Download This PDF File

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Download This PDF File Wening Pawestri Wening Pawestri Prosesi Upacara Tetesan dalam Serat Pemutan Tetesipun Bandara Raden Ajeng Siti Nurul Kamaril Ngasarati Kusumawardhani perempuan pada saat berusia sewindu atau delapan tahun. makanan berupa kupat gudheg. Para tamu membawakan ceritanya. Pertunjukan wayang Bali berakhir pukul dua Namun, pada saat ini telah berubah, yang diiris hanya kunyit berbagai macam hadiah untuk Gusti Nurul. Sembari para belas malam. yang dilakukan oleh seorang dukun wanita. Upacara têtêsan tamu menikmati hidangan, terdapat suguhan hiburan yang merupakan wujud rasa syukur kita sebagai manusia kepada telah dipersiapkan. 3. Malam Midodarèni Tuhan yang telah memberikan anugrah. Sekaligus media untuk Hiburan yang disajikan pada prosesi têtêsan ini Dengan selesainya upacara siraman berarti putri raja memohon atau berdoa dengan berbagai harapan yang baik. sangat beragam, antara lain Tari BedhayaSrimpi Karaton sudah selesai berhias, sudah segar dan bersih. Sejak itu, Têtêsan dilaksanakan secara khidmat sesuai dengan urutan yang dilaksanakan pada saat acara siraman sebelum acara putri raja yang akan ditêtês mulai dipingit, dilayani, dan prosesi têtêsan meliputi selamatan, siraman, malam têtêsan. Tarian tersebut ditarikan oleh tiga orang penari, di ditunggu oleh para kerabat untuk melaksanakan midodarèni. midodarèni, acara gres atau inti têtêsan, dan resepsi. Setiap antaranya Mantri Among Cundaka, Nyai Madusari, dan Malam sebelum berlangsungnya upacara inti disebut malam prosesi memiliki makna-makna filosofis dan ajaran moral yang Nyai Mangunsih. Hal ini terdapat pada pupuh V Megatruh Abstrakmidodarèni. dapat dijadikan panutan. pada 5 yaitu: Pada malam midodarèni atau setelah acara siraman para kerabatMasyarakat mulai Cina berdatangan, telah lama berjaga tinggal bahkan di Indonesia tidak tidur dan Daftar Pustaka Langên taya badhaya Srimpi kadhatun/ menjadisemalam bagian suntuk. dari Seperti masyarakat yang Indonesia.terdapat padaPenetrasi pupuh budaya V Florida, Nancy K. 1994. Javanese Language Manuscrips of katiga kang lenggah mantri/ jugaMegatruh telah padadilakukan 15-16: agar dapat membaur dengan masyarakat Surakarta Central JavaA Pleriminary Descriptive among cundaka kang sêpuh/ pribumi. Salah satu bentuk penetrasi budaya yang dilakukan Catalogus Level I and II. kalih Nyai Madusari/ olehWontên masyarakat ingkang ngrarakitCina adalah ing karyanipun/ adat istiadat dalam upacara Hermono, Ully. 2014. Mengejar Kebahagiaan. Jakarta: P.T. Nyai Mangunsih sawiyos// (SPTB hal 32) perkawinan.tuwin sowan KemudianSang Su Putri/ penetrasi budaya ini didokumentasikan Kompas Media Nusantara. dalamkang lagya naskah sinêngkê Syairr wau/Perkawinan Kapitan Tik Sing. Naskah Maulida, Indah. 2013. Konstruksi Sosial Budaya tentang Sunat Terjemahan: SyairGusti PerkawinanKusumawardhani/ Kapitan Tik Sing mendeskripsikan tentang Perempuan. Semarang: Universitas Negeri Semarang. Tarian Bedhaya Srimpi Keraton/ tahapansaha mêmangun-tahapan lêlados//dalam upacara perkawinan adat Cina dan Supadma, Ayu Panca. Serat Pemutan Tetesipun Bandara tiga orang yang duduk adalah mantri/ Melayu yang terjadi pada masa Kesultanan Johor, Riau-Lingga, Raden Ajeng Siti Nurul Kamaril Ngasarati Among Cundaka yang tua/ danSarta Pahang.Upacara ingkang kasukan perkawinaning dalêm agung/ ini dilakukan oleh anak Kusumawardhani. Naskah Tulisan Tangan Koleksi kedua Nyai Madusari/ Kapitantan wus Cina,pangikêting yaitu Tik kardi/ Sing dan Nyonyah Kim. Setiap tahapan Perpustakaan Reksa Pustaka Pura Mangkunagaran dan Nyai Mangunsih// dalampamardining upacara sarêng perkawinan dalu/ dijelaskan secara rinci oleh Surakarta dengan Nomor Katalog H 43. pengarangkalêres midadarèni/ Syair Perkawinan Kapitan Tik Sing, sehingga dapat Mereka menari dengan lemah gemulai, sangat indah. dijadikansami kasukan pedoman pakuwon// dalam ( SPTBmelakukan hal 15) upacara perkawinan adat Para tamu undangan terpukau melihatnya. Yang Cina dan Melayu. bertanggung jawab untuk iringan adalah Mantri Karawitan Terjemahan: yang juga Lurah Kadipaten, Nyi Wignya Kastawa. Acara Kata kunci : Adat istiadat, Perkawinan, Cina, Melayu berlangsung dengan khidmat dan selesai pukul dua belas Ada yang mengatur pekerjaannya/ siang bersamaan dengan berhentinya suara gamelan. dan berkunjung pada putri/ Malam harinya disajikan pertunjukan wayang kulit yang masih disembunyikan di suatu tempat/ dari Bali dengan lakon Sri Bomantara yang merupakan Gusti Kusumawardhani/ oleh-oleh dari Gusti Jelantik yang berasal dari Bali. Wayang serta melayani// kulit tersebut masih murni menggunakan bahasa bali, Penda huluan sehingga banyak orang yang tidak memahami jalan Yang Perkawinanbersenang-senang merupakan di Dalêm perilaku Agung yang/ harus dilakukan olehtidak makhluk lupa menjalankan ciptaan Tuhan pekerjaan/ Yang Maha Esa agar kehidupan di 182 Jumantara Vol. 7 No.2 Tahun 2016 170 Jumantara Vol. 7 No.2 Tahun 2016 Jumantara Vol. 7 No.2 Tahun 2016 171353 Yovi Ersariadi Upacara Perkawinan Cina Dan Melayu Pada Masa Kesultanan Johor, Wening Pawestri Riau-Lingga, Dan Pahang Dalam Naskah Syair Perkawinan Kapitan Tik Sing alam dunia berkembang biak. Menurut pasal 1 UU NO. 1- makanan berupa kupat gudheg. Para tamu membawakan Berdasarkan inventarisasi naskah, ditemukan tiga naskah 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin seorang pria dengan berbagai macam hadiah untuk Gusti Nurul. Sembari para SPKTS. Satu naskah tersimpan di Perpustakaan Universiteit wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga tamu menikmati hidangan, terdapat suguhan hiburan yang Leiden dengan kode naskah ML 168. Dua naskah tersimpan di (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan telah dipersiapkan. perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan kode naskah Yang Maha Esa (Hadikusuma, 2007:6). Perkawinan tidak Hiburan yang disajikan pada prosesi têtêsan ini ML 750 (W 271), dan NBG KL 180. Ketiga naskah ini hanya menyangkut hubungan calon mempelai pria dan wanita sangat beragam, antara lain Tari BedhayaSrimpi Karaton merupakan naskah yang se-versi yang memiliki bahasa yang saja, melainkan juga hubungan dengan orang tua kedua belah yang dilaksanakan pada saat acara siraman sebelum acara sama, aksara yang sama, struktur yang sama, pengarang yang pihak, saudara, keluarga, masyarakat, martabat, dan Tuhan têtêsan. Tarian tersebut ditarikan oleh tiga orang penari, di sama dan berasal satu sumber yang sama. Identitas penyalin Yang Maha Esa (Haar, 1960:158). Maka dari itu, aturan dalam antaranya Mantri Among Cundaka, Nyai Madusari, dan ketiga naskah tersebut tidak tertulis di dalam kolofon. Ia hanya sebuah perkawinan akan dipatuhi oleh setiap anggota Nyai Mangunsih. Hal ini terdapat pada pupuh V Megatruh menyebutkan dirinya disuruh Candra Ningrat atau Tuan masyarakat sejak dahulu kala. pada 5 yaitu: Penghulu untuk menulis sebuah syair tentang sahabatnya agar Aturan atau tata tertib yang biasa dilakukan ketika diingat untuk masa yang akan datang. melaksanan perkawinan disebut adat istiadat dalam upacara Langên taya badhaya Srimpi kadhatun/ Naskah SPKTS adalah naskah Melayu yang perkawinan. Adat istiadat ini tidak diatur oleh perundang- katiga kang lenggah mantri/ menceritakan tentang pesta perkawinan anak Kapitan Cina di undangan negara, melainkan diserahkan kepada pihak yang among cundaka kang sêpuh/ Tanjung Pinang. Kapitan Cina itu bernama Kapitan Lela bersangkutan menurut adat dan agamanya masing-masing. kalih Nyai Madusari/ Mangindra dan anaknya bernama Tik Sing. Istilah “kapitan” Adat istiadat dalam upacara perkawinan merupakan bagian dari Nyai Mangunsih sawiyos// (SPTB hal 32) pada nama Kapitan Lela Mangindra menandakan bahwa ia produk kebudayaan, sehingga perlu dijaga dan dipertahankkan adalah seorang pemimpinan masyarakat Tionghoa. Pangkat sistemnya oleh anggota masyarakat adat tersebut. Akan tetapi, Terjemahan: kapitan diberikan oleh pemerintah Belanda kepada seseorang sifat dari kebudayaan yang dinamis mengakibatkan adat Tarian Bedhaya Srimpi Keraton/ yang dipilih sebagai pimpinan masyarakat. Pemimpin- istiadat dalam upacara perkawinan kini mulai mengalami tiga orang yang duduk adalah mantri/ pemimpin itu mempunyai tugas sebagai perantara orang perubahan. Perubahan yang diakibatkan oleh modernisasi. Among Cundaka yang tua/ Tionghoa yang ingin mengurus sesuatu hal dengan Perubahan ini mengakibatkan variasi pada segi tata cara dan kedua Nyai Madusari/ pemerintahan Belanda. Umumnya, pemimpin-pemimpin itu waktu pelaksanaan upacara perkawinan. Jika perubahan terjadi, dan Nyai Mangunsih// dipilih karena mereka mempunyai pengaruh yang besar dan hal ini akan berdampak pada degradasi nilai-nilai sosial budaya dihormati di antara orang-orang Tionghoa dan orang kaya di masyarakat. Seharusnya, kebudayaan dapat dijadikan jati diri Mereka menari dengan lemah gemulai, sangat indah. (Vasanty dalam Koentjaraningrat, 2002:365). atau identitas bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi Para tamu undangan terpukau melihatnya. Yang Kapitan Lela Mangindra adalah seorang kapitan dan modernisasi bukan luntur di dalamnya. bertanggung jawab untuk iringan adalah Mantri Karawitan saudagar yang sangat kaya raya di Tanjung Pinang. Ia memiliki Upaya pelestarian terhadap adat istiadat dalam yang juga Lurah Kadipaten, Nyi Wignya Kastawa. Acara rumah sewa, rumah berhala, rumah batu tempat menyimpan perkawinan dapat dilakukan dengan mendokumentasikan berlangsung dengan khidmat dan selesai pukul dua belas emas dan perak, gedung, balai yang indah, dan perahu yang segala tata caranya ke dalam media tulis atau rekam. Upaya ini siang bersamaan dengan berhentinya suara gamelan. berlayar ke seluruh
Recommended publications
  • Kedah and the Region C. 1882-1941
    UvA-DARE (Digital Academic Repository) Chinese family business networks in the making of a Malay state: Kedah and the region c. 1882-1941 Wu, X.A. Publication date 1999 Link to publication Citation for published version (APA): Wu, X. A. (1999). Chinese family business networks in the making of a Malay state: Kedah and the region c. 1882-1941. General rights It is not permitted to download or to forward/distribute the text or part of it without the consent of the author(s) and/or copyright holder(s), other than for strictly personal, individual use, unless the work is under an open content license (like Creative Commons). Disclaimer/Complaints regulations If you believe that digital publication of certain material infringes any of your rights or (privacy) interests, please let the Library know, stating your reasons. In case of a legitimate complaint, the Library will make the material inaccessible and/or remove it from the website. Please Ask the Library: https://uba.uva.nl/en/contact, or a letter to: Library of the University of Amsterdam, Secretariat, Singel 425, 1012 WP Amsterdam, The Netherlands. You will be contacted as soon as possible. UvA-DARE is a service provided by the library of the University of Amsterdam (https://dare.uva.nl) Download date:25 Sep 2021 Bibliography Archival Sources * CO 273 Straits Settlements, Original Correspondence, 1882-1919. * CO 716 Annual Reports of Kedah, 1905-1939. * CO 882 Eastern. * FO 422 Siamese Affairs and Southeast Asia 1882-1939. * HCO Files, the files of the Office of the High Commissioner for the Malay States, 1896-1941, Arkib Negara, Kuala Lumpur.
    [Show full text]
  • Jurusan Sejarah Dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab Dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1438 H/2017 M Lembar Pernyataan
    MUSLIM TIONGHOA DI JAKARTA: PERAN YAYASAN HAJI KARIM OEI SEBAGAI WADAH DAKWAH MUSLIM TIONGHOA 1991-1998 SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum) Oleh : FIRDAUS ALANSYAH 1111022000003 JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2017 M LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan sudah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karta orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 10 Mei 2017 Firdaus Alansyah i DEDIKASI Teruntuk Ayahanda Latif Suwirya, Ibunda Nurhaemah, Laela Hasanah, Ali Muhammad, Ahmad Sobari, Devi Mutiara Sula, dan semua yang telah terlibat dalam penyelesaian skripsi ini. v ABSTRAK Firdaus Alansyah Muslim Tionghoa di Jakarta: Peran Yayasan Haji Karim Oei Sebagai Wadah Dakwah Muslim Tionghoa 1991-1998 Dalam penulisan ini akan dijabarkan peranan penting dari Yayasan Haji Karim Oei sebagai wadah muslim Tionghoa Jakarta dalam berdakwah. Yayasan Haji Karim Oei menjadi salah satu ujung tombak Tionghoa untuk mengenalkan Islam ke etnis Tionghoa ditengah pandangan negatif yang masih berkembang dikalangan etnis Tionghoa terhadap Islam. Sejarah panjang tentang keberadaan etnis Tionghoa dan juga peranannya dalam perkembangan agama Islam di Indonesia khususnya di pulau Jawa merupakan salah satu fakta bahwa Islam dan Tionghoa di Indonesia tidak dapat dipisahkan.
    [Show full text]
  • Identitas Etnis Tionghoa Padang Masa Pemerintah Hindia Belanda Padang’S Ethnic Chinese Identity During Dutch East Indies Period
    Identitas Etnis Tionghoa…(Erniwati) 185 IDENTITAS ETNIS TIONGHOA PADANG MASA PEMERINTAH HINDIA BELANDA 3ADANG’S ETHNIC CH,NESE IDE17,TY DURING DUTCH EAST INDIES PERIOD Erniwati Universitas Negeri Padang. Jl. Prof. Dr. Hamka, Air Tawar Barat, Padang Utara, Kota Padang. e-mail: [email protected] Naskah Diterima:8 Januari 2019 Naskah Direvisi:13 Juni 2019 Naskah Disetujui: 28 Juni 2019 DOI: 10.30959/patanjala.v11i2.482 Abstrak Artikel ini menjelaskan tentang identitas etnis Tionghoa yang ada di Padang pada masa Pemerintah Hindia Belanda. Mengkonstruksi identitas etnis Tionghoa di Padang menggunakan metode sejarah melalui studi pustaka dan arsip dengan menelusuri sumber-sumber berupa buku, arsip Pemerintah Hindia Belanda, dokumen perkumpulan sosial, budaya, dan pemakaman Heng Beng Tong serta Hok Tek Tong. Data yang diperoleh kemudian dikritik dan dikronologiskan untuk menghasilkan karya historiografi. Temuan artikel ini menunjukkan bahwa identitas etnis Tionghoa di Padang masa Pemerintah Hindia Belanda dipengaruhi oleh penataan masyarakat di daerah koloni oleh pemerintah Hindia Belanda dengan menerapkan sistem pemukiman (wijkenstelsel), pembagian masyarakat melalui Indische Staatregeling serta berbagai aturan lainnya. Penerapan sistem tersebut membentuk identitas etnis Tionghoa di Padang di mana secara politis berada di bawah kontrol Pemerintah Hindia Belanda, namun secara social dan budaya masih berorientasi kepada kebudayaan Tionghoa. Kata kunci: etnis Tionghoa, identitas, Padang, Pemerintah Hindia Belanda. Abstract This article aims to explain the Chinese in Padang during the Dutch East Indies government. Constructing a Chinese identity in Padang use historical methods through library studies and archives by tracing sources such as books, Dutch East Indies government archives, documents on social and funeral associations Heng Beg Tong and Hok Tek Tong.
    [Show full text]
  • Rb06m194m-Masalah Identitas-Literature.Pdf
    16 BAB II ORANG TIONGHOA DALAM KONTEKS INDONESIA dan ASIMILASI MELALUI ISLAM SEBAGAI PENYELESAIAN MASALAH TIONGHOA INDONESIA Pada bagian Pendahuluan telah dipaparkan bahwa tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui bagaimana orang Tionghoa Indonesia Muslim memahami posisi mereka dalam masyarakat Indonesia. Untuk itu terlebih dahulu akan dibahas secara umum mengenai siapa yang dimaksud dengan orang Tionghoa Indonesia itu, serta bagaimana perjalanan sejarah kedatangan dan perkembangan mereka di Indonesia. Pembahasan selanjutnya mengenai kebijakan asimilasi yang disuarakan oleh pemerintah RI, khususnya pemerintah Orde Baru, untuk mengatasi masalah Tionghoa Indonesia, dengan fokus kepada proses asimilasi melalui Islam. Bab ini akan diakhiri dengan ulasan mengenai pemahaman masyarakat Indonesia mengenai posisi orang Tionghoa Indonesia dalam masyarakat Indonesia. Masalah identitas..., Amorettya Minayora, FIB UI, 2008 17 II.1 Definisi Orang Tionghoa Indonesia Orang-orang Tionghoa Indonesia, merupakan keturunan dari orang- orang Tionghoa yang datang ke Indonesia dari propinsi Fujian dan Guangdong di bagian selatan Cina. Mereka terdiri dari berbagai macam suku bangsa seperti Hokkian ( ) dan Kanton ( ). Pada masa dinasti Tang33, daerah Cina bagian selatan ini merupakan zona perdagangan yang ramai, yang kemudian mendorong orang Tionghoa di daerah tersebut untuk melakukan pelayaran dagang. Dalam pelayaran dagangnya, orang-orang Tionghoa itu sering singgah lalu bermukim di wilayah Laut Cina Selatan (yang sejak pertengahan abad 20 dikenal sebagai Asia Tenggara). Salah satunya adalah Kepulauan Nusantara (yang kini disebut Republik Indonesia).34 Pada awalnya, mereka hanya bermaksud untuk tinggal sementara di kawasan tersebut. Namun pada kenyataannya, sebagian dari mereka akhirnya menetap dan beranak cucu di daerah perantauan itu. Keturunan dari orang-orang Tionghoa inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan orang Tionghoa Indonesia.
    [Show full text]
  • PEMETAAN SOSIAL-POLITIK KELOMPOK ETNIK CINA DI INDONESIA Amri Marzali Akademi Pengajian Melayu-Universiti Malaya
    PEMETAAN SOSIAL-POLITIK KELOMPOK ETNIK CINA DI INDONESIA Amri Marzali Akademi Pengajian Melayu-Universiti Malaya ABSTRACT This article presents a brief and comprehensive picture of the sociocultural life of the Indonesian Chinese society in Indonesia. The paper covers historical, demographic, legal, economic, political, and cultural aspects. It aims to update the data and information given by Mackie and Coppel (1976). Some observations are derived based on field research on Chinese-Pribumi relations in several cities in Indonesia, such as Jakarta, Solo and Tangerang. The paper compiles several dispersed sources of information to give a brief comprehension of the sociocultural life of the Indonesian Chinese society in Indonesia. PENGANTAR Makalah ini memberikan satu gambaran umum tentang beberapa aspek penting dalam kehidupan kelompok etnik Cina di Indonesia. Pusat pembahasan adalah aspek sejarah, kependudukan, kedudukan legal, ekonomi, politik, dan kultural, yang sebagian besar merupakan hasil kajian kepustakaan, yang didukung oleh pengalaman kajian lapangan yang pernah dilakukan oleh penulis di Jakarta, Solo, dan Tangerang, dengan topik umum hubungan sosial Cina-Pribumi. Selama ini data dan informasi dasar mengenai masyarakat etnik Cina di Indonesia, yang ditulis oleh sarjana-sarjana Barat dan orang-orang Cina Indonesia, berserak di berbagai sumber. Maka tulisan ini merupakan kompilasi dari berbagai-bagai sumber tersebut, sehingga dengan sekali baca peneliti akan mendapatkan data dasar tersebut. Tulisan ini perlu bagi peneliti dan mahasiswa perguruan tinggi yang berada pada peringkat awal dalam kajian tentang keanekaragaman sosiokultural di Indonesia. Makalah ini, dalam kapasitas tertentu, merupakan pemutakhiran (updating) dari Bab “A Preliminary Survey” tulisan Mackie dan Coppel dalam buku The Chinese in Indonesia (1976). EDISI XXXVII / NO.2 / 2011 | 47 SIAPAKAH ORANG CINA INDONESIA? Secara rasial, orang Cina dan mayoritas Pribumi Indonesia (“Deutero- Melayu”) adalah sama-sama Mongoloid.
    [Show full text]
  • Kehidupan Sosial-Budaya Masyarakat Tionghoa Di Batavia 1900An-1930An
    Kehidupan Sosial-Budaya Masyarakat Tionghoa di Batavia 1900an-1930an Wildan Sena Utama Alumnus Jurusanq Ilmu Sejarah UGM angkatan 2007 Abstract This paper discusses the everyday life of the Tionghoa society in Batavia in the first forty years of the twentieth century. The everyday life of the Tionghoa society in Batavia has so far been left unexplored. Existing studies on this particular group of people have mostly focused on the economic and political dimensions, for example the business activities of the Tionghoa society and the policy of discrimination for and against them made by successive governments in Indonesia. This paper shows that the social dimension can be an effective approach to study the many issues of the topic. Key words: Tionghoa society, socio-cultural, daily life Abstrak Kecenderungan selama ini penulisan sejarah masyarakat Tionghoa terlalu terjebak pada aspek perdagangan dan diskriminasi. Artikel ini berusaha keluar dari dua paradigma itu. Pembahasan artikel ini tentang kehidupan masyarakat Tionghoa yang berhubungan dengan aspek keseharian dalam hal sosial-budaya. Masyarakat Tionghoa di Batavia mempunyai kehidupan biasa yang menarik dan selama ini masyarakat jarang mengetahui keanekaragaman kehidupan masyarakat Tionghoa. Dalam sejarah kehidupan masyarakat Tionghoa secara biasa di Batavia sebenarnya kita bisa melihat bahwa masih banyak topik penulisan yang bisa ditulis. Kata kunci: Masyarakat Tionghoa, sosial-budaya, kehidupan sehari-hari Pengantar etnis Tionghoa terlalu menyempit ke dalam dua hal. Pertama, penggambaran mereka Sebuah kenyataan yang tidak dapat disangkal sebagai etnis pedagang. Kedua, penggambaran bila menyatakan bahwa penggambaran etnis mereka sebagai etnis yang terdiskriminasi. Tionghoa dalam historiografi Indonesia belum Dua penggambaran inilah yang begitu banyak proporsional. Penyebabnya adalah dalam mendominasi penulisan sejarah mengenai historiografi Indonesia penggambaran tentang etnis Tionghoa.
    [Show full text]
  • Download Download
    WEN Wei & WONG Danny Tze Ken The Development of Cantonese Chinese Community in the Klang Valley, 1860-1941 The Development of Cantonese Chinese Community in the Klang Valley, 1860-1941 WEN Wei, WONG Danny Tze Ken* Department of History, Faculty of Arts and Social Sciences University of Malaya Abstract This article traces the development process of the Cantonese community in the Klang Valley. As indicated in the local sources of the Chinese community history in this region, the Cantonese group, among other Chinese dialect groups, contributed significantly to the early development of Kuala Lumpur. They also rose as a dominant economic group among the Chinese community in the Klang Valley from the late 19th century to the mid 20th century. The Cantonese of Kuala Lumpur gradually replaced the Hakka group and emerged as the dominant group until the 1930s in both economic and social domains. In the process, the personal resources of group members, the organizational structure, the hierarchy within the Cantonese leadership, and the gender ratio were the four primary elements that impacted the growth of the Cantonese community. The Cantonese business elite took advantage of new economic opportunities such as the Chinese banking and real estate development. When the Chinese tin mining industry began to decline in 1914, these new business ventures sustained the overall Chinese economic system in the Klang Valley from the 1910s to 1920s. Along with the surge of the Cantonese economic strength, the hierarchical differentiation within the Cantonese community emerged, and some business elites started to shift their loyalty to the British. On the other hand, the Cantonese social elites from labour and middle classes actively participated in the political movement related to Mainland China.
    [Show full text]
  • B3 Rumah Mayor Tionghoa Di Jakarta
    . I ' • -. ' , -' ,"--:: .. ·~ .. ~ #, .:.:...» .. ·f· . ... -' .. -~-··. · ~ .:. I' ·.-- _....___~··· ...,W·- _-.. .. Ill Ill Ill II NANIEK WIDAYATI PRIYOMARSONO ________________________ ............ Rumah Mayor Tionghoa di Jakarta (Pascapemugaran) Man sion of Th e Tionglz oa Major in Jakarta (Post Conservation) Penulis A uthor Taniek Widayati Priyomarsono Dibantu Staffs Team Lita Amelia Professional Team Cetakan Pertama First Published Juni 2008 Cetakan Kedua Second Published Oktober 2018 Penerjemah Bahasa Inggris English Translation Satya Duhita and Naniek Widayati Priyomarsono Editor Bahasa Inggris English Co-Editor Djauhari Sumintardj a Editor Bahasa Indonesia Indonesian Co-Editor Dali Santun Naga - -- - - · --~~---------------------------=~~-------, Perancang & Ilustrasi Sampul Lat{out & Cover Illustrations CAC Creative Group Penerbit Publisher Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Tarumanagara ISBN 978-602-50838-1-5 Redaksi: Kampus 1 UNT AR . Gedung K lantai 8 Jl. S. Parman nomor 1. Jakarta Barat 11440 Telp +6221.56958718 Email: [email protected] Distributor Tunggal: Naniek Widayati Priyomarsono Jurusan Arsitektur. Fakultas Teknik Universitas Tarumanagara Ka mpus 1 UNT AR. Ged u ng K lantai 8 Jl. S. Parman nomor 1. Jakarta Barat 11440 Telp +6221.56958718 Buku Kedua. Cetakan Pertama. Oktober 2019 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak buku ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit. SURAT PE ~ ~ Dalam rangka ~ QJOOia!l :i :>eon; Undang Nomor 28 Ta/lun 2!l1< Cota.
    [Show full text]
  • The Impossible Colonial Border: Chinese Migration and Immigration Policies in the Netherlands East Indies, 1880-1912
    The Impossible Colonial Border: Chinese migration and immigration policies in the Netherlands East Indies, 1880-1912 Bastiaan Nugteren Thesis Research Master History: Colonial and Global History Leiden University 21-10-2016 Supervisor: Dr. Alicia Schrikker 0 Table of Contents Introduction 2 Chapter 1: The Chinese Migrations to the Netherlands East Indies from a Global, 7 Regional, and Historiographical Perspective 1.1: Chinese migration and anti-Chinese immigration laws from a global perspective 8 1.2: Transnational and regional histories of the Chinese migration in Southeast-Asia 17 1.3: The Chinese Migration in historiography on the Netherlands East Indies 23 1.4: Terminology and conceptualization 27 1.5: Conclusion 34 Chapter 2: Chinese Migration to Java and Sumatra: labor shortage, public opinion, 36 and immigration policies. 2.1: The Chinese migrations to East-Sumatra and Java 37 2.2: Recruiting Chinese plantation workers: labor migrations and the Deli Planters Society 38 2.3: Fortune seekers and vagrants: anti-Chinese sentiment in the Indies press 47 2.4: Policies for entry, travel and removal 51 2.5: Conclusion 60 Chapter 3: Knowing the Migrant: Identification, Fingerprinting and the Chinese 63 3.1: Information, identification and empire 64 3.2: Discussing dactyloscopy in the Netherlands East Indies 69 3.3: Conclusion 75 Chapter 4: Between Dutch and Chinese: nationalism, nationality and consul representation 77 4.1: Connections between the Chinese State and the overseas Chinese 78 4.2: Delaying the inevitable: consular representation and migrant nationality 83 4.3: The Chinese New Year Riots of 1912 91 4.4: Conclusion 93 Conclusion 95 Bibliography 100 1 Introduction It is the curious reversals of the flow southwards, periodically running evenly, occasionally gushing, sometimes tightly shut, more often dripping like a leaking tap, that provide the rhythm behind the historical interaction of China and Southeast Asia.
    [Show full text]
  • Chinese Economic Activities in Java in the Late Eighteenth Century As Reflected in the Batavian Kong Koan (公館) Records1
    Chinese Southern Diaspora Studies, Volume 1, 2007 南方華裔研究雜誌,第一卷, 2007 Chinese Economic Activities in Java in the Late Eighteenth Century as Reflected in the Batavian Kong Koan (公館) Records1 ©2007 Geoff Wade Introduction The period from the 1780s to the 1820s saw enormous change within Asia and globally, including the American Revolution, the French Revolution and Napoleonic wars in Europe, the Dutch ports in Southeast Asia declining, and the British beginning to establish settlements in Penang, Singapore, and Melaka. This new powerful player in the politics and economics of the archipelago also created new links between China and Southeast Asia, and a larger number of Chinese began moving into the Nanyang. Trade flows changed greatly during this period, with more opium heading towards China and much tea in the opposite direction. As a result, the increased European shipping meant greater competition and eventually decline for the Chinese junk trade. The period also saw the first newspaper established in Southeast Asia—the Prince of Wales Island Gazette, in Penang in 1806—that promoted new perspectives. This was also a period of great change for the Chinese communities in Southeast Asia. Much work has already been done on the histories of the Chinese communities stretching from the Vietnamese coast around to the coasts of Thailand during this period.2 In recent years, too, numerous other studies of Chinese economic activities in the archipelago during this era have also appeared.3 This note seeks to add to the growing intellectual current by examining the economic activities of the late eighteenth- century Chinese in Java, and mainly in Batavia, as revealed in the archives of the Batavian Chinese Council, or Kong Koan.
    [Show full text]
  • Chitty” Heritage Community of Melaka
    heritage Article Hybridity and Ethnic Invisibility of the “Chitty” Heritage Community of Melaka Ravichandran Moorthy Research Center for History, Politics & International Affairs, Faculty of Social Sciences & Humanities, University Kebangsaan Malaysia, Bangi Selangor 43600, Malaysia; [email protected]; Tel.: +60-12-3956150 Abstract: Migration has produced many ethnic minority communities worldwide owing to sea-borne trade, religious evangelicalism, and colonialism. For centuries, these communities have existed alongside other cultures, creating multiethnic societies. However, changes in political, economic, and sociocultural conditions have caused these communities, typically with varying degrees of social alignment and sociocultural adaptation, to re-strategize their inter-ethnic interactions. One such minority community is the “Chitty” of Melaka, a distinct Tamil community that migrated to Melaka, a coastal port city that has flourished in trade and commerce since the late 14th century. This paper investigates the historiography, its hybridity and adaptation, and the concerns of ethnic invisibility faced by this community throughout its 700-year history. Through historical analysis and ethnographic observations, the study finds that the Chitty community has contributed significantly to the sociocultural, economic, and political fabrics of Melaka in different periods of history. Secondly, the Chitty’s hybridity nature enabled them greater dexterity to socioculturally adapt to the changing surroundings and dynamics in Melaka for the last seven centuries. Thirdly, the study finds that due to their marginality in numbers and the mass arrival of new Indian migrants, the ethnic visibility of the Chitty has diminished in the new Malaysian demographic. Keywords: Chitty; Melaka; hybridity; adaptation; ethnic visibility; historical amnesia; Hindu Citation: Moorthy, R. Hybridity and Ethnic Invisibility of the “Chitty” Heritage Community of Melaka.
    [Show full text]
  • Plate 1. Chinese Inhabitants in Java in the Early Nineteenth Century with Their Pigtails and Special Style of Dress
    Plate 1. Chinese inhabitants in Java in the early nineteenth century with their pigtails and special style of dress. Sketch by the Belgian artist, A . A. J. Payen (1792-1853). Photograph from the A. A . J. Payen Collection (Sketchbook E) by courtesy of the Rijksmuseum voor Volkenkunde, Leiden. CHANGING JAVANESE PERCEPTIONS OF THE CHINESE COMMUNITIES IN CEN TR AL JA V A , 1755-1825* Peter Carey 7. Introduction On September 23, 1825, during the opening months of the Java War (1825-30), a small cavalry squadron commanded by Radfen Ayu Yudakusuma, a daughter of the first Sultan of Yogyakarta, swooped down on the vital trading post of Ngawi on the Sala river. It was home to a sizeable Chinese population, consisting mainly of rice brokers, petty traders, and coolies, which had been temporarily swollen by the in­ flux of refugees from the surrounding countryside.* 1 They had barricaded them­ selves into the houses of the prominent, Chinese merchants with their heavy teak shutters and doors. Unfortunately, these precautions, effective in normal times against the depredations of roving groups of kdcu (robbers, brigands) infesting the eastern outlying provinces of the Central Javanese courts, proved of little avail against the heavy axes and razor-sharp pikes of Rad£n Ayu Yudakusuma's war band. Indifferent to the pitiful cries of the women and children, Ngawi's entire Chinese community was put to the sword, the mutilated bodies being left to lie where they fell, in blood-smeared doorways, streets, and houses.2 Shocking in its ruthlessness, the massacre of Ngawi was by no means unique in these terrible, ear­ ly months of the Java War.
    [Show full text]