PERKEMBANGAN MODERNISASI DALAM GAYA HIDUP DAN POLITIK ELITE TIONGHOA BATAVIA 1900-1942

i ii Yudi Prasetyo FX. Wartoyo

PERKEMBANGAN MODERNISASI DALAM GAYA HIDUP DAN POLITIK ELITE TIONGHOA BATAVIA 1900-1942

iii Perpustakaan Nasional: KDT (Katalog Dalam Terbitan) MENEER BABA: Perkembangan Modernisasi dalam Gaya Hidup dan Politik EliteTionghoa Batavia 1900-1942 Copyright © Yudi Prasetyo dan FX. Wartoyo Cetakan Pertama, Januari 2013 Cetakan Kedua (Revisi), Oktober 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang All Rights Reserved

Penulis : Yudi Prasetyo FX. WartoyoEditor : Noor Aini Rancang Sampul : Muhammad Kavit Tata Letak : Deni Setiawan Pracetak : Arif Istamar Wahyu Saputro

Penerbit: Yuma Pustaka Jl. samudra pasai no 47. kadipiro, surakarta E-mail: [email protected] Website: www.yumaperkasa.blogspot.com

MENEER BABA: Perkembangan Modernisasi dalam Gaya Hidup dan Politik EliteTionghoa Batavia 1900-1942 xvii + 233 hal, 14 cm x 21 cm ISBN: 9786028580632

Percetakan dan Pemasaran:Yuma Pressindo E-mail: [email protected] Telp. 0271-9226606/085647031229

Dilarang keras memfotokopi atau memperbanyak sebagian atauseluruh buku ini tanpa seizin tertulis dari penerbit. Isi di luar tanggung jawab percetakan.

iv 233 Anjarwati Noordjanah. Komunitas Tionghoa di (1900-1946). : Mesiass, 2004.

Asvi Warman Adam, Pelurusan Sejarah . Yogyakarta: Ombak: 2007. PENGANTAR PENERBIT Baay, Reggie. Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. : Komuni- tas Bambu, 2010. Gaya hidup dan perkembangan modernisasi da- pat menjadi aspek penting dalam mengkaji perubahan sosial dan mentalitas Tionghoa. Studi ini membahas bagaimana pengaruh modernisasi terhadap gaya hidup dan mentalitas Barat terhadap elite Tionghoa di Batavia pada masa akhir kolonial. Elite Tionghoa yang mayori- tas berasal dari kalangan Tionghoa peranakan merupa- kan kelompok sosial yang terbuka dan adaptif terhadap pengaruh budaya asing. Buku ini membahas tentang perubahan sosial dan mentalitas elite Tionghoa pada masa Belanda. Pen- garuh budaya Barat ternyata sudah ada di kalangan elite Tionghoa pada masa penjajahan. Hal ini dapat di- lihat terutama pada elite Tionghoa kalangan atas. Gaya hidup mereka ternyata sudah dipengaruhi oleh buda- ya Barat yang disebabkan oleh berbagai faktor. Dalam buku ini dijelaskan berbagai faktor yang mempengar- uhi gaya hidup elite Tionghoa yang dipengaruhi budaya Barat. Penerbit menyampaikan terima kasih kepada penulis yang telah mempercayakan penerbitan buku ini pada kami. Tiada gading yang tak retak. Penerbit menyadari dalam penerbitan buku ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca penerbit harapkan demi perbaikan penerbi-

232 v tan buku selanjutnya. Semoga buku ini bermanfaat DAFTAR PUSTAKA bagi pembaca, terutama mahasiswa, guru, dosen, dan pakar bahasa atau khalayak umum yang ingin mem- pelajari gaya hidup komunitas elite Tionghoa. Salam sukses dan luar biasa!

Surakarta, Oktober 2015 Archieven Financien 339, 341, 931.

Penerbit Batavia no. 10, 16, 235.

Nederlandsch-Indisch Plakaatboek 1900-1915

Regeerings Almanaak voor Nederlandsch-Indi van het Jaar 1816–1942 (RAI)

Regerings Almanak voor Nederlandsch Indië 1905, Tweede Gedeelte: Kalender en Personalia. Batavia:Landsdrukkerij, 1906.

Volkstelling 1930. Batavia: Landsdrukkerij, 1933.

Abeysekere, Susan. Jakarta A History. : Oxford University Press, 1989.

Abdurrachman Surjomihardjo. Pemekaran Kota Jakarta/The Growth of Jakarta. Jakarta: Djambatan, 1977.

Achmad Sunjayadi. Vereeniging Toeristen Verkeer Batavia 1908-1942: Awal Turisme Modern di Hindia Belanda. Depok: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 2007.

Alwi Shahab. Batavia Kota Hantu. Jakarta: Republika, 2010.

Amen Budiman. Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia. Semarang: Tanjung Sari, 1979.

vi 231 luang, hingga aspek spiritualisme teologis Tionghoa DAFTAR ISI modern. Kesemuanya terangkum dan menjadi kon- sekuensi logis elite Tionghoa sebagai agen perubahan (agent of change) penerapan gaya hidup masyarakat ur- ban perkotaan. PENGANTAR PENERBIT ...... v DAFTAR ISI ...... vii

BAB I...... 1 PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang ...... 1

BAB II...... 13 DARI KOTA BANDAR MENJADI KOTA KOLONIAL: PERKEMBANGAN KOTA DAN MASYARAKAT BATAVIA HINGGA MASA PENDUDUKAN JEPANG ...... 13 A. Dari Oud Batavia sampai Nieuwe Batavia ...... 14 B. Perkembangan Infrastruktur Kota dan Masyarakat Urban Batavia ...... 31 C.Struktur Masyarakat dan Perubahan Sistem Status Abad XX ...... 36

BAB III...... 47 DINAMIKA KEHIDUPAN ETNIS TIONGHOA 1900 - 1942 ...... 47 A.Muncul dan Berkembangnya Komunitas Tionghoa Batavia ...... 48 B.Posisi dan Peran Orang Tionghoa ...... 60 I. Orang Tionghoa sebagai Pedagang Perantara ...... 60 II.’Yahudi’ di Tanah Jawa: Stigmatisasi Etnis Tionghoa sebagai Bangsa Yahudi ...... 69

230 vii III.Orang Tionghoa dalam Cengkeraman PolitikKolonial ...... 74 lain: ekonomi, politik, budaya, dan bidang pendidikan. C. Elite dalam Masyarakat Tionghoa: Dari EliteTradisional Pengaruh modernitas yang intens juga berpengaruh sampai Elite Modern ...... 79 terhadap cara pandang dan pergaulan di lingkungan in- D. Budaya Konsumen dalam Masyarakat Elite Tionghoa ...... 88 ternal etnis Tionghoa. Hal tersebut tampak pada keeng- ganan kelompok sosial etnis Tionghoa tertentu untuk BAB IV...... 94 menjalin hubungan sosial dengan masyarakat Tiong- hoa yang dirasa terlalu kolot dan merasa lebih nyaman MODERNISASI DAN GAYA HIDUP ELITE TIONGHOA dengan pergaulan komunitas Barat. BATAVIA 1900 -1942 ...... 94 I. Regulasi Pemerintah ...... 98 Faktor keenam adalah implikasi dari jaringan bis- nis yang luas. Penerapan gaya hidup elite Tionghoa ala II.Pendidikan ...... 102 Barat dapat terealisasi karena keunggulan pada aspek III.Media Massa ...... 108 jaringan bisnis. Sistem kongsi dalam konsep masyara- IV.Peniruan Kehidupan Komunitas Belanda ...... 113 kat Tionghoa memudahkan akses dan pemenuhan ko- B. Elite Tionghoa dan Konsumsi Simbol Material pada Era moditas konsumsi masyarakat urban, contohnya peng- Modernitas ...... 116 gunaan mobil atau motor sebagai produk modernitas C. Transformasi Identitas dan Mentalitas Tionghoa Modern ...... 157 mutakhir yang bisa diperoleh dengan mudah mengingat D. Menerabas Moralitas: Aktivitas Elite Tionghoa dalam importirnya berasal dari etnis Tionghoa. Demikian hal- Menikmati Kesenangan Duniawi ...... 185 nya dengan pengiriman batu granit untuk nisan pema- E. ‘Rumah Masa Depan’ : Pemakaman Mewah Elite Tionghoa . 213 kaman yang didatangkan dari negeri Tiongkok, hingga pada tataran peminjaman uang dan lain sebagainya. BABV...... 225 Faktor-faktor tersebut saling melengkapi dalam proses KESIMPULAN ...... 225 dinamika gaya hidup elite Tionghoa di Hindia Belanda, DAFTAR PUSTAKA ...... 231 khususnya di Batavia. Perkembangan modernisasi di Jawa dan di kota- kota besar lainnya telah mempengaruhi selera kon- sumsi, perilaku, pola pikir dan gaya hidup masyarakat urban perkotaan. Penerapan gaya hidup ala Barat yang diperankan elite Tionghoa Batavia dapat dijadikan se- bagai indikator untuk memahami situasi politik pada masa kolonial, perkembangan dan pergulatan kebu- dayaan, dinamika sosial masyarakat internal-ekternal Tionghoa, transformasi identitas, pemanfaatan waktu viii 229 demokrasi yang bebas berekpresi dalam menginterpre- tasikan gaya hidup. Faktor keempat adalah adanya pemikiran dan mentalitas atas kehidupan pasca kematian. Dalam per- spektif teologis Tionghoa terdapat pemahaman bahwa untuk mencapai kesempurnaan hidup di akhirat ter- BAB I cermin dari kesuksesan di dunia. Ajaran Konfusius, PENDAHULUAN Budha, dan Tao sangat menekankan kesuksesan dun- iawi yang disimbolkan pada kesuksesan secara kapi- tal. Disamping itu, dalam tradisi Tionghoa terdapat up- acara ”balik meja” yang membutuhkan atribut-atribut keperluan di alam akhirat yang berharga mahal. Tanpa pemenuhan atribut tersebut akan berdampak buruk A. Latar Belakang bagi penganut dalam kehidupan di akhirat kelak. Se- Etnis Tionghoa1 sebagai salah satu elemen en- lain tradisi ”balik meja”, orang Tionghoa juga melaku- titas sosial diantara berbagai pluralitas masyarakat kan prosesi pemakaman secara mewah. Biasanya up- bangsa Indonesia telah menjadi bagian yang menyatu acara tersebut dilakukan oleh keturunan dari sang dengan perjalanan sejarah Indonesia. Bahkan hubun- mendiang sebagai upaya untuk membahagiakan orang gan tersebut telah terbentuk sejak masa prasejarah. tua dan sekaligus penghormatan terakhir. Orang tua Hal tersebut berdasarkan pada penelitian yang menya- sangat dijunjung tinggi dalam tradisi dan kepercayaan takan bahwa peradaban manusia purba Jawa dengan Tionghoa, sehingga apabila tidak dapat membahagia- manusia purba Cina memiliki taraf kemajuan perada- kan orang tua hingga akhir hayatnya, maka anak terse- ban yang hampir sama dan Sinanthropus (manusia Pe- but akan dianggap gagal dan kesemuanya hanya dapat terealisasi melalui ketersediaan  nansial. 1 Pada akhir abad XIX dan awal abad XX, warga Belanda dan warga Indonesia menyebut orang Tionghoa dengan sebuatan “orang Cina” Faktor kelima adalah pengaruh modernisasi. atau hanya “Cina”. Warga Tionghoa tidak menyukai sebutan ini. Modernisasi membawa pengaruh dalam pembentukan Mereka lebih suka menyebut diri mereka dengan istilah “Tionghoa” dan negara leluhurnya sebagai “Tiongkok”. Awal abad XX, pasca mentalitas, cara pandang, perilaku, dan identitas elite didirikannya Tiong Hoa Hwee Koan (THHK), warga Tionghoa yang di- Tionghoa peranakan. Pendidikan merupakan jalur ter- lahirkan di Indonesia mulai mempertahankan sebuatan “Tionghoa” baik dalam transfer mentalitas Barat, baik di Hindia dan “Tiongkok” untuk menggantikan sebutan “Cina”. Disamping itu, Belanda menyebut Pribumi Indonesia sebagai “Inlander”, dan Belanda maupun di luar negeri. Pendidikan menjadi tanah jajahannya sebagai “Hindia Belanda” namun kaum nasiona- penghubung transfer pemikiran Barat dan memperluas lis Indonesia mengharapkan negara ini disebut sebagai “Indonesia”, jaringan sosial untuk berbagai kepentingan, antara dan mereka adalah “orang Indonesia”. Tan Beng Hok, Memoar Ang Yan Goan 1894 – 1984: Tokoh Pers yang Peduli Pembangunan Bang- sa (Jakarta: Yayasan Nabil dan Hasta Mitra, 2009), hlm. 49.

228 1 king) dipercaya para ahli masih merupakan keluarga  sialisasi melalui simbol-simbol material. Arti sialisasi dekat dari Pithecanthropus.2 berfungsi sebagai perekat terhadap entitas sosial di Eksistensi orang Tionghoa sebagai sebuah enti- atasnya dan pembeda terhadap entitas sosial di bawah- tas sosial di Nusantara telah ada sejak abad XII3 dan nya. memberikan pengaruh bagi perkembangan sejarah di Faktor kedua adalah sebagai media pelampiasan bidang sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Terdapat atas kerja keras. Orang Tionghoa dikenal sebagai et- sejumlah litetarur dan penelitian yang membuktikan nis yang pekerja keras, tekun, rajin, dan pantang me- bagaimana nebula Tionghoa telah terintegrasi dalam nyerah. Perspektif tersebut banyak disebutkan dalam perkembangan sejarah Indonesia.4 Kehadiran mereka literatur-literatur Barat, seorang James Cook ketika sebagai pedagang di Nusantara secara bertahap telah berkunjung di Batavia bahkan kesulitan mencari orang menjadikan mereka sebagai salah satu bangsa terpent- Tionghoa yang tengah bersantai. Orang Tionghoa mer- ing dalam sejarah Indonesia.5 Orang Tionghoa yang upakan etnis yang sangat dingin terhadap pekerjaan merupakan para pedagang sekaligus perantau di “neg- dan tidak akan berhenti sebelum pekerjaannya disele- eri orang” telah memaksa mereka untuk senantiasa saikan. Dalam perspektif Tionghoa, jerih payah yang bekerja keras dan tekun dalam proses survivalismenya. telah dikeluarkan haruslah setara dengan kenikmatan Keadaan tersebut secara kontinyuitas telah menjadi si- yang diraih. Orang Barat yang dalam penampilannya fat dasar orang Tionghoa dan menempatkan mereka selalu menampilkan impresi kenikmatan hidup men- sebagai entitas sosial yang berhasil mempertahankan jadi patron yang ditiru orang Tionghoa. Ketersediaan eksistensinya.  nansial menjadi media untuk mengakses kesenangan Ketika Belanda berlabuh di Banten pada akhir ala Barat seperti menonton bioskop, plesir ke tempat- abad XVI dan mampu menerapkan kolonialismenya tempat rekreasi, aktivitas seksual, dan kegiatan leisure 2 Walter A. Fairservis, Jr. Asal-Usul Peradaban Orang-Orang Jawa time lainnya secara optimal. dan Tionghoa (Surabaya: Selasar, 2009), hlm. 77. 3 Reid memaparkan tujuh catatan historis yang membuktikan Faktor ketiga adalah konsekuensi logis dari sta- adanya interaksi orang Cina dengan masyarakat Jawa. Anthony tus elite Tionghoa sebagai kelas menengah. Posisi kelas Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid I Tanah menengah menjadikan orang Tionghoa bebas dan ak- di Bawah Angin (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), hlm. 89- 91. tif memilih gaya hidup yang dianut. Kelompok kelas 4 Salah Satunya adalah Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, menengah merupakan intelektual baru karena peran Kajian Sejarah Terpadu Bagian II: Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia mereka sebagai audiens dan trasmiter yang sempurna. Pustaka Utama, 2005). 5 Lombard menilai bahwa yang terpenting adalah mengamati ba- Peran mereka bukan hanya sebgai popularisasi badan gaimana bengsa Cina secara aktif berperan serta dalam penyebaran pengetahuan tetapi juga popularisasi gaya hidup in- mentalitas. Mereka memang tidak pernah menjadi satu-satunya telektual. Dengan demikian, secara umum kelas me- penggerak, namun dapat dikatakan bahwa mereka selalu hadir set- iap terjadi perkembangan yang terpenting dalam sejarah keuangan nengah merupakan pembawa modernitas dan pembawa di Nusantara. Ibid., hlm. 305.

2 227 selalu terlibat pada kon ik tekanan antara persamaan di Nusantara, orang Tionghoa ditempatkan pada po- dan perbedaan, perbandingan dan pembedaan, persat- sisi strategis, yakni sebagai pedagang perantara. Posisi uan dan keanekaragaman, kohesi dan disparitas, pe- tersebut menempatkan Tionghoa sebagai perantara6 nahanan dan subversi. Etnis Tionghoa peranakan yang bagi Inlanders (pribumi) dengan pemerintah kolonial. merupakan kelompok yang terbuka dan adaptif terh- Peran mereka dalam sebagai pedagang perantara mem- adap pembaruan telah mengalami pergeseran orientasi berikan kesempatan bagi mereka untuk mengembang- budaya dari kebudayaan Tiongkok (vader land) ke ke- kan berbagai usaha perdagangan, baik yang sifatnya budayaan Barat. Pergeseran orientasi tersebut semakin mikro maupun makro, dari kawasan rural sampai ke intensif seiring dengan pengaruh modernisasi. Kondisi kawasan urban, mampu diperankan dengan baik seh- tersebut menempatkan kalangan Tionghoa paranakan ingga menempatkan mereka pada tataran sosial yang sebagai kelompok etnis eksklusif yang dis- mapan. Posisi tersebut diterapkan hampir di seluruh tigmakan sebagai bangsa yang gemar akan kemewahan, kawasan Nusantara namun dalam konteks ini adalah pemborosan, kesenangan duniawi, dan kerap dikaitkan Tionghoa di Batavia. dengan bangsa Yahudi di Eropa. Keberhasilan Tionghoa di bidang perdagangan Pada dasarnya pandangan demikian dirasa sangat menjadikan mereka sebagai kekuatan ekonomi dan subjektif apabila tidak dipahami secara komprehensif menempatkan Tionghoa sebagai elite dari sisi  nansial pada tataran sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang (keuangan). Tokoh-tokoh Tionghoa yang dinilai berpen- melingkupinya. Terdapat enam faktor yang melandasi garuh akan diangkat oleh pemerintah kolonial untuk orang Tionghoa untuk menerapkan gaya hidup modern menempati jabatan struktural: kapiten, letnan, atau masyarakat urban. Faktor pertama adalah upaya poli- bahkan mayor. Jabatan tersebut merupakan jabatan tik kebudayaan. Golongan Tionghoa peranakan meniru struktural yang prestisius karena merupakan akses kebudayaan Barat sebagai upaya berinteraksi dengan untuk memperoleh previlese (hak-hak khusus)7 yang para pembesar Belanda. Persamaan pada dan hubun- sangat potensial untuk mengakumulasi kekayaan mer- gan relasi dengan pihak penguasa dapat mempermu- 6 Terminologi “perantara” dalam istilah Belanda adalah voorcooper, dah akses Tionghoa terhadap usaha di bidang ekonomi. yaitu pembeli yang memiliki hak membeli terlebih dahulu. Lihat Minimal orang Tionghoa mengikuti salah satu dari - Denys Lombard, op. cit., hlm. 271. 7 Selain semata-mata golongan orang Tionghoa terampil berdagang, juh unsur kebudayaan Barat, contohnya melalui baha- pemberian previlese sebagai “perantara” kepada orang Cina sebe- sa atau konversi agama Protestan. Peniruan simbol dan narnya juga demi kepentingan lain dari penguasa kolonial. Pen- guasa kolonial di Hindia Belanda sadar dan percaya bahwa: lebih gaya hidup orang Barat akan berdampak pada menin- sedikit resikonya untuk memberikan (sebagian) kekuasaan ekonomi gkatnya prestise seseorang di mata masyarakat umum kepada golongan orang Cina ketimbang diserahkan kepada golon- karena status orang Barat sebagai penguasa (colonizer) gan pribumi. Budi Susanto SJ, “Rekayasa Kekuasaan Ekonomi (In- donesia 1800-1950): Siasat Pengusaha Tionghoa” dalam Lembaga membuat golongan terjajah (colonized) melakukan arti- Studi Realino, Penguasa Ekonomi dan Siasat Penguasa Tionghoa: Seri Siasat Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius,1996), hlm. 19.

226 3 eka. Bahkan seorang Raf es pun pernah berpendapat bahwa kekayaan orang Tionghoa sepuluh kali lipat leb- ih besar daripada harta semua orang Eropa dijadikan satu.8 Memasuki abad XIX, terutama 1883-1892, tercatat 29.523 orang imigran Tionghoa mamasuki wilayah Ja- BAB V wa.9 Hal ini terkait dengan adanya migrasi besar dari KESIMPULAN negeri Tiongkok. Koentjaraningrat menilai bahwa ke- datangan orang Tionghoa tersebut disebabkan karena adanya faktor penarik dan pendorong. Faktor pendor- ongnya adalah situasi politik di negeri Tiongkok yang tidak kondusif sehingga memaksa mereka untuk men- cari tempat pemukiman yang lebih aman, sedangkan Perkembangan modernisasi di Hindia Belanda faktor penariknya adalah terjangkaunya wilayah Nan- pada akhir abad XIX dan awal XX berdampak pada yang (Laut Selatan) dan tersedianya lapangan peker- pembentukan selera, perilaku, gaya hidup, dan identi- jaan baru di wilayah , Singapura, dan Bangka tas masyarakat urban Batavia. Etnis Tionghoa sebagai (Riau), terkait dengan pekerjaan di bidang pertamban- salah satu lokus sosial tidak dapat menghindari pel- gan10. Kondisi tersebut menjadikan masyarakat Tiong- bagai perubahan tersebut. Terjadinya perubahan so- hoa di Batavia menjadi lebih plural karena masuknya sial dalam masyarakat urban terkait dengan masuknya para imigran tersebut karena pada dasarnya imigran sistem monetisasi, kapitalisasi, teknologi, dan urban- yang datang tidak semata-mata para pekerja atau bu- isasi di kota Batavia. Realitas tersebut berdampak pada ruh yang mencari peruntungan di wilayah yang baru, terciptanya segregasi sosial masyarakat plural dimana tetapi juga para pengusaha (entrepreneur) yang men- gengsi atau prestis seseorang ditentukan oleh modal coba mengembangkan jaringan bisnis di Batavia, ter- kapital dan disertai dengan munculnya ruang-ruang utama pada bidang perkebunan partikelir, terutama komersial sehingga memunculkan budaya mewah dan

8 J.S. Furnivall, Hindia Belanda: Studi tentang Ekonomi Majemuk perilaku konsumtif masyarakat urban perkotaan. (Jakarta: Freedom Institute, 2009), hlm. 50. Modernisasi atau pembaratan merupakan pros- 9 Alexander Claver, “The Chinese Diaspora in the Netherlands of Indies Population and Occupation Statistics”, dalam J. Thomas es interaksi dan perkembangan perilaku, mentalitas, Lindblad dan Bambang Purwanto (eds.), Merajut Sejarah Ekonomi identitas menjadi pembentukan gaya hidup. Interaksi Indonesia: Essays in Honour of Thee Kian Wie 75 Years Birthday antara kebudayaan Tionghoa dengan Barat merupakan (Yogyakarta: Ombak, 2010), hlm. 210. 10 . Koentjaraningrat, “Tweentieth Century Rural Urban Changes”, da- proses yang secara alami saling mempengaruhi karena lam Haryati Soebadio dan Carine A. du Marchie Sarvaas, Dynamics pada dasarnya budaya tidak pernah berdiri sendiri tapi of Indonesian History (Amsterdam: 1978), hlm. 364.

4 225 Tionghoa peranakan generasi kedua.11 Kedatangan para imigran Tionghoa juga dibarengi dengan masuknya orang Eropa di Hindia Belanda, ter- utama pasca dibukanya jalur Terusan Suez pada 1870, telah mempersingkat jarak tempuh perjalanan ke Hin- dia Belanda. Pembukaan tersebut bersamaan dengan Periode Liberal dimana terjadi proses swastanisasi dan modernisasi perekonomian masyarakat Hindia Belan- da. Masuknya investor dan modal asing dari Amerika dan Eropa dalam bentuk onder angan semakin mem- perkuat peranan pengusaha dalam perekonomian kolo- nial di Hindia Belanda.12 Keberhasilan orang Tionghoa dalam menjalankan perannya di bidang ekonomi telah melahirkan hadirnya kelas baru, yakni kelompok elite13. tidak terjadi kontradiksi dalam pengertian elite14. itu sendiri maka dalam konteks kajian ini elite mengacu pada pengusa- ha Tionghoa cabang atas. Pengertian elite disini adalah orang-orang atau kelompok yang memiliki kekuasaan secara  nansial dan bukanlah elite yang diwariskan 11 Vincent J.H. Houben, Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogya- karta 1830-1870 (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002), hlm. 512. 12 Achmad Sunjayadi, Vereeniging Toeristen Verkeer Batavia 1908- 1942: Awal Turisme Modern di Hindia Belanda (Depok: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 2007), hlm. 2. 13 Benda membagi elite dalam konteks Asia Tenggara menjadi dua, yakni: elite intelegensia dan elite tradisional modern. Harry Jindrich Benda, Political Elites in Colonial : An Historical Anal- ysis (New Haven: Yale University Press, 1965), hlm. 233. 14 Rene Fage berpendapat bahwa orang borjuis adalah orang yang mempunyai kekayaan berupa bidang-bidang tanah, melibatkan diri dalam perdagangan, pekerjaan otak serta orang-orang yang mempu- nyai jabatan resmi yang berhubungan dengan keuangan bendahara negara, receiver di taille, pengelola tanah raja dan lain sebagainya. Elinor G. Barbier, “Komposisi Kaum Borjuis dan Diferensiasinya ke “Dalam” “, dalam Sartono Kartodirjo, Elite dalam Perspektif Sejarah (Jakarta: LP3ES, 1983), hlm. 68.

224 5 melalui sistem keturunan, tokoh keagamaan, maupun tidak hanya selalu bermaksud untuk media pamer ka- elite di bidang politik15. kayaan sebagaimana pemakaman ala Barat, namun Periode akhir abad XIX merupakan periode merupakan upaya untuk memberikan penghargaan masuknya modernisasi. Modernisasi tersebut ber- terbaik kepada sang mendiang dan sekaligus bekal di dampak luas pada kehidupan dan perkembangan so- kehidupan yang lain. sial masyarakat dalam konteks perkotaan. Kota Ba- tavia yang merupakan pusat dari sistem sosial dan kebudayaan telah menempatkan kota sebagai magnet yang memiliki daya penarik bagi berbagai elemen-ele- men masyarakat. Kondisi tersebut melahirkan sebuah konsep kota urban yang disertai dengan perkembangan modernitas pendukungnya. Masuknya modernisasi se- cara tidak disadari juga membawa pengaruh westerni- sasi (pembaratan). Benar adanya bahwa modernisasi tidak selalu bersifat westernisasi namun para pakar ilmu sosial dan budaya sepakat bahwa modernisasi ter- lalu sulit untuk menegasikan unsur westernisasi kare- na konsep modern sendiri berasal dari Barat sehinggi unsur-unsur yang dikandungnya juga terbawa dalam bentuk westernisasi.16 Dalam suatu suatu proses interaksi kebudayaan selalu terjadi proses saling mempengaruhi antara sua- tu kebudayaan dengan kebudaayan lainnya. Proses tersebut dikenal dengan istilah akulturasi.17 Demikian

15 Menurut Robert van Niel, yang termasuk kalangan elite adalah ko- munitas politik minoritas kreatif yang berasal dari kalangan ber- pendidikan, contohnya siswa Stovia. Kelompok ini dianggap seba- gai agen perubahan dan sekaligus penggerak utama dalam proses terbentuknya nasionalisme pada awal abad XX. Robert van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), hlm. 153-158.

16 J.W. Schoorl, Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara se- Claudine Salmon dan Denys Lombard, Klenteng-klenteng dan Ma- dang Berkembang (Jakarta: Gramedia, 1980), hlm. 19-20. syarakat Tionghoa di Jakarta (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 17 Proses akultursi, artinya proses yang mencakup usaha masyarakat 2003) hlm. 100.

6 223 (terbuat dari kertas), rumah (dari kayu), dan mobil (dari halnya dengan proses modernisasi yang mengandung karton).14 Unsur uang juga menjadi salah satu elemen westernisasi selalu didahului dengan adanya proses penting pada pembuatan batu nisan dan kematian elite akulturasi atau culture contact, istilah dalam perspek- Tionghoa.15 Nio Joe Lan menambahkan bahwa dalam tif sarjana Antropologi Inggris.18 Proses tersebut tentu kebudayaan orang Tionghoa terdapat pandangan bah- saja memiliki implikasi bagi seluruh elemen masyara- wa orang hidup untuk mati. Maka terdapat pandangan kat, tidak terkecuali orang Tionghoa. Proses tersebut bahwa jenazah akan merasa bahagia apabila diberikan akan mengarah pada proses asimilasi budaya yang hadiah sebagaimana orang yang masih hidup. Oleh berpengaruh terhadap perilaku, kebudayaan, dan men- karena itu, peti jenazah yang bagus atau mewah diang- talitas masyarakat Tionghoa, terutama pada generasi gap sebagai hadiah yang mampu menyenangkan hati Tionghoa peranakan yang menempati tataran kelas me- mendiang atau mereka juga dapat melakukannya den- nengah. Mereka merupakan elite yang timbul dari kel- gan cara membeli rumah-rumah kertas yang dibakar ompok pedagang dan pengusaha. Kesempatan untuk pada saat hari “balik meja”.16 berkembang digunakan untuk mempengaruhi kedudu- Upacara pemakaman atau nisan mewah dapat di- kan sendiri19. Hal ini dipertegas oleh Sartono dengan jadikan sebagai indikator strati kasi sosial masyarakat. menyebut kelas pengusaha (entrepreneur) sebagai elite, Bagi kalangan Tionghoa kelas menengah ke bawah dengan sebutan elite strategis.20 prosesi pemakaman mewah dirasa terlalu memberatkan Kelas menengah orang Tionghoa sebagai sebuah dan jauh dari kemampuan ekonomi sehingga memun- unsur sistem budaya tak terlepas dari adanya pengar- culkan sebuah metode perabuan. Metode ini dinilai se- menghadapi pengaruh kultural dari luar dengan mancari bentuk bagai jalan keluar satu-satunya bagi kebanyakan orang penyesuaian terhadap komoditi, nilai, atau ideologu baru, suatu Tionghoa kelas menengah dimana kremasi menjadi ge- penyesuaian berdasarkan kondisi, disposisi, dan referensi kultur- jala baru yang dilihat dari segi agama, erat hubungan- alnya, yang kesemuanya merupakan faktor-faktor kultural yang menentukan sikap terhadap pengaruh baru. Sartono Kartodirdjo, 17 nya dengan kemajuan Budhisme. Pemakaman mewah Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Grame- 14 Onghokham, “Beberapa Aspek Agama Cina” dalam Onghokham, dia Pustaka Utama, 1992), hlm. 160. Anti Cina, Kapitalisme Cina, dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina 18 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cip- di Indonesia (Depok: Komunitas Bambu, 2008), hlm. 123. ta, 2000), hlm. 254. 15 Istilah uang yang dipahami dalam batu nisan itu tidak seragam. 19 Kelompok ini tidak mempunyai ideologi yang tegas namun sikap- Pada abad XVIII, di Batavia ditemukan istilah “wen” sedangkan di nya lebih pragmatik dengan mementingkan individualism ekonomi Cirebon dengan istilah “yuan”. Namun yang paling umum adalah dan egalitarisme politik. Yang menjadi prioritas adalah mobilitas “dun”, yang kemungkinan berasal dari bahasa Melayu, tunai. Asvi sosial yang mendukung eksistensi mereka. Selain itu adalah sa- Warman Adam, Pelurusan Sejarah Indonesia (Yogyakarta: Ombak: rana dan bukanlah sasaran atau tujuan sebagaimana tipologi kelas 2007), hlm. 63. menangah lainnya. Adanya sebuah persaingan dalam suatu elite 16 Nio Joe Lan, Peradaban Tionghoa Selajang Pandang (Djakarta: Keng kelas menengah orang Cina telah menciptakan sebuah progres. Po, 1961), hlm. 181. J.W. Schoorl, op. cit., hlm. 128. 17 Kwee Tek Hoay, seorang teosof, yang meninggal pada tahun 1951, adalah orang pertama yang meminta jenazahnya diperabukan. 20 Sartono Kartodirdjo, op. cit., hlm. 159.

222 7 uh budaya Barat dari lingkungan di sekitarnya. Kon- termahal di Jawa adalah pemakaman Mayor Tan Tjin disi tersebut mempengaruhi ide, interaksi sosial, dan Kie di Cirebon pada bulan April 1919 yang mengha- budaya material orang Tionghoa. Budaya Barat sebagai biskan biaya 70.000 gulden. Persiapan untuk menga- budaya massif terhadap budaya yang inferior, antara tur pemakaman tersebut sekitar tiga bulan. Surat ka- colonizer (penjajah) dengan colonized (dijajah), telah bar Bataviaasch Niewsblad bahkan menerbitkan buku menempatkan budaya Barat sebagai salah satu patron lampiran, tercetak diatas kertas bagus yang memuat atau ‘kiblat’ bagi perkembangan kebudayaan kelom- berbagai pemandangan penguburan tersebut. Menurut pok inferior, termasuk orang Tionghoa. Etnis Tionghoa Tjoe, belum pernah ada pemakaman sedemikian me- peranakan generasi abad XIX-XX merupakan golongan wah sehingga mengundang decak kagum dan rasa in- yang terbuka dengan masuknya perkembangan za- gin tahu orang Tionghoa dari berbagai wilayah hingga man.21. konon toko-toko dan warung tutup sementara hanya Orang Tionghoa kelas menengah yang didukung untuk menyaksikan upacara pemakaman akbar terse- oleh kemampuan mereka yang kuat di bidang ekonomi but.10 Upacara pemakaman tersebut menyerupai pe- menempatkan mereka sebagai juragan22 dan memu- makaman Mayor Souw Beng Kong pada tanggal 8 April dahkan mereka dalam mengakses apapun yang dap- 1644 yang diselenggarakan secara besar-besaran dan at diperoleh dengan kekuatan uang, termasuk adalah dimakamkan di kawasan Mangga Dua.11 simbol-simbol Barat. Golongan ini berasal dari golon- Kemewahan dan pemborosan upacara elite Tiong- gan Tionghoa peranakan yang telah terkena pengaruh hoa mengundang tanda tanya besar bagi orang Barat Barat dan mencoba menggunakan simbol Barat seba- sehingga mereka menilai etnis Tionghoa sebagai bang- gai upaya menyetarakan derajatnya dengan orang Ba- sa yang sangat semangat dalam melakukan perayaan rat, selain itu juga sebagai prestise di mata masyarakat yang bersifat “pamer” meskipun tanpa tujuan yang jelas sebagaimana orang Eropa.12 Orang Tionghoa kaya tidak 21 Penggolongan peranakan-totok bukan hanya berdasarkan kelahi- ran saja, namun juga menyangkut soal derajat penyesuaian dan segan untuk membicarakan upacara pemakaman men- akulturasi dari perantau Cina terhadap kebudayaan Indonesia yang diang ayahnya yang menghabiskan biaya hingga 3.000 ada di sekitarnya, sedangkan derajat akulturasi tersebut tergan- Poundsterling.13 Pandangan tersebut terasa sangat tung pada jumlah generasi para perantau yang telah di Indonesia dan kepada intensitas perkawinan campuran yang terjadi diantara subjektif karena menurut Onghokham, agama Tiong- para perantau dengan orang Cina. Puspa Vasanty, “Kebudayaan hoa dibanding dengan agama lain di dunia bersifat san- Orang Tionghoa di Indonesia”, dalam Koentjaraningrat (ed.), Manu- gat materialistis dalam sifat dan sikapnya. Kehidupan dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2004), hlm. 354. setelah mati digambarkan sama dengan kehidupan di 22 Tauke, taiko, dan taikun adalah terminologi yang berarti “Juragan”. dunia. Orang mati, dalam tradisi Cina, dibawakan uang Lihat, Twang Peck Yang, Elite Bisnis Cina di Indonesia dan Masa 10 Liem Thian Tjoe, op.cit., hlm. 152 dan 277. Transisi Kemerdekaan 1940-1950 (Yogyakarta: Niagara, 2004), hlm. 11 Denys Lombard II, op.cit., hlm. 282. 216. 12 H.W. Ponder, loc.cit. 13 Augusta de Wit, op.cit., hlm. 55.

8 221 Kesemua aspek tersebut menjadikan kompleks pema- lokal. Hubungan erat dengan orang Belanda mempen- kaman Tionghoa dibangun dengan sangat tertata dan garuhi budaya masyarakat Tionghoa peranakan. Den- sekaligus eksklusif karena terdapat tembok pembatas gan membeli perabotan dan barang-barang produksi di sekelilingnya.7 lainnya, peranakan kelas atas berusaha meniru gaya Secara umum kompleks pemakaman eksklusif hidup orang Belanda. Tionghoa tersebut menjadi sebuah simbol status di Kuntowijoyo menilai bahwa gejala massi kasi ter- masyarakat. Kompleks ini memancarkan tampilan luar jadi bila orang kebanyakan memakai simbol lapisan yang mempesona bagi siapa saja. Hal tersebut bahkan atas, misalnya adalah orang dari kalangan bawah mem- sudah ada sejak abad XVII berdasarkan penuturan se- bangun rumah joglo gaya priyayi23, sedangkan bagi orang penjelajah Eropa bernama Bapa Tachard yang orang Tionghoa peranakan kaya, mereka cenderung sangat kagum dengan detail dan bentuk bangunan batu membangun rumah dan bangunan dengan gaya Eropa, nisan orang Tionghoa. Ia bahkan mengilustrasikan pe- meskipun mereka tidak membuatnya persis sama den- makaman orang Tionghoa sebagai salah satu tempat gan gedung-gedung pemerintah kolonial, karena mer- terindah di Batavia.8 Couperus dalam De Stille Kracht eka takut akan membuat marah pejabat-pejabat Be- juga mendeskripsikan bagaimana kondisi pemakaman landa sehingga rumah-rumah mereka dirobohkan dan Tionghoa kaya memiliki jalan masuk yang lebar khusus kemudian didenda.24 Lebih lanjut, Kuntowijoyo ber- untuk memasuki kawasan pemakaman.9 pendapat bahwa kelas menengah kota menjadi patron Salah satu contoh perayaan pemakaman mewah baru pada awal abad ini, kebudayaan Belanda, seperti: adalah pemakaman Be Ing Tjioe yang dibawa dari Ba- arak-arakan bunga, dansa bertopeng, balapan kuda, tavia ke Semarang dengan kapal ”Koningin der Neder- musik, sekolah, mercon pijar (kembang api), listrik, land” seharga 10.000 gulden untuk satu kali perjalanan orang, senapan angin, sandiwara, sirkus, dan bioskop Batavia-Semarang. Sedangkan upacara pemakaman menjadi bagian masyarakat jajahan. Lama kelamaan masyarakat kota pada umumnya mulai mengadopsi Cina di seluruh Nusantara. Dari batu nisan itu pula dapat dilacak kebangkitan keluarga besar etnis Cina di Jawa, misalnya keluarga kebudayaan Belanda dan pada akhirnya kebudayaan Souw (dari Jakarta), Han (Lasem/Surabaya), The (Surabaya), Kwee, Belanda mengalami massi kasi25. Be, Oei, Liem (semua dari Semarang), dan Oen (Besuki/Proboling- go). Asvi Warman Adam, Pelurusan Sejarah Indonesia (Yogyakarta: 23 Sebaliknya orang Cina peranakan justu lebih menyukai rumah Ombak: 2007), hlm. 60-64. bergaya arsitektur Barat yang modern. William Skinner, “Golongan 7 L. R. Supriyapto Jahya, “Makam Real Estate dan “Tembok Cina” “, Minoritas Tionghoa”, dalam Mely G. Tan (ed.), Golongan Etnis Tiong- dalam Lily Wibisono (ed.), Etnik Tionghoa di Indonesia: Asal-usul- hoa di Indonesia : Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa (Ja- nya, Kehidupannya, Pengobatan Cina, Feng Shui (Jakarta: Intisari karta: LEKNAS LIPI dan Yayasan Obor Indonesia, 1979), hlm. 12. Mediatama, 2006), hlm. 142. 24 Onghokham, “Kapitalisme Cina di Hindia Belanda”, dalam Yoshi- 8 Claudine Salmon and Myra Sidharta, “The Manufacture of Chinese hara Kunio (ed.), Concern: Kerajaan Bisnis Pertama Gravestones in Indonesia – A Preliminary Survey”, dalam Arhipel, di Asia Tenggara (Jakarta: PT Pustaka Utama Gra ti, 1991), hlm. 72, Paris, 2006, hlm. 195. 73. 9 Louis Couperus, op.cit., hlm. 56. 25 Kuntowijoyo juga menambahkan bahwa budaya elite meiliki ciri-

220 9 Orang Tionghoa juga dengan sengaja membeli bahan marmer hitam Italia seharga 200.000 gulden.4 simbol-simbol empiris yang tidak terjangkau oleh orang Selain di Batavia, terdapat pula pemakaman di luar pribumi, bahkan terkadang juga bagi orang Barat. Se- kawasan Batavia, salah satunya adalah pemakaman bagai contoh adalah sepeda, sepeda motor, dan mobil. elite Tionghoa di daerah Batu Tulis, Buitenzorg (Bo- Rata-rata orang Tionghoalah yang menjadi pembeli ba- gor). Daerah tersebut menjadi kompleks pemakaman rang mewah tersebut mengingat harganya yang sangat elite Tionghoa Batavia atau elite Tionghoa yang berasal mahal atau paling tidak mereka juga kerap menjadi kon- dari luar Batavia. Terdapat berbagai jenis dan ukuran sumen yang mampu memiliki dan menikmati berbagai makam Tionghoa. Makam-makam tersebut terbuat dari barang-barang mewah tersebut26. Hal tersebut menjadi batu nisan yang diukir sangat indah sesuai dengan lebih terkesan semakin eksklusif ketika orang Tionghoa aturan fengshui Cina. Terdapat pelbagai batu nisan juga tergabung dengan orang elite Barat lainnya dalam yang digunakan, ada yang terbuat dari batu biasa dan suatu komunitas klub motor atau otomotif lainnya.27 ada pula yang berbahan granit diimpor dari Fujian Plat nomer motor maupun mobil juga menentukan hi- seharga ratusan ribu gulden. Selain itu juga terdapat erarki sosial masyarakat di Batavia, semakin kecil ang- batu nisan yang berbentuk lonceng yang kemungkinan kanya, maka semakin tinggi statusnya dalam hierarki dibuat di Guandong, Kanton, atau Hongkong. Batu ni- masyarakat.28 Demikian hebatnya image (citra) orang san yang terdapat di makam dan di klenteng5 tersebut Tionghoa ternyata masih belum seberapa bila diband- dapat diketahui tempat asal orang yang meninggal, ja- ingkan dengan realitas historis bahwa kawasan pemu- ringan etnis Tionghoa di Hindia Belanda, munculnya

ciri tertentu, yakni: pertama, pemilik tetap menjadi pelaku (subjek keluarga besar, peran ekonomi dari klenteng, dan pe- budaya), kedua, pelaku tidak mengalami alienasi dan jati dirinya nyebaran pemukiman Tionghoa sesuai dengan pem- tetap, ketiga, mengalami pencerdasan. Lihat Kuntowijoyo, “Budaya bangunan ekonomi yang dilakukan kolonial Belanda.6 Elite dan Budaya Massa”, dalam Idi Subandi Ibrahim (ed.), Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. 4 “Khouw Oen Giok (O.G. Khouw), 1874-1927”, dalam Sam Setyau- (Yogyakarta: Jalasutera, 2004), hlm. 9-10. tama, Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia (Jakarta: Kepusata- 26 Sepeda pertama muncul di Batavia pada tahun 1800, merk “Rover” kaan Populer Gramedia, 2007), hlm. 128. seharga f 500 (500 Gulden), yang menjadi kebanggaan luar biasa 5 Menurut Salmon, klenteng-klenteng di Batavia dapat dijadikan se- bagi para pemiliknya. Selain itu juga terdapat komunitas pemi- bagai sumber sejarah identitas budaya dan inalisis pola jaringan lik sepeda yang anggotanya hanya orang Belanda dan Cina kaya Tionghoa di Hindia Belanda. Klenteng-klenteng tersebut biasanya saja. Lihat, J.J. de Vries, Jakarta Tempo Doeloe (Jakarta: Pustaka bernama Chen, 1861; Lioe/Lauw, 1879; Go, 1887; Thio, 1893; Antarkota, 1989), hlm. 91. Njoo/Liong, 1899. Claudine Salmon, “Ancestral Halls, Funeral As- 27 Rudolf Mrazek, Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi sociations, and Attampts at Resinicization in Nineteenth-Century dan Nasionalisme di Sebuah Koloni (Jakarta: Yayasan Obor Indone- Netherlands India”, dalam Anthony Reid (ed.), op.cit., hlm. 186. sia, 2006), hlm. 42. 6 Batu nisan yang ada pada makam dan klenteng merupakan sumber 28 Angka satu terdaftar sebagai mobil Gubernur Jenderal. Sedangkan baru untuk mengetahui data orang yang meninggal, terutama tem- angka mobil para parlemen Hindia dan diplomat asing mengguna- pat dia berasal. Pada abad XVIII, dijumpai di Jakarta, orang Kan- kan nomer-nomer berikutnya yang lebih rendah. Fracees Gouda, ton yang berprofesi sebagai tukang dalam berbagai bidang. Dengan Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 1900- mengetahui daftar nama donor yang menyumbang bagi pemban- 1942 (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007), hlm. 281. gunan dan renovasi klenteng dapat dilacak jaringan perdagangan

10 219 kiman elite yang dihuni oleh orang Barat kelas atas dan terkenal mewah di Batavia seperti: Molenvliet, Har- moni, dan Merdeka, juga dimiliki oleh elite Tionghoa.29 Bahkan apabila orang Tionghoa kaya tersebut mening- gal, keluarga maupun kerabat mendiang yang diting- galkan telah menyiapkan sebuah tanah luas yang di- beli hanya untuk dijadikan sebagai tempat pemakaman berikut dengan nisan mewahnya.30 Pasca dikeluarkan- nya kebijakan gelijksteling pada 1884, etnis Tionghoa mulai memperoleh status yang sama dengan Belanda dengan membuktikan bahwa ia paham benar mengenai Belanda, mempunyai teman Belanda, dan mempunyai hubungan dengan orang Eropa serta mempunyai stan- dar kehidupan yang sama dengan Belanda.31 Onghokham melihat simbol tersebut bukan didasarkan atas nafsu pragmatis belaka, melainkan juga sebagai fungsi sosial. Artinya bahwa ada semacam keharusan bagi mereka untuk menggunakan simbol- Gambar 27: Makam dan Batu Nisan Tionghoa di Batavia simbol tertentu.32 Simbol material dan mentalitas Barat dan Batu Tulis, Bogor 1880. Sumber: kitlv.nl tanpa disadari terartikulasi dalam penampilan busana, gaya, cara bertutur kata, dan pola pemikiran. Hal ini Lokasi pemakaman yang dipilih berada di ka- terakumulasi menjadi sebuah identitas gaya hidup elite wasan Batavia atau dataran tinggi lain di luar Bata- Tionghoa modern pada realitas historis kehidupan se- via. Pemakaman elite Tionghoa yang sangat terkenal hari-hari yang sekaligus menandai perbedaan kelas dan di Batavia adalah pemakaman Khouw Oen Giok atau menyebabkan kesenjangan sosial yang nyata antara si O.G. Khouw beserta istrinya, Lim Sha Nio, di kawasan 29 Bernard Dorleans, Orang Indonesia dan Orang Perancis: Dari Abad Petamburan pada tahun 1927. Ia merupakan seorang XVI-XX (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2006), hlm. 100. 30 Claudine Salmon dan Denys Lombard, Klenteng-klenteng dan tuan tanah perkebunan dari Tambun, ketua hospitaal Masyarakat Tionghoa di Jakarta (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Car- fonds “Jang Seng”, dan juga pengusaha kaya pemilik aka, 2003), hlm. 94. salah satu bank swasta “Than Kie” di Batavia. Pemaka- 31 Onghokham, “Re eksi Seorang Peranakan Mengenai Sejarah Cina- Jawa”, dalam Onghokham, Rakyat dan Negara (Jakarta: LP3ES, mannya berupa bangunan musoleum yang terbuat dari 1991), hlm. 160-161. 32 Onghokham, “Show Kemewahan Suatu Simbol Sukses” dalam Idi Subandi Ibrahim (ed.), op.cit., hlm. 135-137.

218 11 kaya dengan si miskin atau si modern dengan si kuno (konservatif) dalam lingkungan sosial Batavia.33 Pada dasarnya telah terdapat berbagai kajian mengenai sejarah masyarakat Tionghoa di Hindia Be- landa, terutama pada aspek sosial, ekonomi, dan buda- ya meskipun dalam perkembangannya belum terdapat kajian yang membahas tentang bagaimana proses pe- rubahan gaya hidup masyarakat elite menengah Tion- ghoa di Batavia yang mengalami proses pembaratan terkait dengan penggunaan simbol material maupun Gambar 26: Arak-arakan jenazah Eou Po Seng di Batavia non material dengan pendekatan sejarah kehidupan se- tahun 1835 hari-hari (daily life history). Pendekatan ini dirasa tepat Sumber: kitlv.nl. karena pada dasarnya gaya hidup merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari sehingga kontinyuitas his- Jenazah tersebut kemudian akan diantar ke tanah toriogra dapat dipahami secara lebih komprehensif.34 pemakaman. Biasanya tanah yang dipilih adalah tanah di kawasan dataran tinggi dan telah ditentukan koordi- natnya berdasarkan penentuan Hong Sui (Geomancy)2. Penentuan koordinat sangat penting bagi etnis Tionghoa karena dapat menentukan baik atau buruknya rezeki keturunan mendiang di masa depan. Letak kuburan yang kurang baik dipercaya dapat membawa bencana, kesialan, dan sebagainya bagi keturunan atau pembuat kuburan tersebut. Sebaliknya, Hong Sui yang baik di- anggap mampu mendatangkan rezeki, keselamatan, keberuntungan, dan hal-hal positif lainnya bagi anak- cucu mendiang.3

2 Ilmu ruang Cina Hong Sui atau Fengshui seringkali membuat kagum bangsa Barat. Fengshui didasari oleh gagasan kuno bahwa manusia harus hidup selaras dengan kosmos, dan mengajarkan aturan-aturan yang menentukan terjaganya harmoni kosmis terse- 33 Francees Gouda, op.cit., hlm. 285. but, khususnya pembangunan-pembangunan rumah. Denys Lom- 34 David Chaney, Lifestyles: Sebuah Pengantar Komprehensif (Yogya- bard II, op.cit., 277. karta: Jalasutra, 2009), hlm. 41. 3 Liem Thian Tjoe, op.cit., hlm. 72.

12 217 BAB II DARI KOTA BANDAR MENJADI KOTA KOLONIAL: PERKEMBANGAN KOTA DAN MASYARAKAT BATAVIA Gambar 25: Jenazah elite Tionghoa dan para pengantar, 1900 HINGGA MASA PENDUDUKAN JEPANG Sumber: geheugenvannederland.nl.

Upacara pemakaman elite Tionghoa biasanya Kota merupakan suatu wilayah yang memiliki ditandai dengan iring-iringan peserta pengantar yang peran dalam perkembangan sosial masyarakat. Kebe- berjumlah besar. Mereka biasanya merupakan para radaan kota menjadi penting seiring dengan perannya pekerja atau buruh bayaran dari keluarga almarhum. sebagai pusat administrasi, kebudayaan, politik, eko- Biasanya mereka dibagi menjadi beberapa bagian den- nomi, sosial, dan budaya. Menurut Wirth dan Sjoberg, gan peran dan warna pakaian yang beragam. Pada baris kota merupakan lingkungan arti sial dimana elemen- terdepan bertugas membawa lentera atau lampion ker- elemen  sik, sosial, dan ideologis saling berinteraksi tas bertuliskan huruf-huruf yang diikuti oleh dengan cara-cara yang khas.1 Menurut Max Weber, pembawa gong. Gong tersebut merupakan pertanda kota adalah sebuah tempat yang berfungsi untuk per- adanya kematian dan dibunyikan sepanjang perjalan- temuan orang-orang dan pertukaran barang-barang an sampai ke pemakaman. Baris kedua bertugas me- atau informasi.2 Data sejarah menunjukkan adanya ar- manggul peti jenazah dan diikuti oleh beberapa orang us-arus besar (mainstream) yang menghubungkan pola pengawal keamanan jenazah. Pakaian yang dikenakan hidup dan budaya masyarakat, serta status peghunin- mayoritas barwarna hitam dan merupakan pakaian ya dalam berbagai kegiatan. Beberapa arus besar yang tradisional Tiongkok. Terkadang pemanggul jenazah mempunyai fungsi integratif antara lain: (a) ekonomi, diganti dengan sebuah mobil yang telah dimodi kasi (b) politik, (c) sosial, (d) kesenian/kebudayaan, dan (e) menjadi mobil pengangkut jenazah. Sedangkan untuk kepercayaan (religi). Semua fungsi tersebut mendorong barisan ketiga adalah para pengiring yang berasal dari terciptanya pola gaya hidup, dan budaya masyarakat di keluarga, simpatisan, maupun masyarakat umum. Jumlah mereka dapat mencapai tiga puluhan orang.1 1 Supratikno Rahardjo, Kota-kota Prakolonial Indonesia: Pertumbu- han dan Keruntuhan (Depok: Komunitas Bambu, 2007), hlm. 5. 1 H.W. Ponder, op.cit., hlm. 128-129; Lihat pula Tio Tek Hong, op.cit., 2 Max Weber, “Apa yang disebut Kota”, dalam Sartono Kartodird- hlm. 90-92. jo (ed), Masyarakat Kuno dan Kelompok-kelompok Sosial (Jakarta: 216 Bhatara Karya Aksara, 1957), hlm. 11. 13 Hindia Belanda.3 Faktor pendukung seperti modernisa- terbuat dari jenis arduin biru atau kunststeen dari Ko- si, monetisasi, peningkatan kesejahteraan masyarakat, romandel. Batu tersebut diukir dengan sangat indah dan investasi asing telah melahirkan budaya konsumen dengan berbagai makna yang terkandung di dalamnya. di kalangan masyarakat kota. Hal tersebut juga meru- Ornamen-ornamen yang terukir pada batu nisan di pakan implikasi dari gaya hidup masyarakat perkotaan Batavia merupakan pengaruh dari Eropa Barat pada majemuk dimana status seseorang menjadi penting di awal Abad Pertengahan, yakni abad XIII ketika berkem- mata sosial. Bagi orang Tionghoa, pada dasarnya kota bang tradisi pembuatan dan pemakaian lambang (wap- merupakan ruang heterogen, berkedudukan istimewa, enschild atau Coat of Arms). Pada saat itu ksatria yang tempat berkumpulnya pusat-pusat penggerak ekonomi maju perang, termasuk Perang Salib, mengenakan lam- pertukaran, dan tempat berkembangnya gaya hidup bang-lambang tersebut. Hal tersebut berfungsi untuk yang khas.4 membedakan dirinya dari kelompok lain.22 Kajian ini menitikberatkan bagaimana perkem- Prosesi pemakaman yang mewah dan prose- bangan kota Batavia, perkembangan infastruktur kota dural juga diterapkan dalam upacara pemakaman dan budaya masyarakat urban, serta struktur dan pe- elite Tionghoa Batavia. Mereka bisa berasal dari rubahan sistem status masyarakat Batavia pada abad kalangan pengusaha kaya raya atau keturunan XX. Kota dengan kompleksitas masyarakat, budaya, dari elite-elite strategis dalam masyarakat Tiong- dan ekonominya telah berdampak pada pembentu- hoa, seperti mayor, kapten, atau letnan. Pemaka- kan gaya hidup dan interaksi sosial yang plural. Etnis man elite Tionghoa menyerupai pemakaman ala Tionghoa yang merupakan objek kajian dalam peneliti- pembesar Eropa, baik dari segi tata cara, maupun biaya yang harus dikeluarkan. Meski demikian, an ini akan dikaitkan dengan perkembangan kota dan pemakaman elite Tionghoa memiliki esensi yang dinamika struktur masyarakat urban perkotaan Bata- lebih mendalam dibanding sekedar ajang untuk via pada masa akhir kolonial. pamer kekayaan. A. Dari Oud Batavia sampai Nieuwe Batavia Lima ratus tahun yang lalu, kota Sunda Ke- lapa merupakan bandar terbesar di daerah Sunda, yaitu di wilayah barat Pulau Jawa. Sunda Kelapa mulai menarik perhatian orang Eropa lain melalui 22 Elemen-elemen heraldik yang lengkap pada umumnya terdiri dari unsur: crest (puncak lambang), torse (tatakan puncak lambang), 3 Sartono Kartodirdjo, Sejarah Pergerakan Nasional, Jilid II (PT. Gra- mantle mantel), helmet (helm dan zirah), shield (perisai), supporter media, Jakarta, 1990), hlm., 211. (penyokong), compartment ground (lantai ruang), dan motto (sem- 4 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah Ter- boyan). Lilie Suratminto, ”Batu Makam VOC di Jakarta”, dalam Yati padu Bagian II: Jaringan Asia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Suhardi dkk, Tiga Puluh Tahun Studi Belanda di Indonesia (Depok: 2005), hlm. 276. FSUI, 2001), hlm. 253-254.

14 215 pengumuman, Surat-surat tersebut akan dikirimkan Jan Huygen van Lisnchoten, seorang pelaut Belanda kepada pihak sanak saudara dan pejabat yang terkait. yang menemukan rahasia-rahasia perdagangan dan Peratutan perundangan yang dikeluarkan pada tahun navigasi bangsa Portugis. Pada abad XVI, Linscho- 1753 menentukan ukuran surat duka tertentu, dan ten telah menggemparkan seluruh Eropa dengan penggunaan gelar kepangkatan.20 Peti jenazah yang mengungkapkan informasi-informasi rahasia yang digunakan juga merupakan peti yang sangat kokoh sangat rahasia tentang keberadaan kepulauan Nu- dan disertai dengan ukiran-ukiran atau lambang in- santara.5 Dalam karyanya yang berjudul Itinerario, dah yang bermakna kebahagiaan. Peti janazah terse- Linschoten menulis: but kemudian akan dipikul oleh sahabat si mati namun Pelabuhan utama di pulau ini (Jawa) adalah Sunda kemudian beralih akan dipikul oleh orang-orang yang Calapa….Di tempat ini….didapati sangat banyak lada disewa. Para pengantar jenazah diwajibkan untuk men- yang bermutu lebih baik daripada lada India atau Ma- genakan pakaian dress code yang seragam atau sewar- labar…juga banyak terdapat kemenyan, Benicien atau na, terutama hitam. Jenazah tersebut kemudian akan Bonien atau bunga pala, kamper, dan juga permata in- diantar ke pekuburan menggunakan kereta kuda. Se- tan. Tempat ini dapat ditemui tanpa kesulitan kerena makin tinggi jabatan seseorang makan semakin banyak orang Portugis tidak sampai kesini, karena orang pula jumlah pengiring, kuda penarik, hingga obor yang (Jawa) berbondong-bondong datang sendiri sampai ke dinyalakan. Kesemuanya tergantung dari sebarapa Malaka untuk menjual barang-barang dagangannya. sentral posisi mendiang ketika hidup. Ketika sampai di Nusantara6, sebuah wilayah nan jauh dari daratan pemakaman, peziarah pria biasanya menghisap rokok Eropa telah mampu menarik minat berbagai bangsa pipa sembari menunggu jenazah untuk diturunkan se- di dunia untuk datang dan melakukan hubungan ker- cara perlahan dan didoakan oleh juru doa profesional jasama di bidang perdagangan. Saat pemimpin perta- hingga berujung pada sebuah tembakan salvo ke udara ma Belanda, Cornelis de Houtman, menginjakkan kaki sebagai pertanda penghormatan terakhir. Jenazah para di Jacatra7 pada 13 November 1596, dilaporkan bahwa pembesar dimakamkan di kawasan Kerkhof Laan di Ta- 5 Willard A. Hanna, Hikayat Jakarta (Jakarta: Yayasan Obor Indone- nah Abang setelah pemerintah kolonial membeli tanah sia, 1988), hlm. 1. tersebut pada tahun 1795.21 6 Para pelancong dan pejabat yang bukan orang Belanda menye- but kepulauan itu, antara lain, “The Eastern Seas (Lautan Timur)”, Seluruh prosesi tersebut menghabiskan dana “The Eastern Islands (Kepulauan Timur)”, dan “Indian Archipelago yang sangat besar. Valentijn menyebutkan besar biaya (Kepulauan Hindia)”. Belanda terkadang menggunakan istilah-isti- lah seperti “Hindia”, “Hindia Timur”, “daerah jajahan Hindia”, atau pemakaman Speelman tidak kurang dari 10.000 rds belakangan “Insulinde (pulau-pulau Hindia)”, lalu selagi hubungan (ringgit), sedangkan untuk Antonio van Diemen tidak politik Belanda dengan kepulauan ini berkembang, “Hindia (Timur) kurang dari 5.275 gulden. Batu nisan yang digunakan Belanda”, dan Belanda memandangnya sebagai “tropisch Neder- land“ (kawasan tropis Belanda). R.E. Elson, The Idea of Indonesia: 20 Ibid. Sejarah Pemikiran dan Gagasan (Jakarta: Serambi, 2009), hlm. 2. 21 Scott Merillees, op.cit., hlm. 244; H.M. Vlekke, op.cit., hlm. 210. 7 Nama Djakarta termuat dalam cerita Melayu klasik, Hang Tuah, bahwa “djaja”

214 15 Banten merupakan sebuah pelabuhan besar dan selalu Barat pada tataran perilaku seksual, kekayaan yang ramai didatangi oleh berbagai pendatang. Orang Be- melimpah dari elite Tionghoa, dan faktor kemiskinan landa sendiri baru diizinkan untuk berdagang pada ta- yang melanda wanita-wanita kelas menengah ke bawah hun 1617 diatas sebidang tanah di sebelah timur Sun- Batavia menjadi kombinasi tiga aspek yang melebur gai Ciliwung yang berdekatan dengan perkampungan dan saling melengkapi atas terciptanya ’harmonisasi’ Cina. Dua tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 30 perilaku seksual menyimpang di kalangan masyarakat Mei 1619, terjadilah pertempuran antara VOC dengan elite Tionghoa Batavia. Aktivitas seksual yang sejatinya kerajaan Banten yang berujung pada keluarnya Belan- merupakan sesuatu yang sangat intim dan privat telah da sebagai pemenang di akhir cerita. Dengan demikian mengalami pergeseran menjadi konsumsi publik bagi dimulailah awal kekuasaan VOC di Batavia.8 kalangan tertentu terkait dengan berbagai implikasi so- Setelah Belanda berhasil menaklukkan Jayakar- sial, budaya, dan ekonomi pendukungnya. ta, kota ini oleh Belanda dihancurkan dan namanya diganti menjadi Batavia. Diatas reruntuhan kota ter- E. ‘Rumah Masa Depan’: Pemakaman Mewah Elite sebut dibangunlah sebuah kota dengan pola dan tata Tionghoa letaknya meniru kota di negeri Belanda. Rancangan Segala sesuatu yang bersifat hayati akan menga- kota tersebut membentuk sebuah fortalezza berbentuk lami masa kematian. Siklus tersebut merupakan bagian kotak dimana bagian depan dari benteng digali parit.9 dari fase perjalanan makhluk hidup. Kematian dalam berarti unggul, menang, megah, gagah berani. Sedangkan “Karta” memiliki makna kehidupan manusia adalah suatu masa dimana bera- makmur, sejahtera, raharja, mukti. Maka Djakarta kira-kira bermakna makmur ka- khirnya nyawa di dalam raga. Kematian dalam kehidu- rena kejayaan. Mula-mula orang Portugis keliru menuliskan Djakarta menjadi Xa- catra dan kemudian orang Inggris dan Belanda juga keliru menjadi Jacatra. Boejo- pan sosial Batavia abad XX tidak hanya sekedar masa eng Saleh, “Asal-usul Nama-nama Tempat di Ibu Kota Indonesia”, Kebudajaan akhir dari kehidupan manusia namun juga sebagai vol. 10, Oktober 1953, hlm. 256. salah satu ajang show off (pamer). Prosesi pemakaman 8 J.J. de Vries, Jakarta Tempo Doeloe (Jakarta: Pustaka Antarkota, 1989), hlm. 10. yang dilakukan tidaklah sederhana melainkan terdapat 9 Mayoritas pola kota pada masa sebelum pemerintah kolonial mem- berbagai prosesi yang bersifat protokoler dan bertujuan beri kesan seolah-olah kota terbangun secara teratur, keraton ter- untuk menunjukkan kemewahan, kebesaran, dan ke- letak ditengah-tengah kota, ditengahnya terdapat alun-alun dan 19 selanjutnya merupakan tempat-tempat kediaman kaum bangsa- megahan penguasa terhadap masyarakat luas. wan dan penguasa. Pola jalan kota selalu mengarah ke arah pusat Ketika terdapat pejabat tinggi kolonial yang wa- kota. Sedangkan di perbatasan kota merupakan tempat-tempat ke- diaman saudagar-saudagar kecil dan pedagang-padagang bangsa fat, maka segala keperluan prosesi pemakaman diatur asing. Biasanya bangsa asing tidak diperbolehkan tinggal dalam secara rinci dan bertahap. Semua itu dimulai dengan radius yang dekat dengan keraton dan apabila kota menjadi besar pembuatan surat kematian yang berfungsi sebagai maka tempat-tempat bangsa asing akan lebih dijauhkan dari pusat kota sehingga kota tersebut pola bujur sangkar sebagaimana ter- 19 Selain upacara kematian, upacara kelahiran dan prenikahan meru- dapat pada kota-kota Batavia, Surabaya, dan . J.M. van der pakan bentuk upacara yang bernilai prestisius. Djoko Soekiman, Kroef, “Urbanisme Perkembangan Kota di Indonesia”, dalam Indo- op.cit., hlm. 156-161.

16 213 rang wanita tersebut berprofesi ganda sebagai wanita Di bagian belakangnya terdapat berbagai bangunan simpanan para pria berkantung tebal, contohnya ada- dan gudang yang juga dikelilingi oleh parit, pagar besi lah Bweehoa dan Botan yang menjadi simpanan Mayor dan tiang-tiang yang kokoh. Benteng ini pada mulanya Tan.17 Kesenangan para elite Tionghoa dalam aktivitas akan difungsikan sebagai kastil dan pusat perdagan- seksual seolah tiada hentinya dimana mereka terka- gan yang dimasa kemudian akan merangkap sebagai dang menggunakan cara kekerasan demi meraih wani- pusat pemerintahan merangkap sebagai tempat para ta yang diinginkan. Penggunaan jasa para centeng atau pegawai kompeni. jago menjadi solusi mutakhir dalam memuluskan has- Pembangunan ini merupakan cikal bakal dari rat tersebut. Realitas historis demikian tere eksi pada berdirinya kota dengan lambang sebilah pedang dan kehidupan Oey Tamba Sia, seorang Tionghoa playboy, perisai yang dikenal dengan nama Batavia.10 Pada ta- tampan, kaya raya, dan sekaligus merupakan anak dari hap perkembangannya, sejarawan cenderung membuat kapiten Oey Thoa. Ia juga dikenal sebagai orang yang periodisasi kota Batavia menjadi Oud Batavia (Batavia tidak segan-segan melakukan tindak kejahatan demi Lama) dan Nieuwe Batavia (Batavia Baru). Oud Bata- merebut wanita yang diinginkannya, contohnya dengan via merupakan sebuah kota bergaya abad pertengah- merebut istri Khoe Tjin Yan secara paksa dengan meng- an dengan bentuk bengunan yang menyerupai kasteel gunakan jasa centeng bayaran.18 dikelilingi dengan tembok yang kokoh. Pembangunan- Secara umum elite Tionghoa memiliki cara-cara nya tergolong pesat karena dalam tempo delapan tahun tersendiri dalam menerjamahkan pemakaian waktu lu- luas wilayahnya telah mencapai tiga kali lipat. Seluruh ang mereka. Penggunaan konsep waktu luang dalam pembangunan tersebut selesai pada tahun 1650. Ben- perpektif elite Tionghoa haruslah berbanding lurus den- tuk kota tersebut menyerupai kastil berbentuk kotak gan pengorbanan yang mereka kerahkan dalam bekerja yang dibangun diatas dataran rata dan di setiap sudut- keras, semakin keras mereka bekerja, maka semakin besar pula kenikmatan yang harus mereka miliki. Pe- nesia, Madjalah Kebudajaan, No. 5 tahun IV – Mei 1953 (Djakarta: Badan Masjarakat Kebudajaan Nasional), hlm. 515. menuhan hasrat tersebut tak jarang pula kontradiktif 10 Lambang kota yang tertua adalah lambang Batavia. Lambang ter- dengan norma sosial atau bahkan norma susila yang sebut ditetapkan pada 15 Agustus 1620, berupa sebuah perisai berlaku di masyarakat. Seks yang merupakan kebutu- berwarna “orange”, campuran merah-kuning (rood-geel), yang di- tengahnya tergambar sebilah pedang. Pedang ini dilingkari “krans” han biologis umat manusia menjadi pilihan utama elite dedaunan berwarna hijau-kecoklatan, yang dua sisinya bagian ba- Tionghoa dibawah panji-panji modernitas yang ten- wah dihiasi . Pita ini sebenarnya baru muncul pada lambang Batavia yang tertera pada mata uang tahun 1643. Lambang kota gah berpengaruh secara global di berbagai kota-kota Batavia menggunakan dua semboyan dari J.P. Coen, “Despereert besar. Pengaruh budaya modernitas dan lingkungan Niet” yang berarti “jangan putus asa” dan “Daer can in Indien wat groots verricht”, yang diterjemahkan “karena di Hindia dapat dilak- 17 Windoro Adi, op.cit., hlm. 131. sanakan hal-hal yang besar”. P. Swantoro, Dari Buku ke Buku: Sam- 18 Alwi Shabab, Batavia Kota Hantu (Jakarta: Republika, 2010), hlm. bung Menyambung Menjadi Satu (Jakarta: Kepustakaan Populer 104. Gramedia, 2002), hlm. 7.

212 17 nya dibangun bastion yang menonjol keluar, masing- ditangguhkan perizinan praktik rumah bordilnya.13 masing dinamai dengan “Diamant”, “Robijn”, “Parel”, Selain elite Tionghoa, orang Jepang turut pula dan “Saf er” yang masing-masing dilengkapi dengan mengelola rumah pelacuran di Batavia. Terdapat 5 meriam sebagai penunjang keamanan. Bangunan di ‘rumah senang’ milik orang Jepang dengan masa izin dalam kastil disebut dengan Intramorus, sedangkan tinggal 15 sampai 11 tahun.14 Menurut Peter Post, pen- kediaman gubernur jenderal Belanda, anggota dewan, gelola rumah bordil biasanya juga menyediakan aneka serta para opsir Belanda disebut dengan Citadel. obat dari Jepang untuk kesehatan para Karayukisan Menurut De Vries, kota Batavia sebenarnya terle- maupun obat-obat kuat Cina untuk para pelanggan.15 tak di sebelah selatan kastil yang juga dikelilingi oleh Selain di rumah bordil, obat-obat kuat tersebut dapat tembok dan dipotong dengan banyak parit. Batas utara diperoleh di pasaran luas antara lain: toko “Ko Koan” dan selatan kota Batavia pada masa itu ialah terben- di Tanah Lapang Glodok, ”The Keng Kie” di kawasan tang dari pantai utara hingga ke wilayah yang sekarang Java Bank, ”Tjoa Tian Ho” dan ”Tiang Lie” di gang Pa- dikenal sebagai Javasche Bank. Kali Besar membe- sar, ”Lian Hian & Co.” di Kali Besar, “Gouw Boen Seng” lah wilayah kota menjadi dua bagian, yakni barat dan dan “Lau Tjin” di Pasar Senen, dan “Loa Po Seng & Co.” timur.11 Bagian barat lebih merupakan tempat pemuki- di Pasar Baru, sebagaimana dimuat pada iklan surat man golongan rendahan, kebanyakan terdiri dari orang kabar Pemberita Betawi, tanggal 11 Agustus 1902.16 Portugis dan Cina Di bagian barat terdapat pasar dag- Praktik prostitusi terdapat pula di dalam page- ing, pasar buah-buahan, dan juga pasar ikan. Terda- laran pentas seni wayang Tjokek (Cokek). Penari cokek pat pula gudang-gudang, terutama di Kali Besar, untuk merupakan salah satu daya tarik dari sebuah pertun- menyimpan beras, gula, teh. Di sebelah timur berdi- jukan. Kecantikan dan kemahiran menari menjadi sex rilah Stadhuis atau Gedung Balai Kota. Kota Batavia appeal (daya tarik) untuk menggoda pria-pria. Tak ja- pada XVII dan XVIII pada prakteknya diatur bersama- sama dibawah manajemen VOC (Vereenigde Oostindis- 13 Ibid. 14 R.P. Suyono, loc.cit. 12 che Compagnie) . 15 Penjualan obat jadi merupakan pasar utama Jepang sebelum Perang 11 Kali Besar di muara Ciliwung pada abad XVII dan XVIII merupakan Dunia I. Berbagai produk antara lain: permen, minyak kayu putih, pusat jalur lalu lintas perdagangan yang ramai. Kapal-kapal dari obat salep untuk gigi, sakit kepala,  u, dan lain-lain. Maraknya mancanegara yang berdatangan di Sunda Kelapa melakukan bong- produk Jepang tak lepas dari peran tiga perusahaan utama Jepang: kar muat di muara pelabuhan tersebut. Alwi Shahab, Batavia Kota Ogawa Yoko (Batavia), Yokoyama Yoko, dan Nanyo Shokai (Jawa Hantu (Jakarta: Republika, 2010), hlm. 211. Tengah). Peter Post, “Karakteristik Kewirausahaan Jepang dalam 12 VOC merupakan gabungan perusahaan dagang yang terdiri dari Ekonomi Indonesia sebelum Perang”, dalam J. Thomas Lindblad enam kamar dagang di negeri Belanda, yakni: Amsterdam, Rotter- (ed.), Fondasi Historis Ekonomi Indonesia, terj. S. Nawianto (Yogya- dam, Delft, Enkhuysen, Zeeland, dan Hoorn, yang didirikan pada karta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 366-367. tanggal 20 Maret 1602, modal VOC yang terbesar berasal dari ka- 16 Gayung Kusuma, “Perubahan Sosial dan Kecenderungan Masyara- mar dagang Amsterdam, 50 % dari keseluruhan, 25 % dari kamar kat Kahidupan Seksual di Jawa Awal Abad XX”, Tesis S-2 Program dagang Zeeland, dan sisanya berasal dari kamar dagang yang lain. Studi Sejarah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta, Saham dijual kepada semua penduduk Belanda, dan dimiliki oleh 2006), hlm. 125.

18 211 yang mampu menampung hingga beberapa ratus orang Pada masa pemerintahan J.P. Coen, ia memiliki Tionghoa. Wanita Tionghoa dan Jepang sangat jarang gagasan untuk mendirikan pusat kekuasaan emporium yang beroperasi di kawasan kumuh Batavia. Mereka di Asia, maka dengan segera ia meluncurkan aturan mayoritas bekerja di tempat hiburan malam kelas atas pemerintahan kota Batavia yang baru didirikannya. milik para elite Tionghoa. Salah satu wanita yang men- Hal pertama yang ditanganinya adalah urusan hukum jadi primadona adalah wanita Jepang.10 Usia mereka dan administrasi. Pada tanggal 24 Juni 1620 J.P. Coen berkisar antara 16 sampai 24 tahun.11 Keberadaan membentuk Collegie van Schepenen, sebuah lembaga mereka begitu dipuja oleh para pria karena dipandang yang mengurus admnistrasi kota, mulai dari menyusun memiliki impresi yang tinggi. Mereka juga sangat terke- peraturan tentang tata kota, pencatatan penduduk, nal karena kebersihannya yang luar biasa, kerendahan sampai kepada urusan pengadilan, seperti catatan sipil hati, budaya, dan kesetiaan mereka. Pandangan terse- (kelahiran, perkawinan, dan kematian), akte jual-beli, but dikutip dari “De eer van de Geisha” (Kehormatan pembebasan budak hingga kepada urusan polisi, krim- Geisha) ketika meliwati jalan-jalan di Batavia: inalitas, gereja, sekolah, anak yatim piatu, penduduk “Mereka merupakan para geisha dengan mata sip- miskin, schutterij atau opsir Belanda yang mengguna- it yang lembut, duduk dengan kimono berwarna- kan senjata, pasar umum, kesehatan, dan sanitasi. warni sembari merokok dan tertawa. Mereka hanya Secara keseluruhan, Oud Batavia mencapai pun- duduk tanang, tidak meminta apa pun. Mereka san- cak kejayaannya pada tahun 1700 karena pada periode gat lembut, memiliki perilaku yang sopan dan mem- ini, pemerintah Batavia mampu memperoleh kekuasaan berikan impresi sebagai wanita yang beradab.”12 efektif yang layak atas sebagian besar pengusa-pen- gausa lokal tanpa harus harus melalui misi invasi yang Terkadang sang istri juga membantu suaminya un- mahal. Selain itu, adanya perluasan wilayah tersebut tuk mengelola bisnis prostitusi, bahkan tak jarang pula dimanfaatkan pemerintah Batavia untuk membangun merangkap sebagai mucikari. Meski demikian, rumah berbagai bangunan dan monumen penunjang fasilitas bordil tersebut tidak terdapat wanita penghibur Eropa penduduk kota seperti kastil, stadhuis atau balai kota, maupun Indo karena hal itu akan dianggap sebagai pe- rumah sakit, gereja, lembaga peradilan, rumah panti nistaan ras Barat oleh ras yang berada di bawahnya asuhan, hingga urusan taman kota. (Timur Asing dan pribumi). Apabila hal tersebut dilang- siapa saja, mulai dari pedagang kaya, para pejabat pemerintah, gar, maka sang pemilik rumah bordil akan ditahan dan hingga orang kecil di negeri Belanda. Kantor pusat berkedudukan 10 Berdasarkan data 1896, tercatat bahwa 48 % profesi wanita Jepang di Amsterdam, kepengurusan dipegang oleh tujuh belas orang yang adalah wanita penghibur (Karayukisan). Meta Sekar Puji, loc.cit. dikenal dengan sebutan Heeren Zeventien atau Dewan Tujuh Belas, 11 R.P. Suyono, Seks dan Kekerasan pada Zaman Kolonial: Penelu- mewakili semua kamar dagang yang tergabung dalam VOC. Sebagai suran Kepustakaan Sejarah (Jakarta: Grasindo, 2005), hlm. 279. pemilik saham terbesar, maka konsekuensi logisnya adalah Am- 12 Liesbeth Hesselink, “Prostitution: A Necessery Evil, Particularly sterdam memiliki wakil yang terbanyak dalam Dewan Tujuh Belas, in the Colonies”, dalam Elsbeth Locher Scholten and Anke Niehof yakni sebanyak delapan orang. Mona Lohanda, Sejarah Pembesar (eds.), op.cit., hlm. 208-216 Mengatur Batavia (Jakarta: Masup, 2007), hlm. 64-66.

210 19 Kota ini semakin meluas sepanjang terusan Mo- sangat kecil, namun ia harus mendapat keuntun- lenvliet hingga ke wilayah pedalaman yang dibangun gan dari anak perempuan itu. Apa yang bisa dida- dengan rumah-rumah besar bagi golongan elite serta pat seorang Tionghoa gemuk dan bersyahwat besar kantung-kantung pemukiman sederhana bagi orang- dengan anak perempuan Jawa kecil dengan –maaf- orang Eropa, Indo, dan Asia. Setelah adanya perjan- vagina yang terlalu sempit. Anak-anak perempuan jian perdamaian antara Mataram dengan Bantam dis- seperti itu tidak akan ia beli. Anal perempuan Jawa epakati, daerah pinggiran di luar kota Batavia mulai yang pemalu ini harus muda dan masih kecil, tetapi berkembang, dan orang-orang kaya mulai pindah ke alat kelaminnya harus sudah cukup berkembang. luar kota. Mereka membangun taman-taman yang nya- Sebuah sketsa buruk orang Tionghoa dapat dilihat man untuk mereka sendiri, dan melakukan perjalanan pada karya Franke dalam “Jan Fuselier”.9 ke hulu sungai. Secara bertahap, jaringan masyarakat yang ada di Batavia juga mulai meluas ke luar. Meski Tingginya permintaan pasar pada praktik prositusi demikian, pada paruh pertama abad XVII, seluruh per- menempatkan elite Tionghoa mendirikan rumah-rumah hatian masih ditujukan ke Belanda.13 bordil yang elite. ‘Rumah senang’ tersebut berbeda den- Jumlah penduduk pada pada abad XVII berkisar gan rumah bordil pada umumnya yang terkesan tidak antara 50.000 jiwa dan pemerintah Batavia menarget- menarik atau bahkan hanya sekedar lapak-lapak war- kan untuk meningkatkan kuantitasnya menjadi 150.000 ung remang-remang di pinggiran kota Batavia. Lapak jiwa. Hal ini memang disengaja oleh Coen dengan mak- atau kedai-kedai di pinggiran Batavia merupakan prak- sud untuk membangun kota. Demi menunjang tujuan tik prostitusi terselubung dan illegal yang berkedok tersebut, didatangkanlah para budak yang diambil dari tempat minum semata. Wanita yang disediakan juga Bengali, Arakan, Malabar dan Koromandel.14 Untuk lebih bersifat ‘ala kadarnya’, yakni dari kalangan pribu- budak yang berasal dari kalangan pribumi, mayoritas mi miskin yang secara  sik tidak menarik dan tidak berasal dari Bali. Selain para budak, orang Tionghoa memiliki perilaku yang anggun. dan pribumi merupakan tiga unsur utama dari jumlah Lain halnya dengan prostitusi kelas jetset yang penduduk kota.15 dikelola oleh elite Tionghoa Batavia. Hal ini terkait Pada abad VIII, Batavia menjadi kota yang terke- dengan pangsa pasar yang ditujukan pada segmentasi 13 Jean Gelman Taylor, Kehidupan Sosial di Batavia (Depok: Komuni- masyarakat elite kelas atas. Para pelanggannya may- tas Bambu, 2009), hlm. 31. oritas merupakan pembesar kolonial atau elite Tiong- 14 Pada masa itu tidak ada pembatasan mengenai impor budak, hoa kaya. Fasilitas yang diberikan berupa ruang-ruang namun sesekali ada semacam bea masuk. Para budak yang dida- tangkan biasanya dibawa keliling pada pejabat pemerintah, agar privat yang dilengkapi dengan sarana hiburan seper- mereka dapat memilih budak-budak yang diinginkan dengan har- ti: madat, judi, teater, bar, dan tentunya para wanita ga tinggi. Lasmidjah Hardi dkk, Jakartaku-Jakartamu-Jakarta Kita (Jakarta: Yayasan Pecinta Sejarah, 1987), hlm. 77. cantik yang keseluruhannya dikemas dalam ruangan 15 Hanna A. Willard, op.cit, hlm. 108. 9 Reggie Baay, op.cit., hlm. 117.

20 209 Hongkong. Mayoritas merupakan gadis-gadis di bawah nal dengan sebutan Koningin van het Oosten atau Ratu umur dari Tiongkok untuk dipekerjakan sebagai pem- dari Timur. Keberhasilan tersebut membuat iri bangsa bantu rumah tangga. Gadis-gadis ini dikenal dengan Inggris yang merupakan rival utama Belanda di bidang istilah mui tsai (adik kecil) ini dibeli dari para orang perdagangan. Meski demikian, Batavia ternyata juga tua yang miskin. Namun lama kelamaan sistem ini dis- menyandang sebutan yang tidak kalah ‘populer’, yakni alahgunakan, berhubung minimnya kuantitas jumlah Graf der Hollanders atau kuburan orang Belanda. Tentu perempuan dibanding laki-laki di daerah imigran, se- saja dua gelar oposisi biner tersebut menjadi ironi par- hingga para perempuan tersebut diperdagangkan dan adox of plenty bagi pemerintah Batavia karena disaat dipekerjakan di rumah-rumah bordil kepada sang ba- yang bersamaan Batavia mengalami puncak kejayaan tauw (bahasa Hokkien yang berarti mucikari). sekaligus masa kemerosotan. Dalam surat kabar dan Keng Po tahun 1939 Degradasi tersebut disebabkan karena mun- banyak dipublikasikan tentang para perempuan yang culnya berbagai penyakit epidemik dan psikosa yang dijuluki Macaopo (Perempuan dari Macao) dan terdapat menjangkit masyarakat, terutama bagi orang Belanda. fakta bahwa para pejabat imigrasi dan instansi yang Pada periode tersebut, merupakan sesuatu yang lum- bersangkutan bekerja sama untuk memasukan mer- rah apabila seseorang yang kemarin sehat dan sempat eka. Keng Po edisi 8 Mei 1939 bahkan menyindir, bah- makan malam bersama namun telah ditemukan te- wa “dagang madat” lebih sulit daripada “dagang daging lah tidak bernyawa pada keesokan paginya. Seseorang manoesia”. Pada edisi yang sama Keng Po mengabarkan menganggap dirinya sehat selama pada saat itu ia tidak bahwa para Macaopo dapat dipesan dan oleh sebab itu menggigil kedinginan dan demam, disentri atau busung banyak terdapat mobil mondar-mandir di sekitar Pan- air. Maraknya penyebaran penyakit disebabkan oleh coran. Meskipun demikian perdagangan perempuan kerusakan ekologi kota. Pertanda awal yang sangat tidak dapat dihapus secara tuntas, karena mereka di- jelas adalah ketika pada tanggal 4 dan 5 Januari 1699, masukan dengan cara dipekerjakan di night club Bata- terjadi gempa bumi vulkanik hingga menyebabkan ter- via.8 Terdapat sebuah catatan yang sangat ironis terkait jadinya letusan gunung berapi disertai dengan hujan dengan sindikat perdagangan manusia tersebut. abu tebal. Implikasi dari peristiwa tersebut adalah ru- Untuk apa anak-anak perempuan ini: saknya aliran sungai Ciliwung yang mengendap dan Mereka bisa dijual kepada orang Tionghoa, seorang penuh dengan lumpur vulkanik. Hal ini mengakibatkan Tionghoa yang gemuk dan kaya raya. Orang Tion- wabah penyakit disentri dan kolera.16 Keadaan tersebut ghoa bersyahwat besar dan siap membayar untuk memaksa pemerintah Batavia melakukan pembukaan mendapatkan anak perempuan yang sangat muda, saluran penyaluran air dan terusan yang baru. Pada ta- 8 Myra Sidharta, “Nyonya Lie Tjian Tjoen Seorang Perempuan yang 16 Mayoritas penyakit yang menyebabkan kematian di Batavia ada- Peduli”, dalam Henri Chambert Loir (ed.), Panggung Sejarah: Per- lah tifus, disentri, dan tuberculosis. Lihat, Hans Gooszen, A Demo- sembahan Kepada Prof. Dr. Denys Lombard (Jakarta: Yayasan Obor graphic History of The Indonesian Archipelago 1880-1942 (Leiden: Indonesia, 1999), hlm. 513-518. KITLV Press, 1999), hlm. 11.

208 21 hun 1732, prahara kembali mengguncang masyarakat Dampak dari maraknya praktik prostitusi adalah Batavia karena pada masa itu terjadi cuaca pancaroba penyebaran PMS (Penyakit Menular Seksual) di kalan- yang berdampak pada endemik malaria. Penyakit terse- gan masyarakat Batavia. Berdasarkan data rumah sa- but menelan korban ratusan bahkan ribuan orang yang kit pusat kota di Weltevreden, pada dekade antara 1902 mayoritas orang Eropa, khususnya orang Belanda.17 – 1912, tercatat 6,5 % pasien Eropa, 5,47 % Pribumi, Orang Eropa yang di daerah asalnya telah ter- dan 13,11 % Tionghoa menderita penyakit si lis. Pada biasa dengan iklim Eropa mengalami kesulitan ber- tahun 1912, epidemi penyakit menular seksual menja- adaptasi dengan iklim di Nusantara, terutama Batavia, di penyakit terbesar kedua setelah malaria. Penyebaran yang beriklim tropis sehingga ketika memasuki musim penyakit tersebut mengalami progres hingga total pen- pancaroba sistem imune atau kekebalan tubuh mereka derita si lis meningkat tiga kali lipat pada 1930 sam- tidak sebaik orang Tionghoa atau orang Indo yang lebih pai 19405. Orang-orang yang terjangkit penyakit si lis mampu beradaptasi. Orang Eropa juga memperhatikan kerap disebut ”sakit mangga”. Pada masa itu belum di- bahwa ternyata orang Tionghoa lebih jarang sakit kar- temukan serum antibiotik sehingga sang pesakitan se- ena mereka minum minuman yang dipercaya mampu ring berujung pada kematian dan kemudian dimakam- meningkatkan kekebalan tubuh, yakni teh maupun kan di sebelah timur Gang Mangga yang kini dikenal arak. Selain itu, mereka juga kagum dengan teknik pen- sebagai Gang Mangga Dua.6 gobatan ala Tionghoa. Apabila diantara mereka, orang Berdasarkan data tersebut, masyarakat Tionghoa Tionghoa, ada yang sakit, maka akan segera di bawa ke tampaknya menjadi pasien terbesar penyakit menular rumah sakit orang Tionghoa.18 seksual. Kondisi tersebut merupakan efek dari penyeba- 17 Di Batavia banyak terdapat penyakit aneh dengan nama-nama ran penyakit si lis dari kuli kontrak Tionghoa di perke- yang menyeramkan seperti remitterende rotkoorsten (demam maut), roode loop (buang air besar berdarah), febre ardentes, malignae et bunan tembakau Medan yang merangkap juga sebagai putridae, dan mort de chien (demam parah, jahat, dan busuk serta wanita penghibur sebagaimana laporan Residen Sume- mati mendadak). Hayu Adi Darmarastri, “Keberadaan Nyai di Ba- tera Utara, R.C. Kroesen dan B Hoetink.7 Disamping tavia 1870-1928”, dalam Lembaran Sejarah, Sisi Lain Kehidupan Masyarakat Indonesia pada Masa Lalu. Volume 4, No. 2, 2002 (Yo- itu, elite Tionghoa, terutama para pemilik rumah bordil, gyakarta: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UGM, 2002), hlm. 11. kerap kali turut ’mencicipi’ tubuh para wanita penghi- 18 Pada tahun 1640, orang Cina di Batavia mendirikan rumah sakit burnya sebelum wanita tersebut ditawarkan pada peja- orang Cina, yang biasa disebut ”Yangji Yuan” atau “rumah sakit untuk orang miskin”. Johann Saar, penjelajah Eropa pertama yang bat atau masyarakat umum Batavia. Para wanita terse- menaruh minat pada pengobatan Cina ketika di Batavia pada per- but ada yang berasal dari Tiongkok maupun Jepang. tengahan abad XVII. Menurut pengakuannya, pengobatan ala Cina tersebut dilakukan dengan cara pemijatan yang dikenal dengan Mereka biasanya dari kalangan yang kurang mampu nama ‘Tuina’, secara har ah berarti dorong dan cengkram. Clau- yang dibawa oleh imigran dari Tiongkok di Malaya dan dine Salmon dan Myra Sidharta, “Traditinal Chinese Medicine and 5 John Ingleson, “Prostitution in Colonial Java”, dalam David P. Chan- Pharmacy in Indonesia”, dalam Archipel 74, Paris 2007, hlm. 168- dler dan M.C. Ricklefs (eds.), op.cit., hlm. 134. 170; Alwi Shahab, Batavia Kota Hantu (Jakarta: Republika, 2010), 6 Ridwan Saidi, loc.cit. hlm. 87. 7 Penerbitan Naskah Sumber, ibid., hlm. 105.

22 207 bahwa ia telah dinyatakan sembuh. Rumah bordil juga Ketidaknyamanan Batavia pada dasarnya tidak dikenakan regulasi dengan dilakukan inspeksi ming- hanya disebabkan faktor penyakit dan iklim semata, guan. Ketakutan akan bahaya persebaran penyakit tetapi juga disebabkan dari faktor human error atau ke- menular memicu pemerintah kolonial untuk member- salahan manusia. Kepadatan jumlah penduduk yang lakukan adanya peraturan pemeriksaan berkala pada dialami Oud Batavia menjadi indikasi pemicu suburnya para wanita penghibur di Batavia, Surabaya, Yogyakar- penyakit. Adanya kanal-kanal dan sungai yang men- ta, Bogor, Madiun, dan Kediri pada awal 1830-an. Pera- galir justru dimanfaatkan penduduk Batavia sebagai turan tersebut mulai diberlakukan tahun 1852, sebuah tempat pembuangan segala jenis sampah sehingga ber- peraturan yang berusaha melakukan tindakan preven- muara pada terjadinya limbah. Menurut Mona Lohan- tif terhadap dampak yang diakibatkan dari prostitusi. da, masyarakat Batavia juga memanfaatkan sungai dan kanal sebagai tempat membuang hajat, memang dapat dimengerti karena pada masa itu rumah-rumah di Bat- avia tidak memilki kakus ataupun kamar karena WC dan sistem saluran pembuangan air baru dikenal kelak pada pertengahan abad XIX di Eropa, sehingga segala jenis kotoran manusia ditampung pada tempat tertentu, dan pada malam hari pukul 09.00, biasa dike- nal dengan istilah negenuursbloemen (bunga jam sem- bilan), kotoran tersebut oleh para budak akan diambil dan dibuang ke sungai atau kanal. Aturan tersebut te- lah diberlakukan sejak tahun 1630. Pada abad XVIII, berbagai peraturan baru dikeluarkan bahkan berkali- kali diundangkan atau diperbarui untuk masalah yang sama. Selain itu juga diperparah dengan limbah dari luar tembok kota seperti limbah dari penggilingan tebu, penyulingan arak, pembakaran genteng dan tembikar, dan rumah jagal. Kondisi tersebut memaksa pemerin-

Gambar 24: Beberapa contoh “wanita publik” dalam berbagai pose (di dalam dan di luar studio foto) Sumber: kitlv.nl. dan collectie. tropenmuseum.nl.

206 23 tah dan masyarakat mencari wilayah yang lebih nya- 2002), hlm. 35. man untuk dijadikan pemukiman baru.19 Semakin padatnya jumlah penduduk dan Ungkapan “plesir” (dari kata Belanda “plezier” yang ketidaknyamanan kehidupan di wilayah Oud Batavia berarti kegembiraan)1 dapat bermakna ganda yang be- mengakibatkan beberapa orang mencari wilayah baru, rarti berjalan-jalan dalam konteks rekreasi turisme atau yakni wilayah Ommennlanden. Wilayah ini merupakan juga berjalan-jalan ‘berburu’ para kupu-kupu malam di kawasan yang terletak disekitar benteng kota Bata- berbagai titik prostutusi kawasan Batavia. Maraknya via yang mencakup , Meester-Cornelis, dan praktik prostitusi di Batavia memaksa pemerintah ko- Bekasi.20 Wilayah ini biasa dihuni oleh masyarakat lonial untuk mengeluarkan kebijakan khusus pros- pribumi yang sebagian besar merupakan suku Sun- titusi dengan keputusan Reglement tot wering van de da, yang berasal dari Banten, Cina, Arab dan berbagai Schadelijk, welke uit de Prostitutie voortvloeien, yang suku bangsa lainnya.21 J.P. Coen sengaja membiarkan termuat dalam Bijblad no.1225 pada tanggal 15 Juli orang-orang untuk mendiami wilayah tersebut dengan 1852.2 Peraturan tersebut diperluas dengan adanya dua tujuan, yakni: pertama, menempatkan orang di peraturan untuk mendaftarkan rumah bordil dan para Ommennlanden sebagai barikade pertama yang men- wanita penghibur secara legal3 hingga pengeluaran su- jadi perisai terhadap serangan musuh dari Banten dan rat keputusan pemeriksaan terhadap wanita penghibur Mataram, kedua, menempatkan mereka sebagai orang- oleh ahli kesehatan pemerintah atau petugas lain pe- orang yang bertugas mengembangkan wilayah diluar merintah, dibawah pengawasan dinas kesehatan sipil benteng. Selain itu, Ommenlanden juga dikenal sebagai sejak 1 Maret 1910.4 Para wanita tersebut akan diberi- wilayah yang rawan terhadap serangan binatang buas, kan semacam kartu identitas sekaligus kartu pemerik- terutama harimau. saan berkala sebagai indikator kesehatannya. Apabila Peran Ommenlanden bagi kehidupan kota Batavia wanita tersebut dinyatakan sehat atau sembuh maka tergolong penting karena wilayah ini mencakup daer- ia diperbolehkan untuk melakukan praktik prostitu- ah pedalaman dan pesisir pantai yang berfungsi seba- si. Wanita yang ditemukan mengidap penyakit maka gai pemasok kebutuhan masyarakat Batavia di dalam kartunya akan ditahan hingga ia dapat membuktikan benteng. Orang Tionghoa memberikan kontribusi dari 1 Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia (Jakarta: PT Ichtisar 19 Mona Lohanda, op. cit., hlm. 64-66. Baru Van Hoeve, 2001), hlm. 502. 20 Ibid., hlm. 216. 2 Lihat Encyclopedië van Nederlandsch Indie, Deel III (‘S-Gravenhage 21 Orang Cina dan Arab pada abad XVII dan XVIII tinggal di luar kota, Nijhoff, 1919), hlm 512. dan pada abad XIX mereka seolah tak terlihat di balik penguasa- 3 Takashi Shiraishi, “Anti-Sinicism in Java’s New Order” dalam Dan- penguasa Eropa. Dalam konteks ini adalah wilayah yang terdapat di iel Chirot and Anthony Reid (eds.), Essential Outsiders: Chinese and dalam benteng atau setidaknya di sepanjang jalan utama Batavia. Jews in the Modern Transformation of Southeast Asia and Central Willem van der Molen, “Glory of Batavia, the Image of Colonial City Europe (Seattle: University of Washington Press, 1997), hlm. 197. through the Eyes of a Javanese Nobleman”, dalam Peter J.M. Nas 4 Penerbitan Naskah Sumber, Pemberantasan Prostitusi di Indonesia (eds.), Urban Symbolism (Leiden: Brill, 1993), hlm. 316. Masa Kolonial (Jakarta: ANRI, 2001), hlm. 111.

24 205 wilayah pedalaman antara lain sebagai pemasok bahan kayu, pemasok produksi padi atau kacang22, dan bu- didaya tebu. Sedangkan produksi dari daerah pesisir adalah hasil produksi dari tambak23, contohnya ikan, kerang, dan garam24. Produksi utama dari daerah Ommenlanden adalah gula yang dihasilkan dari tanaman tebu, terutama dari wilayah yang dikenal dengan nama Kelapadua. Wilayah ini menjadi pusat orang Tionghoa yang juga sekaligus pusat perkebunan tebu, pemerasan tebu, pemrosesan gula, dan penyulingan arak. Hal ini dibuktikan dengan keterangan dari ahli bedah Denmark, Cortemunde, ta- hun 1673. Ia menggambarkan seperti berikut: “Empat mil dari kota, terdapat di dekat sungai terdapat sebuah tempat lain yang cantik yang dinamakan Clappadoa, sebuah kampung besar dengan sebuah penggilingan gula yang bagus sekali serta banyak tempat penyulin- gan arak”. Dengan kemenangan Batavia atas Banten, maka berakhirlah kegiatan menghasilkan gula di Kela-

22 Pada tahun 1780 terdapat sekitar lima puluh pabrik minyak ka- cang dekat Batavia, tempat kacang ini ditanam oleh orang-orang Tionghoa dengan tujuan perdagangan sejak sekitar tahun 1755. tahun 1800 hingga 1880 kacang yang biasa disebut kacang Cina (Arachis Hypogaea) ini ditanam untuk memperoleh minyaknya se- bagai minyak memasak atau minyak goring. Ampas yang tersisa dapat digunakan sebagai pupuk. Peter Boomgaard, Anak Jajahan Belanda: Sejarah Sosial dan Ekonomi Jawa 1795 – 1880. Jakarta: Djambatan, 2004), hlm.162. 23 Kerang merupakan produk mewah dan tampaknya tidak dibudi- dayakan di luar teluk Batavia. Kata tambak berasal dari tamwak, ditemukan dalam epigra sejak abad IX untuk menamai “tanggul”, Gambar 23: Karikatur “Ko Put On” tentang bagaimana pola yakni pekerjaan umum yang bertujuan menahan air. Denys Lom- wanita penghibur Batavia mencari pelanggan. sumber: di- bard II, op.cit., 272. kutip dari Pantjawarna IV 1948 dalam Majalah Kita Sama 24 Pada masa pemerintahan VOC, pembuatan garam diserahkan ke- pada orang Tionghoa. Pada tahun 1813, Raf es menghapus sistem Kita: Ragam Budaya dan Sejarah Nusantara (Vol. 1 No.2, Juli ini dan sejak saat itu garam menjadi monopoli dari pemerintah. Peter Boomgaard, op.cit., hlm. 206.

204 25 padua dan sejak 1682 VOC mulai memonopoli perda- Terdapat sebuah pengaduan mengenai kebisin- gangan gula untuk diangkut ke Batavia.25. Pada masa gan yang terjadi di malam hari dan pelanggaran berikutnya, wilayah Ommenlanden menjadi wilayah di malam hari. Kerap kali terlihat atau terdenganr yang dibutuhkan bagi pejabat VOC dan orang Tiong- kereta bergerak dengan kecepatan tinggi yang me- hoa kaya untuk mendirikan pesanggrahan-pesanggra- muat perempuan (baik pribumi / Eropa) duduk han mewah mengingat semakin padatnya wilayah kota dengan orang Tionghoa. Para wanita kerap bermain Batavia dan adanya keinginan untuk mencari suasana harmonika berteriak atau menjerit di pukul 9 atau lingkungan yang lebih bersifat alam. Tak jarang pula 1 dini hari. Setiap malam di kawasan Noordwijk, orang Tionghoa kalangan atas menjadikan wilayah Om- Rijswijk, sekitar Harmoni, Pasar Baru, Jembatan menlanden sebagai tempat pemakaman mereka di ke- Sluis, Pacenongan merupakan daerah yang banyak mudian hari. terdapat wanita orang lewat dan menawarkan diri Realitas akan keberadaan orang-orang dari kalan- untuk disewa.21 gan kelas atas tersebut kontradiktif dengan masyarakat sekitar yang sebagian dari kalangan kelas menengah Kho Wan Gie, seorang Tionghoa peranakan yang ke bawah sehingga menimbulkan segregasi sosial dian- berprofesi sebagai novelis dan ilustrator pada majalah tara keduanya. Tentu saja hal ini menarik minat akan Panorama, membuat karikatur yang mampu merepre- terjadinya tindak perampokan yang dalam terminologi sentasikan fenomena sosial di Batavia.22 Karikatur “Ko Suhartono dikenal dengan istilah kecu26 sehingga men- Put On” berikut sesuai dengan representasi dari fenom- gancam keselamatan jiwa mereka. Kondisi tersebut se- ena sosial prostitusi Batavia abad XX sebagaimana yang makin diperkuat dengan maraknya gerakan-gerakan dipaparkan Java Bode di atas. protes sosial keagamaan yang dipimpin kyai, atau orang yang berpengaruh, untuk memerangi orang Barat, dan tak jarang pula orang Tionghoa dijadikan sebagai sasa- ran.27 25 Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X–XVII (Ja- karta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008), hlm. 135-137. 26 Istilah Kecu digunakan untuk menyebut sekelompok orang bersen- jata yang meminta dengan paksa harta korban pada malam hari, dan tidak jarang disertai tindakan nekad yang menyiksa atau mem- 21 John Ingleson, “Prostitution in Colonial Java”, dalam David P. bunuh korbannya. Suhartono, Apanage dan Bekel: Perubahan So- Chandler dan M.C. Ricklefs (eds.), Nineteenth and Twentieth Cen- sial di Pedesaan Surakarta 1830-1920 (Yogyakarta: Tiara Wacana, tury Indonesia: Essays in honour of Professor J.D Legge (Victoria: 1991), hlm. 153. Southeast Asian Studies, 1986), hlm. 127. 27 Untuk memahami berbagai jenis gerakan protes yang terjadi, li- 22 Pro l dan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai “Ko Put hat Sartono Kartodirdjo, Protest Movements in Rural Java: A Study On”, lihat Myra Sidharta, “Jakarta through the eyes of ‘Ko Put On’ “, of Agrarian Unrest in the Nineteenth and early Twentieth Centuries dalam Kees Grijns and Peter J.M. Nas (eds.), Jakarta-Batavia: Socio- (Singapore: Oxford University Press, 1973). Cultural Essays. Leiden: KITLV Press, 2000), hlm. 157-173.

26 203 garuh terhadap perilaku mental dan psikologis mereka Memasuki periode abad XIX, Batavia mengala- yang menjadi liar, baik secara moral maupun seksual. mi transformasi yang cukup signi kan baik dari segi Maka tidak mengherankan diantara mereka terdapat masyarakat maupun birokrasi pemerintah Batavia. Dari perempuan Indo yang melahirkan di usia 13 atau 14 segi masyarakat, terjadi pembauran antara anggota tahun.18 Para wanita penghibur tersebut memiliki ane- tentara kolonial Belanda dan dari anggota NHM (Neder- ka jenis panggilan dari yang tergolong sopan hingga tak land Handel Maatschapij) yang memiliki latar belakang berkemanusiaan, antara lain: ’wanita publik’, Snaar/ sebagai pedagang. Dari segi birokrasi terjadi perubahan Snoer (senar atau dawai), ’Moler’ (perempuan jalang), dari pemerintah kompeni, sebagaimana Oud Batavia ’Karayuki’, hingga ’poete rastade’, ’poete de negre’ atau yang didominasi oleh gubernur jenderal VOC dan kas- ’ li de poete’ atau ’ li de katsjor’ (pelacur milik siapa til Batavia, ke pemerintah kolonial sebagaimana Nieuw saja, pelacur budak, anak pelacur atau anak anjing).19 Batavia yang didominasi oleh gubernur jenderal tanah Kawasan ’rode lamp’ (lampu merah) Batavia men- jajahan Hindia Belanda. Pusat pemerintaan berkantor cakup kawasan Noordwijk, Rijswijk, Harmonie, Gang pusat di istana Weltevreden dan pedagang-pedagang Mangga Dua, Pancoran, dan Glodok.20 Keberadaan ber- besar dari NHM dengan kantor-kantor, pabrik-pabrik bagai lokalisasi tersebut berdampak pada kegaduhan serta gudang-gudang yang terletak berdekatan dengan di malam hari kemudian diangkat menjadi berita pada, kastil lama. harian Java Bode, 1878 sebagai bentuk protes keras Implikasi sosial dari perubahan birokrasi terse- tentang kehidupan malam di Batavia but adalah terjadinya migrasi orang Belanda ke Hindia Belanda. Mereka bukanlah kaum proletar dan petani 18 Fracees Gouda, op.cit., hlm. 194. sebagaimana yang dahulu selalu dminta oleh J.P. Coen 19 Judul dokumentasi foto KITLV dan Mutiah Amini, “Kehidupan Pe- rempuan di Tengah Perubahan Kota Surabaya pada Awal Abad XX”, kepada VOC untuk dipekerjakan, melainkan borjuis- Tesis S-2 Program Studi Sejarah Pascasarjana Universitas Gadjah borjuis kecil dan kaum pedagang sehingga turut ber- Mada (Yogyakarta, 2003), hlm. 90; Reggie Baay, Nyai dan Pergundi- peran dalam perkembangan komposisi kota Batavia. Di kan di Hindia Belanda (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), hlm. 59; Antonio Pinto da Franca, Portuguese In uence in Indonesia (Jakarta: sekitar pusat kota Weltevreden muncul pemukiman- Gunung Agung, 1970), hlm. 68; Meta Sekar Puji Astuti, Apakah pemukiman baru seperti Tanah Abang, Gondangdia, Mereka Mata-Mata: Orang-Orang Jepang di Indonesia,1868-1942 Meester Cornelis, dan Menteng.28 Di Nieuw Batavia, (Yogyakarta: Ombak,2008), hlm. 85; Kees Groeneboer, op.cit., hlm. 51. orang membangun rumah-rumah di pinggir jalan dan 20 Pasar Glodok dan Pancoran tidak hanya sebatas pasar tetapi juga memiliki reputasi yang “istimewa” sebagai kawasan prostitusi teru- 28 Undang-undang desentralisasi diterbitkan pada tanggal 23 Juli tama bagi para pelaut yang tinggal di barel-barel dan ingin menik- 1903. Undang-undang ini terdiri dari tiga artikel, ditambahkan mati para penjaja cinta dari kaum pribumi. Scott Meirelles, Batavia pada peraturan pemerintah Hindia Belanda, yang memungkinkan in Nineteenth Century Photographs (Singapore: Archipelago Press, berdirinya otoritas lokal. Mulai tahun 1905, diciptakan kota praja 2000), hlm. 86; Ridwan Saidi, “Rode Lamp: Van Batavia tot Jakar- (gemeenten), dimulai dari Batavia, Meester Cornelis, dan Buitenzo- ta”, dalam Majalah Kita Sama Kita: Ragam Budaya dan Sejarah Nu- rg. Peter J.M. Nas, Kota-kota Indonesia: Bunga Rampai (Yogyakarta: santara (Vol. 1 No.2, Juli 2002), hlm. 5. UGM Press, 2007), hlm. 559.

202 27 dinaungi dengan pohon-pohon yang indah di sekitar merupakan pusat pelacuran.15 Dengan kata lain, pros- jalan utama. Rumah-rumah yang didirikan tidak sep- titusi diterima sebagai fakta yang tidak dapat dibantah erti di Oud Batavia dimana rumah bertingkat dua dan mengenai kehidupan masyarakat kolonial. Hampir se- dekat ke jalan, melainkan bentuk rumah bertingkat mua kalangan masyarakat, terutama bagi kaum Adam satu, bergaya Eropa, tidak selalu mengarah ke jalan, bujangan dari kalangan sampai kalangan bawah, tidak dan dilengkapi dengan halaman yang luas di bagian de- dapat dipisahkan dari praktek prostitusi. Pada tahun pan dan belakang.29 1778, di Batavia dan Bogor, buruh bayaran kerap kali Secara bertahap Weltevreden menjadi semakin menghabiskan upah mereka dengan mengadakan pesta lengkap dengan hadirnya gereja-gereja baru, sekolah, ronggeng16, opium, minuman keras, dan menyewa pela- klab dan lain-lain yang semakin mempertegas ciri khas cur demi kesenangan mereka. Pada tahun 1800, prosti- kota Eropa modern. Di daerah pedalaman Batavia, te- tusi dan ronggeng secara berkala dijadikan kompensasi rutama pegunungan Priangan, dibangun perkebunan- bagi para buruh, terutama yang masih bujangan, den- perkebunan yang luas serta pesanggrahan indah tem- gan tujuan agar mereka betah bekerja di perusahaan pat tinggal juragannya, yang keindahannya melebihi tersebut17 Kalangan priyayi di Kasunan Surakarta juga hampir semua rumah di Nieuw Batavia. Realitas terse- kerap melakukan hal-hal yang bersifat hedonistik sep- but mengembalikan citra dan gelar “Ratu dari Timur” erti kesenangan bermain perempuan, mabuk-mabu- yang pernah disandang pada masa Oud Batavia.30 kan, dan mengkonsumsi candu. Masyarakat Barat pun Pada awal abad XX, penduduk Batavia mening- seolah tak ingin kalah, mereka merupakan kelompok kat pesat hingga 500.000 jiwa, terdiri dari 50.000 orang masyarakat yang mendorong hadirnya pergundikan di Batavia. Faktor kemiskinan di kalangan masyarakat Belanda dan 200.000 orang Indo. Menurut Lombard, pribumi dan Indo menjadi alasan klasik pendukungnya. dua alasan utama yang mengkin dapat menjelaskan Seringkali para ibu pribumi memaksa anaknya yang pertambahan penduduk adalah politik kolonial yang berdarah campuran untuk menjadi pelacur atau me- sedikit demi sedikit meninggalkan cultuurstelsel tam- maksanya untuk mencuri. Hal demikian akan berpen- paknya telah menunjang perkembangan perkebunan 15 Ketika Raf ess menjabat ia melakukan kampanye melawan si lis, milik pribadi dan menjadikan Hindia “koloni untuk pe- mulai mengatur pelacuran untuk memungkinkan pemeriksaan me- 29 Art Deco adalah gaya seni arsitekur yang tampak pada bangunan- dis secara berkala. Salah satu hasil dari prakarsanya adalah berdi- bangunan di Hindia Belanda. Bangunan-bangunan yang ada di Ba- rinya rumah sakit untuk pelacur yang terjangkit penyakit, rumah tavia, Surabaya, dan terutama Bandung merupakan rancangan dari sakit tertutup dari Inggris dan India. Peter Boomgaard, Anak Jaja- arsitek berdarah Belanda, Prof. Ir. Charles Proper Wolff Schoema- han Belanda: Sejarah Sosial dan Ekonomi Jawa 1795 – 1880 (Ja- ker, Thomas Karsten, dan Hendri Mc Laine Pont. Dari ketiga arsitek karta: Djambatan, 2004), hlm. 280 – 281. tersebut, Schoemaker adalah yang paling berpengaruh dan meru- 16 Kata ronggeng berarti penari atau perempuan dengan moral yang pakan dosen pengajar Soekarno di ITB Bandung. M. Nasir, “Keliling rendah. Kuntowijoyo, op.cit., hlm. 59. Amsterdam, Teringat Bandung“, Kompas, Minggu 31 Januari 2010 17 Peter Boomgaard, Childern of the Colonial State: Population Growth hlm. 14. and Economic Development in Java, 1795-1880. Free University 30 Willard A. Hanna, op.cit., hlm. 191. Press (Amsterdam, 1989), hlm. 163.

28 201 eka menganggap Bali sebagai surga romantik. Namun mukiman penduduk“. Di lain pihak, terjadi perkemban- dibalik keromantisannya, mereka juga menilai Bali se- gan pesat sarana angkutan antara Belanda dan Hindia bagai tempat wisata berburu pelacur di surga dunia karena kapal uap mulai digunakan dan terutama kare- karena mereka dapat sepuasnya menyaksikan tubuh na dibukanya Terusan Suez pada tahun 1869. Terusan wanita secara terbuka dan dada telanjang, bersenang- Suez berjasa dalam mempersingkat masa pelayaran senang menikmati tubuh pria Bali yang menawan, dan yang sebelumnya harus ditempuh selama tiga bulan membeberkan nafsu birahi mereka yang menggebu ter- dapat dipersingkat menjadi satu bulan.31 hadap sesama jenis, dan mungkin ikut serta dalam seksualitas tanpa batas. Tabel I: Komposisi Penduduk Batavia Komposisi Penduduk Batavia

Eropa dan Timur

Tahun yang disa- Tionghoa Arab Asing Pribumi Total

makan lain 1890 10.793 78.78.925 2.410 162 978.466 1.070.756 1900 13.653 89.064 3.062 252 1.831.974 1.938.006 1905 13.805 92.520 2.772 277 1.999.978 2.109.352 13Gambar 22: Aktivitas sehari-hari wanita Bali pada akhir 1920 37.128 - - 122.065 2.628.142 2.787.345 abad XIX dan sekaligus pemandangan erotis favorit masyarakat Ba- rat. Sumber: collectie.tropenmuseum.nl. Sumber: Hanneke Lomerse, “Tabel Komposisi Penduduk Daya tarik kota, faktor kemiskinan, sistem mon- Batavia”, dalam Gert Oostinde (ed.), Dutch Colonialism, Migration, etisasi, serta penyimpangan seksual di kalangan and Cultural Heritage (Leiden: KITLV Press, 2008), hlm. 322 masyarakat telah melahirkan aktivitas prostitusi yang sulit dihindarkan. Menurut Boomgaard, prostitusi14 Kepadatan penduduk yang meningkat tajam agak umum di seluruh Jawa, terutama di pelabuhan- berbanding lurus dengan Batavia yang mampu me- pelabuhan besar dan kota-kota garnisun, dengan pelaut raup kekayaan melimpah. Kemakmuran tersebut be- dan serdadu dari Eropa daratan dalam jumlah besar, rasal dari produktivitas Pulau Jawa dan pulau-pulau 13 Francees Gouda, op.cit., hlm 162-163. seberang lautan. Dalam setahun, Batavia mampu men- 14 Kata prostitusi, berasal dari bahasa latin “prostituo”, yang diartikan gekspor komoditas bahan mentah hingga satu milyar sebagai perilaku (biasanya) perempuan terang-terangan atau ter- sembunyi berbuat zina dengan imbalan uang atau barang berhar- dollar ke pasaran Amerika dan Eropa. Sebagai dam- ga lainnya. Seodjono, Masalah Pelacuran Ditinjau dari Segi Hukum dan Kenyataan dalam Masyarakat (Bandung: PT Karya Nusantara, 31 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya: Batas-batas Pembara- 1977), hlm. 14. tan Bagian I (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 79.

200 29 pak dari kemakmuran tersebut, Batavia mengalami dari perkembangan modernisasi sebagaimana penda- pertumbuhan yang sangat pesat, tidak hanya pemu- pat Sartono bahwa kemajuan dalam kehidupan perko- kiman, pembangunan gedung perkantoran, pertokoan taan berdampak pada gejala sosial seperti kemeroso- namun infrastruktur kota di bidang transportasi diban- tan tata-susila, sikap materialistis, dan individualisme gun dengan baik.32 Pusat-pusat bisnis juga mengalami yang kuat.9 serta perilaku seksual masyarakat Barat di perkembangan pesat, salah satunya adalah di bidang Batavia yang secara langsung maupun tidak langsung perhotelan. Menurut Sunjayadi, salah satu faktor arus juga berpengaruh pada perkembangan perilaku sosial migrasi yang terjadi di Batavia adalah adanya potensi masyarakat, terutama yang secara strati kasi sosial di bidang periwisata yang menawarkan Hindia Belanda, berada di bawah masyarakat Barat.10 Secara umum, terutama Jawa, sebagai salah satu objek wisata dunia modernitas menjangkau hingga bidang kehidupan yang dengan tagline (semboyan) yang dikenal dengan Mooi sehari-hari yang bersifat paling pribadi seperti perilaku Indië33. seksual.11 Menurut Foucault, cerminan dari kenikma- Nieuwe Batavia dapat dikatakan telah mengala- tan sebagai sesuatu yang mendestabilisasi dan men- mi tranformasi menjadi kota yang kosmopolitan den- gancam tidak hanya bagi tatanan politik dan budaya gan aspek yang melingkupinya. Nieuw Batavia dapat tetapi juga semua jenis tatanan, baik tatanan suci / disejajarkan dengan kota-kota besar dunia seperti Pa- profan, tatanan tubuh dan bahkan tatanan teori. Da- ris dan London. Kota ini menjadi semacam magnet den- lam hal ini dikaitkan seks sebagai bagian dari kekua- saan yang dipahami sebagai hubungan kekuatan yang gan segala hal yang menjadi ciri kota urban tersedia 32 Menurut Termorhuizen, kota Batavia terbagi menjadi dua bagian: yang lama, imanen. Selain itu juga karena kebutuhan hiburan dan ‘lower city’, disituasikan dengan laut dan seperempat bagian utara, dimana derah kecenderungan perilaku seks tersebut merupakan es- tersebut kelak akan dibangun dan disebut ‘upper city’. Kota bawah (lower city), ensi manusia dalam pemaknaan hidupnya sebagai pe- merupakan pusat dari bisnis orang Barat. Disana terdapat kantor-kantor yang di- kuasai oleh Belanda totok, Eurasia atau indo dengan pekerjaannya sebagai juru lampiasan dari rutinitas, kejenuhan, kon ik diri, dan tulis atau pengawas, orang Tionghoa bekerja pada toko dan perusahaan mereka, gaya hidup.12 dan orang Indonesia, datang dari berbagai kampung-kampung terdekat, bertahan hidup sebagai kuli di jalan-jalan atau di Kali Besar dimana kapal-kapal dari dalam Orang-orang Barat sangat kagum dengan Bali, dan luar negeri memasukkan atau menurunkan muatan. Gerard Termorhuizen, “A baik dari segi budaya, sosial, maupun keindahan Murder in Batavia or the Ritual of Power”, dalam Peter J.M. Nas (eds.), Urban topogra snya, maka tidak mengherankan bahwa mer- Symbolism (Leiden: Brill, 1993), hlm. 93. 33 Menurut Onghokham, terminologi Mooi Indiё adalah penggamba- 9 Sartono Kartodirdjo, Masyarakat Kuno dan Kelompok-kelompok So- ran ciptaan kolonial Belanda tentang alam dan masyarakat Hindia sial (Jakarta: Bhratara, 1977), hlm. 7-8. Belanda secara damai, tenang, dan harmonis. Pandangan tersebut 10 Sigmund Freund berpendapat bahwa budaya seks berasal dari ke- berakar pada romantisisme Belanda yang ingin menciptakan Timur budayaan Barat. Marsten Bates, “Manusia, Makanan, dan Seks”, yang eksotis sekaligus menguntungkan bagi sisi  nansial. Ong- dalam Parsudi Suparlan (ed.), Manusia, Kebudayaan, dan Lingkun- hokham, “Hindia yang Dibekukan “Mooi Indiё” dalam Seni Rupa gannya (Jakarta: Rajawali, 1984), hlm. 26. dan Ilmu Sosial”, dalam Harsja W. Bachtiar, dkk. Raden Saleh, Anak 11 Piotr Sztompka, op.cit., hlm. 86. Belanda, Mooi Indië, dan Nasionalisme (Depok: Komunitas Bambu, 12 Michael Faucault, Seks dan Kekuasaan: Sejarah Seksualitas (Ja- 2009), hlm. 163-164. karta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 113-127.

30 199 Demikian catatan Guillame ketika singgah di Ba- di Batavia, mulai dari pusat pemerintahan, pusat ke- tavia pada tahun 1758.6 Pemerintah Belanda men- budayaan, peluang bisnis, pendidikan, hiburan hingga gizinkan pembukaan tempat-tempat judi bagi ma- sektor pariwisata. syarakat Tionghoa dan lainnya, namun orang Eropa tidak diperbolehkan bermain judi karena dianggap B. Perkembangan Infrastruktur Kota dan sebagai tindakan amoral.7 Apabila dilanggar maka Masyarakat Urban Batavia yang bersangkutan akan ditahan oleh polisi Bata- Batavia pada abad XX telah mengalami banyak via. perubahan wajah kota. Pesatnya arus modernisasi global berdampak pada peningkatan infrastruktur kota dan berbagai aspek pendukung lainnya. Pertumbuhan Batavia tak lepas dari peran pertumbuhan ekonomi di Jawa yang membawa masyarakat beralih dari sistem ekonomi tradisional ke arah ekonomi modern. Indika- tor tersebut dapat dilihat pada munculnya sektor-sek- tor ekonomi Barat, monetisasi, dan munculnya buruh upahan. Sistem monetisasi yang mulai dikenal oleh masyarakat Jawa melahirkan kelompok sosial baru yang terdiri atas: penguasa tradisional Jawa, pengu- saha swasta Eropa, dan pengusaha Tionghoa.34 Kondisi Gambar 21: Para pemain judi ditahan di tangsi polisi Bata- tersebut berdampak pada terjadinya arus urbanisasi ke via, 1905 (Sumber: kitlv.nl.) wilayah perkotaan. Menurut Castles, perluasan fungsi pemerintahan di bawah pengaruh Politik Etis dan per- Arak, candu, judi, dan prostitusi merupakan satu tambahan penduduk Jawa yang pesat telah menyebab- kesatuan yang sulit dipisahkan. Kesemuanya saling kan terjadinya gelombang pertama imigrasi secara mas- berkaitan satu sama lain sehingga pengusaha Tionghoa sif dari daerah pedalaman.35 mendirikan tempat-tempat yang menyediakan keempat Selain itu, fungsi kota Batavia di abad XIX tidak aspek tersebut.8 Hal ini merupakan implikasi sosial hanya sebagai pusat administrasi pemerintah dan 6 Rahib Guillaume-Thomas Raynal, ”Pendapat Orang Perancis Zaman konsentrasi militer untuk seluruh wilayah Hindia Be- Pertengahan tentang Pentingnya Koloni, Terutama Nusantara bagi Dunia di Masa Depan”, dalam Bernard Dorleans, Orang Indonesia 34 Vincent Houben, “Java in 19th Century: Consolidation of a Teritorial dan Orang Perancis: Dari Abad XVI-XX (Jakarta: Kepustakaan Pop- State”, dalam Howard Dick (eds.) The Emerge of A National Economy: uler Gramedia, 2006), hlm. 208. An Economic History of Indonesia, 1800 – 2000 (Honolulu: University 7 Bernard H.M. Vlekke, op.cit., hlm. 173. of Hawai’I Press, 2002), hlm. 66. 8 Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa (Jakarta: Lentera Di- 35 Lance Castles, Pro l Etnik Jakarta (Jakarta: Masup, 2007), hlm. pantara, 2009), hlm. 300. 18.

198 31 landa tapi juga sebagai pusat neomerkantilisme yang bahwa orang Tionghoa yang lain akan menutup diperkenalkan oleh Raja Willem I. Kondisi tersebut juga hutang judinya dan mengembalikan kepada mer- memaksa pemerintah kolonial untuk mempersiapkan eka nilai uang sebesar nilai kerugian. Kebiasaan segala aspek pendukung merkantilisme, seperti pelabu- mereka adalah menggantikan kekalahan sang pe- han Tanjung Priuk, pembangunan sarana transporta- main judi yang kalah bertaruh sampai tiga kali, si darat, dan pembuatan rel kereta api. Infrastruktur namun celakanya, begitu pemain kalah untuk ke tersebut berfungsi sebagai media penyaluran komoditas tiga kalinya dan harta bendanya telah habis, orang dari negara koloni ke luar negeri maupun sebaliknya.36 Tionghoa lain meninggalkannya dengan nasib Sejalan dengan pembangunan pelabuhan modern, sialnya”.3 Orang Tionghoa peranakan kaya ban- berkembang pula infrastruktur lalu lintas darat, pem- bangunan jalur kereta api, dimulai sejak 1873, yang yak yang terjebak dalam kesenangan duniawi dan menghubungkan Batavia-Buitenzorg. Kemudian dis- akhirnya menjadi jatuh miskin. Deskripsi tersebut usul dengan trem uap dalam kota mulai tahun 1881 tampak pada kisah Lie Yoe Hok, merupakan anak serta trem listrik pada 1897. Pasca pemberlakuan keturunan tauke yang ditertawakan Tionghoa to- sistem relasi terpusat pada 1930, seluruh lalu lintas tok karena jatuh miskin karena terlalu banyak ber- trem telah menggunakan tenaga listrik. Sarana trans- main judi “Top” dan memaksanya untuk berjualan portasi tersebut memudahkan akses ekspor dan impor kodok demi menyambung hidup.4 komoditas barang di Batavia.37 Tingginya animo masyarakat Tionghoa dan Masuknya berbagai komoditas impor tersebut masyarakat pribumi terhadap judi membuat elite menjadikan Batavia sebagai kota modern yang mampu Tionghoa membuka usaha dibidang rumah judi. bersaing dengan kota-kota besar lain di dunia. Menurut Pendirian rumah judi tersebut tidaklah gratis me- Foster, suatu kota dapat dikatakan berpredikat modern lainkan harus menyetorkan sejumlah upeti kepada ketika pada tingkat budaya ditandai dengan kemajuan pemerintah kolonial demi memperoleh perizinan.5 teknologi, perkembangan perusahaan, dan pelayanan Peraturan tersebut pada dasarnya telah diberlaku- kota. Perubahan ke arah modern digambarkan adanya kan di pertengahan abad XVIII. Setiap tahunnya, perubahan dari suatu kosmologi ke suatu konsep ekolo- orang Tionghoa harus membayar sekitar 384 ribu gis, dimana kerangka kota tetap sama namun lingkun- pon untuk memperoleh izin membuka tempat judi. gan mengalami perubahan yang signi kan.38 Politik Lib- 3 Denys Lombard II, op.cit., hlm. 305. 36 Pauline Dublin Milone, Urban Areas in Indonesia: Administrative & 4 Thio Tjien Boen, “Dengan Duwa Cent Jadi Kaya, Jilid I”, dalam Mar- Cencus Concept (Barkeley: University of California, 1986), hlm. 12 cus A.S. dan Pax Benedento (eds.), op.cit., hlm. 160-195. 37 Abdurrachman Surjomihardjo, Pemekaran Kota Jakarta/The Growth 5 Gouw Peng Liang, “Cerita yang Betul suda Kejadian di pulo Jawa of Jakarta (Jakarta: Djambatan, 1977), hlm. 47-49. dari halnya satu tuan tana dan pachter opium di Res. Benawan, 38 George M. Foster, Traditional and Technological Change (New York: Bernama Loe Fen Koei”, dalam Marcus A.S. dan Pax Benedento, Harper & Co., 1973), hlm. 71. op.cit., hlm. 99.

32 197 bisa berjudi demi menebus kekalahannya. eral pintu terbuka yang diterapkan pemerintah kolonial Barang apapun yang dianggap bernilai selalu di- telah berhasil mengundang masuknya berbagai inves- jadikan barang taruhan judi. Barang-barang kasar tor asing ke Hindia Belanda. Para pengusaha Belanda diletakan begitu saja di rak-rak, namun barang yang yang selama Sistem Tanam Paksa tidak diperkenankan memiliki harga tinggi seperti emas, , dan per- mengembangkan usaha mereka di Jawa, Sumatera, hiasan lainnya, diletakkan di dalam sebuah peti besar Kalimantan, Sulawasi, akhirnya dapat membuka ber- (grobak) yang dilapisi dengan besi karena pada masa itu bagai perkebunan dan pertambangan.39 Disamping in- belum ada lemari atau peti besi. Barang yang sudah di- vestasi asing, kebijakan pemerintah kolonial di bidang jaminkan tidak dapat ditarik kembali dan akan ditukar pertanian, irigasi, fasilitas kesehatan, pinjaman kredit, dengan pinjaman untuk berjudi meskipun barang yang dan koperasi turut berperan serta dalam peningkatan dijaminkan selalu bernilai lebih tinggi dari pinjaman1 kesejahteraan masyarakat kolonial.40 yang diberikan. Barang tersebut oleh pachter akan di- Masyarakat Batavia yang plural dan disertai juga jual atau dilelang pada orang lain, maka tidak mengh- dengan masuknya berbagai modal asing telah menem- erankan bahwa para pachter mendapat keuntungan be- patkan kota Batavia menjadi kota industri. Pusat kota sar. Kasir bisa memberikan pinjaman pada penjudi yang yang awalnya berupa pusat pemerintahan dan militer sudah dikenal tanpa adanya jaminan, yakni pada orang di masa pemerintahan VOC secara bertahap bergesar yang dipercaya dan memang sering bermain di tempat menjadi pusat ekonomi dan perdagangan. Berbagai tersebut. Bila memang demikian, maka pachter akan sarana seperti perndidikan, hiburan, teknologi, per- menugaskan pegawai / pengawas judi untuk menga- dagangan, dan birokrasi menjadikan Batavia sebagai wasi penjudi tersebut. Ketika ia menang dan dapat ke- penduduk desa yang berujung pada proses urban- untungan, maka pada saat itulah sang penjudi ditagih isasi penduduk perkotaan.41 Berbagai sarana tersedia untuk membayar pinjamannya hingga lunas. Namun di kota Batavia, mulai dari restoran, hotel, toko per- apabila ia bernasib buruk maka ia akan diberikan pin- hiasan, pakaian, parfum, salon, otomotif, klub hiburan jaman lagi dengan rente atau bunga. Maka tidak heran malam, bioskop, olah raga, bank, dan lain sebagainya. penjudi tersebut terlilit hutang dan harus membayar Sarana-sarana tersebut tentunya hanya dapat diakses bunga pinjaman hingga sepuluh kali lipat.2 39 Rijklef van Goens, Javaense reyse, De bezoeken van een VOC-gezant Signeur de l’Estra melalai karyanya, Relation, aan het hof van mataram 1648-1654 (Amsterdam: Terra Incognita, disebutkan pula mengenai prisip bantuan orang 1995), hlm. 112. 40 Peter Boomgaard, ”The Welfare Service in Indonesia, 1900-1942”, Tionghoa di Batavia mengenai utang judi: “Mereka dalam George Winius dan Pieter Emmer (eds.), India and Indone- tidak khawatir kalah berjudi karena mereka tahu sia from the 1920s to the 1950s: The Origins of Planning (Leiden: E.J.Brill, 1986), hlm. 58-78. 1 Pinjaman tanpa bunga disebut “gakhui”. Han Hwie Song, op.cit., 41 Djoko Suryo, Transformasi Masyarakat Indonesia dalam Histo- hlm. 255. riogra Indonesia Modern (Yogyakarta: STPN Press, 2009), hlm. 2 Liem Thian Joe, op.cit., hlm. 48-49. 110.

196 33 oleh orang-orang yang berkemampuan menengah ke ern, dikenal jenis permainan “Bridge”.4 atas. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya segregasi sosial di kalangan masyarakat antara si kaya dengan si miskin karena kekayaan menjadi kriteria prestise dan kekuasaan disamping pendidikan Barat.42

Tabel II Perkiraan pendapatan non-upah menurut golongan penduduk, 1935

Orang-orang yang Pendapatan bersih / Tahun diperkirakan tahun 900 Gul- % Jumlah % den Eropa 29,41 15.999 35,85 47.683 Indonesia 13,96 7.598 10,29 13.693 1935 Tionghoa 50,89 27.686 47,93 63.758 Gambar 20: Pemain judi kartu di Yogyakarta, 1905 Timur Asing 5,74 3.124 5,93 7.887 Sumber: collectie.tropenmuseum.nl. lainnya Lain halnya dengan arisan yang dapat diterima Jumlah 100 54.407 100 133.021 oleh masyarakat, permainan lotere seperti: “Tjap Djie Kie”, “Po”, “Waiseng”, dan “Hua Hui” merupakan jenis Eropa 29,20 16.188 34,96 46.851 permainan yang ditolak oleh masyarakat, terutama dari Indonesia 13,68 7.583 10,24 13.726 golongan Islam. Keempat permainan tersebut dipan- Tionghoa 51,46 28,527 1936 48,93 65.183 dang sebagai permainan yang hanya mengandalkan Timur Asing 5,65 3.134 6,17 8.264 keberuntungan dan sering menjerumuskan pemainnya lainnya dalam kebangkrutan atau kemiskinan. Sudah menjadi Jumlah 100 55.432 100 134.025 kebiasaan orang Tionghoa sejak zaman dahulu bahwa mereka memandang judi sebagai sebuah kesenangan atau hobi. Di tempat judi, tidak jarang para pemain judi kalah dan gelap mata bernafsu untuk menang hingga mereka harus menggadaikan barang berharga untuk 42 J.M. van der Kroef, Indonesia in the Modern World (Bandung: Masa Baru, 1954), hlm. 165. 4 Umar Kayam, op.cit., hlm. 206.

34 195 tidak mampu menjaga sang putri dan terlalu sibuk ber- Eropa 26,50 16.577 32,38 51.943 main judi.1 Indonesia 17,85 11.162 13,09 21.073 Permainan judi yang biasa dimainkan para ibu Tionghoa 50,51 31.593 49,02 78.892 1937 atau nyonya-nyonya Tionghoa adalah jenis arisan. Timur Jenis judi ini merupakan judi yang sangat digemari Asing lain- 5,14 3.217 5,61 9.024 dari kalangan bawah hingga atas masyarakat Tiong- nya hoa. Menurut Lombard berdasarkan teks yang ditemu- Jumlah 100 62.549 100 160.932 kan berangka tahun 1926, menunjukkan bahwa arisan merupakan sebuah permainan yang berasal dari Kan- ton. Arisan sesungguhnya merupakan sejenis judian, Sumber: Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Kri- namun setiap pemain menang secara bergiliran dan sis (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm. 51. tidak pernah menerima lebih dari jumlah taruhannya. Meski demikian, jenis permainan judi ini dapat diteri- Batavia sebagai kota metropolitan dengan kompo- ma oleh masyarakat luas Hindia Belanda.2 sisi masyarakat plural berdampak pada terbentuknya Selain arisan, terdapat jenis permainan kartu perilaku dan konsumsi masyarakat urban perkotaan. yang juga berasal dari Cina. Permainan ini berada di- Tingginya tekanan akan sebuah gengsi terkadang me- antara arisan, yang mengedepankan azas keadilan, maksa seseorang untuk mampu menunjukkan iden- dengan lotere, yang hanya mengandalkan peruntun- titas diri di depan publik, meski terkadang harus gan dan spekulasi belaka. Paling tidak sejak abad XIX, melakukan identitas palsu atas nama citra. Konsumsi permainan kartu tertentu telah dipraktikkan oleh be- atas simbol-simbol material merupakan media untuk berapa kalangan atas Jawa sebagaimana catatan Tjan menunjukkan jati diri seseorang di mata masyarakat. Tjoe Siem tentang “Javaanse Kaartspelen”. Permainan Tak jarang identitas palsu ini justru menjerumuskan ini bahkan dipuji karena memiliki ciri manusiawi yang penggunanya jatuh ke dalam kemiskinan akibat gaya membantu mengembangkan sifat: teteg (teguh), mantep hidup yang berlebihan.43 (mantap), dan sabar. “Kartu Jawa” merupakan bentuk Hal tersebut merupakan unsur dari budaya kon- dari penyerdehanaan permainan kartu Cina, “Peh Pai” sumen. Menurut Featherstone, unsur budaya kon- yang berarti “Kartu Putih”.3 Dalam perkembangannya, sumen terdiri atas: Pertama, berciri materialistis dan permainan kartu ini juga dimainkan wong cilik. Sedan- sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk gkan untuk “Kartu Barat”, yang dipandang lebih mod- mengungkap kemiskinan rohani dan tindakan yang 1 Myra Sidharta, “The Making of the Indonesian Chinese Woman”, dalam Elsbeth mementingkan diri sendiri yang hedonistis dimana Locher Scholten and Anke Niehof (eds.), Indonesian Women in Focus: Past and Present Nations (Leiden: KITLV, 1987), hlm. 67. 43 Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat 2 Denys Lombard II, op.cit., hlm. 309. Pendukungnya di Jawa Abad XVIII-Medio Abad XX (Yogyakarta: Ya- 3 Ibid., hlm 311. yasan Bentang Budaya, 2000), hlm. 156-161.

194 35 individu memusatkan kehidupannya pada konsumsi nya (nomer) bisa muncul dan cocok dengan yang dimi- barang-barang. Kegiatan berbelanja bukan lagi meru- likinya.3 pakan interaksi ekonomi “sederhana”, melainkan lebih merupakan interaksi simbolis dimana individu membe- li dan mengkonsumsi citra dari suatu produk.44

C. Struktur Masyarakat dan Perubahan Sistem Status Abad XX Ledakan penduduk di Jawa pada akhir abad XIX, menurut para ilmuwan dan pejabat kolonial adalah kualitas kesehatan yang lebih baik di bawah pemer- intah kolonial dan tiadanya perang lagi antara berba- gai penguasa pribumi pasca Belanda mampu meng- Gambar 19: Sekelompok orang Tionghoa tengah bermain konsolidasikan kekuasaannya di seluruh Pulau Jawa, judi di Batavia, 1900 (sumber: geheugenvannederland.nl.) artinya setelah terciptanya Pax Neerlandica di pulau 45 Jawa. Dampak Pax Neerlandica turut berimbas pada Kesenangan akan bermain judi dapat membuat Batavia sebagai pusat salah satu kota yang paling pa- pemain lupa waktu, baik kaum pria maupun perem- dat penduduknya diantara kota-kota besar lainnya di puan. Judi yang dimainkan paling sedikit menghabis- dunia. Menurut Termorhuizen, Pada akhir abad XVIII, kan selama beberapa jam, bahkan tak jarang hingga populasi di Batavia terdiri atas 140.000 jiwa. 100.000 berhari-hari. Dalam novel Pouw Kioe An (1949), “Nona pribumi, 25.000 orang Tionghoa, 2.500 orang Arab be- Merah”, digambarkan bagaimana seorang suami yang serta orang timur lainnya, dan sekitar 9.000 orang Ero- menyalahkan kehamilan putri mereka karena istrinya pa.46 Realitas tersebut dapat dimengerti karena Bata- via merupakan kota yang menjadi pasar potensial bagi para pedagang untuk menjual hasil produksi maupun komoditi perdagangan disamping sebagai konsekuensi logis atas asal-usulnya sebagai ibukota utama kompeni

44 Mike Featherstone, ”Budaya Konsumen, Kekuatan Simbolis, dan Universalisme”, dalam Hans Dieter-Evers, Teori Masyarakat: Proses Peradaban Sistem Dunia Modern (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988), hlm. 55. 45 Peter Boomgaard, op.cit., hlm, pendahuluan xv. 46 Gerard Termorhuizen, op.cit., hlm. 136. 3 Liem Thian Joe, op.cit., hlm. 73.

36 193 Hindia Timur Belanda ().47 Berbagai suku dan bangsa, dari kalangan pribumi maupun mancanegara, datang ke Batavia dan memben- tuk perkumpulan-perkumpulan tertentu. Perkumpu- lan tersebut kelak menjadi komunitas masyarakat yang khas berdasarkan persamaan diantara mereka. Sebagai contoh adalah terbentuknya kampung-kampung Tiong- hoa, Arab, India, Jawa, Sunda, Bali dan lain-lain yang Gambar 18: Pemuda Tionghoa sedang menikmati candu dipimpin oleh masing-masing pemimpin Inlandsche Ka- dan ditemani oleh wanita penghibur pada akhir abad XIX pitan.48 Hal yang serupa juga terjadi pada masyarakat (Sumber: Hardouin) outsiders pribumi seperti bangsa Portugis49, Perancis, Jerman, dan lain-lain. Arak dan opium merupakan sebuah contoh ben- Mayoritas para pendatang di Batavia tersebut mer- tuk konsumsi demi pemuasan  sik dan batin orang upakan kaum Adam mengingat jalur pelayaran pada Tionghoa. Disamping arak dan opium, orang Tionghoa abad XVI harus ditempuh dalam waktu yang panjang, juga biasa menghabiskan waktu luangnya dengan ber- tiga bulan, dan diperparah dengan maraknya aksi ke- main judi. Seorang pelaut Inggris ketika berlabuh di jahatan dari para perompak di lautan Nusantara seh- Banten pada 1621, ia berkomentar bahwa, ”orang Cina ingga para kaum Hawa disarankan untuk tetap tinggal begitu asik berjudi sehingga ketika mereka kalah dan demi faktor keselamatan. Kondisi tersebut memaksa terkuras hartanya bendanya, mereka akan memperta- para pria di Nusantara untuk mempersunting wanita 1 ruhkan istri dan anak-anak mereka”. Jenis permai- setempat. Adanya interaksi antara para pendatang den- nannya dikenal dengan sebutan ”judi poh”, sebuah je- gan wanita pribumi menghasilkan sebuah akulturasi nis permainan judi dari Tiongkok. Permainan ini biasa budaya dan juga keturunan dari perkawinan campuran 2 dilakukan ketika parade tahun baru Tionghoa. Jenis 47 W.F., Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Pe- permainan judi seperti gimer, keplek, dan kubuk adalah rubahan Sosial (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 20. jenis judi yang menggunakan uang koin dan dadu. Se- 48 Sekitar abad XVIII, terdapat 17 komandan pribumi, yakni: dua kapitan Jawa (satu untuk warga Jawa yang tinggal di sisi barat Kali lain itu juga terdapat permainan judi “gajah-gemblek”, Besar, wester-Javanen, dan satu kapitan warga Jawa yang ting- jenis judi ini sangat populer dan biasanya sang pemain gal di sisi timur Kali Besar, ooster-Javanen), lima kapitan Bali, tiga judi akan mencari keberuntungannya (wangsit) dengan kapitan Bugis, satu kapitan Makassar, satu kapitan Mandar, satu kapitan Sumbawa, satu kapitan Ambon, satu kapitan Buton, dan cara mengunjungi kuburan dengan harapan pasangan- satu kapitan peranakan Cina. Mona Lohanda, op.cit., hlm. 49. 1 Denys Lombard II, op.cit., hlm. 306. 49 Untuk memahami komunitas Tugu dan warisan Portugis di Bata- 2 Mary Sommers Heidhues, “Dissecting the Indies: The Nineteenth via, lihat Paramita R. Abdurachman, “Portuguese Presence in Jakar- Century German Doctor Franz Epp”, dalam Archipel 49, Paris. 1995. ta”, dalam Masyarakat Indonesia 2, 1975 No.1, 1975, hlm. 96-101. hlm. 33-35

192 37 antara ras dan bangsa yang berbeda.50 menyuguhkan tamu dengan opium. Hal tersebut meru- Perihal yang perlu diperhatikan adalah pada masa pakan kehormatan besar bagi sang tamu dan merasa VOC, awal abad XVIII, terdapat klasi kasi masyarakat lebih dihargai.8 Opium pada dasarnya memiliki pelbagai berdasarkan garis keturunan yang dihasilkan, yak- kualitas yang sesuai dengan harganya, semakin ban- ni pertama, orang Eropa, dalam istilah ini, secara te- yak yang dikonsuksi maka semakin mahal juga biaya knis termasuk semua orang yang lahir di Eropa, semua yang dikeluarkan. Oleh karena itu, kecanduan opium orang yang orang tuanya orang Eropa, tetapi lahir di merupakan hiburan bagi elite Tionghoa kaya.9 Asia (Kreol), wanita yang menikah dengan pria Eropa, Kegemaran akan konsumsi opium di kalangan anak sah berayahkan orang Eropa dan anak tidak sah masyarakat Tionghoa akan terasa lebih nikmat ketika tetapi diakui resmi oleh ayahnya orang Eropa. Kedua, dilayani dan ditemani oleh wanita penghibur. Hal ini orang Eropa bukan Belanda, banyak orang Eropa bu- tere eksikan pada salah satu dokumentasi Hardouin kan Belanda yang bekerja pada VOC, terutama seba- dan Ritter pada awal abad XIX. Gambar tersebut me- gai kelasi atau prajurit, namun juga yang menduduki nampilkan dua orang Tionghoa (tampak dari tauch- fungsi tinggi sebagai saudagar, pendeta, guru sekolah, ang mereka) yang tengah menikmati opium di sebuah dan semacam itu.51 Ketiga, Kreol, sebutan bagi orang- gubuk sembari ditemani oleh seorang wanita bertelan- orang yang lahir di Asia, tetapi orang tuanya lahir di Er- jang dada. Pada gambar tersebut dapat diiterpretasikan opa. Di zaman VOC, orang-orang semacam ini juga di- bahwa realitas historis aktivitas dilakukan di malam sebut Liplap. Keempat, Eropa-Indo, sebutan bagi orang hari dan mereka berasal dari kalangan ekonomi me- berdarah campuran di zaman VOC, ayah orang Eropa nengah ke bawah.10 dan ibu orang Asia.52 Kelima, orang Asia yang berasal

50 Menurut Jean G. Taylor, wanita di Batavia, baik yang sebagai nyai, pembantu, pengasuh, dan bahkan budak, merupakan mediator yang berfungsi sebagai jembatan transfer budaya lokal terhadap budaya Barat. Jean Gelman Taylor, “Women as Mediators in VOC Batavia”, dalam Sita van Bamellen (ed.), Women and Mediation in Indonesia (Leiden: KITLV Press. 1992), hlm. 249-262. 51 C.R. Boxer memperlihatkan bahwa jumlah orang bukan Belanda di dalam dinas VOC sangat banyak, terutama di jabatan-jabatan rendah. Dalam tahun 1710, resimen di Batavia seluruhnya terdiri dari orang Jerman, Swis, Polandia. Di kemudian hari, orang-orang Eropa bukan Belanda juga disebut dengan orang Eropa-Asing. 8 Liem Thian Joe, op.cit., hlm. 169. 52 Sebutan-sebutan lain bagi orang ini: Mestis, dari kata Portugis, Me- 9 Peter Carey, Orang Cina, Bandar Tol, Candu, dan Perang Jawa, stico dan Euraziat. Di zaman VOC, orang-orang Indo Eropa dibagi Perubahan Persepsi Tentang Cina 1755-1825 (Jakarta: Komunitas lagi dalam kelompok: Mestis (ayah Eropa, ibu orang Asia yang hit- Bambu, 2008), hlm. 75. am), Kastis (ayah Eropa, ibu Mestis), Pustis (ayah Eropa, ibu kastis), 10 Peter Carey, The Power of Prophecy: Prince Diponegoro and The End dan yang terputih diantara orang-orang kulit berwarna disebut Kri- of an Old Order in Java 1785 – 1855 (Leiden: KITLV, 2007), hlm. stis (ayah Eropa, ibu pustis). Varietas yang bervariasi tersebut di- 477.

38 191 Raja” atau “Cap Pee Low Hwan Ong”. 3 Kekayaan orang dari luar kepulauan Nusantara, terutama kelompok Tionghoa di awal abad XX berasal dari perdagangan budak yang dikirim dari Hindia Depan (Koromandel, candu, rempah-rempah, rumah gadai, dan usaha pem- Malabar, Benggala, dan Sailan). Mereka dan orang Mar- injaman uang dengan bunga yang sangat tinggi (money dijker sering disebut dengan sebuatan Swarte, orang lending).4 Coperus dalam Stille Kracht dipaparkan bah- hitam. Keenam, Mardijker atau budak dari Asia, keba- wa paviliun mantan juragan opium dibangun dengan nyakan dari Hindia Depan yang dimerdekakan atau ke- sangat besar dan mewah dengan daun pintu berwarna turunan Afrika dan keturunan orang berdarah campu- emas sehingga terlihat sangat elegan.5 Oey Tiong Ham ran Asia campuran. Nama Mardijker berasal dari kata merupakan contoh dari bandar terbesar sekaligus ter- Melayu “Merdeka“ yang berarti bebas atau dibebaskan. kaya di Hindia Belanda. Demi melancarkan usahanya, Ciri khas Mardijkers adalah mereka beragama Kristen orang Tionghoa biasanya memilliki hubungan relasi dan berbicara dengan bahasa Portugis. Terkadang sulit dengan para pembesar kolonial, sehingga membentuk membedakan antara orang Mestis dengan Mardijker.53 semacam jaringan ma a candu terselubung.6 Pada abad XVIII, perbedaan tersebut semakin ka- Mayoritas besar konsumen candu memandang bur karena adanya perkawinan campuran hingga bahwa candu merupakan obat pembawa ketenangan, pada akhirnya di kuartal akhir abad XVIII kedua kenyaman, dan penghilang kantuk atau letih. Sebagian kelompok tersebut bersama-sama disebut orang lagi berpendapat bahwa apabila tidak mengkonsumsi pribumi Kristen atau Portugis. Pada awal abad XIX, candu justru membuat tubuhnya lekas letih. Masyarakat penduduk dibagi menjadi orang Eropa, Portugis, pribumi yang berprofesi sebagai buruh perkebunan dan Pribumi. Ke dalam kelompok Mardijker juga di- atau kuli kasar biasa menyisakan 5 sen untuk mem- masukkan orang Tupas dan orang Papanger. Tupas beli candu. Kalangan yang lebih miskin biasanya saling adalah orang yang berasal dari Hindia Depan atau berbagi dengan rekannya di pondok-pondok sederha- Pulau Timor serta berayahkan orang Portugis, se- na. Elite pribumi7 dan elite Tionghoa biasa menghisap hingga kerap juga disebut orang “Portugis Hitam“. candu dengan pipa (badudan) yang bagus dan mahal Menurut Lombard, kata Tupas kemungkinan besar di rumah pribadi maupun di klub elite khusus penggu- berasal dari perubahan kata Dravida, Tupassi, yang na opium. Elite Tionghoa dan pembesar pribumi kerap berarti “pandai berbicara“ dua bahasa atau “juru 3 Ibid., hlm. 300; Liem Thian Joe, op.cit., hlm. 169. bahasa“. Kaum Toepassen adalah hasil perkawinan 4 Z. M. Hidayat, op.cit., hlm. 84. campuran, dan sangat dipengaruhi oleh Barat, 5 Louis Couperus, De Stille Kracht (Amsterdam: L.J. Veen, tanpa ta- setidaknya dari kelakuan, agama, dan nama pribadi hun), hlm. 56. 6 Onghokham, Rakyat dan Negara (Jakarta: LP3ES, 1991), hlm. 51. tentukan oleh jauh-dekatnya hubungan dengan ras Kaukasus dan 7 Kalangan priyayi di Kasunan Surakarta juga kerap melakukan hal- ukuran bakat atau intelektualnya. hal yang bersifat hedonistik seperti kesenangan bermain perem- 53 Kees Groeneboer, Jalan ke Barat: Bahasa Belanda di Hindia Be- puan, mabuk-mabukan, dan mengkonsumsi candu. Kuntowijoyo, landa 1600 – 1950 (Jakarta: Erasmus Taalcentrum, 1995), hlm 17- op.cit., hlm. 59-64. 19.

190 39 yang mereka sandang, 54sedangkan Papanger ada- Disamping arak sebagai komoditas konsumsi ma- lah orang yang berasal dari Filipina dan merupakan syarakat Tionghoa di kala waktu luang terdapat juga keturunan orang Spanyol.55 candu. Masuknya candu ke Batavia menjadi opsi lain Menurut Faber dalam tulisannya Oud Soerabaia, bagi masyarakat etnis Tionghoa. Tidak pernah diketa- menyebutkan bahwa kriteria kedudukan seseorang hui sejak kapan dan dari mana candu masuk ke Hin- keturunan Eropa di Hindia Belanda dalam abad XIX, dia Belanda. Catatan mengenai keberadaan dan peng- adalah tempat seseorang dilahirkan (di negeri Belanda gunaan candu di Hindia Belanda baru diketahui pada atau Hindia Belanda), barulah orang dapat membica- akhir abad XVI dan awal abad XVII. Meskipun struktur rakan seseorang itu keturunan murni Belanda (volblo- formal bandar opium baru ditetapkan pada tahun 1809 ed). Para keturunan atau Indo adalah mestizen, creolen, oleh Laksamana Daendels, para pedagang Tionghoa dan liplappen. Pada masa VOC dengan adanya penga- sebenarnya telah memproduksi dan memperdagangkan ruh Portugis, untuk kelompok masyarakat utama (mijn- opium di Jawa sejak dua abad sebelumnya di bawah heer) disebut signores, kemudian keturunannya disebut berbagai macam perjanjian dengan kompeni Hindia dengan sinyo. Yang langsung merupakan keturunan Belanda dan para penguasa pribumi. Menurut Jean Belanda dengan pribumi “grad satu” disebut liplap, se- Chretien Boud, gubernur jenderal periode 1833-1836, dang “grad dua” disebut grobiak, dan “grad tiga” dis- candu menyebar ke beberapa wilayah di Hindia Belan- ebut kasoedik. Liplap biasanya menjadi pedagang atau da pada akhir tahun 1600. Daerah yang pertama kali pengusaha, terutama pedagang budak karena mendap- didatangi para pedagang candu adalah daerah pelabu- atkan untung banyak dari hasil penjualannya. Adapun han, seperti: Banten, Aceh, dan pelabuhan-pelabuhan grobiak kebanyakan menjadi pelaut, nelayan, dan ten- lada. Sementara itu, di daerah pedalaman yang banyak tara, sedangkan kasoedik cenderung menjadi pemburu dijumpai perdagangan candu adalah daerah yang ban- dan nelayan. Pada masa kemudian, kata kasoedik dan yak dihuni oleh orang timur asing seperti orang Tiong- grobiak hilang dari pembicaraan orang. Kata liplap ma- hoa. 2 sih sering diucapkan, sama halnya dengan kata sinyo Candu merupakan sebuah komoditas ekono- (bahkan hingga waktu yang lama semua anak orang mi yang memiliki pangsa pasar yang sangat besar. kulit putih oleh orang Jawa disebut denga istilah si- Masyarakat pribumi –wong cilik / elite kerajaan-, Tion- nyo). Semua istilah tersebut kemudian hilang dan di- ghoa, dan beberapa orang Barat merupakan konsumen gantikan dengan kata Indo Europeaan sebagai ucapan candu. Faktor inilah yang mendorong para elite Tiong- atau istilah kehormatan.56 hoa berlomba-lomba untuk memenangkan pelelangan Pada tahun 1854, penetapan dalam artikel 109 bandar opium. Proses transaksi tersebut dalam termi- nologi Rush dan Tjoe dikenal sebagai “Pertarungan para 54 Denys Lombard I, op.cit., hlm. 222. 55 Kees Groeneboer, op.cit., hlm. 19. 56 Djoko Soekiman, op.cit., hlm. 25. 2 James R. Rush, op. cit., hlm. 51.

40 189 Peraturan Pemerintah (Regering Reglement), dari pato- kan-patokan baru untuk pembagian yuridis penduduk Hindia Belanda. Semasa VOC, di Batavia dan di kan- tor dagang yang bergantung padanya dibedakan antara orang bebas dan yang budak, lalu kelompok orang be- bas dibedakan antara pegawai kompeni (Compagniesdi- enaren), warga kota yang merdeka (Burgers) dan orang asing (Vreemdelingen). Kategori yang belakangan ini no- tabene mencakup baik orang Melayu, Jawa, Bugis atau Gambar 17: Salah satu warung arak Tionghoa di Tanjung Bali maupun orang Tionghoa dan pedagang-pedagang Priuk, 1920 Asia lainnya. Kira-kira pertengahan abad XIX, keadaan (Sumber: geheugenvannederland.nl.) menjadi lebih banyak berubah dimana Batavia adalah ibukota sebuah negara koloni yang dapat memaksa- Orang Tionghoa kerap melakukan pesta arak, ter- kan pemerintahannya atas lebih dari sepuluh juta pen- utama di kala waktu luang maupun dalam sebuah per- duduk.57 ayaan. Kekerabatan mereka yang sangat kuat diantara Artikel 109 tersebut menimbulkan perbincangan orang Tionghoa menjadi sebuah momen-momen untuk panjang karena peraturan tersebut sekaligus mem- menghabiskan waktu bersama, salah satunya dengan perkenalkan empat kategori pokok: orang Eropa, mer- cara berpesta arak atau berbagai minuman lainnya eka yang dipersamakan kedudukannya dengan orang yang berpotensi memabukkan peminumnya. Arak mer- Eropa (met Europeanen gelijkgestelden), orang pribumi upakan sebuah minuman yang menjangkau seluruh (Inlanders), dan orang asing timur (Vreemde Oostelin- kalangan masyarakat, demikian halnya di kalangan et- gen). Pergeseran nama dari golongan Vreemdelingen nis Tionghoa mulai dari kelas bawah hingga atas dapat abad XVII dan XVIII menjadi golongan Vreemde Oost- menikmati minuman tersebut karena arak dijual be- erlingen abad XIX dan XX, sesungguhnya menandakan bas dan mayoritas kepemilikannya adalah masyarakat perubahan besar yakni “keterasingan” yang pada awal- Tionghoa. Hal ini tak lepas dari kebijakan sekaligus bu- nya dirumuskan oleh minoritas kecil orang Belanda da- jukan J.P. Coen dalam memberikan previlese monopoli lam kaitan dengan mereka sendiri, serta merta menjadi penyulingan arak bagi orang Tionghoa yang bertujuan suatu “keasingan” yang sama sekali lain, karena diru- agar orang Tionghoa pindah ke Batavia.1 muskan oleh mayoritas “pribumi” dalam kaitan dengan negeri pemukiman mereka sendiri.58

1 Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia (Jakarta: Penerbit Buku Selain orang Eropa, yang juga termasuk dalam kel- Kompas, 2006), hlm. 42. 57 Denys Lombard II, op.cit., hlm. 82. 58 Ibid., hlm. 83.

188 41 ompok Eropa ini adalah mereka yang berasal dari Amer- komoditas yang diproduksi masyarakat Tionghoa di ika, Australia, Armenia, dan Jepang. Jepang mendapat Batavia sejak abad XVII. Produksi arak yang begitu me- hak istimewa dan dianggap sama dengan bangsa Eropa limpah dan juga berkualitas telah menjadikan arak Bat- oleh Belanda. Pengakuan hak istimewa ini didapat set- avia buatan orang Tionghoa sebagai arak yang terkenal elah kemenangan Jepang dalam Perang Cina–Jepang di seluruh Asia. Sebagian arak diekspor ke Benggala, (1884-1881) dan Perang Rusia-Jepang (1904-1905). Koromandel, dan Ceylon (Sri Langka), selebihnya diek- Tahun 1898 bangsa Jepang disetujui memiliki status spor ke Eropa. Kala itu arak tidak lagi dibuat dari beras hukum yang sama dengan kulit putih59. Pengakuan yang ditanak dan dicampur tuak tetapi dari melasse tersebut menyinggung perasaan orang Tionghoa kar- atau sirup gula.11 Seorang kapten Britania, Woodes ena dalam mayoritas kegiatannya, mereka masih dis- Rogers pada awal XVIII mengatakan: ”Orang-orang kita erahkan ke pengadilan pribumi60. Victor Purcell men- (Britania) saling merangkul dan memberkati diri sendiri jelaskan bahwa sebenarnya sejak 1824 golongan orang karena mereka berhasil tiba di tempat yang begtu luar Tionghoa di Hindia Belanda dalam hal hukum perdata biasa racikan punch-nya,”. Kapten Cook juga mencatat dan hukum dagang telah disamakan dengan golongan sebuah fakta yang luar biasa bahwa satu-satunya pe- Eropa. Oleh karena itu, jika terjadi persengketaan per- laut di kapalnya yang tidak jatuh sakit selama tinggal data, pengadilan yang berlaku baginya adalah Raad van di Batavia adalah seorang tua berumur lebih dari 70 Justitie. Sebaliknya dalam perkara yang bersifat krimi- tahun yang tidak pernah berhenti mabuk.12 nal, masih diperlakukan sama dengan kaum pribumi, Arak seakan menjadi sebuah kebutuhan pokok dan untuk itu lembaga peradilannya adalah Landraad yang tidak dapat dilepaskan dari orang Tionghoa. Mer- dan bahkan Politierol juga masih berlaku bagi orang eka sering menjual arak sebagai salah satu barang da- Tionghoa.61 gangannya di warung-warung kaki lima Batavia. Kel- Dalam peradilan, sejak tahun 1848, bagi golon- ompok masyarakat ekonomi kelas menengah ke bawah gan orang Tionghoa diberlakukan peradilan Politierol, kerap kali menjadi pelanggan setia warung tersebut, yaitu suatu peradilan polisi dimana kepala polisi yang terkadang ada pula orang Barat. Jumlah warung atau bertindak sebagai hakim. Sistem peradilan ini sering lapak-lapak tersebut sangatlah banyak dengan kon- struksi bahan bangunan semi permanen. Pusat-pusat 59 Saya Shiraishi dan Takashi Shiraishi (ed.), Orang Jepang di Koloni Asia Tenggara (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998), hlm. 6-7. keramaian strategis merupakan lokasi yang dijadikan 60 Mengenai peraturan hukum orang-orang Tionghoa di Hindia Be- tempat membuka usaha tersebut. Warung tersebut landa dapat dilihat pada. Hanneke van Katwijk en Albert Dekker, Nederlands-indische jurisprudentie, register op de geannoteerde re- juga menyediakan pelbagai makanan sebagai pelang- cht spraak in het indisch tijdschrift van het recht (1849 – 1950) en de kap barang dagangan. mededelingen van het documentatiebereau voor overzees recht (1950 – 1958) (Leiden: Uitgeverij. 1993), hlm. 153-155. 11 Windoro Adi, op.cit., hlm. 137. 61 Hari Poerwanto, Orang Cina Khek dari Singkawang (Depok: Komu- 12 Bernard H.M. Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia (Jakarta: Ke- nitas Bambu, 2005), hlm. 329. pustakaan Populer Gramedia, 2008), hlm. 210.

42 187 ghoa sebagai sebuah kelompok etnis. Mereka memberi kali menjadi ajang pemerasan dan praktik ketidaka- komentar atas kebiasaan Tionghoa ka r, terutama dilan. Kepala polisi bisa saja memberi keputusan hu- dalam hal adat-istiadat, perkawinan, cara menganut kuman tanpa harus mendengarkan kesaksian terlebih agama, pertunjukan drama, serta berbagai hidangan dahulu. Apabila terpaksa didatangkan saksi, maka ia yang istimewa dan melimpah ruah ketika mereka men- tidak berkewajiban untuk memerintahkan saksi terse- gadakan sebuah pesta. Orang Belanda juga mencela but disumpah. Oleh karena itu, bisa saja seorang saksi berbagai segala macam kekurangan orang Tionghoa yang diajukan memberi saksi palsu. Akibatnya putu- dan terutama terheran-heran karena keberanian dalam san yang diambil kadang sekehendak sendiri, meskip- berjudi, kecanduan mereka akan arak, segala hal yang un diajukan permohonan ampun. Baru pada 1908 per- dirasa berlebihan, dan perbuatan-perbutan tak wajar mohonan ampun diperbolehkan. Sistem peradilan ini dalam urusan seks.9 menangani kasus perdata dan baru dihapuskan pada Lombard menyatakan bahwa kebanyakan orang tahun 1914.62 Tionghoa merupakan warga kota yang dingin dalam Dalam Regering Reglement tahun 1854 penduduk pekerjaan namun sangat mendambakan kehidupan Hindia Belanda dibagi dalam tiga golongan besar, nyaman. Orang Tionghoa sangat minim dalam memi- yaitu golongan orang Eropa (Europeanen), Timur Asing kirkan hidup prihatin sehingga mereka tidak segan- (Vreemde Oosterlingen), dan Pribumi (Inlander). Orang- segan untuk makan enak dan menghibur diri. Hal ini orang Tionghoa masuk dalam kelompok Timur Asing merupakan cara mereka dalam menghitung upaya ker- bersama orang India, Arab, dan Melayu. Tetapi per- ja mereka sesuai dengan kesantaian atau pesta yang lakuan yang kemudian diberikan pada golongan Tion- harus menyertai atau mengimbanginya. Semakin be- ghoa justru perlakuan sebagai golongan orang asing, rat mereka bekerja, maka semakin besar pula nilai ke- dihambat proses pembaurannya, dan segala sesuatu senangan yang harus mereka miliki. Konsep ini lebih tentang mereka dipisahkan.63 Pada tahun 1855, mer- mirip pemikiran orang Barat dan berbeda dengan te- eka dimasukkan dalam golongan European Civil Code. tangga mereka, orang Jawa, Sunda, atau Melayu yang Untuk masalah-masalah sipil orang Tionghoa harus pada awalnya tidak merasakan kegembiraan gastro- menghadapi dewan keadilan Eropa (Raad van Justi- nomis dan visual, selain itu juga karena lebih sedikit tie), sedangkan untuk perkara urusan kriminil mereka uangnya, sehingga hanya mampu mengutuk apa yang berurusan dengan dewan keadilan orang pribumi (Lan- mereka anggap sebagai materialisme maksiat.10 draden). Hal ini membuat mereka merasa terjebak da- Orang Tionghoa dalam perspektif dan catatan Ba- lam status hukum yang penuh jebakan64 rat dinilai sebagai sebuah kelompok etnis yang lekat 62 Lihat Anjarwati Noordjanah, Komunitas Tionghoa di Surabaya kaitannya dengan arak. Arak merupakan salah satu (1900-1946). (Semarang: Mesiass, 2004), hlm. 72-73. 63 Ibid. 9 Willard A. Hanna, op.cit., hlm. 85. 64 Tinneke Hellwig, Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda (Jakar- 10 Denys Lombard II, op.cit., hlm. 313. ta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hlm. 26.

186 43 ghoa ke luar negeri bertujuan untuk plesir atau ber- Masuknya modernisasi dan monetisasi secara libur, namun untuk urusan bisnis atau dinas. Dalam perlahan berdampak pada tradisi urbanitas di Asia catatan Salmon, dipaparkan bagaimana rute perjalan- Tenggara. Menurut O’ Connor, tradisi urbanitas di Asia an seorang penguasaha yang bermula dari Batavia ke Tenggara berbeda dengan yang ada di Eropa. Jika di Saigon melalui Bangka, Riau, dan Singapura.7 Eropa ada kesatuan struktural dalam kota yang diwar- nai oleh simbol-simbol penanda kesatuan kota: alun- Kemajuan teknologi transportasi di era mod- alun kota, jalanan, benteng, dan dinding kota, maka ernisasi yang juga didukung oleh sokongan  nansial kota-kota tradisional di Asia Tenggara lebih terdiri dari telah menempatkan elite Tionghoa sebagai salah satu satuan-satuan jaringan hubungan antar patron-klien, konsumen dalam kegiatan plesir sebagaimana orang sehingga mengubah kota dari pandangan segregasi Barat. Kemampuan elite Tionghoa dalam menjangkau yang vertikal (berdasarkan ras) menjadi horizontal (ber- aspek-aspek pendukung kegiatan turisme dan luasnya dasarkan satuan-satuan jaringan), bentuk kota dipen- koneksi jaringan bisnis ke dunia internasional menjadi garuhi bukan oleh ekonomi, melainkan oleh status dan kekuatan utama elite Tionghoa. Konsumsi untuk per- kekuasaan.65 hiasan, ekspresi, dan solidaritas kelompok tidak hanya menjadi sarana ekspresi gaya hidup, tetapi merupakan Modernisasi dan monetisasi secara bertahap mu- undang-undang dari gaya hidup.8 lai menggeser struktur sosial masyarakat berdasarkan ras dan menciptakan individualisme ekonomi tertentu D. Menerabas Moralitas: Aktivitas Elite Tionghoa yang menentang berbagai aturan tradisional serta oto- dalam Menikmati Kesenangan Duniawi ritas pemimpin adat. Kesejahteraan material yang di- Setiap manusia memiliki sifat dan perilaku yang capai kalangan tertentu telah membuat masyarakat berbeda-beda. Perbedaan tersebut dikarenakan oleh berupaya keras untuk memperoleh prestise sosial yang karakter, posisi dan peran, dan lingkungan sosial dari sama dengan yang dimiliki pemimpin adat. Ekspansi individu yang menanguinya. Hal ini menghasilkan ba- ekonomi dan meningkatnya kontak dengan Barat me- gaimana cara pandang orang lain terhadap seseorang. munculkan sejumlah pekerjaan baru, misalnya ahli Pendatang dan pemukim Belanda merasa heran dalam mesin, supir, dan pengawas. Selain itu juga muncul memandang Bengkong dan Limlacco atau orang Tion- kelompok sosial baru yang berprofesi sebagai peda- gang, meskipun masih dalam tahap pedagang pengec- Armada Kekaisaran Tiongkok di Jawa pada tahun 1907”, dalam Claudine Salmon (ed.), ibid., hlm. 322 er atau pedagang perantara. Pada tahap telah terjadi 7 Lihat, Claudine Salmon dan Ta Trong Hiêp, “De Batavia à Saïgon: pergeseran masyarakat lokal dari pekerjaan tradisional Notes de voyage d’un marchand chinos”, dalam Archipel 47, 1994, ke pekerjaan yang dianggap lebih bernilai ekonomis. hlm. 155-184; Lampiran pada “Kantoor voor chineesche zaken bat- avia” (Kantor Urusan Tionghoa Batavia), tertanggal 1 Agustus 1917 dan 14 Juni 1917. 65 Richard O’ Connor, A Theory of Indigenous Southeast Asian Urban- 8 David Chaney, Lifestyles: Sebuah Pengantar Komprehensif (Yogya- ism (Singpore: ISEAS, 1983), hlm. 10. karta: Jalasutra, 2009), hlm. 136.

44 185 Kegiatan plesir atau berwisata memang menjadi Semakin meningkatnya modernisasi telah ber- salah satu kegiatan wajib bagi beberapa elite Tionghoa dampak pada kebutuhan akan tenaga kerja terampil cabang atas. Bagi elite Tionghoa yang kurang merasa dan profesional. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya puas dengan keindahan panorama Jawa atau sekadar diferensiasi okupasi dan kebutuhan atas tenaga ker- menganggap wisata dalam negeri tidak bergengsi, maka ja terdidik. Pendidikan yang merupakan akses untuk plesir hingga ke luar negeri kerap dijadikan sebagai meraih pekerjaan yang diinginkan.66 Dengan demikian, opsi lain. Menurut Salmon, terdapat empat raportase pendidikan telah menciptakan kelas intelektual dan perjalanan orang Tionghoa dalam melakukan perjalan- setengah intelektual yang menempati posisi khusus an. Reportase Tan Hoe Loe yang paling menarik per- dalam masyarakat. Prestise sosial dan kesejahteraan hatiannya. Tan Hoe Lo adalah seorang saudagar kaya material berkaitan dengan posisi intelektual, sehing- yang memiliki dua toko khusus menjual barang-barang ga masyarakat dari kalangan tertentu mengupayakan Eropa di Pasar Baru dan Pasar Senin. Ia juga dikenal pendidikan sebagai solusi. Pendidikan menjadi agen sebagai pemiliki hotel “Der Nederlanden” sekaligus juga pencetak kelas-kelas baru, elite kelas menengah ber- tuan tanah Teluknaga di daerah Tangerang dan pernah pendidikan. Munculnya kelas ini mempengaruhi sistem menjabat sebagai letnan. Dalam catatannya, ia tidak nilai sosial dalam masyarakat dan sekaligus memecah pernah merasa sebagai jajahan Belanda. Tan justru strati kasi sosial pada abad XIX yang didasarkan merasa hampir sama kedudukannya dengan elite kolo- ras.67 nial tuan tanah seperti Zadelhoff. Ketika ke Perancis, ia datang untuk melihat pa- meran dan mengunjungi tempat-tempat indah Peran- cis, mulai dari: pabrik rokok, rumah pengolahan intan, menaiki menara Eifell, berziarah ke makam Napoleon, berkeliling kota Paris, Trocadero, dan Bourse.5 Selain plesir ke Eropa, terdapat catatan sejumlah pedagang Tionghoa dari Jawa pergi ke Tiongkok dalam rangka studi wisata pada Mei 1907. Perjalanan tersebut bermu- la di Batavia kemudian berlanjut ke Singapura, Saigon, 66 Kelas menengah Eropa dan Tionghoa telah memblokir secara me- Hong Kong, Kanton, Swatow, Amoy, Fuzhou, Shanghai, nyeluruh mobilitas sosial ekonomi orang-orang pribumi. Pekerjaan 6 yang ada bagi kelas menengah pribumi pun menjadi sangat kecil Beijing, dan Jepang. Tidak semua kepergian elite Tion- dan terbatas dikarenakan adanya persaingan dengan pelamar Be- nelitian FIB UI, 2009. landa bagi jabatan tertentu. J.A.C. Mackie, ”Uang dan Kelas Menen- 5 Tan Hoe Lo di Paris, “Kisah Perjalanan Seorang Saudagar Perana- gah”, dalam Richard Tanter dan Kenneth Young (eds.). Politik Kelas kan ke Eropa: (1889)”, dalam Claudine Salmon (ed.), op.cit., hlm. Menengah Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1993), hlm. 129. 271-285. 67 W.F., Wertheim, op.cit., hlm. 114-116. 6 Claudine Salmon dan Denys Lombard, “Tentang Kunjungan Sebuah

184 45 itu melintasi pemukiman paling sibuk, namun de- mikian berhati-hati –perjalanan ini membuktikan bahwa tidak berbahaya membawa beberapa lusin pengendara seperda motor dan membiarkan mer- eka lepas di jalanan.

Perjalanan pertama klub tersebut berakhir di hotel “De Stam” kawasan Gondangdia Baru, sebuah pemuki- man modern yang baru dibangun di Batavia. Anggota klub sepeda motor menembus perjalanan dari wilayah pusat menuju pinggiran dan pedalaman. Aneka sepeda motor bermerk “Rover”, “Ariel”, hingga “Harley David- son” berjenis: roda dua, roda tiga (dengan atau tanpa kereta samping), sendirian atau kelompok, dirasakan sebagai sebuah perjalanan menjelajah. Persatuan ini menyewa “club café” di Buitenzorg, restoran “Rikkers” dengan sebuah club hotel di dekat Cipanas.2 Selain itu juga terdapat opsi di kawasan Cibodas, Sukabumi, Sin- danglaya, Cianjur, sekitar Bandung, dan Garut. Mer- eka menginap di penginapan yang nyaman dan ber- sih dengan tarif rata-rata f. 5-6 / malam.3 Maraknya kegiatan plesir oleh orang Barat dan elite Tionghoa tak lepas dari peran etnis Tionghoa sebagai penyedia fasili- tas turisme di Hindia Belanda, antara lain: akomodasi, konsumsi, tranportasi, promosi, pemandu turis, dan atraksi hiburan.4

2 Cipanas, sebuah tempat yang dikenal dengan sebutan “Kota Air”, tampaknya memiliki nllai historis yang tinggi mengingat kawasan tersebut telah tercantum dalam buku panduan pariwisata tertua yang ditulis oleh Hofhout sebagai rekomendasi wisata untuk pe- gawai VOC yang baru tiba di Batavia pada tahun 1786. Denys Lom- bard II, op. cit., hlm. 50. 3 Augusta de Wit, op.cit., hlm. 233-234. 4 Achmad Sunjayadi, “Peran Kaum Tionghoa dalam Turisme Kolonial di Hindia Belanda”, laporan penelitian dalam Seminar Laporan Pe-

46 183 BAB III DINAMIKA KEHIDUPAN ETNIS TIONGHOA BATAVIA 1900 - 1942 Gambar 16: Komunitas motor Batavia, 1915 & 1930 (Sum- ber: kitlv.nl.) Sistem sosial berdasarkan ras yang diterapkan pe- Perjalanan Pertama Klub Kami1 merintah kolonial telah berdampak pada terbentuknya Hari Minggu pagi yang indah, 28 Desember 1913…. pemusatan komunitas yang khas. Hal ini merupakan seluruh Weltevreden masih setengah tertidur..para upaya pemerintah kolonial untuk memudahkan pen- pengendara sepeda motor berdiri dalam kelompok- gawasan etnis-etnis tersebut dan meminimalisir mo- kelompok di rumputan segar Taman Wilhelmina… bilitas sosial horizontal di mayarakat luas. Pembauran tepat menjelang setengah tujuh, motor kami berg- kelompok etnis di dalam masyarakat tentunya akan erak dan kami pergi dari tempat pertemuan…Beta- menyulitkan pemerintah kolonial untuk mengidenti- pa indah pemandangannya!..campuran-campuran  kasi identitas mereka. bendera klub ukuran kecil ramai berbaris….Kamera Bab ketiga ini akan membahas mengenai ba- jepret-jepret…Maju!. Melewati Rijswijk, kelompok gaimana dinamika kehidupan masyarakat Tionghoa yang gembira itu melesat, melewati pemukiaman di Batavia. Kajian ini akan diawali dengan pemaparan Perancis, lewat Tanah Abang melalui Koningsplein lahir dan terbentuknya komunitas Tionghoa di Bata- menuju Matraman ke Meester…Melewati Goenoeng via. Keberadaan etnis Tionghoa sebagai minoritas di- Sari, kelompok bahagia ini menarik, memikat ban- manfaatkan oleh pemerintah kolonial, baik di bidang yak mata, kemudian ke Kota Lama, dan, keluar ekonomi maupun politik. Kondisi mereka yang tertekan dari situ, masih dalam kecepatan sedang, menuju justru menjadi kekuatan etnis Tionghoa untuk bangkit Versteeg, di mana disediakan bir dingin..Pria-pria dan meraih kesuksesan, namun kesuksesan tersebut 1 Dikutip dari majalah Magneet, Vol. 1, No.3 (15 Januari 1914), hlm. 31, dalam Rudolf Mrazek, op.cit., hlm. 29; Lihat juga pengalaman justru dijadikan penstigmaan yang berpretensi negatif Tio Tek Hong, mulai dari plesir ke Bogor hingga balapan sepeda. Tio bagi kalangan tertentu. Pada bab ini akan dibahas ten- Tek Hong, op.cit., hlm. 73-82.

182 47 tang dinamika kehidupan etnis Tionghoa yang melipu- sebuah merk mobil limosin mewah buatan Amerika).13 ti: komunitas Tionghoa, posisi dan peran, transformasi Mobil sebagai sebuah alat transportasi kelas atas juga menjadi elite kelas menengah, sampai pada tataran kerap dimodi kasi elite Tionghoa cabang atas menjadi penerapan budaya konsumen dalam kehidupan elite sebuah mobil jenazah, sebagaimana yang dipaparkan Tionghoa cabang atas Batavia abad XX. Ponder.14 Orang Barat dan orang Tionghoa kelas atas modern A. Muncul dan Berkembangnya Komunitas Tion- memiliki hobi yang sama di bidang otomotif. Persamaan ghoa Batavia tersebut kemudian berlanjut dengan terbentuknya ko- Orang Tionghoa telah ada sebelum kedatangan munitas pecinta otomotif, baik motor maupun mobil, orang Belanda di Nusantara pada akhir abad XVI. Ke- di bawah naungan JMC (Java Motor Club). Kegiatan hadiran mereka tidak lain adalah untuk melakukan dari komunitas ini adalah plesiran konvoi kendaraan perdagangan dengan masyarakat di wilayah pesisir, dari Batavia ke berbagai tempat di Pulau Jawa yang Banten, mengingat Banten pada masa itu merupakan eksotis dan cocok untuk berwisata. Perjalanan tersebut sebuah entreport (pintu masuk) perdagangan mancane- biasanya memiliki rute dan jadwal acara yang telah be- gara yang termasuk dalam lintas jalur sutera1. Keda- ra liasi dengan hotel atau biro perjalanan.15 tangan orang Tionghoa disambut baik oleh syahbandar Banten mengingat adanya persamaan agama Islam di- antara mereka sehingga memudahkan hubungan ker- jasama di bidang perdagangan2. Pandangan tersebut sesuai dan diperkuat dengan analisis dari Wang Gung- wu bahwa motif kedatangan orang Tionghoa di Nusan- tara adalah untuk melakukan hubungan perdagangan. Menurut Wang Gungwu, migrasi orang Tionghoa ter- bagi atas empat pola. Pertama, orang Tionghoa sebagai pedagang (huashang) demi mencari keuntungan. Ked-

1 Sony Chr. Wibisono, “Kegiatan Perdagangan di Bandar Banten da- lam Lalu-lintas Perdagangan Jalur Sutera”, dalam Sri Sutjianing- 13 Twang Peck Yang, op.cit., hlm. 50. sih (ed.), Banten Kota Pelabuhan Jalur Sutera (Jakarta: Depdikbud, 14 H.W. Ponder, op.cit., hlm. 129. 1995), hlm. 89-91. 15 Java Motor Club, perkumpulan ini didirikan pada tahun 1906 di Surabaya dengan 2 nama “Soerabajaasche Motor Club” kemudian tahun 1908 diubah menjadi Java Menurut Denys Lombard, salah satu yang menyebabkan adanya kerjasama antara orang Motor Club (JMC). Kantor pusat perhimpunan ini dipindahkan dari Surabaya ke Cina dengan Banten adalah adanya persamaan agama, yakni Islam sebagai media- Semarang. Selain di Semarang, JMC memiliki kantor cabang di Batavia, Surabaya, tor negosiasi kerjasama. Denys Lombard dan Claudine Salmon, “Islam and Chi- Padang, Palembang, dan Makassar. “Java Motor Club”, dalam Encyclopaedie van neseness”, dalam Indonesia 1993, No. 57 (April) Ithica NY: Cornell Southeast Asia Nederlandsch Indiё I, Tweede Druk vol. VIII. Supplement (‘S Gravenhage: M. Ni- Program, hlm. 115-118. jhoff, 1939), hlm. 977-978.

48 181 Batavia, semakin kecil angkanya, maka semakin tinggi ua, sebagai kuli (huagong), pada sekitar tahun 1850-an pula statusnya dalam hierarki masyarakat. Angka satu hingga 1920-an. Migrasi ini, pada banyak kasus bersi- terdaftar sebagai nomer plat mobil dinas untuk guber- fat sementara dan ketika masa kerja mereka di perke- nur jenderal. sedangkan nomer-nomer dengan angka bunan usai maka mereka cenderung untuk kembali ke berikutnya yang lebih rendah digunakan untuk mobil negara asal. Ketiga, pendatang (hoaqiao), yang mayori- 10 para parlemen Hindia dan diplomat asing. tas datang pasca keruntuhan kekaisaran Cina pada Keberadaan mobil di Hindia Belanda tak lepas dari 1911 hingga 1950-an. Biasanya mereka berasal dari peran elite Tionghoa sebagai importir. Peran tersebut orang-orang yang berpendidikan. Keempat, pendatang semakin berkembang ketika kendaraan berat semacam transit (huayi), sejak 1950-an banyak orang Tionghoa bus dan truk pun masuk dalam ranah importir mereka.11 yang datang sementara untuk kemudian bermigrasi ke Disamping dari peran mereka di bidang otomotif, etnis daerah lain meski ada juga yang justru menetap di In- Tionghoa memiliki perspektif tersendiri dalam meman- donesia.3 dang otomotif. Willmot menunjukan bahwa status dan Orang Tionghoa di Banten mayoritas merupakan hierarki seorang Tionghoa di kalangan internal komuni- kaum Adam mengingat kala itu perjalanan yang harus tas Tionghoa ditentukan oleh kepemilikan produk oto- ditempuh cukup berbahaya dan memakan waktu tem- motif tersebut. Diferensiasi sosial ekonomi masyarakat puh yang panjang sehingga wanita Tionghoa disarank- dibagi atas tiga aspek: pertama, keluarga yang memiliki an untuk tetap tinggal. Ketidakhadiran wanita dalam mobil; kedua, keluarga yang minimal memiliki satu mo- kehidupan orang Tionghoa membuat mereka hidup dan tor atau skuter tapi tidak memiliki mobil; ketiga, kelu- menikah dengan wanita setempat sehingga menghasil- arga yang tidak memiliki kendaraan bermotor. Ketiga kan sebuah keluarga. Perkawinan Tionghoa dengan wa- indikator tersebut berfungsi sebagai identi kasi sosial nita pribumi menghasilkan keturunan Tionghoa pera- sekaligus pembeda antara “pegawai” dan “pedagang”. nakan dan menjadi sebuah komunitas orang Tionghoa Keberadaan para pedagang yang mayoritas merupakan di Banten. Interaksi dengan masyarakat setempat ber- Tionghoa peranakan dari kalangan berada membentuk dampak pada pengkonversian orang Tionghoa menjadi sebuah komunitas penggemar otomotif. Simbol-simbol penganut agama Islam. Tionghoa yang memeluk Islam material berupa motor / mobil yang dibalut dengan disebut orang Belanda sebagai ”geschoren chineezen” jaket kulit khas Amerika telah menjadi ciri tampilan (orang cina yang telah bercukur) dan menjadi ”getorn- 12 luar identitas mereka. Di era 1930-an, para petinggi den chineezen” (orang Cina yang telah berubah).4 De CHH (Chung Hua Hui) dikenal sebagai kaum “Packard”, Haan menilai bahwa orang-orang Tionghoa yang meme- 10 Frances Gouda, op.cit., hlm. 281. 11 Orang Tionghoa juga berperan sebagai penyedia bus, salah satu 3 Wang Gungwu, China and the Chinese Overseas (Singapore: Times yang terbesar adalah “Tan Luxe Omnibus Service” yang memiliki 65 Academic Press, 1991), hlm. 3-21. armada bis. Howard Dick, loc.cit. 4 Amen Budiman, Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia (Sema- 12 Donald Earl Willmott, op.cit., hlm. 124-126. rang: Tanjung Sari, 1979), hlm. 32.

180 49 luk Islam tidak murni karena rasa keimanan, melain- nasi kota-kota di dunia dikarenakan: pertama, mobil kan upaya untuk menghindari peraturan “uang konde” secara sengaja diciptakan sebagai kendaraan pribadi yang mengharuskan mereka membayar pajak kepada yang sekaligus menjadi simbol status sosial tertentu; pemerintah Belanda.5 kedua, mobil memiliki kecepatan yang lebih tinggi bila Secara umum, orang Tionghoa di Banten bukan- dibandingkan dengan moda (kendaraan yang tidak ber- lah sebuah kesatuan yang homogen karena mereka motor), kecuali bila dibanding dengan kereta api, seh- juga terdiri dari suku dan provinsi yang majemuk. May- ingga bila dari e siensi waktu mobil jauh lebih e sien oritas pendatang Tionghoa yang datang berasal dari dibanding moda; ketiga, mobil menawarkan keprakti- provinsi bagian selatan negeri Tiongkok, yakni Fukien san dan privacy, serta gaya hidup baru bagi manusia (Fujian), Kwantung, dan Guangdong.6 Perbedaan suku modern, oleh karena itu mobil menjadi icon kehidupan dan daerah asal mereka akan menentukan profesi atau manusia modern sehingga selalu dikejar untuk dimili- mata pencariannya, sebagai contoh: pertama, suku ki.5 Pada tahun 1903, mobil pertama diturunkan dari Hokkian, sebagai suku terbanyak di Nusantara, cend- kapal yang membawanya dari Eropa ke pelabuhan Tan- erung cakap dalam bidang perdagangan, kedua, suku jung Priok.6 Memasuki era 1910-1941, impor mobil di Kanton, cakap pada bidang perdagangan dan ketrampi- Hindia Belanda semakin massif.7 Mobil-mobil dengan lan atau teknologi, ketiga, suku Hakka (Khek), berg- merk ternama dan mewah seperti limosin8, jenis sport, erak pada bidang pertambangan, dan keempat, suku maupun mobil umum berlalu-lalang di pusat kota Bata- Thiu Chiu, cenderung menjadi buruh perkebunan.7 via. Keberadaan pelbagai mobil tersebut juga dilengkapi Keanekaragaman tersebut menghasilkan karakteris- dengan pelbagai ATPM resmi (Agen Tunggal Pemegang tik yang khas diantara mereka namun karena adanya Merk), antara lain: “Fiat”, “Buick”, “Hudson”, “Ford”, persamaan senasib membuat mereka menjadi sebuah dan “Oldsmobile”. Scidmore bahkan mengklasi kasi kesatuan yang erat dan membentuk komunitas orang secara spesi k jenis-jenis mobil yang termasuk kategori Tionghoa di Banten dan di wilayah sekitar benteng kota kelas satu hingga kelas tiga.9 Plat nomer motor maupun Batavia (Ommelanden). mobil juga menentukan hierarki sosial masyarakat di Menarik untuk dicermati bahwa pada abad XVIII 5 Darmaningtyas, “Non-Motorized Transportation: Sejarah dan Fakta yang Terlupakan”, dalam Wacana, Menuju Transportasi yang Manu- orang Barat mengenal Batavia sebagai “kota orang Tion- siawia. Edisi 22. Tahun VI (Yogyakarta: Insist Press, 2005), 73. ghoa” dikarenakan betapa besarnya jumlah peningka- 6 J.J. de Vries, Jakarta Tempo Doeloe (Jakarta: Pustaka Antarkota, 1989), hlm. 99. 5 F. de Haan, Oud Batavia, Second Edition (Bandoeng: Nix. 2 Vols, 7 Terdapat laporan berbagai jenis dan merk mobil impor disertai den- 1935), hlm. 395. gan spesi kasinya secara detail. Lihat, Archieven Financien No. 931; 6 Lynn Pan, The Encyclopedia of the Chinese Overseas (Cambridge: A.W. Naudin ten Cate, “De automobile in Indie van 1902-1927”, da- Harvard University Press, 1999), hlm. 30-39. lam De Indische Mercuur (Gedenknummer, 1928), hlm. 47. 7 Koentjaraningrat, “Tweentieth Century Rural Urban Changes”, da- 8 H.W. Ponder, op.cit., hlm. 155. lam Haryati Soebadio dan Sarvaas, Carine A. du Marchie, Dynamics 9 Eliza Ruhamah Scidmore, Java The Garden of the East (Singpore: of Indonesian History (Amsterdam: 1978), hlm. 364. Oxford University Press, 1984), hlm. 50-51.

50 179 Menurut Howard Dick, kemunculan paling me- tan orang Tionghoa di kota tersebut.8 Keberadaan me- narik bukanlah jumlah kendaraan bermotor yang men- reka telah membentuk sebuah kelompok masyarakat capai 58.000 melainkan adalah 240.000 impor sepeda yang membuat orang Belanda merasa terheran-heran. antara 1931 dan 1940. Revolusi drastis yang terjadi Sebagai contoh adalah pengakuan Francois Valentijn adalah ketika tahun 1930-an, sepeda menjadi kend- ketika melakukan observasi tentang orang Tionghoa di araan yang cukup murah sehingga mampu dijangkau Batavia: masyarakat untuk mobilitas dan bekerja atau seke- They are an extraordinary clever, polite, diligent, dar membawa barang dari desa ke pasar. Disamping and attentive people who supply great services to sepeda juga terdapat becak yang popular di masa yang his town. They not only carry out important trade sama dan berjumlah seratus buah. Mayoritas becak- in the city in tea, porcelaein, silk, and lacquerware, becak tersebut dimiliki oleh pengusaha Tionghoa yang but they also engage themselves diligently in many dibawa ke Batavia melalui Singapura atau Hongkong crafts. They are good smiths and carpenters, they dan kemudian disewakan kepada masyarakat pribumi make very beautiful chairs for homes as well as for sebagai tukang becak.3 Secara umum, terjadi diferen- extraordinarily beautiful palanquins. All umbrellas siasi sosial dimana sepeda menjadi kendaraan orang that are used are made by them. They varnish and pribumi, becak dimiliki oleh masyarakat Tionghoa, dan gild very beautifully. They are also the most impor- mobil menjadi lekat kaitannya dengan orang Eropa.4 tant distillers, contractors of large buildings, brick Mobil mampu berkembang pesat dan mendomi- makers, and managers of the sugar mills outside ini mampu menembus dunia perdagangan Cina dan Eropa tidak Batavia, and tradesmen in the some  eld. Many orga- saja di Batavia, namun juga diseluruh daerah Priangan, dan di da- nize creating houses for sailors amd soldiers, or also erah lain dengan sistem “toko keliling” yang diperlengkapi dengan tea houses for some people, and many among them tujuh mobil. “Dipoen wonteni ‘toko keliling’, inggih poenika montor tjatjah pitoe ingkang mider-mider, ndjadjah pakampoengan, mlebet keep themselves busy with fetching water,  shing, doesoen-doesoen, awit saking Banten doemoegi Banjoewangi, kang- or carrying people everywhere with Chinese prahus ge njadekaken pijambak saking nagari mantja.” Diadakan toko ke- (which are a great comfort), which they always row liling, berupa tujuh mobil yang menjelajah perkampungan, keluar masuk desa mulai dari Banten sampai Banyuwangi untuk menja- standing with two oars. Many also sail wih sampans jakan barang dagangan yang diimpor sendiri dari manca negara. P. and large vessels to take goods from the ships. The Swantoro, Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2002), hlm. 52. whole agriculture depends upon them, because they 3 Lea Jellinek, The Wheel of Fortune, The History of a Poor Community are most ingenious and diligent, and ensure that in Jakarta (Sidney: Allen and Unwin Pty Ltd, 1991), hlm. 58-59; Ra- everything is available all the year around, but they hani Jamil, Lanca dan Beca Mengakhiri Hujung Jalan (Kuala Lum- pur: Arkib Negara Malaysia, 2007). are also peddling anything they can think about all 4 Howard Dick, “Crisis and Continuuity, The Resilience of the Small-scale Transport Sector on Java, 1890-1990s”, dalam Thee Kian Wie (eds.), The Asia-Pasi c Cen- 8 Gert Oostindie (ed.), “Migration and its Legacies in the Dutch Colo- tury Historical Perspective. Jakarta: LIPI Press, 2005), hlm. 96-98; Liem Thian nial World”, dalam Gert Oostinde, Dutch Colonialism, Migration, and Joe, op.cit., hlm. 243. Cultural Heritage (Leiden: KITLV Press, 2008), hlm. 7.

178 51 day long, and bring all kinds of vegetables, materi- als, porcelain, lacquer, tea and other items to the houses, and sell them for a small pro t.9

Berdasarkan pengakuan tersebut dapat dibayang- kan bagaimana kehidupan dan komunitas orang Tion- ghoa yang telah sedemikian pesat, maka tidaklah mengherankan bahwa komunitas orang Tionghoa ba- gaikan kota dalam kota. Salah satu ciri khas dari orang Tionghoa di Banten adalah pembudidayaan dan pen- golahan tebu di wilayah Kelapadua.10 Daerah tersebut Gambar 15: Foto pre-match kesebelasan menjadi pusat orang Tionghoa yang juga sekaligus Nua Hua vs V.B.O. (Voetbaalbond Batavia en pusat perkebunan tebu, pemerasan tebu, pemrosesan Omstreken),1937 gula, dan penyulingan arak. Hal ini dibuktikan dengan Sumber: kitlv.nl. keterangan dari ahli bedah Denmark, Cortemunde, ta- hun 1673. Ia menggambarkan seperti berikut: “Empat Salah satu produk teknologi di era modernisasi mil dari kota, di dekat sungai terdapat sebuah tempat yang berperan sentral dalam kehidupan elite Tionghoa lain yang cantik yang dinamakan Clappadoa, sebuah abad XX adalah mobil. Mobil merupakan sebuah alat kampung besar dengan sebuah penggilingan gula yang transportasi yang berfungsi sebagai marker moderni- bagus sekali serta banyak tempat penyulingan arak”. tas zaman.1 Pada 1 Januari 1941, keseluruhan jum- Kegiatan tersebut mengalami disfungsi pasca keber- lah kendaraan bermotor di Jawa dan Madura menca- hasilan pemerintah kota Batavia dalam menguasai pai 58.000, termasuk 10.000 motor. Hanya komunitas Banten, sehingga berdampak pada berakhirnya kegia- kecil Eropa yang mampu memiliki mobil pribadi, yakni tan menghasilkan gula di Kelapadua, dan sejak 1682 setengah dari jumlah mobil di koloni dan sepertiga dari VOC mulai memonopoli perdagangan gula untuk didis- jumlah motor, maka dapat disimpulkan bahwa kend- araan bermotor masih menjadi kendaraan yang identik 9 Scott Merillees, Batavia in Nineteenth Century Photographs (Singa- 2 pore: Archipelago Press, 2000), hlm. 82. dengan orang Barat. 10 Orang Cina juga kerap memberikan nama kota di Nusantara, mis- 1 Farabi Fakih, ” “Benteng” Kotabaru: Antara Ada dan Tiada di Za- alnya Yecheng (kota kelapa) adalah terjemahan Cina dari nama tua man Poskolonial”, dalam Makalah Street Images: Decolonization kelapa (untuk Sunda Kelapa), Benteng untuk Tangerang, Blamban- and Changing Symbolism of Indonesian Urban Culture between gan untuk Banyuwangi, Japan untuk Mojokerto, Gombong untuk 1930s and early 1960s, buku dua, dipresentasikan pada Centre for Pasuruan, Banger untuk Probolinggo, Ngrawa untuk Tulungagung, Southeast Asian Social Studies, UGM 2005, hlm. 26. dan Shuangjiaohan untuk Ambarawa. Lihat Liem Thian Joe, “Ba- 2 Secara teknis mobil identik dengan orang Barat, namun dalam al- gaimana Orang Tionghoa Berikan Nama-nama Kota di Indonesia”, manak berbahasa Jawa, Volksalmanak Djawi, 1937, dipaparkan dalam Sin Po, 30 Maret 1940, No. 887, hlm. 20-24. kisah usaha dagang pribumi “Djohan Djohor”. Konon perusahaan

52 177 Selain  lm, sarana olahraga Barat juga menjadi tribusi ke Batavia.11 opsi hiburan kalangan elite Tionghoa. Hal ini merupa- Kemampuan dan ketekunan orang Tionghoa me- kan salah satu dampak dari gaya hidup orang Eropa narik minat pemerintah kota Batavia untuk menem- terhadap olahraga. Orang Barat kelas atas biasa bero- patkan mereka di wilayah dalam kasteel Batavia. Ke- lahraga dengan cara berenang di kolam renang atau hadiran mereka sangat dibutuhkan untuk mengisi dan bermain golf di kawasan Cikini maupun sekedar bar- menghidupkan kota Batavia, meski tidak semua orang main boom-boom car di Pasar Gambir. Kesadaran akan Tionghoa diizinkan untuk tinggal di dalam benteng. Hal kesehatan serta didukung oleh urgensi atas hiburan ini karena wilayah sekitar Batavia juga dianggap perlu menjadi sebuah kombinasi yang saling melengkapi untuk dikembangkan sehingga harus ada pembagian masyarakat Tionghoa modern Batavia. Pemuda-pemuda proporsi masyarakat Tionghoa di dalam benteng mau- Tionghoa peranakan kaya yang telah mengadopsi tata pun di luar benteng yang kemudian memunculkan ter- cara Barat mulai bergabung dengan klub-klub olahraga minologi ”Cina Benteng”.12 Orang Tionghoa dibutuhkan untuk bermain sepak bola dan belajar bagaimana me- untuk mengisi perannya sebagai pedagang, pemungut nyesuaikan diri mereka dengan gaya yang sesuai bagi pajak, pekerja bangunan, pandai besi, dan pengarajin, para profesional yang mereka tiru. Hal ini menggam- sedangkan pada wilayah Ommelanden ditempatkan se- barkan bagaimana berkembangnya sebuah tren baru bagai pengelola perkebunan tebu, tambak dan perika- yang ditiru di kalangan para penerus orang Tionghoa nan, persawahan, pembuat tembikar, dan lain-lain.13 peranakan cabang atas.1 Orang Tionghoa di Ommelanden dibebaskan un- Tren tersebut menghasilkan sebuah organisa- tuk tinggal dimanapun yang mereka inginkan, bahkan si ”Tionghoa Oen Tong Hwee” (THOTH), 15 Desember hingga ke pedalaman, namun untuk orang Tionghoa di 1905, oleh beberapa elite Tionghoa peranakan: Lie Kim dalam kastil diharuskan untuk tinggal pada suatu wijk Hok, Lie Hin Liam, dan Tio Tek Hong.2 Organisasi ini (desa) tertentu yang diketuai oleh wijkmeester (kepala awalnya mengutamakan cabang atletik dan sering di- desa) atau yang dalam konteks orang Tionghoa dikenal agendakan sebagai lomba lari estafet di kalangan seko- dengan istilah Potia. Orang yang didaulat menjadi Po- lah HCS Meester Cornelis. Kegiatan tersebut dikem- tia adalah tokoh masyarakat Tionghoa yang dianggap bangkan ke sepak bola, bola sodok, dan tenis. Bagi berpengaruh pada komunitasnya. Peraturan tersebut peminat olahraga berburu dapat bergabung dengan “N.I. Jagergenootschap” (Persatuan Pemburu Hindia 11 Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X – XVII (Ja- karta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008), hlm. 135-137. Belanda) kesemuanya tergabung dibawah organisasi 12 David Kwa, “Cina Benteng di Republik Rakyat Tangerang”, dalam bernama UMS (Union Makes Strong).3 Lily Wibisono (ed.), Etnik Tionghoa di Indonesia: Asal-usulnya, Ke- hidupannya, Pengobatan Cina, Feng Shui (Jakarta: Intisari Mediata- 1 James R. Rush, op.cit., hlm. 547. ma, 2006), hlm. 122-132. 2 Benny G. Setiono, op.cit., hlm 243. 13 Mona Lohanda, Sejarah Pembesar Mengatur Batavia (Jakarta: Masup, 2007), hlm. 3 Han Hwie Song, op.cit., hlm. 268. hlm. 160.

176 53 dibuat karena jumlah orang Tionghoa semakin menin- mereka bawa. Terdapat sebuah kabar ketika seorang gkat sehingga dibutuhkan seseorang yang bertanggung pribumi dilaporkan oleh seorang Belanda kerena ber- jawab atas komunitasnya. Demikian halnya dengan siul-siul ketika lagu Wilhelmus (lagu kebangsaan Be- masyarakat lokal, mereka ditempatkan pada wijk-wijk landa) tengah dinyanyikan. Hal ini membuat penonton tertentu dan berada dibawah pengawas wijkmeester Belanda / Eropa merasa terganggu. masing-masing.14 Lain halnya dengan penonton di bioskop kelas I Dalam menjalankan profesinya sebagai peda- dimana mereka datang dengan mengenakan setelan gang, tentunya orang Tionghoa harus mampu menjaga Barat dan menonton  lm- lm berteks Belanda, Ing- hubungan baik diantara penjual dan pembeli, maka gris, atau Melayu dengan alur cerita yang cukup kom- tidak mengherankan apabila mereka mampu menjalin pleks. Penonton kalangan elite Tionghoa bahkan lebih dan menjaga komunikasi dan berhubungan baik den- memilih  lm- lm berteks Inggris karena lebih populis. gan semua orang, baik orang Eropa maupun pribu- Secara umum, penonton kelas I sangat tertib ketika mi, terutama orang Betawi15. Kelak jalinan yang baik  lm ditayangkan dan mampu menjaga perilaku di da- dengan para pelanggan dan didukung oleh sifat orang lam ruangan sehingga dapat menonton dengan nya- Tionghoa yang pekerja keras membuat mereka sebagai man. Kenyamanan tersebut semakin bertambah ketika etnis yang menguasai sektor perdagangan di Batavia. bangunan bioskop mulai dilengkapi dengan fasilitas Kesuksesan tersebut membuat cemas pemerintah ko- pendingin ruangan (AC). Realitas tersebut menegaskan lonial terhadap orang Tionghoa yang berpotensi untuk bahwa tontonan bioskop menjadi sarana hiburan bagi mengusai Batavia. Disamping itu sempat terdengar isu masyarakat kelas atas.1 bahwa orang Tionghoa akan malakukan pemberon- takan terhadap pemerintah Batavia, maka dilakukan upaya preventif oleh pemerintah Batavia dengan segera mengutus pasukannya untuk mengumpulkan seluruh orang Tionghoa, dengan dalih akan dideportasi ke Cey- 14 Pada abad XVIII, terdapat 17 komandan pribumi. Terdiri atas: dua kapitan Jawa, lima kapitan Bali, tiga kapitan Bugis, satu kapitan Makassar, satu kapitan Mandar, satu kapitan Sumbawa, satu kapi- tan Ambon, satu kapitan Buton, dan satu kapitan Cina peranakan. Ibid., hlm. 49. 15 Orang Betawi sebagai kelompok sudah ada sejak abad XIX, namun Gambar 14: Interior dan suasana bioskop Globe / Rex di mereka baru disebutkan dalam dokumen resmi pemerintah Batavia pada tahun 1920-an. Peter J.M. Nas, Yasmine Z. Shahab, dan Jan Batavia, 1940 J.J. Wuisman, “The Betawi House in Jakarta, The Dynamics of an Sumber: kitlv.nl Urban Cultural Tradition”, dalam Reimar Schefold et.al., Indonesia Houses Volume 2: Survey of Vernacular Architecture in Western Indo- nesia (Leiden: KITLV Press, 2008), hlm. 597. 1 Rudolf Mràzek, op.cit., hlm. 154-155.

54 175 lon (Srilangka). Namun dalih tersebut telah diketahui orang Tionghoa sehingga yang terjadi justru kerusuhan yang bermuara pada genocide (pembantaian) terhadap 10.000 jiwa etnis Tionghoa pada tanggal 11 Oktober 1740 di wilayah Angke.16 Untuk mencegah terulangnya pemberontakan 1740, orang Tionghoa dikumpulkan dalam Chineesche Kamp yang dikenal dengan nama Glodok17. Mereka ditempatkan pada konsentrasi pemukiman yang masih dalam radius jarak tembak meriam Belanda dan dila- rang bergaul terlalu dekat dengan pribumi atau bertem- pat tinggal di kawasan pedalaman (rural). Oleh karena itu, lahirlah konsep stad en voorsteden (kota terdepan) yang menjadi pusat perbelanjaan Batavia seperti Pasar Baru, Pasar Senen, Tanah Abang, sebagai Chineesche winkelbuurt di kawasan urban hingga abad XX.18 Gambar 13: Promosi sirkus dan pemutaran  lm di Batavia, 1936 Winkelbuurt menjadi pusat perniagaan bagi

Sumber: kitlv.nl 16 Pembahasan lebih mendalam dan komprehensif mengenai pem- bantaian tersebut, Lihat Hembing Wijayakusuma, Pembantaian Perkembangan  lm yang semakin modern juga Massal 1740, Tragedi Berdarah Angke (Jakarta: Pustaka Populer, 2005); B. Hoetink, Ni Hoe Kong: Kapitein Tionghoa di Betawi dalam menuntut adanya peningkatan kualitas dari sisi Tahun 1740 (Depok: Komunitas Bambu, 2008). penayangan, teknis, serta fasilitas pendukungnya. Hal ini kemudian berdampak pada segmentasi penonton 17 Glodok berasal dari nama orang Bali, Kapten Tjitra Glidok. Eti-  lm. Bagi kalangan pribumi atau masyarakat kelas mologi Glodok ini mengalami perubahan makna bahasa beberapa orang yang mengatakannya, bahwa Glodok timbul dari kata meng- bawah pemutaran  lm diadakan di bioskop-bioskop glodok, onomatope (tiruan bunyi) air yang bertumbuk pada batu kelas tiga (biasa disebut “Kelas Kambing”). Film yang karena konon di sungai Ciliwung terdapat batu besar ditempat Ta- ditayangkan biasanya berupa  lm- lm yang tanpa teks, nah Lupang yang saat ini dikenal sebagai Glodok. Boejoeng Saleh, “Asal-usul Nama-nama Tempat di Ibu Kota Indonesia”, Kebudajaan mudah ‘dicerna’ oleh penonton atau tidak memuat alur 10, Oktober 1953, (Djakarta: Badan Masjarakat Kebudajaan Nasio- cerita yang rumit. Penonton juga tidak diberlakukan nal), hlm. 546. 18 Mona Lohanda, “The Passen en Wijkenstelsel: Dutch Practice peraturan yang ketat seperti dilarang berisik, bahkan of Resstrictions Policy on the Chinene”, dalam Jurnal Sejarah, terkesan urakan karena mereka biasa mengangkat kaki “Masyarakat Lokal dalam Dinamika Sejarah dari Abad XVII hingga ke atas kursi sembari makan makanan ringan yang akhir XX”, No. 12 (Depok: FSUI dan Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm. 33.

174 55 masyarakat kota Batavia. Pada daerah tersebut orang  lm yang ber-setting di Jawa, “Nyai Dasima” pada 1929 Tionghoa membangun berbagai usaha, mulai dari tu- atau di Sumatera, “Melati van Agam” pada 1930, dan kang cukur, pedagang kali lima, toko klontong, restoran lain sebagainya.11 Tema-tema menarik minat penonton ala Tionghoa hingga warung-warung19 kumuh yang me- kalangan Tionghoa maupun pribumi. Penonton pribumi nyediakan makanan dan minuman bagi masyarakat kerap kali tidak paham dengan substansi dari  lm- lm kelas bawah. Dalam tulisan P.A. Daum, kehidupan tersebut namun yang terpenting adalah visual serta la- perniagaan di Pecinan dan sekitarnya sangatlah me- tar yang ditampilkan  lm tersebut. narik dan dinamis. Orang Tionghoa digambarkan seba- Periode Depresi Ekonomi 1930 sempat mempen- gai pedagang yang ramah, selalu sabar dalam menanti garuhi aktivitas ekonomi masyarakat Hindia Belanda pembeli, pekerja keras, penuh perhitungan, namun yang berdampak pula pada dinamika dunia hiburan kikir apabila berkaitan dengan uang. Tidak heran mer- Batavia. Meski demikian, hal tersebut tidak berdampak eka juga kerap jadi bahan gunjingan oleh orang Belan- begitu besar pada perkembangan bisnis dunia hiburan. da dan Eropa. Bentuk bangunan yang orang Tionghoa Tercatat pada tahun 1936 terdapat hiburan berupa juga menarik perhatian orang Belanda karena mampu kedatangan kelompok sirkus kelas dunia “Chang Wei berfungsi ganda sebagai hunian rumah sekaligus toko Chung” di Pasar Gambir serta pemutaran  lm “Charlie (ruko) untuk menjual komoditasnya.20 Chaplin” yang pada saat itu berada di puncak ketena- Pada dasarnya pemerintah kolonial berusaha ran dunia. Kedatangan kedua jenis hiburan kelas dunia menghambat pergerakan orang Tionghoa di Batavia tersebut menjadi opsi prestius masyarakat elite dalam dengan mengeluarkan restriksi berupa Wijkenstelsel mengkonsumsi hiburan. dan Passenstelsel.21. Wijkenstelsel merupakan sebuah peraturan yang mengharuskan orang Tionghoa men- etap pada konsentrasi pemukiman di wilayah Glodok, Petak Sembilan, dan Pinangsia. Agar memudahkan pengawasan, pemerintah kolonial mengizinkan orang

19 Warung diambil dari perkataan Cina, A-long-kee atau A-long. Liem Thian Tjoe, Riwayat Semarang (Jakarta: Hasta Wahana, 2004), hlm. 24. 20 Penggambaran mengenai orang Tionghoa dan tokonya dapat dilihat pada bab XIX, “Bij den Chinees”, P.A. Daum, “Ups en Downs” in Het Indische Leven (Amsterdam: Contact, 1946), hlm. 160–164. 21 Hanneke van Katwijk en Albert Dekker, Nederlands-indische jur- isprudentie, register op de geannoteerde recht spraak in het indisch tijdschrift van het recht (1849 – 1950) en de mededelingen van het documentatiebereau voor overzees recht (1950 – 1958) (Leiden: Uit- geverij. 1993), hlm. 153-155. 11 Denys Lombard II, op. cit., hlm. 197.

56 173 Zijn Grootvader” yang dibintangi aktor Tionghoa dan Tionghoa untuk membangun berbagai sarana di Peci- bercerita tentang kehidupannya di Negeri Tiongkok nan, seperti: pasar sebagai tempat berjualan, klenteng menjadi tonggak awal meleburnya etnis Tionghoa Bat- sebagai media memenuhi kebutuhan spiritual mereka, avia untuk melebur dalam usaha perbioskopan. Seta- Kongkoan sebagai tempat pertemuan, rumah sakit hun kemudian, 1925, elite Tionghoa Batavia berhasil khusus orang Tionghoa, dan sekolah, meski masih ber- menguasai mayoritas usaha perbioskopan di Batavia. sifat tradisional dan sederhana yang mengajarkan aja- Tidak mengherankan kemudian muncul bioskop-bio- ran Konfusianisme. Passenstelsel adalah sebuah pera- skop Batavia yang menggunakan nama Tionghoa sep- turan mengenai izin melakukan perjalanan. Permissie erti “Orion” dan “Shanghai” di Glodok atau “Hua Tu”, briefje atau surat jalan tersebut berharga 0,5 f. sampai “Sin Tu”, dan “Sin Kong” di kawasan Prinsen Park9 1 f. dan isinya sangat terperinci: menyangkut tentang tujuan, siapa yang dituju, maksud bepergian, berapa Animo masyarakat begitu tinggi terhadap perkem- lama, jenis kendaraan, siapa yang menyertai, dsb.22 bangan  lm, terutama bagi kalangan pribumi dan Tion- Segala urusan mengenai komunitas Tionghoa mulai ghoa. Harian De Locomotief 1926 menuliskan bahwa: dari keamanan, laporan penduduk (mencakup kelahi- Wist U wel, dat ongeveer 80 pct van de inkomsten ran, perkawinan, dan kematian), pengumpulan berba- uit het bioscoopbedrijf komen uit de zakken van de gai jenis pajak, hingga pembuatan surat jalan berada Inlandsche en Chineezen bevolking.10 dibawah tanggung jawab kapitein der Chineezen.23 (Tahukah Anda, bahwa sekitar 80 persen pemasu- Meski demikian, posisi kapiten Tionghoa merupa- kan perusahaan bioskop berasal masyarakat pribu- kan dambaan bagi setiap orang Tionghoa. Hal ini dise- mi dan Tionghoa) babkan posisi tersebut menempatkan seseorang untuk meningkatkan prestise seseorang di mata masyarakat Antusiasme masyarakat tersebut dikarenakan dan merupakan akses untuk bergaul dengan elite- maraknya rumah produksi yang didirikan oleh orang elite Belanda. Disamping itu, memungkinkan untuk Tionghoa, baik yang berasal dari Shanghai (Wong ber- 22 Mona Lohanda, “The Passen en Wijkenstelsel: Dutch Practice saudara), maupun Tionghoa peranakan Hindia Belanda of Resstrictions Policy on the Chinene”, dalam Jurnal Sejarah, “Masyarakat Lokal dalam Dinamika Sejarah dari Abad XVII hingga (marga Tan dan The bersaudara). Film yang ditayang- akhir XX”, No. 12 (Depok: FSUI dan Yayasan Obor Indonesia, 2005), kan lebih pada kisah legenda Tiongkok namun diper- hlm. 35. 23 Orang Tionghoa dan Timur Asing lain dibiarkan berada di bawah ankan oleh Tionghoa peranakan, seperti: San Pek Eng kepala bangsa mereka sendiri. Maka seluruh sistem administrasi dalam  lm “Lima Siloeman”. Selain itu juga terdapat bersifat personal, dan didasarkan pada prinsip bahwa masing-mas- ing kelompok diatur menurut hukum kelompok itu sendiri atau 9 Han Hwie Song, op.cit., hlm. 267; Shigeru Sato, “Daily Life in War- prinsip setiap golongan dipimpin orang dari golongan itu sendiri time Indonesia, 1939-1949” dalam Stewart Lone, Daily Lives of Civil- (Soort over sort genade is). J.S. Furnivall, Hindia Belanda: Studi ians in Wartime Asia (Westport: Greenwood, 2007) hlm. 181. tentang Ekonomi Majemuk (Jakarta: Freedom Institute, 2009), hlm. 10 M. Sarief Arief, op.cit., hlm. 20. 94.

172 57 memiliki wewenang yang sah dari pemerintah kolonial.  lm- lm impor ke Hindia Belanda menyebabkan jum- Syarat dan ketentuan untuk menjadi seorang kapitan lah importir meningkat menjadi 17 buah pada 1924 kewibawaannya dalam masyarakat, dan yang terpent- dan semakin diterima di kalangan masyarakat luas. ing adalah berapa besar kekayaan yang dimilikinya. Hal ini berkaitan dengan munculnya politik investa- Kewenangan tersebut biasanya dimanfaatkan lagi un- si modal asing pasca 1870 yang memberi ruang bagi tuk mengumpulkan harta kekayaan dari berbagai pun- orang-orang Eropa untuk mencari peruntungan di Hin- gutan liar yang dikuasainya seperti pengumpulan pajak dia Belanda.7 dan lain sebagainya. Pada awalnya pemutaran  lm masih bersifat ‘no- Salah satu  gur pemimpin sekaligus pengusaha maden’ dengan berpindah dari satu gedung ke gedung yang menonjol adalah So Bing Kong (1580-1644), yang lainnya, contohnya dengan cara menyewa gedung milik juga menjadi “eerste kapitein der Chineezen te Batavia” Kapten Tionghoa, Tan Boen Koei. Pertunjukan  lm yang (kapiten Cina pertama di Batavia).24 Ia muncul sebagai murah dilakukan di lapangan terbuka seperti di Mangga salah satu pedagang yang paling kaya dan berpengar- Besar atau di Los Pasar Tanah Abang. Pasca tontonan uh di tempat itu. Ia juga menarik perhatian J.P. Coen,  lm dipertunjukan di gedung permanen, maka mun- yang kemudian menjadikannya penasehat dan bahkan cul kelas-kelas bioskop dan kelompok kelas penonton. sahabatnya. Di Batavia, So Bing Kong hidup bagaikan Bioskop tersebut dibagi menjadi: Bioskop kelas I, se- pangeran. Rumahnya sangat mewah, terletak di sela- harga f. 1-2, di Bioskop Deca Park dan Bioskop Capitol tan loji, antara Tijgersgracht dan Prinsengracht. Selain ;kelas II, seharga f. 0,50 di Bioskop Kramat Theater di itu itu ia memiliki beberapa bidang tanah di luar tem- kawasan Senen; kelas III, seharga f. 0,25 di Bioskop bok dan di sebelah barat juga memiliki kebun kelapa, Rialto juga di kawasan Senen.8 yang kepemilikannya disahkan pada tahun 1620. Souw Pada awalnya pemutaran  lm hanya dikuasai oleh Beng Kong merupakan representasi elite Cina tradis- orang Belanda dan para pengusaha Barat. Orang Tion- ional di Batavia.25 ghoa hanya sekedar berperan dalam usaha penyewaan gedung namun ketika usaha perbioskopan dinilai po- tensial, maka mulailah mereka turut terlibat, terlebih lagi karena usaha perbioskopan merupakan bisnis kelas menengah yang notabene adalah bidang mereka. Disamping itu, pemutaran  lm produksi Star Motion 24 Mona Lohanda, The Kapitan Cina of Batavia 1831-1942: A History of Picture Co. Shanghai berjudul “Een Kleinezoon Freedt Chinese Establishment in Colonial Society (Tanpa Kota: Djambatan, 2001), hlm. 65. 7 M. Sarief Arief, Politik Film di Hindia Belanda (Depok: Komunitas 25 Denys Lombard II, op.cit., hlm. 279-280;Lihat pula, Phoa Kian Sioe, Bambu. 2009), hlm. 17. Sedjarahnja Souw Beng Kong, Phoa Beng Gan, Oey Tamba Sia (Dja- 8 Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa karta: Penerbit Reporter, 1956). (Depok: Komunitas Bambu, 2009), hlm. 30.

58 171 memasok intrumen musik impor ke Batavia disamping perannya sebagai promotor komedi Stambul dan musik Tabel III keroncong di Pasar Gambir pada 1905-1920.3 Kawasan Jumlah orang Tionghoa berdasarkan Waterloo Plein dan Koningsplein merupakan kawasan wilayah yang terkenal dengan bangunan bersejarah dan juga Jumlah orang Jumalah orang permainan musik. Grup musik tersebut terdiri dari be- Batavia Tionghoa Tionghoa di Total Keseluru- berapa orang dengan alat musiknya masing-masing. 1905 berdasarkan wilayah seki- han Kemampuan mereka dikenal sebagai ”para pemain mu- tempat tarnya sik yang istimewa” (De onderscheidene bekwame mu- zijkanten). Irama musik semacam polska, walsa, lagu Kota Batavia 28.150 - - mars sering dimainkan dan disusul dengan musik khas 4 Meester Cor- Tiongkok. Tionghoa peranakan cenderung lebih memi- 2.398 - - lih untuk mempelajari instrumen musik Eropa diban- nelis ding intrumen tradiosional Tiongkok, Kong-A-Hian.5 Tangerang 1.308 - -

Selain musik, terdapat bioskop dan stambul se- Buitenzorg 4.318 - - bagai sarana hiburan kalangan elite Tionghoa. Komedi Stambul merupakan jenis pagelaran seni yang berasal Purwakarta 309 - - dari Turki. Meski demikian, bioskop dipandang lebih Total 36.483 56.037 92.520 modern dibanding Stambul sehingga elite Tionghoa lebih memilih pemutaran  lm bioskop sebagai sarana Sumber: L.H.W. van Sandick van, Chineezen buiten China: hunne hiburan. Film bioskop juga kerap disebut dengan isti- beteekenis voor de ontwikkeling van zuid-oost-aziё, speciaal van lah “gambar idoep” yang hanya sekadar memvisualisasi Nederlandsch-Indiё (Tanpa kota: ‘S-Gravenhage. 1909), hlm. 209.  lm bisu. Pemusatan tentang  lm biasa dikelola oleh beberapa perusahaan bioskop keliling.6 Film pertama Memasuki abad XX, orang Tionghoa mulai hidup kali muncul pada akhir abad XIX melalui sebuah iklan menyebar dan tidak selalu berada di Pecinan. Hanya di harian Bintang Betawi, 5 Desember 1900 di Tanah segelintir orang yang mampu melakukan hal tersebut, Abang, dalam bentuk  lm dokumenter. Baru kemudi- terutama dari kalangan orang berada. Mereka menye- an pada 1903  m bercerita mulai muncul. Maraknya bar ke wilayah berbagai wilayah, sedangkan bagi Tiong- 3 Peter Keppy, loc.cit. hoa kalangan bawah tetap tinggal di Pecinan. Kawasan 4 Johan Fabricus, op.cit., hlm. xxxi. 5 J. De Loos Haaxman, De Franse Schilder Ernest Hardouin in Batavia Pecinan dikenal sebagai kawasan perdagangan Tiong- (Leiden: E,J. Brill 1982), hlm. 18. hoa yang menual beraneka macam komoditas dan se- 6 Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula (Yogyakarta: Ombak, 2006), lalu ramai. Kawasan ini juga kerap direkomendasikan hlm. 80.

170 59 sebagai salah satu destinasi wisata bagi turis asing ke- tika singgah ke Batavia. Keunikannya semakin lengkap dengan keramahtamahan orang Tionghoa dalam men- jajakan barang dagangannya. Tak jarang mereka me- nyapa dan menegur siapa saja yang melewati kawasan Pecinan dengan panggilan:” Sini Njonja, toewan, barang bagoes”.26

B. Posisi dan Peran Orang Tionghoa 1. Orang Tionghoa sebagai Pedagang Perantara Ketika orang Tionghoa datang di Jawa pada abad abad XII, terdapat berbagai teori yang mengatakan bahwa orang Tionghoa datang untuk melakukan per- dagangan dengan wilayah atau Laut Selatan27. Wilayah ini mencakup berbagai negara di kawasan Asia Tenggara, salah satunya adalah kawasan Nusantara. Gambar 12: Poster pengumuman musik serta Kondisi tersebut semakin diperkuat karena ketidaka- pesta dansa 1926 (Sumber: KITLV) manan di daerah asal, terkait dengan peperangan dan juga bencana kekeringan serta kelaparan. Musik sebagai salah satu simbol modernitas men- Kehadiran orang Tionghoa di wilayah Nusantara, galami perkembangan yang cukup signi kan di kalan- terutama di Xiagang (Banten), diterima dengan baik gan masyarakat umum Batavia.1 Hal in tak lain kare- oleh syahbandar setempat, sehingga terjadilah proses na orang Tionghoa berperan serta dalam membangun perdagangan di Banten pada abad XV.28 Kerjasama di berbagai taman hiburan, seperti Prinsenpark di Bata- 26 Willem van der Molen, “Glory of Batavia, the Image of Colonial City via (sekarang Lokasari), dengan meniru konsep suasa- through the Eyes of a Javanese Nobleman” Peter J.M. Nas (eds.), na “kalangan atas” dari Shanghai dan dari kota-kota Urban Symbolism (Leiden: Brill, 1993), hlm., 318-320. 27 Nanyang atau Nan Yang berarti Lautan Selatan. Biasanya istilah lain di Tiongkok dengan penambahan impresario yang ini sering dipakai untuk menyebutkan daerah atau negara yang paling mutakhir. Pembangunan tersebut semakin me- terletak di Semenanjung Indo Tionghoa, yaitu Vietnam, Laos, dan ningkat dengan pembangunan gedung musik dan klub Kamboja; serta yang berada di Semenanjung Melayu dan Indonesia. 2 Secara geogra s, daerah atau negara tersebut terletak di sebelah malam. Selain itu, Tio Tek Hong juga berperan dalam selatan RRC. Hari Poerwanto, Orang Tionghoa Khek dari Singka- 1 Menurut Peter Keppy, simbol modernitas antara lain adalah: lampu elektronik, wang (Depok: Komunitas Bambu, 2005), hlm. 320-321. pakaian, mobil, musik, pemain gramafon, radio, bioskop, olahraga, dan arsitektur 28 Orang Tionghoa memberikan nama-nama untuk beberapa wilayah art deco yang dipadukan dengan penemuan teknologi serta pengembangan estetik di Jawa, contohnya: Xiagang (Banten), Yecheng (Batavia/Jakarta), dalam kehidupan metropolis Batavia. Peter Keppy, op.cit., hlm. 155. Linmu (Demak), Cecun (Gresik), Sishui (Surabaya), dan Yangwang 2 Denys Lombard I, op.cit., hlm. 329.

60 169 menghabiskan masa tuanya di koloni Hindia Belanda. bidang perdagangan berjalan lancar sehingga kehad- Faktor ini mendorong didirikannya Societeit di kawasan iran mereka diterima secara sosial dalam kehidupan Harmoni, 1874, sebagai tempat bersosialisasi komuni- sehari-hari masyarakat lokal hingga akhirnya memben- tas orang Barat, bersantai, dan menikmati keindahan tuk sebuah komunitas Tionghoa di wilayah pesisir Ban- seni.45 Selain itu juga terdapat Schouwburg dan Concor- ten. Penerimaan tersebut salah satunya adalah berse- dia bagi para anggota militer. Para pembesar Eropa, pri- dianya orang Tionghoa untuk memeluk agama Islam.29 bumi, dan Tionghoa terkadang berkumpul bersama un- Kehidupan sosial ekonomi bergerak secara dinamis dan tuk jamuan makan malam atau ajang pertemuan resmi menempatkan Banten sebagai entreport (pintu masuk) di Societeit.46 Kegiatan makan ”pesta kebun” kerap di- Jalur Sutera yang tertulis dalam catatan klasik orang lakukan dengan berbagai meja kursi yang disusun rapi Tionghoa. Dalam catatan tersebut dilaporkan bahwa serta diiringi oleh alunan musik yang dimainkan oleh raja setempat menetapkan dua tempat di luar kota musisi dari militer maupun musisi luar negeri. Bagi yang dilengkapi dengan toko-toko dan digunakan seba- yang menginginkan kegiatan di dalam ruangan dapat gai sarana berdagang. Pada pagi hari toko-toko terse- menghabiskan waktu dengan pesta dan atau bermain but sangat ramai karena semua orang pergi kesana dan bilyar. kegiatan perdagangan akan berhenti ketika siang hari. Setiap hari raja mengutus pengawalnya untuk menarik pajak perdagangan.30 Ketika Belanda berhasil menaklukkan kerajaan Banten dan mendirikan kota Batavia, orang Tionghoa sengaja dibiarkan bergerak untuk mengembangkan perekonomian kota Batavia, baik yang di dalam ben- teng maupun di Ommelanden. Hal ini disebabkan orang Tionghoa telah lebih dahulu berada di Batavia, sehing-

45 Kuntowijoyo, “Making an Old City A Pleasant Place to Stay for ga dianggap lebih mengenal kondisi masyarakat lokal. Meneer and Mevrouw: Solo, 1900-1915”, dalam Nadar, FX. (ed.). Lenses: Thoughts on Culture, Literature, and Linguistics (Yogyakarta: (Pasuruan). Nama-nama itu tertera dalam pelbagai penulisan lokal Jurnal Humaniora FIB UGM, 2009), hlm. 163.; Kuntowijoyo, “The berbahasa Tionghoa atau kisah-kisah abad XVI dan XVIII. Denys Making of A Modern Urban Ecology: Social and Economic History of Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu Bagi- Solo, 1900 – 1915,” dalam Lembaran Sejarah, Vol. 3. No.1. (2000), an II: Jaringan Asia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. hlm. 174. 272. 46 Lihat berbagai catatan seorang peranakan, “Peringaten aken Ka- 29 Jean Gelman Taylor, “The Chinese and the Early Centuries of Con- datengannja Eskader Tiongkok, dan Taij Djin Jang Zse Tze (Jo See version to Islam in Indonesia”, dalam Tim Lindsey dan Helen Pau- Kie) ka Poelo Djawa”, pada tulisan Claudine Salmon dan Denys Lom- sacker, Chinese Indonesia, Remembering, Distorting, Forgetting (Sin- bard, “Tentang Kunjungan Sebuah Armada Kekaisaran Tiongkok di gapore: ISEAS, 2005), hlm. 148-160. Jawa pada tahun 1907”, dalam Salmon, Claudine (ed.), op.cit., hlm. 30 W.P. Groeneveldt, Nusantara dalam Catatan Tionghoa (Depok: Ko- 342-349. munitas Bambu, 2009), hlm. 77.

168 61 Selain itu Belanda juga tidak ingin mengurusi kehidu- fasilitas politik lainnya melahirkan perilaku dan gaya pan bangsa yang dianggap berada pada hierarki yang hidup yang khas.41 Etnis Tionghoa peranakan yang lebih rendah, kecuali memberlakukan perundangan- mayoritas menjadi elite kelas menengah, terutama ka- undangan. langan borjuis, menuntut kemampuan dalam mem- Orang Tionghoa di seluruh Hindia Belanda, tak pertimbangakan benda-benda informasi dan teknolo- terkecuali di Batavia, dikenal sebagai etnis yang mahir gi berbagai layanan dalam upaya untuk memberikan dalam bidang perdagangan, bahkan mereka dicap seba- arus balik yang dibutuhkan dari konsumsi pada peker- gai ’makhluk ekonomi’ yang hanya bekerja untuk men- jaan, yang dengan sendirinya menjadi kuali kasi un- cari uang.31 Pada dasarnya pandangan tersebut apa- tuk pekerjaan.42 Menurut Sztompka, kehidupan sosial bila lebih ditelaah merupakan dampak dari dua faktor: masyarakat modern menuntut manusia untuk mampu pertama, adalah situasi di negara asal, kedua, karena bekerja secara profesional yang berdampak pada pemi- keadaan di Banten, atau Hindia Belanda, yang memang sahan antara waktu bekerja dan waktu bersantai (lei- memaksa orang Tionghoa untuk berkecimpung dalam sure time).43 Menurut Daniel Miller, konsep leisure time dunia perniagaan. dipahami sebagai kemampuan seseorang untuk absen atau bersantai pada pekerjaan mereka. Konsep ini le- Pertama, mayoritas orang Tionghoa yang da- bih menonjol pada mereka yang berasal dari masya- tang ke Hindia Belanda berasal dari wilayah Tionghoa rakat kalangan atas yang berfungsi sebagai pembeda bagian selatan, tepatnya dari provinsi Fukien (Fujian), terhadap orang lain. Bagi mereka yang dikenal sebagai dimana daerah tersebut merupakan pusat bisnis atau nouveaux riches, konsep ini merupakan implikasi dari rendezvous (tempat pertemuan) bagi penjual dan pem- akumulasi kapitalisme. Meski demikian konsep ini ti- beli di kawasan Tiongkok. Menurut Dobbin, sistem dak berlaku bagi mereka yang merupakan masyarakat bisnis yang berkembang pada orang Tionghoa ada- aristokrat tradisional yang tidak pernah terlibat dalam lah sistem yang berasal dari Tionghoa Hokkian, yakni urusan pekerjaan dan kontradiktif dengan status mere- sebuah Tionghoa dibagian selatan yang merupakan ka yang inheren dalam sistem aristokrat tradisional.44 kota Amoy. Pada daerah tersebut, terutama di Taiwan berkembang makanisme sistem kredit atau peminja- Bagi orang Barat, hidup adalah adalah suatu ke- man yang kemudian berkembang dan menjadi embrio giatan yang santai sehingga harus dinikmati, terutama pola bisnis orang Tionghoa.32 Realitas tersebut mem- bagi para pegawai pemerintah yang telah pensiun dan 41 Sri Margana dan Umi Barjiyah, “pendahuluan”, dalam Sri Margana 31 Didi Kwartanada, “Minoritas Tionghoa dan Fasisme Jepang: Jawa, dan M. Nursam (ed.), Kota-kota di Jawa: Identitas, Gaya Hidup, dan 1942-1945”, dalam Lembaga Studi Realino, Penguasa Ekonomi dan Permasalahan Sosial (Yogyakarta: Ombak, 2010), hlm. 6 Siasat Penguasa Tionghoa: Seri Siasat Kebudayaan (Yogyakarta: 42 Mike Featherstone, op.cit., hlm. 41-43. Kanisius,1996), hlm. 24 ; Augusta de Wit, Java, Facts and Fancies 43 Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Prenada, (London: Chapman & Hall, Ltd., 1905), hlm. 52. 2008), hlm. 88. 32 Christine Dobbin, “The Importance of Minority characteristics in 44 Daniel Miller, Material Culture and Mass Consumption (Cambridge: the Formation of Business Eliteson Java: The Baweanese Exam- Blackwell, 1987), hlm. 148.

62 167 merasa kurang puas dengan sistem pendidikan di Hin- pengaruhi mentalitas, pola pikir, dan etos kerja orang dia Belanda, mereka bahkan menyekolahkan anak- Tionghoa yang membuat mereka telah terbiasa dengan anak mereka hingga ke luar negeri seperti: Tiongkok, pola perdagangan. Kedatangan orang Tionghoa Fukien, Singapura,35 Leiden (Belanda),36 Inggris,37 Australia,38 yang merupakan bagian dari suku Hokkian, menerap- dan Amerika39 Mentalitas inilah yang disebut Colom- kan sistem perdagangan sebagai upaya mereka menja- bijn bahwa pendidikan formal tidak hanya membuka lin hubungan dengan masyarakat pesisir dan sekaligus peluang memperoleh pekerjaan namun juga merupa- sebagai pilihan hidup. Dari sektor perdagangan mereka kan gaya hidup dan cita rasa seseorang.40 mampu diterima oleh masyarakat, mulai dari syahban- Perkembangan pendidikan yang begitu cepat di dar, masyarakat lokal, hingga penguasa setempat. Per- era modernisasi berbanding lurus dengan perkem- dagangan yang dilakukan masih bersifat tradisional, bangan teknologi. Kota-kota besar di Hindia Belanda, yakni dengan sistem barter komoditas dari Tiongkok seperti: Batavia, Surabaya, Semarang, dan lain seba- seperti kain sutera, porselin, dan keramik. Hubungan gainya, telah mengalami perkembangan yang cukup kerjasama perdagangan tersebut diwariskan pada gen- signi kan pada aspek fasilitas dan infrastruktur pe- erasi berikutnya sehingga stereotype Tionghoa sebagai nunjang perkotaan. Menurut Margono, karakteristik pedagang menjadi semakin kental. dari sebuah kota yang secara mencolok dapat membe- Kedua, situasi dan kondisi di wilayah yang baru. dakan dengan masyarakat nonperkotaan adalah gaya Status orang Tionghoa sebagai newcomers (penda- hidup dari masyarakatnya, latar belakang profesi, ke- tang), atau bahkan outsiders (orang luar), yang datang mudahan akses transportasi, komunikasi dan berbagai ke Banten akan sulit diterima oleh penguasa setem- pat apabila mereka langsung bergerak pada jalur poli- 35 W.J. Cator, The Economic Position of The Chinese in The Netherlands Indies (Illnois; University of Chicago Press, 1936), hlm. 87; H. Schijf tik, demikian halnya pada masa pemerintah kolonial. and B.A.M. The, “Chinese Doctors in The : Social Menurut Ong Eng Die, di negeri asalnya, orang Tion- Mobility Among An Ethnic Trading Minority in A Colonial Society”, ghoa mayoritas merupakan petani dan mereka tidak dalam Indonesia, No. 53. April (Ithica: Cornell Southeast Asia Pro- gram, 1992), hlm 34-50. diperkenankan untuk memiliki tanah sehingga mere- 36 Augusta de Wit, op.cit., hlm. 56. ka diharuskan untuk menetap di wilayah tertentu dan 37 Irene Ho, seorang gadis Tionghoa pertama yang meraih gelar Ph.D tidak boleh berada pada daerah pedalaman. Selain itu, dari Universitas London dan mendapat kehormatan bertemu den- gan raja Inggris. Lihat Sin Po, Saptoe 12 Desember 1936, tahun XIV mereka juga tidak memiliki pendidikan yang layak bagi No. 715, hlm. 6. mereka untuk menduduki jabatan-jabatan pimpinan 38 Sin Po, 24 Oktober 1936, tahun XIV No. 708, hlm. 20-21. 33 39 Sejak 1909-1920, tidak kurang 656 murid dikirim ke Amerika Ser- dalam masyarakat lokal. ikat. Mulai 1914-1916, murid perempuan juga mulai bersekolah ple, circa 1870 – circa. 1940”, dalam Archipel 41, 1991, hlm. 117 disana sebanyak 50 murid. Tjie Eng Hoat, “Student Tionghoa di – 122. Loear Negri”, dalam Week Blad Keng Po, Saptoe 10 Februari 1934 33 Ong Eng Die, “Peranan Orang Tionghoa dalam Perdagangan”, da- No. 267, Speciaal Nummer, hlm. 57. lam Mely G. Tan (ed.) Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia: Suatu 40 Freek Colombijn, op.cit., hlm. 18. Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa (Jakarta: LEKNAS LIPI dan

166 63 Faktor yang mendorong menjadi pedagang ada- bukan di Belanda.32 Terdapat pula yang hanya sekedar lah adanya peraturan-peraturan yang dikeluarkan pe- media komunikasi dengan orang asing.33 merintah Belanda yang mencoba menghalang-halangi Kwee Tek Hoay mencatat bahwa terdapat lima kel- kontak antar masyarakat Tionghoa dan memutuskan ompok dalam komunitas Tionghoa terkait dengan as- mereka di daerah-daerah tertentu. Pada waktu itu, pek pendidikan: pertama, peranakan kelas menengah orang-orang Tionghoa diharuskan memperoleh surat yang ingin tinggal di koloni dan tertarik pada pendidi- jalan dari gubernur apabila mereka ingin bepergian dan kan yang lebih tinggi; kedua, peranakan miskin dan aturan-aturan gubernemen yang memaksa mereka un- sudah puas dengan menyekolahkan anak-anaknya ke tuk di konsetrasi khusus di kota-kota. Pada kenyataan- sekolah Tionghoa-Melayu; ketiga, peranakan nasionalis nya daerah pemukiman mereka di Jawa disebut PeTion- yang berorientasi ke negeri leluhur dan ingin pendidi- ghoan. Daerah pemukiman itu kemudian berkembang kan ala Tiongkok meski anak mereka tidak ke Tiong- menjadi pusat perdagangan yang besar pengaruhnya kok; keempat, peranakan dan totok nasionalis yang in- terhadap kehidupan ekonomi pasar.34 Kondisi ini tentu gin identitas ketionghoan mereka meski percaya bahwa saja memaksa mereka untuk menentukan bahwa jalur pada dasarnya pendidikan ala Tiongkok tidak cukup perdagangan yang merupakan jalur universal bagi sia- untuk memperoleh kehidupan yang layak; dan kelima, pa saja demi menjaga eksistensi mereka. Tionghoa totok murni (Hakka/Kanton) yang tanpa ragu Memang harus diakui bahwa orang Tionghoa yang ingin kembali ke Tiongkok.34 datang ke Hindia Belanda tidaklah homogen, melaink- Berbeda halnya dengan cara pandang orang Tion- an terdiri atas berbagai suku yang juga mempengar- ghoa peranakan abad XX yang menilai pendidikan tidak uhi jenis-jenis okupasi orang Tionghoa. Sebagai mana hanya sekedar media untuk berkomunikasi dan sosial- dalam tulisan Dobbin, orang Tionghoa dari suku Hok- isasi, pendidikan menjadi sebuah upaya untuk meraih kian35, yang merupakan mayoritas, sangat dominan penghidupan yang layak seiring dengan pesatnya arus bergerak pada sektor perdagangan skala besar. Hal itu modernisasi. Pendidikan yang paling banyak diminati semakin dipertegas oleh Carey yang menyebut bahwa antara lain adalah: hukum, kedokteran, dan teknik. imigran-imigran orang Tionghoa Hokkian baru, berasal Murid-murid tersebut merupakan murid pilihan yang dari keturunan yang aktif dan kemudian mereka mem- secara umum lebih berprestasi dari murid-murid ka- Yayasan Obor Indonesia, 1979), hlm. 30. langan pribumi. Bagi kalangan yang lebih mapan atau 34 Lihat Tri Wahyuning. M. Irsyam. “Golongan Etnis Tionghoa seba- gai Pedagang Perantara di Indonesia. 1870-1930”, makalah Semi- 32 Bahasa Belanda juga tidak diajarkan, tapi diajarkan bahasa Inggris nar Sejarah Nasional IV, (Yogyakarta tanggal 16 s.d. 19 Desember dan Mandarin meski harus mendatangkan guru privat bernama 1985), hlm. 7. Ang San Mei. Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah, cet. VI (Ja- 35 Menurut Gondomono, suku Hokkian dibedakan lagi dalam sub- karta: Lentera, 2007), hlm. 92. kelompok: Ciangcu, Cuanciu, dan Hokcia. Lihat, Gondomono, 33 G. William Skinner, “Creolized Chinese Societies in Southeast Asia”, Membanting Tulang Menyembah Arwah, Kehidupan Kekotaan dalam Anthony Reid (ed.), op.cit., hlm. 88. Masyarakat Tionghoa (Jakarta: IKAPI, 1996), hlm. 15. 34 Mona Lohanda, op.cit., hlm. 73.

64 165 bahwa pendidikan barat merupakan hal yang sia-sia bentuk sejenis “golongan ningrat” di kalangan orang apabila masih memelihara kebiasaan asli Tiongkok. Tionghoa di kawasan Nanyang.36 Keadaan tersebut ten- Terlebih lagi, mereka (para singkeh) juga memandang tu berbeda dengan orang Tionghoa dari Kanton yang bahwa tanpa sekolah pun mereka akan mampu menja- memilih bekerja pada bidang ketrampilan dan teknolo- lankan usaha bisnis, karena yang dibutuhkan bukan- gi, orang Tionghoa Hakka (Khek) yang memilih men- lah pendidikan melainkan pengalaman dagang.28 jadi penambang, atau Thiu Chiu pada bidang perburu- Bagi masyarakat elite kelas menengah Tionghoa, han.37 Secara keseluruhan mereka semua akan tetap pendidikan yang pada awalnya lebih merupakan simbol akan berujung pada bidang perdagangan untuk mem- status di mata masyarakat telah beralih fungsi menjadi peroleh penghasilan. Sebagai contoh adalah bagaima- bagian dari gaya hidup masyarakat urban. Pendidikan na orang Tionghoa Kanton yang bekerja sebagai pan- merupakan simbol modernitas yang dipandang sebagai dai besi (blacksmith) dan pembuat kaleng di Batavia38, langkah awal bagi seseorang untuk dapat dikategori- tetap akan menjual hasil karyanya ke pasaran; orang kan sebagai ‘modern’.29 Anak-anak Oey Tiong Ham,30 Tionghoa Hakka yang bekerja sebagai pedagang eceran beberapa tokoh Tionghoa31, dan kalangan masyarakat (retail trade) atau klontong untuk wilayah Jawa39 atau elite kelas menengah Tionghoa Batavia memandang penambang emas di Sumatera, terutama Bangka, Beli- peran sentral dari pendidikan. Seorang Tionghoa totok tung, dan Riau.40 Sedangkan orang Tionghoa suku Thiu pun merasa perlu untuk menyekolahkan anak-anaknya Chiu lebih bergerak pada sektor perdagangan yang leb- dengan berbagai maksud tertentu. Orang Tionghoa totok ih mikro, seperti membuka rumah makan41, pedagang mendidik anak-anaknya untuk menjadi manusia mod- kaki lima, dan usaha dibidang rentenir yang lazim dike- ern Tionghoa yang mengenal kebudayaan bangsanya nal dengan istilah Mindring. dan dipersiapkan untuk dapat bersekolah di Tiongkok, Keanekaragaman tersebut dapat dilihat pada

36 Peter Carey, Orang Tionghoa, Bandar Tol, Candu, dan Perang Jawa: 28 Liem Thian Joe, op.cit., hlm. 255. Perubahan Persepsi Tentang Tionghoa 1755-1825 (Jakarta: Komuni- 29 Solvay Gerke, “Global Lifestyle under Local Conditions: The New In- tas Bambu, 2008), hlm. 26. donesian Middle Class”, dalam Chua Beng Huat (ed.), op.cit., hlm. 37 Koentjaraningrat, “Tweentieth Century Rural Urban Changes”, da- 148. lam Haryati Soebadio dan Sarvaas, Carine A. du Marchie, Dynamics 30 Han Hwie Song, Memoar Prof. Dr. Han Hwie Song: Dari Pecinan of Indonesian History (Amsterdam: 1978), hlm. 364. Surabaya sampai Menerima Bintang Ridder in de Orde van Orangje 38 Denys Lombard, op.cit., hlm. 267. Naussau (Bandung: Pustaka Sutra, 2010), hlm. 259. 39 Twang Peck Yang, Elite Bisnis Tionghoa di Indonesia dan Masa 31 Salah satunya adalah Lie Hin Liam, penguasaha Batavia yang terke- Transisi Kemerdekaan 1940-1950 (Yogyakarta: Niagara, 2004), hlm. nal dengan penggilingan padi ultra modern sekaligus ketua kamar 61. dagang pada 1907. Claudine Salmon dan Denys Lombard, “Tentang 40 Hari Poerwanto, op.cit., hlm. 329. Kunjungan Sebuah Armada Kekaisaran Tiongkok di Jawa pada ta- 41 Shinta Devi Ika Santhi Rahayu, “Pendidikan Etnis Tionghoa di hun 1907”, dalam Claudine Salmon (ed.), Sastra Indonesia Awal: Surabaya pada Pertengahan Abad XX hingga tahun 1942”, Tesis Kontribusi Orang Tionghoa (Jakarta: Kepustakaan Populer Grame- S-2 Program Studi Sejarah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada dia, 2010), hlm. 336. (Yogyakarta, 2010), hlm. 40.

164 65 sebuah sensus penduduk yang dilakukan orang Be- yang berbeda tersebut kemudian menghasilkan buah landa di Batavia terhadap 3.431 kepala keluarga pasca cinta keturunan yang memiliki darah campuran den- pembantaian 1740. Denys Lombard melihat bahwa se- gan Barat, terutama Belanda. Secara genetis, perkaw- banyak 1.442 orang diantaranya berdagang (cooplieden inan tersebut menghasilkan ciri  sik yang tampak pada en handelaars), 935 bertani, pekebun, pembuat kapur, iris mata mereka yang terkadang campuran antara hi- dan pengolah arak (handbouwers, tuiniers, kalk, en tam, coklat, dan kebiruan, atau menonjol salah satu arakbranders), 728 bekerja di dalam produksi gula dan dari warna tersebut. Secara antro-psikologi perkawinan penebangan kayu (suikermaalgers en houtkappers), dan campur antar etnis Tionghoa dengan Barat atau Tion- 42 326 menekuni seni kriya (ambachtslieden) . ghoa dengan pribumi, kerap menghasilkan manusia Kehadiran orang Tionghoa yang begitu penting yang memiliki tempramental tertentu. Lain halnya bila dalam bidang perdagangan menjadikan mereka sebagai orang Belanda melakukan perkawinan dengan orang pedagang perantara antara pemerintah kolonial den- pribumi yang umumnya menghasilkan manusia yang gan masyarakat lokal. Kedekatan orang Tionghoa den- tidak terlalu bersikap tempramental.26 gan Belanda melahirkan sebuah ungkapan berbahasa Pertemuan kebudayaan Tiongkok dengan kebu- Jawa, ana Landa ana Tionghoa (dimana terdapat orang dayaan Barat, bagi beberapa kalangan, berdampak 43 Belanda, disana terdapat orang Tionghoa). Peran itu pada perbedaan pandangan yang saling kontradiktif. tidak bisa dijalankan oleh orang Belanda karena me- Menurut Sartono, tidak ada perubahan kultur tanpa reka lebih bertindak sebagai pengawas dibanding se- menimbulkan kon ik, terutama oleh golongan sosial bagai pelaksana di lapangan. Orang Belanda mengatur yang berpegangan pada nilai-nilai tertentu sesuai den- berbagai restriksi dan peraturan dan berusaha mem- gan lokasi sosialnya.27 Karakter tersebut semakin men- peroleh keuntungan dari perdagangan orang Tionghoa. jauhkan orang Tionghoa dengan kebudayaan negeri le- Menurut Ong Eng Die, perdagangan dibedakan antara luhurnya dan berdampak pada sebuah pertentangan. perdagangan besar dan perdagangan perantara (meli- Tidak mengherankan bahwa pertentangan tersebut puti perdagangan grosir dan pedagang keliling), yang menghasilkan segregasi sosial dalam kehidupan sosial mengarah pada perdagang distribusi dan pengumpulan etnis Tionghoa. Dalam memoar Liem, golongan Tiong- (borongan). Perdagangan besar bergerak pada bidang hoa peranakan begitu bernafsu untuk mengikuti adat ekspor-impor di luar Hindia Belanda, sedangkan untuk kebiasaan dan pendidikan Eropa. Hal ini menimbulkan binnenzaken (pergangan dalam negeri), orang Tionghoa kritikan dari golongan Tionghoa singkeh konservatif terhadap para Tionghoa peranakan yang memandang 42 Lihat Denys Lombard, op. cit., hlm 245. 43 Suhartono W. Pranoto, “Tionghoa Klonthong: Rural Peddlers in 26 Paulus Hariyono, Kultur Cina dan Jawa: Pemahaman Menuju Asimi- the Residency of Surakarta 1850-1920”, dalam G.J. Schutte (ed.), lasi Kultural (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), hlm. 21. State and Trade in the Indonesian Archipelago (Leiden: KITLV Press, 27 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Seja- 1994), hlm. 178. rah (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 201.

66 163 kter ’Cina-Belanda’. Terdapat sebuah kisah menarik bertindak sebagai pedagang perantara44 yang merupa- yang mendukung realitas historis tersebut. Dikisahkan kan penghubung antara wilayah pusat dengan wilayah dahulu ada cerita dimana seorang kakek tua renta et- periferi.45 Peran tersebut mereka jalankan selama sera- nis Tionghoa yang tengah mengunjungi anak lelakinya tus tahun dan kemudian semakin berkembang menjadi di pusat kota Batavia. Selama kunjungan, datanglah kontraktor untuk pekerjaan umum, antara lain: pabrik seorang pria yang merupakan teman dari sang anak gula, penyulingan arak, pembakaran bata dan kapur, untuk mampir sejenak dan tak lama kemudian, tamu penggergajian, dan tukang atau buruh pembangunan tersebut disambut oleh cucu sang kakek yang meru- benteng VOC.46 pakan murid HCS. Sang kakek merasa sangat terkejut Kerja keras dan ketekuanan orang Tionghoa yang sekaligus terhina ketika mendengar cucunya berkata didukung juga dengan relasi bisnis yang baik dengan pada ayahnya dengan ucapan: ”Pa, daar buiten staat para konsumen telah menempatkan mereka “from zero een Tjina..!!!” (Pa, diluar sana berdiri seorang Cina).23 to hero”. De Vries memandang bahwa sejumlah orang Hadirnya generasi muda Tionghoa berorientasi Tionghoa yang pada awalnya didatangkan sebagai koe- Belanda semakin intensif ketika mulai banyaknya per- li-koeli murah di Batavia secara berangsur-angsur te- nikahan antara pria Tionghoa dengan wanita Belanda, lah menjelma menjadi jutawan berkat usaha dan kerja sebagaimana tampak pada karya Njoo Cheong Seng24, keras mereka dibidang perdagangan. Keuletan mereka ataupun pernikahan campur wanita Tionghoa dengan dalam berusaha didukung dengan pilihan istimewa ko- orang Belanda atau Eropa. Menurut Twang, hingga ta- lonial Belanda yang menunjuk mereka sebagai peda- hun 1930, tak kurang dari 230 wanita Tionghoa telah gang perantara.47 Hal ini semakin diperkuat dengan dinikahi pria-pria Eropa. Masih pada tahun yang sama, anggapan pemerintah kolonial dalam memandang pen- terjadi 57 pernikahan serupa dan pada 1939 meningkat duduk pribumi sebagai bangsa yang malas.48 menjadi 115 pernikahan. Dua orang elite Tionghoa ter- 44 Pedagang Perantara dalam terminologi Kwartanada disebut dengan kaya di Jawa dan Sumatera, Oey Tiong Ham dan Tjong ‘dalal’. Didi Kwartanada, “pengantar”, dalam Peter Carey, op.cit., hlm. 26. A Fie, memiliki anggota keluarga yang menikah den- 45 Ong Eng Die, op. cit., hlm. 31. gan orang Eropa.25 Hasil pernikahan antara dua etnis 46 The Siauw Giap, “Socio-Economic Role of the Chinese in Indonesia, 1820-1940”, dalam Angus Maddison dan G.E. Prince (eds.), Eco- 23 Mona Lohanda, Growing Pains: The Chinese and the Dutch in Colonial Java 1890- nomic Growth in Indonesia 1820-1940 (Leiden: KITLV, 1989), hlm. 1942 (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2002), hlm. 73. 159. 24 Kisah tentang perkawinan campur Belanda dan orang Tionghoa ter- 47 J.J. de Vries, Jakarta Tempo Doeloe (Jakarta: Pustaka Antarkota, gambar pada karya Njoo Cheong Seng, yang dikenal dengan nama 1989), hlm. 68. samaran Monsieur d’ Amour (Tuan Cinta), dengan judul Nona Olan- 48 Citra bahwa pribumi malas pada dasarnya sengaja diciptakan pada da sebagai Istri Tionghoa. Leo Suryadinata, “Latar Sosiologis Sastra awal abad XX untuk mengabsahkan sistem jual paksa dan kerja Melayu Tionghoa”, dalam Leo Suryadinata, Sastra Peranakan Tiong- paksa, kemudian klaim ini berlanjut pada abad XX yang berfungsi hoa Indonesia (Jakarta: Grasindo, 1996), hlm. 18. sebagai alasan kapitalis untuk mempertahankan upah yang ren- 25 Twang Peck Yang, Elite Bisnis Cina di Indonesia dan Masa Transisi dah. S.H. Alatas, Mitos Pribumi Malas (Jakarta: LP3ES, 1988), hlm. Kemerdekaan 1940-1950 (Yogyakarta: Niagara, 2004), hlm. 36. 93.

162 67 atau Han Lies Nio (Elisabeth yang disingkat Lies). Se- Dalam kenyataannya orang Tionghoa menjadi dangkan nama-nama untuk laki-laki contohnya ada- penting baik bagi Belanda maupun pribumi sebagai lah Wim, Bob, Willem Liem, Karel Tan, dan Frits Johan perantara dan bahkan mereka tidak mungkin lagi men- Karel Tan. Selain bernuansa Belanda, nama tersebut cabut mereka dari masyarakat. Walaupun ada banyak juga mengalami kecenderungan nama bernuansa Jawa, upaya untuk menggantikan mereka, namun posisi me- Islam, dan Melayu, tergantung pada situasi politik yang reka menjadi semakin mantap. Mereka semakin kuat tengah bergulir.20 Secara umum, masyarakat Tionghoa selama paruh kedua abad XVII ketika kompeni menga- biasa memanggil ayah dengan panggilan entia atau tiah lihkan kepada mereka wilayah-wilayah pertanian yang (ayah), nio atau neh untuk ibu, dan encik (paman). Me- luas pada mereka, dan pada tahun 1796, dari 8.335 masuki abad XX, panggilan papi-mami atau mama-pa- desa (negorijen) yang dimiliki kompeni, 1.134 disewa- pa mulai menggantikan panggilan yang lama. kan kepada orang Tionghoa. Di perkebunan Tionghoa dekat Batavia, rakyat diperlakukan lebih baik daripada Sejarawan ternama Onghokham pun mengguna- di tempat-tempat lain, tapi di desa-desa yang disewa- kan nama-nama Belanda dalam kehidupan keluarga kan pada mereka hanya untuk periode singkat, raky- besarnya, terutama pada tahun 1930-an. David Reeve at sangat sengsara; karena orang Tionghoa bukan pe- bahkan menstigmakan keluarga besar Ong sebagai milik tanah tapi tuan penguasa; yang disewakan atau ’gila Belanda’ dimana mereka gemar mengkonsumsi dijaminkan bukan tanah tapi yurisdiksi dan tanah itu makanan, berbicara, dan menggunakan nama-nama dikuasai karena orang yang dimiliki, bukan seperti di Belanda. Ketika Onghokham dilahirkan pun, ibunya Eropa, yang orangnya ikut dikuasai karena tanahnya dipanggil Lies, ayahnya Klass, pamannya Piet dan Jan, dimiliki, sehingga mereka bisa menjalankan kekuasaan kedua kakak Onghokham masing-masing Freddy dan semi berdaulat dan orang banyak bisa diperlakukan Olga, dan Onghokham sendiri biasa dipanggil Hans. seenaknya.49 Kesemua anak-anak tersebut mengenyam pendidikan Belanda dengan baik sehingga menghasilkan individu Bukan hanya tanah yang disewakan kompeni ke- ’Belanda’.21 Menurut Taylor, penggantian nama kristen pada orang Tionghoa, tapi juga hak memungut tol dan juga berfungsi sebagai penanda status atau identitas pajak, termasuk bea cukai.50 Hal ini membuat Raf ess kelompok seseorang.22 sangat murka terhadap mereka karena mereka menda- pat imunitas yang tidak di dapat orang Eropa. Selain Dari deskripsi diatas menunjukan bahwa ling- menjadi pengumpul pemasukan pajak, mereka juga kungan dan pendidikan merupakan akses in ltrasi bu- menjadi sumber kehidupan dan jiwa perdagangan di daya Belanda yang menghasilkan pembentukan kara- negeri itu dan mereka tanpa kontrol mengusai pasar 20 Onghokham, “Tentang Nama-Nama Warga Negara Indonesia Ketu- runan Tionghoa”, dalam Onghokham, Riwayat Tionghoa Peranakan 49 J.S. Furnivall, Hindia Belanda: Studi tentang Ekonomi Majemuk di Jawa (Depok: Komunitas Bambu, 2005), hlm. 181-187. (Jakarta: Freedom Institute, 2009), hlm. 49. 21 David Reeve, “Kata Pengantar”, Ibid., hlm. xxii. 50 Peter Carey, op.cit., hlm. 82. 22 ean Gelman Taylor, op.cit., hlm. 248.

68 161 pa karena mereka selalu jujur dan to the point (lang- impor. Raf es memperkirakan jumlah mereka 100.000 sung pada permasalahan), sedangkan orang Tionghoa dan kekayaan mereka sepuluh kali lipat lebih besar da- dan Jawa dinilai terlalu banyak formalitas, aturan, dan ripada harta semua orang Eropa dijadikan satu.51Meski basa-basi.16 demikian, Raf es tanpa ragu mengatakan bahwa orang Pada aspek yang paling prinsipil pun, terutama Tionghoa sebagai “the life and soul of the commerce of golongan elite Tionghoa generasi muda, lebih memilih the country” (sebagai kehidupan dan pusat hidup per- agama Kristen atau Protestan -yang notabene meru- niagaan Indonesia).52 Hingga pertengahan abad XIX pakan agama orang Barat- meskipun mayoritas etnis orang Tionghoa dimanfaatkan oleh pihak penguasa Tionghoa di Hindia Belanda memeluk ajaran agama tradisional dan kolonial sebagai pemungut pajak dan Budha/Konghucu/Tao. Pemilihan tersebut tidak lepas pengatur monopoli perdagangan hingga menggantikan dari peran pendidikan HCS dimana sekolah tersebut peran pedagang kecil di Jawa dan Sumatera.53 Secara bera liasi dengan dewan gereja atau mengajarkan kuri- keseluruhan jaringan bisnis Tionghoa di Asia Timur dan kulum agama Kristen/Katolik dalam penerapan sistem Tenggara terdiri dari empat lingkaran sistem jaringan: pengajaran.17 Secara umum, pengintegrasian sebagi- lingkar pedesaan, lingkar perkotaan, lingkar regional, an besar borjuis Tionghoa ke dalam gereja-gereja, baik dan lingkar global. Semuanya terjalin menjadi jaringan- Protestan maupun Katolik, merupakan ciri dominan jaringan bisnis yang ekstensif yang bisa diandalkan un- dalam sejarah keagamaan abad XX.18 Menurut Salmon, tuk dengan cepat memobilisasi dan mendistribusikan pada dasarnya konversi etnis Tionghoa menjadi umat modal, barang kebutuhan produksi dan konsumsi, dan kristiani telah ada sejak pertengahan abad XVII. Se- informasi.54 orang kapiten Tionghoa bernama Pan Mingyuan (1645- 1663) mengganti namanya menjadi Martinus Bingam II. ‘Yahudi’ di Tanah Jawa: Stigmatisasi Etnis pasca menjadi penganut kristiani. Kemudian disusul Tionghoa sebagai Bangsa Yahudi oleh Equa, menjadi Meester Isaac, dan kapiten Limlac- Kesuksesan mereka yang begitu luar biasa menim- co (1695-1707), menjadi Jacob Lim Keenko.19 bulkan perspektif positif maupun negatif bagi beberapa Tren penggantian nama ’bernafaskan’ Belanda 51 J.S. Furnivall, op. cit., hlm. 50. 52 Anonim, “Beberapa Catatan tentang Tionghoa di Indonesia”, Moni- terus berlanjut hingga generasi etnis Tionghoa abad tor No. 9, tahun III, Januari 1981 (Jakarta: Pusat Pengembangan XX, antara lain: The Mien Nio (Mientje), Tan Marie Nie Etika Atma Jaya, 1981), hlm. 4. 53 Richard Robinson, “The Transformation of the State in Indonesia”, 16 Donald Earl Willmott, op.cit., hlm. 84. dalam John G. Taylor dan Andrew Turton, Sociology of “Developing 17 H.W Ponder, Java Pageant (London: Seeley Service & co., 1935), Societies” Southeast Asia (New York: Monthly Review Press, 1988), hlm. 252. hlm. 50. 18 Denys Lombard II, op.cit., hlm. 102. 54 Alexander Irwan, “Jaringan Bisnis dan Identitas Etnis Transna- 19 Claudine Salmon, “Cultural Links between Insulindian Chinese and sional”, dalam Ivan Wibowo (ed)., Retrospeksi dan Rekontekstualisa- Fujian as Re ected in Two Late 17th Century Epigraphs”, dalam Ar- si “Masalah Tionghoa” (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), chipel 73, 2007, hlm. 172-173. hlm. 99.

160 69 kalangan masyarakat. J.P. Coen bahkan pernah ber- puan tersebut diperoleh dari pendidikan Barat sehing- kata bahwa “tak ada seorang pun di dunia yang meng- ga memudahkan interaksi diantara mereka. Komunitas abdi kepada kita dengan lebih baik ketimbang orang Barat juga menjadi media sosialisasi penyebaran bu- Tionghoa”.55 Klise orang Tionghoa di mata orang Barat daya Barat yang efektif. Interaksi tersebut dapat terja- adalah tekun tetapi tamak, suka menindas pribumi lin ketika di lingkungan pendidikan, relasi bisnis, pesta yang polos, tanpa belas kasihan, tersebar luas di dalam seremonial, atau kegiatan informal lainnya. pustaka kolonial56. Meski demikian, terdapat pula yang Derasnya arus modernisasi yang didukung den- menyebutkan bahwa orang Tionghoa sebagai etnis yang gan perkembangan pendidikan dan pergaulan yang rajin, suka damai, dan penakut57 hingga bahkan me- luas membuat orang Tionghoa memiliki cara pandang munculkan makian seperti hondeter (pemakan daging yang lebih terbuka (open minded) dan selektif dalam anjing) dan staartdrager (pemakai ekor panjang).58 memilih pergaulan sosial. Dalam kerangka pemikiran Pada abad XVII, muncul pandangan dari penulis yang konservatif, manusia cenderung bergaul dengan Barat yang menyatakan bahwa “hampir semua perda- seseorang yang masih dalam satu komunitas yang gangan berada dalam genggaman mereka (orang Yahu- sama dan cenderung tertutup dengan orang asing. Lain di)” di Polandia. Analogi yang serupa juga diberlakukan halnya dengan Golongan Tionghoa peranakan abad XX kepada orang Tionghoa di Kamboja, Patani, Jambi, dan yang justru lebih nyaman bergaul dengan orang atau tempat-tempat lain di Asia Tenggara. Mereka “hidup” komunitas Barat. Pemilihan pergaulan dengan orang pada bisnis ritel, manufaktur, atau pelayanan jasa, dan Barat tersebut tidak hanya selalu dilandasi atas pres- hal lain yang memungkinkan mereka terlibat di dalam- tise di mata masyarakat namun juga terkait dengan pi- nya (oleh orang Yahudi) dan minum dan rumah judi lihan cara pandang. Pandangan tersebut tampak dalam (oleh orang Tionghoa). Kelas penguasa pada dua kasus pengakuan seorang Tionghoa yang berpendapat bahwa tersebut (baik pemerintah kolonial maupun penguasa ia (Tionghoa) lebih nyaman bergaul dengan orang Ero- lokal), mengakui peran sentral mereka sebagai pengha- tas sosial, atau identitas institusional, adalah sesuatu yang terus- sil dan penyedia barang-barang dan juga sebagai me- menerus dibentuk dan dinegosiasikan dalam sepanjang kehidupan diator mayoritas pertanian.59 kita lewat interaksi kita dengan orang lain. Selain itu identitas juga memiliki banyak aspek karena orang bisa berganti peran dan men- 55 George McTurnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia jalankan identitas yang berbeda pada waktu yang berbeda dan si- (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hlm. 9. tuasi yang berbeda, dan tiap-tiap konteks ini mengharuskan satu 56 Denys Lombard, op. cit., hlm 275. orang yang sama beralih ke peran lain yang kadang-kadang men- 57 Leonard Blusse. Persekutuan Aneh: Pemukiman Tionghoa. Wanita galami kon ik dengan orang lain yang juga dilakukannya dengan Peranakan dan Belanda di Batavia VOC (Yogyakarta: LkiS, 2004), dalam konteks lain. Salah satu cara yang digunakan untuk mela- hlm. 145. kukan pergeseran atau perubahan identitas atau peran ini adalah 58 Tinneke Hellwig, Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda (Jakar- lewat bahasa yang digunakan. Joanna Thornborrow, “Bahasa dan ta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hlm. 26. Identitas”, dalam Linda Thomas dan Shan Wareing, Bahasa, Masy- 59 Anthony Reid, “Entrepreneurial Minorities, Nationalism and the arakat, dan Kekuasaan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. State”, dalam Daniel Chirot and Anthony Reid (eds.), Essential Out- 224.

70 159 Sejak awal abad XX, aspek-aspek pembaratan te- Analogi perbandingan antara orang Yahudi di Ero- lah meresap dan menjadi bagian yang intergral dalam pa dengan orang Tionghoa di Jawa berasal dari cata- kehidupan masyarakat Tionghoa cabang atas. Kebi- tan-catatan orang Barat ketika singgah ke Nusantara. asaan Barat telah masuk dan terartikulasi dalam keg- Edmund Scott, ketika memimpin loji Inggris di Banten iatan sehari-hari, baik secara formal maupun informal. pada tabun 1603-1604, menulis: Secara sadar maupun tidak, mentalitas barat telah “Especially the Chyneses, who, like Jewes, live ‘menjangkiti’ etnis cabang atas Tionghoa sehingga ter- crooching under them (the Javans), but robb them jadi sebuah transfer kebudayaan. Menurut McCullagh, of their wealth and send it for Chyna…”. pada dasarnya tindakan manusia merupakan hasil dari (Terutama bangsa Tionghoa, yang seperti bang- berbagai pertimbangan yang dipandang memiliki kes- sa Yahudi, hidup mengendap di bawah mereka esuaian dengan hasrat, kepercayaan, nilai, dan prinsip (orang Jawa), namum merampok kekayaan mer- dari manusia yang tengah mengalami perubahan men- eka dan mengirimkannya untuk (negeri) Tiong- tal.13 Proses inilah yang kemudian berdampak pada hoa) proses transfer kebudayaan, pembentukan karakter, Catatan kedua, berasal dari Francois Pyrard, yang dan mentalitas barat terhadap etnis Tionghoa yang kemudian bermuara pada terbentuknya sebuah iden- singgah di Jawa pada 1609, dalam perjalanannya ke Maluku di atas kapal Portugis, menyatakan bahwa: titas diri kebarat-baratan, terutama Belanda (verhol- “Ces Chinois ont la fait bastir de belles maisons landsch). pour les loger, jusques a ce qu’ils a yen leur tra c, Kemampuan bahasa Belanda merupakan media et qu’ils soient devenus riches; pour a quoy par- awal yang memungkinkan terjadinya interaksi komu- venir, il n’ y a si vil et deshoneste mestier qu’ils nikasi dan transfer mentalitas antara orang Tionghoa ne facent, et sont semblables en facons aux luifs, dengan Belanda yang begitu intens sehingga dapat ter- pour ce qui est de leur maniere de tra c…” cipta komunikasi dua arah. Terlebih lagi kemampuan (Orang Cina berada dimana-mana, meraka men- berbahasa asing mampu memberikan prestise di mata guasai semua, dan kemudian berhasil menjadi masyarakat bagi para penggunanya. Adanya bahasa orang kaya; sangat hebat, mereka menjadi pen- Belanda telah membuka terciptanya penyerapan pe- guasa dan hal ini mengingatkan saya pada orang mikirin  lsafat dan ide-ide yang berkembang di Barat.14 Yahudi) Terlebih lagi kemampuan berbahasa Belanda mampu memberikan prestise tersendiri yang juga sekaligus se- Terakhir, dikutip oleh Sir Thomas Herbert, yang bagai identitas diri bagi para penggunanya.15 Kamam- berangkat ke Hindia Timur pada 1621, memberikan 13 C. Behan McCullagh, Logic of History: Perspektif Modernisme (Yog- yakarta: Lilin Persada Press, 2010), hlm. 105. siders: Chinese and Jews in the Modern Transformation of Southeast 14 Susan Abeyasekere, loc.cit. Asia and Central Europe (Seattle: University of Washington Press, 15 Menurut Thornborrow, identitas, baik identitas individu, identi- 1997), hlm. 42.

158 71 catatan: Menurut Scholten, mode kolonial merupakan “In little time, Jew-like, by gleaning here and there, salah satu instrumen perubahan yang terjadi dalam they are able to redeem their loss…” masyarakat Hindia pada masa antara akhir XIX hingga 10 (Dalam waktu singkat, sebagaimana bangsa Ya- 1942. Pakaian tradisonal Cina mengalami akulturasi hudi, dengan mengumpulkan disana dan disini, dengan mode Eropa yang menghasilkan modi kasi dari mereka mampu untuk menebus kerugian mer- yang bersifat awalnya panjang menjadi pendek, dari be- eka) rat menjadi ringan, dari kebaya menjadi rok dan jas yang serasi, dari yang berwarna gelap menjadi putih, Maka sejak zaman itu, bangsa Eropa menganggap dan kesemuanya demi mengikuti mode yang berkem- bangsa Tionghoa sebagai rival berat dan tampaknya bang di Eropa.11 Pakaian elite Tionghoa kalangan kelas sangat kesal dengan realitas bahwa bangsa Eropa se- menengah mengalami suatu dinamika yang menjadikan lalu didahului bangsa Tionghoa dalam pendirian struk- pakaian Barat semakin digemari dan menjadi bagian tur-struktur dasar perniagaan besar. Hal itulah yang dari gaya hidup masyarakat Batavia. Realitas tersebut membuat para penulis Barat membanding-bandingkan, sejalan dengan pendapat Sahlins bahwa pakaian dapat tanpa maksud memuji, orang Tionghoa dengan orang bertindak sebagai totem, mengkomunikasikan identitas Yahudi yang terus-menerus menyelinap ke Perancis, sosial yang mencolok mengidenti kasikan ‘suku’. Paka- Inggris, Belanda, dan kemana pun mereka memiliki ke- ian bukan sekedar perangkat objek materi untuk mem- hendak untuk bertahan hidup dan sukses.60 Meski de- buat pemakainya hangat, tetapi sebagai kode simbolik mikian, berdasarkan catatan petualang orang Jerman yang digunakan pemakainya untuk mengkonsumsikan yang berkunjung ke Batavia, orang Tionghoa dianggap keanggotaan mereka dalam kelompok sosial.12 jauh lebih ramah dan bersahabat dibanding orang Ya- hudi itu sendiri. 61 Sommers pun memberi kesan positif C. Transformasi Identitas dan Mentalitas Tiong- terhadap kelompok etnis yang diaanggap sebagai “Ya- hoa Modern hudi Batavia”, karena tanpa mereka, perdagangan akan menjadi tidak begitu penting dan kehidupan orang Ero- 10 Menurut Notosoeroto, pada dasarnya tidak hanya kedudayaan Ba- pa dinilai akan suram atau kurang bergairah.62 Hing- rat yang mempengaruhi gaya hidup masyarakat pribumi atau Ti- ga pada pertengahan abad XIX orang Belanda masih mur Asing namun juga sebaliknya. Contohnya adalah pada tahun 1900, van Heutsz pada waktu senggang memakai sarung dan ke- menilai orang Tionghoa sebagai etnis yang hanya cinta baya, hingga pada akhirnya di tahun 1930 semua meneer memakai 60 Denys Lombard, loc. cit. piyama dan para nyonya berdandan kimono atau yapon. Notoso- 61 Peter Kirsch, Die Reise nach batavia: deutsche abenteurer in os- eroto, “Timur dan Barat Bersatu Padu”, dalam Dick Hartoko (ed.), tasien 1609 bis 1695 (Hamburg: Ernst Kabel Verlag, 1994), hlm. Bianglala Sastra: Bunga Rampai Sastra Belanda Tentang Kehidupan 168. di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1979), hlm. 230. 62 Mary Sommers Heidhues, “Dissecting the Indies: The Nineteenth 11 Elsbeth Lochter-Scholten, op.cit., hlm. 257. Century German Doctor Franz Epp”, dalam Archipel 49, Paris. 1995. 12 Celia Lury, Budaya Konsumen (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm. 33-35. 1998), hlm. 22.

72 157 saha hotel seperti: Leroux, Pascal, Seuffert, Cressoni- uang dan kesenangan sensual.63 er, Combert, Bastiese, Giradeu, dan Rinchon. Mereka Stereotip Yahudi terhadap orang Tionghoa tidak terkonsentrasi di wilayah Rijswijk atau yang dulu dike- selalu berkaitan dengan bagaimana kemampuan mer- nal dengan sebutan “Frans Buurt” (tetangga / kawasan eka dalam menguasai jaringan bisnis ekonomi semata Perancis) Batavia.7 karena tergantung dari perspektif apa kita melihatnya. Seorang Belanda bernama J.M.T Catenius van der Dari perspektif budaya, orang Tionghoa juga diibarat- Meijen membuat sebuah buku pedoman yang berjudul kan sebagai ‘Yahudi di Asia Tenggara’. Hal ini terkait “Ons Huis in Indië” (Rumah Kita di Hindia). Buku terse- dengan kuatnya pelestarian budaya lelulur yang mer- but merupakan buku yang mengajarkan tata krama dan eka warisi dari generasi ke generasi dan mereka ap- panduan mode bagi pria dan wanita Belanda di Hindia likasikan dalam kehidupannya. Milton Gordon meng- Belanda. Ia bertujuan memberi tahu mereka bagaima- utip ungkapan yang dikemukakan oleh Horrace Kallen na bergerak, berbusana, dan untuk yakin terhadap apa bahwa “Man may change their clothes, their wife, their yang mereka kenakan. Konsumen utama buku terse- religion, their philosophies, to a greater or lesser extent; but adalah kaum wanita atau ibu rumah tangga yang they cannot change their grandfathers”. (Orang dapat baru tinggal di Hindia. Meski demikian ia berpendapat mengganti pakaian mereka, istri mereka, agama mer- agar di Batavia harus ada toko mode baru, dan bah- eka,  lsafat mereka, terhadap perubahan yang lebih kan toko-toko mode untuk kaum pria demi memper- besar atau lebih sedikit; namun mereka tidak mampu oleh tata cara, penampilan, dan pakaian yang pantas merubah leluhur mereka).64 Meski demikian, tidak se- di ‘negeri lain’.8 Buku panduan yang memiliki fungsi mua orang Eropa, setuju terhadap stigma Tionghoa dan peran serupa adalah karya Melis Stoke yang di da- sebagai Yahudi. Seorang perwira Belanda di Batavia lamnya berupa deskripsi tentang kehidupan di Hindia bernama Brousson mengecam aksi penstigmaan terse- Belanda semacam: pakaian, uang, makanan, toko, ke- but. Ia membandingkan kondisi yang sama di negara masyarakatan, hingga serangan serangga. Deskripsi asalnya karena pada dasarnya bangsa Yahudi juga te- tersebut juga disertai dengan saran-saran bagi para lah hidup bersama dalam perkembangan sejarah orang pendatang Eropa.9 Berbagai bahan bacaan sejenis ten- Belanda.65 tang mode tentunya juga berdampak pada selera dan Dalam perkembangan diskursus posmodernisme, pemikiran elite Tionghoa dalam memandang mode atau 63 P.W. van der Veur, ”Orang Indo Eropa: Masalah dan Tantangan”, fesyen di masa modern abad XX. dalam H. Baudet dan I.J. Brugmans, Politik Etis dan Revolusi Ke- merdekaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987), hlm. 100. 7 Scott Merillees, op.cit., hlm. 151. 64 Lihat Hari Poerwanto, “Orang Tionghoa di Indonesia dan Masalah 8 Rudolf Mràzek, Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi Integrasi Nasional”, dalam Kumpulan Pidato Pengukuhan Guru Besar dan Nasionalisme di Sebuah Koloni (Jakarta: Yayasan Obor Indone- UGM, Ilmu Sosial dan Humaniora (Yogyakarta: UGM Press, 22004), sia, 2006), hlm. 184-187. hlm. 855. 9 Melis Stoke, Wat men in Indië moet doen en laten (Den Haag: H.P. 65 Clockener Brousson, Batavia Awal Abad XX (Jakarta: Masup, Leopold, 1939). 2007), hlm. 88.

156 73 penstigmaan seseorang atau kelompok sebagai Yahudi merupakan salah satu simbol milik seorang pria yang dikaitkan dengan Disraeli. Disraeli merupakan ses- hidup dalam sebuah dunia yang diperintah oleh ketepa- eorang dengan latar belakang sosial yang terstigma, tan waktu dan menunjukkan ambisi-ambisi karir yang sebuah keluarga Yahudi yang menggunakan dandyisme dicapai melalui pendidikan serta pencapaian individ- sebagai jalan masuk ke dalam kelompok elite dan me- ual, bukan turun-temurun.4 Perkembangan toko-toko netapkan dirinya sebagai tokoh politik penting.66 Mun- pakaian Barat dan mode di Batavia semakin berkem- culnya identitas sosial disebabkan oleh beberapa faktor bang karena masuknya pengaruh mode dari Perancis yang selalu terkait dengan perubahan migrasi, situasi hingga tahun 1940-an. demogra , industrialisasi atau perubahan ekonomi, in- Pengaruh dan perkembangan mode di Batavia se- tegrasi atau enkapsulisasi oleh sistem politik yang lebih makin deras dengan adanya majalah-majalah mode dan besar. Secara umum, pola kemunculan identitas yang pemberitaaan di surat kabar tentang mode. Tercatat terjadi melalui salah satu dari dua pola, yakni pertama, 15 dari 34 majalah yang beredar merupakan majalah dapat melalui proses ekstensi (penambahan) dari identi- mode, antara lain: Jardin des Modes, Modes et Travaux,  kasi yang telah ada sebelumnya, kedua, pengurangan Vogue, dan beberapa majalah mode dari Jerman dan In- ukuran nilai atas kelompok yang dianggap sebagai ba- ggris.5 Selain itu, secara sosial komunitas masyarakat gian dari leluhurnya. Kedua proses pemunculan iden- Perancis juga memberikan pengaruh terhadap perkem- titas etnis tersebut terkait dengan reinterpretasi terha- bangan mode masyarakat Batavia. Menurut Lombard, dap masa lalu. Para antropolog menyimpulkan bahwa merekalah yang memperkenalkan kelebihan mode sejarah dan simbol budaya dimanipulasi sebagai kreasi dan gaya hidup Paris, baik yang nyata maupun yang dari identitas etnis atau organisasi.67 khayal.6 Pada paruh kedua abad XIX sebagian besar wilayah tersebut dihuni oleh penjual dan pengusaha III. Orang Tionghoa dalam Cengkraman Politik Perancis. Disana terdapat salon, toko barang mewah, Kolonial mode, teater, proprietor, penjahit, pembuat roti, dan Tidak dapat dipungkiri bahwa orang Tionghoa me- fotografer. Selain itu juga terdapat sejumlah pengu- milliki peran penting dalam menggerakkan roda ekono- mi Hindia Belanda. Pada masa pemerintahan Inggris, ciscus van Arcken dan pada tahun 1851 membuka cabang di Noord- wijk, Batavia (sekarang menjadi Jalan Juanda). Perusahaan ini juga 1811-1816, Raf es pun tanpa ragu mengatakan bahwa kerap melayani permintaan perhiasan dari gubernur jenderal peme- orang Tionghoa sebagai “the life and soul of the com- rintah Hindia Belanda dan sultan Yogyakarta maupun Surakarta merce of the country” (sebagai kehidupan dan pusat sejak 1861. Scott Merillees, op.cit., hlm. 183. 4 Jean Gelman Taylor, “Kostum dan Gender di Jawa Kolonial tahun 1800-1940”, dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), op.cit., hlm. 143. 66 David Chaney, Lifestyles: Sebuah Pengantar Komprehensif (Yogya- 5 Elsbeth Lochter-Scholten, “Pakaian Musim Panas dan Makanan karta: Jalasutra, 2009), hlm. 239. Kaleng: Perempuan Eropa dan Gaya Hidup Barat di Hindia tahun 67 Thomas Hylland Eriksen, Ethnicity and Nationalism: Anthropologi- 1900-1942”, dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), op.cit., hlm. 244. cal Perspectives (London: Pluto Press, 1993), hlm. 68-69. 6 Denys Lombard II, op.cit., hlm. 81.

74 155 Baru dengan biaya pembuatan f.50.2 hidup perniagaan Indonesia).68 Meski demikian, orang Tionghoa tidak hanya dimanfaatkan sebagai penggerak ekonomi semata namun juga sekaligus sebagai “peran- tara”, baik oleh raja-raja maupun oleh para penguasa kolonial di Indonesia. Orang Tionghoa dinilai sebagai mediator yang menjanjikan untuk posisi tersebut. Oleh karena itu, Belanda menjual berbagai macam pacht (hak pengelolaan) atas jalan tol, candu, rumah gadai, kepada orang Tionghoa.69 Para pengusaha tersebut be- rani untuk membayar mahal pacht (sewa) karena sadar akan keuntungannya yang menggiurkan sehingga me- mungkinkan untuk memperoleh keuntungan kapital yang berlipat ganda. Dengan adanya dukungan dari penguasa, para pachter (penyewa) tersebut dikesankan oleh pemerin- tah kolonial sebagai pihak yang kerap memeras rakyat dan menjadi sangat kaya kerena kedudukannya. Kon- disi tersebut tentu akan membuat jurang pemisah yang tajam antara orang Tionghoa dengan pribumi sehingga menempatkan orang Tionghoa sebagai pihak yang tidak disukai atau bahkan menjurus dibenci masyarakat lokal. Kondisi tersebut menempatkan mereka pada posisi minoritas perantara yang secara ekonomi kuat, Gambar 11: Iklan toko jas milik orang Tionghoa (Sumber: Hanpo, Selasa 29 Tjapgwe 15 Desember 1914, Taon ke I, No. namun secara politis lemah. Posisi mereka memang sengaja diposisikan sedemikian rupa untuk menem- 4) patkan orang Tionghoa sebagai pion atau fokus permu- Pakaian tersebut biasanya dikombinasikan den- suhan bagi pemerintah kolonial maupun masyarakat gan asesoris mewah seperti: kacamata, pulpen -yang terbuat dari emas, perak, atau platina-, jam3 saku yang 68 T.S. Raf ess, History of Java, vol. 1 (: Oxford Uni- 2 Toko ini memiliki slogan: “Pembikinan menoeroet stijl paling bela- versity Press, 1978), hlm. 34; Anonim, “Beberapa Catatan tentang kang, netjes dan complete moelain harga f. 50”. Lihat, Sin Po, Sap- Tionghoa di Indonesia”, Monitor No. 9, tahun III, Januari 1981 (Ja- toe 12 Desember 1936, tahun XIV, no. 715. karta: Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya, 1981), hlm. 4. 3 Van Arcken & Co., sebuah perusahaan emas, perak pembuat jam, 69 Didi Kwartanada, “Etnis Tionghoa dalam Sejarah Indonesia”, ma- dan perhiasan Engravers di Batavia. Perusahaan ini pada awalnya kalah Seminar Sejarah 2010, dipresentasikan di Fakultas Ilmu Bu- didirikan di Amsterdam tahun 1845 oleh Clemens Gerardus Fran- daya UGM, Jumat, 30 April 2010.

154 75 lokal, walaupun dalam banyak hal orang Tionghoa juga ara-acara resmi pertemuan dengan pemerintah kolo- bertindak sebagai pelapis pelindung yang mencegah nial, gala makan malam suatu komunitas, pertemuan pertikaian langsung antara orang Eropa dan Pribumi.70 bisnis, seragam sekolah elite Tionghoa dengan kuriku- Dalam ilmu sosial, posisi “tengah” seperti golongan lum Eropa, maupun sebagai dress code resmi untuk orang Tionghoa dikenal dengan konsep “minoritas pe- menyambut tamu agung, salah satunya adalah rese- rantara” (middlemen minority): psi konsulat jenderal Tionghoa, Chang Ming, di Batavia Dalam masyarakat-masyarakat multietnis, kadang 1929. terdapat kelompok-kelompok etnis tertentu yang menduduki status perantara (middle status) dian- tara kelompok dominan yang berada di puncak hierarki etnis dan kelompok dominan dan kelom- pok etnis subordinat. Mereka biasanya mendudu- ki ceruk perantara (intermediate niche) dalam eko- nomi….mereka memainkan berbagai peran dalam mata pencarian selaku pedagang, pemilik toko, pembunga uang (Jawa: Mindring) dan profesional independen. Dengan demikian, minoritas perantara melayani baik kelompok dominan dan subordinat.

Mereka melakukan tugas-tugas ekonomis yang bagi Gambar 10: Resepsi konsulat jenderal Tionghoa, mereka yang berada di puncak (elite) dianggap se- Chang Ming, di Batavia 1929 (sumber: KITLV) bagai hal yang dibenci atau kurang bermartabat…. Sehubungan dengan posisi ekonomi perantara mer- eka, kelompok ini sangat rentan (vulnerable) terh- Tingginya animo masyarakat Tionghoa terhadap adap permusuhan dari luar kelompok etnisnya, pakaian Barat berdampak pada menjamurnya usaha baik yang muncul dari kelompok dominan mau- yang bergerak di bidang jahit dan pembuatan paka- pun subordinat. Pada masa-masa tegang, mereka ian oleh para pengusaha Tionghoa di Batavia. Vleming adalah…kambing hitam alami (natural scapegoat). mencatat bahwa terdapat seratus toko yang khusus 1 Mereka secara jumlah maupun secara politis tidak bergerak di bidang jahit dan pembuatan pakaian. berdaya dan oleh karena itu harus memohon per- Toko-toko yang khusus membuat jas dan cukup terke- lindungan kepada kelompok dominan, yang akan nal adalah toko “Lim Tjiao Seng” di daerah Patekoan. memberikannya sejauh peran ekonomis mereka Selain itu juga terdapat toko khusus membuat pakaian pengantin yang bernama “Tiong Hoa” di daerah Pasar 1 J.L. Vleming Jr., Het Chineesche zakenleven in Nederlandsche-Indië 70 J.S. Furnivall, op. cit., hlm. 253. (Batavia: Volkslectuur, 1926), hlm. 195.

76 153 lah, orang kaya, merupakan orang-orang pertama yang masih dibutuhkan.71 mengadopsi pengaruh-pengaruh Eropa dan merekalah Pada dasarnya kedekatan hubungan politis terse- satu-satunya yang mampu melakukan hal tersebut. but juga merupakan dampak dari adanya saling keter- Mengikuti gaya Eropa dapat mengindikasikan peneri- gantungan dari kedua belah pihak. Pemerintah sebagai maan tentang atau akomodasi terhadap pemerintahan pemangku kepentingan (stakeholder) membutuhkan Belanda. Ini juga dapat menjadi sinyal bahwa seseorang pihak yang dikuasai, yakni orang Tionghoa. Hubungan tidak menganggap dirinya lebih rendah daripada orang saling ketergantungan tersebut dikenal dengan pola Eropa atau bahwa seseorang merupakan bagian dari patron-klien. Joel S. Khan berpendapat bahwa pola pa- dunia kemajuan modern dan cenderung menolak bu- tron-klien merupakan relasi struktral dari eksploitasi daya atau adat-istiadat masyarakat lokal.1 Posisi mer- ekonomi dan dominasi politik yang berfungsi untuk eka sebagai kelas menengah merupakan agen yang se- memahami perilaku dalam konteks formasi sosial. Hal suai dengan perkembangan fesyen yang modern. ini juga memungkinkan untuk mengobservasi segala Menurut Fingkelstein, sejak era industrialisme, fe- interaksi antara inferior dan superior yang dibedakan syen selalu dikaitkan dengan kelas menengah yang dia- atas kekayaan dan kekuasaan dan terpisahkan oleh dopsi dari budaya Barat di era modern dan berdampak struktur kelas.72 pada kehidupan sosial.2 Salah satu dampak tersebut Coppel membagi enam pola aktivitas politik, adalah akulturasi budaya pada aspek pakaian. Sebagai antara lain: pertama, pola penguasa tradisional, kedua, contoh adalah orang Tionghoa di Batavia pada awalnya pola nasionalis, yang menempatkan politik utamanya mengenal upacara ciotao yang dalam pelaksanaannya sebagai bagian dari politik negara induk, Cina, ketiga, masih menggunakan pakaian tradional Cina, namun pola integrasionis, partai politik yang mewakili tujuan dalam perkembangannya telah mengalami perubahan komunitas Cina atau bagian darinya, terhadap poli- pakaian dengan menggunakan pakaian ala Barat sep- tik lokal, keempat, pola asimilasi yang bertujuan anti erti jas dan gaun pengantin ala Barat.3 Warna dari jas komunal, kelima, asimilasi politik yang menempatkan tersebut pun mulai ‘berani’ menggunakan warna putih politik Cina sebagai individu atau perwakilan etnis Cina karena pada awalnya warna tersebut merupakan war- sebagai kelompok terhadap politik resmi di Indonesia, na yang identik dengan warna pakaian orang Eropa, keenam, pola cukong yang merupakan politik informal namun sekarang mulai digunakan oleh kalangan elite Tionghoa. Pakaian ini juga kerap digunakan dalam ac- 71 Martin N. Marger, Race and Ethnic Relations: American and Global Perpectives. Edisi Kedua (Belmont: Wadsworth, 1994), hlm. 51-52, 1 Kees van Dijk, op. cit., hlm. 80-81. dikutip dari Didi Kwartanada, op.cit., hlm. 5. 2 Joanne Fingkelstein, “The Anomic World of the High Consumer: 72 Joel S. Khan “Ideology and Social Structure in Indonesia”, dalam Fashion and Cultural Formation”, dalam Chua Beng Huat (ed.), John G. Taylor dan Andrew Turton, Sociology of “Developing Societ- Consumptions in Asia: Lifestyle and Identities (New York: Routledge, ies” Southeast Asia (New York: Monthly Review Press, 1988), hlm. 2000), hlm. 226. 186. 3 Gondomono, loc. cit.

152 77 terhadap penguasa Indonesia (tentara, birokrat, partai tersebut memunculkan berbagai kritik dari kaum pria politik) yang mempunyai kedekatan relasi bisnis.73 Tionghoa yang memandang bahwa busana Barat tidak Pengkajian tentang perubahan masyarakat den- sesuai bagi wanita Tionghoa.3 gan sendirinya tidak dapat menghindari perhatian pada hubungan antara golongan elite dan massa, pengusa dan rakyat. Hasil kajian Wertheim tentang hubungan kedua golongan ini diterbitkan dalam buku berjudul Elite en Massa: een bijdrage tot ontmaskering van de elitewaan (Elite dan Massa: Suatu sumbangan pada pembukaan topeng anggapan diri sebagai elite). Wertheim berang- gapan bahwa para ahli cenderung menanggap golongan elite sebagai golongan yang pasti ada, yang kehadiran- nya tidak mungkin dapat dielakkan, suatu sikap pan- dangan yang bagi Wertheim dianggap pesimis. Menurut anggapannya, dalam masyarakat terdapat kelompok- kelompok tertentu yang dapat melakukan peranan sendiri dalam gerakan emansipasi yang pada akhirnya Gambar 9: Wanita muda Tionghoa dengan pakaian Barat (sumber: akan membebaskan keseluruhan massa. Kenyataan Myra Sidharta) penuh dinamika dan bersifat progresif, meskipun da- lam perluasan emansipasi bisa terjadi hambatan atau Generasi kedua atau ketiga dari masyarakat Tion- kemunduran yang bersifat sementara.74 ghoa sebagian besar merupakan pedagang yang me- Secara umum, para ilmuwan sosial cenderung nempatkan mereka pada kelompok kelas menengah menempatkan etnis Tionghoa sebagai sebuah minori- dengan penghasilan diatas rata-rata masyarakat pada tas rasial dibanding sebuah borjuasi komersial. Salah umumnya. Bahkan tidak jarang pula para generasi satunya adalah Ben Anderson yang menyatakan bahwa muda Tionghoa tersebut memiliki kekayaan yang san- dimana pun mereka, Tionghoa, diperlakukan sebagai gat luar biasa. Kekayaan merupakan faktor penting un-

73 Charles Coppel, “Patterns of Chinese Political Activity in Indonesia”, tuk dapat mengenakan pakaian Barat karena mereka- dalam Jackie Mackie (ed.), The Chinese in Indonesia (Honolulu: Uni- 3 Pada majalah Doenia Istri, sebuah majalah khusus wanita, diilus- versity Press of Hawaii, 1976), hlm. 21. trasikan dengan foto mengenai pakaian-pakaian bintang  lm Barat 74 Harsja W. Bachtiar, “Willem Frederick Wertheim: Dari Ahli Hukum dan Cina yang berambut pendek dan menggunakan pakaian yang Menjadi Ahli Sosiologi”, dalam Tau k Abdullah dan Edi Sedyawati berani (terbuka). Myra Sidharta, “The Making of the Indonesian (ed.), Sejarah Indonesia, Penilaian Kembali Karya Utama Sejarawan Chinese Woman”, dalam Elsbeth Locher Scholten dan Anke Niehof Asing (Depok: Lembaga Penelitian Univesitas Indonesia, 1997), hlm. (eds.), Indonesian Women in Focus: Past and Present Nations (Le- 283. iden: KITLV, 1987), hlm. 67-68.

78 151 dengan setelan berwarna putih yang dipadupadankan kelas-kelas yang kon ik dan aliansinya dengan kelas dengan cerutu dan topi “Panama” menjadi sebuah sim- lain menentukan nasib peradaban. Coppel memberikan bol kemapanan kaum kapitalis. Realitas tersebut telah pandangan yang lebih netral. Menurutnya etnis Tiong- menjadi salah satu identitas etnis masyarakat urban hoa tetap merupakan minoritas etnis yang kohesif, yang perkotaan. Dalam novel Pram, Bumi Manusia, digam- berlaku sampai sekarang, baik karena kerentanan so- barkan bagaimana orang Tionghoa kaya masih harus sial mereka dan buah dari asosiasi komunitas dan jar- menggunakan tauchang meskipun pakaian yang di- ingan kekerabatan mereka; namun juga sebagian kar- kenakan terbuat dari bahan sutera mewah.1 Pemapa- ena mereka telah didoromg ke dalam wilayah komersil ran Pram. sesuai dengan pengakuan seorang petualang dan industrial akibat keterkucilan mereka yang hampir Amerika, McMillan, yang mengatakan bahwa orang sempurna dari pertanian, dari pegawai negeri, dan dari Tionghoa kaya selalu menggunakan setelan berwarna beragam pekerjaan lainnya.75 putih atau biru linen disertai dengan pita sutera merah untuk mengikat rambut tauchang mereka.2 Meski demi- C. Elite dalam Masyarakat Tionghoa: Dari Elite kian, perkembangan fesyen Barat di kalangan Tionghoa Tradisional sampai Elite Modern tidak bersifat homogen di setiap wilayah. Pada periode Dalam sebuah masyarakat yang heterogen ten- yang sama, kaum baba Surabaya telah menggunakan tunya terdapat pembagian masyarakat berdasarkan jas terbuka, celana pantolan,dan dasi, namun kaum starati kasi sosial. Strati kasi tersebut menghasilkan baba di Batavia masih menggunakan baju tuikim dan sebuah entitas sosial yang terbagi atas kelas bawah, celana komprang. Diferensiasi tersebut juga tampak kelas menengah, dan kelas atas atau elite. Hugo F. pada aspek gender masyarakat Tionghoa. Pria muda Reading membagi elite atas delapan pengertian: Perta- Tionghoa Batavia mulai mengikuti fesyen Barat sejak ma, kelompok orang yang memiliki indeks tertinggi da- awal abad XX, sedangkan wanita Tionghoa, terutama lam cabang kegiatan mereka (Pareto). Kedua, kelompok yang berorientasi ke Tiongkok, cenderung mengkuti dalam masyarakat yang memegang posisi terkemuka. tren pakaian yang berkiblat di Shanghai. Memasuki ta- Ketiga, kelompok dalam masyarakat yang memegang hun 1920-an, wanita muda Tionghoa mulai mengiku- posisi dalam bidang khusus tertentu. Keempat, kelom- ti tren berbusana Barat sebagai akibat dari masuknya pok aktor yang memiliki kekuatan (Etzioni). Kelima, pendidikan di kalangan wanita. Pendidikan telah meru- orang-orang yang memiliki kekuatan tertentu. Keenam, bah cara pandang dan menempatkan wanita Tionghoa minoritas yang efektif dan bertanggung jawab yang di- untuk memilih pakaian Barat sebagai identitasnya se- tunjuk untuk melayani kolektivitas menurut tata cara bagaimana kaum adam Tionghoa. Meski demikian, hal yang baik untuk masyarakat (Keller S.). Ketujuh, orang- 1 Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia (Jakarta: Hasta Mitra, 1985). 75 J.A.C. Mackie, ”Pemilikan dan Kekuasaan di Indonesia”, Richard 2 M. McMillan, A Journey to Java (London: Holden&Hardingham, Tanter dan Kenneth Young (eds.). Politik Kelas Menengah Indonesia 1914), hlm. 78. (Jakarta: LP3ES, 1993), hlm. 92.

150 79 orang dalam masyarakat yang mendapatkan penghasi- mulai dibebaskan untuk menggunakan pakaian Ba- lan paling banyak. Kedelapan, orang yang merupakan rat. Semakin menjamurnya penggunaan pakaian Barat fungsi paling penting dalam masyarakat.76 oleh orang Tionghoa dikarenakan pakaian Barat dinilai Schrool menerjemahkan elite, dalam pengertian lebih modern dan membanggakan dibandingkan den- umum, adalah sekelompok yang di dalam masyarakat gan pakaian tradisional Cina. Orang Tionghoa generasi menempati kedudukan-kedudukan tinggi. De nisi pertama cenderung tetap memegang teguh kebudayaan tersebut lebih dekat hubungannya dengan gagasan asal namun tidak halnya dengan generasi kedua dan tentang tumbulnya struktur hierarki di dalam sistem seterusnya. 3 sosial, apabila proses diferensiasi telah bergerak men- jadi semakin kompleks. Dalam kaitan tersebut elite adalah posisi di dalam masyarakat di puncak-puncak struktur sosial yang terpenting, yaitu posisi-posisi ting- gi di dalam ekonomi, pemerintahan, aparat, kemiliter- an, politik, agama, pengajaran, dan pekerjaan-peker- jaan bebas. Terdapat lima tipologi elite: Pertama, elite kelas menengah, Kedua, elite dinastik, Ketiga, pejabat kolonial. Keempat, kaum intelek revolusioner. Kelima, pemimpin-pemimpin nasional.77 Mengacu pada konsep elite yang dikemukakan Schorol maka elite pada konteks ini adalah elite pejabat kolonial di dalam masyarakat Tionghoa yang ditunjuk oleh pemerintah kolonial untuk mengatur masyarakat Gambar 8: Elite Tionghoa di Batavia, 1905 dan bertanggung jawab atas pemungutan pajak dan (sumber: www.geheugenvannederland.nl) lain sebagainya. Pemerintah kolonial tidak dapat bek- erja sendiri tanpa bantuan pihak lain, oleh karena itu Sejak dikeluarkannya kebijakan gelijksteling pada dirangkullah orang Tionghoa untuk dijadikan sebagai 1911, gaya berpakaian baju tuikim, celana komprang, ”Lohtia”78 atau wijkmeester (kepala pemukiman). dan tungsa, mulai ditinggalkan dan segera beralih pada 76 Hugo F. Reading, Kamus Ilmu-ilmu Sosial (Jakarta: Rajawali, 1986), tren berpakaian ala Barat. Dari yang muda sampai yang hlm. 135. tua, pria atau wanita, pakaian Barat sangat diminati 77 J.W. Schoorl, Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara se- dang Berkembang (Jakarta: Gramedia, 1980), hlm. 128. oleh masyarakat Tionghoa. Pakaian Barat diidentikan 78 “Lohtia” adalah sebutan orang Tionghoa yang diangkat oleh orang Belanda sebagai kepala kampung yang secara hierarki jabatan 3 W.F. Wertheim, East-West Paralles: “Sociological Approaches to tersebut dibawah jabatan letnan, kapten, atau mayor. Tjoa Soe Modern Asia (Amsterdam: W. Van Hoeve, 1964), hlm. 48.

80 149 Elite masyarakat lokal Tionghoa tersebut akan diberikan jabatan struktural terkait dengan wilayah distrik yang dikepalainya. Para opsir tersebut terdi- ri atas seorang kepala kampung, kapitan, dan letnan. Pada abad XIX sebuah pangkat tambahan bagi kota- kota besar, yakni mayor.79 Para pembesar Tionghoa biasanya merupakan orang yang sangat kaya80 dian- tara orang-orang Tionghoa lainnya dan kekayaan bia- sanya merupakan indikator penghargaan yang tinggi serta memiliki pengaruh di antara orang Tionghoa dan Jawa. Contohnya mantan kapten kapal (nahkoda) dan pemilik kapal ditunjuk sebagai opsir Tionghoa oleh Be- landa. Wewenang dan pengaruh mereka menjadi per- timbangan Belanda ketimbang sebagai wakil yang sah. Gambar 7: Pengantin dengan pakaian tradisional Cina, Ba- Simbol orang kaya dalam masyarakat Tionghoa tradis- tavia 1870 (sumber: KITLV) ional adalah rambut dan kuku panjang, menandakan kehidupan orang kaya yang santai.81 Memasuki abad XX, pakaian Eropa mulai dimi- Para opsir bertugas menjelaskan dekrit Belanda nati masyarat elite Tionghoa. Orang Tionghoa perta- dan peraturan-peraturan yang ada terhadap masyarakat ma yang mengenakan pakaian Barat dan memotong Tionghoa mengenai masalah-masalah administrasi pe- kuncirnya adalah Oey Tiong Ham. Pencapaian terse- Tjong, “Seratus Tahun Perusahaan Oei Tiong Ham”, dalam Yoshi- but didapatkan dengan kerja keras melalui pengacara hara Kunio (ed.), Oei Tiong Ham Concern: Kerajaan Bisnis Pertama yang ia sewa, Mr. C.W. van Heeckeren, dan kemudian di Asia Tenggara (Jakarta: PT Pustaka Utama Gra ti, 1991), hlm. mendapat dispensasi khusus dari gubernur jenderal.1 119. 79 Ada pula yang mendapat gelar Temanggung dari kata Melayu Meski demikian, pada akhir 1899, surat kabar De Lo- “tanggung” yang berarti “memanggul di bahu, mempersiapkan comotief, 30-12-1899, mencatat bahwa orang-orang keamanan bagi orang lain”. Beberapa nama perempuan diikuti oleh penyebutan “Ngayang” yang berasal dari Nyai. Asvi Warman Adam, Tionghoa sudah banyak yang berpakaian ala Eropa Pelurusan Sejarah Indonesia (Yogyakarta: Ombak: 2007), hlm. 62. dan hal tersebut telah menjadi pemandangan sehari- 80 Istilah orang kaya bagi golongan berkuasa juga dipakai di Sulawe- hari. Mereka hanya dapat dibedakan dari rambut kela- si, kerajaan-kerajaan Sumatera, dan pada umumnya di Indonesia, namun tidak berarti bahwa disemua tempat fungsi mereka sama 2 bang (tauchang) mereka. Pasca 1905, orang Tionghoa dengan yang di kerajaan Aceh atau Mataram yang berarti pemb- yang mendapatkan status dipersamakan (gelijkgesteld) esar, penguasa, atau pejabat. Onghokham, “Sejarah Pembesar di Indonesia”, Prisma, 10 Oktober 1980, hlm. 14. 1 Twang Peck Yang, op.cit., hlm. 36. 81 Willard A. Hanna, Hikayat Jakarta (Jakarta: Yayasan Obor Indone- 2 Kess van Dijk, op.cit., hlm. 85. sia, 1988), hlm. 84.

148 81 merintah, contohnya pencatatan kematian, kelahiran, tampak ketika mereka akan mengadakan pernikahan perkawinan, dan pendatang-pendatang baru.82 Lebih dengan adat tradisional yang disebut dengan Ciotao3. penting adalah mereka sering bertindak sebagai penja- Dalam upacara tersebut calon mempelai menggunakan min utang yang diberikan kepada pedagang-pedagang pakaian tradisional Cina. Bagi mempelai yang memang Tionghoa. Mereka juga memberi saran kepada peme- barasal dari kalangan berada menggunakan selendang rintah kolonial mengenai hukum dan aturan-aturan, akan digubah dengan perhiasan intan permata dan me- kebiasaan, serta aspirasi-aspirasinya. Dengan adanya makai sepatu sulaman dari bahan yang benar-benar konsolidasi masyarakat Tionghoa, posisi para opsir emas (kimchong). Lebar selendang itu sekitar 25 cm dan cenderung menjadi bersifat setengah turun-temurun panjang 40 cm, cara memakainya dengan disampirkan sebagaimana halnya kekayaan mereka diwariskan ter- di bahu.4 Anak-anak dari kalangan elite tradional Cina hadap anak-cucu dan negeri mereka. Posisi para opsir pun tidak luput dari penggunaan pakaian tradisional tetap dipegang oleh keluarga yang sama kayanya.83 Cina, karena pada masa tersebut merupakan jenis pa- Masyarakat Hindia Belanda telah mengalami pe- kaian yang dipandang terbaik. Tidak jarang anak-anak rubahan-perubahan sosial sejak abad XIX dan mening- tersebut lebih menyerupai boneka karena dandanan- kat pada abad XX. Perubahan pada dasarnya disebab- nya yang terkesan berlebihan.5 kan oleh masuknya proses modernisasi dari wilayah perkotaan ke daerah pedesaan yang telah mulai terjadi sejak zaman pemerintah kolonial.84 Perubahan-peruba- han tersebut secara cepat dangan diikuti oleh proses komersialisasi, birokratisasi, industrialisasi, edukasi, urbanisasi, sekularisasi, dan individualisasi, yang ber-

82 Selain mengawasi jalannya Passenstelsel dan Wijkenstelsel, wijk- meester juga bertugas sebagai pegumpul sewa pemukiman (pachter), penarik pajak tanah / pertanian, dan membuat surat jalan. Isi surat jalan sangat terperinci: tujuan, siapa yang dituju, maksud bepergi- an, berapa lama, jenis kendaraan, siapa yang menyertai, dsb. Biaya surat jalan mulai dari 0,05 sampai 1,0 Gulden. Mona L. The Passen en Wijkenstelsel: Dutch Practice of Resstrictions Policy on the Chi- nene”, dalam Jurnal Sejarah, “Masyarakat Lokal dalam Dinamika 3 Ciotao adalah tata cara perkawinan tradisional yang dibawa oleh Sejarah dari Abad XVII hingga akhir XX”, No. 12, (Depok: FSUI dan imigran abad XVII dari Cina Tenggara yang masih dilakukan di Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm. 58. Batavia, namun para imigran abad XX cenderung memudar dan 83 Onghokham, Rakyat dan Negara (Jakarta: LP3ES, 1991), hlm. 51. bahkan sekarang tidak dikenal lagi. Gondomono, Membanting Tu- 84 Dengan perkembangan negara Hindia Belanda, yang berpusat di lang Menyembah Arwah: Kehidupan Kekotaan Masyarakat Cina (Ja- Batavia, kota-kota di Jawa menjadi titik pusat kehidupan intelektu- karta: IKAPI, 1996), hlm. 57. al dan juga administrasi. R.E. Elson, The Idea of Indonesia: Sejarah 4 Liem Thian Tjoe, op. cit., hlm. 141. Pemikiran dan Gagasan (Jakarta: Serambi, 2009), hlm. 31 5 Ibid.

82 147 Pada dasarnya simbol elite Tionghoa kaya yang dampak pada timbulnya disorganisasi, disorientasi, tampak dari aspek tampilan luar adalah bertubuh tam- diferensiasi, dan restrukturisasi dalam masyarakat bun, berpakaian dengan jubah yang panjang, rambut perkotaan, pedesaan serta masyarakat Jawa pada dijalin panjang, dan kuku yang panjang.1 Penampilan umumnya.85 Ada berbagai aspek perubahan tersebut tersebut merupakan eufemisme elite Tionghoa tradis- tentunya juga akan merubah pola dan cara pandang ional sebelum masuknya era modernisasi. Tampilan suatu masyarakat, tek terkecuali kalangan elite Tiong- tersebut menunjukkan kewibawaan, kesejahteraan, hoa modern. dan kekayaan dari penggunanya. Elite tradisional Tion- Aspek pendidikan merupakan salah satu media ghoa pemangku jabatan mayor, kapten, maupun letnan yang mampu merubah mentalitas dan karakter etnis mengenakan pakaian tradisional Tiongkok berupa jubah Tionghoa. Pendidikan dipandang sebagai sebagai pro- panjang. Demikian halnya dengan pakaian tradisional duk Barat yang dapat menempatkan seseorang pada Cina untuk perempuan. Pakaian yang dikenakan paka- strati kasi sosial atas dengan harapan agar mereka ian sehari-hari nyonya Tionghoa adalah baju kurung mampu mensejajarkan posisinya dengan orang Ba- pendek (sekarang disebut kebaya encim), namun ketika rat.86 Meski demikian, pendidikan merupakan fasilitas pada hari perayaan atau hari istimewa, mereka akan yang hanya mampu diakses oleh kalangan masyarakat mengenakan pakaian tersebut hingga mencapai lutut Tionghoa cabang atas dikarenakan biaya untuk mem- (disebut dengan tungsa). Menjelang zaman Jepang, peroleh pendidikan tersebut sangat mahal. Persyaratan mulai berkembang kebaya kerancang, yakni kebaya masuk dan mengikuti pendidikan Barat terdapat proses yang selesai disulam akan dilubangi di bagian-bagian seleksi. Penyeleksian tersebut didasarkan atas jabatan tertentu dengan gunting kecil. Kesan dari motif terse- (opsir, kapten, dan mayor), asal keturunan, kekayaan but adalah kebaya menyerupai renda tapi melingkupi atau pendidikan orang tua. Kriteria kekayaannya ada- bidang yang lebih luas daripada renda yang berada di lah orang-orang yang berpenghasilan ditaksir f.100 per belakang hingga pinggang.2 bulan.87 Mereka inilah, terutama dari Tionghoa per- Kebanyakan bagi wanita Cina muda memakai anakan, yang kelak muncul sebagai elite intelektual di pakaian berwarna merah muda atau hijau; yang set- kalangan etnis Tionghoa cabang atas dan cenderung engah tua memakai kain berwarna sawo matang, biru, memilih untuk menjadi kaum profesional. Implikasi atau ungu; dan bagi wanita yang telah berumur me- dari realitas tersebut adalah terjadinya peralihan orien- makai kain berwarna hitam. Kain yang dipakai adalah 85 Djoko Surjo dkk. Gaya Hidup Masyarakat Jawa di Pedesaan: Pola Kehidupan Sosial Ekonomi dan Budaya (Jakarta: Dirjen Kebuda- kain sutera mahal yang didatangkan dari Tiongkok. Bu- yaan Depdikbud, 1985), hlm. 40. daya penggunaan pakaian tradisonal Cina juga sangat 86 W.F. Wertheim, East-West Paralles: “Sociological Approaches to Modern Asia” (Amsterdam: W. Van Hoeve, 1964), hlm. 227-228. 1 Willard A. Hanna, Hikayat Jakarta, op.cit., hlm. 214. 87 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah 2 David Kwa, ”Ragam Pakaian Kaum Peranakan”, dalam Heru Kusta- Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme (Jakar- ra (ed.), op.cit., hlm. 159. ta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 218-219.

146 83 tasi dari kultural Tionghoa ke kultural Barat. capung” karena bagian kancingnya menyerupai kapala Dalam pandangan Schorl, elite kelas menengah capaung. Bahan baju twikim terbuat dari sutera1 atau adalah elite yang memimpin proses moderniasi di be- katun. Baju tersebut biasa dikenakan oleh orang Tion- berapa negara Eropa Barat dan Amerika Utara. Mereka ghoa dari kalangan menengah ke bawah. Perbedaan merupakan elite yang timbul dari kelompok pedagang baju twikim orang kaya dan tidak dapat dibedakan den- dan tukang, yang sering termasuk dalam minoritas kea- gan terdapatnya niah (semacam kerah di bagian leher). gamaan atau kebangsaan. Kesempatan untuk berkem- Pakaian twikim berkerah hanya diperuntukkan bagi bang digunakan untuk mempengaruhi kedudukan pejabat Tionghoa yang diangkat pemerintah Belanda. 2 sendiri. Kelompok ini tidak mempunyai ideologi yang Pada bagian bawah terdapat celana komprang yang po- tegas namun sikapnya lebih pragmatik dengan me- tongannya sangat lebar dan tidak terdapat tali di ping- mentingkan individualisme ekonomi dan egalitarisme gang yang berfungsi sebagai pengencang celana. Dalam politik. Aspek yang menjadi prioritas adalah mobilitas perkembangannya, celana komprang mulai digantikan sosial yang mendukung eksistensi mereka. Selain itu dengan celana bergaya Barat, pantolan. adalah sarana dan bukanlah sasaran atau tujuan se- bagaimana tipologi kelas menangah lainnya. Adanya sebuah persaingan dalam suatu elite kelas menengah orang Tionghoa telah menciptakan sebuah progres88. Dalam masyarakat kapitalistik mutakhir, kelompok ini diidenti kasikan sebagai kaum terpelajar kota yang bergelar, bekerja sebagai profesional, manajer, ahli, to- koh-tokoh intelektual yang tidak berkiblat pada suatu lembaga formal atau berkiblat laba.89 Aspek inilah yang menstimulasi lahir dan berkembangnya elite kelas me- nengah. Menurut Geertz, munculnya kelas menengah dis- ebabkan karena beberapa faktor: Pertama, pola perda- gangan. Pola perdagangan yang tradisional dinilai se- Gambar 6: Elite Tionghoa Batavia dengan baju bagai pola perdagangan yang disfungsional sehingga kebesarannya,1870 (sumber: KITLV.nl) diperlukan pola yang lebih kompleks untuk mening-

88 J.W. Schoorl, op.cit., hlm. 128. 1 Sutera yang putih disebut pehtiu, dan yang hitam disebut outiu 89 Ariel Heryanto, “Memperjelas Sosok yang Samar: Sebuah Pengan- 2 Benny G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik: Mengungkap tar”, dalam Tanter, Richard dan Kenneth Young (eds.). op.cit., hlm. Fakta Sejarah Tersembunyi Orang Tionghoa di Indonesia (Jakarta: xiii. Transmedia Pustaka, 2008), hlm 232.

84 145 katkan kualitas dan kuantitas perdagangan. Kedua, masalah organisasi yang mencakup kurang modal, kurang tenaga kerja yang trampil dan disiplin, kurang pengetahuan teknis, dan lain-lain. Ketiga, munculnya kelas pengusaha mulai dari pedagang kecil kemudian menjadi semakin kompleks dan kuat setelah mener- apkan sistem kongsi sehingga menjadikan pedagang tersebut mengalami progres dari pedagang tradisional menjadi pemilik toko atau industriawan kecil hingga berujung pada terbentuknya kelas menengah. Keem- pat, perkembangan dan tanggapan dari revolusi gaya hidup kekotaan atau urban.90 Secara eksplisit, Geertz berusaha menunjukkan bahwa orang Tionghoa menjadi kelas menengah karena mereka memiliki modal yang lebih besar, kepintaran dan pengalaman dagang yang lebih banyak, serta ditun- jang dengan organisasi yang lebih tinggi dan kompleks dibanding pemilik toko dari kalangan orang Jawa. Kon- disi inilah yang memicu lahirnya elite kelas menengah pengusaha Tionghoa. Dalam konteks yang sama, Sar- Gambar 5: Seorang Tionghoa dengan pakaian tuikim tono menyebut kelas pengusaha (entrepreneur) sebagai 91 (sumber: geheugenvannederland) elite, dengan sebutan elite strategis. Van Niel berpendapat bahwa dalam masyarakat Masyarakat Tionghoa pada umumnya mengena- Indonesia, khususnya pada kalangan pribumi, kelom- kan pakaian yang disebut dengan baju tungsha atau pok yang masuk dalam kategori kelas menengah adalah baju twikim dan dikombinasikan dengan celana kom- mereka yang memperoleh pendapatan menengah, yang prang (longgar) sebagai pakaian sehari-hari. Baju terdiri dari administratur, pemilik tanah, guru, dokter, twikim adalah baju orang Tionghoa tanpa leher serta dan profesi lainnya. Dalam proses ini terjadi perubahan memiliki panjang seperti baju koko orang muslim. orientasi lambang status di tingkat masyarakat yang Baju tersebut memiliki bukaan di bagian tengah den- 90 Clifford Geertz, Penjaja dan Raja: Perubahan Sosial dan Modernisa- si Ekonomi di Dua Kota Indonesia (Jakarta: Indonesia Raya, 1979), gan lima buah kancing yang terbuat dari hasil dipilin. hlm. 78-81. Kancing semacam ini disebut dengan “kancing kepala 91 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Seja- rah (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 159.

144 85 tidak hanya pada tataran pendidikan. Sebagai contoh hidup mewah yang tertuang dalam deskripsi Nicolas de adalah dahulu rumah yang dianggap bernilai ting- Graaff.: gi atau mencirikan status elite adalah rumah dengan pola bangunan berpendopo telah beralih pada struktur “adalah kemawahan dan kesombongan yang luar rumah berbentuk bungalow, dari pegawai negeri yang biasa dipertontonkan oleh perempuan-perempuan dianggap sebagai status elite berubah menjadi pemim- di Batavia – Belanda, Mestizo, dan Campuran- teru- pin partai, dan seseorang yang awalnya dihargai atau tama ketika mereka pergi dan pulang dari geraja.. disegani pemahamannya terhadap adat sopan santun untuk acara seperti itu, segala sesuatunya disiap- telah beralih pada status yang ditentukan oleh ijazah kan secara lebih mewah dibanding saat-saat lain. sekolah, terutama dari kalangan generasi muda. Selanjutnya mereka duduk di gereja dengan lagak Ia pun menambahkan bahwa terminologi kelas me- seperti boneka. Sedikit diantara mereka terlihat nengah sama sekali tidak ada kaitannya dengan kaum duduk seperti seorang putri dibanding seorang istri borjuis atau kelas-kelas pengusaha dalam masyarakat atau anak perempuan warga kota biasa, sehingga Barat sehingga perbandingan antara keduanya hanya surga pun dipenuhi oleh kemuakan terutama ke- akan membuat kebingungan. Hal ini disebabkan karena tika mereka datang dan pergi ke gereja. Seorang keengganan masyarakat lokal dalam mencari uang. Be- perempuan Belanda yang paling rendah derajat- berapa peneliti mengatakan bahwa sistem kolonial Be- nya pun memiliki budak yang mengiringinya den- landa telah menghancurkan bakat masyarakat pribumi gan membawa payung sebagai pelindung dari pa- untuk berusaha dan mengusahakan industri dan mem- nas matahari. Banyak dari mereka memiliki parasol biarkan mereka tidak peduli terhadap ekonomi serta berbordir naga emas dan ornamen dedaunan.”47 jauh dari daya inisiatif. Kalangan yang lain mengata- kan bahwa orang pribumi tidak memiliki bakat untuk Menjelang abad XIX, pemerintah kolonial tetap usaha dalam ekonomi dan tidak memiliki keberanian di mempertahankan peraturan tentang penggunaan bidang perdagangan.92 Pandangan tersebut kemudian pakaian dalam setiap etnis. Berbagai kecenderungan dibantah oleh Kuntowijoyo yang memandang bahwa tersebut semakin bergerak cepat sekitar masa pergan- santri muslim merupakan kelas menengah, terutama tian abad. Kebiasaan dan pakaian Eropa diterima oleh kalangan pengusaha batik dan tekstil yang memiliki kalangan masyarakat luas, bahkan di luar lingkaran relasi bisnis dengan etnis Arab.93 sempit elite penguasa dan orang-orang Kristiani. Pera-

92 Robert van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia (Jakarta: Pusta- turan-peraturan VOC yang berkaitan dengan pakaian ka Jaya, 1984), hlm. 141-142. tetap berlaku pada hingga abad XX 93 Kuntowijoyo, ”The Indonesian Muslim Middle Class in Search of Identity, 1910-1950”, dalam George Winius dan Pieter Emmer (eds.), India and Indonesia from the 1920s to the 1950s: The Origins of Plan- 47 Jean Gelman Taylor, Kehidupan Sosial di Batavia (Depok: Komuni- ning (Leiden: E.J.Brill, 1986), hlm. 180-181. tas Bambu, 2009), hlm. 70.

86 143 kepala mereka.45 Aturan yang sama juga diperlakukan Hilred Geertz pun memiliki pendapat berbeda, yang terhadap orang Tionghoa. Mereka diwajibkan untuk memandang kelas menengah dari segi status sosialnya berpakaian layaknya bangsa Cina dan tidak diperbo- dan bentuk umum, dan bukan dari segi penghasilan- lehkan mengadopsi pakaian masyarakat pribumi atau nya karena mayoritas dari orang-orang ini kurang bek- bahkan Eropa. erja dan menderita kemiskinan sebagai pegawai kantor Gubernur Jenderal Rikcklofs van Goens pernah pemerintah atau pedagang besar. Oleh karena itu, mer- membatasi cara pakaian yang berlebihan seperti itu eka yang juga masuk dalam kategori ini adalah orang- (Juli 1680) dengan maksud agar hanya pejabat tinggi orang yang berprofesi di bidang pertukangan seperti: VOC dan keluarga mereka yang berhak memakai model tukang jahit, tukang batu, tukang besi, dan pedagang dan jenis pakaian serta perhiasan tertentu.46 Bahkan, kecil, ahli listrik, pekerja jalan, supir truk, dan montir pada Juni 1658 dan Maret 1683 atauran tersebut diper- mobil.94 tegas dengan alasan untuk mencegah tindak kejahatan Adanya perbedaan pandangan tentang konsep di malam hari. Tahun 1729 telah dimulai pembatasan dan pemahaman mengenai kelas menengah tersebut hak menggunakan payung, yakni hanya bagi mereka terjawab melalui pandangan Kroef dan Rahardjo. Kro- yang berstatus sebagai koopman/pedagang atas. Jacob ef berpendapat bahwa munculnya kaum intelektual di Mossel merupakan gubernur jenderal yang menanggapi kota-kota Hindia Belanda pada abad XX hampir bersa- permasalahan tersebut dengan serius. Ia mengeluar- maan dengan pedagang kelas menengah yang berke- kan suatu standarisasi penampilan penduduk Batavia cimpung dalam industri manufaktur dan usaha perto- dari kalangan atas dalam bentuk “Peraturan 30 Desem- koan. Kedua kelompok kelas menengah tersebut, baik ber 1754” untuk membatasi gaya hidup mewah yang dari kalangan pengusaha maupun golongan intelektu- berlebihan. Mulai dari penggunaan kereta, jenis kuda al, telah membawa konsep-konsep baru dalam masya- dan berapa ekor kuda yang dibolehkan dalam sebuah rakat yang merubah perspektif dan mentalitas karak- kereta. Sebagai contoh, hanya kereta gubernur jender- ter menjadi lebih modern95. Rahardjo menambahkan al yang boleh ditarik oleh enam kuda, sampai kepada bahwa modernisasi telah mendorong munculnya tiga payung, dan perhiasan yang boleh dikenakan. Demiki- kelompok yang memiliki jiwa borjuis, yakni: Belanda, an halnya dengan berapa banyak budak yang diizinkan Tionghoa, dan kaum intelektual pribumi.96 untuk mengiringi. Menurut Gelman Taylor, perempuan Realitas yang memungkinkan lahirnya kelas me- memiliki peran dalam proses penyebaran budaya gaya nengah baik dari kalangan pengusaha maupun kaum 45 Kees van Dijk, “Sarung, Jubah, dan Celana: Penampilan sebagai 94 Hildred Geertz, Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia (Jakar- Sarana Pembedaan dan Diskriminasi”, dalam Henk Schulte Nord- ta: Yayasan Ilmu-ilmu Sosial dan FIS UI, 1981), hlm. 12-13. holt (ed.), Outward Appearance: Trend, Identitas, Kepentingan,terj. 95 Van der Kroef, Indonesia in the Modern World (Bandung: Masa Baru, M. Imam Aziz (Yogyakarta: LKIS, 2005), hlm. 67. 1954), hlm. 151. 46 Mona Lohanda, Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia (Jakarta: 96 Supratikno Rahardjo, Kota-kota Prakolonial Indonesia, Pertumbu- Masup, 2007116-117. han dan Keruntuhan (Depok: Komunitas Bambu, 2007), hlm. 33.

142 87 profesional Tionghoa dikarenakan karena adanya per- ompok yang lain, tetapi juga kompensasi ketegangan samaan dalam satu aspek kapital, yakni pengusaan sosial yang harus dibayar untuk inovasi makanan.43 De- atas uang. Aspek inilah yang memungkinkan mereka mikian halnya dengan pendapat Braudel yang menyat- untuk memiliki peluang dalam mengakses pendidikan akan bahwa kebiasaan dan budaya makan merupakan maupun mengembangkan jaringan bisnis dari skala salah satu aspek dalam menerjemahkan selera. Setiap mikro hingga makro. Sumber kapital yang mereka gu- entitas sosial memiliki wewenang dalam menginterpre- nakan diperoleh dari pengumpulan kapital yang se- tasikan makanan beserta kompleksitas penerapannya makin terakumulasi dari generasi ke generasi. Realitas dalam kehidupan. Makanan dan segala budaya yang tersebut tampak dalam bagaimana pola orang Tionghoa melingkupinya tidak hanya berperan sebagai simbol so- mewariskan kekayaannya terhadap anak-cucu mereka. sial namun juga dapat berfungsi sebagai sesuatu yang Pola ini biasanya diterapkan pada orang Tionghoa yang formal, bahkan sakral pada aspek tertentu bagi para memiliki leluhur atau keturunan dari pembesar Tiong- penggunanya.44 hoa pada masa awal kolonial, yakni mereka yang meru- Perkembangan modernisasi turut berpengaruh pakan keturunan dari mayor, letnan, dan opsir Tiong- pada tren mode pakaian. Pakaian merupakan salah hoa. Kekayaan tersebut tertera pada surat warisan sang satu identitas politik yang merepresentasikan peng- mendiang sehingga memiliki perlindungan hukum atas gunanaya. Identitas seseorang dapat terlihat dari cara hak milik kepada keturunannya.97 Warisan kekayaan mereka berbusana. Pada tahun 1742, pemerintah ko- tersebut dimanfaatkan dan dikelola generasi berikut- lonial sengaja membuat peraturan yang mengharuskan nya untuk mengembangkan jaringan bisnis atau diin- setiap etnis menggunakan pakaian yang khas. Hal ini vestasikan dalam bentuk pendidikan sehingga men- dimaksudkan untuk memudahkan pembedaan yang stimulasi lahirnya kelas menengah Tionghoa modern.98 khas diantara mereka. Contohnya adalah pria Jawa Sztompa menambahkan bahwa munculnya kelas me- sering bertelanjang dada dan mengenakan kain di seki- nengah yang meningkat dan mencakup berbagai sektor tar pinggang mereka yang panjangnya hingga menca- pekerjaan mulai dari: perdagangan, penjual jasa, dan pai lutut. Para pria Ambon melilitkan kain katun di pendidikan, merupakan ciri umum dari modernisasi99 seputar kepala mereka, kedua ujungnya menggantung, dan menghiasi kain penutup kepala ini dengan berba- D. Budaya Konsumen dalam Masyarakat Elite gai macam bunga. Orang Bugis juga hampir telanjang Tionghoa dan hanya memakai kain di sekeliling pinggang den- 97 Leonard Blusse, op. cit., hlm. 152. 98 Salah satu contohnya adalah Yap Thiam Hien yang merupakan gan semacam topi yang mirip dengan keranjang kecil di cucu seorang kapitan Tionghoa di masa pemerintahan kolonial. Leo 43 Asvi Warman Adam, Pelurusan Sejarah Indonesia (Yogyakarta: Om- Suryadinata, “Yap Thiam Hien: Pembela Hak Azasi Manusia”, Pris- bak: 2007), hlm. 90-91. ma IV, 1990, hlm. 64. 44 Fernand Braudel, Civilization and Capitalism 15th-18th Century: The 99 Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Prenada, Structures of Everyday Life (London: Collins/Fontana, 1988), hlm. 2008), hlm. 87. 187-207.

88 141 pula pada munculnya restoran sebagai ruang-ruang Abad XX membawa perubahan ekologi perkotaan publik yang menawarkan kemewahan di kalangan ma- dengan adanya hasil kemajuan teknik dan pertumbu- syarakat Batavia. Di kawasan Weltevreden dan Pasar han penduduk bangsa-bangsa Eropa menyebabkan ko- Baru terdapat berbagai restoran-restoran yang mena- ta-kota menjadi dipengaruhi oleh kebudayaan Barat di- warkan menu masakan Barat dan Tiongkok, namun mana mereka inilah yang menjadi class conscious (sadar Pancoran merupakan kawasan yang paling terkenal akan kelas). Kesadaran tersebut merupakan dampak sebagai pusat kuliner di awal abad XX. Disana terda- dari transformasi negara-negara Eropa menjadi nega- pat restoran yang terkenal seperti: “Zong Hua“, “Beng ra industri.100 Realitas tersebut menempatkan bangsa Hiong“, “Kamleng“, “Kwetiau Sapi Siauw A Tjiap“, “Tay Eropa yang menjadi pegawai negeri tidak lagi menjadi Too Lin“, dan “Shi Huay Juan“. Selain itu juga terda- golongan utama dalam masyarakat kota. Golongan per- pat warung-warung kecil dan gerobak kaki lima yang dagangan dan partikelir mulai mengambilalih sebagai menyediakan menu makanan lokal, seperti sate.41 An- pimpinan dalam masyarakat. Salah satu peristiwa ter- eka ragam jenis makanan semakin bervariasi ketika penting pada abad XX adalah makin besarnya golongan memasuki tahun 1940-1950, ketika terjadi intervensi intelektual dan golongan kaum pengusaha.101 Jepang, dimana para pedagang pribumi mulai menja- Golongan intelektual muncul sebagai akibat dari jakan berbagai jenis makanan seperti , sop, mi, meluasnya implikasi modernisasi dan proses pembara- hingga es krim, yang mereka pelajari dari orang Tiong- tan terhadap sosial masyarakat di Batavia. Meski de- hoa.42 mikian, tidak semua orang di kota mengalami wester- Marc Bloch menulis dalam L` alimentation de l` nisasi tapi westernisasi ditemukan di kota. Perbedaan ancienne France (Alimentasi Perancis Tempo Dulu), antara rural (pedalaman) dan urban (perkotaan) dibe- mengungkapkan beberapa dimensi penelitian sejarah dakan atas berpendidikan atau tidaknya seseorang. makanan, salah satunya adalah pentingnya “segregasi Akhir abad XIX kaum intelektual mulai diterima oleh (pembedaan) makanan“ baik secara regional maupun aristokrasi, terutama di bidang pendidikan yang meng- pada tingkat sosial. Bahwasanya apa yang terhidang di hasilkan dokter, pengacara, insinyur, arsitek, politisi, meja makan orang kaya dan miskin jauh berbeda itu penulis, dan kelompok pengusaha. Profesi ini dianggap memang biasa, namun yang lebih penting dilihat ada- tidak hanya memberikan prestise yang cukup tapi juga lah sejauh mana konsumsi makanan itu menjadi ajang memungkinkan mereka untuk memperoleh gaya hi- pertaruhan sosial yang tidak hanya menyangkut pen- dup modernitas102 ala Barat yang membawa gengsi dan geluaran tinggi yang sengaja dipamerkan, selera yang 100 W.F. Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Peruba- eksesif bagi kelompok yang satu dan monoton begi kel- han Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999. Hlm. 48-51. 41 Windoro Adi, Batavia 1740: Menyisir Jejak Betawi (Jakarta: Grame- 101 .M. van der Kroeff, “Urbanisme Perkembangan Kota di Indonesia”, dia Pustaka Utama), hlm. 236. dalam Indonesia, Madjalah Kebudajaan, No. 5 tahun IV – Mei 1953 42 Lea Jellinek, The Wheel of Fortune: The History of a Poor Community (Djakarta: Badan Masjarakat Kebudajaan Nasional), hlm. 516 in Jakarta (Sidney: Allen and Unwin Pty Ltd, 1991. 102 Modernitas adalah daya konsumsi yang berlebihan untuk menun-

140 89 mengkonsumsi produk Barat seperti jam emas, kenda- manis, ikan lengchoang, ikan tahu tausi, toahoan gore- raan bermotor, radio dsb.103 ng, ngohiang, pelbagai macam bakso, otak-otak, kailan Kelompok lain yang muncul hampir bersamaan ca sapi, , bacian, petai kecai samcan, kepiting adalah kelompok pengusaha Tionghoa. Reid berpenda- saus tiram, kepiting saus padang, kepiting cinghong, pat bahwa kelas pengusaha Eropa muncul pada abad udang goreng mentega, sosis babi, kaki babi dengan XVII dan XVIII, sedangkan di Asia Tenggara muncul kacang merah, kehian, kakap lapis ham, udang wo tiap, pada abad XIX. Minoritas seperti orang Yahudi dan pioh, theu fukok, song sui, bongcakee, dan lain-lain. Tionghoa merupakan kelompok yang paling cepat da- Namun terkadang mereka juga makan masakan Barat lam memanfaatkan dan mengeksploitasi kesempatan semacam: ham, telur tersembunyi, snert (sup pada era awal komersialisme karena mereka tidak kacang polong), erwten soep (sup kacang merah), bru- terikat pada tradisi feodal104 atau sistem penguasaan ine bonen soep, tutup, macaroni bakar dengan tanah. Golongan inilah yang merasa bebas dan tidak ham dan keju, setup sayuran yang berisi bacon/spek, terikat pada feodalisme yang kemudian menjadi pen- steak/biefstuk yang sering lebih menyerupai , li- dukung ide-ide Liberalisme.105 Disamping itu juga kar- dah paus putih, ayam masak zwaartzuur, , gal- ena mereka mampu melakukan hubungan kontak in- antine selada, dan sebagainya.38 ternasional untuk memindahkan modal dan barang Kebiasaan mengkonsumsi masakan Eropa menja- menembus batas-batas yang tidak mampu diperankan di kebiasaan yang umum di kalangan elite Tionghoa dan masyarakat lokal.106 merupakan dampak dari tingkat kesejahteraan mereka jukkan status seseorang. Semakin banyak barang yang dikonsumsi yang mapan, ketersediaannya berbagai bahan maka- maka menunjukkan tingginya status. Agar statusnya tidak men- nan, terutama makanan impor kaleng olahan yang ber- galami degradasi mereka harus meniru dan mengikuti mode kon- sumtif meski hal ini sangat bergantung pada kekuatan  nansial. fungsi sebagai pelengkap makanan utama dengan cara Suhartono, “Budaya Materialistik dan Kesenjangan Sosial”, dalam penyajian yang praktis dan higienis.39 Disamping itu Humaniora: Buletin Fakultas Sastra UGM, No. V, tahun 1997, hlm. juga semakin banyak orang Tionghoa yang menjalank- 99. 103 Leslie H. Palmier, Indonesia: New Nation and Peoples (London: an usaha dibidang penyediaan barang-barang konsum- Themes and Hudson Ltd, 1963), hlm. 122-123. si yang awalnya hanya dipegang oleh pengusaha Barat 104 Feodal adalah sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat yang seperti pabrik susu pertama di Jawa yang didirikan ta- dikuasai oleh kaum bangsawan atau biasanya disebut kaum feudal yang umumnya memiliki harta dan tanah yang luas. B.N. Marbun, hun 1926 dengan nama “The China Java Sanitary Milk Kamus Politik (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hlm. 200. Supply Co. Lt” milik tuan Kwik Sing Kow.40 105 Sartono Kartodirdjo, Modernisasi dalam Perspektif Sejarah (Yogya- karta: Jurusan Sejarah Fak. Sastra dan Kebudayaan UGM, 1978), Perkembangan modernisasi di Batavia berdampak hlm. 4. 38 Helen Iswara, ”Aneka Rupa Masakan Peranakan”, dalam Heru Kus- 106 Anthony Reid, “Entrepreneurial Minorities, Nationalism and the tara (ed.), op.cit., hlm. 243. State”, dalam Daniel Chirot and Anthony Reid (eds.), Essential Out- 39 Department of Economic Affairs, Importers Directory of Nederlands siders, Chinese and Jews in the Modern Transformation of Southeast Indies 1938 (Batavia: G. Koolf & Co, 1938), hlm. 78-116. Asia and Central Europe. Seattle: University of Washington Press, 40 Liem Thian Tjoe, op.cit., hlm. 302-303.

90 139 bangsawan Tionghoa menggunakan sumpit yang ter- Kelompok pengusaha dari kelas Tionghoa menin- buat dari gading gajah dan bertahtakan emas permata. gkat pesat pada pasca tahun 1860, terutama dari ka- Nilai prestise dan kemewahan alat makan tersebut pada langan Tionghoa totok.107 Mereka memperoleh modal dasarnya bukan terletak pada bahan dasarnya me- tersebut dengan cara menyewa tanah-tanah dari para lainkan pada aspek kompleksitas penggunaan alat ma- pengusa tradisional maupun dari penguasa kolonial. kan tersebut yang terlihat jelas pada diferensiasi fungsi Kesuksesan tersebut merupakan dampak keuntungan alat makan. Contohnya adalah terdapatnya alat sendok dari industri gula yang mengalami kenaikan harga gula untuk nasi, sendok untuk sup, sendok (pencuci di pasaran dunia di tahun 1870 hingga abad XX se- mulut) dan lain sebagainya. Demikian halnya dengan hingga menjadi salah satu pemicu dalam munculnya fungsi pisau dan garpu. Ada semacam table manner elite kelas-kelas menengah yang mapan secara  nan- dimana sendok yang pertama digunakan adalah sen- sial.108 dok yang berada paling ujung. Alat-alat makan terse- Pencapaian tersebut merupakan sebuah prestasi but mereka dapat dari warisan pejabat-pejabat kolonial dan prestise tersendiri bagi orang-orang yang mampu yang telah pensiun maupun hasil pelelangan35. Alter- meraihnya. Palmier mencoba menganalisis aspek-aspek natif lain untuk memiliki alat makan tersebut dengan yang digunakan sebagai indikator kesuksesan di mata cara membeli di toko “Tio Tek Hong“ yang menyediakan masyarakat pada abad XX antara lain adalah: pertama, berbagai alat kebutuhan rumah tangga, seperti: sen- gelar pendidikan, kedua, orang yang mampu memban- dok, garpu, kancing baju, pipa rokok, pisau lipat serta tu individu atau kelompok untuk turut sukses, ketiga, gunting yang terbuat dari perak dan gading.36 Kepemili- memiliki relasi dengan priyayi yang memiliki kekuatan kan alat makan tersebut berfungsi untuk mempertinggi atau pengaruh keempat, uang, semakin besar gaji atau status sosial ekonomi, dengan cara memamerkannya, semakin kaya ayahnya maka ia akan semakin diterima di mata masyarakat. dalam masyarakatnya. Bagi seseorang yang tidak di- Dalam kehidupan sehari-hari, menu yang dikon- lahirkan dari lingkungan kaya atau tidak berpendidi- sumsi orang Tionghoa kelas menengah terdiri dari: kan juga dapat meraih penghargaan apabila ia mampu , fuyunghai, , kuluyuk, juanlo, sup mengatur sebuah asosiasi atau partai politik yang men- asparagus dengan telur kepiting, sup sirip ikan hiu, empatkan dirinya sebagai sekretaris atau ketua109. sup misoa, ayam Nanking, ikan tim saus kecap asin, 37 kodok goreng tepung, kodok sawi asin, gurame asam 1997), hlm. 43. 107 Vincent J.H. Houben, Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogya- 35 Onghokham, “Show Kemewahan Suatu Simbol Sukses” dalam Idi karta 1830-1870 (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002), hlm. 563. Subandi Ibrahim (ed.), op.cit., hlm. 138. 108 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004 (Jakarta: Se- 36 Bedjo Riyanto, op.cit., hlm. 92. rambi, 2005), hlm. 270; Chinese Heritage Centre, The Encyclopedia 37 Di Tiongkok, orang Tionghoa makan katak karena faktor kemiski- of The Chinese Overseas (Singapore: Archipelago Press & Landmark nan. Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa (Jakarta: Lente- Books, 1998), hlm. 152. ra Dipantara, 2009), hlm. 90. 109 Leslie H. Palmier, op.cit., hlm. 123.

138 91 Orang Tionghoa dengan etos kerjanya yang kuat hanya minum air yang berasal dari es31 yang mencair, dan sistem kongsinya yang semakin kuat dalam mem- yang didatangkan dari Boston. Kemudian dibangunlah bangun jaringan bisnis telah mengantarkan mereka se- rumah es oleh dua mitra, Gilbert Angus dan Hoo Ah bagai etnis yang kuat secara  nansial. Realitas tersebut Kay. Realitas tersebut mengindikasikan bahwa orang dan keterkaitan pada aspek  nansial tentunya men- Tionghoa telah bekerja sama dengan orang Barat, bah- empatkan mereka termasuk dalam kategori kelompok kan sejak awal perdagangan es.32 Menurut The Siauw etnis yang sukses karena terjadi sebuah proses dima- Giap, berdasarkan data Volkstelling 1930, sekitar 21% na terbentuknya elite baru yang tidak lagi didasarkan bidang usaha orang Tionghoa bergerak dalam produksi kelahiran dan keuntungan tanah pertanian, tetapi ber- pangan seperti: roti, permen, mie, dan . Selain dasarkan kekayaan harta benda.110 Willmott mampu itu juga adalah produksi minuman ringan, yakni: soda membuktikan realitas sosial tersebut bahwa dalam pop (limun) dan air soda, dan obat anggur. Orang komunitas Tionghoa status seseorang diukur melalui Tionghoa juga memproduksi es, es krim, dan minu- kekayaan dan kekayaan jauh lebih penting dibanding- man ringan. Sejumlah pabrik tersebut terkonsentrasi kan gelar pendidikan.111. Terdapat pula sebuah kisah di sekitar Bandung, Jawa Barat.33 dimana seseorang berubah menjadi orang kaya men- Pengaruh Barat juga menyentuh aspek tata cara dadak setelah menemukan peti berisi uang.112 Untuk makan. Hal itu tere eksikan dari peralatan makan yang memahami orang Tionghoa yang termasuk dalam kat- semakin kompleks dimana sendok, garpu, dan kertas egori ’orang kaya’ dapat menggunakan tabel berikut: tisu, pada masa itu disebut dengan “serbet kertas“, mulai populer di kalangan keluarga Jawa dan Tiong- hoa.34 Alat-alat makan merupakan simbol kemewahan yang mampu menunjukkan status seseorang di mata Tabel IV: masyarakat. Kadangkala orang kaya Tionghoa atau

Statistik Pajak Pendapatan di Hindia Belanda 31 Es batu biasa disebut dengan “air batu”, Tan Teng Kie, “Syair Jalan- 110 Denys Lombard, op.cit, hlm. 165. an Kereta Api”, dalam Marcus A.S. dan Pax Benedento (eds.), Kesas- 111 Donald Earl Willmott, The Chinese of Semarang: A Changing Mi- traan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia, Jilid 1 (Jakarta: nority Community in Indonesia (New York: Cornell University Press, Kepustakaan Populer Gramedia, 2000), hlm. 45. 1960), hlm. 117. 32 Denys Lombard II, op.cit., hlm. 82; Liem Thian Joe, Riwayat Sema- 112 Tjerita Oey Se oleh Thio Tjin Boen (1885 – 1940), menceritakan rang (Jakarta: Hasta Wahana, 2004), hlm. 323. pedagang Tionghoa yang bernama Oey Se, yang mendadak menjadi 33 The Siauw Giap, “Socio-Economic Role of the Chinese in Indonesia, kaya. Menurut cerita tersebut, Oey Se melihat anak petani yang 1820-1940”, dalam Angus Maddison dan G.E. Prince (eds.), Eco- membuat layang-layang dari uang kertas dan dikatahuinya, anak nomic Growth in Indonesia 1820-1940 (Leiden: KITLV, 1989), hlm. ayah itu menemui sebuah peti yang berisi kertas – kertas. Dia mem- 174. beli kertas-kertas tersebut dengan murah dan menjadi kaya raya. 34 Mutiah Amini, “Kehidupan Perempuan di Tengah Perubahan Kota Menurut Thio Tjin Boen, kisah tersebut merupakan kisah nyata Surabaya pada Awal Abad XX”, Tesis S-2 Program Studi Sejarah yang terjadi di Jawa pada abad XIX. Leo Suryadinata (ed.), Sastra Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta, 2003), hlm. Peranakan Tionghoa Indonesia (Jakarta: Grasindo, 1996), hlm. 12. 142.

92 137 remoulade saus, berbagai macam masakan Cina dan menurut golongan penduduk, 1930 Hindia berbahan babi yang ditambah dengan sampa- Jumlah orang Pribumi Tionghoa Eropa nye dan berbagai jenis anggur serta minuman keras yang ditaksir Jumlah % Jumlah % Jumlah % 25 diperbolehkan. Meski orang Tionghoa kerap kali men- pendapatannya gundang orang Eropa dalam gala pesta seperti itu, na- Di atas F.900 36.112 1,8 44.342 20,4 73.247 86,5 mun mereka sendiri tidak pernah diundang oleh orang Antara F. 900 562.155 27,7 147.127 67,8 10.375 12,3 Eropa sebagai balasan.26 - 200 Kurang dari F. Menurut Onghokham, memasuki periode abad XX 1.434.077 70,6 25.647 11,8 1.000 1,2 jamuan makanan sering hanya hidangan Eropa dengan 200 27 Jumlah keselu- anggur yang dikeluarkan. Demikian halnya ketika bu- 2.032.344 100 217.116 100 84.622 100 pati, sunan atau sultan, atau pun pangeran menjamu ruhan Penduduk harus ada dua macam hidangan: hidangan untuk tamu 59.138.067 - 1.190.014 - 240.162 - Eropa dan tamu pribumi.28 Menurut Lombard, unsur 1930 kebudayaan asli Belanda antara lain adalah kebiasaan makan mereka, seperti makan roti, minum bir29 dan Sumber: Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Kri- anggur, yang tetap merupakan kemewahan yang ber- sis (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm. 47. nilai tinggi.30 Selain anggur juga terdapat air mineral. Sekitar tahun 1869, keluarga-keluarga kaya di Batavia Melalui pajak pendapatan tersebut dapat diper- 25 Leslie H. Palmier, Social Status and Power in Java (London: The Ath- oleh jumlah orang Tionghoa yang masuk dalam orang lone Press, 1969), hlm. 113. kaya.113 Kemapanan mereka atas uang menempatkan 26 James R. Rush, Opium to Java: Jawa dalam Cengkraman Bandar- mereka menjadi etnis yang berubah menjadi karakter bandar Opium Cina, Indonesia Kolonial. 1860-1910 (Yogyakarta: 114 Penerbit Mata Bangsa, 2000), hlm. 285-286. yang borjuistis dan bertransformasi menjadi masya- 27 Anggur bagi bangsa perancis merupakan minuman-totem, setara rakat konsumen.115 Di dalam masyarakat Tionghoa, te- dengan susu sapi Belanda atau teh yang secara seremonial dikon- sumsi oleh keluarga kerajaan Inggris Lihat Barthes tentang “Anggur 113 Simbol orang kaya dalam masyarakat Tionghoa primitif adalah dan Susu”, Roland Barthes, Membelah Mitos-Mitos Budaya Massa: tubuh tambun serta rambut dan kuku panjang. Hal tersebut me- Semiotika atau Sosiologi Tanda, Simbol, dan Representasi (Jalasutra: nandakan kehidupan orang kaya yang santai. Willard A. Hanna, Yogyakarta, 2007), hlm. 63. op.cit., hlm. 84. 28 Onghokham, loc.cit. 114 Pada dasarnya sikap borjuis berasal dari orang Belanda yang ke- 29 Bir yang tersedia adalah merk Heineken yang diimpor oleh Handels- mudian berpengaruh pada dinamika masyarakat dan budaya Indis vereeniging Oost Indie N.V. selain itu terdapat bir Haantjes yang di Hindia Belanda. Watak borjuis bangsa Belanda menjadi ciri yang dipasarkan di Batavia, Semarang, Surabaya, dan Makassar. Bir lain utama dan van Ravestyen menyebut Belanda sebagai “negara bor- adalah Diamont Pils, namun tidak jelas dimana bir ini diproduksi. juis yang tertua”. Lihat J.W. Meyer Renneft, “Ciri Spiritual Belan- Achmad Sunjayadi, Vereeniging Toeristen Verkeer Batavia 1908- da di Hindia Belanda”, dalam H. Baudet dan I.J. Brugmans, Politik 1942, Awal Turisme Modern di Hindia Belanda (Depok: Fakultas Etis dan Revolusi Kemerdekaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 2007), hlm. 110. 1987), hlm. 386. 30 Denys Lombard II, op.cit., 71-72. 115 Masyarakat konsumen adalah masyarakat dimana orang-orang

136 93 rutama pada tahun sekitar 1890-an, mereka mendapat- matian dan pernikahan yang selalu menarik perhatian kan sebutan dari masyarakat lokal yang hanya dimiliki orang Eropa. Menurut pengakuan Franz Epp, ia san- oleh orang-orang Tionghoa kaya, yakni: babah gentong, gat terheran-heran dengan kebiasaan orang Tionghoa babah leo, babah gimbong, babah gombol atau gembul, yang sangat gemar makan bahkan seekor ular besar dan babah kopet. Sedangkan untuk kalangan Tionghoa dan anjing tidak jarang menjadi hidangan di atas piring putri yakni nyonya kembang, nyah gajah, nyah kathok, mereka. Mereka membuat sup yang terbuat dari dag- nyah engkrak, nyah cowek, dan nyah puring.116. Panggi- ing kuda, dimana orang Eropa ketika mencoba ternyata lan ”baba” tidak hanya disematkan pada etnis Tionghoa juga menyukainya. Selain itu, orang Tionghoa juga ada peranakan, namun juga pada orang-orang atau anak yang menjadi tukang roti, yang menggunakan tepung dari keturunan hartawan Tionghoa, contohnya adalah terigu dari Amerika dan menghidangkannya sebagai Baba Sam dan Baba Midoen yang menjadi kaya sete- salah satu menu sajian.22 lah mendapat warisan dari pamannya, Muchsin. Hal ini Perjamuan makan oleh elite Tionghoa merupakan disebabkan sang paman (Muchsin) tidak memiliki ke- salah satu upaya untuk mempererat hubungan dengan turunan.117 Secara umum panggilan baba sering digu- elite-elite Eropa maupun pribumi. Jamuan yang mer- nakan masyarakat pribumi untuk menyebut hartawan eka gelar bersifat formal dengan adanya undangan-un- Tionghoa di kawasan Pulau Jawa. dangan yang ditulis dengan bahasa Belanda dan tem- Pengaruh borjuisme ala Barat yang ditopang oleh pat duduk yang diatur secara protokoler.23 Gala makan kekuatan mereka secara ekonomi telah membuat mer- bersama tersebut biasanya dalam rangka ulang tahun eka menjadi karakter yang konsumtif dengan tujuan mayor Tionghoa, perayaan tahun baru Cina, perayaan mengkonsumsi simbol-simbol modernitas dengan tu- hari besar umat Kristen, pernikahan, kelahiran, hingga juan menyetarakan derajat dan identitas mereka agar acara pelelangan barang-barang dari pejabat kolonial yang akan pensioen. Tamu-tamu undangan terdiri dari berusaha menga rmasi, meneguhkan identitas dan perbedaan- tiga golongan tamu: sesama Tionghoa (sebagian kelu- nya, serta mengalami kenikmatan melalui tindakan membeli dan mengonsumsi sistem tanda bersama. Konsumsi adalah aturan arga), Eropa, dan pribumi. Oleh karena itu, menu ma- berbagai signi kasi seperti sistem bahasa atau pertemanan dalam kanan yang dihadirkan juga terdiri dari tiga macam masyarakat primitif. Dengan segala liturgi pemujaan objeknya, hidangan yang disertai dengan minumannya yang set- perilaku konsumen terfokus dan berorientasi pada objek dan pe- 24 nikmatan (enjoyment, jouissance). Adeline May Tumenggung, “Ke- araf. Makanan tersebut adalah boeuf presse dengan budayaan (para) Konsumen”, dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Pu- 22 Mary Sommers Heidhues, “Dissecting the Indies: The Nineteenth tranto (ed.), Teori-teori Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 2005), Century German Doctor Franz Epp”, dalam Archipel 49, Paris. 1995, hlm. 263. hlm. 33-35. 116 “Sungguh-sungguh Terjadi”, dalam Kedaulatan Rakyat, 4 Juni 23 Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939 2009, hlm. 1. (Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000), hlm. 382. 117 Lihat, Onghokham, Perkawinan Indonesia-Tionghoa sebelum abad 24 Onghokham, “Show Kemewahan Suatu Simbol Sukses” dalam Idi Subandi Ibra- XIX di Pulau Jawa”, dalam Star Weekly, No. 633, 15 Februari 1958, him (ed.), Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indo- hlm. 52-54. nesia (Yogyakarta: Jalasutera, 2004), hlm.137.

94 135 Pada aspek selera, orang Tionghoa juga menga- setingkat dengan orang Eropa. Tak heran apabila mer- lami hibridisasi perpaduan antara selera asal dengan eka kerap dicap oleh orang Barat sebagai etnis yang selera lokal maupun selera asal dengan selera Barat. boros dan kerap menghabiskan uang dengan tujuan Hal ini terlihat pada makanan yang mereka sajikan ker- yang tidak jelas. Bagi sebagian orang kaya Tionghoa, ap kali mengandung daging babi yang dikombinasikan mereka sangat senang menggunakan gigi emas yang dengan menu lain yang di satu sisi bersifat sangat Ja- memancarkan kemilau “senyum emas” sebagaimana wa18, yang dalam pandangan orang Barat disebut seba- orang Amerika.118 gai “menu Indis” atau rijstafel, antara lain: , Kekayaan merupakan cara mereka untuk me- sajor lodeh, telor, pete oedang, gebakken gar- ningkatkan identitas mereka di mata masyarakat, baik nalen (udang bakar), sate manis, ayam besengek, dan pribumi maupun Barat, dengan tujuan pengakuan dan dadar isi.19 Sedangkan, makanan orang Tionghoa yang pembedaan mereka terhadap masyarakat umumnya. mengalami “Belandanisasi“ adalah ayam Bangka Gejala sosial tersebut merupakan konsekuensi dari dan yang merupakan pengaruh dari ge- proses moderniasasi yang dibarengi dengan pening- vulde kip (ayam isi) Belanda. Di Jawa dan Ambon isinya katan kapital masyarakat. Bordieu, Frans Boaz, dan daging ayam, babi ham, pasta hati (lever pastel), sedikit Veblen menyatakan bahwa ‘kekuatan ekonomi adalah roti yang direndam susu, telur dicampur dengan kuah kekuatan yang pertama dan utama untuk menjauhkan yang agak kental.20 Menurut Forster, mereka juga ge- seseorang dari berbagai kebutuhan ekonomi; itulah se- mar mengkonsumsi sup sarang burung dan kaki katak babnya hal itu selalu ditampilkan dalam bentuk peng- yang dikombinasikan dengan stik udang atau sapi.21 hancuran harta benda, konsumsi berlebihan, pemuba- Kegemaran orang Tionghoa terhadap budaya ma- ziran, dan segala macam kemewahan yang tidak pada kan tere eksikan di wilayah Bangka ketika seorang tempatnya. Aksi buang-buang harta itu sebenarnya Tionghoa kaya di Bangka memotong 50-60 ekor babi merupakan cara untuk mengubah modal ekonomis untuk sebuah pernikahan yang dilangsungkan selama menjadi modal politis, sosial, kultural, atau modal ‘sim- beberapa hari. Demikian halnya dengan upacara ke- bolis’.119 Bordieu menambahkan bahwa kelompok kelas 18 Onghokham, Runtuhnya Hindia Belanda (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm. 32. menengah merupakan intelektual baru karena peran 19 Esther Captain, “Sambal Bello en Oesters met Chmpagne over de mereka sebagai audiens dan trasmiter yang sempurna. rol van voedsel als teken van beschaving in de Japanse interner- Peran mereka bukan hanya sebgai popilarisasi badan ingskampen”, dalam Marieke Bloembergen dan Remco Raben, Het Koloniale Beschavingsoffensief: Wegen naar het nieuwe Indie 1890- pengetahuan tetapi juga popularisasi gaya hidup in- 1950 (Leiden: KITLV Uitgeverij. 2009), hlm. 217-237. 20 Helen Iswara, ”Aneka Rupa Masakan Peranakan”, dalam Heru Kus- 118 H.W. Ponder, Java Pageant (London: Seeley, Service & co., 1935), tara (ed.), op.cit., hlm. 227. hlm. 93. 21 Harold Forster, Flowering Lotus: A View of Java (London: Longmans 119 Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial (Jakarta: Yayasan Obor Indo- Green & Co., 1958), hlm. 35. nesia, 2003), hlm. 98-100.

134 95 telektual. Dengan demikian, anggota kelas menengah Keberadaan orang Tionghoa yang diapit oleh dua baru memperkenalkan gaya hidup kaum intelektual kebudayaan Barat dan Jawa telah melahirkan suatu dan bertindak sebagai perantara dalam menyampaikan hibridisasi kebudayaan dalam budaya makan di ka- ide-ide golongan intelektual kepada audiens yang lebih langan elite Tionghoa.16 Salah satu produk makanan luas. Mereka juga bertindak sebagai entrepreneur bu- hasil hibridisasi tersebut adalah tahu. Menurut Ong- daya dengan caranya sendiri dalam upaya untuk men- hokham, tahu dibawa oleh orang Cina ke Jawa, yang coba melegitimasi intelektualisasi bidang-bidang keahl- mungkin telah ada sejak abad XVII. Tahu merupakan ian baru seperti musik popular, fashion, desain, hari makanan khas Cina, sedangkan tempe makanan Jawa libur, olahraga, dan budaya popular.120 yang ditemukan secara tidak sengaja. Tempe dalam Encylopedie van Nederlandsch Indie dipahami sebagai “” yang terbuat dari kedelai melalui proses peragian dan merupakan makanan kerakyatan (volk’s voeds el). Tempe tidak ditemukan dalam dapur Melayu, Minang, Batak, Bugis, Manado, dan lain-lain. Selera Jawa me- mang cocok dengan tempe. Pertama, makanan Jawa umumnya dimakan dalam kondisi suhu ruangan (room temperature) yang bagi orang Barat, Cina, dan lain-lain akan dikatakan dingin. Masakan hewani dingin pada umumnya kurang enak. Demikian juga dengan tahu, karena rasanya bisa seperti karet. Sementara tempe, baik dingin atau panas tidak menjadi persoalan dan as- pek inilah yang menjadi keunggulan produk tempe.17

16 Bagi masyarakat Cina migran (diaspora), mereka mengakibatkan munculnya jenis-jenis makanan Cina yang berbahan baku lokal dan menjadi makanan khas campuran. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya jenis makanan yang dibuat oleh Cina peranakan yang dimasukkan dalam kategori makanan Cina. Huang I Ling, Symbol- ism in Chinese (Singapore: Graham Brash, 1991), hlm. 1-6.; Untuk memahami tentang aneka kuliner Cina dengan berbagai pengaruhnya, lihat Mely G. Tan, “Chinese Dietary Culture in Indo- nesian Urban Society”, dalam Mely G. Tan, Etnis Tionghoa di Indo- nesia: Kumpulan Tulisan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm 91-114. 17 Onghokham, “Tempe, Sumbangan Jawa untuk Dunia”, dalam J.B. 120 Mike Featherstone, Posmodernisme dan Budaya Konsumen (Yogya- Kristanto (ed.), Seribu Tahun Nusantara (Jakarta: Kompas, 2000), karta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 217. hlm. 266-268.

96 133 Menurut Bonavia, makanan merupakan satu hal yang tidak pernah berubah dalam suasana liberal baru di kota-kota Tiongkok, Selama masa keras Revolusi Ke- budayaan pun, koki-koki terampil terus mempersiap- kan masakan istimewa yang menyebabkan Tiongkok setara dengan Perancis dalam soal masak-memasak. BAB IV Hampir semua rakyat Tiongkok menganggap penting sekali bahwa makanan dinikmati dengan pantas. Tra- MODERNISASI DAN GAYA HIDUP disi kesehatan kuno memandang berbagai bahan ma- ELITE TIONGHOA BATAVIA 1900 - kanan mengandung khasiat luar biasa, biasanya den- gan pandangan “semakin langka semakin baik. Orang 1942 sangat percaya akan khasiat akan menikmati masakan istimewa pada berbagai musim: sup ular pada musim Perkembangan modernisasi di Hindia Belanda te- 13 dingin, kepiting dengan teh jahe pada musim gugur. lah berdampak pada perubahan perilaku, mentalitas, Tampak jelas bahwa orang Tionghoa mempunyai pan- cara pandang, selera, dan identitas masyarakat perko- dangan  loso s dan spiritual yang tinggi dalam me- taan. Kesemua aspek tersebut kemudian akan ber- mahami sebuah makanan. Mereka juga dikenal oleh muara pada pembentukan dan penerapan gaya hidup bangsa Barat sebagai etnis yang mahir dalam mem- sesuai dengan posisi dan peran di masyarakat. Etnis buat makanan. Penilaian tersebut muncul dari penda- Tionghoa yang merupakan kelas menengah mengalami 14 pat Justus van Maurik ketika ia menikmati di disparitas antara kebudayaan lokal dan kebudayaan daerah Glodok, ia berpendapat bahwa orang Cina ada- kolonial, suatu proses dimana masyarakat mengalami lah peniru terbaik untuk minuman-minuman Eropa. situasi diantara dua budaya Timur dan Barat yang sa- Selain itu, ia juga mencicipi jenis makanan kimlo atau ling mempengaruhi.1 Hal ini merupakan realitas bahwa 15 sop Cina yang dinilainya sangat berkesan di lidah. budaya pada dasarnya tidak pernah berdiri sendiri tapi selalu terlibat pada kon ik tekanan antara persamaan 13 David Bonavia, Cina dan Masyarakatnya (Jakarta: Erlangga, 1990), hlm. 55. dan perbedaan, perbandingan dan pembedaan, persat- 14 Jenis makanan bihun dan bakmi secara etimologi berarti “bi / ba” 1 Dalam bahasa Homi Babha disebut sebagai “ruang antara”, suatu (beras) dan “hun” (bubuk). Menurut Nie Joe Lan, kedua makanan wilayah yang penuh dengan mimikri dan persaingan yang menim- tersebut bermakna sama, hanya saja istilah “bakmi” biasa diguna- bulkan tumpang tindih dan kemelut budaya di sela-sela masyarakat kan oleh orang Cina dengan dialek Hokka, sedangkan “bihun” oleh kolonial. Homi Babha, The Location of Culture (New York/London: orang Cina berdialek Hokkian. Nio Joe Lan, Peradaban Tionghoa Routledge, 1994), hlm. 26; Thomas Stevens, “Indo-Europeanen in Selajang Pandang (Djakarta: Keng Po, 1961), hlm. 18. Nederlands-Indie; sociale positive en welvaartsontwikkeling”, dalam 15 Achmad Sunjayadi, “Kuliner dalam Pariwisata Kolonial di Hindia P.J. van Drooglever, Indisch Intermezzo: Geschiedenis van de Neder- Belanda,” dalam Djoko Marihondono (ed.), Titik Balik Historiogra landers In Indonesie (Amsterdam: De Bataafsche Leeuw, 1994), hlm. di Indonesia (Jakarta: Wedatama Widya Sasta, 2008), hlm. 30. 34.

132 97 uan dan keanekaragaman, kohesi dan disparitas, pena- disamakan dengan teknologi, seperti: listrik, telefon, hanan dan subversi.2 radio,  lm, dan seterusnya. Orang menyalakan lampu Bab ini akan mencermati bagaimana penerapan listrik dan telepon beserta segala macam alatnya meski gaya hidup elite Tionghoa peranakan cabang atas di sebenarnya mereka tidak memahami cara kerja mau- Batavia terkait dengan pengaruh modernisasi di kalan- pun sistemnya.11 gan masyarakat urban perkotaan Batavia. Proses terse- Gaya hidup dan kebiasaan ala Eropa dalam ke- but akan diawali dengan akses pengaruh modernisasi hidupan sehari-hari orang Tionghoa juga tampak dalam dan dampaknya terhadap gaya hidup dan kehidupan selera dan tata cara makan (table manner). Kebiasaan sehari-hari elite Tionghoa, baik terhadap simbol-simbol ini baik secara sadar maupun tidak sadar menjadi ke- material maupun simbol immaterial. Menurut Willmott, biasaan yang berfungsi sebagai simbol kedudukan generasi muda Tionghoa peranakan merupakan golon- dan kebesaran dari pelakunya. Menurut Sidaharta, gan yang terbuka dan menerima masuknya budaya orang Cina sejak dulu telah dikenal sebagai bangsa Barat dalam kehidupan sehari-hari mereka. Terdapat yang menjungjung tinggi cita rasa makanan, bahkan empat akses utama masuknya pengaruh modernitas, jika raja di Tiongkok memerintah misi dagang atau antara lain: regulasi pemerintah, pendidikan, media misi persahabatan, koki terbaiknya selalu diikutser- massa, dan contoh kehidupan komunitas Belanda di takan dalam rombongan pelaut-pelaut Cina sehingga 3 Batavia. jasa dan peran mereka setara dengan diplomat. Dalam tradisi Cina, orang Cina percaya pada prinsip yin dan A Persebaran Pengaruh Modernisasi pada Awal yang (gelap dan terang). Unsur yang berarti terang atau Abad XX matahari, identik dengan makanan panas, sedangkan 1. Regulasi Pemerintah Kolonial yin berarti gelap atau bulan, identik dengan makanan Bangsa Tionghoa sebagai sebuah etnis minori- dingin. Maka dalam penyajian, keduanya tidak boleh tas di Hindia Belanda merupakan pihak yang selalu disatukan. Istilah panas sendiri tidak selalu suhu, tapi dimanfaatkan oleh pihak penguasa. Secara ekonomi juga energi panas. Daging merah, daging ular, cabai, mereka ditempatkan pada posisi pedagang perantara dan jahe termasuk dalam ketegori ini. Di sisi lain, labu, yang kemudian mampu mengantarkan mereka sebagai ikan, sarang burung, termasuk dalam kategori yang golongan hartawan. Meski demikian, secara politis go- menyegarkan, sehingga harus ada perimbangan dalam longan Tionghoa sangatlah impoten karena begitu kom- mengkonsumsi makanan di kedua kategori tersebut.12 pleksnya restriksi pemerintah kolonial dalam menge- 2 Robert J.C. Young, Colonial Desire: Hybridity in Theory, Future and 11 L. Gesick, Pusat, Simbol, dan Hierarki Kekuasaan: Esai-esai ten- Race (New York: Routledge, 1995), hlm. 53. tang Nagara-negara Klasik di Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor In- 3 Donald Earl Willmott, The Chinese of Semarang: A Changing Mi- donesia, 1989), hlm. xv. nority Community in Indonesia (New York: Cornell University Press, 12 Myra Sidharta, “Jejak-jejak Koki Diplomat”, dalam Lily Wibisono 1960), hlm 19. (ed.), op.cit., hlm. 53-61.

98 131 elite Tionghoa di Batavia.7 kang mobilitas sosial vertikal dan horizontal mereka di Sebelum tahun 1867, penerangan rumah-rumah masyarakat. Kondisi tersebut memaksa etnis Tionghoa di Batavia masih menggunakan obor. Pada masa ter- mencari suaka perlindungan dari para penguasa pribu- sebut juga terdapat peraturan apabila seseorang in- mi maupun pemerintah kolonial. gin keluar dari rumah pada malam hari, maka diwa- Pada dasarnya etnis Tionghoa telah memiliki jibkan untuk membawa penerangan, misalnya obor hubungan politis yang harmonis dengan pembesar atau upet. Ketentuan tersebut baru dihapuskan pada Jawa, terutama pada periode abad XVIII dan XIX. Car- tanggal 1 Maret 1864.8 Menurut Lombard, memasuki ey4 memaparkan bagaimana hubungan tersebut ter- tahun 1867 hingga 1870 rumah-rumah mulai menggu- jalin cukup baik hingga menjelang perpecahan perang nakan gas sebagai alat penerangan dan kemudian be- Jawa-Cina5. Memasuki akhir abad XIX hingga paruh ralih menggunakan listrik pada tahun 1890-an.9 Pada pertama abad XX, politik Belanda terhadap berba- masa ini rumah-rumah elite Tionghoa menjadi sema- gai aspek kehidupan di Hindia Belanda dan memaksa kin modern dengan adanya sistem komunikasi berupa orang Tionghoa untuk menempatkan pemerintah kolo- telepon. Menurut Furnivall, salah satu ciri menarik dari nial sebagai patron. Disamping itu, pemerintah Belan- perkembangan teknologi komunikasi adalah pemaka- da memberlakukan berbagai status hukum yang mem- ian telepon yang ekstensif dan menjadi suatu keme- beratkan dan diskriminatif. Realitas tersebut membuat wahan khusus bagi populasi Eropa yang banyak dan orang Tionghoa menuntut penyetaraan status dan hak tersebar.10 Menarik untuk dicermati adalah komentar dengan orang Eropa, terlebih lagi bangsa Jepang mem- Onghokham dimana magi dalam zaman modern sering peroleh konsesi tersebut.6 7 Inovasinya yang membuatnya tersehor adalah ketika ia mendatang- Menurut Shiraishi, pengakuan hak istimewa Je- kan phonograf rol-lilin pada 1904 dan semakin berkembang men- jadi distributor plaatgramofon untuk seluruh Hindia Belanda yang pang didapat setelah kemenangan Jepang dalam Perang memperluas lagu-lagu lokal yang beragam. Tidak hanya itu, ia juga Cina–Jepang (1884-1881) dan Perang Rusia-Jepang terlibat dalam asosiasi musik Belanda di Batavia dan berperan pada bagian instrumen musik, kemungkinan sebagai pemasok (supplier) (1904-1905). Tahun 1898 bangsa Jepang disetujui me- musik. Pada periode antara 1905 – 1920 ia menjadi promotor ko- miliki status hukum yang sama dengan kulit putih7. medi Stambul dan musik keroncong di Pasar Gambir. Peter Keppy, Pengakuan tersebut menyinggung perasaan orang “Keroncong, Concours and Crooners: Home Ground Entertainment in Early Twentieth Century Batavia”, dalam Peter Boomgaard, Dick 4 Peter Carey, Orang Jawa dan Masyarakat Cina 1755-1825 (Jakar- Kooiman, dan Henk Schulte Nordholt (eds.), Linking Destinies: ta: Pustaka Azet, 1985). Trade, Towns and Kin (Leiden: KITLV Press, 2008), hlm. 149. 5 Willem Remmelink, Perang Cina dan Runtuhnya Negara Jawa 1725- 8 Athoullah M., “Dari N.V. ANIEM Menjadi PT. PLN: Nasionalisasi Pe- 1743 (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002). rusahaan Listrik di Indonesia”, dalam Purnawan Basundoro dkk., 6 Deskripsi dan interpretasi tentang orang Tionghoa yang ingin diper- Tempo Doeloe Selaloe Aktoeal (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), samakan derajat dan status hukumnya dengan Jepang. Pramoe- hlm. 63. dya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa (Jakarta: Lentera Dipantara, 9 Denys Lombard II, op. cit., hlm. 83. 2009), hlm. 62-63. 10 J.S.Furnivall, Hindia Belanda: Studi tentang Ekonomi Majemuk (Ja- 7 Saya Shiraishi dan Takashi Shiraishi (ed.), Orang Jepang di Koloni karta: Freedom Institute, 2009), hlm. 217. Asia Tenggara (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998), hlm. 6-7.

130 99 Tionghoa karena dalam mayoritas kegiatannya, mereka dilangit-laingitnya tergantung kelambu, yang semua- masih diserahkan ke pengadilan pribumi8. Victor Pur- nya dicat merah dan emas dan dipenuhi ukiran gaya cell menjelaskan bahwa sebenarnya sejak 1824 golon- Cina: singa dan kuda bercula satu, naga dan kelelawar, gan orang Tionghoa di Hindia Belanda dalam hal hukum huruf-huruf pembawa kemujuran seperti fu (“kebaha- perdata dan hukum dagang telah disamakan dengan giaan“) atau shou (“kelanggengan“), awan “yunani“ atau golongan Eropa. Oleh karena itu, jika terjadi perseng- swastika.3 Aspek hong-sui juga menjadi pertimbangan ketaan perdata, pengadilan yang berlaku baginya ada- dalam pembangunan rumah. Bentuk rumah yang ti- lah Raad van Justitie. Sebaliknya dalam perkara yang dak beraturan harus dihindari, terlebih yang bagian bersifat kriminal (pidana), masih diperlakukan sama belakangnya lebih rendah atau lebih sempit daripada dengan kaum pribumi, dan untuk itu lembaga peradi- bagian depannya. Menurut hong-sui, bagian belakang lannya adalah Landraad dan bahkan Politerol juga ma- rumah melambangkan masa depan, sedangkan bagian sih berlaku bagi orang Cina.9 depan melambangkan masa kini.4 Dalam peradilan, sejak tahun 1848, golongan et- Selain perabotan barang buatan orang Tionghoa, nis Tionghoa diberlakukan peradilan Politerol, yaitu terdapat pula perabotan rumah yang didatangkan dari suatu peradilan polisi dimana kepala polisi yang ber- Eropa, Jepang, atau Amerika. Bedjo Riyanto menun- tindak sebagai hakim. Sistem peradilan ini sering kali jukkan bahwa iklan-iklan di berbagai surat kabar menjadi ajang pemerasan dan praktik ketidakadilan. dimuat sedemikian banyak iklan-iklan yang menawar- Kepala polisi bisa saja memberi keputusan hukuman kan barang-barang impor, antara lain: lampu elektrik tanpa harus mendengarkan kesaksian terlebih dahu- produk General Elektrik dan Best & Light, jam dinding lu. Apabila terpaksa didatangkan saksi, maka ia tidak impor dari Amerika dan Swis, peralatan rumah tangga, berkewajiban untuk memerintahkan saksi tersebut mesin jahit, mesin tik, almari kaca, almari gantung, disumpah. Oleh karena itu, terkadang seorang saksi hingga toilet. Selain itu juga terdapat meja marmer dari yang diajukan memberi saksi palsu. Akibatnya putu- Inggris, meubel atau vas bunga dari Jepang dan Ci- san yang diambil kadang sekehendak sendiri, meskipun na.5 Peralatan musik Eropa juga kerap dipajang untuk diajukan permohonan ampun. Mulai tahun 1908 per- menunjukan simbol status dari sang pemilik rumah, mohonan ampun diperbolehkan. Sistem peradilan ini yakni piano, biola, dan gramafon.6 Gramafon sendiri di- menangani kasus perdata dan baru dihapuskan pada impor oleh seorang Tionghoa yang bernama Tion Tek 8 Mengenai peraturan hukum orang-orang Tionghoa di Hindia Be- Hong sehingga sangat populer di kalangan masyarakat landa dapat dilihat pada, Hanneke van Katwijk en Albert Dekker, Nederlands-indische jurisprudentie, register op de geannoteerde re- 3 Ibid. cht spraak in het indisch tijdschrift van het recht (1849 – 1950) en de 4 David Kwa, ”Hunian Baba-Nyonya”, dalam Majalah Kita Sama Kita, Ragam Bu- mededelingen van het documentatiebereau voor overzees recht 1950 daya dan Sejarah Nusantara. Vol. 2 No.4, Mei 2003, hlm. 11. – 1958 (Leiden: Uitgeverij. 1993), hlm. 153-155. 5 Bedjo Riyanto, Iklan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa Masa Ko- 9 Hari Poerwanto, Orang Cina Khek dari Singkawang (Depok: Komu- lonial, 1870-1915 (Yogyakarta: Tarawang, 2000), hlm. 182. nitas Bambu, 2005), hlm. 329. 6 Denys Lombard II, op. cit., hlm. 195.

100 129 Bagian interior tentunya juga tidak terlepas dari tahun 1914.10 adanya barang-barang meubelair, baik yang berasal dari Dalam Regering Reglement tahun 1854 pen- Eropa maupun buatan pengrajin lokal. Menurut Reid, duduk Hindia Belanda dibagi dalam tiga golongan be- pada awalnya, perabotan rumah tangga sama seder- sar, yaitu golongan orang Eropa (Europeanen), Timur hananya dengan bangunan rumah itu sendiri, oleh kar- Asing (Vreemde Oosterlingen), dan Pribumi (Inlander). ena itu orang cenderung makan di lantai sehingga meja Orang-orang Cina masuk dalam kelompok Timur As- dan kursi tidak dikenal sampai pada masa barang-ba- ing bersama orang India, Arab, dan Melayu. Tetapi per- rang tersebut digunakan oleh kalangan elite Tionghoa lakuan yang kemudian diberikan pada etnis Tionghoa dan Eropa.1 Barang-barang tersebut tentunya hanya justru perlakuan sebagai golongan orang asing, diham- dapat dimiliki oleh orang-orang yang secara  nansial bat proses pembaurannya, dan segala sesuatu tentang memiliki penghasilan diatas rata-rata masyarakat ko- mereka dipisahkan.11 Pada tahun 1855, mereka di- lonial pada umumnya. masukkan dalam golongan European Civil Code. Untuk Perabotan rumah buatan tangan orang Tionghoa masalah-masalah sipil orang Tionghoa harus mengh- juga menjadi pilihan bagi elite Tionghoa cabang atas adapi dewan keadilan Eropa (Raad van Justitie), sedan- karena mereka memilik teknik yang baik dalam mem- gkan untuk perkara urusan pidana mereka berurusan pelitur barang-barang perabotan rumah. Salah satu dengan dewan keadilan orang pribumi (Landraden). Hal buktinya adalah pengakuan dari catatan Francois Va- ini membuat mereka tersangkut dalam status hukum lentijn dalam memandang ahli perkayuan Tionghoa Ba- yang membingungkan serta penuh jebakan.12 tavia, “Mereka (pengrajin Tionghoa) bersedia menger- Sejak 1884, pemerintah kolonial mengeluarkan jakan banyak pekerjaan dengan rajin karena mereka kebijakan gelijksteling yang merupakan penyetaraan adalah tukang kayu yang ahli, seperti yang dapat dili- dengan Eropa (gelijkgestelden) adalah mereka yang di- hat hasilnya di dalam ruang-ruang duduk dan tandu, anggap mampu menyesuaikan diri dengan peradaban sangat anggun yang mereka buat, mereka sangat ahli Eropa (volkomen geschiktheid). Syarat untuk dapat dalam memplitur dan memprada“.2 Dari bengkel terse- memperoleh hak tersebut adalah kemampuan memba- but mereka menghasilkan produk kerajinan kayu yang ca dan menulis dalam bahasa Belanda, atau beragama sebagian besar menghiasi interior rumah mewah, baik Kristen. Kemudian pada 1897, keluar ketentuan bahwa milik orang Tionghoa maupun orang Jawa seperti: meja mereka yang telah memperoleh status setara dengan tinggi dan rendah, dingklik berkaki melengkung kelu- orang Eropa berdasarkan harus diperiksa kembali un- ar, kursi tanpa dan dengan telekan yang sandarannya tuk memastikan apakah mereka tetap hidup berdasar- agak melengkung, tempat tidur besar bertiang yang 10 Lihat Anjarwati Noordjanah, Komunitas Tionghoa di Surabaya (1900-1946). (Semarang: Mesiass, 2004), hlm. 72-73. 1 Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid I Tanah di 11 Ibid. Bawah Angin (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), hlm. 85. 12 Tinneke Hellwig, Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda (Jakar- 2 Denys Lombard II, op. cit., 316-317. ta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hlm. 26.

128 101 kan status keeropaan mereka atau tidak surut kembali atau polisi berpangkat rendah.17 ke dalam kehidupan mereka yang asli.13 Tio Tek Hong Dari aspek interior, para elite Tionghoa men- dalam memoarnya menyebutkan beberapa orang Tiong- dekorasi rumahnya dengan barbagai ornamen-or- hoa awal yang ingin memperoleh status dipersamakan, namen dan pajangan yang bernuansa Barat. Salah yakni: Tan Tiang Hok, Tan Tjoen Lee, Kan Hoek Hoei, satunya adalah foto-foto dengan latar belakang pe- 14 dan Ie Tjoen Tiat. mandangan atau tokoh Eropa yang sebagian besar Menurut catatan Frombreg pada tahun 1911, dari terbuat dari goresan atau litogra dan terkadang tahun ke tahun staatsblad dan Javache Courant beri- pula terbuat dari cat minyak.18 Pada bagian din- si dengan daftar panjang nama-nama orang Tionghoa ding kerap dipajang dengan tulisan teks berbahasa 15 yang disamakan dengan orang Eropa. Orang-orang Mandarin yang berupa slogan atau pengharapan yang telah mendapat status “Tionghoa-Eropa” kerap di masa depan. Pada bagian lantai dihiasi dengan mendapat kecaman dan sentimen dari golongan Tion- permadani mewah yang terbuat dari kulit harimau ghoa yang pro Tiongkok terkait dengan pertentangan atau permadani yang didatangakan dari luar ne- dalam visi dan orientesi budaya. Bagi kelompok “Tion- ghoa-Eropa”, status tersebut merupakan prestise yang geri. luar biasa yang sekaligus melegalkan penerapan gaya hidup ala Eropa dalam kehidupan sehari-hari.16

2. Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu simbol moder- nitas dalam masyakat modern. Derasnya arus mod- ernisasi yang melanda dunia, termasuk Hindia Be- landa, dan khususnya Batavia tidak dapat dihindari masyarakat kolonial. Ketika Belanda mulai menguasai 13 Lihat, William Edward van Mastenbroek, De historische ontwikkel- ing van de staatrechtelijke indeeling der bevolking van Nederlandsch- Indië. Wegeningen: H. Veenman & Zonen, 1934), hlm. 70-71. 14 Tio Tek Hong, Keadaan Jakarta Tempo Doeloe: Sebuah Kenangan 1882-1959 (Depok: Masup Jakarta, 2007), hlm. 62. 15 Alexander Claver, ”Struggling for Justice: Chinese Commerce and Gambar 4: Interior rumah Tionghoa di Batavia 1910 Dutch Law in the Netherlands Indies, 1800 – 1942,” dalam Peter (Sumber: KITLV) Boomgaard, Dick Kooiman, dan Henk Schulte Nordholt (eds.), Link- ing Destinies: Trade, Towns and Kin (Leiden: KITLV Press, 2008), hlm. 101; “Daftar Gelijkstelling bangsa Tionghoa per 1 Januari”, Bintang Pagi, 1920, teoen ka I, No. 3. 17 Freek Colombijn, op.cit., hlm. 125-126. 16 Sin Po, Saptoe 17 November 1940, tahun XVIII, No. 920. 18 Werner Kraus, loc.cit.

102 127 Pada bagian eksterior, bentuk bangunan yang dihad- Jawa tahun 1816, tidak ada satu pun sekolah yang di- irkan yakni pilar dan pedimen gaya Yunani, penggu- biayai oleh pemerintah Batavia. Pada tahun yang sama besi cor, dan kaca patri. Gaya yang sangat berciri sekolah pertama dibuka di Weltevreden. Namun, per- usaha coba-coba dari Werkbund di Eropa itu kini tam- kembangan sekolah itu lamban dan baru setelah ta- pak seperti campur-aduk, terutama pada dekorasinya hun 1860 kemajuan berjalan semakin cepat: pada ta- yang ditandai dengan penggunaan material baru (kaca hun 1820 hanya terdapat 7 sekolah; tahun 1845, 24 patri, keramik) dan mendapat pengaruh dari Jugendstil sekolah, 1868, 68 sekolah; 1883, 129 sekolah; tahun Eropa. Aspek kekar dan raksasa dari beberapa bangu- 1898, 164 sekolah, tahun 1905, 184, tahun 1917, 198. nan sering kali mencengang karena gaya-gaya kolonial Pada tahun 1860 sebuah peristiwa penting terjadi di memang selalu mencari yang serba megah.16 Bangun- Batavia, yakni didirikannya Gymnasium Willem III.17 an tersebut mulai menerapkan konsep yang mengkhu- Meski demikian, pada dasarnya pemerintah kolonial ti- suskan ruang-ruang tertentu, seperti ruang keluarga, dak terlalu serius memberikan perhatiannya di bidang kamar tidur, ruang tamu, ruang ibadah, dan sebuah pendidikan karena pendidikan hanya dapat dinikma- kantor. Serambi depan ditujukan untuk menerima ti oleh segelintir orang dan merupakan sesuatu yang tamu, serambi belakang untuk keluarga, dan serambi elitis. Menurut Taylor, terdapat diferensisasi sekolah ketiga ada di sisi rumah. Bagi rumah yang lebih be- berdasarkan agama, kelas, atau ras. Aspek yang paling sar biasanya memiliki dua lantai dan memiliki ruan- utama dan prestisius adalah berdasarkan kelas, yakni gan tambahan di belakang rumah untuk: dapur, gu- mereka yang diakui Belanda dan keturunan pribumi dang makanan, kamar mandi, dan kamar pembantu. kelas atas. Sekolah pemerintah kelas dua adalah ber- Menurut Tillema, luas maksimal bangunan tambahan dasar ras. contohnya adalah Arab dan Cina yang terpi- yang diizinkan oleh pemerintah untuk pegawai pemer- sah dari sekolah pribumi. Sedangkan pada kelas ketiga intah adalah 180 m2 ditambah 120 m2 (1934). Rumah adalah berdasarkan agama, yakni Kristen, Islam, dan yang dibangun menggunakan bahan material batu bata Animis.18 atau kayu, dengan langit-langit yang tinggi, dan di se- Perkembangan pendidikan mulai mengalami pen- tiap sisi tembok memiliki jendela berbahan kaca. Biaya ingkatan kualitas ketika van Deventer menulis artikel konstruksi rumah untuk kelas menengah mulai dari f dalam majalah De Gids tahun 1899 dengan judul “Een 10.000. Sedangkan biaya rumah untuk kelas bawah Ereschuld” atau “Hutang Kehormatan” yang memandang atau “rumah kampung“ kurang dari f 300 (terkadang bahwa pemerintah Belanda harus membalas kebaikan setara dengan f 100 atau bahkan f 20). Mereka biasa- budi orang Indonesia dengan cara meningkatkan kese- nya bekerja sebagai tukang kayu, kusir sado, penjahit, 17 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah Ter- padu Bagian II: Jaringan Asia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 16 Menurut Valentijn rumah-rumah pesanggrahan di Hindia Belana 2005), hlm. 84 merupakan merupakan turunan kombinasi dari rumah Cina dan 18 Jean Gelman Taylor, Indonesia: Peoples and Histories (New Haven: rumah Belanda sekaligus. Denys Lombard II, op.cit., hlm. 179. Yale University Press, 2003), hlm. 286.

126 103 jahteraannya. Van Deventer menjungjung triasnya yang dalam aplikasinya. Kondisi tersebut ditambah dengan terdiri atas: “irigasi, edukasi, dan emigrasi”.19 Seiring hadirnya seorang arsitek Tionghoa lulusan Belanda per- dengan dibukanya perkebunan di wilayah Sumatera, tama bernama Liem Bwan Djie merupakan tokoh yang perusahaan-perusahaan swasta, dan hadirnya kantor- turut serta dalam mengintrodusir harmonisasi arsitek- kantor administratif di Hindia Belanda, telah membuka tur Barat dengan Cina. Pola arsitektur yang diusungnya peluang pekerjaan yang membutuhkan tenaga-tenaga biasanya menggabungkan eksterior bangunan bergaya kerja terdidik untuk mengisi kekosongan pos-pos terse- Eropa dengan kombinasi interior bergaya Cina.14 but. Oleh karena itu, pemerintah kolonial mulai gencar menghadirkan institusi pendidikan yang disesuaikan dengan kurikulum dan tujuan pengadaan pendidikan. Masyarakat Tionghoa pada dasarnya peduli dengan perkembangan pendidikan. Mereka kerap menjadikan kuil di Batavia sebagai tempat untuk berkumpul dan belajar bagi anak-anak Tionghoa. Materi pelajaran yang diajarkan berupa  lsafat, puisi, tata krama, dan ajaran agama. Kegiatan tersebut dilakukan secara sukarela sebagai wujud kepedulian sosial mereka terhadap ke- budayaan tradisional negeri leluhur. Masyarakat Tion- ghoa yang terdiri atas berbagai suku berdampak pada Gambar 3: Kediaman kapiten Tionghoa di Meester Cornelis perlunya penyeragaman bahasa sebagai media komu- 1895, nikasi. Dengan adanya Beberapa tokoh masyarakat Sumber: KITLV.nl. Tionghoa mulai berpikir untuk adanya sekolah untuk bangsa Tionghoa, maka dibentuklah Tiong Hoa Hwee Pada akhir abad XIX hingga dekade ketiga abad Koan (THHK) pada tahun 1901 sebagai institusi pen- XX, secara umum orang Tionghoa dan Jawa secara didikan yang juga berfungsi sebagai pemersatu bangsa kultural berusaha mengikuti segala hal yang berkaitan Tionghoa di Hindia Belanda, khususnya di Batavia.20 dengan Barat. Contohnya adalah pola bentuk rumah, Kehadiran sekolah Tionghoa juga merupa- taman, halaman hingga masuk ke bagian interior.15 kan implikasi dari ketidakpedulian pemerintah 14 Freek Colombijn, op.cit., hlm. 127; Handinoto, “Perkembangan Ar- kolonial terhadap pendidikan untuk orang Tion- sitektur Tionghoa di Indonesia”, dalam Heru Kustara (ed.), Perana- 19 Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional: Dari Budi Utomo sampai kan Tionghoa Indonesia: Sebuah Perjalanan Budaya (Jakarta: Inti- Proklamasi 1908-1945 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hlm. 15- sari Mediatama & Komunitas Lintas Budaya, 2009), hlm. 88. 16. 15 Werner Kraus, “Chinese In uence on Early Indonesian Art? Hou 20 Z.M. Hidayat, Masyarakat dan Kebudayaan Cina di Indonesia Qua: a Chinese Painter in 19th Century Java”, dalam Archipel 69 (Bandung: Tarsito, 1977), hlm. 93. (Paris, 2005), hlm. 63.

104 125 ghoa di Hindia Belanda. Orang Tionghoa diang- gap pemerintah kolonial sebagai orang asing, tidak termasuk ke dalam kelompok penduduk asli kepulauan Nusantara, maupun ke dalam kel- ompok bangsa Belanda. Sejak sekolah ini didirikan pada 1901 dan lima tahun kemudian, mengalami perkembangan yang cukup signifikan sebanyak 75 sekolah THHK dengan jumlah total 5.500 orang murid. Sekolah ini berorientasi ke negeri Tiongkok, sehingga memunculkan kesadaran nasional Tiong- kok yang bangkit pasca revolusi nasional 1911 di ta- nah air mereka. Faktor lain yang menjadi alasan adalah Gambar 2: Kediaman Mayor Khouw Youw Kee di Molenvliet, orang Tionghoa memiliki keinginan untuk memimpin 1872 (Sumber: KITLV) pendidikan ini di Hindia.21 Namun yang menjadi ur- gensi potensial terburuk adalah minat dan kemampuan Menurut Soekiman, pengusaha Tionghoa dan orang Tionghoa terhadap bahasa Inggris. Kelompok Arab banyak yang membangun rumah-rumah bergaya elite Tionghoa tertentu, terutama kelompok elite pen- Eropa.12 Realitas tersebut disebabkan karena luasnya gusaha yang memiliki jaringan bisnis di Singapura, te- kepemilikan tanah pribadi oleh kalangan pengusaha lah memiliki akses informasi global dengan dunia luar Tionghoa. Berdasarkan Handboek voor Cultuur en Han- melalui kemampuan berbahasa Inggris. delsondernemingen in Nederlandsch-Indië tercatat bah- Kesadaran tersebut membuat pemerintah kolonial wa sekitar 200.467 hektar lahan pribadi (particuliere khawatir akan munculnya rasa nasionalisme di kalan- landerijen) dimiliki orang Tionghoa hingga masa pen- gan masyarakat Tionghoa yang dapat berujung pada dudukan Jepang tahun 1942. Tanah-tanah tersebut sebuah gerakan sosial. Realitas tersebut memaksa pe- mayoritas berada di wilayah Batavia hingga Bogor.13 merintah kolonial untuk membuat sekolah tandingan Faktor inilah yang memungkinkan orang Tionghoa bagi sekolah Tionghoa. Maka dibentuklah sekolah Tion- membangun rumah-rumah mewah pavilijoen bergaya ghoa ala Belanda yang dikenal sebagai HCS (Holland- Eropa namun tetap mempertahankan budaya Tiongkok sche Chineesche School) pada tahun 1908 di wilayah

pore: Archipelago Press, 2000), hlm. 90. Meester Cornelis. Sekolah ini merupakan sekolah 12 Djoko Soekiman, op. cit., hlm. 12. tandingan untuk mengisi kebutuhan pendidikan 13 Twang Peck Yang, Elite Bisnis Cina di Indonesia dan Masa Transisi etnis Tionghoa. Meski demikian, sekolah ini hanya Kemerdekaan 1940-1950 (Yogyakarta: Niagara, 2004), hlm. 44-45; Vincent J.H. Houben, Keraton dan Kompeni, Surakarta dan Yogya- 21 Kees Groeneboer, Jalan ke Barat: Bahasa Belanda di Hindia Belan- karta 1830-1870 (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002), hlm. 512. da 1600 – 1950 (Jakarta: Erasmus Taalcentrum, 1995), hlm. 351.

124 105 dapat diakses oleh kalangan Tionghoa kaya. Un- siap diperiksa kebersihannya.10 tuk masuk dan mengikuti pendidikan di HCS terdapat Bagi orang atau kelompok Tionghoa yang termasuk proses seleksi yang didasarkan atas jabatan, asal ke- dalam elite dan memiliki kekayaan akan lebih memilih turunan, kekayaan atau pendidikan orang tua. Seba- tinggal di luar wilayah Pecinan serta membangun ru- gai kriteria kekayaan adalah penghasilan yang ditaksir mah yang mewah, megah, dan berarsitektur modern. f.100/bulan.22 Bangunan yang dibangun orang Tionghoa kelas atas Sekolah ini menggunakan kurikulum ala Barat bersifat tersendiri atau terpisah sebagaimana rumah- dengan pengantar bahasa Belanda dan menggunakan rumah orang Eropa. Salah satu rumah orang Tionghoa kurikulum pelajaran yang sama dengan sekolah das- yang terbesar di Batavia pada akhir abad XIX adalah ar untuk anak-anak Belanda. Pada tahun 1914, ter- kediaman pribadi yang terletak di ujung jalan Molen- dapat 27 sekolah di seluruh Jawa dengan jumlah mu- vliet Barat dan diperkirakan dibangun pada pertenga- rid 5.203. Pendidikan yang berbasis bahasa Belanda han abad XVIII. Bila dilacak dari sejarahnya, kemung- menjadi jalur utama orang Tionghoa untuk terkena kinan besar rumah tersebut milik keluarga Khouw. pengaruh Barat. Bahasa Belanda dianggap sebagai Pada dasarnya Khou Tjoen bermigrasi dari Cina na- alat untuk dapat meraih kedudukan yang lebih tinggi, mun sebelum tinggal di Batavia ia berasal dari Tegal. memperbesar kemungkinan karier, alat untuk mem- Anaknya Khouw Thian Seck, yang biasa dipanggil Teng perbesar kesempatan berdagang, alat untuk penjagaan Seck, menjadi sangat kaya setelah memiliki sejumlah diri, umpanya di bidang ekonomi dan hukum, alat un- besar wilayah pertanian dan penggilingan beras di Bat- tuk mendapat jalan ke peradaban Barat, dimana baha- avia dan Tengerang. sa Belanda sebagai ‘Jalan ke Barat’ bermanfaat untuk Ia juga merupakan pemilik tanah di wilayah ta- memperoleh pendidikan lanjutan, dan dengan demiki- nah yang makmur di Batavia dan juga termasuk sepa- an dapat meraih kemajuan untuk mendapatkan per- njang jalan Molenvliet (sekarang daerah Gadjah Mada samaan dengan orang Eropa. Namun faktor lain juga dan Hayam Wuruk). Dengan kekayaannya, ia didukung memainkan peranan, bahasa Belanda dianggap seba- menjadi opsir Cina. Salah satu cucu Teng Seck, Khouw gai alat menjembatani perbedaan-perbedaan antara Youw Kee, menjadi kapten di konsul Cina di Batavia kelompok-kelompok penduduk untuk mencapai ikatan hingga akhir abad XIX. Anggota keluarga yang lain, antara Hindia Belanda dan negeri Belanda sehingga Khouw Kian An menjadi pemimpin konsul Cina den- dapat meningkatkan pengetahuan bahasa dan kebu- gan gelar tertinggi mayor dari tahun 1910 – 1918 dan dayaan Pribumi dan mengembangkannya lebih lanjut. tahun 1927 – 1942. Mereka biasa tinggal di Molenvliet Suatu kerjasama antara berbagai faktor politis, sosial- Barat.11

22 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah 10 Willard A. Hanna, Hikayat Jakarta (Jakarta: Yayasan Obor Indone- Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme (Jakar- sia, 1988), 210. ta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 218-219. 11 Scott Merillees, Batavia in Nineteenth Century Photographs (Singa-

106 123 rang. ekonomi, ilmu bahasa, dan sosial-psikologis menjadi- Bagi kalangan masyarakat Tionghoa dari kalan- kan bahasa Belanda sebagai bahasa dengan prestise gan menengah ke bawah cenderung tinggal di kawasan yang tertinggi dalam masyarakat Hindia Belanda.23 Pecinan yang kumuh dan jauh dari kesan higienis Secara umum, pendidikan merupakan suatu masyarakat perkotaan. Bangunan di wilayah Pecinan media yang penting untuk mendidik seseorang agar lebih merupakan rumah toko yang berfungsi ganda kelak ia dapat memagang posisi jabatan dalam suatu sebagai tempat tinggal sekaligus ruang usaha yang masyarakat. Pendidikan digunakan sebagai krite- berdekatan dengan akses jalan utama. Sedangkan bagi ria pengangkatan sautu jabatan dalam pemerintahan orang-orang kaya di Batavia hampir semua rumah be- maupun swasta. Penggajian seseorang juga didasarkan sar berdiri terpisah satu sama lain dengan halamannya pada penyesuaian fungsi dan pendidikan. Singkatnya, yang luas. Orang Eropa, Tionghoa, dan Arab memliki pendidikan Barat merupakan salah satu daya tarik dan daerah yang berbeda dan masing-masing memiliki ciri idaman sehingga orang menghargainya tanpa mengin- khasnya sendiri.8 Meski demikian, ada juga beberapa gat asal-usul seseorang.24 rumah orang Tionghoa kaya yang pada dasarnya memi- Pendidikan Tionghoa ala Barat, HCS, telah mem- liki deretan lingkungan perumahan yang sangat nya- buka jalan bagi peranakan Tionghoa untuk memper- man namun tetap saja berfungsi ganda sebagai toko. oleh jenjang karier yang diinginkan. HCS merupakan Deskripsi tersebut dijelaskan dalam pengamatan Au- suatu media yang menjadi penghubung penyebaran gusta De Wit ketika ia melewati kawasan Kampung pendidikan dan mentalitas Barat kepada etnis Tiong- Baru.9 Lingkungan perumahan Eropa dan elite Tiong- hoa peranakan. Kemampuan dalam bidang bahasa as- hoa bersifat sangat nyaman dengan adanya jalan-jalan ing menempatkan generasi muda peranakan Tionghoa lebar yang telah diaspal, pohon-pohon rindang di sisi sebagai subjek dalam mempelajari pemikiran  lsagfat, jalan, yang secara teratur dan disiram dengan air, se- ide, dan segala hal-hal baru yang bersifat Barat serta hingga sebagian besar dari kota Batavia setiap waktu memperlancar dalam perkembangan pergaulan den- lera, pilihan konsumsi dan praktik gaya hidup berkaitan dengan gan masyarakat Barat. Dampak dari semua itu adalah pekerjaan dan friksi kelas sosial tertentu, yang memungkinkan di- in ltrasi dan pembentukan mentalitas Barat terhadap buatnya peta alam selera dan gaya hidup bersama dengan oposi- sinya yang terstruktur serta pembedaanya yang tersusun dengan generasi muda Tionghoa Batavia, dengan kata lain pen- baik yang berlaku dalam masyarakat tertentu pada suatu titik wak- didikan merupakan akses terkuat bagi in ltrasi moder- tu tertentu dalam sejarah. Mike Featherstone, Posmodernisma dan nitas.25 Budaya Konsumen (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 42. 8 Pemela Pattynama, “Keluarga Indis: Kehidupan Sehari-hari pada 23 Kees Groeneboer, op. cit., hlm. 7. Masa Sebelum Perang di Batavia”, dalam Joost Cote dan Loes West- 24 Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat erbeek (ed.), Recalling the Indies: Kebudayaan Kolonial dan Identitas Pendukungnya di Jawa Abad XVIII-medio Abad XX (Yogyakarta: Ya- Poskolonial (Yogyakarta: Syariat, 2004), hlm. 34. yasan Bentang Budaya, 2000), hlm. 79. 9 Augusta de Wit, Java, Facts and Fancies (London: Chapman & Hall, 25 Susan Abeyasekere, “Social and Economic Effects of Increasing Ltd., 1905), hlm. 51. European Penetration in the Nineteenth and Twentieth Centuries”,

122 107 3. Media Massa dibangun oleh Fredrick Juhus Coyet pada 1736, pada Abad XX merupakan periode modernisasi yang tahun 1762 jatuh ke tangan Yayasan Cina (Chineeschen berdampak pada perkembangan kapitalisme, teknolo- Raad). gi, informasi, dan transportasi. Progres yang demikian Perpindahan kepemilikan tersebut merupakan positif tersebut berbanding lurus dengan pertumbu- implikasi dari sifat atau budaya hedonis yang diterap- han ekonomi di Hindia Belanda dengan ekspor hasil kan para pembesar kolonial kaya raya Batavia. Banyak perkebunan wajib tanam (cultur stelsel) seperti gula, keluarga kaya raya Batavia yang sebelumnya memiliki teh, kopi, dan indigo. Kesuksesan tersebut juga tidak tanah luas dan tinggal disekeliling kota menglami ke- lepas dari pengaruh kebijakan Undang-Undang Agrar- bangkrutan sehingga kehilangan tanah perkebunan ia, 1870, yang memudahkan modal swasta asing di dan bangunan pesanggrahannya yang megah akibat luar perusahaan pemerintah kolonial Belanda dapat kemewahan hidup rumah tangganya. Kandang-kan- secara bebas ditanamkan dalam aneka bidang usaha dang kuda, pembantu atau budak dengan jumlah ratu- di Hindia Belanda. Investor yang datang berasal dari san, dan kemewahan hidup sehari-hari yang semuanya Amerika, Eropa, Jepang, dan lain sebagainya secara memakan biaya amat besar, menjadi awal kehancuran massal menanamkan modalnya dalam aneka industri kehidupan para pembesar di Batavia. Oleh sebab itu seperti: pertambangan, perkebunan, minyak bumi dan banyak tanah perkebunan dan pesanggrahan mewah gas, kuangan dan perbankan, otomotif, pengolahan ko- tersebut dijual dan jatuh kepada pemilik baru, orang moditas konsumsi, barang-barang mewah, dan lain se- Cina dan Arab kaya. Peniruan gaya hidup mewah ini bagainya. Peningkatan investasi asing meningkat tajam berpusat di Weltevreden (Istana Bogor).5 Adanya ke- pada rentang tahun 1885 hingga 1900 dan terus ber- bangkrutan orang Eropa dan juga dibukanya pelu- lanjut mulai tahun 1910.26 ang kepemilikan tanah oleh Daendels6 telah membuka Semenjak surat kabar pertama, Bataviasche Nou- akses peluang masyarakat Tionghoa cabang atas un- velle pada tahun 1744, pers cenderung menjadi warta tuk memiliki pesanggrahan sebagaimana yang pernah periklanan yang melayani kepentingan perdagangan dimiliki orang Eropa. Mereka yang barasal dari kalan- maupun kepentingan komersil lainnya seperti pelelan- gan menengah ke atas dan memiliki akses pada aspek gan hasil perkebunan, pengumuman pemerintah jaja-  nansial tentunya memiliki cita rasa tersendiri dalam 7 han, berita mutasi jabatan, lowongan pekerjaan, dan menerjemahkan selera mengkonsumsi sebuah ba- lain sebagainya. Kecenderungan tersebut tere eksikan 5 Djoko Soekiman, op. cit., hlm. 98-102. 6 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah Ter- dalam nama surat kabar tersebut semisal: Soerabaiasch padu Bagian II: Jaringan Asia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 74. dalam Elaine Mckay (eds.), Studies in Indonesian History (Victoria: 7 Menurut Bordieu, selera selalu mengklasi kasikan orang yang ber- National Library of Austraia), hlm. 145. sangkutan. Pilihan konsumsi dan gaya hidup melibatkan keputus- 26 Pieter Creutzberg dan J.T.M. van Laanen, Sejarah Statistik Ekonomi an membedakan yang, pada saat yang sama, mengideti kasikan Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987), hlm. 242. dan mengklasi kasikan pilihan selera kita menurut orang lain. Se-

108 121 keluarga yang juga dikenal sebagai tuan tanah antara Handelsblad, Bataviasch Nieuws en Advertentieblad, lain adalah Van Rimsdijk, Ament, Arnold (Jawa Barat), Vendue Nieuws, Algemeen Handelsblad, Semarangsch Dezentje, Weynschenk, Deux (Yogyakarta dan Surakar- Nieuws en Advertentieblad, dan lain-lain. Faktor-faktor ta), dan Birnie (Jawa Timur).3 yang merubah kecenderungan surat kabar ke arah ko- Sejak pemerintah kolonial membeli sebidang ta- mersil perdagangan adalah pertama, adanya kontrol nah sebagai tempat pemukiman penduduk penda- ketat sistem informasi media massa cetak sejak De tang, warga Eropa yang kurang mampu akan tinggal Heeren Zeventien (Dewan Direktur 17 penguasa tert- di kantong-kantong masyarakat sederhana seperti di inggi VOC) hingga penerapan peraturan pembredelan Petojo, Kemayoran, Cideng, dan Tanah Tinggi, sedang- pers oleh pemerintah jajahan Hindia Belanda pada kan mereka yang disebut rijkers atau orang kaya, ting- awal abad XX. Hal ini dimaksudkan sebagai katalisator gal di kompleks perumahan atau kavling-kavling yang pers dari muatan politik yang dapat mengancam stabil- dibangun Belanda di daerah Menteng dan Gondangdia itas tanah jajahan. Kedua, peran iklan sebagai sumber Baru.4 Pembangunan rumah pesanggrahan oleh para pendapatan yang mampu menunjang keberlangsungan pembesar kompeni diawali dengan kepemilikan sebi- hidup penerbitan pers yang demikian signi kan.27 dang tanah yang masih berupa hutan. Mereka menda- Masuknya berbagai modal asing yang dibarengi patkan tanah tersebut dari hak eigendom (hak milik) dengan peningkatan daya beli masyarakat kolonial, ter- dari pengusaha tertinggi Hindia Belanda (Hooge Re- utama dari kalangan masyarakat Barat, Timur Asing, geeiring). Dari sebidang tanah tersebut dipilihlah awal dan elite pribumi, telah menghadirkan suatu bentuk letak dasar untuk pembangunan dasar rumah pesang- masyarakat urban yang konsumtif. Mereka merupakan grahan tersebut. objek potensial bagi produsen untuk memenuhi has- Tuan-tuan tanah tersebut kerap melaksanakan rat konsumsi modernitas masyarakat kolonial. Berba- sendiri perencanaannya (ontwerp-nya) dan kemudian gai produk ternama seperti: Ford (mobil), Bijouterie & dikerjakan oleh ahli bangunan (bouwmeester) pribadin- Joaillerie (perhiasan), Van Arcken & Co. (arloji), Rover ya. Namun akibat gaya hidup elite Eropa yang hedonis (sepeda), dan Joosten (pakaian), hadir dalam iklan da- berdampak pada kebangkrutan dan kehilangan tanah lam berbagai surat kabar. Beragam produk tersebut perkebunan serta bangaunan pesanggrahannya yang menawarkan sebuah sensasi, mimpi, cita rasa, pen- mewah. Sebagai contoh adalah rumah Gunungsari galaman, dan keistimewaan dari produk-produk yang ditawarkan demi sebuah tujuan adiluhung bernama 3 P.W. van der Veur, ”Orang Indo Eropa: Masalah dan Tantangan”, dalam H. Baudet dan I.J. Brugmans, Politik Etis dan Revolusi Ke- modernitas. merdekaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987), hlm. 100. 4 Freek Colombijn, Under Construction: The Politics of Urban Space and Housing during the Decolonization of Indonesia, 1930-1960 (Le- 27 Bedjo Riyanto, “Mempermainkan Realitas dalam Realitas Main- iden: KITLV Press, 2010), hlm. 127; Ensiklopedi Jakarta (Jakarta: Main”, dalam Budi Susanto A. (ed.), Identitas dan Poskolonialitas di Lentera Abadi, 2009), hlm. 80. Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 26.

120 109 Melalui objek-objek tersebut, setiap individu atau kelompok menemukan tempat masing-masing pada sebuah tatanan dan semuanya berusaha mendorong tatanan ini berdasarkan pada garis pribadi. Melalui ob- jek, suatu masyarakat menjadi terstrati kasi dan setiap orang berusaha tetap pada posisi tertentu. Oleh karena itu, mereka harus mengkonsumsi objek tertentu untuk menandakan (bahkan secara tidak sadar) bahwa kita sama dengan orang yang mengkonsumsi objek tersebut dan kita berbeda dari siapa yang mengkonsumsi objek lain. Hal ini menunjukkan bahwa sebuah komoditas dibeli sebagai gaya berekspresi dan tanda, prestise, ke- mewahan, kekuasaan, dan sebagainya.28 Dengan me- ningkatnya persediaan (supply) benda-benda simbolik, maka permintaan (demand) mempunyai kesempatan untuk menginterpretasikan terhadap barang-barang tersebut untuk mempertahankan prestise dan kapital Gambar 1: Diferensiasi okupasi baboe-jongos dalam kedia- kultural dari kantong-kantong tersebut dan sekaligus man elite Eropa1 juga menjadikan kantong tersebut lebih dapat diterima oleh audiens yang lebih luas.29 Berbagai komoditas ter- Perawatan rumah tersebut membutuhkan budak sebut disosialisasikan melalui media periklanan. Iklan dalam jumlah besar dengan diferensiasi tugas masing- di berbagai surat kabar merupakan ujung tombak pi- masing. Sebagai gambaran adalah rumah Citeureup mi- ranti kekuatan modal kapitalisme global dalam men- lik Majoor Jantje tahun 1833, memerlukan sejumlah ciptakan hasrat nafsu kerakusan konsumerisme dan 320 orang dengan pembagian stalmeester (pengawas hedonisme secara terus menerus berkesinambungan kandang kuda), tuiner (tukang kebun), slokan opziener tanpa batas. Dengan manipulasi simbol dan rekayasa (pengawas selokan), opziener der vogelnesten (pengawas mental, sekelompok pemodal kapitalis industri mengek- sarang burung walet), pedati voeders (angkutan pedati). sploitasi kecanggihan teknologi media dan pencitraan Pekerjaan tersebut belum termasuk budak yang ber- terhadap calon konsumen. tugas di dalam rumah dan juga keamanan.2 Beberapa Gejala sosial tersebut juga berdampak pada go- 1 Siswadhi, “Sok Pamer dan Percaya Dukun”, dalam Helen Ishwara 28 George Ritzer, Teori Sosial Posmodern (Yogyakarta: Kreasi Wacana, (ed.), Betawi (Jakarta: Gramedia, 2001), hlm. 93. 2009), hlm. 138-139. 2 Lihat, Johan Fabricus, Mayor Jantje: Cerita Tuan Tanah Batavia 29 Mike Featherstone, Posmodernisme dan Budaya Konsumen (Yogya- Abad XIX (Jakarta: Masup Jakarta, 2008). karta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 44.

110 119 alas kaki pada tempat-tempat tertentu, dan lain seba- longan etnis Tionghoa peranakan yang sebagian besar gainya. telah menjadi elite kelas menengah. Mereka menjadi Bagi pejabat tinggi VOC dan pemerintah kolonial, subjek emulator yang cenderung ambisius, pamer, me- berkat pendapatan dan kekayaan yang besar, memung- mentingkan status, berorientasi pada kelas di atasnya, kinkan mereka untuk memiliki tanah yang luas. Pada dan sangat kompetitif. 30 Sikap itu tercermin pada salah umumnya tanah-tanah tersebut berada terletak jauh di satu pengakuan Augusta de Wit yang mengatakan bah- luar pusat kota dan pemerintahan, yang disebut den- wa wanita-wanita Tionghoa kaya kerap memamerkan gan tanah partikelir (particuliere landerijen). Di tanah berlian-berlian sangat besar dan berkilauan pada baju semacam inilah mereka mendirikan bangunan rumah brokat mereka, seakan tak mau kalah dengan para yang luas, sangat besar, dengan halaman yang sangat pejabat kolonial.31 Perilaku tersebut merupakan salah luas yang disebut landhuizen. Arsitektur bangunan dampak dari maraknya iklan-iklan perhiasan mewah yang mereka pilih berupa arsitektur kolonial. Menurut Eropa pada berbagai surat kabar. Tak jarang pria-pria Passchier arsitektur kolonial merupakan sebuah isti- Tionghoa peranakan cabang atas menggunakan gigi lah yang mengacu pada persepsi sejarah sosial, sering palsu yang terbuat dari emas. menyiratkan aturan dan kekuasaan kolonial dimana Pada akhir abad XIX, sejalan dengan perkemban- bangunan publik adalah sebuah ekspresi, sebuah sim- gan laju perekonomian Hindia Belanda, muncul berba- bol intimidasi dan pemaksaan. Ciri bangunan abad XIX gai perusahaan periklanan yang dimiliki dan dikelola adalah menggemakan bangunan-bangunan kerajaan oleh orang Tionghoa, seperti Yap Goan Ho32 dan Gow Romawi: penggunaan barisan pilar-pilar dengan bagian Peng Liang yang mendirikan Kabar Perniagaan. Perkem- atas bergaya Doric (Yunani atau Romawi), atau bergaya bangan pers semakin berkembang ketika awal abad XX Toskana, Ionic, Korintia, atau campuran semuanya den- gan tympanum (dimensi berlebihan di bagian dalam).44 30 Bedjo Riyanto, op. cit., hlm. 22. 31 Myra Sidharta, “Korban dan Pengorbanan Perempuan Etnis Cina” dalam Ivan Wibowo (ed.), Harga yang Harus Dibayar: Sketsa Pergu- latan Etnis Cina di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan Pusat Studi Cina, 2000), hlm. 114. 32 Perintisnya adalah Yap Goan Ho dari Batavia yang sebelumnya bekerja sebagai penulis naskah iklan (copy writer) di perusahaan periklanan De Locomotief. Perusahaan ini diberi nama yang sama dengan perintisnya dan berkembang pesat ketika bekerjasama den- gan surat kabar Melayu, Sinar Terang. Pasca kebangkrutan Sinar Terang, perusahaan ini justru semakin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan perusahaan periklanan yang mengkhususkan 44 Cor Passchier, “Arsitektur Kolonial di Indonesia: Rujukan dan pada iklan pelelangan barang-barang milik pejabat Hindia Belanda Perkembangan”, dalam Peter Nas dan Martien de Vletter (ed.), Masa yang pensiun. Bedjo Riyanto, Iklan Surat Kabar dan Perubahan Ma- Lalu dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia (Jakarta: Gramedia syarakat di Jawa Masa Kolonial, 1870-1915 (Yogyakarta: Tarawang, Pustaka Utama, 2009), hlm. 128. 2000), hlm. 81-82.

118 111 dan banyak dari para pemilik percetakan merupakan berbagai simbol material yang berfungsi sebagai peran- etnis Tionghoa peranakan antara lain: Tio Tek Hong dan tara dasar yang menghubungkan dengan masyarakat Loa Po Seng di Meester Cornelis dan Weltevreden. Berb- luas.42 agai karya terjemahan dari bahasa Eropa dan maupun Orang Eropa membangun rumah sebagai salah dari bahasa Mandarin yang berupa roman populer, al- satu simbol untuk menunjukkan kebesarannya di mata manak, uraian teknik, dan terkadang juga karya-karya masyarakat koloni. Bentuk bangunan rumah tempat bercorak politik banyak diterbitkan.33 Berbagai karya tinggal dengan ukuran yang besar dan luas, mewah da- terjemahan dari Barat dan negeri Tiongkok banyak be- lam berbagai hal ragam hias, penataan halaman dan redar di dalam masyarakat Batavia. Masyarakat Batavia lingkungan sekeliling dengan rapi, kelengkapan pera- yang plural berdampak pula pada segmentasi pembaca. botan, dan sebagainya, dapat dipergunakan sebagai in- Di kalangan masyarakat Tionghoa terdapat beberapa dikator derajat dan kekayaan pemiliknya sekaligus da- surat kabar dengan orientasi beragam, antara lain: Sin pat dipergunakan sebagai pedoman struktur hierarki Po (nasionalis Tionghoa), Siang Po (pro kolonial), dan status pemilik atau penghuninya dalam masyarakat. Sin Tit Po (pro Indonesia). Ketiga surat kabar tersebut Gaya hidup yang serba berkecukupan bahkan mendeka- merupakan media yang efektif dalam membangun opi- ti mewah, dapat menjadi lambang prestise dan status ni masyarakat yang komunikatif sekaligus persuasif. sosial yang tinggi.43 Dunia jurnalistik dan pewartaan telah menjadi bagian Berbagai simbol dibutuhkan untuk memberikan dari gaya hidup masyarakat literer. Seorang Tionghoa gambaran secara nyata antara pretise jabatan, peng- kaya yang buta huruf pun kerap membayar seseorang hasilan yang tinggi, dan pendidikan. Terdapat berba- untuk membacakan surat kabar.34 gai larangan atau pantangan yang dikenakan kepada Perkembangan pers di abad XX memiliki peran sen- masyarakat Jawa untuk menghormati kedudukan pe- tral dalam mempengaruhi pandangan dan gaya hidup jabat tinggi daerah, antara lain: larangan pemakaian masyarakat urban modern. Pers tidak hanya berfungsi corak kain batik tertentu, ketentuan membangun ban- sebagai media informasi pewartaan terhadap berbagai gunan tempat tinggal, larangan membunyikan gamelan peristiwa yang terjadi namun pers juga dapat berperan pada hari tertentu bersamaan dengan dibunyikannya sebagai: media pendidik, promosi akan suatu produk, gamelan di rumah pembesar, melepaskan tudung atau pembentuk opini yang mempengaruhi masyarakat, dan sebagai perantara informasi antara pemerintah den- 42 G. William Skinner, “Creolized Chinese Societies in Southeast Asia”, dalam Anthony Reid (ed.), Sojourners and Settlers: Histories gan masyarakat. Media massa menjadi mukjizat dalam of Southeast Asia and The Chinese (New South West: Allen & Unwin liturgi objek, kenikmatan (leisure) dipahami sebagai Pty Ltd, 1996), hlm. 62. 43 Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat 33 Denys Lombard II, op. cit., 152-153. Pendukungnya di Jawa Abad XVIII-medio Abad XX (Yogyakarta: 34 Pramoedya Ananta Toer, Tempoe Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indo- Yayasan Bentang Budaya, 2000), hlm. 56-57. nesia. Jakarta: Hasta Mitra, 1982), hlm. 9.

112 117 Hindia Belanda. “penjelmaan kebebasan”, dan tubuh manusia adalah Menurut Kayam, Beambtenstaat Hindia Belanda objek konsumen yang utama.35 adalah suatu transformasi budaya yang diciptakan dan dipaksakan oleh Belanda terhadap seluruh kawasan 4. Peniruan Kehidupan Komunitas Belanda kepulauan kita yang sejak itu merupakan suatu ke- Menurut Burger, pengaruh Barat merupakan kes- satuan pemerintahan meskipun pemerintahan jaja- atuan majemuk dari kekuatan-kekuatan kemasyaraka- han. Suatu proses dari berbagai nuansa paham dan tan yang berasal dari pemerintah kolonial Barat dari pemikiran yang kemudian menjurus pada apa yang unsur swasta Barat dan dari bangsa Indonesia. Pen- disebut oleh para ahli sejarah pemikiran sebagai “the garuh Barat ini disebabkan oleh berbagai alasan dan shaping of modern thought” yang hakekatnya adalah membawa banyak akibat, yang dikehendaki maupun proses pergeseran konsep kosmologis dari manusia yang tidak dikehendaki, yang langsung maupun yang Barat yang semakin sekuler, rasional, dan materialis. tidak langsung, dalam arti politik, ekonomi, sosial, dan Maka dapat disimpulkan bahwa beambtenstaat adalah cita-cita. Implikasi pengaruh Barat menimbulkan per- suatu alat dari negara kolonialis dan imperialis dengan ombakan unsur-unsur kebudayaan Timur maupun pe- tujuan utama untuk menempatkan negara taklukkan mindahan hal-hal yang baru. Pemindahan ini sering- tersebut sebagai bagian taklukkan dari suatu kerajaan kali berupa pemindahan kebudayaan.36 besar dan menjadikannya salah satu sumber pendapa- Keberadaan komunitas Eropa, terutama Belanda, tan kerajaan.41 telah memberikan warna tersendiri dalam masyarakat kolonial Batavia. Mereka sebagai sebuah entitas sosial B. Elite Tionghoa dan Konsumsi Simbol Material yang merepresentasikan kelompok masyarakat di level pada Era Modernitas Abad XX hierarki tertinggi berusaha menjaga derajatnya di mata Pada hakikatnya setiap manusia memliiki kebu- masyarakat. Bagi sebagian kelompok Tionghoa yang tuhan hidup dalam menjalani kelangsungan hidup. Ke- telah dipersamakan dengan Eropa, meniru kehidupan butuhan tersebut dilakukan melalui sebuah konsumsi orang Olanda merupakan sesuatu yang tak bisa ter- terhadap komoditas. Konsumsi tersebut dimaksudkan bantahkan. Peniruan tersebut akan menempatkan kel- untuk memenuhi kebutuhan primer yang paling men- ompok elite Tionghoa, paling tidak, sederajat. Adanya dasar pada setiap hidup manusia, antara lain: rumah persamaan diantara mereka menjadi kekuatan untuk sebagai tempat tinggal; makanan sebagai pangan, dan orang Tionghoa masuk dalam komunitas Eropa. Selain pakaian sebagai alat untuk melindungi tubuh. Menurut 35 Skinner, rumah, makanan, dan pakaian merupakan Adeline May Tumenggung, “Kebudayaan (para) Konsumen”, dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed.), Teori-teori Kebudayaan 41 Umar Kayam, “Transformasi Budaya Kita”, dalam Pidato Penguku- (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 263 han Jabatan Guru Besar pada Fakultas Sastra UGM, 19 Mei 1989, 36 Dionijs Huibert Burger, Perubahan-perubahan Struktur dalam hlm. 198-202. Masyarakat Jawa (Jakarta: Bhratara, 1977), hlm. 115.

116 113 itu, perbedaan tersebut juga berfungsi sebagai pembe- pisau, garpu, dan sendok. Pada era ketika bangsa Be- da terhadap masyarakat pada umumnya. landa meninggalkan Belanda menuju Asia dan Afrika, Interaksi yang intens dengan orang Belanda ber- mereka termasuk di antara orang-orang yang beradab dampak pada transfer kebudayaan Barat kepada orang yang makan menggunakan peralatan makan dan sikap Tionghoa elite peranakan. Perilaku dan kebiasaan yang “jantan”. “Merangkak” menjadi kata sifat yang tersebut terartikulasi pada aplikasi kehidupan sehari- dilekatkan pada kebiasaan “orang Jawa”, namun oleh hari. Budaya Barat sebagai budaya kelompok pen- orang Belanda kata ini yang sebenarnya berarti sikap guasa menjadi kiblat orang Tionghoa yang kemudian sopan orang yang lebih muda terhadap yang lebih tua mengakibatkan jarak renggang dengan elite pribumi.37 diselewengkan secara peyoratif menjadi sebuah tanda Diskursus westernisasi, bahkan mengarah pada pem- suatu ras yang terjajah, bahkan terdapat ungkapan Be- bunuhan karakter (character assassination), menjadi landa, “al draagt een aap een gouden ring, het is een bli- semakin nyata ketika terdapat wacana dan dialektika jft een lelijk ding” (meskipun mengenakan cincin emas, Eropa yang menempatkan bahwa orang Barat sebagai seekor monyet tetap saja makhluk yang buruk rupa).40 manusia yang beradab dan memiliki tanggung jawab Menurut Webber, untuk memahami transformasi moral untuk mensejahterakan koloni-koloninya. Panji- masyarakat kapitalis orang tidak harus memahaminya panji pada syair “White Man’s Burden” menjadi tonggak sebagai suatu sintesa atau teas atau antitesa dari suatu pembenaran emperialisme dan kolonialisme Eropa atas dialektika pertentangan kelas melainkan mesti mema- dunia.38 Dalam perspektif Belanda, masyarakat pribu- haminya lewat suatu “ideal type” masyarakat yang sen- mi dipandang sebagai sesuatu yang lain, bahkan terbe- gaja diciptakan sebagai suatu model dan paradigma. lakang, masyarakat pribumi dipandang bukan sebagai Paradigma ini sedikit banyak mempengaruhi per- anggota masyarakat yang setara, melainkan binatang spektif dan mentalitas generasi muda elite Tionghoa penjaga yang lebih rendah dari monyet dan mendukung dalam memandang masyarakat pribumi sehingga cend- “benteng” kolonial Belanda.39 erung memilih kebudayaan Berat sebagai pandangan Sebagai gambaran, pada abad XIX bangsa Eropa hidup. Disamping itu, pemerintah Belanda berhasil dari semua kelas sosial makan dengan menggunakan membuat Hindia Belanda sebagai suatu beambtenstaat, yaitu suatu “negara” yang apolitik, yang terutama men- 37 Ruth McVey, ”Wujud Wirausaha Asia Tenggara”, dalam Ruth McVey (ed.), Kaum Kapitalis Asia Tenggara (Jakarta: Yayasan Obor Indone- gadalkan dinamikanya pada birokrasi dan tidak pula sia, 1998), hlm. 25. kekuatan politik yang hidup dalam masyarakat pada 38 White Man’s Burden adalah syair pujangga Inggris, Rudyard Klip- ing, mengenai tanggung jawab moral orang kulit putih terhadap awal abad XX, maka semakin sempurnalah penyerapan kesejahteraan bangsa-bangsa lain, diterbitkan pada 1899 pasca sistem pemerintahan lokal ke dalam sistem birokrasi Amerika mengambil alih Filipina dari Spanyol. 40 Jean Gelman Taylor, “Kostum dan Gender di Jawa Kolonial tahun 39 Fracees Gouda, Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia 1800-1940”, dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), Outward Appear- Belanda, 1900-1942 (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007), hlm. ance: Trend, Identitas, Kepentingan,terj. M. Imam Aziz (Yogyakarta: 46 dan 244. LKIS, 2005), hlm. 143.

114 115