Panggung Vol. 26 No. 2, Juni 2016 151

Wayang Dalam Tari Sunda Gaya Priangan

Iyus Rusliana Institut Seni Budaya (ISBI) Jln. Buahbatu 212 Bandung

ABSTRACT

This paper is a study on the potential of puppet () in the scope of Sundanese culture of Priangan subculture, especially . Formerly the term of wayang means to call dolls made of wood which are played by a puppeteer (dalang) in a performance of puppetry art or to tell the story of its performance, and it is also directly to call the art of Wayang Golek puppetry. Later, the potential of wayang affects strongly to the various aspects of life which are related to belief and art, including to Sundanese dance of Priangan style. Since wayang con- sists of religious sense which is implied in the story, thus wayang in Sundanese dance of Priangan style is not separated from the mission or moral value to the guidance of life. The emerge of Priangan revealed as a dance drama with dialogue carrying the story of wayang in complete or partly, and there are always, conflicts between the evil wayang characters and the ones who extinguish the evils.

Keywords: wayang in Sundanese culture of Priangan subculture, Wayang Dance of Priangan style

ABSTRAK

Tulisan ini merupakan kajian terhadap potensi wayang dalam lingkup budaya Sunda subkultur Priangan, khususnya seni tari. Awalnya kata wayang diartikan untuk menyebut boneka dari kayu yang dimainkan dalang dalam pertunjukan seni pedalangan atau untuk menunjukkan ceritanya dalam pertunjukan seni padalangan, dan juga bisa secara langsung untuk menyebut seni padalangan Wayang Golek. Selanjutnya potensi wayang ini berpengaruh kuat ke dalam beberapa aspek kehidupan yang berbau kepercayaan dan juga kesenian, termasuk ke tari Sunda gaya Priangan. Karena wayang mengandung makna religius yang tersirat dalam isi ceritanya, maka wayang dalam tari Sunda gaya Priangan tidaklah lepas dari misi atau pesan moral ke arah tuntunan hidup. Lahirnya Wayang Wong Priangan, terungkap sebagai bentuk dramatari berdialog dengan membawakan cerita wayang secara utuh atau sebagian, dan senantiasa adanya pertentangan antara tokoh wayang yang jahat dengan yang menumpas kejahatan.

Kata kunci: wayang dalam budaya Sunda subkultur Priangan, dan Tari Wayang gaya Priangan Rusliana: Wayang Dalam Tari Sunda Gaya Priangan 152

PENDAHULUAN ini kemudian menjadi pertunjukan Fenomena kehidupan pada zaman pra wayang yang dilakukan oleh seorang sejarah yang antara lain ditandai dengan dalang pada malam hari dengan sebelum berdirinya kerajaan-kerajaan atau mempergunakan peralatan sederhana yang sebelum masuknya kebudayaan Hindu di prinsipnya mirip dengan yang ada pulau Jawa (Pra Hindu), pada umumnya sekarang (1998: 33). orang hidup berkelompok dan tidak Adanya akulturasi kebudayaan, adalah mengenal adanya pimpinan secara formal peristiwa yang wajar terjadi. Sejarah telah seperti kerajaan, kecuali adanya pimpinan membuktikan bahwa bumi Nusantara kelompok yang dikenal dengan sebutan dari zaman dulu hingga sekarang banyak kepala suku atau syaman. Keterbatasan didatangi oleh orang asing. Akan tetapi pengetahuannya tentang seluk-beluk dalam proses persentuhannya ini tidaklah keadaan, kejadian dan teknologi, antara hanya menyerap, mengambil atau lain menimbulkan anggapan bahwa memindahkan begitu saja, melainkan benda-benda alam yang ada di sekeliling- secara alami disesuaikan dengan situasi dan nya merupakan fenomena metafisika yang kondisi serta kepribadian bangsa Indone- memiliki kekuatan magis. Begitu pula jika sia sendiri, atau senantiasa diselaraskan dari kelompoknya ada yang dianggap kuat, dengan kebudayaan yang telah ada terpandai, atau yang dipercaya sebagai sebelumnya. Pola kebudayaan Indonesia pimpinan kelompoknya dan sudah wafat, tetap tidak berubah, sebab anasir maka rohnya dianggap memiliki sumber kebudayaan asing itu telah dijalin dalam kekuatan magis yang melindunginya pola kebudayaan Indonesia. sepanjang masa. Kaitannya dengan hal ini, Pada zaman Hindu atau pada saat tumbuh dalam upacara pemujaan yang masuknya pengaruh kebudayaan Hindu sakral. Roh yang sudah meninggal itu ke Indonesia, antara lain dilatarbelakangi dapat dibangunkan dan didatangkan oleh dengan datangnya para pedagang dari In- seorang “syaman”, dan kehadiran roh dia yang kemudian menetap di Indonesia, tersebut diharapkan dapat memberi dan selanjutnya menanamkan kebudaya- pertolongan dan berkah kepada mereka annya kepada pribumi. Adapun tanda lain yang masih hidup (Mulyono, 1978: 53). yang kerap kali dijadikan batas awal zaman Kedatangan rohnya ini diwujudkan Hindu di Indonesia, adalah dimulai dengan dalam bentuk bayangan, dan meraka adanya kerajaan Hindu. Pada zaman ini datang oleh karena diminta untuk di Indonesia terjadi akulturasi kebudayaan, memberi restu atau pertolongan. Bentuk sehingga pada umumnya di kawasan bumi bayang-bayang atau wayang ini dibuat Nusantara lahir beberapa jenis dan corak dari kulit dan menggambarkan arwah kesenian Indonesia yang berbau budaya nenek moyang; lakon wayang dalam Hindu. Perpaduan tersebut senantiasa zaman ini menceritakan kepahlawanan berjalan mulus dan tanpa paksaan, karena dan petualangan nenek moyang (Hazim unsur-unsur kesenian India atau Hindu Amir, 1994: 34). Perihal ini didukung oleh yang terpadu pada saat itu tidak Burhan Nurgiyantoro, bahwa pemujaan itu menyimpang dari budaya pertunjukan dilakukan dalam bentuk “pentas wayang. bayangan” yang dilakukan oleh seorang Dalam Kamus Kawi-Indonesia, kata sakti yang disebut “syaman”, dan pentas Wayang berarti bayangan (Wojowasito, Panggung Vol. 26 No. 2, Juni 2016 153

1977: 299). Adapun kata “wayang”, dapat ditanggap wayang pada siang hari, ceritanya seperti biasanya. Agar yang “hamayang” pada waktu dulu berarti: melakonkan wayang di mana-mana sama, mempertunjukan “bayangan”, dan lambat- selanjutnya pada tahun 1584 Sultan Pajang laun menjadi pertunjukan bayang-bayang membuat pakem wayang purwa dan wayang gedog” kemudian menjadi seni pentas bayang- bayang atau wayang (Mulyono, 1977: 51). Kemudian dijelaskan lagi: Zaman Indonesia Islam yang pertama di “...sanggeusna aja dijalan pos (1808-1811) patalimarga leuwih babari. Wajang golek ti Pulau Jawa, diperkirakan mulai dari kerajaan Tjirebon oge beuki asup ka Priangan, nu barisa Demak sekitar tahun 1500-1550 sebagai ngadalang beuki loba, sebab banguna oge leuwih pengganti kerajaan Majapahit. Setelah itu memper dijalma, lantaran badan sakudjurna teu beda ti “djalma make kedok”, nu teu tembong the ngan berlanjut adanya kerajaan Pajang sekitar ti semet tjangkeng ka handap tapi lantaran tahun 1568-1586 dan seterusnya muncul disampingan djadi asa aja bae awak bagian ka kerajaan Mataram yang dimulai sejak tahun handapna teh” (1942: 21).

1586. Kesenian yang hidup dan digemari “... setelah ada jalan pos (1808-1811) sebelumnya, adalah wayang yang banyak perjalanannya semakin mudah. Wayang mendapat pengaruh dari kebuda-yaan Golek dari Cirebon juga masuk ke Priangan, yang menjadi dalang semakin banyak, Hindu. Kompromistis senantiasa muncul sebab bentuknya mendekati manusia, secara bijak, dan terjadi pulalah beberapa karena seluruh tubuhnya tidak berbeda penyesuaian. Pada zaman kerajaan Demak, dengan “manusia memakai topeng”, yang tidak terlihatnya dari pinggang ke bawah wayang kulit diperhalus dan ditambah ditutupi dengan kain sinjang, jadi seperti jumlahnya, serta pertunjukannya diper- ada saja tubuh bagian bawahnya itu” gunakan sebagai sarana dakwah penyebaran agama Islam sekaligus sebagai hiburan Dari penjelasan ini didapatkan dengan dipelopori oleh Wali Sanga, dan pemahaman bahwa di Cirebon sudah ada cerita wayang kulit ini diubah serta wayang kulit dan wayang golek menak disesuaikan dengan ajaran Islam (Burhan sebelum tahun 1808. Sedangkan wayang Nurgiyantoro, 1998: 34). Apabila seni golek di Priangan yang lebih mengakar pewayangan yang sudah ada terbuat dari kuat hingga kini, berorientasi pada pakem kulit (wayang kulit) dengan ceritanya Wayang Purwa atau Mahabharata, Loka- berkembang dan berorientasi pada budaya pala, dan Bharatayuda. Setelah berkembang Hindu seperti Mahabharata, , merata, muncul pula ceritera baru yang Bharatayuda dan Arjuna Sasrabahu, maka bertolak dari pakemnya (carangan atau seni pewayangan yang baru terbuat dari kayu sempalan) seperti cerita Jabang Tutuka, dikemukakan oleh Salmun sebagai berikut: Brajamusti, Arjuna Wiwaha, dan Layang Jamus Kalimusada. Hal ini seiring dengan Dina taun 1583 Sunan Kudus ngadamel wajang tina kai, disebutna wajang golek. Kuajana wajang pengertian wayang yang tertulis dalam golek, ajeuna mah bisa nanggap wajang golek ti Kamus Umum BASA SUNDA, yaitu beurang, lalakona sakumaha wajang biasa bae. “wayang: sarupa jejelemaan tina kulit atawa Sangkan anu ngalalakonkeun wajang di mana- mana sarua, tuluj dina taun 1584 Sultan Pajang kai nu diibaratkeun anu dilalakonkeunana ngadamel pakem wajang purwa djeung wajang dina carita Mahabharata jeung sajaba ti eta; gedog (1942: 18-19). nanggap wayang: nanggap dalang medakeun

“Pada tahun 1583 Sunan Kudus membuat lalakon tina Mahabharata jeung sajaba ti wayang dari kayu yang disebut wayang eta bari ngamaenkeun wayang dipirig ku golek. Dengan adanya wayang golek, sekarang jeung sajaba ti eta” (Momon Rusliana: Wayang Dalam Tari Sunda Gaya Priangan 154

Wirahadikusumah, 1976: 561), artinya: METODE wayang seperti manusia-manusiaan yang Mengkaji dari lingkup seni pertunjukan terbuat dari kulit atau kayu dan diibarat- tentang Wayang Dalam Tari Sunda Gaya kan yang dilakonkannya dari cerita Maha- Priangan ini tentu memerlukan pem- bharata dan yang lainnya lagi; nanggap bedahnya menggunakan metode kualitatif wayang adalah mengundang dalang untuk interpretatif dengan cara pengumpulan mengungkapkan lakon Mahabharata dan datanya melalui studi pustaka dan observasi yang lainnya lagi sambil memainkan lapangan. Adapun dalam menelusuri bagian boneka wayang yang diiringi dengan pembahasannya yang terarah khusus gamelan dan yang lainnya lagi. mengenai Wayang dalam Budaya Sunda Mengenai intisari dari isi cerita wayang, Subkultur Priangan dan Tari Wayang Gaya pada dasarnya melimpah dengan nilai-nilai, Priangan, sudah pasti tidak akan lepas dari baik berkaitan dengan unsur filosofis, etis, digunakannya pendekatan sejarah, religius, maupun estetis. Wayang dipandang keragaman dari aspek bentuk pertunjukan, sebagai suatu bahasa simbol dari pada isi cerita, dan keragaman dari aspek lahiriah; dan jika orang melihat pergelaran pemeranan atau kepenarian tari wayang. wayang, yang dilihat bukan hanya wayang- Berarti analisis atau pembahasannya nya saja melainkan masalah yang tersirat di menggunakan pendekatan multidisiplin. dalam (lakon) wayang itu (Mulyono, 1978: 15). Cerita wayang menawarkan dan HASIL DAN PEMBAHASAN memberikan contoh bagaimana hidup Wayang Dalam Budaya Sunda secara religius, seperti tingkah laku para Subkultur Priangan tokoh Pandawa yang menunjukkan bagai- Di wilayah Provinsi Jawa Barat atau mana mendekatkan diri kepada Tuhan dalam lingkup budaya Sunda, terjadi untuk mencapai tujuan hidup yang beberapa pengertian dari kata wayang ini. sempurna. Seperti tokoh Sumantri, Wayang bisa diartikan boneka dari kulit Kumbakarna, Karna, Baladewa, dan lain-lain atau kayu yang dimainkan dalang dalam yang dapat dipandang sebagai penawaran seni pedalangan, serta bisa diartikan pula nilai filosofis yang tinggi, dilematis, dan untuk menunjukkan jenis atau macam mereka konsekuen dengan pandangan cerita yang dibawakan dalam pertunjukan hidup yang dipilih dan diyakininya (Burhan seni pedalangan. Selain itu, bisa juga kata Nurgiyantoro, 1998: 36-37). Perbendahara- wayang ini diidentikkan langsung dengan an cerita wayang memang amat banyak, pertunjukan seni pedalangan. meskipun ada perubahan-perubahan kecil Dalam lingkup budaya Sunda terdapat ceritanya tidaklah sampai menyimpang dari subkultur Cirebon, subkultur Priangan, dan pakem. Konvensi-konvensi dramatik subkultur (Kusnaka Adimiharja, wayang terdiri dari struktur (kerangka 1998: 4, kolom 4-5). Kemudian dalam cerita), pelaku-pelaku (karakter), dan bahasa pembahasan selanjutnya, kata Sunda ini yang dipakai (Hazim Amir, 1994: 50). identik dengan subkultur Priangan. Apabila menelusuri pertunjukan wayang Dari naskah Siksa Kandang Karesian yang atau seni pedalangan ini, maka unsur-unsur tertulis dengan menggunakan bahasa Sunda seni lain tampak menonjol menjadi suatu kuno tahun 1440 atau 1518 Masehi, ada yang kesatuan yang utuh, antara lain sastra, amat jelas berkaitan langsung dengan drama, karawitan, rupa, dan tari. wayang seperti: Daksina yaitu selatan, tempat Panggung Vol. 26 No. 2, Juni 2016 155 hyang Brahma; merah warnanya. Utara, Isi syair ini menunjukkan maknanya yaitu tempat hyang Wisnu; hitam warnanya. mengandung pepatah yang mengarah pada Madya yaitu tengah, tempat hyang Siwa; tuntunan hidup, artinya; “Manusia mesti bermacam-macam warnanya (Atja dan Saleh sadar hidup di dunia ini hanya sementara Danasasmita, 1981: 29). Selain isinya atau tidak akan kekal, karena itu janganlah mengutarakan tentang penguasa alam berperilaku serakah atau jahat agar tidak semesta, ada juga yang isinya memberikan menyesal di kemudian hari setelah semacam nasihat, yaitu: bila ingin tahu semua mendapat hukuman terhadap dirinya”. cerita, seperti: Dramajati, Bayu, Meskipun mayoritas masyarakat tatar Jayasena, Sedamana, Pujayakarma, Rama- Sunda menganut agama Islam, namun yana, Adiparwa, Korawasarma, Bimasora, masih ada sebagian yang tetap juga patuh Rangga Lawe, Boma, Sumana, Kalapurbaka, dan mengusung yang berbau kepercayaan Jarini, Tantri, ya segala macam cerita, dan budaya lama. Seperti halnya upacara tanyalah dalang (1981: 39). Apabila dalam nujuh bulan bagi seorang isteri yang naskah Amanat Galunggung terungkap ada hamilnya menginjak usia tujuh bulan, antara kata-kata yang berbunyi Batara Guru di lain menggunakan kelapa kuning yang Kahiyangan, maka dalam naskah Sewaka merupakan bagian dari kelengkapan Darma persis seperti yang ada dalam isi ritualnya senantiasa dilukis dengan gambar naskah Siksa Kandang Karesian yakni tertulis Arjuna dan Subadra. Gambar ini sebagai Batara Wisnu, Batara Brahma, dan Batara simbol, yakni apabila anaknya lahir laki-laki Siwa (Saleh Danasasmita, dkk., 1987: 65-67, diharapkan tampan dan pintar seperti dan 129). Sedangkan dalam isi naskah Carita Arjuna, dan apabila anaknya lahir Parahiyangan terungkap adanya kata- perempuan diharapkan cantik dan halus kata yang berbunyi ngawayangkeun dan budi bagai Subadra. Selanjutnya Salmun Batara Guru (1981: 11-15). Kata ngawayang- menulis: keun ini bisa diartikan mengatur perilaku kehidupan atau memainkan boneka wayang Sawareh urang Sunda pertjaya kana nanggap wajang aja maunatna: oleh dalang. Apabila menghayati maknanya bahwa 1. Dina kawinan; lalakon nu kawin wayang sebagai bahasa simbolik dari hidup kajaning: Patakrama (Arjuna garwaan ka Subadra); Djaladara-Rabi (Baladewa dan kehidupan yang lebih bersifat rohaniah rendengan sareng Irawati); Kurupati- dari pada lahiriah, berarti ada semacam Rabi (Suyudana migarwa Banowati) benang merah yang sama dengan salah satu djeung rea-rea deui. 2. Di nu tingkeban (hadjat di nu reuneuh pandangan hidup masyarakat Sunda. Oleh tudjuh bulan), lalakona sok milih karena itu lahirlah salah satu lagu karya lalakon dibabarkeunana salah sahidji pujangga Sunda R.A.A. Bratawijaya yang isi satria, umpamana bae: Djabang Tutuka (dibabarkeunana Gatotkatja); syairnya sebagai berikut: Lahiripun Permadi (dibabarkeunana Arjuna); Bimanju Lahir (medalna “Eling-eling masing eling Abimanju), djeung jaba ti eta. rumingkang di bumi alam 3. Di nu puput puseur, sok radjeun oge aja darma wawayangan bae nu nanggap wajang, lalakona tjara di raga taya pengawasa nu tingkeuban bae. lamun kasasar lampah 4. Di nu nyuntan, heunteu aja lalakon nu napsu nu matk kaduhung tjotjog pisan lantaran ari wajang mah badan anu katempuhan” gelarna teh dina memeh Islam nerekab (dalam Salmun, 1942: 2). di urang. Minangka gantina, nu dipilih Rusliana: Wayang Dalam Tari Sunda Gaya Priangan 156

teh sok lalakon satria saembara, merupakan simbol dari harapan orang upamana bae: Narasoma (Salja keur anom keneh ngiring saembara di tuanya agar anaknya di kemudian hari Madura merebutkeun menjadi seorang laki-laki yang jujur, patuh pada orangtua, gagah berani, dan pintar Kunti); Gandamanah (saembara Drupadi); Lian ti eta loba nu pertjaya nanggap wajang ngaruat, seperti tokoh wayang Gatotkaca. lolobana pikeun budakna lalakon Batara Kala Kendatipun data-data akurat yang (1942: 33-39). menjadi latar belakang atau alasannya Artinya: belum ditemukan, akan tetapi ada beberapa “Sebagian masyarakat Sunda percaya akan penamaan alam dan bangunan yang mempertunjukkan wayang (seni peda- berkaitan dengan wayang ini. Di wilayah langan) yang ada dampak positif-nya bagi yang dipestakan: 1. Pada perkawinan; lakon Kabupaten Bandung hulu sungai Citarum bagi yang menikah seperti: Patakrama disebut gunung Wayang, dan di sekitar (Arjuna menikah dengan Subadra); Jaladara- gunung itu terdapat semacam batu Rabi (Baladewa menikah dengan Irawati); Kurupati-Rabi (Suyudana menikah dengan peninggalan masa lampau yang menyerupai Banowati) dan yang lainnya lagi. 2. Pada yang Semar dan terkadang “diziarahi” oleh tingkeuban (istirahat setelah hajat kehamilan individu dan masyarakat tertentu yang tujuh bulan), lakonnya memilih lakon yang dilahir-kannya salah satu satria, umpama- diduga ada kaitannya dengan kepercayaan nya saja: Jabang Tutuka (dilahirkannya atau paham lama. Gatotkaca); Lahiripun Permadi (lahirnya Menelusuri tentang pengaruh wayang Abimanyu) dan yang lainnya lagi. 3. Pada yang puput puseur, ada juga yang nanggap dalam kesenian Sunda, ternyata selain wayang, lakonnya cara yang dilakukan terbentuknya tontonan menarik seni pada tingkeban saja. 4. Pada khitanan, tidak pedalangan wayang golek, juga mewujud ada lakon yang cocok sekali karena wayang dalam bentuk seni helaran yang lebih bersifat tumbuhnya itu sebelum Islam menyebar di masyarakat Sunda. Sebagai gantinya, yang hiburan atau pun perayaan-perayaan dipilih lakon satria saembara, umpamanya: kenegaraan seperti badawang. Adapun Narasoma (Salya ketika masih muda meng- visualisasi dari seni helaran ini seperti ondel- ikuti saembara di Madura memperebutkan Kunti); Gandamanah (saembara Drupadi); Selain ondel Betawi, dan wujud tokoh-tokoh itu banyak yang percaya nanggap wayang wayangnya adalah para pawongan (Semar, ruatan, kebanyakannya untuk anak laki-laki Cepot, Dawala, dan Gareng). Meskipun yang nunggal (tidak berkaka dan beradik) dan yang lainnya lagi dengan lakon Batara tumbuh dan hidupnya tidak menonjol, ada Kala” . pula penyajian seni pedalangan yang berwujud seperti seni pantun (diiringi waditra Perihal upacara adat khitanan selanjut- kecapi) yang disebut wayang pantun atau nya yang hingga kini masih banyak wayang catur. Begitu pula dalam teater diselenggarakan adalah dengan kuda tradisinya seperti , kerap kali renggong dan . Dengan ritual dipertunjukkan lakon wayang (sandiwara helaran ini, maka anak yang dikhitankan wayang). Di samping itu, para seniman tari turut serta dengan menaiki atau menung- Sunda di wilayah Priangan tak ketinggalan gang kudanya dan juga menunggang untuk mencipta-kan aneka ragam kekayaan boneka sisingaan yang diusung memakai tari yang menggali dari potensi wayang ini. tandu, serta busana yang dipakai oleh anak ini seringkali memakai busana wayang Tari Wayang Gaya Priangan Gatotkaca. Anak yang di sunat dengan Perlu diketahui sebelumnya, bahwa memakai busana wayang Gatotkaca ini pun kekayaan dan keanekaragaman bentuk Panggung Vol. 26 No. 2, Juni 2016 157 pertunjukan tari Sunda subkultur Priangan bentuk kebudayaan adalah hasrat meniru meliputi bentuk dramatari, serta bentuk tari (1954: 32). Namun dalam aspek per- tunggal, tari berpasangan, dan tari rampak/ tunjukannya seperti cerita atau lakon dan massal