PEWUJUDAN GAYA BAHASA DALAM NOVEL TETRALOGI DAN NOVEL TRILOGI NEGERI 5 MENARA: ANALISIS STILISTIKA

REALIZATION STYLE LANGUAGE IN THE NOVEL TETRALOGY LASKAR PELANGI AND NOVEL TRILOGY NEGERI 5 MENARA: ANALYSIS STILISTIKA

RAVIQA

P1200215301

PROGRAM STUDI BAHASA INDONESIA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2017

i

PEWUJUDAN GAYA BAHASA DALAM NOVEL TETRALOGI LASKAR PELANGI DAN NOVEL TRILOGI NEGERI 5 MENARA: ANALISIS STILISTIKA

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi Bahasa Indonesia

Disusun dan diajukan oleh

RAVIQA

kepada

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2017

ii

iii

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : Raviqa

Nomor mahasiswa : P1200215301

Program Studi : Magister Bahasa Indonesia

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, 10 Agustus 2017 Yang menyatakan

Raviqa

iv

KATA PENGANTAR

“Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh”

Puji dan syukur patut dipanjatkan ke hadirat Allah Swt berkat rahmat-Nya sehingga tesis yang berjudul “Pewujudan Gaya Bahasa dalam Novel Tetralogi Laskar Pelangi dan Novel Trilogi Negeri 5

Menara: Analisis Stilistika” ini dapat dirampungkan. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Bahasa

Indonesia pada Program Studi Bahasa Indonesia Sekolah

Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Proses penyusunan tesis ini tidak terlepas dari berbagai rintangan, mulai pengumpulan literatur, pengumpulan data, pengolahan data sampai pada proses analisis data. Namun, berkat semangat dan ketekunan yang dilandasi rasa tanggung jawab sebagai mahasiswa akhirnya tesis ini terselesaikan.

Sebuah penelitian tentu tidak akan terlaksana tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sewajarnyalah penulis menyampaikan terima kasih yang setinggi-tinggi kepada:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Darwis, M.S. selaku Ketua Komisi

Penasihat yang telah membimbing dan memberikan motivasi

kepada penulis dalam penyusunan tesis ini. Beliau telah

membimbing sebagaimana tugas dan tanggung jawab seorang

v

pembimbing, bahkan lebih daripada itu. Tidak terhitung banyakya

pengetahuan yang telah beliau berikan. Penulis mengucapkan

terima kasih.

2. Dr. Kaharuddin, M.Hum selaku anggota komisi penasihat yang

dengan ikhlas dan sabar membimbing penulis secara intensif mulai

dari proses penyusunan proposal sampai hasil penelitian. Terima

kasih atas setiap nasihat, baik yang berhubungan dengan

penyusunan tesis maupun berhubungan dengan hal-hal yang tidak

berhubungan dengan penyusunan tesis. Penulis mengucapkan

banyak terima kasih.

3. Dr. Hj. Asriani Abbas, M.Hum. selaku Ketua Program Studi Bahasa

Indonesia Sekolah Pascasarjana Universitas Hasanuddin yang

telah memberikan memotivasi yang membangun kepada penulis.

4. Dr. H. Fatu Rahman, M.Hum. selaku Wakil Dekan I Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Hasanuddin yang telah memberikan motivasi

kepada penulis.

5. Kedua orang tua penulis, bapak Anton Mulyadi dan ibu Haniah

yang dengan ketulusan hati, siang dan malam mendoakan

kebaikan untuk anak-anaknya. Terima kasih telah menjadi orang

tua terhebat yang telah mencurahkan seluruh cinta, kasih sayang,

cucuran keringat, dan mungkin air mata. Tanpa kalian, penulis

(Raviqa) tidak akan menjadi apa-apa. Nenek Hj. Puttiri, Adik

Jazirah AM., Majida, AM., dan Muh.Aksa Arsyad. Kakak Ipar

vi

Muhaimin Baso dan cucu pertama dalam keluarga Muh.Abid

Arsyad Baso. Kalian adalah motivasi terbesar penulis. Semoga

kalian dalam lindungan kasih Allah SWT.

6. Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) RI sebagai pemberi

beasiswa penuh Program Magister kepada penulis. Tanpa

beasiswa LPDP, penulis tidak akan melanjutkan pendidikan

Magister.

7. Dr. Ikhwan M.Said, M.Hum., Prof. Dr.Lukman, M.S., dan

Dr.Hj. Kamsinah, M.Hum serta dosen-dosen pengampu mata

kuliah Program Studi Bahasa Indonesia Program Pascasarjana

Universitas Hasanuddin lainnya. Terima kasih atas ilmu yang telah

diberikan, baik di dalam ruang kelas maupun di luar kelas, sejak

kuliah perdana sampai proses penyusunan tesis berakhir.

8. Drs. H. Hasan Ali, M.Hum. yang senantiasa memberikan motivasi

dan saran-saran kepada penulis. Beliau layaknya ayah bagi

penulis, sosok yang menjadi tempat mengadu segala hal yang

berkaitan dengan penyusunan tesis ini. Terima kasih atas setiap

nasihat yang telah diberikan kepada penulis sejak S1 hingga saat

ini. Terima kasih untuk kesempatan belajar sebagai asisten dosen.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih.

9. Dosen Dr. Gusnawaty Anwar, M.Hum, beliau adalah dosen

sekaligus ibu kedua penulis. Terima kasih telah menjadi tempat

vii

berkeluh kesah segala hal baik itu akademik, keluarga, maupun

asmara.

10. Teman-teman Program Studi Bahasa Indonesia Sekolah

Pascasarjana Universitas Hasanuddin angkatan 2015. Taufik, Nur

Sariati, Nur Rahma Alhaqq, Muhammad Nawir, Sutrisno, Andi.

Yusdianti Tenriawali, Sumiaty, Andi. Aryana, Harziko, Rima,

Susiati, Karim, Risman Iye, dan Asrifal Kamaluddin. Kalian telah

menjadi saudara beda ibu bagi penulis.

11. Mutahharah Nemin Kaharuddin, Amanda Pratiwi Ismail, Fauzan

Ahyar F., Andi. M. Yusuf, Muhammad Ali, Wahyuddin, La Ode

Ahmad Suherman, Nahliah Hasanuddin, dan teman-teman

program Magister angkatan 2015 lainnya. Kalian adalah teman dan

kakak terbaikku.

12. Teman berjuang sejak SD sampai jenjang perkuliahan, Hasniar

S.E, Nurul Ilmi, S.Gz, Fitriani R., S.P, Fadliah, S.Pt, , Fadliah, S.T,

dan Andi. Jusniati, Amd.Kep, Zulfiah, S.T. Belum saya temukan

persahabatan seindah persahabatan kita ini.

13. Teman-teman “Argumentasi 10”, terkhusus kepada Fitria

Ramadhani, S.S. dan Isnawati, S.S. Terima kasih atas perhatian

dan kepedulian kalian. Penulis bahagia telah mengenal kalian.

14. Teman-teman KKN Unhas Gel.85 dan HIMA LDPD Sul-Sel. Terima

kasih atas doa dan dukungan kalian.

viii

15. Pak Muhtar, Pak Mullar, dan Daeng Nai’ yang telah banyak

membantu penulis selama menempuh pendidikan di Pascasarjana

Unhas. Penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan di lain kesempatan. Namun demikian, besar harapan penulis agar tesis ini dapat memberi manfaat kepada siapa pun yang membacanya.

Sekian dan terimakasih

Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Makassar, 10 Agustus 2017

Penulis

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...... i

LEMBAR PERSETUJUAN ...... iii

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ...... iv

KATA PENGANTAR ...... v

DAFTAR ISI ...... x

DAFTAR SINGKATAN ...... xiii

DAFTAR TABEL ...... xiv

ABSTRAK ...... xv

ABSTRACT ...... xvi

BAB I PENDAHULUAN ...... 1

A. Latar Belakang ...... 1

B. Rumusan Masalah ...... 17

C. Tujuan Penelitian ...... 17

D. Manfaat Penelitian ...... 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...... 19

A. Hasil Penelitian yang Relevan ...... 19

B. Landasan Teori ...... 26

1. Stilistika ...... 26

a. Sejarah Stilistika ...... 27

b. Pengertian Stilistika ...... 30

c. Tujuan Stilistika ...... 35

d. Stilistika dan Kritik Sastra ...... 37

x

2. Novel sebagai Objek Kajian Stilistika ...... 39

a. Ciri-ciri Novel ...... 40

b. Unsur-unsur Novel ...... 42

3. Gaya Bahasa ...... 47

a. Pengertian Gaya Bahasa ...... 47

b. Jenis-jenis Gaya Bahasa ...... 49

4. Kata, Frasa, dan Klausa ...... 77

5. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia ...... 78

C. Kerangka Pikir ...... 94

D. Definisi Operasional ...... 97

BAB III METODE PENELITIAN ...... 99

A. Jenis Penelitian ...... 99

B. Sumber Data ...... 99

C. Populasi dan Sampel ...... 100

D. Metode dan Teknik Pengumpulan Data ...... 101

E. Teknik Analisis Data ...... 101

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...... 103

A. Hasil Penelitian ...... 103

B. Pembahasan ...... 107

1. Pewujudan Gaya Bahasa dalam Novel Tetralogi Laskar

Pelangi dan Novel Trilogi Negeri 5 Menara ...... 107

a. Gaya bahasa kiasan ...... 107

1) Gaya bahasa simile ...... 107

xi

2) Gaya bahasa personifikasi ...... 164

3) Gaya bahasa metafora ...... 177

4) Gaya bahasa metonimi ...... 196

5) Gaya bahasa sarkasme ...... 198

6) Gaya bahasa antonomasia ...... 199

7) Gaya bahasa eponim ...... 204

8) Gaya Bahasa Paronomasia ...... 206

b. Gaya bahasa retoris...... 206

1) Gaya bahasa hiperbola ...... 206

2) Gaya bahasa litotes ...... 219

3) Gaya bahasa asidenton ...... 220

4) Gaya bahasa polisindenton ...... 221

5) Gaya bahasa erotesis ...... 223

6) Gaya bahasa koreksio ...... 224

2. Persamaan dan Perbedaan Pewujudan Gaya Bahasa

dalam Novel Tetralogi Laskar Pelangi dan Novel Trilogi Negeri

5 Menara ...... 225

BAB V PENUTUP ...... 237

A. Simpulan ...... 237

B. Saran...... 241

DAFTAR PUSTAKA ...... 243

LAMPIRAN...... 247

xii

DAFTAR SINGKATAN

NTLP : Novel Tetralogi Laskar Pelangi

NTNLM : Novel Trilogi Negeri Lima Menara

LP : Laskar Pelangi

SP : Sang Pemimpi

EDS : Edensor

MK : Maryamah Karpov

NLM : Negeri Lima Menara

RTW : Ranah Tiga Warna

RSM : Rantau Satu Muara

xiii

DAFTAR TABEL

1.1 : Tabel perbandingan pewujudan gaya bahasa simile

1.2 : Tabel perbandingan pewujudan gaya bahasa personifikasi

1.3 : Tabel perbandingan pewujudan gaya bahasa metafora

1.4 : Tabel perbandingan pewujudan gaya bahasa antonomasia

1.5 : Tabel perbandingan pewujudan gaya bahasa metonimi

1.6 : Tabel perbandingan pewujudan gaya bahasa eponim

1.7 : Tabel perbandingan pewujudan gaya bahasa hiperbola

1.8 : Tabel perbandingan pewujudan gaya bahasa erotesis

xiv

ABSTRAK

RAVIQA. Pewujudan Gaya Bahasa dalam Novel Tetralogi Laskar Pelangi dan Novel Trilogi Negeri 5 Menara: Analisis Stilistika (dibimbing oleh Muhammad Darwis dan Kaharuddin) Penelitian ini bertujuan, yaitu (1) menjelaskan pewujudan gaya bahasa dalam NTLP dan NTNLM dan (2) mengungkap persamaan dan perbedaan pewujudan gaya bahasa dalam NTLP dan NTNLM Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan satuan-satuan lingual yang mengandung gaya bahasa kiasan dan gaya bahasa retoris yang terdapat dalam kedua novel berseri tersebut. Metode pengumpulan data, yaitu metode simak dengan teknik catat. Data dianalisis dengan metode deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan hal-hal berikut ini.(1) Dalam NTLP ditemukan delapan jenis gaya bahasa kiasan, yaitu (a) simile, (b) personifikasi, (c) metafora, (d) metonimi, (e) sarkasme, (f) antonomasia, (g) eponim, dan (h) paronomasia dan enam jenis gaya bahasa retoris yang terdiri atas (a) hiperbola, (b) litotes, (c) asidenton, (d) polisindenton, (e) erotesis, dan (f) koreksio. Adapun dalam NTNLM ditemukan enam jenis gaya bahasa kiasan, yaitu (a) simile, (b) personifikasi, (c) metafora, (d) metonimi, (e) antonomasia, dan (f) eponim dan dua jenis gaya bahasa retoris, yaitu (a) hiperbola dan (b) erotesis. Gaya bahasa tersebut diwujudkan melalui sembilan jenis kelas kata, yaitu (a) nomina, (b) verba, (c) adjektiva, (d) pronomina, (e) interogatif, (f) numeralia, (g) artikula, (h) konjungsi, dan (i) adverbia. (2) Analisis pewujudan gaya bahasa pada kedua novel berseri tersebut menunjukkan kesamaan pada penggunaan empat gaya bahasa yang paling dominan dengan persentase pada NTLP, yaitu (a) gaya bahasa simile 50%, (b) gaya bahasa personifikasi 11%, (c) gaya bahasa metafora 28%, dan (d) gaya bahasa hiperbola 11% sedangkan pada NTNLM, yaitu (a) gaya bahasa simile 33%, (b) gaya bahasa personifikasi 25%, (c) gaya bahasa metafora 21%, dan (d) gaya bahasa hiperbola 21%. Adapun perbedaan keduanya ialah dari segi keketatan dan kekreatifan pengarangnya. Analisis ini menunjukkan bahwa Andrea Hirata tampak bersimile lebih ketat daripada Ahmad Fuadi. Keketatan tersebut dapat dilihat berdasarkan intensitas penggunaan pilihan kata yang berkelas kata nomina fauna dan penggunaan kata yang menandai perbandingan. Di samping itu, Andrea Hirata mengungkap ide dan gagasannya melalui gaya bahasa yang kreatif daripada Ahmad Fuadi. Kekreatifan tersebut dapat dilihat berdasarkan variasi jenis gaya bahasa kiasan dan gaya bahasa retoris yang ditemukan dalam NTLP.

Kata Kunci : Pewujudan, gaya bahasa kiasan dan retoris, pilihan kata, kelas kata

xv

ABSTRACT

RAVIQA. Realization Style Language in the Novel Tetralogy Laskar Pelangi and Novel Trilogy Negeri 5 Menara: Analysis Stilistika (supervised by Muhammad Darwis and Kaharuddin)

The aims of study were (1) describes the realization of style in NTLP and NTNLM and (2) reveal similarities and differences in the realization of style in NTLP and NTNLM. This research is a qualitative research. This research data in the form of units containing lingual style of figurative language and rhetorical style of language contained in the novel. Data collection methods, namely methods refer to the technical note. Data were analyzed with descriptive methods. The results showed the following. (1) In NTLP found eight kinds of style of speech, namely (a) simile, (b) personification, (c) metaphor, (d) metonym, (e) sarcasm, (f) antonomasia, (g) the eponymous, and (h) paronomasia and six kinds of style rhetorical consisting of (a) hyperbole, (b) litotes, (c) asidenton, (d) polisindenton, (e) erotesis, and (f) koreksio. As in NTNLM found six kinds of style of figurative language, namely (a) simile, (b) personification, (c) metaphor, (d) metonym, (e) antonomasia, and (f) the eponymous, as well as two kinds of style rhetorical, that (a) The hyperbole and (b) erotesis. The literary style is realized through nine types of speech, namely: (a) nouns, (b) verb, (c) adjectives, (d) pronouns, (e) interrogative, (f) numeralia, (g) article, (h) conjunctions, and (i) adverbs. (2) Analysis of the realization of style on the second novel series shows the similarity in the use of four style that is most dominant in the percentage in NTLP, namely (a) the language style simile 50%, (b) style personified 11%, (c) the language style metaphor 28%, and (d) 11% hyperbolic language style while in NTNLM namely (a) the language style simile 33%, (b) style personified 25%, (c) the language style metaphor 21%, and (d) 21% hyperbolic language style. The difference in the two is that in terms of rigor and creativity of its author. This analysis indicates that Andrea Hirata looked bersimile tighter than Ahmad Fuadi. The stringency can be seen by the intensity of the use of the word classy choice of noun word fauna and use of the word mark comparison. In addition, Andrea Hirata reveal his ideas through creative style rather than Ahmad Fuadi. The creativity can be seen based on variations in the type of style language figurative language and rhetorical styles found in NTLP.

Keywords: realization, figurative language and rhetorical style, word choice, word class

xvi

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebuah karya sastra diciptakan sebagai bentuk ekspresi, pengungkapan ide dan gagasan yang diperoleh dari pengalaman dan penghayatan hidup pengarangnya. Karya sastra hadir sebagai hasil perenungan pengarang terhadap fenomena yang ada. Sastra sebagai karya fiktif memiliki pemahaman yang lebih mendalam, bukan hanya sekadar cerita khayal atau angan dari pengarang saja, melainkan wujud dari kreativitas pengarang dalam menggali dan mengolah gagasan yang ada dalam pikirannya. Melalui karyanya, pengarang ingin mengungkapkan masalah manusia dan kemanusiaan, penderitaan, perjuangan, kasih sayang, kebencian, nafsu, dan segala sesuatu yang dialami manusia di dunia ini. Karya sastra tersebut meliputi novel, cerpen, puisi, pantun, syair, dan lain-lain.

Jika dicermati, perkembangan sastra Indonesia telah memasuki angkatan 2000-an atau dikenal dengan istilah angkatan pascareformasi.

Lahirnya sastrawan angkatan 2000-an diprakarsai oleh Korrie Layun

Rampan. Pada tahun 2002, penerbit Gramedia menerbitkan sebuah buku tebal tentang angkatan 2000-an. Seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sastra dimasukkan Korrie ke dalam angkatan 2000.

Lahirya angkatan 2000-an mempunyai benang merah dengan kondisi

1 2

sosial politik Indonesia pada tahun 1970, yaitu pergantian kekuasaan.

Runtuhnya sebuah rezim diktator membawa iklim perubahan yang cukup ekstrim. Perubahan tersebut dapat dilihat pada semua bidang, termasuk sastra. Hampir semua yang sudah terbangun pada angkatan sebelumnya didobrak dengan dalih perubahan. Karya sastra yang bernafaskan perubahan pun bermunculan dengan dalih kebebasan berekspresi.

Perbedaan angkatan 2000-an dengan angkatan sebelum 2000-an sangat terlihat pada karya-karya sastra yang tercipta. Karya sastra angkatan

2000-an secara lebih bebas menyindir keadaan di sekitar kita, baik sosial, budaya, politik, pendidikan, agama, lingkungan, jender maupun seksualitas. Kebebasan tersebut dapat dilihat dari penggunaan bahasa dalam karya sastra yang lebih terbuka.

Bahasa merupakan unsur terpenting dalam sebuah karya sastra.

Sebagai salah satu unsur terpenting tersebut, bahasa berperan sebagai sarana pengungkapan dan penyampaian pesan dalam karya sastra.

Penggunaan bahasa dalam karya sastra berbeda dengan penggunaan bahasa dalam wacana lain, misalnya dalam pidato-pidato, karya-karya ilmiah, dan perundang-undangan. Dasar penggunaan bahasa dalam karya sastra tidak hanya sekadar paham, tetapi yang lebih penting adalah keberdayaan pilihan kata yang dapat mengusik dan meninggalkan kesan terhadap sensitivitas pembaca. Bahasa dalam karya sastra adalah bahasa yang telah dimanipulasi melalui gaya tertentu. Dengan kata lain, dapat 3

dikatakan bahwa bahasa dalam karya sastra adalah bahasa yang bergaya.

Gaya bahasa dalam karya sastra sangat menentukan kualitas karya tersebut. Gaya bahasa menjadi salah satu sarana kesusasteraan yang sangat berperan dalam menentukan nilai seni dan estetika sebuah karya sastra. Gaya bahasa adalah cara pemakaian bahasa yang berbeda dari bahasa sehari-hari oleh pengarang dalam mengungkapkan gagasan yang ada dalam pikirannya. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa cara pengarang membungkus pikirannya dengan cara yang tidak biasa itulah yang disebut gaya. Hal ini dapat dilihat dalam pengungkapan gagasan atau ide yang dimuat dalam novel tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea

Hirata dan Novel Tetraogi Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi.

Selanjutnya, gaya melibatkan pilihan, tanpa pilihan tidak mungkin ada gaya (Junus,1989: 57). Kekuatan sebuah gaya bahasa ada pada pilihan kata (diksi) baik kata, frasa maupun ungkapan. Strategi bergaya bahasa itu diwujudkan melalui pilihan kata. Pilihan kata adalah penggunaan kata secara tepat untuk mewakili pikiran dan perasaan yang ingin dinyatakan dalam pola suatu kalimat. Kemampuan pengarang dalam memilih kata pada karyanya sangat dipengaruhi oleh penguasaan bahasa yang dimilikinya. Penguasaan bahasa yang dimaksudkan adalah kemampuan mengolah dan memanipulasi kata sehingga tampil lain atau berbeda dari penggunaan bahasa pada umumnya, yang pada akhirnya 4

muncul sebagai gaya yang mencirikan diri pengarang (ciri pribadi) atau mencirikan sebuah kelompok (ciri sosial).

Setiap pengarang mempunyai gaya bahasa sendiri dalam menciptakan karya sastra yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, kondisi sosial masyarakat, lingkungan tempat tinggal, dan sebagainya. Gaya bahasa merupakan cap jempol pengarang. Middleton

Mury (dalam Rismayanti, 2015: 8) mengatakan bahwa “gaya itu merupakan idiosyncracy (keiistimewahan, kekhususan) seorang penulis”.

Sejalan dengan itu, Buffon (dalam Junus, 1989: 20) berpendapat bahwa

“gaya adalah orang (penulis) itu sendiri”. Dengan mengatakan gaya sebagai serangkaian ciri pribadi, pengarang dalam membuat karyanya akan memperlihatkan penggunaan bahasa yang khas dengan ciri atau karakteristik tersendiri yang berbeda dari pengarang lainnya. Pengarang akan menurunkan tanda tangannya pada setiap karya sastra yang ditulisnya. Di samping gaya sebagai ciri pribadi, konsep gaya menurut

Envikst (dalam Junus,1989: 31) adalah sebagai sekumpulan ciri kolektif.

Pemahaman tentang gaya sebagai sekumpulan ciri kolektif adalah keberadaan gaya bersama yang dimiliki oleh dua orang pengarang atau lebih. Jika dalam pengungkapan ciri pribadi yang ditonjolkan adalah perbedaan antara pengarang yang satu dengan pengarang lainnya, maka pada persoalan gaya sebagai ciri kolektif atau gaya sosial yang harus dicari adalah sekumpulan teks yang ditekankan pada hakikat persamaan

(Junus, 1989: 34). 5

Sekaitan dengan penggunaan bahasa yang khas oleh pengarang, pada penelitian ini akan dianalisis pewujudan gaya bahasa dalam tetralogi

Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dan trilogi Negeri 5 Menara karya

Ahmad Fuadi. Novel Tetralogi Laskar Pelangi (NTLP) adalah novel serial dari empat buah novel, yaitu Laskar Pelangi (2005), Sang Pemimpi

(2006), Edensor (2007), dan Maryamah Karpov (2008) sedangkan Novel

Trilogi Negeri 5 Menara (NTNLM) adalah novel serial dari tiga buah novel, yaitu Negeri 5 Menara (2009), Ranah 3 Warna (2011) dan Rantau 1

Muara (2013). Alasan pemilihan dua novel berseri tersebut berangkat dari sebuah asumsi bahwa kedua novel berseri tersebut adalah novel yang lahir pada era yang sama, yakni era 2000-an dan memiliki tema utama yang sama, yakni pendidikan. Kesamaan keduanya terletak pada ide-ide yang dituangkan dalam cerita yang banyak menyinggung perihal upaya dan kerja keras tokoh dalam kisah demi mencapai cita-cita dan impian masa kecil. Kedua karya tersebut banyak memotivasi generasi muda melalui deskripsi kisah yang menggugah dan membangkitkan semangat.

Atas dasar kesamaan tersebut, cara atau strategi kedua pengarang dalam mengungkapkan gagasan atau idenya dalam novel menjadi hal yang sangat menarik untuk diteliti. Analisis pewujudan gaya bahasa pada dua novel berseri tersebut sangat penting dilakukan untuk mengetahui persamaan atau perbedaan kedua pengarang dalam membungkus pikirannya. Hal ini akan terlihat melalui pilihan kata yang digunakan oleh pengarang. Penelitian ini tidak berhenti pada upaya mengungkap jenis- 6

jenis gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang, melainkan sampai pada analisis cara pengarang mewujudkan gaya bahasa tersebut berdasarkan pilihan kata yang digunakannya.

Selanjutnya, alasan memilih kedua pengarang novel berseri tersebut yakni kedua pengarang tersebut masuk ke dalam deretan nama- nama pengarang yang banyak meraih penghargaan melalui prestasi yang diperoleh dalam menulis novel. Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi adalah pengarang yang mampu menggugah dunia kesusastraan Indonesia dewasa ini. Penggambaran tema, tokoh, dan alur pada dua karya tersebut sama. Tema yang diusung keduanya sangat menarik, yaitu seputar kehidupan sehari-hari di sekitar penulis, mulai dari kisah sulitnya memperoleh pendidikan sampai dengan usahanya meraih cita-cita.

Sebuah perjuangan di dalam dunia pendidikan serta kegigihan dalam menjalani hidup, mereka kisahkan dengan bahasa yang memikat.

Tetralogi Laskar Pelangi mengisahkan perjuangan dan kegigihan sepuluh anak Melayu Belitong yang dinamai Laskar Pelangi, yaitu Lintang,

Ikal, Mahar, Kucai, Trapani, A Kiong, Sahara, Syahdan, Harun, dan

Samson. Andrea Hirata memunculkan ide tentang semangat, perjuangan, mimpi, dan cita-cita melalui potret-potret hidup Ikal dan kawan-kawannya sejak duduk di bangku sekolah dasar sampai melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Kisahnya dimulai dari kehidupan di pedalaman Melayu di

Pulau Belitong hingga ke Prancis yang selanjutnya berakhir pada kisah kehidupan dan pecarian A Ling, yaitu cinta sejati Ikal. Adapun, trilogi 7

Negeri 5 Menara berawal dari kisah tentang enam orang sahabat yang bersekolah di Pondok Madani Ponorogo Jawa Timur. Mereka menamai diri sebagai anggota Sahibul Menara yang terdiri atas Alif, Raja, Said,

Dulmajid, Atang, dan Baso. Mereka datang dari tanah kelahiran untuk menuntut ilmu di sebuah pondok pesantren. Semangat Alif bersama anggota sahibul dalam mengejar cita-cita dikemas secara apik dalam novel berseri ini. Ahmad Fuadi dalam karyanya mengisahkan secara runtut mulai dari masuknya Alif bersama anggotanya ke pondok Madani, kemudian melanjutkan perjalanannya mewujudkan mimpi menjadi

Habibie di sebuah perguruan tinggi di Bandung, sampai pada kisah perjalanan Alif dalam pencarian besar seorang manusia, yakni minat, belahan jiwa, dan makna hidup. Alif yang mulai bekerja tidak berhenti untuk berusaha menggapai benua impiannya, Amerika, hingga dia benar- benar menjadi mahasiswa George Washington University dan dipertemukan dengan Dinara lalu menikah dengan belahan jiwanya itu.

Keberhasilan Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi dalam novel-novel yang ditulisnya dapat dilihat dari penghargaan-penghargaan yang diberikan kepada keduanya sejak novel pertama dari novel berseri itu ditulis sampai novel terakhir. Novel Laskar Pelangi (buku pertama tetralogi

Laskar Pelangi) menjadi buku sastra Indonesia terlaris yang dibaca oleh jutaan pembaca dan memperoleh penghargaan seperti Khatulistiwa

Literaly Award, Paramadina Award, dan Netpac Critics Award. Novel

Laskar Pelangi selain menjadi novel dengan penjualan terlaris di 8

Indonesia juga telah terjual laris di luar negeri seperti di Malaysia dan

Singapura. Novel ini juga telah digarap menjadi sebuah tontonan di dunia perfilman di Indonesia pada tahun 2008 dengan judul yang sama dengan judul novelnya. Film Laskar Pelangi diproduksi oleh Miles Films dan Mizan

Production, digarap oleh sutradara . Skenario adaptasi ditulis oleh

Salman Aristo dan dibantu oleh Riri Riza dan . Ketika difilmkan, novel ini mendapat respon yang sangat baik dari penontonnya.

Hal ini menunjukkan bahwa isi dan amanat dari novel ini sangat menggugah dan karakter para tokoh-tokohnya begitu erat dengan kenyataan hidup sehingga membuat penontonnya terkesima.

Keberhasilan yang diperoleh Andrea Hirata pada novel pertama tetralogi

Laskar Pelangi juga diraih pada novel kedua, ketiga, dan keempat.

Kesuksesan yang diraih oleh Andrea Hirata, juga diraih oleh Ahmad

Fuadi melalui seri trilogi Negeri 5 Menara . Novel Negeri 5 Menara yang sarat dengan nilai-nilai religiusitas dan pendidikan menjadikan novel inspiratif karya Ahmad Fuadi ini sebagai novel dengan penjualan terlaris pada tahun 2009 dengan jumlah kopian mencapai 170.000 eksamplar. Di samping itu, novel Negeri 5 Menara juga mencatat rekor baru sebagai buku lokal paling banyak dicetak sepanjang 36 usia penerbit Gramedia pada tahun 2009, peraih penghargaan buku terfavorit Anugerah Pembaca

Indonesia 2010, dan menjadi nominasi Khatulistiwa Literary Award 2010.

Selain itu, sebuah film yang diadaptasi dari novel Negeri 5 Menara berhasil digarap oleh Kompas Gramedia Production bersama Million 9

Pictures. Skenario ditulis oleh Salman Aristo yang juga penulis naskah film

Laskar Pelangi yang disutradarai oleh Affandi Abdul.

Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi mendayagunakan kemampuan berbahasa yang dimilikinya dengan menggunakan jenis-jenis gaya bahasa yang membungkus pikiran sehingga tampil dengan bahasa yang tidak biasa. Konsep gaya sebagai bungkusan menurut Envikst (dalam Junus,

1898: 9) berawal dari pengertian dari Kenneth Burke dan Paul Goodman yang melihat ada „tulisan yang bergaya‟ di samping tulisan kebanyakan tidak bergaya. Perbedaan kedua tulisan tersebut terletak pada bungkusannya. Tulisan yang bergaya adalah tulisan yang mengandung ketidaklangsungan makna. Gaya bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna oleh Keraf (1990: 129) disebut juga figure of speech yang terdiri atas gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan. Gaya bahasa tersebut meliputi personifikasi, simile, metafora, hiperbola, dan lain-lain. Gaya bahasa ini digunakan oleh Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi dalam mengungkapkan gagasan dan pikiran motivasi inspiratif mereka melalui karyanya. Selanjutnya, pada penelitian ini akan dibandingkan wujud dari jenis-jenis gaya bahasa yang digunakan dalam tetralogi Laskar Pelangi dan trilogi Negeri 5 Menara. Wujud gaya bahasa tersebut menyangkut pilihan kata yang digunakan dalam bergaya bahasa. Analisis terhadap pilihan kata dalam bergaya bahasa yang digunakan kedua pengarang tersebut dilakukan dengan mengklasifikasikan pilihan kata berdasarkan kelas katanya. 10

Hal-hal yang telah dikemukakan sebelumnya menjadi latar belakang dilakukannya penelitian secara lebih mendalam pada dua buah novel dengan judul “Pewujudan Gaya Bahasa dalam Novel Tetralogi

Laskar Pelangi dan Novel Trilogi Negeri 5 Menara: Analisis Stilistika”.

Adapun yang menjadi persoalan pokoknya ialah mendeskripsikan jenis gaya bahasa dan menganalisis pewujudan gaya bahasa dalam NTLP dan

NTNLM, serta mengungkap persamaan dan perbedaan pewujudan gaya bahasa dari kedua novel berseri tersebut.

Beberapa contoh pemakaian gaya bahasa dalam novel Laskar

Pelangi karya Andrea Hirata dapat dilihat berikut ini:

1. Gaya Bahasa Simile berdasarkan Pilihan Kata yang Berkelas Kata

Nomina Anggota Tubuh

(1) Wajahnya coreng moreng seperti emban bagi permaisuri. (LP: 2) (2) Kepala Lintang berputar-putar seperti burung hantu. (LP: 12) (3) Walaupun bola mata jenakanya telah menjadi kusam seperti kelereng diamplas namun intuisi kecerdasannya tetap tajam seperti alap-alap mengintai anak ayam. (LP: 470)

Berdasarkan contoh (1) sampai dengan (3) yang ditampilkan tersebut, tampak penggunaan gaya bahasa simile yang ditandai dengan adanya kata seperti. Contoh (1) menceritakan keadaan wajah yang penuh dengan coret-coret yang tidak karuan dan ini diasosiasikan dengan bentuk seperti emban. Wajah sebagai terbanding berkelas kata nomina khusus anggota tubuh sedangkan emban sebagai pembanding juga berkelas kata nomina. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, kata 11

emban berarti inang pengasuh. Seorang emban pasti berpenampilan yang sangat sederhana sehingga wajah coreng moreng diidentikkan dengan wajah seorang emban permaisuri.

Pada contoh (2) kepala Lintang berputar-putar diibaratkan sebagai burung hantu. Kata kepala sebagai terbanding berkelas kata nomina khusus anggota tubuh sedangkan burung hantu sebagai pembanding juga berkelas kata nomina. Burung hantu adalah salah satu jenis burung yang memiliki kemampuan menggerakkan kepala secara berputar-putar.

Begitulah Lintang yang menggerak-gerakkan kepalanya secara berputar- putar.

Berikutnya yakni contoh (3) bola mata yang diibaratkan kelereng diamplas. Kata mata sebagai terbanding berkelas kata nomina khusus anggota tubuh sedangkan kelereng sebagai pembanding juga berkelas kata nomina. Bola mata diibaratkan kelereng karena dilihat dari bentuknya yang bulat. Selanjutnya, kelereng yang diamplas berarti bola mata yang dalam keadaan lusuh dan usang itu diamplas atau digosok (dilicinkan) dijadikan cerah kembali.

2. Gaya Bahasa Hiperbola berdasarkan Pilihan Kata yang Berkelas Kata

Nomina Anggota tubuh.

(4) Kami menanti liku demi liku cerita dalam detik-detik menegangkan dengan dada berkobar-kobar ingin membela perjuangan para penegak Islam. (LP: 23) (5) Aliran darah di sekujur tubuhku menjadi dingin, jantungku berhenti berdetak sebentar kemudian berdegub kencang sekali dengan ritme yang kacau seperti kode morse meletup- letupkan pesan SOS. (LP: 209) 12

(6) Kurasakan seluruh tubuhku menggigil. Rangka badanku seakan runtuh dan setiap persendian di tubuhku seakan terlepas. (LP: 453)

Contoh (4) sampai dengan (6) menunjukkan adanya penggunaan gaya bahasa hiperbola. Kata dada, jantung, rangka badan dan persendian berkelas kata nomina anggota tubuh yang dihiperbolakan melalui bentuk verba berkobar-kobar , berdetak, runtuh, dan terlepas. Bentuk dada berkobar-kobar pada contoh (4) mendeskripsikan bahwa semangat yang dimiliki pelaku dalam cerita itu begitu menggebu-gebu sehingga dihiperbolakan dengan berkobar-kobar. Contoh (5) penghiperbolaan digunakan untuk menyatakan sebuah keadaan tokoh aku yang sangat menegangkan sehingga dilukiskan seolah-olah jantungnya berhenti berdetak. Jantung yang berhenti berdetak adalah penanda hilangnya nyawa seorang manusia. Adapun contoh (6) tokoh aku mengalami perasaan yang kalut dan pedih digambarkan seolah-olah rangka badannya akan runtuh dan persendiannya terlepas.

Selanjutnya, gaya bahasa dalam novel Negeri 5 Menara karya

Ahmad Fuadi dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

1. Gaya Bahasa Simile berdasarkan Pilihan Kata yang Berkelas Kata

Nomina Anggota Tubuh

(7) …aku melihat seorang laki-laki berbaju putih, bersorban Arafat, berdiri diam kami dihentikan Tyson tadi. Bagai elang mengancam ayam kampung, matanya tajam mengawasi kami (NLM:68) (8) Mukaku centang perenang, rambut awut-awutan, dan badan kotor seperti kerbau dari kubangan. (NLM:137) 13

(9) Raja yang paling ekspresif, tampak mengayun-ayunkan tinjunya di udara sambil berteriak “Allahu Akbar!”. Mukanya seperti kepiting rebus dari keringat memercik dikeningnya yang lebar. (NLM:108)

Contoh (7) sampai dengan (9) tampak menggunakan gaya bahasa simile yang ditandai dengan kata bagai dan seperti . Pada contoh (7) kata mata, sebagai terbanding berkelas kata nomina khusus anggota tubuh.

Demikian halnya kata rambut dan badan pada contoh (8), dan kata muka pada contoh (9) sebagai terbanding yang berkelas kata nomina khusus nomina anggota tubuh. Adapun kata elang, kerbau, dan kepiting sebagai pembanding juga berkelas kata nomina, yakni nomina khusus binatang.

Pada contoh (7) mata yang dimaksudkan adalah mata para penjaga pondok yang dengan ketat mengawasi para santri. Mata Tyson diibaratkan elang yang memiliki kemampuan melihat secara tajam dan jelas jika menghadapi mangsanya. Pada contoh (8) kata muka, rambut, dan badan diibaratkan kerbau dari kubangan. Kerbau yang baru saja keluar dari kubangan itu sangat kotor karena penuh lumpur. Hal ini disamakan dengan muka Alif yang sedang kusut. Adapun contoh (9) kata muka disamakan dengan kepiting rebus. Kepiting yang jika direbus akan berubah warna menjadi kemerah-merahan. Muka Raja yang digambarkan memerah ini mewakili perilaku Raja yang sangat ekspresif, penuh dengan semangat yang berkobar-kobar. Begitulah tokoh Raja digambarkan dengan muka yang merah layaknya kepiting rebus.

2. Gaya Bahasa Hiperbola berdasarkan Pilihan Kata yang Berkelas Kata

Nomina Anggota Tubuh 14

(10) Perawakannya pendek gempal. Menyerupai sang juara tinju kelas berat dunia Mike Tyson- tapi dengan ukuran lebih kecil. Gerakannya sigap dan memburu. Matanya tidak lepas menusuk kami (NLM:65) (11) Sejurus kemudian, sebuah kepala muncul dari balik pintu dan membacakan giliran siapa yang harus masuk. “Alif Fikri…tafadhal”. Jantungku berdebur (NLM:201) (12) Pelan-pelan aku merasa badanku semakin mengecil dan mengecil dan mengkerut hanya menjadi setitik debu yang melayang-layang di semesta luas yang diciptakanNya. (NLM:197)

Contoh (10) sampai dengan (12) menunjukkan adanya penggunaan gaya bahasa hiperbola berdasarkan pilihan kata nomina anggota tubuh seperti mata, jantung, dan badan yang dihiperbolakan atau dilebih-lebihkan dengan verba menusuk, berdebur, dan melayang-layang.

Kata menusuk dalam KBBI V luring berarti mencocok dengan barang yang runcing, sementara pada contoh (10) yang dimaksudkan adalah mata, mata seolah-olah mampu menusuk layaknya benda tajam dan ini dianggap sebagai bentuk yang berlebih-lebihan.

Contoh (11) kata berdebur dalam KBBI V luring berarti mengeluarkan bunyi debur. Debur adalah tiruan bunyi barang besar jatuh ke air, ombak memecah. Pada contoh (11), jantung yang berdebur juga dianggap berlebih-lebihan karena suara detak jantung tidaklah sekeras deruan ombak yang memecah.

Adapun contoh (12) badan yang semakin mengecil, mengkerut dan bisa melayang seperti debu juga dianggap bergaya bahasa hiperbola.

Sekecil apapun tubuh manusia tidak akan mampu melayang-layang dengan sendirinya tanpa bantuan alat khusus. 15

Selain contoh-contoh yang telah dipaparkan sebelumnya, juga ditemukan contoh dengan bentuk hiperbola yang menarik .

(13) Leherku rasanya layu. (NLM :8) (14) Dimulai dengan ayunan ringan kepalanya kearah depan, lalu ayunannya semakin berat sampai lehernya layu dan dagunya menyentuh dada. (NLM:69) (15) Sayang, kumisnya kali ini tampak layu, kalah wibawa dengan kumis para kakak keamanan. (NLM:74)

Contoh (13) sampai dengan (15) menunjukkan adanya penggunaan gaya bahasa hiperbola. Pernyataan leherku rasanya layu pada contoh (13) mendeskripsikan sebuah keadaan badan, yaitu leher yang dalam keadaan tidak sehat. Pilihan kata layu yang digunakan oleh

Ahmad Fuadi pada konstruksi tersebut menjadi tidak biasa. Jika kalimat tersebut diutarakan dengan leherku rasanya lelah, tentu tidak akan menghasilkan reaksi apa-apa dari pembaca. Kata layu yang berkelas kata adjektiva yang menjelaskan nomina anggota tubuh seperti leher dan kumis dikatakan berlebih-lebihan. Pada umumnya, kata layu hanya diperuntukkan untuk tanaman seperti bunga yang sudah tidak segar lagi.

Berdasarkan contoh dalam NTLP dan NTNLM yang diuraikan tersebut, terlihat Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi sama-sama menggunakan bentuk gaya bahasa kiasan simile dan gaya bahasa retoris hiperbola. Penggunaan gaya bahasa simile merupakan ciri pribadi gaya kedua pengarang tersebut. Dengan begitu, jika keduanya memiliki ciri pribadi yang sama berarti tidak ada ciri pribadi diantara keduanya karena ciri pribadi didasarkan pada perbedaan. Yang terlihat jelas dalam kedua novel berseri itu hanyalah ciri sosial atau ciri kelompok. Namun, dari 16

contoh yang ditemukan terlihat perbedaan dari segi cara bersimile keduanya. Dalam NTNLM , Ahmad Fuadi tampaknya bersimile lebih ketat.

Keketatan Ahmad Fuadi dalam novelnya terlihat pada pola yang mulai dibangun dengan penggunaan kata pembanding dengan wujud kelas kata nomina khusus binatang. Jadi, pada beberapa contoh ditemukan wujud gaya bahasa itu berkelas kata nomina dengan mengkhususkan pada nomina binatang sedangkan dalam NTLP gaya bahasa simile yang digunakan Andrea Hirata bersifat lebih longgar. Kelonggaran tersebut terlihat pada penggunaan unsur pembanding yang tidak hanya mengkhususkan pada kelas kata nomina binatang saja, tetapi juga mengkhususkan pada kelas kata nomina yang lain.

Melalui penelitian ini akan diungkap persamaan dan perbedaan gaya bahasa yang digunakan dalam dua novel berseri oleh dua orang pengarang yang memiliki tema novel yang sama. Melalui penelitian ini, jenis gaya bahasa dan cara mewujudkan gaya bahasa yang digunakan oleh Andrea Hirata dalam NTLP dan Ahmad Fuadi dalam NTNLM akan terlihat. Perbedaan jenis dan wujud gaya bahasa kedua pengarang akan melahirkan ciri pribadi masing-masing. Adapun persamaan keduanya akan melahirkan ciri sosial atau ciri kelompok.

17

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan sebelumnya, terdapat beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pewujudan gaya bahasa dalam NTLP dan NTNLM?

2. Bagaimanakah persamaan dan perbedaan pewujudan gaya

bahasa dalam NTLP dan NTNLM?

C. Tujuan Penelitian

Setiap penelitian mempunyai tujuan tertentu dan ada sasaran yang ingin dicapai. Tujuan penelitian ini adalah:

1. Menjelaskan pewujudan gaya bahasa dalam NTLP dan NTNLM.

2. Mengungkap persamaan dan perbedaan pewujudan gaya bahasa

dalam NTLP dan NTNLM.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, baik manfaat secara teoretis maupun praktis.

1. Manfaat Teoretis

a. Memberi sumbangan yang bermakna bagi pengembangan studi

stilistika di Indonesia, khususnya di Program Pascasarjana

Universitas Hasanuddin. Studi stilistika di Indonesia perlu dikaji

secara lebih intensif, terutama pengkajian stilistika terhadap 18

kepengarangan sastrawan-sastrawan Indonesia untuk

menjelaskan perbedaan gaya pengarang yang satu dengan

pengarang lainnya (menyingkap ciri pribadi) dan persamaan

gaya pengarang yang satu dengan pengarang lainnya sebagai

ciri kolektif (menyingkap ciri sosial) berdasarkan aspek linguistik.

Disamping itu, penelitian ini juga bertujuan mengungkap nilai

estetika karya sastra berdasarkan fakta-fakta kebahasaan yang

sengaja dibuat berbeda dari yang biasa atau lazim.

b. Studi ini juga diharapkan dapat memberi manfaat untuk

meningkatkan apresiasi sastra di kalangan masyarakat.Telaah

linguistik sebuah novel diharapkan dapat memberikan masukan-

masukan yang berharga terhadap keperluan kritik sastra.

c. Memberi manfaat terhadap kepustakaan studi sastra yang

berorientasi linguistik. Kajian ini memerikan keunikan atau

kekhasan pewujudan gaya bahasa pada dua buah novel berseri

oleh pengarang yang berbeda.

2. Manfaat Praktis

a. Menumbuhkan minat peneliti lain untuk ikut menggali dan

melestarikan karya-karya sastra Indonesia secara stilistika.

b. Menambah wawasan dan pengetahuan penulis khususnya dan

pembaca umumnya, serta pemerhati sastra mengenai analisis

stilistika pada karya sastra.

19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian pada novel dengan kajian stilistika telah banyak dilakukan, baik dalam bentuk makalah penelitian, skripsi, tesis, maupun disertasi. Begitu pun objek kajian novel Laskar Pelangi dan Negeri 5

Menara juga telah banyak dipilih karena kepopuleran dan nilai kualitas yang tinggi dari kedua novel berseri tersebut. Hasil penelitian yang telah diperoleh pada penelitian sebelumnya dapat menjadi referensi sekaligus menjadi bahan perbandingan agar penelitian ini menjadi peneltian yang berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya.

Di antara penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah peneltian yang telah dilakukan oleh Rahmawati (2012) dengan judul “Gaya Bahasa Andrea

Hirata dalam Dwilogi Padang Bulan: Kajian Stilistika”. Penelitian tersebut berupaya menjelaskan gaya bahasa Andrea Hirata dalam novel dwilogi

“Padang Bulan” berdasarkan tiga fokus, yaitu pilhan leksikal, struktur kalimat, dan langsung tidaknya makna. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya ialah sama-sama melihat gaya bahasa. Perbedaannya terletak pada fokus gaya bahasa yang akan diteliti. Penelitian sebelumnya, memfokuskan pada tiga gaya bahasa, yaitu gaya bahasa berdasarkan pilihan leksikal, gaya bahasa berdasarkan

19 9 20

struktur kalimat, dan gaya bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna.

Adapun penelitian yang akan dilakukan ini, fokus pada analisis jenis gaya bahasa dan wujud gaya bahasa dalam NTLP dan NTNLM. Jadi, berbeda dengan penelitian sebelumnya yang telah meneliti gaya bahasa dari tiga fokus penelitian pada sebuah novel dwilogi “Padang Bulan”, pada penelitian ini akan dianalisis cara pengarang mewujudkan gaya bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna pada dua novel berseri yang bertema sama karya Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi.

Pada penelitian sebelumnya, terungkap bahwa pada gaya bahasa berdasarkan pilihan leksikal dalam novel yang ditulis oleh Andrea Hirata, pengarang memperlihatkan kemampuan sebagai seorang saintis sekaligus sastrawan. Selanjutnya, gaya bahasa dalam struktur kalimat,

Andrea Hirata dalam novelnya memperlihatkan kekhususan dalam mendeskripsikan secara detail latar maupun penokohan. Adapun gaya bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna meliputi gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan.

Adapun penelitian yang juga relevan dengan penelitian ini ialah

“Gaya Bahasa dalam Novel Khadijah Karya Sibel Eraslan Terjemahan

Ahmad Saefuddin dan Kawan-kawan: Tinjauan Stilistika”. Penelitian tersebut ditulis oleh Rismayanti (2016). Penelitian ini menggunakan tinjauan stilistika yang berfokus pada penelitian gaya bahasa kiasan berdasarkan pilihan leksikal dan berupaya mengungkap karakteristik kebahasaannya melalui gaya bahasa kiasan. Hubungan penelitian 21

tersebut dengan penelitian yang akan dilakukan ini terletak pada pengungkapan karakteristik kebahasaan seorang pengarang berdasarkan pilihan leksikal. Perbedaannya, penelitian yang dilakukan Rismayanti mengkhususkan pada gaya bahasa kiasan yang terdapat dalam novel

“Khadijah” sedangkan pada penelitian ini akan diteliti gaya bahasa kiasan dan gaya bahasa retoris yang digunakan oleh Andrea Hiarata dan Ahmad

Fuadi dalam karyanya masing-masing. Hasil penelitian Rismayanti menunjukkan bahwa ada lima belas bentuk gaya bahasa kiasan berdasarkan pilihan leksikal yang ditemukan di dalam novel “Khadijah” dan yang paling sering muncul, yaitu (a) gaya bahasa simile, (b) gaya bahasa personifikasi, dan (c) gaya bahasa metafora. Kemudian pilihan leksikal yang digunakan ada sebelas kelas kata dan yang paling dominan digunakan ialah kelas kata nomina.

Objek utama penelitian ini adalah dua buah novel berseri dari dua orang pengarang. Pengarang tersebut adalah pengarang novel dengan tingkat popularitas karya yang tinggi sejak awal kemunculan karyanya sampai sekarang. Penelitian tentang gaya bahasa pada novel-novel dari kedua pengarang tersebut telah banyak dilakukan dengan fokus penelitian yang berbeda-beda. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh

Dwi Jalu Prasetyo (2014) dengan judul “Studi Komparasi Novel Laskar

Pelangi karya Andrea Hirata dan Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi

(Pendekatan Strukturalisme Robert Stanton)”. Hubungannya dengan penelitian yang akan dilakukan ini, yaitu sama-sama menggunakan studi 22

komparatif. Namun, pendekatan yang digunakan berbeda. Pada penelitian sebelumnya digunakan pendekatan strukturalisme Robert Stanton sedangkan pada penelitian ini digunakan pendekatan stilistika. Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya lebih fokus pada persamaan dan perbedaan yang dibentuk oleh fakta cerita berupa alur, tokoh, latar, sarana cerita berupa sudut pandang dan gaya bahasa, serta persamaan dan perbedaan yang diajarkan melalui tema cerita dalam novel Laskar

Pelangi dan Negeri 5 Menara. Adapun penelitian ini, fokus pada upaya mengungkap persamaan dan perbedaan kedua pengarang dalam dua novel berseri berdasarkan cara pengarang mewujudkan gaya bahasa tersebut melalui pilihan kata yang digunakan.

Penelitian relevan berikutnya yang menggunakan objek penelitian yang sama dengan penelitian ini, yaitu penelitian yang telah dilakukan oleh Ganik Arianti (2011) dengan judul “Hubungan Intertekstual antara

Novel Negeri Lima Menara Karya A. Fuadi dan Laskar Pelangi Karya

Andrea Hirata”. Adapun tujuan penelitian yang dilakukan oleh Ganik

Arianti (2011) ini ialah mendeskripsikan struktur yang membangun novel

Negeri 5 Menara karya A. Fuadi dan novel Laskar Pelangi karya Andrea

Hirata serta mendeskripsikan bentuk intertekstual yang terdapat dalam kedua novel tersebut. Perbedaannya dengan penelitian yang akan dilakukan ini terletak pada sudut pandang analisis yang akan dilakukan.

Pada penelitian yang telah dilakukan oleh Ganik Arianti, kedua novel tersebut (Laskar Pelangi dan Negeri 5 Menara) dianalisis berdasarkan 23

hubungan intertekstualnya sedangkan pada penelitian ini digunakan analisis stilistika yakni analisis pada kedua novel berseri berdasarkan jenis gaya bahasa dan cara gaya bahasa tersebut diwujudkan.

Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Ganik Arianti menunjukkan bahwa (1) struktur yang terjalin dalam novel Laskar Pelangi dan Negeri 5 Menara memiliki aspek-aspek yang saling berkaitan dan menguatkan satu sama lain. Aspek-aspek struktur tersebut secara padu membangun peristiwa dan makna cerita novel. (2) Analisis bentuk intertekstual dalam penelitian ini memasuki wilayah hipogram. Hipogram merupakan karya sastra yang melatarbelakangi lahirnya karya sastra yang berikutnya. Hipogram tersebut meliputi tiga hal, yaitu (a) hipogram ditemukan dalam penokohan yang terbagi menjadi dua, yaitu Ikal (LP) ditransformasikan sebagai Alif (NLM) dan Lintang (LP) ditransformasikan sebagai Baso (NLM), (b) hipogram ditemukan dalam sudut pandang, (c) hipogram ditemukan dalam masalah pendidikan, yang dikhususkan pada pendidikan yang berbasis religi. Dengan demikian, bentuk intertekstual novel Laskar Pelangi dan Negeri 5 Menara dapat dilihat dari segi struktur yang terdapat dalam setiap novel.

Penelitian yang relevan berikutnya ialah penelitian dengan judul

“Analisis Gaya Bahasa Hiperbola dan Personifikasi pada Novel Negeri 5

Menara Karya Ahmad Fuadi” oleh Inieke Kusuma Putri (2013). Hubungan antara penelitian yang telah dilakukan oleh Ineke Kusuma Putri dan penelitian yang akan dilakukan ialah keduanya sama-sama melihat gaya 24

bahasa. Namun, pada penelitian yang dilakukan oleh Inieke Kusuma Putri bertujuan mendeskripsikan gaya bahasa dan makna gaya bahasa hiperbola dan personifikasi yang terdapat dalam novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi. Adapun pada penelitian yang akan dilakukan ini, tidak berhenti pada upaya mendeskripsikan jenis gaya bahasa yang digunakan, melainkan sampai kepada upaya menganalisis cara gaya bahasa tersebut diwujudkan. Disamping itu, fokus peneltian ini tidak hanya pada gaya bahasa Ahmad Fuadi dalam satu novel saja, tetapi novel pertama, kedua dan ketiga dari novel berseri trilogi Negeri 5 Menara akan menjadi objek penelitian.

Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Ineke Kusuma Putri menunjukkan bahwa gaya bahasa hiperbola yang terdapat dalam novel

Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi sebanyak 37 buah dan gaya bahasa personifikasi sebanyak tiga puluh buah. Adapun makna gaya bahasa hiperbola dan personifikasi pada novel Negeri 5 Menara karya Ahmad

Fuadi hanyalah sebagai penegasan dan untuk memperindah gaya bahasa. Sebagai bentuk penegasan dimaksudakan agar pembaca bisa turut merasakan dan menciptakan imajinasi berdasarkan hiperbola dan personifikasi yang ditulis oleh Ahmad Fuadi.Selain itu, penegasan pada novel Negeri 5 Menara digunakan untuk menciptakan image dari penulis itu sendiri agar muncul ciri khas kesusastraan atas karyanya.

Penelitian yang relevan berikutnya ialah penelitian yang dilakukan oleh Eko Marini (2010) dengan judul penelitian “Analisis Stilistika Novel 25

Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata”. Hubungan antara penelitian yang telah dilakukan oleh Eko Marini dan penelitian ini ialah keduanya menggunakan analisis yang sama, yaitu stilistika. Perbedaannya hanya terletak pada salah satu objek penelitian. Pada penelitian yang akan dilakukan, objeknya adalah dua novel berseri sedangkan pada penelitian yang telah dilakukan oleh Eko Marini hanya salah satu dari novel berseri tetralogi Laskar Pelangi yaitu novel pertama yang berjudul Laskar Pelangi.

Penelitian yang yang telah dilakukan oleh Eko Marini bertujuan mendeskripsikan keunikan pemilihan dan pemakaian kosakata, kekhususan aspek morfologis dan sintaksis, dan pemakaian gaya bahasa figuratif yang meliputi: idiom, arti kiasan, konotasi, metafora, metonimia, simile, personifikasi, dan hiperbola yang terdapat dalam novel Laskar

Pelangi sedangkan penelitian yang akan dilakukan bertujuan menganalisis jenis-jenis gaya bahasa dan cara mewujudkan gaya bahasa pada kedua novel berseri tersebut. Tidak berhenti di situ saja, pada penelitian yang akan dilakukan ini juga akan diungkap persamaan dan perbedaan dari kedua novel berseri tersebut. Perbedaan keduanya menunjukkan ciri pribadi setiap pengarang. Adapun persamaan keduanya menjadi ciri sosial atau ciri kolektif dari setiap pengarang.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian relevan yang telah dipaparkan, dapat dikatakan bahwa penelitian dengan analisis stilistika bukanlah penelitian yang baru. Telah banyak penelitian analisis stilistika yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Selain itu, 26

penelitian dengan objek kajian novel Laskar Pelangi dan Negeri 5 Menara juga telah dilakukan sebelumnya. Namun, penelitian yang akan dilakukan ini adalah penelitian dengan analisis stilistika yang lebih mendalam dengan ruang lingkup objek penelitian yang lebih luas. Pada penelitian ini, analisis tidak hanya sampai pada pendeskripsian jenis-jenis gaya bahasa melainkan sampai pada analisis pewujudan gaya bahasa berdasarkan pilihan kata yang digunakan. Tidak hanya itu saja, berdasarkan analisis pewujudan gaya bahasa pada dua novel berseri tersebut akan terungkap persamaan atau perbedaan cara kedua pengarang mendayagunakan kemampuan berbahasa yang dimilikinya melalui pilihan kata yang digunakan dalam bergaya bahasa. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini menjadi penelitian yang berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya dan dianggap sangat penting untuk dilakukan.

B. Landasan Teori

1. Stilistika

Stilistika secara umum dikenal sebagai studi pemakaian bahasa dalam karya sastra. Stilistika mengkaji wacana sastra dengan orientasi linguistik. Stilistika mengkaji cara sastrawan memanipulasi potensi dan kaidah yang terdapat dalam bahasa sehingga memberikan efek tertentu.

Berikut ini uraian lebih lengkap tentang stilistika.

27

a. Sejarah Stilistika

Benih-benih stilistika sudah ada sejak zaman Plato (427-347

SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Cikal bakal itu semacam kajian linguistik tentang proses kreatif dalam kesusasteraan. Teori-teori mengenai style telah dikembangkan. Ada dua aliran yang terkenal, yaitu aliran Platonik dan aliran Aristoteles. Aliran Platonik menganggap style sebagai kualitas suatu ungkapan; menurut mereka ada ungkapan yang memiliki style, ada juga yang tidak memiliki style. Adapun aliran

Aristoteles menganggap bahwa gaya adalah suatu kualitas yang inheren, yang ada dalam setiap ungkapan. Dengan demikian, menurut

Keraf (1990: 112) aliran Plato mengatakan bahwa ada karya yang memiliki gaya dan ada pula karya yang sama sekali tidak memiliki gaya.

Sebaliknya, aliran Aristoteles mengatakan bahwa semua karya memiliki gaya, tetapi ada karya yang memiliki gaya yang tinggi dan ada yang rendah.

Sejarah perkembangan stilistika di dunia Barat tidak bisa dilepaskan dengan sejarah perkembangan retorika. Secara etimologis retorika berasal dari akar kata rhetor (Latin), berarti ahli berpidato. Jadi, retorika adalah seni dan teori berbicara di depan publik. Dalam pengertian luas retorika diartikan sebagai seni, teknik penguasaan sekaligus penggunaan bahasa, baik lisan maupun tulisan.Tujuannya bukan semata-mata melukiskan gagasan tertentu, melainkan untuk membangkitkan emosi, mendorong, memengaruhi agar pendengar 28

mengambil sikap pertentu. Atas dasar ciri-ciri persuasi ini, Hough dalam

(Ratna, 2016: 26) menyimpulkan bahwa “asal usul stilistika adalah retorika bukan puitika”.

Zaman Plato dan Aristoteles sudah terlalu jauh dari zaman kita.

Pada tahun 1916 telah terbit sebuah buku hasil kerjasama sastrawan dan ahli bahasa beraliran Formalisme Rusia dengan buku yang berjudul

The Study ini Theory of Puitics Language. Selanjutnya disusul oleh tulisan Roman Jakobson pada tahun 1923. Ia menulis tentang puisi

Ceko yang menerapkan kriteria semantik modern dalam pengkajian struktur dan pola puisi. Menurut Abrams dalam (Ratna, 2016: 37) popularitas stilistika baru tampak pada tahun 1950-an untuk menggantikan ciri-ciri subjektif dan impresif dengan ciri-ciri objektif saintifik dalam analisis teks sastra.

Di Indonesia, analisis terhadap gaya atau style sastra telah mulai diterapkan sejak tahun 1950-an. Sastra tidak lagi berbicara kaidah tetapi lebih pada perkembangan, khususnya gaya bahasa. Dalam rangka menemukan sejarah perkembangan stilistika di Indonesia, penelusuran buku-buku yang dapat diimplikasikan baik terhadap gaya bahasa maupun stilistika itu harus dilakukan. Buku pertama yang berkaitan dengan gaya bahasa ditulis oleh Slametmuljana. Meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan gaya bahasa dan stilistika, tetapi dikaitkan dengan judulnya yaitu Peristiwa Bahasa dan Peristiwa Sastra

(1956) dapatlah dikatakan bahwa buku tersebut mengawali studi 29

stilistika Indonesia. Menurut Slametmuljana dalam (Ratna, 20016: 39)

“perkembangan mengenai kata-kata berjiwa inlah yang disebut sebagai stilistika”.

Adapun Panuti Sudjiman dalam bukunya yang berjudul Bunga

Rampai Stilistika (1993) secara jelas telah menyinggung makna stilistika, yaitu mengkaji ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra.

Secara singkat, stilistika mengkaji fungsi puitika suatu bahasa. Menurut

Sudjiman, stilistika menjembatani analisis bahasa dan sastra.

Selanjutnya, Gorys Keraf dalam bukunya yang berjudul Diksi dan Gaya

Bahasa (1990) sama sekali tidak menyinggung istilah stilistika tetapi dilihat dari isinya secara keseluruhan mengarah pada pemahaman stilistika yaitu tentang gaya bahasa. Namun, sepanjang buku yang ditulis para ahli tersebut hanya buku Umar Junus yang dapat disebut sebagai buku teks mengenai stilistika dan disajikan dalam satu kesatuan. Buku tersebut berjudul Stilistik Suatu Pengantar (1989) diterbitkan oleh Dewan

Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur.

Pembahasan ini hanya mengemukakan gaya bahasa dan stilistika dalam bentuk buku yang sudah diterbitkan dengan maksud mengetahui seberapa jauh stilistika menjadi pusat perhatian bagi kritikus sastra Indonesia. Namun, dalam beberapa tahun terakhir stilistika sebagai ilmu interdisipliner mulai ditekuni oleh beberapa ahli bahasa. Ini dibuktikan dengan meningkatnya jumlah penelitian tentang stilistika baik berupa jurnal, makalah, skripsi, tesis, disertasi maupun buku. 30

b. Pengertian Stilistika

Secara etimologi stilistika berasal dari bahasa Inggris stylistic yang berarti studi mengenai style „gaya bahasa‟ atau „bahasa yang bergaya‟. Adapun secara istilah, stilistika (stylistics) adalah ilmu tentang penggunaan bahasa dan gaya bahasa dalam karya sastra. Style secara umum adalah cara-cara yang khas dalam mengungkap sesuatu dengan cara-cara tertentu sehingga tujuan yang dimaksudkan tercapai secara maksimal.

Adapun beberapa pengertian stilistika menurut beberapa ahli.

Kridalaksana (2008: 227) memberikan batasan tentang stilistika, yaitu

(1) Ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra; ilmu interdisipliner antara linguistik dan kesusastraan; (2) penerapan linguistik pada penelitian gaya bahasa. Adapun menurut

Junus (1989: 17) bahwa hakikat stilistika adalah studi mengenai pemakaian bahasa dalam karya sastra. Senada dengan pendapat

Junus, Ratna (2016:9) menyatakan bahwa stilistika merupakan ilmu yang menyelidiki cara-cara penggunaan bahasa yang khas dalam karya sastra sehingga menimbulkan efek-efek tertentu. Konsep kekhasan penggunaan bahasa dalam karya sastra berhubungan dengan penggunaan bahasa yang tidak biasa atau berbeda dari konstruksi bahasa sehari-hari. Konsep ini dapat dibawa kepada konsep yang ada pada estetik. Kekhasan penggunaan bahasa dalam karya sastra tersebut adalah gaya yang berupaya dibangun oleh pengarang. Gaya 31

menghasilkan keindahan dalam karya sastra sekaligus merupakan estetik. Dalam hubungan ini, Junus (1989: 14) mengungkapkan bahwa ini akan berhubungan dengan metafora, simile atau perbandingan karena ini dianggap mendatangkan keindahan kepada sesuatu pengucapan bahkan bahasa. Pengucapan dan kumbang berdatangan untuk menghisap madu bunga itu dianggap jauh lebih indah dan lebih berseni dari pada ucapan dan pemuda berdatangan untuk memikat gadis itu. Perbedaan antara keduanya adalah perbedaan bungkusan.

Bungkusan pertama dikatakan lebih indah, lebih berseni atau lebih estetik dibandingkan dengan bungkusan kedua.

Lebih lanjut, Shipley (dalam Ratna, 2016:8) menjelaskan bahwa stilistika (stylistics) adalah ilmu tentang gaya (style). Style berarti alat berujung runcing yang digunakan untuk menulis di atas bidang yang berlapis lilin. Bagi mereka yang dapat menggunakan alat tersebut secara baik disebut sebagai praktisi gaya bahasa yang sukses. Sebaliknya, bagi mereka yang tidak dapat menggunakan alat dengan baik disebut praktisi gaya yang kasar atau gagal. Benda runcing sebagai alat untuk menulis dapat diartikan bermacam-macam. Salah satu diantaranya adalah menggores, melukai, menembus, menusuk, bidang datar sebagai alat tulisan. Konotasi lain adalah „menggores‟ atau „menusuk‟ perasaan pembaca, bahkan juga penulis sendiri sehingga menimbulkan efek tertentu. Inilah yang dijadikan sebagai dasar pemaknaan stilus sebagai 32

gaya bahasa yang sekaligus berfungsi sebagai penggunaan bahasa yang khas.

Kemudian, Sudjiman (1993: 3) berpendapat bahwa “stilistika mengkaji cara sastrawan memanipulasi dengan arti memanfaatkan unsur dan kaidah yang terdapat dalam bahasa dan efek apa yang ditimbulkan oleh penggunaannya itu”. Sekaitan dengan pengertian yang dikemukakan Sudjiman tersebut, Darwis (2009) dalam sebuah artikel jurnal yang berjudul “Kelainan Ketatabahasaan dalam Puisi Indonesia:

Kajian Stilistika” telah mengungkap bahwa kelainan-kelainan ketatabahasaan itu merupakan suatu strategi di dalam penulisan puisi

Indoesia. Hal ini diperlukan untuk mendapatkan bentuk bahasa yang paling kreatif, makna yang lebih dalam, dan/atau kalau dapat menghasilkan rima yang sesuai. Dengan cara demikianlah, bahasa puisi itu memiliki karakteristik tersendiri, berkontras dengan ragam bahasa nonsastra (bahasa public), dan tidak terkesan klise. Selanjutnya hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kelainan ketatabahasaan tersebut ternyata berpola, yang berarti dilakukan sedemikian rupa sebagai realisasi kesanggupan ber(tata)bahasa, bukan akibat kelainan ataupun ketidakpedulian penyair terhadap kaidah-kaidah tata bahasa

Indonesia.

Pada penelitian Darwis tersebut, salah satu pola yang ditemukan adalah pola pelesapan yakni dilesapkannya afiks-afiks tertentu yang biasanya terdapat dalam penggunaan bahasa Indonesia 33

sehari-hari. Adapun afiks-afiks yag kerap dilesapkan, yaitu sufiks –i dan sufiks –kan yang dapat dilihat penggunaannya pada larik kasih tersembelih dan doa membeku // memekat, menghamil dendam

(Nostalgi, 21). Yang sesungguhnya larik tersebut berasal dari konstruksi wajar, yaitu tersembelih dan doa membeku // memekat, menghamili dendam. Adapun contoh larik, jangan resah. Jangan membasah. Bumi kan masih tetap membisu untukku (Nyanyian, 19), yang jika dikonstruksikan sesuai kaidah maka yang seharusnya adalah membasahi bukan membasah. Adapun pelesapan sufiks –kan dapat dilihat pada konstruksi di tubuhku ada luka sekarang, bertambah lebar juga, mengeluar darah (Deru, 40) yang seyogyanya kata mengeluar, tersebut berasal dari konstruksi mengelurkan.

Berdasarkan tulisan tersebut, dapat dikatakan bahwa kemampuan pengarang memanipulasi dalam arti memanfaatkan unsur dan kaidah yang terdapat dalam bahasa itu, diwujudkan dengan yang disebut Darwis sebagai kelainan ketatabahasaan. Kelainan ketatabahasaan menurut Darwis (2009) merupakan hal yang lazim dijumpai dalam penulisan puisi. Di dalamn perpuisian dikenal adanya licenci poetika yaitu kebebasan penyair untuk menyalahi kebiasaan berbahasa sehari-hari, termasuk menyalahi kaidah-kaidah gramatika.

Tambahan lagi juga dikenal adanya estetika penyimpangan, yaitu suatu dorongan untuk senantiasa melakukan penyimpangan dari hal-hal yang sudah dianggap mapan. Dengan berbuat demikian, puisi yang dihasilkan 34

akan senantiasa mengandung kelainan, kebaruan, sekurang-kurangnya terkesan berkontras atau beroposisi dengan bahasa masyarakat umum

(publik). Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa inilah salah satu hakikat dari stilistika.

Adapun pendapat lain mengenai stilistika yang dikemukakan oleh Leech dan Short (1984: 13) bahwa “stilistika adalah studi tentang wujud performansi kebahasaan khususnya yang terdapat dalam karya sastra”. Terakhir, pengertian stilistika yang dikemukakan oleh Aminuddin

(1995:46) adalah “studi tentang cara pengarang dalam menggunakan sistem tanda sejalan dengan gagasan yang ingin disampaikan dari kompleksitas dan kekayaan unsur pembentuk itu yang dijadikan sasaran kajian pada wujud penggunaan sistem tandanya”.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa stilistika adalah ilmu yang mengkaji wacana sastra dengan orientasi linguistik atau dengan kata lain dikatakan bahwa stilistika adalah ilmu yang melihat penggunaan bahasa yang bergaya dalam karya sastra. Stilistika mengkaji cara sastrawan memanipulasi potensi dan kaidah yang terdapat dalam bahasa serta memberikan efek tertentu.

Stilistika merupakan bagian dalam disiplin ilmu linguistik terapan dengan mengkaji sastra dari perspektif linguistik.

35

c. Tujuan Stilistika

Analisis stilistika digunakan untuk menemukan suatu tujuan estetika umum yang tampak dalam sebuah karya sastra dari keseluruhan unsurnya. Analisis stilistika bertujuan menemukan prinsip- prinsip artistik yang mendasari pemilihan bahasa seorang pengarang, sebab setiap penulis memiliki kualitas individu masing-masing (Leech &

Short, 1993: 74). Analisis style tidak sama dengan analisis bahasa yang lazimnya berhenti pada deskripsi berbagai aspek bahasa. Tujuan kajian stilistika adalah menemukan dan menjelaskan ketepatan penggunaan bentuk-bentuk bahasa, baik secara estetis maupun efektivitasnya sebagai sarana komunikasi. Intinya, tujuan stilistika menurut

Nurgiyantoro (2014: 100) adalah menemukan fungsi estetis penggunaan bentuk-bentuk bahasa yang mengandung teks.

Menurut Darwis (2009: 2) stilistika dapat dibagi menjadi dua subbidang, yaitu stilistika linguistik dan stilistika sastra. Persamaan antara stilistika linguistik maupun stilistik sastra terletak pada objek kajiannya yakni bahasa dalam karya sastra karena stilistika adalah kajian terhadap bahasa sastra. Perbedaan keduanya terletak pada tujuan akhir kajian atau penelitian. Orientasi akhir kajian stilistika linguistik berbeda dengan stilistika sastra.

Stilistika linguistik menekankan pada pentingnya menyodorkan fakta-fakta kebahasaan bukan untuk menilai segi estetika yang dikandungnya, melainkan untuk menemukan ciri pribadi atau ciri sosial penyair, sekurangnya[sic]-kurangnya menunjukkan adanya kontras 36

antara bahasa puisi dan bahasa sehari-hari. Adapun stilistika sastra menekankan pada pentingnya pengungkapan nilai estetika karya sastra berdasarkan fakta- fakta kebahasaan yang sengaja dibuat berbeda dari bahasa yang berlaku umum dalam masyarakat. (Darwis, 2009: 2)

Darwis (2002: 91) menyatakan bahwa dalam stilistika linguistik tidak terdapat kewajiban untuk menjelaskan keterkaitan antara pilihan kode bahasa (bentuk linguistik) dan fungsi atau efek estetika atau artistik karya sastra. Stilistika linguistik tidak lain hanyalah berupa penerapan teori linguistik untuk mengungkap berbagai unsur kebahasaan dalam teks sastra.

Adapun stilistika sastra selain mengungkap atau mendeskripsikan berbagai struktur dan bentuk linguistik, yang lebih utama lagi adalah deskripsi efek estetika dan kandungan makna di balik berbagai struktur dan bentuk linguistik tersebut. Yang ditekankan dalam stilistika sastra adalah bagaimana menemukan fungsi sastra, yaitu memberikan efek estetika (puitis). Dalam hal ini, stilistika sastra bertujuan mengungkap hakikat yang terselubung dibalik berbagai fenomena kebahasaan tersebut, hakikat yang menjadi tujuan utama dari sastra, yaitu dulce et utile (menghibur dan bermanfaat) atau dalam istilah

Bressler (1999: 12) disebut to teach (mengajar) dan to entertain

(menghibur). Dengan demikian, penelitian stilistika sastra selain dapat mengungkap efek estetika sebagai buah kreativitas pengarang, juga mampu mengungkap makna di balik bahasa yang estetis tersebut.

37

d. Stilistika dan Kritik Sastra

Pada bagian sebelumnya, telah diberikan pemahaman mengenai

pengertian stilistika. Stilistika adalah ilmu pemanfaatan bahasa dalam

karya sastra. Adapun kritik sastra adalah salah satu bagian ilmu sastra

disamping teori sastra dan sejarah sastra yang bertujuan memberi

penilaian dan memutuskan bermutu tidaknya sebuah karya yang

sedang dikritik. Kritik sastra yang sesungguhnya bukan hanya menilai

saja, melainkan masih ada aktivitas kritikus yang lain yakni

menganalisis karya tersebut.

Abrams dalam buku Pengkajian Sastra (2005: 57)

mendeskripsikan bahwa kritik sastra merupakan cabang ilmu yang

berurusan dengan perumusan, klasifikasi, penerangan, dan penilaian

karya sastra. Stilistika merupakan bagian dari linguistik yang

memusatkan perhatiannya pada variasi penggunaan bahasa, terutama

bahasa dalam kesusastraan. Stilistika dianggap menjembatani kritik

sastra disatu pihak dan linguistik dipihak lain (Sudjiman, 1993: 3).

Hubungan tersebut tercipta karena (1) stilistika mengkaji cara

sastrawan memanipulasi dengan arti memanfaatkan unsur dan kaidah

yang terdapat dalam bahasa dan efek apa yang ditimbulkan oleh

penggunaannya itu, (2) stilistika mengkaji wacana sastra dengan

orientasi linguistik, (3) stilistika meneliti ciri-ciri yang membedakan atau

mempertentangkan wacana sastra dengan wacana nonsastra, dan (4)

stilistika meneliti deviasi dan distorsi terhadap pemakaian bahasa yang 38

normal (dengan metode kontras) dan berusaha menemukan tujuan estetisnya sebagai sarana literer. Dengan kata lain, stilistika meneliti fungsi puitik bahasa.

Analisis kritik sastra terhadap sebuah novel biasanya dimulai dari analisis terhadap unsur instrinsik dan ekstrinsik yang membangun karya sastra tersebut kemudian sampai pada penilaian isi novel. Kritik sastra sebagai penilaian terhadap sebuah karya sastra tidak hanya menilai dari bentuk, isi, dan makna, melainkan juga melihat proses pembuatan karya sastra dengan psikologi pengarang yang menghasilkan sebuah karya (Hermoyo, 2015). Analisis stilistika tidak sampai kepada mengungkap isi maupun makna dari karya sastra tersebut. Analisis stilistika adalah analisis yang melihat cara pengarang mengungkap ide atau gagasan melalui media bahasa. Analisis stilistika berada pada analisis pengungkapan cara pengarang membungkus ide atau gagasan melalui fakta-fakta kebahasaan yang ditampilkan dalam karyanya.

Sudjiman (1993: 5) mengatakan bahwa hubungan kritik sastra dengan analisis stilistika bukan berarti berpretensi menggantikan kritik sastra. Justru sebaliknya, stilistika tidak berpretensi menggantikan kritik sastra. Stilistika membuka jalan untuk kritik sastra yang efektif.

Pengkajian stilistik tidak bermaksud mematikan intuisi karya sastra.

Kajian sastra dengan memanfaatkan teori stilistika hakikatnya berangkat dari pendekatan objektif seperti yang dibicarakan oleh

Abrams dalam bukunya The Mirror and The Lamp (1976: 8). 39

Pendekatan objektif merupakan pendekatan dalam kajian sastra yang

menitikberatkan pada hubungan antarunsur karya sastra. Fokus

pendekatan objektif adalah karya sastra itu sendiri.

Analisis stilistik berusaha menggantikan subjektivitas dan

impresionisme yang digunakan oleh kritikus sastra. Analisis stilistika

dapat dijadikan pedoman dalam mengkaji karya sastra dengan suatu

pengkajian yang relatif lebih objektif dan ilmiah. Dengan demikian,

stilistika berupaya menujukkan bagaimana unsur-unsur suatu teks

berkombinasi membentuk suatu pesan dan menemukan ciri yang

benar-benar memberikan efek tertentu kepada pembaca (pendengar),

tidak hanya sekadar menghitung frekuensi penggunaan sarana-sarana

stilistik dalam suatu karya sastra.

2. Novel sebagai Objek Kajian Stilistika

Novel berasal dari bahasa Italia novella, yang dalam bahasa

Jerman disebut novella, dan dalam bahasa Yunani disebut novellus.

Istilah tersebut kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi novel. Dewasa ini istilah novella mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelette (Inggris: novelette) yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang cakupannya, tidak terlalu panjang juga tidak terlalu pendek. Johson dalam (Faruk, 1994: 46) menyatakan bahwa novel merupakan salah satu jenis karya sastra yang cenderung realistik. Dalam arti luas novel adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas

(Sumardjo, 1997: 29). Ukuran yang luas berarti cerita dengan plot (alur) 40

yang kompleks, susunan cerita yang beragam, dan setting cerita yang beragam pula.

Adapun menurut Aminuddin (2002: 66) menyatakan bahwa novel merupakan bagian dari prosa fiksi yang disebut juga karya fiksi yang berisi kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita. Berdasarkan beberapa pendapat, dapat disimpulkan bahwa novel adalah karya fiksi berupa prosa yang di dalamnya mengandung rangkaian cerita dari kehidupan pribadi penulis dan kehidupan orang-orang yang berada di sekitar penulis. Novel termasuk salah satu bentuk karya sastra yang di dalamnya terdapat nilai-nilai budaya, sosial, moral dan pendidikan. Novel menjadi sebuah media penuangan pikiran, perasaan, dan gagasan penulis dalam merespon kehidupan di sekitarnya.

a. Ciri-ciri Novel

Sebagai salah satu bentuk karya sastra, novel memiliki ciri khas

tersendiri bila dibandingkan dengan karya sastra lain. Dari segi jumlah

kata atau kalimat, novel lebih banyak mengandung kata dan kalimat.

Dari segi panjang cerita, novel lebih panjang dari pada cerpen sehingga

novel dapat mengemukakan sesuatu secara lebih lengkap, lebih rinci,

lebih detail. dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang

kompleks. Berikut ini termasuk ciri-ciri novel yang diperoleh dari situs

http://www.seputarilmu.com/html. 41

1) Ditulis dengan gaya narasi, yang terkadang dicampur deskripsi

untuk menggambarkan suasana.

2) Bersifat realistis, artinya merupakan tanggapan pengarang

terhadap suasana lingkungannya.

3) Bentuknya lebih panjang, biasanya lebih dari 10.000 kosakata.

4) Alur ceritanya cukup kompleks

5) Novel menyajikan lebih dari satu impresi, efek, dan emosi.

Lebih lanjut akan diuraikan ciri bahasa sastra. Bahasa sastra

(puisi dan prosa) adalah bahasa yang bersumber dari ragam bahasa standar yang penggunaannya diatur dalam kaidah tata bahasa standar.

Selanjutnya, hasil dari proses manipulasi penggunaan bahasa tersebut itulah yang disebut bahasa sastra. Hubungan antara bahasa sastra dan bahasa sehari-hari adalah bahasa sastra menggunakan bahasa sehari- hari yang selanjutnya dikonstruksi secara tidak biasa dengan gaya yang khas.

Secara garis besar, ciri ragam bahasa sastra menurut Suharjono yang diakses pada laman www.mercubuana.ac.id sebagai berikut:

1) ragam bahasa sastra lebih mengutamakan unsur-unsur keindahan

seni, penulis cenderung menekankan gaya pengungkapan simbolik

dengan memadukan unsur instrinsik dan ekstrinsik. Artinya bahasa

sastra tidak saja mengungkapkan yang tersurat tetapi juga

mengungkapkan makna yang tersirat; 42

2) pilihan kata dan tata bahasa yang digunakan disesuaikan dengan

suasana yang akan dibangun, memainkan bahasa sedemikian rupa

agar muatan emosi yang terkandung dalam karya sastra dapat

tersampaikan kepada penikmat sastra;

3) bahasa sastra menggunakan bahasa yang konotatif. Dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia (KBBI) laring, konotasi berarti ‟makna

yang ditambahkan pada makna denotasi‟. Nilai konotasi yang lebih

luas dari pengertian denotasi sangat penting dalam karya sastra.

Setiap kata yang dipilih dapat diasosiasikan dengan berbagai

pengertian. b. Unsur-unsur novel

Secara tradisional Nurgiyantoro (2009: 23) membagi unsur-unsur

pembangun novel menjadi dua, yaitu unsur ekstrinsik dan unsur

intrinsik.

Berikut penjelasan tentang unsur-unsur tersebut.

1) Unsur Intrinsik

Unsur instrinsik merupakan unsur utama yang membangun

novel dari dalam. Unsur Intrinsik ini terdiri atas:

a) Tema

Tema merupakan dasar cerita atau gagasan umum dari

sebuah novel (Nurgiyantoro, 2009: 70). Adapun menurut

Stanton (2007: 7) bahwa “tema memberi kekuatan dan

menegaskan kebersatuan kejadian-kejadian yang sedang 43

diceritakan sekaligus mengisahkan kehidupan dalam

konteksnya yang paling umum”. Dengan kata lain, tema

merupakan ide pokok atau permasalahan utama yang

mendasari atau menjiwai jalan cerita novel secara umum. b) Latar (Setting)

Latar (Setting) menurut Abrams (dalam Nurgiantoro,

2009: 216) adalah landasan atau tumpuan yang memiliki

pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial

tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Dengan

kata lain, latar adalah segala keterangan, pengacuan, atau

petunjuk yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan situasi

terjadinya peristiwa dalam suatu cerita. Latar berfungsi sebagai

pemberi kesan realistis kepada pembaca. c) Sudut Pandang

Menurut Nurgiyantoro (2009: 246) “sudut pandang

adalah cara penyajian cerita, peristiwa-peristiwa, dan tindakan-

tindakan pada karya fiksi berdasarkan posisi pengarang di

dalam cerita”. Sudut pandang menurut Nurgiyantoro (2009: 256)

dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sudut pandang persona

ketiga dia dan sudut pandang persona pertama aku. Berikut ini

penjabaran tentang sudut pandang tersebut.

(1) Sudut Pandang Persona Ketiga Dia 44

Penceritaan dengan menggunakan sudut pandang

persona ketiga adalah penceritaan yang meletakkan posisi

pengarang sebagai narator dengan menyebutkan nama-

nama tokoh atau menggunakan kata ganti ia, dia, dan

mereka.

(2) Sudut Pandang Persona Pertama Aku

Sudut pandang persona pertama aku merupakan

sudut pandang yang menempatkan pengarang sebagai aku

yang ikut dalam cerita.

(3) Sudut Pandang Campuran

Sudut pandang campuran adalah sudut pandang

yang menggabungkan antara sudut pandang orang ketiga

dia dan sudut pandang orang pertama aku. d) Alur (Plot)

Alur (plot) merupakan hubungan antarperistiwa yang

bersifat sebab akibat, tidak hanya berupa jalinan peristiwa

secara kronologis (Nurgiyantoro, 2009: 112). Adapun menurut

Stanton (2007: 26) secara umum menyatakan bahwa “alur

merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita”.

Dengan kata lain, alur (plot) merupakan rangkaian peristiwa

atau kejadian dalam novel untuk mencapai efek tertentu. Alur

dibedakan menjadi dua bagian, yaitu alur maju (progresif) dan

alur mundur (flash back progresif). Disebut alur maju (progresif) 45

apabila peristwa bergerak secara bertahap berdasarkan urutan

kronologis menuju alur cerita dan disebut alur mundur (flash

back progresif) apabila peristiwa yang terjadi ada kaitannya

dengan peristiwa yang sedang berlangsung. e) Tokoh dan Penokohan

Istilah tokoh merujuk pada orang atau pelaku dalam

sebuah cerita sedangkan penokohan adalah cara seorang

penulis menampilkan sifat dan watak dari suatu tokoh.

Penokohan menggambarkan karakter untuk pelaku. Pelaku bisa

diketahui karakternya dari cara bertindak, ciri fisik, dan

lingkungan tempat tinggal. f) Gaya Bahasa

Gaya bahasa (style) merupakan cara pengucapan

pengarang dalam mengemukakan sesuatu terhadap pembaca

(Abrams, dalam [Nurgiyantoro, 2009: 276]). Adapun menurut

Stanton (2007: 61) menyatakan bahwa dalam sastra, gaya

adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa. Dengan

kata lain, gaya bahasa adalah alat atau sarana utama

pengarang untuk melukiskan, menggambarkan dan

menghidupkan cerita secara estetika. Gaya bahasa juga dapat

diartikan sebagai cara pengarang mengungkapkan ceritanya

melalui bahasa yang digunakan dalam cerita untuk

memunculkan nilai keindahan. 46

g) Amanat

Amanat atau nilai moral merupakan unsur isi dalam karya

fiksi yang mengacu pada nilai-nilai, sikap, tingkah laku, dan

sopan santun pergaulan yang dihadirkan pengarang melalui

tokoh-tokoh di dalamnya (Kenny, dalam [Nurgiyantoro, 2009:

321]). Amanat adalah pesan moral yang disampaikan seorang

pengarang melalui cerita. Amanat juga disebut sebagai pesan

yang mendasari cerita yang ingin disampaikan pengarang

kepada pembaca.

2) Unsur Ekstrinsik

Unsur Ekstrinsik menurut Nurgiyantoro (2009: 23) adalah unsur

yang berada di luar karya fiksi yang memengaruhi lahirnya karya

tetapi tidak menjadi bagian di dalam karya fiksi itu sendiri. Biasanya

bisa berupa latar pribadi penulis maupun nilai-nilai dari luar. Wellek

dan Werren (dalam Nurgiyantoro, 2009: 24) mengatakan bahwa unsur

ekstrinsik terdiri dari sejumlah unsur antara lain:

a) Biografi pengarang adalah keadaan subjektivitas individu

pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan

hidup yang dapat memengaruhi karya tulisnya dengan kata lain

pengarang juga akan turut menentukan corak karya yang

dihasilkannya.

b) Psikologi berupa psikologi pengarang (yang mencakup proses

kreatifnya), psikologi pembaca, maupun penerapan prinsip 47

psikologi dalam karya yang dapat memengaruhi sebuah karya

fiksi.

c) Keadaan lingkungan pengarang meliputi ekonomi, politik dan

sosial yang juga akan berpengaruh terhadap karya sastra.

d) Pandangan hidup suatu bangsa, berbagai karya seni yang lain

yang juga dapat memengaruhi sebuah karya sastra.

3. Gaya Bahasa

Istilah gaya dikenal dalam semua bidang kehidupan. Dalam kaitannya dengan karya sastra, gaya tidak dapat dipisahkan hubungannya dengan pemakaian atau penggunaan bahasa. Bahasa merupakan media utama bagi karya sastra. Bahasa sastra sebagai media ungkapan perasaan, pikiran, dan batin pengarang berkaitan erat dengan gaya.

Berikut ini penjelasan secara lengkap tentang gaya bahasa.

a. Pengertian Gaya Bahasa

Terdapat sejumlah pengertian gaya bahasa menurut ahli.

Pertama, pengertian gaya bahasa menurut Keraf (1990: 113) yang

menyatakan bahwa “gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara

mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang

memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa)”.

Adapun Aminuddin (1995: 4) memberi penjelasan bahwa gaya bahasa

atau style merupakan teknik serta bentuk gaya bahasa seseorang

dalam memaparkan gagasan sesuai dengan ide dan norma yang

digunakan dan mencirikan pribadi pemakainya. Menurut Dale (dalam 48

Tarigan, 2009:4) berpendapat bahwa gaya bahasa adalah bahasa indah yang digunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta membandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Secara singkat penggunaan gaya bahasa tertentu dapat mengubah serta menimbulkan konotasi tertentu.

Sejalan dengan pendapat beberapa ahli yang lain,

Kridalaksana (2008: 63) memberikan pengertian gaya bahasa atau style adalah (1) pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis; (2) pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efe tertentu; (3) keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra. Adapun pengertian gaya bahasa menurut

Sudjiman (1993: 13) adalah “cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu oleh orang tertentu untuk maksud tertentu”. Terakhir, gaya bahasa menurut Nuryadi (2010) adalah cara seseorang berbahasa, baik secara lisan atau tertulis yang berbeda dengan orang lain. Gaya bahasa ditentukan oleh dua unsur yaitu pilihan kata (diksi) dan pilihan kalimat (sintaksis). Ada seseorang yang kalimatnya tersusun panjang-panjang tetapi ada yang tersusun pendek-pendek.

Contoh dalam bahasa Indonesia, ada seseorang yang lebih senang menggunakan kata senantiasa daripada selalu, ada orang yang lebih senang menggunakan kata sudah daripada telah. 49

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah penggunaan bahasa yang khas dalam karya sastra yang berbeda dari penggunaan bahasa pada umumnya untuk menimbulkan efek tertentu bagi pembaca. Gaya bahasa berkaitan dengan cara pengarang memilih, menata, dan menempatkan kata dalam susunan kalimat sehingga memiliki pengaruh atau efek tertentu bagi pembaca. Gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan leksikal, struktur kalimat, pola rima, matra yang digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam sebuah karya sastra

(Sudjiman,1993: 13). b. Jenis-jenis Gaya Bahasa

Sebelum berkembangnya konsep gaya dalam pandangan modern, jauh sebelum itu tepatnya pada masa sebelum Masehi telah ada konsep tentang gaya. Konsep tersebut dikemukakan oleh Envikst

(dalam Junus, 1989: 5). Menurut Envikst gaya meliputi: (1) gaya sebagai bungkusan, (2) gaya sebagai pilihan kemungkinan, (3) gaya sebagai serangkaian ciri pribadi, (4) gaya sebagai penyimpangan, (5) gaya sebagai sekumpulan ciri kolektif, (6) gaya sebagai hubungan antara satuan bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih luas daripada sebuah kalimat. Menurut Rahmawati (2012: 30) bahwa definisi gaya menurut Enkvist tersebut memperlihatkan pembaharuan dalam konsep modern di definisi 2, 4, dan 6. Definisi 1 merupakan pengaruh dari definisi klasik. Definisi 3 dan 5 merupakan definisi yang 50

diakui kebenarannya dari periode klasik hingga modern. Berikut ini uraian tentang gaya menurut Enkvist.

1) Gaya sebagai Bungkusan

Terdapat beberapa pengertian gaya sebagai bungkusan dari

beberapa ahli yang dikemukakan oleh Envikst. Pertama, Enkvist

(dalam Junus, 1989: 9) mengambil pengertian dari Stendhal yang

mengatakan adanya suatu fikiran yang lebih dulu yang kemudian

diucapkan dengan cara tertentu, atau dibungkus dengan cara

tertentu. Ini dilanjutkan dengan pengertian dari Kenneth Burke dan

Paul Goodman yang melihat ada „tulisan yang bergaya‟ disamping

tulisan kebanyakan yang tidak bergaya. Pengertian gaya ini

bermula dengan memisahkan (a) fikiran yang diucapkan dan (b)

„bungkusan atau cara menyampaikannya‟. Menurut Hendricks

dalam (Junus, 1989: 10) (a) lebih dulu daripada (b), dan (b) hanya

bertugas untuk membungkusnya. Dengan kata lain, memang akan

ada „pengucapan tidak bergaya‟ yang biasanya dihubungkan

dengan pengucapan bukan sastera, meskipun dapat dihubungkan

dengan sebuah karya sastera.

Sekaitan dengan hal tersebut, lebih lanjut Barthes (dalam

Junus, 1989: 10 ) menjelaskan pula bahwa pengertian „gaya

sebagai bungkusan‟ itu membawa kita kepada hubungan yang

mesti ada antara signifiant dan signifie, atau antara „penanda‟ dan

„pertanda‟. Dengan (a) lebih dulu daripada (b), maka petanda lebih 51

dulu daripada penanda. Dengan kata lain, suatu petanda tidak mungkin ada, atau tidak berarti, kalau sebelumnya tidak dibentuk melalui suatu penanda. Suatu penanda dianggap punya petanda yang pasti, yang tidak berubah. Petanda menetukan segalanya.

Berdasarkan pendapat yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa gaya sebagai bungkusan berarti penggunaan bentuk-bentuk bahasa sedemikian rupa dalam mengungkap gagasan atau fikiran. Penggunaan bentuk-bentuk bahasa yang bergaya menjadi sebuah bungkusan terhadap hal yang ada dalam pikiran yang diungkapkan melalui bahasa. Dengan mengatakan „gaya sebagai bungkusan‟, berarti suatu gaya dibedakan dari gaya lain karena bungkusannya.

Kesusasteraan adalah sesuatu yang indah yang juga dihubungkan dengan pengertian seni yang halus. Konsep ini selanjutnya membawa kepada konsep yang ada pada estetik.

Dengan begitu, gaya adalah sesuatu yang mesti menghasilkan keindahan dalam karya sastera yang sekaligus merupakan unsur estetik. Gaya yang mengandung unsur estetik ini berhubungan dengan metafora, simile atau perbandingan karena ini dianggap akan mendatangkan keindahan pada suatu pengucapan bahasa, contoh :

Dan kumbang berdatangan untuk menghisap madu bunga itu. 52

Pengucapan tersebut jauh lebih indah dan lebih berseni

daripada ucapan berikut ini:

Dan pemuda berdatangan untuk memikat gadis itu.

Perbedaan antara keduanya adalah perbedaan bungkusan

dan perbedaan nilai estetik. Bungkusan pertama dikatakan lebih

indah, lebih berseni atau lebih estetik dibandingkan dengan

bungkusan kedua.

2) Gaya sebagai Pilihan Kemungkinan

Pengertian gaya sebagai pilihan kemungkinan berawal dari

peryataan bahwa gaya melibatkan pilihan. Menurut Pavel (1980)

dan Dillon (1980) dalam (Junus,1989: 57) bahwa “tanpa pilihan

tidak mungkin ada gaya”. Gaya itu ada karena ada pilihan. Kita

memilih kemungkinan yang disediakan bahasa. Persoalan pilihan

ada hubungannya dengan persoalan variasi dalam pembicaraan

linguistik.

Ada berbagai pengertian variasi. Pertama, berhubungan

dengan beberapa bentuk yang dianggap tidak berbeda arti atau

memiliki arti yang sama. Ini terkait dengan kata-kata yang

bersinonim. Pemakai bahasa bebas memilih salah satunya. Hal

kedua, suatu bentuk hanya dipakai dalam posisi tertentu. Biasanya

dikatakan variasi terikat. Misalnya antara bentuk afiks mem- dan

me- dalam bahasa Melayu. Hal ketiga, variasi bebas. Misalnya

antara kata tak dan tidak. Ada orang yang menganggap ini tidak 53

melibatkan perbedaan arti. Dengan begitu, untuk sementara kedua

bentuk tersebut berbeda dari variasi. Fenomena keempat,

perbedan antara saya dan aku. Hal kelima, perbedaan antara kata

utuh dan tak pincang. Dalam konteks itu, tidak ada perbedaan arti

dari keduanya. Fenomena keenam, perbedaan dialek. Ini terlihat

pada perbedaan antara tinta dan dakwat. Fenomena ketujuh,

terkait dengan perbedaan masa. Ada kata yang hanya digunakan

dahulu dan kini sudah jarang digunakan. Misalnya kata hatta dan

beradu.

3) Gaya sebagai Serangkaian Ciri Pribadi

Pengertian „gaya sebagai serangkaian ciri pribadi‟ berasal

dari dunia penulis. Oleh karena itu, Enkvist (dalam Junus, 1989: 20)

mulai dengan mengambil pernyataan Buffon Le style, c‟est

I‟homme meme yang berarti „gaya adalah orang (penulis) itu

sendiri‟. Dengan mengatakan demikian, seorang penulis akan

menurunkan tanda tanggannya pada setiap karya yang ditulisnya.

Berdasarkan konsep tersebut dengan mudah pembaca dapat

mengenali karya yang dibacanya dengan hanya melihat

penggunaan bahasa yang menandai pengarang tersebut tanpa

harus mencari tahu siapa pengarangnya. Gaya seorang pengarang

yang mampu mengingatkan pembacanya memperlihatkan

keakraban pembaca dengan gaya pengarang itu. 54

Dengan mengatakan „gaya sebagai serangkaian ciri pribadi‟,

terdapat pemakaian bahasa yang khas yang hanya dimiliki oleh

pengarang tersebut dan tidak ditemukan pada pengarang lainnya.

Disamping mengungkap gaya pribadi pengarang tertentu, tugas

yang lebih berat ialah menerangkan hakikat pribadi yang berarti

tidak mungkin dipunyai oleh orang lain, kecuali kalau orang lain itu

meniru. Tidak sampai disitu saja, analisis gaya pribadi tersebut

sampai pada seberapa jauh penggunaan bahasa pengarang

tersebut berbeda dari yang digunakan oleh pengarang lainnya.

Dengan begitu, berbicara tentang gaya yang merupakan

serangkain ciri pribadi, harus juga berbicara tentang gaya orang

lain sebagai perbandingan.

4) Gaya sebagai Penyimpangan

Ada berbagai pengertian tentang „gaya sebagai

penyimpangan‟. Hakikat utama dari pengertian gaya ini adalah

gaya dianggap sebagai pemakaian bahasa yang „berbeda‟ dari

pemakaian bahasa biasa. Menurut Junus (1989: 36) “gaya

dipahami sebagai pemakaian bahasa yang lain, tetapi mungkin

juga dipahami sebagai pemakaian bahasa yang menyalahi

tatabahasa”. Dalam hal ini, gaya biasa dihubungkan dengan

konsep licentia poetika (kebebasan penyair) yang dipahami

sebagai kebebasan penyair atau penulis untuk melanggar hukum

tatabahasa. 55

Sebenarnya, pengertian gaya sebagai penyimpangan

bahasa adalah sesuatu artifisial (diciptakan dengan sengaja).

Namun, konsep itu telah hidup dalam pemikiran karena lahir

bersama-sama dengan kelahiran sastera modern. Sastera modern

dianggap sebagai mitos pembebasan yang berteraskan kebebasan

dan pemberontakan terhadap segala ikatan. Dengan kata lain,

kebebasan adalah kata kunci untuk kesusasteraan modern itu.

Kebebasan dari segala macam ikatan, termasuk ikatan bahasa

sehingga kebebasan penyair dipahami sebagai kebebasan

menyalahi kebiasaan bahasa. Atas hal tersebut dapat dikatakan

bahwa kesusasteraan sebagai manifestasi kebebasan.

5) Gaya sebagai Sekumpulan Ciri Kolektif

Gaya sebagai sekumpulan ciri kolektif adalah kebalikan dari

gaya sebagai serangkaian ciri pribadi. Pembuktian terhadap

adanya gaya kolektif diberikan dengan mengatakan bahwa tulisan

si A tidak berbeda dari tulisan si B dan C. Jadi, yang diperlihatkan

adalah hal yang sama antara A, B, dan C. Semua penulis dipahami

menulis dengan menggunakan gaya yang sama dan gaya itu

tentunya dianggap berbeda dari pemakaian bahasa biasa.

Pengertian ciri kolektif atau gaya sosial tidak berhubungan dengan

konsep tidak ada gaya. Tetap ada gaya, hanya saja semua penulis

dipahami menulis dengan gaya yang sama (Junus, 1989: 32). 56

Persoalan gaya dengan ciri kolektif atau gaya sosial mesti

dicari pada sekumpulan teks dengan menekankan kepada hakikat

persamaan. Perbedaan dianggap tidak ada atau mesti ditiadakan

dengan menegaskan kemungkinan persamaan yang mungkin ada

antara dua atau lebih teks. Jadi, ini adalah proses kebalikan dari

penentuan gaya peribadi. Jika pada penentuan gaya pribadi

berusaha mencari perbedaan, maka pada bagian ini berusaha

mencari persamaan.

6) Gaya sebagai Hubungan antara Satuan Bahasa yang Dinyatakan

dalam Teks yang Lebih Luas daripada sebuah Kalimat.

Sesuai dengan pengertian stilistik yang berikan yakni

mempelajari penggunaan unsur bahasa dalam karya sastra maka

sebenarnya dalam hubungan ini berhadapan dengan penggunaan

bahasa. Menurut Halliday & Ruqaiva Hasan dalam (Junus, 1989:

75) “penggunaan mengambil tempat dalam wacana”. Tidak ada

penggunaan bahasa di luar wacana. Dengan begitu, wacana

merupakan lapangan penelitian stilistik yang sebenarnya.

Pengertian wacana yang digunakan dalam pembicaraan ini

menurut Junus (1989: 76) yaitu pertama, wacana adalah

pengucapan bahasa yang melebihi satu ayat. Kedua, wacana

berbeda dari teks, dipahami terikat pada unsur bahasa. Ketiga,

wacana juga berbeda dari teks, punya kemungkinan hubungan

dengan genre. Dengan demikian, tumpuan tidak hanya kepada 57

ayat tetapi juga kepada unsur bahasa lainnya bahkan juga pada

sistem tulisan. Dengan begitu, pengertian wacana pada stilistik

lebih luas dari linguistik. Keseluruhan pemakaian bahasa dan ini

memperlihatkan pentingnya wacana pada stilistika.

Selain penjelasan tentang gaya yang dikemukakan Envikst, gaya bahasa menurut Keraf (1990: 115) dapat ditinjau dari segi nonbahasa dan segi bahasa. Dilihat dari sudut bahasa atau unsur- unsur bahasa yang digunakan, maka gaya bahasa dapat dibedakan berdasarkan titik tolak unsur bahasa yang dipergunakan, yaitu:

1) Gaya Bahasa berdasarkan Pilihan Kata

Berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa mempersoalkan kata

mana yang paling tepat dan sesuai untuk posisi-posisi tertentu

dalam kalimat, serta tepat tidaknya penggunaan kata-kata dilihat

dari lapisan pemakaian bahasa dalam masyarakat. Gaya

berdasarkan pilihan kata terdiri atas :

(a) Gaya bahasa resmi adalah gaya dalam bentuknya yang

lengkap, gaya yang digunakan dalam kesempatan-kesempatan

resmi, gaya yang dipergunakan oleh mereka yang diharapkan

mempergunakannya dengan baik dan terpelihara.

(b) Gaya bahasa tak resmi adalah gaya bahasa yang digunakan

dalam bahasa nonstandar, khususnya dalam kesempatan-

kesempatan yang tidak formal atau kurang formal. 58

(c) Gaya bahasa percakapan adalah gaya bahasa yang digunakan

dalam percakapan yang didalamnya memuat kata-kata popular

dan kata-kata percakapan.

2) Gaya bahasa Berdasarkan Nada

Gaya bahasa berdasarkan nada terdiri atas:

(a) Gaya sederhana adalah gaya yang sangat cocok untuk

digunakan dalam memberi instruksi, perintah, pelajaran,

perkuliahan, dan sejenisnya.

(b) Gaya mulia dan bertenaga, gaya ini penuh dengan vitalitas

energi, biasanya digunakan untuk menggerakkan sesuatu.

(c) Gaya menengah adalah gaya yang diarahkan kepada usaha

untuk menimbulkan suasana senang dan damai.

3) Gaya Bahasa berdasarkan Struktur Kalimat

Struktur kalimat yang dimaksud adalah struktur yang

mempertimbangkan letak sebuah unsur kalimat yang dipentingkan

dalam kalimat tersebut. Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat

terdiri atas:

(a) Klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung

urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat

kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya.

(b) Antiklimaks sebagai gaya bahasa merupakan suatu acuan yang

terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. 59

(c) Paralelisme adalah gaya bahasa yang berusaha mencapai

kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang

menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang

sama.

(d) Antitesis adalah sebuah gaya bahasa yang mengandung

gagasan-gagasan yang bertentangan dengan mempergunakan

kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan.

(e) Repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian

kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam

sebuah konteks yang sesuai.

4) Gaya Bahasa berdasarkan Ketidaklangsungan Makna

Gaya bahasa berdasarkan makna diukur berdasarkan

langsung tidaknya makna. Sebuah acuan dilihat berdasarkan tetap

tidaknya makna denotatif kata tersebut. Jika makna denotatif tidak

dipertahankan lagi, berarti ada penyimpangan makna. Gaya

bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna sering disebut

trope atau figure of speech. Istilah trope sebenarnya berarti

„pembalikan‟ atau „penyimpangan‟. Menurut Keraf (1990: 129),

gaya bahasa yang disebut trope atau figure of speech terdiri atas

gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan.

60

(a) Gaya bahasa retoris

Gaya bahasa retoris adalah gaya bahasa yang menyimpang dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu (Keraf, 1990: 129).

Macam-macam gaya bahasa retoris, yaitu:

(1) Asindeton

Asindeton adalah gaya bahasa yang berupa acuan, yang

bersifat padat dan mampat. Kata, frasa, atau klausa yang sederajat

tidak dihubungkan dengan kata sambung.

Contoh:

Dan kesesakan, kepedihan, kesakitan, seribu derita detik-

detik penghabisan orang melepaskan nyawa.

Contoh gaya bahasa asindeton yang ditunjukkan di atas

menjelaskan tentang penderitaan orang yang melepaskan nyawa.

Antara kata yang satu dan kata yang lain tidak dihubungkan dengan

konjungsi melainkan hanya dipisahkan dengan tanda koma.

(2) Polisindenton

Polisindenton adalah gaya bahasa yang merupakan

kebalikan dari asindeton.

Contoh:

Dan kemanakah burung-burung yang gelisah dan tak

berumah dan tak menyerah pada gelap dan dingin yang

bakal merontokkan bulu-bulunya? 61

Berbeda halnya dengan gaya bahasa asindenton, gaya bahasa polisindenton adalah gaya bahasa berupa acuan yang memisahkan kata, frasa dan klausa dengan sebuah konjungsi. Pada contoh di atas, penggunaan gaya bahasa polisindeton ditandai dengan kata penghubung atau konjungsi dan.

(3) Eufemisme

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, eufemisme adalah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar, yang dianggap merugikan atau tidak menyenangkan. Eufemisme itu sendiri diturunkan dari kata

Yunani euphemizein yang berarti „mempergunakan kata-kata dengan arti yang baik atau dengan tujuan yang baik‟. Berdasarkan etimologi tersebut, dapat dikatakan bahwa eufemisme adalah ungkapan- ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang atau ungkapan- ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau mensugesti sesuatu yang tidak menyenangkan.

Contoh:

Ayahnya sudah tak ada di tengah-tengah mereka (= mati).

Contoh gaya bahasa eufemisme di atas menunjukkan penggunaan ungkapan yang lebih halus terhadap kata mati. Jadi, kata mati diganti dengan konstruksi tak ada di tengah-tengah mereka. Penggunaan kata mati dianggap lebih kasar karena secar 62

langsung mengungkap maksud sedangkan ungkapan tak ada di tengah-tengah mereka ungkapannya tidak secara langsung.

(4) Litotes

Litotes adalah gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. Dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, litotes juga dikatakan sebagai pernyataan yang memperkecil sesuatu atau melemahkan, dan menyatakan kebalikannya.

Contoh:

Kedudukan saya ini tidak ada artinya sama sekali.

Penggunaan gaya bahasa litotes di atas menunjukkan ungkapan yang merendahkan sesuatu hal. Contoh di atas menjelaskan tentang kedudukan yang dikatakan tidak ada artinya sama sekali. Padahal, pernyataan tersebut menyatakan hal yang berlawanan dari maksud yang sebenarnya.

(5) Pleonasme dan Tautologi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, pleonasme berarti pemakaian kata-kata yang lebih daripada yang diperlukan sedangkan tautologi adalah pengulangan gagasan, pernyataan, atau kata yang berlebih yang tidak diperlukan. Adapun menurut Keraf (1990: 133) menyatakan “Pleonasme dan tautologi adalah acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan”. 63

Contoh:

Saya telah mendengar hal itu dengan telinga saya sendiri.

Contoh di atas, menunjukkan penggunaan gaya bahasa pleonasme melalui penggunaan kata yang berlebihan daripada yang diperlukan. Contoh tersebut menggunakan kata telinga di samping kata mendengar. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa mendengar adalah fungsi dari telinga sehingga tanpa menggunakan kata telinga pun, informasi dari kalimat tersebut dapat dipahami.

Adapun contoh tautologi dapat dilihat berikut.

Ia tiba pukul 20.00 malam waktu setempat.

Contoh tersebut dikatakan bergaya bahasa tautologi karena terdapat kata yang mengulang kembali gagasan yang sudah disebut sebelumnya. Penggunaan kata malam dianggap sudah tercakup dalam pukul 20.00 sehingga ini dianggap mengandung gaya bahasa tautologi

(6) Erotesis

Erotesis/pertanyaan retoris adalah gaya bahasa yang wujudnya semacam pertanyaan yang dipergunakan dalam tulisan atau lisan dengan tujuan melakukan penekanan yang wajar dan sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban.

Contoh:

Rakyat yang harus menanggung akibat semua korupsi dan

manipulasi Negara ini ? 64

Penggunaan gaya bahasa retoris terlihat pada penggunaan bentuk pertanyaan yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban.

Contoh di atas menunjukkan pertanyaan yang tidak secara langsung memerlukan jawaban. Bentuk pertanyaan di atas sebenarnya telah memperoleh jawaban, yang dibutuhkan hanyalah dukungan terhadap hal yang telah dipertanyakan. Perihal yang menanggung akibat semua korupsi dan manipulasi Negara ini adalah rakyat.

(7) Koreksio

Koreksio/epanotesis adalah gaya bahasa yang berwujud, mula-mula menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya.

Contoh :

Sudah empat kali saya mengunjungi daerah itu, ah bukan,

sudah lima kali .

Contoh gaya bahasa koreksio tersebut menunjukkan konstruksi yang mula-mula menjelaskan tentang kuantitas mengunjungi suatu daerah yakni sebanyak empat kali. Selanjutnya, pernyataan tersebut dikoreksi atau diperbaiki yang ditunjukkan dengan penggunaan frasa ah bukan lalu diikuti jumlah yang benar yaitu sudah lima kali.

(8) Hiperbola

Hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal. Gaya bahasa hiperbola biasa dipakai jika seseorang bermaksud 65

melebihkan sesuatu yang dimaksudkan dibandingkan keadaan yang sebenarnya dengan maksud untuk menekankan penuturannya.

Makna sesuatu yang ditekankan atau dilebih-lebihkan itu sering menjadi tidak masuk akal untuk ukuran nalar yang biasa.

Contoh :

Kemarahanku sudah menjadi-jadi hingga hampir-hampir

meledak aku.

Berdasarkan contoh gaya bahasa hiperbola di atas, terlihat penggunaan bentuk yang berlebih-lebihan pada kata meledak. Ini dianggap berlebih-lebihan karena sebuah kemarahan tidak akan sampai meledakkan seseorang, sementara pada contoh digambarkan demikian.

(9) Paradoks

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, paradoks adalah pernyataan yang seolah-olah bertentangan

(berlawanan) dengan pendapat umum atau kebenaran tetapi kenyataannya mengandung kebenaran. Paradoks adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta- fakta yang ada.

Contoh :

Musuh sering merupakan kawan yang akrab.

Penggunaan gaya bahasa paradoks yang ditunjukkan pada contoh di atas menggambarkan pertentangan maksud antara musuh 66

dan kawan. Kedua kata tersebut menyatakan pertentangan. Namun, pada gaya bahasa paradoks hal tersebut bisa terjadi. Faktanya, musuh sering kali menjadi kawan untuk hal-hal tertentu. Jadi, dari segi makna denotatif kedua kata tersebut dianggap berlawanan, namun pada kenyataannya mengandung kebenaran.

(10) Oksimoron

Oksimoron adalah gaya bahasa yang berusaha untuk menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek yang bertentangan.

Dengan kata lain, oksimoron adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan dengan mempergunakan kata-kata yang berlawanan dalam frasa yang sama. Oleh sebab itu, sifatnya lebih padat dan tajam dari paradoks.

Contoh :

Keramah-tamahan yang bengis.

Gaya bahasa oksimoron pada contoh di atas ditunjukkan melalui frasa keramah-tamahan yang bengis. Pada contoh ini, terlihat adanya pengontrasan antara kata keramah-tamahan dengan kata bengis yang disusun secara lebih padat melalui sebuah frasa. Makna kata ramah-tamah sangat berlawanan dengan bengis. Dalam KBBI laring, kata ramah bermakna „baik hati dan menarik budi bahasanya; manis tutur kata dan sikapnya suka bergaul dan menyenangkan sedangkan kata bengis bermakna „bersifat keras tanpa belas kasihan kepada manusia atau binatang; suka berbuat aniaya; kejam‟. 67

Berdasarkan makna kedua kata tersebut, terlihat pertentangan

makna yang dikandung keduanya.

(b) Gaya Bahasa Kiasan

Gaya bahasa kiasan adalah gaya bahasa yang maknanya mengalami penyimpangan yang lebih jauh. Menurut Keraf (1990: 138-

145) gaya bahasa kiasan meliputi:

(1) Simile

Nurgiyantoro (2014: 219) menyatakan bahwa simile adalah

sebuah majas yang mempergunakan kata-kata pembanding

langsung atau eksplisit untuk membandingkan sesuatu yang

dibandingkan dengan pembandingnya. Antara sesuatu yang

dibandingkan dan pembandingnya itu tidak sama, baik secara

kualitas, karakter, sifat, maupun sesuatu yang lain sehingga yang

antara pembanding dan yang terbanding kelihatan sama. Ada

beberapa kata tugas tertentu yang berfungsi sebagai penanda

keeksplisitan pembandingan, yaitu seperti, sama, sebagai, bagaikan,

laksana, baik, dan sebagainya.

Contoh :

Bibirnya seperti delima merekah.

Contoh di atas menunjukkan penggunaan gaya bahasa

simile dengan penanda linguistik kata seperti. Contoh ini

membandingkan secara eksplisit kata bibir dan delima. Bibir yang

merah berasosiasi dengan delima yang merekah. 68

(2) Metafora

Metafora adalah bentuk pembandingan yang bersifat tidak langsung atau tidak eksplisit. Menurut Baldic dalam Nurgiyantoro

(2014: 224), metafora adalah bentuk pembandingan antara dua hal yang dapat berwujud benda, fisik, ide, sifat, atau perbuatan dengan benda, fisik, ide, sifat, atau perbuatan lain yang bersifat implisit.

Contoh :

Perpustakaan gudang ilmu.

Penggunaan gaya bahasa metafora pada contoh di atas menunjukkan adanya perbandingan antara kata perpustakaan dan gudang ilmu. Hubungan yang erat antara perpustakaan dan gudang ilmu diwujudkan tanpa menggunakan penanda linguistik yang menyatakan perbandingan. Hal inilah yang membedakan gaya bahasa simile dengan gaya bahasa metafora.

(3) Personifikasi

Personifikasi merupakan bentuk pemajasan yang memberi sifat-sifat benda mati seperti sifat-sifat kemanusiaan. Artinya sifat yang diberikan itu sebenarnya hanya dimiliki oleh manusia dan tidak untuk benda-benda atau makhluk nonhuman yang tidak bernyawa dan tidak berakal (Nurgiyantoro, 2014: 235). Personifikasi adalah jenis majas yang melekatkan sifat-sifat insan kepada barang yang tidak bernyawa.

69

Contoh :

Mentari mencubit wajahku

Adanya pelekatan sifat manusia pada benda-benda tidak bernyawa menjadi sebuah penanda adanya gaya bahasa personifikasi. Contoh di atas menunjukkan mentari sebagai benda tidak bernyawa seolah-olah mampu melakukan aktivitas mencubit layaknya manusia sehingga contoh ini tergolong bergaya bahasa personifikasi.

(4) Antonomasia

Antonomasia merupakan bentuk khusus dari sinekdoke yang berwujud penggunaan sebuah epiteta untuk menggantikan nama diri, gelar resmi, atau jabatan dari nama diri atau nama yang sebenarnya.

Contoh :

Yang Mulia tak dapat menghadiri pertemuan ini.

Contoh di atas menunjukkan penggunaan gaya bahasa antonomasia yang ditandai dengan penggunaan frasa Yang Mulia.

Frasa tersebut menggantikan nama diri, gelar resmi, atau jabatan dari nama diri atau nama yang sebenarnya.

(5) Alusio

Alusio adalah semacam acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan antara orang, tempat, atau peristiwa.

Biasanya, alusio ini adalah satu referensi yang eksplisit atau implisit kepada peristiwa-peristiwa, tokoh-tokoh, atau tempat dalam 70

kehidupan nyata, mitologi, atau dalam karya-karya sastra yang terkenal.

Contoh :

Kartini kecil itu turut memperjuangkan persamaan haknya.

Berdasarkan penggunaan contoh gaya bahasa alusio tersebut terlihat penggunaan kata Kartini. Kartini merupakan satu referensi eksplisit yang dibandingkan dengan sosok yang memiliki kesamaan karakter dengan tokoh Kartini. Kartini adalah sosok perempuan yang mempelopori kebangkitan perempuan pribumi.

Frasa Kartini kecil yang dimaksudkan pada contoh tersebut merujuk kepada sosok yang memiliki karakter yang sama dengan Kartini.

(6) Eponim

Eponim adalah suatu gaya bahasa seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat orang tersebut.

Contoh :

Semua pekerjaan menjadi mudah berkat Hercules.

Gaya bahasa eponim ditandai dengan adanya kata

Hercules. Hercules digunakan untuk menyatakan kekuatan.

Berdasarkan contoh tersebut semua pekerjaan dikatakan menjadi mudah jika ada Hercules. Hercules merujuk kepada orang atau sosok yang memiliki kekuatan yang sama dengan Hercules.

71

(7) Epitet

Epitet adalah gaya bahasa yang menyatakan suatu sifat atau ciri khusus dari seseorang atau suatu hal. Keterangan itu adalah suatu frasa deskriptif yang menjelaskan atau menggantikan nama seseorang atau suatu barang.

Contoh :

Putri malam itu tampak sangat indah menghiasi langit

malam.

Gaya bahasa epitet ditandai dengan penggunaan frasa putri malam. Frasa putri malam digunakan untuk menyatakan bulan. Pada contoh tersebut, bulan dikatakan tampak sangat indah menghiasi langit malam .

(8) Sinekdoke

Sinekdoke adalah suatu istilah yang diturunkan dari kata

Yunani synekdechesthai yang berarti „menerima bersama-sama‟.

Sinekdoke adalah bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari suatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum pro parte).

Contoh :

Setiap kepala dikenakan sumbangan sebesar Rp 1.000,00.

72

Gaya bahasa sinekdoke pada contoh menunjukkan sebagian dari suatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) . Hal ini ditandai dengan penggunaan frasa setiap kepala.

(9) Metonimia

Metonimia diturunkan dari kata Yunani meta yang berarti

„menunjukan perubahan‟ dan onoma yang berarti „nama‟. Dengan demikian, metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain karena mempunyai pertalian yang sangat dekat.

Contoh :

Ibu ke pasar naik Toyota.

Contoh di atas menunjukkan penggunaan gaya bahasa metonimia yang ditandai dengan penggunaan kata toyota yang menyatakan nama atau merek sebuah mobil. Pada contoh tersebut, dijelaskan bahwa ibu ke pasar naik Toyota. Kata mobil yang seyogyanya melekat pada kata Toyota dilesapkan sehingga yang tampil hanyalah nama atau merek mobil tersebut.

(10) Hipalase

Hipalase adalah gaya bahasa yang menggunakan kata tertentu untuk menerangkan sebuah kata yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata yang lain.

Contoh

Ia berbaring di atas sebuah bantal yang gelisah. 73

Gaya bahasa hipalase ditandai dengan adanya penggunaan sebuah kata yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata yang lain. Gaya bahasa hipalase pada contoh tersebut ditandai dengan penggunaan kata gelisah sebagai keterangan dari kata bantal.

Sebenarnya yang gelisah adalah manusianya, bukan bantalnya.

(11) Alegori dan Parabel

Alegori adalah cerita yang dikisahkan oleh alam dengan lambang-lambang dan merupakan metafora yang diperluas dan berkesinambungan, tempat atau wadah objek-objek atau gagasan yang diperlambangkan. Adapun parabel (cerita yang berkaitan dengan Kitab Suci) juga merupakan alegori singkat yang mengandung pengajaran mengenai moral dan kebenaran. Parabel merupakan metafora yang diperluas.

Contoh :

Cerita Adam dan Hawa

Cerita Abraham

Cerita Yusuf

(12) Fabel

Fabel adalah suatu metafora berbentuk cerita mengenai dunia binatang. Binatang-binatang bahkan makhluk-makhluk yang tidak bemyawa bertindak seolah-olah sebagai manusia.

74

Contoh :

Kancil dengan buaya

Contoh tersebut menunjukkan penggunaan gaya bahasa fabel. Hal ini ditandai dengan penggunaan nomina binatang kancil dan buaya.

(13) Ironi

Ironi atau sindiran adalah gaya bahasa yang mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Ironi merupakan suatu upaya literer yang efektif karena menyampaikan impresi yang mengandung pengekangan yang besar.

Contoh :

Saya tahu Anda adalah seorang gadis yang paling cantik di

dunia ini yang perlu mendapat tempat terhormat!

Penggunaan gaya bahasa ironi berdasarkan contoh yang diberikan menunjukkan adanya maksud yang berlainan dari penggunaan kalimat seorang gadis yang paling cantik. Seorang gadis yang dikatakan paling cantik tersebut sebenarnya mengandung maksud yang berlainan. Gadis paling cantik memiliki maksud gadis yang tidak cantik atau gadis yang jelek.

(14) Sarkasme

Sarkasme merupakan suatu acuan yang lebih kasar daripada ironi. Sarkasme adalah suatu acuan yang mengandung 75

kepahitan dan celaan yang getir. Sarkasme dapat saja bersifat ironis, dapat juga tidak, tetapi yang jelas bahwa gaya bahasa ini selalu akan menyakiti hati dan kurang enak didengar. Kata sarkasme diturunkan dan kata Yunani sarkasmos, yang lebih jauh diturunkan dan kata kerja sakasein yang berarti „merobek-robek daging seperti anjing‟,

„menggigit bibir karena marah‟, atau „berbicara dengan kepahitan‟.

Contoh :

Dasar otak udang, disuruh melakukan pekerjaan yang

sangat mudah seperti ini saja kau tidak bisa. Lalu apa yang

kaubisa?

Penggunaan gaya bahasa sarkasme ditandai dengan penggunaan kata atau frasa yang menunjukkan celaan yang bersifat sangat kasar. Berdasarkan contoh yang diberikan, gaya bahasa sarkasme ditandai dengan bentuk ungkapan dasar otak udang.

(15) Inuendo

Inuendo adalah gaya bahasa sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya.

Contoh :

Setiap kali ada pesta, pasti ia akan sedikit mabuk karena

terlalu kebanyakan minum.

Berdasarkan contoh yang diberikan, terlihat pengecilan kenyataan yang sebenarnya. Frasa sedikit mabuk merupakan bentuk pengecilan kenyataan dari kebanyakan minum. Jadi kenyataan yang 76

sesungguhnya adalah jika banyak minum, tentu akan menyebabkan mabuk besar.

(16) Antifrasis

Antifrasis adalah gaya bahasa ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya, yang bisa saja dianggap sebagai ironi sendiri atau kata-kata yang dipakai untuk menangkal kejahatan roh jahat, dan sebagainya.

Contoh :

Lihatlah sang Raksasa telah tiba (maksudnya si Cebol!)

Gaya bahasa antifrasis hampir sama dengan ironi melalui pembalikan makna sebuah kata. Berdasarkan contoh yang diberikan, terlihat penggunaan frasa sang raksasa dengan maksud sebenarnya adalah si cebol.

(17) Paronomasia/pun

Paronomasia/pun adalah kiasan dengan mempergunakan kemiripan bunyi.

Contoh :

Tanggal dua gigi saya tinggal dua

“Engkau orang kaya!”“Ya, kaya monyet!”

Kemiripan bunyi yang ditunjukkan berdasarkan contoh yang diberikan adalah penggunaan kata tanggal dan tinggal serta penggunaan kata kaya yang dianggap sama bunyi dengan kata kayak. 77

4. Kata, Frasa, dan Klausa

Dalam tataran morfologi, kata merupakan satuan terbesar dan satuan terkecil adalah morfem. Adapun dalam tataran sintaksis, kata merupakan satuan terkecil yang secara hierarkial menjadi komponen pembentuk satuan sintaksis yang lebih besar, yaitu frasa. Kata merupakan pembentuk satuan sintaksis yang lebih besar, yaitu frasa, klausa, dan kalimat. Sebagai satuan terkecil dalam sintaksis, kata berperan sebagai pengisi fungsi sintaksis, sebagai penanda kategori sintaksis, dan sebagai perangkai dalam penyatuan satuan-satuan atau bagian-bagian dari satuan sintaksis. Menurut Ramlan (1989: 23) “Kata adalah satuan bahasa yang paling kecil yang merupakan lambang atau tanda bahasa yang bersifat mandiri secara bentuk dan makna”.

Selanjutnya, frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang bersifat nonpredikatif. Frasa juga lazim disebut gabungan kata yang tidak melebihi batas fungsi. Adapun menurut Ramlan (2001: 139) frasa adalah satuan gramatik yang terdiri atas satu kata atau lebih dan tidak melampaui batas fungsi atau jabatan. Artinya, sebanyak apapun kata tersebut asal tidak melebihi jabatannya sebagai subjek, predikat, objek, pelengkap, atau pun keterangan, maka masih bisa disebut frasa. Berdasarkan definsi itu dapat dikemukakan bahwa frasa mempunyai dua ciri, yaitu (1) merupakan satuan gramatik yang terdiri atas dua kata atau lebih, dan (2) tidak melebihi batas fungsi unsur klausa. 78

Berikutnya, unsur kebahasaan yang berada pada tataran lebih rendah daripada kalimat dan berada pada tataran yang lebih tinggi daripada frasa disebut klausa. Klausa ialah satuan gramatikal berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas subjek (S) dan predikat (P), dan berpotensi menjadi kalimat. Unsur inti klausa adalah subjek dan predikat. Klausa merupakan unsur kalimat. Klausa hanya memiliki unsur segmental yang menjadi subjek dan predikat dan tidak memiliki unsur prosodi yang berupa intonasi. Yang membedakan klausa dan kalimat adalah intonasi final pada akhir satuan bahasa itu. Kalimat diakhiri dengan intonasi final sedangkan klausa tidak diakhiri intonasi final.

Intonasi final itu dapat berupa intonasi berita, tanya, dan perintah. Bila sudah ada intonasi, maka fenomena itu bukan lagi klausa, melainkan sudah merupakan kalimat.

5. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia

Menurut Kridalaksana (2008: 116), kelas kata (word class, part of speech) adalah golongan kata yang mempunyai kesamaan dalam berperilaku formal, klasifikasi atas nomina, adjektiva, verba, dsb. Itu diperlukan untuk membuat pengungkapan kaidah gramatikal secara sederhana. Ciri-ciri formal kelas kata berbeda dari satu bahasa ke bahasa lain; misalnya dalam bahasa Indonesia, verba memiliki fungsi utama sebagai predikat, verba mengandung makna inheren perbuatan, proses atau keadaan yang bukan sifat atau kualitas, verba khususnya yang bermakna keadaan tidak dapat diberi prefiks ter- yang berarti „paling‟, 79

pada umumnya verba tidak dapat bergabung dengan kata-kata yang menyatakan makna kesangatan. Adapun adjektiva adalah kata yang memberikan keterangan yang lebih khusus tentang sesuatu yang dinyatakan oleh nomina dalam kalimat (Alwi dkk, 2003: 171). Selanjutnya, nomina memperoleh batasan salah satunya adalah tidak dapat diingkarkan dengan kata tidak .

Pembagian kelas kata menurut Kridalaksana (1994: 51) ada tiga belas jenis, yaitu (1) verba (kata kerja), (2) adjektiva (kata sifat), (3) nomina (kata benda), (4) pronominal (kata ganti), (5) numeralia (kata bilangan), (6) adverbial (kata keterangan), (7) interogatif (kata tanya), (8) demonstrative (kata tunjuk), (9) artikula (kata sandang/sebutan), (10) preposisi (kata depan), (11) konjungsi (kata penghubung), (12) kategori fatis, (13) interjeksi (kata seru). Berikut ini dijelaskan satu per satu. a. Verba

Verba adalah kata atau kelompok kata yang digunakan untuk

menggambarkan atau menyatakan suatu perbuatan, kejadian,

peristiwa, eksistensi, pengalaman, keadaan, dan pertalian antara dua

benda. Kata dikatakan berkategori verba jika dalam frasa dapat

didampingi bentuk ingkar tidak dalam konstruksi dan tidak dapat

didampingi kata depan di, ke, dan dari atau kata-kata yang

menunjukkan superlatif seperti: sangat, lebih, dan agak.

Berdasarkan bentuknya, verba dapat dibagi menjadi beberapa

bagian, yaitu: 80

1) Verba Dasar Bebas

Verba dasar bebas merupakan verba yang berupa morfem dasar

bebas.Contoh: tidur, duduk, makan, minum, dsb.

2) Verba Turunan

Verba turunan merupakan verba yang telah mengalami proses

morfologis (afiksasi,reduplikasi, gabungan proses). Bentuk turunannya,

yaitu:

a) Verba berafiks, antara lain: bernyanyi, bertaburan, bersentuhan,

berdandan, kerinduan, kecelakaan, memasak, bekerja.

b) Verba bereduplikasi, antara lain: lari-lari, maju-maju, dan pergi-

pergi.

c) Verba berproses gabungan, antara lain: bercanda-canda,

terbayang-bayang, berandai-andai.

d) Verba majemuk, antara lain: cuci mata, campur tangan, unjuk

gigi. b. Adjektiva

Dalam bahasa Indonesia adjektiva memiliki ciri-ciri yang

memungkinkanya untuk (1) bergabung dengan kata tidak, (2)

mendampingi nomina atau (3) didampingi kata-kata yang menunjukkan

arti superlatif seperti lebih, sangat, agak, (4) dapat hadir berdampingan

dengan kata lebih...daripada... atau paling untuk menyatakan tingkat 81

perbandingan, (5) mempunyai ciri-ciri morfologis seperti –i, –er, -if,

(6) dapat dibentuk menjadi nomina dengan konfiks ke-an, (7) dapat berfungsi predikatif, atributif, dan pelengkap.

Adjektiva berdasarkan bentuknya terdiri atas tiga, yaitu:

1) Adjektiva dasar, antara lain: besar, cantik, cerdas, dsb.

2) Adjektiva turunan, antara lain: elok-elok, insani, manusiawi, dsb.

3) Adjektiva majemuk. antara lain: murah hati, baik buruk, tua muda,

dsb.

Subkategorisasi adjektiva, dibagi ke dalam dua macam kategori, yakni:

1) Ajektiva predikatif adalah ajektiva yang dapat menempati posisi

predikat dalam klausa. Contohnya susah, hangat, sulit, mahal.

2) Ajektiva atributif adalah ajektiva yang mendampingi nomina dalam

frase nomina. Contohnya nasional.

Pada umumnya adjektiva predikatif dapat berfungsi secara atributif sedangkan adjektiva atributif tidak dapat berfungsi secara predikatif.

1) Ajektiva bertaraf adalah adjektiva yang dapat berdampingan

dengan agak, sangat, dan sebagainya. Contohnya pekat, makmur.

2) Ajektiva tak bertaraf yakni adjektiva yang tidak dapat berdampingan

dengan agak, sangat, dan sebagainya. Contohnya nasional,

interen.

82

c. Nomina

Nomina adalah kategori yang secara sintaksis tidak mempunyai

potensi untuk bergabung dengan kata tidak dan mempunyai potensi

untuk didahului oleh kata depan dari. Menurut Waridah (dalam

Rismayanti, 2016: 36) , “Nomina atau kata benda adalah kata yang

mengacu pada manusia, binatang, benda, dan konsep atau

pengertian.”

1) Bentuk Nomina

a) Nomina dasar, seperti: batu, kertas, manga, kemarin, udara.

b) Nomina turunan

(1) Nomina berafiks seperti keuangan, keadilan dan perpaduan.

(2) Nomina reduplikasi seperti rumah-rumah, batu-batu, buku-

buku.

(3) Nomina hasil gabungan proses, seperti batu-batuan,

kesinambungan.

c) Nomina yang berasal dari berbagai kelas kata karena proses,

yaitu: (1) deverbalisasi, seperti: permandian, penganggur,

pelajaran, pengajaran; (2) deakjetivalisasi, seperti: ketinggian

dan leluhur; (3) denumeralisasi, seperti: kesatuan dan

kesebelasan,(4) deadverbialisasi, seperti: keterlaluan, kelebihan

d) Nomina paduan leksem, seperti daya juang, loncat indah, tertib

acara. 83

e) Nomina paduan leksem gabungan, seperti pengambilalihan,

pendayagunaan, ketatabahasaan.

2) Subkategorisasi

a) Nomina Bernyawa dan Tak Bernyawa

Nomina bernyawa dapat disubtitusikan dengan ia atau

mereka sedangkan yang tak bernyawa tidak dapat.

Kridalaksana (1994: 69) membagi nomina bernyawa menjadi

nomina persona (insan) dan flora dan fauna. Nomina persona

diartikan sebagai nomina yang memiliki ciri sintaksis dapat

disubtitusikan dengan ia, dia, atau mereka dan dapat didahului

partikel si sedangkan nomina flora dan fauna memiliki ciri

sintaksis tidak dapat disubtitusikan dengan ia, dia, dan mereka

dan tidak dapat didahului partikel si kecuali yang

dipersonifikasikan seperti si kancil, si kambing.

Kelompok dalam nomina persona, yaitu (1) nama diri

seperti Ismai Yusanto, Hilmi Aminuddin, Said Aqil Siradj, dsb;

(2) nomina keakraban (hubungan darah) seperti nenek, ibu,

bapak, paman, adik, kakak;(3) nomina yang menyatakan orang

atau yang diperlakukan sebagai orang seperti tuan, raksasa,

malaikat, hantu ; (4) nama kelompok manusia seperti Jepang,

Melayu, Minangkabau, Asmat; (5) nomina tak bernyawa yang

dipersonifikasikan seperti DPR (nama lembaga). 84

Nomina nonpersona atau nomina tak bernyawa terdiri

atas beberapa bagian, yaitu (1) nama lembaga seperti DPR,

MPR, KPK ; (2) nama geografis seperti Bali, Jogja, Jawa,

Timur, hulu, utara; (3) waktu seperti Sabtu, Agustus, tahun

1991, pukul 24, sekarang, dulu, nanti, besok, kemarin; (4) nama

bahasa seperti bahasa Indonesia, bahasa Arab, bahasa Jawa,

bahasa Ibrani; (5) ukuran atau takaran seperti karung, kardus,

kotak, kilometer, kiloliter; (6) tiruan bunyi seperti: dentum,

desing, gelegar, denting, kokok. b) Nomina Terbilang dan Tak Terbilang

Yang dimaksud dengan nomina terbilang ialah nomina

yang dapat dihitung dan dapat pula didampingi oleh numeralia

seperti kantor, kampung, kandang, meja, kursi, buku, pensil,

air, biji jagung (catatan : biji-bijian dan cairan serta tepung-

tepungan harus dihitung dengan menggunakan takaran).

Nomina tak terbilang adalah nomina yang tidak dapat

didampingi oleh numeralia seperti udara, kemanusiaan,

keberhasilan; termasuk juga nama diri: Gayus Tambunan dan

nama geografis : Gaza, Palestina. c) Nomina Kolektif dan Bukan Kolektif

Nomina kolektif mempunyai ciri dapat disubtitusikan

dengan mereka atau data diperinci atas anggota atau atas

bagian-bagian. Nomina kolektif terdiri atas nomina dasar: 85

tentara, keluarga, dan nomina turunan seperti wangi-wangian,

tepung-tepungan, biji-bijian. Nomina bukan kolektif adalah

nomina yang tidak dapat diperinci atas bagian-bagiannya

seperti orang, Hatta Rajasa.

3) Pemakaian Nomina

a) Penggolong benda yang dipakai bersama dengan numeralia

untuk menandai kekhususan nomina tertentu. Orang adalah

nomina penuh sedangkan seorang dalam seorang manusia

adalah penggolongan untuk manusia.

b) Nomina tempat dan arah, seperti: kanan, depan, belakang,

barat, timur.

c) Nomina bunyi, seperti: denting, dentum, deru, deram, desis,

dengung.

d) Makian, seperti: anjing, monyet, setan

e) Sapaan, seperti:

(1) Nama diri seperti mari ke sini Ali

(2) Nomina kekerabatan: Pak, apa artinya ini ?

(3) Gelar dan pangkat seperti selamat pagi, Prof .

(4) Kata pelaku yang berbentuk pe- + V seperti pendengar yang

terhormat.

(5) Bentuk nomina + -ku: seperti Oh, Tuhanku, sayangilah

hamba.

(6) Nomina lain seperti Yang Mulia mau ke mana ? 86

f) Kuantita seperti jengkal, langkah, ikat, onggok, tusuk.

g) Ukuran, seperti: gram, liter, meter, inci.

h) Penunjuk waktu seperti: pagi, siang, sore, petang, malam,

minggu, tahun, bulan, abad. d. Pronomina

Pronomina adalah kategori yang berfungsi untuk menggantikan

nomina. Apa yang digantikan itu disebut anteseden. Berikut ini adalah

subkategorisasi pronomina.

1) Dilihat dari hubungannya dengan nomina, yaitu ada atau tidaknya

anteseden dalam wacana. Berdasarkan hal itu, pronomina dibagi

menjadi:

a) Pronomina Intertekstual

Bila anteseden terdapat sebelum pronomina itu dikatakan

anaforis tetapi bila anteseden muncul sesudah pronomina, hal

itu disebut kataforis.

Contoh anaforis: Pak Arif sepupu Bapak. Rumahnya dekat.

b) Pronomina ekstratekstual

Pronomina ekstratekstual merupakan pronomina yang

menggantikan nomina yang terdapat di luar wacana, bersifat

deiktis.

Contoh: Itu yang kukatakan.

87

2) Dilihat dari jelas atau tidaknya referen, pronomina dapat dibagi

atas:

a) Pronomina Taktrif

Pronomina taktrif menggantikan nomina yang referennya jelas.

Pronomina ini terbatas pada pronomina persona. Contoh : saya,

kamu, ia, dsb.

b) Pronomina Tak Takrif

Pronomina tak taktrif menggantikan nomina yang referennya

tidak jelas. Contoh: sesuatu, seseorang, barang siapa, siapa,

apa, apa-apa. e. Numeralia

Numeralia adalah kategori yang dapat (1) mendampingi nomina

dalam konstruksi sintaksis, (2)mempunyai potensi untuk mendampingi

numeralia lain, (3) tidak dapat bergabung dengan tidak atau sangat.

Subkategorisasi numeralia itu yakni:

1) Numeralia Takrif

Numeralia takrif adalah numeralia yang menyatakan jumlah

yang tentu.

a) Numeralia utama (kardinal)

Numeralia utama terdiri atas (1) bilangan penuh seperti satu,

dua, tiga, dst, (2) bilangan pecahan seperti dua pertiga, tiga

perempat, lima perdua, (3) bilangan gugus seperti bilangan

antara 20 dan 30, selikur = 21. 88

b) Numeralia tingkat adalah numeralia takrif yang melambangkan

urutan dalam jumlah dan berstruktur ke + Num.

Contoh: Catatan ketiga sudah diperbaiki.

c) Numeralia Kolektif adalah numeralia takrif yang berstruktur ke +

Num, ber- + N, ber- + NR, ber- + Num R atau Num + -an.

Contoh : ketiga perkara itu telah disidangkan. (ke + Num)

2) Numeralia Tak Takrif

Numeralia tak takrif adalah numeralia yang menyatakan

jumlah yang tak tentu. Misalnya berapa, sekalian, semua, segenap. f. Adverbia

Adverbia adalah kategori yang dapat mendampingi ajektiva,

numeralia, atau proposisi dalam konstruksi sintaksis. Adverbia tidak

boleh dikacaukan dengan keterangan karena adverbia merupakan

konsep kategori sedangkan keterangan merupakan konsep fungsi.

Bentuk adverbia ada enam, yakni:

1) Adverbia dasar bebas, contoh: alangkah, agak, akan, belum, bisa.

2) Adverbia turunan, yang terbagi atas:

a) Adverbia turunan yang tidak berpindah kelas terdiri atas:

adverbia bereduplikasi, seperti jangan-jangan, lagi-lagi dan

adverbia gabungan, misalnya belum boleh, tidak boleh tidak.

b) Adverbia turunan yang berasal dari pelbagai kelas terdiri atas:

adverbia berafiks, seperti terlampau, sekali dan adverbia dari 89

kategori lain karena reduplikasi, misalnya akhir-akhir, sendiri-

sendiri

c) Adverbia deajektiva, misalnya benar-benar dan lambat-lambat.

d) Adverbia denumeralia, misalnya dua-dua

e) Adverbia deverbal, misalnya kira-kira, tahu-tahu

3) Adverbia yang terjadi dari gabungan kategori lain dan pronomina,

misalnya rasanya, rupanya, sepertinya.

4) Adverbia deverbal gabungan, misalnya ingin benar, tidak

terkatakan lagi.

5) Adverbia deajektival gabungan, misalnya tidak lebih, kerap kali.

6) Gabungan proses, misalnya : se- + A + -nya: sebaiknya,

sebenarnya, sesungguhnya. g. Interogatif

Interogatif adalah kategori yang berfungsi menggantikan

sesuatu yang ingin diketahui oleh pembicara atau mengukuhkan apa

yang telah diketahui pembicara. Apa yang ingin diketahui dan apa

yang dikukuhkan itu disebut antesenden (ada di luar wacana) dan

karena baru akan diketahui kemudian, interogativa bersifat kataforis.

1) Interogatif dasar: apa, bila, kapan, mana.

2) Interogatif turunan: bagaimana, bagaimanakah, berapa, betapa,

bilamana, bilakah, bukankah, dengan apa, di mana, ke mana,

manakah, mengapa, siapa, yang mana.

3) Interogatif terikat: kah dan tah. 90

h. Demonstratif

Demonstratif adalah kategori yang berfungsi untuk

menunjukkan sesuatu (antesenden) di dalam maupun di luar wacana.

Berdasarkan hal itu, demonstratif dibagi atas:

1) Demonstratif intratekstual (demonstrative endoforis) menunjukkan

sesuatu yang terdapat dalam wacana. Contohnya, itu, begitu, ini,

begini.

2) Demonstratif ektratekstual (demonstrative eksoforis) menunjukkan

sesuatu yang ada di luar bahasa, dan dibagi atas jauh dekatnya

anteseden dari pembicara. Contoh :sini, situ, di sini, di sana. i. Artikula

Artikula dalam bahasa Indonesia adalah kategori yang

mendampingi nomina dasar misalnya si kancil, sang matahari, para

pelajar. Misalnya pada nomina deverbal (si terdakwa, si tertuduh),

pronomina (si dia), dan verba pasif (kaum tertindas, si tertindas).

Berdasarkan ciri semantis gramatikal artikula dibedakan

menjadi:

1) Artikula yang bertugas untuk mengkhususkan nomina singularis.

(Si, Sang, Sri, Hang dan Dang)

2) Artikula yang bertugas untuk mengkhususkan suatu kelompok.

(Para, Kaum, Umat).

91

j. Preposisi

Preposisi adalah kategori yang terletak di depan kategori lain

(terutama nomina) sehingga terbentuk frasa eksosentris direktif. Ada

tiga jenis preposisi, yaitu:

1) Preposisi dasar (tidak dapat mengalami proses morfologis) contoh :

di, ke, dan dari.

2) Preposisi turunan, terbagi atas: gabungan preposisi dan preposisi

(di atas gedung, di muka bumi, di tengah-tengah kota), serta

gabungan preposisi dan nonpreposisi (...dari...ke...;

sejak...hingga...; dari...sampai...; antara...dan...).

3) Preposisi yang berasal dari kategori lain (misalnya pada dan tanpa)

termasuk beberapa preposisi yang berasal dari kelas lain yang

berafiks se- (selain, semenjak, sepanjang, sesuai, dsb). k. Konjungsi

Konjungsi adalah kategori yang berfungsi untuk meluaskan

satuan lain dalam kontruksi hipotaktis dan selalu menghubungkan dua

satuan lain atau lebih dalam kontruksi. Konjungsi menghubungkan

bagian-bagian ujaran yang setataran maupun yang tidak setataran.

Menurut posisinya konjungsi dapat dibagi menjadi dua bagian,

yaitu.

1) Konjungsi Intrakalimat adalah konjungsi yang menghubungkan

satuan-satuan kata dengan kata, frasa dengan frasa, atau klausa

dengan klausa. Contoh : dan, atau , tetapi, sedangkan, dsb. 92

2) Konjungsi Ektrakalimat

a) Konjungsi intratekstual, yaitu konjungsi yang menghubungkan

antara kalimat dan kalimat atau antara paragraf dan paragraf,

yaitu: akan tetapi, bahkan, sementara itu, dsb.

b) Konjungsi ektratekstual, yaitu konjungsi yang menghubungkan

antara dunia di luar bahasa dan wacana, yaitu: alkisah. l. Kategori Fatis

Kategori fatis adalah kategori yang bertugas memulai,

mempertahankan, atau mengukuhkan komunikasi antara pembicara

dan lawan bicara. Kelas kata ini terdapat dalam dialog atau wawancara

bersambutan, yaitu kalimat-kalimat yang diucapkan oleh pembicara

dan lawan bicara. Sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam

bahasa lisan. Ragam bahasa lisan pada umumnya merupakan ragam

nonstandar sehingga kebanyakan kalimat-kalimat nonstandar banyak

mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional.

Bentuk-bentuk kategori fatis misalnya pada awal kalimat “Kok

kamu melamun?”, di tengah kalimat, misalnya “Dia kok bisa ya menulis

puisi seindah ini?”, dan di akhir kalimat, misalnya “Aku juga kok!”.

Kategori fatis mempunyai wujud bentuk bebas, misalnya kok, deh,

atau selamat, dan wujud bentuk terikat, misalnya –lah atau pun.

Bentuk dan Jenis kategori fatis, dapat diuraikan berikut ini :

1) Partikel dan Kata Fatis Contoh: (Ah, ding, halo, deh, kek, kok, dll.)

2) Frase Fatis. Contoh: terima kasih, insya Allah. 93

m. Interjeksi

Interjeksi adalah kategori yang bertugas mengungkapkan

perasaan pembicara dan secara sintaksis tidak berhubungan dengan

kata-kata lain dalam ujaran. Interjeksi bersifat ekstrakalimat dan selalu

mendahului ujaran sebagai teriakan yang lepas atau berdiri sendiri.

Jenis-jenis interjeksi dapat diuraikan berikut:

1) Interjeksi seruan atau panggilan minta perhatian: ahoi, ayo, eh, hai,

halo, dsb.

2) Interjeksi keheranan atau kekaguman seperti aduhai, amboi,

astaga, asoi, wah,dsb.

3) Interjeksi kesakitan dan kesedihan seperti aduh.

4) interjeksi kekecewaan dan sesal seperti ah, brengsek, buset.

5) Interjeksi kekagetan, seperti lho, masyaallah, astagfirullah.

6) Interjeksi kelegaan seperti alhamdulillah, nah, syukur.

7) Interjeksi kejijikan seperti bah, cih, idih, ih.

94

B. Kerangka Pikir

Objek dari penelitian ini adalah NTLP karya Andrea Hirata dan

NTNLM karya Ahmad Fuadi. Kedua novel berseri tersebut termasuk dalam jenis novel motivasi yang di dalamnya memuat nilai-nilai pendidikan. Kemudian, dalam penelitian ini dianalisis jenis-jenis gaya bahasa dan pewujudan gaya bahasa dalam NTLP dan NTNLM.

Penelitian ini menggunakan analisis stilistika. Peran stilistika dalam penelitian ini sangatlah penting dalam memahami cara pembentukan gaya bahasa tersebut. Pada penelitian ini, dianalisis strategi bergaya bahasa yang dilakukan pengarang dalam dua novel berseri yang telah dipilih tersebut. Strategi bergaya bahasa yang dimaksud adalah pilihan kata yang membentuk gaya bahasa yang digunakan dalam kedua novel berseri tersebut.

Pilihan kata bukan hanya berupa kata, bisa saja frasa, ungkapan, atau bahkan kalimat. Pada penelitian ini dijelaskan jenis-jenis gaya bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna yang dikemukakan oleh

Keraf. Jenis gaya bahasa tersebut adalah gaya bahasa kiasan dan gaya bahasa retoris. Selanjutnya, analisis dilanjutkan pada pewujudan gaya bahasa yang digunakan dalam mengungkap gagasan atau pikiran.

Pewujudan gaya bahasa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pemilihan kata berdasarkan kelas kata yang dikemukakan oleh

Kridalaksana. Melalui analisis pilihan kata dalam gaya bahasa pada kedua novel berseri tersebut, selanjutnya akan terungkap persamaan dan 95

perbedaan cara bergaya bahasa Andrea Hirata dalam NTLP dan Ahmad

Fuadi dalam NTNLM

Perbedaan penggunaan pilihan kata dalam gaya bahasa NTLP dan

NTNLM mengarah pada pengungkapan ciri atau gaya pribadi dari setiap pengarang. Selanjutnya, persamaan penggunaan pilihan kata dalam gaya bahasa kedua novel berseri tersebut mengarah pada terungkapnya ciri bersama (sosial) atau ciri kolektif pengarang.

96

BAGAN KERANGKA PIKIR

Teks NTLP Karya Andrea Hirata dan NTNLM Karya Ahmad Fuadi

Stilistika

Bentuk Pilihan Kata Bentuk Pilihan Kata NTLP NTNLM

Gaya Bahasa

Jenis Gaya Bahasa Pewujudan Gaya Bahasa

Gaya Bahasa Kelas Kata Gaya Bahasa Kiasan Retoris Verba

Simile Asidenton Adjektiva Personifikasi Nomina Polisindenton Metafora Eufemisme Pronomina Antonomasia Numeralia Litotes Eponim Pleonasme Adverbia Epitet Interogatif Tautologi Koreksio Erotesis Demonstratif Metonimia Artikula Koreksio Paradoks Hiperbola Preposisi Alegori Konjungsi Paradoks Ironi Oksimoron Kategori Fatis Sarkasme Interjeksi

Satire Inuendo Antifrasis Paronomasia/pun

Persamaan dan Perbedaan Pewujudan Gaya Bahasa dalam NTLP dan NTNLM

97

C. Definisi Operasional

Untuk lebih mengarahkan penelitian ini, berikut dikemukakan beberapa istilah strategis yang digunakan dalam tulisan ini beserta batasannya. a. Gaya bahasa

Gaya bahasa yang digunakan dalam tulisan ini adalah gaya

bahasa yang berkaitan dengan ciri khas penggunaan bahasa oleh

seorang pengarang yang berbeda daripada penggunaan bahasa

sehari-hari. b. Gaya sebagai ciri pribadi

Gaya sebagai ciri pribadi dalam tulisan ini adalah pilihan

seorang pengarang untuk menggunakan bentuk bahasa tertentu yang

berbeda dengan pengarang lainnya yang akan menjadi ciri pribadi atau

kekhasan bahasa pengarang tersebut. c. Gaya sebagai sekumpulan ciri kolektif

Maksud gaya sebagai sekumpulan ciri kolektif dalam tulisan ini

adalah pilihan bentuk-bentuk bahasa yang mencirikan sebuah

kelompok pengarang. d. Pewujudan gaya bahasa

Pewujudan gaya bahasa dalam tulisan ini adalah cara atau

strategi yang digunakan oleh pengarang dalam mewujudkan gaya

bahasa teroris dan gaya bahasa kiasan.

98

e. Pilihan kata

Pilihan kata dalam tulisan ini adalah pemakaian kata yang tepat

untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan pada imajinasi

pembaca atau pendengar. Pilihan kata meliputi penggunaan kata

(perihal kelas kata), persoalan fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan

yang memiliki nilai artistik tinggi. f. Kelas Kata

Kelas kata adalah golongan kata yang mempunyai kesamaan

dalam perilaku formalnya. Di antara kelas kata yang dimaksud dalam

tulisan ini, yaitu: nomina, verba, adjektiva, pronominal, numeralia, dll. g. NTLP

NTLP adalah novel seri Laskar Pelangi karya Andrea Hirata

yang terdiri atas empat novel, yaitu Laskar Pelangi (2005), Sang

Pemimpi (2006), Edensor(2007) , dan Maryamah Karpov(2008). Novel-

novel tersebut diterbitkan oleh Bentang Pustaka. h. NTNLM

NTNLM adalah novel seri Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi

yang terdiri atas tiga novel, yaitu Negeri 5 Menara (2009), Ranah 3

Warna(2011), dan Rantau 1 Muara(2013). Novel-novel tersebut

diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama.

99

BAB III

METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan jenis penelitian, sumber data, populasi, sampel, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan teknik penyajian hasil penelitian.

A. Jenis Penelitian

Berdasarkan jenisnya, penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta- fakta kebahasaan berupa gaya bahasa dalam NTLP karya Andrea Hirata dan NTNLM karya Ahmad Fuadi. Menurut Sudaryanto (1988: 62), deskriptif dilakukan semata-mata hanya berdasarkan fakta yang ada atau fenomena yang memang hidup pada penutur-penuturnya sehingga yang dihasilkan atau yang dicatat berupa perian bahasa yang biasa dikatakan sifatnya sebagai potret, paparan seperti apa adanya.

B. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini ialah karya sastra berupa novel berseri dari dua orang pengarang, yaitu NTLP karya Andrea Hirata dan

NTNLM karya Ahmad Fuadi. NTLP terdiri atas empat buah novel, yaitu novel Laskar Pelangi berjumlah 529 halaman, novel Sang Pemimpi berjumlah 289 halaman, novel Edensor berjumlah 294 halaman dan novel

Maryamah Karpov berjumlah 290 halaman. Adapun NTNLM terdiri atas

99 100

tiga buah novel, yaitu novel Negeri 5 Menara berjumlah 423 halaman, novel Ranah 3 Warna berjumlah 473 halaman dan novel Rantau 1 Muara berjumlah 407 halaman.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan atau sekelompok, gejala, peristiwa atau objek yang memiliki sifat atau karakteristik untuk diteliti. Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan bentuk penggunaan gaya bahasa yang terdapat dalam dua novel berseri, yaitu NTLP dan NTNLM yang diperoleh melalui pembacaan teks-teks novel secara keseluruhan.

2. Sampel

Menurut Sugiyono (2008: 116) “sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut”. Penarikan sebagian dari populasi disebut sampel. Sampel penelitian ini diambil sebanyak 3-5 data untuk tiap pengategorian wujud gaya bahasa berdasarkan klasifikasi jenis gaya bahasa. Pengambilan sampel dilakukan secara purposif. Pengambilan data secara purposif menurut Sugiyono adalah teknik untuk menentukan sampel penelitian dengan beberapa pertimbangan tertentu yang bertujuan agar data yang diperoleh nantinya bisa lebih representatif. Data yang diambil ialah data yang dapat mewakili populasi yang ada.

101

D. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak dengan teknik catat. Metode simak digunakan dengan mencermati dan memahami kalimat-kalimat dalam NTLP dan NTNLM yang menunjukkan adanya penggunan gaya bahasa. Selanjutnya, teknik catat sebagai lanjutan dari metode simak digunakan untuk mencatat data yang telah diperoleh. Data tersebut dicatat pada kartu data yang telah disiapkan untuk dianalisis lebih dalam. Adapun langkah-langkah pengumpulan data dilakukan sebagai berikut:

1) Membaca dengan cermat teks NTLP dan NTNLM untuk menemukan

kalimat yang mengandung gaya bahasa.

2) Menandai kalimat yang mengandung gaya bahasa dengan

menggunakan pensil.

3) Mencatat kalimat yang telah ditandai tersebut ke dalam kartu data.

E. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh melalui teknik catat selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif dan komparatif, yakni melukiskan dan menggambarkan apa adanya data yang diperoleh dari penelitian kemudian membandingkan penggunaan gaya bahasa dan pewujudan gaya bahasa. Analisis data dalam penelitian ini dimulai dengan cara pengkajian setiap teks novel. Hal ini dimaksudkan untuk melihat 102

persamaan dan perbedaan jenis-jenis gaya bahasa berdasarkan pilihan kata yang ada pada NTLP dan NTNLM

Data yang telah teridentifikasi atau yang telah dicatat pada kartu data akan diklasifikasikan berdasarkan jenis gaya bahasa yang digunakan. Analisis pewujudan gaya bahasa dilakukan berdasarkan pilihan kata yang digunakan sehingga diperoleh gambaran persamaan dan perbedaan gaya bahasa yang digunakan dalam NTLP karya Andrea

Hirata dan NTNLM karya Ahmad Fuadi. Perbandingan tersebut berupa persamaan dan perbedaan jenis-jenis gaya bahasa bahasa dan pewujudan gaya bahasa NTLP karya Andrea Hirata dan NTNLM karya

Ahmad Fuadi.

103

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian pewujudan gaya bahasa dalam NTLP karya Andrea

Hirata dan NTNLM karya Ahmad Fuadi merupakan upaya menelaah jenis gaya bahasa (gaya bahasa kiasan dan gaya bahasa retoris) dan pewujudan gaya bahasa (pilihan kata berdasarkan kelas kata) yang digunakan dalam kedua novel berseri tersebut. Di samping itu, penelitian ini juga berupaya mengungkap persamaan dan perbedaan pewujudan gaya bahasa pada kedua novel berseri tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam NTLP ditemukan delapan jenis gaya bahasa kiasan, yaitu (1) simile, (2) personifikasi, (3) metafora, (4) metonimi, (5) sarkasme, (6) antonomasia, (7) eponim, dan

(8) paronomasia, serta enam jenis gaya bahasa retoris, yaitu (1) hiperbola, (2) litotes, (3) asindeton , (4) polisindenton, (5) erotesis, dan (6) koreksio. Adapun dalam NTNLM ditemukan enam jenis gaya bahasa kiasan, yaitu (1) simile, (2) personifikasi, (3) metafora, (4) metonimi, (5) antonomasia, dan (6) eponim, serta dua jenis gaya bahasa retoris, yaitu

(1) hiperbola dan (2) erotesis. Gaya bahasa tersebut diwujudkan melalui sembilan jenis kelas kata yang digunakan sebagai pilihan katanya.

Sembilan jenis kelas kata tersebut adalah (1) nomina, (2) verba, (3) adjektiva, (4) pronomina, (5) interogatif, (6) numeralia (7) artikula, (8) konjungsi, dan (9) adverbia.

103 104

Persamaan dan perbedaan kedua novel berseri tersebut akan dilihat berdasarkan jenis gaya bahasa (kiasan dan retoris) dan pilihan kata

(kelas kata) yang digunakan dalam mewujudkan gaya bahasa tersebut.

Berikut ini uraian tentang pewujudan gaya bahasa kiasan dan gaya bahasa retoris tersebut.

Pada NTLP, gaya bahasa simile diwujudkan melalui (1) pilihan kata yang berkelas kata verba yang terdiri atas verba dasar bebas, verba tak transitif, verba reduplikasi berubah bunyi dan verba berproses gabung (2) pilihan kata yang berkelas kata nomina terdiri atas nomina anggota tubuh, nomina bunyi, nomina persona, dan nomina fauna, (3) pilihan kata yang berkelas kata adjektiva hanya berupa adjektiva dasar, dan (4) pilihan kata yang berkelas kata pronomina terdiri atas pronomina persona pertama tunggal, pronomina persona pertama jamak, pronomina persona ketiga tunggal, dan pronomina persona ketiga jamak. Adapun pada NTNLM gaya bahasa simile diwujudkan melalui (1) pilihan kata yang berkelas kata verba yang terdiri atas verba intransitif dan verba berproses gabung, (2) pilihan kata yang berkelas kata nomina yang terdiri atas nomina anggota tubuh, nomina bunyi, dan nomina persona, dan (3) pilihan kata yang berkelas kata pronomina yang hanya terdiri atas pronomina persona pertama jamak.

Selanjutnya, gaya bahasa personifikasi pada NTLP hanya diwujudkan melalui pilihan kata yang berkelas kata nomina yang terdiri atas nomina anggota tubuh, nomina benda alam, nomina benda langit, 105

dan nomina tidak konkret. Adapun pada NTNLM, gaya bahasa personifikasi juga hanya diwujudkan melalui pilihan kata yang berkelas kata nomina yang terdiri atas nomina anggota tubuh, nomina benda alam, nomina benda langit, dan nomina fenomena alam.

Berikutnya, gaya bahasa metafora pada NTLP diwujudkan melalui

(1) pilihan kata yang berkelas kata nomina yang terdiri atas nomina anggota tubuh, nomina benda alam, nomina benda langit, nomina abstrak, nomina nama diri, nomina sapaan jenis kelamin, nomina tempat, dan nomina wilayah dan (2) pilihan kata yang berkelas kata pronominal yang terdiri atas pronomina persona pertama tunggal, pronomina persona pertama jamak, dan pronomina persona ketiga tunggal. Adapun pada

NTNLM, gaya bahasa metafora juga diwujudkan melalui (1) pilihan kata yang berkelas kata nomina yang terdiri atas nomina nama diri, nomina sapaan kekerabatan, dan nomina tempat dan (2) pilihan kata yang berkelas kata pronomina yang terdiri atas pronominal persona pertama tunggal, pronomina persona pertama jamak, dan pronominal persona ketiga tunggal.

Untuk gaya bahasa metonimi pada NTLP dan NTNLM, keduanya diwujudkan dengan pilihan kata yang berkelas kata nomina khusus nomina yang menyatakan merek dan nama kendaraan. Demikian halnya gaya bahasa eponim pada kedua novel berseri tersebut diwujudkan melalui pilihan kata yang berkelas kata nomina. Berikutnya, gaya bahasa antonomasia diwujudkan melalui (1) pilihan kata yang berkelas kata 106

nomina, (2) pilihan kata yang berkelas kata pronominal, dan (3) pilihan kata yang berkelas kata artikula. Adapun gaya bahasa sarkasme dan gaya bahasa paranomasia yang hanya ditemukan pada NTLP, diwujudkan melalui pilihan kata yang berkelas kata verba dan adjektiva.

Selain gaya bahasa kiasan, pada kedua novel berseri tersebut juga terdapat gaya bahasa retoris. Gaya bahasa hiperbola termasuk salah satu gaya bahasa retoris. Gaya bahasa hiperbola pada NTLP diwujudkan melalui (1) pilihan kata yang berkelas kata nomina yang terdiri atas nomina anggota tubuh dan nomina tidak konkret dan (2) pilihan kata yang berkelas kata pronomina persona pertama tunggal sedangkan pada

NTNLM, gaya bahasa hiperbola diwujudkan melalui (1) pilihan kata kelas kata nomina yang terdiri atas nomina anggota tubuh dan nomina bunyi dan (2) pilihan kata yang berkelas kata verba.

Adapun gaya bahasa erotesis pada kedua novel berseri tersebut diwujudkan melalui pilihan kata yang berkelas kata interogatif.

Selanjutnya, gaya bahasa asindeton dan polisindenton yang hanya ditemukan pada NTLP diwujudkan melalui pilihan kata yang menunjukkan paralelisme.

107

B. Pembahasan

Pada bagian ini akan dibahas tentang pewujudan gaya bahasa

serta persamaan dan perbedaan pewujudan gaya bahasa dalam NTLP

dan NTNLM.

1. Pewujudan Gaya Bahasa dalam NTLP dan NTNLM

Pada bagian ini akan dibahas tentang pewujudan gaya bahasa,

baik gaya bahasa kiasan maupun gaya bahasa retoris pada kedua novel

berseri tersebut. Pembahasan tentang pewujudan gaya bahasa itu dapat

dilihat berikut dengan uraian tentang gaya bahasa kiasan terlebih dahulu.

a. Gaya Bahasa Kiasan

Gaya bahasa kiasan adalah gaya bahasa yang dilihat dari segi

makna tidak dapat ditafsirkan sesuai dengan kata-kata yang

membentuknya. Makna tersebut harus dicari di luar rangkaian kata atau

kalimat. Jenis gaya bahasa kiasan yang ditemukan, yaitu gaya bahasa

simile, personifikasi, metafora, metonimi, sarkasme, antonomasia,

eponim, dan paranomasia. Berikut uraian tentang gaya bahasa kiasan

tersebut.

1) Gaya Bahasa Simile

Simile adalah salah satu jenis gaya bahasa kiasan yang

membandingkan dua hal yang secara hakiki berbeda tetapi dianggap

mengandung segi yang serupa. Simile merupakan gaya bahasa

perbandingan yang bersifat eksplisit. Perbandingan yang bersifat

eksplisit berarti perbandingan yang langsung menyatakan sesuatu yang 108

dibandingkan sama dengan hal yang lain. Simile dinyatakan secara eksplisit dengan kata-kata seperti, bagai, umpama, laksana, bak, ibarat, seolah-olah, seakan-akan, sebagai, dan sebagainya. Penanda-penanda gaya bahasa simile tersebut menghubungkan kata yang berada pada ranah sumber dengan kata yang berada pada ranah sasaran. Dengan kata lain, kata yang menjadi terbanding dan pembanding dipisahkan oleh penanda-penanda pembanding dalam gaya bahasa simile tersebut. Pewujudan gaya bahasa simile dalam NTLP dan NTNLM dapat dilihat pada klasifikasi berikut: a) Pilihan Kata yang Berkelas Kata Verba

Verba atau kata kerja adalah kata yang menyatakan proses, perbuatan, keadaan atau tindakan. Berikut uraian pewujudan gaya bahasa simile dalam NTLP dan NTNLM berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata verba.

(1) Verba Dasar Bebas

Verba dasar bebas adalah verba yang berupa morfem dasar

bebas. Pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan kelas kata verba

dasar bebas dapat dilihat pada contoh dalam NTLP berikut:

(1) Ia menyelimuti dirinya dengan dahan-dahan kelapa dan tidur melingkar seperti tupai di bawah pohon nifa selama dua hari dua malam.(LP: 91) (2) Simon tinggi besar dan berewokan, santai tapi angker, duduk menekuri meja seperti burung pemakan bangkai menunggui mangsa. (EDS: 59) (3) “kalau salah arah, kita akan terdampar di Teluk Hauraki, Selandia Baru, mati kering seperti ikan asin.” (EDS: 7)

109

Contoh (1) sampai dengan (3) menunjukkan adanya penggunaan gaya bahasa simile yang ditandai dengan adanya penggunaan kata seperti. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

(KBBI) V luring, kata seperti bermakna (1) serupa dengan; sebagai; semacam, (2) sama halnya dengan; tidak ubahnya, (3) sebagaimana; sesuai dengan; menurut, (4) seakan-akan; seolah-olah, (5) misalnya, umpamanya, dan (6) apapun yang sebagai; akan hal.

Contoh (1) ini menceritakan perbuatan yang dilakukan oleh seorang tokoh, yakni ia yang posisi tidurnya diasosiasikan dengan seekor tupai . ia dalam cerita ini berkelas kata 109ronominal yang berperan sebagai terbanding sedangkan tupai berkelas kata nomina fauna yang berperan sebagai pembanding. Adapun yang dibandingkan dalam contoh (1) ini adalah cara atau posisi tidur terbanding dan pembanding yaitu ia dan tupai. Cara atau posisi yang dibandingkan antara terbanding dan pembanding menggunakan verba dasar bebas, yaitu tidur. Contoh tersebut menunjukkan perbuatan yang dilakukan tokoh yakni tidur melingkar yang disamakan dengan tupai. Seekor tupai jika sedang tidur memiliki bentuk tubuh melingkar yakni dengan cara ujung ekor naik menyentuh bagian muka persis seperti lingkaran sehingga posisi tidur tokoh dalam cerita ini diidentikkan dengan seekor tupai.

Contoh (2) menunjukkan tokoh Simon yang dalam keadaan duduk diidentikkan dengan burung. Dalam Kamus Besar Bahasa 110

Indonesia (KBBI) V luring, duduk adalah meletakkan tubuh atau letak tubuhnya dengan bertumpu pada pantat (ada bermacam-macam cara dan namanya seperti bersila dan bersimpuh), sedangkan burung adalah binatang berkaki dua, bersayap dan berbulu, dan biasanya dapat terbang. Simon yang sedang duduk menekuri meja yang diibaratkan burung pemakan bangkai yang menunggui mangsa berkelas kata nomina dan berperan sebagai terbanding. Adapun burung sebagai pembanding berkelas kata nomina khusus fauna.

Kemudian, perbuatan duduk sebagai hal yang dibandingkan antara

Simon dan burung berkelas kata verba, yakni berupa verba dasar bebas. Pada cerita ini, Simon yang duduk menekuri meja, memandang ke bawah (meja), dan diam dianggap bagaikan burung yang sedang menanti mangsa.

Kemudian contoh (3) tokoh kita (Ikal dan Weh) mengibaratkan bahwa jika mereka salah arah dan terdampar di Teluk

Hauraki maka mereka akan mati kering seperti ikan asin. Dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, mati adalah keadaan sudah hilangnya nyawa; tidak hidup lagi, sedangkan ikan adalah binatang bertulang belakang yang hidup dalam air, bernapas dengan insan, tubuhnya biasanya bersisik. Kata kita sebagai terbanding berkelas kata pronominal, sedangkan ikan sebagai pembanding berkelas kata nomina khusus fauna. Adapun kata mati sebagai hal yang menjadi objek perbandingan berkelas kata verba, 111

yakni verba dasar bebas. Pada cerita ini, jika tokoh Ikal dan Weh terdampar maka mereka akan mati kering layaknya ikan asin karena tidak akan ditemukan oleh siapapun hingga akhirnya mongering seperti ikan asin.

Adapun dalam NTNLM, tidak ditemukan contoh pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata verba dasar bebas.

(2) Verba Intransitif

Verba Intransitif adalah verba yang tidak membutuhkan kehadiran objek yang berfungsi sebagai subjek dalam kalimat pasif.

Pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan kelas kata verba intransitif dalam NTLP dapat dilihat sebagai berikut:

(a) Verba Intransitif ber-

Contoh yang menunjukkan pewujudan gaya bahasa

simile berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata verba

intransitive ber- dapat dilihat sebagai berikut:

(4) Menjelang pukul tujuh, dengan membersihkan diri seadanya- karena itu kami selalu berbau seperti ikan pari- kami tergopong-gopoh ke sekolah. (SP: 70) (5) Nurmala bersikap seperti harimau karena ingin merobohkan bangunan hipotesis Arai terhadap sifat- sifat perempuan. (SP: 188) (6) Maka dari posisi ini aku dapat melihatnya langsung berjalan anggun seperti burung sekretaris menuju kearahku. (LP: 266)

Contoh (4) sampai dengan (6) menunjukkan adanya

penggunaan gaya bahasa simile. Penanda linguistik gaya bahasa 112

simile yang terlihat adalah penggunaan kata seperti. Contoh (4) menunjukkan perbandingan secara eksplisit antara kata kami dan ikan pari dari segi bau. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

(KBBI) V luring, berbau berarti mempunyai bau; mengeluarkan bau (harum, busuk, dan sebagainya), sedangkan ikan pari adalah ikan laut bertulang rawan, badannya pipih, berbentuk seperti laying-layang. Kata kami yang merujuk kepada Ikal, Arai dan

Jimbro pada cerita ini berperan sebagai terbanding dan berkelas kata pronominal. Adapun pari sebagai pembanding berkelas kata nomina khusus nomina fauna. Selanjutnya, hal yang menjadi bahan perbandingan atau yang dibandingkan, yakni kata berbau berkelas kata verba khusus verba intransitif ber-. Pada contoh (4) diceritakan tentang tokoh kami (Ikal, Arai dan Jimbro) yang berbau atau memiliki bau seperti ikan pari. Karakter bau pesing pada ikan pari tidak langsung mengikuti kata berbau, melainkan menggunakan nomina fauna yang memiliki sifat berbau pesing yaitu ikan pari.

Contoh (5) menunjukkan perbandingan eksplisit antara

Nurmala dan harimau dari segi sikap. Dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, bersikap berarti mengambil sikap (pendirian), sedangkan harimau adalah binatang buas, pemakan daging, wujud seperti kucing besar. Nurmala sebagai tebanding berkelas kata nomina, sedangkan harimau sebagai 113

pembanding berkelas kata nomina khusus nomina fauna. Adapun hal yang menjadi perbandingan, yakni sikap. Kata bersikap sebagai bahan perbandingan ini berkelas kata verba khusus verba intransitif. Contoh (5) bercerita tentang tokoh Nurmala yang bersikap atau memiliki sikap yang garang, buas, ganas layaknya seekor harimau. Pada penceritaan tersebut, tokoh Nurmala tidak langsung digambarkan sebagai tokoh yang memiliki sikap buas atau garang, melainkan diasosiasikan seperti harimau yang juga memiliki karakter buas dan garang.

Kemudian contoh (6) menunjukkan perbandingan secara langsung antara bentuk –nya yang merujuk kepada A Ling dan burung sekretaris dalam hal berjalan. Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBBI) V luring, berjalan berarti (1) melangkahkan kaki bergerak maju; (2) bergerak maju dari suatu titik (tempat) ke titik

(tempat) lain. Adapun burung sekretaris adalah sejenis burung pemangsa berukuran besar yang hidup terrestrial, berburu mangsa dengan jalan kaki, dengan langkah-langkah panjang.

Bentuk –nya sebagai terbanding berkelas kata pronomina, sedangkan burung sekretaris berkelas kata nomina khusus nomina fauna. Adapun kata berjalan sebagai perihal yang dibandingkan ini berkelas kata verba khusus verba intransitif.

Contoh (6) bercerita tentang tokoh aku yang melihat A Ling berjalan layaknya burung sekretaris. Cara berjalan anggun dengan 114

langkah panjang A Ling tidak secara langsung diungkapkan, tetapi

diasosiasikan dengan seekor burung sekretaris yang memiliki

karakter langkah-langkah yang panjang.

(b) Verba Intransitif meng-

Contoh yang menunjukkan pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata verba intransitif meng- dapat dilihat sebagai berikut:

(7) Aku meronta sejadi-jadinya dari kuncian Arai, menggelinjang seperti belut sehingga lemari raksasa itu limbung dan tiba-tiba…(SP: 48) (8) Mulut mungilnya yang dari tadi berkicau kini terkunci lalu pelan-pelan menganga seperti ikan mas koki. (SP: 49) (9) Aku sering melihat sepatuku yang menganga seperti buaya berjemur tahu-tahu sudah rekat kembali,…(SP: 185)

Salah satu penanda linguistik yang menunjukkan gaya bahasa simile ialah kata seperti. Contoh (7) sampai dengan contoh

(9) menunjukkan gaya bahasa simile. Contoh (7) menunjukkan perbandingan antara kata aku dan belut tentang perbuatan menggelinjang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, kata menggelinjang adalah bergerak-gerak karena geli, sedangkan belut adalah ikan air tawar dan payau, berbentuk memanjang mencapai 100 cm, hidup di dasar perairan tropis dan berlumpur. Kata aku sebagai terbanding berkelas kata pronominal, sedangkan belut sebagai pembanding berkelas kata nomina khusus nomina fauna. Adapun kata menggelinjang sebagai 115

perbuatan yang dibandingkan berkelas kata verba khusus verba intransitif. Contoh (7) menceritakan tokoh aku yang bergerak-gerak

(menggelinjang) karena geli. Perbuatan menggelinjang tersebut dianggap sama dengan belut yang mempunyai karakter gerakan yang lincah dan cepat.

Selanjutnya, contoh (8) dibandingkan secara eksplisit antara mulut yang menganga dan ikan mas koki. Dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, menganga adalah membuka lebar (tentang mulut); terbuka lebar, sedangkan mas koki adalah ikan hias yang hidup di air tawar, bermata besar melotot, berkulit keemas-emasan. Kata mulut sebagai terbanding berkelas kata nomina, sedangkan kata mas koki sebagai pembanding berkelas kata nomina khusus nomina fauna. Adapun perbuatan yang menjadi hal yang dibandingkan, yakni menganga berkelas kata verba khusus verba intransitif. Contoh (8) tersebut membandingkan mulut yang menganga seperti ikan mas koki. Ikan mas koki adalah salah satu jenis ikan yang memiliki ciri unik yakni mulut menganga secara lebar sehingga mulut tokoh yang menganga pada cerita dianggap memiliki kesamaan dengan ikan mas koki.

Adapun contoh (9), kata sepatu dibandingkan dengan kata buaya perihal dalam keadaan menganga. Dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, buaya adalah binatang melata 116

(reptilian) berdarah dingin bertubuh besar dan berkulit keras, sedangkan menganga adalah membuka lebar (tentang mulut); terbuka lebar. Kata sepatu sebagai terbanding berkelas kata nomina, sedangkan kata buaya sebagai pembanding berkelas kata nomina khusus nomina fauna. Adapun kata menganga sebagai keadaan yang dibandingkan tersebut berkelas kata verba khusus verba intransitif. Pada contoh (9) tersebut, diceritakan tentang sepatu yang tampak menganga. Kondisi sepatu ini dibandingkan dengan buaya karena adanya kesesuaian perbuatan yang sering dilakukan buaya. Kebiasaan membuka mulut oleh buaya pada saat di darat dilakukan untuk menjaga agar suhu badannya tetap stabil dan bisa beradaptasi dengan suhu disekitarnya. Atas dasar kesamaan inilah sepatu yang menganga tersebut dianggap sama dengan seekor buaya yang sedang berjemur.

Adapun pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan kelas kata verba intransitif juga dapat dilihat pada kutipan NTNLM berikut.

(10) Hanya Said yang tinggi besar leluasa melihat tanpa berjinjit seperti penguin sedang kasmaran. (NLM: 173) (11) Bagai kijang, lima orang berlompatan dengan lincah dan mengurung sosok hitam tadi. (NLM: 248) (12) Ustad yang berasal dari Lintau, Sumatera Barat ini keperawakan sedang tapi liat. Kalau berjalan seperti kucing, ringan, dan lincah. (NLM: 246) Contoh (10) sampai dengan (12) menunjukkan adanya penggunaan gaya bahasa simile yang diwujudkan melalui verba 117

intransitif ber-. Penanda linguistik gaya bahasa simile yang terlihat adalah penggunaan kata seperti dan bagai. Contoh (10) menunjukkan perbandingan secara eksplisit antara kata Said dan penguin. Contoh (10) ini membandingkan Said dan penguin dalam hal perbuatan berjinjit. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

(KBBI) V luring, berjinjit adalah berdiri atau berjalan dengan jari kaki yang berjejak; berjengket sedangkan penguin adalah burung laut keluarga Spheniscidae yang tidak dapat terbang, terdapat di daerah Kutub Selatan dengan sayap yang dapat digunakan untuk berenang, kaki berselaput renang, di darat berjalan tegak. Kata

Said sebagai terbanding berkelas kata nomina sedangkan penguin sebagai pembanding berkelas kata nomina khusus nomina fauna.

Adapun kata berjinjit sebagai hal yang dibandingkan berkelas kata verba khusus verba taktransitif. Perbandingan eksplisit antara kedua kata tersebut terjadi karena penguin memiliki salah satu ciri yakni berjalan tegak di darat. Berjinjit adalah salah satu hal yang dilakukan penguin saat berjalan di darat sehingga pada contoh

(10), tokoh Said diceritakan tinggi besar leluasa melihat tanpa berjinjit seperti penguin sedang kasmaran.

Kata bagai juga merupakan penanda linguistik gaya bahasa simile. Ini dapat dilihat pada contoh (11) yang membandingkan frasa lima orang dengan kijang dalam hal perbuatan berlompatan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, 118

berlompatan berarti melompat beramai-ramai; melompat kesana kemari sedangkan kijang adalah binatang menyusui, sebangsa rusa, kecil, cepat larinya, dan bertanduk pendek. Lima orang sebagai terbanding menduduki frasa nomina sedangkan kijang sebagai pembanding berkelas kata nomina khusus nomina fauna.

Adapun kata berlompatan sebagai perbuatan yang dibandingkan berkelas kata verba khusus verba taktransitif. Pada contoh (11) sosok lima orang dikatakan berlompatan dengan lincah bak kijang.

Karakter melompat kesana-kemari adalah salah satu karakter dari seekor kijang. Atas hubungan tersebut sehingga frasa lima orang dibandingkan dengan kijang dari segi perbuatan berlompatan.

Adapun contoh (12) tokoh Ustad yang diceritakan memiliki ciri berjalan seperti kucing. Hubungan atau pertalian yang terjalin antara kedua kata tersebut adalah seekor kucing memiliki karakter saat berjalan yakni terlihat ringan dan lincah sehingga hal ini dianggap sama dengan tokoh ustad pada saat berjalan. Dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, berjalan berarti melangkahkan kaki bergerak maju. Kata Ustad sebagai terbanding berkelas kata nomina sedangkan kucing sebagai pembanding berkelas kata nomina khusus nomina fauna. Adapun berjalan sebagai perbuatan atau hal yang dibandingkan berkelas kata verba khusus verba taktransitif.

119

(c) Verba Reduplikasi Berubah Bunyi

Pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan kelas kata verba reduplikasi berubah bunyi hanya dapat dilihat pada kutipan

NTLP berikut:

(13) Siang ini ia berbincang dengan pria yang gerak- geriknya seperti beruk karena ia seorang pemanjat . (EDS: 21) (14) Repot bukan main, aku pontang-panting seperti kucing tak sengaja menduduki Rheumason!! Hi…hi…hi. (SP: 194) (15) “Kalau bisa, jika menyanyi, wajahmu jangan cengar- cengir seperti unta begitu, Boi, hi…hi…hi…,” saran Bang Zaitun. (SP: 209)

Berdasarkan contoh (13) sampai dengan (15) terlihat penggunaan gaya bahasa simile dengan adanya kata seperti sebagai penanda gaya bahasa tersebut. Contoh (13) menceritakan tokoh pria yang gerak-geriknya seperti beruk. Dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, gerak-gerik adalah (1) berbagai- bagai gerak (pada anggota tubuh); (2) tingkah laku sedangkan beruk adalah kera besar yang berekor pendek dan kecil, dapat diajar memetik buah kelapa. Kata pria sebagai terbanding berkelas kata nomina sedangkan beruk sebagai pembanding berkelas kata nomina khusus nomina fauna. Selanjutnya, gerak-gerik sebagai hal yang dibandingkan berkelas kata verba reduplikasi berubah bunyi.

Gerak-gerik yang diperankan tokoh pria pada contoh (13) dianggap sama dengan beruk. Seekor beruk atau kera memiliki kemampuan 120

memanjat pohon karena dapat diajar memetik buah kelapa. Atas dasar kesamaan kemampuan inilah sehingga tingkah laku tokoh pria dianggap sama dengan beruk karena pria dalam cerita tersebut adalah seorang pemanjat.

Adapun contoh (14) tokoh aku yang pontang-panting dibandingkan secara eksplisit dengan kucing. Tokoh aku sebagai terbanding menduduki kelas kata pronominal sedangkan kucing sebagai pembanding menduduki kelas kata nomina khusus fauna.

Bentuk verba pontang-panting menjadi hal atau perbuatan yang dibandingkan. Verba pontang-panting bermakna „berlari lintang pukang‟ sedangkan kucing memiliki makna „binatang mamalia pemakan daging, berukuran kecil sampai sedang, cakar berbentuk arit, bermata sangat tajam, dan mempunyai perilaku kewilayahan yang sangat kuat‟. Kata pontang-panting sebagai hal yang dibandingkan pada perbandingan antara kata aku dan kucing tersebut berkelas kata verba reduplikasi berubah bunyi. Adapun kata aku sebagai terbanding berkelas kata pronominal dan kucing sebagai pembanding berkelas kata nomina khusus nomina fauna.

Selanjutnya contoh (15), frasa wajahmu dibandingkan secara eksplisit dengan kata unta dalam hal perbuatan cengar- cengir. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, cengar-cengir adalah „tersenyum-senyum kecil; tertawa-tawa kecil

(karena malu dan sebagainya)‟ sedangkan unta adalah „binatang 121

berkuku belah, berleher panjang, dan punggungnya berpunuk‟.

Perbuatan cengar-cengir adalah perbuatan yang biasanya dilakukan oleh unta sehingga frasa wajahmu dibandingkan dengan unta dalam hal perbuatan cengar-cengir. Frasa wajahmu sebagai terbanding menduduki frasa nomina sedangkan kata unta sebagai pembanding berkelas kata nomina khusus nomina fauna. Adapun cengar-cengir sebagai hal yang dibandingkan berkelas kata verba reduplikasi berubah bunyi.

(d) Verba Berproses Gabung

Gaya bahasa simile yang diwujudkan berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata verba berproses gabung ditemukan pada NTLP dan NTNLM. Berikut uraian pewujudan gaya bahasa simile tersebut:

(1) Verba Berproses Gabung (prefiksasi ber- + reduplikasi)

Gaya bahasa simile dalam NTLP diwujudkan melalui

verba berproses gabung (prefiksasi ber- + reduplikasi). Contoh

pewujudan gaya bahasa simile tersebut dapat dilihat berikut:

(16) …penguasa laut itu menggelinjang berguling-guling seperti buaya mematahkan leher lembu. (EDS: 6) (17) Selalu berkoar-koar seperti angsa trumpeter, tak lain orang-orang Inggris, The Britis. (EDS: 96) (18) Dari puncak bahu ini tampak rumah-rumah penduduk terurai-urai mengikuti pola anak-anak Sungai Langkang yang berkelak-kelok seperti ular. (LP: 286)

Contoh (16) sampai dengan (18) menunjukkan adanya

penggunaan gaya bahasa simile yang ditandai dengan kata 122

seperti. Contoh (16) bercerita tentang penguasa laut yang menggelinjang berguling-guling. Perbandingan secara eksplisit ditunjukkan pada frasa penguasa laut dan buaya. Adapun hal yang dibandingkan yakni perihal perbuatan berguling-guling.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, berguling-guling adalah „bergulung atau berputar bolak-balik‟.

Kata berguling-guling sebagai hal yang dibandingkan ini berkelas kata verba proses gabungan. Perbuatan berguling-guling yang dilakukan oleh penguasa laut itu dianggap sama dengan buaya .

Seekor buaya dalam mematahkan leher lembu akan melakukan proses berguling-guling sama seperti yang dilakukan oleh penguasa laut yang diceritakan pada contoh (16) tersebut.

Contoh (17) menunjukkan perbandingan antara frasa orang-orang Inggris dan angsa trumpeter. Adapun hal yang dibandingkan, yakni berkoar-koar. Kata berkoar-koar berarti

„berkata-kata dengan suara keras (dengan maksud menantang, mengkritik, menghina, dan sebagainya)‟ sedangkan angsa trumpeter atau angsa terompet adalah salah satu jenis angsa dengan salah satu ciri yaitu bersuara besar dan tampak galak jika memiliki anak. Frasa orang-orang Inggris sebagai terbanding menduduki bentuk frasa nomina sedangkan angsa trumpeter sebagai pembanding menduduki kelas kata nomina khusus nomina fauna. Adapun kata berkoar-koar sebagai perbuatan 123

yang dibandingkan ini, menduduki kelas kata verba khusus verba proses gabungan. Contoh (17) mengasosiasikan orang-orang

Inggris yang selalu berkoar-koar layaknya angsa trumpeter.

Angsa trumpeter atau angsa terompet, sesuai namanya memiliki karakter sering berkoar-koar layaknya sebuah terompet yang berbunyi.

Adapun contoh (18) menggambarkan bentuk pola anak- anak Sungai Langkang yang berliku-liku layaknya ular. Kata berkelok-kelok adalah kata yang merujuk pada perbuatan yang menjadi bahan perbandingan antara bentuk pola anak-anak

Sungai Langkang dan kata ular. Kata berkelok-kelok berarti

„banyak keloknya; berkeluk-keluk; berliku-liku‟ sedangkan ular adalah binatang melata, tidak berkaki, tubuhnya agak bulat memanjang, dan kulitnya bersisik. Kata berkelok-kelok sebagai hal yang dibandingkan ini menduduki kelas kata verba proses gabungan sedangkan kata ular sebagai pembanding menduduki kelas kata nomina khusus nomina fauna. Perbandingan antara ular dan pola anak-anak Sungai Langkang yang berkelok-kelok ini dimungkinkan karena ular memiliki karakter gerakan yang berliku-liku atau berkelok-kelok sama halnya dengan pola anak- anak Sungai Langkang yang digambarkan pada cerita.

(2) Verba Berproses Gabung (prefiksasi meng- + reduplikasi) 124

Pewujudan gaya bahasa simile dalam NTLP tidak hanya melalui verba berproses gabung dengan prefiksasi ber-, tetapi juga melalui verba berproses gabung dengan prefiksasi meng- Contoh pewujudan gaya bahasa simile tersebut dapat dilihat berikut:

(19) Ia menjerit-jerit seperti burung prigantil yang dicabuti bulunya. (SP: 48) (20) Jimbron mendengus-dengus keras seperti kucing berahi.(SP: 103) (21) …Arai beraksi semakin menjadi-jadi, meliuk-liuk seperti ikan lele terlempar ke darat. (SP: 212) Salah satu penanda linguistik yang menunjukkan gaya bahasa simile ialah kata seperti. Contoh (19) sampai dengan

(21) menunjukkan gaya bahasa simile. Contoh (19) menunjukkan perbandingan antara kata ia dan burung prigantil. Adapun hal yang dibandingkan, yakni perihal menjerit-jerit. Kata menjerit-jerit berarti „berteriak berulang kali‟. Menjerit-jerit sebagai hal yang dibandingkan berkelas kata verba khusus verba berproses gabung. Kata ia sebagai pembanding berkelas kata pronominal sedangkan burung prigantil sebagai pembanding berkelas kata nomina fauna. Contoh (19) bercerita tentang tokoh yang berteriak-teriak layaknya burung prigantil. Burung prigantil akan menjerit-jerit jika bulunya dicabuti, demikian hal tersebut diasosiasikan dengan tokoh dalam contoh (19) tersebut.

Selanjutnya contoh (20) membandingkan kata Jimbron dan kata kucing dalam hal mendengus-dengus. Contoh tersebut 125

bercerita tentang tokoh Jimbron yang mendengus-dengus layaknya kucing berahi. Kata mendengus-dengus sebagai perbuatan yang dibandingkan berkelas kata verba khusus verba berproses gabungan. Adapun kata Jimbro sebagai terbanding berkelas kata nomina sedangkan kucing sebagai pembanding menduduki kelas kata nomina khusus nomina fauna.

Perbandingan pada contoh (20) ini, mengasosiasikan perbuatan yang dilakukan oleh kucing berahi sama dengan aktivitas Jimbro yang mendengus-dengus. Kucing berahi akan mengeluarkan bunyi napas yang kuat-kuat, demikian hal tersebut terjadi pada

Jimbron.

Kata meliuk-liuk pada contoh (21) menjadi hal yang dibandingkan pada perbandingan antara Arai dan ikan lele.

Kesamaan yang dimaksudkan adalah aktivitas meliuk-liuk yang dilakukan Arai merupakan karakter gerakan yang juga dimiliki ikan lele. Secara denotatif, kata meliuk-liuk berarti „berkelok- kelok (tentang gerak ular yang melata dan sebagainya)‟ sedangkan ikan lele adalah ikan air tawar, berpatil, dan badannya licin. Kata meliuk-liuk sebagai hal yang dibandingkan tersebut berkelas kata verba berproses gabung. Adapun Arai sebagai terbanding berkelas kata nomina sedangkan ikan lele sebagai pembanding berkelas kata nomina fauna. Pada contoh

(21) ini diceritakan tokoh Aria meliuk-liuk persis ikan lele. Tekstur 126

badan ikan lele yang licin dengan gerakan yang sangat cepat menjadikannya sangat susah dipegang. Demikian karakter ikan lele tersebut sehingga dikatakan Arai meliuk-liuk seperti ikan lele.

Adapun pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan kelas kata verba berproses gabung pada NTNLM dapat dilihat pada contoh berikut:

(22) “Iya, Bang,” kataku mengangguk-angguk seperti burung kakatua. (RTW: 145) (23) Begitu kau tekan tombol ON, mesin ini merengek- rengek seperti kucing jantan lapar, lalu dilayarnya yang hitam itu berkedip-kedip kursos berwarna hijau. (RTW: 175) (24) “Oui…oui, yes…very fast,” katanya mengangguk- angguk senang seperti burung beo. (RTW: 274)

Gaya bahasa simile pada contoh (22), (23), dan (24) diwujudkan melalui kelas kata verba berproses gabung prefiksasi meng-. Kata mengangguk-angguk pada contoh (22) sebagai hal yang dibandingkan berkelas kata verba berproses gabung.

Adapun aku sebagai terbanding berkelas kata pronomina dan burung kakatua sebagai pembanding berkelas kata nomina fauna. Kata mengangguk-angguk dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBBI) V luring, berarti „berkali-kali mengangguk

(karena sangat setuju)‟ sedangkan kakaktua adalah burung yang paruhnya kuat dan bagian atasnya melengkung ke bawah, berwarna putih, bisa diajar berbicara. Pertalian antara aku dan burung kakaktua dalam hal mengangguk-angguk ini terjadi karena karakter burung kakatua yang pandai sehingga 127

memungkinkan mengangguk-angguk. Berdasarkan kemampuan tersebut, tokoh aku dianalogikan dengan burung kakak tua.

Adapun contoh (23), kata mesin dibandingkan secara eksplisit dengan kata kucing. Perbandingan ini sekaitan dengan verba merengek-rengek. Kata merengek-rengek berarti

„merengek berkali-kali‟. Pada contoh (22) tersebut, mesin yang merengek-rengek dianggap sama dengan kucing jantan yang dalam keadaan lapar. Suara merengek atau meminta sesuatu dengan mendesak biasanya dilakukan oleh seekor kucing yang sedang kelaparan dan hal tersebut dainggap sama dengan yang terjadi pada mesin yang diceritakan pada contoh (23). Kata mesin sebagai terbanding berkelas kata nomina sedangkan kucing sebagai pembanding berkelas kata nomina khusus nomina fauna. Adapun kata merengek-rengek sebagai perbuatan yang dibandingkan berkelas kata verba berproses gabung.

Selanjutnya, pada contoh (24) bentuk–nya dibandingkan dengan burung beo. Perbandingan tersebut perihal perbuatan mengangguk-angguk. Kata mengangguk-angguk sebagai perbuatan yang dibandingkan berkelas kata verba berproses gabung. Adapun bentuk –nya sebagai terbanding berkelas kata pronomina sedangkan burung beo sebagai pembanding menduduki kelas kata nomina khusus nomina fauna. Karakter pandai dan lincah yang dimiliki seekor burung beo menjadikan 128

perbuatan mengangguk-angguk yang dilakukan tokoh (-nya)

pada contoh (24) dianggap sama dengan burung beo. b) Pilihan Kata yang Berkelas Kata Nomina

Nomina atau kata benda adalah kata yang mengacu pada manusia, binatang, benda, tumbuhan, dan konsep atau pengertian.

Berikut uraian pewujudan gaya bahasa simile pada NTLP dan NTNLM berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata nomina.

(1) Nomina Anggota Tubuh

Pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan kelas kata

nomina anggota tubuh dalam NTLP dapat dilihat pada contoh

berikut:

(25) Nyonya Pho bertubuh tinggi besar. Rambutnya tebal, disemir hitam pekat dan kaku seperti sikat. Alisnya seperti kucing tandang. (SP: 17) (26) Stansfield yang tetap cantik meski pipinya seperti ikan mas koki dan matanya melotot, termasuk dalam dua orang itu. (EDS: 174) (27) Sebab sejak tiba tadi mulut Ayah beberapa kali terbuka bulat seperti ikan mas koki dan bola matanya berlari-lari kian kemari. (MK: 91)

Salah satu penanda linguistik yang menunjukkan adanya

gaya bahasa simile adalah kata seperti. Contoh (25) sampai dengan

(27) menunjukkan bahwa terbanding menduduki kelas kata nomina

khusus nomina anggota tubuh sedangkan pembanding menduduki

kelas kata nomina khusus nomina fauna.

Contoh (25) menunjukkan perbandingan secara eksplisit

antara kata alis dan kucing. Kata alis berarti „bulu di dahi di atas 129

mata; kening‟ sedangkan kucing tandang berarti kucing liar, berekor pendek bertelinga pendek, berdahi datar, warna bulu cokelat tua sampai kelabu dengan ujung bulu putih. Alis tokoh yang dikisahkan pada contoh (25) dianggap sama dengan kucing tandang. Alis

Nyonya Pho diibaratkan kucing tandan, yakni berukuran pendek dan berwarna cokelat tua.

Selanjutnya pada contoh (26), pipi dianggap mirip dengan ikan mas koki. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, pipi adalah sisi muka (di bawah pelipis) sedangkan ikan mas koki adalah salah satu jenis ikan hias air tawar yang hidup diperairan dangkal yang berudara sejuk dan airnya mengalir tenang dengan bercak warna-warna sisik yang indah. Pada contoh (26) ini, tampak bahwa pipi tokoh Stansfield yang merah merona disamakan dengan ikan mas koki yang memiliki warna cerah merona cantik.

Adapun contoh (27) menunjukkan perbandingan antara kata mulut dan ikan mas koki. Kata mulut bermakna „rongga di muka, tempat gigi dan lidah untuk memasukkan makanan (pada manusia atau binatang)‟ sedangkan ikan mas koki adalah salah satu jenis ikan hias air tawar yang hidup diperairan dangkal yang berudara sejuk dan airnya mengalir tenang dengan bercak warna-warna sisik yang indah. Pertalian antara kedua nomina tersebut berkaitan dengan bentuk mulut tokoh ayah yang dianggap sama dengan ikan mas koki. Bentuk mulut ikan mas koki sangat unik, terutama pada 130

saat terbuka. Pada kondisi ini, mulut ikan mas koki akan berbentuk bulat dan hal ini diasosiasikan dengan mulut tokoh ayah pada contoh (27).

Selain contoh yang dijelaskan sebelumnya, pada NTLP juga ditemukan contoh pembanding berupa kelas kata nomina khusus flora. Berikut contohnya:

(28) Lintang komat-kamit tak jelas dan matanya merah seperti buah naga. (LP: 242) (29) Jika diamati dengan seksama, di balik kedua bola matanya yang gelap cokelat seperti buah hamlam tersembunyi kebaikan yang sangat besar. (LP: 354) (30) Aku melihat pelajar-pelajar wanita berbisik-bisik, tertawa cekikikan, dan terus menerus meliriknya karena semakin remaja Trapani semakin tampan. Ia ramping, berkulit putih, bersih, tinggi, berambut hitam lebat, di wajahnya mulai tumbuh kumis-kumis tipis dan matanya seperti buah kenari muda: teduh, dingin, dan dalam. (LP: 366)

Pada contoh (28) sampai dengan (30) terlihat bahwa kata- kata yang berperan sebagai terbanding diisi oleh kosakata mata yang berkelas kata nomina khusus nomina anggota tubuh sedangkan kata-kata yang berperan sebagai pembanding diisi oleh nomina khusus flora. Contoh (28) menunjukkan perbandingan antara kata mata dan buah naga. Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBBI) V luring, mata adalah indra untuk melihat; indra penglihat sedangkan buah naga adalah buah dari beberapa jenis kaktus dari marga Hylocereus dan Selenicereus, memiliki warna kulit merah cerah dengan ujung sisik berwarna kehijauan. Contoh

(28) menceritakan mata tokoh Lintang yang merah seperti buah 131

naga. Pemilihan kata buah naga bertujuan membandingkan secara eksplisit kata mata dan buah naga. Perbandingan tersebut berdasarkan ciri yang dimiliki buah naga yaitu merah terang sehingga mata Lintang diasosiasikan dengan buah naga.

Pada contoh (29), kata mata dianggap sama dengan buah hamlam. Buah hamlam yang disebut juga ceri hita adalah salah satu jenis buah yang memiliki rasa asam manis. Buah hamlam yang berwarna hitam dianggap sama dengan bola mata yang berwarna cokelat gelap.

Adapun pada contoh (30), perbandingan secara eksplisit diperlihatkan pada kata mata dan buah kenari. Buah kenari adalah buah dari kenari yaitu pohon yang batangnya abu-abu keputih- putihan, daunnya kecil-kecil, buahnya berwarna hijau tua, berkulit keras, dan bijinya dibuat minyak. Bentuk buah kenari muda yang bulat belum terlalu besar. Demikian ciri buah kenari tersebut yang dianggap memiliki kesamaan dengan mata tokoh pada contoh (30).

Adapun pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan pilhan kata yang berkelas kata nomina anggota tubuh pada NTNLM dapat dilihat pada contoh berikut:

(31) Mukaku centang perenang, rambut awut-awutan dan badan kotor seperti kerbau dari kubangan. (NLM: 137) (32) Muka Roni seperti kepiting rebus karena disindir dengan telak. (RTW: 221) (33) Mukanya merah, mulutnya seperti mas koki, megap- megap mencari udara, tapi matanya bersinar. (NLM: 235)

132

Salah satu penanda linguistik yang menunjukkan adanya gaya bahasa simile adalah penggunaan kata seperti. Contoh (31) sampai dengan (33) menunjukkan bahwa ranah sumber atau terbanding diisi oleh kelas kata nomina khusus nomina anggota tubuh sedangkan ranah sasaran atau pembanding diisi oleh kelas kata nomina khusus fauna.

Perbandingan secara langsung pada contoh (31) membandingkan antara kata badan dan kerbau. Kata badan bermakna „tubuh (jasad manusia keseluruhan); jasmani; raga; awak‟ sedangkan kerbau adalah binatang memamah biak yang biasanya diternakkan untuk diambil dagingnya atau untuk dipekerjakan. Pada contoh (31), badan yang dalam keadaan kotor dianggap sama dengan seekor kerbau yang baru keluar dari kubangan. Kubangan adalah tanah lekuk yang berisi air dan lumpur (tempat kerbau berendam dan berguling-guling) sehingga badan yang kotor disamakan dengan kerbau dari kubangan.

Adapun pada contoh (32), perbandingan terjadi antara kata muka dan kepiting. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, muka adalah bagian depan kepala, dari dahi atas sampai ke dagu dan antara telinga yang satu dan telinga yang lain sedangkan kepiting adalah ketam yang hidup di pantai, berkaki sepuluh, dua di antaranya berupa supit tajam, punggungya keras berwarna hijau kehitam-hitaman selebar telapak tangan, dapat dimakan. Contoh 133

(32) menunjukkan pertalian antara muka Roni dan kepiting rebus.

Muka Roni yang memerah karena malu dianggap sama dengan kepiting rebus. Kepiting rebus adalah kepiting yang telah dimasak dan pada saat tersebut terjadi perubahan warna kepiting menjadi orange kemerah-merahan.

Kemudian pada contoh (33), kata mulut dianggap sama dengan mas koki. Mas koki memiliki ciri khas, yakni dapat disembulkan (protaktil) dengan ujung mulut yang memiliki dua pasang sungut. Contoh (33) ini bercerita tentang mulut tokoh yang dianggap sama dengan mas koki yang megap-megap mencari udara. Pada situasi tersebut, mas koki akan membuka mulut lalu menutup lagi kemudian membukanya lagi. Hal yang terjadi pada mas koki inilah yang dianggap sama seperti yang terjadi pada tokoh dalam cerita.

Selain contoh pembanding yang diisi oleh kelas kata nomina khusus fauna, pada NTNLM juga ditemukan pembanding yang diisi oleh nomina khusus flora. Pewujudan gaya bahasa simile dalam

NTNLM berdasarkan kelas kata nomina anggota tubuh dengan pembanding yang diisi oleh nomina khusus flora, dapat dilihat sebagai berikut:

(34) Mungkin dia merasa harus menggosok giginya yang kuning seperti jagung muda. (RTW: 123) (35) Hidungku mekar bagai bunga bakung. (RTW: 150) (36) Kakinya masih dibalut gips sehingga tampak sebesar batang pohon kelapa. (RTW: 252)

134

Contoh (34) sampai dengan (36) adalah contoh penggunaan gaya bahasa simile. Ini ditandai dengan penggunaan kata seperti.

Ranah sumber atau terbanding diisi oleh kelas kata nomina anggota tubuh sedangkan ranah sasaran atau pembanding diisi oleh kelas kata nomina khusus flora. Contoh (34) membandingkan secara eksplisit antara kata gigi dan jagung. Secara denotatif, gigi adalah tulang keras dan kecil berwarna putih yang tumbuh tersusun berakar di dalam gusi dan kegunaannya untuk mengunyah atau menggigit sedangkan jagung adalah tanaman yang termasuk keluarga

Gramineae, batangnya pejal mencapai 2 m, buahnya dapat dimakan sebagai makanan pokok. Pertalian antara kata gigi dan jagung berhubungan dengan bentuk persegi kecil gigi yang hampir serupa dengan jagung. Adapun warna gigi yang kuning tentu akan hampir sama dengan warna jagung muda.

Adapun contoh (35) menunjukkan perbandingan antara kata hidung dan bunga bakung. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

(KBBI) V luring, hidung adalah alat pencium, penghirup yang lletaknya di sebelah atas bibir sedangkan bunga bakung adalah tanaman hias yang bunganya berwarna putih atau merah, akarnya digunakan untuk mengobati luka dan dianggap sebagai penawar racun. Bunga bakung memiliki mahkota berjumlah enam dan sangat indah saat mekar. Hidung tokoh aku pada contoh (35) dianggap 135

sama dengan bunga bakung. Kesamaan yang dimaksud adalah bentuk hidung dan bunga bakung yang sama-sama mekar.

Kemudian pada contoh (36), kaki dibandingkan secara tidak langsung dengan batang pohon kelapa. Kaki adalah anggota badan yang menopang tubuh dan dipakai untuk berjalan (dari pangkal paha ke bawah) sedangkan pohon kelapa adalah tumbuhan palem yang berbatang tinggi. Contoh (36) menunjukkan kaki yang dibalut gips sama dengan batang pohon kelapa. Gips biasanya dipakai untuk membalut bagian tubuh yang tulangnya retak atau patah agar tida berubah posisinya. Kaki yang dibalut gips tentu akan tampak lebih besar dari biasanya dan pada kondisi tersebut, kaki itu dikatakan sebesar batang pohon kelapa.

Kemudian, pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan kelas kata nomina anggota tubuh dengan pembanding yang berkelas kata verba dalam NTNLM dapat dilihat pada contoh di bawah ini.

(37) Telunjuknya seperti menusuk-nusuk tabloid bola, saking bersemangatnya. (RTW: 13) (38) Hanya setengah kerjapan mata kemudian, bagai punya ilmu terbang, badan raksasa Schemeichel mencelat ke udara untuk merenggut bola di udara. (RTW: 22) (39) Kali ini jantungku seperti lupa untuk berdetak. (RTW: 224)

Contoh (37) sampai dengan (39) menunjukkan adanya penggunaan gaya bahasa simile yang ditandai dengan kata seperti dan bagai. Contoh (37) menunjukkan perbandingan antara kata 136

telunjuk dan menusuk-nusuk. Kata telunjuk pada contoh (37) bermakna „jari tangan antara jari tengah dan ibu jari yang biasa digunakan untuk menunjuk‟ sedangkan menusuk-nusuk bermakna

„mencocok dengan barang yang runcing‟. Adapun contoh (38), kata badan sebagai terbanding berkelas kata nomina sedangkan kata punya sebagai pembanding berkelas kata verba. Selanjutnya, contoh (39) membandingkan antara kata jantung dan lupa. Dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, jantung adalah bagian tubuh yang menjadi pusat peredaran darah (letaknya di dalam rongga dada sebelah atas) sedangkan lupa adalah lepas dari ingatan; tidak dalam pikiran (ingatan) lagi.

Selain contoh-contoh yang telah diuraikan sebelumnya, pada NTNLM ditemukan penggunaan gaya bahasa simile dengan penanda linguistik berupa penggunaan afiks se- yang melekat pada kata yang berkelas kata adjektiva. Berikut contoh yang menunjukkan adanya penggunaan gaya bahasa simile tersebut.

(40) Dengan menyeret-nyeret kaki yang rasanya seberat sekarung beras, akhirnya aku sampai juga di pintu rumah kos. (RTW: 124) (41) Said terpana melihat idolanya berkacamata hitam memegang senapan dan otot bertonjolan hampir sebesar sapi bunting. (NLM: 129) (42) Aku gelagapan dan memaksa mengungkit kelopak mata yang terasa seberat batu. (NLM: 245)

Contoh (40) sampai dengan (42) menunjukkan adanya penggunaan gaya bahasa simile yang ditandai dengan penggunaan prefiks se- yang melekat pada kata sifat. Penggunaan 137

prefiks se- tersebut mengandung makna „sama seperti‟ kata dasar.

Contoh (40) bercerita tentang tokoh aku yang melakukan perbuatan menyeret-nyeret kaki. Kata kaki dibandingkan secara eksplisit dengan bentuk sekarung beras. Kata kaki pada contoh ini bermakna „anggota badan yang menopang tubuh dan dipakai untuk berjalan (dari pangkal paha ke bawah)‟ sedangkan sekarung beras berarti satu karung beras. Kaki sebagai terbanding berkelas kata nomina khusus anggota tubuh sedangkan sekarung beras sebagai pembanding berkelas kata frasa nomina. Pada contoh (40), berat kaki dikatakan sama dengan berat sekarung beras. Berat satu karung beras biasanya mencapai 20 kg dan inilah yang dirasakan oleh tokoh aku sebagai pelaku dalam cerita tersebut.

Adapun pada contoh (41), otot dianggap sama dengan sapi bunting. Kata otot bermakna „jaringan kenyal dalam tubuh manusia dan hewan yang berfungsi menggerakkan organ tubuh‟ sedangkan sapi bunting adalah sapi yang dalam keadaan mengandung anak dalam perut. Kata otot sebagai terbanding menduduki kelas kata nomina khusus anggota tubuh. Otot yang bertonjolan dianggap sama besar dengan sapi bunting. Perut sapi yang dalam keadaan bunting tentu menonjol atau tampak bertonjolan. Demikian sapi bunting dikatakan sama dengan otot yang bertonjolan.

Selain contoh (41), contoh (42) membandingkan kelopak mata dengan batu. Keduanya dikatakan sama dalam hal berat. 138

Secara denotatif, kelopak mata adalah kulit penutup mata; pelupuk mata sedangkan batu adalah benda keras dan padat yang berasal dari bumi atau planet lain, tetapi bukan logam. Kata kelopak mata sebagai terbanding menduduki kelas kata nomina khusus anggota tubuh sedangkan batu sebagai pembanding menduduki kelas kata nomina khusus benda-benda padat dan berat. Pada contoh (42), tokoh aku bercerita tentang kelopak mata yang dianggap sama beratnya dengan batu.

(2) Nomina Bunyi

Pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan pilhan kata yang berkelas kata nomina bunyi dalam NTLP dapat dilihat pada contoh berikut ini.

(43) Mendengar lengkingan Benyamin S. pendukung kami melonjak- lonjak seperti orang kesurupan. Suara mereka riuh rendah laksana kawanan kumbang kawin. (LP: 370) (44) Syair demi syair lagu itu merambati dinding-dinding papan tua kelas kami, hinggap di daun-daun kecil linaria seperti kupu-kupu cantik thistle crescent, lalu terbang hanyut di bawa awan-awan tipis menuju ke utara. (LP: 137) (45) Namun, biola sama sekali tak sudi takzim mematuhi mauku. Suaranya seperti anak kucing dicekik. (MK: 306)

Penanda linguistik gaya bahasa simile pada contoh (43) sampai dengan (45) adalah kata laksana dan seperti. Pada contoh

(43), kata suara dibandingkan dengan kawanan kumbang. Kata suara pada contoh tersebut bermakna „bunyi binatang, alat perkakas‟ dan sebagainya‟ sedangkan kumbang bermakna

„serangga yang besar dan hitam berkilap warnanya‟. Suara sebagai 139

terba nding berkelas kelas kata nomina khusus nomina bunyi sedangkan kumbang sebagai pembanding berkelas kata nomina khusus nomina fauna. Contoh (43) membandingkan suara para tokoh dalam kisah layaknya kawanan kumbang yang sedang kawin. Kawanan kumbang yang kawin akan mengeluarkan suara bising sama seperti suara tokoh (mereka) yang digambarkan dalam contoh (43).

Selanjutnya, contoh (44) membandingkan secara tidak langsung kata lagu dan kupu-kupu. Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBBI) V luring, lagu berarti „ragam suara yang berirama

(dalam bercakap, bernyanyi, membaca, dan sebagainya)‟ sedangkan kupu-kupu bermakna „serangga bersayap lebar, umumnya berwarna cerah‟. Lagu sebagai terbanding berkelas kata nomina khusus nomina bunyi sedangkan kupu-kupu sebagai pembanding berkelas kata nomina khusus nomina fauna. Contoh

(44) bercerita tentang syair lagu yang dianggap sama dengan kupu-kupu. Hubungan keduanya terjalin karena syair lagu yang merambat ke segela arah dan tempat dianggap sama dengan kupu-kupu yang terbang ke sana ke mari. Contoh (45) membandingkan kata suara (biola) dengan frasa anak kucing.

Suara yang dihasilkan oleh biola tersebut dianggap tidak sopan atau tidak takzim mengikuti keinginan pemain biola sehingga suara yang dihasilkan layaknya anak kucing yang dicekik. Suara yang 140

dihasilkan dari anak kucing yang dicekik itu tidak merdu, melainkan terdengar parau.

Adapun pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan pilhan kata yang berkelas kata nomina bunyi dalam NTNLM dapat dilihat pada contoh dibawah ini.

(46) Dengungan suara ribuan orang mendaras Al-Quran malah menjadi seperti dendang pengantar tidur yang mujarab. (NLM: 69) (47) Dibagian imigrasi, suara baritone petugas imigrasi berbadan raksasa terasa bagai nyanyian merdu. (RTW: 256) (48) Printer dotmatrix ini memekik-mekik gaduh. Tapi suara itu bagai nyanyian merdu di kupingku. (RTW: 71)

Berbeda halnya dengan contoh yang diperoleh pada novel tetralogi “Laskar Pelangi, pada NTNLM ranah sumber dan ranah sasaran sama-sama diisi oleh nomina khusus bunyi. Contoh (46) sampai dengan (48) menunjukkan adanya penggunaan kata suara sebagai terbanding yang menduduki kelas kata nomina bunyi sedangkan kata dendang dan nyanyian sebagai pembanding juga menduduki kelas kata nomina khusus nomina bunyi.

Contoh (46) menceritakan suara ribuan orang mendaras Al-

Quran layaknya dendang pengantar tidur yang mujarab. Kata dendang dalam contoh ini maksdunya adalah nyanyian ungkapan rasa senang, gembira dan sebagainya. Jadi, suara pendaras Al-

Quran yang dimaksud pada contoh (46) sama dengan nyanyian pengantar tidur. Adapun suara baritone pada contoh (47) dianggap 141

sama dengan nyanyain merdu. Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBBI) V luring, nyanyian adalah komponen musik pendek yang terdiri atas lirik dan lagu. Berdasarkan arti nyanyian ini, dapat dikatakan bahwa suara yang dihasilkan oleh printer dotmatrix pada contoh (48) menjadi suara yang tidak biasa.

Namun, suara tersebut bak nyanyian merdu di telinga pendengarnya.

(3) Nomina Persona

Pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan pilhan kata yang berkelas kata nomina persona pada NTLP dapat dilihat pada contoh di bawah ini.

(49) Mahader sudah seperti cacing kepanasan dari tadi. Seperti aku, Arai, dan Jimbron, ia termasuk dalam gelombang besar endemik kemiskinan yang melanda anak‐anak para kuli timah ketika perusahaan itu mulai diintai kolaps pertengahan 80‐an. (SP: 74) (50) Dari kejauhan aku dan Arai sering terpingkal-pingkal melihat Jimbro bertingkah seperti kelinci berdiri. (SP: 80) (51) Ia menindihku rapat-rapat, tubuhnya yang gempal berenang-renang penuh gairah di atasku yang terjepit berdengik-dengik, dan Arai yang berdiri di bangku seperti tupai melolong-lolong panjang dan merdu, “Aufffhhhh…auuuuuuufffhhh…aauuuuuuffffffhhh…” (SP: 125) Contoh (49) sampai dengan (51) menunjukkan gaya bahasa simile yang ditandai dengan kata seperti. Pada contoh (49), kata

Mahader sebagai terbanding berkelas kata nomina persona sedangkan pembanding diisi dengan sebuah peribahasa cacing kepanasan. Mahader dianggap sama dengan cacing kepanasan. 142

Peribahasa cacing kepanasan memiliki arti seseorang yang tidak tenang atau gelisah. Mahader pada contoh (48) diceritakan tengah dalam keadaan gelisah. Kegelisahan tersebut berkenaan dengan kesulitan hidup yang dialami oleh semua warga belitong pada saat itu.

Adapun contoh (50) membandingkan secara eksplisit antara kata Jimbro dan kelinci. Kelinci adalah binatang mamalia yang mengunggis, mempunyai telinga panjang dan ekor pendek, rupanya seperti marmot besar. Pada contoh (50) ini, Jimbro sebagai terbanding berkelas kata nomina khusus nomina persona sedangkan kelinci sebagai pembanding berkelas kata nomina khusus nomina fauna. Contoh (50) menjelaskan tingkah Jimbro yang seperti kelinci berdiri. Kelinci memiliki kebiasaan memantau lingkungan sekitarnya dengan cara berdiri dengan kedua kaki belakang dan kaki depannya terlihat menggantung, bahkan hal tersebut dapat kelinci lakukan sambil makan. Hal ini menjadi sifat alamiah kelinci untuk melindungi diri. Demikian hal tersebut juga terjadi pada Jimbro sehingga kelinci dan Jimbro dianggap punya pertalian.

Terakhir, contoh (51) juga membandingkan nomina persona dengan nomina binatang yaitu antara kata Arai dan tupai. Dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, tupai adalah binatang pengunggis buah-buahan, berbulu halus, berwarna kuning 143

atau cokelat, dan hidup di atas pohon. Contoh (51) menceritakan

Arai yang berdiri layaknya tupai yang melolong-lolong panjang dan merdu. Tupai memiliki kebiasaan melolong dimalam hari. Demikian

Arai yang berdiri dibangku dianggap sama dengan tupai yang melolong. Aria sedang memainkan peran layaknya pemain film dihadapan banyak penonton (siswa) sebagai bentuk hukuman atas pelanggaran yang dilakukannya bersama Jimbro.

Selain itu, dalam NTLP juga ditemukan contoh pewujudan gaya bahasa berdasarkan kelas kata nomina persona dengan pembanding yang berkelas kata nomina persona nama diri.

(52) Lintang dan Mahar seperti Faraday kecil dan Warhol mungil dalam satu kelas, atau laksana Thomas Alva Edison muda dan Rabindranath Tagore junior yang berkumpul. (LP: 140) (53) Bang Zaitun hadir di depan kami seumpama reinkarnasi Frank Sinatra. (SP: 198) (54) Maka Tuk tak ubahnya Robin Hood, pahlawan yang mencuri untuk menolong kaum papa, atau orang yang berbuat baik dengan cara yang salah. (LP: 314)

Contoh (52) sampai dengan (54) adalah contoh penggunaan gaya bahasa simile. Adapun penanda lingustik gaya bahasa simile pada contoh tersebut, yaitu kata seperti, laksana, dan tak ubahnya.

Ranah sumber atau terbanding diisi oleh kelas kata nomina persona sedangkan ranah sasaran atau pembanding juga diisi oleh nomina persona. Contoh (52) membandingkan secara eksplisit antara Lintang dan Faraday serta Mahar dan Warhol. Michael

Faraday adalah salah satu penemu yang banyak menghasilkan 144

temuan-temuan yang bermanfaat bagi dunia. Penemuan Faraday pertama yang penting dibidang listrik terjadi tahun 1821. Adapun

Andy Warhol adalah seorang seniman yang terkenal sebagai tokoh

“The Visual Art Movement” atau Gerakan Seni Rupa yaitu Seni Pop

(Pop Art). Pada contoh (52), Mahar yang memiliki bakat dibidang seni, dianggap sama dengan tokoh Warhol sedangkan Lintang yang memiliki keahlian dalam bidang studi matematika dianggap sama dengan Faraday. Selain itu, keduanya juga dibandingkan dengan Thomas Alva Edison dan Rabindranath Tagore. Thomas

Alva Edison sebagai penemu pertama lampu pijar dianggap sama dengan Lintang, sementara Rabindranath Tagore sebagai seorang pelukis dan penyair dianggap sama dengan Mahar. Keberadaan

Mahar dan Lintang di sekolah Muhammadiyah dianggap sama dengan para tokoh dunia tersebut berkat keahlian dan kecerdasan yang mereka miliki.

Contoh (53) membandingkan tokoh Bang Zaitun dengan

Frank Sinatra. Frank Sinatra adalah penyanyi terkenal Amerika dan seorang aktor pemenang Oscar. Contoh (53) menceritakan tokoh

Bang Zaitun sebagai seorang seniman musik dan pimpinan orkes melayu yang dianggap reinkarnasi dari Frank Sinatra. Keduanya dianggap memiliki hubungan karena sama-sama menggeluti bidang yang sama, yakni musik. 145

Adapun contoh (54), tokoh Tuk Bayan Tula atau Tuk dianggap sama dengan Robin Hood. Robin Hood adalah pahlawan rakyat Inggris yang awalnya merupakan seorang penjahat yang akhirnya menjadi pencari keadilan dan menjadi sosok yang memperjuangkan kaum miskin. Adapun Tuk dianggap ahli menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh praktik klenik jahat untuk mencelakakan orang. Demikian sosok keduanya sehingga

Tuk dianggap sama dengan Robin Hood.

Adapun pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata nomina persona dalam NTNLM dapat dilihat pada contoh di bawah ini.

(55) Dikananku, Wira si kera ngalam yang berparas putih ini telah menjelma seperti udang direbus matang. Merah padam.Matanya tidak lepas menantang telunjuk Jumbo yang menghardiknya. (RTW: 55) (56) Seperti gajah jinak ditepuk-tepuk pawangnya, Jumbo hanya kuyu dan pucat. Kegarangannya telah raib ditelan angin. (RTW: 57) (57) Kalau sudah begini, Said yang juara ngantuk di kelas kami menjelma menjadi seperti seekor singa yang siaga dan siap menerkam. (NLM: 106)

Contoh (55) membandingkan secara eksplisit antara kata

Wira dan udang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, udang adalah binatang tidak bertulang, hidup dalam air, berkulit keras, berkaki sepuluh, berekor pendek, dan bersepit dua pada kaki depannya. Wira sebagai terbanding berkelas kata nomina khusus nomina persona sedangkan udang sebagai pembanding berkelas kata nomina khusus nomina fauna. Contoh 146

(55) menceritakan tokoh Wira yang dalam keadaan jengkel, marah sehingga paras wajahnya menjelma menjadi merah padam layaknya udang yang direbus matang.

Selanjutnya, pada contoh (56) kata Jumbo yang berkelas kata nomina persona dibandingkan dengan kata gajah yang berkelas kata nomina fauna. Contoh (56) menceritakan tokoh

Jumbo yang dianggap sama dengan gajah jinak yang ditepuk-tepuk pawangnya. Dalam keadaan tersebut, gajah biasanya menunjukkan muka yang muram dan lesu. Demikian keadaan tersebut dianggap sama dengan wajah Jumbo yang tampak kuyu dan pucat.

Adapun contoh (57), tokoh Said dibandingkan dengan singa.

Perbandingan kedua kata tersebut didasarkan pada sifat dasar yang dimiliki oleh seekor singa yaitu buas dan selalu menerkam mangsanya. Sifat tersebut diasosiaikan ke dalam karakter Said yang secara tiba-tiba menjelma menjadi penuh semangat. Contoh

(57) menceritakan Said sebagai juara mengantuk di kelas menjelma menjadi sosok yang bersemangat dengan gairah menggebu-gebu layaknya seekor singa yang siaga dan siap menerkam.

(4) Nomina Fauna

Penggunaan gaya bahasa simile berdasarkan kelas kata nomina khusus nomina fauna hanya ditemukan pada NTLP dan 147

tidak ditemukan pada NTNLM . Contoh penggunaan gaya bahasa simile berdasarkan kelas kata nomina fauna tersebut dapat dilihat sebagai berikut:

(58) Ganjil sekali, buaya itu seperti takluk, mengibas- ngibaskan ekornya laksana seekor anjing yang ingin mengambil hati tuannya…(LP: 89) (59) Burung yang konon sangat cantik dengan dominasi warna biru dan kuning ini berukuran seperti burung bayan. (LP: 184) (60) Sungguh di luar dugaanku seekor kuda Australia ternyata amat besar seperti gajah dan ia demikian mengagumkan. (SP: 171) Contoh (58) sampai dengan (60) menunjukkan perbandingan tidak langsung yang ditandai dengan penggunaan kata laksana dan seperti. Contoh (58) membandingkan kata buaya dan frasa seekor anjing yang keduanya menduduki kelas kata nomina khusus nomina fauna. Contoh (58) bercerita tentang buaya yang takluk (menyerah kalah; tunduk) mengibas-ngibaskan ekor layaknya seekor anjing yang ingin mengambil hati tuannya. Anjing yang berupaya mengambil hati tuannya biasanya tampak jinak dan berupaya memperoleh hati tuannya dengan mendekat berharap perhatian. Hal serupa tampaknya dilakukan oleh buaya pada contoh (58) tersebut.

Adapun contoh (59), kata burung dibandingkan dengan frasa burung bayan. Terbanding dan pembanding sama-sama berkelas kata nomina fauna. Burung sebagai terbanding pada contoh (59) ini disebut sebagai burung pelintang pulau. Dalam Kamus Besar 148

Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, bayan adalah burung yang

termasuk keluarga kakaktua, membuat sarang di lubang pohon,

yang jantan sebagian besar bulunya berwarna hijau terang

sedangkan yang betina berwarna merah campur biru. Burung

bayan juga dikenal sebagai burung nuri. Burung pelintang pulau

dianggap memiliki kesamaan dengan burung bayan. Kesamaan

keduanya terletak pada kecantikan warna bulu keduanya.

Selanjutnya, contoh (60) membandingkan frasa kuda

Australia dengan gajah. Kuda Australia adalah salah satu jenis

kuda yang masuk ke Australia dengan ukuran tubuh yang cukup

besar. Ukuran tubuh kuda Australia yang tegap besar dianggap

memiliki kesamaan dengan gajah yang juga memiliki ukuran tubuh

yang besar. c) Pilihan Kata yang Berkelas Kata Adjektiva

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, adjektiva adalah kata yang menerangkan nomina (kata benda) dan secara umum dapat bergabung dengan kata lebih dan sangat. Gaya bahasa simile berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata adjektiva hanya ditemukan pada NTLP. Uraian pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata adjektiva dengan pembanding yang diisi oleh beberapa jenis kelas kata, dapat dilihat sebagai berikut:

149

(1) Nomina Benda Alam

Pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan kelas kata adjektiva dengan pembanding yang diisi oleh nomina benda alam dapat dilihat pada contoh berikut:

(61) Diberandanya, dahan-dahan bantan merunduk kuyu menekuri nasib anak-anak nelayan yang terpaksa bekerja. Salah satunya aku kenal: Laksmi. Seperti laut, mereka diam. (SP: 3) (62) Rendah, tinggi, pelan, kencang, berbisik laksana awan, marah laksana topan, memekakkan laksana ledakan gunung berapi, lalu diam tenang laksana danau di tengah rimba raya. (LP: 141) (63) Pilihan nada itu demikian indah hingga terdengar laksana aliran sungai-sungai di bawah taman surga. (LP: 150)

Contoh (61) sampai dengan (63) menunjukkan adanya penggunaan gaya bahasa simile. Adapun penanda linguistik yang menandai gaya bahasa tersebut, yaitu kata seperti dan laksana.

Contoh-contoh yang ditampilkan menunjukkan bahwa terbanding diisi oleh kelas kata adjektiva sedangkan pembanding diisi oleh kelas kata nomina benda alam seperti kata laut, awan, topan, danau, dan sungai. Contoh (61) membandingkan secara eksplisit kata diam dan laut. Laut sebagai benda alam yang tidak bernyawa, yang mampu menciptakan ketenangan dianggap memiliki hubungan dengan kata diam. Jadi, tokoh mereka yang dimaksud pada contoh

(61) diumpamakan seperti laut karena mereka diam.

Contoh (62), kata rendah, tinggi, pelan, kencang dibandingkan dengan kata awan. Kata rendah, tinggi, pelan, 150

kencang merupakan kata sifat yang saling berlawanan. Kedua pasangan kata antonim tersebut menjadi sifat yang dimiliki awan.

Tinggi-rendah berkenaan dengan letak atau posisi awan tersebut di atas langit, pelan-kencang berkenaan dengan gerakan awan di atas langit. Adapun kata marah dibandingkan dengan kata topan. Dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, topan bermakna

„siklon tropis yang berkecepatan sangat tinggi; angin ribut; badai‟.

Pada contoh (62) ini, kata adjektiva marah dianggap sama dengan topan. Hal ini dimungkinkan karena topan dianggap sama dengan angin ribut yang berkekuatan melebihi 12 skala Beaufort sehingga kemarahan diidentikkan dengan topan. Selanjutnya, kata diam pada contoh (62) diibaratkan danau di tengah rimba raya. Tentu saja ketenangan danau di tengah hutan lebat sangat terpelihara.

Berdasarkan hal tersebut sehingga kedua kata tersebut dianggap punya pertalian. Kemudian, contoh (63) kata indah dibandingkan dengan frasa aliran sungai –sungai. Nada yang indah dianggap sama dengan aliran sungai-sungai di bawah taman surga. Sungguh apapun itu jika di berada di surga tentu akan indah.

(2) Nomina Fauna

Di samping nomina benda alam, pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan kelas kata adjektiva juga diisi oleh kelas kata nomina fauna sebagai pembanding. Pewujudan gaya bahasa simile dalam NTLP tersebut dapat dilihat di bawah ini: 151

(64) Pasti bahasa Belanda, karena seluruhnya dibunyikan dari kerongkongan, berat seperti beruang menderam- deram. (EDS: 58) (65) Hitam pekat berminyak-minyak, serupa kayu mahoni yang dipernis tebal, licin mengilap seperti seekor kumbang jantan. (SP: 170-171) (66) Sebaliknya yang mereka saksikan adalah gerakan rancak tanpa pola dan ekspresi bebas spontan dari tubuh-tubuh muda yang lentik meliuk-liuk seperti gelombang samudra, garang seperti luak, dan menyengat laksana lebah tanah. (LP: 238) (67) Aku jadi berantakan dan basah seperti kucing kehujanan, namun aku tak berkutik karena mereka sangat kompak, cepat, terencana, dan sistematis. (LP: 307)

Contoh (64) menunjukkan adanya penggunaan gaya bahasa simile dengan penanda linguistik kata seperti. Pada contoh (64) kata berat dibandingkan dengan kata beruang. Berat sebagai terbanding berkelas kata adjektiva sedangkan beruang sebagai pembanding berkelas kata nomina khusus nomina fauna. Contoh (64) menggambarkan bahasa Belanda yang dibunyikan dari kerongkongan memiliki sifat berat sama dengan beruang yang menderam-deram. Beruang memiliki vokalisasi, termasuk geraman, merengek, mengaum, suara menyeruput dan kehaduhan yang mengerikan. Atas kesamaan inilah sehingga bahasa Belanda dianggap berat sama dengan beruang yang menderam-deram.

Adapun contoh (65) sampai dengan (67) masih menunjukkan adanya penggunaan gaya bahasa simile dengan penanda linguistik kata seperti. Berdasarkan contoh yang ditampilkan, kata yang menduduki posisi terbanding diisi oleh kelas 152

kata adjektiva, yaitu licin, garang, dan basah sedangkan kata yang menduduki posisi pembanding diisi oleh kelas kata nomina fauna, yaitu kumbang jantan, luak, dan kucing.

Contoh (65) membandingkan secara eksplisit antara kata licin dan kumbang jantan. Secara denotatif, licin berarti „tidak kasar, halus‟ sedangkan kumbang adalah serangga yang besar dan hitam berkilap warnanya. Pada contoh (65), licin sebagai kata yang berkelas kata adjektiva dianggap mempunyai korelasi dengan kumbang jantan. Kata sifat licin termaktub ke dalam karakter warna kumbang jantan yang berkilap sehingga kedua kata terlihat dibandingkan.

Selanjutnya, contoh (66) kata garang dibandingkan dengan luak. Kata garang berarti „pemarah lagi bengis; galak; ganas‟ sedangkan luak adalah musang. Musang adalah salah satu jenis binatang menyusui dengan karakter galak. Sifat galak dan liar yang ada pada musang atau luak tersebut menjadikan dua kata yaitu garang dan luak ini dianggap sama.

Contoh (67) membandingkan kata basah dan kucing. Kata basah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring bermakna „mengandung air atau barang cair‟. Berdasarkan makna kata tersebut, keadaan tokoh aku yang dalam keadaan basah dianggap sama dengan kucing kehujanan. Seekor kucing bila 153

terkena hujan, bulunya menjadi berantakan sehingga tampak tidak rapi. Begitulah tokoh aku dideskripsikan pada contoh (67).

(3) Nomina Berkarakter Keras

Pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan kelas kata adjektiva dengan pembanding yang diisi oleh nomina berkarakter keras dalam NTLP dapat dilihat pada contoh berikut ini.

(68) “Itulah kalau kau mau tahu watak ibumu! Keras seperti kawat! Aku marah besar!” (EDS: 15) (69) Ayahku yang pendiam, tak pernah sekolah, puluhan tahun menjadi kuli tambang. Paru-paru disesaki gas- gas beracun, napasnya berat, tubuhnya keras seperti kayu. (EDS: 48) (70) Aku menjadi kurus tapi keras berisi, hitam legam seperti aspal. (SP: 242)

Contoh (68) sampai dengan (70) menunjukkan adanya penggunaan gaya bahasa simile yang ditandai dengan kata seperti.

Berdasarkan contoh yang ditampilkan, kata yang menduduki posisi terbanding diisi oleh kelas kata adjektiva yaitu keras dan hitam sedangkan kata yang menduduki posisi pembanding diisi oleh kelas kata nomina yang memiliki karakter dasar keras seperti kata kawat, kayu dan aspal.

Contoh (68) menceritakan watak tokoh ibu yang dianggap keras layaknya kawat. Penggunaan perbandingan ini berangkat dari hubungan yaitu sebuah sifat yang menjadi bagian atau karakter dari kata yang lain. Sifat keras menjadi karakter dari sebuah kawat yang terbuat dari logam. Adapun contoh (69) menceritakan tubuh yang keras seperti kayu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V 154

luring, kayu adalah pohon yang batangnya keras. Tubuh ayah Ikal

yang keras diasosiasikan sebagai kayu. Selanjutnya contoh (70)

menceritakan tokoh aku yang hitam legam seperti aspal. Kata hitam

pada contoh (70) ini berarti „warna dasar yang serupa dengan warna

arang‟ sedangkan aspal berarti „campuran hidrokarbon alam yang

amorf dan berwarna cokelat hitam‟. Ada hubungan yang bersifat

tidak langsung antara kata hitam dan aspal sehingga dianggap

bertalian. Untuk mengungkap warna hitam bisa digunakan kata

aspal karena aspal mengandung sifat atau berwarna hitam. d) Pilihan Kata yang Berkelas Kata Pronomina

Pronomina adalah kelas kata yang berfungsi untuk menggantikan nomina. Berikut uraian pewujudan gaya bahasa simile pada NTLP dan NTNLM berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata pronomina.

(1) Pronomina Persona Pertama Jamak

Pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan kelas kata

pronomina persona pertama jamak pada NTLP dapat dilihat pada

contoh berikut ini.

(71) Semua ini sangat kontradiktif dengan kemiskinan turun temurun penduduk asli Melayu Belitong yang hidup berserakan di atasnya. Kami seperti sekawanan tikus yang paceklik di lumbung padi. (LP: 38-39) (72) Kami adalah sepuluh umpan nasib dan kami seumpama kerang-kerang halus yang melekat erat satu sama lain dihantam deburan ombak ilmu.(LP: 85) (73) Kami seperti anak-anak bebek. Tak terpisahkan dalam susah dan senang. Induknya adalah Bu Mus.(LP: 85) 155

(74) Bak sekeluarga lumba-lumba, kami beradu berenang sampai ke ujung Semenanjung. (MK: 81) Penggunaan gaya bahasa simile ditunjukkan pada contoh

(71) sampai dengan (74). Contoh tersebut membandingkan secara eksplisit kata yang berkelas kelas kata pronomina persona pertama jamak, yaitu kami dengan frasa yang berkelas kata nomina fauna, yaitu sekawanan tikus, kerang-kerang, dan anak-anak bebek.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, kata kami berarti „yang berbicara bersama dengan orang lain (tidak termasuk yang diajak berbicara); yang menulis atas nama kelompok, tidak termasuk pembaca‟. Kata kami pada contoh (71) merujuk kepada para laskar pelangi (Ikal, Lintang, Mahar,dll) yang dianggap sama dengan sekawanan tikus. Sekawanan tikus berarti

„sekumpulan binatang (tikus) yang berkawan‟. Pemilihan kata tikus untuk menggambarkan tokoh kami yang dikisahkan pada contoh

(71), berhubungan dengan kondisi yang dihadapi atau dialami tokoh tersebut. Kemiskinan yang melanda tokoh kami dalam contoh ini sama halnya dengan kondisi yang dialami sekawanan tikus yang paceklik di lumbung padi. Jadi, untuk menggambarkan kemiskinan yang dihadapi tidak secara terang-terang diungkapkan, melainkan dengan menggunakan gaya bahasa perbandingan tersebut.

Pada contoh (72) dan (73), kata kami juga merujuk kepada para laskar pelangi dan secara berturut-turut dianggap sama dengan kerang-kerang dan anak-anak bebek. Pemilihan kata kerang-kerang 156

untuk menggambarkan kebersaman para laskar pelangi yang sama dengan kerang-kerang yaitu saling melekat satu sama lain meskipun dihantam debur ombak. Begitupun dengan contoh (73). Tokoh

Lintang, Ikal, Mahar, dan lain-lain dianggap sama dengan anak-anak bebek. Karakter mendasar dari bebek adalah selalu jalan bersama mengikuti induknya. Demikian pilihan kata tersebut dianggap mampu menggambarkan kebersamaan para laskar pelangi yang tak terpisahkan baik susah maupun senang dengan induk bernama Bu

Mus.

Selanjutnya, pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata pronomina persona pertama jamak dalam NTNLM dapat dilihat pada contoh sebagai berikut:

(75) Bagai kawanan singa yang berburu mangsa di gurun Afrika, malam itu kami langsung beroperasi secara berkelompok, berkeliling dari asrama ke asrama. (NLM: 80) (76) Setelah lelah bermain, kami tidak ubahnya seperti kerbau keluar dari kubangan. (NLM: 162) (77) Kami bagai ribuan semut ribut mengelilingi sebutir gula mungil. (NLM: 183)

Contoh (75) sampai dengan (77) menunjukkan gaya bahasa simile dengan penanda linguistik, yaitu kata bagai dan seperti. Ketiga contoh tersebut menunjukkan perbandingan antara kata kami yang berkelas kata pronomina persona pertama jamak dan kata kerbau, frasa kawanan singa dan ribuan semut yang berkelas kelas kata nomina khusus nomina fauna. Contoh (75) kawanan singa dianggap sama dengan kami yang merujuk kepada para anggota sahibul 157

menara yang bertugas sebagai jasus (penjaga malam) pondok

Madani. Para sahibul menara dianggap seperti kawanan singa karena mereka berkeliling asrama mengintai keamanan asrama layaknya singa yang berburu mangsa di gurun Afrika.

Adapun pada contoh (76) kata kami diibaratkan kerbau.

Kami yang juga merujuk kepada para anggota sahibul menara ini dianggap sama dengan kerbau keluar dari kubangan. Kerbau yang baru saja keluar dari kubangan itu sangat kotor karena penuh lumpur. Demikian hal tersebut disamakan dengan para sahibul menara yang usai bermain. Contoh (77) menunjukkan perbandingan antara kata kami dan frasa ribuan semut. Berkenaan dengan sifat semut yang cenderung berkerumun pada makanan yang manis, para sahibul menara yang berkumpul mendongak ke pesawat televisi dianggap sama dengan ribuan semut yang mengelilingi sebutir gula mungil. Gula mungil ini diibaratkan pesawat televisi.

(2) Pronomina Persona Pertama Tunggal

Pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan kelas kata pronomina persona pertama tunggal hanya ditemukan pada NTLP.

Pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan kelas kata pronomina persona pertama tunggal tersebut dapat dilihat pada contoh sebagai berikut:

(78) Aku merasa seperti tupai yang sibuk menggendong pinangnya, kura-kura yang mengerut ke dalam tamengnya, atau siput yang sembunyi di balik cangkangnya. (EDS: 42) 158

(79) Di Sorbonne, setiap hari aku diracuni ilmu meski aku tak ubahnya anaknya burung puyuh yang tersuruk- suruk mengejar induk belibis. (EDS: 129)

Contoh (78) dan (79) menunjukkan adanya penggunaan gaya bahasa simile dengan penanda linguistic, yaitu kata seperti dan tak ubahnya. Penanda linguistik yang menunjukkan pilihan kata yang berkelas kata pronomina persona pertama ialah kata aku. Kata aku menduduki posisi terbanding sedangkan tupai, kura-kura, siput dan anaknya burung puyuh menduduki posisi pembanding. Pada contoh

(78), tokoh aku (Ikal) dianggap sama dengan tupai, kura-kura, dan siput. Perbandingan ini didasarkan pada kondisi yang sedang dihadapi Ikal dalam cerita. Ikal pada contoh ini diceritakan sedang dalam keadaan bosan sebab menjalani rutinitas yang begitu-begitu saja seperti halnya tupai yang sibuk menggendong pinangnya. Pada keadaan ini, tupai yang sibuk menggendong pinang, kura-kura yang mengerut ke dalam tamengnya dan siput yang sembunyi di balik cangkangnya adalah rutinitas yang dilakukan oleh binatang-binatang tersebut secara terus menerus dan hal itulah yang diperbandingkan dengan perasaan yang sedang dihadapi Ikal.

Selanjutnya, contoh (79) membandingkan aku dengan bentuk anaknya burung puyuh. Contoh ini menceritakan proses belajar yang dilalui Ikal di Sorbonne yang diasosiasikan dengan anak burung puyuh yang meninggalkan tempat untuk mengejar induk belibis. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, 159

belibis adalah burung (liar) yang rupanya seperti itik. Berdasarkan perbandingan tersebut, contoh (79) yang mengisahkan sebuah proses belajar yang sangat ketat dan keras yang dilalui Ikal di

Sorbonne dianggap sama dengan anak burung puyuh yang mengejar induk belibis. Pekerjaan mengejar induk belibis adalah sebuah pekerjaan yang membutuhkan perjuangan besar.

(3) Pronomina Persona Ketiga Tunggal

Di samping pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan kelas kata pronomina persona pertama tunggal, pada NTLP juga ditemukan contoh pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan kelas kata pronomina persona ketiga tunggal sebagai berikut:

(80) Lalu masih sempat ia menutupi kepalanya dengan sarung. Ia seperti anak ayam yang ingin bersembunyi di depan hidung elang. Pak Mustar menyentak sarungnya sambil berteriak. (SP: 112) (81) Ia menoleh padaku tapi tubuhnya tak berbalik, hanya lehernya yang berputar dengan ukuran derajat yang tidak masuk akal. Hampir seratus delapan puluh derajat! Ia seperti burung hantu. (SP: 159) (82) Ia amat berbeda dengan kami dalam semua hal. Ia seumpama bangau Hokaido yang anggun tersasar ke kandang itik. (LP: 358)

Contoh (80) sampai dengan (82) menunjukkan adanya penggunaan gaya bahasa simile yang ditandai dengan kata seperti dan seumpama. Penanda linguistik yang menunjukkan pilihan kata yang berkelas kata pronomina persona ketiga tunggal ialah kata ia.

Kata ia menduduki posisi terbanding sedangkan frasa anak ayam, burung hantu dan bangao Hokaido menduduki posisi pembanding. 160

Pada contoh (80), ia yang dimaksud adalah Jimbro yang dianggap sama dengan anak ayam. Perbandingan yang mendasari bentuk ia

(Jimbro) dengan frasa anak ayam yakni berkaitan dengan kondisi atau situasi yang dihadapi tokoh dalam cerita. Pada keadaan tersebut, Jimbro dianggap sama seperti anak ayam yang bersembunyi di depan hidung elang. Jimbro diibaratkan sebagai anak ayam karena Jimbro merupakan salah seorang murid dari sekolah

Muhammadiyah sedangkan elang yang dimaksud adalah Pak

Mustar. Ia dikatakan seperti anak ayam yang ingin bersembunyi di depan hidung elang karena Jimbro tidak mengetahui keberadaan

Pak Mustar yang telah berada di depan mata.

Adapun contoh (81) kata ia merujuk kepada Jimbro. Jimbro kembali diasosiasikan sebagai binatang yaitu burung hantu.

Perbandingan tersebut didasarkan pada hal atau perbuatan yang dilakukan Jimbro. Jimbro yang memutar lehernya hampir seratus delapan puluh derajat dianggap sama dengan burung hantu yang juga memiliki kemampuan tersebut. Selanjutnya, pada contoh (82) kata ia merujuk kepada Flo. Flo dianggap seumpama bangau

Hokaido. Bangau Hokaido atau disebut juga bangau Jepang atau bangau mahkota merah adalah jenis bangau paling langka kedua.

Bangau ini menjadi simbol keberuntungan. Flo yang bernasib baik jika dibandingkan dengan teman-teman kelasnya yang lain dianggap seperti bangau Hokaido yang anggun dan tersasar ke kandang itik. 161

Selain pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan kelas kata pronomina persona ketiga tunggal dengan pembanding yang diisi oleh kelas kata nomina fauna, juga ditemukan pembanding yang diisi oleh kelas kata nomina nama diri. Berikut contoh pewujudan gaya bahasa tersebut.

(83) Dalam mata ayah, jelas kubaca ia tak tega kepadaku. Posisinya serbasalah.Ia bak Ibrahim yang diperintah Tuhan menyembelih anaknya. (EDS: 23) (84) Bu Mus memandangi Flo dari samping Mahar yang baru saja dimarahinya habis-habisan dan Flo yang berandal berdiri tegak di depan kelas seperti orang mengambil pose untuk peragaan kaus kaki Italia model terbaru. Meskipun seperti laki-laki tapi ia sesungguhnya gadis remaja yang menawan, dan kulitnya indah luar biasa. Di kelas ini ia laksana Winona Ryder yang diutus UNICEF untuk membesarkan hati para penderita lepra di sebuah kampung kumuh di Sudan. (LP: 354)

Contoh (83) dan (84) menunjukkan adanya penggunaan gaya bahasa simile dengan penanda linguistic, yaitu bak dan laksana. Pada contoh (83), kata ia merujuk kepada ayah yang diibaratkan sebagai Ibrahim. Perbandingan tersebut didasarkan pada situasi bimbang yang sedang dihadapi ayah ketika hendak menghukum Ikal. Kebimbangan yang hadapi ayah dianggap sama dengan kebimbangan Ibrahim yang diperintah oleh Allah SWT untuk menyembelih anaknya. Selanjutnya, contoh (84) membandingkan kata ia yang merujuk kepada Flo dengan Winona Ryder. Winona

Ryder adalah seorang aktris Amerika Serikat unggulan Academy

Award dengan paras yang cantik serta kulit yang putih bersih. Atas 162

dasar kesamaan ciri fisik itulah sehingga tokoh ia (Flo) dianggap sama dengan Winona Ryder.

(4) Pronomina Persona Ketiga Jamak

Pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan kelas kata pronomina persona ketiga jamak hanya ditemukan pada NTLP.

Pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan kelas kata pronomina persona ketiga jamak tersebut dapat dilihat pada contoh berikut ini.

(85) Dalam sekejap jalan raya dipenuhi para kuli yang pulang sebentar. Lapar membuat mereka tampak seperti semut-semut hitam yang sarangnya terbakar. (LP: 52) (86) Ada keindahan yang unik dalam interaksi masing- masing sifat para sahabatku. Tersembunyi daya tarik pada cara mereka mengartikan sekstan untuk mengukur diri sendiri,…Tak jarang mereka seperti kelelawar yang tersasar masuk ke kamar, menabrak- nabrak kaca ingi keluar dan frustasi.(LP: 84) (87) Mereka juga seperti seekor parkit yang terkurung di dalam gua kebingungan dengan suaranya sendiri.(LP: 84)

Contoh (85) sampai dengan (87) menunjukkan adanya penggunaan gaya bahasa simile dengan penanda linguistik seperti.

Mereka sebagai terbanding menduduki kelas kata pronominal persona ketiga jamak sedangkan semut-semut hitam, kelelawar, dan seekor parkit menduduki kelas kata nomina khusus nomina fauna.

Contoh (85), mereka yang merujuk kepada para kuli dianggap sama dengan semut-semut hitam. Perbandingan tersebut berdasarkan aktivitas semut-semut hitam yang sarangnya terbakar. Pada kondisi tersebut, semut-semut akan berhamburang meninggalkan sarang. 163

Demikian hal tersebut dianggap memiliki kesamaan dengan para kuli yang dalam keadaan lapar. Pada contoh (86) dan (87), kata mereka sebagai terbanding merujuk kepada para sahabat Ikal (anggota

Laskar Pelangi) dan dianggap sama seperti kelelawar dan seekor parkit.

Adapun contoh pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan kelas kata pronomina persona ketiga jamak dengan posisi pembanding yang diisi oleh kelas kata nomina wilayah, dapat dilihat sebagai berikut:

(88) …beberapa gelintir mahasiswa Jerman: Marcus Holdvessel, Christian Diedrich, dan yang paling istimewa, seorang wanita Bavaria nan semlohai, Katya Kristanaema…Mereka sangat tenang, quite, sepi, tentram, persis kota kecil Purbalingga, pukul sepuluh malam. (EDS: 98-99) (89) Jarang ada suara bersumber dari kedua perempuan Netherland itu. Mereka seperti Purbalingga pada pukul dua belas, malam jumat Kliwon. (EDS: 101)

Penanda linguistik gaya bahasa simile pada contoh (88) dan

(89) yakni kata persis dan seperti. Pada contoh (88), kata mereka sebagai terbanding merujuk kepada Katya, Marcus, dan Christian dan dianggap sama dengan Purbalingga pada pukul sepuluh malam.

Pada saat itu, Purbalingga tampak sepi dan tentram sehingga keadaan atau situasi demikian dianggap sama dengan tiga mahasiswa jerman itu. Adapun contoh (89) menunjukkan perbandingan antara mereka yang merujuk kepada dua mahasiswa asal Netherlands yakni Saskia de Rooijs dan Marike Ritsema. 164

Keduanya dianggap sama dengan kota Purbalingga pukul dua belas,

artinya bahwa dua mahasiswa ini jauh lebih tenang dari pada

mahasiswa jerman sebelumnya yang dianggap sama dengan

Purbalingga pada pukul sepuluh malam.

2) Gaya Bahasa Personifikasi

Personifikasi adalah salah satu jenis gaya bahasa kiasan yang meletakkan sifat-sifat insan kepada barang yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak. Dengan kata lain, personifikasi adalah pengumpamaan atau pelambangan benda mati seolah-olah hidup seperti orang atau manusia.

Pewujudan gaya bahasa personifikasi dalam NTLP dan NTNLM dapat dilihat pada uraian berikut:

a) Pilihan Kata yang Berkelas Kata Nomina

Nomina atau kata benda adalah kata yang mengacu pada

manusia, binatang, benda, tumbuhan, dan konsep atau pengertian.

Berikut contoh pewujudan gaya bahasa personifikasi pada NTLP dan

NTNLM berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata nomina.

(1) Nomina Aggota Tubuh

Pewujudan gaya bahasa personifikasi berdasarkan kelas

kata nomina anggota tubuh pada NTLP hanya ditemukan pada

nomina anggota tubuh yang berpersonifikasi dengan verba transitif

berprefiks meng-. Hal ini dapat dilihat pada contoh berikut:

(90) Hatiku bersikeras tak ingin melihat, aku menunduk, tapi mata dan leherku rupanya telah bersekongkol melawan tuannya. (EDS: 178) 165

(91) Aku tak sanggup beranjak. Wanita ini memiliki aura yang melumpuhkan. Tatapan matanya itu mencengkeram hatiku. (LP: 210) (92) Berbeda seperti langit dan bumi dibanding kuku-kuku A Ling yang bertahun-tahun menyihir pandanganku .(LP: 296)

Contoh (90) sampai dengan (92) tergolong ke dalam gaya bahasa personifikasi karena memiliki unsur-unsur penginsanan terhadap kelas kata nomina anggota tubuh. Dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, leher adalah bagian tubuh

(manusia atau binatang) yang menghubungkan kepala dengan tubuh yang lain. Adapun mata, adalah indra untuk melihat sedangkan kuku- kuku adalah zat tanduk tipis yang tumbuh melekat pada ujung jari tengah atau kaki. Ketiga kata tersebut merupakan kata yang berkelas kata nomina khusus anggota tubuh yang dianggap mampu melakukan aktivitas seperti manusia dengan penanda verba transitif berprefiks meng- , yaitu melawan, mencengkeram, dan menyihir. Melawan adalah 1.menghadapi (berperang, bertinju, bergulat, dan sebagainya);

2. Menentang; menyalahi. Adapun mencengkeram adalah memegang erat-erat dengan cakar (kuku), dan menyihir adalah menggunakan sihir. Berdasarkan makna tersebut, verba transitif melawan yang menjelaskan perbuatan nomina leher, mencengkeram yang menjelaskan aktivitas mata, serta menyihir yang menjelaskan aktivitas kuku-kuku merupakan bentuk-bentuk penggunaan gaya bahasa personifikasi karena perbuatan melawan, mencengkeram, dan menyihir seyogyanya hanya dilakukan oleh manusia (person). 166

Adapun pewujudan gaya bahasa personifikasi berdasarkan kelas kata nomina anggota tubuh pada novel NTNLM, dapat dilihat pada klasifikasi berikut:

(a) Nomina anggota tubuh yang berpersonifikasi dengan verba

berproses gabung (prefiksasi meng- + reduplikasi)

Pada NTNLM ditemukan gaya bahasa personifikasi yang

diwujudkan dengan nomina anggota tubuh yang berpersonifikasi

dengan verba berproses gabung prefiksasi meng-. Contohnya dapat

dilihat berikut:

(93) …Kepala Sekolahku memberi selamat karena nilai ujianku termasuk sepuluh yang tertinggi di Kabupaten Agam. Tepuk tangan murid, orang tua dan guru riuh mengepung aula. Muka dan kupingku bersemu merah tapi jantungku melonjak-lonjak girang. (NLM: 5) (94) Tidak sia-sia aku memaksakan diri dan berpura-pura bisa berbahasa Arab. Rasanya luar biasa dan kepalaku berdendang-dendang. (NLM: 136) (95) Randai seperti biasa, berbicara seraya tangannya menari-nari di udara. (RTW: 186)

Contoh (93) sampai dengan (95) menunjukkan gaya bahasa

personifikasi dengan penanda verba berproses gabung, yaitu

melonjak-lonjak, berdendang-dendang, dan menari-nari yang

didahului oleh nomina anggota tubuh jantung, kepala, dan tangan.

Kelas kata nomina anggota tubuh jantung, kepala, dan tangan

dianggap mampu melakukan aktivitas seperti manusia dengan

penanda verba melonjak-lonjak, berdendang-dendang, dan menari-

nari. 167

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, melonjak-lonjak adalah melonjak berkali-kali karena kegirangan.

Melonjak itu sendiri adalah melonjat ke atas (dengan kedua belah kaki) hendak mencapai sesuatu. Aktivitas meloncat dengan kaki ini, hanya biasa dilakukan langsung oleh manusia. Berdendang- dendang berarti bernyayi-nyanyi untuk bersenang-senang. Adapun menari-nari adalah memainkan tari (menggerak-gerakkan badan dan sebagainya dengan mengikuti irama dan sering diiringi dengan bunyi-bunyian). Jadi, pada contoh-contoh yang disajikan terlihat adanya penginsanan pada benda-benda tertentu.

(b) Nomina anggota tubuh yang berpersonifikasi dengan verba

transitif berprefiks meng-

Nomina anggota tubuh yang berpersonifikasi dengan verba transitif berprefiks meng- pada NTNLM dapat dilihat pada contoh berikut:

(96) Telunjuknya lurus teracung tinggi ke udara, suaranya menggelegar, sorot matanya berkilat-kilat menikam kami satu persatu. (NLM: 40) (97) Menyerupai sang juara tinju kelas berat dunia Mike Tyson- tapi denga ukuran yang lebih kecil. Geraknya sigap dan memburu. Matanya tidak lepas menusuk kami. (NLM: 65) (98) Tahu-tahu, kakinya menghajar lutut dan tangannya menetak pergelangan tangan si hitam. (NLM: 248)

Contoh (96) sampai dengan (98) menunjukkan gaya bahasa personifikasi. Penginsanan terhadap nomina anggota tubuh tersebut dilakukan dengan verba transitif berprefiks meng-. Nomina 168

anggota tubuh tersebut dianggap sebagai subjek atau pelaku yang seolah-olah mampu melakukan aktivitas seperti yang dilakukan makhluk bernyawa manusia dengan penanda kelas kata verba transitif yang berprefiks meng-, yaitu menikam, menusuk, menghajar, dan menetak.

Makna kata menikam pada contoh (96) adalah „menusuk dengan senjata tajam‟. Adapun menusuk adalah „mencocok dengan barang yang runcing; mencoblos, menghajar adalah memukuli dan sebagainya supaya jera‟. Selanjutnya, menetak berarti „memotong dan sebagainya dengan barang yang tajam yang dipukulkan keras-keras; membacok‟. Berdasarkan makna verba- verba berprefiks meng- tersebut, dapat dikatakan bahwa aktivitas menikam, menusuk, menghajar, dan menetak pada umumnya hanya dapat dilakukan oleh makhluk bernyawa, yaitu manusia bukan dapat dilakukan oleh mata, kaki, dan tangan yang semuanya merupakan bagian dari tubuh manusia.

(c) Nomina anggota tubuh yang berpersonifikasi dengan verba

intransitif berprefiks ber-

Gaya bahasa personifikasi pada NTNLM juga diwujudkan melalui nomina anggota tubuh. Nomina anggota tersebut berpersonifikasi dengan verba intransitif berprefiks ber-. Berikut contoh gaya bahasa personifikasi tersebut.

(99) Aku dan Ayah menarik napas lega. Kami masih punya waktu untuk mendaftar sesuai waktu, walau 169

perjalanan bus smpat tertahan. Degup jantungku berlomba. (NLM: 28) (100) “Rusdi, kayaknya kita harus bersyukur dengan apa yang kita terima sekarang,” kataku sok bijak, mengumbar kata-kata penghibur. Hatiku berontak tidak sepakat dengan lidahku. (RTW: 293)

Dari segi makna, berlomba berarti „beradu kecakapan

(kemampuan dan sebagainya)‟. Contoh (99) menunjukkan bahwa jantung seolah-olah melakukan aktivitas berlomba layaknya makhluk hidup seperti manusia. Sebuah perlombaan tentu hanya diperuntukkan kepada apa saja yang memiliki kecakapan

(kemampuan). Telah menjadi pengetahuan bersama bahwa kecapakan (kemampuan) itu hanya dimiliki oleh makhluk hidup seperti manusia. Jantung hanya menjadi bagian dari anggota tubuh manusia. Adapun contoh (100) menunjukkan bahwa hati seolah- olah melakukan aktivitas berontak layaknya manusia. Adapun verba intransitif berontak bermakna „meronta-ronta hendak melepaskan diri‟. Berdasarkan maknanya, verba intransitif berontak hanya dapat dilakukan oleh manusia tetapi pada contoh (100) aktivitas berontak seakan-akan dilakukan oleh hati.

(d) Nomina anggota tubuh yang berpersonifikasi dengan verba

intransitif berprefiks meng-

Pada penelitian ini juga dijumpai contoh gaya bahasa personifikasi yang diwujudkan melalui nomina anggota tubuh yang berpersonifikasi dengan verba intransitif berprefiks meng-. Contoh gaya bahasa personifikasi tersebut, yaitu: 170

(101) Jantungku mulai berdegup lebih cepat. Jariku menari ligat di keyboard. (NLM: 3) (102) Mulutnya berkomat-kamit sendiri dan matanya berbinar menyapu kesegala arah. (RTW: 255)

Contoh (101) dan (102) menunjukkan bahwa gaya bahasa

personifikasi dengan penanda verba intransitif berprefiks meng-

yaitu menari dan menyapu yang dilekatkan atau mengikuti nomina

jari dan mata. Kata jari dan mata menduduki kelas kata nomina

khusus nomina anggota tubuh dan dianggap mampu melakukan

aktivitas seperti manusia dengan penanda verba menari dan

menyapu. Makna verba intransitif menari adalah „memainkan tari

(menggerak-gerakkan badan dan sebagainya dengan mengikuti

irama dan biasanya diiringi oleh bunyi-bunyian)‟. Adapun menyapu

bermakna „membersihkan dengan sapu‟. Berdasarkan maknanya,

aktivitas menari dan menyapu seyogyanya hanya dapat dilakukan

oleh manusia. Berdasarkan hal tersebut, kedua contoh ini dianggap

menggunakan gaya bahasa personifikasi.

(2) Nomina Benda Alam

Pewujudan gaya bahasa personifikasi berdasarkan kelas kata nomina benda alam juga ditemukan pada NTLP dan NTNLM .

Pewujudan gaya bahasa personifikasi berdasarkan kelas kata nomina benda alam pada NTLP akan diuraikan terlebih dahulu, sebagai berikut:

(103) “Adalah ekor puting beliung yang sepanjang hari ini menyapu Selat Gaspar…” (EDS: 8) (104) Embusan uap es dari Laut Utara menyapu Semenanjung Zeebruggae di perbatasan Belanda, melesat bebas bersiu- siut…(EDS: 63) 171

(105) …maka badai laut akan menyapu pulau tersebut dan saat itulah mereka menghindar menuju pesisir lain. (LP: 184)

Contoh (103) sampai dengan (105) menunjukkan penggunaan gaya bahasa personifikasi yang diwujudkan dengan nomina benda alam yang berpersonifikasi dengan verba intransitif berprefiks meng-.

Verba intransitif menyapu menjelaskan perbuatan nomina benda alam, yaitu puting beliung, uap es, dan badai laut. Frasa puting beliung, uap es, dan badai laut dianggap seolah-olah mampu melakukan aktivitas seperti manusia dengan perbuatan menyapu. Berdasarkan contoh yang diberikan, kata menyapu mengandung makna „membersihkan dengan sapu‟. Adapun puting beliung adalah „udara yang bergerak dengan cepat dan bertekanan tinggi‟ dan uap es adalah „gas yang terbentuk dari cairan dalam hal ini (es) apabila dipanaskan; bentuk gas dari es. Adapun badai adalah „angin kencang yang menyertai cuaca buruk (yang datang dengan tiba-tiba) berkecepatan sekitar 64-72 knot‟.

Ketiga nomina benda alam tersebut merupakan nomina tidak bernyawa yang digunakan pada contoh (103) sampai dengan contoh

(105). Ketiga nomina benda alam tersebut seolah-olah menjadi subjek atau pelaku yang melakukan aktivitas atau perbuatan menyapu layaknya manusia. Atas perlakuan tersebut, contoh-contoh itu dianggap bergaya bahasa personifikasi.

Selanjutnya, pewujudan gaya bahasa personifikasi berdasarkan kelas kata nomina benda alam pada NTNLM , dapat dilihat pada contoh berikut: 172

(106) …merapi yang kepundan aktifnya mengeluarkan asap dan Singgalang yang puncaknya dipeluk awan. (NLM: 15) (107) Helaan napasnya seperti hanyut dimakan alunan ombak Danau Maninjau. (RTW: 95) (108) Di bawah tampak hamparan gurun pasir berwarna kuning kemerahan disapu seulas sinar matahari pagi. (RTW: 237) (109) Begitu terasa ada yang mendesak kerongkongan, aku hadapkan muka ke laut lepas dan aku relakan isi perut ditelan laut. (NLM: 23)

Gaya bahasa personifikasi berdasarkan nomina benda alam pada NTNLM diwujudkan melalui bentuk verba pasif di-. Contoh (106) sampai dengan (109) menunjukkan bahwa nomina benda alam yaitu awan, ombak, sinar matahari dan laut menduduki fungsi subjek dengan predikat berupa verba pasif di- seperti dipeluk, dimakan, disapu, dan ditelan. Keempat aktivitas tersebut seyogyanya hanya dapat dilakukan oleh manusia dengan bentuk aktif memeluk, memakan, menyapu, dan menelan. Namun, contoh yang ada menunjukkan bahwa aktivitas tersebut dilakukan oleh nomina benda alam. Jadi, berdasarkan contoh-contoh yang ditunjukkan terlihat adanya penginsanan pada nomina tidak bernyawa.

(3) Nomina Benda Langit

Di samping nomina anggota tubuh dan nomina benda alam, gaya bahasa personifikasi pada NTLP dan NTNLM juga diwujudkan melalui nomina benda benda langit. Contoh gaya bahasa personifikasi pada NTLP dapat dilihat berikut:

(110) Pancaran matahari menikam lubang-lubang dinding papan seperti batangan baja stainless,…(SP: 4) 173

(111) …kurasakan seakan langit mengutukku dan bangunan sekolah rubuh menimpaku. (SP: 152) (112) Capo yang terkejut ketika membuka peti mengutuki kami: ikan duyung! Bertahun lewat, langit yang menyimpan kutukan itu, hari ini mengguyurkannya ke sekujur tubuh kami. (EDS: 187)

Contoh (110) sampai dengan (112) menunjukkan adanya penggunaan gaya bahasa personifikasi yang diwujudkan melalui nomina benda langit yang berpersonifikasi dengan verba transitif berprefiks meng. Sebenarnya, matahari dan langit tergolong nomina yang tidak bernyawa, akan tetapi contoh (110), (111), dan (112) menunjukkan adanya gaya bahasa personifikasi yang menggambarkan benda-benda langit seolah-olah mampu melakukan aktivitas seperti manusia dengan penanda verba transitif berprefiks meng-, yaitu menikam, mengutuk, dan menyimpan.

Makna verba aktif transitif menikam adalah „menusuk dengan senjata tajam‟ sedangkan mengutuk adalah „mengatakan

(mengenakan) kutuk kepada; menyumpahi; melaknati. Adapun menyimpan bermakna „mengandung atau ada sesuatu di dalamnya‟.

Berdasarkan makna kata menikam, mengutuk, dan menyimpan yang diuraiakn tersebut, fungsi predikat yang diisi oleh verba-verba transitif itu seyogyanya menjelaskan fungsi subjek yang menduduki kelas kata nomina bernyawa. Namun, contoh (110) sampai dengan contoh (112) menunjukkan fungsi subjek yang diisi oleh kelas kata nomina benda langit (nomina tidak bernyawa). Berdasarkan hal tersebut, pada contoh-contoh yang ditunjukkan terlihat adanya penginsanan terhadap 174

benda-benda langit sehingga dikategorikan mengandung gaya bahasa personifikasi.

Adapun pewujudan gaya bahasa personifikasi berdasarkan kelas kata nomina benda langit pada NTNLM, dapat dilihat pada contoh berikut.

(113) Aku baca surat Pak Etek Gindo dengan penerangan sinar matahari yang menyelinap dari sela-sela dinding kayu.(NLM: 12) (114) Sepotong rembulan pucat mengintip dari jendela. (NLM: 57) (115) Di luar pesawat, matahari pagi sudah mengintip di balik horizon. (RTW: 255) Gaya bahasa personifikasi berdasarkan nomina benda langit

pada NTNLM diwujudkan melalui verba intransitif berprefiks meng-.

Contoh (113) sampai dengan (115) menunjukkan penggunaan gaya

bahasa personifikasi dengan penanda verba intransitif, yaitu

menyelinap dan mengintip. Kedua verba tersebut menjelaskan

nomina benda alam matahari dan rembulan. Menyelinap di sini

maksdunya adalah „menyuruk atau menyusup secara cepat-cepat‟.

Adapun mengintip adalah „melihat melalui lubang kecil, dari celah-

celah, semak-semak, dan sebagainya sambil bersembunyi‟. Adapun

matahari adalah „benda angkasa, titik pusat tata surya berupa bola

berisi gas yang mendatangkan terang dan panas ke bumi pada siang

hari‟ sedangkan rembulan adalah „benda langit yang mengitari bumi,

bersinar pada malam hari karena pantulan sinar matahari‟.

Berdasarkan makna nomina benda langit dan verba yang 175

mengikutinya, dapat dikatakan bahwa ketiga contoh tersebut menunjukkan penginsanan atau pemanusiaan pada benda-benda langit yang dianggap seolah-olah dapat melakukan aktivitas seperti manusia.

(4) Nomina Fenomena Alam

Pewujudan gaya bahasa personifikasi berdasarkan kelas kata nomina fenomena alam hanya ditemukan pada NTNLM .

Beberapa contohnya dapat dilihat sebagai berikut:

(116) Angin bersiut-siutan melontarkan tempias air laut yang terasa asin di mulut. (NLM: 22) (117) Angin segar dari jendela yang terbuka dan meniup-niup muka dan rambutku. (NLM: 28) (118) Tidak lama kemudian guruh kembali bersahut-sahutan mengepung langit. (NLM: 276)

Gaya bahasa personifikasi berdasarkan nomina fenomena alam pada NTNLM diwujudkan melalui verba reduplikasi dengan kombinasi afiks. Contoh (116) sampai dengan (118) menunjukkan adanya penggunaan gaya bahasa personifikasi yang ditandai oleh adanya penginsanan terhadap nomina tidak bernyawa melalui verba berproses gabung, yaitu bersiut-siutan, meniup-niup, dan bersahut- sahutan. Reduplikasi bersiut-siutan, meniup-niup, dan bersahut- sahutan menunjukkan pengulangan proses seperti yang disebutkan pada kata dasar. Makna reduplikasi bersiut-siutan adalah „saling bersiut secara nyaring atau saling berbunyi seperti peluit nyaring‟.

Adapun meniup-niup bermakna „berkali-kali meniup‟. Selanjutnya, makna bersahut-sahutan adalah „saling menyahut-nyahut‟. 176

Kemudian, nomina fenomena alam angin adalah „gerakan udara dari daerah yang bertekanan tinggi ke daerah yang bertekanan rendah‟ sedangkan guruh adalah „suara menggelegar di udara yang disebabkan oleh halilintar‟. Berdasarkan makna dari kedua kata tersebut, dapat dikatakan bahwa angin dan guruh tergolong ke dalam kelas kata nomina tidak bernyawa. Aktivitas bersiut-siutan, meniup- niup, dan bersahut-sahutan pada umumnya hanya dapat dilakukan oleh manusia sehingga contoh-contoh tersebut dikatakan menggunakan gaya bahasa personifikasi.

(5) Nomina tidak Konkret

Pewujudan gaya bahasa personifikasi berdasarkan kelas kata nomina tidak konkret hanya ditemukan pada NTLP. Beberapa contohnya dapat dilihat sebagai berikut:

(119) …lebih dari itu ia berharap Lintang dapat mengeluarkan mereka dari lingkaran kemiskinan yang telah lama mengikat mereka hingga sulit bernafas.(LP: 95) (120) Mereka selalu berbicara keras-keras karena takut akan kegelapan yang mengepung mereka. (LP: 113) (121) Kesepian tiba-tiba menusukku dari segala penjuru. (MK: 84)

Gaya bahasa personifikasi berdasarkan nomina tidak konkret pada NTLP diwujudkan melalui verba transitif berprefiks meng-. Adapun nomina tidak konkret seperti kemiskinan, kegelapan, dan kesepian dianggap mampu melakukan aktivitas seperti manusia dengan penanda verba transitif, yaitu mengikat, mengepung, dan menusuk. Berdasarkan makna denotatifnya, kata mengikat berarti 177

„menyatukan sesuatu dengan mengebat dan mengeratkan dengan

menggunakan tali‟. Kata mengepung bermakna „mengelilingi sesuatu

sehingga yang dikelilingi atau yang ada di dalamnya tidak dapat

meloloskan diri‟. Adapun menusuk berarti „mencocok dengan barang

yang runcing; mencoblos‟.

Berdasarkan makna dari ketiga kata yang tergolong nomina

tidak konkret tersebut, dapat dikatakan bahwa contoh (119), (120),

dan (121) menunjukkan adanya penggunaan gaya bahasa

personifikasi. Kata kemiskinan, kegelapan, dan kesepian termasuk

nomina tidak bernyawa yang wujudnya tidak konkret. Berdasarkan hal

tersebut, tentu ketiga kata tersebut tidak memiliki daya atau

kemampuan untuk melakukan perbuatan layaknya manusia sehingga

dalam penggunaannya dikategorikan bergaya bahasa personifikasi.

3) Gaya Bahasa Metafora

Metafora adalah gaya bahasa yang berupa perbandingan analogis dengan penghilangan kata seperti, layaknya, bagaikan, dan lain- lain. Pewujudan gaya bahasa metafora dalam NTLP dan NTNLM dapat dilihat pada contoh-contoh berikut:

a) Pilihan Kata yang Berkelas Kata Nomina

Nomina atau kata benda adalah kata yang mengacu pada

manusia, binatang, benda, tumbuhan, dan konsep atau pengertian.

Berikut contoh pewujudan gaya bahasa personifikasi pada NTLP dan

NTNLM berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata nomina. 178

(1) Nomina Anggota Tubuh

Pewujudan gaya bahasa metafora berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata nomina anggota tubuh hanya ditemukan dalam

NTLP. Berikut ini contohnya:

(122) Guru mana pun yang melihat wajahnya akan tertekan jiwanya, membayangkan betapa susahnya menjejalkan ilmu ke dalam kepala aluminiumnya itu. (LP: 68) (123) Tapi tak dinyana, sekian lama waktu berlalu, rupanya kepala kalengnya cepat juga menangkap ilmu. (LP: 69) (124) Alisnya panjang tebal, bulu matanya lentik, hidung jambu airnya telah disulap, dan pandangan matanya lendut: malu tapi menggoda, syahdu tapi bergairah, tak acuh tapi minta dilihat. (EDS: 185)

Contoh (122) sampai dengan (124) menunjukkan adanya penggunaan gaya bahasa metafora yang membandingkan dua hal tanpa menggunakan penanda linguistik perbandingan. Contoh (122) membandingkan kata kepala dengan aluminium. Kepala dianalogikan dengan aluminium sehingga dikatakan kepala aluminiumnya. Kata kepala di sini bermakna „bagian tubuh yang di atas leher tempat tumbuhnya rambut‟ sedangkan aluminium bermakna „logam putih perak, ringan, dan mulur‟. Penggunaan metafora tersebut bertujuan menggambarkan sosok A Kiong yang memiliki karakter cuek dan tidak peduli. Baginya dunia adalah hitam putih dan hidup adalah sekeping jembatan papan lurus yang harus dititi sehingga ia tidak memedulikan apapun yang ada di sekitranya. A Kiong dalam cerita ini tidak banyak memikirkan hal-hal di sekelilingnya. Semuanya dijalani apa adanya. 179

Adapun contoh (123), kata kepala dianalogikan dengan kaleng. Kata kaleng dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, kaleng bermakna „besi tipis berlapis timah yang berbentuk bundar atau kotak‟. Analogi ini ditujukan kepada sosok A Kiong yang memiliki penampilan tidak meyakinkan untuk dikategorikan sebagai orang pintar. Metafora kepala kaleng yang ditujukan kepada kepala A

Kiong sungguh tidak dapat dinyana sebab dengan cepat dapat menangkap ilmu. Justru teman yang berpenampilan layaknya orang pintar ternyata lemot menangkap ilmu.

Selanjutnya, contoh (124) metafora hidung jambu air ditujukan kepada hidung tokoh Arai. Secara semantik hidung adalah bagian anggota tubuh yang berfungsi sebagai alat pencium. Adapun jambu air bermakna „tumbuhan suku jambu-jambuan yang bentuknya seperti lonceng atau gasing dengan panjang kira-kira sekitar 3 sampai

5 cm‟. Contoh (124) menganalogikan hidung Arai yang besar dan tidak mancung layaknya jambu air.

(2) Nomina Benda Alam

Selain kelas kata nomina anggota tubuh, pewujudan gaya bahasa metafora juga ditemukan pada kelas kata nomina benda alam. Pewujudan gaya bahasa metafora berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata nomina khusus nomina alam dalam NTLP dapat dilihat sebagai berikut:

(125) Sekolah PN adalah sebutan untuk sekolah milik PN (Perusahaan Negara) Timah, sebuah perusahaan yang 180

paling berpengaruh di Belitong, bahkan sebuah hegemoni lebih tepatnya, karena timah adalah denyut nadi pulau kecil itu. (LP: 36) (126) Pantulan cahaya itu adalah citra yang lebih kemilau dari riak-riak gelombang laut dan membentuk semacam fatamorgana pelangi sebagai mercusuar yang menuntun para nahkoda. (LP: 37) (127) Karena sesungguhnya setiap butir pasir itu adalah milik ulayatnya, setiap bongkah kuarsa, topas, dan galena itu adalah harkat dirinya sebagai orang Melayu asli, tetapi semuanya mereka muat sendiri ke atas tongkang untuk mengendutkan perut para cukong di atau pejabat yang kongkalikong. (SP: 68)

Gaya bahasa metafora berdasarkan kelas kata nomina benda alam tampak pada contoh (125) sampai dengan (127). Kata timah, cahaya, kuarsa, topas, dan galena menduduki kelas kata nomina khusus nomina benda alam. Contoh (125) membandingkan antara kata timah dan frasa denyut nadi. Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBBI) V luring, timah adalah logam tidak keras, digunakan sebagai campuran untuk kertas bungkus, perkakas dapur, bahan solder, dan sebagainya sedangkan denyut nadi adalah detak nadi yang dapat dirasakan dengan meraba pergelangan tangan. Contoh tersebut menunjukkan betapa timah itu memiliki peranan penting bagi kehidupan masyarakat Belitong. Tuhan memberkahi Belitong dengan timah untuk menjadi mercusuar bagi penduduk pulau Belitong. Timah dianggap sebagai denyut nadi pulau kecil tersebut.

Pada contoh (126), kata cahaya dibandingkan dengan kata citra. Cahaya di sini maksudnya adalah sinar atau terang (dari 181

sesuatu yang bersinar seperti matahari, bulan, lampu) yang memungkinkan mata menangkap bayangan benda-benda di sekitarnya. Adapun citra adalah rupa, gambar, atau gambaran.

Contoh tersebut menjelaskan pantulan cahaya dari biji-biji timah dan kuarsa itu sebagai gambaran yang lebih berkilau dari riak-riak

(ombak-ombak kecil) gelombang laut .

Adapun contoh (127) menunjukkan bahwa kata kuarsa, topas, dan galena itu sebagai harkat. Kata harkat pada contoh (127) bermakna „derajat, kemuliaan atau harga diri seseorang‟. Jadi, setiap bongkahan-bongkahan tersebut dianalogikan sebagai sebuah taraf atau mutu dari orang Melayu asli. Dikatakan demikian karena Belitong adalah pulau yang dianugerahi timah sehingga kualitas hidup masyarakatnya sangat ditentukan oleh benda-benda alam tersebut.

(3) Nomina Benda Langit

Gaya bahasa metafora yang diwujudkan dengan nomina benda langit juga hanya ditemukan dalam NTLP. Contoh pewujudan gaya bahasa tersebut adalah sebagai berikut:

(128) Mendebarkan! Langit adalah kitab yang terbentang, kata Weh. Laki-laki uzur ini memiliki indra keenam untuk membagi lapisan langit menjadi halaman- halaman ilmu. (EDS: 9) (129) Matahari adalah tukang tenun. Jika bangun subuh, selempang merah membujur di langit timur menjelmakan atap-atap bangunan sepanjang L‟Avenue de la Baurdonnais menjadi sayap-sayap burung starling yang mengibas sisa es dibibir talang, di rongga-rongga pancuran dan topi-topi ceropong asap. (EDS: 145) 182

(130) Bagi kami pelangi adalah lukisan alam, sketsa Tuhan yang mengandung daya tarik mencengangkan. (LP: 160)

Gaya bahasa metafora juga ditunjukkan pada contoh (128) sampai dengan (130). Metafora tersebut diwujudkan melalui kelas kata nomina khusus benda langit seperti langit, matahari, dan pelangi.

Pada contoh (128), secara denotatif kata langit bermakna „ruang luas yang terbentang di atas bumi, tempat beradanya bulan, bintang, matahari dan planet lainnya‟. Langit dianalogikan sebagai kitab yang terbentang. Kitab itu sendiri adalah buku; wahyu Tuhan yang dibukukan; kitab suci. Pada contoh (128) tersebut, luasnya langit dianggap sama dengan kitab yang terbentang.

Pada contoh (129), kata matahari dibandingkan dengan frasa tukang tenun. Matahari adalah benda angkasa, titik pusat tata surya berupa bola berisi gas yang mendatangkan terang dan panas pada bumi pada siang hari. Sementara tukang tenun berarti „orang yang mempunyai kepandaian dalam suatu pekerjaan tangan (dalam hal ini menenun)‟. Matahari dianalogikan layaknya manusia yang mampu menenun dan sedang menenun selempang merah (yang dalam hal ini cahaya atau sinar) yang membujur di langit timur.

Selanjutnya, contoh (130) menunjukkan perbandingan antara kata pelangi dan frasa lukisan alam. Pelangi adalah lengkung spektrum warna di langit yang tampak karena pembiasan sinar matahari oleh titik-titik hujan atau embun. Pelangi dianggap sebagai 183

lukisan alam atau hasil melukis atau gambaran yang indah yang dihasilkan oleh fenomena alam. Pelangi dianggap sebagai sketsa

Tuhan yang mengandung daya tarik yang mencengangkan.

(4) Nomina Abstrak

Nomina abstrak juga menjadi salah satu kelas kata pewujudan gaya bahasa metafora. Gaya bahasa metafora yang diwujudkan melalui pilihan kata yang berkelas kata nomina abstrak hanya ditemukan dalam novel tetralog Laskar Pelangi . Contohnya dapat dilihat sebagai berikut:

(131) “Cita-cita adalah doa, Dan,“ begitulah nasihat bijak dari Sahara. (LP: 343) (132) Aku masih seekor pungguk buta dan mimpi-mimpi itu masih rembulan, namun sebenderang rembulan dini hari ini, mimpi-mimpi itu masih bercahaya dalam dadaku. (SP: 268-269)

Kata cita-cita dan mimpi-mimpi pada contoh (131) dan (132) termasuk nomina abstrak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

(KBBI) V luring, cita-cita adalah keinginan (kehendak) yang selalu ada di dalam pikiran. Adapun mimpi-mimpi adalah segala sesuatu yang terlihat atau dialami pada saat tidur. Contoh (131) menunjukkan perbandingan antara kata cita-cita dan doa. Kata doa juga merupakan nomina abstrak yang memiliki makna permohonan (harapan, permintaan, pujian) kepada Tuhan dengan maksud untuk dikabulkan.

Pada contoh tersebut, tokoh Sahara menyatakan perbandingan antara cita-cita dan doa. Adapun contoh (132) perbandingan terjadi antara kata mimpi-mimpi dan rembulan. Kata rembulan berarti „benda 184

langit yang mengitari bumi, bersinar pada alam hari karena pantulan

sinar matahari‟. Rembulan ini dibandingkan langsung dengan kata

mimpi-mimpi. Contoh (132) ini menunjukkan sosok aku (Ikal) yang

tampak merendahkan dirinya sendiri. Namun, dibalik itu semua masih

ada harapan besar dalam dirinya untuk mencapai mimpi-mimpi.

Semangat diri Ikal masih bersinar bak rembulan.

(5) Nomina Nama Diri

Pewujudan gaya bahasa metafora berdasarkan kelas kata nomina nama diri ditemukan dalam NTLP dan NTNLM. Contoh pewujudan gaya bahasa metafora dalam NTLP dapat dilihat sebagai berikut:

(133) Ibu Muslimah yang beberapa menit yang lalu sembab, gelisah, dan coreng moreng kini menjelma menjadi sekuntum crinum gigantium. (LP: 9) (134) Lintang, bulan purnama di atas Dermaga Olivir, indah sekali! … (LP: 107) (135) Lintang yang miskin duafa adalah mutiara, galena, kuarsa, dan topas yang paling berharga bagi kelas kami. (LP: 109)

Contoh (133) sampai dengan (135) menunjukkan adanya penggunaan gaya bahasa metafora yang diwujudkan melalui kelas kata nomina khusus nomina nama diri. Contoh (133) membandingkan antara nomina nama diri Ibu Muslimah dan frasa sekuntum crinum gigantium. Crinum gigantium adalah salah satu jenis bunga crinum yang mengeluarkan aroma seperti aroma vanili. Keharuman yang dikeluarkan Crinum gigantium sama halnya dengan segala bentuk 185

ketulusan dan kebaikan yang diberikan oleh Ibu Muslimah kepada para muridnya di sekolah Muhammadiyah.

Adapun contoh (134) Lintang dimetaforakan sebagai bulan

purnama. Bulan Purnama adalah keadaan bulan pada saat berada di

arah yang bertentangan dengan matahari (tanggal 14 dan 15 bulan

Hijriah) sehingga bagian yang kena sinar dapat terlihat sepenuhnya;

bulan penuh. Berdasarkan hal tersebut, kemampuan intelektual

Lintang yang berada di atas rata-rata anak seusianya menjadi alasan

mengapa Lintang dianggap sama dengan bulan purnama yang

sinarnya terlihat sempurna. Lintang bersinar di tengah-tengah kondisi

sekolah Muhammadiyah melalui pretasi yang diraihnya.

Selanjutnya, contoh (135) Lintang dibandingkan dengan

mutiara, galena, kuarsa, dan topas. Secara denotatif kata mutiara

bermakna „sejenis kerang laut yang salah satu organ tubuhnya

dijadikan sebagai perhiasan yang bernilai tinggi‟. Perbandingan

tersebut didasarkan pada keberhargaan Lintang di kelas sekolah

Muhammadiyah yang dianggap sama dengan mutiara.

Adapun pewujudan gaya bahasa metafora berdasarkan

pilihan kata yang berkelas kata nomina nama diri dalam NTNLM

dapat dilihat sebagai berikut:

(136) Ayahnya atau kakekku yang aku panggil Buya Sutan Mansur adalah orang alim yang berguru langsung kepada Inyiak Canduang atau Syekh Sulaiman Ar- Rasuly. (NLM: 7) (137) Kala itu aku menganggap Habibie adalah seperti profesi tersendiri. (NLM: 8) 186

(138) Kiai Rais adalah sosok yang bisa menjelma menjadi apa saja. Setiap Jumat sore, di depan ribuan muridnya, sambil mengelus-elus jenggotnya yang rapi, dia dengan telaten membimbing kami menafsirkan ayat –ayat Al-Quran de ngan cara yang sangat memikat. Pada kesempatan ini dia memakai pakaian jubah putih panjang, kopiah haji dan sorban tersampir di bahu, la.yaknya seorang syaikh pengajar di Masjid Nabawi. (NLM: 150)

Gaya bahasa metafora juga ditunjukkan pada contoh (136) sampai dengan (138). Metafora tersebut diwujudkan melalui kelas kata nomina nama diri seperti Buya Sutan Mansur, Habibie, dan Kiai

Rais. Pada contoh (136) nomina nama diri Buya Sutan Mansur yang dimetaforakan sebagai orang alim. Contoh (137), kata Habibie dianggap seperti profesi. Metafora tersebut didasarkan pada prestasi dan kecerdasan yang dimiliki oleh bapak Habibie. Pada contoh (137) tersebut, tokoh Alif menganggap Habibie sebagai sebuah profesi tersendiri dan Alif ingin berprofesi seperti bapak Habibie, yaitu kuliah di UI, ITB dan terus ke Jerman seperti Pak Habibie. Adapun contoh

(138), Kiai Rais dimetaforakan sebagai seorang syaikh pengajar di

Masjid Nabawi. Hal tersebut berdasarkan pada ciri berpakaian yang ditunjukkan oleh Kiai Rais serta ketelatennya dalam membimbing dan menafsirkan ayat-ayat Al-Quran de ngan cara yang sangat memikat.

187

(6) Nomina Khas Jenis Kelamin

Gaya bahasa metafora dalam NTLP diwujudkan dengan nomina khas jenis kelamin. Contoh pewujudan gaya bahasa metafora tersebut dapat dilihat sebagai berikut:

(139) Mereka tersenyum lebar dan kulihat ayah Lintang, pria cemara angin itu, wajahnya berseri-seri penuh kebanggaan pada anaknya, matanya yang kuning keruh berkaca-kaca. (LP: 371) (140) Trapani agak pendiam, otaknya lumayan, dan selalu menduduki peringkat tiga. Aku sering cemburu karena aku kebanjiran salam dari sepupu-sepupuku untuk disampaikan pada laki-laki muda flamboyan ini. (LP: 75) (141) Tanpa banyak cincong, Bang Zaitu membantuku mengangkat tas. Aku terpana. Bagaimana pria flamboyan ini bisa menjadi seperti ini? Berakhir sebagai supir bus kampung?. (MK: 60)

Perbandingan ditunjukkan pada contoh (139) sampai dengan (141). Gaya bahasa metafora diwujudkan melalui kelas kata nomina khas jenis kelamin seperti pria dan laki-laki. Dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, laki-laki adalah orang atau manusia mempunyai zakar, kalau dewasa mempunyai jakun dan adakalanya berkumis, adapun pria adalah laki-laki dewasa. Contoh

(139) menunjukkan perbandingan antara pria (yang merujuk kepada ayah Lintang) dan cemara angin. Cemara angin adalah salah satu jenis cemara (Casuarina eqnisetifolia) yang penampakannya sangat seram, tinggi, meranggas, sekeras batu. Metafora pria cemara angin merupakan bentuk penganalogian terhadap ayah Lintang yang 188

memiliki karakter sama dengan pohon cemara angin. Adapun contoh

(140), laki-laki muda flamboyan merujuk kepada Trapani dan pada contoh (141), pria flamboyan merujuk kepada Bang Zaitu.

Flamboyan maksudnya di sini adalah pohon yang tingginya hingga

28 m, kayu terasnya keras dan berat, digunakan sebagai tiang dan balok lantai, bunganya indah berwarna jingga hingga kemerah- merahan. Perbandingan tersebut berdasarkan pada karakter fisik yang dimiliki oleh Bang Zaitu dan Trapani yang layaknya flamboyan.

(7) Nomina Tempat

Dalam NTLP juga ditemukan gaya bahasa metafora yang diwujudkan dengan nomina tempat. Berikut contoh yang menunjukkan penggunaan gaya bahasa tersebut:

(142) Akan menerangi nebula yang melingkupi sekolah miskin ini sebab ia akan berkembang menjadi manusia paling genius yang pernah kujumpai seumur hidup. (LP: 15) (143) Kemudian muncul para tokoh seperti K.A. Abdul Hamid dan Ibrahim bin Zaidin yang berkorban habis- habisan melanjutkan sekolah kandang itu menjadi sekolah Muhammadiyah. (LP: 23) (144) Ada keindahan di sekolah Islam melarat ini. Keindahan yang tak kan kutukar dengan seribu kemewahan sekolah lain. (LP:25) Gaya bahasa metafora pada contoh (142) sampai dengan

(144) diwujudkan melalui kelas kata nomina khusus nomina tempat.

Secara denotatif, kata sekolah bermakna „bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran‟. Contoh (142) sampai dengan (144) menunjukkan 189

perbandingan secara langsung antara kata sekolah dan miskin serta kandang dan melarat. Penggunaan kata miskin, kandang, dan melarat yang mengikuti nomina tempat sekolah tersebut menunjukkan sebuah analogi atau penggambaran terhadap keadaan sekolah Muhammadiyah yang tidak terurus dengan penuh keterbatasan. Sekolah yang kondisinya layaknya kandang kambing.

Atas dasar keterbatasan-keterbatasan inilah sehingga dijumpai pula bentuk metafora sekolah Islam melarat.

(8) Nomina Wilayah

Pewujudan gaya bahasa metafora berdasarkan kelas kata nomina wilayah hanya ditemukan dalam NTLP. Contoh gaya bahasa metafora tersebut adalah:

(145) Dalam waktu singkat berhasil terkumpul dua ratus lima puluh Euro! Jumlah yang membuat kami optimis dapat menaklukkan Eropa sebagai manusia patung. (EDS: 186) (146) Baru kali ini kutemukan rutinitas yang tak membosankan, karena Paris adalah gelimang pesona. (EDS: 86) (147) Belitong menjelang malam adalah semburan warna dari seniman impresi yang melukis spontan, tak dibuat-buat, dan memikat. (EDS: 25)

Gaya bahasa metafora juga diwujudkan melalui kelas kata nomina wilayah seperti Eropa, Paris, dan Belitong. Ketiga nomina wilayah tersebut dibandingkan secara langsung dengan frasa manusia patung, gelimang pesona, dan semburan warna. Contoh

(145) menunjukkan perbandingan Eropa sebagai manusia patung. 190

Manusia patung adalah sebuah seni pementasan jalanan yang

banyak dipentaskan di Eropa sehingga Eropa dianalogikan sebagai

manusia patung. Adapun contoh (146) Paris dianggap sebagai

gelimang pesona yang berarti bahwa Paris sebagai kota yang

memiliki daya tarik besar, khususnya pada bidang seni. Penduduk

Prancis memiliki culture litterair, melek budaya, dan bercita rasa

tinggi sehingga dikatakan Paris layaknya gelimang pesona.

Selanjutnya, contoh (147) Belitong dianalogikan sebagai semburan

warna. Perbandingan tersebut dilakukan berdasarkan fenomena

yang terjadi di Belitong saat menjelang malam yaitu munculnya

sejumlah lukisan dari seniman impresi yang melukis secara spontan,

tidak dibuat-buat, dan memikat. b) Pilihan Kata yang Berkelas Kata Pronomina

Di samping pewujudan gaya bahasa metafora berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata nomina, pada NTLP dan NTNLM juga ditemukan pewujudan gaya bahasa metafora berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata pronomina. Berikut uraian pewujudan gaya bahasa tersebut.

(1) Pronomina Persona Pertama Tunggal

Pewujudan gaya bahasa metafora berdasarkan pilihan kata yang

berkelas kata pronomina persona pertama tunggal dalam NTLP dapat

dilihat pada contoh di bawah ini:

(148) Sejak seminggu yang lalu aku telah menjadi sekuntum daffodil yang gelisah. (LP: 249) 191

(149) Lihatlah aku, aku anak sungai, bumi, api, dan anginmu, pulang, pulang untukmu. (MK: 81) (150) Aku masih seekor pungguk buta dan mimpi-mimpi itu masih rembulan, namun sebenderang rembulan dini hari ini, mimpi-mimpi itu masih bercahaya dalam dadaku. (SP: 268-269)

Perbandingan ditunjukkan pada contoh (148) sampai dengan

(150) yang diwujudkan melalui pilihan kata yang berkelas kata pronomina persona pertama tunggal aku yang merujuk kepada Ikal.

Contoh (148) menunjukkan perbandingan aku (Ikal) dengan sekuntum daffodil. Bunga daffodil adalah bunga yang melambangkan semangat baru, kehormatan dan penghargaan. Adapun contoh (149) menganalogikan tokoh Ikal sebagai anak sungai, bumi, api, dan angin yang pulang demi seorang perempuan berkuku indah. Pada contoh

(150), Ikal dibandingkan secara langsung sebagai seseorang yang merindukan kekasihnya, tetapi cintanya tidak terbalas. Namun, kekasih yang dirindukan Ikal ialah sebuah mimpi untuk melanjutkan sekolah di

Sorbonne yang akan segera ia wujudkan.

Adapun contoh penggunaan gaya bahasa metafora dalam

NTNLM yang diwujudkan melalui pilihan kata yang berkelas kata pronominal persona pertama tunggal adalah:

(151) Aku adalah anak kesayangan yang selalu patuh sepenuh hati pada Amak. (NLM: 127) (152) Tapi aku adalah seekor garuda yang terbang tinggi dan mendarat di bulan. (NLM: 216)

Pada contoh (151) dan (152) pronomina persona pertama tunggal aku dimetaforakan sebagai anak kesayangan dan seekor 192

garuda. Kata aku pada kedua contoh tersebut merujuk kepada Alif.

Pada contoh (151), Alif digambarkan sebagai anak kesayangan. Alif dimetaforakan sebagai anak kesayangan karena kepatuhannya terhadap semua perintah dan keinginan ibunya. Kemudian, pada contoh (152), kata aku dimetaforakan dengan seekor garuda.

Penggunaan metafora seekor garuda ialah untuk menggambarkan kehebatan Alif dalam cerita yang dianalogikan layaknya seekor garuda yang terbang tinggi. Keberhasilan Alif berfoto bersama keluarga Ust ad

Khalid adalah sebuah nilai lebih yang Alif peroleh dibanding teman- teman sahibul menara yang lain.

(2) Pronomina Persona Pertama Jamak

Selain pronomina persona pertama tunggal, gaya bahasa metafora dalam NTLP dan NTNLM juga diwujudkan melalui kelas kata pronominal persona pertama jamak. Contoh gaya bahasa metafora dalam NTLP adalah:

(153) Kami adalah kanon yang siap meledak kapan saja. (SP: 109) (154) Momen itu hanya sekilas, yaitu ketika beliau bergantian menatap kami dan dengan jelas menyiratkan bahwa kami adalah pahlawan baginya. (SP: 94) (155) Kami adalah lapisan-lapisan pelangi terindah yang pernah diciptakan Tuhan. (LP: 434)

Gaya bahasa metafora juga diwujudkan melalui kelas kata pronomina pesona pertama jamak kami. Pada contoh (153), kata kami merujuk kepada Ikal, Arai, dan Jimbro. Ketiganya dianalogikan sebagai kanon. Maksud kata kanon di sini adalah meriam. Perbandingan 193

tersebut didasarkan pada perkembangan psikologi dari ketiga tokoh tersebut yang telah menginjak usia balig dan pada saat itulah segala hal bisa saja dilakukan oleh mereka. Kondisi kejiwaan mereka yang belum stabil ini dianalogikan seperti meriam. Karakter meriam yang mudah meledak, tidak dapat terkontrol dianggap sama dengan Ikal,

Arai, dan Jimbro. Adapun contoh (154), kami dibandingkan dengan nomina pahlawan. Pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani; hero. Ikal dan Arai dianalogikan sebagai pahlawan bagi sosok ayah. Selanjutnya, kami pada contoh (155) merujuk kepada para anggota Laskar Pelangi. Pelangi adalah lengkung spektrum warna di langit, dan ini dianalogikan sebagai. lapisan-lapisan pelangi terindah. Mereka adalah kumpulan murid yang memiliki watak atau karakter yang berbeda-beda seperti laskar tentara dan juga seperti pelangi dengan warna yang berbeda-beda hadir menghiasi tanah

Belitong.

Adapun contoh pewujudan gaya bahasa metafora berdasarkan kelas kata pronomina persona pertama jamak dalam NTNLM adalah:

(156) K.ami berenam adalah anak baru yang pertama mendapat kehormatan menjadi pesakitan di mahkamah keamanan pusat (NLM: 64) (157) Hanya Amak sendiri yang berani angkat tangan dan berkata “Kita di sini adalah pendidik dan ini tidak mendidik. (NLM: 125) (158) Boleh disebutkan dengan bangga, kami manusia pilihan untuk ukuran PM. (NLM: 240)

194

Contoh (156) sampai dengan (158) menunjukkan perbandingan secara langsung yang diwujudkan melalui kelas kata pronomina persona pertama jamak, yaitu kata kami dan kita. Pada contoh (156), kata kami merujuk kepada anggota sahibul menara yang dimetaforakan sebagai anak baru. Adapun contoh (157), kata kita dibandingkan dengan pendidik. Kata kita merujuk kepada Amak .

Dalam KBBI V luring, pendidik berarti „orang yang mendidik‟. Jadi, kita adalah para pendidik yang menganggap bahwa perbuatan yang dibicarakan dalam cerita itu dianggap tidak mendidik. Selanjutnya, contoh (158) kata kami merujuk kepada anggota sahibul menara yang selanjutnya dimetaforakan sebagai manusia pilihan. di PM. Dikatakan demikian karena untuk lolos masuk PM bukanlah hal mudah. Para santri yang belajar di PM telah melewati sejumlah seleksi sehingga para sahibul menara dianggap sebagai manusia pilihan.

(3) Pronomina Persona Ketiga Tunggal

Contoh pewujudan gaya bahasa metafora berdasarkan kelas kata pronomina persona ketiga tunggal dalam NTLP dapat dilihat pada contoh berikut:

(159) Ia adalah buah akal yang jernih, bibit jenius asli, yang lahir di sebuah tempat nun jauh di pinggir laut, dari sebuah keluarga yang tak satu pun bisa membaca. (LP: 109) (160) Sahara menyeringai, setelah sekian lama menghilang ke alam lain kini ia kembali dalam penjelmaan seekor leopard, alisnya bertemu. (LP: 380) (161) Ia sedih, tapi tak setitik pun air matanya luruh. Karena, ia adalah perempuan naga. (MK: 106)

195

Contoh (159) sampai dengan (160) menunjukkan perbandingan secara langsung yang diwujudkan melalui kelas kata pronominal persona ketiga tunggal ia. Kata ia pada contoh (161) merujuk kepada

Lintang yang dianalogikan sebagai buah akal. Buah akal adalah ilmu pengetahuan. Tokoh ia dianggap sebuah ilmu pengetahuan yang jernih karena kecerdasan intelektual yang dimilikinya. Adapun contoh

(160) kata ia merujuk kepada Sahara yang dianalogikan sebagai seekor Leopard. Leopard adalah macan tutul. Perbandingan secara langsung ini didasarkan pada karakter ganas penuh semangat yang dimiliki oleh Sahara. Selanjutnya, contoh (161) menunjukkan perbandingan kata ia yang merujuk kepada Dokter Budi Ardiaz yang dianggap sebagai seorang perempuan naga. Dokter Budi Ardiaz adalah perempuan keturunan Tionghoa yang memiliki karakter tangguh dan kuat.

Adapun contoh pewujudan gaya bahasa metafora berdasarkan kelas kata pronomina persona ketiga tunggal dalam NTNLM adalah:

(162) Kalau ini film koboi, dia adalah sheriff berwajah keras yang siap mengokang pistolnya. (NLM: 57) (163) Seperti fungsinya di bagian keamanan, di dalam lapangan dia adalah bek yang penuh disiplin, sulit ditembus dan tidak kompromi. (NLM: 228) (164) Begitu aku menyebut Ustad Salman, dia langsung berseru, “beruntung sekali ya akhi”. Dia adalah legenda hidup dalam mempelajari bahasa. Dia menguasai bahasa Arab, Inggris, Perancis dan Belanda. Dan semuanya, katanya dilakukan otodidak.” (NLM: 218) Gaya bahasa metafora pada contoh (162) sampai dengan (164) diwujudkan melalui kelas kata pronomina persona ketiga tunggal dia. 196

Pada contoh (162), kata dia merujuk kepada Kismul Amni (bagian

keamanan PM). Kismul Amni dimetaforakan sebagai Sheriff. Sheriff

adalah tokoh dalam cerita di zaman cowboy Amerika. Sheriff adalah

penegak hukum yang menjadi benteng bagi warga dari aksi-aksi brutal

bandit-bandit cowboy di zaman itu. Atas kesamaan karakter inilah

sehingga keduanya diperbandingkan. Selanjutnya, contoh (163) kata

dia merujuk kepada staf bagian keamanan yang dianalogikan sebagai

bek. Adapun contoh (164) kata dia yang merujuk kepada Ustad

Salman dianggap sebagai legenda hidup terutama dalam mempelajari

bahasa. Penggunaan bentuk legenda hidup didasarkan pada lamanya

Ustad Salman mengenyam pendidikan khusus ilmu bahasa.

4) Gaya Bahasa Metonimi

Metonimi diturunkan dari kata Yunani meta yang berarti

„menunjukan perubahan‟ dan onoma yang berarti „nama‟. Dengan demikian, metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Pewujudan gaya bahasa metonimi dalam

NTLP dapat dilihat pada contoh berikut:

(165) Suatu hari seorang gentlemen keluar dari balik tembok itu untuk berkeliling kampung dengan sebuah Chevrolet Corvette, lalu esoknya di depan sebuah majelis ia mencibir. (LP: 36) (166) Pasti itulah yang dialami Jimbron.Seperti kata ibuku:gila memang ada empat puluh empat macam. BINTANG LAUT SELATAN merapat. Pintu utamanya dipaskan pada ujung pelataran sehingga tercipta jembatan antara dermaga dengan kapal. (SP: 169) 197

(167) Sampai jauh masih kudengar sorak-sorai . Mimpi-Mimpi Lintang menyelusuri delta, menelan seluruh sisa-sisa muara, lalu memasrahkan dirinya dalam pelukan samudra. (MK: 359)

Contoh (165) sampai dengan (167) adalah contoh pewujudan gaya bahasa metonimi pada NTLP. Ketiga contoh ini menunjukkan adanya penggunaan gaya bahasa metonimi. Pemakaian ciri atau nama ini ditautkan dengan barang sebagai penggantinya. Contoh (165) Chevrolet

Corvette menunjukkan penggantian terhadap nama atau merek sebuah mobil. Contoh (166) Bintang Laut Selatan merupakan penggantian untuk nama sebuah kapal. Begitu pun halnya dengan contoh (167) Mimpi-mimpi

Lintang merupakan penggantian untuk nama sebuah perahu yang sengaja dibuat Ikal untuk menelusuri laut mencari A Ling. Berdasarkan ketiga contoh tersebut, pewujudan gaya bahasa metonimi dapat dilihat berdasarkan penggantian nama atau merek barang melalui pilihan kata

Chevrolet Corvette, Bintang Laut Selatan, dan Mimpi-mimpi Lintang sebagai penandanya.

Adapun pewujudan gaya bahasa metonimi pada NTNLM, dapat dilihat sebagai berikut:

(168) Selain Said, aku melihat Saleh, teman sekelasku dari Jakarta juga dijemput orang tua dan adik-adiknya dengan Toyota Kijang biru. (NLM: 215) (169) Tapi aku melihat Ayah menyerahkan seperangkat kunci, bersalaman, dan tamu itu pergi. Sejak hari itu bebek yang setiap hari dilap Ayah dengan kasih sayang itu tidak pernah pulang pulang lagi ke rumah kami. (RTW: 38) (170) Tanpa menunda lagi, aku menggas bebek kurus ini secepatnya mendaki Jalan Ciumbuleuit sambil berkali-kali berbisik, “Alhamdulillah…Alhamdulillah…” (RTW: 113)

198

Pewujudan gaya bahasa metonimi pada contoh (168) sampai dengan (170) dilakukan oleh pengarang melalui penggantian nama atau merek barang. Pilihan kata Toyota Kijang, bebek, dan bebek kurus merupakan penggantian atas merek mobil dan motor. Contoh (168),

Toyota Kijang biru menggantikan sebuah benda, yakni mobil dengan merek Toyota Kijang berwarna biru. Contoh (169) dan (170) kata bebek bukan berarti nomina fauna melainkan merek sebuah motor. Motor bebek adalah sepeda motor kecil yang dibangun di atas kerangka yang sebagian besar terdiri atas pipa berdiameter besar.

5) Gaya Bahasa Sarkasme

Sarkasme merupakan gaya bahasa yang lebih kasar daripada ironi dan sinisme. Sarkasme adalah suatu gaya bahasa yang mengandung kepahitan dan celaan yang getir. Sarkasme dapat saja bersifat ironis dan dapat juga tidak bersifat ironis. Akan tetapi, yang jelas bahwa gaya bahasa ini akan selalu menyakiti hati dan kurang enak didengar. Pewujudan gaya bahasa sarkasme dalam NTLP dapat dilihat pada contoh berikut:

(171) “Jangan mandikan mayatnya di masjid! Biar dia hangus di neraka berdaki-daki!”. (EDS: 2) (172) Sementara penonton wanita menyumpah-nyumpah, “Anjing Kurap!! Biar nanti kau dan majikan botakmu itu dibakar di neraka!!” (SP: 111) (173) Tapi jika Anda seorang religius maka Anda tahu bahwa teori evolusi itu palsu, dan ketika Anda tak kunjung mempersiapkan diri untuk dihisab nanti dalam hidup setelah mati, maka dalam hal ini anda tak lebih dari seorang sekuler oportunis yang akan dibakar di dasar neraka!. (LP: 92)

199

Contoh (171) sampai dengan (173) menunjukkan adanya penggunaan gaya bahasa sarkasme. Contoh (171) menunjukkan pilihan kata hangus yang berkelas kata adjektiva serta penggunaan penunjukan nomina tempat, yaitu neraka. Adapun contoh (172) dan (173), penggunaan verba dibakar yang juga diikuti keterangan tempat neraka menandai penggunaan gaya bahasa sarkasme. Neraka dalam contoh kalimat ini maknanya adalah alam akhirat tempat orang kafir dan orang durhaka mengalami siksaan dan kesengsaraan. Berdasarkan arti kata neraka tersebut, tidak seorang pun ingin dikatakan kafir dan tidak seorang pun menginginkan masuk neraka sehingga penggunaan kata neraka dianggap kasar.

6) Gaya Bahasa Antonomasia

Antomonasia merupakan bentuk gaya bahasa yang digunakan dengan menyebut suatu objek bukan dengan nama aslinya, melainkan menggunakan salah satu sifat dari objek tersebut. Pewujudan gaya bahasa antonomasi dalam NTLP dan NTNLM dapat dilihat pada contoh dari uraian berikut:

a) Pilihan Kata yang Berkelas Kata Nomina

Nomina adalah kata yang mengacu kepada manusia, binatang,

benda, dan konsep atau suatu pengertian. Salah satu penanda linguistik

yang menunjukkan gaya bahasa antonomasia, yaitu raja dan putri.

Pilihan kata raja dan putri tergolong kelas kata nomina. Pewujudan gaya 200

bahasa antonomasia berdasarkan kelas kata nomina dalam NTLP dapat dilihat sebagai berikut:

(174) Muharam tetap saja termangu persis raja lutung yang mabuk jengkol. (MK: 187) (175) Buntat adalah masterpiece dunia jampi-jampian. Rupanya macam batu dan ia diambil dari perut raja kelabang. Raja kelabang amat langka, ialah raksasa kelabang. Saking besarnya, warnanya berubah dari merah jadi ungu kehijau-hijauan. Jika menggigit Jangankan manusia, kerbau pun almarhum. (MK: 403) (176) Dan Bu Mus tak berani melihat wajah kami. Wajahnya dipalingkan ke lampu besar di tengah ruangan yang berjuntai junta laksana raja gurita. (LP: 272)

Contoh (174) sampai dengan (176) menunjukkan adanya

penggunaan gaya bahasa antonomasia dengan pilihan kata raja yaitu

raja kelabang, raja lutung, dan raja gurita. Dalam contoh (174), (175)

dan (176) kata raja diartikan sebagai binatang (jin dan sebagainya)

yang dianggap berkuasa terhadap sesamanya. Ketiga contoh tersebut

menunjukkan pilihan kata yang berkelas kata nomina khusus fauna

yang ditandai dengan kata kelabang, lutung, dan gurita yang

mendampingi kata raja.

Adapun pewujudan gaya bahasa antonomasia berdasarkan

pilihan kata yang berkelas kata nomina pada NTNLM, dapat dilihat

pada contoh berikut:

(177) “Nama tuan putri itu Sarah,” katanya puas dengan imbalan yang dia dapat dari informasi ini. (NLM: 191) (178) “Masih ingat tuan putri yang aku ceritakan kemarin? Yang anak Ustad Khalid?” tanya Kurdi retoris di tengah kamar suatu sore. (NLM: 192)

201

Gaya bahasa antonomasia pada NTNLM juga diwujudkan melalui pilihan kata nomina tuan putri. Frasa tuan putri merujuk kepada

Sarah. b) Pilihan Kata yang Berkelas Kata Artikula

Artikula adalah kategori yang mendampingi nomina dasar, seperti si, sang, para, dsb. Pewujudan gaya bahasa antonomasia berdasarkan kelas kata artikula dalam NTLP dan NTNLM dapat dilihat sebagai berikut:

(1) Artikula Sang

Berdasarkan makna denotatifnya, artikula sang berarti kata

yang dipakai di depan nama orang, binatang, atau benda yang

dianggap hidup atau dimuliakan. Pewujudan gaya bahasa

antonomasia berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata artikula

sang dalam NTLP dapat dilihat pada contoh-contoh di bawah ini.

(179) Jika kita mengatakan bahwa dunia akan kiamat besok maka ia pasti akan bergegas pulang untuk menjual satu- satunya ayam yang ia miliki, bahkan meskipun sang ayam sedang mengeram. (LP: 54) (180) Saat itulah aku melihat Bodenga mendesak maju di antara pengunjung. Lalu ia bersimpuh di samping sang buaya. (LP: 71) (181) Maka dalam sebuah penampilan, keranya itu memerintahkannya untuk melakukan sesuatu yang dalam pertunjukan biasa hal itu seharusnya dilakukan sang kera. Sang kera dengan gaya seorang instruktur menyuruh Mahar bernyanyi, menari-nari, dan berakrobat. (LP: 110)

Penggunaan artikula sang menjadi penanda gaya bahasa

antonomasia. Contoh (179) sampai dengan (181) menunjukkan 202

adanya penggunaan artikula sang yang diikuti oleh nomina khusus fauna seperti sang ayam, sang buaya, dan sang kera.

Adapun pewujudan gaya bahasa antonomasia berdasarkan pilihan kata kelas kata artikula sang pada NTNLM, dapat dilihat pada contoh berikut:

(182) Pengumuman sang kapten mengalir ke (Ma|3| sumpalkan di kedua daun telinga, (NLM: 237) (183) Hanya dua pertanyaan yang sempat aku ajukan sebelum para wartawan lain kembali mengambil alih sang Panglima. Pertanyaanku, “Apa yang mengesankan di PM? dan Apakah siswa PM bisa masuk ABRI?” (NLM: 278)

Contoh (182) dan (183) menunjukkan adanya penggunaan gaya bahasa antonomasia berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata artikula sang yang diikuti oleh nomina yang berhubungan dengan pangkat seperti sang kapten dan sang panglima.

(2) Artikulas Si

Artikula atau kata sandang si adalah kata yang dipakai di depan nama diri (pada ragam akrab atau kurang hormat). Kata yang dipakai di depan nama kata sifat yang berhubungan dengan timang- timangan, pujian, panggilan, ejekan dan sebagainya menyatakan bahwa yang disebutkan itu mempunyai atau menyerupai sifat atau karakter yang sama dengan sebutan itu. Pewujudan gaya bahasa antonomasia berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata artikula si dalam NTLP dapat dilihat pada contoh-contoh berikut: 203

(184) Tapi menghadapi anak perempuan kecilnya, si tomboi gasing yang tak bisa diatur ini, beliau hampir menyerah. (LP: (185) "Beginilah akibatnya kalau bergaul dengan si sinting Mahar itu." Tawa ejekan berderai-derai. (MK: 172) (186) Kamsir si buta dari Gua Hantu menaruh Jumiadi Setengah Tiang. (MK: 173)

Gaya bahasa antonomasia yang ditunjukkan pada contoh

(184) sampai dengan (186) diwujudkan melalui pilihan kata yang berkelas kata artikula si. Artikula si tersebut diikuti oleh kata yang berkelas kata adjektiva tomboi, sinting, dan buta. Penggunaan adjektiva yang mengikuti artikula tersebut menunjukkan ejekan yang menyatakan bahwa yang disebut itu mempunyai sifat yang sama dengan sebutan itu.

Adapun contoh berikut menunjukkan adanya gaya bahasa antonomasia yang diwujudkan melalui artikula si yang dipakai di depan nama orang seperti si Mahdar dan si Ikal.

(187) Pasti punya anak si Mahdar yang duduk di kelas dua SMP. (MK: 235) (188) Aku dipanggil si Ikal, lantaran rambutku Ikal. Mereka tak pernah tahu nama asliku, tak mau tahu lebih tepatnya, dan mereka tak paham bahwa nama asliku itu tidak main-main. (MK: 96) (189) Ketua Karmun, kembali berseru, "Kalian dengar itu? Hebat bukan buatan si Ikal ini!". (MK: 250)

Adapun pewujudan gaya bahasa antonomasia berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata artikula si pada NTNLM, dapat dilihat pada contoh berikut: 204

(190) “Tadi, ketika aku jadi piket asrama siang, aku melihat pemandang. an yang sangat jarang. Tidak lain dan tidak bukan, si Sarah berkeliling PM dengan keluarganya. (NLM: 197) (191) Tiga hari tiga malam, perbincangan kami sekamar tidak pernah jauh dari saudari-saudari bening si Zamzam ini. (NLM: 270) (192) Ya salam, beruntung sekali si Zamzam ini, punya keluarga cantik-cantik,” kata Atang. (NLM: 270)

Contoh (190) sampai dengan (192) menunjukkan adanya

gaya bahasa antonomasia yang diwujudkan melalui artikula si yang

dipakai di depan nama orang seperti si Sarah dan si Zamzam.

7) Gaya Bahasa Eponim

Eponim adalah suatu gaya seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu. Pewujudan gaya bahasa eponim dalam NTLP dapat dilihat sebagai contoh berikut:

(193) Seorang pria berjenggot lebat dengan tatapan syahdu meradang, memegang gitar seperti Rambo menenteng peluncur roket Jubahnya melayang-layang di atas sederet tulisan judul film: Rhoma Irama Berkelana. (MK: 67) (194) Muslimat selalu sok jago dan sering mengikat kepalanya dengan bandana, jadilah dia Muslimat Rambo. (MK: 98) (195) Tapi uang itu meluncur saja seperti menggenggam lele, hanya numpang lewat di telapak Marhaban Hormat Grak II lantaran ia kalah bertaruh dalam jumlah yang sama pada Muslimat Rambo. (MK: 187)

Contoh (193) sampai dengan (195) menunjukkan adanya penggunaan gaya bahasa eponim yang diwujudkan melalui pilihan kata yang berkelas kata nomina khusus nama orang. Contoh tersebut menunjukkan adanya penggunaan frasa Muslimat Rambo . Rambo adalah ikon fiksi „pahlawan‟ Amerika Serikat dalam peperangan yang diperankan 205

oleh aktor kawakan AS, Sylvester Stallone. Sosok Rambo yang memiliki kekuatan dan kehebatan dihubungkan dengan karakter tokoh Muslimat sehingga nama Rambo-lah yang dipakai untuk menyatakan sifat, karakter, atau kekuatan yang dimiliki Muslimat.

Adapun pewujudan gaya bahasa eponim pada NTNLM dapat dilihat pada contoh berikut:

(196) Sret…sret…sarungku berdesau-desau seiring langkah cepat supaya tidak ditangkap Tyson. (NLM: 87) (197) Dengan gaya otoritatif dan suara tegas seperti perwira brimob, Tyson mengingatkan bahwa malam ini keamanan PM ada di bahu kita, karena itu tidak seorang pun boleh tidur sepicing pun. (NLM: 239) (198) Sosok tak diundang ini horor nomor satu kami: Tyson. (NLM: 257) Gaya bahasa eponim ditunjukkan pada contoh (196) sampai dengan (198). Gaya bahasa tersebut diwujudkan melalui pilihan kata

Tyson. Michael Gerard Tyson atau Malik Abdul Azis lebih dikenal dengan

Tyson adalah petinju profesional dan mantan juara kelas berat. Pilihan kata Tyson digunakan untuk menggantikan tokoh Rajab Sujai yang memiliki tugas untuk mengawasi para santri yang baru memasuki Pondok

Madani. Pilihan kata Tyson digunakan berdasarkan kesesuaian karakter yang dimiliki oleh sosok Rujab Sujai dengan Tyson dalam cerita, yakni berperawakan gempal dengan gerakan sigap dan memburu yang senantiasa siap memberikan peringatan maupun hukuman kepada siapa saja yang melanggar qanun (tata tertib) pondok Madani.

206

8) Gaya Bahasa Paronomasia

Paronomasia/pun adalah gaya bahasa yang mempergunakan kemiripan atau kesamaan bunyi. Pewujudan gaya bahasa paranomasia dalam NTLP dapat dilihat pada contoh berikut:

(199) Di negeriku banyak sekali orang pintar, pintar mencuri uang negara.” (EDS: 133) (200) Kegiatan ayah berikutnya ditandai lima hal saja: shalat, mengaji, mendengarkan radio, mencukur rambut ke Pasar Jenggo, dan diam, diam tak bersuara. (MK: 14)

Gaya bahasa paronomasia/pun pada contoh (199) dan (200) diwujudkan melalui pilihan kata yang berkelas kata adjektiva pintar dan diam. b. Gaya Bahasa Retoris

Gaya bahasa kiasan adalah gaya bahasa yang menyimpang dari konstruksi biasanya untuk mencapai efek tertentu. Gaya bahasa retoris yang ditemukan dalam NTLP dan NTNLM , yaitu gaya bahasa hiperbola, litotes, asindeton , polisindenton, erotesis, dan koreksio. Berikut uraian gaya bahasa retoris tersebut.

1) Gaya Bahasa Hiperbola

Gaya bahasa hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung

suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan suatu

hal. Pewujudan gaya bahasa hiperbola dalam NTLP dan NTNLM dapat

dilihat sebagai berikut:

207

a) Pilihan Kata yang Berkelas Kata Nomina

Nomina atau kata benda adalah kata yang mengacu pada manusia, binatang, benda, tumbuhan, konsep atau pengertian. Berikut uraian pewujudan gaya bahasa hiperbola pada NTLP dan NTNLM.

(1) Nomina Anggota Tubuh

Pewujudan gaya bahasa hiperbola pada NTLP berdasarkan

pilihan kata yang berkelas kata nomina anggota tubuh dapat dilihat

sebagai berikut:

(201) Bahkan Jimbro hampir dimandikan dengan kembang tujuh rupa untuk menghilangkan baying-bayang kuda yang terus menerus menghantuinya. Kini dadaku ingin meledak rasanya. (SP: 139) (202) Dadaku ingin meledak memandangi punggung ayahku perlahan-lahan meninggalkan halaman sekolah. (SP: 153) (203) Kulirik Jimbron, ia menutup wajahnya dengan tangan. Mungkin dadanya ingin meledak, tapi yang pasti, ia menangis. (SP: 172-173)

Gaya bahasa hiperbola berdasarkan nomina anggota tubuh

pada NTLP diwujudkan melalui verba intransitif berprefiks meng-.

Contoh (201) sampai dengan (203) menunjukkan adanya

penggunaan gaya bahasa hiperbola yang diwujudkan melalui nomina

dada. Ketiga contoh tersebut menggambarkan keadaan tubuh tokoh

yakni dada secara berlebih-lebihan melalui verba intransitif meledak.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, meledak

adalah pecah dan mengeluarkan bunyi sangat keras; meletus.

Berdasarkan makna kata tersebut, pilihan kata meledak yang melekat

pada kata dada dianggap melebih-lebihkan sesuatu. Seyogyanya, 208

benda yang biasa meledak adalah balon atau benda-benda lain yang

mengandung gas. Sementara contoh-contoh yang ditampilkan

menjelaskan bahwa yang meledak adalah dada. Dada adalah bagian

tubuh sebelah depan di antara perut dan leher. Dada bukanlah

nomina yang memiliki sifat mudah meledak.

Selanjutnya, pewujudan gaya bahasa hiperbola berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata nomina anggota tubuh pada NTNLM terdiri atas:

(a) Nomina anggota tubuh yang berhiperbola dengan verba

intransitif berprefiks meng-

(204) Darahku menggelegak. Baru sejam yang lalu kami squat jump karena ada teman yang terlambat. (RTW: 54) (205) Beliau berhenti sebentar untuk menarik napas. Aku cuma mendengarkan. Kepalaku kini terasa melayang . (NLM: 8) (206) Aku mengangguk tersipu-sipu. Mataku beradu sekejap dengan Sarah. Otot jantungku mengencang. (NLM: 255)

Contoh (204) sampai dengan (206) menunjukkan

penggunaan gaya bahasa hiperbola. Gaya bahasa tersebut

diwujudkan melalui nomina khusus nomina anggota tubuh. Ketiga

contoh tersebut menggambarkan keadaan tubuh tokoh, yakni: darah,

kepala, dan otot jantung yang secara berlebih-lebihan diwujudkan

melalui verba intransitif menggelegak, melayang, dan mengencang.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring,

menggelegak adalah berbual-bual dan berbunyi (seperti air mendidih 209

pada waktu direbus). Berdasarkan makna kata tersebut, contoh (204) dianggap berlebih-lebihan dengan menyatakan darahku menggelegak. Darah yang mengalir dalam tubuh tidak pernah menghasilkan bunyi seperti air mendidih. Namun, pada contoh (204) dikatakan bahwa darahku menggelegak. Kata menggelegak seyogyanya mengikuti nomina air, bukanlah kata darah. Namun, pengarang memilih kata menggelegak yang mengikuti kata darah untuk menggambarkan kekesalan tokoh aku (Alif).

Pada contoh (205), pilihan kata nomina anggota tubuh kepala yang diikuti verba melayang merupakan bentuk penggunaan bahasa yang berlebih-lebihan. Secara denotatif kata melayang berarti „terbang karena diembus angin‟. Aktivitas terbang atau melayang di udara hanya dapat terjadi pada makhluk hidup bersayap seperti burung, benda-benda ringan seperti debu, benda-benda elektronik seperti pesawat main-mainan dan layang-layang sehingga kepala yang melayang dianggap bergaya bahasa hiperbola.

Adapun contoh (206), otot sebagai nomina anggota tubuh digambarkan secara berlebih-lebihan melalui verba intransitif mengencang. Sebenarnya kata mengencang secara denotatif berarti

„melaju secara cepat atau menjadi lebih erat‟. Akan tetapi, pada contoh (206) kata mengencang dianggap berlebih-lebihan karena hanya dengan mata tokoh aku (Alif) yang beradu sekejap dengan 210

mata Sarah (perempuan yang ia kagumi) jantungnya menjadi mengencang.

(b) Nomina anggota tubuh yang berhiperbola dengan adjektiva

Beberapa contoh nomina anggota tubuh yang berhiperbola dengan adjektiva dapat dilihat sebagai berikut:

(207) Aku mengejap-ngejap terkejut. Leherku rasanya layu. (NLM: 8) (208) Dimulai dengan ayunan ringan kepalanya ke arah depan, lalu ayunannya semakin berat sampai lehernya layu dan dagunya menyentuh dada. (NLM: 69) (209) Tidak ampun lagi, leher layu Atang jadi tegak dan mata yang 5 watt menadi 100 watt. (NLM: 239)

Contoh (207) sampai dengan (209) menunjukkan adanya penggunaan gaya bahasa hiperbola. Gaya bahasa tersebut diwujudkan melalui nomina anggota tubuh leher yang diikuti adjektiva layu. Penggunaan frasa leher layu pada ketiga contoh tersebut mendeskripsikan sebuah kondisi tubuh yakni bagian leher yang dalam keadaan tidak sehat. Pilihan kata layu yang mengikuti nomina leher pada konstruksi tersebut menjadi tidak lazim. Jika kalimat- kalimat tersebut dinyatakan dengan konstruksi leherku rasanya lelah, lehernya lelah atau leher lelah Atang tentu tidak akan menghasilkan reaksi apapun dari pembaca. Kata layu yang berkelas kata adjektiva yang menjelaskan nomina anggota tubuh leher dianggap berlebih- lebihan. Pada umumnya, kata layu hanya diperuntukkan untuk tanaman seperti bunga yang sudah tidak segar lagi sehingga 211

penggunaan kata layu yang mengikuti nomina leher tersebut dianggap bergaya bahasa hiperbola.

Selain itu, pewujudan gaya bahasa hiperbola berdasarkan nomina anggota tubuh yang berhiperbola dengan adjektiva pada

NTNLM juga dapat dilihat pada contoh berikut:

(210) “Tapi Amak, ambo tidak berbakat dengan ilmu agama. Ambo ingin menjadi insinyur dan ahli ekonomi,” tangisku sengit. Mukaku merah dan mata terasa panas. (NLM: 9) (211) Semoga aku bisa saja bersabar walau badan dan otakku rasanya remuk. (RTW: 141) (212) Badanku rasanya ringan terbang melayang, meresapi sensasi yang sulit aku lukiskan. (RTW: 228) (213) Apakah riwayat kami akan berakhir tragis seperti ini? Setiap detak jantung dan aliran darah terasa kencang di kupingku, di ujung hidung, di sekitar mata, di setiap ujung badan. (RTW: 249)

Contoh (210) sampai dengan (213) menunjukkan adanya penggunaan bahasa yang berlebih-lebihan. Gaya bahasa hiperbola tersebut diwujudkan melalui kata-kata yang berkelas kata nomina anggota tubuh yang dijelaskan dengan kata-kata berkelas kata adjektiva. Pada contoh (210), kata mata yang diikuti adjektiva panas dianggap berlebih-lebihan. Pada umumnya, mata hanya digambarkan memerah sehingga dengan adanya konstruksi mata terasa panas dianggap sebagai bentuk gaya bahasa hiperbola.

Selanjutnya, contoh (211) kata otak yang diikuti adjektiva remuk dianggap bergaya bahasa hiperbola. Kata remuk bermakna

„hancur luluh; luluh lantah; hancur berkeping-keping‟. Sebuah otak 212

tidaklah hancur berkeping-keping dalam kondisi atau situasi tubuh yang hanya kelelahan. Pada contoh (212), kalimat Badanku rasanya ringan terbang melayang, juga dianggap bergaya bahasa hiperbola karena sekecil apapun berat badan manusia atau seringan apapun itu, tidak akan bisa terbang layaknya benda-benda ringan seperti kertas atau debu. Atas kenyataan tersebut, contoh (212) dianggap berlebih-lebihan. Begitupun contoh (213) setiap detak jantung dan aliran darah yang terdengar terasa kencang di kuping juga dianggap berlebihan karena suara detak jantung dan aliran darah, kenyataannya tidak dapat terdengar tanpa menggunakan alat bantu kedokteran.

(c) Nomina anggota tubuh yang berhiperbola dengan verba

berproses gabung (prefiksasi meng- + reduplikasi)

Beberapa contoh pewujudan gaya bahasa hiperbola berdasarkan nomina anggota tubuh yang berhiperbola dengan adjektiva dapat dilihat sebagai berikut:

(214) Air matanya melimbak-limbak, membentuk sungai kecil yang seakan-akan tidak mau putus dan tidak ingin kering. (RTW: 95) (215) Kesibukan naik-turun bangunan bersejarah ini membuat perutku menderu-deru lapar. (RTW: 245) (216) Sambal khas dapur kami ini memang membuat air liur meleleh-leleh. (NLM: 277)

Kata melimbak-limbak, menderu-deru, dan meleleh-leleh merupakan verba berproses gabung dengan prefiksasi meng- yang menjelaskan nomina anggota tubuh sehingga tampak berlebih- 213

lebihan. Pada contoh (214), frasa air matanya yang dijelaskan oleh verba melimbak-limbak termasuk penggunaan gaya bahasa hiperbola. Sebenarnya makna melimbak-limbak secara denotatif berarti berlimbak-limbak yaitu bertimbun-timbun; bertumpuk-tumpuk.

Air mata yang bertumpuk-tumpuk membentuk sungai kecil dianggap bergaya bahasa hiperbola. Menjadi sebuah kemustahilan, air mata yang ditimbun atau ditumbuk-tumbuk itu akhirnya menjadi sebuah sungai. Pilihan kata melimbak-limbak menjadikan kalimat (214) bergaya bahasa hiperbola.

Pada contoh (215), kata menderu-deru adalah bunyi-bunyi angin keras yang bergemuruh seperti bunyi angin ribut (gelombang besar, mesin, dan sebagainya). Kata menderu-deru yang mengikuti nomina anggota tubuh perut pada contoh (215) dianggap berlebih- lebihan karena suara gemuruh biasanya hanya terdengar dari sebuah ombak besar atau mesin yang sedang dijalankan. Perut yang lapar tidak sampai menghasilkan bunyi menderu-deru seperti yang dinyatakan pada contoh (215). Pilhan kata menderu-deru menjadikan konstruksi pada kalimat (215) menjadi bergaya bahasa hiperbola.

Jika kata menderu-deru hanya digunakan untuk maksud berbunyi, tentu reaksi yang diperoleh pembaca akan biasa saja.

Adapun contoh (216) menceritakan tentang air liur yang meleh-leleh. Penggunaan bentuk verba reduplikasi meleleh-leleh menjadikan contoh (216) tampak berlebih-lebihan karena meleh-leleh 214

berarti berlelehan. Berlelehan adalah meleleh banyak-banyak.

Padahal, kehadiran kata meleleh-leleh pada konteks kalimat (216)

berarti terasa ingin sekali menikmati. Berdasarkan makna tersebut,

air liur yang meleh-leleh itu dianggap bergaya bahasa hiperbola.

(2) Nomina tidak Konkret

Pewujudan gaya bahasa hiperbola berdasarkan kelas kata nomina tidak konkret hanya ditemukan pada NTLP dan tidak ditemukan dalam NTNLM. Adapun uraian pewujudan gaya bahasa hiperbola berdasarkan kelas kata nomina tidak konkret dapat dilihat sebagai berikut:

(a) Nomina tidak konkret yang berhiperbola dengan verba intransitif

berprefiks meng-

Contoh pewujudan gaya bahasa hiperbola berdasarkan

nomina yang berhiperbola dengan verba intransitif berprefiks meng-

dapat dilihat sebagai berikut:

(217) Kepedihan yang menghujam dalam diri mereka menyebabkan Laksmi kehilangan senyumnya, dan Jimbro kehilangan suaranya. (SP: 79) (218) Kegilaan yang menggelembung, meluap-luap, dan tersedu sedan itu kini memandangi pita jingga yang bergelombang mengalun kaki langit. (SP: 174) (219) Kepercayaan diri kami meroket. (LP: 227)

Verba intransitif menghujam, menggelembung, dan meroket

yang mengikuti nomina tidak konkret seperti kepedihan, kegilaan, dan

kepercayaan diri juga dianggap sebagai bentuk yang berlebih-lebihan

karena menyimpang dari makna sebenarnya. Sebenarnya, kata 215

menggelembung bermakna „menjadi besar karena berisi udara dan sebagainya‟, kata meroket bermakna „membubung atau meluncur seperti roket, membubung dengan pesat‟ dan menghujam artinya

„menusuk‟. Pada contoh (217), konstruksi kepedihan yang menghujam yang menyebabkan Laksmi kehilangan senyumnya dan Jimbro kehilangan suaranya dianggap berlebihan. Adapun contoh (218), kegilaan yang menggelembung juga dianggap berlebih-lebihan. Pilihan kata menggelembung menjadikan konstruksi (218) menjadi tidak lazim.

Jika contoh tersebut disusun dengan konstruksi kegilaan yang meningkat atau kegilaan yang bertambah besar tentu tidak akan menimbulkan reaksi apapun. Sama halnya dengan contoh (219), kepercayaan diri yang diikuti verba meroket menjadikan konstruksi tersebut menjadi berlebihan. Namun, dengan pilihan kata meroket, contoh (219) menjadi bergaya bahasa. Jika kalimat kepercayaan diri kami meroket hanya dibentuk dengan kalimat kepercayaan diri kami meningkat, maka itu akan menjadi kalimat yang tidak bergaya bahasa. b) Nomina tidak konkret yang berhiperbola verba berproses gabung

(prefiksasi ber- + reduplikasi)

Contoh gaya bahasa hiperbola yang diwujudkan melalui nomina yang berhiperbola dengan verba intransitif berprefiks ber- dapat dilihat sebagai berikut:

(220) Ada kerinduan yang terpecah berurai-urai. (SP: 178) 216

Contoh (200) menunjukkan adanya penggunaan gaya

bahasa hiperbola. Gaya bahasa tersebut diwujudkan dengan pilihan

kata nomina tidak konkret seperti kerinduan yang berhiperbola dengan

verba proses gabungan seperti berurai-urai. Dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, berurai-urai berarti (menjadi, dalam

keadaan) lepas terbuka (tidak terikat); bercerai-cerai; berderai-derai.

Contoh (235), kerinduan yang terpecah berurai-urai dianggap bergaya

bahasa hiperbola. Perasaan rindu mendalam yang dilukiskan pada

contoh tersebut akhirnya terobati atau dilepaskan melalui pilihan kata

terpecah berurai-urai. Jadi, rindu yang selama ini mengikat akhirnya

lepas terbuka.

(3) Nomina Bunyi

Pewujudan gaya bahasa hiperbola berdasarkan kelas kata nomina bunyi hanya ditemukan pada NTNLM. Adapun contoh pewujudan gaya bahasa hiperbola berdasarkan kelas kata nomina bunyi itu sebagai berikut:

(221) “Qif ya akhi…BERHENTI SEMUA!” suara keras mengguntur membuat kami terpaku kaget. (NLM: 65) (222) “Jangan lari kau. Diam dan berdiri di sana!” suaranya mengguntur mengalahkan klakson yang heboh. (RTW: 113) (223) Lantunan suaranya mendinginkan udara kelas kami yang panas di musim kemarau. (NLM: 113) Gaya bahasa hiperbola pada contoh (221) sampai dengan (223) diwujudkan melalui nomina bunyi yang dijelaskan dengan verba intransitif berprefiks meng-. Kedua contoh tersebut menunjukkan adanya 217

penggunaan frasa suara keras dan suaranya yang diikuti verba

mengguntur. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring,

mengguntur adalah berbunyi seperti guntur. Jika kedua kalimat tersebut

diungkapkan hanya dengan konstruksi suaranya keras sekali atau

suaranya keras, maka tidak akan menimbulkan reaksi apa-apa bagi

pembaca. Penggunaan verba mengguntur seolah menggambarkan suara

yang sangat menggelegar dan ini dianggap berlebih-lebihan.

Penggunaan kata yang berlebih-lebihan inilah yang menjadikan dua

contoh tersebut menjadi bergaya bahasa. Adapun contoh (223), kata

mendinginkan yang mengikuti nomina suara juga dianggap bergaya

bahasa hiperbola. Sungguh menjadi hal yang sangat berlebihan jika

dikatakan bahwa lantunan suaranya mendinginkan udara kelas yang

panas di musim kemarau. Adanya karakter mampu mendinginkan atau

menyejukkan pada lantunan suara tersebut menjadikan contoh (223)

dianggap bergaya bahasa hiperbola. b) Pilihan Kata yang berkelas Kata Verba

Verba atau kata kerja adalah kata atau kelompok kata yang digunakan untuk menggambarkan atau menyatakan suatu perbuatan, kejadian, atau peristiwa. Pewujudan gaya bahasa hiperbola berdasarkan kelas kata verba hanya ditemukan pada NTNLM. Dan tidak dijumpai pada NTLP. Beberapa contohnya dapat dilihat sebagai berikut:

(224) Sepotong syair Arab yang diajarkan di hari pertama masuk kelas membakar tekadku. (NLM: 82) 218

(225) Ini yang membakar semangat, selalu menjadi finalis, tidak pernah juara. (NLM: 159)

Gaya bahasa hiperbola pada contoh (224) dan (225) diwujudkan melalui verba transitif berprefiks meng- yang berhiperbola dengan nomina tidak konkret. Contoh tersebut menunjukkan adanya penggunaan gaya bahasa hiperbola yang ditandai dengan penggunaan bahasa yang berlebih- lebihan dari segi kualitas. Gaya bahasa tersebut diwujudkan melalui verba transitif membakar yang dihiperbolakan dengan penambahan nomina tidak konkret seperti tekad dan semangat. Kata membakar dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI) V luring bermakna „membuat supaya berapi-api; mengobarkan (tentang semangat)‟. Pilihan kata membakar yang mengikuti kata semangat dan tekad menjadikan contoh-contoh tersebut bergaya bahasa, tidak lazim digunakan dalam berbahasa sehari-hari. c) Pilihan Kata yang Berkelas Kata Pronomina

Pronomina atau kata ganti adalah kelas kata yang berfungsi menggantikan nomina. Pewujudan gaya bahasa hiperbola berdasarkan kelas kata pronomina hanya ditemukan pada NTLP dan tidak ditemukan dalam NTNLM . Contoh-contoh pilihan kata yang berkelas kata pronomina adalah:

(226) Akhirnya batu karang kesabaranku terbelah. Aku meledak. (SP: 133) (227) Dadaku sesak karena rindu dan demi menyadari bahwa rindu itu tak „kan pernah terobati, aku rasanya ingin meledak.(LP: 304)

Gaya bahasa hiperbola pada contoh (226) dan (227) diwujudkan

melalui kelas kata pronomina yang berhiperbola dengan verba intransitif 219

berprefiks meng-. Kedua contoh tersebut menunjukkan adanya penggunaan bahasa yang berlebih-lebihan dari segi kualitas. Gaya bahasa tersebut diwujudkan melalui pronomina persona pertama aku yang dihiperbolakan dengan verba intransitif seperti meledak. Kata meledak mengacu pada makna „pecah dan mengeluarkan bunyi yang sangat keras karena adanya tekanan; meletus‟. Verba intransitif meledak yang mengikuti kata aku pada kedua contoh tersebut dianggap berlebih- lebihan. Verba meledak biasanya hanya terjadi pada nomina tidak bernyawa dengan skala ledakan yang besar, sementara subjek pada ketiga contoh tersebut adalah manusia.

2) Gaya Bahasa Litotes

Gaya bahasa litotes adalah gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. Pewujudan gaya bahasa litotes hanya ditemukan dalam NTLP dan pada NTNLM tidak ditemukan. Contohnya adalah:

(228) Namun sekali lagi, walaupun sudah berhari-hari mengumpulkan keberanian untuk bertanya langsung ketika tangannya menjulur, aku menjadi bisu dan tuli. Aku begitu kerdil di depannya. Maka kutugaskan Syahdan mencari informasi. (LP: 253) (229) Aku sadar diri, dari seluruh kemungkinan logis ketertarikan pria wanita secara fisik, materialistic, filosofik, idealism, kultur, ekspektasi, kemistri, gengsi, atau apa pun, tak secuil pun aku memenuhi kualifikasi Katya. (EDS: 113) (230) Aku senang telah mengenal Katya, terutama karena perempuan canggih dari Eropa itu telah memberiku pelajaran moral nomor dua belas yaitu: kemana pun tempat telah kutempuh, apa pun yang telah kucapai, dan dengan 220

siapa pun aku berhubungan, aku tetaplah seorang lelaki udik, tak dapat kubasuh-basuh. (EDS: 160)

Contoh (228) sampai dengan (230) menunjukkan adanya penggunaan gaya bahasa litotes. Pada contoh (228), gaya bahasa litotes tersebut diwujudkan melalui pilihan kata kelas kata adjektiva kerdil.

Contoh tersebut menunjukkan sebuah kerendahan hati tokoh aku (Ikal) yang menganggap bahwa dirinya kecil, tidak memiliki kekuatan apa-apa di hadapan A Ling. Adapun contoh (229), penanda gaya bahasa yang digunakan adalah frasa tak secuil yang berarti tak sedikit. Contoh tersebut memperlihatkan kerendahan hati Ikal yang menganggap bahwa tak sedikit pun ia memenuhi kualifikasi Katya. Selanjutnya, pada contoh (230) gaya bahasa diwujudkan melalui frasa lelaki udik. Tokoh aku (Ikal) menganggap dirinya hanyalah lelaki udik. Kata udik maksudnya di sini adalah kiasan yang berarti bodoh. Berdasarkan arti kata udik tersebut, terlihat bahwa contoh (230) menggunakan gaya bahasa litotes.

3) Gaya Bahasa Asindeton

Gaya bahasa asindeton adalah suatu gaya bahasa pengungkapan frasa, klausa, kalimat atau wacana yang tidak dihubungkan oleh kata sambung (konjungsi). Pewujudan gaya bahasa asindeton dalam NTLP dapat dilihat pada contoh berikut.

(231) Aku membaca buku sambil menyortir surat, sambil makan, sambil minum, sambil tiduran mendengarkan wayang golek di radio AM. (LP: 458) (232) Dihadapan kitab suci itu ia seperti orang mengadu, seperti orang yang takluk, seperti orang yang kelelahan berjuang 221

melawan rasa kehilangan seluruh orang yang dicintainya. (SP: 33) (233) Dengan kaki tenggelam di dalam lumpur sampai ke lutut kami tak surut menggantungkan cita-cita di bulan; ingin sekolah ke Prancis, ingin menginjakkan kaki-kaki miskin kami di atas altar suci almamater Sorbonne, ingin menjelajahi Eropa sampai ke Afrika. (SP: 268)

Contoh (231) sampai dengan (233) menunjukkan adanya gaya bahasa asindeton . Acuan yang padat tersebut tidak dihubungkan oleh konjungsi. Gaya bahasa asindeton pada contoh (231) diwujudkan secara paralel. Pada contoh (231), terlihat kesejajaran penggunaan preposisi

(kata depan) sambil yang menjelaskan rentetan aktivitas tokoh aku (Ikal).

Adapun contoh (232), terlihat kesejajaran penggunaan bentuk frasa nomina seperti orang, dan contoh (233), kesejajaran tersebut terlihat melalui penggunaan adverbial (kata keterangan) ingin. Acuan yang padat tersebut merupakan uraian tentang keinginan-keinginan Ikal dan Arai.

4) Gaya Bahasa Polisindenton

Gaya bahasa polisindenton adalah suatu gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari asindeton . Gaya bahasa polisindenton adalah gaya bahasa dengan pengungkapan frasa, klausa, kalimat atau wacana yang dihubungkan oleh kata sambung (konjungsi). Beberapa contoh pewujudan gaya bahasa polisidenton dalam NTLP adalah:

(234) Aku merasa kenal dengan gerbang desa berukir ayam jantan itu, dengan pohon-pohon willow di pekarangan itu, dengan bangku-bangku batu itu, dengan jajaran bunga daffodil dan asturia di pagar peternakan itu. (EDS: 288) (235) Sedangkan aku dan agaknya juga anak-anak yang lain merasa amat pedih: pedih pada orangtua kami yang tak 222

mampu, pedih menyaksikan detik-detik terakhir sebuah sekolah tua yang tutup justru pada hari pertama kami ingin sekolah, dan pedih pada niat kuat kami untuk belajar tapi tinggal selangkah lagi harus terhenti hanya karena kekurangan satu murid. (LP: 5) (236) Yang kutahu, ketika melihat matanya yang bening dan kesakitan, hatiku ngilu, ketika melihat jalannya timpang karena burut mengisap air dalam tubuhnya, mengupul di selangkang, kubuang pandanganku karena hatiku perih, dan ketika melihatnya tidur, memasrahkan tubuhnya dikhianati nasib pada senyap sungai payau, aku gelisah sepanjang malam. (EDS: 4)

Sebagai kebalikan dari gaya bahasa asindeton , penggunaan gaya bahasa polisindenton terlihat pada contoh (234) sampai dengan (236).

Acuan yang padat pada contoh-contoh tersebut ditandai oleh kata, frasa, klausa yang sederajat yang dihubungkan oleh konjungsi yang menyatakan penambahan, yakni dan. Pewujudan gaya bahasa polisindenton pada contoh (234) terihat melalui kesejajaran penggunaan preposisi dengan, yang pada akhir uraian ditandai oleh konjungsi penambahan dan. Sama halnya contoh (235) dan (236) yang diwujudkan melalui paralelisme, penggunaan bentuk adjektiva sedih dan konjungsi ketika, yang pada akhir uraian dihubungkan dengan konjungsi dan.

5) Gaya Bahasa Erotesis

Gaya bahasa erotesis/pertanyaan retoris adalah gaya bahasa berupa semacam pertanyaan yang biasanya dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban.

Pewujudan gaya bahasa erotesis dalam NTLP dapat dilihat berikut: 223

(237) Menduga–duga: apa ya yang dikerjakan kalau tidak sedang bermain film tolol? Anjing siapakah yang digendongnya? Apakah dia bisa mengaji? (SP: 99) (238) Pulau Belitong tumpah darahku, terapung-apung tegar, tak pernah lindap diganyang ombak dua samudera dahsyat yang bergelora mengurungmu, Belitong yang kukuh tak terkalahkan, kapankah aku akan melihatmu lagi? (SP: 221)

Gaya bahasa erotesis yang ditunjukkan contoh (237) dan (238) diwujudkan melalui penggunaan pilihan kata yang berkelas kata interogatif apa, siapa dan kapan yang ditambahkan dengan partikel -kah yang berfungsi untuk memberi penegasan. Selain penggunaan kata interogatif, gaya bahasa erotesis juga diwujudkan melalui pilihan kata yang berkelas kata verba adakah dan adverbial akankah, contoh:

(239) Demikian indahkah hidup dilihat dari mata Arai? Beginikah seorang pemimpi melihat dunia? (SP: 21) (240) Adakah merekah telah semena-mena pada rezeki Tuhan sehingga nanti terlunta-lunta seperti di kala Tuhan menguji bangsa Lemuria? (LP: 38) (241) Akankah bahasa mereka yang indah hilang ditelan zaman? (LP: 165)

Ketiga bentuk pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban secara langsung. Pertanyaan tersebut dilontarkan tokoh aku untuk ditanyakan kepada dirinya sendiri sebagai bentuk kepasrahan, kekecewaan, dan harapan.

Adapun pewujudan gaya bahasa erotesis pada NTNLM, juga dapat dilihat pada contoh berikut:

(242) Ya Tuhan, apakah Ayah telah pergi? Apa ini kefanahan yang Engkau janjikan? Bahwa mati adalah kepastian paling pasti dalam hidup? Aku terpekur dengan perasaan berkecamuk. (RTW: 96) 224

(243) Ya Tuhan, apakah memang sesusah ini mencari sesuap nasi ? (RTW: 113) (244) Ya Tuhan, kenapa Engkau beri aku ujian berlipa-berlipat seperti ini? Di manakah kemudahan yang Engkau janjikan setelah kesukaran itu? Aku lelah sekali .(RTW: 140)

Gaya bahasa erotesis yang ditunjukkan pada contoh (242) sampai dengan (244) diwujudkan melalui pilihan kata yang berkelas kata interogatif apa, kenapa, dan di mana yang ditambahkan dengan partikel

-kah yang berfungsi untuk memberi penegasan. Penggunaan gaya bahasa eretosis bertujuan mencapai efek yang lebih mendalam.

Pertanyaan-pertanyaan pada contoh-contoh tersebut, sebenanrnya ditujukan kepada Allah SWT.

6) Gaya Bahasa Koreksio

Gaya bahasa koreksio/epanotesis adalah suatu gaya bahasa yang berwujud, mula-mula menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya. Pewujudan gaya bahasa koreksio dalam NTLP dapat dilihat pada contoh berikut.

(245) “Lima belas pesawat jet tempur F-16 musuh menderu-deru mencari helikopter! Ah, aku keliru, bukan lima belas! Dua puluh enam! Suaranya dahsyat, sesekali mereka menembakkan roket, bumi bergetar-getar!” (MK: 144) (246) Ketika pingsan, aku tak sadar. Ah, bodoh sekali. Maksudku ketika pingsan, aku tahu bahwa aku sedang pingsan. Bodoh lagi. (MK: 475)

Contoh (245) dan (246) menunjukkan adanya penggunaan gaya bahasa koreksio. Gaya bahasa tersebut diwujudkan dengan cara memberikan pernyataan terlebih dahulu kemudian memberikan koreksi terhadap hal yang telah dinyatakan. Contoh (245) menunjukkan koreksi 225

yang diwujudkan melalui kelas kata numeralia sedangkan contoh (246)

koreksi diwujudkan melalui pilihan kata yang berkelas kata adjektiva.

2. Persamaan dan Perbedaan Pewujudan Gaya Bahasa dalam NTLP dan

NTNLM

Pada bagian ini akan diuraikan persamaan dan perbedaan

pewujudan gaya bahasa pada NTLP dan NTNLM. Kedua novel berseri

tersebut menunjukkan kesamaan, yakni ditemukannya empat jenis gaya

bahasa yang merupakan bagian dari gaya bahasa kiasan dan gaya

bahasa retoris dengan klasifikasi tertentu dan dengan jumlah penggunaan

yang lebih besar dari pada gaya bahasa lainnya. Pada NTLP ditemukan

gaya bahasa simile sebanyak 57 contoh, personifikasi sebanyak 12

contoh, metafora sebanyak 32 contoh, antonomasia sebanyak 12 contoh,

metonimi sebanyak 3 contoh, eponim sebanyak 3 contoh, gaya bahasa

hiperbola sebanyak 12 contoh dan erotesis sebanyak 3 contoh. Adapun

pada NTNLM ditemukan gaya bahasa simile sebanyak 24 contoh,

personifikasi sebanyak 18 contoh, metafora sebanyak 15 contoh,

antonomasia sebanyak 8 contoh, metonimi sebanyak 3 contoh, eponim

sebanyak 3 contoh, gaya bahasa hiperbola sebanyak 15 contoh, erotesis

sebanyak 3 contoh. Di samping kesamaan jenis gaya bahasa, terdapat

pula gaya bahasa yang hanya ditemukan pada salah satu novel berseri

tersebut. Gaya bahasa tersebut, yaitu gaya bahasa sarkasme,

paronomasia, litotes, asindeton, polisindeton dan koreksio masing-masing

sebanyak 3 contoh. 226

Selanjutnya, berdasarkan persamaan dan perbedaan penggunaan jenis gaya bahasa pada kedua novel berseri tersebut, terdapat pula persamaan dan perbedaan dalam mewujudkan gaya bahasa pada NTLP dan NTNLM. Persamaan dan perbedaan pewujudan gaya bahasa kiasan dan gaya bahasa retoris pada NTLP dan NTNLM dapat dilihat melalui tabel. a. Gaya Bahasa Kiasan

1) Gaya Bahasa Simile

Berikut ini persamaan dan perbedaan pewujudan gaya bahasa simile dalam NTLP dan NTNLM.

227

Tabel 1.1 Perbandingan Pewujudan Gaya Bahasa Simile

Perbandingan Pewujudan Gaya Bahasa dalam Novel NTLP NTNLM Kelas Kata Terbanding/ Terbanding/ Hal yang Pembanding Hal yang Pembanding dibandingkan dibandingkan Dasar bebas Nomina fauna - -

Verba intransitif Nomina fauna Verba intransitif Nomina fauna (ber- dan meng-) ber- Verba Verba reduplikasi Nomina fauna - - berubah bunyi Verba berproses Nomina fauna Verba berproses Nomina fauna gabung gabung Nomina Nomina fauna Nomina anggota Nomina fauna Nomina flora Nomina anggota Verba Nomina flora tubuh Tubuh Penggunaan afiks se- Nomina bunyi Nomina fauna Nomina bunyi Nomina bunyi Nomina fauna Nomina persona Nomina fauna Nomina persona Nomina nama - - diri Nomina fauna Nomina fauna - - Pronomina Pronomina Nomina fauna persona pertama - - tunggal Pronomina Nomina fauna Pronomina Nomina fauna persona pertama persona pertama jamak jamak Pronomina Nomina fauna persona ketiga Nomina nama - - tunggal diri Pronomina Nomina fauna persona ketiga Nomina - - jamak wilayah Nomina fauna - - Nomina benda - - Adjektiva Adjektiva alam Nomina berkarakter - - keras

228

Persamaan pewujudan gaya bahasa simile kedua novel berseri tersebut terlihat pada pilihan kata yang berkelas kata verba, nomina, dan pronomina. Gaya bahasa simile berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata verba diwujudkan melalui verba intransitif (ber- dan meng-) dan verba berproses gabung (prefiksasi ber- dan meng- + reduplikasi) sebagai terbanding sedangkan pembanding diisi oleh nomina fauna. Selanjutnya, gaya bahasa simile berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata nomina diwujudkan melalui nomina anggota tubuh, nomina bunyi, dan nomina persona sebagai terbanding. Adapun pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata pronomina, yakni dengan pronomina persona pertama jamak sebagai terbanding dan nomina fauna sebagai pembanding.

Perbedaan pewujudan gaya bahasa simile kedua novel berseri tersebut terlihat pula pada pilihan kata yang berkelas kata verba, nomina, pronominal, dan adjektiva. Pada NTLP, tampak gaya bahasa simile berdasarkan kelas kata verba itu diwujudkan melalui verba dasar bebas dan verba reduplikasi berubah bunyi sebagai terbanding dan nomina fauna sebagai pembanding dan ini tidak ditemukan dalam NTNLM.

Selanjutnya, berdasarkan kelas kata nomina, perbedaan itu juga terlihat melalui pewujudan gaya bahasa berdasarkan nomina fauna sebagai terbanding dan nomina fauna sebagai pembanding yang hanya ditemukan pada NTLP tidak pada NTNLM. Adapun berdasarkan pilihan kata pronomina, perbedaan itu tampak melalui keketatan pewujudan gaya 229

bahasa simile pada NTLP. Pada NTLP gaya bahasa simile diwujudkan

melalui pronomina persona pertama tunggal, pronomina persona ketiga

tunggal, dan pronominal persona ketiga jamak sebagai terbanding dan

nomina fauna serta nomina nama diri dan nomina wilayah sebagai

pembanding dan ini tidak dijumpai pada NTNLM. Begitu pun halnya pada

pilihan kata yang berkelas kata adjektiva, gaya bahasa simile tersebut

diwujudkan melalui adjektiva sebagai terbanding dan nomina fauna,

benda alam, dan nomina berkarakter keras sebagai terbanding dan hanya

ditemukan dalam NTLP .

2) Gaya Bahasa Personifikasi

Persamaan dan perbedaan pewujudan gaya bahasa

personifikasi dalam NTLP dan NTNLM dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 1.2 Perbandingan Pewujudan Gaya Bahasa Personifikasi

Perbandingan Pewujudan Gaya Bahasa dalam Novel Kelas Kata Cara Cara Berpersonifikasi Berpersonifikasi dalam NTLP dalam NTNLM Verba transitif meng- Verba intransitif ber- Nomina anggota tubuh Verba transitif meng- dan meng-

Verba proses gabungan Nomina Nomina benda alam Verba intransitif Verba pasif di- meng- Nomina benda langit Verba transitif meng- Verba intransitif meng- Nomina tidak konkret Verba transitif meng- - Nomina fenomena - Verba berproses alam gabung

Persamaan pewujudan gaya bahasa personifikasi pada NTLP dan

NTNLM terlihat pada pilihan kata yang berkelas kata nomina. Gaya 230

bahasa personifikasi diwujudkan melalui nomina anggota tubuh, nomina benda alam, dan nomina benda langit. Namun, ada perbedaan yang ditemukan dari segi cara kedua pengarang novel berseri tersebut berpersonifikasi. Pada NTLP, gaya bahasa personifikasi yang diwujudkan melalui kelas kata nomina tersebut dipersonifikasikan secara ketat, yakni melalui verba transitif dan intransitif meng-. Adapun pada NTNLM, gaya bahasa personifikasi yang diwujudkan melalui kelas kata nomina tersebut dipersonifikasikan lebih longgar tetapi lebih kreatif melalui verba transitif meng-, intransitif ber- dan meng-, verba berproses gabung, dan verba pasif di-.

Selain perbedaan cara berpersonifikasi, perbedaan lain yang ditemukan, yakni perihal pilihan kata nomina yang digunakan. Pada NTLP gaya bahasa personifikasi juga diwujudkan melalui kelas kata nomina tidak konkret sedangkan pada NTNLM gaya bahasa personifikasi juga diwujudkan melalui kelas kata nomina fenomena alam.

231

3) Gaya Bahasa Metafora

Persamaan dan perbedaan pewujudan gaya bahasa metafora dalam NTLP dan NTNLM dapat dilihat melalui tabel berikut.

Tabel 1.3 Perbandingan Pewujudan Gaya Bahasa Metafora

Pewujudan Gaya Bahasa Kelas Kata NTLP NTNLM Nomina anggota tubuh - Nomina benda alam -

Nomina benda langit -

Nomina abstrak - Nomina nama diri Nomina nama diri Nomina Nomina sapan khas jenis - kelamin Nomina tempat - Nomina wilayah - - Nomina sapaan kekerabatan Pronomina persona Pronomina persona pertama tunggal pertama tunggal Pronomina persona Pronomina persona Pronomina pertama jamak pertama jamak Pronomina persona Pronomina persona ketiga tunggal ketiga tunggal

Persamaan pewujudan gaya bahasa metafora antara NTLP dan

NTNLM, yaitu keduanya sama-sama diwujudkan melalui pilihan kata yang berkelas kata nomina khusus nomina nama diri, pilihan kata yang berkelas kata pronomina, yaitu pronomina persona pertama tunggal, pronomina persona pertama jamak, dan pronomina persona ketiga tunggal, serta pilihan kata yang berkelas kata demonstratif.

Adapun perbedaan kedua novel berseri tersebut terletak pada pilihan kata yang berkelas kata nomina. Pada NTLP, Andrea Hirata terlihat 232

lebih kreatif dalam mewujudkan gaya bahasa metafora berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata nomina dibandingkan Ahmad Fuadi.

Andrea Hirata dalam NTLP mewujudkan gaya bahasa metafora berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata nomina yang tampak berbeda dari NTNLM, yaitu melalui nomina anggota tubuh, benda alam, benda langit, nomina abstrak, nomina sapaan jenis kelamin, nomina tempat dan nomina wilayah.

4) Gaya Bahasa Antonomasia

Persamaan dan perbedaan pewujudan gaya bahasa antonomasia dalam NTLP dan NTNLM dapat dilihat melalui tabel berikut.

Tabel 1.4 Perbandingan Pewujudan Gaya Bahasa Antonomasia

Pewujudan Gaya Bahasa Kelas Kata NTLP NTNLM

Nomina Nomina Nomina Sang + nomina fauna Sang + nomina pangkat Artikula Si + adjektiva nomina nama orang Si + nomina nama orang

Gaya bahasa antonomasia kedua novel berseri tersebut memiliki persamaan pada pewujudan gaya bahasa berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata artikula. Pada kedua novel berseri tersebut, kelas kata artikula sama-sama diwujudkan melalui bentuk kata sang dan si. Namun, artikula tersebut diikuti nomina serta adjektiva yang berbeda.

Perbedaan NTLP dan NTNLM tersebut terletak pada kekreatifan

Andrea Hirata dalam bergaya bahasa. Andrea Hirata dalam NTLP mewujudkan gaya bahasa antonomasia secara lebih kreatif melalui pilihan 233

kata yang berkelas kata nomina, pronomina. dan artikula sedangkan

Ahmad Fuadi dalm NTNLM mewujudkan gaya bahsa antonomasia melalui pilihan kata yang berkelas kata artikula.

5) Gaya Bahasa Metonimi

Persamaan pewujudan gaya bahasa metonimi dalam NTLP dan

NTNLM dapat dilihat melalui tabel berikut.

Tabel 1.5 Perbandingan Pewujudan Gaya Bahasa Metonimi

Pewujudan Gaya Bahasa

Kelas kata NTLP NTNLM

Nomina Nomina transportasi Nomina transportasi

6) Gaya Bahasa Eponim

Persamaan pewujudan gaya bahasa eponim dalam NTLP dan

NTNLM dapat dilihat melalui tabel berikut.

Tabel 1.6 Perbandingan Pewujudan Gaya Bahasa Eponim

Pewujudan Gaya Bahasa

Kelas kata NTLP NTNLM

Nomina Nomina nama orang Nomina nama orang

Adapun persamaan dan perbedaan pewujudan gaya bahasa retoris pada dua novel berseri Laskar Pelangi dan Negeri 5 Menara dapat dilihat melalui tabel dan uraian di bawah ini.

234

b. Gaya Bahasa Retoris

1) Gaya Bahasa Hiperbola

Persamaan dan perbedaan pewujudan gaya bahasa

hiperbola dalam NTLP dan NTNLM dapat dilihat melalui tabel berikut.

Tabel 1.7 Perbandingan Pewujudan Gaya Bahasa Hiperbola

Pewujudan Gaya Bahasa Kelas kata NTLP NTNLM

Nomina anggota Verba intransitif meng- tubuh Verba intransitif meng Verba berproses gabung Adjektiva Nomina Nomina tidak Verba intransitif meng- - konkret Verba berproses - gabung Nomina bersuara - Verba intransitif meng- Pronomina Verba intransitif Pronomina persona meng- - pertama tunggal Verba - Nomina tidak konkret

Persamaan pewujudan gaya bahasa hiperbola pada kedua novel

berseri, yakni keduanya sama-sama diwujudkan melalui pilihan kata yang

berkelas kata nomina anggota tubuh. Akan tetapi pengungkapannya

dengan cara berhiperbola yang berbeda. Pada NTLP, pilihan kata yang

berkelas kata nomina anggota tubuh berhiperbola dengan verba intransitif

meng- sedangkan pada NTNLM, Ahmad Fuadi terlihat lebih kreatif dengan

mewujudkan nomina anggota tubuh yang berhiperbola melalui verba

intransitif meng-, verba berproses gabung, dan adjektiva. Di samping itu,

perbedaan lain yang tampak adalah pada NTLP gaya bahasa hiperbola

juga diwujudkan melalui pilihan kata nomina tidak konkret yang 235

berhiperbola dengan verba intransitif meng- dan proses berproses gabung sedangkan pada NTNLM gaya bahasa hiperbola hanya diwujudkan melalui pilihan kata nomina bunyi yang berhiperbola dengan verba intransitif meng-.

Perbedaan selanjutnya terlihat pada pewujudan gaya bahasa hiperbola melalui pilihan kata kelas kata verba yang hanya ditemukan pada NTNLM. Gaya bahasa hiperbola yang diwujudkan melalui kelas kata verba ini berhiperbola dengan nomina tidak konkret. Adapun gaya bahasa hiperbola yang diwujudkan melalui pilihan kata yang berkelas kata pronomina, hanya ditemukan pada NTLP yang berhiperbola melalui nomina intransitif meng-.

2) Gaya Bahasa Erotesis

Persamaan dan perbedaan pewujudan gaya bahasa erotesis dalam

NTLP dan NTNLM dapat dilihat melalui tabel berikut.

Tabel 1.8 Perbandingan Pewujudan Gaya Bahasa Erotesis

Pewujudan Gaya Bahasa

NTLP NTNLM

Interogatif Interogatif

Persamaan pewujudan gaya bahasa erotesis dalam NTLP dan

NTNLM yakni sama-sama diwujudkan melalui pilihan kata yang berkelas kata interogatif. Adapun perbedaan yang tampak pada novel berseri

Laskar Pelangi, yakni ditemukan gaya bahasa erotesis yang bukan hanya 236

diwujudkan dengan kata tanya penanda interogatif melainkan juga dengan pilihan kata yang berkelas kata verba dan adverbial.

237

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

Karya sastra merupakan karya hasil imajinasi, ekspresi, pikiran, dan perasaan pengarang yang dituangkan dalam bentuk tulisan melalui media bahasa. Setiap pengarang mendayagunakan kemampuan berbahasa yang dimilikinya secara berbeda-beda. Persamaan dan perbedaan penggunaan bahasa Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi dapat dilihat dalam NTLP dan NTNLM.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa dalam

NTLP ditemukan delapan jenis gaya bahasa kiasan, yaitu (1) simile, (2) personifikasi, (3) metafora, (4) metonimi, (5) sarkasme, (6) antonomasia,

(7) eponim, dan (8) paronomasia dan enam jenis gaya bahasa retoris, yaitu (1) hiperbola, (2) litotes, (3) asindeton, (4) polisindenton, (5) erotesis, dan (6) koreksio. Selanjutnya, dalam NTNLM ditemukan enam jenis gaya bahasa kiasan, yaitu (1) simile, (2) personifikasi, (3) metafora,

(4) metonimi, (5) antonomasia, dan (6) eponim, dan dua jenis gaya bahasa retoris, yaitu (1) hiperbola dan (2) erotesis. Gaya bahasa tersebut diwujudkan melalui sembilan jenis kelas kata yang digunakan sebagai pilihan katanya. Sembilan jenis kelas kata tersebut, yaitu (1) nomina, (2) verba, (3) adjektiva, (4) pronomina, (5) interogatif, (6) numeralia (7) artikula, (8) konjungsi, dan (9) adverbia.

237 238

Berdasarkan analisis pewujudan gaya bahasa pada kedua novel berseri yang memiliki tema utama yang sama tersebut, secara umum dapat disimpulkan bahwa Andrea Hirata dalam NTLP dan Ahmad Fuadi dalam NTNLM sama-sama menggunakan gaya bahasa simile, personifikasi, metafora, dan hiperbola dengan intensitas pemakaian yang lebih tinggi daripada gaya bahasa kiasan dan gaya bahasa retoris lainnya.

Persentase penggunaan gaya bahasa pada NTLP, yaitu gaya bahasa simile sebesar 50%, personifikasi 11%, metafora 28%, dan hiperbola 11% sedangkan pada NTNLM, yaitu gaya bahasa simile sebesar 33%, personifikasi 25%, metafora 21%, dan hiperbola 21%.

Berdasarkan persentase tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada kedua novel berseri itu, gaya bahasa simile merupakan gaya bahasa dengan intensitas penggunaan yang lebih besar daripada gaya bahasa lainnya. Gaya bahasa kiasan simile dalam NTLP dan NTNLM sama-sama diwujudkan melalui kelas kata verba, nomina, dan pronomina. Namun, berdasarkan pewujudan gaya bahasa simile tersebut, Andrea Hirata dalam NTLP terlihat bersimile lebih kreatif daripada Ahmad Fuadi dalam

NTNLM. Andrea Hirata mewujudkan gaya bahasa simile melalui kata-kata yang menyatakan perbandingan, yaitu: seperti, laksana, seumpama, tak ubahnya, bak, dan persis sedangkan Ahmad Fuadi mewujudkan gaya bahasa simile melalui kata-kata yang menyatakan perbandingan, yaitu kata seperti, bagai, dan penggunaan prefiks se-. Selain itu, Andrea Hirata dalam NTLP secara lebih ketat mewujudkan gaya bahasa simile dengan 239

posisi pembanding yang dominan diisi oleh nomina fauna yakni sebesar

69% sedangkan Ahmad Fuadi dalam NTNLM mewujudkan gaya bahasa simile dengan posisi pembanding yang diisi oleh nomina fauna secara lebih longgar.

Adapun gaya bahasa kiasan personifikasi juga ditemukan dalam

NTLP dan NTNLM yang diwujudkan melalui pilihan kata yang berkelas kata nomina. Perbedaan kedua novel berseri tersebut terletak pada cara pengarang berpersonifikasi. Andrea Hirata dalam NTLP berpersonifikasi secara lebih ketat sedangkan Ahmad Fuadi berpersonifikasi lebih longgar.

Keketatatan yang dimaksud adalah penggunaan verba transitif dan intransitif meng- yang terwujud secara konsisten. Selanjutnya, Ahmad

Fuadi berpersonifikasi secara lebih kreatif daripada Andrea Hirata. Ini dapat dikatakan demikian karena gaya bahasa personifikasi tersebut tidak hanya diwujudkan melalui verba transitif dan intransitif meng- tetapi juga melalui verba transitif dan intransitif meng- dan ber-, verba pasif di- dan verba berproses gabung.

Selanjutnya, gaya bahasa metafora pada kedua novel berseri tersebut juga sama-sama diwujudkan melalui pilihan kata yang berkelas kata nomina dan pronomina. Namun, Andrea Hirata dalam NTLP terlihat bermetafora dengan intensitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan

Ahmad Fuadi dalam NTNLM. Pada pilihan kata nomina tersebut, Andrea

Hirata bermetafora secara lebih variatif daripada Ahmad Fuadi. Gaya bahasa metafora dalam NTLP diwujudkan melalui nomina anggota tubuh, 240

nomina benda alam, nomina benda langit, nomina abstrak, nomina nama diri, nomina sapaan khas jenis kelamin, nomina tempat, dan nomina wilayah. Adapun dalam NTNLM gaya bahasa metafora diwujudkan melalui nomina nama diri dan nomina sapaan kekerabatan.

Selain gaya bahasa kiasan, pada NTLP dan NTNLM juga ditemukan gaya bahasa retoris, yaitu gaya bahasa hiperbola. Pada kedua novel berseri tersebut, gaya bahasa hiperbola sama-sama diwujudkan dengan hiperbola yang bersifat kualitatif melalui pilihan kata yang berkelas kata nomina khusus dan nomina anggota tubuh. Pada kelas kata nomina anggota tubuh tersebut, Ahmad Fuadi dalam NTNLM terlihat berhiperbola secara lebih variatif melalui verba intransitif meng-, verba berproses gabung dan adjektiva sedangkan Andrea Hirata dalam NTLP hanya berhiperbola melalui verba intransitif meng-.

Selanjutnya, gaya bahasa kiasan dan gaya bahasa retoris dengan intensitas penggunaan yang tidak terlalu tinggi, yang ditemukan dalam NTLP dan NTNLM, yaitu gaya bahasa metonimi, antonomasia, eponim, dan erotesis. Adapun gaya bahasa kiasan dan gaya bahasa retoris dengan intensitas penggunaan yang tidak terlalu tinggi dan hanya ditemukan dalam NTLP, yaitu gaya bahasa sarkasme, paranomasia, litotes, asindeton , polisindenton, dan koreksio.

Berdasarkan simpulan penelitian yang telah diuraiakan tersebut, dapat dikatakan bahwa Andrea Hirata dalam gaya bahasa simile mengisahkan ide-ide ceritanya melalui pilihan kata yang berkelas kata 241

nomina fauna secara ketat. Keketatan ini dapat dilihat berdasarkan intensitas penggunaan nomina fauna yang lebih besar dibandingkan nomina yang lain, yaitu sebesar 69%. Kekhasan pemakaian bahasa tersebut tentu saja tidak terlepas dari faktor sosiokultural dan pendidikan pengarangnya. Selain itu, Andrea Hirata mengungkap ide dan gagasannya melalui gaya bahasa yang kreatif. Kekreatifan tersebut dapat dilihat pada variasi jenis gaya bahasa yang ditemukan dalam NTLP.

Andrea Hirata berupaya mengeksplorasi kemampuan bergaya bahasa yang dimilikinya melalui penggunaan gaya bahasa yang lebih variatif.

Adapun Ahmad Fuadi menunjukkan kekreatifannya melalui gaya bahasa personifikasi yang diwujudkan melalui kelas kata verba yang bervariasi. Ahmad Fuadi dalam NTNLM tampak mendayagunakan kemampuan berbahasa yang dimilikinya dengan menggunakan pilihan kata yang lebih mudah dipahami oleh pembaca.

B. Saran

Kajian stilistika terhadap karya sastra novel dan puisi memiliki peranan yang sangat penting bagi kemajuan studi stilistika di Indonesia, khususnya di Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Studi stilistika ini mampu menemukan perihal pendayagunaan kemampuan berbahasa yang dimiliki oleh pengarang dalam menuliskan karya- karyanya. Kajian stilistika berupaya menemukan ciri kebahasaan yang khas dari pengarang dengan objek berupa novel atau puisi. Terkait 242

dengan kajian stilistika ini, terdapat beberapa hal yang menjadi saran untuk pembaca dan untuk penelitian selanjutnya. Beberapa saran yang dimaksudkan adalah:

1. Kajian stilistika terhadap karya sastra NTLP dan NTNLM masih

terbuka untuk diteliti lebih lanjut, terutama pada pewujudan gaya

bahasa berdasarkan pembagian jenis gaya bahasa lainnya.

2. Karya sastra, khususnya NTLP terdiri atas empat buah novel, yaitu

Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov.

Adapun NTNLM terdiri atas tiga buah novel, yaitu: Negeri 5 Menara,

Ranah 3 Warna, dan Rantau 1 Muara. Kedua novel berseri tersebut

sangat kaya dengan unsur-unsur kebahasaan dan sangat

memungkinkan untuk diteliti lebih lanjut dengan penangan yang lebih

dalam dan luas, terutama mengenai analisis jenis gaya bahasa dan

pewujudan gaya bahasa tersebut.

243

DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H. 1976. The Mirror and The Lamp : Romantic Theory and The Critical Tradition. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Ali, Sopyan. ”Kajian Stilistika Pragmatik Gaya Bahasa pada Puisi Shaykh Hamza Yusuf Hanson”. Jurnal Ilmiah Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. Diunduh pada tanggal 23 Maret 2017 pada situs https://Www.Academia.Edu/12171715/Kajian_Stilistika_Pragmatik _Gaya_Bahasa_Pada_Puisi_Shaykh_Hamza_Yusuf_Hanson .

Aminuddin. 1995. Stilistika : Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press.

Anonim. 2016. ”Pengertian, Jenis, Ciri-ciri dan Unsur-unsur Novel” . http://www.seputarilmu.com/2016/02/pengertian-11-jenis-ciri-ciri- dan-unsur.html . Diunduh pada tanggal 02 Maret 2017. ______. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Jakarta: Sinar Baru.

Arianti, Ganik. 2011. Hubungan Intertekstual antara Novel Negeri Lima Menara Karya A. Fuadi dan Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata.Skripsi. Surakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Bressler, Charles E. 1999. Literary Criticism : An Introduction to Theory and Practice. Second Edition. New Jersey: Prentice Hall, Upper Saddle River. Child, Peter and Roger Fowler. 2006. The Routledge Dictionary of Literary Terms. London and New York: Routledge. Crystal, David. 2000. New Perspectives of Language Study 1 : Stylistics. University of Reading: Department of Linguistiks Science. Darwis, Muhammad. 1998. “Penyimpangan Gramatikal dalam Puisi Indonesia”.(Disertasi). Makassar: PPS.Unhas. ______. 2002. “Pola-Pola Gramatikal dalam Puisi Indonesia”. Jurnal ilmiah nasional terakreditasi Dikti. Mayarakat Linguistik Indonesia volume 20. Nomor.1 ______.2009.“Kelainan Ketatabahasaan dalam Puisi Indonesia: Kajian Stilistika”. Diunduh pada pukul 14.00, tanggal 17 Februari 2017 pada situs www.respository.unhas.ac.id.

Fuadi, Ahmad. 2009. Negeri 5 Menara. Jakarta: Gramedia.

______. 2011. Ranah 3 Warna. Jakarta: Gramedia. 244

______.2013. Rantau 1 Muara. Jakarta: Gramedia. Faruk.1994. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik Sampai Post Modernisme.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hermoyo, Panji. 2015. ”Analisis Kritik Sastra Puisi Surat Kepada Bunda:Tentang Calon Menantunya Karya W.S. Rendra”. Didaktis, Vol 15, No.1.

Hirata A. 2005. Laskar Pelangi. Yogyakarta: Bentang Pustaka.

______. 2006. Sang Pemimpi. Yogyakarta: Bentang Pustaka.

______. 2007. Edensor. Yogyakarta: Bentang Pustaka.

______. 2008. Maryamah Karpov. Yogyakarta: Bentang Pustaka. Jassin, H.B. 1979. Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta: Gunung Agung. Junus, Umar. 1989. Stilistik: Suatu Pengantar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia. Keraf, Gorys. 1990. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kridalaksana, Harimurti. 1994. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ______. 2008. Kamus Linguistik. Ed. IV. Jakarta: PT Gramedia Pustka Utama. Leech, Geoffrey dan Michael H.Short. 1993. (diterjemahkan oleh umar Junus). Gaya dalam Cerita Rekaan: Penerapan Linguistik dalam Prosa Cereka Inggris. Dewan Bahasa dan Pustaka: Selangor. Marini, Eko. 2010. “Analisis Stilistika Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata”.(Tesis). Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Missikova, Gabriela. 2003. Linguistiks Stylistics. Nitra: Filozoficka Fakulta Univerzita Konstantina Filozofa.

Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa Tahap Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: Raja Grapindo Persada.

Muslich, Masnur. 2010. Tata Bentuk Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

Nurgiyantoro, Burhan. 2009. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 245

______2014.Stilitika.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Nuryadi. 2011. “Bahasa dalam Masyarakat: Suatu Kajian Sosiolinguistik”. Jurnal Makna, Volume 1. Nomor 2.

Pradopo, Rahmat Djoko. 1993. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Univeristas Gajah Mada.

______. 1997. Prinsip-prinsip Kritik Sastra: Teori dan Penerapannya.Yogyakarta: Gadja Mada University Press. Prasetyo, Dwi Jalu. 2014. “Studi Komparasi Novel Lakar Pelangi karya Andrea Hirata dan Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi (Pendekatan Strukturalisme Robert Stanton)”. (Skripsi). Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. Putri, Inieke Kusuma. 2013. “Analisis Gaya Bahasa Hiperbola dan Personifikasi pada Novel Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi”. (Skripsi). Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Rahmawati. 2012. “Gaya Bahasa Andrea Hirata dalam Dwilogi Padang Bulan: Kajian Stilistika”. (Tesis). Makassar: PPS. Unhas.

Ramlan. 2001. Morfologi Suatu Tinjauan Deskripsi. Yogyakarta: CV Karyono

Ratna, Nyoman Kutha. 2016. Stilistika Kajian Puitika Bahasa, Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rismayanti. 2016. “Gaya Bahasa dalam Novel “Khadijah” Karya Sibel Eraslan”.(Tesis). Makassar. PPS Unhas.

Sayuti, Suminto A. 2001. ”Penelitian Stilistika : Beberapa Konsep Pengantar”. Dalam Jabrohim (Ed) Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita.

Shipley, Joseph T. 1979. Dictionary of World Literature: Forms, Technique, Critics. USA: Boston The Writer, Inc.

Simpson, Paul. 2004. Stylistics : A Resource Book for Student. New York: Roudledge.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yoyakarta: Duta Wacana University Press.

246

Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Sugiyono, 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&d. Bandung: Alfabeta. Suharjono, Dadi Waras. “Ragam Bahasa dalam Bahasa Indonesia”. Universitas Mercu Buana. Diakses melalui website www.mercubuana.ac.id pada tanggal 25 Juli 2017. Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1997. Apresiasi Kesusasteraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Gaya Bahasa.Bandung: Angkasa

Teeuw, A. 1984. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: Pustaka Jaya.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Diterjemahkan oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.

Widdowson H.G. 1997. Stilistika dan Pengajaran Sastra. Diterjemahkan oleh Sudijah. Surabaya: Airlangga University Press.

247

LAMPIRAN

A. Tentang pengarang

ANDREA HIRATA

Andrea Hirata Seman Said Harun yang lebih dikenal dengan nama

Andrea Hirata merupakan anak keempat dari pasangan Seman Said

Harunayah dan NA Masturah. Andrea lahir di sebuah desa yang letaknya cukup terpelosok di pulau Belitong, pada 24 Oktober Oktober 1982.

Tinggal di sebuah desa dengan segala keterbatasan memang cukup mempengaruhi pribadi Andrea sedari kecil. Andrea mengaku lebih banyak mendapatkan motivasi dari keadaan di sekelilingnya yang banyak memperlihatkan keperihatinan.

Seperti yang diceritakannya dalam novel Laskar Pelangi, Andrea kecil bersekolah di sebuah sekolah yang kondisi bangunannya sangat mengenaskan dan hampir rubuh yang bernama SD Muhamadiyah.

Kondisi SD Muhamadiyah cukup memperihatinkan, di sekolah tersebut

Andrea bertemu dengan seorang guru yang hingga kini sangat dihormatinya, yakni NA (Nyi Ayu) Muslimah. Perubahan dalam kehidupan 248

Andrea terjadi karena motivasi dan hasil didikan Bu Muslimah. Sosok

Muslimah menurut Andrea sangat menginspirasi hidupnya. Menjadi seorang penulis pun diakui Andrea karena sosok Bu Muslimah. Sejak kelas 3 SD, Andrea telah membulatkan niat untuk menjadi penulis yang menggambarkan perjuangan Bu Muslimah sebagai seorang guru.

Setelah tamat dari SMA Negeri di Belitong, Andrea merantau ke jawa untuk menggapai cita-citanya sebagai seorang penulis dan melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Saat berada di kapal laut,

Andrea mendapatkan saran dari sang nahkoda untuk tinggal di daerah

Ciputat. Dengan berbekal saran tersebut, ia pun menumpang sebuah bus agar sampai di daerah Ciputat. Namun, supir bus ternyata malah mengantarkan dirinya ke Bogor. Kepalang tanggung, Andrea lantas memulai kehidupan barunya di kota hujan tersebut. Beruntung bagi dirinya, Andrea mampu memperoleh pekerjaan sebagai penyortir surat di kantor pos Bogor.

Dengan penuh perjuangan, Andrea berhasil masuk ke Universitas

Indonesia di Fakultas Ekonomi. Setelah menamatkan dan memperoleh gelar sarjana di UI, Andrea kemudian mendapatkan beasiswa Uni Eropa untuk studi Master of Science di Université de Paris, Sorbonne, Perancis dan Sheffield Hallam University, United Kingdom. Tesis Andrea dalam bidang ekonomi telekomunikasi mendapatkan penghargaan dari kedua

Universitas tersebut dan ia pun lulus dengan nilai cumlaude. Setelah kembali ke tanah air, Andrea bekerja di PT Telkom tepatnya tahun 1997. 249

Novel pertama yang berjudul Laskar Pelangi telah membawa nama Andrea Hirata ke puncak kejayaan sebagai seorang novelis berprestasi yang mampu menggugah hati para pembacanya. Novel

Laskar pelangi memotret dunia pendidikan dan kehidupan sekolah dengan semangat realitas dan humanis yang sangat menyentuh. Novel kedua,

Sang Pemimpi, Andrea mengungkap mimpi dua anak Melayu Kampung,

Ikal dan Arai. Novel ketiga Edensor bercerita tentang keberanian bermimpi, kekuatan cinta, pencarian diri sendir, dan penaklukan- penaklukan yang gagah berani. Novel keempat dalam rangka empat karya tetralogi Laskar Pelangi adalah Maryamah Karpov. Dalam novel

Maryamah Karpov, Andrea berkisah tentang perempuan dari sudut pandang yang berbeda dengan intelegensia yang meluap-luap.

250

AHMAD FUADI

Ahmad Fuadi lahir di Nagari Bayur Maninjau, Sumatera Barat, 30

Desember 1972. Ahmad Fuadi adalah seorang novelis, praktisi konservasi, dan wartawan. Beliau termasuk seorang yang punya motivasi tinggi dan seorang yang pekerja keras. Orang tuaya berprofesi sebagai guru, ibunya guru SD sedangkan ayahnya adalah guru sekolah madrasah.

Masa pendidikan SD dan SMP ia jalani di tanah kelahirannya, yakni di Maninjau, Agam, Sumatera Barat. Atas permintaan ibunya, Ahmad

Fuadi melanjutkan pendidikan menengahnya di KMI Pondok Modern

Darussalam Gontor, Ponorogo tahun 1988 dan lulus tahun 1992. Di sana dia bertemu dengan kiai dan ustad yang diberkahi keikhlasan mengajarkan ilmu hidup dan ilmu akhirat. Bermodalkan doa dan manjadda wajada, dia mengadu untung di UMPTN. Jendela baru langsung terbuka.

Dia diterima di jurusan Hubungan Internasional, Universitas Padjajaran

(UNPAD) Bandung dan lulus pada tahun 1997. Semasa kuliah, Fuadi pernah mewakili Indonesia ketika mengikuti program Youth Exchange

Program di Quebec, Kanada (1995-1996). Di ujung masa kuliah di 251

Bandung, Fuadi mendapat kesempatan kuliah satu semester di National

University of Singapore dalam program SIF Fellowship (1997).

Lulus kuliah, dia mendengar majalah favoritnya Tempo kembali terbit setelah Soeharto jatuh. Sebuah jendela baru tersibak lagi, Tempo menerimanya sebagai wartawan pada tahun 1998. Kelas jurnalistik pertamanya dijalani dengan tugas-tugas reportase di bawah pengawasan para wartawan kawakan Indonesia. Selanjutnya, jendela-jendela dunia lain bagai berlomba-lomba terbuka. Setahun kemudian, dia mendapat beasiswa Fulbright untuk program S2 di School of Media and Public

Affairs, George Washington University pada tahun 2001. Merantau ke

Washington DC bersama Yayi (Danya Dewanti) istrinya yang juga wartawan Tempo adalah mimpi masa kecilnya yang menjadi kenyataan.

Di samping kuliah, mereka menjadi koresponden Tempo dan wartawan VOA. Berita bersejarah seperti peristiwa 11 September dilaporkan mereka berdua secara langsung dari Pentagon, White House dan Capitol Hill. Tahun 2004, jendela dunia lain terbuka lagi ketika dia mendapatkan beasiswa Chevening untuk belajar di Royal Holloway,

University of London untuk bidang film dokumenter. Kini, pecinta fotografi ini menjadi Direktur Komunikasi di sebuah NGO konservasi: The Nature

Conservancy pada tahun 2007 sampai sekarang.

Novel Negeri 5 Menara adalah karya pertamanya dan merupakan salah satu bagian dari trilogi Negeri 5 Menara dengan kekuatan doa manjadda wajada yang artinya barang siapa yang bersungguh-sungguh, 252

akan berhasil. Novel tersebut menceritakan tentang kegigihan seseorang dalam meraih mimpi. Novel-novel yang ditulis Ahmad Fuadi berniat merayakan sebuah pengalaman menikmati atmosfir pendidikan yang sangat inspiratif. Begitupun dengan novel keduanya yang berjudul Ranah

3 Warna dengan kekuatan doa man shabara zhafira yang artinya siapa yang bersabar akan beruntung, masih mengisahkan tentang perjuangan tokoh Alif dalam mewujudkan mimipinya seperti Habibie dan novel ketiga yang berjudul Rantau 1 Muara dengan kekuatan doa man saara ala darbi washala yang artinya siapa yang berjalan dijalannya, akan sampai tujuan.

Novel terakhir dari trilogi Negeri 5 Menara ini bercerita tentang perjalanan

Alif dalam pencarian besar seorang manusia, yaitu meminta, belahan jiwa, dan makna hidup. Perjalanan Alif ini pun dimulai ketika Alif lepas dari pendidikan kuliah dan mencari pekerjaan di era yang salah.

253

B. Sinopsis

TETRALOGI LASKAR PELANGI

254

Laskar Pelangi

Kisah ini berasal dari sebuah daerah di Belitung, yakni di SD

Muhammadiyah. Saat itu menjadi saat yang menegangkan bagi anak- anak yang ingin bersekolah di SD Muhammadiyah. Kesembilan murid, yaitu Ikal, Lintang, Sahara, A Kiong, Syahdan, Kucai, Borek, Trapani tengah gelisah lantaran SD Muhammadiyah akan ditutup jika murid yang bersekolah tidak genap sepuluh orang. SD Muhammadiyah adalah SD islam tertua di Belitung, di sekolah inilah anak-anak yang berasal dari kalangan kurang mampu dari segi materi bisa mengenyam pendidikan, sehingga jika ditutup harapan anak-anak miskin tersebut untuk mencicipi ilmu pengetahuan akan pupus.

Saat semua tengah gelisah datanglah Harun, seorang anak dengan keterbelakangan mental. Ia menyelamatkan ke sembilan temannya yang ingin bersekolah serta menyelamatkan berdirinya SD Muhammadiyah tersebut. Dari sinilah kisah di sekolah SD Muhammadiyah itu dimulai.

Berawal dari penempatan tempat duduk, pertemuan mereka dengan Pak

Harfan, perkenalan luar biasa dengan A Kiong, kejadian bodoh yang dilakukan oleh Borek, pemilihan ketua kelas yang diprotes keras oleh

Kucai, kejadian ditemukannya bakat luar biasa Mahar, pengalaman cinta pertama Ikal, sampai pertaruhan nyawa Lintang yang mengayuh sepeda

80 km pulang pergi dari rumahnya ke sekolah.

Semua kejadian tersebut sangat menghiasi kehidupan kesepuluh anak yang mengatasnamakan diri mereka sebagai Laskar Pelangi. Bu 255

Mus merupakan guru terbaik yang mereka milikilah, Bu Mus adalah sosok perempuan tangguh dan hebat yang dengan ikhlas mendidik mereka.

Laskar Pelangi adalah nama yang diberikan Bu Mus kepada mereka karena bu Mus tahu mereka semua sangat menyukai pelangi. Susah maupun senang mereka lalui di dalam kelas yang menurut cerita pada malam harinya kelas tersebut dijadikan kandang bagi hewan ternak. Di SD

Muhammadiyah itulah Ikal dan kawan-kawannya memiliki segudang kenangan yang menarik.

Salah satu kisah menarik tersebut adalah kisah percintaan antara

Ikal dan A Ling yang berawal ketika Ikal disuruh oleh Bu Mus untuk membeli kapur di tokoh milik keluarga A Ling. Ikal jatuh cinta pada kuku A

Ling yang indah. Ia tidak pernah menjumpai kuku seindah itu. Kemudian ia tahu bahwa pemilik kuku yang indah tersebut adalah A Ling, Ikal pun jatuh cinta padanya. Namun, pertemuan mereka harus diakhiri lantaran A Ling pindah untuk menemani bibirnya yang sendiri. Kisah lainnya datang dari sebuah perlombaan semacam karnaval, yang pada karnaval tersebut

Mahar menemukan sebuah ide untuk menari. Mereka para laskar pelangi menari seperti orang kesetanan, hal tersebut dikarenakan kalung yang mereka kenakan berasal dari buah tanaman yang membuat seluruh badan gatal. Alhasil mereka pun menari layaknya orang yang tengah kesurupan. Namun berkat semua itu akhirnya SD Muhammadiyah dapat memenangkan perlombaan tersebut. 256

Pada suatu ketika datanglah Flo, seorang anak yang kaya pindahan dari SD PN. Flo pun masuk dalam kehidupan laskar pelangi.

Kehadiran Flo di tengah-tengah mereka, sedikit membawa pengaruh buruk bagi teman-temannya terutama Mahar yang duduk satu bangku dengan Flo. Sejak kedatangan anak tersebut, nilai Mahar seringkali jatuh dan jelek sehingga membuat bu Mus marah dan kecewa. Hari-hari mereka selalu dihiasi dengan canda tawa dan tangis. Di balik keceriaan itu, terdapat kisah yang mampu memotivasi yang datang dari salah seorang anggota Laskar Pelangi bernama Lintang. Perjuangan Lintang untuk mengenyam pendidikan perlu di acungi jempol. Ia rela menempuh jarak 80 km untuk pulang dan pergi dari rumahnya ke sekolah agar ia bisa belajar. Ia tidak pernah mengeluh meski pun saat perjalanan menuju sekolah, ia harus melewati sebuah danau yang di dalamnya terdapat seekor buaya. Lintang merupakan sosok murid yang sangat cerdas.

Kecerdasan Lintang terbukti saat ia bersama Ikal dan Sahara tengah mengikuti sebuah perlombaan cerdas cermat. Lintang dapat menantang dan mengalahkan Drs. Zulfikar, guru sekolah kaya PN yang berijazah dan terkenal dengan jawabannya yang membuat ia memenangkan lomba cerdas cermat. Namun, semua kisah indah Laskar Pelangi harus diakhiri dengan perpisahan. Beberapa hari setelah perlombaan tersebut, Lintang tidak masuk sekolah dan akhirnya bu Mus mendapatkan surat dari Lintang yang isinya bahwa Lintang tidak dapat lanjut sekolah karena ayahnya 257

meninggal dunia. Tentu saja hal tersebut menjadi sebuah kesedihan yang mendalam bagi anggota laskar pelangi.

Beberapa tahun kemudian saat mereka telah beranjak dewasa, mereka semua banyak mendapat pengalaman yang berharga dari setiap cerita di SD Muhammadiyah. Tentang sebuah persahabatan, ketulusan yang diperlihatkan dan diajarkan oleh bu Muslimah, serta sebuah mimpi yang harus mereka wujudkan. Ikal akhirnya melanjutkan sekolah, sedangkan Mahar dan teman-teman lainnya menjadi orang-orang dapat membanggakan Belitung

258

259

Sang Pemimpi

Novel ini adalah novel kedua dari tetralogi Laskar pelangi karya

Andrea Hirata. Sang Pemimpi adalah sebuah kisah kehidupan yang mempesona yang akan membuat pembacanya percaya akan tenaga cinta, percaya pada kekuatan mimpi dan pengorbanan, serta memperkuat kepercayaan kepada Tuhan. Kisah ini berawal dari tiga orang pemimpi yang setelah tamat SMP, melanjutkan pendidikan ke SMA. Ikal salah satu dari anggota Laskar Pelangi dan Arai saudara sepupu Ikal yang sudah yatim piatu sejak SD dan tinggal di rumah Ikal, sudah dianggap seperti anak sendiri oleh Ayah dan Ibu Ikal, dan Jimbron anak angkat seorang pendeta karena telah yatim piatu juga sejak kecil. Pendeta yang sangat baik dan tidak memaksakan keyakinan Jimbron, justru mengantarkan

Jimbron menjadi muslim yang taat.

Arai dan Ikal adalah dua siswa yang pandai di sekolah, sedangkan

Jimbron si penggemar kuda ini biasa-biasa saja. Jimbron justru menduduki rangking 78 dari 160 siswa, sementara Ikal dan Arai selalu berada diperingkat lima dan tiga besar. Mimpi mereka sangat tinggi. Bagi

Arai, orang susah seperti mereka tidak akan berguna tanpa mimpi-mimpi.

Mereka berdua mempunyai mimpi yang tinggi yaitu melanjutkan belajar ke

Sorbonne Perancis. Mereka terpukau dengan cerita Pak Balia, kepala sekolahnya, yang selalu meyebut-nyebut indahnya kota itu. Kerja keras menjadi kuli ngambat mulai pukul dua pagi sampai jam tujuh dan dilanjutkan dengan sekolah, itulah perjuangan ketiga pemuda itu. Mati- 260

matian menabung demi mewujudkan impiannya. Meskipun jika dinalar secara akal sehat, tabungan mereka tidak akan cukup untuk sampi ke sana. Namun, jiwa optimis Arai tidak akan pernah terbantahkan.

Selesai SMA, Arai dan Ikal merantau ke Jawa tepatnya di Bogor, sedangkan Jimbron lebih memilih untuk menjadi pekerja ternak kuda di

Belitong. Jimbron menghadiahkan kedua celengan kudanya yang berisi tabungannya selama ini kepada Ikal dan Arai. Dia yakin kalau Arai dan

Ikal sampai di Perancis, maka jiwa Jimbron pun akan selalu bersama mereka. Berbulan-bulan terkatung-katung di Bogor, merasakan sulinya mencari pekerjaan untuk bertahan hidup, akhirnya Ikal diterima menjadi tukang sortir (tukang Pos) dan Arai memutuskan untuk merantau ke

Kalimantan. Tahun berikutnya, Ikal memutuskan untuk kuliah di Ekonomi

UI. Setelah lulus S1, Ikal mengikuti seleksi beasiswa S2 ke Eropa. Beribu- ribu pesaing berhasil Ikal singkirkan lewat proposal riset yang diajukannya. Profesor pengujinya begitu terpukau dengan rencana studi

Ikal.

Sebuah kejuatan luar biasa terjadi saat Arai dan Ikal dipertemukan dalam suatu forum yang begitu indah dan terhormat. Begitulah Arai, selalu penuh dengan kejutan. Semua ini sudah direncanaknnya bertahun-tahun.

Ternyata Arai kuliah di Universitas Mulawarman dan mengambil jurusan

Biologi. Tidak kalah dengan Ikal, proposal risetnya juga begitu luar biasa dan berbakat untuk menghasilkan teori baru. 261

Akhirnya sampai juga mereka pulang kampung ke Belitong.

Suasana mendebarkan muncul ketika surat pengumuman penerima

Beasiswa ke Eropa itu datang. Arai begitu sedih karena ia sangat merindukan kedua orang tuanya. Arai ingin membuka kabar itu bersama orang yang sangat dia rindukan. Kegelisahan dimulai. Baik Arai maupun

Ikal, keduanya tidak kuasa mengetahui isi dari surat itu. Setelah dibuka, hasilnya adalah Ikal diterima di Perguruan tinggi Sorbone, Prancis.

Setelah perlahan mencocokkan dengan surat Arai, inilah jawaban dari mimpi-mimpi mereka. Kedua sang pemimpi ini diterima di Universitas yang sama. Tapi ini bukan akhir dari segalanya. Di sinilah perjuangan dari mimpi itu dimulai, dan siap melahirkan anak-anak mimpi berikutnya.

262

263

EDENSOR

Novel ketiga dari tetralogi Laskar Pelangi ini bercerita tentang petualangan Ikal dan Arai di Eropa. Setelah berhasil memperoleh beasiswa ke Prancis, Ikal dan Arai mengalami banyak kejadian yang orang biasa sebut sebagai kejutan budaya. Banyak kebiasaan dan peradaban Eropa yang sangat berlainan dengan peradaban yang selama ini mereka pahami sebagai orang Indonesia, khususnya Melayu. Buku ini berkisah tentang kisah dua anak melayu Belitong yaitu Ikal (Andrea

Hirata) dan Arai yang mendapatkan beasiswa dari Uni Eropa untuk melanjutkan sekolahnya di Universitas Sorbonne, Paris, Prancis.

Pada bagian awal buku ini diceritakan sedikit kisah Ikal mulai dari

Ikal lahir sampai pada saat Ikal dan Arai berangkat meninggalkan Jakarta untuk bersekolah di Universitas Sorbonne. Lalu pada kisah selanjutnya, diceritakan tentang perjalanan Ikal dan Arai dari Bandara Soekarno Hatta sampai ke Paris. Akhirnya mimpi seorang anak melayu Belitong miskin yang dulunya bersekolah di gubuk kopra yang juga berfungsi sebagai kandang kambing untuk melihat keindahan kota Paris secara langsung tercapai juga. Mimpi Ikal untuk menginjakkan kaki di almamater terhebat:

Sorbonnne akhirnya terwujuda. Kisah selanjutnya adalah masa-masa Ikal dan Arai kuliah di Sorbonne sampai pada hari-hari terakhir musim salju, yaitu pada saat Ikal dan Arai akan memulai perjalanan yang lebih menegangkan dibandingkan dengan pergi ke Paris dan bersekolah di

Sorbonne. Mereka akan menjelajahi Eropa sampai Afrika. Setelah Ikal dan 264

Arai menjelajahi Eropa sampai Afrika, Arai pun jatuh sakit dan pulang ke

Indonesia, sedangkan Ikal melanjutkan kuliahnnya di Inggris karena guru yang membimbing Ikal pindah ke Inggris untuk pensiun. Pemandangan yang dulunya hanya dapat ditemukan Ikal di dalam khayalannya, akhirnya dapat ia lihat secara nyata dan pemandangan itu adalah Edensor.

Aku ingin mendaki puncak tantangan, menerjang batu granit kesulitan, menggoda mara bahaya, dan memecahkan misteri dengan sains. Aku ingin menghirup berupa-rupa pengalaman lalu terjun bebas menyelami labirin lika-liku hidup yang ujungnya tak dapat disangka. Aku mendamba kehidupan dengan kemungkinan-kemungkinan yang bereaksi satu sama lain seperti benturan molekul uranium: meletup tak terduga- duga, menyerap, mengikat, mengganda, berkembang, terurai, dan berpencar ke arah yang mengejutkan. Aku ingin ke tempat-tempat yang jauh, menjumpai beragam bahasa dan orang-orang asing. Aku ingin berkelana, menemukan arahku dengan membaca bintang gemintang. Aku ingin mengarungi padang dan gurun-gurun, ingin melepuh terbakar matahari, limbung dihantam angin, dan menciut dicengkeram dingin. Aku ingin kehidupan yang menggetarkan, penuh dengan penaklukan. Aku ingin hidup! Ingin merasakan sari pati hidup! Di dalam buku ini juga Ikal dan Arai kembali menuai karma akibat kenakalan-kenalan yang pernah mereka lakukan semasa kecil dan remaja dulu. Pembaca akan dibawa ke dalam petualangan mereka menyusuri Eropa dengan berbagai 265

pengalaman yang mencengangkan, mencekam, membuat terbahak, sekaligus berurai air mata.

266

Maryamah Karpov

Maryamah Karpov adalah novel keempat dari tetralogi Laskar

Pelangi. Buku ini berkisah tentang kisah kehidupan dan pencarian A Ling yaitu cinta sejati Ikal walaupun akhirnya tidak terlalu bahagia. Pada bagian awal buku ini diceritakan kisah Ikal yang telah lulus dari Universitas

Sorbonne, Farewell Party-nya di Prancis juga pada saat Ikal sampai di

Belitong. Setelah menyelesaikan S2 di Sorbone University Prancis, Ikal kembali ke tanah kelahirannya di pulau Belitong. Kerinduan, itulah alasan yang mendasar kenapa Ikal kembali ke Belitong. Ia rindu kepada orang tuanya, rindu kepada Arai sepupu jauh Ikal, rindu kepada masyarakat

Belitong, rindu dengan alam Belitong dan lebih dari itu, ia rindu pada gadis impiannya yaitu A Ling. Perjalanan dari Jakarta ke rumahnya di Belitong, dilalui Ikal dengan penuh perjuangan dan rasa letih, tetapi semua itu pudar karena ia begitu merindukan ayahnya. Lelaki pendiam itu sangat istemewa bagi Ikal. Bahkan, Ikal mempersiapkan penampilan terbaiknya untuk bertemu dengan ayahnya. Ikal mengenakan pakaian pelayan resotoran ketika bekerja di Perancis dulu. Ketika bertemu dengan ayah, ibunya dan Arai, rasa haru tak dapat terbendung lagi. Betapa Ikal sangat merindukan saat ini. Saat bertemu dengan orang-orang yang dicintainya.

Pulau Belitong tak seperti dulu lagi, masyarakat Belitong terpuruk setelah pabrik timah gulung tikar. Walaupun demikian, suasana Belitong tak jauh berbeda dibandingkan saat Ikal melanjutkan studinya ke

Perancis. Masyarakat Belitong masih gemar membual, minum kopi ke 267

warung, dan sangat menyukai taruhan. Lalu cerita dengan kehadiran seorang dokter gigi dari Jakarta yang bernama dokter Budi Ardiaz. Ia adalah wanita kaya dan sebenarnya bisa hidup nyaman di Jakarta. Akan tetapi, karena idealismenya, ia mengabdikan dirinya sebagai dokter di tanah Melayu, Belitong. Namun sayangnya, setelah berbulan-bulan membuka praktek, tak ada satupun masyarakat yang mau berobat padanya. Masyarakat lebih senang berobat ke dukun gigi dengan alasan bahwa mulut adalah sesuatu yang sensitif seperti kelamin. Jadi, tak boleh sembarangan memasukkan tangan ke dalam mulut kecuali muhrim.

Kenyataan ini membuat kepala kampung Karmun geram dan memaksa masyarakat untuk berobat pada dokter Diaz. Namun sayang, masyarakat tetap kekeh dengan prinsip yang telah mereka pegang.

Selanjutnya, diceritakan bahwa masyarakat Belitong menemukan dua jenazah yang terapung di air. Kejadian itu mengagetkan masyarakat khususnya Ikal. Terlebih, jenazah itu memiliki tato kupu-kupu mirip tato A

Ling. Konon kabarnya, dua jenazah tersebut tewas karena mencoba melarikan diri dari kawanan perampok yang bengis di pulau Betuan. Hal ini membuat Ikal meyakini bahwa A Ling merupakan salah satu penumpang kapal ke pulau Betuan. Ikal berniat ke pulau Betuan untuk menemukan A Ling, tetapi tidak ada yang mau membantunya. Justru masyarakat melarang Ikal untuk berlayar ke pulau Betuan karena pulau itu sangat berbahaya. Menurut kepercayaan masyarakat belitong, jika pulau 268

tersebut dikunjungi makan harapan untuk bisa kembali tidak ada lagi.

Akan tetapi, Ikal tidak menyerah.

Motivasi terbesar Ikal berlayar ke pulau Betuan adalah demi cinta.

Niat Ikal untuk berlayar akhirnya dibantu oleh sahabat-sahabatnya (Laskar

Pelangi) yang kini telah tumbuh dewasa dengan profesi beragam. Lintang dan Mahar memiliki peran yang besar dalam masalah ini. Dengan modal ilmu pengetahuan dari Lintang dan semangat dari sahabat-sahabatnya,

Ikal akhirnya mampu membuat sebuah kapal. Kapal itu diberi nama

“Mimpi-mimpi Lintang”. Walaupun Ikal telah berhasil membuat kapal, masih saja orang-orang mencemoohkannya dan tak ayal Ikal menjadi objek taruhan masyarakat Belitong, tetapi itu semua tidak menyurutkan semangat Ikal Sepertinya Dewi Fortuna sedang berpihak pada Ikal.

Bahkan, Ikal membuat orang terkagum-kagum dengan perjuangan hebatnya.

Setelah berhasil membuat sebuah kapal yang hebat, Ikal berangkat ke pulau Betuan bersama Mahar, Chung Fa dan Kalimut. Mereka memiliki misi-misi yang berbeda untuk berlayar ke pulau Betuan. Selama perjalanan menuju pulau Betuan, banyak rintangan yang mereka lalui.

Mulai dari angin laut, pembajak sadis, dan dunia mistik. Namun, semua rintangan itu dapat ia lewati. Akhirnya, Ikal dapat menemukan cinta sejatinya yang telah ia cari bertahun-tahun lamanya. Bahkan separuh benua telah ia tempuh untuk menemukan A Ling. 269

Ikal pun membawa A Ling pulang ke Belitong. Mereka berdua berniat untuk menikah. Ikal akhirnya meminta izin kepada keluarga A Ling agar diizinkan meminang A Ling. Keluarga A Ling pun menyetujuinya.

Namun sayangnya, ayah Ikal tidak menyetujui anak bujangnya meminang

A Ling.

270

TRILOGI NEGERI 5 MENARA

271

Negeri 5 Menara

Novel ini berkisah tentang enam orang sahabta yang bersekolah di

Pondok Madani (PM) Ponorogo Jawa Timur. Mereka dengan kerja keras dan sungguh-sungguh akhirnya berhasil meraih mimpi yang pada awalnya dianggap terlalu tinggi. Mereka adalah Alif Fikri Chaniago dari Maninjau

Sumatera Bara, Raja Lubis dari Medan, Said Jufri dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung, dan Baso Salahuddin dari Gowa.

Ahmad Fuadi yang berperan sebagai Alif adalah pemuda asal Desa

Bayur, Maninjau, Sumatera Barat yang diharapkan bisa menjadi seorang guru agama seperti yang diinginkan kedua orangtuanya. Keinginan kedua orangtua Fuadi tentu saja tidak salah. Sebagai “amak” atau Ibu kala itu, menginginkan agar anak-anaknya menjadi orang yang dihormati di kampung seperti menjadi guru agama. Namun ternyata Fuadi alias Alif mempunyai keinginan lain. Ia tak ingin seumur hidupnya tinggal di kampung. Ia mempunyai cita-cita dan keinginan untuk merantau. Ia ingin melihat dunia luar dan ingin sukses seperti sejumlah tokoh yang ia baca di buku atau mendengar cerita temannya di desa. Namun, keinginan Alif tidaklah mudah untuk diwujudkan. Kedua orangtuanya bergeming agar

Fuadi tetap tinggal dan sekolah di kampung untuk menjadi guru agama.

Namun berkat saran dari ”Mak Etek” atau paman yang sedang kuliah di

Kairo, akhirnya Fuadi kecil bisa merantau ke Pondok Madani, Gontor,

Jawa Timur. Dari sinilah cerita kemudian bergulir. Ringkasnya Fuadi kemudian berkenalan dengan Raja alias Adnin Amas, Atang alias 272

Kuswandani, Dulmajid alias Monib, Baso alias Ikhlas Budiman dan Said alias Abdul Qodir.

Keenam bocah yang menuntut ilmu di Pondok Pesantren Gontor ini setiap sore mempunyai kebiasaan unik. Menjelang Azan Maghrib berkumpul di bawah menara masjid sambil melihat ke awan. Dengan membayangkan awan itulah mereka melambungkan impiannya. Misalnya

Fuadi mengaku jika awan itu bentuknya seperti benua Amerika, sebuah negara yang ingin ia kunjungi kelak lulus nanti. Begitu pula lainnya menggambarkan awan itu seperti negara Arab Saudi, Mesir dan Benua

Eropa. Melalui lika liku kehidupan di pesantren yang tidak dibayangkan selama ini, ke lima santri itu digambarkan bertemu di London, Inggris beberapa tahun kemudian. Mereka kemudian bernostalgia dan saling membuktikan impian mereka ketika melihat awan di bawah menara masjid

Pondok Pesantren Gontor, Jawa Timur.

Belajar di pesantren bagi Fuadi ternyata memberikan warna tersendiri bagi dirinya. Ia yang tadinya beranggapan bahwa pesantren adalah konservatif, kuno, ”kampungan” ternyata adalah salah besar. Di pesantren ternyata benar-benar menjujung disiplin yang tinggi, sehingga mencetak para santri yang bertanggung jawab dan komitmen. Di pesantren mental para santri itu ”dibakar” oleh para ustadz agar tidak gampang menyerah. Setiap hari, sebelum masuk kelas, selalu didengungkan kata-kata mantera ”Manjadda Wajadda” jika bersungguh- sungguh akan berhasil. ”Siapa mengira jika Fuadi yang anak kampung kini 273

sudah berhasil meraih impiannya untuk bersekolah dan bekerja di

Amerika Serikat? Untuk itu, jangan berhenti untuk bermimpi,”

274

275

Ranah 3 Warna

Alif seorang pemuda yang lulus dari Pondok Pesantren Madani di

Ponorogo ini mempunyai mimpi ingin belajar sampai negeri Paman Sam.

Dengan semangat yang membara ia pulang ke Maninjau dan tak sabar ingin segera kuliah. Namun kawan karibnya, Randai, meragukan dia untuk bisa lulus UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Lalu Alif sadar, ada satu hal penting yang ia tidak miliki untuk menempuh UMPTN, yaitu ijazah SMA. Semangat “Man Jadda Wajada” semakin menggelegar di hatinya. Alif sudah melebihkan usaha untuk mencapai hasil yang terbaik.

Going the extra miles. I‟malu fauqa ma‟amilu. Berusaha di atas rata – rata orang lain. Beberapa minggu kemudian hasil ujian persamaan keluar juga.

Dengan takut – takut Alif datang ke kantor panitia untuk melihat hasil ujian. Alhamdullilah ia lulus dan tidak ada nilai merah, tetapi tetap saja dia hanya mendapat nilai dengan rata – rata 6,5. One down, one more to go.

Jurusan Hubungan Internasional adalah jurusan yang menjadi pilihan Alif dalam UMPTN. Alif telah membulatkan tekad untuk lebih bekerja keras menempuh UMPTN. Man Jadda Wajada. Setelah kurang lebih tiga minggu akhirnya hasil UMPTN dimuat di surat kabar Haluan yang diangkut oleh bus Harmoni 1 yang turun dari Maninjau.

Alhamdullillah, nama Alif terpampang di surat kabar ini.

Setelah pengumuman UMPTN, Alif harus segera berangkat ke

Bandung untuk kuliah di Unpad (Universitas Padjadjaran). Ditemani oleh

“Si Hitam”, sepatu pemberian ayah Alif, ia pun berangkat merantau lagi ke 276

Jawa untuk menempuh pendidikan. Di sinilah perjalanan Alif dimulai.

Inilah hari pertama Alif untuk masuk kuliah. Setelah masuk Unpad, berbagai macam rintangan ia hadapi mulai dari keinginannya untuk menulis, berguru kepada Bang Togar yang mendidiknya sangat keras, tulisan hasil didikan Bang Togar di muat di media massa lokal sampai ayahnya meninggal. Karena ayah Alif sudah meninggal, Alif pun menjadi tulang punggung keluarga. Hampir saja ia putus asa tetapi seorang ibu telah menyemangatinya sehingga ia kembali bangkit. Semakin banyak tulisan Alif yang di muat di media massa lokal maupun daerah, dan sedikit demi sedikit Alif sudah bisa membiayai kuliahnya sendiri.

Dalam perjalanan kuliahnya, Alif mencoba untuk mengikuti pertukaran pelajar di Amerika. Bermodal niat dan tekad yang kuat, akhirnya Alif pun lolos seleksi dengan berbagai pertimbangan dari panitia penyelenggara. Kanada, itulah tujuan Alif setelah lolos seleksi pertukaran pelajar. Raisa, anak yang Alif sukai sejak masuk Unpad juga lolos seleksi pertukaran pelajar. Sesampainya di Kanada, tepatnya di Montreal, Alif mencubit tangannya serasa tidak percaya. Dan tak terasa ia dan “Si

Hitam” sudah menginjak 3 ranah berbeda. Tanah Tumpah Darah yaitu

Indonesia, tempat para nabi yaitu tanah Timur Tengah (Amman,Yordania), dan tanah benua Amerika tepatnya di Montreal, Kanada.

Selama tinggal di Kanada, Alif mendapat tugas untuk bekerja di

SRTV, Stasiun TV Lokal Quebec City. Kegiatan yang tidak pernah Alif tinggalkan meskipun berada di negeri Paman Sam adalah menulis. Ia 277

sempat menggemparkan publik Kanada dengan liputannya bersama

Monsieur Janvier, seorang tokoh Politik terkenal Kanada. Tidak hanya itu saja, Alif juga pernah mewawancarai seorang Indian yang ahli dalam berburu yaitu Lance Katapatuk.

Setahun berlalu, Alif dan rombongan pertukaran pelajar kembali ke

Indonesia. Perasaan bangga, senang, dan haru bercampur menjadi satu mengiringi kepulangannya ke Indonesia. Sahabat – sahabat Alif di Unpad turut senang dengan prestasi yang diraih Alif di Kanada. Tak lupa Alif juga berkirim surat kepada Amaknya di Maninjau, ia mengabarkan tentang kedatangannya kembali ke Indonesia dan akan terus melanjutkan kuliah sampai lulus S-1.nTak terasa dua tahun sudah berlalu sejak Alif pulang dari Kanada. Skripsi sudah dilalui dengan penuh kerja keras dan hasilnya berbuah sangat manis. Alif dinyatakan lulus dan berhak untuk mengikuti wisuda.

278

279

RANTAU 1 MUARA

Alif lulus dari UNPAD dengan nilai terbaik. Berbagai negara di dunia sudah ia kelilingi dan tulisannya tersebar di banyak media. Namun, ia lulus di saat yang salah. Akhir 90an Indonesia mengalami krisis moneter. Ia harus berjuang cukup keras untuk menopang hidupnya.

Bekali-kali lamaran pekerjaannya ditolak.Ia tak patah semangat, mantra man saara ala darbi washala (siapa yang berjalan di jalannya akan sampai di tujuan) menjadi semangatnya. Hingga seberkas harapan muncul ketika Alif diterima menjadi wartawan di Majalah Derap.Di Derap,

Alif bertemu dengan seorang gadis keturunan Minang yang juga wartawan di tempat ia bekerja. Gadis itu bernama Dinara. Cukup lama mereka dekat, namun Alif tidak mampu membaca tanda-tanda yang diberikan

Dinara. Hingga akhirnya mereka harus berpisah karena Alif mendapat beasiswa untuk melanjutkan studinya ke Amerika.

Walaupun terpisah jauh, Alif dan Dinara tetap berkomunikasi. Alif kemudian memberanikan diri menyampaikan niatnya untuk mempersunting Dinara. Dinara sebenarnya juga mencintai Alif. Namun yang paling sulit adalah mendapat restu dari ayah Dinara. Alif harus berusaha keras melunakkan hati ayah Dinara. Segala upaya telah Alif lakukan hingga akhirnya Ayah Dinara merestui mereka berdua. Mereka kemudian menikah dan melanjutkan hidupnya di Amerika.

Hidup di Amerika membawa Alif memiliki sahabat baru setanah air, salah satunya Mas Garuda yang sudah menganggap Alif sebagai adiknya 280

sendiri. Tetapi peristiwa paling menyedihkan yang menghancurkan gedung WTC pada tanggal 11 September 2001 membuat Alif harus kehilangan orang yang dia anggap sebagai kakaknya itu. Butuh waktu lama untuk mengobati rasa sedih yang dialami Alif. Namun, ia harus bangkit dari keterpurukannya dan melanjutkan studinya yang sempat tertinggal.

Setelah tamat dari S2, Alif dan Dinara diterima bekerja pada sebuah Koran Amerika. Keadaan ini mengubah ekonomi mereka.

Kesenangan hidup di Amerika membuat Alif enggan kembali ke Indonesia.

Desakan Dinara yang terus-menerus dan nasihat dari orang-orang terdekatnya inilah, akhirnya Alif memutuskan untuk meninggalkan segala kesenangan itu dan melanjutkan hidup baru di Indonesia. Ternyata darimana ia bermuara akan kembali ke muaranya yaitu Indonesia.