Federasi ini lahir dalam rangka menciptakan kebersamaan, mewujudkan kesatuan orientasi, idealisme perjuangan terutama masalah-masalah sosial di kalangan organisasi atau perkumpulan-perkumpulan Islam. Organisasi ini bersifat nasional, ada sekitar 20 organisasi ke- islaman yang pernah bergabung dengan MIAI pada bulan oktober 1943, saat MIAI memasuki awal penjajahan Jepang dengan pen- dudukan militernya, kebijakan Jepang berubah dalam soal ini dengan dibubarkannya federasi yang dinilai sebagai anti- Jepang.216 Yang dapat kita amati terhadap perjuangan modern Islam di masa pergerakan nasional Indonesia memasuki abad ke-20 (tahun 1900) saat kolonial Belanda menjajah sampai pendudukan militer Jepang (1942) adalah “sumbangan kreatif gerakan modernisasi Islam Indo- nesia terhadap wawasan keislaman di negeri ini” (Syafi’i Maarif: 1987). Keberaniannya mempertanyakan kesahihan beberapa paham 214Termasuk anggota biasa (15 anggota) yaitu Sarekat Islam, Muhammadiyah, Persatuan Islam, al-Irsyad, Jong Islamieten Bond (JIB), al- Islam (Solo), al-Ittihadul Islamiyah (Sukabumi), Partai Islam Indonesia (PII), Partai Arab Indonesia, Persatuan Ulama seluruh Aceh (Sigli), Musyawarah al-Tholibin (Kandangan-Kalimantan), Nahdlatul Ulama (NU), Al- Jamiyatul Wasliyah, Nurul Islam (Tanjung Pandan Bangka-Belitung); 7 anggota istimewa yaitu al-Hidayah Islamiyah (Banyuwangi), Majelis Ulama Indonesia (Toli-Toli-Sulawesi), Persatuan Putera Borneo (Surabaya), Persatuan India Putra Indonesia, Persatuan Pelajar Indonesia-Malaysia di Mesir. Catatan: anggota biasa mempunyai pengurus besar dan cabang- cabang; anggota luar biasa bersifat lokal. 215Pada tahun 1935, Kyai Haji Hasyim Asj’ari pimpinan NU mendesak umat agar pertikaian di antara kaum tradisional dan modernis dihentikan. Ia juga menganjurkan kerja sama di antara kedua golongan ini. 216M. Fachry, Ibid., hlm. 17. 144 YUSRIL IHZA MAHENDRA

dan praktek keagamaan masyarakat kita, sekalipun pengaruh dalam paham pramodern Islam Wahhabi telah merembet ke Indonesia pada dekade kedua dan ketiga abad ke-19, khususnya lewat gerakan Paderi di Sumatera Barat, namun nama-nama organisasi Sarikat Islam (SI), Muhammadiyah, al-Irsyad dan Persatuan Islam (Persis) adalah wakil utama dari gerakan itu di bidang sosia-keagamaan dan sosial kemanusiaan. Taufiq Ismail melihat masa dasawarsa 1920 sampai 1930-an, dalam sejarah modern Islam merupakan “dasa- warsa ideologi”, karena masa ini berbagai ideologi atau politik aliran sangat berpengaruh di dalam pertumbuhan keagamaan serta dasar ideologi perjuangan di kalangan kaum pergerakan nasional,217 di kalangan Islam misalnya, umat Islam di awal abad ke-20, dan sampai kini masih dijumpai masalah bangsa disamakan dengan soal agama.218 Dalam tahun tiga puluhan masih dijumpai perkataan “kebangkitan Muslimin”,219 suatu ikatan yang semata-mata disama- kan dengan umat dan kemerdekaan bangsa disamakan dengan kemerdekaan umat, demikian pula sebaliknya. Ideologi berfungsi mempersatukan gagasan-gagasan, tingkah laku dan karakteristik individu serta menuntut kekuatan peng- ikat,220 ideologi juga merupakan himpunan nilai-nilai yang menjadi pedoman bagi kelompok penganutnya untuk menjadi pengikat dan parameter perumusan paradigma operasional kehidupan sosial da- lam arti luas, baik menyangkut masalah politik, sosial, ekonomi, budaya maupun pertahanan militernya. Ideologisasi ini semakin memperjelas identifikasi diri (self identification) dan integrasi ke- lompok221 manakala terjadi pertentangan di dalam struktur sosial. Kenyataan ini dapat dipahami mengingat sebahagian pemimpin

217Taufiq Ismail, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1987, hlm. 15. 218Deliar Noer, Pengantar…, Ibid., hlm. 160-161. 219Ibid. 220Daniel Bell, “The End of Ideology;” dalam Philo C. Wasburn, Political Sociology, New Jersey, Prentice Hall inc. Englewood Cliff, 1982, hlm. 237. 221Secara teoretik, konflik dalam strukrtur sosial dapat menciptakan integrasi, kelompok konflik mempunyai fungsi integratif, yaitu dengan terbentuknya solidaritas internal dalam kelompok, L. Coser dalam Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Mo- dern, (terj.) Robert Lawang, Jakarta, Gramedia, 1986, hlm. 196. GERAKAN MODERNIS ISLAM 145

Muslim seperti Tjokroaminoto, Agus Salim, Ahmad Hassan dan Mohammad Natsir adalah ideolog modernis universalis dan ideal- is.222 Pelopor modernis Islam itu bukan saja meyakini akan keabadi- an ajaran Islam melainkan juga keberlakuannya yang total, asal saja manusia dibimbing iman dan memenuhi fitrahnya sebagai makhluk Allah.223 Terhadap gerakan misi dan zending Kristen, Mohammad Natsir menganggapnya “lawan” Islam.224 Berbeda sikapnya terhadap pemerintahan kolonial dan misi Kristen, kalang- an modernis Muslim itu justru seringkali terjebak dalam sikap mendua menghadapi kalangan nasionalis sekuler, di satu pihak, kalangan modernis Muslim (nasionalis Islam) harus melakukan kerja sama (aliansi) dan membentuk ikatan solidaritas politik de- ngan kalangan nasionalis sekuler dalam menghadapi pemerintah Belanda, di lain pihak di antara golongan nasionalis Islam dan golongan nasionalis sekuler terdapat perbedaan ideologi dasar perjuangan dan sering timbul konflik internal, pengideologisasian Islam dalam kazanah perdebatan di kalangan pemimpin perge- rakan nasional. Ini semakin memperjelas struktur internal panji- panji Islam, sehingga perbedaan yang bersifat “aliran” ini ber- tambah rumit kerana adanya pengaruh ide yang bersumber dari Barat seperti Marxisme dan Nasionalisme sekuler yang menim- bulkan polarisasi dan fragmentasi perjuangan politik. Dalam ke- nyataannya ideologisasi juga memperkuat solidaritas baik secara politis, kultural maupun keagamaan pada satu sisi, tetapi pada sisi yang lain turut mendorong terjadinya friksi politik terhadap yang dianggap lawannya, dalam proses ini ideologi harus menjadi “perangkat kepercayaan yang mengikat dan melembaga”. 225 Perdebatan ideologi di masa pergerakan nasional ini dapat dilihat tidak hanya dari sebuah proses dinamika sejarah yang harus

222Taufiq Abdullah, Ibid., hlm. 15. 223Ibid. 224Natsir, “Zending kontra Islam,” dalam Islam dan Kristen di Indonesia, Jakarta, Me- dia Dakwah, 1983, hlm. 37. 225 Bandingkan dengan pandangan Milton Rokeach, “The Open and Close Mind,” dalam Robert Lane, Political Ideological, New York, Affree Press Paper Bask Mac Millan Company, 1963, hlm. 415-416. 146 YUSRIL IHZA MAHENDRA

dilalui dalam ruang politik yang demikian demokratis dan sarat dengan perdebatan intelektual, tetapi juga harus dilihat sebagai fakta bahwa kalangan elit dan intelektual di Indonesia pada masa itu telah memulai melakukan komunikasi politik secara dewasa, artinya secara sadar atau tidak sadar proses pembelajaran menuju masyarakat politik yang demokratis telah terjadi. Pergulatan pemikiran itu membangun dinamika masyarakat untuk mau terlibat terhadap persoalan yang menjadi titik pandang dari pilihan-pilihan membangun kehidupan politik di masa kemer- dekaan kelak. Namun demikian harus diakui ada sisi lain yang menjadi hambatan dalam merumuskan secara final format politik yang akan dibangun, karena demikian kuatnya pihak masing- masing berpegang pada pandangan bahwa aliran atau ideologinya dianggap sebagai representasi dari keseluruhan keinginan rakyat Indonesia. Perdebatan ini demikian panas dan terus berlangsung di tengah rakyat Indenesia yang sedang berjuang untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan yang telah demikian lama dan pintu kemerdekaan itu telah mulai terbuka sebagaimana bangkitnya bangsa-bangsa di kawasan Asia dan Afrika menyongsong dunia baru. Tetapi pesona persatuan tidaklah membuat perbedaan itu sirna, akibatnya proses perdebatan itu berakhir ke dalam ketegangan politik yang “tidak pernah” selesai.

MASA PENDUDUKAN JEPANG (1942-1945)

ANYA selang sehari dari penyerahan pemerintahan penjajah Belanda kepada pendudukan militer Jepang, berlaku per- Haturan bahwa semua organisasi dan rapat-rapat dilarang, ini mulai berlaku sejak 20 November 1942.226 Pihak penguasa mili- ter Jepang sendiri melihat Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara dan K.H. Mas Mansur sebagai elit masyarakat yang dapat menghimpun kekuatan rakyat di Jawa. Oleh pihak Jepang,

226Undang-Undang No. 3, t20 Maret 1942. GERAKAN MODERNIS ISLAM 147

empat serangkai ini digunakan sebagai alat untuk mendapatkan dukungan rakyat. Mas Mansur berasal dari kelompok modenis Islam yakni dari organisasi Muhammadiyah, ini merupakan bukti pengakuan kalangan nasionalis serta pihak Jepang mengenai pentingnya peranan umat Islam umumnya dalam dunia politik Indonesia.227 Hampir setahun setelah pendudukan militer Jepang, tepatnya pada 10 September 1943, pemerintah Jepang menge- sahkan berdirinya Muhammadiyah (perkumpulan modernisme Islam) dan Nahdlatul Ulama (perkumpulan tradisional Islam).228 Kemudian pada 1 Februari 1944, Persarikatan Umat Islam di Ma- jalengka (sebelumnya bernama Persyarikatan Ulama) serta Per- satuan Umat Islam di Sukabumi telah sah berdiri. Pengakuan pihak Jepang atas empat organisasi Islam itu diberikan secara berangsur-angsur pada saat sekutu mulai menghambat kemajuan dan memukul mundur pihak Jepang dalam perang Pasifik.229 Kejadian lain yang penting adalah berdirinya Hizbullah tahun 1944, Hizbullah merupakan organisasi pemuda Islam yang khusus dilatih kemampuan militer dari pihak Jepang, di samping organisasi pemuda lain seperti pertahanan sipil (Keibodan), korps pemuda (Seinendan) dapat dimasuki kalangan pemuda Islam dan bukan Islam. Dengan Hizbullah para santri yang sebelumnya ha- nya belajar agama, ke sawah serta ladang untuk membantu para Kyai atau orang desa, kini memperoleh latihan militer yang nanti- nya sangat berguna dalam revolusi, di samping itu, para santri dan banyak guru mengaji juga masuk tentara pembela tanah air (PETA) saat badan ini didirikan pada Oktober 1943.230 Dari pihak Jepang juga memang sudah ada tanda-tanda sejak 1944, bahwa Indonesia satu saat yang tidak jauh lagi akan mendapat kemerdekaan, peristiwa ini sudah lama ditunggu

227Deliar Noer, Partai Islam…, hlm. 22-23. 228Mengenai ciri-ciri gerakan modernis Islam dan tradisional Islam dijelaskan secara lebih rinci dalam Deliar Noer, Gerakan Modernis Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta, LP3ES, 1982 atau Pengantar ke Pemikiran Politik, Jakarta, Rajawali Press, 1987 (penulis yang sama). 229Ibid, hlm. 23-24. 230Menurut Japanese Military Administration halaman 185, organisasi sukarela berpusat pada pemuda dan Islam,… Lihat. Deliar Noer, Partai Islam…, hlm. 28. 148 YUSRIL IHZA MAHENDRA

rakyat Indonesia dengan mayoritas pemeluk Islam. Bung Hatta dalam memoarnya melukiskan suasana kegembiraan bangsa In- donesia menyambut “janji” Jepang itu sebagai berikut: Pada permulaan September 1944, tersiarlah ucapan P.M. Kaiso yang menggantikan Tojo sebagai perdana menteri, bahwa Indonesia akan dimerdekakan “kelak kemudian hari”. Ucapan itu sangat menggembirakan, dapat dikatakan di seluruh Indonesia. Di Jakarta di- adakan rapat umum untuk menyambutnya, Soekarno dan beberapa pemimpin Jawa Hokokai lainnya berpi- dato di lapangan Ikada. Aku pun diminta berpidato. Sejalan dengan pengumuman Perdana Menteri Koiso itu di Jawa terdapat banyak perubahan. Lagu Indo- nesia Raya dibolehkan dinyanyikan kembali. Bendera Merah-Putih dikibarkan bersama-sama dengan Hino- Maru. Dalam bulan Desember 1944 diangkat beberapa orang Indonesia menjadi Sanyo untuk setiap ketua departemen.231 Mendekati hati pemimpin-pemimpin pergerakan Islam oleh Je- pang dimulai sejak permulaan mendaratnya pada bulan Maret 1942, diawali dengan membentuk pejabat departemen Agama (Shumubu) di Ibukota. Kemudian di bulan Agustus 1944, dibuka pula cabang di seluruh Kepulauan Indonesia yang dinamakan Shumuba, Shumuba lebih kurang seperti kantor untuk urusan pribumi (office for nation affairs), 232 seperti masa Hindia Belanda, tetapi kemudian bertambah dan melaksanakan aktivitas Departe- men Dalam Negeri, Kehakiman, dan Departemen Pendidikan/ Keagamaan. Shumubu awal mulanya dikepalai Kolonel Horie, seorang Jepang, kemudian digantikan Prof. H. Hoesein Djajadi- ningrat dan K.H. Hasyim Asy’ari, seorang ulama terkenal dari Jombang-Jawa Timur, walaupun yang menjalankan aktivitas

231Mohammad Hatta, Memoir, Jakarta, Tintamas, 1978, hlm 432. 232B.J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, The Hague Martinus Nijhoff, 1971, hlm. 9-10. GERAKAN MODERNIS ISLAM 149

sehari-hari adalah anaknya, K.H. Wahid Hasyim. Masuknya Asy’ari dalam posisi sentral Shumubu memiliki arti penting bagi Jepang maupun umat Islam. Bagi Jepang merupakan kebijakan realistis untuk “menjinakkan” umat Islam, sebaliknya bagi umat Islam sebagai awal untuk memasuki jaringan politik birokrasi dalam bidang pemerintahan. Inilah barangkali di antara “jasa” Jepang kepada umat Islam.233 N.A Aziz sejarawan Pakistan yang pernah mengadakan penelitian mengenai pendudukan Jepang di negeri ini berkesimpulan sebagai berikut: Tatanan hierarkis yang dipertahankan kekuasaan Belanda di kalangan administrator kini dipatahkan. Pemisahan antara gereja dan Negara praktis berakhir. Islam mendapatkan suatu posisi istimewa dalam sis- tem politik bersebelahan dengan administrasi sekuler, sebuah aparatur agama telah diciptakan. Jepang telah menampilkan suatu perubahan mendasar dalam metode pemerintahan tradisional dengan meningkat- kan kekuasaan Islam.234 Mengapa umat Islam mesti didekati dengan memberikan posisi politik penting kepada mereka? Menurut Kasman Singodimedjo kebijaksanaan semacam itu adalah pertimbangan bahwa ulama dan pemimpin Islam yang lain tidak saja dipandang sebagai pe- mimpin formal, melainkan juga sebagai tokoh masyarakat mayor- itas Islam yang sangat berpengaruh. Ditambahkan bahwa sikap ulama yang tidak sudi membungkuk ke matahari terbit untuk menghormati Tenno Heika (Sikeire) dengan alasan sebagai ber- tentangan dengan iman semakin menyadarkan Jepang menge- nai betapa besarnya potensi pemimpin spiritual Islam itu.235 Ke- tika titik balik peperangan telah tampak, dan pihak Jepang lebih banyak bertahan, mereka pun menjanjikan kemerdekaan Indone- sia dalam waktu dekat dan segera.

233Ahmad Syafi’i Maarif, Peta Bumi…, hlm. 188-189. 234M.A. Aziz, Japan’s Colonialism and Indonesia, The Hague, Martinus Nijhoff, 1955, hlm. 206. 150 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Pada 7 Desember 1944, didirikan Badan Persiapan Usaha-Usa- ha Panitia Kemerdekaan Indonesa (BPUPKI).236 Badan ini meru- pakan tonggak besar dalam perjalanan pergerakan kebangsaan, karena sebelumnya belum pernah pemimpin-pemimpin Indone- sia mendapat kesempatan secara bersama-sama membicarakan masalah kemerdekaan sampai tuntas. Yang memegang peranan di tubuh institusi ini mulanya hanya 15 anggota dari 60 anggota (di samping ketua dan wakil ketua yang netral agama) yang ber- orientasi pada Islam. Mereka ialah Abikusno Tjokrosujoso (bekas anggota PSII), Kyai Ahmad Sanusi (PUI Sukabumi), Kyai Abdul Halim (PUI Majalengka), Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadi- yah), K.H. Masykur (NU), K.H. Mas Mansur (Muhammadiyah), Abdoel Kahar Muzzakir (Muhammadiyah), R. Roeslan Wongso- koeseomo (Masyumi-bekas Parindra), H. Agus Salim (Penyadar), R. Sjamsuddin (bekas Parindra dan PUI), Dr. Sukiman (PII), K.H. Wahid Hasyim (NU), Ny. Sunario Mangunpuspita (Aisyiah bekas JIB), Abdul Rahman Baswedan (bekas PAI), Abdul Rahim Prataly- krama (Residen Kediri). Ketika 28 anggota lagi ditambahkan pada 28 Juni, hanya dua di antaranya yang dapat dikatakan termasuk golongan Islam, yaitu Pangeran Mohammad Noer (bekas JIB, ber- gabung ke Masyumi tahun 1945), Haji Abdul Fatah Hassan (afiliasi organisasi tidak diketahui).237 Rapat pembentukan pani- tia kemerdekaan yang terdiri dari 9 orang, 4 orang berasal dari kalangan Islam, yaitu Haji Agus Salim, K.H. Wahid Hasyim, Abu- kisno dan Abdul Khahar Muzakkar. (3 orang anggota panitia berasal dari kalangan modernis), 5 lainnya yaitu Soekarno, Mo- hammad Hatta, A. A. Maramis, Achmad Subardjo dan Moham- mad Yamin. Suatu kesepakatan dapat dihasilkan, saat Maramis yang ber- agama Kristen, pada suatu kesempatan berbicara dengan Abi- kusno dan Kahar Muzakkir, menerima usul dari Muzakkir agar

235Hasil wawancara M. Mundhir Adisaputra, “Peranan umat Islam di zaman Jepang,” Media Dakwah, No. 59 (t.t.), halaman 18 dalam Ahmad Syafi’i Maarif, Peta Bumi…, hlm 189-190. 236Badan Persiapan Usaha-Usaha Panitia Kemerdekaan Indonesia dalam sebutan kalangan Jepang adalah Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai. GERAKAN MODERNIS ISLAM 151

di negara baru nanti orang-orang Islam berkewajiban menjalan- kan Syariat Islam, “ setuju 200 persen,” kata Maramis. Maka persesuaian ini pun dituangkan dalam apa yang disebut “Piagam Jakarta” bertanggal 22 Juni 1945. Persetujuan ini ditandatangani semua anggota Panitia kecil. Piagam ini dimaksudkan untuk men- jadi mukadimah konstitusi Negara yang hendak didirikan seperti disepakati kemudian dalam sidang Badan Persiapan bulan Juli 1945,238 Soekarno pun mengalah. Pada 16 Juli 1945, saat Badan Penyelidik kembali bersidang, Soekarno sekali lagi mengimbangi rekan-rekannya dari kalangan nasionalis untuk menerima usul kalangan Islam. Ia minta mereka berkorban karena, katanya, terdapat kebesaran dalam berkorban,239 walaupun akhirnya pada 18 Agustus 1945, kata-kata mengenai “Kewajiban menjalankan syariat Islam untuk pemeluknya” dihapus kembali dari mukadi- mah konstitusi UUD 45, hingga nama Allah bagi Islam, diganti dengan Tuhan yang berasal dari usul Gusti Ketut Pudjo wakil dari Bali. Ketuhanan diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, Mohammad Hatta menambahkan, karena menurut Wahid Hasyim kata Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan Tauhid Islam, hanya Islam yang mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa.240 Anggota dari BPUPKI itu seluruhnya dari Jawa dan Madura yang dikuasai angkatan darat Jepang (Rikugun), sekalipun wilayah tugasnya meliputi seluruh Indonesia. Bagian Jawa, Madura dan Sumatera berada di bawah Rikugun, sedangkan Indonesia bagian timur ditempatkan di bawah angkatan laut Jepang (Kaigun).241

237Baswedan ketika itu seakan bersikap ambivalen, bukan dalam arti negatif, kurang jelas pada Islam atau nasionalis. Ia baru masuk Masyumi pada tahun 1950 karena pengaruh Natsir, tetapi memang ia termasuk taat beragama sejak masa mudanya, lihat Deliar Noer, Partai Islam…, hlm. 30-32. 238Ibid, hlm. 36. 239Ibid, hlm. 38. 240Pada waktu itu memang direncanakan untuk mengadakan pemilihan umum setelah 6 bulan. Saat itu dan umumnya sampai tahun 1955, kalangan Islam yakin bahwa mereka akan keluar sebagai pemenang dalam pemilihan umum. Karena itu Kasman Singodimedjo mendesak Ki Bagus agar menerima syarat itu. Lihat Deliar Noer, Ibid, hlm. 41. 241Prawoto, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi, Jakarta, Hidayah, 1970, hlm. 11. 152 YUSRIL IHZA MAHENDRA

BPUPKI dilantik pada 28 Mei 1945, dengan anggota 68 orang. Menurut Prawoto Mangkusasmito hanya 15 orang yang dipandang mewakili aspirasi umat Islam. Apa aspirasi politik umat Islam? pertanyaan ini merupakan upaya memberi jawaban perjalanan perjuangan politik kalangan pemimpin pergerakan Islam yang prosesnya memiliki mata ran- tainya dari masa pergerakan itu sendiri hingga masa penduduk- an tentara Jepang di tanah air (1900-1942). Dipandang dari kon- teks sejarah masa itu, aspirasi politik Islam agar negara yang akan dinyatakan merdeka kelak harus didasarkan Islam perlu dinyatakan secara eksplisit dengan dimuat ke dalam konstitusi Negara dan diakui serta menjadi pedoman kehidupan bernegara Indonesia. Namun, bila melihat dari perimbangan kekuatan poli- tik di dalam BPUPKI, cita-cita semacam itu tidak mungkin di- capai, sebab hanya didukung lebih kurang 20 persen saja dari seluruh anggota BPUPKI itu sendiri, sedangkan yang 80 persen memiliki pendirian bahwa agama, dalam konteks ini Islam, tidak dibawa-bawa dalam soal kenegaraan. Pendirian ini dikemukakan kalangan nasionalis sekuler. Modus vivendinya dikerjakan Panitia Sembilan (PPUPKI) yang diketuai Soekarno serta wakil- nya Mohammad Hatta. Pada awalnya Panitia Sembilan itu dibentuk untuk merumuskan kembali pidato Soekarno pada 1 Juni 1945. Dari kalangan nasionalis Islam ialah Abikusno Tjokro- sudjoso (bekas pimpinan PSII), Abdul Kahar Muzakkir (pimpinan Muhammadiyah), H. Agus Salim (bekas pimpinan SI), ketiganya dapat dikatakan dari kalangan modernis Islam, sedangkan yang satunya lagi Wahid Hasyim (pimpinan Nahdlatul Ulama-NU). Se- mentara dari kalangan nasionalis sekuler ialah Soekarno, Moham- mad Hatta, Subardjo, Mohammad Yamin (beragama Islam) dan A.A. Maramis (beragama Kristen). Perbandingan di antara kelom- pok itu adalah 5 : 4 bila ditengok dari sudut agama, karena hanya Maramis yang bukan Islam. Setelah Panitia Sembilan bekerja keras, akhirnya sebuah solusi politik, sekalipun ternyata hanya berumur 57 hari, dalam bentuk Piagam Jakarta 22 Juni 1945, dapat disepakati. Dalam Piagam GERAKAN MODERNIS ISLAM 153

Jakarta sebagai dasar Negara telah diterima, namun sila Ketuhanan yang dalam pidato Soekarno diletakkan paling akhir, oleh Panitia Sembilan ditempatkan sebagai sila pertama, dengan diikuti anak kalimat, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”.242 Bagi umat Islam, anak kalimat ini sangat penting sebab dengan itu tugas pelaksanaan syariat Islam secara konstitusional terbuka pada waktu yang akan datang.243 Mengenai “anak kalimat” ini, dalam Pancasila hasil kompromi perubahan Piagam Jakarta, Mohammad Hatta mengatakan, secara garis besar hak umat Islam dapat diatur dalam Undang-Undang. 244 Pergulatan dalam perjuangan kalangan Islam pada masa sebe- lum kemerdekaan mengalami pasang-surut dalam peranan poli- tik. Ada kemajuan cukup penting secara kultural dan struktural politik, tetapi ada kekecewaan paling tidak karena “sebuah keme- nangan yang harus ditunda” pada masa ini untuk diperjuangkan kembali pada pentas proses politik kenegaraan di masa datang. Mengenai kemajuan secara kultural dan struktural politik, yang dimaksud penulis adalah perbandingan peran di masa penjajahan Belanda dan Jepang. Di masa penjajahan Belanda, gerakan mo- dernis Islam khususnya, serta umat Islam pada umumnya, hanya terbatas pada lingkup organisasi atau persarikatan saja atau secara individu, dan aktivitasnya terbatas melalui sarana pendi- dikan dengan peran sebagai guru, kyai, ajengan yang memberikan bimbingan agama dan ilmu pengetahuan, atau diberi kepercayaan untuk duduk selaku penghulu atau kadi agama dalam bidang hu- kum agama yang berkaitan hanya pada persoalan hukum ibadah dan hukum perdata yang terbatas. Sedangkan pada masa pendu- dukan Jepang, peranan kalangan nasionalis Islam telah meng- alami kemajuan, selain adanya pengakuan dan keterlibatan lang- sung, mereka juga mengambil keputusan mengenai jenis rumusan

242Muhammad Yamin (ed.), Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1, Jakarta, Prapanca, 1959, hlm. 276. 243Ahmad Syafi’i Maarif, Peta Bumi…, hlm 191-194. Mengenai perasaan keberatan dari pihak Kristen juga dapat dilihat dalam buku tersebut, juga dalam Endang Syaifuddin Ansyari, Piagam Jakarta 1 Juni 1945, Bandung, Salman, 1981. 244Mohammad Hatta, Memoir…, hlm. 432. 154 YUSRIL IHZA MAHENDRA

yang harus diperjuangkan dalam membangun Negara Indonesia di masa datang. Kalangan Islam pun telah mulai memasuki dunia birokrasi pemerintahan secara lebih luas, dan masalah-masalah agama pada akhirnya menjadi bagian birokrasi pada tingkat pemerintahan pusat secara resmi. Sedangkan masalah perjuang- an konstitusi, kemajuan dan kemunduran dari apa yang diharap- kan umat dan mengenai jaminan penerapan syariat Islam ke dalam undang-undang dasar negara itu, problemanya sebenarnya lebih kepada persoalan internal umat Islam itu sendiri.

MASA AWAL KEMERDEKAAN (1945-1950)

ADA awal kemerdekaan, harapan untuk memiliki Partai tunggal guna mempersatukan semua Partai Islam demikian P kuat, sehingga diadakanlah muktamar Islam Indonesia di gedung Madrasah Mualimin Muhammadiyah Yogyakarta, pada tanggal 7-8 November 1945. Masyumi diputuskan sebagai satu- satunya partai politik Islam di Indonesia.245 Pada awal mula pen- dirian, hanya empat organisasi yang masuk Masyumi yaitu

245 Masyumi di sini tidak ada hubungannya dengan Masyumi pada masa pendudukan Jepang, Masyumi pada masa pendudukan Jepang merupakan singkatan dari Majelis Syuro Muslimin Indonesia sedangkan Masyumi yang muncul kemudian hanya merupakan kesepakatan peserta muktamar. Masyumi pada masa pendudukan Jepang hanyalah berupa organisasi sosial kemasyarakatan Islam dengan pendukung utamanya dari kalangan Modernis Islam Muhammadiyah dan kalangan tradisionalis Islam Nahdlatul Ulama (NU). Masyumi ini mendapat pengakuan resmi dari pemerintah Jepang. Ketika pemerintahan Jepang telah mendekati kekalahan dalam menghadapi Perang Dunia II dengan sekutu, organisasi Masyumi ini didirikan sebagai pengganti atas dibubarkannya MIAI pada Oktober 1943. Masyumi yang dimaksud ini, mulanya dibentuk untuk mendukung pemerintahan pendudukan Jepang, namun demikian para pemimpin Islam yang tergabung dalam organisasi itu berusaha untuk melencengkan tujuan tersebut, seperti diakui menurut K.H. Wahid Hasyim. Lihat juga, M. Fachry, Multi Partai…, hlm. 20. Bahkan nama Masyumi sebagai pilihan untuk nama Partai Islam memang sempat diperdebatkan hangat dalam kongres, karena ia mengingatkan pada organisasi masa Jepang itu dengan nama yang sama. Nama ini akhirnya diterima dengan suara 52:50; nama lainnya yaitu Partai Rakyat Islam, ditolak. Tetapi nama Partai Masyumi di masa merdeka itu tidak merupakan kependekan, berlainan dengan nama tersebut di masa Jepang,. Deliar Noer, Partai Islam…, Ibid., hlm. 47. GERAKAN MODERNIS ISLAM 155

Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Perikatan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam. Kedua organisasi yang terakhir dise- but ini memiliki sifat tradisional dalam soal keagamaan, tetapi cenderung bersikap modernis dalam soal dunia, sehingga me- mudahkan untuk bekerja sama dengan kalangan modernis. Organisasi Islam lainnya adalah Persatuan Islam (Persis) pada tahun 1948, dan Al-Irsyad pada tahun 1950. Kemudian organisasi dari Sumatera Utara yang turut bergabung sebagai anggota adalah al-Jamiatul Wasliah dan al-Ittihadiyah. Dengan berhasilnya Konferensi Meja Bundar (KMB), semakin banyak organisasi Islam di daerah yang sebelumnya terisolasi dari pemerintahan Republik Indonesia karena di bawah pen- dudukan Belanda, kini dapat bergabung dengan Masyumi dengan menjadikan dirinya sebagai cabang Masyumi di wilayahnya. Persatuan Ulama seluruh Aceh (PUSA) turut bergabung dengan Masyumi pada tahun 1949, sampai kemudian terjadi pemberon- takan Aceh terhadap pemerintah pusat di bawah pimpinan ulama kharismatik Tengku Daud Beureuh pada tahun 1953, dan PUSA turut bergerak di bawah tanah. Dalam perkembangannya, penye- baran Partai Masyumi secara lebih merata dimungkinkan dengan sokongan yang diberikan anggota istimewa Partai, seperti: Mu- hammadiyah (secara sosial lebih tersebar merata di Indonesia), al-Jamiyatul Wasliyah dan al-Ittihadiyah (berbasis di Sumatera Utara), Persatuan Umat Islam (berbasis di Sukabumi dan Maja- lengka-Jawa Barat), Persatuan Islam (Persis, berbasis di Ban- dung-Jawa Barat dan Bangil-Jawa Timur), al-Irsyad (di daerah Jawa, tempat yang dijumpai banyak turunan Arab), Mathlaul An- war (berbasis di Banten), dan Nahdlatul Wathan (berbasis di Lombok-Nusa Tenggara Barat). Di Sulawesi Selatan dan Tengah tempat pada masa pra-Perang merupakan basis PSII. (kemudian terjadi persaingan setelah PSII keluar dari Masyumi) Pada masa revolusi, Masyumi mendapat dukungan juga dari Hizbullah, sebuah organisasi bersenjata yang dibentuk pada waktu pendudukan Jepang untuk melatih kalangan pemuda Is- lam; Hizbullah masa Jepang memang berada di bawah naungan 156 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Masyumi. Ketika Jepang takluk, Hizbullah memiliki anggota sekitar 50.000 orang anggota,246 organisasi ini dilihat sebagai satu- satunya organisasi bersenjata Islam untuk angkatan muda.247 Adapun untuk kalangan lebih tua didirikan Sabilillah yang juga bernaung di bawah Masyumi.248 Organisasi Masyumi juga mendapatkan sokongan melalui “anak organisasi” yang didirikannya, termasuk Muslimat (untuk wanita), Sarikat Dagang Islam Indonesia, Sarikat Tani Islam Indonesia, Sarikat Nelayan Islam Indonesia serta Sarikat Buruh Islam Indonesia yang didirikan pada tahun 1950-an. Selain itu dukungan juga berasal dari Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), tidak dapat dikatakan didirikan Masyumi, namun pada tahun 1956 organisasi pemuda ini menjadi renggang dengan Masyumi. Mereka semua itu disebut “keluarga bulan bintang”, suatu julukan yang diambil dari lambang Partai itu dan masih tetap dipergunakan sampai kini. Selain itu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang berdiri pada Februari 1947 serta Pelajar Islam Indonesia yang berdiri di bulan November 1946, keduanya ini sering disebut sebagai keluarga Masyumi. Kedua organisasi ini menyokong Partai Islam dalam Pemilihan Umum (Pemilu) di ta- hun 1955 dan keduanya juga sangat keras menentang Komunis- me. Para anggota kedua organisasi itu (HMI dan PII) sering ber- hubungan dengan ulama serta para pemimpin Partai untuk mem- bicarakan masalah-masalah yang hangat dari yang bersifat teore- tik hingga yang bersifat khas Indonesia. Mereka, menurut Deliar Noer, memang banyak berkomunikasi dengan para pemimpin Masyumi. Para pemimpin Masyumi dengan sifat intelektualnya menjadi pendukung yang lebih menarik bagi HMI dan PII itu.249

246Kahin menyebut jumlah mereka sekitar 20.000 sampai 25.000 orang dalam bukunya, Nationalism and Revolution…, Ibid., hlm. 163. Abikusno Tjokrosujoso wakil ketua Masyumi pada tahun 1945 menyatakan bahwa jumlah mereka kira-kira dua juta, dalam sebuah berita di Al-Jihad, 16 Februari 1950. Al-Jihad adalah harian Masyumi tahun 1945-1946, lihat Deliar Noer, Partai Islam…, Ibid., hlm. 56. 247Mukadimah GPII dalam Masyumi, hlm. 23, lihat Deliar Noer, Ibid. 248Ibid. 249Deliar Noer, Partai Islam…, Ibid., hlm. 58. GERAKAN MODERNIS ISLAM 157

Para pelopor pendirian Partai Masyumi pada dasarnya adalah pemimpin Islam yang demikian aktif berjuang dan mengemuka- kan pemikirannya di masa pergerakan, antara lain: Dr. Sukiman Wirjosandjojo, bekas pemimpin Partai Islam Indoensia; Moham- mad Natsir dari Persis; Abikusno Tjokrosudjoso (PSII); A. Wahid Hasyim (NU); Wali al-Fatah (PII), Sri Sultan Hamengkubuwono IX (nonafiliasi), Sri Paku Alam VII (nonafiliasi) dan Gafar Ismail (PII). Kongres memutuskan (1) Masyumi adalah satu-satunya Par- tai politik Islam di Indonesia; (2) Masyumi akan memperjuangkan nasib umat Islam Indonesia. Dengan ikrar ini berarti pula bahwa keberadaan Partai Islam yang lain tidak diakui lagi.250 Dalam kongres ini melahirkan dua badan dalam tubuh Partai Masyumi: Majelis Syuro dan Pengurus Besar. Majelis Syuro diketuai K.H. Hasyim Asy’ari (Bapak spiritual NU), sementara dalam pengurus besar ditemui K.H. Masjkur, K.H. M. Dahlan,251 semuanya merupa- kan anggota-anggota penting dari NU, sementara K.H. Wahid Hasyim berperan sebagai Ketua Muda II Majelis Syuro. Sehari setelah kemerdekaan (Prokalamasi) Bung Karno dan Bung Hatta yang disahkan sebagai presiden dan wakil presiden diberi mandat untuk menyusun kabinet pertama; dibentuklah KNIP yang terdiri atas 137 anggota dari jumlah itu hanya 20 orang yang berasal dari kalangan Islam. Setelah mengadakan perombakan, Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) yang dibentuk pada Oktober 1945 beranggotakan 26 orang Golongan Islam hanya mendapat jatah 4 orang, yang secara kuantitas tidak adil, akibatnya dalam kabinet pertama, golongan Islam hanya memperoleh jatah kursi dua buah, yakni kursi Menteri pekerjaan umum (Abikusno Tjokrosujoso) dan Menteri Negara (K.H. Wahid Hasyim).252 Pukulan datang pada Juli 1947 ketika Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) meninggalkan Masyumi dan berdiri sendiri men- jadi partai politik. Orang-orang Sarikat Islam menerima tawaran

250Pimpinan Wilayah Masyumi Jawa Timur, Hari ulang tahun partai politik Masyumi ke-11, Surabaya, 1956, hlm. 26-27. Lihat Deliar Noer, Partai Islam …, Ibid. 251Ibid, hlm. 27-28, 80-81. 252M. Fachry, Ibid., hlm. 159-160. 158 YUSRIL IHZA MAHENDRA

dari Amir Syarifuddin untuk turut dalam kabinet yang dibentuk- nya, sementara PB Masyumi menolaknya. Wondoamiseno diang- kat sebagai menteri dalam negeri, Syahbuddin Latief sebagai menteri muda penerangan, Arudji Kartawinata sebagai menteri muda I pertahanan, dan Surowijono sebagai menteri muda pengajaran. Amir Syarifuddin selaku Perdana Menteri waktu itu membujuk kalangan PSII untuk keluar dari Masyumi, sementara alasan dari kalangan PSII untuk keluar dari Masyumi adalah karena tidak setuju dengan penolakan Masyumi masuk kabinet. Umat Islam terus berjuang melalui saluran-saluran konsti- tusional, dengan harapan akan menang dalam konstituante yang akan dipilih itu. Tetapi belum selesai persoalan di atas itu, tahun 1949 Masyumi semakin dikuasai kelompok modernis, dan tahun 1952 NU yang pemimpinnya berasal dari Jawa menyatakan memisahkan diri dengan menjadikan NU sebagai partai politik yang berdiri sendiri.253 Ini mengakibatkan suara umat Islam ter- pecah dalam Pemilu 1955 dan Masyumi yang sebelumnya sudah diramalkan akan mendapat suara terbanyak atau bahkan mayori-

253Ada yang mengemukakan, dalam Anggaran Rumah tangga Masyumi pada tahun 1953, perkataan “Wajib” dalam rangka Majelis Syuro itu dihapuskan, tetapi masih dijumpai kata-kata “Dalam soal politik mengenai hukum agama” pimpinan Partai meminta fatwa dan Majelis Syuro Pusat memberikan jawaban dalam waktu yang dikehendaki. NU memberikan alasan bahwa perubahan ini menyebabkan ia menarik diri dari Masyumi dan menjadi partai politik. Lihat Deliar Noer, Partai Islam…, Ibid., hlm. 62. Keluarnya unsur Sarekat Islam dari Masyumi tidaklah menimbulkan goncangan besar dalam Partai, karena kekuatan ini tidaklah seberapa bila dibandingkan dengan unsur NU. Goncangan terbesar dalam tubuh Masyumi terjadi pada bulan Mei 1952, ketika NU keluar dari Masyumi. Saat mengadakan Kongres di Palembang, NU menyatakan dirinya sebagai partai politik dan melepaskan watak jamiahnya. Ketika NU muncul sebagai partai, anggota parlemen yang menyeberang dari Masyumi ke partai baru ini cukup besar terutama di Jawa Timur dan Kalimantan, ini dibuktikan di mana Pemilu 1955 jumlah yang 8 orang di Parlemen melonjak menjadi 45 orang. Keluarnya NU dari Masyumi terjadi pada awal terbentuknya kabinet Wilopo-Prawoto (PNI-Masyumi) yang mana dalam kabinet ini kedudukan menteri agama telah berpindah dari unsur NU ke unsur Muhammadiyah, yaitu K.H. Fakih Usman. Keadaan itu berubah setelah kabinet Wilopo jatuh pada paruh pertama 1953, kemudian digantikan dengan kabinet Ali Sastroamidjoyo I. Dalam kabinet ini, NU (setelah jadi Partai) yang semula mendapat tiga kursi, setelah terjadi perubahan kabinet, kedudukan NU dalam pemerintahan semakin kuat, karena Partai ini diberi kursi Wakil Perdana Menteri (Zainul Arifin), Menteri Dalam Negeri (MR. Sunarjo), Menteri Agama (K.H. Masjkur) dan Menteri Agraris (Mohammad Hanafiah), lihat Pimpinan Wilayah Masyumi Jawa Timur, Hari ulang tahun Partai Politik Masyumi ke-11, Surabaya, 1956, hlm. 90-91. GERAKAN MODERNIS ISLAM 159

tas mutlak, ternyata hanya mendapatkan seperlima suara. Kemu- dian dalam pertarungan politik antara berbagai kepentingan aliran politik dan kelompok, hubungan pemimpin Partai Masyumi dengan Soekarno selaku kepala negara nampak tidak harmonis, bahkan mengalami ketegangan serta saling mencurigai. Kalangan Masyumi menilai Soekarno sebagai penguasa yang cenderung diktator serta memberikan peluang kepada Partai Komunis Indo- nesia (PKI) dalam aktivitas politik negara. Sedangkan Partai Masyumi lambat laun didiskreditkan dan akhirnya eksistensinya tidak diakui karena dianggap terlibat dalam pemberontakan yang dikenal dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang terjadi pada tahun 1958. Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) merupakan gerakan menentang pemerintah Republik Indonesia pada masa awal kemerdekaan dan berusaha mendirikan Negara Islam Indo- nesia (NII). Gerakan ini berhasil memproklamirkan Negara Islam Indonesia pada tanggal 7 Agustus 1949 di daerah Jawa Barat, pemimpin utamanya adalah Soekarmadji Maridjan Kartosuwirjo. Pemberontakan ini mendapatkan dukungan dari berbagai pemimpin dan ulama di daerah-daerah terutama Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Aceh. Darul Islam juga mengadakan kontak dengan gerakan pemberontakan Islam yang lain: PRRI di Sumatera Barat dan Permesta di Sulawesi Selatan. Gerakan ini mengalami berbagai kekalahan, dan mereka menyerah kepada tentara pada tahun 1962. Organisasi dan gerakan ini kemu- dian dinyatakan terlarang di Indonesia, meskipun gerakan ini masih ada sampai saat ini, dengan cara melakukan tindakan tidak secara terang-terangan. Pada tanggal 27 Januari 1952, Soekarno berpidato di Amuntai- Kalimantan Selatan. Ia menganjurkan rakyat agar menolak usul atau ajakan menjadikan Islam sebagai dasar negara. Ia menye- rukan penolakan, karena ini akan menyebabkan daerah-daerah seperti Maluku, Bali, Flores, Kepulauan Kai dan Sulawesi utara lepas dari Republik Indonesia. Ia menunjuk banyaknya non-Mus- lim di daerah tersebut, walaupun Soekarno menjelaskan penda- 160 YUSRIL IHZA MAHENDRA

patnya secara lebih rinci dalam satu ceramah umum di Universi- tas Indonesia pada 7 Mei 1953. Jelas terlihat bahwa ia akan ber- usaha sekuat tenaganya untuk menekan keinginan umat Islam. Dalam ceramah ini ia mengemukakan bahwa Islam sejalan de- ngan demokrasi sambil menunjuk ceramah Mohammad Natsir di Karachi setahun sebelumnya.254

Masa Demokrasi Parlementer (1950-1959)

AHUN 1955 berlangsung pemilu pertama di Indonesia dan berjalan secara demokratis di bawah naungan UUD Semen- T tara 1950. UUD Sementara 1950 inilah yang memberikan dasar secara konstitusional bagi berlakunya demokrasi parle- menter karena kabinet masa ini tidak bertanggung jawab kepada presiden, melainkan kepada parlemen. Pemilu 1955 memiliki dua sasaran: pertama, memilih wakil rakyat untuk parlemen (DPR); kedua, memilih wakil-wakil rakyat untuk duduk dalam majelis Konstituante yang bertugas menyusun suatu UUD negara yang permanen. Peserta pemilu ini tidak kurang dari 29 partai politik. Golongan dan calon perorangan yang terjun ke gelanggang pemilu itu, dari pihak Islam tidak kurang dari 5 Partai (Masyumi, NU, PSII, Perti, PTTI dan AKUI [Angkatan Kesatuan Umat Islam]) dengan perolehan sebanyak 16.518.332 suara untuk parlemen, sedang untuk majelis Konstituante memperoleh 16.464.008 suara.

254 Ceramah Soekarno berjudul Negara Nasional dan Cita-cita Islam, stensilan. Sedangkan ceramah Mohammad Natsir di Karachi yang diterbitkan berjudul Sumbangan Islam bagi Perdamaian Dunia, Jakarta, UB Ideal, 1953. Ceramah umum ini juga mendapatkan reaksi keras bukan saja dari kalangan pemimpin Islam seperti Mohammad Natsir, K.H. Isa Ansyari dan lainnya, melainkan juga timbul reaksi dari Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang ketika itu ketua umumnya Dahlan Ranuwihardjo mengirimkan surat kepada Presiden Soekarno untuk meminta penjelasan menyangkut persoalan hubungan Pancasila, Islam dan negara kebangsaan. Lihat Herbert Feith & Lance Castle, Indonesian Political Thinking 1945-1965, Ithaca, Cornell University, 1972. GERAKAN MODERNIS ISLAM 161

Dengan perolehan itu kelompok Islam memperoleh kursi di parle- men sebanyak 115 (dari 257) dan dalam Konstituante sebanyak 228 kursi (dari 504) (Noer 1987: 347). Dalam pemilu pertama ini di luar dugaan Partai Masyumi tidak berhasil meraih suara ter- besar atau moyoritas, walaupun harus diakui bahwa Partai ini memiliki dukungan yang lebih merata di seluruh Indonesia bila dibandingkan dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) atau partai-partai lainnya. Hasil pemilu ini menghasilkan empat besar partai, yaitu PNI dengan 22,3 persen (57 kursi), diikuti Masyumi dengan 20,9 persen (57 kursi), Nahdlatul Ulama (NU) dengan 18,4 persen (45 kursi) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan 16,4 persen (39 kursi). Adapun sisa kursi yang berjumlah 59 kursi dibagi-bagi di antara partai-Partai kecil, PSI (Partai Sosialis Indonesia) di bawah pimpinan Sutan Sjahrir hanya memiliki 5 kursi di parlemen. Dari jumlah itu wakil dari kelompok Islam jika disatukan sekitar 44 persen, jumlah yang tidak sampai separuh dari keseluruhan jumlah kursi, baik di Parlemen maupun di Majelis Konstituante. Dengan demikian, menuntut dasar Islam atau dasar Pancasila sebagai da- sar negara tanpa suatu kompromi tentu akan mengalami kega- galan, sebab tidak mencapai 2/3 dari jumlah suara yang diperlukan sesuai dengan UU yang berlaku (Feith 1968: 434-435). Partai-Partai Islam hanya memperoleh 230 kursi sementara partai-partai lainnya mencapai 286 kursi.255 Majelis Konstituante (Dewan Parlemen) melakukan persi- dangan dari bulan November 1956 sampai bulan Juni 1959, masa-

255M.Fachry, Ibid., hlm. 161. Pemilu ini berlangsung pada masa kabinet Burhanuddin Harahap di mana NU dan PSII berhasil diajak masuk dalam dalam kabinet, sekalipun tanpa PNI. NU mendapatkan dua kursi menteri yaitu menteri dalam negeri dan menteri agama, sementara PSII menduduki jabatan wakil perdana menteri II serta menteri sosial. Kabinet Burhanuddin ini walaupun tidak berumur panjang, prestasinya sebagai penyelenggara Pemilu pertama patut dicatat sebagai prestasi politik. Di kalangan internal kekuatan Islam, Burhanuddin Harahap sebagai perdana menteri dari kalangan Masyumi yang terakhir sampai bubarnya Partai ini pada tahun 1960, telah berhasil melekatkan kembali hubungan di antara Masyumi dan dua anggota Liga Muslim: NU dan PSII. Lihat Ali Sostroamidjojo, Tonggak-Tonggak di Perjalananku, Jakarta, Kinta, 1974, hlm. 343. 162 YUSRIL IHZA MAHENDRA

lah-masalah yang dibicarakan dalam majelis ini meliputi perso- alan bentuk negara, bahasa, bendera negara, hak-hak asasi manu- sia, dasar negara dan lain-lain isu konstitusional yang relevan, selain masalah dasar negara di mana seluruh kekuatan Islam d iparlemen bersatu menghadapi soal itu. Majelis Konstituante tidak menghadapi kesukaran yang berat bahkan telah mencapai 90 % dari agenda yang harus diselesaikan.256 Adapun masalah yang pa- ling mendasar yang dibicarakan menyangkut soal dasar negara, apakah negara akan berdasar Islam, Pancasila dan Sosialis Eko- nomi. Hasil voting adalah 230 suara untuk Islam, 273 suara untuk Pancasila, dan 9 suara untuk Sosialis ekonomi. Hasilnya, tidak satu kekuatan pun yang mencapai 2/3 jumlah suara sesuai dengan Konstitusi (UUD 1950). Konstituante sebenarnya telah dapat menyelesaikan hampir keseluruhan dari kerjanya yang harus dipenuhi dalam waktu kurang dari 2, 5 tahun.257 Golongan Islam tetap teguh pada pendiriannya mengenai Is- lam sebagai dasar negara, ini terjadi baik pada waktu Kasman Singodimedjo menjadi ketua Fraksi Islam di Konstituante maupun ketika K.H. Masjkur dari NU menggantikan posisi Kasman Singo- dimedjo yang ditangkap pemerintah dengan tuduhan subversi.258 Sebenarnya sebuah kompromi masih mungkin sekiranya tahun 1959 itu kekuatan ekstrakonstitusional tidak melakukan intervensi dalam sidang-sidang majelis, kekuatan itu adalah Soekarno dan tentara.259 Menurut Deliar Noer pendirian teguh dari golongan Is- lam itu bukan tanpa alasan melainkan ini didasarkan pada,

256Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaran: Studi tentang Percaturan Politik dalam Konstituante, Jakarta, LP3ES, 1987, hlm. 143-145. 257Keterangan ketua Konstituante pada sidang penutup panitia permusyawaratan Konstituante pada 18 Februari 1959, Lihat juga Yamin, naskah persiapan jilid 2, hlm. 510, dalam Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, Bandung, Mizan, 1987, hlm. 215. 258Kasman Singodimedjo ditahan semenjak 5 September 1958, karena pidatonya di Magelang yang disampaikan pada tanggal 31 Agustus. Ia dihukum 3 tahun penjara (dikurangi masa tahanan). Pada 5 Desember 1960, melalui pidatonya itu Kasman mengecam Soekarno dan pemerintah mengenai perkembangan di Indonesia, maka pada 6 November 1963, ia kembali memasuki tahanan dengan tuduhan terlibat organisasi terlarang yang juga kegiatan subversi. Ia dihukum penjara 14 Agustus 1964, selama 8 tahun. Ia disiksa selama dalam tahanan, Kasman meninggal 20 Oktober 1982 dalam usia 78 tahun. 259Ibid. GERAKAN MODERNIS ISLAM 163

Pertama, mereka melihat masalah ini sebagai ma- salah yang mereka janjikan selama kampanye pemilu tahun 1954-1955, bagi mereka menyalurkan ajaran agama dalam masyarakat dan negara akan mudah terlaksana bila negara berdasar Islam; kedua, mereka melihat Konstituante sebagai forum tempat tiap kelom- pok atau fraksi perlu mengungkapkan dasar-dasar dan cita-cita mereka sendiri dan membicarakannya dengan kawan-kawan atau juga lainnya di dalam sidang…; ketiga; forum Konstituante dilihat para pemimpin mereka (Islam) sebagai forum dakwah untuk menyam- paikan kepada orang-orang di Konstituante serta di luarnya apa yang sebenarnya dimaksud Islam dalam hubungan dengan masyarakat dan politik.260 Ketika itu Prawoto Mangkusasmito selaku ketua Partai Masyumi yang menggantikan Mohammad Natsir, karena keterlibatan Natsir dalam pemberontakan PRRI pada tahun 1958, tidak segera menerima saran dari Mohammad Hatta yang ketika itu sudah tidak menjadi presiden, agar menerima saja Pancasila sebagai dasar negara.261 Partai-Partai Islam (Masyumi, NU, Perti, PTTI/Golongan Tarekat) diwakili dengan pemimpin-pemimpin yang menonjol antara lain Mohammad Natsir, K.H. Syaifuddin Zuhri, Z.A. Ahmad, Osman Raliby, Kasman Singodimedjo, Hamka, Muhammad Ash-Shiddiqi, K.H. Masjkur, K.H. Syukri Ghazali, Mu- hammad Taher Abubakar, Syamsiah Abbas, K.H. Isa Ansyari. Sementara dari pendukung Pancasila di antaranya yang terkemuka

260Deliar Noer, Ibid., hlm. 267. 261Ibid. Pada masa itu Masyumi sebagai salah satu kekuatan kurang dapat bekerja sama dengan partai-partai lain, termasuk dengan partai-partai Islam. Melemahnya hubungan pusat dengan daerah menyebabkan lahirnya pemerintahan tandingan yang dikenal dengan nama PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) yang diproklamirkan pada 11 Februari 1958, di Sumatera Barat di bawah pimpinan Syafruddin Prawiranegara, seorang pimpinan Masyumi, ditambah dengan Bung Hatta yang bersikap oposisi terselubung terhadap pemerintahan. Sementara Soekarno menginginkan terbentuknya kabinet “empat kaki” setelah pemilu dengan melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang ini keinginannya ditolak keras pleh Partai- partai Islam. Lihat Ali Sastroamidjojo, Tonggak-tonggak di Perjalananku, Jakarta, Kinta, 1974, hlm. 343. 164 YUSRIL IHZA MAHENDRA

adalah Ruslan Abdul Gani, S.T. Alisyahbana, Soedjatmoko, Prof. Suripto, Arnold Manonutu, Nyoto, Karkono, Partokusumo dan Suwiryo. Masing-masing golongan itu telah bekerja keras untuk mempertahankan pendiriannya, namun tidak dapat meyakinkan pihak lawan. Mohammad Natsir mengatakan, “Pancasila adalah sekuler dan netral bila kenetralannya hilang maka raison d’etre- nya tidak ada lagi.”262 Pendapat Natsir dijawab Ruslan Abdul Gani dengan mengutip pendapat Kahin yang mengatakan bahwa Panca- sila adalah sebuah sintesis dari gagasan-gagasan Islam modern, ide demokrasi, Marxisme, dengan gagasan demokrasi asli seperti yang dijumpai dalam komunalisme penduduk asli.263 Abdul Gani juga membantah pendapat Natsir mengenai sekulernya Pancasila, sebab katanya Departemen Agama dan seluruh kabinet Indonesia membuktikan bahwa Pancasila itu bukan sekuler, demikian pula Arnold Mononutu membantah Pancasila itu bercorak sekuler.264 Suatu perkembangan lain terjadi di luar gedung parlemen, ini upaya yang akan menggagalkan kerja Konstituante sama sekali. Presiden Soekarno bersama tentara di bawah pimpinan Abdul Haris Nasution menganggap Konstituante lamban, dan mereka juga tampaknya kurang setuju isi pekerjaan Konstituante, umpa- manya kompromi yang dihasilkan panitia perumus yang tidak mempertahankan rumusan yang tercantum dalam Mukadimah alinea ketiga UUD 1945. Mungkin juga rumusan Pancasila di- ubah, contoh lainnya adalah yang berkenaan dengan hak-hak asasi manusia,265 baik untuk diingat bahwa pada tahun 1945 ha- nya dua pemimpin yaitu Yamin dan Hatta yang mengingatkan sidang Badan Penyelidik mengenai perlunya hak-hak asasi ma- nusia itu masuk dalam UUD. Kebanyakan anggota BPUPKI, ter- masuk Soekarno menganggapnya “Liberal” atau “Barat”266, seja-

262Mohammad Natsir, Islam sebagai Dasar Negara, Bandung, Fraksi Masyumi dalam Majelis Konstituante, 1957, hlm. 27. 263Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perbandingan 7, Bandung, Masa Baru, 1957, hlm. 432. 264Konstituante Republik Indonesia, Tentang Dasar Negara II, Bandung, 1958, hlm. 344 265Tentang hasil Konstituante, lihat J.C.T. Simorangkir dan B. Mang Reng Say, Sekitar Undang-undang Dasar 1945, Jakarta, Jambatan, 1975, hlm. 118-130. 266Deliar Noer, Ibid., hlm. 268. GERAKAN MODERNIS ISLAM 165

rah kemudian menyaksikan bahwa penentang ini memiliki kepentingan dan agenda tersendiri. Dengan demikian, peristiwa politik mengenai Konstitusi yang berkait dengan undang-undang dasar negara (Perlembagaan ne- gara) dalam sejarah umat Islam telah melalui dua fase perjuangan politik yang sangat kritis di Indonesia. Fase pertama, seiring diku- mandangkannya proklamasi kemerdekaan, saat UUD 45 dibahas melalui Panitia Sembilan di mana juru bicara yang mewakili Is- lam berasal dari kalangan modernis maupun tradisionalis, namun mereka berasal dari pendidikan pesantren, sedangkan kalangan intelektualnya saat itu belum sepenuhnya terlibat di Panitia Sembilan (PPPKI), sebuah lembaga yang masih diprakarsai peme- rintahan militer Jepang; fase kedua, dengan isu yang sama menge- nai masalah negara dan ini melalui pemilu secara demokratis di alam merdeka. Mereka sama-sama memiliki argumentasi terha- dap pilihan ideologi negara yang diperjuangkannya namun suara golongan Islam di Konstituante kurang dari 45 persen. Perta- rungan itu berakhir dengan intervensi ekstraparlementer, ini menyebabkan peluang untuk menyelesaikan kemenangan semua pihak tertutup rapat, dan kelompok Islam adalah yang paling menerima kerugian dari sebuah nilai demokrasi yang dikubur.267 Sebagaimana yang dikemukakan Jenderal Nasution pada suatu pertemuan sipil dan militer di Padang pada 13 Februari 1959 bahwa tentara sedang mempelopori usaha kembali ke UUD 1945.268 Konstitusi 1945 ini, memang memberikan kekuasaan

267Sebenarnya dari semula kedua pihak berusaha berkompromi, hal ini dikemukakan antara lain menurut Suwiryo (PNI), Wongsonegoro (PIR-yang juga golongan kebatinan) dan Sutan Takdir Alisyahbana (PSI), lihat tentang Suwiryo untuk kompromi, Tentang Dasar Negara, jilid 3, hlm 40; tentang Wongsonegoro jilid 2. hlm, 298 dan STA, jilid 3, hlm.41-42. Pada tanggal 11 November 1957, suatu panitia perumus Konstituante dibentuk dengan 18 or- ang anggota dari tiap fraksi. Panitia ini tampaknya berhasil juga sehingga pada tanggal 18 Februari 1959, pada penutupan sidang panitia perumus Konstituante Wilopo melaporkan kepada sidang dengan perasaan puas bahwa Konstituante telah dapat menyelesaikan tugasnya 90 persen, agaknya, sisa yang 10 persen itu berhubungan dengan Sidang Umum Konstituante berupa perubahan, pemilihan alternatif dan pengesahan. 268Daniel Lev, TheTransition Toward Guided Democracy, Ithaca, NY; Modern Indonesia Project, Cornell University, 1966, hlm. 245. Lihat juga Yahya Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia: 1945-1966, Yogyakarta, Gajah Mada, Fisip Press, 1971, hlm. 99. 166 YUSRIL IHZA MAHENDRA

besar kepada kepala negara dan ini sejalan dengan Demokrasi Terpimpin. Para wakil kelompok Islam di persidangan Konstituante men- coba mengikuti pendirian pemerintah, namun mereka tidak ingin menerima UUD 1945 itu tanpa modifikasi. Mereka mengambil kesempatan untuk memasukkan kembali ke dalam UUD 1945 tujuh kata yang dahulu dihapus “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”.269 Pada sisi yang lain pemerintah sendiri telah mengakui Piagam Jakarata suatu “dokumen seja- rah”, meskipun pengakuan ini hanya merupakan basa-basi bagi umat Islam dengan tanpa pengaruh apa-apa dalam segi hukum. Perdana Menteri Djuanda malah menyebut bahwa Piagam Jakar- ta “Menjiwai UUD 1945 dan sebab itu memberi dasar bagi pelak- sanaan hukum agama.”270 Maka Ketua Fraksi Masyumi K.H. Masj- kur mengemukakan mosi agar ketujuh kata itu dapat masuk lagi ke dalam mukadimah UUD 1945,271 tetapi mosi K.H. Masjkur kalah dengan perbandingan suara 201:265.272 Sebenarnya ketegangan, keadaan kritis dan perdebatan yang sangat tajam itu telah sampai pada suatu keinginan bahwa agenda- agenda konstitusi itu sangat penting untuk diselesaikan karena memang telah memakan waktu persidangan cukup panjang. Bahkan Wilopo dan Prawoto, masing-masing ketua dan wakil ketua Konstituante dengan mewakili PNI dan Masyumi, optimis sekali bahwa “sisa 10 persen” memang benar-benar dapat diselesaikan. Mereka sama-sama berjanji untuk hal ini. Prawoto melihat bahwa kompromi akan terjadi, ia serta fraksinya bersedia melakukan kompromi itu.273 Tetapi keluarnya dekrit Presiden itu merupakan pukulan keras bagi ketua dan wakil ketua Konstituante; dekrit ini juga merupakan pukulan bagi fraksi Islam yang masih menanti

269Abdoel Kahar Moezakkir, “Kepada Konstituante,” dalam Yamin, Naskah Persiapan, jilid 2, hlm. 704. 270 Kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, hlm. 244-245. 271Yamin, Ibid., 559-562. 272Deliar Noer, Partai Islam di Pentas…, Ibid., hlm. 269. 273Mengenai hal ini Mohammad Hatta juga mengatakan hal yang sama, tetapi katanya, Prawoto sudah terlambat. Lihat Deliar Noer, Ibid. GERAKAN MODERNIS ISLAM 167

terlaksananya kompromi dengan pihak Nasionalis.274 Sejak tahun 1952, Natsir menjadi ketua Partai Masyumi sedangkan Sukiman menduduki kursi wakil ketua. Hal seperti ini terulang kembali pada tahun 1957 ketika Natsir “meninggalkan” Masyumi dan bergabung dengan PRRI, maka Prawoto Mangkusasmito yang sejalan dengan Natsir terpilih selaku ketua Partai, sedangkan Sukiman tetap menjadi wakil ketua, ini dipilih secara aklamasi.275 Pada awal kemerdekaan ketika pertikaian fisik antara pasukan Indonesia dengan Belanda belumlah berakhir, bahkan ada tanda-tanda dari Belanda untuk kembali menjajah Indo- nesia dengan cara memecah wilayah-wilayah negara RI dalam ben- tuk negara federal, persoalan bentuk negara menjadi sangat penting untuk dibicarakan. Masalah bentuk negara itu sendiri lebih banyak dibicarakan pada masa pendudukan Jepang di kalangan pemuda– pelajar semasa itu, terutama mereka yang menetap di Jakarta. Ada dua pandangan yang timbul saat itu, yaitu pilihan antara negara serikat dengan negara kesatuan. Kedua pandangan itu memiliki pendukungnya masing-masing, Mohammad Yamin dan Soekarno (kalangan tua) memilih bentuk negara kesatuan, sedangkan Mohammad Hatta lebih menyukai negara serikat, sedangkan wakil- wakil dari kalangan Islam tidak mempersoalkan masalah ini.276

274Ibid, hlm. 271. 275Deliar Noer, Partai Islam di Pentas…, Ibid, hlm. 60. Pada masa menegakkan kemerdekaan 1945-1949, Natsir duduk selaku anggota di Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), Kemudian diberi kepercayaan selaku menteri penerangan, anggota penasehat delegasi Indonesia menghadapi Belanda dalam perundingan, sementara kawannya yaitu Syafruddin Prawiranegara juga menjadi anggota KNIP, Menteri dan Kepala pemerintahan darurat RI, dan Mohammad Roem menjadi menteri, anggota/ ketua/wakil ketua delegasi Indonesia di dalam menghadapi perundingan-perundingan dengan Belanda. Setelah itu (1950-an), Natsir menjadi anggota DPRS, DPR, Anggota Konstituante serta Perdana Menteri RI 1950-1951. Ia sangat dikenal dengan “Mosi Integral”-nya, sehingga terjadi perubahan bentuk negara Indonesia yaitu RIS (Republik Indonesia Serikat) menjadi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang menyebabkan terhindarnya negara RI dari perpecahan. Selain itu ia berperan aktif dalam mensukseskan Pemilu serta turut mendewasakan rakyat dalam berpolitik. Lihat Deliar Noer, Membincangkan…, Ibid., hlm. 180. 276Mohammad Yamin, Naskah Persiapan I, hlm. 201-204. Lihat Deliar Noer, Partai Is- lam di Pentas …, Ibid. Persoalan ini menjadi sangat serius ketika Belanda berusaha menguasai Indonesia kembali dengan mendirikan negara-negara yang akan menjadi negara bagian dari Indonesia Serikat, citra umum yang muncul lebih bersifat negatif. 168 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Mohammad Natsir dari Masyumi mengemukakan bahwa soal yang pokok adalah pembentukan negara kesatuan. Tak soal apa- kah negara kesatuan itu tercapai dengan penggabungan negara- negara bagian ke RI atau melalui RIS, yang hendak digarisbawahi Natsir adalah, bahwa pembentukan negara kesatuan hendaklah dilaksanakan tanpa menimbulkan konflik, baik di antara negara- negara bagian itu maupun di antara golongan-golongan masya- rakat kita pada umumnya. Usul Natsir ini terkenal dengan sebut- an “Mosi Integral”, yang kemudian diambil alih pemerintah. Maka diadakanlah konperensi antara Perdana Menteri Hatta, Presiden Sukawati (dari negara Indonesia Timur), dan Kepala Negara Tengku Mansur (dari negara Sumatera Timur) di Jakarta pada 3-5 Mei 1950, dengan tujuan untuk mencari persetujuan tentang dasar-dasar pembentukan negara kesatuan. Suatu konferensi wa- kil-wakil RIS yang juga bertindak atas nama Negara Indonesia Timur dan Sumatera Timur serta wakil-wakil Republik Indonesia dari Yogyakarta diadakan di Jakarta pada bulan itu pula. Ini menghasilkan piagam persetujuan di antara kedua wakil peme- rintahan pada 19 Mei 1950 untuk secepatnya mengimplementasi- kan pembentukan Negara Kesatuan dalam waktu yang sesingkat- singkatnya. Negara kesatuan ini menganut sistem parlemen pe- nuh, dengan demikian tidak ada kesempatan bagi Hatta untuk mengetuai kabinet seperti masa RIS 1945, karena kedudukannya nanti adalah sebagai wakil kepala negara. Masyumi bersiap-siap untuk kemungkinan mengetuai pemerintahan dan memang kemu- dian Natsir diminta Soekarno untuk mengepalai pemerintahan

Karena itu dapat dimengerti mengapa Republik Indonesia Serikat yang merupakan hasil persetujuan KMB di Den Haag 1949 segera berganti dengan negara kesatuan Republik Indonesia; ini berlangsung delapan bulan setelah penyerahan kedaulatan. Rapat-rapat umum diselenggarakan di berbagai daerah, serta demonstrasi untuk menuntut pembubaran RIS. Selain itu percobaan Kup yang dipimpin Kapten Westerling di Bandung dari KNIL pada Januari 1950, pembangkangan Andi Azis bekas tentara Belanda dari KNIL (Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger-Tentara Kerajaan Hindia Belanda), ini semua tidak memberi gairah untuk mempertahankan bentuk negara serikat, Lihat. George Mc. T. Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia, Ithaca, NY; Cornell University Press, 1952. Bab XII. Lihat Deliar Noer, Partai Islam di Pentas…, Ibid., hlm. 259. Tentang Westerling, lihat otobiografinya Challenge to Ter- ror, London, Kimber, 1952. GERAKAN MODERNIS ISLAM 169

selaku perdana menteri.277 Mosi Integral Natsir yang dikemuka- kan di atas memudahkan jalan bagi pembentukan negara kesa- tuan. Masyumi sebagai Partai Islam saat itu sepakat juga dengan bentuk negara kesatuan dengan catatan bahwa bentuk ini tidak menghilangkan kesempatan bagi daerah-daerah untuk mem- peroleh otonomi penuh.278 Pada Agustus 1950, Indonesia telah resmi menjadi Negara Kesatuan dan Natsir selaku perdana menteri ditunjuk Presiden Soekarno melalui formatur kabinet dengan mengesahkan kabi- netnya kemudian. Tetapi menjelang akhir masa kabinet ini, Natsir selaku Perdana Menteri dalam suatu dialog membantah pendapat Soekarno mengenai penyelesaian Irian Barat (sekarang disebut Papua) yang ketika itu masih di tangan Belanda dengan mengingatkannya mengenai kebijaksanaan pemerintah yang ha- nya diputuskan kabinet yang diketuai Natsir selaku perdana men- teri. Soekarno yang memahami, terpaksa mengakui ini, namun semenjak itu hubungan mereka tidak pernah mesra lagi, apa lagi di kemudian hari menyangkut keterlibatan Natsir dalam peris- tiwa PRRI serta gagasan Demokrasi Terpimpin yang ditentang- nya, telah memutuskan hubungan sama sekali (Noer 2001: 195). Natsir selaku pimpinan Partai memiliki garis perjuangannya untuk membela kepentingan Islam di tengah penganut agama- agama lain di mana mereka hidup dan tumbuh sebagai bagian dari rakyat Indonesia. Kemajemukan ini menyadarkan bahwa persoalan menjaga keragaman hidup sangat penting dalam pan- dangan Natsir, karena itu ia perlu menjelaskan mengenai “tole- ransi ajaran Islam”. Dalam pandangannya, Adalah sunnatullah sesuatu keyakinan yang sebenarnya-benarnya keyakinan, tidak dapat diperoleh dengan paksaan; (2) Maka agama yang sebenar-benarnya 277Mengenai piagam ini dapat dilihat dalam Kementerian Penerangan Republik Indone- sia Daerah Istimewa Yogyakarta-Jakarta, Kementerian Penerangan 1953, hlm. 327 dst. Mengenai mosi integral Natsir, lihat kumpulan tulisan Capita Selecta, Jilid 2, Jakarta, Pustaka Pendis, 1957, hlm. 3-7. Mengenai kedudukan Hatta lihat Deliar Noer, Islam di Pentas…, Ibid., hlm. 261. 278Deliar Noer, Ibid, hlm. 263. 170 YUSRIL IHZA MAHENDRA

agama, menurut Islam ialah agama yang sesuai dengan sunatullah ini. Kaidahnya: tidak ada paksaan dalam aga- ma;… Orang Islam hanya disuruh memanggil, sekali lagi memanggil dengan cara yang bersih dari segala bersifat paksa;…, (5)…Kalimat Tauhid yang membawa keyakinan kepadanya, bahwa Allah adalah Tuhan bagi segenap manusia, maka seorang Muslim harus memancarkan di sekeliling jiwa tasamuh dan toleransi dalam menghadapi agama lain. Agama Islam dalam menghadapi orang yang berlainan agama sebagai berikut (lihat Qs. Assyura: 15); (6) Toleransi yang diajarkan Islam itu, dalam kehidupan antaragama bukanlah suatu toleransi yang bersifat pasif. Ia itu aktif dalam menghargai dan menghormati keyakin- an orang lain, aktif dan bersedia senantiasa untuk mencari titik persamaan antara bermacam-macam perbedaan. Bukan itu saja, kemerdekaan beragama bagi seorang Muslim adalah suatu nilai-nilai hidup yang lebih tinggi daripada nilai jiwanya sendiri…, maka seorang Muslim diwajibkan untuk melindungi kemerdekaan anggota agama tersebut agar manusia umumnya merdeka untuk menyembah Tuhan menurut agamanya masing-masing dan di mana perlu dengan mempertahankan jiwanya.279 Dengan demikian sesungguhnya ajaran agama Islam tidak ha- nya menghormati agama lain, melainkan juga diwajibkan untuk melindungi hak-hak mereka untuk menjalankan keyakinannya itu dengan bersikap adil. Penghormatan terhadap keragaman atau kemajemukan itu dalam konteks toleransi untuk kehidupan politik kenegaraan menurut Natsir adalah memungkinkan ter- bukanya ruang dan suasana yang seluas-luasnya bagi konfrontasi dari ide-ide dan pemikiran-pemikiran.

279Kutipan ini berasal dari suatu artikel “Keragaman hidup antaragama,” yang diterbitkan untuk pertama kalinya dalam majalah Masyumi Hikmah, Jakarta, Februari 1954. Capita Selecta II, Jakarta, Pustaka Pendis, 1957, hlm. 225-229. Lihat Herbert Feith & Lance Castles, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, Jakarta, LP3ES, 1988, hlm. 216-219. GERAKAN MODERNIS ISLAM 171

Mengenai keterkaitan negara dengan agama, soal ini dalam ajaran Islam tidak untuk dipisahkan. Negara bukan sesuatu yang berdiri sendiri secara netral dari hukum-hukum agama, bagi seti- ap Muslim menurut Natsir berkewajiban untuk tegaknya ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat atau orang ramai dan tak terkecuali dengan persoalan-persoalan politik. Dalam hal ini dijelaskan Natsir: Islam mewajibkan kepada semua orang Islam laki- laki dan perempuan supaya menuntut ilmu. Islam me- miliki undang-undang kewajiban belajar kata orang sekarang. Bagaimana undang-undang Islam ini dapat berlaku kalau tidak ada kekuasaan pemerintahan (negara) yang akan melaksanakan agar undang- undang itu dapat dijalankan? …,Islam memiliki undang-undang yang menetap- kan hak-hak dan kewajiban kedua pihak dalam perka- winan dan perceraian yang adil dan sempurna, dan melindungi laki-laki dan perempuan lebih sempurna daripada undang-undang perkawinan manapun juga. Akan tetapi undang-undang itu sudah terang tidak akan berlaku sebagaimana mestinya, bila tidak ada sesuatu kekuasaan untuk menghukum si bersalah, yang melanggar batas-batas yang telah ditetapkan UU itu…, sebagaimana yang kita lihat keadaannya dalam negeri-negeri yang memisahkan agama dan negara se- perti di Barat sekarang, di mana perzinahan dan keca- bulan merajalela.280 Dengan melihat negara itu hanya sebagai alat dan bukan tuju- an maka ia menganggap tidak perlu lagi adanya ijma ulama mengenai suatu keharusan bersatunya agama dengan negara, me- nurutnya, ada atau tidak ada ijma keberadaan negara di dunia ini memang suatu keharusan.

280Mohammad Natsir, Capita Selecta, Jakarta, Bulan-Bintang, 1973, hlm. 441. 172 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Perdebatan mengenai bentuk negara Islam bukanlah pekerjaan yang mudah. Di kalangan pemikir Islam persoalan ini masih me- rupakan arena perdebatan yang hangat dan berkepanjangan. Me- nurut Natsir bentuk negara Islam adalah bagaimana mengembang- kan Syuro, semua tergantung pada ijtihad, umat Islam tidak mene- tapkan secara kaku dan pasti. Dikemukakan pula bahwa sejauh menyangkut umat Islam, demokrasi adalah hal yang pertama, sebab Islam hanyalah mungkin berhasil dalam suatu sistem demokratis. Melalui sistem demokratis itu mereka mempunyai kesempatan mem- buat peraturan hukum yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.281 Dalam hubungan ini Natsir pernah menyatakan bahwa untuk dasar negara, Indonesia hanya mempunyai dua pilihan yaitu sekulerisme (La-diniyah) atau paham Islam (Dini) (Maarif 1985: 127). Membandingkan konsep demokrasi Eropa dan Yunani kuno dengan prinsip kenegaraan Islam, akan memberikan kesan bahwa Islam cenderung sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi di Ero- pa, karena Islam mengajarkan persamaan manusia dalam semua bidang kehidupan. Namun Islam mewajibkan kepatuhan mutlak kaum Muslimin kepada hukum-hukum Allah yang berdasarkan Alquran dan sunnah Rasulullah Saw. Kewajiban ini memberikan batasan kepada rakyat untuk membuat hukum-hukum atau per- aturan-peraturan yang tidak berdasarkan “kehendak rakyat yang bersifat mutlak” yang merupakan bagian tak terpisahkan dari konsep demokrasi Barat modern. Garis pemikiran seperti inilah sehingga Natsir menganggap Islam tidak cocok dengan gagasan demokrasi Barat.282 Agama Islam memiliki suatu kaidah mengenai soal ibadah yang berkait antara manusia dengan Tuhan, “semua terlarang, kecuali yang diperintahkan” dan yang berkait dengan hidup keduniaan “semua boleh, kecuali yang terlarang”, atau dalam istilah yuris- prudensi Islam disebut al-bara’ atul-ashliqah. Maka terbukalah

281Lihat Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta, LP3ES, 1985, hlm. 130 dalam Ahmad Suhelmy, Soekarno versus Natsir, Jakarta, Darul Falah, 1999, hlm. 86, lihat juga Kahin, “Mohammad Natsir” dalam Yusuf Abdullah Puar, Ibid., hlm. 333. 282Ahmad Suhelmy, Ibid, hlm. 90. GERAKAN MODERNIS ISLAM 173

bagi manusia dalam bidang amat luas untuk mengambil inisiatif mempergunakan pikiran atau ijtihadnya dalam semua lapangan hidup sesuai dengan kemajuan serta tuntutan ruang dan waktu. Menurut Natsir, agama baru mencampuri apabila usaha-usaha terhadap ijtihad serta rasio akan membentur kepada batas-batas moral keadilan, perikemanusiaan, yang sudah digelapkan dalam standar agama.283 Mengenai sikap demokratis yang menghargai kebebasan untuk mengemukakan pendapat, pada prinsipnya Na- tsir sangat mendukung. Ia sering mengutip pendapat Voltaire yang mengatakan, “Kapan pun, di mana pun Tuan kemukakan pendapat itu, akan saya tentang habis-habisan. Akan tetapi di balik itu, kebebasan Tuan, hak Tuan untuk memiliki pendapat itu, di mana pun dan kapan pun akan saya bela mati-matian”284 Agama yang berdasarkan Islam bukan berarti menganut paham Theocratie seperti negara Vatikan, misalnya. Menurut Natsir teokrasi (Theocratie) adalah satu sistem kenegaraan di mana pemerintahan dikuasai satu sistem kependetaan (priest- hood) yang memiliki hierarki, dan menjalankan demikian itu se- bagai wakil Tuhan di dunia. Dalam Islam tidak dikenal sistem kependetaan demikian. Jadi negara yang berdasarkan Islam bukanlah satu teokrasi. Ia demokrasi. Ia bukan pula sekuler, ia adalah negara demokrasi Islam. Maka negara yang berdasarkan Islam itu barangkali dapat disebut Theistic Democracy.285 Karena itu ia bersama pemimpin Islam lainnya dalam sidang Konstituante memperjuangkan agar negara Republik Indonesia ini berdasarkan Islam, negara demokrasi berdasarkan Islam. Di antara prinsip demokrasi yang terkenal menurutnya adalah, (1) golongan yang berkuasa harus mendapat persetujuan dari golongan terbesar (majority); (2) golongan kecil yang berlainan

283Ibid, hlm. 54-56. 284Diambil dari makalah Yusril Ihza Mahendra, “Partai Islam di Era Reformasi,” Jakarta, 12-13 Juni 1998 dalam Kawiyan (Ed.), Membangun Indonesia yang Demokratis dan Berkeadilan, Jakarta, Global Publika, 1998, hlm. 46. 285Lihat pandangan Natsir dalam pidatonya di sidang Konstituante, Islam sebagai Dasar Negara, (t.t.) (t.pt.) 174 YUSRIL IHZA MAHENDRA

pendapat dari mayoritas terjamin hidupnya dalam masyarakat (Natsir 1957). Pandangan Natsir tegas dan tajam bahwa Islam tidak dapat dipisahkan dengan persoalan politik kenegaraan, pandangan atau paham yang memisahkan agama dengan kehidupan dunia menu- rutnya juga bertentangan dengan prinsip ajaran Islam. Dalam bagian inilah, maka Natsir menyoroti persoalan Sekulerisme. Dalam salah satu pidatonya pada 12 November 1957 di hadapan anggota Dewan Konstituante ketika sedang terjadi perbedaan pendapat mengenai hubungan Islam dan dasar negara, Natsir menegaskan pula mengenai bahayanya pemikiran Sekulerisme. Natsir dalam tulisannya mengemukakan: Meskipun mungkin pada suatu saat sekuleris itu mengakui keberadaan Tuhan di dalam kehidupan kesehariannya, sebagai pribadi-pribadi sekuleris tidak mengakui keperluan terhadap suatu hubungan seperti itu dalam kehidupan sehari-hari yang dinyatakan dalam sikap-sikap, tingkah laku dan tindakan- tindakan atau dalam doa dan ibadah.286 Apa yang menjadikan paham ini berbahaya? Sekulerisme tidak dapat menjawab “apakah arti hidup itu?” Sehingga orang merasa kehilangan makna hidup serta akan mengalami apa yang disebut kemerosotan spiritual. Penyakit jiwa (Neuroses) akan mudah menghinggapi mereka. Menurut Natsir di negara sekuler masa- lah-masalah ekonomi, hukum, pendidikan, sosial dan lain-lain semata-mata ditentukan pada kepentingan-kepentingan material, bukan karena nilai-nilai spiritual. Pemahaman mengenai Sekuler- isme memiliki hubungan erat dengan persoalan agama dan nega- ra. Gagasan pemisahan agama dan negara yang dikemukakan Soekarno dinilai Natsir sarat dengan nilai-nilai sekuler, maka ia menanggapi persoalan ini secara serius. 287

286Mohammad Natsir, “Bahaya Sekulerisme,” dalam Herbert Feith dan Lance Castles (ed.), Pemikiran…, Ibid., hlm. 215-216. 287 Ahmad Suhelmy, Ibid., hlm. 76. GERAKAN MODERNIS ISLAM 175

Jika sebuah landasan dipakai untuk membentuk suatu negara, tidak dapat lain bahwa negara itu pertama-tama harus mencer- minkan apa yang sesungguhnya hidup, terutama falsafah hidup dari sebagian besar rakyatnya. Prinsip tadi pun mengharuskan untuk memberi ruang hidup bagi golongan yang berpendapat lain daripada mayoritas, keduanya harus berjalin berkelindan, yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain, tidak dapat hanya salah satu saja, sebab bila itu terjadi bukan demokrasi lagi melain- kan diktatur atau tirani atau oligarki. Islam sebagai dasar negara menurut Natsir bukan semata beralasan karena kelompok atau golongan umat Islam itu terbanyak di negeri ini. Islam diajukan sebagai dasar negara karena keyakinan bahwa ajaran Islam berhubungan dengan ketatanegaraan dan masyarakat yang ada. Ajaran Islam juga memiliki sifat-sifat yang sempurna bagi kehi- dupan negara dan masyarakat, dan dapat menjamin keragaman, saling menghargai di antara pelbagai kelompok atau golongan di dalamnya, sehingga kalaupun besar ia tidak akan memaksa, kalupun tinggi malah akan melindungi (Natsir 1957: 20). Memper- juangkan Islam sebagai Dasar Negara dalam sidang Konstituante tahun 1957, Natsir berkesimpulan: …, (2) Negara adalah alat, atau yang kita namakan institution; (3) Yang dinamakan state philosophy atau dasar negara itu, ialah satu dasar yang mampu mem- bangunkan jiwa dan membina rakyat lahir dan batin, sehingga menjadi satu bangsa yang berakhlak, bangsa susila yang dapat mengatur diri-sendiri. Maka hanya satu filosofi yang berpusat kepada kepercayaan dan ketaatan kepada kedaulatan Tuhan yang mutlak seba- gai sumber hukum dan nilai-nilai hidup itulah yang dapat melakukan fungsi yang demikian. Kedaulatan Tuhan sebagai Gravitational centre segala-galanya dalam Islam. Adapun filosofi negara atau dasar negara yang akan dirumuskan, apabila tidak berpusat dan mendapat nucleus di dalam kedaulatan Tuhan yang mutlak, perumusan itu akan merupakan rangkaian 176 YUSRIL IHZA MAHENDRA

butir pasir yang kering, yang tidak ada mengandung kekuatan apa pun. Maka bukan butir perumusan nilai, tetapi sumber nilai itu sendiri yang harus dijadikan dasar negara. Umat Islam menghendaki Islam sebagai dasar Negara Republik Indonesia ini.288 Apa yang diperjuangkan Natsir, kawan-kawannya dari kalangan Islam melalui fraksinya di dalam sidang Konstituante dalam rangka mengisi jiwa dan tujuan proklamasi Republik In- donesia mulai sejak masa awal kemerdekaan hingga lebih dari sepuluh tahun sesudahnya, telah berlalu di kalangan pengikut Natsir atau kalangan modernis Islam yang lebih dikenal dengan sebutan Izzul Islam wal muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin). Pemikiran Natsir memperlihatkan komitmen, tang- gung jawab, amanah dan semangatnya untuk teguh membela Is- lam dari serangan kalangan nasionalis sekuler yang hendak menjelekkannya.289 Adapun terjadinya wacana (discourse) antara Natsir dengan beberapa pemimpin pergerakan nasional merupa- kan suatu persoalan yang harus ditempatkan dalam konteks per- lunya pencarian identitas dan ideologi perjuangan untuk meru- muskan sebuah filosofi dasar bagi terbentuknya apa yang men- jadi cita-cita negara Indonesia ke depan. Soekarno yang didukung tentara telah memberikan reaksi ne- gatif terhadap apa yang menjadi hasil kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai dalam sidang Konstituante, ditambah dengan oposisi terselubungnya terhadap pemerintahan dari kabinet masa itu, Soekarno menginginkan kabinet berkaki empat setelah pe- milu. Keinginan ini ditolak partai-partai Islam. Ali Sastroamidjojo sebagai formatur kabinet menjelaskan betapa tekanan Soekarno

288Mohammad Natsir, Islam sebagai…, Ibid., hlm. 72-76. 289Keteguhan Natsir di garis terdepan para pemimpin Islam dalam forum perdebatan dalam sidang permusyawaratan Dewan Konstituante di tahun 1957-an dan bahkan sebelum proklamasi kemerdekaan telah menggerakkan jari serta menginspirasikan Hamka, sosok sastrawan, ulama dan budayawan kenamaan untuk menuliskan sebuah puisi-syair yang memberikan dorongan dan keteguhan Natsir untuk memperjuangkan apa yang diyakini sebagai suatu kebenaran. Lihat bait-bait puisi yang disusun Hamka dalam Mohammad Natsir, Ibid. GERAKAN MODERNIS ISLAM 177

terhadapnya sewaktu ia melaporkan susunan kabinet yang dibentuknya. Soekarno mengatakan: Saudara sebagai formatur bersikap tidak adil ter- hadap Partai Komunis Indonesia (PKI) mengapakah suatu Partai itu, tidak kau ikut sertakan dalam kabinet baru! Ini tidak adil, kata Soekarno dengan marah…,290 Kabinet ini akhirnya tetap dilantik pada 20 Maret 1956. Kabi- net ini tidak dapat menghasilkan prestasi kerja yang besar dan ketidakkompakan partai-partai pendukung kabinet menyebabkan kabinet jatuh pada bulan Maret 1957, setelah pada bulan Januari Masyumi dan Perti menarik menteri-menterinya dari pemerin- tahan, sementara itu NU dan PSII juga menuntut perombakan kabinet. Masa ini pergolakan daerah semakin gencar, gerak ten- tara dengan pimpinan utamanya Jenderal A.H. Nasution me- masuki pusat-pusat kekuasaan, ditunjuknya Ir. H. Djuanda yang non-Partisan membentuk Zaken Kabinet, hubungan Masyumi dengan Liga Muslim (terdiri dari NU dan PSII) berikutnya sema- kin memburuk, serta mundurnya Hatta dari kedudukan sebagai wakil presiden akhir 1956, semakin menyulitkan Masyumi, kare- na Hatta adalah link penting Partai ini di pusat kekuasaan.291 “Disudutkannya Masyumi” dari kekuatan nasional lainnya pa- da dasarnya telah memecah-belah dan melemahkan kekuatan Islam politik yang sebenarnya. Islam yang merupakan satu-satu- nya memiliki satu pandangan hidup sendiri sebagai ikatan la- hir,292 kini telah terbelah. Dan, Masyumi nampak berada pada

290Ali Sastroamidjojo, Tonggak…, Ibid., hlm. 343. 291Deliar Noer, Partai Islam…, Ibid., hlm. 255-256. 292Ketika di awal kemerdekaan, di kalangan kelompok dan kekuatan Islam memiliki pembagian tugas yang jelas seperti kepemimpinan politik dilaksanakan Partai Masyumi, soal dakwah dilaksanakan anggota istimewa yaitu NU dan Muhammadiyah, Jamiatul Washliyah, PUI dan lain-lain. Kekuatan militan diperankan Hizbulah dan Sabilillah yang pada tahun 1945-1949 berada di TNI maupun di luar. Dalam kekuatan Islam politik, kelompok Islam memiliki lebih kurang 43,7-44 persen di dalam parlemen sesudah tahun 1955, dan di dalam kabinet memiliki perwakilan cukup penting, khususnya dalam kabinet berturut-turut di antara tahun 1950-1952 dengan memegang tampuk pimpinan pemerintahan, yaitu Perdana Menteri Dr. Mohammad Natsir dan Perdana Menteri Dr. Sukiman Wirjosandjojo. Lihat H.M. Syafaat Mintaredja, S.H., Islam dan Politik Islam dan Negara di Indonesia, (t.pt.)1973, hlm. 24-25. 178 YUSRIL IHZA MAHENDRA

posisi yang berseberangan ketika NU, PERTI dan PSII menyesu- aikan diri dengan keinginan Soekarno. Didukung dengan kuat dari oleh PKI dan militer, Soekarno mengeluarkan Dekrit Pre- siden 1959, intinya mengajak kembali ke UUD 45, dibubarkan- nya Konstitante. Demokrasi Terpimpin pun lahir!

Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965)

EMASUKI era Demokrasi Terpimpin yang dimulai dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Partai-Partai Islam pada umum- Mnya sepakat mengenai pola hubungan Islam politik, bahwa Islam merupakan dasar negara yang akan diperjuangkan sampai Indo- nesia menjadi negara Islam. Setelah Masyumi bubar, Soekarno men- jadikan dirinya sebagai pusat kekuasaan dengan cara mengendalikan keseimbangan kekuatan politik, terutama yang dikenal dengan “sudut segi tiga kekuatan”, yaitu Soekarno sebagai pusat pengendali, kemudian TNI (khususnya Angkatan Darat) pada satu sudut segi tiga dan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada sudut segi tiga lainnya. Dua kekuatan yang disebutkan terakhir itu telah membangun pengaruh dengan Soekarno walaupun di antara mereka sendiri terjadi persaingan secara diam-diam, bahkan dalam perjalanan selanjutnya terjadi persaingan terbuka dan konflik fisik di tingkat elit maupun akar rumput (grass root). Partai Islam yang masih eksis adalah Nahdlatul Ulama (NU), Partai Serikat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Tarbiyah (Perti). Menjelma menjadi Partai-partai Islam yang berusaha membela dan menjaga kepentingan Islam dalam kehidupan politik kenegaraan, mereka harus menerima dasar negara Pancasila berdasarkan sistem yang dibangun Soekarno di Indonesia. Sistem yang dibangun bersamaan dengan berbagai alat peme- rintahan baru adalah terjadinya prosedur tidak lazim dalam pem- bentukan kabinet, ditambah dengan keterlibatan militer dalam politik, dan PKI yang juga telah berhasil meningkatkan peran- annya dalam pemerintahan dan masyarakat. Partai ini lambat GERAKAN MODERNIS ISLAM 179

laun semakin mempengaruhi Presiden Soekarno, apalagi karena Presiden semakin lama semakin membina jalinan yang mesra de- ngan negara-negara komunis, terutama dengan Cina, ini kemu- dian dikenal dengan “Poros Jakarta-Peking-Pyongyang.”293 Ke- adaan ini memberikan ruang politik yang berbeda di mana posisi politik Soekarno menjadi titik tumpu arah politik dan pemerin- tahan di Indonesia. Ia tidak hanya sebagai kepala negara mela- inkan juga kepala pemerintahan atau pimpinan eksekutif, bahkan sejak tahun 1962, ia telah dilantik menjadi presiden seumur hi- dup, karena itu pandangan yang didengarkan adalah pandangan yang menyokongnya saja. Soekarno mendapat sebutan “Pemimpin Besar Revolusi” sedangkan kalangan pembangkang disebut “Kon- trarevolusioner”, oleh sebab itu setiap lawan harus dihancurkan. Partai yang sangat berpegang pada prinsip demokrasi dan mau mengambil kemajuan atau yang datang dari pandangan dunia Barat dilarang hidup, sehingga pada tahun 1960 Partai Masyumi, Partai Islam modernis yang berpegang kepada prinsip demokrasi dan berasas Islam dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang berpe- gang pada prinsip sosialis demokrat, keduanya sangat mengan- jurkan kemajuan, telah dinyatakan dilarang hidup di wilayah Republik Indonesia. Yang dilakukan kalangan Islam khususnya kelompok modernis Islam, eks Masyumi, dan kalangan muda Muslim yang berhimpun dalam organisasi independen seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pelajar Islam Indonesia (PII), Pemuda Muhammadiyah, Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) serta lainnya atau yang berkumpul tanpa organisasi, mereka satu sama lain saling memiliki kontak untuk mempersiapkan diri pada masa selanjutnya bila terjadi suatu perubahan atau keharusan suatu perubahan politik. Akibat tindakan rezim Orde Lama itu, para tokoh politisi yang berbeda haluan dengan Soekarno mengalami penderitaan dan cobaan yang demikian berat. Banyak di antara mereka mengalami

293Poros Jakarta–Peking–Pyongyang, merupakan aliansi tiga kekuatan dari tiga negara yang bekerja sama, memiliki pandangan dan sikap sebenarnya menentang dan sangat anti kepada negara Barat yang liberalis dan kapitalis 180 YUSRIL IHZA MAHENDRA

teror, intimidasi dan fitnah maupun ancaman, sehingga tidak sedikit di antaranya harus meninggalkan kota Jakarta dan menyingkir ke daerah yang lebih aman, tidak terkecuali tokoh- tokoh Masyumi ini. Tokoh dan pejuang Islam yang ditahan di bawah rezim totaliter Soekarno menceritakan pengalaman dan penderitaan mereka dalam rumah tahanan (baik penjara, asrama, atau rumah tahanan), sebagian mereka mengalami tekanan dan teraniaya.294 Para pemimpin Masyumi, para anggota dan kalangan Islam modernis lainnya dipenjarakan Soekarno karena dianggap kontrarevolusioner, di antaranya Mohammad Natsir, Hamka, Mohammad Roem, M. Yunan Nasution, K.H. Isa Ansyari, Prawoto, Burhanuddin Harahap, Syafruddin Prawiranegara, M.Z Mutaq- qin, sedangkan dari kalangan Partai Sosialis di antaranya Sutan Syahrir, Rosihan Anwar, Mochtar Lubis, sementara Sutan Tak- dir Alisyahbana dan Sumitro melarikan diri keluar negeri (sempat menetap di Malaysia). Perkembangan keadaan terutama sikap politik ketiga Partai Is- lam lainnya yaitu NU, PSII dan Perti, merupakan pukulan bagi Masyumi. Presiden Soekarno berhasil mengisolasi Masyumi bukan saja dari kabinet, melainkan juga dari rekan-rekannya sesama Partai Islam. Maka pada masa ini merupakan permulaan dari lembaran yang “gelap” bagi umat Islam, Sukiman dari kalangan Masyumi telah memperlihatkan sikap kooperatifnya dengan setuju menerima sistem presidensial tetapi tiap perubahan konstitusional menurutnya hendaklah melalui prosedur yang sesuai dengan konstitusi.295 Komunikasi politik yang penuh dengan perbedaan ini bukan saja semakin membuat renggang dan asing antara Masyumi dengan Soekarno, melainkan juga diperlihatkan secara konfrontatif dengan Presiden, bahwa kalangan Masyumi tidak dapat berkompromi dengan Soekarno dalam soal demokrasi. Namun Mohammad Natsir sendiri tidak didukung seluruh kawannya dalam Partai. Perbeda- annya dengan kelompok Sukiman telah beberapa kali dikemukakan, akan tetapi ada lagi kelompok lain, sekolompok yang lebih muda

294Deliar Noer, Partai Islam…, Ibid, hlm. 349-352. 295Ibid, hlm. 365-366. GERAKAN MODERNIS ISLAM 181

yang berafiliasi dengan Persatuan Islam, menentang integritas kepemimpinan ini. Dalam satu kongres Masyumi di Bandung tahun 1956, para anggota muda yang memiliki reputasi mengecam tokoh ini menganggap mereka lebih dekat dengan para pemimpin partai lain yang lebih bercorak Barat ketimbang Islam, yang menjauhkan mereka dari anggota-anggota yang lebih terikat dengan Islam. Mohammad Natsir akhirnya menyeberang bergabung dengan PRRI pada tahun 1958, tetapi hanya sebagian kecil saja yang ber- sikap kritis kepadanya. Ketika ia kembali ke Jawa karena mem- peroleh amnesti dari pemerintah pusat, anggota muda yang kritis yaitu Isa Ansyari meminta maaf kepada tokoh yang disegani ini pada tahun 1961. Sedangkan di pihak anggota istimewa Masyumi, pada umumnya mereka bersimpati dengan Mohammad Natsir wa- laupun ia sendiri “meninggalkan” Masyumi dengan turut berga- bung bersama PRRI. Anggota istimewa menyokong Natsir dalam kebijaksanaannya memimpin Masyumi, namun dalam perkem- bangan lebih lanjut Al-Jamiyatul Wasliyah, organisasi yang ber- asal dari Sumatera Utara agaknya merasa perlu membersihkan diri dari keterlibatannya dalam pemberontakan PRRI tahun 1958, karena memang sebagian pemimpin dan anggotanya turut memberontak, sekurang-kurangnya bersimpati dengan aksi itu. Muhammadiyah, salah satu organisasi yang sedikit banyak punya kesamaan dengan al-Jamiyatul Wasliyah, walaupun sebenarnya organisasi ini dapat bersikap lebih menjaga harga diri. Muhammadiyah agaknya merupakan organisasi terbesar di Indo- nesia dalam bidang sosial dan pendidikan, tetapi semenjak tahun 1950-an, telah terdengar suara untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai partai politik. Suara-suara ini dapat dikalahkan dengan pendapat yang menginginkan Muhammadiyah tetap merupakan organisasi sosial terutama karena aspirasi Muhammadiyah telah mendapat saluran dalam Partai Masyumi. Elit Muhammadiyah beberapa kali menjadi menteri dalam pemerintahan atas nama Masyumi, dan banyak juga anggota parlemen Masyumi yang ber- asal dari Muhammadiyah. Melalui berbagai kongres organisasi ini tetap mempertegas kedudukannya sebagai organisasi sosial, 182 YUSRIL IHZA MAHENDRA

namun di era Demokrasi Terpimpin, Universitas Muhammadiyah kemudian sempat memberi gelar doktor honorus causa kepada Presiden Soekarno dalam bidang Tauhid yaitu pada tahun 1965.296 Organisasi ini sebenarnya memiliki pertalian yang erat sekali de- ngan Masyumi tetapi Soekarno adalah juga anggota Muham- madiyah, karena itu organisasi ini memposisikan dirinya secara lebih berhati-hati. Organisasi lainnya yang memiliki afiliasi dengan Partai Masyumi adalah Gasbindo (Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia), organisasi yang erat sekali hubungannya dengan Ma- syumi, mulanya bagian dari Masyumi yaitu Sarikat Buruh Islam Indonesia, kemudian berganti menjadi Gasbindo pada tahun 1960, yang diketuai Jusuf Wibisono yang telah melepaskan diri dari Masyumi, dan ia dapat memegang kedudukan sebagai anggota parlemen DPRGR yang mewakili Gasbindo. Tahun 1959 dan 1960 merupakan tahun-tahun yang menimbulkan ketegangan bagi Masyumi. Untuk menyelamatkan anggota-anggota istimewa Partai ini, diputuskan untuk melepaskan mereka dari kaitan Partai, ini kemudian disetujui bersama di antara pimpinan Partai dan pim- pinan anggota-anggota istimewa itu dalam suatu rapat pada 8 Sep- tember 1959 di Jakarta. Langkah ini merupakan suatu upaya untuk menghadapi berbagai kemungkinan.297 Soekarno membentuk kabinet dan Dewan Nasional, Moham- mad Natsir dan Partainya menolak pandangan Presiden mengenai sistem serta konsepsi kepala negara itu. Pimpinan-pimpinan dari kalangan Islam tradisional seperti (NU) ada juga yang menolak seperti K.H. Dahlan dan Imron Rosyadi yang mengemukakan ke- tidaksetujuannya atas pemikiran Presiden. Kiai Dahlan menyata- kan bahwa penguburan Partai-Partai menimbulkan diktatur negara, sedangkan Imron Rosyadi ketua pemuda Ansor (NU) menegaskan bahwa diktatur berlawanan dengan Islam. Ia juga

296Pada bulan Oktober 1963 suatu konperensi cabang Muhammadiyah Jakarta memutuskan untuk memberi gelar “Mubaligh Agung” kepada Presiden Soekarno, lihat Duta Masyarakat, 4 April 1961, lihat juga Deliar Noer, Ibid, hlm. 371-373. 297Lihat Duta Masyarakat, 4 April 1961, ini tidak berarti bahwa Jusuf Wibsono tidak menghadapi kesukaran pada masa Demokrasi Terpimpin. Lihat juga Deliar Noer, Ibid, hlm. 373. GERAKAN MODERNIS ISLAM 183

menuduh bahwa Dewan Nasional hanya dibentuk untuk keper- luan Presiden Soekarno. Dari kalangan tokoh Masyumi memberi- kan reaksi atas penguburan Partai pada Oktober 1960, Natsir berkata: Selama demokrasi masih ada, selama itu pula Par- tai-Partai terus ada, dengan atau tidak dengan kepu- tusan pemerintah pada bulan November 1945, sebalik- nya dikatakannya pula selama masih ada kebebasan Partai selama itu demokrasi ditegakkan. Kalau Partai- Partai dikubur demokrasi otomatis akan terkubur dan di atas kuburan itu hanya dikatatur yang akan memerintah. 298 Bagi Natsir, “demokrasi tidak dapat terhidangkan di atas talam emas,” sebaliknya ia sering kali meminta korban. Salah satu sya- rat demokrasi ialah pendukungnya harus memakai Partai sebagai alat menurut peraturan yang wajar dan bahwa pendukung ini harus dengan jujur menegakkan nilai-nilai yang berharga dalam hidup, “jangan alat-alat itu yang dijadikan tujuan dengan meng- injak nilai-nilai hidup.” Ia mengimbau semua pihak termasuk poli- tisi dan tentara untuk menghindarkan diri dari tindakan yang tidak sesuai dengan semangat demokrasi.299 Demokrasi Terpimpin menurut Mohammad Natsir sangat berbahaya. Pandangannya ini sejalan dengan yang dikemukakan kawan seperjuangannya yaitu Syafruddin Prawiranegara. Ia pemimpin Masyumi yang pernah memegang mandat dalam memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Kota Bukittinggi Sumatera Barat, ketika Yogyakarta (ibu kota negara) di masa awal kemerdekaan diduduki tentara Belanda. Mengenai demokrasi terpimpin, di- kemukakannya: Inilah bahaya yang sebesar-besarnya yang meng- ancam negara kita yakni bahwa “demokrasi” tengge-

298Harian Abadi, 30 Oktober 1956, harian Merdeka, 31 Oktober 1965. Lihat juga Deliar Noer, Islam di Pentas…, Ibid. 299Deliar Noer, Ibid, hlm. 354. 184 YUSRIL IHZA MAHENDRA

lam dalam “koalisi” dan “anarchi” di atas golongan- golongan yang bersenjata atau golongan yang mengu- asai golongan-golongan yang bersenjata itu.300 Berbeda dengan pandangan Soekarno, ia melihat Demokrasi Terpimpin sebagai antitesis dari sistem Demokrasi Parlementer dan sebagai jalan untuk keluar dari krisis berkepanjangan dari pemerintahan yang mudah dijatuhkan, atau kabinet yang gam- pang jatuh bangun. Pada tanggal 17 Agustus 1959 dalam pidato dengan tajuk “Penemuan Kembali Revolusi Kita”, Soekarno men- jelaskan butir-butir pokok Demokrasi Terpimpin dalam dua kategori yaitu: (1) Tiap-tiap orang diwajibkan untuk berlaku kepa- da kepentingan umum, masyarakat dan negara; (2) Tiap-tiap orang mendapatkan penghidupan layak da- lam masyarakat, bangsa dan negara.301 Demokrasi ter- pimpin “ialah demokrasi, atau dalam UUD 45 dikata- kan demokrasi “yang dipimpin hikmat kebijaksanaan dalam perwakilan”302 Nampak Soekarno di sini mencari pembenaran dari sistem itu dalam Pancasila UUD 1945, kemudian dalam kesempatan lain ia menjelaskan “demokrasi terpimpin adalah demokrasi kekeluarga- an, tanpa anarkinya liberalisme, tanpa otokrasinya diktator.”303 Demokrasi kekeluargaan yang dimaksudkan adalah demokrasi yang mendasarkan sistem pemerintahannya kepada musyawarah dan mufakat dengan pimpinan satu kekuasaan sentral di tangan seorang “sesepuh”, seorang tua yang tidak mendiktatori, tetapi “memimpin,” menaungi.304 Sebaliknya Mohammad Natsir yang melihat kekuasaan sepenuhnya terpusat di tangan , tidak pernah percaya kepada janji-janji Soekarno itu. Ia mengantisipasi

300Syafruddin Prawiranegara, Indonesia di Persimpangan Jalan, Jakarta-Bandung, al- Maarif, 1951, hlm. 9. Lihat juga Deliar Noer, Islam di Pentas…, Ibid, hlm. 355. 301Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid II, Jakarta, Panitia Penerbit, 1964, hlm. 272. 302Lihat Mohammad Yamin (Ed.) Naskah Persiapan UUD 45, 3 jilid, Jakarta, Prapanca, 1960, 11, hlm. 212-214. 303Soekarno, Di Bawah…, Ibid, hlm. 376. 304Ibid. GERAKAN MODERNIS ISLAM 185

dengan mengemukakan, “…bahwa segala-galanya akan ada di da- lam Demokrasi Terpimpin itu, kecuali demokrasi…, kecuali kebe- basan jiwa…dalam istilah biasa yang semacam itu kita namakan suatu diktator sewenang-wenang.305 Di kalangan kekuatan Islam kalaulah tidak dikatakan terjadi persilangan dalam melihat langkah politik yang diambil Soekarno, nampak ada perbedaan nuansa yang sangat tajam dan jelas. Masyumi dari sayap modernis menentang sangat gigih ide dan pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, sementara lainnya masuk ke dalam sistem itu karena berpegang kepada kaidah perjuangan, semisal K.H. Syaifuddin Zuhri (Menteri agama semasa demokrasi terpimpin) yang berasal dari kalangan NU berpandangan, menurutnya, “… menderita kerugian 25% untuk menghindari kerugian 100% adalah suatu hasil perjuangan juga…apa yang tidak tercapai 100% janganlah diting- galkan (dibuang), hasil yang sebagian (yang kurang 100%) dengan perkataan lain janganlah bersikap jika tidak berhasil 100%, lebih baik tidak berhasil sama sekali, perjuangan NU di zaman demokrasi terpimpin tetap istiqomah.306 Pada tanggal 21 Juli, Presiden Soekarno memanggil pemimpin- pemimpin Masyumi (dan PSI). Dalam pertemuan hanya selama 10 menit itu, Kepala Negara yang didampingi Kepala staf ketiga ang- katan, Kepala Polisi, Jaksa Agung, Kepala Staf Komando Perang Tertinggi, Sekretaris Militer dari komando tertinggi ini, Menteri Penerangan, dan Direktur Kabinet Presiden menyerahkan setumpuk daftar pertanyaan (Questioner) yang harus dijawab pimpinan Partai dalam waktu satu minggu. Pemimpin Masyumi yang datang ialah Prawoto, M. Yunan Nasution, sedangkan dari kalangan PSI yaitu Syahrir, Soebadio Sastrosatomo dan T.A. Murad, adapun Sukiman yang juga bermaksud hadir sedang berada di Yogyakarta. 305Yusuf Abdullah Puar, “Trias Politika RI Sering Digugat,” dalam Panji Masyarakat, No. 250, tahun XX, Juli 1978, hlm. 23. 306Ahmad Syafi’i Maarif, Peta Bumi…, Ibid. 186 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Pada tanggal 28 Juli, wakil-wakil Partai kembali bertemu dengan Presiden Soekarno, juga dihadiri para pimpinan angkatan, Direktur Kabinet, Sekretaris Militer, yang berjalan hanya 7 menit. Presiden hanya berkata bahwa jawaban Partai bersangkutan akan dipelajari. Tanggapan dari pihak pemerintah diperlihatkan pada 17 Agustus 1960, bertepatan hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia, ketika Pimpinan Pusat Partai Masyumi menerima surat dari Direktur Kabinet melalui Surat Keputusan Presiden, No. 200/ 1960. Isinya, dalam waktu 30 hari sesudah tanggal keputusan, Pimpinan Partai Masyumi harus menyatakan Partainya bubar, pembubaran ini harus diberitahukan kepada Presiden secepatnya. Kalau tidak maka Partai Masyumi akan diumumkan sebagai Partai terlarang. Para pimpinan Masyumi kemudian ditangkap. Hamka ditangkap di rumahnya pada 27 Januari 1964, Kasman Singodimedjo pada 9 November 1963, di kompleks kepolisian Sukabumi, Jusuf Wibisono diambil dari rumah- nya di Pegangsaan Timur pada 26 Desember 1963, M. Yunan Nasu- tion ditahan mulai 16 Januari 1962, selaku sekretaris umum Masyu- mi; selain itu ditangkap juga Natsir, Safruddin Prawiranegara, Suki- man, Prawoto, Mohammad Roem, Boerhanuddin Harahap, dan Anwar Haryono.307 Adanya peristiwa penangkapan dan penyingkiran pemimpin- pemimpin Islam yang sangat disegani yang dilakukan rezim dik- tator Soekarno tidaklah menyurutkan umat generasi selanjutnya. Kalangan yang lebih muda dan yang sebelumnya belum pernah terikat dengan Partai atau organisasi induk (seperti Masyumi atau NU) membentuk kelompok studi, tetapi sebenarnya mereka mencoba menghimpun kekuatan dan menggalang persamaan pen- dapat untuk secara bersama-sama menghadapi kemungkinan per- gantian kekuasaan.308 Mereka sering berlindung pada sejumlah organisasi seperti Persami (Persatuan Sarjana Muslim Indone- sia) atau PII dan HMI. Kelompok ini dijumpai di kota-kota dan universitas-universitas di Jakarta, Medan, Yogyakarta dan Ujung Pandang, dan mereka dekat dengan Hatta, sedangkan eks anggota

307Deliar Noer, Ibid, hlm. 385-386. 308Ibid, hlm. 416-421. GERAKAN MODERNIS ISLAM 187

Masyumi, mereka saling berkomunikasi yang berpusat kepada H. Fakih Usman, seorang tokoh Muhammadiyah yang disegani. Pada Maret 1960, parlemen menolak anggaran belanja negara, penolakan ini bukan sesuatu yang bertentangan, ini dibenarkan UUD, namun Soekarno kecewa sehingga parlemen dibubarkan, setelah bubar Presiden mengangkat anggota parlemen baru yaitu DPRPGR. Lembaga ini terdiri dari orang-orang Partai serta wakil golongan karya, termasuk militer, politisi, buruh, petani, ulama, pemuda, wanita, intelektual dan pendidik; semuanya 283 orang, termasuk 129 anggota Partai. Adapun komposisi anggota di DPRGR ini disusun bersama antara Presiden dan tokoh PNI, NU, PKI dan seorang wakil Angkatan Darat.309 Pidato kenegaraan Soe- karno pada tahun 1960 yang dikenal dengan Manifesto Politik (Manipol) menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara yang diresmikan MPR(S) pada 1961. Sebagai syarat pengangkatannya menjadi anggota parlemen, para calon anggota majelis ini harus lebih dahulu menyatakan kesetiaannya pada Manipol. Ditambah dengan pengangkatan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup melalui sidang majelis pada tahun 1962, semakin lengkaplah pelanggaran atas UUD 1945.310

309Harian Duta Masyarakat, 11, 21 dan 31 Maret 1960, Sutomo (Bung Tomo) dari PRJ mengadukan Presiden ke pengadilan negeri 24 Agustus 1960, karena pembubaran DPR dan penggantinya dengan DPR pengangkatan, lihat Frans M. Parera, Bung Tomo: Dari 10 November 1945 ke Orde Baru, Jakarta, Gramedia, 1982, hlm, 221-240. 310Deliar Noer, Ibid, hlm. 367-368. 188 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Yusril Ihza Mahendra bersalaman dengan Soeharto PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 189

Pemikiran dan Tindakan Politik 1 Dalam44 4Sistem Orde Baru (1966-1998)

1966-1973: KONSOLIDASI DUA KEKUATAN

RDE Baru adalah era pemerintahan nasional yang dimulai dengan kepemimpinan Soeharto pada tahun 1966, setelah O Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkos- trad) ini mengambil alih kekuasaan melalui Surat Perintah Sebe- las Maret (Supersemar) 1966 dari Presiden pertama Republik In- donesia, Ir. Soekarno. Orde Baru dikonsepsikan sebagai koreksi total atas pemerintahan Orde Lama yang lebih cenderung ber- pihak kepada kalangan kiri (Komunis) dan Presiden Soekarno tidak mampu mempertanggungjawabkan kepemimpinan berkait dengan sejumlah persoalan seperti terbunuhnya sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat yang dikenal dengan peristiwa G30S PKI 190 YUSRIL IHZA MAHENDRA

(Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia), kemudian runtuhnya ekonomi negara dengan inflasi yang sangat tinggi serta pendapatan per kapita negara Indonesia di tahun 1966 yang ha- nya 120 dollar Amerika (Rais 1998: 19). Masa awal pemerintahan Orde Baru ini ditandai dengan integrasi yang kokoh antara umat Islam dengan militer serta kekuatan sosial lainnya ketika mereka menumpas pemberontakan Partai Komunis Indonesia. Pilihan stratejik Orde Baru adalah pembangunan yang ber- orientasi kepada modernisasi dengan rekayasa politik melalui restrukturisasi partai-partai politik, penerapan kebijaksanaan massa mengambang (floating mass), pengintegrasian pendekatan dengan kontrol, konsensus serta tekanan politik yang meng- gunakan instrumen-instrumen politiknya. Maka pada masa awal dan saat berjalannya Orde Baru, berkembang apa yang disebut sebagai masyarakat politik birokratis (bureaucratic polity).1 Ke- kuatan politik di luar birokrasi seperti partai politik, parlemen, pers maupun kelompok-kelompok kepentingan juga sangat lemah dalam mengontrol birokrasi, malah akhirnya tunduk dan harus menyesuaikan diri dengan kepentingan yang menguntungkan birokrasi (Anwar 1995:8-9). Pada awal Orde Baru sering terdengar ejekan kepada umat Is- lam di Indonesia sebagai kelompok kekuatan yang mayoritas dalam angka (numeral majority) tetapi minoritas dalam hal teknik (tech- nical minority). Padahal, kelemahan dari kemampuan teknis pada umat Islam adalah aset positif pada masa perjuangan kolonial. Bagi generasi zaman kolonial, memiliki kecakapan teknik yang tinggi sesungguhnya suatu ironi, karena kecakapan itu didapat berkat “kompromi” atas “kultur kolonial” dalam bentuk sikap menerima pendidikan yang disediakan penjajah (Madjid 1983:3). Ketika Orde Baru mulai memegang kekuasaan, kelas mene- ngah santri lama mengharap terehabilitasi ekonomi mereka.

1 Politik birokrasi (bureaucratic polity) ialah suatu sistem politik di mana kekuasaan dan partisipasi dalam pengambilan keputusan-keputusan nasional terbatas pada lingkup pegawai pemerintah terutama para perwira-perwira militer serta pejabat– pejabat tinggi birokrasi yang termasuk di dalamnya para teknokrat. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 191

Ironisnya, harapannya tidak pernah terwujud. Negara yang se- cara politik sangat dominan mengatur kebijakan ekonomi, lebih banyak memberi peluang bagi para pengusaha klien (client businessment) yang bergerak dalam perdagangan dan sektor jasa berskala besar. Masuknya modal asing telah mendorong tumbuh- nya sektor industri yang kuat, arus modal raksasa dengan jaring- an internasional berteknologi canggih, dan tentu jaringan ini dikuasai golongan Cina dan pengusaha klien yang memiliki koneksi politik dengan sejumlah elit Orde Baru.2 Kondisi tersebut semakin mendesak pengusaha dan pedagang menengah santri, dan semakin melemahkan basis-basis sosial ekonomi yang pernah menjadi tulang belakang kekuatan politik pengikut Partai Masyumi maupun NU. Mengenai hal ini dapat dilihat dari kemunduran besar yang dialami pedagang batik Muslim di Majalaya-Solo-Pekalongan, kemudian pengusaha tenun di Maja- lengka, pabrik rokok di Kudus, dan sebagainya. Demikian pula yang terjadi pada pedagang dan pengusaha menengah di kota- kota besar maupun kota kecil. Sehingga menjelang akhir 1970- an dan awal 1980-an, banyak di antara mereka yang sudah bangkrut atau gulung tikar atau pindah profesi lain.3 Satu sisi pemerintah mengembangkan syiar Islam dalam berbagai bidang terutama pembangunan fisik (kantor agama) serta aktivitas-aktivitas yang bersifat “show” seperti Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ), tarian dan nyanyian yang bernafaskan Islam serta ibadah dalam arti sempit (ritual). Pengertian Islam dalam hubungan dengan politik bukan saja tidak dianjurkan, malahan dianggap seakan tidak sesuai dengan Islam. Kecenderungan ini tentu mengingatkan kita pada nasihat yang diberikan Snouck Hurgronye kepada pemerintah Hindia Belanda untuk membiarkan Islam dalam arti ibadah dan mengasingkan pemuda Islam dari agamanya, serta menyekat Islam dalam pengertian sosial, ekonomi dan politik. (Noer 2001: 30).

2 Yahya Muhaimin, “Politik Pengusaha Nasional dan Menengah Indonesia”, Prisma, No.3, Tahun XIII, Maret 1984, hlm 63-72. 3 Yahya Muhaimin, Ibid. 192 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Melihat keadaan ini, Mohammad Hatta, yang pernah dikenal sebagai salah seorang dari “Dua Serangkai” pemimpin nasional di masa awal kemerdekaan, bersama generasi muda Islam Indone- sia pada tahun 1966-1967, bermaksud mendirikan Partai Demo- krasi Islam Indonesia. Ia menghentikan usahanya itu segera setelah pejabat Presiden Soeharto mencegahnya pada 17 Mei 1967, walau mereka didesak untuk melanjutkan usahanya oleh pendukungnya. Partai yang dicanangkannya itu bersifat partai kader, oleh sebab itu ketika badan musyawarah organisasi- organisasi Islam Amal Muslimin mengajak bersama mendirikan partai, ia tidak menyetujuinya. Amal Muslimin membayangkan suatu partai yang langsung besar dengan massa pendukung seperti Masyumi serta dukungan organisasi-organisasi Islam. Orde Baru juga khawatir kalau-kalau Hatta akan “menyuruh militer kembali ke tangsi.”4 Mohammad Hatta juga tidak menyetujui keputusan politik yang diambil pemerintah Orde Baru mengenai anggota parlemen dari DPR dan MPR yang diangkat tanpa proses pemilu; juga adanya hak “recall” yang dimiliki Partai atas anggotanya yang duduk di dewan legislatif. Mengenai partai agama, Mohammad Hatta berpendapat bahwa: …tergabung berbagai paham kemasyarakatan, apa- bila partai agama itu meletakkan titik berat aksinya pada agama. (tetapi) suatu partai agama dapat pula menitikberatkan aksinya pada program kemasya- rakatan, sedangkan agama baginya dipakai sebagai pimpinan untuk memelihara jiwa yang murni.5 Mohammad Hatta, walau lebih dikenal sebagai sosok nasionalis, tetapi juga ia seorang yang taat menjalankan agama Islam. Ketika pada tahun 1973, timbul kehebohan dalam kalangan orang ramai yang beragama Islam di Indonesia, karena RUU Perkawinan dianggap berlawanan dengan ajaran Islam,

4 Deliar Noer, Membincangkan Tokoh-tokoh Bangsa, Bandung, Mizan, 2001, hlm. 163. 5 Hatta, Menyambut pelajaran dari masa lampau untuk membangun masa depan, Bandung, 1966, dalam Deliar Noer, Membincangkan…, Ibid, hlm. 164. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 193

Mohammad Hatta berkirim surat kepada Presiden Soeharto agar pemerintah menerima tuntutan kalangan Islam itu.6 Setelah Komunis dibersihkan, umat Islam menuntut keme- nangannya. Segera setelah itu beberapa pemimpin Islam yang ditahan semasa rezim Soekarno seperti pemimpin Masyumi Mohammad Natsir dan lainnya dibebaskan. Tidak lama kemudian berlangsung pertemuan pada 15 Agustus 1966, di Masjid Agung Al-Azhar Jakarta. Dalam pertemuan yang dihadiri sekitar lima puluh ribu umat Islam tersebut berkembang suatu kritik terse- lubung kepada pemerintah. Para pemimpin Islam yang hadir an- tara lain Mohammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Prawoto Mangkusasmito, Asaat, Mohammad Roem, Kasman Singodimedjo menuntut rehabilitasi atas Islam dengan mengizinkan umat mendirikan partai Masyumi sebagai alat perjuangan. Namun tuntutan tersebut gagal memperoleh persetujuan pemerintah sehingga umat Islam mulai kecewa terhadap pemerintahan Soeharto. Pihak pemerintah memandang bahwa rehabilitasi terhadap partai lama seperti Masyumi akan mendorong insiden yang pernah terjadi dan akan menggagalkan kembali pemba- ngunan nasional. Benarkah? Menurut seorang pakar politik Is- lam di Indonesia, sebenarnya bukanlah kecenderungan Masyumi membangun negara Indonesia melalui kekerasan, hanya tampak- nya memang ada pihak ketiga yang anti-Masyumi dengan alasan yang tidak jelas (Boland 1982). Puncak dari persoalan ini adalah bahwa pemerintah Soeharto pada 5 Februari 1968 tidak mengizinkan seorang pun tokoh Masyumi memimpin dan mengambil peranan dalam partai yang baru saja didirikan, yaitu Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Hal itu terjadi dalam kongres I Parmusi pada 4-7 November 1968 di kota Malang, ketika berusaha menampilkan Mohammad Roem sebagai ketua. Kemudian pada peristiwa lainnya, di saat Parmusi dan Partai Nahdlatul Ulama (NU) mencoba kembali untuk mengupayakan kedudukan Piagam Jakarta, inipun gagal, bahkan

6 Surat Hatta kepada Soeharto, 1 September1973. 194 YUSRIL IHZA MAHENDRA

kekecewaan kalangan umat Islam itu berlanjut dengan adanya penundaan Pemilihan umum yang semestinya dilaksanakan pada tahun 1968, diundur menjadi tahun 1971. Keadaan ini menyebabkan pembelahan umat dalam dua bentuk dengan tumbuhnya sikap pemerintah yang mendua, yaitu toleransi hanya diberikan kepada umat yang tidak mengem- bangkan aspirasi politik dan tidak “nyantri”, dan adanya upaya yang sistimatis dengan melakukan penyingkiran orang-orang Masyumi yang notabene “kaum modernis atau reformis Islam.” Ini menimbulkan zaman baru perjuangan Islam, yakni melakukan suatu misi Islam politik dengan pendekatan yang berbeda serta ada usaha reformulasi stratejik perjuangan. Isu “Negara Islam” yang diusung sejak awal kemerdekaan, berubah dengan isu baru “Sekulerisasi Islam” dan “Masyarakat Muslim.” Pergeseran sikap dan pandangan itu menurut Mulkan (1989) lebih dipahami dan diletakkan pada konsep “kemungkinan dan peluang” (meminjam istilah Weber, Johnson 1986), yang diakibatkan penyempitan ru- ang gerak dan pengaruh “mesin politik” Orde Baru dengan konsep depolitisasi umat serta masyarakat. Konsep Negara Islam yang pernah digaungkan mulai digeser ke arah penataan hidup masyarakat Muslim dengan mengatur serta mengarahkan umat melalui pembangunan dari bawah (bottom up) atau di akar rumput (grass root) dengan agenda menerapkan syariat Islam di tengah kehidupan masyarakat. Mulai tahun 1968, pemikiran dan perilaku perjuangan dakwah mengumandangkan tema “mengulamakan sarjana dan mensarjanakan ulama” Mengenai hal ini Mohammad Natsir mengungkapkan, “Kalau dulu (semasa Masyumi) kita berdakwah dengan politik tetapi kini kita berpolitik melalui dakwah.” Maka pada 9 Februari 1967, didirikanlah sebuah organisasi dakwah dengan nama Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII). Awal berdirinya lembaga ini adalah dalam rangka menghambat laju Kristenisasi di Indonesia. Dakwah yang dikembangkan memiliki pengertian yang luas cakupannya dengan menggunakan fasilitas yang juga beragam seperti melalui penerbitan majalah Media Dakwah, Suara Masjid, Serial Khutbah Jumat, PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 195

Buletin Jumat. Selain itu, penggalangan masa pun dilakukan untuk memberi reaksi atas persoalan-persoalan keumatan menyangkut pertikaian, pengembangan solidaritas, himbauan, aksi dan isu-isu, baik yang berskala nasional maupun internasional. Para anggota organisasi ini banyak juga yang terlibat aktif dalam sebuah komite yang dikenal dengan nama KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam), di antara tokohnya adalah H. Sumargono, S.E.7 Pemerintah mengizinkan berdirinya Parmusi sebagai wadah politik bagi kalangan “modernis Islam”, tetapi dengan syarat tidak ada seorang pun mantan pemimpin Masyumi yang memegang peranan penting dalam Parmusi, walaupun dalam kenyataan bayangan Masyumi masih mendominasi tubuh partai. Pada Kongres ke-1 tahun 1968, timbul konflik antara kubu Djarnawi Kusumo-Lukman Harun dengan kubu H.J. Naro-Imran Kadir, kedua nama terakhir ini sangat akomodatif dengan pemerintah. H.J. Naro dan Imron Kadir mempermasalahkan kepemimpinan Djarnawi yang dinilai memusuhi ABRI. Hal ini menimbulkan konflik internal, di mana pemerintah akhirnya menawarkan diri menjadi penengah konflik yang berlarut-larut tersebut dengan menunjuk orang ketiga dari luar partai yaitu H.M.S. Mintaredja melalui Surat Keputusan Presiden No.77, ini sekaligus pembatalan pengangkatan Djarnawi sebagai ketua partai yang didasarkan Surat Keputusan Presiden No.70 tahun 1968 (Tempo 10-12-1977).8 Parmusi

7 Dalam keadaan kemudian di era reformasi, Sumargono yang sering dituding kelompok fundamentalis Islam dari kalangan “nasionalis sekuler” atau yang kurang sejalan dengan sikap perjuangannya karena pendiriannya yang tegas, istiqomah dalam memperjuangkan kepentingan umat melalui forum dakwah serta forum KISDI yang “identik dengan dirinya”, pada tahun 2000 mendirikan organisasi massa yang diberi nama GPMI (Gerakan Persaudaraan Muslim Indonesia) di Jakarta. Sebuah organisasi yang diharapkan mampu menjembatani berbagai kalangan, aliran dan simpul-simpul kelompok Islam yang ada di Indonesia untuk penggalangan kesatuan visi umat, H. Sumargono selaku Ketua Umum dan selaku Sekretaris Jenderal Firdaus Syam. Kehadiran organisasi ini mendapatkan respons yang positif, antara lain dari seorang cendekiawan Islam ternama Murcholish Madjid. Harian Abadi yang diberangus pada tahun 1974, setelah tergulingnya rezim Orde Baru di era reformasi terbit kembali seiring telah mulai didirikannya Universitas Mohammad Natsir yang berlokasi di Pusat Jakarta dan daerah Tambun, Jawa Barat. 8 Adanya kalangan dari modernis Islam yaitu H.M.S. Mintaredja, S.H. yang menerima format politik yang dibangun pemerintah Orde Baru. Mintaredja, pernah memegang pucuk pimpinan pusat (Pengurus Besar) Himpunan Mahasiswa Islam 1947-1950, terpilih menjadi ketua Partai Parmusi, dan saat fusi partai Islam (atas kehendak Orde 196 YUSRIL IHZA MAHENDRA

mulai kehilangan dukungan dari umat, sebab Muhammadiyah yang semula menjadi sponsor kelahirannya menyatakan diri keluar dari partai dan menyatakan tidak mempunyai hubungan organisatoris lagi dengan Partai Parmusi dan partai lainnya (PP Muhammdiyah 1977) (Mulkhan 1989: 122). Mohammad Roem yang terpilih secara demokratis tidak dikehendaki pemerintah Orde Baru terutama ABRI untuk memimpin partai baru Islam itu (Boland 1985),9 akibatnya hubungan tradisional partai dengan masa mulai terputus, apalagi setelah pene- rapan konsep “masa mengambang” untuk setiap kekuatan politik (Moer- topo 1981). Dalam pertengahan tahun 1972, Mintaredja selaku juru bicara keempat ketua partai Islam lainnya yang akan melakukan fusi ke dalam PPP, mengumumkan melalui pers bahwa umat Islam insya Allah tidak mengutak-atik lagi soal Piagam Jakarta () baik dalam kehidupan masyarakat maupun di Dewan Perwakilan Rakyat (Mintaredja 1973). Pada tahun 1973 dengan mengubah nama partai ini menjadi MI (Muslimin Indo- nesia), partai ini bersama partai Islam lainnya yaitu PSII, Perti dan NU berfusi ke dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan).10 Pascapemilihan umum 1971, pemerintah Orde Baru mening- katkan upaya deparpolisasi dengan penyederhanaan partai menjadi dua kelompok yaitu PPP (Partai Persatuan Pemba- ngunan), ini hasil fusi empat partai Islam; dan PDI (Partai Demo- krasi Indonesia), hasil fusi partai Kristen dan Nasionalis sekuler; kekuatan lainnya adalah Golkar (Golongan Karya), ini hasil

Baru) dipercayai sebagai Ketua PPP. Ia melihat kegagalan umat Islam selama ini yang menurutnya hanya mementingkan perjuangan ideologis/asas formal, tapi kosong tiada isi (approach politic formal), maka Parmusi akan bekerja sama dengan golongan militer (ABRI) dan para teknokrat pendukung pemerintahan Soeharto untuk melakukan pendekatan politik material, tanpa melupakan asas Islam, lihat dalam tulisannya, Islam dan Politik, Islam dan Negara di Indonesia, Jakarta, Siliwangi, 1972. 9 Ini terjadi pada saat Parmusi melakukan kongres ke-1 pada 4-7 November 1968 di kota Malang, Jawa Timur. Usaha untuk menampilkan Mohammad Roem sebagai Ketua dapat dipastikan akan berhasil, namun pemerintah Soeharto pada 5 Februari 1968 tidak mengizinkan eks Masyumi untuk memimpin dan mengambil peranan dalam Parmusi. Kekecewaan ini dinyatakan juga oleh Mohammad Hatta yang pernah menjadi Wakil Presiden RI ke-1. 10 M. Fachry, Ibid, hlm. 25. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 197

penggabungan kepentingan militer, birokrat dan kalangan teknokrat sipil Orde Baru. PPP didirikan pada 5 Januari 1973, untuk pertama kalinya dalam sejarah bahwa partai politik Islam di Indonesia dapat bersatu dalam satu partai setelah Masyumi “terkubur”. Tetapi PPP terbentuk karena rekayasa pemerintah Orde Baru dalam rangka membentuk apa yang disebut hegemonic party system (sistem partai hegemonik) di mana partai berada dalam kendali Orde Baru, karena itu PPP dan PDI masuk dalam jaringan koorporatisme negara sehingga fungsinya dalam perpolitikan negara menjadi “subordinasi” kehendak penguasa. Baik PPP yang beridentitas Islam dan PDI yang beridentitas ke- rakyatan dalam setiap pemilihan umum tidak pernah menang atau bersaing ketat melawan Golkar. Suara PPP11 dan PDI bila digabungkan selama 6 kali pemilihan umum masa Orde Baru ti- dak pernah melampaui 40 persen dari total suara pemilih, semen- tara Golkar selalu di atas 60 persen.12 Masa dekade 1973-1985 adalah masa peneguhan orientasi dan kekuatan politik di satu tangan, dampak dari semua ini menye- babkan perolehan suara dari partai Islam demikian merosot dan puncaknya adalah keharusan pencantuman asas Pancasila bagi seluruh kekuatan politik dan organisasi massa.13 Diawali dengan pidato kenegaraan Presiden Soeharto di depan sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) 16 Agustus 1982, dan di- kukuhkan dalam ketetapan sidang umum Majelis Perwakilan Rakyat (MPR-RI) tahun 1983. Sikap penolakan dari kalangan ormas Islam seperti HMI dan PII cukup keras, sebaliknya sikap responsif dari kalangan organisasi massa Islam semakin mantap ketika ada jaminan dari Presiden Soeharto yang disampaikan

11 Di era Reformasi, PPP pada tahun 2002 mengalami perpecahan dengan lahirnya PPP reformasi di bawah pimpinan K.H. Zainuddin M.Z. Latar belakang perpecahan adalah konflik internal berhubung persoalan perbedaan mengenai pelaksanaan muktamar. Ini menyangkut lebih kepada kepentingan politik kelompok ketimbang persoalan prinsip ideologis partai. 12 H.M. Syafaat Mintaredja, Islam dan Politik, Islam dan Negara di Indonesia, Jakarta, Siliwangi, 1972, hlm. 67. 13 B.J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, (terj.), Djohan Effendi, Jakarta, Grafitti, Pers, 1982. 198 YUSRIL IHZA MAHENDRA

dalam Muktamar Muhammadiyah di Solo tahun 1985, bahwa Pancasila bukan agama dan agama tidak akan dipancasilakan. Dengan maklumatnya ini, Soeharto telah melakukan rasionalisasi terhadap ideologi negara (rationalization of state ideology), sehingga mampu mencairkan ketegangan konseptual yang bersumber dari kekhawatiran adanya mitos-pensejajaran (juxta- position) antara agama dan Pancasila, betapapun reaksi positif itu bersifat semu. Dekade 1980-an juga merupakan kemerosotan pengaruh kaum ideologis Islam yang dikenal sebagai kelompok Islam garis keras,14 hal ini terlihat dengan ketidakberhasilan kalau tidak mau disebut kegagalan, yakni pengupayaan dari tokoh dan aktivitas Islam untuk menyerukan penolakan atas penerapan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi organisasi politik dan organisasi massa.15 Tantangan kalangan umat Islam dalam politik datang dari pihak selain pemegang kekuasaan negara, yaitu kelompok pemikir CSIS (Centre for Strategic and International Studies). Lembaga ini dibentuk tahun 1971, saat Hadi Susastro dengan sejumlah kawannya pulang belajar dari Eropa dan mengusulkan supaya dibentuk lem- baga “Think tank.” Aktivitas lembaga ini lebih banyak pada operasi khusus (Opsus) yang melibatkan kaum Katholik fanatik pimpinan Pater Beek SJ,16 seorang pastor kelahiran Belanda yang memainkan peranan besar di balik lahirnya CSIS tersebut. George J. Aditjondro, salah seorang yang pernah mengikuti pengkaderan tokoh ekstrem

14 Safi’i Anwar, Ibid, hlm. 93. 15 Dapatlah disebut sejumlah dai atau mubaligh yang demikian semangat mengkampanyekan penolakan Pancasila sebagai Asas Tunggal, di Jakarta misalnya dilakukan kalangan yang disebut kelompok Islam garis keras seperti Mawardi Noer, Tony Ardi, Abdulah Hehamahua dan lainnya, ini kemudian memanaskan suhu politik di kota yang dan akhirnya bentrok dengan pihak kemanan, sehingga lahirlah apa yang dikenal dengan peristiwa Tanjung Priok tahun 1984. 16 Pater Beek adalah seorang pastor ordo Jesuit yang melakukan kaderisasi bagi para pemuda dan mahasiswa Katolik di asrama Realino, Yogyakarta, di samping dilakukan di Klender, Jakarta. Sebelum peristiwa PKI 1965, terpaksa melarikan diri keluar negara dan kembali setelah Subandrio ditangkap dan BPI dibubarkan. Beek memiliki kontak yang bagus dengan Black Pope yaitu seorang kardinal yang mengepalai operasi politik Katolik di seluruh dunia. DR. Sudjatmoko yang pernah menjadi rektor Universitas PBB pun berkeyakinan adanya kontrol Black Pope atas aktifitas Katolik di Indonesia. Lihat M. Fachry, Multi Partai…, Ibid, hlm. 67. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 199

Pater Beek, lalu keluar dari CSIS karena melihat programnya sudah anti-Islam. Dalam pandangan Beek ada dua macam ancaman yang sama-sama berwarna hijau, yaitu tentara dan Islam, maka pan- dangannya adalah rangkul tentara dan gunakan mereka untuk menumpas Islam. Melalui kerja sama dengan Ali Murtopo, Aspri dari Presiden Soeharto, CSIS semakin menyudutkan dan memus- nahkan perjuangan politik kaum Muslimin. Banyak orang yang tak percaya jika Ali Murtopo berasal dari keluarga santri dari pesisir Jawa bahkan bekas anggota Hizbullah di zaman revolusi.17 Salah satu keberhasilan atau target politik pemerintahan Orde Baru de- ngan pengaruh dan dukungan kelompok pemikir ini adalah, diharuskannya pegawai negeri sipil (PNS) melalui peraturan per- undangan, sebagai anggota Golkar; dan ABRI diberi jatah kursi di parlemen, dan menjadi perpanjangan kepentingan Golkar saat itu. Mengenai keberhasilan PPP sebagai partai yang berbasis kul- tural dari kelompok Islam, catatan perjuangan melalui fraksinya di parlemen di antaranya adalah, dihapuskannya pasal-pasal yang bertentangan dengan ajaran Islam dalam Rencana Undang–Un- dang Pendidikan Nasional serta diberlakukannya perundangan peradilan agama. Tetapi yang dibincangkan PPP bukanlah isu ideologis melainkan hanya persoalan ritual sehingga isu-isu dalam perjuangan politik masih bersifat parsial, misalnya masalah perkawinan, peradilan agama, pendidikan, penyiaran agama, perjudian, penghujatan pada Nabi dan persoalan terbatas lainnya. Departemen Agama, yang dianggap gagal mendekati dan membina ulama dan kyai, mendorong pemerintah membentuk Majelis Ulama.18 Kebijaksanaan politik Orde Baru dan pergeseran

17 Pamor Ali Murtopo merosot setelah peristiwa demonstrasi para mahasiswa Indonesia di Jakarta saat kedatangan Pedana Menteri Jepang Tanaka pada bulan Januari 1974, peristiwa ini kemudian dikenal dengan peristiwa “Malari”, ia digantikan dengan Moerdani yang kemudian sempat menjadi Panglima ABRI. Lalu ia digandeng CSIS, saat ini pun Abdurrahman Wahid, lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur, mantan Ketua Umum PB NU, deklarator PKB dan mantan Presiden RI duduk dalam struktur kepengurusan sebagai Dewan Direktur (Board of Directors), ia pun ingin menjadikan lembaga itu menjadi “Indonesia Centre” yang membuat ia memutuskan masuk ke dalamnya. 18 Majelis ulama ini sesungguhnya jauh sebelum terbentuknya di tingkat pusat, sudah mulai berdiri di Jawa Barat untuk menetralisir keamanan setempat, menyusul kemudian di Aceh, Sumatera dan Sulawesi. 200 YUSRIL IHZA MAHENDRA

konsep politik umat telah mendorong tumbuhnya berbagai insti- tusi dakwah, baik atas desakan umat maupun atas jasa pemerin- tah. Organisasi dan lembaga tersebut antara lain: Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII) pada 1967 diketuai Dr. Mohammad Natsir, Lembaga Misi Islam (LMI) pada 1969, GPPI (1971), PITI (1972), PTDI (1973), MUI (1975), MDI (1978), Ittihadul Muba- lighien (1978), Perti (1973). Organisasi ini merupakan peralihan bentuk dari partai yang sudah difusikan ke PPP dan karena orien- tasi pemerintahan Orde Baru lebih menekankan kepada pemba- ngunan maka pembangunan sarana peribadatan lebih ditekankan (Sjadzali 1981 & Ratuperwiranegara 1981, 1982). Pemerintah ber- peran juga selaku institusi penyelenggara yang menempatkan Pancasila sebagai nilai yang secara kultural berakar dalam kehi- dupan masyarakat serta berperanan sebagai ideologi, pandangan hidup dan dasar negara, oleh karena itu setiap perilaku pemerin- tah adalah operasionalisasi dari nilai dasar Pancasila (Moertopo 1981). Penempatan Pancasila sebagai tata-nilai, sistem perilaku, ideologi dan dasar negara tersebut mengandung pengertian bahwa Pancasila merupakan pengemban berbagai sistem nilai melalui daya eklektiknya, dan semua sistem perilaku dari subsistem sosial yang berlaku dalam masyarakat itu secara normatif diakomo- dasikan dalam Pancasila sebagai konsensus nilai secara nasional (BP 4 1980 & Ratuperwiranegara 1981). Apa yang dapat dipahami adalah bahwa dinamika hubungan umat dan pemerintah Orde Baru banyak ditentukan oleh kesediaan pemerintah dan kesediaan umat untuk menyesuaikan operasional ajaran dengan sistem perilaku Pancasila. Tingkat penyesuaian tersebut menjadi indikator bagaimana posisi hubungan itu, walaupun demikian, seringkali pihak umat mengorbankan norma ajaran agamanya. Sebagian penulis (peneliti) menyebut sikap yang demikian sebagai akomodasionis dan reformis (Sampson dalam Liddle 1973 & Emmerson dalam Jackson & Lucian W. Pye 1978), dan kebijaksanaan pemerintah Indonesia, lebih tampak sebagai kelanjutan dari pendekatan semacam itu (Noer 1982). Maka muncul dua rumusan dasar PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 201

mengenai konsepsi masyarakat Indonesia baru, pertama, meman- dang bahwa operasionalisasi ajaran Islam harus menunjuk kepa- da konstruksi hukum syariah yang secara konstitusional dan mi- nimal telah dituangkan dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945 (Ratuperwiranegara 1981 & Ansyari 1981), sementara yang lain- nya memandang realitas sosial menghendaki konsepsi hukum syariah yang lebih toleran dengan orientasi kenasionalan. Pihak pertama meminjam istilah Syaifuddin Ansyari sebagai nasionalis Islam dan yang kedua sebagai nasionalis Sekuler (Ansyari 1981), pemerintah sendiri di mata umat ditempatkan ke dalam kelompok nasionalis sekuler, walaupun dengan tegas pemerintah memban- tahnya. Pendekatan tersebut sebagai agenda politik bangsa hampir dapat dipastikan sampai saat ini belum pernah selesai (Ma’arif 1985), sehingga menjelang pemilihan umum 1987 muncul isu serupa yang disebut konsepsi “Negara Islam” (Kompas 1987). Pada lingkaran internal politik formal umat, hegemoni pemerintah Orde Baru menimbulkan friksi-friksi berupa konflik di dalam tubuh partai. Keluarnya NU dari PPP pada awal dasa- warsa 1980-an sebagai contoh jelas pembelahan-pembelahan kelompok Islam, di mana NU merasa diperlakukan tidak adil menyangkut kepentingannya di dalam tubuh PPP atas jumlah daftar calon legislatif yang disusun Pimpinan Pusat Partai.19 Im- plikasi politik yang dialami kelompok Islam dari pola hubungan pemerintah Orde Baru dengan umat Islam pascapenumpasan komunis (PKI) sekitar 1967-1968 sampai pertengahan 80-an ada- lah hegemoni dengan pendekatan “represif, pendekatan keaman- an, dan politik belah bambu”, yang pada akhirnya memiliki impli- kasi luas baik secara hukum maupun psikologis. Secara psikologis adalah timbulnya pernyataan dari tokoh Islam Nurcholish Madjid berupa “Islam Yes – Partai Islam No” yang mengubah pola

19 Perbedaan-perbedaan pendapat dalam tubuh PPP terutama terjadi di antara MI (Muslimin Indonesia) dengan NU (Nahdlatul Ulama) pada awal dasawarsa 1980-an, masalah pokok yang dipersengketakan kedua unsur tersebut adalah kursi ketua komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR –RI) dan daftar calon legislatif untuk pemilihan umum 1982 yang dianggap NU merugikannya. Lihat Syamsuddin Haris, PPP dan Politik Orde Baru, Jakarta, Grasindo, 1991, hlm. 67-73. 202 YUSRIL IHZA MAHENDRA

hubungan Islam politik dan umat Islam di masa mendatang dan tentu setidaknya menimbulkan fragmentaris baru di kalangan umat Islam. Ini melahirkan perdebatan-perdebatan yang mengarah pada filosofi bernegara, ketika timbul pertanyaan di tengah masyarakat mengenai apakah Indonesia masa Orde Baru merupakan negara sekuler? Saat itu mulai timbul perdebatan di antara pimpinan partai seperti Sunawar Sukowati dari Fraksi PDI dengan Amir Machmud ketua DPR/MPR serta Hasbullah Bakri dan Ruslan Abdul Gani. Perdebatan ini dimulai Sunawar Sukowati yang menyatakan bahwa negara Indonesia masa Orde Baru adalah “seculer state” yang berdasarkan Pancasila, menanggapi hal ini Hasbullah Bakry menyatakan bahwa semua negara di dunia ada- lah “seculer state” termasuk di dalamnya Arab Saudi dan Vati- kan,20 namun pandangan ini kemudian ditentang Amir Machmud yang mengatakan bahwa negara Indonesia bukan negara sekuler melainkan negara Pancasila. Penguasa Orde Baru pada sisi tertentu telah memperlakukan Islam politik sebagai kelompok “ekstrem kanan” pelengkap dari sebutan “ekstrem kiri” untuk kelompok Komunis. Kedua kelom- pok ini diposisikan sebagai “ancaman negara dan ideologi Panca- sila” dengan mencurigai pemimpin dan ulama/ustadz/ dan dosen di universitas, para mubaligh, anggota partai maupun anggota organisasi sosial yang bersikap kritis terhadap pemerintahan Orde Baru. Kebijakan politik dan kehidupan kenegaraan peme- rintahan Orde Baru di bagian tahun 1967-1985 sangat dipenga- ruhi “think tank” CSIS (Centre for Strategic and International Studies) yang dibentuk perwira tinggi Jenderal Ali Murtopo dan Jenderal Sudjono Humardani serta beberapa cendekiawan Katho- lik radikal etnis Cina seperti Liem Bian Koen, Lim Bian Kie, seka- lipun pernyataan ini ditolak Soeharto.21 Kebijakan politik peme- rintahan itu akhirnya sampai kepada puncak kekecewaan dan

20 Merdeka, 23-24 dan 26 Agustus, 1983. 21 Soeharto menolak CSIS sebagai “dapur“ yang menggodok berbagai politik Orde Baru, ini dikemukakannya dalam biografi Soeharto: Ucapan, Pemikiran serta Tindakannya, PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 203

reaksi umat akibat tekanan politik terhadap mereka. Peristiwa peledakan Candi Borobudur di Jawa Tengah, kasus Haur Koneng di Jawa Barat, peristiwa pembantaian umat dalam tragedi Tanjung Priok di pusat kota Jakarta, kemudian peristiwa pemban- taian umat di Way Jepara, Lampung di Sumatera bagian Selatan, pembantaian rakyat Aceh dalam peristiwa DOM (Daerah Operasi Militer). Selain itu, dapat dipaparkan pula “pembunuhan politik” dan mati secara perdata atas anggota kelompok Petisi 50 yang sebagian besar adalah para senior politik, yang turut berjuang mendirikan negara Republik Indonesia. Hanya karena kritis kepada pemerintahan Soeharto, mereka dikenai apa yang disebut tindakan Cekal (cegah dan tangkal), yaitu dicegah untuk tidak di- perkenankan bepergian ke luar negeri dan ditangkal/dilarang untuk tidak diberi kesempatan aktif dalam politik formal. Jauh sebelum itu telah dilakukan pelarangan menghidupkan kembali Partai Masyumi atau pendirian partai politik Islam tanpa intervensi pemerintah (1967-1970), pelarangan pelajar mengguna- kan pakaian busana Muslimah, pelarangan libur sekolah di bulan Ramadhan, ini di era Daud Yusuf menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1978), rancangan undang-undang (RUU) Per- kawinan yang bertentangan dengan syariat Islam (1974), kemu- dian masuknya aliran kepercayaan dalam GBHN (Garis garis Be- sar Haluan Negara) dalam suatu ketetapan Majelis Perwakilan Rakyat (1978). Semua ini merupakan “mesin kebijakan politik” Soe- harto dan pengikutnya yang sangat merugikan kalangan Islam. Lapisan generasi muda Islam yang lahir atau telah dewasa pada masa awal pemerintahan Orde Baru yang mulai tampil pada dekade 1970-an dan 1980-an menyadari benar akan perlunya strategi baru yang tidak melulu menekankan perjuangan melalui jalur politik praktis dalam mengantisipasi orientasi politik baru yang dibangun rezim Soeharto. Ini mendorong kelompok Islam untuk selalu mencari jalan keluar dalam mengubah kondisi sosial yang bertentangan dengan ajaran Islam. Kreativitas dan daya kerja umat itulah yang kemudian melahirkan fungsionalisasi dakwah yang serba mencakup dan serba segalanya, sehingga jalan 204 YUSRIL IHZA MAHENDRA

yang ditempuh adalah dengan melakukan gerakan sosial, re- Islamisasi, biasanya gerakan Islamisasi sosial, re–Islamisasi nilai- nilai, struktur dan lembaga kemasyarakatan. Apa yang dikatakan Abdul Munir Mulkhan, bahwa babak baru perjuangan Islam dilakukan melalui pendekatan sosial-ekonomi dan budaya di luar perilaku politik formal dan struktural seperti yang dilakukan organisasi modernis Islam Muhammadiyah. Maka segmentasi kalangan umat dalam melihat gejala kehidupan politik dan kehi- dupan sosial di Indonesia menunjukkan perbedaan stratejik per- juangan yang dipilih sesuai dengan kondisi sosial, budaya dan politik yang sedang dihadapi dengan bergerak secara dinamik di luar jaringan struktur politik,22 dalam bidang hukum, Islam meru- pakan sumber hukum positif, sedangkan dalam bidang politik Is- lam harus menjadi sumber etika kekuasaan, selanjutnya dalam ilmu Islam berperan sebagai pengarah pemikiran rasional, demikian pula pada bidang lainnya seperti ekonomi, pendidikan dan seni budaya.23

1973-1985: POLA INTERAKSI SIMBIOTIK

ADA masa ini ditandai fenomena baru pola hubungan peme- rintah dengan umat Islam, yang sebelumnya bersifat hege- P moni kini mulai bergeser saling mendekat karena saling me- merlukan. Ini dimulai dengan kebijakan baru pada peringkat (level) pemerintah atau eksekutif dengan adanya SKB (Surat Keputuan Bersama) tiga Menteri yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri. Tiga menteri ini lebih memberi suasana segar dalam membina hubungan yang lebih mem- berikan harapan dan suasana positif.24 Hal yang menarik adalah

22 Mulkhan, Perubahan…, Ibid, hlm. 26. 23 Ibid, hlm. 113. 24 SKB tiga Menteri itu memutuskan, (1) Pelajaran agama dijadikan mata pelajaran wajib bagi sekolah-sekolah umum dan diberikan sekurang-kurangnya 2-3 jam setiap minggu; (2) Menetapkan proporsi dan komposisi kurikulum bagi madrasah, 70% mata pelajaran umum dan 30% mata pelajaran agama; (3) Menetapkan bahwa lulusan PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 205

kelas menengah santri yang mengusahakan anak-anaknya untuk dapat meraih pendidikan sebaik mungkin dengan tidak terbatas kepada bidang kajian agama tetapi meluas kepada bidang disiplin ilmu pengetahuan nonagama yang berbasis sains dan teknologi. Ini mungkin didorong oleh kesadaran mereka bahwa pendidikan merupakan sarana untuk memperbaiki masa depan anak-anaknya, yang berikutnya akan melahirkan pertumbuhan “generasi baru” kelas menengah terpelajar santri. Adanya pengembangan pema- haman orientasi pendidikan itu memungkinkan terjadinya mobi- litas vertikal kaum santri untuk meningkatkan karir profesional- nya, betapapun menjadi pegawai pemerintahan masih menjadi pilihan yang paling dominan bagi para santri Islam.25 Berkat ke- cakapannya, kelas menengah santri generasi baru baik yang meng- isi lapisan birokrasi maupun yang di luarnya mampu mengembang- kan profesionalisme secara teruji dan kompetitif dengan golongan lain tanpa mengalami hambatan mental, teknikal maupun intelektual seperti masa sebelumnya. Ketika birokrasi masih di- dominasi golongan priyayi, dan kaum santri sedang dicap kelompok tertentu sebagai kaum sarungan,26 yang mayoritas dalam angka, tetapi minoritas dalam hal teknikal,27 maka bertahap tetapi pasti, tesis W.F. Wertheim yang pernah mengemukakan bahawa kaum Muslimin Indonesia merupakan “majoritiy with a minority com- plex” gugur dengan sendirinya.28 Dapat dicatat pula hal yang pen-

madrasah memenuhi syarat dan berhak melanjutkan ke sekolah umum, keputusan ini bagaimanapun merupakan pendorong bagi pesatnya pendidikan agama dan menjadikannya sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional, lihat Zamakhsyari Dhofir, “Lembaga Pendidikan Islam dalam Perspektif Nasional,” Prisma, no. 9, tahun XII, September 1983, hlm, 14-16. 25 Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri, Yogyakarta, Sipres, 1992, hlm. 66-67. 26 Predikat santri sebagai “kaum sarungan” dilontarkan almarhum Hadisubeno, seorang pimpinan dari kalangan nasionalis sekuler (PNI) Jawa Tengah di tahun 1970-an, sinisme Hadisubeno ini telah mengundang reaksi keras di kalangan Islam. 27 Istilah mayoritas dalam angka, tetapi minoritas teknikal diungkapkan dengan maksud menganggap remeh (looking down) kepada kalangan Islam yang belum “panen pendidikan” dan langka tenaga profesional, Lihat Nurcholish Madjid, Islam, Kemoderenan, dan Keindonesiaan, Bandung, Mizan, 1987, hlm. 86. 28 W.F. Wertheim, “Indonesian Moslems under Soekarno and Soeharto: Majority with Minority Mentality,” dalam Studies on Indonesian Islam, B.B. Hering (Ed.), CSAS, James Cook University, 1989, sebagaimana dikutip Robert W. Hefner, “Islam State and Civil Society: ICMI and Struggle for Indonesian Middle Class,” Indonesia, No 56, Oktober 1993, hlm. 27. 206 YUSRIL IHZA MAHENDRA

ting bahwa pada dekade 1980-an juga ditandai dengan dinamika intelektual dan kesemarakan beragama yang intens. Ini ditandai antara lain meningkatnya penerbitan buku-buku yang membahas masalah Islam dalam pengertian luas, dan ditulis tidak hanya oleh intelektual Islam dari dalam negeri tetapi juga dari mancanegara, khususnya dari Asia selatan dan Iran. Selain itu semakin semarak- nya ceramah-ceramah dan seminar ilmiah maupun berbagai aktivitas keagamaan di universitas, hotel-hotel, padatnya jamaah masjid, pengajian di kantor pemerintahan maupun perusahaan swasta sampai kepada fashion show busana Muslim di hotel-hotel berbintang.29 Masa ini ditandai pula dengan semakin meriahnya dialog-dialog pemikiran baik intra-Islam maupun di antara umat beragama, yang melibatkan pemikir-pemikir dan ilmuwan baik Muslim dan non-Muslim di pusat pendidikan tinggi dan kota-kota universitas di Indonesia. Dialog dan diskusi tersebut berdampak pada semakin mencairnya dikotomi “tradisionalis-modernis Islam” dalam pemikiran kaum Muslimin.30 Berkat pertumbuhan ekonomi dalam dekade 1970-an, Indone- sia mengalami perubahan sosial (sosial change) di kalangan ma- syarakat, tak terkecuali di kalangan umat Islam. “Oil Booming” dan “Revolusi pendidikan” berdampak luas bagi pertumbuhan dan perkembangan lapisan menengah terpelajar serta angkatan kerja terdidik. Sebagian dari mereka itu, secara sosio-kultural berlatar belakang santri. Berkat pendidikan yang mereka peroleh, mereka telah mampu mengembangkan kecakapan profesionalnya, semen-

29 Dalam soal kesemarakan dan intensnya atas pengkajian Islam, Perpustakaan dan dokumentasi majalah Tempo dalam survainya menyimpulkan bahwa kecenderungan bacaan 1980-an adalah cermin meningkatnya kajian keagamaan, dari sebanyak 7.241 buah tajuk buku yang dihimpunnya sejak tahun 1980, buku yang bertemakan agama jumlahnya 1.949 buah, dari jumlah terakhir itu, sebanyak 809 tajuk (70,5%) adalah buku bertemakan Islam, baik dari penulis-penulis Muslim Indonesia dan terutama sekali tejemahan atau saduran karya penulis asing Muslim maupun non-Muslim. Lihat Nico J. Tampi, “Trend bacaan 1980-an: Cermin Meningkatnya Telaah Keagamaan,” diskusi buku agama bagian dokumentasi dan informasi, majalah Tempo, Jakarta, 1987. 30 Masalah memudarnya dikotomi tradisionalis-modernis telah diulas Fachry Ali dan Bachtiar Effendi dalam buku mereka, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Bandung, Mizan, 1986, hlm. 167-170, lihat juga M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Jakarta, Paramadina, 1995, hlm. 10-12. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 207

tara mobilisasi vertikal telah mengantarkan mereka mengisi lapisan-lapisan birokrasi yang dahulunya banyak dikuasai kaum priyayi. “Islam kultural” dekade 1980-an, memberi dampak bagi semakin membaiknya hubungan Islam dan negara menjelang akhir dekade tersebut dan awal 1990-an. Pada masa inilah lahirnya sejumlah kebijaksanaan, antara lain mengenai Perundang- Undangan Pendidikan Nasional (1988), Undang-undang Peradilan Agama (1989), dukungan terhadap berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia atau ICMI (1990). Surat keputusan bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri mengenai efektivitas zakat (1991) dan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengenai diizinkannya pemakaian jilbab bagi pela- jar puteri. Ini semua memperkuat dugaan mengenai adanya usaha dari kalangan Islam dan pemerintah untuk melakukan political reapproachment atau saling mendekati secara politik di antara kedua belah pihak itu.31 Orientasi dan sikap politik mereka juga berubah, tidak lagi romantis seperti kelas menengah santri lama, melainkan cenderung sangat pragmatis dengan lebih menekankan pendekatan rasional nilai, terbuka dan sangat reseptif terhadap perubahan. Berbeda dengan orang-orang tua mereka yang masih mempunyai ikatan primordial dengan pimpinan elit partai Islam di masa lalu, generasi baru kelas menengah santri ini hampir sama sekali terlepas dari ikatan semacam ini. Komitmen perjuangan kelas menengah santri baru bukan kepada penegasan simbol- simbol dan teks berkait dengan Islam Politik (political Islam) melainkan kepada Islam kultural (cultural Islam) yang menekankan substansi dan fungsionalisasi nilai-nilai Islam.32 Ada sebagian dari mereka yang berhasil dikooptasikan pemerintah Orde

31 Syafi’i Anwar, Pemikiran…, Ibid, hlm. 10-12. 32 Mengenai hal ini, antropolog Amerika Robert W. Hefner memandang bahwa kemunduran Islam politik justru telah ditebus dengan keberhasilan Islam kultural yang menghasilkan “akibat-akibat” yang tak sengaja (Unintended consequences) dalam dekade 1980-an. Hefner menunjuk kepada terjadinya perubahan sikap yang mendasar antara pemerintah kepada umat Islam dan sebaliknya. “Kedua belah pihak” bergerak saling mengakomodasi, suasana ini mendorong terjadinya political reopproachment di antara pemerintah dan umat Islam. Donald K.Emerson mengemukakan kebangkitan Islam kultural di tengah kekalahan Islam politik merupakan hasil kooptasi antara 208 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Baru baik melalui rekrutmen atau politik kooptasi, namun secara bersamaan cara persuasif berhasil mempengaruhi alam pikiran dan visi kalangan birokrasi yang dulunya didominasi kalangan priyayi, yang pada akhirnya mengarah pada proses santrinisasi priyayi. Pada dekade 1980-an gejala ini dikenal dengan sebutan Islamisasi birokrasi yang berakibat pada mencairnya dikotomi santri-priyayi seperti pernah diformulasikan Geertz. Kalangan kelompok Islam di luar birokrasi, khususnya aktivitas lembaga swadaya masyarakat (Non Government Organisation), turut aktif memperkuat rakyat melalui praksis sosial politik dan tawar- menawar dengan negara, dan mereka mengembangkan pendekatan Islam transformatif yang mendorong kesadaran sosial politik dan perubahan struktur ekonomi masyarakat.33 Meminjam konsep Da- vid Easton dengan apa yang disebut politik alokatif (allocative politics), yakni otoritatif nilai-nilai tertentu dalam suatu masya- rakat untuk kepentingan masyarakat tersebut secara keseluruh- an.34 Dalam konteks Indonesia, politik alokatif diartikulasikan de- ngan cara mensubstansikan nilai-nilai dan etik keislaman secara inklusif dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang pluralistik. Dengan demikian dimensi politik dari Islam kultural bersifat pene- tratif dan inklusif, tidak terbatas semata-mata dalam pergumulan politik maupun kekuasaan melainkan memberikan makna Islami kepada medan budaya dalam arti luas.35 Keberhasilan mereka ber- kait dengan membumikan gagasan keislaman, keindonesiaan dan kemodernan dalam bahasa popular rasional, kontekstual dan jauh

Islam dan pemerintah. Usaha saling mengkooptasi itu, hendaknya jangan sebagai hasil pergumulan di antara pihak yang menang dan yang kalah, melainkan sebagai suatu proses penyesuaian-penyesuaian terbatas di antara mereka sendiri. Harus diakui Islam kultural berkembang dengan baik dan menakjubkan, dengan Islam kultural bukan berarti mengosongkan sama sekali kesadaran umat dari politik. Kesadaran politik tetap ada dan dikembangkan, tetapi tidak terpusat kepada bentuk politik praktis melainkan melalui bidang dakwah, pendidikan sosial, ekonomi dan budaya, pandangan lain ialah Kuntowijoyo yang memperkaya konseptualisasi mengenai Islam kultural atau Islam sebagai gerakan kultural dalam kerangka 3 (tiga) subgerakan: gerakan intelektual, etik dan estetik. Lihat Syafi’i Anwar, Pemikiran…, Ibid, hlm. 134,136. 33 Ibid, hlm. 127-128. 34 M. Din Syamsuddin, “Muhammadiyah dan Rekayasa Politik Orde Baru,” dalam Muhammadiyah Kini dan Esok, Jakarata, Pustaka Panjimas, 1996, hlm. 168. 35 M. Din Syamsuddin, “Islam di Pentas Politik Orde Baru,” 13 Agustus, 1991, dalam M. Syafi’i Anwar, Pemikiran…, Ibid, hlm. 137. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 209

dari semangat “ideologis yang ekstrem,” karenanya gagasan mereka tidak normatif dan doktrinal tetapi berorientasi pada empi- risme dan pemecahan problematika umat Islam. Sebaliknya, gagas- an politisasi Islam dinegasikan. Mereka lebih suka mensosialisasi- kan pemikiran berwawasan keislaman secara inklusif dan konteks- tual dalam negara nasional Indonesia yang pluralistik. Dengan format seperti itu intelektual neosantri baik angkatan 1970-an maupun angkatan 1980-an telah berperan mendorong terwujudnya interaksi simbiotik atau hubungan yang timbal balik (simbiosis interaction) di antara Islam dan negara.36 Bila kita amati mengenai perjuangan Islam politik di Indonesia dari sejak pemilihan umum pertama tahun 1955 di era sistem De- mokrasi Parlementer sampai masa Orde Baru dengan sistem De- mokrasi Pancasila 1966-1998, perolehan suara partai Islam kurang dari 50 persen. Dalam pemilihan umum 1955, yang menurut peng- amat politik sering disebut sebagai pemilihan umum paling demo- kratis dalam sejarah politik Indonesia kontemporer, perolehan suara partai-partai Islam dalam pemilihan umum adalah 43,9 persen, ini terdiri dari Masyumi, NU, PSII, Perti, PPTI dan AKUI. Pada pemi- lihan umum 1971 yang merupakan pemilihan umum pertama masa Orde Baru, perolehan suara partai Islam hanya 27,1 persen terdiri atas NU, Parmusi PSII dan Perti, kenaikan hanya terjadi dalam pemilihan umum 1977, ketika PPP mendapat perolehan suara ter- besar, 29,3 persen. Perolehan suara dalam pemilihan umum 1977 itu meningkat lebih dari 2 persen dari total perolehan suara NU, Parmusi, PSII dan Perti dalam pemilihan umum 1971. Pemilihan umum 1982 PPP memperoleh 27,8 persen dan pemilihan umum 1987 PPP memperoleh suara 16,0 persen. Citra PPP jatuh karena konflik internal yang parah ini sehingga menurunkan kredibilitasnya se- bagai partai Islam. Maka sejak dekade 1980-an, terjadi pergeseran orientasi di kalangan organisasi kemasyarakatan Islam, kalangan intelektual serta para aktivis nonpartai yang mana orientasi politik praktis dikesampingkan dahulu, sebagai gantinya mereka melaku- kan apa yang Bassam Tibi sebut sebagai revitalisasi kultural (cultur-

36 Syafi’i Anwar, Ibid, hlm. 129. 210 YUSRIL IHZA MAHENDRA

al revitalization)37 yaitu suatu usaha memperkuat kembali dimensi dan wajah kultur Islam dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas umat serta menarik simpati dan responsi dari pemerintah. Revitalisasi kultural itu pada akhirnya bermuara kepada munculnya apa yang dinamakan Islam kultural. Politik Orde Baru sejak awal memang dimaksudkan untuk menjadikan agama sebagai faktor integratif dan tidak menghendaki agama sebagai sumber konflik serta disintegrasi nasional. Kebijakan itu sebenarnya cukup realistis karena dalam realitas sosial politik, konflik dengan warna agama seperti banyak terjadi di berbagai nega- ra sering kali membawa risiko tinggi dan dapat membawa mala- petaka bangsa. Presiden Soeharto dalam sambutannya pada pembukaan kongres HIPIIS (Himpunan Ilmuwan-Ilmuwan Sosial) di Ujung Pandang pada tahun 1986, telah menegaskan perlunya Pancasila menjadi ideologi terbuka. Sementara Menteri Agama Munawir Sjadzali (waktu itu) malah mengaitkan pemenuhan aspi- rasi politik umat Islam di pemerintahan Orde Baru karena penerima- an asas Pancasila dan juga argumen “Islam Yes, Partai Islam No!”- nya Nurcholish Madjid. Yang jelas sejak ini terbentuk kohesi di antara umat dengan pemerintah. Perubahan secara lebih signifikan dari orientasi politik Soeharto terhadap Islam baru terjadi mendekati dekade 1990-an, masa men- dekati akhir kekuasaannya Soeharto menunjukkan empati dan sim- pati politiknya kepada kelompok politik Islam itu.38 Ini diperlihatkan seperti terbentuknya lembaga peradilan agama, ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), sistem perbankan Islam yang di- kenal dengan Bank Muamalat, diizinkannya penggunaan busana Muslim di sekolah, kemudian mengubah proformence ABRI yang sebelumnya anti-Islam menjadi lebih simpatik dengan pola re- krutmen perwira santri atau yang simpatik kepada Islam dalam struktur kepemimpinan militer. Masa ini jabatan stratejik militer dikuasai kelompok hijau “ABRI Hijau” (Islam) seperti Faisal

37 Syaf’i Anwar, Ibid, hlm. 133. 38 Lihat uraian lebih rinci faktor Soeharto mendekat kepada umat Islam dalam tulisan Ahmad Suhelmy, Soekarno Versus Natsir…, Ibid, hlm. 120. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 211

Tanjung, R. Hartono, Subagio, 39 dan Syafri Syamsuddin.40 Pilihan stratejik itu melahirkan perbedaan orientasi Islam po- litik di lapisan generasi Islam yang lahir atau dibesarkan sesudah masa itu. Mereka terbelah pada dua pandangan dalam mengem- balikan kejayaan Islam masa lalu dengan melakukan perubahan sesuai tuntutan situasi serta orientasi politik yang berkembang. Varian atau konfigurasi politik Islam seperti ini merupakan kon- sekuensi di antara mengembalikan nostalgia atau romantisme perjuangan yang telah dialami mereka dan dianggap belum berakhir, dengan mereka yang memandang perlunya suatu perubahan dalam menjawab tantangan baru. Fenomena ini terlihat ketika terjadi upaya yang dilakukan sejumlah elit modernis Islam baik yang telah memakan “asam garam” politik pada masa jauh sebelum kemerde- kaan maupun yang baru mengambil peranan dengan mengambil proses pembelajaran di masa lalu dan melihat ke masa depan. Jadi ada dua arus yang berbeda antara dua generasi tersebut, yaitu di antara yang sebelumnya dengan yang datang setelah itu, kemudian juga di antara sesama generasi yang datang setelahnya.

Mohammad Natsir dan Pemerintahan Soeharto

OHAMMAD Natsir (Natsir) adalah pemimpin senior kalangan Islam yang disegani karena peranan politik dan keagamaan M yang dilakukannya di dalam negeri, bahkan reputasinya diakui serta dihormati di dunia internasional, khususnya di negara-negara

39 Prabowo Subianto, menantu Soeharto tidak masuk kategori santri atau latar belakang santri. Putera bagawan ekonomi Sumitro Djoyohadikusumo ini belakang dikenal dekat dengan para ulama, kyai dan politisi Islam. Dalam beberapa kesempatan Prabowo menunjukkan keberpihakannya yang tegas kepada kelompok-kelompok “Islam kanan“- tokoh Masyumi dekade 1950-an serta Komite Solidaritas untuk Dunia Islam di bawah pimpinan Ahmad Sumargono. 40 Fase kedekatan Soeharto kepada Islam dan berkembangnya Islam politik menjadi kekuatan politik mainstream dijelaskan secara baik dalam bukunya Adam Swarzt, A Nation in Waiting, Sidney: Allen and Unwin. 212 YUSRIL IHZA MAHENDRA

yang memiliki penganut Islam. Karena pengaruhnya yang kuat itu, ia sangat dibatasi aktivitasnya oleh pemerintah Orde Baru. Ia kemu- dian, atas prakarsa pelajar dan pemuda tetapi masih dalam tahanan, turut berusaha memudahkan pemerintah Soeharto dalam memulai menjalankan hubungan dengan negara-negara lain. Dalam tahanan Natsir menulis secarik kertas kecil bersifat nota (kattebellece) untuk Tunku Abdul Rahman (Perdana Menteri Malaysia) agar bersedia menerima utusan pemerintah Indonesia yang saat itu berada dalam era pemerintahan baru di bawah pimpinan Soeharto untuk meng- hentikan konfrontasi dan menjalin persahabatan kembali. Hanya dengan kattebellece itu Tunku terbuka hatinya untuk menerima utus- an pemerintah Indonesia. Bantuan kedua yang ia berikan adalah un- tuk memperlancar kerja sama dan menimbulkan kepercayaan bebera- pa negara di Timur Tengah di antaranya Kuwait dan Arab Saudi kepa- da pemerintah Indonesia melalui surat yang dibuatnya atas permin- taan Ali Murtopo, seorang asisten pribadi Soeharto. Selain itu Natsir mendorong pengikutnya untuk memberikan dukungan terhadap per- ubahan politik menjelang akhir tahun 1960, dan bagi perancangan pembangunan pemerintah Orde Baru. Seorang asisten Presiden Soe- harto menyampaikan pesan melalui seorang bekas pimpinan PRRI agar Natsir mengeluarkan dukungan seperti itu; sebagai imbalan- nya dikatakan bahwa Natsir akan lebih bebas pula bergerak dalam bidang politik. Peristiwa ini terjadi sebelum kongres Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) di Malang pada tahun 1968, akan tetapi setelah pernyataan itu dikeluarkan, ternyata Natsir dan kawan-kawannya tidak bebas bergerak seperti yang diharapkan, mereka juga tidak dibenarkan memimpin Parmusi termasuk Mohammad Roem yang telah dipilih oleh anggota kongres selaku ketua partai.41

41 Kedudukan Natsir di Indonesia juga sangat unik, ia tidak disukai Soekarno di masa Demokrasi Terpimpin, dan jauh sebelum kemerdekaan mereka telah berpolemik mengenai kedudukan agama dalam negara sekitar tahun 1930-an. Soekarno sendiri memang kurang suka kepada orang yang tidak sependapat dengannya, walau di masa revolusi mereka pernah rapat. Sebenarnya ia pribadi yang sangat mengasyikkan, karena ia mau menerima siapa saja yang ingin bertemu dengannya meskipun dalam keadaan kondisi yang kurang baik. Menurut Mohammad Roem bertemu dengan or- ang yang datang dari berbagai lapisan tampaknya merupakan kenikmatan tersendiri bagi Natsir.., ia seakan melihat orang lain seperti dirinya sendiri; sama-sama ikhlas, lihat Deliar Noer, Ibid, hlm. 182- 183, 195,197. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 213

Para elit Islam khususnya dari kalangan Partai Masyumi ba- nyak mengalami trauma sejarah dalam perjalanan politik mereka. Tidak diragukan lagi, mereka adalah idealis-idealis dalam mem- perjuangkan demokrasi dan konstitusi, namun bila dihadapkan dengan budaya politik pemerintahan Soeharto ini, mereka ber- hadapan dengan budaya politik yang belum kondusif untuk tegak- nya sebuah bangunan politik demokratis. Visi mereka yang jauh ke depan, tetapi karena situasi politik kadang-kadang berkesan “kaku.”42 Dalam keadaan seperti ini pun Natsir tetap memberi perhatian terhadap kepentingan bangsa dan masa depan negara betapapun tidak diikutsertakan dalam politik pemerintahan baru ini, tetapi tanggung jawab dan perhatian demi bangsa itu sangat kuat seperti dikemukakan mantan Perdana Menteri Jepang Fukuda.43 Tekanan-tekanan yang diberikan pemerintah kepada eks Masyumi terutama para pemimpinnya dalam perkembangan peran politik Islam pada masa awal pembangunan Orde Baru sangat tidak menguntungkan umat Islam, bahkan ini kemudian semakin melemahkan kepemimpinan politik Islam termasuk sikap mereka terhadap tokoh-tokoh Islam. Kendati tokoh-tokoh itu masih dihormati namun dengan sempurna telah terkosong- kan dari ruang kesadaran politik umat, khususnya di kalangan mereka yang tidak segenerasi. Kebijaksanaan pemerintahan Orde Baru yang tidak dapat di- terima Natsir di antaranya adalah persoalan Kristenisasi yang dilancarkan sebagian misionaris Kristen tanpa memperhatikan kode etik penyebaran agama. Kode etik ini disetujui antara lain pada pertemuan wakil-wakil kalangan Kristen dan Islam di Je- newa pada tahun 1967. Kode etik tersebut menyatakan bahwa tidak pada tempatnya kemiskinan, kebodohan dan keterbelakang-

42 Lihat Syafi’i Maarif, Peta Bumi…, Ibid, hlm. 128. 43 Ketika Fukuda menjabat Menteri Keuangan, beliaulah (Natsir) yang meyakinkan kami di Jepang mengenai perjuangan masa depan pemerintahan Orde Baru di Indonesia, ini dikemukakan Fukuda pada 9 Februari 1992, dari sebuah fax melalui keluarga almarhum Natsir. Ia menyampaikan bela sungkawa seiring mengatakan berita pulangnya Mohammad Natsir “lebih dahsyat dari jatuhnya bom di Hiroshima. Ia menilai pemimpin Muslim Indonesia itu sebagai seorang “pemimpin dunia dan pemimpin dunia Islam,” lihat Deliar Noer, Ibid, hlm. 183. 214 YUSRIL IHZA MAHENDRA

an itu dimanfaatkan bagi keperluan penyebaran agama. Maka harta, kesempatan kerja, kesempatan pendidikan dan pesta anak- anak muda hendaknya jangan dipergunakan untuk usaha Kris- tenisasi. Ini disampaikan Natsir bersama beberapa orang mantan Menteri Agama yaitu Prof. H.M. Rasyidi, K.H. Masjkur dan K.H. Rusli Abdul Wahid dalam sepucuk surat kepada Paus saat berkun- jung ke Indonesia. Selain itu adanya dampak dari perkembangan pembangunan atau modernisasi di berbagai bidang, sementara percepatan transformasi pengetahuan yang datang dari luar khususnya Barat demikian cepat, ini tidak diimbangi dengan penguatan norma dan etika agama, akibatnya menimbulkan per- soalan baru di tengah masyarakat, yaitu merasuknya sekulerisme. Natsir merupakan salah seorang pemimpin Islam Indonesia yang sejak dulu telah mengingatkan akan bahayanya paham ini yang berkembang dalam berbagai bidang kehidupan di tanah air. Selain itu, Nativisme yang berkenaan dengan segala macam upacara lama, adat kebiasaan lama, penggunaan pakainan yang kurang serasi, penanaman kepala kerbau pada pembangunan gedung dan jembatan, tata cara feodal yang berlawanan dengan sikap demokrasi, dan tarian-tarian yang tidak bersesuaian dengan ajaran Islam yang berasal dari kebiasaan lama (Noer 2001: 189- 193). Semua ini sangat berbahaya dan bertentangan dengan prinsip ajaran Islam yang berlandaskan semata Tauhid atau kepercayaan akan Keesaan Tuhan. Ketika posisi umat Islam dalam politik belumlah menguntung- kan, ada sebagian kalangan yang lebih muda di lingkungan Is- lam ingin mendirikan gerakan Demokrasi Islam Indonesia (GDII) bersama mantan Wakil Presiden RI pertama Mohammad Hatta. Inisiatif kalangan satu generasi lebih muda dari Natsir tersebut tidak mendapat perhatian yang diharapkan. Natsir bertahan da- lam pendapat untuk mendirikan Partai Masyumi kembali sung- guhpun masa telah berubah dan pemerintah sudah memperli- hatkan tanda-tanda tidak mengizinkannya. Natsir pun tetap memandang dan melihat bahwa partai yang segera besar dari PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 215

Gerakan Demokrasi Islam Indonesia terdiri dari orang yang ku- rang dikenal, apalagi Hatta orang yang tidak pernah bergabung dengan organisasi-organisasi Islam seperti ucapan Natsir; “Ia bu- kan orang kita.” Gerakan Demokrasi Islam Indonesia memang ingin bergerak sebagai organisasi kader sebab itu perkembangan- nya memakan waktu, pada akhirnya Natsir juga kecewa berat dengan Parmusi dan pernah berkata, “sayang Gerakan demokrasi Islam tidak sampai berdiri.” Natsir pernah menolak saran seorang kawannya (yang menghormatinya) yang menyarankan agar Natsir membina pendidikan, yang menurut kawannya, hasil jang- ka panjang untuk perjuangan Islam akan lebih konkret. Nampak- nya Natsir tidak senang dengan saran kawannya untuk tidak mencampuri bidang politik, kawannya itu adalah K.H. Zarkasyi pemimpin pondok pesantren Modern Gontor.44 Bila kita mengamati pemerintahan Orde Baru, sejak awal ber- dirinya adalah masa di mana politik tidak lagi sebagai panglima, orientasinya lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi dan modernisasi dengan cara yang pragmatis. Orde ini membuka pintu kerja sama dengan Barat dan pembangunan itu sendiri sebagai “ideologi” dalam kebijakan politik Soeharto. Fenomena yang dapat diamati dalam perjalanan pemerintah Orde Baru adalah penekanan roda pemerintahan bertumpu kepada stabilitas (sta- bility development) dengan pendekatan keamanan (security ap- proach). Hal ini berarti tidak ada toleransi kepada siapa pun yang dianggap bertentangan atau melakukan pembangkangan terhadap kebijakan dasar pemerintahan, termasuk secara tegas pemerintahan Soeharto melarang, dengan alasan pernah terlibat dalam peristiwa pemberontakan, elit Islam dan para anggota dari Partai Masyumi yang setia dengan ide-ide besar partai tersebut berperan dan terlibat dalam politik formal. Ini mendorong upaya baru yaitu dengan membangun dan mengubah strategi perju- angan dari politik ke jalur dakwah setelah gagalnya menuntut rehabilitasi Partai Masyumi yang diawali melalui pertemuan

44 Deliar Noer, Ibid, hlm. 338-339. 216 YUSRIL IHZA MAHENDRA

tanggal 15 Agustus 1966, di Masjid Agung Al-Azhar yang dihadiri para tokoh Islam dan massa Islam sekitar lima puluh ribu orang serta dukungan yang dipelopori 16 organisasi massa Islam (ter- masuk organisasi modern Muhammadiyah).45 Tahun 1967, Muhammadiyah secara langsung ikut melahirkan Partai Muslimin Indonesia yang sebelumnya adalah organisasi yang berusaha meminta kepada pemerintah untuk merehabilitasi Masyumi (Boland 1985). Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Ha- run adalah dua orang anggota senior Muhammadiyah yang kemu- dian menjadi ketua dan sekretaris jenderal partai tersebut, na- mun H.J. Naro dan Imran Kadir kemudian merebut kepemim- pinan partai dengan alasan pimpinan partai telah menentang sikap pemerintah. Sejak saat itu Muhammadiyah memandang bahwa Parmusi tidak dapat menampung aspirasi politiknya. Walaupun demikian Muhammadiyah tetap membolehkan anggo- tanya aktif dalam partai itu sebagaimana rekomendasi anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah yaitu Mintaredja, S.H. untuk memegang ketua Parmusi.46 Memberikan kebebasan kepada anggota Muhammadiyah untuk terlibat dalam partai Islam mana pun disahkan Sidang Tanwir Muhammadiyah di Ponorogo-Jawa Timur tahun 1969 serta muktamar Muhammadiyah ke-40 tahun 1978, di Surabaya-Jawa Timur dengan melihat bahwa dakwah Islam yang merupakan gerakan ajakan untuk melaksanakan ajar- an Islam mempunyai dua saluran: pertama saluran kemasyara- katan dan yang kedua adalah saluran politik.47 Dalam perkem- bangannya bagi umat, masalah perjuangan politik kemudian diletakkan dalam suatu perspektif dakwah dan budaya (Mulkhan 1989:114-117).

45 Sikap politik organisasi Muhammadiyah sebagai golongan ataupun anggotanya cukup menarik dalam kaitannya dengan sistem dan kebijaksanaan politik Orde Baru. Setelah Muhammadiyah membidani lahirnya Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) pada 1968, kemudian mengatakan tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan semua partai politik yang ada. Dengan sikap Muhammadiyah tersebut organisasi ini memiliki sikap politik untuk membebaskan para anggotanya untuk memberi dukungan kepada partai yang sesuai dengan aspirasi Islam (PP Muhammadiyah 1971), lihat Abdul Munir Mulkhan, Perubahan Perilaku…, Ibid, hlm. 257. 46 Tempo, edisi 10, Desember, 1977. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 217

Tidak diizinkannya eks Masyumi untuk memimpin dan meng- ambil peranan dalam Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) dan gagalnya menampilkan Mohammad Roem sebagai ketua partai pada bulan November 1968 dalam kongres partai itu di Malang yang di- akibatkan tekanan yang keras dari pihak pemerintahan Soeharto,48 mengharuskan berubahnya konsep perjuangan umat. Konsep negara Islam yang pernah dinyatakan mulai bergeser ke arah penataan hidup masyarakat Muslim dengan mengatur serta mengarahkan umat melalui pembangunan dari bawah (bottom up) atau pada akar rumput (grass root) dengan melakukan penerapan syariat Islam di tengah kehidupan masyarakat. Ini diawali dengan berdirinya Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII) sebuah institusi yang bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, informasi umat, sosial serta pelatihan dakwah yang didirikan eks pimpinan Partai Masyumi yang mendapatkan dukungan umat serta pemuda Islam. Lembaga ini di- ketuai Mohammad Natsir, yang memiliki asam garam perjuangan nasional.49 Natsir dalam membimbing umat banyak mengalami tekanan dan ketidakadilan sebagaimana eksistensi peran politiknya di tengah politik Orde Baru yang harus menerima kekecewaan-keke- cewaan kembali. Dua faktor menurut Deliar Noer mempengaruhi

47 Mulkhan, Warisan Intelektual…, Ibid, hlm. 90. 48 Hal ini mencapai klimaks ketika pemerintah Soeharto, pada 5 Februari 1968 memberitahukan bahwa tidak seorang pun bekas Masyumi diizinkan untuk terlibat didalam partai politik, khususnya partai Islam Parmusi saat itu, dengan alasan adanya pimpinan Masyumi yang terlibat pemberontakan PRRI, sementara itu banyak pendukung PRRI dari pihak lain seperti cabang Parkindo (Partai Kristen Indonesia) dan komandan militer daerah yang beragama Nasrani tidak diberlakukan sebagaimana pimpinan Masyumi. 49 Deliar Noer memberikan penjelasan yang gamblang mengenai karir dan kepribadian Mohammad Natsir ini. Dimulai dengan moralnya yang sangat tinggi, ia senantiasa tersenyum pada siapa saja betapapun lepas dari soal perbedaan pendirian. Ia sangat suka menghibur dan membangkitkan semangat orang yang merasa terpukul, dan kata yang manis memang kata agama. Seorang pimpinan sekaligus tokoh Islam dari kalangan tradisional (NU) yaitu K.H. Idham Cholid, ketika ditanya siapa tokoh Masyumi yang berpendidikan Barat yang mengecam ulama pesantren dalam rapat Dewan Partai Masyumi di Bogor pada 1952, berkata kemudian pada kader NU, bahwa Natsir tidak seperti tokoh-tokoh tersebut. Ia mengakui kebijaksanaan Natsir dalam memimpin rapat, ia memang menghormati ulama, tetapi ia keras walaupun tanpa kata terhadap mereka yang tidak jujur yang lain di mulut lain di hati, lihat Deliar Noer, Membincangkan…, Ibid, hlm. 198. 218 YUSRIL IHZA MAHENDRA

hidup Natsir yaitu faktor kebetulan serta faktor kesungguhan dan kegigihan.50 Natsir, pemimpin administratif sekaligus kharismatik (meminjam istilah Herbert Feith), mengatakan, “kalau dahulu (semasa Masyumi hidup) kita berdakwah dengan politik, tetapi sekarang kita berpolitik melalui jalur dakwah.” Ia mulai memimpin organisasi ini tahun 1967 sampai akhir hayatnya 6 Februari 1993.51 Periode awal Orde Baru hingga 1980-an, konsolidasi posisi politik baik pemerintah Soeharto maupun kalangan Islam terus berlangsung, jika di kalangan kelompok Islam mengalami suatu perubahan, pergeseran bahkan sampai kepada keterpencaran for- mat perjuangan politik, sebaliknya rezim Soeharto dengan dukungan militer dan kalangan anti-Islam semakin solid dan mampu melakukan hegemonik kehidupan politik dan kenegaraan. Negara secara ideo-politik mengatasi wacana pemikiran sosial politik rakyat dengan konsep pembangunan serta restrukturi- sasi politiknya, sehingga berlangsung proses deideologisasi Is- lam, depolitisasi umat dan marginalisasi orang-orang Islam yang dianggap garis keras (hard liner), termasuk orang-orang Masyumi serta para aktivis pelajar dan pemuda Islam. Untuk memojokkan,

50 Faktor kebetulan, ia “diakui“ sebagai ahli KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) 1945, ia diajak K.H. Abdul Kahar Muzakkir, anggota KNIP, di sini Natsir mulai bersuara dalam forum nasional. Sjahrir, Perdana Menteri pertama yang mengenalnya dari zaman AMS di Bandung dan berfamili dengan istri Natsir, menariknya menjadi Menteri Penerangan (1946), dengan langkah yang “kebetulan” praktis ia menjadi menteri penerangan selama revolusi (kecuali dalam kabinet Amir Syarifuddin 1947). Ia menjadi Perdana Menteri pada 1950 disebabkan faktor ‘kebetulan”, menurut keputusan kongres Masyumi Desember 1949, sebenarnya ia tidak diperkenankan memegang kedudukan menteri karena ketua eksekutif partai. Tetapi usul Masyumi untuk menjadi negara kesatuan RI pada 1950, maka partai membenarkan Natsir tampil sebagai perdana menteri. Faktor kebetulan juga, ketika ia bergabung dengan PRRI, ia ke Sumatera pada Januari 1958 untuk menghadiri Dies Natalis Universitas Islam Sumatera Utara di Medan, ia kembali melalui Padang, dan akhirnya terikat di sana. Ia tidak punya rencana untuk tinggal di Padang, di sana ia diajak Boerhanuddin Harahap yang sedang berada di Tapanuli Selatan dan Syafruddin Prawiranegara yang sedang di Palembang untuk bergabung ke Bukit Tinggi, lihat Deliar Noer, Ibid, hlm. 328-329. 51 Ketika Natsir sakit-sakitan dan diundang untuk berobat keluar negeri, ia tidak dibolehkan meninggalkan tanah air. Rencana dua Universitas di Malaysia (Universiti Kebangsaan Ma- laysia dan Universiyti Sains Malaysia) untuk memberikan gelar Doktor kehormatan (Honorus Causa) kepadanya sekitar 1990 pun batal atas tekanan pemerintah Indonesia. Natsir, kata Anwar Ibrahim, bukan hanya pemimpin Indonesia, melainkan di seluruh dunia Islam, Deliar Noer, Ibid, hlm. 189-193. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 219

mereka dituding terlibat pemberontakan DI/TII, ekstrem kanan, antipembangunan, anti-Pancasila, subversif atau dianggap akan melakukan makar sehingga ada alasan pemerintah untuk menangkap, memenjarakan atau mengasingkannya dari arena politik.bangsa. Pada masa ini memang menimbulkan berbagai kekecewaan di kalangan aktivis umat: ada yang bersikap reaktif; selalu kritis dengan mengambil jarak dengan pusat kekuasaan, dan ada pula yang adaptif, dengan mereaktualisasi Islam sesuai konteks dan mengakomodasikannya dengan cara yang dialogis intelektual terhadap kebijakan pembangunan yang berjalan. Kalangan yang terakhir ini dikenal dengan kelompok “Gerakan Pembaru Pemikiran Islam”.

Nurcholish Madjid dan Neo-Modernismenya

NI melahirkan ketegangan baru bahkan konflik di antara sesama umat Islam. Golongan generasi terdahulu di kalangan I Islam modernis (sebut saja di antaranya eks Masyumi) sangat obsesif dalam kegiatan politik partisan yang menuntut rehabilitasi Masyumi atau pendirian partai Islam sebagai metamorfosis Masyu- mi yang cukup mendapat dukungan dari kalangan pelajar dan pemuda. Sementara golongan atau kelompok yang terakhir dikenal dengan “Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam” (GPPI) dengan pelopornya seperti Nurcholish Madjid. Mereka bersifat proaktif terhadap modernisasi dan pembangunan serta berusaha mencari akses dan bersifat akomodatif terhadap pemerintahan Orde Baru. Nurcholish Madjid, lahir pada 17 Maret 1939, adalah pelopor pembaru pemikiran Islam. Aliran ini pertama kali muncul di awal tahun 1970-an yang berasal dari kalangan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) serta Institut Agama Islam Negeri (IAIN-kini menjadi Universitas Islam Negeri) Yogyakarta dan Jakarta, 220 YUSRIL IHZA MAHENDRA

dengan Nurcholis Madjid sebagai jurubicaranya.52 Menolak partai politik sebagai wahana perjuangan Islam, para pemikir aliran ini secara tegas menentang gagasan Negara Islam. Mereka lebih menitikberatkan pada usaha pembaruan dengan kelompok-kelom- pok masyarakat di luar umat Islam. Sikap politik mereka memang berbeda-beda, beberapa di antaranya mendukung pemerintah atau kecenderungan teknokratis di dalamnya, misalnya Prof. Dr. Mukti Ali yang dalam pemerintahan Soeharto waktu itu mendu- duki kursi Menteri Agama, sedangkan yang lain seperti M. Dawam Rahardjo dan Adi Sasono bergabung dengan kritisi radi- kal menentang pandangan teknokratis dan mengembangkan tema-tema ekologis, kerakyatan dan emansipatoris.53 Gagasan sekulerisasi Cak Nur mengejutkan banyak pihak, karena sebelum melontarkan gagasan itu Cak Nur dikenal sebagai pimpinan muda cendekiawan Muslim pewaris tradisi intelektual Natsir, itu sebabnya ia dijuluki “Natsir Muda”. Harapan itu bu- kanlah “Wisful thinking” (harapan berlebihan) mengingat secara intelektual Nurcholish mirip dengan Natsir. Keduanya memiliki wawasan khazanah intelektual (klasik) Islam serta pemikiran (filsafat) modern (Barat). Cak Nur seperti juga halnya Natsir adalah pemikir kosmopolitan. Itu dimungkinkan karena baik Cak Nur maupun Natsir menguasai bahasa asing. Natsir menguasai bahasa Inggris, Perancis, Arab dan Latin, sementara Cak Nur

52 Selain Nurcholish Madjid adalah Djohan Effendi, Dawam Rahardjo, Usep Fathuddin serta beberapa cendekiawan muda lainnya. Mereka berbeda dengan pemikiran sekuler Soekarno, gagasan Cak Nur dengan kelompoknya jauh lebih sophisticated, sistematis, terarah dan moderat. Sekulerisasi yang dimaksud Cak Nur sangat canggih. Gerakan Cak Nur dimaksud untuk menerobos kebekuan berpikir umat Islam, menyegarkan paham keagamaan, istilah Cak Nur merupakan kekuatan pandangan psikologis (psy- chological driving force). Antara lain dengan mengkampanyekan antipartai Islam, dekade 1970-an, Islam Yes Partai Islam No. Gerakan ini berbeda dengan CSIS yang memang menginginkan de-Islamisasi dan destruksi Islam Indonesia. Memang pengkritik Cak Nur tidak sependapat dengan pandangan ini. Abdul Qodir Djaelani melihat tujuan CSIS dan Cak Nur sama; de-Islamisasi Islam di Indonesia, lihat Abdul Qodir Djaelani, Menyelusuri…, lihat juga William Liddle, “Media Dakwah, Scriptualism: One Form of Islamic Political Though and Action in New Order Indonesia,” dalam William Liddle, Leadership and Culture in Indonesian Politics, Sidney, Allen and Unwin, 1996, hlm. 271. 53 Herbert Feith &Lance Castles, Indonesian …, Ibid, hlm. XXVII-XXVIII PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 221

menguasai bahasa Inggris, Arab, Perancis dan Parsi. Bahkan secara pribadi Cak Nur juga memiliki hubungan amat baik dengan Natsir. Hal ini karena ayah kandung Cak Nur (Kyai Madjid) memiliki hubungan organisatoris dan emosional yang amat kental dengan Natsir. Meskipun lahir dan dibesarkan dalam tradisi NU, Kyai Madjid adalah aktifis Masyumi yang bersemangat di era 1950-an. Lebih dari itu hubungan kekeluargaan di antara Natsir dan Madjid terjalin akrab.54 Dalam perspektif Cak Nur kekuatan politik Islam tidak identik dengan partai Islam, apalagi bila lembaga atau institusi politik itu dijangkiti korupsi, koncoisme, nepotisme dan konflik sesama elit partai yang tidak berkesudahan. Selain itu Cak Nur, sama dengan Soekarno, menilai konsep negara Islam tidak ada dalam sejarah Islam, tidak didukung nash-nash Alquran serta sebuah bentuk apo- logia umat Islam atas ekspansi pemikiran dan politik Barat terhadap dunia Islam selama berabad-abad.55 Kelompok pembaru ini sering disebut juga dengan istilah “Neo-modernism”56 yang dipelopori Fazlur Rahman, seorang pelopor pembangkit dan pemikir Islam kontemporer yang secara internasional reputasinya diakui dewasa ini.57 Salah satu pandangannya dikatakan pada tahun 1979, bahwa

54 Ahmad Suhelmy, Ibid, hlm. 105-106. 55 Lihat karya-karya Nurcholis termasuk surat-menyuratnya dengan Mohammad Roem, Lihat Ahmad Suhelmi, Soekarno…, Ibid, hlm. 103. 56 Ciri pokok Neo-Modernism adalah menganjurkan kaum muslimin dalam menyongsong abad modern dengan lebih berupaya mengkaji dunia Barat serta gagas- annya secara objektif, kritis; pada saat yang sama juga mendalami ajaran-ajaran dan gagasan tradisi klasik keagamaannya sendiri. Untuk itu, seperti dikatakan Fazlur Rahman, kaum muslim dapat mengembangkan prasyarat keyakinan diri, tanpa mengalah kepada Barat secara serampangan atau menafikannya, lihat Fazlur Rah- man, “Islam Challengers and Opportunities,” dalam .T. Welch dan P. Cochia, ed. Islam: Past Influence and Present Challenge, Edinburgh: Edinburgh University Press, 1979, hlm. 315-325. Lihat juga Greg Barton, Neo-modernist Islamic Thought in Contemporary Indonesia: The religious Thought of Nurcholish Madjid, makalah disampaikan pada 8th Asian studies association of Australia Biennial Conference, Griffith University, 1990, lihat Syafi’i Anwar, Pemikiran…, Ibid, hlm. 218. 57 Setelah menyelesaikan studinya di Universitas Punjab pada tahun 1946, ia melanjutkan ilmu keislamannya di Universitas Oxford, Inggris, Selesai pendidikan di sini, ia tetap menetap di Inggris dan mengajar di Durham University. Pada tahun 1958, ia menjadi Associate Professor of Philosophy di Institute of Islamic Studies University of Mc. Gill, Kanada, direkturnya adalah Wilfred Cantwell Smith, seorang orientalis yang sangat ternama. Semasa mengajar di Universitas Durham, Fazlur Rahman berhasil menye- 222 YUSRIL IHZA MAHENDRA

umat Islam baru akan memiliki suatu fondasi intelektualisme Is- lam yang kokoh dalam jangka waktu 20-30 tahun. Pandangannya adalah, pertama mempelajari Alquran, kemudian menimbang situasi masa lalu dan sekarang dengan Alquran. Ia mengkritik kalangan tradisionalis dan fundamentalis, kerana mereka tidak menawarkan metodologi yang sistematis dan padu dalam memahami Alquran.58 Sebagian pengamat menilai bahwa perubahan radikal kepribadian Cak Nur, seorang “Natsir muda” yang antisekuler- isme dan sekulerisasi menjadi propagandis sekulerisme dan seku- lerisasi, kqrena keterpukauannya kepada kemajuan peradaban Barat setelah ia mengunjungi Amerika Serikat dan menyelesai- kan pendidikan doktornya (Ph.D) di Chicago University.59 Cak Nur sendiri menolak tegas persamaan sekulerisme dengan sekulerisasi karena keduanya merupakan dua konsep yang sama sekali berbeda. Konsep sekulerisasi yang dikemukakannya adalah sebuah konsep sosiologis, bukan konsep filasafat sebagaimana yang diyakini para pengkritiknya. Dalam konteks penafsiran sosiologis sekulerisme adalah sebuah gerakan sosial yang justru bertujuan mendemitologisasi dan mendemistikasi Islam sehingga yang sakral di dunia ini hanyalah Allah semata, di luar Allah bersifat duniawi,

lesaikan karya orisinilnya yang pertama yang berjudul “Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy”. Tahun 1960-an, ia kembali ke tanah air (Pakistan) dan diangkat menjadi staf senior di Lembaga Riset Islam yang dipimpin Ayyub Khan. Masuknya Fazlur Rahman menimbulkan pemikiran yang bertentangan di Pakistan. Pada 5 September 1968, ia mengundurkan diri dari direktur Lembaga Riset Islam dan ahli Dewan penasehat ideologi Islam. Akhirnya ia hijrah ke Amerika Serikat sejak tahun 1970 sampai akhir hayatnya menjadi Professor Islamic Studies di Department of Near Eastern Languages and Civilizati- on, University of Chicago. Pemikirannya memang banyak ditentang kaum muslimin di berbagai negara, terutama Pakistan, tetapi di Indonesia tidak demikian, pikirannya banyak diterima, Nurcholish Majid merupakan muridnya yang paling menonjol, untuk kemudian menyebarkan pemikiran tersebut. Lihat M. Fahry, Multi Partai…, Ibid, hlm. 49. 58 Ahmad Syafi’i Maarif, Peta Bumi…, Ibid, hlm. 54-67. Lihat Taufik Adnan Amal (ed.), Neo- modernisme Islam: Metode dan Alternatif, (terj.), Bandung, Mizan, 1987, hlm. 54-57. 59 Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia: Respons Cendekiawan Muslim, (terj.) Ahmadie Toha, Jakarta, Lingkaran Studi Indonesia, 1987. 60 Cak Nur konsisten dengan gagasan-gagasannya itu. Konsistensinya nampak dalam karya-karya intelektualnya selama ini. Lihat Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan (1991), Islam Agama Peradaban (1991), Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan (1992), Jakarta, Yayasan wakaf Paramadina. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 223

sekuler.60 Sejumlah tokoh Islam menanggapi pemikirannya, antara lain: Prof. H.M. Rasyidi, Prof. Dr. Deliar Noer, Abdul Qadir Djaelani dan Dr. Daud Rasyid. Mereka menilai gagasan sekulerisasi Cak Nur bertentangan dengan prinsip Tauhid (Keesaan Allah) dan ahistoris serta dibangun dengan argumentasi ilmiah yang rapuh. Di atas itu Djaelani mengkritik pemikiran Cak Nur sebagai gerakan de-Islamisasi dan anti-Islam.61 Kritikan ini berlanjut dengan munculnya generasi kedua pengkritik Cak Nur, yaitu Daud Rasyid, seorang alumni University Al-Azhar Kairo-Mesir. Pada intinya Rasyid mengkritik pemikiran Cak Nur sekuler, tidak sesuai dengan syariat Islam dan bertolak belakang dengan prinsip kenegaraaan formulasi dalam Islam zaman lampau. Lebih dari itu, pemikiran Cak Nur merupakan produk pengaruh Yahudi; Zionis Israel dan orientalis, Bahkan Media Dakwah, majalah organisasi DDII menyebut Cak Nur sebagai lobbi Yahudi di Indonesia.62 Orde Baru pada awal tampilnya ke pentas politik dan keku- asaan mendapat dukungan dari kelompok organisasi Islam yang bangkit kembali setelah rezim Orde Lama runtuh. Kelompok pela- jar dan pemuda yang tergabung dalam organisasi aksi seperti KAMI dan KAPPI yang sebagian besar anggotanya adalah pelajar dan pemuda Islam telah menjadi ujung tombak perjuangan menentang rezim Orde Lama dengan dukungan pihak militer. Mereka ini menentang pemerintahan Soekarno yang dianggap telah “menginstitusionalisasikan birokrasi yang tak bertanggung jawab” dengan kekuasaan otoriter yang dipengaruhi tradisi mistik Jawa serta budaya feodal. Awalnya Orde Baru mengadakan perbaikan terhadap birokrasi, tetapi birokrasi yang bertumpu pada eratnya hubungan antara militer dan teknokrat dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang stabil dan kuat, yang melebarkan fungsinya menjadi mesin politik (political machine)

61 Lihat karya Prof. Rasyidi, DR. Kemal Hassan dan Abdul Kadir Djaelani, Menelusuri Pembaruan Nurcholish Madjid, Bandung, Yadia, 1993. 62 Lihat Dr. Daud Rasyid, Orientalisme dalam Sorotan… kritik Rasyid memiliki kesamaan dengan Ridwan Saidi, lihat Saidi, Data dan Fakta Yahudi di Indonesia. 224 YUSRIL IHZA MAHENDRA

untuk menata kehidupan sosial politik masyarakat.63 Ini menye- babkan militer menjadi alat kepentingan kekuasaan, bahkan militer sendiri menjadi bagian pengatur mesin kekuasaan politik dengan segala kepentingannya, dan peralatan militer itupun di- jadikan sarana untuk mempertahankan kekuasaan politik, bukan untuk menjaga pertahanan rakyat dan negara. Sementara kon- sepsi dan interpretasi pemerintah Orde Baru terhadap Islam ada- lah sebagai agama yang ditempatkan dalam kerangka hubungan sosial. Islam agama yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, dan mengatur hubungan orang atau kelompok orang dengan batas etika sosial, tetapi tidak dalam bidang kehidupan yang disebut dengan sistem politik, Islam hanya sebatas dimensi moral dan etis sosial. Islam dalam medan dakwah hanya meru- pakan gerakan yang mendorong dakwah guna merumuskan dan membangun sistem akar budaya, dan tidak dalam politik. Sehingga tampak ada pertemuan dari dua arus yang berbeda yaitu antara arah strategi Orde Baru dengan gagasan Cak Nur “Islam Yes dan Partai Islam No”, apa yang dicita-citakan Cak Nur sebagai pendesakralisasian Islam dalam konteks politik, memiliki man- faat yang sama bagi kepentingan mesin politik Orde Baru yang ingin memreteli kekuatan Islam melalui deideogisasi Islam dan partai Islam. Nyatanya memang dalam perkembangannya Cak Nur diberi kepercayaan menjadi anggota Majelis Permusyawarat- an Rakyat (MPR), berarti pandangannya dalam gerakan pembaru- an Islamnya tidak membahayakan eksistensi Orde Baru, justru menguntungkan. Hajriyanto.Y. Thohari menyatakan bahwa Cak Nur hanya berhenti sampai dataran konsep pemikiran “aspek theologis dan filosofis” sementara itu artikulasinya dalam dunia politik praktis sangat pragmatis, “sehingga terkesan lebih banyak dimanfaatkan, dipengaruhi dan tidak mengubah.”64 Pembangunan dengan pertumbuhan yang menakjubkan dari keuntungan “bom minyak” melalui suatu kebijakan stratejik

63 Safi’i Anwar, Ibid, hlm. 4. 64 Muhammad Najib (pnyt.), Amien Rais dari Yogya ke Bina Graha, Jakarta, GIP, 1999. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 225

pembangunan pengucuran ke bawah atau trickle down effect tidak dirasakan merata, bahkan kecenderungan tidak adil dalam pem- bagian hasil pembangunan menambah kecurigaan kalangan umat Islam. Kondisi demikian semakin melemahkan peringkat “tawar menawar politik” serta konsesi politik terhadap umat Islam dan pada akhirnya menimbulkan masalah baru dalam membangun pola kerja sama antara umat Islam dengan pemerintah. Maka mulai terjadi berbagai aksi demonstrasi dari kalangan eksponen Islam berkaitan dengan Rancangan Undang-Undangan (RUU) Perkawinan tahun 1972 yang diusulkan pemerintah karena RUU ini dianggap bertentangan dengan prinsip ajaran Islam. Aksi politik yang terus berlanjut melibatkan berbagai latar belakang politik aliran, seperti protes dan demonstrasi atas pembangunan Taman Mini Indonesia Indah, sebuah mega proyek monumental yang dianggap menghambur-hamburkan uang dan belum merupa- kan prioritas pada masa itu. Aksi ini dilakukan mahasiswa dari berbagai universitas. Gerakan demonstrasi yang lebih besar dan menimbulkan kelumpuhan kota Jakarta sebagai pusat pemerin- tahan adalah ketika mahasiswa menentang kunjungan Perdana Menteri Jepang Tanaka, aksi ini kemudian dikenal dengan peris- tiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) pada 1974, yang salah satunya menyebabkan pembakaran pusat perbelanjaan Pasar Senen, Jakarta.65 Aksi lainnya terjadi pada tahun 1978 keti- ka mahasiswa, kalangan pelajar dengan dukungan sejumlah ka- langan akademisi dan politisi melakukan demonstrasi menentang usulan pemerintah yang akan memasukkan aliran kepercayaan ke dalam GBHN (Garis Besar Haluan Negara), persoalan materi P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang bagi umat Islam sangat mengancam akidah pemeluk agama serta menentang pencalonan kembali Soeharto sebagai Presiden RI. Aksi

65 Tindakan demonstrasi yang dilakukan mahasiswa itu dijawab pemerintah dengan melakukan aksi penangkapan dan penahanan kepada sejumlah tokoh mahasiswa dari berbagai universitas khususnya di kota Jakarta dan Bandung, tokoh mahasiswa yang ditangkap di antaranya adalah Hariman Siregar, Yudil Hery, Theo Sambuaga, Bambang Sulastomo (yang disebut terakhir ini adalah putera tokoh kemerdekaan Bung Tomo). 226 YUSRIL IHZA MAHENDRA

demonstrasi yang meluas tersebut diiringi dengan pembakaran patung Presiden Soeharto di halaman kampus Universitas Indo- nesia di Salemba,66 dan jawaban pemerintah adalah membungkam mereka dengan membubarkan Dewan Mahasiswa (Dema) dan digantikan konsep baru yang dikenalkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Daud Yusuf dengan pelaksanaan Konsep Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kampus (BKK) yang sebenarnya suatu cara pemerintah untuk mengendalikan dan melumpuhkan aktivitas politik para ma- hasiswa. Ketegangan hubungan pemerintah dengan masyarakat terus berlanjut dengan peristiwa yang dikenal sebagai kasus “Sa- wito”, sebuah tindakan yang dianggap pemerintah suatu perbuatan makar yang melibatkan sejumlah tokoh Agamawan seperti Prof. Dr. Hamka dan eks Wakil Presiden RI ke-1 Dr. Mohammad Hatta. Tahun 1985-an ada perubahan pola hubungan pemerintah Soe- harto dengan kalangan kekuatan Islam seiring telah selesainya agenda pembangunan politik yang dilancarkan pemerintahnya. Perubahan itu memberi kesan saling menguntungkan (recipro- cate),67 seolah politik yang diidealkan bersama semakin menyadari bahwa Islam merupakan dominasi politik yang tidak dapat dike- sampingkan. Fenomena ini tampak setelah kalangan inteletual Islam tumbuh di alam Orde Baru dengan potensi dan kecakapan teknikal yang dapat diandalkan untuk mendukung suksesnya pembangunan. Terjadinya perubahan sosial ekonomi telah me- munculkan lapisan atau kalangan menengah santri yang ter- pelajar, modern dan profesional sertra memenuhi lapangan kerja dan tuntutan rekrutmen birokrasi. Peranan itu mendorong ke-

66 Suasana aksi di tahun 1978, diakhiri dengan tindakan represif militer, terjadi penangkapan, penahanan, skorsing dan pengadilan sejumlah mahasiswa serta aktifis politik, sejumlah mahasiswa “di kampus kuning” di antaranya Yusril Ihza Mahendra, Lukman Hakim dan Hery Ahmadi, juga terjadi penindakan terhadap para akademisi, rektor yaitu Prof. Dr. Ismail Suny, Prof. Dr. Deliar Noer, Prof. Dr. Iskandar Ali Syahbana, kemudian tokoh kemerdekaan Bung Tomo, dan Arief Rachman. 67 Adanya perkembangan pola hubungan secara lebih “bersesuaian” ini memang masih perlu diperdebatkan sebab ada yang berpandangan bahwa keadaan tersebut merupakan “belas kasihan” karena ketidakberdayaan kekuatan Islam yang kemudian mau menerima konsesi-konsesi dalam kerangka agenda yang telah dibangun oleh sistem pemerintahan Orde Baru. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 227

bangkitan intelektualisme Islam selepas kemerdekaan yang berusaha memberikan formulasi, interpretasi dan refleksi ter- hadap persoalan-persoalan kemasyarakatan dan arti Islam politik menjadi Islam kultural. Nurcholish Madjid memberikan penilaian terhadap fenomena ke- masyarakatan Indonesia semasa Orde baru dari sudut pandang Is- lam sesuai dengan ide kenisbian melalui tulisannya yang dikemukakan tahun 1983, dalam sebuah tajuk buku Aspirasi Umat Islam Indonesia. Menurutnya cukup beralasan bahwa sejauh ini Orde Baru menunjukkan banyak lagi yang lebih baik untuk kaum Muslimin dibanding semasa Orde Lama. Melalui tulisannya “Cita- cita Politik Kita” ia mengemukakan dua faktor yang menjadi alasan untuk memberikan penilaian seperti itu. Pandangannya dari awal perkembangan Orde Baru mendapat dukungan kuat dari kelompok beraspirasi politik Islam dibandingkan kelompok lain. Hal lain, kebaikan yang nisbi tersebut tercermin dalam banyak bentuk per- kembangan sosial yang biasanya ditunjuk sebagai gejala kebangkitan Islam di Indonesia, betapapun gejala itu memiliki aspek yang berdimensi global.68 Nurcholish Madjid lebih menjelaskan dari sisi pandang makna ajaran Islam sebagai pembawa rahmathan lil lalamin dalam sisi kemanusiaan, terlepas dari dimensi teologis atau politik yang dalam kenyataan politik demokrasi selain menghargai perbedaan juga mengakui hak mayoritas untuk memegang peran- an yang lebih besar tanpa melakukan diktator terhadap minoritas. Hal itu berarti bahwa perjuangan Islam politik untuk menuntut syariat Islam dalam konstitusi negara harus dilihat dalam konteks politik, bukan semata-mata kemanusiaan yang lepas dari kenyataan politik demokrasi, dengan keperluan harus menghargai serta menghormati pengakuan hak kelompok yang lebih besar dibanding kelompok yang lebih kecil jumlahnya.69

68 Nurcholish Madjid, “Cita-cita Politik Kita,” dalam Bosco Carvallo &Dasrizal (pnys.) Aspirasi Umat Islam di Indonesia, Jakarta, Leppenas, 1983, hlm.7. 69 Dalam tulisannya “Cita-cita Politik Kita”, sebenarnya ada sejumlah subtema yang diangkat dan sub ini sangat relevan dengan persoalan utama problematika kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Subtema yang dikemukakan meliputi peninjauan kembali atas perjuangan Islam, Orde Baru dan Islam, Islam dan masalah 228 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Nurcholish Madjid memiliki pandangan bahwa Islam itu bukan ideologi, namun Islam dapat menjadi sumber untuk merumuskan suatu ideologi. Sifat universalistik Islam itu sendiri tampak men- jadi asas baginya untuk menerima Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia serta tidak lagi mempersoalkan faktor historis umat yang berhubungan dengan tuntutan di masa lalu yang diper- juangkan sebagai dasar negara atau pencantuman syariat Islam di dalam konstitusi. Universalistik Islam yang terwakili dalam perlembagaan atau konstitusi negara menyebabkan kaum Muslimin Indonesia dapat menyetujui Pancasila dan UUD 1945 dengan didasari asas pertimbangan, pertama, nilai-nilainya dibe- narkan ajaran Islam; kedua, fungsinya sebagai noktah-noktah kesepakatan di antara berbagai golongan untuk mewujudkan kesatuan politik bersama. Kedudukan serta fungsi Pancasila ini kemudian dianalogikan – sekalipun tidak dapat disamakan — dengan kedudukan serta fungsi dokumen politik yang pertama dalam sejarah Islam yang dikenal para ahli sebagai Piagam Madi- nah. Melalui perspektif sejarah itu nampaknya Nurcholish Ma- djid menyikapi Pancasila sebagai pedoman sistem kehidupan ma- syarakat yang pluralistik.70 Ia juga membahas pesoalan kebebasan beragama yang menurutnya asas ini memungkinkan umat Islam mengamalkan ajaran-ajaran Islam secara keseluruhan betapapun tuntutan mengenai syariat Islam tidak berhasil diperjuangkan dalam per- lembagaan atau konsititusi UUD 1945, sebagaimana kandungan yang ada dalam Piagam Jakarta. Sebagai argumentasinya, ia mengutip pernyataan Mohammad Hatta mengenai hubungan sila- sila di dalam Pancasila, sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupa- kan sila utama yang menjiwai sila-sila yang lain. Menurut ajaran

kemajemukan masyarakat, Pancasila dan UUD 1945, untuk Indonesia, kemudian demokrasi sebagai prinsip dan aturan main serta mengenai hak dan kewajiban umat Islam. Subtema atau tajuk di atas termasuk membincangkan masalah sekulerisme dan sekulerisasi yang telah menjadi perdebatan hangat masa itu, dan sebagai catatan jika kita menelusuri tulisan tokoh Islam terdahulu, pada dasarnya juga telah melakukan perdebatan mengenai hal tersebut, misalnya sebagaimana dilakukan Mohammad Natsir pada masa pergerakan nasional maupun perdebatan dalam sidang Konstituante. 70 Nurcholish Madjid, “Cita-cita…, “ dalam Bosco Carvallo & Dasrizal, Ibid, hlm.256. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 229

Islam sendiri Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah Tauhid, oleh karena itu menurutnya kaum Muslimin Indonesia akan berbuat banyak untuk Pancasila dan negara jika mereka memahami lebih baik akan agama mereka sendiri dan mengamalkannya dengan setia. Hal itu berarti bahwa seruan Nurcholish Madjid untuk mengamalkan ajaran Islam dengan sendirinya mencakup nilai- nilai yang kemudian diangkat ke tingkat nasional sehingga men- jadikan Pancasila memiliki hubungan yang alami dengan umat Islam di Indonesia.71 Adanya kelompok pembaru Islam di Indonesia dengan sifat akomodasionis mereka terhadap Orde Baru tidak berarti telah menyelesaikan apa yang menjadi tuntutan sejarah Islam politik di Indonesia. Bentuk-bentuk perlawanan terjadi baik secara diam- diam maupun terang-terangan akibat adanya kegamangan serta saling mencurigai satu sama lain setelah munculnya peristiwa politik yang bernuansa memojokkan kelompok Islam, sepeerti Pe- ristiwa Lapangan Banteng saat pemilu, peledakan Candi Boro- budur, peristiwa Tanjung Priok, kasus Haur Koneng, Peristiwa Lampung, penahanan, intimidasi kepada sejumlah ustad, muba- ligh yang mengkritisi kebijakan politik pemerintah Soeharto me- lalui perundangan yang berlaku.72 Ini mengakibatkan terjadi fragmentaris atau “pembelahan” umat Islam dalam menghadapi perjuangan politik, dan di antara mereka memiliki perbedaan, ada yang bersifat kompromistik dan pragmatis terhadap struktur, kelembagaan maupun orientasi politik yang dibina pemerintah Soeharto dan ada yang bersifat akomodasionis atau pilihan yang bersifat reformis.

71 Nurcholish Madjid, Islamic Studies: Pengantar Mengenal Pemikiran Islam, bahan materi kursus studi Islam di Paramadina, Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina (t.th.), hlm. 2. 72 Di Jakarta dan kota-kota besar lainnya banyak terjadi penahanan kepada para dai atau mubaligh serta aktifis dari kalangan Islam, termasuk yang berasal dari HMI dan PII, di antaranya nama-nama seperti Tony Ardy, Abdul Kadir Jaelani, Mawardi Noor serta lainnya, termasuk eks Ketua Umum PB HMI yaitu Abdullah Hehamahua yang melarikan diri ke Malaysia dan kini menjadi Ketua Partai Masyumi yang baru didirikan di era reformasi. 230 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Jika dihubungkan dengan tipologi pemikiran politik kalangan cendekiawan atau pemikir Islam di Indonesia, Syafi’i Anwar mem- baginya ke dalam enam tipologi, yaitu: formalistik, substantivistik, transformatik, totalistik, idealistik dan realistik. Tipologi pemikir Islam semasa Orde Baru yang dirumuskan Syafi’i Anwar sangat membantu untuk lebih memahami konfigurasi pemikiran kalangan modernis Islam. Teori yang dikembangkan itu pada saat ini perlu dikaji kembali dalam pemetaannya, termasuk di mana posisi tokoh elit Yusril Ihza Mahendra ditempatkan dalam tipologi pemikiran itu. Apakah ia dapat diklasifikasikan ke dalam salah satu tipologi itu atau sama sekali tidak berada dalam salah satu dari klasifikasi itu? Dan untuk memahami secara lebih tepat tentu diperlukan pemahaman secara lebih mendalam mengenai tokoh ini. Penulis akan memaparkan secara rinci mengenai pemikiran yang dikemukakan Yusril Ihza Mahendra selama masa pemerin- tahan Orde Baru serta tindakan politk yang dilakukannya. Mengenai pemikirannya, akan diambil dari sejumlah tulisannya baik yang dimuat di berbagai media massa, bahan ceramah- ceramah atau diskusi, talk show, wawancara dan debat publik yang pernah dilakukannya. Selain itu, berbagai pemikirannya telah mempengaruhi atau mewarnai sejumlah pidato Presiden Soeharto ketika Yusril Ihza Mahendra pernah terlibat dalam penyusunan pidato Presiden Soeharto sepanjang tahun 1995 sam- pai kejatuhannya dari tampuk kekuasaannya di tahun 1998 lewat gerakan reformasi yang dilakukan segenap kekuatan komponen rakyat Indonesia. Apakah Yusril Ihza Mahendra memiliki peran juga dalam proses berakhirnya kekuasaan Soeharto? Ini yang akan dijelaskan lebih lanjut. Sebagai bagian terbesar dan mayoritas dari rakyat Indonesia, sudah sepantasnya hak-hak umat mendapat perhatian, tetapi yang nampak adalah ketidakadilan sepanjang periode 1970-an- 1980-an akibat modernisasi dan pembangunan yang dirancang pemerintah Orde Baru. Semua tindakan itu telah “meminggirkan” (marginalization) peranan umat Islam di berbagai sektor, baik dari perencanaan (master plan), pengendalian, pengelolaan sam- PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 231

pai menikmati “kue besar” pembangunan itu. Di awal pemerin- tahan Orde Baru era 1967-1970-an, ketika konsolidasi fisik keku- atan Orde Baru sedang gencar dilakukan, jaringan-jaringan eko- nomi yang sebelumnya dikuasai kalangan santri dan umumnya orang-orang pendukung Masyumi dan juga para kyai serta pedagang kaya dengan usaha mandiri, secara sistematik meng- alami kebangkrutan akibat pengembangan pusat kekuatan ekono- mi yang dikendalikan secara langsung oleh birokrasi bekerjasama dengan pengusaha nonpribumi dari kalangan Cina (pengusaha klien).73 Menurut Castles pengusaha klien ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi Orde Baru, namun ekonomi mo- del ini tidak menguntungkan proses pengembangan usaha-usaha tradisional kaum santri untuk berubah menjadi industri yang se- makin besar, padat modal, canggih teknologi, pemasaran dan se- bagainya. Sementara pada masa yang sama pabrik-pabrik rokok didominasi empat perusahaan besar milik keturunan Cina, tak satupun yang menjadi milik menengah Islam. Pada bidang politik, dilakukan pemutusan komunikasi politik di antara umat dengan massa melalui kebijakan “floating mass,” sementara kekuatan politik penguasa dapat melakukan komu- nikasi secara intensif sampai tingkat akar tingkat dengan meng- gunakan jalur birokrasi. Langkah lainnya adalah penguasa mela- kukan penyederhanaan partai Islam dengan disain sesuai keingin- an penguasa, akibatnya kekuatan partai islam menjadi “impoten” atau mandul, bahkan terkooptasi baik dari segi orientasi politik sampai kepada orientasi ideologi yang puncaknya tidak ada lagi partai yang dibolehkan mencantumkan asas aliran politiknya kecuali Pancasila sebagai “uniform politik.” Pada bidang sosial keagamaan, institusi keislaman yang ber- orientasi kepada pemimpin umat yang memiliki hubungan historis dan emosional dengan partai-partai atau kekuatan Islam di masa lalu dilumpuhkan. Untuk mengimbangi atau melemahkan penga-

73 Aswab Mahasin, “The Middle Class an Insider’s View, dalam Richaard Tanter and Kenneth Young (Ed.), The Politics of Middle Class Indonesia, Victoria: CSEAS Monash University, 1990, hlm. 139-140. 232 YUSRIL IHZA MAHENDRA

ruhnya, dibuat tandingan atau diambil-alih peranannya melalui institusi keislaman yang dapat bekerja sama dan beradaptasi de- ngan selera penguasa. Mereka juga mendirikan sejumlah ormas keagamaan, sosial dan pendidikan yang baru di bawah kendalinya. Sumber ketidakadilan itu kemudian memunculkan kemelarat- an yang disebabkan kesalahan orientasi dan keinginan memper- besar “kue ekonomi” nasional dengan mendorong tanpa batas konglomerasi. Mereka sebagian besar bukan kalangan Islam dan secara ganas melakukan pembangunan tanpa memperhatikan ke- rusakan ekologi maupun sosial, selain terbentuknya mental korup, kolusi dan nepotisme dari penguasa. Akibat macetnya se- gala macam peraturan yang semestinya dapat menegakkan sendi- sendi keadilan sosial, lahirlah fenomena “pemerintahan birokrat- ik” (bureaucratic polity), yakni suatu sistem politik di mana keku- asaan dan partisipasi politik dalam pengambilan keputusan ber- ada kepada orientasi para penguasa negara, terutama para per- wira militer dan pejabat tinggi birokrasi, termasuk para tekno- krat, serta pola hubungan negara dan masyarakat yang memadu- kan kooptasi dengan cara represif.74 Apa yang sebenarnya terjadi terhadap modernisasi semasa awal pemerintahan Orde Baru tahun 1967 sampai paruh pertama tahun 1985, Indonesia berada pada posisi transisi dari masyarakat feodalis-kapitalis ke masyarakat teknokratis. Dapat dilihat bahwa kapitalisme begitu besar dan berkuasa dengan semakin berkembangnya bisnis besar, bank besar dan perusahaan besar yang muncul sebagai kekuatan oligopoli, sementara perusahaan- perusahaan kecil dan menengah mulai bergeser ke pinggir dan hancur. Gejala ini menandakan bahwa sistem kapitalisme begitu dominan di dalam masyarakat, yang kemudian disebut Kunto- widjoyo sebagai kesadaran teknisistik.75 “Keseragaman politik” yang dilakukan pemerintah Orde Baru didesain melalui pendekatan legalistik karena memang instrumen

74 Lihat Liddle, “Soeharto’s Indonesian Personal Rule and Political institution,” dalam Pacific Affairs, No. 58, 1985, hlm. 69-90. 75 Kuntowidjoyo, Dinamika Internal Umat Islam Indonesia, LSIP, Jakarta, 1993. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 233

politik pada waktu itu seluruhnya berada dalam penguasaan dan pengaruh “orang-orang Soeharto”. Ketetapan MPR No. 11/1983, yang secara operasional dituangkan dalam Undang-Undang No. 3 dan 8 tahun 1985, ini mengatur organisasi politik dan organisasi massa (Orpol dan Ormas-Deppen RI 1985). Maka secara berturut- turut seluruh organisasi Islam harus menyesuaikan diri dengan kehendak perundang-undangan tersebut serta dengan tegas me- netapkan Pancasila sebagai asas organisasi, misalnya organisasi Muhammadiyah menetapkannya melalui Muktamar ke-41 di Surakarta pda tahun 1985, demikian juga Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menetapkannya dalam kongresnya di Padang pada tahun 1987, dan kedua organisasi itu merupakan organisasi mo- dernis Islam terbesar di Indonesia sesuai dengan ruang lingkup wilayah aktivitasnya.76 Namun demikian kalangan cendekiawan Muslim beranggapan, “betapapun gerakan Islam di Indonesia pa- da akhirnya telah menerima Pancasila sebagai asas gerakan mere- ka, tetapi adalah pasti bahwa Islam akan melihat Pancasila itu dari sudut pandangan Islam” (Maarif 1995: 113). Semenjak ini terjadi penurunan kepercayaan umat terhadap organisasi politik

76 Mengenai HMI, organisasi ini memiliki anggota yang demikian militan dan gigih dalam mengemban misi Islam modern dan secara emosional dan historis memiliki hubungan yang rapat dengan elit Islam dari kalangan Masyumi. Dalam masalah penerapan asas Pancasila sebagai asas tunggal, di kalangan internal organisasi telah terjadi perpecahan, mereka ada yang menerima dan ada yang menolak; untuk yang menerima tentu selalu terbuka kesempatan untuk mendapatkan posisi, karir yang menjanjikan dari pemerintah Orde Baru, di internal organisasi ini pada tingkat PB HMI yang merupakan Central Board telah melakukan tindakan kepada meraka yang menentang atau melakukan pembangkangan, antara lain terhadap Sahar El-Hassan, Firdaus Syam, Zulvan Z.B. Lindan, Furqon, Hardi, Idris Zaini serta lainnya. Organisasi ini kemudian terpecah menjadi dua kelompok, yaitu HMI-Diponegaro yang jelas menerima kebijakan pemerintah dan HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) yang kemudian membentuk secara terstruktur sampai ke tingkat cabang guna mengakomodasikan aspirasi yang menolak Asas Tunggal. Organisasi lainnya yang juga militan di tingkat pelajar adalah Pelajar Islam Indonesia (PII) yang memiliki karakteristik perjuangan dengan HMI. Pada tahun 1988, merupakan batas waktu bagi seluruh organisasi sosial dan politik untuk menyesuaikan diri dengan peraturan UU, kecuali organisasi PII yang telah dibekukan aktivitasnya oleh Menteri Dalam Negeri masa itu, Supardjo Rustam, karena menolak penerapan asas tunggal dalam aturan organisasinya. PII sebagai organisasi Islam untuk kalangan pelajar dalam sejarahnya memiliki peranan yang besar dalam membantu kemajuan dan perjuangan umat Islam, lihat majalah Tempo, No. 46, 6 Februari, 1988. 234 YUSRIL IHZA MAHENDRA

yang bercorak keislaman, setidaknya dapat dilihat dari hasil pengumpulan suara partai Islam dalam sejumlah pemilu tempat mereka berkompetisi. Namun pelaksanaan pemilu itu sendiri dilaporkan penuh dengan kecurangan dan hanya menguntungkan Golkar, partai pendukung pemerintah Soeharto.77 Aswab Mahasin dalam satu tulisannya mengemukakan, meski- pun posisi negara semasa Orde Baru itu kuat tetapi umat tidak pernah dapat dikuasai sepenuhnya oleh negara. Posisi umat itu seperti air, ia bergerak merembes ke berbagai penjuru dan mem- basahi apa dan siapa saja.78 Dalam perkembangan selanjutnya, pe- merintah Orde Baru mulai berubah dalam membangun pola hu- bungan dengan kalangan Islam politik. Mereka mulai meng- akomodasikan aspirasi umat Islam bersamaan dengan terjadinya apa yang diistilahkan Nurcholish Madjid sebagai “intellectual boom- ing” atau ledakan kaum terdidik kalangan santri yang memiliki kemampuan teknikal tinggi.79 Ledakan inilah yang mendorong mobilitas golongan santri baik secara horisontal maupun vertikal, mobilitas horizontal ditandai dengan penyebaran profesi kaum santri dari lapisan bawah atau menengah ke lapisan lebih tinggi, misalnya ke pemerintahan atau struktur bisnis besar-modern.

77 Sejak tahun 1982 gejala penyusutan dukungan umat Islam terhadap partai yang bercorak Islam yaitu PPP, tampak cukup drastis bila dibandingkan dengan posisi pendukung pada tahun 1955, semasa kejayaan Partai Masyumi. Dalam pemilu 1982, PPP hanya didukung 31, 90 persen dari jumlah pemeluk Islam yang berhak memilih atau sebanyak 20.871.880 orang. Tampak setelah konflik ideologi dan sosial politik yang secara formal selesai dipadukan ke dalam satu asas Pancasila, maka penyusutan dukungan semakin besar. Pada tahun 1987 dalam pemilu PPP hanya memperoleh 15, 97 persen secara nasional atau 13.701.428 orang yang menjadi pemilihnya. Jumlah tersebut memberi petunjuk bahwa hanya 18, 33 persen umat memilihnya (Sudibyo 1987). Penyusutan umat pendukung gagasan Islam secara politik dari posisi tahun 1955 dalam setiap pemilu rata-rata mencapai 21,69 persen. Mulkhan (Mulkhan 1989) menilai dalam suatu keadaan di mana sistem politik relatif bebas sebagaimana tahun 1955, jumlah pendukung gagasan partai Islam tersebut tampaknya memiliki hubungan dengan ketaatan umat dalam menjalankan ibadah; akan tetapi sejak Orde Baru hubungan terhadap jaringan komunikasi umat dengan pemimpinnya yaitu ulama, kyai, tidak berhubungan dengan perilaku politik umat tersebut. 78 Lihat majalah Panjimas, No. 693, 21-31, Agustus, 1991, hlm. 30-31, lihat juga Syafi’i Anwar, Aksi Islam.., Jakarta, Paramadina, 1995. 79 Lihat setelah “boom sarjana Islam,” Tempo, No. 8 Desember, 1990, juga wawancara redaksi Prisma, No. 5, tahun XVII, 1988, hlm. 64-72. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 235

Castles mengemukakan juga bahwa di zaman Orde Baru kelas menengah Islam berkembang mengikuti “trayek lain” yang tak terduga sebelumnya, bukan kelas pengusaha kecil yang tumbuh menjadi besar melainkan kelas menengah santri yang bergaji besar, alim, taat.80 Ini yang kemudian disebut islamisasi birokrasi yang memberi dampak mencairnya dikotomi santri-priyayi, proses ini kemudian diistilahkan dengan “embourgeoisment” atau kecenderungan priyayisasi anak-anak para santri. Ini juga dapat dikatakan sebagai salah satu keberhasilan gerakan kalangan modernis Islam berupa meningkatnya generasi baru umat Islam terpelajar yang berwawasan modern yang mendapat tempat di institusi-institusi modern serta budaya kelas menengah.81 Pada masa itu mulai timbul isu dan opini yang dikembangkan di media massa, “hijau royo-royo”, suatu ungkapan “sinistis poli- tik” bahwa Orde Baru telah dikuasai kalangan kekuatan kelom- pok Islam khususnya di parlemen. Ini dengan indikasi disahkan- nya sejumlah perundang-undangan yang adil terhadap umat Is- lam; dan kalangan Islam “garis keras” yang memiliki hubungan sangat erat dengan kalangan eks Masyumi menduduki kursi par- lemen, sesuatu yang sebelumnya sangatlah tidak mungkin. Demi- kian pula di bagian eksekutif, posisi menteri banyak dipegang kalangan Islam modernis. Dengan pemikiran-pemikirannya yang dinamis, inovatif serta kritis, mereka telah membawa harapan segar. Indikasi lainnya adalah diperkenankannya sistem perbank- an syariah seperti Bank Muamalat; kemudian adanya penam- bahan waktu pengajaran agama Islam di institusi pendidikan negeri dan didirikannya organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang memperkuat reposisi umat Islam yang lebih dekat dengan kekuatan politik Orde Baru. Fenomena yang penting dari pola hubungan umat Islam adalah mendekatnya kalangan militer dengan tokoh modernis Islam. Ini membentuk pola hubungan baru di antara militer dengan kelom- pok Islam yang sebelumnya militer dianggap telah banyak

80 Lance Castles, Ibid. 81 Aswab Mahasin, Ibid. 236 YUSRIL IHZA MAHENDRA

mengecewakan umat Islam seperti adanya tudingan “ekstrem kanan” dan tindakan represif dalam berbagai peristiwa politik. “Bu- lan madu” kekuatan Islam dengan militer itu digenapkan dengan tampilnya sejumlah pimpinan teras militer yang simpatik terhadap Islam seperti Jenderal Faisal Tanjung, Jenderal R. Hartono, Jen- deral Wiranto, Jenderal S. Subagio, Mayjen. Z.A. Maulani, Mayjen. Syafri Syamsuddin dan Letnan Jenderal Prabowo S.82 Maka dekade 1980-an merupakan pola hubungan antara kelompok Islam dengan pemerintahan yang bersifat simbiotik. Dalam fase tersebut ada suatu kesan bahwa hampir semua kekuatan sosial politik di negara Indonesia menyadari bahwa untuk memperoleh legitimasi bagi eksistensinya, mereka harus menunjukkan kedekatan atau pal- ing tidak simpatinya kepada Islam.83

POLA INTEGRASI SIMBIOTIK : 1985-1998

ERDAPAT suatu gejala atau indikasi bahwa pemerintahan Orde Baru telah menghilangkan rasa kecurigaan kepada ke- T kuatan Islam, tidak terkecuali bagi kalangan Islam modernis yang pada masa awal Orde Baru dengan pemerintahan memiliki sejarah hubungan yang tidak harmonis. “Bulan madu” antara Islam dan Orde Baru adalah membangun suatu hubungan yang saling pengertian (mutual understanding), yaitu perubahan sa- ling kesediaan memberi dan menerima, yang menurut Moerdiono (sangat dekat dengan Soeharto) bahwa pemerintah bukan hanya memberikan sumbangan konseptual saja melainkan juga mem- berikan bantuan yang nyata dalam rangka memenuhi aspirasi

82 Di antara mereka tidak hanya simpatik dengan Islam karena penilaiannya, sebagian dari mereka secara kultural berasal dari keluarga yang taat, bahkan ada di antara mereka yang di masa belia aktif di organisasi pelajat-pemuda Islam seperti organisasi Pelajar Islam Indonesia, juga anak-anak mereka ada yang turut aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), seperti salah satu puteri Jenderal Wiranto. 83 Amien Rais, “Islam dan Demokrasi,” dalam Bosco Carvallo & Dasrizal (Ed.), Ibid, hlm. 69. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 237

dan kepentingan dari kalangan Islam. Pengakuan ini secara jelas dikemukakannya dalam sebuah simposium menyambut Festival Istiqlal pada tahun 1991.84 Tahun 1990, berdirilah ICMI. Sebenarnya gagasan untuk hadirnya organisasi profesi keilmuan di kalangan cendekiawan/ sarjana Muslim pernah dimiliki jauh sebelum munculnya ICMI itu sendiri, seperti Persatuan Sarjana Muslim Indonesia (PER- SAMI).85 Di kalangan non-Islam malahan telah lebih dahulu me- miliki wadah seperti ini.86 Persami87 di bawah pimpinan Bintoro Tjokroamidjojo goyah ketika pemerintah Orde Baru menyeder- hanakan partai-partai politik, sementara kalangan cendekiawan sendiri sukar memelihara afinitasnya, sehingga pada tahun 1974, ia mundur dari Persami dan sejak itu organisasi yang memiliki anggota hingga 400 orang ini menjadi lumpuh.88 Istilah “partisipasi pembangunan” yang kemudian demikian populer di masa Orde Baru, pertama kali disuarakan oleh Persami dalam seminar nasional mengenai pembangunan di Jakarta pada tahun

84 Moerdiono, Umat Beragama dan Negara Nasional, makalah untuk simposium dalam rangka festival Istiqlal 1991. 85 Pada tahun 1964 ketika kekuatan Orde Lama (Rezim Soekarno) sedang berkuasa, lebih kurang 100 orang sarjana Muslim yang lebih dari 50 persen merupakan alumni HMI mendirikan organisasi profesi yang diberi nama Persami (Persatuan Sarjana Muslim Indonesia), sebagai pucuk pimpinan terpilih H.M. Subchan Z.E. (Ketua PB NU) dan H.M. Sanusi (Anggota Muhammadiyah). Organisasi ini memposisikan diri sebagai “anak” semua partai Islam dan terpilihnya dua nama ini sebagai cermin integrasi umat. Persami dilahirkan di Mega Mendung, Bogor, Jawa Barat, lihat Tempo, 8 Desember 1990. 86 Sebagai contoh di kalangan umat beragama Katolik telah memiliki organisasi yang disebut ISKI (Ikatan Sarjana Katolik Indonesia) yang didirikan tahun 1958, dan di kalangan Kristen telah berdiri PIKI (Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia) berdiri d itahun 1963. 87 Persami tumbuh bukan sebagai tandingan ISKI dan PIKI, melainkan lebih merupakan kontra terhadap kekuatan PKI (Partai Komunis Indonesia) yang semakin besar pengaruhnya berkat perlindungan Presiden Soekarno. PIKI dan ISKI masih tetap bertahan sampai sekarang, sedangkan Persami hanya bertahan 10 tahun. Pada tahun 1967, ketika baru berumur tiga tahun sudah mulai muncul perpecahan di dalam institusi ini akibat persaingan yang terjadi di antara pimpinan yang berasal dari PMII (Ormas mahasiswa dari “sayap” NU) dengan HMI. Perpecahan semakin terbuka ketika muktamar NU di Semarang pada tahun 1968, Subchan dan kawan-kawan membentuk ISII (Ikatan Sarjana Islam Indonesia), sehingga gagallah cita-cita dan semangat persatuan umat, Ibid. 88 Ibid. 238 YUSRIL IHZA MAHENDRA

1970-an.89 Sebagai kelanjutan dari Silaturahmi Cendekiawan Muslim dalam menyiapkan seminar Masyarakat Industri dan In- formasi pada 7-10 Mei 1986 dalam pertemuan di Cibogo, Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersama dengan sejumlah Lembaga Swa- daya Masyarakat (LSM) serta kalangan universitas Islam, telah menghasilkan kesepakatan pembentukan FKPI (Forum Komuni- kasi Pembangunan Indonesia) dan memilih Letnan Jenderal (Purn.) Ahmad Tirto Sudiro sebagai ketuanya. Forum ini telah memunculkan prakarsa untuk mendirikan wadah ICMI, tetapi setelah berkonsultasi dengan pimpinan MUI, organisasi semacam ini dianggap belum diperlukan karena khawatir reaksi peme- rintah. Kemudian datanglah prakarsa dari Dr. Ir. M. Imaddudin Abdulrachim yang dikenal sebagai tokoh Masjid Salman ITB, dia pada tahun 1989 mengumpulkan sekitar 50 orang cendekiawan Muslim di Yogyakarta dalam rangka membentuk wadah cende- kiawan Muslim, tetapi pertemuan itu dibubarkan polisi.90 Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dilahirkan pada bulan Desember 1990, ketika terjadinya perhelatan akbar “Simposium Nasional Cendekiawan Muslim: Membangun Masyarakat Abad XXI” pada 6-8 Desember di Student Center Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur yang pembukaannya dihadiri Presiden Soeharto bersama Wakil Presiden serta para Menteri.91 B.J. Habibie, putera Pare-Pare, Sulawesi Selatan yang lahir 25 Juni 1936 akhirnya terpilih sebagai ketua umum. Saat itu ia di dalam pemerintahan Soeharto menduduki kursi Menteri

89 Ini dijelaskan oleh Mas Dawam Rahardjo yang ketika itu menjadi anggota muda serta salah seorang pemrakarsa dalam seminar, dan tokoh semacam Bintoro yang waktu itu telah bergelar Master memang masih langka. Gagasannya mengenai pembangunan dianggap oleh rekan-rekannya cukup cemerlang saat ia sebagai Ketua Persami Cabang Jakarta yang menyokongnya sebagai Pimpinan Pusat Persami. 90 Hasil wawancara Syafi’i Anwar dengan Dr. Ir. Imaddudin Abdul Rachim, 24 Juli 1992, lihat Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi…, Ibid, hlm. 253-254. 91 Pertemuan di kota Malang ini menggambarkan “kemesraan” antara kelompok Islam dengan pemerintahan Orde Baru, dengan hadirnya 465 kaum cerdik pandai dari berbagai profesi, kelompok, aliran dan warna politik. Perlu dicatat proses terbentuknya ICMI juga berkat peranan 5 orang pelajar universitas Brawijaya, yakni Erik Salman, Ali Mudakir, Mohammad Zainuri, Awang Surya dan Mohammad Iqbal, yang merupakan mahasiswa angkatan 1987. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 239

Riset dan teknologi dan berbagai jabatan lainnya: Ketua BPPT, Ketua BPIS (Badan Pengelola Industri Strategis), direktur IPTN, direktur PAL dan Ketua Proyek Otorita Batam serta sejumlah jabatan penting lainnya. B.J. Habibie memang tidak dibesarkan dalam pergerakan Islam “ideologis”, tetapi ia terpilih sebagai ketua ICMI.92 Menurut Kuntowijoyo, kenyataan ini dilihat sebagai pergeseran konsep kepemimpinan umat Islam. Di masa lalu yang disebut pemimpin umat itu memiliki konotasi ideologis dan politis. Dalam istilah Samson, yang dikategorikan sebagai pemimpin umat Islam itu lazimnya memiliki pengetahuan yang luas di bidang agama, berpengalaman dalam bidang politik dan secara ideologis mempunyai pengaruh di lingkungan umat atau komunitas yang mendukungnya.93 Dalam pembukaan Simposium itu Soeharto memberikan sambutannya yang demikian antusias serta apresiasi terhadap berdirinya organisasi Cendekiawan Muslim ini,94 kemudian B.J. Habibie juga memberikan pidatonya yang bagian isi pidatonya mengajak wadah ini untuk tidak bersifat sektarianisme absolut, eksklusif dan harus mampu memberikan sumbangan positif meng- atasi problema pengkotakan dan sektarianisme.95 Amien Rais ketika berbicara mengenai peranan politik ICMI, ia yakin ICMI memiliki bobot politik atau “political leverage” yang besar.

92 Ibid, hlm. 260. 93 Lihat Allan Samson, “Conception of Politics, Power and Ideology in Contemporary Indonesian Islam,” dalam Karl D. Jackson Press, 1987, hlm. 2002-203, lihat juga dalam Syafi’i Anwar, Ibid, hlm. 285-286. 94 Dalam bagian pidato sambutan Presiden Soeharto itu ada bagian dari isi pidatonya yang mengatakan, “… jika perlu mengembangkan berbagai alternatif awal kebijakan dan strategi yang dipilih oleh para pengambil keputusan..” ini sebagai pernyataan resmi yang mempresentasikan politik pembangunan Orde Baru untuk terlibat memberikan alternatif guna menentukan kebijakan pembangunan nasional jangka panjang atau kebijakan strategi pemerintah Soeharto, lihat naskah pidato Presiden Soeharto pada pembukaan Simposium Nasional Cendekiawan Muslim di Malang, 6 Desember, 1990, Sekretariat ICMI, hlm 3-4, lihat juga Syafi’i Anwar, Ibid, hlm 285- 286. 95 Naskah pidato Ketua Umum ICMI dalam penutupan Simposium Cendekiawan Mus- lim, 8 Desember 1990, sekretariat ICMI, lihat juga Syafi’i Anwar, Ibid, hlm. 287-288. 240 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Pada tahun 1992, pemilu di Indonesia berjalan lancar dan ternyata Sidang Mejelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1993 menghasilkan satu calon tunggal yaitu Soeharto, sehingga akan tejadi suksesi nasional pada masa itu tidak terbukti.96 Pada saat itu sepanjang tahun 1993, pentas politik Indonesia disema- rakkan dengan “langkah-langkah politik” B.J. Habibie. Setelah dianggap berhasil “menghijaukan” MPR, ia dianggap berhasil me- masukkan sebagian besar “orangnya” sebagai menteri dalam Ka- binet Pembangunan VI yang juga menjadi fungsionaris ICMI,97 dan dengan demikian telah menggeser dominasi teknokrat dan Menteri non-Muslim yang ada pada kabinet sebelumnya. Naza- ruddin Syamsuddin menyatakan bahwa “Islam telah semakin mendominasi politik Indonesia,”98 kalangan Petisi 50 yang diang- gap sebagai pembangkang oleh pemerintah Orde Baru memuji langkah-langkah politik terbuka serta keberanian B.J. Habibie tersebut. Adanya kepiawaian “political leverage” yang luas ini dihadap- kan kepada dilema antara kebebasan mengartikulasikan pemikir- an atau memahami kepentingan politik (political interest) peme- rintah; sementara dari kalangan kelompok nasionalis sekuler

96 Harapan akan terjadinya suksesi kepemimpinan nasional Indonesia pada tahun 1992, melalui analisis pengamat politik tidaklah terbukti. Seperti pandangan Michael Vatikiotis yang menulis buku Indonesia Politics under Soeharto: Order, Development and for Change, buku ini yang oleh penulisnya dimaksud sebagai penilaian menyeluruh kepemimpinan Soeharto yang diperhitungkan turun dari kursi kekuasaan pada tahun 1993. Demikian pula tulisan Jenderal Soemitro, “A Spring to Normal Politics” di mingguan Far Eastern Economic Review, 6 April 1989, lihat Amien Rais, “Harus Ada Perubahan,” dalam Amien Rais (et.all), Amien Rais Berjuang Menuntut Perubahan, Yogyakarta, Pena Cendikia, 1998, hlm.6-7. 97 Beberapa orang fungsionaris ICMI yang menjadi anggota MPR di antaranya adalah K.H. Ali Yafie, Dr. A. Watik Pratiknya, Dr. Marwah Daud Ibrahim (dari unsur dewan pengurus), sedangkan yang masuk kabinet pembangunan VI adalah Dr. Wardiman Djojonegoro (Sekretaris Jenderal) dan Dr. Haryanto Dhanutirto (Asisten IV). 98 Langkah politik B..J. Habibie yang oleh banyak pihak disebut sebagai sesuatu yang kontroversial adalah ketika dalam bulan Juni dan Juli 1993, ia menjemput berbagai spekulasi mengenai langkah politiknya. B.J. Habibie telah mendorong keterbukaan politik yang tampak semakin semarak di tahun 1993, tokoh-tokoh Petisi 50 seperti Letnan Jenderal (Purn.) Ali Sadikin, Letnan Jenderal (Purn.) H.R. Darsono, Jenderal (Purn.) A.H. Nasution, Dr. Anwar Haryono serta tokoh petisi lainnya telah diajak untuk menyaksikan hasil-hasil aktivitas pembangunan Orde Baru, lihat Detik, Januari 1994. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 241

timbul kecurigaan bahwa ICMI menjadi kendaraan politik bagi kelompok Islam. Kalangan kelompok Islam tradisional yang dimotori Abdurrahman Wahid tidak kalah gencarnya mengecam organisasi ini. Mereka menuduh ICMI sebagai sektarian dan pri- mordial, sedangkan di kalangan kelompok Islam modernis sendiri terbelah dua.99 Mengenai hal tersebut, mengutip pandangan Liddle, Makmur Makka menulis: Menurut Liddle dalam rancangan stratejik Soe- harto untuk mempertahankan kendalinya terhadap sistem politik menyongsong pemilu 1997, terben- tuknya ICMI pertama-tama harus dilihat sebagai bagian keperluan Presiden akan tunggangan politik.100 Yang jelas pertumbuhan dan peranan politik Islam saat itu telah menegaskan apa yang dikatakan seorang sejarawan Harry J. Benda, “sejarah Islam di Indonesia adalah sejarah perluasan peradaban santri, dan dampaknya terhadap kehidupan agama, sosial, dan politik di Indonesia.”101 Pencapaian politik hanya meru- pakan salah satu aspek dari kesadaran elit stratejik Islam dan umat Islam, karena capaian politik tanpa didukung fondasi inte- lektualisme yang kokoh tidak memberi makna yang berarti bahkan ada kecenderungan tampil sebagai “petualang politik”. Tampaknya muslim yang ingin dicapai ICMI bukan lagi sekedar

99 Kelompok pertama munculnya ICMI sebagai “balas budi” pemerintah Orde Baru atas kesediaan umat Islam menerima asas Pancasila. Pemerintah sudah tidak mencurigai umat Islam dan memberikan kesempatan kepada umat untuk berpartisipasi membangun negara, sedangkan kelompok kedua melihat kemunculan ICMI tidak lebih dari upaya pemerintah Orde Baru mengkooptasi kekuasaan umat Islam dengan maksud melanggengkan kekuasaannya. Jika dipilah secara lebih rinci, mereka yang mendukung dan bergabung ke dalam ICMI dapat dibagi dua: kelompok pertama, adalah mereka yang loyal penuh kepada pemerintah Orde Baru, ini umumnya memiliki latar belakang sebagai birokrat dan tidak mengakar kepada umat; sedangkan kelompok kedua, mereka yang memiliki akar kuat kepada umat dan berasal dari ormas-ormas Islam yang cukup besar seperti Muhammadiyah, NU, HMI, PII, DDII dan lainnya. Kelompok kedua ini sangat kritis terhadap semua kebijakan pemerintah Orde Baru. Amien Rais, Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, Adi Sasono, dapat dikategorikan ke dalam kelompok ini, lihat Muhammad Najib, Melawan Arus…, Ibid, hlm. 91. 100A.Makmur Makka & Dhurorudin Mashad, ICMI Politik Islam di Indonesia, Pustaka Cidesindo, Jakarta, 1996, hlm. 42-43. 101Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Pustaka Jaya, Jakarta. 242 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Muslim “sarungan” yang terbelakang, melainkan Muslim yang menjadikan kemajuan dan moralitas sebagai format pembentukan bangsa di masa depan. Seiring dengan perjalanan waktu, terjadi berbagai krisis yang sangat berat melanda bangsa Indonesia: krisis keuangan, eko- nomi, sosial, lingkungan; kemudian semakin menghangat dengan terjadinya berbagai skandal aktivitas pembangunan yang dimulai tahun 1995, dan berlanjut hingga masuknya masa pemilu 1997. Kalangan intelektual yang dimulai dengan suara mahasiswa telah mempelopori isu suksesi sebagai opini dan alasan untuk meya- kinkan massa bagaimana pemecahan masalah bangsa dan negara seharusnya dilakukan. Terjadinya krisis moneter yang diawali dengan krisis Perbankan Nasional dan diikuti nilai rupiah yang semakin memburuk,102 mengakibatkan suhu politik semakin pa- nas. Terus berlangsungnya berbagai aksi kerusuhan, aksi mogok dan demonstrasi di berbagai wilayah Indonesia semakin menim- bulkan kesangsian akan kemampuan pemerintah mengatasi persoalan bangsa ini. Pemilu yang berlangsung di tahun 1997 diwarnai dengan sikap arogansi partai pendukung pemerintah Orde Baru (Golkar) dengan melakukan aksi “kuningisasi” di sebuah kota di Jawa Tengah. Aki- batnya, timbullah reaksi dan kebencian masyarakat terhadap peme- rintah yang berkuasa. Reaksi massa di Pekalongan adalah merusak panggung yang akan digunakan juru kampanye (jurkam) Golkar, saat itu turut hadir Mbak Tutut (puteri sulung Presiden Soeharto), K.H. Zainuddin M.Z, H. Rhoma Irama). Sejak saat itu stabilitas nasional menjadi tidak terkendali, berbagai aksi dan peristiwa kerusuhan yang berbau SARA (Suku, Agama, Ras dan Golongan) terjadi, seperti peristiwa Ketapang di Kalimantan, Pekalongan- Jawa Tengah, Peristiwa Nganjuk- Jawa Timur, Peristiwa Kupang–Nusa Tenggara Timur. Juga berbagai aksi protes dan mogok yang berskala domestik sampai persoalan politik yang membuat pemerintah Indonesia

102Pada akhir September 1997, nilai rupiah telah menembus Rp 3000 perdolar dan ini terus bergerak hingga menembus Rp 15.000 per dolar, akibatnya berbagai sektor aktivitas bisnis ambruk. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 243

mendapat tekanan internasional, seperti masalah Timor-Timur. Kekacauan sosial, ekonomi dan peristiwa politik yang mengece- wakan khalayak semakin memuncak adalah begitu hasil pemilu untuk anggota parlemen di tingkat nasional baik DPR maupun MPR diresmikan pada 7 Maret 1997. Dari 170 kandidat legislatif beberapa nama itu masih memiliki hubungan dengan Presiden dan pejabat tinggi lainnya. Kemudian merebaklah isu nepotisme, dan Harmoko sebagai Ketua Golkar dengan berani dan tanpa konfirmasi segera menyatakan bahwa semua rakyat mendukung Soeharto untuk menjadi Presiden RI yang ketujuh kalinya.103 Duet Soeharto-Habibie terpilih mulus dalam Persidangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang berlangsung pada 1-11 Maret 1998, dan ini berlanjut dengan penyusunan kabinet yang mendapatkan reaksi keras dari sejumlah tokoh masyarakat, tidak terkecuali dari Nurcholish Madjid, Emil Salim, Adi Sasono, Abdul Sakir, dan lainnya.104 Amien Rais dalam tulisannya yang bertajuk Suksesi 1998 suatu keharusan,105 mengemukakan alasannya bahwa pemimpin nasi- onal telah memegang kekuasaan sejak tahun 1967, jadi telah men- capai 31 tahun. Dalam “aksioma politik”, ia mengutip ungkapan Lord Acton bahwa “power tend to corrupt and absolute power tend

103Isu Nepotisme itu kemudian dalam istilah “plesetan” dikenal dengan istilah AMPI yang sebetulnya singkatan dari nama sebuah organisasi pemuda. Ungkapan ini untuk menyindir bahwa segala sesuatu yang berkait dengan kepentingan kekuasaan dan betapa beruntungnya bila ada hubungan dengan “Anak Mantu Ponakan dan Istri” atau AMPI. 104Nurcholish Madjid mengusulkan agar para menteri yang duduk dalam kabinet Pembangunan VII dipilihkan orang-orang yang memiliki keahlian (Zaken) dan jangan sampai memilih officialdom complex, perasaan sebagai orang yang berkuasa. Emil Salim juga menyatakan bahwa pejabat mendatang harus tetap accountable-atau bertanggung jawab. Adi Sasono mengungkapkan bahwa Kabinet Pembangunan VII tidak seperti apa yang diinginkan masyarakat. Ia sangat sedih dan menghimbau masyarakat agar bersabar, jangan melakukan tindakan anarkis. Abdul Sakir dari PPP mengemukakan, “ada ketidakpercayaan dalam diri saya, apakah meraka mampu mengatasi krisis, orang-orang di kabinet sebagian tidak memiliki basis yang kuat di akar rumput, lihat Sutipyo R & Asmawi, PAN Titian Amien Rais Menuju Istana, Yogyakarta, Titian Illahi Press, 1999, hlm. 25-31. 105Mengenai tulisan Amien Rais yang bertajuk Suksesi 1998: Suatu Keharusan, secara lengkap dapat dilihat dalam buku, di antaranya tyang disusun oleh Muhammad Najib dan kawan-kawan yaitu, Amien Rais Suara Rakyat, Jakarta, Gramedia Press, hlm. 21-47 244 YUSRIL IHZA MAHENDRA

to corrupt absolutety,” kekuasaan itu cenderung untuk korup dan kekuasaan yang mutlak cenderung korup secara mutlak pula. Me- nurutnya seorang pemimpin nasional yang terlalu lama berkuasa akan terkena penyakit kultus individu (the cult of the individual), dan ini akan menyebabkan penumpulan visi dan kreativitas, tidak lagi peka terhadap dinamika yang berkembang dan hilangnya sentuhan untuk memahami keputusan yang sesuai dengan aspi- rasi rakyatnya. Yang juga cukup berbahaya menurut Amien Rais adalah diri sang pemimpin adalah personifikasi dari stabilitas serta eksistensi negara, puncak dari itu semua akan menghan- curkan demokrasi itu sendiri bagai sindrom Louis XIV dari Perancis “L‘etat ce’est moi.”106 Gagasan suksesi kepemimpinan bangsa ini dilatarbelakangi dan berawal dari pidato Presiden Soeharto dalam HUT ke-33 Golkar di Jakarta Hilton Convensional Center, yang dilaksanakan pada 19 Oktober 1997, ditegaskannya: Bilamana rakyat sudah tidak mempercayai lagi saya sebagai pemimpin, itu tidak menjadi masalah dan saya akan menempatkan diri seperti dalam falsafah pewayangan, yaitu lengser keprabon madeg pandito (pensiun menjadi pemimpin akan menjadi Begawan)107 Sikap Amien yang berani dan lugas ini mengundang tanggapan yang luas, dan dalam perspektif budaya politik Orde Baru adalah sesuatu “tabu” dan tentu menimbulkan reaksi berbagai tokoh masyarakat di seluruh negara,108 di antaranya Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra, S.H. M.A,109 dalam suatu wawancara dengan

106Ibid. 107Pernyataan Presiden Soeharto saat itu dimuat dalam harian Media Indonesia, 20 Oktober 1997. 108Amien Rais, Berjuang Menuntut Perubahan, Yogyakarta, Pena Cendikia, 1998, hlm. 85-87. 109Yusril Ihza Mahendra adalah Guru Besar, pakar bidang Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia, juga anggota keluarga besar Muhammadiyah, aktif di Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII) yang didirikan Allahu yarham DR. Mohammad Natsir. Pada masa itu Yusril diperbantukan di Kementerian Sekretariat Negara bidang Khusus yang menyusun pidato Presiden Soeharto. Kini ia memegang kedudukan Ketua Partai Bulan Bintang (PBB) dan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 245

tajuk “Tidak salah tapi khawatir,” ia menanggapi gagasan Amien Rais sebagai berikut: Mengenai kredo high politics-nya, Amien sekarang sudah tidak lagi high politics, melalui statement-nya akhir-akhir ini yang begitu keras, bahkan bersedia di- calonkan jadi presiden, high politics yang beliau mak- sudkan adalah tidak langsung, tapi dalam bentuk ga- gasan-gagasan, konsep-konsep yang akan mempenga- ruhi jalannya kehidupan bernegara…, Saya yakin se- cara pribadi orang tidak dapat menyalahkan apa yang dikatakan Amien, saya termasuk orang yang begitu juga, tapi, kekhawatiran banyak orang, dia itu bukan sekedar Amien, dia adalah ketua Muhammadiyah dan kalau terus-menerus begitu nanti dampaknya kepa- da organisasi. Saya pikir orang tidak salahkan Amien, cuma khawatir saja…110 Prof DR. Loekman Soetrisno juga memberikan apresiasinya,111 demikian pula Abdurrahaman Wahid,112 maka pro dan kontra gagasan Amien Rais telah merebak menjadi bagian “wilayah aspirasi” masyarakat Indonesia; dari berbagai kalangan dan lapisan sosial membincangkan persoalan tersebut secara intens dan antusias.113 Tidak ketinggalan adalah Wapres B.J. Habibie ikut angkat bicara usai menghadiri musyawarah kerja Komisi X dari anggota parlemen DPR RI. Habibie ketika itu menge- mukakan, “Sangat menyedihkan jika ada anggapan bahwa sipil tidak mampu menjadi pemimpin nasional padahal jika dibandingkan dengan personel ABRI, sebenarnya lebih banyak kader sipil yang memenuhi syarat.”114 Berbagai pandangan yang memberikan reaksi terhadap wacana suksesi kepemimpinan nasional itu telah memberikan inspirasi yang segar di tengah

110Republika, 17 November 1997. 111Loekman Soetrisno, “Untung Masih Ada Amien,” dalam Muhammad Najib, Suara Amien…, Ibid, hlm. 102. 112Merdeka, 6 Oktober 1997. 113Media Indonesia, 10 September 1997. 114Lihat Media Indonesia, 10 September 1997. 246 YUSRIL IHZA MAHENDRA

bangsa Indonesia untuk memikirkan dengan sungguh-sungguh perlunya perubahan politik segera secara signifikan beserta pintu pembukanya. Selain perlunya perubahan sistem yang telah gagal selama ini, juga diperlukan perubahan segera kepemimpinan nasional yang telah demikian lama berkuasa.

Yusril Ihza Mahendra: Pemikiran dan Tindakan Politiknya

USRIL Ihza Mahendra (Yusril),115 usianya terpaut lebih dari sepuluh tahun lebih muda dibandingkan Amien Rais,116 Y tetapi pemikiran-pemikiran yang dilontarkannya cukup banyak dan cukup variatif. Masalah hukum tata negara, per- politikan di Indonesia, dan pandangan mengenai keumatan serta esensi ajaran Islam yang menjadi keyakinan, kemudian keter-

115Ia seorang guru besar, pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia, Jakarta, berasal dari Desa Manggar di kawasan bagian barat dari Pulau Belitung yang terletak di sebelah pantai timur Propinsi Sumatera Selatan. Lahir pada 5 Februari 1956, usai menamatkan sekolah tingkat menengah pada SMA Perguruan Islam Belitung, ia melanjutkan pendidikan tinggi di fakultas Hukum Universitas Indonesia untuk jurusan Hukum Tata Negara (1976-1983) dan jurusan filsafat (1979-1982). Fakultas Pasca-Sarjana (program Magister), bidang Hukum (Perundang-undangan) dan Ilmu Pengetahuan Is- lam (1984), kemudian melanjutkan ke Graduate School of Humanities and Sosial Sci- ence, University of Punjab (1985), Institute of Post Graduate Studies, Universitas Sains Malaysia (1990-1993). Bertugas sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1984-1999), Universitas Muhammadiyah, Jakarta (1983-1989), Akademi Ilmu Pemasyarakatan, Departemen Kehakiman (1983-sekarang), Dosen Program Pasca- Sarjana UI, Univ. Muhammadiyah, Jakarta dan Univ. Jayabaya (1994). Staf Penelitian, Lembaga Penelitian Islam untuk Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (1990-1992). Ketua Tim Ahli Bidang Hukum, Pusat Penyelidikan dan Pelayanan Informasi DPR RI (1993-1994). Staf Sekretaris Negara RI (1994-1999). Anggota MPR Utusan Golongan Cendekiawan (1997-1998). Ahli Tim Dampak Globalisasi, Dewan Riset Nasional (1997- Sekarang). Asisten Menteri Sekretariat Negara Urusan Khusus, masa Presiden B.J. Habibie (Juli 1998-Februari 1999). Anggota DPR (Juli 1999-Oktober 1999). Kini menduduki kursi Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Pada masa Mahsiswa aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), serta Badan Organisasi Kemahasiswaan di Universitas, dan juga aktif dalam aktifitas sosial keagamaan melalui organisasi sosial, keagamaan dan dakwah. 116Amien Rais lahir pada tahun 1944, sedangkan Yusril Ihza Mahendra lahir pada tahun 1956. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 247

kaitan Islam dengan kehidupan manusia, serta tajuk-tajuk yang berdimensi filsafat dan sastra telah banyak dimuat di sejumlah majalah, surat kabar.117 Di bawah ini penulis akan kemukakan inti dari sejumlah pemikiran politik Yusril Ihza Mahendra yang berhubungan dengan masalah Islam, kehidupan bermasyarakat dan119 bernegara, ini ditulisnya di sekitar tahun 1989 sampai 1997 atau masa sebelum reformasi di Indonesia.118

■ Etika Islam dalam Perpolitikan di Indonesia Etika Islam dalam Perpolitikan Indonesia,119 sebuah tajuk dari pe- mikiran Yusril, di sini dikemukakan betapa sumbangan terbesar Is- lam dalam pembangunan politik di Indonesia adalah di bidang etika serta konsepsi dasar di bidang politik, yaitu, keadilan, demokrasi dan prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia.120 Mengemukakan landasan historis dan politik Islam dari Islam politik di Indonesia, Islam sebagai agama secara etimologis menurut pandangannya tidak dapat dipisahkan dengan politik, karena sejarah pada awal kebangkitan ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah di Jazirah Arab telah membuktikan hal ini. Ia kemukakan dalam tulisannya: Madinah yang sebelumnya bernama Yatsrib, setelah Nabi Muhammad Saw hijrah, berganti menjadi Madinah yang berasal

117Yusril Ihza memiliki dua Masterpiece dalam bentuk dua karya tulis yang telah dibukukan, yaitu Dinamika Tata Negara di Indonesia, ini kumpulan tulisan mengenai kompilasi aktual masalah konstitusi, dewan perwakilan rakyat dan sistem kepartaian di Indonesia yang diterbitkan GIP, Lainnya dilakukan dari hasil kajian mendalamnya adalah Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Suatu Perbandingan Partai Masyumi di In- donesia dengan Partai Jami’at Islami di Pakistan. Tulisan setebal 355 halaman ini merupakan disertasi untuk meraih Ph.D dari Universitas Sains Malaysia (USM) tahun 1993, diterbitkan Paramadina, 1999. 118Pemikiran-pemikiran Yusril Ihza Mahendra ini pada umumnya ditulis dan dimuat dalam media cetak dalam bentuk artikel lepas, bersifat tematik dengan muatan misi, visi dan sebagai respons terhadap persoalan-persoalan yang sedang hangat masa itu khususnya di tengah kehidupan politik dan kemasyarakatan. 119Tulisan yang dipublikasikan ini adalah bahan ceramah yang disampaikannya di Masjid Salman, Institut Teknologi Bandung (ITB), tapi tidak dijelaskan waktunya. 120Yusril Ihza Mahendra, “Etika Islam dalam Perpolitikan Indonesia,” dalam Sabar Sitanggang, Catatan Kritis dan Percikan Pemikiran Yusril Ihza Mahendra, Jakarta, Bulan Bintang, 2001, hlm. 10. 248 YUSRIL IHZA MAHENDRA

dari kata dien yang menurut bahasa Arab klasik berarti ajaran, bersifat transenden dan berasal dari Tuhan, dari dien tercipta masyarakat, terdapat norma-norma yang perlu ditegakkan dan diperlukan kekuasaan. Kekuasaan itu adalah mudun, madain yang juga berasal dari dien tercipta kota Yatsrib (Madinah), akhirnya terbentuk masyarakat berperadaban (tamadhun). Dari konsep etimologi ini, sukar melepaskan Islam dan politik.121 Islam di Indonesia sendiri telah mengalami transformasi sesuai dengan keadaan zamannya.122 Mengenai hubungan Islam dengan kenegaraan dan Pembukaan UUD 45, menurut Yusril Ihza Mahendra adalah: …Islam memberikan nilai-nilai terutama di bidang etik yang dapat ditransformasikan ke dalam struktur sebuah negara, dan tidak perlu negara tersebut disebut negara Islam, yang terpenting adalah substansinya…, sehingga walaupun tidak secara eksplisit disebut Islam namun rumusannya menampung intisari ajaran-ajaran Islam di bidang kenegaraan. Sesungguhnya UUD 1945 Indonesia telah memenuhi tuntutan normatif Islam sebagai sebuah negara, walaupun belum maksimal, yang terpenting yang harus dipikirkan generasi muda Islam sekarang selain intelektualisme, spiritualisme keagamaan, juga sangat penting adalah membangun etika bangsa yang diwarnai nilai-nilai Islam….123

121 Ibid, hlm. 7. 122Pada zaman Kolonial Belanda, transformasi Islam menjadi ideologi perjuangan, Raja Ali Haji bin Ali Ahmad, pujangga dari Riau Sumatera pada tahun 1852 telah menulis enam buku mengenai politik dan dibaca di mana-mana. Demikian pula pada tahun 1905, Sarekat Islam telah berdiri jauh sebelum pergerakan Al Ikhwan al Muslimin di Mesir yang baru berdiri tahun 1924 dan tidak pernah memerintah, tetapi Masyumi partai Islam di Indonesia, di tahun 1950-an pernah memerintah dalam penyelenggaraan negara Indonesia. Dengan demikian umat Islam Indonesia memiliki tradisi sejarah politik yang panjang serta memiliki pengalaman politik yang luas, selain itu tulisan dalam bentuk buku seperti Islam dan Sosialisme dari Tjokroaminoto, Islam sebagai Ideologi dari Mohammad Natsir, dan Membentuk Negara Islam di Indonesia, karya Zainal Abidin Ahmad, adalah sebagai contoh peranan dari Islam dan tokoh Islam. 123Ibid, hlm. 8-9. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 249

Yusril mengemukakan pandangan kritisnya mengenai esensi ajaran Islam dalam argumen dengan perspektif filosofis, sosiologis dan historis dalam mereposisikan Islam politik di Indonesia. Dalam berbagai literatur sejarah di Indonesia sangat tidak terbantahkan bahwa Islam pada masa “Indonesia lama” telah berpengaruh kuat sampai pada wilayah politik tetapi persoalan Islam yang berhubungan dengan masalah politik kemudian menjadi bahan perdebatan kembali ketika memasuki fase Indo- nesia modern yang dimulai di era pergerakan nasional.

■ Demokrasi suatu Keniscayaan Keharusan Demokrasi? (1995), Sistem Politik Indonesia antara Demokrasi dan Paham Integralistik (1996) dan Demokrasi (1996) yang merupakan tajuk dari tiga tulisannya secara terpisah,124 Yusril memberikan penjelasan pokok sebagai berikut: …Secara fakta, Islam di Indonesia bukan saja meng- hadapi dominasi politik Barat melalui kolonialisme Belan- da, tetapi sering juga berhadapan dengan berbagai kelom- pok sesama bangsa sendiri. Pada tahun 1920-an, Soekarno telah mengkonstantir bahwa ada tiga aliran ideologi yang mendasari gerakan-gerakan kemerdekaan Indonesia, yakni Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme…, dalam konteks inilah kita menyaksikan polemik di antara Agus Salim dengan Soekarno, di antara Soekarno dengan Mohammad Natsir, di antara Tjokroaminoto dengan

124Keharusan Demokratisasi: Komentar terhadap Fachry Ali, merupakan tulisan yang dimuat dalam majalah Ulumul Qur’an, No. 1, Vol. VI, Tahun 1995. Mengenai keharusan demokratisasi, merupakan respons terhadap pandangan Fachry Ali yang membahas mengenai apa yang melatarbelakangi timbulnya perjuangan politik umat di Indone- sia pada zaman sebelum kemerdekaan, yang memandang bahwa dominasi Barat di segala sektor kehidupan masyarakat Islam Indonesia sebelum kemerdekaan memang berawal dari dominasi politik, akibat dari dominasi ini amat dirasakan di perkotaan, lebih daripada di pedesaan, maka wajar saja timbul pikiran bahwa dominasi politik haruslah dihadapi dengan perjuangan politik pula, dan perjuangan politik memerlukan legitimasi ideologis. “Sistem Politik Indonesia: antara Demokratis dan Integralistik, “ adalah tulisan yang dimuat dalam sebuah buku karya Tri Sutardjo, et all, Merebut Masa Depan, APN, 1996, dan “Demokrasi,” pandangannya yang dimuat di majalah Gatra, 18 Mei 1996. 250 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Semaun atau A. Hassan dengan Soekarno, dan setelah penjajah angkat kaki dari bumi Indonesia Islam politik masih tetap tegar dengan kelahiran serta peranan Partai Masyumi, ini menunjukkan jawaban sederhana saja: kare- na kemunculan Islam politik bukan semata-mata reaksi terhadap dominasi Barat, tetapi juga faktor persaingan sesama kelompok bangsa sendiri.125 Menyangkut konsep demokrasi dalam khazanah Islam, ia mengemukakan: Saya percaya bahwa jika nilai-nilai politik dalam khazanah doktrin Islam itu ditafsirkan sebagai “sema- ngat zaman”, maka akan muncul konsep yang bercorak demokratis,…Sebab doktrin dan tradisi awal Islam sedemikian kuat mencerminkan semangat demokrasi itu. Jika demokrasi ditafsirkan sebagai kultur, yaitu pengikisan terhadap segala bentuk “feodalisme” dan kecenderungan sewenang-wenang dan menciptakan suatu tatanan masyarakat egaliter yang bekeadilan, maka doktrin Islam telah menyediakan kerangka itu. Karenanya saya percaya bahwa doktrin dan nilai-nilai Islam itu sanggup menumbuhkan tradisi demokratis dalam masyarakat Indonesia …, Dalam sejarah kabinet Sukiman-lah-sebuah kabi- net yang dipimpin Masyumi- yang pertama kali bersi- kap tegas terhadap Kartosuwiryo, sebagai par excel- lence dari kekuatan Islam yang dianggap ekstrem…, Wajah demokratis paling konkret dari Islam poli- tik,…Di masa Natsir membentuk kabinet, ia menyer- takan tokoh-tokoh nonmuslim seperti Herman Johan- es, Pelaupessy, J. Leimena, Tandiono Manu dan E.S. Haryadi,…dan dalam suatu hearing antara Presiden

125Yusril Ihza Mahendra, “Keharusan Demokratisasi? Komentar terhadap Fachry Ali,” dalam Ulumul Qur’an, No. 1, Vol. VI, tahun 1995. Lihat juga Sabar Sitanggang, Catatan…, Ibid, hlm. 103-104. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 251

Soekarno dengan tokoh-tokoh partai lainnya, maka I.J. Kasimo dan A.M. Tambunan pemimpin Partai Katolik dan Parkindo, secara tegas mengatakan kepa- da Presiden bahwa mereka lebih suka kabinet baru yang dipimpin Masyumi daripada PNI.126 Yusril membuka wacana intelektualisme bahwa universalis Is- lam sangat responsif terhadap perkembangan zaman, karena ruang syariah memungkinkan pintu ijtihad menjawab tantangan zaman, dengan sendirinya ajaran Islam itu sangat memberi ruang bagi kultur demokrasi, yaitu kesadaran untuk menerima kehadir- an saudara yang tidak seagama untuk duduk bersama dalam penyelenggaraan negara. Berdasarkan bukti sejarah bahwa masyarakat politik di negara kita bercorak dinamis, oleh sebab itu menurut tokoh ini peme- rintah harus menjauhkan diri dari anggapan bahwa sistem yang dibangun melalui TAP MPR, perundang-undangan, dan peraturan pemerintah sebagai sesuatu yang final.127 Lebih lanjut dalam tajuknya Sistem Politik Indonesia antara Demokrasi dan Paham Integralistik, dikemukakannya: Kita harus senantiasa ingat kepada dinamika kehidupan masyarakat dan negara Indonesia, masya- rakat Indonesia tumbuh dan zaman berubah…, Apa yang harus diingat oleh penyelenggara negara ialah mereka menerima “amanah” rakyat untuk menyelenggarakan keadilan, kesejahteraan serta per- lindungan….. Apa yang harus dibela adalah kepen- tingan seluruh rakyat bukan kepentingan elit…. Jadi yang terpenting dimiliki oleh setiap para penyeleng- gara negara ialah “semangat” separti yang dijelaskan UUD 1945, tetapi mengindentikkan negara dengan sebuah keluarga adalah tidak pada tempatnya. Negara

126Ibid, hlm. 108-110. 127Yusril Ihza Mahendra, “Sistem Politik Indonesia: antara Demokrasi dan Paham Integralisitik,” dalam Tri Sutardjo, et.all, Merebut Masa Depan, APN, 1996. 252 YUSRIL IHZA MAHENDRA

seyogianya dibangun secara rasional sesuai dengan tuntutan zaman.128 Yusril nampak mengingatkan bahwa kekuasaan penyelenggara- an pemerintahan negara pada masa Orde Baru merupakan ke- daulatan negara,129 ini tentu mengarah pada pemerintahan yang hegemonik dibanding dengan titik tolak yang lebih kepada pemihakan kepada kepentingan rakyat dan revitalisasi hak politik rakyat. “Perlu belajar berdemokrasi,” ini salah satu pandangan Yusril dalam tulisan yang bertajuk Demokrasi.Yusril mengajak kita untuk menyimak gagasan yang pernah dilontarkan oleh para pemikir bangsa ini. Tjokroaminoto, Soekarno, Agus Salim, Hatta, Sjahrir, sampai ke Natsir, adalah sekadar menunjukkan beberapa contoh mengenai komitmen mereka pada konsep demokrasi itu. Mengenai demokrasi, Yusril Ihza Mahendra membedakan demokrasi sebagai ideologi dengan demokrasi sebagai mekanisme atau proses. Jika demokrasi diartikan sebagai ideologi, tentu akan terlibat dalam perdebatan yang tak berujung dan mungkin saling bertentangan. Demokrasi juga dapat dilihat sebagai proses atau mekanisme dalam mengambil keputusan. Namun dalam konteks ini kita pun dihadapkan di antara pilihan apakah dengan suara terbanyak atau mengutamakan musyawarah mufakat yang tentunya ini lebih menekankan konsensus atau kedua proses itu dilalui sekaligus.130 Ia memerlukan etika politik yang ting- gi didasarkan niat dan prasangka baik kepada semua pihak. Maka sampai di batas ini, persoalan budaya menjadi penting, ia memiliki pandangan sebagai berikut: …Menumbuhkan budaya demokrasi jauh lebih sukar dibanding dengan merumuskan demokrasi

128Ibid. 129Implementasi ini tercermin dengan jelas dalam paket lima UU, yaitu UU Partai Politik dan Golongan Karya; UU Pemilu; UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD; UU Referendum dan UU Keormasan. Di samping itu, masih diberlakukannya UU Subversi warisan Orde Lama pada masa pemerintahan Orde Baru ini memperkuat indikasi semakin mengarahnya negara kepada konsep kedaulatan negara, lihat Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi Akctual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, Jakarta, Gema Insani Pers, 1996, hlm. 23. 130Yusril Ihza Mahendra, “Demokrasi,” lihat majalah Gatra, 18 Mei 1996. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 253

sebagai mekanisme. Untuk “menciptakan” budaya diperlukan pencarian akarnya di dalam masyarakat atau sebaliknya harus disosialisasikan dari atas sebagai bagian dari rekayasa sosial.131 Ia memandang bahwa demokrasi di era Orde Baru dapat berkembang dengan secara wajar bila produk dari perundang- undangan memberi ruang hak rakyat secara lebih luas, artinya perlu perubahan-perubahan yang cukup mendasar dari isi atau kandungan dalam sistem dan peraturan perpolitikan yang berlaku.

■ Pancasila sebagai Ideologi Terbuka Presiden Soeharto dalam sambutannya pada suatu seminar yang diselenggarakan Himpunan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIIS) di era 80-an, menyatakan bahwa Pancasila adalah ideologi terbuka, tentu ini menumbuhkan respons masyarakat termasuk dari Yusril Ihza Mahendra. Memberikan penjelasan dalam tulisan yang bertajuk Pancasila sebagai Ideologi yang Terbuka (tulisan ini dibuat pada 17 Mei 1995),132 sebagai suatu cita hukum, yang selanjutnya ditetapkan melalui TAP MPRS XXII/MPRS1966 sebagai sumber dari segala sumber hukum, rumusan ini harus- lah ditafsirkan secara terbatas, ia berpendapat: “Sumber dari segala sumber hukum” dalam meru- muskan norma-norma hukum positif untuk menye- lenggarakan kehidupan bemasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Pancasila sebagai “sumber hu-

131Para pemikir seperti Mohammad Hatta dan Agus Salim, berusaha mencari akar budaya demokrasi dari tradisi masyarakat desa di Minangkabau yang sangat dipengaruhi adat dan agama, demikian pula para pemikir lainnya, idealnya, separti dikatakan Bierens de Haan; volksgenemennschapsidee (gagasan yang hidup di dalam masyarakat suku-suku) itulah yang diangkat menjadi staatsidee (gagasan bernegara). Dengan cara itu kehidupan bernegara mendapatkan akar budayanya di dalam masyarakat. Ibid, lihat juga dalam Sabar Sitanggang, Catatan…, Ibid, hlm. 149-151. 132Yusril Ihza Mahendra, memberikan penjelasan dalam tulisan yang bertajuk Pancasila sebagai ideologi yang terbuka, 17 Mei 1995, bahwa rumusan Pancasila itu dapat pula disebut sebagai rumusan dasar kehendak negara dan sekaligus dasar dari kehendak hukum negara Republik Indonesia. Sebagai kehendak negara, ia dirumuskan berdasarkan kehendak yang hidup di dalam masyarakat yang telah ada sebelum negara itu didirikan. Dinamika…, Ibid, hlm. 27. 254 YUSRIL IHZA MAHENDRA

kum dari segala sumber hukum” tidak dapat ditafsir- kan mencakup kehidupan hukum keagamaan yang diyakini oleh pemeluk-pemeluknya sebagai bersifat transenden yang langsung bersumber dari Tuhan.133 Pancasila sebagai ideologi terbuka menurut pandangan Yusril Ihza Mahendra adalah: Yang dikandung oleh sila-sila Pancasila yang merupa- kan kesatuan yang bulat dan utuh itu terbatas pada nilai- nilai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dengan demikian dari waktu ke waktu harus ada usaha- usaha intensif para cendikiawan untuk melakukan kaji- an-kajian secara luas untuk memperdalam pemahaman terhadap ideologi Pancasila itu dan menghadapkannya pada tantangan-tantangan zaman yang senantiasa muncul. Tentu, dalam usaha mengembangkan pemikir- an-pemikiran terhadap Pancasila itu haruslah dicegah pemikiran-pemikiran yang tidak sejalan dengan prinsip dasar yang dianutnya…134 Negara kita bukan negara sekuler dan juga bukan negara agama melainkan negara yang memberikan ruang ajaran agama untuk tumbuh dengan subur, sebab Pancasila dan Konstitusi Negara Indonesia memberikan jaminan mengenai hal itu, ini nampak menjadi bagian pandangan Yusril.

■ Mengenai Peranan Sosial Politik ABRI (TNI-Militer), Single Majority, Recall Anggota DPR dan Pemilu Yusrilecara tegas mengemukakan persoalan peranan sosial politik ABRI, di dalam tulisannya dijelaskan: Duduknya anggota ABRI dalam fraksi tersendiri di DPR berdasarkan pengangkatan tidak mempunyai landasan konstitusional yang kokoh jika dikaitkan

133Ibid, hlm. 28 134Ibid, hlm.35 PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 255

secara lansung huruf demi huruf dengan Konstitusi UUD 1945, paling tinggi hal ini harus dilihat sebagai “konsensus” yang dituangkan dalam bentuk undang- undang atau “konvensi ketatanegaraan”…135 Sebagaimana dirasakan langsung dalam kehidupan politik di Indonesia semasa pemerintahan Orde Baru, dengan adanya pe- ranan ABRI yang tidak hanya menjalankan pertahanan dan ke- amanan negara melainkan juga dalam pengambilan keputusan dan keterlibatan politik praktis, ini tidak hanya menyebabkan lemahnya peranan sipil, lebih dari itu terjadinya “ketakutan ka- langan politisi sipil dan masyarakat” dalam mengemukakan pen- dapat yang berbeda dengan pandangan kalangan Militer, apalagi menyangkut wilayah konstitusi negara. Kemudian terjadinya do- minasi ABRI dalam menjalankan aktivitas kehidupan pemerin- tahan dan kenegaraan, dalam bagian tulisan Yusril Ihza Mahen- dra yang bertajuk Single Majority dan Demokrasi Kita (1994), dikemukakannya, “sebagai suatu gagasan patut direnungkan ABRI adalah milik semua golongan kerana itu dituntut berjiwa besar dan memberikan keteladanan sesuai dengan misi kepe- loporannya di bidang sosial dan politik.”136 Dalam tulisannya bertajuk Perlukah Hak Recall Dipertahan- kan, Yusril melakukan kritik tajam kepada Menteri Dalam Negeri yang juga selaku pembina politik yang mengemukakan bahwa anggota parlemen itu bukan sebagai wakil rakyat, tetapi wakil organisasi, karena itu organisasi sosial politik dapat saja me-re- call anggotanya di parlemen. Menurut Yusril Ihza Mahendra per- soalan ini membawa implikasi yang sangat jauh dalam sendi-sendi kehidupan bernegara di Indonesia,137 sebab Undang-Undang Dasar 1945 menganut asas kedaulatan rakyat. Kecenderungan ini akan menciptakan tirani organisasi sosial politik secara umum dan oligarki DPP Partai di negara ini, suatu hal yang tidak seja-

135Dalam bagian tulisan yang bertajuk “Peran Sospol ABRI,” Jakarta, 4 Mei 1995, dalam Yusril Ihza Mahendra, Dinamika…, Ibid, hlm. 173. 136Ibid, hlm. 196. 137Yusril Ihza Mahendra, “Perlukah Hak Recall Dipertahankan,” 7 Februari 1995, dalam Yusril, Dinamika…, Ibid, hlm. 169. 256 YUSRIL IHZA MAHENDRA

lan dengan asas-asas kehidupan bernegara. Menurutnya, sudah saatnya hak itu ditinjau kembali dalam pembaruan RUU Per- ubahan UU No. 16/1969, yang terakhir diubah dengan UU No. 2/ 1985, karena anggota parlemen pada hakekatnya adalah wakil rakyat, sehingga organisasi sosial politik tidak sepatutnya me- miliki hak recall tanpa dapat diganggu gugat seperti sekarang.138 Makna Pemilu Yang Berkualitas (1995), demikian sebuah tajuk dari tulisannya. Menurutnya, memahami partai politik di Indo- nesia ibarat orang yang melakukan lomba lari tetapi kakinya diikat dengan pemberat, maka secara teoretik tidak mungkin mampu mengejar atau menandingi kekuatan politik pemerintah (baca: Golkar). Partai hanya “hiasan” demokrasi dan pemilu hanya sebuah perhelatan besar “pesta demokrasi” yang segalanya telah diatur dan diketahui siapa pemenangnya, bukan sebuah permain- an yang penuh seni politik tinggi atau art high politics. Soeharto didukung kekuatan yang selalu besar yaitu Golkar, kemudian ABRI serta birokrasi pemerintahan. Apalagi penyelenggara pemilu bukan dilakukan institusi independen melainkan oleh pemerintah dalam hal ini Menteri Dalam Negeri. Mengenai Pemilu, Yusril Ihza mengemukakannya, “…usaha-usaha membe- nahi sistem kepartaian di Indonesia serta sebaiknya dipikirkan pelaksanaan dua sistem pemilihan umum sekaligus, yakni sistem distrik di kotamadya (sekarang pemkot, red) dan sistem proporsional di daerah kabupaten.”139

■ Implementasi Perundangan-undangan yang Berhubungan dengan Ajaran Islam Mengenai masalah perundang-undangan yang berhubungan de- ngan perintah ajaran agama melalui tulisan-tulisan yang dipu- blikasikannya, jelas sekali bahwa Yusril sangat mendukung keber- adaan UU itu dengan argumen-argumen yang berlandaskan per- spektif dasar hukum konstitusi, teori dan konsep sosial atau analogi

138Ibid, hlm. 171. 139Ibid, hlm. 207. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 257

dari pengalaman historis kehidupan bernegara. Dapat dilihat dari tulisannya yang bertajuk seperti Perlukah Undang-undang tentang Perlindungan Fakir Miskin dan Anak Terlantar (tulisan ini dibuat pada 27 Maret 1996) di sini ia menjelaskan dasariah perlunya pemberlakuan aturan mengenai hal itu. Dalam tulisan ini, ia juga menyinggung persoalan Perundang-undangan mengenai zakat, yang menurutnya bukan hanya penting buat umat, tetapi juga bagian dari perluasan pemahaman dari Konstitusi kita. Yusril mengemukakan: …kiranya memang perlu ada peraturan perundang- undangan yang secara khusus mengatur tugas-tugas pemerintah untuk “memelihara” fakir miskin dan anak-anak terlantar sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Dalam undang-undang itu, tanggung jawab “negara” dalam memelihara fakir miskin dan anak- anak terlantar itu harus dipertegas sesuai dengan amanat, baik yang tersurat maupun yang tersirat, di dalam UUD 1945, bukan dengan cara meredusir sedemikian rupa seperti yang tercermin di dalam UU Nomor 6/1974.140 Perundang-undangan yang dibuat mengenai fakir miskin dan anak terlantar itu harus benar-benar mampu mengimplemen- tasikan “kaidah-kaidah fundamental negara” yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, maupun ketentuan normatif dalam aturan-aturan dasar dalam pasal 34 UUD 45.141 Mengenai masalah Undang-Undang Zakat, dikemukakannya: Undang-undang zakat sangat bermanfaat dalam menggali potensi dana bersama membantu umat Islam menunaikan salah satu kewajiban agamanya yang memerlukan campur tangan negara melaksanakan pa- sal 34 UUD 1945,…Umat dari agama lain tidak perlu khawatir sekiranya nanti ada usaha melahirkan UU Za-

140Ibid, hlm. 114. 141Ibid. 258 YUSRIL IHZA MAHENDRA

kat, sebab hal-hal di dalam ajaran agama non-Islam yang pelaksanaannya memerlukan campur tangan kekuasaan dapat juga diatur dengan peraturan-peraturan perundang-undangan. Inilah hakikat negara ber- dasarkan Pancasila dan UUD 1945, yang sering disebut “bukan negara agama dan bukan negara sekuler” itu.142

■ Yusril Ihza Mahendra dan ICMI Dalam persoalan kelahiran ICMI Yusril memang tidak secara langsung terlibat untuk berdirinya organisasi milik umat itu sebagaimana yang dilakukan Amien Rais dan 48 orang lainnya yang turut dalam penandatanganan deklarasi. Arah dan langkah organisasi ini dalam tulisan yang bertajuk Mereka Bicara tentang ICMI: Sorotan Lima Tahun Perjalanan ICMI (1995), Yusril Ihza Mahendra memandang terlalu dini untuk memberikan penilaian kepada sebuah organisasi yang masih berada dalam tahap kon- solidasi, akan tetapi prestasi-prestasi yang dicapai itu setidak- tidaknya telah memberikan secercah harapan untuk berkembang lebih pesat dan lebih baik di masa depan. Secara politik kehadiran ICMI yang relatif masih baru itu setidak-tidaknya telah mem- buahkan hubungan umat Islam dengan pemerintah kendatipun tokoh-tokoh yang duduk di dalam pemerintahan itu tentulah bagian besarnya umat Islam juga.143 Pada dasarnya Yusril Ihza Mahendra memposisikan diri seba- gai tokoh muda Islam yang memberikan apresiasi secara wajar terhadap kehadiran organisasi ICMI. Dengan lebih menekankan kemaslahatannya untuk umat, akhirnya ia menggarisbawahi: “ma-

142Ibid, hlm. 118. 143Yusril Ihza Mahendra, ICMI, dalam Yusril, Catatan…, Ibid, hlm. 123. Dalam tajuk lainnya, Yusril Ihza mengemukakan, bahwa kelahiran organisasi-organisasi seperti ICMI adalah sesuatu yang wajar dan jauh-jauh hari sudah dapat diramalkan kemunculannya. Munculnya generasi baru Islam yang tak lagi berwawasan politik, dan tumbuhnya kesadaran baru akan pentingnya nilai-nilai Islam sebagai pedoman hidup dalam mengatasi berbagai krisis dunia modern dari kalangan Islam “abangan” tetapi bermain di “arena” politik adalah ibarat “kata bergayut, gayung bersambut”. Lihat, “Keharusan Demokratisasi?, komentar terhadap Fachry Ali,” Ulumul Qur’an, Ibid, dan dalam Sabar Sitanggang (Ed.) Ibid, hlm. 103. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 259

sih terlalu singkat untuk memberikan penilaian menyeluruh.”144

■ Peranan Umat Islam di Masa Mendatang Tema ini sangat penting karena dua hal, pertama, Yusril sen- diri sebagai tokoh Islam memiliki pengaruh dan kemampuan un- tuk melakukan kajian kritis mengenai hal ini; kedua, pandang- annya setidaknya dapat menjadi bahan studi banding untuk dapat menggali dan memecahkan kendala dan peluang umat agar me- warnai khazanah pemecahan permasalahan bangsa di masa men- datang. Dalam tulisannya yang bertajuk Prospek Peranan Umat Islam Masa Datang, Yusril menjelaskan cukup mendalam menge- nai peranan yang telah dihadirkan Islam di negeri ini dan nampaknya ia lebih banyak menggunakan pendekatan sejarah dan sosiologis untuk memperkuat argumennya. Ia memulai de- ngan kalimat dalam bentuk pertanyaan, apakah Islam dan apakah umat Islam? Dalam kajian ilmu-ilmu sosial maka rumusan-rumus- an normatif itu menurutnya akan terpantul ke dalam realitas historis pemeluk-pemeluknya; dikemukakan pula, “Istilah Islam dan Umat Islam” ibarat dua panji yang mengandung beragam arti. “Islam” bagi Sarekat Islam yang tahun 1920-an, ketika ber- debat dengan kelompok Marxis dan Nasionalis apakah sama dengan pengertian Islam bagi Partai Masyumi ketika dasar ne- gara diperdebatkan secara sah dan terbuka diperdebatkan di ta- hun 1950-an; atau lebih jauh ke belakang di masa Sultan Agung dari Mataram yang lebih memperhatikan faktor politik untuk mempertahankan eksistensi kerajaan dari rongrongan bupati- bupati yang telah memeluk Islam dengan mengubah Mataram Hindu menjadi Mataram Islam melalui simbol-simbol keislaman separti pembangunan masjid, perubahan bulan saka menjadi bulan hijrah, penyebutan Raja diubah dengan Khalifah-Sultan.145

144Ibid, hlm. 136. 145Yusril Ihza Mahendra, Prospek Peranan Umat Islam Masa Mendatang,” makalah yang dipersentasikan pada acara seminar Percakapan Cendekiawan tentang Islam, PEDATI V, Forum studi Islam FISIP, Depok, Tanggal 5-6 April, 1995, lihat juga dalam Sabar Sitanggang, Catatan…, Ibid. hlm. 18-19. 260 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Menurut Yusril Ihza Mahendra, perbedaan itu terjadi dalam kon- teks sosial politik Islam setelah mengalami proses “ideologisasi”, yaitu perumusan kembali arti Islam dalam menghadapi situasi yang berubah. Kecenderungan pribadi para perumus ideologi, ke- pentingan politik, serta perbedaan penafsiran adalah faktor–fak- tor yang ikut mempengaruhi perbedaan arti Islam bagi pendukung- nya masing-masing.146 Ia juga memperkuat argumentasinya dengan menjelaskan melalui pendekatan historis baik pada masa keadaan Islam sebelum kemerdekaan sampai pada pascakemerdekaan di tiga era sistem demokrasi yang pernah berjalan di Indonesia. Untuk menjawab peranan umat Islam di masa datang, ia mem- berikan beberapa titik tekanan yang penting yang dikemuka- kannya sebagai berikut: Bahwa Islam adalah agama yang mengandung vitalitas dan dinamika, sebagai sumber nilai dan motivasi untuk bertindak…, Dalam kenyataannya Islam politik di Indonesia telah mengalami proses kimiawi yang demikian jauh dengan tuntutan lokal sehingga proses “domestikasi” Islam juga telah terjadi dalam babakan sejarah yang panjang. Adanya kekhawatiran dari kalangan penganut aga- ma-agama lain…, sebenarnya tidak perlu jika saja simbol-simbol formal Islam “dikesampingkan,” dan transformasi Islam tidak lagi ke dalam bentuk ber- corak ideologis tetapi dalam bentuk implementasi dok- trin sebagai “rahmatan lil ‘alamin.” Islam berwajah damai, manusiawi, toleran dan mempunyai apresiasi yang tinggi kepada pluralisme masyarakat…, umat Is- lam juga dalam konteks sebuah negara bangsa harus dapat menerima kehadiran kaum bukan Muslim sebagai “saudara sebangsa” …,.147

146Ibid. 147Ibid, hlm. 24, 29-30. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 261

Apa yang dikemukakan Yusril Ihza Mahendra dari berbagai “petikan” tulisannya dari sejumlah tajuk diambil penulis sebagai pilihan-pilihan yang dianggap dapat mewakili sejumlah tulisannya yang cukup banyak jumlahnya di masa periode pemerintahan Orde Baru. Sebagai “kata kunci” dari tulisan-tulisan Yusril Ihza Mahendra yang dikutip, menurut hemat penulis sangat relevan dengan kajian yang sedang dilakukan ini, dan nuansa pemikiran yang dikemukakan tokoh ini sangat diperkuat dan diperkaya dengan aspek dimensi hukum tata negara dan aspek sejarah serta sosial sebagai latarnya, bahkan sebagai data yang mengokohkan pandangan-pandangannya. Ia tidak semata beranjak dari kekuatan pemikiran dan pertimbangan situasional sebagaimana layaknya tokoh politik umumnya. Penting juga untuk mengamati pemikiran atau nuansa gagasan yang ditampilkan ketika ia telah memasuki pusat pemerintahan atau birokrasi, dalam hal ini akan difokuskan kepada peranannya selaku penulis konsep pidato Presiden Soeharto pada masa era 1995-1997, yaitu masa akhir rezim Orde Baru. Ini sangat penting untuk melihat konsistensi dan kemampuannya selama ini sebagai seorang akademisi dan aktivis serta juru dakwah, yang kini memasuki dunia birokrasi politik, “apakah ia mewarnai atau diwarnai” oleh “sibgath atau warna” politik Orde Baru.

Yusril Ihza Mahendra: Orangnya Natsir; penulis Pidato (Speechs Writer) Presiden

EKEMBALI dari Malaysia setelah menyelesaikan Ph.D. di bidang ilmu politik dari Universitas Sains Malaysia (USM),148 S suatu hari setelah satu tahun Yusril Ihza Mahendra bekerja di Sekretariat Negara Republik Indonesia. Moerdiono-lah yang membuka jati diri Yusril Ihza Mahendra di depan Soeharto. “Siapa

148Yudi Pramuko, Yusril Ihza Mahendra Sang Bintang Cemerlang; Perjuangan Menegakkan Sistem dan Akhlak Berpolitik, Jakarta, Berdikari, 2000, hlm. 29. 262 YUSRIL IHZA MAHENDRA

anak muda ini?” tanya Presiden, “Dialah yang membuat pidato- pidato Bapak selama ini,” jawab Moerdiono terus terang. “Lho ini kan orangnya Natsir?”149 Moerdiono mengangguk, membenar- kan penilaian Presiden dan nampaknya kesimpulan telah diper- oleh “bahwa orangnya Natsir” ini seorang pakar yang bekerja se- cara profesional. Soeharto sadar ia berhadapan dengan anak muda berwawasan luas, mungkin karena partimbangan itulah, Yusril Ihza Mahendra tetap dipertahankan menjadi speechs writer.150 Yusril Ihza Mahendra adalah penulis sekitar 204151 naskah pidato Presiden Soeharto yang bekerja selama lebih kurang dua tahun dalam karirnya. Menulis pidato politik bukanlah pekerjaan yang dapat dilakukan setiap orang, ini memang diperlukan ting- kat kecerdasan yang tinggi, pemahaman yang luas terhadap persoalan-persoalan yang berkembang dan dikaitkan dengan kebijakan serta starategi politik dari seorang Presiden. Yusril Ihza Mahendra melakukan pilihan dengan masuk dalam pusat kekuasaan untuk melakukan perubahan politik dari dalam mela- lui transformasi gagasan ke dalam isi dan arah konsep-konsep pidato yang disusunnya. Adalah penting bagi penulis untuk menjelaskan sejumlah naskah pidato Presiden Soeharto yang rumusan naskahnya dibuat oleh Yusril Ihza Mahendra. Bagi penulis ada 9 naskah pilihan, 3 naskah akan dijelaskan melalui kutipan-kutipan yang diambil dari bagian-

149Natsir (Dr. Mohammad Natsir), adalah Perdana Menteri Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1950-1951. Pada tahun 1946, dalam kabinet Sjahrir ke-2 dan ke-3 serta tahun 1949, dalam kabinet Hatta ke-1 menjadi Menteri Penerangan Republik Indonesia, dan sejak 1949 hingga 1958 ia terpilih menjadi Ketua Umum Partai Masyumi. Oleh rezim Orde Lama pada masa Soekarno, Natsir ditahan di Batu Malang, Jawa Timur dan terakhir di Rumah Tahanan Militer Keagungan Jakarta, sejak 1962 sampai 1966. 150Ibid. 151Ini hasil penelusuran yang dilakukan penulis pada bulan Juni 2002 di Sekretariat Negara pada bagian Dokumentasi, atas rekomendasi Menteri Kehakiman dan HAM, izin serta bantuan sejumlah staf. Dari 204 naskah yang kita pelajari, penulis hanya menjadikan objek kajian sebanyak 14 tajuk naskah, di mana naskah tesebut telah mewakili sejumlah tajuk penting yang ada hubungannya dengan penelitian ini. Pada sekitar bulan Juni, penulis diberi akses cukup luas dan juga kebebasan untuk mempelajari naskah-naskah tersebut. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 263

bagian naskah pidato Presiden, dan selebihnya 6 naskah akan diuraikan dalam suatu rumusan kalimat secara keseluruhan, penulis menganggap penting karena berkaitan dengan pengkajian tulisan ini. Dari 9 naskah yang dikelompokkan sebagai bahan kajian, 4 naskah merupakan pidato Presiden Soeharto di hadapan kalangan mahasiswa Univesitas Negeri, organisasi mahasiswa Islam terbesar, dalam rangka peringatan hari pendidikan Nasional dan dalam kongres VII Himpunan untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS); 1 naskah pidato Presiden di hadapan peringatan hari jadi KOSTRAD (Komando Strategis Angkatan Darat); 1 naskah pidato yang disampaikan kepada umat Islam dalam suatu acara peringatan keagamaan; 1 naskah pidato Presiden yang disampaikan dalam fo- rum internasional dari utusan Para Menteri negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI); 1 naskah pidato Presiden dalam upacara sumpah jabatan sebagai Presiden RI; dan 1 naskah pidato Presiden di hadapan tokoh masyarakat LKMD/LMD. Kesembilan naskah pidato Presiden Soeharto itu disusun sekitar tahun 1995 sampai 1998, masa di mana negara Indonesia sedang mengalami kecenderungan perubahan politik dan awal krisis yang sangat berat terhadap kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Berikut ini akan dijelaskan isi dari keempat naskah pidato Presiden di hadapan kalangan terpelajar dengan uraian berdasar- kan pengambilan bagian alinea atau paragraf yang penulis ang- gap penting untuk dijadikan bahan kajian. Dalam pidato Presiden pada peresmian kampus baru Univer- sitas Andalas dan fasilitas peningkatan pengendalian banjir kanal kota Padang, Sumatera Barat, pada 4 September 1995, di kota Padang,152 Soeharto mengemukakan: Alhamdulillah, hari ini saya dapat kembali ber- kunjung ke Sumatera Barat salah satu provinsi di Pulau Sumatera yang paling berhasil dalam melaksa- nakan pembangunan. 152Isi pidato ini berasal dari naskah asli yang penulis dapatkan dari Sekretariat Negara pada bagian dokumentasi/penyimpanan naskah, untuk selanjutnya bagian kutipan pidato-pidato Presiden diambil dari sumber yang sama. 264 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Perguruan tinggi tidak saja mampu menghasilkan sumber daya manusia yang tangguh dan berkualitas tetapi mampu mengembangkan hasil-hasil penyelidik- an yang bermutu tinggi bagi kemajuan bangsa. Pergu- ruan tinggi tidak dapat berdiam diri dalam mengikuti irama perkembangan masyarakat. Dalam zaman pembangunan segenap warga perguru- an tinggi kita harapkan berperan aktif dalam meme- cahkan berbagai masalah yang dihadapi oleh bangsa. Sumatera Barat dikenal sebagai salah satu daerah yang masyarakatnya sangat menghargai pendidikan dan ilmu pengetahuan. Sejak zaman penjajah, Sumatera Barat telah aktif membangun perguruan-pergu- ruan swasta yang besar sumbangannya dalam menghasilkan kader-kader pejuang, sastrawan dan cendekiawan bangsa kita. Secara tradisional masyarakat Sumatera Barat menempatkan kaum cerdik pandai dalam kedudukan yang terhormat, sebagai salah satu unsur penting dalam kepemimpinan masyara- kat,…Kalau sekarang, para cerdik cendekia yang berasal dari Sumatera Barat barangkali terasa surut peranannya dalam kehidupan bangsa kita, hal ini tidak berarti bahwa Sumatera Barat mengalami kemunduran. Ini terjadi kare- na justru daerah-daerah lain mengalami kemajuan yang pesat… …Saya percaya, bahwa generasi muda yang menuntut ilmu di universitas ini, adalah generasi baru yang bersemangat dan mempunyai tekad untuk meneruskan perjuangan para pendahulu kita, ialah mengisi kemerdekaan dengan amal-amal perbuatan yang nyata, yang dapat dirasakan oleh segenap lapisan masyarakat… Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa membe- rikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 265

Hal yang menarik bagi penulis adalah di dalam isi pidato ini memiliki sejumlah istilah dan makna yang membawa perubahan dari format dan misi pidato yang jauh dari yang sebelumnya pernah dilakukan, pada bagian alinea ke-1 dan ke-21 telah mulai menggunakan istilah yang berkesan bernuansa Islam, berbeda dari isi pidato sebelumnya. Selama ini terutama pada masa awal sekitar 1970-1980-an pidato Presiden Soeharto sangat diwarnai istilah-istilah dalam budaya Jawa atau Sansekerta yang tentu misi dan penyusun naskah pidato itu juga memiliki latar belakang dan misi yang berbeda. Pada aliena ke-8 terdapat kalimat yang telah memberikan suasana baru atau dorongan dari Presiden Soeharto yang dipesankan kepada masyarakat akademis di uni- versitas untuk tidak berdiam diri dalam menghadapi berbagai masalah bangsanya. Pandangan yang dikemukakan itu telah mendorong mahasiswa untuk kritis, kemudian terjadi perubahan dalam suasana politik lokal di Sumatera Barat yang jauh sebelum pidato itu masyarakat di daerah ini keadaan situasi politknya selalu stabil dan para tokohnya sangat loyal dengan pemerintah Orde Baru. Tokoh-tokoh yang disegani di tengah masyarakat Su- matera Barat antara lain: Adam Malik, Harun Zein, Bustanil Arifin, Azwar Anas, Alfian, Hassan Basri Durin, Alwi Dahlan, Fahmi Idris, orang-orang yang loyal terhadap pemerintah Orde Baru, tetapi setelah Pidato Presiden ini di kota Padang mulai terjadi guncangan politik lokal yang berdimensi nasional dalam bentuk aksi dan demonstrasi mahasiswa Universitas dalam kasus pemilihan Gubernur serta tuntutan adanya reformasi kehidupan bernegara dan terbukti (sebagai catatan: dukungan kepada Amien Rais dalam pemilu di era Reformasi sangatlah kuat), mahasiswa sudah mulai berani mengadakan aksi di depan kantor gubernur serta gedung DPRD, bahkan upaya mengadakan aksi mogok di wilayah lapangan udara Tabing merupakan peristiwa politik yang memiliki catatan tersendiri dalam proses perubahan di kemudian hari. Pidato Soeharto itu secara tidak sadar telah “memicu” su- asana politik yang memang telah mulai memanas di Sumatera Barat. 266 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Pada alinea ke-9 terpampang pengakuan secara jujur dari pemerintah tentang peran masyarakat Sumatera Barat dalam khazanah kemajuan ilmu dan kelahiran tokoh-tokoh besar dari negeri Minang ini dan memang konstribusi daerah ini dalam mewarnai dan mempelopori kemajuan bangsa sangatlah besar. Selama ini ada kesan diabaikannya hal ini, mungkin karena me- mang banyak tokoh cerdik pandai dan para ulama dari tanah Minang ini dalam pergerakan politiknya tidak sejalan dengan to- koh nasional dari Jawa yang umumnya berasal dari kalangan na- sionalis sekuler. Tokoh dari Minangkabau seperti Mohammad Hatta, Sjahrir, Agus Salim, Tan Malaka, Mohammad Natsir, Ham- ka, Sutan Takdir Ali Syahbana, Deliar Noer dan lainnya, umum- nya mereka berasal dari kalangan Masyumi atau setidak-tidaknya sangat taat kepada ajaran Islam dan berpikir secara modernis. Pidato Presiden Soeharto pada syukuran 50 tahun Himpunan Mahasiswa Islam pada 20 Maret 1997, di Balai Sidang, Jakarta. Isi pidatonya, Soeharto mengemukakan: …HMI, berjuang untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 45. HMI juga bercita-cita untuk memper- tinggi martabat bangsa serta ikut mengembangkan syiar agama Islam… Sejak awal berdirinya, HMI telah meletakkan se- mangat kebangsaan dan semangat keagamaan dalam satu napas. Memang, kita semua sadar bahwa semangat kebangsaan yang kita junjung tinggi dapat menemu- kan titik temunya dengan semangat ajaran Islam yang universal. Islam mengingatkan kepada kita mengenai “hubbul wathan minal iman,” cinta Tanah Air adalah sebagai dari iman. Kita semua berbesar hati bahwa selama ini HMI telah berhasil melakukan peranannya sebagai salah PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 267

satu organisasi kemahasiswaan di tengah-tengah bangsanya yang sedang membangun. HMI telah melahirkan ribuan kader bangsa yang menyebar…, kader-kader bangsa yang tangguh itu adalah kader- kader yang mencintai bangsa dan Tanah Airnya, bertekad untuk memajukan bangsanya, serta meme- gang teguh nilai-nilai akhlak dan budi pekerti yang luhur. Saudara-saudara, Saya merasa lega bahwa dalam memasuki usia ke-50 tahun ini, HMI makin tumbuh dewasa. Sebagai organisasi kemahasiswaan yang bertujuan untuk melahirkan insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernapaskan Islam, serta bertanggung jawab atas terwujudnya masyara- kat adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT, HMI sungguh-sungguh menyadari kemajemukan bangsa kita. Semangat Islam akan tetap hidup dalam organisasi ini. Demikian pula semangat Pancasila akan selama- nya mengalir dalam napas HMI. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua. Perubahan isi atau teks penting dalam pidato ini adalah banyak penggunaan istilah-istilah yang diambil dari ajaran agama Islam, dan kesediaan Soeharto datang dalam aktivitas syukuran dari sebuah organisasi ekstramahasiswa yang selama pemerintahan Orde Baru sangat kritis, korektif terhadap kebijaksanaan pemerintah, termasuk persoalan penerimaan asas Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berorganisasi, atau- pun persoalan-persoalan kebijakan pemerintah yang dirasakan tidak popular untuk orang banyak, dan HMI selalu menyikapinya 268 YUSRIL IHZA MAHENDRA

dengan mengeluarkan statement politik secara formal. Kehadiran Soeharto dan isi pidato yang memberikan penghargaan atas sikap HMI yang terikat terhadap kebangsaan sekaligus keagamaan serta persandingan istilah nilai-nilai akhlak dan budi pekerti luhur, semangat Islam dan semangat Pancasila, telah memberikan sua- sana psikologi politik akan adanya pola hubungan yang bersifat apresiatif dan integratif serta pengakuan bahwa spirit Islam itu sangat penting dalam kehidupan politik di negeri ini. Pada pidato Presiden memperingati hari Pendidikan Nasional tahun 1987 pada 2 Mei 1987, di Istana Negara. Dalam isi pidato ini Presiden Soeharto selain menjelaskan mengenai perkembangan dan strategi pendidikan nasional ke depan, secara eksplisit penyampaian informasi mengenai perkembangan lembaga atau institusi pendidikan Islam (madrasah) yang disebutkan itu, me- nunjukkan perhatiannya kepada kelompok dan kepentingan umat Islam, yang terlihat pada alinea ke-9 dari naskah pidato itu. Pada tiga naskah pidato Presiden Soeharto yang disampaikan di hadapan mahasiswa universitas atau generasi muda terpelajar Indonesia umumnya dan kalangan terpelajar dari kelompok Islam khususnya, menunjukkan adanya perubahan baik isi dan misi dari pidato yang disampaikan. Dari segi isi telah mulai bergeser dari penggunaan istilah Jawa kuno atau istilah sansekerta dengan istilah yang terkandung dalam ajaran Islam, setidaknya terjadi kombinasi tetapi itupun lebih menonjol penggunaan istilah yang bernuansa Islam. Segi misi yang nampak dari pidato Presiden adalah kecenderungan memberikan kesempatan lebih terbuka kepada masyarakat untuk ruang partisipasi politik dalam arti luas. Ada kemungkinan antara suatu kesadaran baru atau bagian dari langkah taktis politik Soeharto untuk mempertahankan citranya. Dalam pidato Presiden Soeharto pada pembukaan Kongres VII Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS) dan Seminar Nasional Ilmu-Ilmu Sosial 1997, pada 18 Maret 1997 di Medan, Sumatera Utara, isinya berupa pengakuan akan pentingnya sumbangan pemikiran dan hasil-hasil para PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 269

ilmuwan sosial kita. Suatu pengakuan yang akan dapat menghin- darkan kita dari kekeliruan dalam membawa perencanaan pem- bangunan dan mendorong untuk melakukan pengkajian yang sungguh-sungguh. Selama ini penekanan pidato Soeharto lebih kepada partimbangan ekonomis atau fisik dalam mengukur keber- hasilan pembangunan pemerintah. Ia juga telah menekankan faktor rohani, menurutnya tradisi yang agung serta nilai-nilai keruhanian yang tinggi sebagai pengaruh dari ajaran agama-agama besar dunia hidup dan berkembang dalam ma- syarakat kita. Sifat-sifat jujur, amanah, tanggung jawab dan di- siplin adalah nilai-nilai etika yang dapat kita temukan di dalam warisan budaya dan tradisi keagamaan masyarakat kita; adalah menjadi tanggung jawab kita bersama dalam mempersiapkan ma- syarakat profesional Indonesia yang insya Allah dapat kita capai pada tahun 2003 nanti. Pidato Presiden Soeharto yang disampaikan di hadapan asosiasi profesi tersebut sangat berbeda dari yang sebelumnya. Isi dan misi pidato sangat bersifat ajakan dan renungan tentang bagaimana secara bersama antara pemerintah dan asosiasi keilmuan ini dapat berperan untuk mengatasi persoalan tersebut, selain adanya sikap memberikan penghargaan pada asoisasi untuk melakukan inovasi, perhatian serta koreksi, di pihak pemerintah sendiri tidak berkesan memberikan arahan atau “instruksi”. Semua itu terlihat pada para- graf ke-4, 6, 8 dari bagian pidatonya. Sedangkan pada paragraf ke-11, 12, 19 dan 20, memberikan makna dari misi pidato terhadap pentingnya menempatkan peran agama (selain tradisi) untuk menjadi sumber membangun masyarakat profesional, selain terasa nuansa Islam dalam penggunaan istilah. Naskah pidato yang juga sangat berkesan yaitu saat penyam- paian pidato (tertulis) Presiden Soeharto pada perayaan ke-36 KOSTRAD (Komando strategis Angkatan Darat), pada 6 Maret 1997, di Jakarta, bagian isi pidato adalah: Dalam keseluruhan gerak pembangunan jajaran Ang- katan Bersenjata mengambil posisi dasar “tut wuri 270 YUSRIL IHZA MAHENDRA

handayani.” Maknanya adalah agar peranan utama dalam pembangunan nasional itu diemban oleh rakyat sendiri serta penyelenggara negara lainnya. Dalam posisi yang demikian itu, jajaran ABRI (sekarang diubah men- jadi TNI dan Polri, Pen.) mengukur keberhasilannya pada taraf kemajuan yang dicapai oleh warga masyara- kat serta oleh para penyelenggara negara lainnya dalam menunaikan peranannya masing-masing. Peranan Angkatan Bersenjata (ABRI) terutama adalah untuk memberikan jaminan keamanan serta ketenteraman bagi masyarakat serta bagi aparat negara lainnya. Ko- mando teritorial serta pasukan dalam jajarannya merupakan lini pertama dari dukungan yang diberikan oleh jajaran Angkatan Bersenjata kita terhadap proses pembangunan nasional itu. Unsur Angkatan Bersenjata yang secara langsung berada di tengah masyarakat adalah Kepolisian Republik Indonesia. Isi dari Pidato Presiden yang dikemukakan di hadapan salah satu unit atau institusi dari militer Indonesia yang sangat stra- tegis peranan serta kedudukannya ini memiliki arti yang sangat penting terhadap paradigma secara keseluruhan Angkatan Ber- senjata yang kini telah berubah menjadi Tentara Nasional Indo- nesia (TNI) dalam mendudukkan posisinya sebagai bagian inti dari kekuatan bangsa. Ada dua hal yang penting dari isi pidato Pre- siden, diambil dari alinea ke-5 itu, yakni: Pertama, yang berhu- bungan dengan reposisi ABRI dalam menempatkan peran sosial politiknya pada pembangunan serta penyelenggaraan kehidupan kenegaraan. Penggunaan istilah dari etika Jawa yang disebutkan di dalam isi pidato iaitu “tut wuri handayani”153 yang memiliki arti

153Dalam etika falsafah kehidupan budaya masyarakat Jawa, yang ini kemudian diambil menjadi bagian etika yang dikembangkan terhadap masyarakat Indonesia melalui penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) sebagai pemandu kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dari rakyat Indonesia, ada tiga istilah yaitu; Ing Ngarso Sung Tulodo (memberi teladan; ini diposisikan di depan), Ing Madyo Mbangun Karso (membangun semangat; ini diposisikan di samping-sejajar) dan Tut Wuri Handayani ( memberikan dorongan; ini diposisikan di belakang ). PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 271

dan makna bahwa siapa saja yang ditempatkan dalam pengertian falsafah ini ialah memberikan dorongan, ini berarti posisinya di belakang bukan di depan. Dalam konteks peranan militer pada masa kini dan masa datang dalam wilayah aktivitasnya. Presiden telah mengamanatkan bahwa jajaran militer dari semua Angkat- an tidak lagi menempatkan posisinya “di depan” dalam arena so- sial politik, berarti, peranan sipil akan segera mengganti peranan utama yang dilakukan militer selama ini yang selalu tampil memimpin dinamika sosial politik bangsa. Kedua, adanya amanat atau isyarat segera dirancang pemikiran untuk melakukan repo- sisi dalam peranan unsur Angkatan Bersenjata dengan menem- patkan polisi sebagai unsur utama yang secara langsung berada di tengah masyarakat untuk melakukan penjagaan keamanan masyarakat. Reposisi ini menggeser peranan teritorial yang selama ini dipegang oleh militer (khususnya Angkatan Darat) dalam menjaga keamanan wilayah dan masyarakat. Untuk pidato lainnya yang penting adalah pidato Presiden Soeharto pada peringatan Nuzulul Quran 1417 Hijriah (25 Januari 1997) di Masjid Istiqlal, Jakarta dan pidato pada pembukaan Muktamar VI Menteri-Menteri Wakaf dan Urusan Islam negara- negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 29 Oktober 1997, di Istana Negara, Jakarta. Dalam pidatonya pada peringatan Nuzulul Quran Presiden Soeharto sangat apresiatif terhadap apa yang menjadi hakekat misi Islam diturunkan ke tengah manusia, bahkan dalam penyam- paiannya itu menggunakan pendekatan bahasa pidato yang penuh merujuk pada nash-nash Alquran serta berbagai istilah yang ter- kandung di dalamnya. Ini merupakan sesuatu yang sangat baru yang kita temui dibandingkan pidato-pidato Presiden Soeharto jauh sebelumnya. Kata taqarrub, Khaliq, berakhlak nampak demikian terbuka dikemukakannya, seperti yang dikemukakan Presiden dalam bagian isi pidatonya, yaitu, Al-Quran mulai turun pada bulan Ramadhan. Inti ibadah puasa adalah mengendalikan nafsu; agar kita 272 YUSRIL IHZA MAHENDRA

senantiasa dekat, taqqarrub kepada Allah … … Dengan melaksanakan pembangunan yang demikian itu kita ingin mengubah masyarakat kita menjadi masyarakat yang berakhlak. ... Agama kita juga mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang dimuliakan oleh Tuhan Al- Khalik, karena itu kita harus menghormati harkat dan martabat sesama kita… Pidato Presiden ini disampaikan khususnya kepada umat yang menganut agama Islam, dan ini pemeluk mayoritas di Indonesia yang hampir mencapai 90 persen dari keseluruhan. Pidato ini memiliki nilai stratejik karena selain disampaikan kepada umat Islam yang mayoritas juga disampaikan dalam hari besar bagi agama Islam. Isi dan misi pidato pertama banyak menggunakan istilah yang sangat Islamis dan nuansa pidatonya pun himbauan yang bernuansa Islam, di dalam alinea 1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 12, 18, dan 22 sangat dapat dirasakan, bahkan format atau struktur bahasa dari mukadimah pidato merupakan hal yang biasa digunakan di lingkungan organisasi- organisasi Islam. Demikian pula misi yang disampaikan adalah sangat jelas berbobot keislaman, misalnya, kata al Kholiq, berakhlak, lahir dan bathin, istilah yang ada dalam pidato itu tidak lagi berlandas budaya lokal, melainkan lebih bernapaskan Islam. Pada pidato pembukaan Muktamar VI Menteri-menteri wakaf dan urusan Islam negara-negara anggota Organisasi Konperensi Islam (OKI) pada 29 Oktober 1997 di Istana Negara, Jakarta, bagian isi pidatonya menegaskan: …Sebagai bangsa yang pandai bersyukur, …melalui pembangunan tadi, kami berharap agar negara kami dapat menjadi baldatun thayyibah wa rabbun ghafur, negara yang aman makmur serta mendapat ampunan dari Allah SWT. …bahwa kelima sila dari Pancasila itu sebagai sesuatu yang sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 273

agamanya. Umat Islam di negeri kami, bahkan meya- kini bahwa Pancasila adalah kalimatin sawa’ bainana wa bainahum, yakni landasan bersama yang dapat mempersatukan masyarakat yang maje- muk menjadi sebuah bangsa yang kukuh dan kuat rasa persatuan dan kesatuannya… …Begitu juga Alquran, misalnya pada Surat An Nisa ayat 32 menegaskan antara lain bahwa lelaki maupun wanita akan memperoleh hak sesuai yang diusahakannya. Ini berarti perjuangan untuk meng- angkat derajat wanita … …Keseimbangan salah satu di antara kata kunci dalam agama Islam yang akan membawa kebahagiaan umat manusia, di dunia dan di akhirat kelak. Pidato Presiden ini cukup panjang dibanding kebiasaan yang ada dalam suatu acara seremonial, lebih-kurang ada 25 alinea atau paragraf, Soeharto sangat memberikan “suprise” dalam muatan isi pidato tersebut. Penggunaan istilah yang bermakna dalam dari Alquran kemudian pengutipan kalimat Alquran serta menegaskan posisi Pancasila dalam Islam, bukan posisi Islam dalam Pancasila, artinya Pancasila dilihat dari perspektif Islam, ini sesuatu yang luar biasa, dan sesuatu di luar kebiasaan pidato- pidato jauh sebelum ini. Soeharto sebagai presiden, sebagai se- orang Muslim, yang telah berpidato demikian minat dan tertarik kepada “panggilan” ajaran Islam ini dapat dilihat dalam alinea 1,11,17, 20, 21, 22 dan 25. Pidato lainnya adalah pidato pada upacara sumpah jabatan Presiden Republik Indonesia di hadapan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, pada 11 Maret 1998, bagian isi pidato Presiden adalah: Sumpah jabatan itu saya lakukan menurut agama saya, agama Islam. Kata-kata awal sumpah itu adalah “Demi Allah, saya bersumpah…” Sebagai seorang Mus- 274 YUSRIL IHZA MAHENDRA

lim saya mencamkan benar makna kata-kata itu. Di hari pengadilan terakhir nanti, saya harus mempertanggung- jawabkan semua tindakan saya, …di hadapan Tuhan Yang Mahatahu dan Mahakuasa. Dengan selalu memohon bimbingan dan kekuatan lahir batin dari Allah SWT, maka mulai sekarang saya siap melaksanakan tugas sebagai Presiden Republik Indonesia. Penulis memandang sumpah jabatan atau kedudukan dalam kepemimpinan pemerintahan sangatlah penting. Bagi seorang Muslim kedudukan atau jabatan itu bukan semata prestasi kehidupan yang membawa kemanfaatan besar baik bagi dirinya maupun masyarakat yang dipimpinnya, lebih penting dan men- dasar dalam ajaran Islam kedudukan adalah karunia sekaligus amanah, ini berarti setiap kedudukan akan diminta pertanggung- jawabannya kelak di hadapan Allah SWT. Dengan demikian sumpah jabatan atau kedudukan memiliki konsekuensi tidak hanya dari segi perundang-undangan tetapi juga ada konsekuensi moral. Pada alinea ke-19 dan 20 komitmen keislaman Soeharto demikian kuat, bila dilihat dari pernyataan tertulis dari naskah pidatonya, bahkan tidak ada satu pun kata yang di masa awal Orde Baru selalu didengungkan seperti istilah Pancasilais sejati, atau nilai-nilai luhur atau Pancasilais. Pernyataan sebagai seorang Muslim lebih menegaskan jati diri secara moral dan spiri- tual dibandingkan pernyataan sebagai seorang warganegara yang hanya berdimensi hukum dan etika. Pada alinea ke-31 mem- berikan isyarat adanya kesadaran untuk bersedia dikritik dan memposisikan institusi atau lembaga legislatif untuk mengambil peran dalam melakukan koreksi dan pengawasan, pernyataan itu sebuah langkah penting dan mendasar yang pernah dikemukakan dari kata-kata dalam teks pidato sebelumnya dalam berbagai pidato yang pernah dikemukakan Presiden Soeharto. Pada kata akhir sambutan di alinea ke-36, ada kejelasan sikap mengenai tempat berpegang dan bersandar sebagai seorang pemegang amanah kenegaraan yaitu komitmen kepada Allah SWT, di dalam PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 275

masyarakat pluralistik ini. Bagian-bagian pidato Soeharto pada masa ini sangat penting untuk menjadi bahan penyelidikan. Isi dari bagian pidato-pidato di atas memberikan eksplanasi mengenai nuansa Islam yang demikian kuat dibandingkan era sebelumnya dari kepemimpinan Soeharto, dan pidato lainnya telah memulai membuka dimensi baru dalam pola komunikasi, interaksi politik yang ditumbuh- kannya. Sejak Yusril Ihza Mahendra diberi kepercayaan untuk menyusun dan merumuskan naskah itu, ia telah menunjukkan peranan yang sangat penting untuk suatu upaya perubahan dari pusat kekuasaan. Apakah perubahan itu merupakan suatu kesa- daran baru yang berkait dengan faktor internal dalam diri Presi- den Soeharto?; atau, perubahan itu merupakan bagian dari pilihan strategi untuk mempertahankan kedudukannya; atau bertemunya suatu kepentingan yang sama dalam ruang waktu (time space) politik yang bersamaan dengan didasarkan mem- prediksi situasi politik yang berkembang terhadap segala macam kemungkinan. Yang jelas selama Yusril Ihza diberi kepercayaan pada aktivitas itu, isi pidato Presiden Soeharto nampak meng- alami perubahan secara signifikan dan semua itu secara sadar atau tidak sadar telah mendorong, memicu dan “membuka pintu” untuk terjadinya proses akselerasi reformasi sosial, politik dan ekonomi negara Indonesia.

Hari-Hari yang Melelahkan dan Detik-detik yang Menegangkan

ERJADI kemacetan komunikasi di antara kekuatan refor- masi dengan kekuatan yang mempertahankan status quo T setelah berbagai upaya untuk mencari jalan keluar agar Soeharto mundur dengan jiwa besar belum dapat diterima. Bukti penolakan dari Soeharto jelas indikasinya ketika 1 Mei 1998, Men- teri Dalam Negeri (Jend. Purnawirawan) R. Hartono dan Menteri Penerangan DR. M. Alwi Dahlan menjelaskan di televisi dan ra- 276 YUSRIL IHZA MAHENDRA

dio baawa perubahan dalam bidang politik baru akan dimulai da- lam tahun 2003,154 tetapi sikap itu yang berubah lagi, dalam siaran pers keesokan harinya Alwi Dahlan meralat perkataannya bahwa reformasi akan segera berlangsung secara konstitusional. Penje- lasan ini telah menimbulkan kekecewaan besar di masyarakat khususnya di kubu reformasi dan pendukung utamaya, yaitu mahasiswa, dan tambah diperburuk ketika pemerintah kembali membuat “kebijakan” menaikkan harga bahan bakar minyak, tarif listrik dan angkutan umum. Mulanya terjadi bentrokan demons- tran mahasiswa dengan aparat keamanan pada 23 Maret 1998, Universitas Sebelas Maret (UNS), yang menyebabkan 25 mahasis- wa luka parah, dan peristiwa ini mengundang solidaritas mahasis- wa untuk mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Kom- nas HAM).155 Aksi demonstrasi mahasiswa ini berlanjut di sepan- jang bulan Mei, bulan yang merupakan tiada hari tanpa aksi ini terjadi dari Sabang sampai Merauke, dan Soeharto saat itu sedang melakukan lawatannya ke Kairo, Mesir. Selasa, 12 Mei 1998, unjuk rasa mahasiswa Universitas Tri- sakti di Jakarta berujung tragis; empat mahasiswa tewas tertem- bak, yaitu: Elang Mulia, Heri Hartanto, Hendriawan dan Hafidin Royan. Pada insiden itu beberapa mahasiswa juga luka tertembak peluru, yang paling mengerikan adalah, para mahasiswa ditem- bak justru setelah berada di pekarangan kampus setelah sebelum- nya “dipukul mundur” dari jalan raya. Masyarakat Jakarta secara spontan menaikkan bendera sertengah tiang dan jenazah pahla- wan reformasi itu dimakamkan dengan dihadiri berbagai tokoh masyarakat. Tokoh reformasi lainnya yang hadir antara lain Amien Rais, dengan menyatakan belasungkawanya dan melaku- kan pidato di kampus tersebut, juga Megawati Soekarno Putri, Arief Rahman dan tokoh lainnya hadir memberikan sambutan serta doa. Kehadiran Amien Rais dijemput ribuan mahasiswa, seorang mahasiswi menyerahkan sekuntum mawar merah ketika

154Mahtu Mastoem, Ibid, hlm.48. 155Sutiop R & Asmawi, PAN Titian Amien Rais Menuju Istana, Yogyakarta, Titian Ilahi Press, 1999, hlm.34. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 277

Amien Rais dibawa ke mimbar dan ia menyebut pelajar univer- sitas yang tewas sebagai “syuhada” dan “pahlawan” reformasi, serta kepada mahasiswa ia meyakinkan agar tidak surut dalam perjuangan reformasi. Jumat, 15 Mei 1998, Presiden Soeharto tiba dari lawatannya ke Kairo, Mesir. Dalam lawatannya itu diberitakan oleh media massa luar maupun dalam negeri bahwa Soeharto menyatakan siap mundur secara konstitusional jika rakyat menghendaki, te- tapi pernyataan itu diralat kemudian oleh sejumlah petinggi pemerintah dengan mengatakan bahawa terjadi misunderstand- ing di kalangan para wartawan dalam memahami kata-kata Presi- den.156 Pada saat yang sama Amien Rais berceramah di Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru, dalam ceramahnya Amien mengutuk pelaku kerusuhan sehari sebelumnya, tetapi ia juga tak lupa mengutuk “penjarah” yang menguras negeri ini selama sekitar 32 tahun.157 Sabtu, 16 Mei 1998, Presiden Soeharto mene- rima Rektor dan beberapa dosen Universitas Indonesia di kedi- amannya di Jl. Cendana, Jakarata Pusat, pada kesempatan terse- but beliau menyatakan dirinya siap lengser keprabon (turun dari kekuasaan) secara konstitusional jika memang dikehendaki. Tak lama setelah itu pimpinan DPR/MPR datang menghadap, dipim- pin Harmoko, eks wartawan yang juga Ketua Umum Golkar, menyerahkan dokumen dan menyampaikan aspirasi rakyat yang masuk ke dewan berupa tuntutan reformasi, reshuffle kabinet, sidang istimewa MPR, dan meminta Presiden mengundurkan diri dari kedudukan selaku Presiden.158 Tak lama setelah itu, Senin, 18 Mei, rombongan mahasiswa berduyun-duyun mulai menemui para anggota serta pimpinan

156Sutipyo R & Asmawi, Ibid, hlm. 37. 157Mahtum Mstoem, Ibid, hlm. 53. 158Pada saat yang sama ,Amien Rais berceramah di depan ahli dan simpatisan organisasi Muhammadiyah di Lamongan, Jawa Timur. Ada beredar berita; hari ini Amien Rais ditangkap., berita yang sama juga diterima istrinya ( Kusnaryati) di Yogyakarta, tetapi ternyata pada 17 Mei ketika Ibu Kota Jakarta telah terkendali aman, Amien Rais sedang berada di Cirebon, Jawa Barat, dalam keadaan aman, maka pada malam harinya di jabatan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, ia menerima wartawan yang ingin menanyakan mengenai berita penangkapan ke atas dirinya. Ibid. hlm. 54. 278 YUSRIL IHZA MAHENDRA

DPR/MPR di Senayan, Jakarta. Mahasiswa yang datang berge- lombang menduduki tempat mereka bersidang, dan seluruh ba- gian area penuh lautan mahasiswa dari berbagai universitas baik yang berada di Jakarta, maupun yang datang dari berbagai uni- versitas kota besar di Indonesia. Atas desakan dan tekanan mere- ka, menjelang petang, Ketua DPR/MPR didampingi keempat wakil-wakil ketua, mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden Soeharto secara arif dan bijaksana mengun- durkan diri.159 Pada malam itu juga, Menhankam/ Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto memberikan pernyataan pers, bahwa “pernyataan pimpinan DPR agar Presiden Soeharto mengundur- kan diri merupakan sikap dan pendapat individual, meskipun per- nyataan itu disampaikan secara kolektif.”160 Situasi politik tidak menunjukkan perkembangan ke arah yang lebih baik, sementara dukungan masyarakat kepada mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR semakin mengalir.161 Tetapi di balik keadaan ini pada petang hari terjadi suasana yang ber- tolak belakang dengan apa yang ada di gedung tersebut. Terbetik beritan bahwa di jalan-jalan muncul orang-orang yang berteriak “gantung Soeharto,” gejala ini sangat mengkhawatirkan, sebab ini dapat menimbulkan anarki dan aksi massa yang brutal, karena

159Sementara itu lepas Maghrib, Soeharto bertemu dengan beberapa Menteri termasuk Mentreri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI, Jenderal TNI Wiranto. Pada jam 21.30 empat Menteri Kordinatr ingin menghadap Presiden Soeharto untuk melaporkan perkembangan situasi terakhir. Sebenarnya empat Menteri itu ingin menyarankan agar Kabinet Pembangunan VII dibubarkan saja dan menggantinya dengan Kabinmet Reformasi, tetapi niat itu tidak jadi disampaikan karena melihat keadaan Soeharto secara mental tidak menguntungkan, lihat Sutipyo & Asnawi, Ibid, hlm, 40. 160Mahtum Mastoem, Ibid, 54. 161Sementara itu Anwar Haryono, seorang tokoh Islam dan pernah menjadi pimpinan Parti masyumi meminta Amien Rais datang kerumahnya, menurut Anwar Haryono, sejak 1990-an Soeharto sudah “berubah,” dan karena itu apakah tidak sebaiknya didukung untuk melaksanakan reformasi? Amien Rais menjawab, menurut ijtihad saya Pak Harto tidak dapat memimpin reformasi dan harus turun secepatnya, Ia menjawab dengan santun. Ia segera harus pergi ke gedung parlimen untuk memenuhi jemputan ahli Dewan Perwakilan Rakyat untuk menjelaskan konsep reformasi dan menjawab berbagai pertanyaan ahli parlemen. Reformasi damai itu mengkiat kain putih itu di kopiah Amien Rais ketika menuju gedung parlemen, Ibid. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 279

itu beberapa orang menyarankan Amien Rais berbicara di televisi untuk menenangkan massa.162 Pada 19 Mei 1998, awalnya, jelas Yusril Ihza, Nurcholish Ma- djid mengusulkan namanya kepada Sa’adilah Mursyid, lalu Men- teri ini mengajak Nurcholish dan Yusril untuk memenuhi un- dangan Soeharto, menuju ke Istana. Mereka berangkat dari ru- mah kediaman Malik Fajar, yang di sana juga telah hadir Amien Rais, Adi Sasono dan Parni Hadi dan sebelum berangkat mereka membahas perkembangan situasi politik terakhir, serta strategi khusus untuk menyiasati undangan Presiden itu. Dalam pertemu- an itu diputuskan bahwa sebagai juru bicara adalah Nurcholish Madjid dan Yusril Ihza Mahendra, sementara Amien Rais tidak dapat berangkat ke istana karena tidak mendapat undangan dan memang tidak diperkenankan Soeharto. Di pertemuan yang ber- sejarah itu Nurcholish Madjid, salah seorang tokoh yang lebih senior di antara mereka berkata: “Bismillah,” kita berangkat, ucapnya ringkas, sam- bil mendekati Yusril Ihza Mahendra dan Amien Rais, dengan kedua belah tangannya Nurcholish Madjid merapatkan kedua orang itu dalam rangkulannya, sambil berkata “Anda berdualah yang akan menjadi dwitunggal di masa depan, seorang dari Jawa, yang satu dari Sumatera (luar Jawa). Kita masuk zaman baru. Pak Harto itu mundur saja. Golkar itu bubar saja. Kita dirikan partai yang baru. Kita masuki zaman yang baru. Anda berdua inilah dwitunggal masa depan,” tutur Nurcholish Madjid, dengan suara mengandung harapan.163

162Parni Hadi segera menghubungi stasiun TVRI, dan Nurcholish Madjid menyiapkan naskah untuk Amien Rais sampaikan. Amien Rais kemudian menyampaikan kemenangan reformasi dengan rasa syukur, sekaligus menghimbau agar menjaga persatuan dan kesatuan bangsa;”jangan melakukan tindakan destruktif, dan warga keturunan Cina diharapkan tidak panik, jiwa harta benda mereka tidak boleh diganggu. Amien menyatakan bahwa 20 Mei sebagai hari kemenangan reformasi, Ibid, hlm, 55. 163Yudi Pramuko, Yusril Ihza Mahendra sang bintang cemerlang, Jakarta, puter berdikri bangsa, 2000, hlam. 162-163. 280 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Soeharto “meminta petunjuk” kepada sembilan tokoh nasional yang dianggap dapat dipercaya.164 Karena keberaniannya untuk mengemukakan keterusterangan di depan Soeharto bahkan mendiktenya, disaksikan Nurcholish Madjid, Emha Ainun Najib, dan tokoh lainnya, Yusril berbicara dan Soeharto menuliskannya dengan tangan, di antara kata-kata penting yang didiktekan itu, yang masih diingatnya adalah “saya setuju akan mundur selam- bat-lambatnya dalam waktu enam bulan.” Pertemuan itu berakhir dengan rencana pembentukan Kabinet Reformasi dan kesediaan mundur Soeharto. Presiden setelah pertemuan itu memberi kete- rangan pers yang intinya mengemukakan: “Bagi saya sebenarnya mundur atau tidaknya itu tidak menjadi masalah, yang perlu kita perhatikan apakah dengan mundurnya saya keadaan dapat segera berubah,”165 dan Yusril Ihza Mahendra sempat berdebat panas de- ngan Jenderal Wiranto selaku Panglima ABRI.166 Soeharto akan mundur selambat-lambatnya enam bulan, ia mempertanggungja- wabkan di depan MPR di hadapan sidang istimewa, dan untuk mengurus transisi dibentuk Komite Reformasi yang bertugas menuntaskan pemindahan kekuasaan orang nomor satu itu.167

164Kesembilan tokoh Islam itu adalah Nurchlish Madjid (cendikiawan), Yusril Ihza Mahendra (Ahli Hukum Tata Negara), Malik Fajar dan Sumarsono (Muhammadiyah), Abdurrahman Wahid (Ketua PB NU), Ali Yafie (MUI), Ahmad Bagdja, Ma’ruf Amien (NU) dan Emha Ainun Najib (Budayawan). Adapun Pemberian cap sebagai orang “gila” adalah sebuah penilaian positif Nurcholish Madjid ke atas Yusril Ihza Mahendra atas keterus terangan, keberanian, integriti dan kematangan intelektuil Yusril di hadapan Presiden Soeharto pada detik-detik yang mendebarkan dan kritis itu bagi penyelesian politik secara damai, tanpa pertumpahan darah. Ibid, hlm. 170. 165Ada yang menganggap bahawa kata-kata Soeharto bila dicermati diatas, hal itu merupakan sinyal terbukanya pintu reformasi sekaligus “ancaman” karena Soeharto masih menganggap punya banyak tenaga rencana. Karena itu , ia memutuskan untuk segera membentuk cabinet reformasi, me-reshuffle kabinet Pembangunan VII dan menggantinya dengan kabinet reformasi, serta segera akan mengadakan Pilihan raya atau pemilu berdasarkan UU Pilihan raya yang baru, lihat Sutipyo & Asmawi, Ibid, hlm. 41. 166Perdebatan itu berkisar kritikan Yuril Ihza kepada Panglima ABRI Jendral Wiranto mengenai keberadaan para jendral ada di kota Malang saat terjadi kerusuhan di Kota Jakarta, kecuali Panglima Daerah Kota Jakarta iaitu Mayjen Safri Syamsuddin selaku penanggung jawab territorial Jakarta. Jenderal Wiranto sendiri tak berusaha menjawab pertanyaan Yusril Ihza Mahendra, ia berusaha menahan diri-namun ia merasa marah karena keterus terangan dan merasa malu di depan Presiden serta tokoh lainnya yang hadir. Lihat Yudi P[ramuko, ibid. hlm. 168. 167Malam harinya, Soeharto bersama Sa’adilah Mursyid dan Yusril Ihza menyusun daftar nama calon Kabinet Reformasi, dari Soeharto sebanyak 20 orang, sedang PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 281

Pada 21 Mei 1998, jam 01.30 Wib, rencana pengunduran diri Soe- harto sebagai Presiden telah menyebar luas. Amien Rais mengetahui keputusan itu sekitar dua jam sebelumnya, langsung disampaikan Yusril Ihza Mahendra, informasi ini lalu diteruskan kepada sejumlah orang.168 AwalnyaYusril mendapat foto kopi surat ke-14 Menteri itu seraya berkomentar kepada Sa’adilah “Wah keadaan akan gawat,” Sa’adillah pun gemetar membaca surat itu. Menurut analisis Yusril Ihza Mahendra jika Soeharto mengumumkan Kabinet Reformasi, maka dapat dipermalukan di depan publik, dan Soeharto akan kehilangan muka karena sebagian nama yang diusulkan itu akan menolak. Yusril pun mengetok kepalan tangannya ke meja, “Saya (maksudnya Soeharto) berhenti,” ungkapYusril,169 malam itu juga Soeharto menerima surat ke-14 Menterinya yang tidak bersedia dipilih kembali dan setelah membaca surat itu menurut Probosu- tedjo, Soeharto terlihat gugup dan bimbang, dan saat itu juga Habibie dikontak tentang kesediaannya menerima kedudukan selaku Presiden. Soeharto mengatakan kepada Sa’adilah Mursyid “Kalau begitu saya berhenti,” ia memerintahkan Sa’adilah untuk

dari Sa’adilah Mursyid dan Yusril sebanyak 25 orang dan kabinet itu diumumkan pada tarikh 21 Mei, 1998. Namun Yusril sendiri secara pribadi menduga Komite akan gagal karena bahru sehari diumumkan esoknya akan dibentuk, waktu yang sangat terbatas, dan ketika ke-45 calon ahli Komite Reformasi itu di kontak, telah banyak yang menolak. Nurkholish Madjid sejak semula telah menolak, demikian pula Abdurrahman Wahid, Malik Fajar, Amien Rais dan teman-temannya juga menolak, Bahkan Amien Rasi menganggap itu hanya suatu dagelan politik, Fahmi Idris ragu, demikian pula ketika Sa’adilah Mursyid mengontak sejumlah nama, naum tidak ada yang bersedia menerima Komite Reformasi itu, Ibid, hlm. 172. 168Di antaranya adalah Nurcholish Madjid, Syafii Ma’arif, Emha Ainun Najib, Utomo Danandjaya dan Djohan Effendi, kemudian sebuah pertemuan digelar dikediaman rasmi Prof. Malik Fajar, Amien Rais dan kawan-kawan mengadakan jumpa pers, dan mengucapkan; ‘ Selamat tingal pemerintahan lama, selamat datang pemerintahan baru,’ lihat Mahtum Mastoem, Ibid, hlm. 60. 169Sementara Amien Rais yang didampingi para toko lainnya diantaranya Emil Salim, Deliar Noer, Adnan Buyung Nasution, Goenawan Muhammad di depan pengeras suara di jabatan parlemen DPR/MPR berteriak: “ ABRI harus memilih, apakah akan melindungi kakek yang berusia 78 tahun atau memihak 200 juta rakyat”, juga 14 Menteri di bawah koordinasi Menko Ekuin mengadakan pertemuan yang intinya adalah sepakat tidak besedia untuk menjadi Menteri lagi dalam Kabinet Reformasi, diantaranya adalah Akbar Tanjung, A.M. Hendropriyono, Ginanjar Kartasasmita, Giri Suseno, Haryanto Dhanuntirto, Justika Baharsyah, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang, Rahardi Ramlan, Subiakto Tjarawerdaya, Sanyoto Sastrowardoyo, Sumhadi, Theo. L. Sambuaga dan Tanri Abeng, lihat Forum Keadilan, No. 5, Tahun VII, 15 Jun 1998, hlm. 63. 282 YUSRIL IHZA MAHENDRA

menyiapkan teks pengunduran diri sesuai dengan teks konstitusi, dan ia juga memerintahkan agar acara dilangsungkan keesokan harinya di istana. Untuk hal ini Sa’adilah menemui Yusril Ihza Ma- hendra dalam rangka mempersiapkan teks pidato yang dinilai sesuai dengan pelaksanaan UUD 45 pasal 8, dan teks pidato setelah selesai disusun diberi tajuk “Pernyataan berhenti sebagai Presiden RI.”170 Pada hari yang sama, pada 20 Mei malam di rumah Malik Fajar, di hadapan kawan-kawannya, di antaranya Amien Rais, Adi Sasono, Parni Hadi dan sejumlah nama lain, Yusril Ihza Mahendra mengemukakan bahwa dirinya mendengar kabar jika Soeharto tidak mundur, sejumlah Menterinya yang akan mundur, kabar itu diteri- ma dari Akbar Tanjung yang memperlihatkan foto kopi surat pengunduran diri para Menteri yang diprakarsai Ginanjar Karta- sasmita. Dalam pertemuan “gelap” di rumah Malik Fajar, Amien Rais setuju Habibie naik menjadi Presiden, saat itu Yusril Ihza Mahendra menegaskan Amien Rais hendaknya jangan menuding Habibie sebagai Presiden transisi melainkan sebagai Presiden yang sah yang melanjutkan kepemimpinan Soeharto, sebab menurutnya hanya dengan cara inilah ia dapat meyakinkan ABRI. Amien Rais kemudian sepakat dan malam itu juga Yusril Ihza Mahendra langsung bertemu dengan Jenderal Soebagyo HS untuk meyakinkan bahwa Soeharto sudah pasti berhenti dan Habibie naik menjadi Presiden. Ia menjelaskan bahwa proses suksesi itu sudah sesuai dengan Pasal 8 UUD 45, dan Tap MPR No. VII, tahun 1973. Bila hal ini tidak dilakukan, menurut Yusril, tidak dapat dibayangkan kemungkinan akan terjadinya pertumpahan darah.171 Mencegah darah tertumpah, inilah upaya yang Yusril Ihza Ma- hendra lakukan, waktu itu ia bersama Bambang Kesowo, Sunarto Sudarno, Yasril Yakob-Sekretaris Militer Pengaman Presiden, dan dokter pribadi Presiden.172 Mereka membahas bersama-sama,

170Sutiopyo R. & Asmawi, Ibid, hlm. 44. 171Berita Buana, Kesaksian politik Yusril Ihza Mahendra (2), 16 Mac, 1999. 172Penyusunan konsep itu dimulai sekitar jam 1 Malam, dan berakhir menjelang subuh tarikh 21 Mei 1998. Soeharto tidak ikut dalam penyusunan konsep itu, konsep diketik oleh Bambang Kesowo, menjelang penyusunan konsep itu, Yusril yang berada di jalan Cendana melakukan komunikasi berkali-kali dengan Amien Rais melalui handphone, PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 283

ada diskusi yang agak panjang di antara Yusril Ihza Mahendra dengan Bambang Kesowo tentang bagaimana langkah-langkah- nya, apa namanya, sampai muncullah judul “Pernyataan berhenti sebagai Presiden RI.”173 Selanjutnya mengenai bagaimana me- mahami Pasal 8 UUD 45, jika Presiden berhenti, Yusril Ihza Ma- hendra sebagai pakar hukum tata negara mengemukakan: …jika Presiden menyampaikan berhenti kepada MPR, itu berarti harus dilakukan di depan Sidang Istimewa. Sebaliknya, kalau Presiden menyatakan, atau declare secara sepihak, maka hal itu dapat dilakukan tanpa menunggu persetujuan kepada siapa kita membuat statement itu. Problemnya dengan menyatakan berhenti seperti itu berarti ter- jadi kevakuman, kekosongan kekuasaan, Pasal 8 UUD 45 menyatakan, Wakil Presiden otomatis menjadi Presiden. Namun menurut TAP MPR No. VII Tahun 1973, Wakil Presiden mengucap- kan sumpah di hadapan DPR; jika tidak dapat di depan Mahkamah Agung. Saya mengingatkan bahwa DPR ketika itu sedang diduduki sehingga tidak mungkin diselenggarakan sidang DPR, karena itu kami menyepakati di depan Mahkamah Agung. Sa’adilah langsung mengontak Ketua Mahkamah Agung Sarwata, ia disuruh bersiap malam itu juga, tapi tak diberitahu apa yang sebenarnya terjadi. Saya juga bilang kepada Sa’adilah bahwa besok pimpinan DPR mau menghadap Presiden untuk menyerahkan kesepakatan fraksi-fraksi yang meminta Soeharto mundur, jadi tak (usah) dikasih tahu bahwa besok Presiden akan mundur.174

membahas hal-hal penting berkenaan posisi Soeharto yang secara politis telah terdesak, komunikasi dilakukan dalam bahasa Inggris, karena menurut Yusril banyak tentara disekitarnya. Terjadi debat keras dan panjang diantra Yusril dengan bambang Kesowo mengeanai UUD 45 Pasal 8, mengenai pergantian Presiden. Menurut penafsiran Bambang, jika Presiden menyatakan behenti maka yang menggantikan fungsi-fungsi kepresidenan secara otomatis adalah Wakil (timbalan), sebaliknya Yusril berpendapat, kedudukan wakil Presiden berubah menjadi Presiden, menggantikan Presiden yang telah berhenti. Lihat Yudi Pramuko, Ibid, hlm. 174. 173 Forum Keadilan, No. 5 Tahun VII, 15 Jun, 1999, hlm. 63. 174Yusril menegaskan, pernyataan berhenti sebagai Presiden dilakukan dengan pertimbangan utama agar proses pergantian Soeharto berlangsung konstitusional, damai dan tidak terjadi pertumpahan darah. Yang patut dicatat dalam sejarah, adalah mereka yakni Sa’adilah 284 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Usai penyusunan naskah itu Soeharto menandatangani “Pernyataan pengunduran diri sebagai Presiden R.I.” Tanda tangan bersejarah terjadi pada dini hari, 21 Mei 1998, pada saat kritis sebagaimana fakta telah berbicara, bahwa banyak teman Soeharto “melarikan diri” karena tidak berani mengambil risiko yang demikian besar, sebaliknya Yusril Ihza Mahendra datang sebagai cendekiawan yang diundang dengan mengambil inisiatif untuk ikut serta menyelesaikan krisis politik terbesar dari sejarah politik bangsa ini, dengan cara damai dan mengesankan.175 Pagi harinya, 21 Mei 1998, jam 08.45 Wib, setelah para pimpinan Par- lemen tiba di Istana Merdeka, juga Ketua Mahkamah Agung, Se- telah mereka berkumpul, Soeharto berkata, “Karena semua fraksi di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) menginginkan saya mundur, maka saya akan berhenti…”, “Saya akan memenuhi permintaan DPR dan Pimpinan fraksi-fraksi DPR, Saya akan melaksanakan Pasal 8 UUD 1945.” Tak lama kemudian Soeharto beranjak dari tempat tersebut (Ruang Jepara), di ruang Credential berkarpet merah, dengan wajah kecewa, Soeharto menyampaikan pidato “Pernyataan berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia”.176

Mursyid dan Soeharto, menghadapi situasi yang tidak dapat diramalkan, amat cemas malam itu, Bahkan menurut Yusril Soeharto sendiri mempersoalkan motivasi pihak- pihak yang menginginkan Sidang istimewa, padahal keadaan sudah begitu serius. Meraka tidak mengerti akibat politiknya, jika sidang istimewa dipaksakan, yakni dapat menimbulkan pertumpahan darah dan kekacauan, dan jika ini berlangsung Sidang Istimewa lalu terjadi deadlock, maka kata Soeharto militer akan mengambil alih kekuasaan. Lihat Forum Keadilan, 15 Juni 1998, hlm. 64. 175Lihat, Yudi Pramuko, Ibid, hlm. 176. 176Sutipyo & Asmawi, Ibid, hlm. 45. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 1 285 286 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Yusril Ihza Mahendra menteri yang bersahaja PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 2 287

Pemikiran dan Tindakan Politik 2 Dalam Reformasi Politik555 Indonesia Baru (1998-2002)

ALAM wacana publik, jatuhnya Soeharto dari kursi keku- asaan sempat menimbulkan polemik, ada yang menyatakan D tindakannya itu merupakan bentuk “pengunduran diri”, sehingga kedudukan B.J. Habibie menggantikan Soeharto secara otomatis sebagai Presiden Republik Indonesia yang ketiga tidak sah karena dianggap bagian dari rezim Soeharto. Pandangan lain- nya berdasar kedudukan hukum ketatanegaraan dengan melihat konstitusi yang berlaku bahwa Soeharto itu dinyatakan “berhenti” dari kedudukan sebagai Presiden, maka secara otomatis B.J. Habibie dinyatakan sah menggantikannya selaku Presiden.1 Pada

1 Yusril secara tegas mengatakan, “Saya tidak suka dengan istilah lengser atau mundur, yang benar adalah Pak Harto menyatakan berhenti. Dua konsep itu, mundur atau berhenti mempunyai pengertian yang jauh berbeda,” lihat Tempo, 9 Mei 1998, dalam Kawiyan, Membangun Indonesia yang Demokratis dan Berkeadilan, Jakarta, Globalpublik, 2000, hlm. 108. 288 YUSRIL IHZA MAHENDRA

masa pascapemerintahan Soeharto, yaitu sejak 1998 sampai 2002, dalam masa yang singkat ini telah terjadi pergantian kepala pemerintahan di Indonesia sebanyak tiga kali: B.J. Habibie (1998- 1999) sebagai Presiden ke-3; Presiden terpilih Abdurrahman Wa- hid (2000-2002) sebagai Presiden ke-4; dan Megawati Soekarno- putri sebagai Presiden ke-5, menggantikan Abdurrahman Wahid di perjalanan masa tugasnya. Jatuhnya Soeharto dan tampilnya B.J. Habibie memimpin pemerintahan baru pada satu sisi dapat dikatakan membawa bless- ing in disguise (hikmah yang tersembunyi) bagi kekuatan-kekuatan oposisi di Indonesia. Ini ditandai dengan suasana ephoria politik yang terasa demikian kuat dan tak terbendung, pers yang selama pemerintahan Soeharto dikontrol sangat ketat kini demikian leluasa menginformasikan berbagai peristiwa, dan partai-partai politik telah tumbuh dengan marak. Jumlah partai yang resmi terdaftar lebih dari 100, sedangkan yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti pemilihan umum sebanyak 48 partai dengan asasnya berbeda-beda: Islam, Pancasila, Sosialisme, Nasionalisme, Demokrasi dan lainnya. Selain itu tirani rezim Soeharto atau Orde Baru yang telah runtuh itu dalam melakukan penyelewengan konstitusional UUD 1945, bukan sesuatu rahasia lagi.2 Sisi lain yang tak kalah penting adalah pernyataan B.J. Habibie pada 3 Juni 1998, ketika mengunjungi Abdurrahman Wahid yang sedang sakit karena stroke di kediamannya di Ciganjur, “semua pihak boleh mendirikan partai politik baru asalkan tetap berasas Pancasila dan UUD 1945, dengan tidak mempersoalkan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) atau primordialisme.”3 Ini telah mengubah pentas politik ke dalam

2 Menurut penelitian yang dilakukan pakar politik senior Prof. DR. Deliar Noer, pemerintahan di bawah kepemimpinan Soeharto telah menyimpang dari rel Konstitusi (UUD 45) sebanyak 22 dari 37 Pasal atau 60 persen, serta menyalahgunakan Pancasila secara semena-mena sebagai alat untuk melestarikan kekuasaan (Soeparno. 1998). 3 Perintisan pendirian partai sebenarnya sudah dimulai pada tahun 1996, dua tahun sebelum Soeharto menyatakan berhenti memegang kekuasaan yaitu ketika Sri Bintang Pamungkas mendirikan Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) dan Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang diketuai Budiman Sujatmiko. Sedangkan dalam perkembangan kemudian, jumlah partai pada masa awal Reformasi mencapai angka di atas 100, namun yang berhak mengikuti pemilihan umum sesuai perundang-undangan yang berlaku sebanyak 48 Partai, di antaranya adalah Partai Pekerja Indonesia (PPI) diketuai Imam PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 2 289

suasana demokratis tetapi juga menimbulkan ketegangan sosial pada lapisan akar rumput (massa) di Indonesia yang tentunya jauh berbeda dengan keadaan masyarakat pada era pemerintahan sebelumnya.4 Presiden B.J. Habibie sendiri dalam sebuah jurnal mengemukakan: Saya ingin menyampaikan komitmen saya pada aspirasi rakyat untuk melakukan reformasi secara bertahap dan konstitusional di segala bidang dengan memulihkan kehidupan sosial-konomi, meningkatkan kehidupan politik yang demokratis dengan mengikuti tuntutan zaman generasinya, dan menegakkan kepastian hukum sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.5 B.J. Habibie telah melakukan langkah-langkah strategis sebagai respons terhadap tuntutan khalayak ramai, seperti memasukkan anggota yang berasal dari berbagai kalangan baik mantan aktivis, anggota organisasi atau persarikatan sosial politik, praktisi dan kalangan intelektual dalam susunan menteri di era reformasi,

Soedarno, berdiri pada 20 Mei; kemudian PNI diketuai Ibu Supeni; Partai Refeormasi Indonesia (PRI) yang dipelopori para dosen dari Universitas Pembinaan Masyarakat Indonesia (UMPI); Partai Perempuan Indonesia (PPI) yang dibentuk La Rose dan Titi Said; Partai Kristen Indonesia (Parkindo) diketuai Sabam Sirait; Partai Republik (PR); Partai Kedaulatan Rakyat Indonesia (PRRI); Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) yang menyatakan keluar dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP); pada 23 Juli 1998 berdiri Partai Kebangkitan Bangsa yang diketuai Matori Abdul Jalil di bawah kepeloporan Abdurrahman Wahid; pada 26 Juli 1998 di halaman Masjid Agung Al-Azhar berdiri Partai Bulan Bintang (PBB) dengan ketua Yusril Ihza Mahendra; 27 Juli berdiri Partai Solidaritas Uni Indonesia (SUNI) diketuai Abu Hasan; Parti Ka’bah berasas Islam, diketuai H. Sofyan M. Sofyan berbasis massa NU; Partai Masyumi Baru, diketuai Ridwan Saidi berasas Islam, berbasis massa Muhammadiyah; Partai Umat Islam (PUI) diketuai Deliar Noer, berbasis massa Muhammadiyah, NU, Perti, PII, Al-Irsyad; Partai Pembela Tarekat Indonesia dengan ketuanya Muchtar Daya, berasas Islam dan Pancasila berbasis massa Pondok Pesantren terutama di Jawa; Partai Keadilan (PK) diketuai Nur Mahmudi dan Hidayat Nurwahid dengan asas Islam; agak terlambat kemudian lahir Partai Amanat Naional (PAN) yang diketuai Mohammad Amien Rais yang diresmikan di gedung Istora Senayan pada 23 Agustus 1998. 4 Dukungan untuk pemerintahan B.J. Habibie datang dari dalam dan luar negeri, Abdurrahman Wahid yang selama ini dinilai berseberangan dengan B.J. Habibie secara tidak terduga menyatakan dukungannya. Dari luar negeri pemerintahan Jepang, Aus- tralia, Uni Eropa bahkan Sekjen PBB merasa lega dengan peralihan kekuasaan di Indonesia yang berlangsung damai, walaupun sebelumnya diawali dengan kerusuhan dan sejumlah tragedi. 5 Gatra, 30 Mei 1998. 290 YUSRIL IHZA MAHENDRA

walaupun sebagian dari mereka ada yang dianggap kurang credibel. Di bidang hukum dan perundang-undangan, B.J. Habibie memberi- kan amnesti dan abolisi terhadap sejumlah tahanan politik korban dari penindasan pemerintahan Soeharto, kemudian untuk meng- ambil hati rakyat, ia mengundang enam tokoh kritis yaitu Amien Rais, Emil Salim, Sudjana Syafii dan Rudini, ke kediaman Presiden, pertemuan itu mempersiapkan agenda reformasi yang sesuai dengan aspirasi rakyat.6 Sebagaimana penjelasan pada bagian bab terdahulu, bahwa Yusril Ihza Mahendra berjuang melakukan reformasi politik mela- lui pusat kekuasaan sebagai penulis pidato Presiden Soeharto, pada era pemerintahan Presiden B.J. Habibie ia pun masih sempat dilibatkan dalam penyusunan pidato, namun tidak lagi terlibat banyak dalam pemerintahan. Tawaran agar bersedia duduk dalam kabinet untuk memegang kursi Menteri ditolaknya dengan tegas.7

6 Langkah-langkah Presiden B.J. Habibie lainnya dan sangat penting untuk tercapainya suasana kondusif dan akseleratif menuju Reformasi ialah: melalui Menteri Penerangan Yunus Yosfiah pada 6 Juni 1998 mencabut peraturan menteri nomor I tahun 1984 mengenai SIUPP. Menteri Penerangan ini mengemukakan SIUPP tetap ada akan tetapi proses penerbitannya lebih sederhana dan pencabutan SIUPP ditiadakan. Pada 18 Juni 1998, Menteri Luar Negeri Ali Alatas menyatakan kepada Sekjen PBB, Kofi Annan di New York bahwa Timor-Timur akan dijadikan sebagai propinsi khusus dengan otonomi luas; Pada 24 Juni 1998, Presiden B.J. Habibie menerima Uskup Bello dan kawan-kawan di Istana Negara dengan agenda penarikan ABRI (Militer ) dari Timor-Timur; 3 Agustus 1998, Pangab Jenderal Wiranto mengumumkan bahwa pengadilan atas 10 perwira dan bintara Komando Pasukan Khusus (Kopassus) serta pembentukan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) untuk memeriksa Letnan Jenderal Prabowo, Mayor Jenderal Muchdi dan Kolonel Chairawan sehubungan dengan kasus penculikan para aktifis politik; 7 Agustus 1998, Kejaksaan Agung mencabut pelarangan tujuh buah buku yang di antaranya karya Soebadio Sostrosatomo; 11 Agustus 1998, Menteri dalam Negeri Syarwan Hamid mengakui bahwa Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri masa Yogi S. Memet pada tahun 1997 yang melarang dan membubarkan Partai Rakyat Demokratik mengandung kelemahan, saat itu juga ia mencabut Surat Keputusan tersebut, sesuai keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, lihat D&R, 29, September 1998 dalam Sutipyo R & Asmawi, Ibid, hlm. 52-53. 7 Orang yang menghubungi Yusril, adalah kawan dekat B.J.Habibie, yaitu Letnan Jenderal Ahmad Tirto Sudiro yang juga tokoh Ikatan Cendekiawan Muslim Indone- sia. ”Saya menolak tawaran itu, dengan alasan saya tidak mau menjadi Menteri saat ini, kalau tawaran itu saya terima berarti saya hanya mengandalkan kemampuan pribadi, saya hanya teknokrat, bukan politisi, padahal saat ini saya punya massa pendukung yang cukup banyak, karena saya telah menjadi ketua Partai (Partai Bulan Bintang; pen.),” ucapnya. Ibid, hlm. 26. Lihat juga dalam tabloid Abadi, no. 28/tahun I, 20-26 Mei 1999. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 2 291

Image bahwa B.J. Habibie masih dianggap “bagian” dari Soe- harto masih cukup kuat diopinikan, setelah ia sendiri mengakui bahwa Soeharto merupakan guru politiknya. Akibat sikapnya yang terbuka, kritik bahkan sampai apriori serta penentangan yang keras atas segala kebijakan politik yang diambilnya telah mewarnai opini masyarakat, khususnya di kalangan elit politik di masa itu. Tidak terkecuali di antaranya Amien Rais8 yang mengemukakan: Pertama, bagaimanapun pengangkatan B.J. Habibie harus kita teri- ma sebagai fakta konstitusional; kedua, dengan segala pikiran dan kesadaran saya juga harus bersikap senetral mungkin terhadap kabinetnya,9 tetapi ia memberikan batasan masa kekuasaan B.J. Habibie itu.10 Ketika Amien Rais, Nurcholish Madjid, Emil Salim, Rudini dan tokoh lainnya bertemu Presiden B.J. Habibie sebagai Presiden RI ke-3, memang sudah menyatakan bahwa pemerintah- annya itu tidak sampai tahun 2003, sebagaimana haknya sesuai aturan perundangan yang berlaku, ia hanya berkuasa dalam rang- ka menyiapkan pemilihan umum secepat mungkin, seiring meng- atasi masalah yang paling mendesak buat bangsa Indonesia.11 Kritikan yang diucapkan Amien Rais dalam pertemuan 23 Mei 1998, di kediaman Presiden itu ditambahi dengan penilaiannya:

8 Mengenai tanggapan atas kesempatan yang diberikan kepada Presiden B.J. Habibie untuk melakukan Reformasi memang sangatlah beragam, cendekiawan dan sekaligus budayawan yang sangat dihormati Nurcholish Madjid bahkan menyebut pemerintahan B.J. Habibie sebagai Presiden dan pemerintahan transisi, dengan memberikan toleransi untuk mengadakan pemilihan umum dalam waktu enam bulan. Sementara itu, mantan Menteri di era Soeharto, dan seorang teknokrat yang disegani, Emil Salim, menuntut B.J. Habibie agar melaksanakan pemilihan umum dalam waktu sekurang-kurangnya tiga bulan mendatang, lihat Sutipyo R & Asnawi, Ibid, hlm. 55-56. 9 Lihat wawancara yang dilakukan dengan Amien Rais yang dimuat dalam jurnal Fo- rum Keadilan, no. 5, tahun VII, 15 Juni 1998, dengan tajuk “DR. Amien Rais: Sesungguhnya Memang ini Dilematis bagi Saya.” 10 Ketika Amien Rais, Nurcholis Madjid, Emil Salim, Jenderal (Purn.) Rudini dan tokoh lainnya yang bertemu B.J. Habibie di kediamannya tak lama setelah dilantik selaku Presiden RI ke-3, memang sudah menyatakan bahwa pemerintahannya itu tidak sampai tahun 2003, sebagaimana haknya sesuai aturan perundangan yang berlaku, ia hanya berkuasa dalam rangka menyiapkan pemilihan umum secepat mungkin, seiring mengatasi masalah yang paling mendesak buat bangsa Indonesia, yaitu menyangkut urusan keperluan dasar rakyat. 11 Lihat wawancara Republika, “Tekad”, 25 Mei dengan Amien Rais mengenai pemerintahan B.J.Habibie, lihat juga dalam Muhammad Najib & Kuat Sukardiyanto, Amien Rais Sang Demokrat, GIP, Jakarta, 1998, hlm. 126. 292 YUSRIL IHZA MAHENDRA

“B.J. Habibie terkenal sebagai good speaker but bad listener, ia kalau sedang berpidato sangat mengasyikkan dan kalau berbicara dengan orang lain suka memborong, tetapi kelemahan B.J. Habibie tidak suka mendengar orang lain, karena itu nampak kurang memiliki kearifan atau wisdom.”12 Fenomena yang menarik pada masa pemerintahan B.J. Habibie, ia memberikan kebebasan politik demikian besar serta apresiasinya terhadap kepentingan kelompok Islam, tetapi saat yang sama muncul pula tokoh-tokoh Islam dengan membentuk partai-partai dari yang menggunakan symbol, identititas dan platform Islam hingga yang tidak berlabel Islam atau partai sekuler. Sebagaimana pengamatan Prof. DR. Maswadi Rauf, yang sangat jelas menurutnya adalah lahirnya Partai kebangkitan Bangsa (PKB) yang dideklarasikan ketua Nahdlatul Ulama K.H. Abdurrahman Wahid serta Partai Amanat Nasional (PAN) yang diketuai mantan ketua Muhammadyah Prof. DR. Muhammad Amien Rais. Keduanya merupakan pemimpin persarikatan Islam terbesar di Indonesia dengan anggota dan simpatisan lebih dari 30 juta orang. Meskipun partai ini menggunakan NU dan Muhammadiyah sebagai tulang punggung basis massa, namun kedua partai yang didirikan itu bukan partai yang eksklusif untuk umat Islam, karena keduanya tidak menggunakan Islam sebagai ideologi atau asas partai. Tokoh- tokoh Islam yang bergabung dalam berbagai partai politik tentu akan tampil membela kepentingan Islam jika keselamatan Islam terancam atau kepentingan Islam dirugikan. Menurut pakar politik ini, hilangnya partai-partai Islam tidak dianggap sebagai hilangnya para pembela kepentingan Islam dan umat Islam karena tokoh- tokoh Islam terdapat di berbagai partai politik.13 Pemilihan umum pertama di era Reformasi yang dilaksanakan pada 7 Juni 1999, betapapun telah diperkirakan sebelumnya bahwa

12 Ini dilontarkan Amien Rais saat bersama Nurcholish, Emil Salim, Jenderal Rudini serta sejumlah tokoh lainnya, ketika berkunjung ke rumah kediaman B.J. Habibie di bulan Mei 1998. 13 Maswadi Rauf, pengantar dalam Ahmad Suhelmi, Soekarno versus Natsir…, Darul Fallah, Jakart, 1999, hlm. xii. Namun berdirinya partai politik Islam menimbulkan pro-kontra di kalangan umat itu sendiri, seperti sejarawan Muslim DR. Kuntowijoyo PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 2 293

Partai Demokrasi Indonesia (PDIP) yang diketuai akan memenangkan pemilihan umum tersebut, namun kemenangannya sangat di luar dugaan karena jauh melam- paui partai-partai Islam.14 Kekalahan partai-partai Islam sadar- tidak sadar dapat diakibatkan di antaranya kebingungan “umat” atau pendukungnya, karena melihat partai Islam demikian banyak, masing-masing tokoh Islam “merasa paling pantas” untuk disebut tokoh umat, soal persaingan atau prestige berkesan lebih menonjol, ditambah dengan masa persiapan yang singkat untuk mengikuti persiapan pemilihan umum yang telah ditetapkan.15

dari UGM misalnya, memiliki pandangan “menolak” partai politik Islam dengan memberikan sejumlah alasan agar tidak mendirikan partai politik Islam, sebaliknya sebagian lainnya merasa optimis bahwa adanya partai politik Islam akan mengembalikan kejayaan Islam, setelah itu yang jelas partai politik Islam bermunculan dengan jumlah yang cukup banyak. 14 Oliver Roy dalam satu tulisannya mengenai Islam politik menjelaskan bahwa kekalahan Islam di dalam pertarungan politik disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan. Ketidakmampuan tokoh Islam menawarkan gagasan alternatif yang konkret di bidang ekonomi, cenderung defensif terhadap ide Barat, segmentasi kesukuan, manuver politik yang lemah, persaingan pribadi antar-elit Islam politik dan masih melekatnya mental koruptor di kalangan elit itu, menyebabkan Islam politik selalu kalah dalam pertarungan kekuasaan. Lihat Ahmad Suhelmi, Soekarno versus Natsir…, Ibid, hlm. 122-123. 15 Demikian pula Partai Golkar yang diperkirakan akan mengalami kemerosotan yang diakibatkan citranya yang buruk sebagai bagian dari “mesin politik” pemerintahan Soeharto di masa lalu, ternyata ia mampu menempati urutan ke-2 dalam perolehan pilihan suara dalam pemilu di era Reformasi. Dari 48 partai hasil penyaringan tim seleksi “Tim Sebelas” yang diketuai Nurcholish Madjid, terdapat 6 partai terbesar yang memiliki fraksi di parlemen, yaitu, PDIP, Golkar, PPP, PKB, PAN dan PBB. Partai Islam yang masuk dalam urutan 6 besar itu adalah PPP dan PBB, masing-masing berada di urutan ke-3 dan ke-6, sedang partai yang berbasiskan sosio-kultural Islam tetapi tidak berasaskan Islam adalah PKB dan PAN, ini berada di urutan ke- 4 dan ke-5. Golkar sebagai partai nasionalis, namun cukup kuat dipengaruhi Islam kalangan modernis jika dilihat dari latar belakang tokohnya, berada di urutan ke-2. Ini cukup surprise, analisis pengamat berasumsi karena citra B.J. Habibie yang cukup popular serta jaringan, sumber daya dan dana yang kuat, juga pengalaman politik yang telah matang dengan kesiapan yang memadai, memungkinkan ia meraih dukungan yang tetap signifikan. Kemenangan PDIP di bawah pimpinan Megawati, sebuah partai yang sekuler ini karena mengalami suatu proses transformasi yang radikal yang diakibatkan tekanan rezim Orde Baru, sehingga menjadi simbol perlawanan rakyat, khususnya berkaitan dengan peristiwa berdarah 27 Juli 1996 yang melahirkan simpati rakyat atas peristiwa itu, selain faktor emosional historis karena Megawati merupakan putera Soekarno, di mana pendukung Presiden RI ke-1 yang sangat fanatik itu terutama di kalangan masyarakat “Jawa abangan”, mereka memiliki kepercayaan-kepercayaan tersendiri mengenai kharisma ayah Megawati itu. PDIP yang awalnya secara kultural-politik berada di posisi “marjinal” berubah nampak kekuatan politik “mainstream”. 294 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Poros Tengah

EMENANGAN PDIP yang mencapai 30 persen kursi di parlemen atau sebanyak 152 kursi dari 452 kursi yang dipe- K rebutkan dalam pemilihan umum pertama di era Reformasi menimbulkan kekhawatiran di kalangan kelompok Islam politik. Kekhawatiran itu disebabkan banyak anggota parlemen dari partai ini berasal dari kalangan non-Muslim. Menurut seorang tokoh Mus- lim dari Partai Bulan Bintang (PBB) Sumargono, bahwa dalam daftar pemilihan baik di tingkat nasional sampai daerah, jumlah calon legislatif (caleg) dari kalangan non-Muslim sangat besar dan tidak proporsional,16 ini melahirkan ide apa yang dikenal dengan “Poros Tengah.”17 Ide “Poros tengah” yang datang dari Bambang Sudibyo, pengurus partai PAN yang kemudian digulirkan Amien Rais ini telah menggelinding bagai “bola salju politik” sebagai kekuatan kelompok yang “menghadang” kekuatan kalangan nasionalis sekuler untuk mencapai tujuan politiknya. Amien Rais memberikan alasan mengenai hal ini,

16 Sumargono menjelaskan bahwa pada tingkat nasional 40% calon berasal dari non-Mus- lim, di daerah pemilihan Ibu Kota Jakarta calon legislatifnya, 40% dari kalangan non- Muslim, malah di Kabupaten Bekasi, jumlah calon anggota legislatifnya nyaris 100% non-Muslim. Dukungan total non-Muslim itulah yang antara lain memenangkan PDIP dalam pemilihan umum 7 Juni 1999. Affan Gaffar, pengamat politik dari UGM menilai reaksi keras kalangan Islam atas Daftar Calon Tetap dari PDIP membangkitkan trauma dan stigma politik masa lalu di kalangan Islam. Dengan banyaknya calon non-Muslim menunjukkan bahwa dominasi kalangan Kristen dan Khatolik di partai itu membuat umat Islam berpikir seperti politik tahun 1970-an, ketika kalangan Kristen dan Khatolik berkuasa di dalam Golkar melalui CSIS dan Ali Murtopo yang mengakibatkan marjinalisasi politik Islam, lihat Ahmad Suhelmi, Soekarno versus Natsir…, Ibid, hlm. 117. Bila PDIP dengan 153 kursi dan Golkar dengan 120 kursi meraih hasil pemilihan umum dari basis massa yang sangat heterogen, maka partai-partai yang secara tradisional didukung massa Islam adalah PPP, PKB, PAN dan PBB, serta sejumlah partai politik Islam lainnya yang mendapatkan jumlah kursi sangat kecil, bila digabungkan akan mencapai 170 kursi di DPR, ini melampaui kedua partai besar yaitu PDIP dan Golkar yang memungkinkan peluang-peluang dalam suatu proses politik yang berjalan. 17 Ide awal “Poros Tengah” sebenarnya berasal dari Bambang Sudibyo, seorang ekonom dan Pakar manajemen UGM, orang yang dekat dengan Amien Rais, dan juga menjabat sebagai ketua Dewan Ekonomi DPP PAN, ini dikemukakan dalam sebuah diskusi di PPSK Yogyakarta, yang dilatarbelakangi adanya polarisasi demikian keras di antara kubu pendukung B.J. Habibie yang didukung Partai Golkar, dengan kubu pendukung Megawati yang didukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dalam merebut kursi kepresidenan. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 2 295

Pertama, sangat khawatir dengan polarisasi dan persaingan di antara pendukung Megawati dan B.J. Ha- bibie yang sudah memainkan isu-isu yang sangat sensitif yaitu agama, ada kesan pertarungan di antara kedua tokoh itu merupakan pertarungan kelompok sekuler dan non-Muslim versus umat Islam, ini akan membahayakan demokrasi di masa depan,… Kedua, baik kubu B.J. Habibie maupun Megawati tidak menunjukkan ke- sungguhan untuk mengakomodasikan dan mengagenda- kan tuntutan reformasi, karena itu perlu alternatif lain yang lebih menjamin integrasi bangsa di satu sisi dan pelaksanaan agenda reformasi di sisi lain.18 Semakin hari, manuver politik yang dilakukan kelompok “Poros tengah” yang tokoh-tokohnya terdiri dari Amien Rais, Abdurrahman Wahid, Hamzah Haz dan Yusril Ihza Mahendra nampak semakin solid sehingga menimbulkan kekhawatiran baik dari pihak PDIP maupun Partai Golkar, dua partai yang memiliki suara terbesar di legislatif. Amien Rais yang gagal untuk pencalonan presiden dikarenakan jumlah kursi yang diraih Partainya hanya 7% dari keseluruhan, namun kepopuleran serta ketokohannya sebagai pelopor Reformasi dengan dukungan kelompok “Poros Tengah” mampu memenangkan kursi sebagai Ketua Majelis Perwakilan Rakyat (MPR) dengan mengalahkan pesaingnya Matori Abdul Djalil Ketua dari PKB yang didukung PDIP pimpinan Megawati.19 Kecanggihan politik dan kelihaian dalam mengatur permainan politik “Poros Tengah” telah memberikan pelajaran pahit bagi kelom- pok politik sekuler. Kekalahan demi kekalahan harus mereka telan di dalam forum sidang parlemen di tingkat nasional melalui pemungutan suara (vot-

18 Muhammad Najib, Melawan Arus: Pemikiran dan Langkah Politik Amien Rais, Serambi Ilmu Semesta, 1999, Yogyakarta, 1999, hlm. 167. 19 Pada tingkat DPRD untuk daerah pilihan ibu kota negara yaitu Jakarta, dengan solidnya kelompok “Poros Tengah,” calon ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta dari PDIP, Tarmidi Suhardjo gagal merebut kursi ketua (speaker), demikian pula sejumlah kasus pemilihan gubernur di sejumlah Propinsi-propinsi di Indonesia PDIP banyak mengalami kekalahan. 296 YUSRIL IHZA MAHENDRA

ing), dari komposisi susunan fraksi di parlemen, komposisi pimpinan parlemen, ketua (Speecher) parlemen, hingga menghadapi lobi-lobi cantik yang dilancarkan kelompok “Poros Tengah.” Amien Rais juga berupaya untuk mencairkan ketegangan politik di kalangan elit politik yang tentu ini memiliki pengaruh proses pencairan ketegangan di tingkat akar rumput. Ia mempelopori gagasan pencalonan Abdurrahman Wahid yang lebih dikenal dengan pang- gilan Gus Dur sebagai calon Presiden dari kalangan “Poros Tengah.” Amien menawarkan, mendorong dan meyakinkan bahwa upaya politiknya dalam rangka melakukan pilihan alternatif guna keluar dari kemungkinan perbenturan fisik di lapisan massa, bahkan ketika “Poros Tengah” bersilaturahmi ke kediaman Presiden B.J.Habibie,20 Amien Rais memandang bahwa Abdurrahman Wahid adalah tokoh yang dapat diterima oleh kedua kubu kekuatan politik baik dari pendukung B.J. Habibie maupun kelompok pendukung Megawati. Ini dikarenakan kedekatan hubungannya sebagai tokoh Islam yang cukup akrab dengan kalangan di luar Islam termasuk kelompok sekuler,21 dan keadaan ketegangan politik ini mendorong suatu

20 Dalam acara tersebut turut serta Abdurrahman Wahid, Yusril Ihza Mahendra, Hamzah Haz, Nur Mahmudi, K.H. Syukron Makmun, Alwi Sihab dan Amien Rais. Di akhir pembicaraan Abdurrahman Wahid menghimbau B.J. Habibie untuk meninjau ulang pencalonannya, hal yang sama diulangi Amien Rais sehingga membuat B.J. Habibie terkejut. Sementara itu terhadap kubu Megawati pendekatan dilakukan dengan cara meyakinkan kiai-kiai sesepuh NU bahwa “Poros Tengah” serius mencalonkan tokoh Abdurrahman Wahid, lihat dalam Muhammad Najib, Ibid, hlm. 172. 21 Sidang MPR pasca-Pemilu diadakan pada bulan November 1998, yang dikenal dengan Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sidang ini penuh ketegangan, karena ada kelompok yang menentang pemerintah B.J. Habibie secara apriori. Untuk pengamanan sidang itu dikerahkan 150 Satuan Setingkat Kompi (SSK) atau sekitar 1500 tentara guna menjaga sidang istimewa itu. Lihat Muhammad Najib, Melawan Arus…, Ibid, hlm. 67-71. Akhirnya tetap terjadi bentrokan atau perbenturan massa yang tidak terelakkan antara aparat keamanan, pada Rabu, 11 November 1998 di Jl. Imam Bonjol, aparat keamanan terluka, 2 orang wartawan photo berita Antara dan Kompas dipukuli petugas, demikian pula wartawan Gatra diancam dengan senjata agar tidak memotret aksi demonstrasi para mahasiswa. Kamis, 12 November 1998, aksi massa di depan kantor Polda Metro Jaya, dan berlanjut aksi hari Jum’at, 13 November 1998, sekitar 100.000 mahasiswa universitas bergabung dengan masyarakat menuju ke Senayan, massa terdesak di jembatan Semanggi dan Universitas Khatolik Atmajaya, serta bentrokan di jembatan Cawang dan sekitar Gedung DPR/MPR, di antara mahasiswa yang luka berat dirawat di berbagai rumah sakit di Jakarta Pengamanan itu juga melibatkan warga sipil sebanyak 125.000, kemudian Panca Marga mengerahkan 300 orang dan gerakan Reformasi Masyarakat Banten mengerahkan 40-80.000 orang untuk bertugas jaga sekitar Gedung DPR/MPR. Lihat Sutipo R. & Asmawi, Ibid, hlm. 67-71. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 2 297

inisiatif yang datang dari kalangan mahasiswa yang puncaknya melahirkan sebuah deklarasi kemudian populer dengan sebutan “Deklarasi Ciganjur”, forum di Ciganjur itu yang mempertemukan para tokoh kelompok masyarakat yang dianggap memiliki legitimasi luas.22 Setelah B.J. Habibie memegang pemerintahan lebih-kurang 512 hari, melaksanakan tugas selaku presiden Republik Indone- sia yang ke-3, ia membacakan laporannya yang sangat mempesona dengan argumen dan penjelasan, namun ketika vot- ing untuk menetapkan diterima atau ditolaknya laporan itu, mayoritas anggota Majelis Perwakilan Rakyat menolak dengan selisih suara yang tidak jauh dengan anggota Majelis yang menerima isi laporan pertanggungjawaban Presiden.23 Dalam

22 Mereka adalah Amien Rais yang popular di perkotaan (urban), Megawati Sukarno Putri popular di pinggiran, dan Abdurrahman Wahid terkenal di pedesaan (rural), dan Sultan Hamengkubuwono. Pada dasarnya keempat tokoh itu menghendaki jalan yang moderat, mentolelir pemerntahan B.J. Habibie sebagi pemerintahan transisional, dengan mengeluarkan pernyataan yang isinya dapat menjadi bahan masukan untuk para anggota parlemen dalam memutuskan setiap keputusan dan ketetapan majelis. 23 Sidang Istimewa MPR yang banyak menguras tenaga dan mengorbankan banyak jiwa, ditutup pada hari Jumat malam, 13 November 1998 dengan menghasilkan beberapa ketetapan, di antaranya adalah pembatasan masa Presiden, Pemcabutan TAP MPR tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4, dan pembersihan pemerintahan dari praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), juga pengusutan harta mantan Presiden Soeharto dan keputusan ini sangat aspiratif. Seiring dengan keterbukaan politik yang demikian demokratis, masyarakat dapat secara luas dan lengkap menyaksikan pertarungan yang indah dalam rangka meraih keunggulan dan target-target politik, khususnya berbagai fraksi dan perwakilan partai yang menge- lompok dalam alur besar friksi di antara kubu sekuler pendukung Megawati dengan kelompok Islam yang dipelopori “Poros Tengah.” Mekanisme voting, hujan interupsi nampak sebagai atraksi dan tontonan publik yang bernilai edukatif dan sangat menarik. Tujuh agenda persidangan dengan pertarungan melalui pemungutan suara meliputi; TAP MPR mengenai Fraksi; Komposisi dan jumlah pimpinan Fraksi; Pemilihan Ketua MPR; Pemilihan Ketua DPR; Sikap terhadap pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie; Pemilihan Presiden RI 1999-2004; Pemilihan Wakil Presiden RI 1999-2004. Enam dari 7 agenda sidang itu dimenangkan oleh kalangan “Poros Tengah” yang mendapatkan dukungan luas dari anggota legislatif di luar fraksinya kecuali dari kalangan PDIP dan sejumlah anggota legislatif dari beberapa partai nonfraksi. Agenda itu antara lain: Pemilihan ketua MPR, dimenangkan Amien Rais dari kelompok Is- lam dan Poros tengah, dengan dukungan 303 suara, bersaing dengan Matori Abdul Djalil dengan dukungan suara sebanyak 279 suara. Pemilihan Ketua DPR yang dimenangkan oleh Akbar Tanjung dari Golkar dengan dukungan suara 411 suara, jauh mengalahkan calon dari PDIP Soetardjo Soerjoguritno dengan mendaptkan dukungan 54 suara. Abdurrahman Wahid yang dijagokan kelompok “Poros Tengah” 298 YUSRIL IHZA MAHENDRA

sidang ini juga anggota Dewan telah menghasilkan capaian yang cukup signifikan atas Amandemen UUD 1945, dan perubahan itu masih akan terus berlanjut melalui Badan Pekerja MPR yang terus bekerja. Sampai terbentuknya kabinet Abdurrahman Wahid, telah terjadi amandemen UUD 1945 meliputi pasal 5, 7, 9, 13, 14, 17 dan pasal 27, dan hasil ini telah membatasi peranan negara, sehingga perubahan politik itu telah mengubah image yaitu desakralisasi UUD 1945, serta adanya proses politik yang cukup akomodatif terhadap tuntutan reformasi yang nampak kuat menghendaki demokratisasi serta terjadinya penguatan atau revitalisasi civil society.24

Yusril Ihza Mahendra: Pemikiran dan Tindakan Politiknya

USRIL Ihza Mahendra, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) dan pakar Hukum Tata Negara memberikan wacana Y bahwa Reformasi itu berarti kembali ke jiwa dan semangat serta maksud kita mendirikan negara sejak masa perjuangan menegakkan kemerdekaan. Kita kembali kepada jiwa dan se- mangat 1945…,25 Jika gerakan tajdid dipahami sebagai kembali kepada Alquran dan Sunnah, menolak taklid, khurafat dan bid’ah serta membuka pintu ijtihad seluas-luasnya untuk melangkah

sebagai presiden RI, mendapatkan dukungan 373 suara mengalahkan Megawati Sukarnoputri dengan dukungan suara 313 suara. Bahkan kemenangan Megawati atas Hamzah Haz dari kalangan “Poros Tengah” dalam perebutan kursi Wakil Presiden dengan selisih suara berbanding 396 suara lawan 274 suara; tahta kursi Wakil Presiden itu konsesi politik yang diberikan oleh lawan politik PDIP yang diakibatkan kekalahan Megawati dan PDIP secara berturut-turut, sehingga perlu adanya “pelimpahan suara” yang dalam semangat konsesi politik semacam itu, lihat Yudi Pramuko, Ibid, hlm. 118-120. 24 Ibid, hlm. 123-129. 25 Diambil dari makalah Yusril Ihza Mahendra pada seminar Partai Islam Era Reformasi, diselenggarakan Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII), pada 12-13 Juni 1998, di Jakarta. Lihat dalam Kawiyan, Membangun Indonesia yang Demokratis, Jakarta. Globalpublika, 2000, hlm. 42. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 2 299

ke depan, dan jika ulama berbeda pendapat harus kembali kepada Alquran dan Sunnah, maka para politisi yang berbeda pendapat mereka harus kembali kepada konstitusi dan ketentuan hukum yang telah kita sepakati bersama.26 Ia juga memiliki penilaian tersendiri mengenai Presiden B.J. Habibie, menurutnya hal yang positif dari pemerintahan B.J. Habibie di antaranya adalah soal demokratisasi, pembebasan tahanan politik, pencabutan UU partai politik dan memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik serta adanya kebebasan pers yang luar biasa. Mengenai peni- laiannya terhadap kabinet Presiden B.J. Habibie adalah kabinet yang baru tetapi stock-nya orang-orang lama, menurut Yusril Ihza Mahendra haruslah dipahami karena Presiden B.J. Habibie menyusun kabinet hanya dalam waktu satu malam. “Itu memang kesalahannya,” kata Yusril, “dan ini saya lakukan kritik kepadanya, ini juga menimbulkan keraguan orang-orang.”

Yusril Ihza Mahendra: Poros Tengah dan Pencalonannya sebagai Presiden

SAI pemilihan umum Juni 1999, para tokoh Reformasi di antaranya Yusril Ihza Mahendra serta kekuatan “Poros U Tengah” melakukan “breack trough”, suatu upaya terobosan politik, maka lahirlah usulan yang datang dari Amien Rais untuk menggotong Abdurrahaman Wahid sebagai Presiden di luar nama yang disebutkan terdahulu.27 Yusril sendiri dalam beberapa kesempatan dialog dalam sejumlah forum terbatas mengenai kesungguhan Amien Rais mencalonkan Abdurrahaman Wahid

26 Ibid. 27 Jauh sebelum Abdurrahman Wahid memimpin Partai Kebangkitan Bangsa ia telah mendirikan Forum Demokrasi (Fordem), sebuah forum yang mengakomodir berbagai pemikiran masalah bangsa. Orang-orang yang duduk di dalam forum itu memang lebih banyak dari kalangan di luar Islam, bahkan bersikap agak miring terhadap Is- lam, ia juga dekat dengan kalangan Nasionalis sekuler terutama keluarga Soekarno, khususnya Megawati dengan PDIP-nya. 300 YUSRIL IHZA MAHENDRA

sebagai Presiden, menurutnya pada awalnya hanya main-main saja, tetapi ini kemudian ditanggapi serius oleh Abdurrahman Wahid walaupun sebenarnya kondisi kesehatan dari pimpinan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu masih dipertanyakan.28 Jauh sebelum pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie itu di- bacakan, Yusril yang secara pribadi memiliki penuh rasa hormat kepada Presiden B.J. Habibie sebenarnya telah memiliki feeling kemungkinan terpahit yang akan terjadi dan ternyata benar, bahwa pertanggungjawaban Presiden ditolak, orang pun panik terutama di kalangan yang simpatik dan pendukungnya.29 Yusril Ihza Mahendra kemudian bicara: “kalau tidak ada yang maju, saya yang maju,” ujarnya di forum pertemuan itu, semua yang hadir kaget atas keberanian “anak muda ini,” dan Yusril Ihza Mahendra telah mempersiapkan segalanya. Pertemuan ditunda karena Presiden akan sholat subuh di masjid Istiqlal. Se- pulang B.J. Habibie sholat subuh semua menyambutnya, setelah duduk ia lalu berdiri berjalan mendekati Yusril Ihza Mahendra dan langsung memeluk erat Yusril dan berkata tegas, “maju… maju kamu, kita semua mendu- kung kamu… (ucap B.J. Habibie sambil memeluk dengan

28 Abdurrahman Wahid yang lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur pernah mengalami stroke cukup serius, dan kemampuan penglihatannya sangat lemah, ini menjadi masalah tersendiri untuk menjadi seorang Presiden, mungkin pada posisi ini kita mencoba memahami sikap Yusril Ihza Mahendra terhadap pencalonan sebagai presiden itu. 29 Setelah pertanggungjawaban B.J. Habibie ditolak, mereka antara lain: Akbar Tanjung, Ginanjar Kartasasmita, Hamzah Haz, B.J. Habibie selaku tuan rumah, Sumargono dan Yusril Ihza Mahendra sendiri berkumpul di rumah presiden itu. Dalam suasana mengantuk berat, mereka berfikir keras mengenai calon presiden yang akan ditampilkan. Pertama, lahir usul agar Akbar Tanjung untuk mencalonkan diri sebagai presiden, “Akbar menggeleng-gelengkan kepala berkali-kali,” tanda menolak. Forum dialihkan kepada Hamzah Haz, ia juga menolak karena sama-sama orang NU (sungkan dengan Abdurrahman Wahid). Kemudian Amien Rais setelah dikontak, ia diminta kesediaannya, ia juga bimbang, sebab ia telah mencalonkan Abdurrahman Wahid sebagai presiden, selain ada pertimbangan lain dalam suatu wawancara dengan penulis, Amien Rais perlu menjaga ukhuwah sesama Muslim khususnya di antara warga Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, serta jumlah suara yang diraih Partainya sangat kecil, rasanya tidak arif bila ia menerima pencalonan sebagai presiden. Kemudian Nurcholish Madjid dikontak, ia juga menolak karena sama-sama dari Jombang seperti Abdurrahman Wahid, lihat juga dalam Yudi Pramuko, Ibid, hlm. 181-184. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 2 301

kehangatan yang tulus, suaranya bergetar, namun serasa penuh keikhlasan). Jawab Yusril, “hari ini… saya melihat Bapak…” (dengan suara perlahan dan tersendat, kerongkongannya bagai tersekat. bola mata Yusril berkaca-kaca), hatinya turut terluka, menyaksikan Presiden RI ke-3, B.J. Habibie, seorang Muslim, dihujat, dihina di luar kepantasan dan kewajaran, hanya karena semata upaya perebutan tahta presiden.30 Bermula di sebuah ruang Dewan Perwakilan Rakyat, ruangan rapat itu lampu dipadamkan, rapat internal para anggota di Fraksi PBB dimulai, dalam kegelapan itulah strategi disusun untuk mengantisipasi jika pidato pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie ditolak. Yusril Ihza Mahendra mulai menghitung fakta-fakta yang mungkin terjadi; “Saya kemukakan kemungkinan B.J.Habibie kalah,” tuturnya memulai ceritanya, lantas, “bagaimana kalau saya mencalonkan diri sebagai Presiden?” pancing Yusril Ihza Mahendra, “sebagai pengaman atas kemungkinan mundurnya Abdurrahman Wahid secara tiba-tiba di menit-menit terakhir dan saya mundur dari pencalonan pada saat-saat sidang terakhir itu,” tegasnya. Ini kemudian disetujui oleh kawan-kawannya, karena itu segala persyaratan administrasi untuk menjadi Presiden pada malam itu juga telah dipersiapkan dengan pembagian tugas yang dilakukan kawan-kawan separtai.31 Seni permainan politik yang dilakukan Partai Bulan Bintang itu sangat indah, jitu dan menarik untuk disaksikan segenap rakyat Indonesia yang dapat dilihat melalui persidangan paripurna, hasil- nya sangat efektif karena mematikan langkah lawan dan mendorong langkah kawan seperjuangan.32 Di hadapan sidang terbuka sebelum Amien Rais selaku Ketua sidang mensahkan para calon Presiden

30 Yudi Pramuko, Ibid, hlm. 181-184. 31 Ahmad Soemargono, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan salah seorang pimpinan Partai di Dewan Pimpinan Pusat, diberi kepercayaan untuk mengkoordinasikan dan menyiapkan segala persyaratan administratif yang harus dipenuhi sebagai calon presiden. 32 Pernyataan Yusril Ihza Mahendra untuk maju sebagai calon presiden RI ke-3, di pagi hari melalui wawancara di stasiun TV, dan kemudian ketika sidang dibuka, setelah 302 YUSRIL IHZA MAHENDRA

yang resmi masuk dan memenuhi persyaratan administrasi, Yusril Ihza Mahendra dalam pengantarnya sebelum menegaskan peng- unduran diri sebagai calon Presiden, yakni lima menit sebelum pemilihan Presiden pada hari Rabu, tanggal 20 Oktober 1999, di- mulai, ia berkata: “Dirinya ingin Abdurrahman Wahid dapat memperjuangkan kejayaan dan persatuan umat Islam di Indonesia maka secara spesifik Yusril Ihza Mahendra mengundurkan diri itu semata-mata untuk tercipta ukhuwah Islamiah.”33 Kepiawaian Yus- ril Ihza Mahendra dan kawan-kawan di partainya itu telah memulus- kan jalan kemenangan calon dari “Poros Tengah” yaitu Abdurrahman Wahid menjadi Presiden Republik Indonesia ke-3. Jiwa besar Yusril Ihza yang lebih mementingkan umat dengan cara berpikir arif, tak- tis, hati-hati, dengan penuh perhitungan telah mengantarkan dirinya menjadi pusat perhatian segenap rakyat Indonesia, politisi muda dan pemimpin di masa depan. Bila Amien Rais yang menyediakan dan menyodorkan “hidangan politik” apa yang dapat ditawarkan, Yusril Ihza Mahendra yang mengolah agar hidangan politik itu menjadi enak untuk dinikmati dan disaksikan segenap publik, khu- susnya rakyat Indonesia. Sebuah seni politik yang beretika politik tinggi dan bermoral melahirkan akhir permainan yang kadang tak terduga, seolah ini sebagai suatu hasil yang diterima karena buah kearifan dalam bermain “bidak catur politik.”

Membangun Sistem dan Amandemen Konstitusi

ALAM kabinet pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, Yusril Ihza Mahendra diberi kepercayaan mendu- D duki kursi Menteri Hukum dan Perundang-undangan, dan adanya kepastian Abdurrahman Wahid tetap bersedia maju sebagai calon presiden yang didukung “Poros Tengah”, Yusril menyatakan menarik diri dari pencalonannya, kejadian ini adalah peristiwa yang tidak diduga sebelumnya oleh kelompok pendukung Megawati. Semua ini akan berpengaruh dalam penentuan suara anggota parlemen ke mana perhitungan dukungan suara terbanyak itu akan didapat. 33 Yudi Pramuka, Ibid. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 2 303

ketika pertama kali diberitahu akan menduduki kursi Menteri ia mengemukakan: Saya ingin membangun sistem bernegara yang ku- at, dalam hal ini negara bukan tunduk kepada orang melainkan kepada sistem, kalau saya harus memilih di antara orang dengan sistem saya akan pilih sistem, mekipun orang dengan sistem memiliki hubungan timbal balik, tetapi jika negara ini memiliki sistem yang kuat dan sistem itu disepakati untuk dijalankan saya yakin siapa pun yang menjadi Presiden tak akan menjadi masalah lagi. Sistem yang kuat itu harus ditandai dengan kerangka ideologis dan norma yang mengatur kehidupan bernegara secara aspiratif, maka pembenahannya harus dimulai dari sistem bukan dari birokrasi. Filosofi saya, “pemerintah yang baik adalah pemerintah yang sedikit mungkin memerintah.”34 Gagasan yang digulirkan politisi muda dengan partainya Bulan Bintang (PBB) yang mengusulkan untuk dilakukan amandemen sejumlah pasal yang ada di dalam Undang-Undang Dasar 1945 ini, mendapat respons dari berbagai kalangan. Demikian pula usulan darinya untuk mengubah sistem pemerintahan dari pre- sidentil menjadi parlementer, prinsipnya adalah bagaimana men- cari solusi bukan ambisi pribadi.35 Mengenai pembenahan sistem itu ada tiga hal penting sebagai “pilar” yang harus dilakukan pem- benahan secara besama-sama, yaitu lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, demikian pula untuk Mahkamah Agung (MA) yang perlu independensinya dengan cara Dewan Perwakilan Rakyat mengontrol Sekretaris Jenderalnya sedangkan Majelis Perwa- kilan Rakyat (MPR) mengontrol Ketua Mahkamah Agung, dan saya (ucap Yusril Ihza Mahendra) berusaha untuk membangun

34 Kawiyan, Ibid, hlm. 140-141. 35 Pengakuan Yusril Ihza Mahendra, “meskipun terjun ke dunia politik saya tetap berusaha menjadi akademisi, dan cendekiawan, sebab saya mewarisi tradisi orang- orang Masyumi seperti Sjafruddin Prawiranegara dan Mohammad Roem yang tidak punya ambisi tetapi solusi bagi negara,” lihat Panji Masyarakat, edisi 12 Mei, 1999, dalam Kawiyan, Ibid, hlm. 135. 304 YUSRIL IHZA MAHENDRA

sistem peradilan yang mandiri.36 Untuk dapat melakukan pem- bangunan sistem yang baru itu menurut pendiriannya adalah, “bahwa tidak akan ada pembaruan yang agak besar dalam negara tanpa dimulai dengan adanya suatu pembaruan konstitusi.”37 Per- soalan lain yang menjadi sorotan dan sikap kritis Menteri Keha- kiman dan Perundang-Undangan adalah menyangkut masalah susunan anggota parlemen di Majelis Permusyawaratan Rakyat, demikian pula soal Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Ia tidak setuju dengan adanya GBHN karena dengan adanya GBHN oto- matis Presiden tak memiliki program, kecuali melaksanakan GBHN yang dibuat MPR.38 Untuk mengubah ini semua tidak ada jalan lain kecuali melakukan perubahan konstitusi negara. Ia juga mengingatkan bahwa persoalan perubahan konstitusi sebenarnya bukan sesuatu yang asing dalam sejarah tata negara dan politik modern di Indonesia pun pernah melakukannya.39 Mengenai pemilihan Presiden, pemikirannya adalah agar Presiden Republik Indonesia di masa datang tidak dipilih oleh anggota parlemen melainkan dipilih langsung oleh rakyat, ini berbeda dengan yang terkandung di dalam UUD 1945, gagasannya ini termasuk yang diagendakan Partai Bulan Bintang untuk

36 Ibid, hlm. 141-143. 37 Kawiyan, Ibid, hlm. 51. Yusril menyadari, soal ini tidaklah mudah, dalam satu penjelasannya di tabloid, menurutnya dalam konteks ini yang berlaku adalah logika politik. Kekuatan politik yang dominan yang akhirnya lebih banyak mewarnai penafsiran..., jika elit kekuasaan bersikap kaku dalam menafsirkan konstitusi dan memutlakkan penafsirannya sebagai satu-satunya kebenaran, negara mengalami kesukaran mengantisipasi tantangan perubahan zaman, seraya berargumen, Ibnu Khaldun tujuh abad silam, mengemukakan penanfsiran ulang atas sebuah konstitusi merupakan keharusan sejarah, lihat Abadi, No. 26, Tahun I, 6-12 Mei 1999. 38 Lihat Tempo, 19 November 1998, lihat juga Kawiyan, Ibid. 39 Menurut Yusril, berdasarkan pengalaman, Undang-Undang Dasar 1945 telah berlaku dalam periode yang berbeda: pertama, antara 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949. Masa ini lazim disebut sebagai zaman Demokrasi Parlementer atau zaman Demokrasi Liberal, Mr. Wilopo menyebutnya sebagai zaman pemerintahan Partai-Partai; kedua, antara 5 Juli 1959 sampai 11 Maret 1966. Masa ini disebut zaman Demokrasi Terpimpin di bawah pemerintahan Orde Lama; ketiga, antara 11 Maret 1966 sampai berhentinya Soeharto, masa ini disebut sebagai zaman Demokrasi Pancasila di bawah Orde Baru. Undang-Undang Dasar yang sama itu, telah melahirkan tiga jenis demokrasi yang berbeda..., bahkan perbedaan tidak hanya sekedar nama, tetapi sekaligus perbedaan konsep, isi dan inplementasi. Lihat Abadi, No. 26, Tahun I, 6-12 Mei 1999, lihat juga Kawiyan, Ibid. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 2 305

diperjuangkan dalam amandemen konstitusi.40 Amandemen UUD 1945 itu menurut Yusril Ihza Mahendra meliputi: ...batang tubuh dan penjelasannya perlu perbaikan dan penyempurnaan. Konstitusi harus lebih rinci se- hingga tidak tersedia ruang yang lebih bagi penguasa untuk memberikan penafsiran yang menguntungkan posisi dirinya. Pengertian amandemen itu adalah perubahan menambah, mengurangi atau menghilang- kan sebagian isi konstitusi, jadi harus dibedakan antara perubahan dan pergantian konstitusi, ‘tegasnya.’41 Adanya penafsiran yang sesuai kepentingan penguasa dapat diamati dari sejumlah contoh perundangan,42 ia melontarkan gagasan mengenai amandemen ini telah sejak lama bahkan jauh sebelum reformasi. Ia pula yang melontarkan secara terbuka ke- pada masyarakat, awalnya dilakukan seperti berjalan sendiri de- ngan menyodorkan bentuk-bentuk artikulasi intelektualnya tentang keharusan amandemen UUD 1945 melalui perjuangan- nya otentik akademis, dan ini yang membedakannya dengan Amien Rais, walaupun sama-sama dalam satu lingkungan organisasi, pandangan yang dikemukakan Yusril Ihza Mahendra lebih berbasis historis, teoretis dan legalitas43 khususnya dalam

40 Daniel Dhakidae, et all (Ed.), Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi, Strategi dan Pro- gram, Jakarta, Kompas, 1999, hlm. 375. Lihat juga dalam Kholid Novianto & Al Chaidar, Era Baru Indonesia: Sosialisasi Pemikiran, Jakarta, Rajawali Press, 1999, hlm. 160. 41 Ibid. 42 Lima paket UU Politik pada masa pemerintahan Orde Baru jelas mencerminkan kepentingan kekuasaan politik dominan untuk mempertahankan status quo. Menurut Yusril, dengan state terlalu dominan maka partai-partai politik menjadi marjinal dan lembaga-lembaga konstitusional pun kurang berperan, sementara DPR demikian sukar mengubah Lima Paket UU Politik tersebut yang secara yuridis adalah wewenangnya. Ini dikarenakan tingginya dominasi negara (Eksekutif), lihat Kompas, edisi 29 Mei 1995, dan 15 Juli 1996. 43 Bila menelusuri sejarah, kapan UUD 1945 berakhir (sifat sementara), ketika Dr. Sam Ratulangi membicarakan peraturan tambahan sebagai bagian akhir Batang Tubuh UUD 1945, ia sendiri menghendaki agar dalam waktu dekat satu tahun setelah selesainya PD II, maka pemerintah telah mengajukan rancangan usul penyempurnaan UUD kepada MPR. Dalam waktu 3 bulan Majelis ini sudah harus menyelesaikan tugasnya, jika demikian, menurut Yusril, Dr. Sam Ratulangi menginginkan agar sifat sementara UUD 1945 berakhir pada 15 November 1946, yakni satu tahun tiga bulan sejak berakhirnya PD II. Lihat Yudi Pramuko, Ibid, hlm. 102-103. 306 YUSRIL IHZA MAHENDRA

bidang hukum,44 dan gagasan itu akhirnya diterima menjadi salah satu point yang berhasil diperjuangkan dalam tuntutan sejumlah agenda reformasi.

Mengenai Peranan Sosial Politik Militer

EJAK tahun 1995 Yusril telah melemparkan gagasan perlunya reorganisasi dalam tubuh ABRI, dikatakannya, S Saya sudah melakukan perubahan itu, saya adalah orang yang pertama yang mengemukakan gagasan perlunya pemisahan Polisi Republik Indonesia (POLRI) dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada tahun 1995, ketika itu saya “meminjam” mulut Presiden Soeharto untuk mendorong masalah itu yang dikemukakan pada pidato Presiden tanggal 5 Oktober 1995 yaitu pada saat hari jadi atau hari kelahiran Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang dise- lenggarakan di Senayan.45 Dalam satu tulisan lain yang dikemukakan pada tahun 1995 dari buku hasil buah penanya bertajuk Dinamika Tatanegara In- donesia: Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan Rakyat dan Sistem Kepartaian, ia dengan tegas mengemukakan inkonstitusionalnya anggota militer (Anggota ABRI) di parlemen. Dijelaskan lebih lanjut: Duduknya anggota ABRI dalam fraksi tersendiri di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berdasarkan

44 Lihat pidato Yusril Ihza Mahendra, Politik dan Perubahan Tafsir atas Konstitusi, disampaikan dalam upacara pengukuhan Guru Besar Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai Sidang UI, Sabtu, 25 April 1998, Sabili, No. 2, Tahun VII, 14 Juli 1999, hlm. 58. 45 Mengenai isi pidato Presiden Soeharto tentang perlunya pemisahan TNI dengan POLRI dapat dilihat dalam Bab IV buku ini, di sub bagian pemaparan kumpulan pidato- pidato Soeharto, lihat juga pernyataan di atas dalam Kawiyan, Ibid, hlm. 162. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 2 307

pengangkatan tidak mempunyai landasan konstitusi- onal yang kokoh jika dihubungkan secara langsung huruf demi huruf dengan Undang-Undang Dasar 1945, paling tinggi hal ini harus dilihat sebagai “konsensus” yang dituangkan dalam bentuk undang-undang…, Jika demikian haruskah keberadaan Fraksi ABRI dipertahankan?...,46 Pandangan Yusril Ihza Mahendra dan Partai yang dipimpinnya di era Reformasi menyoroti perlunya ABRI (kini TNI-POLRI) me- lakukan pemisahan fungsi kerja secara tegas. Pemikiran dan usulan Partai Bulan Bintang ini kemudian diterima anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan pada tahun 2000, dengan disah- kannya perundangan yang memisahkan peranan TNI dengan POLRI, adapun bidang aktivitas TNI lebih difokuskan kepada pertahanan negara sedangkan POLRI aktivitasnya lebih kepada keamanan negara.47 Memang Yusril Ihza tidak keras mengkritik hal ini tetapi ia secara tegas mengemukakan bagaimana posisi militer secara hukum, dengan memandang keberadaan itu harus dilihat dalam konteks sejarah, bukan konteks hukum, ketika pada suatu masa golongan “fungsional” dikehendaki kehadirannya dalam badan-badan perwakilan dan ini terjadi sejak era pemerin- tahan Demokrasi Terpimpin ketika Soekarno menghendakinya.48 Ia juga mengakui peranan dinamis fraksi ABRI.49 Pada era Refor-

46 Jumlah anggota parlemen dari Fraksi ABRI pada awalnya adalah 100 kursi, ini dimulai ketika pemerintahan Orde Baru baru tegak, peranan mereka dalam rangka untuk menjamin kelangsungan pemerintahan Orde Baru dan terjaminnya pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Kemudian masih pada era pemerintahan Orde Baru pula terjadi pengurangan kursi menjadi 75 kursi, ini dirasakan karena pada waktu itu pemerintahan Soeharto relatif telah stabil dan adanya “desakan” perlunya pengurangan jumlah kursi ABRI di parlemen itu. Di era Reformasi atas tekanan massa agar peranan ABRI di parlemen dan politik dihilangkan, namun hasil kesepakatan Partai-partai yang ada jumlah kursi ABRI di dikurangi hanya 30 kursi, dan ini berlangsung hanya sampai tahun 2004, setelah itu peranan ABRI dalam politik akan dihilangkan sama sekali. 47 Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tatanegara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan Rakyat dan Sistem Kepartaian, Jakarta, GIP, 1996, hlm. 172-173. 48 Ibid. 49 Pengakuan itu dikemukakan dalam tulisan yang sama, namun ia menggarisbawahi bahwa dengan adanya single majority Golkar di masa Orde Baru, maka peranan fraksi 308 YUSRIL IHZA MAHENDRA

masi inilah apa yang menjadi gagasan dasar Yusril Ihza Mahendra nampak terwujudkan, pada tahun 2004 peranan sosial politik militer di parlemen telah hilang.

Perjuangan Syariat Islam dalam Amandemen Konstitusi

ASALAH perjuangan dan penerapan Syariat Islam,50 di Indonesia bukanlah hal yang baru karena, pertama; dari M sejak zaman kolonial Belanda penerapan syariat Islam su- dah diberlakukan walaupun sebatas masalah ibadah dan hukum perdata, artinya masih terbatas pada bagian tertentu tetapi pada prinsipnya telah ada pengakuan mengenai keberadaan hukum Islam dalam kehidupan masyarakat Indonesia, selain hukum adat dan hukum produk penjajah;51 kedua, pada masa kemerdekaan secara inplementatif penerapan syariat Islam juga telah diakui, bahkan dikembangkan khususnya pemerintahan Orde Baru sejak era 1980-an dalam jaminan perundangan melalui keputusan

ABRI sebagai stabilisator menjadi kurang berfungsi, padahal menurut Yusril ABRI itu milik semua golongan, karena itu dituntut jiwa besar dan memberikan keteladanan sesuai dengan misi kepeloporannya di bidang sosial dan politik. Ibid, hlm. 195-196. 50 Dalam arti luas, menurut Hamdan Zulva (seorang anggota DPR di tingkat nasional dan Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Bulan Bintang yang juga praktisi hukum) Syariat Islam mencakup wilayah pengaturan sangat luas bahkan mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, yaitu hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesamanya, serta manusia dengan alam lingkungannya yang terangkum dalam bidang hukum akidah, akhlak, hukum mengenai ibadah, muamalah serta hukum pidana (jinayah). Sedangkan dalam arti sempit, Syariat diartikan sebagai hukum- hukum Islam yang berkaitan dengan ibadah, muamalah dan jinayah saja, dan prinsip inilah yang dianut UUD 1945 yang secara eksplisit dimuat dalam pasal 29 ayat 2. Lihat Hamdan Zoelva, “Syariat Islam Kemungkinan Penerapannya di Indonesia,” Media Dakwah, Rabiul Akhir, 12 Juli 2002. 51 Kenyataannya di Indonesia untuk bagian tertentu dalam bidang muamalah yang berkaitan dengan masalah ibadah telah diatur atau dicampuri oleh negara yaitu bidang perkawinan, perceraian, warisan, hibah, wasiat dan waqaf. bidang ini sejak zaman Belanda diakui sebagai hukum yang hidup (living law) dan diberlakukan (dipositifkan) oleh pemerintah penjajah Belanda, lihat Hamdan Zoelva, Ibid. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 2 309

politik.52 Memang ruang lingkupnya masih terbatas, demikian pula “payung perlindungan” pada tingkat yang lebih tinggi yaitu di Konstitusi negara RI, masih mengalami pasang surut perjuangan.53 Makna syariat Islam itu sendiri menurut Prof. Ali Yafie se- sungguhnya adalah pelaksanaan dari ajaran Islam, jika Islam diakui sebagai agama di Indonesia maka tidak ada alasan untuk tidak memberikan jaminan pelaksanaan ajaran Islam. Undang- Undang Dasar 1945 pun memberikan satu perintah kepada Ne- gara (Pasal 29) yang bisa dijadikan dasar hukum bagi pember- lakuan syariat Islam di Indonesia.54 Ajaran Islam memberi tun- tunan dalam berbagai aspek kehidupan, tuntunan mengelola negara dalam ajaran Islam menurut DR. Fuad Amsyari disebut sebagai sistem ketatanegaraan Islam atau sistem pemerintahan Islam. Imam Mawardi, Abul a’la al Maududi, Mohammad Assad, adalah sejumlah nama yang banyak menulis mengenai peme- rintahan Islam, hanya tinggal bagaimana mengaplikasikan saja.55

52 Konsep ini kemudian diwariskan kepada pemerintah Republik Indonesia dengan mengadakan pengadilan Agama yang secara resmi terakhir diatur dengan Perundangan mengenai Pengadilan Agama pada tahun 1986, dengan memiliki kewenangan terbatas menyangkut hukum perkawinan, hibah, wasiat serta waqaf. Sejak akhir tahun 1980- an umat Islam Indonesia, mengambil langkah-langkah sebagai upaya penegakan syariat Islam dalam bidang muamalah, yaitu dengan mendirikan institusi syariah: Bank Muamalat Indonesia, Asuransi takaful, Arbitrase muamalat dan penawaran modal madani. Dalam bidang makanan dan minuman, telah dibentuk lembaga untuk lebelisasi halal. Hamdan Zoelva, Ibid. 53 Mengenai lingkup penerapan syariat Islam baik di masa kolonial maupun setelah kemerdekaan masih sangat terbatas seperti: UU NO. 32/1946 berkaitan dengan Perkawinan, UU Pencatatan NTR (Nikah, Talak, Rujuk), ini menjadi cikal bakal lahirnya UU NO.1/1974, di samping hukum ibadat sudah pula berlaku hukum munakahat, adanya Undang-Undang Pengadilan Agama, Bank Syariah melalui UU Perbankan No. 10 dan 23 tahun 1991 ini telah semakin berkembang dan mengalami kemajuan yang cukup berarti. Persoalan “payung perlindungan” pada tingkat yang lebih tinggi dan secara lebih eksplisit yaitu tercantum secara tegas di dalam Konstitusi negara masih mengalami pasang surut perjuangan. Prof Ali Yafie sendiri mengakui mengenai kemajuan penerapan syariat Islam di Indonesia, juga Hussein Umar mengemukakan telah lebih dari 50 persen hukum syariat Islam berlaku di Indonesia. Lihat dalam “Perjuangan Menegakkan Syariat Islam,” Media Dakwah, Rabiul Akhir 1423, Juli 2002, hlm. 6. 54 Ibid, hlm.6. 55 Dalam tulisnnya ini ia menjelaskan, ada 18 prinsip dasar dalam mengelola negeri dengan model pemerintahan yang Islami, di antaranya adalah: Pengelolaan Negara 310 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Yusril Ihza Mahendra mengajukan gagasan menjadikan Syariat Islam sebagai sumber hukum, dikemukakannya: Syariah Islam (dapat) menjadi sumber hukum ter- tinggi dalam negara. Syariah sebagai sumber hukum berbeda dengan syariah sebagai hukum, Kalau sebagai sumber hukum syariah menjadi rujukan dalam mem- bentuk hukum nasional, karena seperti kita ketahui syariah dalam bidang muamalat yang detail hanya terbatas dalam hukum perkawinan dan warisan, di luar dua bidang itu hanya prinsip-prinsip dan dapat di-transform menjadi hukum nasional. 56 Partai Bulan Bintang merupakan Partai yang paling gigih memperjuangkan masuknya “tujuh kata” yang dikenal dengan “Dengan kewajiban menjalankan kewajiban syariat Islam bagi pemeluknya” ke dalam Batang Tubuh UUD 1945, betapapun dalam sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2002, di mana pembahasan Amandemen UUD 1945 dilakukan sampai empat tahapan sejak persidangan Majelis pada tahun 1999, ternyata mewujudkan cita-cita Islam ke dalam sistem ketatanegaraan Indonesia belum tercapai.57 Yusril Ihza Mahendra

dengan wilayah dan rakyat yang heterogen agamanya dalam suatu pemerintahan yang Islami wajib membawa misi tunggal yaitu, melaksanakan semua syariat Islam yang terkait dengan permasalahan sosial kenegaraan seperti hukum yang berlaku, tatanan ekonomi dan budaya yang dikembangkan untuk untuk kesuksesan membangun bangsa- negara…, kedaulatan berada di tangan syara, maka kedaulatan di sini harus dipahami secara operasional sebagai sumber hukum tertinggi yang diberlakukan di negara tersebut, Lihat Fuad Amsyari, “Sistem Ketatanegaraan yang Islami: suatu Arah untuk Penyelamatan Krisis Nasional Indonesia,” dalam Media Dakwah, Rabiul Akhir 1423/ Juli, 2002 hlm. 48. 56 Sabili, 7 April 1999. Lihat juga dalam Kholid Novianto & Al-Chaidar, Era Baru Indo- nesia: Sosialisasi Pemikiran, Jakarta, Rajawali Pers, 1999, hlm. 161. 57 Partai Bulan Bintang yang hanya memiliki 11 kursi di parlemen (2%), dengan tradisinya yang ingin mewarisi perjuangan Partai Masyumi, dan persoalan “tujuh kata” yang merupakan bagian dari Piagam Jakarta yang dahulu pernah diperjuangkan Partai Masyumi era 1950-an, oleh Partai ini dianggap penting untuk ditegaskan kembali di dalam perubahan Konstitusi Indonesia yaitu UUD 1945, karena ini akan memberi konsekuensi kewajiban bagi negara untuk membentuk institusi-institusi Islam yang masuk dalam sistem kenegaraan Republik Indonesia. Menurut Sumargono, syariat Islam memang harus dimasukkan dalam batang tubuh UUD 45, karena agama Islam tidak dapat dipisahkan dari konstitusi negara yang mana konstitusi dibuat menurut keinginan mayoritas masyarakat, selain ini merupakan amanah Muktamar Partai PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 2 311

dan Partai Bulan Bintang berkeyakinan syariat Islam adalah hukum yang sangat dekat dengan perasaan hukum mayoritas pen- duduk Indonesia, dan aspek hukum tersebut tidak mungkin dapat ditegakkan dengan baik tanpa keterlibatan negara yang memiliki kekuasaan untuk menegakkan aturan hukum syariat tersebut. Namun demikian ia mengingatkan, untuk mentransformasikan syariat Islam menjadi kaidah hukum positif di Indonesia memer- lukan proses politik yang konstitusional dan demokratis. Artinya Partai Bulan Bintang (PBB) tidak ingin memaksakan penerapan syariat Islam dengan cara pemaksaan dan kekerasan. Hamdan Zoelva mengemukakan usaha-usaha penegakan syariat Islam da- pat tetap dilakukan dengan menyusun peraturan-peraturan per- undangan di bawah undang-Undang Dasar agar selaras dengan Aquran dan Assunah atau setidaknya menyusun peraturan- peraturan perundangan yang tidak bertentangan dengan Alquran dan Assunah. Upaya lainnya adalah perlu memperbanyak model propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) yang lain di propinsi atau daerah otonomi khusus lain di Indonesia, berdasarkan kewenangan yang dimiliki daerah otonom yaitu undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, terhadap daerah-daerah yang penduduk- nya mayoritas Islam dan sangat kental keislamannya.58

Federasi atau Kesatuan

USRIL Ihza Mahendra secara tegas menolak federalisme atau belum dapat menerima ide itu sekarang berdasarkan Y pertimbangan utama bahwa proses meng-”Indonesia” belum

Bulan Bintang. Pandangan ini disampaikan dalam acara Musyawarah Wilayah Kerja I, Dewan Pimpinan Partai Bulan Bintang di Propinsi Jawa Barat, Forum Keadilan, 15-18 Juli 2002. Hamdan Zoelva, salah seorang anggota parlemen dari fraksi PBB mengemukakan, syariat Islam sebagai sebuah sistem hukum dan kemasyarakatan hanya dapat ditegakkan dengan utuh apabila memenuhi substansi aturan hukum dan tingkah laku tertulis maupun tidak tertulis sesuai ketentuan syariah dalam ketentuan hukum positif dan harus didukung budaya masyarakat yang memahami dan menyadari penghormatan atas aturan syariat. Lihat Hamdan Zoelva, Ibid, hlm. 47. 58 Hamdan Zoelva, Ibid, hlm. 47. 312 YUSRIL IHZA MAHENDRA

berlangsung secara matang. Mengenai ada yang melontarkan ide federalisme, menurutnya: Bahwa terwujudnya ide federalisme perlu segera dilaksanakan hanya karena bermaksud menghambat dominasi militer, ini menunjukkan minimnya kesa- daran dan pengetahuan sejarah dalam diri mereka terhadap bangsanya sendiri. Sisi kesejarahan di masa lalu serta ikatan-ikatan emosional harus kita perhi- tungkan juga, komposisi masyarakat kita yang begitu kompleks karena itu menjadi tidak sederhana untuk membentuk federalisme pada masa sekarang. Pengga- gas federalisme kurang mencermati adanya hambatan yang bercorak khusus Indonesia, jika provinsi yang ada sekarang ini secara simplistik dijadikan negara bagian, ia khawatir negara bagian itu akan berubah menjadi negara suku, ini bedanya Indonesia dengan Jerman atau Amerika. Itulah sebabnya ketika dahulu dibentuk provinsi para pemimpin bangsa kita tidak menamakan provinsi berdasarkan nama suku, maka diciptakan provinsi yang tidak berbau ‘etnis atau kesukuan’.59 Solusi yang Yusril Ihza Mahendra tawarkan adalah pemberian otonomi bukan federal adalah jawaban yang efektif untuk memecahkan masalah ketidakpuasan di daerah, yaitu “Otonomi Luas” yang diberikan kepada Provinsi (Daerah Tingkat I), bukan kepada daerah Tingkat II. Gagasannya itu dikembangkan oleh Partai Bulan Bintang dalam melihat secara keseluruhan wilayah Indonesia dan wilayah itu harus dikembangkan sesuai dengan tuntutan masyarakat dan kemampuan yang dimiliki. Partai Bulan Bintang menawarkan pemekaran wilayah Provinsi atau Daerah tingkat I dari 26 menjadi 40 Provinsi dengan klasifikasi sebagai berikut: 3 daerah istimewa dan 8 daerah khusus, dengan penjelas-

59 Yusril Ihza Mahendra, “Perpolitikan Konsep Federalisme di Indonesia dan Konsekuensinya dalam Federalisme untuk Indonesia,” dalam ST. Soelarso & T. Jakob Koe Kerits (pnyt.), Kompas, 1999, hlm. 135-142. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 2 313

an bahwa daerah Istimewa adalah Aceh (karena keislamannya); Yogyakarta (karena Kesultanannya yang masih berlangsung); Bali (karena tradisi keagamaannya Hindu); dan Timor-Timur (karena tradisi Katoliknya).60 Sementara provinsi yang besar seperti Riau dibagi menjadi dua yaitu Riau Daratan dan Riau Kepulauan; Sumatera Selatan dibagi menjadi Sumatera Selatan dan Bangka Belitung; Kalimantan Timur dibagi menjadi dua provinsi karena wilayahnya yang sangat luas; orang Pare-Pare juga menghendaki Sulawesi Selatan dibagi menjadi dua provinsi; juga cita-cita masyarakat Madura menjadi provinsi tersendiri. Mengenai daerah-daerah khusus, karena faktor keterbelakangan- nya, seperti Pulau Siberut, Pulau Enggano, Pulau Mentawai, Pulau Karimun Jawa, Kepulauan Natuna, Kepulauan Kei dan Kepulauan Sangihe Talaud, daerah-daerah ini tidak dapat diserahkan kepada provinsi melainkan diurus langsung pemerin- tah Pusat. Untuk pengurusan wilayah itu, Yusril Ihza Mahendra menawarkan adanya Menteri Negara urusan Pembangunan Daerah khusus yang mengelola berbagai daerah tersebut sampai benar-benar dapat berdiri sendiri.61 Masalah negara kesatuan, cukup dengan Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa dan Satu Pemerintahan, namun demikian, menurutnya bukan berarti Negara Kesatuan RI menjadi satu- seragam dan sentralistik, “apalagi jika kesatuan itu disamakan dengan apa yang ada di Pulau Jawa, hal ini yang membuat rusak semuanya,” tegas Ketua Partai Bulan Bintang itu. Sebagai konsekuensi dari adanya konsep otonomi seluas-luasnya kepada provinsi, ia berpendapat sebaiknya semua pemimpin dipilih langsung, dari Presiden hingga Gubernur.62

60 Untuk kasus Timor-Timur, usulan itu datang sebelum wilayah itu lepas dari dari negara Kesatuan Indonesia, kini telah merdeka sebagai Negara Timor Leste. 61 Yusril Ihza Mahendra, Perpolitikan…, Ibid. 62 Apa yang menjadi gagasan Yusril serta menjadi kebijakan Partai Bulan Bintang ternyata secara bertahap berhasil diperjuangkan dan diterima di kalangan anggota legislatif yaitu dengan diundangkan peraturan yang berkaitan dengan otonomi daerah secara luas serta pembentukan provinsi baru seperti: Provinsi Banten, lepas dari Provinsi Jawa Barat; Provinsi Bangka Belitung, lepas dari Provinsi Sumatera Selatan; Provinsi Kepualuan Riau, lepas dari Provinsi Riau; Provinsi Maluku Utara, lepas dari 314 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Islam, Penegakan Hak Asasi Manusia dan Implementasi Pelanggar HAM

AK asasi manusia yang menjadi salah satu isu penting un- tuk membangun masyarakat modern di masa datang men- H jadi perhatian para elit politik di negeri ini. Universalisme nilai-nilai di atas sebenarnya telah ada dalam sanubari masya- rakat Indonesia. Sebagai masyarakat relijius yang dianut mayo- ritas masyarakat Indonesia, Islam sangat selaras terhadap peng- hargaan akan nilai-nilai hidup dan kehidupan sebagaimana tun- tutan masyarakat modern dewasa ini, yaitu pengakuan akan hak- hak asasi manusia, keadilan, persamaan, penghormatan terhadap kebebasan mengemukakan pendapat yang memberikan kemasla- hatan umat manusia dan sebagainya. Menurut Yusril Ihza Mahendra, ketika UUD 1945 disahkan pada 18 Agustus 1945, hanya sedikit pasal-pasal yang memuat ketentuan mengenai hak asasi manusia. Kini pada era Reformasi telah terjadi perubahan yang cukup radikal. Sebagai Menteri Kehakiman dan Hak asasi, ia telah mulai mengakomodasikan tuntutan yang berkait dengan perlindungan dan pembelaan hak-hak asasi manusia. Dengan gamblang, ia menjelaskan, Kita telah memiliki Ketetapan (TAP) mengenai Hak Asasi Manusia dan telah mengesahkan Undang- Undang tentang pengadilan Hak Asasi Manusia. Dalam Undang-Undang ini kita telah mengadopsi prinsip-prin- sip hukum pidana Islam serta berbagai ketentuan, segala statuta dan konvensi internasional yang memuat

Provinsi Maluku. Selanjutnya juga rencana pemekararan Provinsi Papua (nama sebelumnya Irian Barat) akan menjadi tiga provinsi; juga Madura di Jawa Timur dan Pare-Pare di Sulawesi, kemungkinan menjadi provinsi tersendiri, walau yang kedua terakhir ini baru sebatas wacana, selain itu juga sejak reformasi politik telah banyak Daerah Tingkat II yang ditingkatkan statusnya. Pandangan-pandangan Yusril menge- nai ketatanegaraan yang diperjuangkan melalui Partai dan komunikasi pemikiran yang dikemukakan kepada masyarakat luas, telah banyak diterima menjadi keinginan masyarakat keseluruhan. Ibid. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 2 315

delik “kejahatan kemanusiaan” (crime against human- ity), bahkan lebih jauh lagi dua kali amandemen ter- hadap UUD 1945 telah pula melengkapi kekurangan pasal-pasal tentang hak asasi manusia yang ada dalam teks asli.63 Mengenai prinsip-prinsip Islam telah menjadi spirit untuk me- rumuskan Undang-Undang khusus masalah hak asasi manusia, ia dengan tegas mengatakan dalam tulisannya: “Tidak ada ideologi apapun yang dapat berkembang di tanah air kita tanpa mencari persentuhannya dengan Islam, baik itu Nasionalisme atau Sosialisme,” tegasnya.64 “Bahkan kaum komunis sekalipun di awal abad kedua puluh yang lalu telah menggunakan idiom- idiom Islam untuk mempertahankan gagasan-gagasan mereka ke tengah-tengah masyarakat. Tentu saja ajaran Islam yang sejati akan menentang doktrin Komunisme itu.”65 Dalam persoalan utama mengenai hak asasi, prinsip utama syariat Islam adalah keadilan dan persamaan. Para pakar hukum Islam sepakat untuk menyatakan bahwa keadilan adalah jiwa dari syariat Islam, Yusril Ihza Mahendra menjelaskan mengenai hal ini sebagai berikut: Tidak akan ada norma hukum yang akan ditaati oleh manusia jika norma hukum itu bertentangan de- ngan norma keadilan. Keadilanlah yang secara im- peratif harus dijadikan landasan dalam kita berbuat dan bersikap terhadap sesama manusia, Rasulullah ketika ditanya mengenai apa yang dimaksud adil, Rasul menjawab, “adil itu adalah berikan kepada sese- orang apa yang menjadi haknya, dan cabutlah dari seseorang apa yang bukan menjadi haknya.”66 Hal lain

63 Yusril Ihza Mahendra, “Persaudaraan dan Hak Asasi Manusia dalam Islam,” Media Dakwah, Rabiul akhir 1423/Juli 2002. 64 Ibid. 65 Ibid. 66 Ibid. 316 YUSRIL IHZA MAHENDRA

yang penting dalam prinsip syariat Islam adalah pen- tingnya tentang persamaan, dijelaskan olehnya mengenai prinsip persamaan berdasarkan sabda Rasul67 Prinsip dasarnya sebenarnya pesan sebagaimana para sarjana Islam lainnya bahwa Islam telah demikian jelas mengakui adanya pluralisme masyarakat baik dalam hak dan kewajiban tanpa membeda-bedakan asal-usul dan agama. Ia memberikan ilustrasi dalam perspektif sejarah mengenai apa yang dikenal di dalam sejarah Islam dengan “Piagam Madinah,” bagaimana Rasul Muhammad Saw memimpin masyarakat di kota Madinah dengan mengakui adanya pluralisme.68 Di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, Yusril Ihza Mahendra yang masih berusia 43 tahun (Menteri termuda) diberi kepercayaan menduduki kursi Menteri Hukum dan Perundang-Undangan (Makundang). Tugas berat yang harus dihadapinya adalah selain membenahi institusi hukum, juga bagaimana menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh perwira dan prajurit TNI dan POLRI. Ide pengadilan “koneksitas,”69 istilah yang baru yang dikemuka- kannya ini, membuat masyarakat tertegun di saat tuntutan atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) sedang dalam sorotan tajam, khususnya di kalangan tentara. Melalui pengadilan koneksitas ini kasus pelanggaran tersebut akan disidangkan yang melibatkan hakim gabungan dari kalangan militer dan sipil. Ini suatu terobosan jalan tengah yang ditawarkan Yusril Ihza Mahendra setelah pihak militer menolak dengan keras

67 Dalam suatu hadis dijelaskan, tidak ada kelebihan dan keunggulan orang Arab dengan orang bukan Arab, begitu juga tidak ada kelebihan apapun orang-orang kulit putih dengan kulit merah (berwarna), demikian pula sebaliknya. Semua manusia adalah sama, yang membedakan hanya derajat ketakwaannya kepada Allah Swt. Ibid. 68 Ibid. 69 Pengadilan koneksitas adalah langkah yang paling cepat dan paling mungkin dilakukan untuk menangani kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang sudah terjadi, sedang langkah ke depan akan dibentuk peradilan HAM. Lihat Yusril Ihza Mahendra, Sang Bintang Cemerlang: Perjuangan Menegakkan Sistem dan Akhlak Berpolitik, Jakarta, Putra Berdikari Bangsa, 2000. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 2 317

adanya pengadilan anggota militer melalui pengadilan Sipil.70 Sebagai Menteri ia telah menembus kebekuan itu dengan mena- warkan sebuah gagasan alternatif yang rasional. Keberadaan peradilan koneksitas saat itu dapat dilihat dalam dua perspektif: pertama, di saat diperlukannya satu terobosan cepat dalam mengambil langkah terhadap berbagai pelanggaran hak asasi manusia, sekaligus membuktikan kepakarannya; kedua, ia politisi yang memberi solusi, bukan memanfaatkan isu untuk menarik keuntungan dengan memojokkan “lawan atau pesaing- nya.” Yusril Ihza Mahendra dalam rapar kerja dengan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat 23 November 1999, mengemuka- kan; “Tribune International Court atau Pengadilan Internasional tidak perlu lagi mengadili para pelanggar HAM di Indonesia terutama pihak militer Indonesia, jadi lebih baik kalau mereka (pihak militer) diadili di dalam negeri daripada melalui Hukum dan perundang-undangan Internasional.”71 Ternyata seorang Yusril Ihza Mahendra bukan sekedar or- ang yang tahu akan hukum dan segala hal yang menyangkut perundang-undangan, ia juga seorang yang konsisten untuk “tegaknya aturan main” dalam kehidupan bernegara. Ini dapat dibuktikan meski ia mendapatkan kepercayaan sebagai Menteri Hukum dan Perundang-Undangan yang ditunjuk Presiden Abdurrahman Wahid, namun ketika Presiden itu mengusulkan untuk dicabutnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) No. XXV tahun 1966, mengenai pelarangan atas paham Marxisme dan Komunisme di bumi Indonesia, Yusril memberikan reaksi dengan menyatakan akan mengundurkan diri dari kedudukan sebagai Menteri bila hal itu dilakukan Presiden.72 Bagi Yusril, terlepas paham itu bertentangan dengan

70 Media Indonesia, 28 November, 1999, dalam tajuk: Mengadili Para Jenderal. 71 Ibid, hlm. 152. Lihat juga harian Rakyat Merdeka, Rabu, 24 November 1999. Lihat pula, “Human Right Court Won’t Try Past Atrocities,” dalam The Jakarta Post, Rabu, 24 November 1999. 72 Bagi Yusril Ihza Mahendra, paham itu bertentangan dengan ajaran agama dan pengikut paham itu telah melakukan pengkhianatan dalam sejarah politik Indonesia. Hal lain adalah pencabutan kewenangan itu seharusnya bukan datang dari seorang presiden, melainkan inisiatif harus datang dari anggota majelis. Sikap ini membuktikan bahwa 318 YUSRIL IHZA MAHENDRA

ajaran agama dan pengikut paham itu telah melakukan pengkhianatan dalam sejarah politik Indonesia modern, tetapi hal lain adalah pencabutan kewenangan itu seharusnya bukan datang dari seorang Presiden melainkan inisiatif harus datang dari anggota Majelis, ini membuktikan konsistensinya atau taat hukum. Yusril tetap diberi kepercayaan untuk memegang kembali kedudukan sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi di bawah pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri. Tindakan politik penting yang dilakukan Menteri Hukum dan Hak Asasi atas nama pemerintah adalah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Peraturan ini dikeluarkan sebagai jawaban atas berbagai aksi teror di Indo- nesia, ini sebagai langkah antisipasi secara hukum yang perlu dilakukan bagi terlaksananya keamanan dan ketertiban yang efektif dan lebih terjamin. Akan tetapi keberanian pengambilan keputusan sebagai seorang Menteri yang juga Ketua Partai Is- lam dan demi untuk kepentingan negara ini memang meng- hadapi tantangan yang berat dari kelompok masyarakat, termasuk salah satu partai Islam yang memiliki pendukung cukup besar yaitu kalangan Partai Keadilan (PK). Pemberlakuan

ia konsisten atau taat hukum. Pada awalnya Abdurrahman Wahid memerintahkan Menteri Hukum dan Perundang-Undang agar menemui para tokoh PKI yang berada di luar negeri. Yusril kemudian berangkat ke Eropa (Belanda) menemui eks tokoh PKI yang bertebaran di sana untuk menyampaikan pesan bahwa pemerintah bersedia menerima kembali kehadiran eks aktivis PKI seandainya mereka ingin kembali ke Indonesia, kebijakan ini dimaksudkan sebagai upaya rekonsiliasi Nasional. Mengenai hal ini telah disampaikan oleh Yusril Ihza Mahendra, tetapi para tokoh PKI menyampaikan aspirasinya kepada menteri Hukum dan Perundang-Undangan agar TAP MPR / XXV/1966 yang mengatur pelarangan Marxisme dan Komunisme dan pembubaran PKI dicabut. Pandangan Abdurrahman Wahid memiliki kesamaan dengan para tokoh PKI itu, walaupun ia sama sekali belum mengajukan argumentasi pencabutan TAP MPR. Yusril dengan Partainya memiliki sikap kepada Presiden bila tetap mengusulkan pencabutan itu, maka PBB akan menarik dukungan kepada Presiden. Partainya menganggap ada perbedaan prinsip bahwa soal ini sudah harga mati, Yusril menolak pandangan dan usulan Presiden itu. Amien Rais juga bereaksi mengenai hal ini dengan mengatakan Abdurrahman Wahid berlaku “teledor”, dan Ketua MPR itu akan “menjewernya” dalam sidang MPR sehubungan dengan usulan pencabutan TAP-TAP MPR tersebut, lihat Ahmad Suhelmy, Dari Kanan Islam hingga Kiri Islam, Darul Falah, Jakarta, 2001, hlm 119-131. PEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK 2 319

peraturan ini memungkinkan pemerintah untuk melakukan tindakan sepihak, atas nama keamanan negara pemerintah dapat menangkap siapa pun yang dicurigai dan ini bagi sebagian masyarakat dianggap telah merugikan proses demokrasi yang baru tumbuh. 320 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Yusril Ihza Mahendra dalam pertemuan sesama politisi BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU 321

Budaya Politik Indonesia Baru Analisis dan Kesimpulan666 Pemikiran dan Perilaku Politik Yusril Ihza Mahendra

MODERNISME ISLAM DALAM KEHIDUPAN KEAGAMAAN DAN POLITIK DI INDONESIA

Pra-Kemerdekaan

ODERNISME Islam sebagai suatu paham pemurnian dan pembaruan agama Islam di Indonesia merupakan aliran M yang tindakan pengajian ulangnya atas pengamalan ajaran Islam (rethinking Islam) tidak terbatas kepada bidang agama yang berhubungan dengan persoalan manusia dengan Tuhan (ibadah mahdub) saja dalam upaya untuk mengembalikan umat kepada orisinal agamanya, melainkan juga adanya perluasan (scope) ter- hadap ajaran itu yang berhubungan dengan persoalan kehidupan manusia dari masalah sehari-hari sampai persoalan politik 322 YUSRIL IHZA MAHENDRA

kenegaraan. Aliran ini meyakini bahwa ajaran Islam tidak dapat dilepaskan dari aspek kehidupan kemasyarakatan (muamalah) dengan segala perkembangan dan perubahannya yang dinamis, dan jawaban atas persoalan itu di kalangan modernis Islam dilakukan melalui apa yang kemudian dikenal sebagai ijtihad. Pendukung modernisme Islam di Indonesia ini berhadapan dengan sejumlah kekuatan baik dari pihak luar yaitu pengaruh Barat khususnya dari kaum kolonial Belanda, maupun pihak pribumi, yakni kaum bangsawan yang berpaham feodalistik dan sinkretik dalam mengamalkan agama, serta kalangan tradisi- onalis agama yang bersifat statis dengan pandangan keagama- annya yang terpengaruh sangat kuat kepada budaya lokal. Pihak pemerintah kolonial sendiri dalam sejarah masa penjajahan telah mengambil kebijakan politik berdasar pandangan dari Snouck Hurgronye bahwa mereka bersikap netral dalam persoalan agama yang berkait dengan ibadah, namun mereka menempatkan masa- lah kemasyarakatan serta kebudayaan ke dalam asosiasi Eropa dan mengekalkan hukum adat, serta secara sistematis dan re- presif mencegah tumbuhnya fanatisme di kalangan umat. Strategi kaum kolonial dengan membina sekolah-sekolah sekuler modern, yang di kemudian hari melahirkan elit nasionalis sekuler pada satu sisi, ternyata di sisi yang lain telah membuka pencerahan kalangan umat yang menginspirasi kalangan modernis Islam untuk mengadopsi model, metode pendidikan “Barat” ke dalam lingkungan pendidikan kalangan pribumi (Islam). Tindakan represif pemerintahan kolonial Belanda dengan memandang bahwa Islam sebagai doktrin politik merupakan ancaman dan musuh yang harus dicegah, maka dalam konteks politik kesalahan Belanda dalam memahami kehidupan sosial umat Islam (kalaulah mungkin bukan kesengajaan) dengan berpegang kepada pandang- an yang struktural dengan menempatkan ulama, khatib dan guru mengaji sebagaimana pendeta. Kemudian pemerintah kolonial menciptakan kekuatan alternatif dengan melakukan pendekatan kepada kelompok umat yang kurang kuat agamanya, mengang- kat hakim agama melalui pengadilan agama serta mengangkat BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU 323

imam masjid dengan memberikan gaji. Ini merupakan politik “belah bambu” (Aqib Suminto 1985), yakni cara politik dengan memecah belah kalangan Islam dengan mengangkat sekelompok orang yang tidak berakar di tengah umat seraya memberi posisi sosial yang tinggi, sebaliknya menyingkirkan kelompok Islam lainnya, semua itu hanyalah untuk menundukkan Islam dan umatnya di bawah kekuasaan mereka. Kalangan modernis Islam melakukan perlawanan budaya dan sosial dengan mendirikan institusi pendidikan Islam yang mod- ern seperti yang dilakukan para ulama dan kalangan terpelajar di daerah Minangkabau Sumatera Barat, Yogyakarta, Jawa Barat serta kota lainnya di tanah Jawa. Sikap yang tegas, berani, dan sangat kooperatif terhadap kemajuan Barat ditunjukkan oleh Syekh Akhmad Khatib, Haji Abdul Karim Amrullah, Syekh Ahmad Soorkatti, Tjokroaminoto, H. Agus Salim, A. Hassan, Mohammad Natsir, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Mas Mansur dan lainnya. Namun mereka sangat keras menentang pelaksanaan keagamaan yang dicampur dengan hal-hal bersifat takhayul, bid’ah, khurafat serta segala hal yang berbau syirik. Perbuatan yang biasa dilakukan kalangan tradisionalis Islam ini mendapat- kan perlindungan dari kalangan pemerintah kolonial dan kalangan bangsawan pribumi yang feodal. Oleh karena itu mem- bangun dunia pendidikan Islam yang baru adalah jawaban yang mengandung nilai strategis untuk perubahan yang berarti bagi masa depan umat. Disebabkan adanya larangan kelompok Islam untuk berjuang melalui dunia politik, maka kalangan modernis berjuang dengan mendirikan perkumpulan keagamaan yang memiliki aktivitas lebih meluas kepada bidang sosial dan pendi- dikan, sekaligus sebagai counter terhadap aktivitas pemerintah kolonial di bidang sosial dan pendidikan yang sebenarnya mem- bawa misi penyebaran agama Kristen. Upaya-upaya tokoh mo- dernis itu telah melahirkan perkumpulan seperti Sarikat Dagang Islam (SDI), Muhammadiyah, Persis, Sumatera Thawalib, Persa- tuan Ulama, Al Irsyad, yang semuanya bersifat sosial dan bermisi keislaman, tetapi dalam sistem organisasinya mereka meng- 324 YUSRIL IHZA MAHENDRA

gunakan cara-cara, metode dan sistem pendidikan yang dilakukan pemerintah Belanda serta masyarakat Barat pada umumnya. Dalam suasana tertekan itu lahirlah gerakan pembaruan Is- lam, suatu gerakan yang telah mengubah wajah Islam di Indone- sia (Pijper 1977). Sumatera Barat dan Pulau Jawa merupakan titik awal perkembangan kaum modernis Islam, dan mereka men- dapatkan reaksi yang keras dari kalangan pemerintah kolonial, kalangan tradisi dan kalangan nasionalis sekuler (Deliar Noer 1973). Menurut Deliar Noer, agenda gerakan modernis Islam itu meliputi dua bagian, yaitu aksi di bidang pendidikan dan sosial, kemudian aksi yang berhubungan dengan politik. Di bidang sosial dan pendidikan gerakan ini memperoleh inspirasi dari pemikiran yang berkembang di Mesir terutama pengaruh Mohammad Abduh, dengan sifat gerakan adalah pemurnian agama, menolak taklid dan menegakkan ijtihad. Bahkan sebagian dari kalangan modernis menolak inspirasi Abduh pada dirinya, misalnya Halim dari Majalengka Jawa Barat dan Syekh Ibrahim Musa dari Minangkabau, mereka tidak berhenti hingga pemikiran Abduh melainkan menggali dari pemikir Islam lainnya seperti Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim. Dalam aksi yang berkaitan dengan politik, kalangan modernis Islam di masa pergerakan nasional hingga memasuki kemerde- kaan banyak yang mendapatkan inspirasi atau pengaruh per- juangan Islam politik dari Jamaluddin Al-Afgani, namun demi- kian kalangan pembaru di Indonesia lebih “bebas” dalam mengem- bangkan pemikiran dan aktivitas mereka. Tjokroaminoto, Agus Salim, Mohammad Natsir, umumnya berlatar pendidikan Barat dan mengetahui banyak tentang Islam dari sumber aslinya, betapapun pandangan mereka tidak berlawanan dengan pemi- kiran Mohammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani. Hal yang menarik dari tokoh modernis Islam masa itu, ternyata mereka memiliki latar belakang sosial dan profesi yantg berbeda: Haji Rasul, K.H. Ahmad Dahlan berasal dari kalangan ulama; sementara Haji Ahmad Samanhoedi, Ahmad Hassan berasal dari kalangan perniagaan; HOS Tjokroaminoto, Agus Salim, Abdoel BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU 325

Moeis, Hassan Djajadiningrat, Mohammad Natsir, berasal dari kalangan priyayi-bangsawan; dan dari kalangan Pamong Praja, misalnya Gunawan dan Djajadiningrat (Deliar Noer 1973). Islam yang semula bersifat mistikisme dan sufisme serta berakulturasi dan beradaptasi dengan budaya lokal yang kemudian disebut Islam sinkretisme, secara evolusioner mulai mengalami perubahan menuju perkembangan Islam yang dinamis, rasional dan bercorak kemajuan dengan mengadopsi sistem dan pengetahuan dari negeri Barat. Ini membuka efek penyadaran politik. Kalangan elit Islam modernis semakin gen- car memperjuangkan kemerdekaan, kebebasan, serta persamaan hak politik, sosial dan ekonomi dan menuntut peran agama secara lebih tegas dalam mengatur kehidupan politik maupun kema- syarakatan. Pemikiran Tjokroaminoto, Agus Salim, A. Hassan, K.H. Ahmad Dahlan, Mohammad Natsir, Sukiman, dan Mas Mansur dengan gagasan dan tulisannya di era pergerakan nasional jelas memberikan gambaran dan wacana akan perlunya ajaran Islam sebagai ideologi-asas dalam membangun peme- rintahan serta kehidupan politik. Walaupun pemerintah Kolonial Belanda secara keras melarang aktivitas dakwah Islam yang bersifat politik, fakta sejarah masa lampau memperlihatkan bahwa Islam tidak pernah lepas dari persoalan politik (Benda 1980). Politik Belanda terhadap Islam bertumpu kepada politik “toleransi ganda” yaitu memisahkan agama dengan kehidupan politik, di satu pihak toleransi diberikan untuk hal-hal yang bersifat aktivitas ibadah, di sisi lain haji diawasi dan aktivitas politik tidak diberi ruang gerak yang memadai. Berbeda dengan pemerintah kolonial Belanda, pemerintahan Militer Jepang (1942-1945) membuka ruang politik secara lebih luas kepada kalangan Islam. Pihak militer Jepang mengizinkan kalangan umat untuk beraktivitas sosial, pendidikan, politik, dan juga mengakui secara formal terhadap Islam untuk masuk dan mengatur birokarsi pemerintahan pendudukan Jepang. Selain itu, umat pun diberi kesempatan untuk terlibat dalam aktivitas kemiliteran, berkesempatan untuk mengemukakan wacana 326 YUSRIL IHZA MAHENDRA

politiknya, sehingga mereka mampu melihat dinamika, titik singgung dan perbedaan yang terjadi di kalangan internal Islam maupun dengan mereka yang berbasis ideologi yang berbeda. Perkembangan ini, seperti dikemukakan Geertz (1982), menjadi- kan warna Islam di Indonesia mengalami degradasi pemahaman dan persepsi pengamalan yang berbeda-beda, dan penyebaran Islam berhadapan dengan realitas setempat dan pengaruh budaya luar. Ini melahirkan suatu keharusan sejarah bahwa terjadinya penyebaran agama yang menyesuaikan tuntutan Islam dengan realitas lokal dan konsep metafisik di satu sisi, dengan kemestian mempertahankan identitas Islam sebagai tuntutan ke arah pem- baruan. Kalangan modernis berada pada pilihan kombinasi kedua tuntutan itu. Sebagai sosok skripturalis mereka telah melakukan apa yang dikenal dengan “ideologisasi agama”, agama tidak lagi dirasakan sebagaimana mestinya, melainkan sesuatu yang harus dibina dan dipelihara. Peranan K.H. Mas Mansur, Abikusno, K.H. Khahar Muzakkir serta Tubagus Hadikusumo yang turut menyu- sun naskah Konstitusi negara dengan memperjuangkan syariat Islam sebagai ideologi negara di era berakhirnya pendudukan Jepang membuktikan peranan kalangan modernis yang demikian tegas tetapi konstitusional. Maka dapatlah disimpulkan bahwa gerakan modernis Islam yang pada masa awalnya berupa gerakan keagamaan untuk melakukan pemurnian ajaran Islam, dalam tahap selanjutnya gerakan ini menjadi gerakan sosial dan pendidikan dengan menggunakan organisasi modern, yang sistem, metode dan manajemennya mengambil dari cara organisasi di Barat. Akibat tuntutan yang lebih jauh pada perlunya pembebasan negeri dari kaum penjajah, gerakan kalangan modernis pun telah tumbuh dan meluas sebagai sebuah gerakan politik yang sangat berpengaruh. Tokoh-tokoh seperti Tjokroaminoto, Agus Salim, A. Hassan, Mohammad Natsir, Sukiman, K.H. Mas Mansur banyak melontarkan ide-de politik bahwa Islam adalah asas dan ideologi yang harus diperjuangkan dalam tatanan kenegaraan secara for- mal. Dalam kerangka ini, mereka sangat gigih menentang paham sekuler yang dikemukakan kalangan nasionalis. BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU 327

Pasca-Kemerdekaan

ALANGAN Islam secara politis telah bergabung dengan satu kekuatan partai yang bernama Masyumi, sebuah partai K yang lahir dari kesepakatan seluruh kelompok, perkumpul- an dan tokoh Islam yang berpengaruh di Indonesia. Dalam per- kembangannya memang terjadi perpecahan di internal umat Is- lam, sejumlah organisasi Islam yang awalnya mendukung keber- adaan Masyumi sebagai satu-satunya partai Islam, satu persatu menyatakan keluar: PSII, NU, dan Perti. Ini terjadi tak lama sete- lah kemerdekaan rakyat Indonesia diraih. Sebenarnya perbedaan itu bukan bersifat prinsip yang berkait dengan ideologi, namun lebih disebabkan persoalan sekunder akibat tidak terakomo- dasikannya kepentingan dan posisi politik yang “sesuai” di antara mereka. Perjuangan untuk menempatkan Islam sebagai aspirasi politik di dalam konstitusi negara sebagai sebuah ideologi nasional tetap menjadi cita-cita yang diperjuangkan dalam Sidang Konstituante hasil pemilihan umum tahun 1955 sampai 1957, setelah perjuangan penerapan syariat Islam yang telah dicapai dan disepakati secara mufakat ternyata harus menerima perubahan mendadak saat konstitusi negara disahkan di tahun 1945. Mohammad Natsir memiliki peranan menonjol ketika kalangan Islam di parlemen dengan gigih memperjuangkan kembali ideologi Islam. Gagasannya mengenai Islam sebagai ideologi, toleransi Islam, demokrasi dan kesepakatannya membentuk negara kesatuan, dikemukakan secara argumentatif melalui sebuah perjuangan dan pembelaan yang mampu memadukan semangat aktivisme dan intelektualisme, yang menjadi ciri kalangan modernis Islam. Akan tetapi semua itu berakhir dengan “dibunuhnya” budaya demokrasi yang fair tersebut oleh Soekarno yang mendapat dukungan kalangan militer dengan memberlakukan dekrit Presiden, 5 Juni 1959. Mulai saat itu kekuasaan terpusat di tangan Soekarno, ini berarti bahwa demokrasi telah “dikubur”. Masa ini merupakan keadaan ketika kalangan modernis Islam tidak saja kehilangan “tongkat” untuk 328 YUSRIL IHZA MAHENDRA

mencapai cita-cita politiknya, melainkan juga masa di mana proses kaderisasi politik di kalangan penerusnya mengalami kesukaran, sementara fragmentasi politik internal juga semakin memarjinali- sasikan kekuatan Islam. Pada akhirnya upaya mencari terobosan politik baru dengan paradigma politik yang juga baru, bahkan sama sekali berbeda, telah mewarnai perjuangan kalangan modernis Islam dari generasi setelahnya. Kalangan modernis Islam, terutama yang memiliki hubungan sejarah dan emosional dengan Masyumi, khususnya pengagum pemikiran Mohammad Natsir, tidaklah berakhir hingga masa memasuki pemerintahan yang baru. Pada masa awal pemerintahan Orde Baru yang dikendalikan Soeharto, kekuatan Islam dilucuti dan diasingkan dalam pentas politik praktis. Pada masa ini terjadi friksi stratejik, pemikiran dan tipologi perjuangan politik kalangan modernis Islam demikian beragam: ada yang secara total memutuskan mata rantai sejarah dengan visi elit Islam modernis masa lalu dengan meninggalkan cita-cita Piagam Jakarta dan menerima sepenuhnya Pancasila sebagai asas; ada kelompok yang berakomodasi serta kompromistis dalam melihat posisi politik de- ngan pemerintahan Soeharto, tetapi tidak bersikap kritis terhadap kebijakan politik pemerintah Orde Baru itu yang di era 1970 sampai awal 1980-an berkesan “bermusuhan dan mengambil jarak” dengan umat Islam. Sebagai contoh adalah sosok Mintaredja S.H. dan pendukungnya di Parmusi. Kelompok lain ada yang tetap konsisten untuk memperjuangkan Islam politik melalui arena sosial dan kultural, dengan membangun strategi baru yang dikenal dengan gerakan kultural di peringkat akar rumput dan kalangan terpelajar Islam. Sikap mereka tidak menjauh dari pemerintahan Orde Baru, bersikap akomodasionis dan kooperatif, tetapi kritis dan posisi politik bukan menjadi target utama, contohnya adalah kalangan “Pembaru Islam” yang dimotori Nurcholish Madjid dan sebagian pengikutnya dari kalangan yang berbasis organisasi mahasiswa Islam dan pelajar Islam di perkotaan. Di antara kalangan modernis Islam itu ada yang tetap dan berupaya untuk konsisten melanjutkan cita-cita perjuangan elit BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU 329

modernis Islam masa lalu. Mereka aktif di organisasi dakwah yang didirikan kalangan Masyumi yaitu Dewan Dakwah Islamiah In- donesia (DDII), sementara para pengagum Mohammad Natsir lainnya, mereka tetap melakukan gerakan politik praktis dan bersikap sangat kritis. Kalangan muda pada masa era 1980-an yang menonjol seperti Imaduddin Abdurrahim, Amien Rais, dan Yusril Ihza Mahendra adalah di antara sejumlah “kader Masyumi” yang kemudian cukup berpengaruh di kalangan muda Islam yang tumbuh dan dibesarkan dalam suasana Orde Baru. Pada masa Orde Baru itu, selain strategi perjuangannya memiliki perbedaan pilihan dan cara, juga telah berubahnya paradigma politik kalangan umat, yakni dari konsep negara Islam kepada pembentukan masyarakat Islam. Islam sepertinya tidak lagi sebagai ideologi perjuangan politik, ia hanya etika moral, sosial dan budaya dalam membangun masyarakat dan bangsa dalam kehidupan politik. Pilihan-pilihan ini dilakukan karena pendekatan politik yang demikian represif dari pemerintahan Orde Baru, setidaknya hal ini dapat dirasakan di separuh pertama masa pemerintahan Soeharto. Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra pada masa ini sangat kritis dan mengkritisi pemerintahan Soeharto yang memperlakukan kebijakan politik yang tidak adil kepada umat Islam. Tindakan hegemonik politik Orde Baru kepada umat Islam (Syafi’i Anwar 1995), walaupun ada di kalangan umat yang mendukung, pada dasarnya menyebabkan kekecewaan di sebagian besar kalangan muda Islam dan aktivitas kaum terpelajar. Perkembangan Orde Baru pasca “Asas Tunggal Pancasila” membuahkan kesadaran dengan semakin “mendekatnya” pemerintahan Orde Baru kepada umat Islam. Keharusan untuk melibatkan kekuatan Islam tidak dapat dihindari lagi ketika pemerintah memerlukan dukungan umat Islam dalam membangun keseimbangan baru politik serta akibat tantangan yang semakin berat yang disebabkan reaksi internasional terhadap sejumah kebijakan politik dan ekonomi pemerintahan Soeharto. Dua tokoh yang berasal dari kalangan modernis Islam dan “sangat dekat” dengan Mohammad Natsir ini memiliki pilihan- pilihan politik yang berbeda dalam menyikapi peluang dan 330 YUSRIL IHZA MAHENDRA

kemungkinan perubahan politik ke depan yang akan terjadi. Amien Rais memposisikan sebagai lokomotif gerakan reformasi dengan tuntutan yang tegas akan perlunya pergantian kepe- mimpinan nasional dan pemberdayaan demokrasi secara lebih luas di masa pemerintahan Orde Baru dan tetap mengambil jarak dari pusat lingkaran kekuasaan Soeharto. Sementara itu Yusril Ihza Mahendra dengan segala risiko politik yang besar, berani masuk dalam lingkaran kekuasaan; melakukan perubahan signifikan dari dalam melalui formulasi pidato-pidato Presiden yang ia susun dan puncaknya suasana politik akan tuntutan perubahan. Ia “menekan” Soeharto untuk berhenti dari keduduk- annya sebagai Presiden dan pandangannya lebih mengutamakan perlunya perubahan sistem secara konstitusional berupa amandemen konstitusi negara dengan memperjuangkan syariat Islam secara konstitusional dan tetap mempertahankan bentuk negara kesatuan. Dua tokoh modernis Islam yang kemudian menjadi popular dan disegani di tengah masyarakat Indonesia ini kemudian tampil secara nyata dengan mendirikan partai politik sebagai “kendaraan politik” dan membangun basis dukung- annya untuk merealisasikan cita-cita reformasi politik kenegara- an dalam membangun Indonesia baru. Apa yang dapat disimpulkan pada masa setelah kemerdekaan adalah, pertama, kalangan modernis Islam mengalami fase per- juangan Islam politik ke dalam dinamika pasang surut, fragmen- tasi dan friksi politik di kalangan internal umat ketika tekanan politik harus mereka hadapi, setidaknya ini dapat dilihat baik pada masa era pemerintahan Soekarno maupun Soeharto; kedua, terjadinya polarisasi strategi perjuangan politik, lemahnya figur pemimpin yang memiliki dukungan secara nasional dari kalangan umat dan yang tumbuh adalah kalangan pemimpin kelompok yang di antaranya terkooptasi serta menjadi subordinat dari penguasa politik negara; ketiga, kalangan modernis Islam betapapun memi- liki perbedaan dalam menyikapi format politik yang harus di- perjuangkan, namun mereka tetap memiliki pandangan yang sama bahwa Islam tidak dapat dilepaskan dengan persoalan BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU 331

politik, karena itu perdebatan dan reposisi pilihan di antara Is- lam sebagai ideologi negara secara formal politik dengan pemben- tukan masyarakat Islam secara substansi tidak pernah selesai; keempat, reformasi kehidupan politik telah memberikan harapan baru untuk lahirnya elit Islam secara lebih fair dan independent yang dapat dipilih dan dinilai langsung oleh umat Islam, namun demikian kebebasan dan keterbukaan politik di era ini dalam masa yang relatif pendek masih memerlukan proses pengamatan dan penilaian mengenai integritas moral, konsistensi sikap politik, kualitas aktvisme dan intelektualisme dari mereka yang disebut “tokoh Islam” dalam memimpin partai dan konstituennya.

PEMIKIRAN DAN PERILAKU POLITIK YUSRIL IHZA MAHENDRA

NTUK memahami pemikiran dan perilaku tokoh ini perlu adanya rentang masa atau waktu dari aktivitas yang U dilakukannya, dalam hal ini penulis membagi dua rentang waktu, yaitu peranan yang dilakukan di masa pemerintahan Orde Baru dengan melihat pandangan serta tindakan politiknya tanpa melepaskan perjalanan kehidupannya sebagai suatu proses sosialisasi yang membentuk sikap politiknya. Pada bagian lainnya adalah peran politik yang dilakukan ketika berakhirnya peme- rintahan Orde Baru serta berubahnya suasana politik Indonesia ke arah yang lebih demokratis, yang dikenal dengan era Refor- masi, pandangan–pandangan apa yang dikemukakan dan tindak- an politik apa yang dimainkan tokoh ini perlu dianalisis secara cermat. Mengenai pembagian masa aktivitas politiknya ini, diharapkan kita dapat memetakan apa yang menjadi persamaan dan perbedaan serta pergeseran-pergeserannya terhadap pemikiran maupun tindakan politik yang terjadi dari tokoh tersebut. 332 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Masa Pemerintahan Orde Baru

IKAP berupa pandangan dan perilaku politik seseorang, di antaranya ditentukan apa yang terkandung di dalam diri Ssendiri seperti idealisme, tingkat kecerdasan, faktor biologis, keinginan dan kehendak hatinya. Di samping itu ia juga dipenga- ruhi karena suasana lingkungan kebudayaan politik, sosial, keadaan ekonomi dan unsur lainnya, bahkan diam sekalipun sebe- narnya merupakan bagian sikap politiknya.1 Dalam konsep kebudayaan dari perspektif antropologi ini telah diartikan sebagai “…keseluruhan cara hidup yang diikuti suatu masyarakat.”2 Proses perkembangan politik dalam suatu masyarakat akan lebih mudah dipahami bila hal itu dikaji melalui pola dan suasana ling- kungan yang hidup di dalam masyarakat itu sendiri dan diwarisi dengan pola sikap politik mereka secara keseluruhan. Hal ini membantu dalam mempelajari perkembangan politik masyarakat atau seseorang yang tengah dalam proses perubahan cukup cepat dalam kepelbagaian aspek seperti di Indonesia.3 Selain itu, keyakinan seseorang juga mempengaruhi pemikiran dan perilaku tidak saja dalam kehidupan sehari-hari melainkan juga termasuk pemikirannya (Madjid dalam Hartono 1996). Muslim adalah seseorang yang meyakini bahwa Islam adalah agama yang menjadi pedoman dasar bagi setiap sikap, dan Islam bagi umat merupakan nilai dasar, sumber tindakan, karena itu setiap pemecahan persoalan yang dihadapi umat akan dipahami dan diatasi dengan cara-cara yang dapat dirujukkan pada ajaran Islam (Lev dalam Hall 1972). Yusril Ihza Mahendra, adalah elit strategis yang tumbuh dari akar keagamaan (Islam) beraliran modernis. Ia berasal dari lingkungan keluarga di mana kedua orangtuanya adalah pengikut dan simpatisan Partai Islam Masyumi di era 1950-an, tokoh ini juga anggota dan simpatisan 1 Alfian, Politik, Kebudayaan dan Manusia Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1982, hlm. 134- 135. 2 Mary & Robert Kweit, Konsep dan Metode Analisa Politik, dalam Ratnawati (trjm.), Jakarta, Bina Aksara, 1986, hlm. 112. 3 Alfian, Ibid, hlm. 136-137. BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU 333

dari persarikatan Muhammadiyah, sebuah organisasi Modernis Islam terbesar di Indonesia. Kemudian ketika Partai Masyumi dibubarkan, para tokohnya mendirikan organisasi dakwah yang dikenal dengan Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII) yang memiliki hubungan historis dan emosional yang kuat dengan par- tai itu. Yusril Ihza Mahendra tercatat sebagai anggota dan sim- patisan organisasi yang didirikan para tokoh Masyumi, di antara- nya adalah Mohammad Natsir. Yusril tentu banyak “mereguk” pengetahuan, mengambil pengalaman serta menimba nasihat dari tokoh Masyumi yang disegani itu, bahkan dalam suatu tulisan dan pernyataannya, ia menganggap Mohammad Natsir tidak ha- nya sebagai pemimpin Islam yang sangat dihormati, tetapi juga ditempatkan sebagai guru dan “Bapak”-nya. Herbert Feith mengemukakan bahwa Indonesia memiliki dua budaya politik dominan yaitu aristokrasi Jawa dan wiraswasta Islam.4 Pandangan adanya pembelahan dua budaya politik domi- nan (Jawa dan Islam) adalah bersifat dualistis: pertama, dualisme antara kebudayaan yang mengutamakan keharmonisan (Jawa) dengan kebudayaan yang mengutamakan kedinamisan (luar Jawa) terutama Sumatera Barat (Melayu Minangkabau), Suma- tera Utara dan Sulawesi.5 Sebagaimana dikatakan Almond dan Verba, kebudayaan politik mengacu kepada beberapa hal yaitu: orientasi politik, sikap politik terhadap sistem politik dan bagian- bagiannya; selain sikap terhadap peranan kita sendiri dan kebu- dayaan politik suatu masyarakat yang telah menunjuk kepada sistem politik untuk diinternalisasikan ke dalam kesadaran, pe- rasaan dan evaluasinya.6 Menjelaskan kebudayaan politik ini bukanlah berarti kebudayaan modern itu sendiri melainkan suatu kombinasi di antara modernitas dengan tradisi kebudayaan majemuk yang didasarkan kepada komunikasi dan persuasi

4 Herbert Feith, The Decline of Constitusional Democracy in Indonesia, New York, Cornell University, 1968, hlm. 30-31. 5 Yahya Muhaimin, “Persoalan Budaya Politik Indonesia,” dalam Alfian (Ed.) Profil Budaya Politik Indonesia, Ibid, hlm. 53 6 Gabriel Almon & Sidney Veerba, Budaya Politik, dalam Sahat Simamora (Ed.), Jakarta, Bina Aksara, 1984, hlm. 5-15. 334 YUSRIL IHZA MAHENDRA

budaya konsensus dan kultur yang mengizinkan berlangsungnya perubahan sekaligus melunakkannya. Di kalangan modernis Is- lam “yang ketat”, penanaman sikap berupa perilaku dan pemi- kiran seorang Muslim bukan semata-mata kepada soal batas keya- kinannya bagi agama Islam dan memisahkan apresiasinya menge- nai orientasi, visi dan misi sosial politik yang dimilikinya. Yang menjadi persoalan bukanlah bagaimana kita mengajarkan akidah kepada Muslim karena ia telah memilikinya, malah yang terpen- ting adalah bagaimana agar akidah itu menjadi efektif, menjadi kekuatan dan memiliki akibat sosial (Ben Nabi dalam Maarif 1995:202-203), yang tumbuh dalam jiwa kalangan modernis Is- lam. Hal ini memberikan satu kekuatan bahwa ajaran Islam meru- pakan agama pembebasan sosial, bukan semata “agama”. Yusril Ihza Mahendra adalah putera kelahiran Belitung- Minangkabau yang secara tegas berasal dari lingkungan sub- kultur Melayu, di mana akar kultural agama suku ini kuat dipengaruhi Islam, walaupun mereka juga mengenal budaya lokal yang mengandung mistik dan sinkretik. Desa Manggar, Belitung Timur tempat dia dilahirkan bukanlah lingkungan masyarakat yang tertutup apalagi terbelakang. Masyarakatnya telah lama berkomunikasi dengan masyarakat luar seperti Jawa, Bugis, Sunda, Madura dan lainnya. Kekayaan sumber alamnya yang berupa timah dan lada telah mengundang masyarakat dari daerah lain dan orang Barat untuk singgah dan berinteraksi dengan masyarakat setempat. Sejak abad ke-19 masyarakat Belitung khususnya yang menetap di desa Manggar telah berinteraksi dengan teknologi modern seperti mobil, kereta api, listrik dan kebiasaan kehidupan orang Barat. Sementara itu Islam yang tumbuh dan berkembang di daerah ini selain diisi kalangan tradi- sionalis Islam, juga diramaikan oleh kalangan modernis Islam. Bahkan kalangan yang disebut terakhir itu telah mempercepat masyarakat Melayu Belitung mengenal dunia pendidikan Islam yang modern, yakni pendidikan yang telah mengakomodasi metode, dan cara-cara yang dilakukan dalam dunia pendidikan kaum kolonial. Keadaan ini menyebabkan kalangan Islam yang BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU 335

lebih intens berinteraksi dengan “masyarakat luar” serta yang berada di wilayah kota menjadi lebih menonjol dibandingkan ke- lompok Islam yang lain. Umumnya mereka berasal dari kalangan modernis. Jadi tidak mengherankan pada masa kejayaan Partai Islam Masyumi di tahun 1950-an masyarakat Islam Belitung memiliki posisi yang kuat sebagai pendukung partai modernis ini, betapapun daerah Belitung juga merupakan tempat kelahiran D.N. Aidit, tokoh Partai Komunis Indonesia. Masyarakat di daerah ini juga mengalami transformasi, persi- langan dan titik singgung berbagai kebudayaan, yakni kebudaya- an setempat, Islam, Barat maupun budaya yang dibawa dari subkultur Indonesia lainnya. Lingkungan sosial-budaya tempat kelahiran Yusril Ihza Mahendra merupakan lingkungan komu- nitas yang telah terbuka dengan berbagai budaya dan masyarakat “luar” di mana lingkungan ini telah mengalami interaksi yang cukup intens terhadap keragaman masyarakat dengan budaya yang majemuk dan modern. Lingkungan keluarga kedua orang tuanya telah sejak dini membentuk keluarga tersebut untuk tidak hanya mengerti tentang agama Islam, lebih dalam mereka mengajarkan untuk mencintai Islam dan memahami sepak terjang perjuangan para tokoh Islam di negeri ini. Masa kecil Yusril Ihza adalah masa harus hidup di tengah badai yang penuh keprihatinan, Abah (Ayahnya) adalah seorang tokoh pendidik, mubaligh dan pegawai negeri yang menjabat sebagai Kepala Kantor Urusan Agama (Islam) di desa Manggar dan kota Tanjung Pandan. Walaupun posisi ini sangat terhormat untuk ukuran lingkungan masyarakat di daerah ini, hal itu tidak menjamin bah- wa keadaan ekonomi mereka akan tercukupi, karena itu keha- rusan bekerja keras adalah pilihan yang tidak dapat dielakkan. Sosialisasi agama Islam yang menekankan kesabaran, dekat dengan masjid, kerja keras, jujur, bijak bersosialisasi dan ber- tahan dengan sikap mandiri, telah membangun mereka untuk tetap bertahan hidup dan berkemauan mengubah keadaan ter- utama dalam hal semangat mengejar ilmu setinggi-tingginya. Karena itu sebagaimana keluarga santri pada umumnya, Yusril 336 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Ihza Mahendra dan saudaranya dibimbing untuk bersekolah umum dan pada waktu yang lain mereka belajar mengaji atau ikut di Madrasah, hal ini untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih komprehensif mengenai pengetahuan umum dan dasar agama yang kuat. Pemahaman mengenai Islam dalam pengertian skripturalisme telah diberikan sejak usia kanak-kanak melalui proses sosialisasi itu, sebagaimana yang dikatakan Robert Segel bahwa pada tahap ini diartikan sebagai mempelajari semua sikap politik, nilai politik, perilaku politik, sosialisasi serta sebagai pro- ses pembelajaran (Segel dalam Kweit 1986). Yusril Ihza dengan saudaranya atas anjuran orang tua ikut terlibat di perkumpulan Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Kesatuan Aksi Para Pelajar Indonesia (KAPPI) untuk mengganyang orang-orang komunis-PKI di daerah ini. Yusril sangat dekat dengan Abah seperti halnya saudara-saudaranya, mereka terbiasa dididik untuk bersikap terbuka, berdiskusi, bertukar pikiran, hal untuk berbeda penda- pat adalah sesuatu yang telah terbiasa dalam proses itu. Abah suka bertukar pikiran dengan mereka, biasanya dilakukan di waktu senggang atau usai sholat. Dalam kesempatan itu Abah menceritakan perjuangan tokoh-tokoh modernis Islam khususnya kalangan Partai Masyumi, bahkan secara teratur membeli buku- buku keislaman dan majalah umum seperti majalah Kiblat, Pandji Masyarakat, Media Dakwah serta tulisan mengenai pemikiran keagamaan dan politik, di antaranya seperti pandangan Moham- mad Natsir, Prof. Hamka, Zainal Abidin Ahmad dan lainnya. Kepada anak-anaknya sikap demokratis juga diperlihatkan or- ang tuanya manakala orangtuanya memberi kesempatan terbuka untuk memahami pemikiran dari kalangan di luar Islam, semisal kalangan nasionalis seperti Soekarno, Tan Malaka yang sosialis dan lainnya. Ini menandakan bahwa lingkungan keluarga Yusril Ihza berasal dari kalangan Islam modernis dengan pola perilaku reformis. Salah satu ciri kalangan modernis adalah, bahwa ajaran Is- lam memiliki sifat universal dan mereka berpegang dengan ketat kepada Alquran dan Sunnah sebagai sumber acuan, karena itu BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU 337

kepercayaan terhadap Allah SWT tidak hanya merupakan landasan moral melainkan juga sebagai landasan sistem sosial serta dasar untuk melakukan ijtihad guna memformulasikan fal- safah berpolitik dan ideologi maupun program aksi dalam mem- bina masyarakat serta kehidupan negara. Kesanggupannya untuk berdialog, menanamkan untuk terbiasa berdebat, berdiskusi, bertukar pikiran, adalah proses sosialisasi dalam jiwa keluarga- nya, ini menegaskan sebuah kultur dinamis dari masyarakat Is- lam “seberang” (luar Jawa). Dalam perspektif modernis Islam, membiasakan bersikap berani mengemukakan pendapat merupakan cikal bakal untuk kemampuan berijtihad dan benih tumbuhnya semangat dari nilai-nilai demokratis. Format sosialisasi seperti ini khususnya di bidang doktrin sosial mengenai modernitas dan manfaat abadi ajaran Islam dan hukum Islam yang ditekankan menjadi lebih kuat,7 apalagi bila melihat kultur masyarakat “seberang” itu, khususnya di Sumatera. Menurut CC. Berg, “Hinduisme di Sumatera memiliki pengaruh kecil diban- dingkan di Jawa (masyarakat budaya Jawa), sehingga Islam di Sumatera lebih murni dibandingkan di Jawa,”8 dengan demikian efek ke depan dalam jiwa kalangan modernis dari masyarakat ini adalah bahwa kedudukan agama harus menjelma dalam institusi negara dan manusia baik secara individu atau kolektif yang berkedudukan sebagai pemegang amanah (khalifah) di muka bumi, artinya ia harus memiliki orientasi kognitif, afektif dan evaluatif yang membawa visi maupun misi berdasar doktrin Is- lam itu sendiri. Sosialisasi nilai-nilai dan semangat perjuangan Islam dalam diri Yusril Ihza Mahendra tidak berhenti di batas lingkungan ke- luarga dan sosial di desa tempat ia tumbuh menjadi seorang re-

7 Islam bagi masyarakat Minangkabau, misalnya, menjadi inspirasi ideologis dalam perekonomian dan jiwa berusaha, prinsip dasar pembaruan Islam adalah upaya memahami kembali semangat Islam militan yang murni, yang jauh dari segala takhayul-khurafat maupun pemikiran yang dogmatis, sehingga dapat menjadi “senjata” bagi pembaruan sosial politik, Lihat Rudolf Mrazek, Semesta Tan Malaka, Endi Haryono dan Bhanu Sefyanto (trjm.), Yogyakarta, Bigraf Publishing, 1994, hlm. 63. 8 Ibid, hlm. 63. 338 YUSRIL IHZA MAHENDRA

maja Islam. Perintah ajaran Islam dan nilai budaya masyarakat- nya yang telah dipesankan orang tua adalah, “menyeberanglah kamu jika ingin sampai ke tepian,” sebuah ungkapan budaya yang mendorong untuk merantau-menuntut ilmu lebih tinggi. Hal ini yang memberi inspirasi dan motivasi Yusril Ihza Mahendra di tahun 1970-an untuk melanjutkan pendidikan di universitas di kota Jakarta. Penanaman nilai perjuangan Islam politik dari orangtuanya di desa mengantarkannya untuk berkenalan dan dekat dengan tokoh-tokoh Masyumi dan tokoh Muhammadiyah, utamanya yang menetap di kota ini, sebut saja di antaranya Mohammad Natsir, Prof. Oesman Raliby, Prof Dr. Hamka, Prof. Dr. Ismail Suny, Dr. Anwar Haryono dan banyak lainnya. Ia ba- nyak mereguk ilmu dan pengalaman secara langsung dengan tokoh politik dari kalangan modernis Islam ini. Penyerapan ilmu yang didapat dan pandangannya yang dikemukakan dalam ber- bagai tulisan dan “gaya politik” yang ditampilkan berkesan meng- ingatkan pada Mohammad Natsir, tidak salah bila Nurcholish Madjid dan banyak kalangan menyebutnya sebagai “Natsir muda.” Dalam perspektif politik, sikap politik berupa pemikiran dan perilaku politik seseorang di antaranya dipengaruhi suasana lingkungan kebudayaan kehidupan politik, selain idealisme dan keinginan (Alfian 1982), dan Yusril Ihza Mahendra mengalami proses ini, yakni berupa pembelajaran politik dan “kursus politik” secara langsung dari Mohammad Natsir dan tokoh Masyumi lainnya. Tidak saja ia cukup aktif di lembaga Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII), tempat terjadinya internalisasi bu- daya politiknya, tetapi juga adanya kemauan kuat darinya untuk mempelajari lebih dalam mengenai Masyumi dan pemikiran- pemikiran tokohnya serta kekaguman yang telah terbentuk dari proses sosialisasinya di masa remaja. Maka ketika masa maha- siswa dan pergaulan di dunia kampus ia terlibat aktivitas di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), aktivitas pemuda masjid dan kursus-kursus politik dari tokoh Islam. Keadaan ini menyebabkan saling menguatnya antara proses sosialisasi politik BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU 339

dengan internalisasi budaya politik yang diterimanya. Apa yang didapat dari keluarga, institusi pendidikan (sekolah), aktivitas dan pengalaman dari interaksi politik, dan apa yang dipelajari dari literatur politik adalah sebagai sebuah proses (Almond & Verba 1965).9 Basis keislaman yang kuat ini telah mengalami continuity, yaitu proses kesinambungan dengan terus bertahan dan berlanjut.10 Tidaklah heran perilaku politik Yusril Ihza Mahendra bersambung pada mata rantai hubungan dengan kalangan tokoh Masyumi masa lalu yang memiliki sikap politik garis keras dengan pemerintah Orde Baru di era 1970-an. Saat jalinan tokoh Masyu- mi dengan pemerintah Orde Baru sangat renggang, “tidak har- monis-saling curiga,” ketika itu Yusril Ihza Mahendra sebagai tokoh pergerakan mahasiswa di Universitas telah melakukan aksi menentang pemerintah Orde Baru dan menentang kepemimpin- an Soeharto dengan turut membakar patung Soeharto di kampus Salemba-UI (Universitas Indonesia). Berbeda dengan Amien Rais, Yusril Ihza Mahendra tidak mengalami proses sosialisasi secara intens dan langsung dengan dunia pendidikan di Barat (Amerika Serikat), meskipun ia mempelajari mengenai pandangan-pan- dangan pemikiran politik-kenegaraan yang datang dari “Barat”, setidaknya melalui pengetahuan yang didapat di universitas. Nampaknya ia lebih mengalami sosialisasi dan interaksi penge- tahuan secara lebih intens dalam lingkungan masyarakat yang kuat dengan kultur Islam seperti ketika ia pernah menetap dan mengikuti studi di Pakistan dan Malaysia, sehingga kecende- rungan untuk bersikap liberalis tidak tampak. Yusril Ihza berangkat dari pengalaman di dunia politik praktis

9 Gabriel Almond & Sidney Verba, The Civic Culture, Little Brown and Co, 1965. 10 Herbert Hyman, Political Socialization a Study in the Psychology of Political Behaviour, New York, Free Press, 1969. Lihat Nazaruddin Syamsuddin dalam Alfian (ed.), Profil Budaya Politik Indonesia, 1991, Ibid, hlm. 23 menjelaskan bahwa proses sosialisasi ada sejak dini, namun apa yang dipelajari oleh seorang sejak usia dini dapat mengalami dua hal, yaitu: kontinuitas dan diskontinuitas. Kontinuitas menunjukkan apa yang dipelajari oleh seseorang sejak usia dini akan terus bertahan dan berkelanjutan sampai dewasa, sedangkan diskontinuitas menunjukkan adanya suatu perubahan mendadak dalam nilai, harapan yang diajarkan. 340 YUSRIL IHZA MAHENDRA

di masa mahasiswa, setelah gagal menjatuhkan Soeharto dengan kekerasan dan berangkat dari pengalaman tokoh Masyumi masa lalu, maka di tahun 1995, ia memilih memasuki pusat kekuasaan. Setelah cukup waktu mengabdi dalam dunia pendidikan tinggi di bidang keislaman dan hukum tata negara, seperti halnya Mohammad Natsir dan Oesman Raliby yang pernah menjabat sebagai penulis pidato Presiden Soekarno, Yusril Ihza Mahendra menerima kepercayaan dan masuk ke pusat kekuasaan Orde Baru sebagai penulis pidato Presiden Soeharto. Tetapi sikap kooperatif- nya ini tidak menjadikannya larut dalam perilaku pola akomo- dasionisme11 terhadap cara-cara pemerintahan Orde Baru. Ada hal yang dapat dianalisis mengenai pergeseran perilaku politik Yusril sebagai “anak Masyumi”, pertama, di era 1990-an di peng- hujung kekuasaan pemerintahannya, Orde Baru telah mulai ber- ubah sikap politiknya terhadap kelompok “Islam bergaris keras”, yaitu tumbuhnya pengintegrasian di antara dua kekuatan itu dan kalangan Masyumi menerima pola hubungan baru itu sebagai ke- mungkinan dan peluang dalam melihat perkembangan politik In- donesia di masa mendatang; kedua, hal yang mustahil bagi Yusril Ihza Mahendra untuk masuk dalam wilayah politik yang sangat sensitif dan berisiko ini tanpa mendapatkan “restu” dari kalangan tokoh Masyumi atau “orang-orang dekatnya Natsir”; Ketiga, Yusril Ihza mengambil pilihan ini tentu atas dasar belajar dari pengalaman sejarah tokoh Islam modernis masa lalu yang selalu terbuka bekerjasama-akomodatif dan kooperatif- tetapi tetap memiliki prinsip dan integritas moral; keempat, riil politik dari kesediaan itu adalah untuk mengambil peranan politik dengan mendorong terhadap perubahan politik yang lebih terbuka, demokratis dan tidak kalah penting adalah mereposisikan politik negara dalam nuansa yang lebih Islami. Ini memang dibuktikan dengan sejumlah pidato yang disampaikan Presiden Soeharto

11 Pola akomodasionis adalah pola perilaku umat yang lebih menekankan kehendak dengan menyesuaikan diri dan mengadaptasikan nilai-nilai ajaran Islam dengan konsep kehendak pemerintah walaupun pemerintah dilandasi pola perilaku sekuler (Allan Samson dalam Liddle 1973, Jackson, Pye &Emerson 1978). BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU 341

yang nampak banyak mengalami perubahan dan tercipta suasana hubungan politik baru dengan melihat isi sejumlah pidatonya: yang sangat terkesan lebih bernuansa Islam; kesediaannya untuk mereposisikan kekuatan ABRI (kini TNI dan POLRI); serta mem- bangun dunia politik yang lebih demokratis dan agamis. Ini terus berlanjut pada pidato Presiden Soeharto pada peresmian kampus baru Universitas Andalas, pada 4 September 1995; sambutan Presiden Soeharto pada peringatan 50 tahun Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), pada 20 Maret 1997; Sambutan Presiden Soeharto pada pembukaan Kongres VII Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS), pada 18 Maret 1997; dan sambutan pidato Presiden Soeharto pada hari ulang tahun ke-36 Komando Strategi Cadangan Angkatan Darat (Kostrad), pada 6 Maret 1997 di Jakarta. Isi pidato tertulisnya itu mengarah kepada perkembangan politik yang signifikan dan ini pada saat Yusril Ihza Mahendra telah turut mengambil peranan dalam merumuskan konsep pidato itu. Nampak jelaslah bahwa intelektualitas, pengalaman dalam dunia politik praktis, dan integritas moral adalah yang sangat memungkinkannya untuk memainkan peranan tersebut. Pandangan atau pemikiran Yusril semasa Orde Baru adalah menggambarkan sikap politik dari ciri perjuangan kalangan mo- dernis Islam dengan pola perilaku yang reformis, misalnya pan- dangannya mengenai Islam sebagai dasar negara, menurutnya adalah legal, sah saja. Juga soal Amandemen Konstitusi Negara RI yang di masa Orde Baru demikian tabu untuk dibincangkan, bagi tokoh ini justru suatu pilihan yang harus dilakukan jika menginginkan suatu perubahan politik ke arah sistem yang lebih demokratis.12 Bila Amien Rais lebih menekankan mengenai perlu- nya suksesi kepemimpinan nasional, Yusril Ihza Mahendra lebih menekankan pentingnya menegakkan sistem yang kuat dalam kehidupan politik di Indonesia. Sementara sejumlah pemikiran-

12 Mengenai hal ini dapat dilihat dalam buku yang ditulis Yudi Pramuko,Yusril Ihza Mahendra Sang Bintang Cemerlang, juga pandangannya mengenai hal ini dalam majalah Gatra, Juli 1999, dan banyak sumber lainnya menjelaskan hal ini. 342 YUSRIL IHZA MAHENDRA

nya yang berhubungan dengan persoalan parlemen dan per- undang-undangan masa pemerintahan Orde Baru, posisi ABRI (TNI-POLRI), peranan Islam dalam kehidupan politik, serta isu politik lainnya, dikemukakannya dengan argumentasi yang logis berbasis pendekatan historis, empiris serta legalistik. Apa yang dapat disimpulkan mengenai Yusril terhadap peranan yang dimainkan dalam pentas politik Orde Baru adalah, pertama, Yusril Ihza Mahendra sesungguhnya memiliki latar belakang sosialisasi dan transformasi nilai terutama di masa kecil dan masa sekolah dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga santri modernis yang aktif serta “fanatik” keberpihakannya terhadap cara-cara berpikir agama dan kemasyarakatan yang ditumbuhkan tokoh-tokoh modernis Islam, khususnya dari Masyumi dan Muhammadiyah. Kedua, dalam mereposisikan Yusril Ihza Mahendra atas peranan politiknya, sebenarnya dapat ditegaskan kembali pandangan Feith dan Castles yang menurut- nya dalam gerakan revolusioner baik sebelum maupun sesudah Indonesia merdeka, umumnya para tokoh pergerakan adalah seorang pemikir politik sekaligus pelaku politik yang ditunjukkan dengan amat dekatnya dunia pemikiran politik dengan dunia realitas politik, dan kelak orang-orang terpelajar inilah yang akan menjadi pemimpin bangsa. Walaupun pandangan itu ditujukan kepada para elit Indonesia di masa lalu, pandangan ini tetap relevan terutama dalam melihat basis tumbuhnya elit modernis Islam yang umumnya mereka memiliki dasar intelektualisme dan sekaligus aktivisme. Yusril Ihza Mahendra berasal dari lingkung- an “cerdik-pandai” dan memiliki basis relijius yang tinggi, na- mun mereka juga adalah aktivis organisasi di mana mereka menumbuhkan dirinya. Pemurnian dan pemahaman Islam secara rasional, berdimensi ilmu pengetahuan dan selalu bertitik singgung dengan persoalan kemanusiaan, kemasyarakatan dan kehidupan politik — dan Islam itu sendiri bagi mereka sebagai inspirator, motivator serta petunjuk dalam melihat, menilai prob- lematika kehidupan ini — menjadi ciri maupun watak pribadi tokoh ini. Ketiga, dalam sosialisasinya, unsur pengaruh budaya BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU 343

politik berupa persentuhan antara kultur Islam modernis dengan budaya setempat dan luar yang saling bersinggungan, memper- kuat dalam membentuk sikap politiknya. Keempat, Yusril Ihza Mahendra yang berada dalam pengaruh tokoh-tokoh Masyumi yang sangat kuat terhadap prinsip, telah mewarnai perbedaan pada perilaku politik mereka dalam merespons situasi politik di masa Orde Baru. Kelima, yang nampak menonjol dalam perilaku politiknya adalah dalam situasi politik yang sangat berisiko di masa “akhir rezim Orde Baru”, ternyata hubungan politiknya de- ngan kekuasaan pemerintah, Yusril Ihza Mahendra “masuk” dalam pusat kekuasaan Orde Baru.

Masa Reformasi Indonesia Baru

RA reformasi adalah keadaan euphoria sosial, demokratisasi dan keterbukaan kehidupan politik di Indonesia melalui ke- E kuatan para mahasiswa serta seluruh rakyat yang meng- inginkan perubahan kehidupan kenegaraan secara mendasar dan menyeluruh. Ini telah dimulai sejak berhentinya Soeharto pada 20 Mei 1998. Yusril Ihza Mahendra adalah sosok intelektual muda yang menjadi pemegang kunci utama dalam mempercepat proses kejatuhan Soeharto dari kursi tertinggi pemerintahan, dan kini turut mengisi arah tata kehidupan bangsa dan negara melalui peranan politik. Ada tiga hal penting menandai reformasi: pertama, terjadinya perubahan kehidupan sosial politik seperti partisipasi politik, penguatan politik aliran dan penghargaan terhadap keragaman aspirasi; kedua, adanya fragmentasi serta terjadinya kristalisasi berbagai kelompok kepentingan mupun aliran politik; ketiga, adanya ruang kebebasan yang lebih besar dari kalangan pemain politik yang di masa lalu berseberangan dengan pemegang kekuasaan, tetapi mereka yang menjadi bagian kekuasaan poli- tik pemerintahan Orde Baru tetap mengambil peranan dalam 344 YUSRIL IHZA MAHENDRA

proses reformasi politik yang sedang berlangsung. Gejala politik ini tentu bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, akan tetapi mempunyai kaitan erat dengan perkembangan budaya politik dalam negeri dengan sentuhan yang diakibatkan oleh perubahan tatanan budaya dunia melalui era globalisasi. Ini telah memberi warna perubahan budaya politik di Indonesia dan menemukan ciri tindakan maupun pemikiran politik yang memungkinkan mengalami pergeseran atau penguatan, atau persilangan dan titik singgung di dalam sikap politik dan perubahan politik yang berlangsung. Munculnya kecenderungan itu karena kehidupan masyarakat telah diwarnai interaksi di antara nilai-nilai yang tumbuh dalam era yang lebih terbuka, sehingga kontak budaya politik suatu kelompok atau sub-subbudaya politik semakin lebih intens terjadi yang mana dapat dirasakannya suatu proses di mana individu dan masyarakat mengalami, menyerap, meng- hayati nilai-nilai politik seperti demokratisasi, keadilan, hak asasi, pandangan pluristik, kebebasan, keterbukaan serta lain- nya. Fakta ini menegaskan pandangan bahwa budaya politik bukan merupakan suatu kenyataan statis dan tidak berkem- bang, sebaliknya ia merupakan sesuatu yang selalu berubah dan berkembang (Almond 1974), bahkan perspektif di Indonesia se- dang mengalami suatu proses perubahan yang “berada dalam proses pematangan budaya politik” (Nazaruddin 1989), dan perubahan politik yang terjadi di era reformasi merupakan pro- ses “pematangan” dari perjalanan budaya politik masyarakat Indonesia.13 Dari kalangan Islam, Yusril Ihza Mahendra yang secara politik aliran berada pada dataran kepentingan politik “tertentu” membuat aliansi di antara mereka, misalnya, pembentukan “poros tengah” adalah sebuah penggalangan penyatuan aksi politik dari kekuatan politik yang berbasis nasionalis Islam guna menghadang kekuatan kalangan nasionalis sekuler dalam merebut posisi penting kekuasaan. Pada konteks ini para tokoh tersebut di atas

13 Rahman Zainuddin, “Islam dan Budaya Politik di Indonesia,” dalam Alfian (Ed.), Profil Budaya Politik Indonesia, Jakarta, Grafiti, 1991, hlm. 68. BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU 345

dapat bersatu langkah menghadapi pertarungan politik dengan kekuatan-kekuatan lainnya yang sealiran namun dalam persoalan lainnya yang tidak kalah penting untuk perjuangan ke depan berkaitan dengan visi, misi yang lebih bersifat “ideologis”. Mengenai persoalan dari tokoh tersebut, ada tiga hal yang dapat dianalisis, yaitu: mengenai isu-isu politik yang ditampilkan di era reformasi, platform perjuangan partai di mana ia mengabdi, serta perilaku politik yang ditampilkan. Yusril Ihza Mahendra, adalah sosok muda intelektual Islam yang sangat menonjol peranannya ketika perubahan politik dari Orde Baru ke “Orde Reformasi”. Pada saat-saat kritis ia berhasil mengambil inisiatif politik yang memberi tekanan politik yang penting untuk mendorong tercapainya suatu strategi politik. Di masa reformasi peristiwa tampilnya ia mencalonkan diri sebagai presiden RI, ketika gagalnya kalangan nasionalis Islam dalam melakukan kalkulasi politik terhadap posisi B.J. Habibie untuk dicalonkan kembali sebagai Presiden RI hasil pemilu tahun 2000, tetapi saat yang bersamaan secara elegan kesediaannya untuk memberikan kesempatan kepada Abdurrahman Wahid untuk tampil sebagai calon presiden dari kelompok “poros tengah” telah menambah bobot politik tersendiri baginya di tengah masyarakat Indonesia. Mengenai kesempatan yang diberikan Yusril Ihza Mahendra untuk tampilnya Abdurrahman Wahid sebagai calon Presiden RI dari kelompok “Poros Tengah”, penulis menganalisis bukan semata menghindari kemungkinan semakin kerasnya “perbenturan” di antara pendukung B.J. Habibie yang mendapat dukungan kuat, utamanya dari kalangan nasionalis Islam ber- hadapan dengan pendukung Megawati yang nasionalis sekuler, melainkan pada kedekatan jarak hubungan emosionalitas agama dan kekhawatiran akan mundurnya kembali Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden yang menjadi pertimbangan utamanya. Dengan demikian, keberanian mengambil inisiatif yang mengejut- kan sebagai suatu sikap politik, dalam analisis sangat berhubung- an dengan masalah nilai perjuangan, bukan pertimbangan politik dan taktik. 346 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Pandangan lainnya yang bersesuaian dengan agenda reformasi adalah mengenai reposisi militer dalam politik, masalah penegak- kan perundang-undangan, hak asasi dan pemikiran mengenai perlunya penegakan sistem kenegaraan. Mengenai penegakkan sistem kenegaraan, tidak ada jalan kecuali melalui Amandemen dari Konstitusi UUD 1945, dan pemikiran ini mendapatkan dukungan kuat dari elemen politik dan masyarakat Indonesia. Demikian pula gagasannya mengenai pilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, dan proses politik berakhir dengan keputusan politik yang ditetapkan dalam undang-undang.14 Soal penegakan sistem ia mengemukakan: “jika kita bicara negara kita harus menegakkan sistem yang kuat, sistem itu bicara prosedur, tata cara, tindakan, pengawasan dan lainnya…, saya tidak percaya figur, Partai Bulan Bintang akan menegakkan sistem yang kuat” (Kawiyan 2000). Yusril Ihza Mahendra memiliki alasan politis mengenai perlunya pene- gakan sistem yang dimulai dengan mengandemen konsitusi negara UUD1945, yang tidak lain untuk mencegah terulangnya peme- rintahan diktator terselubung, Soekarno dan Soeharto selalu ber- lindung di balik UUD 1945, maka tidak ada pilihan lain kecuali kon- stitusi itu diamandemen.15 Persoalan mengutak-atik UUD 1945 sebe- narnya pada awal gagasan tersebut digulirkan masih bersifat tabu, malah di dalam partai yang ada di era reformasi pun masih banyak yang menentang, demikian pula sejumlah kalangan militer pada saat itu. Perkembangan baru yang dapat meyakinkan betapa perlu- nya melakukan perubahan Konstitusi negara Indonesia adalah setelah adanya tekanan kuat dari masyarakat. Semua itu memberi- kan arti politis akan kemenangan dari pemikiran politik yang dikemukakan seorang tokoh Partai Bulan Bintang.16

14 Lebih jelas mengenai hal ini dapat dilihat dalam Mustopa (pnyt.), Memilih Partai Mendambakan Presiden: Belajar Berdemokrasi di Ufuk Timur, Bandung, Rosda, 1999, hlm.184 15 Yusril Ihza Mahendra, “Tiada Reformasi Tanpa Amandemen Konstitusi,” Gatra, Juli 1999, hlm. 35. 16 Mengenai amandemen UUD 1945, ia uraikan pendapatnya secara sistematis, historis, teoretis dan argumentatif mengenai perlunya amandemen UUD 1945 ketika dikukuhkan sebagai Guru Besar (Profesor) dalam bidang Hukum Tata Negara dalam Pidatonya “Politik dan Perubahan Tafsir atas Konstitusi,” lihat Sabili, No. 2 , Tahun VII, Juli, hlm. 58, lihat juga Yudi Pramuka, Ibid,1 hlm. 97. BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU 347

Hal lain yang memiliki makna historis penting dalam hubung- annya dengan persoalan Amandemen Konstitusi negara adalah dari banyak bagian masalah yang memang dibahas, Yusril Ihza Mahendra dan partai yang dipimpinnya (Partai Bulan Bintang) telah jauh-jauh hari memperjuangkan kembali suatu misi berdi- mensi “ideologi Islam”.17 Perjuangan memasukkan Syariat Islam ke dalam Konstitusi yang akan diamandemen itu secara kalkulasi politik, partainya hanya mendapatkan dukungan dari dua partai lainnya yang berbasis Islam dengan kuantitas dukungan politik hanya sekitar 12 persen dari jumlah anggota Majelis Perwakilan Rakyat (MPR), akan tetapi tidak berhasilnya memasukkan klau- sul ini tidak menjadikan partai ini surut untuk memperjuangkan, ini tetap menjadi garis kebijakan paratinya, bahkan dianggap sebagai amanah dari umat Islam. Pandangan penting dan cukup menonjol yang menguak ke permukaan dari pemikiran Yusril Ihza Mahendra adalah penolakannya atas gagasan konsep federalisme dan pendiriannya atas bentuk negara Indonesia dalam konsep negara kesatuan. Jika alasan memperjuangkan syariat Islam lebih kepada alasan historis, yuridis dan filosofis, maka pembela- an dan pemihakannya kepada negara kesatuan menurutnya karena proses “mengindonesia” belumlah matang. Pemikiran politik Yusril Ihza Mahendra mengingatkan kita kepada Mohammad Natsir selaku elit politik modernis Islam atas konsistensinya dalam memperjuangkan Islam sebagai ideologi dan gagasannya mengenai mosi negara kesatuan di tahun 1950- an, yang keduanya dapat dijadikan beberapa alasan untuk mem- beri kesan adanya kontinuitas historis (continuity histories and totality) di antara Yusril Ihza Mahendra dengan tokoh politik Islam terdahulu, khususnya dari kalngan modernis Islam. Yang dimaksud kontinuitas historis adalah adanya upaya membangun

17 Bagi Yusril Ihza Mahendra mengajukan dasar Islam sebagai dasar negara adalah le- gal, sah saja, lihat Yudi Pramuka, Ibid, hlm. 29. Masalah Islam sebagai dasar negara dalam bentuk memperjuangkan Piagam Jakarta dalam amandemen UUD 1945 di era reformasi telah diperjuangkan partainya Partai Bulan Bintang sejak sidang tahunan tahun 2000 sampai berakhirnya proses pembahasan amandemen UUD 1945 pada sidang tahunan MPR pada tahun 2002. 348 YUSRIL IHZA MAHENDRA

dan mempertahankan kesinambungan sejarah perjuangan Islam politik melalui pesan politik yang dikemukakan dengan makna yang dinyatakan secara lugas dari pemikiran politik Yusril Ihza Mahendra. Sedangkan totalitas, menurut analisis penulis di sini adalah, bahwa baik secara formalistik maupun substantifistik pemikiran-pemikiran politik yang dilontarkan Ketua Partai Bulan Bintang konsisten berpijak pada basis keislaman dan keindo- nesiaan sebagai suatu kesatuan politik yang utuh sebagaimana telah diperjuangkan para pendiri negara Republik Indonesia. Pendirian Partai Bulan Bintang dan kesediaan Yusril Ihza Ma- hendra untuk memimpin partai awalnya bukan dari dorongan inisiatif dan kepentingan pribadinya, artinya, kelahiran partai ini atas keinginan sejumlah organisasi Islam dan tokoh Islam yang memiliki hubungan emosional dan historis dengan Partai Islam Masyumi di era 1950-an, selain mendapatkan “restu” orang-or- ang dekatnya Mohammad Natsir, di antaranya Dr. Anwar Har- yono yang ketika pendirian partai ini telah dipercayai menggan- tikan posisi Mohammad Natsir selaku ketua Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII). Keberadaan Partai Bulan Bintang (PBB) adalah meneruskan cita-cita perjuangan Partai Masyumi masa lalu yang prinsipnya Islamic modernism, bahkan Yusril Ihza Mahendra mengatakan dalam suatu kesempatan, “Masyumi boleh mati, tetapi ruhnya tetap hidup”18 Identitas, simbol, visi dan misi partai ini sangat menekankan untuk memperjuangkan kepen- tingan dan aspirasi Islam, dalam bahasa agamisnya adalah Izzul Islam wal muslimun atau untuk ketinggian Islam dan kejayaan umat. Dalam aksi rekrutmen kepemimpinan partai, keterwakil- annya adalah mereka yang memiliki latar belakang dan basis dari organisasi dan pergerakan Islam, khususnya kalangan modernis Islam walaupun partai ini terbuka untuk mereka yang tidak ber- agama Islam, dan tujuan Partai Bulan Bintang adalah mewujud- kan masyarakat yang beriman kepada Allah SWT, berakhlak mulia, sejahtera lahir dan batin, adil makmur merata dan ber- tanggung jawab bagi kepentingan bangsa dan negara, sedangkan

18 Yudi Pramuka, Ibid, hlm. 67 BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU 349

Keislaman dan keindonesiaan menjadi platform perjuangan partai (Yusril dalam Mustofa 1999). Namun demikian dalam interaksi politiknya Yusril Ihza Mahendra sebagai pimpinan partai Islam selalu kooperatif untuk mau bekerja sama yang berlandas dalam kerangka kepentingan nasional, dengan berpegang pada etika politik yang berakhlakul kharimah. Kesediaannya bekerja sama untuk duduk dalam pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dan pemerintahan Presiden Megawati bahkan dengan pemerintah sebelumnya (Orde Baru) dengan tetap mengedepankan prinsip politik Islam modernis, memberikan kesan dalam analisis penulis bahwa pola perilaku politiknya adalah reformis. Dalam pola perilaku politik ini, yang lebih menekankan kepada konsep kerja sama dengan pemerintah yang sekuler, tindakan tersebut dipilih sebagai alternatif stratejik perjuangan Islam. Apa yang dapat disimpulkan mengenai pemikiran dan perilaku politik Yusril Ihza Mahendra di era reformasi dapatlah dikemuka- kan sebagai berikut: pertama, basis dukungan dari elit Islam modernis ini terbesar pada kalangan Islam urban dan ia yang memiliki basis Islam yang bercirikan modernis ini telah menjadi figur Islam yang disegani dengan pendukung politik yang riil; kedua, tokoh ini adalah pemimpin politik yang memiliki basis intelektualitas yang kuat; Ketiga, memiliki visi, misi, platform perjuangan yang menekankan idealisasi Islam sebagai pijakan merumuskan strategi politiknya dengan bahasa politik Islami. Bila Deliar Noer (1987) mengemukakan garis besar pemasa- lahan Islam di Indonesia sepanjang dua puluh tahun selepas ke- merdekaan belum bergeser dari perdebatan mengenai dasar negara dan konstitusi negara bagi rakyat dan bangsa ini, maka garis permasalahan itu terus berlangsung di era reformasi politik memasuki milennium ketiga peradaban bangsa ini setelah Orde Baru gagal merumuskan hal itu secara lebih membudaya dan transformatoris. Maka terjadinya pembelahan umat dalam mengambil pilihan-pilihan politik mengenai bagaimana meru- muskan pembentukan pemikiran politik bangsa ke depan masih sangat dirasakan di era Indonesia yang kini telah memasuki 350 YUSRIL IHZA MAHENDRA

proses “pematangan politiknya”. Bagi penulis memahami pemi- kiran tokoh bangsa adalah upaya menangkap “spektrum” pergu- latan pemikiran yang terjalin dan berkelindan dari puncak- puncak nilai yang mempengaruhi perasaan dari pergulatan, benturan, perenungan dan pilihan-pilihan situasi dan formulasi gagasan dalam perjalanan hidupnya. Ia tidak akan steril dari pengaruh, harapan, keinginan serta tekanan interaksi sosial, budaya, ekonomi dan politik yang dihadapi, karena itu memahami pemikiran sang tokoh adalah sebuah proses yang tidak akan pernah selesai. Memahami pemikiran elit modernis Islam di Indonesia adalah memahami tokoh pejuang yang berada di tengah umat yang besar jumlahnya, dengan cakupan (scope) yang luas dan basis budaya yang beragam, ini menjadikan warna pemikiran politik Islam di Indonesia mengalami gradasi keluasan wawasan, kedalaman pemahaman dan keberagaman persepsi, dan fakta politik sejarah menjelaskan semua. Ini bermuara kepada fragmentaris visi, misi, serta persepsi terhadap masa depan kehidupan bangsa Indone- sia yang menjadikannya berbeda beda pula, sehingga kita ber- upaya belajar dari kearifan sejarah. Ada i’tibar yang dapat diambil dari kearifan sejarah, yakni pada awal memasuki abad ke-20 ka- langan elit politik Islam dalam sejarah politik modern Indonesia telah menampilkan “Dua Serangkai” pemimpin modernis Islam yaitu HOS Tjokroaminoto dari Jawa dengan H. Agus Salim dari “seberang” (luar Jawa). Dua tokoh elit Islam ini saling mengkom- binasikan kemampuan. Di satu sisi adalah politisi yang mampu menggalang dan memotivasi serta membangun inspirasi umat dengan memiliki kecerdikan, integritas dan taktis berpolitik, ini ada dalam sosok “sang Tjokro”. Di sisi lain, jiwa negarawan yang mampu menggali (kedalaman) pemikiran secara ideologis Islam dan bagaimana pemahaman agama itu diamalkan, yang ini diperankan Agus Salim. Keduanya dapat saling melengkapi dan tidak saling “menjauh” untuk membangun akal sehat (common sense) umat sebagai satu bangsa Indonesia. Yusril Ihza Mahendra adalah “ombak yang tenang” yang lebih bersandar kepada prinsip BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU 351

dasar dari “kedalaman sebuah idealitas” dan memiliki jiwa ke- negarawanan, ia harus genuine untuk membangun kekuatan umat Islam yang cerdas yang tidak berkutat kepada kalkulasi politik temporer tetapi menjadi “inspirasi dan motor penggerak” pertarungan umat Islam untuk “suatu perubahan Indonesia baru di masa depan sebagai suatu kemenangan, bukan kekalahan.” 352 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Foto Dokumentasi ▼ H. Idrus dan Istri serta keenam putranya (Yusril no. 2 dari kiri), tinggal di Desa Manggar sebelum pindah

ke Tanjung Pandan. ▼ Abah Idrus (no. 2 dari kiri) saat mengikuti pendi- dikan di Instituut Manggar pada 1940. Lembaga ini selain mengajarkan agama juga mengajarkan 14

bahasa. ▼ Abah Idrus (no. 1 dari kanan) bersama rekan seper- juangan di depan Kantor Urusan Agama (KUA) Desa Manggar.

BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU 353 ▼ Yusril saat perpeloncoan (orientasi) siswa di Seko- lah Menengah Atas (SMA)

di Bangunan Pergib. ▼

▼ Sekolah Dasar Negeri Gedung Sekolah Menengah (SDN) 2 tempat Yusril (SMP), tempat Yusril mengikuti mengikuti pendidikan pendidikan di Sekolah Menengah setelah pindah dari SDN 5 Pertama di Desa Manggar. ▼ Dari perbukitan areal bekas peru- mahan karyawan Timah, tampak Desa Manggar serta pasir putih- nya yang indah. Di kampung inilah Yusril dilahirkan dan tumbuh ber- kembang. 354 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Yusril (duduk no. 2 dari kanan) di muka Gedung Serba Guna PN Timah yang dijadikan Sekolah Menengah Atas (SMA) Islam, di sore hari pada 1970-an. ▼

Yusril di masa remaja yang aktif latihan bela diri di Desa Manggar dan saat merantau menjadi pelatih perkumpulan silat di Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru, Jakarta. ▼

Yusril (berdiri di tengah) bersama kakaknya saat menunggu warung untuk membantu ekonomi keluarganya, di Desa Manggar pada 1970-an. Meski membuka warung mereka tetap tidak

meninggalkan sekolah. ▼

Rumah Uma (Ibunda Yusril) yang sederhana dan asri. Penulis bersama Uma dan salah seorang anggota DPRD dari Belitung Timur. ▼ BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU 355 ▼ Abah Idrus, Uma Rus Sundari dan seluruh putranya setelah kembali ke Desa Manggar, seusai ber- tugas di Kota Tan- jung Pandan sebagai Kepala KUA. Jumlah putranya 11 orang

(Yusril no. 6 dari kiri) ▼

Foto bersama kakak-adik- nya pada 1970-an, tampak Yuslim, Yusmin, Yusfi, Yuslih, Yusniar, Yusril (no. 2 dari kanan) Yusron, Yuslaini, Yushari, Yusmiati dan Yustiman.

Pada HUT Kemerdekaan RI, Yusril (paling kanan) bersama rekan-rekannya berpakaian pramugara dan pramugari dalam acara de- file mewakili sekolahnya di Desa Manggar. ▼ 356 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Bangunan megah dan klasik ini adalah Gedung Islamic Center di Kecamatan Manggar, letaknya tidak jauh dari

kediaman orangtua Yusril. ▼ ▼ Penulis berdiri di depan gedung bekas Kantor Sekretariat KAPPI cabang Manggar. Pada 1960- an menjadi pusat gerakan pelajar untuk mengganyang PKI. Saat itu Yusril selain aktif di Pelajar Islam Indonesia (PII) juga sebagai Sekretaris KAPPI.

Penulis berdiri di sebuah gedung yang tidak terawat lagi. Gedung ini bekas SDN 5, tempat Yusril pernah

bersekolah. ▼

Keluarga besar Hj. Ruslila Sandan (Uma) dalam acara silaturahmi dengan kerabat di rumah Yusril sebagai Menteri Hukum dan Perundang-undangan pada tahun 2000. ▼

BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU 357 ▼

Yusril saat diwisuda sebagai Sarjana Hukum (SH) dari Universitas Indone-

sia. ▼ ▼ Yusril saat masih menjadi mahasiswa Fakultas Hukum UI, bersama rekannya mengenakan jaket “kuning” almamater. Foto dibuat pada 6 Agustus 1982.

Foto bersama istri dan kakak-adiknya seusai diwisuda. ▼ 358 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Yusril (mempelai pria) dan Sukesi (mempelai wanita) beriringan menuju gedung pesta

pernikahan. ▼

Izab-Kabul Yusril dan Sukesi disaksikan keluarga besar, guru dan rekan-rekan, di antaranya Dr. Anwar Haryono–orang dekat Mohammad Natsir– menjadi saksi. ▼

Yusril dan Sukesi tampak meresapi saat

mendengar taklig akad. ▼

K.H. Yunan Nasution, sesepuh dan salah se- orang tokoh Partai Masyumi sedang memimpin doa dalam acara pernikahan Yusril-Sukesi. ▼ BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU 359

Pengukuhan Prof. Yusril Ihza Ma- hendra, SH, M.Sc., Ph.D. se- bagai Guru besar pada Fakultas Hukum Universi- tas Indonesia, di Balai Sidang Kampus UI De- pok, Sabtu 25

April 1998.

▼ ▼ Rehat dan makan siang saat mengikuti Sidang Umum MPR-RI, 1 s.d. 11 Maret 1998, di Jakarta. ▼ Dalam pertemuan antar- negara Islam dalam mem- bahas masalah terorisme, di Kuala Lumpur, Malaysia April 2002

360 YUSRIL IHZA MAHENDRA ▼ Beberapa foto saat pengunduran diri Presiden Soeharto yang dilimpahkan kepada Presiden B.J. Habibie, pada 21 Mei 1998. Hari yang melelahkan dan detik-detik yang menegangkan, namun bernilai bagi karier

politik Yusril.

▼ ▼ Saat mengikuti acara Asian-African Legal Consultative Organization, di Seoul, Korea Selatan, 16 s.d. 23 Juli 2003.

BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU 361 ▼ Para menteri Kabinet Gotong-Royong berfoto bersama Presiden Megawati Soekarnoputri dan Wakil Presiden Hamzah Haz, di depan Istana Negara. ▼ Selaku Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI menerima Jaksa Agunf Austra- lia Honorable Daryl Williams, dilanjutkan

dengan jumpa pers bersama, 10 April 2002. ▼

Keterangan foto menyusul. 362 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Keterangan foto menyusul. ▼

Keterangan foto menyusul. ▼ ▼ Keterangan foto menyusul. BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU 363

Keterangan foto menyusul. ▼

Keterangan foto menyusul. ▼ ▼ Keterangan foto menyusul. 364 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Rujukan

Daftar Pustaka

Almond, A.G. & Verba. S. 1965. The Civic Culture: Political Atti- tudes and Democracy in Five Nations, Little Brown and Co. A’la Al-Maududi, Abul.1990. Khilafah dan Kerajaan.Terj. Bandung: Mizan. Abdul Munir Mulkhan.1988. Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Ummat Islam 19 65-1987 dalam Perspektif Sosiologis. Jakarta: Gramedia. Abdul Munir Mulkhan. 1990. Warisan Intelektual K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah. Yogyakarta : Percetakan persatuan. Abdul Munir Mulkhan.1992. Runtuhnya Mitos Politik Santri. Yogyakarta: Sipres. Abdul Munir Mulkhan. 2000. Kearifan Tradisional Agama bagi Manusia atau Tuhan. Yogyakarta: UII Press. Abdul Munir Mulkhan. 2002. Teologi Kiri Landasan Gerakan Membela Kaum Mustadl’afin. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Abdi Omar Shuriye. 2002. Introduction to Political Science: Is- lamic and Western Perspective. Kuala Lumpur: Ilmiah Pub- lisher. Abstrak tesis lulusan, t.th. 1996-1997 Bangi: Universiti Kebang- saan Malaysia. Achdiat K. M.1985. Polemik Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Jaya. After, D.E.1987. Politik Modernisasi.Terj. Jakarta: Gramedia. Agus Edi Santoso. 1997. Tidak ada Negara Islam, Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Mohammad Roem. Jakarta: Jambatan. Ahmad Muntaz. (pnyt.).1996. Masalah-masalah Teori Politik Islam. Bandung :Mizan. BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU 365

Ahmad Syafi’i Maarif. 1986. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES. Ahmad Syafii Maarif. 1995. Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia. Bandung :Mizan. Ahmad Syafii Maarif. 1996. Islam Politik Belah Bambu. Bandung: Mizan. Ahmad Suhelmi. 1999. Soekarno versus Natsir: Kemenangan Barisan Megawati Reinkarnasi Nasionalis Sekuler. Jakarta: Darul Fallah. Ahmad Suhelmi. 2001. Dari Kanan Islam hingga Kiri Islam. Jakarta: Darul Falah. Alavi, Hamzah. (Ed.).1980. State and Ideology in Middle east and Pakisan. London. Alfian & Nazaruddin Syamsuddin. (pnyt.). 1991. Profil Budaya Politik Indonesia. Jakarta: Grafiti Press. Albert Wijaya. 1988. Budaya Politik dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: LP3ES. Alfian. 1978. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia. Alfian. (pnyt.) 1982. Politik Kebudayaan dan Manusia Indone- sia. Jakarta: LP3S. A.Makmur Makka & Dhurorudin.1996. ICMI Dinamika Politik Islam di Indonesia.Jakarta: Pustaka Cidesindo. A.Mukti Ali. 1988. Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini. Jakarta: Rajawali Press. A.M. Fatwa. 2001. Demokrasi Teistis Upaya Merangkai Integrasi Politik dan Agama di Indonesia. Jakarta: Gramedia. Amir Hamzah Wiryosukarto. 1992. (pnyt.). Kiyai Haji Mas Mansur, Kumpulan Karangan Tersiar. Cetakan ketiga. Yogyakarta: P.T.Persatuan. Antlov, Hans & Cederroth, Sven. 2001. Kepemimpinan Jawa, Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Anwar Haryono.1995. Menggugat Gerakan Pembaruan Keagamaan. Jakarta:LISP. 366 YUSRIL IHZA MAHENDRA RUJUKAN

Anwar Haryono. 1996. Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir. Jakarta: Pustaka Firdaus. Anwar Haryono. 1987. Indonesia Kita, Pemikiran Bernegara, Iman dan Islam. T.tp: t.pt. Anwar Haryono. 1995. M. Natsir: Sumbangan dan Pemikirannya untuk Indonesia. Jakarta: Media Dakwah. Anwar Haryono.1998. Partai Politik Era Reformasi. Jakarta: P.T. Abadi. Amir Machmud. 1986. Pembangunan Politik dalam Negara In- donesia. Jakarta: Gramedia. A.R. Gibb, Hamilton. 1977. Modern Trends in Islam. Chicago: The Chicago Universiy Press. Arief Afandi. 1997. (Ed.).Islam Demokrasi Atas Bawah. Yogyakarta: Dinamika. Aqib Suminto. 1986. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES. Aqil Siradj, S.K.H.1999. Islam Kebangsaan. Jakarta: Ciganjur. A.W. Pratiknya, pnyt. 1989. Pesan Pejuang Seorang Bapak. Jakarta: DDII dan LABDA. Bahtiar Effendy. 1998. Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina. Balandier. G. 1996. Antropologi Politik.Terj. Jakarta: Rajawali Press. Badri Yatim. 1999. Soekarno, Islam dan Nasionalisme. Jakarta: Logos. Bellah, Robert N. (Ed.).1976. Beyond Belief. New York: Harper and Raw. Benda, H.J. 1972. Continuity and Change in South east Asia. New Haven: Yale University South Asean Studies. Benda, H.J.1980. Bulan Sabit dan Matahari Terbit. Terj. Jakarta: Pustaka Jaya. Benedict, R.O.G. 1983. Gagasan tentang Kekuasaan di dalam Masyarakat Jawa .Dalam. Miriam Budioardjo (pnyt). Aneka Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Sinar Harapan. BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU 367

Bennedict,R.O.G. 199o. Language and Power, Exploring Politi- cal Culture in Indonesia, Ithaca and London: Cornell Univer- sity Press. Binders, L. Pye, L.W.1974. Crises and Sequences in Political De- velopment. Princeton & London: Princeton University Press. Binder, Leonard. 1961. Religions and Politics in Pakisan. Barkeley and Los Angeles: The Universiy of California Press. Boland, B.J. 1982. Pergumulan Islam di Indonesia. Terj. Jakarta: Grafiti Press. Bosco Carvallo, & Dasrizal.1984.Aspirasi ummat Islam Indone- sia. Jakarta: Lappenas. Bottomore, T.B. 1964. Elites and Society. London: C.A.Watts & Co.ltd. Chehabi, H.E. 1989. Iranian Politics and Islamic Modernisme: The Liberation Movement of Iran under Shah and Khomeini. London: I.B. Touris and Co. Ltd. Claessen, H.J.M. 1974. Antropologi Politik. Terj. Jakarta: Erlangga Cresswell, J. W.1994. Research Sesain: Qualitative & Quantita- tive. London-New Delhi: Approache Publication Thousen Oake. Dahrendorf, R. 1986. Konflik dan Konflik Elite dalam Masyarakat Industri.Terj. Jakarta: Rajawali Press. Deliar Noer. 1983. Ideologi Politik dan Pembangunan. Jakarta: Rajawali Press. Deliar Noer. 1983. Pengantar ke Pemikiran Politik. Jakarta: Rajawali Press. Deliar Noer. 1984. Islam Pancasila dan Asas Tunggal. Jakarta: Yayasan Perkhidmatan. Deliar Noer. 1985. Gerakan Modernis Islam di Indonesia 1900- 1942. Jakarta: LP3ES. Deliar Noer. 1987. Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta: Grafiti Press. Deliar Noer. 1990. Muhammad Hatta: Biografi Politik. Jakarta: LP3ES. 368 YUSRIL IHZA MAHENDRA RUJUKAN

Deliar Noer. 2001. Membincangkan Tokoh Bangsa. Bandung: Mizan. Demekjian, Hair. 1985. Islam In Revolution: Fundamentalism in the Arab World. Syiracus: Syiracus Universiy Press. Dijk, C.V. t.th. Darul Islam : sebuah Pemberontakan. Jakarta: Grafiti Press. Eickelman & Piscatori, J. 1996. Ekspresi Politik Muslim. Bandung: Mizan. Edi Ryanto.& Suharsono.pnyt.1988.Partai Politik Era Reformasi. Jakarta: P.T.Abadi. Emmerson, D.K. 1976. Indonesian Elit. Ithaca & London: Cornell University Press. Endang Syaefuddin Ansyari. 1981. Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Jakarta: Rajawali Press. Endang Syaefuddin Ansyari & Amien Rais. pnyt.1988. Bapak Mohammad Natsir 80 tahun : Pandangan dan Penilaian Generasi Muda. Jil.1 & 2. Jakarta: Media Da’wah Enayat, Hamid. 1982. Modern Islamic Political Thought Response of the Shi’i and Uunni Muslim to the Twentieh Century. Lon- don: The Mc Millan Press. Ensiklopedi Islam. 1993. Jil 4. Feith, H. 1962. The Decline of Constitutional Democracy in Indo- nesia. Ithaca, N.Y.: Cornell University Press. Feith, H & Castles, L. 1970, Indonesian Political Thinking 1945- 1965. Ithaca London: Cornell University Press. Fachry Ali & Bachtiar Effendy. 1990. Merambah Jalan Baru Is- lam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Masa Orde Baru. Bandung: Mizan. Fuad Amsyari. 1993. Masa Depan Umat Islam Indonesia. Bandung: AL-Bayan. Gellneer, Ernest. 1981. Muslim Society. Cambridge: Cambridge University Press. Geertz, C. 1960. The Religion of Java. London: Free Press of Glencoe. Geertz, C.1994. Politik Kebudayaan. Terj. Yogyakarta: Kanisius. BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU 369

Geertz, C. 1960. Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka. Geertz, C.1982. Islam yang Saya Amati: Perkembangan di Maroko dan Iindonesia. Terj. Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial. Gelner, E. 1981. Muslim Society. Cambridge: Cambidge Univer- sity Press. Habibie, B.J. 1992. Memahami Alquran dan Mengimplementasi- kannya: Akumulasi Pengalaman Keagamaan, Jakarata: Bangkit. Haidar Nashir. 2000. Perilaku Elite Muhammadiyah. Yogyakarta: Tarawang. Hamka. (tp.t). Ayahku: Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera. Jakarta: Umminda. H.A. Saripudin, (pnyt.) 2000. Negara Sekuler sebuah Polemik. Jakarta: Putra Berdikari Bangsa. Hassan, A.1984. Islam dan Kebangsaan. Bangil: Lajnah Penerbit Pesantren Persis. Hidayat Tri Sutadji, et.all. 1996. Merebut Masa Depan, APN. Hettne, Bjorn. 1982. Development Theory and the Third World, Sareo Report. IDEA. 2000. Penilaian Demokrasi di Indonesia. Jakarta: Ameepro Graphic Design a Printing Imron Nasri. (pnyt.) 1999. Amien Rais Menjawab Isu-isu Politik Seputar Kiprah Kontroversialnya. Bandung: Mizan Pustaka. Iqbal, Mohammad Sheikh. 1982. Misi Islam. (Terj.) Jakarta: Gunung Jati. Ismid Hadad. pnyt. 1979. Kebudayaan Politik dan Keadilan Sosial. Jakarta: LP3ES. Iwan Karmawan Arie. (pnyt.). 1999. Amien Rais Legenda Reformasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Jackson, K.D. & Pye, L.W. pnyt. 1978. Political Power and Com- munication in Indonesia. Barkeley & Los Angeles: University of California Press. Jalalludin Rakhmat. 1991. Islam Aktual. Bandung: Mizan. 370 YUSRIL IHZA MAHENDRA RUJUKAN

Jameelah, Maryam. 1979. Islam and Modernism. Lahore: Islamic Publication. Johnson, P.D. 1978. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jil.1. Terj. Jakarta: Gramedia. J.W. Saripudin.1982. Modernisasi.Terj. Jakarta: PT Gramedia. Kahin, G.M.T. 1970. Nationalism and Revolution Indonesia. Ithaca, N.Y: Cornell University. Khan, Z.S. 1994. Islam dan HAM.Terj. Jakarta: Arista. Kholid Novianto & Al Khaidar. 1999. Era Baru Indonesia: Sosialisasi Pemikiran. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Koenjaraningrat. 1991. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. Karim, R.M. 1986. Perjalanan Partai Politik di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press. Kavanagh, D. 1972. Political Culture. London: Macmillian. Kawiyan. (pnyt.). 2000. Membangun Indonesia yang Demokratis Berkeadilan, Jakarta: Globalpublika. Keller, Suzane. 1984. Penguasa dan Kelompok Elit, Terj. Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial Kuntowidjoyo. 1993. Dinamika Internal Umat Islam Indonesia. Jakarta: LSIP. Kurzman, Charles (pnyt.).2001. Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global. Jakarta: Paramadina. Lukman Hakim. (pnyt).1995. Menggugat Gerakan Pembaruan Keagamaan. Jakarta: LSIP. Liddle, R.W. (pnyt.) 1973. Political Participation in Modern In- donesia. New Haven: Yale University East Asian studies. Martinus Nijhoff. 1927. Gedenkboek Billiton 1852-1927. Gravenhage. Mrazek, Rudolf. 1994. Semesta Tan Malaka, Terj. Yogyakarta: Bigraf Publishing, M. Deden Ridwan. (pnyt.).2001. Tradisi Baru Penelitian Agama Islam. Jakara: Nuansa. M. Fachry. 2000. Partai-partai Islam. Jakarta: Taghyir Press. BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU 371

Mochtar Mas’oed & Collin, M.A. pnyt.1984. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press. Mehran, Kamrava. 1993. Politics and Society in the Third World. London: Routledge. Mehden, F.R.v. 1980. Politics of the Developing Nations.Terj.Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Miriam Budiardjo.1982. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: Gramedia. Miriam Budiardjo. pnyt. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Sinar Harapan. Mohammad Natsir.t.th. Islam sebagai Dasar Negara.t.tp.tpt. Mohammad Natsir. 1973. Capita Selecta. Jil1. Jakarta: Bulan Bintang. Mohammad Natsir. 1993. Politik melalui Jalur Dakwah dalam Memoar Senarai Kiprah Sejarah. Jakarta: Grafiti Press. Muhammad Kamal Hassan. 1980. Muslim Intellectual Responses to “New Order” Modernization in Indonesia, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran Malaysia. Mohammad Syafaat. 1963. Demokrasi dan Ajaran Islam. Bandung: Sulita. M. Jandra, et.all. (pnyt).1998. Islam dan Khasanah Budaya Kraton. Yogyakara: Yayasan Kebudayaan Islam Indonesia. M. Syafi’i Anwar. 1995. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina. Mushtofa W. Hasyim & Luthfi Effendi. (pnyt.).1999. Amien Rais Siap Gantikan Habibie. Yogyakara: Titian Ilahi Press. Nakamura, M. 1982. Agama dan Perubahan Politik.Terj. Surakarta: Hapsara. Nasikun, J. 1987. Sistem Sosial Indonesia. Cet.ketiga. Jakarta: Rajawali Pers. Niel, R.V. 1985. Munculnya Elite Modern Indonesia. Terj. Jakarta: YIIS-Pustaka Jaya. Nurcholish Madjid. 1987. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan. 372 YUSRIL IHZA MAHENDRA RUJUKAN

Nurcholish Madjid.1992. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina. Pareto, Vilvredo & Michels Robert. 1966. Sociological Writings. New York: Praeger. Pijfer, G.F.1958. Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indo- nesia 1900-1950, Terj. Jakarta: UI Press. Plano, J. & Riggs, R.E. & Robin, H.S. 1982. Kamus Analisa Politik. Jakarta: Rajawali Pers. Pusat Pengajian Siswajah. 2001. Panduan penulisan gaya UKM. Ed. Keenam. Bangi: Universiti Kebangsaan Pers. Qadir al-Sufi, Abd. 1400 Hijraa. Resurgent Islam. Norwich: Diwan Press. Rasyidi, H.M. 1972. Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekulerisasi. Jakarta: Bulan Bintang. Rahman, Fazlur. 1979. Islam and Modernity an Intellectual Trans- formation. Minneapolis: Bibliotheca Islamica. Ricklefs, M.C. 1995. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: UGM Press. Richard, Weinsted, Sir, 1867. Malaya and Indonesian Studies. London: Oxford at The Clarendon Press. Rosenbaum, W.1971. Political Culture. New York: Praeger. Russel, Bertrand. 1988. Kekuasaan: Sebuah Analisis Sosial Baru. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Sabar Sitanggang, . (pnyt.). 2001. Catatan Kritis dan Percikan Pemikiran Yusril Ihza Mahendra. Jakara: Bulan Bintang. Sabar Sitanggang.(t.th.).’Partai Terbuka’: 60 menit bersama Yusril. (t.pt.). Sabar Sitanggang. (t.th). Menaklukkan Nurani Rakyat: 60 Menit bersama Yusril. (t.pt.). Sahar, L. Hassan, Kuat Sukardiyono, Dadi Basri, H.M. (pnyt.) 1998. Memilih Partai Islam. Jakarta: Gema Insani Press Said, E.W. 1981. Covering Islam. London: Routledge & Kegan Paul. BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU 373

Sartono Kartodirdjo (pnyt.)1983. Elit dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: LP3ES Sahat, Simamora. 1983. Beberapa Aspek Pembangunan Politik. Terj .Jakarta: CV Rajawali Press. Scholl, J.W.1984. Modernisasi. Terj. Jakarta: Gramedia Spredley, James. 1997. Metode Etnografi.Terj. Yogyakarta: Ti- ara Wacana. Safaat Mintaredja. 1972. Islam dan Politik Islam dan Negara di Indonesia. Jakarta: Siliwangi. Sukarno. 1958. The Birth of Pancasila: An Outline to the Five Prin- ciple of Indonesian State. Jakarta: Ministry of Information. Soejito Sosrodihardjo. 1986. Transformasi Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana. Sudjatmoko. 1984. Etika pembebasan. Jakarta: LP3ES. Sutipyo R & Asmawi.(pnys.) 1999. PAN Titian Amien Rais Menuju Istana.Yogyakarta: Titian Ilahi Press. Soemarsaid Moertono. 1985. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau: Studi tentang Masa Mataram II, Abad XVI sampai XIX. Jakarta:Yayasn Obor Indonesia. Tanter, Richard &Young, Kenneth (Eds.).1990. The Political of Middle Class Indonesia, Victoria: CSES Monash University. Taufiq Abdullah, pnyt.1983. Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial. Taufiq Abdullah. pnyt. 1987. Islam dan Masyarakat: Sebuah Renungan Pantulan Sejarah. Jakarta: LP3ES. Taufiq Abdullah. pnyt.. 1991. Sejarah Umat Islam Indonesia. Jakarta: MUI. Taufiq Alimi. (pnyt.).1998. Refleksi Amien Rais. Jakarta: GIP. The Encyclopedia Americana. 1979. International edition. Vol 19. The Oxford English Dicionary. 1988. Tibi, Bassam. 1999. Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial. Zainul Aba (pnyt.). Yogyakarta: Tiara Wacana. Tweede Deel.1927. Gedenkboek Billiton 1852-1927. Gravenhage: Martinus Nijhoff. 374 YUSRIL IHZA MAHENDRA RUJUKAN

Varma, S.P. 1992. Teori Politik Modern. Terj. Jakarta: Rajawali Pers. Watt, M.W.1987. Pergolakan Pemikiran Politik Islam. Jakarta: Benebi Cipta. Yudi Pramuko, 2000.Yusril Ihza Mahendra Sang Bintang Cemerlang. Jakarta: Putra Berdikari Bangsa. Yusril Ihza Mahendra. 1996. Dinamika Tata Negara Indonesia. Jakara: GIP. Yusril Ihza Mahendra, 1999. Modernisme dan Fundametnalisme dalam Politik Islam. Jakarta: Paramadina. Yusril Ihza Mahendra. 2002. Nilai Persaudaraan dan Hak Asasi Manusia dalam Islam. Jakara: DPP PBB. Yusuf Abdullah Puar. 1978. Muhammad Natsir 70 tahun: Kenang- kenangan Kehidupan dan Perjuangan. Jakara: Pustaka Antara. Zaini Muchtarom. 1988. Santri dan Abangan di Jawa. Jakarta: INIS.

Tesis

Andi, M.F.B.1993. Islam and Nationality Formation in Indone- sia. Tesis M.A. Mc.Gill University Montreal. Deliar Noer. 1960. Masyumi its Organization, Ideology, and Po- litical Role in Indonesia. Tesis M.A.. Cornell University.

Makalah dalam Majalah

Abadi.1998. No. 28/tahun I 20-26 Mei. Adil. 1998. No. 29 Tahun ke-6, 22-28 April. Amanah. 2000. No. 08, 29 November- 12 Desember. D&R. 1997. 4 Oktober. D&R. 1998. 21 Maret. Femina. 1999. No. 2 / XXVIII 14-27 Januari. Forum Keadilan. 1998. No. 26 Tahun VI, 6 April. Forum Keadilan. 1977 No. 21 Tahun II, 27 Januari. Forum Keadilan, 1998 No. 5 Tahun VII, 15 Januari. BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU 375

Gatra. 1996. 18 Mei. Gatra. 1966. 28 Mei. Gatra. 1998. 2 Mei. Kartini. 2000. No. 2011. 1-15 Juni. Azyumardi Azra. 1990. “Fenomena Fundamentalisme dalam Is- lam Survey Historis dan Doktrinal,” Ulumul Qur’an, Vol.11. Tahun 9. Bambang Pranowo. 1992. “Islam & Pancasila: Dinamika Politik Islam di Indonesia,” Ulumul Qur’an, No.1 vo. III. Bassam Tibi. 1990. “Islam and Cultural Accomodation of Social Change.” Boulder: Westview Press. Feith, Herbert. 1965. “History, Theory, and Indonesian Politics: A Reply to Harry J. Benda,” The Asian Studies, Vol XXIX, No. 2, February. Liddle, William, R. 1985. “Soeharto’s Indonesia: Personal Rule and Political Institution,” dalam Pacific Affairs, No. 58, hlm. 69-90. Liddle, William, R. 1999. “Indonesian’s Demokratic Opening,” Inter- national Journal of Comparative Politics, Vo. 34. No.1 Winter. M.S. Kaban. 2002. “Berpolitik bukan Berarti Memenggal Etika,” Forum, No.15, 15-28 Juli. M. Dawam Rahardjo. 1985. “Gerakan Rakyat dan Negara,” Prisma, No. 11, tahun XIV. Rifyal Ka’bah. 1981. “Islam dan Fundamentalisme,” Panji Masyarakat. Suara Muhammadiyah. 1419 H. No.01/XI/Muharram. Hassan Hanafi. 1990. “Asal-usul Konservatisme Keagamaan dan Fundamentalisme Islam,” Ulumul Qur’an, Vol 11.Tahun 9. Yahya Muhaimin. 1984. Politik Pengusaha Nasional dan Kelas Menengah Indonesia,” Prisma, No. 3 tahun xiii, Maret: 63-72. Yusril Ihza Mahendra.2002. Politik dan Perubahan atas Tafsir,” Bulan Bintang, Edisi 19 tahun IV 01 Januari.Yusril Ihza Mahendra. 2002. “PBB Partai Islam dan Indonesia,” Bulan Bintang, Edisi 20 tahun IV 10 Januari. 376 YUSRIL IHZA MAHENDRA RUJUKAN

Yusril Ihza Mahendra. 1990. “Maududi dan Jamaa I-Islam Pembentukan dan Tujuan Fundamentalis,” Ulumul Qur’an, Vol.11. Tahun 9. Yusril Ihza Mahendra. 2002. “Syariat Islam Solusi Bangsa,” Fo- rum. No. 15, 28 Juli. Komaruddin Hidayat. 1994. “Cak Nur dan Gus Dur,” Tempo, 21 Mei. Kuntowijoyo. 1986. “Konvergensi Sosial dan Alternatif Gerakan Kultural,” Pesantren, vo. III. 3: 3-5. Kuntowijoyo. 1984. “Negara dan Formasi Sosial,” Prisma, No.8. Margareth Conway, M. 1989. “The political context of political behaviour,” Journal Politik, Vo. 51.1. 4 Juli. Detik. 1994. 5-11, Januari 1994. Panji Masyarakat. 1997. No. 31 tahun I 17 November. Panji Masyarakat. 1999. Edisi 12 Mei. Tempo.1997. Edisi 37/02-15 November. Tempo.1998. 9 November. Tempo.1990. 8 Desember. Tiras. 1997. No. 6 Tahun III, 6 Maret. Ummat. 1997. No. 19, Tahun III, 24 November. Ummat. 1999.No. 5 Tahun VII, 15 Januari. Ummat. 1977. No. 2 Tahun III, 6 Oktober. Ummat. 1998. No. 35, Tahun III, 23 Maret. Ulumul Qur’an. 1995. No. I, Vol. VI.

Zamakhsyari Dhofer. 1991. “Thesis: Tradisi Pesantren: suatu Studi tentang Peranan Kyai dalam Memelihara dan Mengembangkan Ideologi Islam Tradisional,” Prisma, 3:3-4. Zamakhsyari Dhofer. 1983. “Lembaga Pendidikan Islam dalam Perspektif Nasional,” Prisma, No. 9 tahun xii, September : 14-16.

Makalah dalam Surat Kabar

Abd A’la. 2002. Fundamentalisme, Kekerasan dan Signifikansi dialog,” Kompas, 5 April. BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU 377

Amien Rais. 2002. “Pasal 29 UUD 45 Tidak Perlu Diubah,” Kompas, 17 Mei. Denny, J.A.. 2002. “Islam versus Nasionalis Sekuler?,” Media In- donesia, 4 Juli. A.M. Fatwa.1999. “Era Baru Pemimpin Baru,” Republika, 4 Agustus. Andi Malarangeng. 1999. “Prospek Partai Aliran di Indonesia,” Republika Abdul Munir Mulkhan. 2000. “Mencari Dasar Etik Kebangkitan Kaum Santri,´Republika, 29 Juni. Abdul Munir Mulkhan. 2000. “Muhammadiyah, Politik, dan Presiden,” Kompas, 6 Juli. Arbi Sanit. 2000. Partai Terbuka,”. Republika, 3 Juli. Amir Santoso. 2000. “Mengapa ulama diam saja?”, Republika. 16 September. Adi Sasono.2000. Tantangan Kebangsaan.Republika, 2 Oktober. Berita Buana. 1978. 17 Juli.Bachtiar Effendy. 2000. “Politisasi Birokrasi, Tak terelakkan,” Republika, 14 Mei. Bachtiar Effendy. 2000. “Memilih Presiden secara Langsung,” Republika, 13 Maret. Bambang Cipto. 2000. “Merumuskan budaya politik Indonesia,” Republika, 1 Desember. Deliar Noer. 2000. “Umat Islam di tengah Pluralitas Bangsa,” Republika, 10, 11 Maret. Didin Hafidhudin & Untung Wahyono.1999. “Agama dan Ketahanan Nasional,” Republika, 14 September. Didin Hafidhudin & Didin Saefuddin. 2000. Ulama Bagaimana Seharusnya?,” Republika, 23 Februari. Castle, Lance. 1991. “Pasang Surut Usahawan Santri: Gaji Tinggi, Alim, dan Taat,” Jawa Pos. 18 Maret. Fuad Bawazier. 2000. “Sekali Lagi Pemilihan Presiden Langsung,” Republika, 3 Agustus. Husin.M. Al-Banjari. 2000. “Menyoroti Agenda Umat,” Republika, 30 Maret. Haidar Nashir. 2000. “Gejala Politisasi Birokrasi,” Republika, 4 Maret. 378 YUSRIL IHZA MAHENDRA RUJUKAN

Happy Bone Zulkarnaen. 2001. “Alasan Pembentukan Panitia Penyelidikan Perubahan UUD 1945.” Republika, 17 Januari. Jimly Ashidique. 2000. “Menuju Penataan Sistem,” Republika, 15 Januari. Kuntowijoyo. 2000. “Agenda Umat Islam,” Republika, 15 Mei. Khamami. 2000. “Frustrasi Umat di masa Transisi,” Republika, 28 September. Luthfi Kamal. 2000. “Demokrasi dan Nilai Demokrasi Islam,” Republika, 6 Maret: 6. M.Dawam Rahardjo. 2000. “Partai Agama Masih Dicurigai,” Republika, 21 Februari Muhammad Arkoun. 2000. “Kejayaan Islam melalui Pluralisme Pemikiran,” Kompas, 11 April. M.S. Kaban. 2002. “Syariat Islam Bukan Komoditas Politik,” Media Indinesia. 6 Agustus. Media Indonesia. 2000. “Koalisi 2004: Nasionalis- Islam Modernis,” 13 November: 20. Muctar Naim. 2000. Otonomi Daerah: Sebuah Fatamorgana,” Republika, 13 Juli : 6. Nurcholish Madjid. 2000. “Dilema Demokrasi Indonesia,” Republika,18, 19, 20 Juli: 6. Rifyal Ka’bah. 2000. “Perspektif Islam (Politik Sekuler dan Sekulerisasi di Indonesia). Republika. Rifyal Ka’bah. “Agama dan Politik Era Indonesia Baru,” Republika, 5 November. Berita Buana. 1999. 16 Maret. Jawa Pos.1997. 21 Februari. Jawa Pos. 1997. 6Oktober. Republika. 2000 PAN, “Muhammadiyah dan Amien Rais (Catatan Kongres PAN),” 12 Februari: 6. Republika. 2000. “Jalan Siput Menuju Otonomi Daerah,” 17 Mei. Republika. 2002. “Fundamentalis: Bila Agama Jadi Pedang.” 7 Juni Kompas.1986. Pidato Soeharto di pembukaan kongres HIPIS (Perlunya Pancasila sebagai ideologi terbuka). 16 Desember. BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU 379

Kompas. 2002. “Perubahan keempat UUD 45 disahkan,” 11 Agustus. Kompas. 1977. 26 Februari. Media Indonesia. 1977. 20 Oktober. Media Indonesia. 1997. 10 September. Media Indonesia. 1998. 28 Maret. Media Indonesia. 1998. 30 April. Media Indonesia. 1998. 16 Mei. Kompas. 1997. 26 September. Kompas. 1998. 16 Februari. Kompas. 1998. 10 0ktober. Merdeka 1997. 25 April. Merdeka. 1997. 6 Oktober. Merdeka. 1998. 28 Maret. Merdeka. 1998. 13 Mei. Pelita. 1997. 9 Oktober. Pelita. 1997. 20 Oktober. Sumarmo. 1999. “Konsep Negara dalam Sejarah Pemikir Islam,” Republika, 24, 25 September. Sumamo. 2000. “Kaji Ulang Wacana Negara dalam Islam,” Republika, 24 Maret : 6. Sayidiman Suryohadiprojo. 2000. “Islam dan Demokrasi,” Republika, 22 Mei : 6. Salahuddin Wahid. 2000. “Presiden Dambaan Umat (Islam),” Republika, 24 Agustus. Saldi Isra. 2001. “Sekitar Pemberhentian Yusril Ihza,” Republika, 14 Februari. Sukidi & Abdul Rohim Ghozali. 2001. “Fatsoen Politik Amien Rais,” Republika, 8 Juni. Sri Edi Swasono. 2000. “Bung Hatta dan Otonomi Daerah,” Republika, 7 Februari : 6. Todung Mulya Lubis. 2001. “Institutional Reform dan Rule of Law di Indonesia,” Republika, 25 Januari: 6. Terbit. 1997. 30 Oktober. 380 YUSRIL IHZA MAHENDRA RUJUKAN

Wall Prayogo. 2000. “Konflik Terjadi Bila Gunakan Kata “Kami” dan “Kamu” (Mohammad Natsir 1908- 1993),” Suara Pembaharuan, 17 Juli.

Kertas Kerja dan Abstrak Persidangan dan Sebagainya

Syafi’i Anwar. 1994. “Basis Sosial dan Perilaku Politik Kelas Menengah Neo-Santri dalam Orde Baru,” Makalah untuk Sarasehan Ramadhan DPP KNPI, Jakarta. 16 Maret. Yusril Ihza Mahendra. 1995. “Mohammad Natsir Sumbangan Pemikirannya tentang Pendidikan dan Dakwah Islam,” Semi- nar sehari menyongsong 50 tahun Indonesia merdeka dan mengenang Mohammad Natsir. Yayasan Kebangkitan Islam, Padang. 15 Juli. K.A.H. Abd Hamidy, t.t.h. “Sejarah Poelau Blitong; Asal Oesoel Poelau Blitong,” Sebuah naskah berbahasa Melayu lama, tanpa penerbit.

Dokumen Terbuka

Hasil Muktamar I Partai Bulan Bintang. 2000. Jakarta: Dewan Pimpinan Pusat Partai Bulan Bintang. Pedoman Kerja Partai (PKP) Partai Bulan Bintang. 2000: Dewan Pimpinan Pusat Partai Bulan Bintang. Sekretariat Negara, “Sambutan Presiden pada Peresmian Kampus Universitas Andalas dan Fasilitas Peningkatan Pengendalian Banjir Kanal” Kota Madya Padang, Sumatera Barat, 4 September 1995. Sekretariata Negara, “Sambutan Presiden pada Peringatan 50 tahun Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Balai Sidang,” Jakarta, 20 Maret 1997. Sekretariat Negara, “Sambutan Presiden pada Peringatan Hari Pendidikan Nasional Di Istana Negara,” Jakarta, 2 Mei 1977. BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU 381

Sekretariat Negara, “Sambutan Presiden pada Pembukaan Kongres Himpunan Indonesia Pencinta Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS)” di Medan, 12 Maret. Sekretariat Negara, “Sambutan Presiden pada Hari Ulang Tahun ke-36 Komando Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD),” di Jakarta, 6 Maret 1977. Sekretariat Negara, “Sambutan Presiden pada Peringatan Nuzulul Qur’an” di Masjid Istiqlal Jakarta, 1417 H bertepatan dengan 25 Januari 1997. Sekretariat Negara, “Sambutan Presiden pada Pembukaan Muktamar VI Menteri-Menteri Wakaf dan Urusan Islam aanggota Organisasi Konperensi Islam (OKI)” di Jakarta, 29 Oktober 1997. Sekretariat Negara, “Sambutan Presiden pada Sumpah Jabatan Presiden Republik Indonesia di Sidang Majelis Permusyawa- ratan Rakyat (MPR)” di Jakarta, 11 Maret 1998. Sekretariat Negara, “Sambutan Presiden pada Pencanangan Bulan Bakti LKMD dan LMD” di Piddie, Aceh, 13 Maret 1997. Sekretariat Jenderal MPR RI 2001, Putusan sidang tahunan MPR tahun 2001. Sekretariat Jenderal MPR RI 2002, Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia; Sidang tahunan MPR RI Tahun 2002. Sekretariat Jenderal MPR RI 2002, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Laporan Resmi

Belitung dalam Angka. 2000. Belitung: BPS Kabupaen Belitung dan BAPPEKB. Surakarta dalam Angka. 2000: BPS-BAPPEDA Surakarta. Data Monografi Kecamatan Manggar, 2001. Pidato Yusril Ihza Mahendra pada Acara Deklarasi Partai Bulan Bintang. 26 Juli 1998.BB. 382 YUSRIL IHZA MAHENDRA RUJUKAN

Wawancara

Abu Bakar Hamid. 2002. Kehidupan Yusril Ihza Mahendra: Latar Belakang dan Pemikirannya. Tanjung Pandan, Belitung. Wawancara 25 Mei. Agus Bahtiar. 2002. Kehidupan Yusril Ihza Mahendra: Latar Belakang dan Pemikirannya. Tanjung Pandan, Belitung. Wawancara 20 Mei. Assamad Aliza. 2002. KehidupanYusril Ihza Mahendra: Latar Belakang dan Pemikirannya. Mangar, Belitung. Wawancara, 23 Mei. Eko Hernowo. 2002. KehidupanYusril Ihza Mahendra: Latar Belakang dan Pemikirannya. Wawancara, 12 Juni. Edy Sihaya. 2002. Kehidupan Yusril Ihza Mahendra: Latar Belakang dan Pemikirannya. Tanjung Pandan, Belitung. Wawancara, 27 Mei. Ghazi Hussein. 2002. Kehidupan Yusril Ihza Mahendra: Latar Belakang dan Pemikirannya. Jakarta. Wawancara, 13 Juni. Ibu Madjid. 2002. Kehidupan Amien Rais; Latar Belakang dan Pemikirannya. Solo. Wawancara, 25 Juni. Immanuel. 2002. Kehidupan Yusril Ihza Mahendra: Latar Belakang dan Pemikirannya. Manggar, Belitung. Wawancara, 24 Mei. Ismail Sunny. 2002. Kehidupan Yusril Ihza Mahendra: Latar Belakang dan Pemikirannya. Jakarta. Wawancara, 7 Juni. Rahman Uka. 2002. KehidupanYusril Ihza Mahendra: Latar Belakang Kehidupan dan Pemikirannya. Manggar, Belitung. Wawancara, 25 Mei. Ramlan Mardjoened. 2002. Kehidupan Yusril Ihza Mahendra: Latar Belakang dan Pemikirannya. Jakarta. Wawancara, 6 Juni. Rosihan Sahip. 2002. Kehidupan Yusril Ihza Mahendra: Latar belakang dan Pemikiranyya. Tanjung Pandan. Wawancara, 20 Mei. BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU 383

Rosina Raliby. 2002. Kehidupan Yusril Ihza Mahendra: Latar Belakang dan Pemikirannya. Jakarta. Wawancara, 8 Juni. Rurseha Sandon. 2002. Kehidupan Yusril Ihza Mahendra: Latar Belakang dan Pemikirannya. Manggar, Belitung. Wawancara, 24 Mei. Salman Yahya. 2002. Kehidupan Yusril Ihza Mahendra: Latar Belakang dan Pemikirannya. Manggar, Belitung. Wawancara, 24 Mei. Slamet Widodo. 2002. Kehidupan Yusril Ihza Mahendra: Latar Belakang dan Pemikirannya. Jakarta. Wawancara, 12 Juni. Soleman. 2002. Kehidupan Yusril Ihza Mahendra: Latar Belakang dan Pemikirannya. Jakarta. Wawancara, 5 Juni. Syamsuddin. 2002. Kehidupan Yusril Ihza Mahendra: Latar Belakang dan Pemikirannya. Tanjung Pandan, Belitung. Wawancara 26 Mei. Syawalludin. 2002. Kehidupan Yusril Ihza Mahendra: Latar Belakang dan Pemikirannya. Tanjung Pandan, Belitung. Wawancara, 27 Mei. Yudono Sukardi. 2002. Kehidupan Yusril Ihza Mahendra: Latar Belakang dan Pemikirannya. Manggar, Belitung. Wawancara, 20 Mei. Yuslaini Ihza. 2002. Kehidupan Yusril Ihza Mahendra: Latar belakang dan Pemikirannya. Tanjung Pandan. Wawancara 20 & 21 Mei. Yusfi Ihza. 2002. KehidupanYusril Ihza Mahendra: Latar belakang dan Pemikirannya. Manggar, Belitung. Wawancara 24 Mei. Yusril Ihza Mahendra. Kehidupan Yusril Ihza Mahendra: Latar Belakang dan Pemikirannya. Jakarta. Wawancara, Juli. 384 YUSRIL IHZA MAHENDRA RUJUKAN

Indeks

Partai Bulan Bintang (PBB) Speech writer Ronggowarsito Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII) Masyumi Humpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) Soeharto Nurcholish Madjid Lafran Pane Achmad Tirtosudiro Dahlan Ranuwiharjo Pancasila TAP MPRS No XXV Tahun 1966 Muhammadiyah Al-Irsyad HOS Tjokroaminoto K.H. Ahmad Dahlan H. Agus Salim A.Hassan Mohammad Natsir H. Mas Mansur Abdurrahman Wahid Demokrasi Terpimpin Orde Lama Mohammad Natsir Hamka Mohammad Roem Prawoto Syafruddin Prawiranegara Isa Ansyari Kasman Singodimedjo BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU 385

Munawir Sjadzali Wahhabi Pan-Islamisme Ibnu Taimiyah Modernisme Salaf Tajdid Ishlah Bassam Tibi Gibb Wilfred C. Simith Fazlur Rahman Deliar Noer Mukti Ali Ahmad Hassan Binder Ali Jinah Mohammad Iqbal Al Afghani Abduh Sayyid Ahmad Khan Robert N. Bellah Arnold Toynbee Nikki R. Keddie, John Esposito Rasyid Ridho Hassan al-Banna Sayyid Qutb Mazhab Hambali Ibnu Sa’ud Sayyid Ahmad Syahid Samanhudi Misi Kristen Soekarno Kartosuwiryo Alimin 386 YUSRIL IHZA MAHENDRA RUJUKAN

Snouch Hurgronje Amien Rais Ki Bagus Hadikusumo Jarnawi Hadikusumo Jamiat Khar Geertz Sukiman Sarikat Islam Marxis Sarekat Dagang Islam (SDI) Abdoel Moeis ISDV Abikusno Tjokrosuyoso Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan (PPPKI) Djawi Hisworo Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) PSII GAPI Partindo Gerindo ELS (Eropeesche Lagere School) HBS Raden Ajeng Kartini Jusuf Wibisono Al Ghazali Hindia Baru Mr. Singgih Partai Nasional Indonesia Sosialisme Marx Harry J. Benda Jong Islamieten Bond (JIB) Muhammadiyah NU Syekh Ahmad Khatib Siti Walidah BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU 387

Fakih Hasyim Hizbul Wathan A.R. Fachruddin Taswirul Afkar Abdul Wahab Hasbullah Wiwoho Mohammad Hatta Ki Hajar Dewantara Persis Ikhwanul Muslimun Ashabiyyah Ernest Renan Syafi’i Maarif Bengkulu MULO Al Fatwa Pembela Islam Al-Uhsan Nasionalis sekuler Bandung Haji Abdullah Ahmad AMS Akhmad Soorkatti Nasionalisme Islam Muchtar Lutfi Risalah Debat Kebangsaan Capita Selecta Toleransi Islam Tan Malaka Sjahrir Alisjahmana Sumitro Alimin Sosialisme putih Sosialisme merah 388 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Darsono Sumatera Thawalib Tauhid Mahmud Yunus Syekh Jamil Jambek Syekh Ibrahim Musa Parabek Syekh Thaher Jalaluddin Haji Rasul Thaib Umar Syekh Haji Karim Amrullah Zainuddin Labai Zainal Abidin Ahmad Rahmah Rasuna Said Permi Diniyah Puteri Rasuna Said Ratnasari Rasimah Ismail Jamiat Khair Partai Arab Indonesia Al-Urwat al-Wutsqa Al-Irsyad Partai Islaam Indonesia Volksraad Majelis Rayat Indonesia Haji Faried Ma’ruf Ahmad Kasmad Haji Kahar Muzzakir Wondoamiseno Taufik Ismail Modernis Muslim Hisbullah PETA K.H. Wahid Hasyim BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU 389

Shumubu Djajadiningrat K.H. Hasyim Asyari Tenno Heika Sikeire BPUPKI Piagam JakartaDI/TII Perikatan Umat Islam Persatuan Umat Islam PUSA Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Amuntai, Kalimantan Selatan UUDS UUD RIS Oesman Raliby Osman Ralibi K.H. Saifuddin Zuhri K.H. Masjkur Soedjatmoko Ruslan Abdulgani Arnold Mononutu Nyoto Nasution Negara Kesatuan Negara serikat Mosi Integral PRRI Islam sebagai dasar negara Izzul Islam wal Muslimin Ali Sastroamidjojo H. Juanda Hatta PERTI PSII PKI 390 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Pelajar Islam Indonesia (PII) Moctar Lubis Al-Jamiyatul Wasliyah Honoris causa Gasbindo Demokrasi Terpimpin PDRI Demokrasi Terpimpin PSI M. Yunan Nasution Anwar Haryono Boerhanuddin Harahap DPRGR Manipol Massa mengambang (floating mass) Beurocratic polity Partai Demokrasi Islam Indonesia Sekularisasi Islam Media Dakwah Suara Masjid KISDI Ahmad Sumargono H.J. Naro Imrab Kadir Mintaredja Lukman Harun Parmusi PDI PPP Golkar Asas Pancasila CSIS Ali Murtopo Pater Beek Orde Baru BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU 391

Negara sekuler Ekstrem kiri Ekstrem kanan RUU Perkawinan Aliran kepercayaan MPR Kaum santri ICMI UU Peradilan Agama UU Pendidikan Nasional Islam politik Islam kultural HIPIIS ABRI Hijau Faisal Tanjung R. Hartono Subagio Prabowo Subianto Syafri Syamsudin Tunku Abduraahman Kuwait Arab Saudi Fukuda Kristenisasi Rasyidi Gerakan Demokrasi Islam Indonesia (GDII) K.H. Zarkasyi Neo-Modernis M. Dawam Rahardjo Adi Sasono Djohan Effendi Usep Fathuddin Cak Nur Fazrur RahmanAbdul Qadir Jaelani Daud Rasyid Hajriyanto Y. Thohari 392 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Daud Yususf Malari Syafi’i Anwar Tauhid Yusril Ihza Mahendra Aswab Mahasin Habibie Lord Acton Etika Islam dalam Perpolitikan Gagasan Amien RAis Keharusan Demokrasi Herman Johannes Pelaupessy J. Leimena I.J. Kasimo Pancasila sebagai Ideologi terbuka Peranan sosial politik ABRI Undang-undang Zakat Dan ICMI Peranan Umat Islam di masa Mendatang Universitas Andalas Kostrad Adam Malik Harun Zein Hassan Basri Durin Alwi Dahlan Nuzul Qur’an 1917 UNS 12 Mei 1998 Universitas Trisakti Bambang Kesowo Megawati Sukarnoputri Poros Tengah Matori Abdul Jalil Hamzah Haz

Pemikiran dan Tindakan politiknya BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU 393

Pencalonan Presiden Membangun sistem dan Amandemen Konstitusi Perjuangan Syariat Islam Penegakan Hak Asasi Manusia Manggar Belitung Kesatuan Aksi Para Pelajar Indonesia Ibnu Khaldun Ismail SunyAbah Idris Uma Rurseha Sandon PAN Visi dan Misi Partai D.N. Aidit Natsir Muda HIPIIS (Himpunan untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial) Yusfi Ihza Yuslaini Ihza Yusron Ihza 394 YUSRIL IHZA MAHENDRA

Tentang Penulis

IRDAUS SYAM, lahir Sukabumi, Jawa Barat 18 Oktober 1961, F adalah staf pengajar di Universi- tas Nasional-Jakarta. Anak dari se- orang perwira Angkatan Darat Alm. Syamsudar dan Siti Aisyah. Menem- puh pendidikan Sekolah Dasar di KODAM V JAYA dan SD Negeri I Sahardjo (1973), serta Madrasah Tar- biyathul Ihsan, Gandaria Ilir Keba- yoran, Jakarta; SMP 17 (1976) dan SMA 28 (1980) Jakarta. Menyelesaikan Sarjana Muda (Bachelor) Program Studi Ilmu Politik dengan karya ilmiah berjudul Kepemimpinan Politik Nabi Muhammad di Kota Madinah (1984); Pada tahun 1986, lulus dari S1 di Universitas Nasional dalam Program Studi Sosiologi dan Perubahan Sosial dengan skripsi berjudul Islam dalam Pemikiran Politik Soekarno 1926-1945. Melanjutkan Program S2 (Master) di Universitas Nasional Program Studi Ilmu Politik (1992) dan Universitas In- donesia (1997), Jakarta, Program Studi Antropologi Politik, dengan tesis berjudul Kepemimpinan Kiai di Perkampungan Islam Modern Islamic Village Kelapa Dua Tanggerang. Pada tahun 2000, mengikuti pendidikan Ph.D (Doktor Falsafah) Program Studi Ilmu Politik dengan bidang kajian Pemikiran Politik Indonesia Baru mengenai Pemikiran Politik Modernis Islam di Indonesia, pada Program Studi Ilmu Politik di Fakultas Sains Sosial dan Kemanusiaan (FSSK), Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Selangor Darul Ehsan, Malaysia. Dalam bidang organisasi, masa SD dan SMP aktif di Kepra- mukaan, di SMA, terpilih sebagai Ketua OSIS SMA 28 (1978- BUDAYA POLITIK INDONESIA BARU 395

1979), Ketua Pemuda Kompleks AKABRI (1979-1983), Wakil Sekretaris IKOSIS DKI Jaya (1979-1980). Berbagai jabatan mam- pir di pundaknya dalam kegiatan semasa kemahasiswaan, dan berlanjut selaku akademisi maupun aktifis sosial lainnya. Antara lain: Ketua Umum Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) Fak. Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univ. Nasional (1982-83). Bidang Ekstra Sekretaris HMI Cabang Jakarta (1982-1983), LDMI Cabang Jakarta (1982), PB HMI bidang Kader (1983-85). Wakil Sekretaris Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) DKI Jaya (1989- 2003), Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LPPM) Universitas Nasional (1989-1995), Anggota Senat Fakultas (1993-1996), Ketua Yayasan Bumi (1992), Wakil Sekretaris Yayasan Tawakal (1995), Sekretaris Jenderal Gerakan Persaudaraan Muslim Indonesia (GPMI-2000-2003). Pernah mengikuti sejumlah seminar, works shop dan kongres di dalam dan di luar negeri, pernah terlibat dalam Tim Investigasi bersama LSM terhadap peristiwa sosial politik yang terjadi di Tanah Air. Selain sejumlah tulisan dan puisi yang pernah dimuat di me- dia, buku yang pernah diterbitkan adalah, Pengantar Ideologi dan Prinsip Kemasyarakatan dalam Islam (1984); Manusia dalam Sains Islam (1990); Lingkungan Hidup Berkeadilan (1992); Khalifah dan Pemimpin (1996), Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra di Pentas Politik Indonesia Modern (2003).

Saya kagum atas perjalanan hidup dan karir saudara Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, Drs. Firdaus Syam, M.A. S.H. yang ditungakan dalam buku ini yang menggambarkan kesuksesan melewati riak-riak besar dan kecil dari zaman Pak Harto, Pak Habibie, Pak Gus Dur dan Presiden Megawati. Selain menjabat sebagai pimpinan partai politik yang menampung inspirasi dan aspirasi rakyat, beliau juga menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan HAM. Buku ini menggambarkan pikiran dan perjalanan hidupnya, kami mengharap- kan buku ini bisa dimanfaatkan sebagai bahan pembacaan, penelaahan dan pengembangan pikiran dalam mengarungi samudera kehidupan baik dalam ilmu, pengabdian kepada bangsa dan negara, serta ketaatan pada agama, hukum dan perundang-undangan. H.Soetardjo Soerjogoeritno, B. Sc. Wakil Ketua DPR RI/Korpol

Yusril Ihza Mahendra merupakan salah satu tokoh yang turut mewarnai pentas

politik Indonesia. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, perjalanan hidup PERJALANAN HIDUPPEMIKIRAN DAN TINDAKAN POLITIK yang dilaluinya tentu saja layak dijadikan objek dokumentasi sejarah sebagaimana tercermin dalam buku ini, sehingga sebagian diri kita bisa mengambil pelajaran dari

setiap sisi kebaikan dan kelebihan yang dimilikinya. MAHENDRA YUSRIL IHZA K.H. Ahmad Hasyim Muzadi Ketua Umum PBNU

Memahami gaya kepemimpinan dan visi politik Yusril Ihza Mahendra mengingatkan kita pada sosok tokoh modernis Islam Agus Salim dan Mohammad Natsir. Mereka mampu mengkombinasikan antara politik dan ideologi yang membangun inspirasi umat dengan jalan kenegarawanan yang menggali (kedalam) konsep ideologi islam, prinsip demokrasi, konsistensi dan kesederhanaan. Yusril Ihza Mahendra adalah sosok pribadi bak ombak tenang yang lebih bersandar kepada prinsip “dasar” kedalam “Sebuah idealita”. Ia tak berkutat pada kalkulasi politik semasa-tindakan politiknya berupaya menjadikan investasi umat islam dalam “pertarungan politik ke depan.” Mampukah ia menjawab tantangan dan mengayuh biduk perahu NKRI ini? Peluang dan kemungkinan itu terpulang padanya sebagai pelaku sejarah “Indonesia Baru”.

Jl. Cendrawasih Raya A27/4 Pondok Safari Indah Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan - 15223 Phone/WA: 0811 9882 118 / 021-731 4567 E-mail : [email protected], Web : indocamp.id ISBN 978-623-252-931-1 (PDF)