SEMINAR NASIONAL SCAN#6:2015 “Finding The Fifth Element… After Water, Earth, Wind, and Fire” Local Wisdom and Cultural Sustainability

KONSEP TATA RUANG DAN BANGUNAN

Iwan Purnama ¹) Program Studi Arsitektur Sekolah Tinggi Teknologi Cirebon ¹) E-mail : [email protected], [email protected] ¹)

ABSTRACT

As one of the relics of cultural heritage on the island of , Kasepuhan in Cirebon is similar with other palace on Java as the center of power and culture. However, it lies on the coast provide different effects to the palace which located in the hinterland. The pre-Islamic culture was also characterized the spatial of palace. This qualitative paper aims to explore what the spatial concept of Kasepuhan. The study shows the pre-Islamic culture and natural conditions around also influenced the spatial concept of Kasepuhan. Keywords : cirebon, palace, nature, spatial.

1. PENDAHULUAN Dalam sejarah dan perkembangannya, keberadaan keraton tentu memiliki peran penting, bukan saja sebagai tempat tinggal raja atau penguasa, tetapi juga sebagai pusat kekuasaan dan pemerintahan, dimana dulu menjadi orientasi utama sosial masyarakat. Tata letak keraton merupakan gambaran dari susunan alam semesta yang digambarkan sebagai susunan gunung mahameru dimana setiap bagian dalam lingkungan keraton memiliki arti dan peran tersendiri. Beberapa penelitian terkait konsep keraton (Chaerosti, 1990), (Wibawa, 2002), (Adhy Setiawan, 2000), (Larasati, 2012), (Rosmalia, 2013) menunjukkan bahwa keraton merupakan sebuah konsep alam semesta (makrokosmos) dalam bentuk kecil, dimana daerah-daerah atau bagian-bagian keraton dibentuk oleh lingkaran-lingkaran yang memusat atau konsentris. Bagian paling dalam lingkaran tersebut merupakan sumber kekuatan yang akan berkurang pengaruhnya pada bagian luar. Selain perkara nilai filosofi dan simbolik pada pembagian halaman tata bangunan keraton, keberadaan halaman yang dibentuk oleh elemen alam seperti berupa taman, pepohonan, sungai, kolam dan lain sebagainya memberikan pemahaman pula akan pentingnya hubungan manusia dengan lingkungan sekitar.

2. KAJIAN PUSTAKA Sebagai pusat kebudayaan dan kekuasaan, keraton tentunya memiliki tatanan tersendiri. Hal ini menjadi dasar beberapa definisi mengenai keraton yang diartikan sebagai negara, kerajaan, tempat kediaman raja yang dilengkapi oleh alun-alun, bangunan unik, dll (Soeratman, 1989). Keraton dipahami juga sebagai tempat menjalankan administrasi pemerintahan, tempat tinggal raja, pejabat dan kerabatnya, tempat menerima para tamu, tempat menghadap raja atau balairung, tempat menerima seba atau witana hingga penyelenggaraan berbagai ritual (Mulyana, 1983). Keraton sebagai pusat kekuasaan dan kebudayaan merupakan wujud kepercayaan atau kesadaran terdapatnya hubungan yang erat antara susunan alam semesta dengan makhluknya (makro dan mikro kosmos). Raja dianggap sebagai titisan Yang Maha Kuasa yang memiliki kelebihan dan kedekatan denganNya. Selain sebagai tempat kediaman raja, pusat kekuasaan, keraton juga sebagai cermin tuntunan perjalanan hidup manusia di dunia hingga di alam baka. Tuntunan perjalanan hidup sebagai konsep simbolisme melekat pada wujud fisik dan non fisik keraton yang tersusun dalam sistem bernilai filosofis-religus, simbolisme keraton pun kemudian mengandung konsep filosofi, kosmologi, dualisme, hirarki dll (Adhy Setiawan, 2000). Dalam konsep filosofi, raja yang tinggal di keraton bertugas untuk menjaga keserasian antara mikro kosmos dan makro kosmos. Dalam konsep kosmologi Jawa kuno, struktur kosmos merupakan inti struktur yang dikelilingi oleh tujuh lapisan samudera dan tujuh lapisan daratan. Konsep dualisme

22 FINDING THE FIFTH ELEMENT… AFTER WATER, EARTH, WIND, AND FIRE

SEMINAR NASIONAL SCAN#6:2015 “Finding The Fifth Element… After Water, Earth, Wind, and Fire” Local Wisdom and Cultural Sustainability menunjukkan terdapatnya pemahaman kesatuan tunggal dalam kehidupan. Konsep hirarki menggambarkan terdapatnya pembagian 3 (tiga) dunia atau buwana dalam arah vertikal, dunia bawah, tengah dan atas (Adhy Setiawan, 2000). Secara umum tatanan bangunan dan lingkungan, termasuk keraton terdiri dari pola tata ruang luar dan pola tata ruang dalam. Menurut Yoshinobu Ashihara dalam (Monika, 2002) pengertian pola tata ruang luar adalah ruang yang dipisahkan dari alam dengan sebuah bingkai sehingga menjadi lingkungan buatan untuk tujuan tertentu yang dapat dijabarkan sebagai suatu ruang yang penuh fungsi. Masih dalam (Monika, 2002), menurut (Hakim,1987), ruang luar merupakan suatu wadah yang dapat menampung kegiatan aktivitas tertentu dari warga lingkungan baik secara individu maupun kelompok. Pola tata ruang luar yang berbeda menimbulkan fungsi yang berbeda pula antara lain : sebagai penerima, pengikat, pembatas dan pembentuk ruang visual. Tatanan bangunan dan lingkungan pun kemudian membentuk sebuah lansekap. Elemen lansekap terdiri dari elemen mayor seperti : gunung, lembah, sungai, dataran pantai, danau, lautan dan lain-lain serta elemen minor yang dapat diolah dengan melindungi, menghancurkan, mengubah dan membuat aksentuasi bentuk alam (Simonds, 1961). Secara umum, elemen lansekap sendiri dapat dibagi menjadi 2 (dua) golongan besar berupa elemen keras, hard material seperti perkerasan dan bangunan serta elemen lembut, soft material seperti tanaman, atau hal lain yang dilihat berdasar bentuk, tekstur, warna dan ukurannya (Hakim, 1987).

3. METODE PENELITIAN Studi mengenai konsep tata ruang dan bangunan Keraton Kasepuhan ini dilaksanakan secara kualitatif dengan menganalisis posisi keraton dengan wilayah Kota Cirebon dimana keraton berada, pembentukan ruang yang terjadi serta menganalisis keberadaan bangunan-bangunan di dalam kompleks Keraton Kasepuhan sendiri. Tinjauan dari tingkat makro ke tingkat mikro menjadi teknik pembahasan studi ini. Selain melalui studi literatur beberapa tulisan, kajian atau penelitian terkait keberadaan keraton-keraton, pengumpulan data dilaksanakan juga melalui observasi. Alat-alat yang digunakan dalam observasi tersebut antara lain dengan wawancara mendalam, photo, arsip dan lain sebagainya.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Keberadaan keraton sebagai pusat kekuasaan dulu didukung oleh posisi strategisnya berada di pesisir pantai Utara pulau Jawa yang tumbuh dan berkembang sebagai jalur penting perdagangan dan pelayaran antar bangsa pada masa keemasannya. Keraton Kasepuhan dan keraton lainnya menjadi bagian penting dalam perkembangan Kota Cirebon. Selain sebagai pusat kekuasaan dulu dan pusat kebudayaan sekarang, ternyata tata ruang Keraton Kasepuhan menyimpan kearifan lokal dalam perencanaan bangunan dan lingkungannya. Secara umum geografis wilayah Kota Cirebon dimana Keraton Kasepuhan mencakup dataran rendah, dataran tinggi hingga pegunungan. Beberapa gunung yang terdapat di sekitar Kota Cirebon antara lain Gunung Ciremai, Gunung Sawal dan juga Gunung Cakrabuana. Selain pegunungan, Cirebon pun memiliki pesisir pantai hingga sempat menjadi pelabuhan besar di Pulau Jawa. Posisinya seakan terlindungi oleh semenanjung Indramayu dan karang-karang di sebagian lepas pantai dengan pintu masuk sebelah Utara Muara Sungai Losari. Kota Cirebon pun tumbuh dan berkembang dipengaruhi oleh kondisi geografis dan lingkungannya, termasuk keberadaan sungai-sungai yang melintasi wilayah ini dengan perannya yang sangat penting sebagai sarana transportasi dari arah laut menuju pedalaman atau sebaliknya. Berdasarkan sumber sejarah, beberapa sungai-sungai seperti sungai Cimanuk, sungai Cipekik, sungai Kasunean dan sungai Losari memiliki peran penting. Sungai Cimanuk di sebelah Utara dan Sungai Losari di sebelah Timur berperan menghubungkan daerah pesisir (Cirebon Larang) dan daerah pedalaman (Cirebon Girang). Sungai Kesunean pun diduga dapat dilayari hingga pedalaman. Peranan sungai-sungai sebagai sarana transportasi ini terjadi sebelum pesatnya perkembangan jalur darat pada sekitar awal abad ke-19. Dengan potensi lingkungan fisik berupa sungai dan pesisir, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota yang berkembang dari permukiman desa. Beberapa desa yang menjadi awal pertumbuhan tersebut antara lain : Desa Pesambangan, Desa Lemahwungkuk, Desa Mundu Pesisir, Desa Losari dan Desa (Deputi Sejarah dan Purbakala, 2003). Desa Lemahwungkuk dimana kemudian terdapat Keraton Kasepuhan, berkembang dengan dukungan sungai Sipadu dan sungai Kesunean. Sehingga tidak heran, selain berupa sungai, lansekap Kota Cirebon pun ditandai oleh keberadaan kolam-kolam atau biasa disebut Balong. Petratean yang menjadi nama jalan terdapat balong yang sekarang telah menjadi Pasar Balong.

23 FINDING THE FIFTH ELEMENT… AFTER WATER, EARTH, WIND, AND FIRE

SEMINAR NASIONAL SCAN#6:2015 “Finding The Fifth Element… After Water, Earth, Wind, and Fire” Local Wisdom and Cultural Sustainability

Sungai Sipadu dan Sungai Kriyan menjadi batas kawasan utama Keraton Kasepuhan di bagian Utara dan bagian Selatan. Jembatan pada sungai Sipadu yang dikenal sebagai kreteg pangrawit menjadi pintu masuk Keraton Kasepuhan dari arah Utara, sementara lawang sanga yang berada si sempadan sungai Kriyan menjadi pintu masuk Keraton Kasepuhan dari arah Selatan. Keraton Kasepuhan menghadap ke Utara dimana terdapat alun-alun yang diberi nama sang kala buwana. Alun-alun ini dahulu digunakan untuk tempat perayaan kegiatan besar kerajaan.

Gambar 1. Alun-Alun dan Kreteg Pangrawit

Seperti halnya keraton-keraton di Pulau Jawa yang terbagi pada beberapa bagian, tata letak Keraton Cirebon pun terdiri dari 3 (tiga) bagian halaman dengan gapura sebagai penghubung diantaranya. Pembagian halaman tersebut dapat kita temukan pula pada pura atau puri di . Halaman-halaman tersebut dihubungkan oleh gapura. Gapura-gapura yang menjadi penghubung tersebut berbentuk di bagian muka serta pada halaman berikutnya. Dengan demikian, pembagian halaman pada Keraton Kasepuhan mengikuti pula konsep kosmologi pada masa pra-Islam. Dalam halaman-halaman tersebut ditempatkan bangunan-bangunan yang mempunyai fungsi berbeda tetapi tetap menunjukkan keteraturan dalam penempatannya. Bangunan-bangunan yang berada pada halaman pertama dan kedua ditempatkan di bagian Barat dan Timur. Umumnya bangunan yang berada di sebelah Barat menghadap ke sebelah Timur serta sebaliknya dengan mayoritas penggunaan bangunan terbuka atau semi terbuka seperti pada bangunan pancaratna, pancaniti, srimanganti, langgar agung, lunjuk dan sebaginya. Sebelum memasuki kompleks keraton, pada bagian depan terdapat bangunan pancaniti dan pancaratna. Arti pancaratna sendiri berasal dari kata panca yang berarti lima, digambarkan sebagai panca indera dan ratna yang berarti suka. Bangunan pancaratna diartikan sebagai jalannya kesukaan dimana bangunan tersebut dahulu berfungsi sebagai tempat menghadap penggede desa yang diterima keraton. Pancaniti sendiri berasal dari kata panca yang diartikan sebagai jalan dan niti yang berasal dari kata nata yang berarti raja. Fungsi pancaniti sendiri dahulu bangunan yang digunakan untuk kegiatan para prajurit.

Gambar 2. Pancaniti dan Pancaratna dan Pengada

Pada halaman pertama keraton terdapat juga tanah yang ditinggikan ± 50 cm berupa kompleks siti inggil yang dikelilingi oleh tembok dan dihubungkan dengan 2 (dua) gapura adi dan gapura banteng. Di dalam kompleks siti inggil terdapat 5 (lima) buah bangunan yaitu : semar tinandu, semirang, pandawa lima, mande karesmen dan mande pengiring. Semar tinandu bertiang 2 (dua) yang menggambarkan dua kalimah sahadat, dahulu berfungsi sebagai tempat penghulu atau penasehat raja; malang semirang bertiang pokok 6 (enam) buah yang menggambarkan rukun iman berfungsi sebagai tempat raja menyaksikan prajurit berlatih, melihat keramaian di alun-alun atau melihat proses pengadilan di pancaniti; pandawa lima berfungsi sebagai tempat pengawal raja; mande karesmen berfungsi sebagai tempat penabuh serta mande pengiring tempat prajurit pengawal raja. Bangunan-bangunan yang berada si kompleks siti inggil ini diteduhi kerindangan pohon tanjung yang seolah melindungi juga keberadaan batu lingga dan yoni dibawahnya sebagai simbolisasi kesuburan ((Disbudpar Kota Cirebon, 2006).

24 FINDING THE FIFTH ELEMENT… AFTER WATER, EARTH, WIND, AND FIRE

SEMINAR NASIONAL SCAN#6:2015 “Finding The Fifth Element… After Water, Earth, Wind, and Fire” Local Wisdom and Cultural Sustainability

Gambar 3. Kompleks Siti Inggil

Melengkapi kompleks siti inggil, pada halaman pertama tepat disamping Barat terdapat lapangan yang dinamakan taman giyanti. Pada bagian Selatan siti inggil terdapat bangunan tanpa dinding menghadap barat yang dinamakan pengada sebelum memasuki halaman kedua kompleks keraton. Seperti halnya posisi halaman muka, maka bangunan-bangunan terbuka atau semi terbuka pada halaman pertama pun menggambarkan bangunan yang bersifat profan. Pada halaman kedua keraton setelah melalui gerbang bentar atau gerbang lonceng, terdapat taman luas yang dinamakan kemandungan yang memiliki arti “andalan atau cadangan” yang terkait dengan keperluan prajurit dan perlatan persenjataannya. Tepat pada bagian Barat halaman, terdapat langgar agung sebagai tempat perayaan upacara yang dinaungi oleh beberapa pohon mangga. Fungsi langgar agung sebagai tempat ibadah dilengkapi oleh keberadaan sang mangir pada bagian Selatan.

Gambar 4. Taman Giyanti dan Langgar Agung

Tepat pada bagian depan halaman ketiga dimana bangunan inti keraton berada, terdapat taman bunderan dewandaru. Sesuai namanya, pada taman ini terdapat pohon tua. Bunderan dewandaru sendiri mempunyai arti filsafat yaitu bunderan, bulat yang berarti sepakat serta dewa yang berarti orang halus serta daru yang berarti cahaya. Sehingga bisa dimaknai pentingnya bagi manusia untuk bisa menerangi sesamanya yang masih hidup dalam kegelapan. Keberadaan pohon soka meneduhi pula sebuah patung lembu (nandi), patung dua macan putih, meriam ki sentana dan nyi santomi, meja dan bangku batu yang dikelilingi oleh susunan batu cadas putih. Pohon soka sendiri melambangkan hidup bersuka hati. Di sebelah timur meriam terdapat pohon tanjung, yang melambangkan “nanjung”, tahta, bertahta, yang dihubungkan dengan pepatah “nanjung ratu waskita swalaning pranala” yang artinya “jadi raja mengetahui penderitaan rakyatnya (Marwoto, 1981).

Gambar 5. Pintu Masuk Keraton dan Taman Bunderan Dewandaru

Pada area sebelah Barat taman terdapat gedung Museum Benda Kuno dimana dipamerkan koleksi benda peninggalan kerajaan yang bernilai penting. Sementara pada area Timur berdiri gedung Museum Kereta. Keberadaan kereta kebanggaan ini, dilengkapi dengan tandu jempana yang

25 FINDING THE FIFTH ELEMENT… AFTER WATER, EARTH, WIND, AND FIRE

SEMINAR NASIONAL SCAN#6:2015 “Finding The Fifth Element… After Water, Earth, Wind, and Fire” Local Wisdom and Cultural Sustainability digunakan oleh permaisuri dan putera mahkota, serta tandu garuda mina yang digunakan untuk mengarak putera raja yang akan dikhitan. Pada gedung ini terdapat juga benda peninggalan seperti tombak, keris, payung keropak, gada dan lain-lain. Di samping Selatan museum benda kuno berdiri bangunan tanpa dinding yang dinamakan lunjuk, berhadapan dengan pendopo srimanganti yang kerap dijadikan tempat untuk latihan menari dan menabuh gamelan. Lunjuk sendiri berasal dari kata “tunjuk” yang berarti memberi petunjuk. Ketika akan memasuki jinem pangrawit yang dahulu berfungsi sebagai tempat menerima tamu, kita melewati gapura kutagara wadasan. Gerbang berwarna putih dihiasi mega mendung dengan alas wadasan dan beratap sirap tersebut dulu digunakan parkir kendaraan raja. Wadasan sendiri juga dimaknai sebagai pentingnya manusia mempunyai dasar atau pondasi keimanan yang kuat. Gerbang utama keraton tersebut dilengkapi juga keberadaan pintu buk bacem di sisi Timur dan Barat

Gambar 6. Gajah Nguling, Lunjuk, Museum , Museum Benda Kuno dan Langgar Alit . Dari jinem pangrawit kita akan memasuki gajah nguling untuk menuju bangsal pringgadani, bangsal prabayasa dan bangsal agung panembahan yang menjadi tempat singgasana raja, tempat duduk permaisuri dan putera mahkota, tempat tidur raja serta beberapa kebesaran keraton. Disebut gajah nguling karena letak bangunan ini tidak lurus mengarah Utara-Selatan tetapi agak ke Barat Laut yang dianggap menyerupai belalai gajah jika sedang menguak (Marwoto, 1981). Miringnya arah bangunan tersebut diartikan juga sebagai orientasi keraton ke arah Astana Gunung Jati dan arah Kiblat. Sementara bangsal pringgadani dan prabayasa sekarang sering digunakan untuk menerima tamu , termasuk wisatawan mancanegara. Dahulu bangsal prabayasa digunakan sultan bersidang dengan pembesar keraton dan tempat memberi perintah kepada patih dan bupati. Prabayasa sendiri diartikan sebagai bangunan yang bercahaya, praba berarti cahaya dan yasa berarti bangunan (Marwoto, 1981).

Gambar 7. Bangsal Prabayasa dan Bangsal Pringgodani

Sebelah Timur bangsal pringgadani berdiri dalem arum yang menjadi tempat tinggal sultan, keputren yang menjadi tempat tinggal puteri sultan dan keputran yang menjadi tempat tinggal putera sultan. Di sebelah Barat berdiri langgar alit tempat mengaji al-quran pada bulan Ramadhan. Di belakang bangsal agung panembahan terdapat serambi yang dinamakan pungkuran, yang digunakan juga sebagai tempat menyimpan sesaji pada perayaan muludan. Selain itu, terdapat beberapa bangunan lain di sekitar gedung induk seperti pamburatan, tempat membuat parem untuk perayaan muludan dan dapur mulud, tempat memasak makanan untuk perayaan muludan.

26 FINDING THE FIFTH ELEMENT… AFTER WATER, EARTH, WIND, AND FIRE

SEMINAR NASIONAL SCAN#6:2015 “Finding The Fifth Element… After Water, Earth, Wind, and Fire” Local Wisdom and Cultural Sustainability

Pada halaman belakang keraton terdapat bukit buatan yang dinamakan gunung indrakila. Selain gunung indrakila, dahulu terdapat gunung semar, gunung jati dan gunung serandil di sisi Barat. Keberadaan gunung-gunung tersebut, dijadikan pula orientasi pembentukan Keraton Kasepuhan, dimana gunung menjadi sesuatu yang disucikan. Keberadaan halaman belakang semakin asri dengan keberadaan kolam langensari dimana terdapat bangunan balai kambang diatasnya. Air yang terdapat pada kolam tersebut berasal dari sungai atau kali kriyan di bagian Selatan keraton. Kondisi tersebut menunjukkan bagaimana keraton Kasepuhan dibangun berdasarkan pertimbangan kondisi lingkungan alam sekitarnya. Pentingnya interaksi dengan lingkungan sekitar, dapat dilihat pula pada keberadaan bangunan pagelaran yang sekarang digunakan sebagai tempat pertemuan dan pementasan kesenian.

Gambar 8. Bale Kambang, Indrakila dan Kolam

Sebagai pintu masuk bagian Selatan terdapat bangunan lawang sanga. Bangunan beratap limas ini memiliki pintu yang berjumlah sembilan. Jumlah sembilan disini dianggap melambangkan jumlah lubang pelepasan manusia (Marwoto, 1981). Selain memiliki makna tersebut, keberadaan lawang sanga di bagian Selatan keraton yang dahulu berfungsi sebagai bangunan pabean, menunjukkan pula peran penting keraton dalam aktivitas perekonomian wilayah. Keraton Kasepuhan merupakan pengembangan dari Keraton Pakungwati sebagai keraton tertua diantara keraton-keraton lain di Kota Cirebon yang dibangun tahun 1452 (Disbudpar Kota Cirebon, 2006). Pendirian Keraton Pakungwati diduga bersamaan dengan pendirian Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Siti Inggil dan Alun-Alun. Pakungwati juga disebut puserbumi atau negara gede puserbumi. Sekarang Keraton Pakungwati dikenal sebagai dalem agung yang terletak di bagian Timur Laut kompleks Keraton Kasepuhan. Dahulu kompleks ini merupakan istana yang digunakan Sunan Gunung Jati (Dadan Wildan, 2012).

Gambar 9. Dalem Agung dan Taman Kanyapuri

Keberadaan Keraton Pakungwati pun tidak terlepas dari sungai atau kali dalam pembentukannya. Di dalam pustaka Pakungwati Carbon tahun 1779 dijelaskan : “Keraton ini didirikan di sebelah Barat Kali Karyan, dahulu disebut Kali Carbon, yang dalam jaman Hindu disebut Kali Subha. Sebelah hulunya disebut Kali Gangga dan di sebelah hulunya lagi disebut Carbon Girang” (Setia Permana, 2015).

Gambar 10. Sumur Bandung, Sumur Kejayaan dan Panyucen

27 FINDING THE FIFTH ELEMENT… AFTER WATER, EARTH, WIND, AND FIRE

SEMINAR NASIONAL SCAN#6:2015 “Finding The Fifth Element… After Water, Earth, Wind, and Fire” Local Wisdom and Cultural Sustainability

Didalam area dalem agung terdapat bangunan yang disebut karangpawitan serta bebera pa bangunan yang kini tidak utuh. Pada bagian dalam kompleks ini terdapat 2 (dua) buah sumur yang dikenal dengan sumur upas dan sumur kejayaan. Dahulu keberadaan sumur tersebut selain digunakan untuk bersembahyang juga merupakan persediaan air dalam kompleks keraton (Yayasan Mitra Budaya , 1982), yang sekarang sering digunakan orang untuk ritual siraman nuju bulan, midodareni, bangun rumah dan lain-lain. Selain itu, pada kompleks Keraton Pakungwati terdapat pula taman kanyapuri dimana terdapat banyak karya seni wadasan yang mengelilinginya yang dahulunya dijadikan para pembesar istana untuk menikmati sejuknya istana. Keasrian taman seakan dilengkapi oleh adanya sumur bandungan yang sering digunakan pula untuk kepentingan spriritual tertentu.

Gambar 11. Kompleks Keraton Kasepuhan

5. KESIMPULAN Pembagian halaman pada Keraton Cirebon merupakan penggunaan kosmologi yang diterapkan pada masa pra-Islam karena pemikiran mikrokosmos (alam manusia) kerajaan yang harus ada sebagai pencerminan makrokosomos. Pembagian halaman, letak gapura serta bangunan-bangunan yang didirikan menggambarkan konsep hirarki pada keraton, dimana area bagian luar bersifat lebih profan dan semakin ke dalam semakin sakral. Arah Utara-Selatan keraton dipengaruhi pula oleh kepercayaan Jawa yang kuat yang menganggap arah Selatan dari laut Indonesia sebagai hal suci. Dalam perkembangannya masyarakat berorientasi pula ke pegunungan, Gunung Sembung yang terletak di Cirebon pun kemudian menjadi orientasi

28 FINDING THE FIFTH ELEMENT… AFTER WATER, EARTH, WIND, AND FIRE

SEMINAR NASIONAL SCAN#6:2015 “Finding The Fifth Element… After Water, Earth, Wind, and Fire” Local Wisdom and Cultural Sustainability pula. Di kompleks Keraton Kasepuhan terdapat bukit yang menyerupai gunung yaitu gunung indrakila. Kondisi ini menggambarkan adanya kepercayaan masyarakat terhadap gunung sebagai tempat yang disucikan. Pembagian halaman, penempatan poros Utara-Selatan serta konsep hirarki pada tata letak Keraton Kasepuhan menggambarkan juga pengaruh budaya Hindu di Indonesia, kebudayaan masa pra-Islam yang tetap bertahan pada masa kebudayaan Islam. Meskipun demikian, tata letak bangunan Keraton Kasepuhan tidak benar-benar simetri sehingga ruang dan bangunan tidak dapat diposisikan dalam lingkaran kosmos secara berpasangan dengan poros Utara-Selatan. Selain terkait beberapa konsep filosofi, kosmologi, dualisme dan hirarki, tata ruang dan bangunan Keraton Kasepuhan dipengaruhi oleh kondisi alam sekitar. Pada tingkatan makro keberadaan laut, sungai, kali, gunung hingga bukit, balong, kolam ataupun sumur di tingkatan mikro merupakan elemen pembentuk tata ruang dan tata bangunan keraton. Keberadaan elemen-elemen tersebut berperan dalam mendukung kesan keruangan, memberi kesan luas, mendekatkan jarak, sebagai pembatas, pemersatu massa bangunan hingga membentuk kesinambungan suasana di lingkungan keraton.

6. DAFTAR PUSTAKA 1. Adhy Setiawan, Eko., 2000, Konsep Simbolisme Tata Ruang Luar Keraton Surakarta Hadiningrat, : Tesis-Program Pasca Sarjana Magister Teknik Arsitektur Universitas Diponegoro Semarang. 2. Chaerosti, Lindia., 1990, Tata Ruang dan Tata Bangunan Keraton-Keraton di Cirebon, : Skripsi-Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia. 3. Deputi Sejarah dan Purbakala., 2003, Penelitian Tata Kota Kuna di Wilayah Kasultanan Cirebon Provinsi Jawa Barat, Jakarta : Asisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional. 4. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cirebon., 2006, Potensi Wisata Budaya Kota Cirebon, Cirebon : Neo Technology. 5. Hakim, Rustam., 1987, Unsur Perancangan dalam Arsitektur Lansekap, Jakarta : Bina Aksara. 6. Larasati, Dewi., Bentuk dan Makna Nama-Nama Bangunan Pokok di Keraton Kasunanan Surakarta, Semarang : Skripsi- Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Universitas Negeri Semarang. 7. Marwoto, Irmawati., 1981, Kasepuhan dari Abad Tujuh Belas : Sebuah Deskripsi dan Tinjauan Arkeologis, Jakarta : Skripsi-Jurusan Ilmu Ilmu Sejarah Seksi Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia. 8. Mulyana, Slamet., 1983, Pemugaran Persada Sejarah Leluhur , Jakarta : Inti Idayu Press. 9. Rintan Budi P, Monika., 2002, Pengaruh Pola Tata Ruang Bangunan Wisata Air terhadap Kenyamanan Pengunjung, Semarang : Seminar-FT Jurusan Arsitektur Universitas Katolik Soegijapranata Semarang. 10. Rosmalia, Dini., 2013, Identifikasi Pengaruh Kosmologi pada Lansekap Kraton Kasepuhan di Kota Cirebon, Temu Ilmiah IPLBI 2013. 11. Setia Permana, A., 2015, Gunung Sepuh, http://akibalangantrang.blogspot.com/2010/03/pakungwati.html, diakses 29 April 2015, Pukul 20:10 WIB. 12. Simonds, J.O., 1961, Landscape Architecture, New York : Mc Graw Hill. 13. Soeratman, Darsiti., 1989, Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939, : Taman Siswa. 14. Wibawa, Bayu A., 2002, Perbandingan Elemen-Elemen Kota Surakarta dan Yogyakarta Ditinjau dari Konsep Kota Keraton, Semarang : Tesis- Program Pasca Sarjana Magister Teknik Arsitektur Universitas Diponegoro Semarang. 15. Wildan, Dadan., 2012, Sunan Gunung Jati – Petuah, Pengaruh dan Jejak-Jejak Sang Wali di Tanah Jawa, Tanggerang Selatan : Salima. 16. Yayasan Mitra Budaya Indonesia., 1982, Cerbon, Jakarta : Sinar Harapan.

29 FINDING THE FIFTH ELEMENT… AFTER WATER, EARTH, WIND, AND FIRE