POLA KOMUNIKASI PEMANGKU JABATAN KERATON KASEPUHAN DENGAN PEJABAT PEMERINTAH KOTA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

AHMAD FAJAR NUGRAHA NIM: 1111051000033

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1438 H./2017 M.

ABSTRAK

Ahmad Fajar Nugraha

Pola Komunikasi Pemangku Jabatan Keraton Kasepuhan Dengan Pejabat Pemerintah Kota Cirebon

Cirebon merupakan suatu daerah yang berada di pesisir Jawa Barat. Sebagai salah satu daerah tertua di , Cirebon pun memiliki sejarah yang cukup panjang. Hal ini bisa kita lihat dari warisan cagar budaya berupa Keraton yang hingga saat ini masih ada dan turut memegang peranan penting pada masyarakat Cirebon, utamanya perihal masalah budaya dan kebudayaan. Dengan masih berdiri dan berperannya Keraton membuat Cirebon memiliki dua model pemerintahan, Keraton Kasepuhan sebagai pemerintahan kultural dan Pemerintah Kota sebagai pemerintahan struktural. Keberadaan dua pemerintahan tersebut tentunya sangat rentan akan konflik jika tidak dilakukan upaya pemeliharaan hubungan yang baik. Upaya pemeliharaan hubungan yang baik tersebut mutlak dilakukan demi kemajuan Cirebon secara struktur dan infrastruktur.

Berdasarkan pemaparan di atas tersebut ditemukan rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana pola komunikasi pemangku jabatan Keraton Kasepuhan dengan pejabat Pemerintah Kota? Bagaimana pola komunikasi pejabat Pemerintah kota dengan pemangku jabatan Keraton Kasepuhan?

Metode penelitian yang digunakan kali ini adalah penelitian kualitatif. Di mana peneliti berupaya untuk menelaah sebanyak mungkin data mengenai subjek yang diteliti. Adapun teknik pengumpulan data yang berupa observasi, wawancara dan dokumentasi.

Teori yang digunakan adalah interaksionisme simbolik yang dicetuskan oleh George Herbert Mead. Dalam hal ini individu bergerak atau merespon stimulus bergantung pada simbol yang digunakan dan pemaknaan dari simbol tersebut. Kemudian, penelitian ini juga menggunakan konsep pola komunikasi formal dan informal yang digagas oleh Khomsahrial Romli. Selain itu, digunakan juga konsep pola komunikasi menurut H.A.W Widjaya dalam bukunya Ilmu Komunikasi Pengantar Studi. Ada empat pola komunikasi yaitu pola roda, pola rantai, pola lingkaran dan pola bintang.

Hasil dari penelitian yang dilakukan yaitu, pola komunikasi yang digunakan oleh pemangku jabatan Keraton Kasepuhan dan pejabat Pemerintah Kota adalah pola-pola komunikasi yang berorientasi pada kesetaraan komunikator seperti pola bintang dan pola horizontal. Pola bintang dan pola horizontal memungkinkan setiap komunikator untuk saling bertukar pesan dan memberikan respon secara langsung tanpa memandang status sosial ataupun hal-hal yang dapat membedakan hak-hak komunikator dalam berbicara.

i

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim

Segala puji bagi Allah. Semoga sholawat serta salam senantiasa tercurah kepada baginda Nabi Muhammad SAW berikut seluruh keluarga, sahabat, beserta orang-orang yang mengikuti petunjuknya.

Selama penulisan skripsi ini penulis telah mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Kedua orang tua penulis, yakni ibu Masri’ah dan bapak Sholeh yang tak kenal lelah untuk selalu memberikan segalanya bagi selesainya pendidikan anaknya.

Kakak-kakak yang selalu memberikan dorongan dan semangat.

2. Bapak Dr. Arief Subhan, MA selaku dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah .

3. Bapak Drs. Masran, MA dan Ibu Fita Faturrohmah, M.Si selaku ketua dan sekretaris jurusan Komunikasi Penyiaran Islam.

4. Bapak H. Zakaria, MA. Selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak membantu dan memberikan arahan dalam penyusunan skripsi ini dari awal sampai selesai.

5. Kepada Sepuh XIV P.R.A Arief Natadiningrat, SE. yang telah memberikan

ii izin kepada saya untuk melakukan penelitian di Keraton Kasepuhan.

6. Kepada Kepala Dinas Pemuda Olahraga Budaya dan Pariwisata

(DISPORBUDPAR) Drs. Dana Kartiman yang telah memberikan izin kepada saya untuk melakukan penelitian di DISPORBUDPAR.

7. Kepada seluruh narasumber dalam penelitian kali ini yakni Bapak Ahmad Jazuli,

Bapak Iman Sugiman, Bapak Dana Kartiman, Bapak Sugiyono, dan Bapak Wiyono.

8. Kepada keluarga besar UKM Bahasa-FLAT yang terus memberikan support terhadap selesainya penelitian ini.

9. Kepada teman-teman penulis Salsabil Firdaus, Anna Rahmawati, Evi Nurlatifah, dan Mirfa’un Nu’ma yang telah bersama-sama berjuang keras untuk lulus pada jenjang strata satu ini.

10. Kepada Siti Khafidoh yang senantiasa menemani dan membantu penulis dalam penyelesaian penelitian ini.

Semoga Allah SWT meridhoi setiap waktu, langkah dan pengorbanan yang telah dilakukan selama penyelesaian skripsi ini. Amin.

Jakarta, 27 Desember 2016

Ahmad Fajar Nugraha

iii

DAFTAR ISI ABSTRAK ...... i KATA PENGANTAR ...... ii DAFTAR ISI...... iv DAFTAR LAMPIRAN ...... vi BAB I PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah ...... 6 C. Tujuan Penelitian ...... 7 D. Manfaat Penelitian ...... 8 E. Metodologi Penelitian ...... 9 F. Pedoman penelitian ...... 13 G. Tinjauan Pustaka ...... 14 H. Sistematika Penulisan ...... 15 BAB II LANDASAN TEORI ...... 17 A. Pengertian Komunikasi ...... 17 B. Interaksionisme Simbolik ...... 19 C. Pola Komunikasi ...... 21 BAB III GAMBARAN UMUM KERATON KASEPUHAN DAN PEMERINTAHAN KOTA CIREBON ...... 31 A. Keraton Kasepuhan ...... 31 1. Sejarah Keraton Kasepuhan ...... 31 2. Fungsi Keraton Masa Kini ...... 36 3. Struktur Pemangku Jabatan Keraton Kasepuhan ...... 38 B. Pemerintahan Kota Cirebon ...... 42 1. Sejarah Pemerintahan Kota Cirebon ...... 42 2. Kedudukan dan Wewenang ...... 50 3. Struktur Organisasi Pejabat Pemerintahan Kota Cirebon ...... 52 BAB IV TEMUAN LAPANGAN DAN ANALISIS DATA ...... 55 A. Profil Informan...... 55 1. Pemangku Jabatan Keraton Kasepuhan ...... 55 2. Pejabat Pemerintahan Kota ...... 56 B. Simpul-Simpul Pertemuan antara Keraton Kasepuhan dengan Pemerintah Kota ...... 59 1. Keraton Kasepuhan ...... 59 2. Pemerintah Kota Cirebon ...... 61 C. Analisa Hasil Temuan ...... 63 1. Analisa Pola Komunikasi Pemangku Jabatan Keraton dengan Pejabat Pemerintahan Kota ...... 63 2. Analisa Pola Komunikasi Pejabat Pemerintahan Kota dengan Pemangku Jabatan Keraton ...... 80

iv

BAB V KESIMPULAN ...... 93 A. Kesimpulan ...... 93 B. Saran-saran ...... 94 DAFTAR PUSTAKA ...... 96 LAMPIRAN-LAMPIRAN

v

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I. Skrip Wawancara dengan Iman Sugiman

Lampiran II. Skrip Wawancara dengan Dana Kartiman

Lampiran III. Skrip Wawancara dengan Ahmad Jazuli

Lampiran IV. Skrip Wawancara dengan Wiyono

Lampiran V. Skrip Wawancara dengan Sugiyono

Lampiran VI. Catatan Observasi Rapat Koordinasi Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW (PanjangJimat)

Lampiran VII. Catatan Observasi Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW (Panjang Jimat)

Lampiran VII. Catatan Observasi Sosialisasi Sadar Wisata bagi para Stakeholders Pariwisata Kota Cirebon

Lampiran IX. Dokumentasi Rapat Koordinasi Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW (Panjang Jimat)

Lampiran X. Dokumentasi Sosialisasi Sadar Wisata bagi para Stakeholders Pariwisata Kota Cirebon

Lampiran XI. Persuratan Penelitian

vi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Cirebon merupakan salah satu daerah yang memiliki sejarah cukup

panjang. Dikatakan bahwa tanah Cirebon dahulunya termasuk sebagai daerah

Sunda, tepatnya daerah kekuasaan kerajaan Padjajaran yang dipimpin oleh Prabu

Siliwangi. Pemimpinnya bernama Lebe Uca sebagai vasal Pate Rodim, Raja

Demak.1 Pada masa ini Cirebon dikenal sebagai pelabuhan yang memiliki

peranan penting bagi kerajaan Padjajaran. Hal ini dikarenakan banyaknya muara

sungai yang berada di Cirebon sehingga memudahkan dalam aktifitas

transportasi dan perdagangan. Kedudukan Cirebon sebagai pelabuhan dagang

disebutkan juga oleh Tome Pires dalam kunjungannya ke Cirebon pada 1513.2

Pires menggambarkan Cirebon sebagai kota yang mempunyai pelabuhan bagus.

Babad Cirebon dan Carita Purwaka Caruban Nagari menceritakan pada

awalnya Cirebon merupakan sebuah dukuh yang dipimpin oleh seorang juru

labuhan (Syahbandar). Lalu berkembang menjadi desa yang dipimpin oleh

Kuwu (Kapala Desa). Sampai pada saat ketika struktur dan infrastruktur

pendukung kerajaan dirasa memadai barulah Cirebon menjadi Kerajaan atau

lebih familiar dengan kesultanan untuk konteks Cirebon.

1Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2009, hal. 161. 2Armando Corteso (Ed), The Summa Oriental of Tome Pires: An Account of The East, London: Haklyut Society, 1994, hlm. 183 sebagaimana dikutip oleh Edi S. Ekajati, Babad Cirebon Edisi Brandes Tinjauan Sastra dan Sejarah, Bandung : Fak. Sastra UNPAD, 1978, hlm. 52. Lihat juga Dennys Lombard, Nusa Jawa...,hlm. 55-56.

1

2

Pada masa kesultanan, Cirebon mencapai puncaknya ketika dipimpin

oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sejak dilantiknya Sunan

Gunung Jati sebagai Raja dan Wali, Sunan Gunung Jati kemudian menghentikan

Bulu Bekti kepada kerajaan Padjajaran.3 Pada masa ini, kemajuan terlihat dalam

berbagai aspek seperti ekonomi, politik dan juga penyebaran agama Islam.

Penyebaran agama Islam sendiri ditengarai mengalami kemajuan yang

signifikan karena Sunan Gunung Jati menjadikan kesultanan sebagai ujung

tombak penyiaran agama Islam. Sehingga penyiaran Islam dapat melalui hampir

seluruh aspek kehidupan yang bersinggungan langsung dengan rakyat. Namun

supremasi kesultanan Cirebon hanya sampai pada pemerintahan Panembahan

Girilaya. Setelah Panembahan Girilaya wafat, tampuk kekuasaan dilanjutkan

oleh kedua putranya yakni Martawijaya dan Kartawijaya. Martawijaya

memerintah Kesultanan Kasepuhan Cirebon dengan gelar Sultan Sepuh I/Sultan

Syamsuddin. Sedangkan Kartawijaya memerintah Kesultanan Kanoman Cirebon

dengan gelar Sultan Anom/Sultan Badruddin. Pembagian kekuasaan ini

disahkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa.4 Panembahan Girilaya selanjutnya

membagi kesultanan menjadi dua, yakni Kasepuhan yang dipimpin oleh

Martawijaya dan Kanoman yang dipimpin oleh Kartawijaya.

Selanjutnya Kesultanan Cirebon mengalami keruntuhan sampai pada akhirnya

urusan politik kesultanan dicampuri oleh VOC dan mengharuskan Sultan

3Didin Nurul Rosidin, Kerajaan Cirebon, Jakarta :Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2013, hal. 31. 4Abdul Hadi W.M Indonesia dalam Arus Sejarah (Kedatangan dan Perdaban Islam), Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2012, hal. 40-41.

3

Cirebon menyerahkan wilayah kekuasaannya.5 Hal - hal yang berurusan dengan

aktivitas politik dan perdagangan semuanya diatur oleh VOC. Sejak saat itu

kesultanan Cirebon tidak memiliki wilayah administratif dan wewenang

pemerintahan karena telah diakui oleh VOC, kemudian Pemerintah Hindia-

Belanda, Penjajah Jepang dan terakhir menjadi bagian dari Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Pada masa sekarang ini bisa dikatakan Cirebon memiliki dua model

pemerintahan, yakni pemerintahan struktural dan pemerintahan kultural.

Pemerintahan struktural yakni pemerintahan yang berasaskan legitimasi negara,

yang dalam hal ini adalah Pemerintah Daerah. Berbeda dengan wewenang Raja

dimana semua yang berada di bawah langit dan di atas bumi merupakan wilayah

kekuasaan Raja.6 Pemerintah Daerah disini hanya bertugas sebagai pengelola

negara bukan pemilik yang seluruh aturan secara garis besar untuk

mengelolanyanya menurut Pemerintah Pusat dan diatur oleh Undang-Undang.

Sedangkan pemerintahan kultural sendiri ialah „institusi‟ keraton sebagai

penjaga adat dan tradisi setempat. Yang dalam hal ini berada dalam wilayah

otoritas Keraton Cirebon, baik itu Keraton Kasepuhan ataupun Keraton

Kanoman.

Seiring dengan diberlakukannya asas desentralisasi, Cirebon berada di

bawah kekuasaan Pemerintah Daerah yang dalam hal ini adalah Pemerintah

Kota dan Pemerintah Kabupaten Cirebon. Segala urusan yang berkaitan dengan

5Ibid, hal. 40-41. 6A.B. Lapian Indonesia dalam Arus Sejarah (Masa Pergerakan Kebangsaan), Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2012, hal 231

4

hajat hidup masyarakat Cirebon diatur oleh Pemerintah daerah yang berdasar

kepada Undang – Undang 1945.

Hal-hal mengenai wewenang Pemerintah Daerah terdapat pada

perubahan ke 4 (empat) UUD 1945 menyatakan jelas mengenai bentuk dan

susunan pemerintahan daerah dalam kerangka Negara Republik Indonesia.

Pasal 18 ayat (1) berbunyi:

“ Negara Kesatuan Repulik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan

daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propisi,

kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur Undang-

Undang”.

Dan dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 menyebutkan bahwa:

“Pemerintah daerah merupakan daerah otonom yang dapat menjalankan urusan

pemerintahan dengan seluas-luasnya serta mendapat hak untuk mengatur

kewenangan pemerintahan kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-

undang ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat”.7

Artinya pemerintahan yang berlaku dan memiliki otoritas tertinggi adalah

pemerintahan pusat bukan kesultanan. Dan pemerintahan pusat memiliki daerah

otonom yang memiliki kewenangan seluas-luasnya dalam mengatur urusan

pemerintahan. Dalam hal ini pemerintah daerah bisa kita sebut sebagai

pemerintahan struktural.

7 Sekretaris Jenderal MPR RI, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Keempatbelas, hal. 132

5

Dengan dihapusnya fungsi pemerintahan keraton bukan berarti keraton kehilangan eksistensinya. Karena sedari dulu selain memiliki kewenangan dalam mengatur segala urusan pemerintahan, kesultanan Cirebon juga berfungsi sebagai pemerintahan kultural. Pemerintahan kultural yang dimaksud adalah sebagai pemimpin adat dan penjaga tradisi setempat. Tradisi yang berkembang di Cirebon berasal dari dua agama yang masuk dan diterima di Cirebon, yakni

Hindu-Budha dan Islam. Hindu-Budha seperti yang kita ketahui bersama merupakan agama yang dianut kerajaan padjajaran. Seperti dituliskan di atas bahwa Cirebon pada awalnya adalah daerah kekuasaan Kerajaan Padjajaran.

Sehingga tradisi kebudayaan yang dianut dan dijalankan oleh masyarakatnya pada saat itu sudah tentu bersandar pada agama Hindu-Budha. Tradisi yang berbau agama Hindu-Budha pada masa itu diantaranya adalah sedekah bumi dan nyadran. Tradisi yang berbasis agama Hindu-Budha ini mulai luntur ketika

Sunan Gunung Djati memimpin Cirebon. Islamisasi secara meluas yang dilakukan pada masa itu menjadi salah satu sebab pudarnya tradisi-tradisi tersebut. Hal yang menarik dari pergantian kebudayaan dari Hindu-Budha ke

Islam adalah prosesnya. Proses akulturasi budaya yang dipilih Sunan Gunung

Djati pada masa itu juga menjadi salah satu faktor diterimanya Islam. Tradisi

Nyadran dan Sedekah Bumi yang sarat dengan mantra-mantra digantikan dengan doa-doa yang ditujukan kepada Allah SWT. Pertunjukan yang sedari dulu mengambil cerita dan lakon kerajaan Hindu-Budha digantikan dengan kisah-kisah Islam. Salah satu tradisi besar yang masih terus dilestarikan adalah tradisi panjang jimat dalam rangka menyambut Maulid nabi Muhammad SAW.

6

Dimana semua orang yang berasal dari berbagai penjuru Cirebon tumpah ruah dan turut serta dalam meramaikan tradisi tahunan ini. Ritual ini mengambil bentuk prosesi iringan berbagai benda pusaka (khususnya piring) yang ada di

Istana (keraton).8 Tradisi ini terus berlangsung dari zaman Sunan Gunung Jati, meskipun keraton sempat berada di bawah kekuasaan penjajah. Selain itu, keraton juga merupakan pusat pengembangan dan pelestarian kesenian dan sastra Cirebon. Dalam hal ini keraton menjadi pusat dan penjaga kebudayaan

Cirebon. Keberadaan dua model „pemerintah‟ dalam satu daerah tersebut memungkinkan terjadinya masalah-masalah. Masalah-masalah tersebut akan menjadi konflik jika tidak ditangani secara cepat dan tepat. Baik-buruknya hubungan diantara Keraton dan Pemerintah Kota akan dipengaruhi oleh pola komunikasi diantara pemangku jabatan Keraton dan pejabat Pemerintah Kota tersebut. Penelitian kali ini akan mencoba untuk mengidentifikasi pola komunikasi yang digunakan pemangku jabatan Keraton dan pejabat Pemerintah

Kota. Pola komunikasi tersebut perlu untuk diteliti mengingat tidak sedikitnya konflik yang melibatkan para pemangku wewenang di daerah. Dan konfklik tersebut membutuhkan alternatif solusi dari kasus-kasus yang berkaitan.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka penelitian kali ini mengambil judul “Pola

Komunikasi Pemangku Jabatan Keraton Kasepuhan dan Pejabat Balai

Kota di Cirebon”.

8Rosidin, Kerajaan Cirebon, hal. 180.

7

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka peneliti merasa

perlu untuk memberikan batasan yang tegas agar penelitian ini dapat

mengena terhadap masalah yang akan di angkat. Batasan masalah dalam

penelitian ini yakni :

a. Keraton Cirebon yang diangkat dalam penelitian ini adalah Keraton

Kasepuhan

b. Pejabat Pemerintah Kota yang dimaksud adalah dari DISPORBUDPAR

(Dinas Pemuda Olahraga Budaya dan Pariwisata) Cirebon

c. Penelitian ini berkonsentrasi pada representasi dari pemangku jabatan

Keraton dan pejabat Pemerintahan Kota

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis merasa

perlu untuk membuat rumusan masalah penelitian ini dengan melihat:

a. Bagaimana pola komunikasi yang digunakan oleh pejabat Pemerintahan

Kota dalam berkomunikasi dengan pemangku jabatan Keraton?

b. Bagaimana pola komunikasi yang digunakan oleh pemangku jabatan

Keraton dalam berkomunikasi dengan pejabat Pemerintahan Kota?

8

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pola-pola yang

digunakan pamangku jabatan Keraton dan pejabat Pemerintahan Kota dalam

berkomunikasi satu sama lain.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Akademik

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih karya

ilmiah dan turut berkontribusi dalam perkembangan Ilmu Komunikasi

khususnya pada kajian Komunikasi Budaya. Mengingat kajian komunikasi

yang berkaitan dengan budaya dan kearifan lokal tidak mudah untuk ditemui.

Selain itu, penelitian kali ini juga dapat menjadi referensi tentang role model

pengelolaan komunikasi dalam level pemerintahan yang baik. Semoga hasil

penelitian ini juga dapat menjadi trigger bagi teman-teman pegiat ilmu

komunikasi untuk turut mengangkat budaya dan kearifan lokal daerah-daerah

di Indonesia. Sehingga kita semakin mengenal kebudayaan kita sendiri, tidak

hanya sebagai individu dalam arti sempit yang hanya mengenal daerah tempat

tinggalnya tapi juga sebagai individu dalam arti luas yang mengenali

bangsanya.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang pola

komunikasi yang digunakan keraton dan balai kota sehingga masyarakat lebih

mengetahui tentang hubungan pemangku jabatan di daerah Cirebon. Dan bisa

belajar tentang bagaimana memelihara hubungan di tingkat lembaga.

9

Selain itu juga dapat menjadi alternatif solusi penanganan konflik

yang melibatkan pemangku jabatan di daerah dengan lembaga internal

maupun eksternal.

E. Metodologi Penelitian

1. Paradigma Penelitian

Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis. Paradigma

konstruktivis bersifat subjektif. Data adalah sesuatu yang menjadi perasaan

dan keinginan pihak yang diteliti untuk menyatakannya dengan penafsiran

atau konstruksi makna.

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian kali ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang

merupakan penelitian dengan memanfaatkan wawancara terbuka untuk

menelaah dan memahami sikap, pandangan, perasaan, dan prilaku individu

atau sekelompok orang. Sebagaimana dikutip dari buku Metode Penelitian

Kualitatif karya Lexy. J. Moleong, Kirk dan Miller mendefinisikan bahwa

penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial

secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam

kawasannya maupun dalam peristilahannya.9

3. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus.

Dimana peneliti berupaya menelaah sebanyak mungkin data mengenai

9Lexy. J. Moleong. Metode Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009) Cet.26. hal 4

10

subjek yang diteliti.10 Jadi alih-alih menelaah sejumlah kecil variabel dan

memilih suatu sampel besar yang mewakili populasi, peneliti secara seksama

dan dengan berbagai cara mengkaji sejumlah besar variabel mengenai suatu

kasus khusus.

Ragin mengatakan bahwa metode berorientasi kasus bersifat holistik

– metode ini menganggap kasus sebagai entitas menyeluruh dan bukan

sebagai kumpulan bagian-bagian (atau kumpulan skor mengenai variabel).

Jadi, hubungan antara bagian-bagian dalam keseluruhan itu dipahami dalam

konteks keseluruhan, bukan dalam konteks pola-pola umum kovariasi antara

variabel-variabel yang menandai anggota-anggota suatu populasi unit-unit

yang sebanding. Kedua, hubungan sebab-akibat dipahami sebagai perkiraan.

Akibat dianalisis berdasarkan persimpangan berbagai kondisi, dan biasanya

diasumsikan bahwa hubungan manapun menimbulkan suatu akibat.

4. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah Keraton Kasepuhan dan Balai Kota

Cirebon. Sedangkan objek penelitiannya adalah pemangku jabatan di

Keraton Kasepuhan dan Pemerintah Kota Cirebon.

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian kali ini

terbagi menjadi dua, yakni:

10Deddy Mulyana. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008) Cet.6. hal 201

11

a. Data Primer

Data primer yang dimaksud berupa observasi, dokumentasi, dan

hasil wawancara yang dilakukan dengan narasumber. Narasumber

merupakan pemangku jabatan Balai Kota Cirebon dan Keraton

Kasepuhan. Sumber data dari penelitian ini adalah hasil wawancara

dengan pemangku jabatan Balai Kota Cirebon dan Keraton Kasepuhan.

b. Data Sekunder

Data sekunder dari penelitian ini adalah sumber literatur dan

bacaan yang berkaitan dengan kebutuhan penelitian ini.

6. Teknik Analisis Data

Penulis menggunakan analisis data deskriptif analisis untuk

memperoleh hasil akhir dalam penelitian, yaitu dengan cara menggambarkan

ke dalam bentuk kalimat disertai kutipan-kutipan data dan menganalisis data

yang diperoleh dari observasi, wawancara, dan dari kumpulan dokumen-

dokumen yang didapat.11 Serta penulis melakukan penjelasan secara naratif

dengan kalimat-kalimat untuk memudahkan proses penelitian.

Penelitian deskriptif analisis mempelajari masalah-masalah dalam

masyarakat, serta tata cara dalam masyarakat dan situasi tertentu termasuk

hubungan, kegiatan, sikap, pandangan serta proses-proses yang sedang

berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena. Tujuan penelitian deskriptif

adalah untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis,

11Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 2007), h.6

12

faktual dan akurat serta fakta-fakta, sifat serta hubungan antara fenomena

yang diselidiki.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian mengikuti

cara-cara yang dikemukakan oleh Burhan Bungin, berikut langkah-

langkahnya:12

1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan bagian integral dari kegiatan

analisis data. Kegiatan pengumpulan data ini melalui wawancara, studi

literasi dan studi dokumentasi.

2. Reduksi Data

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan

perhatian pada penyederhanaan dan transformasi data kasar yang muncul

dari data-data kasar yang tertulis di lapangan. Reduksi dilakukan sejak

pengumpulan data dimulai dengan membuat ringkasan, mengkode,

menelusur tema, membuat gugus-gugus, menulis memo dan sebagainya

dengan maksud menyisihkan data atau informasi yang dianggap tidak

relevan.

3. Penyajian Data

Penyajian data yang dimaksud adalah pendeskripsian sekumpulan

informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan

kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data kualitatif

disajikan dalam bentuk teks naratif.

12 Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hal. 70

13

4. Verifikasi dan Penegasan Kesimpulan

Merupakan kegiatan akhir dari analisis data. Penarikan

kesimpulan berupa kegiatan interpretasi, yaitu menemukan makna dari

data yang telah disajikan.

Antara penyajian data dan penarikan kesimpulan terdapat

aktifitas analisis data yang ada. Dalam pengertian ini analisis data

kualitatif merupakan upaya berlanjut, berulang dan terus-menerus.

Masalah reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau

verifikasi menjadi gambaran keberhasilan secara berurutan sebagai

rangkaian kegiatan analisi yang terkait.

Selanjutnya data yang telah dianalisis, dijelaskan dan dimaknai

dalam bentuk kata-kata untuk mendeskripsikan fakta yang ada di

lapangan, pemaknaan atau untuk menjawab pertanyaan penelitian yang

kemudian diambil intisarinya saja.

Berdasarkan keterangan di atas, maka setiap tahap dalam proses

terseut dilakukan untuk mendapatkan keabsahan data dengan menelaah

seluruh data yang ada dari berbagai sumber yang telah didapat dari

lapangan dan dokumen pribadi, dokumen resmi, buku, jurnal, karya

ilmiah, gambar, foto, rekaman dan apapun saja yang mendukung

penelitian ini.

14

F. Pedoman Penulisan

Penulisan dalam penlitian ini merujuk kepada buku Pedoman Penulisan

Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) karya Hamid Nasuhi dkk, yang

diterbitkan CEQDA (Center for Quality Development and Assurance)

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

G. Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini sebelumnya penulis telah lebih dulu membaca hasil

karya ilmiah yang memiliki kemiripan judul, tema dan konteks yang akan

diangkat. Berikut karya ilmiah yang dimaksud:

1. Pola Komunikasi Organisasi (Studi Kasus : Pola Komunikasi Antara

Pimpinan dan Karyawan di Radio Kota Perak di ). Skripsi

Muzawwir Kholiq. Hasil penelitiannya : Pola komunikasi yang digunakan

oleh pimpinan dalam berinteraksi dengan karyawannya menggunakan dua

pola, yakni pola komunikasi struktural dan pola komunikasi kultural. Kedua

pola tersebut digunakan dalam ranah yang berbeda. Struktural dalam ranah

kerja. Sedangkan kultural lebih ke ranah informal. Perbedaanya dengan

penelitian ini adalah pada objek yang diteliti. Penelitian ini mencoba untuk

mengidentifikasi pola komunikasi diantara pemangku jabatan keraton dan

pejabat pemerintahan kota yang secara struktur tidak dapat digambarkan

dengan jelas mana yang di atas dan mana yang di bawah. Sedangkan

penelitian Muzawwir Kholiq lebih menekankan identifikasi pola komunikasi

pemimpin dan karywan yang notabane jelas garis strukturnya.

15

2. Pola Komunikasi Guru dan Orang Tua Murid di Sekolah Dasar Fajar Islami

Tangerang. Skripsi Aulia Pratiwi. Hasil temuannya : Pola komunikasi antara

guru dan orang tua murid ini dapat di kategorisasikan ke dalam tiga bagian,

yakni pola komunikasi antarpribadi, pola komunikasi kelompok, dan pola

komunikasi massa. Ketiga pola komunikasi tersebut dapat dilihat dari

kegiatan-kegiatan yang melibatkan guru dan orang tua murid seperti

konsultasi, rapat orang tua, pembagian rapot dan lainnya. Perbedannya

dengan penelitian ini adalah pada sasaran, tempat dan objek penelitiannya.

Penelitian ini mengambil tempat di sekolah, berikut objek yang ditelitinya

juga Guru dan orang tua murid. Sasarannya pun hanya pada sebatas pola

komunikasi guru dan orang tua murid saja, bukannya dialektis.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan dalam skripsi ini disesuaikan

dengan pokok masalah yang akan dibahas dalam lima bab, yaitu:

BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari enam sub, yakni

latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, pedoman

penulisan, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.

BAB II : Bab kedua ini membahas tentang landasan teori yang

digunakan dalam penelitian yang terdiri dari tiga sub, yakni

pengertian komunikasi, interaksionisme simbolik, dan pola

komunikasi.

16

BAB III : Bagian ketiga ini terdiri dari dua sub, yakni Keraton

Kasepuhan yang didalamnya terdapat beberapa poin seperti

sejarah Keraton Kasepuhan, fungsi keraton di masa kini dan

struktur pemangku jabatan keraton. Sub yang kedua adalah

tentang Pemerintahan Kota Cirebon yang terdiri dari deskripsi

Pemerintahan Kota Cirebon, kedudukan, tugas dan fungsi

Pemerintahan Kota Cirebon, serta struktur organisasi pejabat

Pemerintahan Kota Cirebon.

BAB VI : Bab ini berisi tentang analisis hasil temua yang terangkum

dalam empat sub, yakni gambaran umum informan, pertemuan

resmi, pertemuan tidak resmi, dan analisis hasil temuan pola

komunikasi pemangku jabatan keraton dengan pejabat

pemerintahan kota, pola komunikasi pejabat pemerintahan kota

dengan pemangku jabatan keraton berikut faktor pendukung

dan penghambat hubungan keraton dan pemerintahan kota.

BAB V : Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan juga saran-saran

terhadap penelitian ini.

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Komunikasi

Pembahasan mengenai pengertian komunikasi dapat dijelaskan dengan

melihatnya secara etimologi, terminologi dan juga pendapat dari para tokoh.

Pertama, secara etimologi kita bisa melihat bahwa kata komunikasi berasal dari

bahasa latin yakni Communicatio, yang merupakan turunan dari kata Communis

yang berarti sama, dan bisa kita artikan sama makna.1 Maka, dari pengertian

secara etimologi, dalam komunikasi harus memiliki kesamaan makna sehingga

tercapainya maksud dan tujuan komunikator kepada komunikan.

Kedua, secara terminologi komunikasi merupakan pengiriman dan

penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih dengan cara yang tepat

sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami.2 Dari penjelasan di atas, sudut

pandang terhadap pengertian komunikasi menjadi lebih luas lagi, tidak hanya

dilihat dari karakteristik kesamaan maknanya, tetapi juga memperhatikan pelaku

komunikasi, pesan, dan juga cara penyampaian pesan.

Ketiga, pendapat para tokoh yang juga mempengaruhi perkembangan

ilmu komunikasi sendiri. Berikut pendapat beberapa tokoh:

1Onong Uchjana Efendy, Komunikasi: Teori dan Praktik, (Bandung; Remaja Rosdakarya, 1997), hal. 9 2Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990) hal. 585

17

18

1. Everet M. Rogers : Komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan

dari sumber kepada satu penerima atau lebih dengan maksud untuk

mengubah tingkah laku mereka.3

2. Bittner : Komunikasi adalah penyampaian pesan oleh satu orang dan

penerima pesan orang lain atau sekelompok kecil orang, dengan berbagai

dampaknya, dan peluang untuk memberikan umpan balik segera.4

3. Arni Muhammad : Komunikasi yaitu suatu proses dengan menggunakan

simbol verbal maupun non verbal untuk dikirimkan, diterima dan diberi arti.5

4. William Albig : Komunikasi adalah proses penyampaian dan penerimaan

lambang-lambang yang mengandung makna diantara individu-individu.6

5. Wilbur Schramm : Komunikasi didasarkan atas hubungan (intune) antara

satu dengan yang lain, fokus pada informasi yang sama, sangkut paut

tersebut berada dalam komunikasi tatap muka (face to face communication).7

6. Harold D. Laswell : Memberikan gambarannya terhadap komunikasi dalam

pertanyaan Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?.

8 Dari pernyataan ini dapat dijelaskan bahwa proses komunikasi melibatkan

komunikator, pesan, media atau saluran komunikasi, komunikan beserta efek

dari pesan yang disampaikan tersebut.

3Haviet Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007). Hal. 20 4 Wiryanto, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: PT Grasindo, 2004) Hal. 32 5Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), Cet. ke-4, hal. 3 6Arif Anwar, Ilmu Komunikasi, (Sebagai Pengantar Ringkas), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. Ke-3, hal. 25 7Onong Uchjana Efendy, Kepemimpinan dan Komunikasi, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1998), hal. 59 8Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung: P.T Remaja Rosdakarya, 2005), hal. 62

19

Dari pemaparan beberapa tokoh di atas kita dapat menemukan beberapa

kesamaan ide yang dikemas secara berbeda. Diantaranya dari segi pelaku

komunikasi yang melibatkan komunikator dan komunikan, bentuk pesan yang

disampaikan, serta dampak dari penyampaian pesan itu sendiri. Namun yang

menjadi menarik adalah bagaimana para tokoh juga berpendapat bahwa pesan

yang disampaikan dapat menimbulkan efek. Efek tersebut akan bergantung pada

bagaimana pelaku komunikasi memberikan arti atau memaknai komunikasi

tersebut. Proses pemaknaan tersebut akan berjalan sangat subjektif, bergantung

pada cara berfikir, merasa dan pengalaman pribadi masing-masing.

B. Interaksionisme Simbolik

Teori yang dicetuskan oleh George Herbert Mead ini berangkat dari

kekaguman Mead terhadap kemampuan diri sang aktor (manusia) dalam

menggunakan simbol; ia menyatakan bahwa diri sang aktor bertindak

berdasarkan makna simbol yang muncul di dalam situasi tertentu. Makna dari

simbol tersebut yang pada gilirannya membentuk esensi dari interaksionisme

simbolik yang menekankan korelasional pada simbol dan interaksi.9 Dalam hal

ini individu bergerak atau merespon stimulus bergantung pada simbol yang

digunakan dan pemaknaan dari simbol tersebut. Mead mengajarkan bahwa

makna muncul sebagai hasil dari interaksi diantara manusia, baik secara verbal

maupun non verbal.10

9Umiarso dan Elbadiansyah, Interaksionisme Simbolik dari Era Klasik hingga Modern, (Depok: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2014), hal. xxi 10Morissan, M.A., Teori Komunikasi Massa, (Bogor: PT. Ghalia Indonesia, 2010), hal. 126

20

Pemikiran Mead ini berangkat dari kemunculan persepsi terhadap

simbol-simbol yang digunakan diri sang aktor dalam interaksi sosial. Robert

Audi menekankan bahwa ada empat elemen dasar dalam persepsi, yaitu: 1).

Perseptor, saya; 2). Objek, bidang yang saya lihat; 3). Pengalaman Indrawi,

menyatakan pengalaman visual saya terhadap warna dan bentuk; dan 4).

Hubungan antara objek dan subjek, umumnya dianggap sebagai hubungan

kausal dimana objek menghasilkan pengalaman sensorik pada perseptor.11 Dari

pemaparan terhadap elemen dasar persepsi tersebut kita dapat mengetahui

bagaimana individu memaknai suatu simbol. Makna dari simbol merupakan

hasil dari pengolahan pengalaman indrawi individu terhadap simbol yang

kemudian menjadi pengalaman sensorik perseptor.

Tradisi socio-cultural menyatakan bahwa komunikasi sebagai penciptaan

dan pengesahan realitas sosial. Artinya, tradisi sosial budaya didasarkan pada

premis bahwa diri sang aktor yang sedang berbicara, mereka memproduksi dan

mereproduksi budaya.12 Pandangan mereka tentang realitas sangat dibentuk oleh

bahasa yang mereka gunakan sejak mereka masih bayi.13 Termasuk dalam hal

ini adalah bentuk isyarat-isyarat lainnya. Dengan demikian, persepsi dan

interpretasi individu terhadap realitas dalam suatu struktur masyarakat akan

sangat dipengaruhi oleh simbol-simbol yang biasa digunakan dalam interaksi.

11Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, (London: Routledge, 2011), hal. 17 12Umiarso dan Elbadiansyah, Interaksionisme Simbolik, hal. xxv 13Emory A. Griffin, A First Look at at Communication Theory, (New York: McGraw-Hill, 2012), hlm. 60

21

Berikut asumsi-asumsi pokok yang melatarbelakangi teori

Interaksionisme Simbolik, yakni:

1. Individu dilahirkan tanpa konsep diri. Konsep diri dibentuk dan berkembang

melalui komunikasi dan interaksi sosial.

2. Konsep diri terbentuk ketika seseorang bereaksi terhadap orang lain dan

melalui persepsi atau perilaku tersebut.

3. Konsep diri, setelah mengalami perubahan, menjadi motif dasar dari tingkah

laku.

4. Manusia adalah mahluk yang unik karena kemampuannya menggunakan dan

mengembangkan simbol untuk keperluan hidupnya.

5. Manusia bereaksi terhadap segala sesuatu tergantung bagaimana ia

mendefinisikan sesuatu tersebut.

6. Makna merupakan kesepakatan bersama di lingkungan sosial sebagai hasil

interaksi.14

C. Pola Komunikasi

Pola komunikasi berasal dari dua suku kata, yakni pola dan komunikasi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pola berarti bentuk atau sistem, cara

atau bentuk (struktur) yang tetap dimana pola tersebut dapat dikatakan contoh

atau cetakan.15 Namun, dalam hal ini pengertian pola yang digunakan adalah

bentuk. Sedangkan menurut William Albig, komunikasi adalah proses

penyampaian dan penerimaan lambang-lambang yang mengandung makna

14Muhammad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2009), cet ke-1, hal. 150 15Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hal. 778

22

diantara individu-individu.16 Jadi, pola komunikasi bisa dikatakan sebagai

bentuk proses penyampaian dan penerimaan lambang-lambang yang

mengandung makna diantara individu-individu. Dari segi sifatnya, pola

komunikasi dibagi menjadi dua macam, yakni pola komunikasi formal dan

informal.

1. Pola Komunikasi Formal

Khomsahrial Romli dalam tulisannya membagi arah aliran

komunikasi formal, yakni: komunikasi dari atas ke bawah, komunikasi dari

bawah ke atas, komunikasi horizontal, komunikasi diagonal.17

a. Komunikasi dari Atas ke Bawah

Komunikasi dari atas ke bawah merupakan aliran komunikasi

yang biasanya digunakan dalam sebuah organisasi. Aliran komunikasi ini

berasal dari individu atau kelompok yang secara struktural lebih tinggi

kepada bawahannya. Biasanya pesan yang disampaikan berkaitan dengan

tugas-tugas dan kontrol. Lewis mengatakan bahwa komunikasi ke bawah

adalah untuk menyampaikan tujuan, untuk merubah sikap, membentuk

pendapat, mengurangi ketakutan dan kecurigaan yang timbul karena

salah informasi, mencegah kesalahpahaman karena kurang informasi dan

mempersiapkan anggota organisasi untuk menyesuaikan diri dengan

perubahan.18

16Arif Anwar, Ilmu Komunikasi, (Sebagai Pengantar Ringkas), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. Ke-3, hal. 25 17Romli Khomsahrial, Komunikasi Organisasi Lengkap, (Jakarta: PT Grasindo, 2011) Cet. Ke-1. Hal.176 18Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi, hal. 108

23

Komunikasi ke bawah dapat diklasifikasikan dalam lima jenis, yaitu:19

1) Instruksi Tugas

Instruksi Tugas atau pekerjaan yaitu pesan yang disampaikan

kepada bawahan mengenai apa yang diharapkan dilakukan mereka dan

bagaimana melakukannya.

2) Rasional

Rasional pekerjaan adalah pesan yang menjelaskan mengenai

tujuan aktivitas dan bagaimana keterkaitan aktivitas itu dengan aktivitas

lain dalam organisasi atau objek organisasi.

3) Ideologi

Pesan mengenai ideologi ini merupakan perluasan dari pesan

rasional. Pada pesan rasional penekanannya ada pada penjelasan tugas

dan keterkaitannya dengan perspektif organisasi. Sedangkan pada pesan

ideologi sebaliknya mencari sokongan dan antusiasme dari anggota

organisasi guna memperkuat loyalitas, moral dan motivasi.

4) Informasi

Pesan informasi dimaksudkan untuk memperkenalkan bawahan

dengan praktik-praktik organisasi, peraturan-peraturan organisasi,

keuntungan, kebiasaan dan data lain yang tidak berhubungan dengan

instruksi dan rasional.

19Ibid, hal. 108-109

24

5) Balikan

Balikan adalah pesan yang berisi informasi mengenai ketetapan

individu dalam melakukan pekerjaannya. Salah satu bentuk sederhana

dari balikan ini adalah pembayaran gaji karyawan yang telah siap

melakukan pekerjaannya, berarti pekerjaannya sudah memuaskan.

b. Komunikasi dari Bawah ke Atas

Komunikasi ke atas merupakan respon terhadap seberapa baik

organisasi telah berfungsi. Fungsi komunikasi ke atas menurut Smith

adalah sebagai balikan bagi pimpinan memberikan petunjuk tentang

keberhasilan suatu pesan yang disampaikan kepada bawahan dan dapat

memberikan stimulus kepada karyawan untuk berpartisipasi dalam

merumuskan pelaksanaan kebijakan bagi organisasi.20

c. Komunikasi Horizontal

Komunikasi horizontal merupakan aliran komunikasi dari dan ke

individu atau kelompok yang secara struktur organisasi berada di status

yang sama. Dalam ranah organisasi, komunikasi horizontal biasa terjadi

dalam rapat komisi, interaksi pribadi, selama waktu istirahat, obrolan di

telepon dan lain sebagainya.

Hambatan-hambatan pada komunikasi horizontal banyak

persamannya dengan hambatan yang mempengaruhi komunikasi ke atas

dan ke bawah. Tidak adanya kepercayaan diantara rekan-rekan kerja,

perhatian yang tinggi pada mobilitas ke atas, dan persaingan dalam

20Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi, hal. 117

25

sumber daya dapat mengganggu komunikasi pegawai yang sama

tingkatannya dalam organisasi dengan sesamanya.21

2. Pola Komunikasi Informal

Pola komunikasi informal merupakan bentuk komunikasi yang

bersifat cair. Artinya komunikasi yang dilakukan begitu saja, tanpa

memperhatikan posisi dalam organisasi. Informasi mengalir dengan cairnya

ke atas, ke bawah, dan juga horizontal. Pola komunikasi ini dapat terjadi jika

setiap individu bersikap terbuka satu sama lain. Keterbukaan ini merupakan

karakteristik gaya komunikasi Equalitarian Style.22 Untuk lebih jelasnya,

kita harus mengetahui macam gaya komunikasi, yakni:

a. The Equalitarian Style

Dalam gaya komunikasi ini, tindak komunikasi dilakukan secara

terbuka. Artinya, setiap anggota organisasi dapat mengungkapkan

gagasan ataupun pendapat dalam suasana yang rileks, santai, dan

informal. Dalam suasana yang demikian, memungkinkan setiap anggota

organisasi mencapai kesepakatan dan pengertian bersama.

b. The Controlling Style

Gaya komunikasi yang bersifat mengendalikan ini, ditandai

dengan adanya satu kehendak atau maksud untuk membatasi, memaksa,

dan mengatur prilaku, pikiran, dan tanggapan orang lain. Orang-orang

yang mengunakan gaya komunikasi ini dikenal dengan nama

21R. Wayne Pace dan Don F. Faules. Terj. Deddy Mulyana, Ma, Phd. Komunikasi Organisasi. Strategi meningkatkan Kinerja Perusahaan. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1993), hal. 196 22Sasa Juarsa. Teori Komunikasi, Modul 4

26

komunikator satu arah. Namun demikian, gaya komunikasi yang bersifat

mengendalikan ini, tidak jarang bernada negative sehingga menyebabkan

orang lain memberi respon atau tanggapan yang negatif pula. c. The Structuring Style

Gaya komunikasi yang terstruktur ini memanfaatkan pesan-pesan

verbal secara tertulis maupun lisan guna memantapkan perintah yang

harus dilaksanakan, penjadwalan tugas, dan pekerjaan serta struktur

organisasi, pengirim pesan lebih memberi perhatian kepada keinginan

untuk mempengaruhi orang lain dengan jalan berbagai informasi tentang

tujuan organisasi, jadwal kerja, aturan, dan prosedur yang berlaku dalam

organisasi tersebut. d. The Withdrawal Style

Akibat yang muncul jika gaya ini digunakan adalah melemahnya

tindak komunikasi, artinya tidak ada keinginan dari orang-orang yang

memakai gaya ini untuk berkomunikasi dengan orang lain, karena ada

beberapa persoalan ataupun kesulitan antarpribadi yang dihadapi oleh

orang-orang tersebut. e. The Dynamic Style

Gaya komunikasi yang dinamis ini memiliki kecenderungan

agresif, karena pengirim pesan atau sender memahami bahwa lingkungan

pekerjaannya berorientasi pada tindakan (action-oriented). Tujuan utama

gaya komunikasi yang agresif ini adalah menstimuli atau merangsang

pekerja atau karyawan untuk bekerja lebih cepat dan lebih baik.

27

f. The Relinguishing Style

Gaya komunikasi ini lebih mencerminkan kesediaan untuk

menerima saran, pendapat, meskipun pengirim pesan mempunyai hak

untuk memberi perintah dan mengontrol orang lain.

Menurut H.A.W. Widjaya didalam bukunya yang berjudul “Ilmu

Komunikasi, Pengantar Studi”, pola komunikasi terbagi menjadi empat, yaitu pola roda, pola rantai, pola lingkaran dan pola bintang. Berikut adalah penjelasan yang lebih komprehensif tentang pola-pola tersebut.

1. Pola Roda

Pola roda adalah pola yang mengarahkan seluruh informasi kepada

individu yang menduduki posisi sentral. Seseorang dalam posisi sentral

menerima kontak, informasi dan memecahkan masalah dengan sasaran atau

persetujuan anggota lain.

B

E A C A

D

Gambar 1.1: Gambar pola roda

28

Berdasarkan gambar di atas dapat dijelaskan bahwa orang yang

berada di posisi sentral berkomunikasi dengan banyak orang, A

berkomunikasi dengan B, C, D dan E. Pada pola komunikasi seperti ini

kecenderungan yang terjadi adalah komunikasi satu arah tanpa reaksi

ataupun umpan balik.

2. Pola Rantai

Pada pola rantai, jaringan komunikasi terdiri dari lima tingkatan

dalam jaringan hierarkinya dan hanya meliputi komunikasi arus ke atas (up

ward) dan ke bawah (downward). Ini berarti pola rantai menganut hubungan

komunikasi garis langsung (komando) balik ke atas atau ke bawah tanpa

adanya suatu penyimpangan. Untuk lebih jelasnya lihat gambar di bawah ini.

A B C D E

Gambar 1.2: Gambar Pola Rantai

3. Pola Lingkaran

Pola lingkaran memiliki kemiripan dengan pola rantai, akan tetapi

komunikan terakhir (E) juga dapat berkomunikasi dengan komunikan

pertama (A). Lebih jelasnya mari kitalihat gambar di bawah ini:

29

A

E B

D C

Gambar 1.3: Gambar Pola Lingkaran

Pada pola lingkaran tidak terdapat pemimpin. Semuanya berhak dan

memiliki kesempatan yang sama untuk berkomunikasi dengan orang yang

berada di sisi masing-masing komunikan.

4. Pola Bintang

Pada pola ini setiap komunikan berkomunikasi dengan komunikan

lainnya. 23 Hampir mirip dengan pola lingkaran dimana semua anggota

memiliki hak dan kekuatan untuk saling berkomunikasi. Berikut adalah

gambar pola bintang:

23H.A.W. Widjaya, Ilmu Komunikasi Pengantar Studi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000) edisi revisi, hal. 102-103

30

A

\

E B

D C

Gambar 1.4: Gambar Pola Bintang

BAB III

GAMBARAN UMUM KERATON KASEPUHAN DAN

PEMERINTAHAN KOTA CIREBON

A. Keraton Kasepuhan

1. Sejarah Keraton Kasepuhan

Kota Cirebon memiliki sejarah yang cukup panjang. Daerah yang

berada di pesisir utara Jawa Barat ini mengalami masa kekuasaan kerajaan

Hindu-Budha, Islam, kolonialisme, sampai pada era reformasi sekarang ini.

Ini bisa kita lihat seperti pada catatan-catatan sejarah kuno seperti buku

perjalanan Tome Pires ataupun Purwaka Caruban Nagari yang ditulis oleh

Pangeran Arya. Cirebon sendiri masih merupakan „anak historis dan

kultural‟ dari Pajajaran. Pajajaran adalah awal Cirebon, dan Cirebon adalah

akhir Pajajaran.1

Prabu Siliwangi dalam pernikahannya dengan Nyai Subanglarang

memiliki tiga anak yakni, Pangeran Walangsungsang, yang kemudian

disebut Pangeran Cakrabumi, Cakrabuana, Somadullah dan Haji Abdullah

Iman.2 Kemudian adiknya yang bernama Nyai Rara Santang, yang kemudian

disebut Hajjah Syarifah Muda‟im. Terakhir adalah Raden Raja Sengara yang

kemudian disebut Haji Mansur.

1Anwarudin Harapan, Dimensi Mitis Historis Pakuan Pajajaran, (Jakarta; Duta Kreasi Semesta , 2007), hal. 123 2Ibid, hal. 118

31

32

Dalam perkembangannya Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara

Santang berturut-turut meloloskan diri dari lingkungan Keraton Pajajaran.3

Keduanya pergi dengan alasan ingin belajar lebih banyak lagi tentang agama

yang dibawa Nabi Muhammad. Keputusan pergi keluar dari lingkungan

Keraton Pajajaran merupakan langkah yang harus diambil mengingat hampir

seluruh masyarakat pajajaran masih beragama Hindu-Budha yang notabane

adalah agama leluhurnya.

Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang memilih pergi ke utara,

tepatnya di daerah Cirebon Larang, untuk berguru kepada Syeikh Nurul Jati

atau Syeikh Idhofi alias Syeikh Datuk Kahfi.4 Mereka belajar agama Islam

hingga kemudian memantapkan diri untuk menetap di Cirebon Larang.

Selang beberapa waktu kemudian Cirebon Larang menjadi kota yang cukup

ramai. Sehingga Pangeran Cakrabuana memutuskan untuk mendirikan

Keraton pertama di pesisir utara Jawa Barat yang kemudian disebut Keraton

Pakungwati. Berdirinya keraton tersebut direstui oleh Prabu Siliwangi yang

kemudian memberikan jabatan Tumenggung dengan gelar Sri Mangana

kepada Pangeran Cakrabuana. Sejak saat itu Cirebon menjadi daerah otonom

pajajaran dengan Pangeran Cakrabuana sebagai kepala daerahnya, pada saat

itu Cirebon belum menjadi kerajaan sendiri.

3Ibid, hal. 123 4Ibid, hal. 123

33

Kemudian Nyai Rara Santang atau syarifah Muda‟im menikah

dengan seorang Raja Mesir yakni Sultan Mahmud Syarif Abdullah.5 Dari

pernikahan tersebut Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati lahir. Sunan

Gunung Jati kecil tumbuh dan tinggal di Mesir. Setelah menginjak dewasa

Sunan Gunung Jati berangkat menuju Pulau jawa untuk mengunjungi tanah

leluhur ibunya, sekaligus bertemu dengan pamannya Pangeran Cakrabuana.

Setelah sekitar sembilan tahun Sunan Gunung Jati menetap di

Cirebon, atau tepatnya pada 1479 Masehi, Pangeran Cakrabuana selaku

penguasa Cirebon menyerahkan tampuk kekuasaanya kepada Sunan Gunung

Jati.6 Penobatan Sunan Gunung Jati sebagai penguasa wilayah Cirebon

tersebut didukung oleh para wali di pulau Jawa yang ketika itu dipimpin oleh

Sunan Ampel. Sunan Gunung Jati dianugerahi gelar sebagai Panata Agama

Islam oleh para wali.

Langkah awal Sunan Gunung Jati sebagai Tumenggung ialah

menggalang kekuatan dengan Demak dan kekuatan-kekuatan islam lainnya

untuk melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran.7 Pada masa itu

Cirebon harus memberikan upeti kepada Pajajaran karena statusnya sebagai

daerah otonom Kerajaan pajajaran.

Setelah secara struktur dan infrastruktur sudah dianggap kuat,

Cirebon pun menjadi Kerajaan dengan Sunan Gunung Jati sebagai Raja atau

Sultan. Masa pemerintahan Sunan Gunung Jati dianggap sebagai masa

5Depdikbud RI, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutera, Jakarta; Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998, hal. 23 6Ibid, hal. 27 7Ibid, hal. 28

34

keemasan Kerajaan cirebon. Menurut R.A. Kern Cirebon pernah mengalami

masa bahagia pada abad-abad pertama, dapat mengembangkan dirinya dalam

suasana damai dan bisa tumbuh dari suatu tempat menetap untuk

pertamakali menjadi negara yang makmur.8 Pendapat R.A. Kern diperkuat

pula oleh F. De Haan, bahwa Cirebon telah berhasil melebarkan wilayah

kekuasaannya dan sekaligus dapat mengislamkan daerah-daerah pedalaman

Sunda, seperti Raja Galuh tahun 1528 dan Talaga tahun 1530.9 Luasnya

wilayah kekuasaan dan islamisasi yang masif menjadi bukti kesuksesan

Cirebon dalam penyebaran agama Islam.

Setelah Sunan Gunung Jati wafat, Kerajaan Cirebon dipimpin oleh

Panembahan Ratu I yang mana merupakan cicitnya.10 Pemilihan

Panembahan ratu sebagai Sultan lebih karena anak-anak Sunan Gunung Jati

telah wafat lebih dahulu. Pada masa ini Kerajaan Cirebon memiliki

hubungan yang lebih dekat dengan Kerajaan Mataram.11 Hal ini dapat kita

lihat dari saling silangnya pernikahan antara dua kerajaan. Seperti pada

pernikahan antara Putri Ratu Ayu Salkh, kakak Panembahan Ratu, dengan

Sultan Agung Mataram. Selain itu menurut F. De Haan, juga ditandai

dengan dibangunnya (dinding) yang mengitari Keraton Pakungwati.

Kuta tersebut dibangun kurang lebih pada tahun 1590 yang

8Ibid, hal. 31 9Ibid, hal. 34 10H.J. De Graaf dan TH.Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, Jakarta; PT Pustaka Utama Grafiti, 1986, hal 131 11Depdikbud RI, Kota Dagang Cirebon, hal. 35

35

pembangunannya sebagai persembahan Senapati Mataram kepada

Panembahan Ratu.12

Hubungan dengan Mataram pada awalnya dilandasi oleh asas

kekeluargaan yang saling mengikat keduanya. Pada perkembangannya,

seiring dengan makin berkuasanya Kerajaan Mataram, hubungan kedua

kerajaan pun makin pincang.13 Sejak tahun 1615 Mataram mulai

mencengkeramkan pengaruhnya di Cirebon. Dan kemudian pada 1615

Cirebon dikuasai sepenuhnya oleh Mataram.

Sepeninggal Panembahan Ratu pada 1649, Cirebon dipimpin oleh

cucunya yang bernama Pangeran Putra atau disebut juga Raden Rasmi dan

bergelar Panembahan Adiningkusuma atau Panembahan Ratu II.14 Dan

setelah meninggal kemudian dikenal dengan Panembahan Girilaya. Hal ini

berhubungan dengan makam Panembahan Ratu II yang terletak di Bukit

Girilaya, sebelah timur Wonogiri, Jogjakarta.15

Menurut berita dari Residen Cirebon pada tanggal 1 Oktober 1684,

setelah diangkat menjadi Sultan, Panembahan Girilaya beserta kedua

puteranya yakni Pangeran martawidjaya dan pangeran Kartawidjaya

dipanggil oleh Amangkurat I untuk berkunjung ke Mataram dalam rangka

menghormati pengangkatannya sebagai penguasa Cirebon.16 Akan tetapi,

selepas upacara tersebut Panembahan Girilaya beserta kedua anaknya tidak

12Ibid, hal. 35 13Ibid, hal. 36 14Ibid, hal. 36 15Ibid, hal. 36 16Ibid, hal. 36

36

diperkenankan untuk meninggalkan Mataram dan menetap disana selama 12

tahun. Walaupun hak sebagai Sultan tetap diakui. Dalam masa penyanderaan

tersebut Panembahan Girilaya wafat. Dan selama masa penyanderaan

tersebut kedudukan Sultan dipegang oleh Pangeran Wangsakerta yang

merupakan putera ketiga Panembahan Girilaya.

Sekitar 1677, Raden Trunojoyo mengadakan serangan besar-besaran

terhadap Keraton Mataram.17 Dampak dari serangan tersebut bukan hanya

mampu menduduki ibukota Mataram tetapi juga dapat membebaskan

Pangeran Martawidjaya dan Pangeran Kartawidjaya. Selanjutnya keduanya

dibawa ke Kediri sebelum dijemput oleh pasukan Sultan Ageng Tirtayasa

dari Banten.

Selepas dari Kediri, Sultan Ageng Tirtayasa kemudian membagi

Kerajaan Cirebon menjadi dua, masing-masing Kasepuhan dan Kanoman.18

Kasepuhan dipimpin oleh Pangeran Martawidjaya bergelar Sultan Sepuh

Raja Syamsuddin. Sedangkan Kanoman dipimpin oleh Pangeran

Kartawidjaya dengan gelar Sultan Anom Moh. Badrudin. Semenjak saat itu

hingga sekarang kedua keraton tersebut masih ada dan dilestarikan.

Walaupun status dan fungsinya sudah berubah dan berbeda.

2. Fungsi Keraton Masa Kini

Bicara fungsi Keraton di masa kini akan sangat dipengaruhi oleh

bagaimana identifikasi masyarakat di dalam dan di luar Keraton terhadap

17Ibid, 1998, hal. 38 18Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Kota Cirebon, Garis Waktu (Time Line of History) Cirebon (Cirebon: Arsip 2015) hal 8

37

Keraton itu sendiri. Pada perkembangannya, Keraton dianggap sebagai

tujuan wisata, cagar budaya, penjaga dan pelestari budaya setempat.

Pertama, sebagai salah satu tujuan wisata. Hal ini bisa kita lihat dari

bagaimana tata letak dan penataaan dekorasi yang tampak di Keraton

Kasepuhan. Sekarang kita bisa melihat dengan jelas pintu ticketing yang ada

di depan pintu masuk Keraton. Yang mana merupakan bagian dari kerjasama

dengan Telkom.19 Di samping itu, penataan pusaka peninggalan Keraton

seperti Kereta Singa Barong, Baju Zirah, Keris, Pedang, Tombak, Porselen

dan lainnya ditata sedemikian rupa sehingga dapat dilihat dengan rapih dan

nyaman oleh pengunjung. Penataan tersebut didasari oleh kesadaran bahwa

Keraton Kasepuhan telah menjadi tujuan wisata sejarah.

Kedua, sebagai penjaga dan pelestari budaya setempat. Dalam hal ini

Keraton selalu memposisikan diri sebagai pemimpin dan penyelenggara adat

istiadat setempat. Ini bisa kita lihat seperti pada penyelenggaraan Upacara

Panjang Jimat. Upacara Panjang Jimat yang diselenggarakan merupakan

bagian dari serangkaian kegiatan yang dilaksanakan Keraton Kasepuhan

dalam menyambut Maulid Nabi Muhammad SAW. Upacara Panjang Jimat

ini diselenggarakan setiap tahunnya dan merupakan tradisi tahunan yang

sudah diselenggarakan sejak Sunan Gunung Jati masih hidup. Selain itu

dibuatnya sekolah kesenian Keraton Kasepuhan yang masih berada di bawah

yayasan Keraton Kasepuhan juga merupakan bentuk kepedulian Keraton

19Hasil wawancara dengan Iman Sugiman pada 30 November 2015 di Keraton Kasepuhan.

38

Kasepuhan dalam menjaga dan melestarikan budaya yang ada. Di samping

pagelaran tari yang diselenggarakan oleh Keraton Kasepuhan tiap bulannya.

3. Struktur Pemangku Jabatan Keraton Kasepuhan

Keraton Kasepuhan memiliki dua struktur organisasi yang berlaku,

yakni struktur organisasi tradisional dan manajemen Badan Pengelola

Keraton Kasepuhan atau yang lazim disebut BPKK. Struktur organisasi

tradisional ini sendiri hanya berlaku bagi kalangan internal keraton saja.

Adapun untuk kebutuhan kepengurusan harian seperti pemeliharaan wisata,

kegiatan adat, penerimaan tamu regional, nasional dan internasional diambil

alih oleh BPKK.

39

Berikut adalah struktur organisasi tradisional Keraton Kasepuhan:

SultanSultan Sepuh

Patih

Kepala Lurah

Lurah Magersari

LurahLurah WewengkonWewengkon Lurah Dalem

MandalangenMandalangen Ketinas Ketinas Pengampon

Abdi Dalem

Seperti halnya struktur kerajaan pada masa lalu, struktur tradisional

ini pun bersifat hierarkis. Sultan sebagai pemimpin keraton memiliki otoritas

yang tinggi dalam kekuasaan. Semua kebijakan di keraton baik itu yang

sifatnya internal ataupun eksternal harus dikeluarkan oleh sultan. Adapun

nama-nama di atas tidak bisa disebutkan sekarang karena masih dalam tahap

penggodokan dan belum secara resmi di umumkan oleh Sultan Sepuh XIV.

40

Berbeda dengan struktur organisasi tradisional, struktur organisasi manajemen BPKK tidak hanya melibatkan kalangan internal saja, pejabat pemkot seperti Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa

Barat serta Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata

Kota Cirebon juga turut dilibatkan.

Lengkapnya bisa dilihat pada Surat Keputusan Sultan Sepuh XIV

Nomor 001/SK/SSXIV/VII/2015 tentang susunan manajemen Badan

Pengelola Wisata Keraton Kasepuhan Cirebon Periode Tahun 2015 s/d 2018 di bawah ini:

Pembina : 1. Sultan Sepuh XIV P.R.A. Arief

Natadiningrat, SE.

2. Kadisparbud Prov. Jawa Barat

3. Kadisporbudpar Kota Cirebon

Pengawas : R.A.S. Isye Natadiningrat

Direktur : PR. Luqman Zulkaedin, SH

Wakil Direktur I : PR. Nisfudin Ardiningrat

Wakil Direktur II : M Akbar SIP

Sekretaris dan Administrasi : Ahmad Jazuli

Wakil Sekretaris dan Admnistrasi : Raden Mukhtar

Bendahara : Drs. E Subandi

Wakil Bendahara : Otong AB

41

Kabag Ticketing, Parkir dan PKL : Donny Husein

Wakabag Ticketing, Parkir dan PKL : E Raharyadi W

Wakabag Parkir Dalam dan Luar : Misdiyanto

Wakabag Ticket : R Mohammad Yuski

Wakabag Ticket dan Maintenance : 1. Gita Deshara

2. Ika Setia Nurhayah

Kabag Pengelola Dalem Agung : PR. Goemelar Soeriadiningrat

Kabag Pemandu dan Tampi Tamu : Iman Sugiman

Wakabag Pemandu dan Tampi : R. M. Hafid Permadi

Tamu

Kepala Bagian Pemasaran : RR Alexandra Wuryaningrat

Wakabag Pemasaran : RR Gumiwang Kencananingrat

Kabag Paket Wisata dan Event : Ratih Marlina, S.pd

Wakabag Paket Wisata dan Event : Ratu Idah Julhaedah

Kabag Gallery dan Food Court : RR. Siti Fatimah Nurkhayani,

SI.Kom

Kabag Museum dan Tradisi : R Tarsoma Martabrata

Wakabag Museum dan Tradisi : Mohammad Maskun

Kabag Umum dan Kebersihan : E. Usman Zaelani

Wakabag Umum dan Kebersihan : Sukesa

42

Kabag Publikasi, Dokumentasi dan : Khana Maulasa

Website

Wakabag Publikasi, Dokumentasi : Andi Rohman S.Pd.I

dan website

Kabag Pengelola Langgar Agung : E Haryanto

Wakabag Pengelola Langgar Agung : Drs. Supratman

Kabag Kamtib : E. Rochadi Susilakusuma

Wakabag Kamtib : 1. Sugito

2. E Hanafiah Angkawijaya

3. Sudarno

Staff Sultan : 1. E. Subandi

2. Ahmad Jazuli

3. R. Mukhtar

4. Donny Husein

5. Andi Rokhman S. Pd.I

B. Pemerintahan Kota Cirebon

1. Sejarah Pemerintahan Kota Cirebon

Berdirinya Pemerintahan Kota Cirebon bisa dikatakan sebagai

modernisasi sistem pemerintahan masa lalu. Seperti kita ketahui bersama

bahwa sebelum penjajah masuk ke nusantara, sistem pemerintahan yang

berlaku adalah kerajaan. Kerajaan berdiri di daerah yang berpenduduk

43

banyak dan mengatur segala hal yang berkenaan dengan ranah politik, sosial,

ekonomi, budaya, seperti pemerintahan masa kini. Namun mungkin dengan

istilah dan bentuk struktur yang berbeda. Kerajaan kecil biasanya menginduk

pada kerajaan besar. Dan mesti membayar pajak atau upeti kepada kerajaan

induk.

Sejak penjajah datang dan mengambil alih peran kerajaan dalam

pemerintahan, sistem pemerintahan pun mengalami perubahan. Perubahan

yang signifikan terjadi pada saat kolonialisme dibawah Pemerintahan Hindia

Belanda. Sistem pemerintahan jajahan Hindia Belanda mempunyai corak

“otokratis” suatu pemerintahan yang sentralistis dan berlaku sejak tahun

1854 menurut garis-garis yang diletakkan dalam “Regerings Reglement”

Staatsblad 1854.20 Asas penyelenggaraan Pemerintahan di daerah jajahan,

semata-mata hanya menggunakan sistem Sentralisasi.21 Pemerintahan

sentralistis tersebut bertahan sampai dengan awal tahun 1900-an. Baru pada

tanggal 1 April 1906 Pemerintah Kota Cirebon resmi dibentuk.22 Lingkup

daerahnya sendiri meliputi desa Lemahwungkuk, Panjunan dan Pekiringan

dalam lingkungan antara Laut Jawa, Kali Sukalila, Kali Sipadu dan Kali

Kesunean, luasnya mencapai sekira 225 hektar.

Perjalanan Pemerintah Kota Cirebon dapat kita lihat dari undang-

undang yang berkenaan dengan pemerintah daerah pada masing-masing

20Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Kota Cirebon, Garis Waktu (Time Line of History) Cirebon, hal. 29 21Lihat Ichtisar Perkembangan Otonomi Daerah, 1903-1958, Amrah Muslimin, Mr, Penerbit Jambatan 1960, bagian pertama. 22Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Kota Cirebon, Garis Waktu (Time Line of History) Cirebon, hal. 29

44

periode penguasa. Kita dapat membaginya dalam beberapa periode, yakni

periode kolonialisme Hindia Belanda, penjajahan Jepang, paska

kemerdekaan, Republik Indonesia Serikat (RIS), orde lama, orde baru dan

reformasi.

a. Periode Kolonialisme Hindia Belanda

Sejak resmi dibentuk pada tanggal 1 April 1906, Pemerintah Kota

Cirebon atau yang pada waktu itu disebut Gementee Cheribon harus

mengurus urusan-urusan rumah tangga daerahnya sesuai dengan yang

tertera di Staatsblad 1906 nomor 122.23 Pada periode ini Pemerintah

Hindia Belanda sudah melakukan desentralisasi, namun kepala daerah

sendiri baru resmi ditunjuk pada tahun 1920. Pada masa ini kepala

daerah yang menjabat disebut dengan Burger Meester.24 Urusan rumah

tangga yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Pekerjaan Umum, seperti pemeliharaan jalan, perbaikan berat jalan,

pemeliharaan jembatan, pembangunan jalan baru, pembangunan

jembatan baru dan pemeliharaan taman.

2. Pembersihan, meliputi penyiraman jalan, pembuangan sampah, serta

pembersihan got dan parit.

3. Pencegah kebakaran (Blandweer)

4. Penerangan

5. Penyelenggaraan kuburan

6. Penetapan sempadan

23Ibid, hal 31 24Ibid, hal 88

45

7. Usaha pasar

8. Usaha jabal25

Praktis tak banyak yang berubah selama tahun 1906 sampai

dengan akhir masa penjajahan Belanda terkait dengan fungsi dan

wewenang Gementee Cheribon.

b. Periode Penjajahan Jepang

Pada tanggal 8 Maret 1942, Gubernur Jendral Hindia Belanda

Tjarda Starkenborgh Stachouwer dan Panglima Militer (Leger-

Commandant) Ter Poorten atas nama Pemerintah Hindia Belanda

menandatangani kapitulasi di Kalijati (Subang) yang menyatakan

menyerah tanpa syarat kepada tentara Jepang.26 Dengan itu maka

kekuasaan pun beralih ke tangan Jepang. Peralihan kekuasaan tersebut

tentunya memberikan dampak terhadap jalannya pemerintahan. Baik

pemerintahan pusat ataupun daerah.

Dampak dari peralihan kekuasaan tersebut adalah dibuatnya

peraturan-peraturan baru, walaupun tidak serta merta mengubah sistem

dan tatanan yang sudah ada secara signifikan. Diantaranya adalah osamu

seirei nomor 27 tahun 1942 yang mengatur tentang susunan

pemerintahan dan Osamu Seirei nomor 28 tahun 1942 yang mengatur

peraturan pemerintahan keresidenan atau Shyu. Pada masa ini

Pemerintah Kota Cirebon di pimpin oleh Asikin Nataatmadja dan

25Ibid, hal 31 26Ibid, hal 37

46

Muniran Suria Negara. Kepala Daerahnya sendiri dipanggil dengan

sebutan Shitjo.27

c. Periode 1945-1947

Setelah Republik Indonesia resmi diproklamirkan, maka

peraturan tentang otonomi daerah pun ikut berubah. Perubahan itu

termaktub dalam pasal 18 UUD 1945 sebelum di amandemen yang

berisi:

“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk

susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan

memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem

pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang

bersifat istimewa”.28

Penjelasan lebih lanjut mengenai susunan pemerintah daerah

diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang

pembentukan Komite Nasional Daerah yang berisi sebagi berikut:

“Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah

provinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil dan di daerah-

daerah yang bersifat otonom akan diadakan Badan Perwakilan Daerah

(BPD) oleh karena itu di daerah pun pemerintah akan bersendi atas dasar

permusyawaratan”.

Pada masa ini Pemerintah Daerah terbagi atas provinsi,

kotamadya/kabupaten, kecamatan, dan kelurahan. Setiap daerah otonom

27Ibid, hal 88 28 Sekretaris Jenderal MPR RI, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Keempatbelas, hal. 10

47

baik itu yang besar ataupun kecil dipimpin oleh kepala daerah sebagai

bentuk kepanjangan tangan pemerintah pusat dalam menjalankan

kebijakan-kebijakannya. Namun, perlu dipahami bersama juga kalau UU

No.1 Tahun 1945 hanya berisi enam pasal sehingga masih banyak

kekurangan-kekurangan yang muncul pada implementasinya.

d. Periode 1947-1950

Pada periode ini Belanda melancarkan agresi militernya ke

Indonesia. Dampak dari agresi militer tersebut adalah direbutnya

beberapa daerah dari tangan Pemerintah NKRI. Belanda masuk ke

daerah Cirebon pada 21 Juli 1947.29 Sejak Cirebon dikuasai kembali oleh

Belanda maka Dewan-Dewan KNI dan badan eksekutifnya dibekukan

dan pemerintah daerah otonom kota diatur berdasarkan peraturan yang

termuat dalam Stbl. 1948 no. 179, yang menetapkan pemerintah daerah

kota diletakkan di tangan pembesar yang ada, yakni Burgermester.30

Selama agresi militer berlangsung tak banyak yang berkembang dalam

penyelenggaraan otonomi daerah. Itu semua karena Pemerintah Republik

Indonesia dan Belanda lebih fokus pada penetapan pemerintah yang sah

melalui berbagai perundingan.

e. Periode 1950-1959

Tak banyak yang berubah dari gagasan otonomi daerah pada

periode ini. Hanya ada penegasan Cirebon ditunjuk sebagai daerah

otonom Kota Besar Cirebon melalui UU No. 16 Tahun 1950. Menurut

29Ibid, hal 42 30Ibid, hal 42

48

Moh.Sjafei (1956), hak otonomi pada masa itu berisi tidak lebih dari

tugas-tugas yang diberikan pada waktu daerah otonom Kota Cirebon

baru dibentuk pada tahun 1906, dengan ditambah tugas kesehatan.31

f. Periode 1959 – Berakhirnya orde lama

Pada periode ini pemerintah pusat mengeluarkan dua UU yang

berkenaan dengan otonomi daerah. Undang-undang tersebut mengatur

tentang pengalihan kekuasaan dan pembagian daerah-daerah otonom

dalam beberapa tingkatan. Di era orde lama ini daerah Cirebon terbagi

menjadi Kotaraya atau Daerah Tingkat I dan Kabupaten atau Daerah

Tingkat II.

Pertama adalah UU No. 6 Tahun 1959 ditetapkan bahwa kecuali

tugas kewajiban, kekuasaan dan wewenang mengurus ketertiban dan

keamanan umum, koordinasi mengenai pengawasan jalannya pemerintah

daerah, yaitu semua wewenang dan kekuasaan dari pegawai-pegawai

pamong praja dari Gubernur, Resident/Residen, Regent/Bupati sampai

Camat dengan ketentuan sebagai berikut:

1) Semua kekuasaan dan wewenang yang bersifat mengatur (regelende

bevoedheid) dari Gouvenour/ Gubernur, Resident/ Residen beralih

pada DPRD Tingkat I.

2) Semua kekuasaan dan wewenang yang tidak bersifat mengatur yang

melekat pada Regent/Bupati/Walikota, Asisten Residen, hoofd van

31Ibid, hal 45

49

plasstselijk bestuur, patih, wedana dan Asisten Wedana beralih pada

Dewan Pemerintahan Daerah Tingkat I.32

Sedangkan yang kedua ialah pasal 2 UU No. 18 Tahun 1965

membagi daerah dalam daerah-daerah yang berhak mengatur dan

mengurus rumah tangga sendiri dan tersusun dalam tiga tingkat sebagai

berikut:

1) Provinsi dan/ atau Kotaraya, sebagai Daerah Tingkat I.

2) Kabupaten dan/ atau Kotapraja sebagai Daerah Tingkat II.

3) Kecamatan sebagai Daerah Tingkat III.33

g. Periode Orde Baru

Praktis pada masa ini tak begitu banyak perubahan yang terjadi

dalam implementasi otonomi daerah. Hal ini disinyalir karena jalannya

pemerintahan yang cukup stabil dan bertahan cukup lama. Hanya ada

beberapa UU yang mengatur tentang pemerintah daerah, seperti:

1) UU No. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di Daerah

yang mengatur azas pemerintahan desentralisasi, dekonsentrasi, dan

tugas pembantuan.

2) UU No. 5 Tahun 1974 Pasal 4 ayat (1) yang berisi pemerintah daerah

adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

32Ibid, hal 45 33Ibid, hal 46

50

h. Periode Reformasi

Jatuhnya pemerintahan Suharto memberikan dampak perubahan

yang cukup meluas. Mulai dari amandemen UUD 1945, perubahan

nomenklatur departemen, perubahan kebijakan dan semua yang dianggap

sebagai biang rusaknya pemerintahan. Perihal UU yang mengatur

tentang pemerintah daerah bisa dilihat dari hasil sidang Umum MPR

yang mengesahkan Tap-Tap MPR yang melahirkan beberapa perubahan

UU sebagai berikut:

1) Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah.

2) Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan

pusat dan daerah.

3) Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara

bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

4) Peraturan Pemerintah RI No. 84 Tahun 2000 tentang pedoman

organisasi perangkat daerah.

5) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

sebagai pemyempurnaan dari UU No. 22 Tahun 1999.34

2. Kedudukan dan Wewenang

Perihal kedudukan dan kewenangan Pemerintah Kota Cirebon lebih

jelasnya sudah diatur dalam UUD 1945 tentang Pemerintah Daerah.

Pemerintah Kota Cirebon adalah daerah otonom dari Negara Kesatuan

34Ibid, hal 74

51

Republik Indonesia yang secara struktur dan kedudukan harus menginduk

kepada pemerintah pusat. Dalam hal ini pemerintah kota berada satu tingkat

di bawah pemerintah provinsi dan dua tingkat di bawah pemerintah pusat.

Adapun kewenangan yang dimiliki oleh kepala daerahnya haruslah merunut

pada konstitusi yang berlaku di Indonesia. Sehingga kepala daerah tidak bisa

sewenang-wenang dalam membuat keputusan dan kebijakan. Lebih jelasnya

bisa kita lihat pada UUD 1945 perubahan ke-4 pasal 18 ayat 1 dan 5.

Hal-hal mengenai wewenang Pemerintah Daerah terdapat pada

perubahan ke 4 (empat) UUD 1945 menyatakan jelas mengenai bentuk dan

susunan pemerintahan daerah dalam kerangka Negara Republik Indonesia.

Pasal 18 ayat (1) berbunyi:

“ Negara Kesatuan Repulik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi

dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap

propinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang

diatur Undang-Undang”.

Dan dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 menyebutkan bahwa:

“Pemerintah daerah merupakan daerah otonom yang dapat menjalankan

urusan pemerintahan dengan seluas-luasnya serta mendapat hak untuk

mengatur kewenangan pemerintahan kecuali urusan pemerintahan yang oleh

undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat”.35

35 Sekretaris Jenderal MPR RI, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Keempatbelas, hal. 132

52

3. Struktur Organisasi Pejabat Pemerintahan Kota Cirebon

Adapun struktur organisasi DISPORBUDPAR Kota Cirebon adalah

sebagai berikut:

Kepala Dinas : Drs. Dana Kartiman

Sekretaris : Bagja Edi Rohaedi, S.Sn.

MM

KA. UPTD PIBP : Wahyoe Koesoemah, S.Sn

KA. UPTD SARPRAS Pemuda dan OR : Drs. Fauzi Aschar

KA. UPTD PPOR : Hj. Sustini, SAP

Kasubag TU UPTD PIBP : Giyanto, SE. MM

Pelaksana : Krisbiantoro, SE

Kasubag TU UPTD SARPRAS Pemuda dan OR : R. Dijah Rosalina N, S.Sos

Pelaksana : Rosidah, A.Md

Kasubag TU UPTD PPOR : Dini Novianti, S.Sos

Pelaksana : Jojo Turijo

Kasubag Umum : Suharjo, SAP

Pelaksana : Sukara

Kasubag Proglap : Drs. Dodi Supriyadi

Pelaksana : Iffatunnisa R, A.Md

Kasubag Keuangan : 1. M. Taufiq Rizal, SS

2. Tri Hernatikah, SE

53

3. Siti Maemunah, Amd

4. Musa Abrori, SE

5. Gita Lugina, SE

6. Ferike

Kabid Kepemudaan : Alimudin, A.Md

Kasie Bina Lemmitra Pemuda : Hj. Tati Sumiyati, SE

Pelaksana : Beny, S.Sos, M.Si

Kasie Bina Pimwir Pemuda : Umi Sangadah, S.Sos

Pelaksana : Erwin Rahmat Josandi

Kabid Keolahragaan : Odik, S.Pd.,M.Pd

Kasie Bina Olahraga Prestasi : Santosa, S.Sos

Pelaksana : Pujo Janoko, SAP

Kasie Bina Olahraga Rekmas : Rindu Legawati, S.H.,

M.Si

Pelaksana : Drs. Nanang Sudibyo

Kabid Kebudayaan : Drs. Agus. S, MM, M.Pd

Kasie Bina Senfibasa : Dede Wahidin, S.Sn

Pelaksana : 1. Rakhmat Hidayat, S.IP

2. Reni Imaniyah. S,SH

Kasie Bina Niltrasepur : Sugiyono, S.Pd

Pelaksana : Maryono. K, S.IP, M.Si

Kabid Kepariwisataan : H. Tohidi, Se., MM

Kasie Pemasaran Pariwisata : Suhendi, SE

54

Pelaksana : Mustopa, SE

Kasie Bina Usaha Pariwisata : Wiyono SA., S.Sn

Pelaksana : Ricco Hadiyanto, A.Md

56

BAB IV

TEMUAN LAPANGAN DAN ANALISIS DATA

A. Profil Informan

1. Pemangku Jabatan Keraton Kasepuhan

Pemangku jabatan Keraton Kasepuhan dalam hal ini merujuk kepada

orang-orang yang bekerja di lingkungan keraton dan termasuk ke dalam

struktur organisasi Badan Pengelola Keraton Kasepuhan (BPKK).

a. Iman Sugiman

Narasumber pertama dari pihak keraton adalah Bapak Iman

Sugiman. Beliau adalah salah satu „abdi dalem‟ yang bisa dikatakan

cukup senior. Karena telah bekerja dan menghabiskan hampir satu per

empat abad umurnya di Keraton Kasepuhan. Tepatnya selama 24 tahun.

Sehingga sudah merasakan pahit-manisnya hidup di lingkungan keraton.

Selain itu, ada kebijakan Sultan yang secara langsung menunjuk Iman

Sugiman untuk membimbing peneliti dalam penelitian yang mengkaji

aspek sosial, budaya dan pariwisata.

Beliau sekarang menjabat sebagai Koordinator Kepala Bagian

Penerima Tamu. Jabatan ini baru diembannya selama satu tahun.

Tanggung jawab terhadap jabatannya kali ini bisa dibilang cukup berat,

karena beliau lah yang harus bertanggung jawab dalam penerimaan tamu

baik itu wisatawan domestik ataupun internasional. Beliau juga

seringkali diutus oleh Sultan untuk mewakili Keraton Kasepuhan dalam

57

berbagai kegiatan kebudayaan dan kepariwisataan. Di luar Keraton

Kasepuhan, beliau juga aktif di KOMPEKPAR (Komunitas Penggerak

Pariwisata) wilayah Cirebon. Pernah menjabat sebagai Sekretaris juga

pada tahun lalu sebelum digantikan kepengurusan yang baru.

b. Ahmad Jazuli

Beliau adalah salah satu dari lima orang staff yang ditunjuk oleh

Sultan Sepuh XIV P.R.A. Arief Natadiningrat S.E. Jabatan sebagai Staff

Sultan tersebut sudah diamanatkan kepada beliau sejak 2010 atau sejak

Sultan Sepuh XIV diangkat. Dengan posisi sebagai Staff Sultan bisa

dibilang beliau mengetahui hampir seluruh kegiatan yang Keraton

Kasepuhan selenggarakan dan laksanakan. Selain memang harus

bertanggung jawab mendampingi Sultan dalam melaksanakan tugas-

tugasnya.

2. Pejabat Pemerintah Kota Cirebon

Pejabat Pemerintah Kota Cirebon adalah pejabat negara yang bekerja

di lingkungan Pemerintah Kota Cirebon. Dsalam hal ini tepatnya dari Dinas

Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata (DISPORBUDPAR). Untuk

mengerucutkan poin-poin yang dibahas dalam penelitian kali ini maka yang

dipilih sebagai narasumber adalah Kepala DISPORBUDPAR serta dari

Bagian Pariwisata dan Kebudayaan.

a. Drs. Dana Kartiman

Narasumber pertama dan utama dari Pemerintah Kota adalah Drs.

Dana Kartiman. Jabatan beliau sekarang adalah Kepala

58

DISPORBUDPAR. Pemilihan beliau sendiri sebagai narasumber lebih

dikarenakan Dinas yang beliau bawahi memiliki intensitas dan frekuensi

interaksi yang lebih tinggi dengan Keraton Kasepuhan dibandingkan

dengan Dinas lainnya di Kota Cirebon. Beliau sudah menduduki jabatan

tersebut sejak 15 Maret 2014. Bisa dibilang beliau adalah pejabat senior

yang sudah cukup lama melintang di jajaran pejabat Pemerintah

Kota Cirebon. Sebelum menjabat sebagai Kepala DISPORBUDPAR,

beliau juga pernah menduduki beberapa jabatan di BAPUSIPDA dan

Dinas Pendidikan yang kesemuanya di kota Cirebon.

Dalam tugasnya yang sekarang beliau bertanggung jawab

terhadap sektor Kepemudaan, Olahraga dan tentunya Kebudayaan serta

Kepariwisataan. Kebudayaan dan Kepariwisataan sendiri merupakan

sektor yang tak bisa dianggap sepele, mengingat sejarah panjang Kota

Cirebon sebagai salah satu daerah yang memiliki nilai sejarah tinggi

berikut prospek pariwisatanya yang sekarang mulai dilirik wisatawan

domestik dan internasional. Perhatian terhadap hal-hal tersebut mau tidak

mau membuat beliau harus terlibat lebih aktif dalam berkomunikasi

dengan stakeholders kebudayaan dan kepariwisataan setempat demi

menjadikan kota Cirebon sebagai tujuan wisata yang menarik. b. Wiyono SA., S.Sn

Narasumber selanjutnya dari bagian pariwisata adalah Wiyono

SA., S.Sn. Beliau menjabat sebagai Kepala Seksie Bina Usaha

Pariwisata. Jabatan ini sudah diembannya selama empat tahun. Setelah

59

sebelumnya mengisi beberapa jabatan di DISPORBUDPAR. Beliau juga

menjadi ketua pelaksana dalam kegiatan Sosialisasi Sadar Wisata bagi

Para Stakeholder Kepariwisataan yang dilaksanakan Akhir 2015 yang

lalu.

Pada posisinya yang sekarang beliau diberi tanggung jawab untuk

meningkatkan usaha kepariwisataan di wilayah Cirebon. Sektor

pariwisata di Kota Cirebon sendiri terbagi dalam dua aspek yakni,

sejarah dan ziarah. Keraton-keraton di Cirebon seperti Kasepuhan dan

Kanoman yang selama ini menjadi ikon pariwisata di Cirebon menjadi

fokus utama yang harus digarap dan ditingkatkan lagi demi mengenalkan

peninggalan leluhur kepada wisatawan domestik dan internasional. c. Sugiyono S.Pd

Sedangkan narasumber dari bagian kebudayaan sendiri adalah

Sugiyono S.Pd. Sekarang beliau menjabat sebagai Kepala Seksie Bina

Nilai Tradisional Sepuh dan Purbakala. Beliau dipercaya memegang

jabatan ini selama empat tahun terakhir.

Sebagai Kasie Bina Niltrasepur beliau bertanggung jawab dalam

pemeliharaan setiap unsur kebudayaan yang ada di Cirebon. Unsur

kebudayaan yang dimaksud diantaranya benda-benda peninggalan

kebudayaan masa lalu seperti keraton-keraton, gua sunyaragi, serta situs-

situs peninggalan sejarah lainnya. Selain itu, pelestarian aktivitas

kebudayaan seperti upacara-upacara tradisional, tari-tarian, serta

60

kesenian tradisional juga menjadi hal yang harus tetap diperhatikan demi

menjaga keutuhan kebudayaan Cirebon.

B. Simpul-Simpul Pertemuan antara Keraton Kasepuhan dengan Pemerintah

Kota

Sebagai bagian dari observasi penelitian kali ini adalah dengan turut

serta dalam beberapa pertemuan yang dilakukan oleh Keraton Kasepuhan dan

Pemerintah Kota Cirebon, berikut adalah kegiatan yang diselenggarakan oleh

kedua pihak.

1. Keraton Kasepuhan

a. Rapat Koordinasi Maulid Nabi Muhammad SAW

Rapat koordinasi ini merupakan bagian dari rangkaian persiapan

penyelenggaraan Maulid Nabi Muhammad SAW atau yang kerap kali

disebut sebagai Panjang Jimatan oleh masyarakat Cirebon. Seperti

umumnya rapat koordinasi, pihak Keraton sebagai tuan rumah sekaligus

penyelenggara juga mengundang pihak-pihak terkait demi kelancaran

Panjang Jimatan tersebut. Pihak yang diundang antara lain Pemerintah

Kota, dari pejabat tingkat RT sampai Walikota, Kepolisian, TNI, sanak

famili, dan tentunya masyarakat sekitar.

Tujuan dari diselenggarakannya rapat koordinasi ini tentunya

adalah perihal tercapainya persiapan dan kesiapan yang matang pada

penyelenggaraan Panjang Jimatan. Oleh karena itu dibutuhkan kerja

yang terkoordinasi dan terintegrasi dari semua pihak. Seperti masalah

tentang keamanan, kenyamanan, dan tentunya kebersihan. Hal-hal

61

tersebut tentunya akan sangat sulit ditangani sendiri oleh pihak Keraton

mengingat Panjang Jimatan bukanlah acara yang dihadiri oleh sedikit

orang. b. Maulid Nabi Muhammad SAW (Panjang Jimat)

Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Keraton Kasepuhan

memiliki daya tarik tersendiri. Karena mengandung unsur budaya yang

sangat kental. Mengingat Cirebon merupakan salah satu daerah yang

dijadikan ujung tombak penyiaran agama islam pada masa wali songo.

Wali songo sendiri melakukan syi‟ar islam dengan sentuhan-sentuhan

budaya yang kental. Sunan Gunung Jati yang ditugaskan di wilayah Jawa

Barat pun turut menggunakan pendekatan budaya dalam menyebarkan

agama islam. Salah satu warisannya yang masih tetap dilestarikan adalah

perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Unsur budaya sangat terasa

pada perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Keraton

Kasepuhan, dimana didalamnya terdapat ritual upacara panjang jimat.

Upacara panjang jimat sendiri merupakan pencucian benda

pusaka yang disertai dengan iring-iringan. Iring-iringan tersebut

berangkat dari dalam Keraton Kasepuhan sampai Langgar Alit yang

masih berada dalam pelataran Keraton. Selain iring-iringan benda pusaka

yang kemudian dimandikan dan dibacakan doa, berbagai makanan pun

turut disertakan dan didoakan sebelum kemudian diperebutkan oleh

masayarakat yang mempercayai bahwa makanan tersebut mengandung

keberkahan.

62

c. Pertunjukan Kolaborasi Tari Bian Lian dan Tari Topeng

Pagelaran atau pertunjukan seni tari ini merupakan gagasan dari

Sultan Sepuh XIV. Kepeduliannya pada pelestarian dan pengembangan

kesenian dituangkan dalam bentuk pagelaran kolaboratif antara tari Bian

Lian dari Tiongkok dan tari Topeng dari Cirebon. Gagasan ini muncul

ketika beliau mengunjungi Tiongkok dan disambut dengan tari Bian

Lian. Tari Bian Lian ini sendiri merupakan jenis tari-tarian yang

menggunakan topeng sebagai pusat daya tariknya. Cirebon sendiri

memiliki tari sejenis namun dengan warna dan bentuk topeng yang

berbeda, jenis tari ini biasa disebut tari Topeng. Dengan latar belakang

kesamaan pada penggunaan topeng, maka sultan pun berinisiatif untuk

membuat pagelaran kolaborasi tari Bian Lian dan tari Topeng.

Gagasan tersebut mendapat sambutan yang baik dari lembaga

bahasa mandarin di Jawa Barat. Maka, dibuat lah kerjasama untuk

menyelenggarakan kolaborasi tari Bian Lian dan tari Topeng di Cirebon.

Kerjasama tersebut membuahkan hasil dan dapat ditampilkan untuk

pertama kalinya di Keraton Kasepuhan.

2. Pemerintah Kota Cirebon

a. Sosialisasi Sadar Wisata bagi Seluruh Stakeholders Kepariwisataan

Kota Cirebon

Kegiatan ini merupakan respon terhadap kondisi kepariwisataan

di Kota Cirebon. Kondisi kepariwisataan di Cirebon sendiri tidak bisa

63

dikatakan sepenuhnya baik. Oleh karena itu, Pemerintah Kota dalam hal

ini melalui bagian Pariwisata mencoba untuk mengumpulkan

stakeholders kepariwisataan di Kota Cirebon untuk membicarakan

tentang pengembangan pariwisata di Cirebon.

Stakeholders yang dimaksud dalam hal ini adalah para pengelola

cagar budaya yang didalamnya termasuk dari Keraton Kasepuhan,

kuncen situs-situs budaya, pengelola hotel, kuliner dan travel. Kegiatan

ini sendiri diisi oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata

(DISBUDPAR) Provinsi Jawa Barat dan Kepala Dinas Pemuda Olahraga

Budaya dan Pariwisata (DISPORBUDPAR). b. Laporan Data Pengunjung Keraton Kasepuhan

Kegiatan ini merupakan bentuk controlling dari Pemerintah Kota

terhadap pemberdayaan cagar budaya. Semua cagar budaya yang terletak

di Kota Cirebon diharuskan untuk membuat data pengunjung dan

melaporkannya kepada Pemerintah Kota setiap bulan. Termasuk Keraton

Kasepuhan di dalamnya. Data ini nantinya dibutuhkan sebagai salah satu

pertimbangan dalam pengembangan pemberdayaan cagar budaya ke

depannya. c. Sowan

Sowan yang dimaksud dalam hal ini adalah kunjungan yang tidak

direncanakan. Sengaja tidak dimasukkan ke dalam agenda resmi ataupun

terencana karena untuk menghilangkan kesan kaku dalam hubungan

yang berlangsung diantara pihak Pemerintah Kota Cirebon dan pihak

64

Keraton Kasepuhan. Karena tidak direncanakan, waktu sowan pun bisa

kapan saja tanpa memperhitungkan waktu.

Kegiatan sowan ini sering dilakukan oleh pihak Pemkot untuk

menjaga silaturahmi dengan pihak Keraton Kasepuhan. Penerimaannya

pun tidak mesti oleh Sultan, melainkan bisa dengan siapa saja, biasanya

yang menerima adalah orang-orang yang masuk dalam jajaran BPKK

(Badan Pengelola Keraton Kasepuhan).

C. Analisa Hasil Temuan

Analisa hasil temuan penelitian model kualitatif deskriptif analisis

mengacu pada nilai-nilai objektifitas. Fokus analisanya sendiri adalah pada pola

komunikasi pemangku jabatan Keraton Kasepuhan dengan Pejabat Pemerintah

Kota. Pola komunikasi yang dimaksud adalah tentang pola komunikasi formal

dan informal. Selain tentunya juga dilakukan analisa terhadap pola-pola

komunikasi dalam bentuk lingkaran, roda, rantai dan bintang.

1. Analisa Pola komunikasi Pemangku Jabatan Keraton dengan Pejabat

Pemerintahan Kota

a. Identifikasi Keraton terhadap Pemkot

Sebelum membahas tentang pola komunikasi diantara pemangku

jabatan Keraton Kasepuhan dengan pejabat Pemerintah Kota tentu yang

harus diketahui terlebih dahulu adalah perihal bagaimana pihak keraton

menganggap atau mengidentifikasi Pemerintah Kota berikut pejabatnya.

Karena identifikasi yang kita lakukan terhadap suatu objek akan

mempengaruhi bagaimana kita merespon objek tersebut, objek yang

65

dimaksud dalam hal ini adalah simbol-simbol yang muncul dalam suatu

interaksi.1 Dalam hal ini individu bergerak atau merespon stimulus

bergantung pada simbol yang digunakan dan pemaknaan dari simbol

tersebut. Simbol dalam proses komunikasi dapat berupa: bahasa, isyarat,

gambar, warna dan lain sebagainya.2

Maka, penting untuk mengetahui terlebih dahulu simbol-simbol

yang digunakan pihak Keraton dalam berinteraksi dengan pihak Pemkot.

Keraton sendiri pada perkembangannya sudah menjadi penjaga

dan pelestari adat yang terlembaga dan melembaga. Terlembaga dan

melembaga dalam artian secara struktur organisasi dan gerak langkah

keraton sudah mengalami beberapa perubahan atau lebih tepatnya

mengalami modernisasi selayaknya instansi atau lembaga-lembaga pada

masa sekarang. Perubahan tersebut tidak lantas mengubah keseluruhan

wajah keraton, seperti dalam hal struktur organisasi misalnya, struktur

organisasi tradisional tetap dipertahankan meskipun telah membentuk

struktur organisasi modern.

Pembentukan struktur organisasi modern ini lebih dikarenakan

untuk menjawab kebutuhan zaman. Seperti yang diungkapkan oleh

Ahmad Jazuli, salah satu staff Sultan Sepuh XIV, dalam wawancaranya

dengan saya. ”Kemudian sesuai perkembangan zaman, mau tidak mau

keraton berkembang menjadi destinasi wisata, ya wisata sejarah, wisata

1 Umiarso dan Elbadiansyah, Interaksionisme Simbolik dari Era Klasik hingga Modern, (Depok: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2014), hal. xxi 2 Joel M. Charon, Symbolic Interactionisme: An Introduction, An Interpretation, An Integration. Prentice Hall, Hal 40.

66

ziarah, dan juga wisata pendidikan. Seperti sekarang ini Sultan Sepuh

merasa perlu untuk membentuk badan khusus di luar struktur tradisional.

Oleh karenanya dibentuk BPKK (Badan Pengelola Keraton Kasepuhan).

Semi modern lah. Ini kan untuk menjawab kebutuhan zaman karena

belum ter-cover oleh struktur tradisional”. Perubahan struktur organisasi

tersebut berdampak pada gerak langkah yang melembaga pula, keraton

pada masa sekarang mau tidak mau harus mengikuti prosedur

administrasi yang berlaku. Seperti dalam hal surat-menyurat, laporan

data pengunjung, ataupun pengajuan proposal untuk menjalin kerjasama

dengan Pemerintah dan swasta.

Pihak keraton sendiri menganggap Pemerintah Kota, yang dalam

hal ini sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat sebagai rekan dan

juga pemilik bersama Keraton Kasepuhan.

1) Sebagai Rekan atau Mitra

Rekan atau mitra yang dimaksud dalam hal ini adalah

berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan kebudayaan dan

kepariwisataan. Di dalamnya termasuk kegiatan-kegiatan adat dan

tradisi juga. Hal ini juga diperkuat dengan wawancara yang saya

lakukan dengan Iman Sugiman, salah satu abdi dalem atau juru

pelihara Keraton Kasepuhan.3 “Keraton juga milik negara, jadi

Pemerintah Kota dan Keraton harus saling bekerja sama”. Pernyataan

tersebut menegaskan bahwa keraton tidak independen, tidak lagi

3 Hasil wawancara dengan Iman Sugiman pada 30 November 2015 di Keraton Kasepuhan

67

berdiri sendiri. Tidak lagi memiliki fungsi pemerintahan yang memungkinkannya untuk mengatur segala sesuatunya sendiri.

Sehingga segala sesuatunya haruslah dilakukan dengan berkerja sama. Utamanya dengan Pemerintah, baik Pemerintah Pusat ataupun

Pemerintah Kota, selaku pemegang otoritas tertinggi daerah.

Hal ini juga dapat dilihat dari pelibatan pejabat pemerintahan dalam struktur organisasi Badan Pengelola Keraton Kasepuhan

(BPKK). Bahkan, tidak hanya dilibatkan tetapi juga ditempatkan di salah satu posisi tertinggi. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata

Provinsi jawa Barat dan Kepala Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata menjabat sebagai pembina, yang dalam hal ini sejajar dengan Sultan Sepuh. Kesamaan posisi tersebut menjadikan Sultan dan Pejabat Pemerintah tersebut dapat mengawasi sekaligus memberikan pengarahan dalam kepengurusan BPKK.

Suasana „kemitraan‟ juga tergambar dalam kegiatan-kegiatan

Keraton yang mengundang pihak Pemerintah Kota Cirebon. Pada kegiatan Rapat Persiapan Maulid Nabi Muhammad SAW

(12/10/2015) misalnya, Sultan yang memimpin rapat tersebut dengan berbesar hati mempersilakan pejabat-pejabat daerah untuk menyampaikan sepatah - dua patah kata demi terselenggaranya kegiatan Maulid dengan lancar. Hal ini dilakukan karena Keraton memandang unsur-unsur pemerintahan sebagai mitra, sebagai rekanan dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan kebudayaan. Ada

68

keterbukaan dan pemahaman bahwa keraton tidak lagi memandang

segala sesuatunya secara hierarkis. Pejabat Pemerintah pun boleh

mengutarakan pendapatnya tanpa memandang dia berdarah apa dan

berasal dari mana.

2) Sebagai Pembina

Dalam konteks pemberdayaan dan pelestarian adat dan

tradisi, pemerintah berperan sebagai pembina. Sesuai dengan yang

tertera dalam UU Cagar Budaya. Dalam statusnya sebagai pembina

dan sesuai dengan yang tertera pada Bab VIII tentang tugas dan

wewenang. Pemerintah Kota memiliki tugas sebagai berikut:

Bagian Kesatu

Tugas

Pasal 95

(1) Pemerintah dan/ atau Pemerintah Daerah mempunyai tugas

melakukan Pelindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan

Cagar Budaya.

(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan tingkatannya

mempunyai tugas:

a) Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan, serta

meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab akan hak dan

kewajiban masyarakat dalam pengelolaan Cagar Budaya.

69

b) Mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang dapat

menjamin terlindunginya dan termanfaatkannya Cagar

Budaya.

c) Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan

Cagar Budaya.

d) Menyediakan informasi Cagar Budaya untuk masyarakat.

e) Menyelenggarakan promosi Cagar Budaya.

f) Memfasilitasi setiap orang dalam melaksanakan pemanfaatan

dan promosi Cagar Budaya.

g) Menyelenggarakan penanggulangan bencana dalam keadaan

darurat untuk benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan

yang telah dinyatakan sebagai Cagar Budaya serta

memberikan dukungan terhadap daerah yang mengalami

bencana.

h) Melakukan pengawasan, pemantauan, dan evaluasi terhadap

pelestarian warisan budaya. Dan

i) Mengalokasikan dana bagi kepentingan pelestarian Cagar

Budaya.4

Bagian Kedua

Wewenang

Pasal 96

4 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, hal.41

70

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan tingkatannya

mempunyai wewenang:

a) Menetapkan etika pelestarian Cagar Budaya.

b) Mengoordinasikan pelestarian Cagar Budaya secara lintas

sektor dan wilayah.

c) Menghimpun data Cagar Budaya.

d) Menetapkan peringkat Cagar Budaya.

e) Menetapkan dan mencabut status Cagar Budaya.

f) Membuat peraturan pengelolaan Cagar Budaya.

g) Menyelenggarakan kerja sama pelestarian Cagar Budaya.

h) Melakukan penyidikan kasus pelanggaran hukum.

i) Mengelola kawasan Cagar Budaya.

j) Mendirikan dan membubarkan unit pelaksana teknis bidang

pelestarian, penelitian dan museum.

k) Mengembangkan kebijakan sumber daya manusia di bidang

kepurbakalaan.

l) Memberikan penghargaan kepada setiap orang yang telah

melakukan pelestarian Cagar Budaya.

m) Memindahkan dan/ atau menyimpan Cagar Budaya untuk

kepentingan pengamanan.

n) Melakukan pengelompokan Cagar Budaya berdasarkan

kepentingannya menjadi peringkat nasional, peringkat

provinsi dan peringkat kabupaten/kota.

71

o) Menetapkan batas situs dan kawasan. Dan

p) Menghentikan proses pemanfaatan ruang atau proses

pembangunan yang dapat menyebabkan rusak, hilang, atau

musnahnya Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-

bagiannya.

(2) Selain wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

pemerintah berwenang:

a) Menyusun dan menetapkan Rencana Induk Pelestarian Cagar

Budaya.

b) Melakukan pelestarian Cagar Budaya yang ada di daerah

perbatasan dengan negara tetangga atau yang berada di luar

negeri.

c) Menetapkan Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya,

Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan/ atau

Kawasan cagar Budaya sebagai Cagar Budaya nasional.

d) Mengusulkan Cagar Budaya Nasional sebagai warisan dunia

atau Cagar Budaya bersifat Internasional. Dan

e) Menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria pelestarian

Cagar Budaya.

Pasal 97

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pengelolaan

Kawasan Cagar Budaya.

72

(2) Pengelolaan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat

terhadap Cagar Budaya dan kehidupan sosial.

(3) Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan pengelola yang

dibentuk oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/ atau

masyarakat hukum adat.

(4) Badan Pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat

terdiri atas unsur Pemerintahdan/ atau Pemerintah Daerah,

Dunia Usaha, dan masyarakat.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Cagar Budaya

diatur dalam Peraturan Pemerintah.5

Pihak keraton sendiri juga memahami betul tentang peran

Pemerintah Kota sebagai pembina. Ahmad jazuli, salah satu staf

Sultan pun mengamini hal tersebut. “Dalam konteks kenegaraan kan

kita dalam binaan Pemerintah. Kan ada dalam UU, kewajiban

Pemerintah untuk melestarikan dan membina adat dan tradisi. Kita

bagian dari institusi itu, kalau bicara institusional keratonnya kan

berbeda lagi. Kita kalau sudah berkomitmen bersatu dengan NKRI,

kita harus taat UU”.6

b. Simpul-Simpul Komunikasi antara Keraton kasepuhan dengan

Pemerintah Kota

5 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, hal.42 6 Hasil wawancara dengan Ahmad Jazuli di Keraton Kasepuhan pada 16 Juni 2016

73

Untuk mengetahui pola-pola komunikasi yang digunakan

Keraton kasepuhan dalam berkomunikasi dengan Pemerintah Kota, kita dapat melihatnya dari simpul-simpul pertemuan yang dilakukan oleh

Keraton Kasepuhan dengan Pemerintah Kota. Dalam hal ini Keraton

Kasepuhan berperan sebagai inisiator dan Pemerintah Kota sebagai undangan. Berikut adalah simpul-simpul pertemuannya:

1) Rapat Koordinasi Maulid Nabi Muhammad SAW (Upacara

Panjang Jimat)

Simpul pertemuan yang pertama ini bisa kita kategorisasikan

sebagai komunikasi formal. Sehingga pola komunikasi yang

dibangun pun pola komunikasi formal. Pada rapat koordinasi ini,

undangan datang dari pihak internal dan eksternal. Pihak internal

dalam hal ini adalah orang-orang yang tergabung dalam struktur

organisasi BPKK (Badan Pengelola Keraton Kasepuhan), sanak

famili dan kerabat. Sedangkan pihak eksternal yang dimaksud adalah

dari unsur kepolisian, TNI (Tentara Nasional Indonesia), Pemerintah

Kota, wartawan dan juga peneliti.

Pada prakteknya Sultan menggunakan pola komunikasi yang

berbeda-beda. Bergantung kepada siapa yang dijadikan lawan

bicaranya. Lawan bicara pada rapat koordinasi ini bisa kita

kategorisasikan menjadi pihak internal dan eksternal.

74

a) Pola Komunikasi Sultan kepada Pihak Internal

Khomsahrial Romli membagi arah aliran komunikasi

formal ke dalam empat bagian, yakni: komunikasi dari atas ke

bawah, komunikasi dari bawah ke atas, komunikasi horizontal,

komunikasi diagonal.7

Dalam rapat koordinasi ini kita bisa melihat praktek

komunikasi dari atas ke bawah saat Sultan membacakan dan

memberikan SK kepanitiaan perayaan Maulid Nabi Muhammad

SAW dan memberikan arahan perihal persiapan-persiapan apa

saja yang harus dilakukan kepada panitia pelaksana. Lewis

(1987) mengatakan bahwa komunikasi ke bawah adalah untuk

menyampaikan tujuan, untuk merubah sikap, membentuk

pendapat, mengurangi ketakutan dan kecurigaan yang timbul

karena salah informasi, mencegah kesalahpahaman karena kurang

informasi dan mempersiapkan anggota organisasi untuk

menyesuaikan diri dengan perubahan.8

Sultan sebagai orang yang paling berwenang dan

bertanggung jawab di Keraton Kasepuhan tentunya

menginginkan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW kali ini

dapat berjalan lancar dan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu,

persiapan dan kesiapan penyelenggaraan pun harus diperhatikan

7 Romli Khomsahrial, Komunikasi Organisasi Lengkap, (Jakarta: PT Grasindo, 2011) Cet. Ke-1. Hal.176 8 Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), Cet. ke-4, hal. 108

75

secara lebih seksama. Termasuk kesiapan panitia pelaksana di

dalamnya. Sehingga dalam rapat tersebut, Sultan pun membentuk

kepanitiaan penyelenggaraan perayaan Maulid Nabi Muhammad

SAW berikut dengan arahan perihal bagaimana menjalankan

tugas masing-masing. Salah satu bentuk komunikasi dari atas ke

bawah adalah instruksi tugas.9 Instruksi tugas yang dimaksud

adalah pesan yang disampaikan kepada bawahan mengenai apa

yang diharapkan dilakukan dan bagaimana melakukannya.

Panitia diharapkan dapat menjalankan tugasnya degan baik dan

mempersiapkan segala kemungkinan-kemungkinan terburuk serta

penanggulangannya.

Selain memberikan instruksi tugas, Sultan pun

memberikan rasional untuk membuat semua pihak terkait merasa

bertanggung jawab pada tugasnya masing-masing. Rasional

dalam hal ini adalah pesan yang menjelaskan mengenai tujuan

aktivitas dan bagaimana keterkaitan aktivitas itu dengan aktivitas

lain dalam organisasi atau objek organisasi.10

Pola komunikasi Sultan kepada pihak internal

menggunakan pola roda. Pada pola roda, Sultan berkomunikasi

dengan dengan banyak orang. Orang-orang yang dimaksud

adalah orang-orang yang masuk ke dalam kategori pihak internal

yang kemudian menjadi panitia pelaksana perayaan Maulid Nabi

9 Ibid, hal. 108-109 10 Ibid, hal. 108-109

76

Muhammad SAW. Pada pola komunikasi seperti ini

kecenderungan yang terjadi adalah komunikasi satu arah dan

tidak terjadi timbal balik.11

Pada rapat koordinasi ini, memang tidak terjadi timbal

balik dari pihak internal kepada Sultan. Hal ini karena pesan yang

disampaikan Sultan berupa instruksi tugas dan rasional sehingga

tidak membutuhkan timbal balik.

b) Pola Komunikasi Sultan kepada Pihak Eksternal

Berbeda dengan saat berkomunikasi kepada pihak

internal, pola komunikasi yang digunakan sultan saat

berkomunikasi dengan pihak eksternal adalah pola komunikasi

horizontal. Komunikasi horizontal merupakan aliran komunikasi

dari dan ke individu atau kelompok yang secara struktur

organisasi berada pada status yang sama.12

Sultan dan pihak internal memang tidak berada pada

struktur organisasi dan status yang sama. Namun, Sultan

menganggap pihak eksternal sendiri sebagai mitra. Mitra dalam

penyelenggaraan Maulid Nabi Muhammad SAW dan dalam

kehidupan sehari-hari. Pandangan ini didasari oleh identifikasi

yang dilakukan Sultan terhadap pihak eksternal.13 Manusia

bereaksi terhadap segala sesuatu tergantung bagaimana ia

11 H.A.W. Widjaya, Ilmu Komunikasi Pengantar Studi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000) edisi revisi, hal. 102-10 12Khomsahrial, Komunikasi Organisasi Lengkap, Hal.176 13Muhammad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2009), cet ke-1, hal. 150

77

mendefinisikan sesuatu tersebut. Hal ini memberikan

kenyamanan kepada pihak eksternal dalam pertemuan tersebut.

Selain pola horizontal, Sultan pun menggunakan pola

komunikasi bintang dalam berkomunikasi dengan pihak

eksternal. Ini terlihat pada saat Sultan selesai berbicara, beliau

mempersilakan pihak eksternal untuk turut berbicara dan

memberikan tanggapannya perihal persiapan perayaan Maulid

Nabi Muhammad SAW. Hampir mirip dengan pola lingkaran,

dimana semua anggota memiliki hak dan kekuatan untuk saling

berkomunikasi.14

Pada pola bintang seperti ini, Sultan memposisikan diri

sama dengan pihak eksternal. Sehingga pihak eksternal, yang

dalam hal ini Kapolsek Lemahwungkuk dan Lurah

Lemahwungkuk juga turut berbicara mengenai persiapan dan

kesiapan penyelenggaraan perayaan Maulid Nabi Muhammad

SAW. Hal ini menjadi penting, mengingat keterbukaan masing-

masing pihak dalam penyelenggaraan kegiatan akan membantu

kelancaran kegiatan.

2) Maulid Nabi Muhammad SAW (Panjang Jimatan)

Perayaan maulid nabi Muhammad SAW di Keraton

Kasepuhan memiliki keunikan tersendiri. Seperti yang telah

dijelaskan pada bagian simpul-simpul komunikasi antara Keraton

14Widjaya, Ilmu Komunikasi, Pengantar Studi, hal. 102-103

78

Kasepuhan dengan Pemerintah Kota, perayaan maulid di sini disertai dengan upacara panjang jimat. Yang mana merupakan upacara iring- iringan benda pusaka dan makanan dari dalam keraton ke langgar alit.

Pada upacara panjang jimat ini sebenarnya tak banyak komunikasi dan interaksi yang terjadi. Karena hal utamanya adalah seremonial iring-iringan dan momen berebut makanan yang telah didoakan dan dianggap memiliki keberkahan. a) Pola Komunikasi Sultan dengan Pihak Internal

Pola komunikasi yang digunakan oleh Sultan pada

upacara panjang jimat ini masih tetap menggunakan pola

komunikasi formal. Mengingat acaranya juga yang formal.

Sehingga praktek dan prilaku komunikasi yang terjadi pun berada

dalam tataran formal. Ini tergambar dari susunan acara yang

terdiri dari:

1. Sambutan Sultan Sepuh XIV

2. Laporan staf Sultan perihal kesiapan upacara panjang jimat

3. Iring-iringan benda pusaka dan makanan

4. Pembacaan do‟a

5. Makan bersama

Pola komunikasi formal yang terlihat pada kegiatan ini

adalah pemberian instruksi tugas. Ini bisa dilihat pada saat staf

Sultan memberikan laporannya mengenai kesiapan pelaksanaan

79

upacara panjang jimat. Setelah menerima laporan kesiapan

pelaksanaan tersebut, Sultan pun memerintahkan agar upacara

panjang jimat segera dilaksanakan.

Selain itu, pola yang tergambar dalam hal ini adalah pola

rantai. Dimana semua pelaku komunikasi terikat oleh struktur.

Sehingga komunikasi yang terjadi adalah hanya dari atas ke

bawah dan dari bawah ke atas. Pada prosesnya, setiap pelaku

komunikasi yang akan berkomunikasi tidak dapat dengan

mudahnya berkomunikasi dengan pelaku komunikasi lainnya.

Karena harus melalui tingkatan-tingkatan yang diciptakan oleh

struktur organisasi. Pada pola rantai, jaringan komunikasi terdiri

dari lima tingkatan dalam jaringan hierarkinya dan hanya

meliputi komunikasi ke atas (up ward) dan ke bawah (down

ward).15

Pada prakteknya, panitia pelaksana memberikan laporan

mengenai kesiapan pelaksanaan upacara panjang jimat secara

keseluruhan kepada staf Sultan. Setelah semua laporan kesiapan

pelaksanaan sudah diterima, staf Sultan pun menyampaikan

laporannya tersebut kepada Sultan. Sultan pun merespon

haltersebut kepada staf Sultan. Dan staf Sultan memberikan

arahan kepada panitia pelaksana agar segera memulai upacara

panjang jimat.

15Widjaya, Ilmu Komunikasi, Pengantar Studi, hal. 102-103

80

b) Pola Komunikasi Sultan kepada Pihak Eksternal

Pada kesempatan ini, dalam berkomunikasi dengan pihak

eksternal, Sultan menggunakan pola komunikasi informal.

Komunikasi informal dalam artian komunikasi yang dilakukan

begitu saja, tanpa memperhatikan posisi di organisasi.16 Informasi

mengalir dengan cairnya dari atas ke bawah, bawah ke atas, dan

horizontal. Hal ini terjadi karena momen pertemuan Sultan

dengan pihak ekstenal pada saat sesi makan bersama. Sehingga

yang diutamakan adalah keramahan dan kebersamaan tanpa

memandang status.

3) Pagelaran Kolaborasi Seni Tari Bian Lian dan Tari Topeng

Pagelaran tari kolaborasi ini diinisiasi oleh Sultan Sepuh XIV.

Berkerjasama dengan lembaga bahasa mandarin di Jawa Barat. Dan

ditampilkan pertama kali di Keraton Kasepuhan. Pagelaran tersebut

mengundang para stakeholders di wilayah Cirebon, termasuk di

dalamnya Pemerintah Kota dan Pemerintah Kabupaten. Perwakilan

dari Pemerintah Kota sendiri adalah Drs. Dana Kartiman, Kepala

DISPORBUDPAR Kota Cirebon.

Bentuk acara ini sendiri adalah pertunjukan seni tari,

sehingga fokus utamanya adalah panggung. Oleh karena itu, pola

komunikasi yang terbangun pun tak sebanyak saat rapat.

16Juarsa. Teori Komunikasi, Modul 4

81

Pola komunikasi yang terbangun adalah pola komunikasi

formal. Tepatnya pola komunikasi formal horizontal.17 Komunikasi

horizontal merupakan aliran komunikasi dari dan ke individu atau

kelompok yang secara struktur organisasi berada di status yang sama.

Ini terlihat dari bagaimana cara Sultan memperlakukan tamu-tamu

undangannya. Pihak Pemerintah baik Kota ataupun Kabupaten juga

diberikan kesempatan untuk turut memberikan sambutan. Hal itu

dapat terjadi karena Sultan menganggap pihak Pemerintah Kota

ataupun Kabupaten merupakan mitra dalam membangun Cirebon

bersama-sama. Khususnya dalam pemeliharaan dan pengembangan

kebudayaan.

2. Analisa Pola Komunikasi Pejabat Pemerintahan Kota dengan

Pemangku Jabatan Keraton

a. Identifikasi Pemkot terhadap Keraton

Setelah kita mengetahui bagaimana pandangan atau identifikasi

Keraton terhadap Pemerintah Kota, maka perlu pula rasanya untuk

mengetahui bagaimana pandangan yang sebaliknya, pandangan

Pemerintah Kota sendiri terhadap Keraton Kasepuhan. Landasan utama

identifikasi Pemerintah Kota terhadap Keraton tentunya adalah konstitusi

yang berlaku di NKRI. Konstitusi tersebut mencakup UUD 1945, UU

Cagar Budaya dan Peraturan Pemerintah.

17Khomsahrial, Komunikasi Organisasi Lengkap, Hal.176

82

Sebagai bagian struktural atau kepanjangan tangan Pemerintah

Pusat, Pemerintah Kota dalam hal ini bertanggung jawab dalam pembinaan adat dan tradisi yang ada. Pembinaan adat dan tradisi tersebut akan dapat terselenggara dengan baik ketika kedua belah pihak, yakni pembina dan yang dibina memiliki hubungan yang baik. Pemerintah

Kota sendiri memiliki dua pandangan terhadap Keraton Kasepuhan.

Pertama, sebagai Cagar Budaya yang harus dilindungi, dipelihara, dan dikembangkan. Kedua, sebagai tujuan wisata.

1) Sebagai Cagar Budaya

Keraton sebagai Cagar Budaya sendiri tentunya mengacu

kepada pasal 1 UU Cagar Budaya No.11 tahun 2010. “ Cagar Budaya

adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar

Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs

Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/ atau di air

yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting

sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/ atau kebudayaan

melalui proses penetapan”. Dari UU tersebut kita dapat mengetahui

bahwa keraton Kasepuhan merupakan bagian dari Cagar Budaya

yang harus dilindungi, dipelihara dan dikembangkan.

Sebagai pelaksana dan pengemban konstitusi, Pemerintah

Kota dalam hal ini turut berperan aktif dalam pelindungan,

pemeliharaan dan pengembangan Keraton Kasepuhan sebagai Cagar

Budaya. Peran aktif yang dimaksud misalnya dalam pemeliharaan

83

bangunan dan pemberian bantuan pada program-program atau

kegiatan kebudayaan yang sifatnya pertunjukan. Seperti yang

diungkapkan Kepala DISPORBUDPAR, Drs. Dana Kartiman dalam

wawancaranya dengan saya. “Kita memfasilitasi tentang

pemeliharaannya dan beberapa kegiatan atau program dari pusat dan

provinsi yang tentunya melalui kita. Baik itu bentuknya perbantuan

dan revitalisasi, juga kegiatan atau event yang sifatnya untuk

mengembangkan kebudayaan”.18

Pelestarian kegiatan adat dan tradisi juga menjadi hal yang

terus diperhatikan Pemerintah Kota, mengingat Keraton Kasepuhan

adalah salah satu Keraton tertua yang selain bangunannya masih

berdiri kokoh, juga masih ditinggali oleh keluarga Sultan. Keraton

dalam perannya sebagai penjaga adat dan tradisi masih senantiasa

menyelenggarakan kegiatan-kegiatan adat dan tradisi leluhurnya.

Seperti misalnya, Upacara Panjang Jimat, Upacara Rowahan,

Upacara Pergantian tahun yang biasanya selalu mengundang pihak

Pemerintah Kota dan masyarakat.

2) Sebagai Tujuan Wisata

Seiring berjalannya waktu, ketika semua kerajaan dan keraton

di seluruh nusantara memutuskan untuk menjadi bagian dari Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka fungsi pemerintahan

pun dikuasai oleh negara. Oleh karenanya, kerajaan dan keraton

18Hasil wawancara dengan Dana Kartiman di Kantor DISPORBUDPAR Kota Cirebon pada 30 Mei 2016

84

tersebut beralih fungsi menjadi Cagar Budaya yang harus dilindungi

negara. Implikasinya adalah keraton kini menjadi tujuan wisata. Baik

itu wisata sejarah, pendidikan, ataupun agama.

Keraton Kasepuhan sendiri merupakan salah satu keraton

tertua yang masih berdiri di Indonesia. Nilai sejarah yang tinggi dan

eksistensinya yang masih terjaga menjadi daya tarik tersendiri bagi

wisatawan. Baik itu wisatawan domestik ataupun internasional. Tak

sedikit yang berkunjung ke Keraton Kasepuhan setiap tahunnya, baik

itu untuk sekedar berfoto-foto dengan peninggalan sejarah Sunan

Gunung Jati tersebut, untuk berkunjung ke keluarga Sultan dalam

rangka pertemuan formal ataupun untuk melakukan penelitian.

Sebagai tujuan wisata, Keraton Kasepuhan pun tak luput dari

perhatian Pemerintah Kota. Perhatian tersebut biasanya berupa

pemberdayaan dan pelatihan-pelatihan kepariwisataan. Seperti

pelatihan pemandu wisata misalnya. Selain itu juga ada pemberian

dana atau insentif dalam setiap kegiatan kepariwisataan yang

diselenggarakan. b. Simpul-Simpul Komunikasi antara Pemerintah Kota dengan

Keraton Kasepuhan

Berikut adalah simpul-simpul pertemuan antara Pemerintah Kota

dengan Keraton Kasepuhan:

1) Sosialisasi Sadar Wisata bagi para Stakeholders Kepariwisataan

85

Seperti yang sudah disinggung di atas bahwa kegiatan ini merupakan bentuk respon Pemerintah Kota terhadap kondisi pariwisata di kota Cirebon. Kondisi pariwisata di kota Cirebon memang belum bisa dikatakan optimal, sehingga perlu peningkatan dalam beberapa sektor. Oleh karena itu, Pemerintah Kota, khususnya

DISPORBUDPAR mencoba untuk berembuk bersama membicarakan tentang penegembangan sektor pariwisata di Cirebon.

Pihak yang diundang pun ialah para stakeholders kepariwisataan seperti pengelola tujuan wisata, hotel, travel dan juga kuliner.

Termasuk di dalamnya perwakilan dari Keraton Kasepuhan. Yang dalam kegiatan ini diwakili oleh Iman Sugiman.

Pola komunikasi yang terbangun dalam kegiatan ini adalah pola komunikasi formal. Kita bisa melihatnya pada interaksi yang terjadi antara Kepala DISPORBUDPAR dengan ketua pelaksana kegiatan dan saat sesi tanya jawab dibuka untuk umum. a) Pola Komunikasi Kepala DISPORBUDPAR dengan

Ketua Pelaksana

Pola komunikasi formal yang tergambar ketika Kepala

DISPORBUDPAR berkomunikasi dengan ketua pelaksana

adalah instruksi tugas dan komunikasi ke atas.

Dalam hal ini ketua pelaksana memberikan laporan terkait

kesiapan pelaksanaan kegiatan Sosialisasi Sadar Wisata bagi para

Stakeholders Kepariwisataan Kota Cirebon kepada Kepala

86

DISPORBUDPAR. Ini merupakan bentuk komunikasi ke atas.

Fungsi komunikasi ke atas menurut Smith (1986) adalah sebagai

balikan bagi pimpinan memberikan petunjuk tentang

keberhasilan suatu pesan yang disampaikan kepada bawahan.19

Respon yang diberikan Kepala DISPORBUDPAR adalah

perintah agar segera dilaksanakannya kegiatan Sosialisasi Sadar

Wisata bagi para Stakeholders Kepariwisataan di Kota cIrebon.

Ini merupakan bentuk instruksi tugas. Instruksi tugas sendiri

dapat dilakukan oleh mereka yang memiliki status lebih tinggi

kepada mereka yang memiliki status lebih rendah dalam

organisasi. Jelasnya, instruksi tugas yang dimaksud disini adalah

pesan yang disampaikan kepada bawahan mengenai apa yang

diharapkan dilakukan dan bagaimana melakukannya.20

Selain pola komunikasi seperti di atas yang telah

disebutkan, kita juga dapat melihat bagaimana pola rantai

digunakan oleh Kepala DISPORBUDPAR dan ketua pelaksana

saat berkomunikasi. Pada pola rantai, arus komunikasi hanya

terjadi dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Hanya mereka

yang memiliki status berdekatan saja yang dapat berkomunikasi.

Seperti halnya hanya ketua pelaksana saja yang dapat

memberikan laporan perihal kesiapan pelaksanaan kegiatan

kepada Kepala DISPORBUDPAR, sedangkan panitia lainnya

19Muhammad, Komunikasi Organisasi, hal. 117 20Ibid, hal. 108-109

87

tidak bisa. Ini karena pola komunikasi menganut hubungan

komunikasi garis langsung (komando) balik ke atas atau ke

bawah tanpa adanya suatu penyimpangan.21

b) Pola Komunikasi Kepala DISPORBUDPAR Kota Cirebon

dan Kepala DISBUDPAR Provinsi Jawa Barat dengan

Stakeholders Kepariwisataan di Kota Cirebon

Pola komunikasi yang tergambar pada saat kegiatan

sosialisasi adalah pola komunikasi formal. Dalam hal ini Kepala

DISPORBUDPAR dan Kepala DISBUDPAR memposisikan diri

sebagai pembina. Pembina dalam sektor pariwisata tepatnya.

Penyesuaian peran ini dilakukan karena berada di dalam forum

yang sedang membahas kepariwisataan daerah dan sedang

berbicara dengan stakeholders kepariwisataan daerah. Hal

tersebut merupakan sebuah bentuk dan hasil identifikasi yang

dilakukan pada kegiatan ini. Manusia bereaksi terhadap segala

sesuatu tergantung pada bagaimana ia mendefinisikan sesuatu

tersebut.22

Dengan memposisikan diri sebagai pembina, Kepala

DISPORBUDPAR Kota Cirebon dan Kepala DISBUDPAR Jawa

Barat menggunakan pola komunikasi dari atas ke bawah.

Terdapat beberapa bentuk pola komunikasi dari atas ke bawah

pada kegiatan ini. Seperti rasional dan ideologi.

21Widjaya, Ilmu Komunikasi, Pengantar Studi, hal. 102-103 22Ibid, hal. 102-103

88

Rasional pekerjaan adalah pesan yang menjelaskan

mengenai tujuan aktivitas dan bagaimana keterkaitan itu dengan

aktivitas lain dalam organisasi atau objek organisasi.23 Ini bisa

dilihat dari salah satu materi yang disampaikan oleh Kepala

DISBUDPAR Jawa Barat pada saat sosialisasi.

“Peningkatan dalam sektor pariwisata akan membantu

kenaikan PAD Kota Cirebon, dan imbasnya ekonomi rakyat pun

akan terbantu seiring dengan meningkatnya jumlah wisatawan

yang datang ke kota Cirebon”.24

Selain tentang rasional pekerjaan, pesan mengenai

ideologi pun turut disampaikan. 25Pesan mengenai ideologi ini

merupakan perluasan dari pesan rasional. Pada pesan rasional

penekanannya pada penjelasan tugas dan keterkaitannya dengan

perspektif organisasi. Sedangkan pada pesan ideologi sebaliknya

mencari sokongan dan antusiasme dari anggota organisasi guna

memperkuat loyal, moral dan motivasi.

Hal ini dapat kita lihat dari kutipan kalimat yang

disampaikan oleh Kepala DISPORBUDPAR kota Cirebon

perihal rencana untuk mempercantik pantai Kejawanan. “Salah

satu yang menjadi prioritas untuk diberdayakan adalah pantai

23Muhammad, Komunikasi Organisasi, hal. 108-109 24Kutipan kalimat Kepala DISBUDPAR Jawa Barat pada saat kegiatan Sosialisasi Sadar Wisata bagi para Stakeholders Kepariwisataan di Kota Cirebon, 17 Desember 2015 25Muhammad, Komunikasi Organisasi, hal. 108-109

89

Kejawanan, mengingat wisata pantai sekarang ini potensial untuk

mendatangkan wisatawan”.26

Selain pola komunikasi formal, dalam kegiatan ini juga

kita dapat melihat pola bintang yang digunakan oleh Kepala

DISPORBUDPAR kota Cirebon dan Kepala DISBUDPAR Jawa

Barat dalam berkomunikasi dengan Stakeholders Kepariwisataan.

Pola bintang hampir mirip dengan pola lingkaran dimana semua

anggota memiliki hak dan kekuatan untuk saling

berkomunikasi.27 Jadi, pada pola seperti ini setiap pelaku

komunikasi dapat berkomunikasi dengan lainnya secara

langsung.

Seperti yang terlihat pada saat sesi tanya jawab. Salah

satunya saat Iman Sugiman, Kepala Bagian Pemandu BPKK

menyampaikan pendapatnya perihal kondisi kepariwisataan kota

Cirebon.

“Salah satu penyebab yang menjadikan pariwisata di

Cirebon ini begini saja adalah karena kurangnya branding,

padahal kota-kota seperti Jogja misalnya punya idiom Jogja kota

istimewa. Harusnya Cirebon punya branding seperti itu. Sebut

26Kutipan kalimat Kepala DISPORBUDPAR Kota Cirebon pada saat kegiatan Sosialisasi Sadar Wisata bagi para Stakeholders Kepariwisataan di Kota Cirebon, 17 Desember 2015 27Widjaya, Ilmu Komunikasi, Pengantar Studi, hal. 102-103

90

saja Cirebon jeh atau apapun yang menjadikan Cirebon punya ciri

khas”.28

Sontak pendapat itu pun disambut riuh oleh para peserta

lainnya. Sehingga forum pun semakin ramai dan antusias dalam

turut memberikan pandangannya mengenai pengembangan

pariwisata di Cirebon. Salah satu peserta langsung merespon hal

tersebut dengan pendapat yang sejalan dengan Iman Sugiman.

“Benar kata pak iman, yang kurang dari pariwisata kita

disini adalah ciri khas ke-cirebon-an yang belum tampak. Selain

branding, tentunya yang harus diperhatikan adalah perihal

infrastruktur. Ini bisa dilakukan dengan membuat

pada setiap bangunan di kota. Dan ini bisa dimulai dari kantor-

kantor Pemerintah Kota saja dulu, untuk kemudian diikuti oleh

bangunan-bangunan lainnya secara berkala”.29

Respon-respon tersebut dapat muncul ketika pola

komunikasi yang digunakan adalah pola bintang. Pola yang

memungkinkan setiap komunikator untuk dapat berkomunikasi

secara langsung dengan komunikator lainnya.

2) Laporan Data Pengunjung Keraton Kasepuhan

Pola komunikasi yang terbangun pada laporan data

pengunjung ini bisa dikategorisasikan sebagai pola komunikasi

28Kutipan kalimat Iman Sugiman, Kepala Bagian Pemandu BPKK pada saat kegiatan Sosialisasi Sadar Wisata bagi para Stakeholders Kepariwisataan di Kota Cirebon, 17 Desember 2015 29Kutipan kalimat salah satu peserta pada saat kegiatan Sosialisasi Sadar Wisata bagi para Stakeholders Kepariwisataan di Kota Cirebon, 17 Desember 2015

91

formal. Jenis pola komunikasi formal yang dimaksud adalah pola

komunikasi horizontal. Ini dapat terjadi karena para pelaku

komunikasinya bisa dikatakan berada pada status yang sama. Sama-

sama staf dalam organisasi masing-masing. Pihak Pemerintah Kota

yang menerima laporan adalah dari bagian Pariwisata, yang dalam

hal ini Kepala Seksie Bina Usaha Pariwisata, Wiyono. Sedangkan

yang memberikan laporan dari pihak Keraton Kasepuhan biasanya

adalah Iman Sugiman, Kepala Bagian Pemandu BPKK.

Biasanya Iman Sugiman membawa laporan pengunjung

Keraton Kasepuhan setiap bulannya dalam bentuk tertulis. Laporan

tersebut akan digunakan sebagai salah satu bahan penelitian terkait

peningkatan pariwisata di kota Cirebon. Sebagai timbal balik dari

laporan tersebut, Pemerintah Kota, dalam hal ini bagian Pariwisata

memberikan insentif dana kepada Keraton Kasepuhan.

“Jadi kita tunjuk jupel untuk melaporkansetiap bulan. Kita

kasih dana, jadi kita saling memberikan apa ya, kita membutuhkan

data, mereka juga membutuhkan sesuatu yang butuh diterima. Ya

memang tidak seberapa.”30

3) Sowan

Sowan dalam hal ini berarti silaturahmi. Silaturahmi yang

dilakukan tanpa ada keperluan dan kepentingan apapun di

belakangnya. Ini biasa dilakukan oleh DISPORBUDPAR di sela-

30Hasil wawancara yang dengan Wiyono di Kantor DISPORBUDPAR Kota Cirebon pada 24 Desember 2015

92

sela waktu kosong. Perihal pelaku komunikasinya, biasanya

dilakukan oleh staf di bidang Budaya dan Pariwisata. Hal ini

dilakukan demi menjaga silaturahmi diantara Pemerintah Kota dan

Keraton Kasepuhan. Seperti yang diungkapkan Kasie Bina Usaha

Pariwisata, Wiyono.

“Yah kita sering main ke Keraton walaupun tidak ada

kepentingan. Main saja, silaturahmi juga”.31

Pola komunikasi yang terbangun saat sowan adalah pola

komunikasi informal. Artinya komunikasi yang dilakukan begitu

saja, tanpa memperhatikan posisi dalam organisasi.32 Informasi

mengalir dengan cairnya ke atas, ke bawah, dan juga horizontal. Ini

bisa terjadi karena tema pertemuan yang tidak membawa

kepentingan. Jadi, tema obrolan yang dibawa pun santai dan dapat

ditanggapi dengan santai pula. Selain itu, karena dimaksudkan untuk

silaturahmi, tidak ada orang tertentu yang dituju. Sehingga bertemu

dengan siapapun tidak akan menjadi masalah.

Hasil dari penelitian ini bisa kita lihat bahwa dalam

prakteknya, terdapat berbagai jenis pola komunikasi yang digunakan

oleh pemangku jabatan Keraton Kasepuhan dan pejabat Pemerintah

Kota. Ketika Keraton bertindak sebagai inisiator kegiatan, seperti

pada rapat koordinasi perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW dan

pagelaran kolaborasi Tari Bian Lian dengan Tari Topeng, pola yang

31Hasil wawancara yang dengan Wiyono di Kantor DISPORBUDPAR Kota Cirebon pada 24 Desember 2015 32Juarsa. Teori Komunikasi, Modul 4

93

tergambar adalah pola komunikasi formal. Tepatnya formal- horizontal. Di mana pihak eksternal, termasuk dari Pemerintah Kota dan DISPORBUDPAR juga turut berbicara dalam kegiatan tersebut.

Pola bintang juga terlihat dalam pelaksanaan rapat koordinasi, yang mana dalam rapat tersebut tidak hanya Sultan saja yang memiliki hak untuk berbicara. Pola komunikasi berbeda terlihat pada saat perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW, di mana pola komunikasi informal diterapkan. Pola tersebut diterapkan mengingat sesi pertemuannya pada saat makan bersama.

Hampir mirip dengan pola komunikasi yang digunakan

Keraton, Pemerintah kota yang dalam hal ini menginisiasi kegiatan

Sosialisasi Sadar Wisata, Laporan Pengunjung Bulanan dan Sowan juga menggunakan pola komunikasi formal-horizontal. Hal ini tergambar pada saat kegiatan Sosialisasi Sadar Wisata dan Laporan

Pengunjung Bulanan. Walaupun berperan sebagai pembina, pejabat

Pemerintah Kota tetap mencoba untuk egaliter dalam berkomunikasi dengan binaannya. Selain itu, pejabat Pemerintah Kota juga menggunakan pola bintang saat kegiatan Sosialisasi Sadar Wisata.

Di mana peserta kegiatan, termasuk dari Keraton Kasepuhan, juga turut merespon materi yang disampaikan. Pola komunikasi informal baru tergambar pada saat sowan. Karena bukan kunjungan formal dan tanpa disertai dengan kepentingan khusus. Sehingga komunikasi yang terjadi pun berjalan cair dan mengalir.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan hasil penelitian yang dilakukan tentang pola

komunikasi pemangku jabatan Keraton Kasepuhan dan pejabat Pemerintah Kota

Cirebon, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pola Komunikasi pemangku jabatan Keraton Kasepuhan dengan pejabat

Pemerintah Kota berlangsung pada ranah formal dan informal. Pola komunikasi

formal terjadi pada rapat koordinasi maulid nabi Muhammad SAW

(panjang jimat) dan pagelaran kolaborasi tari Bian Lian dan Tari Topeng.

Sedangkan pola komunikasi informal terjadi pada saat perayaan maulid nabi

(panjang jimat). Pada prakteknya, pemangku jabatan Keraton Kasepuhan

juga menggunakan pola komunikasi horizontal pada saat rapat koordinasi dan

pagelaran tari. Dengan menggunakan pola horizontal, pemangku jabatan

Keraton Kasepuhan mencoba untuk bersikap egaliter terhadap pejabat

Pemerintah Kota. Adapun pola bintang juga tergambardalam komunikasi

yang digunakan oleh pemangku jabatan Keraton Kasepuhan pada saat rapat

koordinasi maulid nabi Muhammad (panjang jimat). Pada pola bintang setiap

komunikator memiliki kekuatan dan kesempatan yang sama dalam

berkomunikasi dengan komunikator lainnya, termasuk pejabat Pemerintah Kota

dalam hal ini.

94

95

2. Pola komunikasi pejabat Pemerintah Kota dengan pemangku jabatan Keraton

Kasepuhan juga berlangsung pada ranah formal dan informal. Pada ranah formal

terlihat pejabat Pemerintah Kota menggunakan pola komunikasi horizontal.

Tepatnya pada saat kegiatan sosialisasi sadar wisata dan laporan bulanan

pengunjung. Hal ini dilakukan karena pemerintah berperan sebagai pembina

bagi pelaku dan pemerhati ataupun pengelola cagar budaya, termasuk

didalamnya pemangku jabatan Keraton Kasepuhan. Di samping itu juga

pejabat Pemerintah Kota menggunakan pola bintang dalam interaksinya

pada saat kegiatan sosialisasi sadar wisata. Pola ini sendiri dipilih karena salah

satu tujuan dari kegiatan sosialisasi sadar wisata ini bertujuan untuk menampung

aspirasi para pelaku pariwisata. Adapun pola komunikasi informal terjadi pada

saat sowan ke Keraton Kasepuhan. Pada kegiatan sowan ini, komunikasi yang

terjadi mengalir saja tanpa begitu menitikberatkan pada status sosial.

B. Saran-saran

Penulis merasa perlu untuk memberikan beberapa saran sebagai

masukan dalam upaya pemeliharaan hubungan yang baik diantara pemangku

jabatan Keraton Kasepuhan dan pejabat Pemerintah Kota Cirebon, khusunya

DISPORBUDPAR. Fungsinya hanya sebagai bahan pertimbangan saja, tanpa

bermaksud untuk menggurui dan mengajarkan.

1. Perlu diperbanyak ruang-ruang informal diantara pemangku jabatan Keraton

Kasepuhan dan pejabat Pemerintah Kota Cirebon. Mengingat simpul-simpul

pertemuan yang terjadi lebih dominan pada ranah formal. Ruang informal yang

96

dimaksud misalnya kegiatan-kegiatan yang bisa menyatukan kedua belah pihak tanpa harus mementingkan status sosial masing-masing. Hal ini dimaksudkan agar dapat mencairkan suasana yang rentan terjadi dalam komunikasi pada ruang formal.

2.Dalam perannya sebagai pembina, pejabat Pemerintah Kota hendaknya dapat lebih meluangkan waktunya untuk dapat menghadiri kegiatan-kegiatan Keraton

Kasepuhan yang tidak jarang dilaksanakan di luar jam kerja. Hal ini perlu dilakukan demi terjaganya hubungan diantara kedua belah pihak.

3.Pada setiap pertemuan, kedua belah pihak hendaknya lebih selektif lagi dalam pemilihan utusan. Maksudnya, perlu adanya ketepatan dan kecermatan dalam pemilihan utusan berdasarkan kesesuain pada jenis kegiatan dan kualifikasi utusannya. Sehingga mengurangi kesalahpahaman dan penundaan respon-respon yang semestinya dilakukan secara cepat.

Harapannya adalah pemangku jabatan Keraton Kasepuhan dan pejabat

Pemerintah Kota dapat terus menjaga dan memelihara hubungannya dengan baik. Karena kedua belah pihak merupakan ujung tombak utama dalam pembangunan struktur dan infrastruktur di Kota Cirebon. Hubungan yang baik, keterbukaan dalam komunikasi, dan kerjasama yang integrasi mutlak diperlukan dalam hal ini, mengingat keduanya tidak selalu dapat berjalan sendiri-sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

A.B, Lapian, 2012. Indonesia Dalam Arus Sejarah (Masa Pergerakan Kebangsaan), Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve

Anwar, Arif, 1995. Ilmu Komunikasi (Sebagai Pengantar Ringkas). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Audi, Robert, 2011. Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge. London: Routledge

Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Kota Cirebon, 2015. Garis Waktu (Time Line of History) Cirebon. Cirebon: Arsip 2015

Cangara, Haviet, 2007. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Charon, Joel. M, 2006. Symbolic Interactionisme: An Introduction, AN Interpretation, An Integration. Prentice Hall

De Graaf, H.J, dan TH. Pigeaud, 1986. Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan Sejarah Politik abad XV dan XVI. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Depdikbud RI, 1998. Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutera. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Efendy, Onong Uchjana, 1997. Komunikasi: Teori dan Praktik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Efendy, Onong Uchjana, 1998. Kepemimpinan dan Komunikasi. Bandung: CV. Mandar Maju

Ekajati, Edi. S, 1978. Babad Cirebon Edisi Brandes Tinjauan Sejarah dan Sastra, Bandung: Fak. Sastra UNPAD

Elbadiyansyah, dan Umiarso, 2014. Interaksionisme Simbolik dari Era Klasik hingga Modern. Depok: PT Raja Grafindo Persada

Griffin, Emory. A, 2012. A First Look at Communication Theory. New York: McGraw-Hill

96

97

Harapan, Anwarudin, 2007. Dimensi Mistis Historis Pakuan Padjajaran. Jakarta: Duta Kreasi Semesta

Khomsahrial, Romli, 2011. Komunikasi Organisasi Lengkap. Jakarta: PT Grasindo

Moeloeng, Lexy. J, 2009. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Morissan, 2010. Teori Komunikasi Massa. Bogor: PT Ghalia Indonesia

Mufid, Muhammad, 2009. Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta: Kencana

Mulyana, Deddy, 2008. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Mulyana, Deddy, 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Muslimin, Amrah, 1960. Ichtisar Perkembangan Otonomi Daerah. Jakarta: Jambatan

Pace, Wayne. R, dan Don F. Faules, 1993. Komunikasi Organisasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Rosidin, Didin Nurul, 2013. Kerajaan Cirebon, Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI

Tjandrasasmita, Uka, 2009. Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

W.M, Abdul Hadi, 2012. Indonesia Dalam Arus Sejarah (Kedatangan dan Peradaban Islam), Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve

Widjaya, H.A.W, 2000. Ilmu Komunikasi Pengantar Studi. Jakarta: PT Rineka Cipta

Wiryanto, 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Grasindo

Skrip Wawancara Iman Sugiman

Narasumber : Iman Sugiman (Kabag Pemandu BPKK)

Waktu : 9 Desember 2015

F : Kalau jabatan pak Iman di keraton kasepuhan sekarang sebagai apa pak?

I : Sekarang ditunjuk sebagai koordinator kepala bagian pemandu dan penerima tamu. Ada beberapa orang pemandu dan saya sebagai kabagnya. Jumlah pemandunya ada 15 orang.

F : Jabatan sebagai kabag pemandu ini sudah diemban selama berapa lama pak?

I : Sudah setahun.

F : Penjelasan tentang pembagian kekuasaan keraton Cirebon atau Pakungwati menjadi keraton kasepuhan dan kanoman itu bagaimana pak?

I : Keraton cirebon ini berawal dari nama pakungwati yang didirikan oleh Pangeran Walangsungsang atau pangeran Cakrabuana terttulis dalam catatan pada tahun 1430 M. Keraton pakungwati mengambil nama putrinya pangeran Cakrabuana. Yang mana pangeran Cakrabuana mempunyai seorang putri yang bernama putri Pakungwati yang kemudian dijadikan nama keraton. Sedangkan artinya pakungwati adalah udang perempuan. Karena di masa itu hasil laut yang paling dominan adalah udang, maka sampai saat ini kota ini disebut Cirebon. Kota udang. Udang yang kecil-kecil disebutnya rebon, kemudian bernama Cirebon. Sampai putrinya Cakrabuana diberi nama Pakungwati. Ratu pakungwati itu menikah dengan sepupunya yaitu Syarif Hidayatullah. Jadi hubungannya itu saudara sepupu. Yang mana ibunya Syarif Hidayatullah itu bernama Ratu Mas Rara Santang itu adalah adiknya Walangsungsang. Mereka semua itu putra-putrinya Prabu Siliwangi. Karena pernikahan tersebut maka Pangeran Cakrabuana memberikan Keraton Pakungwati kepada menantunya sekaligus keponakannya. Keraton tersebut diserahkan yang artinya Syarif Hidayatullah ditunjuk sebagai pemimpin di Cirebon. Beliau seorang raja yang juga wali dengan gelar kewaliannya Sunan Gunung Jati. Keraton Pakungwati diperintah oleh Syarif Hidayatullah sampai wafatnya. Yang kemudian diteruskan secara turun temurun. Tapi dari generasi Sunan Gunung Jati sampai ke Panembahan Girilaya barulah terjadi konflik. Proses sejarah keraton Cirebon terbagi menjadi dua. Yang mana Panembahan Girilaya itu makamnya ada di daerah Jogjakarta. Karena di masa itu, Panembahan Girilaya menikah dengan putri Sultan Mataram. Nah disitu, Panembahan Girilaya meninggalkan keraton pakungwati dan bertempat tinggal di Mataram sampai wafatnya. Dimakamkan di Mataram yang sekarang menjadi Jogjakarta. Di Jogjakarta ada komplek pemakaman raja-raja di Astana Imogiri yang bersebrangan dengan bukit Giriloyo. Wafatnya Panembahan Girilaya meninggalkan dua orang anak yaitu pangeran Martawijaya dan Kartawijaya. Kemudian dari situ putra-putra Panembahan Girilaya pulang ke Cirebon dan terjadilah dua kesultanan yang mana Pangeran Martawijaya atau Sultan Syamsuddin menjadi Sultan di Keraton Kasepuhan. Kemudian pangeran Kartawijaya atau Sultan Badruddin menempati Keraton Kanoman. Antara kanoman dan ksepuhan itu artinya yang nom dan yang sepuh. Kasepuhan yang sepuh berarti tua. Itu di keraton Pakungwati yang kemudian melanjutkan, dan disebut Sultan Sepuh. Sedangkan Sultan Badruddin berkediaman di keraton kanoman dan disebut Sultan Anom. Dari situ lah aset-aset keraton yang tadinyamenyatu sekarang ini memiliki dua pemilik yaitu Kasepuhan dan Kanoman. Masing-masing wilayahnya ya. Itu sejarah singkatnya pembagian keraton-keraton di Cirebon.

F : Kalau Keprabonan sendiri itu bagaimana pak?

I : Saya sebetulnya tidak berhak menjawab pertanyaan ini. Karena ini menyangkut sejarah ya, yang sekarang Keprabonan itu keluarganya sudah memproklamirkan adanya Sultan Keprabonan yang padahal sejarahnya tidak ada. Keprabonan itu yang dulunya peguron. Peguron itu perguruan belajar ilmu keagamaan yang lokasinya di sebelah timur Keraton Kanoman, di jalan Lemahwungkuk. Pengajar-pengajarnya dari keraton kanoman.

F : Berkaitan dengan fungsi keraton pak,kalau zaman dulu kan keraton memiliki fungsi pemerintahan. Kalau sekarang fungsi keraton itu sendiri bagaimana pak?

I : Yang jelas masa kerajaan sebelum terbentuknya NKRI, Nusantara ini terdiri atas beberapa kerajaan yang itu termsuk Cirebon. Raja Cirebon itu dari masa Sunan Gunung Jati terus turun-temurun yang kemudian ada dua kesultanan dimana peranan keraton adalah pemerintahan yang mana raja atau sultan itu kekusaannya mutlak sampai muncul pribahasa sabda pandita ratu. Itu ucapan seorang raja adalah hukum yang harus dilaksanakan. Kemudian proses sejarah yang kemudian di Indonesia ini ada beberapa keraton-keraton yang mana fungsinya bukan sebagai pemerintahan karena berada dalam wadah NKRI. Maka fungsi keraton-keraton di Indonesia pun ikut berubah, yang pertama adalah sebagai peninggalan sejarah yang perlu dilindungi dan merupakan aset negara juga. Kemudian yang kedua adalah sebagai destinasi wisata dan masih ada yang berfungsi sebagai tempat tinggal juga seperti di Cirebon ini. Sebagai rumah tinggalnya sultan dan keluarga keraton yang sampai sekarang di kasepuhan ini masih dipimpin oleh sultan sepuh ke-14. 14 ini mengambil setelah pembagian dua keraton. Dipimpin oleh Pangeran Raja Adipati Arif Natadiningrat.

F : Terkait pelestarian adat dan tradisi pak, apakah itu semua masih dipegang oleh keraton atau bagaimana pak?

I : Jadi keraton ini sebagai pewaris adat dan tradisi dari leluhur secara turun temurun. Dan sekarang ini berusaha semaksimal mungkin agar supaya adat dan tradisi ini masih berlangsung. Yang mana di zaman sekarang, era globalisasi ini banyak pengaruh-pengaruh dari luar yang mengancam adat dan tradisi yang ada. Lambat laun, secara pasti adat dan tradisi ini akan musnah seandainya kita generasi muda ini tidak menjaga dan melestarikannya. Sudah terbukti banyak adat dan tradisi yang sudah hilang dan tidak digunakan lagi pada masa sekarang. Contohnya seperti kita di adat dan tradisi di Cirebon pada zaman dahulu semasa saya kecil itu masih terlihat tradisi yang sekarang sudah di museumkan perangkatnya yaitu turun tanah. Atau disebut mudun lemah. Itu sudah sangat jarang sekali kelihatan termasuk di lingkungan dalam keraton. Seperti sultan memiliki cucu-cucu yang sekarang sudah tidak menggunakan itu. Dibilang punah sih tidak, masih ada, cuma jarang. Sebetulnya tradisi mudun lemah juga bukan tradisi asli keraton melainkan semua masyarakat juga melaksanakan. Termasuk saya pun waktu kecil melaksanakan itu. Sekarang di masyarakat pun sudah tidak ada. Karena orang tua di generasisekarang, sudah tidak menggunakan. Kemudian ada seni tradisi wayang kulit,cuma sekarang di pagelarkan di event-event tertentu. Nah itu pentas wayang kulit yang waktu saya kecil itu hiburannya ada klemingan, tarian dan malamnya ada pagelaran wayang kulit semalam suntuk. Sekarang dipagelarkan di hari peringatan baru ada pentas wayang kulit. Engga kebeneran sebulan sekali atau bahkan setahun sekali. Dan itu penontonnya pun sudah berkurang, sudak kurang diminati. Pembacaan babad itu dilaksanakan di keraton kanoman yang mana pembacaan babad tersebut dilakukan setiap tanggal 1 muharram itu dalam rangka memperingati hari jadi kota Cirebon. Kota Cirebon itu hari jadinya dari kalender jawa ya, 1 Muharram. Pada malam itu ada agenda pembacaan babad. Dari keluarga keraton kanoman yang membacakannya. Sebetulnya ada juga karya sastra di naskah-naskah kuno termasuk ada buku petatah-petitih Sunan Gunung Jati. Petatah-petitih itu nasehat. Salah satunya adalah ingsun titip tajug lan fakir miskin. Sebetulnya banyak sekali. Banyak karya-karya sastra yang tersimpan di arsip kuno, itu yang dituliskan salah satunya adalah witing guna saka kaweruh dayane satuhu. Artinya ilmu itu didapat dari pengalaman dan harus diimplemtasikan secara mantap. Kita mendapat ilmu dari sekolah umpamanya ya, guru menjelaskan, itu hanya sebatas teori. Yang dimaksud saka kaweruh itu harus tahu ilmu itu didapat dari pengalaman. Misalkan kita berkunjung ke suatu tempat, kalau di sekolah menjelaskan contohnya candi ada stupa daridatu teori. Kita harus membuktikan, harus datang untuk mengetahuinya. Jadi kita dapat ilmu dari pengalaman. Dan amalkan dengan mantap. F : Perubahan fungsi itu apakh juga berdampak pada struktur organisasi di kerajaan?

I : Jadi setelah proklamasi kemerdekaan NKRI tahun 1945. Semua fungsi kerajaan itu hanya sebatas otoritas lokal ya. Jadi tidak berperan sebagai suatu kerajaan yang mempunyai kewenangan di pemerintahan. Semua kewenangan ada di pemerintah. Adapun sultan peninggalannya dilindungi oleh negara dalam UU Cagar Budaya dan Sultan sebagai pemangku adat. Dan disitu setelah berdirinya NKRI, disana ada UU yang sekarang masih dalam antara aset-aset keraton disitu masih ada yang perlu dibahas. Seperti di Cirebon saja umpamanya, masih banyak peninggalan-peninggalan yang perlu dibenahi antara pihak Kota dan Keraton. Contoh pertanahan-pertanahan yang masih dalam sengketa antara Pemerintah Daerah dan Keraton. Disitu dari UU, segala aset tanah air dan kekayaan alam dikuasai oleh negara. Sedangkan keraton berdiri sebelum negara ini ada. Aset-aset dan bukti kongkritnya ada pada peta-peta. Kalau zaman dahulu belum ada sertifikasi. Keraton masih memiliki peta-peta kekuasaan daerah ataupun aset-asetnya. Terutama masalah tanah. Kalau pusakan dan perabot peninggalan masih terjaga dengan baik yang kekuasaannya di keraton ini masih pada sultan.

F : Bicara struktur di keraton pak, ada perubahan yang signifikan atau tidak pak?

I : Jadi struktur kepengurusan di keraton itu sentralistik pada Sultan ya. Sultan maunya begini ya begini. Sebetulnya struktur kepengurusan keraton dari dulu ada diantaranya ada sultan sebagai pucuk pimpinan, kemudian ada pangeran patih sebagai adik sultan atau wakilnya sultan apabila sultan berhalangan atau ada acara lain kegiatannya bisa dihendle oleh patih. Patih itu mesti adiknya sultan. Mewakili sultan apabila tidak ada di tempat. Kemudian ada kepala lurah, ada lurah-lurah. Dan juga abdi dalem. Lurah ini aa beberapa lurah yang mengurusi wewengkon keraton, lurah magersari, dan lurah dalem. Lurah dalem ini yang mengurusi internal keraton. Magersari itu merupakan daerah-daerah yang ditempati oleh wargi keraton yang dijaga oleh magersari. Magersari itu ada beberapa lurahnya, tidak satu ya. Lurah wewengkon, itu lurah yang bertanggung jawab atas daerah keraton juga. Itu semua lurah-lurah melaporkan segala sesuatunya kepada kepala lurah. Magersari seperti ada perkampungan di sebelah barat itu aa lurahnya. Lurah itu yang meninjau disitu ada pembangunan apa, apkaah tanah itu masih milik keraton atau bagaimana. Abdi dalem itu para pekerja ketraton yang mengabdi kepada keraton. Abdi alem itu siapapun bisa. Dulu suatu kebanggan bisa masuk menjadi abdi dalem. Jadi tukang sapu pun beliau tanpa dibayar ikhlas dan sukarela. Suatu kebanggaan menjadi abdi dalem walaupun sebagai tukang sapu. Padahal diberi makan saja tanpa dibayar. Sultan itu memperhatikan para abdi dalem dan mereka ditempatkan di kampung magersari. Satu perkampungan yang dikhususkan untuk pekerja dan abdi dalem keraton. Boleh membangun, boleh menempati, tidak kena pajak apapun dengan syarat tanah itu tidak boleh dijadikan hak milik sampai sekarang. Tembok di sebelah keraton kurang lebih ada lima hektar dan ada temboknya lagi. Tanah itu tidak boleh dijual. Kalau didepan keraton sudha bisa di hak milik ya. Kalau di magersari tidak boleh. Itu masih utuh dan sekarang sudah nyampur karena banyak pendatang. Kalau abdi dalem mungkin sudah tidak ada ya, adanya pekerja keraton dalam wadah yayasan. Jadi sebutannya bukan abdi dalem. Dibawah naungan yayasan keraton. Yang mana abdi dalemnya sudah berbentuk demikian. Itu para pekerja sekarang ya masih kerabat famili dan tidak merekrut dari pihak luar. Kalu struktur yang terdahulu saya masih belum membayangkan, sultan yang sekarang ini sudah membuat struktur lembaga adat yang baru cuma belum diumumkan. Jadi saya tidak berani memberikan penjelasan lebih lanjut.

F : Kalau penelitian ini kan hipotesisnya hubungan antara keraton dengan pemkot itu kan baik-baik saja. Tapi baiknya hubungan suatu lembaga akan dipengaruhi oleh bagaimana orang-orang yang berhubungan tersebut. Artinya dari orang keraton misalkan pak Iman sedangkan dari pemkotnya bagian disporbudpar, cara komunikasi dari pemangku jabatan keraton dan pejabat pemkot itu sendiri, kalau misalkan ada acara yang berkaitan dengan pemkot ataupun mau berinteraksi dengan pemkot itu ada strategi khusus tidak pak?artinya ada pemilihan orangnya harus siapa?

I : Seperti di pihak keraton dan pemkot sering mengadakan pertemuan ataupun rapat-rapat yang menyangkut keraton dengan pemerintahan itu bisa dilaksanakan di keraton, di pemkot ataupun di luar keduanya. Dalam hal ini, sering pihak keraton mendapat undangan-undangan pertemuan, rapat-rapat di pemerintah kota, DPRD, itu kalau sultan berkenan hadir ya sultan mengahdiri acara tersebut. Sedangkan ketika sultan berhalangan ataupun tidak sedang di tempat itu diwakilkan. Tergantung pada orang yang ditunjuk untuk mewakili pertemuan tersebut. Seperti saya beberapa tahun yang lalu, mewakili keraton menghadiri undanga di disporbudpar untuk membahas branding pariwisata kota Cirebon. Saya hadir mewakili keraton, disana dihadiri oleh beberapa tokoh masyarakat. Dari pihak keraton kasepuhan, kanoman dan tokoh-tokohmasyarakat, seniman, budayawan, rohaniawan, dan beberapa pengrajin untuk membuat branding pariwisata kota Cirebon. Itu usulan dari setiap undangan menyampaikan pendapatnya. Pada waktu itukepala dinasnya masih pak Abidin, sekarang sudah pak Dana. Waktu itu hasil musyawarahnya pertemuan itu terbentuklah branding tersebut yaitu the gate of secret. Karena masih banyak rahasia yang belum terbuka. Itu salah satu contoh bentuk komunikasi dari tokoh-tokoh dan pemerintah daerah. Selanjutnya ada undangan-undangan seperti di DPRD dalam rangka sidang paripurna. Kadang-kadang saya mewakili. Kan sidang paripurna seperti itu hanya mendengarkan saja.

F : Bicara cara, komunikasi itu bisa tatap muka langsung ataupun via media, kalau pihak keraton sendiri biasanya interaksi dengan pemkot itu lebih sering tatap muka langsung atau menggunakan media?

I : Yang jelas sering dilakukan adalah tatap muka langsung. Adapun mungkin internal sultan dengan kepala daerah bisa pribadi. Kadang-kadang dalamsuatu event besar, proposal itu untuk mengajukan dana festival. Jadi beberapapertemuan yang sering dilaksanakan baikdi keraton danpemerintah memang solusi dari pertemuan-pertemuan itu belum maksimal. Sekarang keraton sudah menjadi destinasi wisata, tentunya yang berhadapan langsung dengan wisatawan itu kita. Itu banyaksaran dan kritik dari wisatawan itu kenapa banyak sampah dan dibiarkan kotor dan tak terawat. Ini kan bukan hanya tanggung jawab kita saja. Tanggung jawab bersama pihak keraton dengan pemerintah daerah. Apalagi ada dinas pariwisata, kebersihan. Disitu harus saling bekerja sama. Sampai detik ini saya masih sering mendapatkan kritikan tersebut. Kita perlu solusi untuk Cirebon yang lebih baik.

F : Menurut bapak faktor pendukung baiknya hubungan keraton dengan pemkot itu apa saja pak?

I : Media juga pernah,dengan undangan-undangan. Yang lebih diutamakan adalah kenyamanan ya, bukan hanya keraton, jadi orang masuk kota Cirebon itu apa yang dilihat dan dituju itu supaya bisa balik lagi kesini. Dengan banyaknya wisatawan berkunjung ke kota Cirebon kan membawa dampak positif dari segi ekonomi meningkat, pedagang-pedagang juga merasakan manfaatnya. Apalagi jalur Jakarta-Cirebon kan sudang sangat singkat, 3 jam saja. Pagi datang, sorenya sudah bisa balik lagi. Kadang-kadang dari pihak pemerintah ketika diundang tidak hadir dan ketika hadir sering diwakilkan oleh bawahannya yang pdahal dia tidak begitu memahami. Jadi tidak bisa menyampaikan apa yang jadi kebijakan disana. Jadi itu yang perlu dibahas lebih dalam.

F : Ada ruang-ruang informal yang bisa mempertemukan pihak keraton dengan pemkot tidak pak?

I : Ada seperti pendukung-pendukung pariwisata seperti Kompekpar, Himpunan mengenai pariwisata. Itu ya sering melakukan pertemuan. Itu pun penyelenggaraannya kadang-kadang dinas itu mengundang diluar kegiatan keraton. Ada pelatihan-pelatihan ya kami dilibatkan. Misalnya ada pelatihan kepariwisataan, keraton mewakilkan berapa orang, ya kami dilibatkan. Atau penyuluhan-penyuluhan. Jadi didalam dinas pariwisata, ada kepala bidang-kepala bidang. Bidang-bidang yang bertanggung jawab terhadap pariwisata, kebudayaa, kesenian.

Skrip Wawancara Kepala DISPORBUDPAR Kota Cirebon

Narasumber : Dana Kartiman (Kepala DISPORBUDPAR)

Waktu : 30 Mei 2016

F : Bapak sendiri menjabat sebagai kepala dinas sudah berapa lama ya pak?

D : Di DISPORBUDPAR sendiri sudah sejak tanggal 15 Maret 2014, sebelumnya di BAPUSIPDA dan Dinas Pendidikan

F : Selama bapak menjabat sebagai Kepala DISPORBUDPAR, hubungan DISPORBUDPAR khususnya dan umumnya Pemerintahan Kota Cirebon dengan Keraton Kasepuhan bagaimana pak?

D : Ya intinya kami tidak hanya membatasi dengan kebudayaan dan kepariwisataan, di dinas kami ada empat substansi, selain Pemuda dan Olahraga,ada juga Kebudayaan dan Kepariwisataan. Dua sisi yang mungkin koordinasi langsung dengan objek wisata ataupun keraton itu bisa disebut sebagai objek wisata, di sisilain keraton sebagai situs yang memiliki nilai sejarah. Di satu sisi kita membina cagar budayanya, di sisi lain memfasilitasi pengembangan obyek wisata. Jadi dari destinasi ini kita memfasilitasi walaupun anggarannya kecil, tapi masih tetap anggaran itu ada. Kita memfasilitasi tentang pemeliharaannya, dan beberapa kegiatan atau program dari pusat atau provinsi yang tentunya melalui kita. Baik itu bentuknya perbantuan dan revitalisasi, juga kegiatan yang sifatnya event untuk mengembangkan kebudayaan. Jadi koordinasi dari kegiatan ini, kebudayaan, bidang kami, koordinasi atau kerjasama tentang pertunjukan, kesenian atau cagar budaya tak benda disebutnya, kalau bendanya kan fisiknya. Di sisi lain juga membina tentang fisik atau cagar budaya benda. Cagar budaya ini kita karena anggarannya terbatas masih memerlukan anggaran pusat maka revitalisasi ini kita coba untuk mengusulkannya baik oleh kita ataupun oleh keraton sendiri dan kita juga sudah merancang masterplan keraton termasuk juga memfasilitasi pengembangan kota pusak, salah satunya adalah Keraton Kasepuhan. Nah ini yang barangkali perlu diadakan pencitraan atau kerjasama dengan objek wisata terlepas daripada hubungan kepentingan keraton dengan pemerintah berbeda tetapi kita masih tetap berjalan sesuai dengan fungsinya masing-masing kedudukannya, ia juga memiliki keinginan dan run down acara tertentu yang perlu difasilitasi.

F : Kalau boleh saya simpulkan, berarti keraton saat ini fungsinya lebih kepada cagar budaya ya pak?

D : Iya, satu cagar budaya. Kedua ya untuk mengembangkan obyek wisata itu sendiri.

F : Ya mungkin penekanannya disitu ya pak, tapi keraton atau sultan secara ketokohan merupakan penjaga adat istiadat setempat

D : Ya,kalau di disebut pemimpin adat. Ya mempertahankan sejarah atau melestarikan keutuhan kehidupan berbudaya.

F : Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa sebelum NKRI lahir, Indonesia terdiri atas kerajaan-kerajaan, dimana kerajaan kecil menginduk pada kerajaan yang lebih besar. Kerajaan kan dulu memiliki fungsi pemerintahan. Seiring berjalannya waktu kerajaan dan atau keraton pun telah berubah fungsinya mengingat Indonesia sudah mendeklarasikan diri sebagai suatu negara. Berbeda dengan jogja, disini keraton tentu harus menginduk kepada pemerintahan yang berlaku.

D : Saya juga dalam membina obyek wisata, dalam hal ini keraton, saya mengharapkan satu,bermitra dengan masyarakat Cirebon. Kedua, ya terbuka bagi wisatawan atau pengunjung, terbuka dalam artian welcome, welcome ini satu mungkin mempertahankan budaya kedua ya mampu memberikan informasi yang jelas. Satu hal yang perlu digaris bawahi, keraton jagan terlalu tertutup pada culture saja, tetapi harus bagaimana membangun inovasi sehingga masyarakat muda juga seneng terhadap kehidupan sejarah, dirangkul,ini kemasan-kemasan seperti ini barangkali yang perlu kita arahkan kepada hal yang memiliki stigmen untuk diperkenalkan, jangan sampai nanti kata adat begini, tidak boleh kesini mah pamali,ini kan repot, jadinya tidakbisa dinikmati masyarakat muda. Kalau hanya stagnan oleh kepentingan tradisi saja, orang muda mungkin dibawa ke yang seperti itu mungkin lebih baik nonton akhirnya males. Sehingga dari males itu pengunjung berkurang, unsur finansial untuk kesejahteraan keraton pun jadi sulit. Terus didalamnya perlu adanya pengelolaan yang baik, diantara pemeliharaannya, gaji karyawannya, terus warganya disitu kan harus makan, kalau didiamkan seperti itu kasian mereka dari mana, pemerintah tidakmungkin mengcover semuanya. Pemerintah melalui PAD, satu PAD kan linear, linear artinya cost dengan profit atau dengan benefitnya harus berimbang. Jadi, break-up-an poinnya kalau tidak kena ya tidak dibantu. Masa kita memberikan satu rupiah tapi keuntungan untuk masyarakat Cirebonnya tidak ada ya sulit juga. Makanya diharapkan ketika objek wisata ini hidup, seperti halnya keraton, dinikmati juga oleh masyarakat dilingkungannya. Jangan sampai mereka jadi penonton, di sunyaragi itu masyarakat kan penonton, anak kecil kasian, masyarakat kecil kasian, justru objek wisata yang ada ini harus menunjang. Makanya kita ingin besar seperti borobudur,, ya akan sulit ketika masyarakat tidak diberdayakan. Sebab secara utuh keseluruhan, tanggung jawab kita terhadap masyarakat kecil inimenjadi prioritas. Kalau tidak mereka akan mengganggu, satu tidak bisa diatur,parkir jadi mahal dan tidak merasa memiliki. Keraton bisa tertutup oleh kepentingan yang tidak jelas.

F : Perihal kegiatan yang melibatkan DISPORBUDPAR deng Keraton Kasepuhan itu apa saja?

D : Intinya kita memfasilitasi. Satu Festival Keraton Nusantara. Untuk pertunjukannya 2017 di Cirebon. Sedang 2016 di kalau tidak salah. Walaupun anggarannya dari privinsi, ada perbantuan, dari kota juga tetap membantu. Tetap memfasilitasi, cuma sampai saat ini anggarannya belum keliatan nampak. Kan yang berangkat ke FKN dari Pemda bukan kita, disna kan sulit kalau saya tidak koordinasi. Memang kalau saya perhitungkan, tugas saya terlalu padat. Tapi ketika FKN tanpa Dinas Kebudayaan dan Pariwisata terkait limbung mereka. Gak ada yang ngayomin. Terus kepanjangan tangan kebudayaan dan Pariwisatanya siapa. Jangan-jangan nanti, kan orang Keraton tidak ada tanggung jawab Kebudayaan dan Pariwisata. Kita memfasilitasi, karena satu itu sudah diacarakan dan mempunyai event nasional. Intinya kegiatan-kegiatan keraton yang sifatnya kehidupan keraton seperti seren taun, itu biasanya syawal, zikir bersama, syukuran, rowahan, itu cuma include. Tarolah satu tahun ini kita ngasih 200 juta misalnya, saya gak tahu angkanya. Memang kalau dirasakan kecil, tapi ketika ada perbantuan terasa adanya suatu koordinasi.

F : Kemarin saya juga nanya sama Pak Wiyono, ada laporan pengunjung bulanan ya Pak?

D : Itu harus,karena kita kan dituntut pertanggungjawaban event itu terhadap jawa Barat dan juga kepentingan nasional.Sebab kalau melalui media sosialmereka tidak percaya kalau tidak dilegalitas oleh kita. Makanya saya mengharapkan kegiatan-kegiatan di keraton itu rekomendasinya ke kita. Kalau lepas, dia tidak akan tahu, ngapain gitu Cirebon, dinasnya juga tidak tahu. Dan kami disini tidak merasa bersaing dengan keraton, tetapijustru saya memfasilitasi dan bersyukur ketikakeraton berhubungan langsung dengan kementrian, silakan saja, sepanjang itu masih dalam koridor kebudayaan pariwisata, dan berbicara tentang kebudyaan dan pariwisata di Cirebon jangan memilah-milah antara kabupaten dan kota sebab seniman-seniman dan budayawan ini sudah mulai merambah ke kabupaten. Kalau begitu kan bisa enak kita tuh, anggaran utuh, tapi saya melihat peluang karena mereka kan pertunjukannya di kota, daya tariknya di kota. Ketika hotel menginginkan suatu pertunjukan,senimannya orang kabupaten, ya ayo lah hidup di kota, jangan jadi batas lah. Kalau sudah ada batas apalagi dikembangkan Cirebon sebagai kota metropolis, ini kan jadi kepentingan irebon bagaimana.

F : Kemarin Pak Giyono juga mengatakan ada Gotrasawala, itu seperti apa Pak? D : Gotrasawala itu sebetulnya pengembangan budaya karena hasil karya Wangsakerta, keturunan Sultan juga, tetapi dia tidak menduduki jabatan, tapi dia pandai dan ingin mempersatukan budaya. Gotrasawala itu merupakan suatu nilai sejarah yang perlu dikupas. Tetapi ketika ini diangkat oleh Provinsi, nomenklaturnya berubah jadi menurut versi mereka Gotrasawala hanya sebatas mengingatkan melalui pertunjukan budaya. Karena yang melaksanakan Pusat, jadi kita tidak bisa melakukan intervensi apa-apa. Keraton hanya menyediakan tempat, jadi tetap EO Provinsi. Makanya pertunjukan yang ada terlepas dari koordinasi, sehingga akhirnya Gotrasawala tuh ditunjuk perorang. Sebetulnya Gotrasawala tuh mengupas sejarah, jadi filolog, ahli sejarah itu dikumpulkan dan mereka berbicara mempelajari naskah-naskah wangsakerta. Dari naskah itu digabungkan dengan naskah yang lain, adakah keterkaitan antara CGotrasawala dengan Karawang, Tasik, itu intinya mah. Jadi Gotrasawala pada zaman Wangsakerta ingin mempersatukan persepsi yang sama tentang nilai sejarah. Cuma kemasannya kan kadang-kadang Gotrasawala dipakai untuk judul program sehingga nama Gotrasawala terpromosikan tidak mengangkat suatu sejarah tapi pertunjukan. Ya gak apa-apa sih sebenernya, di Gotrasawala itu berkolaborasi antara pertunjukan tradisioanl,kenapa seperti itu karena ingin mengajak remaja untuk memahami tentang sejarah, cuma ketika pertunjukan lebih dominan dari seminar, seminarnya mah asal-asalan saja,ada Gotrasawala berbentuk kreativitas muda, termasuk juga seni budaya tradisional dikolaborasikan. Ini tinggal bagaimana cantiknya suatu program dikemas sehingga Gotrasawala terangkat. Kalau salah interpretasi, bisa salah menafsirkan gotrasawala, bisa berbeda. Akhirnya Gotrasawala dimata publik di mata media jadi bingung mendefinisikannya.

F : FKN, Rapat Bulanan, Gotrasawala, sekarang kalau Keraton yang mengadakan event, adakah strategi-strategi khusus yang digunakan untuk berhubungan dengan keraton?

D : Jadi kami berhubungan dengan keraton bergantung pada eventnya. Kalau misalnya dalam bentuk pengembangan sarana, itu revitalisasi.Yang dilibatkan dalam hal itu dari kebudayaan adalah seksi purbakala. Kalau pariwisata ya bidang pariwisata. Untuk kegiatan kesenian ya bidang kesenian. Jadi tergantung kepentingan keraton itu untuk apa. Jadi kita tuh memiliki bidang kebudayaan dan pariwisata. Tapi kan untuk bagian informasi budaya dan pariwisata Pak Gito, di Pusat Informasi Budaya dan Pariwisata. Di Sunyaragi.

F : Kalau kontrol dari Pak Dananya sendiri, seberapa sering bapak berhubungan dengan keraton?

D : Susah diukur ya, ya bisa dibilang fifty-fiftylah. Kalaupun tidak saya, bidang terkait yang berkunjung. Tapi silaturahmi sering kesana, tergantung dari kegiatan yang ada. Dan tidak setiap kegiatan di monitor. Ada waktu-waktu tertentu. Satu yang dominan dimonitor adalah adanya keluhan masyarakat. Kedua adanya event nasional dan ketiga adalah koordinasi tentang pengembangan. Jadi ada beberapa unsur. Kalau didatangin semua ya berat. Tugas saya gak di keraton saja. Termasuk mengembangkan kesenian. Terkadang keraton setelah menyelenggarakan pertunjukan, ketika pertunjukannya tidak menggambarkan kepentingan pengembangan kebudayaan ya kita kritisi. Tapi yang saya lihat dari sisi sejarahnya. Misalkan ketika keraton menampilkan tari dan tari itu tidak relevan dengan nilai sejarah yang ada. Karena tidak semua keraton paham tentang itu. Berikutnya jadi sulit itu pemandu wisatanya, kadang-kadang pemandu wisata yang ada tidak memiliki persepsi yang sama, bisa saja pemandu A dengan pemandu B memiliki informasi yang berbeda, dan sulit diukur karena merekamelakukan wawancara perorangan terhdap pengunjung. Padahal pelatihan tetap ada. Tapi kepentingan berbeda. Misalnya ini harus mandi disini, karena membersihkan WC jadi harus bayar sekian.kan sulit. Apalagi kita mengatur peminta-minta di Gunung Jati. Masuk ke keraton dibawa ke tempat-tempat tertentu harus bayar.kan sulit mengukurnya. Walaupun saya memberikan pembinaan tapi itu kan diluar kemampuan saya. Tidak besar sih sebetulnya cuma kalau sampai menjengkelkan pengunjung, jadi penyakit juga. F : Apalagi zaman sekarang masalah kecil di posting ke sosial media,malah jadi opini publik ya pak?

D : Jadi opini publik. Ke Cirebon tuh males gara-gara banyak peminta-minta yang terkoordinir dan banyak. Ini tidakbisa ditutup-tutupi. Nah ini karena objek wisata tidak bisa memberdayakat masyarakat lingkungannya. Kalau di Jogja tidak, malahan tukang becak pun memberikan informasi yang jelas,karena kooperatif mereka. Mereka juga sadar, mereka hidup karena ada keraton. Termasuk pengusahanya. Pengusaha juga hidup karena objek wisatanya. Kalau keratonnya tidak ada mungkin tidak akan hidup. Kesadaran wisata inilah yang belum dimiliki masyarakat di wilayah sini. Kurang disentuh masyarakat disini. Kenapa ini terjadi,mungkin ya , satu, karena dari sisi finansial keraton juga belum mampu membiayai sendiri. Kalau udah kaya mah harusnya bisa. Karena kita kan sekrupnya kecil di kita tuh. Satu karena kecil, kedua, sudah kecil terbagi-bagi lagi. Ada 4 keraton. Saya waktu pernikahan anaknya Sultan di Jogja, masuk kesitu sehari sebelum pernikahan saya nginep di hotel. Ketika mau ke pernikahan, naik becak mau dibayar, dibilang gak usah pak, karena rasa syukur saya terhadap Sultan. Masuk makan ke Malioboro, mau dibayar, dibilang jangan pak, syukuran saya, dua hari mah enggak seberapa. Daerah itu aja Malioboro. Berarti kan hati dia itu udah bersatu dengan pemimpinnya. Disini mah enggak mungkin. Tamu saya dari kementrian ditagih parkir Rp.20.000, yang dimarahin siapa coba, saya. Ya kalau Rp.2.000-5.000, masih wajar lah. Tapi kalau sampai segitu kan keterlaluan. Pas pak Sultan ditanya, itu mah penduduk bukannya sultan. Sebab, harusnya sudah jadi tanggung jawab lingkungannya. Makanya diperlukan pemberdayaan masyarakat. Sebesar apapun tembok yang dibangun untuk mencegah supaya aman, tapi penduduknya seperti itu ya tetap rusak.

F : Frekuensi pertemuan sih pak, artinya pertemuan pemkot dengan keraton lebih sering menggunakan media, media itu nantinya bisa surat, telepon dan atau apapun itu yang tidak komunikasi tatap muka secara langsung seperti ini, atau justru lebih seringnya komunikasi tatap muka? D : Biasanya melalui administrasi ya, seperti rapat koordinasi, misalnya membicarakan tentang pengembangan apa. Atau misalnya di event, event itu pasti mengundang kita. Seperti menyambut bulan puasa atau apalah. Untuk fece to face tergantung daripada kepentingannya,bentuknya seperti apa, misalnya ada kepentingan non-formal, ada pengaduan, kita ngobrol, pak sultan ya ngobrol, bagaimana klarifikasi terhadap masyarakat.

F : Kalau Pak Dana sendiri lebih sering ketemu pak sultan langsung atau menggunkan media?

D : Jarang untuk bicara langsung. Kalau Sultan yang lain bisa saja sebetulnya. Tergantung pada terbuka atau tidaknya seseorang terhadap kita. Kadang-kadang kan minta advice. Atauada tamu asing,misalnya dari Perancis. Tidakhanya menunjuk satu keraton dan perlu dihadiri oleh dinas karena menyangkut kebijakan dinas terhadap pengembangan atau perlu suatu kajian sejarah terhadap suatu keraton untuk penelitian. Atau sebagai narasumber dalam memutuskan kemitraan. Yang jarang terjadi ini adalah koordinasi diantara keraton. Itu penting, karena rasa memilikinya tidak terbatas hanya pada satu keraton, tetapi harus bercitra dengan keraton yang lain. Tapi semua jalan. Jalan sendiri-sendiri. Ketika dipersatukan ini, karena mempunyai kepentingan yang berbeda-beda, jadi sulit. Contohnya ketika keraton kasepuhan mengadakan rapat, keraton lain jarang hadir. Kecuali, kalau eventnya nasional, baru ngumpul. Cuma kalau ngumpul harus festival terus kan babak belur.

F : Faktor pendukung, mereka hanya bisa ngumpul ketika ada event nasional, nah dengan disporbudpar sendiri faktor pendukung apa saja yang membuat berjalan baiknya hubungan diantara keraton dengan disporbupar ini?

D : Faktor pendukungnya, ya kita memiliki tanggung jawab terhdap pengembangn, pelestarian budaya. Kedua, perlu adanya pengembangan wisata dan atau destinasi wisata. Atau bisa disebut juga payung hukum. F : Faktor penghambat hubungan antara keraton dengan pemkot?

D : Pertama, untuk pengembangan seni dan budaya tidak serta merta menjadi tanggung jawab disporbudpar. Untuk saat ini dimana keraton beranggapan, bahwa kepedulian terhadap tujuan wisata keraton ini tidak semua dinas atau skpd mendukung. Sebab yang untuk membangun suatu revitalisasi atau mengembangkan wisata ini bisa saja terjadi dengan dinas PU-nya, dengan jalannya, drainasenya. Harus terkait. Contoh seperti ini,ketikakeraton tampil bagus, ketika sampahnya tidak teratur dengan DKP.Koordinasi terhadap pengembangan yang seperti inilah yang jarang terjadi. Kurang koordinasi dengan SKPD yang tidak secara langsung bertanggungjawab. Kalau koordinasi dengan kita jelas ya, suatu kepentingan bersama tentang pelestarian budaya dan pengembangan wisata.tapi kalau koordinasi yang ini,mereka meminta sesuatu kepada Pemda baik itu sampahnya, listriknya bisa saja, terus pengembangan fasilitas pendukungnya, airnya, lambat. Mohon dimaklumi,pemerintah daerah kan mengadakan suatu hal yang sifatnya pengadaan kan tahun per tahun dan tidak hanya keraton saja. Sehingga persepsi keraton merasa tidak diperhatikan pemkot. Inilah barangkali yang bisamenjadi konflik. Beranggapan bahwa pemkot tidak perhatian pada keraton. Dan yang namanya pengembangan wisata tidak hanya tujuan wisata yang kita urus, termasuk juga jasa usaha. Hotelnya kan kita urus,tempat hiburannya, terus juga akses jalan, kulinernya, harus bagaimana sih cara maknnya, setelah berkunjung kan pengunjung perlu makan, perlu istirahat. Nah ini yang kadang-kadang membuat keraton merasa berjuang sendiri, padahal dari sisi pariwisata itu luas. Sebab pariwisata adalah kehidupan. Sekarang saja jumlah pengunjung pertahun kota cirebon meningkat 24%, kajian-kajian yang disampaikan kita kepada mereka, mestinya jadi tolak ukur. Misalnya begini, dari jumlah sekian ini kalau diperhiitungkan, sekarang malah terbalik,ke keratonnya berkurang, dominan ke Cirebon sebagai wisata itu dua, pertama kuliner, kedua belanja. Justru menurun 50% berkunjung ke objek wisata, padahal pengunjung kota Cirebon meningkat karena ada tol Cipali. Objek wisata itu stagnan. Orang tertentu yang sifatnya lokal, untuk asing saya pikir malah menurun. Padahal akses semakin mudah, waktu tempuh semakin cepat. Terus karena semua daerah semakin mempromosikan wisata masing-masing. Objek wista sejarah yang mumpuni di Indonesia ini masih anatar bali, Jogja dan Solo. Ketika Jember terbangun, banyuwangi terbangun,kita masih tetap begini saja. Sehingga yang berkunjung ke kita ya larinya ke objek agrowisata. Model Majalengka sudah mulai, karena mereka sudai mulai merasa ada kesejukan, ditambah karena Puncak Bogor sudah di Blacklist lah untuk agrowisata, karena macetnya, padatnya, polusinya,makanya beralih ke kita. Apalagi ketika masuk ke Cirebon itu, pelayannya mahal, tidak terukur, tidak mempunyai standar, lari lah, sebab pada dasarnya pengunjung kan mencari kesenangan.

Skrip Wawancara Staf Sultan

Narasumber : Jazuli (Staf Sultan Sepuh XIV)

Waktu : 16 Juni 2016

F : Sebagai Kabag Pembina di BPKK, Dari Pak Sultan itu karena nanti yang dianalisis dari sudut pandang pola vertikalnya pak. Artinya bagaimana kemudian Pak Sultan berkomunikasi dengan orang terdekat. Kalau misalkan dari Keraton dari BPKK, pak Iman bisa saya masukkan ke situ.

J : Dari BPKK juga tidak semua. Jadi kan gini, surat itu nanti kan ada arahan baik lisan maupun tertulis nanti kan diberikan arahan kepada siapa nanti istilahnya pembimbingnya. Jadi kita kan, Keraton Kesepuhan ini kan terbuka kepada siapapun termasuk diantarnya dalam hal ini adalah pola hubungan dengan Pemkot. Komunikasi yang dilaksanakan itu adalah yang pertama yang jelas yang bisa dibuktikan dengan yang ada bukti fisiknya adalah surat menyurat, korespondensi selalu dilaksanakan dari sejak dulu. File-filenya juga sebagian besar masih ada, masih tersimpan dengan baik. Terus selain itu juga disetiap acara-acara tradisi itu juga kita mengundang unsur-unsur dari pemerintahan termasuk Pemkot Cirebon. Ini barusan yang tadi kan kita mengundang Walikota, mengundang Bupati gitu kan, kalau Bupati Cirebon mengirim utusannya, memberikan sambutan juga, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten. Pak Dana itu tadi dari Walikota, agak terlambat tadi itu datangnya. Terus kepada dia, saya sampaikan juga mau menyambut atau tidak, beliau menjawab diberi amanah tidak untuk menyambut. Tidak ada Pak, saya cuma untuk menghadiri saja. Jadi yang menyambut satu cuma dari Kabupaten. Nah itu juga bentuk dari komunikasi kita kan. Sebaliknya juga, kita juga ada beberapa acara selalu diundang, hampir sifatnya seremonial, seperti rapat paripurna DRPRD. Kemudian acara-acara ulang tahun kota Cirebon dan yang lainnya, hampir semua apalagi semua yang melibatkan langsung atau tidak langsung ya kami diundang. Di samping itu juga, selain di acara-acara juga ada rapat-rapat. Rapat ini kan macam-macam urusannya, ada sifatnya kebudayaan, ada sifatnya pariwisata, ada juga sifatnya penyelesaian urusan-urusan antara Keraton dengan Pemkot. Nah kita ini bukan hanya dengan pemkot saja ini levelnya, itu semua level pemerintah, kita dnegan RT/RW, kita dengan kecamatan, Muspika, Muspida. Hampir semua pejabat-pejabat yang baru dilantik itu sowan dan silaturrahaim ke Kasepuhan. Selalu sowan di pergantian sertijab, Sultan Sepuh selalu diundang ikut menyaksikan. Nah, itu juga bentuk komunikasi. Terus gimana lagi itu rapat-rapat.

F : Kalau kemarin itu saya sudah berbicara sedikit dengan Pak Iman, dengan orang pemkot katanya ada kegiatan yang bernama Gotrasawala

J : Gotrasawala itu event. Salah satu event yang diinisiasi oleh Keraton. Pelaksananya adalah Pemprov Jawa Barat. Kalau Gotrasawalanya sendiri adalah temanya adalah tema Keraton, tema kebudayaan. Dulu peristiwa tentang Pangeran Wangsakerta adiknya Sultan Sepuh. Di sini tempatnya di Keraton Kasepuhan. Mengumpulkan seluruh sejarawan dan budayawan seKeraton senusantara ini kelasnya, nasional. Abad ke XV. Itu berkumpul kemudian menyusun bersama sejarah raja-raja di Nusantara. Nah itu ada hasilnya, ada yang dibukukan. Nah itu juga bentuk komunikasi sebetulnya. Di mana kita membuka ruang komunikasi dalam lingkup yang sangat luas. Kalau dengan pemkot sendiri terlalu kecil, karena kita dulu negara. Sebelum ada NKRI dulu kita negara. Kemudian di era NKRI kita sudah komitmen menyatakan diri bergabung dengan NKRI, ya kita konsekuen. Ada ranah-ranah yang memang peran pemerintah dan ada ranah Keraton

F : Nah itu juga yang jadi salah satu ketertarikan saya pak, karena kalau kita sadari bersama bahwa Keraton pada dasarnya emang pemerintahan waktu dulu. Sebelum dulunya berubah menjadi NKRI, pemerintahannya menjadi Republik. Nah dari situ pak, bagaimana kemudian orang pemkot sendiri, ya bisa dibilang kan kalau misalkan secara umur, kalau Pemkot kan jauh lebih muda dibandingkan dengan Keraton. Nah artinya, bagimana kemudian pemkot yang secara fungsi formalnya dia emang pemerintah yang memiliki kewenangan yang luas. Itu bagaimana kemudian orang pemkot bersilaturrahmi ataupun berkonsultasi dengan orang Keraton khususnya perihal pengelolaan pemasyarakatan di Cirebon.

J : Kalau saya mungkin perspektifnya, pertanayaan itu harusnya diajukan kepada pemkot. Kalau dari perspektif kita secara normatif, bahwa kita menjalin komunikasi dengan siapapun, termasuk Pemkot Cirebon. Dalam hal-hal yang sifatnya pemerintahan kita juga menghormati dari sisi itu. Kemudian dalam hal kebudayaan karena kita ini adalah pemangku adat, tradisi serta kebudayaan. Sekarang Keraton kita ini Keraton tertua yang masih eksis. Ada Keratonnya, ada rajanya, masih original silsilahnya. Oleh karenanya dengan posisi itu kita, kalau terkait dengan program-program kebudayaan kita sendiri sebagai pemangku budaya, oleh karenannya mempunyai tanggung awab seperti acara tadi umpanya. Jadi pak Sultan dua tahun yang lalu menyaksikan ada tarian topeng di Cina yang bisa berganti-ganti warna. Nah kita sendiri di Cirebon mempunyai tari topeng yang ada lima warna, berbeda-beda warnanya. Akhirnya Pak Sultan berfikir, kenapa pola ini tida dikolaborasikan, percampuran antara kebudayaan Cina dengan kebudayaan Cirebon. Jadi topengnya topeng Cirebon tapi pakainya yang Cina tadi, yang berubah-ubah itu. Tadi adalah tampilan perdana. Ini belum pernah ditampilkan di mana-mana. Kita mengundang banyak stakeholder kebudayaan, pemerintah. Di sisi itu kita tidak perlu meminta izin kepada pemerintah, kita jalan, dan malah mengundang pemerintah. Inisiatornya adalah Keraton dalam konteks itu. Padahal kalau bicara tentang ranah dalam pembangunan budaya, bisa saja kita melimpahkan ini bukan hanya tanggung jawab Keraton tetapi Pemkot juga. Apa yang bisa kita lakukan, ya jalan sendiri. Apalagi dalan konteks kesejarahan, Keraton ini barangkali lebih dipandang. Oleh karenanya, tadi seperti mengusulkan tari Bian Lien itu banyak negara-negara lain yang mengajukan, tapi tidak diterima lisensinya. Tapi Cirebon dapat izin.

F : Kalau itu tadi orang-orang dari Tiongkok asli? J : Dari lembaga bahasa Mandarin di Jawa Barat, termasuk kebudayaan kan berarti. Itulah intinya, jadi kita berjalan dengan pemerintah, kita juga mengingatkan akan tanggung jawabnya di pembangunan seni budaya, adat tradisi yang menjadi ranahnya pemerintah, sesuai dengan undang-undang

F : Kalau boleh saya sebut satu persatu simpul-simpul pertemuan antara pemkot sama Keraton, berarti tadi ada rapat, event kebudayaan, event seremonial Pemkot. Kalau selama ini, Sultan Sepuh, Sultan Arif menjabat sebagai sultan sepuh XIV. Hubungan dengan pemkot ini bagaimana pak?

J : Kalau itu subjektif ya. Kalau kita merasa tidak ada masalah selama ini. Memang ada permasalahan tanah Keraton yang sampai saat ini belum terselesaikan. Tapi kita tetap secara proporsional melakukannya. Untuk urusan itu kan kita juga mengundang dari pihak pemerintah umpamanya Pemkot sampai kemudian muncul dari Pemkot ada surat tahun 2013 itu karena kita terus menerus mengundang rapat. Ini salah satu contoh komunikasi yaitu rapat. Sampai kemudian Pak Sultan mengatakan bahwa ini bukan ranah kami tapi ranah pusat. Itu ka ada komunikasi. Kalau kami di Keraton merasa kami laksanakan kewajiban dalam porsi kami, porsi Keraton.

F : Kalau Pak Jazuli sendiri, sudah berapa lama jadi staf sultan?

J : Saya mulai tahun 2010, sejak beliau diangkat menjadi Sultan sepuh XIV

F : Ada pertanyaan yang sudah tadi sedikit disinggung dengan statemen Pak Jazuli bahwa Keraton memang pada dasarnya memang pemerintahan di zaman dahulu. Sebenarnya perbedaan fungsi Keraton pada masa lalu dan masa sekarang gambarannya selain memang sebagai pemangku adat dan tradisi itu seperti apa, Pak?

J : Dulu sejarah Keraton Cirebon ini adalah didirikan sebagai pusat syiar islam. Kemudian terbentuklah Kesultanan Cirebon dengan berbagai tatananan ,yang tentunya sebagai negara pada umumnya. Punya aturan, hukum yang berlaku. Era-era kita lalui semua sampai kemudian era NKRI. Di NKRI ini tidak lama setelah proklamasi. Kita menyatakan bagian dari NKRI. Kalau dulu kita sebagai negara berdaulat. Memiliki kewenangan. Setelah adanya NKRI kita menjadi bagian dari NKRI. Walaupun, kita ada kan spirit bung Karno nih. Ini juga sejarah yang sebetulnya, kami bukan menuntut nih. Benang merah sejarah kan tidak boleh dilupakan. Dulu pada saat bung Karno memproklamasikan NKRI, Indonesia, Belanda mempertanyakan. You memproklamasikan diri sebagai negara, mana rakyatmu, mana wilayahmu? Syarat kan. Pada saat itu adanya kerajaan-kerajaan. Solo, Jogja, Cirebon, Kutai, Ternate, Tidore. Pada saat itu raja-raja se-nusantara karena saat itu sudah satu misi berjuang melawan penjajah menyatakan rakyatnya ya kami ini, wilayahnya ya ini. pada saat itu momentumnya didapat Jogja, Hamengkbuwono. Oleh karenanya mendapat status kistimewaan. Dari situ. Padahal sebetulnya semua punya porsi perjuangan yang sama. Masing-masing. Tokohnya pun tidak bisa disepelekan. Sultan Sepuh V itu yang Sultan Sepuh Safiyuddin yang disebut sebagai Sultan Sepuh Matangaji. Itu seluruh hidupnya hampir digunakan untuk melawan penjajah. Sampai disebut Sultan gila. Karena tidak pernah ada di Keraton. Hampir selalu bergerilya. Karena tidak nurut sama Belanda. Makanya dalam catatan belanda disebut sebagai Sultan gila. Sekarang kan sama seperti dulu pejuang-pejuang disebut teroris. Artinya apa, bahwa Keraton-Keraton termasuk Keraton Cirebon memiliki andil yang cukup besar pada berdirinya NKRI. Memang kita komitmen. Oleh karenanya ada spirit Bung Karno, bahwa dengan berdirinya NKRI, peranan seluruh raja-raja di Nusantara ini tidak boleh diabaikan. Tidak boleh dikesampingkan. Walupun semuanya berada dalam bingkai NKRI. Kalau kemudian ini sudah diabaikan, harus disama ratakan, adanya tidak dipedulikan, Bhineka Tunggal Ika itu sudah tidak ada lagi. Itu muncul karena Indonesia dibentuk oleh raja-raja yang berkomitmen satu itu. Sekarang, konteks kenegaraan ya, Keraton yang diakui oleh negara dan diatur dengan Undang Undang itu hanya Jogjakarta. Ada UU-nya. Padahal kalau kita belajar ketatanegaraan, Undang-undang itu harus diuniversalkan. Tidak boleh ada pengkhususan. Lex Specialist. Atas dasar apa. Perjuangan itu semuanya berjuang. Tadi yang saya sebutkan, masing-masing kerajaan punya tokoh-tokoh, Banten punya Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan hasanuddin, Makassar, Goa, Tidore, Palembang, punya andil semua punya. Memang momentum sejarah lah yang tidak bisa kita elakkan. Tapi dalam tataran berbangsa bernegara kan tidak bisa seperti itu. Tapi bukan begitu ya, kalau tataran Pemkot terlalu kecil. Nah, saya juga pernah mengkritisi, ada hasil studi, ya salah satu perguruan tinggi lah. Pak Sultan dan saya juga hadir, mungkin sama lah tentang pola komunikasi. Ada pernyataan bahwa Keraton itu tertutup. Dari mana statemen itu didapat, dari pejabat Pemkot Cirebon. Saya bertanya tertutup itu dari sisi apa? Iya kan. Kategori tertutup itu bagaimana? Indikatornya apa?. Kalau tertutup kita tidak akan berkomunikasi. Tidak ada korespondensi. Tidak ada rapat-rapat. Tidak ada kemudian MoU. Kita membuat MoU dengan Perpusnas perihal arsip-arsip. Kita Mou dengan STP Bandung yang di bawah kementerian Pariwisata. Kita Mou juga dengan PATA untuk peningkatan pariwisata. Juga dengan perguruan-perguruan tinggi, dengan Unswagati, IAIN. Artinya tetap membuka diri. Makanya mau bilang tertutup dari mana. Itu kan statement sepihak. Jadi kesimpulan. Pandangan subjektif. Apalagi ini kan penelitian ilmiah harus objektif. Cover both side. Perihal tanah juga kita sangat terbuka, kalau mau sepihak kita bisa kirim orang lalu datang ke lapangan dan kita patok. Itu kan preman-preman-an. Itu artinya mau menang sendiri. Tapi kita kan mengikuti lah prosedurnya, aturannya kita ikutin, harus gelar kasus kita gelar kasus. Kita ikuti. Semua yang terlibat kita ajak rapat. Pola komunikasi kita. Selama ini kita begitu, tinggal potret orang lain kan ya monggo subjektif kan. Tapi apa yang kami sajikan bisa dibuktikan. Korespondensi ada. Dokumentasi ada.

F : Perbedaan fungsi Keraton pada masa lalu dan sekarang tentu akan mempengaruhi perubahan struktur organisasi yang berlaku dan digunakan Keraton, kalau misalkan dulu kita bisa menemukan sultan, patih, tumenggung dalam struktur organisasi, kemarin hasil wawancara saya dengan pak Iman, salah satu poinnya adalah bahwa sekarang Keraton memiliki dua struktur organisasi, yang pertama berbasis tradisional dan yang kedua modern, nah ini bagaimana pak?

J : Iya betul bahwa di setiap era itu ada kebijakan masing-masing sultan sesuai dengan kebutuhan zamannya, di era sultan sepuh ini memang disamping struktur-struktur tradisional, walaupun tidak seluruh struktur-struktur tradisional yang beliau bentuk secara lengkap. Seperti patih, patih itu kan ada ketika sultan tidak dapat melaksanakan fungsi day to day. Jadi dia pelaksana harian. Patih ini kan beliau belum menentukan. Tapi di beberapa kasus, seperti juru kunci, kaum masjid beliau pertahankan. Beliau angkat, dan beliau berhentikan. Kemudian juga kepala-kepala kaum masjid, ada struktur kaum masjid, ada penghulu, ada kepala kaum. Itu juga menjadi salah satu struktur tradisional. Juru kunci kan kita punya banyak situs. Seperti wewengkon-wewengkon. Tanah Keraton, dalam bentuk makam kuno, petilasan, masjid kuno, nah itu semuanya diangkat juru kuncinya. Nah masjid, yang masuk dalam wewengkonKeraton kasepuhan di wilayah Cirebon sekitar 200-an. Ya tinggal menyimpulkan saja.

F : Kalau bicara struktur tradisional, berarti kan ada struktur internal dalam Keraton itu sendiri dan struktur eksternal pendukung seperti juru kunci dan kaum masjid yang tadi bapak sebutkan, nah kemarin juga pak iman sedikit menyinggung tentang lurah-lurah yang ada dalam lingkungan Keraton itu bagaimana?

J : Ya lurah kalu disini istilahnya kan yang mengurusi Keraton. Yang di Keraton ya lurah Keraton. Kepala lurah juga belum, ada kepala lurah. Yang mengurusi tradisi. Kemudian sesuai perkembangan ya, karena mau tidak mau Keraton berkembang menjadi destinasi wisata, ya wisata ziarah, sejarah, pendidikan. Seperti sekarang ini, sultan sepuh merasa perlu membentuk badan yang khusus di luar struktur tradisional. Oleh karenanya dibentuk BPKK. Semi modern lah. Ini kan untuk menjawab kebutuhan zaman karena belum tercover oleh struktur tradisional. Juga di Sunyaragi, karena besar kan makanya dibentuk juga Badan Pengelola Taman Sunyaragi. Dulu taman sarinya Keraton Kasepuhan. Pengurusnya diangkat dan diberhentikan oleh Sultan Sepuh. Belum lagi beliau membentuk organ-organ lain, umpamanya beberapa yayasan yang karena sesuai kebutuhan. Ada yayasan Sunan Gunung Jati, itu untuk menghimpun keluarga besar Keraton dari seluruh nusantara. Mereka lebih fleksibel kalau ada yayasan. Makanya dibentuk yayasan Sunan Gunung Jati. Ada juga yang sekrupnya di wilayah tiga, yaitu wargi jati. Ya semi tradisional. Kalau wargi jati ya tradisional mungkin. Belum lagi pesantren-pesantren yang beliau bina, seperti Cisaat atau disini yang beliau mendirikan untuk anak-anak sekitar Keraton, lembaga pendidikan al-qur’an. TPA dan TPQ. Ada Nur Hidayah. Terus lagi pesantren-pesantren lain, beliau mendirikan sekolah kesenian, SMK Pakungwati. Pemerintah juga berpikir nih untuk mengurusi kesenian-kesenian, regenerasinya, pelestariannya, Keraton. Mau ada atau tidak ada siswanya tetap kita ayomi. Sekarang dibentuk yang baru juga SMK Kriya,belum ada peminatnya tapi ini butuhkan karena selama ini industri-industri rotan, gerabah, ada seni batik itu kan tenaga-tenaganya sudah hampir tidak ada regenerasi. Ngambil dari orang luar, dari pekalongan. Dan ini jadi pikiran beliau, berkolaborasi dengan pesantren binaan beliau untuk membuka SMK seni kriya. Jadi santri juga disitu plus kerajinan. Kita kan berusaha berkiprah, dulu kan Cirebon ini sudah menjadi pusat perdagangan internasional sejak abad ke-14. Laksamana Cheng Ho itu dua kali singgah di pelabuhan Muara Jati, Cirebon. Kemudian kita pernah jadi jalur sutra, perdagangan sutra pada abadke-15. Kita berhubungan dagang dengan Eropa, dengan VOC. Kita kemudian jadi eksportir gula terbesar kedua di dunia abad 19. Dan memori-memori itu justru menjadi motivasi untuk kita.

F : Sekarang lebih masuk ke Pemkotnya ya Pak, identifikasi Keraton terhadap pemkot itu seperti apa pak?

J : Ya Pemkot kan bagian struktural dari pemerintah pusat, ya tentu kita sama saja. Kita saling menghargai lah, bisa dikatakan mitra. Ya dalam konteks itu ya, konteks kenegaraan kan kita dalam binaan pemerintah. Kan ada dalam UU, kewajiban pemerintah untuk melestarikan dan membina adat dan tradisi. Itu kita bagian dari institusi itu, kalau bicara institusional Keratonnya kan berbeda lagi. Kita kan kalau sudah komitmen bersatu dengan NKRI, kita kan ikut UU. Kita berkiprah disitu saja lah, mau tidak mau. Contoh kita harus bikin KTP, ya Sultan Sepuh juga bikin KTP.

F : Sejauh ini kegiatan Keraton apa saja yang melibatkan Pemkot pak?

J : Hampir seluruh kegiatan adat dan tradisi itu kami melibatkan pemerintah. Pemkot dalam hal ini kan jangan kemudian dikerucutkan DISPORBUDPAR. Umpamanya kita hanya mengundang walikota, memang kemudian yang paling sering didelegasikan ya DISPORBUDPAR. Tapi umpamanya kegiatan yang lebih bersifat teknis, seperti pertanian, maka dinas pertanian yang diundang. Lebih ke kelautan, lingkungan. Ya memang selama ini kan lebih banyak tema kebudayaan. Pariwisata dan kebudayaan. Oleh karenanya ya DISPORBUDPAR. Tadi event tradisi, event-event budaya dan pariwisata kita ciptakan juga. Seperti kita saat ini di Cirebon ini tidak ada panggung yang menyediakan penampilan tari-tarian kesenian Cirebon yang reguler. Kita sediakan sunyaragi, walaupun sebenarnya kewajiban pemerintah lah. Kita inisiasi. Sekarang jadwalnya sudah bulanan. Ada di sunyaragi dan Keraton Kasepuhan. Karena tamu dari Jakarta atau dimanapun akan bertanya, pengen tahu kesenian Cirebon apa dan waktunya kapan. Jadwal bulanan tersebut sudah mesti kita laksanakan. Dan semua itu sudah kita kirimkan ke semua instansi, termasuk Pemkot. Ke Kementrian Pariwisata, ke Gubernur Jawa Barat, Dinas Pariwisata Jawa Barat, biar mereka tau juga. Belum lagi Gotrasawala, Festival Pesona Cirebon, yang kemarin kita melibatkan banyak pihak, termasuk dari luar negeri juga. Ada Festival Pesisir. Ada Festival Family tour de Keraton. Ada Wangsa Enggal. Dan hampir setiap event yang ada selebrasinya kami mengundang pemerintah.

F : Baik buruknya hubungan suatu lembaga kan sedikit-banyaknya akan dipengaruhi oleh bagaimana kedua lembaga tersebut berkomunikasi, secara prakteknya begini, kalau misalkan ada rapat, sebut saja rapat menyangkut kebudayaan dan pariwisata, biasanya cara atau strategi yang digunakan oleh pak Sultan atau Keraton itu bagaimana pak?

J : Ya pertama bahwa tentu kita kan harus punya visi dan misi yang sama, berdasarkan persamaan itu, kita terapkan dalam setiap aktivitas dan kegiatan, termasuk dalam rapat-rapat tema kebudayaan tentu yang harus kita usung adalah bagaimana memajukan, melestarikan adatn dan budaya yang ada. Kita bagaimana mengingatkan pemerintah, mengevaluasi, seperti apa kinerjanya, kalau misalkan ada yang harus dikoreksi ya kita koreksi bersama. Kita juga meminta msukan juga, bagaimana. Jadi ya pola kebersamaan lah yang kita kedepankan. Karena kan kita juga tidak bisa sendiri-sendiri. Biar pun kita dalam posisi, kita kan sebagai lembaga adat dan tradisi yang cukup lama lah. Jadi, ada atau tidak adanya respon atau tidak ya kita terus jalan. Jadi bukan umpamnya tadi kan tidak semua jajaran pemerintah itu merespon dengan baik, ya kita dengan atau tanpa mereka tetap jalan, kita berbuat.

F : Kalau kita bicara tentang cara berkomunikasi, seperti yang kita tahu bahwa komunikasi tatap muka itu biasanya lebih efektif dibandingkan surat-menyurat, kalau kita bicara rentang waktu setahun, pihak Keraton dengan pemkot lebih sering bertatap muka atau menggunakan media? Bagaimana kemudian ketika Keraton punya event, lebih sering diresponnya atau tidak?

J : Yang jelas secara umum disetiap kegiatan kami selalu mengundang Pemkot, terus terkadang hadir, misalnya Festival Pesona kemarin, mentri hadir, walikotanya tidak hadir, tapi diwakilkan, artinya bukan top leadernya. Tapi kita bukannya tidak mengundang. Mereka menjalankan sesuai amanah sebagai pemerintah atau tidak kan tanggung jawab mereka. Kalau kita kan sudah mengundang. Sudah melaksanakan.

F : Bagaimana kemudian Keraton merespon kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan pemkot? J : Kita selalu mengutus, kalau undangan itu kan biasanya kepada Gusti Sultan ya. Kalau beliau berhalangan, hampir selalu beliau mendelegasikan. Siapa yang mewakili ya ada. Seperti tadi yang datang Iman Sugiman. Di tempat lain ya ada. Karena kita kan organ banyak tuh, yang BPKK dan tradisional. Beliau memilah, rapat paripurna yang hadir ya siapa gitu, sertijab. Beliau kalau berkesempatan ya hadir. Upacara 17 Agustus umpamanya. Terakhir beliau diundang ke Istana Merdeka kan, beliau hadir disana. Kota ngundang, provinsi ngundang, jadi ya diwakil-wakilkan. Di provinsi putra mahkota umpamanya. Selalu ada pendelegasian. Kita kan harus menghargai yang mengundang.

F : Faktor pendukung baiknya hubungan Keraton dengan pemkot apa saja pak?

J : Ya semua kan harus membangun daerah, dan tidak boleh melupakan akar sejarahnya. Itu pastilah. Dari situ akan tumbuh sikap-sikap saling mengahargai, menghormati bahwa dalam perjalanannya Keraton ini adalah bagian dari NKRI, itu kan sudah kita terus komitmen. Pertahankan. Tinggal sekarang, sikap-sikap dari pemerintah seperti apa. Dan itu semua kan sudah diatur di UU. Ada UU Cagar Budaya, ada UU macem-macem lah. Saya kira harus menghargai akar sejarah. Sama-sama orang Cirebon, sama-sama ingin membangun Cirebon. Kalau mungkin orang terlalu priomordial ya. Saya kira pola-pola komunikasi itu harus dibangun dengan dasar saling menghormati, karena kan semuanya aset negara baik pemerintah maupun Keraton. Semuanya aset negara. Keraton ini aset negara, kita dimana-mana membawa nama indonesia. Atas nama Indonesia.

F : Faktor penghambat dalam hubungan antara Keraton dengan pemkot itu sendiri bagaimana pak?

J : Mungkin kedua belah pihak ada pertemuan yang terselenggara. Harusnya ketemu tapi malah tidak ketemu. Akhirnya kan ada kesan yang kurang baik. Walaupun disisi kami sih merasa kendala itu ya ketertutupan. Karena kami terbuka dengan siapapun. Ketertutupan itu, jadi tahu-tahu menjudge secara pihak. Ya itu saya ambil contoh, bahwa Keraton tertutup. Yang begitu kan kita aneh. Selama ini karena kami terbuka.justru yang jadi faktor penghambat adalah ketertutupan dari pemerintah. Karena kami selalu mencoba terus membuka diri. Welcome-lah terhadap ide-ide yang membangun. Biarpun kami sebagai institusi harus dihormati. Dan keterbukaan itu tidak bisa juga semua orang mengintervensi. Dalam tataran yang semestinya lah.

Skrip Wawancara Sugiono

Narasumber : Sugiyono (Kasie Bina Niltrasepur DISPORBUDPAR)

Waktu : 24 Desember 2015

F : Kalau bapak sendiri sudah di DISPORBUDPAR sudah berapa lama pak?

S : Sudah empat tahun sebagai kasie bina niltrasepur

F : Pertama, kalau bicara pola komunikasi kan kita bisa lihat dari seringnya kita berinteraksi, kalau dari pemkot sendiri nanti kan kita bisa bagi lagi menjadi ruang formal dan informal, kalau formal melibatkan misalkan nanti ada suratnya,undangannya,ataupun pertemuannya bisa seperti rapat-rapat atau koordinasi. Kalau ruang informalnya kan bisa seperti pembinaan. Kalau ruang formalnya, agenda pemkot yang berkaitan dengan keraton itu apa saja pak?

S : Misalkan dalam rangka penyelenggaraan FKN. Itu biasanya dinas memanggil para sultan untuk duduk bareng membicarakan masalah persiapan FKN. Itu yang formal ya. Terus misalkan dari keraton mengundang dinas dalam rangka gotrasawala. Gotrasawala itu seminar mengenai sejarah bagaimana sih Cirebon ini,mau dibagaimanakan sih Cirebon ini. Karena gotrasawala ituadalah kebiasaan para leluhur yang diprakarsai oleh pangeran Wangsakerta. Untuk berembuk,mau kemana nih Cirebon itu. Dari pihak keraton yang mengundang Pemkot. Sejauh ii sudah seringkali,tapi yang melibatkan dari asing, sekaligus mengundang juga dari Perancis, Belanda.melalui kedubes. Tempatnya di Cirebon. Mengundang warga asing sekaligus juga minta pandangan.

F : Kalau menurut bapak hubungan pemkot dengan keraton itu sendiri seperti apa pak?

S : Kalau pemkot dengan keraton,kita itu sebagai pengemban pelaksana UU. Baik UU cagar budaya no.11 tahun 2010, ataupun UU kepariwisataan. Dimana pemerintah ditunjuk sebagai pembina. Misalkan dalam rangka pelestarian, pemeliharaan.kemarin saja, saat satu muharram, kita kan ada kegiatan baca babad, sorenya kan shalat berjama’ah terus dilanjutkan ziarah ke makam Sunan Gunung Jati. Disitu ada miskomunikasi yang mana, dari kanoman membrikan izin untuk masuk ke dalam tapi dari kasepuhannya tidak. Makanya walikota agak marah.

F : Kalau bicara hubungan antar lembaga kan tentu baik atau buruknya hubungan antar lembaga kan sedikit banyaknya akan dipengaruhi oleh orang-orang yang berinteraksi. Misalkan dari pemkot itu siapa dan dari keratonnya sendiri siapa, maka akan terbentuk pola-pola komunikasi. Kalau dipemkot itu sendiri, kira-kira ada pemilihan orang-orang tertentu atau tidak pak untuk setiap pertemuannya?

S : Biasanya dari bagian umum dipemkot. Manakala ada pejabat negara, baik itu gubernur, mentri atau pejabat setingkatnya yang mau berkunjung ke keraton kan biasanya datangnya ke Pemkot. Baru dari bagian umum itumemberikan suatu permintaan agar keraton kasepuhan siap menerima tamu. Kalau yang informal biasanya langsung ke keraton. Karena ada kekerabatan. Kalau formal ya melalui kita.

F : Bicara cara komuniaksi, biasanya pihak pemkot sendiri untuk berinteraksi dengan keraton. Misalkan dalam jangka waktu setahun, lebih sering tatapmuka kah atau via surat atau bagaimana?

S : Seringnya bertatap muka, karena kita itu sebgai pelaksana UU. Yang mana amanat dari UU tersebut kita itu sebagai pembina, misalkan masalah cagar budaya, kita kan katakanlah datang melihat, meninjau masalah pelestarian, masalah pemeliharaannya bagaimana, pembangunannya. Kalau dari kepariwisataan, mungkin yang ditanyakan kaitannya langsung dari kepariwisataan. Seringnya mah bertatap muka, hampir setiap bulan sekali. Kita meminta data kunjungan. Mereka datang melaporkan.

F : Kalau dari interview kita, boleh saya simpulkan hubungan keraton dengan pemkot itu bisa dibilang baik. Kira-kira menurut bapak faktor pendukung baiknya hubungan tersebut apa saja pak?

S : Yang jelas gini ya, kota cirebon sendiri tidakmemilikiandalan yang lain untuk masalah PAD selain dari kebudayaan. Nah sementaramasalah budaya adanya di keraton dan situs-situs budaya. Kalau kita tidak membenahi keraton dan situs-situs tersebut PAD kita akan kurang optimal. Karenakita bukan kota industri, pelabuhan dikelola oleh PELINDO. Jadi andalan PAD kota Cirebon ya dari sektor kepariwisataan. Makanya kita ya harus baik-baik dengan keraton, kita benahi juga situs-situs kebudayaan. Agar wistawan itu datang, dengan banyaknya wisatawan datang kan pajak hotel masuk ke kas daerah. Rumah makan juga kan pajaknya masuk kekas daerah. Dan kita gak punya andalan apa-apa.

F : Kalau faktor penghambat hubungan pemkot dengan keraton itu apa saja pak?

S : Penghambat yang pertama itu bisanya manakala kitamembenahi salah satu obyek kita terkendala oleh dana yang minim. Anggaran yang dimiliki pemkot itu sangat minim, makanya kita maksimalkan dengan anggaran yang ada walaupun hasilnya kurang memuaskan. Kedua, dari kalangan keraton ataupun masyarakat sekita masih beranggapan bahwa urusan pemeliharaan semua tanggung jawab pemerintah. Padahal amanat UU itu bukan hanya pemerintah tetapi masyarakat juga turut andil. Ada rasa memiliki. Sementara ini belum muncul. Mereka masih selalu beranggapan pemerintah yang mengurusi.betul kita sebagai pelaksana karena tupoksi. Tapi kan msyarakat juga harus turut serta. Misalkan begini, wisatawan berkunjung ke objek wisata yang pertama tentu ingin aman, nyaman, ngangenin, biar balik lagi. Sementaraini hal-hal tersebut belum tercipta karena misalkan rasa aman, dia diikuti oleh peminta-peminta. Selain itu masalah sarana tempat kemdaraan, orang kan maunya naro kendaraan di tempat yang aman. Nyamannya, tidak ada tumpukan sampah. Kalau ada sampah menggunung kan , duh kotor sekali, dia akan ngomong ke yang lain ngapain main-main kesana, kotor. Nah itu yang belum ada di pikiran masyarakat, tidak bisa menciptakan sapta pesona itu. Terus terang orang keraton juga, masih mengandalkan pemerintah saja. Jangan mengandalkan kita saja, itu juga jadi urusan bersama. Kita terbatas oleh tenaga dan waktu. Tidak menyalahkan, belum ada kesadaran saja. Skrip Wawancara Wiyono

Narasumber : Wiyono (Kasie Bina Usaha Pariwisata DISPORBUDPAR)

Waktu : 24 Desember 2015

F : Kalau bapak sendiri di DISPORBUDPAR sudah berapa lama?

W : Ya kalau disini, pengangkatan 1998. Berarti sekitar 15 tahun. Sebelumnya saya di Padang, Barat. Kebetulan waktu itu saya ikut tes CPNS-nya di sana. Divisi kebudayaan.karena enggak ngerti eh tau-tau SK-nya disana. Sekitar 2 tahun disana. Mengajukan pindah kesini.tapi untungnya masih mudah untuk urusan pindah.

F : Kalau bapak sendiri memegang jabatan apa di DISPORBUDPAR?

W : Kasie Bina Pariwisata.

F : Sudah berapa lama sebagai kasie bina pariwisata pak?

W : Sudah dari 2011 ya. Cuma ya memang basicnya bukan disini,karena latar belakangnya dari seni. Kaya kurang sesuai.

F : Tentang kegiatan dari pemkot, utamanya dari sektor kepariwisataan yang melibatkan keraton kasepuhan itu apa saja ya pak?

W : Yang melibatkan keraton itu kebetulan ya keraton itu kan sebagai obyek wisata. Kita kalau dalam hal ini memang ada hubungan ya. Cuma yang berhubungan langsung dalam satu kegiatan yang disinergikan dengan keraton belum. Biasanya yang itu dari pemkot langsung ada bantuan atau stimulan lah bahasanya. Stimulan dari APBD Kota ke keraton. Besarannya kurang tau tuh. Ya dulu mah 50 juta. Sekarang tuh kita belum tau persis. Dulu kalau di kebidayaan kita, sebetulnya selain di kepariwisataan juga kan kebudayaan ya, karena ada cagar budayanya mungkin. Pemeliharaan ya.

F : Kalau kita bicara tentang interaksi ya pak, hubungan antara pemkot dengan keraton itu kan kalau kitakategorisasikan nanti bisa masuk ke bentuk formal dan informal. Yang formal itu nanti bisa dalam rapat, seminar, ataupun pelatihan kalau dalam hal kepariwisataan. Kalau ruang informal kan bisa misalkan nimbrung bareng, ada acara sowan lah. Kalau misalkan dari kepariwisataan untuk ruang formalnya dulu kira-kira apa saja pak?

W : Kalau yang kita lakukan selama ini memang ada hubungan formalnya, dengan data pengunjung. Jadi kita tunjuk salah satu jupel, untuk melaporkan setiap bulan. Kita kasih dana, jadi kita saling memberikan apa ya,kami membutuhkan data mungkin mereka juga membutuhkan sesuatu yang butuh diterima. Ya memang tidak seberapa. Ya paling kalau ada rapat. Biasanya juga kalau ada kegiatan FKN, kita hanya membrikan stimulan saja. Itu juga tidak signifikan. Kemarin itu cuma 30 juta. Karena memang keraton juga sudah dianggarkan oleh propinsi maupun pusat. Kita hanya memberikan stimulan saja.

F : Kalau tadi saya tanya sama pak Giyono, ada juga tentang Gotrasawala, nah itu bagaimana penjelasannya pak?

W : Gotrasawala itu memang juga dibiayai oleh provinsi. Belum lama ini minta kita laksanakan november, memang kerjasama dengan keraton. Penggagasnya keraton. Kalau FKN dari Pemkot. Walikota pasti datang, berikut juga dari bagian kebudayaan dan pariwisata. Kemarin juga alhamdulillah saya sempat nonton pagelarannya juga, yang terakhir itu ada dari Bandung yang ngisi.

F : Kalau menurut bapak, hubungan keraton dengan pemkot itu bagaimana pak?

W : Cukup baik. Ya sampai saat ini mah cukup baik.

F : Sekarang tentang hubungan antar lembaga. Baik atau buruknya hubungan antar lembaga kan dipengaruhi oleh siapa yang berinteraksi, artinya nanti dari pemkot itu siapa dan dari keraton itu siapa, dan bagaimana pola interaksinya. Kalau dari bagian pariwisata, ada strategi khusus enggak pak misalkan acaranya tentang rapat gotrasawala, penunjukan delegasinya itu seperti apa? W : Nah sebetulnya kalau gotrasawala kita kan sebagai undangan saja, tidak dilibatkan secara langsung. Yang biasa kita tahu itu dinas dapat undangan, segaala sesuatu tentang pelaksanaan dan urusan internnya kita tidak tahu persis. Kalau penunjukan orang yang terlibat di FKN itu ditunjuk langsung oleh sultan. Nanti sulta yang menunjuk nama-nama terkait. Sepenuhnya hak dari sultan masing-masing. Memang keraton juga sebelumnya pasti sudah tahu karena merupakan event tahunan. Justru lebih sering interaksi dalam hal itu keraton dengan keraton.

F : Bicara tentang cara pak, kalau tadi kan penunjukan orang. Dari pemkot sendiri, utamanya bagian pariwisata, misalkan dalam jangka waktu setahun, itu biasanya lebih sering melalui surat atau tatapmuka/

W : Kayanya kalau tatap muka sih jarang ya, saat-saat tertentu saja. Biasanya surat. Ya karena kita tau kesibukan sultan kan. Tidak sembarangan mau menghadap sultan tuh.ada protokoler yang harus dilewati. Kalau kami setiap saat bisa ditemui untuk koordinasi. Tapi kalau sultan, ya kita harus konfirmasi. Perjanjian dulu. Minimal 2 hari sebelumnya kita kirim surat. Tapi ya tidak langsung ke sultan. Nanti ke staffnya. Lalu nanti ada jawaban sultan siap menerima tamu, tanggal sikia, jam sekian. Kita ngikutin aturan sana. Yang pernah saya alami, saya tidak bisa ketemu. Pikir saya sultan kan ada di keraton, untuk mengkoordinasikan FKN ternyata sampai sana ya tidakketemu. Ketemunya sama staffnya saja.

F : Kalau bicara pariwisata kan mesti bicara tentang objek wisatanya pak. Kalau di Cirebon ya keraton. Kalau dari keraton sendiri kan perihal laporan data pengunjung kan setiap bulan datang. Kalau dari pemkot sendiri, ada jadwal kunjungan teratur atau tidak pak?

W : Kalau kita tidak ada jadwal kunjungan teratur seperti itu. Istilahnya kalau ada keperluan saja kita kesana. Karena kita hubungannya dengan jupel itu, jadi kalau ada informasi kita sampaikan ke juru pemelihara. Jadi tidak ditargetkan harus ada berapa kali kunjungan kesana. Kecuali kalau ada kegiatan, seperti muludan ini kadang kita kan tidak ada istilahnya harus kirimsurat kesana, ya tinggal datang, dari kebudayaan itu biasanya. Kalau kita yasemua pariwisata kita ayomi. Promosi juga masuk lah.

F : Faktor pendukung dari baiknya hubungan keraton dengan pemkot itu kira-kira apa saja?

W : Selain karena kita satu daerah yamungkin karena merupakan bagian dari obyek pariwisata ya jadi kita harus bisa memberikan apresiasi. Apalagi keraton kan punya nilai sejarah yang tinggi. Kita akui di wilayah Jabar lah yang masih ada keraton ya di Cirebon. Peninggalan budaya yang masih nyata dan ada. Kalau yang lain sebatas nilai sejarah yang diketahui saja. Bisa dilihat secara langsung bentuk keratonnya seperti apa, sultannya pun masih ada. Bedanya dengan Jawa ya masih kental, kan masih jadi pemerintahan. Dan memang itu dijual tidak boleh, karena milik negara. Pembangunan saja kalau sudah tidak sama dengan aslinya tidak boleh. Jadi kalau tidak sembarangan mau memugar itu.

F : Faktor penghambatnya bagaimana pak?

W : Barangkali kadang tidak tepat waktu untuk melapor. Karena memang sedang ada kegiatan yang cukup padat di keraton. Setiap tanggal 5 biasanya.tapi kebanyakan memang telat. Cuma kadang kita kerepotannya akalu ada yang meminta data. Minta data triwulan satu dan dua, kebetulan datanya baru sampai triwulan satu. Nah itu paling kendalanya disitu. Untuk update data kurang maksimal. Untuk urusan rapat cukup baik responnya, kalau sultannya sendiri datang kan agak sulit. Jadi ya paling diwakilkan oleh staffnya. Tapi kami cukup ma’lum. Terkadang ya kalau memang itu betul-betul urgent ya datang. Biasanya yang banyak itu seringnya kita sowan kesana. Catatan Observasi 1

Kegiatan : Rapat Koordinasi Maulid Nabi Muhammad SAW (Panjang Jimat)

Tanggal : 17 Desember 2015

Tempat : Keraton Kasepuhan

Rapat koordinasi ini pada dasarnya bertujuan untuk mengintegrasikan seluruh persiapan dalam penyelenggaraan Maulid Nabi Muhammad SAW atau yang kerap kali disebut Panjang Jimatan. Semua komponen yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan

Maulid dikumpulkan sembari masing-masing melaporkan persiapan dan kesiapannya dalam penyelenggaraan kegiatan ini. Rapat seperti ini dibutuhkan demi terlaksananya perayaan Maulid dengan baik dan lancar.

Pada rapat koordinasi ini pihak Keraton Kasepuhan turut mengundang perwakilan dari Pemerintah Kota dari tingkat RT sampai Walikota, TNI, dan Kepolisian setempat.

Namun, pada kesempatan tersebut Walikota tidak sempat hadir dan diwakilkan oleh pejabat di bawahnya. Kapolsek Lemahwungkuk beserta jajarannya turut menghadiri rapat ini. Kehadiran pihak kepolisian dalam hal ini menjadi penting mengingat dibutuhkan kerjasama yang baik dalam mengamankan dan juga menertibkan perayaan

Maulid Nabi Muhammad SAW di Keraton Kasepuhan.

Selain memang rapat koordinasi juga dijadikan momen silaturahmi bagi kerabat dan sanak famili Keraton Kasepuhan. Mereka yang masih berstatus Sanak famili dan kerabat yang berasal atau menetap di luar wilayah Cirebon pun menyempatkan untuk hadir dan berpartisipasi. Sehingga suasana rapat pun erat dengan nuansa kekeluargaan.

Sebelum rapat dimulai para hadirin dipersilahkan untuk menyantap makan siang terlebih dahulu. Nuansa kekeluargaan semakin terasa dengan santap makan siang yang dikemas

dengan model perasmanan dan mengambil tempat di ruang pertemuan lesehan yang berada di lingkungan keraton.

Rapat koordinasi ini masuk ke dalam kategori komunikasi formal. Sehingga pola komunikasi yang dibangun adalah pola komunikasi formal. Rapat dibuka oleh Sultan

Sepuh XIV P.R.A. Arief Natadiningrat S.E. Dimulai dengan sambutan yang disampaikan oleh Sultan Sepuh XIV. Dalam sambutannya tersebut Sultan Sepuh XIV juga menyampaikan tentang persiapan dan kesiapan pihak Keraton Kasepuhan dalam penyelenggaraan Maulid Nabi Muhammad SAW. Selain tentunya meminta bantuan dan mengharapkan kerjasama dengan seluruh pihak terkait demi kelancaran perayaan Maulid tersebut. Bantuan yang sangat diharapkan tentunya terkait dengan masalah keamanan, ketertiban dan kebersihan yang memang tidak bisa sepenuhnya di kerjakan sendiri oleh pihak keraton. Mengingat perayaan Maulid di Keraton kasepuhan merupakan kegiatan tahunan yang selalu menarik masyarakat, baik yang berasal dari wilayah Cirebon sendiri ataupun yang berasal dari luar. Maka jumlah pengunjung tiap tahunnya semakin meningkat dan kepadatan pun semakin tak terkendali.

Setelah selesai menyampaikan sambutan dan memberikan pesan kepada seluruh hadirin, Sultan pun memberikan kesempatan berbicara kepada tamu undangan. Pada kesempatan tersebut, Ibu Lurah yang dalam hal ini juga mewakili Pemerintah Kota turut memberikan sepatah-dua patah kata sebagai bentuk komunikasi dan kontribusi yang dapat diberikan selaku kepanjangan tangan Pemerintah. Setelah Ibu Lurah menyampaikan pesan-pesannya, Kapolsek Lemahwungkuk juga tidak melewatkan kesempatan tersebut untuk meminta kerjasama kepada seluruh pihak demi kelancaran dan ketertiban perayaan Maulid ini. Utamanya dalam menjaga keamanan sehingga tidak

terjadi tindak kriminalitas seperti pencopetan, pencurian dan sebagainya. Hal ini sangat perlu dilakukan karena perayaan seperti ini akan mengundang banyak orang untuk datang dan dalam keramaian tindak kriminal sangat mungkin untuk terjadi. Sehingga kerjasama dari semua pihak akan sangat dibutuhkan dalam menangani permasalahan seperti ini.

Setelah meminta semua pihak untuk terus berkoordinasi dan bekerja sama, rapat pun dilanjutkan ke agenda selanjutnya, yakni pembacaan dan penyerahan Surat

Keputusan Kepanitiaan Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW kepada panitia yang telah ditentukan. Selesai penyerahan Surat Keputusan secara simbolik, kegiatan rapat koordinasi ini pun ditutup dengan pembacaan do’a yang dipimpin langsung oleh Sultan

Sepuh XIV.

Catatan Observasi 2

Kegiatan : Maulid Nabi Muhammad SAW (Upacara Panjang Jimat)

Tanggal : 25 Desember 2015

Tempat : Keraton Kasepuhan

Perayaan Maulid ini seperti yang sudah disinggung pada rapat koordinasi merupakan kegiatan tahunan yang sangat menarik masyarakat. Perayaan Maulid di

Keraton kasepuhan memiliki daya tarik tersendiri karena disertai dengan upacara panjang jimat pada puncak perayaannya. Upacara panjang jimat sangat menarik masyarakat setempat dan luar karena disertai dengan ritual panjang jimat. Panjang jimat merupakan ritual upacara dengan membawa benda-benda pusaka dan makanan dari dalam keraton ke langgar (mushola) alit di lingkungan keraton disertai dengan atribut keraton untuk kemudian dibacakan doa. Dan di akhir upacara ada momen berebut makanan yang diyakini membawa keberkahan.

Perbedaan perayaan Maulid di Keraton kasepuhan dengan tempat lain juga terlihat dari ramainya penjual yang menjajakan dagangannya disekitaran keraton. Dari bagian luar yang merupakan lapangan dan halaman Masjid Agung Sang Cipta Rasa sampai halaman dalam keraton. Sehingga melibatkan masa yang cukup banyak dari sebelum puncak perayaan.

Kegiatan ini mengundang pihak Pemerintah Kota serta seluruh perangkatnya.

Termasuk dari TNI dan kepolisian setempat. Selain tentunya para sanak famili dan kerabat keraton. Pada perayaan Maulid kali ini pun para peneliti diundang dan dipersilahkan sebebas-bebasnya untuk turut serta dan mengambil data yang diperlukan untuk penelitian. Disamping itu juga, datang perwakilan dari Afrika Selatan yang

memang sebelumnya ingin diundang dan melihat bagaimana perayaan Maulid di Keraton

Kasepuhan.

Perayaan Maulid dibuka dengan sambutan yang disampaikan oleh Sultan Sepuh

XIV. Dilanjutkan dengan laporan staff Sultan yang menyampaikan bahwa seluruh persiapan telah selesai. Setelah diizinkan oleh Sultan untuk melanjutkan upacara, maka para pembawa benda-benda pusaka yang memakai pakaian tradisional dan makanan yang sudah dibungkus sedemikian rupa pun berjalan satu per satu. Mengambil rute dari dalam keraton sampai dengan langgar alit di halaman keraton. Rute tersebut sebelumnya telah dihiasi dengan lampion-lampion dan atribut Keraton Kasepuhan. Sesampainya di langgar alit benda-benda pusaka dan makanan tersebut dibacakan doa untuk kemudian diarak ke depan keraton dan perebutkan oleh warga yang sudah menunggu. Momen berebut makanan tersebut menjadi akhir dari serangkaian agenda Maulid tersebut.

Catatan Observasi 3

Kegiatan : Sosialisasi Sadar Wisata Bagi Para Stakeholders Pariwisata di Kota Cirebon

Tanggal : 28 Desember 2015

Tempat : Hotel Pia, Cirebon

Kegiatan ini merupakan program yang diselenggarakan oleh DISPORBUDPAR

Kota Cirebon dalam rangka meningkatkan daya tarik pariwisata di Kota Cirebon. Sektor kepariwisataan di kota Cirebon sendiri memang masih belum bisa dikatakan baik, baik dari segi penampilannya maupun pengelolaannya. Oleh karena itu, seluruh stakeholders kepariwisataan di Kota Cirebon diundang untuk merembukkan formula yang tepat demi menarik wisatawan domestik dan asing. Para stakeholders tersebut meliputi perwakilan dari Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Juru Kunci Makam Sunan Gunung Jati, Juru

Kunci Situs Gua Sunyaragi dan lain sebagainya.

Selain mengundang para stakeholders kepariwisataan kota Cirebon, kegiatan ini juga dihadiri oleh Kepala Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata Kota

Cirebon dan Kepala Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Provinsi Jawa Barat sebagai perwakilan dari Pemerintah. Beliau diundang untuk menampung aspirasi pegiat pariwisata dalam meningkatkan sektor kepariwisataan secara simultan dan bersama-sama. Salah satu tujuan utama dari terselenggaranya kegiatan ini adalah terjalinnya kerjasama yang baik antara pemerintah, stakeholders pariwisata dan swasta dalam pengelolaan pariwisata, sehingga sektor pariwisata di kota Cirebon semakin menarik wisatawan domestik dan asing.

Kegiatan yang mengangkat tema “Sosialisasi Sadar Wisata bagi Para Stakeholders

Kepariwisataan di Kota Cirebon” itu sendiri berjalan lancar. Dibuka dengan pembacaan laporan Ketua Pelaksana kepada Kepala DISPORBUDPAR Kota Cirebon. Selesai

pembacaan laporan, acara pun diisi dengan sambutan-sambutan yang disampaikan oleh

Kepala DISPORBUDPAR Kota Cirebon dan Kepala DISBUDPAR Provinsi Jawa Barat.

Sebagaimana kegiatan sosialisasi pada umumnya, Kepala DISPORBUDPAR Kota

Cirebon dan Kepala DISBUDPAR Provinsi Jawa Barat yang didampuk menjadi pembicara memaparkan tentang bagaimana keadaan pariwisata di Kota Cirebon sekarang ini, perbedaanya dengan pariwisata di daerah lain seperti Bali dan Jogjakarta, dan bagaimana rencana serta master plan pariwisata di Kota Cirebon pada masa yang akan datang.

Selepas memberikan materi tersebut, para pembicara pun mempersilahkan peserta untuk memberikan respon terhadap materi dan informasi yang disampaikan. Walaupun memang pada prakteknya para peserta lebih tertarik untuk merespon masalah-masalah yang mereka temui dalam sektor pariwisata yang mereka pegang masing-masing. Seperti keluhan yang disampaikan oleh salah satu peserta dari agen tour dan travel, beliau mengeluhkan sulitnya menjual pariwisata kota Cirebon karena mahalnya harga yang harus dibayar dari setiap transaksinya. Transaksi yang dimaksud meliputi harga hotel, kuliner, tiket masuk, dan parkir yang sedemikian mahalnya dibandingkan dengan daerah lain seperti jogja misalnya.

Selain menyampaikan permasalahan-permasalahan yang muncul di lapangan, para peserta juga menyampaikan usulan-usulannya agar sektor pariwisata di Cirebon dapat lebih baik lagi. Seperti yang disampaikan oleh perwakilan dari pemerhati pariwisata

Cirebon, yang mengusulkan pembangunan candi bentar di setiap gedung yang berdiri di

Cirebon sebagai bentuk pengukuhan identitas dan simbolisasi kekhasan kota Cirebon.

Perwakilan dari Keraton kasepuhan pun ikut turut memberikan sarannya, yang dalam hal

ini adalah Pak Iman Sugiman. Beliau berpendapat bahwa salah satu yang menyebabkan sektor pariwisata Cirebon menjadi begini saja dan cenderung jalan di tempat adalah karena tidak adanya branding yang kuat, seperti kota Jogjakarta yang mengidentifikasi dirinya sebagai Jogja Istimewa. Idiom Jogja Istimewa pun menjadi kekhasan Jogja dan menjadi hanya milik Jogja. Sehingga membekas dan memberikan kenangan tersendiri bagi masyarakat, atau khususnya para wisatawan, baik domestik maupun asing.

Setelah sesi tanya jawab, acara pun ditutup dalam suasana kekeluargaan dan kekerabatan.

Gambar 1.1. Pemberian Surat Keputusan Panitia MaulidNabi Muhammad SAW oleh Sultan Sepuh XIV kepadapanitiapadaacaraRapatKoordinasiPenyelenggaraanMaulidNabi Muhammad SAW.

Gambar 1.2. Sultan Sepuh XIV P.R.A. AriefNatadiningrat, SE. MemberikansambutanpadaRapatKoordinasiMaulidNabi Muhammad SAW. Gambar 2.1. Kepala DISPORBUDPAR Kota Cirebon, Dana Kartiman, memaparkan materi tentang kepariwisataan di Kota Cirebon pada kegiatan Sosialisasi Sadar Wisata.

Gambar 2.2. Kepala DISBUDPAR Jawa Barat, menjelaskan tentang proyeksi pariwisata provinsi Jawa Barat.