PERAN ORGANISASI KERJASAMA DALAM UPAYA MENGATASI TINDAKAN DI PERANCIS PASCA TRAGEDI SERANGAN PARIS 13 NOVEMBER 2015 (PERIODE 2015-2017)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh: Yuana Khamsiani 11141130000074

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018

PERAN ORGANISASI KERJASAMA ISLAM DALAM UPAYA MENGATASI TINDAKAN ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS PASCA TRAGEDI SERANGAN PARIS 13 NOVEMBER 2015 (PERIODE 2015-2017)

i

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Skripsi ini berjudul:

PERAN ORGANISASI KERJASAMA ISLAM DALAM UPAYA MENGATASI TINDAKAN ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS PASCA TRAGEDI SERANGAN PARIS 13 NOVEMBER 2015 (PERIODE 2015-2017)

1. Merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi satu

persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi

yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 23 September 2018

Yuana Khamsiani

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:

Nama : Yuana Khamsiani

NIM : 11141130000074

Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional

Telah menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul:

”PERAN ORGANISASI KERJASAMA ISLAM DALAM UPAYA MENGATASI

FENOMENA ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS PASCA TRAGEDI SERANGAN

PARIS 13 NOVEMBER 2015 (PERIODE 2015-2017)”

Dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.

Jakarta, 23 September 2018

Mengetahui, Menyetujui, Ketua Program Studi Pembimbing

A. Alfajri, M.A. Inggrid Galuh Mustikawati, MHSPS.

iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI SKRIPSI PERAN ORGANISASI KERJASAMA ISLAM DALAM UPAYA MENGATASI FENOMENA ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS PASCA TRAGEDI SERANGAN PARIS 13 NOVEMBER 2015 (PERIODE 2015-2017) oleh Yuana Khamsiani 11141130000074 telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 2 Oktober 2018. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana (S.Sos) pada Pogram Studi Ilmu Hubungan Internasional. Ketua,

Penguji I, Penguji II,

A. Alfajri M.A. Febri Dirgantara Hasibuan, M.M.

Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal Ketua Program Studi Sekretaris Program Studi,

A. Alfajri M.A. Eva Mushoffa, MHSPS.

iv

ABSTRAK

Skripsi ini memaparkan tentang peran Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dalam upaya mengatasi tindakan islamophobia di Perancis pasca tragedi serangan Paris 13 November 2015. Skripsi ini menyajikan pembahasan mulai dari kedatangan Islam di Perancis, perkembangan Islam dan kemunculan islamophobia. Kemudian skripsi ini menjabarkan profil OKI serta perannya sebagai ‘suara muslim’ di seluruh penjuru dunia, untuk mengatasi berbagai problema dalam masyarakat muslim, terutama fenomena islamophobia yang semakin merajalela.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif sebagai upaya untuk menekankan pada pemahaman secara mendalam terhadap suatu permasalahan. Alasan penulis memilih metode ini ialah untuk mendapatkan pemahaman secara mendalam mengenai permasalahan yang dikaji. Kemudian tipe penelitian yang penulis gunakan adalah deskriptif-analisis guna memaparkan temuan baru terkait dengan topik yang diangkat.Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data berupa studi/kajian pustaka (Library Research) yang dilakukan dengan menelusuri fakta secara tertulis. penelitian ini juga menggunakan jenis data teoritis dengan memanfaatkan data-data sekunder dari buku, jurnal, artikel, media cetak, media elektronik, danwebsite yang telah diolah menjadi data sehingga bisa dijadikan bahan kajian dalam penyusunan skripsi ini. Adapun perihal kerangka pemikiran, ada dua teori yang digunakan penulis dalam skripsi ini, yaitu HAM dan organisasi internasional. Kedua teori tersebut diharapkan penulis menjadi alur logika yang sejalan dengan peran OKI dalam mengatasi islamophobia di Perancis.

Peningkatan islamophobia membutuhkan solusi. Islamophobia telah mencederai hak asasi dan kebebasan beragama bagi minoritas muslim. Maka sebagai upaya mengatasi fenomena islamophobia yang kian menjamur, OKI memaksimalkan perannya demi menegakkan nilai-nilai kebebasan beragama dan HAM bagi seluruh muslim di penjuru dunia. Peran tersebut meliputi deklarasi ‘memerangi terorisme’, mengadakan interfaith dialogue, menjalin kerjasmaa dengan PBB dan Uni Eropa, serta menggandeng media sebagai upaya mengembalikan citra Islam yang tercemar.

Keyword: Perancis, Tragedi Serangan Paris, muslim, Islamophobia, Hak Asasi Manusia, Organisasi Kerjasama Islam.

v

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, walhamdulillah.Segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWTkarena berkat Rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan tepat waktu, serta dapat mengatasi berbagai hambatan yang muncul selama penulisan skripsi ini berlangsung. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi penulis di FISIP Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta program studi Ilmu Hubungan Internasional, serta demi mendapatkan gelar sarjana. Proses penulisan skripsi ini ternyata telah memberikan banyak manfaat dan pengalaman yang sangat bergunabagi masa depan penulis yang tidak pernah penulis temukan saat berada di bangku perkuliahan. Masa-masa penulisan skripsi adalah masa dimana penulis mendapatkan banyak sekali bantuan, dukungan, serta doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis ingin mengungkapkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Zulkifli, MA. Selaku Dekan FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Ahmad Alfajri, MA. selaku Ketua Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta, beserta seluruh jajaran civika akademika FISIP UIN yang telah berjasa dalam perjalanan studi penulis. 3. Ibu Inggrid Galuh Mustikawati, MHSPS. yang merupakan dosen pembimbing skripsi penulis yang telah banyak membantu untuk menjadikan karya ilmiah ini menjadi lebih terarah. 4. Bapak Yohansyah Hamdi Sailillah dan Ibu Siti Halimah Yuliani, selaku orang tua tercinta yang selalu memberikan doa dan dukungan secara penuh baik moril dan materiil, serta selalu memberikan motivasi dan dorongan tanpa henti. 5. Para Saudara sedarah penulis, yaitu Yudy Handrianto, Yan Hasbi Khairil, Yusmia Hanni Listyorwi, dan Yasyfi Handi Ramadhan, serta dua kakak ipar, Sri Maysarah dan Rina Nurul Fithri, yang penulis percaya selalu memberikan doa tulus dimanapun mereka berada. 6. Ulya Nailatul Izzah, Rafif Adisi Zaidan, Sayyidah Aslamiyah, Akhdiyat Izzan Arsakha, dan Rifat Khairaka Dzahin, yang merupakan keponakan tersayang bagi

vi

penulis. Mengingat mereka selalu menghilangkan jenuh dan letih selama proses penulisan skripsi berlangsung. 7. Qothrunnada QQA, Yusti Windu Ningsih, dan Diah Andam Suri yang merupakan sahabat penulis sejak baru mengenal teori HI, hingga kini, dan nanti. Dengan mereka selalu ada tawa, canda, tangis, hiburan, pelukan, pertengkaran, serta lelah dan letih yang ditanggung bersama. 8. Kawan-kawan seperjuangan di jurusan HI angkatan 2014, khususnya kelas C yang di dalamnya penuh dengan keriuhan, perdebatan, persaingan, namun tetap terisi dengan kegembiraan dan dukungan yang diberikan satu sama lain. 9. Sahabat penulis sejak duduk di bangku SMA, Hawa dan Muna Nafisah, yang mengetahui segala kekurangan penulis namun tetap mau bertahan bersama penulis, mendukung, menasehati, menyemangati, serta menjadikan rumah mereka layaknya rumah kedua bagi penulis. Dan tak lupa, Agung Mashudi, partner POSPENAS 2013 yang masih bersahabat dengan penulis hingga saat ini. Semoga selalu dalam lindungan Allah dan segera mendapat gelar sarjana. 10. Sahabat masa kecil penulis, mba Iing, kak Wiwid, dek Hikmah, Wulan, Liya, dan Puput, yang secara tersirat memaksa penulis untuk segera menyelesaikan penulisan skripsi ini dan meraih gelar sarjana untuk kemudian segera pulang ke kampung halaman. 11. Seluruh pihak yang telah memberikan dukungan, doa tulus, dan membantu dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, namun penulis sangat berharap adanya skripsi ini dapat memberikan manfaat untuk pembaca khususnya bagi mahasiswa/i yang akan menghadapi masa-masa penulisan skripsi dikemudian hari.

Jakarta, September 2018

Penulis,

Yuana Khamsiani

vii

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ...... i LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ...... ii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...... iii LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ...... iv ABSTRAK ...... v KATA PENGANTAR ...... vi DAFTAR ISI ...... viii DAFTAR SINGKATAN ...... x DAFTAR DIAGRAM DAN TABEL ...... xi DAFTAR LAMPIRAN ...... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...... 1 B. Rumusan Masalah ...... 10 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 10 D. Tinjauan Pustaka ...... 11 E. Kerangka Pemikiran ...... 16 F. Metodologi Penelitian ...... 26 G. Sistematika Penulisan ...... 29

BAB II ORGANISASI KERJASAMA ISLAM

A. Profil Organisasi Kerjasama Islam ...... 32 B. Struktur OKI ...... 37 1. Badan –Badan dalam OKI ...... 37 2. Anggota OKI ...... 40 C. OKI dalam Ranah Global ...... 41 D. OKI dan HAM ...... 45

viii

BAB III PERKEMBANGAN ISLAM DI PERANCIS DAN FENOMENA ISLAMOPHOBIA A. Islam di Perancis ...... 52 1. Sejarah Kemunculan Islam di Perancis ...... 53 2. Perkembangan Islam di Perancis ...... 56 B. Tragedi Serangan Paris 13 November 2015 ...... 59 1. Ikhtisar ...... 60 2. Respon Pemerintah ...... 65 3. Kemunculan Hate Crime terhadap Muslim ...... 67 C. Tindakan Islamophobia di Perancis ...... 69 1. Pengertian Islamophobia ...... 69 2. Tindakan Islamophobia Pasca Tragedi Serangan Paris 13 November . 73

BAB IV PERAN OKI DALAM UPAYA MENGATASI TINDAKAN ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS PASCA TRAGEDI SERANGAN 13 NOVEMBER PERIODE 2015 – 2017

A. Perang Melawan Terorisme ...... 86 B. Mengadakan Interfaith Dialogue ...... 90 C. Menjalin Kerjasama dengan PBB ...... 94 D. Menjalin Kerjasama dengan Uni Eropa ...... 99 E. Menjalin Kerjasama dengan Media ...... 104 F. Analisa Tantangan dan Peluang ...... 108

BAB V PENUTUP ...... 119

DAFTAR PUSTAKA ...... xiii

LAMPIRAN ...... xxi

ix

DAFTAR SINGKATAN

IAEA International Atomic Energy Agency’s ICJ International Court of Justice WHO World Health Organization UNHCR United Nations High Commission for Refugees UN United Nations NAM Non-Aligned Movement LAS League of Arab States AU African Union ECO Economic Cooperation Organization PLO Palestine Liberation Organization MNLF Moro National Liberation Front TYPOA Ten Year Program of Action ICHAD Islamic Cooperation Humanitarian Affairs Department UIOF Union of Islamic Organizations of France EUMC European Monitoring Centre on Racism and Xenophobia NGO Non Governmental Organization HALDE Haut Autorité de Lutte contre les et pour l’Égalité IPHRC Independent Permanent Human Right Commission OSCE Organization for Security and Cooperation in Europe UE Uni Eropa EEAS European External Action Service ECHO European Civil Protection and Humanitarian Aid Operations ACP Caribean, and Pacific Group CAPRI Center for Action and Prevention Against Radicalization of Individuals

x

DAFTAR DIAGRAM DAN TABEL

Diagram I.A.1. Kasus Serangan Islamophobia di Perancis pada 2016 ...... 4

Tabel IV.F.1. Berbagai Tindakan dan Ancaman ...... 115

xi

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 Daftar Negara-Negara Anggota OKI ...... xxiii

xii

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Skripsi ini menganalisis peran Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dalam upaya mengatasi tindakan islamophobia di Perancis pasca teror November 2015.

OKI ialah sebuah organisasi non militer yang didirikan di Rabat, Maroko pada 25

September 1969. Organisasi ini berdiri diawali dengan adanya kejadian pembakaran masjid Al-Aqsha oleh tentara Israel sehingga menimbulkan kemarahan dari negara-negara Arab dan negara-negara Islam. Kemudian diadakanlah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) atas prakarsa Raja Faisal dari Arab

Saudi dan Raja Hasan II dari Maroko untuk membahas dan menghimpun kekuatan Islam dalam suatu wadah internasional dan juga untuk mempertahankan hak-hak umat muslim yang semakin terkikis.1

OKI merupakan organisasi internasional beranggotakan negara-negara

Islam atau negara berpenduduk mayoritas muslim.2 Agenda-agenda dalam badan ini didasari oleh Piagam OKI dengan tujuan utamanya yang meliputi: meningkatkan dan mengkonsolidasi ikatan persaudaraan dan solidaritas antarnegara anggota; perlindungan kepentingan umum umat; memastikan

1 Muzaffer Ercan Yilmaz. The Organization of the Islamic Conference as a Conflict Manager in the Arab Spring. Turkish Journal of Politics. Vol 4, No. 1. Summer 2013. Hlm. 86. 2 Teuku May Rudy. Administrasi dan Organisasi Internasional. 2009. Bandung: PT Refika Aditama. Hlm. 121.

1

partisipasi aktif negara anggota dalam proses pembuatan kebijakan sosial, ekonomi, dan politik global; mempertajam kerjasama perdagangan dan ekonomi

Islam demi mencapai integrasi ekonomi yang menuju pendirian sebuah pasar

Islam di dunia; dan melindungi serta membela image sesungguhnya mengenai

Islam. Mengenai image Islam di ranah global, tidak dapat dipungkiri, bahwa kini pencitraan negatif terhadap Islam menciptakan diskriminasi-diskriminasi yang terus mempersempit ruang gerak muslim. Maka OKI sebagai organisasi terbesar kedua setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), merasa berkepentingan untuk meredam, meminimalisir, serta mengatasi isu semacam ini demi tercapainya hak dan kebebasan muslim dalam beribadah dan bersosialisasi tanpa diskriminasi, ancaman, tekanan, maupun ketakutan.3

Pencitraan negatif mengenai Islam utamanya dipicu oleh tindakan anarkis dan radikal yang mengatasnamakan Islam atau yang biasa dikenal dengan aksi terorisme. Peristiwa 9/11 telah memberikan dampak buruk terhadap citra Islam di dunia Barat, dan semakin diperburuk dengan terjadinya tragedi Paris pada

November 2015. Terorisme yang kini selalu disangkutpautkan dengan muslim menyebabkan peningkatan tindakan islamophobia di barat, termasuk di Perancis.

Hal ini disebabkan oleh anggapan bahwa muslim memiliki ajaran radikal yang menghalalkan kekerasan.

Meskipun Perancis diakui sebagai salah satu negara penggagas demokrasi yang mengedepankan kebebasan, termasuk dalam kebebasan beragama, namun

3 Muzaffer Ercan Yilmaz. The Organization of the Islamic Conference as a Conflict Manager in the Arab Spring. Turkish Journal of Politics. Vol 4, No. 1. Summer 2013. Hlm. 86.

2

nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) justru kian pudar dengan berbagai tindak intoleransi yang terjadi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai insiden anti-Muslim yang dilaporkan oleh The National Observatory of Islamophobia, bahwa seminggu setelah tragedi Paris, telah terjadi 32 insiden. Sebagian di antaranya berupa serangan terhadap perempuan berjilbab, coretan-coretan penuh kebencian atas Islam, pembunuhan dan penembakan terhadap muslim, serta razia masjid yang berakhir dengan pengrusakan. Berbagai tindak diskriminatif yang terjadi tentu memberikan dampak negatif terhadap kebebasan beragama bagi umat muslim di Perancis.4

Dalam sebuah wawancara, Abdel Aziz Chaambi, Presiden Coordination

Against Racism and Islamophobia (CRI), menyatakan bahwa mereka mencatat peningkatan sebesar 130% serangan terhadap muslim, sementara proporsi perempuan yang diserang meningkat dari 80% menjadi 90%. Adapun statistik islamophobia pada 2016 dari CRI mencatat telah terjadi 576 serangan yang digambarkan dengan diagram berikut:

4 Insiden Anti-Muslim Meningkat di Perancis. Diakses dari https://www.voaindonesia.com/a/insiden-anti-muslim-meningkat-di-perancis/3069652.html pada 20 Oktober 2017.

3

Diagram I.A.1. Kasus Serangan Islamophobia di Perancis pada 2016

Kasus Serangan Islamophobia pada 2016

Terkait keadaan darurat 7% 15% Terkait layanan publik dan administrasi 16% 62% Terkait pasar tenaga kerja dan pelatihan Terkait serangan verbal dan fisik di depan publik

Sumber: Yasser Louati. 2017.

Fenomena tindakan islamophobia di Perancis merupakan hal yang nyata, selaras dengan kemunculan dan perkembangan Islam yang massive di negara tersebut. Kemunculan Islam dibuktikan dengan berdirinya sebuah masjid megah bernama Masjid Raya Yusuf di ibu kota Perancis, Paris pada 1922. Kini, lebih dari 1000 masjid berdiri di negara demokratis tersebut. Jika menelusuri awal kemunculan Islam di negara ini, maka para imigran dari negeri maghribi, seperti

Aljazair, Libya, Maroko, Tunisia, juga Turki, berperan besar di dalamnya.5

Kedatangan para imigran ke Perancis dilatarbelakangi oleh krisis yang terjadi di negara asal mereka. Perancis dikenal sebagai salah satu negara yang cukup terbuka dalam menerima para pendatang yang berupaya mendapat suaka hukum karena ketidakamanan di negara asal mereka. Perancis sebagai negara penggagas

Trias Politica yang menjunjung demokrasi, menawarkan kemerdekaan dan

5 France‟s Disaffected Businessman. BBC News. (2005). Diakses melalui http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/4405790.stm pada 19 Oktober 2017.

4

keadilan bagi semua orang. Hal inilah yang menjadi pertimbangan utama para imigran memilih Perancis sebagai tujuan perpindahan mereka.6

Kemudahan yang diberikan pemerintah Perancis kepada imigran membuat negara tersebut mengalami peningkatan imigran yang kebanyakan dari mereka merupakan buruh Arab yang beragama Islam. Fenomena ini menjadikan ajaran

Islam tersebar di berbagai penjuru negeri. Hingga kini, muslim di Perancis berjumlah lebih dari lima juta manusia. Angka muslim terbesar bagi sebuah negara di kawasan Eropa yang menjadikan Perancis sebagai negara dengan mayoritas muslim terbanyak di benua tersebut. Namun, pengaruh Islam yang menyebar kian pesat telah membuat pihak pemerintah merasa khawatir. Larangan bagi buruh migran, khususnya muslim, untuk menyebarkan agama pun terjadi.

Pemerintah Perancis khawatir bahwa penyebaran ajaran Islam akan membuat pengkotak-kotakan masyarakat ke dalam beberapa kelompok etnik, yang ditakutkan dapat menjadikan sebuah disintegrasi dan memecah-belah masyarakat.7

Kekhawatiran yang telah terjadi sejak lama kini berubah menjadi ketakutan. Islam di Perancis dianggap sebagai ancaman nyata bagi keamanan negara. Tak dapat dipungkiri bahwa berbagai aksi terorisme yang terjadi telah menyita perhatian dunia. Citra Islam yang awalnya dikenal penuh dengan

6 Airin Miranda (2007). Masalah Integrasi di Perancis. Universitas Indonesia: Jakarta. Hlm 8. 7 Bustaman Ismail. Menelususri Islam di Perancis. 2012. Diakses melalui http://hbis.wordpress.com/2012/03/19/menelusuri-islam-di-perancis/#more-6370 pada tanggal 30 Oktober 2017.

5

kedamaian kemudian tercemar dengan adanya tindak teror oleh oknum kelompok radikal yang mengatasnamakan Islam.

Gelombang baru serangan terorisme terhadap Perancis muncul pada Jumat,

13 Nopember 2015, setelah lewat pukul 21.00. Serangan yang diklaim sebagai aksi terorganisir kelompok Islamic State of Iraq and Syria atau Islamic State

(ISIS/IS), dilancarkan secara simultan terhadap tempat-tempat publik, seperti stadion sepak bola, restoran atau cafe, dan tempat konser musik. Serangan tersebut dilakukan pada saat orang tengah menikmati makanan, ramai berkumpul, dan menonton pertunjukan serta pertandingan olahraga, pada Jumat malam, yang padat dengan penduduk Kota Paris. Paris dapat dikatakan sebagai kota yang hingar-bingar di dalamnya tidak pernah padam. Itulah sebabnya, serangan teroris dalam tragedi November 2015 dikatakan telah menargetkan “penduduk Kota Paris yang sangat mencintai kehidupan.”8

Adapun rangkaian serangan terorisme atas Paris dilakukan dengan serangan bersenjata, juga lewat penyanderaan, dan setidaknya terjadi 5 aksi bom bunuh diri, atau aksi kombinasi ketiganya. Korban yang ditemukan di setiap tempat bervariasi jumlahnya, termasuk para pelaku bom bunuh diri dan teroris yang berhasil ditembak mati oleh pasukan anti-teroris dan polisi Perancis. Di kafe Bonne Biere terdapat 5 orang tewas. Sedangkan di restoran Le Petit Cambodge dan Le

Carillon, puluhan orang tertembak mati setelah teroris melepaskan tembakan dari sebuah mobil. Di Bataclan Concert Hall, pelaku sempat menyandera 1.000 orang

8 Andrew Higgins. Attack in Paris. New York Times. November 2015. Diakses dari https://www.nytimes.com.news-event pada tanggal 31 Oktober 2017.

6

sebelum kemudian menembaki mereka, dengan korban 89 orang terbunuh di tempat. Total korban berdasarkan data berjumlah 130 orang tewas, 352 orang terluka, dan 99 orang dalam kondisi kritis, dengan identitas lebih dari 10 asal negara.9

Sikap simpati dan empati, serta solidaritas, terhadap pemerintah dan rakyat

Perancis yang menjadi korban diperlihatkan oleh para pemimpin barat, terutama

PM Inggris David Cameron, Presiden Barack Obama, dan Kanselir Angela

Merkel. Bagi mereka, serangan Paris merupakan serangan bagi seluruh umat manusia dan nilai-nilai universal. Mereka mengungkapkan berada dalam satu barisan dengan pemerintah dan rakyat Perancis dalam menghadapi aksi-aksi terorisme ISIS/IS yang semakin brutal. Mereka juga menyatakan siap membantu dengan mengeluarkan kebijakan yang lebih tegas untuk menghancurkannya.

Serangan Paris ini, seperti halnya Tragedi 9/11, telah membangunkan para pemimpin Barat dalam menghadapi ancaman terorisme dari respons yang baik kepada respon yang tegas atas meningkatnya ancaman yang nyata bagi keamanan mereka. Reaksi Barat terutama Eropa, segera berdampak pada kebijakan mereka dalam menangani kasus pengungsi, yang semula telah menjadi ramah menjadi ketat kembali, termasuk dengan penutupan kembali pintu-pintu perbatasan. 10

9 Research Professor pada bidang Hubungan Internasional. 2015. Serangan Terorisme Internasional di Paris. Jakarta: Pusa Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI. 10Research Professor pada bidang Hubungan Internasional. 2015. Serangan Terorisme Internasional di Paris. Jakarta: Pusa Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI.

7

Reaksi berupa kebijakan para elit pemerintah barat yang salah satunya dengan menutup kembali pintu-pintu perbatasan, merupakan suatu contoh akar dari tumbuhnya xenophobia. Xenophobia sendiri merupakan permusuhan atas aspek-aspek tertentu terhadap orang-orang asing. Fenomena tersebut kemudian berlanjut kepada islamophobia. Maka islamophobia adalah permusuhan atas aspek-aspek yang berhubungan dengan Islam, baik dari ajarannya maupun penganutnya. Situasi ini bukan dianggap sebagai permusuhan terhadap Islam sebagai agama, melainkan terhadap umat muslim sebagai kelompok masyarakat berbudaya yang dianggap sebagai sebuah ancaman yang besar. Dalam skripsi ini, fenomena islamophobia ditekankan pada tindakan-tindakan yang cenderung rasial dan diskriminatif.11

Fenomena tindakan islamophobia yang ditandai dengan menipisnya hakikat toleransi, dan meningkatnya diskriminasi telah membangunkan berbagai pihak untuk ikut berperan dalam mengatasinya, tak terkecuali OKI. Tekanan demi suatu perubahan telah berkembang beberapa kali dalam OKI. Dalam hal ini, „Program

Aksi 10 Tahun OKI‟ muncul pada 19 Juni 2006. Hal itu menjanjikan bahwa organisasi ini akan menegakkan transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan; melindungi hak wanita, anak, dan kaum minoritas; menangani berbagai isu seperti membangun nilai-nilai toleransi; membasmi ekstrimisme, kekerasan dan terorisme; serta menentang segala bentuk islamophobia.

11 Marc Helbling. Islamophobia in Switzerland: A New Phenomenon or A New Name of Xenophobia. Department of Political Science University of Zurich. Paper prepared for Annual Conference of the Midwest Political Science Association (MPSA) Chicago, 3 - 6 April 2008. Hlm. 4.

8

Upaya lebih lanjut dalam mengatasi fenomena tindakan islamophobia, selain dalam Program Aksi 10 Tahun OKI, telah terkonsolidasi dalam berbagai

Konferensi yang menjadikan fenomena anti-Islam tersebut sebagai agenda utama.

Seperti pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) Pertemuan ke-37 Dewan

Menteri Luar Negeri OKI di Dushanbe, Tajikistan tahun 2010, yang salah satu agendanya ialah upaya menangani isu islamophobia. Selain itu telah dilaksanakan pula Konferensi tingkat Tinggi (KTT) OKI ke-12 tahun 2013 yang menghasilkan

“Cairo Final Communique” yang beberapa pembahasannya meliputi isu komunitas dan minoritas muslim di negara non-OKI, HAM, terorisme, serta isu islamophobia.12

Untuk menindaklanjuti dan menentang segala kegiatan yang berbentuk diskriminasi agama dan rasial dalam bentuk penjajahan, dengan melihat situasi umat muslim yang berada di Perancis, maka OKI terus mengupayakan beberapa hal untuk mengatasi tindakan-tindakan diskriminasi tersebut. Oleh karenanya, penelitian yang berjudul “Peran Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dalam

Upaya Mengatasi Tindakan Islamophobia di Perancis Pasca Tragedi

Serangan Paris 13 November 2015 (Periode 2015-2017)” ini dipandang menarik oleh penulis untuk dikaji lebih lanjut untuk melihat bagaimana OKI berperan dalam upaya mengatasi tindakan islamophobia yang kian merebak di

Perancis.

12 Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Diakses dari http://www.kemlu.go.id/id/kebijakan/kerjasama-multilateral/pages/organisasi-kerja-sama- islam.aspx

9

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka skripsi yang berjudul “Peran Organisasi Kerjasama Islam (OKI) Dalam Upaya Mengatasi

Tindakan Islamophobia di Perancis Pasca Tragedi Serangan Paris 13

November 2015 (Periode 2015-2017)” ini disajikan untuk menjawab sebuah pertanyaan: “Bagaimana peran Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dalam upaya mengatasi tindakan islamophobia di Perancis pasca Tragedi Serangan Paris 13

November 2015 (periode 2015-2017)?”

C. TUJUAN DAN MANFAT PENELITIAN

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan Organisasi Kerja Sama Islam

(OKI) dalam mengatasi tindakan islamophobia di Paris pasca Serangan

Paris 13 November 2015.

b. Untuk mengetahui mekanisme peluang dan kendala yang dihadapi

Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dalam mengatasi tindakan

islamophobia di Paris pasca tragedi Serangan Paris 13 November 2015.

10

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi dan

menjadi bahan kajian bagi pengembangan studi Hubungan Internasional di

masa mendatang, khususnya bagi pemerhati masalah konflik internasional

dan yang tertarik untuk menganalisis bagaimana islamophobia di Paris

serta kaitannya dengan peran sebuah organisasi internasional dalam

mengatasi hal tersebut.

b. Sebagai referensi tambahan bagi pustaka bagi penelitian selanjutnya yang

berkaitan dengan kasus islamophobia.

D. TINJAUAN PUSTAKA

Sebelum melakukan penelitian, penulis mencantumkan beberapa studi pustaka untuk mencari informasi yang berkaitan dengan peran OKI sebagai organisasi internasional yang bertujuan mencapai perdamaian dunia, dalam upaya menganalisis rumusan masalah yang tercantum pada skripsi ini. Dengan adanya studi pustaka, diharapkan beberapa rujukan tersebut akan memberikan kontribusi baru sebagai referensi bagi penulis.

Pertama, skripsi yang berjudul “Upaya Organisasi Kerjasama Islam (OKI)

Mengurangi Fenomena Islamophobia di Belanda Pasca Peristiwa 9/11” yang ditulis oleh Septian Tri Cahyo pada tahun 2016, Septian menyimpulkan bahwa

11

perkembangan Islam di Eropa berasal dari pekerja imigran.13 Populasi Islam di

Eropa mulai berkembang pada tahun 1950 di saat kebanyakan imigran berasal dari berbagai negara mediteran seperti Turki, Maroko, Algeria, dan Tunisia.

Peningkatan angka imigran muslim di negara-negara Barat khususnya di

Eropa, awalnya disambut baik oleh pemerintah negara-negara Eropa karna mereka termasuk sumber tenaga kerja yang murah. Namun secara perlahan para imigran mulai memunculkan jati diri mereka dan identitas keislamannya, di antaranya ialah dengan membangun masjid serta pusat-pusat keislaman, dan secara aktif menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat luas di Eropa. Maka pada saat itulah pemerintah mulai merasa terancam bahaya. Ditambah lagi dengan dakwah serta pengenalan Islam di Eropa semakin luas sehingga semakin banyak masyarakat Eropa yang memeluk agama Islam yang selanjutnya menimbulkan kekhawatiran pemerintah Eropa. Apalagi dengan merebaknya peristiwa 11

September 2001 yang menembakkan kesalahannya pada umat Islam. Septian Tri

Cahyo menganggap peristiwa tersebut sebagai titik tolak perubahan pola interaksi dalam hubungan internasional, dengan upaya negara-negara untuk menegakkan

„perang melawan terorisme‟ yang pada akhirnya memunculkan islamophobia.

Antara karya Septian Tri Cahyo dengan skripsi ini memiliki kesamaan pola dan variabel walaupun dengan objek yang berbeda. Secara umum peran OKI dalam menghadapi fenomena islamophobia di Belanda memiliki keberadaan yang sama dengan yang terjadi di Perancis. Namun perbedaan terletak pada objek

13 Septian Tri Cahyo. Upaya Organisasi Kerjasama Islam (OKI) Mengurangi Fenomena Islamophobia di Belanda Pasca Peristiwa 9/11. 2015. FISIP UMY. http://repository.umy.ac.id diakses pada 14 April 2017.

12

cakupan penelitian dimana penulis akan menekankan pada islamophobia yang terjadi setelah aksi teror pada November 2015 di Perancis yang kondisi geografi serta demografinya tentu berbeda dengan Belanda. Adapun titik kesamaannya terletak pada upaya OKI dalam meredam tindakan islamophobia di negara manapun demi tercapainya perdamaian internasional.

Kedua, penulis juga mengambil telaah pustaka lain sebagai pembanding antarvariabel, pola, maupun objek penelitian, yaitu sebuah thesis dari Monalisa

Saflembolo yang berjudul “Upaya Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam mengatasi konflik etnis antara muslim Rohingya dan Budha Rakhine di Myanmar

(2011-2014),” yang diterbitkan pada tahun 2015.14 Dalam thesis tersebut,

Monalisa menuliskan bahwa konflik suku Rohingya dan Rakhine muncul sejak pertengahan abad ke-20.

Status kewarganegaraan Rohingya tidak dipertegas dengan hukum imigran yang jelas. Terjadi penolakan dan pertentangan kewarganegaraan terhadap suku

Rohingya. Rohingya mengalami diskriminasi dan tidak mendapat tempat yang layak di Myanmar karena secara eksplisit Rohingya merupakan kaum pendatang yang tidak memiliki kedaulatan sendiri. Monalisa juga menuliskan bahwa

Myanmar menutup akses bagi keabsahan hukum legal imigran bagi warga

Rohingya di bawah pemerintahan Junta militer.

14 Monalisa Saflembolo. Upaya Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam mengatasi konflik etnis antara muslim Rohingya dan Budha Rakhine di Myanmar (2011-2014). 2015. Yogyakarta: UPN Veteran. http://eprints.upnyk.ac.id diakses pada 15 April 2017.

13

Konflik etnis yang terjadi antara muslim Rohingya dan Budha Rakhine bahkan sudah terjadi sebelum kemerdekaan Myanmar dan sampai saat ini belum mencapai penyelesaian. Hak muslim Rohingya yang terabaikan dan tidak mendapat apresiasi dari pemerintah Myanmar menyebabkan OKI mengambil posisi dalam peran sebagai mediator dari konflik tersebut yang bertujuan untuk melindungi aspirasi umat yang ada di dunia.

Dalam tinjauan pustaka di atas, terlihat jelas adanya kesamaan pola dengan menggunakan objek serta variabel yang berbeda. Misi utama OKI mengambil peran baik dalam konflik etnis maupun fenomena Islamophobia adalah sama, yaitu melindungi aspirasi muslim di penjuru dunia serta menegakkan HAM bagi seluruh umat. Perbedaan terlihat dari bagaimana Monalisa menekankan pada konflik antaretnis di suatu negara, sedangkan penulis fokus pada sikap „menolak

Islam‟ sebagai akibat dari maraknya terorisme.

Sebagai telaah pustaka yang terakhir, penulis mengulas sebuah jurnal karya

Hanan Rananta Arbi yang berjudul “Reaksi Uni Eropa terhadap Islamophobia di

Perancis pada tahun 2011-2015.”15 Dalam karyanya, Hanan Rananta menulis bahwa islamophobia adalah perasaan ketakutan atau kebencian terhadap Islam, orang-orang yang memeluk ajaran Islam, maupun budaya Islam. Di Eropa sendiri, islamophobia bukanlah fenomena baru. Sekitar sejak abad ke-8 masehi gejala kebencian terhadap Islam telah muncul di Eropa, dan hingga saat ini telah berkembang dalam berbagai bentuk. Namun fenomena tersebut kian menjadi lebih

15 Hanan Rananta Arbi. Reaksi Uni Eropa terhadap Islamophobia di Perancis pada tahun 2011- 2015. http://hi.fisip.uns.ac.id diakses pada 15 April 2017.

14

kompleks sejak tragedi 9/11 yang terjadi di AS, bom bunuh diri di London Inggris pada tahun 2005, bom bunuh diri di Spanyol, dan lain sebagainya. Akibat tragedi- tragedi tersebut, masyarakat Eropa mulai terprovokasi untuk memandang Islam dengan penuh ketakutan dan kecurigaan.

Bagi Hanan Rananta Arbi, merujuk pada berbagai tindak sentimental terhadap agama Islam di Perancis yang memang lebih terlihat memburuk daripada negara-negara Eropa lainnya, Uni Eropa sebagai organisasi kawasan induk di

Eropa sudah seharusnya memiliki porsi dan perannya dalam merespon munculnya fenomena anti-Islam tersebut. Maka sebagai sebuah organisasi kawasan yang telah berhasil mengintegrasikan banyak negara dengan latar belakang sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan yang berbeda-beda, Uni Eropa harus mampu membuat formulasi kebijakan yang dapat diterima oleh seluruh negara anggotanya demi kepentingan bersama.

Jika dua pustaka sebelumnya memiliki fokus utama yang sama dengan yang dipakai oleh penulis, yaitu meneliti tentang upaya atau peran OKI, namun pustaka terakhir ini justru fokus pada reaksi Uni Eropa sebagai organisasi kawasan.

Walaupun keduanya menggunakan Perancis sebagai objek penelitian, namun hipotesa yang akan dicapai pastilah berbeda karena dasar kebijakan serta visi maupun misi dari Uni Eropa dan OKI sangat berbeda. OKI yang berbasis Islam, dianggap penulis akan lebih berperan signifikan terhadap pencapaian hak-hak dan ruang gerak bagi muslim di seluruh penjuru Eropa, khususnya di Perancis.

Berbeda dengan reaksi Uni Eropa sebagaimana yang ditulis oleh Hanan Rananta

15

Arbi, dalam skripsi ini akan ditemukan bagaimana peran OKI yang sejatinya memihak pada warga muslim yang menjadi korban atas maraknya fenomena tindakan islamophobia pada masa kini.

E. KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka pemikiran digunakan penulis sebagai tolak ukur yang menjelaskan secara garis besar alur logika berjalannya sebuah penelitian. Fungsi dari kerangka pemikiran adalah agar penelitian mampu dirumuskan dengan menggunakan teori dalam proses penyusunannya. Dalam skripsi ini, kerangka pemikiran menjadi alur logika bagi peran OKI atas fenomena islamophobia berdasarkan berbagai visi-misinya, yang disesuaikan dengan teori HAM dan teori organisasi Internasional.

1. Hak Asasi Manusia

Liberalisme dipahami sebagai sebuah ideologi yang mana menjunjung tinggi kebebasan individu. Jackson Sorensen menyatakan bahwa liberalisme adalah suatu perspektif yang memiliki pandangan positif tentang sifat manusia.

Liberalisme juga dikenal sebagai sebuah paham optimisme. Liberalisme umumnya memandang baik sifat dan karakter dasar manusia. Sekiranya terdapat tiga asumsi dasar liberalisme. Pertama, pandangan positif tentang sifat manusia.

Kedua, keyakinan bahwa hubungan internasional dapat bersifat kooperatif daripada konfliktual. Dan ketiga, keyakinan terhadap kemajuan. Kemajuan bagi

16

kaum liberal selalu merupakan kemajuan bagi individu. Perhatian dasar liberalisme adalah kebahagiaan dan kesenangan individu. John Locke berpendapat bahwa negara muncul untuk menjamin kebebasan warga negaranya dan kemudian mengijinkan mereka menghidupi kehidupannya dan menggapai kebahagiaannya tanpa campur tangan yang tak semestinya dari orang lain.16

Penganut liberal memiliki keyakinan besar terhadap akal pikiran manusia dan mereka yakin bahwa prinsip-prinsip rasional dapat dipakai pada masalah- masalah internasional. Kaum liberal melihat sistem internasional berkembang dalam sistem anarki, dan mengakui bahwa individu selalu mementingkan diri sendiri dan bersaing terhadap suatu hal, namun mereka juga percaya bahwa individu-individu memiliki banyak kepentingan dan dengan demikian dapat terlibat dalam aksi sosial yang kolaboratif dan kooperatif baik domestik maupun internasional. Hal tersebut didasarkan pada pandangan liberal terhadap manusia, bahwa manusia adalah makhluk yang rasional, menempatkan kebebasan individu di atas segalanya, berpandangan positif terhadap karateristik manusia, serta yakin terhadap kemajuan.

Liberalisme dalam memberikan jawaban mengenai permasalahan dalam menjaga perdamaian dan kestabilan internasional adalah dengan penggunaan collective security, yang menjamin perdamaian dan kebebasan bagi semua pihak.

Maka untuk mendukung cita-cita menjaga perdamaian dan kebebasan bagi semua pihak melalui collective security, liberalisme memperkenalkan ideologi demokrasi

16 Robert Jackson dan Georg Sorensen. Pengantar Studi Hubungan Internasional. 2009. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) h. 142.

17

yang merupakan sebuah ideologi yang membawa dan mengutamakan perdamaian serta penegakan HAM bagi tiap individu di muka bumi.17

Liberalisme menjunjung tinggi nilai demokrasi. Salah satu prinsip utama dalam demokrasi ialah kebebasan. Dalam penelitian ini, terkait dengan kasus yang ditelaah, penulis akan fokus pada prinsip kebebasan dalam beragama. Dengan adanya prinsip kebebasan, manusia tidak akan merasa tertekan untuk menyalurkan aspirasinya dan bebas menjalankan ajaran agama yang diyakininya. Orang yang beragama dan berdemokrasi akan menjadikan agama sebagai sumber dan dasar- dasar inspirasi, spiritual, dan moral dalam setiap tarikan nafas dan perilakunya.

Karena itu, dalam berdemokrasi dan beragama, manusia dituntut untuk mendewasakan sikap mental dengan mengutamakan toleransi, menebarkan cinta kasih, mengokohan persaudaraan, menumbuhkan kedamaian dan berkerjasama dalam membangun masyarakat sebagai manifestasi substansi agama. 18

Demokrasi merupakan sistem yang mengembalikan semua hak kepada rakyatnya, dari pemilihan pemimpinnya, pemerintahannya, sampai kepada keyakinan yang dianutnya. Dengan adanya keberagaman agama dalam kehidupan manusia, maka sistem demokrasi ini mempunyai peran yang penting untuk menuju kerukunan antar umat beragama. Kerukunan antar umat beragama merupakan hal penting untuk mencapai sebuah kesejahteraan hidup. Perbedaan yang terjadi dalam masyarakat bukan penghalang untuk hidup rukun dan damai.

Maka perlu adanya kesadaran dari seluruh elemen masyarakat untuk tidak

17 Robert Jackson dan Georg Sorensen. Pengantar Studi Hubungan Internasional. 2009. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) h. 142. 18 Ahmad Suhelmi. Pemikiran Politik Barat, 2007. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 205

18

memecah belah dengan melakukan tindakan diskriminatif terhadap umat yang berbeda dengannya.

Menurut John Locke, manusia dalam keadaan alamiah adalah bebas merdeka mengatur tindakan mereka, mempergunakan barang miliknya tanpa perlu izin dan tidak tergantung pada kehendak siapapun. Manusia memiliki derajat yang sama, semua kekuasaan bersifat timbal balik, tidak ada orang yang lebih berkuasa daripada orang lain. Meskipun manusia leluasa menggunakan diri dan barang miliknya, manusia tidak mempunyai kebebasan menghancurkan dirinya sendiri ataupun orang lain. Keadaan alamiah menurut Locke merujuk pada keadaan dimana manusia hidup dalam kedamaian, kebajikan, penuh kebebasan dan penuh kesetaraan.19

Maraknya konflik sosial yang terjadi di penjuru dunia, terutama yang berbasis isu agama kian tak terbendung. Kekerasan berbasis isu agama begitu cepat menyebar ke berbagai lapisan masyarakat. Oleh karenanya ketentraman hidup masyarakat terganggu dengan adanya kerentanan yang luar biasa oleh kondisi keberagaman tersebut. Kini, agama sering kali dijadikan titik singgung paling sensitif dalam pergaulan masyarakat yang majemuk. Maka dari itu sangat perlu usaha manusia untuk mewujudkan hubungan yang harmonis antar umat beragama, salah satu caranya yaitu mengembangkan sikap toleransi.

Di berbagai belahan dunia, kita sedang menyaksikan gerakan-gerakan keagamaan untuk memperkokoh pembentukan sistem sosial dan politik yang lebih demokratis. Agama menjadi media yang baik untuk memberi pemahaman tentang

19 Ahmad Suhelmi. Pemikiran Politik Barat, 2007. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 205

19

demokrasi. Namun di belahan dunia lain, keduanya saling berbenturan. Agama tidak jarang dijadikan sebagai alat provokasi pemecah belah persatuan. Padahal keberagaman beragama pada hakikatnya adalah dasar bagi terciptanya persatuan dalam perbedaan. Kebebasan beragama adalah hak setiap manusia. Maka toleransi antar umat beragama adalah cara agar kebebasan beragama dapat terlindungi dengan baik.

Demokrasi sering kali diartikan sebagai penghargaan terhadap hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan persamaan hak di hadapan hukum. Dari sini kemudian hakikat demokrasi sering dikaitkan dengan idiom-idiom seperti egalite (persaman), equality (keadilan), liberty (kebebasan), serta human right (hak asasi manusia). 20

Dalam kasus tindakan islamophobia di Perancis, Sebagai kaum minoritas yang semakin hari kian termarjinalkan, muslim semakin gencar melakukan upaya serta perjuangan demi mendapatkan HAM secara hakiki. Menurut Teaching

Human Rights yang diterbitkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Hak

Asasi Manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya mustahil manusia dapat hidup sebagai manusia dan tanpa hak tersebut, eksistensinya sebagai manusia akan hilang. John Locke juga mengungkapkan pandangannya mengenai HAM. Menurutnya, HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai sesuatu yang kodrati.

Maka tidak ada kekuasaan apapun yang dapat mencabut hak asasi setiap manusia.

20 Ubaedillah, A dan Abdul Rozak. Pendidikan Kewarga[negara]an (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. 2014. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah dan Kencana Prenada Media Group. Hlm 148.

20

Karena HAM adalah hak dasar yang dimiliki manusia di muka bumi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa.21

HAM didasari oleh kebebasan individu. Ia adalah hak yang melekat pada seluruh manusia, apa pun kewarganegaraan, tempat tinggal, jenis kelamin, asal kebangsaan atau etnis, warna kulit, agama, bahasa, atau status lainnya yang mereka miliki. Manusia dimanapun ia berada sama-sama berhak memiliki hak asasi tanpa merasa dibeda-bedakan. Salah satu upaya dalam penegakan HAM adalah dengan menghapus segala tindak diskriminasi, termasuk diskriminasi agama. Diskriminasi agama merupakan situasi ketika seseorang diperlakukan tidak adil dibandingkan orang lain dalam situasi yang sama karena perbedaan agama yang dianut.

Isu HAM memang tak luput dalam pengamatan OKI. Hal ini semakin jelas dengan adanya konseptualisasi HAM sebagaimana yang tercantum dalam

Cairo Declaration Of Human Right in Islam (CDHRI) yang terbentuk pada tahun

1990.22 Pengamatan secara intens oleh OKI terhadap isu HAM tentu menjadikannya tidak tinggal diam dalam menanggapi fenomena tindakan islamophobia. Berbagai tindakan diskriminatif yang merugikan umat Islam telah menarik kehadiran OKI untuk menjalankan perannya sebagai organisasi pengayom umat.

21 Ubaedillah, A dan Abdul Rozak. Pendidikan Kewarga[negara]an (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. 2014. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah dan Kencana Prenada Media Group. Hlm 148. 22 Katharina Hausler, dkk. Human Rights, Democracy, and Rule of Law: Different Organizations, Different Conceptions. Frame. Large-Scale FP7 Collaborative Project GA No. 320000. April 2016. Hlm. 147.

21

Maka berdasarkan penjabaran di atas, peran OKI akan dilihat sebagai upaya mencapai kebebasan beragama dan beribadah sebagaimana dijelaskan dalam teori

Liberal, demi menghilangkan tindakan islamophobia yang diskriminatif sehingga tercapailah nilai-nilai demokratis yang dilengkapi dengan penyebaran bukti HAM secara merata bagi seluruh umat di penjuru dunia.

2. Organisasi Internasional

Definisi organisasi internasional adalah suatu pola kerjasama yang melintasi batas-batas negara, dengan didasari pada struktur organisasi yang jelas, yang diharapkan dapat berfungsi secara berkesinambungan dan melembaga dalam usaha untuk mencapai tujuan-tujuan yang diperlukan serta yang disepakati bersama, baik antara pemerintah dengan pemerintah maupun antar sesama kelompok non-pemerintah pada negara yang berbeda.

Pendapat lain menyebutkan bahwa organisasi internasional didefinisikan sebagai suatu struktur formal dan berkelanjutan yang dibentuk atas suatu kesepakatan antara anggota-anggota (pemerintah dan non-pemerintah) dari dua atau lebih negara berdaulat dengan tujuan untuk mengejar kepentingan bersama para anggotanya.23

Manurut Clive Archer, peranan organisasi internasional dibagi menjadi dua kategori, yaitu:

23 Clive Archer. International Organization. 1883. London: Allen & Unwin. Ltd.

22

a) Sebagai instrumen. Organisasi internasional digunakan negara-negara

anggotanya untuk mencapai tujuan tertentu berdasarkan tujuan politik

luar negerinya.

b) Sebagai arena. Organisasi internasional merupakan tempat bertemu

bagi anggota-anggotanya untuk membicarakan dan membahas

masalah-masalah yang dihadapi. Tidak jarang organisasi internasional

digunakan oleh beberapa negara untuk mengangkat masalah dalam

negerinya, ataupun masalah dalam negeri negara lain dengan tujuan

untuk mendapatkan perhatian internasional.

c) Sebagai aktor. Organisasi internasional bertindak sebagai pelaku atau

aktor internasional yang memiliki wewenang untuk membentuk

kebijakan-kebijakan yang harus dipatuhi oleh para anggotanya.

Adapun fungsi organisasi internasional menurut A Le Roy Bennet adalah:

a) Menyediakan hal yang dibutuhkan bagi kerja sama yang

dilakukan antar negara dimana kerja sama tersebut

menghasilkan keuntungan yang besar bagi seluruh bangsa.

d) Menyediakan banyak saluran-saluran komunikasi antar pemerintah

sehingga ide-ide dap at bersatu ketika masalah muncul ke

permukaan.24

e) Karen Mingst memberikan jabaran yang lebih luas lagi tentang fungsi

organisasi internasional. Ada beberapa fungsi yang bisa dijalankan

24 Anak Agung Banyu Perwira dan Yanyan Mochamad Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

23

oleh Organisasi Internasional baik itu di tingkat internasional, negara,

maupun individu.25 Pada tingkat internasional, Organisasi

Internasional berperan dalam:

1. Memberikan konstribusi untuk terciptanya suasana kerja sama di antara

negara/aktor. Dengan adanya organisasi internasional, diharapkan negara dapat

bersosialisasi secara reguler sehingga dapat tercipta suatu kondisi yang

dianjurkan oleh kaum fungsionalist. Fungsi ini dapat kita temui dalam

Perserikatan Bangsa-Bangsa.

2. Menyediakan informasi dan pengawasan. Fungsi ini sejalan dengan pemikiran

tentang Collective Goods, di mana organisasi internasional menyediakan

informasi, hasil-hasil survei dan juga pengawasan. Contohnya World Trade

Organization (WTO), International Atomic Energy Agency‟s (IAEA).

3. Memberikan bantuan terhadap penyelesaian konflik. Contohnya: World Trade

Organization (WTO) dan International Court of Justice (ICJ).

4. Mengkoordinir aktivitas internasional mengenai permasalahan bersama.

Misalkan World Health Organization (WHO) dalam penanganan penyebaran

penyakit SARS dan United Nations High Commission for Refugees (UNHCR)

dalam menganani pengungsi.

5. Menyediakan arena untuk bargaining bagi negara-negara dalam menyelesaikan

suatu masalah. Misalkan European Council of Ministers dan beberapa forum

bersama tingkat menteri lainnya.

25 Karen Mingst, Essentials of International Relations, 1999, WW Norton & Company, New York, hal. 241-245

24

6. Membentuk rezim internasional. Misalkan rezim perdagangan internsaional,

rezim moneter Eropa, dan lain-lain.

Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) merupakan salah satu organisasi internasional yang mengklaim dirinya sebagai aktor yang beraksi demi kepentingan ummah transnasional (mu‟minun). Bagaimanapun, organisasi ini secara efektif dibuat oleh kesucian negara berdaulat. Prinsip tersebut telah diabadikan dalam piagam OKI dan telah membuktikan organisasi ini dalam sebuah bingkai kerja operasional yang bertekad untuk mencapai cita-cita kesatuan dan kepentingan muslim. Organisasi ini telah menjadikan 57 negara muslim berjuang bersama seperti Indonesia dan Maroko, dan beberapa negara dengan minoritas muslim yang signifikan seperti Rusia dan India. Tujuan persatuan bagi organisasi ini adalah untuk melindungi Islam, dengan asumsi bahwa ikatan kepercayaan menyebabkan tercapainya kepentingan bersama. Sejarah OKI membuktikan fakta untuk mewakili kepentingan muslim di kancah internasional.26

Fenomena islamophobia yang merupakan dampak dari terorisme, memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap dinamika Hubungan Internasional.

Fenomena tersebut telah menarik perhatian global. Kini hampir setiap negara mendeklarasikan gerakan „perang melawan teroris‟, namun sayangnya gerakan tersebut justru berdampak negatif bagi sebagian besar muslim. Dengan adanya tindak diskriminatif kepada warga muslim, tentu telah mendesak negara-negara

26 Shahram Akbarzadeh and Kylie Connor. The Organization of the Islamic Conference: Sharing an Illusion. Middle East Policy, Vol. XII, No.2, Summer 2005. Hlm 79.

25

lain terutama negara Islam atau negara dengan penduduk mayoritas Islam, mengecam hal tersebut. Aktor non-negara pun berperan di dalamnya. OKI adalah salah satu organisasi internasional yang berperan untuk mengatasi tindak islamophobia. OKI berupaya agar nilai demokrasi dapat terus ditegakkan bagi seluruh muslim di penjuru dunia. Sebagai pihak ketiga, OKI telah mengasumsikan

4 tipe utama dalam peran membangun perdamaian, yaitu; penyedia bantuan kemanusiaan kepada rakyat dalam keadaan darurat, fungsi rehabilitasi, fungsi pencegahan melalui peringatan dini, dan tindakan resolusi konflik. 27

F. METODE PENELITIAN

Secara umum, metode penelitian diartikan sebagai suatu kegiatan ilmiah

yang terencana, terstruktur, sistematis, dan memiliki tujuan tertentu baik

praktis maupun teoritis. 28 Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan

metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah sebuah upaya

untuk menekankan pada pemahaman secara mendalam terhadap suatu

permasalahan. Penelitian kualitatif merupakan penelitian riset yang bersifat

deskriptif, cenderung menggunakan analisis dan lebih menonjolkan proses

makna. Adapun metode penelitian kualitatif, menurut Creswell, ialah suatu

pendekatan atau penelusuran untuk mengeksplorasi dan memahami suatu

27 Muzaffer Ercan Yilmaz. The Organization of the Islamic Conference as a Conflict Manager in the Arab Spring. Turkish Jornal of Politics. Vol 4, No. 1. Summer 2013. Hlm. 87-91. 28 J. R. Raco. Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik, dan Keunggulannya. 2010. Jakarta: PT Grasindo. Hlm. 5.

26

gejala sentral.29 Alasan penulis memilih metode ini ialah untuk mendapatkan

pemahaman secara mendalam mengenai permasalahan yang dikaji.

Tipe penelitian yang penulis gunakan adalah deskriptif-analisis guna

memaparkan temuan baru terkait dengan topik yang diangkat. Deskriptif

adalah suatu penelitian yang mampu memecahkan masalah yang sedang

dihadapi pada masa sekarang, dilakukan dengan langkah-langkah pengumpulan

data, membuat klasifikasi data, membuat kesimpulan dari data dengan tujuan

utama memberikan gambaran tentang suatu keadaan secara objektif dalam

deskripsi situasi.30 Tujuan dari penelitian yang bersifat deskriptif yaitu untuk

menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala, maupun

kelompok tertentu. Penelitian ini sendiri bertujuan untuk menjelaskan peran

OKI yang berdasarkan atas visi misinya dalam mengatasi isu tindakan

islamophobia yang marak terjadi pasca serangan di Paris. Dengan pola

induktif, penelitian ini terlebih dahulu menjabarkan permasalahan secara

umum mengenai tindakan islamophobia di Perancis untuk kemudian ditarik

kesimpulan secara khusus tentang bagaimana peran OKI dalam mengatasi

fenomena tersebut yang disertai data dan analisis penulis terkait dengan

permasalahan yang sedang diteliti.

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data berupa studi/kajian

pustaka (Library Research) yang dilakukan dengan menelusuri fakta secara

29 J. R. Raco. Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik, dan Keunggulannya. 2010. Jakarta: PT Grasindo. Hlm. 6. 30 L.J. Moelong (ed), Metode Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung. 2006, hlm. 3

27

tertulis, kemudian mengumpulkan dokumen, baik berupa tulisan sezaman maupun manuskrip-manuskrip yang berhubungan dengan peristiwa yang ditelaah. Oleh karenanya, penelitian ini menggunakan jenis data teoritis dengan memanfaatkan data-data sekunder dari buku, jurnal, artikel, media cetak, media elektronik, dan website yang telah diolah menjadi data sehingga bisa dijadikan bahan kajian dalam penyusunan skripsi ini. Selain itu, untuk menambah informasi, penulis juga menggunakan sumber data yang akan diperoleh penulis secara langsung dari para ahli yang dalam penelitian ini didapatkan melalui wawancara kepada narasumber.

Dalam penelitian ini, penulis melakukan wawancara kepada narasumber yang sekiranya mampu memberikan informasi yang berkaitan dengan penelitian ini. Pembicaraan intensif antara penulis dengan para ahli akan memperkaya wawasan penulis untuk melanjutkan penelitian dengan bersumberkan data yang valid. Maka dalam penelitian mengenai peran OKI dalam mengatasi islamophobia pasca teror Perancis ini, penulis melakukan wawancara kepada kepada seorang ahli di bidang yang berkaitan dengan penelitian skripsi ini.

Pertama, penulis melakukan wawancara kepada Mr. Abdula Manafi

Mutualo yang menjabat sebagai Secretary of the Islamophobia Observatory and Culture and Social Affairs‟ Officer OIC General Secretariat. Penulis meyakini bahwa hasil wawancara kepada Mr. Mutualo akan membantu penulis

28

menganalisa bagaimana eksistensi OKI dan kemampuannya dalam upaya

mengatasi islamophobia di Perancis.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknis

analisis data kualitatif. Teknik analisis data sendiri memiliki kaitan erat dengan

pengumpulan dan interpretasi. Creswell mendefinisikan pendekatan kualitatif

sebagai sebuah proses penyelidikan untuk memahami masalah sosial atau

masalah manusia.31 Pada tahap analisis, dilakukan pengklasifikasian atas data-

data tersebut untuk digunakan sesuai kebutuhan dalam tahap pembuktian

hipotesis dan selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan secara induktif.

Pendekatan kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif yang berupa kata-kata lisan atau tulisan dari manusia atau tentang

32 perilaku manusia yang dapat diamati. Alasan penulis memilih teknik analisis

ini adalah karena penulis ingin menganalisis peran Organisasi Kerja Sama

Islam (OKI) sebagai sebuah organisasi internasional dalam memerangi

islamophobia yang terjadi pasca teror di Perancis.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini direncanakan akan terdiri dari lima bab. Bab I berisikan enam subbab pendahuluan yang terdiri atas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka pemikiran, metodologi penelitian, serta sistematika penulisan. Tujuan dari penulisan bab I ialah agar

31 John W. Creswell. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. (California: Sage Publication, 1994). Hlm. 1 32 F. Sitorus, Penelitian Kualitatif Suatu Pengantar, Fakultas Pertanian IPB, Bogor, 1998, p.27.

29

pembaca mampu memahami permasalahan secara singkat sebelum melangkah lebih jauh kepada bab-bab setelahnya.

Bab II merupakan pembahasan terkait OKI sebagai organisasi internasional, yang terdiri atas profil OKI; struktur OKI yang meliputi badan-badan dalam OKI, serta keanggotaan dalam OKI; peran OKI dalam ranah global; dan diakhiri dengan pembahasan mengenai keterikatan OKI dengan HAM. Penulisan bab ini dimaksudkan penulis sebagai brainstorming kepada para pembaca sebelum membahas bagaimana OKI berperan dalam fenomena islamophobia. Keselarasan antara kemunculan, tujuan, prinsip, dan keanggotaan berbagai negara dalam OKI, serta eksistensi dan peranannya secara global, diyakini penulis mampu memberikan pemahaman signifikan kepada pembaca bahwa OKI adalah suatu badan yang concern terhadap perbaikan citra Islam di dunia.

Dalam bab III akan dibahas mengenai perkembangan Islam di Perancis dan fenomena tindakan islamophobia. Bab ini akan dimulai dengan pembahasan tentang kemunculan Islam ke Perancis dan perkembangannya, lalu dilanjutkan dengan tragedi Paris 13 November 2015 yang dimulai dengan sebuah ikhtisar, kemudian membahas mengenai respon pemerintah, dan kemunculan hate crime terhadap muslim. Bab ini diakhiri dengan pembahasan tentang fenomena tindakan islamophobia di Perancis yang akan menceritakan bagaimana fenomena berkembang pasca terjadinya Tragedi Paris November 2015. Dalam bab ini, penulis bermaksud untuk memberi pemahaman kepada pembaca bahwa Islam bukanlah suatu hal yang tiba-tiba ada di Perancis. Eksistensinya mengalami

30

proses yang panjang dengan segala penerimaan dan penolakan dari berbagai pihak.

Pada bab IV, pembahasan akan fokus untuk menjelaskan dan menjawab pokok permasalahan mengenai upaya-upaya OKI dalam meredam fenomena islamophobia di Perancis, yang meliputi; memerangi terorisme, mengadakan interfaith dialogue guna mempromosikan nilai-nilai Islam yang sesungguhnya, melakukan kerjasama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang merupakan organisasi internasional terbesar di dunia, melakukan kerjasama dengan Uni Eropa untuk bersama-sama melawan Islamophobia di negara-negara

Eropa, dan melakukan kerjasama dengan media. Bab ini akan ditulis dengan berdasar pada penelitian yang dilakukan penulis dengan pengumpulan data berupa studi/kajian pustaka (Library Research), serta wawancara kepada seorang ahli yang kompeten di bidang ini. Kemudian bab ini diakhiri dengan analisis penulis mengenai peluang dan tantangan OKI dalam mengupayakan perannya untuk meredam islamophobia di Perancis.

Bab terakhir yang merupakan penutup akan berisi kesimpulan yang akan menyimpulkan pembahasan dari bab II, bab III, serta bab IV.

31

BAB II

ORGANISASI KERJASAMA ISLAM

A. Profil Organisasi Kerjasama Islam

Organisasi Kerjasama Islam (OKI) disebut sebagai organisasi yang unik dengan tujuan utama untuk mempromosikan “solidaritas Islam” di antara negara- negara anggota. OKI didirikan pada September 1969, diawali dengan sebuah seruan dari mantan Mufti Yerussalem ke semua negara Islam untuk bergabung dalam sebuah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam pertama yang diadakan di

Rabat, Maroko. KTT tersebut diadakan sebagai respon atas tragedi serangan pembakaran Masjidil Aqsa di Yerussalem. Pertemuan bersejarah ini sangat berperan dalam pembentukan OKI, dan solidaritas Islam menjadi batu loncatan untuk meningkatkan kerjasama dan pertukaran antarnegara-negara Islam. Pada

1971, Konferensi Menteri Luar Negeri antarnegara Islam secara resmi menetapkan OKI dengan menyetujui sebuah Piagam yang mayoritas negara- negara anggota telah meratifikasinya pada 1973.33

Berdasarkan Piagam tersebut, tujuan OKI adalah:

1) Memperkuat solidaritas Islam di antara negara-negara anggota;

33 Devon A. Hansen and Mohammad Hemmasi. The State of the Organization of the Islamic Conference (OIC) at the dawn of the new millenium on Prairie Perspectives: geographical Essays. Vol 4. Ed. Douglas C. Munski. 2001: university of North Dakota . hlm. 259.

32

2) Mengonsolidasikan kerjasama di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya,

juga sains; untuk melindungi martabat, kemerdekaan, dan hak-hak

nasional masyarakat muslim;

3) Menjamin keamanan terhadap tempat-tempat suci dan mendukung

perjuangan rakyat Palestina;

4) Menghilangkan diskriminasi rasial dan segala bentuk kolonialisme;

5) Mempromosikan kerjasama dan pemahaman antara negara anggota dan

pihak lainnya.34

Piagam OKI juga menegaskan bahwa misinya adalah untuk mempromosikan nilai-nilai Islam, memperkuat solidaritas di antara negara-negara muslim, terus memberikan dukungan untuk kemerdekaan Palestina, membela kedaulatan negara anggota, membantu komunitas muslim yang berada di luar yurisdiksi negara-negara anggota, mempresentasikan aspirasi muslim di kancah internasional demi tercapainya kepentingan bersama, mempertahankan citra

Islam, dan untuk memerangi penghinaan terhadap Islam. piagam OKI juga menekankan aspek perdamaian, kasih sayang, toleransi, kesetaraan, keadilan, dan martabat manusia. Piagam OKI juga bertekad untuk melawan terorisme.35

Seiring dengan penerapan poin-poin dalam piagam, OKI telah diberi mandat untuk menangani berbagai masalah; perdamaian dan resolusi konflik, isu-

34 Devon A. Hansen and Mohammad Hemmasi. The State of the Organization of the Islamic Conference (OIC) at the dawn of the new millenium on Prairie Perspectives: geographical Essays. Vol 4. Ed. Douglas C. Munski. 2001: university of North Dakota. Hlm. 260 35 Deborah Weiss. The Organization of Islamic Cooperation‟s Jihad on Free Speech. Civilization Jihad Reader Series. Vol 3. 2015. United States: Center for Security Policy Press. Hlm. 15.

33

isu minoritas Muslim, hak-hak perempuan dan anak-anak, bantuan kemanusiaan, memerangi islamophobia, promosi perdagangan dan investasi intra-OKI, serta pertukaran budaya dan pendidikan. Piagam tersebut juga menyebutkan prinsip- prinsip yang mengatur program OKI agar berjalan atas dasar: kesetaraan penuh di antara negara-negara anggota; mendukung hak penentuan nasib sendiri dan tidak adanya campur tangan dalam urusan internal negara anggota; dukungan untuk kedaulatan, independensi dan integritas teritorial masing-masing negara anggota; dan penyelesaian sengketa dengan cara damai seperti negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase.36

Kantor pusat OKI sendiri terletak di Jeddah, Arab Saudi. Sekretaris

Jenderal OKI saat ini adalah seorang berkebangsaan Arab Saudi, Yusuf bin

Ahmad Al-Utsaimin yang mulai menjabat sejak 17 November 2016, menggantikan Iyad bin Amin Madani. OKI hingga kini telah memiliki 57 negara anggota.37 Berdasarkan laporan penelitian statistik, ekonomi, dan sosial dari sebuah organisasi di bawah naungan OKI yang berlokasi di Ankara, Turki, data sensus 2010 memperkirakan jumlah populasi di negara-negara anggota OKI berkisar 1,563 miliar jiwa, atau sebanding dengan 22,7% dari populasi dunia.38

Sedangkan organisasi internasional seperti Liga Negara-negara Arab, Perserikatan

36 M Ihsan Qadir and M. Saifur Rahman. Organization of Islamic Co-operation (OIC) and Prospects of Yemeni Conflict Resolution: Delusion or Plausible Reality. Journal of Political Studies, vol. 22, issue-2 2015. University of Punjab. Hlm. 369-370. Diunduh dari http://pu.edu.pk pada 13 Februari 2018. 37 Elizabeth H. Prodromou. What is The Organization of Islamic Cooperation? 2013. Center for European Studies. Harvard University. Diunduh dari www.globalgovernancewatch.org >doclib pada 26 Februari 2018. Hlm. 1. 38 Elizabeth H. Prodromou. What is The Organization of Islamic Cooperation? 2013. Center for European Studies. Harvard University. Diunduh dari www.globalgovernancewatch.org >doclib pada 26 Februari 2018. Hlm. 1.

34

Bangsa-Bangsa, Gerakan Non-Blok, dan Uni Afrika juga memainkan statusnya sebagai pengamat di OKI.39

Nama “Organisasi Kerjasama Islam” adalah suatu perubahan yang dicanangkan dalam pertemuan tingkat Menteri ke-38 di Astana, Kazakhstan pada

Juli 2011, setelah sebelumnya organisasi ini berdiri dengan nama “Organisasi

Konferensi Islam.” Perubahan ini diprakarsai oleh pemerintah Arab Saudi yang mempertemukan kepala negara dan pemerintahan muslim dari berbagai penjuru dunia dalam Konferensi Tingkat Tinggi Islam di Rabat, Maroko.40 Perubahan ini bukan semata perubahan nama, namun perubahan ini juga mencerminkan niat

OKI untuk terlibat lebih serius dengan meningkatnya jumlah actor dalam masyarakat global yang semakin saling bergantung. OKI diharapkan mampu berkontribusi secara efektif pada pencegahan, pengelolaan, dan penyelesaian konflik di dunia.41

Institusi seperti OKI tidak terbentuk hanya untuk mengatasi masalah politik namun juga terbentuk karena adanya perasaan yang sama seakan telah dimusuhi, diabaikan, tidak aman, dan dirampas hak-haknya. Perasaan ini muncul akibat proses yang cepat dalam tahapan modernisasi dan politik internasional.

Maka jaringan atau wadah persatuan yang muncul seperti OKI dianggap sebagai

39 M Ihsan Qadir and M. Saifur Rahman. Organization of Islamic Co-operation (OIC) and Prospects of Yemeni Conflict Resolution: Delusion or Plausible Reality. Journal of Political Studies, vol. 22, issue-2 2015. University of Punjab. Hlm. 368. Diunduh dari http://pu.edu.pk pada 13 Februari 2018. 40 Elizabeth H. Prodromou. What is The Organization of Islamic Cooperation? 2013. Center for European Studies. Harvard University. Diunduh dari www.globalgovernancewatch.org >doclib pada 26 Februari 2018. Hlm. 1. 41 Arhama Siddiqa. the Utility of the OIC in Solving Conflicts in the Muslim World an issue brief of Institute of Strategic Studies. 2016. Hlm. 2. Diunduh dari www.issi.org.pk pada 20 Februari 2018.

35

suara potensial bagi dunia muslim. Suara yang diperlukan untuk mengeluarkan ide dan pemikiran umat Islam demi mencapai perdamaian, keadilan, serta persamaan.42

Organisasi yang beranggotakan negara-negara muslim atau negara berpenduduk mayoritas muslim ini kemudian memposisikan dirinya sebagai suara kolektif bagi muslim di seluruh dunia. Organisasi ini memiliki dimensi keagamaan yang kuat yang membedakannya dari organisasi intergovernmental yang lain. Agenda-agenda yang menjadi prioritas utamanya antara lain meliputi penanganan fenomena islamophobia; mempromosikan kepentingan muslim di penjuru dunia; dan konsolidasi, koordinasi, serta kolaborasi antarnegara Islam dalam forum internasional.43

Dalam upaya mencapai berbagai tujuan pembentukannya, organisasi ini telah mengembangkan hubungan dengan banyak actor lain selain negara anggota.

Hubungan tersebut telah terjalin sejak OKI dipimpin oleh Ekmeleddin Ihsanoglu yang menjabat selama sembilan tahun sejak 2005 sampai 2014. Sebagai contoh ialah OKI telah memiliki peran di PBB. Organisasi ini memiliki kantor di Jenewa dan New York dan mengadakan rapat koordinasi tahunan untuk para menteri luar negeri dalam kaitannya dengan Majelis Umum PBB, yang membahas, antara lain, sikap negara anggota terhadap berbagai inisiatif Hak Asasi Manusia (HAM).

42 Ibrahim Kalin. OIC: A Voice for the Muslim World? in Islam, Society & the State. ISIM review 17. Spring 2006. Department of religious studies at the college of the holy cross, worchester. Hlm. 1. Diunduh dari https://openaccess.leidenuniv.nl>handle pada 6 Maret 2018 43 Pekka Hakala and Andreas Kettis. the Organization of Islamic Cooperation: Defined – for better and Worse – by its religious dimension. Policy Department, Directorate-General for External Policies. This Policy Briefing was requested by the European Parliament‟s Committee on Foreign Affairs. 2013. Hlm 3.

36

Secara umum, keterlibatan negara anggota OKI dalam PBB berpusat pada isu-isu seperti hak keluarga dan penghinaan terhadap agenda agama, selain terlibat dalam perjuangan palestina.44 Selain itu, OKI juga telah melakukan hubungan yang lebih erat dengan Uni Eropa, hal ini diperkuat dengan berdirinya kantor penghubung di

Brussels untuk mendorong hubungan yang lebih dekat dengan Uni Eropa. Misi tetap OKI ke Uni Eropa telah diresmikan di hadapan Sekretaris Jenderal

Ihsanoglu pada 25 Juni 2013. Duta Besar Ajerbaijan untuk Uni Eropa, Arif

Mammadov, ditunjuk sebagai observer permanen OKI, dan Mehmet Bilir, seorang diplomat Turki, ditunjuk sebagai wakilnya.45

B. Struktur OKI

1. Badan-Badan dalam OKI46

1) Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam merupakan otoritas tertinggi

dalam organisasi. Sebuah konferensi yang diadakan setiap tiga tahun

sekali dan dihadiri oleh kepala negara atau kepala pemerintah dari negara

anggota. Konferensi ini diadakan untuk merumuskan, mengambil

44 Marie Juul Petersen. Islamic or Universal Human Rights? The OIC‟s Independent permanent Human Rights Commission. 2012. Copenhagen: Danish Institute for International Studies (DIIS) Report 2012:03. Hlm. 18 45 Pekka Hakala and Andreas Kettis. the Organization of Islamic Cooperation: Defined – for better and Worse – by its religious dimension. Policy Department, Directorate-General for External Policies. This Policy Briefing was requested by the European Parliament‟s Committee on Foreign Affairs. 2013. Hlm 4. 46 Pekka Hakala and Andreas Kettis. the Organization of Islamic Cooperation: Defined – for better and Worse – by its religious dimension. Policy Department, Directorate-General for External Policies. This Policy Briefing was requested by the European Parliament‟s Committee on Foreign Affairs. 2013. Hlm 5.

37

keputusan kebijakan, dan setelah itu memberikan bimbingan mengenai

semua isu yang berkaitan dengan realisasi tujuan serta mempertimbangkan

isu-isu lain yang menjadi perhatian negara-negara anggota.

2) Dewan Menteri Luar Negeri. merupakan pertemuan para menteri luar

negeri dari seluruh negara anggota. Dewan melakukan pertemuan setahun

sekali, Dewan ini mempertimbangkan untuk menerapkan kebijkaan umum

OKI. Dewan juga meninjau tahapan dalam penerapan keputusan dan

resolusi yang diadopsi oleh konferensi ini dan KTT Islam.

3) Komite Eksekutif memegang kekuatan pengambilan keputusan antara

pertemuan para menteri. Komite ini dibentuk pada 2005 untuk

meningkatkan kemampuan OKI agar bertindak lebih cepat dan efektif bagi

negara-negara anggotanya mengenai hal-hal yang menjadi perhatian

internasional.

4) Komite Perwakilan Tetap yang terdiri dari duta besar negara anggota yang

terakreditasi untuk OKI.

5) Sekretariat Jenderal yang merupakan badan eksekutif yang menerapkan

keputusan dalam pembuatan keputusan politik. Dipimpin oleh seorang

sekretaris Jenderal dan berkedudukan di Jeddah, Arab Saudi.

Sekretaris Jenderal OKI bertanggung jawab atas hal-hal berikut:47

47 The organization of the Islamic Cooperation, charter of the Organization of The Islamic Conference 1972, Article 17. Diunduh dari https://www.oic-oci.org pada 11 Februari 2018.

38

a. Memberikan perhatian pada badan organisasi;

b. Menindaklanjuti keputusan, resolusi, dan rekomendasi dari KTT Islam,

Dewan Menteri Luar Negeri, dan pertemuan menteri lainnya;

c. Mengoordinasikan dan menyelaraskan pekerjaan organ yang relevan dari

organisasi;

d. Menyiapkan program dan anggaran kesekretariatan OKI;

e. Mengembangkan komunikasi antarnegara anggota dan memfasilitasi

konsultasi dan pertukaran pandangan serta penyebaran informasi yang bisa

menjadi sangat penting bagi negara-negara anggota;

f. Menyampaikan laporan tahunan kepada Dewan menteri Luar Negeri; dan

g. Melakukan fungsi lain seperti yang dipercayakan oleh KTT atau Dewan

Menteri Luar Negeri.

Sejumlah organ dan institusi sekunder telah dikembangkan untuk mencapai tujuan OKI di berbagai bidang yang meliputi budaya, sains, ekonomi, legislasi, keuangan, olahraga, teknologi, pendidikan dan media, serta topik kejuruan, sosial, serta kemanusiaan.48

48 Pekka Hakala and Andreas Kettis. the Organization of Islamic Cooperation: Defined – for better and Worse – by its religious dimension. Policy Department, Directorate-General for External Policies. This Policy Briefing was requested by the European Parliament‟s Committee on Foreign Affairs. 2013. Hlm 5.

39

2. Anggota OKI

a) Member State

OKI hingga kini telah memiliki 57 negara anggota. Negara-negara tersebut dapat dikatakan perwakilan dari empat benua, yaitu Asia (28 negara). Afrika (26 negara), Amerika Selatan (2), dan Eropa (1). (Adapun daftar negara-negara anggota OKI tercantum dalam lampiran.)49

b) Observers

Selain negara anggota, OKI juga memiliki Observers (para pengamat) yang meliputi negara-negara, yaitu Bosnia and Herzegovina (1994), Central African

Republic (1996), Kingdom of Thailand (1998), The Russian Federation (2005),

Turkish Cypriot State (1979); komunitas muslim berupa Moro National

Liberation Front (1977); institusi Islam berupa Parliamentary Union of the OIC

Member States (PUOICM) (2000); selain itu berbagai organsasi internasional juga berperan sebagai pengamat OKI, meliputi United Nations (UN) (1976), Non-

Aligned Movement (NAM) (1977), League of Arab States (LAS) (1975), African

Union (AU) (1977), Economic Cooperation Organization (ECO) (1995). 50

49 Member States. Organization of Islamic Cooperation. www.oic-oci.org pada 11 Februari 2018. 50 Observers. Organization of Islamic Cooperation. www.oic.oci.org pada 11 Februari 2018.

40

C. OKI dalam Ranah Global

Ketika membicarakan bagaimana pencapaian OKI di ranah global, sepatutnya membicarakan bagaimana keberhasilan dan kegalalan OKI dalam menangani berbagai konflik. Keberhasilan dan kegagalan tersebut dapat dilihat dalam konteks dua dimensi yang saling terkait: (1) mempromosikan keamanan dan kesejahteraan negara anggota dan masyarakat; dan (2) menyelesaikan sengketa atau konflik politik.51

Kehadiran OKI dianggap sebagai prestasi yang luar biasa. Pembentukan

OKI yang berdasarkan atas konsep identitas ummah, mencerminkan keinginan antarumat muslim untuk bersatu, terlepas dari perbedaan politik, ekonomi, budaya, maupun ras. Namun komitmen negara anggota atas kedaulatan nasional kerap kali menghambat kerjasama antar-anggota. Hal ini dikarenakan beberapa dari mereka menganggap bahwa kerjasama akan menghambat kepentingan nasional mereka. Maka dapat dilihat bahwa pencapaian dan kelemahan OKI tampaknya menunjukkan bagaimana “nasionalisme” telah memainkan peran lebih besar daripada rasa “persaudaraan Islam” dalam keputusan negara-negara anggota. Perbedaan kepentingan nasional negara-negara anggota lah yang kemudian menjadi hambatan OKI dalam upaya mencari solusi untuk berbagai perkara.52

51 Devon A. Hansen and Mohammad Hemmasi. The State of the Organization of the Islamic Conference (OIC) at the dawn of the new millenium on Prairie Perspectives: geographical Essays. Vol 4. Ed. Douglas C. Munski. 2001: university of North Dakota. Hlm. 275. 52 Devon A. Hansen and Mohammad Hemmasi. The State of the Organization of the Islamic Conference (OIC) at the dawn of the new millenium on Prairie Perspectives: geographical Essays. Vol 4. Ed. Douglas C. Munski. 2001: university of North Dakota. Hlm. 276.

41

Dalam penyelesaian damai atas perselisihan antarnegara, Piagam OKI menggambarkan bagaimana organisasi ini berperan untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul, dengan cara damai seperti negosiasi, mediasi, konsiliasi, serta arbitrase. Mengenai hal ini, OKI telah melakukan intervensi dalam berbagai perselisihan, di antaranya: Perselisihan Pakistan-Bangladesh pada 1971-1974; konflik Iran-Irak pada 1980-1988; Perselisihan Senegali-Mauritania pada 1989; konflik Iraq-Kuwait para 1990-1991; serta perang sipil di Afghanistan sejak

1989.53

Pada hakikatnya, OKI selalu berusaha menyelesaikan konflik antaranggotanya dengan cara damai. Pada tahun-tahun awal terbentuk, OKI tampil baik dalam hal resolusi konflik, terutama saat bertindak sebagai perantara antara

Palestine Liberation Organization (PLO) dan Yordania, serta antara bangladesh dan Pakistan. Namun pada awal 1980an, organisasi ini gagal membujuk Iran dan

Irak untuk mematuhi usulan Komite Perdamaian Islam agar menyelesaikan konflik secara damai. Kegagalan selanjutnya juga terlihat dari peran OKI yang memfasilitasi upaya perdamaian di wilayah selatan Mindanao antara Republik

Filipina dan Moro National Liberation Front (MNLF) yang sayangnya tidak mengarah kepada pelaksanaan perjanjian perdamaian.

OKI mungkin tidak mampu memaksakan posisinya pada pihak-pihak yang saling bertentangan melalui kekerasan, namun pengaruh moralitasnya telah dinilai

53 Devon A. Hansen and Mohammad Hemmasi. The State of the Organization of the Islamic Conference (OIC) at the dawn of the new millenium on Prairie Perspectives: geographical Essays. Vol 4. Ed. Douglas C. Munski. 2001: university of North Dakota. Hlm. 278.

42

efektif, misalnya dalam kasus Deklarasi Mekkah pada 2006 antara pemimpin

Sunni dan Syiah di Irak. OKI juga mampu berperan sebagai mitra yang berguna bagi PBB dan organisasi internasional lainnya seperti Uni Eropa, Uni Afrika, Liga

Arab, dan mampu memainkan peran pelengkap, terutama dengan menjadi mediator antara negara anggotanya atau pihak-pihak yang terlibat dalam konflik di dalam negara anggota.54

Tantangan nyata bagi OKI adalah untuk menjadi mediator yang berkelanjutan dan lebih sistematis. Untuk dapat menjalankan tantangan itu, OKI perlu mengenali tanggung jawabnya. OKI harus mengakui tugasnya kepada negara anggotanya dengan memberikan kontribusi terhadap solusi atas konflik yang terjadi. OKI harus menyadari bahwa berperan sebagai mediator tidak semata-mata mendamaikan negara-negara yang berkonflik tapi juga berusaha untuk mencapai kepentingan jangka panjang. Maka dengan begitu, OKI dapat membuktikan fungsinya sebagai forum yang pantas bagi negara anggota untuk bertemu dan bekerja sama serta menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi.55

OKI menjadi penting bagi hukum internasional dan kebebasan agama dalam lingkup global dikarenakan Piagam OKI dianggap kategoris dalam misi inti organisasi internasional untuk mempersatukan umat dan mengedepankan kepentingan ummat. Piagam OKI telah memperlihatkan bahwa negara-negara

54 Pekka Hakala and Andreas Kettis. the Organization of Islamic Cooperation: Defined – for better and Worse – by its religious dimension. Policy Department, Directorate-General for External Policies. This Policy Briefing was requested by the European Parliament‟s Committee on Foreign Affairs. 2013. 55 Arhama Siddiqa. the Utility of the OIC in Solving Conflicts in the Muslim World. an issue brief of Institute of Strategic Studies. 2016. Hlm. 5. Diunduh dari www.issi.org.pk pada 20 Februari 2018.

43

anggota OKI telah berkomitmen untuk sepakat dan patuh pada tujuan dan prinsip

Piagam PBB.56

OKI terus mengupayakan komitmennya secara konsisten. Contohnya pada

KTT ke-10 OKI yang diadakan di Putrajaya, Malaysia, pada 11-17 Oktober 2003,

OKI berkomitmen untuk menjadi sebuah badan yang siap dalam menjawab tantangan di abad ke-21, terutama dalam aspek-aspek perampingan struktur, metodologi, peningkatan kemampuan keuangan, serta sumber daya manusia.

Menindaklanjuti KTT tersebut, maka pada KTT Luar Biasa OKI yang ke-3 di

Mekkah, Arab Saudi, disepakatilah Macca Declaration dan OIC Ten Year

Program of Action (TYPOA) yang meliputi restrukturasi dan reformasi OKI, termasuk perumusan Piagam OKI yang baru.57 Instrumen Program aksi sepuluh tahun yang diadopsi oleh kepala kepala negara dan pemerintahan OKI pada 2005 menjadi sebuah reformasi institusional. Piagam tersebut dikembangkan dengan kesadaran akan potensi bagi dunia muslim untuk menuju suatu kebangkitan, dan untuk mengambil langkah-langkah menuju konsolidasi koneksi persatuan Islam, mencapai kesatuan tingkat, dan memproyeksikan citra positif dan nilai-nilai luhur

Islam.58

Kemudian pada KTT ke-11 OKI di Senegal pada Maret 2008 yang bertemakan “The Islamic Ummah in the 21st Century” diputuskanlah Piagam

56 Elizabeth H. Prodromou. What is The Organization of Islamic Cooperation? 2013. Center for European Studies. Harvard University. Diunduh dari www.globalgovernancewatch.org >doclib pada 26 Februari 2018. Hlm. 2. 57 Marie Juul Petersen. Islamic or Universal Human Rights? The OIC‟s Independent permanent Human Rights Commission. 2012. Copenhagen: Danish Institute for International Studies (DIIS) Report 2012:03 58 Bozorgmehri Majid. The Human Rights in OIC, A gradually Movement but in Progress. Journal of Politics and Law; vol. 10, no. 2; 2017. Canadian Center of Science and Education. Hlm. 74.

44

baru OKI dengan harapan mampu mencapai suatu kesepakatan politik serta mampu menjadi suatu organisasi internasional yang dapat mengutamakan kepentingan umat Islam dan dapat memperjuangkannya di ranah global.59

D. OKI dan HAM

Secara historis, OKI belum mengenal perannya dalam perlindungan dan promosi HAM dengan keterlibatannya di PBB. OKI telah terlibat diskusi tentang

HAM, namun belum menjadi topik yang didalami oleh organisasi tersebut. Pada dasarnya, tidak ada yang menentang kombinasi HAM dengan Islam. Namun, konsepsi mengenai HAM dan Islam yang telah dideklarasikan dalam Deklarasi

Kairo dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip penting Deklarasi PBB mengenai hak asasi itu sendiri. Dalam deklarasi Kairo, tidak mencantumkan hak manusia secara universal, namun deklarasi justru secara tegas didasarkan pada nilai-nilai Islam, sebagaimana dinyatakan: “semua hak dan kebebasan yang ditetapkan dalam deklarasi tunduk pada syariah Islam.” pernyataan ini dinilai telah merampas nilai HAM itu sendiri.60

Bagi para cendekiawan, pendekatan mengenai HAM dapat dilihat dari dua sisi berbeda, yaitu dari sisi universalis dan sisi relativis. Universalis melihat HAM sebagai seperangkat hak hukum yang tidak dapat dicabut, atau hak-hak dimana

59 Informasi singkat tentang organisasi kerjasama Islam dan konferensi tingkat tinggi OKI tentang peran perempuan dalam pembangunan. Diunduh dari https://www.oic-oci.org pada 11 Februari 2018. 60 Marie Juul Petersen. Islamic or Universal Human Rights? The OIC‟s Independent permanent Human Rights Commission. 2012. Copenhagen: Danish Institute for International Studies (DIIS) Report 2012:03. Hlm. 14

45

masyarakat bertanggung jawab untuk melindungi dan menegakkannya. Dalam sistem internasional saat ini, setiap orang berhak atas haknya karena mereka telah menyetujui standar HAM PBB, menerima instrumen PBB, dan seringkali memasukkan nilai HAM tersebut ke dalam sistem hukum domestik. Di sisi lain, relativis melihat HAM sebagai perpanjangan nilai-nilai moral yang berakar pada budaya masyarakat atau agama. Relativis berpendapat bahwa HAM harus mencerminkan masyarakat, dengan mempertimbangkan ciri khas nasional, sejarah, budaya, dan agama. Maka OKI, sebagai suara muslim dunia, kerap mengalami dilemma antara universalis dan relativis. Skema HAM dalam OKI telah mencoba memasukkan kedua sisi tersebut, namun sayangnya justru kerap mengalami inconsistent.61

Piagam OKI menyatakan tekad negara-negara anggota OKI untuk mengkonsolidasikan persahabatan serta persaudaraan di antara warga negara, dan melindungi kebebasan dan warisan mereka yang didirikan atas dasar prinsip keadilan, toleransi, dan nondiskriminasi. Dalam pembukaan piagam, negara anggota berjanji untuk berusaha meningkatkan kesejahteraan manusia, kemajuan, dan kebebasan, yang mana hal itu mereka lakukan untuk menyatukan usaha mereka demi mengamankan perdamaian, keamanan, dan kebebasan universal bagi

61 Turan Kayaoglu. The OIC‟s Independent Pemanent Uman Rights Commission: An Early Assessment. 2015. Danish Institute for Human Rights. Hlm. 12.

46

rakyat mereka. Hal ini dikarenakan semua orang menyadari pentingnya penegakan martabat serta HAM.62

Tekad OKI dalam memperjuangkan HAM kemudian terlihat dari terbentuknya Cairo Declaration on Human Right in Islam (CDHRI) yang merupakan deklarasi negara-negara anggota OKI yang diadopsi di Kairo pada

1990. Deklarasi tersebut memberikan gambaran tentang perspektif Islam mengenai HAM dan menegaskan syariah sebagai sumber utamanya. CDHRI memperlihatkan fungsinya sebagai pedoman umum bagi negara-negara angota di bidang HAM. Banyak anggota OKI yang mengkritik Deklarasi Universal HAM atas kegagalannya untuk memperhitungkan konteks budaya dan agama pada negara-negara non-Barat.63

Aksi penegakan HAM oleh OKI selanjutnya juga terlihat dalam suatu deklarasi bernama Macca Declaration dan OIC Ten Year Program of Action

(TYPOA) yang terbentuk pada 2005. Deklarasi tersebut mengenalkan konsentrasi yang jelas mengenai HAM secara universal dan pentingnya mengutamakan HAM ke dalam semua program. Maka untuk menegakkan nilai-nilai HAM, OKI diharapkan mampu memperbaharui penekanan pada demokrasi, masyarakat sipil, partisipasi politik, serta penghormatan terhadap hak-hak manusia untuk menghadapi tantangan marjinalisasi ummat lanjutan, juga menawarkan stabilitas

62 Abdullah al Ahsan. Law, , and Human Dignity in the Muslim World Today: an Examination of OIC‟s Cairo Declaration of Human Rights. Law, Religion, and human dignity. Journal of law and religion. Vol 26. 2009. Hlm. 572. 63 Pekka Hakala and Andreas Kettis. the Organization of Islamic Cooperation: Defined – for better and Worse – by its religious dimension. Policy Department, Directorate-General for External Policies. This Policy Briefing was requested by the European Parliament‟s Committee on Foreign Affairs. 2013.

47

yang didasari dengan pengembangan dan kemajuan. Program aksi sepuluh tahun ini menuntut OKI untuk mempertimbangkan pendirian sebuah badan independen permanen untuk mendukung nilai-nilai HAM.64

Setelah itu, berbagai macam organisasi kemanusiaan telah meningkat pesat, dan tugas kemanusiaan telah dilembagakan dalam Islamic Cooperation

Humanitarian Affairs Department (ICHAD) yang didirikan pada 2008. Baik

ICHAD dan program aksi sepuluh tahun OKI, keduanya memprioritaskan rencana organisasi untuk memperkuat keterlibatannya dalam isu kemanusiaan.65

OKI juga membentuk komisi HAM sebagai langkah penting dalam mengimplementasikan deklarasi mengenai HAM tersebut. Sesi pertama dari

Komisi HAM permanen diadakan di Jakarta pada Februari 2012. Piagam tersebut menyatakan bahwa Komisi akan memajukan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental di negara-negara anggota serta hak-hak fundamental minoritas muslim dan masyarakat di negara-negara non-anggota sesuai dengan norma dan standar HAM yang diakui secara universal dan dengan tambahan nilai prinsip- prinsip keadilan dan kesetaraan berdasarkan syariah.66

Sebagai langkah lanjutan dalam upaya penegakan HAM, OKI telah menyelenggarakan Pertemuan Tingkat Menteri di kantor OKI yang terletak di

64 Bozorgmehri Majid. The Human Rights in OIC, A gradually Movement but in Progress. Journal of Politics and Law; vol. 10, no. 2; 2017. Canadian Center of Science and Education. Hlm. 75. 65 Bozorgmehri Majid. The Human Rights in OIC, A gradually Movement but in Progress. Journal of Politics and Law; vol. 10, no. 2; 2017. Canadian Center of Science and Education. Hlm. 75. 66 Pekka Hakala and Andreas Kettis. the Organization of Islamic Cooperation: Defined – for better and Worse – by its religious dimension. Policy Department, Directorate-General for External Policies. This Policy Briefing was requested by the European Parliament‟s Committee on Foreign Affairs. 2013. Hlm 6.

48

Istana Yildiz, Istanbul pada 15 Juli 2011. Pertemuan ini ditujukan untuk membahas masalah pelaksanaan Resolusi 16/18 Dewan HAM PBB tentang

"Memerangi ketidaktoleranan, negatif stereotip dan stigmatisasi, dan diskriminasi, hasutan terhadap kekerasan, dan kekerasan terhadap orang-orang berdasarkan agama atau kepercayaan ". Pertemuan tersebut menegaskan kembali komitmen para peserta terhadap pelaksanaan langkah-langkah yang efektif yang ditetapkan dalam Resolusi 16/18 PBB. Pertemuan tersebut dipimpin oleh Sekretaris Jenderal

OKI Ekmeleddin Ihsanoglu dan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton. Menteri

Luar Negeri dan pejabat tinggi di 28 negara dari negara-negara anggota OKI dan negara-negara barat, termasuk organisasi internasional serta Perwakilan Tinggi

Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri, Catherin Ashton, diundang untuk berpartisipasi.

Dalam pernyataannya, Clinton mengatakan bahwa pertemuan dan komitmen bersama yang diwakilinya, sangat penting. dia menyatakan bahwa pertemuan tersebut ialah salah satu peristiwa yang memiliki konsekuensi besar.

Dia memuji OKI karena telah membantu memberikan Resolusi 16/18 di Dewan

Hak Asasi Manusia.

"Bersama-sama kita telah mulai mengatasi perpecahan palsu yang menimbulkan kepekaan religius terhadap kebebasan berekspresi, dan kita sedang mengejar sebuah pendekatan baru berdasarkan langkah konkret untuk melawan intoleransi dimanapun terjadi. Dengan resolusi ini, masyarakat internasional mengambil sikap yang kuat untuk kebebasan berekspresi dan beribadah, dan

49

melawan diskriminasi juga kekerasan berdasarkan agama atau kepercayaan," kata Clinton. 67

Selanjutnya, Duta Besar Eileen Chamberlain Donahoe, Perwakilan AS untuk Dewan Hak Asasi Manusia, mengatakan bahwa pertemuan ini merupakan sinyal penting bahwa masyarakat internasional dapat menemukan dasar yang sama untuk menangani sebuah isu yang tampaknya tidak dapat diatasi selama lebih dari satu dekade dan menemukan cara untuk mendukung kebebasan beragama dan kebebasan berekspresi, pada saat bersamaan menjalin persatuan dalam memerangi intoleransi agama.68

Pertemuan tersebut telah menggambarkan bagaimana HAM bukanlah suatu hal yang hanya diperjuangkan oleh satu badan atau satu organisasi. Semakin banyak pihak yang terlibat demi mewujudkan nilai-nilai HAM yang berlaku bagi setiap manusia. Hak asasi terus diperjuangkan agar nilai demokrasi dapat tercapai dan kebebasan yang meliputi kebebasan berpendapat, kebebasan berkeyakinan dan beragama, serta kebebasan lainnya, dapat diraih setiap manusia, tak terkecuali muslim.

Kebebasan beragama bagi para muslim kemudian menjadi tantangan baru bagi OKI. Dapat dikatakan bahwa muslim yang menjadi kaum mayoritas di suatu negara, atau muslim yang tinggal di negara Islam, memiliki nasib yang terjamin

67 New Name and Emblem for OIC in Astana Organization of Islamic Cooperation. OIC journal, issued by The Organization of Islamic Cooperation. Issue No 18. June August 2018. Jeddah, Saudi Arabia 68 New Name and Emblem for OIC in Astana Organization of Islamic Cooperation. OIC journal, issued by The Organization of Islamic Cooperation. Issue No 18. June August 2018. Jeddah, Saudi Arabia

50

dalam berkeyakinan. Namun beda halnya dengan muslim yang tinggal di negara nonmuslim dan menjadi kaum minoritas. Dengan banyaknya tragedi serangan teror yang mengatasnamakan Islam, HAM dan kebebasan untuk menjalankan ajaran agamanya kemudian menjadi hal yang sukar digapai oleh mereka. Pada hakikatnya OKI terbentuk untuk menegakkan nilai HAM bagi seluruh muslim di penjuru dunia, tanpa pengecualian. Inilah tantangan bagi OKI yang mengaku sebagai suara muslim dunia, untuk memperlihatkan dan membuktikan eksistensi serta kapabilitasnya dalam mengupayakan penegakan HAM umat Islam, bahkan di negara minoritas muslim sekalipun.

51

BAB III

PERKEMBANGAN ISLAM DI PERANCIS DAN FENOMENA

ISLAMOPHOBIA

A. ISLAM DI PERANCIS

Kedatangan sebagian besar muslim ke negara-negara Uni Eropa terjadi bersamaan dengan ledakan ekonomi tahun 1960an, yang awalnya datang sebagai pekerja migran. Kemudian lahirlah generasi berikutnya selama periode 1970an dan 1980an, dan selanjutnya bertambah banyak dengan kedatangan kelompok lain, seperti pencari suaka di tahun 1990an. Bekas ikatan kolonial juga memainkan peranan penting di sini. Di Belanda, umat Islam datang dari negara- negara bekas koloni. Di Inggris, migran muslim yang datang terutama berasal dari

Pakistan dan Bangladesh. Di Perancis, sebagian besar imigran berasal dari bekas koloni dan protektorat Maghreb, terutama Aljazair, Maroko, dan Tunisia.69

Mayoritas imigran awalnya menetap di ibu kota dan kawasan industri besar. Di Jerman, Muslim menetap di sekitar Berlin, Cologne, Frankfurt, Stuttgart,

Dortmund, Essen, Munich dan Hamburg; di Belanda, muslim menetap di

Amsterdam, Rotterdam dan Utrecht; Di Inggris, komunitas Muslim besar ditemukan di London, West Midlands, West Yorkshire, Greater Manchester,

69 Muslim in the European Union: and Islamophobia. European Monitoring Centre on Racism and Xenophobia. 2006. . Diunduh dari https://fra.europa.eu>156-manifestation_EN pada 3 April 2018. Hlm. 22.

52

Lancashire, dan pantai barat Skotlandia; di Prancis, mereka berada di Ile-de-

France, Provence-Alpes, Cote d'Azur, Rhone Alpes, dan Nord-Pasde-Calais.70

Salah satu alasan dari kedatangan para imigran ke tanah Eropa adalah demi mendapatkan pekerjaan untuk bertahan hidup. Kebutuhan Eropa akan tenaga kerja yang murah membuatnya menerima para imigran dengan tangan terbuka.

1. Sejarah Kemunculan Islam di Perancis

Peradaban Yahudi-Kristen dan peradaban Islam selalu berkaitan erat.

Hubungan mereka sangat ambigu, karena oposisi mereka berdiri atas dasar

'persaingan, permusuhan, dan pinjaman' seperti yang dijelaskan Fernand Braudel.

Perancis, karena secara geografis terletak di cekungan Mediterania, secara langsung bersentuhan dengan Islam. Banyak Muslim datang pada abad ke-7 dan hubungan antara Perancis dan Islam berlanjut tanpa gangguan dalam jangka waktu yang lama. Ekspedisi Napoleon di Mesir pada tahun 1798, diikuti pada tahun 1830 oleh kolonisasi Aljazair, menandai dimulainya era baru, yaitu dominasi Eropa atas dunia Islam. Selama abad ke-19, Perancis segera menjadi

Kekaisaran kolonial kedua dan bertanggung jawab atas banyak populasi Muslim dari berbagai daerah di Timur Tengah dan Afrika.71

70 Muslim in the European Union: Discrimination and Islamophobia. European Monitoring Centre on Racism and Xenophobia. 2006. Diunduh dari https://fra.europa.eu>156-manifestation_EN pada 3 April 2018. Hlm. 31-32. 71 Adele Bigot. Islamic Radicalization in France. International Institute for Counter-Terrorism. IDC Herzliya. Summer 2012. Diunduh dari https://www.ict.org.il/article/727/Islamic- Radicalization-in-France pada 3 April 2018. hlm. 5.

53

Sementara Perancis telah melakukan kontak dengan Islam selama berabad- abad, penetrasi Islam yang nyata dalam masyarakat Prancis terjadi dengan gelombang imigrasi penduduk dari negara-negara Muslim. Memang, Islam hampir tidak ada di antara penduduk Perancis sebelum itu. Imigrasi penduduk muslim dimulai dengan kolonisasi banyak negara muslim oleh Perancis. Sebelum

Perang Dunia Pertama, kehadiran Muslim di daratan Perancis cukup terbatas, yang sebagian besar bekerja di tambang-tambang di Perancis Utara, sejak tahun

1880-an.72

Gelombang besar pertama imigrasi terjadi selama Perang Dunia Pertama.

Faktanya, pekerja asing dari koloni Perancis diharuskan untuk datang ke Perancis untuk mendukung negara tersebut. Saat itu Prancis membutuhkan dukungan tentara asing untuk memperkuat pasukannya. Maka dari itu, lebih dari 300.000 orang Afrika Utara dikerahkan untuk berkontribusi. Sekitar 172.000 pria dari

Aljazair, berusia antara 20 dan 40 tahun, terdaftar. Selain itu, 160.000 orang

Afrika Hitam juga direkrut. Mereka kebanyakan dari negara-negara Afrika Utara:

Maroko, Aljazair dan Tunisia, yang mana sejumlah besar dari mereka adalah muslim. Kontribusi penting ini menghasilkan tanda-tanda pengakuan pertama oleh pemerintah kepada komunitas Muslim. Hal ini ditandai oleh sebuah pemakaman Muslim dan Rumah Sakit Muslim-Perancis yang dibangun di

Bobigny, di Utara-Timur Paris, masing-masing pada 1934 dan 1935. Penciptaan

Grande Mosquée de Paris pada tahun 1926 juga merupakan bagian dari

72 Adele Bigot. Islamic Radicalization in France. International Institute for Counter-Terrorism. IDC Herzliya. Summer 2012. Diunduh dari https://www.ict.org.il/article/727/Islamic- Radicalization-in-France pada 3 April 2018. hlm. 5.

54

pengakuan terhadap muslim sebagai penghormatan kepada 80.000 pasukan

Muslim yang meninggal selama Perang Dunia.73

Selama Perang Dunia II, pemerintah Perancis meminta imigran muslim lagi untuk mendukung pasukan. 178.000 orang Afrika dan Madagaskar serta

320.000 orang Afrika Utara dimanfaatkan pada awal perang. Sekitar 5.000 orang

Afrika juga bergabung dengan Pasukan Perancis Interior dan berpartisipasi dalam upaya perlawanan.74 Perang Dunia II tersebut telah memakan banyak korban dari masyarakat Perancis, terutama populasi pria muda. Ketika industri dan ekonomi berangsur membaik dan akhirnya pulih secara utuh, negara kekurangan tenaga kerja untuk mengisi posisi pabrik. Selama era kemakmuran ekonomi atau yang dikenal sebagai Trente Glorieuses (zaman emas) yang oleh Jean Fourastyé (2004) digambarkan langgeng dari tahun 1946 hingga 1975, Perancis melihat kepada bekas koloninya –terutama di Maghreb, bagian dari Afrika Utara yang terdiri dari

Aljazair, Maroko, dan Tunisia, dapat memberikan para pekerja sementara.75

73 Adele Bigot. Islamic Radicalization in France. International Institute for Counter-Terrorism. IDC Herzliya. Summer 2012. Diunduh dari dari https://www.ict.org.il/article/727/Islamic- Radicalization-in-France pada 3 April 2018. hlm. 7. 74 Adele Bigot. Islamic Radicalization in France. International Institute for Counter-Terrorism. IDC Herzliya. Summer 2012. Diunduh dari dari https://www.ict.org.il/article/727/Islamic- Radicalization-in-France pada 3 April 2018. hlm. 7. 75 Jennifer Fredette. Constructing Muslims in France: Discourse, Public Identity, and the Politics of Citizenship. Philadelphia: Temple University Press. 2014. Hlm, 49.

55

2. Perkembangan Islam di Perancis

Pada awal 1980an, imigran mulai menunjukkan jati diri mereka dengan membangun masjid, membuka toko daging halal, dan mengklaim tanah untuk kuburan muslim. Hal inilah yang kemudian membuat kekhawatiran bagi masyarakat Perancis. Padahal sebenarnya muslim tidak bertekad untuk mengubah tatanan maupun nilai-nilai budaya masyarakat Perancis. Setelah memutuskan untuk menetap permanen di Perancis, mereka mengubah sikap mereka untuk partisipasi yang lebih besar dalam masyarakat Perancis. Memang, migrasi mereka sebelumnya dianggap sementara oleh otoritas politik Prancis dan Afrika Utara, serta para migran itu sendiri. Mereka, para migran, hanya ingin menghemat uang untuk berinvestasi saat pulang ke rumah. Mereka tidak pernah tertarik menjadi warga negara yang telah menjajah negara mereka. Namun setelah awal tahun

1980-an, mereka menganggap bahwa pulang ke rumah tidaklah mungkin. 76

Apalagi situasi ketika para imigran mempunyai keluarga dan anak yang harus mereka sekolahkan, memaksa mereka untuk beradaptasi dengan masyarakat

Perancis. Maka seiring berjalannya waktu, Islam menjadi kian terlihat di depan publik, muslim mulai menganggap diri mereka sebagai bagian dari masyarakat

Perancis, memperlihatkan lebih banyak hubungan dengan negara Perancis.

Populasi muslim pun semakin hari menjadi lebih beragam secara etnik.77

76 Jocelyne Cesari. : The Shaping of A Religious Minority. In Yvonne Haddad Yazbek (ed.) Muslims in the West, from Sojourners to Citizens. 2002. Oxford University Press. Hlm. 2. 77 Sonia Tebbakh. Muslims in the EU - Cities Report: France. 2007. Open Society Institute. EU Monitoring and Advocacy Program. Hlm. 20-21.

56

Umat Islam di Perancis selanjutnya dituntut untuk membiasakan diri dengan kultur negara tersebut. Mereka harus menyusun cara untuk bertahan hidup di Perancis dengan masyarakat yang sekuler. Mereka harus bertahan dengan menjalankan ibadah, bekerja, serta menikah di lingkungan non-muslim. Mereka juga harus mencoba dan menyesuaikan perkataan dan perlakuan mereka pada norma dan pemahaman yang berlaku di Perancis mengenai agama dan kehidupan sosial. Para pendatang ini juga harus mengembangkan nilai dan orientasi yang sama dengan turut berpartisipasi dalam lembaga-lembaga publik.78

Seiring berjalannya waktu, kegiatan-kegiatan islami mulai muncul dan berkembang. Para intelek yang kebanyakan dari Tunisia sudah berani mendirikan sebuah organisasi berbasis Islam, yaitu Union of Islamic Organizations of France

(UIOF) pada 1983. Sejak “perkara jilbab” pertama kali muncul pada 1989, mereka mulai melakukan serangkaian upaya untuk mengorganisir minoritas muslim di

Perancis. Upaya yang kemudian menggabungkan profesor, mahasiswa, pengusaha, serta para pemimpin gerakan yang merupakan bagian dari elit muslim

Perancis. Mereka mempromosikan ketaatan terhadap Islam, serta keterbukaan terhadap sektor budaya dan agama lain dalam masyarakat Perancis. Hingga kini, organisasi ini telah beberapa kali berganti pemimpin dan mengklaim telah memiliki 200 organisasi lokal dengan status berbeda.79

78 John R. Bowen. Can Islam Be French? 2009. Princeton University Press and Copyrighted. Hlm. 7. 79 Jocelyne Cesari. Islam in France: The Shaping of A Religious Minority. In Yvonne Haddad Yazbek (ed.) Muslims in the West, from Sojourners to Citizens. 2002. Oxford University Press. Hlm. 10.

57

Berdasarkan data tahun 2016, Sekitar 9% warga Perancis beragama Islam. sedangkan 65% beragama Kristen yang menjadikan agama ini sebagai agama mayoritas dan Katolik mendominasi masyarakat Perancis. Pemeluk Agnostik dan

Atheis mencapai 25%, dan sisanya merupakan pemeluk dari kepercayaan lain yang meliputi Buddha, Hindu, serta Etnorologi. Meskipun pluralisme agama dan etnis selalu menjadi ciri di Perancis, namun Perancis tetap khawatir dengan keberagaman yang kian meluas, terutama atas pertumbuhan populasi minoritas muslim.80

Jauh sebelum serangan 2001 di WTC dan Pentagon, politik Islam adalah sumber ketakutan bagi orang barat. Banyak dari mereka yang melihat Islam sebagai musuh domestik. Sebuah survey tahun 1994 menunjukkan bahwa sebanyak 61% responden menganggap kebangkitan Islam sebagai ancaman.

Dalam survey tahun 1991 di Eropa, 51% responden Perancis mengatakan bahwa bahaya terbesar di Perancis berasal dari muslim. Selain itu, mereka menganggap

Irak, Iran, Libya, dan Aljazair sebagai empat negara yang paling ditakuti. Akar dari ketakutan ini adalah persepsi barat tentang Islam dan memandang Islam sebagai “hal yang asing.”81

80 Country Profile: France. Religious Literacy project. Harvard Divinity School. 2016. Diunduh dari https://rlp.hds.harvard.edu/publications/france-country-profile pada 10 April 2018. Hlm. 2. 81 Jocelyne Cesari. Islam in the West: From Immigration to Global Islam. Harvard Middle Eastern and Islamic review 8 (2009). Hlm. 160-161.

58

B. TRAGEDI SERANGAN PARIS 13 NOVEMBER 2015

Perancis telah mengalami hampir semua jenis manifestasi modern dari terorisme: terorisme anti-kolonialis pada 1950-an; terorisme sayap kanan pada

1960-an; terorisme sayap kiri pada tahun 1970-an dan 1980-an, serta terorisme separatis di wilayah-wilayah Corsica dan Basque; dan akhirnya terorisme Islam sejak 1990-an hingga sekarang.82

Pada 7 Januari 2015, orang-orang bersenjata bertopeng menyerang kantor- kantor Paris dari publikasi satir Perancis, , yang menewaskan 12 orang, termasuk di antaranya empat kartunis, editor majalah, dan seorang polisi.

Para penembak adalah warga Perancis keturunan Aljazair yang mewakili cabang

Al-Qaeda di Yaman. Serangan ini menargetkan majalah humor sekuler yang dianggap telah memberikan ejekan terhadap Islam, terutama komik kontroversialnya yang dinilai telah menghina Nabi SAW. Masih di hari yang sama, seorang pria bersenjata menewaskan empat orang dan menahan

16 sandera di sebuah toko kelontong di luar Paris. Rangkaian serangan yang rumit ini menciptakan diskusi penting mengenai kebebasan berbicara, politik minoritas, sejarah kolonial, anti-semitisme, serta kekuasaan. 83

Masih di tahun yang sama, penembakan Charlie Hebdo kemudian diikuti oleh serangan teroris di Paris yang cakupannya lebih besar. Pada hari Jumat 13

82 The Paris Black Friday 13/11/2015 Attacks – What do we know? What should we do? A Special Report by International Institude for Counter-Terrorism. 2015. IDC Herzliya. Diunduh dari https://www.ict.org.il/Article/1512/The-Paris-Black-Friday-Attacks pada 2 Mei 2018. 83 Country Profile: France. Religious Literacy project. Harvard Divinity School. 2015. Diunduh dari https://rlp.hds.harvard.edu/publications/france-country-profile pada 10 April 2018.

59

November 2015, pembunuhan massal oleh Islamic State in Iraq and Syria (ISIS) terjadi di sekitar kota, antara jam 9:30 dan 12:30 p.m. Pada hari-hari setelah serangan, polisi melakukan ratusan penggerebekan di seluruh Perancis dan di

Brussels, Belgia, untuk mencari tersangka. Tersangka pemimpin, Abdelhamid

Abaaoud, tewas dalam serangan.84

Serangan ini merupakan pukulan yang lebih besar bagi Perancis jika dilihat dari jumlah korbannya dan fakta bahwa serangan ini terjadi hanya sepuluh bulan setelah peristiwa Charlie Hebdo. Meskipun masyarakat Perancis saling mendukung dan menyatakan “Kami tidak takut!,” Ketegangan dan ketakutan yang timbul dari serangan-serangan ini tidak dapat diabaikan. Tragedi tersebut menciptakan ruang bagi Perancis untuk berbicara tentang isu radikalisasi Islam yang dinilai sangat nyata dan bagaimana menstimulasi dialog yang produktif antara Prancis dan komunitas Muslim. 85

1. Ikhtisar

Pada malam 13 November 2015, ISIS melakukan serangan teror terkoordinasi di enam lokasi kota Paris. Tiga regu melakukan serangan, yang melibatkan delapan teroris. Atas tragedi tersebut, setidaknya ada 132 orang yang

84 Country Profile: France. Religious Literacy project. Harvard Divinity School. 2015. Diunduh dari https://rlp.hds.harvard.edu/publications/france-country-profile pada 10 April 2018. 85 Lilian waters. French or Muslim? “Rooted” French Perseptions of the Muslim Community in France. Undergraduate Honors Theses. 1199. University of Colorado at Boulder. 2016. Diunduh dari https://scholar.colorado.edu/honr_theses/1199 pada 2 Mei 2018. hlm. 8.

60

terbunuh dan 352 orang terluka.86 Di antara mereka, sekiranya ada 89 orang yang sedang menghadiri konser di aula musik Bataclan, menjadi korban ketika tempat itu dikepung oleh orang-orang bersenjata ISIS. Di tempat lain di Paris, pembom bunuh diri meledakkan rompi mereka di luar stadion sepak bola, dan membom serta menembak para pengunjung restoran di beberapa lokasi. Para korban kebanyakan warga negara Perancis, dan termasuk orang-orang dari berbagai latar belakang agama.87 Serangan teroris ini adalah peristiwa terburuk di tanah Perancis sejak Perang Dunia kedua. Serangan ini adalah salah satu peristiwa mengerikan bagi Perancis. Peristiwa itu juga merupakan serangan terbesar yang dilakukan

ISIS di Barat.88

Setidaknya tiga dari teroris adalah warga Perancis. Beberapa dari mereka telah berada di Suriah dan bertempur dalam jajaran ISIS. Rupanya mereka telah dikirim dari Suriah ke Perancis untuk tujuan khusus melakukan serangan.

Serangan itu telah direncanakan, diarahkan, dan didukung secara sangat baik.

Menurut sumber intelijen Irak, serangan tersebut direncanakan di Al-Raqqah,

“ibukota” ISIS di Suriah.

Menurut informasi yang dikeluarkan hingga saat ini, para teroris memiliki cadangan logistik di Belgia dan dukungan dari jaringan tambahan di Perancis.

Pasukan keamanan Perancis telah bekerja untuk mengekspos jaringan. Menurut

86 ISIS Terrorist Attack in Paris: Initial Overview and Implications. 2015. The Meir Amit Intelligence and Terrorism Information Center. Diunduh dari http://www.terrorism- info.org.il/en/20910/ pada 2 Mei 2018. Hlm. 1-2. 87 Country Profile: France. Religious Literacy project. Harvard Divinity School. 2016. Diunduh dari https://rlp.hds.harvard.edu/publications/france-country-profile pada 10 April 2018. 88 ISIS Terrorist Attack in Paris: Initial Overview and Implications. 2015. The Meir Amit Intelligence and Terrorism Information Center. Diunduh dari http://www.terrorism- info.org.il/en/20910/ pada 10 April 2018. Hlm. 1-2.

61

menteri dalam negeri Perancis, pada malam 15 November 2015, Perancis melakukan gelombang penahanan, menangkap 23 orang yang dicurigai melakukan terorisme dan menempatkan 104 tahanan rumah. 89

ISIS mengaku bertanggung jawab atas serangan itu dan meluncurkan kampanye di media yang mengancam Perancis dan negara-negara barat lainnya bahwa ia akan melakukan lebih banyak serangan. Serangan Paris rupanya telah terencana dengan baik, dan disutradarai oleh operator ISIS di Suriah. Untuk melakukan serangan besar tersebut memerlukan perencanaan dan persiapan operasional, logistik, dan intelijen yang dirancang secara matang.90

ISIS menganggap serangan di Paris sebagai serangan yang sukses besar.

Para operatis, anggota, serta pendukungnya telah merayakan suka cita di berbagai lokasi, termasuk di luar Suriah dan Irak. Setelah serangan, ISIS meluncurkan kampanye media secara luas, sebagian besar melalui akun Twitter dan situs internet yang berafiliasi dengan organisasi. Tujuan dari kampanye ini adalah untuk menyebarkan rasa takut, cemas, khawatir dan menghalangi Perancis serta negara-negara barat lainnya untuk mengambil tindakan terhadap ISIS. Kampanye

89 ISIS Terrorist Attack in Paris: Initial Overview and Implications. 2015. The Meir Amit Intelligence and Terrorism Information Center. Diunduh dari http://www.terrorism- info.org.il/en/20910/ pada 2 Mei 2018. Hlm. 4. 90 J Britton. Muslims, racism, and Violence After the Paris Attack. Sociological Research Online. 2015. White Rose University Consortium. Diunduh dari http://eprints.whiterose.ac.uk/94261/ pada 2 Mei 2018. hlm. 5.

62

tersebut juga diproklamirkan sebagai sebuah tanda keberhasilan serangan di

Perancis dengan menyebutnya “kemenangan besar atas Tentara Salib.” 91

Tragedi paris 2015 menandai satu dekade sejak kerusuhan yang terjadi pada 2005. Tragedi mengerikan yang menargetkan kota Paris sebagai sasaran serangan telah menyebabkan pemerintah Perancis menempatkan negara tersebut dalam keadaan darurat. Efek yang lebih bahaya selanjutnya adalah bahwa aksi teror tersebut telah meningkatkan permusuhan kepada minoritas muslim di

Perancis, yang sebenarnya hampir keseluruhan dari mereka tidak ikut andil dalam aksi kekerasan dan terorisme.92

Salah satu konsekuensi terbesar dari serangan Paris adalah peningkatan kembali anggapan-anggapan bahwa muslim adalah warga yang tidak setia dan berbahaya, menentang hukum dan nilai nasional, serta mengancam keamanan dan perdamaian. Hal ini dikatakan karena umat Islam dinilai akan menghadapi

„hegemonic bloc of hostility‟ yang berasal dari berbagai sumber, termasuk negara dan media. Sumber-sumber tersebut saling beroperasi untuk mempertahankan tatanan simbolis yang menempatkan umat Islam sebagai sebuah kelompok oposisi yang dikatakan melanggar nilai kebebasan dan nilai-nilai masyarakat Eropa. 93

91 ISIS Terrorist Attack in Paris: Initial Overview and Implications. 2015. The Meir Amit Intelligence and Terrorism Information Center. Diunduh dari http://www.terrorism- info.org.il/en/20910/ pada 2 Mei 2018. Hlm.11. 92 Joseph Dawning. Paris Attack: Why France must Avoid Viewing its Muslim Population as A Security Threat. A Journal of EUROPP. LSE‟s European Institute. 2015. Hlm. 1. 93 J Britton. Muslims, racism, and Violence After the Paris Attack. Sociological Research Online. 2015. White Rose University Consortium. Diunduh dari http://eprints.whiterose.ac.uk/94261/ pada 1 Juni 2018. hlm. 4.

63

Setidaknya ada dua alasan mengapa terjadi peningkatan terorisme di

Perancis;

1) Intervensi Militer

Perancis memainkan perannya sebagai negara Eropa yang paling aktif dalam hal aksi militer melawan ISIS. Di bawah kepemimpinan Presiden yang berasal dari sayap kiri dan kanan sejak 2011, kebijakan luar negeri Perancis secara umum memprioritaskan kekuatan militer dalam perang melawan terorisme.

Perancis telah memimpin aksi di Libya, Mali, Republik Afrika Tengah, Irak, serta

Suriah, dan telah menjadi suara Eropa yang paling keras dalam upaya melawan rezim Assad dan ISIS.

2) Link-link Kolonial

Perancis memiliki hubungan kolonial di banyak negara di Timur Tengah dan Afrika Utara, dan sejak dekolonisasi pada 1960an, Perancis telah menerima sejumlah besar migran dari wilayah tersebut. Perancis bahkan dianggap sebagai rumah bagi minoritas muslim terbesar di Eropa, yang saat ini berjumlah sekitar lima sampai enam juta jiwa. 94

94 Rob Murphy. France‟s War on Terror: a Domestic or Foreign Threat? Politics Review. Vol. 25. No. 4. 2016. Philip Allan Publisher. Diunduh dari www.hoddereducation.co.uk/politicsreview pada pada 2 Mei 2018.

64

2. Respon pemerintah

Tidak dapat dipungkiri bahwa terorisme –dalam kasus ini berupa kelompok militan ISIS, hampir selalu memiliki kelebihan. Secara teoritis, aksi tersebut dapat menyerang apa saja, dimana saja, dan kapan saja. Sedangkan pemerintah tidak dapat serta-merta melindungi semuanya sepanjang waktu.

Sekitar 80% dari semua serangan teroris dilakukan di lokasi yang luput dari sistem keamanan dan respon secara langsung dari aparat kepolisian bersenjata. 95

Menanggapi tragedi serangan Paris, otoritas pemerintah Perancis segera mengambil tindakan tegas. Salah satu respon yang ditunjukkan adalah membangun kembali pos-pos pemeriksa identitas di wilayah perbatasan mereka.

Rencana Red Alpha pun diaktifkan yang menjadikan Perancis memutuskan untuk menutup perbatasan, universitas, dan beberapa transportasi umum, serta kantor pemerintah. Sejalan dengan hal ini, Anna Hidalgo, Walikota Paris, juga meminta warganya untuk tetap tinggal di dalam rumah mereka sampai ada pemberitahuan lebih lanjut.

Pemerintah Perancis juga memberlakukan keadaan darurat, yang memperkuat kuasa badan administratif di berbagai bidang; seperti:

a) Memanggil ribuan tentara untuk mengamankan Paris serta infrastruktur

penting di dalamnya.

b) Kewenangan prefektur untuk menetapkan jam malam.

95 Brian Michael Jenkins. The Implications of the Paris Terrorist Attack for American Strategy in Syria and Homeland Security. 2015. Testimonies - RAND Office of External Affairs. Diunduh dari www.rand.org pada 2 Mei 2018. hlm. 3.

65

c) Larangan untuk aksi demonstrasi di paris dan sekitarnya. 96

Pasca serangan teroris, Perancis secara brutal mengkampanyekan anti- terorisme, di samping reaksi dari publik dan liputan media yang histeris. Keadaan darurat yang diumumkan pada malam 14 November, dimulai dengan serangkaian penggerebekan brutal oleh polisi, penyitaan rumah, dan penggerebekan rumah pribadi, serta rumah ibadah, terutama masjid. Sepanjang tahun, banyak tempat ibadah muslim yang diserang. Setelah merampok masjid secara brutal, pemerintah secara paksa menutup paksa masjid-masjid dengan dalih mencegah ajaran radikal tanpa pernah memberikan bukti nyata atas tuduhan tersebut.97

Fakta bahwa terorisme dalam menyebabkan gejala dan gangguan stres pasca trauma semakin diakui oleh Perancis selama 10 tahun terakhir.

Meningkatnya kesadaran akan konsekuensi patologis dari tindakan terorisme di

Perancis sejak 1995 telah memobilisasi sistem politik dan sosial-medis untuk mengembangkan layanan khusus bagi para korban tindakan tersebut. Maka selama periode itu, literatur ilmiah yang berkembang telah muncul. Model unik dari CUMP (emergency medico-psychological units) yang dikembangkan di

Perancis tampaknya mendapatkan respon yang baik dari masyarakat. Tujuan dari layanan khusus itu adalah untuk memvalidasi secara ilmiah kegunaan pendekatan

96 The Paris Black Friday 13/11/2015 Attacks – What do we know? What should we do? A Special Report by International Institude for Counter-Terrorism. 2015. IDC Herzliya. Diunduh dari https://www.ict.org.il/Article/1512/The-Paris-Black-Friday-Attacks pada 2 Mei 2018. hlm. 5-6. 97 Yasser Laoati. : National Report 2016. In European Islamophobia Report 2016. 2017. Turkey: SETA Foundation for Political, Economic, and Sosial Research. Hlm. 188.

66

tersebut, yang semakin dicari setelah terjadinya situasi yang berpotensi traumatis.

98

3. Kemunculan Hate Crime terhadap Muslim

Selama ini, Perancis terutama Kota Paris menduduki posisi nomor satu sebagai “tempat paling banyak dikunjungi wisatawan di dunia” dan “tujuan wisata yang paling disukai.” Atas tragedi mengerikan yang telah terjadi, negara tersebut khawatir posisinya akan tergantikan oleh negara lain. Sebuah data statistik pada

2014 menyatakan bahwa dalam setahun Perancis bisa menerima 84,7 juta wisatawan dan jumlah ini telah menurun secara eksponensial pasca tragedi Paris.

Bahkan, banyak dari turis yang mengubah destinasi perjalanan mereka, terutama dalam event libur Natal dan tahun baru, ke negara-negara Eropa lain. Masyarakat

Eropa pun menjadi enggan mengunjungi Paris di akhir pekan.

Meskipun serangan Paris dapat dikategorikan sebagai serangan yang dahsyat, tidak dapat dipungkiri bahwa serangan tersebut telah menyatukan solidaritas antarmasyarakat Perancis bahkan antara Perancis dan komunitas internasional. Hanya beberapa jam setelah serangan terjadi, jutaan manusia di seluruh penjuru dunia menciptakan gelombang besar di media sosial baik Twitter,

Instagram, dan Facebook dengan mencantumkan hashtag #PrayForParis.

Hashtag ini menjangkau lebih dari 6.734.056 kiriman di Instagram, belum lagi di media sosial lain, dan menjadi trending topic bahkan dalam waktu yang cukup

98 Louis Jehel and Alain Brunet. The Long Term Effects of Terrorism in France. Journal of Aggression, Maltreatment, & Trauma. 2008. Diunduh dari http://dx.doi.org/10.1300/j146v09n01_23 pada 1 Juni 2018. hlm. 200.

67

lama. Kesatuan internasional yang tercipta sebagai konsekuensi dari serangan- serangan ini membuat Perancis setidaknya merasa mendapat dukungan moral walau berada di tengah kekacauan dan kebingungan. 99

Persatuan yang muncul pasca serangan sebagai bentuk dukungan dengan sama-sama menyerukan "liberté, égalité, et fraternité," tampaknya memojokkan pihak minoritas, khususnya muslim. Solidaritas tersebut telah mempersatukan orang-orang yang kontra terhadap muslim. Hal ini dikarenakan bagaimanapun, masyarakat butuh menyalahkan seseorang atau sekelompok orang atas kejadian mengerikan itu. Dan dalam kasus ini, muslim dijadikan sebagai tersangka utama.100

Hate Crime (kejahatan kebencian) adalah salah satu indikator tentang bagaimana kekerasan fisik dan ancamannya dinilai sebagai pusat dari bentuk rasisme. Hal ini dianggap sebagai tindak pidana dengan motif permusuhan atau prasangka terhadap orang lain berdasarkan karakteristik pribadi. Politik metropolitan melaporkan peningkatan fenomena islamophobia dalam bentuk pembunuhan, serta peningkatan 45% dalam kejahatan kebencian agama.101

Hingga saat ini, banyak kejahatan kebencian yang dilakukan terhadap muslim. Sebagai contoh ialah munculnya tulisan provokasi “death to Muslims” yang ditulis di sebuah masjid, dan berbagai kejahatan lain yang tidak dapat

99 Carlotta Caltagirone. The Aftermath of the Paris Attack. The Eye. Issue 7. 2015. International School of Monaco. Diunduh dari https://www.ismonaco.org pada 1 Juni 2018. Hlm. 4-5. 100 Carlotta Caltagirone. The Atermath of the Paris Attack. The Eye. Issue 7. 2015. International School of Monaco. Diunduh dari https://www.ismonaco.org pada 1 Juni 2018. Hlm. 4-5. 101 J Britton. Muslims, racism, and Violence After the Paris Attack. Sociological Research Online. 2015. White Rose University Consortium. Diunduh dari http://eprints.whiterose.ac.uk/94261/ pada 1 Juni 2018. hlm. 5.

68

dibendung. Atas berbagai kejahatan yang terjadi, terdapat upaya besar untuk mendukung dan melindungi umat muslim. Seranggkaian event dijadwalkan di

Paris sepanjang November pasca tragedi serangan, termasuk pawai yang disebut

“Rally with Muslims of France for Peace and National Unity." Kemudian empat hari setelah serangan Paris, Katedral Episcopal dari Tritunggal Mahakudus menjadi tuan rumah para teolog Muslim di World Union of Experts of Islam for

Peace and Against Violence, dan mengundang para pemimpin Katolik Roma dan

Protestan untuk hadir.102

C. FENOMENA TINDAKAN ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

1. Pengertian Islamophobia

Islamophobia adalah sebuah istilah yang kerap kali digunakan walaupun sebenarnya kurang dipahami. Meskipun saat ini tidak ada istilah islamophobia yang disepakati secara hukum, atau ilmu sosial yang mengembangkan definisi umum, kebijakan untuk membahasnya diselaraskan dengan konsep rasisme dan diskriminasi rasial yang luas yang diterima secara universal oleh para pemerintah dan organisasi-organisasi internasional. Maka dari itu, European Monitoring

Centre on Racism and Xenophobia (EUMC) mendasarkan pendekatan untuk

102 Country Profile: France. Religious Literacy project. Harvard Divinity School. 2016. Diunduh dari https://rlp.hds.harvard.edu/publications/france-country-profile pada 10 April 2018.

69

mengidentifikasikan fenomena islamophobia berdasarkan standar mengenai rasisme yang disetujui secara global dan dari Dewan Eropa serta PBB. 103

Pada 1997, sebuah Non Governmental Organization (NGO) yang berbasis di Inggris, Runnymede Trust „Islamophobia: A Challenge for Us All‟, menandai islamophobia dengan poin-poin berikut: 104

a) Islam dilihat sebagai blok monolitik, statis, dan tidak responsif terhadap

perubahan.

b) Islam dipandang terpisah dan “lain/asing.” Islam dianggap tidak memiliki

nilai yang sama dengan budaya lain, juga tidak mempengaruhi budaya lain

dan tidak terpengaruh olehnya.

c) Islam dipandang sebagai agama yang mengajarkan kekerasan, agresif,

ancaman, mendukung terorisme, dan terlibat dalam benturan peradaban.

d) Islam dipandnag lebih rendah daripada barat. Islam dilihat sebagai agama

yang biadab, tidak rasional, primitif, dan seksis.

e) Islam dipandang sebagai ideologi politik.

f) Permusuhan terhadap Islam digunakan untuk membenarkan praktik

diskriminatif terhadap muslim dan menjadikan umat Islam sebagai

masyarakat yang termarjinalkan.

g) permusuhan terhadap Islam dianggap sebagai hal yang normal dan wajar.

103 Muslim in the European Union: Discrimination and Islamophobia. European Monitoring Centre on Racism and Xenophobia. 2006. Diunduh dari https://fra.europa.eu>156- manifestation_EN pada 11 Februari 2018. Hlm. 60 104 Linda Edvardsson. Islamophobia: Features of Islamophobia and Strategies Againts It. Thesis of Department of International Migration and Ethnic Relations (IMER 91-120). 2008. Malmo University.

70

Perlu dicatat bahwa kemunculan istilah islamophobia tahun 1997 ini merupakan kelanjutan dalam diskusi yang membahas tentang topik diskriminasi dan sikap anti muslim. Sejak saat itu, penggunaan istilah ini menyebar ke seluruh penjuru Eropa, lalu meningkat pasca tragedi 9/11, pemboman Madrid pada 2005, serta pemboman London pada Juli 2006, dan tetap digunakan hingga kini.105

Sejak 2001 hingga 2004, tercatat banyak serangan berupa tindakan islamophobia yang terjadi di tempat-tempat ibadah muslim, seperti munculnya berbagai grafiti yang mengandung unsur rasis (contohnya „Down with the

Muslims!‟ atau „muslim go home!‟), pelemparan bom molotov yang disertai pembakaran terhadap tempat ibadah muslim. Di beberapa wilayah Perancis, khususnya di Alsace (sebelah perbatasan Jerman), serangan bahkan menyebar ke bisnis swasta. Kemudian meningkatnya ratusan situs website yang rasis dan anti-

Islam sebagai dukungan terhadap warga Perancis.106 Media Perancis memang memiliki andil penting atas peningkatan tindak islamophobia selama beberapa dekade. Media Perancis semakin gencar menyebarkan doktrin bahwa muslim adalah entitas asing dan bukan bagian dari Perancis.107

Sejalan dengan serangan terhadap tempat ibadah umat Islam, serangan fisik terhadap masyarakat muslim pun meningkat, terutama pada wanita-wanita

105 Jocelyne Cesari. Islam in the West: From Immigration to Global Islam. Harvard Middle Eastern and Islamic review 8 (2009). Diunduh dari https://pdfs.semanticscholar.org pada 1 Juni 2018. Hlm. 152. 106 Vincent Gessier. Islamophobia: a French Specificity in Europe? Human Architecture: Journal of The Sociology of Self-Knowlwdge. Vol. 8. Issue 2 Islam: From Phobia to Understanding. Article 6. Boston: Okcir Press. Hlm. 43. 107 Yasser Laoati. Islamophobia in France: National Report 2016. In European Islamophobia Report 2016. 2017. Turkey: SETA Foundation for Political, Economic, and Sosial Research. Hlm. 195.

71

muslim yang mengenakan jilbab di tempat umum, seperti di jalan, bank, kantor pos, supermarket, dan lain sebagainya. Islamohobia di Perancis seakan berjalan beriringan sengan „‟ (penolakan terhadap penutup kepala dalam ajaran islam). Banyak dari warga Perancis yang memproklamirkan nilai-nilai sekularisme dan kesetaraan antara pria dan wanita untuk mengekspresikan penolakan terhadap pemakaian di tempat-tempat umum. Hijab dianggap sebagai fundamentalisme Islam yang membahayakan nilai-nilai dasar sekuler dan republikan.108

Berdasarkan berbagai sikap anti Islam yang telah terjadi, maka pada tahun

2005, sebuah publikasi Dewan Eropa menyatakan bahwa islamophobia adalah ketakutan, prasangka, dan pandangan buruk terhadap Islam, muslim, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan mereka. Entah berbentuk rasisme, diskriminasi, maupun bentuk lain yang lebih keras, islamophobia dianggap sebagai sebuah pelanggaran HAM dan ancaman terhadap kohesi sosial.109 Maka tindakan islamophobia diartikan sebagai tindakan yang dilakukan atas dasar ketidaksukaan, prasangka, dan pandangan buruk terhadap Islam sebagai ajaran maupun muslim sebagai penganut ajaran.

108 Vincent Gessier. Islamophobia: a French Specificity in Europe? Human Architecture: Journal of The Sociology of Self-Knowlwdge. 2010. Vol. 8. Issue 2 Islam: From Phobia to Understanding. Article 6. Boston: Okcir Press. Hlm 43-44. 109 Muslim in the European Union: Discrimination and Islamophobia. European Monitoring Centre on Racism and Xenophobia. 2006. Diunduh dari https://fra.europa.eu>156- manifestation_EN pada 11 Februari 2018. Hlm. 61.

72

2. Tindakan Islamophobia Pasca Tragedi Serangan Paris 13 November

Ketakutan terhadap Islam serta elemen ekstremisnya bukanlah fenomena baru di Perancis. Pemboman 1995 yang terjadi di Paris Métro telah membangkitkan kekhawatiran masyarakat Perancis akan ancaman radikalisme

Islam.110 Fenomena ini diperparah dengan tragedi sepanjang tahun 2015, terutama serangan 13 November di Paris yang diklaim dilakukan oleh Islamic State (IS) dan sengaja dimaksudkan untuk melukai dan membunuh warga sipil sebanyak mungkin. Dari perspektif politik domestik, tanggapan Presiden Perancis,

Hollande, yang menjabat kala itu, spontan mendukung tindakan tegas, represif, serta mengupayakan pendekatan yang ketat atas masalah pengungsi. Elit pemerintah lain juga menuntut tanggapan yang lebih kuat, dan menyerukan lebih banyak tindakan pencegahan. 111

Menanggapi masalah pengungsi, para pemimpin sayap kanan bertekad untuk menuntut diakhirinya gelombang pengungsi yang masuk ke negara tersebut, khususnya yang berasal dari Timur Tengah dan Afrika. Pemimpin Front Nasional,

Marine Le Pen menuntut agar Perancis mengambil kembali kendali atas perbatasan nasionalnya dari Uni Eropa secara permanen, serta memusnahkan fundamentalisme Islam. Dalam sebuah wawancara yang disiarkan sebuah stasiun televisi, ia mengatakan Perancis harus melarang organisasi-organisasi Islamis

110 Anouar Boukhars. Islam, Jihadism, and Depoliticization in France and Germany. International Political Science Review. Vol. 3. No. 3. 2009. International Political Science Association. Diunduh dari https://www.jstor.org.stable pada 16 Juni 2018. Hlm. 299. 111 Mark Singleton. Et al. Paris: 11/13/15 – Analysis and Policy Options. 2015. Clingendael & ICCT Policy Brief. Diunduh dari https://www.clingendael.org/publication/paris-111315-analysis- and-policy-options pada 16 Juni 2018. Hlm. 1-2.

73

beroperasi, menutup masjid-masjid radikal, mencegah para pengkhotbah yang menyebarkan kebencian, serta mengusir imigran gelap. Setelah serangan di Paris yang merenggut ratusan korban, Marine Le Pen semakin gencar menunjukkan pengaruhnya dan terus menyampaikan pesan-pesan seperti . “France and the

French are no longer safe,” yang dia lontarkan dalam pidatonya sehari setelah serangan, menuntut tindakan keras terhadap kelompok Islam radikal di negara tersebut. 112

Dapat dilihat bahwa langkah-langkah yang diambil pemerintah Perancis cenderung memusuhi dan mendiskriminasi Islam, membuat jarak di antara non- muslim dan muslim, serta menyudutkan para imigran. Memang, telah menjadi hal umum di Eropa, khususnya setelah berbagai aksi teror yang terjadi, bahwa orang- orang kemudian menyalahkan muslim secara keseluruhan, menuduh Islam sebagai agama yang mengajarkan kekerasan yang menyebabkan semua malapetaka yang ditimbulkan oleh para teroris. Banyak dari mereka yang mengekspresikan kecaman mereka lewat Twitter, dan pada saat yang sama menyatakan dukungan mereka untuk „menghapus Islam dari masyarakat mereka‟.

Hal ini terbukti dari tagar „#stopIslam‟ yang menyebar di Twitter segera setelah serangan di Paris, sebagai kutukan bagi Islam dan muslim. Masyarakat umumnya menuding semua muslim atas aksi teror dengan melupakan fakta bahwa banyak

112 Ninth OIC Observatory Report on Islamophobia (May 2015 – September 2016). Presented to the 43rd Council of Foreign Ministers. Tashkent, Republic of Uzbekistan. Hlm. 40.

74

muslim yang juga terbunuh dalam serangan tersebut dan mengabaikan fakta bahwa Islam sebagai agama mengutuk tindakan teror semacam itu.113

Tragedi serangan paris merupakan duka mendalam bagi pemerintah

Perancis. Tragedi tersebut juga telah menciptakan pandangan tidak suka terhadap muslim bahkan tindakan islamophobia berujung kekerasan yang meningkat drastis jika dibandingkan dengan tahun sebelum terjadinya serangan Paris. Inilah salah satu alasan penulis concern dengan isu islamophobia di Perancis. Walaupun sebenarnya fenomena tindak islamophobia bukan hal yang baru dan bukan hal yang mencengangkan di Eropa. Telah banyak tindakan anti-Islam yang terjadi, bahkan sebelum serangan teroris melanda Perancis. Sebut saja pelarangan adzan di Hungaria, pengrusakan masjid di Jerman, serta larangan penggunaan jilbab di

Austria dan Belanda. Namun, Serangan Paris tetaplah sebuah tragedi besar yang memiliki dampak mengerikan bagi kaum minoritas. Tragedi yang semakin meningkatkan permusuhan terhadap Islam di Eropa, sebagaimana yang dilaporkan kepada Parlemen Eropa pada 26 Mei 2015 oleh inisiatif muslim Eropa bidang

Kohesi Sosial. Menurut laporan tersebut, kekhawatiran akan aksi teror telah meningkatkan eskalasi sikap anti-imigran di seluruh Eropa, yang kemudian menjadikan Islam dinilai sebagai ancaman keamanan utama bagi masyarakat

Eropa. Sebagian besar juga berpendapat bahwa para imigran akan meningkatkan kemungkinan terorisme yang dapat terjadi kapan saja dan dimana saja.114

113 Ninth OIC Observatory Report on Islamophobia (May 2015 – September 2016). Presented to the 43rd Council of Foreign Ministers. Tashkent, Republic of Uzbekistan. Hlm. 28. 114 Ninth OIC Observatory Report on Islamophobia (May 2015 – September 2016). Presented to the 43rd Council of Foreign Ministers. Tashkent, Republic of Uzbekistan. Hlm. 28.

75

Mayoritas masyarakat dari beberapa negara Eropa, seperti Perancis,

Belgia, Jerman, Inggris, dan Belanda merasa prihatin dengan pertumbuhan komunitas muslim di negara mereka. Mereka kemudian menuntut untuk membatasi jumlah imigran yang masuk ke wilayah mereka.115 Keprihatinan tersebut sesuai dengan laporan kelompok kerja Pemerintah tentang kebencian terhadap muslim yang menunjukkan lonjakan fenomena islamophobia yang mencapai lebih dari 300% dalam seminggu setelah tragedi serangan 13 November

2015 di Perancis. Laporan itu menyebutkan bahwa sebagian besar korban kebencian adalah gadis-gadis muslim dan wanita berusia dari 14 tahun hingga 45 tahun yang mengenakan pakaian Islam; sementara sejumlah besar serangan yang dilaporkan berada di tempat umum, termasuk bus dan kereta api. Berbagai penelitian juga berfokus dengan fakta bahwa tumbuhnya tindak slamophobia tidak hanya terjadi di kalangan orang dewasa namun juga terhadap anak-anak.116

Keputusan pengadilan Perancis pada 2015 yang meremehkan dan menghinakan pembatasan makanan siswa muslim di sekolah umum adalah sebuah tanda dari berkembangnya islamophobia, bahkan terhadap anak-anak. Tindak diskriminasi juga terlihat dari sikap seorang walikota di Perancis yang mengumumkan bahwa kafetaria di sekolah distriknya tidak akan lagi memberikan alternatif non-babi bagi siswa muslim sementara ada peraturan yang melarang siswa membawa bekal makan siang. Pada tahun 2015, Mahkamah Eropa untuk

HAM, sebuah pengadilan internasional yang semestinya bertanggung jawab untuk

115 Ninth OIC Observatory Report on Islamophobia (May 2015 – September 2016). Presented to the 43rd Council of Foreign Ministers. Tashkent, Republic of Uzbekistan. Hlm. 29. 116 Ninth OIC Observatory Report on Islamophobia (May 2015 – September 2016). Presented to the 43rd Council of Foreign Ministers. Tashkent, Republic of Uzbekistan. Hlm. 30.

76

menegakkan nilai HAM, justru membela dan membenarkan keputusan rumah sakit umum untuk tidak memberbaharui kontrak kerja karyawan mereka yang menolak untuk melepaskan hijabnya.117 Masih di tahun yang sama, pejabat sebuah sekolah di pinggir Timur Paris mengusir seorang remaja berusia 16 tahun dari kelas karena menggunakan rok panjang. Kebijakan pihak sekolah tersebut disebabkan oleh anggapan bahwa penggunaan rok panjang merupakan simbol agama yang mencolok dan tanda ketaatan yang berlebihan, yang jika digunakan oleh siswi non-muslim akan dianggap sebagai „mode‟. 118

Hukum dan kebijakan yang tidak adil bukanlah hal yang baru bagi muslim

Perancis. Kelompok agama minoritas terus bergulat dengan peningkatan prasangka, diskriminasi, intoleransi, yang dilakukan oleh individu, kelompok, maupun institusi dalam berbagai konteks, termasuk di tempat kerja, di jalan, bahkan di sekolah. 119

Padahal dalam Ebrahimian v. France, pengadilan mengungkapkan dengan yakin bahwa kebebasan beragama telah dilindungi dalam Pasal 9 Konvensi. Pasal tersebut di antaranya menjelaskan tentang:

1) Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, hati nurani dan beragama;

hak ini termasuk kebebasan untuk mengubah agamanya atau keyakinan

117 Engy Abdelkader. A Comparative Analysis of European Islamophobia: France, UK, Germany, Netherlands, and Sweden. 2015. Diunduh dari http://ssm.com/abstract=2844224 pada 19 Juli 2018. hlm. 17-18. 118 Engy Abdelkader. A Comparative Analysis of European Islamophobia: France, UK, Germany, Netherlands, and Sweden. 2015. Diunduh dari http://ssm.com/abstract=2844224 pada 19 Juli 2018. hlm. 20. 119 Engy Abdelkader. A Comparative Analysis of European Islamophobia: France, UK, Germany, Netherlands, and Sweden. 2015. Diunduh dari http://ssm.com/abstract=2844224 pada 19 Juli 2018. hlm. 1.

77

dan kebebasan, baik sendiri atau dalam komunitas dengan orang lain dan

di depan umum maupun pribadi, untuk menegakkan ajaran agama atau

keyakinannya, dalam ibadah, pengajaran, praktik, maupun ketaatan.

2) Kebebasan untuk memanifestasikan agama atau keyakinan seseorang

hanya akan tunduk pada batasan sebagaimana yang ditentukan oleh hukum

dan diperlukan dalam masyarakat demokratis demi kepentingan

keselamatan publik. Untuk melindungi ketertiban umum, kesehatan,

moral, dan untuk perlindungan hak dan kebebasan orang lain. 120

Menanggapi berbagai permintaan untuk menindaklanjuti masalah pelanggaran HAM dari fenomena tindakan islamophobia, langkah lebih jauh dalam permasalahan tindak rasis telah disepakati. Berdasarkan undang-undang 30

Desember 2004, dibentuklah sebuah badan independen, the Haut Autorité de Lutte contre les Discriminations et pour l‟Égalité (HALDE), sebuah otoritas tertinggi yang mencegah diskriminasi dan memperjuangkan persamaan, yang bertujuan untuk mengambil tindakan hukum dalam kasus-kasus diskriminasi (rasial atau lain sebagainya yang dilaporkan oleh individu).121

Desakan demi terwujudnya HAM bagi seluruh masyarakat tanpa memandang suku, ras, agama, mendorong berbagai organisasi internasional untuk

120 Engy Abdelkader. A Comparative Analysis of European Islamophobia: France, UK, Germany, Netherlands, and Sweden. 2015. Diunduh dari http://ssm.com/abstract=2844224 pada 19 Juli 2018. hlm. 19. 121 Jean-Yves Camus. Racist Violence in France. 2012. Brussels: European Network Againts Racism (ENAR) & Open Society Foundations. Diunduh dari https://cms.horus.be>files>MediaArchive>Racist-Violence-in-France pada 19 Juli 2018. Hlm. 3

78

menunjukkan kepeduliannya, salah satunya ialah Organisasi Kerjasama Islam

(OKI). OKI merupakan sebuah badan yang mendeklarasikan dirinya untuk penegakan hak asasi bagi seluruh umat Islam dimanapun mereka berada.

Tindakan islamphobia yang kian meningkat telah mendorong OKI untuk ikut terlibat dalam upaya mengatasinya. Dalam menjalankan perannya tersebut, OKI memaksimalkan berbagai cara termasuk bekerja sama dengan berbagai pihak yang dianggap mampu memberikan konribusi secara nyata.

79

BAB IV

PERAN OKI DALAM UPAYA MENGATASI FENOMENA

ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS PASCA TRAGEDI SERANGAN 13

NOVEMBER

PERIODE 2015 – 2017

Fenomena oknum penyebar narasi kebencian dari masyarakat barat yang cenderung menyebarkan citra negatif mengenai Islam dan muslim semakin marak terjadi. Fenomena ini juga menciptakan gambaran palsu tentang muslim yang dianggap tidak dapat berinteraksi dengan masyarakat barat. Padahal sebagian besar komunitas muslim telah secara aktif dan produktif berkontribusi pada kemajuan ekonomi dan sosial di negara yang mereka huni. Hal ini justru telah menambah keragaman budaya yang merupakan inti dari nilai mutikulturalisme.

Ada beberapa faktor internal pada masyarakat Eropa yang menyebabkan penyebaran kebencian terhadap Islam dan muslim. Faktor pertama ialah mereka telah mengalami krisis identitas. Krisis identitas ini disebabkan oleh perbedaan budaya antara masyarakat barat dan masyarakat muslim. Krisis identitas ini telah menyebabkan mereka menyalahkan para imigran secara umum, dan muslim yang dinilai memiliki budaya yang paling berbeda dengan mereka, yang paling menanggung beban tersebut. Pertumbuhan penduduk muslim di barat –entah sebagai hasil pertumbuhan alami maupun imigrasi, bersamaan dengan penurunan

80

tingkat kesuburan di antara masyarakat Eropa, telah menambah kekhawatiran mereka. Selain krisis identitas, faktor internal lain ialah tingkat ekonomi dan tingkat pertumbuhan populasi yang menurun sedangkan tingkat pengangguran bertambah tinggi. 122

Kaum ekstremis menyebarkan kekhawatiran mereka dan memberi peringatan tentang populasi muslim yang dianggap sebagai bom waktu, sebuah ancaman yang nyata bagi identitas Eropa. Hal tersebut yang menjadikan islamophobia bukan lagi menjadi sebuah ekspresi dari sikap permusuhan terhadap

Islam sebagai agama, namun sikap permusuhan terhadap muslim atas pengaruhnya yang nyata. Inilah yang membuat islamophobia menjadi manifestasi rasisme paling berbahaya di Eropa yang menandakan terkikisnya nilai-nilai Hak

Asasi Manusia (HAM) dan kebebasan, khususnya kebebasan beragama, bagi muslim sebagai kaum minoritas.123

Berbicara mengenai HAM, OKI melakukan berbagai upaya demi tegaknya nilai-nilai hak asasi bagi seluruh muslim di dunia. Salah satu upaya tersebut adalah dengan mendirikan sebuah badan yang dinamakan Independent Permanent

Human Right Commission (IPHRC). IPHRC adalah sebuah badan ahli yang merupakan salah satu organ utama yang dimiliki OKI yang bekerja secara independen dalam bidang HAM. IPHRC dibentuk pada bulan Maret 2008 sesuai

122 Countering Islamophobia: An Unfinished Business. Report of the 8th Regular Session of the OIC Independent Permanent Human Rights Commission. Hlm. 54. Diunduh dari www.oic-oci.org pada 11 Februari 2018. 123 Countering Islamophobia: An Unfinished Business. Report of the 8th Regular Session of the OIC Independent Permanent Human Rights Commission. Hlm. 55. Diunduh dari www.oic-oci.org pada 11 Februari 2018.

81

dengan isi Piagam OKI yang terbentuk pada KTT ke-11 di Dakar, Senegal. Pada awal terbentuknya IPHRC, komisi memprioritaskan berbagai isu-isu, seperti isu

Palestina, isu mengenai hak perempuan dan anak, hak atas pendidikan, hak untuk berkembang, dan isu tindak islamophobia serta minoritas muslim.

IPHRC secara konstan dan stabil mengupayakan tercapainya nilai-nilai

HAM di tingkat regional dan internasional dengan melakukan kerjasama kepada berbagai pihak. IPHRC menerima secara terbuka segala ide maupun saran yang bertujuan untuk kepentingan Islam, khususnya dalam hal yang berkaitan dengan penegakan HAM.124

Dikarenakan tingkat kasus islamophobia yang terus memuncak, OKI mencari kerangka kerja baru dan mengupayakan untuk dapat mengumpulkan dukungan dari komunitas internasional untuk melawan fenomena tindak islamophobia. Sebuah forum dari Aliansi Peradaban yang diselenggarakan di Rio

De Janeiro, Brasil pada Mei 2010, menjadi forum internasional pertama bagi OKI untuk mendiskusikan islamophobia. OKI kembali mengangkat isu perlawanan pada tindakan islamophobia pada sebuah konferensi tentang toleransi beragama, yang diadakan di Astana, Kazakhstan pada 2010. Kemudian, masih di tahun 2010 di Jenewa, Swiss, tepatnya dalam Sesi ke-15 Dewan Hak Asasi Manusia,

Sekretaris Jenderal OKI saat itu mempresentasikan delapan visi tentang pendekatan konsensus untuk mempromosikan budaya toleransi dan saling pengertian dan penolakan hasutan untuk kebencian, diskriminasi, dan kekerasan atas dasar agama atau keyakinan.

124 About iphrc. Diunduh dari https://www.oic-iphrc.org/en/about pada 11 Februari 2018.

82

Tren positif yang dilengkapi dengan upaya diplomatik yang kuat dari negara-negara anggota OKI serta blok barat –yang dipimpin oleh AS dan Inggris, telah membuka jalan bagi terbentuknya Resolusi 16/18. Selanjutnya, resolusi ini disebut sebagai „kemenangan multilateralisme‟. Resolusi tersebut secara umum berisi tentang pencegahan segala bentuk intoleransi, kebencian, dan diskriminasi agama. Dapat dikatakan resolusi 16/18 adalah salah satu resolusi paling penting dalam upaya perang melawan intoleransi dan diskriminasi agama. OKI menilai bahwa resolusi tersebut merupakan pencapaian yang luar biasa dalam upaya internasional memerangi segala bentuk dan manifestasi tindak diskriminasi atas dasar keyakinan demi tercapainya perdamaian global.

Tidak berhenti sampai di resolusi 16/18, pada Juni 2011, OKI kemudian menciptakan Proses Istanbul yang bekerja sama dengan AS, Uni Eropa, dan beberapa negara lain. Sejak itu, telah diadakan setidaknya lima pertemuan di bawah naungan Proses Istanbul, yang diadakan di negara-negara berikut:

Washington (Desember 2011), London (Desember 2012), Jenewa (Juni 2013),

Doha (Maret 2014) dan Jeddah (Juni 2015).125

Kemudian berbagai upaya lain dilakukan OKI untuk membendung tingkat fenomena tindak islamophobia yang kian meninggi. Upaya-upaya tersebut meliputi:

125 Countering Islamophobia: An Unfinished Business. Report of the 8th Regular Session of the OIC Independent Permanent Human Rights Commission. Hlm. 58-59. Diunduh dari www.oic- oci.com pada 11 Februari 2018.

83

1. Meningkatkan kampanye guna menciptakan dan mengembangkan

kesadaran akan bahaya islamophobia serta mempromosikan citra positif

Islam, khususnya di tempat-tempat dan negara-negara yang dianggap

sebagai pusat islamophobia.

2. Melakukan kunjungan rutin ke berbagai negara barat dan bertemu dengan

komunitas Muslim setempat dengan tujuan untuk mendengarkan

keprihatinan atau masalah mereka.126

3. Menyebarluaskan laporan perihal Islamophobia, informasi berkala, dan

jurnal-jurnal terkait kepada khalayak umum.

4. Memaksimalkan peran Kantor OKI di luar negeri dengan mempercayakan

tugas untuk menangani isu-isu yang terkait dengan Islamophobia serta

dengan memberi lebih banyak ruang untuk bekerja secara informal dengan

komunitas Muslim lokal.

5. Memberikan lebih banyak dukungan, secara politis dan finansial, kepada

lembaga-lembaga OKI yang relevan yang turut andil berupaya melawan

Islamophobia.127

6. Mengambil semua langkah yang tepat termasuk undang-undang yang

diperlukan untuk melawan tindakan-tindakan yang mengarah pada hasutan

126 Tenth OIC Observatory Report on Islamophobia (October 2016 – May 2017). Presented to the 44th Council of Foreign Ministers. Abidjan, Republic of Côte d'Ivoire. Hlm. 94. Diunduh dari https://www.oic-oci.org>islamophobia pada 11 Februari 2018. 127 Tenth OIC Observatory Report on Islamophobia (October 2016 – May 2017). Presented to the 44th Council of Foreign Ministers. Abidjan, Republic of Côte d'Ivoire. Hlm. 95. Diunduh dari https://www.oic-oci.org>islamophobia pada 11 Februari 2018.

84

untuk kebencian, diskriminasi dan kekerasan yang didasari oleh perbedaan

agama.128

Mengupayakan perannya secara maksimal, OKI kemudian mengeluarkan sebuah resolusi, yaitu Resolusi No. 32/44-POL mengenai Pemberantasan

Islamophobia dan Penghapusan Kebencian dan Prasangka terhadap Islam dalam

Sidang Dewan Menteri Luar Negeri yang ke-44, yang diadakan di Abidjan,

Republic of Côte d'Ivoire pada Juli 2017. Dalam sidang tersebut, OKI menegaskan kembali kontribusi Islam terhadap peradaban manusia, khususnya tekad untuk melawan segala bentuk ekstrimisme termasuk tindakan islamophobia dengan meningkatkan promosi dialog yang saling perhatian, saling menghormati, penuh dengan toleransi, serta wacana-wacana yang berdasarkan alasan dan logika.

Selain itu, OKI juga konsisten mengingatkan instrumen internasional yang relevan tentang penghapusan berbagai bentuk diskriminasi, serta semua resolusi yang relevan yang diadopsi oleh UNHRC Majelis Umum PBB yang menyatakan keprihatinan mendalam pada tindakan yang mengacu pada stereotip agama yang dilakukan oleh individu maupun kelompok politik di kalangan masyarakat.129

Untuk memaksimalkan perannya dalam upaya mengatasi fenomena tindakan islamophobia, OKI melakukan beberapa hal berikut:

128 Tenth OIC Observatory Report on Islamophobia (October 2016 – May 2017). Presented to the 44th Council of Foreign Ministers. Abidjan, Republic of Côte d'Ivoire. Hlm. 95. Diunduh dari https://www.oic-oci.org>islamophobia pada 11 Februari 2018.

129 Resolutions on Political Affairs Adopted by The 44th Session of The Council of Foreign Ministers ( Session oYouth, Peace And Development in A World of Solidarity ). Abidjan, Côte D‟ivoire (10-11 July 2017). Hlm. 81-85. https://www.oic-oci.org>docdown pada 11 Februari 2018.

85

A. Perang Melawan Terorisme

OKI bertekad untuk terus mengutuk semua tindakan terorisme terlepas dari mana pun tindakan tersebut terjadi dan siapapun yang melakukannya.130 Hal ini sesuai dengan sebuah resolusi yang dikeluarkan OKI Mengenai „Perang‟

Melawan Terorisme dan Ekstrimisme, yaitu55 Resolusi No. 41/44-POL yang merupakan Sidang Dewan Menteri Luar Negeri OKI yang ke-44 (Sesi Pemuda,

Perdamaian, serta Pembangunan dalam Solidaritas Dunia), yang di diadakan di

Abidjan, Republic of Côte d'Ivoire pada Juli 2017. Resolusi ini mengingatkan kembali pada Kode Etik mengenai perang melawan terorisme internasional yang diadopsi oleh OKI pada 1994, serta mengingatkan Konvensi OKI tentang

Memerangi Terorisme yang terbentuk pada Sidang ke-26 Konferensi Islam para

Menteri Luar Negeri (Sidang Perdamaian dan Kemitraan untuk Pembangunan) diadakan di Ouagadougou, Burkina Faso, Juli 1999.

Berdasarkan Program Aksi Sepuluh Tahun OKI yang tegas mengecam segala bentuk dan manifestasi terorisme dan tegas menolak pembenaran atau alasan apapun untuk terorisme, sesuai dengan hasil akhir dari Rapat Umum

Terbuka Luar Biasa Komite Eksekutif OKI di tingkat menteri yang diadakan di

Jeddah pada 15 Februari 2015; mengingat prinsip dan tujuan piagam PBB yang ditujukan demi mempertahankan nilai perdamaian dan keamanan serta mengambil langkah-langkah kolektif dan efektif demi tujuan tersebut; menegaskan kembali kebutuhan untuk mengatasi masalah ekstremisme, dalam hal ini, lahirlah Resolusi

130 Tenth OIC Observatory Report on Islamophobia (October 2016 – May 2017). Presented to the 44th Council of Foreign Ministers. Abidjan, Republic of Côte d'Ivoire. Hlm. 95. Diunduh dari https://www.oic-oci.org>islamophobia pada 11 Februari 2018.

86

Majelis Umum 53/243 yang berisi Deklarasi dan Rencana aksi untuk mempromosikan Budaya damai, selaras dengan lahirnya berbagai konsensus , antara lain;131

1) Mengutuk tindakan teroris di seluruh dunia dan menegaskan kembali

Prinsip OKI yang mengecam terorisme dalam segala bentuk dan

manifestasinya. Kemudian menyatakan bahwa terorisme tidak memiliki

agama, kebangsaan, atau ras; dan bahwa para pelaku dan mereka yang

berada di balik tindakan tersebut merupakan penghinaan terhadap

kemanusiaan dan semua nilai moral dan manusia.

2) Mengakui bahwa terorisme tidak dapat diatasi hanya dengan cara

keamanan atau militer sendiri, dan menggarisbawahi kebutuhan untuk

mempromosikan inisiatif yang bertujuan mencapai perdamaian melalui

rekonsiliasi nasional dengan kelompok-kelompok dan individu-individu

yang menghindari kekerasan dan ide-ide ekstrimis.

3) Mengundang Sekretaris Jenderal, bekerja sama dengan negara-negara

Anggota, untuk mengembangkan pendekatan baru untuk mengatasi akar

penyebab fenomena global terorisme, kekerasan dan ekstremisme, dan

sarana untuk mengatasinya di politik, tingkat ekonomi, sosial dan

intelektual, dan memperhatikan kompleksitas Fenomena, khususnya

131 Resolutions on Political Affairs Adopted by The 44th Session of The Council of Foreign Ministers ( Session oYouth, Peace And Development in A World of Solidarity ). Abidjan, Côte D‟ivoire (10-11 July 2017). Hlm. 99. Diunduh dari https://www.oic-oci.org>docdown pada 11 Februari 2018.

87

keterkaitan erat antara organisasi teroris dalam hal pertukaran senjata,

petarung, pembiayaan dan keahlian lapangan, juga sebagai kerangka kerja

intelektual dan ideologis yang mereka bagi.

4) Meminta Sekretaris Jenderal untuk berkontribusi pada perdebatan yang

sedang berlangsung melawan terorisme, kejahatan lintas batas, dan

modalitas untuk mengatasi ekstremis dan wacana sektarian dengan

mengadakan konferensi, simposium dan lokakarya serta kerjasama dengan

Negara-negara Anggota OKI dan berbagai lembaga dan mitranya, dengan

partisipasi para pemimpin politik, agama dan tradisional, psikolog dan

sosiolog, dll.132

Aksi terorisme beruntun pada tahun 2015 di Paris merupakan duka besar, bukan hanya bagi Perancis, namun bagi seluruh dunia. OKI terus mengutuk berbagai tindakan terorisme yang terjadi. Sebagaimana OKI melalui Sekretaris jenderal yang menjabat saat itu, Iyad Ameen Madani menyuarakan kecamannya atas serangan teroris yang dilakukan di Ibukota Prancis, Paris, pada Jumat malam

13 November 2015, yang menewaskan ratusan jiwa dan menyebabkan luka bagi banyak orang yang tidak bersalah. Madani menyampaikan belasungkawa tulusnya kepada keluarga para korban serta kepada Pemerintah dan rakyat Perancis dan mengaharapkan kesembuhan bagi mereka yang terluka. Dia juga menegaskan kembali solidaritas dan dukungan yang tak tergoyahkan dari OKI kepada Prancis dalam situasi yang kritis tersebut. Madani menyatakan penolakan tegasnya

132 Resolutions on Political Affairs Adopted by The 44th Session of The Council of Foreign Ministers ( Session oYouth, Peace And Development in A World of Solidarity). Abidjan, Côte D‟ivoire (10-11 July 2017). Hlm. 100-102. Diunduh dari . https://www.oic-oci.org>docdown pada 11 Februari 2018.

88

terhadap setiap tindakan teroris yang melanggar hak untuk hidup yang mencoba untuk merusak nilai-nilai universal manusia termasuk nilai-nilai kebebasan dan kesetaraan yang dipromosikan oleh Perancis secara konsisten.133

Dukungan OKI bagi Perancis terus konsisten dilancarkan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai isu-isu pada tahun 2017, OKI telah mengutuk berbagai serangan teroris yang terjadi. seperti serangan yang dilakukan terhadap patroli keamanan di pintu masuk Museum Louvre di Ibukota Prancis, Paris. Sekretaris

Jenderal OKI, Dr. Yousef Bin Ahmed Al Othaimeen, mengungkapkan kekhawatirannya dan ketidaksetujuan penuh atas kejahatan tersebut, yang menurut investigasi pemerintah Perancis, adalah jejak dari sebuah aksi teroris.134

OKI melalui pernyataan Sekretaris Jenderalnya juga mengecam keras serangan yang menimpa Polisi Prancis di Avenue Champs Elysée di Paris pada

Kamis, 20 April 2017. OKI menegaskan kembali bahwa para pelaku bukan hanya musuh bagi umat manusia, namun juga musuh bagi seluruh nilai moral serta prinsip-prinsip agama.135 Kemudian OKI juga mengecam keras serangan mobil yang ditujukan pada sekelompok tentara di pinggiran kota Paris pada Rabu, 9

Agustus 2017. Sekretaris Jenderal Dr. Yousef A. Al-Othaimeen menyatakan

133 OIC Secretary General Strongly Condemns the terrorist attacks in Paris (14/11/2015). Diunduh dari https://www.oic-oci.org pada 10 Juli 2018. 134 OIC Condemns Terrorist Attack at the Louvre Museum (04/02/2017). Diunduh dari https://www.oic-oci.org pada 10 Juli 2018. 135 OIC Condemns Attack on French Police on Avenue Champs Elysée in Paris (21/04/2017) diunduh dari https://www.oic-oci.org pada 10 Juli 2018.

89

solidaritas OKI akan selalu mengalir untuk pemerintah Perancis dan rakyatnya dalam menghadapi aksi teroris yang menargetkan keamanan negara.136

B. Mengadakan Interfaith Dialogue

Mengapa dialog antaragama atau dialog antarbudaya dikatakan penting? hal ini dikarenakan dialog tersebut adalah esensi dari memperjuangkan nilai-nilai pluraslisme budaya, dengan memprioritaskan rasa saling peduli, dan saling menghormati antar satu sama lain. Dialog menjadi peran utama OKI dalam mewujudkan visi-misinya sebagai upaya melawan diskriminasi dan ekstermisme demi terciptanya toleransi dan perdamaian. Agar suatu dialog mampu mencapai tujuan tersebut, maka dialog tersebut harus terorganisir untuk mampu berpengaruh sampai ke akar masyarakat.137

Tidak dapat dipungkiri, bahwa rentetan serangan yang terjadi di Perancis dalam kurun waktu satu tahun merupakan duka besar bagi negara. Setelah serangan Charlie Hebdo pada Januari 2015, kemudian dilanjut dengan tragedi 13

November, muslim menjadi objek utama masyarakat untuk dijadikan tersangka.

Hal ini menimbulkan tindakan-tindakan rasisme yang tidak jarang berujung kekerasan. Akhirnya fenomena tindak islamophobia menjadi hal yang tidak

136 OIC Strongly Condemns Car Attack on Soldiers in Paris (11/08/2017). Diunduh dari https://www.oic-oci.org pada 10 Juli 2018. 137 EPP Group Annual Dinner with Ambassadors of OIC Countries 26 April 2017, European Parliament, Brussels. EPP Annual Working Dinner in the Framework of Intercultural and Interreligious Dialogue. Diunduh dari www.eppgroup.eu>document pada 1 Juni 2018.

90

terelakkan. Maka dari itu, OKI bertekad untuk menunjukkan upayanya dalam mengatasi tindakan islamophobia tersebut. Hal ini sesuai dengan seruan dari

Sekretaris Jenderal OKI, Dr. Yousef bin Ahmed Al-Othaimeen untuk meningkatkan kesadaran global akan bahaya manifestasi yang semakin meningkat dari Islamophobia dengan mengarusutamakan prinsip-prinsip perdamaian, harmoni dan keamanan di antara semua masyarakat. Baginya hal ini dapat terwujud dengan pembentukan budaya dialog, saling menghormati, dan saling pengertian. Hal ini sesuai dengan sebuah pernyataan yang disampaikan di Forum

Dunia Keempat tentang Dialog Antarbudaya, yang diadakan di Baku, ibu kota

Azerbaijan pada 5 Mei 2017. 138

Forum ini adalah inisiatif dari Presiden Yang Mulia Ilham Aliyev,

Republik Azerbaijan, dan diadakan dalam kemitraan dengan UNESCO, Aliansi

Peradaban PBB, WTO, FAO, ISESCO dan Dewan Eropa. Sekretaris Jenderal menggarisbawahi komitmen OKI untuk terus mendukung ide-ide inovatif yang bertujuan untuk mengkonsolidasikan nilai-nilai toleransi antaragama, budaya dan peradaban, sebagai komitmen yang tercantum dalam Program Aksi 10 Tahun OKI

2025. Al-Othaimeen menambahkan bahwa OKI selalu mendorong dialog sebagai cara untuk membawa pandangan yang lebih dekat dalam kerangka menghormati perbedaan dan keragaman. Dengan demikian, adalah tanggung jawab global untuk menyebarkan budaya toleransi, koeksistensi damai dan saling pengertian, dan

138 The Secretary General Calls for Raising Global Awareness of the Dangers of the Growing Manifestations of Islamophobia. Diunduh dari https://www.oic-oci.org pada 10 Juli 2018.

91

terus mengembangkan pendekatan baru menuju dialog antar budaya melalui penerimaan dan penghormatan bersama.139

OKI mengakui pentingnya dialog antaragama dan dialog antarbudaya sebagai mekanisme efektif untuk mempromosikan nilai toleransi dan memerangi ekstremisme, serta hasutan kebencian yang didasari agama. Hal ini dikarenakan

OKI percaya bahwa pencemaran nama baik Islam dapat menimbulkan ketidakharmonisan sosial yang akan memicu pelanggaran terhadap HAM. Peran

OKI ini sesuai dengan Deklarasi Prinsip-Prinsip Toleransi yang dicanangkan oleh

UNESCO pada 16 November 1995, yang tercatat pada Resolusi Majelis Umum

PBB 66/3, 66/154, 66/167 dan 66/208, yang menegaskan pentingnya mempertahankan keragaman budaya dan upaya memerangi intoleransi, stereotif negatif, stigmatisasi, dan diskriminasi, serta mengingat resolusi 21-PFR / 8 pada

22 Januari 2013 yang menekankan pada perang melawan intoleransi, tindakan islamophobia dan xenophobia. 140

Dalam laporan observatori ke-10 mengenai islamophobia, OKI menekankan pentingnya dialog antaragama, sebagaimana yang tercantum dalam poin-poin berikut dimana OKI bertekad untuk konsisten:

139 The Secretary General Calls for Raising Global Awareness of the Dangers of the Growing Manifestations of Islamophobia. Diunduh dari https://www.oic-oci.org pada 10 Juli 2018. 140 Resolutions on Political Affairs Adopted by The 44th Session of The Council of Foreign Ministers ( Session oYouth, Peace And Development in A World of Solidarity). Abidjan, Côte D‟ivoire (10-11 July 2017). Hlm. 81-85. Diunduh dari . https://www.oic-oci.org>docdown pada 10 Juli 2018.

92

1) Terlibat dalam dialog yang konstruktif dan bermakna dengan Non-Muslim

sebagai alat pengembangan mekanisme untuk melawan semua jenis

diskriminasi terhadap Muslim.

2) Menyusun strategi dan meningkatkan dialog (antaragama, antarbudaya,

dan antarperadaban).

3) Meningkatkan peran pemimpin agama dan masyarakat untuk mengekang

kecenderungan ekstremisme dengan mempromosikan cita-cita toleransi,

moderasi, saling menghormati dan koeksistensi damai.

4) Mendorong dialog antaragama dalam Negara Anggota OKI dan untuk

meningkatkan kesadaran tentang interpretasi dan keyakinan agama, dan

ruang terbuka untuk diskusi lebih lanjut tentang Islam dan iman.

5) Bekerja sama dengan para pemangku kepentingan yang peduli, khususnya

di benua Eropa dengan pandangan untuk mengubah hati dan pikiran orang

barat-nonmuslim bahwa para imigran tidak selalu merupakan ancaman

terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip masyarakat Eropa.141

OKI menunjukkan komitmennya mendukung upaya internasional untuk mencapai perdamaian dunia. Salah satu dukungan tersebut ialah melalui kehadiran pihak OKI dalam sebuah Konferensi Perdamaian Internasional yang diadakan di

Paris, Perancis pada 14-15 Januari 2017.142 Sebulan setelah Konferensi

Perdamaian Internasional, OKI kembali menunjukkan komitmennya, yang mana

141 Tenth OIC Observatory Report on Islamophobia (October 2016 – May 2017). Presented to the 44th Council of Foreign Ministers. Abidjan, Republic of Côte d'Ivoire. Hlm. 94. Diunduh dari https://www.oic-oci.org>islamophobia pada 10 Juli 2018. 142 OIC Secretary General Leaves for France to Participate in the International Peace Conference. Januari 2017. Diunduh dari https://www.oic-oci.org pada 10 Juli 2018.

93

pada suatu event bertajuk World Interfaith Harmony Week, OKI menggandeng

PBB untuk bekerja sama mengadakan sebuah dialog antaragama pada 9 Februari

2017 di Palais des Nations, Jenewa. Mitra penyelenggara lainnya adalah Misi

Permanen Jordan untuk PBB di Jenewa, Misi Pengamat Permanen Takhta Suci,

Pengamat Tetap Malta kepada PBB di Jenewa, dan Asosiasi Kristen PBB.

Pelaksanaan dialog ini sesuai dengan resolusi Majelis Umum PBB A / RES / 65/5 yang diadopsi pada 23 November 2010. Hal semacam ini ditujukan untuk mempromosikan nilai-nilai perdamaian, toleransi, serta persatuan antarbangsa yang beragam.143

C. Menjalin Kerjasama dengan PBB

Sejak tahun 1946, Komisi HAM dalam PBB telah menjadikan isu diskriminasi atas dasar ras, jenis kelamin, budaya, agama, bahasa, sebagai agenda utama. Pada 1950, Komisi membentuk subkomisi mengenai Diskriminasi dan

Perlindungan Minoritas yang difungsikan untuk mengatasi pelangggaran berbasis rasial maupun agama. Pada 1960, sub-komite melakukan penelitian mengenai diskriminasi agama, termasuk rekomendasi untuk diadopsi dalam bentuk

Deklarasi Internasional. Perdebatan mengenai hal ini terus berlanjut selama bertahun-tahun. Kemudian pada 1962, Majelis Umum mengadopsi dua resolusi.

Pertama ialah mempersiapkan draft deklarasi dan rancangan perjanjian mengenai pemberantasan segala bentuk diskriminasi rasial, dan yang kedua ialah

143 OIC Contributes to the Celebration of the World Interfaith Harmony Week. Februari 2017. Diunduh dari https://www.oic-oci.org pada 10 Juli 2018.

94

mempersiapkan rancangan deklarasi dan rancangan konvensi terhadap segala bentuk intoleransi agama. 144

Pada 1965, PBB menerbitkan Konvensi Internasional tentang

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, namun ia gagal mengeluarkan konvensi yang sama terhadap tindak diskriminasi atas dasar agama, yang disebabkan oleh perdebatan dan perpecahan tajam antara negara anggota. Merasa tidak puas dengan keputusan tersebut, sejumlah negara muslim terus mengangkat masalah ini. Akhirnya Komite menyerukan resolusi untuk mengeluarkan deklarasi dan konvensi terhadap segala tindak intoleransi dan diskriminasi agama. 145

Terdapat dua peran yang dijalankan PBB dalam memberantas terorisme, yang pertama ialah peran normatif melalui penerapan resolusi demi pencegahan, serta hukum atas tindak terorisme. Yang kedua ialah peran koersif, sebuah peran yang lebih tegas dengan adanya sanksi terhadap individu maupun kelompok teroris. Serangan Paris telah menggemparkan dunia, seluruh negara memberikan dukungan terhadap Perancis untuk bangkit dari efek serangan yang merugikan.146

144 Countering Islamophobia: An Unfinished Business. Report of the 8th Regular Session of the OIC Independent Permanent Human Rights Commission. Hlm. 55-56. Diunduh dari https://www.oic-oci.org pada 10 Juli 2018. 145 Countering Islamophobia: An Unfinished Business. Report of the 8th Regular Session of the OIC Independent Permanent Human Rights Commission. Hlm. 55-56. Diunduh dari https://www.oic-oci.org pada 10 Juli 2018. 146 The Fight Againts Terrorism. Permanent Mission of France to the UN in New York. (08/02/2018). Diunduh dari https://onu.delegfrance.org/The-Fight-against-Terrorism#header

95

Pasca tragedi serangan Paris, Selaku sekertaris Jenderal PBB, Ban Ki-

Moon turut mengutuk serangan teroris yang telah terjadi.147 Selain Ban Ki-Moon, kecaman lain juga datang dari Karima Bennoune yang merupakan pelapor khusus

PBB dalam bidang hak budaya. Ia menyatakan bahwa serangan 13 November merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan karena dengan sengaja telah menargetkan situs seni dan tempat rekreasi dimana banyak masyarakat yang berkunjung. Bennoune juga menekankan ajakan kepada masyarakat untuk bersatu dalam mengungkap dan mencegah penyebaran ideoloi radikal yang berpotensi menimbulkan tindak kekerasan dan kekejaman.148

Dua kecaman di atas menandakan bahwa PBB semakin gencar melancarkan aksinya untuk melawan pelaku teror, yaitu ISIS, salah satunya dengan mengeluarkan resolusi untuk meningkatkan aksi melawan kelompok militan bersenjata tersebut. Sebuah keputusan yang kemudian dinamakan resolusi

2249 mendesak seluruh negara anggota PBB untuk ikut serta terlibat dan melaksanakan seluruh langkah pasti dalam perlawanan terhadap aksi terorisme.149

Menanggapi hal tersebut, Presiden Perancis saat itu, Francois Hollande, setuju dan mengatakan bahwa resolusi 2249 akan membantu menggerakkan negara-negara lain untuk turut memerangi segala bentuk tindak terorisme yang dalam kasus

147 ISIS Klaim Serangan Teror di Paris, Bersumpah Lakukan Lebih Banyak Serangan. (14/11/2015) VOA Indonesia. https://www.voaindonesia.com/amp/3057977.html pada 10 Juli 2018. 148 Paris attacks: “Crime against humanity, crime against culture” – UN expert on cultural rights. United Nations Human Right: Office of The High Commissioner. November 2015. Diunduh dari https://www.ohchr.org/EN/NewsEvents/Pages/DisplayNews.aspx?NewsID=16762 pada 1 Agustus 2018. 149 Dewan Keamanan PBB Keluarkan Resolusi Lawan ISIS. BBC Indonesia. November 2015. Diunduh dari https://www.bbc.com/indonesia/dunia/2015/11/151121_dunia_pbb_isis_resolusi&hl=en-ID pada 1 Agustus 2018.

96

serangan Paris ini diklaim telah dilakukan oleh kelompok bersenjata ISIS. Adapun

Menteri Luar Negeri Perancis, Laurent Fabius menyarankan kepada seluruh negara untuk mencari solusi dalam pemberantasan terorisme di dunia, salah satunya yaitu dengan melakukan tekanan melalui serangan militer, maupun dengan pencarian solusi politik.150

Peran yang diperlihatkan PBB dalam memerangi terorisme juga ditujukan untuk menegaskan bahwa salah satu tujuan dasar PBB yang tercantum dalam

Piagam adalah untuk menekankan pelaksanaan dari nilai-nilai HAM serta kebebasan bagi semua orang tanpa membeda-bedakan dengan dasar ras, keyakinan, bahasa, maupun gender. Selain itu, PBB juga bertekad untuk meraih perwujudan segala prinsip dalam Piagam, Deklarasi Universal HAM, Konvensi

Internasional mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, serta

Deklarasi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi

Berdasarkan Keyakinan. PBB juga meyakini bahwa terlaksananya nilai-nilai

HAM bagi setiap manusia, akan menciptakan stabilitas sosial politik negara. Atas dasar berbagai hal inilah, OKI meyakini bahwa PBB dapat dijadikan partner untuk mengambil peran penting atas terciptanya perdamaian bagi seluruh elemen masyarakat.151

150 Unggul Tri Ratomo. Teror Paris - PBB setujui segala cara untuk lawan ISIS. Sabtu, 21 November 2015. Diunduh dari https://m.antaranews.com/berita/530702/ pada 1 Agustus 2018. 151 Declaration on the Rights of Persons Belonging to National or Ethnic, Religious and Linguistic Minorities. Adopted by General Assembly resolution 47/135 of 18 December 1992. United Nations Human Right Offuce of The High Commissioner. Diunduh dari https://www.ohchr.org/EN/ProfessionalInterest/Pages/Minorities.aspx pada1 Agustus 2018.

97

Hubungan antara OKI dan PBB terjalin dengan erat, mengingat semakin besar dan banyak tantangan global yang menjadikan kerjasama di antara keduanya tak terelakkan. Dalam suatu pertemuan antara pihak OKI dan PBB pada 17

November 2016, delegasi OKI yang diwakilkan oleh Asisten Sekjen OKI untuk urusan politik, Hameed Opeleyeru, mengungkapkan bahwa tujuan dasar OKI dan

PBB secara umum memiliki kesamaan. Kedua organisasi tersebut sama-sama ditujukan untuk perdamaian dunia, keamanan, serta pembangunan internasional.

PBB adalah mitra potensial bagi OKI dalam melawan terorisme dan ekstremisme.

Untuk memaksimalkan kerjasama antara OKI dan PBB dalam mengatasi ekstremisme dan intoleransi, OKI melakukan hal-hal berikut:

1. Menjaga masalah Islamophobia sebagai perhatian internasional dan

dengan demikian tetap menjadi agenda Dewan Hak Asasi Manusia

PBB dan Majelis Umum

2. Memanfaatkan deklarasi Hak Asasi Manusia Jenewa dan PBB sebagai

dasar dan kerangka inti untuk mengatasi masalah Islamophobia.

3. Menggunakan perjanjian PBB yang ada seperti kebebasan beragama,

kebebasan berekspresi, larangan diskriminasi rasial, dll, Sebagai alat

untuk memerangi Islamophobia.

4. Memastikan kemajuan pada konsensus internasional yang ada dalam

bentuk Rencana Aksi Resolusi 16/18 Dewan HAM PBB.152

152 Tenth OIC Observatory Report on Islamophobia (October 2016 – May 2017). Presented to the 44th Council of Foreign Ministers. Abidjan, Republic of Côte d'Ivoire. Hlm. 95. https://www.oic- oci.org>islamophobia pada 10 April 2018.

98

PBB kini dikepalai oleh pemimpin baru, seorang sosialis Portugis,

Antonio Guterres, yang secara pribadi menggelorakan kampanye anti- islamophobia. Sebelum ia menjabat sebagai sekretaris Jenderal pada Januari 2017,

Guterres berkunjung ke Saudi Arabia. Dalam suatu pertemuan dengan bangsawan

Saudi, ia menyatakan bahwa islamophobia lah alasan dari meningkatnya terorisme di berbagai belahan dunia. Guterres menganggap bahwa maraknya fenomena islamophobia di berbagai penjuru dunia justru telah dijadikan alat oleh kelompok militan seperti ISIS untuk merekrut anggota baru.153 Pandangan positif Guterres terhadap Islam tentu merupakan tren positif bagi OKI dalam kemitraannya dengan

PBB demi memperjuangkan perdamaian dunia.

D. Menjalin Kerjasama dengan Uni Eropa

Jauh sebelum tragedi serangan Paris, pada 25 Juni 2013, OKI telah memutuskan untuk menjalin kemitraan dengan mendirikan Misi Pengamat

Permanen dengan Uni Eropa (UE), yang berlokasi di Brussels, Belgia.154

Pembentukan Misi Pengamat ini bukanlah tanpa suatu alasan. Dengan angka tindakan islamophobia yang tinggi di daratan Eropa, OKI berupaya untuk menjalin hubungan lebih erat dengan Eropa, terutama yang menyangkut masalah

HAM. Maka untuk mengupayakan hal tersebut, OKI aktif terlibat dalam diskusi

153 Leo Lohhmann. U.N. Leader Blames 'Islamophobia' for Rising Global Terror. 'It's your fault that they're killing you' (18/02/2017) diunduh dari https://mobile.wnd.com/2017/02/u-n-leader- blames-islamophobia-for-rising-global-terror/ pada 10 Agustus 2018 154 Soeren Kern. OIC Opens Office in Brussels to Fight "Islamophobia" in Europe. 26 Juni 2013. Gagestone Institrute: international policy council. Diunduh dari https:/www.gatestoneinstitute.org/3790/oic-brussels-islamophobia pada 10 Agustus 2018

99

dengan lembaga-lembaga UE, seperti Dewan Eropa, Organization for Security and Cooperation in Europe (OSCE), untuk membicarakan dan mengusahakan agar segala aspek mengenai tindakan islamophobia dijadikan sebagai pelanggaran standar HAM internasional. Maka terbentuknya Misi Pengamat Permanen ke UE diharapkan menjadi jembatan bagi OKI untuk menelaah perihal HAM di Eropa.

Penilaian akan keberhasilan misi OKI ke UE dapat diukur secara jangka panjang.

Keberhasilan tersebut dapat dilihat dengan penurunan angka tindakan islamophobia di Eropa. Misi permanen ini dianggap sebagai peluang OKI untuk masuk dan memberi pengaruh hukum dan praktik HAM agar diaplikasikan sesuai dengan standar internasional, tanpa merugikan pihak manapun, khususnya pihak minoritas.155

OKI menjadikan UE sebagai alat diplomasi demi mencapai kepentingannya, menciptakan perdamaian melalui penerapan nilai-nilai HAM bagi seluruh manusia. Sebagai organisasi internasional yang menjalankan perannya dengan mendirikan misi permanen di UE, OKI berharap dapat menerima laporan-laporan mengenai fenomena tindak islamophobia yang terjadi di Eropa secara konstan, untuk kemudian dijadikan bahan acuan bagi OKI dalam menciptakan strategi untuk meredam atau meminimalisir islamophobia.156

155 Elizabeth H. Prodromou. OIC Opens Permanent Observer Mission to The EU: Assessment And Implications For OIC Agenda on Human Rights. September 2013. Center for European Studies at Harvard University. Diunduh dari https://www.globalgovernancewatch.org pada 10 April 2018. 156 Leslie S Lebl. The EU, the Muslim Brotherhood and the Organization of Islamic Cooperation. American Center for Democracy and Principal of Lebl Associates. Hlm. 117. Diunduh dari https://www.sciencedirect.com>pii pada 10 Agustus 2018

100

Setidaknya sejak 2014, OKI dan UE menjalin hubungan yang lebih serius.

Hal ini dibuktikan dengan diadakannya Pertemuan Konsultasi Tingkat Tinggi

OIC-EU pertama yang berlangsung di Brussels pada 8 sampai 9 September 2014 di gedung Uni Eropa. Kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan landasan bersama demi kemitraan di berbagai bidang yang melibatkan kedua organisasi.

Agenda-agenda pertemuan meliputi: membangun dialog antara dunia Muslim dan

UE, melindungi minoritas Muslim, kontra-terorisme, keamanan, media, radikalisme, Islamophobia, imigrasi, dan tantangan lain yang mungkin dihadapi kedua organisasi di masa depan. Delegasi OKI, yang terdiri dari perwakilan berbagai departemen serta Kepala Misi Permanen OKI ke UE, Amb. Arif

Mammadov, bertemu dengan pejabat tinggi UE dari European External Action

Service (EEAS) dan departemen European Civil Protection and Humanitarian

Aid Operations (ECHO). Telah digarisbawahi bahwa hubungan OKI-UE tidak boleh dibatasi hanya pada kerjasama politik dan ekonomi, tetapi juga harus mencakup dialog antar-budaya dan antar-agama.157

Hingga tahun 2017, OKI semakin mempererat hubungannya dengan UE.

Hal ini dibuktikan dengan kelanjutan pembicaraan antara OKI dan UE mengenai penguatan kolaborasi atas kepentingan bersama antara kedua belah pihak.

Sekretaris Jenderal OKI, Dr. Yousef Al-Othaimeen melakukan kunjungan ke kantor UE di Brussels dengan menemui Perwakilan Tinggi UE untuk Urusan Luar

Negeri dan Kebijakan Keamanan, Federica Mogherini, Wakil Perdana Menteri dan Menteri Urusan Luar Negeri dan Politisi Belgia, Didier Reynders, dan

157 OIC and EU agree to settle a common ground for partnership in different areas. (16/09/2014) diunduh dari https://www.oic-oci.org pada 10 Juli 2018.

101

Sekretaris Jenderal African, Caribean, and Pacific Group (ACP), Patrick I Gomes.

Kunjungan selama dua hari ini dimaksudkan untuk mengeratkan kerjasama baik pada tingkat bilateral maupun multilateral. Kerjasama bilateral yang terjalin antara OKI-UE, menegaskan peran OKI dalam mempromosikan toleransi, koeksistensi damai, menghormati minoritas dan keragaman, melibatkan

Komunitas Muslim di Eropa dalam menghadapi ancaman radikalisme dan ekstremisme.158

Masih di tahun yang sama, sebuah pertemuan kembali digelar. Pertemuan yang diadakan pada 1 Juni 2017 ini diwakili oleh Sekretaris Jenderal OKI, Dr.

Yousef A. Al-Othaimeen, sedangkan dari pihak UE diwakili oleh H.E. Amb

Michele Cervone. Kedua belah pihak meninjau hasil pertemuan yang telah diadakan di Brussels dan kedua pihak menyetujui perlunya mengembangkan modalitas untuk bergerak maju ke tindakan nyata pada kesepakatan yang telah disetujui.159

Fenomena tindakan islamophobia yang meningkat drastis pasca serangan

Paris, telah membuat OKI mengambil tindakan dengan memulai pertemuan reguler Independent Permanent Human Rights Commission (IPHRC) dengan tajuk "Freedom of expression Versus Hate Speech."160 Kerjasama antara OKI dan

UE juga ditandai dengan diadakannya pertemuan Perwakilan Tinggi UE, Federica

158 OIC Secretary General Visits European Union, Meets High Officials (15/02/2017) diunduh dari https://www.oic-oci.org pada 10 Juli 2018. 159 OIC Secretary General Receives the Representative of the European Union to OIC (01/06/2017). Diunduh dari https://www.oic-oci.org pada 10 Juli 2018. 160 Mahmoud Barakat. After Paris, Islamophobia reaching 'alarming' levels: OIC. (25 nov 2015). Diunduh dari https://www.aa.com.tr/en/todays-headlines/ pada 10 Juli 2018.

102

Mogherini, dengan Sekretaris Jenderal OKI, Yusuf bin Ahmad Al-Othaimeen.

Pertemuan tersebut membahas tentang pentingnya pelaksanaan dialog untuk mengatasi berbagai masalah bersama. Mereka juga menyampaikan tekad untuk merangkul komunitas muslim di Eropa untuk meningkatkan partisipasi pemuda muslim dalam sistem sosial politik di Eropa dan untuk mengajak para pemuda tersebut agar turut mencegah peningkatan radikalisme dan terorisme.161

Peningkatan tindakan diskriminasi dan kekerasan yang banyak menargetkan populasi muslim di Eropa, membuat perwakilan OKI bersama UE,

Kanada, dan AS, kembali berkumpul dalam suatu forum tingkat tinggi mengenai pemberantasan diskriminasi terhadap muslim. Forum tersebut diadakan pada 17

Januari di markas besar PBB di New York. Tujuan utama dilaksanakannya forum ini adalah untuk mempromosikan keberagaman dan perbedaan sebagai kekayaan, bukan ancaman. Selain itu, forum ini menegaskan perlawanan terhadap segala bentuk diskriminasi. Kesepakatan yang tercipta dari forum ialah mendorong lembaga internasional dan organisasi non-pemerintah untuk bersama berperan mencegah segala bentuk kekerasan dan kebencian berdasarkan keyakinan.162

161 EU-OIC toward a closer partnership. European union external action. Diunduh dari https://eeas.europa.eu/headquarters/headquarters-homepage_en/20607/ pada 10 Juli 2018. 162 High Level Forum on Anti-Muslim Discrimination and Hatred. European union external action. Januari 2017. Diunduh dari https://eeas.europa.eu/diplomatic-network/organisation- islamic-cooperation-oic/18773/high-level-forum-anti-muslim-discrimination-and-hatred_en pada 10 Juli 2018.

103

E. Menjalin Kerjasama dengan Media

Media, baik itu media elektronik maupun media cetak, berperan secara langsung atas viralnya berbagai isu yang terjadi di seluruh penjuru dunia.

Menoleh kepada serangan-serangan di Paris, tagar #PrayForParis atau

#stopTerrorism menjadi trending topic dalam jangka waktu yang lama. Tidak dapat dipungkiri bahwa tagar tersebut telah menyatukan solidaritas dan kepedulian manusia dari seluruh dunia yang bahkan tidak saling mengenal satu sama lain, untuk mendoakan Paris dan mengutuk terorisme. Melihat media dengan kelihaiannya yang mampu membentuk, memantapkan, maupun merubah perspektif, ide, dan gagasan masyarakat akan berbagai isu yang terjadi, maka diperlukan kesadaran para pengguna media untuk bersikap secara bijak dan tepat.

Penggunaan media secara tidak bijak akan menciptakan dampak yang besar. Opini yang dituangkan dalam media secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi mindset para pembaca. Jika media menjabarkan berita-berita yang positif, pembaca pun akan merespon secara baik. Namun jika yang dijabarkan dalam media adalah berita negatif dan provokatif, maka para pembaca akan hanyut terbawa emosi dalam narasi berita.

Eksistensi media pasca tragedi serangan Paris begitu massive. Namun sayangnya banyak dari dukungan melalui media oleh berbagai pihak kepada

Perancis justru menciptakan tuduhan kepada kelompok lain, dalam hal ini ialah minoritas muslim yang dijadikan tersangka utama atas tragedi yang terjadi.

Tuduhan tersebut kemudian menimbulkan gelombang rasisme yang tidak dapat

104

dihindari. Media dijadikan alat untuk menyebarluaskan narasi-narasi diskriminatif yang pada akhirnya membuat citra Islam semakin tercemar. Islam dan muslim semakin dibenci, sehingga tindakan islamophobia menjadi sebuah fenomena yang tidak dapat terelakkan. Maka dari itu, tindakan islamophobia kini dianggap sebagai ancaman terbesar bagi keberlangsungan perdamaian dunia.

Tindak kejahatan Islamophobia sering kali terjadi dikarenakan dari ketidaktahuan mengenai Islam dan muslim. Maka semakin tinggi desakan kepada komunitas internasional untuk berupaya memberantas kampanye-kampanye yang berisikan fitnah mengenai Islam, kemudian mengambil tindakan konkrit untuk memerangi tindak islamophobia. Atas dasar keresahan ini, OKI muncul sebagai organisasi internasional yang bertekad untuk melawan tindak islamophobia dalam segala aspeknya. Dan sebagai badan yang memprioritaskan hak muslim di seluruh dunia, OKI turut memainkan perannya dalam imbauan penggunaan media secara tepat.

Dalam suatu Sidang Umum PBB dan juga dalam pertemuan antara para pemimpin negara-negara anggota OKI dengan negara barat, OKI menegaskan bahaya dari tindakan islamophobia. Kemudian OKI mengimbau kepada pemerintah dan masyarakat sipil untuk menyebarluaskan pesan toleransi bahkan sampai ke akar-akar masyarakat. Dengan upaya tersebut diharapkan umat manusia

105

mampu menciptakan persatuan yang memungkinkan generasi masa depan hidup dengan saling rangkul antarsesama.163

Upaya OKI mengenai penggunaan media semakin dibuktikan dengan berbagai pertemuan yang OKI adakan. Pada 24 Oktober 2016, OKI mengadakan pertemuan di markas besar Sekretariat Jenderal OKI di Jeddah yang membahas strategi media OKI dan cara-cara untuk melawan tindakan islamophobia mengingat maraknya terjadi pidato-pidato kebencian pasca aksi teror di Perancis.

Pertemuan ini bertujuan untuk menghasilkan mekanisme yang jelas dan praktis untuk kampanye media anti-islamophobia. Selain itu, pertemuan ini juga bertujuan untuk menghentikan kampanye pencemaran nama baik Islam.164

Pertemuan lain yang diadakan ialah persiapan Konferensi Para Menteri

Informasi Islam ke 11 di Negara-negara Anggota OKI yang diselenggarakan oleh

Kerajaan Arab Saudi pada Desember 2016. perwakilan dari Sekretaris Jenderal

OKI, M. Aqeel, mengatakan bahwa sesi ini membahas 11 rancangan resolusi penting dalam melawan tindakan Islamophobia dan sarana untuk meningkatkan kehadiran media OKI.165

Kemenangan Emmanuel Macron sebagai Presiden Perancis pada Mei 2017 dianggap sebagai kemenangan semangat persaudaraan republikan. Muslim

Perancis memiliki harapan tinggi untuk dihapuskannya segala bentuk pidato

163 Sarah. Challenges of Countering Islamophobia. OIC Initiative. Extract from “The Journal” Issued by the Organization of the Islamic Conference (OIC) diunduh dari http://www.iqrasense.com/islamic-outreach/challenges-of-countering-islamophobia-the-oic- initiative.html pada 10 Juli 2018. 164 OIC Holds a Meeting on Mechanisms to Counter Islamophobia through Media (22/10/2016) 165 The Preparatory Meetings of the 11th Islamic Conference of Information Ministers kick off in Jeddah (19/12/2016). Diunduh dari https://www.oic-oci.org pada 10 Juli 2018.

106

kebencian. Kemenangan Macron juga menguatkan tekad kelompok mahasiswa muslim untuk melawan radikalisasi. Aktivisme media dianggap sebagai sebuah upaya untuk mengatasi masalah tersebut. Anggota organisasi mahasiswa

Etudiants Musulmans de France yakin bahwa kehadiran media yang menyampaikan pesan persatuan dan solidaritas, akan mampu menandingi pesan- pesan provokatif yang berisi fitnah terhadap Islam dan muslim. Para aktivis berusaha untuk melawan pengaruh ekstremis dengan memanfaatkan kecanggihan media sosial dengan harapan mengambil empati anak muda. Video pendidikan yang berisikan pendekatan mengenai citra Islam semakin gencar dibagikan dalam channel-channel YouTube dan berbagai media sosial lainnya .166

Setidaknya ada dua cara bagaimana seharusnya masyarakat menggunakan media agar tidak terhasut dengan provokasi yang sering kali berupa fitnah.

Pertama ialah dengan membaca segala narasi berita secara kritis, bukan hanya menerima berita begitu saja. Memilah milah apakah berita yang disajikan berupa fakta atau bukan, serta meneliti apakah sumber berita dapat dipercaya atau tidak.

Mengenai sumber berita, OKI dalam menjalankan fungsi organisasi internasional, telah menyediakan berbagai informasi yang semuanya tercantum dalam website resmi OKI, serta website resmi badan-badan di bawah naungan OKI. Dalam website tersebut, OKI menjabarkan informasi-informasi, hasil-hasil survey, yang dapat digunakan pembaca sebagai pembanding dengan berita-berita lain. Kedua,

Seluruh muslim diharapkan ikut serta menyebarkan kontra berita-berita

166 Andrea Bila. Reversing the Trend: Countering Islamophobic Narratives in France. Counter islamophobia kit. Diunduh dari https://cik.leeds.ac.uk/2018/04/10/reversing-the-trend-countering- islamophobic-narratives-in-france/ pada 10 Agustus 2018

107

provokatif. Umat muslim diimbau untuk menyebarluaskan citra positif mengenai

Islam melalui semua aplikasi media sosial yang banyak digunakan kalangan anak- anak, remaja, sampai orang dewasa.167

F. Analisa Tantangan dan Peluang

Berbicara perihal tantangan dan peluang dalam upaya mengatasi fenomena islamophobia di suatu negara, tentu tidak akan lepas dari pembahasan tentang kebijakan pemerintah yang memimpin. Dalam skripsi ini, penulis mengambil periode dari tahun 2015 sampai 2017, yang berarti ada dua pemimpin yang menjabat dalam kurun waktu tersebut. Kebijakan keduanya tentu akan berpengaruh dalam upaya OKI, apakah akan menjadi sebuah peluang atau justru menjadi sebuah tantangan.

Tragedi pada awal dan akhir tahun 2015 itu terjadi saat Perancis di bawah kepemimpinan Francois Hollande. Hollande sejak saat itu mulai gencar memerangi terorisme, salah satunya dengan cara meniadakan imam-imam yang dianggap menyebarkan ajaran ekstremis dan Islam radikal. Selain itu, Hollande juga menyerukan pembentukan “Islam Perancis,” sebuah ajaran mengenai sekularisme yang sesuai dengan nilai-nilai di Perancis.

Tekad Francois Hollande untuk mencegah penyebaran ekstremisme di

Perancis juga terlihat dari anggapannya bahwa Islam radikal telah menjadi sebuah

167 Afia Ahmed Chaudry. How Do the Media fuel Islamophobia? (14 mei 2016). Diunduh dari http://www.waccglobal.org/articles/how-do-the-media-fuel-islamophobia pada 10 Agustus 2018

108

negara palsu yang dipimpin oleh para pembunuh yang menyebarkan kebencian.

Anggapan Hollande tersebut berlandaskan kekhawatiran atas data yang dikeluarkan Kementerian Dalam Negeri perancis bahwa lebih dari 2.100 warga

Perancis terlibat dalam jihad radikal, dengan lebih dari 200 warganya telah pulang dan tersebar di berbagai penjuru Perancis.168

Ketidakberpihakan Hollande terhadap Islam ditandai dengan pernyataannya bahwa Perancis memiliki “masalah dengan Islam” terutama dengan meningkatnya angka imigran gelap yang menetap di Perancis. Bahkan ia memprediksi bahwa wanita-wanita berjilbab akan menjadi Marianne di masa depan. Marianne sendiri adalah simbol republik Perancis yang melambangkan kebebasan yang berbentuk patung wanita. Menurut Hollande, wanita berjilbab pada awalnya memang menjadikan penutup kepalanya sebagai perlindungan diri, namun lambat laun jilbab tersebut wanita jadikan sebagai simbol agama kemudian memaksakan pengakuan dan eksistensinya di tengah masyarakat. Pernyataan

Hollande mengenai masalah dengan Islam didasari oleh anggapannya bahwa

Islam adalah agama yang menuntut pengakuan.169

Peningkatan tindakan islamophobia yang terjadi pasca tragedi serangan

Paris, membuat pemerintah ikut serta menangani tindakan yang dianggap telah melakukan kejahatan kebencian yang merugikan, khususnya bagi muslim.

Larangan penggunaan oleh beberapa walikota di Perancis dinilai telah

168 Tim Hume and Lauren Said-Moorhouse. Hollande: Republic must create 'Islam of France' to respond to terror threat. CNN. Desember 2016. Diunduh dari https://www.edition.cnn.com pada 10 Agustus 2018. 169 Kim Willsher. François Hollande: France has 'a problem with Islam'. The Guardian. Paris. Oktober 2016. Diunduh dari www.guardian.com pada 10 Agustus 2018.

109

merampas kekebasan masyarakat dalam menjalankan ajaran agama yang diyakininya. Maka pada tanggal 26 Agustus 2015, pengadilan administratif tertinggi di Perancis secara resmi menolak larangan penggunaan burkini. Dalam putusan pengadilan dijelaskan bahwa tidak ada bukti perihal penggunaan burkini yang memicu resiko pelanggaran terhadap perdamaian dan ketertiban umum.

Beberapa Walikota, termasuk Walikota Nice, dengan tegas menolak keputusan tersebut dan bertekad untuk menegakkan pelarangan penggunaan burkini di pantai-pantai.170

Pelarangan penggunaan burkini juga didukung oleh mantan Presiden

Nicolas Sarkozy yang saat itu berniat untuk kembali ke istana kepresidenan, yang mencoba mengambil simpati masyarakat dengan menjanjikan larangan nasional terhadap penggunaan burkini.171 Janji yang dilontarkan oleh Nicolas Sarkozy untuk melarang penggunaan burkni justru memperlihatkan sisi pro Hollande kepada Islam. Hollande menentang janji Sarkozy tersebut. Hollande menganggap

Islam dapat hidup berdampingan dengan nilai sekularisme Perancis. Maka dengan semangat toleransi, ia membela minoritas muslim atas isu pelarangan burkini bagi wanita muslim.172

170 France 2016 International Religious Freedom Report: executive summary. International Religious Freedom Report for 2016. United States Department of State • Bureau of Democracy, Human Rights, and Labor. Hlm. 10. Diunduh dari https://www.state.gov>organization pada 10 Agustus 2018. 171 Elizabeth Pineau, et al. France's Hollande sees a 'problem with Islam', according to new book. Desember 2015. Reuters. Diunduh dari www.reuters.com pada 10 Agustus 2018. 172 Afp and Simon Holmes. Deeply unpopular Hollande calls for France to 'embrace' Islam and rejects calls for a nationwide burkini ban. september 2016. www.dailymail.co.uk pada 10 Agustus 2018.

110

Pada masa pemerintahan Hollande, telah dibentuk suatu badan bernama

The Bordeaux-based Center for Action and Prevention Against Radicalization of

Individuals (CAPRI). CAPRI mulai dioperasikan pada akhir 2015 dengan tujuan melakukan pendekatan kepada para pemuda untuk menghindarkan mereka dari ajaran radikal dan mengajak mereka untuk mencegah penyebaran narasi ekstremis serta teori konspirasi. CAPRI sendiri mendapat suntikan dana dari pemerintah pusat dan lokal. CAPRI juga melakukan kerjasama dengan beberapa organisasi

Islam lokal seperti the Muslim Federation of the Gironde, and the Regional

Councils of the Muslim Religion of Aquitaine and Poitou-Charentes.

Selain membentuk lembaga yang bertujuan mencegah ajaran-ajaran radikal masuk dan berkembang dalam pemikiran para pemuda, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan juga terus menggalakkan ajaran perihal toleransi antarsesama manusia. Kementerian Pendidikan berkerja sama dengan sebuah

NGO, International League Against Anti-Semitism and Racism, mendidik guru serta siswa dengan memasukkan lebih banyak isu-isu rasisme dan diskriminasi, serta intoleransi ke dalam kurikulum pendidikan nasional. Menggalakkan isu-isu tersebut ditujukan untuk mengajarkan siswa sejak dini akan bahaya dari tindakan intoleransi yang dapat mengancam eksistensi perdamaian dunia. Sejak September

2015, kurikulum nasional memberi mandat kepada seluruh sekolah untuk menambah 300 jam bagi setiap murid, sejak SD sampai SMA, untuk membentuk watak yang berdasarkan “pendidikan moral dan kewarganegaraan,” termasuk

111

mendidik siswa untuk memerangi terorisme, rasisme, anti-semitisme, prasangka buruk, dan diskriminasi.173

Selain menggandeng kementerian pendidikan, pada 8 Desember 2016, pemerintah melalui Kementerian dalam Negeri meluncurkan Yayasan Islam di

Perancis. Fokus dari yayasan tersebut ialah mengadakan pelatihan kepada para imam, memberikan dukungan untuk pusat kebudayaan Islam, promosi acara dan konferensi yang berkaitan dengan islam, serta menerapkan studi tentang islam sebagai disiplin ilmu di universitas-universitas di Perancis.174

Adapun peran pemerintah melalui kementerian luar negeri terlihat dari terselenggaranya KTT pada 13 September 2016 yang didukung oleh beberapa

NGO Coexister and Human Rights First. KTT tersebut diadakan untuk menciptakan persatuan melawan pidato kebencian, khususnya yang tersebar di media sosial. Tindakan lebih tegas ditunjukkan oleh pemerintah yang mengeluarkan putusan deportasi kepada lebih dari 80 penyebar khutbah kebencian. Bahkan pemerintah secara tegas akan menegeluarkan perintah deportasi tambahan, jika diperlukan.175

173 France 2016 International Religious Freedom Report: executive summary. International Religious Freedom Report for 2016. United States Department of State • Bureau of Democracy, Human Rights, and Labor. Hlm. 11. Diunduh dari https://www.state.gov>organization pada 10 Agustus 2018. 174 France 2016 International Religious Freedom Report: executive summary. International Religious Freedom Report for 2016. United States Department of State • Bureau of Democracy, Human Rights, and Labor. Hlm. 15. Diunduh dari https://www.state.gov>organization pada 10 Agustus 2018. 175 France 2016 International Religious Freedom Report: executive summary. International Religious Freedom Report for 2016. United States Department of State • Bureau of Democracy, Human Rights, and Labor. Hlm. 15. Diunduh dari https://www.state.gov>organization pada 10 Agustus 2018.

112

Sebagai upaya untuk mencegah perkembangan rasisme dan intoleransi pasca tragedi serangan Paris, Pemerintah Perancis semakin memperketat UU tentang kejahatan kebencian serta melakukan tindakan tegas atas segala bentuk tindakan rasisme. Pemerintah juga secara tegas meningkatkan hukuman bagi kejahatan yang dipicu oleh aksi rasisme. Bahkan perkataan yang memicu kebencian telah dianggap sebagai suatu tindak pidana. Pemerintah bahkan rela menghabiskan € 100 juta (Rp. 1,73 triliun) yang dipergunakan selama tiga tahun, untuk memerangi rasisme, baik yang terjadi secara langsung, maupun secara online via media sosial.176

Kemenangan Emmanuel Macron sebagai pemimpin baru bagi Perancis, nampaknya menjadi angin segar bagi muslim di Perancis di tengah perkembangan partai sayap kanan yang membuat para muslim merasa was-was. Kampanye- kampanye Macron sebelum ia terpilih dinilai jauh dari hal-hal berbau rasis dan diskriminatif. Dukungan penuh atas Macron pun diperlihatkan oleh OKI yang mana saat Macron terpilih pada Mei 2017, Sekretaris Jenderal OKI, Dr. Yousef

Al-Othaimeen mengirim ucapan selamat atas amanah baru yang diemban oleh

Macron. AL-Othaimeen merasa yakin bahwa Perancis di bawah kepemimpinan

Macron akan menjadi model bagi tegaknya demokrasi. Ia juga yakin bahwa

176 Angelique chrisafis. France launches major anti-racism and hate speech campaign. 17 april 2015. The guardian. Diunduh dari https://www.theguardian.com/world/2015/apr/17/france- launches-major-anti-racism-and-hate-speech-campaign pada 10 Agustus 2018.

113

Macron mampu mengayomi rakyatnya yang terdiri dari beragam suku, etnis, dan agama, dengan menciptakan lingkungan yang damai dan harmonis.177

Sebelum terpilih menjadi Presiden, Emmanuel Macron mengklaim bahwa warga Perancis telah membuat kesalahan ketika mendiskriminasi muslim secara tidak adil, yang menunjukkan Perancis kurang konsisten sebagai penganut liberal yang mengutamakan kebebasan, termasuk kebebasan beragama. Macron berpendapat bahwa seluruh warga negara harus bersikap netral dan wajib membiarkan semua orang mempraktekkan ajaran agama sesuai yang mereka yakini.178

Pasca tragedi serangan Paris, Macron tidak menyalahkan Islam, namun ia menyalahkan oknum muslim yang menyalahgunakan ajaran keyakinan untuk kemudian menghalalkan kekerasan dan pembunuhan.179 Emmanuel Macron dalam suatu pidatonya mengenai sejarah, agama, dan negara, kembali mengenang kisah peperangan abad ke-16. Saat itu, perang Protestan-Katolik yang terjadi selama lebih dari delapan putaran pertempuran denominasi telah menghancurkan

Perancis. Dalam pidatonya, Macron mengisyaratkan bahwa dia tidak ingin

Perancis kembali mengalami pertumpahan darah yang disebabkan oleh perpecahan agama. Pidatonya menegaskan bahwa toleransi merupakan hal mutlak dalam keberlangsungan negara. Pernyataannya bertujuan agar tidak terulang

177 OIC Secretary General Sends Congratulatory Message to French President-elect Emmanuel Macron. Mei 2017. Diunduh dari https://www.oic-oci.org pada 10 April 2018. 178 Michel Rose. Macron outlines vision of French Islam, drops more ambition hints. October 2016. Diunduh dari www.reuters.com pada 10 Agustus 2018. 179 Tarek Fatah. In France, Macron is the radical, not Le Pen. April 2017. www.torontosun.com pada 10 Agustus 2018.

114

kesalahan masa lalu pada negara yang sekarang ia pimpin. Macron menerima

Islam sebagai agama yang unik yang menjadi perhatian di kalangan masyarakat

Perancis. Ia bersikeras bahwa sekularisme di Perancis bertujuan untuk mendukung kebebasan agama.180

Peluang OKI dalam memaksimalkan perannya juga terlihat dari bagaimana pemimpinnya mengatur strategi. Sama halnya dengan kepemimpinan di Perancis, dalam dua tahun periode yang dipilih oleh penulis, yaitu 2015 sampai

2017, OKI juga memiliki dua pemimpin yang berbeda. Saat tragedi serangan Paris terjadi, OKI dikepalai oleh Iyad bin Amin Madani. Di bawah kepemimpinan beliau, OKI menunjukkan perannya dalam mengatasi tindakan islamophobia pasca tragedi serangan Paris. Salah satu contohnya ialah Madani mengadakan

Rapat Umum Terbuka Luar Biasa tingkat Menteri pada akhir tahun 2015.

Pertemuan tersebut ditujukan untuk mengecam terorisme dan mengatasi fenomena tindakan islamophobia yang tercipta setelah itu.

Terpilihnya Yusuf bin Ahmad Al-Othaimeen menggantikan Madani pada

17 November 2016, nampaknya membawa angin segar bagi OKI. Al-Othaimeen menunjukkan semangat juangnya dalam mengatur strategi dalam badan OKI yang ditujukan untuk mengatasi tindakan islamophobia di Perancis yang semakin tak terelakkan. Beberapa kebijakan dan pertemuan yang tercipta pada masa kepemimpinan Al-Othaimeen meliputi; melontarkan kutukan dan kecaman secara tegas atas aksi terorisme untuk menunjukkan ketidakberpihakan OKI kepada

180 Emmanuel Macron has a history buff‟s view of Islam and religious strife. Mei 2017. Erasmus: France, Sekularism, and Religion. Diunduh dari www.economist.com pada 10 Agustus 2018.

115

kelompok militan yang melakukan aksi teror; Sidang Menteri Luar Negeri ke-44 yang melahirkan Resolusi No. 32/44-Pol, yang berisikan strategi untuk menangani tindak islamophobia; mengadakan dialog antaragama untuk memupuk kesadaran global akan pentingnya membudayakan hidup dengan nilai toleransi; ikut serta dengan PBB dalam konferensi perdamaian internasional; melakukan pertemuan dengan PBB yang ditujukan untuk menggelorakan perdamaian dunia; melakukan pertemuan di markas besar OKI untuk membahas perihal penggunaan media secara tepat guna meminimalisir dampak dari narasi-narasi berita yang provokatif; serta mengadakan Konferensi Para Menteri Informasi Islam untuk membahas perkembangan tindakan islamophobia di berbagai penjuru dunia.

Bagaimana perkembangan tindakan islamophobia setelah ada keterlibatan berbagai pihak yang berupaya untuk mengatasinya? Sebuah sumber statistik menjelaskan bahwa ada penurunan tindakan islamophobia di Perancis. Pada 2016, terdapat penurunan sebesar 45% jika dibandingkan dengan tahun 2015 yang justru mengalami kenaikan sebesar 22 persen jika dibandingkan dengan data tahun

2014. Hal ini mengisyaratkan bahwa kenaikan itu memang terjadi pasca rangkaian serangan di Paris sepanjang tahun 2015. Penolakan atas penggunaan jilbab bagi wanita muslim juga mengalami penurunan 22 persen di tahun 2016 jika dibandingkan dengan tahun 2015. Penolakan terhadap makanan halal pun mengalami penurunan. Hal ini didukung oleh data yang menyatakan bahwa 79

116

persen warga Perancis percaya bahwa umat Islam memiliki hak kebebasan untuk dapat mempraktekkan ajaran agamanya. 181

Penurunan tingkat islamophobia juga diperlihatkan oleh sumber lain, salah satunya ialah:

Tabel IV.F.1. Berbagai tindakan dan ancaman, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh

French Law Enforcement Authorities. 2014-2017.

2014 2015 2016 2017

Tindakan dan ancaman 678 797 608 519 yang didasari oleh rasisme dan xenophobia

Tindakan dan ancaman 133 429 185 121 yang didasari oleh islamophobia (anti-muslim)

Sumber: European Union. 2018182

Penurunan yang tergambar dari data statistik di atas tentu bukanlah diperoleh hanya dari usaha satu pihak, namun berbagai pihak yang terlibat, termasuk desakan OKI yang menyuarakan kegelisahan warga muslim. Akumulasi dari kebijakan pemerintah, dan pengaruh dari organisasi lokal, organisasi internasional, termasuk OKI, telah menciptakan sebuah tren positif berupa penurunan tingkat tindakan islamophobia. Namun hal ini tentu belum dapat

181 Oliver gee. French people are less xenophobic but still wary of Islam. 13 maret 2017. Diunduh dari https://www.thelocal.fr/20170330/french-become-more-tolerant-as-number-of-racist-acts-drop pada 10 Agustus 2018. 182 Hate crime recording and data collection practice across the European Union. 2018.

117

dikatakan sebagai sebuah keberhasilan mengingat tindakan islamophobia didasari oleh suatu mindset yang tertanam dalam pikiran manusia. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sekretaris OKI bidang observatori Islamophobia dan Urusan Sosial-

Budaya, Abdula Manafi Mutualo, bahwa islamophobia adalah suatu fenomena sosial yang sulit untuk diukur. Hal itu dikarenakan oleh beberapa faktor, termasuk proses pemilihan umum di negara tersebut.183 Meskipun demikian, penurunan angka tindakan islamophobia sebagaimana yang penulis jabarkan di atas tentu telah menjadi suatu peluang, khususnya bagi OKI untuk terus berkomitmen dengan segala upaya demi tercapainya kebebasan beragama dan beribadah sebagaimana dijelaskan dalam teori Liberal, demi menghilangkan tindakan islamophobia yang diskriminatif sehingga tercapailah nilai-nilai demokratis yang dilengkapi dengan penyebaran bukti HAM secara merata bagi seluruh umat di penjuru dunia.

183 Hasil wawancara dengan Abdula Manafi Mutualo, Sekretaris OKI bidang observatori Islamophobia dan Urusan Sosial-Budaya di Istanbul Turki. Via media sosial (email) pada 9 Mei 2018.

118

BAB V

PENUTUP

Para imigran dari negeri maghribi, seperti Aljazair, Libya, Maroko,

Tunisia, juga Turki, berperan besar pada awal kemunculan Islam di Perancis.

Kedatangan para imigran dilatarbelakangi oleh krisis yang terjadi di negara asal mereka. Perancis dikenal sebagai salah satu negara yang cukup terbuka dalam menerima para pendatang yang berupaya mendapat suaka hukum. Perancis sebagai negara penggagas Trias Politica yang menjunjung demokrasi, menawarkan kemerdekaan dan keadilan bagi semua orang.

Kemudahan yang diberikan pemerintah Perancis kepada imigran membuat negara tersebut mengalami peningkatan imigran yang kebanyakan dari mereka merupakan buruh Arab yang beragama Islam. Fenomena ini menjadikan ajaran

Islam tersebar di berbagai penjuru negeri. Perancis menjadi negara dengan mayoritas muslim terbanyak di benua Eropa. Namun, pengaruh Islam yang menyebar kian pesat telah membuat pihak pemerintah merasa khawatir. Larangan bagi buruh migran, khususnya muslim, untuk menyebarkan agama pun terjadi.

Pemerintah Perancis khawatir bahwa penyebaran ajaran Islam akan membuat pengkotak-kotakan masyarakat ke dalam beberapa kelompok etnik, yang ditakutkan dapat menjadikan sebuah disintegrasi dan memecah-belah masyarakat.

119

Kekhawatiran yang telah terjadi sejak lama kini berubah menjadi ketakutan. Islam di Perancis dianggap sebagai ancaman nyata bagi keamanan negara. Tak dapat dipungkiri bahwa berbagai aksi terorisme yang terjadi telah menyita perhatian dunia. Citra Islam yang awalnya dikenal penuh dengan kedamaian kemudian tercemar dengan adanya tindak teror oleh oknum kelompok radikal yang mengatasnamakan Islam.

Tragedi paris 2015 menandai satu dekade sejak kerusuhan yang terjadi pada 2005. Tragedi mengerikan yang menargetkan kota Paris sebagai sasaran serangan telah menyebabkan pemerintah Perancis menempatkan negara tersebut dalam keadaan darurat. Efek yang lebih bahaya selanjutnya adalah bahwa aksi teror tersebut telah meningkatkan permusuhan kepada minoritas muslim di

Perancis, yang sebenarnya hampir keseluruhan dari muslim tidak ikut andil dalam aksi kekerasan dan terorisme. Konsekuensi lain dari serangan Paris adalah peningkatan kembali anggapan-anggapan bahwa muslim adalah warga yang tidak setia dan berbahaya, menentang hukum dan nilai nasional, serta mengancam keamanan dan perdamaian.

Reaksi berupa kebijakan para elit pemerintah barat yang salah satunya dengan menutup kembali pintu-pintu perbatasan, merupakan suatu contoh akar dari tumbuhnya xenophobia. Xenophobia sendiri merupakan permusuhan atas aspek-aspek tertentu terhadap orang-orang asing. Fenomena tersebut kemudian berlanjut kepada islamophobia. Maka islamophobia adalah permusuhan atas aspek-aspek yang berhubungan dengan Islam, baik dari ajarannya maupun

120

penganutnya. Dan tindakan islamophobia adalah tindakan yang didasari oleh prasangka, atau permusuhan atas aspek yang berhubungan dengan Islam. Situasi ini bukan dianggap sebagai permusuhan terhadap Islam sebagai agama, melainkan terhadap umat muslim sebagai kelompok masyarakat berbudaya yang dianggap sebagai sebuah ancaman yang besar.

Hukum dan kebijakan yang tidak adil bukanlah hal yang baru bagi muslim

Perancis. Kelompok agama minoritas terus bergulat dengan peningkatan prasangka, diskriminasi, intoleransi, yang dilakukan oleh individu, kelompok, maupun institusi dalam berbagai konteks, termasuk di tempat kerja, di jalan, bahkan di sekolah. Meskipun Perancis diakui sebagai salah satu negara penggagas demokrasi yang mengedepankan kebebasan, termasuk dalam kebebasan beragama, namun nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) justru kian pudar dengan berbagai tindak intoleransi yang terjadi.

Desakan demi terwujudnya HAM bagi seluruh masyarakat tanpa memandang suku, ras, agama, mendorong berbagai organisasi internasional untuk menunjukkan kepeduliannya, salah satunya ialah Organisasi Kerjasama Islam

(OKI). OKI merupakan sebuah badan yang mendeklarasikan dirinya untuk penegakan hak asasi bagi seluruh umat Islam dimanapun mereka berada. OKI disebut sebagai organisasi yang unik dengan tujuan utama untuk mempromosikan

“solidaritas Islam” di antara negara-negara anggota. Awal dibentuknya OKI diawali dengan sebuah seruan dari mantan Mufti Yerussalem ke semua negara

Islam untuk bergabung dalam sebuah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam

121

pertama yang diadakan di Rabat, Maroko. KTT tersebut diadakan sebagai respon atas tragedi serangan pembakaran Masjidil Aqsa di Yerussalem.

Organisasi yang beranggotakan negara-negara muslim atau negara berpenduduk mayoritas muslim ini kemudian memposisikan dirinya sebagai suara kolektif bagi muslim di seluruh dunia. Organisasi ini memiliki dimensi keagamaan yang kuat yang membedakannya dari organisasi intergovernmental yang lain. Agenda-agenda yang menjadi prioritas utamanya antara lain meliputi penanganan fenomena tindakan islamophobia; mempromosikan kepentingan muslim di penjuru dunia; dan konsolidasi, koordinasi, serta kolaborasi antarnegara

Islam dalam forum internasional.

Kebebasan beragama bagi para muslim kemudian menjadi tantangan baru bagi OKI. Dapat dikatakan bahwa muslim yang menjadi kaum mayoritas di suatu negara, atau muslim yang tinggal di negara Islam, memiliki nasib yang terjamin dalam berkeyakinan. Namun beda halnya dengan muslim yang tinggal di negara nonmuslim dan menjadi kaum minoritas. Dengan banyaknya tragedi serangan teror yang mengatasnamakan Islam, HAM dan kebebasan untuk menjalankan ajaran agama bagi muslim kemudian menjadi hal yang sukar digapai. Pada hakikatnya OKI terbentuk untuk menegakkan nilai HAM bagi seluruh muslim di penjuru dunia, tanpa pengecualian. Inilah tantangan bagi OKI yang mengaku sebagai suara muslim dunia, untuk memperlihatkan dan membuktikan kapabilitasnya dalam mengupayakan penegakan HAM bagi umat Islam, bahkan di negara minoritas muslim sekalipun.

122

Berbagai upaya dilakukan OKI untuk mengatasi fenomena tindak islamophobia yang kian menyebar. Salah satu upaya tersebut adalah dengan mendirikan sebuah badan yang dinamakan Independent Permanent Human Right

Commission (IPHRC). IPHRC adalah sebuah badan ahli yang merupakan salah satu organ utama yang dimiliki OKI yang bekerja secara independen dalam bidang HAM. Kemudian OKI bertekad untuk terus mengutuk semua tindakan terorisme terlepas dari mana pun tindakan tersebut terjadi dan siapapun yang melakukannya. Selain itu, dialog antaragama menjadi peran signifikan OKI dalam mewujudkan visi-misinya dalam upaya melawan diskriminasi dan ekstermisme demi terciptanya toleransi dan perdamaian.

Peran OKI lainnya juga terlihat dari kerjasama yang dijalin dengan organisasi internasional lain, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Uni

Eropa (UE). PBB adalah sebuah badan yang bertekad untuk meraih perwujudan segala prinsip dalam Piagam, Deklarasi Universal HAM, Konvensi Internasional mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, serta Deklarasi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan

Keyakinan.

Adapun kerjasama OKI dengan UE terlihat dari keputusan OKI untuk menjalin kemitraan dengan mendirikan Misi Pengamat Permanen dengan Uni

Eropa, yang berlokasi di Brussels, Belgia. Pembentukan Misi Pengamat ini bukanlah tanpa suatu alasan. Dengan angka islamophobia yang tinggi di daratan

123

Eropa, OKI berupaya untuk menjalin hubungan lebih erat dengan Eropa, terutama yang menyangkut masalah HAM.

Tindak kejahatan Islamophobia sering kali terjadi dikarenakan dari ketidaktahuan mengenai Islam dan muslim. Maka semakin tinggi desakan kepada komunitas internasional untuk berupaya memberantas kampanye-kampanye yang berisikan fitnah mengenai Islam, untuk kemudian mengambil tindakan konkrit demi memerangi islamophobia. Atas dasar keresahan ini, OKI muncul sebagai organisasi internasional yang bertekad untuk melawan islamophobia dalam segala aspeknya. Dan sebagai badan yang memprioritaskan hak muslim di seluruh dunia, OKI turut memainkan perannya dalam imbauan penggunaan media secara tepat.

Berdasarkan teori organisasi internasional, OKI telah melakukan peranan secara efektif. Peran tersebut di antaranya meliputi fungsi arena yang merupakan tempat bertemu bagi para anggotanya untuk membahas masal ah yang sedang dihadapi; dan fungsi kontribusi untuk menciptakan suasana kerjasama di antara negara maupun aktor lainnya. Penurunan yang tergambar dari data statistik yang penulis cantumkan pada bab sebelumnya, tentu bukanlah diperoleh hanya dari usaha satu pihak, namun berbagai pihak yang terlibat, termasuk desakan OKI yang menyuarakan kegelisahan warga muslim. Penurunan tersebut tentu belum dapat dikatakan sebagai sebuah keberhasilan mengingat tindakan islamophobia didasari oleh suatu mindset yang tertanam dalam pikiran manusia. Tindakan islamophobia bukanlah suatu fenomena yang dapat begitu saja musnah dari

124

masyarakat. Namun setidaknya akumulasi dari kebijakan pemerintah, dan pengaruh dari organisasi lokal, serta organisasi internasional, termasuk OKI, telah menciptakan sebuah tren positif berupa penurunan tingkat tindakan islamophobia di Perancis.

125

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Archer, Clive. International Organization. 1883. London: Allen & Unwin. Ltd.

Bowen, John R. Can Islam Be French? 2009. Princeton University Press and Copyrighted.

Creswell, John W. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. (California: Sage Publication, 1994).

Fredette, Jennifer. Constructing Muslims in France: Discourse, Public Identity, and the Politics of Citizenship. Philadelphia: Temple University Press. 2014.

Jackson, Robert dan George Sorensen. Pengantar Studi Hubungan Internasional. 2009. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)

Kayaoglu, Turan. The OIC’s Independent Pemanent Uman Rights Commission: An Early Assessment. 2015. Danish Institute for Human Rights.

Mingst, Karen. Essentials of International Relations, 1999.WW Norton & Company, New York.

Miranda, Airin. (2007). Masalah Integrasi di Perancis. Universitas Indonesia: Jakarta. Hlm 8.

Moelong, L. J. (ed), Metode Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung. 2006.

Moelong, L. J. (ed), Metode Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung. 2006.

Perwira, Anak Agung Banyu dan Yanyan Mochamad Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Raco, J. R. Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik, dan Keunggulannya. 2010. Jakarta: PT Grasindo.

Rudy, Teuku May. Administrasi dan Organisasi Internasional. 2009. Bandung: PT Refika Aditama.

Sitorus, F. Penelitian Kualitatif Suatu Pengantar, Fakultas Pertanian IPB, Bogor, 1998 Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat, 2007. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

xiii

Ubaedillah, A dan Abdul Rozak. Pendidikan Kewarga[negara]an (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. 2014. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah dan Kencana Prenada Media Group.

Weiss, Deborah. The Organization of Islamic Cooperation’s Jihad on Free Speech. Civilization Jihad Reader Series. Vol 3. 2015. United States: Center for Security Policy Press.

Artikel dan Jurnal:

Cesari, Jocelyne. Islam in France: The Shaping of A Religious Minority. In Yvonne Haddad Yazbek (ed.) Muslims in the West, from Sojourners to Citizens. 2002. Oxford University Press.

Dawning, Joseph. Paris Attack: Why France must Avoid Viewing its Muslim Population as A Security Threat. A Journal of EUROPP. LSE’s European Institute. 2015.

Gessier, Vincent. Islamophobia: a French Specificity in Europe? Human Architecture: Journal of The Sociology of Self-Knowlwdge. Vol. 8. Issue 2 Islam: From Phobia to Understanding. Article 6. Boston: Okcir Press.

Hansen, Devon A and Mohammad Hemmasi. The State of the Organization of the Islamic Conference (OIC) at the dawn of the new millenium on Prairie Perspectives: geographical Essays. Vol 4. Ed. Douglas C. Munski. 2001: university of North Dakota.

Helbling, Marc. Islamophobia in Switzerland: A New Phenomenon or A New Name of Xenophobia. Department of Political Science University of Zurich. Paper prepared for Annual Conference of the Midwest Political Science Association (MPSA) Chicago, 3 - 6 April 2008.

Ismail, Bustaman. Menelususri Islam di Perancis. 2012. Diakses melalui http://hbis.wordpress.com/2012/03/19/menelusuri-islam-di-perancis/#more-6370 pada tanggal 30 Oktober 2017.

ISIS Terrorist Attack in Paris: Initial Overview and Implications. 2015. The Meir Amit Intelligence and Terrorism Information Center. Diunduh dari http://www.terrorism- info.org.il/en/20910/

Jehel, Louis and Alain Brunet. The Long Term Effects of Terrorism in France. Journal of Aggression, Maltreatment, & Trauma. 2008. Diunduh dari http://dx.doi.org/10.1300/j146v09n01_23

Jenkins, Brian Michael. The Implications of the Paris Terrorist Attack for American Strategy in Syria and Homeland Security. 2015. Testimonies - RAND Office of External Affairs. Diunduh dari www.rand.org

Kalin, Ibrahim. OIC: A Voice for the Muslim World? in Islam, Society & the State. ISIM review 17. Spring 2006. Department of religious studies at the college of the holy cross,

xiv

worchester. Hlm. 1. Diunduh dari https://openaccess.leidenuniv.nl>handle pada 6 Maret 2018

Kern, Soeren. OIC Opens Office in Brussels to Fight "Islamophobia" in Europe. 26 Juni 2013. Gagestone Institrute: international policy council. Diunduh dari https:/www.gatestoneinstitute.org/3790/oic-brussels-islamophobia

Laoati, Yasser. Islamophobia in France: National Report 2016. In European Islamophobia Report 2016. 2017. Turkey: SETA Foundation for Political, Economic, and Sosial Research.

Lebl, Leslie S. The EU, the Muslim Brotherhood and the Organization of Islamic Cooperation. American Center for Democracy and Principal of Lebl Associates. Hlm. 117. Diunduh dari https://www.sciencedirect.com>pii

Majid, Bozorgmehri. The Human Rights in OIC, A gradually Movement but in Progress. Journal of Politics and Law; vol. 10, no. 2; 2017. Canadian Center of Science and Education.

Miranda, Airin. (2007). Masalah Integrasi di Perancis. Universitas Indonesia: Jakarta. Murphy, Rob. France’s War on Terror: a Domestic or Foreign Threat? Politics Review. Vol. 25. No. 4. 2016. Philip Allan Publisher. Diunduh dari www.hoddereducation.co.uk/politicsreview

New Name and Emblem for OIC in Astana Organization of Islamic Cooperation. OIC journal, issued by The Organization of Islamic Cooperation. Issue No 18. June August 2018. Jeddah, Saudi Arabia.

Petersen, Marie Juhl. Islamic or Universal Human Rights? The OIC’s Independent permanent Human Rights Commission. 2012. Copenhagen: Danish Institute for International Studies (DIIS) Report 2012:03.

Prodromou, Elizabeth H. OIC Opens Permanent Observer Mission to The EU: Assessment And Implications For OIC Agenda on Human Rights. September 2013. Center for European Studies at Harvard University. Diunduh dari https://www.globalgovernancewatch.org

Prodromou, Elizabeth H. What is The Organization of Islamic Cooperation? 2013. Center for European Studies. Harvard University. Diunduh dari https://www.globalgovernancewatch.orgpada 26 Februari 2018.

Qadir, M Ihsan and M. Saifur Rahman. Organization of Islamic Co-operation (OIC) and Prospects of Yemeni Conflict Resolution: Delusion or Plausible Reality. Journal of Political Studies, vol. 22, issue-2 2015. University of Punjab. Hlm. 369-370. Diunduh dari http://pu.edu.pk

Sarah. Challenges of Countering Islamophobia. OIC Initiative. Extract from “The Journal” Issued by the Organization of the Islamic Conference (OIC) diunduh dari http://www.iqrasense.com/islamic-outreach/challenges-of-countering-islamophobia- the-oic-initiative.html

xv

The organization of the Islamic Cooperation, charter of the Organization of The Islamic Conference 1972, Article 17. Diunduh dari https://www.oic-oci.org

Yilmaz, Muzaffer Ercan. The Organization of the Islamic Conference as a Conflict Manager in the Arab Spring. Turkish Journal of Politics. Vol 4, No. 1. Summer 2013.

Reports:

Countering Islamophobia: An Unfinished Business. Report of the 8th Regular Session of the OIC Independent Permanent Human Rights Commission. Hlm. 54. Diunduh dari www.oic-oci.org

Declaration on the Rights of Persons Belonging to National or Ethnic, Religious and Linguistic Minorities. Adopted by General Assembly resolution 47/135 of 18 December 1992. United Nations Human Right Offuce of The High Commissioner. Diunduh dari https://www.ohchr.org/EN/ProfessionalInterest/Pages/Minorities.aspx

EPP Group Annual Dinner with Ambassadors of OIC Countries 26 April 2017, European Parliament, Brussels. EPP Annual Working Dinner in the Framework of Intercultural and Interreligious Dialogue. Diunduh dari www.eppgroup.eu>document

France 2016 International Religious Freedom Report: executive summary. International Religious Freedom Report for 2016. United States Department of State • Bureau of Democracy, Human Rights, and Labor. Hlm. 10. Diunduh dari https://www.state.gov>organization

Hakala, Pekka and Andreas Kettis. the Organization of Islamic Cooperation: Defined – for better and Worse – by its religious dimension. Policy Department, Directorate-General for External Policies. This Policy Briefing was requested by the European Parliament’s Committee on Foreign Affairs. 2013.

Hasil wawancara dengan Abdula Manafi Mutualo, Sekretaris OKI bidang observatori Islamophobia dan Urusan Sosial-Budaya di Istanbul Turki. Via media sosial pada 9 Mei 2018.

Hausler, Katharina. et al. Human Rights, Democracy, and Rule of Law: Different Organizations, Different Conceptions. Frame. Large-Scale FP7 Collaborative Project GA No. 320000. April 2016. Hlm.

Informasi singkat tentang organisasi kerjasama Islam dan konferensi tingkat tinggi OKI tentang peran perempuan dalam pembangunan. Diunduh dari https://www.oic-oci.org

Ninth OIC Observatory Report on Islamophobia (May 2015 – September 2016). Presented to the 43rd Council of Foreign Ministers. Tashkent, Republic of Uzbekistan.

Research Professor pada bidang Hubungan Internasional. 2015. Serangan Terorisme Internasional di Paris. Jakarta: Pusa Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI.

xvi

Resolutions on Political Affairs Adopted by The 44th Session of The Council of Foreign Ministers ( Session oYouth, Peace And Development in A World of Solidarity ). Abidjan, Côte D’ivoire (10-11 July 2017). Diunduh dari. https://www.oic- oci.org>docdown

Siddiqa, Arhama. the Utility of the OIC in Solving Conflicts in the Muslim World an issue brief of Institute of Strategic Studies. 2016. Diunduh dari www.issi.org.pk

Singleton, Mark. Et al. Paris: 11/13/15 – Analysis and Policy Options. 2015. Clingendael & ICCT Policy Brief. Diunduh dari https://www.clingendael.org/publication/paris- 111315-analysis-and-policy-options

Tebbakh, Sonia. Muslims in the EU - Cities Report: France. 2007. Open Society Institute. EU Monitoring and Advocacy Program.

Tenth OIC Observatory Report on Islamophobia (October 2016 – May 2017). Presented to the 44th Council of Foreign Ministers. Abidjan, Republic of Côte d'Ivoire. Hlm. 94. Diunduh dari https://www.oic-oci.org>islamophobia

The Paris Black Friday 13/11/2015 Attacks – What do we know? What should we do? A Special Report by International Institude for Counter-Terrorism. 2015. IDC Herzliya. Diunduh dari https://www.ict.org.il/Article/1512/The-Paris-Black-Friday-Attacks

The Preparatory Meetings of the 11th Islamic Conference of Information Ministers kick off in Jeddah (19/12/2016). Diunduh dari https://www.oic-oci.org

Skripsi dan Thesis

Cahyo, Septian Tri. Upaya Organisasi Kerjasama Islam (OKI) Mengurangi Fenomena Islamophobia di Belanda Pasca Peristiwa 9/11. 2015. FISIP UMY. http://repository.umy.ac.id diakses pada 14 April 2017.

Edvardsson, Linda. Islamophobia: Features of Islamophobia and Strategies Againts It. Thesis of Department of International Migration and Ethnic Relations (IMER 91-120). 2008. Malmo University.

Saflembolo, Monalisa. Upaya Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam mengatasi konflik etnis antara muslim Rohingya dan Budha Rakhine di Myanmar (2011-2014). 2015. Yogyakarta: UPN Veteran. http://eprints.upnyk.ac.id diakses pada 15 April 2017.

Waters, Lilian. French or Muslim? “Rooted” French Perseptions of the Muslim Community in France. Undergraduate Honors Theses. 1199. University of Colorado at Boulder. 2016. Diunduh dari https://scholar.colorado.edu/honr_theses/1199

xvii

Online Site:

Abdelkader, Engy. A Comparative Analysis of European Islamophobia: France, UK, Germany, Netherlands, and Sweden. 2015. Diunduh dari http://ssm.com/abstract=2844224

About iphrc. Diunduh dari https://www.oic-iphrc.org/en/about

Afp and Simon Holmes. Deeply unpopular Hollande calls for France to 'embrace' Islam and rejects calls for a nationwide burkini ban. september 2016. www.dailymail.co.uk

Arbi, Hanan Rananta. Reaksi Uni Eropa terhadap Islamophobia di Perancis pada tahun 2011-2015.http://hi.fisip.uns.ac.id diakses pada 15 April 2017.

Barakat, Mahmoud. After Paris, Islamophobia reaching 'alarming' levels: OIC. (25 nov 2015). Diunduh dari https://www.aa.com.tr/en/todays-headlines/

Britton, J. Muslims, racism, and Violence After the Paris Attack. Sociological Research Online. 2015. White Rose University Consortium. Diunduh dari http://eprints.whiterose.ac.uk/94261/

Chaudry, Afia Ahmed. How Do the Media fuel Islamophobia? (14 mei 2016). Diunduh dari http://www.waccglobal.org/articles/how-do-the-media-fuel-islamophobia

Chrisafis, Angelique. France launches major anti-racism and hate speech campaign. 17 april 2015. The guardian. Diunduh dari https://www.theguardian.com/world/2015/apr/17/france-launches-major-anti-racism- and-hate-speech-campaign

Cordesman, Anthony H. Trend in Extremist Violance and Terrorism in Europe through End- 2016. Washington DC. 2017. Diunduh dari https://www.csis.org>analysis>trends- extremist-violence-and-terrorism-europe-through-end-2016

Country Profile: France. Religious Literacy project. Harvard Divinity School. 2016. Diunduh dari https://rlp.hds.harvard.edu/publications/france-country-profile

Dewan Keamanan PBB Keluarkan Resolusi Lawan ISIS. BBC Indonesia. November 2015. Diunduh dari https://www.bbc.com/indonesia/dunia/2015/11/151121_dunia_pbb_isis_resolusi&hl=e n-ID

Emmanuel Macron has a history buff’s view of Islam and religious strife. Mei 2017. Erasmus: France, Sekularism, and Religion. Diunduh dari www.economist.com

EU-OIC toward a closer partnership. European union external action. Diunduh dari https://eeas.europa.eu/headquarters/headquarters-homepage_en/20607/

Fatah, Tarek. In France, Macron is the radical, not Le Pen. April 2017. www.torontosun.com

xviii

France’s Disaffected Muslims Businessman. BBC News. (2005). Diakses melalui http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/4405790.stm pada 19 Oktober 2017.

Gee, Oliver. French people are less xenophobic but still wary of Islam. 13 maret 2017. Diunduh dari https://www.thelocal.fr/20170330/french-become-more-tolerant-as- number-of-racist-acts-drop

Higgins, Andrew. Attack in Paris. New York Times. November 2015. Diakses dari https://www.nytimes.com.news-event pada tanggal 31 Oktober 2017.

High Level Forum on Anti-Muslim Discrimination and Hatred. European union external action. Januari 2017. Diunduh dari https://eeas.europa.eu/diplomatic- network/organisation-islamic-cooperation-oic/18773/high-level-forum-anti-muslim- discrimination-and-hatred_en https://www.oic-oci.org https://www.oic-oci.org>islamophobia

Hume, Tim and Lauren Said-Moorhouse. Hollande: Republic must create 'Islam of France' to respond to terror threat. CNN. Desember 2016. Diunduh dari https://www.edition.cnn.com

Insiden Anti-Muslim Meningkat di Perancis. Diakses dari https://www.voaindonesia.com/a/insiden-anti-muslim-meningkat-di- perancis/3069652.html pada 20 Oktober 2017.

ISIS Klaim Serangan Teror di Paris, Bersumpah Lakukan Lebih Banyak Serangan. (14/11/2015) VOA Indonesia. https://www.voaindonesia.com/amp/3057977.html

Lohhmann, Leo. U.N. Leader Blames 'Islamophobia' for Rising Global Terror. 'It's your fault that they're killing you' (18/02/2017) diunduh dari https://mobile.wnd.com/2017/02/u- n-leader-blames-islamophobia-for-rising-global-terror/

Member States. Organization of Islamic Cooperation. www.oic-oci.org

Muslim in the European Union: Discrimination and Islamophobia. European Monitoring Centre on Racism and Xenophobia. 2006. . Diunduh dari https://fra.europa.eu>156- manifestation_EN

Observers. Organization of Islamic Cooperation. www.oic.oci.org

OIC and EU agree to settle a common ground for partnership in different areas. (16/09/2014) diunduh dari https://www.oic-oci.org

OIC Condemns Attack on French Police on Avenue Champs Elysée in Paris (21/04/2017) diunduh dari https://www.oic-oci.org

OIC Condemns Terrorist Attack at the Louvre Museum (04/02/2017). Diunduh dari https://www.oic-oci.org

xix

OIC Contributes to the Celebration of the World Interfaith Harmony Week. Februari 2017. Diunduh dari https://www.oic-oci.org

OIC Holds a Meeting on Mechanisms to Counter Islamophobia through Media (22/10/2016)

OIC Secretary General Leaves for France to Participate in the International Peace Conference. Januari 2017. Diunduh dari https://www.oic-oci.org

OIC Secretary General Receives the Representative of the European Union to OIC (01/06/2017). Diunduh dari https://www.oic-oci.org

OIC Secretary General Sends Congratulatory Message to French President-elect Emmanuel Macron. Mei 2017. Diunduh dari https://www.oic-oci.org

OIC Secretary General Strongly Condemns the terrorist attacks in Paris (14/11/2015). Diunduh dari https://www.oic-oci.org

OIC Secretary General Visits European Union, Meets High Officials (15/02/2017) diunduh dari https://www.oic-oci.org

OIC Strongly Condemns Car Attack on Soldiers in Paris (11/08/2017). Diunduh dari https://www.oic-oci.org

Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Diakses dari http://www.kemlu.go.id/id/kebijakan/kerjasama-multilateral/pages/organisasi- kerja-sama-islam.aspx

Paris attacks: “Crime against humanity, crime against culture” – UN expert on cultural rights. United Nations Human Right: Office of The High Commissioner. November 2015. Diunduh dari https://www.ohchr.org/EN/NewsEvents/Pages/DisplayNews.aspx?NewsID=16762

Pineau, Elizabeth et al. France's Hollande sees a 'problem with Islam', according to new book. Desember 2015. Reuters. Diunduh dari www.reuters.com

Rose, Michael. Macron outlines vision of French Islam, drops more ambition hints. October 2016. Diunduh dari www.reuters.com

The Fight Againts Terrorism. Permanent Mission of France to the UN in New York. (08/02/2018). Diunduh dari https://onu.delegfrance.org/The-Fight-against- Terrorism#header

The Secretary General Calls for Raising Global Awareness of the Dangers of the Growing Manifestations of Islamophobia. Diunduh dari https://www.oic-oci.org

Tri Ratomo, Unggul Tri. Teror Paris - PBB setujui segala cara untuk lawan ISIS. Sabtu, 21 November 2015. Diunduh dari https://m.antaranews.com/berita/530702/

Willsher, Kim. François Hollande: France has 'a problem with Islam'. The Guardian. Paris. Oktober 2016. Diunduh dari www.guardian.com

xx

LAMPIRAN

Daftar Negara-Negara Anggota OKI, Beserta Tahun Keikutsertaannya:

No State Since 1 Republic of Azerbaijan 1992 2 Hashemite Kingdom of Jordan 1969 3 Islamic Republic of Afghanistan 1969 4 Republic of Albania 1992 5 State of The United Arab Emirates 1972 6 Republic of Indonesia 1969 7 Republic of Uzbekistan 1996 8 Republic of Uganda 1974 9 Islamic Republic of Iran 1969 10 Islamic Republic of Pakistan 1969 11 Kingdom of Bahrain 1972 12 Brunei Darussalam 1984 13 People's Republic of Bangladesh 1974 14 Republic of Benin 1983 15 Burkina-Faso 1974 16 Republic of Tajikistan 1992 17 Republic of Turkey 1969 18 Turkmenistan 1992 19 Republic of Chad 1969 20 Republic of Togo 1997 21 Republic of Tunisia 1969 22 People's Democratic Republic of Algeria 1969 23 Republic of Djibouti 1978 24 Kingdom of Saudi Arabia 1969 25 Republic of Senegal 1969 26 Republic of the Sudan 1969 27 Syrian Arab Republic 1972 28 Republic of Suriname 1996 29 Republic of Sierra Leone 1972 30 Republic of Somalia 1969 31 Republic of Iraq 1975 32 Sultanate of Oman 1972 33 Republic of Gabon 1974 34 Republic of Gambia 1974 35 Republic of Guyana 1998 36 Republic of Guinea 1969 37 Republic of Guinea-Bissau 1974

xxi

38 State of Palestine 1969 39 Union of The Comoros 1976 40 Kyrgyz Republic 1992 41 State of Qatar 1972 42 Republic of Kazakhstan 1995 43 Republic of Cameroon 1974 44 Republic of Cote D'Ivoire 2001 45 State of Kuwait 1969 46 Republic of Lebanon 1969 47 Libya 1969 48 Republic of Maldives 1976 49 Republic of Mali 1969 50 Malaysia 1969 51 Arab Republic of Egypt 1969 52 Kingdom of Morocco 1969 53 Islamic Republic of Mauritania 1969 54 Republic of Mozambique 1994 55 Republic of Niger 1969 56 Federal Republic of Nigeria 1986 57 Republic of yemen 1969

xxii